tinjauan fiqh muamalat terhadap …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789... ·...
TRANSCRIPT
TINJAUAN FIQH MUAMALAT TERHADAP PELAKSANAAN
PEMBIAYAAN MUDHARABAH UNTUK SEKTOR PERTANIAN
DI BPRS AL-BAROKAH DEPOK
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat MemperolehGelar Sarjana Ekonomi Syari’ah (S.E.Sy)
Oleh:
ZURRAHMAH ARIFNIM: 107046100367
KONSENTRASI PERBANKAN SYARI’AHP R O G R A M S T U D I M U A M A L A T
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUMUIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA2011/1432 H
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta, termasuk pencabutan gelar akademik.
Jakarta, 07 Agustus 2011
Zurrahmah Arif
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, Yang maha Pengasih dan Penyayang yang
telah memberikan rahmat hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat dan salam
selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW serta keluarga, sahabat serta para
penerus perjuangan Dinul Islam. Atas nikmat dan Karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul:
TINJAUAN FIQIH MUAMALAT TERHADAP PELAKSANAAN
PEMBIAYAAN MUDHARABAH UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI BPRS
AL-BAROKAH DEPOK.
Skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak yang telah menolong
penulis dalam menyelesaikannya. Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada
pihak-pihak berikut:
1. Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM, Dekan Fakultas Syari’ah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah.
2. Ibu Dr. Euis Amalis, M.Ag, ketua prodi Muamalat Fakultas Syari’ah dan Hukum,
dan Bapak Mu’min Rouf M.Ag, Sekretaris prodi Muamalat Fakultas Syari’ah dan
Hukum.
3. Dr.H.Abd.Wahab Abd. Muhaimin, Lc.,MA dan M. Nur Rianto Al Arif, SE, M.Si,
Dosen Pembimbing.
4. Para dosen yang telah mendidik penulis dengan baik sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi di Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah.
5. Pihak BPRS Al-Barokah Depok khususnya untuk bapak Nur Rohim, terimakasih
untuk waktu dan kesediaannya dalam membantu penulis menyelesaikan skripsi
ini.
6. Kedua orang tua penulis yaitu Buya Muhammad Arif dan Umi Syamsiah, terima
kasih atas kasih sayang, doa dan dorongan semangat nya agar penulis bisa meraih
cita-cita yang diinginkan. Tak lupa pula untuk Mak Adang dan Mintuo, yang
telah menyokong penulis untuk bisa melanjutkan pendidikan. Insyaallah penulis
akan menjadi anak yang dibanggakan keluarga. Amin.
7. Untuk kakak, adik dan family lain yang terus mengingatkan penulis untuk cepat-
cepat menyelesaikan studi strata 1 ini.
8. My best friends Salmi hayati, Hindayanti, Anisa, Tini, dan Anne thanks for
everythink. Duniaku tak akan berwarna tanpa kalian.
9. Untuk seseorang yang tak perlu penulis sebutkan namanya, terimakasih atas
support nya, hubugan ini terlalu complicated untuk dilanjutkan.
Akhirnya penulis mengharapkan kritik serta saran yang membangun dari
berbagai pihak untuk perbaikan skripsi ini. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi
semua pihak. Amin.
Jakarta: 07 Agustus 2011M
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………. .i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING……………………………… .ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN………………………………. .iii
LEMBAR PERNYATAAN……………………………………………………..iv
KATA PENGANTAR…………………………………………………………....v
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..vii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………………4
C. Tujuan dan Manfaat penulisan…………………………………..5
D. Review Studi Terdahulu………………………………………...5
E. Metode Penelitian……………………………………………….7
F. Sistematika Penulisan Skripsi…………………………………..11
BAB II : KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Pembiayaan…………………………………………14
B. Pengertian Akad Mudharabah………………………………….16
C. Landasan Hukum Pembiayaan Mudharabah…………………...19
D. Aplikasi Pembiayaan Mudharabah di Perbankan Syari’ah…….27
BAB III : GAMBARAN UMUM BPRS AL-BAROKAH
A. Sejarah Berdirinya BPRS ………………………………………40
B. Struktur Organisasi BPRS……………………………………...43
C. Visi dan Misi BPRS ……………………………………………44
D. Produk-produk BPRS ………………………………………….45
BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Mekanisme Pengajuan Pembiayaan Mudharabah di BPRS Al-
Barokah ………………………………………………………….48
B. Aplikasi Pembiayaan Mudharabah untuk sektor Pertanian di
BPRS Al-Barokah……………………….………………………52
C. Analisis………………………..…………………………………55
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………….…..78
B. Saran-saran……………………………..….……………….…....81
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..83
LAMPIRAN-LAMPIRAN………………………………………………………...85
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia dikenal dengan sebutan sebagai negara agraris. Yang berarti
sebagian besar masyarakatnya hidup dengan cara bertani. Dengan potensi pertanian
yang begitu besar mestinya perbankan Indonesia bisa melihat ini sebagai peluang.
Namun pada kenyataannya masih sedikit bank yang mempunyai jenis pembiayaan
yang dikhususkan untuk membiayai usaha para petani.
Sehingga persoalan terbesar masyarakat pertanian sekarang ini adalah
kesulitan mengakses permodalan. Secara makro alokasi pendanaan bank pada sektor
pertanian ini memang masih minim dibanding alokasi pendanaan pada sektor usaha
besar. Umumnya alokasi kredit lebih diarahkan untuk kepentingan konsumtif
daripada investasi dan modal kerja. Bank umumnya masih melihat risiko pertanian
secara berlebihan sehingga mensyaratkan jaminan yang besar dan prosedur yang
berat dengan standar bank. Ukurannya adalah bankable (dapat dibayar) dan bukannya
feasible (kemungkinan) dari aspek bisnis.1
Begitu juga dengan petani, menurut mereka permodalan melalui bank
umumnya sangat identik dengan pembiayaan yang sangat sulit ditanggulangi,
khususnya dalam mengembangkan usaha tani di pedesaan. Akses petani terhadap
sumber-sumber permodalan resmi masih sangat terbatas, tetapi sebaliknya petani
1 Ahmad Riawan. A, Menata Perbankan Syariah di Indonesia, (Jakarta, UIN Press, 2009)hal 127.
lebih mudah mendapatkan modal dari para pelepas uang (tengkulak) dengan bunga
tinggi.
Bank dalam mengabulkan pembiayaan nasabah tentunya tidak mau
mengambil risiko, bank pasti akan meminta agunan untuk back up jika pembiayaan
tersebut bermasalah. Jika lahan usaha tani yang dijadikan agunan untuk mendapatkan
kredit modal perbankan, maka hampir dapat dipastikan bahwa sebagian besar petani
tidak layak mendapat modal yang bersumber dari lembaga keuangan resmi. Oleh
karena itu modal menjadi faktor penghambat dalam mengelola usaha tani.2
Oleh karena alasan itulah masyarakat pertanian sering menggunakan jasa
rentenir untuk meminjam uang dikarenakan prosedur yang digunakan oleh rentenir
dalam meminjamkan uang kepada masyarakat tidak berbelit-belit dan tidak
membingungkan masyarakat petani yang mana sebagian besar dari petani di
Indonesia merupakan masyarakat awam yang tidak mau dipusingkan dengan prosedur
peminjaman uang. Walaupun sebenarnya konsekuensi dari meminjam uang pada
rentenir besar, dikarenakan bunga yang diambil oleh rentenir dalam peminjaman uang
tersebut tidaklah kecil. Menurut masyarakat petani lebih baik meminjam ke rentenir
daripada mengajukan pinjaman ke Bank Pembiayaan Rakyat Syariah yang
menggunakan beberapa prosedur dalam meloloskan kreditnya kepada nasabah.
Sebagai bahan informasi, secara nasional sampai dengan akhir tahun 2010,
penyaluran kredit kepada sektor pertanian mencapai Rp 91 trilliun atau 5,15 % dari
2 Bambang Sayaka dkk. Peningkatan 20% Akses Petani Terhadap Berbagai SumberPembiayaan Usaha Tani, hal 2.
total kredit perbankan, di antara kredit tersebut sebesar Rp 1,76 trilliun merupakan
pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah. Peran perbankan syariah dalam
pembiayaan sektor pertanian khususnya agribisnis masih relatif kecil.3
Dari sedikitnya bank yang mempunyai jenis pembiayaan yang
dikhususkan pada petani, penulis akhirnya menemukan satu BPRS yang bernama
BPRS Al-Barokah yang berlokasi di daerah Sukmajaya, Depok. Menurut penulis
BPRS ini unik karena memberikan pembiayaan kepada semua nasabah disemua
sektor usaha asalkan jenis usaha tersebut halal.
Selama tahun 2009/2010 BPRS Al-Barokah mencoba melakukan
pendanaan pada sektor pertanian dan agro industri, dalam tahun itu ada 7 nasabah
yang mengajukan pembiayaan dengan nilai plafond per-nasabah (non-group) Rp 120
juta sehingga total pendanaan mencapai Rp 840 juta.
Namun pada perkembangan selanjutnya, nasabah mulai mengalami
kendala dalam bidang pemasaran seperti hasil panen tidak memenuhi standar, adanya
persaingan antar petani dan masalah teknis lainnya. hingga orientasi BPRS Al-
Barokah pun berubah, dan pada tahun selanjutnya BPRS Al-barokah tidak lagi
3Seminar yang diselenggarakan oleh surat kabar Harian Investor Daily Indonesia padahari Rabu(2/3/2011) di Jakarta, dengan tema ” Peluang Pembiayaan Perbankan Syariah untuk SektorPertanian “.
melakukan pendanaan di sektor pertanian karena dalam tahun tersebut perkembangan
sektor pertanian dirasa kurang menguntungkan bagi BPRS Al-Barokah.4
Dengan melihat pada permasalahan diatas maka penulis tertarik untuk
membahas hal tersebut lebih lanjut melalui skripsi dengan judul TINJAUAN FIQIH
MUAMALAT TERHADAP PELAKSANAAN PEMBIAYAAN
MUDHARABAH UNTUK SEKTOR PERTANIAN DI BPRS AL-BAROKAH
DEPOK.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Melihat dari latar belakang permasalahan diatas, penulis akan membahas
mengenai Bagaimana pandangan fiqh muamalat terhadap pelaksanaan pembiayaan
mudharabah untuk sektor pertanian di BPRS Al-Barokah?
2. Perumusan Masalah
Dari pembatasan masalah diatas maka penulis merumuskan masalahnya
menjadi sebagai berikut:
a. Bagaimana pandangan fiqh muamalat mengenai akad mudharabah?
b. Seperti apa aplikasi akad mudharabah untuk sektor pertanian di BPRS Al-
Barokah?
c. Apakah sesuai antara mekanisme pengajuan pinjaman mudharabah untuk
sektor pertanian dengan aplikasi menurut analisis penulis?
4 Wawancara pribadi dengan Nur Rohim salah seorang staf accounting BPRS Al-barokahpada tanggal 8 April 2011.
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk menganalisis kesesuaian antara praktek pembiayaan mudharabah
untuk sektor pertanian di BPRS Al-Barokah dengan yang ada di literatur
fiqh muamalat.
b. Untuk mengetahui langkah-langkah pengajuan proses pembiayaan di
BPRS Al-Barokah.
2.Manfaat Penelitian skripsi ini diharapkan sebagai berikut:
a. Bagi Penulis: mendapat wawasan dan pengetahuan yang lebih luas
mengenai pandangan fiqh muamalat mengenai akad mudharabah untuk
sektor pertanian dan aplikasi pembiayaan tersebut di BPRS Al-Barokah.
b. Bagi BPRS Al-Barokah: bisa menjadi bahan acuan untuk agar lebih
mempermudah prosedur peminjaman kepada masyarakat petani.
c. Bagi masyarakat luas: untuk lebih mengetahui seperti apa dan bagaimana
cara mengajukan pembiayaan ke BPRS Al-Barokah, dan menambah
pemahaman masyarakat tentang BPRS Al-Barokah.
D. Review Studi Terdahulu
1. Kendala dan tantangan penerapan sistem muzara’ah di bank syariah skripsi
Ahmad Rifa’i (2008).
Dalam menulis skripsi ini Ahmad Rifa’i menggunakan metode penelitian
kualitatif yang bertempat di Bank Muamalat Indonesia dan PKES. Sedangkan dalam
menganalisis data skripsi Ahmad Rifa’i menetapkan langkah sebagai berikut:
a. Melakukan analisis terhadap tanggapan penerapan system bagi hasil pertanian di
BMI dan PKES.
b. Menganalisis risiko penerapan bagi hasil pertanian di BMI dan PKES.
Kesimpulan dari penulisan skripsi ini adalah: tentang penerapan sistem
muzara’ah di bank syariah yang masih banyak kendala terutama di sumber daya
finansial. Dan hambatannya pada masyarakat petani yang kurang memiliki
kemampuan dalam baca tulis.
Perbedaan antara skripsi ini dengan skripsi diatas adalah: penulis
mengangkat tema tentang pandangan fiqh muamalat terhadap pembiaayaan
mudharabah untuk sektor pertanian dan prakteknya di BPRS Al-Barokah sedangkan
skripsi di atas membahas mengenai tantangan penerapan akad muzara’ah di bank
syari’ah, yang mana tantangannya ada pada sumber daya finansial dan masyarakat
petani yang kurang memiliki kemampuan baca tulis.
2. Tinjauan ekonomi Islam terhadap pinjaman modal pertanian dengan
pengembalian berdasarkan nilai tukar harga gabah skripsi Rodhiah Damayanti
(2008).
Pendekatan penelitian yang digunakan di skripsi ini adalah pendekatan
sosiologi ekonomi yaitu meneliti kegiatan ekonomi yang terjadi dalam sebuah
masyarakat bagaimana sebuah sistem ekonomi tersebut diterapkan dan apa
pengaruhnya bagi masyarakat itu sendiri.
Kesimpulan dari skripsi ini adalah: Sistem pinjaman modal pertanian
dengan pengembalian berdasarkan berdasarkan nilai tukar harga gabah menurut
skripsi ini dapat dikatakan belum sesuai dengan prinsip-prinsip ekonomi Islam,
karena belum memberikan keadilan untuk semua pihak karena dalam hal ini yang
diuntungkan adalah pemilik modal yang sudah dipastikan mendapatkan hasil dari
investasinya dan tidak mungkin rugi. Sedangkan petani belum tentu mendapatkan
untung dari hasil usahanya.
Perbedaan antara skripsi ini dengan skripsi diatas adalah skripsi diatas
mengangkat tema tentang tinjauan ekonomi Islam terhadap pinjaman modal pertanian
dengan pengembalian berdasarkan nilai tukar harga gabah. Jadi skripsi diatas
menganalisis pendapat ekonomi Islam terhadap praktek pinjaman modal pertanian
yang dilakukan di desa Belendung, Karawang, Jawa Barat. Sedangkan skripsi ini
menganalisis antara kesesuaian praktek pembiayaan mudharabah di BPRS Al-
Barokah dengan yag ada di literatur fiqh muamalat.
