tingkatan kesadaran manusia

Upload: siska-winti-sone

Post on 10-Jul-2015

107 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Tingkatan tingkatan Manusia dalam hal kesadaran adalah : 1. Yang terpenting adalah diri sendiri ! , apapun yang terjadi biarpun orang lain susah , sedih , duka . Orang yang type ini tidak akan terpengaruh asal tidak terusik dirinya dia tidak perduli !! Ini adalah Kesadaran dasar ( Ego ) 2. Mau memberi kalau di beri !! , yang type ini kesadaran tingkat kedua . Dimana orang Type ini sifatnya menunggu orang lain , kalau dia diberi baru dia akan memberi dan sebaliknya kalau tidak diberi diapun tidak akan memberi. 3. Kalau memberi akan mendapat !! , ini kesadaran tingkat Tiga . Mereka berkeyakinan bahwa pemberian mereka akan kembali kepada mereka pula. Ibarat orang beli pasti dapat barang , ibarat orang bekerja pasti dapat upah . Mereka memberi tapi berharap kembali. 4. Yang penting adalah memberi !! , Ini adalah kesadaran tingkat ke Empat , kesadaran inilah yang orang banyak mengenal dengan nama tulus , ikhlas dst. Beliau tidak pernah berfikir dapat apa ? , tapi yang beliau fikirkan adalah apa yang dapat diperbuat ? apa yang dapat dilakukan ? untuk kebaikan semua orang . Tanpa memandang siapa ?, dan kenapa? apa lagi akan mendapat apa ?! Ajaran kejawen sering menyebut kata rasa. Tapi, seringkali disamakan dengan rasa pada makanan atau sensasi ragawi. Setahu saya kalau di wilayah raga biasa disebut hawa, walau terminologi rasa sering dipakai juga. Jadi, apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan rasa? Menurut Ki Ageng Suryomentaram itulah potensi yang relatif sama dalam diri tiap manusia. Beliau menganggap kesadaran manusia pun adalah rasanya. Kebetulan saya mendapati dalam ajaran ilmu jiwa versi jawa ada empat tingkatan kesadaran. Pada prinsipnya saya hanya akan memaparkan pemahaman pribadi saja. Kemungkinan pandangan ini bisa berbeda dengan orang lain yang juga mendalami ajaran-ajaran kawruh jiwa. Seperti biasa bakal disertai bumbu-bumbu sinkretis supaya lebih kuat nuansa kejawennya. Potensi manusia banyak macamnya dan tiap individu unik, punya ciri khas antara satu dengan yang lainnya. Ki Mentaram juga mengakui hal ini dalam sejumlah wejangannya. Menurut saya pandangan beliau juga relatif sama dengan pandangan kejawen pada umumnya, di mana dimensi utama keberadaan manusia ada tiga. Di level terendah Ki Mentaram menyebut kesadaran manusia yang menganggap dirinya sebagai tukang catat. Kesadaran dimensi pertama ini diibaratkan seperti tumbuhtumbuhan, pasif terhadap pengaruh dari luar. Kalau boleh saya istilahkan sendiri sebagai kesadaran inderawi atau nabati. Di level ini manusia hanya menangkap atau mencatat segala sesuatu melalui inderanya. Berhubung cuma bisa mencatat, belum ada penilaian apa-apa mengenai apa yang telah dicatat. Kesadaran di level ini tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Ada yang dari sananya sempurna dan ada yang sejak lahir terdapat kekurangan. Kalaupun semua indera berfungsi, daya tangkapnya juga berbeda-beda. Alhasil, hasil yang ditangkap pastilah tidak sama.

