tingkat infestasi cacing saluran pencernaan pada …digilib.unila.ac.id/57426/3/skripsi tanpa bab...
TRANSCRIPT
TINGKAT INFESTASI CACING SALURAN PENCERNAANPADA SAPI PO DI KECAMATAN BANJAR AGUNG
KABUPATEN TULANG BAWANG PROVINSI LAMPUNG
(Skripsi)
Oleh
REVINA SARI
JURUSAN PETERNAKANFAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG2019
ABSTRAK
TINGKAT INFESTASI CACING SALURAN PENCERNAANPADA SAPI PO DI KECAMATAN BANJAR AGUNG
KABUPATEN TULANG BAWANG PROVINSI LAMPUNG
Oleh
Revina Sari
Penelitian yang dilaksanakan di Kecamatan Banjar Agung Kabupaten TulangBawang Provinsi Lampung pada November--Desember 2018 bertujuan untukmengetahui tingkat infestasi cacing saluran pencernaan Sapi PO. Metode penelitianyang digunakan adalah metode survei. Pengambilan data dilakukan dengan caramengambil semua sampel feses yang berasal dari 90 ekor Sapi PO di 7 Desa yangterdapat pada Kecamatan Banjar Agung. Pemeriksaan sampel feses dilakukan diBalai Veteriner Lampung menggunakan uji Mc. Master dan uji Sendimentasi. Datayang diperoleh dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwatingkat infestasi cacing saluran pencernaan pada Sapi PO di Kecamatan BanjarAgung Kabupaten Tulang Bawang sebesar 54,26%. Infestasi tertinggi terdapat padadesa Warga Makmur sebesar 100,00% dan infestasi terendah terdapat pada desaTunggal Warga dan Muris sebesar 0,00%. Jenis cacing yang ditemukan pada SapiPO di Kecamatan Banjar Agung Kabupaten Tulang Bawang berasal dari kelasNematoda (Ascaris sp., Bunostomum sp., Cooperia sp., Haemanchus sp.,Oesophagustomum sp., Trichostrongylus sp., dan Singamus sp.), kelas Trematoda(Paramphistomum sp.) dan kelas Cestoda (Moniezia sp.).
Kata kunci: Cacing Saluran Pencernaan, Tingkat Infestasi, Sapi PO
ABSTRACT
INFESTATION LEVELS OF GASTROINTESTINAL HELMINTHS ON PO COWS INBANJAR AGUNG DISTRICT, TULANG BAWANG DISTRICT,
LAMPUNG PROVINCE
By
Revina Sari
The research held at Banjar Agung Districk Tulang Bawang Regency LampungProvince in November--December 2018 to know infestation levels of gastrointestinalhelminths on PO cow. The research used cencus method. Data collection was doneby taking all faecal samples from 90 PO cow at 7 village in Banjar Agung District.Faecal samples examination checked with Mc. Master and Sendimentation test atVeterinary Laboratory. Data were analyzed descriptively. In result indicated thatgastrointestinal helminths PO cow infestation levels at Banjar Agung District TulangBawang Regency Lampung Province about 54,26%. The highest infestation found inWarga Makmur village about 100,00% and the lowest infestation found in TunggalWarga and Muris village about 0,00%. Helmiths species that found in PO cow atBanjar Agung District Tulang Bawang Regency are from Nematode class (Ascarissp., Bunostomum sp., Cooperia sp., Haemanchus sp., Oesophagustomum sp.,Trichostrongylus sp., and Singamus sp.), Trematode class (Paramphistomum sp.)and Cestode class (Moniezia sp.).
Keywords: Gastrointestinal Helminths, Infestation Levels, PO cow.
TINGKAT INFESTASI CACING SALURAN PENCERNAANPADA SAPI PO DI KECAMATAN BANJAR AGUNG KABUPATEN
TULANG BAWANGPROVINSI LAMPUNG
Oleh
REVINA SARI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk mencapai gelarSarjana Peternakan
Pada
Jurusan PeternakanFakultas Pertanian Universitas Lampung
FAKULTAS PERTANIANUNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG2019
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Bandar Lampung pada 12 September 1996, sebagai putri
ketiga dari empat bersaudara pasangan bapak Rozali, S.E dan ibu Nurhayati.
Penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK Al-Azhar 2 Bandar
Lampung pada tahun 2002, sekolah dasar di SD Al-Azhar 2 Bandar Lampung
pada tahun 2008, sekolah menengah pertama di SMP Al-Azhar 3 Bandar
Lampung pada tahun 2011, sekolah menengah atas di SMAN 1 Bandar Lampung
pada 2014.
Penulis terdaftar sebagai mahasiswa Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian,
Universitas Lampung, Bandar Lampung pada 2014 melalui jalur Seleksi Nasional
Masuk Perguruan Tinggi Negeri. Selama menjadi mahasiswa, penlis aktif di
kepengurusan Himpunan Mahasiswa Peternakan (Himapet) FP Unila sebagai
Anggota Biasa periode 2015/2016. Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata di
Desa Cahyou Randu, Kecamatan Pagar Dewa, Kabupaten Tulang Bawang Barat
pada Januari sampai Februari 2018 kemudian Pada Juli sampai Agustus 2018
penulis melaksanakan Praktik Umum di SPR Maju Sejahtera, Kecamatan Tanjung
Sari, Kabupaten Lampung Selatan.
“Orang-orang yang sukses telah belajar membuat diri mereka
melakukan hal yang harus dikerjakan ketika hal itu memang harus
dikerjakan, entah mereka menyukainya atau tidak.”
(Aldus Huxley)
“Kita melihat kebahagiaan itu seperti pelangi, tidak pernah berada di
atas kepala kita sendiri, tetapi selalu berada di atas kepala orang lain.”
(Thomas Hardy)
"When Allah pushes you to the cliff, rest assured that only two things
are possible. Maybe Allah will catch you, or Allah wants you to learn
how to fly.”
(Revina Sari)
Alhamdulllahirrabil’alamin, puji syukur kehadirat Allah SWT atas
segala rahmat dan hidayah--Nya serta suri tauladanku Nabi
Muhammad SAW sebagai pedoman Hidup seluruh umat dan pemberi
syafaat di hari akhir
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kupersembahkan karya sederhana ini untuk kedua orang
tua ku tercinta bapak dan mami, tak pernah jenuh mendoakan serta
memberikan kasih sayang yang tak ternilai bagiku
Kakak dan adikku tersayang, keluarga besarku, dan sahabatku atas
segala dukungan dan motivasi selama ini
Seluruh dosen serta guru yang telah memberikan ilmu pengetahuan
yang berharga serta memberikan pengalaman yang tidak tergantikan
bagiku
Serta
Lembaga yang turut membentuk pribadi diriku, mendewasakanku
dalam berpikir dan bertindak.
Almamater Kampus Hijau Unila yang kucintai dan kubanggakan
SANWACANA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, salawat serta salam penulis
panjatkan untuk Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya. Berkat rahmat,
hidayah, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul Tingkat Infestasi Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi PO di
Kecamatan Banjar Agung Kabupaten Tulang Bawang Provinsi Lampung.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat selesai karena dukungan dari berbagai
pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih
atas segala dukungan, bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak selama proses
studi dan juga selama proses penyusunan skripsi ini. Penulis mengucapkan
terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Irwan Sukri Banuwa, M. Si.--selaku Dekan Fakultas Pertanian,
Universitas Lampung--atas izin yang telah diberikan;
2. Ibu Sri Suharyati, S. Pt., M. P.--selaku Ketua Jurusan Peternakan Fakultas
Pertanian Universitas Lampung dan selaku pembahas atas bimbingan, saran,
perhatian, motivasi, dan ilmu yang diberikan selama masa studi dan
penyusunan skripsi;
3. Bapak drh. Madi Hartono, M. P.--selaku pembimbing utama dan pembimbing
akademik--atas bimbingan, arahan, perhatian, motivasi, dan ilmu yang
diberikan selama masa studi dan penyusunan skripsi;
4. Bapak Siswanto, S.Pt., M.Si--selaku pembimbing anggota atas bimbingan,
saran, perhatian, motivasi, dan ilmu yang diberikan selama masa studi dan
penyusunan skripsi;
5. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Peternakan, Fakultas Pertanian, Universitas
Lampung--atas bimbingan, nasehat, motivasi, dan ilmu selama masa studi;
6. Bapak Rudimin--selaku Ketua Tani Kecamatan Banjar Agung--atas izin,
bantuan, serta arahan yang diberikan selama masa penelitian;
7. Peternak di Kecamatan Banjar Agung--atas kerjasamanya;
8. Bapak dan Ibu Balai Veteriner Regional III Lampung, yang telah memberikan
fasilitas, bimbingan, dan arahan kepada penulis selama melaksanakan
penelitian;
9. Bapak dan Mami tercinta--atas cinta kasih, nasihat, kesabaran, dukungan
moril, motivasi, serta doa tulus yang selalu dipanjatkan bagi penulis;
10. Kakak dan Adik yang kusayangi Gusti, Aying dan Ida--atas dukungan,
semangat, dan motivasinya bagi penulis;
11. Aditya Prayoga dan Wahyu Lestari--teman seperjuangan dalam penelitian--
atas motivasi, dukungan, bantuan, serta kerjasama yang diberikan;
12. Teman-teman terbaikku Dilah, Irna, Ede, Linda, Ujo, Ncik, keluarga Sekret
serta Bang Elvin dan Putri--atas bantuannya selama masa penelitian dan
persahabatan selama ini;
13. Sahabat-sahabat terkasihku Misa, Rani, Ayu, Vanda, Ghaluh, Rani DF, Dewi,
Ica, Ochi--atas motivasi, dukungan yang telah diberikan kepada penulis;
14. Keluarga besar Angkatan 2014 Jurusan Peternakan--atas bantuan fisik
maupun pemikiran yang telah diberikan serta persaudaraan yang erat selama
ini;
15. Semua pihak yang telah membantu dan mendukung baik dalam pelaksanaan
penelitian dan penyusunan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan untuk perbaikan di masa
mendatang. Akhir kata, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang memerlukannya.
