tindak pidana korupsi terhadap penyelenggara...
TRANSCRIPT
TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP PENYELENGGARA PEMILU
PROVINSI BANGKA BELITUNG PERSPEKTIF HUKUM PIDANA
POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM
(Analisis Putusan Mahkamah Agung No.727 K/Pid.Sus/2010)
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Sofia Azmi
11150450000028
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H / 2019 M
iv
ABSTRAK
Sofia Azmi (11150450000028) Tindak Pidana Korupsi Terhadap
Penyelenggara Pemilu Provinsi Bangka Belitung Perspektif Hukum Pidana
Positif dan Hukum Pidana Islam (Analisis Putusan No.727 K/Pid.Sus/2010).
Program Studi Hukum Pidana Islam (Jinayah), Fakultas Syariah dan Hukum,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 1441H/2019M.
Masalah utama dalam skripsi ini adalah mengenai penyalahgunaan
wewenang dalam tindak pidana korupsi terhadap penyelenggara pemilihan umum
yang terdapat dalam putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 727
K/Pid.Sus/2010 yang menolak permohonan kasasi dari penuntut umum terhadap
putusan nomor 45/PID/2009/PT BABEL yang memvonis terdakwa dengan pidana
1 tahun penjara dan denda Rp 50.000.000,-. Skripsi ini bertujuan untuk
mengetahui apa saja bentuk-bentuk tindak pidana korupsi baik dalam hukum
positif maupun hukum Islam dan sanksi apa yang tepat bagi penyalahgunaan
wewenang dalam tindak pidana korupsi terhadap penyelenggara pemilu ditinjau
dari hukum positif maupun hukum Islam.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Metode pendekatan
penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif yaitu meletakkan hukum
sebagai sebuah bangunan sistem norma mengenai asas-asas, norma, kaidah dari
peraturan perundang-perundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin
(ajaran). Adapun teknik pengumpulan data dalam penulisan ini menggunakan
teknik studi pustaka (Library Research) berupa jurnal, buku, peraturan
perundang-undangan, internet dan sumber lainnya yang berhubungan dengan
skripsi ini. Sumber data yang digunakan berupa data primer dan data sekunder.
Adapun teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif untuk
menemukan jawaban secara ilmiah.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tindakan tindak pidana korupsi
yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu termasuk penyalahgunaan wewenang
dalam tindak pidana korupsi. Untuk pelaku penyalahgunaan wewenang dalam
tindak pidana korupsi dalam hukum pidana Islam termasuk dalam kategori ghulul
yang sanksinya membakar harta ghululnya dan juga dapat berikan vonis mati
meskipun bagian dari ta’zir. Dalam hukum positif, mengenai kasus ini
diberlakukan asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis sehingga hukuman yang
tercantum dalam Pasal 388 KUHP tidak berlaku. Hukuman yang berlaku adalah
penjara minimal 1 tahun dan denda Rp 50.000.000,- yang terdapat dalam Pasal
Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
Kata Kunci: penyalahgunaan wewenang, korupsi, ghulul.
Pembimbing : Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag
Daftar Pustaka : 1972 s.d 2017
v
KATA PENGANTAR
بسم اهلل الرحمن الرحيمAlhamdulillahirobbil’alamiin, segala puji dan syukur kehadirat Allah
Subhanahu wa Ta’ala yang senantiasa melimpahkan rahmat, taufiq dan
hidayahnya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini berjudul “Tindak
Pidana Korupsi Terhadap Penyelenggara Pemilu Provinsi Bangka Belitung
Perspektif Hukum Pidana Positif dan Hukum Pidana Islam (Analisis
Putusan No.727 K/Pid.Sus/2010)” dalam menempuh studi pada program studi
Hukum Pidana Islam (Jinayah) Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Syarif
Hidayatullah Jakarta dengan baik. Sholawat dan salam semoga tetap terlimpahkan
kepada Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi wa Sallam yang telah membawa
risalah kebenaran untuk semua umat khususnya kepada umat Islam.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sedalam-dalamnya atas bimbingan, masukan, saran serta dukungannya baik moril
maupun materiil kepada:
1. Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.H., MA., M.H. selaku Dekan Fakultas
Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Qosim Arsadani, M.A. Selaku Ketua Program Studi Hukum Pidana Islam
(Jinayah).
3. Mohamad Mujibur Rohman, M.A. selaku Sekretaris Program Studi
Hukum Pidana Islam (Jinayah)
4. Dr. H. M. Nurul Irfan, M.Ag selaku Dosen Pembimbing dalam penulisan
skripsi yang telah memberikan banyak masukan dan arahan serta
meluangkan waktunya dengan penuh keikhlasan kepada penulis.
5. Seluruh Dosen dan Civitas Akademik Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
6. Kepada kedua orangtua penulis Papah H. Karjan, SH dan Mamah
Zubaedah. Tak lupa juga kakak tercinta mba Inna dan mba Inun serta para
krucil Jihan dan Hamidah yang terkadang mengganggu mengerjakan
skripsi juga yang selalu memberikan dukungan, semangat, motivasi serta
doa yang tiada hentinya selama penulis menempuh perkuliahan di
vi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga Allah
Subhanahu wa Ta’ala senantiasa memberikan umur yang panjang, selalu
diberikan kesehatan dan dilampangkan rizkinya, Aamiin.
7. Kepada sahabat Jaguar, Halimah Nurmayanti, Syifa Ulkhair, Mardani dan
Khairan Abdul Mahmud untuk dedikasinya baik dalam bidang akademik
maupun dalam berorganisasi. Semoga kita semua menjadi Insan yang
sukses di darat maupun di udara.
8. Kepada sahabat tercinta Ega Yuni, S.H., Rasifah, S.H., Salwa Nailastafad,
S.H., Siti Salamah, S.H untuk segala kebaikan serta support. Semoga kita
semua sukses dan bahagia.
9. Kepada teman-teman Himpunan Mahasiswa Program Studi Hukum Pidana
Islam periode 2018 dan Keluarga Besar Hukum Pidana Islam, terimakasih
atas bantuan, doa serta dukungan untuk penulis, terimakasih atas
kebersamaan dan waktu yang telah kita alami bersama selama di bangku
perkuliahan, semoga di masa yang akan datang kita dapat meraih apa yang
kita harapkan.
10. Kepada kanda dan yunda seluruh anggota organisasi penulis yaitu
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) komisariat Fakultas Syari’ah dan
Hukum yang telah mengenalkan arti dari pentingnya berproses di sebuah
organsisasi serta mengajarkan penulis untuk selalu menjadi Insan yang
Akademis.
11. Kepada abang Asmui, abang Fawwaz, abang Risyad, abang Andhika,
abang Ambon, abang Azmi, abang Bens Barianto, abang Togar. Tak luput
pula teman seperjuangan Fiqhil Waton, Fahmi Azis, Aly Fikri, Sari
Ramadanti yang senangtiasa selalu memberikan do’a dan semangat kepada
penulis.
12. Kepada pihak-pihak yang turut membantu dalam kelancaran penyusunan
skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
vii
Akhirnya tiada untaian kata yang berharga selain ucapan
Alhamdulillahirabbil ‘Alamiin. Besar harapan semoga skripsi ini dapat
bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi pembaca pada umumnya, Aamiin.
Sekian dan terimakasih.
Jakarta, 1 Oktober 2019 M
2 Safar 1440 H
Sofia Azmi
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................. ii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................... iii
ABSTRAK ...................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR .................................................................................... v
DAFTAR ISI ................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Batasan Masalah dan Perumusan Masalah ............................... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 10
D. Tinjauan Pustaka/Penelitian Terdahulu .................................... 11
E. Metodelogi Penelitian ............................................................... 12
F. Sistematika Pembahasan ........................................................... 13
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA
KORUPSI DALAM HUKUM PIDANA POSITIF DAN
HUKUM PIDANA ISLAM ............................................................. 15
A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Dalam Hukum
Pidana Positif ............................................................................ 15
1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana ................................ 15
2. Rumusan Tindak Pidana .................................................... 18
2. Unsur-Unsur Tindak Pidana .............................................. 20
3. Jenis-Jenis Tindak Pidana .................................................. 25
B. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Korupsi .................... 28
1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana Korupsi ................... 28
2. Faktor Penyebab Tindak Pidana Korupsi........................... 30
3. Jenis Jenis Tindak Pidana Korupsi .................................... 33
4. Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi ...... 39
C. Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana Islam ............................. 43
1. Istilah dan Pengertian Jarimah ........................................... 43
2. Unsur-Unsur Jarimah atau Tindak Pidana ......................... 45
3. Ruang Lingkup dan Macam-Macam Jarimah .................... 47
D. Tinjauan Umum Tentang Korupsi Dalam Hukum Pidana
Islam .......................................................................................... 52
BAB III PENYALAHGUNAAN WEWENANG DAN URGENSI
MENJAGA AMANAT DAN LARANGAN ................................... 60
ix
A. Duduk Perkara Nomor 727 K/Pid.Sus/2010 ............................. 60
B. Penyalahgunaan Wewenang Dalam Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi .......................................................................... 66
1. Tinjauan Umum Penyalahgunaan Wewenang ................... 66
C. Penyalahgunaan Wewenang Dalam Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi
Pemerintahan ............................................................................. 72
1. Konsep Wewenang Menurut Hukum Administrasi ........... 72
2. Sumber Lahirnya Wewenang ............................................. 76
3. Pertanggungjawaban Wewenang ....................................... 77
D. Penyalahgunaan Wewenang Dalam Fiqh Jinayah .................... 78
1. Istilah dan Pengertian Amanat ........................................... 78
2. Urgensi Amanat dan Menjaga Larangan ........................... 79
BAB IV TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP
PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM 2004
PERSPEKTIF HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM
PIDANA ISLAM (Analisis Putusan Mahkamah Agung No.727
K/Pid.Sus/2010) ............................................................................... 82
A. Analisis Dakwaan Penuntut Umum .......................................... 82
B. Pertimbangan Majelis Hakim .................................................... 88
C. Analisis Putusan Pengadilan Nomor Putusan No: 727
K/Pid.Sus/2010 Tentang Tindak Pidana Korupsi Yang
Dilakukan Oleh Penyelenggara Pemilu .................................... 92
BAB V PENUTUP ........................................................................................ 103
A. Kesimpulan ............................................................................... 103
B. Saran .......................................................................................... 104
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 105
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa negara Indonesia
adalah negara hukum sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 dalam
pasal 1 ayat (3).1 Negara hukum dalam kepustakaan Indonesia merupakan
terjemahan langsung dari rechsstaat. Undang-Undang tersebut merupakan
landasan konstitusional. Bahwa hukum menjadi acuan bagi kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Konsep negara hukum di Indonesia menganut Pancasila yang
bersumber dari nilai-nilai sosial budaya Indonesia yang kristalisasinya
adalah Pancasila sebagai dasar negara sebagaimana tertuang dalam
pembukaan UUD 1945 yang merupakan “Staatsfundamentalnorm” Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Menurut pendapat Hans Naviasky yang
dikutip Dardji Darmodihardjo (2009, h. 38-39) mengatakan bahwa
“Staatsfundamentalnorm” mempunyai dua fungsi yaitu fungsi konstitutip
dan fungsi regulatip (untuk dasar menyusun konstitusi dan untuk mengatur
(tolak ukur) peraturan perundang-undangan dibawah konstitusi atau UUD).2
Dengan muatan dalam norma UUD 1945 maka konsep Negara Hukum
dalam penjelasan UUD 1945 memiliki kekuatan hukum yang mengikat
sebagai norma tertinggi dalam tata hukum nasional negara Indonesia. Sebab
negara hukum bukan semata-mata bertujuan untuk mencapai kepastian
hukum, melainkan juga untuk memperoleh keadilan dan kemashlahatan.
Berangkat dari Indonesia sebagai negara demokrasi. Demokrasi
merupakan sebuah sistem pemerintahan dimana kedaulatan ada di tangan
rakyat. Diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (2) yang
berbunyi; „Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar‟. Yang artinya dalam suatu negara demokrasi,
1 Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat (3)
2 Aloysius R. Entah, Indonesia: Negara Hukum Yang Berdasarkan Pancasila, Jurnal Seminar
Nasional Hukum UNNES, Vol. 2 No. 1, Tahun 2016, h. 536-537
2
rakyatlah pemegang kekuasaan tertinggi. Rakyat diberikan kesempatan
untuk ikut serta menentukan jalannya pemerintahan. Kekuasaan ini terwujud
dalam suatu sistem pemilihan wakil rakyat.
Pemerintah adalah orang-orang yang dipilih oleh rakyat. Oleh karena
itu, pemerintah bertugas menjalankan roda pemerintahan untuk kepentingan
rakyat. Dalam suatu negara demokrasi, pemerintah diselenggarakan dari,
oleh, dan untuk rakyat. Segala kekuasaan dan kewenangan pemerintah
sesungguhnya berasal dari rakyat. 3
Demokrasi dan negara hukum adalah dua konsepsi mekanisme
kekuasan dalam menjalankan roda pemerintahan negara. Kedua konsepsi
tersebut saling berkaitan yang satu sama lainnya tidak dapat dipisahkan,
karena pada satu sisi demokrasi memberikan landasan dan mekanisme
kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia, pada
sisi yang lain negara hukum memberikan patokan bahwa yang memerintah
dalam suatu negara bukanlah manusia, tetapi hukum.
Demokrasi memberi kesempatan kepada rakyat untuk memilih
wakilnya melalui pemilu. Selain itu, rakyat juga memilih presiden dan wakil
presiden secara langsung. Rakyat melalui DPR, akan mengawasi jalannya
pemerintahan yang dilakukan oleh presiden. Maka dengan itu negara
demokrasi merupakan kedaulatan rakyat yang dimana pemerintahlah diberi
kepercayaan oleh rakyat untuk mewujudkan cita-cita negara. Guna
menghasilkan pemimpin yang dipilih secara langsung melalui pemilihan
umum maka target tersebut akan tercapai.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) bentukan lembaga negara yang
independent dan non-partisipan. Lembaga ini bersifat nasional, tetap, dan
mandiri. Terdiri dari beberapa anggota komisioner KPU dan ketua KPU.
Tugas pokok Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk merencanakan sampai
menyelenggarakan pemilihan umum sesuai dengan Undang-Undang.4
3 Undang-Undang Dasar 1945 pasal 1 ayat (2)
4 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003
3
Sejarah singkat pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955
kemudian Indonesia baru melakukan lagi pada tahum 1971 kemudian 1977-
1997. Setelah itu tahun 1999 merupakan pemilu pertama sejak zaman orde
baru runtuh dan dimulailah era reformasi di Indonesia. Melakukan pemilihan
langsung presiden, wakil presiden, dan wakil rakyat dipilih oleh warga
negara Indonesia yang mempunyai hak pilih dimulai pada tahun 2004.
Sebelum itu presiden, wakil presiden, beserta wakil rakyat masih dipilih oleh
MPR.5
Dalam melaksanakan tahapan Pemilihan Umum yang dilaksanakan
oleh penyelenggara Pemilu yang disebut Penyelenggaraan Pemilu. Dengan
demikian Penyelenggara Pemilu merupakan Lembaga yang
menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas Komisi Pemilihan Umum,
Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
sebagai satu kesatuan fungsi Penyelenggaraan Pemilu untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah secara langsung oleh rakyat.6
Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil setiap 5 tahun sekali sesuai dengan Pasal 22E ayat (1)
UUD 1945. Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan proses pemilihan orang-
orang untuk mengisi jabatan-jabatan politik tertentu. Mereka menduduki
jabatan publik dengan kesedian untuk membayar mahal dengan harapan
politik yang telah di investasikan dapat diraih kembali. Keadaan pemilu
inilah dengan “sengaja” melupakan prinsip kompetensi. Sehingga tidak
heran kalau kualitas dari mereka yang menjadi pemenang pemilu tidak
sesuai dengan harapan rakyat.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pemilu yang kita jalani saat ini
merupakan suatu pemilu yang berbiaya tinggi. Fenomena tingginya biaya
politik pemilu memperlihatkan demokrasi di Indonesia masih terkesan
5 Lihat https://kpud-banyuwangikab.go.id/sejarah-kpu.html
6 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003
4
sangat elitis dan mahal. Tingginya biaya tidak hanya membebani APBN atau
APBD tetapi juga membebani peserta pemilu itu sendiri. Tingginya biaya
yang membebani APBN atau APBD ini diakibatkan oleh penyelenggaraan
pemilu itu sendiri yang tidak efektif dan efisien. Selain itu, biaya yang
membebani para peserta pemilu diakibatkan oleh sistem pemilu yang
memaksa para peserta pemilu untuk merogoh kocek besar untuk
melaksanakan kampanye.
Walaupun Indonesia sudah menerapkan negara demokrasi yang mana
pemimpin serta wakil rakyat dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu.
Ada saja segelintir orang yang mengambil keuntungan untuk individu atau
kelompoknya dengan cara yang tidak benar yaitu melalui korupsi. Korupsi
mengandung makna kejahatan, kebusukan, tidak bermoral, dan kebejatan.7
Faktor ekonomi dan politik serta penempatan keluarga atau golongan ke
dalam kedinasan di bawah kekuasaannya.
Sempitnya lapangan kerja serta perekonomian nasional menurun.
Mendorong masyarakat Pegawai Negeri Sipil yang bekerja di Lembaga
Pemerintahan untuk menghalalkan segala cara demi kesejahteraan hidup.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) merupakan Lembaga yang dimiliki oleh
negara. Sehingga kebutuhan untuk memenuhi biaya anggaran Lembaga
maupun staff KPU sudah ditentukan oleh negara. Namun demikian, gaji
yang tak seberapa itu membuat penyelenggara pemilihan umum merasa
kurang yang bahkan bisa mengakibatkan kerugian negara akibat korupsi.
Permasalahan yang sangat rentan terjadi yaitu mengenai tindakan korupsi
oleh penyelenggara pemilihan umum. Terlebih lagi para penyelenggara
Pemilu yang haus akan suatu harta maupun janji politik. Sehingga peserta
pemilu dengan mudahnya dapat memenangkan dan mengisi jabatan-jabatan
politik dengan jalur kecurangan yang dilakukan.
Penyalahgunaan wewenang terjadi karena adanya wewenang dan atau
adanya kekuasaan (power). Penyalahgunaan wewenang berarti terdapat
7 Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus di Luar KUHP, (Jakarta: Penebar Swadaya Grup,
2014), h. 4
5
tindakan yang dilakukan oleh si pemegang wewenang diluar koridor
kewenangannya dan hal tersebut mengakibatkan kerugian negara. Unsur
terpenting dalam penyalahgunaan wewenang, yaitu terletak pada akibat dari
penyalahgunaannya adanya kerugian negara yang melahirkan tindakan
melawan hukum (wederrechtelijkheid). Penyalahgunaan wewenang dalam
tindak pidana korupsi diatur dalam pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana
Korupsi terdapat unsur merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.8
Transparency International merilis indeks persepsi korupsi negara-
negara di dunia untuk tahun 2017. Indonesia ada di peringkat ke-96 dari 180
negara. Indeks persepsi korupsi dari Transparency International
menggunakan skala 0-100. Nilai 0 artinya paling korup, sedangkan nilai 100
berarti paling bersih. Posisi Indonesia ada diperingkat ke-96 dengan nilai
37.9
Sungguh sangat miris negara dengan Sumber Daya Alam dan Sumber
Daya Manusia yang sangat banyak dan melimpah. Tetapi harus dinodai
dengan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Yang sangat mengecewakan ialah
mayoritas penduduk Indonesia menjadi bagian intrinsik atau sudah
mandarah daging di pemerintahan Indonesia. Sekalipun di Indonesia
mayoritas penduduknya beragama Islam.
Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia sangat mengecam
perbuatan korupsi, sebagaimana pendapat para ulama Indonesia bahwa
perbuatan ini telah melanggar nilai-nilai agama dan haram hukumnya.
Mungkin mereka melihat dari sudut pandang karakteristik dari korupsi
tersebut, baik secara pengertian, sifat dan lainnya. Dan meminjam istilah
Zuhaili, bahwa yang haram itu berlaku umum, karena mengingat tujuan dari
8 Nicken Sarwo Rini, “Penyalahgunaan Kewenangan Administrasi Dalam Undang Undang
Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Vol. 18 No. 2, Juni 2018, h. 264-265 9 Lihat http://www.transparency.org/news/feature/corruption_perceptions_index_2017
6
penetapan sesuatu yang haram itu untuk menghindari kemudharatan atau
menjauhi mafsadat yang terdapat di dalamnya.10
Walaupun bukan khusus berbicara tentang korupsi, namun sejumlah
praktek atau bentuk korupsi yang terjadi menyerupai, misalnya
penyalahgunaan wewenang, suap menyuap, dan juga penipuan. Dari makna
zahir nash-nash tersebut bisa dipahami bahwa segala bentuk korupsi itu
hukumnya haram.
Korupsi di Indonesia ini hampir bisa dikategorikan ke dalam kritis dan
genting. Sebab, permasalahan korupsi dan selalu dikaitkan dengan politik di
Indonesia terus menjadi berita utama (headline) hampir setiap hari di media
Indonesia dan. berefek pada banyaknya perdebatan panas serta diskusi
sengit. Pergesekkan yang memanas membuat perpecahan dan
ketidakstabilan nasional. Terlebih lagi, maraknya korupsi di Indonesia
seakan sulit untuk diberantas dan telah menjadi seperti budaya.
Namun bukannya budaya positif untuk kesatuan dan kedamaian
bangsa Indonesia tetapi justru yang muncul ialah budaya negatif. Budaya
negatif timbul sebenarnya hanya karena terbiasa yang akhirnya menjamur di
masyarakat Indonesia. Jamur ini bukannya dibasmi agar tidak muncul lagi.
Tetapi malah berkembang biak sangat cepat.
Munculnya perbuatan korupsi didorong oleh dua motivasi. Pertama,
motivasi intrinsik yaitu adanya dorongan memperoleh kepuasan yang
ditimbulkan oleh tindakan korupsi. Dalam hal ini pelaku merasa
mendapatkan kepuasan dan kenyamanan tersendiri ketika berhasil
melakukannya. Pada tahap selanjunya korupsi menjadi gaya hidup,
kebiasaan, dan tradisi/budaya yang lumrah. Kedua, motivasi ekstrinsik yaitu
dorongan korupsi dari luar diri pelaku yang tidak menjadi bagian melekat
dari pelaku itu sendiri. Motivasi kedua ini misalnya melakukan korupsi
10
Syamsul Bahri, “Korupsi Dalam Kajian Hukum Islam”, Kanun Jurnal Ilmu Hukum, No.
67 Th. XVII, Desember, 2015, h. 608
7
karena ekonomi, ambisi untuk mencapai suatu jabatan tertentu, atau obsesi
meningkatkan taraf hidup atau karier jabatan melalui jalan pintas.11
Menurut Moeljatno, merupakan ahli hukum pidana menggunakan
istilah perbuatan pidana hanya menunjuk sifat perbuatannya saja yaitu sifat
dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar.12
Terkait adanya asas
legalitas yang dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana berbunyi “Tiada satu perbuatan dapat dipidana, melainkan
atas kekuatan hukum pidana dalam peraturan perundang-undangan yang
telah ada sebelum perbuatan terjadi”.
Sehingga dengan demikian, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP) sudah mengatur dalam Pasal 55 ayat (1) angka 1 dan 2, yang
berbunyi:
“(1) Dipidana sebagai pembuat delik : 1. Mereka yang melakukan,
yang menyuruh melakukan, dan yang turut sertakan perbuatan; 2.
Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu, dengan
menyalahgunakan kekuasaan atau martabat dengan kekerasan,
ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana
atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya
melakukan perbuatan”.
Semua orang tanpa terkecuali sama di hadapan hukum. Tetapi
mengapa prilaku tindak korupsi di Indonesia ini terus mengakar dan akan
mengahasilkan budaya negatif di tengah masyarakat. Inilah yang melatar
belakangi apakah aturan hukum di Indonesia yang merupakan pasal karet
atau penegak hukum serta aparatnya yang belum tegas karena tergiur
kenikmatan dunia.
Seperti kasus yang terjadi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Ahmad Syah Mirzan ketua komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Bahwa mulanya ketua bersama sekretaris KPU yang juga sebagai pengelola
keuangan, mengajukan permohonan dana bantuan kepada Gubernur provinsi
Bangka Belitung dengan jumlah pengajuan secara global.
11
Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus di Luar KUHP, …, h. 4-5 12
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 2013), Cet. ke-2, h. 58
8
Padahal Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung telah menerima dana operasional penyelenggaraan Pemilu tahun
2004 yang berasal dari kebijakan pusat (APBN), yang didalamnya termasuk
pembayaran uang kesejahteraan anggota KPU Provinsi Bangka Belitung dan
uang lembur pegawai staff KPU, dan atas pengajuan dana bantuan tersebut,
tidak lama kemudian dana bantuan Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka
Belitung cair sebesar Rp 500.000.000,-. Posisi uang tersebut ada pada Ketua
dan Sekretaris KPU Provinsi Kepulauan Bangka Belitung untuk
menggunakan uang bantuan tersebut guna membayar tambahan uang lembur
bagi seluruh pegawai KPU Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Dalam kasus Ahmad Syah Mirzan mengakibatkan perbuatan yang
dilakukan Bersama sekretaris KPU Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
maka Negara / Pemerintah mengalami kerugian sebesar Rp 120.691.125,-.
Dan diatur serta diancam pidana pada Pasal 8 jo Pasal 18 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atas
perubahan Undang-Undang Nomor 20 Than 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1
jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Tetapi Jaksa Penuntut Umum menuntut menyatakan Ahmad Syah
Mirzan melakukan tindak pidana korupsi melanggar pasal 3 jo pasal 18
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo telah diubah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat(1) ke-1 KUHP jo pasal 64
ayat (1) KUHP.
Putusan Pengadilan Negeri Pangkalpinang tanggal 15 Juni 2009
menjatuhkan pidana kepada Ahmad Syah Mirza pidana penjara selama 1
(satu) tahun dan denda sebesar Rp 50.000.000,- dengan ketentuan apabila
denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga)
bulan.
Menurut penganilisis disini berdasarkan kasus di atas penganilisis
merasa hakim kurang mencermati penerapan sanksi pidana tersebut,
seharusnya hakim lebih cermat dalam penerapan sanksi pidana agar
terciptanya keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
9
Apalagi dengan terbuktinya fakta hukum Korupsi sesuai putusan
Kasasi Mahkamah Agung berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Bangka
Belitung dan Pengadilan Negeri Pangkalpinang terbukti secara sah
melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama dan
berlanjut, adapun surat Nomor : 252/D/KPU-BB/2004 perihal usulan biaya
bantuan pelaksanaan Pemilu tahun 2004. Dokumen pembayaran uang
tambahan kesejahteraan Ketua dan anggota KPU Provinsi, pembayaran uang
lembur mulai Januari sampai dengan Desember 2004.
Dengan demikian penganalisis tertarik untuk mengkaji putusan
tersebut secara lebih mendalam dengan diangkat menjadi sebuah karya
ilmiah yang berjudul “Tindak Pidana Korupsi Terhadap Penyelenggara
Pemilu Provinsi Bangka Belitung Perspektif Hukum Pidana Positif dan
Hukum Pidana Islam (Analisis Putusan 727 K/Pid.Sus/2010)”
B. Batasan Masalah dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Berangkat dari luasnya permasalahan yang ada tentang
penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi terhadap
penyelenggara pemilu, agar tidak melebar dan keluar dari pokok
pembahasan, maka penulis membatasi ruang lingkup skripsi ini, penulis
merasa perlu membuat pembatasan masalah sebagai berikut:
a. Penerapan dan pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor 727
K/Pid.sus/2010 tentang Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak
Pidana Korupsi.
b. Tinjauan hukum positif dan hukum pidana Islam dalam Putusan Nomor
727 K/Pid.sus/2010 tentang Penyalahgunaan Wewenang Dalam Tindak
Pidana Korupsi
2. Rumusan Masalah
Dari masalah pokok di atas dapat diuraikan menjadi 2 (dua) sub
masalah yang dirumuskan dalam pertanyaan penelitian (research
question), yaitu:
10
a. Bagaimana penerapan dan pertimbangan hakim dalam Putusan Nomor
727 K/Pid.sus/2010 tentang Penyalahgunaan Wewenang Dalam
Tindak Pidana Korupsi ?
b. Bagaimana analisis hukum positif dan hukum pidana Islam dalam
Putusan Nomor 727 K/Pid.sus/2010 tentang Penyalahgunaan
Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berkaitan dengan permasalahan yang telah dirumuskan, sehingga
penulisan ini mempunyai tujuan yaitu :
a. Untuk mengetahui pertimbangan hakim terhadap penerapan pasal 3
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaiaman telah diubah dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi dalam putusan 727 K/Pid.Sus/2010 Penyalahgunaan
Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi.
b. Untuk mengetahui tinjauan hukum pidana positif dan hukum pidana
Islam terhadap putusan No. 727 K/Pid.Sus/2010 Penyalahgunaan
Wewenang Dalam Tindak Pidana Korupsi.
2. Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis adalah dapat menambah khazanah keilmuan dalam
mengetahui pandangan hukum pidana positif dan hukum pidana Islam
mengenai penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi,
hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi kalangan pelajar,
mahasiswa dan akademisi lainnya.
b. Manfaat praktis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi
kalangan pelajar, mahasiswa, dan akademisi lainnya. Manfaat
kebijakan hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat
kepada penegak hukum dalam penerapan hukum tentang
penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana korupsi.
11
D. Tinjauan Pustaka/Penelitian Terdahulu
Sejumlah penelitian tentang topik masalah telah dilakukan baik yang
mengkaji secara spesifik atas tindak pidana korupsi dalam menyelenggarakan
Pemiliham Umum maupun menyinggung secara umum dalam tema Pemilihan
Umum. Berikut paparan tinjauan umum atas sebagian karya-karya penelitian
tersebut.
NO IDENTITAS / JUDUL SUBTANSI PEMBEDA PERSAMAAN
1. Skripsi Izmi Tri
Handayani “Tinjauan
Yuridis Terhadap
Kampanye Pemilihan
Umum Kepala Daerah
Dalam Penggunaan
Media Televisi Sebagai
Media Kampanye”
Penggunaan Media
Kampanye
Pemberian
Penggunaan Dana
Dari Gubernur
Untuk Staff KPU
Bangka Belitung
Membahas
Pemberian
Penggunaan
Dana Dari
Kepala Daerah
2. Skripsi Herdiana Maria
“Tindak Pidana
Pemilihan Umum Kepala
Daerah Secara Bersama-
Sama”
Pelanggaran Yang
Dilakukan Oleh Peserta
Pemilu Kepala Daerah
Pelanggaran Yang
Dilakukan Oleh
Penyelenggara
KPU Terhadap
Kepala Daerah
Membahas
Tindak Pidana
Korupsi Dalam
Pemilihan Umum
3. Skripsi Wahyu Agam
“Diskursus
Penyalahgunaan
Wewenang Sebagai
Bagian Dari Tindak
Pidana Korupsi ”
Analisis Perbandingan
Antara UU No. 30 Th.
2014 Tentang
Administrasi
Pemerintahan dengan UU
No. 20 Th. 2001 Tentang
Perubahan Atas UU No.
31 Th. 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi
Membahas
Penerapan
Undang-Undang
Penyalahgunaan
Wewenang
Terhadap
Penyelenggara
Pemilu
Membahas
Konsepsi
Wewenang
Pejabat Publik
berdasarkan
analisis Undang-
Undang
12
E. Metodelogi Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunkan dalam penelitian ini adalah
yuridis-normatif. Penelitian hukum yuridis-normatif adalah penelitian
yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem
norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari
peraturan perundang-perundangan, putusan pengadilan, perjanjian serta
doktrin (ajaran).13
2. Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan jenis penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif adalah metode penelitian yang menekankan pada aspek suatu
pemahaman secara mendalam terhadap masalah yang diteliti.14
Dalam
penelitian ini peneliti membahas masalah ini melalui Undang-undang.
Pembahasan masalah penyalahgunaan wewenang dalam tindak pidana
korupsi terhadap penyelenggara pemilihan umum terdapat pada pasal 55
ayat 1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3. Data Penelitian
a. Sumber Data
Adapun dua sumber data yang digunakan dalam penelitian ini,
antara lain:
1) Sumber primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.15
Yakni
dari penelitian ini adalah Al-Qur‟an, Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.
20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
putusan hakim nomor 727 K/Pid.Sus/2010.
13
Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:
Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakrta, 2010), h.31. 14
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2008), h.,
23.
15
Soerjono Soekamto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (suatu tinjauan
singkat), (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003), h.13.
13
2) Sumber sekunder yang pengumpulan data diperoleh dari dokumen-
dokumen yang berupa catatan formal dan dengan mengumpulkan
serta menelaah beberapa literatur baik berupa buku-buku, catatan,
dan dokumen-dokumen atau diktat yang ada pada redaksi.16
Dari
penelitian ini adalah hasil-hasil penelitian, majalah, surat kabar,
jurnal ilmiah, artikel, internet dan seterusnya.
4. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penelitian ini,
yaitu kepustakaan (Library Research). Data kepustakaan dipeoleh melalui
penelitian kepustakaan yang bersumber dari peraturan perundangan-
undangan, buku-buku serta dokumen-dokumen yang memuat informasi
yang berkaitan dengan tema, objek, dan masalah dalam penelitian.17
5. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif.
Analisis data kualitatif dilakukan apabila data yang diperoleh berupa
kumpulan kata-kata dan bukan rangkaian angka serta tidak dapat disusun
dalam-dalam kategori atau struktur kualifikasi.
Menurut Miles dan Huberman, analisis data kualitatif terdiri dari
tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Terjadi secara bersamaan
berarti reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan sebagai
sesuatu yang saling jalin menjalin merupakan proses siklus dan interaksi
pada saat sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan data.18
F. Sistematika Pembahasan
Untuk mempermudah memahami isi skripsi dan mencapai sasaran
seperti yang diharapkan, maka penulis membagi isi skripsi ini ke dalam lima
bab yang masing-masing bab terdiri dari sub bab.
16
Husni Usman dan Purnomo Setiadi Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1998), h.32.
17
Jaenal Aripin, dkk, Metode Penelitian Hukum, (Ciputat: Lembaga Penelitian UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2010), h. 17. 18
Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Roda Karya, 2004), h., 6.
14
Secara teknis penulisan skripsi ini berpedoman pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta Tahun 2017”. Adapun sistematika pembahasannya sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Pada BAB I penulis menguraikan latar belakang masalah,
identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian,
dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PIDANA KORUPSI DALAM
HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM
Pada BAB II penulis menguraikan tentang teori pemidanaan, delik,
landasan hukum serta sanksi tindak pidana korupsi, tindak pidana
korupsi terhadap penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu) dalam
penerapan hukum pidana positif maupun hukum pidana islam.
BAB III PENYALAHGUNAAN WEWENANG DAN URGENSI
MENJAGA AMANAT DAN LARANGAN
Pada BAB III penulis mengkaji tentang penyalahgunaan wewenang
terhadap pejabat baik mengkaji berdasarkan Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, Undang-
Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Publik
maupun dari sudut pandang Hukum Pidana Islam dalam urgensi
menjaga amanat dan larangan
BAB IV ANALISIS PUTUSAN NOMOR 727 K/Pid.Sus/2010
Pada BAB IV penulis melakukan analisis tindak pidana korupsi
terhadap Penyelenggara Pemilihan Umum terhadap putusan Nomor
727 K/Pid.Sus/2010
BAB V PENUTUP
Pada BAB V penulis menguraikan tentang penutup yang
merupakan hasil akhir meliputikesimpulan berdasarkan penelitian
yang telah dilakukan. Kemudian pada penutup ini penulis juga
memberikan saran-saran sesuai dengan pokok permasalahan yang
diteliti sehingga tercapai upaya untuk mencapai tujuan dari yang
dilakukan.
15
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM
HUKUM PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM
A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana Positif
1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana
Hukum pidana mulai dipergunakan pada zaman pendudukan Jepang
dikenal dengan istilah strafbaarefeit dari bahasa Belanda, yang terdapat
dari tiga kata, yaitu kata straf yang artinya pidana, baar artinya dapat atau
boleh, dan feit artinya perbuatan. Kata strafbaarefeit diartikan berbeda-
beda oleh para pakar hukum pidana, sehingga belum ada univikasi yang
pasti mengenai definisi dari kata tersebut.19
Moeljatno merupakan ahli hukum pidana yang memiliki pandangan
yang berbeda dengan penulis-penulis lain tentang definisi tindak pidana.
Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana. Menurut Moeljatno,
perbuatan pidana hanya mencakup perbuatan saja, sebagaimana
dikatakannya bahwa, perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifatnya
perbuatan saja, yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau
dilanggar.20
Dari beberapa para pakar hukum pidana, mereka telah memberikan
pendapat atau alasan menggunakan istilah yang dipilihnya sebagai
terjemahan dari Strafbaarfeit. Seperti pendapat Moljatno dan Ruslan Saleh
menggunakan istilah perbuatan pidana dengan pertimbangan
menggunakan istilah perbuatan berarti dibuat oleh seseorang dan
menunjuk baik pada yang melakukan maupun pada akibatnya. Sedangkan
perkataan peristiwa tidak menunjukkan, bahwa yang menimbulkannya
adalah handeling atau gedraging seseorang, mungkin juga hewan atau
alam. Dan perkataan tindak berarti langkah dan baru dalam bentuk tindak
tanduk atau tingkah laku. Pendapat Utrecht, menganjurkan pemakaian
19
Adami Chawazi, Pelajaran Pengantar Hukum Pidana 1, (Jakarta: PT. Raja Grafindo,
2002), Cet. ke-1, h. 70 20
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, …, h. 58-59
16
istilah pertistiwa pidana karena peristiwa itu meliputi perbuatan (handelen
atau doen, positif) atau melalaikan (zerzuim atau nalaten atau niet-doen,
negatif) maupun akibatnya.
Dalam hal ini Satochid Kartanegara, menganjurkan pemakaian
istilah tindak pidana. Karena tindak (tindakan) mencakup pengertian
melakukan atau berbuat dana tau pengertian tidak melakukan. Sedangkan
pidana untuk strafbaar adalah sudah tepat. Bahwa istilah tindak pidana
sebagai kependekan dari Tindak – (an – yang dilakukan oleh manusia,
untuk mana ia dapat di-) Pidana atau (pe-) Tindak (yang dapay di-)
Pidana.21
Pembentuk undang-undang tidak memberikan secara rinci yang
dimaksud dengan istilah Strafbaarfeit, maka timbul dalam doktrin
berbagai pendapat tentang apa yang dimaksud dengan istilah tersebut.
Seperti halnya untuk memberikan perumusan atau definisi terhadap istilah
hukum, maka tidaklah mudah untuk memberikan perumusan atau definisi
terhadap istilah Strafbaarfeit.22
Sehingga permasalahan tindak pidana dalam ilmu hukum pidana
merupakan tolak ukur serta sangat penting dalam mencari sebuah
kebenaran. Para pakar hukum pidana telah banyak merumuskan atau
mendefinisikan tentang istilah strafbaarfeit, namun tidak ada satupun
diantara para pakar yang sama diantara mereka.
Definisi terhadap istilah Tindak Pidana para ahli hukum pidana
berbeda-beda dalam mengartikan dari kata tersebut. Tindak pidana sering
diartikan sebagai berikut: Menurut D. Simons, tindak pidana
(strafbaarfeit) adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan pidana
yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan dengan kesalahan dan
yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggungjawab (eene
21
S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1996), Cet. ke-4 h.203-204 22
Adami Chawazi, Pelajaran Pengantar Hukum Pidana 1, …, h. 73
17
strafbaar gestelde “onrechtmatige, met schuld in verband staaande
handeling van een toerekeningsvatbaar person”).23
Alasan dari perumusan Simons karena untuk adanya suatu
strafbaarfeit disyaratkan bahwa terdapat suatu tindakan yang dilarang
ataupun yang diwajibkan dengan undang-undang dimana pelanggaran
terhadap larangan atau kewajiban seperti itu telah dinyatakan sebagai
tindakan yang dapat dihukum. Selain itu, agar suatu tindakan seperti itu
dapat dihukum maka tindakan itu harus memenuhi semua unsur dari delik
seperti dirumuskan dengan undang-undang. Alasan terakhir, setiap
strafbaarfeit sebagai pelanggaran terhadap suatu larangan atau kewajiban
menurut undang-undang itu, pada hakikatnya merupakan tindakan
melawan hukum atau suatu onrechtmatige handeling.24
Menurut G.A. van Hamel, sebagaimana yang diterjemahkan oleh
Moljatno, strafbaar feit adalah kelakuan orang (menselijke gedraging)
yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut
dipidana (strafwaarding) dan dilakukan dengan kesalahan.25
Sedangkan
menurut Mr. R. Tresna, Peristiwa Pidana ialah sesuatu perbuatan atau
rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang
atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana diadakan
tindakan penghukuman. Sesuatu perbuatan itu baru dapat dipandang
sebagi peristiwa pidana, apabila telah memenuhi segala syarat yang
diperlukan. Demikian juga menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana
berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.
Dan pelaku itu dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana.26
Menurut J. Baumman, berpendapat bahwa Tindak Pidana ialah perbuatan
yang memenuhi rumusan delik, bersifat melawan hukum dan dilakukan
dengan kesalahan; sedangkan menurut Mr. Karni, tindak pidana adalah
perbuatan yang mengandung perlawanan hak, yang dilakkan dengan salah
23
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, …, h. 58 24
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 5 25
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, …, h. 58 26
S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, …, h. 204-205
18
dosa, oleh orang yang sempurna akal budinya dan kepada siapa perbuatan
patut dipertanggung jawabkan.27
Dan terakhir menurut W.P.J Pompe,
tindak pidana adalah suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib
hukum) yang dengan sengaja telah telah dilakukan oleh seorang pelaku, di
mana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan umum.28
Dengan demikian istilah dan definisi dari Strafbaarfeit secara garis
besar dapat diterjemahkan sebagai Tindak Pidana dengan
mengesampingkan pendapat para ahli hukum pidana serta dengan
peraturan perundang-undangan Indonesia juga menggunakan istilah
tersebut.
2. Rumusan Tindak Pidana
Berdasarkan sumber hukum pidana ada yang tertulis dan adapula
yang tidak tertulis (hukum pidana adat). Agar orang dapat mengetahui
bagaimana hukumnya tentang suatu persoalan, maka aturan hukum itu
harus dirumuskan. Demikian pula keadaannya dalam hukum pidana.
Perumusan hukum pidana yang tertulis dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) dan dalam peraturan perundang-undangan
lainnya.29
Persyaratan utama untuk memungkinkan adanya penjatuhan pidana
adalah pada saat perbuatan (manusia) yang memenuhi rumusan tindak
pidana terdapat dalam undang-undang. Ini merupakan bagian dari asas
legalitas. Rumusan tindak pidana ini menjadi penting yang artinya sebagai
prinsip kepastian hukum. Undang-undang pidana sifatnya harus pasti. Dan
di dalamnya harus dapat diketahui dengan pasti apa yang dilarang dan atau
apa yang diperintahkan.
Perumusan di dalam undang-undang dapat menggambarkan
perbuatan yang dimaksud baik secara abstrak maupun skematis. Dalam
27
Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Eresco, 1986), h.1. 28
PAF Lamintang, Delik-delik Khusus, (Bandung: Sinar Baru, 1984), h. 182 29
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 2007), h.51
19
undang-undang juga menyebutkan syarat-syarat atau unsur-unsur apa saja
yang harus ada pada perbuatan agar dapat dipidana serta rumusan ini tidak
terikat oleh tempat dan waktu, sedangkan perbuatan yang pasti ialah
berlangsung di suatu tempat dan waktu serta dapat dilihat dan rasakan oleh
panca indera.
Perumusan norma dalam peraturan pidana terdapat tiga macam, yaitu :30
a. Menguraikan atau menyebutkan satu persatu unsur-unsur perbuatan,
seperti misalnya:
1) Pasal 154-157 KUHP tentang haatzai delicten (menabur
kebencian)
2) Pasal 281 KUHP tentang pelanggaran kesusilaan;
3) Pasal 305 KUHP tentang meninggalkan anak dibawah umur.
b. Hanya disebutkan kualifikasi dari tindak pidana tanpa menguraikan
unsur-unsur, misalnya:31
1) Pasal 184 KUHP tentang duel (perkelahian tanding)
2) Pasal 297 KUHP tentang perdagangan wanita
3) Pasal 351 KUHP tentang penganiaayaan
c. Penggabungan cara ke- 1 dan ke- 2, yaitu disamping menyebutkan
unsur-unsurnya (perbuatan, akibat dan keadaan yang bersangkutan)
juga menyebutkan kualifikasi dari tindak pidana tersebut, misalnya:32
1) Pasal 124 KUHP tentang membantu musuh
2) Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan
3) Pasal 362 KUHP tentang pencurian
4) Pasal 378 KUHP tentang penipuan
Jika semua unsur dalam rumusan itu ada di dalam perbuatan
tersebut, artinya perbuatan tersebut sudah dapat memenuhi rumusan tindak
pidana yang ada di dalam undang-undang yang berkaitan. Oleh karena itu,
peraturan perundang-undangan itu dapat diterapkan kepada perbuatan
tersebut.
30
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, …, h. 52 31
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, …, h. 53 32
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, …, h. 54
20
Rumusan tindak pidana juga terdiri atas beberapa komponen, sebagai
berikut:33
1) Subjek (normadressaat) atau pelaku delik. Pada umumnya subjek delik
“barang siapa” atau setiap orang. Terkadang subjek suatu delik terbatas
pada kualitas seseorang.
2) Rumusan delik atau definisi delik (delictsomschrijving) yang terdiri
atas bagian inti delik (delictsbestanddelen) artinya harus sesuai dengan
perbuatan yang dilakukan, barulah seseorang diancam dengan pidana.
Dengan demikian, tindak pidana itu tidak ada penyebutan secara
tegas, untuk mengetahui definisi perlu adanya penafsiran berdasarkan dari
sejarah terbentuknya pasal tersebut. Dalam cara penyebutan seperti ini
dapat menimbulkan penafsiran yang berbeda sehingga dapat menikbulkan
ketidakpastian hukum. Dalam hal ini terdapat hubungan bahwa para hakim
dalam dictum putusannya kebanyakan menyebutkan hanya unsur-unsur
dari tindak pidana yang telah terbukti dilakukan oleh terdakwa.
3 Unsur-Unsur Tindak Pidana
Telah banyak para pakar hukum pidana merumuskan atau
mendefinisikan dari tindak pidana. Istilah tindak dari tindak pidana adalah
merupakan singkatan dari tindakan atau tindak. Artinya ialah orang yang
melakuka suatu tindakan, sedangkan orang yang melakukan itu dinamakan
petindak. Suatu tindakan dapat dilakukan oleh siapa saja, tetapi dalam
banyak hal suatu tindakan tertentu hanya mungkin dilakukan oleh
seseorang dari suatu gologan jenis kelamin, atau seseorang dari suatu
golongan yang bekerja pada negara atau pemerintah (pegawai negeri,
militer, nahkoda dan sebagainya) atau seseorang dari golongan lainnya.
Jadi status atau kualifikasi seseorang petindak harus ditentukan
apakah ia salah seorang dari “barang siapa”, atau seseorang dari suatu
golongan tertentu. Bahwa jika ternyata petindak hanya orang saja
(natuurlijk-persoon) melainkan juga sesuatu badan hukum akan
33
Andi Hamzah, Hukum Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2017), Cet ke-1, h. 92
21
dibicarakan kemudian. Antara petindak dengan suatu tindakan yang terjadi
harus ada hubungan kejiwaan (psychologisch) selain daripada penggunaan
salah satu bagian tubuh, panca indera atau alat lainnya sehingga
terwujudnya suatu tindakan. Hubungan kejiwaan artinya dimana petindak
dapat menilai tindakannya, dapat menentukan yang akan dilakukan atau
dihindarinya. Bentuk hubungan kejiwaan dalam istilah hukum pidana
disebut kesengajaan atau kealpaan.34
Tindakan yang dilakukannya itu harus bersifat melawan hukum.
Dan tidak ada terdapat dasar-dasar atau alasan-alasan yang meniadakan
sifat melawan hukum dari tindakan tersebut. Ditinjau dari sudut kehendak
(yang bebas) dari petindak, maka kesalahan itu adalah merupakan “kata
hati” (bagian dalam) dari kehendak itu, sedangkan sifat melawan hukum
dari tindakan itu merupakan “pertanyaan” (bagian luar) dari kehendak itu.
Bersifat melawan hukum pada garis besarnya berarti tercela.35
Dalam unsur-unsur tindak pidana dilakukan dengan dasar pikiran
bahwa antara perbuatan dan pertanggungjawaban pidana (kesalahan)
merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahka. Menurut D.Simons,
definisi perbuatan (handeling) sebagai setiap gerakan otot yang
dikehendaki yang diadakan untuk menimbulkan suatu akibat. Ada atau
tidaknya perbuatan dalam arti hukum pidana, tergantung pada ada atau
tidaknya syarat dikehendaki yang merupakan unsur kesalahan. Perbedaan
mendasar dalam unsur-unsur tindak pidana antara unsur (bagian)
perbuatan dan unsur (bagian) kesalahan (pertanggungjawaban pidana).
Unsur perbuatan ini sering juga disebut unsur objektif sedangkan unsur
kesalahan sering juga disebut unsur subjektif.36
Apabila seseorang melakukan suatu tindakan sesuai dengan
kehendak dan karenanya merugikan kepentingan umum atau masyarakat
termasuk kepentingan perseorangan. Tindakan tersebut harus terjadi pada
suatu tempat, waktu dan keadaan yang ditentukan. Dipandang dari sudut
34
S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, …, h.205 35
S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, …, h.206 36
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, …, h.65
22
tempat artinya tindakan itu harus terjadi pada suatu tempat dimana
ketentuan pidana Indonesia berlaku. Ditinjau dari sudut waktu, tindakan
itu dirasakan sebagai suatu tindakan yang perlu diancam dengan pidana
(belum daluwarsa) dan dari sudut keadaan, tindakan itu harus terjadi pada
suatu keadaan ditinjau sebagai perbuatan tercela. Dengan perkara lain
suatu tindakan yang dilakukan diluar jangkauan berlakunya ketentuan
pidana Indonesia, bukanlah merupakan suatu tindak pidana dalam arti
penerapan ketentuan pidana Indonesia.
Dilihat dari sudut hukum pidana formal perlu sangat diperhatikan
pada masalah waktu, tempat dan keadaan. Karena tanpa kehadirannya
dalam surat dakwaan, maka surat dakwaan itu adalah batal demi hukum.
Jadi sama dengan unsur-unsur lainnya yang harus hadir atau terbukti seuai
dalam pasal 143 KUHAP. Dari uraian tersebut terdapat unsur-unsur dari
tindak pidana, yaitu:37
a. Subjek
b. Kesalahan
c. Bersifat melawan hukum (dari tindakan)
d. Suatu tindakan aktif atau pasif yang dilarang atau diharuskan oleh
undang-undang atau perundangan dan terhadap pelanggarnya diancam
dengan pidana
e. Waktu, tempat dan keadaan
Dengan demikian dapat didefinisikan pengertian dari tindak pidana
sebagai suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu yang
dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,
bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan yang dilakukan oleh
seseorang (yang mampu bertanggung jawab).
Menurut J. M. van Bemmelen, berpendapat bahwa pembuat undang-
undang, misalnya membuat perbedaan antara kejahatan yang dilakukan
dengan sengaja dan karena kealpaan. Bagian yang berkaitan dengan si
pelaku itu dinamakan “bagian subjektif”. Bagian yang bersangkutan
37
S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, …, h.206-207
23
dengan tingkah laku itu sendiri dan dengan keadaan di dunia luas pada
waktu perbuatan itu dilakukan, dinamakan “bagian objektif”.38
Terdapat beberapa klasifikasi dalam unsur-unsur tindak pidana,
sebagai berikut:39
a. Perbuatan
Unsur pertama dari tindak pidana ialah perbuatan atau tindakan
seseorang. Perbuatan orang ini merupakan titik penghubung dan dasar
untuk pemberian pidana.
b. Hubungan Sebab Akibat
Hubungan sebab akibat atau kausalitas merupakan unsur yang ada
dalam perbuatan atau dapat diklasifikasikan suatu tindak pidana.
Karena untuk menentukan akibat yang diatur dalam hukum pidana
merupakan akibat yang dilakukan seseorang
c. Sifat Melawan Hukum
Sifat melawan hukum dalam unsur tindak pidana ialah penilaian
objektif terhadap perbuatan dan bukan terhadap si pembuat. Perbuatan
melakukan melawan hukum apabila kita berbuat itu masuk rumusan
tindak pidana sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang.
Mengenai sifat melawan hukum ini, menurut Sudarto dibedakan
menjadi dua, yaitu:40
1) Sifat melawan hukum yang formil, yaitu perbuatan diancam pidana
dan dirumuskan sebagai suatu tindak pidana dalam undang-undang,
sedangkan sifat melawan hukumnya dapat dihapus berdasarkan
ketentuan undang-undang. Sehingga sifat melawan hukum sama
dengan melawan atau bertentangan dengan undang-undang (hukum
tertulis).
2) Sifat melawan hukum materiil, yaitu perbuatan disebut melawan
hukum tidak hanya terdapat dalam undang-undang (hukum tertulis)
saja, tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas hukum yang tidak
38
Frans Maramis, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, …, h.66 39
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, …, h. 64-66 40
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, …, h. 78
24
tertulis. Sifat melawan hukumnya perbuatan dapat dihapus
berdasarkan ketentuan tidak tertulis.
d. Kesalahan
Untuk dipidananya seseorang tidak cukup hanya dipenuhinya
syarat bahwa telah adanya perbuatan yang melawan hukum, tetapi juga
harus ada unsur kesalahan. Dalam hal ini berkaitan dengan asas Geen
Straf Zonder Schuld yang berarti tindak pidana jika tidak ada
kesalahan atau istilah lainnya Keine Straf Ohne Schuld. Roeslah Saleh
berpendapat bahwa asas tindak pidana jika tidak ada kesalahan
merupakan dasar dari dipidananya si pembuat. Dapat diartikan bahwa
orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau
tidak melakukan perbuatan pidana, tetapi meskipun ia melakukan
perbuatan pidana tidak selalu ia dipidana apabila ia melakukan
kesalahan.41
Suatu perbuatan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana apabila
memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:42
a. Unsur Subyektif
Unsur subyektif adalah semua unsur yang mengenai batin atau melekat
pada keadaan batin orangnya. Unsur subyektif dari tindak pidana
terdiri dari:
1) Kesengajaan atau kelalaian dalam (dolus atau culpa)
2) Maksud dari suatu percobaan atau poging
3) Macam-macam maksud atau oogmerk
4) Perencanaan terlebih dahulu
5) Perasaan takut
b. Unsur objektif
Unsur objektif adalah semua unsur yang berada diluar keadaan batin
manusia atau si pembuat, yaitu semua unsur-unsur mengenai
41
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana, (Bandung: PT
Aksara Baru, 1987), Cet. ke-2, h. 76 42
P.A.F. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, (Bandung: CV. Armico, 1984), Cet. ke-
1, h. 184
25
pembuatannya dan keadaan-keadaan tertentu yang melekat pada
perbuatan objek pidana. Dalam unsur objektif terdapat dari:
1) Sifat melawan hukum
2) Kualitas dari pelaku
3) Kualitas, yaitu hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab
dengan suatu kenyataan sebagai akibat
4 Jenis-Jenis Tindak Pidana
Dalam perumusan tindak pidana dapat dijabarkan ke dalam beberapa
unsur. Pertama kali dapat dikenali ialah disebutkan suatu tindak pidana
manusia dan dengan tindakan itu seseorang telah melakukan suatu
tindakan yang dilarang oleh undang-undang. Menurut keilmuan hukum
pidana, sesuatu tindakan itu merupakan hal melakukan sesuatu (een doen)
atau dapat merupakan hal tidak melakukan sesuatu (een nalaten) yang juga
berarti mengalpakan sesuatu yang diwajibkan oleh undang-undang.
Tindak pidana terdapat beberapa jenis dan dapat dibedakan secara
kualitatif atas kejahatan dan pelanggaran, seperti:
a. Kejahatan jenis tindak pidana ini disebut rechtdelicht, yaitu perbuatan-
perbuatan yang bertentangan dengan keadilan, terlepas apakah
perbuatan itu diancam pidana dalam suatu undang-undang atau tidak.
Sekalipun tidak dirumuskan sebagai delik dalam undang-undang,
perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai perbuatan
yang bertentangan dengan keadilan. Jenis tindak pidana ini juga sering
disebut mala per se. Perbuatan-perbuatan yang dapat dikualifikasikan
sebagai rechtdelicht dapat disebut antara lain pembunuhan, pencurian,
dan sebagainya.
b. Pelanggaran jenis tindak pidana ini disebut wetsdelicht, yaitu
perbuatan-perbuatan yang oleh masyarakat baru disadari sebagai suatu
tindak pidana, karena undang-undang merumuskannya sebagai delik.
Perbuatan-perbuatan ini baru disadari sebagai tindak pidana oleh
26
masyarakat karena undang-undang mengancamnya dengan sanski
pidana. Tindak pidana ini juga disebut mala quia prohibita.
Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana formil dan tindak
pidana materiil, yaitu:43
a. Tindak pidana formil merupakan tindak pidana yang menitik beratkan
pada perbuatan yang dilarang. Sehingga dapat dikatakan tindak pidana
yang telah dianggap terjadi atau selesai dengan telah dilakukannya
perbuatan yang dilarang dalam undang-undang, tanpa mempersoalkan
akibat.
b. Tindak pidana materiil merupakan tindak pidana yang menitik
beratkan pada akibat yang dilarang. Dengan kata lain, tindak pidana
yang baru dianggap telah terjadi, atau dianggap telah selesai apabila
akibat yang dilarang itu telah terjadi. Apabila belum terjadi akibat yang
dilarang, maka belum bisa dikatakan selesai tindak pidana ini, yang
terjadi baru percobaannya.
Tindak pidana juga dapat dibedakan atas delik comissionis, delik
omisionis dan delik comisionis peromissionis comissa, diantaranya yaitu:
a. Delik Comissionis merupakan delik yang berupa pelanggaran terhadap
larangan, yaitu berbuat sesuatu yang dilarang.
b. Delik Omissionis merupakan delik yan berupa pelanggaran terhadap
perintah, yaitu tidak berbuat sesuatu yang diperintah.
c. Delik Comissionis Per Omissionis Comissa merupakan delik yang
berupa pelanggaran terhadap larangan, akan tetapi dilakukan dengan
cara tidak berbuat.
Tindak pidana dapat dibedakan atas tindak pidana kesengajaan dan
tindak pidana kealpaan (delik dolus dan delik culpa), yaitu:44
a. Tindak pidana kesengajaan atau disebut juga delik dolus merupakan
tindak pidana yang memuat unsur kesengajaan.
43
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, (Malang:
Universitas Muhammadiyah Malang, 2012), Cet. ke-3, h. 107-108 44
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, …, h.
109
27
Tindakan tercela yang dilakukan dengan sengaja dipandang perlu
diangkat jadi tindak pidana, karena kesengajaan itu yang mendorong
penilaian untuk menyatakan keberbahayaan petindak di satu pihak dan
tindakannya dilain pihak.45
Menurut sifatnya ada dua jenis kesengajaan. Pertama, dolus malus
yaitu seseorang melakukan tindak pidana tidak saja hanya
menghendaki tindakannya itu, tetapi juga tindakan tersebut dilarang
oleh undang-undang dan diancam dengan pidana. Kedua, kesengajaan
yang tidak mempunyai sifat tertentu (kleurloos begrip). Dalam hal ini
seseorang melakukan suatu tindak pidana tertentu, cukup jika (hanya)
menghendaki tindakannya itu.46
b. Tindak pidana kealpaan atau disebut juga delik culpa merupakan delik-
delik yang memuat unsur kealpaan. Dalam suatu tindakan yang dapat
dipidana akibat pada kealpaan yaitu tidak dikehendaki pelaku
walaupun dapat diperkirakan.47
Tindak pidana dapat dibedakan atas delik tunggal dan delik
berganda. Pertama pada delik tunggal ialah delik yang cukup dilakukan
dengan satu kali perbuatan. Yang artinya delik ini dianggap telah terjadi
dengan hanya dilakukan sekali perbuatan. Kedua, delik berganda ialah
delik yang untuk kualifikasinya baru terjadi apabila dilakukan beberapa
kali perbuatan.
Tindak pidana dapat pula dibedakan atas tindak pidana yang
berlangsung merupakan tindak pidana yang mempunyai ciri, bahwa
keadaan atau perbuatan yang terlarang itu berlangsung terus. Dengan
demikian tindak pidana tersebut berlangsung terus menerus. Selain itu,
tindak pidana yang tidak berlangsung terus merupakan tindak pidana yang
mempunya ciri bahwa keadaan yang terlarang itu tidak berlangsung terus.
Jenis tindak pidana ini akan selesai dengan telah dilakukannya perbuatan
yang dilarang atau telah timbulnya akibat.48
45
S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, …, h.164 46
S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, …, h.169 47
S.R Sianturi, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, …, h.189 48
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, h. 109
28
Selain itu, tindak pidana juga dapat dibedakan atas tindak pidana
aduan dan tindak pidana bukan aduan, yaitu:49
a. Tindak pidana aduan merupakan tindak pidana yang penuntutannya
hanya dilakukan apabila ada pengaduan dan pihak yang terkait atau
yang dirugikan. Dengan demikian, apabila tidak ada pengaduan
terhadap tindak pdana itu tidak boleh dilakukan penuntutan. Tindak
pidana adua dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu:
1) Tindak pidana aduan absolut merupakan tindak pidana yang
mempersyaratkan secara absolut adanya pengaduan untuk
penuntutannya. Jenis tindak pidana aduan ini menjadi aduan,
karena sifat dari tindak pidananya sendiri.
2) Tindak pidana aduan relatif merupakan tindak pidana laporan
(tindak pidana biasa) yang karena dilakukan dalam lingungan
keluarga yang kemudian menjadi tindak pidana aduan.
b. Tindak pidana bukan aduan, ayitu tindak pidana yang tidak
mempersyaratkan adanya pengaduan untuk penuntutan.
Jenis tindak pidana yang terakhir dapat dibedakan atas tindak
pidana biasa (dalam bentuk pokok) merupakan bentuk tindak pidana
yang paling sederhana, tanpa adanya unsur yang bersifat memberatkan
dan tindak pidana yang dikualifikasi merupakan tindak pidana dalam
bentuk pokok yang ditambah dengan adanya unsur pemberat sehingga
ancaman pidananya menjadi lebih berat.50
B. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Korupsi
1. Istilah dan Pengertian Tindak Pidana Korupsi
Istilah korupsi berasal dari satu kata dalam bahasa Latin yakni
corruptio atau corruptus. Yang kemudian dalam Bahasa Inggris menjadi
corruption atau corrupt dalam Bahasa Belanda menjadi istilah coruptie.
Dan dalam bahasa Indonesia lahir kata korupsi. Secara istilah tersebut
berarti segala macam perbuatan yang tidak baik, keburukan, kebejatan,
49
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, h. 110 50
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan, h. 111
29
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari
kesucian.51
Istilah korupsi telah mewarnai perbendaharaan kata dalam berbagai
bahasa. Korupsi pun sering dikaitkan dengan ketidakjujuran atau
kecurangan seseorang dalam bidang keuangan. Dengan demikian,
melakukan kecurangan atau penyimpangan menyangkut keuangan.52
Adapun arti harfiah dari korupsi merupakan sesuatu yang busuk,
jahat dan merusak karena korupsi menyangkut segi-segi moral, sifat dan
keadaan yang busuk. Menurut W.J.S. Poereadarminta, istilah korupsi
merupakan perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang serta
penerimaan uang sogok. Sehingga jabatan dalam instansi atau aparatur
pemerintah terdapat penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena
pemberian, faktor ekonomi dan politik. Serta penempatan keluarga atau
golongan ke dalam kedinasan dibawah kekuasaan jabatannya. Adapun
menurut Subekti dan Tjitrosiedibio dalam Kamus Hukum, yang dimaksud
curruptie adalah korupsi, perbuatan curang, tindak pidana yang merugikan
keuangan negara.53
Dalam arti sosial tampaknya masyarakat memang mengasosiasikan
korupsi sebagai penggelapan uang (milik negara atau kantor) dan
menerima suap dalam hubungannya dengan jabatan atau pekerjaan,
walaupun dari sudut hukum tidak persis sama. Sedangkan dari sudut
hukum banyak syarat atau unsur yang harus dipenuhi bagi suatu tingkah
laku agar dapat dikualifikasikan sebagai salah satu dari tindak pidana
korupsi sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang.54
Munculnya perbuatan korupsi didorong oleh dua motivasi. Pertama,
motivasi intrinsic ialah adanya dorongan memperoleh kepuasan yang
ditimbulkan oleh tindakan korupsi. Sehingga, pelaku merasa mendapatkan
51
Adami Chawazi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, (Malang:
Bayumedia, 2005), Cet. ke-2, h. 1 52
Elwi Danil, KORUPSI: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, (Jakarta: PT Raja
Grafindo, 2011), h.3 53
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, …, h.9 54
Adami Chawazi, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia, …, h. 2
30
kepuasan dan kenyamanan tersendiri ketika berhasil melakukannya.
Kedua, motivasi ekstrinsik merupakan dorongan korupsi dari luar diri
pelaku yang tidak menjadi bagian melekat dari pelaku itu sendiri.