Kesadaran dimensi kedua menurut Ki Mentaram mirip binatang. Saya sebut kesadaran hawa atau hewani saja lah. Di sini manusia menganggap catatan-catatan tersebut (kumpulan informasi) sebagai dirinya. Tiap catatan sudah ada nilainya, meski masih primitif katakanlah. Dengan demikian bisa dibilang bahwa kesadaran hewani ini menjadi tuan dari kesadaran nabati. Seperti halnya seekor hewan, kesadaran ini bersifat reaktif dan belum ada pertimbangan nalar. Kalau diberi makan atau dipupuk bakal semakin kuat, sedangkan bila dibiarkan / tidak diikuti bisa mati. Hewan hanya bertindak alami, berkelahi atau lari kalau merasa diri atau catatan-catatannya diganggu. Sepertinya kesadaran level ini sudah relatif sama bagi tiap manusia. Masalahnya, ini adalah kesadaran hewani, sedangkan manusia konon derajatnya lebih tinggi dari hewan. Meski begitu, kesadaran hewani sudah bisa bereaksi terhadap sensasi yang didapat dari inderanya. Biasanya disebut hawa nafsu. Kalau dari blog Sufi Muda saya mendapati bahwa hawa dan nafsu ternyata dua hal yang berbeda. Hawa artinya kesenangan, sedangkan nafsu atau nafs artinya ego. Mungkin ini yang dimaksud pandangan kejawen (yang tidak populer) soal hawa dan kula (aku sing ala / aku yang buruk). Selanjutnya ada kesadaran dimensi ketiga, yang menganggap Kramadangsa (identitas diri) sebagai dirinya. Identitas tersebut bisa nama, etnis, ataupun pendikan yang pernah ditanamkan orang lain, termasuk orang tua. Maksudnya tak lain adalah pikiran kita. Di dalamnya terdapat catatan-catatan (data) maupun perangkat untuk memrosesnya (analisis). Menurut ajaran kejawen mazhab saya sih, pikiran manusia hanyalah sebuah perangkat. Dia memang punya kemampuan menyimpan data sekaligus memrosesnya, tetapi tidak bakal bekerja tanpa adanya sebuah kehendak sebagai motor penggerak. Kalau disebut sebuah kesadaran, pikiran adalah sebuah kesadaran yang mendua, tergantung kehendak mana yang diikutinya. Standarnya tiap manusia [katanya] berada dalam kondisi seperti ini. Selalu berada dalam konflik abadi antara dua kepentingan yang berbeda pandangan. Dalam kesadaran ini manusia sudah memiliki rasa, tetapi umumnya masih bercampur antara rasa dari alam jiwa dengan hawa (rasa ragawi). Lalu, menurut guru saya, idealnya manusia menjadikan pikiran sebagai tuan bagi raganya. Bila ada permohonan dari sang hamba (raga), merasa lapar misalnya, pikiranlah yang sebaiknya mengatur tentang kapan, seberapa, dari mana, dan apa yang bakal dimakan. Namun, hal itu belum tentu terjadi dengan sendirinya lantaran pikiran bisa saja berbalik menghamba kepada kehendak raga. Pikiran sepertinya cenderung ambigu dan berat sebelah. Dia bisa terjebak mengikuti hawa dan menggunakan kemampuan analisisnya untuk mewujudkan kehendak raga tersebut menjadi nyata. Manusia kemudian menjadi sangat reaktif bila merasa terganggu atau isilahnya impulsif barangkali. Belum lagi ada kemungkinan data yang disimpan sudah terdistorsi, rusak, tidak akurat, kurang lengkap, dsb. Akibatnya, dalam menganalisis data sesuai permintaan hawa, pikiran lalu dipaksa menyumpal kekurangan data yang ada. Lha, akhirnya data yang digunakan adalah asumsi, yang bisa diberi arti asal sumpal supaya terisi. Kesimpulan yang dihasilkan sepertinya bisa membahayakan akibat kualitas sumpalan

