the heike story kisah epik jepang abad ke-12 penulis ... · rumah yang terhormat ada cukup banyak...

564
The Heike Story Kisah Epik Jepang Abad ke-12 Penulis : Eiji Yoshikawa Kiriman : Lenny (trims yeee) Ebook : Dewi KZ http://kangzusi.com/ http://dewikz.com http://kangzusi.info Penerbit : Zahir Books (lini Redline Publishing) Cetakan : Pertama, Juni 2010 Tebal buku: 750 halaman DAFTAR ISI DAFTAR ISI Bab I – PASAR Bab II - PEREMPUAN GION Bab III – PACUAN KUDA BAB IV-SEORANG WANITA YANG BERMANDIKAN CAHAYA REMBULAN Bab V – RUMPUT YANG TERINJAK-INJAK Bab VI - BOCAH LELAKI YANG MEMBAWA AYAM SABUNGAN Bab VII – SALAM PERPISAHAN DARI SEORANG SAMURAI Bab VIII - BINTANG BEREKOR DI ATAS IBU KOTA Bab IX – PARA PRAJURIT BIKSU DARI GUNUNG SUCI Bab X – DUSTA

Upload: lenguyet

Post on 05-May-2018

425 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

The Heike Story

Kisah Epik Jepang Abad ke-12

Penulis : Eiji Yoshikawa

Kiriman : Lenny (trims yeee)

Ebook : Dewi KZ

http://kangzusi.com/ http://dewikz.com

http://kangzusi.info

Penerbit : Zahir Books (lini Redline Publishing) Cetakan : Pertama, Juni 2010

Tebal buku: 750 halaman

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

Bab I – PASAR

Bab II - PEREMPUAN GION

Bab III – PACUAN KUDA

BAB IV-SEORANG WANITA YANG BERMANDIKAN

CAHAYA REMBULAN

Bab V – RUMPUT YANG TERINJAK-INJAK

Bab VI - BOCAH LELAKI YANG MEMBAWA AYAM

SABUNGAN

Bab VII – SALAM PERPISAHAN DARI SEORANG

SAMURAI

Bab VIII - BINTANG BEREKOR DI ATAS IBU KOTA

Bab IX – PARA PRAJURIT BIKSU DARI GUNUNG

SUCI

Bab X – DUSTA

Bab XI - SEKELUARGA RUBAH DAN SEBUAH

KECAPI

Bab XII -SABDA ALMARHUM

Bab XIII-ISTANA MATA AIR DEDALU

Bab XIV-PANJI-PANJI MERAH HEIKE

Bab XV-PANJI-PANJI PUTIH GENJI

Bab XVI-PEDANG DAN ANAK PANAH

Bab XVII-SUNGAI BERDARAH

Bab XVIII-ALUNAN SERULING

Bab XIX-SEBUAH KEDAI TEH DI EGUCHI

Bab XX-Perjalanan Ziarah ke Kumano

Bab XXI-Tuan Hidung Merah Sang Saudagar

Bab XXII-Jeruk Dari Selatan

Bab XXIII – PENCULIKAN KAISAR

Bab XXIV-IRAMA GENDERANG

Bab-XXV BADAI SALJU

Bab XXVI – BELAS KASIHAN

Bab XXVII – SEBUAH KAPEL DI ATAS BUKIT

Bab XXVIII-SANG IBU

Bab XXIX-PENGASINGAN

Bab XXX-SAKURA

Bab XXXI-GAGAK

Bab XXXII-JALAN PEDAGANG SAPI

Bab XXXIII-SEKUNTUM PEONI PUTIH

Bab XXXIV-SEBUAH PATUNG PERAK

Bab XXXV-RIBUAN BATANG LILIN

Bab XXXVI-SI PENYAIR PENGEMBARA

Bab XXXVII-SEORANG SAUDAGAR DARI TIMUR

LAUT

Bab XXXVIII-TIGA BUAH MIMPI

Bab XXXIX-TABIB ASATORI

Bab XL-PERMATA LAUT

Bab XLI-WAFATNYA SEORANG KAISAR

Bab XLII-CAHAYA KEBENARAN

Bab XLIII-DUA ORANG GEISHA

Bab XLIV-HURU-HARA

Bab XLV-PEMBANGUNAN SEBUAH PELABUHAN

Bab XLVI-PENGASINGAN SEORANG BIKSU

Bab XLVII-GENJI AKAN BANGKIT KEMBALI

Bab XLVIII-IBLIS-IBLIS GUNUNG KURAMA

Bab XLIX-USHIWAKA MELARIKAN DIRI

Bab L-PERJALANAN KE TIMUR

o0odwkzo0o

Bab I – PASAR

“Dan kau, Heita, jangan lagi

berkeliaran dan menyia-nyiakan waktu di Shoikoji

dalam perjalananmu pulang!”

Heita Kiyomori mendengar

ayahnya, Tadamori, berseru

memperingatkannya ketika dia

pergi untuk menjalankan

tugasnya. Dia merasakan suara

ayahnya mengikutinya

bersama setiap langkahnya.

Kiyomori takut kepada

ayahnya; setiap kata yang

diucapkan oleh pria itu seolah-olah selalu melekat di

benaknya. Dua tahun

sebelumnya, pada 1135, untuk pertama kalinya Kiyomori menemani ayahnya dan sejumlah prajuritbersenjata dalam sebuah ekspedisi dari Kyoto ke Shikoku, dan kemudian Kyushu untuk menumpaspara perompak Laut Dalam.

Sejak bulan April pada musim semi hingga Agustus, mereka memburu musuh mereka dan, denganpemimpin gerombolan perompak beserta ketiga puluh kaki tangannya terbelenggu rantai, merekakembali dengan penuh kejayaan ke ibu kota, dalam sebuah pawai kemenangan yang meriah.

Ya, tidak diragukan lagi, ayahnya memang seorang pahlawan—tanpa memedulikan segalanya!

Pendapat Kiyomori tentang ayahnya berubah sejak saat itu, begitu pula ketakutannya. Sejak masihbocah, Kiyomori yakin bahwa kemalasanlah yang menyebabkan ayahnya

menghindari pergaulan, bahwa dia kekurangan ambisi, tidak memiliki keberanian untuk mengurusberbagai masalah duniawi, dan terlalu keras kepala untuk keluar dari jerat kemiskinan. Sosok itu,bagaimanapun, bukan ayah yang tingkah lakunya diamati oleh Kiyomori sejak masa kanak-kanak,namun gambaran yang dilekatkan di benaknya oleh ibunya. Sejauh yang bisa diingatnya, rumah

mereka di Imadegawa, di wilayah pinggiran ibu kota, adalah reruntuhan yang mengenaskan; atapnyayang bocor tidak diperbaiki selama lebih dari sepuluh tahun; kebunnya yang terbengkalai dipenuhirumput liar, dan rumah reyot itu menjadi latar belakang berbagai pertengkaran tanpa akhir antara ayahdan ibunya. Kendatipun mereka selalu berselisih, bayi demi bayi senantiasa lahir—Heita Kiyomori, sisulung; Tsunemori, anak lelaki kedua; lalu anak lelaki ketiga, dan bahkan keempat. Tadamori, yangmembenci pekerjaannya sebagai samurai di Istana, tidak mau repot-repot hadir ke tempat kerjanyakecuali jika mendapatkan panggilan khusus. Penghasilan utamanya saat ini berasal dari hasil pertaniandari tanahnya di Ise, dan kecuali sumbangan dari Istana yang sesekali diterimanya, dia tidak pernahmendapatkan gaji secara teratur.

Kiyomori mulai memahami alasan-alasan pertengkaran tanpa henti kedua orangtuanya. Ibunya adalahseorang wanita cerewet—menurut ayahnya, ibunya berbicara seperti

“kertas minyak terbakar”—yang biasa mengeluhkan,

“Setiap kali aku mengatakan sesuatu, kau selalu memandangku dengan sinis. Kapankah aku pernahmelihatmu bertingkah layaknya suami yang baik? Aku tidak pernah melihatmu bersikap seperti tuanrumah yang terhormat Ada cukup banyak manusia lamban di dunia ini, tapi hanya ada segelintir orangyang semalas dirimu di kota ini! Seandainya kau anggota dewan kota atau pejabat pemerintah, akubisa mengerti. Tidak pernahkah terpikir

olehmu untuk mengeluarkan kita dari jerat kemiskinan ini?

Kalian para Heike lahir di kampung, tidak heran kalau kau sudah biasa hidup miskin, tapi aku jarangmeninggalkan ibu kota, dan semua kerabatku berdarah bangsawan klan Fujiwara!

Di sini, di bawah atap yang bocor ini, siang dan malam, kemarin dan hari ini, aku lagi-lagi mengunyahmakanan basi. Aku tidak akan bisa berjalan-jalan melihat bulan dan mengikuti jamuan-jamuankekaisaran, atau ketika musim semi tiba kembali, memakai kimono mahalku dan menikmatikeindahan bunga sakura di Istana. Aku tidak tahu apakah aku ini seorang wanita atau musang karenaseperti inilah penampilanku setiap hari ….Ah, sungguh menyakitkan mata yang memandang dirikuini! Mana pernah aku bermimpi bahwa nasibku akan seperti ini!”

Itu hanyalah pembukaan dari aliran tanpa henti tuduhan dan keluhan pedasnya, jika Tadamori tidakmembungkamnya. Dan, sekalinya “kertas minyak” ini terbakar, apakah yang paling disesalinya, ketikadia menjerit-jerit ke langit dan meratap-ratap ke bumi untuk menjadi saksinya? Bahkan Kiyomorisebagai anaknya sudah muak mendengar berbagai keluhannya. Dia sudah hafal semua isinya. Yangpertama adalah suaminya, si pemalas yang tidak pernah mau bersusah payah meningkatkankesejahteraan mereka. Selama bertahun-tahun, Tadamori hanya tinggal di rumah tanpa melakukan apapun—suami yang tidak berguna! Keluhan keduanya, akibat kemiskinan suaminya, dia harusmelepaskan hak untuk mengikuti berbagai acara keluarganya, klan Fujiwara; dia tidak bisa lagimenghadiri tamasya kekaisaran atau menerima undangan pesta di Istana. Dia yang terlahir di tengahkejayaan dan kemewahan telah menikah dengan seorang samurai Heike dari golongan kebanyakan dan

menghancurkan kehidupannya. Dan dia akan meratap-ratap, “Ah, seandainya aku tak punya anak! …”Ucapan itu membuat Kiyomori kecil luar biasa ketakutan, terhina, dan sedih, sehingga ketika diaberumur enam belas atau tujuh belas tahun, tatapan pilunya sering kali membingungkan ibunya.

Kiyomori memikirkan apa yang mungkin akan dilakukan oleh ibunya seandainya dia tidak punyaanak.

Tetapi, yang jelas dia tahu: di atas segalanya, ibunya menyesal karena telah menikah dengan ayahnya;ibunya mungkin akan meninggalkan ayahnya dan menebus tahun-tahun yang hilang darinya dengankembali menjalani kehidupan mewah. Dia ingin hidup seperti para kerabat bangsawannya,mengendarai gerobak sapi, bermandikan cahaya bulan dan bertabur bunga-bungaan; main mata dengankapten ini atau pejabat itu; saling bertukar puisi cinta sembari menebarkan pesona, menjalanikehidupan para wanita seperti dalam Hikayat Genji. Ibunya tidak bisa mengakhiri kehidupan tanpamenunaikan takdirnya sebagai seorang wanita.

Berulang kali, “kertas minyak” itu terbakar. Dan anak-anak lelaki kecilnya, kesulitan meyakini bahwawanita itu adalah ibu mereka, menyaksikannya setiap hari dengan tatapan pilu.

Kiyomori, sekarang berusia hampir dua puluh tahun, kesal; jika anak-anaknya menjadi penghambat,mengapa ibunya tidak meninggalkan mereka saja? Sedangkan ayahnya, mengapa dia diam sajamenghadapi istrinya?

Apakah sebaiknya Kiyomori saja yang balas membentak wanita ini? Dasar wanita jalang! Siapa ituFujiwara, para Fujiwara yang dibangga-banggakannya tanpa memedulikan perasaan suaminya? Dasarbodoh—ayahnya, yang hanya berani membentak anak-anaknya! Dasar pengecut! Lihatlah

bagaimana orang-orang meledek Si Mata Picing yang menikahi seorang gadis cantik, hanya untukmendapati bahwa dia adalah seorang sundal!

Orang-orang sepertinya beranggapan bahwa anak-anak selalu memihak ibu mereka, namunsebaliknyalah yang terjadi di rumah ini. Si bungsu, yang belum lagi disapih, dan kakak ketiganyamasih terlalu kecil untuk memihak, namun Tsunemori, yang sekarang sudah cukup besar untukmemahami apa yang terjadi, kadang-kadang memandang ibunya dengan penuh kebencian ketikawanita itu sedang meradang. Pada saat seperti itu, mereka malu atas ayah mereka. Dia—seorang pria—yang sepertinya hidup hanya untuk diperlakukan secara semena-mena oleh istrinya.

Ayahnya hanya duduk diam mendengarkan rentetan cercaan wanita itu, kelopak matanya yangtercoreng bekas luka setengah tertutup, terpekur menatap kedua tangannya yang terkepal di ataspangkuannya.

Kiyomori harus mengakui bahwa ayahnya buruk rupa—

wajah yang penuh bopeng dan sepasang mata yang memberinya julukan, dia adalah pria berusia empatpuluhan yang sedang berada dalam masa kejayaannya … Di sisi lain adalah ibunya yang cantik,terlihat seolah-olah masih berumur dua puluhan. Tidak heran jika setiap orang yang melihatnyamenolak untuk percaya bahwa dia adalah ibu dari empat anak. Meskipun telah jatuh miskin, dia tetapmerawat diri dengan cermat. Dia tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa dia tahu atau peduli ketikapara pelayan, yang tidak tahan melihat penderitaan mereka, dengan diam-diam mencuri sesuatu agarbisa membarternya dengan makanan, atau membelah-belah bambu yang telah membusuk danmencungkil bilah-bilah lantai untuk dijadikan kayu bakar, atau jerit tangis anak-anak yangmengompoli pakaian compang-camping mereka. Pada pagi hari, dia akan

berdandan di bilik riasnya, yang tidak boleh dimasuki oleh suaminya sekalipun, lalu menata wadah-wadah sisir dan cermin berlapis emasnya, dan pada malam hari, dia mandi berendam untuk memoleskulitnya. Dia berulang kali mengejutkan para tetangganya dengan keluar mengenakan pakaianterindahnya, mengumumkan bahwa dia akan mengunjungi salah satu kerabatnya, keluarga Nakamido,lalu berjalan dengan gaya bangsawan sejati ke istal terdekat untuk menyewa sebuah kereta dan pergibegitu saja.

“Wanita serigala … wanita serigala penyihir!” para pelayan berkasak-kusuk ketika dia berada jauhdari mereka.

Bahkan Mokunosuke yang telah uzur sekalipun, yang telah bekerja untuk keluarga mereka sejak masihbocah, akan berdiri bersama seorang anak yang menangis terisak-isak di punggungnya sambilmemandang dengan penuh damba kepada ibunya yang baru saja pergi. Nantinya, dia akan terdengarmenyusuri jalan di sekeliling istal pada malam hari, menyanyikan lagu pengantar tidur untuk anakmajikannya. Tadamori, pada masa itu, biasanya akan terlihat bersandar ke tiang di bawah naunganbayangan, memejamkan mata, di tengah kesunyian, tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Tsunemori adalah seorang anak yang pandai; dia tidak memedulikan segala sesuatu yang terjadi disekitarnya dan menghabiskan waktu dengan buku-bukunya. Dia dan Kiyomori mulai belajar diAkademi Cina Klasik Kekaisaran sejak usia dini. meskipun setelah beberapa waktu, Kiyomorimenolak untuk mengikuti pelajaran lagi. Walaupun ayahnya senantiasa mendesaknya untukmelanjutkan pendidikan, Kiyomori tidak merasakan manfaat dari membaca Konfusius, yang ajarannyasepertinya tidak sesuai dengan dunia yang dilihatnya atau kehidupan di dalam rumahnya. Kiyomoribiasanya menghabiskan waktu

dengan bermalas-malasan seperti ayahnya. Sering kali, sembari berbaring di dekat kaki meja adiknya,Kiyomori akan bercerita tentang pacuan kuda di Kamo atau berbagai gosip para wanita di lingkunganmereka; jika Tsunemori tidak berminat mendengarkannya, dia akan tetap berbaring di tempat yangsama, melamun menatap langit-langit, mengorek-ngorek hidungnya. Pada waktu yang lain, dia akanbergegas ke arena panahan di belakang rumah untuk berlatih memanah, atau melesat ke istal untukkemudian pulang dengan memacu seekor kuda, tubuhnya basah kuyup oleh keringat. Sepertinya, diabertindak sesuka hatinya.

Kiyomori sering menganggap ibunya sebagai seorang yang aneh; ayahnya pun sama saja; hanyaTsunemori yang sepertinya berperangai normal layaknya orang biasa.

Bahkan dirinya sendiri, Kiyomori, putra sulung dan ahli waris utama, adalah seorang yang aneh.Kesimpulannya, mereka adalah orang-orang aneh yang tergabung di dalam sebuah keluarga aneh.Tetap saja, keluarga Heike dari Is6

adalah salah satu dari beberapa keluarga samurai yang berasal dari leluhur terhormat. Di ibu kota,yang penduduknya mengetahui bahwa tradisi Heike telah diturunkan hingga beberapa generasi, banyakorang meramalkan bahwa akan ada banyak cabang dari pohon keluarga ini yang mengembalikankejayaan nama mereka.

Kendati begitu, Kiyomori tidak memedulikan desas-desus semacam itu, hanya mengetahui bahwadirinya masih muda, merdeka, dan bahagia.

Dia menyadari beban tugas yang diembannya karena dia telah membaca surat yang dipercayakankepadanya.

Kiyomori hendak meminjam uang dari salah seorang kerabatnya, pamannya. Ini sudah cukup seringterjadi, dan dia akan menemui satu-satunya saudara ayahnya,

Tadamasa, seorang anggota Kesatuan Pengawal Kaisar, yang telah sering dimintai bantuan olehTadamori.

Setelah perayaan Tahun Baru, ibu Kiyomori terserang masuk angin; seperti biasanya, dia tanpa hentimencecar suaminya dengan selera kelas atasnya, menuntut agar tabib istana dipanggil untukmerawatnya, meminta obat yang mahal, mengeluhkan baju tidurnya yang terasa berat di badannya,dan mencela makanan yang tidak selayaknya diberikan kepada seseorang yang sedang sakitKemiskinan yang berhasil diabaikan oleh Tadamori menerpa mereka semua dalam semalam bagaikanangin bersalju. Meskipun atas kemenangannya melawan para perompak dua tahun sebelumnya diadianugrahi emas dan berbagai hadiah lainnya, yang berhasil melepaskannya dari jerat kesulitankeuangan, rezeki nomplok itu mendorong istrinya untuk lebih menghambur-hamburkan uang.

Tadamori percaya bahwa dia memiliki cukup banyak uang untuk menghidupi keluarganya hinggasetahun kemudian, sampai penyakit istrinya meludeskan seluruh sisa harta mereka hanya dalam waktukurang dari tiga minggu, sehingga mereka terpaksa harus menghirup bubur dari remah-remah berasuntuk sarapan dan makan malam.

Dengan hati pedih, sembari berusaha menulis surat permohonan untuk saudaranya, Tadamori menolehke arah putranya. “Heita. maafkan aku karena harus menyuruhmu menemui pamanmu lagi …” Iniadalah tugas yang harus diselesaikan oleh Kiyomori. Rasa sakit hati membakarnya—diperingatkanuntuk tidak berkeliaran dan menghabiskan waktu di Shiokoji! Seorang bocah sekalipun berhak untukmengalihkan perhatian. Bukankah dia akan berumur dua puluh tahun musim semi ini? Tetap saja,dialah, seorang pemuda. sendiri, seraya berjalan

memikirkan bahwa tidak ada salahnya jika dia berusaha mencari sedikit kesenangan.

“Lagi-lagi, Heita,” seru paman Kiyomori sambil menurunkan surat itu dengan muak.

Ketika sang paman menyerahkan uang yang disebutkan di dalam surat itu kepada keponakannya,istrinya muncul dan mendamprat, “Mengapa kalian tidak mengemis kepada keluarga ibumu saja?Bukankah mereka semua anggota klan bangsawan Fujiwara?—yang termulia Nakamikado—darah biruyang menyilaukan mata! Bukankah ibumu menyombongkan mereka setiap waktu? Sana, katakan jugaini kepada ayahmu!”

Kemudian, dimulailah rentetan hinaan kepada orangtua Kiyomori dari paman dan bibinya. Apakahyang lebih memalukan daripada hal ini—membiarkan orang lain mencerca ayah dan ibunya? Butiran-butiran air mata mengalir menuruni pipi Kiyomori.

Kiyomori tahu, bagaimanapun, bahwa kehidupan pamannya tidaklah mudah. Meskipun sebuah sistemPengawal Kekaisaran telah diciptakan, dan ada semakin banyak samurai yang dipekerjakan di Istanadan wilayah-wilayah kekaisaran lainnya, para bangsawan Fujiwara memperlakukan mereka layaknyabudak. Mereka hanya dihargai untuk keganasan merekat disamakan dengan anjing-anjing Kishu dan

Tosa, dan tidak dianggap setara dengan para bangsawan yang berkeliaran di sekeliling singgasana;imbalan mereka di kampung sebagian besar hanyalah berupa tanah pegunungan gersang atau rawa-rawa yang telah terbengkalai. Para samurai itu dibenci, dihina dina seolah-olah mereka rakyat jelata;tanpa kehormatan yang semestinya menjadi hak mereka, mereka menggantungkan hidup pada hasilpertanian yang tidak seberapa, dan kemiskinan pun tidak terelakkan lagi.

Angin ganas bulan Februari terkadang mendatangkan Angin Timur Pertama, namun entah bagaimana,kerinduan pada musim semi menjadikan udara yang dingin terasa semakin menusuk tulang. Mungkinsiksaan kelaparanlah yang membuat Kiyomori gemetar. Baik paman maupun bibinya tidakmengundangnya untuk makan malam bersama mereka. Lebih baik begitu, pikir Kiyomori; satu-satunya pikiran yang ada di benaknya adalah melarikan diri dari rumah itu. Dia tidak akan pernah maulagi menjalankan tugas seperti ini. Bahkan kalaupun dia harus mengemis. Sungguh mengesalkanmenangis terisak-isak seperti ini, sementara paman dan bibinya mungkin mengira dia hanya berpura-pura menitikkan air mata demi uang.

Sungguh memalukan! Kelopak matanya masih bengkak, dan Kiyomori bisa merasakan orang-orangyang berpapasan dengannya memandangi wajahnya yang bernoda air mata.

Padahal, orang-orang memandangi Kiyomori bukan karena itu, melainkan karena penampilannya—kimono kusut dan tunik dalam kumalnya. Pakaian penggembala sapi dan pelayan rendahan sekalipunmasih lebih hangat daripada yang dikenakannya. Para gelandangan yang berteduh di bawah GerbangRoshomon pun tidak akan sudi mengenakan pakaian seperti itu. Seandainya dia tidak membawapedang panjangnya, sebagai apakah orang-orang akan memandang dirinya—dengan sandal dan sarungkaki kulitnya yang bernoda lumpur; topi runcingnya, yang warnanya telah memudar dan lapisannyatelah terkelupas, terpasang miring di kepalanya; sosok gempal dan kumis kakunya; kepalanya yangagak kebesaran untuk tubuhnya; mata, telinga, dan hidungnya yang lebar; alisnya—bagaikan dua ekorulat bulu—yang menaungi sepasang mata sipit dengan sudut luar menurun, mata yang memberikankesan baik pada wajah garang atau bahkan bengisnya—seorang pemuda berwajah janggal dan berkulitterang dan bertelinga

caplang kemerahan, yang menjadikan kemudaannya, entah bagaimana, tampak menarik?

Orang-orang yang berpapasan dengannya bertanya-tanya siapakah samurai muda ini, di manakah diabertugas sebagai Pengawal—mengamati bagaimana dia berjalan dengan tangan bersedekap. Kiyomoritahu bahwa sikap ini, yang hanya ditunjukkannya di jalanan—tidak pernah di hadapan ayahnya—dipandang dengan sebelah mata oleh Tadamori, yang menganggapnya sangat tidak layak ditunjukkanoleh seseorang dari keluarga terhormat Tetapi, Kiyomori telah terbiasa menampilkan sikap seperti iniketika berada di jalanan—dia mempelajarinya dari para pria yang meramaikan Shiokoji. Mustahilbaginya untuk pergi ke sana hari ini; uang yang dipegangnya—uang pinjaman memalukan itu!Memikirkannya membuatnya gemetar.

Daya tarik Shoikoji menyedot seluruh kesadarannya.

Akibat kemauan yang lemah, dia merasa tidak akan pernah bisa menahan diri dari pergi ke sana.

Setibanya di persimpangan jalan, Kiyomori menyerah.

Angin hangat dari Shiokoji yang menerpanya membawa bau-bauan yang menggelitik dan mengolok-

olok keraguannya. Di sanalah mereka, di tempat yang sama, seperti biasanya—seorang wanita tuamenjajakan paha burung kuau panggang dan burung-burung kecil panas menggoda yang dirangkai ditusukan; di sebelah lapak wanita itu, seorang pria memeluk seguci besar sake, menyanyi dan tertawaterpingkal-pingkal layaknya seorang pemabuk sambil melayani pembeli; di sana, di bagian pasar yangteduh, seorang gadis penjual jeruk duduk seorang diri sambil memangku dagangannya; dan ada pulasepasang tukang sol, ayah dan anak. Di sanalah mereka—lebih dari seratus lapak kecil, bersisi-sisian,memamerkan ikan asin,

baju bekas, dan berbagai macam tetek bengek penunjang kehidupan para pedagang itu.

Bagi Kiyomori, setiap lapak, setiap jiwa yang ada di sana, seolah-olah lahir di bawah beban duniayang menghimpit mereka; semua orang di sini adalah rumput mengenaskan yang terinjak-injak—gabungan kehidupan manusia yang berakar di tanah becek ini, hidup dan menghidupi dalam sebuahperjuangan untuk bertahan; dan dia tergerak oleh keberanian besar dan menggetarkan yang terpancardari pemandangan ini. Uap dari masakan panas dan asap dari daging bakar seolah-olah menjadiselubung misterius yang menutupi setiap rahasia di tempat itu—

segerombolan pejudi jalanan, senyum menggoda para pelacur yang lalu lalang menembus kerumunanorang, lengkingan tangis bayi, gebukan genderang para penyanyi balada—seluruh perpaduan bau-bauan dan suara yang mendatangkan gejolak di kepalanya. Tempat ini adalah surga bagi kaum papa,setara dengan pesta para bangsawan, ibu kota rakyat jelata. Mendatangi tempat itu sama denganmerendahkan derajatnya, dan itulah alasan utama larangan tegas Tadamori kepadanya.

Tetapi, Kiyomori menyukai tempat ini. Dia merasa betah berada di tengah-tengah orang-orang itu.Pasar Penadah sekalipun, yang lapak-lapaknya terkadang berdiri di bawah pohon jelatang besar disudut barat pasar, berhasil memikatnya. Biar saja mereka disebut perampok dan pencoleng—bukankahmereka cukup ramah jika perut mereka kenyang? Ada sesuatu yang salah di dunia ini, yangmendorong mereka untuk mencuri. Tidak ada penjahat di sini— mereka justru bisa ditemukan diantara gumpalan awan menawan di Gunung Hiei, di Kuil Onjoji, dan bahkan di Nara, tempat merekamenjadikan bangsal dan menara kuil-kuil Buddha sebagai benteng— para pemuka

agama Buddha berhati nista dalam balutan jubah brokat dan emas mereka.