E. Metode Penelitian
Sugiono5 menyatakan bahwa definisi metode penelitian adalah: cara
ilmiah untuk mendapatkan data yang valid dengan tujuan dapat ditemukan,
dibuktikan dan dikembangkan sebagai suatu pengetahuan sehingga pada gilirannya
dapat digunakan untuk memahami, memecahkan dan mengantisipasi masalah.
1. Lokasi Penelitian
Dalam skripsi ini lokasi penelitiannya adalah BPRS Al-Barokah yang
terletak di Sukmajaya, Depok.
2. Jenis Penelitian
5 Sugiono, Metode Penelitian Bisnis, (Bandung: CV Alva Beta), hal: 15.
Jenis pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif,
menurut Burhan Bungin6 pendekatan kualitatif berpusat pada prinsip umum yang
mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial yang ada didalam
masyarakat. Sasaran kajian pendekatan kualitatif adalah pola-pola yang berlaku
sebagai prinsisp umum yang hidup dalam masyarakat.
Lexy Moleong7 dalam bukunya “Metodologi Penelitian Kualitatif”
menyebutkan beberapa fungsi dan pemanfaatan penelitian kualitatif ialah untuk
meneliti latar belakang fenomena yang tidak dapat diteliti melalui penelitian
kuantitatif, digunakan oleh peneliti yang bermaksud meneliti sesuatu secara
mendalam, dimanfaatkan oleh peneliti yang berminat untuk menelaah suatu latar
belakang misalnya tentang motivasi, peranan, nilai sikap dan persepsi. Dan
dimanfaatkan oleh peneliti yang yang ingin meneliti sesuatu dari segi prosesnya.
Dengan demikian penulis memutuskan untuk menggunakan metode penelitian
kualitatif dalam penyusunan skripsi ini karena data-data yang penulis perlukan untuk
penelitian tidak diperoleh melalui proses statistika atau bentuk hitungan lainnya.
3. Sumber Data
Dalam penyusunan skripsi ini penulis menggunakan 2 jenis sumber data
yaitu:
a. Data Primer
6Burhan Bungin, Analisis Data Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Rajawali Press), hal: 78.7Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Rosdakarya), hal: 194.
Data primer merupakan data yang digunakan dan tertuang dalam item-
item pertanyaan wawancara yang terangkum. Di skripsi ini penulis akan
mewawancarai pihak dari BPRS Al-Barokah itu sendiri.
b. Data sekunder
Dalam penelitian ini penulis juga melakukan studi kepustakaan yaitu
dengan mempelajari buku pustaka, literatur, bulletin, majalah serta materi kuliah yang
berkaitan erat dengan pembahasan masalah ini.
c. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, penulis mengumpulkan data yang dibutuhkan
dengan menggunakan beberapa teknik yaitu:
1. Study Lapangan (Field Study):
a. Wawancara adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian
dengan cara tanya jawab, sambil bertatap muka antara si penanya atau
pewawancara dengan si penjawab dengan menggunakan panduan
wawancara.8Dalam hal ini penulis akan mewanwancarai pihak dari BPRS Al-
Barokah.
b. Studi dokumentasi yaitu pengumpulan data dengan cara mengumpulkan
dokumen yang berkaitan dengan masalah akad pembiayaan mudharabah.
2. Penelitian Pustaka (Library research): Yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk
mempelajari serta mengumpulkan teori-teori yang relevan dengan pembahsan ini,
8 M. Nazir, Metodolgi Penelitian, Cet- ke-6, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2005) hal 193-194.
guna dijadikan dasar dalam melakukan penelitian dan perbandingan dengan praktek
yang ada, penelitian ini dilakukan dengan mengadakan penelaahan terhadap buku-
buku literatur, teks book, dan catatan kuliah.
3. Metode Analisis Data
Menurut Uma Sekaran tujuan analisis data ada 3 yaitu: untuk
mendapatkan perasaan terhadap data (feel for the data), untuk menguji kualitas data
(goodness of data) dan untuk menguji hipotesis penelitian.9
Adapun metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah
analisis isi (content analysis). Analisis ini digunakan karena data yang tersedia
sebagian besar terdiri dari bahan-bahan yang terdokumentasi.
Langkah-langkah analisis data dalam penelitian ini antara lain :
1. Data Reduction (Mereduksi data)
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema polanya. Aplikasi reduksi data
yang telah diaplikasikan oleh penulis adalah memilih data yang pokok yang ada
hubungannya dengan masalah yang akan diteliti yaitu tentang usaha apa saja yang
telah dilakukan oleh BPRS dalam menarik nasabah untuk mengajukan pembiayaan di
BPRS. Dengan demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang
lebih jelas dan memudahkan peneliti dalam mengumpulkan data yang diperlukan.10
9 Uma Sekaran, Metodologi penelitian Untuk Bisnis, (Jakarta: Penerbit Salemba 4, 2006)hal 178.
10 Sugiono, Metode Penelitian Bisnis, (Bandung: CV Alvabeta, 2009), hal 92.
2. Data Display (Penyajian data)
Dalam penelitian kualitatif penyajian data bisa dilakukan dalam bentuk
uraian singkat, bagan, hubungan antar kategori, flowchart dan sejenisnya. Adapun
tujuan penyajian data adalah memudahkan untuk memahami apa yang terjadi,
merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah difahami tersebut. Dalam
aplikasi penyajian data ini penulis melakukannya dalam bentuk uraian singkat.
3. Conclusion Drawing dan Verifikation
Langkah ketiga dalam analisis data menurut Miles dan Huberman adalah
conclusion drawing dan verifikation (penarikan kesimpulan dan verifikasi). Sejak
semula peneliti berusaha mencari makna data atau kesimpulan dari data yang telah
dikumpulkan. Untuk itu perlu dicari pola, tema, hubungan, persamaan, hal-hal yang
sering timbul, dan sebagainya. Hal ini dapat dilakukan dengan verifikasi selama
penelitian berlangsung.
4. Teknik Penulisan
Adapun sistem penulisan skripsi ini mengacu kepada “Pedoman Penulisan
Skripsi, Tesis dan Disertasi yang diterbitkan oleh FSH UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta 2007”.
F. Sistematika Penulisan
Dalam sistematika penulisan ini, penulis akan memberikan gambaran
berupa keseluruhan isi skripsi. Agar mempermudah dalam pembahasan tersebut,
penulis menyajikan kerangka skripsi yang terdiri dari 5 bab, dimana keseluruhan bab
tersebut saling berkesinambungan. Yang masing-masing tersusun sebagai berikut:
BAB I : Pendahuluan
Bab ini memuat tentang latar belakang masalah, pembatasan dan
perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu, metode
penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II : Kajian Pustaka
Dalam bab ini yang akan dibahas antara lain tentang pengertian
pembiayaan mudharabah, landasan hukum pembiayaan mudharabah, dan aplikasi
pembiayaan mudharabah di perbankan syari’ah.
BAB III : Gambaran Umum BPRS
Dalam bab ini penulis akan menguraikan sejarah berdirinya BPRS Al-
Barokah, Struktur Organisasi BPRS Al-Barokah, Visi dan Misi BPRS Al-Barokah,
dan Produk-produk yang dikeluarkan oleh BPRS Al-Barokah.
BAB IV : Hasil Penelitian dan Pembahasan
Dalam bab ini penulis membahas mengenai mekanisme dan aplikasi
penyaluran pembiayaan mudharabah untuk sektor pertanian di BPRS Al-Barokah
serta analisis dari perspektif fiqh muamalat dan analisis dari perspektif penulis
terhadap pelaksanaan akad mudharabah tersebut.
BAB V : Penutup
Bab ini merupakan penutup dari pembahasan masalah yang diuraikan pada
skripsi ini yang berisikan tentang kesimpulan apa yang penulis sajikan, serta mencoba
untuk mengemukakan saran-saran yang bermanfaat bagi lembaga tersebut.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Pembiayaan
Pembiayaan adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang
atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil11.
Fungsi Pembiayaan:
a. Meningkatkan daya guna uang, artinya : para penabung menyimpan uangnya
dibank dalam bentuk giro, tabungan dan deposito. Uang tersebut dalam persentase
tertentu ditingkatkan kegunaannya oleh bank guna suatu usaha peningkatan
produktifitas.
b. Meningkatkan peredaran uang, artinya : pembiayaan yang disalurkan melalui
rekening-rekening Koran pengusaha menciptakan pertambahan peredaran uang
giral dan sejenisnya seperti cek, bilyet, giro, wesel, promes dan sebagainya.
c. Stabilitas ekonomi, artinya : dalam ekonomi yang kurang sehat, langkah-langkah
stabilisasi pada arus inflasi diarahkan pada usaha-usaha untuk pengendali inflasi,
peningkatan ekspor, rentabilitas prasarana dan pemenuhan kebutuhan pokok
rakyat12.
11 Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002) hal 92.
12 Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syari’ah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN,2005) hal 17.
Prinsip Analisis Pembiayaan
Prinsip adalah sesuatu yang dijadikan pedoman dalam melaksanakan suatu
tindakan. Pegawai pembiayaan bank syari’ah pada saat melakukan analisis
pembayaran. Secara umum, prinsip analisis pembiayaan didasarkan pada rumus 5 C
yaitu:
a. Character artinya sifat atau karakter nasabah pembiayaan.
b. Capacity artinya kemampuan nasabah untuk menjalankan usaha dan
mengembalikan pembiayaan.
c. Capital artinya besarnya modal yang diperlukan.
d. Collateral artinya jaminan yang telah dimiliki nasabah yang diberikan nasabah
kepada bank.
e. Condition artinya keadaan usaha naabah atau prospek usaha nasabah13.
Selain 5 C, bank juga menerapkan 7 P:
a. Personality (kepribadian) yaitu menilai nasabah dari segi kepribadiannya atau
tingkah lakunya sehari-hari dan masa lalunya.
b. Party (para pihak) yaitu mengklasifikasikan nasabah kedalam klasifikasi tertentu
berdasarkan modal, loyalitas serta karakternya.
c. Purpose (tujuan) yaitu mengetahui tujuan nasabah dalam mengambil pembiayaan,
termasuk jenis pembiayaan yang diinginkannya.
13 Ibid, hal 19-20.
d. Payment (pembayaran) merupakan ukuran bagaimana cara nasabah
mengembalikan pembiayaan dan sumber dana dari mana saja untuk pengembalian
pembiayaan.
e. Protection (perlindungan) tujuannya adalah bagaimana menjaga agar usaha dan
jaminan mendapatkan perlindungan.
f. Prospect (ramalan kedepan) yaitu untuk menilai usaha nasabah dimasa yang akan
datang mempunyai prospek atau sebaliknya14.
Disamping menggunakan prinsip pemberian pembiayaan diatas, bank
syari’ah dalam memberikan pembiayaan juga menggunakan prinsip 3 R yaitu:
a. Returns (hasil yang diperoleh) apakah penilaian atas hasil yang akan dicapai oleh
perusahaan calon peminjam setelah mendapatkan kredit apakah hasil tersebut
cukup untuk menutupi hasil pinjaman serta sekaligus memungkinkan pula
usahanya untuk berkembang.
b. Repayment (pembayaran kembali) apakah pembayaran kembali tersebut cocok
dengan jadwal pembayaran kembali dari pembiayaan yang akan diberikan itu.
c. Risk bearing ability (kemampuan menanggung risiko). Hal yang perlu
diperhatikan adalah sejauh mana kemampuan debitur untuk menanggung risiko15.
B. Pengertian Akad Mudharabah
Ketika bank syari’ah pertama kali berkembang, baik ditanah air maupun di
mancanegara, seringkali dikatakan bahwa bank syari’ah adalah bank bagi hasil. Hal
14 Kashmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2002) hal 106.
15 Rahmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, hal 249.
ini dilakukan untuk membedakan bank syari’ah dengan bank konvensional yang
beroperasi dengan sistem bunga. Hal ini betul, tapi tidak sepenuhnya benar, karena
sesungguhnya bagi hasil itu hanya merupakan bagian saja dari system operasi bank
syari’ah.
Penjelasan diatas perlu ditegaskan untuk meluruskan pemahaman dan
persepsi masyarakat, bahwa bank syari’ah hanya terbatas pada sistem bagi hasil.
Sebenarnya tidaklah demikian. Bank syari’ah mempunyai ruang gerak yang lebih luas
dari system bagi hasil. Bank syari’ah juga dapat menerapkan sistem jual beli dan
sewa menyewa, disamping tentunya system bagi hasil16.
Mudharabah berasal dari kata dharb yang berarti memukul atau berjalan.
Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang
memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha.
Secara teknis, mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak
dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak
lainnya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut
kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh
pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya
kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka si
pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut17.
16 Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta: UIN Press,2009) hal 204.
17 M. Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik, ( Jakarta: UIN Press, 2009)hal: 95.
Serupa dengan pendapat AH. Azharudin Lathif18 yang mengatakan bahwa
mudharabah pada dasarnya adalah berbagi keuntungan (profit sharing). Apabila
terjadi kerugian dari segi permodalan ditanggung sepenuhnya oleh shahibul maal
sedangkan pengusaha (mudharib) menanggung kerugian berupa hilangnya
kesempatan mendapatkan profit. Akad mudharabah dibolehkan dalam Islam, karena
bertujuan untuk saling membantu antara pemilik modal dengan seseorang yang ahli
dalam mengelola dana. Banyak diantara pemilik modal yag tidak ahli dalam
mengelola dan memproduktifkan uangnya, sementara banyak yang ahli dibidang
perdagangan tapi tidak memiliki modal.
Mudharabah19 adalah akad yang telah digunakan oleh umat muslim sejak
zaman nabi, bahkan telah dipraktekkan oleh bangsa Arab sebelum turunnya Islam.
Ketika nabi Muhammad Saw berprofesi sebagai pedagang, ia melakukan akad
mudharabah dengan Khadijah. Dengan demikian ditinjau dari segi hukum Islam,
maka akad mudharabah dibolehkan, baik menurut Alqur’an, Sunnah, maupun Ijma’.
Dalam praktek mudharabah antara Khadijah dan nabi, saat itu Khadijah
mempercayakan barang dagangannya untuk dijual oleh nabi Muhammad Saw keluar
negeri. Dalam kasus ini Khadijah berperan sebagai pemilik modal (shahibul maal)
sedangkan nabi Muhammad Saw berperan sebagai pelaksana usaha (mudharib).
Bentuk kontrak antara dua pihak dimana satu pihak berperan sebagai pemilik modal
18Azharudin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta Selatan: UIN Jakarta Press, 2005) hal: 134.19Mudharabah disebut juga qiradh atau muqaradah. Makna keduanya sama.
Mudharabah adalah istilah yang digunakan di Irak, sedangkan istilah qiradh digunakan olehmasyarakat Hijaz.
dan mempercayakan sejumlah modalnya untuk dikelola oleh pihak kedua yakni
pelaksana usaha dengan tujuan untuk mendapatkan untung disebut akad mudharabah.
Singkatnya akad mudharabah adalah persetujuan kongsi antara harta dari salah satu
pihak dengan kerja dari pihak lain.