Bandar Lampung, 2019
Penulis,
Revina Sari
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ..................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR................................................................................. iv
I. PENDAHULUAN .................................................................................. 1
A. Latar Belakang dan Masalah ............................................................ 1
B. Tujuan Penelitian .............................................................................. 3
C. Manfaat Penelitian ............................................................................ 3
D. Kerangka Pemikiran ......................................................................... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 7
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ................................................ 7
B. Sapi Peranakan Ongole (PO) ............................................................ 8
C. Pola Pemeliharaan ............................................................................ 9
D. Jenis Cacing Saluran Pencernaan ..................................................... 11
a) Nematoda.................................................................................. 12
b) Trematoda.................................................................................. 18
c) Cestoda……………………....................................................... 21
E. Diagnosa Cacing Saluran Pencernaan .............................................. 23
F. Pencegahan Cacing Saluran Pencernaan .......................................... 24
G. Pengobatan Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi Potong ............. 25
III. METODE PENELITIAN .................................................................. 27
A. Waktu dan Tempat Penelitian ........................................................ 27
B. Bahan dan Alat Penelitian ............................................................. 27
1. Alat.......................................................................................... 27
2. Bahan ...................................................................................... 27
C. Metode Penelitian.......................................................................... 27
a) Prosedur penelitian .................................................................. 27
b) Metode pengambilan data ........................................................ 28
c) Teknik pengambilan sampel .................................................... 28
d) Prosedur pemeriksaan sampel ................................................. 29
e) Analisis data ............................................................................. 30
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN................................. 31
A. Kondisi Peternak Sapi PO di Kecamatan Banjar AgungKabupaten Tulang Bawang ............................................................. 31
B. Prevalensi Cacing Saluran Pencernaan Sapi PO di Kecamatan BanjarAgung Kabupaten Tulang Bawang ................................................. 35
C. Infestasi Cacing Tunggal dan Campuran pada Sapi PO di KecamatanBanjar Agung Kabupaten Tulang Bawang ..................................... 42
V. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 49
A. Kesimpulan .................................................................................... 49
B. Saran ............................................................................................... 49
DAFTAR PUSTAKA................................................................................ 50
LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman:
1. Prevalensi cacing saluran pencernaan sapi PO di KecamatanBanjar Agung Kabupaten Tulang Bawang ....................................... 35
2. Lembar kuisioner data peternak .................................................... 56
3. Data kuisioner peternak dan sapi Bali Kecamatan Candipuro ...... 59
4. Latar belakang pendidikan peternak Kecamatan Banjar AgungKabupaten Tulang Bawang............................................................. 65
5. Pengalaman beternak ..................................................................... 65
6. Sistem pemeliharaan sapi PO di Kecamatan Banjar AgungKabupaten Tulang Bawang............................................................. 65
7. Sumber pakan hijauan yang diberikan dengan sistem intensif ...... 66
8. Sumber pakan hijauan yang diberikan dengan sistem semiintensif ............................................................................................ 66
9. Lokasi pengembalaan ..................................................................... 66
10. Perlakuan pemberian hijauan ......................................................... 66
11. Sumber air minum yang diberikan ................................................. 66
12. Kegiatan sanitasi kandang ..................................................................... 67
13. Kepadatan kandang ternak ........................................................... 67
14. Lokasi kandang ............................................................................ 67
15. Kondisi lingkungan kandang ....................................................... 67
16. Genangan air di lokasi kandang dan pengembalaan .................... 67
17. Adanya siput di lokasi kandang dan penggembalaan.................... 68
18. Tindakan pengobatan ternak yang dilakukan............................... 68
19. Frekuensi pengobatan ternak ....................................................... 68
20. Sejarah Penyakit Cacingan.......................................................... 68
21. Konsistensi feses ......................................................................... 68
22. BCS ternak .................................................................................. 69
21. Hasil analisis laboratorium ............................................................ 70
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman:
1. Telur cacing saluran pencernaan pada sapi....................................... 21
2. Infestasi tunggal cacing saluran pencernaan di KecamatanBanjar Agung Kabupaten Tulang Bawang ....................................... 42
2. Infestasi tunggal dan campuran cacing saluran pencernaan diKecamatan Banjar Agung Kabupaten Tulang Bawang .................... 45
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang dan Masalah
Indonesia merupakan negara agraris dengan mata pencaharian penduduknya
sebagian besar pada sektor pertanian, salah satunya adalah usaha pembibitan dan
penggemukan sapi potong (Arbi, 2009). Usaha penggemukan sapi akhir-akhir ini
semakin berkembang, hal ini ditandai dengan semakin banyaknya masyarakat
maupun daerah yang mengusahakan penggemukan sapi. Pada saat ini usaha
penggemukan sapi sudah menyebar ke beberapa daerah di luar Jawa, seperti
Sulawesi, Bali, NTB, NTT, Aceh, dan Lampung.
Kabupaten Tulang Bawang merupakan salah satu wilayah Sentra Sapi Potong di
Provinsi Lampung. Secara umum budidaya ternak sapi potong di Kabupaten
Tulang Bawang dikembangkan dengan pembibitan dan penggemukan. Kabupaten
Tulang Bawang memiliki luas wilayah ± 4.385,84 km² yang tersebar dalam 15
wilayah pemerintahan kecamatan salah satunya yaitu Kecamatan Banjar Agung.
Berdasarkan survey yang telah dilakukan, Kecamatan Banjar Agung memiliki
berbagai jenis ternak yang dipelihara, salah satunya yaitu ternak sapi Peranakan
Ongole (PO) sebanyak 94 ekor terdiri dari jantan 35 ekor, betina 59 ekor yang
tersebar di 7 desa.
2
Sapi PO merupakan hasil pemuliaan melalui sistem persilangan dengan grading
up sapi Jawa dan Sumba Ongole (SO). Sapi PO menunjukkan keunggulan sapi
tropis yaitu daya adaptasi iklim tropis yang tinggi, tahan terhadap panas, tahan
terhadap gangguan parasit seperti gigitan nyamuk dan caplak, toleransi yang baik
terhadap pakan yang mengandung serat kasar tinggi. Sapi PO di beberapa daerah
dipelihara dengan tujuan ganda disamping sebagai sapi potong penghasil daging
juga sebagai sapi kerja (Anonim, 2003).
Penyakit yang menjadi masalah menahun di negara tropis seperti Indonesia adalah
penyakit cacing saluran pencernaan. Penyakit cacing saluran pencernaan pada
hewan merupakan penyakit yang dapat mempengaruhi produktivitas ternak dan
umumnya tidak menimbulkan kematian, tetapi bersifat menahun yang dapat
mengakibatkan kekurusan, lemah dan turunnya daya produksi. Infeksi cacingan
ringan sampai sedang tidak selalu menampakkan gejala klinis yang nyata,
sedangkan infeksi berat dari cacing dewasa dapat menyebabkan gangguan
pencernaan dan terhambatnya pertumbuhan pada hewan ternak muda (Subekti
dkk, 2011).
Jenis cacing yang sering menginfeksi adalah cacing dari kelas Trematoda, Cestoda
dan Nematoda (Larasati, 2016). Menurut Yulianti (2007), penyebaran infestasi
cacing terjadi cukup tinggi pada daerah tropis yang lembab dan panas, sehingga
mendukung kelangsungan hidup cacing tersebut. Menurut Raza dkk. (2012),
manajemen pemeliharaan ternak terutama sanitasi kandang dan kebersihan
kandang yang kurang baik merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
prevalensi penyakit cacingan. Selain itu, menurut Raza dkk. (2012), sejumlah
3
faktor intrinsik yang juga mempengaruhi infeksi cacingan, diantaranya adalah
umur, jenis kelamin, dan bangsa sapi.
Faktor yang mempengaruhi kurangnya keberhasilan usaha sapi PO di Kecamatan
Banjar Agung ini dikarenakan produksi ternak yang menurun akibat terkena
penyakit cacingan. Berdasarkan informasi yang telah diperoleh dari dinas
peternakan yang menyatakan bahwa saat ini belum diketahui data mengenai
tingkat infestasi cacing saluran pencernaan pada sapi PO di Kecamatan tersebut.
Oleh karena itu diperlukan data infestasi cacing saluran pencernaan pada sapi PO
sehingga dapat digunakan sebagai informasi bagi peternak di Kecamatan Banjar
Agung untuk melakukan pencegahan dan pengendalian penyakit cacingan
tersebut.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat infestasi cacing saluran
pencernaan pada sapi PO di Kecamatan Banjar Agung, Kabupaten Tulang
Bawang, Provinsi Lampung.
C. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
tingkat infestasi cacing saluran pencernaan pada sapi PO di Kecamatan Banjar
Agung, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung sehingga bermanfaat bagi
usaha pencegahan, pemberantasan dan pengobatan penyakit cacing.
4
D. Kerangka Pemikiran
Tingginya impor daging dan sapi bakalan untuk memenuhi kebutuhan daging
dalam negeri dapat dijadikan pendorong untuk memperbaiki produktivitas dan
pengelolaan sapi asli Indonesia termasuk Sapi PO (Soeharsono, 2002). Sapi PO
merupakan salah satu alternatif pilihan bagi ternak sapi potong yang
dikembangkan dan dipergunakan untuk membantu usaha tani dan pengadaan
protein hewani (Achjadi, 1986). Sapi PO termasuk tipe pedaging dan pekerja.
Keunggulan yang dimiliki sapi PO yaitu dapat mengolah lahan karena badan
besar, kuat, jinak dan bertemperamen tenang, dan mampu beradaptasi dengan
kondisi yang kurang nyaman.
Keberhasilan suatu usaha peternakan sapi tidak lepas dari manajemen
pemeliharaannya. Oleh karena itu pengetahuan mengenai manejemen yang baik
sangat diperlukan untuk menunjang keberhasilanya (Santoso, 2008). Salah satu
faktor yang menentukan keberhasilan usaha ternak sapi dari aspek manejemen
adalah faktor kesehatan atau kontrol penyakit. Salah satu penyakit yang selalu
menjadi masalah di Indonesia adalah penyakit cacing saluran pencernaan.
