tindak pidana korupsi melalui gratifikasi seks...
TRANSCRIPT
TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI GRATIFIKASI SEKS
(Tinjauan Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Disusun oleh:
JAJAT HIDAYAT
NIM: 1110045100024
KONSENTRASI PIDANA ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1435 H/ 2014 M
i
ABSTRAK
JAJAT HIDAYAT. NIM 1110045100024. TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI GRATIFIKASI SEKS (Tinjauan Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif). Konsentrasi Kepidanaan Islam, Program Studi Jinayah Siyasah, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Tahun 1435 H/ 2014 M. vi + 94 halaman + 4 lampiran.
Dalam penelitian skripsi ini masalah utamanya yaitu pandangan masyarakat yang menganggap bahwa perbuatan gratifikasi seks belum diatur dalam undang-undang dan adanya ketidakjelasan terkait kedudukan hukum perbuatan gratifikasi seks. Dengan demikian, skripsi ini bertujuan untuk menjelaskan status atau kedudukan hukum serta sanksinya bagi perbuatan gratifikasi seks dalam pandangan hukum pidana Islam maupun hukum pidana positif (undang-undang).
Penelitian ini mengguanakan metode kualitatif yang menekankan pada makna, penalaran dan definisi suatu situasi tertentu. Pengumpulan data dilakukan dengan metode normatif-empiris, yakni penelitian hukum yang menggunakan sumber data primernya merupakan norma-norma yang berlaku, yaitu KUHP dan Peraturan Perundang-undangan. Dan studi empiris dengan melakukan wawancara kepada lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi. Setelah itu penulis menganalisis dari perbandingan hukum dalam perspektif hukum pidana Islam dan hukum pidana positif dengan mencari status hukum antara keduanya.
Hasil penelitian ini menunjukan bahwa perbuatan gratifikasi seks termasuk dalam tindak pidana korupsi, karena perbuatan tersebut terakomodir dalam peraturan perundang-undangan dan pelakunya bisa dijerat UU Tipikor sepanjang memenuhi unsur-unsurnya. Dalam hukum pidana Islam pun secara tegas melarang perbuatan gratifikasi seks, karena termasuk dalam jarimah risywah dengan cara jarimah zina.
Kata Kunci : Tindak Pidana Korupsi, Gratifikasi Seks, Klasifikasi korupsi.
Pembimbing : Dr. H. Muhammad Nurul Irfan, M. Ag.
Daftar Pustaka: Tahun 1986 s.d Tahun 2013.
ii
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT. penulis
panjatkan atas segala rahmat dan karunianya yang telah diberikan kepada
penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Tak
lupa pula Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada baginda alam yakni Nabi
Muhammad SAW. yang telah membawa kita dari zaman kebodohan hingga
zaman yang penuh dengan pengetahuan ini.
Skripsi yang berjudul “Tindak Pidana Korupsi Melalui Gratifikasi
Seks (Tinjauan Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif)” penulis
susun dalam rangka memenuhi dan melengkapi persyaratan mencapai gelar
Sarjana Syariah (S.Sy) pada program studi Jinayah Siyasah Konsentrasi
Jinayah Siyasah (Kepidanaan Islam) Fakultas Syariah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dengan segala kerendahan hati, penulis sadari bahwa tidak akan
sanggup menghadapi dan mengatasi berbagai macam hambatan dan
rintangan yang mengganggu lancarnya penulisan skripsi ini, tanpa adanya
bantuan dan motivasi dari berbagai pihak. Oleh karenanya dalam kesempatan
yang berharga ini perkenankan penulis untuk menyampaikan rasa
terimakasih yang tulus kepada yang terhormat :
1. Dr. Phil. JM. Muslimin, MA., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
iii
2. Dr. Asmawi, M. Ag., Ketua Program Studi Jinayah Siyasah dan Afwan
Faizin, M. Ag., Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah. Terimakasih
atas pemberian motivasi dan solusi dalam kepentingan akademik maupun
sosial.
3. Dr. H. Muhammad Nurul Irfan, M. Ag., selaku dosen pembimbing skripsi
ini. Terimakasih atas waktu dan ilmu yang telah diberikan. Semoga bisa
bermanfaat sepanjang masa.
4. Febri Diansyah, S.H., selaku staf Direktorat Gratifikasi Komisi
Pemberantasan Korupsi. Terimakasih atas waktunya dalam memberikan
pandangan dan gagasan dalam penelitian ini.
5. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang memberikan
berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan selama proses studi yang
sangat berarti bagi perkembangan pemikiran dan wawasan yang luas bagi
penulis.
6. Segenap Pengelola Perpustakaan Utama serta Perpustakaan Fakultas
Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta atas pelayanan
referensi buku-bukunya.
7. Orang tua penulis, Bapak Mursid, S. Pd.I dan Umi Nurhayati, d an
Ambu ( nene k) Ru s. penulis memohon maaf untuk segala macam
perilaku penulis yang tidak berkenan di hati, penulis juga haturkan
terima kasih yang teramat sangat atas cinta, kasih dan sayangnya,
karena telah merawat dengan penuh kesabaran dan keikhlasan.
8. Guru Ngaji penulis, yakni KH. Endang Bundari Abas beserta isteri.
iv
Terimakasih yang teramat sangat atas ilmu, solusi dan dorongan yang
selalu diberikan dengan penuh cinta dan kasih sayangnya. Beserta dulur-
dulur Ponpes Raudhatul Falah Al-Hasanah.
9. Saudara sekaligus guru ngaji, yakni KH. Purwa beserta keluarganya.
Terimakasih atas semangat dan dorongan dalam mencari ilmu.
10. Dulur-dulur Himpunan Mahasiswa Bogor (HIMABO). Terimakasih atas
pengalaman berorganisasi yang penuh dengan kebudayaan silih asih, silih
asah serta silih asuh.
11. Sahabat/i Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Terimakasih
telah memberikan pengalaman berorganisasi.
12. Brother Boyband. Terimakasih atas solidaritasnya yang selalu menemani
dalam keadaan susah maupun senang, juga teman-teman kelas jurusan
pidana islam yang telah memberikan keceriaan selama kuliah.
13. Riska Rizkiana. Terimakasih banyak atas partisipasi dan motivasi dalam
menyelesaikan skripsi ini dengan penuh cinta dan kasih sayang. Juga
kawan-kawan alumni SMAN 1 Cigudeg.
Jakarta, Juni 2014
Jajat Hidayat
v
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………….……………1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah………………………………………8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian…………………………………………...9
D. Review Studi Terdahulu…………………………………………………10
E. Kerangka Teori…………………………………………………………...12
F. Metode Penelitian………………………………………………………..14
G. Sistematika Penulisan……………………………………………………16
BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi………………………………………18
B. Pembagian Tindak Pidana Korupsi ……………………………………...22
C. Klasifikasi Tindak Pidana Korupsi……………………………………....30
D. Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Korupsi……………………………55
BAB III: TINDAK PIDANA GRATIFIKASI DALAM UNDANG-UNDANG
TIPIKOR DAN HUKUM PIDANA ISLAM
A. Pengertian Gratifikasi……………………………..………..…………..57
B. Perbedaan Suap dan Gratifikasi…………………………………………60
C. Sanksi Gratifikasi ……………………………………………...………...69
vi
BAB IV: GRATIFIKASI SEKS DALAM PANDANGAN HUKUM PIDANA
POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM
A. Pengertian Gratifikasi Seks………………………………………………72
B. Kedudukan Hukum Gratifikasi Seks…………………………………….74
C. Sanksi Gratifikasi Seks…………………………………………………..81
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………………87
B. Saran……………………………………………………………………..88
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………90
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sejarah korupsi bermula sejak awal kehidupan manusia bermasyarakat,
yakni pada saat organisasi masyarakat yang rumit mulai muncul, manusia
direpotkan oleh gejala korupsi paling tidak selama beberapa ribu tahun. Intensitas
korupsi berbeda-beda pada waktu dan tempat yang berlain-lainan. Seperti gejala
kemasyarakatan lainnya, korupsi banyak ditentukan oleh berbagai faktor. Catatan
kuno mengenai masalah ini menunjuk pada penyuapan terhadap para hakim dan
tingkah laku para pejabat pemerintah. Dalam sejarah Mesir, Babilonia, Ibrani,
India, Cina, Yunani dan Romawi Kuno, korupsi seringkali muncul ke permukaan
sebagai masalah. Hammurabi dari Babilonia, yang naik tahta sekitar tahun 1200
SM memerintahkan kepada seorang gubernur provinsi untuk menyelidiki satu
perkara penyuapan.1
Sementara sejak Negara Republik Indonesia berdiri, pada masa revolusi
fisik (1945-1950), korupsi sudah dilakukan orang. Memang pada masa itu tak
terdengar ada orang yang diseret ke pengadilan karena korupsi, namun dalam
roman-roman Pramoedya Ananta Toer (Di Tepi kali Bekasi) dan Mochtar Lubis
(Maut dan Cinta), kita baca tentang orang-orang yang mengambil keutungan dari
kekayaan negara bagi dirinya sendiri ketika yang lainnya berjuang
1 Syed Hussain Alatas, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, (Jakarta: LP3ES, 1987), Hal. 1
2
mempertaruhkan nyawa merebut kemerdekaan bangsa dan negara.2 Lambat laun
di pemerintahan Indonesia, Perangkat Undang-Undang anti korupsi mulai
diterapkan, namun upaya pemberantasannya tidak mudah dan banyak mengalami
hambatan. Kendati demikian, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam
beberapa tahun terakhir ini semakin gencar melakukan pemantauan dan
penangkapan terhadap para pejabat yang melakukan tindakan korupsi, hasilnya
dapat dikatakan signifikan karena sudah banyak pejabat negara yang di vonis
penjara. Benang kusut jaringan korupsi benar-benar telah terajut diseluruh sektor
kehidupan, dari istana sampai pada tingkat kelurahan bahkan RT. Korupsi telah
menjangkiti birokrasi dari tingkat teratas hingga terbawah.3
Dalam konteks yang komprehensif, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa
korupsi merupakan white collar crime (Kejahatan Kerah Putih) dengan perbuatan
yang selalu mengalami dinamisasi modus operandinya dari segala sisi sehingga
dikatakan sebagai invisible crime (kejahatan gaib) yang sangat sulit memperoleh
prosedural pembuktiannya, karena seringkali memerlukan “pendekatan sistem”
(systemic approach) terhadap pemberantasannya.4 Menurut Helbert Edelherz
istilah white collar crime (Kejahatan Kerah Putih) ialah suatu perbuatan atau
serentetan perbuatan yang bersifat ilegal yang dilakukan secara fisik, tetapi
dengan akal bulus/ terselubung untuk mendapatkan uang atau kekayaan serta 2 Ajip Rosidi, Korupsi dan Kebudayaan, (Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya, Cet. Pertama,
2006), Hal. 24 3 M.Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, (Jakarta: Amzah,
2012), Hal. xvii 4 Indrianto Seno Adji, Korupsi dan Penegakan Hukum, (Jakarta: Diadit Media, Cet.
Pertama, 2009), Hal. 87
3
menghindari pembayaran/ pengeluaran uang atau kekayaan atau untuk
mendapatkan bisnis/ keuntungan pribadi.5
Pembagian tindak pidana korupsi dalam UU No. 31/1999 Jo. UU No.
20/2001 tersebut dirumuskan dalam pasal 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12B, 13,
15, 16, 21, 22, 23 (menarik pasal 220, 231, 421, 422, 430 KUHP), dan 24. Dari
pasal-pasal tersebut dapat dikelompokkan menjadi lima rumusan dasar, yaitu
Pertama, atas dasar substansi objek tindak pidana korupsi meliputi korupsi murni
dan tidak murni. Kedua, atas dasar subjek hukum tindak pidana korupsi meliputi
tindak pidana korupsi umum dan tindak pidana korupsi Pegawai Negeri Sipil
(PNS). Ketiga, atas dasar sumbernya dari KUHP dan UU. Keempat, atas dasar
tingkah laku atau perbuatan dalam rumusan tindak pidana, yang meliputi aktif dan
pasif. dan Kelima, atas dasar dapat tidaknya merugikan keuangan dan atau
perekonomian negara.6 Dari berbagai pola dan bentuk korupsi, sedikitnya terdapat
tujuh macam korupsi, yaitu korupsi transaksional, korupsi yang bersifat memeras,
korupsi yang bersifat ontogenik, korupsi defensif, korupsi yang bersifat investasi,
korupsi yang bersifat nepotisme, dan korupsi suportif.7 Jika kita analisa lebih
5 Ermnasyah Djaja, Korupsi Bersama KPK, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Kedua, 2009),
Hal. 8 6 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, (Jakarta:
Bayumedia Publishing, Cet. Pertama, 2005), Hal. 19-30 7 Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi, (Jakarta: Zihru’l Hakim,
Cet. Pertama, 1997), Hal. 44-45
4
lanjut, esensi korupsi adalah pencurian melalui penipuan dalam situasi yang
menghianati kepercayaan.8
M. Nurul Irfan menegaskan bahwa dalam hukum pidana Islam sekurang-
kurangnya terdapat sembilan jenis jarimah (tindak pidana) yang mendekati
terminologi korupsi di zaman sekarang, yaitu: ghulul (penggelapan), risywah
(penyuapan), ghasab (mengambil paksa hak/ harta orang lain), khianat, sariqah
(pencurian), al-hirabah (perampokan), al-maks (pungutan liar), al-ikhtilas
(pencopetan), dan al-ihtihab (perampasan) .9
Menurut Syed Hussain Alatas salah satu sabab musabab korupsi ialah
bertambahnya pegawai negeri dengan cepat, dengan akibat gaji mereka menjadi
sangat kurang. Hal ini selanjutnya mengakibatkan perlunya pendapatan tambahan.
Dengan bertambahnya pegawai negeri maka bertambah pula luasnya kekuasaan
dan kesempatan birokrasi, dibarengi dengan lemahnya pengawasan dari atas dan
pengaruh partai politik, menyediakan tanah subur bagi korupsi.10 Selain itu
adanya sistem penyeleggaraan negara yang keliru, mayoritas pejabat negaranya
serakah, dan budaya masyarakat yang kondusif KKN (Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme).11 Sehingga semakin berkembangnya perbuatan-perbuatan yang
mengarah kepada korupsi, maka semakin berkembang pula berbagai cara untuk
melancarkan aksi korupsi termasuk suap dengan cara memberikan pelayanan 8 Syed Hussain Alatas, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, Hal. viii 9 M.Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 78 10 Syed Hussain Alatas, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, Hal.122 11 Abu Fida’ Abdur Rafi, Terapi Penyakit Korupsi dengan Tazkiyatun Nafs, (Jakarta:
Republika, Cet. Pertama, 2006), Hal. Xii-xv
5
wanita atau hadiah berupa seks (gratifikasi seks). Yakni, menggunakan wanita
sebagai cara untuk memenangi berbagai tender dalam pengadaan barang dan jasa
serta berbagai macam perjanjian.12
Dalam hukum positif, perbuatan gratifikasi adalah pemberian dalam arti
luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman
tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang
diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan
menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.13 Sedangkan
gratifikasi seks, di negeri ini sebenarnya telah menjadi rahasia umum. Menjadi
sesuatu yang lazim dilakukan pengusaha, kontraktor kepada pegawai negeri,
pejabat penyelenggara negara. Pemberian hadiah yang satu ini bagi pegawai
negeri, pejabat atau penyelenggara negara, jauh lebih menarik dari pada hadiah
lainnya. Menjadi titik lemah setiap pegawai negeri, pejabat penyelenggara negara
setelah menikmati hadiah yang satu ini. Lazimnya perilaku buruk ini terjadi saat
ada kunjungan kerja, peninjauan lapangan, rapat-rapat yang dilakukan di luar kota
atau kegiatan lainnya.14
12 Jamal Wiwoho, Menyoal Gratifikasi Seks dalam Tindak Pidana Korupsi, Media
Indonesia, diakses pada 07 Februari 2013 dari: http//jamalwiwoho.com/2013/02/07/menyoal-gratifikasi-seks-dalam-tindak-pidana-korupsi.php
13 Doni Muhardiansyah, dkk, Buku Saku Memahami Gratifikasi, (Jakarta: Komisi
Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia, Cet. Pertama, 2010), Hal. 3 14 Jusuf Suroso, “Gratifikasi Seks”, diakses pada 21 Januari 2013 dari http://cps-
sss.org/?p=1104
6
Pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Ganjar Laksamana Bondan,
mengatakan gratifikasi seks yang marak terungkap dalam kasus korupsi hanya
sebagai layanan tambahan yang diberikan oleh pihak penyuap kepada pejabat
negara. Dia menilai gratifikasi seks jarang diberikan sebagai menu suap utama
penyelenggara negara. Sifatnya hanya tambahan, bukan yang utama. Fenomena
gratifikasi seks bukan hal baru, dan tidak sulit untuk dibuktikan, karena aturan
untuk menjerat pelaku juga sudah ada karena sifatnya sama saja seperti gratifikasi
pada umumnya.15
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memaparkan keberhasilannya
dalam penanganan kasus korupsi pada tahun ini. Namun KPK mengakui belum
pernah menangani kasus terkait gratifikasi seks dalam kasus-kasus korupsi yang
ditangani KPK. Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto dalam jumpa pers di
gedung KPK mengatakan: “kasus di CPIB (Corrupt Practices Investigation
Bureau) akan menjadi contoh kasus, kita mau tiru itu”. CPIB merupakan lembaga
serupa KPK dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi di Singapura.
Tokoh yang kerap disapa BW ini menambahkan KPK telah menjalin komunikasi
dengan CPIB untuk membahas masalah gratifikasi seks. Pasalnya CPIB pernah
menangani dan menjerat pelaku korupsi dengan gratifikasi seks. Pembahasan ini
perlu dilanjutkan antar dua lembaga tersebut dengan melakukan diskusi mendalam
15 Tempo.co, “Gratifikasi Seks Menjadi Pelengkap Suap”, diakses pada Sabtu, 22 Juni
2013 Sabtu, 22 Juni 2013 dari
http://www.tempo.co/read/news/2013/06/22/063490318/Gratifikasi-Seks-Menjadi-Pelengkap-
Suap
7
dan seminar lebih lanjut untuk membicarakan khusus tentang masalah gratifikasi
seks. KPK juga sudah berkomunikasi dengan negara lainnya.16
Dalam hukum Islam, istilah gratifikasi itu termasuk kedalam risywah,
yang mempunyai nama, sebutan, istilah dan model bervariasi. Ada modelnya
berbentuk hadiah, bantuan, balas jasa, uang perantara, komisi dan lain-lain
mungkin sampai ratusan istilah, akan tetapi semua itu pada hakikatnya sama yakni
bermuara pada substansi risywah yang keji dan pelakunya dilaknat oleh Allah dan
Rasul-Nya.17 Dalam hal pemberian hadiah berupa seks tentunya Islam pun secara
tegas melarangnya. Menurut M. Abduh Malik (Dosen Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) gratifikasi seks dalam hukum Islam
termasuk ke dalam jarimah zina.18 Karena setiap hubungan kelamin di luar nikah
sebagai zina dan diancam dengan hukuman, baik pelaku sudah kawin atau belum
kawin, dilakukan dengan suka sama suka atau tidak.19
Berdasarkan hal-hal di atas, permasalahan tindak pidana korupsi yang
seiring berkembangnya perbuatan yang belum secara jelas terperinci dalam
Perundang-undangan, karna kondisi saat ini masyarakat menganggap bahwa
16 Republika Online, “Ungkap Gratifikasi Seks, KPK Akan Kerjasama dengan
Singapura”, diakses pada Senin, 30 Desember 2013 dari
http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/12/30/mymjxa-ungkap-gratifikasi-seks-kpk-
akan- 17 Abu Fida’ Abdur Rafi, Terapi Penyakit Korupsi dengan Tazkiyatun Nafs, Hal. 11 18 Hasil diskusi mata kuliah Muqaranah Madzahib Fiqh Fil Jinayah pada selasa, 26
November 2013 19 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Pertama,
2005), Hal. 3
8
gratifikasi seks itu tidak sepenuhnya tertuang dalam Undang-undang. Kalaupun
gratifikasi seks ini secara umum diakomodir dalam pasal 12b UU No.31/1999 Jo.
UU No. 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan arti
“Pemberian Hadiah berupa barang atau jasa atau fasilitas lainnya”, maka
tuduhan-tuduhan yang mengarah kepada pelayanan seks seperti Antasari Azhar,
dan Lutfi Hasan Ishaq seharusnya diadili, bukan hanya suap berupa uang saja
yang diadili. Dengan kondisi yang masih absurd ini penulis merasa kesal terhadap
penegak hukum yang masih kurang berani mengambil keputusan, maka penulis
beranjak untuk mengkaji tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan suap
dengan cara memberikan hadiah berupa jasa pelayanan seksual, dengan judul
“TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI GRATIFIKASI SEKS (Tinjauan Hukum
Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif)”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Pembahasan tindak pidana korupsi dalam ranah hukum memiliki
dimensi yang sangat luas, oleh karenanya pembatasan dalam mengkaji
gratifikasi sangatlah penting. Berdasarkan hal itu permasalahan yang
akan dibahas dibatasi pada pengkajian mengenai bagaimanakah
kedudukan hukum perbuatan gratifikasi seks dalam konteks hukum
pidana Islam dan hukum pidana positif.
9
2. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
a. Apakah perbuatan gratifikasi seks termasuk ke dalam Tindak
Pidana Korupsi?
b. Bagaimanakah kedudukan hukum perbuatan Gratifikasi Seks
dalam Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif?
c. Bagaimanakah sanksi bagi pelaku perbuatan Gratifikasi Seks?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dalam penelitian ini penulis memiliki tujuan, yaitu sebagai
berikut:
a) Untuk menjelaskan aturan hukum perbuatan gratifikasi seks.
b) Untuk menjelaskan secara eksplisit tentang kedudukan hukum
perbuatan gratifikasi seks baik dalam hukum pidana Islam
maupun hukum pidana positif.
c) Untuk menjelaskan sanksi Perbuatan gratifikasi seks dalam
pandangan hukum pidana Islam dan hukum pidana positif.
10
2. Manfaat Penelitian
Secara teori, manfaat yang bisa diperoleh dari penelitian ini
adalah memberikan pemahaman secara eksplisit tentang perbuatan
korupsi dengan cara menerima hadiah berupa jasa seksual dan juga
memberikan penjelasan mendalam status kedudukan hukum pidana
positif dan hukum pidana Islam mengenai hadiah berupa jasa
pelayanan seksual bagi masyarakat maupun pemerintah.
Secara praktis, penelitian ini dapat dijadikan kontribusi bagi
pemerintah dalam upaya menangani kasus-kasus korupsi yang
berkaitan dengan perbuatan penerimaan hadiah berupa jasa pelayanan
seksual.
D. Review Studi Terdahulu
Dalam tinjauan (review) kajian terdahulu, penulis mereview
beberapa skripsi terdahulu yang berhubungan dengan kasus korupsi suap-
menyuap dan penerimaan hadiah kepada pejabat. Berikut skripsi dan buku
yang berkaitan dengan penelitian korupsi:
1) Skripsi karya Mahfuz, Fakultas Ushuluddin Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2007 yang berjudul
“Takhrij Hadits tentang laknat bagi pelaku suap-menyuap”. Skripsi
ini membahas lebih kepada hukuman bagi pelaku koruptor (suap-
menyuap) dalam pandangan hukum islam.
11
2) Skripsi Efin Fardho, Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, tahun 2006 yang
berjudul “Pemberian hadiah sebagai modus Tindak Pidana Korupsi
Pejabat (Tinjauan Hukum Islam dan Undang-Undang No. 20 tahun
2001)”.