Dengan pikiran semacam itu berkelebatan di benaknya, Kiyomori mendapati dirinya berada di tengahriuh rendah kerumunan manusia; menengok ke sana, berhenti di situ, dia berjalan tanpa arah tujuan,tidak merisaukan malam yang mulai datang. Tidak seorang pun terlihat di bawah pohon jelatang,namun di keremangan cahaya senja, dia bisa melihat pendar lentera-lentera, buket-buket bunga, danmencium semerbak aroma dupa. Tidak lama kemudian, gadis dan wanita jelata tampak berduyun-duyun menari, satu demi satu kelompok, menghampiri pohon tersebut untuk melakukan pemujaan.

Legenda menyebutkan bahwa pada zaman dahulu kala, gundik dari seorang perompak termahsyurtinggal di tempat yang sekarang ditumbuhi pohon jelatang itu. Seiring waktu, para wanita yangmemercayai takhayul meyakini bahwa berdoa di sana akan menyebabkan pujaan hatinyamemimpikannya atau mendatangkan penyakit menjijikkan pada saingan yang dibencinya. Kematiansiperompak di penjara pada 7 Februari 988 mengguncang masyarakat, dan sejak saat itu, parabegundal pasar dan wanita dari berbagai latar belakang melestarikan kenangannya denganmempersembahkan dupa dan bunga-bungaan pada hari ketujuh setiap bulan.

Lebih dari seratus tahun telah berlalu sejak tokoh pembangkang ini, putra seorang bangsawan dariGolongan Keempat, dengan liar membakar, menjarah, dan membantai, namun dia tidak kunjungdilupakan oleh rakyat jelata, karena namanya seolah-olah tercetak di dalam kenangan mereka.Kejahatannya menjadi sensasi pada kurun waktu yang menandai kejayaan dan kekuasaan klanFujiwara. Bagi rakyat jelata, pembangkangan si perompak

terhadap hukum yang berlaku merupakan ekspresi dari kemarahan mereka yang tersimpan di dalamhati, sehingga alih-alih menghujatnya, mereka justru mengidolakannya.

Bunga-bungaan dan dupa mungkin tidak akan berhenti mengalir ke tempat itu selama masih adaseorang saja Fujiwara yang bernapas di muka bumi ini; kemudian, orang-orang yang tidak percayapada takhayul pun turut berdatangan untuk berdoa di sana.

“Sesuatu yang ada di dalam diri si perompak itu juga mengalir di darahku,” pikir Kiyomori; pendar-pendar cahaya di bawah pohon mulai tampak bagaikan api unggun yang menunjukkan jalan ke masadepannya, dan dia tiba-tiba ketakutan. Dia membalikkan badan dan bersiap-siap berlari.

“Ah, Heita dari Ise! Mengapa kau berlama-lama memandangi para gadis yang datang untuk berdoa dibawah pohon jelatang itu?”

Di tengah kegelapan, Kiyomori tidak bisa melihat siapa yang memanggilnya. Sejenak kemudian,orang asing itu melangkah maju dan menyambar bahu Kiyomori, lalu mengguncang-guncangnyadengan keras sehingga kepalanya terangguk-angguk tanpa daya.

“Ah, kamu—Morito!”

“Siapa lagi jika bukan Morito sang samurai? Bagaimana mungkin kau melupakanku! Apakah yangkaulakukan di sini, dan mengapa kau menatap dengan bingung begitu?”

“Eh, bingung? Aku tidak menyadarinya. Apakah mataku masih bengkak?”

“Ho, ho! Jadi, ada pertengkaran antara ibumu yang jelita dan si Mata Picing, dan kau tidak tahanmenghabiskan waktu di rumah?”

“Tidak. Ibuku sakit”

Morito tertawa dingin. “Sakit?”

Morito adalah teman sekolahnya di Akademi Kekaisaran; meskipun berusia setahun lebih mudadaripada Kiyomori, dia selalu tampak lebih tua dan dewasa.

Kiyomori dan yang lainnya tertinggal jauh dari Morito dalam hal pelajaran, dan para guru merekatelah meramalkan karier yang brilian bagi murid kesayangan mereka ini.

Lagi-lagi Morito tertawa, “Aku tidak bermaksud lancang, tapi si nyonya, percayalah padaku, sakitakibat serangan cintanya kepada diri sendiri dan sikap angin-anginannya. Kau tidak perlu khawatir,sobatku; daripada bermuram durja, lebih baik kita pergi dari sini— untuk mencari sake.”

“Eh—sake?”

“Tentu saja. Perempuan Gion adalah ibu dari banyak anak lelaki, tapi dirinya tidak banyak berubahdari dahulu.

Ayolah, jangan heran begitu.”

“Morito, siapakah si Perempuan Gion ini?” cecar Kiyomori.

“Apa kau tidak tahu tentang masa lalu ibumu yang anggun itu?”

“Tidak. Memangnya kau tahu?”

“Hmm—kalau kau mau, aku akan memberitahumu.

Ayo, ikudah denganku. Biarkan saja si Mata Picing menjalani takdirnya. Ini adalah zaman susah,Heita.

Mengapa kau membiarkan semangatmu padam ketika kemudaanmu sedang berkembang? Kupikirtidak ada yang

bisa menyusahkanmu. Berhentilah meratap-ratap dan bertingkah seperti perempuan itu!”

Maka, Morito pun sekali lagi mengguncang bahu Kiyomori dengan kasar, kemudian berlalumenyongsong kegelapan.

o0odwkzo0odwo0odwkzo0o

Ruangan itu tidak berdinding: sekat-sekat kayu tipis memisahkannya dari ruangan di sebelahnya;sehelai kain usang menggantikan tirai, dan selembar tikar jerami tergantung di ambang pintu. Seorangtukang tidur sekalipun tidak akan sanggup tidur nyenyak di tengah keributan di ruangan sebelah—tabuhan gendang, gemerincing tembikar, dan nyanyian nyaring. Bunyi gedebuk seseorang yang jatuhmendadak mengguncang seluruh rumah; gemuruh tawa nyaring sejumlah pria dan wanita seketikamenyusul.

“Apa! Di manakah aku? Sialan, pukul berapa sekarang?”

Kiyomori sekonyong-konyong terbangun dengan bingung.

Seorang wanita terlelap di sampingnya. Tidak salah lagi—

ini adalah rumah bordil di Jalan Keenam. Morito telah membawanya kemari. Kurang ajar! Dia harussegera pulang.

Kebohongan apakah yang akan dikatakannya di rumah?

Dia bisa melihat tatapan marah ayahnya, mendengar cecaran ibunya, dan rengekan kelaparan adik-adiknya.

Bagus! Setidaknya, dia masih memegang sisa uang yang dipinjam dari pamannya. Dia akan pergisekarang juga; Kiyomori telah tersadar sepenuhnya. Di manakah Morito—

masih bersenang-senang? Dia akan memeriksa keramaian di ruangan sebelah.

Dia menginjak rambut hitam si wanita ketika melompatinya untuk mengintip melalui celah di kayu,yang memasukkan seberkas cahaya; beberapa buah lampu

minyak pinus menyala di ruangan tanpa perabot itu; tikar jerami melapisi lantai kayunya, dantampaklah tiga atau empat orang pendeta berwajah bandit dengan tubuh berbalut jubah kehormatan,menyandang pedang panjang, memangku atau memeluk gadis-gadis penari yang ada di sana. Beberapabuah botol anggur kosong berserakan di lantai.

Jadi, Morito telah pergi, meninggalkannya sendirian di sini!

Dikuasai kepanikan, Kiyomori memakai kimono usangnya, menyandang pedangnya, dan bergegasmeraba-raba jalan menuju pintu. Di tengah kegelapan, kakinya yang goyah menyandung peranti logamyang seketika berdentang nyaring.

Mendengar suara itu, para pendeta berhamburan keluar dari ruangan mereka, berseru, “Berhenti,berhenti! Siapa yang berani-beraninya menjatuhkan tombakku, lalu lari begitu saja? Tunggu, dasarbegundal, yang di sana!”

Kiyomori sontak berhenti, ketakutan. Ketika dia menoleh, dilihatnya kilatan dingin tombak di depanmatanya. Tidak diragukan lagi, pemegangnya adalah tangan lihai salah seorang pendeta kekar dari

Gunung Hiei atau Kuil Oujoji. Tantangan itu datang secepat kibasan tangan Dewa Kematian. Seketikaitu juga, aroma anggur lenyap bersama berbagai kenangan indah dan penyesalan, dan Kiyomori,memalingkan wajah, dengan segenap kekuatannya melesat menyongsong terpaan angin malam.

Ketika melihat rumahnya, hatinya seolah-olah melesak.

Dilihatnya pagar anyaman ranting berlapis lempung yang telah retak dan tertutup rumput mati di sana-sini, juga atap gerbang utama yang telah miring. Apakah yang akan dilakukannya? Apakah yang akandikatakannya? Malam

ini, Kiyomori bergidik hanya karena harus menemui ibunya; lebih baik dia menghadapi semburanayahnya.

Amarah mendidih di dalam diri Kiyomori; dia tidak akan sanggup mendengarkan suara ibunya; di lainwaktu, dia akan meminta ibunya membujuk ayahnya, memohon ampunannya, dan bahkanmendambakan belaiannya.

Adakah anak lain yang mengkhianati ibunya sendiri seperti yang dilakukannya malam ini? Ketikamenatap dinding rumahnya, Kiyomori merasa muak dan terabaikan. Yakin dan emosional, berbagaipikiran gila melanda benak Kiyomori saat ini dan menjadikan kelopak mata dan keningnya berkedutSeandainya dia tidak mendengar tentang masa lalu ibunya! Seandainya dia tidak mendengar omonganMorito!

Penyesalan menghampiri Kiyomori—ingatannya akan Morito, ketika dia bermesraan dengan parawanita itu.

Seluruh kejadian pada malam hari yang dihabiskan bersama minuman keras itu sekonyong-konyongkembali ke dalam ingatannya. Lebih jelas daripada semuanya, dia teringat pada kamar di rumah bordilitu-rambut gelap yang kusut dan tubuh lemas yang hangat. Apa bedanya jika wanita itu cantik atauburuk rupa? Kiyomori berumur dua puluh tahun dan untuk pertama kalinya mereguk rasa manis yanganeh dan tidak terlupakan, yang kemudian membanjiri seluruh indranya dengan kenikmatan.Pikirannya senantiasa tersedot kembali ke kenangan yang membara di dalam tubuhnya. Apakah aromatubuh perempuan itu tertinggal di tubuhnya? Pikiran itu sejenak meresahkannya; kemudian, dengansatu lompatan besar, dia telah berada di sisi lain pagar. Baru kali inilah dia mendarat di halamanrumahnya dengan rasa bersalah yang mendalam. Kiyomori sudah terbiasa pulang dengan cara inisetelah berkeliaran secara diam-diam pada malam hari. Dia mendapati dirinya mendarat di petaksayur di belakang istal.

“Oh, Andakah itu. Tuan Muda Heita?”

“Hmm—kaukah itu Tua Bangka?” Kiyomori cepat-cepat menegakkan badan, merapikan rambutnyayang acak-acakan. Di hadapannya, berdirilah si pelayan tua, Mokunosuke, yang kemampuannya untukmembuatnya merasa bersalah nyaris menyamai ayahnya.

Lama sebelum Kiyomori lahir, Mokunosuk£ telah menjadi pelayan di rumah ini; kedua gigi serinyasekarang telah tanggal, dan meskipun orang-orang menggunjingkan majikannya yang malas danmengolok-olok kemiskinan keluarga Heike, Mokunosuke yang setia seorang diri mempertahankankehormatan rumah majikannya, menjalankan berbagai ritual di dalamnya, dan tidak pernah

beristirahat dari berbagai tugas yang diembannya sebagai pelayan seorang samurai.

“Dan, Anda, Tuan Muda, apakah yang sedang Anda sendiri lakukan? Tidak ada setitik pun cahaya dijalan pada malam selarut ini,” katanya, membungkuk untuk memungut topi usang Kiyomori; sambilmenyerahkan topi itu, mata Mokunosuke menelanjangi majikannya, hidungnya mencium sesuatu yangsalah.

“Apakah Anda beradu mulut dengan para biksu berisik itu atau terlibat dalam pertikaian berdarah dipersimpangan jalan? Meskipun saya sudah memohon kepada Tuan untuk tidur, beliau terus menolak.Ah, sudahlah—selamat datang, selamat datang.”

Kelegaan memenuhi mata si pelayan yang terpicing, namun Kiyomori menjadi gentar akibat tatapanpenasaran yang ditujukan kepadanya. Jadi, ayahnya masih terjaga!

Bagaimana dengan ibunya? Dia resah memikirkan apa yang sedang menantinya. Mokunosuke, tanpamenunggu majikannya bertanya, segera mengatakan, “Berhentilah

berpikir, Tuan Muda, dan jangan membuat keributan.

Sekarang, tidurlah.”

“Tidak apa-apakah, Tua Bangka, jika aku tidak mendatangi kamar ayahku sekarang?”

“Besok pagi saja. Biarkanlah si Tua Bangka ini menemani Anda dan menguatkan alasan Anda.”

“Tapi, beliau tentu murka karena aku terlambat pulang.”

“Lebih daripada biasanya. Beliau memanggil saya ketika senja tiba. Beliau sepertinya sangat cemasdan memerintah saya untuk mencari si berandal itu di Shiokoji. Saya sebisa mungkin melindungiAnda.”

“Ya, dan kebohongan apakah yang telah kaukatakan?”

“Ingatlah, Tuan Muda, berbohong kepada Tuan menyakiti saya, namun saya mengatakan kepadabeliau bahwa saya bertemu dengan paman Anda, yang mengabarkan bahwa Anda terpaksa beristirahatdi rumah beliau gara-gara sakit perut dan akan segera pulang setelah pagi tiba.”

“Maafkan aku, Tua Bangka, maafkan aku.”

Kuntum-kuntum bunga plum di dekat istal berkilauan di tengah kegelapan malam. Aroma tajamnyasekonyong-konyong menyengat lubang hidung Kiyomori, dan seluruh wajahnya berkedut. Air matayang panas membasahi bahu Mokunosuke ketika Kiyomori memeluk pria tua itu, yang berdiri kaku.Di bawah lekukan-lekukan tulang rusuk rentanya, sebuah gelombang perasaan tiba-tiba membuncah.Kasih sayang seorang pria tua kolot yang telah lama terpendam mendadak muncul untuk menyambutledakan emosi dahsyat Kiyomori. Berdua, mereka menangis terisak-isak, saling berpelukan hinggakeduanya jatuh ke tanah.

“Oh, Tuan Muda, apakah—apakah Anda sejauh itu mengandalkan saya?”

“Kau hangat. Dengar, Mokunosuke, hanya badan rentamu itulah yang terasa hangat bagiku. Akusendirian seperti seekor burung gagak kesepian di tengah terpaan angin musim dingin. Kau tahusendiri seperti apa ibuku.

Ayahku bukan ayah kandungku— Heike Tadamori bukan ayahku!”

“Eh, siapakah yang mengatakan hal itu?”

“Untuk pertama kalinya, aku mendengar rahasia tentang ayahku! Morito dari Kesatuan Pengawal yangmemberitahuku.”

“Ah—si Morito itu!”

“Ya, Morito. Dengar, katanya, “Si Mata Picing bukan ayah kandungmu. Ayah kandungmu adalahKaisar Shirakawa, dan kau , putra seorang kaisar, kelayapan dengan perut kosong dalam balutankimono usang dan sandal aus. Betul-betul pemandangan hebat!”

“Cukup! Jangan katakan apa-apa lagi,” Mokunosuke menangis, mengibas-ngibaskan tangannyaseolah-olah untuk membungkam Kiyomori. Tetapi, Kiyomori menyambar pergelangan tangannya danmemuntirnya dengan kasar.

“Masih ada lagi—dan kau, Tua Bangka, tahu lebih banyak tentang hal ini! Mengapa kau selama inimenyembunyikan semuanya dariku?”

Kiyomori memelototi pelayan tua itu. Mokunosuke, menahan rasa sakit di pergelangan tangannya,menunduk ketakutan; kata-kata mengalir dari lehernya yang tercekat,

“Nah, nah, tenangkanlah diri Anda. Jika memang begitu adanya, maka Mokunosuke juga harus bicara,meskipun

saya tidak mengetahui apa yang telah dikatakan oleh Morito dari Kesatuan Pengawal kepada Anda.”

“Dengar, inilah yang dikatakannya: ‘Jika kau bukan putra mendiang Kaisar Shirakawa, maka bisadipastikan bahwa kau adalah anak salah satu pendeta mesum dari Gion. Entah kau putra kaisar atauketurunan pendeta mesum, aku tidak membuat kesalahan dalam memberitahumu bahwa kau bukananak kandung Tadamori.’”

“Tahu apa si bocah Morito itu? Ilmu pengetahuan telah mengaduk-aduk kepalanya, dan sekarang diamenganggap semua orang bodoh. Padahal, orang-orang menyebutnya sok tahu. Anda gegabah karenamemercayai pemuda berotak dangkal itu, Tuan Muda.”

“Kalau begitu, Tua Bangka, bersumpahlah untuk memberitahuku apakah aku anak kaisar atau pendetanista.

Bicaralah! Aku menantangmu untuk memberitahuku!”

Kiyomori bertekad untuk mengorek apa pun yang bisa dikorek dari pria tua itu. Sesungguhnya,Mokunosuke adalah satu-satunya pihak ketiga dalam rahasia ini, dan wajah polosnya dengan jelasmenunjukkan bahwa dia tahu.

—o0d-w0o—

Bab II - PEREMPUAN GION

Heiki Kiyomori lahir pada 1118. Ayahnya, Tadamori, ketika itu berusia dua puluh tiga tahun.Meskipun sekarang Tadamori dikenal dengan julukan si Mata Picing, diolok-olok karenakemiskinannya, menjadi bahan tertawaan rakyat jelata, dan dipandang rendah oleh para anggota klanHeike yang lain, keadaannya tidak selalu seperti itu. Ayah

Tadamori telah mengabdi kepada tiga orang kaisar, menjadi kesayangan dan pelayan setia mereka, danTadamori tumbuh dewasa di tengah-tengah keindahan istana. Ketika para samurai Heike dipanggiluntuk bertugas di Kesatuan Pengawal Kaisar, dan jumlahnya perlahan-lahan melampaui samuraiGenji, Tadamori dan ayahnya menjadi sosok penting. Kaisar Shirakawa memilih mereka untukmenyingkirkan para samurai Genji dari Istana; mengadu ayah dan anak itu melawan pasukan biksubersenjata yang tangguh, dan menempatkan keduanya di Istana Kekaisaran untuk mengawasiperkembangan pengaruh para bangsawan Fujiwara.

Setelah turun tahta dan dikenal sebagai Mantan Kaisar Shirakawa, penguasa uzur itu menjalaniupacara penahbisan dengan membotaki kepalanya untuk menjadi seorang biksu dan menghabiskanmasa tuanya di Istana Kloister. Di sana, dia membentuk Pemerintah Kioister, pemerintahan yangterpisah dari pemerintah pusat, sebuah anomali yang tidak saja menjadikannya saingan bagi kaisaryang sedang berkuasa, tetapi juga memperuncing konflik di antara klan Genji dan Heike.

Setelah ayahnya meninggal, Tadamori menggantikan posisinya, dan Mantan Kaisar meletakkankepercayaan lebih besar kepada Tadamori yang rendah hati dengan menunjuknya sebagai pengawalpribadinya. Untuk melakukan kunjungan dari istana di jalan Barat Ketiga ke Gion, di sisi lain SungaiKamo, Mantan Kaisar selalu memanggil Tadamori dan pelayannya, Mokunosuke, untukmengawalnya. Mantan Kaisar melakukan kunjungan diam-diam ini pada malam hari untuk menemuigundiknya, karena meskipun usianya telah enam puluhan, kesehatannya masih prima, dan nafsubirahinya yang

menyala-nyala menyamai semangatnya dalam menjalankan Pemerintah Kioister bentukannya.

Tidak ada yang aneh mengenai Mantan Kaisar yang memiliki wanita simpanan; itu adalah kebiasaandi kalangan bangsawan, mendatangi wanita yang berhasil memikat hati mereka dan menjadikannyakekasih tanpa ikatan. Kendati begitu, ada alasan mengapa Mantan Kaisar merahasiakan identitasgundiknya, karena gadis itu adalah seorang geisha, dan keadaan ini bisa mencegahnya diterima untukmenjadi geisha di Istana. Tidak seorang pun tahu kapan dan di mana Mantan Kaisar yang telah berusiauzur itu pertama kali melihatnya, namun sempat terdengar desas-desus bahwa gadis itu adalah putriseorang bangsawan, Nakamikado. Hanya ada empat atau lima orang bangsawan yang mengabdikepada Mantan Kaisar yang tahu bahwa sebuah rumah telah dibangun di Gion, di dalam sebuah tamanberpagar kayu cedar, dan bahwa seorang wanita cantik, yang mereka sebut “Perempuan Gion”, tinggaldi sana; setahu mereka, bagaimanapun, wanita itu adalah gundik seorang bangsawan istana yang telahpensiun, dan tinggal di sana demi kesehatannya.

Perempuan Gion Inilah yang kemudian menjadi ibu Kiyomori. Tidak diragukan lagi, Kiyomori lahirdari rahimnya. Sedangkan ayahnya, hanya wanita itulah yang tahu tentang rahasia itu, dan dia memilihuntuk menyimpannya rapat-rapat, membiarkan putranya menderita karenanya hingga dua puluh tahun

kemudian.

Malam gelap gulita dan gemerisik dedaunan berbaur dengan rintik gerimis musim gugur,menghasilkan percikan-percikan dingin di sepanjang jalanan becek, kali, dan perbukitan yang rimbun.Di malam yang kelam ini, Mantan Kaisar, dikawal oleh Tadamori dan pelayannya Mokunosuke,berangkat ke Gion.

Dedaunan yang basah tiba-tiba memancarkan pendar merah mengancam yang kemudian menyorot diantara pepohonan. Mantan Kaisar berlutut, gemetar melihat pemandangan itu.

“Ha! Ada iblis!”

Sesosok penampakan dengan kepala raksasa muncul di antara pepohonan, memamerkan deretan gigitajam.

“Serang, Tadamori! Serang!” Mantan Kaisar berseru panik. Mokunosuke menjawab, namun Tadamoriberlari maju tanpa suara sambil mengacungkan tombaknya.

Ketiganya tertawa terbahak-bahak dan melanjutkan perjalanan karena sosok yang mereka takuti ituternyata hanyalah seorang pendeta bertopi jerami besar yang baru saja menyalakan lampu minyaknyasembari menuruni bukit dari Gion.

Petualangan malam itu sepertinya sangat menyenangkan hati Mantan Kaisar. Dia berulang kalimenceritakan kembali tentang pertemuannya dengan si pendeta kepada para pelayannya, dan tidakpernah lupa memuji kesigapan Tadamori dalam setiap ceritanya, karena seandainya Tadamoribergerak lebih lamban, bukankah pendeta itu akan mengembuskan napas terakhir di tangan mereka?Para pejabat istananya, yang membanggakan kepandaian diri mereka dalam memahami keadaan,saling menggeleng: sulit bagi mereka untuk menerima begitu saja cerita Yang Mulia.

Bukankah sejak malam itu dia menghentikan kunjungannya kepada Perempuan Gion? Dan yang lebihmembingungkan adalah bahwa beberapa saat kemudian, dia menyerahkan wanita simpanannya kepadaTadamori untuk dijadikan istri. Dan Tadamori, sejak menikah dengan wanita itu, menjadi kehilangansemangat hidup. Terlebih lagi, Tadamori tidak pernah sedikit pun menceritakan tentangpetualangannya malam itu. Apakah Mantan Kaisar hanya

mengada-ada? Ada lebih banyak ruang untuk menerka-nerka ketika kurang dari sembilan bulan dariwaktu ketika Tadamori memboyong wanita itu ke Imadegawa, dia melahirkan seorang bayi laki-laki.Jadi, kisah Yang Mulia tentang pendeta pada malam yang basah itu entah bagaimana berkesan sulitdipercaya, sebuah bualan, mungkin ….

Bahkan mereka yang paling penasaran sekalipun tidak berani untuk mencari tahu lebih banyakmengenai kejadian itu. Tindakan semacam itu tidak dipandang baik di kalangan para bangsawan;terlebih lagi, mereka tahu bahwa spekulasi seperti itu bisa menyebarkan isu-isu buruk, yang lebih baikdihindari demi keselamatan mereka sendiri.

Mereka yang bijaksana hanya bisa tersenyum penuh arti.

Pada waktu itu, Mitsuto Endo, paman Morito, bekerja sebagai Pengawal di Istana. Delapan belas tahun

kemudian, dia menceritakan kisah ini kepada keponakannya, membukanya dengan perkataan,“Bukankah putra sulung Tadamori, Heita Kiyomori, adalah teman sekolahmu? Aku penasaran apakahTadamori masih percaya bahwa dia mendapatkan kehormatan dari Mantan Kaisar ketika beliaumenyerahkan Perempuan Gion kesayangannya untuk dijadikan istri olehnya, dan tak lama kemudianperempuan itu melahirkan Kiyomori? Kalau memang begitu, berarti dia pria bodoh yang malang!Kemarin, aku bertemu dengan seorang teman yang mengenal dekat Perempuan Gion. Saat ini, pria itutentu sudah berumur lima puluhan dan tinggal di salah satu kuil di dekat Gion, tempatnya dikenalsebagai si pendeta mesum. Kakunen. Dia menyatakan bahwa dirinya adalah ayah kandung Kiyomori.”

“Eh—benarkah itu?”

Ketertarikan Morito tiba-tiba terpancing begitu mendengar cerita tentang kawannya, karena diasendiri

pernah mendengar desas-desus yang mengatakan bahwa Kiyomori sesungguhnya adalah putra seorangkaisar.

Dengan penuh semangat, Morito bertanya, “Kata Paman, cerita ini berasal dari Kakunen. Jadi, apakahmenurut Paman dia mengatakan kebenaran?”

“Dia menceritakannya ketika kami minum-minum anggur, ketika kami sedang menyombong tentangwanita-wanita yang pernah kami taklukkan. Waktu itulah si Kakunen ini membisikkan kepadakubahwa dia tidak pernah menceritakan tentang rahasia ini kepada siapa pun, dan aku mendengarnyadengan telingaku sendiri.”

“Luar biasa!”

“Aku sendiri juga kaget. Pada awalnya aku tidak percaya bahwa seorang pendeta yang hidup asal-asalan sekalipun bisa berbohong seperti itu. Lagi pula, cerita ini sangat meyakinkan …”

Kakunen akhirnya mengungkapkan kisah berikut kepada paman Morito: Kakunen pernah mengintipPerempuan Gion melalui sebuah celah di pagar kayu cedar dan terbakar birahi. Karena perempuan ituadalah kesayangan Yang Mulia, tidak ada jalan untuk mendekatinya, dan selama beberapa waktu, diaberkeliaran di dekat rumahnya, menguntit si Perempuan Gion setiap kali dia keluar pada pagi danmalam hari, hingga pada suatu hari, Kakunen mendapatkan kesempatan untuk menyergapnya.

Karena Mantan Kaisar yang telah uzur jarang datang, dan Kakunen adalah seorang pendeta baruberwajah tampan yang masih berumur tiga puluh tahun dan tinggal di sebuah kuil yang hanyasepelemparan batu dari rumahnya, Perempuan Gion, setelah selama waktu yang singkat bertahan,segera menyerah terhadap bujuk rayu si pendeta muda.