Penularan penyakit yang disebabkan parasit ini mencakup tiga faktor yaitu sumber
infeksi, cara penularan dan adanya hewan yang peka yang dapat bertindak sebagai
hewan sumber infeksi (Brown, 2003). Menurut Larasati (2012), penyebaran
penyakit cacing dipengaruhi oleh musim, keadaan lingkungan, tata laksana dan
pakan.
Kecamatan Banjar Agung merupakan salah satu Sentra Sapi Potong di Kecamatan
Tulang Bawang, Provinsi Lampung. Para peternak di kecamatan ini memelihara
5
sapi dengan cara tradisional, sapi dipelihara di belakang rumah peternak dan
diberikan pakan hijauan berupa rumput dalam keadaan masih segar tanpa
dikeringkan terlebih dahulu. Penggunaan pakan berupa rumput segar
menyebabkan rumput masih lembab dan masih banyak mengandung metasekaria.
Menurut Indrati (2017), pakan yang berupa hijauan sebaiknya dilayukan terlebih
dahulu guna menghindari larva cacing termakan oleh ternak bila diberikan dalam
kondisi segar. Kasus cacingan pada ternak sapi sering terjadi terutama pada sistem
pemeliharaan tradisional, ternak biasanya diberi pakan rumput dan jarang
diberikan obat cacing.
Penyakit cacingan ini biasanya kurang mendapat perhatian dari peternak.
Upaya pencegahan dapat dilakukan melalui ternak itu sendiri maupun dari
lingkungan seperti pemberian obat cacing sejak sapi usia muda secara berkala
setiap 3-4 bulan sekali untuk membasmi cacing secara tuntas, memperhatikan
sanitasi kandang beserta peralatannya, dan sistem penggembalaan perlu
diperhatikan seperti melakukan penggembalaan bergilir serta tidak menggunakan
padang penggembalaan yang sama secara terus menerus (BBPTU HPT Sumbawa,
2011).
Kerugian yang dapat ditimbulkan dari penyakit cacing antara lain penurunan
produktivitas ternak, penurunan daya kerja, kerugian penurunan berat badan 6-12
kg per tahun, penurunan kualitas daging, kulit, dan organ bagian dalam,
terhambatnya pertumbuhan pada hewan muda dan bahaya penularan pada
manusia atau zoonosis (Hawkins, 1993; Gasbarre dkk., 2001). Keterlambatan
pertambahan berat badan sapi yang terinfeksi cacing menurut Sudradjat (1991)
6
dapat mencapai lebih dari 40 % dibandingkan dengan sapi normal. Menurut
Imbang (2007) walaupun penyakit cacingan tidak langsung menyebabkan
kematian, akan tetapi kerugian dari segi ekonomi dikatakan sangat besar, sehingga
penyakit parasit cacing disebut sebagai penyakit ekonomi. Oleh karena itu, data
Infestasi cacing saluran pencernaan sapi PO yang didapat diharapkan dapat
digunakan sebagai informasi bagi para peternak untuk dilakukan pencegahan dan
pengendalian penyebaran cacing saluran pencernaan pada sapi PO di Kecamatan
Banjar Agung serta dapat membantu untuk mengurangi kerugian ekonomi
peternak.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kabupaten Tulang Bawang setelah dimekarkan memiliki luas wilayah ± 4.385,84
Km2. Terletak antar 3°50’- 4°40’ LS dan 104°58’- 105°52’ BT. Kabupaten Tulang
Bawang terletak di bagian hilir dari 2 (dua) sungai besar yaitu Way Tulang
Bawang dan Way Mesuji. Banjar Agung adalah sebuah kecamatan di Kabupaten
Tulang Bawang, memiliki 11 desa yaitu Desa Banjar Agung, Desa Banjar Dewa,
Desa Tunggal Warga, Desa Dwi Warga, Desa Warga Makmur, Desa Warga
Indah, Desa Tri Tunggal Jaya, Desa Muris, Desa Tri Mukti, Desa Tri Darma, dan
Desa Tri Mulya.
Wilayah Kabupaten Tulang Bawang yang cukup luas, terdiri dari dataran dan
perairan (rawa, sungai dan lain-lain) dengan topografi yang relatif beragam
memberikan potensi yang besar untuk pengembangan pertanian, baik tanaman
pangan dan perkebunan maupun peternakan. Komoditas Sub Sektor Peternakan
yang potensial untuk dikembangkan di Kabupaten Tulang Bawang antara lain
meliputi ternak sapi potong, kerbau, kambing, babi, ayam dan itik.
Budidaya ternak memerlukan input berupa lahan, untuk habitat ternak dan
tanaman (pakan ternak) serta air untuk minum ternak dan asupan bagi tanaman
(Hijauan Makanan Ternak). Dengan potensi lahan pertanian seluas 63.639 Ha dan
8
lahan perkebunan 89.647 Ha memberikan peluang yang cukup besar untuk
pengembangan sektor pertanian, termasuk peternakan, yaitu penanaman Hijauan
Makanan Ternak (HMT) di Kabupaten Tulang Bawang.
Berdasarkan Koefisien teknis dan potensi sumber pakan yang ada diperkirakan di
Kabupaten Tulang Bawang akan mampu menampung 107.527 ST yang terdiri
dari 61.901 ST untuk ternak sapi (setara dengan 88.430 ekor sapi) 35.550 ST
untuk kerbau yang setara dengan 44.438 kerbau dan 10.076 ST untuk kambing
setara dengan 71.971 ekor kambing. (Anonim, 2013).
B. Sapi Peranakan Ongole (PO)
Sapi Peranakan Ongole merupakan jenis sapi potong yang dipelihara dengan
tujuan utama sebagai penghasil daging. Sapi potong adalah jenis sapi khusus
dipelihara untuk digemukkan karena memiliki karakteristik, seperti tingkat
pertumbuhan cepat dan kualitas daging cukup baik (Abidin, 2006). Sapi-sapi ini
umumnya dijadikan sebagai sapi bakalan yang dipelihara secara intensif selama
beberapa bulan, sehingga diperoleh pertambahan bobot badan ideal untuk
dipotong. Sapi PO merupakan sapi yang berasal dari persilangan antara bangsa
sapi Jawa (sapi lokal) dengan bangsa sapi Ongole (India) yang telah berlangsung
cukup lama yakni sejak tahun 1908. Persilangan tersebut merupakan suatu
”Grading Up” yang bertujuan untuk memperoleh ternak sapi yang dapat
digunakan bagi keperluan tenaga tarik dalam membantu petani mengolah tanah
pertanian dan transportasi (Atmadilaga, 1979).
9
Sapi PO mempunyai ciri-ciri berwarna dominan putih dengan warna hitam di
beberapa bagian tubuh, bergelambir dibawah leher dan berpunuk (Abidin, 2002).
Ciri-ciri Sapi PO yaitu berwarna putih, mempunyai perawakan yang
besar,bergumba pada pundaknya dan mempunyai gelambir yang menjulur
sepanjang garis bawah leher, dada, sampai ke pusar. Sapi PO juga termasuk tipe
sapi pekerja yang baik, tenaganya kuat, tahan lapar dan haus, serta dapat
menyesuaikan dengan pakan yang sederhana., bobot badan sapi jantan berkisar
550 kg sedangkan betina bobot bekisar 350 kg (Siregar, 2008). Tinggi Sapi
Peranakan Ongole jantan berkisar 150 cm dengan berat badan mencapai 600 Kg.
Sementara itu, betina memiliki tinggi badan berkisar 135 cm dan berat badan 450
Kg. Pertambahan bobot badan Sapi Pernakan Ongole dapat mencapai 0,9 Kg per
hari dengan kualitas karkas mencapai 45 – 58%. Rasio daging dengan tulangnya
adalah 1 : 423 (Sosroamidjojo dan Soeradji, 1990).
Keunggulan Sapi Peranakan Ongole yaitu mampu berdaptasi terhadap berbagai
kondisi lingkungan, cepat bereproduksi, tempramen bagus, pertumbuhan relatif
cepat, presentase karkas dan kualitas daging baik, aktivitas reproduksi induknya
cepat kembali normal setelah beranak, jantannya memiliki kualitas semen yang
baik.
C. Pola Pemeliharaan
Pola pengelolaan peternakan sapi di Indonesia sudah mengarah pada sistem yang
lebih modern. Pola yang banyak dipakai oleh peternak Indonesia adalah usaha
penggemukan sapi. Terdapat beberapa jenis pola pemeliharaan sapi yaitu sistem
ekstensif (digembalakan), intensif (dikandangkan) dan semi intensif (kombinasi).
10
Pada pola penggembalaan (pasture fattening), sapi tidak mendapatkan pakan
tambahan dan dibiarkan mencari makan pada padang rumput atau tempat yang
memiliki hijauan. Pola kandang (dry lot fattening) pemberian proporsi pakan
hijauan lebih sedikit daripada konsentrat dengan dikandangkan tanpa
digembalakan. Serta pola kombinasi diantara keduanya, proporsi pakan hijauan
diperoleh dari penggembalaan di padang tanpa harus dikandangkan dan diberikan
juga pakan konsentrat. Pola kereman dilakukan dengan pemberian pakan hijauan
dan konsentrat bergantung pada musim (Setiadi et al., 2012).
Faktor lingkungan memiliki hubungan erat dengan sistem pemeliharaan ternak,
khususnya pada sistem pemeliharaan ekstensif (digembalakan) dan semi-ekstensif
usaha ternak dilakukan dengan cara memelihara ternak di lingkungan tempat
tinggal dan tidak dikandangkan. Kondisi inilah yang menjadikan faktor
lingkungan berpengaruh langsung terhadap perkembangan ternak. Selain faktor
ketersediaan nutrisi baik secara kualitas maupun kuantitas, kondisi biofisik
lingkungan pada sistem pemeliharaan ekstensif dan semi-ekstensif juga
berpengaruh terhadap potensi munculnya berbagai serangan parasit pada
pemeliharaan ternak sapi. Kotoran ternak yang dihasilkan dan terpapar pada
lingkungan sekitar penggembalaan menciptakan habitat bagi munculnya parasit
dan penyakit.
