tinea kruris

Upload: marianty-tohan

Post on 12-Jul-2015

120 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

90 http://kuliahitukeren.blogspot.com/2011/01/penyakit-tinea-corporis-et-cruris.html PENYAKIT TINEA CORPORIS ET CRURIS ritten By SEA DRAGON on Senin, 31 Januari 2011 , 21:14 1. Definisi Tinea corporis adalah inIeksi dermatoIita superIisial yang ditandai oleh baik lesi inIlamasi maupun noninIlamasi pada glabrous skin (kulit tubuh yang tidak berambut) seperti: bagian muka, leher, badan, lengan, tungkai dan gluteal.. Sinonim untuk penyakit ini adalah tinea sirsinata, tinea glabrosa, Scherende Fiechte, kurap, herpes sircine trichophytique.1,2,3,4,5Tinea kruris adalah dermatoIitosis pada lipat paha, daerah perineum, dan sekitar anus. Sinonim untuk penyakit ini adalah eczema marginatum, dhobie itch, jockey itch, dan ringworm oI the groin. 2. Epidemiologi Tinea corporis adalah inIeksi umum yang sering terlihat pada daerah dengan iklim yang panas dan lembab. Seperti inIeksi jamur yang lain, kondisi yang hangat dan lembab membantu penyebaran inIeksi ini. Oleh karena itu, daerah tropis dan subtropis memiliki insien yang tinggi terhadap tinea corporis. Tinea corporis dapat terjadi pada semua usia. Bisa didapatkan pada orang yang bekerja yang berhubungan dengan hewan-hewan.5,6 Maserasi dan oklusi kulit lipat paha menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban kulit yang akan memudahkan inIeksi. Penularan juga dapat terjadi melalui kontak langsung dengan individu yang terinIeksi atau tidak langsung melalui benda yang mengandung jamur, misalnya handuk, lantai kamar mandi, tempat tidur hotel dan lain-lain.7 Pada tinea cruris, onsetnya biasanya pada orang dewasa, laki-laki lebih sering terjangkiti daripada wanita. Faktor predisposisinya antara lain lingkungan yang hangat dan lembab, pakaian yang ketat, kegemukan dan penggunaan obat glukokortikoid. 3. Etiologi DermatoIita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatoIitosis. Golongan jamur ini mempunyai siIat mencernakan keratin. DermatoIita termasuk kelas Fungi imperIecti, yang terbagi dalam 3 genus, yaitu Microsporum, Trichophyton, dan Epidermophyton. alaupun semua dermatoIita bisa menyebabkan tinea corporis, penyebab yang paling umum adalah T. rubrum, T. mentagrophytes, T. canis dan T. tonsurans.1,2,3,5 Pada tinea cruris penyebabnya hampir sama dengan tinea corporis. Penyebab tinea cruris yang tersering yaitu: T. rubrum, T. mentagrophytes, atau E. Floccosum. 91 . Patofisiologi InIeksi dermatoIita melibatkan tiga langkah utama: perlekatan ke keratinosit, penetrasi melalui dan diantara sel, dan perkembangan respon host. 1. Perlekatan. Jamur superIisial harus melewati berbagai rintangan untuk bisa melekat pada jaringan keratin diantaranya sinar UV, suhu, kelembaban, kompetisi dengan Ilora normal dan sphingosin yang diproduksi oleh keratinosit. Asam lemak yang diproduksi oleh glandula sebasea juga bersiIat Iungistatik 2. Penetrasi. Setelah terjadi perlekatan, spora harus berkembang dan menembus stratum korneum pada kecepatan yang lebih cepat daripada proses desquamasi. Penetrasi juga dibantu oleh sekresi proteinase, lipase dan enzim mucinolitik, yang juga menyediakan nutrisi untuk jamur. Trauma dan maserasi juga membantu penetrasi jamur kejaringan. Fungal mannan didalam dinding sel dermatoIita juga bisa menurunkan kecepatan proliIerasi keratinosit. Pertahanan baru muncul ketika begitu jamur mencapai lapisan terdalam dari epidermis. 3. Perkembangan respons host. Derajat inIlamasi dipengaruhi oleh status imun pasien dan organisme yang terlibat. Reaksi hipersensitivitas tipe IV, atau Delayed Type Hipersensitivity (DHT) memainkan peran yang sangat penting dalam melawan dermatoIita. Pada pasien yang belum pernah terinIeksi dermatoIita sebelumnya, inIeksi primer menyebabkan inIlamasi minimal dan trichopitin tes hasilnya negative.inIeksi menghasilkan sedikit eritema dan skuama yang dihasilkan oleh peningkatan pergantian keratinosit. Dihipotesakan bahwa antigen dermatoIita diproses oleh sel langerhans epidermis dan dipresentasikan dalam limIosit T di nodus limIe. LimIosit T melakukan proliIerasi dan bermigrasi ketempat yang terinIeksi untuk menyerang jamur. Pada saat ini, lesi tiba-tiba menjadi inIlamasi, dan barier epidermal menjadi permeable terhadap transIerin dan sel-sel yang bermigrasi. Segera jamur hilang dan lesi secara spontan menjadi sembuh.2,3,4 . Gejala Klinis Penderita merasa gatal, dan kelainan berbatas tegas, terdiri atas macam-macam eIloresensi kulit (polimorIi). Bagian tepi lesi lebih aktiI (lebih jelas tanda-tanda peradangan) daripada bagian tengah. wujud lesi yang beraneka ragam ini dapat berupa sedikit hiperpigmentasi dan skuamasi, menahun.1,2 Kelainan yang dilihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas tegas, terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul ditepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang, sementara yang di tepi lebih aktiI (tanda peradangan lebih jelas) yang sering disebut dengan sentral healing1,2 Kadang-kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Kelainan kulit juga dapat terlihat secara polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Lesi dapat meluas dan memberi gambaran yang tidak khas terutama pada pasien imunodeIisiensi.Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang mendadak biasanya tidak terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal ini disebut tinea corporis et cruris atau sebaliknya tinea cruris et corporis.1,2 Pada tinea cruris kelainannya dapat bersiIat akut dan menahun, bahkan seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas tegas pada daerah genito-krural, atau meluas ke sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah, atau bagian tubuh lain. Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas. Peradangan pada tepi lebih nyata daripada didaerah tengahnya. EIloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk yang primer dan sekunder (polimorIi). Bila penyakit ini menjadi menahun, dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya akibat garukan. Tinea cruris merupakan salah satu bentuk klinis yang sering dilihat di Indonesia.5 92 . Diagnosis1,,8 Diagnosis bisa ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan ruam yang diderita pasien. Dari gambaran klinis didapatkan lesi di leher, lengan, tungkai, dada, perut atau punggung. InIeksi dapat terjadi setelah kontak dengan orang yang terinIeksi atau hewan atau objek yang baru terinIeksi. Pasien mungkin mengalami gatal-gatal, nyeri atau pasien dapat merasa sensasi terbakar.1,5 Kadang-kadang diperlukan pemeriksaan dengan lampu ood, yang mengeluarkan sinar ultraviolet dengan gelombang 3650 Ao, yang jika didekatkan pada lesi akan timbul warna kehijauan. Pemeriksaan sediaan langsung dengan KOH 10-20 bila positiI memperlihatkan elemen jamur berupa hiIa panjang dan artrospora. Sediaan basah dibuat dengan meletakkan bahan diatas bahan alas (objek glass), kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH. Konsentrasi larutan KOH untuk sediaan rambut adalah 10 dan untuk kulit dan kuku 20. Setelah sediaan dicampur dengan larutan KOH, ditunggu 15-20 menit hal ini diperlukan untuk melarutkan jaringan. Untuk mempercepat proses pelarutan dapat dilakukan pemnasan sediaan basah diatas api kecil. Pada saat mulai keluar uap dari sediaan tersebut, pemanasan dihentikan. Bila terjadi penguapan, maka akan terbentuk kristal KOH, sehingga tujuan yang diinginkan tidak tercapai. Untuk melihat elemen jamur lebih nyata dapat ditambahkan zat warna pada sediaan KOH, misalnya tinta Parker superchroom blue black.1 Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk menyokong pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada media buatan. Yang dianggap paling baik pada waktu ini adalah medium agar dekstrosa Sabouraud. Biakan memberikan hasil lebih cukup lengkap, akan tetapi lebih sulit dikerjakan, lebih mahal biayanya, hasil diperoleh dalam waktu lebih lama dan sensitivitasnya kurang ( 60) bila dibandingkan dengan cara pemeriksaan sediaan langsung.8 . Diagnosa BandingTidaklah begitu sukar untuk menentukan diagnosis tinea korporis pada umumnya, namun ada beberapa penyakit kulit yang dapat mericuhkan diagnosis itu, misalnya dermatitis seboroika, psoriasis, dan pitiriasis rosea.1,5 Kelainan kulit pada dermatitis seboroika selain dapat menyerupai tinea korporis, biasanya dapat terlihat pada tempat-tempat predileksi, misalnya di kulit kepala (scalp), lipatan-lipatan kulit, misalnya belakang telinga, daerah nasolabial, dan sebagainya.. Kulit kepala berambut juga sering terkena penyakit ini. Gambaran klinis yang khas dari dermatitis seboroika adalah skuamanya yang berminyak dan kekuningan. 