3) Skripsi Wahib Zain, Fakultas Syari’ah Universitas Islam Negeri
Sunan Kalijaga Yogyakarta, tahun 2010 yang berjudul “Tindak
Pidana Suap (Studi Perbandingan UU No. 20 tahun 2001 tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan Hukum Pidana
Islam)”. Skripsi ini menggambarkan perbandingan hukum suap-
menyuap dari dua sisi, yakni hukum pidana positif dan hukum
pidana islam.
4) Buku karya Muhammad Nurul Irfan yang berjudul “Korupsi dalam
Hukum Pidana Islam” yang diterbitkan oleh Amzah pada tahun
2012. Buku tersebut menjelaskan tentang perbandingan hukum
korupsi dalam hukum pidana Islam dan hukum pidana positif.
Ketiga skripsi dan satu buku tersebut pada dasarnya sama-sama
membahas tentang perbuatan korupsi yang merugikan negara, tetapi dalam
penelitian penulis terdapat perbedaan dari segi objek Tindak Pidana
Korupsi, ketiga skripsi dan satu buku tersebut objeknya berupa uang atau
barang, lain halnya dengan penelitian yang penulis lakukan, yaitu
objeknya berupa jasa pelayanan seksual.
12
E. Kerangka Teori
Istilah kata korupsi berasal dari satu kata bahasa latin, yakni
corupptio atau corruptus yang disalin dalam bahasa Inggris mejadi
corruption atau corrupt, dalam bahasa Perancis menjadi corruption dan
dalam bahasa Belanda disalin menjadi corruptie (korruptie). Asumsi kuat
menyatakan bahwa dari bahasa belanda inilah kata itu turun ke bahasa
Indonesia, yaitu korupsi. Arti harfiah dari kata korupsi ialah kebusukan,
keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral,
penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau
memfitnah.20 Sedangkan berdasarkan UU No. 31 Tahun 1999, dalam pasal
2 ayat (1) definisi korupsi ialah Setiap orang yang secara melawan hukum
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu
korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara.21
Sementara gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni
meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata,
pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik
20 M.Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam, Hal. 33 21 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
13
yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan
dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.22
M. Nurul Irfan menegaskan bahwa dalam hukum pidana Islam
sekurang-kurangnya terdapat sembilan jenis jarimah (tindak pidana) yang
mendekati terminologi korupsi di zaman sekarang, yaitu: ghulul
(penggelapan), risywah (penyuapan), ghasab (mengambil paksa hak/ harta
orang lain), khianat, sariqah (pencurian), al-hirabah (perampokan), al-
maks (pungutan liar), al-ikhtilas (pencopetan), dan al-ihtihab
(perampasan) .23
Perbuatan suap-menyuap dan gratifikasi (risywah) merupakan
perbuatan yang keji dan pelakunya dilaknat oleh Allah dan Rasul-Nya,24
Apalagi objek perbuatan tersebut berupa pelayanan seksual, Islam dengan
sangat tegas melarangnya, karena setiap hubungan kelamin di luar nikah
termasuk perbuatan zina dan diancam dengan hukuman, baik pelaku sudah
kawin atau belum kawin, dilakukan dengan suka sama suka atau tidak.25
22 Penjelasan pasal 12B Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi 23 M.Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 78 24 Abu Fida’ Abdur Rafi, Terapi Penyakit Korupsi dengan Tazkiyatun Nafs, Hal. 11 25 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Hal. 3
14
F. Metode Penelitian
Metode penelitan bermakna suatu tipe pemikiran yang
dipergunakan dalam penelitian dan penilaian.26 maka metode penelitian
skripsi ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian
Penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan kualitatif yang
menekankan pada makna, penalaran, definisi suatu situasi tertentu dan
lebih banyak meneliti hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan
sehari-hari.27
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif-empiris
yaitu penelitian hukum yang menggunakan sumber data primernya
merupakan norma-norma yang berlaku, baik berupa KUHP, Peraturan
Perundang-undangan, dan jurisprudensi dan studi empiris dengan
melakukan wawancara28 untuk melengkapi data.
26 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia,
1986), Hal. 5 27 Iskandar, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2009), Hal. 11 28 Wawancara merupakan metode yang digunakan untuk mengumpulkan data atau
keterangan lisan dari seseorang yang disebut responden melalui suatu percakapan yang sistematis
dan terorganisasi. (Lihat Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, Bandung: PT Refika Aditama,
Cet. Ketiga, 2012, hal. 312)
15
3. Sifat Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif analitis yaitu mengumpulkan
data, menjelaskan, dan menguraikan data yang diperoleh berkaitan
dengan pokok bahasan kemudian dianalisis.
4. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, pengumpulan data menggunakan teknik
normatif-empiris, yaitu dengan mendapatkan sumber data dari norma
hukum dan wawancara. Tentunya dalam penelitian terdapat sumber
data Primer dan sekunder, diantaranya:
a. Data Primer
Data primer penelitian ini diperoleh dari Undang-undang No.
20 tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan
wawancara dari pihak lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi.
b. Data Sekunder
Data sekunder yang diperoleh dari data-data yang telah
diteliti dan dikumpulkan oleh pihak lain yang berkaitan dengan
permasalahan penelitian ini, baik berupa buku, koran, majalah
maupun melalui media internet.
16
5. Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan terlebih dahulu penulis
mengumpulkan data-data yang diperlukan. Kemudian mendeskripsikan
definisi korupsi dan ruang lingkupnya dari segi hukum pidana positif
dan hukum pidana Islam.
Dari hasil penelitian korupsi dari aspek hukum pidana positif dan
hukum pidana Islam, kemudian penulis menganalis keterkaitan
gratifikasi seks dari kedua aspek hukum tersebut dengan mencari
kedudukan hukumnya yang disandingkan dengan Undang-undang No.
20 tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan berguna untuk membantu dalam
mengartikan isi dari penulisan skripsi tersebut. Di mana dalam sistematika
penulisan tersebut terdiri dari empat bab, yaitu : BAB I, Latar Belakang
Masalah, Pembatasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Dan Manfaat
Penelitian, Review Studi Terdahulu, Kerangka Teori, Metode Penelitian,
dan Sistematika Penulisan. BAB II, Pengertian Tindak Pidana Korupsi,
Pembagian Tindak Pidana Korupsi dalam Hukum Positif, Klasifikasi
Tindak Pidana Korupsi, dan Penyebab Terjadinya Tindak Pidana Korupsi.
BAB III, Pengertian Gratifikasi menurut UU Tipikor dan Hukum Pidana
17
Islam, Perbedaan Suap dan Gratifikasi, dan Sanksi Gratifikasi dalam UU
Tipikor dan Hukum Pidana Islam. BAB IV, Pengertian Gratifikasi Seks,
Kedudukan Hukum Gratifikasi Seks dalam hukum pidana positif dan
Hukum Pidana Islam, dan Sanksi Gratifikasi Seks. BAB V, merupakan
akhir dari seluruh rangkaian pembahasan dalam penulisan skripsi yang
berisi kesimpulan dan saran-saran.
18
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI
1. PENGERTIAN TINDAK PIDANA KORUPSI
Secara harfiah, “tindak pidana korupsi” berasal dari kata “tindak pidana”
dan kata “korupsi”. Tindak pidana merupakan istilah teknis-yuridis dari bahasa
belanda “stafbaar feit” atau delict dengan pengertian sebagai sebuah perbuatan
yang dilarang oleh peraturan hukum dan tentu saja dikenakan sanksi pidana bagi
siapa saja yang melanggarnya.29 Sedangkan kata korupsi berasal dari satu kata
dalam bahasa latin yakni corruptio atau corruptus yang disalin ke berbagai
bahasa. Misalnya dalam bahasa Inggris menjadi corruption atau corrupt dalam
bahasa Prancis menjadi corruption dan dalam bahasa Belanda disalin menjadi
istilah coruptie (korruptie). Agaknya dari bahasa Belanda itulah lahir kata korupsi
dalam bahasa Belanda. Corruptie yang juga disalin menjadi corruptien dalam
bahasa Belanda itu mengandung arti perbuatan korup, penyuapan. Secara harfiah
istilah kata tersebut berarti segala macam perbuatan yang tidak baik, seperti yang
dikatakan Andi Hamzah sebagai kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran,
dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan
yang menghina atau memfitnah.30
29 Marwan Effendy, Korupsi dan Strategi Nasional, pencegahan serta
pemberantasannya, (Jakarta: Referensi, 2013), Hal. 13 30 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 2
19
Robert Klitgaard mengatakan bahwa korupsi itu ada manakala seseorang
secara tidak halal meletakkan kepentingan pribadi di atas kepentingan rakyat,
serta cita-cita yang menurut sumpah akan dilayaninya.31
Dalam black’s law dictionary, Henry Campbell memposisikan korupsi
sebagai “suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu
keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak
lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan
suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan
kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain”.32
Istilah korupsi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia baru
dikenal kali pertama dalam Peraturan Penguasa Perang Pusat Kepala Staf
Angkatan Darat tanggal 16 april 1958 No. Prt/Peperpu/013/1958 (BN No. 40
Tahun 1958) yang diberlakukan pula bagi penduduk wilayah kekuasaan angkatan
laut melalui surat keputusan Kepala Staf Angkatan Laut No. Prt/Z.1/I/7 tanggal 17
april 1958. Peraturan ini memuat peraturan mengenai korupsi yang pertama kali di
Indonesia. Peraturan Perundang-undangan pada zaman Hindia Belanda termasuk
HvS Hindia Belanda (KUHP) juga tidak dijumpai istilah korupsi. Dalam
Peraturan Penguasa Perang tersebut tidak dijelaskan mengenai pengertian istilah
31 Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2001), Hal.
xix 32 Marwan Effendy, Korupsi dan Strategi Nasional, pencegahan serta
pemberantasannya, Hal. 14
20
korupsi, tetapi hanya dibedakan menjadi korupsi pidana dan korupsi lainnya.
setelah itu Peperpu tahun 1958 digantikan oleh Peperpu No. 24 Tahun 1960.33
Undang-undang No. 24/Prp/1960 berlaku sampai tahun 1971, setelah
diundangkannya undang-undang pengganti yakni Undang-Undang No. 3 Tahun
1971 pada tanggal 29 Maret 1971. Baik pada waktu berlakunya UU No.
24/Prp/1960 di era Orde Lama maupun pada waktu berlakunya UU No. 3 Tahun
1971 pada era Orde Baru, kedua pemerintahan ternyata juga tidak mampu berbuat
banyak dalam memberantas korupsi di Indonesia. Kini telah lahir Orde Reformasi
yang tampaknya sama seperti Orde Baru, yang juga tidak berbuat banyak dalam
mengurangi korupsi yang menggerogoti negara. Selain itu juga selalu
menyalahkan perangkat hukumnya (UU), kata mereka undang-undangnya yang
tidak sempurna, tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Pernyataan
tersebut sering digunakan sebagai alasan penyebab ketidakmampuan pemerintah
dalam memberantas korupsi di Indonesia. Oleh karena itu pada tahun 1999 yang
lalu diundangkanlah undang-undang yang dianggap lebih baik, yakni Undang-
Undang No. 31 Tahun 1999 yang kemudian diubah dengan Undang-Undang No.
20 Tahun 2001 sebagai pengganti Undang-Undang No. 31 tahun 1999. Kemudian
pada tanggal 27 Desember 2002 telah dikeluarkan UU No. 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi, yakni suatu lembaga negara independen yang
akan berperan besar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.34
33 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 3 34 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 8
21
Dalam hukum positif, definisi korupsi secara gamblang telah dijelaskan
dalam 13 buah Pasal dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001.
Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam tiga puluh bentuk/
jenis tindak pidana korupsi. Pasal-pasal tersebut menerangkan secara terperinci
mengenai perbuatan yang bisa dikenakan pidana penjara karena korupsi.
Ketigapuluh bentuk/ jenis tindak pidana korupsi tersebut perinciannya adalah
Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 ayat (1) huruf a, Pasal 5 ayat (1) huruf b, Pasal 5 ayat (2),
Pasal 6 ayat (1) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf b, Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (1)
huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c, Pasal 7 ayat (1) huruf d,
Pasal 7 ayat (2), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10 huruf a, Pasal 10 huruf b, Pasal 10 huruf
c, Pasal 11, Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf b, Pasal 12 huruf c, Pasal 12 huruf d,
Pasal 12 huruf e, Pasal 12 huruf f, Pasal 12 huruf g, Pasal 12 huruf h, Pasal 12
huruf i, Pasal 12 B jo. Pasal 12 C dan Pasal 13.35
Menurut M. Nurul Irfan, dalam hukum pidana Islam sekurang-kurangnya
terdapat sembilan jenis jarimah (tindak pidana) yang mendekati terminologi
korupsi di zaman sekarang, yaitu: ghulul (penggelapan), risywah (penyuapan),
ghasab (mengambil paksa hak/ harta orang lain), khianat, sariqah (pencurian), al-
hirabah (perampokan), al-maks (pungutan liar), al-ikhtilas (pencopetan), dan al-
ihtihab (perampasan) .36
35 Komisi Pemberantasan Korupsi, Memahami Untuk Membasmi, (Jakarta: Komisi
Pemberantasan Korupsi, 2006), Hal. 15 36 M.Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 78
22
2. PEMBAGIAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM HUKUM
PIDANA POSITIF
Pembagian tindak pidana korupsi dalam UU No. 31/1999 Jo. UU No.
20/2001 tersebut dirumuskan dalam pasal 2, 3, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 12b, 13,
15, 16, 21, 22, 23 (menarik pasal 220, 231, 421, 422, 430 KUHP), dan 24. Dari
pasal-pasal tersebut Adami Chazawi mengatakan ada 44 rumusan tindak pidana
korupsi yang atas dasar-dasar tertentu dapat dibedakan dan dikelompokkan
menjadi lima rumusan dasar sebagai berikut:
A. Atas Dasar Substansi Objek Tindak Pidana Korupsi
Atas dasar substansi objeknya, tindak pidana korupsi dapat dibedakan
menjadi beberapa jenis, yaitu sebagai berikut:
1) Tindak Pidana Korupsi murni
Tindak pidana korupsi murni adalah tindak pidana korupsi yang
substansi objeknya mengenai hal yang berhubungan dengan perlindungan
hukum terhadap kepentingan hukum yang menyangkut keuangan negara,
perekonomian negara dan kelancaran pelaksanaan tugas atau pekerjaan
pegawai negeri atau pelaksana pekerjaan yang bersifat publik. Tindak
pidana korupsi ini dirumuskan dalam pasal: 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12,
12B, 13, 15, 16 dan 23 (menarik pasal 220, 231, 421, 422, 429, 430
KUHP).
23
2) Tindak Pidana Korupsi Tidak Murni
Tindak pidana korupsi tidak murni adalah tindak pidana korupsi
yang substansi objeknya mengenai perlindungan hukum terhadap
kepentingan hukum bagi kelancaran pelaksanaan tugas-tugas penegak
hukum dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Tindak pidana
yang dimaksudkan di sini hanya diatur dalam tiga pasal, yakni pasal 21, 22
dan 24.37
B. Atas Dasar Subjek Hukum Tindak Pidana Korupsi
Atas dasar subjek hukum atau si pembuatnya, maka tindak pidana korupsi
dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu sebagai berikut:
1) Tindak Pidana Korupsi Umum
Tindak pidana korupsi umum adalah bentuk-bentuk tindak pidana
korupsi yang ditujukan tidak terbatas kepada orang-orang yang berkualitas
sebagai pegawai negeri, akan tetapi ditujukan pada setiap orang termasuk
korporasi. Yaitu pasal 2, 3, 5, 6, 7, 13, 15, 16, 21, 22, 24 dan pasal 220 dan
231 KUHP jo pasal 23.
2) Tindak Pidana Korupsi Pegawai Negeri dan atau Penyelenggara
Negara
37 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 20-22
24
Tindak pidana korupsi pegawai negeri atau tindak pidana korupsi
pejabat adalah tindak pidana korupsi yang hanya dapat dilakukan oleh
orang yang berkualitas sebagai pegawai negeri atau penyelenggara negara.
Artinya, tindak pidana yang dirumuskan itu semata-mata dibentuk untuk
pegawai negeri atau penyelenggara negara. Rumusannya terdapat dalam
pasal 8, 9, 10, 11, 12, 12B dan 23 (mengadopsi pasal 421, 422, 429, 430
KUHP). Tindak pidana korupsi ini disebut sebagai kejahatan jabatan
khusus. Sedangkan kejahatan jabatan umum ditempatkan dalam pasal-
pasal Bab XXVIII Buku II KUHP yang tidak ditarik atau dirumuskan
kedalam tindak pidana korupsi. 38
C. Atas Dasar Sumbernya
Atas dasar sumbernya tindak pidana korupsi dapat dikelompokkan
menjadi dua sebagai berikut:
1) Tindak Pidana Korupsi yang bersumber pada KUHP yang dibedakan
menjadi dua macam, yaitu:
Pasal 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12 UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001.
Pasal ini bersumber dari rumusan tindak pidana dalam KUHP yang
formula rumusannya agak berbeda dengan KUHP, tetapi
substansinya sama.
38 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 22-23
25
Pasal 23 yang merupakan saduran dari pasal 220, 231, 421, 422,
429, dan 430 KUHP yang hanya mengubah ancaman dan sistem
pemidanaannya.
2) Tindak Pidana Korupsi oleh UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 yang
dirumuskan sendiri sebagai tindak pidana korupsi. Sebagaimana
dirumuskan dalam pasal 2, 3, 12B, 13, 15, 16, 21, 22 dan 24.
D. Atas Dasar Tingkah Laku/ Perbuatan dalam Rumusan Tindak Pidana
Dilihat dari sudut unsur tingkah laku dalam rumusan tindak pidana, maka
tindak pidana korupsi dapat dibedakan antara tindak pidana korupsi aktif dan
tindak pidana korupsi pasif.39
1) Tindak Pidana Korupsi Aktif
Tindak pidana korupsi aktif atau positif ialah tindak pidana
yang dalam rumusannya mencantumkan unsur perbuatan aktif.
Perbuatan aktif atau perbuatan materiil yang yang bisa disebut juga
perbuatan jasmani yaitu untuk mewujudkan diperlukan gerakan tubuh
atau bagian dari tubuh orang. Tindak pidana korupsi aktif ini terdapat
dalam beberapa pasal berikut:40
1. Pasal 2 yang perbuatannya memperkaya (diri sendiri, orang lain
atau suatu korporasi).
39 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 24-25 40 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 25
26
2. Pasal 3 yang perbuatannya menyalahgunakan wewenang,
menyalahgunakan kesempatan, dan menyalahgunakan sarana.
3. Pasal 5
ayat (1) sub a perbuatannya (a) memberi sesuatu; (b)
menjanjikan sesuatu; dan
ayat (1) sub b memberi sesuatu
ayat (2) Perbuatannya menerima pemberian.
4. Pasal 6:
ayat (1) sub a dan b perbuatan materiilnya (a) memberi
sesuatu, atau (b) menjanjikan sesuatu;
ayat (2) perbuatannya (a) menerima pemberian atau (b)
menerima janji.
5. Pasal 7 ayat (1) sub a dan b melakukan perbuatan curang.
6. Pasal 8 perbuatannya menggelapkan.
7. Pasal 9 perbuatannya memalsu.
8. Pasal 10
sub a perbuatannya (1) menggelapkan, (2) menghancurkan,
dan (3) membuat tidak dapat dipakai;
sub b perbuatannya membantu orang lain.41
41 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 26
27
9. Pasal 11 perbuatannya (1) menerima hadiah, atau (2) menerima
janji.
10. Pasal 12:
sub a, b, c, dan d perbuatannya (a) menerima hadiah atau
(b) menerima janji.
sub e perbuatannya (1) memaksa memberikan sesuatu, (2)
memaksa meminta, (3) memaksa menerima pembayaran
dengan potongan.
sub f perbuatannya (1) meminta pembayaran, (2) menerima
pembayaran, atau (3) memotong pembayaran.
sub g perbuatannya (1) meminta pekerjaan atau
pembayaran, atau (2) menerima pembayaran atau
pekerjaan.
sub h perbuatannya menggunakan tanah negara.
sub i perbuatannya turut serta dalam pemborongan,
pengadaan, atau persewaan.
11. Pasal 12B perbuatannya menerima gratifikasi.
12. Pasal 13 perbuatannya (a) memberi hadiah atau (b) memberi janji.
13. Pasal 15 perbuatannya (a) percobaan, (b) pembantuan dan (c)
permufakatan jahat.
14. Pasal 16 perbuatannya memberikan bantuan.42
42 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 26-27
28
15. Pasal 21 perbuatannya (a) mencegah, (b) merintangi, atau (c)
menggagalkan.
16. Pasal 22 perbuatannya (a) tidak memberikan keterangan atau (b)
memberikan keterangan.
17. Pasal 220 KUHP perbuatannya (a) memberitahukan atau (b)
mengadukan.
18. Pasal 231 KUHP:
ayat (1) perbuatannya menarik suatu barang;
ayat (2) perbuatannya (a) menghancurkan, (b) merusak,
atau (c) membikin tidak dapat dipakai;
ayat (3) perbuatannya melakukan kejahatan.
19. Pasal 421 KUHP perbuatannya (a) memaksa untuk melakukan, (b)
memaksa untuk tidak melakukan, atau (c) memaksa untuk
membiarkan.
20. Pasal 422 KUHP perbuatannya menggunakan sarana dengan
paksaan.
21. Pasal 429 KUHP:
ayat (1) perbuatannya memaksa masuk;
ayat (2) perbuatannya (a) memeriksa atau (b) merampas.43
22. Pasal 430 KUHP:
43 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 27-28
29
ayat (1) perbuatannya merampas;
ayat (2) perbuatannya menyuruh memberikan keterangan.
2) Tindak Pidana Korupsi Pasif
Tindak pidana korupsi pasif ialah tindak pidana yang unsur
tingkah lakunya dirumuskan secara pasif. Sebagaimana diketahui
bahwa tindak pidana pasif itu adalah tindak pidana yang melarang
untuk tidak berbuat aktif. Tindak pidana pasif korupsi terdapat dalam
pasal-pasal berikut:
1. Pasal 7 ayat (1) sub b, d, dan ayat (2) yang membiarkakn perbuatan
curang.
2. Pasal 10 sub b perbuatannya membiarkan orang lain
menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat
hingga tidak dapat dipakai.
3. Pasal 23 jo 231 KUHP perbuatan pasifnya membiarkan dilakukan
salah satu kejahatan itu.