Berbagai jenis penyakit pada ternak mampu menimbulkan kerugian pada
peternak. Penyakit-penyakit yang disebabkan oleh parasit misalnya merupakan
hambatan yang penting pada pengembangan peternakan. Cacing merupakan
parasit internal yang dapat menyerang sapi. Cacing dapat mengganggu
11
pertumbuhan sapi seperti menyebabkan kekurusan, anemia, diare serta gejala
lainnya. Beberapa cacing hidup di dalam abomasum dan usus. Ribuan cacing dari
berbagai spesies tinggal dalam perut sapi. Cacing-cacing biasanya lebih banyak
menyerang anak sapi dan sapi-sapi muda. Hal ini karena anak sapi dan sapi muda
sangat peka terhadap infeksi cacing. Sementara sapi-sapi dewasa umumnya lebih
tahan terhadap infeksi cacing (Yulianto dan Saparinto, 2010 ).
Daerah tropis dengan temperatur yang hangat serta tingkat kelembaban tertentu
merupakan tempat yang baik untuk berkembangnya penyakit-penyakit parasit.
Faktor lain seperti kekurangan pakan yang berpengaruh pada kurangnya gizi
dengan disertai infeksi parasit sedikit saja sudah berpengaruh buruk pada ternak,
menurunkan produksi dan bahkan mengancam jiwa ternak. Cacing nematoda di
dalam saluran pencernaan merupakan cacing yang paling banyak terdapat
dibandingkan dengan organ sehingga penting artinya secara ekonomis. Parasit
yang ada disetiap hewan merupakan campuran dari beberapa atau banyak jenis
nematoda. Infeksi yang terlihat di lapangan merupakan penjumlahan dari
pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan oleh semua parasit. Infeksi alami diperoleh
hewan-hewan dengan cara menelan larva sedikit-sedikit selama satu periode
waktu yang panjang (Levine, 1994;Williamson dan Payne, 1993).
D. Jenis Cacing Saluran Pencernaan
Soulsby (1986) menyebutkan jenis cacing saluran pencernaan yang sering
menyerang ternak sapi berasal dari kelas Nematoda, Cestoda, dan Trematoda.
Jenis cacing yang berasal dari kelas Nematoda antara lain Ascaris sp.,
Bunostomum sp., Haemonchus sp., Trichuris sp., Strongyloides papillosus,
12
Toxocara vitulorum., Gaigeria sp., Oesophagostumum sp., Trichostrongylus sp.,
Cooperia sp., Syngamus laryngeus., dan Mecistocirrus digitatus. Jenis cacing
yang berasal dari kelas Cestoda adalah Moniezia benedini. Sedangkan jenis cacing
yang berasal dari kelas Trematoda antara lain Fasciola spp., Paramphistomum
cervi, Cotylophoron cotylophorum, Eurytrema pancreaticum dan Gastrothylax
crumenifer (Soulsby, 1986 ; Tarmuji, 1988).
a) Nematoda
1. Morfologi
Telur Ascaris sp. dewasa betina berukuran 20-50 cm dengan diameter ±3-6 mm,
jantan berukuran 15-30 cm x 2,4 mm. Ekor cacing jantan melingkari bagian
bawah dan mempunyai dua papila ventrolateral yang membujur dan memanjang
di sebelah anterior hingga bagian ekor di luar pembukaan kloaka. Telur
Bunostomum sp. mempunyai ukuran telur 79-97 x 47-50 µm. Telur berbentuk
bulat lonjong dengan ujung tumpul dan berisi sel embrio. Warna telur lebih gelap
dan genus lain sehingga lebih mudah dibedakan dari telur cacing lainnya. Telur
Haemonchus sp. panjangnya bisa mencapai sekitar 10-20 mm untuk jantan dan
betina mencapai 18-30 mm. cacing ini dapat menghisap darah hingga volume 0,05
ml/hari pada fase larva ke empat (L4). Telur Trichuris sp. berwarna coklat
berbentuk seperti buah lemon dengan kedua ujungnya mempunyai sumbat
transparan. Panjang telur 70-80 x 30-42 µm. Telur Strongyloides papillosus
memiliki panjang 40-60 x 20-26 µm, saat dikeluarkan sudah mengandung larva
dengan dinding telur yang tipis. Telur Toxocara vitulorum berbentuk sub globular
dikelilingi lapisan albumin yang tebal dengan ukurannya 75-95 x 60-75 µm. Telur
13
Gaigeria sp. berukuran besar yaitu 105-129 x 50-55 µm. Bentuk telur tumpul
pada kedua ujungnya. Telur Oesophagostumum sp. mempunyai lapisan atau
selaput tipis. Bentuk permukaan telur elips. Telur yang dikeluarkan sudah
mengandung 8-16 sel dan berukuran 73-89 x 34-45 µm. Telur Trichostrongylus
sp. disebut juga telur lambung. Ukuran telur 79-101 x 39-47 µm. Telur berbentuk
oval dengan salah satu ujungnya terlihat lancip. Telur Cooperia sp. yang
berbentuk elips berukuran 67-85 µm. Telur Syngamus laryngeus berwarna merah
darah; jantan digabungkan secara permanen dengan betina dan secara khas
berbentuk Y, panjang nya sekitar 3 mm untuk jantan dan betina mencapai 10 mm
dan, telur Mecistocirrus digitatus, berukuran 95-120 x 56-60 µm. Telur ini
berwarna lebih gelap dari Haemonchus sp.. Banyak ditemukan di Indonesia pada
ternak ruminansia besar.
2. Patogenesis
Akibat infeksi cacing Nematoda pada saluran pencernaan sapi banyak sekali
menimbulkan kerusakan pada dinding abomasum dan usus halus, selain itu
kerusakan juga dapat disebabkan dari perjalanan daur hidup larva ke organ lain.
Adanya penebusan larva cacing kedalam mukosa usus halus menimbulkan iritasi
dan peradangan dinding mukosa usus halus yang disertai dengan adanya lesi
ulsera, pendarahan dan diare, bahkan apabila semakin parah bisa terjadi ruptura
(Subekti dkk., 2010). Soulsby (1986) menyatakan bahwa infeksi dari Ostertagia
sp. ditandai nodul pada permukaan mukosa abomasum. Infeksi dari cacing
Trichostrogylus sp. dan Nematodirus walaupun tidak menghisap darah tetapi
dapat menimbulkan luka dan disertai pendarahan sebagai akibat penembusan larva
14
ke dalam mukosa usus halus. Cacing dari genus Cooperia, Nonustomum dan
Strongyloides selain menghisap darah juga bentuk larvanya dapat menembus
mukosa sehingga menimbulkan reaksi keradangan yang disertai pendarahan pada
hewan akan mengalami anemia. Infeksi Bonustomum sp. yang berat hewan selain
menderita anemia juga hipoproteinemia yang akhirnya menimbulkan oedema
dibawah kulit, pada kasus yang kronis bisa menyebabkan bottle jaw. Cara
penularan S. laryngeus tidak diketahui tetapi diasumsikan mirip dengan S.
trachea, yang diperoleh dengan menelan telur berembrio, larva menetas, atau
inang paratenik seperti cacing tanah, siput, atau artropoda. Cacing menempel pada
mukosa laring pada hewan dan menyebabkan bronkitis dan batuk. Cacing dewasa
dari genus Mecistocirrus yang hidup di lumen abomasum dan di duodenum akan
merusak mukosa dengan cara memasukkan dorsal lansetnya untuk menghisap
darah. Cacing ini juga mengeluarkan zat anti pembekuan darah ke dalam luka
yang ditimbulkan sehingga mukosa tersebut menjadi teriritasi. Cacing tersebut
menghisap darah induk semang dalam jumlah yang cukup besar (Subekti dkk.,
2010).
Infeksi cacing dari genus Trichuris akan menimbulkan radang mukosa sekum,
nekrose, haemoragi, oedema mukosa sekum pada sejumlah cacing dewasa. Cacing
dari genus Oesophagustomum sp. apabila menginfeksi pada ternak akan terjadi
reaksi keradangan local dikelilingi larva sehingga terjadi penggumpalan sel
cosinofil, limfosit, makrofag, dan sel raksasa mengelilingi larva sehingga
berbentuk nodul, kemudian pada pusat nodul terjadi pengejuan dan pengapuran
serta diluarnya terbentuk kapsul dari fibroblast. Larva dapat bertahan dalam nodul
kurang lebih tiga bulan dan apabila nodul sudah mengalami pengejuan dan
15
pengapuran maka larva akan mati (Soulsby, 1986). Cacing dewasa dari genus
Chabertia hidupnya menempel pada membrane mukosa dari kolon dengan
menggunakan bukal kapsul, cacing ini menghisap pembuluh darah sehingga
menyebabkan pecahnya pembuluh darah (Soulsby, 1986).
3. Siklus Hidup
Siklus hidup cacing Nematoda pada ruminansia bersifat langsung, tidak
membutuhkan hospes intermediet siklusnya terdiri dari telur, empat stadium larva,
dan dewasa (Levine, 1990). Habitat cacing Nematoda dewasa di dalam saluran
gastrointestinal inang definitif. Telur yang diproduksi oleh cacing betina dewasa
keluar bersama tinja. Telur berembrio akan menetas di luar tubuh inang menjadi
stadium larva stadium 1 yang berkembang dan ekdisi menjadi larva stadium 2
mengalami ekdisis menjadi larva stadium 3 namun kutikulanya tidak dilepas
setelah ekdisis sebelumnya sehingga larva stadium 3 memiliki kutikula rangkap
(Soulsby 1982, Levine 1990). Larva infektif dapat masuk ke tubuh ruminansia
melalui beberapa cara diantaranya yaitu lewat pakan, minum, atau penetrasi kulit.
