tindak tutur direktif dan pelanggaran prinsip …/tindak... · ktp, pesantren dan rock’n roll,...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
TINDAK TUTUR DIREKTIF
DAN PELANGGARAN PRINSIP KESANTUNAN
DALAM SINETRON ISLAM KTP, PESANTREN DAN
ROCK’N ROLL, DAN SAMPEYAN MUSLIM?:
Sebuah Pendekatan Pragmatik
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan
guna Melengkapi Gelar Sarjana Jurusan Sastra Indonesia
Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh
ARIEF WAHYU NUGROHO
C0207016
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
TINDAK TUTUR DIREKTIF
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Arief Wahyu Nugroho
NIM : C0207016
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Tindak Tutur Direktif
dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan dalam Sinetron Islam KTP, Pesantren dan
Rock’n Roll, dan Sampeyan Muslim?: Sebuah Pendekatan Pragmatik adalah
betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-
hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan
ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh
dari skripsi tersebut.
Surakarta, 25 Mei 2012
Yang membuat pernyataan,
Arief Wahyu Nugroho
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
MOTTO
“Man jadda wa jada”
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang
Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia
mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.”
(Q.S. Al-„Alaq:1-5)
“Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat)
kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku
sangat pedih.”
(Q.S. Ibrahim:7)
“Cintailah kekasihmu sewajarnya saja karena bisa jadi suatu saat nanti
dia akan menjadi orang yang kamu benci, dan bencilah seseorang
sewajarnya saja karena bisa jadi suatu saat nanti orang
tersebut akan menjadi kekasihmu.”
(HR. Tirmidzi)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Karya tulis ini penulis persembahkan kepada:
Bapak Ibu tercinta yang selalu memberi dukungan dan doa
Almamater Universitas Sebelas Maret Surakarta
Semua pihak yang membantu dalam penyelesaian skripsi ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat dan
hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul
Tindak Tutur Direktif dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan dalam Sinetron Islam
KTP, Pesantren dan Rock’n Roll, dan Sampeyan Muslim?: Sebuah Pendekatan
Pragmatik ini dengan lancar. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Sastra di Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
Pada kesempatan ini perkenankan penulis menyampaikan ucapan terima
kasih kepada pihak-pihak berikut.
1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed., Ph.D., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni
Rupa Universitas Sebelas Maret.
2. Drs. Ahmad Taufiq, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Sastra Indonesia Fakultas
Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret yang telah memberi izin
dalam penulisan skripsi ini.
3. Drs. Henry Yustanto, M.A., selaku pembimbing akademis penulis selama
masa kuliah.
4. Dra. Chattri Sigit Widyastuti, M.Hum., selaku pembimbing yang dengan
penuh kesabaran membimbing dan memberi petunjuk kepada penulis dalam
proses mengerjakan skripsi ini.
5. Miftah Nugroho, S.S., M.Hum., selaku penelaah proposal yang bersedia
memberi petunjuk dan pengarahan kepada penulis dalam penulisan skripsi ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
6. Bapak dan ibu dosen serta seluruh staf pengajar Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret atas semua ilmu dan fasilitas yang telah penulis
terima.
7. Staf UPT Perpustakaan Universitas Sebelas Maret dan staf Perpustakaan
Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberikan kemudahan dalam
mendapatkan sumber data dan buku-buku referensi untuk penyelesaian skripsi
ini.
8. Bapak ibu tercinta atas doa dan dukungan yang selalu tercurah kepada penulis,
adik-adik penulis, Siti, Tri, Riska, dan Dzulfi, serta keponakan penulis, Cinta,
yang telah memberi warna dalam proses pengerjaan skripsi ini.
9. Teman-temanku, Hari Ustaz, Xsan, Savitri, Pipit, Nana, Betty, Ririn, Marina,
Diana, Esti, Hari Sul, Rahmad, Fajar, dan teman-teman Sasindo ‟07 yang lain
atas kebersamaan dan bantuannya selama ini.
10. Kakak-kakak tingkat Sastra Indonesia yang telah membantu penulis.
11. Pihak-pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
ikut serta dalam melancarkan proses penulisan ini.
Semoga segala kebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapat
balasan dari Allah SWT. Karya tulis ini tidak luput dari kekurangan. Oleh karena
itu, penulis mengharapkan sumbangan kritik dan saran yang membangun. Akhir
kata, semoga karya tulis ini bermanfaat bagi pembaca.
Surakarta, 25 Mei 2012
Penulis,
Arief Wahyu Nugroho
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL…………………………………….……..…….... i
LEMBAR PERSETUJUAN……………………………….…..…….… ii
LEMBAR PENGESAHAN………………………………………….… iii
LEMBAR PERNYATAAN………………………………………….… iv
MOTTO…………………………………………………………...…… v
PERSEMBAHAN……………………………………………...….…… vi
KATA PENGANTAR…………………………………………...….…. vii
DAFTAR ISI……………………………………………………...….… ix
DAFTAR TABEL……………………………………………...…….… xiii
DAFTAR SINGKATAN………………………………………...….…. xiv
ABSTRAK……………………………………………………………... xv
BAB I PENDAHULUAN……………………………………….…… 1
A. Latar Belakang Masalah………………………………..... 1
B. Pembatasan Masalah………………..…………….…….... 10
C. Rumusan Masalah……………………...……………….... 11
D. Tujuan Penelitian……………………………...…………. 11
E. Manfaat Penelitian………………………...……………... 12
F. Sistematika Penulisan………………………...………….. 13
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR……….…..... 14
A. Tinjauan Pustaka…………………………………………. 14
B. Landasan Teori………………………………………...… 17
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
1. Pragmatik…………………...………...................…... 17
2. Situasi Tutur……………………………………....… 20
3. Tindak Tutur dan Tindak Tutur Direktif………...….. 21
4. Prinsip Kesantunan…………..………………….…... 28
5. Skala Kesantunan........................................................ 36
6. Implikatur……………………..…………………..… 39
7. Sinetron………………………..……………..…..….. 41
C. Kerangka Pikir……………………………………….…... 45
BAB III METODE PENELITIAN………………………………...…. 47
A. Jenis Penelitian dan Pendekatan…………………...….…. 47
B. Data dan Sumber Data…………...…………………….… 48
C. Teknik Penyediaan Data………...…………………….…. 49
D. Klasifikasi Data……………...…………………………... 50
E. Metode Analisis Data……………...………………….…. 52
F. Teknik Penyajian Hasil Analisis Data…………….……... 53
BAB IV ANALISIS DATA…………………………………………… 55
A. Bentuk Tindak Tutur Direktif dalam SIKTP, SPRR, dan
SSM…………………..……………………………….….
55
1. Tindak Tutur Menyuruh………………….…............. 55
2. Tindak Tutur Melarang……………………............... 59
3. Tindak Tutur Meminta……………………................ 62
4. Tindak Tutur Mengajak………………….…............. 66
5. Tindak Tutur Menyarankan………….….….............. 69
6. Tindak Tutur Menasihati………….…….….............. 72
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
7. Tindak Tutur Memohon………………..…................ 75
8. Tindak Tutur Mengingatkan……….…….…............. 78
9. Tindak Tutur Mempersilakan………...…................... 81
B. Bentuk Pelanggaran prinsip Kesantunan dalam SIKTP,
SPRR, dan SSM………….……………………………….
87
1. Pelanggaran Maksim Kearifan……..…...…………... 87
2. Pelanggaran Maksim Kedermawanan………….…… 94
3. Pelanggaran Maksim Pujian…………………..….…. 98
4. Pelanggaran Maksim Kerendahan Hati………….….. 104
5. Pelanggaran Maksim Kesepakatan………………….. 110
6. Pelanggaran Maksim Simpati……………………….. 115
C. Implikatur Akibat Pelanggaran Prinsip Kesantunan dalam
SIKTP, SPRR, dan SSM………………………….....……
122
1. Implikatur Mengkritik…………...……………...…….. 122
2. Implikatur Menghina……………………..……...…… 124
3. Implikatur Menolak………………………….....…….. 125
4. Implikatur Sindiran…………………………….......…. 127
5. Implikatur Menyombongkan Diri………….…….…… 129
6. Implikatur Tidak Suka……………………..…...…….. 130
7. Implikatur Keraguan………………………….....……. 131
8. Implikatur Kecewa………………………….......……. 133
BAB V PENUTUP……………………………………………………. 137
A. Simpulan…………………………………………………. 137
B. Saran……………………………………………………... 139
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR PUSTAKA……………………………………….…………. 141
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
Table 1
Tabel 2
Lima Fungsi Umum Tidak Tutur......................……...
Data yang Mengandung Tindak Tutur Direktif……...
24
85
Table 3 Data yang Melanggar Prinsip Kesantunan…………... 120
Tabel 4 Data yang Mengandung Implikatur Akibat
Pelanggaran Prinsip Kesantunan…………………….
134
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR SINGKATAN
DMingtkn : Direktif Mengingatkan
DMlrng : Direktif Melarang
DMmhn : Direktif Memohon
DMmnta : Direktif Meminta
DMngjk : Direktif Mengajak
DMnsht : Direktif Menasihati
DMnyrh : Direktif Menyuruh
DMnyrnkn : Direktif Menyarankan
DMprslkn : Direktif Mempersilakan
PMKarfn : Pelanggaran Maksim Kearifan
PMKdrmwn : Pelanggaran Maksim Kedermawanan
PMKrndhnht : Pelanggaran Maksim Kerendahan Hati
PMKspktn : Pelanggaran Maksim Kesepakatan
PMPjan : Pelanggaran Maksim Pujian
PMSmpt : Pelanggaran Maksim Simpati
PPK : Pelanggaran Prinsip Kesantunan
SIKTP : Sinetron Islam KTP
SPRR : Sinetron Pesantren dan Rock‟n Roll
SSM : Sinetron Sampeyan Muslim?
TTD : Tindak Tutur Direktif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
ABSTRAK
Arief Wahyu Nugroho. C0207016. 2012. Tindak Tutur Direktif dan Pelanggaran
Prinsip Kesantunan dalam Sinetron Islam KTP, Pesantren dan Rock’n Roll, dan
Sampeyan Muslim?: Sebuah Pendekatan Pragmatik. Skripsi: Jurusan Sastra
Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Permasalahan dalam penelitian ini adalah (1) Bagaimanakah bentuk TTD
dalam percakapan SIKTP, SPRR, dan SSM?, (2) Bagaimanakah bentuk
pelanggaran prinsip kesantunan dalam percakapan SIKTP, SPRR, dan SSM?, dan
(3) Bagaimanakah implikatur di balik pelanggaran prinsip kesantunan dalam
percakapan SIKTP, SPRR, dan SSM?
Tujuan penelitian ini adalah (1) Mendeskripsikan bentuk TTD dalam
percakapan SIKTP, SPRR, dan SSM, (2) Mendeskripsikan bentuk pelanggaran
prinsip kesantunan dalam percakapan SIKTP, SPRR, dan SSM, dan (3)
Mendeskripsikan implikatur di balik pelanggaran prinsip kesantunan dalam
percakapan SIKTP, SPRR, dan SSM.
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kualitatif yang bersifat
deskriptif. Dengan demikian, metode yang digunakan adalah metode penelitian
kualitatif. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pragmatik.
Sumber data yang digunakan adalah sinetron religi yaitu SIKTP dan SPRR yang
ditayangkan di SCTV dan SSM yang ditayangkan di MNCTV. Data dalam
penilitian ini adalah tuturan yang mengandung TTD dan tuturan yang melanggar
prinsip kesantunan beserta konteks yang terdapat dalam percakapan SIKTP di
SCTV tanggal 29-30 Mei 2011, yaitu episode 441-442; percakapan SPRR di
SCTV tanggal 17-18 Juli 2011, yaitu episode 179-180; dan percakapan SSM di
MNCTV tanggal 26-27 Juli 2011, yaitu episode 2-3. Teknik penyediaan data yang
digunakan adalah metode simak dan teknik-tekniknya, yaitu teknik rekam dan
teknik catat. Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis
kontekstual dan metode analisis heuristik.
Berdasarkan analisis dapat diambil tiga kesimpulan. Pertama, ditemukan
sembilan macam TTD dalam percakapan SIKTP, SPRR, dan SSM, yaitu TTD
menyuruh, melarang, meminta, mengajak, menyarankan, menasihati, memohon,
mengingatkan, dan mempersilakan. TTD yang paling banyak ditemukan adalah
TTD menyuruh.
Sementara itu, di antara SIKTP, SPRR, dan SSM yang paling banyak
mengandung TTD, yaitu TTD menyuruh, melarang, meminta, mengajak,
menyarankan, dan mengingtkan paling banyak ditemukan dalam SIKTP jika
dibandingkan dengan TTD tersebut dalam SPRR dan SSM; TTD menasihati dan
memohon paling banyak ditemukan dalam SIKTP dan SPRR jika dibandingkan
dengan TTD tersebut dalam SSM; dan TTD mempersilakan paling banyak
ditemukan dalam SPRR dan SSM jika dibandingkan dengan TTD tersebut dalam
SIKTP. Selain itu, terdapat TTD yang tidak ditemukan dalam SIKTP yaitu TTD
mempersilakan, dan TTD memohon tidak ditemukan dalam SSM.
Kedua, ditemukan pelanggaran terhadap prinsip kesantunan dalam
percakapan SIKTP, SPRR, dan SSM. Pelanggaran terhadap prinsip kesantunan itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
meliputi enam maksim. Secara berturut-turut mulai pelanggaran yang paling
banyak ialah pelanggaran terhadap maksim kearifan, pujian, kesepakatan, simpati,
kerendahan hati, dan kedermawanan. Pelanggaran prinsip kesantunan didominasi
oleh maksim kearifan, karena di dalam ketiga sinetron religi yang bergenre humor
tersebut di samping untuk menghibur pemirsa sebagai tontonan, juga memiliki
maksud lain, yaitu untuk memberikan nasihat atau anjuran yang baik kepada
pemirsa, baik secara langsung maupun secara tidak langsung, dengan harapan
agar pemirsa dapat mengambil pelajaran yang bermanfaat bagi diri mereka dalam
menjalani hidup. Dengan perkataan lain, dapat dijadikan sebagai tuntunan, yaitu
dalam hal kebaikan.
Sementara itu, di antara SIKTP, SPRR, dan SSM yang paling banyak
melanggar setiap maksim, yaitu pelanggaran maksim kearifan, pujian, kerendahan
hati, dan kesepakatan paling banyak ditemukan dalam SIKTP jika dibandingkan
dengan pelanggaran maksim-maksim tersebut dalam SPRR dan SSM, sedangkan
pelanggaran maksim kedermawanan dan simpati paling banyak ditemukan dalam
SSM jika dibandingkan dengan pelanggaran maksim tersebut dalam SIKTP dan
SPRR.
Ketiga, ditemukan delapan macam implikatur akibat pelanggaran prinsip
kesantunan dalam percakapan SIKTP, SPRR, dan SSM, yaitu implikatur
mengkritik, menghina, menolak, sindiran, menyombongkan diri, tidak suka,
keraguan, dan kecewa. Implikatur yang paling banyak ditemukan ialah implikatur
mengkritik.
Sementara itu, di antara SIKTP, SPRR, dan SSM yang paling banyak
mengandung setiap implikatur, yaitu implikatur mengkritik, menolak, sindiran,
tidak suka, dan kecewa paling banyak ditemukan dalam SIKTP jika dibandingkan
dengan implikatur-implikatur tersebut dalam SPRR dan SSM, implikatur
menghina paling banyak ditemukan dalam SIKTP dan SPRR jika dibandingkan
dengan implikatur tersebut dalam SSM, implikatur keraguan paling banyak
ditemukan dalam SPRR jika dibandingkan dengan implikatur tersebut dalam
SIKTP dan SSM, sedangkan implikatur menyombongkan diri paling banyak
ditemukan dalam SSM jika dibandingkan dengan implikatur tersebut dalam
SIKTP dan SPRR.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan dari komunikator
kepada komunikan melalui media yang dapat menimbulkan efek tertentu (Harold
Lasswell dalam Onong Uchjana Effendy, 2003:10). Komunikasi ini merupakan
salah satu aktivitas manusia yang sangat fundamental di dalam kehidupan
bermasyarakat. Hal itu karena manusia merupakan makhluk sosial, di samping
juga sebagai makhluk individu. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa
manusia tidak akan pernah lepas dari kegiatan berkomunikasi dengan manusia
yang lain. Berkenaan dengan hal itu, Keith Allan (1986) berpendapat bahwa
berkomunikasi merupakan kegiatan sosial, dan sebagaimana kegiatan sosial yang
lain, kegiatan berkomunikasi hanya akan dapat berlangsung dengan baik apabila
para peserta komunikasi terlibat aktif di dalam proses komunikasi tersebut (dalam
Kunjana Rahardi, 2005:52).
Untuk memperlancar proses komunikasi, manusia memerlukan media.
Salah satu jenis media yang dapat digunakan oleh manusia untuk berkomunikasi
ialah bahasa. Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang
dipergunakan oleh para anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan
mengidentifikasikan diri, serta dalam fungsinya sebagai alat komunikasi verbal
(Harimurti Kridalaksana, 2001:21).
Selain digunakan sebagai media komunikasi atau interaksi antarmanusia,
bahasa juga dapat digunakan untuk menyampaikan pesan, ide, gagasan, berita,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
amanat, dan sebagainya dari seseorang kepada orang lain. Berbagai fungsi bahasa
tersebut menunjukkan bahwa bahasa memiliki fungsi yang sangat penting bagi
manusia. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa manusia tidak akan pernah lepas
dari pemakaian bahasa di dalam kehidupannya.
Dalam kehidupan bermasyarakat, pemakaian bahasa sangat penting dalam
rangka mengekspresikan apa yang mereka pikirkan dan apa yang mereka
inginkan. Salah satu bentuk pemakaian bahasa dalam masyarakat dapat dilihat
pada pemanfaatan media massa. Melalui media massa, pesan yang akan
disampaikan akan lebih mudah dan cepat tersebar kepada masyarakat luas secara
serempak. Adapun salah satu bentuk media massa yang mampu menyebarkan
informasi atau pesan kepada masyarakat luas secara serempak adalah televisi.
Televisi sebagai produk teknologi maju, berkembang pesat sejalan dengan
perkembangan zaman, dan telah banyak menyentuh kepentingan masyarakat
dunia. Siaran-siaran yang ditampilkan televisi banyak menyebabkan perubahan
dalam masyarakat. Hal itu karena televisi bersifat medium, yaitu pesan yang
disampaikan melalui televisi mempunyai daya rangsang yang cukup tinggi. Oleh
karena itu, penyampaian informasi melalui media televisi relatif akan lebih mudah
dan lebih cepat tersebar kepada masyarakat jika dibandingkan dengan media
massa yang lainnya.
Selain sebagai media penyampai informasi, televisi juga berfungsi sebagai
media pendidikan dan media hiburan. Sebagai media pendidikan, televisi dapat
digunakan untuk menyiarkan acara-acara yang berisi nilai-nilai pendidikan,
misalnya acara pelajaran bahasa, matematika, elektronika, acara sandiwara,
fragmen, ceramah, film, sinetron, dan sebagainya. Sebagai media hiburan, televisi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
dapat digunakan untuk menghibur diri, melepas lelah, menghilangkan stres,
bersantai, dan untuk mengisi waktu luang (Onong Uchjana Effendy, 1993:25-26).
Dari ketiga fungsi tersebut, fungsi yang paling mendominasi adalah fungsi
hiburan, karena sebagian besar masyarakat sangat menyukai hiburan. Oleh karena
itu, acara-acara yang ditayangkan di televisi sebagian besar berupa acara-acara
hiburan. Salah satu acara hiburan yang paling menonjol dan paling tinggi
frekuensi penayangannya di televisi adalah sinetron atau sinema elektronik.
Dalam Nielsen Top 100 Program, ditunjukkan bahwa rating teratas
program acara televisi yang paling digemari oleh pemirsa televisi ditempati oleh
sinetron. Hal itu membuktikan bahwa sinetron merupakan acara yang paling
dinikmati oleh pemirsa televisi. Beberapa faktor yang membuat sinetron banyak
digemari dan ditonton oleh pemirsa televisi, yakni karena (1) isi pesan sinetron
sesuai dengan realita sosial pemirsa, (2) isi pesannya mengandung orientasi tradisi
nilai luhur dan budaya masyarakat, dan (3) isi pesannya lebih banyak mengangkat
kehidupan masyarakat (dalam Endri Yuliastutik, 2010:32-33).
Sinetron-sinetron yang ditayangkan di televisi memiliki beberapa genre,
salah satunya yaitu sinetron religi. Sinetron religi adalah sinetron yang
mengangkat permasalahan tentang agama di dalam lakonnya (http://joksur.word
press.com/2010/05/28/komodifikasi-agama-dibalik-sinetron-religi). Permasalahan
agama yang diangkat dalam sinetron religi berasal dari agama-agama yang ada di
dunia. Namun, sebagian besar permasalahan agama yang diangkat dalam sinetron
religi berasal dari agama Islam. Hal itu membuat sinetron religi sering
diimplikasikan dengan sinetron yang bernuansa Islam. Contoh-contoh sinetron
religi bernuansa Islam yang ditayangkan di televisi, antara lain sinetron Islam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
KTP (SCTV), Pesantren dan Rock’n Roll (SCTV), Para Pencari Tuhan (SCTV),
Sampeyan Muslim? (MNC TV), Kun Fayakun (MNC TV), Ranum (Indosiar),
Khalifah dan Khadijah (Indosiar), Dikejar Surga (RCTI), dan lain-lain. Namun,
dalam hal ini penulis hanya akan mengambil tiga sinetron, yaitu sinetron Islam
KTP, Pesantren dan Rock'n Roll, dan Sampeyan Muslim?. Ketiga sinetron
tersebut termasuk dalam sinetron bergenre komedi religi yang bergaya satire.
Sebagai sinetron bergenre komedi, ceritanya kebanyakan mengisahkan tentang
realitas kehidupan manusia sehari-hari yang disajikan dalam bentuk humor.
Khusus untuk sinetron Pesantren dan Rock’n Roll (untuk selanjutnya disingkat
SPRR) cerita yang diangkat mengisahkan tentang kehidupan sehari-hari para
santri dan ustaz di sebuah pondok pesantren (Pondok Pesantren Darussalam).
Meskipun demikian, SPRR tidak disajikan dalam bentuk kaku, melainkan
disajikan dalam bentuk yang luwes dan humor. Adapun humor dalam ketiga
sinetron tersebut tidak hanya sembarang humor, melainkan humor yang sangat
memerhatikan etika serta tuntunan ajaran agama Islam.
Dalam menggarap sinetron Islam KTP (untuk selanjutnya disingkat SIKTP),
SPRR, dan sinetron Sampeyan Muslim? (untuk selanjutnya disingkat SSM) sangat
diperlukan ketelitian, kehati-hatian, dan kecerdasan yang cukup tinggi sehingga
gaya penceritaannya menggunakan gaya satire. Gaya satire adalah gaya bahasa
yang dipakai dalam kesusastraan untuk menyatakan sindiran terhadap suatu
keadaan atau seseorang (KBBI Offline 1.3). Oleh karena itu, cerita dalam ketiga
sinetron tersebut berisi tentang sindiran dan kritikan langsung terhadap kondisi
masyarakat yang kebanyakan mengaku Islam tetapi mereka tidak menjalankan
syariat sesuai dengan hukum Islam. Dengan demikian, melalui SIKTP, SPRR, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
SSM diharapkan dapat menyentuh orang yang menonton, tanpa orang tersebut
merasa tersinggung serta dapat memberikan pelajaran kepada masyarakat,
khususnya yang beragama Islam, tanpa terlihat berdakwah.
Hal yang menarik yang membuat penulis tertarik untuk menjadikan SIKTP,
SPRR, dan SSM sebagai objek penelitian yaitu karena pada waktu itu banyak
stasiun televisi yang menayangkan sinetron yang bergenre religi, khususnya yang
bernuansa Islam, seperti pada stasiun televisi SCTV, RCTI, Indosiar, dan MNC
TV. Alasan lain ialah ketiga sinetron religi tersebut memiliki karakteristik
tersendiri yang membedakan dengan sinetron-sinetron religi yang lainnya, yaitu
ketiganya dikemas dalam bentuk humor. Dengan dikemas dalam bentuk humor,
maka diharapkan masyarakat akan tertarik sehingga mau menonton ketiga
sinetron religi tersebut sebagai sarana hiburan yang ringan, yang penuh makna
akan nilai-nilai dakwah Islam yang mulia. Di samping itu, pengemasan dalam
bentuk humor juga dimaksudkan agar pesan-pesan dakwah Islam yang ingin
disampaikan oleh ketiga sinetron religi tersebut akan terasa lebih ringan dan lebih
mudah masuk ke dalam hati setiap pemirsanya, jika dibandingkan dengan cara
dakwah Islam yang disampaikan secara monoton, seperti ceramah.
Cerita dalam SIKTP, SPRR, dan SSM juga mengandung nilai-nilai
pendidikan bagi masyarakat yang menyaksikannya, khususnya bagi mereka yang
beragama Islam. Ketiga sinetron tersebut mendidik pemirsa agar selalu ingat dan
selalu belajar mengenai Islam sebagai ajaran yang rahmatan lil ‘alamin (rahmat
bagi seluruh alam) tanpa menghina ajaran agama lain; menawarkan metode
dakwah secara tidak langsung kepada masyarakat yang beragama Islam yaitu
melalui hiburan yang sekaligus mendidik agar lebih cerdas, segar, dan selalu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
kreatif; serta dapat mengingatkan pemirsa bahwa Islam itu indah, damai, penuh
kasih, dan sayang kepada sesama serta lingkungan. Akan tetapi, pemahaman akan
nilai-nilai pendidikan yang terdapat di dalam ketiga sinetron tersebut juga kembali
kepada pribadi masing-masing pemirsa yang menyaksikan ketiga sinetron
tersebut.
Hal yang menarik dari segi kebahasaan yaitu tuturan atau percakapan yang
dilakukan oleh para tokoh dalam SIKTP, SPRR, dan SSM memiliki ciri khas
tersendiri jika dibandingkan dengan sinetron-sinetron religi yang lain. Ciri khas
kebahasaan yang dimiliki ialah para tokoh dalam SIKTP dan SSM ketika
berkomunikasi dengan tokoh lain banyak menggunakan ragam bahasa Betawi.
Dipakainya ragam bahasa Betawi karena dipengaruhi oleh setting yang digunakan
dalam kedua sinetron tersebut, yaitu berada di daerah Jakarta. Hal tersebut
mengimplikasikan bahwa kedua sinetron tersebut menggambarkan kehidupan
masyarakat Betawi. Orang-orang Betawi sangat terkenal dengan wataknya yang
sangat menghargai kejujuran dan keterbukaan. Kejujuran dan keterbukaan
masyarakat Betawi merupakan hal yang sangat esensial dan tampak dalam
keseharian mereka, seperti terlihat pada komunikasi mereka sehari-hari. Kejujuran
masyarakat Betawi ini terlihat menonjol pada pola komunikasi mereka yang apa
adanya, hampir jarang ditemui kata-kata untuk memperhalus maksud
pembicaraan. Jika mereka mengatakan hitam, maka akan dikatakan hitam, putih
akan dikatakan putih, tidak dilebih-lebihkan atau dikurang-kurangi. Keterbukaan
dan kejujuran masyarakat Betawi dapat melahirkan sikap orang Betawi yang
humoris. Hal itu mungkin terjadi untuk menghindari pertengkaran karena sikap
terbuka dan jujur mereka yang mungkin akan melukai hati orang lain. Dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
humor, setidaknya sikap jujur mereka terhadap perbuatan seseorang yang buruk
hanya akan ditanggapi sebagai sendau gurau atau bercanda oleh orang itu,
walaupun maksudnya untuk menyindir perbuatan orang itu. Beberapa contoh
ragam bahasa Betawi yang digunakan, misalnya kata lo (kamu), gue (saya), kite
(kita), ane (saya), die (dia), ente (kamu), dan sebagainya.
Sementara itu, di dalam SPRR lebih banyak menggunakan ragam bahasa
Jawa. Hal itu juga dipengaruhi oleh setting yang digunakan dalam sinetron
tersebut, yaitu pondok pesantren yang berada di daerah Yogyakarta. Kota
Yogyakarta sendiri merupakan salah satu tempat pusat kebudayaan Jawa. Ragam
bahasa Jawa yang digunakan dalam SPRR cenderung menggunakan ragam bahasa
Jawa yang kasar atau Jawa ngoko. Dalam masyarakat Jawa, bahasa Jawa ngoko
merupakan bahasa yang sering digunakan oleh masyarakat Jawa untuk
berkomunikasi, khususnya bagi mereka yang berasal dari rakyat biasa, bukan dari
keraton. Ragam bahasa Jawa ngoko sendiri termasuk ke dalam tingkatan ragam
bahasa Jawa yang dipandang sebagai ragam bahasa Jawa yang kurang sopan atau
santun. Adapun beberapa contoh ragam bahasa Jawa ngoko yang digunakan,
misalnya kata sampeyan (kamu), ora (tidak), wis (sudah), iki (ini), ngono (begitu),
wong (orang), kaya (seperti), dan sebagainya.
Selain ragam bahasa Jawa ngoko, dalam percakapan SPRR juga ditemukan
ragam bahasa Betawi. Hal itu terjadi karena ada santri baru yang berasal dari
Jakarta yang masuk ke pondok pesantren tersebut, yaitu Wahyu Subuh. Wahyu
adalah seorang pemuda yang berasal dari keluarga berada di Jakarta yang terbiasa
hidup dalam kemewahan. Ayahnya seorang pejabat negara yang sibuk dan Ibunya
berprofesi sebagai ibu rumah tangga yang hidup dalam kesibukan sebagai seorang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
istri pejabat. Hal itu praktis membuat ayah dan ibunya Wahyu tidak mempunyai
waktu yang cukup untuk mengurus Wahyu dan adiknya. Dengan kehidupan
keluarga yang seperti itu, Wahyu tumbuh menjadi anak liar, manja, dan susah
diatur karena hidup dalam kebebasan. Wahyu juga memiliki aktivitas menyanyi
bersama grup band yang notabenenya tidak jelas. Karena sangat marah dengan
tingkah laku Wahyu, ayah Wahyu menyuruh Wahyu untuk masuk ke pondok
pesantren di Yogyakarta. Dengan terpaksa, Wahyu menuruti perintah ayahnya.
Masuknya Wahyu ke pondok pesantren tersebut telah memberi warna yang
berbeda di lingkungan pondok pesantren, salah satunya yaitu bertambahnya ragam
bahasa Betawi yang digunakan untuk berkomunikasi di lingkungan pondok
pesantren.
Dengan digunakannya ragam bahasa Betawi dalam percakapan SIKTP,
SSM, dan SPRR, serta ragam bahasa Jawa ngoko dalam percakapan SPRR seperti
disebutkan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa percakapan dalam ketiga
sinetron religi tersebut banyak yang melanggar prinsip kesantunan. Prinsip
kesantunan adalah prinsip percakapan yang mewajibkan setiap penutur untuk
berlaku santun di dalam komunikasi dengan orang lain. Para tokoh melakukan
pelanggaran terhadap prinsip kesantunan dengan maksud untuk menciptakan
kelucuan atau humor, dan juga karena ketiga sinetron religi tersebut merupakan
sinetron religi yang bernuansa humor.
Sementara, alasan khusus penulis tertarik memilih sinetron religi SIKTP,
SPRR, dan SSM untuk diteliti dari segi tindak tutur direktif (untuk selanjutnya
disingkat TTD) karena di dalam ketiga sinetron religi tersebut banyak ditemukan
tuturan para tokoh yang mengandung TTD. TTD adalah tindak tutur yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
dilakukan oleh penutur dengan tujuan untuk menghasilkan efek berupa tindakan
yang dilakukan oleh petutur (Searle dalam terjemahan M.D.D. Oka, 1993:164).
Sebab banyak ditemukannya tuturan yang mengandung TTD karena tujuan ketiga
sinetron tersebut ialah untuk memberikan nasihat atau anjuran yang baik kepada
pemirsa dengan harapan agar pemirsa dapat mengambil manfaat dari ketiga
sinetron tersebut, di samping juga ketiga sinetron tersebut dimaksudkan untuk
menghibur pemirsa. Adapun contoh penerapan tuturan yang mengandung TTD,
misalnya ketika ada tokoh yang melakukan perbuatan yang tidak baik atau
berbuat salah, maka akan muncul tokoh ustaz yang memberikan nasihat atau
anjuran yang baik kepada tokoh yang berbuat tidak baik itu agar tokoh tersebut
tidak mengulangi perbuatan yang sama.
Kajian tentang pelanggaran prinsip kesantunan dan TTD yang banyak
ditemukan dalam percakapan SIKTP, SPRR, dan SSM merupakan bagian dari
pembahasan dalam bidang ilmu pragmatik.
SIKTP, SPRR, dan SSM menarik untuk dikaji dari segi kebahasaan atau
linguistik terutama bidang pragmatik, karena tuturan-tuturan yang terdapat dalam
ketiga sinetron religi tersebut mengandung berbagai macam maksud dari penutur,
baik yang tersirat maupun tersurat. Semua itu dapat dikaji dengan menggunakan
ilmu pragmatik. Dengan ilmu pragmatik, fenomena-fenomena kebahasaan yang
terjadi di dalam suatu percakapan dapat dijelaskan melalui tuturan-tuturan yang
disampaikan oleh penutur maupun mitra tutur. Selain itu, tuturan yang dituturkan
oleh para tokoh dalam SIKTP, SPRR, dan SSM memiliki keterkaitan yang sangat
erat dengan unsur-unsur eksternal di luar bahasa, yang hal itu merupakan ciri khas
dari ilmu pragmatik. Leech menyatakan bahwa ilmu pragmatik adalah studi yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
mengkaji tentang makna yang dihubungkan dengan situasi-situasi tutur (dalam
terjemahan M.D.D. Oka, 1993:8). Unsur-unsur eksternal di luar bahasa dalam
ilmu pragmatik lazim disebut sebagai konteks. Konteks ini berfungsi sebagai
dasar pertimbangan dalam mendeskripsikan maksud tuturan dalam rangka
penggunaan bahasa di dalam suatu peristiwa komunikasi. Oleh karena itu,
percakapan dalam SIKTP, SPRR, dan SSM sangat tepat jika dianalisis dengan
menggunakan pendekatan ilmu pragmatik.
Alasan terakhir penulis tertarik meneliti SIKTP, SPRR, dan SSM adalah
karena penelitian mengenai tuturan yang mengandung TTD dan tuturan yang
melanggar prinsip kesantunan dalam SIKTP, SPRR, dan SSM belum pernah
dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Penulis dapat mengetahui hal itu setelah
melakukan tinjauan terhadap penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh para
peneliti terdahulu.
Berdasarkan pada beberapa pertimbangan tersebut, maka penulis tertarik
untuk meneliti dan mengkaji ketiga sinetron religi tersebut secara lebih mendalam
mengenai TTD dan tuturan yang melanggar prinsip kesantunan serta implikatur
percakapan yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, penelitian ini penulis
beri judul ”Tindak Tutur Direktif dan Pelanggaran Prinsip Kesantunan dalam
Sinetron Islam KTP, Pesantren dan Rock'n Roll, dan Sampeyan Muslim?: Sebuah
Pendekatan Pragmatik”.
B. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dimaksudkan agar penelitian ini lebih terarah dan
mempermudah penulis dalam menentukan data yang diperlukan. Adapun ruang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
lingkup penelitian ini penulis batasi pada percakapan dalam SIKTP di SCTV
tanggal 29-30 Mei 2011, yaitu episode 441-442; percakapan dalam SPRR di
SCTV tanggal 17-18 Juli 2011, yaitu episode 179-180; dan percakapan dalam
SSM di MNC TV tanggal 26-27 Juli 2011, yaitu episode 2-3. Penulis memilih
masalah tersebut dengan pendekatan ilmu pragmatik. Aspek pragmatik yang
penulis bahas dalam penelitian ini terbatas pada TTD dan pelanggaran prinsip
kesantunan serta implikatur yang terkandung di dalamnya yang terdapat di dalam
percakapan SIKTP, SPRR, dan SSM.
C. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah bentuk TTD dalam percakapan SIKTP, SPRR, dan SSM?
2. Bagaimanakah bentuk pelanggaran prinsip kesantunan dalam percakapan
SIKTP, SPRR, dan SSM?
3. Bagaimanakah implikatur di balik pelanggaran prinsip kesantunan dalam
percakapan SIKTP, SPRR, dan SSM?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Mendeskripsikan bentuk TTD dalam percakapan SIKTP, SPRR, dan SSM.
2. Mendeskripsikan bentuk pelanggaran prinsip kesantunan dalam percakapan
SIKTP, SPRR, dan SSM.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
3. Mendeskripsikan implikatur di balik pelanggaran prinsip kesantunan dalam
percakapan SIKTP, SPRR, dan SSM.
E. Manfaat Penelitian
Sebuah penelitian yang dilakukan haruslah memberikan manfaat, baik
manfaat secara teoretis maupun manfaat secara praktis. Manfaat yang dapat
diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut.
1. Manfaat Teoretis
Manfaat teoretis yang diharapkan penulis dalam penelitian ini yaitu
penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan mengenai
model analisis pragmatik terutama pada bentuk TTD, pelanggaran prinsip
kesantunan, dan implikatur di balik pelanggaran prinsip kesantunan dalam
percakapan SIKTP, SPRR, dan SSM.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis yang diharapkan dalam penelitian ini yaitu penelitian ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti dalam hal pemahaman
wacana percakapan SIKTP, SPRR, dan SSM, terutama dalam hal memahami
TTD, pelanggaran prinsip kesantunan, dan implikatur di balik pelanggaran
prinsip kesantunan dalam ketiga sinetron religi tersebut. Di samping itu,
penulis juga berharap penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan untuk landasan kajian penelitian sejenis selanjutnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
F. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan diperlukan untuk mempermudah penguraian masalah
dalam suatu penelitian, yaitu agar cara kerja penelitian lebih terarah, runtut, dan
jelas. Penulisan yang sistematis banyak membantu pembaca dalam memahami
hasil penelitian. Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini tersusun atas
lima bab. Kelima bab itu adalah sebagai berikut.
Bab pertama pendahuluan. Bab ini terdiri atas latar belakang masalah,
pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab kedua kajian pustaka dan kerangka pikir. Bab ini terdiri atas tinjauan
pustaka, landasan teori, dan kerangka pikir. Tinjauan pustaka merupakan tinjauan
dari penelitian-penelitian sebelumnya yang sejenis dan relevan dengan penelitian
ini, sedangkan landasan teori berisi tentang teori-teori yang digunakan untuk
mengkaji dan memahami permasalahan yang diteliti. Sementara itu, kerangka
pikir berisi gambaran secara jelas kerangka yang digunakan penulis untuk
mengkaji dan memahami permasalahan yang diteliti.
Bab ketiga metode penelitian. Bab ini akan memberikan gambaran proses
penelitian yang terdiri atas jenis penelitian dan pendekatan, populasi dan sampel,
data dan sumber data, teknik penyediaan data, klasifikasi data, metode analisis
data, dan teknik penyajian hasil analisis.
Bab keempat analisis data. Bab ini merupakan inti dari penelitian yang
berisikan analisis data yang sesuai dengan tujuan penelitian.
Bab kelima penutup. Bab ini berisi simpulan hasil penelitian dan saran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan Pustaka
Sejauh penelusuran yang telah penulis lakukan mengenai penelitian yang
sejenis dengan penelitian ini, penulis menemukan beberapa penelitian yang
relevan dengan penelitian ini, yaitu sebagai berikut.
Skripsi Umi Khalifah (2006) yang berjudul “Implikatur Percakapan dalam
Sinetron Komedi Bajaj Bajuri Edisi Salon Oneng: Sebuah Kajian Pragmatik”.
Hasil deskripsi dari penelitian tersebut adalah sebagai berikut: (1) menguraikan
tindak tutur yang mengandung implikatur yang disebabkan oleh adanya
pelanggaran dan pemenuhan prinsip kerja sama, prinsip kesopanan, dan prinsip
ironi. Dari uraiannya itu diperoleh lima belas macam tindak tutur yang
mengandung implikatur, yaitu tindak tutur yang menyatakan fakta, kesedihan,
penolakan, kritikan, pemberian saran, pemberitahuan, perintah, ajakan,
pertanyaan, dugaan, keluhan, keraguan, ejekan, sindiran, dan simpulan; (2) adanya
tindak tutur yang berimplikatur itu disebabkan agar tidak menyinggung perasaan
orang lain, penutur merasa malu untuk mengemukakan secara langsung untuk
mengutarakan isi hati nuraninya, penutur ingin meyakinkan mitra tutur tentang
apa yang dikatakan oleh penutur, penutur merasa tidak percaya dengan apa yang
dikatakan oleh mitra tutur, untuk menyembunyikan ketidaktahuan, mengelak,
menghibur kesedihan, memperingatkan kepada mitra tutur, dan untuk
memindahkan perhatian; dan (3) menguraikan jenis tindak tutur bermuatan
implikatur berdasarkan daya ilokusinya. Dalam hal ini ditemukan enam belas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
fungsi tindak tutur yaitu tindak tutur yang mengemukakan pendapat, membual,
mengusulkan, menyatakan, melaporkan, memberi nasihat, memerintah, memohon,
memesan, menuntut, menawarkan, menjanjikan, mengkritik, memuji, mengeluh,
dan mengecam.
Penelitian relevan selanjutnya yaitu skripsi Tanjung Tyas Ning Putri (2010)
yang berjudul “Pelanggaran Prinsip Kesantunan dalam Film Warkop DKI Maju
Kena Mundur Kena: Sebuah Tinjauan Pragmatik”. Hasil deskripsi dari penelitian
tersebut adalah sebagai berikut: (1) ditemukan pelanggaran prinsip kesantunan
dalam film Warkop DKI Maju Kena Mundur Kena, yaitu meliputi lima maksim
dari tujuh maksim kesantunan, yaitu pelanggaran terhadap maksim kearifan,
kedermawanan, pujian, kesepakatan, dan simpati. Pelanggaran prinsip kesantunan
paling banyak ditemukan pada pelanggaran maksim pujian; dan (2) tuturan dalam
film Warkop DKI Maju Kena Mundur Kena mengandung beberapa macam
implikatur percakapan. Implikatur-implikatur tersebut digunakan untuk
mempermainkan seseorang, mencari perhatian, mengambil keuntungan,
menyatakan pilihan, mengejek, menyatakan ketidaksukaan, menyindir, memaksa,
mengeluh, dan menolak permintaan. Implikatur yang paling banyak ditemukan
dalam pelanggaran prinsip kesantunan adalah implikatur mengejek.
Skripsi yang ditulis oleh Dwi Ariyani (2010) dengan judul “Pelanggaran
Prinsip Kesantunan dan Implikatur dalam Acara Opera Van Java di TRANS 7:
Sebuah Kajian Pragmatik”. Hasil dari penelitian tersebut adalah sebagai berikut:
(1) ditemukannya pelanggaran prinsip kesantunan pada banyak data dan meliputi
tujuh maksim. Pelanggaran paling banyak ialah terhadap maksim pujian,
kemudian diikuti oleh maksim kearifan, simpati, kesepakatan, pertimbangan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
kerendahan hati, dan kedermawanan; (2) terdapat sedikit data yang mengandung
penerapan prinsip ironi. Hal itu mungkin karena para pemain Opera Van Java
akan merasa lebih puas jika menghina atau mengancam orang lain secara terang-
terangan; dan (3) ditemukan sembilan macam implikatur percakapan dalam acara
Opera Van Java, yaitu implikatur menghina, memancing amarah, tidak suka
dengan kedatangan orang lain, mempengaruhi, tidak suka, ingin menyiksa, tidak
sayang kepada istri, menyuruh, dan merayu. Implikatur yang paling mendominasi
dalam acara tersebut adalah implikatur menghina.
Berdasarkan beberapa penelitian pragmatik tersebut, maka dapat diketahui
bahwa penelitian ini hampir sama dengan penelitian-penelitian pragmatik
sebelumnya yang juga meneliti masalah TTD, pelanggaran prinsip kesantunan,
dan implikatur. Meskipun demikian, ada perbedaan antara penelitian ini dengan
penelitian-penelitian sebelumnya. Perbedaan itu terletak pada sumber data
penelitian. Dalam penelitian ini, sumber data penelitian berupa percakapan dalam
SIKTP, SPRR, dan SSM. Percakapan dalam ketiga sinetron tersebut belum pernah
diteliti oleh para peneliti terdahulu. Di samping itu, para peneliti terdahulu hanya
menggunakan satu sumber data dalam penelitiannya, sedangkan dalam penelitian
ini penulis menggunakan tiga sumber data yang berbeda, tetapi masih dalam satu
genre sinetron religi, yaitu SIKTP, SPRR, dan SSM. Karena penulis
menggunakan tiga sumber data, maka dalam penelitian ini penulis tidak hanya
mendeskripsikan hasil analisisnya saja, melainkan penulis juga mendeskripsikan
perbedaan yang dimiliki oleh masing-masing sinetron religi tersebut. Dengan
demikian, penelitian ini sangat perlu untuk dilakukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
B. Landasan Teori
Landasan teori sangat diperlukan dalam sebuah penelitian, yaitu sebagai
dasar untuk menganalisis data penelitian.
1. Pragmatik
Pragmatik merupakan salah satu cabang ilmu bahasa yang tergolong
masih baru jika dilihat dari perkembangannya. Pada awalnya pragmatik lebih
diperlakukan sebagai tempat penyimpanan data yang bandel (keranjang
sampah), yang tidak terjelaskan, dan yang boleh dilupakan dengan mudah.
Akan tetapi, sekarang banyak ahli bahasa yang mulai memberi perhatian secara
intens terhadap pragmatik sehingga membuat pragmatik mengalami
perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan pragmatik itu ditandai oleh
semakin banyaknya teori-teori baru tentang pragmatik yang dikemukakan oleh
para ahli, seperti J. L. Austin, J. R. Searle, dan H. P. Grice. Austin dan Searle
mengemukakan teori-teori tentang tindak tutur (speech act), sedangkan Grice
mengemukakan tentang prinsip kerja sama (cooperative principles) dan
implikatur percakapan (conversational implicature). Berkenaan dengan
perkembangan pragmatik yang sangat pesat itu, Leech menyatakan bahwa hal
itu disebabkan oleh semakin tingginya tingkat kesadaran para ahli bahasa
terhadap pemahaman pragmatik, yaitu mengenai bagaimana bahasa digunakan
dalam komunikasi (dalam terjemahan M.D.D. Oka, 1993:1).
Istilah pragmatik sendiri pertama kali diperkenalkan oleh seorang filsuf
yang bernama Charles Morris (1938). Morris memiliki perhatian yang besar
terhadap ilmu yang mempelajari tentang sistem tanda (semiotik). Menurutnya,
pragmatik adalah cabang semiotik yang mempelajari relasi tanda dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
penafsirannya (dalam Wijana, 1996:5). Morris membagi semiotik menjadi tiga
konsep dasar, yaitu sintaksis „studi relasi formal tanda-tanda‟, semantik „studi
relasi tanda-tanda dengan objeknya‟, dan pragmatik „studi relasi tanda-tanda
dengan penafsirnya (interpreter)‟ (dalam Kunjana Rahardi, 2005:47).
Dalam bukunya yang berjudul Principles of Pragmatics, Leech
mengemukakan pandangannya tentang pragmatik. Menurutnya, pragmatik
adalah bidang linguistik yang mengkaji makna dalam hubungannya dengan
situasi-situasi tutur (speech situations) (dalam terjemahan M.D.D. Oka,
1993:8). Pengertian tersebut memiliki arti bahwa makna dalam pragmatik
adalah makna eksternal, makna yang terkait konteks, atau makna sebagai suatu
hubungan yang melibatkan tiga segi (triadic), yaitu makna yang dapat
dirumuskan dengan kalimat Apakah yang kamu maksud dengan berkata X itu?.
Sementara itu, Asim Gunarwan (dalam Bambang Kaswanti Purwa, 1994:83)
merumuskan pragmatik sebagai bidang linguistik yang mengkaji maksud
tuturan.
Parker juga turut serta mengemukakan definisi pragmatik. Menurutnya,
pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang mempelajari struktur bahasa secara
eksternal. Artinya, bahwa sebagaimana satuan lingual tertentu digunakan
dalam komunikasi yang sebenarnya. Parker juga membedakan pragmatik
dengan studi tata bahasa yang dianggapnya sebagai studi seluk-beluk bahasa
secara internal yang tidak perlu dikaitkan dengan konteks, sedangkan studi
pragmatik mutlak dikaitkan dengan konteks (dalam Kunjana Rahardi,
2005:48).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Di lain pihak, Levinson memberikan beberapa batasan pragmatik, yaitu
(a) pragmatik adalah kajian hubungan antara bahasa dengan konteks yang
mendasari penjelasan pengertian bahasa, dan (b) pragmatik mengkaji tentang
kemampuan pemakai bahasa untuk mengaitkan kalimat-kalimat dengan
konteks yang sesuai dengan kalimat-kalimat tersebut. Jika diperhatikan secara
saksama, batasan kedua tersebut tidak jauh berbeda dengan batasan yang
pertama (dalam Wijana, 2004:4).
Dalam bukunya Meaning in Interaction: An Introduction to Pragmatics,
Jenny Thomas juga memberikan batasan pragmatik. Menurutnya, pragmatics
as meaning in interaction (pragmatik adalah bidang ilmu yang mengkaji makna
dalam interaksi) (1996:22). Pengertian tersebut mengandaikan bahwa
pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi antara
penutur dan mitra tutur serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan linguistik)
dan makna potensial yang mungkin dari sebuah tuturan.
Ahli lain yang mengemukakan tentang pragmatik adalah George Yule.
Menurutnya, pragmatics is concerned with the study of meaning as
communicated by a speaker (or writer) and interpreted by a listener (or
reader) (pragmatik terkait dengan studi tentang makna yang disampaikan oleh
penutur (atau penulis) dan ditafsirkan oleh mitra tutur (atau pembaca)). Selain
itu, dia juga membatasi pragmatik sebagai berikut. Pertama, pragmatics is the
study of speaker meaning (studi tentang maksud penutur). Kedua, pragmatics
is the study of contextual meaning (studi tentang makna konteks). Ketiga,
pragmatics is the study of how more gets communicated than is said (studi
tentang bagaimana agar lebih banyak yang disampaikan daripada yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
dituturkan). Keempat, pragmatics is the study of the expression of relative
distance (studi tentang ungkapan dari jarak hubungan) (Yule, 1996:3).
2. Situasi Tutur
Situasi tutur merupakan situasi atau kondisi yang melahirkan tuturan.
Leech (dalam terjemahan M.D.D. Oka, 1993:19-21) mengemukakan lima
macam komponen situasi tutur, yaitu sebagai berikut.
a. Yang menyapa (penyapa) atau yang disapa (pesapa)
Orang yang menyapa disebut penutur, dan orang yang disapa disebut
petutur. Petutur selalu menjadi sasaran tuturan dari penutur.
b. Konteks sebuah tuturan
Konteks ialah suatu pengetahuan latar belakang yang sama-sama
dimiliki oleh penutur dan petutur, dan yang membantu petutur menafsirkan
makna tuturan.
c. Tujuan sebuah tuturan
Istilah tujuan lebih netral daripada maksud, karena istilah tersebut
tidak membebani pemakainya dengan suatu kemauan atau motivasi yang
sadar sehingga dapat digunakan secara umum untuk kegiatan-kegiatan
yang berorientasi tujuan. Berkenaan dengan hal itu, Wijana menyatakan
bahwa di dalam pragmatik, bertutur merupakan aktivitas yang berorientasi
pada tujuan (goal oriented activities) (1996:11).
d. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau kegiatan: tindak ujar
Tata bahasa berurusan dengan maujud-maujud statis yang abstrak,
seperti kalimat, sedangkan pragmatik berurusan dengan tindak-tindak atau
performansi-performansi verbal yang terjadi dalam situasi dan waktu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
tertentu. Dengan demikian, pragmatik menangani bahasa pada tingkatan
yang lebih konkret daripada tata bahasa. Kunjana Rahardi memperkuat
pernyataan tersebut dengan mengatakan bahwa di dalam pragmatik
terdapat kejelasan mengenai keberadaan siapa peserta tuturnya, di mana
tempat tuturnya, kapan waktu tuturnya, dan seperti apa konteks situasi
tuturnya secara keseluruhan (2005:51-52).
e. Tuturan sebagai produk tindak verbal
Sebuah tuturan dapat menjadi suatu contoh kalimat (sentence-
instance) atau tanda kalimat (sentence-stoken), tetapi bukanlah sebuah
kalimat. Artinya, tuturan-tuturan merupakan unsur-unsur yang maknanya
dapat dikaji di dalam pragmatik. Dengan perkataan lain, pragmatik dapat
digambarkan sebagai suatu ilmu yang mengkaji makna tuturan.
3. Tindak Tutur dan Tindak Tutur Direktif
a. Tindak Tutur
Teori tindak tutur (speech act) berawal dari ceramah yang
disampaikan oleh filsuf berkebangsaan Inggris, J. L. Austin, pada tahun
1955 di Universitas Harvard. Ceramah Austin tersebut kemudian
diterbitkan ke dalam bentuk buku pada tahun 1962 dengan judul How to
Do Things with Word. Di dalam buku itu, Austin menyatakan bahwa pada
dasarnya pada saat seseorang mengatakan sesuatu, dia juga melakukan
sesuatu (dalam Nadar, 2009:11).
Tindak tutur ini merupakan satuan analisis dalam pragmatik.
George Yule mendefinisikan tindak tutur sebagai actions performed via
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
utterances, yaitu tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan
(1996:47).
Berbeda dengan ahli-ahli tersebut, Searle mendefinisikan tindak
tutur sebagai unit dasar dari komunikasi, dari belajar bahasa, makna dan
komunikasi, dan kenyataan kaidah tindak tutur yang dianggap menjadi
bagian dari kemampuan berbahasa (dalam Abdul Syukur Ibrahim,
2007:70). Selain itu, Searle (1969) di dalam bukunya Speech Acts: An
Essay in The Philosophy of Language juga membagi tindak tutur menjadi
tiga macam tindakan yang berbeda, yaitu tindak lokusi (locutionary act),
tindak ilokusi (illocutionary act), dan tindak perlokusi (perlocutionary
act). Tindak lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu (the act
of saying something). Tindak ini biasanya dipandang kurang penting di
dalam kajian tindak tutur. Tindak ilokusi adalah tindak tutur yang
berfungsi untuk mengatakan atau menginformasikan sesuatu dan
dipergunakan untuk melakukan sesuatu (the act of doing something).
Tindak ini dipandang sebagai tindak terpenting atau bagian sentral di
dalam kajian dan pemahaman tindak tutur. Tindak perlokusi adalah tindak
tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi mitra
tuturnya (the act of affecting someone) (dalam Muhammad Rohmadi,
2004:30-32).
Berkaitan dengan tindak ilokusi, Searle membagi tindak tersebut ke
dalam lima macam tindak tutur (Leech dalam terjemahan M.D.D. Oka,
1993:164-165), yaitu sebagai berikut.
1) Representatif atau asertif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Pada ilokusi ini penutur terikat pada kebenaran proposisi yang
diungkapkan. Jenis ilokusi ini, misalnya ilokusi menyatakan,
mengusulkan, membual, mengeluh, mengemukakan pendapat,
melaporkan.
2) Direktif
Ilokusi ini bertujuan menghasilkan suatu efek berupa tindakan
yang dilakukan oleh petutur. Jenis ilokusi ini, misalnya ilokusi
memesan, memerintah, memohon, menuntut, memberi nasihat.
3) Komisif
Pada ilokusi ini penutur (sedikit banyak) terikat pada suatu
tindakan di masa depan. Jenis ilokusi ini tidak mengacu pada
kepentingan penutur, tetapi pada kepentingan petutur, karena
cenderung berfungsi menyenangkan petutur. Jenis ilokusi ini,
misalnya ilokusi menjajikan, menawarkan, berkaul.
4) Ekspresif
Ilokusi ini berfungsi untuk mengungkapkan atau mengutarakan
sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang tersirat dalam ilokusi.
Jenis ilokusi ini, misalnya ilokusi mengucapkan terima kasih,
mengucapkan selamat, memberi maaf, mengecam, memuji,
mengucapkan belasungkawa, dan sebagainya.
5) Deklarasi
Apabila pelaksanaan ilokusi ini berhasil, maka akan
mengakibatkan adanya kesesuaian antara isi proposisi dengan realitas
atau kenyataan. Jenis ilokusi ini, misalnya ilokusi mengundurkan diri,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
membaptis, memecat, memberi nama, menjatuhkan hukuman,
mengucilkan/membuang, mengangkat (pegawai), dan sebagainya.
Kelima fungsi umum tindak tutur beserta sifat-sifat kuncinya
terangkum dalam tabel berikut.
Tabel 1
Lima Fungsi Umum Tindak Tutur
Speech act type
(Tipe tindak tutur)
Direction of fit
(Arah penyesuaian)
S = speaker
(penutur)
X = situation
(situasi)
Declarations
(Deklarasi)
Representatives
(Representatif)
Expressives
(Ekspresif)
Directives
(Direktif)
Commissives
(Komisif)
Word change the world
(kata mengubah dunia)
Make words fit the world
(kata disesuaikan dengan
dunia)
Make words fit the world
(kata disesuaikan dengan
dunia)
Make the world fit words
(dunia disesuaikan dengan
kata)
Make the world fit words
(dunia disesuaikan dengan
kata)
S causes X
(S menyebabkan X)
S believes X
(S meyakini X)
S feels X
(S merasakan X)
S wants X
(S menginginkan X)
S intends X
(S memaksudkan X)
Sumber: Yule, 1996:55
b. Tindak Tutur Direktif
Di depan telah disebutkan bahwa TTD menurut Searle adalah
tindak tutur yang dilakukan penutur dengan tujuan untuk menghasilkan
suatu efek berupa tindakan yang dilakukan oleh petutur. Tuturan-tuturan
memesan, memerintah, memohon, menuntut, memberi nasihat merupakan
tuturan-tuturan yang termasuk ke dalam jenis TTD (Leech dalam
terjemahan M.D.D. Oka, 1993:164).
Selain Searle, ada ahli lain yang juga memberikan definisi terhadap
TTD yaitu Geoffrey Leech. Leech mendefinisikan TTD sebagai bentuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
tindak tutur yang dimaksudkan oleh penutur untuk membuat pengaruh
agar mitra tutur melakukan suatu tindakan. Adapun verba yang menandai
tindak tutur ini, misalnya memohon, meminta, memberi perintah,
menuntut, melarang (dalam terjemahan M.D.D. Oka, 1993:327).
Di lain pihak, Yule (1996:54) memberikan penjelasan TTD sebagai
speech acts that speakers use to get someone else to do something (tindak
tutur yang dipakai penutur untuk menyuruh orang lain melakukan sesuatu).
Tindak tutur ini meliputi, perintah, pemesanan, permohonan, pemberian
saran, dan bentuknya dapat berupa kalimat positif maupun negatif.
Dari beberapa definisi TTD tersebut, pembahasan tindak tutur
ilokusi direktif dalam penelitian ini lebih mengacu pada kategori yang
dikemukakan oleh Searle. Dari kelima jenis tindak tutur ilokusi Searle,
tindak ilokusi direktif Searle adalah fokus yang dipilih pada penelitian ini.
Pemanfaatan teori Searle ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa dalam
SIKTP, SPRR, dan SSM terdapat banyak tuturan yang berfungsi sebagai
TTD berdasarkan pada teori Searle.
Tindak Tutur Langsung dan Tindak Tutur Tidak Langsung
Selain klasifikasi tindak tutur yang telah dikemukakan oleh Searle
tersebut, tindak tutur juga dapat diklasifikasikan berdasarkan teknik
penyampaian dan interaksi makna. Berdasarkan pada teknik penyampaian,
tindak tutur dapat diklasifikasikan menjadi tindak tutur langsung dan tindak
tutur tidak langsung. Berdasarkan interaksi makna, tindak tutur dapat
diklasifikasikan menjadi tindak tutur literal dan tindak tutur tidak literal.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
Secara formal, berdasarkan modusnya, kalimat dibedakan menjadi tiga
macam yaitu kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif), dan kalimat
perintah (imperatif). Secara konvensional, kalimat berita digunakan untuk
memberitakan sesuatu atau informasi, kalimat tanya untuk menanyakan
sesuatu, dan kalimat perintah untuk menyatakan perintah, ajakan, permintaan,
atau permohonan (Wijana, 1996:30). Jika suatu tuturan dituturkan sesuai
dengan modus kalimatnya, yaitu kalimat berita untuk memberitakan, kalimat
perintah untuk menyuruh, mengajak, meminta, ataupun memohon, kalimat
tanya untuk menanyakan sesuatu maka akan terbentuk tindak tutur langsung
(direct speech act). Sebaliknya, jika suatu tuturan dituturkan berbeda dengan
modus kalimatnya maka akan terbentuk tindak tutur tidak langsung (indirect
speech act). Maksud dari tindak tutur tidak langsung dapat beragam tergantung
pada konteksnya. Tindak tutur tidak langsung ini memiliki kedudukan yang
sangat penting di dalam kajian tindak tutur, karena sebagian besar tuturan
disampaikan secara tidak langsung (Searle dalam Nadar, 2009:18-19).
Di lain pihak, tindak tutur literal (literal speech act) adalah tindak tutur
yang maksudnya sama dengan makna kata-kata yang menyusunnya, sedangkan
tindak tutur tidak literal (nonliteral speech act) adalah tindak tutur yang
maksudnya tidak sama dengan atau berlawanan dengan makna kata-kata yang
menyusunnya (Wijana, 1996:32).
Apabila tindak tutur langsung dan tidak langsung disinggungkan dengan
tindak tutur literal dan tidak literal, maka akan terdapat jenis tindak tutur
sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
1) Tindak tutur langsung literal
Tindak tutur langsung literal (direct literal speech act) adalah tindak
tutur yang diutarakan dengan modus tuturan dan makna yang sama dengan
maksud pengutaraannya. Maksud memerintah diutarakan dengan kalimat
perintah, memberitakan dengan kalimat berita, menanyakan sesuatu
dengan kalimat tanya, dan sebagainya (Wijana, 1996:33).
2) Tindak tutur langsung tidak literal
Tidak tutur langsung tidak literal (direct nonliteral speech act)
adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat yang sesuai
dengan maksud tuturan, tetapi kata-kata yang menyusunnya tidak memiliki
makna yang sama dengan maksud penuturnya. Maksud memerintah
diutarakan dengan kalimat perintah, maksud menginformasikan dengan
kalimat berita. Namun, perlu diketahui bahwa kalimat tanya tidak dapat
digunakan untuk mengutarakan tindak tutur langsung tidak literal ini
(Wijana, 1996:35).
3) Tindak tutur tidak langsung literal
Tindak tutur tidak langsung literal (indirect literal speech act) adalah
tindak tutur yang diungkapkan dengan modus kalimat yang tidak sesuai
dengan maksud pengutaraannya, tetapi makna kata-kata yang
menyusunnya sesuai dengan apa yang dimaksudkan penutur. Maksud
memerintah diutarakan dengan kalimat berita atau kalimat tanya (Wijana,
1996:34).
4) Tindak tutur tidak langsung tidak literal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
Tindak tutur tidak langsung tidak literal (indirect nonliteral speech
act) adalah tindak tutur yang diutarakan dengan modus kalimat dan makna
kalimat yang tidak sesuai dengan maksud yang hendak diutarakan.
4. Prinsip Kesantunan
Prinsip kesantunan (politeness principle) adalah prinsip percakapan yang
mewajibkan setiap penutur berlaku santun dalam komunikasi dengan orang
lain. Prinsip ini bermula dari strategi komunikasi yang sengaja melanggar
prinsip kerja sama Grice (1975). Dalam prinsip kerja sama, Grice mengajarkan
penutur untuk berbicara secara benar. Pernyataan tersebut berbeda dengan
prinsip kesantunan Leech yang tujuannya adalah berbicara secara baik. Dengan
demikian, dapat dikatakan bahwa prinsip kesantunan Leech sengaja melanggar
prinsip kerja sama Grice. Dalam prinsip kesantunan Leech, berbicara secara
baik dikaitkan dengan strategi biaya-maslahat (cost-benefit strategies), yaitu
kerugian lebih dibebankan kepada penutur dan keuntungan diberikan kepada
mitra tutur (Jumanto dalam Dwi Purnanto, Kundharu Saddhono, dan Harun
Joko Prayitno, 2009:88).
Di samping itu, ada alasan lain mengapa para peserta komunikasi tidak
mematuhi prinsip kerja sama Grice, yaitu karena di dalam berkomunikasi para
peserta pertuturan tidak hanya selalu menyampaikan pesan atau informasi saja
melainkan juga untuk menjaga dan memelihara hubungan sosial di antara
peserta pertuturan (Asim Gunarwan dalam Bambang Kaswanti Purwo,
1992:184). Berkenaan dengan hal itu, Holmes mengemukakan bahwa
komunikasi itu mencakup dua fungsi, yaitu fungsi referensial (fungsi
informatif) yang tujuannya untuk menyampaikan informasi atau pesan, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
fungsi afektif (fungsi sosial) yang tujuannya untuk memelihara hubungan
sosial (Asim Gunarwan dalam Yassir Nasanius, 2007:87-88).
Berbeda dengan prinsip kerja sama yang hanya dicetuskan oleh Grice
(1975), konsep kesantunan dikemukakan oleh banyak ahli, antara lain Lakoff
(1972), Fraser (1978), Brown dan Levinson (1978), dan Leech (1983). Lakoff
berpendapat bahwa ada tiga kaidah yang harus ditaati agar tuturan itu santun,
yaitu formalitas, ketidaktegasan, dan persamaan atau kesekawanan. Kaidah
formalitas maksudnya jangan memaksa atau jangan angkuh. Kaidah
ketidaktegasan maksudnya buatlah sedemikian rupa sehingga mitra tutur dapat
menentukan pilihan. Kaidah persamaan atau kesekawanan maksudnya penutur
hendaklah membuat mitra tutur merasa senang (dalam Asim Gunarwan,
1994:87-88).
Berbeda dengan Lakoff yang mendasarkan konsep kesantunannya atas
dasar kaidah, Fraser lebih mendasarkan konsep kesantunannya atas dasar
strategi. Akan tetapi, Fraser tidak merinci bentuk dan strategi kesantunannya.
Meskipun demikian, dia membedakan kesantunan dari penghormatan.
Menurutnya, kesantunan adalah properti yang diasosiasikan dengan ujaran, dan
menurut pendengar, si penutur tidak melampaui hak-haknya atau tidak
mengingkari memenuhi kewajibannya. Di antara hak-hak penutur di dalam
sebuah percakapan atau interaksi adalah hak untuk bertanya. Sementara itu, di
antara kewajiban-kewajiban pendengar atau lawan bicara adalah kewajiban
menjawab. Di samping itu, terdapat hak dan kewajiban penutur-pendengar
yaitu menyangkut apa yang boleh diujarkan serta cara bagaimana
mengujarkannya. Dari sini dapat diketahui bahwa pembedaan kesantunan dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
penghormatan seperti yang dibuat oleh Fraser sebenarnya terlalu dicari-cari,
karena kewajiban seorang penyerta percakapan dapat saja mencakup juga
kewajiban untuk menunjukkan penghormatan (dalam Asim Gunarwan,
1994:88-89).
Di lain pihak, Brown dan Levinson merumuskan prinsip kesantunannya
berkisar atas nosi muka, yaitu muka positif dan muka negatif (dalam Asim
Gunarwan, 1994:90). Muka positif adalah muka yang mengacu kepada citra
diri orang yang berkeinginan agar apa yang dilakukannya, apa yang
dimilikinya, atau apa yang merupakan nilai-nilai yang diyakininya, diakui
orang sebagai suatu hal yang baik, menyenangkan, patut dihargai, dan
seterusnya. Sementara itu, muka negatif adalah muka yang mengacu kepada
citra diri setiap orang (yang rasional) yang berkeinginan agar dia dapat dihargai
dengan jalan membiarkannya bebas melakukan tindakannya atau
membiarkannya bebas dari keharusan mengerjakan sesuatu.
Menurut Brown dan Levinson, sebuah tindak tutur dapat mengancam
muka mitra tuturnya. Tindak tutur tersebut disebut sebagai face-threatening act
(FTA). Untuk mengurangi ancaman terhadap muka mitra tutur, maka penutur
hendaknya menggunakan prinsip kesantunan. Karena ada dua sisi muka yang
terancam, yaitu muka negatif dan muka positif, maka kesantunan pun dibagi
dua, yaitu kesantunan negatif (untuk menjaga muka negatif) dan kesantunan
positif (untuk menjaga muka positif). Berkenaan dengan hal itu, Brown dan
Levinson mengusulkan tesis dasar yaitu bahwa penutur “menghitung” derajat
keterancaman sebuah tindak tutur (yang akan dia tuturkan) dengan
mempertimbangkan faktor-faktor seperti (1) jarak sosial di antara penutur dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
mitra tutur, (2) besarnya perbedaan kekuasaan di antara keduanya, dan (3)
status relatif jenis tindak tutur di dalam kebudayaan yang bersangkutan.
Berdasarkan pada perkiraan itulah si penutur memilih strategi (dalam Asim
Gunarwan, 1994:90-91). Adapun bentuk strategi itu, antara lain:
a. Melakukan tindak tutur secara apa adanya, tanpa basa-basi, dengan
mematuhi prinsip kerja sama Grice.
b. Melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan positif.
c. Melakukan tindak tutur dengan menggunakan kesantunan negatif.
d. Melakukan tindak tutur secara off record (berkata dengan tuturan tidak
langsung).
e. Tidak melakukan tindak tutur atau diam saja (dalam Asim Gunarwan,
1992:186).
Berbeda dengan Brown dan Levinson yang mendasarkan kesantunannya
pada nosi muka, Geoffrey Leech mendasarkan konsep kesantunannya pada
empat nosi, yaitu (1) biaya (cost) dan keuntungan (benefit), (2) kesetujuan
(agreement), (3) pujian (approbation), dan (4) simpati/antipati (dalam Asim
Gunarwan, 1994:91). Di samping itu, Leech juga mengemukakan bahwa
prinsip kesantunan itu berhubungan dengan dua pihak, yaitu diri dan lain. Diri
adalah penutur, dan lain adalah mitra tutur atau juga dapat menunjuk kepada
pihak ketiga, baik yang hadir maupun yang tidak hadir dalam situasi tutur
(dalam terjemahan M.D.D. Oka, 1993:206).