Pada malam musim gugur ketika hujan sedang turun, saat Mantan Kaisar sepertinya tidak mungkinberkunjung, Kakunen diam-diam keluar dari kuilnya untuk menemui Perempuan Gion, dan dia nyarisberhadapan secara langsung dengan Yang Mulia dan dibunuh oleh pengawal pribadinya. SeandainyaKakunen tidak bisa dipercaya, maka anak siapakah yang kemudian lahir di bawah atap rumahTadamori?

Mitsuto meminta keponakannya berjanji untuk tidak menceritakan kembali kisah ini kepada siapa

pun, dan Morito pun menyimpannya rapat-rapat hingga dia tanpa sengaja bertemu dengan Kiyomoriyang berpakaian compang-camping dan bertampang memelas di Shiokoji.

Dia pun tidak sanggup lagi menyimpan rahasia itu.

Sebagian didorong oleh hasrat untuk memancing kemarahan Kiyomori, Morito mengundangnya untukminum-minum dan berbagi cerita.

“Tua Bangka, aku sudah tahu semuanya sekarang. Tidak ada gunanya lagi menyembunyikannyadariku. Matamu sendiri menjadi saksi atas apa yang terjadi pada malam dua puluh tahun yang lalu.Apakah Morito berbohong atau berkata jujur? Tidak, aku memohon kepadamu, katakanlah kepadaku,siapa ayahku yang sesungguhnya! Tua Bangka, kumohon, katakanlah yang sesungguhnya kepadaku,agar aku tahu darah siapa yang mengaliri nadi dan takdirku! Aku memohon kepadamu … akumemohon kepadamu!”

Suara percakapan di bawah naungan bayangan istal menghilang. Sesekali terdengar isak tangis.Mokunosuk& tidak mengucapkan sepatah kata pun. Awan timur membelah di atas pucuk pohon plum,dan dinginnya angin dini hari terasa menusuk tulang.

o0odwkzo0odeo0odwkzo0o

Mokunosuke duduk diam, menunduk dalam-dalam bagaikan sebentuk patung yang dipahat dari batu,dan Kiyomori, yang bernapas dengan berat, tetap menatap tajam pria tua itu. Hanya detak teraturjantung merekalah yang sepertinya memecahkan keheningan menyiksa yang menggantung di atastanah beku pada pagi buta itu.

Mokunosuke mengerang panjang lantaran memikirkan tentang kisah lama yang harusdiungkapkannya.

“Saya akan menceritakannya, karena Anda memerintah saya, namun pertama-tama, tenangkanlah diriAnda terlebih dahulu.” Kemudian, dia pun memulai: Dua puluh tahun yang lalu, tahun ketikaKiyomori lahir, pada suatu malam gelap yang basah, Mokunosuke menjadi saksi sebuah peristiwa. Diabersama majikannya, Tadamori, sedang mengawal Mantan Kaisar dan melihat apa yang terjadi dibukit di dekat Gion. Tetap saja, siapakah yang akan memercayai kebenaran cerita dari sebuahperistiwa yang terjadi dua puluh tahun silam? Bahkan Mokunosuke sendiri meragukan apakahKiyomori akan memercayai ceritanya, karena meskipun sebagian fakta telah terungkap dari ceritaMorito, begitu pula dari desas-desus yang telah lama beredar—malam yang basah, si pendeta,kesigapan Tadamori— yang disampaikan oleh Mokunosuke ternyata berbeda. Malam itu di Gion,Mokunosuke melihat seorang pendeta tergesa-gesa melarikan diri dengan melompati pagar yangmengelilingi rumah Perempuan Gion. Malam itu pula dia menyadari bahwa ada masalah di antaraMantan Kaisar dan gundik kesayangannya. Dia mendengar isakan Perempuan Gion; Mantan Kaisarmemanggil Tadamori; Yang Mulia berbicara dengan nada marah dan kembali ke Istana lama sebelumfajar merekah. Semua kejanggalan tersebut mewarnai rangkaian peristiwa malam itu. Desas-desusyang kemudian beredar, bahkan setelah

dicermati, tetap tidak menyiratkan kebenaran. Pada tahun yang sama. Perempuan Gion menikahdengan Tadamori dan melahirkan seorang bayi lelaki di rumahnya, sebuah fakta yang tidakterbantahkan, meskipun tidak juga memberikan petunjuk mengenai siapa ayah kandung bayi itu.Tetapi, ketika si anak dengan putus asa memohon kepadanya untuk mendengar cerita yangsesungguhnya, Mokunosuke tetap berpegang teguh pada prinsipnya bahwa dugaannya sendiri tidakboleh ditambahkan pada misteri yang meliputi putra majikannya. Melakukan itu sama sajamengkhianati kesetiaannya kepada majikan samurainya.

Layaknya seorang bocah yang telah ditenangkan namun masih menangis terisak-isak, Kiyomori,dalam dekapan si pelayan tua, membiarkan dirinya dibimbing ke kamarnya.

“Sekarang, tidurlah,” kata Mokunosuke. “Biar saya saja yang berbicara dengan Tuan pagi nanti;Mokunosuke akan menjelaskan semuanya. Jangan khawatir.” Seolah-olah memperlakukan anaknyasendiri, Mokunosuke menata bantal dan membentangkan selimut di atas tubuh Kiyomori.

Berlutut di dekat kepala Kiyomori, pelayan tua itu berkata,

“Sekarang, biarkanlah seluruh masalah Anda larut dalam mimpi. Siapa pun Anda, Anda adalahseorang pria.

Tegarlah, karena Anda gagah perkasa. Pikirkanlah tentang langit dan bumi sebagai ibu Anda—ayah

Anda. Tidakkah pikiran itu menenangkan Anda?”

“Tua Bangka, jangan merecokiku. Biarkanlah aku tidur dan melupakan semua ini.”

“Ah, baiklah, kalau begitu, hati renta ini juga sudah tenang.” Menoleh sekali lagi ke arah Kiyomoriyang telah tertidur, Mokunosuko membungkuk, menyibakkan tirai penyekat yang menggantung diambang pintu, dan melangkah ke luar.

o0odwkzo0odwo0odwkzo0o

Kiyomori tidak menyadari seberapa lama dia terlelap.

Seseorang mengguncang tubuhnya dan memanggil-manggilnya. Dia berusaha membuka matanya yangberat.

Kerai pintu yang telah dinaikkan menunjukkan bahwa waktu telah jauh melebihi tengah hari.Tsunemori berdiri di dekat ranjangnya; kegugupan terpancar dari wajah tampannya ketika diamembungkuk di atas kakaknya, mengulangi perkataannya, “Ayo … kau harus ikut denganku. Karenadirimulah Ayah dan Ibu …”

“Apa—aku? Ada apa denganku?”

“Mereka mulai bertengkar pagi tadi, hingga makan siang pun mereka lupakan. Sepertinyapertengkaran kali ini tidak akan berakhir.”

“Mereka lagi-lagi bertengkar? Apa hubungannya semua itu denganku?”

Kiyomori meregangkan kedua tangannya dan menguap lebar-lebar, berkata dengan tegas. “Kuulangilagi. Apa hubunganku dengan pertengkaran mereka?”

Tsunemori menjawab dengan putus asa, “Jangan berkilah. Kaulah penyebab pertengkaran mereka.

Dengarkanlah adik-adik kita yang merengek-rengek dan menangis kelaparan!”

“Di mana Mokunosuke?”

“Dia dipanggil ke bilik Ayah beberapa waktu yang lalu, dan Ibu sepertinya memerintahnya melakukansesuatu.”

“Baiklah, kalau begitu, aku akan ikut denganmu,” jawab Kiyomori, turun dari ranjang danmelontarkan tatapan kesal ke arah adiknya yang penakut. “Berikan kimonoku—

kimonoku.”

“Kau sudah memakainya.”

“Oh, jadi aku tertidur dengan kimonoku, ya?” kata Kiyomori, mengeluarkan sisa uang semalamsebelumnya dari balik ikat pinggangnya. Menyodorkan sebagian uang itu kepada Tsunemori, diaberkata, “Ini untuk membeli makanan bagi adik-adik kita. Suruhlah Heiroku melakukannya untukmu.”

Tsunemori menolak. “Kita tidak bisa melakukan itu. Itu akan membuat ibu marah, lalu—”

“Peduli amat. Aku akan melakukannya!”

“Tapi, kau sekalipun—”

“Dasar bodoh! Bukankah aku anak sulung dan berhak memberikan perintah?”

Sambil melemparkan sejumlah uang ke pangkuan adiknya, Kiyomori keluar dari kamarnya. Langkahkakinya terdengar melintasi beranda. Di sumur dekat dapur, dia menenggak air segar yang baru sajaditimba; setelah itu, dia membasuh wajah, mengelapnya dengan lengan kimono usangnya, laluberjalan melintasi halaman.

Bilik Tadamori, yang terletak di sebuah sayap yang sama bobroknya dengan rumah utama, berada disisi lain halaman dalam. Kiyomori naik ke beranda yang telah reyot, merasakan jantungnya berdegupkencang. Dari balik kerai yang terlipat dia berkata, “Maafkan aku karena pulang terlambat semalam.Aku sudah melaksanakan perintah Ayah.”

Segera setelah bayangannya melintasi ambang pintu, keheningan menyambut Kiyomori, dan tigapasang mata serentak tertuju kepadanya. Mokunosuke langsung menunduk; Kiyomori sendiri jugamenghindari tatapan pelayan tua itu; keduanya tidak sanggup saling menatap.

Memaksa dirinya untuk tetap tenang, Kiyomori menghampiri kedua orangtuanya dengan sikap ceria,dan tanpa basi-basi menyerahkan uang yang dibawanya kepada mereka.

“Ini uang pinjaman dari Paman—namun tidak semuanya. Sebagian di antaranya kuhabiskan saat akubertemu dengan salah seorang temanku tadi malam, dan sebagian lagi kuberikan kepada Tsunemoriagar dia bisa membeli makanan untuk adik-adik, yang saat ini sedang menangis kelaparan. Ini sisanya…”

Sebelum Kiyomori menyelesaikan ucapannya, perubahan drastis telah tampak di air muka Tadamori,seolah-olah rasa malu, sedih, dan marah bergejolak di dalam dirinya. Dia melirik sejumlah kecil uangyang baru saja diterimanya, dan bekas luka di kelopak matanya tampak lebih buruk daripada biasanya,berkerut merut dalam upaya menahan air mata.

“Heita! Singkirkan uang itu! Apa maksudmu melemparkannya begitu saja bahkan sebelum kaumenyalami kami?” desis Yasuko, yang duduk tegak dan tegang di samping suaminya, melirik tajam kearah Kiyomori. (jadi, inilah wanita yang dijuluki Perempuan Gion. yang diberikan oleh Nakamikadokepada Tadamori untuk dinikahi, seolah-olah dia adalah putrinya!) Ketika menatap ibunya, Kiyomorimerasakan sesuatu terbakar di dalam dirinya dan membuatnya gemetar. “Apa kata Ibu? Jika kaliantidak membutuhkan uang itu, mengapa Ibu menyuruhku meminjamnya seolah-olah aku seorangpengemis?”

“Diam! Kapankah aku pernah menyuruhmu melakukan itu? Itu adalah perbuatan ayahmu!”

‘Tapi, bukankah uang itu akan dipakai untuk membayar keperluan keluarga miskin ini? Apa Ibu tidakakan menggunakannya?”

“Tidak,” kata Yasuko, menggeleng dengan tegas, “aku tidak membutuhkan pertolongan mengenaskanseperti ini.”

Amarah menjadikan wajahnya memerah, menunjukkan usianya yang sudah tiga puluhan.

Daun telinga caplang Kiyomori memerah; sirat mengancam tampak di matanya; tangan yang terkepaldi pangkuannya gemetar hebat seolah-olah dia telah siap untuk bangkit dan memukul ibunya.

“Kalau begitu, Ibu, apakah Ibu tidak membutuhkan makanan sejak saat ini—besok?”

‘Tidak, Kiyomori, makanan biasa tidak akan memuaskanku …. Ah, jadi kau juga datang, Tsunemori?

Kalau begitu, dengarkanlah, kalian berdua. Aku minta maaf kepada kalian, namun hari ini, akhirnyaaku diizinkan untuk meninggalkan Tadamori. Kami sudah bukan suami dan istri lagi. Sesuai adatistiadat, anak-anak lelaki akan tinggal bersama ayah mereka. Inilah terakhir kalinya kalian bertemudenganku.” Setelah tertawa renyah, dia melanjutkan, “Kesedihan kalian akan lenyap lebih cepatdaripada kabut. Kalian selalu memihak ayah kalian, yang kalian yakini telah diperlakukan secara tidakadil.”

Kiyomori terkejut. Dia menatap ibunya lekat-lekat.

Ibunya seharusnya sedang sakit, namun ternyata dia berpakaian lengkap. Seperti kebiasaannya,Yasuko merias wajahnya dengan cermat; rambutnya diperciki minyak wangi; alisnya dipoles denganrapi; kimono bermotif ceria yang pantas dikenakan oleh seorang gadis berumur dua puluhanmembungkus erat tubuhnya. Ada apakah ini? Ini bukan pertengkaran biasa. Ancaman yang palingkerap

dilontarkan oleh Yasuko adalah pergi meninggalkan mereka—untuk selamanya—dan baik suamimaupun anak-anaknya telah terbiasa mendengarnya, namun baru kali inilah dia mengucapkannyadalam balutan pakaian untuk bepergian dan dengan sangat tenang.

Tadamori menerima keputusan itu dengan pasrah.

Kiyomori sangat resah. Dia membenci ibunya, namun pikiran bahwa wanita itu adalah darahdagingnya sendiri membuatnya gundah. Menoleh ke arah Tadamori, dia berkata dengan bimbang:

“Ayah, benarkah itu—yang dikatakan oleh ibu?”

“Begitulah. Kalian semua telah terlalu lama terlibat dalam masalah ini, namun ini benar, dan inilahyang terbaik untuk kalian semua.”

Kiyomori tercekat. “Mengapa—tapi, mengapa?” Dia mendengar adiknya menahan isakan. “Tapi, initidak boleh terjadi, Ayah, dengan semua adik-adikku …”

Kesan kekanak-kanakan yang terdengar dalam suara Kiyomori menghibur Tadamori, yangmenyunggingkan senyuman. “Heita, ini tidak apa-apa dan untuk tujuan yang terbaik.”

“Apanya yang tidak apa-apa? Apa yang akan terjadi pada kita semua?”

“Yasuko akan berbahagia. Sedangkan kalian semua—

sepertinya inilah yang terbaik. Tidak perlu meributkannya.

Jangan khawatir.”

“Tapi, kata Tsunemori, akulah penyebab semua ini. jika ini memang salahku, biarkanlah akumemperbaikinya.”

Menoleh ke arah ibunya, Kiyomori memohon, “Bagaimana dengan adik-adikku yang malang? Akuberjanji, Ibu, untuk

melakukan apa pun yang bisa menyenangkan hati Ibu.

Hanya saja, pikirkanlah hal ini sekali lagi!”

Ketika berbicara, Kiyomori merasa bingung dan malu akibat kekuatan perasaannya kepada ibunya.Mokunosuk€

dan Tsunemori terisak-isak nyaring. Kiyomori yang gundah juga tidak sanggup menahan tangis,meskipun Tsunemori dan Yasuko tetap duduk di hadapan mereka dengan dingin dan bergeming.

Tadamori tiba-tiba menukas tajam, “Cukup, hentikan tangisanmu! Hingga saat ini, aku bertahan demianak-anakku, namun sekarang aku telah terbangun dari mimpi-mimpiku. Aku memang bodoh! Selamadua puluh tahun terakhir ini, aku, Heike Tadamori. membiarkan seorang wanita memerintah-merintahku dan menjalani kehidupanku dengan perasaan tersiksa. Aku benar-benar bodoh! Aku tidakbisa menyalahkanmu, Heita, untuk kebodohanmu,” dan dia pun tertawa pahit.

Menanggapi sindiran ini, Yasuko, yang duduk tegak dengan sombong, membalas dengan wajah merahpadam,

“Mengapa kau tertawa? Kau menghinaku! Tertawa saja sesukamu, sindir saja aku. Seandainya YangMulia masih hidup saat ini, kau sekalipun tidak akan berani mempermalukanku seperti ini! Ingatlahbahwa Yang Mulia telah menunjuk Nakamikado untuk menjadi orangtua angkatku!”

Tawa Tadamori semakin hebat. “Kapan-kapan, aku akan berterima kasih kepada Nakamikado karenatelah memberikan kehormatan kepada Tadamori yang miskin untuk menjadi suami perempuan iniselama bertahun-tahun.”

Yasuko melayangkan tatapan tajam ke arah Tadamori dan, dengan kemarahan yang sengajadikerahkannya agar

kata-katanya bisa melekat di ingatan suaminya, berkata,

“Apa kau tidak melihat bahwa aku telah berkali-kali melahirkan anak-anakmu? Adakah sehari sajayang kauhabiskan untuk menyenangkan hatiku? Dua puluh tahun—dan meskipun aku membencimu,cintaku kepada anak-anakku menahanku di sini! Kedua orang ini—Heita dan Mokunosuke, tidakkahmereka menggunjingkanku dengan jahat di dekat istal pada pagi buta? Dan tidakkah mereka berbicaradengan seenaknya tentang almarhum Yang Mulia, mengatakan bahwa Perempuan Gion memilikikekasih gelap—seorang pendeta mesum? Dan si tua Mokunosuke ini menyatakan bahwa dirinyamelihat semuanya, lalu mereka berdua memikirkan siapakah ayah kandung Heita dari ketiga pria yangada! Aku melihat dan mendengar mereka bergunjing seperti orang gila, dan aku memutuskan bahwaaku tidak akan menghabiskan sehari pun lagi di rumah ini! Untuk apa aku tinggal di sini, jika anakkusendiri telah berani melawanku?”

“Cukup, cukup!” tukas Tadamori. “Bukankah kita sudah membicarakannya sepagian ini? Bukankahkau sudah memanggil Mokunosuke kemari dan menghinanya sesuka hatimu? Semua ini tidak ada

gunanya—hentikanlah!”

“Kalau begitu, bersaksilah untukku!”

“Tapi, bukankah aku tadi sudah mengatakan bahwa Heita Kiyomori adalah anak kita?”

“Heita, kaudengar itu?” kata Yasuko, mengalihkan tatapan tajamnya ke arah Mokunosuke. “Dan, kaujuga mendengarnya, kau dengan mulut skandalmu! Tidak ada seorang pun yang bisa menyangkalbahwa aku adalah kesayangan Yang Mulia, tapi bajingan manakah yang sudah menceritakankepadamu kabar angin basi dari dua puluh tahun yang lalu? Tadamori sudah menyangkalnya,

dan si tua Mokunosuke pura-pura tidak tahu. Jadi, Heita, kau tidak akan berbohong kepada ibumu,bukan?”

“Tidak, hanya aku sendirilah yang terlibat di dalam masalah ini. Ibu ….Aku harus mengetahui siapaayah kandungku.”

“Bukankah ayahmu yang baik hati baru saja memberitahumu?”

“Beliau melakukannya lantaran kasihan kepadaku.

Meskipun aku tahu siapa ayah kandungku, aku akan selalu menganggap pria ini sebagai ayahku. Akutidak akan membiarkan Ibu pergi sebelum aku tahu semuanya,”

Kiyomori menangis, menyambar lengan jubah Yasuko dan menekankannya ke matanya yang sembap,lalu memohon,

“Bicaralah, Ibu tahu! Anak siapakah aku?”

“Dia sudah gila, anak ini!”

“Aku mungkin memang gila, namun gara-gara dirimulah pria ini, ayahku, telah menghabiskan duapuluh tahun yang panjang dalam kesendirian, menyia-nyiakan masa mudanya! Dasar kau wanitaserigala mengerikan!”

“Apa maksudmu mengucapkan itu—kepada ibumu sendiri?”

“Kau barangkali memang ibuku, tapi kau sudah membuatku marah besar! Kau jahat dan nista, dan akumembencimu!”

“Dan apa yang kauharap akan kulakukan sekarang ini?”

“Aku akan menghajarmu! Ayahku tidak akan melakukan itu—dia tidak pernah berani memukulmuselama dua puluh tahun ini!”

“Para dewa akan menghukummu, Heita!”

“Bagaimana mungkin?”

“Pada masa itu, aku adalah kesayangan Yang Mulia.

Seandainya aku tetap tinggal di Istana, aku mungkin akan menjadi wanita terhormat, tapi akumerendahkan derajatku sendiri dengan tinggal di rumah reyot ini! Dan memikirkan bahwa kau beranimenghajarku— ini sama saja dengan pengkhianatan kepada Yang Mulia! Aku tidak akan bisamemaafkanmu, meskipun kau adalah anakku sendiri!”

Pekikan nyaring Kiyomori memenuhi ruangan. “Dasar bodoh! Bagaimana jika Yang Mulialahorangnya!” Dengan seluruh tenaganya, ia menghantamkan tinju ke pipi ibunya dan menyaksikanwanita itu jatuh terguling.

‘Tuan Muda telah kehilangan akal sehat!”

“Hoi, kau yang di sana! Kemarilah, Tuan Muda kerasukan iblis!”

“Uhadah amukannya! lolong!”

“Cepatlah!”

Dan keributan pun terdengar di seluruh penjuru rumah.

Meskipun sekarang telah terjerat kemiskinan, Tadamori pernah menjalankan pemerintahan setingkatprovinsi, dan sebagai seorang Heike, dia memiliki jabatan di Kesatuan Pengawal Kekaisaran di IstanaKioister. Meskipun senantiasa hidup dalam keadaan nyaris kelaparan, dia bersikeras untuk tetapmempertahankan lima atau enam belas pelayannya, salah seorang di antaranya adalah anak lelakiMokunosuke, si pelayan, Heiroku.

Heiroku tahu bahwa ayahnya dipanggil ke bilik majikannya pagi itu dan, mengkhawatirkankeselamatan ayahnya, dia berlutut di balik semak-semak di dekat halaman. Begitu mendengar jeritandan hiruk pikuk di bilik majikannya, dia langsung melompat dari tempat persembunyiannya,memanggil para pelayan lainnya, lalu

melesat ke halaman dalam, menyadari sembari berlari bahwa keributan itu hanya sejenak terdengar.

Yasuko berbaring menelungkup di tanah, seolah-olah baru saja terjatuh dari beranda. Mantel ungukemerahan, juga jubah putih, hijau, dan beraneka warna yang dikenakannya teronggok bersamarambutnya yang acak-acakan, dan dia tidak berupaya bangkit. Kiyomori berdiri membusungkan dada,sementara ayahnya mencengkeram erat pergelangan tangannya. Tsunemori dan Mokunosuke, denganekspresi lega sekaligus bingung, sepertinya tidak tahu harus melakukan apa.

Mendengar derap-derap langkah yang semakin mendekat, Yasuko, yang tergeletak lemas, mengangkatkepalanya dan memekik, “Kau yang di sana, panggilkan kereta untukku! Kirimlah seorang kurir untukmenceritakan tentang semua ini kepada orangtuaku! Oh, betapa memalukannya

Seorang pelayan berlari untuk memanggil kereta dari istal terdekat, dan seorang pelayan lainnyaberlari ke kediaman keluarga Nakamikado di Jalan Keenam.

Tadamori dengan malas menyaksikan seluruh keributan ketika para pelayan tergesa-gesa menjalankanberbagai perintah Yasuko.

Kereta telah datang, dan para pelayan menolong Yasuko yang berjalan terhuyung-huyung ke gerbang.Selama beberapa saat, lengkingan memilukannya berbaur dengan isak tangis Tsunemori dan adik-adiknya. Tadamori berdiri diam, seolah-olah menulikan telinganya dari suara-suara itu.

“Heita!” Sambil berbicara, Tadamori melonggarkan cengkeramannya di tangan putranya. Terbebasdari jepitan besi itu, Kiyomori merasakan darah kembali mengaliri

pembuluhnya dan berangsur-angsur menyebar ke seluruh tubuhnya. Urat-urat nadi di keningnyaberdenyut-denyut, dan dia membiarkan sedu sedannya pecah, tanpa tahu malu, bagaikan seorangbocah yang diabaikan.

Tadamori menarik wajah yang basah oleh air mata itu ke dadanya; seraya menggesekkan pipinya kerambut kasar putranya, dia berkata, “Akhirnya aku menang! Aku mendapatkan kemenangan dariwanita itu. Heita, ampunilah aku. Sungguh pengecut diriku karena membiarkanmu menghajarnya. Akuadalah ayah yang gagal, namun aku tidak akan membiarkan kalian menderita lagi. Kau akan melihatkumengharumkan kembali nama Heike Tadamori. Jangan membuatku merasa bersalah dengan airmatamu. Hentikanlah tangisanmu.”

“Ayah—aku memahami perasaanmu.”

“Kau masih mau memanggilku ‘Ayah’?”

“Ya. Biarkanlah aku memanggilmu ‘Ayah’, ayahku!”

Bulan sabit berkilauan di langit. Menembus kabut ungu yang mulai menebal, terdengarlah sayup-sayup suara Mokunosuke menyanyikan lagu-lagu pengantar tidur.

O0—dw-kz–0O

Bab III – PACUAN KUDA

Di tanah luas di Jalan Ketiga Timur di Kyoto, berdirilah Istana Kioister, tempat para kaisar yang telahturun tahta tinggal. Sejak masa Mantan Kaisar Shirakawa, bagaimanapun, tempat peristirahatan kaisarini telah berubah menjadi pusat Pemerintahan Kioister, yang kedudukannya menyaingi DelapanKementrian dan Dua Belas Bagian di Istana Kekaisaran sendiri. Itulah penyebab

ibu kota yang kecil digerakkan oleh dua pemerintahan.

Tetapi, ketika bulan Mei menghadirkan pupus-pupus hijau pepohonan dedalu dan aroma tanah segar diKyoto, sebagian orang teringat bahwa kota ini adalah pusat kehidupan politik Jepang karenaperubahannya menjadi metropolis kemeriahan, ibu kota penikmat mode, dan Kota Cinta, tempat parabangsawan dan pejabat Istana Kioister menyerahkan diri kepada musim semi, mengesampingkantugas-tugas mereka, dan mengabaikan diri mereka demi kesenangan—bukannya ini tidak terjadi dimusim-musim lain, namun ini lebih marak terjadi pada musim semi—

karena bangsawan macam apakah yang mau dianggap hina lantaran luput menuliskan beberapa baitpuisi untuk kehadiran musim semi?

Pada suatu pagi di akhir bulan April, setiap kerikil dan batu di dasar Sungai Kamo berkilauan,

terbasuh hujan semalam, dan matahari, yang memancarkan sinarnya dari antara Perbukitan Timur,mengabarkan datangnya keranuman dan kekayaan musim semi.

Kereta Mantan Kaisar berjalan dengan agung melewati Gerbang Sakura, di bawah kuntum-kuntumbunga sakura di dahan-dahan pohon sakura yang menjuntai. Para pengawal dan pelayan melaksanakantugas mereka dengan penuh semangat, menyamakan kecepatan dengan langkah lambat sapi jantanyang menarik kereta kekaisaran.

“Lihatlah, Yang Mulia gemar berjalan-jalan,” komentar seorang pejalan kaki. “Karena bulan Meihampir tiba, beliau mungkin pergi ke Kamo untuk menonton latihan pacuan bagi kuda-kuda yang barusaja tiba dari berbagai daerah.”

Seekor sapi, yang bertubuh putih dengan totol-totol hitam, menarik kereta yang sarat hiasan itu. Satu-satunya penumpang yang ada di dalam kereta itu adalah seorang

pria bangsawan berkulit kuning langsat yang masih berusia tiga puluhan; berpipi rata, dengan matamungil bersorot tajam dan kesan pendiam yang diperdalam oleh bibir tipisnya, pria itu adalah MantanKaisar Toba.