Pada genus Haemonchus, Mecistocirrus, Trichostrongylus, Trichuris,
Oesophagostumum dan Toxocara vitulorum larva infektif ini masuk ke dalam
tubuh hewan melalui pakan dan minum (Subekti dkk., 2010).
Pada genus Haemonchus dan Mecistocirrus setelah larva stadium 3 masuk dalam
saluran pencernaan kemudian melepaskan selubungnya dan migrasi ke
abomasum. Di dalam abomasum larva stadium 3 mengalami perkembangan lebih
lanjut menjadi larva stadium 4 dalam waktu 2 hari setelah infeksi, selanjutnya
larva berpredileksi pada lamina propria selaput lendir abomasum. Pada cacing
16
Trichostrongylus, larva stadium 3 masuk kedalam saluran pencernaan dengan
menembus mukosa usus halus kemudian berdiam diri selama 7 hari dan
mengalami pergantian kulit menjadi larva stadium 4, selanjutnya larva keluar dari
mukosa usus halus ke lumen usus dan menjadi dewasa. Pada cacing Trichuris,
setelah larva stadium 3 masuk bersama pakan selanjutnya larva akan menetas di
dalam usus. Kemudian larva menuju sekum dan menempel pada bagian mukosa
sekum untuk berkembang menjadi dewasa.
Pada cacing Oesophagostomum, larva stadium 3 menembus mukosa usus halus
dan usus besar sampai pada lapisan muskularis usus dan membentuk kapsul, larva
stadium 3 akan menjadi larva stadium 4 dan hidup dalam kista dan akan
mengalami demineralisasi, sedang sebagian keluar dari kista masuk ke dalam
lumen sekum dan kolon berkembang menjadi larva stadium 5, selanjutnya
berkembang dan menempel pada mukosa sekum serta kolon menjadi dewasa.
Cacing Toxocara vitulorum telur infektif mengandung larva stadium 2.
Pada kondisi optimal diluar tubuh host stadium infektif dapat dicapai 3-6 hari.
Bila telur infektif termakan bersama pakan atau minum, setelah sampai di usus
larva stadium 2 masuk dinding usus halus dan tinggal di usus sampai menjadi
larva stadium 4, kemudian menuju mukosa dan lumen usus, larva stadium 5
dicapai pada minggu keenam kemudian akan menjadi cacing dewasa dan
menghasilkan telur setelah 74 hari infeksi (Subekti dkk., 2010). Cacing Gaigeria
pachyscelis, penularannya hanya melalui kulit. Selanjutnya larva mencapai paru-
paru melalui sistem pembuluh darah dan mengalami eksidisis yang ketiga, pada
paru-paru larva akan tinggal selama ± 13 hari. Selanjutnya larva stadium 4 migrasi
17
ke bronki, trachea, dan faring kemudian ditelan mencapai saluran pencernaan,
selanjutnya terjadi eksidisis ke-4 dan berkembang menjadi dewasa ± 10 minggu
pasca infeksi. Pada genus Bunostomum sp. larva infektif masuk ke tubuh inang
definitif selai secara per oral (melalui pakan dan minum) juga melalui penetrasi
kulit. Melalui kedua cara infeksi tersebut, kemudian larva mengadakan lung
migration, di dalam jaringan paru-paru terjadi moulting atau pengelupasan kulit
ketiga kemudian larva menuju bronki dan trakea. Selanjutnya larva stadium 4
yang sudah mempunyai bukal kapsul mencapai saluran pencernaan (usus halus)
setelah 11 hari dan terus tumbuh menjadi cacing dewasa (Subekti dkk., 2010).
4. Kerugian
Cacing nematoda saluran pencernaan yang sering menyerang sapi diantaranya
Toxocara vitulorum, Bunostomum spp., Oesophagostomum sp., Haemonchus spp.,
Mecistocirrus spp., Cooperia spp., Trichostrongylus spp., dan lain-lain (Ahmad
2008). Semua cacing nematoda tersebut menyebabkan sapi mengalami diare,
kehilangan nafsu makan, kurus, dan anemia. Di dalam saluran pencernaan (gastro
intestinalis), cacing ini menghisap sari makanan yang dibutuhkan oleh induk
semang, menghisap darah/cairan tubuh atau bahkan memakan jaringan tubuh.
Sejumlah besar cacing Nematoda dalam usus bisa menyebabkan sumbatan
(obstruksi) usus serta menimbulkan berbagai macam reaksi tubuh sebagai akibat
toksin yang dihasilkan.
Haemonchus sp. adalah cacing penghisap darah yang rakus, setiap ekor per hari
menghabiskan 0,049 ml darah, sehingga menyebabkan anemia. Anemia
berlangsung melalui 3 tahap, yaitu tahap I, 3 minggu setelah infeksi ternak akan
18
kehilangan darah dalam jumlah besar, hal ini merupakan tahap akut, tahap II,
antara 3 – 8 minggu setelah infeksi, kehilangan darah dan zat besi ternak
berlangsung terus tetapi masih diimbangi oleh kegiatan eritropoetik, dan tahap III,
terjadi kelelahan sitem eritropoetik yang disebabkan oleh kekurangan besi dan
protein, dan hal ini merupakan tahap kronis.
b) Trematoda
1. Morfologi
Telur Fasciola sp, berbentuk ovoid dan dilengkapi dengan operculum. Ukuran
telur 120-160 x 63-90 µm. Telur Paramphistomum sp cacing kelas trematoda ini
sebagian besar terdapat pada ruminansia dan mempunyai panjang sekitar 10˗ ˗12
mm dan lebar 2˗ ˗4 mm. Telur Paramphistomum cervi berotot dan bertubuh tebal,
menyerupai bentuk kerucut, dengan satu penghisap mengelilingi mulut dan yang
lainnya pada usus posterior tubuh mempunyai operculum dan panjang 147-176
µm. Telur Cotylophoron cotylophorum sama seperti P.Cervi tetapi memiliki
ukuran lebih kecil 123-135 x 61-68 µm. Telur Eurytrema pancreaticum memiliki
ukuran 40-50 x 23-34 µm, dan Telur Gastrothylax crumenifer memiliki ukuran
115-135 x 60-70 µm.
2. Patogenesis
Infeksi dari kelas Trematoda merupakan parasit yang sangat penting pada ternak
sapi karena dapat menyebabkan kondisi tubuh ternak menurun dan merupakan
predisposisi terhadap penyakit lain (Hariyanto dkk., 1986). Kejadian infeksi ini
dapat berlangsung akut maupun kronis tergantung derajat infeksinya (Soulsby,
19
1986). Infeksi dari Fasciola sp berjalan kronis. Kerusakan jaringan mulai terjadi
pada waktu cacing muda mulai menembus dinding usus tetapi kerusakan yang
berat dan peradangan mulai terjadi sewaktu cacing bermigrasi dalam parenkim
hati dan ketika berada dalam saluran empedu dan kantong empedu (Ditjennak,
2012). Akibat adanya cacing dewasa dalam jumlah banyak akan menyebabkan
kerusakan epitel saluran empedu dan jaringan hati sehingga akan terjadi foki
nekrotik serta diikuti dengan pembentukan jaringan fibrosa yang berlebihan.
Adanya jaringan fibrosa menyebabkan perubahan saluran empedu sehingga akan
mengalami pengapuran (Coles, 1986 ; Urquhart dkk., 1988). Selain itu cacing
dewasa akan menyebabkan hewan kekurangan darah. Infeksi dari
Paramphistomum sp. dapat menyebabkan reaksi keradangan, penebalan dan pada
mukosa usus tampak hemoragi. Cacing dewasa kurang pathogen tetapi dalam
jumlah besar bisa menyebabkan pelepasan papilla rumen (Kusumamihardja, 1993;
Koesdarto dkk., 2007).
3. Siklus Hidup
Siklus hidup dari cacing Trematoda membutuhkan induk semang antara. Telur
yang dikeluarkan bersama tinja induk semang pada keadaan lingkungan yang
sesuai akan dikeluarkan menjadi larva mirasidium. Temperatur yang paling baik
untuk penetasan telur adalah 22ºC - 26ºC, sedangkan dibawah 10ºC telur Fasciola
sp, tidak menetas tapi dapat bertahan lama serta dapat menetas kembali apabila
keadaan lingkungan baik (Koesdarto dkk., 2007 ; Hall, 1977). Diatas suhu 26ºC
telur Fasciola sp, menetas dalam waktu dua sampai tiga hari. Selanjutnya
mirasidium berenang mencari siput air sebagai inang perantara. Sebagai inang
20
perantara cacing Fasciola sp, adalah jenis siput dari genus lymnea, sedangkan
cacing famili paramphistomatidae sebagai inang perantara adalah genus Bulinus,
Indoplanorbis, Planorbis, Cleopatra (Subekti dkk., 2010).
Mirasidium mengadakan penetrasi pada tubuh siput dan berkembang menjadi
sporokista selama 12 jam untuk famili Paramphistomatidae. Tiap sporokista
berkembang menjadi lima sampai delapan redia, selanjutnya redia berkembang
menjadi serkaria yang memiliki ekor yang lebih panjang dari badannya. Serkaria
keluar dari tubuh siput apabila ada rangsangan sinar dan berenang dalam air.
Apabila serkaria tidak segera mendapatkan inang definitif maka serkaria akan
menempel pada rumput. Serkaria memiliki kelenjar untuk membentuk dinding
kista dan ekor serkaria dilepaskan untuk membentuk metaserkaria. Infeksi terjadi
bila induk semang definitif memakan rumput atau minum air tercemar oleh
serkaria atau metaserkaria (Subekti dkk., 2010 ; Koesdarto dkk., 2007).