1 Psoriasis pada stadium penyembuhan menunjukkan gambaran eritema pada bagian pinggir sehingga menyerupai tinea. Perbedaannya ialah pada psoriasis terdapat tanda-tanda khas yakni skuama kasar, transparan serta berlapis-lapis, Ienomena tetes lilin, dan Ienomena auspitz. Psoriasis dapat dikenal dari kelainan kulit pada tempat predileksi, yaitu daerah ekstensor, misalnya lutut, siku, dan punggung. 1 Pitiriasis rosea, yang distribusi kelainan kulitnya simetris dan terbatas pada tubuh dan bagian proksimal anggota badan, sukar dibedakan dengan tinea korporis tanpa herald patch yang dapat membedakan penyakit ini dengan tinea korporis. Perbedaannya pada pitiriasis rosea gatalnya tidak begitu berat seperti pada tinea korporis, skuamanya halus sedangkan pada tinea korporis kasar. Pemeriksaan laboratoriumlah yang dapat memastikan diagnosisnya. 1,5 93 8. Penatalaksanaan Terapi yang dapat diberikan pada pasien bervariasi tergantung derajat lesi yang ada. Prinsip pengobatan pada tinea kruris lebih kurang sama dengan prinsip pengobatan tinea korporis 8.1 Terapi topikal Terapi ini direkomendasikan untuk inIeksi lokal karena dermatoIit biasanya hidup pada jaringan. Pada masa kini selain obat-obat topical konvensional, misalnya asam salisil 2-4, asam benzoate 6-12, sulphur 4-6, vioIorm 3, asam undesilenat 2-5 dan zat warna (hijau brilian dalam cat Castellani) dikenal banyak obat topical baru. Obat-obat baru ini diantaranya tolnaItat 2; tolsiklat, haloprogin, berbagai macam preparat imidazol dan alilamin tersedia dalam berbagai Iormulasi. Dan semua obat-obat baru ini memberikan keberhasilan terapi (70-100). Terapi topikal digunakan 1-2 kali sehari selama 2 minggu tergantung agen yang digunakan. Topikal azol dan allilamin menunjukkan angka perbaikan perbaikan klinik yang tinggi. Berikut obat yang sering digunakan : 1. Topical azol terdiri atas: Econazol 1 , Ketoconazol 2 , Clotrimazol 1, Miconazol 2 dll. Derivat imidazol bekerja dengan cara menghambat enzim 14-alIa-dimetilase pada pembentukan ergosterol membran sel jamur.2. Allilamin bekerja menghambat allosterik dan enzim jamur skualen 2,3 epoksidase sehingga skualen menumpuk pada proses pembentukan ergosterol membran sel jamur, yaitu naItiIine 1, butenaIin 1. TerbinaIin 1 (Iungisidal bersiIat anti inIlamasi ) yang mampu bertahan hingga 7 hari sesudah pemakaian selama 7 hari berturut-turut. 3. Sikloklopirosolamin 2 (cat kuku, krim dan losio) bekerja menghambat masuknya bahan esensial selular dan pada konsentrasi tinggi merubah permeabilitas sel jamur merupakan agen topikal yang bersiIat Iungisidal dan Iungistatik, antiinIlamasi dan anti bakteri serta berspektrum luas. 1.2,4,9,10 8.2 Terapi sistemik Pedoman yang dikeluarkan oleh American Academy oI Dermatology menyatakan bahwa obat anti jamur (OAJ) sistemik dapat digunakan pada kasus hiperkeratosis terutama pada telapak tangan dan kaki, lesi yang luas, inIeksi kronis, pasien imunokompromais, atau pasien tidak responsiI maupun intoleran terhadap OAJ topikal. 1. GriseoIulvin. GriseoIulvin 500 mg sehari untuk dewasa, sedangkan anak-anak 10-25 mg/kgBB sehari. Lama pemberian griseoIulvin pada tinea korporis adalah 3-4 minggu, diberikan bila lesi luas atau bila dengan pengobatan topikal tidak ada perbaikan.2. Ketokonazol. Merupakan OAJ sistemik pertama yang berspektrum luas, Iungistatik, termasuk golongan imidazol. Dosisnya 200 mg per hari selama 10 hari2 minggu pada pagi hari setelah makan3. Flukonazol. Mempunyai mekanisme kerja sama dengan golongan imidazol, namun absorbsi tidak dipengaruhi oleh makanan atau kadar asam lambung. 4. Itrakonazol. Merupakan OAJ golongan triazol, sangat lipoIilik, spektrum luas, bersiIat Iungistatik dan eIektiI untuk dermatoIita, ragi, jamur dismorIik maupun jamur dematiacea. Absorbsi maksimum dicapai bila obat diminum bersama dengan makanan. 94 5. AmIoterisin B. Merupakan anti jamur golongan polyen yang diproduksi oleh Streptomyces nodosus. BersiIat Iungistatik, pada konsentrasi rendah akan menghambat pertumbuhan jamur, protozoa dan alga. Digunakan sebagai obat pilihan pada pasien dengan inIeksi jamur yang membahayakan jiwa dan tidak sembuh dengan preparat azol. 1.2,4,9,10 DAFTAR PUSTAKA 1. Budimulja U. Mikosis. Dalam: Djuanda, A. dkk, editor. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Edisi Kelima. Jakarta: Fakultas Kedokteran Indonesia; 2007. 2. Verma, S dan HeIIernan, MP. SuperIicial Fungal InIection: Dermatophytosis, Oychomycosis, Tinea Nigra, Piedra. Dalam: olII, K. dkk, penyunting. Fitzpatrick`s Dermatology in General Medicine. Edisi ketujuh. New York: The McGraw-Hill Companies, Inc; 2008. 3. Lesher, JL. Tinea Corporis. (serial online). 2009 Dikutip dari: http://emedicine.medscape.com/article/1091472-overview.htm 4. Hay, RJ dan Moore, MK. Mycology Dalam: Burns, T, dkk, penyunting. Rook`s Textbook OI Dermatology. Edisi ketujuh. Australia: Blackwell Publishing. 2004 5. Madesunaria. Tinea Corporis. (serial online). 13 November 2009. Dikutip dari: http://madesunaria.wordpress.com/2009/11/13/tinea-corporis/ 6. Anonymous. Tinea corporis, tinea cruris and tinea pedis. (serial online) 2010. Dikutip dari: http://www.doctorIungus.org/mycoses/human/other/tineacorporiscrurispedis.htm#TineaCruris 7. Hastuti, FN. Tinea corporis et kruris pada wanita berusia 20 tahun. (serial online). 2010. Dikutip dari: http://www.Ikumycase.net 8. Anonymous. Tinea corporisTreatment. (serial online). 2010. Dikutip dari: http://www.umm.edu/ency/article/000877trt.htm 9. Aulia, M. Jenis-Jenis Penatalaksanaan pada Tinea Korporis. (serial online). 2010. Dikutip dari: http://www.Ikumycase.net 10. Anonymous. DermatoIitosis. (serial online). 2010. Dikutip dari: http://www.umm.edu/ency/article/000877trt.htm 11. Mansjoer, A, dkk. Tinea Korporis. Dalam Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2. Edisi Kedua. Jakarta: Media Ausculapius; 2000. 12. Daili, Emmy S. Sjamsoe, dkk. 2005. Penyakit Kulit yang Umum di Indonesia Sebuah Panduan Bergambar. Jakarta: Medical Multimedia Indonesia. 93 http://doktercute-Ietus.blogspot.com/2010/12/tinea-kruris.html Jumat, 24 Desember 2010 Tinea Kruris I.DEFINISI Tinea Cruris adalah dermatoIitosis pada sela paha, perineum dan sekitar anus. Kelainan ini dapat bersiIat akut atau menahun, bahkan dapat merupakan penyakit yang berlangsun seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas pada daerahgenito-krural saja atau bahkan meluas ke daerah sekitar anus, daerah gluteus dan perut bagian bawah atau bagian tubuh yang lain. Tinea cruris mempunyai nama lain eczema marginatum, jockey itch, ringworm oI the groin, dhobie itch (Rasad, Asri, ProI.Dr. 2005) II.ETIOLOGI Penyebab utama dari tinea cruris Trichopyhton rubrum (90) danEpidermophython fluccosum Trichophyton mentagrophytes (4), Trichopyhton tonsurans (6) (Boel, Trelia.Drg. M.Kes.2003) III EPIDEMIOLOGI Tinea cruris dapat ditemui diseluruh dunia dan paling banyak di daerah tropis. Angka kejadian lebih sering pada orang dewasa, terutama laki-laki dibandingkan perempuan. Tidak ada kematian yang berhubungan dengan tinea cruris.Jamur ini sering terjadi pada orang yang kurang memperhatikan kebersihan diri atau lingkungan sekitar yang kotor dan lembab (iederkehr, Michael. 2008) III.PATOFISIOLOGI Cara penularan jamur dapat secara angsung maupun tidak langsung. Penularan langsung dapat secara Iomitis, epitel, rambut yang mengandung jamur baik dari manusia, binatang, atau tanah. Penularan tidak langsung dapat melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, pakaian debu. Agen penyebab juga dapat ditularkan melalui kontaminasi dengan pakaian, handuk atau sprei penderita atau autoinokulasi dari tinea pedis, tinea inguium, dan tinea manum. Jamur ini menghasilkan keratinase yang mencerna keratin, sehingga dapat memudahkan invasi ke stratum korneum. InIeksi dimulai dengan kolonisasi hiIa atau cabang-cabangnya didalam jaringan keratin yang mati. HiIa ini menghasilkan enzim keratolitik yang berdiIusi ke jaringan epidermis dan menimbulkan reaksi peradangan. Pertumbuhannya dengan pola radial di stratum korneum menyebabkan timbulnya lesi kulit dengan batas yang jelas dan meninggi (ringworm). Reaksi kulit semula berbentuk papula yang berkembang menjadi suatu reaksi peradangan. 