tingkat superovulasi pada beberapa bangsa sapi … · riwayat hidup penulis dilahirkan pada tanggal...
TRANSCRIPT
TINGKAT SUPEROVULASI PADA BEBERAPA BANGSA SAPI
DENGAN SUMBER FOLLICLE STIMULATING HORMONE
(FSH) YANG BERBEDA
SKRIPSI
DHEDY PRASETYO
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
RINGKASAN
DHEDY PRASETYO D14054326. Tingkat Superovulasi pada Beberapa Bangsa
Sapi dengan Sumber Follicle Stimulating Hormone (FSH) yang Berbeda. Skripsi.
Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.
Pembimbing Anggota : Muhammad Imron, S.Pt. M.Si.
Permintaan daging dan susu sapi akan terus meningkat seiring dengan
pertumbuhan penduduk. Namun peningkatan tersebut tidak sebanding dengan
perkembangan populasi sapi potong dan sapi perah. Upaya peningkatan populasi
ternak khususnya ternak sapi dapat dilakukan dengan mengembangkan bioteknologi
di bidang peternakan yang salah satunya adalah sistem transfer embrio. Penelitian ini
bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemberian variasi sumber Follicle
Stimulating Hormone (FSH) terhadap tingkat superovulasi pada beberapa bangsa
sapi yang meliputi Response Rate, total Corpus Luteum (CL), total embrio dan ovum
terkoleksi serta Recovery Rate.
Penelitian ini telah dilaksanakan selama tiga bulan, yaitu mulai bulan April
2011 hingga bulan Juni 2011. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Balai Embrio
Ternak (BET) yang terletak di Desa Cipelang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten
Bogor. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder produksi embrio
yang diperoleh dari BET Cipelang. Data tersebut berupa catatan produksi embrio
secara in vivo selama tahun 2009 sampai tahun 2010. Data tersebut meliputi semen
yang digunakan, FSH yang digunakan dalam superovulasi, jumlah CL, jumlah
embrio grade A, B, C, D, dan ovum tidak dibuahi atau Unfertilized (UF). Ternak sapi
donor yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 90 ekor sapi, terdiri atas 29
ekor sapi Friesian Holstein (FH), 23 ekor sapi Simmental, 27 ekor sapi Limmousin
dan 11 sapi Angus. Data yang didapatkan diolah dengan metode Rancangan Acak
Lengkap (RAL) pola faktorial 3x4 dengan 2 faktor yaitu sumber FSH (Folltropin-V,
Opti-Stim dan Ovagen) dan bangsa sapi (FH, Simmental, Limousin dan Angus).
Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa bangsa sapi memberikan
pengaruh nyata (p<0,05) terhadap Response Rate, total CL dan total embrio dan
ovum terkoleksi serta Recovery Rate. Sumber FSH tidak berpengaruh nyata pada
Response Rate, total CL, rasio dari CL, total embrio dan Recovery Rate.
Kata-kata kunci : superovulasi, transfer embrio, bangsa sapi.
ii
ABSTRACT
Superovulation Level in Some Cattle Breeds with Different Source of Follicle
Stimulating Hormone (FSH)
Prasetyo, D., C. Sumantri, and M. Imron
Demand for beef and milk will continue to increase along with population
growth. But the increases of demand are not proportional to the population growth of
beef and dairy cattle. Attempt to improve livestock population especially cattle
population can be done by developing biotechnology of animal science such embryo
transfer system. This study aimed to evaluate the effects of variations source Follicle
Stimulating Hormone (FSH) to superovulation in cattle which includes Response
Rate, total of Corpus Luteum (CL), CL ratio, total of embryos and Recovery Rate.
This research has been carried out for three months, from April 2011 to June
2011. Research conducted at the Balai Embrio Ternak (BET) Laboratory located in
the Cipelang Village, Cijeruk district, Bogor. The research was conducted using data
of embryos production obtained from BET Cipelang. The data contains in vivo
embryo production during 2009 to 2010. The data include semen used, FSH used in
superovulation, total of CL, total of embryos grade A, B, C, D, and Unfertilized
(UF). Ninety cows were used in the research, consisting of twenty-nine Holstein
Friesian (HF), twenty-three Simmental, twenty-seven Limousin and eleven Angus.
The data obtained is processed by the method of Randomized Block Design (RBD)
factorial 3x5 pattern with 2 factors consist FSH source (Folltropin-V, Opti-Stim and
Ovagen) and cattle breeds (HF, Simmental, Limousin and Angus).
Based on the research, data showed that breeds of cattle gives significantly
effect (p<0,05) to the Response Rate, Recovery Rate, total of CL and total of embryo
and ovum collected. The source of FSH didn’t gives significantly effect on Response
Rate, total of CL, ratio of CL, total of embryos and Recovery Rate.
Keywords : superovulation, embryo transfer, cattle breeds.
iii
TINGKAT SUPEROVULASI PADA BEBERAPA BANGSA SAPI
DENGAN SUMBER FOLLICLE STIMULATING HORMONE
(FSH) YANG BERBEDA
DHEDY PRASETYO
D14054326
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
iv
v
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 29 Mei 1987 di Gresik, Jawa Timur. Penulis
adalah anak pertama dari pasangan Bapak Mat Sari dan Ibu Suciyanti. Pendidikan di
Taman Kanak-kanak diselesaikan pada tahun 1993 di TK Dharma Wanita Petrokimia
Gresik. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1999 di SDN 1 Kebomas, Gresik.
Pendidikan lanjutan menengah pertama diselesaikan pada tahun 2002 di SMPN 4
Gresik dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada tahun 2005 di
SMAN 1 Gresik, Jawa Timur.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama, Institut
Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada
tahun 2005. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Departemen Ilmu Produksi
dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor pada tahun
2006. Selama mengikuti pendidikan di Institut Pertanian Bogor, Penulis pernah aktif
di Himpunan Mahasiswa Surabaya dan Badan Esekutif Mahasiswa Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan, hidayah
dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan studi hingga tugas akhir
penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada
Nabi Muhammad SAW.
Skripsi dengan judul “Tingkat Superovulasi pada Beberapa Bangsa Sapi
dengan Sumber Follicle Stimulating Homone (FSH) yang Berbeda” ini disusun
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti
pengaruh pemberian variasi sumber FSH terhadap tingkat superovulasi pada berbagai
bangsa sapi yang meliputi respon superovulasi, jumlah CL, jumlah total embrio dan
ovum terkoleksi dan Recovery Rate, yang dapat dijadikan sebagai acuan pemberian
FSH yang tepat dalam program superovulasi.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh
dari kata sempurna, oleh sebab itu Penulis memohon maaf apabila terdapat banyak
kekurangan. Ucapan terima kasih tidak lupa Penulis sampaikan kepada semua pihak
yang turut membantu penyusunan skripsi ini, hanya Allah Yang Maha Pemurah dan
Penyayang yang akan membalasnya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi dunia
pendidikan dan memberikan sumbangan yang berarti bagi kemajuan dunia
peternakan di Indonesia. Amin.
Bogor, Januari 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
RINGKASAN ................................................................................................ i
ABSTRACT ................................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iv
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ v
KATA PENGANTAR ................................................................................... vi
DAFTAR ISI .................................................................................................. 3 vii
DAFTAR TABEL .......................................................................................... 5 ix
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... 5 x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. 5 xi
PENDAHULUAN ......................................................................................... 5 1
Latar Belakang ................................................................................... 6 1
Tujuan ................................................................................................ 5 1
Manfaat ............................................................................................... 2
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 4 3
Siklus Estrus Sapi Betina .................................................................... 3 3
Folikulogenesis ................................................................................... 3
Follicle Stimulating Hormone (FSH) ................................................. 5
Seleksi Betina Donor .......................................................................... 6
Sinkronisasi Estrus ............................................................................. 7
Superovulasi ....................................................................................... 4 7
Inseminasi Buatan ............................................................................... 8
Koleksi Embrio .................................................................................. 9
Corpus Luteum (CL) .......................................................................... 5 12
Klasifikasi Embrio .............................................................................. 5 12
Transfer Embrio ................................................................................. 5 13
METODE ....................................................................................................... 11 15
Lokasi dan Waktu .............................................................................. 11 15
Materi ................................................................................................. 12 15
Prosedur ............................................................................................. 15 17
Pengumpulan Data ................................................................. 11 17
Peubah yang Diamati ............................................................. 17
Analisis Data .......................................................................... 17
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 20
Keadaan Umum Lokasi Penelitian ..................................................... 11 20
Respon Sapi Terhadap Superovulasi .................................................. 12 20
viii
Tingkat Ovulasi .................................................................................. 21
Produksi Embrio ................................................................................. 23
Recovery Rate .................................................................................... 28 25
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 27
Kesimpulan ........................................................................................ 11 27
Saran ................................................................................................... 28 27
UCAPAN TERIMAKASIH ........................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 29
LAMPIRAN ................................................................................................... 32
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Tahap Perkembangan Embrio ........................................................................................ 11
2 Kualitas Embrio ............................................................................................................ 13
3 Respon Sapi Terhadap Superovulasi ............................................................................. 21
4 Persentase Corpus Luteum Hasil Superovulasi .............................................................. 22
5 Rataan Corpus Luteum Hasil Superovulasi .................................................................... 23
6 Rataan Jumlah Embrio dan Ovum Terkoleksi ................................................................ 24
7 Recovery Rate Hasil Superovulasi .................................................................................. 25
2
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Tahap Perkembangan Embrio.....................................…………………….. 10
2. (a) FH (b) Simmental (c) Limousin (d) Angus............…………………….. 15
3. (a) Folltropin-V (b) Ovagen (c) Optistim...................................................... 16
4. (a) Luar Kandang (b) Dalam Kandang ........................................................ 20
3
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Analisis Sidik Ragam Respon Sapi Terhadap Superovulasi................... 33
2. Uji t-Student Jumlah Corpus Luteum (CL) pada Ovarium Kanan dan
Kiri ………………………………………………..................................