mungkin cenderung asal-asalan dan bisa pula dijejali unsur ketakutan, kemarahan, kebencian, dll. Solusinya menurut kejawen, pikiran hendaknya juga menghamba, tetapi kepada kehendak lebih tinggi yang disebut rasa tadi. Salah satu metode yang umum dipakai adalah dengan menyingkirkan pengaruh hawa untuk sementara waktu. Menurut abang saya, dalam cerita pewayangan ada fragmen di mana Arjuna menjadi pertapa lantaran stres memikirkan perilaku Kurawa. Di situ dia berganti nama menjadi Begawan Ciptaning. Kata ciptaning artinya cipta ingkang hening (cipta / pikiran yang hening). Katanya, dalam keheningan itulah terjadi dialong antara Arjuna dengan Sri Kresna tentang ilmu kesempurnaan hidup. Jadi, menurut ajaran kejawen mengheningkan (bukan kosong) cipta adalah cara untuk memasuki realitas sesungguhnya alam jiwa, mendekati kesadaran rasa. Katanya pula, di alam jiwa ada sebuah ruang yang biasanya disebut [lentera] hati (simbol) atau kalbu. Kata kalbu sendiri dalam bahasa kejawen sering diartikan kalam sing wis mlebu (kalam yang sudah masuk). Isinya [kayaknya sih] adalah pantulan cahaya yang berpendar, tidak seperti cahaya aslinya dari dimensi yang lebih tinggi. Jadi, rasa di sini ada beberapa atau bercabang. Mungkin dari situ muncul istilah pangrahsa, yang berasal dari kata pang (ranting / cabang) dan rahsa. Nah, di sinilah letaknya kehendak yang dianggap lebih kompeten memimpin atau menjadi tuan bagi pikiran manusia. Melalui eksplorasi atau olah rasa ini seseorang bisa mendapat berbagai jawaban yang disebut panemu (apa yang sudah ketemu). Panemu itu bisa dimasukkan pula ke dalam pikiran untuk menambah kekayaan data. Bedanya dengan data dari alam raga, [mungkin] apa yang diperoleh di sini sifatnya lebih murni atau bebas distorsi. Namun, target sesungguhnya dari olah rasa sebenarnya supaya manusia tidak lagi menganggap rasa sebagai sekadar pengetahuan, tetapi kalau bisa menjelma menjadi rasa tersebut. Meski begitu, rasa di alam jiwa tadi bukanlah kesadaran manusia sesungguhnya atau biasa disebut diri sejati. Di level keempat ini, menurut Ki Mentaram, manusia menyadari bahwa diri yang sesungguhnya bukan Kramadangsa, tetapi seorang Pengawas atau biasa disebut diri atau rasa sejati. Secara teori, setelah menyadari bahwa dirinya bukanlah kumpulan catatan-catatan dan pikiran, maka manusia menjadi sadar bahwa dia sejatinya adalah kesadaran sukma, rohani, atau saya sebut saja kesadaran ilahi. Di sini manusia katanya bisa mencapai derajat universal. Diri sejati menurut beliau adalah rasa bahagia, tapi sebagian mungkin menyebutnya rasa damai, sejahtera, suka cita, cinta, dsb. Sepertinya semua istilah tersebut mengacu pada hal yang sama, yaitu rasa / diri sejati. Manusia yang telah mencapai tahap ini, lalu mengeksporasinya, [mungkin] layak disebut sebagai rohaniawan. Ajaran kejawen sering menyebut kata rasa. Tapi, seringkali disamakan dengan rasa pada makanan atau sensasi ragawi. Setahu saya kalau di wilayah raga biasa disebut hawa, walau terminologi rasa sering dipakai juga. Jadi, apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan rasa? Menurut Ki Ageng Suryomentaram itulah potensi yang relatif sama dalam diri tiap manusia. Beliau menganggap kesadaran manusia pun adalah rasanya. Kebetulan saya mendapati dalam ajaran ilmu jiwa versi jawa ada empat tingkatan kesadaran.