C. Landasan Hukum Pembiayaan Mudharabah
Secara umum, landasan dasar syari’ah akad mudharabah lebih
mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam ayat dan hadits
berikut ini:
a.Al-Qur’an
Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri
(sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam atau
sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang yang
bersama kamu. dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah
mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas
waktu-waktu itu, Maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu
bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran. Dia mengetahui bahwa
akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang
berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang
yang lain lagi berperang di jalan Allah, Maka bacalah apa yang mudah
(bagimu) dari Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan
berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa
saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh
(balasan)nya di sisi Allah sebagai Balasan yang paling baik dan yang paling
besar pahalanya. dan mohonlah ampunan kepada Allah; Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(al-Muzammil:20)
b.Al-Hadits
Dari Shalih bin Shuhaib r.a bahwa Rasulullah SAW bersabda, “tiga
hal yang di dalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh,
muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung
(gandum kualitas rendah) untuk keperluan rumah bukan untuk dijual.” (HR
Ibnu Majah no. 228-, kitab at-Tijarah).
c.Ijma’
Di antara dalil kuat yang menunjukkan akan disyariatkannya mudharabah
ialah kesepakatan ulama Islam sejak zaman dahulu hingga sekarang akan hal tersebut.
Imam Zailai telah menyatakan bahwa para sahabat telah berkonsentrasi
terhadap legitimasi pengolahan harta yatim secara mudharabah. Kesepakatan para
sahabat ini sejalan dengan spirit hadits yang dikutip Abu Ubaid.
Ibnu Munzir asy-Syafi'i berkata, "Kita tidak mendapatkan dalil tentang al-
Qiradh (mudharabah) dalam Kitab Allah 'Azza wa Jalla, tidak juga dalam sunnah
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Akan tetapi, kita dapatkan bahwa para
ulama telah menyepakati akan kehalalan al-Qiraadh dengan modal berupa uang dinar
dan dirham." (Al-Isyaraf oleh Ibnul Munzir asy-Syafi'i, 2/38).
Ibnu Hazm berkata, "Al-Qiraadh (al-Mudharabah) telah dikenal sejak
zaman Jahiliyyah, dan dahulu kaum Quraish adalah para pedagang. Mereka tidak
memiliki mata pencaharian selain darinya, padahal di tengah-tengah mereka terdapat
orang tua yang tidak lagi kuasa untuk bepergian, wanita, anak kecil, anak yatim. Oleh
karena itu, orang-orang yang sedang sibuk atau sakit menyerahkan modalnya kepada
orang lain yang mengelolanya dengan imbalan mendapatkan bagian dari hasil
keuntungannya. Dan tatkala Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah diutus,
beliaupun membenarkan akad tersebut, dan kaum muslimin kala itu juga
menjalankannya. Kalaupun sekarang ada yang menyelisihi tentang hal ini, maka
pendapatnya itu tidak perlu diperhatikan, sebab ia telah terlebih dahulu menyelisihi
praktik nyata seluruh umat dari zaman kita hingga zaman Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam." (Al-Muhalla oleh Ibnu Hazm, 8/247).
Di antara bukti nyata bahwa kesepakatan akan disyariatkannya
mudharabah ialah praktik dari para al-Khulafa' ar-Rasyidiin, tanpa ada seorangpun
dari sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang mengingkarinya (Riwayat-
riwayat dari para al-khulafa' ar-Rasyidin dapat dibaca di kitab Irwaa'ul Ghalil oleh
al-Albany, 5/290-294)20.
Hukum yang berkaitan dengan usaha dalam akad mudharabah dalam
mazhab Syafi’I membatasi mudharabah hanya untuk kegiatan perdagangan. Tetapi
ulama yang lain mengizinkan semua jenis aktivitas yang berorientasi keuntungan
seperti perdagangan, industri, pertanian ataupun jasa.21
Sedangkan hukum yang menyangkut keuntungan dalam akad mudharabah
adalah:
a. Pengakuan keuntungan
Harus ditentukan suatu waktu untuk menilai keuntungan yang dicapai
dalam suatu mudharabah. Menurut akademi fiqh Islam OKI, keuntungan dapat
dibayarkan (due) ketika diakui dan dimiliki dengan pernyataan atau revaluasi dan
hanya bisa dibayarkan pada waktu dibagikan.
b. Hak terhadap keuntungan
20 Blog Muhammad Arifin Badri, Mengenal Akad Mudharabah, diakses tanggal 4 Maret2011
21 M. Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah Wacana Ulama dan Cendekiawan, (Jakarta: BI &Tazkia Institute, 1999) hal 177.
Mazhab Hanafi dan sebagian mazhab Syafi’i mengatakan bahwa
keuntungan harus diakui seandainya keuntungan usaha sudah diperoleh (walaupun
belum dibagikan), sedangkan mazhab Maliki dan sebagian mazhab hambali
menyebut bahwa keuntungan hanya dapat diakui ketika dibagikan secara tunai pada
kedua pihak.
c. Distribusi keuntungan
Distribusi atau pembagian keuntungan umumnya dilakukan dengan
mengembalikan lebih dahulu modal yang ditanamkan shahibul maal. Meskipun
demikian, kebanyakan ulama menyetujui bila kedua pihak sepakat membagi
keuntungan tanpa mengembalikan modal. Tentu saja hal tersebut berlaku sepanjang
kerjasama mudharabah masih berlangsung. Para ulama berbeda pendapat tentang
keabsahan menahan untung. Bila keuntungan telah dibagikan setelah itu usaha
mengalami kerugian sebagian ulama berpendapat bahwa pengelola akan diminta
untuk menutupi kerugian tersebut dari keuntungan yang telah dibagikan.22
Hukum yang berkaitan dengan kerugian para ulama sepakat bahwa
kerugian ditanggung hanya oleh penyedia dana. Pengelola tidak menanggung bagian
apapun kecuali jika kerugian itu karena kesalahan yang disengaja atau kelalaian.
Hukum mengenai pelanggaran mudharib yaitu jika mudharib melanggar
syarat atau tujuan kontrak, maka ia dianggap melakukan kesalahan yang disengaja.
Demikian juga bila ia melanggar batasan-batasan yang diberikan padanya oleh
shahibul maal. Dengan adanya kesalahan seperti itu, statusnya sebagai pemegang
22 Ibid, hal 178.
dana berubah dari dana mudharabah menjadi sebuah hutang yang wajib dibayar oleh
pengelola. Jika ditengah pelanggaran tersebut pengelola berhasil memperoleh
keuntungan, sebagian ulama mengatakan bahwa keuntungan itu harus dibagi diantara
keduanya.23
Hukum yang berkaitan dengan pembatalan mudharabah, apabila sebuah
kontrak mudharabah dibatalkan karena tidak memenuhi salah satu syarat, dana tersisa
tetap merupakan amanah bagi pengelola. Tindakannya terhadap dana yang batal itu
bisa sah dan efektif jika upaya nya membuahkan keuntungan, sebagian ulama
berpendapat bahwa semua keuntungan harus menjadi milik penyedia dana.
Sedangkan pengelola berhak atas upah pekerjaannya itu. Sebagian ulama lain
berpendapat, pengelola berhak menerima salah satu dari dua kemungkinan, upah
kerja atau bagian keuntungan yang dinyatakan dalam kontrak itu. Hal itu tergantung
mana yang lebih rendah. Tetapi ada ulama lain yang mengatakan bahwa pengelola
menerima persentase keuntungan yang sama dengan yang telah disepakati dalam
kontrak.
Hukum yang berkaitan dengan penghentian mudharabah adalah apabila
suatu kontrak mudharabah berakhir jika ada kesepakatan yang berkenaan dengan
berakhirnya kontrak tersebut sebagai berikut:
a. Mudharib harus mengembalikan modal pada shahibul maal
23 Ibid, hal 180.
Bila mudharib tidak mengembalikannya ia dianggap cedera janji (default)
dan dana itu menjadi jaminannya. Dengan demikian dana mudharabah akan berubah
dari dana mudharabah menjadi hutang yang wajib dibayar pengelola.
b. Bila mudharabah dihentikan sedangkan sebagian atau semua modal dalam bentuk
barang belum terjual, maka kedua belah pihak bersepakat untuk menjual segera
asset-aset itu lalu membagi hasil penjualan tersebut diantara mereka.
Dibolehkan pula bila salah satu dari keduanya mengambil asset tersebut
untuknya dan memberikan pada pihak lainnya bagian yang adil dari nilai barang itu
dalam bentuk tunai. Tapi bila kedua pihak berbeda pendapat mengenai perlunya
menjual segera barang tersebut, atau menunggu sampai saat tertentu maka harus
dinilai adakah harapan keuntungan pada masa depan. Jika ada harapan keuntungan
maka pandangan mudharib diambil dan sebaliknya.24
Faktor-faktor yang harus ada dalam akad mudharabah adalah:
a. Pelaku (pemilik modal maupun pelaksana usaha)
b. Objek mudharabah ( modal dan kerja)
c. Persetujuan antara kedua belah pihak (ijab kabul)
d. Nisbah keuntungan.
24 Ibid, hal 181.
Skema Mudharabah:
Perjanjian bagi Hasil
Modal 100%
Keahlian
Nisbah X% Nisbah Y%
Pengambilan Modal Pokok
Bank (shahibul maal) Nasabah (mudharib)
Proyek/usaha
keuntungan
Bagi hasil sesuai porsikeuntungan modal (nisbah)
modal
Keterangan:
a. Bank bertindak sebagai pemilik dana (shahibul Maal) dan nasabah bertindak
sebagai pengelola dana (mudharib);
b. Nasabah dapat melakukan berbagai macam usaha yang tidak bertentangan
dengan prinsip syari’ah dan mengembangkannya termasuk didalamnya
melakukan akad mudharabah dengan pihak lain;
c. Modal harus dalam bentuk tunai dan bukan dalam bentuk piutang ataupun
kredit serta dinyatakan dalam jumlah nominalnya;
d. Nasabah wajib untuk memelihara saldo giro tersebut minimum yang telah
ditetapkan oleh bank dan tidak dapat ditarik kembali oleh nasabahnya kecuali
dalam rangka untuk menutup rekeningnya;
e. Pembagian keuntungan harus dinyatakan kedalam bentuk nisbah dan
dituangkan dalam akad pembukaan rekening;
f. Pemberian keuntungan untuk para nasabah didasarkan pada saldo terendah
setiap akhir bulan laporan;
g. Bank menutup biaya operasional giro dengan meggunakan nisbah sesuai
dengan keuntungan yang akan menjadi haknya;
h. Bank tidak diperkenankan untuk mengurangi nisbah keuntungan dari nasabah
tanpa ada persetujuan dari pihak yang bersangkutan.
D. Aplikasi Pembiayaan Mudharabah di Perbankan Syari’ah
Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan
pendanaan. Sedangkan pada sisi penghimpunan dana mudharabah diterapkan pada:
a. Tabungan berjangka, yaitu tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan
khusus, seperti tabungan kurban dan sebagainya.
b. Deposito biasa.
c. Deposito spesial dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis
tertentu misalnya murabahah saja atau ijarah saja.
Sedangkan pada sisi pembiayaan mudharabah diterapkan untuk:
a. Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa.
b. Investasi khusus, disebut juga mudharabah muqayyadah, dimana sumber
dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang
telah ditetapkan oleh shahibul maal.
Disamping itu pendanaan dengan prinsip mudharabah menurut Ascarya
terbagi menjadi:
a. Tabungan Mudharabah
Bank syari’ah menerima simpanan dari nasabah dalam bentuk rekening
tabungan (saving account) untuk keamanan dan kemudahan pemakaian seperti,
rekening giro, tetapi tidak sefleksibel rekening giro karena nasabah tidak dapat
menarik dananya dengan cek. Prinsip yang digunakan dapat berupa: wadi’ah, qardh,
dan mudharabah.
Bank juga dapat mengintegrasikan rekening tabungan dengan rekening
investasi dengan prinsip mudharabah dengan bagi hasil yang disepakati bersama.
Mudharabah merupakan prinsip bagi hasil dan bagi kerugian ketika nasabah sebagai
pemilik modal menyerahkan uangnya kepada bank sebagai pengusaha untuk
diusahakan. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan dan kerugian ditanggung oleh
pemilik dana atau nasabah.25
b. Deposito/ Investasi Umum
Bank syari’ah menerima simpanan deposito berjangka (pada umumnya
untuk satu bulan keatas) kedalam rekening investasi umum (general investment
account) dengan prinsip mudharabah al-muthlaqah. Investasi umum ini sering
disebut juga sebagai investasi tidak terikat. Nasabah rekening investasi lebih
bertujuan untuk mencari keuntungan daripada untuk mengamankan uangnya. Dalam
mudharabah al-muthlaqah bank sebagai mudharib mempunyai kebebasan mutlak
dalam pengelolaan investasinya. Jangka waktu investasi dan bagi hasil disepakati
bersama. Apabila bank menghasilkan keuntungan akan dibagi sesuai kesepakatan
awal. Apabila bank mengalami kerugian, bukan karena kelalaian bank, kerugian
ditanggung oleh nasabah deposan sebagai shahibul maal. Deposan dapat menarik
dananya dengan pemberitahuan terlebih dahulu.26
c. Deposito/ Investasi Khusus
Selain rekening investasi umum, bank syari’ah juga menawarkan rekening
investasi khusus (special investment account) kepada nasabah yang ingin
menginvestasikan dananya langsung dalam proyek yang disukainya yang
dilaksanakan oleh bank dengan prinsip mudharabah al-muqayyadah. Investasi
khusus ini sering disebut juga sebagai investasi terikat. Rekening investasi khusus ini
25 Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari’ah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007),hal 117.
26 Ibid, hal 118.
biasanya ditujukan kepada para investor besar dan institusi. Dalam mudharabah al-
muqayyadah bank menginvestasikan dana nasabah kedalam proyek tertentu yang
diinginkan nasabah. Jangka waktu investasi dan bagi hasil disepakati bersama dan
hasilnya langsung berkaitan dengan keberhasilan proyek investasi yang dipilih.27
Ulama kontemporer melakukan inovasi baru atas skema mudharabah
yang melibatkan tiga pihak. Tambahan satu pihak ini diperankan oleh bank syari’ah
sebagai lembaga perantara yang mempertemukan shahibul maal dengan mudharib.
Sehingga terjadi evolusi dari konsep direct financing menjadi indirect financing.
Dalam indirect financing, bank menerima dana dari shahibul maal dalam
bentuk dana pihak ketiga sebagai sumber dananya. Dana-dana ini dapat berbentuk
tabungan atau simpanan deposito mudharabah dengan jangka waktu bervariasi.
Selanjutnya dana yang telah terkumpul ini disalurkan kembali oleh bank kedalam
bentuk pembiayaan-pembiayaan yang menghasilkan (earning assets). Keuntungan
dari penyaluran pembiayaan inilah yang akan dibagi hasilkan antara bank dengan
pemilik DPK (dana pihak ketiga).