Baharudin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers,
menguraikan istilah korupsi dalam berbagai bidang seperti yang
menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di
bidang ekonomi karena manipulasi dan keputusan mengenai keuangan
yang membahayakan perekonomian sering dikategorikan perbuatan
korupsi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum karena
digunakan terhadap kesalahan ketetapan oleh pejabat yang menyangkut
bidang perekonomian umum. Tidak hanya itu, pembayaran terselubung
dalam bentuk pemberian hadiah, ongkos administrasi, pelayanan,
pemberian hadiah kepada sanak keluarga, pengaruh kedudukan sosial, atau
hubungan apa saja yang merugikan kepentingan dan kesejahteraan umum
dengan atau tanpa pembayaran uang. Bentuk korupsi lainnya ialah korupsi
politik seperti pada penelitian umum, termasuk memperoleh suara dengan
uang, janji dengan jabatan atau hadiah khusus, paksaan, intimidasi, dan
campur tangan terhadap kebebasan memilih. Korupsi dalam jabatan
melibatkan penjualan suara dalam legislatif, keputusan administrasi atau
keputusan yang menyangkut pemerintahan.55
2. Faktor Penyebab Tindak Pidana Korupsi
Penyebab terjadinya korupsi secara terperinci terdapat tiga hal, yaitu:56
a. Keserakahan (corruption by greed), korupsi ini terjadi pada orang yang
sebenarnya tidak butuh, tidak mendesak secara ekonomi, jabatan
tinggi, bahkan mungkin sudah kaya tetapi kekuasaan yang tak
terbendung menyebabkan terlibat praktik korupsi.
b. Kebutuhan (corruption by need) merupakan korupsi yang dilakukan
karena keterdesakan dalam pemenuhan kebutuhan dasar hidup (basic
needs).
55
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, …, h.10 56
Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus Diluar KUHP: Korupsi, Money Laundering &
Trafficking, (Jakarta: Raih Asa Sukses, 2014), Cet. ke-1, h.7
31
c. Adanya peluang (corruption by chance) ialah korupsi yang dilakukan
karena adanya peluang yang besar untuk melakukan korupsi, peluang
untuk cepat kaya melalui jalan pintas, peluang cepat naik jabatan
secara instan. Cenderung didukung oleh lemahnya system organisasi,
rendahnya akuntabilitas publik, longgarnya pengawasan masyarakat,
serta keroposnya penegakan hukum yang diperparah dengan sanksi
hukm yang tidak membuat jera. Korupsi justru diberikan kesempatan
dan diberi peluang, bahkan dilindungi sehingga meggoda para pejabat
atau pemegang amanah untuk berbuat korupsi atau menerima suap.
Adapun beberapa faktor yang menyebabkan korupsi, antara lain:57
a. Lemahnya pendidikan agama dan etika.
b. Kolonialisme dari suatu pemerintahan asing tidak menggugah
kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi.
c. Kurangnya pendidikan, namun kenyataannya sekarang kasusu korupsi
di Indonesia dilakukan oleh seseorang yang memiliki kemampuan
intelektual yang tinggi, terpelajar, dan terpandang sehingga alasan ini
dapat dikatakan kurang tepat.
d. Kemiskinan, namun kebanyakan para pelakunya bukanlah dari
kalangan yang tidak mampu melainkan para konglomerat.
e. Tidak adanya sanksi yang keras dan tegas
f. Kelangkaan lingkungan yang subur untuk pelaku antikorupsi.
g. Struktural pemerintahan.
h. Perubahan radikal, pada saat ini system nilai mengalami perubahan
radikal. Korupsi muncul sebagai suatu penyakit transisional.
i. Keadaan masyarakat, sehingga korupsi dalam suatu birokrasi bias
mencerminkan keadaan masyarakat secara keseluruhan.
Faktor yang paling penting dan genting terjadinya tindak pidana
korupsi dalam dinamika korupsi ialah keadaan moral dan intelektual para
pemimpin masyarakat. Ketika moral masyarakat Indonesia dibenturkan
57
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, …, h.11
32
dengan keadaan ekonomi yang semakin memburuk dengan skala nasional
menimbulkan peluang untuk melakukan tindak pidana korupsi. Namun,
sangat disesalkan ketika para pemimpin diberi amanah karena memiliki
nilai intelektual dan integritas yang mampu menjadi tombak utama dari
sebuah sistem harus dirusak hanya karena nafsu dan kepuasan sesaat.
Menurut pakar hukum pidana Selo Soemardjan, ada faktor-faktor
sosial yang melanggar kaidah kejujuran dan norma hukum, antara lain:58
a. Desintegrasi (anomie) sosial karena perubahan sosial terlalu cepat
sejak revolusi nasional dan melemahnya batas milik negara dan milik
pribadi
b. Fokus budaya bergeser yang semula nilai utama orientasi sosial beralih
menjadi orientasi harta. Kaya tanpa harta menjadi kaya dengan harta
c. Pembangunan ekonomi menjadi panglima pembangunan bukan
pembangunan sosial atau budaya
d. Penyalahgunaan kekuasaan negara sebagai short cut mengumpulkan
harta
e. Paternalism merupakan korupsi tingkat tinggi, menurun, menyebar
meresap dalam kehidupan masyarakat
f. Pranata-pranata sosial control tidak efektif lagi
Sedangkan menurut Klitgaar, Hamzah, Lopa, BPKP, dan World
Bank berpendapat bahwa penyebab korupsi karena deskresi pegawai
publik yang terlalu besar, rendahnya akuntabilitas publik, lemahnya
kepemimpinan, gaji pegawai public dibawah kebutuhkan hidup,
kemiskinan, moral rendah atau disiplin endah, konsumtif, pengawasan
dalam organisasi kurang, atasan memberi contoh, konsekuensi (biaya)
akibat ditangkap lebih rendah dari keuntungan yang diperoleh, para
pegawai publik mesti menjadi sumber dana organisasi dan kondisi
58
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, …, h.19
33
masyarakat yang lemah tidak terorganisasi untuk mampu melawan
korupsi.59
3. Jenis Jenis Tindak Pidana Korupsi
Bentuk-bentuk tindak pidana korupsi mempunyai unsur-unsru
tertentu dan diancam dengan jenis pidana dengan sistem pemidanaan
tertentu pula, yaitu:60
a. Tindak pidana korupsi dengan memperkaya diri sendiri, orang lain
atau suatu korporasi dirumuskan dalam (pasal 2), sebagai berikut:
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
yang dapat merugikan keuangan negara, dipidana dengan pidana
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu pidana mati dapat
dijatuhkan.
Tindak pidana korupsi pada ayat (1) terdiri atas unsur-unsur
berdasarkan perbuatannya dapat memperkaya diri sendiri, memperkaya
orang lain dan memperkaya suatu korporasi. Dengan cara melawan
hukum atau istilah lain tidak berhak atau tidak berwenang merupakan
suatu pengertian tentang sifat tercelanya atau sifat terlarangnya suatu
perbuatan. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara yang diakibatkan kerugian negara dapat timbul dari perbuatan
memperkaya diri sendiri dengan melawan hukum. Ukurannya dapat
menimbulkan kerugian yang didasarkan pada pengalaman dan logika atau
akal orang pada umumnya dengan memperhatikan berbagai aspek sekitar
perbuatan yang dikategorikan memperkaya diri tersebut. Keuangan negara
adalah kekayaan negara dalam bentuk apapun, termasuk hak-hak dan
kewajiban. Sedangkan perekonomian negara adalah kehidupan
perekonomian negara yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan
59
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, ..., h.21 60
Adami Chawazi, Pelajaran Pengantar Hukum Pidana 1, ..., h. 34
34
asas kekeluargaan atau masyarakat yang didasarkan pada kebijakan
pemerintah untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Unsur yang
dilakukan dalam keadaan tertentu apabila dilakukan pada waktu negara
dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yangberlaku, pada
waktu terjadinya bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak
pidana korupsi, dan pada waktu negara dalam keadaan krisis ekonomi dan
moneter.61
Tindak pidana korupsi dengan menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan, sarana jabatan, atau kedudukan. Tindak pidana tersebut
dimuat dalam pasal 3, sebagai berikut:
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi,menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau
kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara, dipidana penjara paling saingkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Terdapat unsur-unsur objektif berdasarkan perbuatannya
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan dan sarana. Yang ada
padanya karena jabatan dan kedudukan. Yang dapat merugikan keuangan
negara dan perekonomian negara. Sedangkan unsur-unsur subjektif dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri, menguntungkan orang lain, dan
menguntungkan suatu korporasi.
Menurut, M. Amin Rais ada empat macam jenis korupsi, sebagai
berikut:62
a. Korupsi ekstortif yaitu sogokan atau suap yang dilakukan oleh
pengusaha kepada penguasa.
b. Korupsi manipulatif seperti seseorang yang memiliki kepentingan
ekonomis meminta kepada eksekutif atau legislatif untuk membuat
61
Adami Chawazi, Pelajaran Pengantar Hukum Pidana 1, …., h. 35-46 62
Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus Diluar KUHP: Korupsi, Money Laundering & Trafficking, ..., h. 9
35
peraturan atau undang-undang yang menguntungkan bagi usaha
ekonominya, sekalipun berdampak negatif bagi rakyat banyak.
c. Korupsi nepotisik merupakan korusi yang terjadi karena adanya ikatan
keluarga.
d. Korupsi subversive ialah korupsi dimana mereka merampok kekayaan
negara secara sewenang-wenang untuk dialihkan kepada pihak asing,
tentu dengan sejumlah keuntungan pribadi.
Tindak pidana korupsi dapat pula dilihat atas dasar substansi
objeknya, sebagai berikut:63
a. Tindak pidana korupsi murni merupakan tindak pidana korupsi yang
substansi objeknya mengenai hal yang berhubungan dengan
perlindungan hukum terhadap kepentingan hukum yang menyangkut
keuangan negara, perekonomian negara, dan kelancaran pelaksanaan
atau pekerjaan pegawai negeri atau pelaksana pekerjaan yang bersifat
publik. Atas dasar kepentingan hukum dapat dikelompokan menjadi
empat, yaitu:
1) Tindak pidana korupsi yang dibentk dengan substansi untuk
melindungi kepentingan hukum terhadap keuangan negara dan
perekonomian negara.
2) Tindak pidana korupsi yang dibentuk untuk melindungi
kepentingan hukum terhadap kelancaran tugas-tugas dan pekerjaan
pegawai negeri atau orang yang pekerjaannya berhubungan dan
menyangkut kepentingan umum.
3) Tindak pidana korupsi yang dibentuk untuk melindungi
kepentingan hukum terhadap keamanan umum bagi barang atau
orang atau keselamatan negara dalam keadaan perang dari
perbuatan yang bersifat menipu.
4) Tindak pidana korupsi yang dibentuk untuk melindungi
kepentingan hukum mengenai terselengaranya tugas-tugas publik
63
Adami Chawazi, Pelajaran Pengantar Hukum Pidana 1,…, h. 20
36
atau tugas pekerjaan pegawai negeri. Hal ini menyangkut
kepentingan umum dari penyalahgunaan kewenangan dan sarana
karena pekerjaan atau jabatan yang dimilikinya sebagai pegawai
negeri atau berkedudukan dan tugasnya untuk kepentingan umum.
Tindak pidana korupsi kelompok ini merupakan kejahatan
jabatan, artinya subjek hukumnya pegawai negeri atau orang selain
pegawai negeri (disamakan dengan pegawai negeri) yang
menjalankan tugas-tugas pekerjaan yang menyangkut kepentingan
publik dengan menyalahgunakan kedudukannya.
b. Tindak pidana korupsi tidak murni merupakan tindak pidana yang
substansi objeknya mengenai perlindungan hukum terhadap
kepentingan hukum bagi kelancaran pelaksanaan tugas-tugas
penegak hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana
korupsi.
Selain itu, tindak pidana korupsi dapat dibedakan atas dasar subjek
hukum atau si pembuatnya menjadi 2 kelompok, yaitu:
1) Tindak pidana umum merupakan bentuk-bentuk tindak pidana
korupsi yang ditujukan tidak terbatas kepada orang-orang yang
berkualitas sebagai pegawai negeri. Akan tetapi ditujukan pada
setiap orang termasuk korporasi dan berlaku untuk semua
orang yang termasuk dalam kelompok tindak pidana umum.
2) Tindak pidana korupsi pegawai negeri dan atau penyelenggara
negara merupakan tindak pidana korupsi yang hanya dapat
dilakukan oleh orang yang berkualitas sebagai pegawai negeri
atau penyelenggara negara. Artinya tindak pidana yang
dirumuskan itu semata-mata dibentuk untuk pegawai negeri
atau penyelenggara negara. Dan kualitas pegawai negeri
merupakan unsur esensalia tindak pidana. Tindak pidana ini
korupsi ini merupakan bagian dari kejahatan atau dapat disebut
kejahatan jabatan khusus.
37
Dapat pula dibedakan atas dasar sumber tindak pidana korupsi,
sebagai berikut:
a. Tindak pidana korupsi yang bersumber pada KUHP dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1) Tindak pidana korupsi yang dirumuskan tersendiri dalam
Undang Undang Nomor 31 Tahun 199 jo Undang Undang
Nomor 20 Tahun 2001. Rumusan tersebut berasal atau
bersumber dari rumusan tindak pidana dalam KUHP. Formula
rumusannya agak berbeda dengan rumusan as;inya dalam
pasal KUHP yang bersangkutan, tetapi substansinya sama.
2) Tindak pidana korupsi yang menunjuk pada pasal-pasal
tertentu dalam KUHP dan ditarik menjadi tindak pidana
korupsi dengan mengubah ancaman dan sistem
pemidanaannya.
b. Tindak pidana korupsi yang oleh Undang Undang Nomor 31
Tahun 1999 diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun
2001 dirumuskan sendiri sebagai tindak pidana korupsi.tindak
pidana asli yang dibentuk oleh undang-undang tersebut
sebagaimana dirumuskan dalam pasal 2, 3, 12B, 13, 15, 16, 21, 22,
dan 24.
Selain itu, dapat dibedakan atas dasar tingkah laku atau
perbuatan dalam rumusan tindak pidana, yaitu:
a. Tindak pidana korupsi aktif atau tindak pidana korupsi positif
ialah tindak pidana korupsi yang dalam rumusannya
mencantumkan unsur perbuatan aktif. Perbuatan aktif atau
perbuatan materiil yang bisa disebut juga perbuatan jasmani
adalah perbuatan untuk mewujudkannya diperlukan gerakan tubuh
atau bagian dari tubuh orang.
b. Tindak pidana korupsi pasif atau tindak pidana korupsi negatif
adalah tindak pidana yang unsur tingkah lakunya dirumuskan
secara pasif. Bahwa tindak pidana pasif adalah tindak pidana yang
38
melarang untuk tidak berbuat aktif. Tindak pidana pasif dibedakan
menjadi dua, yaitu:
1) Tindak pidana pasif murni ialah tindak pidana pasif yang
dirumuskan secara formil atau yang pada dasarnya semata-mata
unsur perbuatannya adalah berupa perbuatan pasif. Tindak
pidana korupsi pasif menurut Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001
semuanya adalah berupa tindak pidana pasif murni.
2) Tindak pidana pasif tidak murni adalah berupa tindak pidana
yang pada dasarnya berupa tindak pidana aktif, tetapi dapat
dilakukan dengan cara tidak berbuat atau tidak melakukan
perbuatan aktif. Tindak pidana yang mengandung akibat
terlarang (tindak pidana materiil) yang dilakukan dengan tidak
berbuat aktif sehingga dengan tidak berbuat (yang melanggar
kewajiban hukumnya untuk berbuat) menimbulkan akibat yang
dilarang menurut undang-undang.
Bagian terakhir, dapat dibedakan atas dasar dapat-tidaknya
merugikan keuangan dan atau perekonomian negara, yaitu ada dua.
Pertama, tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara bukanlah tindak pidana materiil, melainkan
tindak pidana formil. Terjadinya tindak pidana korupsi secara sempurna
tidak perlu menunggu timbulnya kerugian negara. Kedua, tindak pidana
korupsi yang tidak mensyaratkan dapat menimbulkan kerugian keuangan
negara atau perekonomian negara. Tindak pidana korupsi yang terdapat
unsur atau syarat dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara
seperti dimaksud pada sub pertama, terdapat dalam pasal: 2, 3, 15 jo 2 dan
3 (sepanjang percobaan, pembantuan, atau pemufakatan jahat itu
dilakukan dalam rangka melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana
dirumuskan dalam pasal 2 dan 3).
39
4. Pemidanaan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Menurut Muladi dikutip oleh Mustofa Hasan dan Beni Ahmad
Saebani membagi teori tujuan pemidanaan menjadi tiga kelompok, yaitu:64
a. Teori absolut (retributif) bahwa pemidanaan merupakan pembalasan
atas kesalahan yang telah dilakukan sehingga berorientasi pada
perbuatan yang terletak pada terjadinya kejahatan.
b. Teori teleologis (tujuan) bahwa pemidanaan bukan sebagai
pembalasan atas kesalahan pelaku, melainkan sarana mencapai
tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju
kesejahteraan masyarakat.
c. Teori retributive-teleogis bahwa pemidanaan bersifat plural karena
menggabungkan antara prinsip-prinsip teleogis dan retributive
sebagai satu kesatuan.
Dalam rancangan Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP)
ada dua jenis pidana, sebagai berikut:65
Pertama, Pidana Pokok:
a. Pidana penjara adalah suatu pidana berupa pembatasan kebebasan
bergerak yang dilakukan dengan menutup di dalam sebuah lembaga
pemasyarakatan.
b. Pidana tutupan adalah pidana yang dimaksudkan untuk mengganti
pidana penjara yang sebenarnya dapat dijatuhkan oleh hakim bagi
pelaku tindak kejahatan yang didorong dan patut dihormati. Sehingga,
pemidanaannya atas keputusan hakim.
c. Pidana pengawasan
d. Pidana denda
e. Pidana kerja sosial
f. Pidana mati bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternative.
Kedua, Pidana Tambahan:
64
Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2013), Cet. ke-1, h.15 65
Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), h.104
40
a. Pidana denda
b. Pidana kurungan
Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999,
jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa
tindak pidana korupsi atau terhadap orang yang melakukan tindak pidana
korupsi, sebagai berikut:66
a. Pidana mati, dapat dipidana mati kepada setiap orang yang secara
melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara sebagaimana ditentukan Pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang dilakukan dalam
“keadaan tertentu”. Adapun yang dimaksud dengan “keadaan tertentu”
adalah pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak
pidana tersebut yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam
nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi atau pada saat
negara dalam keadaan krisis ekonomi (moneter).
b. Pidana penjara terbagi menjadi empat belas, yaitu:
1) Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
empat tahun dan paling lama dua puluh tahun dan denda paling
sedikit Rp 200.000.000,- dan paling banyak Rp 1.000.000.000 bagi
setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
(pasal 2 ayat (1))
2) Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat
satu tahun dana tau denda paling sedikit Rp 50.000.000,- dan
paling banyak Rp 1.000.000.000,- bagi seiap orang yang dengan
tjuan menguntungan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana
66
Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, ..., h.12
41
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. (pasal 3)
3) Pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima
tahun atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,- dan paling banyak
Rp 250.000.000,- bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 209 KUHP. (pasal 5)
4) Pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama lima belas
tahun dana atau paling sedikit Rp 150.000.000,- dan paling banyak
Rp 750.000.000,- bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 210 KUHP. (pasal 6)
5) Pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama tujuh
tahun dana tau denda paling sedikit Rp 100.000.000,- dan paling
banyak Rp 350.000.000,- bagi setiap orang yang melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 387 atau Pasal 388
KUHP. (pasal 7)
6) Pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama lima belas
tahun dana tau denda paling sedikit Rp 150.000.000,- dan paling
banyak Rp 750.000.000,- bagi setiap orang yang melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 415 KUHP. (pasal 8)
7) Pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima
tahun dana tau denda paling sedikit Rp 50.000.000,- dan paling
banyak Rp 250.000.000,- bagi setiap orang yang melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 416 KUHP. (pasal 9)
8) Pidana penjara paling singkat dua tahun dan paling lama tujuh
tahun dana tau denda paling sedikit Rp 100.000.000,- dan paling
banyak Rp 350.000.000,- bagi setiap orang yang melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 417 KUHP. (pasal 10)
9) Pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima
tahun dana tau denda paling sedikit Rp 50.000.000,- dan paling
banyak Rp 250.000.000,- bagi setiap orang yang melakukan tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 418 KUHP. (pasal 11)
42
10) Pidana penjara seumur hidup dana atau pidana penjara paling
singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun dana tau
denda paling sedikit Rp 200.000.000,- dan paling banyak Rp
1.000.000.000,- bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 419, 420, 423, 425, 435
KUHP. (pasal 7)
11) Pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama dua belas
tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,- dan paling
banyak 600.000.000,- bagi setiap orang yang dengan sengaja
mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau
tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang
pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi
dalam perkara korupsi. (pasal 21)
12) Pidana penjara paling singkat tiga tahun dan paling lama dua belas
tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,- dan paling
banyak Rp 600.000.000,- bagi setiap orang sebagaimana dimaksud
dalam pasal 28, 29, 35, dan 36 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 yang dengan sengaja tidak memberikan keterangan yang
tidak benar. (pasal 22)
13) Pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama enam
tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,- dan paling
banyak Rp 300.000.000,- bagi pelanggaran ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 220, 231, 421, 422, 429, 430 KUHP. (pasal
23)
14) Pidana penjara paling lama tiga tahun dan atau denda paling
banyak Rp 150.000.000,- bagi saksi yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 31 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999. (pasal 24)
c. Pidana tambahan dapat merupakan perampasan barang bergerak yang
berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang
digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi,
43
termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi
dilakukan, begitupula dari barang yang menggantikan barang-barang
tersebut. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak sama
dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Penutupan
seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau
sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh
pemerintah kepada terpidana. Jika terpidana tidak membayar uang
pengganti paling lama dalam waktu satubulan sesudah putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta
bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang
pengganti tersebut.
d. Gugatan perdata kepada ahli warisnya dalam hal terdakwa meninggal
dunia pada saat dilakukukan pemeriksaan siding pengadilan,
sedangkan secara nyata telah ada kerugian negara, maka penuntut
umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara siding tersebut
kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang
dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata kepada ahli warisnya.
Pemidanaan merupakan tahapan penetapan sanksi terhadap pelaku
tindak pidana. Penjatuhan pidana harus harus berdasarkan peraturan
perundang-undangan, badan yang berwenang dan instansi pelaksana yang
berwenang. Pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana korupsi harus
diterapkan sanksi yang tegas. Sehingga tujuan diberikan pemidanaan dapat
terwujud agar pembinaan terhadap para pelaku dan pencegahan orang lain
tidak melakukan tindak pidana yang sama. Oleh karena itu, hakim harus
teliti dan hati hati untuk penjatuhan sanksi pidana terhadap pelaku tindak
pidana.
C. Tindak Pidana Dalam Hukum Pidana Islam
1. Istilah dan Pengertian Jarimah
Hukum pidana Islam dalam bahasa Arab disebut dengan jarimah
atau jinayah yang berasal dari kata jarama-yajrimu-jarimatan artinya
44
“berbuat” dan “memotong”. Secara khusus digunakan terbatas pada
“perbuatan dosa” atau “perbuatan yang dibenci”. Kata jarimah juga berasal
dari kata ajrama-yajrimu artinya “melakukakn sesuatu yang bertentangan
dengan kebenaran, keadilan, dan menyimpang dari jalan yang lurus”.67
Istilah jarimah oleh sebagian ahli fiqh dianggap sama dengan istilah
jinayah. Menurut Wahbah Al-Zulhaili jarimah berarti dosa, kemaksiatan,
atau semua jenis perbuatan manusia berupa kejahatan yang dilakukan..
Kata jarimah dalam bentuk kata kerjanya disebutkan dalam Al-Qur‟an,
dalam QS. Al-Maidah (5):8 :68
Artinya : “Dan janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum
mendorong kau untuk berlaku tidak adil”
Secara terminologis, jarimah merupakan larangan-larangan syara‟
yang diancam oleh Allah dengan hukuman hudud dan takzir. Menurut
Qanun no. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, bahwa jarimah adalah
perbuatan yang dilarang oleh syariat Islam yang dalam qanun ini diancam
dengan uqubah hudud dan atau tazir.69
Menurut Qanun No. 7 Tahun 2013
tentang Hukum Acara Jinayat, jarimah adalah melakukan perbuatan yang
diperintahkan oleh syariat Islam dalam Qanun Jinayat diancam uqubah
hudud, qisash, diyat, dan atau tazir.70
Definisi jarimah menurut fuqaha
ialah melakukan perbuatan yang diharamkan dan diancam dengan sanksi
hukum atau tindakan melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan yang
diperintahkan dan diancam dengan sanksi hukum atas tindakan tidak
melakukan.71
Menurut pendapat Al-Mawardi, jarimah (tindakan criminal) adalah
semua tindakan yang diharamkan oleh syariat. Allah Ta‟ala mencegah
terjadinya tindak criminal dengan menjatuhkan hudud atau ta‟zir kepada
67
Mardani, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Prenada Media Group, 2019), Cet. ke-1, h.1 68
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: AMZAH, 2016), Cet. ke-1, h. 7 69
Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat 70
Qanun Aceh No. 7 Tahun 2013 tentang Acara Jinayat 71
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, …, h. 10
45
pelakunya. Adapun menurut Abdul Qadir „Audah, jarimah ialah
melakukan perbuatan yang diharamkan yang apabila melakukannya
mengakibatkan ancaman sanksi hukum tertentu, atau tidak melakukan
perbuatan yang dilarang, yang diancam sanksi hukum tertentu apabila
tidak melakukannya atau dengan kata lain, melakukan atau meninggalkan
(perbuatan) yang keharamannya telah ditetapkan oleh syariat dan adanya
ancaman hukuman tertentu72
Sedangkan menurut Muhammad Abu Zahrah, jarimah ialah
melakukan perbuatan yang dilarang Allah, membangkang perintah Allah,
atau dengan kata lain membangkang terhadap perintah Allah yang
ditetapkan dalam hukum syara‟ yang mulia. Menurut kamus Al-Arabiyyah
Al-Muyassarah, jarimah dalam arti luas adalah pelanggaran terhadap
prinsip-prinsip kemasyarakatan. Dalam masyarakat modern jarimah
dipahami sebagai pelanggaran terhadap undang-undang. Secara yuridis
suatu tindakan bisa dipandang sebagai pidana, tindakan itu harus
dilakukan oleh orang yang mampu mempertanggung jawabkannya, yaitu
orang yang dewasa dan berakal sehat. Sanksi pidana yang akan dikenakan
kepada pelaku harus diselenggarakan oleh pemerintah atau melalui
undang-undang.73
2. Unsur-Unsur Jarimah atau Tindak Pidana
Menurut pendapat M. Nurul Irfan unsur-unsur jarimah jika ditinjau
berdasarkan objek utama fiqh jinayah dapat dibedakan menjadi tiga
bagian, yaitu:74
a. Al-rukn al-syar‟i atau unsur formil ialah unsur yang menyatakan
bahwa seseorang dapat dinyatakan sebagai pelaku jarimah jika ada
undang-undang yang secara tegas melarang dan menjatuhkan sanksi
kepada pelaku tindak pidana.
72
Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), …, h.15 73
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, …, h. 11 74
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: AMZAH, 2016), Cet. ke-4, h. 2
46
b. Al-rukn al-madi atau unsur materiil ialah unsur yang menyatakan
bahwa seseorang dapat dijatuhkan pidana jika ia benar-benar terbukti
melakukan sebuah jarimah, baik yang bersifat positif (aktif dalam
melakukan sesuatu) maupun yang bersifat negatif (pasif dalam
melakukan sesuatu).
c. Al-rukn al-adabi atau unsur moril ialah unsur yang menyatakan bahwa
seseorang dapat dipersalahkan jika ia bukan orang gila, anak dibawah
umur, atau sedang berada dibawah ancaman.
Pelaku jarimah dalam unsur formal megharuskan adanya nash. Allah
SWT mengajarkan bahwa tidak akan menyiksa hamba-Nya sebelum
mengutus utusan-Nya untuk memberikan hukuman yang akan ditimpakan
kepada mereka yang membangkang ajaran Rasul Allah. Khusus jarimah
ta‟zir harus ada peraturan dan undang-undang yang telah dibuat oleh
penguasa. Firman Allah SWT dalam QS. Al-Isra 17(15) :75
Artinya :“Barang siapa berbuat sesuai dengan petunjuk (Allah), maka
sesungguhnya itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan
barang siapa tersesat maka sesungguhnya (kerugian) itu bagi
dirinya sendiri. Dan seseorang yang berdosa tidak dapat
memikul dosa orang lain, tetapi Kami tidak akan menyiksa
sebelum Kami mengutus rasul.”
Pada unsur materiil perbuatan melawan hukum yang benar-benar
telah dilakukan. Hadis Nabi riwayat Bukhari dan Muslim dari Abu
Hurairah mengajarkan bahwa Allah melewatkan hukuman untuk umat
Nabi Muhammad SAW atas sesuatu yang masih terkandung dalam hati,
selagi ia tidak mengatakan dengan lisan atau mengerjakan dengan nyata.
75
Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), , , h.84
47
Dalam unsur moral yang terpenting merupakan adanya niat pelaku untuk
berbuat tindak pidana atau jarimah.76
Secara garis besar unsur-unsur tindak pidana harus memenuhi
syarat pada setiap tindak pidana. Antara unsur formal, materiil dan moral
saling berkaitan satu sama lain. Dan ketiga unsur tersebut jika
diklasifikasikan menjadi unsur umum dalam sebuah tindak pidana.
Menurut pendapat Asep Saepudin Jahar sebagaimana dikutip oleh
Mardani dalam unsur-unsur tindak pidana terdapat 3 hal ruang lingkup,
yaitu:77
a. Subjek perbuatan ialah pelaku atau menyangkut pertanggung jawaban
pidana, merupakan keadaan yang membuat seseorang dapat dipidana
serta alasan-alasan dan keadaan apa saja yang membuat seseorang
terbukti melakukn tindak pidana dapat dipidana.
b. Objek perbuatan, ialah perbuatan yang dilarang dan lazim disebut
sebagai tindak pidana, perbuatan pidana atau peristiwa pidana.
c. Saksi hukuman merupakan hukuman atau sanksi yang dapat dijatuhkan
kepada seseorang yang melakukan tindak pidana dan kepadanya
dianggap bertanggungjawab.
3. Ruang Lingkup dan Macam-Macam Jarimah
Ruang lingkup fiqh jinayah merupakan pondasi terpenting dalam
menentukan seseorang melakukan tindak pidana. Kajian-kajian tersebut
memiliki tiga kunci utama, sebagai berikut:
a. Jarimah Qisash, secara bahasa berasal dari kata qashasha-yaqushshu-
qishashan yang artinya mengikuti dan menelusuri jejak kaki. Qisash
berarti menelusuri jejak kaki manusia atau hewan, dimana antara jejak
kaki dan telapak kaki pasti memiliki kesamaan bentuk. Qishash
merupakan suatu ketentuan Allah berkenaan dengan kesamaan antara
perbuatan pidana dan sanksi hukumannya. Menurut pendapat Al-
76
Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), …, h.85 77
Mardani, Hukum Pidana Islam, …, h.8
48
Jurjani, qisash ialah mengenakan sebuah tindakan (sanksi hukum)
kepada pelaku persis seperti tindaka yang dilakukan oleh pelaku
terhadap korban. Selain itu, Al-Mu‟jam Al-Wasith mengartikan qisash
dengan menjatuhkan sanksi hukum kepada pelaku tindak pidana sama
persis dengan tindak pidana yang dilakukan; nyawa dengan nyawa dan
anggota tubuh dibalas dengan anggota tubuh.78
Pada dasarnya,
seseorang haram menghilangkan nyawa orang lain tanpa alasan syara‟
bahkan Allah mengatakan tidak ada dosa yang lebih besar lagi setelah
kekafiran selain pembunuhan terhadap orang mukmin. Dalam Islam
pemberlakuan hukum mati terhadap pelaku pembunuhan sengaja tidak
bersifat mutlak jika korban atau wali korban memaafkan, sehingga
hukuman dapat gugur atau diganti (diyat). Diyat merupakan hukuman
pengganti (uqubah badaliah) dari hukuman asli (uqubah ashliyah)
dengan syarat adanya pemberian maaf dari korban atau wali korban.
Jarimah qisash terbatas jumlah dan hukumannya tidak mengenal batas
tertinggi atau terendah untuk setiap jarimah. Qisash mengenal hak
perseorangan hanya diberikan kepada korban atau wali korban, bahkan
kepala negara tidak berkuasa memberikan pengampunan kecuali ia
merupakan wali korban. Kekuasaan hakim terbatas pada penjatuhan
hukuman apabila perbuatan yang dituduhkan dapat dibuktikan.