96 Beberapa Iaktor yang berpengaruh terhadap timbulnya kelainan di kulit adalah: a.Faktor virulensi dari dermatoIita Virulensi ini bergantung pada aIinitas jamur apakah jamur antropoIilik, zooIilik, geoIilik. Selain aIinitas ini massing-masing jamur berbeda pula satu dengan yang lain dalam hal aIinitas terhadap manusia maupun bagian-bagian dari tubuh misalnya: Trichopyhton rubrum jarang menyerang rambut, Epidermophython fluccosum paling sering menyerang liapt paha bagian dalam. b.Faktor trauma Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil lebih susah untuk terserang jamur. c.Faktor suhu dan kelembapan Kedua Iaktor ini jelas sangat berpengaruh terhadap inIeksi jamur, tampak pada lokalisasi atau lokal, dimana banyak keringat seperti pada lipat paha, sela-sela jari paling sering terserang penyakit jamur. d.Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan Faktor ini memegang peranan penting pada inIeksi jamur dimana terlihat insiden penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang lebih rendah sering ditemukan daripada golongan ekonomi yang baik e.Faktor umur dan jenis kelamin (Boel, Trelia.Drg. M.Kes.2003) IV.MANIFESTASI KLINIS 1. Anamnesis Keluhan penderita adalah rasa gatal dan kemerahan di regio inguinalis dan dapat meluas ke sekitar anus, intergluteal sampai ke gluteus. Dapat pula meluas ke supra pubis dan abdomen bagian bawah. Rasa gatal akan semakin meningkat jika banyak berkeringat. Riwayat pasien sebelumnya adalah pernah memiliki keluhan yang sama. Pasien berada pada tempat yang beriklim agak lembab, memakai pakaian ketat, bertukar pakaian dengan orang lain, aktiI berolahraga, menderita diabetes mellitus. Penyakit ini dapat menyerang pada tahanan penjara, tentara, atlit olahraga dan individu yang beresiko terkena dermatophytosis. 2. Pemeriksaan Fisik EIloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk yang primer dan sekunder.Makula eritematosa, berbatas tegas dengan tepi lebih aktiI terdiri dari papula atau pustula. Jika kronis atau menahun maka eIloresensi yang tampak hanya makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya dan disertai likeniIikasi. Garukan kronis dapat menimbulkan gambaran likeniIikasi. 97 ManiIestasi tinea cruris : 1.Makula eritematus dengan central healing di lipatan inguinal, distal lipat paha, dan proksimal dari abdomen bawah dan pubis 2.Daerah bersisik 3.Pada inIeksi akut, bercak-bercak mungkin basah dan eksudatiI 4.Pada inIeksi kronis makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya dan disertai likeniIikasi 5.Area sentral biasanya hiperpigmentasi dan terdiri atas papula eritematus yang tersebar dan sedikit skuama 6.Penis dan skrotum jarang atau tidak terkena 7.Perubahan sekunder dari ekskoriasi, likeniIikasi, dan impetiginasi mungkin muncul karena garukan 8.InIeksi kronis bisa oleh karena pemakaian kortikosteroid topikal sehingga tampak kulit eritematus, sedikit berskuama, dan mungkin terdapat pustula Iolikuler 9.Hampir setengah penderita tinea cruris berhubungan dengan tinea pedis (iederkehr, Michael. 2008). V.PEMERIKSAAN PENUN1ANG Pemeriksaan mikologik untuk membantu penegakan diagnosis terdiri atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis berupa kerokan kulit yang sebelumnya dibersihkan dengan alkohol 70. a.Pemeriksaan dengan sediaan basah Kulit dibersihkan dengan alkohol 70 kerok skuama dari bagian tepi lesi dengan memakai scalpel atau pinggir gelas taruh di obyek glass tetesi KOH 10-15 1-2 tetes tunggu 10-15 menit untuk melarutkan jaringan lihat di mikroskop dengan pembesaran 10-45 kali, akan didapatkan hiIa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit yang lama atau sudah diobati, dan miselium b. Pemeriksaan kultur dengan Sabouraud agar Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada medium saboraud dengan ditambahkan chloramphenicol dan cyclohexamide (mycobyotic-mycosel) untuk menghindarkan kontaminasi bakterial maupun jamur kontaminan. IdentiIikasi jamur biasanya antara 3-6 minggu(iederkehr, Michael. 2008) c.Punch biopsi Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis namun sensitiIitasnya dan spesiIisitasnya rendah. Pengecatan dengan Peridoc AcidSchiII, jamur akan tampak merah muda atau menggunakan pengecatan methenamin silver, jamur akan tampak coklat atau hitam (iederkehr, Michael. 2008). d. Penggunaan lampu wood bisa digunakan untuk menyingkirkan adanya eritrasma dimana akan tampak Iloresensi merah bata(iederkehr, Michael. 2008). VI.DIAGNOSIS Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan Iisik dengan melihat gambaran klinis dan lokasi terjadinya lesi serta pemeriksaan penunjang seperti yang telah disebutkan dengan menggunakan mikroskop pada sediaan yang ditetesi KOH 10-20, sediaan biakan pada medium Saboraud, punch biopsi, atau penggunaan lampu wood. 98 VII.DIAGNOSIS BANDING O Candidosis intertriginosa Kandidosis adalah penyakit jamur yang disebabkan oleh spesies Candida biasanya oleh Candida albicans yang bersiIat akut atau subakut dan dapat mengenai mulut, vagina, kulit, kuku, bronki.Penyakit ini terdapat di seluruh dunia, dapat menyerang semua umur, baik laki-laki maupun perempuan. Patogenesisnya dapat terjadi apabila ada predisposisi baik endogen maupun eksogen. Faktor endogen misalkan kehamilan karena perubahan pH dalam vagina, kegemukan karena banyak keringat, debilitas, iatrogenik, endokrinopati, penyakit kronis orang tua dan bayi, imunologik (penyakit genetik). Faktor eksogen berupa iklim panas dan kelembapan, kebersihan kulit kurang, kebiasaan berendam kaki dalam air yang lama menimbulkan maserasi dan memudahkan masuknya jamur, kontak dengan penderita. Dapat mengenai daerah lipatan kulit, terutama ketiak, bagian bawah payudara, bagian pusat, lipat bokong, selangkangan, dan sela antar jari; dapat juga mengenai daerah belakang telinga, lipatan kulit perut, dan glans penis (balanopostitis). Pada sela jari tangan biasanya antara jari ketiga dan keempat, pada sela jari kaki antara jari keempat dan kelima, keluhan gatal yang hebat, kadang-kadang disertai rasa panas seperti terbakar. Lesi pada penyakit yang akut mula-mula kecil berupa bercak yang berbatas tegas, bersisik, basah, dan kemerahan. Kemudian meluas, berupa lenting-lenting yang dapat berisi nanah berdinding tipis, ukuran 2-4 mm, bercak kemerahan, batas tegas, Pada bagian tepi kadang-kadang tampak papul dan skuama. Lesi tersebut dikelilingi oleh lenting-lenting atau papul di sekitarnya berisi nanah yang bila pecah meninggalkan daerah yang luka, dengan pinggir yang kasar dan berkembang seperti lesi utama. Kulit sela jari tampak merah atau terkelupas, dan terjadi lecet. Pada bentuk yang kronik, kulit sela jari menebal dan berwarna putih. O Erytrasma Erytrasma adalah penyakit bakteri kronik pada stratum korneum yang disebabkan oleh Corynebacterium minitussismum, ditandai lesi berupa eritema dan skuama halus terutama di daerah ketiak dan lipat paha. Gejala klinis lesi berukuran sebesar milier sampai plakat. Lesi eritroskuamosa, berskuama halus kadang terlihat merah kecoklatan. Variasi ini rupanya bergantung pada area lesi dan warna kulit penderita. Tempat predileksi kadang di daerah intertriginosa lain terutama pada penderita gemuk. Perluasan lesi terlihat pada pinggir yang eritematosa dan serpiginose. Lesi tidak menimbul dan tidak terlihat vesikulasi. EIloresensi yang sama berupa eritema dan skuama pada seluruh lesi merupakan tanda khas dari eritrasma. Skuama kering yang halus menutupi lesi dan pada perabaan terasa berlemak. Pada pemeriksaan dengan lampu wood lesi terlihat berIluoresensi merah membara (coral red) (Rasad, Asri, ProI.Dr. 2005) O Psoriasis Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersiIat kronik dan residiI, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan, disertai Ienomena tetesan lilin, Auspitz, dan Kobner. Tempat predileksi pada skalp, perbatasan daerah tersebut dengan muka, ekstremitas ekstensor terutama siku serta lutut dan daerah lumbosakral. Kelainan kulit terdiri atas bercak eritema yang meninggi (plak) dengan skuama diatasnya. Eritema sirkumskrip dan merata, tetapi pada stadium penyembuhan sering bagian di tengah menghilang dan hanya terdapat di pinggir. Skuama berlapis-lapis, kasar dan berwarna putih seperti mika, serta transparan. Besar kelainan bervariasi dapat lentikular, numular atau plakat, dapat berkonIluensi. 