Proses inilah yang dipotret dalam neraca bank syari’ah, sehingga neraca
suatu bank syari’ah pada dasarnya akan tampak sebagai berikut:
27 Ibid, hal 119.
AktivaPenyaluran Dana (Financing &Investment)
PassivaSumber Dana (Funding)
Non-Earning Asset: Kas Giro pada BI
Cuurent Liabilities
Earning Assets: Surat Berharga Pembiayaan:
1. Murabahah2. Ijarah3. IMBT4. Mudharabah5. Musyarakah
Dana Pihak Ketiga: Giro Wadi’ah Tabungan Mudharabah Deposito Mudharabah
Fixed Asset Stockholder’s Equity
Pada prinsipnya, mudharabah sifatnya mutlak dimana shahibul maal tidak
menetapkan restriksi atau syarat-syarat tertentu kepada si mudharib. Bentuk
mudharabah ini disebut mudharabah muthlaqah atau dalam bahasa inggrisnya
dikenal sebagai unrestricted investment account. Namun demikian, apabila dipandang
perlu shahibul maal boleh menetapkan batasan-batasan tertentu guna menyelamatkan
modalnya dari risiko kerugian. Syarat-syarat ini harus dipenuhi oleh si mudharib.
Apabila mudharib melanggar batasan ini ia harus bertanggung jawab atas kerugian
yang timbul. Jenis mudharabah seperti ini disebut mudharabah muqayyadah
(mudharabah terbatas). Jadi pada dasarnya, terdapat dua bentuk mudharabah yakni
muthlaqah dan muqayyadah.
Dalam praktik perbankan syari’ah modern, kini dikenal dua bentuk
mudharabah mudharabah muqayyadah, yakni on balance sheet dan off balance
sheet. Dalam mudharabah muqayyadah on balance sheet, aliran dana terjadi dari satu
nasabah investor ke sekelompok pelaksana usaha dalam beberapa sektor terbatas,
misalnya pertanian, manufaktur, dan jasa. Nasabah investor lainnya mungkin
mensyaratkan dananya hanya boleh dipakai untuk pembiayaan disektor
pertambangan, property dan pertanian. Selain berdasarkan sektor, nasabah investor
dapat saja mensyaratkan berdasarkan jenis akad yang digunakan, misalnya hanya
boleh digunakan berdasarkan akad penjualan cicilan saja, atau penyewaan cicilan
saja, atau kerja sama usaha saja. Skema ini disebut on balance sheet karena dicatat
dalam neraca bank.
Dalam mudharabah off balance sheet, aliran dana berasal dari satu
nasabah investor kepada satu nasabah pembiayaan (yang dalan bank konvensional
disebut debitur). Disini bank syari’ah bertindak sebagai arranger saja. Pencatatan
transaksinya di bank syari’ah dilakukan secara off balance sheet. Sedangkan bagi
hasilnya hanya melibatkan nasabah investor dan pelaksana usaha saja. Besar bagi
hasil tergantung kesepakatan antara nasabah investor dan nasabah pembiayaan. Bank
hanya memperoleh arrange fee. Skema ini disebut off balance sheet karena transaksi
ini tidak dicatat dalam neraca bank, tetapi hanya dicatat dalam rekening administratif
saja.
Dari sudut pandang nasabah investor, terdapat tiga skema aliran dana dari
nasabah investor yakni:
1. Mudharabah muqayyadah off balance sheet
Dalam skema ini, aliran dana berasal dari satu nasabah investor kepada
satu nasabah pembiayaan (yang dalam bank konvensional disebut debitur). Disini
bank syari’ah bertindak sebagai arranger saja. Pencatatan transaksinya dibank
syari’ah secara off balance sheet. Bagi hasilnya hanya melibatkan nasabah investor
dan pelaksana usaha saja. Besar bagi hasil tergantung kesepakatan antara nasabah
investor dan nasabah pembiayaan. Bank hanya memperoleh arrange fee. Disebut
mudharabah karena skemanya bagi hasil, muqayyadah karena ada pembatasan yaitu
hanya untuk pelaksana usaha tertentu dan off balance sheet karena tidak dicatat dalam
neraca bank.
Contoh:
Pak Akbar menanamkan dananya di Bank A dalam bentuk deposito
mudharabah sebesar Rp 500.000.000 dengan akad mudharabah muqayyadah untuk
disalurkan dalam pembiayaan pertanian. Dari pembiayaan tersebut pendapatan yang
dihasilkan adalah sebesar Rp 2.500.000. maka berapakah pendapatan pak Akbar dari
dana yang ditanamkan di bank tersebut? Nisbah bagi hasil untuk nasabah adalah
35:65 dan bobot adalah 0,85.
Jawab:
Dana nasabah : Rp 500.000.000Dana yang dapat disalurkan : Rp 0,85 x 500.000.000
= Rp 425.000.000Dana bank = 0Pendapatan dari pembiayaan = Rp 2.500.000
Maka:Pendapatan tiap 1000 nasabah:Rasio Dana Terpakai x Keuntungan x 1 x 1000
Dana Nasabah
475.000.000 x 2.500.000 x 1 x 1000 =4,5500.000.000 500.000.000
Pendapatan yang akan diterima oleh nasabah:=4,5 x 35% x 500.000.000
1000=787.500Jadi pendapatan yang akan diterima oleh Pak Akbar adalah Rp 787.500
2. Mudharabah muqayyadah on balance sheet
Dalam skema ini aliran dana dapat terjadi dari satu nasabah investor ke
sekelompok pelaksana usaha dalam beberapa sector terbatas, misalnya pertanian,
manufaktur dan jasa. Nasabah investor lainnya mungkin mensyaratkan dananya
hanya boleh dipakai untuk pembiayaan di sektor pertambangan, properti dan
pertanian. Selain berdasarkan sektor, nasabah investor dapat saja mensyaratkan
berdasarkan jenis akad yang digunakan, misalnya hanya boleh digunakan berdasarkan
akad penjualan cicilan saja, atau penyewaan cicilan saja, atau kerja sama usaha saja.
Skema ini membuat bank terlibat dalam mudharabah muqayyadah on balance sheet.
Disebut on balance sheet karena dicatat dalam neraca bank.
Contoh:
Pak Zubair menabung dalam bentuk giro di Bank B sejumlah Rp
80.000.000, dengan akad mudharabah muqayyadah on balance sheet. Bank
menyalurkan dana pinjaman kepada nasabah senilai Rp 100.000.000 dan pendapatan
yang dialokasikan untuk giro sebesar 1.500.000. jika nisbah bagi hasil antara nasabah
dan bank adalah 60:40 maka berapakah nilai bagi hasil yang akan diterima oleh Pak
Zubair?
Jawab:
Dana nasabah investor = 80.000.000Dana yang dapat disalurkan = 76.000.000 (0,95 x 80.000.000)Dana yang disalurkan dalam bentuk pinjaman=100.000.000Dana bank =100.000.000 – 76.000.000
= 24.000.000Pendapatan pembiayaan = Rp 1.500.000Maka,Pendapatan per 1000 nasabah =76.000.000 x 1.500.000 x 1 x 1000 = 14,25
100.000.000 80.000.000Bagi hasil yang akan diterima Pak Zubair adalah:80.000.000 x 14,25 x 40% = 456.000
1.000Jadi bagi hasil yang akan diterima Pak Zubair adalah Rp 456.000
3. Mudharabah muthlaqah on balance sheet
Dalam skema ini seluruh nasabah investor kepada bank digunakan tanpa
ada pembatasan tertentu kepada pelaksana usaha yang dibiayai maupun akad yang
digunakan. Nasabah investor memberikan kebebasan secara mutlak kepada bank
syari’ah utnuk mengatur seluruh aliran dana, termasuk memutuskan jenis akad dan
pelaksanaan usaha diseluruh sektor.
Contoh:
Di Bank C jumlah dana tabungan dengan akad mudharabah muthlaqah
adalah sebesar Rp 250.000.000 dan bank menyalurkan pembiayaan sebesar Rp
325.000.000. pendapatan yang dihasilkan dari pembiayaan dan merupakan proporsi
untuk tabungan adalah sebesar Rp 5.000.000. Dengan nisbah bagi hasil sebesar 60:30
bagi bank maka berapakah pendapatan yang akan diperoleh oleh Pak Umar jika ia
memiliki tabungan sebesar 70.000.000. Bobot = 0,95
Jawab:
Diketahui dana nasabah investor : Rp250.000.000Dana yang dapat disalurkan = 250.000 x 0,95 = 237.500.000Pembiayaan yang disalurkan = 325.000.000Dana bank = 87.500.000Pendapatan yang dihasilkan = 5.000.000Maka:Pendapatan investasi dari setiap 1000 dana nasabah =237.500.000 x 5.000.000 x 1 x 1000 = 14,62325.000.000 250.000.000Pendapatan investasi dari setiap 1000 dana nasabah adalah 14,62Sehingga bagian pendapatan Pak Umar adalah:70.000.000 x 14,62 x 60% = 598.000
1000
Berbeda dengan perhitungan bagi hasil dilihat dari sudut pandang nasabah
yang lebih terfokus pada penghitungan berapa bagi hasil yang akan didapatkan oleh
nasabah. Pada sudut pandang pihak bank perhitungan bagi hasil ditujukan juga untuk
menentukan berapa besar nisbah bagi hasil dan alokasi bagi hasil yang akan
dibagikan kepada nasabah.
Penentuan Tingkat Bobot
Yang dimaksud dengan bobot adalah tingkat persentase produk pendanaan
yang dapat dimanfaatkan untuk dana pembiayaan. Dengan demikian tidak semua
dana nasabah dapat dimanfaatkan untuk pembiayaan. Hal ini dipengaruhi oleh adanya
tuntutan terlaksananya sistem prudential banking dan terpenuhinya kebutuhan
likuiditas. Beberapa faktor yang menentukan tingkat bobot adalah:
1. Tingkat Giro Wajib Minimum yang ditetapkan oleh bank sentral. Untuk Indonesia
BI menetapkan GWM bagi rupiah adalah 5% dan GWM bagi dollar adalah 3%.
2. Besarnya cadangan dana yang dibutuhkan oleh bank untuk menjamin
terlaksananya operasional perbankan sehingga bank akan menyimpan cadangan
dananya diatas kewajiban yang 5%.
3.Tingkat besarnya dana-dana yang ditarik sector oleh nasabah atau investor
(floating).
Dalam bentuk equation, teknis penghitungan tingkat bobot dapat
dituliskan sebagai berikut:
Tingkat bobot = 1 – (GWM+Excess Reserve + floating rate)a. Perhitungan Dengan Saldo Akhir Bulan
Bagi bank, keseluruhan dana yang dikelolanya akan dipilah-pilah sesuai
jenisnya. Katakanlah bank mengelompokkannya menjadi giro, tabungan, deposito 1
bulan, 3 bulan, 6 bulan dan 12 bulan.
Kolom 1 adalah saldo akhir bulan masing-masing jenis dana. Namun tidak
seluruh dana ini dapat disalurkan oleh bank, karena bank harus menyimpan minimum
5% dari dana ini di Bank Indonesia (GWM), dan biasanya bank juga
memperhitungkan kelebihan cadangan yang disimpannya di atas kewajibannya yang
5% tersebut, juga memperhitungkan adanya dana-dana yang ditarik setor oleh
nasabah investor (floating). Ketiga komponen ini menjadi faktor pengurang dalam
perhitungan bobot dikolom 2. Kolom 3 adalah saldo yang benar-benar dapat
diinvestasikan oleh bank. Kolom 4 adalah pendistribusian pendapatan yang diperoleh
oleh bank kedalam masing-masing jenis dana. Kolom 5 adalah nisbah nasabah
investor. Dengan mengalika kolom 4 dan kolom 5, maka didapat bagian pendapatan
nasabah untuk masing-masing jenis dana. Untuk memudahkan bank menghitung bagi
hasil kepada tiap-tiap investor, maka bank menghitung pendapatan nasabah pada
kolom 6 tersebut dalam bentuk presentase yaitu pada kolom 7.
Jenis Saldoakhirbulan
bobot Saldotertimbang
Distribusipendapatanperjenis
Nisbahnasabah
Bagianpendapatannasabah
Rata (%)pendapatannasabah
1 2 3=1x2 4 5 6x4=5 7=6/1x12x100%
GiroTabunganDep. 1Dep. 3Dep. 6Dep. 12
Total 1 2 3 4 5 6 7b. Perhitungan Dengan Saldo Rata-rata Harian
Bank dapat pula menghitung berdasarkan saldo rata-rata harian sebagai
berikut:
Kolom 1 adalah saldo akhir bulan masing-masing jenis dana. Namun tidak
seluruh dana ini dapat disalurkan oleh bank, karena bank harus menyimpan minimum
5% dari dana ini di Bank Indonesia (GWM). Karena perhitungannya adalah
menggunakan saldo rata-rata harian, nilai ini telah merefleksikan saldo yang
mengendap di bank yang dapat digunakan oleh bank untuk melakukan investasi. Jadi
hanya komponen GWM saja yang menjadi faktor pengurang dalam perhitungan
bobot di kolom 2. Kolom 3 adalah saldo yang benar-benar dapat diinvestasikan oleh
bank. Kolom 4 adalah pendistribusian pendapatan yang diperoleh oleh bank kedalam
masing-masing jenis dana. Kolom 5 adalah nisbah nasabah investor. Dengan
mengalikan kolom 4 dan kolom 5, maka didapat bagian pendapatan nasabah untuk
masing-masing jenis dana. Untuk memudahkan bank menghitung bagi hasil kepada
tiap-tiap investor, maka bank menghitung pendapatan nasabah pada kolom 6 tersebut
dalam bentuk presentase yaitu pada kolom 7.
Jenis Saldoakhirbulan
bobot Saldotertimbang
Distribusipendapatanperjenis
Nisbahnasabah
Bagianpendapatannasabah
Rata (%)pendapatannasabah
1 2 3=1x2 4 5 6x4=5 7=6/1x12x100%
GiroTabunganDep. 1Dep. 3Dep. 6Dep. 12
Total
1 2 3 4 5 6 7
BAB III
GAMBARAN UMUM BPRS AL-BAROKAH
A. Sejarah Berdirinya BPRS Al-Barokah
Sejarah berdirinya BPRS di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sejarah-
sejarah BPR pada umumnya. Bank Perkreditan Rakyat yang status hukumnya
disahkan dalam Paket Kebijaksanaan Keuangan Moneter dan Perbankan melalui
PAKTO tanggal 27 Oktober 1998, pada hakikatnya merupakan penjelmaan model
baru dari lumbung desa dan Bank Desa dengan beraneka ragam namanya yang ada
khususnya di pulau jawa sejak akhir 1890-an hingga tahun 1967 sejak dikeluarkannya
UU Pokok Perbankan, status hukumnya diperjelas dengan izin dari menteri keuangan.