Di dalam bukunya Principles of Pragmatics, Leech (dalam terjemahan
M.D.D. Oka, 1993:206-207) merumuskan prinsip kesantunan ke dalam enam
maksim, yaitu sebagai berikut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
1) Maksim Kearifan (Tact Maxim)
Maksim kearifan dijabarkan ke dalam dua submaksim, yaitu:
(a) Buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin.
(b) Buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin.
Maksim ini mengatur dua jenis ilokusi Searle, yaitu ilokusi direktif
dan ilokusi komisif. Isi proposisional ilokusi-ilokusi ini mengacu pada
tindakan yang akan dilaksanakan oleh penutur (komisif) atau oleh petutur
(direktif) (Leech dalam terjemahan M.D.D. Oka, 1993:166). Contoh
tuturan Have another sandwich! (Ambillah sandwich sepotong lagi!) dan
Would you mind having another sandwich? (Apakah Anda keberatan
mengambil sandwich sepotong lagi?). Tuturan pertama terlihat lebih
santun daripada tuturan kedua, karena kata “would” pada tuturan kedua
memberi kesan seakan-akan dengan mengambil dan makan roti tersebut
petutur berbaik hati kepada penutur, karena mungkin roti itu basi, tidak
enak dimakan, atau beracun (Leech dalam terjemahan M.D.D. Oka,
1993:171).
2) Maksim Kedermawanan (Generosity Maxim)
Maksim kedermawanan juga dijabarkan ke dalam dua submaksim,
yaitu:
(a) Buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin.
(b) Buatlah kerugian diri sendiri sebesar mungkin.
Maksim kedermawanan ini juga mengatur dua jenis ilokusi Searle,
yaitu ilokusi direktif dan ilokusi komisif. Akan tetapi, maksim
kedermawanan lebih berpusat pada diri, sedangkan maksim kearifan lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
berpusat pada lain (Leech dalam terjemahan M.D.D. Oka, 1993:209).
Misalnya, ada informasi indeksal seorang tamu yang meminta kepada
pemilik rumah, apakah dia boleh menambah makanan lagi. Dalam hal itu,
peranan petutur sebagai yang memberi makanan akan terlihat lebih santun
jika perannya tidak ditonjolkan: “Dapatkah saya menambah X?”. Tuturan
yang sedikit lebih santun lagi jika acuan pada petutur sebagai penderma
samasekali dihilangkan: “Apakah masih ada X?” (Leech dalam terjemahan
M.D.D. Oka, 1993:210).
3) Maksim Pujian (Approbation Maxim)
Maksim pujian dijabarkan ke dalam dua submaksim, yaitu:
(a) Kecamlah orang lain sesedikit mungkin.
(b) Pujilah orang lain sebanyak mungkin.
Maksim ini mengatur dua jenis ilokusi Searle, yaitu ilokusi ekspresif
dan ilokusi asertif atau representatif. Pada maksim pujian ini, submaksim
pertama lebih penting, yaitu „jangan mengatakan hal-hal yang tidak
menyenangkan mengenai orang lain, terutama bagi petutur‟. Berdasarkan
pada maksim ini tuturan “Masakanmu enak sekali” bernilai lebih santun
daripada tuturan “Masakanmu sangat tidak enak” (Leech dalam
terjemahan M.D.D. Oka, 1993:211-212).
4) Maksim Kerendahan Hati (Modesty Maxim)
Maksim kerendahan hati dijabarkan ke dalam dua submaksim, yaitu:
(a) Pujilah diri sendiri sesedikit mungkin.
(b) Kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Maksim ini juga mengatur dua jenis ilokusi Searle, yaitu ilokusi
ekspresif dan ilokusi asertif. Dalam maksim kerendahan hati, orientasinya
lebih ditekankan kepada penutur, sedangkan maksim pujian lebih
ditekankan kepada petutur. Dengan demikian, memuji diri sendiri
merupakan tuturan yang tidak santun. Tuturan “Terimalah hadiah yang
kecil ini sebagai tanda penghargaan kami” dianggap lebih santun daripada
tuturan “Terimalah hadiah yang besar ini sebagai tanda penghargaan
kami”, karena mengecilkan arti kemurahan hati diri sendiri itu telah
dianggap sebagai sesuatu yang normal dan konvensional, tetapi tidak
demikian jika kemurahan hati itu dibesar-besarkan (Leech dalam
terjemahan M.D.D. Oka, 1993:214-215).
5) Maksim Kesepakatan (Agreement Maxim)
Maksim kesepakatan dijabarkan ke dalam dua submaksim, yaitu:
(a) Usahakan agar ketaksepakatan antara diri dan lain terjadi sesedikit
mungkin.
(b) Usahakan agar kesepakatan antara diri dengan lain terjadi sebanyak
mungkin.
Maksim ini mengatur satu jenis ilokusi Searle, yaitu ilokusi asertif.
Pada maksim kesepakan, orang cenderung melebih-lebihkan
kesepakatannya dengan orang lain, dan juga mengurangi
ketidaksepakatannya melalui ungkapan penyesalan, kesepakatan sebagian,
dan sebagainya (Leech dalam terjemahan M.D.D. Oka, 1993:217).
Berdasarkan keterangan tersebut, pertanyaan “Apakah pamerannya
menarik?” akan terdengar santun jika dijawab dengan tuturan “Iya,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
pamerannya menarik” daripada dijawab dengan tuturan “Pamerannya
sangat tidak menarik” (Leech dalam terjemahan M.D.D. Oka, 1993:217).
6) Maksim Simpati (Sympathy Maxim)
Maksim simpati dijabarkan ke dalam dua submaksim, yaitu:
(a) Kurangi rasa antipati antara diri dengan lain hingga sekecil mungkin.
(b) Tingkatkan rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri dan lain.
Maksim simpati mengatur satu jenis ilokusi Searle, yaitu ilokusi
asertif. Dalam maksim ini ucapan selamat dan belasungkawa merupakan
tindak tutur yang santun, walaupun ucapan belasungkawa mengungkapkan
keyakinan penutur tentang keyakinan negatif bagi petutur (Leech dalam
terjemahan M.D.D. Oka, 1993:218). Tuturan „Saya sangat menyesal
mendengar bahwa kucingmu mati‟ merupakan tuturan yang santun
daripada „Saya sangat senang mendengar bahwa kucingmu mati‟. Namun
demikian, ada sesuatu yang berat dalam mengutarakan belasungkawa,
karena dengan demikian berarti penutur meyakini sesuatu yang tidak
santun, yaitu keyakinan yang merugikan mitra tutur(Leech dalam
terjemahan M.D.D. Oka, 1993:218).
Dari beberapa pemikiran para ahli yang telah disebutkan di depan,
prinsip kesantunan yang sampai saat ini dianggap paling lengkap, paling
mapan, dan relatif paling komprehensif adalah prinsip kesantunan yang
dirumuskan oleh Leech (Kunjana Rahardi, 2005:59).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
5. Skala Kesantunan
Leech (dalam terjemahan M.D.D. Oka, 1993:194-200) memberikan lima
skala kesantunan yang digunakan sebagai tolak ukur untuk menentukan tingkat
kesantunan suatu tuturan.
1) Skala Untung Rugi (cost-benefit)
Skala untung-rugi terdiri dari dua skala yang berbeda, yaitu untung-
rugi bagi penutur dan untung-rugi bagi petutur. Pada umumnya
keberagaman dua skala ini saling bergantung, tetapi mungkin juga
keberagaman skala yang satu terjadi terlepas dari keberagaman skala yang
lain (Leech dalam terjemahan M.D.D. Oka, 1993:195). Antara kedua skala
tersebut terdapat hubungan yang erat, karena baik impositif (untung-rugi
bagi petutur) maupun komisif (untung-rugi bagi penutur) merupakan
ilokusi yang khas yang mengusulkan suatu tindakan yang melibatkan
transaksi antara penutur dan petutur; yaitu penutur melakukan sesuatu
untuk petutur atau sebaliknya (Leech dalam terjemahan M.D.D. Oka,
1993:196).
Contoh : merugikan kurang
petutur sopan
(1) Peel the potatoes.
(Kupas kentang ini).
(2) Hand me the newspaper.
(Berikan saya surat kabar itu).
(3) Sit down.
(Duduk).
(4) Look at that.
(Lihatlah itu).
(5) Enjoy your holiday.
(Nikmatilah liburanmu).
(6) Have another sandwich.
(Makanlah sepotong lagi). Menguntungkan lebih
petutur sopan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
(Sumber: Leech dalam terjemahan M.D.D. Oka, 1993:167).
Kunjana Rahardi menyatakan bahwa skala untung-rugi menunjuk
kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh
sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. Semakin tuturan tersebut
merugikan diri penutur, maka tuturan tersebut akan semakin dianggap
santun. Sebaliknya, semakin tuturan itu menguntungkan diri penutur, maka
akan semakin dianggap tidak santun tuturan itu (2005:66-67).
2) Skala Kemanasukaan atau Skala Pilihan (optionality scale)
Skala ini mengurut ilokusi-ilokusi menurut jumlah pilihan yang
diberikan oleh penutur kepada petutur (Leech dalam terjemahan M.D.D.
Oka, 1993:195). Berkenaan dengan hal itu, Kunjana Rahardi memberikan
penjelasan secara rinci bahwa semakin pertuturan itu memungkinkan
penutur atau petutur menentukan pilihan yang banyak dan leluasa, maka
akan dianggap semakin santun tuturan itu. Sebaliknya, pertuturan yang
tidak memberikan kemungkinan memilih bagi penutur dan petutur, maka
tuturan itu akan dianggap tidak santun (2005:67).
3) Skala Ketaklangsungan (indirectness scale)
Skala ketaklangsungan dapat dirumuskan dari sudut pandang penutur
maupun petutur. Skala ini mengurut ilokusi-ilokusi menurut panjang jalan
yang menghubungkan tindak ilokusi dengan tujuan ilokusi (Leech dalam
terjemahan M.D.D. Oka, 1993: 195). Dengan perkataan lain, maksud
sebuah tuturan itu dinyatakan secara langsung atau tidak langsung.
Semakin maksud tuturan itu dinyatakan secara langsung, maka tuturan itu
akan dianggap tidak santun. Sebaliknya, maksud tuturan yang dinyatakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
secara tidak langsung, maka tuturan itu akan dianggap santun (Kunjana
Rahardi, 2005:67)..
Contoh : ketaklang- kurang
sungan sopan
(7) Answer the phone.
(Angkat telepon)
(8) I want you to answer the phone.
(Saya ingin kamu mengangkat telepon)
(9) Will you answer the phone?
(Maukah anda mengangkat telepon?)
(10) Can you answer the phone?
(Dapatkah anda mengangkat telepon?)
(11) Would you mind answering the phone?
(Apakah anda keberatan mengangkat telepon?)
(12) Could you possibly answer the phone?
(Apa mungkin anda mengangkat telepon?)
lebih
sopan
(Sumber: Leech dalam terjemahan M.D.D. Oka, 1993:168.)
4) Skala Otoritas (authority scale)
Skala otoritas memiliki ukuran yang bersifat asimetris. Artinya,
seseorang yang memiliki otoritas atau kekuasaan dapat menggunakan
bentuk sapaan yang akrab kepada orang lain, tetapi orang yang disapa akan
menjawab dengan bentuk sapaan yang hormat (Leech dalam terjemahan
M.D.D. Oka, 1993:199). Dengan perkataan lain, skala ini menunjuk
kepada hubungan status sosial antara penutur dan petutur yang terlibat
dalam pertuturan (Kunjana Rahardi, 2005:67). Semakin jauh jarak
peringkat status sosial (rank rating) antara penutur dan petutur, maka
tuturan yang digunakan akan cenderung menjadi semakin santun.
Sebaliknya, semakin dekat jarak peringkat status sosial di antara keduanya,
tuturan yang digunakan akan semakin berkurang peringkat kesantunannya.
5) Skala Jarak Sosial (social distance)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Skala jarak sosial menunjukkan bahwa derajat rasa hormat yang ada
pada sebuah situasi tutur tertentu sebagian besar tergantung pada beberapa
faktor yang relatif permanen, yakni faktor-faktor status atau kedudukan,
usia, derajat keakraban, dan sebagainya (Leech dalam terjemahan M.D.D.
Oka, 1993:199). Dengan perkataan lain, tingkat keakraban hubungan
antara penutur dan petutur sangat menentukan peringkat kesantunan
tuturan yang digunakan dalam bertutur (Kunjana Rahardi, 2005:68).
Artinya, semakin akrab hubungan antara penutur dan petutur, tuturan yang
digunakan akan semakin berkurang tingkat kesantunannya. Sebaliknya,
semakin tidak akrab hubungan di antara keduanya, tuturan yang digunakan
akan cenderung semakin santun.
Berikut adalah gambar hubungan antara skala otoritas dan skala jarak
sosial.
Jarak horizontal
(Sumber: Leech dalam terjemahan M.D.D. Oka, 1993:198).
6) Implikatur
Konsep implikatur pertama kali diperkenalkan oleh H. P. Grice (1975)
untuk memecahkan persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan oleh
teori semantik biasa. Grice menyatakan bahwa “what a speaker can imply,
suggest, or mean, as distinct from what a speaker literally says”. Implikatur
Jara
k v
erti
kal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau apa yang
dimaksudkan oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang dinyatakan
secara harfiah (Brown dan Yule dalam Abdul Rani, Bustanul Arifin, Martutik,
2006:170).
Di samping memberikan definisi tentang implikatur, Grice (dalam
Thomas, 1996:57-58) juga membedakan implikatur menjadi dua macam, yaitu
implikatur konvensional (conventional implicature) dan implikatur percakapan
(conversational implicature). Implikatur konvensional tidak didasarkan pada
prinsip kerja sama atau maksim-maksim, dan tidak harus terjadi dalam
percakapan. Selain itu, implikatur konvensional juga tidak tergantung pada
konteks khusus untuk menginterpretasikannya. Implikatur konvensional
diasosiasikan dengan kata-kata khusus dan menghasilkan maksud tambahan.
Sementara itu, dalam implikatur percakapan, apa yang diimplikasikan
tergantung pada konteks tuturan.
Di lain pihak, Nadar dalam bukunya “Pragmatik dan Penelitian
Pragmatik” mengartikan implikatur sebagai sesuatu yang diimplikasikan dalam
suatu percakapan (2009:60). Sementara itu, Mey menyatakan bahwa implikatur
“implicature” berasal dari kata kerja to imply, sedangkan kata bendanya adalah
implication. Kata kerja itu berasal dari bahasa latin plicare yang berarti to fold
“melipat” sehingga untuk mengerti apa yang dilipat atau disimpan harus
dilakukan dengan cara membukanya. Artinya, untuk memahami apa yang
dimaksudkan oleh penutur, mitra tutur harus melakukan interpretasi terhadap
tuturan-tuturannya (dalam Nadar, 2009:60).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
Ahli lain, Levinson, menyatakan bahwa implikatur merupakan salah satu
gagasan atau pemikiran terpenting dalam pragmatik. Adapun salah satu alasan
penting yang diberikan oleh Levinson ialah bahwa implikatur memberikan
penjelasan eksplisit tentang cara bagaimana dapat mengimplikasikan lebih
banyak dari apa yang dituturkan (dalam Nadar, 2009:61).
7) Sinetron
a. Pengertian Sinetron
Sinetron atau akronim dari sinema elektronik adalah sebuah tayangan sinema
(film) berseri yang ditonton melalui media elektronik (televisi). Di dalam bahasa
Inggris, sinetron disebut sebagai soap opera (opera sabun), sedangkan
dalam bahasa Spanyol disebut sebagai telenovela (http://www.penayasin.
com/2011/01/sejarah-sinetron-indonesia.html). Dalam sumber yang sama,
disebutkan bahwa cikal bakal munculnya sinetron adalah siaran drama
berseri, dengan nama opera sabun, yang disiarkan oleh radio-radio Amerika
pada sekitar tahun 1930-an. Selanjutnya, ketika era radio berganti menjadi
televisi pada tahun 1940, siaran drama berseri dilanjutkan ke televisi dengan
menggunakan nama yang sama, opera sabun.
Dalam http://www.penayasin.com/2011/01/sejarah-sinetron-indonesia
.html juga disebutkan bahwa istilah sinetron di Indonesia pertama kali
dicetuskan oleh Soemardjono, salah satu pendiri dan mantan pengajar
Institut Kesenian Jakarta. Sinetron ini berbeda dengan film. Sinetron adalah
sebuah tayangan berseri yang dapat dibuat sampai berpuluh-puluh episode,
sedangkan film adalah sebuah tayangan lepas serta berdurasi pendek.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
Jika ditelusuri dari sejarahnya, booming sinetron di Indonesia muncul
pada tahun 90-an, yaitu bersamaan dengan munculnya stasiun-stasiun
televisi swasta di Indonesia, seperti RCTI (sebagai stasiun televisi swasta
pertama), yang sebelumnya hanya satu stasiun televisi yang mengudara
yaitu TVRI, milik pemerintah. Sinetron pertama yang hadir di layar kaca
adalah Losmen, yaitu drama serial yang diproduksi oleh TVRI pada tahun
80-an. Meskipun demikian, istilah sinetron baru digunakan pada drama
berseri Jendela Rumah Kita (1989).
Sepanjang tahun 90-an, istilah sinetron mulai banyak digunakan, dan
tayangan sinetron pun mulai membanjiri saluran televisi swasta, seperti
sinetron Si Cemplon, Si Doel Anak Sekolahan, dan lain-lain. Memasuki
tahun 1995 hingga 1998, tema sinetron sedikit bergeser. Para sutradara
membuat sinetron yang diadaptasi dari film layar lebar tahun 80-an, seperti
Lupus, Olga, dan Catatan Si Boy. Di era ini pula, sinetron dari negeri lain
atau telenovela mulai membanjiri layar kaca Indonesia, misalnya Maria
Marcedes. Di tahun 1998, Multivision Plus sebagai salah satu perusahaan
pembuat film atau Production House (PH) di Indonesia, membuat sinetron
Tersanjung, yang merupakan sinetron terpanjang yang pernah dibuat, yaitu
sebanyak 356 episode yang dibagi beberapa sekuel. Pada masa ini, tema
sinetron kembali berubah dan sebagian besar sinetron yang diproduksi
merupakan adaptasi dari novel-novel terkenal, seperti Karmila.
Pada era milenium, yang ditandai dengan pergantian tahun dari 1999
ke 2000, menjadi puncak bagi dunia sinetron Indonesia. Tema sinetron lebih
beragam, mulai dari horor sampai kehidupan masyarakat Jakarta. Sampai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
saat ini terdapat beberapa pembagian jenis sinetron, misalnya sinetron religi,
sinetron komedi, sinetron horor, sinetron dewasa, sinetron remaja, dan
sinetron anak. Dalam hal ini, penulis lebih menitikberatkan pada sinetron
religi, khususnya sinetron religi bernuansa Islam.
Kata religi berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata
kerja re-ligare yang berarti „mengikat kembali‟. Maksudnya, dengan
bereligi, seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan. Dalam KBBI, religi
diartikan sebagai kepercayaan kepada Tuhan; kepercayaan akan adanya
kekuatan adikodrati di atas manusia; kepercayaan (animisme, dinamisme);
agama (KBBI Offline 1.3). Dengan demikian, sinetron religi adalah sinetron
yang mengangkat isu-isu tentang agama dalam setiap lakonnya (http://
joksur.wordpress.com/2010/05/28/komodifikasi-agama-dibalik-sinetron-reli
gi). Menurut Ropingi el Ishaq, sebuah sinetron dikatakan sebagai sinetron
religi (khususnya sinetron religi Islam) apabila sinetron tersebut memiliki
ciri-ciri, yaitu: (1) sinetron tersebut sarat dengan simbol-simbol keagamaan,
seperti jilbab, sajadah, baju koko, peci, mukena, dan lain-lain; (2) banyak
bahasa verbal keagamaan yang digunakan dalam berbagai dialog
antartokoh, seperti kata subhanallah, alhamdulillah, astaghfirullah, dan
lain-lain; dan (3) sinetronnya biasanya atau sebagian besar ditayangkan di
bulan Ramadhan (http://ejournal.stainpurwokerto.ac.id/index.php/komu
nika/article/view/345).
b. SIKTP, SPRR, dan SSM
SIKTP merupakan sinetron yang digarap oleh Multivision Plus.
Sinetron tersebut ditayangkan di SCTV mulai 12 Juli 2010 sampai 17
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
September 2011, dan merupakan sinetron dengan jumlah episode terbanyak
ketiga di indonesia dengan 558 episode setelah Cinta Fitri dengan 1002
episode dan Putri yang Ditukar dengan 676 episode. Waktu tayang sinetron
tersebut adalah setiap hari mulai pukul 19:00 - 21:00 WIB (http://id.wiki
pedia.org/wiki/Islam_KTP).
Sementara itu, SPRR adalah sinetron yang digarap oleh Screenplay
Productions. Sinetron tersebut juga ditayangkan di SCTV mulai 14 Februari
2011 sampai 17 November 2011, dengan jumlah episode sebanyak 238
episode. Waktu tayang sinetron tersebut adalah setiap hari mulai pukul
21:00 - 22:30 WIB (http://id.wikipedia.org/wiki/Pesantren_%26_Rock_
n%27_Roll).
Di lain pihak, SSM merupakan sinetron yang digarap MD
Entertainment. Sinetron tersebut ditayangkan di MNC TV mulai 25 Juli
2011 sampai 6 Januari 2012, dengan jumlah episode sebanyak 166 episode.
Waktu tayang sinetron tersebut adalah setiap hari mulai pukul 19:00 - 20:00
WIB (http://id.wikipedia.org/wiki/Sampeyan_Muslim%3F).
Ketiga sinetron SIKTP, SPRR, dan SSM termasuk dalam genre
sinetron religi dan komedi, serta bergaya satire. Sinetron komedi adalah
sinetron yang ditayangkan dalam bentuk santai, bersifat konyol sehingga
diharapkan dapat membuat orang tertawa, dan ceritanya selalu dekat dengan
kehidupan masyarakat (http://www.winkplace.com/2011/03/sinetron-
sebagai- media-massa.html). Sementara itu, gaya satire adalah gaya bahasa
yang dipakai dalam kesusastraan untuk menyatakan sindiran terhadap suatu
keadaan atau seseorang (KBBI Offline 1.3).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
C. Kearngka Pikir
Kerangka pikir adalah sebuah cara kerja yang dilakukan oleh penulis untuk
menyelesaikan permasalahan yang akan diteliti. Secara garis besar, kerangka pikir
dalam penelitian ini dapat diilustrasikan dalam bagan berikut ini.
D.
E.
TTD Searle
Pelanggaran Prinsip
Kesantunan Leech
Maksim Kearifan
Maksim Kedermawanan
Maksim Pujian
Maksim Kerendahan hati
Maksim Kesepakatan
Maksim Simpati
Percakapan dalam SIKTP,
SPRR, dan SSM
Ilokusi-ilokusi TTD
Deskripsi ilokusi-ilokusi
TTD, pelanggaran
maksim-maksim prinsip
kesantunan, dan implikatur
dalam percakapan SIKTP,
SPRR, dan SSM
Tuturan yang
mengandung TTD
Tuturan yang melanggar
prinsip kesantunan Konteks
Pragmatik
Implikatur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Bagan tersebut menunjukkan bahwa sumber data dalam penelitian ini adalah
sinetron religi yang ditayangkan di SCTV dan MNC TV. Dari sumber data
tersebut, penulis mengambil data penelitian berupa tuturan yang mengandung
TTD dan tuturan yang melanggar prinsip kesantunan beserta konteks yang
terdapat di dalam percakapan SIKTP di SCTV tanggal 29-30 Mei 2011,
percakapan SPRR di SCTV tanggal 17-18 Juli 2011, dan percakapan SSM di
MNC TV tanggal 26-27 Juli 2011. Percakapan dalam SIKTP, SPRR, dan SSM
tersebut akan penulis kaji dengan menggunakan pendekatan ilmu pragmatik,
yakni TTD Searle dan prinsip kesantunan Leech.
Setelah semua tuturan yang mengandung TTD dan tuturan yang melanggar
prinsip kesantunan beserta konteks terkumpul, maka tuturan-tuturan itu
dikelompok-kelompokkan ke dalam masing-masing ilokusi yang sama bagi
tuturan yang mengandung TTD, dan dikelompok-kelompokkan ke dalam masing-
masing maksim yang dilanggar dalam tuturan tersebut bagi tuturan yang
melanggar prinsip kesantunan. Untuk tuturan yang melanggar maksim dalam
prinsip kesantunan akan dicari implikatur yang tersirat di dalam tuturan-tuturan
tersebut.
Adapun hasil akhir dari penelitian ini adalah berupa deskripsi ilokusi-ilokusi
TTD, deskripsi pelanggaran maksim-maksim prinsip kesantunan, dan deskripsi
implikatur akibat pelanggaran prinsip kesantunan dalam percakapan SIKTP di
SCTV tanggal 29-30 Mei 2011, percakapan SPRR di SCTV tanggal 17-18 Juli
2011, dan percakapan SSM di MNC TV tanggal 26-27 Juli 2011.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian dan Pendekatan
Penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian kualitatif yang bersifat
deskriptif. Edi Subroto berpendapat bahwa metode kualitatif adalah metode
pengkajian atau metode penelitian terhadap suatu masalah yang tidak didesain
atau dirancang dengan menggunakan metode statistik (1992:5). Di dalam
penelitian kualitatif, paradigma atau perspektif yang digunakan adalah perspektif
fenomenologis. Artinya, penelitian kualitatif berusaha memahami makna dari
fenomena-fenomena, peristiwa-peristiwa, dan kaitannya dengan orang-orang atau
masyarakat yang diteliti dalam konteks kehidupan dalam situasi yang sebenarnya
(Edi Subroto, 1992:5-6).
Bersifat deskriptif, artinya penelitian ini dilakukan semata-mata hanya
berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang memang secara empiris
hidup pada penutur-penuturnya sehingga yang dihasilkan atau dicatat berupa
perian bahasa yang biasa dikatakan sifatnya seperti potret (paparan apa adanya),
serta tidak mempertimbangkan benar atau salahnya penggunaan bahasa oleh para
penuturnya (Sudaryanto, 1988:62).
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan pragmatik.
Pendekatan pragmatik adalah pendekatan yang mendasarkan diri pada reaksi atau
tanggapan menurut mitra tutur (Edi Subroto, 1992:61). Artinya, pendekatan
pragmatik di dalam penelitian ini digunakan untuk menjawab permasalahan dari
maksud suatu tuturan. Tuturan yang dimaksud adalah tuturan yang mengandung
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
TTD dan tuturan yang melanggar prinsip kesantunan dalam percakapan SIKTP,
SPRR, dan SSM. Tuturan-tuturan itu akan dianalisis dengan mempertimbangkan
faktor konteks situasi tutur yang melingkupi munculnya tuturan-tuturan tersebut.
B. Data dan Sumber Data
1. Data
Data adalah bahan penelitian atau bahan jadi penelitian (Sudaryanto,
1990:9). Data selalu bersifat linear, karena data merupakan wujud konkret
bahasa atau eksponen bahasa. Sifat linear itu mengimplikasikan potensi untuk
terpotong-potong, karena keterbatasan artikulasi. Dengan demikian, data juga
bersifat segmental sehingga dapat dirumuskan bahwa data adalah objek plus
segmen atau plus potongan atau unsur sisanya. Unsur sisa yang segmental itu
disebut konteks. Jadi, data adalah objek penelitian plus konteksnya
(Sudaryanto, 1990:14).
Adapun data dalam penelitian ini berupa tuturan yang mengandung
TTD dan tuturan yang melanggar prinsip kesantunan beserta konteks yang
terdapat di dalam percakapan SIKTP di SCTV tanggal 29-30 Mei 2011, yaitu
episode 441-442; percakapan SPRR di SCTV tanggal 17-18 Juli 2011, yaitu
episode 179-180; dan percakapan SSM di MNCTV tanggal 26-27 Juli 2011,
yaitu episode 2-3.
2. Sumber Data
Data yang merupakan bahan jadi penelitian, hadir atau muncul bukan
dari ketiadaan atau keniradaan, melainkan ada sumber atau asal-muasalnya.
Tempat asal-muasal diperolehnya data disebut sumber data (Kunjana Rahardi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
2005:13). Dari sumber data itu, penulis dapat memperoleh data yang
dimaksud dan yang diinginkan. Sumber data dalam penelitian ini adalah
sumber substantif (Sudaryanto, 1990:33). Dikatakan demikian, karena sumber
data dalam penelitian ini sejenis atau satu bahan dengan data, atau sama
substansi pembentuknya. Adapun sumber data dalam penelitian ini adalah
sinetron religi, yaitu SIKTP dan SPRR yang ditayangkan di SCTV dan SSM
yang ditayangkan di MNCTV.
C. Teknik Penyediaan Data
Teknik penyediaan data merupakan cara yang digunakan oleh peneliti untuk
memperoleh data penelitian yang berkualitas. Dalam penelitian ini, penulis
menggunakan metode simak dan teknik-tekniknya dalam upaya menyediakan data
penelitian. Metode simak adalah metode penyediaan data yang dilakukan dengan
cara menyimak penggunaan bahasa (Kunjana Rahardi, 2005:15). Dalam hal ini
penulis menyimak penggunaan bahasa lisan para tokoh dalam SIKTP, SPRR, dan
SSM. Metode simak ini dapat disejajarkan dengan metode observasi yang lazim
digunakan dalam penelitian disiplin ilmu sosial.
Teknik-teknik dari metode simak yang digunakan dalam penelitian ini
adalah teknik rekam dan teknik catat. Teknik rekam adalah teknik perolehan data
dengan cara merekam pemakaian bahasa lisan yang bersifat spontan dengan
menggunakan alat bantu berupa tape recorder (Edi Subroto, 1992:36). Dalam
penelitian ini, alat bantu yang digunakan oleh penulis untuk memperoleh data
penelitiannya berupa kamera digital dan handphone.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Teknik catat ialah penulis mengadakan pencatatan terhadap data relevan
yang sesuai dengan sasaran dan tujuan penelitian (Edi Subroto, 1992:42).
Pencatatan terhadap data yang relevan dilakukan dengan transkripsi tertentu
menurut kepentingannya serta dilengkapi dengan konteksnya, yaitu berupa
keterangan singkat mengenai situasi yang melatarbelakangi terdapatnya data
relevan tersebut. Dari hasil transkrip tersebut, kemudian dilakukan klasifikasi
data.
D. Klasifikasi Data
Sebelum data dianalisis, data yang telah disediakan itu perlu
diklasifikasikan atau dikelompok-kelompokkan terlebih dahulu. Hal itu dilakukan
dengan maksud untuk mendapatkan tipe-tipe data yang tepat dan cermat, yang
selanjutnya diharapkan akan dapat mempermudah proses analisis pada tahapan-
tahapan penelitian selanjutnya (Kunjana Rahardi, 2005:16). Berkenaan dengan
klasifikasi data, Edi Subroto menyatakan bahwa klasifikasi data dapat
memberikan arah yang jelas yang bersifat menuntun tahapan demi tahapan di
dalam pelaksanaan penelitian, serta dapat memberikan isyarat-isyarat tahapan apa
yang akan dikerjakan berikutnya dan bagaimana tahapan itu dikerjakan. Oleh
karena itu, klasifikasi data menurut asas-asas tertentu dipandang memiliki
kepentingan yang cukup strategis di dalam suatu penelitian (1992:46).
Di dalam penelitian ini, penulis meneliti tuturan yang mengandung TTD dan
tuturan yang melanggar prinsip kesantunan dalam percakapan SIKTP, SPRR, dan
SSM. Dengan demikian, klasifikasi data terhadap data dalam penelitian ini
dilakukan dengan cara mengelompokkan tuturan-tuturan yang mengandung TTD
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
dalam percakapan SIKTP, SPRR, dan SSM ke dalam masing-masing ilokusi
TTD. Di samping itu, penulis juga mengelompokkan tuturan-tuturan yang
melanggar prinsip kesantunan dalam percakapan SIKTP, SPRR, dan SSM ke
dalam masing-masing maksim prinsip kesantunan yang dilanggar dalam tuturan
tersebut.
Di bawah ini akan disajikan contoh penomoran data yang dibuat oleh
penulis, yaitu:
Konteks : Malam-malam, Mery berdandan menor datang ke rumah Bang
Dul sambil membawa martabak. Mery mengetuk pintu rumah
Bang Dul. Bang Dul menyambut Mery dengan tidak baik dan
menagih mobil yang dijanjikan Mery untuknya.
Bang Dul : Mery, sampeh tahu, gue tanya ame elo. Lo ngapain
kemari?
Mery : Bawain martabak buat Papanda.
Bang Dul : Eh, martabaknya Dul terima.
Mery : Mery-nya gimana Papanda?
Bang Dul : Kagak. Mendingan lo pergi sana!
Mery : Dasar. Jahat.
Qomar : Mpok mendingan pacaran sama Qomar aja!
Mery : Ah, pacaran sama situ, mendingan pacaran ama bumi.
Qomar : Hah?
(81/PPK/SIKTP/SCTV/30 Mei 2011)
Keterangan:
81 : Nomor urutan data
PPK : Pelanggaran Prinsip Kesantunan
SIKTP : Sinetron Islam KTP (judul sinetron)
SCTV : Surya Citra Televisi (stasiun televisi tempat penayangan sinetron)
30 Mei 2011 : Tanggal, bulan, dan tahun tayangan sinetron.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
E. Metode Analisis Data
Analisis data merupakan tahap yang paling penting dan sentral di dalam
penelitian linguistik. Edi Subroto (1992:55) mengungkapkan bahwa menganalisis
merupakan kegiatan mengurai suatu satuan lingual ke dalam komponen-
komponennya, serta menentukan identitas suatu satuan lingual yang didasarkan
atas petunjuk dari kerangka pikiran (teori), atau didasarkan atas pengujian atas
segi-segi tertentu dari suatu satuan lingual yang diteliti.
Adapun analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
metode analisis heuristik. Model analisis heuristik ini berpusat pada mitra tutur,
yaitu bagaimana mitra tutur menginterpretasikan tuturan yang dituturkan oleh
penutur. Strategi heuristik berusaha mengidentifikasi daya pragmatik sebuah
tuturan (Leech dalam terjemahan M.D.D. Oka, 1993:61). Strategi heuristik
berusaha mengidentifikasi daya pragmatik sebuah tuturan dengan merumuskan
hipotesis-hipotesis dan kemudian mengujinya berdasarkan data yang tersedia.
Apabila hipotesis tidak teruji, maka akan dibuat hipotesis baru, sampai akhirnya
tercapai suatu pemecahan berupa hipotesis yang teruji kebenarannya, yaitu
hipotesis yang tidak bertentangan dengan evidensi yang ada (Leech dalam
terjemahan M.D.D. Oka, 1993:61-62). Pemecahan masalah dalam penelitian ini
dapat dilihat dari sisi mitra tutur karena masalah yang ada di sini adalah masalah
interpretasi tuturan, berdasarkan makna tuturan, informasi mengenai latar
belakang konteks dan asumsi-asumsi dasar, dan mitra tutur membuat hipotesis
mengenai tujuan-tujuan tuturan.