Pada prinsipnya saya hanya akan memaparkan pemahaman pribadi saja. Kemungkinan pandangan ini bisa berbeda dengan orang lain yang juga mendalami ajaran-ajaran kawruh jiwa. Seperti biasa bakal disertai bumbu-bumbu sinkretis supaya lebih kuat nuansa kejawennya. Potensi manusia banyak macamnya dan tiap individu unik, punya ciri khas antara satu dengan yang lainnya. Ki Mentaram juga mengakui hal ini dalam sejumlah wejangannya. Menurut saya pandangan beliau juga relatif sama dengan pandangan kejawen pada umumnya, di mana dimensi utama keberadaan manusia ada tiga. Di level terendah Ki Mentaram menyebut kesadaran manusia yang menganggap dirinya sebagai tukang catat. Kesadaran dimensi pertama ini diibaratkan seperti tumbuhtumbuhan, pasif terhadap pengaruh dari luar. Kalau boleh saya istilahkan sendiri sebagai kesadaran inderawi atau nabati. Di level ini manusia hanya menangkap atau mencatat segala sesuatu melalui inderanya. Berhubung cuma bisa mencatat, belum ada penilaian apa-apa mengenai apa yang telah dicatat. Kesadaran di level ini tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Ada yang dari sananya sempurna dan ada yang sejak lahir terdapat kekurangan. Kalaupun semua indera berfungsi, daya tangkapnya juga berbeda-beda. Alhasil, hasil yang ditangkap pastilah tidak sama. Kesadaran dimensi kedua menurut Ki Mentaram mirip binatang. Saya sebut kesadaran hawa atau hewani saja lah. Di sini manusia menganggap catatan-catatan tersebut (kumpulan informasi) sebagai dirinya. Tiap catatan sudah ada nilainya, meski masih primitif katakanlah. Dengan demikian bisa dibilang bahwa kesadaran hewani ini menjadi tuan dari kesadaran nabati. Seperti halnya seekor hewan, kesadaran ini bersifat reaktif dan belum ada pertimbangan nalar. Kalau diberi makan atau dipupuk bakal semakin kuat, sedangkan bila dibiarkan / tidak diikuti bisa mati. Hewan hanya bertindak alami, berkelahi atau lari kalau merasa diri atau catatan-catatannya diganggu. Sepertinya kesadaran level ini sudah relatif sama bagi tiap manusia. Masalahnya, ini adalah kesadaran hewani, sedangkan manusia konon derajatnya lebih tinggi dari hewan. Meski begitu, kesadaran hewani sudah bisa bereaksi terhadap sensasi yang didapat dari inderanya. Biasanya disebut hawa nafsu. Kalau dari blog Sufi Muda saya mendapati bahwa hawa dan nafsu ternyata dua hal yang berbeda. Hawa artinya kesenangan, sedangkan nafsu atau nafs artinya ego. Mungkin ini yang dimaksud pandangan kejawen (yang tidak populer) soal hawa dan kula (aku sing ala / aku yang buruk). Selanjutnya ada kesadaran dimensi ketiga, yang menganggap Kramadangsa (identitas diri) sebagai dirinya. Identitas tersebut bisa nama, etnis, ataupun pendikan yang pernah ditanamkan orang lain, termasuk orang tua. Maksudnya tak lain adalah pikiran kita. Di dalamnya terdapat catatan-catatan (data) maupun perangkat untuk memrosesnya (analisis).