Para pria dan wanita yang melewati jalan berhenti untuk mencuri pandang ke arahnya, sementaraMantan Kaisar balas memandang dengan penuh minat, seolah-olah pemandangan di jalan menarikhatinya.

Hanya tatapannya yang beredar ke sana kemari, dan terkadang, seolah-olah untuk menunjukkan bahwadia menyukai apa yang dilihatnya, sudut matanya membentuk setengah senyuman. Orang-orangmengikuti tatapannya dan balas tersenyum kepadanya dengan penuh pengertian.

Di dekat lapangan di sebelah lintasan pacuan, rumpun-rumpun sakura tampak memesona. Di bawahsinar matahari siang itu, semerbak bunga-bunga itu berbaur dengan aroma panas rerumputan segar danberedar bersama setiap tiupan angin.

“Jadi, kau sudah melihat kuda hitam yang berumur empat tahun itu? Dari empat atau lima puluhankuda jantan yang dikirim dari daerah, tidak ada satu pun yang bisa menyainginya! Aku tak pernahpuas melihatnya.” Genji Wataru, memusatkan pandangannya ke pagar lapangan, tak henti-hentinyamengulang komentarnya. Sekelompok kuda berkumpul di dekat pagar, tempat tali kekang merekaditambatkan.

Wataru melanjutkan berbicara, setengahnya kepada dirinya sendiri, “Aku rela memberikan segalanyauntuk mengendarainya. Aku tahu betul bagaimana rasanya duduk di punggungnya. Cantik sekali—garis dari kaki ke perutnya itu!”

Kedua pemuda itu duduk di bawah pohon sakura besar di dekat lapangan, memeluk lutut mereka.Salah seorang dari mereka, Sato Yoshikiyo, tampak acuh tak acuh dan hanya menanggapi dengansenyuman tipis.

“Apa kau tidak berpendapat sama, Yoshikiyo?” tanya Wataru.

“Bagaimana—apa maksudmu?”

“Pikirkanlah seperti apa rasanya mengendarai kuda juara itu di Kamo yang cerah ini, melecut-lecutkancambukmu sementara para penonton bertepuk tangan!”

“Tidak pernah memikirkan itu.”

“Tidak pernah?”

“Tidak ada menariknya menjadi juara. Apa gunanya kuda yang bagus jika pengendaranya asal-asalan?”

“Kau kedengaran seperti orang yang sedang berbohong dan tidak berbicara dengan tulus. Tidak adaalasan mengapa kau tidak bisa mengendarai kuda itu—bahkan, kita berdua bisa, karena kita adalahanggota Kesatuan Pengawal Istana.”

Yoshikiyo tergelak. “Kau sedang membicarakan hal lain, Wataru.”

“Membicarakan apa?”

“Bukankah kau sedang memikirkan tentang pacuan kuda Kamo pada bulan Mei—pacuan kuda yangitui”

Wataru cepat-cepat menjawab, “Terang saja, bukankah semua kuda ini dipilih untuk mengikuti pacuankuda itu?”

“Tapi,”—Yoshikiyo mengangkat bahu—”Aku tidak tertarik pada pacuan kuda. Mendampingi YangMulia berkuda lain lagi.”

“Ya, tapi bagaimana jika kau harus terjun ke medan pertempuran?”

“Aku hanya bisa berdoa agar hari itu tidak pernah datang. Ada terlalu banyak hal yang lebih patutdirisaukan oleh kita, para samurai, akhir-akhir ini.”

“Hmm…” Wataru merenung, menatap temannya dengan bingung, “Aku tidak pernah menyangka akanmendengar ucapan seperti itu meluncur dari mulut Yoshikiyo sang Pengawal yang termahsyur. Adaapa denganmu, eh?”

“Tidak ada apa-apa,” jawab Yoshikiyo.

“Jatuh cinta?”

“Bukannya aku tidak punya beberapa kekasih gelap—

tapi ini istriku,” kata Yoshikiyo. “Dia tidak memberiku alasan untuk mengeluh, tapi aku harusmemberitahumu—

beberapa hari yang lalu, dia melahirkan seorang bayi yang manis, dan aku pun menjadi ayah!”

“Itu wajar saja. Saat samurai seperti kita menikah, kita membentuk keluarga, memiliki anak …”

“Benar juga, banyak pula! Tapi, yang paling merisaukanku adalah kita hanya punya sedikit belaskasihan atau cinta pada orang yang mengandung anak-anak kita.”

Wataru tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan temannya. “Ada yang salah denganmu!” katanya,sebelum dia terdiam, memusatkan perhatian ke lapangan, tempatnya melihat Heita Kiyomori danMorito berlalu. Keduanya sepertinya mengenali kedua orang pemuda yang duduk di bawah pohon.Senyuman merekah di wajah merah Kiyomori, memamerkan giginya yang putih dan rata.

Wataru mengangkat tangan dan melambai ke arah mereka,

mengetahui bahwa Kiyomori akan berbagi antusiasme yang sama dengannya.

Langsung meninggalkan temannya, Kiyomori menghampiri dan menyapa mereka, dan segera duduk diantara keduanya, yang pernah menjadi teman sekolahnya di Akademi Kekaisaran. Wataru lebih tualima tahun darinya, sedangkan Yoshikiyo dua tahun. Morito, yang kali ini tidak turut bergabungbersama mereka, juga bagian dari kelompok yang akrab ini. Di antara keempat pemuda berusia duapuluhan ini terdapat ikatan pertemanan yang kuat, yang didasari oleh kesadaran bahwa masa depanada di tangan muda mereka yang kokoh, sebuah kesadaran tentang harapan dan impian rahasia yangmereka bagi bersama.

Akademi Kekaisaran didirikan khusus untuk pendidikan klan bangsawan Fujiwara dan keturunannya,namun, seiring waktu, putra para samurai di atas Golongan Kelima diizinkan untuk mengikutipendidikan di sana. Dalam pelajaran, begitu pula perlakuan terhadap mereka, diskriminasi di antaraketurunan para bangsawan dan samurai, bagaimanapun, menyebabkan banyak gesekan.

Para bangsawan muda mencibir kepada para putra samurai beringas yang kesulitan memahami isibuku, sementara para putra samurai diam-diam merencanakan pembalasan dendam, dan perselisihandi antara mereka mencerminkan konflik yang telah mendarah daging di antara orangtua mereka.

Kiyomori termasuk dalam tipikal anak samurai yang belum terpoles, haus perhatian, dan buta huruf,dan karena itulah dia dibenci oleh para aristokrat muda. Kendati begitu, dia disukai oleh para pemudadi kelasnya sendiri.

Mereka yang telah lulus dari akademi bisa melanjutkan pendidikan di universitas, namun tidak untukpara putra

samurai karena sudah menjadi anggapan umum bahwa masa depan mereka ada di bidang militer.Karena itulah Kiyomori dan teman-temannya termasuk di antara para pemuda yang, setelah lulus dariakademi, bergabung dengan Kementrian Urusan Militer dan akhirnya ditugaskan untuk menjadipengawal di Istana Kioister.

Bagi Kiyomori, dengan ayah yang mengucilkan diri dari masyarakat dan ibu yang mengabaikannya,menjadi anggota Kesatuan Pengawal adalah pekerjaan yang mudah dan cocok untuk kebiasaannyabermalas-malasan dan melakukan sesuatu tanpa tujuan yang jelas. Teman-temannya pun jarangmelihatnya bertugas. Setelah Yasuko pergi, bagaimanapun. Tadamori menjadi pria yang berbeda danbertekad untuk memulai kembali kehidupannya.

Kepada Kiyomori, dia mengatakan, “Aku masih berumur empat puluhan, kita harus membuat awal

baru.”

Maka, segera sesudahnya, Tadamori kembali bekerja di Istana. “Di mana Morito? Sepertinya aku tadimelihatnya bersamamu.”

Mengedarkan pandangannya, Kiyomori menjawab, “Dia ada di sekitar sini—apa sebaiknya kupanggilsaja dia?”

Wataru cepat-cepat menyela, “Tidak usah, jangan ganggu dia. Dia sepertinya memang sengajamenghindariku akhir-akhir ini. Tapi, Heita, sudahkah kau melihat kuda yang berumur empat tahunitu? Apa pendapatmu tentangnya—cantik sekali, bukan?”

Kiyomori mendengus, menurunkan kedua sudut bibirnya, lalu perlahan-lahan menggeleng. “Yanghitam itu?

Bukan yang itu—ia jelek.”

“Eh? Mengapa—kuda sebagus itu?”

“Tidak peduli sebagus apa ia, tanda putih di keempat pergelangan kakinya mendatangkan nasibburuk.”

Wataru tampak terkejut mendengar jawaban ini, dan langsung mengamati tanda putih di keempat kakikuda itu.

Entah dalam hai menunggangi atau menilai seekor kuda berdasarkan penampilannya, Wataru selalumenganggap dirinya seorang pakar. Empat tanda putih di bagian dalam ataupun luar pergelangan kakikuda selalu dianggap sebagai pertanda buruk, dan itu luput dari pengamatan Wataru.

Meskipun bisa dengan cepat menutupi rasa malunya, dia agak jengkel karena Kiyomori, yang lebihmuda darinya, memberinya pelajaran mendasar tentang kuda; dia juga melihat bahwa Yoshikiyo, yangduduk di samping Kiyomori, tersenyum lebar.

Wataru tertawa. “Jadi, tanda putih itu bermakna buruk—lalu, bagaimana dengan samurai yangbermata juling, berwajah bopeng, dan berhidung merah, apakah mereka juga bermakna buruk?”

Kiyomori terusik. “Hei, mengapa kau membandingkan kuda dengan ayahku? Ini agak berlebihan—”

Tetapi, Wataru memotong ucapannya. “Jadi, bahkan

dirimu pun percaya takhayul seperti para bangsawan pucat pasi yang tinggal di kamar-kamar Istanayang pengap itu, membicarakan tentang hal-hal yang ‘mencemari’, yang

‘tercemar’, yang menjadi ‘pertanda baik’ dan ‘pertanda buruk’—selamanya ketakutan gara-garaalasan-alasan konyol, sementara kita kaum muda yang tumbuh dari tanah yang bermandikan sinarmatahari tidak percaya pada takhayul seperti itu! Pertanda buruk—pasti ada beberapa bangsawan dimasa lalu yang memiliki kuda seperti itu, lalu dagu angkuh mereka digigit, atau mereka jatuh danmengalami patah tulang paha! Kejadian semacam itulah yang mendasari takhayul ini.”

Wataru melanjutkan dengan berapi-api, “Aku akan menceritakan kepadamu tentang Genji Tameyoshi,yang pernah menjadi kepala Kepolisian pada 1130, ketika para biksu di Gunung Hiei memberontak.Dia menertibkan mereka dengan mengendarai seekor kuda cokelat yang keempat kakinya bertandaputih, dan semua orang tahu bahwa kuda itu adalah kesayangannya. Selain itu, aku berani bersumpahbahwa dua tahun yang lalu, juara balapan antara kuda-kuda Istana melawan kuda-kuda NyonyaTaikenmon adalah seekor kuda hitam dengan tanda putih di keempat kakinya.”

“Ya, ya, aku tahu. Dengan berkomentar soal kuda itu, bukan berarti aku percaya takhayul,” jawabKiyomori.

“Aku berharap namaku bisa dikenal dengan menunggang kuda itu di pacuan kuda Kamo,” Watarumenjelaskan.

“Jadi, karena itulah kau marah?”

“Aku tidak marah, aku hanya ingin mengolok-olok takhayul. Lihat saja, takhayul semacam itu bahkanakan menguntungkanku. Mungkin saja tidak akan ada orang lain yang mau menungganginya.”

Kiyomori tidak menjawab. Untuk seseorang yang ceria, terkadang dia mudah terusik olehpertengkaran-pertengkaran kecil. Menyadari bahwa Kiyomori tidak berminat untuk mengobrol lebihjauh tentang hal ini, Wataru menoleh ke arah Yoshikiyo, yang ternyata sama sekali tidakmengacuhkan percakapan mereka, larut menyaksikan sekuntum bunga dipermainkan angin dan jatuhke tanah.

“Ah, lihatlah kereta kekaisaran itu!”

“Oh, Yang Mulia memandang ke arah ini!” Ketiganya serentak berdiri dan berlari ke arah lapangan,tempat banyak orang telah menanti untuk menyambut kedatangan kereta itu.

^^dw^^

Berbeda dari semua masa yang mendahuluinya, masa ini sangat marak dengan kemeriahan danperjudian, turnamen puisi, percampuran antara minyak wangi dan dupa, kontes kecantikan, pantomim,permainan dadu, tamasya di keempat musim untuk menikmati keindahan alam, sabung ayam, danpertandingan panahan. Pada masa yang lebih lampau, kalangan istana menganggap kegiatan di luaruntuk menikmati pergantian musim dan pesta-pesta puisi sebagai upaya untuk mendapatkankeseimbangan dalam kehidupan; tetapi, baru pada masa inilah banyak orang menganggap berbagai haltersebut sebagai pelarian menyenangkan dari berbagai masalah agama dan politik—semuanya, kecualiperang. Ketika mendengar kata ‘perang’, kalangan atas maupun bawah gemetar, karena bibit-bibitpertikaian telah tersebar jauh dan luas: di antara para pemuka agama bersenjata; di wilayah timur; diwilayah barat, tempat para perompak di Laut Dalam secara teratur melakukan penjarahan; dan yangterdekat adalah di ibu kota, tempat perpecahan terjadi di tubuh Istana. Belakangan, ada kabar burungyang mengatakan bahwa klan Genji dan Heike di provinsi-provinsi yang jauh telah menggerakkanprajurit mereka, dan badai pun siap bergejolak.

Orang-orang mulai gelisah. Sesuatu yang mengancam dapat dirasakan di udara. Tetap saja, di tengahsituasi yang tidak menentu tersebut, kehausan terhadap kenikmatan duniawi sepertinya melandasemua orang, dan salah satu contohnya adalah pacuan kuda Kamo yang penuh sesak oleh penonton.

Menurut hikayat kuno, pacuan kuda

menjadi olah raga resmi kekaisaran sejak sekitar tahun 701, diprakarsai oleh para Pengawal dandiselenggarakan di halaman Istana Kekaisaran dalam Festival Mei. Kendati demikian, di masa susahini, pacuan kuda tidak lagi diselenggarakan di Kamo pada bulan Mei, tetapi di tengah-tengahkompleks kuil, di tanah-tanah milik para pejabat dan bangsawan yang mendapat giliran menghiburKaisar atau Mantan Kaisar beserta para selir mereka, di ruas Jalan Kedua yang luas, atau bahkandipersiapkan secara mendadak di tengah tamasya-tamasya kekaisaran. Karena kegiatan tersebutdilakukan di lintasan yang lurus, yang cukup lebar untuk mengadu kecepatan sepuluh ekor kuda, jalan-jalan utama di Kyoto cocok untuk

menyelenggarakannya.

Tercatat pula dalam sejarah, bahwa salah seorang penguasa begitu larut dalam demamnya terhadappacuan kuda sehingga dia merelakan dua puluh bentang tanahnya di daerah untuk membudidayakankuda pacuan, dan mendirikan sebuah istal mewah di ibu kota, lengkap dengan sepasukan pelatih danperawat, khusus untuk kuda-kudanya. Putranya yang telah mangkat, begitu pula cucunya, MantanKaisar saat ini, menderita kecanduan yang sama terhadap olah raga ini. Karena itulah kunjungankekaisaran ke Kamo hari ini bertujuan untuk memilih seekor kuda, yang akan dipersiapkan untukmengikuti pacuan kuda pada bulan Mei, di antara semua kuda yang dikirim dari sejumlah peternakandi berbagai daerah.

“Apakah Tadamori ada di sini?” tanya Mantan Kaisar, mengabaikan para pejabat di sekelilingnya.“Aku tidak melihat banyak kuda istimewa hari ini. Bagaimana menurutmu?”

Tadamori yang berdiri cukup jauh dari Mantan Kaisar, mengangkat kepala hanya untuk menjawab,“Yang Mulia, hanya ada satu.”

“Hanya satu—kuda hitam dari peternakan di Shimotsuke?”

“Betul, Yang Mulia.”

“Aku sudah mengamatinya sejak lama—si hitam yang ditambatkan ke palang itu? Tapi, semua pecintakuda memperingatkanku untuk mewaspadainya; kata mereka, tanda putih di keempat pergelangankakinya merupakan pertanda buruk.”

“Itu pendapat umum. Yang Mulia, namun tidak layak dipertimbangkan—” kata Tadamori, yang mulaimenyesali kebiasaannya berbicara terus terang. “Dari semua kuda itu, saya tidak melihat satu punyang bisa menyaingi si hitam itu; tengoklah kepalanya yang indah, matanya, dan sapuan ekornya.”

Mantan Kaisar ragu-ragu. Dia tidak sabar untuk membawa kuda hitam itu ke istalnya dan melatihnyauntuk pacuan Mei, karena dia mengharapkan kuda itu akan bisa menang melawan kuda-kuda Kaisar.Tetapi, seperti para penasihatnya, dia juga percaya pada takhayul.

“Jika Yang Mulia menghendakinya, saya akan membawa kuda itu ke istal saya dan merawatnyahingga hari pacuan tiba,” Tadamori menawarkan diri, teringat pada kata-kata spontannya dandampaknya pada para bangsawan yang berkumpul di sana.

“Begitu pun boleh. Bawalah kuda itu dan pastikan ia mendapatkan latihan yang cukup hingga haripacuan tiba,”

jawab Toba.

Cerita mengenai kuda hitam itu tersebar di seluruh Istana Kioister, didengar oleh banyak pejabatistana yang membenci Tadamori. Meskipun kedudukannya hanyalah sebagai samurai biasa, diadiperkenankan berkeliaran di dekat singgasana kaisar, satu-satunya samurai yang mendapatkankehormatan itu, dan para pejabat istana yang dengki semakin membencinya. Mereka khawatir si MataPicing akan merebut hak-hak istimewa mereka, dan mereka tidak memercayainya, yakin bahwaTadamori mengetahui rahasia untuk mengambil hati Mantan Kaisar. Meskipun selama bertahun-tahunsebelumnya Tadamori menjauhkan diri dari Istana dan menolak berbagai undangan perjamuan dantamasya, kesukaan Mantan Kaisar kepadanya tidak sirna. Tadamori tidak hanya terus-menerusmendapatkan berbagai hadiah dari Mantan Kaisar, namun rasa hormat yang lebih mendalam jugaditunjukkan oleh Toba dengan kesediaannya mendengar pendapat Tadamori. Penugasan kembaliTadamori di Istana Kloister memancing kecurigaan dan keraguan para pejabat istana.

Setibanya di rumah, Tadamori berdiri di dekat kuda hitam itu dan mengelus-elus hidungnya,mengatakan, “Ah, dasar picik! Tidak ada yang berubah di kolam tua tempat para pejabat itu berkuak-kuak.”

“Ayah, tidak ada cara lain untuk hidup di ibu kota ini kecuali dengan mengabaikan omongan miringorang lain.

Tertawakan saja kebodohan mereka.”

“Heita! Kau sudah pulang?”

“Aku melihat Ayah meninggalkan Istana dan ikut pulang, karena aku tidak bertugas malam ini.”

“Heita, jangan pernah tunjukkan kebencianmu.”

“Tidak, tapi aku menantikan saat untuk membalas dendam, dan aku tidak melupakan perkataan Ayahtentang

memulai hidup baru. Kita benar-benar jauh lebih bahagia di rumah saat ini.”

“Aku khawatir kau kesepian sejak ibumu pergi.”

“Ingatlah, Ayah, kita sudah berjanji untuk tidak membicarakannya …. Nah, tentang kuda itu—”

“Hmm—kuda yang bagus, la akan lebih bagus jika dilatih setiap pagi dan malam.”

“Aku juga berpikir begitu. Sejujurnya, Genji Wataru, temanku di Kesatuan Pengawal, ingin sekalimelatih kuda ini. Dia merengek-rengek kepadaku untuk meminta Ayah memohon persetujuan dariYang Mulia, karena dia ingin menunggangi kuda ini dalam pacuan kuda Kamo.”

Tadamori berpikir sejenak dan mengatakan, “Wataru—

tapi, apa kau sendiri tidak ingin menunggangi kuda ini?

Kau sendiri, daripada Wataru?”

“Keempat tanda putih itu—jika bukan karena itu—”

Kiyomori ragu-ragu, mengerutkan kedua alis tebalnya, menunjukkan kegugupan yang mengejutkanayahnya.

Tadamori terkejut saat mendapati bahwa putranya yang ceroboh ini ternyata punya pertimbangansendiri.

“Aku yakin Wataru bisa dipercaya. Aku tidak bisa mengatakan bagaimana pendapat Yang Muliamengenai hal ini, tapi aku akan menanyakannya—tentunya jika kau tetap tidak berminat menunggangikuda itu sendiri,” kata Tadamori, agak kecewa. Dia memanggil beberapa orang pelayan danmemberikan perintah kepada mereka untuk memberi makan dan merawat kuda itu, dan sejenakkemudian memasuki kamarnya, yang sekarang telah terbebas dari istrinya dan kecerewetannya.Sembari beristirahat di bawah cahaya lampion, dia memanggil anak-anaknya yang masih kecil danbermain bersama mereka, sesuatu yang sekarang menjadi kebiasaannya.

Beberapa hari kemudian, Tadamori menyampaikan sendiri persetujuan Mantan Kaisar kepada Wataru,kemudian memerintahkan kepada Kiyomori untuk membawa si kuda hitam ke rumah temannya itu.Menarik tali kekang kuda itu, Kiyomori menyusuri Gang Bunga Iris di Jalan Kesembilan. Para pejalankaki yang berpapasan dengannya menoleh dan berkomentar, “Kuda yang luar biasa—untuk IstanaKekaisaran atau Istana Kioister?”

Tetapi, Kiyomori tidak menjawab pertanyaan mereka, lega karena bisa menyingkirkan kuda pembawanasib buruk itu.

Wataru telah menantikan kedatangan Kiyomori dan sedang membersihkan istal ketika temannya itutiba.

Kegembiraan tampak jelas di wajahnya.

“Sekarang sudah nyaris gelap. Maafkan aku karena istriku belum pulang, tapi kau harus singgah dirumahku dan minum bersamaku. Kita harus merayakan peristiwa ini.

Kita akan minum sake kekaisaran!”

Kiyomori menunggu hingga lampion-lampion dinyalakan, dan sake yang diminumnya membuatnyamerasa digelitiki hingga ujung jarinya. Menatap ke sekelilingnya, dia mendapati dirinya membanding-bandingkan rumah Wataru dengan rumahnya sendiri, dan menyadari bahwa perabot di rumah itu tidakbegitu indah namun luar biasa bersih. Permukaan kayu yang terpoles mulus memunculkan pendargelap; kenyamanan terasa di udara; cahaya seolah-olah melapisi segalanya—tidak diragukan lagi,semua itu adalah hasil kerja keras wanita muda yang dinikahi Wataru pada akhir tahun lalu.

Kiyomori iri. Dia mendengarkan Wataru memuji-muji istrinya. Ketika Kiyomori pulang, Watarumengantarnya ke gerbang—yang mirip dengan gerbang rumah para samurai

lainnya, dengan atap jerami dan dinding anyaman ranting berlapis tanah liat—dan di situlah Kiyomoribertatap muka dengan istri Wataru. Melihat tamu yang hendak pergi, istri Wataru cepat-cepat melepasmantel luarnya dan membungkuk. Kiyomori bisa mencium aroma yang menguar dari rambut danlengan kimononya. Dengan terbata-bata, dia mengucapkan salam ketika Wataru memperkenalkanistrinya.

“Kau pulang tepat waktu. Heita, ini istriku, Kesa-Gozen, yang pernah menjadi dayang-dayang diIstana,” kata Wataru dengan penuh semangat, sebelum menceritakan kepada istrinya tentang kudahitam di istal.

Meskipun wanita itu adalah istri kawannya, Kiyomori merasa malu dan canggung. Menyadari bahwapipinya memerah, dia berjalan dengan lunglai menyusuri Gang Bunga Iris yang sekarang telah gelapgulita. Wajah Kesa-Gozen menghantuinya. Mungkinkah wanita semanis itu benar-benar ada?Bayangan mengenai Kesa-Gozen berkelebatan di benaknya selama dia berjalan. Sebentuk bintang barubersinar khusus untuknya di langit musim semi di atasnya … Kemudian, sebentuk lengan tiba-tibaterulur dan mencengkeramnya dalam keheningan. Seorang perampok! Banyak orang pernah diserangdi persimpangan ini pada malam hari! Kiyomori berusaha menggapai gagang pedangnya.

“Jangan takut, Heita. Ikutlah bersamaku ke rumah yang kita datangi waktu itu.” Terdengarlah tawabernada rendah di telinga Kiyomori. Itu suara Morito. Kiyomori tidak bisa memercayainya. Apakahyang sedang dilakukan oleh Morito di bagian Kyoto yang terpencil ini, dengan wajah tertutuplayaknya penjahat?

“Kau pasti mau ikut denganku ke rumah di Jalan Keenam itu, bukan?” Morito mendesaknya. Tawaranitu

membuat Kiyomori tergoda, namun mendadak timbullah rasa tidak percaya kepada temannya ini,yang membuatnya ragu-ragu.

“Ayolah, aku melihatmu sedang berjalan ke rumah Wataru sore tadi, dan aku membuntutimu,” lanjutMorito sambil berjalan di depan Kiyomori. Setelah kecurigaannya mereda, Kiyomori mengikutitemannya, tersedot oleh daya pikat Morito, dan segera merasa akan mendapatkan keberuntungan.

Di sebuah rumah di dekat Istana Kloister, mereka minum-minum dan bermesraan dengan wanita,seperti yang pernah mereka lakukan. Ketika akhirnya dia ditinggal berduaan bersama salah satuwanita, Kiyomori, yang sedikit lebih tangguh daripada dalam kunjungan terakhirnya, memberanikandiri untuk bertanya:

“Di mana temanku? Di manakah dia tidur?”

Wanita itu terkikik. “Dia tidak pernah menginap di sini.”

“Apa dia sudah pulang?”

Wanita itu sepertinya mengantuk dan terlalu lelah untuk menjawab. “Dia memang selalu begitu. Manaaku tahu apa yang sedang dilakukannya?” katanya, melingkarkan lengan ke leher Kiyomori.

Kiyomori berusaha membebaskan diri. “Aku juga mau pulang! Si Morito itu rupanya mengerjaiku!”

Kiyomori cepat-cepat meninggalkan rumah itu, namun belaian lembut hantu di Gang Bunga Iris tidaklagi mengikuti langkahnya.

Keesokan harinya, Morito tidak menjalankan tugasnya sebagai Pengawal, dan dia tidak terlihat hinggabeberapa hari kemudian, sehingga Kiyomori semakin jengkel

kepadanya. Sekarang, setiap kali dia bertugas di Istana, suami Kesa-Gozen, Watarulah yang selalumenyapanya dengan ceria jika mereka berpapasan di koridor, dengan tatapan yang menyiratkankebahagiaan.

##dw##

Di gerbang pelayan kediaman Nakamikado di Jalan Keenam, sekelompok wanita pedagang, yangmenyeimbangkan keranjang atau kotak berisi berbagai macam benang sutra, bunga, dan kue di kepalamereka, mengintip ke halaman rumah sambil tertawa-tawa dan mengobrol dengan gaduh.

“Kami tidak menginginkan apa-apa, tidak untuk hari ini, dasar berisik!”