Metode analisis heuristik ini diterapkan dengan menggunakan pendekatan
kontekstual yang mengacu pada konsep bentuk tuturan yang mengandung TTD
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
dan pelanggaran prinsip kesantunan. Metode analisis kontekstual adalah cara
analisis yang diterapkan dengan mendasarkan, memperhitungkan, dan mengaitkan
identitas konteks-konteks yang ada (Kunjana Rahardi, 2005:16). Pemahaman
konteks ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Harimurti Kridalaksana
(2001:120), yaitu bahwa konteks adalah aspek-aspek lingkungan fisik atau sosial
yang berkaitan dengan tuturan. Lingkungan fisik tuturan disebut ko-teks,
sedangkan lingkungan sosial disebut konteks. Dengan demikian, tuturan yang
mengandung TTD dan tuturan yang melanggar prinsip kesantunan dalam
percakapan SIKTP, SPRR, dan SSM akan dianalisis dengan mempertimbangkan
faktor-faktor konteks situasi tutur yang melingkupi tuturan para tokoh dalam
sinetron-sinetron tersebut.
Dengan demikian, tuturan yang mengandung TTD dan tuturan yang
melanggar prinsip kesantunan dalam SIKTP, SPRR, dan SSM akan penulis
analisis dengan menggunakan metode analisis heuristik dengan pendekatan
kontekstual.
F. Teknik Penyajian Hasil Analisis Data
Setelah data selesai dianalisis, maka hasilnya akan penulis sajikan secara
formal dan informal. Penyajian hasil analisis secara formal adalah cara
merumuskan hasil analisis data dengan menggunakan lambang dan tanda-tanda.
Tanda yang dipakai di dalam penelitian ini, antara lain tanda titik ( . ), tanda koma
( , ), tanda kurung ((…)), tanda tanya ( ? ), tanda seru ( ! ), tanda kutip satu („…‟),
tanda kutip dua (“…”), dan lambang huruf sebagai singkatan (misalnya, SIKTP,
SPRR, SSM, TTD).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
Sementara itu, penyajian secara informal adalah merumuskan hasil analisis
data dengan kata-kata biasa yang sangat teknis sifatnya (Sudaryanto, 1993:145).
Dengan demikian, penyajian secara informal dalam penelitian ini penulis lakukan
dengan cara merumuskan hasil analisis data dengan menggunakan kata-kata biasa
yang sangat teknis sifatnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
BAB IV
ANALISIS DATA
Deskripsi dalam analisis data ini meliputi tiga bagian, yaitu mendeskripsikan
bentuk TTD, mendeskripsikan pelanggaran prinsip kesantunan, dan
mendeskripsikan implikatur akibat pelanggaran prinsip kesantunan dalam SIKTP,
SPRR, dan SSM.
A. Bentuk Tindak Tutur Direktif dalam SIKTP, SPRR, dan SSM
Di dalam SIKTP, SPRR, dan SSM banyak ditemukan tuturan yang
mengandung TTD. Terdapat sembilan (9) macam ilokusi TTD di dalam ketiga
sinetron religi tersebut, yaitu TTD menyuruh, melarang, meminta, mengajak,
menyarankan, menasihati, memohon, mengingatkan, dan mempersilakan.
1. Tindak Tutur Menyuruh
Menyuruh adalah memerintah seseorang untuk melakukan sesuatu
(KBBI Offline 1.3). Berdasarkan pengertian tersebut, TTD menyuruh adalah
tindak tutur yang dilakukan oleh penutur kepada petutur agar petutur
melakukan sesuatu yang diinginkan oleh penutur. Untuk lebih memahaminya,
dapat dilihat data yang mengandung TTD menyuruh dalam percakapan
SIKTP berikut.
(1) Konteks : Seorang perempuan pulang dari bekerja sendirian malam-
malam. Di jalan yang sepi, perempuan itu dihadang oleh dua
orang perampok. Zulfikar melihat kejadian itu, dan berusaha
menolong. Zulfikar berkelahi dengan dua orang perampok
tersebut. Perut Zulfikar tertusuk pisau. Dua orang perampok
itu kemudian melarikan diri. Bang Dul dan Qomar melihat
Zulfikar.
Bang Dul : Zul.
Zulfikar : Allahu akbar.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
Bang Dul : Lo panggil ambulans sana!
Qomar : Pakai apaan?
Bang Dul : Lo tanya ama gua? Cepat sana! Cepetan Qomar! Cepetan
jalan sana!
Qomar : Iya. Tolong... tolong! Mbak, Mbak tolong teleponnya,
Mbak!
Korban Perampok : Aku nggak tahu Mas. Aku nggak tahu.
Zulfikar : Nggak usah panggil ambulan, Bang Dul! Masya Allah,
Bang Dul, maafkan dosaku, Bang! Saya maafkan dosa Bang
Dul atas dosa-dosa Bang Dul. Bang Dul, tolong saya minta
yang kedua kalinya, Bang Dul!
Bang Dul : Nggak Zul, gue nggak mau terima.
(35/TTD/SIKTP/SCTV/29 Mei 2011)
Pada percakapan (1) terdapat tuturan yang mengandung TTD
menyuruh, yaitu tuturan “Lo panggil ambulans sana!” yang dituturkan oleh
Bang Dul kepada Qomar. Bang Dul menuturkan tuturan tersebut karena Bang
Dul merasa khawatir dengan keadaan Zulfikar yang perutnya ditusuk dengan
pisau oleh para perampok ketika akan menyelamatkan perempuan korban
perampokan. Dalam keadaan panik, Bang Dul bertutur “Lo panggil
ambulans sana!” kepada Qomar. Dengan tuturan tersebut, Bang Dul secara
langsung telah menyuruh Qomar untuk segera memanggil ambulans. Hal itu
dilakukan oleh Bang Dul dengan tujuan agar Zulfikar dapat segera dibawa ke
rumah sakit dan segera mendapatkan pertolongan sehingga nyawa Zulfikar
dapat tertolong. Tuturan „Lo panggil ambulans sana‟ adalah penanda lingual
dari TTD menyuruh.
Di samping tuturan tersebut, terdapat tuturan lain yang juga termasuk
ke dalam TTD menyuruh, yaitu tuturan “Cepat sana! Cepetan Qomar!
Cepetan jalan sana!”. Tuturan tersebut juga dituturkan oleh Bang Dul. Bang
Dul menuturkan tuturan tersebut karena Qomar tidak segera melaksanakan
suruhan Bang Dul untuk segera memanggil ambulans. Maksud tuturan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
tersebut dituturkan secara langsung oleh Bang Dul, yakni Bang Dul
bermaksud menyuruh Qomar dengan tuturan yang bernada menyuruh.
Adapun penanda lingualnya yaitu tuturan „Cepat sana! Cepetan Qomar!
Cepetan jalan sana!‟.
Contoh data lain yang juga mengandung TTD menyuruh dapat dilihat
pada percakapan SPRR di bawah ini.
(2) Konteks : Ustaz Ali mengecek pekerjaan yang diberikan kepada Fafa
dan Aldo yaitu menjemur kasur seluruh santriwan di halaman
belakang pesantren santriwan. Ustaz Ali melihat Fafa tidur di
atas kasur yang sedang dijemur.
Ustaz Ali : Tura-turu thok. Sini! Tugasmu itu kan nggebuki kasur,
bersihin kasur, jemur kasur ini! Ayo debunya dipukulin
biar pergi semua! Harus sampai bersih!
Fafa : Pakai ini, Pak Ustaz?
Ustaz Ali : Ya pakai itu, masa pakai lidahmu? Ini penggebuk kasur
khusus.
Fafa : O, inggih.
Ustaz Ali : Ayo yang bersih tuh!
Fafa : Gebuk gini?
Ustaz Ali : Iya. Yang kenceng biar debunya lepas semua!
(117/TTD/SPRR/SCTV/17 Juli 2011)
Tuturan “Sini! Tugasmu itu kan nggebuki kasur, bersihin kasur,
jemur kasur ini! Ayo debunya dipukulin biar pergi semua! Harus sampai
bersih!” yang dituturkan oleh Ustaz Ali kepada Fafa pada percakapan (2)
termasuk ke dalam jenis TTD menyuruh yang maksudnya dituturkan secara
langsung. Adapun penanda lingual yang menunjukkannya ialah tuturan „sini‟
dan „ayo debunya dipukulin biar pergi semua‟. Dengan tuturan „sini‟, Ustaz
Ali menyuruh Fafa untuk memberikan alat pemukul kasur yang dipegang
oleh Fafa kepada Ustaz Ali. Hal itu dilakukan Ustaz Ali karena Ustaz Ali
ingin memberikan contoh kepada Fafa tentang cara memukuli kasur yang
benar dengan menggunakan alat pemukul kasur sehingga nanti kasurnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
menjadi bersih. Setelah memberikan contoh, Ustaz Ali menyuruh Fafa untuk
mempraktikkan apa yang dicontohkan oleh Ustaz Ali tadi dengan tuturan
„ayo debunya dipukulin biar pergi semua‟.
Tuturan lain yang juga termasuk dalam jenis TTD menyuruh ialah
tuturan “Ayo yang bersih tuh!” dan tuturan “Yang kenceng biar debunya
lepas semua!”. Kedua tuturan tersebut sama-sama dituturkan oleh Ustaz Ali
kepada Fafa. Maksud menyuruh pada tuturan yang pertama diungkapkan
secara langsung oleh Ustaz Ali, yakni secara langsung Ustaz Ali menyuruh
Fafa untuk memukuli kasur-kasur yang sedang dijemur sampai bersih dengan
alat pemukul kasur. Tuturan „Ayo yang bersih tuh‟ merupakan penanda
lingual yang menunjukkan bahwa tuturan tersebut termasuk jenis TTD
menyuruh. Pada tuturan yang kedua, maksud menyuruh juga dituturkan
secara langsung oleh Ustaz Ali. Ustaz Ali menyuruh Fafa untuk memukuli
kasur-kasur yang sedang dijemur itu dengan alat pemukul kasur dengan
pukulan yang lebih kencang agar debu-debu yang ada di dalam kasur-kasur
itu hilang. Tuturan „yang kenceng‟ merupakan penanda lingual pada tuturan
kedua yang menunjukkan bahwa tuturan itu termasuk jenis TTD menyuruh.
Percakapan (3) dalam SSM berikut juga merupakan data yang
mengandung TTD menyuruh.
(3) Konteks : Malam hari, Hasan datang ke rumah Syifa. Hasan
mendengar Syifa melantunkan ayat-ayat Al-Quran. Hasan
mengintip dari jendela rumah Syifa. Syifa melihat ke arah
jendela dan melihat Hasan. Syifa berjalan ke arah jendela.
Syifa : Ih Hasan, kamu ngapain sih ke sini?
Hasan : Aku pengen ketemu sama kamu. Aku pengen ngobrol lama
banget sama kamu.
Syifa : I... ini kan udah malam?
Hasan : Wah, jawaban kamu udah kaya Abang kamu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
Syifa : Udah, kamu pergi sana! Kalau nggak, aku panggilin Bang
Abu.
Hasan : Eh, Abang kamu serem banget.
Syifa : Apa kamu bilang?
Hasan : Eh, enggak enggak.
Syifa : Ah udah ah, sana pergi!
Hasan : Aduh, Syifa.
(157/TTD/SSM/SCTV/26 Juli 2011)
Pada percakapan (3) terdapat tuturan yang mengandung TTD
menyuruh, yaitu tuturan Syifa “Udah, kamu pergi sana!” yang dituturkan
kepada Hasan. Maksud tuturan Syifa tersebut dituturkan secara langsung,
yakni Syifa bermaksud menyuruh Hasan agar Hasan segera pergi
meninggalkan rumah Syifa. Syifa melakukan hal itu karena Syifa tidak ingin
timbul finah di antara mereka apabila ada masyarakat sekitar yang
mengetahui mereka berdua-duaan di dalam rumah tanpa ada muhrim. Tuturan
„kamu pergi sana‟ merupakan penanda lingual yang menunjukkan bahwa
tuturan Syifa tersebut termasuk ke dalam jenis TTD menyuruh.
Tuturan lain yang juga mengandung TTD menyuruh dalam percakapan
(3), yaitu tuturan “Ah udah ah, sana pergi!”. Tuturan tersebut juga
dituturkan oleh Syifa kepada Hasan. Dengan tuturan tersebut, Syifa kembali
menyuruh Hasan untuk segera pergi meninggalkan rumahnya, karena waktu
itu Hasan belum juga pergi meninggalkan rumah Syifa setelah Syifa
menyuruhnya untuk pergi. Tuturan „sana pergi‟ merupakan penanda lingual
yang menunjukkan bahwa tuturan Syifa tersebut termasuk TTD menyuruh.
2. Tindak Tutur Melarang
Melarang berarti mencegah untuk tidak melakukan, menyuruh untuk
tidak melakukan sesuatu, tidak boleh mengerjakan sesuatu (KBBI Offline
1.3). Dengan demikian, TTD melarang ialah tindak tutur yang dilakukan oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
penutur dengan maksud untuk mencegah petutur melakukan sesuatu. Untuk
lebih memahaminya, dapat dilihat data yang mengandung TTD melarang
dalam percakapan SIKTP di bawah ini.
(4) Konteks : Yusuf menemukan baju kesayangannya digunting oleh
seseorang. Yusuf marah dan memanggil Enting untuk
meminta penjelasan. Yusuf juga memanggil Tebe dan Bila
untuk ditanyai tentang masalah itu. Yusuf menuduh Tebe
yang melakukan itu. Bila meminta Papanya untuk memeriksa
tas Tebe. Yusuf memeriksa tas Tebe. Tebe terbukti tidak
bersalah. Tebe meminta Yusuf untuk memeriksa tas Bila.
Yusuf : Bila, siniin tasnya! (Yusuf mengambil dan memeriksa tas
Bila. Yusuf menemukan gunting dan kain potongan bajunya)
Bila. Bila, jadi kamu yang nglakuin semua ini?
Bila : Bukan Bila, Pa.
Tebe : Kata Bapak Tebe, maling ngaku, penjara penuh, Pa. Pa,
sekarang Papa sudah ngelihat siapa orangnya.
Assalamualaikum.
Enting : Waalaikumsalam.
Bila : Pa, maafin Bila, ya, Pa!
Yusuf : Jadi, benar kan, Bila? Kamu yang lakuin ini semua? Iya
kan?
Enting : (Berarti Enting selama ini salah, suka nyangka si Tebe)
Yusuf : Bila, mulai hari ini kamu nggak boleh keluar kamar!
Ngerti kamu?
(3/TTD/SIKTP/SCTV/29 Mei 2011)
Pada percakapan (4) terdapat tuturan yang mengandung TTD melarang,
yaitu tuturan “Bila, mulai hari ini kamu nggak boleh keluar kamar!” yang
dituturkan oleh Yusuf kepada Bila. Maksud dari tuturan Yusuf tersebut
dituturkan oleh Yusuf secara langsung. Adapun maksud dari tuturan Yusuf
tersebut ialah Yusuf bermaksud melarang Bila agar Bila tidak keluar dari
kamar Bila. Hal itu dilakukan oleh Yusuf karena Bila telah berbuat tidak baik
terhadap Tebe, yaitu Bila telah memfitnah Tebe sebagai orang yang telah
menggunting baju kesayangan Yusuf, padahal yang melakukan hal itu adalah
Bila. Selain itu, Yusuf melakukan hal itu dengan harapan agar Bila tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
mengulangi lagi perbuatan yang tidak terpuji itu. Tuturan „nggak boleh‟
merupakan penanda lingual yang menunjukkan bahwa tuturan Yusuf
termasuk ke dalam jenis TTD melarang.
Data lain yang juga mengandung TTD melarang dapat dilihat pada
percakapan dalam SPRR di bawah ini.
(5) Konteks : Di ruang peralatan musik, Bejo memainkan bedug sambil
menyanyi, sedangkan Rohim dan Fuad membersihkan alat-
alat musik rebana. Bejo ingin mengambil minum karena dia
haus. Iqbal datang sambil membawa gitar kesayangannya.
Bejo : Kamu mau ngapain Bal? Sampean tuh mau ngapain hayo?
Fuad : Iya, ini gitar dapat dari mana?
Iqbal : Tadi Bokap Nyokap gue datang ke sini jenguk gue, terus
udah gitu bawa gitar kesayangan gue. Nih, keren kan?
Bejo : Iya iya iya, tapi kalau main gitar listrik itu nanti terjadi
pemborosan listrik, Bal. Jangan, Pak Kyai Abdullah nanti
bisa marah lho!
(116/TTD/SPRR/SCTV/17 Juli 2011)
Tuturan yang dicetak tebal pada percakapan (5), yaitu tuturan “Jangan,
Pak Kyai Abdullah nanti bisa marah lho!” yang dituturkan oleh Bejo
kepada Iqbal merupakan tuturan yang termasuk dalam TTD melarang. Dalam
tuturan tersebut, maksud melarang dituturkan secara langsung oleh Bejo,
yaitu dengan tuturan „jangan‟. Tuturan „jangan‟ merupakan salah satu
penanda lingual dari TTD melarang. Dengan tuturan tersebut, Bejo
bermaksud melarang Iqbal agar Iqbal tidak memainkan gitar listrik milik
Iqbal dengan menggunakan aliran listrik milik pesantren. Bejo melakukan hal
itu karena menurutnya akan terjadi pemborosan listrik jika gitar listrik Iqbal
benar-benar dimainkan dengan menggunakan aliran listrik milik pesantren,
bahkan menurutnya akan dapat mengakibatkan listrik padam. Jika hal itu
sampai terjadi, menurut Bejo, Kyai Abdullah akan marah kepada mereka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
Percakapan dalam SSM berikut juga merupakan data yang mengandung
TTD melarang.
(6) Konteks : Malam-malam, Bang Ma‟ruf keluar rumah dan berjalan
sendirian di jalan perkampungan. Tebe pulang dari masjid
setelah Sholat Isya‟. Tebe melantunkan salawat. Bang
Ma‟ruf bertemu Tebe di jalan.
Bang Ma‟ruf : Sejak kapan ane Islam?
Tebe : Sejak.....
Bang Ma‟ruf : E... e...e...tunggu dulu! Jangan bilang sejak lahir, ye!
Ane kagak mau dibilang Islam keturunan sama orang.
Tebe : Pertanyaan, apa jawabannya, Bang?
Bang Ma‟ruf : Hehehe. Ane paham maksud ente ha. Hehehe, nih dua
ratus ribu ye.
Tebe : Tebe nggak minta lho, Bang?
Bang Ma‟ruf : Ane niat ngasih ama ente. Ambil, Be!
Tebe : Ikhlas nih?
Bang Ma‟ruf : Ikhlas.
(148/TTD/SSM/SCTV/26 Juli 2011)
Pada percakapan (6) terdapat tuturan yang mengandung TTD melarang,
yaitu tuturan “E... e...e...tunggu dulu! Jangan bilang sejak lahir, ye!” yang
dituturkan oleh Bang Ma‟ruf kepada Tebe. Maksud tuturan Bang Ma‟ruf
tersebut dituturkan secara langsung. Dengan tuturan tersebut, Bang Ma‟ruf
bermaksud melarang Tebe agar Tebe tidak mengatakan kalau Bang Ma‟ruf
Islamnya sejak lahir atau Islam keturunan. Hal itu dilakukan oleh Bang
Ma‟ruf karena Bang Ma‟ruf tidak ingin dikatakan sebagai orang Islam yang
Islamnya didapat dari keturunan. Tuturan „jangan bilang sejak lahir, ye‟
adalah penanda lingual yang menunjukkan bahwa tuturan tersebut merupakan
TTD melarang.
3. Tindak Tutur Meminta
Meminta berarti minta, mohon; melamar; berharap dengan sangat;
berkata-kata supaya diberi atau mendapat sesuatu (KBBI Offline 1.3).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
Berdasarkan pada definisi tersebut, maka TTD meminta adalah tindak tutur
yang dilakukan oleh penutur dengan maksud supaya penutur diberi sesuatu
atau mendapatkan sesuatu dari mitra tuturnya. Untuk lebih memahaminya,
dapat dilihat data yang mengandung TTD meminta dalam percakapan SPRR
berikut ini.
(7) Konteks : Wahyu mendapatkan hasil tes kesehatan organ
reproduksinya. Dokter mengatakan bahwa Wahyu akan sulit
memiliki keturunan setelah dokter melihat hasil tes milik
Wahyu. Di depan rumah sakit, Nada berusaha menabahkan
Wahyu dan memberinya semangat.
Nada : Mas, bilang sama aku kalau semuanya itu sudah diatur sama
Gusti Allah! Ya, mungkin kita memang harus menerima
kondisi seperti ini. Mas harus ingat kalau nasib kita itu ndak
akan pernah berubah kecuali kalau kita yang merubahnya!
Kita bisa nglakuin terapi atau usaha yang lainnya!
Wahyu : Tapi, aku pengen nanya sama kamu. Apa kamu masih mau
nerima aku dengan kondisi aku seperti ini?
Nada : Mas, Mas, ndak boleh nanya kaya gitu sama aku, Mas!
Mana suami aku yang dulu kuat dan tegar untuk menghadapi
segala masalah? Selama ini Mas selalu nguatin aku kan,
kalau aku menghadapi masalah? Sekarang aku minta, Mas
juga harus kuat! Yang penting optimis dan Mas itu harus
berperasangka baik sama Gusti Allah!
(138/TTD/SPRR/SCTV/18 Juli 2011)
Percakapan (7) tersebut terjadi di depan rumah sakit setelah Wahyu dan
Nada mengambil hasil tes kesehatan reproduksi milik Wahyu. Di dalam
percakapan tersebut terdapat tuturan yang mengandung TTD meminta, yaitu
tuturan Nada “Sekarang aku minta, Mas juga harus kuat!” yang dituturkan
kepada Wahyu. Dalam tuturan tersebut, maksud meminta dituturkan secara
langsung oleh Nada kepada Wahyu, yakni Nada meminta Wahyu untuk kuat
dalam menghadapi kenyataan bahwa kondisi kesehatan reproduksi milik
Wahyu bermasalah sehingga menyebabkan mereka sulit untuk memiliki
keturunan. Dengan tuturan tersebut, Nada telah berusaha memberikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
semangat atau motivasi kepada Wahyu agar Wahyu tidak terpuruk dengan
keadaan yang menimpanya. Adapun penanda lingual yang menunjukkan
bahwa tuturan Nada tersebut termasuk ke dalam TTD meminta, yaitu tuturan
„minta‟.
Contoh data lain yang juga mengandung TTD meminta dapat dilihat
pada percakapan SIKTP di bawah ini.
(8) Konteks : Bang Madit dan Pak RT melihat Karyo bersama Ustaz
Qadir, dan menghampiri mereka. Bang Madit menghina
Karyo. Ustaz Qadir menjelaskan kepada Karyo tentang orang
kaya dan orang miskin, sekaligus menyindir Bang Madit
yang telah menghina Karyo. Karena merasa terpojok, Bang
Madit dan Pak RT pergi meninggalkan Karyo dan Ustaz
Qadir.
Ustaz Qodir : Jadi Mas Karyo, cari ilmu itu sejak dini!
Karyo : Iya.
Ustaz Qodir : Ibaratnye kalau kita nyari ilmu sejak kita masih bocah,
sejak dini, sejak hari ini tidak menunggu nanti, ibarat kita
ngegores di atas batu.
Karyo : Iye.
Ustaz Qodir : Tampaknya jelas. Tapi kalau kita telat, udah tua bangka
baru nyari ilmu, itu kaya kita ngegores di atas air. Balik lagi,
normal lagi kagak kelihatan bekasnya.
Karyo : Bang Ustaz, kalau begitu ya jangan bosan-bosan ngasih
ilmu sama aku! Ya ta? Ustaz Qodir : Insya Allah.
(10/TTD/SIKTP/SCTV/29 Mei 2011)
Pada percakapan (8) terdapat tuturan yang mengandung TTD meminta,
yaitu tuturan Karyo “Bang Ustaz, kalau begitu ya jangan bosan-bosan
ngasih ilmu sama aku! Ya ta?” yang dituturkan kepada Ustaz Qodir.
Maksud meminta dalam tuturan Karyo tersebut dituturkan secara tidak
langsung. Artinya, tuturan Karyo tersebut merupakan tuturan yang
mengandung implikatur, yakni implikatur meminta. Dengan tuturan tersebut,
Karyo bermaksud ingin meminta kepada Ustaz Qodir agar Ustaz Qodir
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
berkenan memberi atau membagi ilmu agama (Islam) yang dimilikinya
kepada Karyo sehingga Karyo juga dapat memahami agama Islam dengan
baik dan benar.
Percakapan (9) dalam SSM berikut juga merupakan data yang
mengandung TTD meminta.
(9) Konteks : Ali dan Umar wudu di tempat wudu masjid. Mereka tidak
tahu kenapa wudu dimulai dari membasuh muka. Tebe ke
tempat wudu masjid dan bertemu Ali dan Umar. Tebe
mengejek Ali dan Umar. Umar bertanya kepada Tebe
mengenai hal wudu yang belum dia ketahui. Tebe tertawa.
Ali : Lo malah asyik-asyik ketawa lagi. Jawab, baru ketawa lo!
Tebe : Ilmu itu mahal.
Umar : Iya, aku tahu. UUD ta? Ujung-Ujungnya Duit. Nih.
Tebe : Ini cuma Bang Umar, Bang Ali mana?!
Ali : Duit gue gocengan semua.
Umar : Udah, kasih! Sedekah ama anak kecil!
(174/TTD/SSM/SCTV/26 Juli 2011)
Tuturan “Ini cuma Bang Umar, Bang Ali mana?!” dalam percakapan
(9) termasuk dalam TTD meminta. Tuturan tersebut dituturkan oleh Tebe
kepada Ali. Maksud dari tuturan Tebe tersebut dituturkan secara tidak
langsung. Dengan perkataan lain, tuturan Tebe yang bernada interogatif
tersebut merupakan tuturan yang mengandung implikatur, yakni implikatur
meminta. Adapun maksud dari tuturan Tebe tersebut ialah Tebe bermaksud
ingin meminta imbalan yang berupa uang kepada Ali sebelum Tebe
memberikan jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh Umar dan Ali
kepadanya berkenaan dengan bab wudu. Hal itu dilakukan oleh Tebe karena
Umar terlebih dahulu sudah memberikan uang kepada Tebe, sedangkan Ali
belum memberikan uang kepada Tebe.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
4. Tindak Tutur Mengajak
Mengajak adalah meminta agar mengikuti, menyilakan, menyuruh
supaya turut (KBBI Offline 1.3). Berpijak pada pengertian tersebut, maka
TTD mengajak ialah tindak tutur yang dilakukan oleh penutur dengan
maksud meminta agar petutur mengikuti atau bersama-sama dengan penutur
untuk melakukan sesuatu. Untuk lebih memahaminya, dapat dilihat data yang
mengandung TTD mengajak dalam percakapan SIKTP berikut.
(10) Konteks : Bambang jalan-jalan sendiri dan melihat seseorang
menyanyi lagu yang belum pernah didengarnya. Bambang
terkesan dan menghampiri orang itu. Dia bertanya tentang
lagu yang baru saja didengarnya itu, serta berkenalan dengan
orang itu. Zulfikar.
Bambang : Ah, ini buat Abang. (Bambang memberi uang kepada
Zulfikar)
Zulfikar : Masya Allah, Bapak, sebetulnya bukan ini yang saya
perlukan. (menerima uang pemberian Bambang)
Bambang : Yah, ini itung-itung untuk perkenalan kita yang unik. Nanti
kan kita kan nyambung lagi. Oh, iya, Bapak belum makan
kan?
Zulfikar : Hehehe, iya iya iya, betul, Pak. Saya ini memang belum
makan. Tapi kenapa Bapak tahu? Sungguh hebat sekali
Bapak ini.
Bambang : Ya sudah kalau begitu kita cari warung, kita makan
bersama! Nanti semuanya saya yang bayar, ya.
Zulfikar : Baik Pak kalau begitu. Iya iya.
(4/TTD/SIKTP/SCTV/29 Mei 2011)
Pada percakapan (10) terdapat tuturan yang mengandung TTD
mengajak, yaitu tuturan “Ya sudah kalau begitu kita cari warung, kita
makan bersama!” yang dituturkan oleh Bambang kepada Zulfikar. Dengan
tuturan tersebut, Bambang secara langsung telah mengajak Zulfikar untuk
mencari warung dan berencana akan mentraktir Zulfikar makan di warung
tersebut. Bambang melakukan hal itu karena lagu yang dinyanyikan oleh
Zulfikar belum pernah didengar olehnya sehingga membuat Bambang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
menjadi tertarik dan terkesan dengan lagu yang dinyanyikan oleh Zulfikar.
Tuturan „kita cari warung, kita makan bersama‟ merupakan penanda lingual
yang menunjukkan bahwa tuturan Bambang tersebut termasuk ke dalam jenis
TTD mengajak.
Contoh data lain yang juga mengandung TTD mengajak dapat dilihat
pada percakapan SPRR di bawah ini.
(11) Konteks : Kyai Abdullah menemui Wahyu dan Nada di depan
aula setelah selesai memberi tausiyah kepada para santri
dan memimpin doa.
Kyai Abdullah : Nada, Wahyu, di bulan Ramadhan ini adalah Ramadhan
pertama untuk kalian. Jadi, ini adalah momen yang pas di
mana kalian harus banyak-banyak berdoa, minta pada
Gusti Allah, semoga apa yang kalian inginkan bisa
terkabul! Nah, di saat Ramadhan nanti banyak-banyak
berdoa! Semoga apa yang kalian inginkan diijabah oleh
Gusti Allah.
Wahyu : Amin.
Kyai Abdullah : Ya wis, kalau gitu Bapak duluan, ya? Assalamualaikum.
Nada : Waalaikumsalam. Mas, kita makan siang bareng yuk
di rumah! Wahyu : E, boleh. Ya udah kalau gitu sekarang kita pulang
yuk! (110/TTD/SPRR/SCTV/17 Juli 2011)
Tuturan “Mas, kita makan siang bareng yuk di rumah!” pada
percakapan (11) merupakan tuturan yang mengandung TTD mengajak.
Tuturan tersebut dituturkan oleh Nada kepada Wahyu. Adapun maksud dari
tuturan Nada tersebut dituturkan secara langsung, yaitu Nada bermaksud
ingin mengajak Wahyu untuk makan siang bersama di rumah mereka sendiri.
Penanda lingual yang dapat memperkuat anggapan bahwa tuturan Nada
tersebut termasuk dalam TTD mengajak, yaitu tuturan „yuk‟.
Selain tuturan tersebut, terdapat tuturan lain yang juga mengandung
TTD mengajak, yaitu tuturan “Ya udah kalau gitu sekarang kita pulang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
yuk!” yang dituturkan oleh Wahyu kepada Nada. Maksud tuturan Wahyu
tersebut juga dituturkan secara langsung, yakni Wahyu menanggapi ajakan
Nada untuk makan siang bersama di rumah dengan kembali mengajak Nada
untuk segera pulang ke rumah bersama-sama. Ajakan Wahyu pada Nada
ditunjukkan dengan adanya penanda lingual yang terdapat di dalam tuturan
tersebut, yaitu tuturan „yuk‟.
Berikut ini contoh percakapan lain dalam SSM yang juga merupakan
data yang mengandung TTD mengajak.
(12) Konteks : Malam hari di kamar Tebe, Tebe dan Ijah ingin tidur. Tebe
tidur di pangkuan Emaknya.
Ijah : Tebe kalau mau tidur, baca doa tidur dulu! Coba baca deh!
Tebe : Bismillahirahmanirahim Allahumma barik lana
fiimarozaqtana wakina ‘adzabannar. Amin.
Ijah : Lha, itu salah Be, bukan begitu.
Tebe : Salah, ya, Mak?
Ijah : Ya, salah.
Tebe : Iya.
Ijah : Gini nih doa tidur mah, Bismillahirrahmanirrahim bismika
Allahumma ahya wabismika amud.
Tebe : Kita baca bareng-bareng yuk, Mak!
Ijah : Ayo!
(198/TTD/SSM/SCTV/27 Juli 2011)
Pada percakapan (12) terdapat tuturan yang mengandung TTD
mengajak, yaitu tuturan “Kita baca bareng-bareng yuk, Mak!” yang
dituturkan oleh Tebe kepada Ijah (emakya). Maksud dari tuturan tersebut
dituturkan secara langsung oleh Tebe. Dengan tuturan tersebut, Tebe
bermaksud ingin mengajak emaknya untuk bersama-sama dengan dirinya
untuk membaca doa akan tidur, karena waktu itu sudah malam dan Tebe
sudah mengantuk. Tuturan „yuk‟ adalah penanda lingual yang menunjukkan
bahwa tuturan Tebe tersebut mengandung TTD mengajak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
Selain itu, di dalam percakapan (12) juga terdapat tuturan lain yang
juga mengandung TTD mengajak, yaitu tuturan “Ayo!” yang dituturkan oleh
Ijah kepada Tebe. Tuturan Ijah tersebut merupakan tanggapan positif atau
kesediaan Ijah untuk bersama-sama Tebe membaca doa akan tidur. Dengan
tuturan itu pula, Ijah mengajak Tebe untuk membaca doa akan tidur bersama-
sama. Tuturan Ijah tersebut sekaligus menjadi penanda lingual yang
menunjukkan bahwa tuturan Ijah tersebut termasuk ke dalam TTD mengajak,
yaitu tuturan „ayo‟.
5. Tindak Tutur Menyarankan
Menyarankan adalah memberikan saran, anjuran; menganjurkan (KBBI
Offline 1.3). Jadi, TTD menyarankan adalah tindak tutur yang dilakukan oleh
penutur dalam rangka untuk memberikan nasihat atau anjuran kepada petutur.
Untuk lebih memahaminya, dapat dilihat data yang mengandung TTD
menyarankan dalam percakapan SIKTP berikut.
(13) Konteks : Nina memerhatikan Zul dari jauh yang sedang membaca
selawat. Sabrina melihat Nina dan menghampirinya. Nina
terkejut Sabrina tiba-tiba ada di sampingnya.
Sabrina : Kalau dalam satu rumah tangga masalah bisa dilalui, maka
rejeki akan lancar. Tapi kalau nggak bisa dilaluin, yang ada jadi
nggak kerawat, badan jadi kurus, muka jadi kusam.
Nina : Iya, Kak.
Sabrina : Saran dari kakak, kalau kamu emang sudah yakin, kamu
jangan lupa untuk sholat Istiqarah! Jangan cuma
mengandalkan perasaan! Tapi, rasa dimainin, minta
petunjuk sama Allah, bukan sama emosi, Nin!
Assalamualaikum.
Nina : Waalaikumsalam.
(77/TTD/SIKTP/SCTV/30 Mei 2011)
Pada percakapan (13) terdapat tuturan yang mengandung TTD
menyarankan, yaitu tuturan “Saran dari kakak, kalau kamu emang sudah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
yakin, kamu jangan lupa untuk sholat Istiqarah! Jangan cuma
mengandalkan perasaan! Tapi, rasa dimainin, minta petunjuk sama
Allah, bukan sama emosi, Nin!” yang dituturkan oleh Sabrina kepada Nina.