33
3. Analisis Sidik Ragam Jumlah Corpus Luteum Hasil Superovulasi........ 34
4. Analisis Sidik Ragam Jumlah Embrio dan Ovum Hasil Superovulasi.... 35
5. Analisis Sidik Ragam Recovery Rate...................................................... 36
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Permintaan daging dan susu sapi akan terus meningkat seiring dengan
pertumbuhan penduduk dan peningkatan kesejahteran masyarakat. Kesadaran
masyarakat akan pentingnya protein hewani juga menjadi penyebab peningkatan
permintaan daging dan susu sapi. Namun peningkatan tersebut tidak sebanding
dengan perkembangan populasi sapi potong dan sapi perah. Saat ini terdapat
kecenderungan yang menunjukkan semakin lebarnya kesenjangan antara laju
permintaan dan laju penawaran. Permasalahan utama di dalam upaya pemenuhan
kebutuhan protein hewani nasional adalah ketidakmampuan sektor produksi
domestik untuk mengimbangi laju pertumbuhan konsumsi.
Upaya peningkatan populasi ternak khususnya ternak sapi dapat dilakukan
dengan mengembangkan bioteknologi di bidang peternakan yang salah satu
diantaranya adalah sistem transfer embrio. Transfer embrio merupakan suatu metode
perkawinan yang dilakukan dengan cara memproduksi banyak embrio pada seekor
betina unggul, kemudian diimplantasikan pada banyak resipien sampai anak tersebut
dilahirkan. Ternak sapi merupakan hewan monotokus, sehingga untuk memperoleh
sejumlah embrio yang memadai untuk ditransfer ke resipien perlu dilakukan
superovulasi pada sapi donor.
Superovulasi bertujuan memperbanyak oosit yang diovulasikan dengan
menggunakan hormon gonadotropin eksogen seperti Follicle Stimulating Hormone
(FSH) dengan cara penyuntikan hormon secara terus-menerus selama empat hari
dengan dosis menurun. Pemberian hormon tersebut dengan dosis tertentu akan
menstimulasi proses pertumbuhan, perkembangan, pematangan dan ovulasi dari
sejumlah besar folikel pada ternak sapi.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemberian variasi FSH
yang diproduksi oleh produsen yang berbeda terhadap tingkat superovulasi pada
beberapa bangsa sapi yang meliputi respon superovulasi, jumlah total CL, jumlah
total embrio dan ovum terkoleksi serta Recovery Rate.
2
Manfaat
Manfaat penelitian ini adalah mengetahui tingkat superovulasi sapi terhadap
penggunaan FSH untuk meningkatkan produktivitas superovulasi dari sapi.
Perlakuan tersebut berupa pemberian FSH yang diproduksi oleh produsen yang
berbeda, sehingga dapat diketahui sumber FSH terbaik yang dapat meningkatkan
efisiensi program superovulasi.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Siklus Estrus Sapi Betina
Sistem reproduksi sapi betina lebih kompleks daripada hewan jantan, karena
terdiri atas beberapa organ yang memiliki peran dan fungsi masing- masing.
Ovarium merupakan dua organ kecil yang terletak di ruang abdominal dengan fungsi
utama adalah untuk menghasilkan ovum sekaligus sebagai tempat terjadinya proses
oogenesis (proses produksi sel telur). Tugas lain dari ovarium adalah menghasilkan
estrogen dan progesteron dimana kedua hormon ini memiliki peran penting dalam
siklus reproduksi betina (Hafez dan Hafez, 2000). Partodiharjo (1982)
menambahkan, ternak sapi bersifat poliestrus dan memperlihatkan berahi secara
periodik sepanjang tahun. Estrus berasal dari kata latin oestrus yang dikenal dengan
istilah berahi yaitu satu periode secara psikologis maupun fisiologis pada hewan
betina yang bersedia menerima pejantan untuk kopulasi.
Toliehere (1985) menerangkan bahwa tanda-tanda berahi pada sapi adalah
sapi betina menjadi tidak tenang, kurang nafsu makan, menguak, berkelana mencari
pejantan, mencoba menaiki betina lain dan diam jika dinaiki sapi lain, selain itu vulva
sapi tersebut terlihat membengkak, memerah, hangat dan penuh dengan lendir. Saat
hewan betina mengalami estrus, serviks akan membuka sehingga sperma bisa masuk.
Serviks berhubungan dengan vagina yang merupakan organ mirip pipa atau
selongsong (sheath-like organ) dan berfungsi sebagai saluran kelahiran agar fetus
dapat keluar dari uterus induk. Bagian paling luar dari saluran reproduksi betina
adalah vulva yang sekaligus merupakan akhir dari saluran urinari (Herren, 2000).
Folikulogenesis
Mekanisme intraovarian mengatur pertumbuhan jumlah folikel ovulasi yang
spesifik pada setiap spesies. Manusia dan sapi merupakan makhluk monotokus,
terjadi pertumbuhan beberapa lusin folikel antral dalam pola seperti gelombang
setiap 7-14 hari selama setiap menstruasi atau siklus estrus. Sebuah gelombang
folikuler yang bertepatan dengan fase folikular dari hasil siklus menstruasi atau
estrus menghasilkan pengembangan folikel ovulasi dominan, sedangkan folikel
dominan yang berkembang pada gelombang yang tidak sinkron dengan fase folikular
akan mengalami atresia. Setiap gelombang folikuler didahului dengan kenaikan
konsentrasi serum FSH. Proses seleksi terjadi dimana satu folikel dominan terus
4
tumbuh dan berkembang sementara semua folikel subordinat lainnya mengalami
atresia (Evans et al., 2004).
Menurut Fortune (1994) perkembangan folikel (folikulogenesis) dimulai dari
proses rekrutmen, mekanisme seleksi dan akhirnya sampai pada satu titik folikel
dihadapkan pada dua pilihan, terus berkembang kemudian berovulasi atau berhenti
berkembang dan mengalami atresia atau mati Istilah rekrutmen identik dengan proses
pertumbuhan folikel pada saat sebagian besar folikel lain mengalami atresia dan
masing-masing folikel berusaha untuk mencapai tahap ovulasi. Rekrutmen tidak
berlangsung secara acak, melainkan dalam kelompok folikel mereka akan terus
berkembang apabila terjadi peningkatan konsentrasi Follicle Stimulating Hormone
(FSH) dalam sistem sirkulasi.
Menurut Bo et al. (1995), perkembangan folikel di dalam ovarium
merupakan proses yang berkesinambungan dan tidak hanya melibatkan satu folikel
selama siklus, tetapi sekelompok folikel sehingga dianalogikan sebagai gelombang
folikel. Gelombang folikel didefinisikan sebagai perkembangan folikel dengan
diameter 4-5 mm dalam jumlah besar secara serentak yang diikuti dengan
mekanisme seleksi, perkembangan menjadi folikel dominan dan penekanan atau
supresi terhadap perkembangan folikel subordinat.
Proses perkembangan folikel hanya melibatkan beberapa folikel yang
berkembang dan berhasil diovulasikan, sedangkan sebagian besar di antaranya akan
mengalami atresia sebelum mencapai tahap ovulasi. Atresia dapat muncul pada
setiap proses perkembangan folikel, namun frekuensi atresia tidak selalu terjadi dan
tidak terdistribusi merata sepanjang proses folikulogenesis (Fortune, 1994).
Triwulanningsih et al. (2001) menambahkan bahwa atresia dapat disebabkan
degenerasi sel-sel kumuius, degenerasi oosit, peredaran darah yang memberi nutrisi
ke oosit berkurang dan faktor penghambat dari folikel dominan terhadap folikel
lainnya (folikel subordinat).
Perkembangan folikel diketahui sebagai proses yang berkesinambungan dan
tidak hanya melibatkan satu folikel selama siklus, tetapi sekelompok folikel sehingga
dianalogikan sebagai "gelombang" folikel. Gelombang folikel (follicular wave)
merupakan perkembangan folikel dalam jumlah besar secara sinkron yang diikuti
dengan mekanisme seleksi berupa perkembangan folikel dominan dan penekanan
5
(supresi) terhadap folikel subordinat. Pada ternak, setiap gelombang terdiri atas
kelompok folikel (15 folikel). Kemudian mereka berkompetisi (mekanisme seleksi)
sehingga menghasilkan folikel dominan dan menekan perkembangan folikel lain (Bo
et al., 1995). Folikulogenesis ovarium merupakan sistem yang kompleks dari
morfologis dan peristiwa biokimia yang mengatur pertumbuhan serta diferensiasi
dari folikel primordial ke tahap ovulasi (folikel ovulasi tunggal pada sapi) dan
pelepasan oosit. Peningkatan folikulogenesis terkait dengan perubahan pada produksi
dari faktor pertumbuhan dan hormon ovarium tetapi tidak dalam sekresi
gonadotropin (Echternkamp, 2000).
Follicle Stimulating Hormon (FSH) dan Luteinizing Hormon (LH)
Gonadotropin adalah kelompok hormon yang bekerja pada gonad, misalnya
FSH dan LH yang berperan dalam menginduksi perkembangan folikel ovari dan
stimulasi ovulasi (Triwulanningsih et al., 2001). Eyestone dan Boer (1993)
menjelaskan bahwa FSH berfungsi merangsang pertumbuhan folikel dalam ovari,
proses pematangan Oosit dan perkembangan embrio secara dini, tetapi kurang
berperan untuk perkembangan selanjutnya. Untuk meningkatkan pematangan folikel
dalam jumlah besar (gelombang), diberikan perlakuan hormon gonadotropin selama
fase luteal siklus estrus (Armstrong, 1993).