Sebagai pengganti penghapusan semua hukuman, hakim dapat
menjatuhkan ta‟zir yang tujuannya sebagai ta‟dib (memberi
pengajaran). Sehingga qisash merupakan bentuk hukuman bagi pelaku
jarimah terhadap jiwa dan anggota badan yang dilakukan dengan
sengaja. Dalam menerapkan jarimah qisash diyat hakim harus hati-hati
dan yakin akan kesalahan terdakwa karena sifat asas legalitas jarimah
sangat ketat untuk menghindari kesalah putusan.79
Terdapat beberapa
macam jarimah qisash, yaitu:80
78
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, …, h. 30 79
Mustofa Hasan dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah), …, h.72 80
Mardani, Hukum Pidana Islam, …, h.12
49
1) Pembunuhan Sengaja (al-qathlu al-„amdu)
2) Pembunuhan Semi Sengaja (al-qathlu syibhu al-„amdi)
3) Pembunuhan Tidak Sengaja (al-qathu khata)
4) Penganiayaan Sengaja (al-jarhu al-amdu‟)
5) Penganiyaan Tidak Sengaja (al-jarhu khata)
Dasar pelaksanaan qisash dari QS. Al-Baqarah (2) ayat 178:
Artinya :“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
qishash, berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh;
orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan
hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang
mendapat pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti, dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang
memberi maaf, dengan cara yang baik (pula). Yang demikian
itu adalah suatu keringanan dari Rabb kamu, dan suatu
rahmat. Barang siapa yang melampaui batas, sesudah itu,
maka baginya siksa yang sangat pedih.”
b. Jarimah Hudud, kata hudud bentuk jamak dari kata had yang berarti
cegahan. Hudud merupakan hukuman yang telah ditetapkan syariat
untuk mencegah kejahatan. Menurut Imam Taqiyuddin Abi Bakar bin
Muhammad al-Husaini, hudud dapat mencegah seseorang dari
perbuatan keji (dosa), dan juga karena Allah telah menentukan
hukumannya, sehingga tidak bisa ditambah dan dikurang. Dalam
Qanun No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, hudud adalah jenis
hukuman yang bentuk dan besarnya telah ditentukan dalam qanun
50
secara jelas.81
Secara mendasar terdapat dua jenis hudud yaitu hudud
yang termasuk hak Allah seperti, hudud atas jarimah zina, meminum
minuman keras, pencurian dan pembrontakan.82
Dan yang termasuk
hak manusia seperti had qadzf dan qisash. Jarimah hudud ada tujuh
macam, sebagai berikut:83
1) Jarimah Zina adalah hubungan badan yang diharamkan (diluar
pernikahan) dan disengaja oleh pelakunya. Zina terdapat dua
kategori, yaitu zina muhshan merupakan zina yang dilakukan
seorang suami, istri, duda, atau janda artinya yang masih dalam
status pernikahan atau pernah menikah secara sah. Sanksi (uqubah)
dari zina muhshan adalah hukuman rajam yaitu pelaku dikubur
sebatas bahu lalu dilempari batu hingga meninggal. Yang kedua
zina ghairu muhsan merupakan zina yang pelakunya masih
berstatus perjaka atau gadis. Sanksi (uqubah) dari zina ghairu
muhsan adalah hukuman cambuk sebanyak serratus kali dan
diasingkan selama setahun.
2) Jarimah Qadzf (Penuduhan Zina) ialah menuduh berzina pihak lain
tanpa bukti yang bisa diterima. Syaratnya penuduh harus
mendatangkan empat orang saksi jika tidak bisa maka penuduh
mendapatkan hukuman. Sanksi (uqubah) jarimah qadzf berupa
cambuk sebanyak delapan puluh kali.
3) Jarimah Syurb Al-Khamr (Meminum Minuman Keras) menurut
jumhur ulama meminum khamr dalam jumlah banyak atau sedikit
tetap saja haram, baik mabuk maupun tidak. Sanksi hukuman bagi
pelaku jarimah khamr delapan puluh kali cambuk. Namun
kelompok Syafi‟yah berpendapat bahwa sanksinya empat puluh
kali cambuk.
4) Jarimah Al-Baghyu (Pembrontakan) adalah sikap menolak untuk
tunduk terhadap seorang pemimpin yang sah tidak dengan
81
Mardani, Hukum Pidana Islam, …, h.9 82
M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, …, h. 16 83
M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, …, h. 48-92
51
kemaksiatan, tetapi dengan perlawanan, walaupun alasannya kuat.
Unsur terpenting jarimah pemberontakan yaitu pemberontakan
terhadap pemimpin negara yang sah dan berdaulat, sikap
pemberontakan yang demonstratif dan unsur melawan hukum.
5) Jarimah Riddah (Murtad) adalah orang yang kembali dan agama
Islam kepada kekufuran, seperti orang yang mengingkari eksistensi
Allah sebagai pencipta. Tidak mengakui para utusan Allah. Serta
mengharamkan segala sesuatu yang diharamkan. Sanksi (uqubah)
jarimah riddah merupakan hukuman mati namun hukuman pelaku
tidak diterapkan sebelum dianjurkan bertobat dan kembali ke
agama Islam.
6) Jarimah Sariqah (Pencurian) adalah mengambil harta milik
seseorang dengan sembunyi-sembunyi dan tipu daya. Sanksi
(uqubah) jarimah sariqah dihukum potong tangan apabila seorang
pencuri terbukti dan memenuhi batas minimal (nisab).
7) Jarimah Hirabah (Perampokan) adalah tindak kekerasan yang
dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang kepada pihak lain,
baik dilakukan didalam maupun diluar rumah, dengan tujuan
menguasai harta korban, membunuh korban, atau meneror korban.
Sanksi (uqubah) jarimah hirabah terdapat empat macam yaitu
dihukum mati, disalib, dipotong tangan dan kaki secara bersilang,
dan diasingkan tergantung bentuk tindakan yang dilakukan.
c. Jarimah Takzir, secara bahasa berarti menolak dan mencegah. Dalam
kamus Al-Mu‟jam Al-Wasith, mendefinisikan takzir sebagai
pengajaran yang tidak sampai pada ketentuan had syar‟i seperti
pengajaran terhadap seseorang yang mencaci-maki pihak lain tetapi
bukan berupa tuduhan berzina. Takzir berlaku atas semua orang untuk
mencegah orang lain agar tidak melakukan jarimah, membuat pelaku
jera sehingga tidak mengulangi, dan memberikan pendidikan untuk
memperbaiki pola hidup. Ada dua macam jarimah takzir, yaitu jarimah
takzir yang menyinggung hak Allah artinya semua perbuatan yang
52
berkaitan dengan kepentingan dan kemaslahatan umum. Misalnya
membuat kerusakan di muka bumi, penimbunan bahan-bahan pokok
dan penyelundupan. Kedua, jarimah takzir yang menyinggung hak
individu artinya setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada
orang tertentu, bukan orang banyak. Misalnya pencemaran nama baik,
penghinaan, penipuan, dan pemukulan. Sanksi (uqubah) jarimah takzir
juga terbagi empat macam, sebagai berikut:
1) Sanksi takzir yang berkaitan dengan badan, yaitu hukuman mati
dengan syarat perbuatan itu dilakukan berulang-ulang, dampak
kemaslahatan masyarakat serta pencegahan kerusakan yang
menyebar dimuka bumi. Selain itu, hukuman cambuk memberikan
efek jera, penerapan hukuman cambuk sangat praktis dan tidak
membutuhkan anggaran yang besar serta tidak bersifat kaku karena
penguasa atau hakim diberi kewenangan untuk menentukan jumlah
cambukan sesuai dengan tindak pidananya.
2) Sanksi takzir yang berkaitan dengan kemerdekaan seseorang, yaitu
hukuman penjara bermakna menahan seseorang untuk tidak
melakukan perbuatan hukum. Hukuman penjara dalam syariat
islam terbagi menjadi dua yaitu hukuman penjara terbatas dan
hukuman penjara tidak terbatas. Selain itu, hukuman pengasingan
dijatuhkan kepada pelaku jarimah membawa pengaruh buruk
kepada orang lain sehingga pelakunya harus diasingkan.
3) Sanksi tazir yang berkaitan dengan harta, secara syariat Islam tidak
menetapkan batas terendah atau tertinggi dari hukuman denda.
4) Sanksi tazir dalam bentuk lain, seperti peringatan keras, dihadirkan
dihadapan sidang, nasihat, celaan, pengucilan, pemecatan atau
pengumuman kesalahan secara terbuka seperti diberitakan di media
cetak dan elektronik.
53
D. Tinjauan Umum Tentang Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam
Dalam bahasa Arab korupsi disebut risywah yang berarti penyuapan.
Atau dapat juga diartikan sebagai uang suap. Korupsi dinilai sebagai sebuah
tindakan merusak dan berkhianat disebut fasad (ifsad) dan ghulul. Korupsi
mengarah kepada keburukan, ketidakbaikan, kecurangan bahkan kezhaliman
yang berdampak pada rusaknya serta dapat menghancurkan tata kehidupan
bermasyarakat dan kerugian negara.84
Secara terminologis, risywah adalah sesuatu yang diberikan dalam
rangka mewujudkan kemashlahatan atau sesuatu yang diberikan dalam rangka
membenarkan yang batil atau salah dan menyalahkan yang benar. Ada tiga
unsur utama jarimah risywah, yaitu : pihak pemberi (al-rasyi), pihak penerima
pemberian tersebut (al-murtasyi), dan barang bentuk dan jenis pemberian yang
di serahterimakan pada jarimah risywah juga ada pihak keempat sebagai
broker atau perantara antara pihak pertama dengan pihak kedua. Bahkan juga
melibatkan pihak kelima, misalnya pihak yang bertugas mencatat peristiwa
atau kesepakatan para pihak dimaksud.85
Hukum perbuatan risywah disepakati oleh para ulama adalah haram
khususnya risywah yang terdapat unsur membenarkan yang salah dan atau
menyalahkan yang semestinya benar. Terdapat klasifikasi dan sanksi hukum
bagi pelaku risywah, yaitu: 86
1. Klasifikasi Risywah
Risywah yang disepakati haram oleh para ulama adalah risywah
yang dilakukan dengan tujuan untuk membenarkan yang salah dan
menyalahkan yang benar. Suap yang haram adalah suap yang akibatnya
mengalahkan pihak yang semestinya kalah. Risywah, suap ataupun sogok
di Indonesia diatur oleh Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
84
M. Nurul Irfan, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Dalam Perspektif Fiqh Jinayah,
(Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009), Cet. ke-1, h.45 85
M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, (Jakarta: AMZAH, 2012), Cet. ke-2,
h.89 86
M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, …, h.100
54
tentangTindak Pidana Korupsi pasal 12 b disebut dengan gratifikasi, yang
disepakati haram hukumnya oleh para ulama.
Ada dua jenis suap yang dikemukakan oleh para ulama yaitu, yang
haram dan halal ini tidak secara eksplisit bisa ditemukan dalam berbagai
uraian para ulama sebab haram atau halalnya suap sangat tergantung pada
niat dan motivasi penyuap ketika memberikan suapnya sehingga ada yang
dianggap halal bagi penyuap tetapi haram bagi petugas, pegawai atau
hakim sebagai pihak penerima (al-akhidz).
2. Sanksi Hukum bagi Pelaku Risywah
Sanksi hukum bagi pelaku risywah tidak jauh berbeda dengan sanksi
hukum bagi pelaku ghulul, yaitu hukum takzir sebab keduanya tidak
termasuk dalam ranah qisas dan hudud. Menurut pendapat Abdullah
Muhsin al-Thariqi mengemukakan bahwa sanksi hukum pelaku tindak
pidana suap tidak disebutkan secara jelas oleh syariat (Al-Qur‟an dan
Hadis), mengingat sanksi pidana risywah masuk dalam kategori sanksi-
sanksi takzir yang kompetensinya ada ditangan hakim. Untuk menentukan
jenis sanksi yang sesuai dengan kaidah-kaidah hukum Islam dan sejalan
dengan prinsip untuk memelihara stabilitas hidup bermasyarakat sehingga
berat dan ringannya sanksi hukum harus disesuaikan dengan jenis tindak
pidana yang dilakukan, disesuaikan dengan lingkungan pelanggaran itu
terjadi, dikaitkan dengan motivasi-motivasi yang mendorong sebuah
tindak pidana dilakukan. Pendapat al-Thariqi menjelaskan lebih lanjut
bahwa sanksi takzir bagi pelaku jarimah/tindak pidana risywah merupakan
konsekuensi dari sikap melawan hukum Islam dan sebagai konsekuensi
dari sikap menentang atau bermaksiat kepada Allah. Sehingga harus
diberikan sanksi tegas yang sesuai dan mengandung (unsur yang
bertujuan) untuk menyelamatkan orang banyak dari kejahatan para pelaku
tindak pidana, membersihkan masyarakat dari para penjahat, budaya suap-
menyuap termasuk salah satu kemungkaran yang harus diberantas dari
sebuah komunitas masyarakat.
55
Adapun hadis Rasulullah, sebagai berikut:87
والمرتشي ف الكم عليو وسلم الراشي عن أب ىري رة قال لعن رسول اللو صلى اللو
Artinya :“bahwa laknat Allah akan (ditimpakan) kepada orang
yang menyuap dan yang disuap dalam masalah hukum”
لعن اهلل الراشى والمر تسى
Artinya : “Allah mengutuk penyuap dan yang disuap”
الراشى -صلى اهلل عليو وسلم-عن عبد اللو بن عمرو قال لعن رسول اللو والمرتشى
Artinya :“Dan Rasulullah SAW melaknat orang yang menyuap,
orang yang disuap, dan orang yang menghubungkan,
yaitu orang yang berjalan diantara keduanya”
Di samping risywah istilah lain korupsi yaitu, ghulul. Hal mendasar
yang paling merugikan dalam masalah tindak pidana korupsi adalah
merampas hak-hak orang lain dengan maksud dan tujuan tertentu bahkan
seluruh rakyat merasakan dampak buruknya yang dapat merugikan negara.
Dapat di definisikan ghulul merupakan tindakan pengambilan,
penggelapan, atau berlaku curang, serta khianat terhadap barang rampasan
perang. Kemudian berkembang menjadi tindakan curang dan khianat
terhadap harta-harta lain, seperti tindakan penggelapan terhadap harta
baitul mal, harta milik bersama kaum muslim, harta bersama dalam suatu
kerjasama bsinis, harta negara, harta zakat.88
Sanksi hukuman bagi pelaku ghulul (penggelapan) termasuk dalam
kategori jarimah takzir. Sanksi moral pelaku ghulul mirip dengan jarimah
riddah berupa resiko akan dipermalukan dihadapan Allah kelak pada hari
kiamat. Penekanan pembinaan moral masyarakat dapat dilihat dari jumlah
nominal harta yang dikorupsi itu. Jika nominal relatif sangat kecil (kurang
dari tiga dirham) hanya dikenakan sanksi moral berupa tidak dishalati oleh
Rasulullah pada saat pelaku korupsi meninggal. Oleh karena itu, jika
jumlah nominal yang dikorupsi dalam jumlah besar sudah pasti diancam
87
Lihat al-Syaukani, Nail al-Autar, (Beirut: Dar al-Fikr, tth), jilid 9, h. 172 88
M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, …, h.81
56
dengan siksa neraka di akhirat dan juga sanksi di dunia. Walaupun dalam
ayat Al-Qur‟an tidak disebutkan teknis eksekusi dan jumlahnya tetapi
dalam hadis Rasulullah secara tegas disebutkan teknis dan jumlah
sanksinya.89
Bentuk sanksi moral terdapat dalam Al-Qur‟an, yaitu QS. Ali
Imran (3):161:
Artinya : “Tidak mungkin seorang nabi berkhianat dalam urusan harta
rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan
rampasan perang itu, maka pada hari kiamat ia akan datang
membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap
diri akan diberi pembalasan tentang apa yang ia kerjakan
dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya”
Dalam fiqh jinayah, ghulul merupakan bentuk korupsi yang terjadi
di zaman Rasulullah terbatas pada penggelapan, khianat atau pengambilan
harta rampasan perang sebelum dikumpulkan dengan jumlah harta benda
lain untuk dibagikan sesuai ketentuan yang berlaku. Dalam
perkembangannya ghulul meliputi bentuk penggelapan atau pengambilan
harta negara dalam bentuk lain, seperti: zakat dan jizyah (hadiah).90
Adapun unsur-unsur jarimah ghulul pada seorang pegawai negeri
atau seseorang bukan pegawai negeri yang melakukan penggelapan
terhadap harta negara yang ada dalam kekuasaannya. Dalam fiqh jinayah
unsur utama ghulul ialah mengambil sesuatu dan menyembunyikan di
dalam hartanya. Pelaku ghulul siapa saja dengan sengaja menggelapkan
atau membantu atau membiarkan orang lain melakukan penggelapan harta
negara.91
Dalam ajaran Islam korupsi merupakan tindakan yang bertentangan
dengan prinsip keadilan, akuntabilitas, dan tanggung jawab. Jarimah atau
tindak pidana yang sudah termasuk jenis kejahatan korupsi secara global
89 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, …, h.81
90 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, …, h.88
91 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, …, h.167
57
terdapat dalam Al-Qur‟an dan hadis Rasulullah. Ada dua macam jarimah
yaitu, seperti berikut:92
Adapun, Jarimah Sariqah (Pencurian) atau disebut dengan pencurian
kecil. Sariqah adalah mengambil barang atau harta orang lain dengan cara
sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanan yang biasa untuk
menyimpan barang atau harta kekayaan tersebut. Unsur-unsur tindak
pidana pencurian ada empat, yaitu: mengambil secara sembunyi-sembunyi,
barang yang diambil berupa harta kekayaan, harta yang diambil
merupakan milik orang lain, dan melawan hukum. Adapun syarat-syarat
jarimah sariqah, sebagai berikut:93
1. Harta curian berupa harta bergerak atau bisa dipindah-pindah
2. Harta berupa benda-benda berharga
3. Harta disimpan pada tempat yang biasadigunakan untuk
menyimpan harta
4. Harta yang dicuri mencapai nisab atau batas minimal (10 dirham)
Sanksi dari tindak pidana pencurian yaitu memberlakukan potong
tangan yang harus dipenuhi syarat dan rukun jarimah sariqah. Apabila
tidak terpenuhi maka hukuman potong tangan dibatalkan dan beralih
kepada hukuman takzir. Secara tegas dipaparkan dalam Q.S Al-Maidah (5)
ayat 38 :
حكيم عزيز واللو والسارق والسارقة فاقطعوا أيدي هما جزاء با كسبا نكال من اللو Artinya : “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,
potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa
yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan
Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Selain itu, jarimah hirabah (Perampokan) atau disebut dengan
pencurian besar atau perampokan. Hirabah adalah tindakan kekerasan
yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada pihak lain,
baik dilakukan di dalam rumah maupun di luar rumah, dengan tujuan
untuk menguasai atau merampas harta benda milik orang lain atau dengan
92
M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, …, h.7 93
M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, …, h.117
58
maksud membunuh korban atau sekedar melakukan terror.94
Secara tegas
dipaparkan dalam Q.S Al-Maidah (5) ayat 33 :
Artinya : “Sesungguhnya hukuman bagi orang-orang yang memerangi
Allah dan rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi,
hanyalah dibunuh atau disalibm atau dipotong tangan dan kaki
mereka secara silang, atau dibuang dari negeri (tempat
kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan
untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan
yang besar.”
Dalam hal ini, Andi Hamzah mengutip pendapat M. Cherif
Bassiouni seorang ahli pidana internasional berkebangsaan Mesir,
berpendapat bahwa tindak pidana korupsi tidak bisa disamakan atau
dianalogikan dengan pencurian atau perampokan. Sebab kedua jenis tindak
pidana tersebut masuk dalam wilayah jarimah hudud yang ketentuannya
sudah diatur dalam Al-Qur‟an. Sehingga sanksi tindak pidana korupsi
tidak sama dengan sanksi tindak pidana pencurian berupa potong tangan
dan berbeda dengan sanksi tindak pidana perampokan berupa hukuman
mati. Sanksi tindak pidana korupsi walau masuk kategori jarimah takzir,
bukan berarti dalam bentuk sanksi yang ringan sebab bentuk dan jenis-
jenis hukuman takzir meliputi berbagai macam, termasuk dalam bentuk
penjara seumur hidup bahkan bisa berupa hukuman mati.95
Hukum pidana Islam secara tegas mengatur sanksi pidana yang
dilakukan oleh pelaku tindak pidana. Uqubah merupakan bentuk balasan
terhadap pelaku tindak pidana karena melanggar ketentuan syara yang
ditentukan Allah SWT dan RasulNya. Sehingga seseorang yang
melakukan maupun orang lain tidak lagi melakukan tindakan yang
94
M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, …, h.120 95
M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, …, h.127
59
dilarang oleh Agama serta melindungi hak-hak korban. Pemidaanaan
dalam hukum pidana Islam sangatlah baik sebab hal ini mampu
mengurangi tindak pidana tersebut.
60
BAB III
PENYALAHGUNAAN WEWENANG DAN URGENSI MENJAGA
AMANAT DAN LARANGAN
A. Duduk Perkara Nomor 727 K/Pid.Sus/2010
Dalam sistem beracara pidana, yang dikedepankan saat ini adalah
adversary system yaitu sistem berhadapan atau biasa juga disebut accusatoir.
Sistem ini sebagai lawan dari inquisitoir yang mana terdakwa menjadi objek
pemeriksaan, sedangkan hakim dan penuntut umum berada di pihak yang
sama. Dengan mengedepankan sistem saling berhadapan, maka diandaikan
ada pihak terdakwa yang di belakangnya terdapat penasihat hukumnya,
sedangkan di pihak lain terdapat penuntut umum yang atas nama negara
menuntut pidana. Hakim berada di tengah pihak-pihak yang berperkara dan
tidak memihak.96
Dalam putusan Nomor 727 K/Pid.Sus/201, menyebutkan terdakwa
bernama Ahmad Syah Mirzan bin Salman Al Farizi tempat tanggal lahir
Pangkalpinang 16 Oktober 1971 berjenis kelamin laki-laki, beragama islam
bertempat tinggal di Jalan Kampung Melayu No.164 Pangkalpinang
Kepulauan Bangka Belitung.
Dalam dakwaan penuntut umum tanggal 27 April 2009 menyebutkan
bahwa terdakwa Ahmad Syah Mirzan Bin Salman Al Farizi selaku ketua
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
periode tahun 2003 sampai dengan 2007, bersama-sama dengan saksi Suhaili
Yusuf Bin Yusuf Raden Mas selaku sekretaris Komisi Pemilihan Umum
(KPU) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung periode tahun 2003 merangkap
sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (yang diajukan dalam berkas lain), pada
hari dan tanggal dalam bulan Januari sampai dengan Desember 2004 atau
setidak-tidaknya pada waktu-waktu tahun 2004, bertempat kantor Komisi
Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Jalan Mentok
96
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2015), Cet. ke-2,
h. 64.
61
Nomor 313 A Pangkalpinang, atau setidak-tidaknya pada suatu tempat yang
masih termasuk dalam daerah hukum Pengadilan Negeri Pangkalpinang, telah
melakukan, menyuruh melakukan atau turut serta melakukan beberapa
perbuatan meskipun masing-masing merupakan kejahatan atau pelanggaran,
ada hubungannya sedemikian rupa sehingga harus dipandang sebagai satu
perbuatan berlanjut, dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan Negara atau Perekonomian Negara, yang dilakukan dengan cara-
cara sebagai berikut :
Bahwa pada awalnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung periode tahun 2003 sampai dengan tahun 2009,
telah dibentuk dengan susunan kepengurusan ketua adalah Ahmad Syah
Mirzan Bin Salman Al Farizi, Sekretaris Suhaili Yusuf Bin Yusuf Raden yang
beranggotakan Arka‟a Ahmad Agin Bin Ahmad, Zul Terry Apsusi, SS., Enny
Roqaini dan Syawaludin.
Biaya penyelenggaraan Pemilu tahun 2004, Komisi Pemilihan Umum
(KPU) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah menerima dana operasional
penyelenggaraan Pemilu tahun 2004 yang berasal dari kebijaksanaan Pusat
(APBN) yang didalamnya termasuk untuk kesejahteraan anggota KPU
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan pegawai staff KPU Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung, namun demikian Terdakwa selaku Ketua KPU
Provinsi Kepulaun Bangka Belitung bersama saksi Suhaeli Yusuf bin Yusuf
Raden Mas selaku sekretaris KPU Provinsi Kepulauan Bangka Belitung masih
tetap mengajukan permohonan dana bantuan kepada Gubernur Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung dengan surat Nomor: 252/B/KPU-BB/2004
tanggal 15 Maret 2004 untuk tambahan kesejahteraan anggota KPU Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung dan dana tambahan uang lembur bagi seluruh
pegawai staff KPU Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, dengan jumlah
pengajuan yang disatukan dengan kebutuhan lain secara global yang disatukan
dengan kebutuhan lain sebesar Rp 3.750.000,- dan atas pengajuan dana
62
bantuan tersebut, tidak lama kemudian dana bantuan Gubernur Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung cair sebesar Rp 500.000.000,- kemudian secara
bertahap Terdakwa bersama saksi Suhaeli Yusuf Bin Yusuf Raden Mas
menggunakan dana bantuan Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
tersebut untuk membayar tambahan uang kesejahteraan anggota KPU Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung dan tambahan uang lembur bagi seluruh pegawai
KPU Provinsi Kepulauan Bangka Belitung untuk tambahan selama satu tahun
bekerja, dengan cara terdakwa mengeluarkan nota dinas yang ditunjukkan
kepada saksi Suhaeli Yusuf Bin Yusuf Raden Mas yang juga sebagai
penguasa Kuasa Pengguna Anggaran dan setelah saksi Suhaelin Yusuf Bin
Yusuf Raden Mas menerima nota dinas dari Terdakwa maka langsung
menyetujui pembayaran tersebut dengan memerintahkan kepada bendahara
untuk membayarkan dengan perincian sebagai berikut :
1. Untuk membayar tambahan insentif kesejahteraan Komisi Pemilihan
Umum (KPU) Rp 91.375.000,-
2. Untuk membayar uang lembur pegawai Staff Komisi Pemilihan Umum
(KPU) Rp 29.316.125,-
Akibat perbuatan Terdakwa bersama saksi Suhaeli Yusuf Bin Yusuf
Raden Mas maka Negara telah mengalami kerugian sebesar Rp 120.691.125,-.
Perbuatan terdakwa diatur dan diancam Pidana dalam Pasal 3 Jo Pasal
18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Pasal 64 ayat (1)
KUHP.
Atas perbuatan terdakwa ini, pada pokoknya Kejaksaaan Negeri
Pangkalpinang menyatakan tuntutan tanggal 27 April 2009 sebagai berikut :
1. Menyatakan Terdakwa Ahmad Syah Mirzan Bin Salman Al Farizi
bersalah melakukan tindak pidana korupsi melanggar pasal 3 Jo pasal 18
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP
Jo pasal 64 ayat (1) KUHP daam dakwaan Primair.
63
2. Menjatuhkan pidana terhadap Terdakwa Ahmad Syah Mirzan Bin Salman
Al Farizi dengan Pidana Penjara Selama 1 (satu) tahun dan denda sebesar
Rp 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) subsidair 1 (satu) bulan kurungan.
3. Menetapkan barang bukti berupa ;
a. Fotocopy Surat Nomor 252/D/KPU-BB/2004 tanggal 15 Maret 2004,
perihal usulan biaya bantuan pelaksanaan Pemilu 2004
b. Fotocopy surat perintah membayar tertanggal 24 Maret 2004, surat
permintaan pembayaran beban tetap tanggal 24 Maret 2004, kwitansi
tertanggal 24 Maret 2004;
c. 1 (satu) bundle dokumen pembayaran uang tambahan kesejahteraan
Ketua dan Anggota KPU, pembayaran uang lembur mulai bulan
Januari 2004 sampai dengan Desember 2004;
d. Fotocopy Nota Dinas tanggal 02 Juni tanggal 02 Juni 2008 perihal
tindak lanjut hasil RIK BPK-RI Tahun Anggaran 2004 didalam berkas
perkara Suheil Yusuf.
4. Memerintahkan supaya terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar
Rp 5.000,- (lima ribu rupiah)
Berdasarkan tuntutan Jaksa Penuntut Umum di atas, maka Pengadilan
Negeri Pangkal Pinang telah menjatuhkan hukuman yang dibacakan pada
tanggal 15 Juni 2009 dalam putusan nomor 385/Pid.B/2008/PN.PKP yang
amar lengkapnya sebagai berikut :
1. Menyatakan Terdakwa Ahmad Syah Mirzan Bin Salman Al-Farizi telah
terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana
“Korupsi yang dilakukan secara bersama-sama dan berlanjut”
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa Ahmad Syah Mirzan Bin Salman
Al farizi oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan
denda sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan
apabila denda tersebut denda tersebut tidak dibayar diganti dengan pidana
kurungan selama 3 (tiga) bulan;
64
3. Menetapkan barang bukti berupa :
a. Fotocopy Surat Nomor : 252/D/KPU-BB/2004 tanggal 15 Maret 2004
perihal putusan usulan biaya bantuan pelaksanaan Pemilu tahun 2004
b. Fotocopy surat perintah membayar tertanggal 24 Maret 2004, surat
perintah membayar pembayaran tetap tanggal 24 Maret 2004, kwitansi
tertanggal 24 Maret 2004
c. 1 (satu) bundle dokumen pembayaran uang tambahan kesejahteraan
ketua dan anggota KPU Provinsi, pembayaran uang lembur mulai
bulan Januari 2004 sampai dengan Desember 2004;
Semua dikembalikan kepada Jaksa / Penuntut Umum untuk dijadikan
barang bukti perkara lain (Suhaeli Yusuf Bin Yusuf Raden Mas)
4. Membebani Terdakwa untuk membayar biaya perkara sebesar Rp 5.000,-
(lima ribu rupiah).
Membaca putusan Pengadilan Tinggi Bangka Belitung di
Pangkalpinang No. 45/PID/2009/PT BABEL tanggal 4 Januari 2010 yang
amar lengkapnya sebagai berikut:
a. Menerima permintaan banding dari Terdakwa dan Jaksa Penuntut
Umum tersebut;
b. Memperbaiki putusan Pengadilan Nomor 385/PID.B/2008/PN.PKP
sekedar mengenai pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa, sehingga
amarnya berbunyi sebagai berikut :
1) Menghukum Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 1 tahun
2) Memerintahkan bahwa pidana yang dijatuhkan tidak usah dijalani
kecuali jika kemudian hari ada putusan Hakim yang menentukan
lain disebabkan Terpidana melakukan suatu tindak pidana sebelum
masa percobaan selama 2 (dua) tahun berakhir ;
3) Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Pangkal Pinang tersebut
untuk selebihnya
65
4) Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa dalam kedua
tingkat peradilan, sedangkan di tingkat banding ditetapkan sebesar
Rp 5000,- (lima ribu rupiah).
Berdasarkan putusan tersebut, Jaksa Penuntut Umum telah
mengajukan permohonan kasasi dihadapan Panitera Pengadilan
Pangkalpinang pada tanggal 12 Februari 2010 dalam akta Kasasi Nomor
02/Akta.Pid/2010/Pn.PKP yang diterima oleh kepaniteraan Pengadilan
Negeri Pangkalpinang pada tanggal 22 Februari 2010 dengan
mengemukakan bahwa Pengadilan Tinggi Kepulauan Bangka Belitung
yang telah menjatuhan putusan dalam memerisa dan mengadili perkara
tersebut telah melakukan kekeliuran. Putusan Kasasi yang amar putusan
lengkapnya sebagai berikut:
M E N G A D I L I
Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi : JAKSA
PENUNTUT UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI
PANGKALPINANG tersebut ;
Membebabankan Termohon Kasasi/Terdakwa tersebut untuk
membayar perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp 2.500,- ( dua ribu
lima ratus rupiah ) ;
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah
Agung pada hari, Kamis, tanggal 28 April 2011 oleh Mansur Kartayasa
sebagai Hakim Agung yang ditetapkan oleh Mansur Kartayasa. Hakim
Agung yang ditetapkan oleh ketua Mahkamah Agung sebagai ketua
Majelis, Timur P. Manurung dan M. Zaharuddin Utama. Hakim-Hakim
Agung sebagai Anggota, dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum pada hari itu juga oleh ketua Majelis beserta Hakim-Hakim
Anggota tersebut, dan dibantu oleh Emilia Djajasubagia sebagai Panitera
Pengganti dan tidak dihadiri oleh Pemohon Kasasi ; Jaksa Penuntut Umum
dan Terdakwa.