Maksud tuturan Sabrina tersebut dituturkan secara langsung. Dengan tuturan
tersebut, Sabrina bermaksud ingin memberikan saran kepada Nina agar Nina
memiliki keyakinan yang kuat bahwa Zul adalah lelaki yang menjadi pilihan
hatinya. Sabrina juga memberikan saran agar Nina melaksanakan sholat
Istiqarah dan meminta petunjuk kepada Allah dengan tujuan untuk lebih
memantapkan hatinya. Adapun penanda lingual yang dapat menunjukkan
bahwa tuturan Sabrina tersebut termasuk dalam jenis TTD menyarankan,
yaitu tuturan „saran dari kakak‟.
Contoh data yang mengandung TTD menyarankan dapat pula dilihat
pada percakapan SPRR di bawah ini.
(14) Konteks : Siang hari, Nada pergi ke pesantren dengan wajah senang
dan langsung menuju ke sanggar. Di sanggar sudah ada Nisa
dan Aisyah. Nada mual-mual. Nisa menganggap Nada hamil,
tapi Nada menyangkalnya.
Nisa : Gini Mbak.
Nada : He em.
Nisa : Nisa kasih saran, supaya Mbak ndak penasaran dengan
hasilnya, Embak bisa beli tespek di apotik! Nah, Mbak
bisa ngetes sendiri di rumah dan hasilnya itu bisa Mbak
lihat langsung! Ndak ada salahnya kan?
Nada : (mengangguk)
(98/TTD/SPRR/SCTV/17 Juli 2011)
Tuturan yang dicetak tebal pada percakapan (14) merupakan tuturan
yang mengandung TTD menyarankan, yaitu tuturan Nisa “Nisa kasih saran,
supaya Mbak ndak penasaran dengan hasilnya, Embak bisa beli tespek
di apotik! Nah, Mbak bisa ngetes sendiri di rumah dan hasilnya itu bisa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
Mbak lihat langsung!” yang dituturkan kepada Nada. Maksud dari tuturan
Nisa tersebut dituturkan secara langsung di dalam tuturannya, yaitu Nisa
bermaksud ingin memberikan saran kepada Nada agar Nada membeli tespek
di apotik, dan kemudian mengecek keadaan Nada sendiri di rumah, apakah
Nada hamil atau tidak dengan menggunakan tespek itu sehingga Nada tidak
lagi merasa penasaran. Penanda lingual yang menunjukkan bahwa tuturan
Nisa termasuk tuturan yang mengandung TTD menyarankan, yaitu tuturan
„Nisa kasih saran‟.
Percakapan (15) dalam SSM berikut ini juga merupakan data yang
mengandung TTD menyarankan.
(15) Konteks : Malam hari di rumah Hasan, Hasan memanggil Sumi
(pembantunya yang beragama Islam). Hasan ingin bertanya
tentang sesuatu yang berkaitan dengan Islam kepada Sumi.
Hasan : Kenapa sih kalau di Islam itu nggak boleh pacaran?
Sumi : Bukannya nggak dibolehin tuan muda, tapi nggak diizinkan.
Hasan : Ya, itu mah sama aja, Mbak.
Sumi : Beda. Kalau nggak diizinkan, itu ada waktunya tuan muda,
tapi kalau nggak dibolehin, itu untuk selamanya.
Hasan : Saya nggak ngerti. Maksudnya bagaimana sih, Mbak?
Sumi : Nikahin dulu, setelah itu, pacaran setelah nikah.
(188/TTD/SSM/SCTV/27 Juli 2011)
Tuturan “Nikahin dulu, setelah itu, pacaran setelah nikah” yang
dituturkan oleh Sumi kepada Hasan pada percakapan (15) merupakan tuturan
yang termasuk ke dalam jenis TTD menyarankan. Dengan tuturan tersebut,
Sumi bermaksud ingin memberikan saran kepada Hasan agar Hasan
berpacaran setelah menikah dengan perempuan yang dicintainya. Hal itu
dimaksudkan Sumi agar Hasan dan perempuan yang dicintai Hasan dapat
saling menjaga kesucian cinta di antara mereka sehingga cinta mereka tidak
ternoda dengan hal-hal yang negatif, seperti zina. Tuturan „nikahin dulu,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
setelah itu, pacaran setelah nikah‟ adalah penanda lingual dari TTD
menyarankan.
6. Tindak Tutur Menasihati
Menasihati adalah memberi nasihat, memberi ajaran dan arahan yang
baik (KBBI Offline 1.3). Berpijak pada pengertian tersebut, maka TTD
menasihati ialah tindak tutur yang dilakukan oleh penutur dengan maksud
untuk memberikan ajaran dan arahan yang baik kepada mitra tutur. Untuk
lebih memahaminya, dapat dilihat data yang mengandung TTD menasihati
dalam percakapan SIKTP berikut.
(16) Konteks : Seorang perempuan pulang dari bekerja sendirian malam-
malam. Di jalan yang sepi, perempuan itu dihadang oleh
dua orang perampok. Zulfikar melihat kejadian itu, dan
berusaha menolong.
Zulfikar : Hai, sungguh memalukan kalian beraninya sama
perempuan.
Perampok 1 : Heh, jangan ikut campur lo! Gua lubangi perut lo, ha.
Zulfikar : Masya Allah, maaf Bang, saya bukannya ikut campur,
tapi cuma mau nasihatin sama Abang, jangan berbuat
keji sama seseorang! (Zulfikar berkelahi dengan kedua
perampok yang membawa pisau dan akhirnya Zulfikar
tertusuk dan terkapar di tanah). Ya Allah.
Perampok 1 : Hahaha, cabut, Bro! Cabut!
(34/TTD/SIKTP/SCTV/29 Mei 2011)
Pada percakapan (16) terdapat tuturan yang mengandung TTD
menasihati, yaitu tuturan Zulfikar “Masya Allah, maaf Bang, saya
bukannya ikut campur, tapi cuma mau nasihatin sama Abang, jangan
berbuat keji sama seseorang!” yang dituturkan kepada kedua orang
perampok. Tuturan Zulfikar tersebut merupakan tuturan yang maksudnya
dituturkan secara langsung. Dengan tuturan tersebut, Zulfikar bermaksud
ingin memberi nasihat kepada kedua orang perampok agar mereka tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
melakukan perbuatan jahat kepada orang lain, yaitu merampok seorang
perempuan yang dihadang oleh mereka. Selain itu, Zulfikar juga berharap
agar kedua orang perampok itu mengurungkan niatnya untuk merampok
seorang perempuan yang dihadangnya. Dengan perkataan lain, Zulfikar ingin
menggagalkan aksi kejahatan yang akan dilakukan oleh kedua orang
perampok itu. Adapun penanda lingual yang menunjukkan bahwa tuturan
Zulfikar tersebut termasuk ke dalam jenis TTD menasihati, yaitu tuturan
„nasihatin‟.
Contoh data lain yang juga mengandung TTD menasihati dapat dilihat
pada percakapan SPRR berikut ini.
(17) Konteks : Kyai Abdullah memberi tausiyah kepada seluruh santri
di masjid pesantren. Nada dan Wahyu ikut
mendengarkan tausiyah. Selesai mengisi tausiyah, Kyai
Abdullah menemui Nada dan Wahyu di depan masjid.
Kyai Abdullah : Assalamualaikum.
Nada & Wahyu : Waalaikumsalam.
Kyai Abdullah : Bapak denger, tadi pagi kamu udah ambil hasil tes ya?
Nada : Iya, Pa. Tadi pagi kita udah ambil hasil tesnya dan
alhamdulillah kita baik-baik saja.
Kyai Abdullah : Syukur alhamdulillah. Sekarang tinggal kalian itu
banyak-banyak berdoa minta kepada Gusti Allah
agar kalian dipercaya untuk diberi momongan sama
Gusti Allah! Dan yakinlah, Gusti Allah itu akan
memberikan pada yang Dia kehendaki dalam waktu
yang tepat! Wahyu & Nada : Amin.
(139/TTD/SPRR/SCTV/18 Juli 2011)
Tuturan “Sekarang tinggal kalian itu banyak-banyak berdoa minta
kepada Gusti Allah agar kalian dipercaya untuk diberi momongan sama
Gusti Allah! Dan yakinlah, Gusti Allah itu akan memberikan pada yang
Dia kehendaki dalam waktu yang tepat!” yang dituturkan oleh Kyai
Abdullah kepada Wahyu dan Nada pada percakapan (17) merupakan tuturan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
yang mengandung TTD menasihati. Dengan tuturan tersebut, Kyai Abdullah
bermaksud ingin memberikan nasihat kepada Wahyu dan Nada agar mereka
memperbanyak berdoa kepada Allah SWT supaya mereka segera diberi anak.
Kyai Abdullah menuturkan tuturan tersebut karena dia mengetahui kalau
Wahyu dan Nada baru saja mengambil hasil tes kesehatan reproduksi milik
Wahyu, dan Nada mengatakan bahwa hasil tes itu baik-baik saja. Di samping
itu, Wahyu dan Nada sampai saat itu belum memiliki anak, padahal mereka
sudah lama menikah. Hal itu juga yang menjadi salah satu sebab Kyai
Abdullah menuturkan tuturan tersebut.
Berikut ini contoh data lain yang juga mengandung TTD menasihati
dalam percakapan SSM.
(18) Konteks : Pagi hari waktu subuh, Syifa masih tertidur nyenyak. Bang
Abu masuk ke kamar Syifa (adiknya) dan melihat Syifa
masih tertidur pulas. Bang Abu membangunkan Syifa. Syifa
susah dibangunkan oleh Bang Abu.
Bang Abu : Lo ambil wudu, tidur dalam keadaan suci badan lo, tapi hati
ama pikiran lo kagak buat Allah. Lo lebih mikirin laki yang
dateng semalem ketimbang sama Allah Maha Pencipta, hem.
Masih mending Alhamdulillah lo bangun, kalau lo kagak
bangun, lo bisa mati dalam keadaan kafir.
Syifa : Ha, mati kafir, Bang?
Bang Abu : Hehehe. Syifa, Abang lo ini kalau ngomong emang pedes
tapi maksud gue jangan sampai kecintaan lo sama
makhluk ciptaan Allah melebihi kecintaan lo sama Sang
Maha Pencipta Allah SWT! (200/TTD/SSM/SCTV/27 Juli 2011)
Tuturan yang dicetak tebal pada percakapan (18) merupakan tuturan
yang mengandung TTD menasihati, yaitu tuturan “Syifa, Abang lo ini kalau
ngomong emang pedes tapi maksud gue jangan sampai kecintaan lo sama
makhluk ciptaan Allah melebihi kecintaan lo sama Sang Maha Pencipta
Allah SWT!” yang dituturkan oleh Bang Abu kepada Syifa. Bang Abu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
menuturkan tuturan tersebut karena Syifa sulit dibangunkan untuk
melaksanakan sholat Subuh. Dengan tuturan tersebut, Bang Abu juga
bermaksud ingin memberikan nasihat kepada Syifa agar Syifa tidak mencintai
makhluk ciptaan Allah melebihi mencintai Allah. Tuturan „maksud gue
jangan sampai kecintaan lo sama makhluk ciptaan Allah melebihi kecintaan
lo sama Sang Maha Pencipta Allah SWT‟ adalah penanda lingual dari TTD
menasihati.
7. Tindak Tutur Memohon
Memohon adalah meminta dengan hormat (KBBI Offline 1.3). Jadi,
TTD memohon ialah tindak tutur yang dilakukan oleh penutur dengan
maksud meminta dengan hormat kepada petutur untuk melakukan sesuatu
sebagai bentuk penghargaan atau penghormatan kepada petutur. Untuk lebih
memahaminya, dapat dilihat data yang mengandung TTD memohon dalam
percakapan SIKTP berikut.
(19) Konteks : Bang Dul memandikan keris pusakanya dengan air bunga
tujuh rupa di teras depan rumahnya sambil membacakan
mantera-mantera. Bang Ali tiba-tiba muncul mengagetkan
Bang Dul setelah Jami pergi meninggalkan Bang Dul.
Bang Ali : Assalamualaikum.
Bang Dul : Waalaikumsalam, Bang Ali.
Bang Ali : Dul Dul, bagaimana ilmu agama lo mau maju Dul, kalau
masih aje percaya ama yang begini nih? Dul, bener kata orang,
Dul, orang miskin itu lebih seneng ama jalan singkat, jalan
pintas. Karena elo tahu kan pada Allah Azza Wajalla, oke?
Bang Dul : Iye, Bang.
Bang Ali : Bersihin! Tapi mata hati lo udah pekat, hitam, jadi nggak
nembus ama air. Lo nggak peka lagi.
Bang Dul : Bang Ali tolong Dul dikasih petunjuk, Bang Ali!
Bang Ali : Hehehe. Dul, petunjuk itu tiap hari ada di depan mata, cuma
elo-nya aja yang males nerjemahnye. Assalamualaikum.
Bang Dul : Waalaikumsalam.
(46/TTD/SIKTP/SCTV/30 Mei 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
Pada percakapan (19) terdapat tuturan yang mengandung TTD
memohon, yaitu tuturan “Bang Ali tolong Dul dikasih petunjuk, Bang Ali!”
yang dituturkan oleh Bang Dul kepada Bang Ali. Maksud dari tuturan
tersebut dituturkan oleh Bang Dul secara langsung, yakni Bang Dul
bermaksud memohon kepada Bang Ali agar Bang Ali berkenan memberi
petunjuk kepada Bang Dul. Petunjuk yang dimaksud oleh Bang Dul adalah
petunjuk dalam menjalani hidup yang sesuai dengan syariat Islam. Adapun
penanda lingual yang menunjukkan bahwa tuturan Bang Dul tersebut
termasuk dalam jenis TTD memohon ialah tuturan „tolong Dul dikasih
petunjuk‟.
Contoh data lain yang mengandung TTD memohon dapat pula dilihat
pada percakapan SPRR di bawah ini.
(20) Konteks : Zulfikar pulang dari rumah Bang Dul karena sudah larut
malam. Di jalan, Zulfikar bertemu dengan Bang Madit, Pak
RT, dan Qomar.
Zulfikar : Bang Madit, setiap manusia itu pasti akan mati. E, saya
mohon pada Bang Madit kalau saya punya salah,
tolonglah maafkan saya!
Pak RT : Eh, bagaimana rupanya? Belum tentu ente itu masuk surga.
Jangan belagulah! Ah, mengkhayal bae.
Zulfikar : Masya Allah, Pak RT, keimanan seseorang itu hanya
Allah yang tahu, dan kalau saya mati, saya mohon Pak
RT juga doakanlah saya agar saya di akhirat nanti hidup
yang sangat mulia!
Pak RT : Apa kata malaikat nanti? Apa kata malaikat?
(29/TTD/SIKTP/SCTV/29 Mei 2011)
Pada percakapan (20) terdapat tuturan yang mengandung TTD
memohon, yaitu tuturan “E, saya mohon pada Bang Madit kalau saya
punya salah, tolonglah maafkan saya!” yang dituturkan oleh Zulfikar
kepada Bang Madit. Dalam tuturan tersebut terdapat penanda lingual yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
menunjukkan bahwa tuturan Zulfikar termasuk TTD memohon, yakni tuturan
„mohon‟. Dengan tuturan tersebut, Zulfikar bermaksud memohon kepada
Bang Madit agar Bang Madit bersedia memberikan maaf atas segala
kesalahan yang telah dilakukan oleh Zulfikar kepada Bang Madit di masa
lalu. Zulfikar melakukan hal itu karena dia merasa bahwa hidupnya di dunia
ini tidak akan lama lagi.
Selain itu, tuturan “Masya Allah, Pak RT, keimanan seseorang itu
hanya Allah yang tahu, dan kalau saya mati, saya mohon Pak RT juga
doakanlah saya agar saya di akhirat nanti hidup yang sangat mulia!”
juga merupakan tuturan yang mengandung TTD memohon. Tuturan tersebut
dituturkan oleh Zulfikar kepada Pak RT. Adapun maksud dari tuturan
Zulfikar tersebut ialah Zulfikar bermaksud memohon kepada Pak RT agar
Pak RT berkenan mendoakan dirinya agar di akhirat kelak dirinya
mendapatkan hidup yang sangat mulia. Hal itu dilakukan oleh Zulfikar karena
dia merasa bahwa hidupnya di dunia ini tidak akan lama lagi. Tuturan
„mohon‟ merupakan penanda lingual yang dapat membuktikan bahwa tuturan
Zulfikar termasuk dalam jenis TTD memohon.
Contoh data yang mengandung TTD memohon dapat pula dilihat pada
percakapan SSM berikut ini.
(21) Konteks : Nada di sanggar batik sedang membereskan dan merapikan
kain-kain batik yang sudah jadi. Nisa datang ke sanggar batik
dan melihat Nada ada di sana. Nisa bertanya apakah Nada
sudah membeli tespek. Nada meminta Nisa untuk berbicara
pelan-pelan.
Nisa : Jadi, yang pas Mbak mual-mual, yang pas Mbak mual-mual
iku Mas Wahyu ndak tahu?
Nada : Tolong aku, ya, Nis! Aku punya alasan yang kuat kenapa
aku masih belum ngasih tahu ke Mas Wahyu soal ini. Soal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
tespeknya, aku udah beli tapi aku masih sembunyiin, dan Mas
Wahyu ndak tahu soal ini. Jadi aku mohon banget, jangan
kasih tahu siapa-siapa ya! Nisa : Iya Mbak, Nisa ngerti. Tenang aja, aman-aman aja ya!
Nada : Makasih ya.
Nisa : Iku udah beres?
Nada : Udah-udah, kita angkat ya!
(121/TTD/SPRR/SCTV/17 Juli 2011)
Tuturan Nada “Jadi aku mohon banget, jangan kasih tahu siapa-
siapa ya!” yang dituturkan kepada Nisa pada percakapan (21) merupakan
tuturan yang mengandung TTD memohon. Maksud dari tuturan tersebut
dituturkan Nada secara langsung. Adapun maksud dari tuturan Nada tersebut
ialah Nada bermaksud memohon kepada Nisa agar Nisa tidak memberitahu
siapa-siapa, termasuk Wahyu, mengenai keadaan Nada yang sering mual-
mual. Tuturan „mohon‟ merupakan penanda lingual yang dapat menunjukkan
bahwa tuturan Nada tersebut termasuk tuturan yang mengandung TTD
memohon.
8. Tindak Tutur Mengingatkan
Mengingatkan adalah menyadarkan, memperingatkan, memberi nasihat;
menjadikan ingat (KBBI Offline 1.3). Berpijak pada pengertian tersebut, TTD
mengingatkan ialah tindak tutur yang dilakukan oleh penutur dengan maksud
untuk menjadikan ingat atau menyadarkan petutur tentang sesuatu hal. Untuk
lebih memahaminya, dapat dilihat data yang mengandung TTD mengingatkan
dalam percakapan SIKTP berikut.
(22) Konteks : Bang Dul memandikan keris pusakanya dengan air
kembang tujuh rupa di teras depan rumahnya sambil
membacakan mantera-mantera. Jami kebetulan lewat di
depan rumah Bang Dul dan melihat perbuatan Bang Dul.
Jami menghampiri Bang Dul.
Jami : Bang Dul, ngapain sih ritual kaya gini?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
Bang Dul : Eh, Jami, listen to me! Denger Dul, ye! Dul pengen kaya.
Jami : Bagus dong. Bagus kalau Bang Dul mau kaya. Bang Dul
minta sama punya alam semesta ini! Yang menciptakan
semua ini, Bang Dul, Allah SWT kaya. Bang Dul, ingat doa
dibarengin dengan usaha!
(45/TTD/SIKTP/SCTV/30 Mei 2011)
Tuturan Jami yang dituturkan kepada Bang Dul, yakni tuturan “Bang
Dul, ingat doa dibarengin dengan usaha!” pada percakapan (22) merupakan
tuturan yang mengandung TTD mengingatkan. Maksud dari tuturan tersebut
dituturkan Jami secara langsung. Dengan tuturan tersebut, Jami bermaksud
ingin mengingatkan Bang Dul agar Bang Dul berusaha, di samping juga
berdoa, jika Bang Dul benar-benar ingin menjadi orang kaya. Jami juga
mengingatkan kepada Bang Dul bahwa perbuatan yang dilakukan oleh Bang
Dul waktu itu, yakni Bang Dul melakukan ritual-ritual dengan tujuan ingin
menjadi orang kaya, adalah perbuatan yang salah dan merupakan salah satu
perbuatan syirik. Adapun penanda lingual yang menunjukkan bahwa tuturan
Jami tersebut merupakan TTD mengingatkan, yaitu tuturan „ingat‟.
Contoh data lain yang mengandung TTD mengingatkan dapat pula
dilihat pada percakapan SIKTP berikut.
(23) Konteks : Hasan melamun sambil menyandarkan kepalanya ke tiang
bangunan di depan kantin kampus. Syifa melihat Hasan dan
menghampirinya. Hasan berkata kepada Syifa bahwa Hasan
merasa kalau Allah tidak adil kepadanya, karena dia dilahirkan
dari keluarga non-Islam. Syifa menjelaskan tentang orang
Islam yang lahir dari keluarga Islam kepada Hasan, dan
menyuruh Hasan untuk bersyukur karena Hasan telah diberi
hidayah oleh Allah dengan dia masuk Islam.
Syifa : Kamu ngerti?
Hasan : Ngertilah.
Syifa : Paham?
Hasan : Paham.
Syifa : Mudheng? Ah udah ah mudheng aja. Sekarang waktunya
Sholat Zuhur!
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
Hasan : Hehe, Syifa, aduh kamu lama-lama kayak Abu, Abang kamu
Syifa.
Syifa : Hehehe, emang dia Abang aku.
Hasan : Cie, hehe, Syifa tungguin!
(184/TTD/SSM/SCTV/27 Juli 2011)
Tuturan yang dicetak tebal pada percakapan (23) termasuk ke dalam
jenis TTD mengingatkan, yaitu tuturan “Sekarang waktunya Sholat
Zuhur!” yang dituturkan oleh Syifa kepada Hasan. Maksud dari tuturan Syifa
tersebut ialah Syifa bermaksud ingin mengingatkan kepada Hasan bahwa saat
itu telah masuk waktu sholat Zuhur, dan hendaknya mereka segera
melaksanakan sholat Zuhur. Tuturan „sekarang waktunya Sholat Zuhur‟
adalah penanda lingual dari TTD mengingatkan.
Contoh data lain yang mengandung TTD mengingatkan juga dapat
dilihat pada percakapan SPRR di bawah ini.
(24) Konteks : Ali dan Umar datang ke masjid ingin melaksanakan Sholat
Zuhur. Mereka masuk ke dalam masjid dan melihat Tebe dan
Usman sholat berjamaah.
Ali : Subhanallah. Allahu akbar. Coba lihat tuh!
Usman : Allahu akbar. Sami’allahulimankhamidah.
Ali : Tuh, kita sholat harus kaya gitu, khusyuk!
Umar : Ha, ya, wajar, Li. Wong dia iki wong sugih.
Ali : Yah, sembarangan kalau ngomong, nyebut ah! Mana pernah
Bang Usman ikut pesugihan?
Umar : Waduh, bukan itu, Li. Maksud aku dia iki wong kaya, Li.
Ali : Makanya ngomong yang jelas! Ini Jakarta, yang jelas kalau
ngomong!
Umar : Iya.
(175/TTD/SSM/SCTV/26 Juli 2011)
Pada percakapan (24) terdapat tuturan yang mengandung TTD
mengingatkan, yaitu tuturan “Ini Jakarta, yang jelas kalau ngomong!” yang
dituturkan oleh Ali kepada Umar. Maksud tuturan Ali tersebut ialah Ali
bermaksud ingin mengingatkan kepada Umar bahwa saat itu mereka berada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
di Jakarta sehingga jika Umar ingin berbicara harus berbicara dengan jelas
agar tidak menimbulkan persepsi yang lain. Tuturan „ini Jakarta‟ adalah
penanda lingual dari TTD mengingatkan.
Percakapan dalam SPRR berikut juga merupakan contoh data yang
mengandung TTD mengingatkan.
(25) Konteks : Aldo dan Fafa diberi hukuman oleh Ustaz Ali untuk
menjemur kasur milik seluruh santriwan karena kesalahan
mereka. Aldo dan Fafa megeluarkan kasur bersama-sama
melewati satu pintu sehingga mereka berdesakan. Fafa
kecapekan dan tidur di atas kasur yang akan dijemur.
Aldo : Pemuluk-pemuluk, jadi orang pelupa amat sih? Heh, dia
malah tidur? Eh, ya udah deh gue tunggu di halaman
belakang ya.
Fafa : Sekarang?
Aldo : Nanti lebaran kambing.
Fafa : Oh, jadi sekarang dong lebaran kambing? Sekarang?
Aldo : Aduh, capek gua ngomong ama lo, ah.
Fafa : Hati-hati Mas Benjo!
(95/TTD/SPRR/SCTV/17 Juli 2011)
Dalam percakapan (25) terdapat tuturan yang mengandung TTD
mengingatkan, yaitu tuturan Fafa “Hati-hati Mas Benjo!” yang dituturkan
kepada Aldo. Dalam tuturan tersebut, terdapat penanda lingual yang
menunjukkan bahwa tuturan Fafa merupakan tuturan yang termasuk TTD
mengingatkan, yaitu tuturan „hati-hati‟. Adapun maksud yang terkandung di
dalam tuturan Fafa tersebut ialah Fafa bermaksud ingin mengingatkan kepada
Aldo agar Aldo berhati-hati dalam membawa atau mengangkat kasur supaya
Aldo tidak terjatuh.
9. Tindak Tutur Mempersilakan
Mempersilakan adalah meminta secara lebih hormat supaya (KBBI
Offline 1.3). Berdasarkan pada pengertian tersebut, TTD mempersilakan ialah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
tindak tutur yang dilakukan oleh penutur dengan maksud meminta dengan
lebih hormat agar petutur melakukan sesuatu yang diinginkan oleh penutur.
Untuk lebih memahaminya, dapat dilihat data yang mengandung TTD
mempersilakan dalam percakapan SPRR berikut.
(26) Konteks : Nada dan Wahyu makan siang di rumah berdua. Bu
Rosminah datang ke rumah Wahyu membawa makanan
untuk Nada dan Wahyu.
Bu Rosminah : Ini Mama bawain makanan spesial. Mama masak buat
kalian berdua.
Wahyu : Aduh.
Bu Rosminah : Tuh. Mudah-mudahan kalian suka ya?
Nada : Eh, terima kasih ya, Ma.
Bu Rosminah : Sama-sama. Yuk, silakan!
(112/TTD/SPRR/SCTV/17 Juli 2011)
Tuturan “Yuk, silakan!” yang dituturkan oleh Bu Rosminah kepada
Nada dan Wahyu pada percakapan (26) merupakan tuturan yang mengandung
TTD mempersilakan. Maksud dari tuturan tersebut dituturkan oleh Bu
Rosminah secara langsung. Adapun maksud dari tuturan tersebut ialah Bu
Rosminah bermaksud ingin mempersilakan Nada dan Wahyu untuk mencicipi
masakan buatannya, yang sengaja dibawanya ke rumah Nada dan Wahyu. Bu
Rosminah melakukan hal itu karena dia ingin merayakan kabar gembira yang
diterimanya dari Wahyu dan Nada berkenaan dengan hasil kesehatan
reproduksi Wahyu dan Nada yang diinformasikan kepadanya dalam keadaan
baik-baik saja. Hal itu artinya, Bu Rosminah kemungkinan besar akan segera
mendapatkan cucu dari Wahyu dan Nada. Tuturan „silakan‟ merupakan
penanda lingual yang menunjukkan bahwa tuturan Bu Rosminah adalah
tuturan yang mengandung TTD mempersilakan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
Selain mengandung TTD mempersilakan, tuturan Bu Rosminah
tersebut juga dapat diklasifikasikan ke dalam TTD mengajak. Hal itu karena
di dalam tuturan tersebut juga terdapat penanda lingual yang menunjukkan
bahwa tuturan tersebut merupakan TTD mengajak, yaitu tuturan „yuk‟.
Adapun maksud dari tuturan „yuk‟ ialah Bu Rosminah ingin mengajak
Wahyu dan Nada untuk mencicipi masakan buatannya yang khusus dibuat
untuk mereka. Jadi, tuturan Bu Rosminah tersebut, di samping mengandung
TTD mempersilakan, juga mengandung TTD mengajak.
Contoh data yang juga mengandung TTD mempersilakan dapat dilihat
pada percakapan SPRR berikut.
(27) Konteks : Nada dan Wahyu sampai di rumah sakit. Mereka ingin
mengambil hasil tes kesehatan organ reproduksi milik
Wahyu. Nada dan Wahyu diminta oleh suster untuk
menunggu antrian. Wahyu terlihat gugup.
Nada : Tenang, ya, Mas!
Wahyu : (mengangguk)
Suster : Saudara Wahyu S.
Nada : Mas, nama Mas dipanggil.
Wahyu : Yuk!
Dokter : Ayo, silakan!
Wahyu : E, Dok, saya pengen tahu hasil tes saya Minggu lalu!
Dokter : Sebentar.
(136/TTD/SPRR/SCTV/18 Juli 2011)
Pada percakapan (27) terdapat tuturan yang mengandung TTD
mempersilakan, yaitu tuturan “Ayo, silakan!” yang dituturkan oleh Dokter
kepada Wahyu. Maksud dari tuturan tersebut dituturkan oleh Dokter secara
langsung. Hal itu dapat dibuktikan dengan adanya penanda lingual yang
terdapat di dalam tuturan tersebut, yaitu tuturan „silakan‟. Adapun maksud
dari tuturan Dokter tersebut ialah Dokter bermaksud mempersilakan Wahyu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
dan Nada untuk duduk di tempat duduk yang telah disediakan di hadapan
Wahyu dan Nada.
Di samping termasuk TTD mempersilakan, tuturan “Ayo, silakan!”
yang dituturkan oleh Dokter juga dapat dimasukkan ke dalam TTD mengajak.
Dikatakan demikian, karena di dalam tuturan tersebut juga terdapat penanda
lingual yang menunjukkan bahwa tuturan Dokter tersebut merupakan TTD
mengajak, yaitu tuturan „ayo‟. Maksud tuturan „ayo‟ ialah Dokter bermaksud
ingin mengajak Wahyu dan Nada untuk duduk di kursi yang telah disediakan.
Dengan demikian, tuturan Dokter tersebut selain mengandung TTD
memprsilakan, juga mengandung TTD mengajak.
Berikut ini percakapan dalam SSM yang merupakan data yang
mengandung TTD mempersilakan.
(28) Konteks : Bang Ma‟ruf keluar dari masjid. Di jalan, Bang Ma‟ruf
bertemu dengan Bang Usman yang akan pergi ke masjid.
Bang Ma‟ruf menganggap Bang Usman sebagai orang
Islam keturunan karena berpenampilan seperti perempuan
(rambutnya panjang).
Bang Ma‟ruf : E ... kalau ente bukan Islam keturunan, jawab pertanyaan
ane!
Usman : Silakan, Bang! Insya Allah saya jawab pertanyaan
Abang. Satu, dua atau tiga pertanyaan, Insya Allah Bang.
Insya Allah, terong Abang jual, saya borong.
Bang Ma‟ruf : Die pantun.
(172/TTD/SSM/SCTV/26 Juli 2011)
Pada percakapan (28) terdapat tuturan yang mengandung TTD
mempersilakan, yaitu tuturan “Silakan, Bang!” yang dituturkan oleh Usman
kepada Bang Ma‟ruf. Tuturan tersebut dituturkan oleh Usman ketika Bang
Ma‟ruf meminta Usman untuk menjawab semua pertanyaan yang akan
ditanyakan oleh Bang Ma‟ruf berkenaan dengan tuduhan Bang Ma‟ruf kepada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
Usman, yaitu Bang Ma‟ruf menuduh Usman sebagai orang Islam keturunan.
Untuk menanggapi permintaan Bang Ma‟ruf, Usman bertutur “Silakan,
Bang!”. Adapun maksud dari tuturan Usman tersebut ialah Usman
bermaksud ingin mempersilakan Bang Ma‟ruf untuk bertanya kepadanya
tentang apa yang ingin ditanyakan oleh Bang Ma‟ruf kepadanya. Tuturan
„silakan‟ adalah penanda lingual dari TTD mempersilakan. Dengan demikian,
tuturan Usman tersebut termasuk tindak tutur langsung.
Secara keseluruhan, data percakapan dalam SIKTP, SPRR, dan SSM
yang mengandung TTD dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2
Data yang Mengandung Tindak Tutur Direktif
No TTD Sinetron Nomor Data Jml.
1 Menyuruh SIKTP 1, 3, 5, 6, 9, 12, 14, 18, 24, 25,
27, 33, 35, 36, 40, 41, 42, 45,
46, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53,
54, 55, 56, 59, 60, 62, 63, 64,
65, 67, 68, 70, 71, 72, 74, 75,
76, 79, 81, 83, 84
47
SPRR 86, 92, 93, 94, 96, 97, 99, 100,
101, 103, 106, 111, 113, 114,
115, 117, 118, 119, 121, 122,
123, 125, 132, 135, 136, 138,
141, 144, 145
29
SSM 148, 149, 150, 151, 155, 156,
157, 158, 159, 161, 162, 164,
165, 166, 167, 168, 169, 171,
172, 173, 174, 175, 176, 179,
180, 181, 182, 183, 184, 185,
39
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
186, 187, 190, 194, 195, 196,
197, 198, 199
2 Melarang SIKTP 1, 3, 9, 12, 13, 14, 16, 23, 24,
26, 29, 30, 33, 34, 35, 37, 40,
42, 48, 50, 53, 56, 58, 63, 64,
65, 79, 84
28
SPRR 89, 97, 103, 109, 116, 120,
126, 133, 138, 143, 145
11
SSM 148, 159, 160, 164, 166, 168,
178, 182, 186, 190, 192, 194,
195
13
3 Meminta SIKTP 1, 3, 5, 10, 18, 19, 33, 35, 37,
46, 49, 59, 62, 70, 72
15
SPRR 89, 92, 103, 109, 115, 121,
136, 138, 140
9
SSM 165, 174, 184, 191 4
4 Mengajak SIKTP 4, 14, 16, 17, 22, 23, 31, 32,
34, 39, 43, 52, 56, 65, 74, 81,
82
17
SPRR 94, 110, 121, 125, 126, 127,
128, 129, 130, 134, 136, 146
12
SSM 175, 182, 198 3
5 Menyarankan SIKTP 5, 11, 38, 44, 53, 65, 77, 78 8
SPRR 88, 90, 98, 104, 129, 133, 138 7
SSM 188 1
6 Menasihati SIKTP 10, 26, 34, 36, 45, 49, 58 7
SPRR 102, 105, 110, 123, 124, 139,
146
7
SSM 154, 161, 177, 179, 194, 200 6
7 Memohon SIKTP 29, 46 2
SPRR 89, 121 2
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
SSM - -
8 Mengingatkan SIKTP 2, 20, 22, 25, 31, 32, 37, 40,
41, 45, 51, 54, 57, 64, 66, 67,
73
17
SPRR 95, 138, 145 3
SSM 152, 164, 175, 184, 189, 191,
192, 197
8
9
Mempersilakan SIKTP - -
SPRR 112, 136, 142 3
SSM 171, 172, 173 3
B. Bentuk Pelanggaran Prinsip Kesantunan dalam SIKTP, SPRR, dan SSM
Prinsip kesantunan (politeness principle) adalah prinsip percakapan yang
mewajibkan setiap penutur berlaku santun dalam komunikasi dengan orang lain.