Dengan adanya keharusan izin tersebut, diikuti dengan upaya-upaya pembenahan
terhadap badan-badan kredit desa yang berproses menjadi lembaga keuangan bank.28
Keinginan masyarakat terhadap adanya BPR tanpa bunga tersebut
mendapatkan angin segar dengan adanya deregulasi disektor perbankan sejak 1 juni
1983 yang memberikan kebebasan kepada bank-bank termasuk BPR untuk
menetapkan sendiri tingkat bunganya. Bahkan bank-bank tidak dilarang untuk
menerapkan bunga 0%.
28 Warkum Sumitro, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait,(Jakarta: PT Raja Garafindo Persada, 2004) hal 125.
Peluang beroperasinya BPR tanpa bunga tersebut semakin terbuka setelah
PAKTO 1988 tanggal 27 Oktober 1988 yang memberikan peluang berdirinya bank-
bank baru, termasuk diantaranya bank tanpa bunga.29
Berdirinya Bank Pembiayaan Rakyat Syari’ah di Indonesia selain didasari
oleh tuntutan berusaha (muamalah) sesuai hukum (syari’ah) Islam yang merupakan
keinginan kuat dari sebagian besar umat Islam di Indonesia, juga sebagai langkah
aktif dalam rangka restrukturisasi perekonomian di Indonesia yang dituangkan
kedalam berbagai kebijakan keuangan dan moneter perbankan secara umum. Secara
khusus adalah mengisi peluang terhadap kebijakan yang membebaskan bank dalam
penetapan tingkat suku bunga, yang kemudian dikenal dengan bank tanpa bunga.
PT. BPRS Al-Barokah yang berkedudukan di Jalan Proklamasi Blok A
No. 9 Depok, didirikan dengan Akta Nomor 56 Notaris Harun Kamil SH tanggal 12
Juni 1995 di Jakarta. Akta pendirian disetujui oleh Menteri Keuangan Republik
Indonesia dengan SK: No. KEP-046/KM.17/1996, tertanggal 6 Februari 1996 dan
mulai melaksanakan kegiatan dan beroperasi pada tanggal 11 Maret 1996.
Ide konkrit pendirian PT. BPRS Al-BArokah berawal dari sebuah kegiatan
pengajian yang diikuti oleh para pensiunan karyawan PT. Stanvac Indonesia, yang
masih aktif bekerja di PT. Exspan Sumatera, PT. Exspan Nusantara, dan PT. Exspan
Petrogas Intranusa yang merupakan bagian dari PT. Medco Energi, yakni perusahaan
yang mengelola minyak dan gas bumi.
29 Ibid, hal 127.
Para pensiunan karyawan PT Stanvac Indonesia akhirnya menghasilkan
ide dan kesepakatan untuk mendirikan sebuah Bank Pembiayaan Rakyat yang
mempunyai sistem operasional berdasarkan syari’ah Islam yatu dengan menggunakan
sistem bagi hasil (mudharabah), usaha berserikat (musyarakah), dan jual beli
(murabahah).
Pada saat penandatanganan Akta Pendirian PT. BPRS Al-barokah terdapat
25 orang sebagai pemegang saham yang mendukung penuh pendirian bank tersebut.
Dengan modal dasar sebesar Rp 200.000.000,- yang disetor tunai kepada Bank
Indonesia sebesar Rp 50.000.000,- sebagai deposito. Kemudian setelah memenuhi
syarat yang ditentukan Undang-undang, maka Bank Indonesia mengizinkan PT.
BPRS Al-Barokah beroperasi dan pada tanggal 11 Maret 1996 secara resmi PT.
BPRS Al-Barokah melaksanakan kegiatannya.
Dengan perkembangan yang terus maju maka PT. BPRS Al-Barokah sejak
tahun 2005 telah merubah modal dasar menjadi Rp 2.000.000.000,- dengan modal
disetor sebesar Rp 1.000.000.000,-.30
30 Jawaban via email tanggal 18 April 2011.
B. Struktur Organisasi BPRS Al-Barokah
Fatwa-fatwa
DSN-MUI
DPS
R.U.P.S
Dewan Komisaris
DirekturUtama
Direktur
Personalia Akuntansi Keuangan
Kasir
Litbang &
Pemasaran
Promosi Penagihan
BPRS Al-Barokah saat ini mempunyai 2 orang Dewan Pengawas
Syari’ah yakni:
a. Drs. H. Murtadho Ghozali sebagai ketua dan
b. Drs. H. Saifuddin L Yasin sebagai Anggota
Dan BPRS Al-Barokah juga mempunyai 2 orang Dewan Komisaris yaitu:
a. Ir. H. Solichin sebagai Komisaris Utama dan
b. H. Muh. Rafiq, SE., MM sebagai Komisaris
Sedangkan Direksinya adalah:
a. Drs. Lukman Hakim sebagai Direktur Utama dan
b. Mieke Widya Rachmawati, SE sebagai Direktur31
C. Visi dan Misi BPRS Al-Barokah
1. Visi dari PT. BPRS Al-Barokah yaitu menjadi salah satu BPRS terbaik di
Indonesia.
2. Misi dari PT. BPRS Al-Barokah adalah:
a. Memberdayakan potensi ekonomi ummat sesuai dengan prinsip syari’ah
Islam.
b. Menggalang dan menyalurkan dana guna meningkatkan kemakmuran
dan rasa keadilan.32
Tujuan operasionalisi BPRS Al-Barokah:
31 Ibid.32 Wawancara pribadi dengan Nur Rochim salah seorang accounting Staf BPRS Al-
Barokah pada tanggal 8 April 2011.
a.Meningkatkan kesejahteraan ekonomi ummat Islam terutama kelompok masyarakat
ekonomi lemah yang pada umumnya berada didaerah pedesaan.
b.Menambah lapangan kerja terutama di tingkat kecamatan, sehingga dapat
mengurangi arus urbanisasi.
c.Membina ukhuwah Islamiyah melalui kegiatan ekonomi dalam rangka peningkatan
pendapatan per kapita menuju kualitas hidup yang memadai.
Untuk mencapai tujuan operasionalisasi BPRS Al-Barokah tersebut
diperlukan beberapa strategi operasional sebagai berikut:
a. BPRS tidak bersifat menunggu (pasif) terhadap datangnya permintaan fasilitas,
melainkan bersifat aktif dengan melakukan solisitasi/penelitian kepada usaha-
usaha yang berskala kecil yang perlu dibantu tambahan modal, sehingga memiliki
prospek bisnis yang baik.
b. BPRS memiliki jenis usaha yang waktu perputaran uangnya jangka pendek
dengan mengutamakan usaha skala kecil dan menengah.
c. BPRS mengkaji pangsa pasar, tingkat kejenuhan serta tingakt kompetitifnya
produk yang akan diberi pembiayaan.
D. Produk-produk BPRS Al-Barokah
1. Produk Penghimpunan Dana
BPRS Al-Barokah menghimpun dan mengelola dana nasabah dari sumber
yang halal dengan konsep Al-Wadiah Yad Adh Dhamanah dengan keuntungan yang
akan dibagihasilkan berdasarkan nisbah yang ditetapkan dari mufakat antara Bank
dan Nasabah berupa:
a. Deposito Berjangka Mudharabah dan
b. Tabungan Mudharabah
c. Tabungan Wadi’ah
2. Penyaluran Dana
BPRS Al-Barokah menyalurkan dana untuk pemenuhan kebutuhan
permodalan dan investasi melalui pola jual-beli, bagi hasil, dan jasa guna
meningkatkan usaha produktif berskala mikro (kecil menengah)
Untuk kebutuhan permodalan (equity financing) dilakukan dengan konsep
kontrak bagi hasil (profit sharing contract) menggunakan akad Al-Mudharabah yaitu
perjanjian akad kerjasama antara bank yang menyediakan dana (shahibul maal)
dengan mitra usaha yang memiliki keahlian dan keterampilan mengelola usaha
produktif dan halal. Keuntungan dari usaha dibagi berdasar nisbah yang disepakati.
Untuk kebutuhan pembiayaan dilakukan dengan konsep kontrak jual beli
(sale contract) menggunakan akad Ba’i Al-Murabahah yaitu perjanjian jual beli
barang pada harga asal setelah ditambah margin (keuntungan yang disepakati),
barang diserahkan dengan segera, sedangkan pembayaran harga atas barang
dilakukan kemudian hari.
3. Pinjaman Kebajikan (Benevolence Loan)
Produk ini merupakan pinjaman lunak kepada kaum Dhuafa yang
memiliki karakter baik dan usaha yang berpeluang untuk dikembangkan yaitu dengan
menggunakan akad Al-Qard ini adalah perjanjian pinjaman dana dimana dana
dikembalikan sebesar pokok pinjaman saja. Sumber dana berasal dari zakat, infaq,
dan shadaqah. 33
33 Jawaban via email pada tanggal 18 April 2011.
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Mekanisme Pengajuan Pembiayaan Mudharabah di BPRS Al-Barokah
Jenis mudharabah yang diterapkan di BPRS Al-Barokah adalah
mudharabah muthlaqah artinya modal 100% mutlak berasal dari shahibul maal
(penyedia dana) dan mitra diberi kebebasan penuh untuk mengelola dana tersebut
sesuai keahliannya.
Untuk mengajukan pembiayaan mudharabah, nasabah BPRS Al-Barokah
diharapkan memenuhi beberapa kriteria yaitu:
1. Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan
kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-
hal berikut:
a.Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak
(akad).
b.Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c.Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan
menggunakan cara-cara komunikasi modern.
3. Modal adalah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana
kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
a.Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.
b.Modal dapat berbentuk uang atau barang yang bernilai. Jika modal diberikan
dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c.Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib,
baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari
modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a.Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk
satu pihak.
b.Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan
dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi
(nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus
berdasarkan kesepakatan.
c.Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan
pengelola tidak boleh menanggung kerugian apa pun kecuali diakibatkan dari
kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal
yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
a.Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia
dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b.Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa
yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c.Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syariah Islam dalam tindakannya yang
berhubungan dengan mudharabah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku
dalam aktivitas itu.34
Dan berikut ini adalah prosedur pengajuan pembiayaan mudharabah di
BPRS Al-Barokah:
a. Rencana Pengembangan Usaha
Nasabah yang mengajukan pembiayaan terlebih dahulu harus mengajukan
draft rencana pengembangan usaha. Usaha seperti apa yang akan dikembangkan,
berapa dana yang dibutuhkan untuk pengembangan usaha tersebut, dan prospek
kedepan dari usaha tersebut. Jika draft pengembangan usaha telah dirancang maka
lanjut ke tahap berikutnya.
b. Mengisi Formulir Permohonan
Formulir permohonan pembiayaan ini harus diisi nasabah untuk
melengkapi data-data nasabah. Dalam mengisi formulir ini juga harus dilengkapi
dengan Pas Photo, Photo Copy KTP, Photo Copy Kartu Keluarga, Photo Copy BPKB
dan Faktur Kendaraan (jika jaminan kendaraan bermotor), dan dokumen lain yang
bisa mendukung permohonan pembiayaan ini.
c. Melengkapi Persyaratan
34 Jawaban via email pada tanggal 18 April 2011.
Persyaratan disini seperti melengkapi data historis perusahaan. Data
proyeksi usaha/perusahaan, dan data jaminan/agunan.
Jika semua persyaratan diatas sudah lengkap maka tahap selanjutnya
adalah penyerahan dokumen-dokumen diatas ke pihak bank. Tahap selanjutnya
adalah tugas bank untuk memeriksa dokumen apakah sudah lengkap atau masih ada
kekurangan. Jika sudah lengkap, maka bank akan melakukan analisa kelayakan 5C
yaitu:
a.Character artinya sifat atau karakter nasabah pembiayaan.
b.Capacity artinya kemampuan nasabah untuk menjalankan usaha dan
mengembalikan pembiayaan.
c.Capital artinya besarnya modal yang diperlukan.
d.Collateral artinya jaminan yang telah dimiliki nasabah yang diberikan nasabah
kepada bank.
e.Condition artinya keadaan usaha nasabah atau prospek usaha nasabah35.
Dan apabila analisa kelayakan 5C sudah lengkap maka bank akan
melakukan analisa tahap selanjutnya yaitu terhadap kondisi keuangan nasabah.
Apakah dalam keadaan stabil atau sebaliknya.
Apabila semua proses analisa sudah selesai, maka bank memutuskan calon
nasabah layak mendapatkan pembiayaan dari bank atau tidak. Jika calon nasabah
tidak layak mendapatkan pembiayaan dari bank maka calon nasabah akan
35Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syari’ah, (Yogyakarta: UPP AMP YKPN,2005) hal 19-20.
dikonfirmasi untuk melengkapi dokumen-dokumen yang kurang. Dan apabila calon
nasabah layak mendapat pembiayaan dari bank maka akan diadakan persetujuan
pembiayaan dan terbentuklah akad mudharabah.36
B. Aplikasi Pembiayaan Mudharabah Untuk Sektor Pertanian di BPRS Al-
Barokah
Dari semua mekanisme pengajuan pembiayaan mudharabah di BPRS Al-
Barokah yang penulis rincikan diatas, ternyata tidak sama dengan praktek yang
terdapat dilapangan. Berikut adalah adalah syarat pengajuan pembiayaan
mudharabah yang tidak diaplikasikan:
a.Melengkapi persyaratan seperti data historis usaha/perusahaan, data proyeksi
usaha/perusahaan dan data jaminan/agunan.
Alasan yang dikemukakan oleh pihak BPRS terhadap perbedaan antara
mekanisme dengan aplikasi pembiayaan diatas adalah: jika calon nasabah
mengajukan pembiayaan dalam jumlah yang tidak banyak maka BPRS tidak
mengharuskan untuk melengkapi data historis usaha/perusahaan, data proyeksi usaha
dan data jaminan/agunan.
Dan alasan lain yang diutarakan oleh pihak BPRS Al-Barokah adalah jika
nasabah yang hendak mengajukan pembiayaan bukanlah nasabah baru maka tidak
perlu juga untuk melengkapi data-data yang sudah penulis kemukakan diatas tadi.37
36 Wawancara pribadi dengan Nur Rohim salah seorang Accounting Staff BPRS Al-Barokah pada tanggal 27 July 2011.
b.Konfirmasi data/dokumen
Maksud konfirmasi data/dokumen adalah jika semua data yang diserahkan
oleh calon nasabah pembiayaan itu sudah lengkap/belum lengkap maka terkadang
BPRS AL-Barokah tidak melakukan konfirmasi kepada calon nasabah dikarenakan
BPRS Al-Barokah langsung ketahap selanjutnya dari proses pembiayaan yakni
ketahap analisis 5C.
Atau jika calon nasabah yang mengajukan pembiayaan tersebut data yang
diberikannya ke BPRS Al-Barokah belum lengkap maka BPRS tidak akan melakukan
konfirmasi ke calon nasabah tersebut dengan alasan calon nasabah tidak layak
mendapatkan pembiayaan dari BPRS Al-Barokah.
c.Analisa kelayakan 5 C
Dengan alasan sudah mengenal secara personal ataupun secara perusahaan
terhadap nasabah maka pihak BPRS Al-Barokah tidak melakukan analisis kelayakan
5 C. BPRS Al-Barokah juga melakukan hal yang sama kepada nasabah yang memang
sudah lama menjalin kerjasama dengan BPRS Al-Barokah. Disini BPRS Al-Barokah
lebih menitikberatkan kepada analisis keuangan yang dimiliki oleh calon nasabah dan
tidak menganalisis secara keseluruhan dari proses 5 C.