66
B. Penyalahgunaan Wewenang Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
1. Tinjauan Umum Penyalahgunaan Wewenang
Secara istilah wewenang atau kewenangan dalam bahasa Inggris
disebut “authority” dan dalam bahasa Belanda disebut “bevoegdheid”
yang berarti kekuatan hukum. Penyalahgunaan wewenang diartikan sama
dengan unsur melawan hukum. Subjek delik penyalahgunaan wewenang
ialah pegawai negeri atau pejabat publik. Dalam konsep hukum
administrasi, setiap pemberian wewewang kepada suatu badan atau kepada
pejabat administrasi negara mempunyai maksud dan tujuan. Dalam hal
pemberian wewenang tidak sesuai dengan maksud dan tujuan maka telah
melakukan penyalahgunaan wewenang.97
Pengertian authority menurut Black‟S Law Dictionary, kewenangan
atau wewenang adalah kekuasaan hukum, hak untuk memerintah atau
bertindak; hak atau kekuasaan pejabat publik untuk mematuhi aturan
hukum dalam lingkup melaksanakan kewajiban publik. Wewenang
sebagai konsep hukum publik sekurang-kurangnya terdiri dari tiga
komponen, yaitu pengaruh, dasar hukum dan konformitas hukum untuk
mengendalikan prilaku subjek hukum. Komponen dasar hukum bertujuan
agar pejabat negara tidak menggunakan wewenangnya di luar tujuan yang
ditentukan oleh perundang-undangan. Selain itu, komponen konformitas
mengandung makna adanya standar wewenang yaitu standar umum dan
standar tertentu. Komponen ini menghendaki setiap tindakan pemerintah
atau pejabat negara mempunyai tolak ukur atau standar yang bersifat
umum untuk semua jenis wewenang pada legalitas tindakan.98
Dalam hukum administrasi terdapat asas legalitas atau keabsahan
(legaliteit beginsel/wetmatigheid van bestuur) mencakup tiga aspek,
97
Satriya Nugraha, “Konsep Penyalahgunaan Wewenang Dalam Undang Undang Tindak
Pidana Korupsi di Indonesia”, Jurnal Socioscientia (Ilmu-Ilmu Sosial), Vol.8 No.1, Maret 2016, h.
2 98
Abdul Latif, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi, (Jakarta:
Prenada Media Grup, 2014), Cet. ke-1, h. 6-7
67
yaitu: wewenang, prosedur, dan substansi. Artinya wewenang, prosedur
maupun subtansi harus berdasarkan peraturan perundang-undangan (asas
legalitas), karena hal tersebut sudah ditentukan tujuan diberikannya
wewenang kepada pejabat administrasi, bagaimana prosedur untuk
mencapai suatu tujuan serta menyangkut tentang substansinya. Dampak
dari penyalahgunaan wewanang berimplikasi pada pencabutan ketetapan
(beschikking) mengakibatkan perbuatan tersebut dapat dipidana jika
penyalahgunaan wewenang menimbulkan kerugian besar.
Dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi Nomor 20 Tahun
2001 mengatur delik penyalahgunaan wewenang dalam pasal 3 yang
dinyatakan sebagai berikut ; „Setiap orang yang dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana seumur hidup
atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua
puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)‟.
Ditinjau dalam pasal 3 Undang-Undang Tindak pidana korupsi
berkaitan erat dengan jabatan dan kedudukan tertentu dalam birokrasi
pemerintahan. Sehingga ada korelasi antara jabatan dengan potensi tindak
pidana. Suatu dakwaan tindak pidana yang dikaitkan dengan unsur atau
elemen “kewenangan” maka dalam mempertimbangkannya tidak lepas
dari aspek hukum administrasi negara yang memberlakukan prinsip
pertanggungjawaban jabatan (liability jabatan) yang harus dipisahkan dari
prinsip pertanggungjawaban pribadi (liability jabatan) dalam hukum
pidana. Unsur kewenangan hukum pidana tentang penyalahgunaan
kewenangan terletak pada akibat dari penyalahgunaan tersebut karena
adanya kerugian yang melahirkan tindakan melawan hukum
(wederrechtelijkheid). Dalam menguji kewenangan yang dimiliki oleh
pejabat yang melaksanakan kekuasaan pemerintahan maka tolak ukurnya
68
adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang sumber
kewenangan serta substansi diberikannya kewenangan tersebut kepada
pejabat tertentu.99
Rumusan tindak pidana korupsi diartikan sebagai aparatur negara
atau pejabat publik yang tentunya memenuhi unsur, yaitu:100
a. Diangkat oleh pejabat yang berwenang
b. Memangku suatu jabatan atau kedudukan
c. Melakukan sebagian daripada tugas negara atau alat-alat perlengkapan
pemerintahan negara
Menurut pendapat Indriyanto Seno Adji memberikan perspektif
kewenangan dalam tiga bentuk:101
a. Penyalahgunaan kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan
yang bertentangan dengan kepentingan umum atau untuk
menguntungkan pribadi, kelompok atau golongan
b. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti bahwa tindakan pejabat
tersebut adalah benar ditujukan untuk kepentingan umum, tetapi
menyimpang dari tujuan diberikannya kewenangan tersebut oleh
undang-undang atau peraturan-peraturan lain
c. Penyalahgunaan kewenangan dalam arti menyalahgunakan prosedur
yang seharusnya dipergunakan untuk mencapai tujuan tertentu, tetapi
telah menggunakan prosedur lain agar terlaksana.
Pada perkembangannya, kehadiran pasal 3 Undang-Undang Tindak
Pidana Korupsi terkandung unsur melawan hukum ketika terjadi
penyalahgunaan kewenangan karena merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara. Menurut Wiryono, yang dimaksud dengan
“merugikan” ialah sama artinya dengan rugi atau menjadi kurang sehingga
unsur merugikan keuangan negara ialah ruginya keuangan negara atau
99
Nicken Sarwo Rini, Penyalahgunaan Kewenangan Administrasi Dalam Undang Undang
Tindak Pidana Korupsi, …, h. 265 100
Abdul Latif, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi, …, h. 41 101
Nicken Sarwo Rini, Penyalahgunaan Kewenangan Administrasi Dalam Undang Undang
Tindak Pidana Korupsi, …, h. 265
69
berkurangnya keuangan negara. Seiring dengan lahirnya Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan maka pengaturan
tentang unsur dapat merugikan keuangan negara yang diakibatkan oleh
Penyalahgunaan Kewenangan tidak lagi murni dalam pendekatan hukum
pidana, namun juga melalui pendekatan hukum administrasi.
Penyalahgunaan Kewenangan merupakan suatu kebijakan yang diberikan
suatu pejabat ke pejabat lainnya yang ditujukan untuk menjalankan
pekerjaannya tidak sesuai dengan kewenangan yang dimiliki pejabat
tersebut dengan kata lain pejabat tersebut menyimpang dari
wewenangnya.102
Di dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sifat melawan
hukum secara materil berkaitan dengan dampak dari korupsi yang dianggap
telah merugikan hak-hak asasi masyarakat banyak, yaitu hak ekonomi dan
hak sosial masyarakat. Jadi tindak pidana korupsi bukan hanya
mengakibatkan kerugian uang negara dan perekonomian negara saja tetapi
juga merupakan pelanggaran hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara
meluas, maka tindak pidana korupsi di dalam Undang Undang Nomor 31
Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi termasuk digolongkan sebagai
kejahatan luar biasa (extra ordinary crime).103
Ketentuan yang terdapat dalam pasal 3 Undang Undang Tindak
Pidana Korupsi hanya disebutkan kata “dapat” dalam ketentuan tersebut
diartikan sama dengan penjelasan pasal 2 Undang Undang Tindak Pidana
Korupsi, dinyatakan bahwa “dalam ketentuan ini kata dapat sebelum frasa
“merugikan keungan atau perekonomian negara” menunjukkan bahwa
tindak pidana korupsi merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana
korupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang dirumuskan,
bukan timbulnya akibat” dengan demikian pasal 3 hanya menunjukkan
bahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formil seperti halnya tindak
102
Nicken Sarwo Rini, Penyalahgunaan Kewenangan Administrasi Dalam Undang Undang
Tindak Pidana Korupsi, …, h. 266 103
Abdul Latif, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi, …, h. 43
70
pidana korupsi sebagaimana dimaksudnya dalam pasal 2 ayat (1) Undang
Undang Tindak Pidana Korupsi Sebagai pelaku dari tindak pidana korupsi
yang terdapat dalam pasal 3 Undang Undang Tindak Pidana Korupsi
ditentukan “setiap orang” ditentukan bahwa pelaku tindak pidana korupsi
yang dimaksud harus memangku suatu jabatan atau kedudukan.104
Ketentuan tentang tindak pidana korupsi yang terdapat dalam pasal 3
Undang Undang Tindak Pidana Korupsi, ada beberapa unsur, yaitu:105
a. Unsur menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Dalam pasal 3 Undang Undang Tindak Pidana Korupsi unsur
menguntungkan tersebut adalah tujuan dari pelaku tindak pidana
korupsi. Berdasarkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
(MA-RI) tanggal 29 juni 1989 nomor 813 K/Pid/1987 menyebutkan
bahwa unsur tersebut cukup dinilai dari kenyataan yang terjadi atau
dihubungkan dengan perilaku terdakwa sesuai dengan kewenangan yang
dimilikinya, karena jabatan atau kedudukannya
b. Unsur menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada,
karena jabatan atau kedudukan ialah menggunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang melekat pada jabatan atau kedudukan yang
dijabat atau diduduki oleh pelaku tindak pidana korupsi untuk tujuan
lain dari maksud diberikannya kewenangan, kesempatan, atau sarana
tersebut. Untuk mencapai tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi dalam pasal 3 Undang Undang Tindak Pidana
Korupsi ada beberapa cara yang harus ditempuh oleh pelaku tinak
pidana korupsi, yaitu :
1) Dengan menyalahgunakan kewenangan yang ada pada jabatan atau
kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi ialah serangkaian
kekuasaan atau hak yang melekat pada jabatan atau kedudukan dari
pelaku tindak pidana korupsi untuk mengambil tindakan yang
diperlukan agar tugas atau pekerjaannya dilaksanakan dengan baik.
104
Abdul Latif, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi, …, h. 43 105
Abdul Latif, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi, …, h. 44-53
71
Kewenangan tersebut dimaksud oleh pasal 1 ayat (2) Undang
Undang Tindak Pidana Korupsi sebagai berikut :
a) Pegawai negeri sebagaimana Undang Undang Tentang
Kepegawaian
b) Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam kitab Undang
Undang Hukum Pidana
c) Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau
daerah
d) Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang
menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah
e) Orang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat
2) Dengan menyalahgunakan kesempatan yang ada ada jabatan atau
kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi ialah peluang yang
dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana korupsi dalam ketentuan
tata kerja yang berkaitan dengan kedudukan yang dijabat oleh pelaku
tindak pidana korupsi
3) Dengan menyalahgunakan sarana yang ada pada jabatan atau
kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi. Yang dimaksud
“sarana” ialah cara kerja atau metode yang berkaitan dengan jabatan
atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi. Yang dimaksud
dengan jabatan ialah suatu lingkungan pekerjaan tetap yang diadakan
dan dilakukan guna kepentingan negara atau kepentingan umum atau
yang dihuungkan organisasi sosial tertinggi yang diberi nama
negara. Yang dimaksud dengan suatu ligkungan pekerjaan tetap
ialah suatu lingkungan yang sebanyak banyaknya dapat dikatan
dengan tepat teliti (zoveel mogelijk nauwkeurig omschreven) dan
yang bersifat “duurzaam” atau tidak dapat diubah begitu saja
c. Unsur dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Kata “dapat” yang menunjukan sebagai delik formil diperkuat pada
pasal 4 Undang Undang Tindak Pidana Korupsi yang dinyatakan
72
“pengembalian kerugian negara atau perkonomian negara tidak
mnghapuskan pidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud
dalam pasal 2 dan pasal 3”. Untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan
wewenang pada kategori wewenang terikat untuk terus menilai ada
tidaknya penyalahgunaan menggunakan parameter asas legalitas
(wetmatigheid van bestuur) dan pada kategori wewenang bebas
(discretionary power) parameter yang dipakai adalah asas asas
pemerintahan yang baik. Cara yang ditempuh oleh pelaku tindak korupsi
yang terdapat dalam pasal 3 Undang Undang Tindak Pidana Korupsi
yaitu dengan cara menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada karena jabatan atau kedudukan yang dapat melakukan
ialah pegawai negeri sedangkan pelaku tindak pidana korupsi yang
bukan pegawai negeri atau perseorangan swasta hanya dapat dilakukan
tindak pidana korupsi dengan cara menyalahgunakan kesempatan atau
sarana yang ada karena kedudukan saja
Tindak pidana korupsi yang telah dijelaskan di atas, menyebutkan
bahwa setiap tindakan yang intinya merugikan keuangan negara
digolongkan sebagai tindak pidana korupsi. Unsur yang ada dalam
undang-undang nomor 20 tahun 2001 bahwa kerugian yang dialami negara
harus dilakukan oleh orang yang bekerja sebagai ASN (Aparatur Sipil
Negara), kontruksi hukum yang dibangun dalam undang-undang ini adalah
untuk menangani tindakan korusi yang dilakukan oleh ASN.
C. Penyalahgunaan Wewenang Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 Tentang Administrasi Pemerintahan
1. Konsep Wewenang Menurut Hukum Administrasi
Seorang pejabat pemerintahan atau badan tata usaha negara dalam
menjalankan tugasnya menjadi personifikasi negara karena tersemat
“jabatan” sebagai sumber otoritas representasi negara yang abash. Menurut
E. Utrecht yang dikutip Fathudin mengungkapkan bahwa “jabatan”
merupakan pendukung hak dan kewajiban, sebagai subjek hukum (person)
73
yang berwenang melakukan perbuatan hukum (rechtshandelingen) baik
menurut hukum publik maupun hukum privat. Jabatan sebagai
personifikasi hak dan kewajiban perlu suatu perwakilan yang disebut
“pejabat” yaitu manusia atau badan dikenal dengan istilah “pemangku
jabatan”. Logemann memandang penting pemisahan antara pribadi
pemangku jabatan selaku “pejabat” dan selaku manusia sebagai prive.
Pemisahan ini penting apabila seorang pejabat ditetapkan sebagai
tersangka korupsi, dalam menjaga integritas jabatannya sebagai
personifikasi negara, maka seorang pejabat harus menanggalkan
jabatannya selama menjalani proses hukum.106
Dalam hukum administrasi
pasti bersinggungan dengan wewenang karena objek hukum administrasi
adalah wewenang pemberitahuan dalam konsep hukum publik menurut
Philipus M. Hadjon dalam kepustakaan hukum administrasi Belanda.
Sehingga kewenangan atau wewenang merupakan konsep inti dari hukum
tata negara dan hukum administrasi.107
Terdapat aturan hukum baru di Indonesia yaitu Undang Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan merupakan
aturan baru di bidang hukum administrasi negara mengenai
penyelenggaraan pemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan meliputi
kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh badan dan atau pejabat
pemerintahan yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam ruang
lingkup lembaga eksekutif, lembaga legislatif, lembaga yudikatif serta
yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang diatur dalam Undang
Undang Dasar 1945 dan atau undang-undang. Dalam pasal 4 ayat (1)
Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan mengartikan pemerintahan dalam arti luas adanya badan dan
atau pejabat pemerintahan lainnya yang menyelenggarakan fungsi
pemerintahan. Menurut Irfan Fachruddin ada tiga pengertian pemerintah,
106
Fathudin, Tindak Pidana Korupsi (Dugaan Penyalahgunaan Wewenang) Pejabat Publik
(Perspektif Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan), Jurnal
Cita Hukum Vol. 3 No. 1, Juni 2015, h. 120 107
Abdul Latif, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi, …, h. 6
74
yaitu sebagai organ penyelenggara keseluruhan kekuasaan untuk mencapai
tujuan negara, pemerintah sebagai badan penyelenggara seluruh kegiatan
negara kecuali membuat perundang-undangan (regel reven),
penyelenggara peradilan (rechtspraak) dan pemerintahan sebagai organ
dan arti fungsi pemerintahan. Dalam melaksanakan tugasnya Pemerintah
memiliki kewenangan dari asal memperoleh kewenangan serta jenis
tindakan pemerintah yang dapat digugat ke pengadilan tata usaha
negara.108
Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan merupakan hukum materiil dari sistem Peradilan Tata
Usaha Negara dan mengaktualisasikan secara khusus norma konstitusi
hubungan antara Negara dengan warga Negara. Asas legalitas sebagai
dasar dalam memberi kewenangan bertindak bagi pejabat Pemerintah
diatur dalam pasal 11 Undang Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang
Administrasi Pemerintahan. Kewenangan diperoleh melalui atribusi,
delegasi dan mandat. Selain itu, mengatur pembatasan wewenang
berdasarkan masa atau tenggang waktu wewenang, wilayah atau daerah
berlakunya wewenang dan cakupan bidang atau materi wewenang dan
badan dan atau pejabat pemerintahan yang telah habis masa atau tenggang
waktu wewenang. Menurut pendapat Bagir Manan, membedakan antara
kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat
sedangkan wewenang menggambarkan hak dan kewajiban.109
Dalam hukum administrasi asas legalitas atau keabsahan (legaliteit
beginsel atau wetmatigheid van bestuur) mencakup tiga aspek, yaitu:
wewenang, prosedur dan substansi harus berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang sudah ditentukan tujuan diberikannya
wewenang kepada pejabat administrasi, bagaimana prosedur untuk
mencapai suatu tujuan serta tentang substansinya. Penyalahgunaan
108
Ayu Putriyanti, “Kajian Undang Undang Administrasi Pemerintahan Dalam Kaitan
Dengan Pengadilan Tata Usaha Negara, Jurnal Pandecta”, Vol. 2 No. 2, Desember 2015, h. 183 109
Ayu Putriyanti, Kajian Undang Undang Administrasi Pemerintahan Dalam Kaitan
Dengan Pengadilan Tata Usaha Negara, …, h. 184
75
wewenang juga dibedakan atas jenis wewenang, yaitu: wewenang terikat
ialah asas legalitas (tujuan yang telah ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan) dan wewenang bebas (diskresi) menggunakan
parameter asas-asas umum pemerintahan yang baik karena asas
“wetmatigheid” tidaklah memadai.110
Kandungan politik hukum dari Undang Undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan berkaitan erat dengan
penggunaan diskresi (keputusan dan atau tindakan) oleh badan atau
pejabat administrasi pemerintahan. Selain itu dapat dipahami sebagai
instrument legal policy atau garis (kebijakan) serta dasar rencana
pemerintah sebagai landasan penyelenggaraan administrasi pemerintahan
untuk mengisi kekosongan hukum yang menjadi dasar perlindungan
terhadap pengambilan keputusan dan atau tindakan dari badan dan atau
pejabat pemerintahan. Sehingga pembuat keputusan tidak mudah
dikriminalisasi dan melemahkan dan atau pejabat pemerintahan dalam
melakukan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Menjaga agar
badan dan atau pejabat pemerintahan tidak mengambil keputusan dan atau
tindakan sewenang-wenang. Selain itu, menjamin kepastian hukum dan
mencegah (preventif) penyalahgunaan wewenang dalam keputusan dan
atau tindakan (diskresi) oleh pejabat pemerintahan.111
Dalam bidang ekonomi ada pihak upper economic class (seperti
konglomerat) maupun upper power class (seperti pejabat tinggi) yang
terlibat dalam penyalahgunaan wewenang yang bertujuan untuk
kepentingan ekonomi tertentu bersifat sistematik dan terstruktur. Bentuk
kejahatan struktural termasuk bagian dari kejahatan yang terorganisir.
Polemik kekuasaan dan korupsi saling terikat dalam birokrasi kekuasaan,
menurut Michael Levi menggunakan istilah crimes by government dalam
arti ekstensif ialah suatu kejahatan yang melibatkan pejabat publik sebagai
110
Abdul Latif, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi, …, h. 31-32 111
M. Ikbar Andi Endang, “Diskresi dan Tanggung Jawab Pejabat Pemerintah Menurut
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, Jurnal Hukum Peratun”, Vol 1 No. 2, Agustus 2018,
h. 231
76
karakteristik white collar crime yang sulit tingkat pembuktiannya serta
sulit menentukan status pelaku karena lemahnya norma legislatif bahkan
beyond the law dengan memanfaatkan norma di balik asas legalitas yang
relatif.112
2. Sumber Lahirnya Wewenang
Wewenang pemerintahan berasal dari peraturan perundang-
undangan yang memiliki asas legalitas (legaliteits beginselen atau
wetmatigheid van bestuur). Terdapat du acara untuk memperoleh
wewenang pemerintahan menurut kepustakaan hukum administrasi,
yaitu:113
a) Atribusi merupakan wewenang untuk membuat keputusan (besluit)
yang bersumber kepada undang undang (materiil). Suatu atribusi
menunjuk kepada kewenangan yang asli atas dasar ketentuan hukum
tata negara. Rumusan atribusi ialah pembentukan wewenang tertentu
dan pemberiannya kepada organ. Yang dapat membentuk wewenang
ialah organ yang berwenang berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
b) Delegasi merupakan suatu pelimpahan wewenang kepada badan
pemerintahan yang lain. Dalam hukum administrasi belanda dikenal
dengan istilah Algeme Wet Bestuursrecht. Dalam pengertian AWB,
delegasi ialah penyerahan wewenang (untuk membuat) oleh pejabat
pemerintahan (pejabat TUN) kepada pihak lain dan wewenang tersebut
menjadi tanggung jawab pihak lain tersebut. Yang memberi atau
melimpahkan wewenang disebut delegans dan yang menerima disebut
delegataris. Sehingga suatu delegasi selalu didahului oleh adanya
suatu atribusi wewenang. Adapun syarat-syarat pemberian atau
pelimpahan wewenang, yaitu:
112
Ujang Charda S., “Potensi Penyalahgunaan Kewenangan Oleh Pejabat Administrasi
Negara Dalam Pengambilan dan Pelaksanaan Kebijakan Publik, Jurnal Wawasan Hukum”, Vol. 27
No. 2, September 2012, h. 595-596 113
Abdul Latif, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi, …, h. 13
77
1) Delegasi harus definitif (delegasi tidak lagi menggunakan sendiri
wewenang yang telah dilimpahkan tersebut
2) Delegasi harus berdasarkan ketentuan perundang-undangan
(delegasi hanya dimungkinkan kalua ada ketentuan tersebut dalam
peraturan perundang-undangan)
3) Delegasi tidak kepada bawahan (hubungan hirarki kepegawaian
tidak diperkenankan adanya delegasi)
4) Kewajiban memberikan keterangan atau penjelasan (delegans
berwenang untuk meminta penjelasan tentang wewenang tersebut)
5) Peraturan kebijakan (beleidsregelen) (delegasi memberikan
intruksi (petunjuk) tentang penggunaan wewenang tersebut.
3. Pertanggungjawaban Wewenang
Pertanggungjawaban wewenang secara yuridis bertanggungjawab
terhadap penggunaan wewenang yang melanggar hukum (penyalahgunaan
wewenang) dilihat dari segi sumber atau lahirnya wewenang.
Pertanggungjawaban mandat bersumber dari persoalan wewenang karena
wewenang tetap berada pada mandans (pemberi wewenang) sedangkan
mandataris (penerima wewenang) hanya dilimpahi wewenang bertindak
untuk dan atas nama mandans. Sedangkan atribusi wewenang
pertanggungjawaban secara yuridis oleh si penerima wewenang untuk
melakukan mandat atau delegasi. Jika yang dilakukan ialah pemberian
mandat maka si mandans (pemberi wewenang atau penerima wewenang
dalam atribusi) tetap bertanggungjawab. Berbeda dengan cara delegasi,
maka pemberi wewenang tidak bertanggungjawab dan
pertanggungjawaban sudah beralih pada delegatoris.114
Menurut HR Ridwan yang dikutip oleh M. Ikbar Andi Endang, ada
dua prinsip tanggung jawab dan tanggung gugat pejabat dalam
hubungannya dengan penggunaan diskresi. Pertama, asas negara hukum
artinya setiap tindakan organ pemerintah harus berdasarkan kewenangan.
114
Abdul Latif, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi, …, h. 17
78
Hal ini berkaitan dengan asas tidak ada kewenangan tanpa
pertanggungjawaban (geen bevoegdheid zonder verantwoordelijkheid)
atau asas tanpa kewenangan tidak ada pertanggungjawaban (zonder
bevogdheid geen verantwoorddelijkheid). Kedua, ada dua entitas jabatan
dan pemangku jabatan atau pejabat berkaitan dengan jenis norma
pemerintahan (bestuurnorm) dan norma perilaku aparat (gedragsnorm). 115
Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam UU No. 30 Th. 2014
tersebut mengatur tentang administrasi dalam tata kelola pemerintahan.
Dalam ranah hukum ini menyebutkan bahwa dalam membentuk God
Goverment perlu adanya peraturan yang menjadi landasan dalam
pelaksanaan. Sehingga dalam melakukan kegiatan pemerintahan seseorang
yang mempunyai wewenang tersebut tidak berbuat diluar ketentuan yang
telah diatur dalam undang-undang tersebut.
D. Penyalahgunaan Wewenang Dalam Fiqh Jinayah
1. Istilah dan Pengertian Amanat
Kata amanat adalah bentuk mashdar dari kata kerja amina ya manu-
amnan- wa amanatan yang bermakna pokok aman, tentram, tenang dan
hilangnya rasa takut. Dalam kitab Akhlak Rasul menurut Bukhari dan
Muslim arti amanah terbagi menjadi dua, yaitu: pertama, arti khusus ialah
sikap bertanggungjawab orang yang dititipkan barang atau harta atau
lainnya dengan mengembalikannya kepada orang yang mempunyai barang
atau harta tersebut. Kedua, arti secara umum ialah sangat luas seperti
menyimpan rahasia, tulus dalam memberikan kritik terhadap orang lain
dan menyampaikan pesan yang benar. Sifat amanat lahir dari kekuatan
iman artinya dapat dipercaya.116
Amanat dalam arti sempit yaitu sebatas memelihara barang titipan.
Sedangkan amanat dalam arti luas merupakan tanggung jawab manusia,
115
M. Ikbar Andi Endang, “Diskresi dan Tanggung Jawab Pejabat Pemerintah Menurut
Undang-Undang Administrasi Pemerintahan”, …, h. 232 116
Zainal Abidin da Fiddian Khairudin, “Penafsiran Ayat Ayat Amanah Dalam Al-Qur‟an”,
Jurnal Syahadah, Vol. 5 No. 2, Oktober 2017, h. 121
79
baik kepada Allah SWT yang menciptakan-Nya maupun terhadap sesama
makhluk. Artinya amanat sebuah kewajiban sebagai orang Islam saling
mewasiatinya dan memohon bantuan kepada Allah SWT dalam
menjaganya. Amanat juga diartikan sebagai segala sesuatu yang dipikul
atau ditanggung manusia, baik terkait dengan urusan agama maupun
urusan dunia. Tolak ukur sebuah amanat baik dengan perkataan maupun
perbuatan terdapat dalam penjagaan dan pelaksanaan.117
Amanat memiliki tiga dimensi, yaitu:118
a) Hubungan dengan Allah SWT, amanat sebagai kewajiban hamba
kepada Allah SWT yang harus dilakukan manusia
b) Dimensi antar manusia, amanat sebagai karakter terpuji dan tugas yang
harus dilaksanakan
c) Diri sendiri, amanat sebagai sesuatu yang dikerjakan untuk kebaikan
dirinya
Perintah menjaga amanat terdapat dalam Al-Qur‟an, yaitu QS. Al
Anfal (8):27:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati
Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu
mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu,
sedang kamu mengetahui”
Dalam menjaga amanat ini menjadi sisi kegentingan manusia sebab
menjaga tanggung jawab bukan hal yang mudah. Amanat sebuah titipan
yang harus ditaati dan dijaga oleh siapapun baik masyarakat sipil maupun
pejabat pemerintahan. Inilah yang menjadi salah satu faktor dari perbuatan
korupsi.
2. Urgensi Amanat dan Menjaga Larangan
Sifat amanat harus diterapkan dalam hubungan manusia antara
sesama amanah menjadi jainan terpeliharanya keselamatan hubungan.
117
Zainal Abidin da Fiddian Khairudin, “Penafsiran Ayat Ayat Amanah Dalam Al-Qur‟an”,
…, h. 120 118
Ivan Muhammad Agung dan Desma Husni, “Pengukuran Konsep Amanah Dalam
Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif”, Jurnal Psikologi, Vol 43 No. 3, 2016, h. 195
80
Begitupun dengan keselamatan suatu negara terjamin karena pemerintah
mengemban dengan baik amanah politik pemerintahan. Amanat
merupakan ketundukan manusia terhadap dimensi agama Islam karena
melibatkan aspek vertical (hablumminallah) ialah beban
pertanggungjawaban kepada Allah SWT dan aspek horizontal
(hablumminanas) ialah hubungan manusia dengan manusia dalam
kehidupan bermasyarakat.119
Ada empat elemen dalam menjaga amanat dan larangan, yaitu:120
a) Menjaga hak Allah SWT
b) Menjaga hak sesama manusia
c) Menjauhkan diri dari sikap abai dan berlebihan
d) Mengandung sebuah pertanggungjawaban
Pada praktiknya menjaga amanat serta menjauhi larangan sangat
sulit untuk diterapkan di kehidupan. Sehingga sangat berbahaya apabila
manusia menjadi para pelaku penyalahgunaan wewenang. Hal ini yang
disebabkan para pejabat pemerintahan baik Pegawai Negeri Sipil mapun
bukan Pegawai Negeri Sipil melakukan tindakan diluar wewenangnya.
Dari uraian di atas, menurut analisis penulis simpulkan bahwa
dalam agama Islam sangat menjujung tinggi megenai nilai amanah dalam
menjalani perintah jabatan. Terkait tindak pidana korupsi dalam Islam
adalah tindakan yang melanggar perintah agama. Sehingga Islam sangat
megutuk keras bagi seseorang yang melakukan tindak korupsi. Seperti kita
ketahui dalam agama Islam menghukum seorang pencuri dengan pidana
potong tangan. Jika mengikuti ketentuan tersebut maka pelaku tindak
pidana korupsi dapat dikenakan pidana karena memang memenuhi unsur
merugikan. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat bahwa tindak pidana
korupsi mempunyai nilai sendiri, sehingga tidak bisa disamakan dengan
pencurian dalam Islam. Ulama yang tidak mengkategorikan tindak pidana
119
Ivan Muhammad Agung dan Desma Husni, “Pengukuran Konsep Amanah Dalam
Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif”, …, h. 135 120
Ivan Muhammad Agung dan Desma Husni, “Pengukuran Konsep Amanah Dalam
Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif”, …, h. 134
81
korupsi sebagai tindak pencurian menentukan hukuman bagi pelakuknya
adalah ta‟zir. Akan tetapi mengenai bentuk hukuman lebih berat dari
hukuman yang diberikan pada jarimah pencurian.
82
BAB IV
TINDAK PIDANA KORUPSI TERHADAP PENYELENGGARA
PEMILIHAN UMUM 2004 PERSPEKTIF HUKUM PIDANA POSITIF
DAN HUKUM PIDANA ISLAM
(Analisis Putusan Mahkamah Agung No.727 K/Pid.Sus/2010)
A. Analisis Dakwaan Penuntut Umum
Penerapan pasal pada tindak pidana, maka hal ini berkaitan erat dengan
tahapan penuntutan. Pasal 143 KUHAP yang menyatakan bahwa untuk
mengadili suatu perkara, Penuntut umum wajib mengajukan permintaan
disertai surat dakwaan. Terdakwa Ahmad Syah Mirzan bin Salman Al Farizi
selaku Ketua KPU Kepulauan Bangka Belitung di dakwa oleh Jaksa Penuntut
Umum dengan menggunakan Ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 sebagaimana yang telah dirubah dan ditambah Undang-Undang Nomor
20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan
demikian Penuntut Umum meyakini bahwa perbuatan Terdakwa Ahmad Syah
Mirzan selaku Ketua KPU Bangka Belitung termasuk dalam kategori
perbuatan Tindak Pidana Korupsi. Dalam putusan pengadilan nomor 727
K/Pid.Sus/2010 Tentang Tindak Pidana Korupsi Terdakwa dihadapkan
dengan dakwaan yang disusun secara subsidair. Dakwaan subsidair secara
sederhana dapat diartikan surat dakwaan yang disusun secara berlapis-lapis.
Suatu perbuatan pidana dapat didakwakan dengan beberapa dakwaan dengan
maksud untuk menjaring agar terdakwa tidak dapat lolos dari pemidanaan.
Dengan demikian, dakwaan yang dibuat secara berlapis-lapis dan berurutan,
masing-masing dakwaan tersebut tidak dibuat berdiri sendiri melainkan
berhubungan, karena yang dikejar hanyalah satu perbuatan pidana saja. Oleh
karena itu, lapisan-lapisan dakwaan disusun secara primair, subsidair, lebih
subsidair dan seterusnya yaitu penyusunan dakwaan tindak pidana berat, lalu
kemudian tindak pidana yang lebih berat. Dakwaan yang disusun oleh
penuntut umum yakni primair dengan pasal 3 Jo pasal 18 Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-
83
Undang 20 tahun 2001 Jo pasal 55 ayat 1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP dan
dakwaan subsidair yaitu pasal 8 Jo pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun
1999 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang 20 tahun 2001
Jo pasal 55 ayat 1 jo pasal 64 ayat 1 KUHP.
Adapun bunyi rumusan pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999
yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang 20 tahun 2001 yaitu;
„Setiap orang yang dengan sengaja menguntungkan diri sendiri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima
puluh juta rupiah) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)‟.
Dalam dakwaan subsidair jaksa melayangkan tuntutan dengan pasal 8
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah
dengan Undang-Undang 20 tahun 2001 yaitu;‟ Dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta
rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara
waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan
karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil
atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan
tersebut‟.