4. Pasal 24 perbuatanya tidak memenuhi ketentuan.44
E. Atas Dasar Dapat tidaknya Merugikan Keuangan atau Perekonomian
Negara
Atas dasar seperti ini tindak pidana korupsi dapat dibedakan menjadi dua
kelompok, yaitu (a) tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan atau
44 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 28-29
30
perekonomian negara dan (b) tindak pidana korupsi yang tidak mensyaratkan
dapat menimbulkan kerugian keuangan atau perekonomian negara. Haruslah
dipahami bahwa tindak pidana korupsi yang dapat membawa kerugian negara
pada sub (a) tersebut bukanlah tindak pidana materiil, melainkan tindak pidana
formil. Terjadinya tindak pidana korupsi secara sempurna tidak perlu menunggu
timbulnya kerugian negara. Asalkan dapat ditafsirkan menurut akal sehat bahwa
suatu perbuatan dapat menimbulkan kerugian negara, maka perbuatan tersebut
sudah dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.45
3. KLASIFIKASI TINDAK PIDANA KORUPSI
1. Klasifikasi Tindak Pidana Korupsi dalam Hukum Pidana Positif
Dalam hukum pidana positif, klasifikasi tindak pidana korupsi adalah
rumusan tindak pidana korupsi yang berdiri sendiri dan dimuat dalam pasal-pasal
UU No. 31/1999 yang diubah dengan UU No. 20/2001. Berikut klasifikasi tindak
pidana korupsi dalam Hukum Pidana Positif:
A. Tindak Pidana Korupsi yang Merugikan Keuangan Negara (Pasal 2
& pasal 3)
Unsur-unsur delik pada pasal 2 adalah sebagai berikut:
a. Perbuatannya: memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi
b. Dengan cara melawan hukum
45 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 30
31
c. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.46
Unsur-unsur delik pada pasal 3 adalah sebagai berikut:
1) Unsur Objektif
a. Perbuatannya: menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
b. Yang ada padanya: karena jabatan atau kedudukan
c. Yang dapat merugikan: keuangan negara atau perekonomian negara
2) Unsur Subjektif
d. Dengan tujuan: Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi47
Dalam substansi pasal 2 dan pasal 3 tersebut yang dimaksud kekayaan atau
perekonomian Negara ialah kekayaan berada dalam penguasaan pengurusan
pertanggungjawaban pejabat Negara, baik di tingkat pusat maupun daerah dan
berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban BUMN dan
BUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal Negara,
atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian
dengan Negara.48
B. Tindak Pidana Penyuapan (Pasal 5, 6, 11, 12 Huruf a, b, c dan d dan
Pasal 13)
46 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 34-35 47 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 48-49 48 Mahrus Ali, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, (Yogyakarta: UII Press,
2013), Hal. 103-104
32
Secara konseptual suap di artikan sebagai pemberian hadiah atau janji
pada seorang penyelenggara negara atau pegawai negeri yang berhubungan
dengan jabatannya. Secara normatif tindak pidana suap diatur dalam ketentuan
pasal 5, 6, 11, 12 huruf a, b, c dan d serta pasal 13 berikut penjelasnnya:49
1. Suap pada Pegawai Negeri (Pasal 5)
Tindak pidana yang dirumuskan dalam pasal 5 tersebut dalam praktik
diberi kualifikasi dengan “suap aktif” (aktive omkooping). Rumusan ini diadopsi
dari pasal 209 KUHP, oleh karena ini diadopsi dari KUHP maka pasal 209 telah
dinyatakan tidak berlaku. Rumusan pasal 5 ini telah jelas perbedaannya dengan
pasal 209 KUHP. Menurut Adami Chazawi, dalam pasal 209 KUHP unsur
maksud dari perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu ditujukan untuk
menggerakkan yakni mempengaruhi batin orang lain (pegawai negeri) tidak
dimuat, akan tetapi dalam pasal 5 UU No. 20/2001 maksud (bukan lagi ditujukan
untuk menggerakkan pegawai negeri), tetapi ditujukan agar pegawai negeri
berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban
jabatannya.50
1. Unsur delik pasal 5 ayat (1) huruf a adalah sebagai berikut:
Unsur objektif
a. Perbuatannya: memberi atau menjanjikan (sesuatu)
49 Mahrus Ali, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Hal. 125 50 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 57-58
33
b. Objeknya:sesuatu
c. Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
Unsur Subjektif
d. dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut
berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan
dengan kewajibannya.
2. Unsur delik pasal 5 ayat (1) huruf b adalah sebagai berikut:
a. Perbuatannya: memberi (sesuatu)
b. Objeknya: sesuatu
c. Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
d. dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut
berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan
dengan kewajibannya.
3. Unsur delik pasal 5 ayat (2) adalah sebagai berikut:
a. Si pembuatnya: pegawai negeri atau penyelenggara negara
b. Perbuatannya: menerima pemberian atau menerima janji
c. Objeknya: sesuatu yang diberikan atau sesuatu yang dijanjikan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a dan b.51
51 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 58-75
34
2. Tindak Pidana Korupsi Suap pada Hakim dan Advokat (Pasal 6)
Rumusan tindak pidana suap pada pasal ini diadopsi dari pasal 210 KUHP
dengan pengurangan dan penambahan bentuk tindak pidana korupsi baru.
Pengurangan dalam rumusan ayat (2) KUHP mengenai alasan/ dasar pemberatan
pidana dihilangkan, tetapi dimasukkan bentuk tindak pidana suap yang baru (suap
pasif) dan ditempatkan pada ayat (2).52
1. Suap pada hakim, unsur delik pasal 6 ayat (1) huruf a:
Unsur objektif
a. Perbuatannya: memberi atau menjanjikan (sesuatu);
b. Objeknya:sesuatu;
c. Kepada hakim.
Unsur Subjektif
d. Dengan maksud untuk memengaruhi putusan perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili.
2. Suap pada advokat, unsur delik pasal 6 ayat (1) huruf b:
Unsur-unsur yang bersifat objektif
a. Perbuatannya: memberikan atau menjanjikan (sesuatu);
b. Objeknya: sesuatu;
c. Pada advokat yang menghadiri sidang pengadilan.
Unsur-unsur yang bersifat subjektif
52 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 80-81
35
d. Dengan maksud untuk memengaruhi nasihat atau pendapat yang akan
diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan
untuk diadili.
3. Hakim atau advokat menerima suap, unsur pasal 6 ayat (2):
a. Pembuatnya: hakim atau advokat;
b. Perbuatannya: menerima (sesuatu, disebut pemberian) atau menerima
(sesuatu) janji;
c. Objeknya: sesuatu;
d. Yang dimaksudkan dalam ayat (1) huruf a atau huruf b.53
3. Korupsi Pegawai Negeri Menerima Hadiah atau Janji yang
Berhubungan dengan Kewenangan Jabatan (Pasal 11)
Unsur-unsur pasal 11 adalah sebagai berikut:
Unsur-unsur objektif
a. Pembuatnya: pegawai negeri atau penyelenggara negara;
b. Perbuatannya: menerima hadiah atau menerima janji.
Unsur-unsur subjektif
c. Diketahuinya;
d. Patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan
atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya dan menurut
53 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 81-90
36
pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan
dengan jabatannya.54
3. Korupsi Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara atau Hakim dan
Advokat Menerima Hadiah atau Janji, (Pasal 12 huruf a, b, c dan d)
Perlu diketahui bahwa pasal 12 huruf a, b, c, dan d berasal dari pasal 419-
420 KUHP.55 Pasal 12 huruf a unsurnya yaitu, (a) pegawai neegeri atau
penyelenggara negara; (b) menerima hadiah atau janji; (c) diketahui atau patut
diduga; dan (d) hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar
melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan
dengan kewajibannya.56 Sedangkan pasal 12 huruf b ialah (a) pegawai neegeri
atau penyelenggara negara; (b) menerima hadiah atau janji; (c) diketahui atau
patut diduga; dan (d) hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan
karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan kewajibannya.57
Pasal 12 huruf c dan d ialah korupsi yang ada hubungan langsung dengan
masalah penegakan hukum di lingkungan peradilan.58 Unsurnya pasal 12 huruf c
yaitu, (a) hakim (b) menerima hadiah atau janji; (c) diketahui atau patut diduga;
(d) untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepada hakim untuk
54 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 167-
168 55 R. Wiyono, Pembahsan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2009), Hal 103 56 Mahrus Ali, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Hal. 142 57 Mahrus Ali, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Hal. 147 58 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 203
37
diadili. Sedangkan pasal 12 huruf d yaitu, (a) advokat (b) menerima hadiah atau
janji; (c) diketahui atau patut diduga; (d) untuk mempengaruhi nasehat atau
pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili. 59
4. Korupsi Suap pada Pegawai Negeri dengan Mengingat Kekuasaan
Jabatan (Pasal 13)
Korupsi suap pada pasal ini termasuk suap aktif, sama sifatnya dengan
pasal 5 dan pasal 6. Pada suap aktif tidak disebutkan kualifikasi pembuatnya,
siapa saja dapat melakukan tindak pidana suap aktif. Berikut unsur-unsurnya:
a. Perbuatannya: memberi (hadiah atau janji)
b. Objeknya: hadiah atau janji
c. Pada pegawai negeri
d. Dengan mengingat kekuasaan atau kedudukannya, atau oleh pemberi
hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan
tersebut.60
C. Korupsi Penyalahgunaan Jabatan (Pasal 8, 9, 10 huruf a, b dan c)
Pasal 8 ini berisi delik tentang “menggelapkan uang atau surat berharga
yang disimpan karena jabatannya”.61 Rumusan pasal 8 ini diadopsi dari pasal 415
59 R. Wiyono, Pembahsan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Hal
105-106 60 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 271-
272 61 Mahrus Ali, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Hal. 170
38
KUHP berupa salah satu kejahatan jabatan yang sebelumnya telah ditarik menjadi
tindak pidana korupsi oleh UU No. 3/1971.62
Pasal 9 berisi tentang “memalsu buku atau daftar yang khusus untuk
pemeriksaam administrasi”.63 Rumusan pasal 9 diadopsi dari pasal 416 KUHP
yang sejak UU No. 24/Prp/1960 telah ditarik menjadi tindak pidana korupsi.
Perbedaan pasal 8 dengan pasal 416 KUHP ialah pasal 8 lebih berat ancaman
pidananya dan perbuatannya hanya memalsu (pasal 8), sedangkan pasal 416
KUHP perbuatannya “secara palsu atau memalsu”.64
Pasal 10 diadopsi dari pasal 417 KUHP yang juga telah ditarik ke dalam
tindak pidana korupsi sejak diundangkannya UU No. 24/Prp/1960. Selanjutnya
ditarik lagi ke dalam UU No. 3/1971 menjadi tindak pidana korupsi. Pasal ini
tediri dari tiga bentuk tindak pidana korupsi.65 yaitu sebagai berikut:
1) menggelapkan, menghancurkan, membuat tidak dapat dipakai barang,
akta, atau surat (pasal 10 huruf a);
2) membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, atau surat; dan
3) membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau
membuat tidak dapat dipakai barang, akta, atau surat.66
62 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 111 63 Mahrus Ali, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Hal. 172 64 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 133-
134 65 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 140-
141 66 Mahrus Ali, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Hal. 173-176
39
D. Tindak Pidana Pemerasan (Pasal 12 huruf e, f dan g)
Dalam pasal 12 huruf e berisi tentang pegawai negeri yang dengan
menyalahgunakan kekuasaannya untuk memaksa seseorang menerima sesuatu,
membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan atau untuk mengerjakan
sesuatu bagi dirinya sendiri.67 Pasal 12 huruf f yaitu pegawai negeri atau
penyelenggara Negara yang meminta pembayaran.68 Sedangkan pasal 12 huruf g
pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang meminta pekerjaan.69
E. Tindak Pidana Curang (Pasal 7 dan Pasal 12 huruf h)
Pasal 7 diadopsi dari pasal 387 dan 388 yang sejak UU No. 24/Prp/1960
telah ditarik menjadi tindak pidana korupsi. Namun dalam UU baru ini dimuat
satu pasal saja (pasal 7) yang tampaknya didasarkan pada alasan efisiensi saja,
karena ancaman pidananya disamakan. Korupsi ini terdiri dari lima bentuk, yaitu
sebagai berikut:
1. Tindak pidana korupsi pemborong, ahli bangunan, penjual ahli bangunan
melakukan perbuatan curang (ayat 1 huruf a)
2. Tindak pidana korupsi pegawai bangunan membiarkan perbuatan curang (ayat
1 huruf b)
3. Tindak pidana korupsi menyerahkan barang keperluan TNI dan kepolisian
Negara RI dengan perbuatan curang (ayat 1 huruf c)
67 Mahrus Ali, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Hal. 178 68 Mahrus Ali, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Hal. 180 69 Mahrus Ali, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Hal. 182
40
4. Tindak pidana korupsi pengawas dalam hal penyerahan barang keperluan TNI
dan kepolisian Negara RI membiarkan perbuatan curang (ayat 1 huruf d)
5. Tindak pidana korupsi membiarkan perbuatan curang pada saat menerima
penyerahan barang keperluan TNI dan kepolisian Negara RI (ayat 2).70
Sedangkan pasal 12 huruf h berisi tentang pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menggunakan tanah Negara.71
F. Korupsi Benturan Kepentingan dalam Pengadaan (Pasal 12 huruf i)
Pasal 12 huruf i berisi tentang benturan kepentingan dalam pengadaaan.72
Pasal ini berasal dari pasal 435 KUHP.73
G. Tindak Pidana Gratifikasi (Pasal 12B)
Pasal 12 B berisi tentang gratifikasi yang dianggap sebagai suap jika
berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau
tugasnya. Jika nilai gratifikasi tersebut nilainya di bawah Rp. 10.000.000, maka
dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi. Apabila gratifikasi tersebut
dilaporkan, maka ketentuan pasal 12B ayat (1) menjadi tidak berlaku. Dalam
penjelasan pasal tersebut gratifikasi diartikan sebagai pemberian dalam arti luas,
yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-
70 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 92-94 71 Mahrus Ali, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Hal. 190 72 Mahrus Ali, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Hal. 192 73 R. Wiyono, Pembahsan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Hal.
103
41
cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri
maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik
atau tanpa sarana elektronik.74
H. Percobaan, Permufakatan Jahat dan Pembantuan Melakukan Tindak
Pidana Korupsi (Pasal 15)
Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan
jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal
14.75
Ketentuan yang terdapat dalam pasal 15 tersebut sebenarnya terdiri dari
tiga perbuatan, yaitu, percobaan, pembantuan dan permufakatan jahat melakukan
tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, pasal 3 pasal 5
sampai dengan pasal 14. Ketentuan pasal 15 tersebut adalah sama dengan
ketentuan yang terdapat dalam pasal 1 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1971. Dalam
penjelasan tersebut, disebutkan bahwa “Karena tindak pidana korupsi sangat
merugikan keuangan/perekonomian negara, maka percobaan untuk melakukan
tindak pidana tersebut dijadikan delik tersendiri dan diancam dengan hukuman
sama dengan ancaman bagi tindak pidana itu sendiri yang telah selesai dilakukan.
Demikian pula mengingat sifat dari tindak pidana korupsi itu, maka permufakatan
jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi meskipun masih merupakan
tindakan persiapan sudah dapat dipidana penuh sebagai suatu tindak pidana
74 Mahrus Ali, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Hal. 197 75 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
42
tersendiri”. Pasal 15 ini merupakan aturan khusus, karena ancaman pidana pada
percobaan dan pembantuan pada umumnya dikurangi 1/3 (satu pertiga) dari
ancaman pidananya.76
I. Tindak Pidana Lain yang Berhubungan dengan Hukum Acara
Pemberantasan Korupsi (Pasal 21, 22, 23 dan 24)
Yang dimaksud tindak pidana yang berhubugan dengan hukum acara
pemberantasan korupsi tersebut adalah tindak pidana yang pada dasarnya bersifat
menghambat, menghalang-halangi upaya penanggulangan dan pemberantasan
tindak pidana korupsi. Tindak pidana yang dimaksudkan ini dimuat dalam 3 pasal,
yakni pasal 21, 22, dan 24.77
Sedangkan pada pasal 23 adalah menarik enam kejahatan yang ada dalam
KUHP menjadi tindak pidana korupsi dengan menyeragamkan ancaman
pidananya menjadi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6
(enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah). Dalam
KUHP yang ditarik ke dalam pasal ini terdiri dua jenis kejahatan yaitu kejahatan
terhadap penguasa umum (220 dan 231 KUHP) dan dan kejahatan jabatan (421,
422, 429, dan 430 KUHP) yang singkatnya sebagai berikut:78
1. Pasal 220 mengenai laporan atau pengaduan palsu;
76 R. Wiyono, Pembahsan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Hal.
134-135 77 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 279 78 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 301
43
2. Pasal 231 mengenai menarik barang yang disita yang dititipkan oleh
hakim;
3. Pasal 421 mengenai pegawai negeri yang menyalahgunakan kekuasaan
memaksa melakukan atau tidak melakukan;
4. Pasal 422 mengenai pegawai negeri yang dalam perkara pidana memeras
pengakuan;
5. Pasal 429 mengenai pegawai negeri yang melampaui kekuasaannya
menyuruh memperlihatkan atau merampas surat, kartu pos, atau barang
paket yang diserahkan pada lembaga pengangkutan umum.79
2. Klasifikasi Tindak Pidana Korupsi dalam Hukum Pidana Islam
Menurut M. Nurul Irfan, tindak pidana dalam fiqh jinayah (hukum pidana
Islam) dari unsur-unsur dan definisi yang mendekati terminologi korupsi di masa
sekarang yaitu, ghulul (penggelapan), risywah (penyuapan), ghasab (mengambil
paksa hak/ harta orang lain), khianat, sariqah (pencurian), al-hirabah
(perampokan), al-maks (pungutan liar), al-ikhtilas (pencopetan), dan al-ihtihab
(perampasan) .80
Munawar Fuad Noeh mengatakan bahwa korupsi dalam Islam bisa
ditelusuri lewat istilah risywah (suap), saraqah (pencurian), al-gasysy (penipuan)
dan khianat (penghianatan).81
79 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 302 80 M.Nurul Irfan, Korupsi dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 78 81 Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi, Hal. 87
44
Abu Fida Abdurrafi’ mengatakan apabila korupsi ditinjau dari sisi syariat
Islam dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Suap-menyuap disebut dengan ar-risywah
Pungutan-pungutan liar dapat dikategorikan sebagai ar-risywah apabila
kedua belah pihak sepakat, juga bisa dikategorikan sebagai perampasan
(al-ghasbu) yakni apabila pungli itu bersifat memaksa, misalnya apabila
tidak menyerahkan sejumlah uang tertentu kepada yang berwenang, maka
urusannya akan dipersulit, juga bisa dikategorikan sebagai pemungutan
cukai (al-maksu)
Mark up dapat dikategorikan sebagai penipuan (al-ghurur) dan pemalsuan
data dinamakan penyelewengan (al-khianat)
Pembobolan bank dan penggelapan uang negara dapat dikategorikan
sebagai pencurian baitul mal/ khas negara (al-ghulul)82
Dari sedikit perbedaan pendapat di atas pada dasarnya secara umum
korupsi adalah tindakan kriminal yang secara prinsip bertentangan dengan moral
dan keagamaan.83 Berikut penjelasan istilah-istilah korupsi dalam hukum Islam:
a. Ghulul (Menggelapkan Harta Baitul Mal)
82 Abu Fida’ Abdur Rafi, Terapi Penyakit Korupsi dengan Tazkiyatun Nafs, Hal. 2 83 Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi, Hal. 90
45
Kata “ghulul” yang lebih spesifik dikemukakan dalam al’Mu’jam
al-Wasit berasal dari kata “ یغل-غل ” yang berarti “خان في المغنم” berkhianat
dalam pembagian harta rampasan perang atau dalam harta-harta lain.84
Menggelapkan uang negara dalam sistematika syari’at islam
disebut dengan Al-ghulul, yakni mencuri ghanimah (harta rampasan
perang) atau menyembunyikan sebagiannya (untuk dimiliki) sebelum
menyampaikannya ke tempat pembagian, walaupun yang diambilnya itu
sesuatu yang remeh bahkan walaupun hanya seutas benang dan jarum.
Berdasarkan hadits-hadits dari Rasulullah yang termasuk ghulul adalah:
Mencuri ghanimah (harta rampasan perang).
Menggelapkan khas negara (baitul maal).
Menggelapkan zakat.
Hadiah untuk para pejabat.85
Allah swt. Berfirman dalam surat Ali-imran ayat 161:
“tidak mungkin seorang Nabi berkhianat dalam urusan harta rampasan perang. Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu, kemudian tiap-tiap diri akan diberi pembalasan
84 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 79 85 Abu Fida’ Abdur Rafi, Terapi Penyakit Korupsi dengan Tazkiyatun Nafs, Hal. 30
46
tentang apa yang ia kerjakan dengan (pembalasan) setimpal, sedang mereka tidak dianiaya.”
“Tidaklah layak seorang Nabi berkhianat.” Ibnu Abi Hatim
meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata, “Kaum muslim kehilangan
selimut beludru dalam peristiwa perang badar. Mereka mengatakan bahwa
kemungkinan Rasulullah saw. telah mengambilnya.” Maka Allah Ta’ala
menurunkan ayat, “Tidaklah layak bagi seorang Nabi berkhianat” yakni
korupsi. Ini merupakan penyucaian terhadap diri Nabi saw. dari segala
aspek penghianatan dalam menjalankan amanah membagikan ghanimah,
dan sebagainya.
Kemudian Allah berfirman, “Barangsiapa yang berkhianat, maka
kelak ia akan datang pada hari kiamat membawa perkara yang
dikhianatinya itu. Kemudian setiap individu akan dipenuhi balasannya
atas apa yang telah diupayakannya, sedang mereka tidak dizalimi.” Ini
merupakan intimidasi yang keras dan ancaman yang tegas. Dalam sunnah
pun terdapat larangan berkhianat seperti termuat dalam banyak hadits, di
antaranya dalam hadits-hadits berikut ini.
1. Diriwayatkan oleh ahmad dari Abu Malik al-Asyaja’i, dari Nabi saw.
bersabda:
أوفي الدار -تجدون الرجلین جارین في األرض –أعظم الغلول عنداهللا ذراع من الألرض فیقطع أحدھما من حظ صاحبھ ذراعا, فإذا قطعھ طوقھ من سبع أرضین یوم القیا مة (رواه
احمد)
“Korupsi yang paling besar menurut pandangan Allah ialah sejengkal tanah. Kamu melihat dua orang yang tanahnya atau rumahnya
47
berbatasan. Kemudian salah seorang dari keduaya mengambil sejengkal dari milik saudaranya itu. Maka jika dia mengmbilnya, akan dikalungkan kepadanya dari tujuh lapis bumi pada hari kiamat.” (HR. AHMAD).
2. Imam Ahmad meriwayatkan dari al-mistaurid bin syadad, dia
mendengar Rasulullah saw. bersabda:
یتزوج، أولیس لھ خادم من ولي لناعمال ولیس لھ منزل فلیتخذ منزال، أو لیست لھ زوجة فل واه أحمد)فلیتخذ خادما ، أولیس لھ دابة فلیتخذ دابة، ومن أصاب شیئا سوى ذلك فھو غال (ر
“Barangsiapa yang diserahi suatu jabatan sedang dia tidak punya rumah, maka berikan rumah untuknya; bila tidak punya istri, maka kawinkan dia; bila tidak punya pembantu, maka berilah dia pembantu; dan bila tidak punya kendaraan maka sediakan kendaraan untuknya. Barangsiapa yang mengambil sesuatu selain itu, maka dia koruptor.”86
b. Risywah (Suap-Menyuap)
Secara etimologis kata risywah berasal dari bahasa arab “ یرشو-رشا ”
yang masdar atau verbal nounnya bisa dibaca “رشوة ”رشوة” atau “رشوة”
berari “الجعل” yaitu upah, hadiah, komisi atau suap. Ibnu Manzhur juga
mengemukakan penjelasan Abul Abas tentang makna kata risywah, ia
mengatakan bahwa kata risywah terbentuk dari kalimat “رشاالفرخ” anak
burung merengek-rengek ketika mengangkat kepalanya kepada induknya
untuk disuapi. Sedangkan secara terminologis, risywah adalah sesuatu
yang diberikan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan atau
membenarkan yang batil/salah atau menyalahkan yang benar.87
86 Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir jilid
1, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999), Hal. 609-610 87 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 89
48
Tindakan suap-menyuap (al-risywah) di dalam al-Qur’an dan
hadits jelas diharamkan dan dikategorikan sebagai al-ma’siyyah
(perbuatan yang melanggar perintah Allah). Surat al-Baqarah ayat 18888
mengandung pesan hukum bahwa perbuatan memberi dan menerima suap
hukumnya haram. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan fi’l al-mudhari
yang disertai kata la nahiyah dan penggunaan al-itsm, yang merupakan
varian dari sigat al-nahy, yang kemudian dikombinasikan dengan aplikasi
qa’idah usuliyyah berupa al-nahy ‘ind al-itlaq yaqtad al-tahrim (ungkapan
al-nahy atau larangan-ketika bersifat mutlak mengimplikasikan keharaman
perbuatan yang dilarang).89
c. ghasab (mengambil paksa hak/ harta orang lain)
Menurut M. Nurul Irfan ghasab didefiisikan sebagai upaya untuk
menguasai hak orang lain secara permusuhan atau terang-terangan.