99 O Dermatitis Seboroik Dermatitis Seboroik merupakan penyakit inIlamasi konis yang mengenai daerah kepala dan badan. Prevalensi Dermatitis Seboroik sebanyak 1-5 populasi.Lebih sering terjadi pada laki-laki daripada wanita. Penyakit ni dapat mengenai bayi sampa orang dewasa. Umumnya pda bayi terjadi pada usia 3 bulan sedang pada dewasa pada usia 30-60 tahun. Kelainan kulit berupa eritema dan skuama yang berminyak dan agak kekuningan dengan batas kurang tegas. Bentuk yang berat ditandai dengan adanya bercak-bercak berskuama dan berminyak disertai eksudat dan krusta tebal. VIII.PENATALAKSANAAN Pada inIeksi tinea cruris tanpa komplikasi biasanya dapat dipakai anti jamur topikal saja dari golongan imidazole dan allynamin yang tersedia dalam beberapa Iormulasi. Semuanya memberikan keberhasilan terapi yang tinggi 70-100 dan jarang ditemukan eIek samping. Obat ini digunakan pagi dan sore hari kira-kira 2-4 minggu. Terapi dioleskan sampai 3 cm diluar batas lesi, dan diteruskan sekurang-kurangnya 2 minggu setelah lesi menyembuh. Terapi sistemik dapat diberikan jika terdapat kegagalan dengan terapi topikal, intoleransi dengan terapi topikal. Sebelum memilih obat sistemik hendaknya cek terlebih dahulu interaksi obat-obatan tersebut. Diperlukan juga monitoring terhadap Iungsi hepar apabila terapi sistemik diberikan lebih dari 4 mingggu. Pengobatan anti jamur untuk Tinea cruris dapat digolongkan dalam emapat golongan yaitu: golongan azol, golongan alonamin, benzilamin dan golongan lainnya seperti siklopiros,tolnaItan, haloprogin. Golongan azole ini akan menghambat enzim lanosterol 14 alpha demetylase (sebuah enzim yang berIungsi mengubah lanosterol ke ergosterol), dimana truktur tersebut merupakankomponen penting dalam dinding sel jamur. Goongan Alynamin menghambat keja dari squalen epokside yang merupakan enzim yang mengubah squalene ke ergosterol yang berakibat akumulasi toksik squalene didalam sel dan menyebabkan kematian sel. Dengan penghambatan enzim-enzim tersebut mengakibatkan kerusakan membran sel sehingga ergosterol tidak terbentuk. Golongan benzilamin mekanisme kerjanya diperkirakan sama dengan golongan alynamin sedangkan golongan lainnya sama dengan golongan azole. Pengobatan tinea cruris tersedia dalam bentuk pemberian topikal dan sistemik: Obat secara topikal yang digunakan dalam tinea cruris adalah: 1.Golongan Azol a.Clotrimazole (Lotrimin, Mycelec) Merupakan obat pilihan pertama yang digunakan dalam pengobatan tinea cruris karena bersiIat broad spektrum antijamur yang mekanismenya menghambat pertumbuhan ragi dengan mengubah permeabilitas membran sel sehingga sel-sel jamur mati. Pengobatan dengan clotrimazole ini bisa dievaluasi setelah 4 minggu jika tanpa ada perbaikan klinis. Penggunaan pada anak-anak sama seperti dewasa. Obat ini tersedia dalam bentuk kream 1, solution, lotion. Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu. Tidakada kontraindikasi obat ini, namun tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukan hipersensitivitas, peradangan inIeksi yang luas dan hinari kontak mata. b.Mikonazole (icatin, Monistat-derm) Mekanisme kerjanya dengan selaput dinding sel jamur yang rusak akanmenghambat biosintesis dari ergosterol sehingga permeabilitas membran sel jamur meningkat menyebabkan sel jamur mati. Tersedia dalam bentuk cream 2, solution, lotio, bedak. Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu. Penggunaan pada anak sama dengan dewasa. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas, hindari kontak dengan mata. 100 c.Econazole (Spectazole) Mekanisme kerjanya eIektiI terhadap inIeksi yang berhubungan dengan kulit yaitu menghambat RNA dan sintesis, metabolisme protein sehingga mengganggu permeabilitas dinding sel jamur dan menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan ecnazole dapat dilakukan dalam 2-4 minggu dengan cara dioleskan sebanyak 2kali atau 4 kali dalam sediaan cream 1.. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas, hindari kontak dengan mata. d.Ketokonazole (Nizoral) Mekanisme kerja ketokonazole sebagai turunan imidazole yang bersiIat broad spektrum akan menghambat sintesis ergosterol sehingga komponen sel jamur meningkat menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan ketokonazole dapat dilakukan selama 2-4 minggu. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas, hindari kontak dengan mata. e.Oxiconazole (Oxistat) Mekanisme oxiconazole kerja yang bersiIat broad spektrum akan menghambat sintesis ergosterol sehingga komponen sel jamur meningkat menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan oxiconazole dapat dilakukan selama 2-4 minggu. Tersedia dalam bentk cream 1 atau bedak kocok. Penggunaan pada anak-anak 12 tahun penggunaan sama dengan orang dewasa. Tidak dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas dan hanya digunakan untuk pemakaian luar. I.Sulkonazole (Exeldetm) Sulkonazole merupakan obat jamur yang memiliki spektrum luas. Titik tangkapnya yaitu menghambat sintesis ergosterol yang akan menyebabkan kebocoran komponen sel, sehingga menyebabkan kematian sel jamur. Tersedia dalam bentuk cream 1 dan solutio. Penggunaan pada anak-anak 12 tahun penggunaan sama dengan orang dewasa (dioleskan pada daerah yang terkena selama 2-4 minggu sebanyak 4 kali sehari). 2.Golongan alinamin a.NaItiIine (NaItin) BersiIat broad spektrum anti jamur dan merupakan derivat sintetik dari alinamin yang mekanisme kerjanya mengurangi sintesis dari ergosterol sehingga menyebabkan pertumbuhan sel amur terhambat. Pengobatan dengan naItitine dievaluasi setelah 4 minggu jika tidak ada perbaikan klinis. Tersedia dalam bentuk 1 cream dan lotion. . Penggunaan pada anak sama dengan dewasa ( dioleskan 4 kali sehari selama 2-4minggu). b. TerbinaIin (Lamisil) Merupakan deriIat sintetik dari alinamin yang bekerja menghambat skualen epoxide yang merupakan enzim kunci dari biositesis sterol jamur yang menghasilkan kekurangan ergosterol yang menyebabkan kematian sel jamur. Secara luas pada penelitian melaporkan keeIektiIan penggunaan terbinaIin. TerbenaIine dapat ditoleransi penggunaanya pada anak-anak. Digunakan selama 1-4 minggu 101 3.Golongan Benzilamin O ButenaIine (mentax) Anti jamur yang poten yang berhuungan dengan alinamin. Kerusakan membran sel jamur menyebabkan sel jamur terhambat pertumbuhannya. Digunakan dalam bentuk cream 1, diberikan selama 2-4 minggu. Pada anaktidak dianjurkan. Untuk dewasa dioleskan sebanyak 4kali sehari. 4.Golongan lainnya a. Siklopiroks (Loprox) Memiliki siIat broad spektrum anti Iungal. Kerjanya berhubunan dengan sintesi DNA b.Haloprogin (halotex) Tersedia dalam bentuk solution atau spray, 1 cream. Digunakan selama 2-4minggu dan dioleskan sebanyak 3kali sehari. c.TolnaItate Tersedia dalam cream 1,bedak,solution. Dioleskan 2kali sehari selama 2-4 minggu(iederkehr, Michael. 2008). Pengobatan secara sistemik dapat digunakan untuk untuk lesi yang luas atau gagal dengan pengobatan topikal, berikut adalah obat sistemik yang digunakan dalam pengobatan tinea cruris: a. Ketokonazole Sebagai turunan imidazole, ketokonazole merupakan obat jamur oral yangberspektrum luas. Kerja obat ini Iungistatik. Pemberian 200mg/hari selama 2-4 minggu. b. Itrakonazole Sebagai turunan triazole, itrakonazole merupakan obat anti jamur oral yang berspektrum luas yang menghambat pertumbuhan sel jamur dengan menghambat sitokrom P-450 dependent sintetis dari ergosterol yang merupakan komponen penting pada selaput sel jamur.Pada penelitian disebutkan bahwa itrakonazole lebih baik daripada griseoIulvin dengan hasil terbaik 2-3 minggu setelah perawatan. Dosis dewasa 200mg po selam 1 minggu dan dosis dapat dinaikkan 100mg jika tidak ada perbaikan tetpi tidak boleh melebihi 400mg/hari.Untuk anak-anak 5mg/hari PO selama 1 minggu. Obat ini dikontraindikasikan pada penderita yang hipersensitivitas, dan jangan diberikan bersama dengan cisapride karena berhubunngan dengan aritmia jantung. c.GriseoIulIin Termasuk obat Iungistatik, bekerja dengan menghambat mitosis sel jamur dengan mengikat mikrotubuler dalam sel. Obat ini lebih sedikit tingkat keeIektiIannya dibanding itrakonazole. Pemberian dosis pada dewasa 500mg microsize (330-375 mg ultramicrosize) PO selama 2-4minggu, untuk anak 10-25 mg/kg/hari Po atau 20 mg microsize /kg/hari d.TerbinaIine Pemberian secara oral pada dewasa 250g/hari selama 2 minggu). Pada anak pemberian secara oral disesuaikan dengan berat badan: 12-20kg :62,5mg/hari selama 2 minggu 20-40kg :125mg/ hari selama 2 minggu ~40kg:250mg/ hari selama 2 minggu 102 Edukasi kepada pasien di rumah : 1.Anjurkan agar menjaga daerah lesi tetap kering 2.Bila gatal, jangan digaruk karena garukan dapat menyebabkan inIeksi. 3.Jaga kebersihan kulit dan kaki bila berkeringat keringkan dengan handuk dan mengganti pakaian yang lembab 4.Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat seperti katun, tidak ketat dan ganti setiap hari. 5.Untuk menghindari penularan penyakit, pakaian dan handuk yang digunakan penderita harus segera dicuci dan direndam air panas. IX.KOMPLIKASI Tinea cruris dapat terinIeksi sekunder oleh candida atau bakteri yang lain. Pada inIeksi jamur yang kronis dapat terjadi likeniIikasi dan hiperpigmentasi kulit. X.PROGNOSIS Prognosis penyakit ini baik dengan diagnosis dan terapi yang tepat asalkan kelembapan dan kebersihan kulit selalu dijaga. 103 http://medicom.blogdetik.com/2009/03/10/dermatoIitosis-2/ Dermatofitosis DermatoIitosis adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk, misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut dan kuku yang disebabkan golongan jamur dermatoIita (Budimulja, 2005). DermatoIita dibagi menjadi genera icrosporum, Trichophyton dan Epidermophyton (Madani, 2000). Golongan jamur ini mempunyai siIat mencernakan keratin. Hingga kini dikenal sekitar 40 spesies dermatoIita, masing-masing dua spesies Epidermophyton, 17 spesies icrosporum dan 21 spesies Trichophyton (Budimulja, 2005). II. 1. Dermatofita Menurut Madani (2000) golongan jamur dermatoIita dapat menyebabkan beberapa bentuk klinis yang khas. Satu jenis dermatoIita dapat menghasilkan bentuk klinis yang berbeda, tergantung letak lokasi anatominya. A. Tinea Kapitis DermatoIitosis pada kulit kepala dan rambut ini umumnya menyerang anak prapubertas. Jamur menyerang stratum korneum dan masuk ke Iolikel rambut yang selanjutnya akan menyerang bagian luar atau sampai ke bagian dalam rambut, bergantung pada spesiesnya (Daili, dkk., 2005). Menurut Madani (2000) ada tiga bentuk klinis tinea kapitis, yaitu : 1. rey patch ringworm Bentuk ini terutama disebabkan oleh icrosporum audouinii (Mulyono, 1986). Bentuk ini ditemukan pada anak-anak dan biasanya dimulai dengan timbulnya papula merah kecil di sekitar Iolikel rambut. Papula ini kemudian melebar dan membentuk bercak pucat karena adanya sisik. Penderita mengeluh gatal, warna rambut menjadi abu-abu, tidak berkilat lagi. Rambut menjadi mudah patah dan juga mudah terlepas dari akarnya. Pada daerah yang terserang oleh jamur terbentuk alopesia setempat dan terlihat sebagai grey patch.Bercak abu-abu ini sulit terlihat batas-batasnya dengan pasti bila tidak menggunakan lampu Wood. Pemeriksaan dengan lampu Wood memberikan Iluoresensi kehijau-hijauan sehingga batas-batas yang sakit dapat terlihat jelas. 2. Kerion Merupakan tinea kapitis yang terutama disebabkan oleh icrosporum canis(Mulyono, 1986). Bentuk yang disertai dengan reaksi peradangan yang hebat. Lesi berupa pembengkakan menyerupai sarang lebah, dengan sebukan radang di sekitarnya. Kelainan ini menimbulkan jaringan parut yang menetap. 104 3. lack dot ringworm Merupakan tinea kapitis yang terutama disebabkan oleh Trichophyton tonsurans dan Trichophyton violaceum (Mulyono, 1986). Gambaran klinis berupa terbentuknya titik-titik hitam pada kulit kepala akibat patahnya rambut yang terinIeksi tepat di muara Iolikel. Ujung rambut yang patah dan penuh spora terlihat sebagai titik hitam. Diagnosis banding pada tinea kapitis adalah alopesia areata, dermatitis seboroik dan psoriasis (Siregar, 2005). B. Tinea Favosa Tinea Iavosa adalah inIeksi jamur kronis, terutama oleh Trichophyton schoenleini, Trichophyton violaceum dan icrosporum gypseum. Penyakit ini merupakan bentuk lain tinea kapitis, yang ditandai oleh skutula berwarna kekuningan dan bau seperti tikus pada kulit kepala. Biasanya, lesinya menjadi sikatrik alopesia permanen. Kadang kulit halus dan kuku dapat terkena. Gambaran klinis mulai dari gambaran ringan, berupa kemerahan pada kulit kepala dan terkenanya Iolikel rambut tanpa kerontokan, hingga skutula dan kerontokan rambut, serta lesi menjadi lebih merah dan lebih luas. Setelah itu, terjadi kerontokan rambut luas, kulit mengalami atroIi dan sembuh dengan jaringan parut permanen. Penegakan diagnosis tinea Iavosa berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan mikroskopis langsung, dengan menemukan miselium, air bubbles yang bentuknya tidak teratur. Pada pemeriksaan dengan lampu Wood tampak Iluoresensi hijau pudar (dull green) (Madani, 2000). C. Tinea Korporis Tinea korporis atau tinea sirsinata adalah inIeksi jamur golongan dermatoIita (berbagai spesies Trichophyton, icrosporum dan Epidermophyton) pada badan, tungkai dan lengan dan mempunyai gambaran morIologi yang khas (Daili, dkk., 2005). Menurut Madani (2000) penyebab tersering penyakit ini adalah Trichophyton rubrum dan Trichophyton mentagrophytes. Pasien merasa gatal dan kelainan umumnya berbentuk bulat, berbatas tegas, terdiri atas macam-macam eIloresensi kulit (polimorI) dengan bagian tepi lesi lebih jelas tanda peradangannya daripada bagian tengah. Beberapa lesi dapat bergabung dan membentuk gambaran polisiklis. Lesi dapat meluas dan memberi gambaran yang tidak khas terutama pada pasien imunodeIisiensi. Pada kasus dermatoIitosis dengan gambaran klinis tidak khas, diagnosis pasti ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan kulit dengan larutan KOH 10-20 (Daili, dkk., 2005). Diagnosis banding tinea korporis adalah morbus hansen, pitiriasis rosea dan neurodermatitis sirkumskripta (Siregar, 2005). 103 D. Tinea Imbrikata Tinea imbrikata adalah dermatoIitosis kronik rekuren disebabkan Trichophyton concentricum. Di indonesia penyakit ini ditemukan endemis di wilayah tertentu, antara lain Papua, Sulawesi, Sumatra dan pulau-pulau bagian tengah Indonesia Timur, terutama pada masyarakat terasing. Kerentanan terhadap penyakit ini diduga diturunkan secara genetik dengan pola penurunan autosomal resesiI. Gambaran klinis pada kulit berupa lingkaran-lingkaran konsentris terdiri atas lesi papuloskuamosa, dengan stratum korneum yang lepas sisi bebasnya menghadap ke arah dalam lesi, sehingga tampak tersusun seperti genting. Pada keadaan kronik rasa gatal tidak menonjol (Daili, dkk., 2005). E. Tinea Kruris Tinea kruris adalah penyakit jamur dermatoIita di daerah lipat paha, genitalia dan sekitar anus yang dapat meluas ke bokong dan perut bagian bawah. Penyebabnya biasanya adalah Epidermophyton floccosum, kadang-kadang dapat juga disebabkan oleh Trichophyton rubrum. Gambaran klinik biasanya adalah lesi simetris di lipat paha kanan dan kiri. Mula-mula lesi ini berupa bercak eritematosa dan gatal, yang lama-kelamaan meluas sehingga dapat meliputi skrotum, pubis, glutea bahkan sampai paha. Tepi lesi aktiI, polisiklis, ditutupi skuama dan kadang-kadang disertai dengan banyak vesikel kecil-kecil. Diagnosis banding tinea kruris meliputi dermatitis seboroik, kandidosis kutis, eritrasma, dermatitis kontak dan psoriasis. Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinis yang khas dan ditemukan elemen jamur pada pemeriksaan kerokan kulit dengan mikroskop langsung memakai larutan KOH 10-20 (Madani, 2000; Siregar, 2005). F. Tinea Manus dan Pedis Tinea manus dan pedis merupakan penyakit yang disebabkan oleh inIeksi jamur dermatoIita di daerah kulit telapak tangan dan kaki, punggung tangan dan kaki, jari-jari tangan dan kaki, serta daerah interdigital. Penyebab tersering adalah Trichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes danEpidermophyton floccosum. Penyakit ini sering terjadi pada orang dewasa yang setiap hari harus memakai sepatu tertutup dan pada orang yang sering bekerja di tempat yang basah, mencuci, di sawah dan sebagainya. Keluhan penderita bervariasi mulai tanpa keluhan sampai mengeluh sangat gatal dan nyeri karena terjadinya inIeksi sekunder dan peradangan (Madani, 2000). 