Konsep kesantunan ini dikemukakan oleh banyak ahli, salah satunya
dikemukakan oleh Leech (1983). Prinsip kesantunan Leech dijabarkan ke dalam
enam maksim kesantunan, yaitu maksim kearifan, maksim kedermawanan,
maksim pujian, maksim kerendahan hati, maksim kesepakatan, dan maksim
simpati. Di dalam SIKTP, SPRR, dan SSM, para tokohnya dalam bertutur banyak
yang melanggar maksim-maksim dalam prinsip kesantunan Leech tersebut.
1. Pelanggaran Maksim Kearifan
Maksim kearifan berisi nasihat yang menyangkut pembebanan biaya
kepada pihak lain yang seringan-ringannya dengan keuntungan yang sebesar-
besarnya. Sejalan dengan pengertian tersebut, maksim ini dijabarkan ke
dalam dua submaksim, yaitu (a) buatlah kerugian orang lain sekecil mungkin,
dan (b) buatlah keuntungan orang lain sebesar mungkin. Untuk lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
memahaminya, dapat dilihat data yang melanggar maksim kearifan dalam
percakapan SIKTP di bawah ini.
(29) Konteks : Bang Dul datang ke rumah Mery dan mengetuk pintu rumah
Mery. Mery membukakan pintu untuk Bang Dul dengan
senang hati. Qomar menghampiri Bang Dul dan Mery. Bang
Dul mengejek Qomar sebagai bujang lapuk. Qomar membela
diri dan mengejek Mery sebagai bungkusan wajik.
Bang Dul : Aduh, Mer, Mery, jangan diambil hati omongan Bang Dul,
ye! Tenang aje dah ye! Kita masuk ke dalem yuk!
Mery : Gendong!
Bang Dul : Gendong apa, ah Mery?
Mery : Gendong ah! Gendong yah! Gendong!
Bang Dul : Nangka bubur.
(14/PPK/SIKTP/SCTV/29 Mei 2011)
Pada percakapan (29) terdapat tuturan yang melanggar maksim
kearifan, khususnya melanggar submaksim pertama dari maksim kearifan.
Dikatakan demikian karena penutur berusaha memaksimalkan kerugian
terhadap mitra tuturnya. Pelanggaran maksim kearifan terlihat pada tuturan
Mery “Gendong!” yang dituturkan kepada Bang Dul. Tuturan Mery tersebut
termasuk ke dalam jenis TTD menyuruh. Tuturan „gendong‟ merupakan
penanda lingual dari TTD menyuruh.
Tuturan yang dituturkan oleh Mery “Gendong!” merupakan tuturan
yang melanggar maksim kearifan, karena memberikan kerugian kepada Bang
Dul selaku mitra tuturnya. Kerugian yang diperoleh Bang Dul ialah Bang Dul
akan merasa lelah atau capai jika Bang Dul benar-benar menuruti suruhan
Mery untuk menggendong (mendukung di pinggang) Mery. Dilihat dari skala
untung-rugi, tuturan tersebut sangat merugikan Bang Dul selaku mitra tutur,
karena Bang Dul harus menggendong Mery. Sesuai dengan skala untung-rugi,
tuturan penutur yang memberikan kerugian terhadap mitra tuturnya disebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
sebagai tuturan yang tidak santun. Dilihat dari skala ketaklangsungan,
tuturan Mery tersebut dituturkan secara langsung. Menurut skala
ketaklangsungan, tuturan yang dituturkan secara langsung dapat dikatakan
sebagai tuturan yang tidak santun. Sementara menurut skala pilihan, tuturan
Mery tersebut tidak memberikan pilihan yang leluasa kepada Bang Dul
selaku mitra tuturnya. Hal itu karena Bang Dul sangat membutuhkan Mery,
karena Bang Dul ingin menjadi orang kaya, dan Mery waktu itu adalah
perempuan kaya yang sangat mencintai Bang Dul sehingga melalui Mery,
Bang Dul bisa menjadi orang kaya. Tuturan penutur yang tidak memberikan
pilihan yang leluasa terhadap mitra tuturnya, menurut skala pilihan dapat
dikatakan sebagai tuturan yang tidak santun.
Di samping tuturan tersebut, terdapat tuturan lain dalam percakapan
(29) yang juga melanggar maksim kearifan, yaitu tuturan “Gendong ah!
Gendong yah! Gendong!” yang juga dituturkan oleh Mery kepada Bang Dul.
Tuturan tersebut melanggar maksim kearifan, khususnya melanggar
submaksim pertama, karena penutur memaksimalkan kerugian terhadap mitra
tuturnya. Mery merugikan Bang Dul karena Mery menyuruh Bang Dul
dengan paksa untuk menggendong dirinya. Berdasarkan pada skala untung-
rugi, tuturan yang merugikan mitra tutur dapat dikatakan sebagai tuturan yang
tidak santun. Tuturan Mery tersebut juga dituturkan secara langsung, dan
menurut skala ketaklangsungan, tuturan yang dituturkan secara langsung
dapat disebut sebagai tuturan yang tidak santun. Sementara berdasarkan pada
skala pilihan, tuturan Mery tersebut juga tidak memberikan pilihan yang
leluasa kepada Bang Dul, karena Bang Dul sangat membutuhkan Mery agar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
Bang Dul dapat menjadi orang kaya lantaran Mery adalah orang kaya.
Tuturan yang tidak memberikan pilihan yang leluasa kepada mitra tutur dapat
dikatakan sebagai tuturan yang tidak santun. Tuturan Mery tersebut dapat
dimasukkan ke dalam jenis TTD menyuruh. Tuturan „gendong ah! Gendong
yah! Gendong!‟ adalah penanda lingual dari TTD menyuruh.
Contoh data lain yang melanggar maksim kearifan dapat dilihat dalam
percakapan SPRR berikut.
(30) Konteks : Ustaz Ali mengecek dan menghitung jumlah buku yang
diberikan oleh donatur kepada pesantren di ruang kantornya.
Fafa membantu Ustaz Ali menghintung buku.
Ustaz Ali : Piro bukunya?
Fafa : Empat.
Ustaz Ali : Lho? Sampai kaget aku. Lha kok empat gimana ta? Masa
buku sak tumpuk kok bisa empat itu lho? Hitung lagi!
Fafa : Hitung lagi, Pak Ustaz?
Ustaz Ali : Lha, iya no, yang bener kalau ngitung.
Fafa : Injih, Pak Ustaz.
Ustaz Ali : Malah buang-buang waktuku aja kamu. Ngitung buku gini
aja, kamu nggak bisa lho. Sungguh terlalu kowe. Udah inget,
izin buat apa?
Fafa : Em, saya tuh ke sini tadi mau minta izin, Pak Ustaz.
Ustaz Ali : Lha iya izin apa?
Fafa : Izin apa ya?
Ustaz Ali : Bathokmu kuwi lho, tak uwek-uwek lho nanti. Lama-
lama kamu keterlaluan.
Fafa : Iya, iya.
(144/PPK/SPRR/SCTV/18 Juli 2011)
Tuturan yang dicetak tebal pada percakapan (30) merupakan tuturan
yang melanggar maksim kearifan. Pelanggaran maksim kearifan pada
percakapan tersebut, khususnya melanggar submaksim pertama dari maksim
kearifan, karena penutur berusaha memaksimalkan kerugian terhadap mitra
tuturnya. Tuturan tersebut, yaitu tuturan “Hitung lagi!” dan tuturan
“Bathokmu kuwi lho, tak uwek-uwek lho nanti. Lama-lama kamu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
keterlaluan” yang semuanya dituturkan oleh Ustaz Ali kepada Fafa. Tuturan
yang pertama termasuk ke dalam jenis TTD menyuruh, dan tuturan yang
kedua termasuk ke dalam jenis tindak tutur komisif mengancam.
Tuturan Ustaz Ali “Hitung lagi!” menunjukkan bahwa Ustaz Ali telah
berusaha memaksimalkan kerugian terhadap Fafa. Kerugian yang diperoleh
Fafa, yaitu Fafa harus menghitung ulang buku-buku yang diberikan oleh para
donatur kepada pesantren mulai dari awal lagi sehingga hal itu membuat Fafa
kehilangan waktu yang cukup banyak dan semakin menguras tenaga Fafa,
karena disuruh menghitung ulang lagi oleh Ustaz Ali. Berdasarkan pada skala
untung-rugi, tuturan penutur yang memberikan kerugian terhadap mitra
tuturnya dapat dikatakan sebagai tuturan yang tidak santun. Tuturan Ustaz Ali
tersebut juga dituturkan secara langsung, dan berdasarkan skala
ketaklangsungan, tuturan yang dituturkan secara langsung termasuk ke dalam
tuturan yang tidak santun. Sementara menurut skala pilihan, tuturan Ustaz Ali
tidak memberikan pilihan yang leluasa terhadap Fafa, karena Ustaz Ali adalah
guru atau ustaz dari Fafa. Sebagai seorang santri atau murid hendaknya
mematuhi perintah dari gurunya, selama perintah itu bersifat baik. Tuturan
penutur yang tidak memberikan pilihan yang leluasa terhadap mitra tuturnya,
menurut skala pilihan dapat dikatakan sebagai tuturan yang tidak santun.
Pelanggaran maksim kearifan kembali dilakukan oleh Ustaz Ali kepada
Fafa dengan tuturannya “Bathokmu kuwi lho, tak uwek-uwek lho nanti.
Lama-lama kamu keterlaluan”. Ustaz Ali menuturkan tuturan tersebut
karena Fafa telah membuat Ustaz Ali menjadi marah dan merasa jengkel
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
kepadanya. Kemarahan dan kejengkelan Ustaz Ali kepada Fafa disebabkan
oleh Fafa yang menjawab pertanyaan Ustaz Ali dengan bertele-tele dan malah
kembali bertanya kepada Ustaz Ali tentang tujuan Fafa menemui Ustaz Ali.
Meskipun demikian, tuturan Ustaz Ali tersebut tetap melanggar maksim
kearifan, karena Ustaz Ali melakukan ancaman terhadap Fafa. Ustaz Ali
mengancam akan merobek-robek jidat Fafa jika Fafa terus-menerus membuat
Ustaz Ali menjadi marah dan jengkel kepadanya, karena Ustaz Ali juga
memiliki batas kesabaran. Tuturan Ustaz Ali tersebut membuat Fafa merasa
dirugikan karena dia akan merasa terancam dengan tuturan Ustaz Ali tersebut.
Tuturan yang memberikan kerugian terhadap mitra tutur, menurut skala
untung-rugi dapat dikategorikan sebagai tuturan yang tidak santun. Sementara
berdasarkan skala ketaklangsungan, tuturan Ustaz Ali tersebut dituturkan
secara langsung. Jadi, tuturan Ustaz Ali tersebut dapat dikatakan sebagai
tuturan yang tidak santun berdasarkan pada skala ketaklangsungan.
Percakapan dalam SSM berikut merupakan data lain yang juga
melanggar maksim kearifan.
(31) Konteks : Di masjid, Jejen duduk sendirian dan berdoa. Bang
Ma‟ruf masuk ke masjid dan melihat Jejen yang sedang
berdoa. Bang Ma‟ruf menghampiri Jejen dan menghina
Jejen.
Jejen : Eh, Bang ini udah bicara harga diri. Mau apa Bang ama
ane? Mau apa, ha?
Bang Ma‟ruf : Kalau memang lo berani.
Jejen : Ha, apa?
Bang Ma‟ruf : Sekarang juga lo tinggalin kontrakan rumah gue, ye!
Jejen : Aduh.
Bang Ma‟ruf : Hehehe.
(169/PPK/SSM/SCTV/26 Juli 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
Tuturan “Sekarang juga lo tinggalin kontrakan rumah gue, ye!”
yang dituturkan oleh Bang Ma‟ruf kepada Jejen pada percakapan (31)
termasuk ke dalam tuturan yang melanggar maksim kearifan, khususnya
melanggar submaksim pertama, karena Bang Ma‟ruf berusaha
memaksimalkan kerugian terhadap mitra tuturnya, yaitu Jejen. Tuturan Bang
Ma‟ruf tersebut termasuk ke dalam jenis TTD menyuruh. Tuturan Bang
Ma‟ruf tersebut dikatakan melanggar maksim kearifan karena membuat Jejen
merasa dirugikan. Kerugian yang diperoleh Jejen, yaitu Jejen dan keluarganya
harus mencari rumah kontrakan yang baru untuk tempat tinggal mereka. Di
samping itu, mereka juga akan direpotkan dengan mengemasi barang-barang
milik mereka untuk dipindahkan ke kontrakan mereka yang baru apabila
Bang Ma‟ruf benar-benar menyuruh Jejen dan keluarga pergi dari rumah
kontrakan Bang Ma‟ruf.
Berdasarkan pada skala untung-rugi, tuturan Bang Ma‟ruf “Sekarang
juga lo tinggalin kontrakan rumah gue, ye!” dapat dikategorikan ke dalam
tuturan yang tidak santun, karena bersifat merugikan mitra tutur. Tuturan
Bang Ma‟ruf tersebut juga dituturkan secara langsung, dan menurut skala
ketaklangsungan, tuturan yang dituturkan secara langsung dapat dikatakan
sebagai tuturan yang tidak santun. Sementara berdasarkan pada skala pilihan,
tuturan Bang Ma‟ruf tersebut tidak memberikan pilihan yang leluasa terhadap
Jejen, karena Bang Ma‟ruf adalah pemilik rumah kontrakan yang ditempati
oleh Jejen dan keluarganya. Jika Bang Ma‟ruf menyuruh Jejen dan
keluarganya untuk pergi dari rumah kontrakan itu, maka mau tidak mau Jejen
dan keluarganya harus pergi meninggalkan rumah kontrakan itu. Tuturan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
penutur yang tidak memberikan pilihan yang leluasa terhadap mitra tuturnya
menurut skala pilihan dapat dikatakan sebagai tuturan yang tidak santun.
2. Pelanggaran Maksim Kedermawanan
Maksim kedermawanan berkenaan dengan sikap dermawan atau murah
hati yang diharapkan dari penutur. Agar mematuhi prinsip kesantunan,
nasihat maksim ini yang harus dipatuhi terangkum dalam dua submaksim,
yaitu (a) buatlah keuntungan diri sendiri sekecil mungkin, dan (b) buatlah
kerugian diri sendiri sebesar mungkin. Apabila penutur berupaya
memperoleh keuntungan yang maksimal sementara mitra tuturnya tidak
memperolehnya, maka tindakan penutur tersebut tidak sejalan dengan prinsip
kesantunan khususnya maksim kedermawanan ini. Untuk lebih
memahaminya, dapat dilihat data yang melanggar maksim kedermawanan
dalam percakapan SIKTP berikut.
(32) Konteks : Bang Ali, Mamat, dan Karyo pulang dari mushola dan ingin
kembali ke warung Bang Ali. Mereka berjalan bersama di jalan
kampung sambil bercakap-cakap tentang benda keramat. Bang
Ali memberitahu Karyo dan Mamat bahwa doa ibu adalah
keramat yang paling hebat.
Mamat : Ya udah deh Bang, kalau gitu Mamat mau pulang dulu ya,
Bang, ye?
Bang Ali : Mau ngapain?
Mamat : Mau minta doa ama Emak, Bang. Mumpung Emak masih
ada, Mamat minta didoain terus Bang, biar Mamat enteng
jodoh, Mamat sukses, kaya raya, hehehe. Ya, Bang, ya?
Bang Ali : Tapi jangan sampai buta Mat!
Mamat : Maksudnya apaan, Bang?
Bang Ali : Ya jangan kaya si Dul, pengen kaya tapi kagak mau usaha,
heh hehehe.
(37/PPK/SIKTP/SCTV/30 Mei 2011)
Tuturan Mamat “Mau minta doa ama Emak, Bang. Mumpung Emak
masih ada, Mamat minta didoain terus Bang, biar Mamat enteng jodoh,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
Mamat sukses, kaya raya, hehehe. Ya, Bang, ya?” pada percakapan (32)
merupakan tuturan yang melanggar maksim kedermawanan, khususnya
melanggar submaksim pertama. Dikatakan demikian, karena Mamat selaku
penutur berusaha memaksimalkan keuntungan terhadap dirinya sendiri.
Tuturan Mamat tersebut termasuk ke dalam jenis TTD meminta.
Tuturan Mamat tersebut sangat jelas kalau Mamat memaksimalkan
keuntungan terhadap dirinya sendiri, yaitu Mamat ingin meminta kepada
emaknya untuk didoakan oleh emaknya secara terus-menerus agar Mamat
mudah dalam mendapatkan jodoh, menjadi orang sukses, dan dapat menjadi
orang kaya. Berdasarkan pada skala untung-rugi, tuturan yang berusaha
memaksimalkan keuntungan terhadap diri sendiri termasuk ke dalam jenis
tuturan yang tidak santun. Tuturan Mamat tersebut sangat menguntungkan
diri sendiri sehingga dapat dikatakan sebagai tuturan yang tidak santun,
menurut skala untung-rugi. Tuturan Mamat tersebut juga dituturkan secara
langsung, yaitu maksud meminta dituturkan dengan tuturan meminta. Adapun
penanda lingualnya yaitu tuturan „minta‟ yang terdapat di dalam tuturan
tersebut. Berdasarkan skala ketaklangsungan, tuturan yang dituturkan secara
langsung dapat dikategorikan ke dalam tuturan yang tidak santun.
Contoh data lain yang melanggar maksim kedermawanan dapat dilihat
dalam percakapan SPRR berikut.
(33) Konteks : Aldo dan Fafa diberi hukuman oleh Ustaz Ali untuk
menjemur kasur milik seluruh santriwan karena kesalahan
mereka. Aldo dan Fafa mengeluarkan kasur bersama-sama
melewati satu pintu sehingga mereka berdesakan.
Fafa : Aduh, aduh.
Aldo : Masya Allah, bagaimana sih lo?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
Fafa : Aduh, aduh, aduh. Duluan aja deh Mas Balado, saya mau
istirahat! Aldo : Eh, kerjaan belum kelar bawaannya mau istirahat muluk ye.
Fafa : Istirahat baru pertama kali nih, Mas Balado. Aduh, gak usah
buru-buru! Aduh, istrahat dulu deh!
(94/PPK/SPRR/SCTV/17 Juli 2011)
Tuturan Fafa “Duluan aja deh Mas Balado, saya mau istirahat!”
yang dituturkan kepada Aldo pada percakapan (33) termasuk ke dalam
tuturan yang melanggar maksim kedermawanan, khususnya melanggar
submaksim pertama. Dikatakan demikian, karena Fafa selaku penutur
berusaha memaksimalkan keuntungan terhadap dirinya sendiri. Tuturan Fafa
tersebut dapat dikategorikan ke dalam jenis TTD menyuruh.
Tuturan Fafa “Duluan aja deh Mas Balado, saya mau istirahat!”
menunjukkan bahwa Fafa telah berusaha memaksimalkan keuntungan
terhadap dirinya sendiri. Keuntungan yang diperoleh Fafa dengan tuturan
tersebut ialah Fafa dapat beristirahat untuk melepas lelah dengan duduk-
duduk santai, sedangkan Aldo, yang juga mendapatkan hukuman dari Ustaz
Ali untuk menjemur kasur milik seluruh santri laki-laki bersama Fafa, harus
mengangkat kasur-kasur itu sendirian. Dengan demikian, tuturan tersebut
sangat menguntungkan bagi Fafa selaku penutur, dan sangat merugikan bagi
Aldo selaku mitra tuturnya. Tuturan yang menguntungkan pihak penutur
termasuk ke dalam jenis tuturan yang tidak santun berdasarkan pada skala
untung-rugi. Tuturan Fafa tersebut juga termasuk ke dalam jenis tuturan
langsung. Dengan tuturan tersebut, secara langsung Fafa menyuruh Aldo
untuk terlebih dahulu mengangkat kasur-kasur milik seluruh santi laki-laki
untuk dijemur, sedangkan Fafa ingin istirahat terlebih dahulu. Adapun
penanda lingualnya ialah tuturan „duluan aja deh‟ yang menunjukkan bahwa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
tuturan Fafa tersebut termasuk ke dalam jenis TTD menyuruh. Tuturan yang
dituturkan secara langsung menurut skala ketaklangsungan dapat dikatakan
sebagai tuturan yang tidak santun.
Pelanggaran terhadap maksim kedermawanan juga ditemukan pada data
dalam percakapan SSM di bawah ini.
(34) Konteks : Malam-malam, Ki Tejo duduk sendirian di taman sambil
melantunkan tembang-tembang Jawa. Tebe pulang dari masjid
melewati taman dan mendengar Ki Tejo menyanyi. Tebe
menghampiri Ki Tejo dan duduk di sebelah Ki Tejo.
Tebe : Suaranya Ki Tejo bagus, ya?
Ki Tejo : Hehehe. Jangan panggil Ki! Tapi, Rama Tejo!
Tebe : Suaranya Rama bagus deh.
Ki Tejo : Ooo... sejak dari lahir suara Rama Tejo bagus, hehehe.
Tebe : Berarti sejak dari lahir Rama Tejo ditakdirin miskin?
Ki Tejo : Ya, takdir sudah ditentukan.
(186/PPK/SSM/SCTV/27 Juli 2011)
Tuturan yang dicetak tebal pada percakapan (34), yaitu tuturan “Jangan
panggil Ki! Tapi, Rama Tejo!” yang dituturkan oleh Ki Tejo kepada Tebe
termasuk ke dalam tuturan yang melanggar maksim kedermawanan,
khususnya melanggar submaksim pertama. Dikatakan demikian, karena Ki
Tejo berusaha memaksimalkan keuntungan terhadap dirinya sendiri. Tuturan
Ki Tejo tersebut termasuk ke dalam jenis TTD melarang, yaitu tuturan
“Jangan panggil Ki!”, dan TTD menyuruh, yaitu tuturan “Tapi, Rama
Tejo!”.
Tuturan Ki Tejo “Jangan panggil Ki! Tapi, Rama Tejo!” sangat
menguntungkan Ki Tejo selaku penutur. Dikatakan menguntungkan Ki Tejo,
karena di dalam bahasa Jawa, panggilan „Rama‟ kedudukannya atau tingkat
martabatnya lebih tinggi daripada panggilan „Ki‟. Panggilan „Rama‟ biasanya
dipakai untuk panggilan orang tua laki-laki (kakek) yang memiliki kedudukan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
98
di dalam suatu kerajaan atau orang terhormat, sedangkan panggilan „Ki‟
biasanya dipakai untuk panggilan orang tua laki-laki dari kalangan rakyat
biasa dan bahkan sering dipakai untuk panggilan dukun laki-laki.
Berdasarkan pada skala untung-rugi, tuturan Ki Tejo tersebut dapat dikatakan
sebagai tuturan yang tidak santun, karena penutur berusaha menguntungkan
dirinya sendiri. Tuturan Ki Tejo tersebut juga termasuk ke dalam tuturan
langsung. Penanda lingual yang menunjukkannya ialah tuturan „jangan‟, yang
menunjukkan bahwa tuturan tersebut termasuk dalam TTD melarang.
Berdasarkan pada skala ketaklangsungan, tuturan yang dituturkan secara
langsung dapat dikatakan sebagai tuturan yang tidak santun.
3. Pelanggaran Maksim Pujian
Maksim pujian berisi nasihat yang berkenaan dengan masalah
penjelekan dan pujian kepada pihak lain. Maksim ini dijabarkan ke dalam dua
submaksim, yaitu (a) kecamlah orang lain sesedikit mungkin, dan (b) pujilah
orang lain sebanyak mungkin. Untuk lebih memahaminya, dapat dilihat data
yang melanggar maksim pujian dalam percakapan SIKTP berikut.
(35) Konteks : Bang Dul datang ke rumah Mery dan mengetuk pintu rumah
Mery. Bang Dul dan Mery tidak tahu kalau mereka
diperhatikan oleh Karyo dari jauh.
Bang Dul : Assalamualaikum. Pasti kantong keresek nih.
Mery : Waalaikumsalam. Papa, ah.
Bang Dul : Itu die beduk musala dateng.
Mery : Papanda, I miss you. Papa, I miss you, Papa. Aduh Papa,
Papa ke mana aja sih? Aku tungguin di rumah sampai pegal.
Bang Dul : Kalau pegal di urut, Mery kan banyak duit! Ya Mer, gue
kan pulang dulu ke rumah.
(11/PPK/SIKTP/SCTV/29 Mei 2011)
Pada percakapan (35) terdapat tuturan yang melanggar maksim pujian,
yaitu tuturan “Pasti kantong keresek nih” yang dituturkan oleh Bang Dul
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
99
kepada Mery. Tuturan tersebut melanggar maksim pujian, khususnya
melanggar submaksim pertama, karena Bang Dul berusaha memaksimalkan
kecaman terhadap mitra tuturnya, yaitu Mery. Tuturan Bang Dul tersebut
termasuk ke dalam jenis tindak tutur ekspresif menghina, yaitu ditunjukkan
dengan adanya penanda lingual „pasti kantong keresek‟ dalam tuturan
tersebut.
Tuturan Bang Dul “Pasti kantong keresek nih” merupakan tuturan
yang melanggar maksim pujian, karena menghina orang lain, yaitu menghina
Mery. Dengan tuturan tersebut, Bang Dul telah menghina Mery dengan cara
menyamakan Mery dengan kantong keresek. Padahal, kantong keresek adalah
suatu benda yang mudah berkerut jika dipegang dengan tangan. Hal itu
menunjukkan bahwa tuturan Bang Dul tersebut juga mengandung implikatur.
Adapun implikaturnya ialah Bang Dul ingin mengatakan bahwa Mery adalah
orang yang sudah tua dan kulitnya sudah keriput seperti kantong keresek yang
sudah berkerut. Tuturan tersebut juga menunjukkan bahwa Bang Dul tidak
menyukai Mery.
Selain tuturan Bang Dul tersebut, terdapat tuturan lain pada percakapan
(35) yang juga melanggar maksim pujian, yaitu tuturan “Itu die beduk
musala dateng” yang juga dituturkan oleh Bang Dul kepada Mery. Tuturan
tersebut melanggar maksim pujian, khususnya melanggar submaksim
pertama, karena Bang Dul berusaha memaksimalkan kecaman terhadap Mery.
Tuturan Bang Dul tersebut termasuk ke dalam jenis tindak tutur ekspresif
menghina. Tuturan „beduk musala dateng‟ adalah penanda lingual dari tindak
tutur ekspresif menghina.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
100
Dengan tuturan “Itu die beduk musala dateng”, Bang Dul telah
menghina Mery dengan cara mengatai Mery sebagai beduk musala. Padahal,
beduk adalah suatu benda yang memiliki ukuran besar yang terdapat di
masjid, dan apabila dipukul maka akan menimbulkan bunyi yang sangat keras
dan menggaung. Dengan perkataan lain, tuturan Bang Dul tersebut
mengandung implikatur. Adapun implikaturnya ialah Bang Dul ingin
menghina Mery dengan mengatakan bahwa Mery memiliki badan yang
gemuk (Mery memang memiliki badan gemuk), dan apabila Mery berbicara
suaranya sangat keras seperti suara beduk yang dipukul. Dengan demikian,
tuturan Bang Dul tersebut dapat dikatakan sebagai tuturan yang tidak santun.
Contoh pelanggaran terhadap maksim pujian dapat pula dilihat pada
data dalam percakapan SPRR berikut.
(36) Konteks : Fafa kecapekan dan tertidur di atas kasur yang akan
dijemur. Ustaz Ali mengecek pekerjaan Aldo dan Fafa. Ustaz
Ali melihat dan menghampiri Fafa yang tidur di kasur di
depan kamar para santriwan.
Ustaz Ali : Lho lho lho, kok ada kasur tingkat? Oh, Fafa. Sttt... Fa.
Fafa : Aduh, eh, Aduh.
Ustaz Ali : Kamu kenapa di sini hah?
Fafa : Aduh, ngapain ya saya di sini? Saya ngapain Pak Ustaz?
Ustaz Ali : Pasti lupa lagi regul iki. Tak ingetin kamu ya. Kamu tuh
dihukum membersihkan dan jemur kasur seluruh santri di
sini. Jemurnya di halaman belakang.
Fafa : O....
Ustaz Ali : Bukan di sini.
Fafa : Iya.
Ustaz Ali : Ayo, kasurnya dibawa ke halaman belakang! Di jemur!
Fafa : Iya, Pak Ustaz.
Ustaz Ali : Satu lagi.
Fafa : Ha?
Ustaz Ali : Setelah jemur kasur, kamu ke kelas! Walaupun dihukum,
kamu nggak boleh ninggal pelajaran kelas!
(96/PPK/SPRR/SCTV/17 Juli 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
101
Pada percakapan di atas terdapat tuturan yang melanggar maksim
pujian, terutama melanggar submaksim pertama, karena penutur berusaha
memaksimalkan kecaman terhadap mitra tuturnya. Pelanggaran maksim
pujian terlihat pada tuturan “Lho lho lho, kok ada kasur tingkat? Oh, Fafa.
Sttt... Fa” yang dituturkan oleh Ustaz Ali kepada Fafa. Tuturan tersebut
termasuk ke dalam jenis tindak tutur ekspresif menghina. Adapun penanda
lingualnya ialah tuturan „kok ada kasur tingkat? Oh, Fafa‟.
Tuturan Ustaz Ali “Lho lho lho, kok ada kasur tingkat? Oh, Fafa.
Sttt... Fa” melanggar maksim pujian, karena penutur menghina orang lain,
yaitu menghina Fafa. Dengan tuturan tersebut, Ustaz Ali telah
memaksimalkan kecaman atau hinaan terhadap Fafa dengan cara
menyamakan Fafa seperti kasur tingkat. Dengan perkataan lain, tuturan Ustaz
Ali tersebut dapat dikatakan mengandung implikatur. Adapun implikatur
yang terkandung di dalam tuturan tersebut ialah Ustaz Ali ingin mengatakan
bahwa Fafa memiliki tubuh yang sangat gemuk dan besar seperti kasur
tingkat, yaitu kasur yang bertumpuk-tumpuk atau bertingkat-tingkat sehingga
tampak besar.
Selain tuturan tersebut, terdapat tuturan lain dalam percakapan (36)
yang juga melanggar maksim pujian, yaitu tuturan “Pasti lupa lagi regul iki”
yang juga dituturkan oleh Ustaz Ali kepada Fafa. Tuturan tersebut termasuk
ke dalam jenis tindak tutur ekspresif menghina. Tuturan „regul iki‟
merupakan penanda lingual yang menunjukkan bahwa tuturan Ustaz Ali
tersebut termasuk tindak tutur ekspresif menghina.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
102
Tuturan Ustaz Ali “Pasti lupa lagi regul iki” melanggar maksim
pujian, karena Ustaz Ali telah menghina Fafa dengan cara menyamakan Fafa
dengan hewan regul. Regul adalah sejenis binatang seperti kucing yang hidup
di lingkungan persawahan, senang merusak tanaman di sawah, badannya
sangat bau, dan merupakan hewan pemakan daging. Definisi tersebut
menunjukkan bahwa regul adalah hewan yang dapat merusak pemandangan
atau keindahan. Dengan demikian, tuturan Ustaz Ali tersebut telah menghina
Fafa dengan cara menganggap Fafa sebagai orang yang dapat merusak
pemandangan atau keindahan, karena Fafa adalah orang yang pemalas,
pelupa, dan makannya sangat banyak atau rakus.
Data lain yang juga melanggar maksim pujian dapat dilihat pada
percakapan SSM berikut.
(37) Konteks : Malam-malam, Bang Ma‟ruf keluar rumah dan berjalan
sendirian di jalan perkampungan. Tebe pulang dari masjid
setelah Sholat Isya‟. Tebe melantunkan salawat. Bang
Ma‟ruf bertemu Tebe di jalan.
Tebe : Kata Mak Tebe, sampean Islam?
Bang Ma‟ruf : Aduh, nanyanya sama nih. Eh, ane Islam.
Tebe : Kata Mak Tebe, kalau Islam itu mesti ringan tangan!
Bang Ma‟ruf : Ane ringan banget. Hehehe, nih buat ente.
Tebe : Emang Tebe tukang minta-minta?
Bang Ma‟ruf : Yang bilang ente minta-minta siape? Ane ngasih ente
ikhlas. Niat ane sedekah.
Tebe : Emang Tebe fakir miskin?
Bang Ma‟ruf : Tebe bukan fakir miskin, ente kaum duafa.
Tebe : Sama aja Abang.
(147/PPK/SSM/SCTV/26 Juli 2011)
Tuturan yang dituturkan oleh Bang Ma‟ruf kepada Tebe, yaitu tuturan
“Tebe bukan fakir miskin, ente kaum duafa” pada percakapan (37)
termasuk ke dalam jenis tuturan yang melanggar maksim pujian, khususnya
melanggar submaksim pertama. Dikatakan demikian, karena Bang Ma‟ruf
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
103
selaku penutur berusaha memaksimalkan kecaman terhadap mitra tuturnya,
yaitu Tebe. Tuturan Bang Ma‟ruf tersebut termasuk ke dalam jenis tindak
tutur ekspresif menghina. Penanda lingual yang menunjukkannya ialah
tuturan „ente kaum duafa‟.
Tuturan Bang Ma‟ruf “Tebe bukan fakir miskin, ente kaum duafa”
dikatakan melanggar maksim pujian, karena penutur menghina orang lain,
yaitu Tebe. Dengan tuturan tersebut, Bang Ma‟ruf bermaksud ingin menghina
Tebe dengan mengatakan bahwa Tebe adalah orang yang termasuk ke dalam
golongan orang-orang kaum duafa yang pantas untuk dikasihani dan juga
dihina oleh dirinya yang merupakan orang kaya dan terhormat. Kaum duafa
ialah orang-orang yang memiliki tingkat ekonomi lemah atau orang miskin.
Di samping ingin menghina Tebe, tuturan Bang Ma‟ruf tersebut juga dapat
dimaksudkan bahwa Bang Ma‟ruf ingin menyombongkan diri kepada Tebe
kalau dia adalah orang kaya yang perlu dihormati dan disegani oleh Tebe.
Dengan perkataan lain, tuturan Bang Ma‟ruf tersebut mengandung implikatur
menyombongkan diri.
Contoh data lain yang juga melanggar maksim pujian dapat dilihat pada
percakapan SIKTP berikut.
(38) Konteks : Malam-malam, Bang Dul dan Zulfikar duduk berdua di
teras depan rumah Bang Dul. Zulfikar memberi ceramah
kepada Bang Dul, sekaligus meminta maaf. Zulfikar pamit
pulang kepada Bang Dul. Tetapi, Bang Dul malah mengajak
Zulfikar bernyanyi. Qomar dan Bang Madit datang. Qomar
ikut bernyanyi.
Zulfikar : 'Pak Hakim dan Pak Jaksa kapan saya akan disidang'.