Larangan perbuatan ghasab ada dalam Firman Allah surat al-Nisa ayat 29:
88 Surat al-Baqarah ayat 188 menjelaskan:
“dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.”
89 Asmawi, Teori Maslahat dan Perundang-Undangan Pidana Khusus di Indonesia,
(Tanpa tempat: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010), Hal. 131
49
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”90
d. khianat
Wahbah Zuhaili mendefinisikan khianat dengan segala sesuatu
(tindkan/ upaya yang bersifat) melanggar janji dan kepercayaan yang telah
dipersyaratkan didalamnya atau telah berlaku menurut adat kebiasaan,
seperti tindakan pembantaian terhadap kaum muslim atau sikap
menampakkan permusuhan terhadap kaum muslim.91
Dalalm al-Qur’an surat an-Nisa ayat 58 menegaskan:
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.
90 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 105-107 91 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 112
50
Ayat tersebut secara tegas mewajibkan penunaian amanat secara
baik dan benar (al-amanah), di mana hal ini diimplikasikan dari
penggunaan kata یأمركم yang nota bene salah satu varian sigat al-nahy,
yang kemudian diterapkan qaidah usuliyyah berupa al-amr ‘ind al-itlaq
yaqtad al-tahrim; maka mafhum mukhalafah (maksud/ pemahaman)
darinya ialah mengharamkan sikap pengabaian amanat (al-khiyanah).92
Dalam terjemahan Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa surat an-
nisa ayat 58 diturunkan sehubungan dengan kasus Utsman bin Abi
Thalhah, penjaga Ka’bah yang mulia. Ayat ini diturunkan karena tatkala
Rasulullah saw. mengambil kunci Ka’bah pada peristiwa penaklukan
mekah, beliau mengembalikannya kepada Utsman. Sebagian ahli ilmu
menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah berdiri di pintu Ka’bah, lalu
bersaba, “Tidak ada Tuhan melainkan Allah Yang Esa dan tidak ada
sekutu baginya; Maha benar janjinya. Dia Yang Esa menolong hamba-Nya
dan mengalahkan berbagai golongan. Ketahuilah, segala kehormatan,
darah, atau kekayaan yang diadukan, maka ia berada dibawah kakiku ini,
kecuali soal pemeliharaan Baitullah dan pemberian air minum kepada
jama’ah haji.” Dia menuturkan kalimat selanjutnya yang terdapat dalam
hadits yang merupakakn khutbah Nabi saw. pada saat itu hingga dia
menuturkan: “Rasulullah saw. duduk di masjid. Lalu datanglah Ali bin Abi
Thalib, sedangkan kunci Ka’bah berada di tangannya, kemudian berkata,
92 Asmawi, Teori Maslahat dan Perundang-Undangan Pidana Khusus di Indonesia, Hal.
157-168
51
‘Ya Rasulullah, satukan saja ke dalam tanggungjawab kita urusan
penjagaan Ka’bah dan pemberian air minum kepada jamaah haji, semoga
Allah melimpahkan rahmat dan salam kepadamu.’ Maka Rasulullah saw.
bersabda, ‘Dimanakah Utsman bin Thalhah?’ maka Utsman dipanggil
supaya menghadap beliau. Lalu Nabi bersabda kepadanya, ‘Hai Utsman,
ini ambillah kuncimu! hari ini merupakan hari pemenuhan atas janji dan
hari kebaikan.” Meskipun ayat ini diturunkan berkaitan dengan
pengembalian kunci Ka’bah - karena ia merupakan amanat yang dulu
diserahkan oleh Utsman bin Thalhah kepada Rasulullah saw. kemudian
beliau mengembalikannya kepada Utsman sebagaimana dikemukakan
dalam hadits barusan, maka hukum ayat ini mencakup segala jenis amanat
yang diterima oleh manusia. Oleh karena itu, Ibnu Abbas berkata,
”Amanat itu bagi orang yang baik maupun durhaka. Yakni, amanat itu
merupakan perintah bagi setiap orang agar memberikan amanat kepada
ahlinya.”93
e. sariqah (pencurian)
sariqah adalah mengambil barang atau harta orang lain dengan
cara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya yang biasa
digunakan untuk menyimpan barang atau harta kekayaan.94 Sariqah
termasuk salah satu jarimah hudud yang hukumannya potong tangan,
93 Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir jilid
1, Hal. 737-738 94 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 117
52
tetapi untuk memberlakukan potong tangan harus memenuhi syarat-syarat
dan rukun jarimah sariqah.95
f. hirabah (perampokan)
hirabah adalah penyerangan dengan membawa senjata kepada satu
komunitas orang sehingga para pelaku merampas harta kekayaan mereka
di tempat-tempat terbuka secara terang-terangan. Dalil naqli tentang
perampokan disebutkan secara tegas dalam surah al-Maidah ayat 33:
“Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar,96
g. al-gasysy (penipuan)
al-gasysy termasuk dalam korupsi karna berdasarkan sabda
Rasulullah SAW. bahwa Allah mengharamkan surga bagi orang-orang
yang melakukan penipuan.terlebih penupuan itu dilakukan seorang
pemimpin yang mempecundangi rakyatnya. “Dari Abu Ya’la Ma’qal ibn
95 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 122 96 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 122-123
53
Yasar berkata: aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “seorang
hamba yang dianugerahi Allah jabatan kepemimpinan, lalu dia menipu
rakyatnya; maka Allah mengharamkannya masuk surga.”(H.R. Bukhari
dan Muslim).97
h. al-Maks (pungutan liar), al-Ikhtilas (pencopetan), al-Ihtihab (perampasan)
Ketiga istilah ini belum masuk dan belum menjadi bahasa Indonesia. Oleh
karena itu secara berurutan akan diuraikan pengertian dan dalil keharamannya.
a) al-Maks (pungutan liar)
al-maks itu berasal dari kata یمكس -مكس artinya memungut cukai.
Muhammad bin Salim bin Sa’id bin Babashil mendefinisikan al-maks
adalah suatu aturan yang ditentukan oleh penguasa-penguasa secara zalim,
berkaitan dengan harta-harta manusia, (aturan ini) diatur dengan undang-
undang yang sengaja dibuat atau diada-adakan.98 Dalam hadits Nabi
menyatakan bahwa pelaku cukai illegal atau pungutan liar tidak akan
masuk surga.
عن عقبة بن عامر قال سمعة رسول اهللا صل اهللا علیھ وسلم قال الیدخل الجنة صاحب مكس
Dari Uqbah bin Amir, berkata, saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: orang yang melakukan pungutan liar tidak akan masuk surga. (HR. Abu Dawud).99
97 Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi, Hal. 90 98 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 127-129 99 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 133
54
b) al-Ikhtilas (pencopetan)
al-Ikhtilas adalah mengambil dalam suasana lengah dan dengan
cara menipu.100 al-Ikhtilas sangat mirip dengan pencopetan tetapi tidak
sama dengan pencurian karena sasarannya bukan sedang disimpan oleh
pihak korban melainkan sedang dibawa, dipakai, dijual di warung, atau
sedang dipergunakan. Dalilnya terdapat dalam surat al-baqarah ayat 188:
“dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui”.101
c) al-Ihtihab (perampasan)
Para ahli hadits yaitu al-Baihaqi, al-Mubarakfuri, dan al-
Siharanfuri mendefinisikan al-Ihtihab ialah mengambil sesuatu dengan
cara terang-terangan, memaksa dan menguasai. Mengenai dalil
diharamkan al-Ihtihab sebagaimana seperti al-ikhtilas juga tidak secara
eksplisit di dalam al-Qur’an, tetapi persoalan al-Ihtihab ini jelas sebagai
100 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 135 101 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 138
55
salah satu cara memakan harta sesama dengan cara batil. Sehingga ayat
188 al-Baqarah berlaku sebagai dalil diharamkannya al-Ihtihab.102
4. PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA KORUPSI
Syed Hussain Alatas mengatakan bahwa salah satu sabab musabab
korupsi ialah bertambahnya pegawai negeri dengan cepat, dengan akibat gaji
mereka menjadi sangat kurang. Hal ini selanjutnya mengakibatkan perlunya
pendapatan tambahan. Dengan bertambahnya pegawai negeri maka bertambah
pula luasnya kekuasaan dan kesempatan birokrasi, dibarengi dengan lemahnya
pengawasan dari atas dan pengaruh partai politik, menyediakan tanah subur bagi
korupsi.103
Krisna Harahap dalam bukunya “pemberantasan korupsi, jalan tiada
ujung” menjelaskan ada 2 (dua) faktor, yakni faktor internal dan faktor eksternal.
Secara internal dorongan untuk melakukan tindak pidana korupsi muncul karena:
Dorongan kebutuhan. Seseorang terpaksa korupsi karena gaji yang jauh
dari mencukupi dibanding kebutuhannya yang sangat besar akibat beban
dan tanggungjawab yang sangat besar pula. Korupsi jenis ini biasanya
hanya meliputi nilai yang terbatas tetapi dengan frekuensi berualngkali.
Dorongan keserakahan. Orang yang korupsi karena serakah tentu saja
tidak didorong oleh kebutuhan yang sudah mencukupi. Korupsi dilakukan
102 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 140-141 103 Syed Hussain Alatas, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, Hal.122
56
agar hidup lebih mewah dapat memiliki barang-barang yang tak bakal
terbeli dengan gaji.
Faktor-faktor external yang menyebabkan korupsi terdiri dari:
Lingkungan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa korupsi sudah
merambah ke setiap instansi pemerintah. Tindakan korupsi sudah
dianggap wajar sehingga dikategorikan sebagai tindakan yang benar.
Peluang. Akibat lemahnya pengawasan sehingga terjadi peluang yang
besar bagi mereka yang akan melakukan tindak pidana korupsi.104
104 Krisna Harahap, Pemberantasan Korupsi jalan tiada ujung, (Bandung: PT Grafitri,
2006), Hal. 7-8
57
BAB III
TINDAK PIDANA GRATIFIKASI DALAM HUKUM PIDANA POSITIF
DAN HUKUM PIDANA ISLAM
A. PENGERTIAN GRATIFIKASI MENURUT UU TIPIKOR DAN
HUKUM PIDANA ISLAM
Secara etimologis kata gratifikasi berasal dari bahasa belanda yaitu
“gratificatie” yang berarti Tunjangan atau gratifikasi.105 Dalam kamus hukum
gratifikasi diartikan sebagai pemberian upah/ gaji/ hadiah dengan maksud
mendapat keuntungan dibidang lain atau hadiah sebagai tanda balas jasa.106 Perlu
kita pahami bahwa gratifikasi terdiri dari dua jenis, yakni gratifikasi ilegal
(terlarang) dan gratifikasi legal (tidak terlarang).107 Yang dimaksud gratifikasi
ilegal sebagaimana terdapat dalam penjelasan pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001
yaitu gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang,
barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas
penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan
yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana
105 Wojo Wasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, (Jakarta: Ichtar Baru Van Hoeve,
1997), Hal. 244 106 B.N Marbun, Kamus Hukum Indonesia edisi kedua, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
2006), Hal. 87 107 Hasil Wawancara dengan Ferdi Diansyah (Staf Direktorat Gratifikasi Komisi
Pemberantasan Korupsi) pada tanggal 25 april 2014
58
elektronik.108 Sedangkan gratifikasi yang legal adalah gratifikasi yang tidak
dimaksudkan dalam penjelasan undang-undang tersebut. Gratifikasi legal
dilakukan untuk menjalankan hubungan baik, menghormati martabat seseorang,
memenuhi tuntutan agama, dan mengembangkan berbagai bentuk perilaku
simbolis (Diberikan karena alasan yang dibenarkan secara sosial).109
Untuk memahami apakah gratifikasi yang diterima termasuk suatu
pemberian hadiah yang ilegal atau legal, maka ilustrasi berikut dapat membantu
memperjelas. Jika seorang Ibu penjual makanan di sebuah warung memberi
makanan kepada anaknya yang datang ke warung, maka itu merupakan pemberian
keibuan. Pembayaran dari si anak bukan suatu yang diharapkan oleh si Ibu.
Balasan yang diharapkan lebih berupa cinta kasih anak, dan berbagai macam
balasan lain yang mungkin diberikan. Kemudian datang seorang pelanggan, si Ibu
memberi makanan kepada pelanggan tersebut lalu menerima pembayaran sebagai
balasannya. Keduanya tidak termasuk gratifikasi ilegal. Pada saat lain, datang
seorang inspektur kesehatan dan si Ibu memberi makanan kepada si inspektur
serta menolak menerima pembayaran. Tindakan si Ibu menolak menerima
pembayaran dan si Inspektur menerima makanan ini adalah gratifikasi ilegal
karena pemberian makanan tersebut memiliki harapan bahwa inspektur itu akan
menggunakan jabatannya untuk melindungi kepentingannya. Andaikan inspektur
108 Doni Muhardiansyah, dkk, Buku Saku Memahami Gratifikasi, Hal. 3 109 Doni Muhardiansyah, dkk, Buku Saku Memahami Gratifikasi, Hal. 14
59
kesehatan tersebut tidak memiliki kewenang dan jabatan lagi, akankah si ibu
penjual memberikan makanan tersebut secara cuma-cuma?110
Banyak sebutan untuk pemberian sesuatu kepada petugas atau pegawai
diluar gajinya, seperti suap, hadiah, bonus, fee dan sebagainya. Dalam syari’at
islam Sebagian ulama menyebutkan empat pemasukan seorang pegawai, yaitu
gaji, bonus, hadiah dan uang suap.111 Gaji ialah upah kerja yg dibayar dalam
waktu yg tetap atau balas jasa yg diterima pekerja dalam bentuk uang berdasarkan
waktu tertentu,112 sementara bonus pengertiannya tidak jauh beda dengan hadiah
yaitu upah tambahan di luar gaji atau upah sebagai hadiah.113
Dalam istilah syara’ hadiah atau pemberian disebut sebagai Hibah yang
artinya memberikan sesuatu kepada orang lain selagi hidup sebagai hak miliknya,
tanpa mengharapkan ganti atau balasan. Apabila mengharapkan balasan semata-
mata karena Allah Swt. hal itu dinamakan sadaqah, dan jika pemberian tersebut
ditujukan untuk memuliakannya maka pemberian tersebut dinamakan hadiah.114
Memberi dan menerima hadiah itu diperbolehkan, tetapi hadiah yang
sebaiknya ditolak ialah “hadiah-hadiah yang diberikan sebagai sogokan (risywah)
110 Doni Muhardiansyah, dkk, Buku Saku Memahami Gratifikasi, Hal. 12 111 Lihat Subulussalam, Shan’ani, 1/216. 112 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat,
(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum, 2008), Hal. 406 113 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, Hal.
207 114 Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin.S, Fiqh Mazhab Syafi’i, cet. ke-1, Buku: II (Bandung:
Pustaka Setia, 2000), hlm. 159.
60
karena ada kaitannya dengan pekerjaan atau jabatannya.115 Rasulullah saw.
bersabda:
وسلم : لعنة اهللا على الراشى والمرتشى (رواه وعن عبداللھ ابن عمر وقال: قال رسول اهللا صلى اهللا علیھ الخمسة اإل لنسا ئ وصحیھ الترمزي)
Dan dari Abdullah bin ‘Amr, ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “laknat Allah akan menimpa orang yang menyuap dan menerima suap.” (H.R. Lima Imam, kecuali Nasai dan disahkan oleh Tirmidzi).
Hadits di atas mengisahkan hakim dan amil zakat, syarih berkata: menurut
Ibnu Ruslan, risywah (suap) ini meliputi hakim dan amil zakat. Risywah ini
haram. Menurut ijma’ ulama’. Sementara Abu Wail mengatakan: apa bila seorang
hakim menerima hadiah, maka berarti dia makan barang haram, dan apa bila
menerima suap, maka sampai pada kufur. Syarih (Syaukani) mengatakan
zhahirnya bahwa hadiah kepada hakim tersebut adalah suatu bentuk risywah.
Sebab seorang yang memberi hadiah kalau belum merupakan kebiasaan kepada
hakim sebelum dia diangkat sebagai hakim, sudah pasti hadiahnya itu ada
tendensi tertentu, mungkin untuk memperkuat kebatilannya atau sebagai upaya
untuk mencari kemenangan. Semuanya itu adalah haram.116
B. PERBEDAAN SUAP DAN GRATIFIKASI
Untuk memahami pasal suap tentunya harus memahami pasal gratifikasi,
begitupun sebaliknya untuk memahami pasal gratifikasi tentunya harus
115 Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-hukum Fiqh Islam tinjauan antar
mazhab, (semarang, PT pustaka rizki putra, 2001), hal. 446 116 Anggota IKAPI, Terjemahan Nailul Authar jilid 6, (Surabaya: PT Bina Ilmu Offset,
Cet. Keempat, 2001), Hal. 3189-3190
61
memahami pasal suap. Berikut kerangka peraturan perundang-undangan tindak
pidana korupsi suap dan gratifikasi: 117
No. UU 31/1999 Jo. UU 20/2001
Uraian KUHP
Bab VIII Kejahatan Terhadap
Penguasa Umum
1. Pasal 5 ayat (1) a
Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5
(lima) tahun dan atau pidana denda paling
sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) setiap orang yang:
memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud
supaya pegawai negeri atau
penyelenggara negara tersebut berbuat
atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan
kewajibannya;
Pasal 209 (1) KUHP
(1) Diancam dengan pidana penjara
paling lama dua tahun delapan
bulan atau pidana denda paling
banyak empat ribu lima ratus
rupiah:
Ke-1
barang siapa memberi atau
menjanjikan sesuatu kepada
seorang pejabat dengan
maksud menggerakkannya
untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan
dengan kewajibannya;
2. Pasal 5 ayat (1) b
memberi sesuatu kepada pegawai negeri
atau penyelenggara negara karena atau
berhubungan dengan sesuatu yang
bertentangan dengan kewajiban,
Ke-2
barang siapa memberi sesuatu
kepada seorang pejabat karena
atau berhubung dengan
sesuatu yang bertentangan
117 Hasil Wawancara dengan Ferdi Diansyah (Staf Direktorat Gratifikasi Komisi
Pemberantasan Korupsi) pada tanggal 25 april 2014
SUAP
62
dilakukan atau tidak dilakukan dalam
jabatannya.
dengan kewajiban, dilakukan
atau tidak dilakukan dalam
jabatannya. Pencabutan hak
tersebut dalam pasal 35 No. 1-
4 dapat dijatuhkan.
3. Pasal 5 ayat (2)
Bagi pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima pemberian atau
janji sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan
pidana yang sama sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1).
4. Pasal 6 ayat (1) a
Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan
paling lama 15 (lima belas) tahun dan
pidana denda paling sedikit
Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh
juta rupiah) dan paling
banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus
lima puluh juta rupiah)
setiap orang yang:
memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada hakim dengan
maksud untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan
kepadanya untuk diadili;
Pasal 210 KUHP
(1) Diancam dengan pidana penjara
paling lama tujuh tahun:
Ke-1
barang siapa memberi atau
menjanjikan sesuatu kepada
seorang hakim dengan maksud
untuk mempengaruhi putusan
tentang perkara yang
diserahkan kepadanya untuk
diadili;
5. Pasal 6 ayat (1) b
memberi atau menjanjikan sesuatu
kepada seseorang yang
Ke-2
barang siapa memberi atau
menjanjikan sesuatu kepada
63
menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan ditentukan
menjadi advokat untuk menghadiri sidang
pengadilan dengan
maksud untuk mempengaruhi nasihat
atau pendapat yang akan
diberikan berhubung dengan perkara
yang diserahkan kepada
pengadilan untuk diadili.
seorang yang menurut
ketentuan undang-undang
ditentukan menjadi penasihat
atau adviseur untuk menghadiri
sidang atau pengadilan, dengan
maksud untuk mempengaruhi
nasihat atau pendapat yang
akan diherikan berhubung
dengan perkara yang
diserahkan kepada pengadilan
untuk diadili.
Bab XVIII Kejahatan Jabatan
6. Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau
pidana denda paling sedikit Rp
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp
250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah) pegawai negeri atau
penyelenggara negara yang menerima
hadiah atau janji padahal diketahui
atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan yang
berhubungan dengan jabatannya, atau
yang menurut pikiran orang yang
memberikan hadiah atau janji tersebut
ada hubungan dengan jabatannya.
Pasal 418 KUHP
Seorang pejabat yang menerima
hadiah atau janji padahal
diketahui atau sepatutnya harus
diduganya., hahwa hadiah atau
janji itu diberikan karena
kekuasaan atau kewenangan yang
berhubungan dengan jabatannya,
atau yang menurut pikiran orang
yang memberi hadiah atau janji itu
ada hubungan dengan jabatannya
diancam dengan pidana penjara
paling lama enam tahun atau
pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah.
64
7. Pasal 12 huruf a
Dipidana dengan pidana penjara seumur
hidup atau pidana
penjara paling singkat 4 (empat) tahun
dan paling lama 20 (dua puluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta
rupiah) dan paling banyak Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima hadiah
atau janji, padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah atau janji
tersebut diberikan untuk menggerakkan
agar melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya,
yang bertentangan dengan
kewajibannya;
Pasal 419 ke-1
Diancam dengan pidana penjara
paling lama lima tahun seorang
pejabat:
Ke-1
yang menerima hadiah atau janji
padahal diketahuinya bahwa
hadiah atau janji itu diberikan
untuk menggerakkannya supaya
melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan
kewajibannya;
8. Pasal 12 huruf b
pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang menerima hadiah,
padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah tersebut diberikan
sebagai akibat atau disebabkan karena
telah melakukan atau tidak
melakukan sesuatu dalam jabatannya
yang bertentangan dengan
kewajibannya;
Ke-2
yang menerinia hadiah
mengetahui bahwa hadiah itu
diberikan sebagai akibat. atau oleh
karena si penerima telah
melakukan atau tidak melakukan
sesuatu dalam jabatannya yang
bertentangan dengan
kewajibannya.
9. Pasal 12 huruf c
hakim yang menerima hadiah atau janji,
Pasal 420 (1) ke-1
Diancam dengan pidana penjara
65
padahal diketahui atau patut
diduga bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan untuk
mempengaruhi putusan perkara yang
diserahkan kepadanya untuk
diadili;
paling lama sembilan tahun:
Ke-1
seorang hakim yang menerima
hadiah atau janji. padahal
diketahui bahwa hadiah atau janji
itu diberikan untuk mempengaruhi
putusan perkara yang menjadi
tugasnya;
10. Pasal 12 huruf d
seseorang yang menurut ketentuan
peraturan perundang-undangan
ditentukan menjadi advokat untuk
menghadiri sidang pengadilan,
menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa
hadiah atau janji tersebut untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat
yang akan diberikan, berhubung dengan
perkara yang diserahkan
kepada pengadilan untuk diadili;
Ke-2
barang siapa menurut ket.entuan
undang-undang ditunjuk menjadi
penasihat untuk menghadiri
sidang pengadilan, menerima
hadiah atau janji, padahal
diketahui bahwa hadiah atau janji
itu diberikan untuk mempengaruhi
nasihat tentang perkara yang harus
diputus oleh pengadilan itu.