Menurut ajaran kejawen mazhab saya sih, pikiran manusia hanyalah sebuah perangkat. Dia memang punya kemampuan menyimpan data sekaligus memrosesnya, tetapi tidak bakal bekerja tanpa adanya sebuah kehendak sebagai motor penggerak. Kalau disebut sebuah kesadaran, pikiran adalah sebuah kesadaran yang mendua, tergantung kehendak mana yang diikutinya. Standarnya tiap manusia [katanya] berada dalam kondisi seperti ini. Selalu berada dalam konflik abadi antara dua kepentingan yang berbeda pandangan. Dalam kesadaran ini manusia sudah memiliki rasa, tetapi umumnya masih bercampur antara rasa dari alam jiwa dengan hawa (rasa ragawi). Lalu, menurut guru saya, idealnya manusia menjadikan pikiran sebagai tuan bagi raganya. Bila ada permohonan dari sang hamba (raga), merasa lapar misalnya, pikiranlah yang sebaiknya mengatur tentang kapan, seberapa, dari mana, dan apa yang bakal dimakan. Namun, hal itu belum tentu terjadi dengan sendirinya lantaran pikiran bisa saja berbalik menghamba kepada kehendak raga. Pikiran sepertinya cenderung ambigu dan berat sebelah. Dia bisa terjebak mengikuti hawa dan menggunakan kemampuan analisisnya untuk mewujudkan kehendak raga tersebut menjadi nyata. Manusia kemudian menjadi sangat reaktif bila merasa terganggu atau isilahnya impulsif barangkali. Belum lagi ada kemungkinan data yang disimpan sudah terdistorsi, rusak, tidak akurat, kurang lengkap, dsb. Akibatnya, dalam menganalisis data sesuai permintaan hawa, pikiran lalu dipaksa menyumpal kekurangan data yang ada. Lha, akhirnya data yang digunakan adalah asumsi, yang bisa diberi arti asal sumpal supaya terisi. Kesimpulan yang dihasilkan sepertinya bisa membahayakan akibat kualitas sumpalan mungkin cenderung asal-asalan dan bisa pula dijejali unsur ketakutan, kemarahan, kebencian, dll. Solusinya menurut kejawen, pikiran hendaknya juga menghamba, tetapi kepada kehendak lebih tinggi yang disebut rasa tadi. Salah satu metode yang umum dipakai adalah dengan menyingkirkan pengaruh hawa untuk sementara waktu. Menurut abang saya, dalam cerita pewayangan ada fragmen di mana Arjuna menjadi pertapa lantaran stres memikirkan perilaku Kurawa. Di situ dia berganti nama menjadi Begawan Ciptaning. Kata ciptaning artinya cipta ingkang hening (cipta / pikiran yang hening). Katanya, dalam keheningan itulah terjadi dialong antara Arjuna dengan Sri Kresna tentang ilmu kesempurnaan hidup. Jadi, menurut ajaran kejawen mengheningkan (bukan kosong) cipta adalah cara untuk memasuki realitas sesungguhnya alam jiwa, mendekati kesadaran rasa. Katanya pula, di alam jiwa ada sebuah ruang yang biasanya disebut [lentera] hati (simbol) atau kalbu. Kata kalbu sendiri dalam bahasa kejawen sering diartikan kalam sing wis mlebu (kalam yang sudah masuk). Isinya [kayaknya sih] adalah pantulan cahaya yang berpendar, tidak seperti cahaya aslinya dari dimensi yang lebih tinggi. Jadi, rasa di sini ada beberapa atau bercabang. Mungkin dari situ muncul istilah pangrahsa, yang berasal dari kata pang (ranting / cabang) dan rahsa. Nah, di sinilah letaknya kehendak yang dianggap lebih kompeten memimpin atau menjadi tuan bagi pikiran manusia. Melalui eksplorasi atau olah rasa ini seseorang bisa mendapat berbagai jawaban yang disebut panemu (apa yang sudah ketemu). Panemu itu bisa dimasukkan pula ke