“Ayolah, belilah kue-kue ini untuk Festival Mei!”

“Kami terlalu sibuk bekerja untuk pesta malam ini. Kami sudah pusing karenanya! Datanglah nantimalam, nanti malam …”

“Dasar bodoh! Dasar kalian budak mesum!” cemooh para pedagang.

Seorang pelayan tiba-tiba muncul di pintu, membentak-bentak dan memelototi para pedagang itu daribalik punggung para pelayan rendahan. “Hei, hei! Jangan tanggapi perempuan-perempuan itu! Siapayang bertugas mengurus bilik mandi hari ini? Nyonya sudah tidak sabar.

Uapnya kurang panas!”

Mendengar gertakan itu, dua orang pelayan rendahan segera memisahkan diri dan berlari ke sayaptimur. Api untuk memanaskan air mandi telah berubah menjadi abu.

Mereka buru-buru mengumpulkan ranting dan batu api untuk menyalakan api.

Salah seorang dayang-dayang Yasuko keluar ke beranda; mengernyitkan hidung dan mengerjap-ngerjapkan mata untuk menghalau asap, lalu berseru, “Hei, apa yang kalian lakukan disana! Dasarbudak-budak ceroboh, bagaimana jika nyonyaku masuk angin?”

Bilik mandi berlangit-langit rendah dan berlantai anyaman itu cukup gelap. Tubuh telanjang dua orangwanita tampak berkilauan di tengah gumpalan uap, mengucurkan keringat.

“Ruriko. payudara kecilmu sungguh manis—seperti buah ceri yang mungil!”

“Bibi membuatku malu. jangan memandangiku begitu.”

“Mau tidak mau aku memikirkan masa ketika kulitku masih semulus kulitmu,” lamun Yasuko.

‘Tapi, sekarang pun Bibi masih sangat cantik.”

“Ya?—” kata Yasuko sambil menatap payudaranya sendiri.

Kata-kata Ruriko bukan sekadar sanjungan, namun Yasuko segera meraup payudaranya sendiri,merasakan kekencangannya yang telah hilang. Putting susunya gelap bagaikan biji aprikot. Dia telahmelahirkan empat orang anak dan menyadari bahwa keranumannya telah mengering. Dia mengamatibekas luka kecil berwarna putih di salah satu payudaranya, yang didapatkannya ketika Kiyomori, yangketika itu berumur tiga tahun, mengamuk dan menggigitnya.

Amarah seketika merebak di dalam diri Yasuko ketika dia memikirkan Kiyomori, yang telahmenghajarnya dengan begitu kejam—di depan seorang pelayan pula!

Bukankah dia pernah menyusui anak itu dengan payudaranya ini? Begitukah cara anak-anak

memperlakukan ibu mereka? Jika memang begitu, sungguh tidak sepadannya menjadi seorang ibu!Kiyomori sepertinya berpikir bahwa dirinya tumbuh dewasa tanpa perawatan dari ibunya! Kebencianbergejolak di dalam diri Yasuko saat dia duduk tanpa bergerak, memegangi kedua payudaranyadengan jemarinya.

Ruriko meninggalkan bilik mandi sejenak kemudian. Dia adalah keponakan sang nyonya rumah.Sudah menjadi tradisi bahwa gadis-gadis muda akan dinikahkan setelah mereka berumur tiga belasatau empat belas tahun, namun Ruriko, yang berpenampilan lebih dewasa daripada usianya yang enambelas tahun, bahkan belum bertunangan. Desas-desus mengatakan bahwa ayahnya, Fujiwara Tamenari,seorang gubernur di salah satu provinsi, terlalu sibuk bekerja sehingga tidak sempat mengaturperjodohan.

Bagaimanapun, desas-desus yang lain mengatakan bahwa sang gubernur telah berkali-kalimembangkang dari pemerintah pusat, dan berdasarkan permintaan Menteri Sayap Kiri, seorangkerabat yang menganggap sepupu jauhnya ini berbahaya, dia ditugaskan di tempat yang jauh.

Ruriko sendiri-sepertinya tidak merisaukan statusnya yang masih lajang dan melalui hari-harinyadengan cukup ceria. Sejak Yasuko tiba dan menempati flat di sayap timur, Ruriko menghabiskansebagian besar waktunya di sana, mengabaikan kamarnya sendiri yang berada di sayap barat.

Dia kerap menginap di sayap timur atau mandi bersama Yasuko, yang menghabiskan waktunyadengan bergunjing bersama gadis itu, mengajarinya cara memakai berbagai peralatan rias,mengutarakan pendapatnya tentang urusan cinta, atau memberitahunya berbagai rahasia dalammemuaskan pria. Ruriko segera mengagumi wanita yang lebih tua darinya ini dan akrab dengannya.

Tuan rumah di sana adalah seorang pria bernama lyenari, seorang bangsawan baik hati berumur limapuluhan, yang, setelah pensiun dari jabatannya di pemerintahan, menekuni kegemarannya menyabungayam.

Karena tidak memiliki anak, dia mempertimbangkan untuk mengangkat keponakan istrinya, Ruriko,sebagai anak, namun situasi yang tidak pernah dibayangkannya terjadi pada Februari—kedatangantidak terduga Yasuko. lyenari telah menyindir-nyindirnya dengan menanyakan rencana kepulanganYasuko, namun Yasuko sepertinya tidak berniat kembali ke Imadegawa. Dia menggelitik naluri

keibuan Yasuko dengan mengingatkannya kepada keempat anaknya, namun Yasuko sepertinya tidakmemedulikan mereka. Untuk menggoyahkan kepercayaan dirinya, lyenari menyiratkan dalamperkataannya bahwa meskipun masih menawan di usianya yang ketiga puluh delapan, akan sulit bagiYasuko untuk menikah lagi. Tetapi, Yasuko menutup telinga terhadap ucapan-ucapan miring sepertiitu dan bersikap seolah-olah dia akan selamanya tinggal di rumah lyenari. Dia menempati kamarterbaik di rumah itu, memerintahkan agar air mandi disiapkan setiap pagi, menghabiskan berjam-jamdi ruang dandannya setiap malam, dan bersikap layaknya seorang wanita berdarah biru.

Dia tidak pernah segan-segan menggunakan kereta kapan pun dia mau, memerintah-merintah parapelayan sesuka hatinya, sementara mereka bergosip dengan panasnya tentang pria-pria asing yangmengunjungi flat Yasuko di malam hari. Jika lyenari dengan gamblang menyampaikan keberatannyamengenai tingkah Yasuko ini, Yasuko langsung marah besar, memaksanya untuk menarik kembalikata-katanya, dan terus bersikap layaknya seorang putri, tidak sekali pun membiarkan lyenarimelupakan bahwa dia pernah menjadi kesayangan almarhum Mantan

Kaisar Shirakawa dan dengan pongah menyuruhnya menutup mulut.

Jawaban Yasuko tersebut selalu berhasil menohok lyenari. Dia berhenti mengingatkan Yasuko akanmasa lalunya, ketika dia masih seumur Ruriko dan lyenari mengatur hubungan gelap antara dirinyadan Kaisar yang bernafsu birahi besar, karena dia ingat betul bahwa sebagai balasan, sang Kaisar telahmenaikkan jabatan lyenari di Istana, dan dengan murah hati menghadiahinya dengan tambahan tanahseluas berhektar-hektar dan berbagai macam kemewahan lainnya. Yasuko telah sejak lamamenganggap sebagaian kekayaan lyenari sebagai miliknya, dan bahkan setelah menikah denganTadamori, dia masih sering mendatangi kediaman Nakamikado untuk meminta apa pun yangdiinginkannya.

lyenari mengalami apa yang dinamakan senjata makan tuan. Akhir-akhir ini, dia telah kehilanganminat untuk bersenang-senang. Yasuko, sebaliknya, dengan penuh keanggunan menerima arus tanpahenti para tamu yang mengunjunginya di sayap timur, berlama-lama tinggal di sana untuk bermaindadu, membakar dupa, dan memainkan berbagai macam alat musik. Bahkan teman lama lyenari, yangselama ini sering menyertainya bermain sabung ayam, lebih memilih Yasuko daripada dirinya dansekarang menjadi salah seorang teman dekatnya.

Rumah lyenari, seperti layaknya kediaman para bangsawan lainnya, adalah sebuah bangunan luas yangmemiliki sayap timur dan barat. Sebuah beranda panjang dan tertutup terbentang di sepanjang rumahutama, menghubungkan kedua sayap, dan berlanjut ke seruas jalan beratap yang berasal dari sisi-sisihalaman dalam. Paviliun-paviliun tertutup yang bergaya elegan di ujung jalan

menghadapi sebuah taman dengan miniatur pulau, danau, dan sungainya.

Pengaruh Yasuko terhadap Ruriko meresahkan lyenari, karena gadis muda itu sekarang telahsepenuhnya menjadi tawanan bagi pesona Yasuko dan menghabiskan seluruh waktunya di sayap timur—yang jaraknya cukup jauh dari wilayah keluarga di sisi lain taman, lyenari tak henti-hentinyamemperingatkan Ruriko untuk tidak menghabiskan terlalu banyak waktu di sana, menasihatinyabahwa tidak ada kebaikan yang akan didapatkannya dari kunjungan-kunjungannya ke sana. Tetapi,kehormatannya di rumahnya sendiri telah ambruk. Dia memerintah para pelayan untuk terusmengawasi Ruriko, namun sia-sia saja, karena mereka lebih takut kepada Yasuko sekarang.

Ternyata, karena alasan inilah samurai setangguh Tadamori sekalipun menjadi layu dalam masamudanya, pikir lyenari dengan gusar. Karena inilah Tadamori disebut eksentrik; dan inilah hartameragukan yang dipercayakan oleh almarhum Mantan Kaisar kepadanya, lyenari melihat rambutnyayang semakin memutih hanya dalam dua bulan terakhir, dan mengagumi Tadamori, yang telahmemikul beban itu selama dua puluh tahun.

Ruriko kembali menginap di sayap timur, dan lyenari marah besar ketika mengetahuinya pagi itu. Diabaru saja menata bunga iris di vas, meletakkan sebuah helm berhias tumbuhan wisteria di dudukanhelm, menyiapkan sake manis dan mengeluarkan cangkir-cangkir yang akan digunakan dalamperayaan Festival Mei. lalu menyuruh seorang pelayan memanggil Ruriko, hanya untuk mendengarbahwa gadis itu sedang berada di bilik mandi bersama Yasuko—selama beberapa waktu.

Dia menoleh dengan tatapan menuduh ke arah istrinya dan mengeluh, “Sekarang kaulihat sendiri apayang cepat

atau lambat akan terjadi pada Ruriko! Kita akan berhadapan dengan Yasuko yang lain, ingadah kata-kataku ini!” Tetapi, langit yang biru dan matahari yang bersinar cerah segera membuatnya menyesaliperkataannya. “Ah, mari kita lupakan semua ini, karena sekarang adalah hari kelima bulan Mei!”serunya. “Keluarkanlah jubah kebesaranku; sekaranglah saatnya aku pergi,” katanya, meskipun diaberdiri dengan lesu.

Hari ini adalah hari pacuan kuda Kamo. Pada saat ini, lapangan di dekat lintasan pacuan tentu sudahdipenuhi manusia, lyenari, seperti pada tahun-tahun sebelumnya, adalah anggota panitia yangbertanggung jawab mengurus kemeriahan yang menyertai pacuan kuda. Dia mempertimbangkangagasan untuk berpura-pura sakit, namun cepat-cepat menyingkirkannya, lalu mengenakan jubahkebesarannya dan memasang helm berhiasnya di kepala. Sementara istrinya mengencangkan tali helmdi bawah dagunya yang terangkat, dia meneriakkan beberapa perintah kepada seorang pelayan.

“Siapkanlah kereta—yang baru!”

Si pembawa pesan bergegas berlari ke ruang pelayan, namun kembali sejenak kemudian dengan kabarbahwa baru beberapa saat yang lalu, para wanita pergi membawa kereta baru yang anggun itu!

“Dasar pandir!” sembur lyenari kepada si pembawa pesan. Apa maksud mereka memakai kereta baruitu?

Tanpa mengatakan apa pun kepadanya! Ruriko seharusnya bisa bersikap lebih baik! Bahkan gadismuda itu sepertinya sudah tidak menghormati paman dan bibinya lagi!

Mungkinkah dia juga sudah terperangkap oleh kasih sayang palsu Yasuko?

lyenari marah sekaligus mengasihani dirinya sendiri.

Tidak ada yang bisa dilakukannya sekarang kecuali memakai kereta lama. Dia menyembunyikankekesalannya di balik jendela ketika keretanya berderak melewati gerbang utama.

Tidak lama kemudian, di kejauhan, di balik gumpalan debu, tampaklah kerumunan penonton yangmembanjiri lintasan kuda Kamo. Di antara pupus-pupus tumbuhan baru, lyenari melihat umbul-umbul

merah dan biru, bendera warna-warni, ranting-ranting dari “pohon suci” yang diikatkan ke palangstart; kemudian berangsur-angsur, jalan masuk menuju lintasan pacuan pun terlihat, penuh dibanjirioleh manusia.

Kereta lyenari terjebak kemacetan. Siapa yang menyangka bahwa akan ada sebanyak ini kereta? Diatidak pernah menyadari bahwa pemandangan semacam ini akan terlihat di ibu kota. Luar biasa! Tiba-tiba, dia menegakkan badan dan mengumpat-umpat. Di depan matanya, keretanya sendiri, keretabarunya, baru saja melintas!

Terkutuklah kuda betina itu—perempuan tua yang tidak bisa ditunggangi oleh siapa pun!

D&&W

Upacara untuk mengumumkan kegiatan hari ini baru saja berakhir. Di panggung kehormatan,tampaklah Emperor Sutoku yang berumur sembilan belas tahun, dengan penasihat Fujiwara di sisinya,menatap ke sekelilingnya sambil tersenyum. Mantan Kaisar Toba juga ada di sana, dikelilingi olehpara wanita bangsawan dan para dayang-dayang mereka, yang berdiri selama upacara pembukaan.Ketika mereka duduk, terdengarlah dengung percakapan orang-orang yang mengomentari para jokidan kuda yang akan dipertandingkan.

Entah berapa banyak tenda untuk mempersiapkan kuda telah didirikan di tanah lapang itu, sementarapara pemain musik dan pelatih kuda beraksi.

Setiap helai daun di pepohonan di dekat Kuil Kamo tampak berkilauan akibat tiupan angin sepoi-sepoi. Musik dari kelompok orkestra mengalun terbawa angin di atas kepala para penonton. Di atashamparan rumput hijau di dekat gerbang lapangan, tempat sebuah umbul-umbul melambai-lambai,kuda-kuda pacuan yang gelisah menyibukkan para perawat mereka. Sesekali, ringkikan panjangterdengar ketika seekor kuda yang penuh semangat, menggigit pengganjal di dalam mulutnya,menendang perawatnya, atau seekor kuda lain, yang sedang diuji langkahnya, berdiri kaku, lalumelepaskan diri di depan paviliun kekaisaran. Di atas panggung kehormatan. Kaisar dan MantanKaisar tersenyum senang, sementara gelak tawa terdengar di antara deretan kursi berhias bunga yangditempati oleh para bangsawan. Di sini, oleh para bangsawan dari berbagai tingkatan, kemewahan dankeanggunan Istana Kekaisaran dan Istana Kloister dipamerkan dalam beraneka ragam bentuk penghiaskepala dan warna kimono. Para bangsawan yang masih muda mengenakan bedak tipis, menggambarialis, memerahkan pipi, dan menebarkan aroma berbagai wewangian langka dari lengan kimonomereka. Di salah satu paviliun, para pejabat dengan helm berhias tumbuhan wisteria memercikkan airberwarna ungu sehingga aroma bunga-bungaan memenuhi udara.

Ini adalah hari pacuan kuda Kamo; tidak kurang, ini adalah ajang pertandingan di bidang gaya dankemewahan antara Istana Kekaisaran dan Istana Kloister. Dan di bawah permukaan kemeriahantersebut, ini adalah puncak persaingan antara Kaisar dan Mantan Kaisar. Meskipun

menempati panggung yang sama, ayah dan anak itu hanya sesekali bercakap-cakap. Mereka telahberselisih selama bertahun-tahun, dan masalah di antara mereka semakin luas seiring waktu. Di balikperselisihan mereka, tersebutlah sebuah sejarah gelap.

Kaisar Sutoku adalah putra sulung Mantan Kaisar Toba dengan permaisurinya, Fujiwara Shoko, yangmenjadi dayang-dayang di Istana Kloister ketika Shirakawa menghabiskan hari tuanya di sana.

Perhatian Mantan Kaisar Shirakawa kepada Shoko sangat mencolok sehingga desas-desus tersebar dikalangan para pejabat istana bahwa penguasa yang gemar mengumbar cinta itu lebih dari sekadarmemberikan kasih sayang yang bersifat kebapakan.

Shoko, yang terpilih setelah beberapa tahun menjadi selir Kaisar Toba, segera melejit menjadiPermaisuri. Enggan mengakhiri hubungannya dengan Shoko, bahkan setelah wanita itu menjadi istriputranya. Mantan Kaisar Shirakawa diam-diam masih mengunjunginya. Kaisar Toba yang masihremaja sama sekali tidak mengetahui tentang intrik tersebut hingga Permaisuri melahirkan PutraMahkota.

Baru ketika itulah tersebar rumor di Istana Kekaisaran bahwa Kaisar, yang acuh tak acuh ketikamendengar tangisan putra pertamanya, telah yakin bahwa bayi itu bukan anaknya melainkan anakayahnya.

Penyimpangan perilaku dan pengkhianatan Mantan Kaisar telah meracuni masa muda Toba,meninggalkan luka dalam yang tak kunjung sembuh, dan kebenciannya kepada putranya, Sutoku, yangsaat ini berkuasa, menimbulkan kegetiran dan titik pangkal perselisihan di antara kedua kepalapemerintahan itu. Kendati begitu, hari ini di pacuan kuda Kamo, semua itu tersembunyi di balikkeanggunan dan semerbak wewangian. Siapa yang bisa memercayai bahwa kedua petinggi yang dudukdi antara

bunga-bungaan itu, kedua sosok penguasa lemah lembut yang tenggelam dalam kemeriahan hari itu,adalah bahan bakar bagi perang besar yang telah menanti mereka?

“Lihatiah senyuman Yang Mulia!”

“Kaisar sekarang berdiri. Beliau menyaksikan balapan ini dengan penuh perhatian!”

Itulah komentar-komentar yang beredar di antara para pejabat yang matanya tertuju ke lintasanbalapan namun perhatiannya ke kedua pemimpin itu, menyadari sepenuhnya kebencian yangmendalam di hati keduanya.

Rangkaian kegiatan berlangsung hingga siang hari. Debu mengepul tinggi di atas lintasan pacuan yangkering kerontang.

“Kau sepertinya bingung, Wataru. Ada apa?” tanya Kiyomori kepada kawannya, yang ditemukannyasedang berdiam diri di saiah satu sisi paviliun samurai.

Kuda hitam berumur empat tahun dengan tanda putih di keempat kakinya, yang menjadi ujung tombakWataru, tidak disebutkan dalam daftar peserta balapan. Kiyomori, yang bertanya-tanya mengenai halitu, telah menanti untuk bisa berbicara dengan Wataru sejak balapan dimulai.

Wataru, yang semakin ciut karena pertanyaan temannya, menjawab dengan murung:

“Pagi ini, saat masih gelap, aku membuat kesalahan dengan mengeluarkan kuda hitam itu dari istaldan memacunya …. Memang nasibku—sedang tidak beruntung.”

“Apa yang terjadi?”

“Para tukang kayu yang kemarin mendirikan panggung di sini tentu tanpa sengaja telah mencecerkanpaku, karena

kudaku menginjak salah satunya dengan kaki belakang kanannya. Aku berharap aku saja yang terkenapaku!”

“Hmm—” hanya itu yang bisa dikatakan oleh Kiyomori ketika takhayul para joki terlintas dibenaknya. Wataru hanya akan mengolok-oloknya lagi. Tetapi, kata-kata Kiyomori selanjutnyaternyata berhasil menenangkan Wataru.

“Jangan patah semangat, Wataru. Si hitam itu masih bisa bertarung di balapan yang lain. Masih adaNinna-ji musim gugur nanti, la cukup tangguh untuk menang di mana pun. Mengapa harus terburu-buru?”

“Hmm ….Aku akan mendaftarkannya untuk mengikuti balapan musim gugur nanti!” seru Wataru.Kiyomori terkekeh. “Mengapa harus menyesal? Apa kau sudah bertaruh besar-besaran untuk kudaini?”

“Tidak, tidak ada yang memperbolehkanku. Semua orang mengatakan bahwa kuda ini akan membawasial.”

“Apa kau sudah menjalani ‘ritual cambuk’?” tanya Kiyomori. “‘Ritual cambuk’? Mana mungkin akumemercayai omong kosong seperti itu. Itu takhayul!

Bagaimana mungkin para joki yang cambuknya dimantrai oleh para pendeta itu berharap akanmenang? Kupikir aku akan membuka mata mereka.”

Sementara Wataru mencerocos, Kiyomori mengedarkan pandangan. Diiringi gebukan tambur, duaekor kuda dan penunggangnya melesat dari bilik start dalam kepulan debu, namun dia tidak sedangmenonton mereka. Dia menyapukan tatapan ke deretan kepala di paviliun utama.

Di antara kerumunan pria dan wanita, sekilas dia melihat ibunya. Di antara para wanita yangberpakaian anggun itu, ibunya tampak mencolok dalam balutan kimono indahnya.

Tatapan para penonton tertuju ke lintasan balap, namun tatapan ibunya tertuju kepadanya. Pandanganmereka bertemu. Yasuko memanggil Kiyomori dengan sorot matanya, namun Kiyomori balasmenatapnya dengan dingin. Yasuko terus tersenyum, membujuk dan memohon, seolah-olah gemasmelihat anaknya yang merajuk, kemudian menoleh untuk berbicara dengan Ruriko, yang berdiri disampingnya. Pada saat yang sama, gemuruh tepuk tangan para penonton menggetarkan udara.Gebukan genderang yang terdengar dari bilik start, tempat sehelai bendera merah berkibar untukmengumumkan bahwa kuda-kuda Istana Kioister menjadi pemenang hari ini. Sorak sorai parapenonton meledak dalam sebuah nyanyian kemenangan, yang terdengar gegap gempita di seluruhpaviliun Mantan Kaisar.

Wataru menggumamkan beberapa patah kata dan berlalu. Kiyomori juga membalikkan badan. Diamendesak kerumunan penonton untuk menghampiri panggung utama.

Mata Yasuko seolah-olah memanggil-manggilnya untuk mendekat. Ketika Kiyomori semakin dekat

dengannya, mata itu seolah-olah bertanya, “Jadi kau datang juga, setelah semua yang telah terjadi?”

Kiyomori, yang menghampiri ibunya, hanya merasakan kebencian di dadanya. Seluruh kebencian dankemarahannya terpancar dalam tatapan yang dilontarkannya ke arah ibunya ketika dia berjalanmendekati paviliun tempat wanita itu duduk. Ketika menyadari keberadaan banyak wanita disekeliling ibunya, Kiyomori mendadak merasa rikuh dan malu, dan rona merah langsung tampak dipipi dan telinga caplangnya.

“Kau memang anak yang lucu,” Yasuko tertawa ketika melihat kecanggungan Kiyomori. “Apa yangmembuatmu malu seperti itu? Bukankah aku ibumu? Ayo, kemarilah.”

Kesan yang ada di dalam suaranya adalah kasih sayang, yang hanya bisa diperdengarkan oleh seorangibu. Tetapi, bukan ibunya yang menyebabkan Kiyomori tersipu malu.

Baginya, Yasuko bukanlah seorang wanita melainkan perwujudan dari kecantikan—kecantikan yangdibenci sekaligus dikaguminya lebih daripada segalanya. Dengan sensasi mendorong dirinya sendirimenembus sebuah penghalang gaib, Kiyomori semakin dekat dengan ibunya.

Tidak ada kesan aneh maupun janggal ketika mereka berdekatan, pikirnya, namun dia mengedarkanpandangannya dengan lemas, seolah-olah mencari perlindungan dari tatapan orang-orang yang tertujukepadanya.

Melihat kegelisahan Kiyomori, Yasuko segera menyimpulkan bahwa Rurikolah penyebabnya. Diamelirik gadis itu, lalu putranya dan, menoleh ke arah Ruriko, dia berbisik, “Ini anakku, HeitaKiyomori, yang kubicarakan waktu itu.”

Kepada Kiyomori, dia kemudian mengatakan, “Waktu kau berumur tiga atau empat tahun, kau pernahmengunjungi kediaman Nakamikado, tempat Ruriko sekarang tinggal.”

Meskipun Yasuko berusaha membuatnya merasa santai, Kiyomori tetap diam. Jantungnya yangberdegup kencang menjadikan wajahnya semakin merah. Ruriko melihatnya dan tersipu malu.Kelopak matanya bergetar dan terpejam, seolah-olah untuk menghindar dari tatapan tajam, dandesahan meluncur dari bibirnya.

Kiyomori merasakan sensasi memualkan, yang telah diakrabinya, menghampirinya ketika dia berdiridi samping ibunya. (Wanita yang sungguh cantik dan licin!) Dia tergoda untuk sekali lagi bertanyakepada ibunya. Apakah dia putra seorang kaisar atau seorang pendeta mesum?

Siapakah ayah kandungnya? Duka yang mendalam akibat perilaku binal ibunya sepertinya mendorongKiyomori untuk terus berusaha mencari jawaban. Baginya, ibunya saat ini tampak lebih nista daripadasemua pelacur dan penghibur di ibu kota.

Di masa remajanya, ketika dia merasa jijik terhadap hubungan antar jenis kelamin, Kiyomorimenyadari bahwa, tanpa alasan tertentu, dia menghendaki ibunya bersikap lebih bersahaja. Sebagaiseorang anak, putra ibunya, dia ingin memercayai bahwa ibunya adalah wanita tersuci, teranggun, danapa pun yang menjadi lambang kasih sayang itu sendiri. Sejak bayi, ketika dia mengisap air susuibunya, Kiyomori telah mengagumi gambaran ideal ini—

ibunya; selama masa remajanya, sosok itu tidak berubah, hingga dia mendengar cerita Morito, yangmengubah ibunya menjadi sekadar onggokan daging. Kiyomori yang jijik menganggap kenistaanibunya sebagai kenistaannya juga; hingga waktu itu, dia masih bersyukur bahwa darah Heik£Tadamori dan seorang ibu yang suci mengaliri tubuhnya, namun yang dirasakannya saat ini hanyalahkebencian kepada diri sendiri.

Malam itu, ketika dia bertemu dengan Morito dan mendengar tentang masa lalu ibunya, dalamkemarahan dan keputusasaan, Kiyomori menyerahkan masa muda dan kepolosannya kepada seorang’pelacur. Sekarang, dia merasakan kejijikan yang sama kepada dirinya sendiri. Dia membenci darahdan dagingnya sendiri; satu-satunya hal yang membuatnya bertahan dari memuaskan nafsu birahi danmembuang-buang uang adalah Tadamori, pria yang ternyata bukan ayah kandungnya, si Mata Picingyang kasih sayang dan pengorbanannya tidak bisa dikhianatinya.

Hanya dengan cintanya, Tadamori mendorong Kiyomori

untuk bersumpah menjadi seorang anak berbakti yang akan selalu menjaga nafsunya.

Melihat ibunya cukup untuk membuat Kiyomori melupakan tekadnya. Dia berpikir apakah hanyadarah campur aduk ini yang didapatkannya dari wanita itu.