11. Pasal 13
Setiap orang yang memberikan hadiah
atau janji kepada pegawai negeri dengan
mengingat kekuasaan atau wewenang
yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya,
atau oleh pemberi hadiah atau janji
dianggap melekat pada jabatan atau
kedudukan
tersebut, dipidana dengan pidana penjara
66
paling lama 3 (tiga) dan atau denda paling
banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima
puluh juta rupiah).
12. Pasal 12B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai
negeri atau penyelenggara negara
dianggap pemberian suap, apabila
berhubungan dengan jabatannya dan
yang berlawanan dengan kewajiban
atau tugasnya, dengan ketentuan
sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00
(sepuluh juta rupiah) atau lebih,
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut
bukan merupakan suap dilakukan oleh
penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah),
pembuktian bahwa gratifikasi tersebut
suap dilakukan oleh penuntut umum.
Dari kerangka di atas masing-masing mempunyai ketentuan yang berbeda.
Tindak pidana korupsi suap ada si penerima dan si pemberi. Pasal 5 untuk
pemberi suap, pasal 6 untuk pemberi suap pada hakim dan advokat, pasal 11
untuk penerima suap yang sifatnya pasif, artinya si penerima tidak harus
melakukan sesuatu (diam), cukup karena jabatannya saja atau . Contoh, kasus
pengadaan barang dan jasa. Ada proses pengadaan barang dan jasa, proses
tersebut sudah benar sesuai prosedur, setelah itu si pengusaha memberikan uang
Gratifikasi
67
kepada pejabat pengadaan barang dan jasa sebagai uang terimakasih. Nah jika
pejabat tersebut menerima uang maka pejabat tersebut dikenai pasal 11.
Kemudian pasal 12 huruf a untuk pegawai negeri atau penyelenggara negara yang
menerima suap sebelum melakukan perbutan, sedangkan pasal 12 huruf b untuk
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima sesudah melakukan
perbutan. Pasal 12 huruf c untuk hakim yang menerima sebelum melakukan
perbutan dan pasal 12 huruf d untuk advokat yang menerima sebelum melakukan
perbutan.
Sedangkan tindak pidana korupsi gratifikasi dalam pasal 12B tidak
berbicara nilai, artinya dalam pasal 12 B tersebut yang menjelaskan 10 juta itu
adalah aspek pembuktian formil, jadi konsep pembuktian secara umum itu oleh
jaksa penuntut umum, nah di sini diatur khusus ( the lex spesialis), kalau dibawah
10 juta pembuktiannya oleh jaksa penuntut umum, sedangkan yang di atas 10 juta
pembuktiannya dilakukan oleh penerima gratifikasi (pasal 12B ayat 1 huruf a
pembuktiannya oleh si penerima dan pasal 12B ayat 1 huruf b pembuktiannya
oleh jaksa penuntut umum). Gratifikasi dalam pasal 12B redaksinya tidak ada satu
katapun untuk berbuat sesuatu, si PNS tidak butuh berbuat sesuatu yg
bertentangan dengan jabatannya, tapi ia hanya cukup diam saja. Artinya dalam
pasal 12B ini hanya berhubungan dengan jabatannya atau yang bertentangan
dengan kewajibannya. 118 Seperti halnya dalam Peraturan Pemerintah No. 53
Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, Pasal 4 angka 8 yang
118 Hasil Wawancara dengan Ferdi Diansyah (Staf Direktorat Gratifikasi Komisi
Pemberantasan Korupsi) pada tanggal 25 april 2014
68
melarang bahwa Setiap Pegawai Negeri Sipil menerima hadiah atau suatu
pemberian apa saja dari siapapun juga yang berhubungan dengan jabatan dan/atau
pekerjaannya.119
Selanjutnya contoh kasus Pasal 12 huruf a, yaitu al-amin nasution yang
menerima hadiah atau janji yaitu menerima 3 (tiga) lembar Mandiri Travel
Cheque (MTC) masing-masing senilai Rp.25.000.000,- (dua puluh lima juta
rupiah) dari Direktur Utama Badan Pengelola dan Pengembangan Kawasan
Pelabuhan Tanjung Api-Api (BPTAA) / Mantan Sekretaris Daerah Propinsi
Sumatera Selatan Sofyan Rebuin dan Chandra Antonio Tan, serta sejumlah uang
tunai masing-masing sebesar Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah),
Rp.150.000.000,- (seratus limapuluh juta rupiah), SGD 150.000 (seratus lima
puluh ribu Dollar Singapura), SGD 150.000 (seratus lima puluh ribu Dollar
Singapura), Rp.1.500.000,- (satu juta lima ratus ribu rupiah) dan pemberian
pelayanan makan hiburan senilai Rp.6.000.000,- (enam juta rupiah) dari Sekretaris
Daerah Kabupaten Bintan Drs. Azirwan, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan
atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan
kewajibannya yaitu Terdakwa M. Al Amin Nur Nasution, SE mengetahui bahwa
pemberian tersebut diberikan supaya Terdakwa M. Al Amin Nur Nasution, SE
selaku Anggota Komisi IV DPR RI memproses persetujuan DPR RI dalam usulan
pelepasan Kawasan Hutan Lindung Tanjung Pantai Air Telang, Kabupaten
Banyuasin, serta usulan pelepasan Kawasan Hutan Lindung Pulau Bintan 119 Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil
69
Kabupaten Bintan dan pemberitahukan hasil Rapat Kerja Komisi IV DPR RI
dengan Departemen Kehutanan yang sifatnya rahasia.120 Dalam kasus tersebut si
pejabat negeri sipil menerima hadiah atau janji sebelum melakukan perbuatan
yang terlarang.121
Jadi, perbedaan yang mendasar antara ketentuan suap dan gratifikasi
dalam undang-undang Tindak Pidana Korupsi ialah pasal gratifikasi itu hanya
untuk si penerima, dan penerimaan gratifikasi ini bisa disebut juga suap pasif,
artinya si penerima cukup diam saja, ia tidak perlu melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan jabatannya atau kewajibannya. Sedangkan pasal suap
mengatur perbuatan suap-menyuap untuk si penerima maupun pemberi, baik suap
aktif maupun suap pasif.
C. SANKSI GRATIFIKASI DALAM UU TIPIKOR DAN HUKUM
PIDANA ISLAM
Dalam BAB sebelumnya tentunya telah dijelaskan bahwa gratifikasi itu
terbagi dua bagian yaitu gratifikasi tidak terlarang dan gratifikasi tidak terlarang.
Seperti halnya contoh sebelumnya gratifikasi terlarang itu tidak dikenai sanksi
pidana, karena perbuatannya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan, tetapi gratifikasi yang terlarang sudah jelas diatur dalam pasal 12B UU
No 31/1991 jo. UU No 20/2001, yaitu ancaman pidananya penjara seumur hidup
120 Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, P U T U S A N No. 161 PK
/ PID. SUS / 2010, putusan.mahkamahagung.go.id 121 Hasil Wawancara dengan Ferdi Diansyah (Staf Direktorat Gratifikasi Komisi
Pemberantasan Korupsi) pada tanggal 25 april 2014
70
atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp.
200.000.000,00 ( dua ratus juta rupiah ) dan paling banyak 1.000.000.000,00 (
satu miliar rupiah ).122
Sementara dalam hukum pidana islam mensyariatkakan sanksi gratifikasi
(risywah) dikenai hukuman takzir.123 Takzir ialah hukuman yang diberlakukan
terhadap suatu kemaksiatan atau kejahatan yang tidak diancam dengan hukuman
had (hukuman yang sudah ditentukan dalam al-Qur’an atau hadits) dan tidak pula
kafarat124, baik menyangkut hak Allah ataupun hak manusia.125 Bentuk hukuman
takzir dalam hal gratifikasi (risywah) ini tergantung pada keputusan hakim. Untuk
menentukan jenis sanksi yang sesuai dengan kaidah-kaidah hukum Islam dan
sejalan dengan prinsip untuk memelihara stabilitas hidup bermasyarakat sehingga
berat dan ringannya sanksi hukum harus disesuaikan dengan jenis tindak pidana
yang dilakukan, disesuaikan dengan lingkungan di mana pelanggaran itu
122 Hasil Wawancara dengan Ferdi Diansyah (Staf Direktorat Gratifikasi Komisi
Pemberantasan Korupsi) pada tanggal 25 april 2014 123 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, (Jakarta: Amzah, 2013), Hal. 194 124 Kafarat adalah denda yang wajib ditunaikan yang disebabkan oleh suatu perbuatan
dosa, yang bertujuan menutup dosa tersebut sehingga tidak ada lagi pengaruh dosa yang diperbuat
tersebut, baik di dunia maupun di akhirat. Kafarat merupakan salah satu hukuman yang dipaparkan
secara terperinsi dalam syariat Islam. Ada bermacam-macam kafarat dalam Islam yang bentuknya
berbeda sesuai dengan perbedaan pelanggaran (dosa) yang dilakukan. Perbuatan-perbuatan dosa
yang dikenakan kaafarat tersebut antarta lain melanggar sumpah, melakukan jimak (hubungan
suami istri) di siang hari pada bulan Ramadhan, men-zihar istri (seorang suami menyatakan bahwa
punggung istrinya sama dengan punggung ibunya), dan mempergauli istri ketika sedang
melaksanakan ihram di Makkah. 125 Terjemahan Fiqh Islam Wa Adillatuhu, (Jakarta: Gema Insani, 2011), Hal. 523-524
71
terjadi.126 Bentuk sanksi takzir bagi perbuatan gratifikasi bisa berupa hukuman
mati (tindak pidana yang berulang-ulang), hukuman cambuk, penjara,
pengasingan, perampasan barang, pemecatan dan sanksi moral berupa diumumkan
kepada masyarakat luas.127
126 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam, Hal. 103 127 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, Hal. 147-160
72
BAB IV
GRATIFIKASI SEKS DALAM PANDANGAN HUKUM PIDANA POSITIF
DAN HUKUM PIDANA ISLAM
A. PENGERTIAN GRATIFIKASI SEKS
Gratifikasi seks ialah suap yang menggunakan wanita untuk diberikan
kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang bertentangan dengan
kewajibannya atau berhubungan dengan jabatannya, sebagai cara untuk
memenangi berbagai tender dalam pengadaan barang dan jasa serta berbagai
macam perjanjian.128
Pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Ganjar Laksamana Bondan,
mengatakan gratifikasi seks yang marak terungkap dalam kasus korupsi hanya
sebagai layanan tambahan yang diberikan oleh pihak penyuap kepada pejabat
negara. Dia menilai gratifikasi seks jarang diberikan sebagai menu suap utama
penyelenggara negara. Sifatnya hanya tambahan, bukan yang utama. Fenomena
gratifikasi seks bukan hal baru, dan tidak sulit untuk dibuktikan, karena aturan
untuk menjerat pelaku juga sudah ada karena sifatnya sama saja seperti gratifikasi
pada umumnya.129
128 Jamal Wiwoho, Menyoal Gratifikasi Seks dalam Tindak Pidana Korupsi, Media
Indonesia, diakses pada 07 Februari 2013 dari: http//jamalwiwoho.com/2013/02/07/menyoal-gratifikasi-seks-dalam-tindak-pidana-korupsi.php
129 Tempo.co, “Gratifikasi Seks Menjadi Pelengkap Suap”, diakses pada Sabtu, 22 Juni
2013 Sabtu, 22 Juni 2013 dari:http://www.tempo.co/read/news/2013/06/22/063490318/Gratifikasi-
Seks-Menjadi-Pelengkap-Suap
73
Masalah yang menyeruak sekarang ialah perdebatan di masyarakat setelah
adanya statement dari ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Moh. Mahfud MD yang
menyatakan bahwa gratifikasi seks lebih dahsyat daripada uang. MK pun telah
menerima banyak laporan tentang gratifikasi seks itu. Seolah menguatkan
pernyataan Ketua MK itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)130 mencium
sejumlah dana APBD di berbagai daerah di Indonesia digunakan untuk
memuluskan proyek. Banyak cara untuk melakukan gratifikasi, salah satunya sex
service (pelayanan seks) sebagai model gratifikasi. Yakni, menggunakan wanita
sebagai cara untuk memenangi berbagai tender dalam pengadaan barang dan jasa
serta berbagai macam perjanjian.131 Menurut Bambang Widjojanto selaku Wakil
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengatakan bahwa gratifikasi seks
termasuk korupsi, karena mempengaruhi seseorang atau kalangan pemerintahan
untuk melakukan sesuatu, sehingga dapat menimbulkan kerugian negara.132
130 Komisi Pemberantasan Korupsi, atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di
Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi dan memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan kepada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. (lihat: http://id.m.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi )
131 Jamal Wiwoho, Media Indonesia, Menyoal Gratifikasi Seks dalam Tindak Pidana
Korupsi, diakses pada 07 Februari 2013 dari:
http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/MI/2013/02/07/ArticleH
tmls/Menyoal-Gratifikasi-Seks-dalam-Tindak-Pidana-Korupsi-07022013006004.shtml?Mode=1 132 Republika, “Gratifikasi Seks itu Korupsi”, diakses pada 25 juni 2013 dari:
http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/06/25/moyapw-bambang-widjojanto-
gratifikasi-seks-itu-korupsi
74
B. KEDUDUKAN HUKUM GRATIFIKASI SEKS DALAM HUKUM
PIDANA POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM
Dalam perundang-undangan dikenal objek pemberian atau janji adalah
“sesuatu”. Kata sesuatu berarti segala sesuatu benda maupun bukan benda yang
mempunyai nilai, harga, kegunaan yang menyenangkan pegawai negeri atau
penyelenggara negara penerima suap. Benda di sini bisa berupa benda berwujud
atau tidak berwujud. Apabila objek yang diberikan itu adalah benda berwujud,
maka makna memberikan di sini adalah menyerahkan dengan mengalihkan
kekuasaan atas benda tersebut kedalam kekuasaan orang yang menerima untuk
dimiliki atau dinikmati atau digunakan sesuai dengan maksud pemberian itu.
Akan tetapi jika pemberian itu bukan benda berwujud seperti pekerjaan, fasilitas,
jasa dan lain-lain, maka yang beralih bukan bendanya, tapi penguasaan atas benda
tak berwujud itu.133
Menurut Adami Chazawi yang dikutip dari Marjane Termorhuizen
(1998:150) Sesungguhnya pada pasal 209 KUHP yang rumusannya diadopsi ke
dalam pasal 5, pada pasal 418 (rumusannya diadopsi ke dalam pasal 11) dan pasal
419 KUHP (rumusannya diadopsi ke dalam pasal 12 huruf a, b). Unsur/ kata
memberi (sesuatu) dalam pasal 5 itu maupun kata/ unsur memberi hadiah berasal
dari kata yang sama yaitu gift yang asal katanya geven artinya memberi (belanda)
yang dari sudut bahasa artinya pemberian atau hadiah, berarti gift bukan kata kerja
melainkan kata benda. Dalam pasal 5 gift diadopsi ke dalam bahasa Indonesia
133 Mahrus Ali, Asas teori dan Praktek Hukum Pidana Koupsi, Hal. 126-127
75
dengan memberikan sesuatu (memberikan adalah kata kerja, dan sesuatu adalah
objeknya, artinya merupakan kata benda) yang lebih sesuai dengan kata gift,
karena di dalam memberikan sesuatu sudah terkandung unsur perbuatan
memberikan (kata kerja) dan terkandung pula objeknya yakni sesuatu (kata
benda). Sedangkan kata gift yang semula dalam pasal 418 KUHP diadopsi ke
dalam pasal 11 dengan kata hadiah ditambah kata memberi sehingga menjadi
“memberi hadiah”. Kalau kita kembali pada pengertian sesuatu dalam unsur
memberikan sesuatu dalam pasal 5, maka sesuatu itu tidak saja berupa benda atau
kebendaan, tetapi juga segala sesuau pemberian yang tidak semata-mata bersifat
atau dapat dinilai dengan uang, tetapi bernilai bagi yang menerima. Misalnya
suatu jasa, suatu pekerjaan, suatu kemudahan, suatu fasilitas yang dimasukkan
dalam pengertian gratifikasi pasal 12B. Inilah pengertian yang sebenarnya dari
“sesuatu” dalam unsur memberikan atau menjanjikan menurut pasal 5. Sedangkan
pengertian menurut tata bahasa, hadiah lebih mengacu pada pengertian benda atau
kebendaan yang bernilai uang. Contoh konkret menerima sesuatu yang tidak
mungkin sama artinya dengan menerima hadiah, namun masuk dalam pengertian
11 atau pasal 12 huruf a (jika si penerima hadiah mengetahui atau patut menduga
hadiah itu diberikan akibat atau karena telah melakukan atau tidak melakukan
yang bertentangan dengan kewajiban jabatannya). Misalnya, seorang berurusan
dengan seorang pegawai negeri yang doyan wanita, orang tersebut menyodorkan
seorang wanita cantik untuk ditiduri dengan menyediakan fasilitas di sebuah hotel
ketika si pejabat ini rapat dinas selama tujuh hari di suatu kota. Hal itu sukar
disebut menerima hadiah. Sungguh sulit diterima akal apabila perbuatan
76
menerima sodoran seorang wanita cantik itu disebut menerima hadiah, tetapi
dapat diterima jika dengan kalimat menerima sesuatu. Karena menerima sesuatu
pengertiannya lebih luas dari sekedar menerima hadiah.oleh karena itu menerima
hadiah di sini harus diartikan secara luas, jangan diartikan secara sempit sehingga
dapat mencakup pengertian seperti menerima sodoran wanita cantik tadi.134
Dalam Pasal 209 KUHP, memberi atau menjanjikan sesuatu kepada
seorang pejabat dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak
berbuat sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.
Dalam putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung di Belanda) tanggal 25 april 1916,
NJ 1916, menyatakan “memberikan suatu hadiah dalam pasal ini mempunyai
pengertian yang lain dari sekedar memberikan sesuatu karena kemurahan hati.
Pemberian tersebut meliputi setiap penyerahan sesuatu yang mempunyai nilai
bagi orang lain, dengan maksud seperti disebutkan dalam pasal ini”.135 Menurut
Ferdi Diansyah (Staf Direktorat Gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi),
putusan tersebut ingin menegaskan bahwa suap tidak mungkin diberikan karena
kemurahan hati semata dan unsur bernilai atau tidaknya sesuatu tidaklah diukur
dari pihak pemberi ataupun penerima tetapi menurut penilaian orang lain. Hal ini
menjawab bantahan-bantahan tentang tidak bernilainya sebuah pemberian bagi
pejabat tertentu yang memiliki kekayaan dalam jumlah yang besar. Yang
termasuk sesuatu dalam pasal tersebut sangatlah luas, baik benda berwujud atau
tidak berwujud, termasuk juga hak asasi kekayaan intelektual ataupun fasilitas 134 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, hal. 170-
171 135 P.A.F Lamintang, Delik-delik Khusus Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai Tindak
Pidana Korupsi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), Hal. 309
77
seperti fasilitas bermalam di hotel berbintang. Definisi dalam pasal tersebut mirip
dengan definisi gratifikasi yang sangat luas, yang dapat mencakup “fasilitas
lainnya” termasuk gratifikasi seksual. Dengan demikian, selain pasal 12B UU
Tipikor, gratifikasi seksual dapat dijerat dengan pasal 5 dan pasal 12 huruf a dan
huruf b UU Tipikor sepanjang memenuhi unsur pasal tersebut.136
Dalam hukum pidana Islam sebelumnya telah dijelaskan bahwa gratifikasi
adalah perbuatan yang dilaknat oleh Allah, hal ini didasarkan atas hadits Nabi
saw. sebagai berikut:
قال رسول اهللا صلى اهللا علیھ وسلم : لعن اهللا الراشى والمرتشى والرائشى بینھما
“Nabi bersabda: Allah melaknat orang yang memberi suap dan orang yang menerima suap, dan orang yang berada diantara keduanya”.
Sangat penting bagi para pejabat dan pegawai yang bekerja
mengumpulkan sedekah, zakat, jizyah dan bentuk-bentuk pajak tahunan lainnya
yang ditentukan oleh pemerintah. Agar mereka tidak menerima bantuan dalam
bentuk apa pun karena hal demikian ini merupakan bentuk perbuatan yang
mengarah kepada suap atau risywah, yang bertujuan untuk mendapatkan bantuan,
baik karena membayar pajak penuh atau karena mendapat hasil tambahan di luar
yang telah ditentukan. Rasulullah SAW. mengutus Abdullah bin al-Luthbiyyah
azdi untuk mengumpulkan zakat dari suku bani sulaim. Ketika pembayaran itu
sudah diserahkan, Abdullah berkata: jumlah sebanyak ini sudah terkumpul
sebagai zakat dan sisanya yang lain diberikan dalam bentuk sedekah. Mendengar
136 Hasil Wawancara dengan Ferdi Diansyah (Staf Direktorat Gratifikasi Komisi
Pemberantasan Korupsi) pada tanggal 25 april 2014
78
ini, Rasulullah SAW. bersabda: “Apabila engkau duduk di rumah orang tuamu
sampai datang seseorang memberimu sedekah, bila kamu benar-benar jujur”.137
Pemberian seperti ini tidak dapat diterima, dan bila semuanya diberikan
maka harta itu harus dimasukkan ke Bayt al-Mal. Orang beriman yang taat tidak
akan memberi dan tidak akan menerima bantuan apa pun selama tugasnya sebagai
pegawai. Pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalid bin Walid menetapkan jizyah
tahunan terhadap penduduk Hirah di Syria. Penduduk Hirah ini sangat terkesan
dengan kearifan orang-orang islam dan hubungan serta sikap yang baik mereka
sehingga mereka memaksa mengirimkan hadiah kepada Abu Bakar. Ketika sangat
sulit bagi Khalid memberitahu mereka agar tidak memberi hadiah yang mereka
inginkan itu. Pada akhirnya Khalid menerima hadiah tersebut dan kemudian
diperhitungkannya sebagai bagian pajak wajib hingga mengurangi jumlah
pembayaran jizyah yang sebenarnya karena telah dibayarkan sebelumnya.
Kemudian Khalid mengirimkannya ke Bayt al-mal. Khalifah Umar bin Khatthab
juga mengirim pesan-pesan kepada semua gubernurnya sebagai berikut:
ایاكم والھدایا فإنھا من الراشى
“Waspadalah dengan hadiah, sebab hal ini merupakan bagian dari suap”.
Pernyataan Khalifah Umar bin Khatthab itu benar bila kita hubungkan
dengan pandangan masyarakat sekarang. Risywah dewasa ini agaknya telah
merajalela dan dijadikan sebagai kedok hadiah. Khalifah Umar bin Abdul Aziz
137 A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah, Syariah, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2002), Hal. 505
79
yang saleh benar-benar menolak pemberian dalam bentuk apa pun. Seseorang
berkata kepadanya, bahwa Rasulullah biasa menerima hadiah, lalu dia menjawab:
كانت لھ ھدیة ولنا رشوة ألنھ كان یتقرب الیھ لنبوتھ اللو لیتھ ونحن یتقرب الینا للو الیة
“Baginya itu adalah hadiah, tetapi bagi kami hal itu adalah suap karena umat menghendaki dekat dengan beliau berkat kenabian beliau bukan karena kekuasaan beliau, sementara mereka ingin dekat kepada kami karena kekuasaan kami”.