Qomar : Sebentar-sebentar, kenapa lagunya 'Pak Hakim dan Pak
Jaksa kapan saya akan disumbang. Eh, disidang'?
Bang Madit : Jelek. Suara ente jelek.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
104
Zulfikar : Subhanallah. Bang Madit, sidang manusia di dunia itu bisa
dimanipulasi, tapi kalau sidang di akhirat tidak akan bisa,
karena mulut kita dikunci dan setiap anggota tubuh pasti
akan bicara.
(28/PPK/SIKTP/SCTV/29 Mei 2011)
Pada percakapan (38) terdapat pelanggaran terhadap maksim pujian,
terutama melanggar submaksim pertama. Dikatakan demikian, karena penutur
berusaha memaksimalkan kecaman terhadap mitra tuturnya. Pelanggaran
terlihat pada tuturan “Jelek. Suara ente jelek” yang dituturkan oleh Bang
Madit kepada Zulfikar. Tuturan Bang Madit tersebut termasuk ke dalam jenis
tindak tutur ekspresif mengejek. Tuturan „jelek. Suara ente jelek‟ adalah
penanda lingual dari tindak tutur ekspresif mengejek.
Konteks situasi tutur yang terjadi ialah Zulfikar sedang asyik bernyanyi
bersama Bang Dul di teras rumah Bang Dul. Tiba-tiba, Qomar dan Bang
Madit datang ke rumah Bang Dul. Qomar ikut bernyanyi, dan kemudian
menghentikan nyanyiannya. Semua ikut berhenti menyanyi, kemudian Bang
Madit menyela dengan bertutur “Jelek. Suara ente jelek” kepada Zulfikar.
Tuturan Bang Madit tersebut telah melanggar maksim pujian, karena Bang
Madit telah mengejek Zulfikar dengan mengatakan bahwa suara Zulfikar
sangat jelek ketika bernyanyi. Di samping itu, tuturan Bang Madit tersebut
juga mengandung implikatur melarang. Dengan tuturan tersebut, Bang Madit
bermaksud ingin melarang Zulfikar agar Zulfikar tidak bernyanyi lagi karena
menurut Bang Madit suara Zulfikar sangat jelek sehingga tidak nyaman untuk
didengarkan.
4. Pelanggaran Maksim Kerendahan Hati
Maksim kerendahan hati berkenaan dengan pujian dan kecaman kepada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
105
diri sendiri. Agar mematuhi prinsip kesantunan, nasihat maksim ini yang
harus dipatuhi terangkum dalam dua submaksim, yaitu (a) pujilah diri sendiri
sesedikit mungkin dan (b) kecamlah diri sendiri sebanyak mungkin. Karena
menekankan peminimalan pujian dan pemaksimalan kecaman kepada diri
sendiri, maka penutur harus merelakan dirinya mendapat pujian yang sedikit-
dikitnya dan mendapatkan kecaman yang sebanyak-banyaknya. Hasil
kerelaan tersebut akan membuahkan sikap rendah hati sebagai salah satu ciri
khas penutur yang mematuhi prinsip kesantunan. Sebaliknya, jika penutur
berupaya memperoleh pujian yang maksimal dan kecaman yang minimal,
maka tindakan penutur tersebut tidak sejalan dengan prinsip kesantunan
khususnya maksim kerendahan hati. Untuk lebih memahaminya, dapat dilihat
data yang melanggar maksim kerendahan hati dalam percakapan SIKTP
berikut.
(39) Konteks : Bang Dul memandikan keris pusakanya dengan air
kembang tujuh rupa di teras depan rumahnya sambil
membacakan mantera-mantera. Jami kebetulan lewat di
depan rumah Bang Dul dan melihat perbuatan Bang Dul.
Jami menghampiri Bang Dul.
Jami : Assalamualikum.
Bang Dul : Waalaikumsalam.
Jami : Oh, lagi mandiin keris, Bang Dul?
Bang Dul : Iye, mandiin keris. Kenape emangnye?
Jami : Kalau kerisnya dah mandi, Bang Dul udah mandi belum?
Bang Dul : Alhamdulillah, belum.
Jami : Mendingan Bang Dul mandi daripada mandiin keris!
Bang Dul : Eh, Jami, ini keris sakti. Keris sakti nih.
Jami : Kalau keris ini sakti, pasti yang punya sakti, Bang Dul?
Bang Dul : O, pasti. Dul sakti, sakti mandraguna. Sakti dong.
(44/PPK/SIKTP/SCTV/30 Mei 2011)
Tuturan “O, pasti. Dul sakti, sakti mandra guna. Sakti dong” yang
dituturkan oleh Bang Dul pada percakapan (39) dapat diidentifikasi sebagai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
106
tuturan yang melanggar maksim kerendahan hati, khususnya melanggar
submaksim pertama. Dikatakan demikian, karena Bang Dul selaku penutur
berusaha memaksimalkan pujian terhadap dirinya sendiri. Tuturan Bang Dul
tersebut termasuk ke dalam jenis tindak tutur ekspresif memuji, dalam hal ini
memuji diri sendiri. Tuturan „Dul sakti, sakti mandra guna. Sakti dong‟
adalah penanda lingual dari tindak tutur ekspresif memuji diri sendiri.
Konteks situasi tutur yang terjadi ialah Bang Dul sedang melakukan
ritual memandikan keris pusaka miliknya dengan disertai bacaan mantera-
mantera. Jami melihat perbuatan Bang Dul tersebut yang menurutnya sudah
termasuk ke dalam perbuatan syirik. Jami menghampiri Bang Dul dan
berusaha menyadarkan Bang Dul agar Bang Dul tidak melanjutkan
perbuatannya itu. Akan tetapi, Bang Dul justru mengatakan bahwa keris
miliknya itu adalah keris sakti, dan bertutur “O, pasti. Dul sakti, sakti
mandra guna. Sakti dong”. Tuturan Bang Dul tersebut sudah termasuk ke
dalam jenis tuturan yang melanggar maksim kerendahan hati, karena Bang
Dul telah memaksimalkan pujian terhadap dirinya sendiri dengan mengatakan
bahwa dirinya adalah orang yang sangat sakti. Bang Dul melakukan hal itu
agar Jami tidak meremehkan atau merendahkan dirinya, dan juga
dimaksudkan agar tuturannya itu sesuai dengan apa yang dilakukannya waktu
itu, yaitu dia melakukan ritual memandikan keris pusaka miliknya yang
dianggapnya memiliki kesaktian dan dapat menjadikannya orang kaya.
Tuturan yang berusaha memaksimalkan pujian terhadap diri sendiri dapat
dimasukkan ke dalam jenis tuturan yang tidak santun.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
107
Pelanggaran maksim kerendahan hati dapat pula dilihat pada data dalam
percakapan SPRR berikut.
(40) Konteks : Bejo disuruh oleh Kyai Abdullah ke tempat peternakan sapi
untuk menanyakan soal jumlah pasokan air susu yang
diberikan kepada pesantren berkurang. Di jalan, Bejo merasa
ingin buang air kecil. Bejo kencing di semak-semak. Bejo
tidak tahu kalau di semak-semak ada pengamen Banci yang
juga sedang kencing. Keduanya terkejut. Bejo lari dan naik
ke atas pohon. Pengamen Banci mengamen pada Bejo.
Bejo : Suara sampeyan itu elek betul, seperti kaset rusak. Tak
tinggal. Assalamualaikum.
Banci : Lho lho lho lho, Mas. Mas belum bayar, sampeyan belum
bayar, woi, woi, hoi hoi hoi hoi. Gimana sih? Aku udah
nyanyi begitu, sampeyan ndak bayar-bayar aku. Gimana ta?
Suara aku itu kan merdu, semerdu Waljinah gitu lho,
hahaha. Bejo : (Manjat pohon) Aku ndak punya duit.
Banci : Udah, sampeyan tunggu aja di situ! Nanti tak nyanyi lagu
yang ke dua, ya. „Suwe ora jamu‟.
Bejo : Hei, pergi!
(92/PPK/SPRR/SCTV/17 Juli 2011)
Tuturan Banci “Suara aku itu kan merdu, semerdu Waljinah gitu
lho, hahaha” pada percakapan (40) termasuk ke dalam jenis tuturan yang
melanggar maksim kerendahan hati, khususnya melanggar submaksim
pertama. Dikatakan demikian, karena Banci berusaha memaksimalkan pujian
terhadap dirinya sendiri. Tuturan Banci tersebut termasuk ke dalam tindak
tutur ekspresif memuji, dalam hal ini memuji diri sendiri. Tuturan „suara aku
itu kan merdu, semerdu Waljinah gitu lho‟ merupakan penanda lingual dari
tindak tutur ekspresif memuji diri sendiri.
Banci yang berprofesi sebagai seorang pengamen, mengamen kepada
Bejo dengan menyanyikan lagu-lagu Jawa. Bejo mengatakan bahwa suara
Banci sangat jelek seperti suara kaset rusak yang dimainkan, kemudian Bejo
pergi meninggalkan Banci. Banci merasa tidak terima karena Bejo belum
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
108
memberikan uang kepadanya sebagai imbalan, tetapi Bejo sudah berani
menghinanya dengan mengatakan bahwa suaranya sangat jelek. Untuk
menanggapi hinaan Bejo, Banci kemudian bertutur “Suara aku itu kan
merdu, semerdu Waljinah gitu lho, hahaha”. Tuturan Banci tersebut
menunjukkan bahwa Banci telah berusaha memaksimalkan pujian terhadap
dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa suaranya sangat merdu semerdu
suara Waljinah. Waljinah adalah seorang perempuan pelantun langgam-
langgam (lagu-lagu) Jawa yang sangat terkenal dengan suaranya yang sangat
merdu dan indah. Dengan demikian, tuturan Banci tersebut tidak sesuai
dengan maksim kerendahan hati yang seharusnya penutur meminimalkan
pujian terhadap dirinya sendiri, tetapi dalam kasus tersebut penutur justru
memaksimalkan pujian terhadap dirinya sendiri. Tuturan penutur yang
berusaha memaksimalkan pujian terhadap diri sendiri dapat dikatakan sebagai
tuturan yang tidak santun.
Data lain yang juga melanggar maksim kerendahan hati dapat dilihat
dalam percakapan SSM berikut ini.
(41) Konteks : Syifa sampai di kampus. Dia berjalan sendirian menuju
kelasnya. Hasan melihat Syifa dan menghampiri Syifa. Hasan
mengedip-ngedipkan matanya kepada Syifa. Syifa pergi
meninggalkan Hasan. Hasan mengejar Syifa dan menyejajari
langkah Syifa. Hasan memegang tangan Syifa.
Syifa : Kan udah bilang.
Hasan : Iya, bukan muhrim.
Syifa : Nah, itu tau. Terus ngapain megang-megang lagi?
Hasan : Terus kenapa kamu demen banget ninggalin aku? Kurang
apa aku ini Syifa? Ganteng? Iya. Keren? Punya. Pinter?
Apalagi? Kaya? Aku kaya. Kurang apa coba aku?
Syifa : Pede gila.
(163/PPK/SSM/SCTV/26 Juli 2011)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
109
Pada percakapan (41) terdapat tuturan yang melanggar maksim
kerendahan hati, yaitu tuturan “Kurang apa aku ini Syifa? Ganteng? Iya.
Keren? Punya. Pinter? Apalagi? Kaya? Aku kaya. Kurang apa coba
aku?” yang dituturkan oleh Hasan. Tuturan tersebut melanggar maksim
kerendahan hati terutama melanggar submaksim pertama, karena Hasan
berusaha memaksimalkan pujian terhadap dirinya sendiri. Tuturan Hasan
tersebut termasuk ke dalam jenis tindak tutur ekspresif memuji, dalam hal ini
memuji diri sendiri. Tuturan „ganteng? Iya. Keren? Punya. Pinter? Apalagi?
Kaya? Aku kaya. Kurang apa coba aku?‟ adalah penanda lingual dari tindak
tutur ekspreif memuji diri sendiri.
Konteks situasi tutur yang terjadi ialah Hasan selalu berusaha
mendekati Syifa dengan tujuan untuk meluluhkan hati Syifa agar Syifa
berkenan mejadi kekasihnya. Usaha Hasan ternyata tidak sia-sia. Dalam hati,
Syifa mulai menyukai Hasan, tetapi Syifa sering meninggalkan Hasan ketika
mereka berbicara berdua. Suatu hari di kampus, Hasan ingin memegang
tangan Syifa agar Syifa tidak pergi meninggalkannya, tetapi Syifa menolak
tangannya dipegang oleh Hasan dengan alasan bahwa mereka belum muhrim.
Hal itu membuat Hasan bertutur “Kurang apa aku ini Syifa? Ganteng? Iya.
Keren? Punya. Pinter? Apalagi? Kaya? Aku kaya. Kurang apa coba
aku?”. Tuturan tersebut menunjukkan bahwa Hasan telah berusaha memuji
dirinya sendiri dengan mengatakan bahwa dia adalah seorang pemuda yang
ganteng atau tampan, keren, pintar, dan kaya. Dengan perkataan lain, Hasan
telah menganggap bahwa dirinya adalah seorang pemuda yang sempurna,
yang tidak ada cacat atau kekurangan sesuatu apapun sehingga pantas untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
110
menjadi kekasih Syifa. Dengan demikian, tuturan Hasan tersebut tidak sesuai
dengan maksim kerendahan hati yang seharusnya penutur meminimalkan
pujian terhadap diri sendiri, tetapi Hasan selaku penutur justru telah
memaksimalkan pujian terhadap dirinya sendiri.
5. Pelanggaran Maksim Kesepakatan
Maksim kesepakatan berisi nasihat yang berkenaan dengan kesepakatan
dan ketidaksepakatan antara diri sendiri dan pihak lain terhadap hal yang
sedang dibicarakan. Sejalan dengan pengertian tersebut, maksim ini
dijabarkan ke dalam dua submaksim, yaitu (a) usahakan agar ketaksepakatan
antara diri dan lain terjadi sesedikit mungkin, dan (b) usahakan agar
kesepakatan antara diri dengan lain terjadi sebanyak mungkin. Untuk lebih
memahaminya, dapat dilihat data yang melanggar maksim kesepakatan dalam
percakapan SIKTP berikut.
(42) Konteks : Bang Madit dan Pak RT di depan rumah kontrakan
Bambang. Pak RT mengetuk pintu rumah beberapa kali,
tapi tidak ada jawaban sama sekali dari dalam. Rumah
Bambang terlihat sepi. Bang Madit merasa bahwa dia telah
ditipu oleh Bambang.
Bang Madit : Tuh, ane diharapin. Belum tahu ane siape ye.
Astaghfirullahaladzim. Hah, ini gara-gara ente, gara-gara
ente, gara-gara ente.
Pak RT : Kok aku?
Bang Madit : Lha, iya, ini gara-gara ente.
Pak RT : Nggak bisa begitu dong, nggak bisa begitu. Buktinya
sepuluh ribu bisa menjadi seratus ribu.
Bang Madit : Iye iye.
(7/PPK/SIKTP/SCTV/29 Mei 2011)
Pada percakapan (42) terdapat tuturan yang melanggar maksim
kesepakatan, yaitu tuturan “Nggak bisa begitu dong, nggak bisa begitu.
Buktinya sepuluh ribu bisa menjadi seratus ribu” yang dituturkan oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
111
Pak RT. Tuturan tersebut melanggar maksim kesepakatan terutama
melanggar submaksim pertama, karena Pak RT berusaha memaksimalkan
ketaksepakatan dengan mitra tuturnya. Tuturan Pak RT tersebut termasuk ke
dalam jenis tindak tutur asertif menyangkal. Tuturan „nggak bisa begitu dong,
nggak bisa begitu‟ merupakan penanda lingual dari tindak tutur asertif
menyangkal.
Bang Madit merasa ditipu oleh Bambang berkenaan dengan
penggandaan uang milik Bang Madit, karena pada waktu yang telah
ditentukan untuk mengambil uang hasil penggandaan, Bambang tidak ada di
rumah dan rumahnya dalam keadaan terkunci. Hal itu menunjukkan bahwa
Bambang telah melarikan diri dan menipu Bang Madit. Merasa ditipu, Bang
Madit menuduh Pak RT sebagai orang yang telah menyebabkan Bang Madit
ditipu oleh Bambang, karena Pak RT adalah orang yang memberitahu dirinya
kalau Bambang mampu menggandakan uang, dan Pak RT juga yang
mengajaknya untuk mencobanya. Menanggapi tuduhan Bang Madit, Pak RT
bertutur “Nggak bisa begitu dong, nggak bisa begitu. Buktinya sepuluh
ribu bisa menjadi seratus ribu”. Tuturan tersebut menunjukkan bahwa Pak
RT tidak sepakat atau menyangkal tuturan Bang Madit yang telah
menuduhnya sebagai orang yang menyebabkan Bang Madit ditipu oleh
Bambang. Hal itu karena Bang Madit dan Pak RT telah sama-sama
membuktikan bahwa Bambang bisa menggandakan uang sepuluh ribu
menjadi seratus ribu. Dengan demikian, sesuai dengan maksim kesepakatan,
tuturan Pak RT tersebut dapat dikatakan sebagai tuturan yang tidak santun,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
112
karena Pak RT berusaha memaksimalkan ketidaksepakatan dengan mitra
tuturnya, yaitu Bang Madit.
Contoh pelanggaran terhadap maksim kesepakatan dapat pula dilihat
pada data dalam percakapan SPRR berikut.
(43) Konteks : Nada pergi berziarah ke makam Papanya Wahyu. Dia
berdoa, membersihkan, dan menaburkan bunga di makam
Papanya Wahyu. Bu Rosminah memerhatikan Nada dari
kejauhan kemudian mendekati Nada. Bu Rosminah
meminta maaf dan memintakan maaf untuk Laras kepada
Nada atas sikap mereka yang kurang baik kepada Nada di
masa lampau.
Bu Rosminah : Nada, Mama juga mau pamit pulang, Mama sama Laras
mau pulang ke Jakarta.
Nada : Ya Allah, Ma, kenapa Mama mau pulang cepat sekali?
Dan kenapa kesannya itu, Mama seperti buru-buru? Apa
Mas Wahyu udah tahu? Tapi Ma, Mas Wahyu kan lagi
rapat di pesantren dari tadi pagi. Apa ndak sebaiknya Mama
pamit aja sama Mas Wahyu dulu?! Jadi Mama nungguin!
Bu Rosminah : Tak perlu Nada, Mama udah bilang kok sama Wahyu.
(90/PPK/SPRR/SCTV/17 Juli 2011)
Tuturan “Tak perlu Nada, Mama udah bilang kok sama Wahyu”
yang dituturkan oleh Bu Rosminah pada percakapan (43) merupakan tuturan
yang melanggar maksim kesepakatan, khususnya melanggar submaksim
pertama. Dikatakan demikian, karena Bu Rosminah selaku penutur berusaha
memaksimalkan ketaksepakatan antara dirinya dan mitra tuturnya, yaitu
Nada. Tuturan Bu Rosminah tersebut termasuk ke dalam jenis tindak tutur
asertif menolak. Tuturan „tak perlu Nada‟ merupakan penanda lingual dari
tindak tutur asertif menolak.
Dari tuturan Bu Rosminah “Tak perlu Nada, Mama udah bilang kok
sama Wahyu”, terlihat bahwa Bu Rosminah berusaha menunjukkan
ketaksepakatannya dengan mitra tuturnya, yaitu Nada. Bu Rosminah menolak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
113
saran dari Nada untuk berpamitan terlebih dahulu kepada Wahyu (anak Bu
Rosminah dan juga suami Nada) sebelum Bu Rosminah berangkat ke Jakarta.
Bu Rosminah menolak saran dari Nada itu, karena dia sudah memberitahu
Wahyu terlebih dahulu sebelum bertemu dengan Nada bahwa dia akan
kembali ke Jakarta. Penolakan Bu Rosminah atas saran Nada tersebut, jika
dilihat dari maksim kesepakatan maka dapat dikatakan sebagai tuturan yang
kurang santun, karena penutur berusaha memaksimalkan ketaksepakatan
dengan mitra tuturnya. Di samping itu, tuturan Bu Rosminah tersebut juga
dapat menimbulkan kekecewaan di dalam diri mitra tutur, Nada, yang telah
berusaha memberikan saran.
Contoh data lain yang juga melanggar maksim kesepakatan dapat
dilihat pada percakapan SSM di bawah ini.
(44) Konteks : Malam hari di rumah Hasan, Hasan memanggil Sumi
(pembantunya yang beragama Islam). Hasan ingin bertanya
tentang sesuatu yang berkaitan dengan Islam kepada Sumi.
Hasan : Kenapa sih kalau di Islam itu nggak boleh pacaran?
Sumi : Bukannya nggak dibolehin tuan muda, tapi nggak
diizinkan.
Hasan : Ya, itu mah sama aja, Mbak.
Sumi : Beda. Kalau nggak diizinkan, itu ada waktunya tuan
muda, tapi kalau nggak dibolehin, itu untuk selamanya.
Hasan : Saya nggak ngerti. Maksudnya bagaimana sih, Mbak?
Sumi : Nikahin dulu, setelah itu, pacaran setelah nikah!
(188/PPK/SSM/SCTV/27 Juli 2011)
Tuturan Sumi “Bukannya nggak dibolehin tuan muda, tapi nggak
diizinkan” pada percakapan (44) merupakan tuturan yang melanggar maksim
kesepakatan, khususnya melanggar submaksim pertama. Dikatakan demikian,
karena Sumi berusaha memaksimalkan ketaksepakatan antara dirinya dan
mitra tuturnya. Tuturan Sumi tersebut termasuk ke dalam jenis tindak tutur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
114
asertif tidak setuju. Tuturan „bukannya nggak dibolehin‟ adalah penanda
lingual sebagai identitas dari tindak tutur asertif tidak setuju.
Dengan tuturan “Bukannya nggak dibolehin tuan muda, tapi nggak
diizinkan”, Sumi telah berusaha memaksimalkan ketaksepakatan dengan
Hasan selaku mitra tuturnya. Ketaksepakatan Sumi dinyatakan dengan cara
tidak setuju dengan anggapan Hasan yang menganggap bahwa di dalam Islam
itu tidak boleh berpacaran. Menurut Sumi, berpacaran di dalam Islam itu
bukan tidak dibolehkan, akan tetapi tidak diizinkan. Pernyataan Sumi tersebut
semakin membuat Hasan menjadi bingung, karena antara „tidak dibolehkan‟
dan „tidak diizinkan‟ menurut Hasan adalah sama. Anggapan Hasan tersebut,
membuat Sumi melakukan ketaksepakatan lagi dengan Hasan dengan
bertuturan “Beda. Kalau nggak diizinkan, itu ada waktunya tuan muda,
tapi kalau nggak dibolehin, itu untuk selamanya”.
Dengan tuturan “Beda. Kalau nggak diizinkan, itu ada waktunya
tuan muda, tapi kalau nggak dibolehin, itu untuk selamanya”, Sumi
menyangkal pendapat Hasan yang menyatakan bahwa antara „tidak
dibolehkan‟ dan „tidak diizinkan‟ itu adalah sama. Menurut pandangan Sumi,
antara „tidak dibolehkan‟ dan „tidak diizinkan‟ itu berbeda. Menurutnya,
„tidak diizinkan‟ itu artinya suatu saat nanti ada waktunya di dalam Islam
diizinkan untuk berpacaran, sedangkan „tidak dibolehkan‟ itu artinya untuk
selamanya tidak dibolehkan berpacaran di dalam Islam. Tuturan Sumi
tersebut termasuk ke dalam jenis tindak tutur asertif menyangkal yang disertai
dengan pendapat. Adapun penanda lingual yang menunjukkannya ialah
tuturan „Beda. Kalau nggak diizinkan, itu ada waktunya tuan muda, tapi kalau
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
115
nggak dibolehin, itu untuk selamanya‟. Dengan demikian, kedua tuturan Sumi
tersebut termasuk ke dalam tuturan yang melanggar maksim kesepakatan,
karena Sumi berusaha memaksimalkan ketaksepakatan dengan mitra
tuturnya.
6. Pelanggaran Maksim Simpati
Maksim simpati berkenaan dengan antipati dan simpati antara diri
sendiri dan pihak lain. Agar mematuhi prinsip kesantunan, nasihat maksim ini
yang harus dipatuhi terangkum dalam dua submaksim, yaitu (a) kurangi rasa
antipati antara diri dengan lain hingga sekecil mungkin, dan (b) tingkatkan
rasa simpati sebanyak-banyaknya antara diri dan lain. Untuk lebih
memahaminya, dapat dilihat data yang melanggar maksim simpati dalam
percakapan SIKTP berikut.
(45) Konteks : Zulfikar pulang dari rumah Bang Dul karena sudah larut
malam. Di jalan, Zulfikar bertemu dengan Bang Madit, Pak
RT, dan Qomar.
Zulfikar : Bang Madit, setiap manusia itu pasti akan mati. E, saya mohon
pada Bang Madit kalau saya punya salah, tolonglah maafkan
saya!
Pak RT : Eh, bagaimana rupanya? Belum tentu ente itu masuk
surga. Jangan belagulah! Ah, mengkhayal bae.
Zulfikar : Masya Allah, Pak RT, keimanan seseorang itu hanya Allah
yang tahu, dan kalau saya mati, saya mohon Pak RT juga
doakanlah saya agar saya di akhirat nanti hidup yang sangat
mulia!
Pak RT : Apa kata malaikat nanti? Apa kata malaikat?
(29/PPK/SIKTP/SCTV/29 Mei 2011)
Tuturan Pak RT “Eh, bagaimana rupanya? Belum tentu ente itu
masuk surga” pada percakapan (45) merupakan tuturan yang termasuk ke
dalam jenis tuturan yang melanggar maksim simpati, khususnya melanggar
submaksim pertama. Dikatakan demikian, karena Pak RT selaku penutur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
116
telah memaksimalkan rasa antipatinya terhadap Zulfikar selaku mitra
tuturnya. Tuturan Pak RT tersebut termasuk dalam tindak tutur asertif yang
bermodus memprediksi. Tututran „belum tentu ente itu masuk surga‟ adalah
penanda lingual dari tindak tutur asertif memprediksi.
Dengan tuturan “Eh, bagaimana rupanya? Belum tentu ente itu
masuk surga”, Pak RT telah menunjukkan rasa tidak simpatinya terhadap
Zulfikar yang pada waktu itu sedang meminta maaf kepada Bang Madit atas
segala kesalahan yang telah dilakukan oleh Zulfikar kepada Bang Madit di
masa lalu. Pak RT justru memprediksikan kalau Zulfikar itu belum tentu
masuk surga apabila nanti Zulfikar meninggal. Dengan perkataan lain, Pak
RT tidak senang jika Zulfikar masuk surga apabila nanti Zulfikar sudah
meninggal. Apabila Pak RT ingin mematuhi maksim simpati, hendaknya Pak
RT tidak bertutur dengan tuturan tersebut. Akan tetapi, Pak RT hendaknya
bertutur dengan tuturan yang mendukung niat Zulfikar atau tuturan
membujuk agar Bang Madit bersedia memberikan maaf kepada Zulfikar.
Selain tuturan tersebut, terdapat tuturan lain yang juga melanggar
maksim simpati pada percakapan (45), yaitu tuturan “Apa kata malaikat
nanti? Apa kata malaikat?” yang juga dituturkan oleh Pak RT. Tuturan
tersebut melanggar submaksim pertama dari maksim simpati, karena Pak RT
berusaha memaksimalkan rasa antipatinya terhadap Zulfikar. Dikatakan
melanggar maksim simpati karena pada waktu Zulfikar memohon dengan
tulus kepada Pak RT agar Pak RT berkenan mendoakan Zulfikar agar nanti di
akhirat Zulfikar mendapatkan hidup yang sangat mulia, Pak RT justru
bertutur dengan tuturan tersebut. Dengan tuturan tersebut, Pak RT telah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
117
menunjukkan rasa tidak sukanya terhadap Zulfikar apabila Zulfikar benar-
benar mendapatkan hidup yang mulia di akhirat nanti. Tuturan Pak RT
tersebut termasuk ke dalam kategori tindak tutur asertif menegaskan.
Contoh percakapan lain dalam SPRR yang juga merupakan data yang
melanggar maksim simpati yaitu sebagai berikut.
(46) Konteks : Laras baru sampai di rumahnya di Jakarta. Laras duduk
di kursi ruang tamu melepas lelah. Handphone Laras
berbunyi. Laras mengangkat telepon dari Mamanya.
Bu Rosminah : Ras, Mama mau menyampaikan kabar gembira lho ke
kamu.
Laras : Berita apa Ma?
Bu Rosminah : Ini lho hasil tesnya Nada itu udah keluar.
Laras : Ha? Terus-terus Ma! Apa hasilnya Ma?
Bu Rosminah : Nada dinyatakan sehat dan baik-baik aja, Ras.
Laras : Hah? Baik-baik aja?
Bu Rosminah : Kamu kok ngomongnya gitu sih Ras? Kamu tuh harusnya
minta maaf sama Nada, karena selama ini kamu udah
nyakitin perasaannya dia, dan kamu itu selalu
mengeluarkan kata-kata yang seolah-olah Nada itu
mandul.
(102/PPK/SPRR/SCTV/17 Juli 2011)
Pada percakapan (46) terdapat tuturan yang melanggar maksim simpati,
yaitu tuturan “Hah? Baik-baik aja?” yang dituturkan oleh Laras. Tuturan
tersebut melanggar maksim simpati khususnya melanggar submaksim kedua,
karena Laras berusaha meminimalkan rasa simpatinya terhadap orang lain.
Orang lain di sini adalah Nada, yang merupakan pihak ketiga. Tuturan Laras
tersebut termasuk ke dalam jenis tindak tutur asertif meyakinkan.
Tuturan Laras “Hah? Baik-baik aja?” menunjukkan bahwa Laras
berusaha meyakinkan terhadap dirinya sendiri tentang informasi atau berita
yang disampaikan oleh Bu Rosminah kepadanya berkaitan dengan kondisi
kesehatan reproduksi Nada yang dinyatakan oleh dokter dalam keadaan sehat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
118
Tuturan Laras tersebut mengindikasikan bahwa Laras tidak senang dengan
hasil lab Nada yang menunjukkan bahwa kondisi organ reproduksi Nada
dalam keadaan sehat. Laras tidak senang dengan hasil lab tersebut karena
Laras justru menginginkan kalau hasil lab Nada menunjukkan organ
reproduksi Nada dalam keadaan tidak sehat. Laras berbuat demikian karena
dari awal Laras tidak senang dengan Nada dan tidak setuju kalau kakaknya,
Wahyu, menikah dengan Nada. Dengan demikian, tuturan Laras tersebut
termasuk ke dalam jenis tuturan yang tidak santun.
Pelanggaran maksim simpati juga terdapat pada data dalam percakapan
SSM berikut.
(47) Konteks : Amang mencuri ban mobil milik Usman yang diparkir di
dekat masjid ketika Usman melaksanakan Sholat Zuhur.
Usman keluar masjid bersama Tebe dan terkejut melihat ban
mobilnya hilang semua. Bang Abu tiba-tiba datang.
Bang Abu : Kenape, ha? Lagi marah? Nahan emosi? Mukenye kusut?
Usman : Ya kalau ane nggak nahan emosi, Abu, ane dosa. Ya, Abu
perhatiin dong, masak mobilnya nggak ada ban?
Astaghfirullah.
Bang Abu : Hehehe.
Usman : Siapa yang ngambil?
Bang Abu : Ente baru kehilangan ban mobil aje lo marah, udeh
emosi, di mana kalau sampai Allah ambil semua harta
ente?
Usman : Woi woi woi, hehehe. Stop! Stop! Stop!
(180/PPK/SSM/SCTV/27 Juli 2011)
Pada percakapan (47) terdapat tuturan yang melanggar maksim simpati,
yaitu tuturan “Kenape, ha? Lagi marah? Nahan emosi? Mukenye kusut?”
yang dituturkan oleh Bang Abu. Tuturan tersebut melanggar maksim simpati
terutama melanggar submaksim pertama, karena Bang Abu berusaha
memaksimalkan rasa antipatinya terhadap Usman selaku mitra tuturnya.
Tuturan Bang Abu tersebut termasuk ke dalam jenis tindak tutur asertif
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
119
memprediksi. Tuturan „Lagi marah? Nahan emosi?‟ merupakan penanda
lingual dari tindak tutur asertif memprediksi.
Usman keluar dari masjid bersama Tebe dan terkejut mendapati
keempat ban mobilnya dicuri orang. Usman terlihat sedang menahan
emosinya. Tiba-tiba Bang Abu datang dan bertutur “Kenape, ha? Lagi
marah? Nahan emosi? Mukenye kusut?”. Tuturan tersebut menunjukkan
bahwa Bang Abu tidak bersimpati atas musibah yang menimpa Usman, yaitu
keempat ban mobil Usman dicuri orang. Tetapi dengan tuturan tersebut,
Bang Abu justru memprediksi kondisi psikologis Usman pasca dicurinya
keempat ban mobil milik Usman. Jika Bang Abu ingin mematuhi maksim
simpati, hendaknya Bang Abu tidak menuturkan tuturan tersebut, tetapi
menuturkan tuturan yang menunjukkan rasa ikut berbela sungkawa, atau
menuturkan tuturan yang dapat menguatkan hati Usman agar Usman tetap
tabah dan sabar dalam menghadapi musibah yang menimpanya itu.
Selain tuturan tersebut, terdapat tuturan lain pada percakapan (47) yang
juga melanggar maksim simpati, yaitu tuturan “Ente baru kehilangan ban
mobil aje lo marah, udeh emosi, di mana kalau sampai Allah ambil
semua harta ente?” yang juga dituturkan oleh Bang Abu. Tuturan tersebut
sangat jelas sekali melanggar maksim simpati, khususnya melanggar
submaksim kedua. Dikatakan demikian, karena Bang Abu sama sekali tidak
menunjukkan rasa simpatinya terhadap Usman yang sedang mendapat
musibah, yaitu keempat ban mobilnya dicuri orang. Bang Abu justru
mengatakan kalau musibah yang dialami Usman itu baru sedikit dan belum
ada apa-apanya, karena Allah belum mengambil semua harta yang dititipkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
120
kepada Usman, tetapi Allah baru mengambil sedikit nikmat-Nya yang
dititipkan kepada Usman, yang berupa keempat ban mobil Usman. Dengan
demikian, tuturan Bang Abu tersebut termasuk ke dalam jenis tuturan yang
tidak santun, karena Bang Abu berusaha meminimalkan rasa simpatinya
terhadap Usman yang sedang mendapat musibah.
Secara keseluruhan, data yang melanggar maksim-maksim dalam
prinsip kesantunan dalam percakapan SIKTP, SPRR, dan SSM dapat dilihat
pada tabel berikut.
Tabel 3
Data yang Melanggar Prinsip Kesantunan
No Maksim Sinetron Nomor Data Jml.