dalam pikiran untuk menambah kekayaan data. Bedanya dengan data dari alam raga, [mungkin] apa yang diperoleh di sini sifatnya lebih murni atau bebas distorsi. Namun, target sesungguhnya dari olah rasa sebenarnya supaya manusia tidak lagi menganggap rasa sebagai sekadar pengetahuan, tetapi kalau bisa menjelma menjadi rasa tersebut. Meski begitu, rasa di alam jiwa tadi bukanlah kesadaran manusia sesungguhnya atau biasa disebut diri sejati. Di level keempat ini, menurut Ki Mentaram, manusia menyadari bahwa diri yang sesungguhnya bukan Kramadangsa, tetapi seorang Pengawas atau biasa disebut diri atau rasa sejati. Secara teori, setelah menyadari bahwa dirinya bukanlah kumpulan catatan-catatan dan pikiran, maka manusia menjadi sadar bahwa dia sejatinya adalah kesadaran sukma, rohani, atau saya sebut saja kesadaran ilahi. Di sini manusia katanya bisa mencapai derajat universal. Diri sejati menurut beliau adalah rasa bahagia, tapi sebagian mungkin menyebutnya rasa damai, sejahtera, suka cita, cinta, dsb. Sepertinya semua istilah tersebut mengacu pada hal yang sama, yaitu rasa / diri sejati. Manusia yang telah mencapai tahap ini, lalu mengeksporasinya, [mungkin] layak disebut sebagai rohaniawan. Ajaran kejawen sering menyebut kata rasa. Tapi, seringkali disamakan dengan rasa pada makanan atau sensasi ragawi. Setahu saya kalau di wilayah raga biasa disebut hawa, walau terminologi rasa sering dipakai juga. Jadi, apa yang sebenarnya yang dimaksud dengan rasa? Menurut Ki Ageng Suryomentaram itulah potensi yang relatif sama dalam diri tiap manusia. Beliau menganggap kesadaran manusia pun adalah rasanya. Kebetulan saya mendapati dalam ajaran ilmu jiwa versi jawa ada empat tingkatan kesadaran. Pada prinsipnya saya hanya akan memaparkan pemahaman pribadi saja. Kemungkinan pandangan ini bisa berbeda dengan orang lain yang juga mendalami ajaran-ajaran kawruh jiwa. Seperti biasa bakal disertai bumbu-bumbu sinkretis supaya lebih kuat nuansa kejawennya. Potensi manusia banyak macamnya dan tiap individu unik, punya ciri khas antara satu dengan yang lainnya. Ki Mentaram juga mengakui hal ini dalam sejumlah wejangannya. Menurut saya pandangan beliau juga relatif sama dengan pandangan kejawen pada umumnya, di mana dimensi utama keberadaan manusia ada tiga. Di level terendah Ki Mentaram menyebut kesadaran manusia yang menganggap dirinya sebagai tukang catat. Kesadaran dimensi pertama ini diibaratkan seperti tumbuhtumbuhan, pasif terhadap pengaruh dari luar. Kalau boleh saya istilahkan sendiri sebagai kesadaran inderawi atau nabati. Di level ini manusia hanya menangkap atau mencatat segala sesuatu melalui inderanya. Berhubung cuma bisa mencatat, belum ada penilaian apa-apa mengenai apa yang telah dicatat. Kesadaran di level ini tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Ada yang dari sananya sempurna dan ada yang sejak lahir terdapat kekurangan. Kalaupun semua indera berfungsi, daya tangkapnya juga berbeda-beda. Alhasil, hasil yang ditangkap pastilah tidak sama.