Toelihere (1985) menyatakan bahwa hormon utama yang digunakan pada
superovulasi adalah hormon gonadotropin. yaitu FSH dan LH. FSH merupakan
hormon gonadotropin dengan unsur glikopeptida yang memiliki reseptor pada sel
granulosa folikel yang berfungsi menstimulasi pertumbuhan folikel, sehingga sangat
diperlukan dalam proses superovulasi. Kaiin dan Tappa (2006) menambahkan
hormon yang umum digunakan untuk menginduksi superovulasi pada sapi adalah
Follicle Stimulating Hormone (FSH) yang berasal dari hipofisa. FSH merupakan
hormon glikoprotein yang mempunyai waktu paruh pendek, sehingga memerlukan
pemberian secara berulang untuk merangsang aktivitas folikel secara lebih efisien.
Selain FSH dapat pula digunakan hormon lain, yaitu Pregnant Mare Serum
Gonadotropine (PMSG) yang mempunyai waktu paruh lebih panjang sehingga hanya
perlu dilakukan salu kali injeksi. Waktu paruh yang panjang tersebut akan
berdampak pada : (1) hasil superovulasi sangat bervariasi, (2) sering timbul folikel
yang menetap dalam ovarium sehingga terjadi ketidakseimbangan hormonal dan (3)
6
kualitas embrio yang kurang memenuhi klasifikasi yang telah ditentukan (Yusuf et
al., 1993). Waktu paruh PMSG yang panjang menyebabkan terus terjadi stimulasi
pembentukan folikel baru, meskipun ovulasi sudah selesai sehingga dari folikel yang
terbentuk akan menghasilkan estrogen dengan kadar cukup tinggi yang pada
akhirnya akan mengganggu transpor dan daya tahan hidup embrio (Mustofa, 1999).
Baik FSH maupun PMSG telah banyak digunakan dalam teknik-teknik tertentu
(misalnya produksi embrio) untuk menginduksi superovulasi (Hunter, 1995). Respon
imunologi terhadap pemberian injeksi berulang hormon gonadotropin dapat
membatasi kemampuan respon sapi donor terhadap superovulasi. PMSG dan FSH
merupakan hormon protein sehingga sangat potensial menginduksi reaksi anafilaksis.
Hal ini menandakan bahwa injeksi berulang dapat merangsang pembentukan anti-
gonadotropin yang dapat mengurangi respon selanjutnya terhadap hormon
gonadotropin endogen (Seidel dan Elsden, 1985).
Seleksi Betina Donor
Seleksi induk sapi yang akan digunakan sebagai ternak resipien dilakukan
dengan memeriksa keadaan alat reproduksi. Sapi dengan kondisi reproduksi yang
memenuhi syarat digunakan sebagai ternak resipien. Setelah itu sapi diprogram dan
disinkronisasi berahi dengan penyuntikan PGF2α (Prosolvin, Intervet) dengan dosis
dua ml/ekor secara intra muskular (Kaiin et al., 2008). Sapi yang digunakan sebagai
ternak donor harus mempunyai kriteria : memiliki genetik unggul (genetic
superiority), memiliki kemampuan reproduksi (reproductive ability) dan memiliki
keturunan yang marketable atau memiliki nilai ekonomi yang tinggi (Grimes, 2008).
Seidel dan Elsden (1985) mendefinisikan donor sebagai hewan sumber
embrio dipanen. Nilai (value) dari hewan donor biasanya hanya dilihat dari
kemampuan produksi susu dan daging. Hewan donor harus memiliki tubuh yang
sehat karena sapi yang sakit umumnya tidak memberikan respon terhadap perlakuan
superovulasi. Kondisi tubuh donor yang terlalu gemuk atau terlalu kurus dapat
mengurangi fertilitas (Herren, 2000). Menurut Wright (1987) sapi donor harus bebas
penyakit dan bebas abnormalitas gerak, mempunyai catatan produksi atau
produktifitas yang baik dan siklus estrus yang teratur.
7
Sinkronisasi Estrus
Sinkronisasi estrus adalah pencocokan siklus estrus dari ternak donor dan
penerima dengan injeksi prostaglandin (PGF2) untuk merangsang estrus (Kunkel,
1998). Preparat Prostaglandin F2α (PGF2α) dikenal sebagai agen luteolitik yang
dapat menyamakan siklus estrus dalam waktu yang bersamaan, sedangkan hCG
dapat menginduksi ovulasi, sehingga pemberian hCG pada pertengahan estrus dapat
merangsang pelepasan ovum dalam waktu yang lebih seragam. Dengan demikian
perkembangan folikel dapat diamati sehingga dapat ditentukan waktu inseminasi
yang lebih tepat (Arifiantini et al., 2010).
Superovulasi
Ovulasi adalah proses pemecahan folikel de graaf yang terjadi sewaktu ovum
dilepaskan dari ovarium. Tingkatan ovarium adalah primer, sekunder dan tersier dan
folikel de graaf. LH menyebabkan pengendoran dinding folikel sehingga lapisan-
lapisan pecah dan melepaskan ovum dan cairan folikel, sesudah ovulasi terbentuk
Corpus luteum di dalam folikel yang telah pecah dan mulai mensekresikan
progesterone. Hewan-hewan betina dewasa yang disuntikan hormon gonadotropin
dapat menghasilkan 20-100 ova pada satu estrus. FSH menggertak pematangan
beberapa folikel, sedangkan LH menyebabkan ovulasi hal ini disebut superovulasi
(Toelihere, 1985). Dalam program Transfer Embrio (TE), untuk merangsang ovulasi
ganda (multiple ovulation), maka diberikan hormon superovulasi sehingga diperoleh
12-15 sel telur dalam satu kali ovulasi (Herren, 2000).
Superovulasi dapat diinduksi secara buatan melalui pemberian hormon
gonadotropin eksogen (berasal dari luar tubuh), misalnya FSH dan PMSG.
Pemberian hormon tersebut dengan dosis tertentu akan menstimulasi proses
pertumbuhan, perkembangan, pematangan dan ovulasi dari sejumlah besar folikel
pada ternak sapi. Betina donor diinjeksikan setiap hari dengan FSH (Herren, 2000)
yang dapat berasal dari ekstrak hipofise babi dan domba (Wheeler dan Bowen, 1989)
atau dari esktrak hipofise sapi (Wilson, 1992). Donor tertentu memerlukan
penambahan LH selain FSH, namun umumnya preparat FSH yang dijual sudah
ditambahkan LH (Wright, 1987).
Perlakuan superovulasi dapat dilakukan tepat waktu apabila siklus estrus
dapat segera dikenal (Seidel dan Elsden, 1985). Hal yang terpenting adalah menjaga
8
agar siklus estrus berjalan normal dan teratur sehingga perlakuan superovulasi dapat
sinkron dengan pola hormonal hewan secara normal. Jika siklus estrus abnormal,
maka perlakuan superovulasi mungkin mengalami kegagalan Wilson (1992).
Inseminasi Buatan
Setelah berhasil memilih hewan donor berkualitas tinggi, kunci keberhasilan
Transfer Embrio (TE) selanjutnya terletak pada inseminasi dengan semen yang
berasal dari sapi jantan bibit unggul (Davis, 2004). Setelah perlakuan superovulasi,
perlu dilakukan pengamatan terhadap tanda-tanda estrus pada sapi donor sehingga
dapat dijadikan acuan untuk menentukan waktu inseminasi yang tepat dan IB
dilakukan 6 - 24 jam setelah estrus. Herren (2000) menyarankan agar inseminasi
segera dilakukan pada saat sel telur diovulasikan karena daya hidup sperma yang
singkat (20-30 jam).
Dengan semen kualitas yang baik dan banyak pengalaman dengan program
TE, cukup dilakukan sekali inseminasi saja. Jika hanya satu inseminasi yang
dilakukan, penting untuk memeriksa berahi dan inseminasi 10 sampai 20 jam setelah
awal berahi (Inseminasi dilakukan ketika sejumlah besar telur dilepaskan dari
ovarium, ovulasi dapat terjadi selama 24 jam atau lebih). Pada saat telur terakhir
dilepaskan dari ovarium mungkin tidak ada cukup sperma untuk membuahi. Sangat
penting bahwa prosedur IB harus dilakukan secara tepat dan hanya dilakukan oleh
teknisi IB yang sangat berpengalaman (Lewis, 1996).
Fertilisasi yang rendah dapat disebabkan kualitas semen yang rendah, teknik
serta waktu inseminasi yang kurang tepat (Seidel dan Elsden, 1989) . Greve et, al.
(1995) menyatakan jumlah embrio layak transfer rendah pada ternak yang
disuperovulasi dapat diakibatkan oleh kondisi ovum, tingkat fertilisasi dan
perkembangan embrio awal yang terganggu. Hardjopranjoto (1995) juga menyatakan
bahwa faktor-faktor yang kurang menguntungkan dalam superovulasi adalah
menghasilkan sel telur yang belum dewasa sehingga setelah pembuahan banyak
terjadi kematian embrio muda. Faktor yang dapat mempengaruhi kematian embrio
awal antara lain zat kekebalan kurang berfungsi, ketidakseimbangan nutrisi pakan,
lingkungan uterus yang kurang baik, defisiensi hormon serta umur ovum dan sperma.
Semen segar lebih baik digunakan daripada semen beku karena semen segar
dapat lebih lama bertahan di dalam saluran reproduksi betina. Pada program TE,
9
dapat digunakan semen segar dengan konsentrasi 10-50 juta sperma motil atau semen
beku yang mengandung 30 juta sperma motil dan diberikan dengan dosis ganda.