4. Kerugian
Cacing trematoda yang sering menyerang sapi diantaranya adalah
Paramphistomum spp., dan Fasciola spp., (cacing hati). Paramphistomum spp.
dari kelas trematoda yang dapat menyerang rumen dan retikulum ternak
ruminansia, dapat mengakibatkan ternak tersebut menjadi lemas, mudah lelah,
badan kurus, dan pada sapi penderita akan mengalami gangguan pencernaan
berupa konstipasi atau sulit defekasi dengan tinja yang kering. Pada keadaan
infeksi yang berat sering kali terjadi mencret, ternak terhambat pertumbuhannya
dan terjadi penurunan produktivitas.mencret (Arifin dan Soedarmono, 1982).
21
Cacing dewasa pada infestasi yang berat dapat keluar bersama-sama dengan tinja
dan akan ditemukan telur cacing yang berwarna kuning muda (Soulsby, 1965).
c) Cestoda
1. Morfologi
Telur Moniezia sp, berbentuk segitiga untuk Moniezia expansa dan berbentuk segi
empat untuk Moniezia benedini dan mengandung pyriform aparatus serta
mempunyai ukuran 56-57 µm (Subekti dkk, 2010)
(A) Paramphistomum cervi.,(B) Strongyloides papillosus.,(C) Trichuris spp.,(D) Moniezia benedini.,(E) Fasciola sp.,(F) Trichostrongylus spp.,(G) Bunostomum spp.,(H) Oesophagostumum spp.,(I) Cotylophoron cotylophorum.(Soulsby, 1986)
Gambar 1. Telur cacing saluran pencernaan pada sapi.
2. Patogenesis
Infeksi cacing Moniezia sp dapat menimbulkan iritasi pada usus sehingga terjadi
gangguan pencernaan (Kusumamihardja, 1993). Infeksi ringan menyebabkan
gangguan pencernaan dan pertumbuhan, sedangkan infeksi berat berhubungan erat
22
dengan tungau yang ada di padang rumput (Soulsby, 1986 ; Koesdarto dkk.,
2007).
3. Siklus Hidup
Siklus hidup dari parasit cacing Cestoda membutuhkan induk semang antara,
apabila telur termakan induk semang maka oncosfer dan embriofor akan hancur
oleh aktivitas enzim saluran pencernaan induk semang antara, oncosfer menembus
dinding usus menuju pembuluh darah dan ikut aliran darah ke tempat predileksi.
Sapi akan terinfeksi bila memakan rumput yang terdapat mites (tungau) yang
mengandung sistiserkoid yang infektif (Koesdarto dkk., 2007). Moniezia expansa,
siklus hidup cacing ini memerlukan induk semang perantara berbagai jenis tungau
dari famili Oribatide dengan genus Galumna, Oribatula, Teloribates,
Protoscheoribates, Scheloribates, Scutovertex dan Zigoribatula (Subekti dkk.,
2010).
Telur ditularkan bersama tinja induk semang satu persatu atau dalam keadaan
berkelompok dalam segmen yang terlihat seperti butiran beras. Apabila segmen
mature termakan oleh famili Oribatidae maka dindingnya akan sobek dan telur
akan keluar, lalu oncosfer akan tumbuh membesar setelah 4 bulan akan
membentuk sisterkoid (Urquhart dkk., 1988). Infeksi terjadi pada hewan bila
memakan rumput yang terdapat tungau yang terinfeksi oleh sisterkoid.
4. Kerugian
Cacing cestoda yang sering menyerang sapi diantaranya adalah spesies Taenia sp.,
Moniezia sp. dan Echinococcus granulosus. Dari ketiga cacing tersebut, hanya
23
spesies Moniezia sp. yang hidup sampai dewasa dalam tubuh sapi. Namun,
serangan cacing pita yang paling umum ditemukan pada sapi terutama oleh
genus Taenia, yaitu Taenia saginata.
Serangan cacing pita ini tidak berbahaya bagi ternak sapi itu sendiri karena dalam
tubuh sapi telur cacing yang termakan bersama rumput hanya berkembang sampai
fase larva. Larva cacing T. saginata yang berada dalam usus sapi selanjutnya akan
menembus pembuluh darah dan ikut bersama aliran darah hingga sampai di otot.
Selanjutnya, lebih berbahaya pada manusia, karena larva yang termakan dari
daging sapi mentah atau yang dimasak kurang matang dapat berkembang menjadi
cacing dewasa dalam usus halus manusia. Cacing pita dewasa akan menyerap
sari-sari makanan dalam usus sehingga dapat menyebabkan penyumbatan usus
(Tamalluddin, 2014).
E. Diagnosa Cacing Saluran Pencernaan
Parasitisme baru memperlihatkan gejala klinis bila keseimbangan hubungan
antara hospes dengan parasit terganggu, yang mungkin disebabkan oleh kepekaan
hospes yang menurun dan atau oleh peningkatan jumlah parasite yang patogen di
dalam tubuh hospes. Sehingga, perlu adanya pemeriksaan laboratorium untuk
memastikan diagnose. Pemeriksaan yang biasanya dilakukan adalah pemeriksaan
feses (Subronto, 2007). Sedangkan menurut Soulsby (1986) untuk melakukan
diagnosis ternak sapi terhadap kemungkinan terkena infeksi cacing saluran
pencernaan dapat dilakukan dengan melihat gejala klinis yang tampak seperti
menurunnya nafsu makan, diare, anemia, bulu kotor, dan suram, menurunnya
24
berat badan dan lambatnya pertumbuhan pada sapi muda. Cara yang lebih tepat
dan sering digunakan untuk diagnosis adalah dengan melakukan pemeriksaan
secara mikroskopis terhadap adanya telur cacing pada tinja sapi. Telur cacing
Nematoda akan keluar dari tubuh hewan bersama feses, sehingga dengan
pemeriksaan feses akan mudah diketahui apakah hewan tersebut terinfeksi cacing
(Kosasih, 2001).
F. Pencegahan Cacing Saluran Pencernaan
Pencegahan dilakukan untuk menekan jumlah infeksi parasit cacing pada saluran
pencernaan hewan ternak sapi dapat dilakukan dengan beberapa tindakan. Sapi-
sapi yang dikandangkan hendaknya diberi pakan dan minum yang bebas dari
kontaminasu tinja atau kotoran yang mengandung larva infektif daric acing
(Soulsby, 1986). Kandang harus tetap bersih dan dijaga agar tetap kering, kotoran
kandang yang berasal dari sapi hendaknya dibuang sesering mungkin (Levine,
1990). Menghindari kepadatan ternak yang berlebihan, sapi muda dan sapi dewasa
hendaknya dipisahkan karena sapi yang lebih tua sering kali merupakan sumber
infeksi bagi sapi (Levine, 1990).
Beberapa tindakan pencegahan dan pengendalian penyakit nematodosis secara
umum menurut (Subekti dkk, 2011) yaitu: (1) mengurangi sumber infeksi dengan
tindakan terapi; (2) pengawasan sanitasi air, makanan, keadaan tempat tinggal dan
sampah; dan (3) pemberantasan inang perantara dan vector.
Parasit gastrointestinal pada umumnya masuk kedalam tubuh hospes definitive
melalui pakan yang tercemar larva. Pedet yang baru lahir dapat tertular oleh larva
25
yang terdapat di dalam kolostrum atau menempel pada putting. Selain itu,
penularan dengan menembus kulit pada hewan muda juga banyak terjadi
(Subronto, 2007).
G. Pengobatan Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi Potong
Menurut Sasnita dkk (1991) dan Koesdarto dkk (2007) selain melakukan tindakan
pencegahan, pengobatan juga dilakukan dalam menanggulangi lebih lanjut adanya
infeksi parasite cacing. Dalam menentukan obat yang digunakan harus
mempunyai toksisitas terhadap semua jenis cacing dan semua stadium tetapi tidak
membahayakan bagi hewan dan manusia, cara pemberiannya mudah, harganya
murah serta mudah didapat. Pengendalian penyakit cacing pada ternak umumnya
dilakukan dengan menggunakan obat cacing, diantaranya adalah benzimidazol,
levamisol, dan ivermectin (Haryuningtyas dan Beriajaya 2002, dikutip Mustika
dan Ahmad, 2004).
Anthelmintik dapat digunakan untuk mencegah bahaya banyaknya telur cacing
mencapai tanah sehingga mengurangi infeksi pada ternak yang peka (Williamson
dan Payne, 1993). Beberapa anthelmintika yang dapat digunakan adalah
avermectin, mebendazole, thiabendazole, methyridme, cuper sulfat dan
hexacholorophene.
Avermectin pada saraf tepi memperkuat peranan GABA (Gama Amino Butiric
Acid) dalam proses transmisi sehingga cacing mati dalam keadaan paralisis. Dosis
yang efektif terhadap larva dan Nematoda saluran pencernaan sapi adalah 50-200
mg/kg BB (Soulsby, 1986). Cuper sulfat efektif terhadap cacing Cestoda terutama
26
Moniezia spp dengan dosis 10-100 ml (larutan 1%) atau campuran cuper sulfat
dan nicotine sulfate diberikan rata-rata 1,8 gram tiap ekor hewan infektif.
Hexacholorophene efektif terhadap cacing Trematoda. Pada cacing Fasciola spp
pemberian dosis 15 mg/kg BB diberikan secara per oral efektif untuk cacing
dewasa dan dosis 40 mg/kg BB dapat membunuh cacing muda umur empat
minggu. Sedangkan pada Paramphistomum spp., Cotylophoron spp., Gastrothylax
spp., dan Gigantocotyl spp, diberikan dengan dosis 10 mg/kg BB.
Mebendazole efektif untuk cacing dewasa dan cacing yang belum masak
(immature) dan mempunyai efektifitas 85-90% terhadap Oesophagostomum spp
dan Chabertia spp serta 60-80% terhadap Trichuris spp. Dosis pemakaiannya
adalah dosis 12,5 mg/kg BB. Methyridine diberikan dengan dosis 200 mg/kg BB
sangat efektif terhadap larva dan cacing dewasa dari genus Trichuris dan
Cooperia. Pemberian melalui suntikan dibawah kulit dengan dosis tunggal dan
dianjurkan tidak terlalu dekat dengan persendian (Koesdarto dkk., 2007).