Dengan kata lain, Nabi SAW. pernah menerima hadiah, lalu diberikan
kepada orang miskin. Orang-orang yang membawakan hadiah kepada beliau itu
tidak mempunyai motif keuntungan diri sendiri. Sementara itu, dalam kasus para
penguasa akhir-akhir ini, maksud pemberian itu tidak lebih dari tujuan pemberian
yang tidak benar dan zalim. Namun demikian, tidak ada larangan untuk saling
memberi dan menerima antara teman dan kerabat. Menurut Hadits Nabi SAW.,
hadiah itu akan membantu menghilangkan kebencian dan makin bertambah
kecintaan dan kasih sayang. Rasulullah SAW, juga bersabda: “Saling memberi
hadiah itu akan menambah rasa cintamu”. Pengambilan hadiah oleh pegawai
pemerintah karena dalam proses pembebasan kewajiban mereka adalah tidak
dibenarkan menurut syari’ah. Nabi mengingatkan “akan datang suatu masa di
mana Risywah diangap halal bagi masyarakat melalui hadiah dan pembunuhan
melalui teguran”.138
Dalam kisah tersebut Allah melaknatnya dan hukumnya haram, apa lagi
dalam hal menerima suap dalam bentuk pelayanan seksual, tentunya Islam secara
tegas melarangnya, karena hal ini termasuk ke dalam perbuatan zina, karena setiap
138 A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah, Syariah, Hal. 505-506
80
hubungan kelamin di luar nikah termasuk perbuatan zina dan diancam dengan
hukuman, baik pelaku sudah kawin atau belum kawin, dilakukan dengan suka
sama suka atau tidak.139 Hal ini didasarkan pada ayat al-qur’an sebagai berikut:
“dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al-Isra’: 32)
dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya Dia mendapat (pembalasan) dosa(nya). (QS. Al-Furqan: 68)140
Menurut M. Abduh Malik (Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta) gratifikasi seks dalam hukum Islam termasuk ke
dalam jarimah zina.141 karena dalam istilah syara’, zina ialah persetubuhan yang
dilakukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan melalui vagina di luar
nikah dan bukan nikah syubhat.142 Jadi, dalam hukum pidana Islam kedudukan
hukum gratifikasi seks sangatlah dilaknat Allah, perbuatan ini termasuk ke dalam
jarimah risywah dengan cara jarimah zina. yang kategorinya termasuk perbuatan
dosa besar.
139 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Hal. 3 140 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, Hal. 18-19 141 Hasil diskusi mata kuliah Muqaranah Madzahib Fiqh Fil Jinayah pada selasa, 26
November 2013 142 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP
(Jakarta: Bulan Bintang, 2003), Hal. 25
81
C. SANKSI GRATIFIKASI SEKS
Apabila kita berpikir bahwa dengan UU No. 20/2001 menyebabkan
dicabutnya pasal 209, 418, 419 dan lain-lain dan oleh karenanya tidak perlu
menghubungkan antara pasal 5 dengan pasal 11 maupun pasal 12 huruf a dan b,
berarti apabila orang yang menyuap dengan menyodorkan wanita tadi dipidana
berdasarkan pasal 5 karena menyuap dengan memberikan sesuatu, tidak harus
sekaligus, pegawai yang menerima sodoran wanita juga dipidana berdasarkan
pasal 11 atau 12 huruf a, b, karena memang pasal-pasal ini terpisah. Lebih-lebih
lagi sudah disediakan pasal secara khusus bagi pegawai negeri yang menerima
sodoran wanita cantik yaitu dapat dipidana menurut pasal 5 ayat (2) UU No.
20/2001.
Kalau menganut pendapat luas, maka orang yang menerima sodoran
wanita cantik tadi telah melanggar pasal 11 atau 12 huruf a atau b (bergantung
pada unsur-unsur lain yang terpenuhi), sekaligus melanggar pasal 5 ayat (2). Jadi,
di sini terjadi kebersamaan peraturan (eendaadse samenloop), di mana sistem
pemidanaan yang berdasarkan pasal 63 KUHP hanya dijatuhkan satu pidana
saja.143
Apabila pendapat (pendapat sempit) yang dikemukakan di atas benar,
maka dapatlah diterima bahwa pegawai negeri yang menerima sodoran wanita
cantik tadi tidak dipidana berdasarkan pasal 11 atau 12 huruf a atau b, tetapi orang
itu dipidana berdasarkan pasal 5 ayat 2. Pendapat ( yang luas atau yang sempit
143 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, hal.172
82
akan menjadi yurisprudensi ) yang masih menunggu perkembangan praktik
hukum tentang bagaimana sikap Mahkamah Agung.144
Ferdi Diansyah mengatakan bahwa pegawai negeri yang menerima
gratifikasi seks ini bisa dijerat pasal 5 ayat 2, pasal 12 huruf a dan b, atau pasal
12B UU No. 31/1999 Jo. UU No. 20/2001 sepanjang memenuhi unsur-unsur
tersebut. Sedangkan untuk si pemberi bisa dijerat dengan pasal 5 ayat (1). 145
Begitupun sanksi bagi objek hukum suap (wanita pelayan seks) bisa dijerat pasal
15, karena Ketentuan yang terdapat dalam pasal 15 tersebut sebenarnya terdiri
dari tiga perbuatan, yaitu, percobaan, pembantuan dan permufakatan jahat
melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, pasal 3
pasal 5 sampai dengan pasal 14. Ketentuan pasal 15 tersebut adalah sama dengan
ketentuan yang terdapat dalam pasal 1 ayat (2) UU No. 3 Tahun 1971. Dalam
penjelasan tersebut, disebutkan bahwa “Karena tindak pidana korupsi sangat
merugikan keuangan/perekonomian negara, maka percobaan untuk melakukan
tindak pidana tersebut dijadikan delik tersendiri dan diancam dengan hukuman
sama dengan ancaman bagi tindak pidana itu sendiri yang telah selesai dilakukan.
Demikian pula mengingat sifat dari tindak pidana korupsi itu, maka permufakatan
jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi meskipun masih merupakan
tindakan persiapan sudah dapat dipidana penuh sebagai suatu tindak pidana
tersendiri”. Pasal 15 ini merupakan aturan khusus, karena ancaman pidana pada
percobaan dan pembantuan pada umumnya dikurangi 1/3 (satu pertiga) dari
144 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, hal.172 145 Hasil Wawancara dengan Ferdi Diansyah (Staf Direktorat Gratifikasi Komisi
Pemberantasan Korupsi) pada tanggal 25 april 2014
83
ancaman pidananya.146 Maka dari itu objek hukum suap (wanita pelayan seks)
kedudukannya sebagai orang yang membantu melakukan tindak pidana korupsi,
dan ia bisa diancam dengan hukuman yang sama dengan ancaman bagi pelaku
(pemberi) tindak pidana itu sendiri yang telah selesai dilakukan. Artinya si
pelayan seks bisa dijerat dengan pasal 5 ayat (1) UU Tindak Pidana Korupsi.
Dalam pandangan masyarakat tentunya menganggap pembuktian dalam
kasus gratifikasi seks ini sangatlah sulit. Untuk itu penulis akan mendeskripsikan
jawaban atas pertanyaan tersebut dalam contoh kasus gratifikasi seks:
Seorang pengusaha pada tanggal 2 mei 2010 memberikan sesuatu yaitu
menyodorkan wanita cantik kepada Bupati yang ditujukan supaya perusahaan
pengusaha tersebut mendapatkan SK (surat keputusan) dari Bupati. Untuk
melancarkan rencananya si pengusaha menyuruh wanita cantik itu merayu
menginap di suatu hotel berbintang bersama si bupati. Setelah wanita cantik itu
meniduri bupati maka si pengusaha memberikan uang 10 juta kepada wanita
cantik tersebut. Pada tanggal 1 juni 2010 si bupati memberikan SK kepada
perusahaan si pengusaha tersebut.
Untuk menunjukkan alat bukti dalam suatu kasus minimal harus
mempunyai dua alat bukti. Alat bukti dalam pasal 184 KUHAP Alat bukti yang
sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan
terdakwa.
146 R. Wiyono, Pembahsan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Hal. 134-135
84
Dalam contoh kasus tersebut terdapat alat bukti berupa barang bukti yakni
selembar kwitansi penginapan atau penyewaan hotel, sejumlah uang 10 juta, surat
keputusan (SK) dan keterangan saksi dari wanita cantik tersebut (bila ia mengakui
perbuatannya).147 Jadi untuk membuktikan gratifikasi seks ini tidaklah sulit,
pembuktiannya sama seperti kasus pidana lainnya. Dalam media sosial
menganggap bahwa kasus gratifikasi seks ini sudah banyak dalam jajaran para
pejabat dan belum ada undang-undang yang secara tegas mengaturnya. Padahal
KPK mengakui sejauh ini kasus gratifikasi seks belum pernah ada laporan yang
secara konkret. Dan sekalipun kasus gratifikasi seks ini terjadi pelakunya bisa
dikenai ancaman pidana.
Dalam hal ini Islam pun secara tegas melarang tindakan gratifikasi seks,
sebab menerima gratifikasi barang seperti uang pada umumnya dilaknat oleh
Allah,148 apalagi objek hukum yang digunakan berupa pelayanan seksual, tentu
saja perbuatan ini termasuk ke dalam jarimah zina.
Ancaman hukuman bagi pelaku gratifikasi seks itu terkena jarimah zina,
baik itu si penerima ataupun objek (wanita pelayan seksual) terancam Hukuman
berupa jilid (cambuk atau dera), tagrib (diasingkan), atau rajam. Hukuman dera
dan pengasingan ditetapkan bagi pelaku zina ghairu muhsan (belum pernah
menikah), sedangkan rajam ditetapkan bagi pelaku zina muhsan (pelaku yang
sudah melakukan hubungan seksual melalui pernikahan yang sah). Hukum Islam
147 Hasil Wawancara dengan Ferdi Diansyah (Staf Direktorat Gratifikasi Komisi
Pemberantasan Korupsi) pada tanggal 25 april 2014 148 A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah, Syariah, Hal. 505
85
mengancam hukuman jilid (cambuk) terhadap pelaku zina ghairu muhsan,
batasannya sebanyak seratus kali dera.149 Allah SWT berfirman:
“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”.150
Para ulama selain khawarij bersepakat bahwasanya hukuman bagi pezina bagi status muhshan (sudah kawin) adalah rajam.151 Hal ini berdasarkan hadits berikut:
ي ان رجال من الاعراب اتى رسل اللھ صلى اهللا علیھ لجھنرضي اللھ عنھ وزیدبن خالد ا عن ابي ھریرةفاقض , نعم :, فقال الآخر وھو أفقھ منھ تعالى إلا قضیت لي بكتاب اللھ اللھ وسلم فقال : یارسول اهللا انشدك
على أنت قال: إن ابني كان عسیفا على ھذا فزنى بامرأتھ, وإني أخبر ,بیننا بكتاب اللھ وأذن لي, فقال: قلائة وتغریب مائة شاة وولیدة, فسألت أھل العلم, فأخبروني أنما على ابني جلد بني الرجم, فافتدیت منھ بما
لى اهللا علیھ وسلم والذي نفسي بیده, لأقضین بینكما , فقال رسول ا للھ صالرجمعلى امرأة ھذا وأنعام, علیك وعلى ابنك جلد مائة وتغریب عام, واغد یا أنیس إلى امرأة ھذا, فإن وردبكتاب اللھ, الولیدة والغنم
جمھا ) متفق علیھاعترفت فار
Dari Abu Hurairah dan Zaid Ibnu Khalid r.a: sesungguhnya ada seorang lelaki arab Badui menemui Rasulullah SAW. dan berkata: “Wahai Rasulullah, saya tidak memohon kepada engkau selain keputusanmu bagiku berdasarkan kitabullah (al-Qur’an).” Periwayat yang lain dan dia lebih mengerti dari pada dia, berkata. “Ya, putuskanlah antara kami berdasarkan kitabullah dan izinkan saya.” Lalu beliau bersabda. “Katakanlah (jelaskan dahulu perkaranya).” Dia berkata, “Sesungguhnya anak saya menjadi buruh pada orang ini lalu dia berzina dengan isteri majikan ini, dan sesungguhnya saya telah diberitahu bahwa hukuman atas anak saya ini adalah rajam lalu saya menebusnya dengan seratus ekor kambing dan seorang hamba wanita. Setelah saya menanyakan ulama, lalu mereka memberitahukan saya bahwa hukuman atas anak saya, dera seratus kali dan hukuman buangan setahun; dan sesungguhnya hukuman atas isteri majikannya itu adalah rajam.” Lalu Rasulullah SAW. bersabda, “Demi Allah
149 Tim Tsalisah, Ensiklopedia Hukum Islam jilid IV, (Bogor: PT Kharisma Ilmu), Hal.
151 150 Tim Tsalisah, Ensiklopedia Hukum Islam jilid III, Hal. 42 151 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 7, Penerjemah Abdul Hayyie al-
Kattani dkk, (Jakarta: Gema Insani, 2011), Hal. 317
86
yang jiwaku ditangan Nya, sungguh saya akan memutuskan perkara antara kamu berdasarkan kitabullah; hamba sahaya dan kambing itu ambil kembali. Dan hukuman atas anakmu, dera seratus kali dan pembuangan/ pengasingan setahun. Pergilah engkau wahai Unais kepada isteri lelaki in. Jika dia mengakui perbuatannya maka rajamlah ia.” Muttafaq ‘alaih, dan susunan matan hadits ini menurut riwayat muslim.152
فقد عن عبادة بن الصامت رضي اهللا عنھ قال: قال رسول اللھ صلى اهللا علیھ وسلم ( خذوا عني, خذوا عني, مائة, ونفي سنة, والثیب بالثیب جلد مائة, والرجم ) رواه مسلم ةدھ لھن سبیال, البكر بالبكر جلجعل الل
Dari Ubbadah Bin Shamit r.a. bahwa Rasulullah SAW. bersabda: "Ambillah (hukum) dariku. Ambillah (hukum) dariku. Allah telah menetapkan bagi mereka (wanita yang berzina) itu jalan keluar hukumannya. Jejaka berzina dengan gadis hukumannya seratus kali cambukan dan diasingkan setahun. Lelaki yang sudah menikah dengan wanita yang sudah menikah (yang berzina) hukumannya seratus kali cambukan dan dirajam." Riwayat Muslim.153
Muhammad Abduh Malik mengatakan bahwa pembuktian dalam jarimah
zina terdapat empat macam, yaitu, Pengakuan diri dari pelaku zina, penglihatan
mata dari para saksi (dibutuhkan empat saksi laki-laki yang dikuatkan oleh
sumpah), bukti kehamilan (dikuatkan dengan bukti forensik dari dokter ahli) dan
bukti telah terjadinya senggama (dikuatkan dengan bukti forensik dari empat
dokter ahli yang dikuatkan dengan sumpah).154
Sedangkan si pemberi (yang menyodorkan wanita) terkena jarimah takzir,
yang hukumannya ditetapkan berdasarkan keputusan hakim. Jadi, dalam kasus
grartifikasi seks ini Islam telah melarang secara tegas karena dampak dari
perbuatan tersebut merusak moral bangsa dan juga merugikan negara.
152 Ash Shan’ani, Subulussalam IV, diterjemahkan oleh Abu Bakar Muhammad,
(Surabaya: Al-Ikhlas, 1996), Hal. 14-16 153 Ash Shan’ani, Subulussalam IV, diterjemahkan oleh Abu Bakar Muhammad, Hal. 19-
20 154 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, Hal.
273-274
87
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dalam bab penutup ini penulis menyimpulkan bahwa substansi yang
sangat penting dalam penelitian tindak pidana korupsi gratifikasi seks ialah
sebagai berikut:
1) Gratifikasi seks ialah hadiah jasa pelayanan seksual yang diterima oleh
pegawai negeri atau penyelenggara negara yang bertentangan dengan
kewajibannya atau berhubungan dengan jabatannya. Gratifikasi seks ini
termasuk ke dalam tindak pidana korupsi, karena merujuk pada pengertian
“sesuatu” yang ada dalam undang-undang yang artinya segala sesuatu
benda yang berwujud atau tidak berwujud, benda yang mempunyai nilai,
harga, kegunaan yang menyenangkan. Misalnya suatu jasa, suatu
pekerjaan, suatu kemudahan, suatu fasilitas yang dimasukkan dalam
pengertian gratifikasi pasal 12B, termasuk gratifikasi seksual.
2) Dalam hukum pidana Islam istilah gratifikasi bisa dikategorikan ke dalam
risywah, tetapi untuk persoalan gratifikasi seks Islam pun secara tegas
melarangnya karena hal demikian merupakan jarimah risywah dengan cara
jarimah zina. perbuatan ini sangat jelas bahwa Allah melaknat orang yang
memberi dan menerima suap. Apalagi objek (pemberiannya) berupa jasa
pelayanan seksual, tentu saja perbuatan tersebut termasuk dosa besar dan
88
diancam dengan hukuman takzir berupa penjara, pengasingan, cambuk,
atau bisa terancam hukuman mati. dan juga terancam hukuman hudud
berupa cambuk atau rajam (hukuman mati).
3) Ancaman hukuman gratifikasi seks dalam hukum pidana positif bisa
dijerat pasal 5 ayat (1) (bagi si pemberi), pasal 5 ayat (2), pasal 12 huruf a
dan b, atau pasal 12B (bagi si penerima) dan pasal 15 (bagi objek/ wanita
pelayan seks) UU No. 31/1999 Jo. UU No. 20/2001 sepanjang memenuhi
unsur-unsur tersebut.
4) Dalam perbandingan hukum pidana positif dan hukum pidana Islam ini
tentu keduanya mempunyai perbedaan dari segi pengertian, jenis ataupun
sanksinya. Tetapi pada dasarnya kedua hukum tersebut sama-sama
melarang keras perbuatan gratifikasi seks, karena dampaknya bisa merusak
moral bangsa dan juga merugikan keuangan atau perekonomian negara.
B. SARAN
Perbuatan gratifikasi seks sangatlah merusak moral bangsa dan negara,
dengan demikian kita sebagai umat yang memegang teguh ajaran agama haruslah
menjaga akhlak dari perbuatan tersebut. Khususnya bagi aparatur negara tentunya
pemegang roda pemerintahan harus benar-benar hati-hati dan serius dalam hal
menjalani kewajibannya. Apalagi para penegak hukum, sudah menjadi kewajiban
untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia. Akhir-akhir ini
masyarakat menganggap gratifikasi seks ini sudah lumrah. Maka dari itu para
penegak hukum harus bergerak cepat tanpa pandang bulu mengatasi permasalahan
89
korupsi khususnya isu-isu merebahnya gratifikasi seks, tentunya para penegak
hukum harus mengklarifikasi dan mempublikasikan dalam berbagai media bahwa
gratifikasi seks itu termasuk dalam tindak pidana korupsi.
Bagi masyarakat tentunya harus menanamkan image sejak dini bahwa
korupsi merupakan kejahatan luar biasa, juga mendukung dan mengawasi kinerja
aparatur pemerintah dengan mengontrolnya supaya terjadi keseimbangan antara
pemerintah dan masyarakat.
90
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Terjemahnya.
Abduh Malik, Muhammad. 2003. Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan
KUHP. Jakarta: Bulan Bintang.
Adji, Indrianto Seno. 2009. Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta: Diadit
Media. Cet. Pertama.
Alatas, Syed Hussain. 1987. Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi. Jakarta: LP3ES.
Anggota IKAPI. 2001. Terjemahan Nailul Authar jilid 6. Surabaya: PT Bina Ilmu
Offset, Cet. Keempat.
Anwar, Syamsul dkk. 2006. Fikih Anti Korupsi Perspektif Ulama
Muhammadiyah.Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban.
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. 1999. Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir
Ibnu Katsir jilid I. Jakarta: Gema Insani Press.
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2001. Hukum-hukum Fiqh Islam
tinjauan antar mazhab. Semarang: PT pustaka rizki putra.
Asmawi. 2010. Teori Maslahat dan Perundang-Undangan Pidana Khusus di
Indonesia. Tanpa tempat: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
RI.
91
--------. 2011. Terjemahan Fiqh Islam Wa Adillatuhu. Jakarta: Gema Insani.
Az-Zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 7, Penerjemah Abdul
Hayyie al-Kattani dkk. Jakarta: Gema Insani.
Chazawi, Adami. 2005. Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia.
Jakarta: Bayumedia Publishing. Cet. Pertama.
Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi
keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum.
Djaja, Ermnasyah. 2009. Korupsi Bersama KPK. Jakarta: Sinar Grafika. Cet.
Kedua.
Doi, A. Rahman I. 2002. Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah, Syariah.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Effendy, Marwan. 2013. Korupsi dan Strategi Nasional, pencegahan serta
pemberantasannya. Jakarta: Referensi.
Harahap, Krisna. 2006. Pemberantasan Korupsi jalan tiada ujung. Bandung: PT
Grafitri.
Irfan, M. Nurul dan Masyrofah. 2013. Fiqh Jinayah. Jakarta: Amzah.
Irfan, M.Nurul. 2012. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua. Jakarta:
Amzah. Cet. Pertama.
92
Iskandar, 2009. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Gaung Persada Press.
Klitgaard, Robert. 2001. Membasmi Korupsi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Komisi Pemberantasan Korupsi. 2006. Memahami Untuk Membasmi.Jakarta:
Komisi Pemberantasan Korupsi.
Lamintang, P.A.F. 2011. Delik-delik Khusus Kejahatan Jabatan Tertentu Sebagai
Tindak Pidana Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
Marbun, B.N. 2006. Kamus Hukum Indonesia edisi kedua. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan.
Mas’ud, Ibnu. 2000. Fiqh Mazhab Syafi’i, Bandung: Pustaka Setia. Cet. ke-1,
Buku: II.
Muhardiansyah, Doni, dkk. 2010. Buku Saku Memahami Gratifikasi. Jakarta:
Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia. Cet. Pertama.
Muslich,Ahmad Wardi. 2005. Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika. Cet.
Pertama.
Noeh, Munawar Fuad. 1997. Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi. Jakarta:
Zihru’l Hakim. Cet. Pertama.
Rafi, Abu Fida’ Abdur. 2006. Terapi Penyakit Korupsi dengan Tazkiyatun Nafs.
Jakarta: Republika. Cet. Pertama.
93
Rosidi, Ajip. 2006. Korupsi dan Kebudayaan. Jakarta: PT Dunia Pustaka Jaya.
Cet. Pertama.
Shan’ani. Subulussalam 1/216.
Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Tim Tsalisah. Ensiklopedia Hukum Islam jilid IV. Bogor: PT Kharisma Ilmu.
Wasito, Wojo. 1997. Kamus Umum Belanda Indonesia. Jakarta: Ichtar Baru Van
Hoeve.
Wiyono, R. 2009. Pembahsan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Jakarta: Sinar Grafika.
Wawancara dengan Ferdi Diansyah (Staf Direktorat Gratifikasi Komisi
Pemberantasan Korupsi) pada tanggal 25 april 2014.
Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Jo. UU No. 20 Tahun 2001 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010 Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia, P U T U S A N No. 161
PK / PID. SUS / 2010, putusan.mahkamahagung.go.id.
94
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Komisi_Pemberantasan_Korupsi (situs ini terakhir
diperbarui 18 mei 2014 oleh Lukman Tomayahu).