Yasuko kecewa dan kesal. Kiyomori tidak menunjukkan sedikit pun tanda-tanda penyesalan. Diamengharapkan anak itu menghampirinya sambil berurai air mata. Dia juga kesal karena alih-alihmemedulikan Ruriko, Kiyomori justru mengamati perhatian orang-orang di sekeliling mereka.

“Heita, apa yang membuatmu ragu-ragu? Apakah kau takut Tadamori akan mendengar tentangpertemuan kita ini?” akhirnya Yasuko bertanya.

“Ya—ayahku ada di sini, dan aku khawatir beliau akan melihat kita.”

“Apa masalahnya? Meskipun aku dan Tadamori telah berpisah, kau masih anakku, bukan? Akumemahami betapa kau dan adik-adikmu kesepian dan merana tanpa aku.”

‘Tidak!” Kiyomori cepat-cepat menyanggah. “Adik-adikku, kuda-kuda di istal, semuanya baik-baiksaja dan bahagia. Tidak seorang pun pernah membicarakanmu!”

Yasuko buru-buru menutupi perubahan pada air mukanya dengan tawa dan, untuk beberapa alasanyang tidak bisa dijabarkan oleh Kiyomori, menyambar dan memegang erat-erat pergelangan tanganputranya.

“Dan kamu—apa kau tidak pernah ingin menemuiku?”

Kiyomori berusaha menarik tangannya. “Izinkan aku pergi. Ayahku sedang melihat kemari. Beliaumelihat kita.

Izinkan aku pergi!”

“Heita!” sergah Yasuko, tersenyum puas. “Tadamori bukan ayah kandungmu, meskipun aku ibukandungmu.

Apa yang membuatmu begitu menyukainya? Kau harus mengunjungiku, Heita, karena aku seringmerindukanmu.

Dan Ruriko akan menjadi teman baikmu.”

Sekali lagi, Kiyomori berusaha membebaskan diri, yakin bahwa ayahnya telah melihatnya sekarang.

Di atas gegap gempita para penonton dan gumpalan debu di atas lintasan pacu, matahari semakinpucat, menandai akhir balapan dan hari itu. Kaisar dan Mantan Kaisar meninggalkan paviliun mereka,disusul oleh para pengikut mereka, dan melangkah menuju Kuil Kamo, tempat para pendetamenampilkan ritual suci diiringi oleh musik sakral. Kedua penguasa itu lagi-lagi berdampingan ketikamemasuki paviliun, untuk bersulang kepada para juara dan menyaksikan para joki menerimapenghargaan.

Secara resmi, penganugrahan tropi untuk para juara akan dilakukan pada perjamuan musim gugur,ketika mereka mendapatkan hasil taruhan mereka—timbunan emas, gulungan sutra, dan wewangianlangka. Dalam pesta yang berlangsung semalaman itu, para samurai dan bangsawan diperkenankanuntuk minum sake sepuasnya. Para juara dan mereka yang kalah menari dan menyanyi bersama-sama.Kemenangan adalah awal dari kekalahan, kekalahan adalah awal dari kemenangan. Itu adalah hukumalam, Roda Kehidupan Buddha yang akan selalu berjalan. Bagi para bangsawan yang bermandikansake, kehidupan adalah kenikmatan, dan kenikmatan adalah kehidupan. Apakah makna kemenangan,atau kekalahan? Bukankah Fujiwara telah berkuasa selama tiga ratus tahun, dan bukankah

kesuksesan dan lebih banyak kesuksesan lagi selalu menyertai mereka selama beberapa generasi?

Hari pacuan kuda Kamo ini hanyalah selingan dalam perjalanan panjang untuk mengejar kenikmatanhidup. Di atas pepohonan sakura yang sarat dedaunan tampaklah bulan. Kereta terbuka Kaisar dankereta tertutup Mantan Kaisar berderak menjauhi lintasan, diikuti oleh kereta-kereta para bangsawandan pejabat istana.

Tadamori meninggalkan Istana pada larut malam dengan senang hati, karena Mantan Kaisar ceriasepanjang hari itu. Mokunosuke biasanya menyambut majikannya, membawakan kudanya, namun kaliini Tadamori mendapati Kiyomori menunggunya di Pangkalan Pengawal.

“Di mana Mokunosuke?” tanyanya.

“Dia ada di sini tadi, tapi aku menyuruhnya pulang dan mengatakan kepadanya bahwa akulah yangakan menunggu Ayah,” jawab Kiyomori.

Sambil memanjat pelana kudanya, Tadamori berkata,

“jadi, kau menungguku. Kau tampak lelah, Heita.”

Kiyomori memegang tali kekang erat-erat dan mendongak, menatap ayahnya di bawah gemerlapcahaya bintang. Haruskah dia memberi tahu ayahnya? Dia harus bicara, meskipun ini akan menyakitiayahnya. Kiyomori telah menyuruh Mokunosuke pulang dan menantikan kesempatan untuk bisaberbicara empat mata dengan ayahnya. Jika Tadamori tidak melihatnya siang tadi, lebih baik dia tutupmulut, pikirnya. Kendati demikian, dia yakin bahwa ayahnya melihatnya dari kejauhan. Ayahnya tidak

akan mengungkit-ungkit hal itu, karena Tadamori selalu menyimpan kesepian dan kesedihannyasendiri. Mengapa dia menghendaki kegelapan menaungi ayahnya lagi?

Menimbang-nimbang hal itu di dalam hati, Kiyomori mendapati bahwa kuda yang dituntunnya sudahhampir membawa mereka tiba di Imadegawa, dan dia pun memutuskan untuk berbicara kepadaayahnya.

“Ayah, apakah Ayah melihat Ibu di pacuan kuda tadi?”

“Sepertinya begitu.”

“Sebenarnya aku tidak ingin menemuinya lagi, tapi dia memanggilku sehingga kami akhirnyabertemu.”

“Begitukah?” kata Tadamori, memicingkan mata dan menatap putranya lekat-lekat. Melihat ayahnyasepertinya tidak gusar, Kiyomori melanjutkan dengan sedikit nada menyesal:

“Dia kelihatan muda, seperti biasanya, tidak beda dengan perawan kuil atau dayang-dayang. Tapi, akutidak meneteskan air mata untuknya. Aku tidak bisa merasakan bahwa dia adalah ibuku.”

“Aku menyesal mendengarnya, Heita,” jawab Tadamori dengan tenang.

“Mengapa begitu, Ayah?”

“Tidak ada yang lebih mengibakan daripada seorang anak tanpa ibu, Heita. Bahwa kau menemuinyadan memaksa dirimu untuk tidak mengakui ibumu sendiri adalah hal terkeji yang pernah kudengar.”

“Aku adalah anakmu. Aku bisa hidup tanpa ibu!” jawab Kiyomori dengan garang.

Sosok di atas kuda itu menggeleng. “Kau salah, Heita.

Jika ada yang mengeraskan hatimu, akulah yang patut disalahkan, karena aku telah membiarkan anak-anakku melihat pertengkaran tanpa henti kami di sebuah rumah tanpa cinta. Akulah yang menjadikanibumu tampak

rendah di matamu. Ini adalah kesalahanku. Tidak wajar jika seorang anak bersikap sepertimu.Jujurlah, Heita, jika kau memang ingin menemui ibumu, temuilah dia.”

“Bagaimana mungkin perempuan itu menjadi ibuku? Dia telah mengkhianati suaminya dan tidakmencintai anak-anaknya, dan yang ada di dalam pikirannya hanyalah memuaskan nafsu sesatnya!”Kiyomori menyanggah.

“Kau tidak boleh membicarakan dia seperti aku, Heita.

Kau tidak punya alasan untuk mengatakan hal-hal semacam itu tentang dia. Kau dan dia akanselamanya menjadi anak dan ibu. Cinta yang bisa memaafkan segalanya adalah cinta sejati, dan itulahyang pasti akan menyatukan kalian kembali.”

Kiyomori tidak menjawab. Sulit baginya untuk memahami ayahnya. Apakah karena ayahnya terlalu

bijaksana, atau dia yang masih terlalu muda untuk mengerti?

Ketika mereka tiba di rumah, Mokunosuke, Heiroku, dan beberapa pelayan lain menyambut mereka digerbang.

Cahaya berpendar di kebun yang tidak terawat dan kandang kayu sederhana yang tersapu bersih.Kehidupan yang sederhana, harmonis, dan teratur ini baru mulai mereka rasakan tiga bulan yang lalu.Kiyomori memikirkan alasan yang bisa membuatnya menyesali kepergian ibunya. Tidak ada ruanguntuk perasaan kesepian di hatinya sekarang, namun mengapa ayahnya tidak bisa memercayainya?.

-0ood-e-oo0-

BAB IV-SEORANG WANITA YANG

BERMANDIKAN CAHAYA REMBULAN

Tahun itu. pada pertengahan bulan Agustus, Genji Wataru mengundang sepuluh orang temanterdekatnya di Kesatuan Pengawal untuk datang dan menikmati seguci besar sake bersamanya sembarimemandang bulan dari kebunnya. Teman-temannya, bagaimanapun, mengetahui bahwa ada alasan lainyang mendasari undangan ini. Pada musim gugur. Kaisar dan Mantan Kaisar akan melakukanperjalanan ziarah ke Kuil Ninna-ji. Mereka juga akan menghadiri pacuan kuda yang diselenggarakandi kompleks kuil. Tanggal resmi acara tersebut sudah diumumkan—23

September—dan teman-teman Wataru tahu bahwa dia telah menanti-nantikan dengan tidak sabarkesempatan untuk membuktikan kemampuannya bersama si kuda hitam dengan tanda putih di kaki-kakinya.

“Ini adalah acara minum-minum untuk kesuksesannya,”

teman-teman Wataru saling berkasak-kusuk. Salah seorang dari mereka menambahkan dengan nadabercanda, “Dia khawatir dikatai pelit, karena sudah menjadi tradisi bagi para penunggang kuda untukmengadakan pesta besar-besaran bagi teman-teman dan kerabatnya setelah ‘ritual cambuk* dilakukan.Wataru membenci para pendeta. Dia mencela-cela para “Buddha suci’ itu, begitulah dia menyebutmereka dan mengatakan bahwa dia tidak membutuhkan bantuan mereka. Maka, alih-alih mengadakanupacara dengan doa-doa dan mantra-mantra, serta sebuah perjamuan besar, dia menyelenggarakanpesta melihat bulan ini!” Ucapan itu disambut dengan gelak tawa.

Salah seorang pengawal berkata, “Dengar, kalian tahu bagaimana perasaannya kepada istrinya, Kesa-Gozen, yang pernah menjadi dayang di Istana Kekaisaran. Saking terpesona kepada istrinya, saat diabertugas jaga malam,

pikirannya selalu terbang ke rumahnya. Kami pernah meminta untuk dipertemukan dengan istrinya,tapi dia cuma tersenyum dan mengatakan bahwa ‘cinta rahasianya’

tidak untuk dipertontonkan, dan sebagainya. Kurasa dia ingin mempertemukan kita dengan istrinyamalam ini.”

Masih sambil berkasak-kusuk dan bercanda, para pengawal itu tiba di rumah Wataru, yang gerbangnyaterbuka lebar menyambut mereka dan tatanan batu di jalan masuknya telah disiram dengan air.Berkumpul di ruang tamu Wataru, para pemuda itu menutup mulut dan bersikap kaku ketika berbaki-baki makanan disajikan. Baru ketika sake dikeluarkan mereka kembali bersikap santai, lalumeneruskan obrolan dan gurauan mereka.

Heita Kiyomori dan Sato Yoshiko juga hadir di sana.

Kiyomori tidak melihat Morito, dan hendak menanyakan tentang hal ini, namun mengurungkanniatnya. Akhir-akhir ini dia merasakan bahwa hubungan Wataru dan Morito tidak sebaik dahulu. Yanglain sepertinya tidak menyadarinya, namun Kiyomori sering memikirkan apakah dia hanya

membayangkan hal itu, karena dia menjaga jarak dengan Morito sejak pemuda itu menceritakankepadanya rahasia aneh menyangkut kelahirannya. Perilaku Morito merisaukan Kiyomori. Diamengkhawatirkan Morito karena dia tahu bahwa di dalam diri temannya itu, sifat baik sedangberperang melawan hawa nafsu primitif yang ganas.

Selain itu, dia juga sering melihat tatapan culas yang terpancar di mata Morito setiap kali Kiyomorimenghabiskan waktu bersama Wataru. Tatapan itu berlawanan dengan pembawaan ceria Morito.Akhir-akhir ini, Morito bahkan sering terlihat berkeliaran dengan mata merah dan pipi kasar, sehinggaKiyomori menarik kesimpulan bahwa dia kelelahan, entah karena belajar terlalu keras atau terlalubanyak minum dan melakukan

pemborosan. Dia menyimpulkan bahwa Wataru bermusuhan dengan Morito sehingga tidak

mengundangnya.

Sake diedarkan, dan para samurai muda itu menikmati waktu mereka. “Ayo, Tuan Rumah,” serumereka,

“bukankah sekarang saatnya istrimu ditampilkan?

Berhentilah membuat kita penasaran!”

Wataru menyodorkan sake kepada Yoshikiyo, yang cangkirnya masih kosong.

Akhirnya mengangkat cangkirnya, Yoshikiyo berkata kepada Wataru. “Aku pernah menonton sebuahlomba puisi di Istana KJotster. ketika seorang gadis bernama Kesa-Gozen mendapatkan sambutanhangat berkat puisi yang ditulisnya, jadi dia tidak sepenuhnya asing bagiku.

Sekarang, setelah dia menjadi nyonya rumah di sini, aku ragu apakah dia masih sempat menulis puisi.Sayang sekali jika bakat sebesar itu disia-siakan! Kau harus mengizinkannya menghadiri pesta-pestapuisi, Wataru, karena kita, para samurai brutal ini, tidak tahu apa-apa soal dunia sastra dan, yang lebihparah lagi. membencinya …

Bolehkah aku mengatakan, karenanya, bahwa samurai ini dan istri pujangganya bagaikan sebuahlukisan indah—

seperti pohon pinus dan bunga krisan—pasangan yang paling serasi? Mereka iri kepadamu. Bisakahkau menyalahkan mereka karena kecemburuan mereka kepadamu?”

Yoshikiyo tertawa terbahak-bahak. Sake menjadikannya lebih cerewet dan ceria daripada biasanya.Para tamu yang lain berlomba-lomba menimpali ucapannya dengan riuh rendah, “Yoshikiyo,membicarakan puisi lagi? Setiap kali orang ini membuka mulut, sake kita langsung dingin!”

“Ayo, ayo, tuan rumah yang baik, keluarkanlah pertunjukan utamanya!”

“Cepat, bawa dia ke hadapan kami—teman-temanmu!”

Dengan gaduh, mereka memohon dan menuntut agar V^taru mengeluarkan istrinya, hingga akhirnya situan rumah bertanya, “Haruskah aku memanggil geisha untuk menghibur kita di rumahku yang

sederhana ini?”

‘Tidak, tidak! Biarkanlah kami melihat sekilas istrimu—

Kesa-Gozen—dia pasti lebih cantik dari semua geisha terkenal di seluruh ibu kota ini!”

Wataru, tergelak, memohon ampun, memprotes, “Dia pemalu— dia tidak mau keluar dari dapur,tempat dia sedang menghangatkan sake untuk tamu-tamuku dan sibuk memuaskan mereka. Kurasa diatidak akan mau keluar dan membiarkan lampu-lampu ini tersorot kepadanya.”

“Kami lebih memilih melihat cahaya dapurmu daripada cahaya bulan musim semi,” para tamubersorak-sorai. Salah seorang dari mereka bangkit dan berjalan ke dapur, namun Wataru cepat-cepatmengejarnya dan menyeretnya kembali ke ruang tamu dengan janji akan membawa istrinya keluar.

Para tamu terus menuntut Wataru, yang belum terlalu mabuk. Meyakinkan mereka bahwa dia akanmenampilkan istrinya seperti layaknya istri seorang samurai, Wataru memohon kepada mereka untukbersabar sedikit lebih lama dan meninggalkan ruangan. Ketika muncul kembali, dia duduk di berandayang menghadap ke kebun, mengatakan:

“Kuda hitam yang kalian ketahui menjadi tanggung jawabku sekarang sudah menunjukkan tanda-tandaseekor kuda jawara. Aku berharap ia bisa mengikuti pacuan kuda Ninna-ji ketika Kaisar berziarah kesana, dan malam ini, aku ingin merayakan peristiwa ini bersama kalian.

Sekarang, katakanlah pendapat kalian tentang kuda itu.”

Para tamu Wataru terdiam. Mereka tahu bahwa Wataru telah melatih kuda itu habis-habisan, bahkanrela mempertaruhkan reputasinya sendiri demi kuda itu. Tanpa memprotes Wataru karena melanggarjanji yang baru diucapkannya beberapa waktu yang lalu, mereka serempak berkata, “Mari kitamelihatnya!”

Mengikuti Wataru, mereka duduk di beranda, menghadap ke kebun dalam yang mungil. RembulanAgustus memancarkan cahaya yang cukup terang sehingga mereka bisa melihat kuda itu. Watarumemandang kebun dan memanggil seseorang.

Bunyi tak, tik, tuk terdengar semakin nyaring ketika langkah kuda mendekat. Jangkrik berhentimengerik.

Semak-semak di dekat pagar bambu bergemerisik; butiran-butiran embun menetes dari dedaunandengan bunyi menyerupai mutiara yang berhamburan. Gerbang kebun terayun dan seorang wanitamuncul, menarik tali kekang seekor kuda hitam. Tanpa suara, dia melangkah memasuki sorotan sinarbulan dan berhenti tepat di tengah-tengah kebun.

Para tamu menahan napas dan diam seribu bahasa—

terkejut, senang, dan terpesona.

Di sana. bermandikan cahaya bulan, berdirilah kuda itu.

Bulu hitam legamnya berkilauan bagaikan bulu gagak.

Seekor binatang anggun dengan kaki-kaki jenjang dan otot yang kokoh. Dibandingkan dengan musimsemi lalu.

penampilannya telah sangat jauh berubah. Ekornya yang panjang nyaris menyentuh tanah, dankeempat tanda putih di kakinya berkilauan seolah-olah ia menebarkan salju.

Para tamu, bagaimanapun, tidak memandang kuda itu, tetapi sosok yang berdiri diam danmembungkuk di hadapan mereka. Diakah Kesa-Gozen?

Wanita itu tidak tampak pemalu. Seulas senyum tersungging di wajahnya ketika dia menoleh ke arahkuda di dekatnya, menenangkannya hingga ia berdiri diam.

Efek cahaya bulankah yang menjadikan wanita itu terlihat seperti Kannon di Bangsal Mimpi?Jemarinya tampak putih bersih hingga ke ujung-ujungnya, dan rambut panjangnya sama halusnyadengan bulu kuda.

“Ah,” Kiyomori mendesah, “aku juga mau punya istri, asalkan masih ada wanita seperti dia di duniaini!” Dia menelan ludah dan tersipu malu gara-gara bunyi tegukan yang terdengar daritenggorokannya.

Malam demi malam yang bergelimang cahaya bulan berlalu. Di perbukitan dan dataran, rusa-rusabersetubuh dan tupai-cupai berlompatan di antara sulur-sulur anggur liar. Semua binatang sepertinyalarut dalam keindahan bulan.

Kiyomori, duduk di rumahnya, merasa gelisah. Dia menyaksikan adiknya menekuni buku-bukunyadengan bantuan sebuah lentera kecil yang terpasang di dekat meja tua yang ditinggalkan oleh ibumereka, dan tergoda untuk mendampratnya. Lihatlah Tsunemori— pemuda berumur delapan belastahun—yang tidak pernah sedikit pun memikirkan perempuan! Kiyomori menghela napas untukadiknya yang mengenaskan. Seluruh isi buku-buku anak malang itu telah diketahuinya. Diamengamati Tsunemori.

Adiknya itu telah hanyut, pikir Kiyomori, sepertinya sangat banyak samurai muda akhir-akhir ini,dalam kegilaan meminjam buku dari perpustakaan Akademi Kekaisaran dan perguruan tinggi—karya-karya klasik Konfusius yang dikemas dalam jilidan Sung dari Cina, yang telah teronggok begitu sajadi rak-rak berdebu selama dua ratus tahun.

Apakah yang mungkin dianggap menarik oleh Tsunemori dari Analek atau Kitab Yang Empat karyaKonfusius?

Kiyomori sendiri tertidur sambil berpura-pura mendengarkan ketika mengikuti pelajaran tentangKonfusianisme. Ajaran Konfusius hanyalah ornamen, ditujukan untuk meningkatkan ketertarikankepada orang-orang yang berkedudukan tinggi, dan mewajibkan kepada para samurai dan rakyat jelatauntuk mematuhi golongan di atas mereka. Berdasarkan apakah Konfusius menjabarkan berbagaiaturan tentang perilaku manusia itu? Apakah yang digemari Konfusius sepanjang kehidupannya, ataukebaikan apakah yang pernah dilakukannya? Apakah karena dirinyalah pertumpahan darah di Cinaberakhir? Para pencuri menjadi jujur? Para penipu bertobat? Ajaran paling sakral sekalipun bisadijelek-jelekkan dalam sebuah perdebatan dengan seorang penjahat ulung sehingga menjadi tidakberarti bagi manusia.

“Adik tolol!” Kiyomori akhirnya berkata. “Mengapa menjejali otak tumpulmu dengan omong kosongsemacam itu? … Ada ruangan di Istana Kekaisaran yang seluruh dindingnya tertutup oleh lukisanorang-orang bijak dan ajaran-ajaran mereka; orang-orang percaya bahwa hanya dengan duduk diruangan itu. kebijaksanaan mereka akan bertambah, jadi, kau juga memenuhi kepalamu dengan ajaranseperti itu? Dasar tololi Kita bukan bangsawan!

Mereka sudah memberi kita makanan, dan jika mereka memerintah kita, bukankah kita sudahseharusnya langsung keluar dan membunuh orang-orang yang tidak membahayakan kita sekalipun?Bukankah kepada mereka kita mengabdi? Tinggalkan buku-buku itu—abaikan sekarang”.

Kiyomori berbarang telentang di ambang pintu; setengah bagian atas tubuhnya berada di kamar, dankedua kakinya menjuntai melewau teptan beranda. Dia memandang Tsunemori yang sedang menekunibuku-bukunya,

sementara nyamuk-nyamuk berdengung di sekeliling tubuhnya yang terlindung bayangan. Kiyomorisedang kesal dan mudah meledak; ayahnya telah masuk ke biliknya sejak lama. semua pelayan telahtidur, namun Tsunemori masih terjaga hingga larut malam. Dengan menjengkelkan, dia menolakuntuk menemani Kiyomori berjalan-jalan malam.

Sungguh menyebalkan, adiknya ini, sungguh berbeda perangainya dengan dirinya, meskipun merekaterlahir dari rahim yang sama. Pikiran-pikiran buruk mulai menggelitik benak Kiyomori, sepertitetesan air hujan di atap yang bocor. Dia berpikir, apakah sifat mereka berbeda lantaran ayah merekaberbeda. Pikiran ini membuatnya melupakan ketakutannya kepada Tadamori dan kekesalan yangdirasakannya kepada adiknya. Dia pun menguap lebar, laki menggumam kepada dirinya sendiri. “Yasudah, aku akan pergi sekarang. Bulan maian ini sangat cemerlang.” Dia tiba-tiba berdiri danmenyelipkan kakinya ke sepasang sandal yang basah oleh embun di bawah beranda.”Mau ke mana?”

“Aku sedang berusaha memutuskannya,” jawab Kiyomori.

‘Tapi, di malam selarut ini?”

“Beberapa pengawal berjanji untuk menemui Wataru saat bulan bersinar terang, karena dia akanmelatih kudanya.”

Tsunemori bertanya dengan heran. “Apa? Melatih kuda di malam selarut ini?”

“Wajar saja jika para penunggang kuda melatih kuda mereka secara diam-diam sebelum mengikutipacuan.”

“Kau berbohong!”

“Apa?” tukas Kiyomori dengan marah, memandang lingkaran cahaya terang di sekeliling lentera.

Tsunemori cepat-cepat meninggalkan mejanya untuk menghampiri kakaknya dan berbisik,“Sampaikan salamku kepada Ibu. Maukah kau memberikan ini kepada beliau?”

Kiyomori terenyak ketika merasakan surat yang diselipkan oleh adiknya ke bagian depan kimononya.

“Kau sudah mendapatkan izin untuk menemui beliau, bukan? Aku juga ingin menemui beliau.

Walaupun telah meninggalkan Ayah, beliau masih ibu kita. Aku akan menunggu hingga waktukuuntuk menemui beliau tiba.

Sampaikanlah perkataanku ini kepada beliau … Semua itu sudah kutulis di dalam suratku.”

Air mata mengalir di pipi Tsunemori. Kiyomori melihat cahaya bulan terpantul di setiap tetesan airmata adiknya.

Konyol sekali! Untuk apa dia mengejar-ngejar ibunya?

Kiyomori tersentuh oleh air mata adiknya, lalu berkata dengan lembut:

“Kau salah, Tsunemori. Aku akan memenuhi janjiku kepada Wataru.”

“Jangan coba-coba membohongiku,” Tsunemori bersikeras, “ada tamu yang mengatakan kepada Ayahbahwa mereka melihatmu berkeliaran di dekat kediaman Nakamikado.”

“Tidak! Siapa yang menceritakan khayalan seperti itu kepadamu?”

“Fujiwara Tokinobu. Beliau adalah salah seorang dari beberapa pejabat istana yang dipercaya olehAyah, dan aku tidak meragukan kata-katanya.” jawab Tsunemori.

“jadi, si kakek itu sering datang kemari akhir-akhir ini, ya?”

“Ada hal-hal yang tidak bisa dibicarakan di Istana, dan karena itulah beliau datang kemari.”

Kiyomori menggaruk-garuk kepalanya. “Tertangkap basah! Kalau ada banyak orang yang tahu,sebaiknya aku mengaku saja. Aku akan menyampaikan suratmu kepada Ibu, Tsunemori. Aku jugaakan memberitahumu bahwa Ayah mengizinkanku menemuinya jika aku mau.”

“Kalau begitu, bawalah aku bersamamu!” Tsunemori memohon.

“Dasar dungu!” Kiyomori menyembur dengan kesal.

“Apa kau tidak memikirkan Ayah? Jangan ceritakan kepada beliau tentang jalan-jalan malamku, daningatlah—tidak sepatah kata pun kepada Mokunosuke!”

Kiyomori melompati pagar. Wajah adiknya yang basah oleh air mata seolah-olah melayang-layang didepannya, namun dia segera melupakannya. Di atasnya, terbentanglah Galaksi Bima Sakti. Anginmalam mendinginkan suasana hatinya yang panas. Ke manakah dia akan pergi? Dia tidak tahu.Apakah yang menyebabkannya begitu gelisah malam ini? Apa pun itu, itulah penyebab mimpiburuknya, pemicu kegilaannya, air matanya, membuatnya tidak bisa tidur, hingga dia merasa putusasa. Dia meyakini adanya Tuhan, seperti halnya para penganut Buddha yang berdoa agar kehidupanmereka sejahtera. Dia menyiksa dirinya dengan memikirkan pria yang telah mewariskan darah liarkepadanya. Apakah kegilaan ini diwariskan oleh ibunya atau almarhum Kaisar? Jika begitu, siapakahyang bertanggung jawab atas tindakannya? Dia tidak memiliki keberanian untuk seorang dirimendatangi rumah bordil di Jalan Keenam, namun seandainya Morito ada di sini

sekarang, dia akan langsung mendatangi wanita-wanita itu, wanita yang mana pun, atau bahkan seekor

rubah yang menjelma menjadi wanita dibawah sinar rembulan. Apa pun—sapa, pun yang bisameredakan gejolak yang membabi buta di dalam dirinya bagaikan binatang buas.