Grimes (2008) menyarankan agar inseminasi dilakukan 1-3 kali selama dan setelah
estrus dengan interval yang sama.
Koleksi Embrio
Panen atau koleksi embrio pada sapi donor dilakukan pada hari ke-7 sampai
hari ke-8 setelah berahi saat sebagian besar embrio sudah memasuki ujung cornua
uteri pada masa itu. Embrio akan berkembang sekitar satu minggu, kemudian embrio
dipanen pada tahap morula sampai blastocyst (Grimes, 2008). Embrio dikoleksi
antara hari ke-6 dan ke-8 setelah estrus (Herren, 2000). Pemanenan embrio tidak
dilakukan lebih awal karena dapat menurunkan efisiensi koleksi embrio dengan
metode non bedah. Sebelum hari ke-4, hampir semua embrio terletak di dalam
oviduk yang dipisahkan dari uterus oleh utero-tubal junction. Struktur ini berfungsi
sebagai katup (valve) yang dapat mengatur masuknya sperma dari uterus menuju
oviduk sehingga fertilisasi terjadi tepat waktu dan mengatur transpor embrio ke arah
sebaliknya. Embrio akan ditranspor menuju uterus pada hari ke-4 sampai hari ke-5
setelah estrus, melalui kontraksi ritmik pada dinding oviduk dan relaksasi dari otot
pada dinding utero-tubal junction sehingga tingkat keberhasilan koleksi embrio akan
lebih tinggi pada hari ke-6 dan seterusnya daripada hari ke-4. Kadang-kadang
beberapa embrio masih ditemukan dalam oviduk pada sapi yang disuperovulasi
sampai hari ke-10 (Seidel dan Elsden, 1989).
Teknik koleksi embrio pada sapi dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu
bedah dan non bedah (Herren, 2000). Secara empiris, teknik bedah telah diketahui
dapat mengakibatkan pembentukan jaringan parut (scar tissue) sehingga terjadi
perlekatan ovarium pada uterus. Selanjutnya digunakan cara lain yaitu teknik koleksi
embrio non bedah dengan resiko yang lebih kecil, aplikasi sederhana, tidak
memerlukan fasilitas khusus sehingga dapat dilakukan di lapangan dengan biaya
yang lebih ekonomis (Hunter, 1995). Namun, menurut Wright (1987), teknik bedah
masih dapat dijadikan alternatif untuk menangani kasus infertilitas tertentu (misalnya
causa mekanis seperti sumbatan pada oviduk) atau karena kesulitan memasukkan
kateter melalui serviks. Tahap perkembangan embrio dapat dilihat pada Gambar 1.
10
Gambar 1. Tahap Perkembangan Embrio (Robertson dan Nelson, 2009)
Batas waktu paling akhir untuk koleksi embrio adalah hari ke-14 setelah
estrus, sedangkan di luar batas ini embrio yang dikoleksi akan rusak. Pada hari ke-9,
embrio mulai keluar dari zona pellusida dan koleksi embrio tidak disarankan pada
tahap ini karena kesulitan dalam mengidentifikasi embrio ketika ia sudah keluar dari
zona pellusida. Hampir semua embrio telah keluar pada hari ke-11, pada saat
diameter embrio meningkat secara drastis. Hari ke-12 sampai ke-13, embrio mulai
memanjang (elongate) dan tampak seperti bola (American football). Hari ke-14
sampai ke-15, bentuk embrio sangat panjang seperti spaghetti. Hari ke-18 sampai
1 Sel
(hari 1) 2 Sel
(hari 2)
4 Sel
(hari 3)
8 Sel
(hari 4)
16 Sel
(hari 5)
Morula awal
(hari 5-6)
Morula (hari 6) Blastosit awal
(hari 7)
Blastosit (hari 7-8)
Expanded blastocyst
(hari 8-9)
Hatched blastocyst
(hari 9) Expanding hatched blastocyst
(hari 9)
11
hari ke-19, embrio hampir memenuhi cornua uteri. Koleksi embrio mungkin dapat
dilakukan pada hari ke-17 dengan teknik non bedah, tetapi potensi terjadinya
kerusakan/cacat pada embrio sangat besar sejak hari ke-14 (Seidel dan Elsden, 1989).
Tahap perkembangan embrio dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Tahap Perkembangan Embrio
Tahap Deskripsi
1 Belum dibuahi
2 2-12 sel
3 Morula awal
4 Morula
5 Blastosit awal
6 Blastosit
7 Expanded blastocyst
8 Hatched blastocyst
9 Expanded hatched blastocyst
Sumber: Wright (2009)
Faktor yang mempengaruhi perkembangan embrio menurut Hunter (1995)
adalah : (1) keadaan uterus, karena mempunyai fungsi penting bagi embrio sebagai
penyedia nutrisi, tempat implantasi differensiasi embrio dan memanjang foetus
waktu normal kalahiran, (2) cadangan makanan dalam sitoplasma, (3) nutrisi pada
cairan uterus yang disebut susu uterus atau histrotop, komponen dari cairan uterus ini
mungkin secara khusus terlibat dalam mendorong pertumbuhan embrio, (4)
kecepatan memasuki uterus yang terlalu cepat, hal tersebut merugikan karena embrio
masih memerlukan perkembangan di tuba falopii. FSH berfungsi merangsang
pertumbuhan Follikel dalam ovari, proses pematangan oosit dan perkembangan
embrio secara dini, tetapi kurang berperan untuk perkembangan lebih lanjut
(Eyestone dan Boer, 1993).
12
Corpus Luteum (CL)
Corpus Luteum (CL) merupakan benda yang terbentuk pada tempat ovum
diovulasikan dan dijadikan patokan untuk mendeteksi berapa jumlah ovum yang
diovulasikan oleh seekor sapi (Adriani et al., 2009). Setelah terjadi ovulasi maka
pada situs pelepasan oosit akan terbentuk Corpus Luteum (CL). Selama awal fase
luteal (metestrus). CL dibentuk dari sel-sel luteal. Pada pertengahan fase luteal
(diestrus) sel-sel luteal menghasilkan sejumlah besar progesteron. Selama akhir fase
luteal, CL dilisiskan PGF2α yang dihasilkan endometrium uterus. Lisis CL diikuti
dengan penurunan kadar progesteron. sehingga mekanisme umpan balik negatif
progesteron pada hypotalamus hilang, mengakibatkan peningkatan GNRH yang
menandakan dimulai fase folikular. Ukuran CL pada hari ke 3-5 mulai meningkat
sampai maksimal disertai dengan peningkatan produksi progesteron sampai kadar
maksimal sekitar hari ke-10 (Senger, 1999).
Menurut Amiridis et al. (2006), CL tersusun atas sel-sel luteal yang berperan
menghasilkan progesteron. Konsitensi atau kekenyalan badan CL sangat ditentukan
jumlah sel-sel luteal dan vaskuralisasi darah kebagian tersebut. Demikian juga
kemampuan CL memproduksi progesteron tergantung pada tingkat vaskularisasi
pada lapisan seluler. Fungsi CL yang rendah (sintesis dan sekresi progesteron
sedikit) diyakini akan menjadi penyebab penting kegagalan reproduksi dan
ketidakmampuan uterus dalam mendukung perkembangan embrio dini. Senger
(1999) menambahkan, dalam satu siklus estrus CL harus mengalami lisis agar fase
folikular dimulai. Ovulasi tidak dapat terjadi dalam kondisi saat kadar progesteron
dominan. Luteolisis berarti disintengrasi atau dekomposisi dari CL yang terjadi 2-3
hari pada akhir fase luteal. Dua hormon yang berperan penting dalam lisis CL yaitu
oxytocin yang dihasilkan CL dan hormon PGF2α yang dihasilkan endometrium
uterus.
Klasifikasi Embrio
Evaluasi embrio merupakan faktor yang menentukan keberhasilan program
Transfer Embrio (TE) (Wright, 1987). Evaluasi morfologi embrio telah terbukti
berguna dalam memprediksi angka kebuntingan (pregnancy rate) bagi sekelompok
embrio, namun teknik ini kurang dapat menentukan kemampuan bertahan hidup
(viabilitas) embrio. Embrio dievaluasi agar diketahui kualitas sehingga dapat
13
ditransfer ke resipien yang tepat, dimana embrio dengan kualitas terbaik ditransfer ke
respien yang paling baik pula (Seidel dan Elsden, 1985).
Seidel dan Elsden (1985) menyatakan beberapa karakteristik yang dapat
digunakan dalam evaluasi embrio sebagai berikut: (1) kepadatan sel-sel; (2)
keteraturan bentuk embrio; (3) variasi ukuran sel; (4) warna dan tekstur sitoplasma;
(5) ada tidaknya rongga (vesikel) berukuran besar; (6) ada tidaknya sel yang keluar;
(7) diameter embrio; (8) keteraturan bentuk zona pellusida; dan (9) ada tidaknya se-
sel debris. Embrio yang ideal mempunyai bentuk seperti bola (spherical) dan sel-sel
di dalam terlihat kompak (padat). Blastomer memiliki ukuran yang hampir sama,
warna dan tesktur sama, terlihat tidak terlalu cerah dan tidak terlalu gelap.
Sitoplasma tidak bergranular atau tersebar merata serta terdapat beberapa vesikel
berukuran sedang. Ruang periviteim tampak kosong, zona pellusida tidak berkerut
apalagi kolaps serta tidak ditemukan sel-sel debris. Klasifikasi kualitas embrio dapat
dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Kualitas Embrio
Kode Deskripsi
1 Excellent or Good
2 Fair
3 Good
4 Dead or Degenerating
Sumber: Wright (2009)
Transfer Embrio
Transfer embrio (TE) pada sapi adalah teknik manipulasi genetik yang
merupakan salah satu teknologi terbaru dalam bidang reproduksi. Berbeda dengan
inseminasi buatan (IB) yang meningkatkan mutu genetik hanya melalui hewan jantan
(parental), TE juga berusaha meningkatkan mutu ternak hewan betina (Herren,
2000). Teknologi TE memungkinkan diperoleh anak sapi unggul dalam jumlah yang
lebih banyak (Wilson, 1992). Dengan demikian, perbaikan genetik dapat dilakukan
dalam waktu yang lebih singkat (Seidel dan Elsden, 1989).