Dalam kasus tersebut, Jaksa Penuntut Umum menitikberatkan
tuntutannya pada dakwaan Primair yaitu pasal 3 Undang-Undang Nomor 31
tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang 20 tahun
2001. Dengan demikian berkaca dari tolak ukur hukum acara yang berlaku
karena dakwaan disusun secara subsidair maka penulis akan memulai dari
dakwaan primair, setelah itu dilanjutkan pada dakwaan subsidair.
84
Dakwaan primair, pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 yang
telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang 20 tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi unsur-unsurnya yaitu; Pertama, setiap
orang; Maksud dari setiap orang adalah barang siapa atau siapa saja sebagai
subjek hukum yang dalam KUHP diduga telah melakukan perbuatan pidana
dan diajukan sebagai terdakwa. Dalam perkara ini, yang diajukan penuntut
umum adalah terdakwa bernama Ahmad Syah Mirzan Bin Salman Al Farizi
dimana setelah majelis Hakim menanyakan identitas terdakwa di persidangan
ternyata cocok dengan identitas terdakwa dalam surat dakwaan Penuntut
Umum, karenanya unsur setiap orang telah terpenuhi.
Kedua, dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau dapat merugikan keuangan
Negara atau perekonomian Negara yaitu berdasarkan fakta yang terungkap di
persidangan adalah bahwa benar terdakwa Ahmad Syah Mirzan Bin Salman
Al Farizi selaku Ketua KPU Provinsi Bangka Belitung telah menerima dana
operasional penyelenggaraan Pemilu tahun 2004 yang berasal dari Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2004, akan tetapi KPU
Provinsi Bangka Belitung masih mengajukan permohonan dana bantuan
kepada Pemerintah provinsi Bangka Belitung untuk kesejahteraan dan anggota
dan staff pegawai KPU provinsi Bangka Belitung dengan nomor surat
252/B/KPU-BB/2004 tanggal 15 Maret untuk uang lembur staff pegawai KPU
Provinsi Bangka Belitung serta kebutuhan lain sebesar Rp 3.750.000.000,- dan
atas pengajuan tersebut dana bantuan tersebut, tidak lama kemudian cair dana
bantuan sebesar Rp 500.000.000,- kemudian secara bertahap terdakwa Ahmad
Syah Mirzan menggunakan dana tersebut secara bertahap untuk membayar
uang lembur staff pegawai KPU Provinsi Bangka Belitung serta kebutuhan
lainnya dengan perincian untuk membayar tambahan insentif kesejahteraan
KPU Rp 91.375.000,- dan untuk membayar uang lembur Pegawai Staff KPU
Rp 29.316.125,- dan totalnya kerugian yang diterima Negara sebesar Rp
85
120.691.125,- , selanjutnya dakwaan subsidair yang dilayangkan penuntut
umum adalah Pasal 8 Jo pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 yang
telah diubah dan ditambah dengan Undang-Undang 20 tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi unsur-unsurnya yaitu; Pertama,
pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan
suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu yaitu
berdasarkan fakta yang terungkap dipersidangan bahwa Ahmad Syah Mirzan
adalah Ketua KPU Kepulauan Bangka Belitung. Hal tersebut mengungkapkan
bahwa terdakwa adalah seorang pegawai negeri atau pejabat yang berwenang
untuk sementara waktu, dengan demikian unsur tersebut telah terpenuhi dan
meyakinkan secara hukum.
Kedua, unsur „menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan
karena jabatannya‟. Penggelapan menurut pasal 372 KUHP adalah dengan
sengaja memiliki hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagian dari
orang itu termasuk kepunyaan orang lain, namun barang itu berada
ditangannya bukan karena kejahatan. Dengan demikian penggelapan yang
dilakukan pegawai negeri diterapkan pasal 372 KUHP, sedangkan bagi
pegawai negeri yang melakukan penggelapan yang objeknya adalah surat
berharga adalah Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan fakta
yang terungkap persidangan bahwa terdakwa Ahmad Syah Mirzan bersama
saksi bernama Suhaeli mengajukan permohonan bantuan dana kepada
Gubernur Kepulauan Bangka Belitung yang digunakan untuk membayar uang
lembur kepada staff KPU Kepulauan Bangka Belitung. Hal tersebut bukanlah
penggelapan uang ataupun surat berharga melainkan memanfaatkan jabatan
yang ada padanya, dengan demikian unsur tersebut tidak terpenuhi. Ketiga,
membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh
orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut. Unsur dapat
diartikan sebagai bahwa yang melakukan penggelapan adalah orang lain selain
pegawai negeri atau pejabat yang berwenang yang karena jabatannya
menyimpan surat berharga itu, akan tetapi perbuatan penggelapan itu terjadi
86
karena bantuan atau kemudahan-kemudahan yang diberikan oleh pemegang
surat berharga tersebut maka unsur ini dapat terpenuhi. Fakta yang terungkap
di persidangan bahwa Terdakwa Ahmad Syah Mirzan dan saksi yang bernama
Suhaeli sebagai ketua dan sekretaris KPU Kepulauan Bangka Belitung
bersama-sama melakukan pengajuan dana bantuan untuk uang lembur staff
KPU Kepulauan Bangka Belitung, bukanlah membantu melakukan
penggelapan ataupun membantu melakukan surat berharga yang ada padanya
karena jabatannya. Dengan demikian, unsur tersebut tidak terpenuhi secara
hukum.
Berdasarkan pemaparan di atas, bahwa unsur-unsur yang terpenuhi
dalam dakwaan tersebut adalah dakwaan primair yaitu pasal 3 Undang-
Undang Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan
Undang-Undang 20 tahun 2001. Mengenai kasus pada putusan tersebut,
dengan terpenuhi unsur-unsur tindak pidana pada pasal 3 Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-
Undang 20 tahun 2001 maka telah terjawab bahwa perbuatan Ahmad Syah
Mirzan sebagai ketua KPU Kepulauan Bangka Belitung adalah perbuatan
tindak pidana korupsi karena telah dibuktikan bahwa perbuatan yang
dilakukan terdakwa adalah memanfaatkan atau penyalahgunaan wewenangnya
agar terwujudnya pencairan dana bantuan yang diajukan kepada Pemerintah
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang totalnya Rp 120.691.125,- untuk
menguntungkan sebuah korporasi dan juga membuat Negara mengalami
kerugian. Dengan demikian, bahwa benar perbuatan terdakwa adalah suatu
tindak pidana korupsi karena memenuhi unsur dalam pasal 3 Undang-Undang
Nomor 31 tahun 1999 yang telah diubah dan ditambah dengan Undang-
Undang 20 tahun 2001.
Dalam dakwaan tersebut, ada beberapa pasal yang di juncto kan,
selanjutnya penulis akan menguraikan mengenai pasal yang di junctokan yaitu
pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah
diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
87
Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Pasal 18 Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dan ditambah
dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Tindak Pidana
Korupsi menyangkut tentang pidana tambahan, walaupun terdakwa
mempunyai peran dalam terjadinya kerugian Negara, namun berdasarkan fakta
yang terungkap dalam persidangan yang diperoleh dari persesuaian keterangan
saksi-saksi dan keterangan terdakwa yang diperoleh dari persesuaian
keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa serta alat bukti petunjuk tidak
ada yang dapat membuktikan bahwa terdakwa telah memperoleh uang atau
harta benda dari kerugian Negara tersebut, dengan demikian terdakwa tidak
dibebani untuk membayar uang pengganti. Mengenai penerapan pasal 55 ayat
(1) ke-1 KUHP berikut, konteks penyertaan atau deelneming dalam perkara
terdakwa hanyalah perbuatan yang dilakukan secara bersama-sama dalam arti
orang yang turut serta melakukan perbuatan tersebut. Dari rangkaian fakta di
persidangan telah tergambar dengan jelas bahwa terwujudnya delik karena
adanya kerjasama antara Ahmad Syah Mirzan sebagai Ketua KPU Kepulauan
Bangka Belitung dan Suhaeli sebagai Sekretaris KPU Kepulauan Bangka
Belitung merangkap sebagai kuasa anggaran demi terwujudnya pencairan
bantuan dana bantuan walaupun mereka sudah tahu bahwa dana operasional
penyelenggara Pemilu sudah dipenuhi melalui dana APBN 2004.
Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa penerapan pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP telah terpenuhi secara hukum.
Dengan demikian, berdasarkan pembahasan penulis di atas maka dapat
dilihat dan disimpulkan bahwa perbuatan terdakwa memang benar bersalah
melakukan tindak pidana korupsi dan terbukti menurut hukum, telah sesuai
dan memenuhi unsur delik. Penulis sependapat dengan tuntutan yang
disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum bahwa terdakwa melakukan tindak
pidana korupsi.
88
B. Pertimbangan Majelis Hakim
Majelis Hakim sebelum memutuskan suatu perkara memperhatikan
dakwaan jaksa penuntut umum, keterangan saksi yang hadir dalam
persidangan, keterangan terdakwa, alat bukti, syarat subjektif dan objektif
seseorang dapat dipidana, serta hal-hal yang merigankan dan memberatkan
terdakwa. Pengambilan putusan oleh Majelis Hakim merupakan suatu
keharusan dalam menjatuhkan pidana atau hukuman yang diberikan kepada
terdakwa. Pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana setelah proses
pemeriksaan dan persidangan selesai, maka Majelis Hakim mengambil
keputusan yang seadil-adilnya.
Berdasarkan putusan Pengadilan Tinggi Bangka Belitung tersebut, Jaksa
Penuntut Umum telah mengajukan permohonan kasasi dihadapan Panitera
Pengadilan Pangkalpinang pada tanggal 12 Februari 2010 dalam akta Kasasi
Nomor 02/Akta.Pid/2010/Pn.PKP yang diterima oleh kepaniteraan Pengadilan
Negeri Pangal Pinang pada tanggal 22 Februari 2010 dengan mengemukakan
bahwa Pengadilan Tinggi Kepulauan Bangka Belitung yang telah menjatuhan
putusan dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut telah melakukan
kekeliruan dengan alasan Majelis Hakim tidak menerapkan hukum
pembuktian secara benar sehingga Majelis Hakim tidak mempertimbangkan
fakta-fakta persidangan yang diperoleh dari keterangan saksi-saksi, pengakuan
Terdakwa sendiri dan adanya barang bukti yang seharusnya dipergunakan
sebagai alat pembuktian, dengan demikian Majelis Hakim Pengadilan Tinggi
Kepulauan Bangka Belitung telah melakukan kesalahan dengan tidak
menerapkan peraturan hukum tidak sebagaimana semestinya dalam hal :
1. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bangka Belitung tidak menerapkan
hukum pembuktian sebagaimana mestinya dalam pertimbangan
hukumnya, yang menjadi dasar untuk mengajukan putusan, melainkan
hanya mengambil alih secara langsung dari pertimbangan hukum yang
telah diberikan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pangkalpinang. Hal
ini bertolak belakang dengan bunyi dalam pertimbangan putusannya yang
menyatakan telah mengadili dan memeriksa sendiri lebih lanjut dalam
89
pertimbangan hukum yang menyangkut amar putusan ternyata tidak
menguatkan putusan Pengadilan Negeri Pangkal Pinang, melainan
mempertibangan sendiri, yang selanjutnya menjatuhkan putusan
sebagaimana tersebut di atas.
2. Bahwa Majelis Hakim tidak memeriksa kembali berkas perkaranya dengan
benar sehingga tidak mempertimbangkan adanya fakta persidangan, kalau
KPU Provinsi Kepulauan Bangka Belitung telah menerima dana untuk
penyelenggaraan Pemilu Tahun 2004 yang berasal dari APBN, yang mana
dana tersebut sudah jelas peruntukkannya untuk biaya operasional
penyelenggaan yang didalamnya sudah termasuk untuk membayar
gaji/uang kehormatan bagi seluruh anggota KPU Provinsi kepulauan
Bangka Belitung, membayar uang lelah/kehormatan, uang lembur dan
tunjangan pokja untuk pegawai staff Sekretariat KPU Provinsi Kepulauan
Bangka Belitung dan terdakwa adalah sebagai ketua KPU Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung yang mengelola anggaran, yang kemudian
bersama sekretaris KPU Provinsi kepulauan Banga Belitung yang
mengelola anggaran, yang kemudian bersama sekretaris KPU Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung saksi Suhaeli Yusuf Bin Yusuf Raden Mas
mengusulkan untuk diberikan tambahan uang lembur bagi seluruh pegawai
staff KPU Provinsi Bangka Belitung, kepada Gubernur Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung.
3. Bahwa selanjutnya KPU Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tetap
mengajukan permohonan dana bantuan kepada Gubernur Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung dengan surat nomor 252/KPU-BB/2004
tanggal 15 Maret 2004, yang ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris
KPU Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan jumlah keseluruhannya
sebesar Rp 3.750.000.000,- (tiga miliyar tujuh ratus lima puluh juta
rupiah) untu penyelenggaraan Pemilu Tahun 2004.
4. Bahwa selanjutnya menurut fakta persidangan, atas pengajuan dana
bantuan tersebut bertahap, yang selanjutnya dana yang berasal dari
bantuan Gubernur Provinsi Kepulauan Banga Belitung oleh Terdakwa
90
untuk membayar tambahan kesejahteraan kepada seluruh anggota KPU
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan mengeluarkan nota dinas
yang ditujukan kepada saksi Suhaeli Yusuf untuk segera membayarkannya
yang jumlah seluruhnya adalah Rp 120.691.125,-
5. Bahwa putusan Hakim Majelis Pengadilan Tinggi Kepulauan Bangka
Belitung tersebut tidak memperhatikan maksud dan tujuan diadakannya
Undang-undang No.31 Tahun 1999 Jo Undang-Undang No 20 tahun 2001
tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dalam pertimbangan
Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa tindak pidana korupsi selama
ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan Negara tetapi
juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak social dan ekonomi
secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai
kejahatan yang pemberantasannnya harus dilakukan secara luar biasa.
Dalam pertimbangan tersebut seharusnya Putusan Pengadilan Tinggi
Kepulauan Bangka Belitung memperhatikan maksud dari Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 sehingga dapat menjadikan efek jera bagi
pelakunya dan sebagai pencegahan bagi orang lain.
6. Bahwa Sarochid Kartanegara dalam bukunya yang berjudul Hukum
Pidana, menyatakan bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mencegah
kejahatan (te voorkoming van de misdaad) hingga selanjutnya dapat
menjadi special preventive dimana ancaman hukuman yang ditujukan
kepada si penjahat tidak lagi melakukan perbuatan jahatnya di kenudian
hari.
Berdasarkan alasan-alasan Kasasi yang dikemukakan oleh Jaksa
Penuntut Umum tersebut, Majelis Hakim Agung mempertimbangkan :
1. Bahwa alasan-alasan Kasasi Jaksa/Penuntut Umum tidak dapat dibenarkan
judex factie tidak salah dalam menerapkan hukum, berdasarkan fakta
persidangan tersebut dari bukti dan saksi-saksi termasuk keterangan
Terdakwa bahwa kerugian Negara APBD sejumlah Rp 120.691.125,-
(seratus dua puuh juta enam ratus Sembilan puluh satu ribu seratus dua
puluh lima rupiah) telah dikembalikan oleh ketua anggota KPU dan staff
91
KPU Bangka Belitung tetapi pengembalian tersebut tidak menghilangkan
sifat melawan hukum dari perbuatan pidana tersebut;
2. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata,
putusan judex factie dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum
dan/atau Undang-Undang maka permohonan Kasasi tersebut harus ditolak;
3. Menimbang, bahwa dalam musyawarah Majelis Hakim Agung pada
tanggal 28 April 2011, terdapat perbedaan pendapat (Disenting Opinion)
dari ketua Majelis yang memeriksa Perkara ini, yaitu: Mansur Kartayasa
berpendapat bahwa keberatan memori kasasi Jaksa/Penuntut Umum dapat
dibenarkan, Judex Factie salah menerapkan hukum karena pertimbangan-
pertimbangannya tidak tepat.
4. Bahwa terdakwa mengajukan anggaran untuk kesejahteraan ketua/anggota
KPU padahal alokasi dana tersebut sudah dianggarkan dalam APBN
Tahun 2004, perbuatan terdakwa merugikan Negara sebesar Rp
120.691.125,- sesuai temuan BPK dan pengambilan kerugian Negara tidak
menghapuskan dapat dipidananya pelaku. Tentang pidana percobaan
hanya diatur dalam KUHP sedang sesuai Pasal 3 Undang-Undang No.31
Tahun 1999 pidana minimal 1 (satu) tahun penjara dan denda pidana
percobaan, sehingga sesuai dengan azas lex specialis derogate lex
generalis ketentuan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsilah yang
berlaku.
5. Menimbang, bahwa oleh karena terjadi perbedaan pendapat (Dissenting
Opinion) diantara para anggota Majelis Hakim dan telah diusahakan
dengan sungguh-sungguh, tetapi tidak terjadi pemufakatan, maka sesuai
pasal 30 ayat 3 Undang-Undang No.5 Tahun 2004, setelah Majelis Hakim
bermusyawarah dan diambil keputusan dengan suara terbanyak, yaitu
menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh pemohon Kasasi/Jaksa
Penuntut umum tersebut ;
6. Memperhatikan Undang-Undang No.48 Tahun 2009, Undang-Undang
No.8 Tahun 1981 dan Undang-Undang No.14 Tahun 1985 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan
92
kedua dengan Undang-undang No.3 Tahun 2009 serta peraturan
perundang-undangan No.3 Tahun 2009 serta peraturan perundang-
undangan lain yang bersangkutan ;
M E N G A D I L I
Menolak permohonan kasasi dari pemohon kasasi : JAKSA
PENUNTUT UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI
PANGKALPINANG tersebut ;
Membebabankan Termohon Kasasi/Terdakwa tersebut untuk membayar
perkara dalam tingkat kasasi ini sebesar Rp 2.500,- ( dua ribu lima ratus
rupiah) ;
Demikianlah diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah
Agung pada hari, Kamis, tanggal 28 April 2011 oleh Mansur Kartayasa
Hakim Agung yang ditetapkan oleh Mansur Kartayasa. Hakim Agung yang
ditetapkan oleh ketua Mahkamah Agung sebagai ketua Majelis, Timur P.
Manurung dan M. Zaharuddin Utama. Hakim-Hakim Agung sebagai Anggota,
dan diucapkan dalam siding terbuka untuk umum pada hari itu juga oleh
ketua Majelis beserta Hakim-Hakim Anggota tersebut, dan dibantu oleh
Emilia Djajasubagia Panitera Pengganti dan tidak dihadiri oleh Pemohon
Kasasi; Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa.
C. Analisis Putusan Pengadilan Nomor Putusan No: 727 K/Pid.Sus/2010
Tentang Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Oleh Penyelenggara
Pemilu
Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri ini berpijak pada hukum
formal sekaligus materil. Dalam artian, aturan berupa Undang-Undang
tersebut merupakan produk dari badan legislatif bersama eksekutif, dan isi dari
undang-undang tersebut mengikat bagi pelaku tindak pidana apabila unsur-
unsurnya terpenuhi. Pijakan Mejelis Hakim dalam putusan 727
K/Pid.Sus/2010 adalah Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun
1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah
diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Bunyi
lengkap pasal tersebut yaitu; “Setiap orang yang tujuan menguntungkan diri
93
sendiri atau orang lain suatu korporasi, menyalahgunaan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan
yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara dipidana
dengan pidana penjara seumur hidup atau denda paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh) dan atau denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliyar rupiah).
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan
ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada dasarnya sebagai pelengkap dari
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 Tentang Tindak Pidana Korupsi karena
selama kurang lebih 28 tahun berlakunya Undang-Undang tersebut kurang
memberikan perkembangan yang signifikan. Dengan demikian, Majelis
Hakim memilih Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah
diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai dasar hukumnya untuk
menjatuhkan sanksi pidana, sebab pelaku melakukan penyalahgunaan
wewenang sebagai pejabat public yang meyebabkan kerugian dan
perekonomian Negara.
Untuk sampai kepada putusan, Majelis Hakim terlebih dahulu
mempertimbangkan antara fakta hukum dan unsur-unsur yang dilanggar oleh
pelaku. Unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal ini antara lain:
1. Setiap orang
2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi, Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukan
3. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian Negara
Pertama, „setiap orang‟ disini adalah siapa saja orang atau subjek
hukum yang melakukan perbuatan pidana dan dapat
mempertanggungjawabkan perbuatannya. Terdakwa Ahmad Syah Mirzan
Bin Salman Al Farizi yang dihadapkan dipersidangan ini dengan
94
berdasarkan fakta yang terungkap dalam persidangan yang diperoleh dari
alat-alat bukti, barang bukti dan keterangan terdakwa sendiri yang
membenarkan identitasnya dalam surat dakwaan penuntut umum, maka
terdakwa yang diajukan dalam perkara ini adalah Ahmad Syah Mirzan Bin
Salman Al Fariz sebagai manusia yang dapat mempertanggungjawabkan
perbuatannya. Dengan demikian, maka unsur „setiap orang‟ telah terbukti
secara sah dan meyakinkan menurut hukum.
Kedua, unsur „Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang
ada padanya karena jabatan atau kedudukan‟ bahwa dengan adanya kata
atau dalam unsur yang kedua ini menunjukkan apabila salah satu unsur
terpenuhi maka terpenuhilah unsur tersebut. Fakta hukum yang terungkap
dipersidangan bahwa terdakwa Ahmad Syah Mirzan bin Salman Al Farizi
sebagai Ketua KPU Provinsi Kepulauan Bangka Belitung bersama saksi
Suhaeli Yusuf Bin Yusuf Raden Mas dalam pembayaran tambahan uang
kesejahteraan anggota KPU serta tambahan uang lembur bagi pegawai
Sekretariat Staff KPU Provinsi Kepulauan Bangka Belitung berdasarkan
bukti–bukti yang ada seperti dalam suratnya nomor 252/B/KPU- BB/2004
tanggal 15 Maret 2004 dengan jumlah pengajuan secara global sebesar
Rp.3.750.000.000,-, padahal Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung saat itu telah menerima dana operasional
penyelenggaraan Pemilu Tahun 2004 yang berasal dari kebijaksanaan
pusat (APBN), yang didalamnya termasuk pembayaran uang kesejahteraan
anggota KPU Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan uang lembur
pegawai Staf KPU Propinsi Kepulauan Bangka Belitung. Yang kemudian
atas pengajuan dana bantuan tersebut, dana bantuan Gubernur Provinsi
Kepulauan Bangka Belitung cair sebesar Rp.500.000.000,- pula, dan
selanjutnya dana tersebut yang oleh terdakwa, memerintahkan saksi
Suhaeli Yusuf Bin Yusuf Raden Mas untuk menggunakan uang bantuan
tersebut guna membayar tambahan uang kesejahteraan anggota KPU
sebanyak 5 orang dan tambahan uang lembur bagi seluruh pegawai KPU
95
Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dengan cara Terdakwa
mengeluarkan nota dinas kepada saksi Suhaeli Yusuf Bin Yusuf Raden
Mas yaitu Nota Dinas nomor : 24.A/D/KPU- BB/2004 tertanggal 18 Juni
2004 untuk membayar secara rapel mulai bulan Januari 2004 sampai
dengan Mei 2004 dengan totalnya sebesar Rp. 31.875.000,-, nota dinas
nomor : 71/D/KPU- BB/2004 tertanggal 18 Oktober 2004 untuk
membayar secara rapel mulai bulan Juni sampai dengan Oktober 2004
yang totalnya sebesar Rp.42.500.00,-, nota dinas nomor 757/D/KPU-
BB/2004 tertanggal 13 November untuk membayar bulan November 2004
totalnya sebesar Rp.8.500.000,- serta Nota Dinas Nomor : 06/D/KPU-
BB/2004 tertanggal 22 Desember 2004 untuk membayar bulan Desember
2004 dengan totalnya ialah Rp.8.500.000,-. Sehingga jumlah uang
tambahan kesejahteraan anggota KPU Propinsi Kepulauan Bangka
Belitung yang telah dibayarkan adalah Rp.31.875.000. Dan untuk
pembayaran tambahan uang lembur bagi Pegawai Sekretariat KPU Bangka
Belitung dibayarkan secara bertahap juga yang dibayarkan kepada seluruh
pegawai Staf KPU Provinsi Kepulauan Bangka Belitung yang jumlah
seluruhnya sebesar Rp.29.316.125,-. Jika dijumlahkan dana yang dipakai
terdakwa ialah seluruhnya Rp.120.691.125,-. Dengan demikian, maka
seluruh anggota KPU Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan seluruh
staff sekretariat KPU Propinsi Kepulauan Bangka Belitung mendapatkan
keuntungan atau diuntungkan, yang besarnya masing- masing sesuai
dengan daftar penerimaannya. Dengan demikian unsur “menguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” telah terpenuhi dan
meyakinkan menurut hukum.
Ketiga, unsur „yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara‟. Frasa keuangan negara yang dimaksud dalam
Penjelasan Umum Undang – Undang nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu seluruh kekayaan negara
dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau tidak dipisahkan, termasuk di
dalamnya segala keruian keuangan negara dan segala hak dan kewajiban
yang timbul karena berada dalam penguasaan, pengurusan, dan
96
pertanggung-jawakan pejabat lembaga negara baik di tingkat pusat mau-
pun di daerah, selanjutnya yang dimaksud dengan Perekonomian Negara
adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama
berdasarkan asas kekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri
yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun
di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan
kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat. Berdasarkan pengertian
tersebut, jika dihubungkan dengan apa yang dilakukan oleh terdakwa yang
bernama Ahmad Syah Mirzan Bin Salman Al Farizi bersama saksi Suhaeli
Yusuf Bin Yusuf Raden Mas, dana dipakai untuk pembayaran tambahan
uang kesejahteraan anggota KPU serta tambahan uang lembur bagi
pegawai Sekretariat Staf KPU Provinsi Kepulauan Bangka Belitung serta
kebutuhan-kebutuhan lainnya yang totalnya berjumlah Rp.120.691.125,-
hal tersebut jelas telah merugikan keuangan serta perekonomian Negara.
Dengan demikian unsur tersebut telah terpenuhi dan meyakinkan secara
hukum.
Berdasarkan analisa di atas, penulis berpendapat bahwa Undang-
Undang Tindak Pidana Korupsi yang diatur dalam Undang-Undang No. 31
Tahun 1999 sebagaiaman telah diubah dengan Undang-Undang No. 20
Tahun 2001 sebenarnya mengandung beberapa permasalahan. Dalam
analisis ini penulis ingin menyoroti mengenai permasalahan tumpang
tindih pengaturan delik/tindak pidana yang diatur di dalamnya, sebenarnya
ada cukup banyak ketentuan pidana yang tumpang tindih dalam UU ini,
namun kali ini penulis hanya akan menyoroti tumpang tindihnya
pengaturan dalam Pasal 3 dan Pasal 8, karena putusan yang dianalisis
dalam skripsi ini adalah suatu putusan yang dakwaannya dilakukan secara
berlapis-lapis yaitu dakwaan primair dengan pasal 3 lalu subsidair pasal 8
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaiaman telah diubah dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, yaitu Putusan No. 727
K/Pid.Sus/2010 dengan terdakwa Ahmad Syah Mirzan bin Salman Al
Farizi. Kedua pasal tersebut sebenarnya memiliki irisan, atau dengan kata
97
lain terdapat kemungkinan suatu perbuatan dapat memenuhi kedua
ketentuan tersebut, yang dalam istilah disebut dengan concursus idealis.
Mengenai concursus idealis ini diatur dalam pasal 63 KUHP, yang
berbunyi; „Jika suatu perbuatan masuk dalam lebih dari satu aturan pidana,
maka yang dikenakan hanya salah satu di antara aturan-aturan itu; jika
berbeda-beda, yang dikenakan yang memuat ancaman pidana pokok yang
paling berat‟. Pemaparan penulis di atas bahwa pasal 3 dan pasal 8
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 terdapat sebuah irisan. Dalam pasal 8
UU Tipikor inti dari perbuatan yang dilarang adalah penggelapan uang
atau surat berharga, larangan ini berlaku bagi pegawai negeri atau bukan
pegawai negeri yang menjalankan atau memegang suatu jabatan umum.
Penggelapan dapat diartikan yaitu dengan sengaja dan melawan hukum
memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan
orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan,
pengertian ini terdapat dalam Pasal 372 KUHP. Mengenai irisan dalam
pasal 3 dan pasal 8 UU Tipikor, jika dikaitkan dengan pasal 3,
penggelapan itu sendiri pada dasarnya adalah salah satu bentuk dari
perbuatan menyalahgunakan wewenang. Secara sekilas memang terkesan
bahwa berarti semua perbuatan yang diatur dalam pasal 8 tercakup juga
dalam pasal 3, tetapi jika dilihat secara lebih teliti sebenarnya tidak, ada
dua hal yang membuatnya demikian. Pertama, obyek yang digelapkan
yang diatur dalam pasal 8 spesifik hanya uang dan surat berharga,
sementara barang tidak. Jadi misalnya seorang pegawai negeri menjual
mobil dinas yang digunakannya tidak bisa dikenakan pasal 8. Kedua,
dalam pasal 3 terdapat unsur „yang dapat merugikan keuangan negara‟,
sementara dalam pasal 8 unsur kerugian negara tidak ada. Pasal 8 tersebut
tidak peduli apakah uang atau surat berharga yang digelapkan oleh pelaku
adalah uang atau surat berharga milik negara atau tidak, yang penting uang
atau surat berharga tersebut ada dalam penguasaan si pelaku karena
jabatannya. Dengan demikian, penulis ingin memberikan dua ilustrasi
kasus yang serupa untuk menggambarkan permasalahan antara pasal 3 dan
98
pasal 8 ini. Pertama, seorang bendahara suatu instansi pemerintah
menggelapkan uang kas instansi tersebut sebanyak Rp 100.000.000,-
(seratus juta rupiah) dan contoh kedua, seorang pegawai negeri yang
mendapatkan mobil dinas senilai Rp 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah)
menggelapkan mobil dinas tersebut dengan cara menjual mobil tersebut
seharga Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) kepada pihak
lain. Dari contoh pertama, walaupun perbuatan tersebut bisa juga
dikenakan pasal 3 namun mengingat ketentuan dalam pasal 63 ayat 2
KUHP yaitu asas lex specialis derogat lex generalis maka tentunya
perbuatan si pelaku lebih tepat dipidana dengan pasal 8, sedangkan untuk
contoh kedua, karena obyek yang digelapkan bukanlah uang atau surat
berharga namun barang yaitu sebuah mobil maka si pelaku tidak dapat
dijerat dengan pasal 8 walaupun bentuk perbuatannya sama-sama
penggelapan, melainkan pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
sebagaiaman telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.
Kasus di atas tentunya adalah kasus fiktif, kasus kongkrit terkait masalah
pasal 3 dan pasal 8 ini Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 yaitu kasus yang
dianalisis dalam skripsi yang terdapat dalam putusan nomor 727
K/Pid.Sus/2010. Dalam perkara ini, Penuntut Umum dalam surat
tuntutannya menuntut pengadilan agar menyatakan terdakwa terbukti atas
dakwaan primair, yaitu yang diancam dengan pasal 3 Undang-Undang No.
31 Tahun 1999 sebagaiaman telah diubah dengan Undang-Undang No. 20
Tahun 2001, serta menuntut terdakwa dijatuhi hukuman penjara selama 1
tahun (sesuai ancaman minimum) serta denda sebesar Rp 50.000.000 (lima
puluh juta rupiah). Majelis Hakim sependapat dengan Penuntut Umum,
pengadilan memutus terdakwa terbukti atas dakwaan primair yaitu pasal 3
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaiaman telah diubah dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 dan menghukum terdakwa dengan
hukuman penjara selama satu tahun dan denda sebesar Rp. 50.000.000,-
(lima puluh juta rupiah). Pengadilan bahkan sampai tingkat Mahkamah
Agung akhirnya diputus yang diterapkan adalah dakwaan primair. Penulis
99
berpendapat hal ini tidak terlepas dari problematika pasal 3 dan pasal 8
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaiaman telah diubah dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tersebut. Jika pengadilan memilih
dakwaan subsidair maka hukuman yang harus dijatuhkan minimal 3 tahun
penjara dan denda minimal Rp 150.000.000,- padahal nilai korupsi yang
terjadi hanyalah sekitar seratus dua puluh juta rupiah dan dilakukan secara
bersama-sama, bukanlah perseorangan. Melihat fenomena yang terjadi di
sisi lain banyak perkara korupsi lainnya yang nilainya jauh lebih besar
yang dilakukan tidak dalam bentuk penggelapan namun masuk dalam
kategori pasal 3 dihukum dengan hukuman dibawah 3 tahun. Jadi dalam
perkara ini sepertinya pengadilan mengahadapi dilema yang disebabkan
oleh problem pasal 3 dan pasal 8 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
sebagaiaman telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001,
karena dilema tersebut akhirnya pengadilan memilih untuk menerapkan
dakwaan subsidair. Dalam penjatuhan pidana tersebut penulis berpendapat
bahwa saksi yang dijatuhkan sangatlah ringan, yaitu hanya 1 tahun penjara
dan denda lima puluh juta rupiah. Majelis Hakim seharusnya
memperhatikan bahwa tindak pidana korupsi selama ini terjadi secara
meluas, tidak hanya merugikan keuangan Negara tetapi juga telah
merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi secara luas,
sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang
pemberantasannnya harus dilakukan secara luar biasa. Dalam
pertimbangan tersebut seharusnya Putusan Pengadilan Tinggi Kepulauan
Bangka Belitung memperhatikan maksud dari Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 sehingga dapat menjadikan efek jera bagi pelakunya dan
sebagai pencegahan bagi orang lain.Demikianlah analisis dari sudut
pandang hukum positif.