Untuk pembiayaan mudharabah pada sektor pertanian di BPRS Al-
Barokah pernah dilaksanakan pada tahun 2009/2010. Dalam tahun itu ada 7 nasabah
37 Ibid.
yang mengajukan pembiayaan dengan nilai plafond per-nasabah (non-group) Rp 120
juta sehingga total pendanaan mencapai Rp 840 juta.
Diantara 7 nasabah tersebut ada satu nasabah yang melakukan usaha
pertanian yang disebut agro grow box (bertani dengan menggunakan media kotak).
Peran BPRS disini adalah menyediakan dana untuk membeli peralatan pertanian
seperti pasir, sekam, pupuk, mesin air untuk penyiraman tanaman, dan plastik kaca
untuk menutupi tanaman.
Petani tersebut mencoba menanam beberapa jenis sayuran, padi dan tebu.
Sedangkan untuk memasarkan hasil panen sipetani memilih supermarket yang
terdapat di Bogor, perlu untuk diketahui disini BPRS tidak ikut serta dalam hal
pemasaran, BPRS hanya membantu nasabah dalam hal pemberian pinjaman dana.38
BPRS Al-barokah biasanya melakukan pengawasan secara berkala setiap
bulannya. Tahap yang harus dilalui nasabah hingga pinjamannya di bank usai adalah:
tahap, pembayaran angsuran pinjaman, setelah tahap tersebut usai maka nasabah
diboehkan untuk mengambil jaminan (agunan) yang ditahan oleh pihak bank, dan
tahap terakhir adalah bank mengeluarkan surat keterangan lunas sebagai bukti bahwa
antara nasabah dan bank sudah mengakhir akad pembiayaan mudharabah mereka.
38 Ibid.
C. Analisis
1. Analisis dari perspektif fiqh muamalat
Berikut ini adalah rukun dan syarat mudharabah:
a. Rukun mudharabah adalah: a. pemilik lahan; b. penggarap; c. lahan yang digarap;
dan d. akad.
b. Pemilik lahan harus menyerahkan lahan yang akan digarap kepada pihak yang akan
menggarap.
c. Penggarap wajib memiliki keterampilan bertani dan bersedia menggarap lahan
yang diterimanya.
d. Penggarap wajib memberikan keuntungan kepada pemilik lahan bila pengelolaan
yang dilakukannya menghasilkan keuntungan.
e. Akad mudharabah dapat dilakukan secara mutlak dan atau terbatas.
f. Jenis benih yang akan ditanam dalam mudharabah terbatas harus dinyatakan
secara pasti dalam akad, dan diketahui oleh penggarap.
g. Penggarap bebas memilih jenis benih tanaman untuk ditanam dalam akad
mudharabah yang mutlak.
h. Penggarap wajib memperhatikan dan mempertimbangkan kondisi lahan, keadaan
cuaca, serta cara yang memungkinkan untuk mengatasinya menjelang musim
tanam.
i. Penggarap wajib menjelaskan perkiraan hasil panen kepada pemilik lahan dalam
akad mudharabah mutlak.
j. Penggarap dan pemilik lahan dapat melakukan kesepakatan mengenai pembagian
hasil pertanian yang akan diterima oleh masing-masing pihak.
k. Penyimpangan yang dilakukan penggarap dalam akad mudharabah, dapat
mengakibatkan batalnya akad itu.
l. Seluruh hasil panen yang dilakukan oleh penggarap yang melakukan pelanggaran,
menjadi milik pemilik lahan.
m.Dalam hal terjadi keadaan tersebut, pemilik lahan dianjurkan untuk memberi
imbalan atas kerja yang telah dilakukan penggarap.
n. Penggarap berhak melanjutkan akad mudharabah jika tanamannya belum layak
dipanen, meskipun pemilik lahan telah meninggal dunia.
o. Ahli waris pemilik lahan wajib melanjutkan kerja sama mudharabah yang
dilakukan oleh pihak yang meninggal, sebelum tanaman pihak penggarap bias
dipanen.
p. Hak menggarap lahan dapat dipindahkan dengan cara diwariskan bila penggarap
meninggal dunia, sampai tanamannya bisa dipanen.
q. Ahli waris penggarap berhak untuk meneruskan atau membatalkan akad
mudharabah yang dilakukan oleh pihak yang meninggal.
r. Akad mudharabah berakhir jika waktu yang disepakati telah berakhir.39
Dalam hal rukun akad mudharabah terdapat beberapa perbedaan pendapat
antara Ulama Hanafiyah dengan Jumhur Ulama. Ulama Hanafiyah berpendapat
bahwa yang menjadi rukun akad mudharabah adalah Ijab dan Qabul. Sedangkan
Jumhur Ulama menyatakan bahwa rukun akad mudharabah adalah terdiri atas orang
yang berakad, modal, keuntungan, kerja dan kad; tidak hanya terbatas pada rukun
sebagaimana yang dikemukakan Ulama Hanafiyah, akan tetapi, Ulama Hanafiyah
memasukkan rukun-rukun yang disebutkan Jumhur Ulama itu, selain Ijab dan Qabul
sebagai syarat akad mudharabah.
Adapun syarat-syarat mudharabah, sesuai dengan rukun yang
dikemukakan Jumhur Ulama di atas adalah :
1. Orang yang berakal harus cakap bertindak hukum dan cakap diangkat sebagai
wakil.
2. Mengenai modal disyaratkan : a) berbentuk uang, b) jelas jumlahnya, c) tunai, dan
d) diserahkan sepenuhya kepada mudharib (pengelola). Oleh karenanya jika modal itu
berbentuk barang, menurut Ulama Fiqh tidak dibolehkan, karena sulit untuk
menentukan keuntungannya.
39 http://esharianomics.com/esharianomics/akad-transaksi/mudharabah/rukum-dan-syarat-mudharabah, diakses tanggal 8 Oktober 2011.
3. Yang terkait dengan keuntungan disyaratkan bahwa pembagian keuntungan harus
jelas dan bagian masing-masing diambil dari keuntungan dagang itu.
Keterangan :
a. Modal
Seperti dijelaskan di atas, bahwa modal harus berbentuk uang. Untuk
menghindari bentuk perselisihan, kontrak mudharabah harus jelas jumlah modalnya.
Modal mudharabah tidak boleh berupa suatu hutang yang dipinjam mudharib pada
saat dilanjutkan kontrak mudharabah. Karena dalam kontrak semacam ini si investor
dapat dengan mudah menggunakan mudharabah sebagai alat untuk memperoleh
kembali hutangnya sekalian mengambil untung darinya. Mengambil untung dari
suatu hutang sebagai riba yang diharamkan dalam hukum Islam. Dari sekian empat
Madzhab Fiqh tak satupun yang mengizinkan suatu kontrak dimana kreditur meminta
debitur untuk menjalankan mudharabah berdasarkan pengertian bahwa modal kongsi
adalah hutang calon mudharib kepada investor.
Rab al-mal (investor) harus menyerahkan modal mudharabah kepada
mudharib agar kontrak ini menjadi sah. Mudharib bebas menginvestasikan dan
menggunakan modal tersebut dalam batasbatas klausul kontrak mudharabah yang
secara umum menetapkan jenis usaha yang dipilih, jangka waktu kongsi, dan lokasi-
lokasi tempat mudharib boleh menjalankan usahanya.
b. Manajemen
Sebagai mudharib yang menjalankan mudharabah untuk kongsi,
hendaknya harus memiliki kebebasan yang diperlukan dalam pengelolaan kongsi dan
dalam pembuatan semua keputusan terkait. Ia bebas menentukan sendiri bentuk
barang-barang untuk dikelola, memberikan modal kepada pihak ketiga, melibatkan
diri dalam suatu kerjasama (musyarakah) dengan pihak-pihak lain tanpa ditentukan
oleh investor. Sehingga mempeoleh hasil dan keuntungan yang maksimal. Dilihat
dari segi transaksi yang dilakukan antara investor dengan mudharib, Ulama Fiqh
membagi mudharabah kepada dua jenis : Mudharabah muthlaqah (tak terbatas untuk
menyerahkan modal secara mutlak, tanpa syarat dan pembatasan) dan Mudharabah
muqayyadah (terbatas untuk menyerahkan modal dengan syarat dan batasan tertetu).
c. Jangka Waktu
Menurut madzhab Maliki dan Syafi’i bahwa, kontrak mudharabah tidak
boleh menentukan syarat adanya jangka waktu tertentu bagi kongsi. Menurutnya hal
demikian dapat membuat kontrak menjadi batal. Namun kalangan madzhab Hanafi
dan Hambali membolehkan klausul demikian.
d. Jaminan
Mengingat hubungan antara investor dengan mudharib adalah hubungan
yang bersifat ‘gadai’ dan mudharib adalah orang yang dipercaya, maka tidak ada
jaminan oleh mudharib kepada investor. Investor tidak dapat menuntut jaminan
apapun dari mudharib untuk mengembalikan modal dengan keuntungan. Jika investor
mempersyaratkan pemberian jaminan dari mudharib dan menyatakan hal ini dalam
syarat kontrak, maka kontrak mudharabah mereka tidak sah, demikian menurut Malik
dan Syafi’i.
e. Pembagian Laba dan Rugi
Mudharabah pada dasarnya adalah suatu serikat laba, dan komponen
dasarnya adalah penggabungan kerja dan modal. Laba bagi masing-masing pihak
dibenarkan berdasarkan kedua komponen tersebut. Risiko yang terkandung juga
menjadi pembenar laba dalam mudharabah. Dalam kasus yang kongsinya tidak
menghasilkan laba sama sekali, risiko investor adalah kehilangan sebagian atau
seluruh modal, sementara risiko mudharib adalah tidak mendapatkan atas kerja dan
usahanya.40
Pengertian Muzara’ah.
Menurut Hanafiyah Muzara’ah adalah kerjasama antara pemilik lahan dan
pekerja di dalam merawat tanaman dengan hasil yang di bagi dua.
40http://mujahidinimeis.wordpress.com/2011/01/24/sistem-pembiayaan-mudharabah-bagi-hasil-antara-perbankan-syari%E2%80%99ah-dengan-literatur-fiqh-muamalah/, diakses tanggal08 Oktober 2011.
Menurut Ulama’ Malikiyah Muzara’ah adalah “Perkongsian di dalam
bercocok tanam”.
Menurut Ulama Syafi’iyah Muzara’ah adalah mengelola tanah di atas
sesuatu yang dihasilkan dan benihnya berasal dari pengelola. Adapun muzara’ah,
sama seperti mukhabarah, hanya saja benihnya berasal dari pemilik tanah.
Menurut Ulama’ Hanabilah Muzara’ah adalah Menyerahkan tanah kepada
orang yang akan bercocok tanam atau mengelolanya, sedangkan tanaman hasilnya
tersebut dibagi antara keduanya.
Hukum akad Muzara’ah
Menurut Hanafiyyah hukum akad Muzaraah ini tidak di perbolehkan
karena ada hadis nabi Muhammad SAW
ما أخرجت ھذه ولم تخرج عن رافع بن خدیج قال كنااكثراالنصار حقال فكنا نكرىاالرض على ان لنا ھذه فرب
ھذه فنھاناعن ذلك
Menurut Malikiah hukum akad muzaraah di perbolehkan karena
berlandaskan pada hadis nabi Muhammad
ثمر اوزرععن ابن عمران النبي صلى اهللا علیھ وسلم عامل أھل خیبر بشرط مایخرج منھا من
Menurut Syafi’iyyah akad muzarah ini hukumnya boleh karena ada
sebuah hadi yang memperbolehkannya yaitu:
ثمر اوزرععن ابن عمران النبي صلى اهللا علیھ وسلم عامل أھل خیبر بشرط مایخرج منھا من
Menurut Hanabilah juga mengatakan boleh dengan berargumen pada
hadis nabi yaitu:
مر اوزرعن ابن عمران النبي صلى اهللا علیھ وسلم عامل أھل خیبر بشرط مایخرج منھا من ثع
Rukun Muzara’ah
1. Menurut Hanafiah: a. Pemilik tanah, b. Petani/Penggarap, c. Obyek al- muzara’ah
(mahalul ‘aqdi), Ijab dan Qabul. Qabul ini tidak harus berupa lisan, namun dapat juga
berupa tindakan langsung dari si penggarap.
2. Menurut Malikiah: a. Pemilik tanah, b. Petani/Penggarap, c. Obyek al- muzara’ah
(mahalul ‘aqdi), Ijab dan Qabul (berupa ucapan).
3. Menurut Syafi’iyyah: a. Pemilik tanah, b. Petani/Penggarap, c. Obyek al-
muzara’ah (mahalul ‘aqdi), d. Ijab dan Qabul (berupa ucapan)
4. Menurut Hanabilah: a. Pemilik tanah, b. Petani/Penggarap, c. Obyek al- muzara’ah
(mahalul ‘aqdi), d. Ijab dan Qabul (berupa ucapan).
Syarat-syarat Muzara’ah
1. Menurut Hanafiah: a. Berakal, b.Baligh, c. Bukan orang kafir atau murtad.
2. Menurut Malikiah: a. Berakal, b. Baligh.
3. Menurut Syafi’iyyah: a. Berakal, b. Baligh.
4. Menurut Hanabilah: a. Berakal, b. Baligh.41
Pensyariatan Muzara’ah
Dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar ra, bahwa ia pernah mengabarkan
kepada Nafi’ ra pernah memperkejakan penduduk Khaibar dengan syarat bagi dua
41 Drs. H.S Sholahuddin, Fiqhul Islam, Biro (Penerbit Jurusan Syariah STAIN Cirebon,2000) hal: 126.
hasil kurmanya atau tanaman lainnya. (Muttafaqun ‘alaih: Fathul Bari VI: 13 no:
2329, Muslim XCIII: 1186 no: 1551, ‘Aunul Ma’bud IX: 272 no: 3391, Ibnu Majah
II: 824 no: 2467, Tirmidzi II: 421 no: 1401).
Imam Bukhari menulis, Qais bin Muslim meriwayatkan dari Abu Ja’far, ia
berkata, “Seluruh Ahli Bait yang hijrah ke Madinah adalah petani dengan cara bagi
hasil sepertiga dan seperempat. Di antaranya lagi yang telah melaksanakan
muzara’ah adalah Ali, Sa’ad bin Malik, Abdullah bin Mas’ud, Umar bin Abdul Aziz,
al-Qasim, Urwah, Keluarga Abu Bakar, Keluarga Umar, Keluarga Ali dan Ibnu
Sirin.” (Fathul Bari V: 10).
Penanggung Modal
Tidak mengapa modal mengelola tanah ditanggung oleh si pemilik tanah,
atau oleh petani yang mengelolanya, atau ditanggung kedua belah pihak.