14
Salah satu masalah utama dalam program transfer embrio (TE) adalah
tingginya variabilitas respon terhadap superovulasi pada induk donor. Padahal
kuantitas dan kualitas embrio donor sangat berpengaruh terhadap keberhasilan TE.
Superovulasi merupakan kunci keberhasilan TE dan tidak hanya ditentukan oleh
tingginya laju ovulasi dan jumlah embrio yang diperoleh, tetapi superovulasi
dipengaruhi juga oleh berbagai faktor seperti faktor-faktor yang mempengaruhi
respon superovulasi pada induk donor, faktor yang mempengaruhi fertilisasi dan
viabilitas embrio serta faktor yang berhubungan dengan manajemen induk donor
(Kaiin dan Tappa, 2006).
15
METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan melalui magang selama tiga bulan, yaitu mulai
bulan April 2011 hingga bulan Juni 2011. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium
Balai Embrio Ternak (BET) yang terletak di Desa Cipelang, Kecamatan Cijeruk,
Kabupaten Bogor.
Materi
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder produksi embrio
yang diperoleh dari Balai Embrio Ternak (BET), Cipelang, Bogor. Data tersebut
berupa catatan produksi embrio secara in vivo selama tahun 2009-2010. Data tersebut
meliputi tanggal superovulasi, kode dan jenis ternak donor, kode semen yang
digunakan, merk dagang hormon superovulasi yang digunakan, jumlah Corpus
Luteum (CL), jumlah embrio grade A, B, C, dan D serta jumlah embrio layak
transfer dan jumlah ovum tidak dibuahi atau Unfertilized (UF). Ternak sapi donor
yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 90 ekor sapi, terdiri atas 29 ekor sapi
FH, 23 ekor sapi Simmental, 27 ekor sapi Limmousin dan 11 ekor sapi Angus.
Sebagian besar sapi disuperovulasi lebih dari sekali dengan jarak antar superovulasi
sekitar tiga bulan sehingga didapatkan data superovulasi sebanyak 223 data. Data
yang diperoleh kemudian dimasukkan dalam program Microsoft Access Database
2010. Pakan yang diberikan kepada sapi donor adalah rumput dan konsentrat.
Gambaran sapi donor yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 2.
FSH yang digunakan dalam program superovulasi terdiri atas 3 jenis yaitu
Folltropin®-V yang diproduksi Bioniche Animal Health Pty. Ltd., Australia;
Opti-Stim yang diproduksi Jurox Pty. Ltd., Australia; dan OvagenTM
yang diproduksi
Immuno-Chemical Product Ltd., New Zealand. Hormon FSH diperoleh dari ekstrak
hipofisa domba dan babi. Semen yang digunakan untuk inseminasi mempunyai
konsentrasi 25 x 106 spermatozoa per straw. Semen diimpor dari Australia yang
berasal dari pejantan sapi FH, Limousin, Simmental dan Angus. Gambaran FSH
yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 3.
16
(a) (b)
(c) (d)
Gambar 2. (a) FH, (b) Limousin, (c) Simmental, (d) Angus
(a) (b) (c)
Gambar 3. (a) Folltropin-V, (b) Ovagen, (c) Optistim
17
Prosedur
Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan dengan cara mengumpulkan dan menyeleksi data
produksi embrio di BET yang dilakukan secara rutin. Program superovulasi di BET
dilakukan dengan dua kali penyuntikan hormon FSH perhari yaitu pagi dan sore
secara intra muscular pada hari ke-10 sampai hari ke-13 setelah estrus. Hormon
Prostaglandin PGF2α diberikan tiga hari setelah awal pemberian hormon
gonadotropin yang berfungsi untuk meregresikan corpus luteum, sehingga 2-3 hari
setelah penyuntikan hormon PGF2α sapi akan berahi. Palpasi rektal pada hari ke-7
setelah IB, sehingga diperoleh data jumlah corpus luteum pada ovarium kiri dan
kanan. Panen atau koleksi embrio pada sapi donor dilakukan pada hari ke-7 sampai
hari ke-8 setelah berahi.
Peubah yang Diamati
Peubah yang diamati dari tingkat superovulasi ternak donor adalah sebagai
berikut:
1) Response Rate, yaitu perbandingan jumlah ternak donor yang respon terhadap jumlah
ternak yang disuperovulasi
ternak donor respon (ekor)
ternak yang disupero ulasi (ekor)
2) Persentase corpus luteum pada ovarium kiri dan kanan;
3) Jumlah total corpus luteum;
4) Jumlah total embrio dan ovum terkoleksi;
5) Recovery Rate yaitu perbandingan jumlah embrio dan ovum terkoleksi
terhadap jumlah corpus luteum.
embrio dan o um ( F)
orpus luteum
Analisis Data
Perbandingan jumlah corpus luteum kiri dan kanan pada masing-masing dosis
dianalisis menggunakan uji t-student. Formula dari uji t-student menurut Steel dan
Torrie (1993) adalah:
18
2 √
2
n 2
2
n2
t 2
2
db
( 2
n 22
n2)
2
[
(
2
n )
(n - )
]
[
(
2
2
n2)
(n2- )
]
Keterangan :
= simpangan baku gabungan kelompok
S12 = nilai varian kelompok pertama
S22 = nilai varian kelompok kedua
n1 = jumlah data kelompok pertama
n2 = jumlah data kelompok kedua
t = nilai uji t
= rata-rata kelompok pertama
2 = rata-rata kelompok kedua
db = derajat bebas.
Nilai response rate dari masing-masing bangsa diuji statistik dengan metode
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan perlakuan perbedaan bangsa terhadap
response rate. Menurut Steel dan Torrie (1993) model matematika yang digunakan
adalah :
Yij = µ + Bi + ij
Keterangan:
Yij = respon percobaan karena pengaruh perlakuan bangsa ke-i
μ = rataan umum hasil percobaan
Bj = perlakuan bangsa ke-i
εijk = pengaruh kesalahan percobaan perlakuan bangsa ke-j.
19
Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 3x4 dengan 2 faktor yaitu
sumber FSH (Folltropin-V, Opti-Stim dan Ovagen) dan bangsa sapi (FH,
Simmental, Limousin dan Angus) digunakan dalam penelitian ini untuk melihat
parameter rataan jumlah corpus luteum, embrio dan ovum terkoleksi. Model
matematikanya menurut Steel dan Torrie (1993) sebagai berikut:
i k μ i ( )i εi k
Keterangan : Yijk = respon percobaan karena pengaruh perlakuan dosis FSH ke-i dan perlakuan
bangsa ke-j dan ulangan ke-k
μ = rataan umum hasil percobaan
αi = perlakuan sumber FSH ke-i
j = perlakuan bangsa ke-j
(α)ij = interaksi antar perlakuan sumber FSH ke-i dan perlakuan bangsa ke-j
εijk = pengaruh kesalahan percobaan perlakuan sumber FSH ke-i dan perlakuan
bangsa ke-j pada ulangan ke-k.
Data sebelum diolah ditransformasi kedalam bentuk logaritma (untuk data
jumlah corpus luteum dan jumlah embrio) dan arsin (untuk data response rate,
recovery rate serta persentase jumlah corpus luteum di ovarium kiri dan kanan). Jika
hasil berbeda nyata maka dilanjutkan uji Duncan. Semua data dianalisis dengan
bantuan program statistik komputer SPSS Statistics 17.0.
20
HASIL DAN PEMBAHASAN
Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Balai Embrio Ternak (BET) yang
terletak di Desa Cipelang, Kecamatan Cijeruk, Kabupaten Bogor. Topografi lokasi
ini berada di punggung sebelah timur gunung Salak dengan kemiringan 8-400 dan
ketinggian 600-1,350m dpl. Lingkungan lokasi penelitian ini mempunyai temperatur
18-22°C, kelembaban 70-80% dan curah hujan 3,222 mm per tahun. Menurut Abidin
(2006) lingkungan yang baik untuk sapi adalah mempunyai temperatur optimal
dengan kisaran suhu 10-270C, curah hujan 800-1.500 mm pertahun, sehingga lokasi
penelitian ini cocok untuk pertumbuhan dan reproduksi sapi. Gambaran lokasi
penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.
(a) (b)
Gambar 4. (a) Luar kandang, (b) Dalam kandang
Respon Sapi terhadap Superovulasi
Hasil pengamatan terhadap seluruh sapi donor yang disuperovulasi disajikan
pada Tabel 1. Dari seluruh sapi donor yang disuperovulasi sebanyak 169 ekor sapi
memberikan respon. Tabel 1 menunjukkan bahwa sapi Angus yang disuperovulasi
dengan Folltropin-V memberikan respon terbaik. Penggunaan FSH dengan merk
yang sama pada bangsa sapi yang berbeda akan memberikan respon yang berbeda.
Superovulasi sapi Simmental menunjukkan hasil yang lebih tinggi daripada sapi
Limousin. Hal ini berbeda dangan hasil penelitian Suradi (2004) pada sapi
Simmental yang memberikan respon yang sama dengan sapi Limousin terhadap
21
superovulasi yaitu sebesar 100%. Analisis sidik ragam respon sapi terhadap
superovulasi dapat dilihat pada Lampiran 1.