Thiabendazole merupakan serbuk berwarna putih, tidak berbau, tidak berasa, dan
tidak larut dalam air merupakan obat cacing yang mempunyai spectrum yang luas,
dapat membunuh cacing dewasa, stadium larva dan stadium telur. Dosis yang
diberikan adalah 50 mg/kg BB per oral, efektif terhadap genus Trichostrongylus,
Haemonchus, Oesophagostumum, Chabertia, Bunostunum, Strongyloides dan
Cooperia (Koesdarto dkk., 2007).
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada November -- Desember 2018 di Kecamatan
Banjar Agung, Kabupaten Tulang Bawang, dan di Laboratorium Parasitologi,
Balai Veteriner Lampung.
B. Bahan dan Alat Penelitian
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sampel feses Sapi PO
segar, es batu, dan methylene blue 1%. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian
ini adalah cooling box, plastik penampung feses, kuisioner, alat tulis, sarung
tangan, timbangan analitik, beaker glass, saringan 100 mesh, tabung kerucut,
cawan petri, slide glass, mikroskop, pipet, Mc. Master Plate, dan stopwatch.
C. Metode Penelitian
a) Prosedur penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei. Pengambilan sampel
ternak dilakukan secara sensus terhadap Sapi PO di Kecamatan Banjar Agung,
Kabupaten Tulang Bawang. Berdasarkan wawancara dengan masing-masing
Ketua Kelompok Tani di Banjar Agung, populasi Sapi PO di Kecamatan Banjar
28
Agung sebanyak 94 ekor yang tersebar di 7 desa yang ada yaitu Desa Banjar
Dewa, Desa Banjar Agung, Desa Dwi Warga, Desa Warga Makmur, Desa
Tunggal Warga, Desa Muris, Desa Warga Indah.
b) Metode pengumpulan data
Data diperoleh dari observasi data tentang manajemen pola pemeliharaan yang
diambil dengan menggunakan kuisioner dan hasil pemeriksaan sampel di
Laboratorium Parasitologi, Balai Veteriner Lampung terhadap kandungan cacing
saluran pencernaan pada sapi PO.
c) Teknik pengambilan sampel
Pengambilan feses secara manual dengan cara menggunakan tangan yang dilapisi
sarung tangan plastik kemudian sampel diambil dari rektum sapi apabila tidak
memungkinkan maka harus diambil dari feses yang baru didefekasikan. Setelah
feses diambil kemudian dimasukkan ke dalam wadah penampung feses dan diberi
label yang berisi keterangan nomor sapi dan kode peternak, asal desa, jenis
kelamin, dan umur, selanjutnya disimpan dalam cooling box yang telah berisikan
es batu agar kondisi tetap dingin dan mencegah telur menetas. Sampel yang telah
diambil kemudian dikirim ke Laboratorium Parasitologi, Balai Veteriner
Lampung yang selanjutnya dilakukan pemeriksaan dengan Metode Uji Mc.
Master dan Uji Sedimentasi Feses Mamalia.
29
d) Prosedur pemeriksaan sampel feses
Pemeriksaan sampel feses dilakukan dengan menggunakan dua metode pengujian
yaitu :
A. Uji Laboratorium Metode Mc. Master
Uji E.P.G (Egg Per Gram) Mc. Master adalah uji kuantitatif untuk menghitung
banyaknya telur cacing per gram tinja. Metode uji E.P.G Mc. Master merupakan
uji pengapungan yang prinsipnya bahwa telur cacing akan mengapung di dalam
pelarut mempunyai berat jenis lebih besar dari satu. Prosedur kerja metode Mc.
Master adalah :
1. menimbang 2 gram feses, lalu menambahkan larutan NaCl jenuh atau gula
jenuh sebanyak 28 ml, lalu mengaduk rata dalam beaker glass hingga
homogen;
2. menyaring dengan saringan 100 mesh, menampung filtrat dalam beaker glass
lain;
3. mengaduk kembali sisa tinja yang masih ada di dalam saringan dengan
larutan NaCl jenuh sebanyak 30 ml dan tetap menampung filtratnya dalam
beaker glass yang sama;
4. mencampurkan filtrat tersebut dengan menggoyangkan beaker glass yang
sama.
5. mengambil filtrat menggunakan pipet kemudian memasukkan ke dalam Mc.
Master Plate sampai penuh;
6. mendiamkan selama 4-5 menit;
7. menghitung jumlah telur yang ada di dalam kotak-kotak Mc. Master di bawah
mikroskop dengan pembesaran 100 kali. (Balai Veteriner, 2014)
30
B. Uji Laboratorium Metode Sedimentasi
Uji Sedimentasi adalah uji kualitatif dengan menemukan telur cacing pada
pemeriksaan mikroskopik sampel feses. Prosedur kerja metode Sedimentasi
adalah :
1. menimbang 3 gram sampel feses lalu memasukkan ke dalam beaker glass 100
ml;
2. menambahkan air hingga 50 ml, mengaduk dengan pengaduk hingga feses
hancur (homogen);
3. menyaring suspensi dengan saringan 100 mesh dan memasukkan ke dalam
tabung kerucut lalu menambahkan air hingga penuh;
4. mendiamkan selama 5 menit, kemudian cairan bagian atas dibuang dan
menyisakan filtrat ± 10 ml;
5. menambahkan air pada filtrat dalam tabung kerucut hingga penuh dan
mendiamkan selama 5 menit kemudian membuang lagi cairan bagian atas dan
menyisakan 5 ml;
6. menuangkan filtrat ke dalam cawan petri/slide glass khusus dan
menambahkan setetes Methylene Blue 1%, selanjutnya memeriksa di bawah
mikroskop dengan pembesaran 100 kali. (Balai Veteriner, 2014).
e) Analisis data
Setelah hasil pemeriksaan laboratorium selesai maka hasilnya dibuat tabulasi
disajikan dalam bentuk tabel dan histogram kemudian dianalisis secara deskriptif.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini maka disimpulkan:
1. prevalensi cacing saluran pencernaan sapi PO di Kecamatan Banjar Agung
Kabupaten Tulang Bawang sebesar 54,26%
2. infestasi tunggal cacing saluran pencernaan tertinggi yaitu cacing berjenis
Oesophagustomum sp. dengan persentase sebesar 22,34%
3. infestasi tunggal cacing saluran pencernaan sebesar 36,17%. infestasi
campuran 2 jenis cacing saluran pencernaan sebesar 11,70%, infestasi 3
jenis cacing saluran pencernaan sebesar 5,32%, dan infestasi campuran
lebih dari 3 jenis cacing saluran pencernaan sebesar 1,06%.
B. Saran
1. Perlu diadakan program penyuluhan untuk memberikan pengarahan
kepada peternak serta,
2. Program pemberian obat cacing dilaksanakan secara berkala dan
berkesinambungan sebagai upaya pencegahan kasus infestasi cacing
saluran pencernaan.
50
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Z. 2002. Penggemukan Sapi Potong. Agromedia Pustaka. Jakarta
______. 2006. Cara Tepat Penggemukan Sapi Potong. Agromedia Pustaka.Jakarta
Anonim. 2003. Statistik Sapi Potong di Indonesia. Indonesian InternationalAnimal Science Research and Development
Anonim, 2013. Website Kabupaten Tulang Bawang.https://www.tulangbawangkab.go.id. Diakses pada 28 September 2018
Arbi, P. 2009. Analisis Kelayakan dan Strategi Pengembangan Usaha Ternak SapiPotong. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Medan
Arifin, C. dan Soedarmono. 1982. Parasit Ternak dan Cara Penanggulangannya.P.T. Penebar Swadaya, Jakarta. hlm. 45.
Atmadilaga, D. 1979. Politik Peternakan Indonesia. Biro Penelitian dan Aplikasi.Fakultas Peternakan. Universitas Padjajaran. Bandung
Balai Veteriner. 2014. Penuntun Teknis Pengujian Laboratorium Parasitologi.Balai Veteriner Lampung. Bandar Lampung
Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2006.Teknologi Penggemukan Sapi. http://www.bisnisbali.com/New/opini/t.html. Diakses pada 24 Januari 2019
BBPTU HPT Sumbawa. 2011. Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Cacingpada Ternak Sapi. http://bptu-sembawa.blogspot.co.id/2012/pencegahan-dan-pengendalian-penyakit.html. Diakses pada 28 September 2018
BPPTP. Balai Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian. 2006.Teknologi Penggemukan Sapi. http://www.bisnisbali.com/New/opini/t.html. Diakses pada 2 Desember 2017
Blakely, J and D.H, Bade. 1998. Ilmu Peternakan Edisi 4. PenerjemahIr. Bambang Srigandono, M.Sc.. Gadjah Mada Univesity Press.Yogyakarta
51
Budiharta, S. 2002. Kapita Selekta Epidemiologi Veteriner. Bagian KesehatanMasyarakat Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas GadjahMada. Yogyakarta
Brown, H.W. 2003. Dasar Parasitologi Klinis. Edisi ketiga. P.T. GramediaJakarta
Brotowidjoyo, M.D. 1987. Parasit dan Parasitisme. Jakarta: Media Sarana Press.
Coles, E.H. 1986. Veterinary Clinical Pathology. 4th Ed. W. B. SaundersCompany. Philadelphia
Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan. 2012. ManualPenyakit Hewan Mamalia. Direktorat Jenderal Peternakan dan KesehatanHewan. Jakarta.
Gasbarre, L.C., E. A Leighton, and W.L.Stout. 2001. Gastrointestinal nematodesof cattle in thenortheastern US: results of a producer survey. J. VeterinaryParasitology. 101: 29-44.
Hawkins, J.A. 1993. Economic benefits of parasite control in cattle. J.Veterinary Parasitology. 46: 159-173.
Hall J.E. 1997. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarta: EGC. P. 208-212, 219-223, 227-282, 285-287.