Ilusi apa pun yang bisa menenangkannya, menidurkannya Menyentuh seorang wanita … bertemudengan seorang wanita secara kebetulan.

Kiyomori seolah-olah berjalan dalam tidur. Dia tidak tahu bagaimana dia bisa tiba di sana. namun diatelah berdiri di luar pagar kediaman Nakamikado. Tidak ada gunanya—dia seorang pengecut! Pagar disini jauh lebih tinggi daripada di rumahnya. Dia tahu bahwa bilik ibunya terletak di sayap timur. Diamasih mengingat perkataan ibunya di pacuan kuda Kamo—”Datanglah menemuiku …

Ruriko akan menemanimu.”—Ruriko, yang terlampau cantik dan berkelas untuk seorang pemudasamurai pemimpi biasa. Tidak ada alasan, bagaimanapun, mengapa dia tidak mencoba menemuinyasebagai alasan untuk mengunjungi ibunya. Bukan kasih sayang yang mendorong Kiyomori untukmencari ibunya, melainkan mimpi-mimpinya.

Setiap kali dia tiba di sana, keberaniannya langsung menguap. Dia menyalahkan sifat pemalunya danmerasa tidak percaya diri akibat penampilannya. Berdiri di sana dalam balutan kimono tua dan sandalusang, berbagai cerita yang didengarnya setiap hari tentang para pejabat istana berkelebatan dibenaknya— bangsawan yang bisa dengan mudahnya menculik seorang putri, menggendongnyamelintasi padang rumput, tempat ilalang tinggi melambai-lambai dan bunga hagi bermekaran,menghabiskan malam berdua hingga bulan memucat menandai tibanya pagi dan tttesan embunberkilauan bagaikan permata di kelopak mata

sang putri, lalu menyusupkannya kembali ke rumahnya tanpa dilihat oleh siapa pun. Kiyomorimemikirkan para pejabat istana yang bisa dengan santainya menjatuhkan surat-surat cinta di aula-aulaIstana, tempat dayang-dayang berlalu lalang, dan menantikan datangnya malam untuk menyentuhrambut yang lembut dan bibir yang panas ….

Dia memikirkan mengapa takdir tidak menyodorkan hal-hal semacam itu kepadanya … Dia memangpengecut!

Seandainya saja dia bisa menyingkirkan sifat pemalunya!

Malam ini, dia bertekad untuk melawannya. Dia saat ini berdiri di puncak pagar, namun lagi-lagi,keraguan menghampirinya. Khayalan-khayalan liar bergejolak di otaknya yang panas. Tunggu! Anginsejuk menerpa tubuhnya yang berkeringat. Di tengah-tengah khayalan liarnya, kata-kata Mokunosuketiba-tiba terngiang-ngiang di telinganya. “Siapa pun Anda, Anda adalah seorang pria.

Anda bukan seorang pincang di balik tubuh perkasa itu.”

Apakah dia anak seorang kaisar atau anak siapa pun, bukankah dia tetap anak langit dan bumi? Yangsedang dilawannya saat ini adalah hawa nafsunya sendiri!

Dia mendadak ingin menertawakan dirinya, bertengger di pagar seperti itu. Dia mendongak untukmemandang Galaksi Bima Sakti yang terbentang di langit. Tidak buruk—tidak buruk sama sekalimenghabiskan waktu seorang diri di bawah langit musim gugur yang luas itu!

Apakah itu? Lagi-lagi!

Di kejauhan, lidah api tampak menjilat langit. Kiyomori memandang ke arah sebentuk atap yangterletak di bagian dalam tembok kota. Tidak ada yang aneh—hanya peristiwa kebakaran biasa.Kebakaran sering terjadi akhir-akhir ini.

Ketika pendar merah menyebar, Kiyomori memikirkan entah berapa banyak rakyat jelata, bergelungdalam tidur yang gelisah sementara para bangsawan pongah

bergelimang kemewahan; kedua pemerintahan menyusun rencana untuk saling melawan, dan parapendeta bersenjata mengamuk. Api itu, yang berkobar dengan begitu ganasnya ke langit, adalah lidah-lidah rakyat yang kelaparan, kaum papa yang tidak memiliki apa-apa dan yang hanya bisa memprotesdengan cara membakar objek kebencian mereka. Dia teringat pada tindakan pembakaran yang baru-baru ini terjadi: Gerbang Bifuku, Wilayah Barat, vila Penasihat Tinggi. Lihatlah bagaimana kaumtertindas dan para bajingan, yang keberadaannya sangat tergantung pada kesejahteraan Fujiwara,berjaya di bawah hujan abu dan perakan api pembumihangusan!

Kiyomori melompat turun dari tembok—di bagian luar—dan berlari ke arah keributan yang sekarangterdengar di jalanan.

^d^w^

Hujan musim dingin yang berkepanjangan dan tanpa jeda menimbulkan banyak keluhan, namunSungai Kamo maupun Katsura tidak sampai meluap tahun ini. Dedaunan di Perbukitan Utara mulaiberubah warna.

Acara ziarah ke Kuil Ninna-ji akan berlangsung sepuluh hari lagi, dan Kesatuan Pengawal Istana sibukmempersiapkan diri. Meskipun tetap larut dalam kebimbangan, Kiyomori menyukai tugas barunya.Para samurai dari Golongan Keenam telah mempertimbangkan kedudukannya; dia sekarangditugaskan menjadi pengawal kereta kekaisaran, dan dia bertekad untuk menjalankan tugasnya dengansempurna. Dia tinggal di Istana hingga larut malam dan pulang ke rumah dalam keadaan terlalu lapardan lelah untuk melamun.

Pada 14 September, sejenak setelah tengah malam, bunyi langkah kaki terdengar bergegasmenghampiri kamar

Kiyomori. Heiroku si pelayan muncul, menyampaikan bahwa seorang kurir berkuda baru saja tiba dariIstana.

Sang tuan muda harus segera menyandang senjata dan melapor.

Mengapa dia mendapatkan panggilan mendadak?

Kiyomori melompat bangkit dari kasurnya. Bagaimanapun, dia tidak sepenuhnya terkejut GigiTsunemori bergemeiutuk, dan kata-kata meluncur dari mulutnya,

“Apakah ini—perang?”

“Entahlah. Apa pun bisa terjadi saat ini.”

“Mungkinkah para biksu dari Gunung Hiei atau Kofukuji telah menyerbu ibu kota bersama pasukantentara bayaran mereka untuk menuntut pemerintah lagi?”

kesejahteraan Fujiwara, berjaya di bawah hujan abu dan perakan api pembumihangusan!

Kiyomori melompat turun dari tembok—di bagian luar—dan berlari ke arah keributan yang sekarangterdengar di jalanan.

o0odwkzo0odwo0odwkzo0o

Hujan musim dingin yang berkepanjangan dan tanpa jeda menimbulkan banyak keluhan, namunSungai Kamo maupun Katsura tidak sampai meluap tahun ini. Dedaunan di Perbukitan Utara mulaiberubah warna.

Acara ziarah ke Kuil Ninna-ji akan berlangsung sepuluh hari lagi, dan Kesatuan Pengawal Istana sibukmempersiapkan diri. Meskipun tetap larut dalam kebimbangan, Kiyomori menyukai tugas barunya.Para samurai dari Golongan Keenam telah mempertimbangkan kedudukannya; dia sekarangditugaskan menjadi pengawal kereta kekaisaran, dan dia bertekad untuk menjalankan tugasnya dengansempurna. Dia tinggal di Istana hingga

larut malam dan pulang ke rumah dalam keadaan terlalu lapar dan lelah untuk melamun.

Pada 14 September, sejenak setelah tengah malam, bunyi langkah kaki terdengar bergegasmenghampiri kamar Kiyomori. Heiroku si pelayan muncul, menyampaikan bahwa seorang kurirberkuda baru saja tiba dari Istana.

Sang tuan muda harus segera menyandang senjata dan melapor.

Mengapa dia mendapatkan panggilan mendadak?

Kiyomori melompat bangkit dari kasurnya. Bagaimanapun, dia tidak sepenuhnya terkejut GigiTsunemori bergemeiutuk, dan kata-kata meluncur dari mulutnya,

“Apakah ini—perang?”

“Entahlah. Apa pun bisa terjadi saat ini.”

“Mungkinkah para biksu dari Gunung Hiei atau Kofukuji telah menyerbu ibu kota bersama pasukantentara bayaran mereka untuk menuntut pemerintah lagi?”

mengelilingi istana, berharap bisa menangkap penjelasan atas pemanggilan mendadak ini daridengung percakapan mereka.

“Kau tidak pernah bisa menebak tingkah manusia. Baru bulan lalu kami para pengawal berkumpul dirumah Wataru di jalan Iris”

Wajah—wajah—wajah. Tidak ada apa pun selain wajah-wajah penasaran dan riuh rendahpembicaraan.

“Ya, aku ada di sana malam itu. Kami mabuk dan menuntut Wataru untuk memperlihatkan kepadakami bulan di dapurnya alih-alih yang ada di kebunnya …”

“Sangat Wataru, memperkenalkan istrinya dengan cara seanggun itu.”

“Cahaya bulan sekalipun sepertinya terlalu terang untuknya saat dia menoleh tanpa senyuman ke arahkami.”

“Dia begitu anggun, seperti sekuntum bunga peoni putih, meskipun dia baru saja keluar dari dapur …”

“Seperti bunga-bunga pir yang bermekaran di musim semi?”

“Ah. mengenaskan sekali! Benar-benar mengenaskan!”

Di antara curahan perasaan yang lebih banyak daripada basanya di kalangan pengawal, salah seorangdi antara mereka berkata dengan sedih, “Meskipun dia istri pria lain, aku sependapat bahwakecantikannya tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Dan si Kata-Gozen Itu telah dibunuh …”

Kiyomori tidak bisa memercayai pendengarannya Kesa-Gozan meninggal? Dibunuh? Gambaranwanita itu di hatinya begitu nyata sehingga dia menolak untuk memercayai bahwa Kesa-Goxen telahmeninggal. Kejadian terburuk telah menimpanya. Kiyomori merasa lebih menghargai kecantikanKesa-Gozen daripada semua pria yang ada di sana. Tetapi, Kesa-Gozen adalah istn orang lain, danKiyomori yakin bahwa dirinya bersalah hanya dengan memikirkannya. Sekarang, karena semua orangnrwnbicarakannyak dia tidak takut lagi untuk mengakui kepada dirinya sendin bahwa dia terpesonakepadanya.

Dengan kasar, da mendorong orang-orang yang menghalangi langkahnya »eolah-olah tijUejar olehurusan yang hanya melibatkan dirinya seorang,

“Benarkah ini? Apakah sudah pasti? Pembunuhnya-siapakah pembunuhnya?” Kiyomori menuntutpenjelasan.

Seseorang berbicara kepadanya. “Ayahmu memanggil.”

Kiyomori berputar dan bergegas berlari ke gerbang dalam, tempat ayahnya menanti. Dia tidakmengenali ayahnya, yang sedang berbicara dengan lantang.

“Berjaga-jagalah di ujung Jalan Kurama, di dekat Jalan Pertama,” perintah Tadamori. “Periksalahsemua orang yang melewatinya. Anggap semua orang sebagai tersangka.

Jangan lepaskan siapa pun tanpa diperiksa terlebih dahulu.

Jangan sampai si pembunuh berhasil melarikan diri. Dia mungkin menyamar, namun kau pasti akan |

mengenalinya.”

Kiyomori tidak sanggup menunggu lebih lama.

“Siapakah orang yang harus kita tangkap ini?” selanya sambil terengah-engah.

“Seorang samurai, Endo Morito.”

“Apa! Morito membunuh Kesa-Gozen?”

“Ya, diaJah pelakunya,” jawab Tadamori dengan berat

“Dia telah mencoreng nama Kesatuan Pengawal Istana—

dan, di atas segalanya, karena jatuh cinta kepada istri pria lain.”

Tepat ketika itu, paman Morito, Endo Mitsuto, bergegas melewati gerbang dalam, mengalihkantatapan dengan wajah pucat pasi. Dia berlalu dengan cepat seolah-olah berniat melarikan diri, namunsemua mata mencermatinya seolah-olah dirinya adalah kaki tangan si pembunuh.

Para pelayan bersenjata, selain pelayan-pelayannya sendiri, sekarang berkumpul di sekelilingTadamori. Dia telah berdiskusi dengan penasihat Yang Mulia dan sekarang sedang bersiap-siapmenjelaskan tentang rangkaian peristiwa malam itu kepada para anak buahnya.

Kesa-Gozen dibunuh pada malam hari tanggal 14 pada sekitar jam Anjing (pukul delapan malam).Lokasi sendiri di jalan Iris. Suaminya sedang pergi ketika itu.

Tidak ada yang mengetahui secara pasa kapan tepatnya Mor&o, yang mengenal ibu Kesa-Gozen,sebelum putrinya mentnggaffcan Istana untuk menikah atau segera setelah dia menikah denganWataru, jatuh cinta setengah mati kepada Kesa-Gozen.

Orang-orang percaya bahwa kepandaian luar biasa Morito. yang sudah diketahui secara luas, akanmembawanya memenangi beasiswa kekaisaran dan memungkinkannya melanjutkan pendidikan diperguruan tinggi, tempat dia akan menjadi lulusan terbaik. Akhir-akhir ini, bagaimanapun, teman-temannya sesama pelajar dan pengawal mulai memandangnya dengan curiga dan menghindarinyakarena Morito telah selama beberapa waktu bertingkah aneh.

Morito, yang berwatak asli giat dan pantang menyerah, bukan hanya seorang pelajar yang pandaimelainkan juga pembicara yang fasih, pemberani, dan percaya diri, sehingga semua temannya merasarendah diri jika berhadapan dengannya. Dalam urusan asmara, dia lebih dari sekadar percaya diri, dansaat terhanyut oleh hasratnya, fisik perkasanya menjadikannya pria yang tidak tertaklukkan—oranggila yang mengabaikan akal sehat Cintanya yang bertepuk sebelah tangan kepada Kesa-Gozen. gejolakasmara seorang pria yang tidak biasa mendapatkan penolakan, adalah nasib buruk Kesa-Gozen.

Dengan gairah meledak-ledak, Morito menyudutkan Kesa-Gozen sehingga dia ketakutan:menggertaknya dengan mengatakan bahwa dia akan menghajar Wataru jika Kesa-Gozen terusmelawan, akhirnya ancaman itu menentukan jalan yang akan diambil oleh Kesa-Gozen. Secara diam-diam, Kesa-Gozen bertekad untuk mengadu tantangan Morito dengan salah satu tantangannya.

Morito, putus asa dan setengah gila, menuntut jawaban terakhir darinya, dan Kesa-Gozen telah siapmemberikannya. Dia menyadari betul konsekuensi dari janji yang akan diberikannya kepada Morito,dan inikah yang dikatakannya:

‘Tidak ada pilihan lain bagiku sekarang. Sembunyikanlah dirimu, pada malam hari tanggal 14, dikamar tidur suamiku, pada jam Anjing. Malam itu, aku akan mengawasinya ketika dia mandi danmencuci rambut, memabukkannya dengan sake, lalu menemaninya hingga tertidur. Selama dia masihhidup, mustahil aku bisa mengabulkan keinginanmu. Aku akan menantimu di bagian lain rumahkusetelah kau menghabisinya. Suamiku adalah seorang pemain pedang, yang tangguh; karena itu,mengendap-endapiah tanpa suara ke bantainya, rasakanlah rambutnya yang basah, dan penggallahkepalanya dalam satu tebasan. Kau harus membunuhnya hanya dalam sekali gerakan.”

Dengan gugup. Morito menerima tantangan itu. Pada senja tanggal 14. da bertindak tepat seperti yang

telah diinstruksikan oleh Kesa-Gazen. Karena tidak mengalami kesulitan apa pun, dia merasa tidakperlu memeriksa pemilik kepala yang rambut basahnya telah berada dalam cengkeramannya.Bagaimanapun, dia melangkah ke beranda untuk melihat kepala itu di bawah cahaya rembulan.

Dia menjerit. Terpaku. Kepala wanita yang dicintainya menggantung dari tangannya.

Di dalam petakan memilukan yang berasal dari lubuk hatinya yang terdalam, berbaurtah rasa malu,duka.

keputusasaan. dan siksaan luka abadi yang harus ditanggungnya sendiri. Dia rubuh ke lantai Seketikaitu juga, kuda hitam di istal meringkik nyaring, menjejak-jejakkan kakinya dengan liar, dan terusmeringkik.

Morito akhirnya berdiri. Mengerang tanpa arti ke arah kamar yang gelap, dia mengambil pedangnyayang dingin, yang lengket oleh rambut basah dan darah segar, dan mengempitnya di bawah lengannya,lalu melompat ke kebun, menebas setiap rumpun tanaman dan semak-semak yang menghalangilangkahnya, dan menghilang di kegelapan malam bagaikan jin jahat.

Tadamori memaparkan fakta-fekta yang sejauh ini celah dtaetahui tentang pembunuhan tersebut,menambahkan,

“Kejahatan ini tidak hanya melibatkan seorang wanita dan seorang samurai, Peristiwa inimenghadirkan bayangan gelap di Istana dan mencorengkan noda ke kehormatan para samuraiKesatuan Pengawai Istana. Kita akar lebih malu jika si pembunuh diadHi oleh Pengadilan Kekaisarandan mendapatkan vonis dari para pejabat istana. Tanggung jawab kitalah untuk menangkap sipembunuh itu.

Siapkanlah penjaga di kedua belas gerbang kota; tempatkanlah pengintai di semua persimpangan jalanKesembilan, dan kita bisa dipastikan akan berhasil menangkapnya.”

Sosok-sosok yang berselimutkan bayangan gelap mendengarkan dengan penuh perhatian danmenanggapi perintah Tadamon dengan anggukan kepala. Kiyomori mengangguk dan mengecap rasaasin air mata yang jatuh ke bibirnya. Dia mendadak metihat cinta terpendamnya kepada Kesa-Gozendengan sudut pandang baru.

Seandainya dia tersedot ke jalan Iris seperti Morito, Ia pun mungkin akan melakukan hal yang sama!Gila atau dungu, yang manakah dainya? Yang manakah Morito? Hatinya

mencelus ketika dia memikirkan kemungkinan dirinya menangkap Morito dengan tangan kosong,namun melihat teman-temannya menghambur kekar dengan penuh semangat dari gerbang pada pagibuta mengembalikan keberaniannya, sehingga Kiyomori pun melaju menembus kabut ke posnya dijalan Kurama, matanya nyalang dan mengilatkan perasaannya.

dw*

Cerita tentang kematian Kesa-Gozen dengan cepat menjangkau semua telinga di Kyoto. Di mana-mana, semua orang membicarakannya. Orang-orang asing, begitu pula orang-orang yangmengenalnya, dengan sedih meratapi kepergiannya. mengecam Morito sebagai iblis—orang gila yang

brutal. Mereka tidak bisa mengampuninya, kata mereka, dan semakin membencinya karena dia pernahsangat menjanjikan. Tetapi, lebih daripada rasa penasaran, kematian Kesa-Gozen menimbulkankengerian dan keibaan yang kemudian menghadirkan kesadaran tentang betapa rendahnya sebagianbesar orang memandang kesetiaan seorang wanita. Sebagian orang sama sekali tidak tergerak danbergidik ketika memikirkan tentang apa yang telah dilakukan oleh Kesa-Gozen untukmempertahankan kesuciannya.

Rakyat jelata di Shiokoji berduka untuknya. Bahkan para pelacur di Jalan Keenam, yang setiap malammenjajakan tubuh untuk mencari penghidupan, menyeka air mata dari wajah berdandanan tebalmereka untuk mengasihaninya, dan tidak sedikit di antara mereka yang secara diam-diam berbaurdengan massa yang menghadiri pemakaman Kesa-Gozen untuk menyampaikan ucapan selamat jalankepadanya.

Para pejabat istana, dan para wanita dari golongan atas, juga tersentuh oleh cerita Kesa-Gozen,meskipun banyak di

antara mereka yang menanggapinya dengan sinis, karena di dalam kehidupan mereka yangbergelimang kemewahan, apakah yang menentukan harga seorang wanita jika bukan keanggunan, dayatarik, dan kepasrahannya untuk memberikan pelayanan kepada pria? Apakah, kata mereka, yang patutdiagung-agungkan dari Kesa-Gozen, yang menjadikan nyawanya sebagai tameng bagi

kehormatannya? Bukankah sifat pemalunya sebagai seorang wanita yang mendorongnya untukmelakukan tindakan seekstrem ini? Beberapa orang mengatakan sambil mengangkat bahu bahwadorongan yang dirasakan oleh seorang wanita untuk mati menggantikan suaminya di tangan seorangkekasih gila adalah pokok pembicaraan panas di kalangan para pejabat istana, dan bahwa jikaperselingkuhan ini dianggap serius, maka ini adalah tanda-tanda kebobrokan Kesatuan Pengawal. Adaapa dengan para pengawal akhir-akhir ini, para samurai yang bertugas menjaga Istana atau dikirimsebagai pembawa pesan di antara Istana Kekaisaran dan Istana Kloister? Jika ada pengawal yangbrengsek, jelas bukan Morito orangnya! Apa lagi yang bisa diharapkan dari para samurai itu?Bukankah beberapa hari telah berlalu sejak pemakaman Kesa-Gozen dan para pengawal belummenangkap pembunuhnya? Ini tidak bisa dimaafkan! Siapa yang bisa mengandalkan para samurai itupada masa-masa berbahaya jika menangkap seorang pria gila saja mereka tidak sanggup?

Kasak-kusuk tak sedap segera menyebar, dan tuduhan-tuduhan kepada Tadamori dilayangkan olehpara pejabat istana. Tanggung jawab atas kejahatan itu ada di pundaknya. Apakah yang menyebabkanYang Mulia begitu memercayainya? Bukankah dia Kepala Pangkalan Pengawal? Bukankah dia yangmembujuk Yang Mulia untuk memilih kuda pembawa sial dengan tanda putih di kakinya itu? Dan,bukankah dia yang memberikan izin

kepada suami Kesa-Gozen untuk melatih kuda itu? Tidak diragukan lagi, Tadamori adalah sumber darisegala kemalangan ini! Bukankah mencemooh tabu adalah sebuah kejahatan? Bukankah dia bersalahatas penghinaan terhadap kepercayaan?

Para pejabat istana membicarakan tentang kesalahan Tadamori, bahkan merencanakan untukmenyeretnya ke pengadilan. Kekisruhan ini didengar oleh Mantan Kaisar.

Mantan Kaisar menyadari bahwa dirinyalah yang seharusnya disalahkan atas ledakan kemarahan yangtidak sepantasnya kepada Tadamori ini. Dia tidak hanya menghormati Tadamori tetapi juga

menyayangi dan memercayainya jauh melampaui orang-orang lain.

Untuk menjawab tuntutan para pejabat istana. Mantan Kaisar mengatakan, “Beberapa hari lagi, kitaberangkat ke Kuil Ninna-ji …. Mengenai penangkapan Morito—kita akan melanjutkanpembahasannya di lain waktu. Mengenai tuduhan bahwa Tadamori bertanggung jawab karenamengizinkan Wataru melatih kuda pembawa sial itu—

karena akulah yang mengeluarkan izin tersebut, maka kalian sebaiknya melayangkan tuduhan itukepadaku.”

Toba tertawa nyaring, berusaha meredakan kemarahan para pejabat istana. yang berhenti memberikantekanan kepada Tadamori, meskipun hanya untuk sementara.

Tersebar kabar dari istana bahwa para penjaga di berbagai persimpangan ke Ibu kota akan ditarikkeesokan harinya. Para penpwai yang telah bertugas selama tujuh hari marah dan kecewa. KemanakahMorito pergi membawa kepala Kesa-Gozen? Apakah bymi telah terbelah dan menelannya, atau diatelah menghabisi nyawanya sendiri?

Sepertinya hanya keberadaan Montolah yang bisa mengakhiri misteri ini. Sejak malam pembunuhanitu, tidak

seorang pun melihat dirinya mau sosok yang sedikit banyak menyerupai dirinya. Kesatuan faksimengirim pasukan mereka untuk menyisir seluruh Kyoto, namun mereka tetap tidak menemukanpetunjuk tentang di mana dia bisa ditemukan.

Malam ini adalah malam terakhir para penjaga bertugas di persimpangan-persimpangan jalan diKyoto.

“Adi sesuatu yang mencurigakan tentang Istana di bagian dalam Gerbang Barat Laut Tidak hanyakarena paman Morito bertugas di sana. tetapi dia tentu juga masih memiliki beberapa teman lamadisana”.

Kiyomori. yang tanpa sengaja mendengar percakapan itu, terkejut. Dia sedang bertugas menjaga jalanPertama bersama enam atau tujuh belas anggota pasukannya yang lain, sebagian di antara merekamenyamar.

Betul juga! Tidak terpikir olehnya untuk memeriksa lingkungan terdekatnya. padahal Morito pernahmenjadi pengawal di Gerbang barat Laut sebelum ditarik ke Istana Kloister. Gerbang Barat Lautberjarak tidak terlalu jauh dari Istana Kloister. Kebanggaan membuncah didada Kiyomori ketika diamemikirkan kesuksesan yang akan dipegangnya.

Setelah memindahkan tombaknya ke tangannya yang lain, dia melambai kepada Heiroku, yang berdirijauh dibelakangnya. dan berseru:

“Panggillah Mokunosuke kemari. Aku akan pergi ke Gerbang Barat Laut. Berjaga-jagalah di sini.Penjagaan akan berakhir malam ini.”

Mokunosuke datang. “Ke Gerbang Barat Laut? Tuan Muda, urusan apakah yang hendak Andaselesaikan di sana?”

“Tua Bangka, aku mencium bau tikus di sana.”

Mokunosuke, menautkan kedua alisnya, menggeleng perlahan. “Lebih baik jangan. Tidak akan adagunanya bagi Anda jika mereka mendengar bahwa Anda melakukan pencarian ke wilayah keputrian.”

“Apa masalahnya? Aku tidak mencurigai Kesa-Gozen.”

“Lebih baik Anda menjaga tindakan Anda. Anda tahu bahwa masalah kecil sekalipun bisamenghasilkan sesuatu yang serius jika sudah menyangkut hubungan antara Istana Kekaisaran danIstana Kloister.”

“Aku tetap akan pergi, apa pun pendapatmu. Orang-orang mengatakan bahwa para pengawal di IstanaKekaisaran menertawakan kita dan bersumpah akan mendahului kita mendapatkan pembunuh itu. Iniadalah kesempatanku untuk menangkap Morito. Aku yakin Morito selama ini berdoa agar jika adayang berhasil menangkapnya, akulah orangnya!”

Dengan telinga merah padam akibat bayangan liar tentang kesuksesan, Kiyomori melirik Mokunosukedengan sinis. “Saat menyadari bahwa dirinya sudah tersudut, Morito akan memikirkan aku. Akubahkan bisa merasakan dirinya menantikanku! Mokunosuke, jika ayahku datang, katakanlah kepadabeliau ke mana aku pergi.”

Gerbang Barat Laut berada dekat dari jalan Pertama, dan untuk menghalau kekhawatiran Mokunosuke,Kiyomori berangkat ke sana dengan berjalan kaki. meninggalkan tombaknya.

Istana Kekaisaran berdiri di wilayah utara pusat kota, di dalam sebuah kompleks tertutup berbentukpersegi empat, berukuran sekitar satu mil kali tiga per empat mil, dan menampung setumiah besarbilik tempat tinggal, aula-aula upacara, dan banyak badan pemerintahan. Tepat di luar kompleks ituterdapat sejumlah istana kecil dan kediaman

para bangsawan, begitu pula perguruan tinggi, yang terhubung dengan Gerbang Selatan. Komplekstersebut memiliki dua belas buah gerbang dan dua gerbang samping tambahan—Gerbang Timur Lautdan Gerbang Barat Laut.