Kesadaran dimensi kedua menurut Ki Mentaram mirip binatang. Saya sebut kesadaran hawa atau hewani saja lah. Di sini manusia menganggap catatan-catatan tersebut (kumpulan informasi) sebagai dirinya. Tiap catatan sudah ada nilainya, meski masih primitif katakanlah. Dengan demikian bisa dibilang bahwa kesadaran hewani ini menjadi tuan dari kesadaran nabati. Seperti halnya seekor hewan, kesadaran ini bersifat reaktif dan belum ada pertimbangan nalar. Kalau diberi makan atau dipupuk bakal semakin kuat, sedangkan bila dibiarkan / tidak diikuti bisa mati. Hewan hanya bertindak alami, berkelahi atau lari kalau merasa diri atau catatan-catatannya diganggu. Sepertinya kesadaran level ini sudah relatif sama bagi tiap manusia. Masalahnya, ini adalah kesadaran hewani, sedangkan manusia konon derajatnya lebih tinggi dari hewan. Meski begitu, kesadaran hewani sudah bisa bereaksi terhadap sensasi yang didapat dari inderanya. Biasanya disebut hawa nafsu. Kalau dari blog Sufi Muda saya mendapati bahwa hawa dan nafsu ternyata dua hal yang berbeda. Hawa artinya kesenangan, sedangkan nafsu atau nafs artinya ego. Mungkin ini yang dimaksud pandangan kejawen (yang tidak populer) soal hawa dan kula (aku sing ala / aku yang buruk). Selanjutnya ada kesadaran dimensi ketiga, yang menganggap Kramadangsa (identitas diri) sebagai dirinya. Identitas tersebut bisa nama, etnis, ataupun pendikan yang pernah ditanamkan orang lain, termasuk orang tua. Maksudnya tak lain adalah pikiran kita. Di dalamnya terdapat catatan-catatan (data) maupun perangkat untuk memrosesnya (analisis). Menurut ajaran kejawen mazhab saya sih, pikiran manusia hanyalah sebuah perangkat. Dia memang punya kemampuan menyimpan data sekaligus memrosesnya, tetapi tidak bakal bekerja tanpa adanya sebuah kehendak sebagai motor penggerak. Kalau disebut sebuah kesadaran, pikiran adalah sebuah kesadaran yang mendua, tergantung kehendak mana yang diikutinya. Standarnya tiap manusia [katanya] berada dalam kondisi seperti ini. Selalu berada dalam konflik abadi antara dua kepentingan yang berbeda pandangan. Dalam kesadaran ini manusia sudah memiliki rasa, tetapi umumnya masih bercampur antara rasa dari alam jiwa dengan hawa (rasa ragawi). Lalu, menurut guru saya, idealnya manusia menjadikan pikiran sebagai tuan bagi raganya. Bila ada permohonan dari sang hamba (raga), merasa lapar misalnya, pikiranlah yang sebaiknya mengatur tentang kapan, seberapa, dari mana, dan apa yang bakal dimakan. Namun, hal itu belum tentu terjadi dengan sendirinya lantaran pikiran bisa saja berbalik menghamba kepada kehendak raga. Pikiran sepertinya cenderung ambigu dan berat sebelah. Dia bisa terjebak mengikuti hawa dan menggunakan kemampuan analisisnya untuk mewujudkan kehendak raga tersebut menjadi nyata. Manusia kemudian menjadi sangat reaktif bila merasa terganggu atau isilahnya impulsif barangkali. Belum lagi ada kemungkinan data yang disimpan sudah terdistorsi, rusak, tidak akurat, kurang lengkap, dsb. Akibatnya, dalam menganalisis data sesuai permintaan hawa, pikiran lalu dipaksa menyumpal kekurangan data yang ada. Lha, akhirnya data yang digunakan adalah asumsi, yang bisa diberi arti asal sumpal supaya terisi. Kesimpulan yang dihasilkan sepertinya bisa membahayakan akibat kualitas sumpalan