Handayani, P., P.E. Santosa, dan Siswanto. 2015. Tingkat Infestasi CacingSaluran Pencernaan pada Sapi Bali di Kecamatan Sukoharjo KabupatenPringsewu Provinsi Lampung. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu. Vol.3(3): 127-133.
Hariyanto, A., A Yazid, dan S. Sembiring. 1986. Kasus Fasciolosis pada Sapi danKerbau di Sumatera Utara Berdasarkan Uji Sieving Technique With TheGlass Bears Layer. Balai Penyelidikan Penyakit Hewan Wilayah 1 Medan
Harjopranjoto, S., R.S. Sasmita, Partosoewignjo, M. Hariadi, R.B. Soejoko, danSarmanu. 1988. Prosiding Simposium Nasional Penyakit Satwa Liar.Fakultas Kedokteran Hewan Airlangga dan Kebun Binatang Surabaya.
Haryuning, I dan Zacky. A. 2002. Pengantar Ilmu Peternakan. FakultasKedokteran Hewan Universitas Airlangga. Surabaya
Hertzberg H, Figi R, Noto F, dan Heckendorn F. 2003. Control of gastrointestinalnematodes in organic beef cattle through grazing management. Proc. The2nd SAFO Workshop, Witzenhausen, Germany.
52
Imbang, D.R., 2007. Penyakit Parasit pada Ruminansia. JurusanPeternakan Fakultas Pertanian-Peternakan. Universitas MuhammadiyahMalang.
Indrati, R. 2017. Cegah Sapi Anda dari Cacingan. http://nuansa-baru.com/cegah-sapi-anda-dari-cacingan. Diakses pada 24 Januari 2019
Info Medion, 2013. Cacingan pada Sapi Jangan Dianggap Enteng. http://info.medion.co.id/artikel/8-penyakit/1047-cacingan-pada-sapi-jangan-dianggap-enteng.html. Diakses pada 13 Februari 2019
Kadarsih dan Siwitri. 2004. Performans Sapi Bali berdasarkan ketinggian tempatdi daerah transmigrasi Bengkulu: Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia
Koesdarto, S., S. Subekti, S. Mumpuni, H. Puspitawati dan Kustono. 2007.Ilmu Penyakit Nematoda Veteriner. Buku Ajar Fakultas KedokteranHewan Universitas Airlangga. Surabaya
Kosasih, Z. 2001. Metode Uji Apung sebagai Teknik Pemeriksaan Telur CacingNematoda dalam Tinja Hewan Ruminansia Kecil. Balai PenelitianVeteriner. Bogor
Kusumamiharja. S. 1993. Parasit dan Parasitosis pada Hewan Ternak dan HewanPiaraan di Indonesia. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. InstitutPertanian Bogor. Bogor
Larasati, H., Siswanto. M. Hartono, P.E. Santosa, S. Suharyati, dan M.M.P. Sirat.2018. Prevalensi Cacing Saluran Pencernaan Sapi Perah pada PeternakanRakyat di Provinsi Lampung. Jurnal Ilmiah Peternakan Terpadu. Vol.6(3): 167-172.
Levine, N.D. 1990. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Diterjemahkan olehProf.Dr. Gatut Ashadi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Levine. 1994. Buku Pelajaran Parasitologi Veteriner. Diterjemahkan oleh Prof.Dr. Gatut Ashadi. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Moyo DZ, 2006. An abbatoir study prevalensce and seasonal fluktuaitions ofgastrointestinal Nematode of cattle in the Midlands Province,Zimbabwe. Research Journal of Animal Veterinary Science 1 (1) : 37-40.
Mustika, I., R.Z. Ahmad. 2004. Peluang pemanfaatan jamur nematofagus untukmengendalikan nematode parasite pada tanaman dan ternak. J. Litbang.Pertan. 23 (4): 115-122.
Noble, A. G., and R. N. Elmer,1989. Parasitologi Biologi Parasit Hewan. Ed ke-5.Penerjemah Wardiarto. Gajah Mada University Press, Yogyakarta
53
Nugraheni, N., M. T. Eulis, dan H. A. Yuli. 2015. Identifikasi cacing endoparasitpada feses sapi potong sebelum dan sesudah proses pembentukan biogasdigester fixed-dome. 4 (3): 1˗˗8
Onggowaluyo JS, 2001. Parasitologi Medic 1 (Helmintologi) Pendekatan AspekIdentifikasi, Diagnose dan Klinis. ECG. Jakarta
Pfukenyi MD, Mukaratirwa S, Willingham AL & Monrad J. 2007.Epidemiological studies of parasitic gastrointestinal nematodes, cestodesand coccidia infections in cattle in the highveld and lowveld communalgrazing areas of Zimbabwe. Journal of Veterinary Research. 74: 129-142.
Purwanta. 2012. Penyakit Cacing Saluran Pencernaan pada Sapi Bali. UnitPenelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (UPPM). Sekolah TinggiPenyuluhan Pertanian (STTP). Gowa, 5(1):1858:4330
Raza, M.A., H.A. Bachaya, M.S. Akhtar, H.M. Arshad, S. Murtaza, M.M. Ayaz,M. Najeem and A. Basit. 2012. Point prevalence of gastrointestinalhelminthiasis in Buffaloes (Bubalus bubatis) at The Vicinity of Jatoi,Punjab, Pakistan, Sci. Int. (Lahore), 24(4) ; 456-469.
Ramadhan, E.M. 2018. Prevalensi Cacing Saluran Pencernaan Pada Sapi Balidi Kecamatan Candipuro Kabupaten Lampung Selatan. Skripsi. JurusanPeternakan Fakultas Pertanian. Universitas Lampung
Rofiq, M.N. 2014. Jenis Cacing pada Feses Sapi di TPA Jatibarang dan KTTSidomulyo Desa Nongkosawit Semarang. Skripsi. Fakultas Matematikadan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Negeri Semarang. Semarang
Santoso, U. 2008. Mengelola Sapi Secara Profesional. Cetakan 1. PenerbitPenebar Swadaya. Jakarta
Sasnita, M. Samad dan Soehadji. 1990. Peternakan Umum. Penerbit CVYasaguna. Jakarta
Setiadi O.C., J. Zinsstag, V.S. Pandey, F. Fofana, and A.Depo. 2012.Epidemiology of parasites of sheep in Southern Forest Zone of CoteD’ivoire. Journal Revue d’Elevage et de Medeccine Veterinaire des PaysTropicaux. 52 (1) : 39-46
Siregar, S. B. 2008. Penggemukan Sapi. Penebar Swadaya. Jakarta
Siregar, 2013. Hubungan Personal Higiene dengan Penyakit Cacing (soiltransmitted helminth) pada Pekerja Tanaman Kota Pekanbaru.http://ejournal.unri.ac.id. Diakses pada 28 September 2018
54
Sistem Informasi Kesehatan Hewan, 2015. Program Pengendalian dan danPemberantasan Penyakit.http://wiki.isikhnas.com/w/Advanced_Field_Epi:Manual_1__Disease_Control_and_Eradication_Programs/id. Diakses pada28 September 2018
Sosroamidjojo, M. S. dan Soeradji. 1990. Peternakan Umum. Cetakan ke-10. CV.Yasaguna. Jakarta
Soulsby, E.J.L. 1986. Helmint, Anthropodsand Protozoa of Domesticated Animal.7th Ed. The English language Book Society and Bailire Tindall. London.143-256.
Subekti, S., S. Mumpuni., dan Kusnoto. 2007. Ilmu Penyakit Nematoda Veteriner.Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Surabaya
Subekti, S., S. Mumpuni., S. Koesdarto. H. Puspitawati dan Kusnoto. 2010.Ilmu Penyakit Helmints. Buku Ajar Airlangga University Press. Surabaya
Subronto. 2004. Ilmu Penyakit Ternak. Gadjah Mada University Press.Yogyakarta
______. 2007. Ilmu Penyakit Ternak II.Gadjah Mada University. Press.Yogyakarta
Subronto, dan Tjahayati I. 2004. Ilmu Penyakit Ternak II. Gadjah MadaUniversity Press, Yogyakarta
Sudradjat, D.S., 1991. Epidemiologi dan Ekonomi Veteriner. Cetakan PertamaYayasan Agribisnis. Indonesia Mandiri.. Jakarta
Suharmita, Darmin. 2014. Prevalensi Parampistomum pada Sapi Bali diKecamatan Libureng, Kabupaten Bone. Skripsi. Fakultas KedokteranUniversitas Hassanudin. Makassar
Tamalluddin, F. 2014. Waspada-Kerugian-Ekonomi-Penyakit.http://www.ternakpertama.com/2014/12/. Diakses pada 9 Oktober 2018
Tantri, N., T. R. Setyawati, dan S. Khotimah. 2013. Prevalensi dan intensitas telurcacing parasit pada feses sapi (Bos sp.) Rumah Potong Hewan (RPH) KotaPontianak Kalimantan Barat. Protobiont. 2 (2): 102-˗106
Tarmuji, D.D., Siswansyah dan G. Adiwinata. 1988. Parasit-Parasit CacingGastrointestinal pada Sapi-Sapi di Kabupaten Tapin dan Tabalong,Kalimantan Selatan dalam Penyakit Hewan. Balitvet, Badan Penelitian danPengembangan Pertanian. Departemen Pertanian Bogor. 20 (35)
55
Urquhart, M.G., J. Armour, J.L. Duncan, A.M. Dunn and F.W. Jenning. 1988.Veterinary Parasitology. English Language Book Society. Longman
Williamson, G. dan W.J.A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di Daerah Tropis.Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Yulianto. P. E dan Saparinto. 2010. Identifikasi dan Program PengendalianToxocara vitulorum pada Ternak Ruminansia Besar. Fakultas KedokteranHewan Institut Pertanian Bogor. Bogor
Yulianti, E. 2007. Hubungan Higiene Sanitasi Dengan Kejadian PenyakitCacingan pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Rowosari 01 KecamatanTembalang Kota Semarang Tahun Ajaran 2006/2007. Fakultas KesehatanMasyarakat. Universitas Negeri Semarang. Semarang