Adapun bila ditinjau dari hukum Islam, menurut para fuqaha
tindakan penyalahgunaan wewenang untuk melakukan korupsi termasuk
dalam perbuatan ghulul. Ghulul berasal dari kata Ghala Yaghulu Ghallan
100
Ghululan yang mempunyai makna Khana (berkhianat)121
, mengambil
sesuatu secara sembunyi-bunyi.122
Ghulul juga dapat diartikan
penyalahgunaan jabatan. Jabatan adalah amanah, oleh sebab itu
penyalahgunaan terhadap wewenang hukumnya haram dan termasuk
perbuatan tercela. Perbuatan ghulul misalnya menerima hadiah, komisi,
atau apapun namanya yang semestinya tidak terima yang didasarkan
kepada hadist yang diriwayatkan oleh Abu Daud sebagai berikut:
عن النب صل اهلل عليو وسلم قا ل من است عملنا ه على عن ب ر يدةعن أبيو ناه رزقا فما أخذ ب عد ذلك ف هو غلول عمل ف رزق
Artinya: “Diriwayatkan dari Abdullah Ibn Buraidah dari ayahnya dari
Nabi SAW, beliau bersabda: “barangsiapa yang telah kami
angkat sebagai pegawai dalam suatu jabatan, kemudian kami
berikan gaji, maka sesuatu yang diterima diluar gaji itu adalah
korupsi” (H.R Abu Daud).123
Dari berbagai bentuk korupsi yang ada di Indonesia kalau kemudian
dikaitkan dengan hadist-hadist dan konsep hukum Islam mengenai ghulul,
maka dapat diklasifisikan menjadi dua macam. Pertama, apabila korupsi
dilakukan oleh pejabat yang diberi amanah mengelola, maka termasuk
pengkhianatan dan glulul. Kedua, apabila korupsi uang Negara dilakukan
oleh orang yang tidak diberi amanah mengelola dengan cara megambil
dari tempat simpanan maka dapat dikategorikan sebagai ghulul.124
Mengenai kasus yang dipaparkan di atas, menurut penulis kasus ini sangat
dekat dengan pengertian ghulul berdasarkan dalil dan teori yang ada
dengan alasan-alasan sebagai berikut; pertama, korupsi adalah
penyalahgunaan harta Negara, perusahaan, atau masyarakat. Ghulul juga
merupakan penyalahgunaan harta Negara karena memang pemasukan
harta Negara pada zaman Rasulullah SAW adalah ghanimah, adapun saat
121 Ma‟luf Louis, Kamus al-Munjid fi al-Lughah wa al-A-lam, (Beirut: Dar al- Mashriq,
1986), h., 556 122
Abu Abdillah Muhammad Fakhr al-Din al-Raziy, Tafsir Fakhr al-Raziy al-Mustahar bi
al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghayb, Vol IX, (Beirut: Dar al-fikr, t.t), h., 71. 123
Muhammad Ibn Ali Ibn Muhammad Al-Syaukani, Nail al-Author, Juz VIII, (Kairo: Daar
al-Hadist, t.t), h., 278 124
Saifudin, “Hadist-Hadist Tentang Korupsi: Studi Kontekstual Korupsi Di Indonesia”, Az
Zarqa, IX, 2, Desember 2017, h., 267.
101
ini permasalahan uang Negara berkembang tidak hanya pada ghanimah,
tetapi semua bentuk uang Negara. Dengan demikian segala bentuk yang
merugikan keuangan atau perekonomian Negara termasuk dalam
perbuatan ghulul. Kedua, korupsi yang dilakukan oleh pejabat terkait,
demikian juga ghulul merupakan pengkhianatan terhadap jabatan oleh
pejabat terkait.
Adapun sanksi atau hukuman ghulul, Di dalam hadist-hadist
Rasulullah Saw disebutkan bahwa sanksi terhadap perilaku ghulul adalah
membakar harta yang didapatkan dari ghulul dan memukul pelakunya.
Hadist yang menjelaskan bentuk sanksi bentuk sanksi tersebut adalah
hadist nomor 2598 dalam kitab Sunan Abu Daud yaitu “Dari Shalih bin
Muhammad bin Zubaidah dia berkata; Aku pernah memasuki negeri
Rumawi bersama Maslamah, lalu didatangkan kepadanya seorang laki-
laki yang melakukan ghulul. Muslamah menanyakan hal itu kepada Salim
bin Abdillah bin Umar, lalu dia berkata; Aku mendegarkan ayah
menuturkan hadist dari Umar bin Khattab RA, Nabi berkata: apabila
kamu mendapatkan orang yang melakukan ghulul, maka bakarlah
barangnya, dan pukullah dia “kata Shalih: maka kami mendapatkan
sebuah mushaf di dalam barang itu, lalu Maslamah bertanya tentang itu
kepada Salim, Jawab Salim „jualah barangnya dan sedekahkanlah
harganya. Pada hadist yang lain disebutkan bahwa sanksi ghulul adalah
dengan membakar hartanya, mengarak keliling pelakunya dan tidak
memberikan bagiannya. Diriwayatkan “Dari Shalih bin Muhammad dia
berkata; pernah kami berperang bersama wahid bin hisyam sedang kami
bersama Salim bin Abdillah bin Umar bin Abdil Aziz, kemudian ada
seorang laki-laki melakukan ghulul maka Walid memerintahkan agar
barangnya dibakar, setelah dibakar, orang itu diarak berkeliling, dan
bagiannya tidak diberikan”. Menurut Abu Daud, hadist ini yang paling
shahih diantara hadist yang lainnya.125
125
Hafizh Al Munzdiry, Sunan Abi Daud Jilid IV, (Semarang, Asy Syifa, 1993), h., 245-246
102
Sanksi atau hukuman bagi peyalahgunaan wewenag atau jabatan
bahkan bisa sampai hukuman mati. Al-Sayyid Abdurrahman bin
Muhammad bin Husain yang mengutip pendapat al-Mahib al-Thobary dari
kitabnya Al-Tafqih menyatakan bahwa vonis mati boleh dijatuhkan pada
seorang pejabat Negara yang menyalahgunakan tugas-tugasnya untuk
menindas rakyat dan hal itu disamakan dengan lima macam kefasikan
yaitu membunuh, zina, mencuri, memutus persaudaraan dan keluar dari
Islam karena kerugian yang diakibatkan dari kejahatan itu jauh lebih
besar.126
Ibnu Tamiyyah menganologikan kejahatan itu hanya bisa
dihentikan dengan vonis mati, maka pelaku harus divonis mati meskipun
itu masih bagian dari ta‟zir.127
Demikianlah analisis dari tinjauan Hukum
Pidana Islam.
Dalam kasus korupsi yang terjadi pada perkara yang ditangani oleh
Mahkamah Agung ini secara hukum Islam sepenuhnya diberikan kepada
kekuasaan hakim yang mengadili serta memutus perkara. Sehingga hakim
harus hati-hati dalam menimbang berdasarkan norma-norma yang
diterapkan di masyarakat dan norma-norma agama. Pemberantasan tindak
pidana korupsi korupsi dilakukan secara sistematis dan terstruktur dengan
cara melakukan perubahan. Dalam upaya menekan tindak pidana ini harus
didukung sepenuhnya oleh Presiden dan pejabat, seperti menteri, kepala
kepolisian, kepala kejaksaan, ketua Mahkamah Konstitusi dan ketua
pengadilan. Terlebih Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus
mengedepankan supremasi hukum dan independensi atas kekuasaan dan
kepentingan golongan.
126
Al-Sayyid Abdurahman bin Muhammad bin Husain, Bughyat al- Mustarsyidin, (Surabaya,
Al-Hidayah, t.t), h., 250. 127
Ibnu Tamiyyah, al-Siyasah al-Syar‟iyyah, h., 39.
103
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Penerapan hukum pidana oleh Majelis Hakim Mahkamah Agung dalam
putusan nomor 727 K/Pid.Sus/2010 Tentang tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu) adalah Pasal 3
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaiamana telah diubah dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi sudah tepat. Terdakwa Ahmad Syah Mirzan bin Salman
Al-Farizi juga telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana korupsi berdasarkan fakta-fakta yang terungkap
dipersidangan, alat bukti yang diajukan Penuntut Umum adalah fotocopy
surat dinas nomor 252/D/KPU-BB/2004 tanggal 15 Maret 2004 perihal
usulan biaya bantuan pelaksanaan Pemilu Tahun 2004, fotocopy surat
perintah membayar tertanggal 24 Maret dan kwitansi tertanggal 24 Maret,
satu bundel dokumen pembayaran uang tambahan kesejahteraan ketua dan
anggota KPU Provinsi, pembayaran uang lembur mulai bulan Januari
sampai bulan Desember 2004, serta fotocopy nota dinas tertanggal 2 Juni
2008 perihal tindak lanjut hasil RIK BPK-RI tahun anggaran 2004.
Putusan Mahkamah Agung nomor 727 K/Pid.Sus/2010 adalah hasil
permohonan banding atas putusan pengadilan nomor
385/Pid.B/2008/PN.PKP yang menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu)
tahun dan denda sebesar Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Dan
hasil dari permohonan kasasi dari putusan 45/PID/2009/PT BABEL yang
hanya menjatuhkan pidana penjara selama 1 (satu) tahun yang diajukan
oleh Jaksa Penuntut Umum yang dianggap tidak memberikan efek jera dan
tidak memenuhi rasa keadilan serta Majelis Hakim Tinggi Pengadilan
Tinggi Bangka Belitung kurang memperhatikan fakta-fakta yang
terungkap dalam persidangan dan tidak menerapkan hukum pembuktian
sebagaimana mestinya dalam pertimbangan hukumnya, yang menjadi
104
dasar untuk mengajukan putusan. Hakim agung memberikan pertimbangan
bahwa judex factie dalam perkara ini tidak bertentangan dengan Undang-
Undang, dengan demikian Hakim Agung menolak permohonan kasasi
tersebut.
2. Sanksi yang dijatuhkan kepada terdakwa Ahmad Syah Mirzan M.Si bin
Salman Al Farizi dalam perbuatannya melakukan tindak pidana korupsi
didasarkan pada Pasal 3 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 sebagaiaman
telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan pasal tersebut Hakim
Agung menganggap kualifikasinya telah terpenuhi sehingga menjatuhkan
sanksi pidana penjara satu tahun dan denda lima puluh juta rupiah.
Demikian ini menjadi sanksi yang dijatuhkan kepada terdakwa ditinjau
dari hukum positif. Ditinjau dari hukum pidana Islam, terdakwa Ahmad
Syah Mirzan M.Si digolongkan sebagai pelaku ghulul karena
menyalahgunakan jabatannya untuk mengambil keuntungan yang
seharusnya bukan miliknya. Sanki bagui pelaku ghulul adalah dibakar
harta ghululnya serta megarak pelakunya berkeliling serta vonis hukuman
mati dapat dilakukan karena menyalahgunakan jabatan dapat
menyengsarakan orang banyak meskipun vonis mati tersebut bagian dari
ta‟zir.
B. Saran
1. Kepada para penegak hukum dan pemerintah agar bisa memberikan
hukum yang setimpal bagi pelaku tindak pidana korupsi supaya dapat
memberikan efek jera dan memenuhi rasa keadilan serta kemanfaatan
karena korupsi dapat menyengsarakan banyak orang. Pemerintah bersama
aparat penegak hukum juga harus memperhatikan langkah-langkah
preventif untuk kedepannya sehinngga tidak ada lagi pelaku tindak pidana
korupsi dikemudian hari.
2. Kepada masyarakat luas, diperlukan peran serta masyarakat luas untuk
melaporkan setiap aksi tindak pidana tersebut dan serta lembaga-lembaga
105
pengawas yang konsisten melakukan pengawasan terhadap penguasa serta
orang-orang yang berpotensi besar melakukan tindak pidana korupsi.
106
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur‟an dan terjamah.
Abdurahman, Al-Sayyid bin Muhammad bin Husain, Bughyat al- Mustarsyidin,
Surabaya, Al-Hidayah, t.t.
Abidin, Zainal dan Fiddian Khairudin, “Penafsiran Ayat Ayat Amanah Dalam Al-
Qur‟an”, Jurnal Syahadah, Vol. 5, 2, (2017):121
Agung, Ivan Muhammad dan Desma Husni, “Pengukuran Konsep Amanah Dalam
Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif”, Jurnal Psikologi, Vol 43, 3,
(2016):195.
Ahmadi, Fahmi Muhammad dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,
Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakrta, 2010.
Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus di Luar KUHP, Jakarta: Penebar
Swadaya Grup, 2014.
Alfitra, Modus Operandi Pidana Khusus Diluar KUHP: Korupsi, Money
Laundering & Trafficking, Jakarta: Raih Asa Sukses, 2014, Cet. ke-1.
Aripin, Jaenal dkk, Metode Penelitian Hukum, Ciputat: Lembaga Penelitian UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Bahri, Syamsul, “Korupsi Dalam Kajian Hukum Islam”, Kanun Jurnal Ilmu
Hukum, Vol. 17, 67, 2015:608.
Chawazi, Adami, Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia,
Malang: Bayumedia, 2005, Cet. ke-2.
Chawazi, Adami, Pelajaran Pengantar Hukum Pidana 1, Jakarta: PT. Raja
Grafindo, 2002, cet. Ke-1.
Danil, Elwi, KORUPSI: Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya, Jakarta:
PT Raja Grafindo, 2011.
Endang, M. Ikbar Andi, “Diskresi dan Tanggung Jawab Pejabat Pemerintah
Menurut Undang-Undang Administrasi Pemerintahan, Jurnal Hukum
Peratun”, Vol 1, 2, (2018):231.
Entah, Aloysius R., “Indonesia: Negara Hukum Yang Berdasarkan Pancasila”,
Jurnal Seminar Nasional Hukum UNNES, Vol. 2, 1, (2016):536.
Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2015,
Cet. ke-2.
107
Hamzah, Andi, Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2017, Cet ke-1.
Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta: Sinar Grafika, 2007.
Hasan, Mustofa dan Beni Ahmad Saebani, Hukum Pidana Islam (Fiqh Jinayah),
Bandung: CV Pustaka Setia, 2013, Cet. ke-1.
http://www.transparency.org/news/feature/corruption_perceptions_index_2017.
https://kpud-banyuwangikab.go.id/sejarah-kpu.html.
Irfan, M . Nurul, Hukum Pidana Islam, Jakarta: AMZAH, 2016, Cet. ke-1.
………………, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, Jakarta: AMZAH, 2012,
Cet. ke-2.
………………, Tindak Pidana Korupsi di Indonesia Dalam Perspektif Fiqh
Jinayah, Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI, 2009,
Cet. ke-1.
Irfan, M. Nurul dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, Jakarta: AMZAH, 2016, Cet. ke-4.
Lamintang, P.A.F., Hukum Penitensier Indonesia, Bandung: CV. Armico, 1984,
Cet. ke-1.
Lamintang, PAF, Delik-delik Khusus, Bandung: Sinar Baru, 1984.
Latif, Abdul, Hukum Administrasi Dalam Praktik Tindak Pidana Korupsi,
Jakarta: Prenada Media Grup, 2014, Cet. ke-1.
Maramis, Frans, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Jakarta: PT.
Raja Grafindo, 2013, cet. Ke-2.
Mardani, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Prenada Media Group, 2019, Cet. ke-1.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Group,
2008.
Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: PT Remaja Roda Karya, 2004.
Munzdiry, Hafizh Al, Sunan Abi Daud Jilid IV, Semarang, Asy Syifa, (1993):245.
Nugraha, Satriya, “Konsep Penyalahgunaan Wewenang Dalam Undang Undang
Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”, Jurnal Socioscientia (Ilmu-Ilmu
Sosial), Vol.8 , 1, (2016):2.
Prodjodikoro, Wirjono, Asas-asas Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Eresco,
1986.
108
Putriyanti, Ayu, “Kajian Undang Undang Administrasi Pemerintahan Dalam
Kaitan Dengan Pengadilan Tata Usaha Negara, Jurnal Pandecta”, Vol. 2,
2, (2015):183.
Putusan Mahkamah Agung Nomor: 727 K/Pid.sus/2010
Qanun Aceh No. 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat.
Qanun Aceh No. 7 Tahun 2013 tentang Acara Jinayat.
Rini, Nicken Sarwo, “Penyalahgunaan Kewenangan Administrasi Dalam Undang
Undang Tindak Pidana Korupsi”, Jurnal Penelitian Hukum De Jure, Vol.
18, 2, (2018):264.
S., Ujang Charda, “Potensi Penyalahgunaan Kewenangan Oleh Pejabat
Administrasi Negara Dalam Pengambilan dan Pelaksanaan Kebijakan
Publik, Jurnal Wawasan Hukum”, Vol. 27, 2, (2012):595.
Saifudin, “Hadist-Hadist Tentang Korupsi: Studi Kontekstual Korupsi Di
Indonesia”, Az Zarqa, IX, 2, (2017):267.
Saleh, Roeslan, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawaban Pidana, Bandung:
PT Aksara Baru, 1987, Cet. ke-2.
Sianturi, S.R, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1996, cet. Ke-4.
Soekamto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif (suatu
tinjauan singkat), Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003.
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 2007.
Syaukani, al-, Nail al-Autar, Beirut: Dar al-Fikr, t.th, jilid 9
Tamiyyah, Ibnu, al-Siyasah al-Syar‟iyyah.
Tongat, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia Dalam Perspektif Pembaharuan,
Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2012, Cet. ke-3.
Undang Undang Dasar 1945.
Undang Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD, dan DPRD.
Usman, Husni dan Purnomo Setiadi Akbar, Metodologi Penelitian Sosial,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1998.
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
P U T U S A N
No. 727 K/Pid .Sus/2010
DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA
M A H K A M A H A G U N G
memer iksa perkara pidana khusus dalam t i ngka t kasas i te l ah
memutuskan sebaga i ber i ku t da lam perkara Terdakwa :
Nama Lengkap : AHMAD SYAH MIRZAN, M.Si . Bin
SALMAN AL FARIZI ;
t empat Lah i r : Pangka lp inang ;
umur / t angga l lah i r : 37 Tahun / 16 Oktober 1971;
j en is Kelamin : Lak i - lak i ;
kebangsaan : Indones ia ;
t empat t i ngga l : Ja lan Kampung Melayu No. 164
Pangka lp i nang ;
agama : Is l am;
peker j aan : Mantan Ketua KPU Prov ins i
Kepulauan
Bangka Bel i t ung ;
Terdakwa berada di lua r tahanan ;
yang dia jukan di muka pers idangan Pengadi l an Neger i Bangka
Bel i t ung karena d idakwa :
PRIMAIR:
Bahwa ia Terdakwa Ahmad Syah Mirzan , M.Si Bin Salman
Al Far i z i se laku Ketua Komis i Pemi l i han Umum (KPU) Prop ins i
Kepulauan Bangka Bel i t ung per iode tahun 2003 sampai dengan
2007, bersama- sama dengan saks i Drs . Suhai l i Yusuf Bin
Yusuf Raden Mas se laku Sekre ta r i s Komis i Pemi l i han Umum
(KPU) Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung per iode tahun
2003, merangkap sebaga i Kuasa Pengguna Anggaran (yang
dia jukan da lam berkas la i n ) , pada har i dan tangga l da lam
bulan Januar i sampai dengan Desember 2004 atau set i dak -
t i daknya pada waktu - waktu dalam tahun 2004, ber tempat di
Kanto r Komis i Pemi l i han Umum (KPU) Prov ins i Kepulauan
Bangka Bel i t ung Ja lan Mentok Nomor 313 A Pangka lp i nang ,
atau set i dak - t i daknya pada suatu tempat yang masih te rmasuk
Hal . 1 dar i 16 hal . Put . No. 727 K/Pid .Sus /2010
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
dalam daerah hukum Pengad i l an Neger i Pangka lp inang , te l ah
melakukan , menyuruh melakukan atau tu ru t ser ta melakukan
beberapa perbua tan meskipun masing- masing merupakan
ke jaha tan atau pelanggaran , ada hubungannya sedemik ian rupa
seh ingga harus dipandang sebaga i satu perbua tan ber l an j u t ,
dengan tu juan menguntungkan d i r i send i r i atau orang la i n
atau suatu korporas i , menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jaba tan atau
kedudukan yang dapat merug ikan keuangan Negara atau
Perekonomian Negara , yang di l akukan dengan cara - cara
sebaga i ber i ku t :
Bahwa pada awalnya Komis i Pemi l i han Umum (KPU)
Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung per i ode tahun 2003
sampai dengan tahun 2008, te lah diben tuk dengan susunan
kepengurusan :
Ketua : Ahmad Syah Mirzan , MSi Bin Salman
Al Far i z i
Sekre ta r i s : Drs . Suhae l i Yusuf Bin Yusuf Raden
Mas
Anggota : - Arka ’a Ahmad Agin , S.Sos Bin Ahmad
- Zul Ter ry Apsup i , SS
- Enny Roqain i R, SmHk. Bin t i Abdur rahman
- Syawalud in , S.Pd Bin Abdul Somad
dan untuk b iaya penye lenggaraan Pemi lu tahun 2004, Komis i
Pemi l i han Umum (KPU) Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung
te l ah mener ima dana operas iona l penye lenggaraan Pemi lu
tahun 2004 yang berasa l dar i keb i j aksanaan Pusat (APBN),
yang di da lamnya te rmasuk untuk kese jah te raan anggota KPU
Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung dan pegawai sta f KPU
Prop ins i Kepualauan Bangka Bel i t ung , namun demik ian
Terdakwa se laku Ketua KPU Prop ins i Kepulauan Bangka
Bel i t ung bersama saks i Drs . Suhae l i Yusuf Bin Yusuf Raden
Mas se laku Sekre ta r i s KPU Prop ins i Kepulauan Bangka
Bel i t ung masih te tap mengajukan permohonan dana bantuan
kepada Gubernur Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung dengan
sura tnya Nomor : 252/B /KPU- BB/2004 tangga l 15 Maret 2004
Hal . 2 dar i 16 hal . Put . No. 727 K/Pid .Sus /2010
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
untuk tambahan kese jah te raan anggota KPU Prop ins i Kepulauan
Bangka Bel i t ung dan dana tambahan uang lembur bagi se lu ruh
pegawai s ta f KPU Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung , dengan
jumlah penga juan yang disa tukan dengan kebutuhan la i n
secara globa l sebesar Rp.3 .750 .000 .000 , - dan atas penga juan
dana bantuan te rsebu t , t i dak lama kemudian dana bantuan
Gubernur Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung ca i r sebesar
Rp.500.000 .000 , - kemudian secara ber tahap Terdakwa bersama
saks i Drs . Suhael i Yusuf Bin Yusuf Raden Mas menggunakan
dana bantuan Gubernur Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung
te rsebu t untuk membayar tambahan uang kese jah te raan anggota
KPU Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung dan tambahan uang
lembur bag i se lu ruh Pegawai KPU Prop ins i Kepulauan Bangka
Bel i t ung untuk tambahan se lama satu tahun beker j a , dengan
cara Terdakwa mengeluarkan nota dinas yang di tu j u kan kepada
saks i Drs . Suhael i Yusuf Bin Yusuf Raden Mas yang juga
sebaga i Kuasa Pengguna Anggaran , dan sete lah saks i Drs .
Suhael i Yusuf Bin Yusuf Raden Mas mener ima nota dinas dar i
Terdakwa maka langsung menyetu ju i pembayaran te rsebu t
dengan memer in tahkan kepada bendahara untuk membayarkan
dengan per inc i an sebaga i ber i ku t :
- Nota Dinas Nomor : 24.A/D /KPU- BB/2004 te r t angga l 18 Jun i
2004 untuk membayar secara rape l mula i bu lan Januar i
2004 sampai dengan Mei 2004 yang besarnya Rp.1 .275 .000 , -
sete lah diku rang i pa jak perbu lan untuk set i ap anggota
KPU, seh ingga masing- masing untuk l ima bulan mener ima
Rp.6 .375 .000 , - maka semua jumlahnya Rp.6 .375 .000 , - x 5
= Rp.31 .875 .000 , - ;
- Nota Dinas Nomor : 71/D/KPU- BB/2004 te r t angga l 18
Oktober 2004 untuk membayar secara rape l mula i bu lan
Jun i 2004 sampai dengan Oktober 2004 yang besarnya
Rp.1 .700 .000 , - sete lah diku rang i pa jak perbu lan untuk
set i ap anggota KPU, seh ingga masing- masing untuk l ima
bulan mener ima Rp.8 .500 .000 , - maka semua jumlahnya
Rp.8 .500 .000 , - x 5 = Rp.42 .500 .000 , - ;
Hal . 3 dar i 16 hal . Put . No. 727 K/Pid .Sus /2010
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
- Nota Dinas Nomor : 757/D/KPU- BB/2004 te r t angga l 13
Nopember 2004 untuk membayar bu lan Nopember 2004 yang
besarnya Rp.1 .700 .000 , - sete lah diku rang i pa jak untuk
masing- masing anggota KPU, seh ingga jumlah semuanya
Rp.1 .700 .000 , - x 5 = Rp.8 .500 .000 , - ;
- Nota Dinas Nomor : 06/D/KPU- BB/2004 te r t angga l 22
Desember 2004 untuk membayar bu lan Desember 2004 yang
besarnya Rp.1 .700 .000 , - sete lah diku rang i pa jak untuk
masing- masing anggota KPU, seh ingga jumlah semuanya
Rp.1 .700 .000 , - x 5 = Rp.8 .500 .000 , - ;
- Sehingga jumlah uang tambahan kese jah te raan anggota KPU
Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung yang te l ah dibayarkan
ada lah : Rp.31.875 .000 , -
Rp.42 .500 .000 , -
Rp.
8.500 .000 , -
Rp.
8.500 .000 , -
Jumlah se lu ruhnya sebanyak :
Rp.91 .375 .000 , -
Sedang untuk pembayaran tambahan uang lembur bag i Pegawai
Sekre ta r i a t KPU Bangka Bel i t ung Terdakwa mengeluarkan nota
dinas juga yang di tu j u kan kepada saks i Drs . Suhael i Yusuf
Bin Yusuf Raden Mas yang kemudian d i t e ruskan pembayarannya
kepada bendahara dengan per inc i an sebaga i ber i ku t :
a. Nota Dinas Nomor : 433/D/KPU- BB/2004 te r t angga l 04 Jun i
2004 untuk membayar secara rape l mula i bu lan Februar i
2004 sampai dengan Apr i l 2004 yang besarnya :
- Bulan Februar i 2004 untuk 23 pegawai se jumlah
Rp.4 .179 .000 , -
- Bulan Maret 2004 untuk 24 pegawai se jumlah
Rp.4 .375 .500 , -
- Bulan Apr i l 2004 untuk 26 pegawai se jumlah
Rp.3 .930 .000 , -
Hal . 4 dar i 16 hal . Put . No. 727 K/Pid .Sus /2010
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
- Akhi r Apr i l 2004 untuk 23 pegawai se jumlah
Rp.3 .930 .000 , -
b. Nota Dinas Nomor : 724/D/KPU- BB/2004 te r t angga l 10
Oktober 2004 untuk membayar secara rape l mula i bu lan Mei
2004 sampai dengan Oktober 2004 yang besarnya :
- Bulan Mei 2004 untuk 26 pegawai se jumlah
Rp.2 .358 .000 , -
- Akhi r Mei 2004 untuk 16 pegawai se jumlah
Rp.1 .215 .625 , -
- Bulan Mei 2004 untuk 26 pegawai se jumlah
Rp.2 .358 .000 , -
- Akhi r Mei 2004 untuk 7 pegawai se jumlah Rp.
534.375 , -
- Bulan Mei 2004 untuk 26 pegawai se jumlah
Rp.2 .751 .000 , -
- Akhi r Jun i 2004 untuk 7 pegawai se jumlah Rp.
535.000 , -
- Bulan Ju l i 2004 untuk 6 pegawai se jumlah Rp.
460.000 , -
- Akhi r Ju l i 2004 untuk 6 pegawai se jumlah Rp.
460.000 , -
- Bulan Agustus 2004 untuk 15 pegawai se jumlah
Rp.1 .596 .000 , -
- Bulan Agustus 2004 untuk 5 pegawai se jumlah Rp.
307.500 , -
- Akhi r Agustus 2004 untuk 6 pegawai se jumlah Rp.
460.000 , -
- Bulan September 2004 untuk 8 pegawai se jumlah Rp.
853.125 , -
- Bulan Oktober 2004 untuk 5 pegawai se jumlah Rp.
385.000 , -
c. Nota Dinas Nomor : 766/D/KPU- BB/2004 te r t angga l 29
Desember 2004 untuk membayar secara rape l mula i bu lan
Nopember 2004 sampai dengan Desember 2004 yang
besarnya :
Hal . 5 dar i 16 hal . Put . No. 727 K/Pid .Sus /2010
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
- Bulan Nopember 2004 untuk 8 pegawai se jumlah Rp.
610.000 , -
- Bulan Desember 2004 untuk 8 pegawai se jumlah Rp.
854.000 , -
Sehingga jumlah tambahan uang lembur yang d ibayarkan
kepada se lu ruh pegawai Sta f KPU Prop ins i Kepulauan
Bangka Bel i t ung se lu ruhnya Rp.29 .316 .125 , - (dua puluh
sembi lan ju t a t i ga ra tus enam be las r i bu sera tus dua
puluh l ima rup iah ) .
Jumlah dana tambahan kese jah te raan anggota KPU Prop ins i
Kepulauan Bangka Bel i t ung dan dana tambahan uang lembur
yang te lah dibayarkan kepada pegawai Sta f KPU Prop ins i
Kepulauan Bangka Bel i t ung yang berasa l dar i APBD Prop ins i
Kepulauan Bangka Bel i t ung Tahun 2004 se lu ruhnya adalah :
- Untuk membayar tambahan in tens i f kese jah te raan KPU Rp.
91.375 .000 , -
- Untuk membayar uang lembur pegawai Sta f KPU Rp.