Menurut Muawanah (2000) beberapa faktor yang mempengaruhi respon
ternak donor terhadap superovulasi antara lain faktor umur ternak donor, dosis FSH
yang digunakan, Body Condition Score (BCS) dan jumlah pemakaian ternak tersebut
sebagai donor. Kanagawa (1995) menambahkan rendahnya respon ternak donor
terhadap perlakuan superovulasi dapat disebabkan oleh gangguan reproduksi ternak
donor tersebut.
Tabel 3. Respon Sapi terhadap Superovulasi
Bangsa Sapi Jenis FSH upero ulasi
(ekor)
Sapi Donor
yang Respon
(ekor)
Response
Rate (%)
FH Folltropin-V 9 5 56
FH Opti-Stim 20 15 75
FH Ovagen 29 17 59
Simmental Folltropin-V 9 7 78
Simmental Opti-Stim 23 21 91
Simmental Ovagen 23 20 87
Limousin Folltropin-V 19 17 89
Limousin Opti-Stim 36 24 67
Limousin Ovagen 15 12 80
Angus Folltropin-V 6 6 100
Angus Opti-Stim 13 8 62
Angus Ovagen 11 7 64
Tingkat Ovulasi
Tingkat ovulasi dapat diketahui berdasarkan jumlah corpus luteum (CL) yang
dihasilkan pada ovarium kanan dan ovarium kiri yang pada umumnya berbentuk oval
dan berdiameter 0,75-5 cm. Ovarium kanan umumnya lebih besar daripada ovarium
kiri. Persentase corpus luteum (CL) yang dihasilkan pada ovarium kanan dan
ovarium kiri disajikan pada Tabel 2.
22
Berdasarkan uji statistik jumlah CL sebelah kanan dan kiri tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Hal ini disebabkan adanya perlakuan
superovulasi menyebabkan kedua ovarium memberikan respon yang sama. Hal ini
sesuai dengan penelitian Maret (2001) yang menyatakan bahwa aktivitas ovulasi dari
kedua ovarium kiri dan kanan terhadap pemberian hormon FSH eksogen dengan
dosis 40, 44 dan 50 mg tidak dijumpai perbedaan. Uji t-Student jumlah Corpus
Luteum (CL) pada Ovarium Kanan dan Kiri dapat dilihat pada Lampiran 2.
Tabel 4. Persentase Corpus Luteum Hasil Superovulasi
Bangsa
Sapi Jenis FSH Superovulasi (ekor)
Persentase CL Ovarium (%)
Kanan Kiri
FH Folltropin-V 9 47 53
FH Opti-Stim 20 39 61
FH Ovagen 29 46 54
Simmental Folltropin-V 9 35 65
Simmental Opti-Stim 23 49 51
Simmental Ovagen 23 41 59
Limousin Folltropin-V 19 44 56
Limousin Opti-Stim 36 39 61
Limousin Ovagen 15 57 43
Angus Folltropin-V 6 50 50
Angus Opti-Stim 13 50 50
Angus Ovagen 11 52 48
Banyaknya jumlah CL yang terbentuk pada ovarium kiri maupun ovarium
kanan menggambarkan aktivitas ovarium tersebut. Meskipun jumlah CL pada
ovarium kiri dan ovarium kanan tidak berbeda nyata (P>0,05), namun pada data hasil
penelitian dapat dilihat bahwa presentase CL ovarium kiri lebih banyak daripada
ovarium kanan. Berbeda dengan pendapat Hardjopranjoto (1995) yang menyatakan
bahwa ukuran ovarium kanan yang lebih besar daripada ovarium kiri terjadi karena
secara fisiologis ovarium kanan lebih banyak memperoleh aliran darah sehingga
lebih aktif.
23
Rataan jumlah total CL hasil superovulasi disajikan pada Tabel 3. Jumlah
total CL yang terbentuk pada ovarium dapat menunjukkan tingkat keberhasilan
program superovulasi. Berdasarkan hasil uji statistik menunjukkan bahwa bangsa
sapi memberikan pengaruh yang berbeda terhadap jumlah CL. Sumber FSH yang
digunakan dalam superovulasi tidak berpengaruh terhadap jumlah CL. Interaksi
antara bangsa sapi dan sumber FSH tidak berpengaruh terhadap jumlah CL. Analisis
sidik ragam jumlah total CL dapat dilihat pada Lampiran 3.
Tabel 5. Rataan Corpus Luteum Hasil Superovulasi
Bangsa Sapi Sumber FSH
uperovulasi
(ekor)
Rataan CL
(buah/ekor) Kisaran
FH Folltopin-V 4 4,5 ± 1 3-5
FH Opti-Stim 11 5,2 ± 5,9 2-22
FH Ovagen 15 6,5 ± 4,7 2-18
Simmental Folltopin-V 6 8,3 ± 4,2 4-14
Simmental Opti-Stim 18 9,5 ± 8,7 2-40
Simmental Ovagen 17 9,3 ± 6,5 2-24
Limousin Folltopin-V 16 7,2 ± 5,5 2-22
Limousin Opti-Stim 20 9,5 ± 7,2 2-32
Limousin Ovagen 11 8,8 ± 4,3 4-17
Angus Folltopin-V 6 9 ± 4,6 2-15
Angus Opti-Stim 6 4 ± 2,9 2-9
Angus Ovagen 7 7,7 ± 5,4 2-17
Pengaruh lingkungan pemeliharaan, umur dan nutrisi pada setiap individu
ternak sapi yang sama dapat juga memberikan hasil tingkat ovulasi yang berbeda.
Toelihere (1985) menjelaskan bahwa tingkat ovulasi pada ternak dipengaruhi oleh
berbagai faktor termasuk makanan, kondisi fisik dan umur.
Produksi Embrio
Rataan jumlah embrio dan ovum terkoleksi disajikan pada Tabel 4.
Berdasarkan uji statistik dapat diketahui bahwa bangsa memberikan pengaruh yang
berbeda terhadap total embrio dan ovum terkoleksi. Sapi FH dan Angus memberikan
respon yang sama terhadap total embrio. Sapi Simmental dan Limousin memberikan
24
respon yang sama terhadap total embrio dan ovum terkoleksi. Sedangkan sapi FH
dengan Simmental memberikan respon yang berbeda terhadap total embrio dan
ovum terkoleksi. Sumber FSH tidak berpengaruh terhadap total embrio dan ovum
terkoleksi. Analisis sidik ragam jumlah embrio dan ovum terkoleksi dapat dilihat
pada Lampiran 4.
Tabel 6. Rataan Jumlah Embrio dan Ovum Terkoleksi Hasil Superovulasi
Bangsa Sapi Sumber FSH uperovulasi
(ekor)
Rataan Embrio
dan Ovum
(buah/ekor)
Kisaran
FH Folltopin-V 4 4,5 ± 1 3-5
FH Opti-Stim 11 5,2 ± 5,9 2-22
FH Ovagen 15 6,5 ± 4,7 2-18
Simmental Folltopin-V 6 8,3 ± 4,2 4-14
Simmental Opti-Stim 18 9,5 ± 8,7 2-40
Simmental Ovagen 17 9,3 ± 6,5 2-24
Limousin Folltopin-V 16 7 ± 5,6 2-22
Limousin Opti-Stim 20 9,5 ± 7,2 2-32
Limousin Ovagen 11 8,3 ± 3,5 4-14
Angus Folltopin-V 6 9,3 ± 4,7 2-15
Angus Opti-Stim 6 4 ± 2,9 2-9
Angus Ovagen 7 7,7 ± 5,4 2-17
Faktor-faktor seperti sumber dan kondisi sperma, kualitas oosit yang
diperoleh, kondisi alat reproduksi sapi betina, nutrisi pakan, ketrampilan inseminator,
lingkungan pemeliharaan dan jadwal pengkoleksian embrio yang tepat dapat juga
mempengaruhi pembuahan dan perkembangan ovum. Seidel dan Elsden (1989)
menjelaskan bahwa Koleksi dengan metode tanpa pembedahan melalui serviks
dilakukan pada hari ke-7 atau ke-8 setelah estrus, koleksi pada hari ke-7 akan
menghasilkan embrio stadium kompak morula dan blatosit awal sedangkan pada hari
ke-8 embrio mencapai stadium blatosit penuh.
Betteridge (1980) menyatakan bahwa dari sejumlah ovum yang diovulasikan
tidak semua dibuahi dan berkembang normal karena adanya sel telur yang mungkin
25
hilang, tidak dibuahi atau tidak terkembang. Lebih lanjut lagi dikatakan bahwa
koleksi embrio tanpa pembedahan memungkinkan adanya sekitar 10% embrio yang
tidak berhasil dibilas karena masih berada di oviduk.
Recovery Rate
Respon sapi terhadap superovulasi, yang ditandai dengan jumlah CL
berkorelasi positif dengan jumlah embrio yang dihasilkan. Berdasarkan Tabel 5
menunjukkan nilai recovery rate yang berada pada kisaran 80%. Hanya ada satu nilai
recovery rate yang lebih dari 100% yaitu pada sapi Angus yang disuperovulasi
dengan Folltropin-V. Hasil ini berbeda dengan penelitian Suradi (2004) dan Maret
(2001) yang mendapatkan hasil recovery rate lebih dari 100%. Hal ini disebabkan
teknik palpasi rektal yang sudah lebih baik sehingga kemungkinan CL yang tidak
terhitung semakin kecil. Pengalaman dan keahlian petugas palpasi rektal juga
mempengaruhi keakuratan perhitungan jumlah CL.