106 Menurut Madani (2000) dikenal tiga bentuk klinis tinea manus dan pedis yang sering dijumpai, yakni : 1. Bentuk intertriginosa ManiIestasi kliniknya berupa maserasi, deskuamasi dan erosi pada sela jari. Tampak warna keputihan basah dan dapat terjadi Iisura yang terasa nyeri bila tersentuh. InIeksi sekunder dapat menyertai Iisura tersebut dan lesi dapat meluas sampai ke kuku dan kulit jari. Pada kaki, lesi sering mulai dari sela jari III, IV dan V. Bentuk klinik ini dapat berlangsung bertahun-tahun tanpa keluhan sama sekali. Pada suatu ketika kelainan ini dapat disertai inIeksi sekunder oleh bakteri, sehingga terjadi limIangitis, selulitis dan erisipelas yang disetai gejala-gejala umum. 2. Bentuk vesikular akut Penyakit ini ditandai terbentuknya vesikula-vesikula dan bula yang terletak agak dalam di bawah kulit dan sangat gatal. Lokasi yang tersering adalah telapak kaki bagian tengah dan kemudian melebar serta vesikulanya memecah. InIeksi sekunder dapat memperburuk keadaan ini. 3. Bentuk mocassin foot Pada bentuk ini seluruh kaki dari telapak, tepi sampai punggung kaki, terlihat kulit menebal dan berskuama. Eritem biasanya ringan, terutama terlihat pada bagian tepi lesi. Diagnosis banding untuk tinea manus adalah dermatitis kontak alergika, dermatitis dishidrotik dan dermatitis numularis. Diagnosis banding untuk tinea pedis adalah kandidiasis, akrodermatitis perstans dan pustular bacterid(Siregar, 2005). Diagnosis ditegakkan berdasarkan gambaran klinik dan pemeriksaan kerokan kulit dengan larutan KOH 10-20 yang menunjukkan elemen jamur (Madani, 2000). G. Tinea Unguium Tinea unguium adalah kelainan kuku yang disebabkan oleh inIeksi jamur dermatoIita. Penyebab penyakit yang tersering adalah Trichophyton mentagrophytes dan Trichophyton rubrum. Penyakit ini biasanya menyertai tinea pedis atau tinea manus. Keluhan penderita berupa kuku menjadi rusak dan warnanya menjadi suram. Bergantung penyebabnya, destruksi kuku dapat mulai dari distal, lateral ataupun keseluruhan. Bila disertai paronikia, sekitar kuku akan terasa nyeri dan gatal. Pada umumnya tinea unguium berlangsung kronik dan sukar penyembuhannya (Madani, 2000). 107 Menurut Madani (2000) dikenal tiga bentuk gejala klinis tinea unguium, yakni : 1. Bentuk subungual distalis Penyakit ini mulai dari tepi distal atau distolateral kuku. Penyakit akan menjalar ke proksimal dan di bawah kuku terbentuk sisa kuku yang rapuh. 2. Leukonikia trikoIita atau leukonikia mikoIita Bentuk ini berupa bercak keputihan di permukaan kuku yang dapat dikerok untuk membuktikan adanya elemen jamur. 3. Bentuk subungual proksimal Pada bentuk ini, kuku bagian distal masih utuh, sedangkan bagian proksimal rusak. Kuku kaki lebih sering diserang daripada kuku tangan. Diagnosis banding adalah onikodistroIi oleh karena kandida albikans, onikodistroIi akibat trauma dan psoriasis pada kuku (Siregar, 2005). Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis dan pemeriksaan kerokan kuku dengan KOH 10-20 atau dilakukan biakan untuk menemukan elemen jamur (Madani, 2000). II. 2. Pengobatan Topikal Menurut Djuanda (1994) ada dua pedoman dalam pengobatan topikal, yaitu : 1. a. Basah dengan basah Berarti jika dermatosis basah (eksudatiI) diobati dengan kompres terbuka. Tetapi prinsip ini tidak mutlak, kompres terbuka juga digunakan pada dermatosis dengan peradangan hebat. b. Kering dengan kering Berarti jika dermatosis kering diobati dengan vehikulum yang kering, misalnya salep. 2. Makin akut suatu dermatosis, makin lemah bahan aktiI yang dipakai Berarti pada dermatosis yang akut jangan diberi terapi dengan bahan aktiI yang kuat, yakni dengan konsentrasi yang tinggi karena akan menghebat. 108 Menurut Hamzah (2005) prinsip obat topikal secara umum terdiri atas dua bagian yaitu bahan dasar (vehikulum) dan bahan aktiI dengan penjelasan sebagai berikut : 1. Bahan dasar (vehikulum) Memilih bahan dasar (vehikulum) obat topikal merupakan langkah awal dan terpenting yang harus diambil pada pengobatan penyakit kulit. Pada umumnya sebagai pegangan ialah pada keadaan yang membasah dipakai bahan dasar yang cair atau basah, misalnya kompres; dan pada keadaan kering dipakai bahan dasar padat atau kering, misalnya salep. Secara sederhana bahan dasar dibagi menjadi tiga yaitu cairan, bedak dan salep. Disamping itu ada dua campuran atau lebih bahan dasar, yaitu bedak kocok (lotion), krim, pasta dan linimen. a. Cairan Cairan terdiri atas solusio (larutan dalam air) dan tinctura (larutan dalam alkohol). Solusio dibagi dalam kompres, rendam (bath) dan mandi (full bath). Prinsip pengobatan cairan ialah membersihkan kulit yang sakit dari debris (pus, krusta dan sebagainya) dan sisa-sisa obat topikal yang pernah dipakai. Disamping itu terjadi perlunakan atau pecahnya vesikel, bula dan pustula. Hasil akhir pengobatan ialah keadaan yang membasah menjadi kering, permukaan menjadi bersih sehingga mikroorganisme tidak dapat tumbuh dan mulai terjadi proses epitelisasi. Pengobatan cairan berguna juga untuk menghilangkan gejala, misalnya rasa gatal, rasa terbakar, parestesi oleh bermacam-macam dermatosis. Harus diingat bahwa pengobatan dengan cairan dapat menyebabkan kulit menjadi terlalu kering. Jadi pengobatan cairan harus dipantau secara teliti. Kalau keadaan sudah mulai kering, maka pemakaiannya dikurangi dan kalau perlu dihentikan untuk diganti dengan bentuk pengobatan lainnya. Cara kompres lebih disukai daripada cara rendam dan mandi, karena pada kompres terdapat pendinginan dengan adanya penguapan, sedangkan pada rendam dan mandi terjadi proses maserasi. Bahan aktiI yang dipakai dalam kompres ialah biasanya bersiIat astringen dan antimikrobial. Astringen mengurangi eksudat akibat presipitasi protein. Kompres terdiri dari dua macam, yaitu kompres terbuka dan kompres tertutup. Kompres terbuka dasarnya adalah penguapan cairan kompres disusul oleh absorbsi eksudat atau pus. Indikasinya meliputi dermatosis madidans, inIeksi kulit dengan eritem yang mencolok (misalnya erisipelas) dan ulkus kotor yang mengandung pus dan krusta (Hamzah, 2005). 109 Menurut Hardyanto (1990) cara kompres bekerja pada radang akut melalui : 1) Penguapan air akan menarik kalor dari lesi, sehingga terjadi vasokonstriksi yang mengakibatkan eritem berkurang. 2) Vasokonstriksi memperbaiki permeabilitas vaskuler, sehingga pengeluaran serum dan udem berkurang. 3) Air melunakkan dan melarutkan krusta pada permukaan kulit, sehingga mudah terangkat bersama kain kasa. Pembersihan krusta ini akan mengurangi sarang makanan untuk bakteri dari cairan yang terperangkap di bawah krusta. Kompres tertutup (kompres impermeabel) dasarnya adalah vasodilatasi, bukan untuk penguapan. Indikasinya ialah kelainan yang dalam, misalnya limIogranuloma venereum (Hamzah, 2005). b. Bedak Bedak yang dioleskan di atas kulit membuat lapisan tipis di kulit yang tidak melekat erat sehingga penetresinya sedikit sekali. EIek bedak ialah mendinginkan, antiinIlamasi ringan karena ada sedikit eIek vasokonstriksi, antipruritus lemah, mengurangi pergeseran pada kulit yang berlipat (intertrigo) dan proteksi mekanis. Pengobatan dengan bedak yang diharapkan terutama ialah eIek Iisis. Bahan dasarnya ialah talkum venetum. Bedak biasanya dicampur dengan seng oksida, sebab zat ini bersiIat mengabsorbsi air dan sebum, astringen, antiseptik lemah dan antipruritus lemah. Indikasi pemberian bedak ialah dermatosis yang kering dan superIisial, mempertahankan vesikel atau bula agar tidak pecah. Kontraindikasinya adalah dermatitis yang basah, terutama bila disertai dengan inIeksi sekunder (Hamzah, 2005). Jika terjadi eksudat atau pus, maka campuran bedak dengan eksudat merupakan adonan yang memudahkan terjadinya inIeksi (Djuanda, 1994). c. Salep Salep ialah bahan berlemak atau seperti lemak, yang pada suhu kamar berkonsistensi seperti mentega. Bahan dasar biasanya vaselin, tetapi dapat pula lanolin atau minyak. Indikasinya adalah dermatosis yang kering dan kronik, dermatosis yang dalam dan kronik dan dermatosis yang bersisik dan berkrusta. Kontraindikasinya adalah dermatitis madidans. Jika kelainan kulit terdapat pada bagian badan yang berambut, penggunaan salep tidak dianjurkan dan salep jangan dipakai di seluruh tubuh (Hamzah, 2005). d. Bedak kocok Bedak kocok terdiri atas campuran air dan bedak yang biasanya ditambah dengan gliserin sebagai bahan perekat, supaya bedak tidak terlalu kental dan cepat menjadi kering maka jumlah zat padat maksimal 40 dan jumlah gliserin 1015 . Hal ini berarti jika beberapa zat aktiI padat ditambahkan, maka prosentase tersebut jangan 110 terlampaui. Indikasi digunakan bedak kocok adalah dermatosis yang kering, superIisial dan agak luas, serta dermatosis pada keadaan sub akut. Kontraindikasinya ialah dermatitis madidans dan daerah badan yang berambut (Hamzah, 2005). e. Krim Krim adalah emulsi O/ (oil in water) atau /O (water in oil). Kombinasi antara minyak dengan air ditambah emulgator menghasilkan emulsi /O atau O/, bergantung pada susunan komponen di atas. Krim /O (cold cream) lebih cocok dipakai waktu malam karena melengket lebih lama di kulit. Krim O/ (vanishing cream) lebih cocok dipakai waktu siang karena lebih cair dan tidak lengket (Madani, 2000). Indikasi digunakan krim ialah indikasi kosmetik, dermatosis yang subakut dan luas, dan boleh digunakan di daerah yang berambut. Kontraindikasi untuk krim /O ialah dermatitis madidans (Hamzah, 2005). I. Pasta Pasta ialah campuran homogen bedak dan vaselin. Pasta bersiIat protektiI dan mengeringkan. Indikasi