1 Kearifan SIKTP 1, 2, 3, 5, 6, 14, 16, 19, 22, 23,
24, 25, 30, 33, 34, 35, 36, 38, 40,
41, 42, 44, 45, 46, 47, 48, 49, 50,
51, 52, 53, 54, 57, 58, 59, 60, 62,
63, 64, 65, 69, 70, 71, 72, 75, 76,
78, 79, 81, 83, 84, 85
52
SPRR 86, 90, 92, 93, 96, 97, 98, 99,
100, 101, 102, 106, 110, 111,
113, 114, 115, 117, 120, 121,
122, 123, 126, 129, 132, 133,
135, 141, 144, 145, 146
31
SSM 147, 148, 149, 151, 153, 155,
156, 157, 158, 160, 161, 162,
164, 165, 166, 167, 169, 171,
172, 173, 174, 179, 182, 185,
190, 192, 195, 196, 198, 199
30
2 Kedermawanan SIKTP 10, 18, 37, 59 4
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
121
SPRR 94, 106, 109 3
SSM 148, 166, 177, 186, 191 5
3 Pujian SIKTP 1, 3, 5, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14,
15, 16, 17, 19, 21, 23, 24, 25, 26,
27, 28, 30, 34, 38, 40, 41, 42, 46,
49, 52, 54, 60, 61, 62, 63, 65, 66,
67, 68, 70, 71, 74, 75, 78, 80, 81
47
SPRR 87, 88, 91, 92, 94, 95, 96, 101,
107, 117, 118, 119, 123, 130,
131, 132, 141, 143, 144
19
SSM 147, 149, 151, 152, 153, 155,
157, 158, 159, 166, 167, 168,
170, 171, 176, 178, 179, 182,
186, 191, 192, 193, 195
23
4 Kerendahan
Hati
SIKTP 7, 12, 13, 30, 44, 57, 71, 73, 78,
79
10
SPRR 92, 107 2
SSM 147, 163, 165, 172, 176, 186,
190, 191
8
5 Kesepakatan SIKTP 1, 2, 4, 5, 6, 7, 12, 14, 15, 17, 18,
22, 23, 25, 30, 31, 32, 35, 36, 38,
39, 40, 44, 48, 60, 62, 63, 67, 71,
75, 76, 80, 81
33
SPRR 89, 90, 91, 94, 99, 104, 107, 108,
109, 123, 129, 137, 142, 143,
144
15
SSM 151, 152, 154, 156, 158, 164,
165, 176, 177, 187, 188, 189,
193, 194, 196, 197, 199
17
6 Simpati SIKTP 1, 3, 12, 29, 40, 46, 68, 81, 84,
85
10
SPRR 94, 95, 96, 102, 103, 106, 123, 10
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
122
143, 145, 146
SSM 150, 152, 157, 170, 177, 180,
189, 191, 192, 193, 194, 195,
200
13
C. Implikatur Akibat Pelanggaran Prinsip Kesantunan dalam SIKTP,
SPRR, dan SSM
Pelanggaran terhadap maksim-maksim prinsip kesantunan menunjukkan
adanya implikatur yang tersimpan di dalam tuturan. Brown dan Yule menyatakan
bahwa implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau apa
yang dimaksudkan oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang
dinyatakan secara harfiah (dalam Abdul Rani, Bustanul Arifin, Martutik,
2006:170). Dengan perkataan lain, di dalam sebuah tuturan terkandung suatu
maksud lain yang tidak dinyatakan secara eksplisit oleh penutur dalam tuturannya
itu.
Berdasarkan pelanggaran terhadap prinsip kesantunan, maka percakapan
dalam SIKTP, SPRR, dan SSM terdapat tuturan yang mengandung implikatur.
Terdapat delapan (8) macam implikatur yang ditemukan dalam percakapan
SIKTP, SPRR, dan SSM, yaitu implikatur mengkritik, menghina, menolak,
sindiran, menyombongkan diri, tidak suka, keraguan, dan kecewa.
1. Implikatur Mengkritik
Mengkritik adalah mengemukakan kritik; mengecam (KBBI Offline
1.3). Jadi, implikatur mengkritik ialah tuturan penutur yang memiliki maksud
lain untuk mengemukakan kritikan atau mengecam orang lain. Untuk lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
123
memahaminya dapat dilihat data yang mengandung implikatur mengkritik
dalam percakapan SPRR berikut.
(48) Konteks : Bejo, Rahim, Fuad, dan teman-teman santri yang lain
sudah berada di aula pesantren untuk latihan marawis.
Mereka menunggu kedatangan Kyai Abdullah dan Wahyu.
Kyai Abdullah dan Wahyu datang terlambat. Latihan
marawis dimulai dengan dipimpin oleh Iqbal sekaligus
menjadi vokalisnya. Iqbal menyanyi dengan irama rock.
Kyai Abdullah : Kamu hebat, Iqbal. Ekspresif. Eee, suara kamu
bagus, semangat kamu bagus, lagu kamu juga bagus,
cuma itu bukan, eee... irama marawis dalam
pendengaran Bapak, itu iramanya irama rock. Wahyu : Tuh Bal, Pak Kyai benar. Harusnya lo yang
menyesuaikan diri seperti marawis, bukannya sebaliknya!
Kan kasihan mereka kalau mereka harus ngikutin gaya
musik lo, rocker.
Iqbal : Yah, gue kagak bisa dong, Yu. Lo tahu sendiri gaya gue
begini. Ya beginilah jati diri gue, kagak bisa dirubah-
rubah.
Wahyu : Bukannya nggak bisa, sebenarnya lo tuh bisa. Makanya
gue kasih tahu sama elo, lo sering-sering bergaul sama
mereka! Bukan cuma bisa musik marawis doang, tapi
insya Allah lama-lama lo bisa kok gabung sama mereka.
(123/PPK/SPRR/SCTV/17 Juli 2011)
Tuturan Kyai Abdullah “Kamu hebat, Iqbal. Ekspresif. E, suara
kamu bagus, semangat kamu bagus, lagu kamu juga bagus, cuma itu
bukan, e... irama marawis dalam pendengaran Bapak, itu iramanya
irama rock” pada percakapan (48) merupakan tuturan yang mengandung
implikatur mengkritik. Tuturan tersebut merupakan tuturan yang melanggar
prinsip kesantunan terutama melanggar submaksim kedua dari maksim
pujian, karena Kyai Abdullah berusaha meminimalkan pujian terhadap Iqbal
selaku mitra tuturnya.
Tuturan Kyai Abdullah “Kamu hebat, Iqbal. Ekspresif. E, suara
kamu bagus, semangat kamu bagus, lagu kamu juga bagus, cuma itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
124
bukan, e... irama marawis dalam pendengaran Bapak, itu iramanya
irama rock” menunjukkan bahwa Kyai Abdullah mengakui kalau suara,
semangat, dan lagu yang dinyanyikan oleh Iqbal sangat bagus, tetapi menurut
Kyai Abdullah irama yang dilantunkan oleh Iqbal bukanlah irama marawis,
melainkan irama musik rock. Dengan perkataan lain, tuturan Kyai Abdullah
tersebut mengandung implikatur. Adapun implikaturnya ialah Kyai Abdullah
bermaksud ingin mengkritik Iqbal dengan cara yang lebih halus, dan
kemudian memberitahu Iqbal bahwa irama yang dilantunkan oleh Iqbal itu
bukanlah irama marawis, melainkan irama musik rock. Kyai Abdullah
mengkritik dengan cara demikian agar Iqbal tidak merasa tersinggung dan
tidak merasa malu di hadapan para teman-temannya.
2. Implikatur Menghina
Menghina adalah merendahkan, memandang rendah, hina, tidak
penting; memburukkan nama baik orang; menyinggung perasaan orang
(KBBI Offline 1.3). Jadi, implikatur menghina ialah tuturan yang memiliki
maksud lain untuk merendahkan, menghina, memburukkan nama baik orang,
atau menyinggung perasaan orang lain. Untuk lebih memahaminya dapat
dilihat data yang mengandung implikatur menghina dalam percakapan SIKTP
berikut.
(49) Konteks : Aisyah pergi ke dapur dengan menangis setelah pulang dari
rumah Najib menemui Bu Halidah. Menik berada di dapur, dan
Aisyah menghampiri Menik. Aisyah mengatakan keluhannya
kepada Menik.
Aisyah : Mbak Menik, aku iki wis putus asa, ndak tahu harus ngapain.
Mbak Menik, aku udah kehabisan strategi, Mbak, untuk
deketin calon mertuaku.
Menik : Ya, wis. Operasi hidung wae!
Aisyah : Kurang ajar kowe ngomong. Semprul tenan kowe.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
125
(141/PPK/SPRR/SCTV/18 Juli 2011)
Pada percakapan (49) terdapat tuturan yang mengandung implikatur
menghina, yaitu tuturan Menik “Ya, wis. Operasi hidung wae!”. Tuturan
tersebut termasuk tuturan yang melanggar prinsip kesantunan terutama
melanggar submaksim pertama dari maksim kearifan, karena Menik berusaha
memaksimalkan kerugian terhadap mitra tuturnya, yaitu Aisyah.
Tuturan Menik “Ya, wis. Operasi hidung wae!” menunjukkan bahwa
Menik menyuruh Aisyah agar Aisyah melakukan operasi hidung. Akan tetapi,
secara tersirat, tuturan Menik tersebut mengandung implikatur menghina,
yaitu Menik bermaksud ingin menghina Aisyah dengan cara menyuruh
Aisyah untuk mengoperasi hidungnya, karena hidung Aisyah pesek atau tidak
mancung. Menurut Menik, hal itulah yang membuat Bu Halidah kurang
menyukai Aisyah untuk dijadikan sebagai calon menantunya.
3. Implikatur Menolak
Menolak adalah tidak menerima, memberi, meluluskan, mengabulkan;
menampik; tidak membenarkan (KBBI Offline 1.3). Berdasarkan pada
pengertian tersebut, implikatur menolak ialah tuturan yang dituturkan oleh
penutur kepada petutur yang memiliki maksud lain untuk tidak menerima,
tidak meluluskan, atau tidak membenarkan. Untuk lebih memahaminya dapat
dilihat data yang mengandung implikatur menolak dalam percakapan SIKTP
berikut.
(50) Konteks : Tebe duduk sendiri di kursi di teras rumah Yusuf pada malam
hari. Enting menghampiri Tebe dan mengajaknya untuk tidur
karena sudah larut malam.
Enting : Tebe masih ingat aja kata Bapak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
126
Tebe : Hehehe, kata Bapak Tebe, ambil yang baik, Mak, dan buang
yang buruk!
Enting : Ya udah emak ngalah. Emak mau tidur nih. Tidur yuk, Be!
Masuk yuk!
Tebe : Tebe pengen puasa tidur, Mak.
(31/PPK/SIKTP/SCTV/29 Mei 2011)
Pada percakapan (50) terdapat tuturan yang mengandung implikatur
menolak, yaitu tuturan Tebe “Tebe pengen puasa tidur, Mak”. Tuturan
tersebut merupakan tuturan yang melanggar prinsip kesantunan terutama
melanggar submaksim pertama dari maksim kesepakatan, karena Tebe
berusaha memaksimalkan ketaksepakatan dengan mitra tuturnya, yaitu
Enting.
Tuturan Tebe “Tebe pengen puasa tidur, Mak”, secara harfiah
menunjukkan bahwa Tebe memberitahu kepada Enting bahwa Tebe ingin
melaksanakan puasa tidur pada malam itu. Akan tetapi, secara tersirat, di
dalam tuturan tersebut mengandung implikatur menolak. Dengan tuturan
tersebut, Tebe bermaksud ingin menolak ajakan Enting yang mengajaknya
untuk tidur di dalam rumah, karena Tebe ingin melaksanakan puasa tidur
pada malam itu.
Contoh data lain yang mengandung implikatur menolak dapat pula
ditemukan dalam percakapan SSM berikut.
(51) Konteks : Bang Ma‟ruf keluar dari masjid. Di jalan, Bang Ma‟ruf
bertemu Usman yang akan pergi ke masjid. Bang Ma‟ruf
menganggap Usman sebagai orang Islam keturunan karena
berpenampilan seperti perempuan (rambutnya panjang).
Usman : Eee... tentang rambut panjang. Boleh sedikit saya
bertanya, satu pertanyaan saja Bang?
Bang Ma‟ruf : Eee... silakan! Hehe, silakan! Hehehe.
Usman : Sejak kapan perempuan berambut panjang dan sejak kapan
laki-laki harus berambut pendek?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
127
Bang Ma‟ruf : Eee...hehehe, nih mau ngetes ane nih, ye? Eee...hehehe,
berhubung lidah ane lagi sariawan, ente aje yang jawab,
ye! Hehehe.
(173/PPK/SSM/SCTV/26 Juli 2011)
Pada percakapan (51) terdapat tuturan Bang Ma‟ruf yang mengandung
implikatur menolak, yaitu tuturan “E...hehehe, nih mau ngetes ane nih ye?
E...hehehe, berhubung lidah ane lagi sariawan, ente aje yang jawab ye!”.
Tuturan tersebut termasuk tuturan yang melanggar prinsip kesantunan
terutama melanggar submaksim pertama dari maksim kearifan, karena Bang
Ma‟ruf berusaha memaksimalkan kerugian terhadap Usman selaku mitra
tuturnya.
Tuturan Bang Ma‟ruf “E...hehehe, nih mau ngetes ane nih ye?
E...hehehe, berhubung lidah ane lagi sariawan, ente aje yang jawab ye!”,
menunjukkan bahwa Bang Ma‟ruf menyuruh Usman untuk menjawab
pertanyaan yang dilontarkan oleh Usman sendiri. Di dalam tuturan tersebut,
terkandung implikatur menolak. Dengan tuturan tersebut, Bang Ma‟ruf
bermaksud menolak untuk menjawab pertanyaan dari Usman, karena
sebenarnya Bang Ma‟ruf tidak dapat menjawab pertanyaan dari Usman. Di
samping itu, Bang Ma‟ruf melakukan hal tersebut untuk mengurangi rasa
malu serta menutupi kebodohannya.
4. Implikatur Sindiran
Implikatur menyindir ialah tuturan yang memiliki maksud lain untuk
mengkritik, mencela, atau mengejek seseorang secara tidak langsung atau
tidak terus terang; mengata-ngatai atau mencela seseorang, tetapi perkataan-
perkataan itu ditujukan kepada orang lain. Untuk lebih memahaminya dapat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
128
dilihat data yang mengandung implikatur menyindir dalam percakapan
SIKTP berikut.
(52) Konteks : Bang Madit dan Pak RT melihat Karyo bersama Ustaz
Qadir, dan menghampiri mereka. Bang Madit menghina
Karyo. Ustaz Qadir menjelaskan kepada Karyo tentang
orang kaya dan orang miskin, sekaligus menyindir Bang
Madit yang telah menghina Karyo. Karena merasa terpojok,
Bang Madit dan Pak RT pergi meninggalkan Karyo dan
Ustaz Qadir.
Ustaz Qodir : Jadi Mas Karyo, cari ilmu itu sejak dini!
Karyo : Iya.
Ustaz Qodir : Ibaratnye kalau kita nyari ilmu sejak kita masih bocah,
sejak dini, sejak hari ini tidak menunggu nanti, ibarat kita
ngegores di atas batu.
Karyo : Iye.
Ustaz Qodir : Tampaknya jelas. Tapi kalau kita telat, udah tua bangka
baru nyari ilmu, itu kaya kita ngegores di atas air. Balik
lagi, normal lagi kagak kelihatan bekasnya.
Karyo : Bang Ustaz, kalau begitu ya jangan bosan-bosan ngasih
ilmu sama aku! Ya ta?
Ustaz Qodir : Insya Allah.
(10/PPK/SIKTP/SCTV/29 Mei 2011)
Tuturan Ustaz Qodir “Tapi kalau kita telat, udah tua bangka baru
nyari ilmu, itu kaya kita ngegores di atas air. Balik lagi, normal lagi
kagak kelihatan bekasnya” pada percakapan (52) diidentifikasi sebagai
tuturan yang mengandung implikatur menyindir. Tuturan tersebut termasuk
tuturan yang melanggar prinsip kesantunan terutama melanggar submaksim
pertama dari maksim pujian, karena Ustaz Qodir berusaha memaksimalkan
kecaman terhadap orang lain, yaitu Bang Madit.
Dengan tuturan “Tapi kalau kita telat, udah tua bangka baru nyari
ilmu, itu kaya kita ngegores di atas air. Balik lagi, normal lagi kagak
kelihatan bekasnya”, Ustaz Qodir menjelaskan kepada Karyo bahwa
menuntut ilmu itu harus dimulai sejak masih kecil. Pada waktu tuturan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
129
tersebut dituturkan, Bang Ma‟ruf, yang merupakan orang kaya yang
sombong, yang ilmunya masih dangkal, dan suka menghina orang, berada di
sana. Dengan demikian, selain menjelaskan kepada Karyo, tuturan Ustaz
Qodir tersebut juga mengandung implikatur menyindir, yaitu Ustaz Qodir
bermaksud ingin menyindir Bang Madit, yang merupakan orang kaya, tetapi
tidak memiliki ilmu yang mencukupi.
5. Implikatur Menyombongkan Diri
Sombong adalah menghargai diri secara berlebihan; congkak; pongah
(KBBI Offline 1.3). Berdasarkan pengertian istilah sombong, implikatur
menyombongkan diri ialah tuturan yang memiliki maksud lain untuk
menghargai diri sendiri secara berlebihan. Untuk lebih memahaminya dapat
dilihat data yang mengandung implikatur menyombongkan diri dalam
percakapan SSM berikut.
(53) Konteks : Bang Ma‟ruf keluar dari masjid. Di jalan, Bang Ma‟ruf
bertemu dengan Usman yang akan pergi ke masjid. Bang
Ma‟ruf menganggap Usman sebagai orang Islam
keturunan karena berpenampilan seperti perempuan
(rambutnya panjang).
Bang Ma‟ruf : Eh... kalau ente bukan Islam keturunan, jawab
pertanyaan ane!
Usman : Silakan, Bang! Insya Allah saya jawab pertanyaan
Abang. Satu, dua atau tiga pertanyaan, Insya Allah
Bang. Insya Allah, terong Abang jual, saya borong.
Bang Ma‟ruf : Die pantun.
(172/PPK/SSM/SCTV/26 Juli 2011)
Pada percakapan (53) terdapat tuturan Usman yang mengandung
implikatur menyombongkan diri, yaitu tuturan “Insya Allah saya jawab
pertanyaan Abang, satu, dua atau tiga pertanyaan, insya Allah, Bang,
insya Allah, terong Abang jual, saya borong”. Tuturan tersebut merupakan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
130
tuturan yang melanggar prinsip kesantunan terutama melanggar submaksim
pertama dari maksim kerendahan hati, karena Usman berusaha
memaksimalkan pujian terhadap dirinya sendiri.
Tuturan “Insya Allah saya jawab pertanyaan Abang, satu, dua atau
tiga pertanyaan, insya Allah, Bang, insya Allah, terong Abang jual, saya
borong” menunjukkan bahwa Usman meyakinkan kepada Bang Ma‟ruf kalau
dia bersedia dan sanggup menjawab semua pertanyaan yang akan diajukan
oleh Bang Ma‟ruf kepadanya. Secara tersirat, tuturan Usman tersebut
mengandung implikatur menyombongkan diri. Dengan tuturan tersebut,
Usman ingin menyombongkan diri di hadapan Bang Ma‟ruf dengan maksud
agar Bang Ma‟ruf tidak meremehkannya lagi dan tidak berbicara seenak
hatinya tanpa menghiraukan perasaan orang lain. Dengan perkataan lain,
Usman ingin memberikan pelajaran terhadap Bang Ma‟ruf agar Bang Ma‟ruf
sadar dan bertaubat.
6. Implikatur Tidak Suka
Suka adalah berkeadaan senang; menaruh simpati; setuju; menaruh
kasih; kasih sayang; cinta (KBBI Offline 1.3). Berdasarkan pada pengertian
tersebut, implikatur tidak suka ialah tuturan penutur yang memiliki maksud
lain bahwa penutur tidak senang, tidak menaruh kasih sayang, dan tidak
menaruh simpati terhadap orang lain atau mitra tuturnya. Untuk lebih
memahaminya dapat dilihat data yang mengandung implikatur tidak suka
dalam percakapan SPRR berikut.
(54) Konteks : Laras baru sampai di rumahnya di Jakarta. Laras duduk
di kursi ruang tamu melepas lelah. Handphone Laras
berbunyi. Laras mengangkat telepon dari Bu Rosminah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
131
Bu Rosminah : Ras, Mama mau menyampaikan kabar gembira lho ke
kamu.
Laras : Berita apa Ma?
Bu Rosminah : Ini lho hasil tesnya Nada itu udah keluar.
Laras : Ha? Terus-terus, Ma, apa hasilnya, Ma?
Bu Rosminah : Nada dinyatakan sehat dan baik-baik aja, Ras.
Laras : Hah? Baik-baik aja?
Bu Rosminah : Kamu kok ngomongnya gitu sih Ras? Kamu tuh harusnya
minta maaf sama Nada, karena selama ini kamu udah
nyakitin perasaannya dia, dan kamu itu selalu
mengeluarkan kata-kata yang seolah-olah Nada itu
mandul.
(102/PPK/SPRR/SCTV/17 Juli 2011)
Tuturan Laras “Hah? Baik-baik aja?” pada percakapan (54)
diidentifikasi sebagai tuturan yang mengandung implikatur tidak suka.
Tuturan tersebut termasuk tuturan yang melanggar prinsip kesantunan
terutama melanggar submaksim pertama dari maksim simpati, karena Laras
berusaha memaksimalkan rasa antipatinya terhadap orang lain.
Tuturan “Hah? Baik-baik aja?”, menunjukkan bahwa Laras ingin
meyakinkan bahwa informasi yang baru didengarnya dari Bu Rosminah
adalah informasi yang benar kalau Nada dinyatakan subur oleh dokter. Secara
implisit, tuturan Laras tersebut mengandung implikatur tidak suka, yaitu
Laras tidak suka dengan kabar yang disampaikan oleh Bu Rosminah yang
mengatakan bahwa hasil tes kesehatan reproduksi Nada dalam keadaan baik-
baik saja atau Nada dinyatakan subur. Laras bersikap demikian karena Laras
sangat membenci Nada, dan dari awal Laras tidak setuju kalau Wahyu,
kakaknya, menikah dengan Nada.
7. Implikatur Keraguan
Implikatur keraguan ialah tuturan penutur yang memiliki maksud lain
untuk meragukan apa yang dikatakan oleh orang lain kepadanya. Untuk lebih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
132
memahaminya dapat dilihat data yang mengandung implikatur keraguan
dalam percakapan SIKTP berikut.
(55) Konteks : Ali dan Umar datang ke masjid ingin melaksanakan Sholat
Zuhur. Mereka melihat Tebe dan Bang Usman sholat
berjamaah. Bang Abu mengajak Ali dan Umar ikut sholat
bersama Tebe dan Bang Usman. Sholat selesai, Ali dan
Umar bertanya kepada Bang Abu mengenai cara sholat
yang khusyuk. Bang Ma‟ruf masuk masjid dan menawarkan
diri untuk dimintai pertanyaan.
Bang Ma‟ruf : Kagak tanya ama ane?
Umar : Ha?
Bang Ma‟ruf : Tanya deh! Ayo tanya!
Ali : Kagak deh Bang, nanti kita sesat lagi.
Bang Ma‟ruf : Ha? Heh, orang suseh lo. Ini nih, ini nih orang ini nih, ini
nih, ini nih, nih, nih, orang ini nggak beradap, heh.
(176/PPK/SSM/SCTV/26 Juli 2011)
Pada percakapan (55) terdapat tuturan yang mengandung implikatur
keraguan, yaitu tuturan “Kagak deh Bang, nanti kita sesat lagi” yang
dituturkan oleh Ali. Tuturan tersebut termasuk tuturan yang melanggar
prinsip kesantunan terutama melanggar submaksim pertama dari maksim
kesepakatan, karena Ali berusaha memaksimalkan ketaksepakatannya dengan
mitra tuturnya.
Tuturan Ali “Kagak deh Bang, nanti kita sesat lagi” menunjukkan
bahwa Ali menolak suruhan Bang Ma‟ruf yang menyuruhnya untuk bertanya
kepada Bang Ma‟ruf tentang cara sholat yang khusyuk. Di samping menolak,
secara tersirat, tuturan Ali tersebut juga mengandung implikatur keraguan,
yaitu Ali meragukan kemampuan atau ilmu agama yang dimiliki oleh Bang
Ma‟ruf. Hal itu karena Bang Ma‟ruf sangat terkenal di kampungnya sebagai
orang kaya yang sombong, yang suka menghina orang miskin, dan sering
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
133
membuat sakit hati orang lain. Dengan pertimbangan tersebut, Ali
menuturkan tuturan tersebut.
8. Implikatur Kecewa
Kecewa adalah perasaan kecewa; kecil hati, tidak puas (karena tidak
terkabul keinginannya atau harapannya); tidak senang (KBBI Offline 1.3).
Berdasarkan pada pengertian tersebut, implikatur kecewa ialah tuturan
penutur yang memiliki maksud lain bahwa penutur merasa kecil hati, tidak
puas, atau tidak senang dengan apa yang dilakukan atau dituturkan oleh mitra
tuturnya. Untuk lebih memahaminya dapat dilihat data yang mengandung
implikatur kecewa dalam percakapan SPRR berikut.
(56) Konteks : Nisa kembali ke sanggar batik setelah mengantarkan
pesanan batik ke toko yang memesan batik buatan pesantren.
Aldo terlihat sedih dan menghadang Nisa di depan ruang
sanggar batik. Aldo salah paham terhadap Nisa dan
menganggap Nisa sudah menikah dan hamil. Aldo sangat
mencintai Nisa. Nisa terlihat bingung.
Nisa : Kabar apa ta Mas?
Aldo : Sudahlah Dik, jangan ada dusta lagi di antara kita.
Kalau emang Dik Nisa masih sayang sama Mas Aldo,
kalau masih punya perasaan yang belum kamu jelaskan,
tolong dijelaskan! Nisa : Hih, Mas Aldo ngapain sih kaya iku? Udahlah Mas,
bangun! Nanti kita izin, Mas.
(86/PPK/SPRR/SCTV/17 Juli 2011)
Tuturan Aldo “Sudahlah Dik, jangan ada dusta lagi di antara kita.
Kalau emang Dik Nisa masih sayang sama Mas Aldo, kalau masih punya
perasaan yang belum kamu jelaskan, tolong dijelaskan!” pada percakapan
(56) merupakan tuturan yang mengandung implikatur kecewa. Tuturan
tersebut termasuk tuturan yang melanggar prinsip kesantunan terutama
melanggar submaksim pertama dari maksim kearifan, karena Aldo berusaha
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
134
memaksimalkan kerugian terhadap mitra tuturnya. Tuturan tersebut
dituturkan Aldo karena Aldo mengetahui Nisa memegang tespek dan Aldo
beranggapan bahwa Nisa sedang hamil.
Tuturan Aldo “Sudahlah Dik, jangan ada dusta lagi di antara kita.
Kalau emang Dik Nisa masih sayang sama Mas Aldo, kalau masih punya
perasaan yang belum kamu jelaskan, tolong dijelaskan!” menunjukkan
bahwa Aldo menyuruh Nisa untuk menjelaskan perasaan Nisa yang
sesungguhnya kepada Aldo. Tuturan Aldo tersebut juga mengandung
implikatur kecewa, yaitu Aldo merasa kecewa dengan Nisa karena Aldo
sangat mencintai Nisa, dan menurut Aldo, Nisa telah berbohong kepada Aldo.
Nisa tidak memberitahu Aldo kalau Nisa sudah menikah dan waktu itu Nisa
sedang hamil. Padahal, yang sesungguhnya terjadi adalah Nisa belum
menikah dan Nisa tidak hamil. Nisa mendapatkan tespek itu dari Aisyah.
Dengan perkataan lain, Aldo salah paham terhadap Nisa.
Secara keseluruhan, data dalam percakapan SIKTP, SPRR, dan SSM
yang mengandung implikatur akibat pelanggaran prinsip kesantunan dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 4
Data yang Mengandung Implikatur Akibat
Pelanggaran Prinsip Kesantunan
No Implikatur Sinetron Nomor Data Jml.
1 Mengkritik SIKTP 8, 12, 13, 15, 16, 17, 19, 23,
24, 25, 26, 34, 36, 38, 40, 41,
51, 54, 59, 60, 62, 66, 67, 71,
74, 76, 78, 79, 83, 84, 85
31
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
135
SPRR 88, 91, 92, 94, 95, 101, 107,
108, 117, 118, 123, 126, 132,
144
14
SSM 147, 155, 157, 165, 166, 171,
174, 177, 178, 180, 186, 189,
193, 196, 197, 200
16
2 Menghina SIKTP 9, 12, 13, 27, 28, 48, 81 7
SPRR 87, 88, 96, 106, 119, 132, 141 7
SSM 149, 166, 167, 170, 191 5
3 Menolak SIKTP 2, 5, 9, 12, 14, 18, 31, 32, 44,
46, 49, 61
12
SPRR 145 1
SSM 173, 177, 179, 195, 196, 199 6
4 Sindiran SIKTP 2, 3, 10, 30, 44, 52, 57, 65, 74 9
SPRR 95, 117, 130 3
SSM 151, 158, 159, 170, 180, 195 6
5 Menyombongkan
Diri
SIKTP 7, 42, 44, 57, 71, 73, 78, 79 8
SPRR 92, 103, 107 3
SSM 147, 163, 165, 166, 167, 168,
170, 172, 176, 177, 186, 190,
191
13
6 Tidak Suka SIKTP 1, 8, 11, 12, 25, 29, 30, 42, 47,
48, 52, 61, 62, 67, 68, 80, 81
17
SPRR 91, 102, 103, 118, 144 5
SSM 152, 153, 156, 157, 162, 169,
182, 186, 194
9
7 Keraguan SIKTP 6, 17, 22, 40, 80 5
SPRR 99, 104, 109, 123, 137, 144 6
SSM 176 1
8 Kecewa SIKTP 3, 18, 21, 24, 25, 38, 40, 46,
60, 63, 70, 75, 81,
13
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
136
SPRR 86, 89, 92, 94, 131, 143 6
SSM 150, 151, 156, 158, 182, 191,
193
7
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
137
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Dalam penelitian ini dapat disimpulkan tiga hal yang merupakan jawaban
dari rumusan masalah yang telah dipaparkan sebelumnya. Berikut merupakan
simpulan dari penelitian ini.
1. a. Dari analisis yang telah dilakukan ditemukan sembilan (9) macam TTD
dalam percakapan SIKTP, SPRR, dan SSM di televisi, yaitu TTD
menyuruh, melarang, meminta, mengajak, menyarankan, menasihati,
memohon, mengingatkan, dan mempersilakan. Di antara sembilan TTD
tersebut, TTD yang paling banyak ditemukan adalah TTD menyuruh.
a. Di antara SIKTP, SPRR, dan SSM yang paling banyak mengandung TTD,
yaitu TTD menyuruh, melarang, meminta, mengajak, menyarankan, dan
mengingtkan paling banyak ditemukan dalam SIKTP jika dibandingkan
dengan TTD tersebut dalam SPRR dan SSM; TTD menasihati dan
memohon paling banyak ditemukan dalam SIKTP dan SPRR jika
dibandingkan dengan TTD tersebut dalam SSM; dan TTD mempersilakan
paling banyak ditemukan dalam SPRR dan SSM jika dibandingkan dengan
TTD tersebut dalam SIKTP. Selain itu, terdapat TTD yang tidak
ditemukan dalam SIKTP yaitu TTD mempersilakan, dan TTD memohon
tidak ditemukan dalam SSM.
2. a. Ditemukan pelanggaran terhadap prinsip kesantunan dalam percakapan
SIKTP, SPRR, dan SSM. Pelanggaran terhadap prinsip kesantunan itu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
138
meliputi enam (6) maksim. Secara berturut-turut mulai pelanggaran yang
paling banyak ialah pelanggaran terhadap maksim kearifan, pujian,
kesepakatan, simpati, kerendahan hati, dan kedermawanan. Pelanggaran
prinsip kesantunan didominasi oleh maksim kearifan, karena di dalam
ketiga sinetron religi yang bergenre humor tersebut di samping untuk
menghibur pemirsa sebagai tontonan, juga memiliki maksud lain, yaitu
untuk memberikan nasihat atau anjuran yang baik kepada pemirsa, baik
secara langsung maupun secara tidak langsung, dengan harapan agar
pemirsa dapat mengambil pelajaran yang bermanfaat bagi diri mereka
dalam menjalani hidup. Dengan perkataan lain, dapat dijadikan sebagai
tuntunan, yaitu dalam hal kebaikan.
b. Di antara SIKTP, SPRR, dan SSM yang paling banyak melanggar setiap
maksim, yaitu pelanggaran maksim kearifan, pujian, kerendahan hati, dan
kesepakatan paling banyak ditemukan dalam SIKTP jika dibandingkan
dengan pelanggaran maksim-maksim tersebut dalam SPRR dan SSM,
sedangkan pelanggaran maksim kedermawanan dan simpati paling banyak
ditemukan dalam SSM jika dibandingkan dengan pelanggaran maksim
tersebut dalam SIKTP dan SPRR.
3. a. Ditemukan delapan (8) macam implikatur akibat pelanggaran prinsip
kesantunan dalam percakapan SIKTP, SPRR, dan SSM, yaitu implikatur
mengkritik, menghina, menolak, sindiran, menyombongkan diri, tidak
suka, keraguan, dan kecewa. Implikatur yang paling banyak ditemukan
ialah implikatur mengkritik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
139
b. Di antara SIKTP, SPRR, dan SSM yang paling banyak mengandung setiap
implikatur, yaitu implikatur mengkritik, menolak, sindiran, tidak suka, dan
kecewa paling banyak ditemukan dalam SIKTP jika dibandingkan dengan
implikatur-implikatur tersebut dalam SPRR dan SSM, implikatur
menghina paling banyak ditemukan dalam SIKTP dan SPRR jika
dibandingkan dengan implikatur tersebut dalam SSM, implikatur keraguan
paling banyak ditemukan dalam SPRR jika dibandingkan dengan
implikatur tersebut dalam SIKTP dan SSM, sedangkan implikatur
menyombongkan diri paling banyak ditemukan dalam SSM jika
dibandingkan dengan implikatur tersebut dalam SIKTP dan SPRR.
B. Saran
Penelitian yang berjudul “Tindak Tutur Direktif dan Pelanggaran Prinsip
Kesantunan dalam Sinetron Islam KTP, Pesantren dan Rock’n Roll, dan
Sampeyan Muslim?: Sebuah Pendekatan Pragmatik” ini masih terbatas pada TTD
dan enam maksim kesantunan Leech saja. Oleh karena itu, penelitian ini belum
lengkap dan baru sebagian kecil saja dari tindak tutur dan kesantunan. Hal itu
karena masih banyak jenis tindak tutur lain yang juga dapat digunakan untuk
membedah percakapan dalam ketiga sinetron religi tersebut, dan juga masih
banyak teori kesantunan lain yang dapat digunakan untuk membedah lebih dalam
lagi mengenai kesantunan berbahasa.
Penulis berharap agar penelitian mendatang lebih mendalam dan berkualitas
demi diperolehnya hasil yang lebih memuaskan. Penulis menyadari bahwa
penelitian ini masih jauh dari penjelasan yang mendalam secara pragmatik.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
140
Pembelajaran akan terus berproses dan tidak akan berhenti sampai di sini. Penulis
berharap agar penelitian selanjutnya dapat mengambil manfaat dari penelitian
yang belum sempurna ini.