Tabel 7. Recovery Rate Hasil Superovulasi
Bangsa
Sapi Jenis FSH upero ulasi
(ekor)
CL
(buah)
Embrio
dan Ovum
(buah)
Recovery
Rate
FH Folltropin-V 9 19 19 100%
FH Opti-Stim 30 61 61 100%
FH Ovagen 29 99 99 100%
Simmental Folltropin-V 9 51 51 100%
Simmental Opti-Stim 23 174 174 100%
Simmental Ovagen 23 161 161 100%
Limousin Folltropin-V 19 116 113 97%
Limousin Opti-Stim 36 194 192 99%
Limousin Ovagen 15 98 92 94%
Angus Folltropin-V 6 56 56 100%
Angus Opti-Stim 13 26 26 100%
Angus Ovagen 11 54 54 100%
Nilai recovery rate yang terendah terdapat pada sapi Limousin, hal ini dapat
disebabkan oleh banyak faktor diantaranya adalah kurangnya asupan nutrisi atau
26
kegagalan teknik dari superovulasi. Semakin banyak CL yang terdeteksi maka
semakin banyak pula jumlah embrio yang dihasilkan. Hasil recovery rate
menunjukkan bahwa pemanenan embrio (flushing) di BET Cipelang telah berjalan
dengan baik. Analisis sidik ragam recovery rate dapat dilihat pada Lampiran 4.
27
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Perlakuan pemberian sumber FSH yang berbeda tidak menunjukkan
pengaruh yang nyata terhadap tingkat superovulasi. Sapi yang disuperovulasi dengan
hormon Folltropin-V menghasilkan rataan jumlah CL, embrio dan ovum yang lebih
tinggi daripada sapi yang disuperovulasi dengan hormon lainnya. Bangsa sapi
berpengaruh nyata terhadap nilai response rate, recovery rate, rataan jumlah CL dan
rataan jumlah embrio. Sapi yang menghasilkan jumlah total CL, jumlah embrio dan
ovum terkoleksi adalah Simmental. Hal ini diduga karena daya adaptasi sapi
Simmental terhadap iklim dan lingkungan lebih baik dibanding sapi lainnya.
Saran
Perlu penelitian lanjutan untuk mempelajari pengaruh individu dalam bangsa
sapi yang sama terhadap tingkat superovulasi dan kualitas embrio sehingga
diharapkan dapat membantu program seleksi betina donor di BET Cipelang.
28
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan, hidayah
dan karunia-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan studi hingga tugas akhir
penelitian dan penyusunan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Penulis menyampaikan terimakasih
sebesar-besarnya kepada Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc. sebagai Dosen
Pembimbing Utama dan Muhammad Imron, S.Pt. M.Si. sebagai Pembimbing
Anggota yang banyak memberikan masukan, saran dan pengarahan sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Terima kasih kepada Ir. Rini Herlina Mulyono,
M.Si. dan Dr. Despal, S.Pt. M.Agr.Sc sebagai dosen penguji ujian lisan yang
memberikan banyak masukan dan koreksi terhadap skripsi ini. Terima kasih kepada
Dr. Ir. Henny Nuraini, M.Si. selaku Pembimbing Akademik yang telah memberi
pengarahan mulai awal hingga akhir perkuliahan. Terimakasih pula penulis ucapkan
kepada seluruh staf pengajar Fakultas Peternakan yang telah membagi ilmu
pengetahuan dan pengalaman selama menyelesaikan pendidikan di Fakultas
Peternakan IPB.
Tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibunda Suciyanti dan
Ayahanda Mat Sari selaku orang tua penulis atas dukungan, doa, kasih sayang,
bantuan moril dan materil yang selalu diberikan hingga penulis dapat menyelesaikan
tugas akhir. Terimakasih kepada adinda Dwi Fatmala Sari dan Gala Prima Dana atas
motivasi yang diberikan. Terimakasih kepada Kepala Balai Embrio Ternak (BET)
Cipelang dan staff (Bu Lela dan Pak Darlin) serta teman penelitian Aidil Marsan
yang banyak membantu penelitian. Terimakasih penulis ucapkan kepada Mayagita
Yunidar yang telah memberikan inspirasi dan dukungan dalam menyelesaikan tugas
akhir. Terimakasih kepada teman-teman kost Wisma Wijayakusuma (Adit, Iwan,
Panda dan Dadang). Terimakasih penulis ucapkan juga kepada Fachri, Erli, Hida,
Revan, Lia, Andwie dan seluruh teman-teman IPTP 42 yang tidak dapat disebutkan
satu per satu atas persahabatannya. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat.
Bogor, Januari 2012
Penulis
29
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 2006. Penggemukan Sapi Potong. Agromedia Pustaka, Tangerang.
Adriani, B. Rosidi & Depison. 2009. Penggunaan follicle stimulating hormone dan
pregnant mare serum gonadotropin untuk superovulasi pada sapi persilangan
brahman. Med. Pet. 32: 163-170.
Amiridis, G. S., T. Tsiligianni & N. C. Rawling. 1994. Follicular waves and
circulating gonadotropins in 8-month-old prepubertal heifer. J. Reprod. Fertil.
100 : 27-33.
Arifiantini, R. I., B. Purwatara, T. L. Yusuf, D. Sajuthi & Amrozi. 2010. Angka
konsepsi hasil inseminasi semen cair versus semen beku pada kuda yang
disinkronisasi estrus dan ovulasi. Med. Pet. 33: 1-5.
Armstrong, D.T. 1993. Recent advances in superovulation of cattle. Theriogenology
39: 7-24.
Betteridge, K. J. 1980. Producere and Result Obtainable in Cattle. In: A. D. Morrow
(Ed.). Current Theraphy in Theriogenology. 2nd
ed. W. B. Saunders and Co.,
Philadelphia.
Bo, G. A., G. P. Adams, R. A. Pierson & P. J. Mapietoft. 1995. Exogenous control of
follicular wave emergence in cattle. Theriogenology 43: 31-40.
Davis, R. L. 2004. Embryo transfer in beef cattle. http://www.davis-
rairdan.com/embryo-transfer.htm.[3 April 2011].
Echternkamp, S. E. 2000. Endocrinology of Increased Ovarian Folliculogenesis in
Cattle Selected for Twin Births. USDA, Nebraska.
Evans, E. C. O., J. L. H. Ireland, M. E. Winn, P. Lonergan, G. W. Smith, P. M.
Coussens & J. J. Ireland. 2004. Identification of genes involved apoptosis and
dominant follicle development during follicular waves in cattle. J. Biol. Repr.
70: 1475-1484.
Eyestone, W. H. & H. A. Boer. 1993. FSH enhance development potential at bovine
oocytes mature in chemically defined medium. Theriogenology 39: 216.
Fortune, J. E. 1994. Ovarian follicular growth and development in mammals. J. Biol.
Repr. 50: 225-232.
Greve, T., H. Callesen, P. Hyttel, R. Hoier & R. Assey. 1995. Effects of exogenous
gonadotropins on oocyte and embryo quality in cattle. Theriogenology 43:
41-50.
Grimes, J. F. 2008. Utilization of embryo transfer in beef cattle. http://ohioline.
osu.edu/anr-fact/pdf/ANR_17_08.pdf. [12 Desember 2011].
Hafez, E. S. E. & B. Hafez. 2000. Reproduction in Farm Animal. 7th
ed. Lippincott
Williams & Wilkins, Piladelphia.
Hardjopranjoto, H. S. 1995. Ilmu Kemajiran pada Ternak. Airlangga University
Press, Surabaya.
30
Herren, R. 2000. The Science of Animal Agriculture. 2nd
ed. Delmar Thomson
Learning, Albany.
Hunter, R. H. F. 1995. Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik.
Penerbit ITB, Bandung.
Kaiin, E. M. & B. Tappa. 2006. Induksi superovulasi dengan kombinasi CIDR,
hormon FSH dan hCG pada induk sapi potong. Med. Pet. 29: 141-146.
Kaiin, E. M., S. Said & B. Tappa. 2008. Kelahiran anak sapi hasil fertilisasi secara in
vitro dengan sperma hasil pemisahan. Med. Pet. 31: 22-28.
Kanagawa, H., I. Shimamora & N. Saito. 1995. Manual of Bovine Embryo Transfer.
Japan Livestock Technology Association, Tokyo.
Kunkel, J. R. 1998. Embryo transfer. www.wvu.edu/agexten/forglvst/Dairy/dirm26
.pdf. [12 Desember 2011].
Lewis, I. 1996. Conventional Embryo Transfer. In: I. Lewis, J. Owens, S.
McClintoch dan M. Trevean (Eds.). Cattle Breeding Technology. Genetics
Australia, Australia.
Maret, D. 2001. Pengaruh dosis follicle stimulating hormone (FSH) dan body
condition score (BCS) terhadap superovulasi sapi perah fries holstein (FH).
Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Muawanah. 2000. Superovulasi pada sapi perah fries holland (FH) dengan
pemberian dosis FSH yang berbeda. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Mustofa, I. 1999. Pengaruh pengunduran waktu penyuntikan hCG terhadap hasil
superovulasi pada sapi perah. J. Med. Vet. 15: 242-247.
Partodiharjo, S. 1982. Ilmu Reproduksi Hewan. Mutiara, Jakarta.
Robertson, I. & R. E. Nelson. 2009. Certification and Identification of Embryos. In:
D. A. Stringfellow & M. D. Givens (Eds.). Manuals of the International
Embryo Transfer Society. 4th
ed. International Embryo Transfer Society,
Illionis.
Seidel, G. E. Jr. 1981. Superovulation and embryo transfer in cattle. Sci. 211: 351-
358.
Seidel, G. E. & R. P. Elsden. 1985. Procedures for Recovery, Bisection, Freezing and
Transfer of Bovine Embryos. Colorado State Univ, Colorado.
Seidel, G. E. & R. P. Elsden. 1989. Embryo Transfer in Dairy Cattle. WD Hoard &
Sons, Colorado.
Senger, P. L. 1999. Pathways to Pregnancy and Parturition. Current Concept Inc.,
Washington.