Republika Online. “Ungkap Gratifikasi Seks, KPK Akan Kerjasama dengan
Singapura”, diakses pada Senin, 30 Desember 2013 dari:
http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/12/30/mymjxa-
ungkap-gratifikasi-seks-kpk-akan-.
Republika. “Gratifikasi Seks itu Korupsi”. diakses pada 25 juni 2013 dari:
http://www.republika.co.id/berita/nasional/hukum/13/06/25/moyapw-
bambang-widjojanto-gratifikasi-seks-itu-korupsi.
Suroso, Jusuf. “Gratifikasi Seks”. diakses pada 21 Januari 2013 dari http://cps-
sss.org/?p=1104
Tempo.co. “Gratifikasi Seks Menjadi Pelengkap Suap”. diakses pada Sabtu, 22
Juni 2013 Sabtu, 22 Juni 2013 dari:
http://www.tempo.co/read/news/2013/06/22/063490318/Gratifikasi-Seks-
Menjadi-Pelengkap-Suap.
Wiwoho, Jamal. Media Indonesia. Menyoal Gratifikasi Seks dalam Tindak Pidana
Korupsi. diakses pada 07 Februari 2013 dari:
http://pmlseaepaper.pressmart.com/mediaindonesia/PUBLICATIONS/MI/
MI/2013/02/07/ArticleHtmls/Menyoal-Gratifikasi-Seks-dalam-Tindak-
Pidana-Korupsi-07022013006004.shtml?Mode=1.
KEMENTERIAN AGAMAUNIVERSIi]A.S ISLAM NEGERI (UIN)SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
iln lr H Juanda No.95 CiputatJakarta 15412, lndonesiareb. $2-21\ 747 11537 , 7401925 Fax. (62-21) 7491821weinsite : vwlwv. u injkt.ac. id E-mail : syar-hukui n@yahoo. com
NomorLampiranHal
: Un.01/F4lKM.00.02/ 0zZ / 2074
: Permohonan Data/ Wawancara
Jakarta,l6 Maret 2014
Kepada Yth,Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)di
Jakarta
Assnlnmu' alaiktLm Wr.W .
Dekan Fakultas syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta menerangkan bahwa:
NamaNomor PokokTempat/Tanggal LahirSemester
Jurusan/KonsentrasiAlamat
Telp
Jajat Hidayat1110045100024Bogor, 73 Juli 7992VIII (delapan)Pidana Islam/ Jinayah SiYasah
Jl. Raya Antam TBK Pongkor, Kp. Babakan
Liud RT 02/70, Desa Kalong Liud, Kec.
Nanggung, Kab. Bogor08971095055
adalah benar mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN SyarifHidayatullah Jakarta yang sedang menyusun skripsi dengan judul:
,TINDAK PIDANA KORUPSI MELALUI GRATIFIKASI SEKS
(Tinjauan Hukum Pidana Islam dan Hukum Pidana Positif)"
Untuk melengkapi bahan penulisan skripsi, dimohon kiranyaBapak/Ibu dapat menerima yang bersangkutan untuk wawancala serta
memperoleh data guna penulisan skripsi dimaksud.
Atas kerjasama dan bantuannya, kami ucapkan terima kasih.
Wnssalam,
Tembusan :
1. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta2.Ka/Sekplodi Pidana Islam/ Jinayah Siyasah.
'l
DEKAN,Akademik
--'/ --
i
DAFTAR PERTANYAAN WAWANCARA
1. Bagaimana tanggapan bapak (Komisi Pemberantasan Korupsi) mengenai
gratifikasi seks?
2. Apakah perbuatan gratifikasi seks termasuk ke dalam Tindak Pidana Korupsi?
3. Bagaimana kedudukan hukum gratifikasi seks?
4. Seandainya perbuatan gratifikasi seks termasuk dalam Tipikor, apa dasar
hukumnya?
5. Dalam pasal 12B “gratifikasi” mempunyai arti luas, termasuk “fasilitas lainnya”,
apakah perbuatan gratifikasi seks terakomodir dalam pasal tersebut?
6. Bagaimana cara pembuktian gratifikasi seks?
ii
JAWABAN WAWANCARA
Kita harus memahami perbedaan pasal suap dan gratifikasi. Untuk
memahami pasal suap tentunya harus memahami pasal gratifikasi, begitupun
sebaliknya untuk memahami pasal gratifikasi tentunya harus memahami pasal
suap. Tidak benar suap itu hanya ada pemberi, suap itu tetap ada pemberi dan
penerima.
Setiap pasal-pasal suap itu mempunyai perbedaan masing-masing. Pasal
5, 1 a 1 b: untuk pemberi, Pasal 5 ayat 2: untuk pemberi, Pasal 6: untuk pemberi,
Pasal 11: suap pasif, tidak melakukan sesuatu, ia cukup karna jabatannya saja.
Contoh: kasus pengadaan barang dan jasa. Pasal 12 huruf a: PNS/ penyelenggara
negara menerima sebelum melakukan perbutan, Pasal 12 huruf b: PNS/
penyelenggara negara menerima sesudah melakukan perbutan, Pasal 12 huruf c:
hakim menerima sebelum melakukan perbutan, Pasal 12 huruf d: advokat
menerima sebelum melakukan perbutan.
Sedangkan tindak pidana korupsi gratifikasi dalam pasal 12B tidak
berbicara nilai, artinya dalam pasal 12 B tersebut yang menjelaskan 10 juta itu
adalah aspek pembuktian formil, jadi konsep pembuktian secara umum itu oleh
jaksa penuntut umum, nah di sini diatur khusus ( the lex spesialis), kalau dibawah
10 juta pembuktiannya oleh jaksa penuntut umum, sedangkan yang di atas 10 juta
pembuktiannya dilakukan oleh penerima gratifikasi (pasal 12B ayat 1 huruf a
pembuktiannya oleh si penerima dan pasal 12B ayat 1 huruf b pembuktiannya
oleh jaksa penuntut umum). Gratifikasi dalam pasal 12B redaksinya tidak ada satu
iii
katapun untuk berbuat sesuatu, si PNS tidak butuh berbuat sesuatu yg
bertentangan dengan jabatannya, tapi ia hanya cukup diam saja. Artinya dalam
pasal 12B ini hanya berhubungan dengan jabatannya atau yang bertentangan
dengan kewajibannya.
Banyak orang berpikir bahwa semua gratifikasi itu haram. Perlu kita
pahami bahwa gratifikasi terdiri dari dua jenis, yakni gratifikasi ilegal (terlarang)
dan gratifikasi legal (tidak terlarang). Contoh, pemberian orang tua pada anaknya
yang menjabat sebagai PNS semata-mata karna kasih sayangnya, ini merupakan
gratifikasi yang tidak terlarang. Gratifikasi yang terlarang terjadi ketika dia terkait
dengan jabatannya atau tugasnya. Jadi gratifikasi itu jangan disamaratakan, kalau
disamaratakan, berarti semua pemberian secara adat itu terlarang. Gratifikasi yang
terlarang itu yang terkait dengan jabatan atau kewajibannya.
Kemudian kita masuk kedalam gratifikasi seks, apakah gratifikasi seks
terakomodir dalam paal suap atau gratifikasi? Nah.. kita harus mengetahui makna
hadiah dan sesuatu, Hadiah adalah sesuatu yang mempunyai nilai, sesuatu bisa
berbentuk apapun. Dalam putusan Hoge Raad (Mahkamah Agung di Belanda)
tanggal 25 april 1916, NJ 1916, menyatakan “memberikan suatu hadiah dalam
pasal ini mempunyai pengertian yang lain dari sekedar memberikan sesuatu
karena kemurahan hati. Pemberian tersebut meliputi setiap penyerahan sesuatu
yang mempunyai nilai bagi orang lain, dengan maksud seperti disebutkan dalam
pasal ini”.
iv
Dalam putusan tersebut, suap tidak mungkin diberikan karena kemurahan
hati semata dan unsur bernilai atau tidaknya sesuatu tidaklah diukur dari pihak
pemberi ataupun penerima tetapi menurut penilaian orang lain. Hal ini menjawab
bantahan-bantahan tentang tidak bernilainya sebuah pemberian bagi pejabat
tertentu yang memiliki kekayaan dalam jumlah yang besar. Yang termasuk
sesuatu dalam pasal tersebut sangatlah luas, baik benda berwujud atau tidak
berwujud, termasuk juga hak asasi kekayaan intelektual ataupun fasilitas seperti
fasilitas bermalam di hotel berbintang. Definisi dalam pasal tersebut mirip dengan
definisi gratifikasi yang sangat luas, yang dapat mencakup “fasilitas lainnya”
termasuk gratifikasi seksual. Dengan demikian, selain pasal 12B, gratifikasi
seksual dapat dijerat dengan pasal 5, pasal 12 huruf a dan b UU No. 31/1999 Jo.
UU No. 20/2001 sepanjang memenuhi unsur pasal tersebut.
1
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :
a. bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa;
b. bahwa untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-undang tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (2) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945;
2
2. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209);
3. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3851);
4. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3874);
Dengan persetujuan bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :
UNDANG-UNDANG TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI.
Pasal I
Beberapa ketentuan dan penjelasan pasal dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diubah sebagai berikut:
1. Pasal 2 ayat (2) substansi tetap, penjelasan pasal diubah sehingga rumusannya sebagaimana tercantum dalam penjelasan Pasal Demi Pasal angka 1 Undang-undang ini.
2. Ketentuan Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12, rumusannya diubah dengan tidak mengacu pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana tetapi langsung menyebutkan unsur-unsur yang terdapat dalam masing-masing pasal Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang diacu, sehingga berbunyi sebagai berikut:
3
Pasal 5
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau
penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
(2) Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 6
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili; atau
b. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan dengan maksud untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili.
(2) Bagi hakim yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau advokat yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
4
Pasal 7
(1) Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah):
a. pemborong, ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau penjual bahan bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang, atau keselamatan negara dalam keadaan perang;
b. setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf a;
c. setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia melakukan perbuatan curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang; atau
d. setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan sengaja membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam huruf c.
(2) Bagi orang yang menerima penyerahan bahan bangunan atau orang yang menerima penyerahan barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisian Negara Republik Indonesia dan membiarkan perbuatan curang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf c, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
Pasal 8
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah), pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang ditugaskan menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau digelapkan oleh orang lain, atau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut.
5
Pasal 9
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja memalsu buku-buku atau daftar-daftar yang khusus untuk pemeriksaan administrasi.
Pasal 10
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau orang selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau untuk sementara waktu, dengan sengaja:
a. menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar yang digunakan untuk meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang dikuasai karena jabatannya; atau
b. membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut; atau
c. membantu orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta, surat, atau daftar tersebut.
Pasal 11
Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
6
Pasal 12
Dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah):
a. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
b. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya;
c. hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili;
d. seseorang yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan ditentukan menjadi advokat untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan perkara yang diserahkan kepada pengadilan untuk diadili;
e. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri;
f. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
g. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, meminta atau menerima pekerjaan, atau penyerahan barang, seolah-olah merupakan utang kepada dirinya, padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang;
h. pegawai negeri atau penyelenggara negara yang pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang di atasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; atau
7
i. pegawai negeri atau penyelenggara negara baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya.
3. Di antara Pasal 12 dan Pasal 13 disisipkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 12 A, Pasal 12 B, dan Pasal 12 C, yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 12 A
(1) Ketentuan mengenai pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11 dan Pasal 12 tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah).
(2) Bagi pelaku tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).
Pasal 12 B
(1) Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
a. yang nilainya Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi;
b. yang nilainya kurang dari Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
(2) Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
8
Pasal 12 C
(1) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) tidak berlaku, jika penerima melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilakukan oleh penerima gratifikasi paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal gratifikasi tersebut diterima.
(3) Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal menerima laporan wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik penerima atau milik negara.
(4) Ketentuan mengenai tata cara penyampaian laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dan penentuan status gratifikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur dalam Undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4. Di antara Pasal 26 dan Pasal 27 disisipkan 1 (satu) pasal baru menjadi Pasal 26 A yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal 26 A
Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari :
a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
5. Pasal 37 dipecah menjadi 2 (dua) pasal yakni menjadi Pasal 37 dan Pasal 37 A dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pasal 37 dengan substansi yang berasal dari ayat (1) dan ayat (2) dengan penyempurnaan pada ayat (2) frasa yang berbunyi "keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yang menguntungkan baginya" diubah menjadi "pembuktian tersebut digunakan oleh
9
pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti", sehingga bunyi keseluruhan Pasal 37 adalah sebagai berikut:
Pasal 37
(1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti.
b. Pasal 37 A dengan substansi yang berasal dari ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) dengan penyempurnaan kata "dapat" pada ayat (4) dihapus dan penunjukan ayat (1) dan ayat (2) pada ayat (5) dihapus, serta ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) masing-masing berubah menjadi ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), sehingga bunyi keseluruhan Pasal 37 A adalah sebagai berikut:
Pasal 37 A
(1) Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang didakwakan.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidak seimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, maka keterangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) digunakan untuk memperkuat alat bukti yang sudah ada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) merupakan tindak pidana atau perkara pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, sehingga penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
6. Di antara Pasal 38 dan Pasal 39 ditambahkan 3 (tiga) pasal baru yakni Pasal 38 A, Pasal 38 B, dan Pasal 38 C yang seluruhnya berbunyi sebagai berikut :
10
Pasal 38 A
Pembuktian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 B ayat (1) dilakukan pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan.
Pasal 38 B
(1) Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi.
(2) Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara.
(3) Tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok.
(4) Pembuktian bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan berasal dari tindak pidana korupsi diajukan oleh terdakwa pada saat membacakan pembelaannya dalam perkara pokok dan dapat diulangi pada memori banding dan memori kasasi.
(5) Hakim wajib membuka persidangan yang khusus untuk memeriksa pembuktian yang diajukan terdakwa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).
(6) Apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus ditolak oleh hakim.
Pasal 38 C
Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.
11
7. Di antara Bab VI dan Bab VII ditambah bab baru yakni Bab VI A mengenai Ketentuan Peralihan yang berisi 1 (satu) pasal, yakni Pasal 43 A yang diletakkan di antara Pasal 43 dan Pasal 44 sehingga keseluruhannya berbunyi sebagai berikut:
BAB VI A
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 43 A
(1) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan maksimum pidana penjara yang menguntungkan bagi terdakwa diberlakukan ketentuan dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 Undang-undang ini dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(2) Ketentuan minimum pidana penjara dalam Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10 Undang-undang ini dan Pasal 13 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tidak berlaku bagi tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
(3) Tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang ini diundangkan, diperiksa dan diputus berdasarkan ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ketentuan mengenai maksimum pidana penjara bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah) berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 A ayat (2) Undang-undang ini.
8. Dalam BAB VII sebelum Pasal 44 ditambah 1 (satu) pasal baru yakni Pasal 43 B yang berbunyi sebagai berikut:
9.
Pasal 43 B
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, Pasal 209, Pasal 210, Pasal 387, Pasal 388, Pasal 415, Pasal 416, Pasal 417, Pasal 418, Pasal 419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, dan Pasal 435 Kitab Undang-undang Hukum Pidana jis. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan
12
Hukum Pidana (Berita Republik Indonesia II Nomor 9), Undang-undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara Nomor 1660) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana Yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara, dinyatakan tidak berlaku.
Pasal II
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 21 Nopember 2001
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
13
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 20 TAHUN 2001
TENTANG
PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSII.
I. UMUM
Sejak Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3874) diundangkan, terdapat berbagai interpretasi atau penafsiran yang berkembang di masyarakat khususnya mengenai penerapan Undang-undang tersebut terhadap tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan. Hal ini disebabkan Pasal 44 Undang-undang tersebut menyatakan bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dinyatakan tidak berlaku sejak Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 diundangkan, sehingga timbul suatu anggapan adanya kekosongan hukum untuk memproses tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999.
Di samping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian, pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus, antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian yang dibebankan kepada terdakwa.
Untuk mencapai kepastian hukum, menghilangkan keragaman penafsiran, dan perlakuan adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, perlu diadakan perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketentuan perluasan mengenai sumber perolehan alat bukti yang sah yang berupa petunjuk, dirumuskan bahwa mengenai "petunjuk" selain diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa, juga diperoleh dari alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
14
yang serupa dengan itu tetapi tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili, dan dari dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.
Ketentuan mengenai "pembuktian terbalik" perlu ditambahkan dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai ketentuan yang bersifat "premium remidium" dan sekaligus mengandung sifat prevensi khusus terhadap pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 atau terhadap penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme, untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.
Pembuktian terbalik ini diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini.
Dalam Undang-undang ini diatur pula hak negara untuk mengajukan gugatan perdata terhadap harta benda terpidana yang disembunyikan atau tersembunyi dan baru diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Harta benda yang disembunyikan atau tersembunyi tersebut diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Gugatan perdata dilakukan terhadap terpidana dan atau ahli warisnya. Untuk melakukan gugatan tersebut, negara dapat menunjuk kuasanya untuk mewakili negara.
Selanjutnya dalam Undang-undang ini juga diatur ketentuan baru mengenai maksimum pidana penjara dan pidana denda bagi tindak pidana korupsi yang nilainya kurang dari Rp. 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghilangkan rasa kekurangadilan bagi pelaku tindak pidana korupsi, dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil.
Di samping itu, dalam Undang-undang ini dicantumkan Ketentuan Peralihan. Substansi dalam Ketentuan Peralihan ini pada dasarnya sesuai dengan asas umum hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
II. PASAL DEMI PASAL
15
Pasal I
Angka 1
Pasal 2 ayat (2)
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" dalam ketentuan ini adalah keadaan yang dapat dijadikan alasan pemberatan pidana bagi pelaku tindak pidana korupsi yaitu apabila tindak pidana tersebut dilakukan terhadap dana-dana yang diperuntukkan bagi penanggulangan keadaan bahaya, bencana alam nasional, penanggulangan akibat kerusuhan sosial yang meluas, penanggulangan krisis ekonomi dan moneter, dan pengulangan tindak pidana korupsi.
Angka 2
Pasal 5
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "penyelenggara negara" dalam Pasal ini adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Pengertian "penyelenggara negara" tersebut berlaku pula untuk pasal-pasal berikutnya dalam Undang-undang ini.
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Cukup jelas
Pasal 9
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
16
Pasal 11
Cukup jelas
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud dengan "advokat" adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf I
Cukup jelas
Angka 3
Pasal 12 A
17
Cukup jelas
Pasal 12 B
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "gratifikasi" dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 12 C
Cukup jelas
Angka 4
Pasal 26 A
Huruf a
Yang dimaksud dengan "disimpan secara elektronik" misalnya data yang disimpan dalam mikro film, Compact Disk Read Only Memory (CD-ROM) atau Write Once Read Many (WORM).
Yang dimaksud dengan "alat optik atau yang serupa dengan itu" dalam ayat ini tidak terbatas pada data penghubung elektronik (electronic data interchange), surat elektronik (e-mail), telegram, teleks, dan faksimili.
Huruf b
Cukup jelas
Angka 5
Pasal 37
Ayat (1)
Pasal ini sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan pembuktian terbalik terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang
18
berkaitan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan menyalahkan diri sendiri (non self-incrimination).
Ayat (2)
Ketentuan ini tidak menganut sistem pembuktian secara negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk).
Pasal 37 A
Cukup jelas
Angka 6
Pasal 38 A
Cukup jelas
Pasal 38 B
Ketentuan dalam Pasal ini merupakan pembuktian terbalik yang dikhususkan pada perampasan harta benda yang diduga keras juga berasal dari tindak pidana korupsi berdasarkan salah satu dakwaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini sebagai tindak pidana pokok.
Pertimbangan apakah seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara diserahkan kepada hakim dengan pertimbangan prikemanusiaan dan jaminan hidup bagi terdakwa.
Dasar pemikiran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) ialah alasan logika hukum karena dibebaskannya atau dilepaskannya terdakwa dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, berarti terdakwa bukan pelaku tindak pidana korupsi dalam kasus tersebut.
Pasal 38 C
Dasar pemikiran ketentuan dalam Pasal ini adalah untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat terhadap pelaku tindak pidana korupsi yang menyembunyikan harta benda yang diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Harta benda tersebut diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Dalam hal tersebut, negara memiliki hak untuk melakukan gugatan perdata kepada terpidana dan atau ahli warisnya terhadap harta benda yang diperoleh sebelum putusan pengadilan memperoleh kekuatan tetap, baik putusan tersebut didasarkan pada
19
Undang-undang sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau setelah berlakunya Undang-undang tersebut. Untuk melakukan gugatan tersebut negara dapat menunjuk kuasanya untuk mewakili negara. Angka 7 Cukup jelas Angka 8 Cukup jelas Pasal II Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4150
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 31 TAHUN 1999
TENTANGPEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang : a. bahwa tindakan pidana korupsi sangat merugikan keuangan negaraatau perekonomian negara dan menghambat pembangunan nasional,sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakatadil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar1945;
b. bahwa akibat tindak pidana korupsi yang terjadi selama ini selainmerugikan keuangan negara atau perekonomian negara, jugamenghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasionalyang menuntut efisiensi tinggi;
c. bahwa Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi sudah tidak sesuai lagi denganperkembangan kebutuhan hukum dalam masyarakat, karena itu perludiganti dengan Undang-undang Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi yang baru sehingga diharapkan lebih efektif dalammencegah dan memberantas tindak pidana korupsi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalamhuruf a, b, dan e perlu dibentuk Undang-undang yang baru tentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Nomor IX/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersihdan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Dengan persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN TINDAKPIDANA KORUPSI
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan:1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.2. Pegawai Negeri adalah meliputi:
a. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentangKepegawaian;
b. pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undangHukum Pidana;
c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima
bantuan dari keuangan negara atau daerah;e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang
mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.
BAB II
TINDAK PIDANA KORUPSI
Pasal 2
(1). Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya dirisendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangannegara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidupatau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (duapuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah)dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(2). Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukandalam keadaan tertentu pidana mati dapat dijatuhkan.
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atausuatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang adapadanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatanatau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara,dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu)tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
Pasal 4
Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidakmenghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2dan Pasal 3.
Pasal 5
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal209 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh jutarupiah).
Pasal 6
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal210 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah)
Pasal 7
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal387 atau pasal 388 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidanapenjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau dendapaling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.350.000.000,00 (tiga ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 8
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal415 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 750.000.000,00(Tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 9
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal416 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh jutarupiah).
Pasal 10
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal417 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat2 (dua) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan denda paling sedikit Rp.100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,00 (tiga ratuslima puluh juta rupiah).
Pasal 11
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal418 Kitab Undang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 250.000.000,00 (dua ratuslima puluh juta rupiah).
Pasal 12
Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal419, Pasal 420, Pasal 423, Pasal 425, atau Pasal 435 Kitab Undang-undang HukumPidana, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satumiliar rupiah).
Pasal 13
Setiap orang yang memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri denganmengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya,atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukantersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) dan atau denda palingbanyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 14
Setiap orang yang melanggar ketentuan Undang-undang yang secara tegasmenyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang tersebut sebagaitindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam Undang-undang ini.
Pasal 15
Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahatuntuk melakukan tindak pidana korupsi, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimanadimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
Pasal 16
Setiap orang diluar wilayah negara Republik Indonesia yang memberikanbantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan untuk terjadinya tindak pidana korupsidipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidana korupsi sebagaimanadimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14.
Pasal 17
Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimanadimaksud dalam Pasal 18.