Dalam Fathul Bari V: 10, Imam Bukhari menuturkan, “Umar pernah
mempekerjakan orang-orang untuk menggarap tanah dengan ketentuan; jika Umar
yang memiliki benih, maka ia mendapat separuh dari hasilnya dan jika mereka yang
menanggung benihnya maka mereka mendapatkan begitu juga.” Lebih lanjut Imam
Bukhari mengatakan, “al-Hasan menegaskan, tidak mengapa jika tanah yang digarap
adalah milik salah seorang di antara mereka, lalu mereka berdua menanggung
bersama modal yang diperlukan, kemudian hasilnya dibagi dua. Ini juga menjadi
pendapat az-Zuhri.”
Yang Tidak Boleh Di Lakukan Dalam Muzara’ah
Dalam muzara’ah, tidak boleh mensyaratkan sebidang tanah tertentu ini
untuk si pemilik tanah dan sebidang tanah lainnya untuk sang petani. Sebagaimana
sang pemilik tanah tidak boleh mengatakan, “Bagianku sekian wasaq.”
Dari Hanzhalah bin Qais dari Rafi’ bin Khadij, ia bercerita, “Telah
mengabarkan kepadaku dua orang pamanku, bahwa mereka pernah menyewakan
tanah pada masa Nabi saw dengan (sewa) hasil yang tumbuh di parit-parit, dengan
sesuatu (sebidang tanah) yang dikecualikan oleh si pemilik tanah. Maka Nabi saw
melarang hal itu.” Kemudian saya (Hanzhalah bin Qais) bertanya kepada Rafi’,
“Bagaimana sewa dengan Dinar dan Dirham?” Maka jawab Rafi’, “Tidak mengapa
sewa dengan Dinar dan Dirham.” Al-Laits berkata, “Yang dilarang dari hal tersebut
adalah kalau orang-orang yang mempunyai pengetahuan perihal halal dan haram
memperhatikan hal termaksud, niscaya mereka tidak membolehkannya karena di
dalamnya terkandung bahaya.” (Shahih: irwa-ul Ghalil V: 299, Fathul Bari V: 25 no:
2347 dan 46, Nasa’i VII: 43 tanpa perkataan al-Laits).
Dari Hanzhalah juga, ia berkata, “Saya pernah bertanya kepada Rafi’ bin
Khadij perihal menyewakan tanah dengan emas dan perak. Jawab Rafi’, ‘Tidak
mengapa. Sesungguhnya pada periode Rasulullah orang-orang hanya menyewakan
tanah dengan (sewa) hasil yang tumbuh di pematang-pematang (gailengan), tepi-tepi
parit, dan beberapa tanaman lain. Lalu yang itu musnah dan yang ini selamat, dan
yang itu selamat sedang yang ini musnah. Dan tidak ada bagi orang-orang (ketika itu)
sewaan melainkan ini, oleh sebab itu yang demikian itu dilarang. Adapun (sewa)
dengan sesuatu yang pasti dan dapat dijamin, maka tidak dilarang.” (Shahih: Irwa-ul
Ghalil V: 302, Muslim III: 1183 no: 116 dan 1547, ‘Aunul Ma’bud IX: 250 no: 3376
dan Nasa’i VII : 43).
Sumber: Diadaptasi dari 'Abdul 'Azhim bin Badawi al-Khalafi, Al-Wajiz
Fi Fiqhis Sunnah Wal Kitabil 'Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-
Qur'an dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma'ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah),
hlm. 677 - 679.42
2.Analisis dari perspektif penulis
Berdasarkan uraian yang penulis sebutkan diatas maka dari segi akad dan
syarat sebenarnya tidak jauh berbeda antara akad mudharabah dan muzara’ah, jadi
praktek akad mudharabah untuk sektor pertanian di BPRS Al-Barokah tidak ada yang
salah.
42 images.tiekha05.multiply.multiplycontent.com/.../..., diakses tanggal 08 oktober 2011.
Sedangkan untuk sistem bagi hasil untuk pertanian itu sendiri adalah
menggunakan proses sebagai berikut:
Istilah yang tepat untuk bagi hasil seperti pertanian ada beberapa cara dan
disebut Muzara'ah. Muzara’ah, yaitu pemilik tanah menyerahkan alat, benih dan
hewan kepada yang hendak menanaminya dengan suatu ketentuan dia akan mendapat
hasil yang telah ditentukan, misalnya: 1/2, 1/3 atau kurang atau lebih menurut
persetujuan bersama.
Muzara’ah adalah salah satu bentuk ta’awun antar petani dan pemilik
sawah. Serigkali kali ada orang yang ahli dalam masalah pertanian tetapi dia tidak
punya lahan, dan sebaliknya banyak orang yang punya lahan tetapi tidak mampu
menanaminya. Maka Islam mensyari’atkan muzara’ah sebagai jalan tengah bagi
keduanya. Itulah yang telah dicontohkan oleh Rasulullah dan mentradisi di tengah
para sahabat dan kaum muslimin setelahnya.
Ibnu ‘abbas mencerikana bahwa Rasululah saw bekerja sama dengan
penduduk Khaibar untuk berbagi hasil atas panenan, makanan dan buah-buahan.
Bahkan Muhammad Albakir bin Ali bin Al-Husain mengatakan bahwa tidak ada
seorang muhajirin yang berpindah ke Madinah kecuali mereka bersepakat untuk
membagi hasil pertanian sepertiga atau seperempat. Para sahabat yang tercatat
melakukan muzara’ah antara lain adalah Ali bin Abi Thalib, Sa’ad bin Malik,
Abdullah bin Mas’ud dan yang lainnya. Bahkan Umar bin Abdul Aziz pun yang
hidup di masa berikutnya memiliki pemasukan dari bagi hasil.
Muzara’ah dibenarkan apabila disepakati pembagian hasil antara pemilik
lahan dengan tenaga petani. Misalnya, petani mendapat 60% dari nilai total hasil
panen, sedangkan pemilik lahan mendapat 40% sisanya. Bentuk seperti ini dihalalkan
dan telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para shahabat hingga
generasi berikutnya. Adapun bentuk muzara’ah yang diharamkan adalah bila bentuk
kesepakatannya tidak adil. Misalnya, dari luas 1.000 m persegi yang disepakati,
pemilik lahan menetapkan bahwa dia berhak atas tanaman yang tumbuh di area 400
m tertentu. Sedangkan tenaga buruh tani berhak atas hasil yang akan didapat pada
600 m tertentu.
Perbedaannya dengan bentuk muzara’ah yang halal di atas adalah pada
cara pembagian hasil. Bentuk yang boleh adalah semua hasil panen dikumpulkan
terlebih dahulu, baru dibagi hasil sesuai prosentase. Sedangkan bentuk yang kedua
dan terlarang itu, sejak awal lahan sudah dibagi dua bagian menjadi 400 m dan 600
m. Buruh tani berkewajiban untuk menanami kedua lahan, tetapi haknya terbatas
pada hasil di 600 m itu saja. Sedangkan apapun yang akan dihasilkan di lahan satunya
lagi yang 400 m, menjadi hak pemilik lahan.
Cara seperti ini adalah cara muzaraah yang diharamkan. Inti larangannya
ada pada masalah gharar. Sebab boleh jadi salah satu pihak akan dirugikan.
Misalnya, bila panen dari lahan yang 400 m itu gagal, maka pemilik lahan akan
dirugikan. Sebaliknya, bila panen di lahan yang 600 m itu gagal, maka buruh tani
akan dirugikan. Maka yang benar adalah bahwa hasil panen keduanya harus
disatukan terlebih dahulu, setelah itu baru dibagi hasil sesuai dengan perjanjian
prosentase.
Bentuk muzara’ah yang terlarang ini adalah seseorang memberikan
persyaratan kepada orang yang mengerjakan tanahnya; yaitu dengan ditentukan tanah
dan sewanya dari hasil tanah baik berupa takaran ataupun timbangan. Sedang sisa
daripada hasil itu untuk yang mengerjakannya atau masih dibagi dua lagi misalnya.
Oleh karena itu seharusnya masing-masing pihak mengambil bagiannya itu dari hasil
tanah dengan suatu perbandingan yang disetujui bersama. Jika hasilnya itu banyak,
maka kedua belah pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya sedikit, kedua-
duanya pun akan mendapat sedikit pula. Dan kalau samasekali tidak menghasilkan
apa-apa, maka kedua-duanya akan menderita kerugian. Cara ini lebih menyenangkan
jiwa kedua belah pihak.43
Hadits yang berkaitan dengan mudharabah adalah hadits yag diriwayatkan
oleh Ibnu Majah dari Shuhaib bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya:
43 http://www.facebook.com/topic.php?uid=255621610421&topic=13576, diakses
tanggal 08 Oktober 2011.
“tiga perkara yang mengandung berkah adalah jual-beli yang
ditangguhkan, melakukan qiradh (memberi modal kepada orag lain), dan yang
mencampurkan gandum dengan jelas untuk keluarga, bukan untuk dijual-
belikan”.(HR. Ibnu Majah dari Shuhaib).
Berdasarkan hadits diatas maka terlihatlah betapa mudharabah sangat
dianjurkan untuk ummat muslim, dengan ber-mudharabah individu yang mempunyai
modal tapi tidak mempunyai skill untuk mengembangkan modalnya bisa bekerjasama
dengan individu yang mempunyai skill tapi tidak mempunyai modal.
Menurut penulis, harusnya akad mudharabah untuk sektor pertanian yang
dilaksanakan di BPRS Al-Barokah adalah akad mudharabah muqayyadah agar
memudahkan bank melakukan monitoring terhadap usaha nasabah.
Secara khusus implementasi akad mudharabah muqayyadah sebenarnya
telah diatur dalam ketentuan PBI No. 7/46/PBI/2005. Dalam kegiatan penyaluran
dana dalam bentuk pembiayaan berdasarkan mudharabah muqayyadah (restricted
investment) berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut:44
a. Bank bertindak sebagai agen penyalur dan investor (channeling agent) kepada
nasabah yang bertindak sebagai pengelola dana untuk kegiatan usaha dengan
persyaratan dan jenis kegiatan usaha yag ditentukan oleh investor;
44Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syari’ah di Indonesia, (Yogyakarta: Gajah MadaUniversity Press), hal: 131.
b. Jangka waktu pembiayaan, pengembalian dana, dan pembagian keuntungan
ditentukan berdasarkan kesepakatan antara investor, nasabah dan bank;
c. Bank tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah tetapi memiliki hak
dalam pengawasan dan pembinaan usaha nasabah;
d. Pembiayaan diberikan dalam tunai dan/atau barang;
e. Dalam hal pembiayaan diberikan dalam bentuk barang, maka barang yang
diserahkan harus dinilai dengan harga perolehan atau harga pasar;
f. Bank sebagai agen penyaluran dana dapat menerima fee (imbalan) yang
perhitungannya diserahkan kepada kesepakatan para pihak;
g. Pembagian keuntungan dari pengelolaan dana investasi dinyatakan dalam
bentuk nisbah yang disepakati antara investor dan nasabah.
Bank sebagai agen penyaluran dana milik investor tidak menanggung
risiko kerugian usaha yang dibiayai, sementara investor sebagai pemilik dana
mudharabah muqayyadah menanggung seluruh risiko kerugian kegiatan usaha jika
nasabah melakukan kecurangan, lalai, atau menyalahi perjanjian mengakibatkan
kerugian usaha.
Sebagai sebuah kerjasama antara dua pihak yang berbeda untuk suatu
tujuan diperlukan beberapa kesepakatan berupa ketentuan-ketentuan yang meliputi
aturan dan wewenang yang dirumuskan oleh kedua belah pihak yang akan menjadi
patokan hukum selama perjanjian atau kontrak mudharabah berlangsung. Ada
beberapa hal yang perlu disepakati:
1. Manajemen
Dalam hal manajemen ini sangat tergantung pada jenis kontrak
mudharabah yang dipakai oleh para pihak. Jika para pihak sepakat membuat kontrak
mudharabah muthlaqah (absolut, tidak terikat) maka pihak pengelola dan (mudharib)
mendapatkan kebebasan dalam melakukan manajemen terhadap modal yang
diberikan oleh pemilik modal (shahibul maal), bisa membawa pergi modalnya,
memberikan modalnya kepada pihak ketiga atau bahkan untuk modal musyarakah
dengan orang lain, dan yang lebih penting dalam jenis mudharabah muthlaqah
intervensi dari pihak shahibul maal tidak diperkenankan.45
Sedangkan apabila kontrak yang dipilih oleh para pihak adalah kontrak
mudharabah muqayyadah maka semua keputusan yang menyangkut praktik
mudharabah ditentukan oleh shahibul maal. Mudharib tidak bebas mewujudkan
keinginannya tetapi dia dibatasi aturan-aturan yang ditetapkan shahibul maal dalam
kontrak yang dibuat.
2. Tenggang waktu (duration)
Tenggang waktu ini merupakan salah satu hal yang harus mendapatkan
kesepakatan diantara kedua belah pihak. Hal ini penting karena tidak semua modal
yang diberikan kepada mudharib itu dana mati yang tidak dibutuhkan oleh
pemiliknya. Dan yang lebih penting lagi dengan penentuan jangka waktu ini dapat
45 Ibid, hal: 134.
memacu mudharib untuk lebih efektif dan efesien dalam memproduktifkan modal
yang dikelolanya.
3. Jaminan (collateral)
Pada dasarnya dalam sebuah kontrak bagi hasil (mudharabah) eksistensi
dari jaminan (collateral) tidak dibutuhkan, mengingat didalamnya sudah mengatur
mengenai risiko bagi para pihak ketika terjadi kerugian. Tingkat urgenitas dari
jaminan ini adalah berkaitan dengan kekhawatiran shahibul maal mengenai
kemungkinan terjadinya penyelewengan (side streaming) yang dilakukan oleh
mudharib. Dengan kata lain moral hazard menjadi faktor mengapa jaminan menjadi
penting. Adanya jaminan juga diharapkan dapat mengcover kemungkinan terjadinya
total loss. Akan tetapi mengenai jaminan ini masih menjadi perdebatan dari para
ulama.