Steel, R. G. D. & R. A. Torrie. 1993. Prinsip Prosedur Statistika. Terjemahan: B.
Sumantri. Edisi ke-2. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Suradi. 2004. Kualitas embrio hasil inseminasi buatan (IB) sapi limousin dan
simmental dengan sapi bali. Skripsi. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
31
Toelihere, M. R. 1985. Fisiologi Reproduksi pada Ternak. Penerbit Angkasa,
Bandung.
Triwulanningsih, E., M. R. Toelihere, J. J. Rutledge, T. L. Yusuf, B. Purwantara &
K. Djuyanto. 2001. Produksi embrio in vitro dengan modifikasi waktu dan
hormon gonadotropin selama pematangan oosit. JITV 6: 179.
Wheeler, M. B. & R. A. Bowen. 1989. Endocrinology and Superovulation. In:
Bovine Embryo Transfer : 1989 Short Course Proceedings. Colorado State
Univ, Colorado.
Wilson, R. 1992. Embryo Transfer in Cattle. http://www.cruachan.com.au/embryo_
transfer.htm. [3 April 2011].
Wright, J. M. 2009. Photographic Illustrations of Embryo Developmental Stage and
Quality Codes. In: D. A. Stringfellow & M. D. Givens (Eds.). Manuals of the
International Embryo Transfer Society. 4th
ed. International Embryo Transfer
Society, Illionis.
Wright, R. 1987. Present Status of and Prospects for Embryo Transfer in the United
States. In: Technical Meeting on Embryo Transfer and Animal Production.
National Academy Press, Washington DC.
Yusuf, T. L., M. R. Toelihere, I. Supriatna, L. Arifiantini. 1993. Penggunaan
Berbagai Dosis Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) untuk Kegiatan
Superovulasi dan Transfer Embrio pada Sapi FH. Pusat Antar Universitas,
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
32
LAMPIRAN
33
Lampiran 1. Analisis Sidik Ragam Respon Sapi Terhadap Superovulasi
SK DB JK KT F Hitung P
Bangsa 3 6,705 2,235 4,075 0,008*
Hormon 2 2,812 1,406 2,563 0,079***
Bangsa*Hormon 6 3,621 0,604 1,100 0,363***
Galat 211 115,728 0,548
Total 222 130,363
Keterangan : * = Sangat Nyata (p<0,01)
** = Nyata (p<0,05)
*** = Tidak Nyata (p>0,05)
Pada analisis sidik ragam di atas, kesimpulan yang diperoleh sebagai berikut:
1. Pengaruh bangsa
H0 : α1 α2 … α4=0 H1 : minimal ada satu i dimana αi≠
P-value (0,008) α ( , 1) maka terima H0. Hal ini menunjukkan bahwa
bangsa sangat berpengaruh terhadap response rate. Untuk mengetahui bangsa
mana yang memberi pengaruh yang berbeda terhadap response rate maka
perlu melakukan uji lanjut Duncan.
Duncana,,b,,c
Bangsa N
Subset
1 2
FH 68 0,69
Angus 30 0,99
Limousin 70 1,05
Simmental 55 1,17
2. Pengaruh hormon
H0 : β1 β2 β3=0 H : ada minimal satu dimana βj≠
P-value (0,079) > α ( , 5) maka terima H0. Hal ini menunjukkan bahwa
hormon tidak berpengaruh terhadap response rate sehingga tidak perlu uji
lanjut Duncan.
34
3. Pengaruh interaksi antara bangsa dan hormon
H0 : (αβ)11 (αβ)12 …. (αβ)43=0 H1 : minimal ada satu (αβ)ij≠
P-value (0,363) > α ( , 5) maka terima H0. Hal ini menunjukkan bahwa
interaksi antara bangsa dan hormon tidak berpengaruh terhadap response rate
sehingga tidak perlu uji lanjut Duncan.
Lampiran 2. Uji t-Student Jumlah Corpus Luteum (CL) pada Ovarium Kanan dan
Kiri
N Rataan SB SE Rataan
CL KANAN 238 2,16 3,13 0,20
CL KIRI 238 2,62 3,38 0,22
95% SK untuk mu cl kanan – mu cl kiri: (-1,049; 0,125)
Uji-T mu cl kanan = mu cl kiri (vs tidak =): T= -1,55 P= 0,122* db = 471
Keterangan : * = Nyata (p<0,05)
** = Tidak Nyata (p>0,05)
Lampiran 3. Analisis Sidik Ragam Jumlah Corpus Luteum Hasil Superovulasi
SK DB JK KT F Hitung P
Bangsa 3 0,831 0,277 3,026 0,032*
Hormon 2 0,322 0,161 1,760 0,176**
Bangsa*Hormon 6 0,599 0,100 1,091 0,372**
Galat 125 11,445 0,092
Total 136 13,159
Keterangan : * = Nyata (p<0,05)
** = Tidak Nyata (p>0,05)
Pada analisis sidik ragam di atas, kesimpulan yang diperoleh sebagai berikut:
1. Pengaruh bangsa
H0 : α1 α2 … α4=0 H1 : minimal ada satu i dimana αi≠
P-value (0,032) < α ( , 5) maka tolak H0. Hal ini menunjukkan bahwa
bangsa mempengaruhi jumlah CL. Untuk mengetahui bangsa mana yang
memberi pengaruh yang berbeda terhadap total CL maka perlu melakukan uji
lanjut Duncan.
35
Duncana,,b,,c
Bangsa N
Subset
1 2
FH 30 0,65
Angus 19 0,73 0,73
Limousin 47 0,83
Simmental 41 0,87
2. Pengaruh hormon
H : β1 β2 β3=0 H : ada minimal satu dimana βj≠
P-value (0,176) > α ( ,05) maka terima H0. Hal ini menunjukkan bahwa
hormon tidak berpengaruh terhadap jumlah CL sehingga tidak perlu uji lanjut
Duncan.
3. Pengaruh interaksi antara bangsa dan hormon
H0 : (αβ)11 (αβ)12 …. (αβ)43=0 H1 : minimal ada satu (αβ)ij≠
P-value (0,372) > α ( ,05) maka terima H0. Hal ini menunjukkan bahwa
interaksi antara bangsa dan hormon tidak berpengaruh terhadap jumlah CL.
Lampiran 4. Analisis Sidik Ragam Jumlah Embrio dan Ovum Hasil Superovulasi
SK DB JK KT F Hitung P
Bangsa 3 0,778 0,259 2,836 0,041*
Hormon 2 0,304 0,152 1,661 0,194**
Bangsa*Hormon 6 0,664 0,111 1,211 0,305**
Galat 125 11,428 0,091
Total 136 13,144
Keterangan : * = Nyata (p<0,05)
** = Tidak Nyata (p>0,05)
Pada analisis sidik ragam di atas, kesimpulan yang diperoleh sebagai berikut:
1. Pengaruh bangsa
H0 : α1 α2 … α4=0 H1 : minimal ada satu i dimana αi≠
P-value (0,041) < α ( , 5) maka tolak H0. Hal ini menunjukkan bahwa
bangsa mempengaruhi jumlah embrio dan ovum terkoleksi. Untuk
mengetahui bangsa mana yang memberi pengaruh yang berbeda terhadap
total embrio dan ovum terkoleksi maka perlu melakukan uji lanjut Duncan.
36
Duncana,,b,,c
Bangsa N
Subset
1 2
FH 30 0,65
Angus 19 0,74 0,74
Limousin 47 0,82
Simmental 41 0,87
2. Pengaruh hormon
H : β1 β2 β3=0 H : ada minimal satu dimana βj≠
P-value (0,194) > α ( ,05) maka terima H0. Hal ini menunjukkan bahwa
hormon tidak berpengaruh terhadap jumlah embrio dan ovum terkoleksi
sehingga tidak perlu uji lanjut Duncan.
3. Pengaruh interaksi antara bangsa dan hormon
H0 : (αβ)11 (αβ)12 …. (αβ)43=0 H1 : minimal ada satu (αβ)ij≠
P-value (0,305) > α ( ,05) maka terima H0. Hal ini menunjukkan bahwa
interaksi antara bangsa dan hormon tidak berpengaruh terhadap jumlah
embrio dan ovum terkoleksi.
Lampiran 5. Analisis Sidik Ragam Recovery Rate
SK DB JK KT F Hitung P
Bangsa 3 0,084 0,028 1,855 0,141**
Hormon 2 0,005 0,002 0,160 0,853**
Bangsa*Hormon 6 0,019 0,003 0,213 0,972**
Galat 125 1,879 0,015
Total 136 1,985
Keterangan : * = Nyata (p<0,05)
** = Tidak Nyata (p>0,05)
Pada analisis sidik ragam di atas, kesimpulan yang diperoleh sebagai berikut:
1. Pengaruh bangsa
H0 : α1 α2 … α4=0 H1 : minimal ada satu i dimana αi≠
P-value (0,141) α ( , 5) maka terima H0. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa tidak
berpengaruh terhadap recovery rate sehingga tidak perlu uji lanjut Duncan.
37
2. Pengaruh hormon
H : β1 β2 β3=0 H1 : ada minimal satu dimana βj≠
P-value (0,853) > α ( , 5) maka terima H0. Hal ini menunjukkan bahwa hormon
tidak berpengaruh terhadap recovery rate sehingga tidak perlu uji lanjut Duncan.
3. Pengaruh interaksi antara bangsa dan hormon
H0 : (αβ)11 (αβ)12 …. (αβ)43=0 H1 : minimal ada satu (αβ)ij≠
P-value (0,972) > α ( , 5) maka terima H0. Hal ini menunjukkan bahwa interaksi
antara bangsa dan hormon tidak berpengaruh terhadap recovery rate sehingga tidak
perlu uji lanjut Duncan.