Pasal 18
(1). Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undangHukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud
atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh daritindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di manatindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yangmengantikan barang-barang tersebut;
b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya samadengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
c. Penutupan Seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1(satu) tahun;
d. Pencabutan Seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusanSeluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikanoleh Pemerintah kepada terpidana.
(2). Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat(1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilanyang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disitaoleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
(3). Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untukmembayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, makadipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancamanmaksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undangini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Pasal 19
1. Putusan pengadilan mengenai perampasan barang-barang bukan kepunyaanterdakwa tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik akandirugikan.
2. Dalam hal putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) termasukjuga barang pihak ketiga yang mempunyai itikad baik, maka pihak ketiga tersebutdapat mengajukan surat keberatan kepada pengadilan yang bersangkutan, dalam
waktu paling lambat 2 (dua) bulan setelah putusan pengadilan diucapkan disidang terbuka untuk umum.
3. Pengajuan surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) untukmenangguhkan atau menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan.
4. Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), hakim memintaketerangan penuntut umum dan pihak yang berkepentingan.
5. Penetapan hakim atas surat keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dapatdimintakan kasasi ke Mahkamah Agung oleh pemohon atau penuntut umum.
Pasal 20
1. Dalam hal tindak pidana korupsi oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutandan penhatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan atau pengurusnya.
2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebutdilakukan oleh orang-orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkanhubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupunbersama-sama.
3. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasitersebut diwakili oleh pengurus.
4. Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dapatdiwakili oleh orang lain.
5. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri dipengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya pengurus tersebut dibawa ke sidangpengadilan.
6. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka pengilan untukmenghadap dan Penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus ditempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
7. Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, denganketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu per tiga).
BAB III
TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANAKORUPSI
Pasal 21
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkansecara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidangpengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi,dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (duabelas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh jutarupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 22
Setiap orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, Pasal 29, Pasal 35, atauPasal 36 yang dengan sengaja tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yangtidak benar dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 9tiga) tahun dan paling lama12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus limapuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah)
Pasal 23
Dalam perkara korupsi, pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksuddalam Pasal 220, Pasal 231, Pasal 241, Pasal 422, Pasal 429 atau Pasal 430 KitabUndang-undang Hukum Pidana, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu)tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00(lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 24
Saksi yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31,dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyakRp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).
BAB IV
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANGPENGADILAN
Pasal 25
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan dalam perkara tindakpidana korupsi didahulukan dari perkara lain guna penyelesaian secepatnya.
Pasal 26
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan disidang pengadilan terhadap tindakpidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku, kecualiditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Pasal 27
Dalam hal ditemukan tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya, makadapat dibentuk tim gabungan di bawah koordinasi Jaksa Agung.
Pasal 28
Untuk kepentingan penyisikan, tersangka wajib memberikan keterangan tentangSeluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiaporang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan dengantindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka.
Pasal 29
1. Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, atau pemeriksaan di sidangpengadilan, penyidikan, penuntut umum, atau hakim berwenang memintaketerangan kepada bank tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa.
2. Permintaan keterangan kepada bank sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)diajukan kepada Gubernur Bank Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Gubernur Bank Indonesia berkewajiban untuk memenuhi permintaansebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dalam waktu selambat-ambatnya 3 (tiga)hari kerja, terhitung sejak dokumen permintaan diterima secara lengkap.
4. Penyidik, penuntut umum, atau hakim dapat meminta kepada bank untukmemblokir rekening simpanan milik tersangka atau terdakwa yang diduga hasildari korupsi.
5. Dalam hal hasil pemeriksaan terhadap tersangka atau terdakwa tidak diperolehbukti yang cukup, atas permintaan penyidik, penuntut umum atau hakim, bankpada hari itu juga mencabut pemblokiran.
Pasal 30
Penyidik berhak membuka, memeriksa, dan menyita surat dan kiriman melaluipos, telekomunikasi, atau alat lainnya yang dicurigai mempunyai hubungan denganperkara tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa.
Pasal 31
1. Dalam penyidikan dan pemeriksaan di sidang pengadilan, saksi dan orang lainyang bersangkutan dengan tindak pidana korupsi dilarang menyebut nama ataualamat Pelopor, atau hal-hal lain yang memberikan kemungkinan dapatdiketahuinya identitas pelapor.
2. Sebelum pemeriksaan dilakukan, larangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)diberitahukan kepada saksi dan orang lain tersebut.
Pasal 32
1. Dalam hal penyidikan menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsurtindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telahada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkasperkara hasil penyidikian tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untukdilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untukmengajukan gugatan.
2. Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hakuntuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara.
Pasal 33
Dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkansecara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkanberkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkankepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Pasal 34
Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidangpengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntutumum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada JaksaPengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukangugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Pasal 35
1. Setiap orang wajib memberi keterangan sebagai saksi atau ahli, kecuali ayah, ibu,kakek, nenek, saudara kandung, istri atau suami, anak, dan cucu dari terdakwa.
2. Orang yang dibebaskan sebagai saksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),dapat diperiksa sebagai saksi apabila mereka menghendaki dan disetujui secarategas oleh terdakwa.
3. Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), mereka dapatmemberikan keterangan sebagai saksi tanpa disumpah.
Pasal 36
Kewajiban memberikan kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 berlakujuga terhadap mereka yang menurut pekerjaan, harkat dan martabat atau jabatannyadiwajibkan menyimpan rahasia, kecuali petugas agama yang menurut keyakinannyaharus menyimpan rahasia.
Pasal 37
1. Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindakpidana korupsi.
2. Dalam hal terdakwa dapat dibuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidanakorupsi, maka keterangan tersebut dipergunakan sebagai hal yangmenguntungkan baginya.
3. Terdakwa wajib memberikan keterangan tentang Seluruh harta bendanya danharta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasiyang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan.
4. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan tentang kekayaan yang tidakseimbang dengan penghasilannya atau sumber penambahan kekayaannya, makaketerangan tersebut dapat digunakan untuk memperkuat alat buktu yang sudahada bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana korupsi.
5. Dalam keadaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat 92), dan 93) dan ayat(4), penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya.
Pasal 38
1. Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah, dan tidak hadir di sidangpengadilan tanpa alasan yang sah maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpakehadirannya.
2. Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya sebelum putusan dijatuhkan,maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala keterangan saksi dan surat-surat yangdibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap sebagai diucapkan dalam sidangyang sekarang.
3. Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntutumum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, ataudiberitahukan kepada kuasanya.
4. Terdakwa atau kuasanya dapat mengajukan banding atas putusan sebagaimanadimaksud dalam ayat (1).
5. Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapatbukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidanankorupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasanbarang-barang yang telah disita.
6. Penetapan perampasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) tidak dapatdimohonkan upaya banding.
7. Setiap orang yang berkepentingan dapat mengajukan keberatan kepadapengadilan yang telah menjatuhkan penetapan sebagaimana dimaksud dalam ayat(5), dalam waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pengumumansebagaimana dimaksud dalam ayat (3).
Pasal 39
Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan Penyelidikan, penyidikan,dan penuntut tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yangtunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer.
Pasal 40
Dalam hal terdapat cukup alasan untuk mengajukan perkara korupsi di lingkunganPeradilan Militer, maka ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 123 ayat (1) hurufg Undang-undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer tidak dapatdiberlakukan.
BAB V
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 41
1. Masyarakat dapat berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasantindak pidana korupsi.
2. Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diwujudkan dalambentuk:a. hak mencari, memperoleh dan memberikan informasi adanya dugaan telah
terjadi tindak pidana korupsi;b. hak untuk memperoleh pelayanan dalam mencari, memperoleh dan
memberikan informasi adanya dugaan telah terjadi tindak pidana korupsikepada penegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
c. hak menyampaikan saran dan pendapat secara bertanggungjawab kepadapenegak hukum yang menangani perkara tindak pidana korupsi;
d. hak untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan tentang laporannya yangdiberikan kepada penegak hukum dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh)hari;
e. hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal;1. melaksanakan haknya sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b,
dan c;2. diminta hadir dalam proses penyelidikan, penyidikan, dan disidang
pengadilan sebagai saksi pelapor, saksi, atau saksi ahli, sesuaidengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3. masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai hakdan tanggungjawab dalam upaya mencegah pemberantasan tindakpidana korupsi;
4. hak dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)dan ayat 93) dilaksanakan dengan berpegang teguh pada asas-asasaau ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undanganyang berlaku dan dengan menaati norma agama dan norma sosiallainnya;
5. ketentuan mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakatdalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsisebagaimana dimaksud dalam Pasal ini, diatur lebih lanjut denganPeraturan Pemerintah.
Pasal 42
1. Pemerintah memberikan penghargaan kepada anggota masyarakat telah berjasamembantu upaya pencegahan, pemberantasan, atau pengangkapan tindak pidanakorupsi.
2. Ketentuan mengenai penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diaturlebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 43
1. Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-undang ini mulai berlaku,dibentuk Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai tugas dan wewenangmelakukan koordinasi dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan,penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Keanggotaan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terdiri atas unsurPemerintah dan unsur masyarakat.
4. Ketentuan mengenai pembentukan, susunan organisasi, tata kerja,pertanggungjawaban, tugas dan wewenang, serta keanggotaan Komisisebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) diatur dengan Undang-undang.
BAB VII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 44
Pada saat mulai berlakunya Undang-undang ini, maka Undang-undang Nomor 3Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Tahun1971 Nomor 19, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2958), dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 45
Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undangini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di JakartaPada tanggal 16 Agustus 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di JakartaPada tanggal 16 Agustus 1999
MENTERI NEGARA SEKRATARIS NEGARAREPUBLIK INDONESIA,
ttd
M U L A D I
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NOMOR 140
PENJELASANATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIANOMOR 31 TAHUN 1999
TENANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI
I. UMUMPembangunan Nasional bertujuan mewujudkan manusia Indonesia seutuhnya danmasyarakat Indonesia seluruhnya yang adil, makmur, sejahtera, dan tertib berdasarkanPancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Untuk mewujudkan masyarakat Indonesiayang adil, makmur, dan sejahtera tersebut, perlu secara terus menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pada umumnya serta tindak pidanakorupsi pada khususnya.
Di tengah upaya pembangunan nasional di berbagai bidang, aspirasi masyarakat untukmemberantas korupsi dan bentuk penyimpangan lainnya makin meningkat, karena dalamkenyataan adanya pembuatan korupsi telah menimbulkan kerugian negara yang sangatbesar yang pada gilirannya dapat berdampak pada timbulnya krisis di berbagai sidang.Untuk itu, upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi perlu semakin ditingkatkan dandiintensifkan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kepentingan masyarakat.
Undang-undang ini dimaksudkan untuk menggantikan Undang-undang Nomor 3 Tahun1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diharapkan mampu memenuhidan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dalam rangkamencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap bentuk tindak pidana korupsi yangsangat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara pada khususnya sertamasyarakat pada umumnya.
Keuangan negara yang dimaksud adalah Seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun,yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagiankekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
a. berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban pejabatNegara, baik di tingkat pusat maupun daerah;
b. berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan UsahaMilik Negara/Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, danperusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yangmenyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupanperekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asaskekeluargaan ataupun usaha masyarakat secara mandiri yang didasarkan padakebijakan Pemerintah, baik ditingkat pusat maupun di daerah sesuai denganketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuanmemberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada Seluruhkehidupan masyarakat.
Agar dapat menjangkau berbagai modus operandi penyimpangan keuangan negara atauperekonomian negara yang semakin canggih dan rumit, maka tindak pidana yang diaturdalam Undang-undang ini dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi secara ‘melawanhukum’ dalam pengertian formil dan materiil. Dengan perumusan tersebut, pengertianmelawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan-perbuatantercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana.
Dalam undang-undang ini, tindak pidana korupsi dirumuskan secara tegas sebagai tindakpidana formil. Hal ini sangat penting untuk pembuktian. Dengan rumusan secara formilyang dianut dalam Undang-undang ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikankepada negara, pelaku tindak pidana korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetapdipidana.
Perkembangan baru yang diatur dalam Undang-undang ini adalah korporasi sebagaisubyek tindak pidana korupsi yang dapat dikenakan sanksi. Hal ini tidak diatur dalamundang-undang Nomor 3 Tahun 1971.
Dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantastindak pidana korupsi, Undang-undang ini memuat ketentuan pidana yang berbedadengan Undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana minimumkhusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakanpemeratan pidana. Selain itu, Undang-undang ini memuat juga pidana penjara bagipelaku tindak pidana korupsi yang tidak dapat membayar pidana tambahan berupa uangpengganti kerugian negara.
Undang-undang ini juga memperluas pengertian Pegawai Negeri, yang antara lain adalahorang yang menerima gaji dan upah dari korporasi yang mempergunakan modal ataufasilitas dari Negara atau masyarakat. Yang dimaksud dengan fasilitas adalah perlakuanistimewa yang diberikan dalam berbagai bentuk, misalnya bunga pinjaman yang tidakwajar, harga yang tidak wajar, pemberian izin yang eksekutif, termasuk keringanan beamasuk atau pajak yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yangberlaku.
Hal baru lainnya adalah dalam hal terjadi tindak pidana korupsi yang sulitpembuktiannya, maka dibentuk tim gabungan yang dikoordinasikan oleh Jaksa Agung,sedangkan dalam proses penyidikan dan penuntutan dilaksanakan sesuai denganperaturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini dimaksudkan dalam rangkameningkatkan efisien waktu penanganan tindak pidana korupsi dan sekaligusperlindungan manusia dari tersangka atau terdakwa.
Untuk memperlancar proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan tindak pidanakorupsi, Undang-undang ini mengatur kewenangan penyidik, penuntut umum, atau hakimsesuai dengan tingkat penanganan perkara untuk dapat langsung meminta keterangantentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa kepada bank dengan mengajukan haltersebut kepada Gubernur Bank Indonesia.
Disamping itu, undang-undang ini juga menerapkan pembuktian terbalik yang bersifatterbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa iatidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentangSeluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiaporang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yangbersangkutan, an penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.
Undang-undang ini juga memberi kesempatan yang seluas-luasnya kepada masyarakatberperan serta untuk membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidanakorupsi, dan terhadap anggota masyarakat yang berperan serta tersebut diberikanperlindungan hukum dan penghargaan.
Selain memberikan peran serta masyarakat tersebut, Undang-undang ini jugamengamanatkan pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang akandiatur dalam Undang-undang tersendiri dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahunsejak Undang-undang ini diundangkan. Keanggotaan Komisi Pemberantas Tindak PidanaKorupsi terdiri atas unsur Pemerintah dan unsur masyarakat.
Berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentangPemberantasan Tindak Pidanan Korupsi perlu diganti dengan Undang-undang ini.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1Cukup jelas
Pasal 2Ayat (1)Yang dimaksud dengan “secara melawan hukum” dalam Pasal ini mencakupperbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yaknimeskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan,namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai denganrasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, makaperbuatan tersebut dapat dipidana. Dalam ketentuan ini, kata “dapat” sebelumfrasa “merugikan keuangan negara atau perekonomian negara” menunjukkanbahwa tindak pidana korupsi merupakan delik formal, yaitu adanya tindak pidanakorupsi cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskanbukan dengan timbulnya akibat.
Ayat (2)Yang dimaksud dengan “keadaan tertentu” dalam ketentuan ini dimaksudkansebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidanatersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai denganundang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai
pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada waktu negara dalam keadaan krisisekonomi dan moneter.
Pasal 3Kata “dapat” dalam ketentuan ini diartikan sama dengan Penjelasan Pasal 2.
Pasal 4Dalam hal pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2dan Pasal 3 telah memenuhi unsur-unsur pasal dimaksud, maka pengembaliankerugian negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan pidana terhadappelaku tindak pidana tersebut.
Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara hanyamerupakan salah satu faktor yang meringankan.
Pasal 5Cukup jelas
Pasal 6Cukup jelas
Pasal 7Dalam ketentuan ini, frasa “Angkatan Laut atau Angkatan Darat” yang dimuatdalam Pasal 388 KUHP harus dibaca “Tentara Nasional Indonesia”.
Pasal 8Cukup jelas
Pasal 9Cukup jelas
Pasal 10Cukup jelas
Pasal 11Cukup jelas
Pasal 12Cukup jelas
Pasal 13Cukup jelas
Pasal 14Yang dimaksud dengan “ketentuan yang berlaku dalam Undang-undang ini”adalah baik hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil.
Pasal 15Ketentuan ini merupakan aturan khusus karena ancaman pidana pada percobaandan pembantuan tindak pidana pada umumnya dikurangi 1/3 (satu per tiga) dariancaman pidananya.
Pasal 16Ketentuan ini bertujuan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsiyang bersifat transnasional atau lintas batas teritorial sehingga segala bentuktransfer keuangan/harta kekayaan hasil tindak pidana korupsi antar negara dapatdicegah secara optimal dan efektif.
Yang dimaksud dengan “bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan” dalamketentuan ini adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlakudan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pasal 17Cukup jelas
Pasal 18Ayat (1)
Huruf aCukup jelas
Huruf bCukup jelas
Huruf cYang dimaksud dengan “penutupan Seluruh atau sebagianperusahaan” adalah pencabutan izin usaha atau penghentiankegiatan untuk sementara waktu sesuai dengan putusan pengadilan.
Huruf dCukup jelas
Ayat (2)Cukup jelas
Ayat (3)Cukup jelas
Pasal 19Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)Cukup jelas
Ayat (3)Apabila keberatan pihak ketiga diterima oleh hakim setelah eksekusi,maka negara berkewajiban mengganti kerugian kepada pihak ketigasebesar nilai hasil lelang atas barang tersebut.
Ayat (4)Cukup jelas
Ayat (5)Cukup jelas
Pasal 20Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “pengurus” adalah organ korporasi yangmenjalankan kepengurusan korporasi yang bersangkutan, sesuai dengananggaran dasar, termasuk mereka yang dalam kenyataannya memilikikewenangan dan ikut memutuskan kewajiban korporasi yang dapatdikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
Ayat (2)Cukup jelas
Ayat (3)Cukup jelas
Ayat (4)Cukup jelas
Ayat (5)Cukup jelas
Ayat (6)Cukup jelas
Ayat (7)Cukup jelas
Pasal 21Cukup jelas
Pasal 22Cukup jelas
Pasal 23Cukup jelas
Pasal 24Cukup jelas
Pasal 25Apabila terdapat 2 (dua) atau lebih perkara yang oleh Undang-undang ditentukanuntuk didahulukan maka mengenai Penentuan prioritas perkara tersebutdiserahkan pada tiap lembaga yang berwenang disetiap proses peradilan.
Pasal 26Kewenangan penyidik dalam Pasal ini termasuk wewenang untuk melakukanpenyadapan (wiretapping).
Pasal 27Yang dimaksud dengan “tindak pidana korupsi yang sulit pembuktiannya”, antaralain tindak pidana korupsi di bidang perbankan, perpajakan, pasar modal,perdagangan dan industri, komoditi berjangka, atau di bidang moneter dankeuangan yang:a. bersifat lintas sektoral;b. dilakukan dengan menggunakan teknologi canggih atauc. dilakukan oleh tersangka/terdakwa yang berstatus sebagai Penyelenggara
Negara sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor 28 Tahun1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,Kolusi, dan Nepotisme.
Pasal 28Cukup jelas
Pasal 29Ayat (1)Ketentuan ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas penyidikan, penuntutan,pemberantasan tindak pidana korupsi dengan tetap memperhatikan koordinasilintas sektoral dengan Instansi terkait.
Ayat (2)Cukup jelas
Ayat (3)Cukup jelas
Ayat (4)Yang dimaksud dengan “rekening simpanan” adalah dana yang dipercayakan olehmasyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana dalam bentukgiro, deposito, sertifikat deposito, tabungan, dan atau bentuk lain yangdipersamakan dengan itu, termasuk penitipan (custodian) dan penyimpananbarang atau surat berharga (safe-deposit box).
Rekening simpanan yang diblokir adalah termasuk bunga deviden, bungaobligasi, atau keuntungan lain yang diperoleh dari simpanan tersebut.
Ayat (5)Cukup jelas
Pasal 30Ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan kewenangan kepada penyidikdalam rangka proses penyidikan yang pada dasarnya di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana untuk membuka, memeriksa atau menyita suratharus memperoleh izin terlebih dahulu dari Ketua Pengadilan Negeri.
Pasal 31Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Pelopor” dalam ketentuan ini adalah orang yangmemberi informasi kepada penegak hukum mengenai terjadinya suatutindak pidana korupsi dan bukan pelapor sebagaimana dimaksud dalamPasal 1 angka 24 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang HukumAcara Pidana.
Ayat (2)Cukup jelas
Pasal 32Ayat (1)Yang dimaksud dengan “secara nyata telah ada kerugian keuangan negara” adalahkerugian negara yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuaninstansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.
Ayat (2)Yang dimaksud dengan “putusan bebas” adalah putusan pengadilan sebagaimanadimaksud dalam pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) Undnag-undang Nomor 8 Tahun1981 tentang Hukum Acara Pidana.
Pasal 33Yang dimaksud dengan “ahli waris” dalam Pasal ini adalah sesuai denganperaturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 34Cukup jelas
Pasal 35Cukup jelas
Pasal 36Yang dimaksud dengan “petugas agama” dalam Pasal ini adalah hanya petugasAgama Katholik yang dimintakan bantuan kejiwaan, yang dipercayakan untukmenyimpan rahasia”.
Pasal 37Ketentuan ini merupakan suatu penyimpangan dari ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menentukan bahwa jaksa yang wajibmembuktikan dilakukannya tindak pidana, bukan terdakwa. Menurut ketentuanini terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidanakorupsi. Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tersebut tidak berarti ia tidakterbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajibanuntuk membuktikan dakwaannya. Ketentuan pasal ini merupakan pembuktianterbalik yang terbatas karena jaksa masih tetap wajib membuktikan dakwaannya.
Pasal 38Ayat (1)
Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk menyelamatkan kekayaannegara sehingga tanpa kehadiran terdakwapun, perkara dapat diperiksadan diputus oleh hakim.
Ayat (2)Cukup jelas
Ayat (3)Yang dimaksud dengan “putusan yang diumumkan atau diberitahukanadalah petikan surat putusan pengadilan”.
Ayat (4)Cukup jelas
Ayat (5)Ketentuan dalam ayat ini, dimaksudkan pula untuk menyelamatkankekayaan negara.
Ayat (6)Cukup jelas
Ayat (7)Ketentuan dalam ayat ini dimaksudkan untuk melindungi pihak ketigayang beritikad baik. Batasan waktu 30 (tiga puluh) hari dimaksudkanuntuk menjamin dilaksanakannya eksekusi terhadap barang-barang yangmemang berasal dari tindak pidana korupsi.
Pasal 39Yang dimaksud dengan “mengkoordinasikan” adalah kewenangan Jaksa Agungsesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5Tahun 1991 tentang Kejaksaan.
Pasal 40Cukup jelas
Pasal 41Ayat (1)Ketentuan dalam pasal ini dimaksudkan untuk meningkatkan efektivitaspencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi.
Ayat (2)Huruf a.
Cukup jelasHuruf b.
Cukup jelasHuruf c
Cukup jelasHuruf d
Cukup jelasHuruf e
Perlindungan hukum terhadap pelapor dimaksudkan untukmemberikan rasa aman bagi pelapor yang dilaksanakan sesuaidengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 42Ayat (1)
Penghargaan kepada masyarakat yang berjasa dalam mengungkap tindakpidana korupsi dengan disertai bukti-bukti, diberikan penghargaan baikberupa piagam maupun premi.
Ayat (2)Cukup jelas
Pasal 43Cukup jelas
Pasal 44Cukup jelas
Pasal 45Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 387