Ketika kontrak mudharabah telah disepakati, maka kontrak tersebut
menjadi sebuah hukum yang tidak boleh dilanggar oleh kedua belah pihak. Jika ada
pelanggaran yang dilakukan oleh salah satu pihak, maka akan menimbulkan
konsekuensi yuridis berupa gugurnya kontrak tersebut. Adanya kesepakatan para
pihak untuk membuat kontrak mudharabah, menjadikannya mengikat seperti undang-
undang (pasal 1338, 1320 KUHPerdata) sehingga menimbulkan beberapa implikasi
sebagai berikut:
a. Mudharib sebagai amin (orang yag dipercaya)
Penempatan modal kepada pihak pengelola dana (mudharib) lebih
didasarkan pada trust and believing, sehingga mudharib harus mampu bersikap amah
menjaga dan mengelola modal yang ada padanya dengan sebaik-baiknya. Namun
pengertian amanah ini harus tetap berpijak pada suatu ketentuan dimana jika modal
tersebut rusak ditangannya tanpa ada unsur penyelewengan, maka tidak ada
tanggungan baginya. Posisi mudharib sebagai amin mengindikasikan bahwa
penyerahan modal dan pengelolaannya sepenuhnya tergantung pada mudharib. Sebab
dalam pengelolaannya modal tersebut akan bercampur dengan modal dan barang-
barang lain milik mudharib. Dengan memposisikan mudharib sebagai amin akan
dapat memunculkan kesadaran dan sikap kehati-hatian pengelola dalam mengolah
usaha utamanya memisahkan antara modal pribadi dan orang lain dalam
penghitungan keuntungannya.
b. Mudharib sebagai wakil
Mudharib adalah wakil shahibul maal dalam semua transaksi yang ia
sepakati atau dengan kata lain mudharib merupakan tangan kanan dari shahibul maal
dalam kegiatan bisnis. Implikasinya sebagai seorang wakil tentu dia tidak
menanggung apapun dari modal ketika terjadi kerugian, kecuali kerugian yang
disebabkan oleh kesalahan yang dibuatnya baik berupa kesengajaan atau kelalaian.
c. Mudharib sebagai mitra dalam laba
Keuntungan atau kerugian akan dibagi oleh para pihak yang besarnya
telah diperjanjikan sejak awal berupa nisbah atau persentase terhadap pendapatan
(revenue sharing) atau keuntungan (profit sharing) yang didapatkan dari suatu
kegiatan usaha. Dengan menjadikan mudharib sebagai mitra dalam laba maka besar
atau kecilnya laba akan sangat tergantung keterampilan mudharib dalam menjalankan
usahanya.46
Dan tambahan menurut penulis lagi, ada yang salah dalam hal aplikasi
akad mudharabah itu sendiri yaitu, BPRS Al-Barokah terlihat tidak begitu berhati-
hati dalam memberikan pembiayaan kepada calon nasabah. Itu terbukti dengan tidak
semua mekanisme pengajuan pembiayaan untuk akad mudharabah sama dengan
aplikasi akadnya itu sendiri.
Padahal jika dilihat poin-poin yang ditinggalkan dalam aplikasi akad itu
sendiri adalah poin-poin penting dan krusial seperti:
a. Melengkapi persyaratan; data historis usaha/perusahaan, data proyeksi
usaha/perusahaan dan data jaminan/agunan.
Menurut penulis, untuk mengetahui seperti apa latar belakang dari calon
nasabah yang paling penting dilihat adalah data-data diatas, karena berdasarkan data
diatas akan terlihat apakah calon nasabah layak mendapat pembiayaan atau tidak.
Walaupun sebenarnya alasan BPRS tidak mempraktekkan hal diatas karena sudah
46 Ibid, hal 136.
mengenal calon nasabah secara personal ataupun perusahaan dan jumlah pembiayaan
yang diajukan oleh calon nasabah tidak dalam jumlah besar. Tetapi tetap saja itu
adalah sebagai salah satu bentuk ketidak hati-hatian BPRS Al-Barokah dalam
memberikan pembiayaan.
b. Melakukan konfirmasi data/dokumen
Ketika semua data sebagai syarat pengajuan pembiayaan yang diminta
oleh BPRS Al-Barokah sudah dilengkapi oleh calon nasabah, maka langkah
berikutnya adalah tugas bank untuk menganalisis data si calon nasabah tersebut.
Disini BPRS Al-Barokah tidak selalu melakukan konfirmasi atas data/dokumen
tersebut kepada calon nasabah. Menurut penulis, ini seolah membuat calon nasabah
menunggu dalam ketidakpastian, apakah pengajuan pembiayaannya akan diterima
atau ditolak.
c. Analisis kelayakan 5 C
Analisis kelayakan 5 C menurut penulis tidak kalah pentingnya dengan
yang ada di poin (a) diatas, poin (a) adalah tugas calon nasabah untuk melengkapi
datanya sedangkan analisis kelayakan 5 C adalah tugas bank untuk memastikan
apakah calon nasabah layak diberi pembiayaan atau tidak.
Untuk sekedar mengingatkan kembali 5 C adalah:
1. Character atau sifat calon nasabah
Untuk mengetahui seperti apa watak calon nasabah bisa dikenali dengan
mempelajari sifat calon nasabah. Jika analisis karakter tidak dilakukan menurut
penulis ini cukup riskan, bisa saja si calon nasabah mempunyai watak seorang
penipu, lari dari tanggung jawab dan sebagainya.
2. Capacity atau kemampuan calon nasabah menjalankan usaha
Seharusnya yang dipertimbangkan disini adalah kemampuan nasabah
mengkombinasikan faktor-faktor sumber daya, memproduksi barang atau jasa yang
dibutuhkan masyarakatdan menghasilkan pendapatan. Dalam hal ini adalah cakupan
kemampuan calon nasabah untuk menghitung penghasilan sebagai gambaran
kemampuannya dalam melunasi kredit. Kesimpulannya jika poin ini ditinggalkan
oleh bank maka bisa saja dikemudian hari akan terjadi kredit macet.
3. Capital atau besarnya modal yang diperlukan
Ini berupa analisis modal untuk dapat menggambarkan struktur modal
calon nasabah. Dengan demikian bank dapat melihat besar atau kecil rasa tanggung
jawab calon nasabah atas pinjamannya atau apakah calon nasabah bisa
memperhitungkan risikonya. Sama dengan pendapat penulis yang diatas jika poin ini
ditinggalkan maka dampaknya akan fatal bagi bank itu sendiri.
4. Collateral atau jaminan yang dimiliki calon nasabah
Dalam hal ini menurut penulis bank harusnya melakukan analisis terhadap
jaminan kredit untuk meyakinkan bank atas kesanggupan calon nasabah dalam
melunasi pinjamannya. Ini dilakukan untuk berjaga-jaga apabila kemungkinan
terburuk terjadi seperti misalnya nasabah kabur dari tanggung jawab pinjamannya
kepada bank. Maka dengan adanya jaminan bank bisa meminimalkan risiko kerugian
yang dialami.
5. Condition atau prospek usaha calon nasabah
Langkah akhir dari analisis 5 C adalah melihat prospek usaha calon
nasabah. Apakah usaha yang akan dijalani oleh nasabah ini nantinya akan
menghasilkan untung atau malah sebaliknya. Jika tahap analisis ini ditinggalkan juga
maka akan semakin memperburuk kualitas dari BPRS itu sendiri.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah penulis lakukan baik dari perspektif fiqh
muamalat maupun dari perspektif penulis sendiri terhadap proses pengajuan
pembiayaan mudharabah untuk sektor pertanian di BPRS Al-Barokah, maka dapat
disimpulkan suatu jawaban dari permasalahan yang ada:
1.Menurut pandangan fiqh muamalat akad mudharabah yang dipraktekkan di BPRS
Al-Barokah adalah mudharabah shahih.
Jadi dari segi praktek mudharabah yang dilakukan antara petani dan
BPRS Al-Barokah sebenarnya tidak ada kesalahan menurut fiqh muamalat. Karena
semuanya sudah sesuai dengan yang penulis temukan di literatur.
2.Untuk aplikasi akad mudharabah untuk sektor pertanian di BPRS Al-Barokah
seperti tertulis berikut ini:
Untuk pembiayaan mudharabah pada sektor pertanian di BPRS Al-
Barokah pernah dilaksanakan pada tahun 2009/2010. Dalam tahun itu ada 7 nasabah
yang mengajukan pembiayaan dengan nilai plafond per-nasabah (non-group) Rp 120
juta sehingga total pendanaan mencapai Rp 840 juta.
Diantara 7 nasabah tersebut ada satu nasabah yang melakukan usaha
pertanian yang disebut agro grow box (bertani dengan menggunakan media kotak).
Peran BPRS disini adalah menyediakan dana untuk membeli peralatan pertanian
seperti pasir, sekam, pupuk, mesin air untuk penyiraman tanaman, dan plastik kaca
untuk menutupi tanaman.
Petani tersebut mencoba menanam beberapa jenis sayuran, padi dan tebu.
Sedangkan untuk memasarkan hasil panennya sipetani memilih supermarket yang
terdapat di Bogor, perlu diketahui disini BPRS tidak ikut serta dalam hal pemasaran,
BPRS hanya membantu nasabah dalam hal pemberian pinjaman dana.
3.Pendapat penulis mengenai mekanisme dan aplikasi pembiayaan mudharabah
untuk sektor pertanian di BPRS Al-Barokah:
Menurut penulis ada yang salah dalam hal aplikasi akad mudharabah itu
sendiri yaitu, BPRS Al-Barokah terlihat tidak begitu hati-hati dalam memberikan
pembiayaan kepada calon nasabah. Itu terbukti dengan tidak semua mekanisme
pengajuan pembiayaan untuk akad mudharabah sama dengan aplikasi akadnya itu
sendiri.
Padahal jika dilihat poin-poin yang ditinggalkan dalam aplikasi akad itu
sendiri adalah poin-poin penting dan krusial seperti:
a.Melengkapi persyaratan; data historis usaha/perusahaan, data proyeksi
usaha/perusahaan dan data jaminan/agunan.
Menurut penulis, untuk mengetahui seperti apa latar belakang dari calon
nasabah yang paling penting dilihat adalah data-data diatas, karena berdasarkan data
diatas akan terlihat apakah calon nasabah layak mendapat pembiayaan atau tidak.
Walaupun sebenarnya alasan BPRS tidak mempraktekkan hal diatas karena sudah
mengenal calon nasabah secara personal ataupun perusahaan dan jumlah pembiayaan
yang diajukan oleh calon nasabah tidak dalam jumlah besar. Tetapi tetap saja itu
adalah sebagai salah satu bentuk ketidak hati-hatian BPRS Al-Barokah dalam
memberikan pembiayaan.
b.Melakukan konfirmasi data/dokumen
Ketika semua data sebagai syarat pengajuan pembiayaan yang diminta
oleh BPRS Al-Barokah sudah dilengkapi oleh calon nasabah, maka langkah
berikutnya adalah tugas bank untuk menganalisis data si calon nasabah tersebut.
Disini BPRS Al-Barokah tidak selalu melakukan konfirmasi atas data/dokumen
tersebut kepada calon nasabah. Menurut penulis, ini seolah membuat calon nasabah
menunggu dalam ketidakpastian, apakah pengajuan pembiayaannya akan diterima
atau ditolak.
c.Analisis kelayakan 5 C
Analisis kelayakan 5 C menurut penulis tidak kalah pentingnya dengan
yang ada di poin (a) diatas, poin (a) adalah tugas calon nasabah untuk melengkapi
datanya sedangkan analisis kelayakan 5 C adalah tugas bank untuk memastikan
apakah calon nasabah layak diberi pembiayaan atau tidak.
Untuk sekedar mengingatkan kembali 5 C adalah:
1. Character atau sifat calon nasabah
2. Capacity atau kemampuan calon nasabah menjalankan usaha
3. Capital atau besarnya modal yang diperlukan
4. Collateral atau jaminan yang dimiliki calon nasabah
5. Condition atau prospek usaha calon nasabah
B. Saran-saran
Berikut adalah beberapa saran penulis terhadap BPRS Al-Barokah:
Dari segi mekanisme pengajuan pembiayaan mudharabah yang dituturkan
oleh staff keuangan BPRS Al-Barokah, menurut penulis semuanya sudah bagus dan
sesuai dengan kelayakan bank dalam memberikan pinjaman. Tetapi ketika ditelusuri
lebih lanjut ternyata terdapat ketidaksesuaian antara mekanisme dengan aplikasi
ketika akad mudharabah akan tercipta.
Untuk BPRS Al-Barokah penulis memberi masukan agar bank hendaknya
terus berhati-hati dalam memberikan pinjaman kepada calon nasabah, dengan alasan
apapun meninggalkan poin-poin penting dalam meloloskan permohonan pembiayaan
nasabah menurut penulis itu bukanlah hal yang baik. Jangan salahkan nasabah jika
dikemudian hari terjadi kredit macet, karena itu merupakan salah satu bentuk
kelalaian bank juga.
Dan agar BPRS Al-Barokah lebih aktif dalam mensosialisasikan akad
mudharabah untuk sektor pertanian kepada masyarakat. Jangan hanya menyerah pada
tahun pertama dipraktekkan akad mudharabah untuk pertanian saja. Karena
bagaimanapun juga negara Indonesia masih menjadi negara agraris yang sebagian
besar masyarakatnya menggantungkan nasib pada lahan pertanian yang mereka
garap.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul Karim.
Amin, Ahmad Riawan, Menata Perbankan Syari’ah di Indonesia, Jakarta: UIN Press,
2009.
Anshori, Abdul Ghofur, Perbankan Syari’ah di Indonesia, Yogyakarta: Gajah Mada
University Press, 2007.
Ascarya, Akad dan Produk Bank Syari’ah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007.
Dzajuli, A, Yadi Janwri, Lembaga-Lembaga Perekonomian Ummat, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002.
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, Jakarta: PT Raja Gafindo Persada,
2002.
Kountur, Rony, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, Jakarta:
Penerbit PPM, 2007.
Lathif, Azharudin, Fiqh Muamalat, Cetekan 1, Jakarta Selatan: UIN Jakarta Press,
2005.
Moleong, Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, Cet ke-22, Bandung: PT. Remaja
Rosda Karya, 2006.
Muhammad, Bank Syari’ah Problem dan Prospek Perbankan di Indonesia,
Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005.
Muhammad, Manajemen Pembiayaan Bank Syari’ah, Yogyakarta: UPP AMP
YKPN, 2005.
Nazir, Muhammad, Metodologi Penelitian, Cet- ke-6, Bogor: Ghalia Indonesia, 2005.
Ridwan, Muhammad, Sistem dan Prosedur Pendirian Baitul Mal wat-Tamwil,
Yogyakarta: Citra Media, 2006.
Rodoni, Ahmad, Abdul Hamid, Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Zikrul Hakim,
2008.
Sekaran, Uma, Metodologi Penelitian Untuk Bisnis, Jakarta: Penerbit Salemba 4,
2006.
Sholahuddin, Muhammad, Lukman Hakim, Lembaga Ekonomi dan Keuangan
Syariah Kontemporer, Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2008.
Suhendi, Hendi, Fiqh Muamalat, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Suma, Muhammad Amin, Menggali Akar Mengurai Serat, Ekonomi dan Keuangan
Islam, Jakarta: Bilik Kholam Publishing, 2008.
Syafe’i, Rahmat, Fiqh Muamalat Untuk IAIN, STAIN, PTAIS, dan Umum, Cetakan II,
Bandung: CV Pustaka Setia, 2004.
Syafi’i Antonio, Muhammad, Bank Syari’ah Wacana Ulama dan Cendekiawan,
Jakarta: BI & Tazkia Institute, 1999.
Syafi’i Antonio, M, dkk, Bank Syariah Analisis Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan
Ancaman, Yogyakarta, 2006.
Sugiono, Metode Penelitian Bisnis, Bandung: CV Alfabeta, 2009.
Sumitro, Warkum, Asas-Asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait,
Jakarta: PT Raja Garafindo Persada, 2004.
Usman, Rahmadi, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia,
Wirdiyaningsih dkk, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2005.