mungkin cenderung asal-asalan dan bisa pula dijejali unsur ketakutan, kemarahan, kebencian, dll. Solusinya menurut kejawen, pikiran hendaknya juga menghamba, tetapi kepada kehendak lebih tinggi yang disebut rasa tadi. Salah satu metode yang umum dipakai adalah dengan menyingkirkan pengaruh hawa untuk sementara waktu. Menurut abang saya, dalam cerita pewayangan ada fragmen di mana Arjuna menjadi pertapa lantaran stres memikirkan perilaku Kurawa. Di situ dia berganti nama menjadi Begawan Ciptaning. Kata ciptaning artinya cipta ingkang hening (cipta / pikiran yang hening). Katanya, dalam keheningan itulah terjadi dialong antara Arjuna dengan Sri Kresna tentang ilmu kesempurnaan hidup. Jadi, menurut ajaran kejawen mengheningkan (bukan kosong) cipta adalah cara untuk memasuki realitas sesungguhnya alam jiwa, mendekati kesadaran rasa. Katanya pula, di alam jiwa ada sebuah ruang yang biasanya disebut [lentera] hati (simbol) atau kalbu. Kata kalbu sendiri dalam bahasa kejawen sering diartikan kalam sing wis mlebu (kalam yang sudah masuk). Isinya [kayaknya sih] adalah pantulan cahaya yang berpendar, tidak seperti cahaya aslinya dari dimensi yang lebih tinggi. Jadi, rasa di sini ada beberapa atau bercabang. Mungkin dari situ muncul istilah pangrahsa, yang berasal dari kata pang (ranting / cabang) dan rahsa. Nah, di sinilah letaknya kehendak yang dianggap lebih kompeten memimpin atau menjadi tuan bagi pikiran manusia. Melalui eksplorasi atau olah rasa ini seseorang bisa mendapat berbagai jawaban yang disebut panemu (apa yang sudah ketemu). Panemu itu bisa dimasukkan pula ke dalam pikiran untuk menambah kekayaan data. Bedanya dengan data dari alam raga, [mungkin] apa yang diperoleh di sini sifatnya lebih murni atau bebas distorsi. Namun, target sesungguhnya dari olah rasa sebenarnya supaya manusia tidak lagi menganggap rasa sebagai sekadar pengetahuan, tetapi kalau bisa menjelma menjadi rasa tersebut. Meski begitu, rasa di alam jiwa tadi bukanlah kesadaran manusia sesungguhnya atau biasa disebut diri sejati. Di level keempat ini, menurut Ki Mentaram, manusia menyadari bahwa diri yang sesungguhnya bukan Kramadangsa, tetapi seorang Pengawas atau biasa disebut diri atau rasa sejati. Secara teori, setelah menyadari bahwa dirinya bukanlah kumpulan catatan-catatan dan pikiran, maka manusia menjadi sadar bahwa dia sejatinya adalah kesadaran sukma, rohani, atau saya sebut saja kesadaran ilahi. Di sini manusia katanya bisa mencapai derajat universal. Diri sejati menurut beliau adalah rasa bahagia, tapi sebagian mungkin menyebutnya rasa damai, sejahtera, suka cita, cinta, dsb. Sepertinya semua istilah tersebut mengacu pada hal yang sama, yaitu rasa / diri sejati. Manusia yang telah mencapai tahap ini, lalu mengeksporasinya, [mungkin] layak disebut sebagai rohaniawan. Tentang suhu 1. Panas tubuh, pada saat tubuh inti mencapai 42 C paparan panas yang terlalu kuat sudah tidak bisa ditoleransi lagi. 2. Air dingin, dilaut yang bersuhu 4 C Anda hanya dapat bertahan hidup sampai 30 Menit

3. Maksimum manusia bisa berada pada Udara Panas maksimum 150 C *dengan pelindung ala kadarnya*, ditengah kebakaran orang dewasa bisa bertahan sampai dengan 10 menit dan anak-anak tidak akan tahan hidup pada suhu 50 C. Kesadaran Manusia 1. Pada ketinggian 4.500 m, orang biasa akan kehilangan kesadaran tetapi penduduk yang terbiasa bermukin didaerah tersebut tidak. 2. Batas maksimum menyelam 86 M, Tanpa peralatan manusia biasanya kehilangan kesadaran dalam waktu tak sampai dua menit atau saat dikedalaman lebih dari 18 M. 3. Kekurangan Oksigen, Manusia normal akan pingsan sebelum 2 Menit tetapi jika Anda membiasakan berlatih maksimum menahan nafas biasanya hanya sampai 11 Menit.