29.316 .125 , - +
Jumlahnya
Rp.120.691 .125 , -
Akiba t perbua tan Terdakwa bersama saks i Drs . Suhael i Yusuf
Bin Yusuf Raden Mas maka Negara / Pemer in tah te lah
mengalami kerug ian sebesar Rp.120.691 .125 , - ;
Perbuatan Terdakwa dia tu r dan diancam pidana da lam
Pasal 3 jo Pasal 18 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberan tasan Tindak Pidana Korups i sebaga imana
te l ah diubah dan di tambah dengan Undang- Undang Nomor 20
Tahun 2001 jo Pasa l 55 ayat (1 ) ke- 1 jo Pasa l 64 ayat (1 )
KUHP;
SUBSIDAIR :
Bahwa ia Terdakwa Ahmad Syah Mirzan , M.Si Bin Salman
Al Far i z i se laku Ketua Komis i Pemi l i han Umum (KPU) Prop ins i
Kepulauan Bangka Bel i t ung per iode tahun 2003 sampai dengan
tahun 2007, bersama- sama dengan Drs . Suhae l i Yusuf Bin
Yusuf Raden Mas se laku Sekre ta r i s Komis i Pemi l i han Umum
(KPU) Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung per iode tahun
Hal . 6 dar i 16 hal . Put . No. 727 K/Pid .Sus /2010
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
2003, merangkap sebaga i Kuasa Pengguna Anggaran (yang
dia jukan da lam berkas la i n ) , pada har i dan tangga l da lam
bulan Januar i 2004 sampai dengan Desember 2004 atau
set i dak - t i daknya pada waktu - waktu dalam tahun 2004,
ber tempat di Kantor Komis i Pemi l i han Umum (KPU) Pro pins i
Kepulauan Bangka Bel i t ung Ja lan Mentok Nomor 313 A
Pangka lp i nang , atau set i dak - t i daknya pada suatu tempat yang
masih te rmasuk dalam daerah hukum Pengad i l an Neger i
Pangka lp i nang , te l ah melakukan , menyuruh melakukan atau
tu ru t ser ta melakukan beberapa perbua tan meskipun masing-
masing merupakan ke jaha tan atau pelanggaran , ada
hubungannya sedemik ian rupa seh ingga harus dipandang
sebaga i satu perbua tan ber lan j u t , sebaga i Pegawai Neger i
atau orang se la i n Pegawai Neger i yang di tugaskan
menja lankan suatu jaba tan umum secara te rus - menerus atau
sementara waktu dengan senga ja menggelapkan uang atau sura t
berharga yang dis impan karena jaba tannya , atau membiarkan
uang atau sura t berharga te rsebu t d iambi l atau dige lapkan
oleh orang la i n atau membantu dalam melakukan perbua tan
te rsebu t , yang di l akukan dengan cara - cara sebaga i ber i ku t :
Bahwa mulanya Terdakwa se laku Ketua Komis i Pemi l i han
Umum (KPU) Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung bersama saks i
Drs . Suhael i Yusuf Bin Yusuf Raden Mas se laku Sekre ta r i s
Komis i Pemi l i han Umum (KPU) Prop ins i Kepulauan Bangka
Bel i t ung yang juga sebaga i Pengelo la keuangan, mengajukan
permohonan dana bantuan kepada Gubernur Prop ins i Kepulauan
Bangka Bel i t ung dengan sura tnya Nomor : 252/B /KPU- BB/2004
tangga l 15 Maret 2004 dengan jumlah penga juan secara globa l
sebesar Rp.3 .750 .000 .000 , - padaha l Komis i Pemi l i han Umum
(KPU) Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung te lah mener ima
dana operas iona l penye lenggaraan Pemi lu Tahun 2004 yang
berasa l dar i keb i j a ksanaan pusat (APBN), yang d ida lamnya
te rmasuk pembayaran uang kese jah te raan anggota KPU Prop ins i
Kepulauan Bangka Bel i t ung dan uang lembur pegawai Sta f KPU
Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung , dan atas penga juan dana
bantuan te rsebu t , t i dak lama kemudian dana bantuan Gubernur
Hal . 7 dar i 16 hal . Put . No. 727 K/Pid .Sus /2010
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung ca i r sebesar
Rp.500.000 .000 , - se lan ju t nya pos is i uang te rsebu t berada
pada kekuasaan Terdakwa dan saks i Drs . Suhael i Yusuf Bin
Yusuf Raden Mas sebaga i Penge lo la keuangan, kemudian
Terdakwa memer in tahkan saks i Drs . Suhael i Yusuf Bin Yusuf
Raden Mas untuk menggunakan uang bantuan te rsebu t guna
membayar tambahan uang kese jah te raan anggota KPU sebanyak 5
orang dan tambahan uang lembur bag i se lu ruh pegawai KPU
Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung dengan cara Terdakwa
mengeluarkan nota dinas kepada saks i Drs . Suhael i Yusuf Bin
Yusuf Raden Mas, sete lah saks i Drs . Suhae l i Yusuf Bin
Yusuf Raden Mas mener ima nota dinas , maka langsung
memer in tahkan bendahara untuk membayarkan sesua i dengan
nota d inas Terdakwa dengan per inc i an sebaga i ber i ku t :
- Nota Dinas nomor : 24.A /D /KPU- BB/2004 te r t angga l 18 Jun i
2004 untuk membayar secara rape l mula i bu lan Januar i
2004 sampai dengan Mei 2004 yang besarnya Rp.1 .275 .000 , -
sete lah diku rang i pa jak perbu lan untuk set i ap anggota
KPU, seh ingga masing- masing untuk l ima bulan mener ima
Rp.6 .375 .000 , - maka semua jumlahnya Rp.6 .375 .000 , - x 5
= Rp.31 .875 .000 , - ;
- Nota Dinas Nomor : 71/D/KPU- BB/2004 te r t angga l 18
Oktober 2004 untuk membayar secara rape l mula i bu lan
Jun i 2004 sampai dengan Oktober 2004 yang besarnya
Rp.1 .700 .000 , - sete lah diku rang i pa jak perbu lan untuk
set i ap anggota KPU, seh ingga masing- masing untuk l ima
bulan mener ima Rp.8 .500 .000 , - maka semua jumlahnya
Rp.8 .500 .000 , - x 5 = Rp.42 .500 .000 , - ;
- Nota Dinas Nomor : 757/D/KPU- BB/2004 te r t angga l 13
Nopember 2004 untuk membayar bu lan Nopember 2004 yang
besarnya Rp.1 .700 .000 , - sete lah diku rang i pa jak untuk
masing- masing anggota KPU, seh ingga jumlah semuanya
Rp.1 .700 .000 , - X 5 = Rp.8 .500 .000 , - ;
- Nota Dinas Nomor : 06/D/KPU- BB/2004 te r t angga l 22
Desember 2004 untuk membayar bu lan Desember 2004 yang
besarnya Rp.1 .700 .000 , - sete lah diku rang i pa jak untuk
Hal . 8 dar i 16 hal . Put . No. 727 K/Pid .Sus /2010
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
masing- masing anggota KPU, seh ingga jumlah semuanya
Rp.1 .700 .000 , - x 5 = Rp.8 .500 .000 , - ;
- Sehingga jumlah uang tambahan kese jah te raan anggota KPU
Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung yang te l ah dibayarkan
ada lah Rp.31 .875 .000 , -
Rp.42 .500 .000 , -
Rp.
8.500 .000 , -
Rp.
8.500 .000 , -
_____________ +
Jumlah se lu ruhnya sebanyak :
Rp.91 .375 .000 , -
Sedang untuk pembayaran tambahan uang lembur bag i Pegawai
Sekre ta r i a t KPU Bangka Bel i t ung dibayarkan secara ber tahap
juga dengan per inc i an sebaga i ber i ku t :
a. Nota Dinas Nomor : 433/D/KPU- BB/2004 te r t angga l 04 Jun i
2004 untuk membayar secara rape l mula i bu lan Februar i
2004 sampai dengan Apr i l 2004 yang besarnya :
- Bulan Februar i 2004 untuk 23 pegawai se jumlah
Rp.4 .179 .000 , -
- Bulan Maret 2004 untuk 24 pegawai se jumlah
Rp.4 .375 .500 , -
- Bulan Apr i l 2004 untuk 26 pegawai se jumlah
Rp.3 .930 .000 , -
- Akhi r Apr i l 2004 untuk 23 pegawai se jumlah
Rp.3 .930 .000 , -
b. Nota Dinas Nomor : 724/D/KPU- BB/2004 te r t angga l 10
Oktober 2004 untuk membayar secara rape l mula i bu lan Mei
2004 sampai dengan Oktober 2004 yang besarnya :
- Bulan Mei 2004 untuk 26 pegawai se jumlah
Rp.2 .358 .000 , -
- Akhi r Mei 2004 untuk 16 pegawai se jumlah
Rp.1 .215 .625 , -
Hal . 9 dar i 16 hal . Put . No. 727 K/Pid .Sus /2010
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
- Bulan Mei 2004 untuk 26 pegawai se jumlah
Rp.2 .358 .000 , -
- Akhi r Mei 2004 untuk 7 pegawai se jumlah Rp.
534.375 , -
- Bulan Mei 2004 untuk 26 pegawai se jumlah
Rp.2 .751 .000 , -
- Akhi r Jun i 2004 untuk 7 pegawai se jumlah Rp.
535.000 , -
- Bulan Ju l i 2004 untuk 6 pegawai se jumlah Rp.
460.000 , -
- Akhi r Ju l i 2004 untuk 6 pegawai se jumlah Rp.
460.000 , -
- Bulan Agustus 2004 untuk 15 pegawai se jumlah
Rp.1 .596 .000 , -
- Bulan Agustus 2004 untuk 5 pegawai se jumlah Rp.
307.500 , -
- Akhi r Agustus 2004 untuk 6 pegawai se jumlah Rp.
460.000 , -
- Bulan September 2004 untuk 8 pegawai se jumlah Rp.
853.125 , -
- Bulan Oktober 2004 untuk 5 pegawai se jumlah Rp.
385.000 , -
c. Nota Dinas Nomor : 766/D/KPU- BB/2004 te r t angga l 29
Desember 2004 untuk membayar secara rape l mula i bu lan
Nopember 2004 sampai dengan Desember 2004 yang
besarnya :
- Bulan Nopember 2004 untuk 8 pegawai se jumlah Rp.
610.000 , -
- Bulan Desember 2004 untuk 8 pegawai se jumlah Rp.
854.000 , -
Sehingga jumlah tambahan uang lembur yang d ibayarkan kepada
se lu ruh pegawai Sta f KPU Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung
se lu ruhnya Rp.29 .316 .125 , - (dua puluh sembi l an ju t a t i ga
ra tus enam belas r i bu sera tus dua puluh l ima rup iah ) .
Jad i jumlah dana tambahan kese jah te raan anggota KPU
Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung dan dana tambahan uang
Hal . 10 dar i 16 hal . Put . No. 727 K/Pid .Sus /2010
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 10
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
lembur yang te l ah dibayarkan kepada pegawai Sta f KPU
Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung yang berasa l dar i APBD
Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung Tahun 2004 se lu ruhnya
ada lah :
- Untuk membayar tambahan in tens i f kese jah te raan KPU Rp.
91.375 .000 , -
- Untuk membayar uang lembur pegawai Sta f KPU Rp.
29.316 .125 , -
____________+
Jumlahnya
Rp.120.691 .125 , -
Akiba t perbua tan Terdakwa bersama saks i Drs . Suhael i Yusuf
Bin Yusuf Raden Mas maka Negara / Pemer in tah mengalami
kerug ian sebesar Rp.120.691 .125 , - ;
Perbuatan Terdakwa dia tu r dan diancam pidana da lam
Pasal 8 jo Pasal 18 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberan tasan Tindak Pidana Korups i sebaga imana
te l ah diubah dan di tambah dengan Undang- Undang Nomor 20
Tahun 2001 jo Pasa l 55 ayat (1 ) ke- 1 jo Pasa l 64 ayat (1 )
KUHP;
Mahkamah Agung te rsebu t ;
Membaca tun tu tan pidana Jaksa Penuntu t Umum pada
Kejaksaan Neger i Pangka lp inang tangga l 27 Apr i l 2009
sebaga i ber i ku t :
1. Menyatakan Terdakwa Ahmad Syah Mirzan , M.Si Bin Salman
Al Far i z i bersa lah melakukan t i ndak pidana korups i
melanggar Pasa l 3 jo Pasa l 18 Undang- Undang Nomor 31
Tahun 1999 yang te l ah d iubah dengan Undang- Undang Nomor
20 Tahun 2001 jo Pasa l 55 ayat (1 ) ke- 1 KUHP jo Pasa l 64
ayat (1 ) KUHP dalam Dakwaan Pr ima i r ;
2. Menja tuhkan pidana te rhadap Terdakwa Ahmad Syah Mirzan ,
M.Si Bin Salman Al Far i z i dengan pidana pen ja ra se lama
1 (sa tu ) tahun dan denda sebesar Rp.50 .000 .000 , - ( l ima
puluh ju t a rup iah ) Subs ida i r 1 (sa tu ) bu lan kurungan ;
3. Menetapkan barang bukt i berupa :
Hal . 11 dar i 16 hal . Put . No. 727 K/Pid .Sus /2010
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 11
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
a. Foto copy Sura t Nomor : 252/D/KPU- BB/2004 tangga l 15
Maret 2004, per iha l usu lan biaya bantuan pe laksanaan
Pemi lu 2004;
b. Foto copy Sura t Per in t ah Membayar te r t angga l 24 Maret
2004, Sura t permin taan pembayaran beban te tap tangga l
24 Maret 2004, ku i t ans i te r t angga l 24 Maret 2004;
c. 1 (sa tu ) bunde l dokumen pembayaran uang tambahan
kese jah te raan Ketua dan anggota KPU, pembayaran uang
lembur mula i bu lan Januar i 2004 sampai dengan Desember
2004;
d. Foto copy Nota Dinas tangga l 02 Jun i 2008 per iha l
t i ndak lan ju t Hasi l RIK BPK-RI tahun Anggaran 2004.
Dida lam berkas perkara Drs . Suhel i Yusuf ;
4. Memer in tahkan supaya Terdakwa untuk membayar biaya
perkara sebesar Rp.5 .000 , - ( l ima r ibu rup iah ) ;
Membaca putusan Pengad i l an Neger i Pangka lp i nang No.
385/P id .B / 2008/PN.PKP. tangga l 15 Jun i 2009 yang amar
lengkapnya sebaga i ber i ku t :
1. Menyatakan Terdakwa AHMAD SYAH MIRZAN, M.Si Bin SALMAN
AL FARIZI te lah te rbuk t i secara sah dan meyak inkan
bersa lah melakukan t i ndak pidana “Korups i yang di l akukan
secara bersama- sama dan ber l an j u t ” ;
2. Menja tuhkan pidana kepada Terdakwa AHMAD SYAH MIRZAN,
M.Si Bin SALMAN AL FARIZI o leh karena i t u dengan pidana
pen ja ra se lama 1 (sa tu ) tahun dan denda sebesar
Rp.50 .000 .000 , - ( l ima pu luh ju ta rup iah ) dengan
keten tuan apab i l a denda te rsebu t t i dak dibayar digan t i
dengan pidana kurungan se lama 3 ( t i ga ) bu lan ;
3. Menetapkan barang bukt i berupa :
1. Foto copy Sura t Nomor : 252/D/KPU- BB/2004 tangga l 15
Maret 2004, per iha l usu lan biaya bantuan pe laksanaan
Pemi lu tahun 2004;
2. Foto copy Sura t Per in t ah Membayar te r t angga l 24 Maret
2004, Sura t per in t ah pembayaran te tap tangga l 24 Maret
2004, kwi tans i te r t angga l 24 Maret 2004;
Hal . 12 dar i 16 hal . Put . No. 727 K/Pid .Sus /2010
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 12
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
3. 1 (sa tu ) bunde l dokumen pembayaran uang tambahan
kese jah te raan Ketua dan anggota KPU Prop ins i ,
pembayaran uang lembur mula i bu lan Januar i 2004 sampai
dengan Desember 2004;
4. Foto copy Nota Dinas te r t angga l 02 Jun i 2008 per iha l
t i ndak lan ju t Hasi l RIK BPK-RI tahun Anggaran 2004.
Semua d ikembal i kan kepada Jaksa / Penuntu t Umum untuk
di j ad i kan barang bukt i perkara la i n (Drs . Suhai l i Yusuf
Bin Yusuf Raden Mas) ;
4. Membebani Terdakwa untuk membayar b iaya perkara sebesar
Rp.5 .000 , - ( l ima r i bu rup iah ) ;
Membaca putusan Pengad i l an Tingg i Bangka Bel i t ung di
Pangka lp i nang No. 45/P ID /2009 /PT .BABEL tangga l 04 Januar i
2010 yang amar lengkapnya sebaga i ber i ku t :
- Mener ima permin taan band ing dar i Terdakwa dan Jaksa
Penuntu t Umum te rsebu t ;
- Memperba ik i putusan Pengad i l an Neger i Pangka lp inang
tangga l 15 Jun i 2009 Nomor : 385/P ID .B /2008 /PN.PKP
sekedar mengenai p idana yang di j a t uhkan kepada Terdakwa,
seh ingga amarnya berbuny i sebaga i ber i ku t :
- Menghukum Terdakwa oleh karena i t u dengan p idana
pen ja ra se lama 1 (sa tu ) tahun ;
- Memer in tahkan bahwa pidana yang di j a t uhkan t i dak usah
di j a l an i kecua l i j i ka d ikemudian har i ada putusan
Hakim yang menentukan la i n disebabkan Terp idana
melakukan suatu t i ndak pidana sebe lum masa percobaan
se lama 2 (dua) tahun berakh i r ;
- Menguatkan putusan Pengad i l an Neger i Pangka lp i nang
te rsebu t untuk se leb ihnya ;
- Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa dalam kedua
t i ngka t perad i l an , sedangkan di t i ngka t band ing
di te t apkan sebesar Rp.5 .000 , - ( l ima r i bu rup iah ) .
Menginga t akan akta ten tang permohonan kasas i No.
02/Ak ta .P i d / 2010 / PN.PKP yang dibua t o leh Pani te ra pada
Pengad i l an Neger i Pangka lp inang
yang menerangkan , bahwa pada tangga l 12 Februar i 2010 Jaksa
Hal . 13 dar i 16 hal . Put . No. 727 K/Pid .Sus /2010
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 13
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Penuntu t Umum pada Kejaksaan Neger i Pangka lp i nang
mengajukan permohonan kasas i te rhadap putusan Pengadi l an
Tingg i te rsebu t ;
Memperhat i kan memor i kasas i tangga l 14 Februar i 2010
dar i Jaksa Penuntu t Umum sebaga i Pemohon Kasas i yang
di te r ima di Kepani t e raan Pengad i l an Neger i Pangka lp i nang
pada tangga l 22 Februar i 2010 ;
Membaca sura t - sura t yang bersangku tan ;
Menimbang, bahwa putusan Pengadi l an Tingg i te rsebu t
te l ah d ibe r i t a hukan kepada Jaksa /Penuntu t Umum pada
tangga l 04 Februar i 2010 dan Jaksa Penuntu t Umum mengajukan
permohonan kasas i pada tangga l 12 Februar i 2010 ser ta
memor i kasas inya te lah di te r ima di Kepani te r aan Pengadi l an
Neger i Pangka lp i nang pada tangga l 22 Februar i 2010 dengan
demik ian permohonan kasas i beser ta dengan alasan- alasannya
te l ah dia j ukan dalam tenggang waktu dan dengan cara menuru t
undang- undang, oleh karena i t u permohonan kasas i te r sebu t
fo rma l dapat d i t e r ima ;
Menimbang, bahwa a lasan- alasan yang dia j ukan oleh
Pemohon Kasas i pada pokoknya sebaga i ber i ku t :
Bahwa Pengadi l an Tingg i Kepulauan Bangka Bel i t ung yang
te l ah menja tuhkan putusan da lam memer iksa dan mengadi l i
perka ra te rsebu t , te l ah melakukan keke l i r u an dengan
alasan :
- Maje l i s Hakim t i dak menerapkan hukum pembukt i an secara
benar seh ingga Maje l i s Hakim t i dak mempert imbangkan
fak ta - fak ta pers i dangan yang dipe ro l eh dar i kete rangan
saks i - saks i , pengakuan Terdakwa send i r i dan adanya
barang bukt i yang seharusnya d ipe rgunakan sebaga i a la t
pembukt i an , dengan demik ian Maje l i s Hakim Pengadi l an
Tingg i Kepulauan Bangka Bel i t ung te l ah sa lah
melakukan :
- Tidak menerapkan atau menerapkan pera tu ran hukum t i dak
sebaga imana mest inya da lam hal :
1. Maje l i s Hakim Pengad i l an Tingg i Bangka Bel i t ung t i dak
menerapkan hukum pembukt i an sebaga imana mest inya dalam
Hal . 14 dar i 16 hal . Put . No. 727 K/Pid .Sus /2010
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 14
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
per t imbangan hukumnya, yang menjad i dasar untuk
menja tuhkan putusan , mela inkan hanya mengambi l a l i h
secara langsung dar i per t imbangan hukum yang te lah
dibe r i k an oleh Maje l i s Hakim Pengad i l an Neger i
Pangka lp i nang . Hal in i ber to l ak be lakang dengan buny i
da lam per t imbangan putusannya yang menyatakan te l ah
mengadi l i dan memer iksa send i r i leb ih lan ju t da lam
per t imbangan hukum yang menyangkut amar putusan
te rnya ta t i dak menguatkan putusan Pengadi l an Neger i
Pangka lp i nang , mela inkan memper t imbangkan send i r i ,
yang se lan ju t nya menja tuhkan putusan sebaga imana
te rsebu t d i atas .
2. Bahwa Maje l i s Hakim t i dak memer iksa kembal i berkas
perkaranya dengan benar seh ingga t i dak
memper t imbangkan adanya fak ta pers idangan , ka lau KPU
Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung te l ah mener ima dana
untuk penye lenggaraan Pemi lu tahun 2004 yang berasa l
dar i APBN, yang mana dana te rsebu t perun tukannya sudah
je l as ya i t u untuk biaya operas iona l penye lenggaraan ,
yang di da lamnya sudah te rmasuk untuk membayar
ga j i / uang kehormatan bagi se lu ruh anggota KPU Prop ins i
Kepulauan Bangka Bel i t ung , membayar uang
le l ah / keho rmatan , uang lembur dan tun jangan Pok ja
(Ke lompok Ker ja ) untuk pegawai sta f Sekre ta r i a t KPU
Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung , dan Terdakwa
ada lah sebaga i Ketua KPU Prop ins i Kepulauan Bangka
Bel i t ung yang mengelo la anggaran , yang kemudian
bersama Sekre ta r i s KPU Prop ins i Kepulauan Bangka
Bel i t ung saks i Drs . Suhael i Yusuf b in Yusuf Raden Mas
mengusu lkan untuk dibe r i k an tambahan uang
kehormatan /ga j i anggota KPU Prop ins i Kepulauan Bangka
Bel i t ung , dan tambahan uang lembur bagi se lu ruh
pegawai Sta f KPU Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung ,
kepada Gubernur Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung .
3. Bahwa se lan ju t nya KPU Prop ins i Kepulauan Bangka
Bel i t ung te tap mengajukan permohonan dana bantuan
Hal . 15 dar i 16 hal . Put . No. 727 K/Pid .Sus /2010
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 15
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
kepada Gubernur Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung
dengan sura tnya nomor : 252/B /KPU- BB/2004 tangga l 15
Maret 2004, yang di tanda tangan i o leh Ketua KPU
Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung Ahmad Syah Mirzan ,
Msi dan Sekre ta r i s KPU Prop ins i Kepulauan Bangka
Bel i t ung Drs . Suhai l i Yusuf , dengan jumlah
kese lu ruhannya sebesar Rp 3.750 .000 .000 , - ( t i g a mi lya r
tu j uh ra tus l ima puluh ju ta rup iah ) untuk
penye lenggaraan Pemi lu Tahun 2004
4. Bahwa se lan ju t nya menuru t fak ta pers i dangan , atas
penga juan dana bantuan te rsebu t d i atas , te rnya ta ca i r
secara ber tahap , yang se lan ju t nya dana yang berasa l
dar i bantuan Gubernur Prop ins i Kepulauan Bangka
Bel i t ung te rsebu t o leh Terdakwa Ahmad Syah Mirzan , Msi
Bin Salman Al Far i z i bersama saks i Drs . Suhael i Yusuf
b in Yusuf Raden Mas se laku sekre ta r i s KPU Prop ins i
Kepulauan Bangka Bel i t ung , d ipe rgunakan untuk membayar
tambahan kese jah te raan kepada se lu ruh anggota KPU
Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung dan juga untuk
membayar tambahan uang lembur kepada se lu ruh pegawai
sta f KPU Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung , dengan
cara Terdakwa Ahmad Syah Mirzan , Msi Bin Salman Al
Far i z i se laku Ketua KPU Prop ins i Kepulauan Bangka
Bel i t ung mengeluarkan nota dinas yang di tu j u kan kepada
saks i Drs . Suhael i Yusuf b in Yusuf Raden Mas se laku
sekre ta r i s KPU Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung ,
untuk segera membayarkannya yang jumlah se lu ruhnya
ada lah :
- uang kese jah te raan anggota KPU Prop ins i Kepulauan
Bangka Bel i t ung Rp 91.375 .000 , -
- uang lembur sta f skre ta r i s KPU Prop ins i Kepulauan
Bangka Bel i t ung Rp 29.316 .125 , -
Jumlah Rp 120.691 .125 , -
- Bahwa dengan d ibayarkannya tambahan uang
Kesejah te raan kepada se lu ruh anggota KPU Prop ins i
Kepulauan Bangka Bel i t ung dan tambahan uang lembur
Hal . 16 dar i 16 hal . Put . No. 727 K/Pid .Sus /2010
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 16
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
kepada se lu ruh pegawai sta f KPU Prop ins i Kepulauan
Bangka Bel i t ung , maka je l as se lu ruh anggota KPU
Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung dan se lu ruh sta f
sekre ta r i a t KPU Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung
mendapatkan keuntungan atau diun tungkan , yang
besarnya masing- masing sesua i dengan daf ta r
pener imaannya , untuk masing- masing anggota KPU
Prop ins i Kepulauan Bangka Bel i t ung mendapat
keuntungan se lama satu tahun sebesar Rp
18.275 .000 , - sedang untuk masing- masing pegawai
sta f Sekre ta r i a t KPU Prop ins i Kepulauan Bangka
Bel i t ung mendapat keuntungan yang bervar i as i
besarnya sesua i dengan daf ta r pener imaannya.
5. Bahwa putusan Hakim Maje l i s Pengad i l an Tingg i Kepulauan
Bangka Bel i t ung te rsebu t t i dak memperhat i kan maksud dan
tu j uan diadakannya Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 Jo
Undang- Undang No. 20 Tahun 2001 ten tang Pemberantasan
Tindak Pidana Korups i . Dalam per t imbangan undang- undang
te rsebu t d inya takan bahwa t i ndak pidana korups i yang
se lama in i te r j ad i secara meluas , t i dak hanya merug ikan
keuangan negara te tap i juga te l ah merupakan pelanggaran
te rhadap hak- hak sos ia l dan ekonomi secara luas ,
seh ingga t i ndak pidana korups i per l u digo longkan sebaga i
ke jaha tan yang pemberantasannya harus di l akukan secara
lua r b iasa . Dalam per t imbangan te rsebu t seharusnya
Putusan Pengadi l an Tingg i Kepulauan Bangka Bel i t ung
memperhat i kan maksud dar i Undang- Undang Nomor 31 Tahun
1999 seh ingga dapat menjad ikan efek je ra bagi pe lakunya
dan sebaga i pencegahan bag i orang la i n .
6. Bahwa Pro f . SAROCHID Kar tanegara , SH dalam bukunya yang
ber j udu l Hukum Pidana , menyatakan bahwa penja tuhan
hukuman ada lah untuk mencegah ke jaha tan ( te voorkoming
van de misdaad) h ingga se lan ju t nya dapat menjad i spec ia l
preven t i e d i mana ancaman hukuman yang di tu j ukan kepada
s i Terhukum agar s i Penjaha t t i dak lag i melakukan
perbua tan jaha tnya di kemudian har i .
Hal . 17 dar i 16 hal . Put . No. 727 K/Pid .Sus /2010
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 17
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Selan ju t nya dalam Sura t Edaran M.A No. 5 tahun 1993
meminta kepada para hak im agar menja tuhkan pidana secara
sungguh- sungguh set impa l dengan bera tnya dan s i fa t -
s i f a t t i ndak p idana te rsebu t ( te ru t ama perkara ekonomi ,
korups i , subvers i , narko t i k a dan perkosaan) jangan
sampai da lam menja tuhkan pidana i t u menyinggung perasaan
atau pendapat umum. Hingga dalam Sura t Edaran M.A No.8
tahun 1976 meminta agar para hak im menja tuhkan hukuman
yang set impa l dengan ak iba t yang di t imbu l kan oleh t i ndak
pidana te rsebu t .
Menimbang, bahwa atas alasan- alasan te rsebu t Mahkamah
Agung berpendapat :
Mengenai alasan- alasan memori kasasi :
Bahwa alasan- alasan kasas i Jaksa /Penun tu t Umum t i dak
dapat d ibenarkan judex fac t i t i dak sa lah da lam menerapkan
hukum, berdasarkan fak ta di pers i dangan te rsebu t dar i bukt i
dan saks i - saks i te rmasuk kete rangan Terdakwa bahwa
kerug ian negara /APBD se jumlah Rp.120.691 .125 , - (se ra tus
dua puluh ju t a enam ra tus sembi lan puluh satu r i bu sera tus
dua puluh l ima rup iah ) te l ah dikembal i kan oleh Ketua ,
anggota KPU ser ta Sekre ta r i s KPU dan pegawai KPU.Babe l ,
te tap i pengembal i an te rsebu t t i dak menghi l angkan s i f a t
melawan hukum/weder rech te l i j k ewaarhe id dar i perbua tan
pidana te rsebu t ;
Menimbang, bahwa berdasarkan per t imbangan d i atas ,
lag i pu la te rnya ta , putusan judex fac t i da lam perkara in i
t i dak ber ten tangan dengan hukum dan/a tau undang- undang,
maka permohonan kasas i te rsebu t harus di to l a k ;
Menimbang, bahwa dalam musyawarah Maje l i s Hakim Agung
pada tangga l 28 Apr i l 2011, te rdapa t perbedaan pendapat
(D issen t i ng Opin ion ) dar i Ketua Maje l i s yang memer iksa
perkara in i , ya i t u : H. Mansur Kar tayasa , SH. MH.
berpendapat , bahwa kebera tan memor i kasas i Jaksa /Penun tu t
Umum dapat d ibenarkan , judex fac t i sa lah menerapkan hukum
karena per t imbangan- per t imbangannya t i dak tepa t .
Hal . 18 dar i 16 hal . Put . No. 727 K/Pid .Sus /2010
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 18
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Bahwa Terdakwa mengajukan anggaran untuk kese jah te raan
Ketua /Anggota KPU padaha l a lokas i dana te rsebu t sudah
dianggarkan dalam APBN Tahun 2004. Perbuatan Terdakwa
merug ikan Negara sebesar Rp.120.691 .125 , - (se ra tus dua
puluh ju t a enam ra tus sembi lan puluh satu r i bu sera tus dua
puluh l ima rup iah ) sesua i temuan BPK dan pengembal i an
kerug ian Negara t i dak menghapuskan dapat d ip idananya
pelaku . Tentang pidana percobaan hanya dia tu r da lam KUHP
sedang sesua i Pasa l 3 Undang- Undang No.31 Tahun 1999 p idana
min ima l ada lah 1 (sa tu ) tahun pen ja ra dan denda
Rp.50 .000 .000 , - ( l ima pu luh ju ta rup iah ) t i dak dikena l
p idana percobaan , seh ingga sesua i dengan azas “ l ex
spec ia l i s deroga t lex genera le ” keten tuan Undang- Undang
Tindak Pidana Korups i l ah yang ber laku ;
Menimbang bahwa oleh karena te r j ad i perbedaan pendapat
(D issen t i ng Opin ion ) d i anta ra para Anggota Maje l i s dan
te l ah diusahakan dengan sungguh- sungguh, te tap i t i dak
te rcapa i permufaka tan , maka sesua i Pasa l 30 ayat 3 Undang-
Undang No.14 Tahun 1985 sebaga imana te lah diubah dengan
Undang- Undang No.5 Tahun 2004, sete lah Maje l i s
bermusyawarah dan d iambi l keputusan dengan suara te rbanyak ,
ya i t u menolak permohonan kasas i yang dia jukan o leh Pemohon
Kasas i / Jaksa Penuntu t Umum te rsebu t ;
Menimbang, bahwa o leh karena Termohon Kasas i /Te rdakwa
dip idana , maka harus dibeban i untuk membayar biaya perkara
dalam t i ngka t kasas i in i ;
Memperhat i kan Undang- Undang No.4 8 Tahun 2009, Undang-
Undang No.8 Tahun 1981 dan Undang- Undang No.14 Tahun 1985
sebaga imana yang te lah diubah dengan Undang- Undang Nomor 5
Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang- Undang No.3
Tahun 2009 ser ta pera tu ran perundang- undangan la i n yang
bersangku tan ;
M E N G A D I L I
Menolak permohonan kasas i dar i Pemohon Kasas i :
JAKSA PENUNTUT UMUM PADA KEJAKSAAN NEGERI PANGKALPINANG
te rsebu t ;
Hal . 19 dar i 16 hal . Put . No. 727 K/Pid .Sus /2010
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 19
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Membebankan Termohon Kasas i /Te rdakwa te rsebu t untuk
membayar biaya perkara dalam t i ngka t kasas i in i sebesar Rp.
2.500 , - ( dua r ibu l ima ra tus rup iah ) ;
Demik ian lah dipu tuskan dalam rapa t permusyawara tan
Mahkamah Agung pada har i , Kamis, tanggal 28 Apri l 2011
oleh H. Mansur Kar tayasa , SH. MH. Hakim Agung yang
di te t apkan oleh Ketua Mahkamah Agung sebaga i Ketua Maje l i s ,
Timur P. Manurung, SH. MM. dan H. M. Zaharudd in Utama, SH.
MM. Hakim- Hakim Agung sebaga i Anggota , dan diucapkan dalam
s idang te rbuka untuk umum pada har i i tu juga o leh Ketua
Maje l i s beser ta Hakim- Hakim Anggota te rsebu t , dan diban tu
oleh Emi l i a Dja jasubag ia , SH. MH. Pani te ra Penggant i dan
t i dak d ihad i r i o leh Pemohon Kasas i : Jaksa Penuntu t Umum
dan Terdakwa.
Anggota - Anggota ,
K e t u a,
t t d /
t t d /
Timur P. Manurung, SH. , MM. H.
Mansur Kar tayasa , SH. , MH.
t t d /
H. M. Zaharudd in Utama, SH. ,MM.
Pani te ra Penggant i
t t d /
Emi l i a Dja jasubag ia , SH. , MH.
Untuk Sal inan
Hal . 20 dar i 16 hal . Put . No. 727 K/Pid .Sus /2010
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 20
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Mahka
mah
Agung R
epublik
Indones
ia
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id
Mahkamah Agung RI
Pani te ra Muda Pidana Khusus
SUNARYO, SH.MH.
NIP :040 044 338
Hal . 21 dar i 16 hal . Put . No. 727 K/Pid .Sus /2010
DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 21