penggunaan pasta ialah dermatosis yang agak basah. Kontraindikasinya ialah dermatosis yang eksudatiI dan daerah yang berambut. Untuk daerah genital eksterna dan lipatan-lipatan badan, pasta tidak dianjurkan karena terlalu melekat (Hamzah, 2005). Sekarang pasta jarang dipakai karena pengolesan dan pembersihannya lebih sulit (Madani, 2000). g. Linimen Linimen atau pasta pendingin ialah campuran cairan, bedak dan salep. Indikasi penggunaanya yaitu pada dermatosis yang subakut. Kontraindikasinya yaitu dermatosis madidans (Hamzah, 2005). Menurut Hamzah (2005) ada vehikulum lain yaitu gel. Gel ialah sediaan hidrokoloid atau hidroIilik berupa suspensi yang dibuat dari senyawa organik. Zat untuk membuat gel di antaranya ialah karbomer, metilselulosa dan tragakan. Bila zat-zat tersebut dicampur dengan air dengan perbandingan tertentu akan terbentuk gel. Karbomer akan membuat gel menjadi sangat jernih dan halus. Gel segera mencair, jika berkontak dengan kulit dan membentuk satu lapisan. Absorbsi per kutan lebih baik daripada krim. 2. Bahan aktiI Pemilihan obat topikal selain Iaktor vehikulum, juga Iaktor bahan aktiI yang dimasukkan ke dalam vehikulum, yang mempunyai khasiat tertentu yang sesuai untuk pengobatan topikal. Khasiat bahan aktiI topikal dipengaruhi oleh keadaan Iisiko-kimia permukaan kulit, di samping komposisi Iormulasi zat yang dipakai. Penetrasi bahan aktiI melalui kulit dipengaruhi oleh beberapa Iaktor, termasuk konsentrasi obat, kelarutannya dalam vehikulum, besar partikel, viskositas dan eIek vehikulum terhadap kulit. 111 Bahan-bahan aktiI yang biasa digunakan pada penyakit kulit secara umum di antaranya ialah alumunium asetat, asam asetat, asam benzoat, asam borat, asam salisilat, asam undesilenat, asam vitamin A (tretionin, asam retinoat), benzokain, benzil benzoat, camphora, kortikosteroid topikal, mentol, padoIilin, selenium disulIid, sulIur, ter, tiosulIas natrikus, urea, zat antiseptik, antibiotik dan antiIungal (Djuanda, 1994; Hamzah, 2005). II. 3. Obat Antijamur Topikal Menurut Kuswadji dan idaty (2001) obat antijamur topikal yang ideal adalah obat yang aktiI pada konsentrasi sangat rendah, mempunyai Iormula yang beragam, eIek samping minimal atau bahkan tidak ada, dengan Iormula yang spesiIik (misalnya untuk kuku dan mukosa) dan mempunyai manIaat tambahan untuk kelainan yang biasa menyertai inIeksi jamur (misalnya antiinIlamasi, keratolitik dan antibakteri). Obat topikal yang diperuntukkan pada inIeksi dermatoIita berdasarkan mekanisme kerjanya meliputi : 1. Bahan kimia antiseptik Mempunyai siIat antibakteri dan antijamur ringan serta bersiIat mengeringkan, misalnya estallani paint (solusio carbol fuchsin) dapat digunakan untuk kasus tinea kruris dan kandidosis intertriginosa. Selain itu juga dapat dindikasikan untuk tinea unguium, tinea imbrikata dan tinea korporis (Kuswadji dan idaty, 2001; Siregar, 2005). 2. Bahan keratolitik Yaitu bahan yang meningkatkan eksIoliasi stratum korneum. Misalnya salepWhitefield mengandung asam salisilat 3 , asam benzoat 6 dalam petrolatum, dikatakan eIektiI bagi tinea pedis dan asam undesilenat krim dan bedak 3 . Asam salisilat pada konsentrasi rendah (12 ) bereIek keratoplastik, konsentrasi tinggi (320 ) bereIek keratolitik dan dipakai pada keadaan dermatosis yang hiperkeratotik dan pada konsentrasi sangat tinggi (40 ) dipakai untuk kelainan-kelainan yang dalam. Asam salisilat berkhasiat Iungisid terhadap banyak Iungi pada konsentrasi 36 dalam salep, selain itu berkhasiat bakteriostasis lemah. Asam salisilat tidak dapat dikombinasikan dengan seng oksida karena akan terbentuk garam sengsalisilat yang tidak aktiI. Asam benzoat mempunyai siIat antiseptik terutama Iungisidal. Salep Whitefield dapat juga berguna untuk pengobatan topikal pada tinea kruris, tinea unguium dan tinea korporis. Asam undesilenat dalam bentuk cairan dapat digunakan pada tinea unguium (Kuswadji dan idaty, 2001; Tjay dan Rahardja, 2003; Hamzah, 2005; Siregar, 2005). 112 3. Golongan allilamin Golongan ini bekerja dengan menghambat enzim epoksidase skualen pada proses pembentukan ergosterol membran sel jamur. Allilamin memiliki eIektivitas klinis yang tinggi dengan angka kesembuhan berkisar 70100 . NaItitin merupakan obat antijamur berspektrum luas dan derivat allilamin yang sintetis. Dapat menurunkan ergosterol yang menghambat pertumbuhan sel jamur. Pada konsentrasi 1 memiliki daya antiinIlamasi. Tersedia dalam bentuk krim, g el atau solusio 1 . Penderita tinea korporis dewasa maupun anak-anak cukup dioleskan 4 kali sehari pada sekitar lesi selama 2 minggu dalam bentuk krim 1 . Tinea kruris 4 kali sehari selama 24 minggu dalam bentuk krim 1 . Tinea pedis dioleskan 4 kali sehari dalam bentuk krim 1 atau 2 kali sehari dalam bentuk gel 1 . TerbinaIin merupakan derivat allilamin yang sintetis yang menghambat epoksidase skualen, sebuah enzim penting dalam biosintesis sterol pada jamur yang menghasilkan deIisiensi ergosterol, penyebab kematian sel jamur. Penelitian menemukan bahwa obat ini eIektiI dan tertoleransi dengan baik oleh anak-anak. TerbinaIin dioleskan 4 kali sehari pada penderita tinea kruris dan tinea korporis baik dewasa maupun anak-anak dalam waktu 14 minggu. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak (~12 tahun) diberikan olesan sebanyak 2 kali sehari dalam bentuk krim (Cholis, 2001; Kuswadji dan idaty, 2001; Lesher, 2004; Rubiez, 2004; iederkehr, 2004; Robins, 2005). MIMS tahun 2005 menyebutkan contoh nama merk dagang obat naItitin yaitu exoderil dan contoh nama merk dagang obat terbinaIin yaitu interbi, lamisil dan termisil (Evaria, 2005). 4. Golongan benzilamin ButenaIin merupakan obat anti jamur baru, termasuk golongan benzilamin yang bersiIat Iungisidik terhadap dermatoIit, seperti Trichophyton mentagrophytes, icrosporum canis dan Trichophyton rubrum yang menyebabkan inIeksi-inIeksi tinea. ButenaIin bekerja pada stadium yang lebih dini dalam alur metabolisme sehingga menyebabkan terjadinya akumulasi skualen dan kematian sel jamur. SiIat Iungisidik butenaIin menyebabkan masa pengobatan yang pendek dengan angka kesembuhan yang tinggi dan angka kekambuhan yang rendah. Penderita tinea korporis dewasa dan anak-anak (~ 12 tahun) dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama 2 minggu dalam bentuk krim 1 . Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak (~ 12 tahun) dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama 24 minggu dalam bentuk krim 1 . Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak (~ 12 tahun) dioleskan sebanyak 2 kali sehari selama 1 minggu atau 4 kali sehari selama 24 minggu dalam bentuk krim 1 . Contoh nama merk dagang obat butenaIin adalah mentax (Cholis, 2001; Lesher, 2004; iederkehr, 2004; Robins, 2005). 113 5. Golongan imidazol Umumnya senyawa imidazol ini berkhasiat Iungistatis dan pada dosis tinggi bekerja Iungisid terhadap Iungi tertentu. Imidazol memiliki eIektivitas klinis yang tinggi dengan angka kesembuhan berkisar 70100 . Mekanisme kerjanya dengan menghambat sintesis ergosterol, suatu unsur penting untuk integritas membran sel (Gonzales, 1987 cit Hardyanto, 1990; Cholis, 2001; Tjay dan Rahardja, 2003). Golongan imidazol meliputi : a. Mikonazol Derivat mikonazol ini berkhasiat Iungisid kuat dengan spektrum kerja lebar sekali. Lebih aktiI dan eIektiI terhadap dermatoIit biasa dan kandida daripada Iungistatika lainnya. Zat juga bekerja bakterisid pada dosis terapi terhadap sejumlah kuman Gram positiI kecuali basil-basil oderlein yang terdapat dalam vagina. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak diberikan sebanyak 2 kali sehari selama 4 minggu dalam bentuk krim 2 , bedak kocok ataupun bedak. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak diberikan sebanyak 2 kali sehari selama 26 minggu dalam bentuk krim 2 atau bedak kocok. Jika menggunakan bedak, maka cukup ditaburkan 2 kali sehari selama 24 minggu (Tjay dan Rahardja, 2003; Rubeiz, 2004; iederkehr, 2004; Robins, 2005). MIMS tahun 2005 menyebutkan contoh nama merk dagang obat mikonazol yaitu micoskin, mexoderm dan daktarin (Evaria, 2005). b. Klotrimazol Derivat imidazol ini memiliki spektrum Iungistatis yang relatiI lebih sempit daripada mikonazol. Pada konsentrasi tinggi, zat ini juga berdaya bakteriostatis terhadap kuman Gram positiI. Penderita tinea pedis dan tinea korporis dewasa diberikan sebanyak 2 kali sehari selama 26 minggu dalam bentuk krim 1 atau solusio, sedangkan pada anak-anak tidak tersedia. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak diberikan sebanyak 2 kali sehari selama 4 minggu dalam bentuk krim 1 , solusio ataupun bedak kocok (Tjay dan Rahardja, 2003; Rubeiz, 2004; iederkehr, 2004; Robins, 2005). MIMS tahun 2005 menyebutkan contoh nama merk dagang obat klotrimazol yaitu canesten, lotremin dan Iungiderm (Evaria, 2005). c. Ketokonazol Ketokonazol adalah Iungistatikum imidazol pertama yang digunakan per oral (1981). Spektrum kerjanya mirip dengan mikonazol dan meliputi banyak Iungi patogen. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 2 kali atau 4 kali sehari selama 24 minggu dalam bentuk krim 1 . Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 2 kali atau 4 kali sehari selama 24 minggu dalam bentuk krim 2 . Penderita tinea korporis dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama 2 minggu dalam bentuk krim 2 (Tjay dan Rahardja, 2003; Lesher, 2004; Rubeiz, 2004; iederkehr, 2004; Robins, 2005). MIMS tahun 2005 menyebutkan contoh nama merk dagang obat ketokonazol yaitu Iormyco, nizoral dan mycozid (Evaria, 2005). 114 d. Ekonazol Ekonazol adalah derivat mikonazol, tetapi satu dari empat atom klor diganti oleh atom H. Spektrum kerjanya lebih kurang sama, hanya lebih aktiI terhadap spergillus. Obat ini eIektiI untuk inIeksi kutaneus. Titik tangkapnya berhubungan dengan metabolisme sintesis RNA dan protein, mengganggu permeabilitas dinding sel jamur sehingga menyebabkan kematian sel jamur. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 2 kali atau 4 kali sehari selama 4 minggu dalam bentuk krim 1 . Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 2 kali atau 4 kali sehari dalam bentuk krim 1 . Contoh nama merk dagang obat ekonazol adalah pevaryl (Tjay dan Rahardja, 2003; iederkehr, 2004; Robins, 2005). e. Oksikonazol Oksikonazol merupakan obat jamur yang memiliki spetrum luas. Titik tangkapnya yaitu menghambat sintesis ergosterol yang akan menyebabkan kematian sel jamur. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama 2 minggu dalam bentuk krim 1 . Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama 24 minggu dalam bentuk krim 1 atau bedak kocok. Contoh nama merk dagang obat oksikonazol adalah oxistat (iederkehr, 2004; Robins, 2005). I. Sulkonazol Sulkonazol merupakan obat jamur yang memiliki spektrum luas. Titik tangkapnya yaitu menghambat sintesis ergosterol yang akan menyebabkan kebocoran komponen sel, sehingga menyebabkan kematian sel jamur. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak (~ 12 tahun) dioleskan sebanyak 4 kali sehari selama 24 minggu dalam bentuk krim 1 atau solusio. Contoh nama merk dagang obat sulkonazol adalah exelderm (iederkehr, 2004). g. Sertakonazol Bentuk krim sertakonazol nitrat merupakan antijamur yang aktiI melawanTrichophyton rubrum, Trichophyton mentagrophytes dan Epidermophyton floccosum. Diindikasikan untuk tinea pedis dengan dioleskan 2 kali sehari baik dewasa maupun anak-anak (~ 12 tahun). Contoh nama merk dagang obat sertakonazol adalah ertaczo (Rubeiz, 2004). h. BiIonazol BiIonazol merupakan derivat imidazol yang berkhasiat terhadap beberapa jenis jamur dan ragi yang patogen terhadap manusia serta terhadap beberapa kuman Gram positiI. BiIonazol bermanIaat pada pengobatan tinea unguium dalam bentuk losio atau krim yang dikombinasikan bersama urea 40 dengan bebat (Madani, 2000; Tjay dan Rahardja, 2003). MIMS tahun 2005 menyebutkan contoh nama merk dagang obat biIonazol yaitu mycospor (Evaria, 2005). 113 6. Golongan lainnya a. Siklopiroks Senyawa hidroksipiridon ini berspektrum luas. Senyawa ini berkhasiat Iungisid terhadap andida albican dan Trichophyton rubrum, Iungistatis terhadapalasse:ia furfur (panu), lagi pula bekerja bakteriostatis lemah. alaupun struktur kimianya berbeda dengan zat-zat imidazol, tetapi mekanisme kerjanya diperkirakan sama, yaitu ter hadap membran plasma sel jamur. Mungkin juga mekanisme kerjanya berdasarkan perintah transpor dari asam-asam amino dan ion-ion melalui membran sel. Daya kerjanya diperkuat bila dibuat ester oalmin. Siklopiroks khusus digunakan secara dermal. Penderita tinea pedis dewasa dan anak-anak (~ 10 tahun) dioleskan sebanyak 2 kali sehari dalam bentuk krim 1 , jika tidak ada perbaikan setelah 4 minggu maka perlu dievaluasi lagi. Hal tersebut juga berlaku pada penderita tinea kruris dan tinea kapitis. Solusio siklopiroks telah dilaporkan dapat berpenetrasi melalui semua lapisan kuku pada kasus tinea unguium namun memiliki eIikasi yang rendah sehingga perlu kombinasi dengan obat antijamur oral. (Tjay dan Rahardja, 2003; Lesher, 2004; iederkehr, 2004; Blumberg, 2005; Robins, 2005). MIMS tahun 2005 menyebutkan contoh nama merk dagang obat siklopiroks yaitu batraIen dan loprox nail lacquer (Evaria, 2005). b. TolnaItat TonaItat termasuk golongan tiokarbonat dan merupakan antijamur yang sangat eIektiI terhadap dermatoIitosis dan inIeksi Pityrosporum orbicularetetapi tidak terhadap andida. Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat epoksidasi skualen pada membran sel jamur. Biasanya digunakan 2 kali sehari selama 24 minggu dan dilanjutkan 2 minggu setelah gejala klinis hilang. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 2 kali sehari. Tersedia dalam bentuk krim 1 , solusio dan bedak. TolnaItat dapat diindikasikan pada pengobatan topikal untuk tinea korporis dan tinea unguium. Contoh nama merk dagang obat tolnaItat adalah tinactin (Hardyanto, 1990; iederkehr, 2004, Siregar, 2005). c. Haloprogin Haloprogin berkhasiat Iungisid terhadap Epidermophyton, Pityrosporum, Trichophyton dan andida. Kadang-kadang terjadi sensitasi dengan timbulnya gatal-gatal, perasaan terbakar dan iritasi kulit. Penderita tinea kruris dewasa dan anak-anak dioleskan sebanyak 3 kali sehari. Tersedia dalam bentuk krim 1 dan solusio. Biasanya digunakan dalam waktu 24 minggu. Contoh nama merk dagang obat haloprogin adalah halotex (Kuswadji dan idaty, 2001; Tjay dan Rahardja, 2003; iederkehr, 2004). 116 Pengobatan pada tinea unguium sangat memerlukan kombinasi dengan obat antijamur oral terutama generasi baru seperti itrakonazol dan terbinaIin, karena jika hanya mengandalkan obat topikal saja maka daya penetrasi terhadap kuku sangat terbatas sehingga tidak eIektiI (Blumberg, 2005). Pengobatan tinea manus pada prinsipnya sama dengan pengobatan yang dilakukan pada tinea pedis (Madani, 2000). DAFTAR PUSTAKA Adiguna, M.S., 2001, Epidemiologi Dermatomikosis Di Indonesia, dalamBudimulja, U., Kuswadji., Bramono, K., Menaldi, S.L., Dwihastuti, P. dan idaty, S. (eds), Dermatomikosis SuperIisialis Pedoman Untuk Dokter dan Mahasiswa Kedokteran, Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta : 16. Anonim, 2003, Fungus Infections : Tinea, /derm titlehttp://www.emedicine.com/derm targetblank~http://www.emedicine.com/derm Budimulja, U., 2005, Mikosis, dalam Djuanda, A., Hamzah, M. dan Aisah, S. (eds), Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 4th ed, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta : 89105. Cholis, M., 2001, Penatalaksanaan Tinea Glabrosa Dan Perkembangan Obat Antijamur baru, Laboratorium Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Brawidjaja, Malang : 2124. Daili, E.S.S., Menaldi S.L. dan isnu, I.M., 2005, Penyakit Kulit Yang Umum Di Indonesia Sebuah Panduan Bergambar, PT Medical Multimedia Indonesia, Jakarta : 2737. Djuanda, A., 1994, Pengobatan Topikal Dalam Bidang Dermatologi, Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta. Dorland, 1996, Kamus Kedokteran Dorland, dalam Harjono, R.M., Oswari, J., Ronardy, D.H., Santoso, K., Setio, M., Soenarno, idianto, G., ijaya, C. dan inata, I. (eds), Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta : 1937. Evaria, 2005, MIMS Edisi Bahasa Indonesia, 6th vol, PT InIoMaster, Jakarta : 395398. Hamzah, M., 2005, Dermatoterapi, dalam Djuanda, A., Hamzah, M. dan Aisah, S. (eds), Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 4th ed, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 340 - 350. Hardyanto, 1990, Antijamur Dalam Dermatologi, dalam Ednawati dan Soedarmadi (eds), Pengobatan Penyakit Kulit dan Kelamin, Laboratorium Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah mada, Yogyakarta : 4158. Kao, G.F., 2005, Tinea Capitis, titlehttp://www.emedicine.com/derm targetblank~http://www.emedicine.com/derm Siregar, R.S., 2005, Atlas Berwarna Saripati Penyakit Kulit, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta : 1044. Tjay, T.H. dan Rahardja, K., 2003, Obat-Obat Penting, 5th, Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia, Jakarta: 91104. iederkehr, M., 2004, Tinea Cruris,