Gerbang Barat Laut merupakan jalan masuk menuju istama tempat Kesa-Gozen pernah mengabdi.

Kiyomori merasakan adanya cukup alasan untuk menyelidiki tempat itu. Barangkali si tersangka danpenolongnya menganggap tempat ini akan terbebas dari pencarian. Pikiran itu mendorong Kiyomoriuntuk mempercepat langkahnya. Ketika memasuki ruas jalan yang lebar dan bersih dan dipagari olehpohon-pohon pinus, Kiyomori mendengar teriakan-teriakan dan perintah baginya untuk menghentikanlangkah. Dengan ekspresi kesal, Kiyomori menoleh.

“Aku? …”

Dia baru menyadari bahwa para pengawal di sini juga melakukan pengawasan. Dengan gagah, diaberjalan menghampiri mereka.

“Kembalilah! Keluar!” sembur para pengawal kepadanya, menghalangi langkahnya tanpa repot-repotmenanyakan namanya.

Kiyomori dengan keras kepala menjawab, “Aku akan masuk! Aku datang untuk menyelesaikan sebuahurusan penting.” Dia menaikkan alisnya. “Kalian pasti tahu bahwa aku mengabdi kepada Yang MuliaMantan Kaisar Toba.

Untuk apa aku mengganggu Tuan Putri?” semburnya, wajahnya merah padam. Para pengawal IstanaKekaisaran menganggapnya sebagai seorang pemuda yang beringas, dan situasi itu dengan cepatmemanas; Kiyomori sedang berhadapan dengan enam atau tujuh belas pengawal, ketika seorangsamurai berusia setengah baya, mungkin seorang

perwira senior, muncul dan berdiri sejenak untuk mengamati kekacauan itu. Kemudian, dia mendekatiKiyomori dari belakang, menghantam pelindung dadanya kene-kene, dan berbicara kepadanya seolah-olah kepada seorang bocah.

“Jadi, kaukah itu, Heita? Mengapi kau marah-marah seperti itu? Apa yang kauributkan sehinggasikapmu menjadi selancang itu?”

“Ah …” Kenangan tentang angin ganas di bulan Februari, hari yang sangat menyedihkan, perut kosongyang melilit, dan uang pinjaman bedebah tiba-tiba melintasi benak Kiyomori. “Andakah itu. Paman?Betul! Dan ini pasukan Paman? Aku memang sudah merasa mengenali beberapa pelayan Paman diantara mereka.”

Lebih daripada merasa konyol karena penampilannya, Kiyomori terbakar amarah karena memikirkanbahwa orang-orang itu telah menghinanya dengan berpura-pura tidak mengenalinya. Dia tidak pernahbisa memikirkan pamannya—begitu pula bibinya—tanpa merasakan matanya berkaca-kaca; entahsudah berapa kali dia mendatangi rumah mereka di Horikawa untuk meminjam uang; mendengarkanmereka mencaci maki orangtuanya; menerima kritikan dan keluhan tanpa akhir mereka.

Dengan pahit, dia mengingat bagaimana dirinya selalu terlihat seperti kambing melarat di hadapanpamannya.

Rupanya sudah menjadi takdirnya untuk selalu diremehkan dan diabaikan sebagai seorang manusia.

“Ayolah, Heita, apa maksudmu dengan mengatakan

‘betul’? Kami sudah lama tidak melihatmu di Horikawa—

bukannya kami akan menyambut gembira kunjunganmu …

Penampilanmu yang mengenaskan, harus kukatakan, memberikan hiburan bagiku”

Kiyomori merasa lemas. Dia telah dengan pongah bertindak atas nama Kesatuan Pengawal IstanaKloister, dan sekarang siap merangkak memasuki lubang.

Menyingkirkan kehormatan dan kemarahannya, Kiyomori dengan lirih menjawab: “Apakah mungkinterjadi?”

Pamannya, sementara Itu, meminta keterangan singkat dari anak buahnya tentang apa yang telahterjadi dan menduga apa yang sedang dicari oleh Kiyomori.

“Mustahil! Tentu saja mustahil! Apa maksudmu memaksa masuk kemari? Kau sama keras kepalanyadengan ayahmu’ Mengapa kau harus mewarisi sifat-sifat buruk ayahmu? Pulanglah sekarang Juga!”sembur pamannya.

Tepat ketika itu, Tadamasa melihat kereta seorang pejabat istana masuk melalui Gerbang Barat Lautdan bergegas meninggalkan Kiyomori. tepat pada waktunya untuk membungkuk memberi hormatketika kereta melewatinya.

Kiyomori membalikkan badan dan berjalan menjauh. Ini tidak terhindarkan. Dia merasa mendengarpara pengawal menertawakannya di belakang punggungnya. Kemudian, dia mulai memikirkan keretasiapa yang baru saja dilihatnya. Ketika menatap ke sekelilingnya, dia melihat seekor sapimendekatinya. Matahari yang mulai tenggelam memancarkan sinar menyilaukan ke badan dan gagangpenarik kereta indah yang bertatahkan hiasan perak dan emas. Kerai bambu yang menutupi kereta itusetengah terbuka. Itu bukan kereta Putri, namun penumpang di dalamnya tidak terlihat oleh Kiyomori,kecuali seorang bocah penarik sapi yang berjalan di samping kereta, mengusir lalat yang beterbangandi sekelilingnya. Kiyomori berhenti di bawah naungan pohon cedar dan menunggu kereta itumelewatinya. Ketika kereta itu ada di depannya, Kiyomori dengan berani memandangnya. “Oh! …r

Dia merasa mendengar sebuah suara. Seseorang menggulung kerai ke atas dan memerintahkan kepadasi bocah penarik sapi untuk berhenti. Wanita itu mencondongkan tubuh ke luar dari kereta danmemanggil namanya.

“Ibu!” Kiyomori serta merta menjawab dan melompat mendekati salah satu gagang penarik kereta.“Inikah kereta yang baru saja keluar dari Gerbang Barat Laut? Ibukah yang ada di dalamnya?**

“Mengapa, apa maksud pertanyaanmu itu? Kau tidak pernah senang jika bertemu denganku, di manapun tempatnya.”

Yasuko mengenakan kimono wanita bangsawan istana dan, seperti biasanya, menunjukkan sikapanggun. Dalam balutan kimonobernuansa cerianya, dia tampak lebih muda dan eanflfc daripada yangpernah diingat oleh Kiyomori- —

di rumah, di pacuan kuda Kamo.

“Pamanmu, Tadamasa, ada di gerbang sesaat yang lalu, menanti untuk memberi hormat kepadakuselagi aku lewat.

Dia tidak mengatakan apa pun tentangmu, tapi aku melihat kalian berbicara—benarkah Itu?”

“Apakah pamanku akhir-akhir ini menghormati dan bersikap lebih ramah kepada Ibu?”

Yasuko tergelak. “Kau menghiburku! Kau tidak pernah menjawab pertanyaanku, dan yang selalukaulakukan hanyalah berusaha memeriksaku. Pamanmu telah banyak berubah. Dia menghormatiku.”

“Paman—dan Bibi—yang biasa membicarakan

keburukan Ibu?”

“Nah, Heita, apa kau sudah mengerti mengapa aku membenci kemiskinan kita? Yang Mulia Tuan

Putri

menyukaiku, dan aku secara teratur ikut menari di istana beliau. Pamanmu sekarang bersikap layaknyaseorang pelayan kepadaku, karena dia tahu bahwa dia harus menyenangkan hatiku jika menginginkankeberadaannya di dunia ini diakui.”

“adi, begitulah! Kiyomori meludah ke kaki sapi. Betapa rendahnya pamannya! Sedangkan mengenaikunjungan ibunya ke istana di Gerbang Barat Laut—dia mungkin memanfaatkan pengaruhNakamikado di Istana dan bakatnya sebagai seorang geisha. Sama saja dengan pamannya! Kapan punKiyomori berjumpa dengan ibunya, dia merasa bahwa ayahnya, Tadamori, pria yang bukan ayahkandungnya, lebih pantas untuk berbagi darah dan daging dengan dirinya.

Kiyomori tiba-tiba merasa kecewa, getir, dan sedih.

Melihat ibunya membuatnya tersiksa. Lalat-lalat yang beterbangan di sekitar sapi penarik keretaterus-menerus hinggap di wajahnya dan memicu kejengkelannya, sehingga dia pun langsung berlalumeninggalkan ibunya. Tetapi, Yasuko memanggilnya dengan marah, dan sambil melotot mengatakan:

“Heita, bukankah ada hal lain yang ingin kautanyakan kepadaku?”

Kiyomori menoleh dengan kesal. Dia merasa melihat sosok orang lain di dalam kereta, dan ketikamenajamkan matanya, dia melihat Ruriko.

“Heita, tidak adakah hal bin yang ingin kaukatakan kepadaku?” tanya Yasuko. terkikik. “Ruriko.”katanya kemudian, “maukah kau memberikan ini kepada Heita?”

Ruriko menarik diri dengan bingung, menyembunyikan wajahnya di balik bahu Yasuko. Yasukomengeluarkan sekuntum anggrek krisan besar dan menyodorkannya

kepada Kiyomori, “Yang Mulia, Tuan Putri, memberikan ini kepada Ruriko, dan Ruriko berharap kaumau memilikinya, Heita. Tulislah puisi tentang bunga ini dan bawalah kepadaku di kediamanNakamikado—beberapa larik indah yang akan merebut hati Ruriko.”

Kiyomori berdiri dengan bingung menyaksikan kereta yang perlahan-lahan menghilang di kejauhan.Jadi, ibunya sekarang merencanakan untuk membalas dendam kepada Tadamori denganmemanfaatkan Ruriko untuk merayunya sehingga berpaling dari ayahnya! Kiyomori mendapati bahwadirinya telah tanpa sengaja meremukkan bunga di tangannya dengan mencabuti seluruh mahkotabunga indah itu. Menggenggam tangkai yang tersisa, Kryomori berjalan kembali ke posnya dipersimpangan jalan.

Dua ekor kuda dan seorang pria menantinya di sana.

Kiyomori merasakan semangatnya anjlok. Mokunosuke, yang telah dengan gelisah menunggunya,tampak resah.

“Di manakah yang lainnya? Apakah mereka sudah pulang?” “Kami sudah menerima perintah untukmenghentikan pencarian malam ini. Bagaimana dengan pencarian Tuan Muda di Gerbang Barat Laut.

“Sia-sia saja. Aku seharusnya tidak usah ke sana. Di manakah ayahku?”

“Mari kjta kembali saja. Silakan, Tuan Muda, naiklah ke kuda Anda.”

Mokunosuke menyaksikan Kiyomori menunggangi kudanya, lalu melakukan hal yang sama dengankudanya sendiri.

“Kembali ke Istana, Tua Bangka?”

“Tidak, pulang ke Imadegawa.”

Kiyomori terkejut. Para pengawal semestinya berkumpul malam ini di Pangkalan Pengawal, tempatayahnya akan berbicara kepada mereka. Tadamori juga akan memberikan laporan kepada Yang Muliadan penasihatnya untuk kemudian menerima instruksi lebih lanjut.

“Mokunosuke, apakah sesuatu terjadi pada ayahku?”

“Saya dengar beliau telah memutuskan untuk mengundurkan diri dari jabatannya di Istana.”

“Benarkah itu? Apakah itu berkaitan dengan kegagalan kami menangkap Morito?”

“Beliau terlalu terhormat untuk membiarkan kritik semacam itu memengaruhinya. Para pejabat istanabersekutu untuk menjatuhkan beliau. Beliau tidak sanggup lagi menghadapi berbagai tuduhan jahatdan tidak adil yang mereka tujukan kepadanya …. Saya tidak sampai hati untuk bertanya lebih banyakkepada beliau.”

“Apakah ini berarti beliau akan mengucilkan diri lagi?”

Kiyomori merasa seolah-olah sedang mengatakan,

“Kemiskinan lagi!” Senjatanya seakan-akan mendadak membebaninya.

Mokunosuk£ menggumam, setengahnya kepada dirinya sendiri, “Oh, mengapa takdir begitu kejamkepada beliau?

Waktu yang salah, dunia yang jahat! … Keberuntungan pasti akan tersenyum kepada beliau suatu harinanti!”

Kiyomori tidak menyadari bahwa suaranya tiba-tiba terdengar jernih dan menantang bagaikan pekikanperang:

“Inilah aku, Tua Bangka! Bukankah kau pernah mengatakan bahwa aku adalah putra langit dan bumi,bahwa di balik tubuhku yang gagah, aku bukan seorang yang cacat? Inilah aku—akulah orangnya!Apalah artinya takdir, sehingga kita harus takluk kepadanya?”

o)ood^woo(o

Bab V – RUMPUT YANG TERINJAK-INJAK

Disambut oleh adik-adiknya, Kiyomori melihat sosok mereka di bawah gerbang yang nyaris ambrukketika dia turun dari kudanya. Tsunemori, yang di punggungnya menggendong Norimori, adik mereka

yang berumur tiga tahun, berseru, “Selamat datang di rumah, Kak! Ayah sudah pulang.”

“Hmm …. Karena kami pergi selama tujuh hari, adik-adikku pasti merindukan kami.”

“Ya, aku kesulitan menenangkan Norimori, yang menangis terus-menerus mencari Ibu,” Tsunemorimulai bercerita, namun langsung terdiam begitu melihat mimik di wajah Kiyomori. “Oh, ya, Ayahingin menemuimu segera setelah kau tiba di rumah.”

“Oh? Baiklah, aku akan menemui beliau kalau begitu.

Tua Bangka, bawa kudaku,” kata Kiyomori. Setelah menyerahkan tali kekang kudanya kepadaMokunosuke, dia melintasi pekarangan menghampiri cahaya yang menyala di bilik ayahnya.

Asap membubung dari tungku-tungku di dapur. Para pelayan, yang telah kembali ke rumah beberapawaktu sebelumnya dan masih menyandang senjata mereka, sedang mempersiapkan makan malamuntuk rumah tangga berukuran besar itu—menanak nasi, membelah-belah kayu bakar, danmemasukkan kentang dan sayuran lainnya dari kebun. Seperti di kebanyakan rumah tangga parasamurai, beberapa orang wanita bekerja di rumah mereka dan kemiskinan menghalangi mereka untukmempekerjakan budak, sehingga majikan dan pelayan bersama-sama

bertani, merawat kuda-kuda, dan menyelesaikan pekerjaan di dapur.

“Ah, jadi kau sudah pulang, Heita! Aku berterima kasih atas kerja kerasmu.”

“Ayah pasti lelah setelah bekerja selama seminggu penuh, dan Ayah pasti merasa lebih lelah karenakita tidak berhasil menangkap Morito.”

“Kita telah melakukan apa pun yang mungkin dilakukan dan tidak ada yang perlu disesali. Moritotidak akan bisa ditangkap dengan mudah.”

“Mungkinkah dia telah membunuh dirinya sendiri, Ayah?”

“Aku meragukannya. Kejahatan yang telah

dilakukannya tidak ringan, dan aku tidak percaya dia bisa merenggut nyawanya sendiri … Dan, Heita,ada sesuatu yang aku ingin kaulakukan.”

“Apakah ini mendesak?”

“Ya, bawalah salah satu kuda kita ke kota dan juallah ia untuk berapa pun harga yang bisakaudapatkan; kemudian, belilah sebanyak mungkin sake dengan uang itu.”

“Salah satu kuda! Apakah Ayah serius?”

“Hmm … Lihatlah seberapa banyak sake yang bisa kaudapatkan.”

“Tetapi, Ayah, tiga hari pun tidak akan cukup untuk kita semua menghabiskan sake itu! Ini terlalumemalukan—aku tidak bisa melakukannya! Apakah yang lebih memalukan bagi seorang samuraidaripada keterpaksaan menjual kudanya?”

“Karena itulah aku menyuruhmu melakukannya.

Pergilah, dan tanggunglah rasa malu itu. Juallah kuda kita dengan harga berapa pun—lebih cepat,lebih baik.”

Kiyomori segera meninggalkan ayahnya dan memasuki istal. Tiga dari tujuh ekor kuda yang ada disana adalah harta mereka yang paling berharga. Dia dengan cermat memeriksa keempat kuda yangtersisa. Sebodoh apa pun binatang-binatang itu, dia menyayangi semuanya!

Bukankah mereka telah menemaninya dan ayahnya dalam operasi berbahaya di wilayah barat duatahun silam, bersama-sama menghadapi kematian? Entah sudah berapa kali Kiyomori mengelus-elusmereka dengan penuh kasih sayang!

Mengetahui bahwa pasar kuda kadang-kadang digelar di dekat pasar, Kiyomori langsung mendatangirumah seorang pedagang kuda yang dikenalnya, menjual kudanya, dan membeli sake. Tiga guci besardinaikkan ke sebuah gerobak, dan Kiyomori membantu si pedagang sake mendorong gerobak tersebutke Imadegawa.

Hidangan makan malam terlambat disajikan, namun malam musim gugur itu cukup panjang untuksebuah pesta yang jarang terlihat di rumah seorang samurai. Setelah mengundang semua pelayan keruangan luas di bangunan utama rumah mereka, Tadamori membuka segel guci-guci sake,memerintahkan agar ikan asin dan acar—yang biasanya disimpan untuk keadaan mendadak—

dihidangkan, dan menyuruh semua pelayan minum.

“Aku tahu bahwa kalian semua lelah setelah melakukan penjagaan selama tujuh hari berturut-turutSesuai dengan hak kalian, seharusnya malam ini kalian sedang berpesta sake di Istana, namunkegagalanku menghalangiku menginjakkan kaki ke bagian dalam gerbang. Aku telah mengundurkandiri dari jabatanku. Izinkanlah aku

memohon maaf kalian dengan cara ini. Pada suatu hari nanti, kesetiaan kalian akan mendapatkanganjaran. Sake ini—yang terbaik yang bisa kuberikan kepada kalian—

adalah tanda terima kasihku kepada kalian, anak-anak buahku. Ayo, minumlah sebanyak yang kalianmampu.

Mari kita minum-minum semalaman, dan menyanyi untuk meneguhkan hati pejuang kita!”

Lilin-lilin berkelipan tertiup angin malam sementara para pelayan menunduk diam. Mereka tahubahwa sake selalu disajikan secara berlimpah ruah ditemani oleh alunan musik pada malam-malamperjamuan di rumah bangsawan, namun kesempatan ketika seorang pelayan bisa mencicipi sakesangatlah jarang terjadi. Malam ini, indra-indra mereka menggeliat berkat aroma sake, dan hatimereka terasa penuh berkat pikiran bahwa Tadamori menghormati mereka.

Dan Tadamori berkata, “Betapa kebun ini sesuai dengan kemiskinan kita—kemewahan liar bunga-bungaan musim gugur! Ayo, minumlah, kalian semua! Penuhi cangkirmu, penuhi cangkirmu!”

Para pria mengangkat cangkir-cangkir sake mereka tinggi-tinggi. Di Istana, Tadamori menyandangreputasi sebagai seorang peminum hebat, dan Kiyomori, mengangkat cangkirnya, berseru:

“Ayah, malam ini aku akan minum setidaknya setengah minumanmu!”

“Bagus, bagus—-yang penting, jauhilah rumah-rumah di Jalan Keenam itu!”

Jawaban Tadamori disambut oleh gelak tawa para pelayan, yang diikutinya dengan keceriaan yangtidak biasa ditunjukkannya. Wajah Kiyomori merah padam.

Bagaimana cerita itu bisa sampai di telinga ayahnya?

Siapakah di antara para pelayan-pelayan ini yang telah memeriksa rumah-rumah bordil di JalanKeenam?

Memprotes tidak ada gunanya, dan untuk mengalihkan perhatian orang-orang dari dirinya, diamemanggil salah seorang pelayan:

“Heiroku, Heiroku, menyanyilah untuk kam’—salah satu balada yang sedang terkenal di ibu kotasekarang ini!”

“Anda saja yang menyanyi, Tuan Muda, salah satu lagu yang sering dinyanyikan di Jalan Keenam!”

“Hentikan lelucon seperti itu!”

Sebuah suara dari ujung ruangan mulai melantunkan sebuah lagu balada populer; seorang demiseorang, para pria di ruangan itu mengikutinya; mereka bertepuk tangan pada waktu yang tepat;seseorang menggebuk-gebuk sebuah guci sake untuk mengiringi nyanyian. Sebagian orang berdiri danmenari-nari, sebagian lagi menyanyikan lagu-lagu yang lain. Mereka menyanyi dengan gaduh sambilminum-minum, dan di tengah suasana yang semakin ribut, beberapa orang mulai meracau:

“Berulang kali, para pejabat istana itu bersekongkol untuk melawan majikan kita, dan sekarangmereka berusaha menghancurkan ikatan antara beliau dengan Yang Mulia dengan mengatakan bahwabeliau gagal menangkap Morito!”

“Apa? Tolol! Apakah mereka berhasil? Bukankah majikan kita telah mengundurkan diri darijabatannya?”

“Mengapa majikan kita harus disalahkan? Mengapa beliau semuda itu mengundurkan diri? … Iniberlebihan!

Para bangsawan itu—darahku rasanya mendidih jika aku memikirkan mereka! Apa pendapat YangMulia tentang semua ini?”

“Jika Yang Mulia memang memercayai dan mencintai majikan kita, mengapa beliau tidakmenghentikan rencana dan persekongkolan ini? Tidak bisakah beliau melihat bahwa kedengkian parapejabat istana telah membunuh majikan kita secara perlahan-lahan?”

“Ya, meskipun memegang tampuk kekuasaan, Yang Mulia tidak berdaya dalam menghadapi parapejabat istana yang ada di sekelilingnya, dan majikan kita menolak untuk membiarkan Yang Muliaterusik karena beliau.”

“Mereka mengetahui kelemahan majikan kita, para bangsawan itu!”

“Bukankah majikan kita sendiri mengakui bahwa meskipun kedudukan beliau sejajar dengan parabangsawan itu, namun mereka membencinya karena beliau adalah seorang samurai?”

“Kalau begitu, mengapa Yang Mulia mendiamkannya?

Aku akan menanyakan sendiri tentang hal ini kepada Yang Mulia! Aku akan menjeritkan pertanyaanini di Istana hingga telinga Yang Mulia mendengarnya!”

“Dasar orang-orang sinting! Dungu!”

Para pelayan terdiam namun terus menggeleng-geleng dengan marah. Berpura-pura tidak mendengarmereka, Kiyomori mengamati mereka, dan akhirnya bangkit untuk bergabung bersama mereka.Mengulurkan kedua tangannya, dia merangkul kepala dua orang yang ada di kedua sisinya.

“Mari—kalian para pejuang—mengapa berkeluh kesah seperti ini? Apakah otak kalian lebih kecildaripada otak katak atau ular? Waktu kita belum tiba. Apakah kalian tidak punya kesabaran?Bukankah kita masih ‘rumput yang

terinjak-injak’? Belum tiba waktu bagi kita untuk mendongakkan kepala. Haruskah kalian selalumengeluh?”

Aroma menyengat tubuh-tubuh yang kegerahan dan uap sake memenuhi lubang hidung Kiyomoriketika dia memeluk kedua pelayan itu erat-erat. Dia merasakan air mata getir menetes ke lututnya.Seperti seekor induk burung yang menyembunyikan anak-anaknya di bawah sayapnya, Kiyomorimerasakan kebanggaannya membuncah ketika dia memeluk para pelayannya dan, meminta tambahansake, menenggak habis isi cangkirnya dalam satu tegukan.

^d0w^

Binatang yang telah lama terkurung akan langsung kembali bersikap liar begitu dilepaskan di padangrumput yang luas. Watak barbar yang tersimpan di dalam diri setiap orang akan keluar lebih cepat,dan itulah yang terjadi pada Morito, yang sepertinya telah berubah menjadi manusia liar hanya dalamsemalam.

“Haruskah aku melanjutkan kehidupanku? Apakah aku lebih baik mati saja? Apakah yang akankulakukan kepada diriku ini? Mereka masih mengejarku—tidak memberiku waktu untuk berpikir …Aku harus beristirahat, namun mereka terus memburuku. Aku berhenti untuk menarik napas, danmereka masih—” “Aku—aku—aku,” dia mengulang-ulang kepada dirinya sendiri, tidak menyadaribahwa diri yang yang dimaksudnya telah tiada.

Malam itu, ketika dia melarikan diri dari jalan Iris dan secara misterius mengelabui para pengejarnya,Morito tidak bisa mengingat ke mana kakinya membawanya. Dia tertidur di alam terbuka,menyembunyikan diri di dalam rongga pepohonan, dan menyantap apa pun yang bisa ditemukannya ditengah pelariannya. Pakaiannya telah robek di sana-sini, kakinya yang telanjang berlumuran

darah dan lumpur, dan matanya berkilat nyalang bagaikan mata seekor binatang buas.

Ini adalah sosok seorang pria terpelajar, Morito yang pintar, yang pernah menjadi tambatan harapansemua orang. Siapakah yang bisa melihat Morito yang pandai dan tinggi hati di dalam sosok ini?Siapakah yang bisa memercayai bahwa pria ini biasa memandang teman-temannya dengan tatapanmeremehkan? Tetapi, sosok itu masih bernapas, berjalan, dan bergerak. Dia yang bernyawa masih adadi dunia.

Telinganya bisa membedakan setiap kicauan burung sekarang, dan gerakan mendadak kelinci dan rusatidak lagi mengejutkannya. Dia merasa dirinya menyatu dengan burung-burung dan binatang-binatangdi tengah kesunyian alam liar. Tetapi, bunyi-bunyian sesamar apa pun yang menandakan keberadaanpara pengejarnya mampu membuat seluruh rambut di tubuhnya berdiri. Mereka ada di sana—menyusulnya! Mempererat pegangannya pada benda bulat yang dibawanya, Morito akan berdiriterpaku selama sesaat, memandang nyalang ke sana dan kemari dengan mata merahnya.

Dia telah merobek salah satu lengan kimono luarnya untuk membungkus benda yang dipeluknya erat-erat. Itu adalah kepala Kesa-Gozen. Morito tidak pernah meletakkannya sejenak pun sejak malam itu.Darah telah terserap di kain pembungkusnya dan mengeras hingga, tercampur dengan embun dantanah, tampak seperti lapisan vernis gelap. Telah lebih dari dua minggu berlalu sejak Moritomelarikan diri, dan kepala itu telah menguarkan bau busuk ke mana-mana. Tetapi, dia tetapmemeluknya sepanjang siang dan malam, dan ketika dirinya jatuh tertidur, dia seolah-olah melihatKesa-Gozen hidup kembali.

Tidak ada yang berubah dalam diri Kesa-Gozen. Morito bisa mendengar gemerisik kimononya ketikawanita itu menghampirinya dan berbisik kepadanya. Morito menghirup aroma tubuhnya, merasakankehangatannya ketika Kesa-Gozen mencondongkan tubuh ke arahnya.

Laba-laba yang telah memintal sawang di sekeliling jamur-jamur pucat yang telah tumbuh di seluruhkepala Kesa-Gozen tampak tidak senyata khayalan-khayalan yang menghampiri Morito di bataskesadarannya.

Sekali lagi, mereka masih bocah, berlarian ke sana kemari bagaikan kupu-kupu di antara petak-petakbunga di taman Istana. Kemudian, Morito melihat dirinya sebagai pemuda mengenaskan, dimabukcinta hingga menjadi gila—hingga mati. Dan, di dalam mimpinya, dia mengerang, “Oh Kesa-Gozen,mengapa kau tidak mau menatapku? Tidak ada yang bisa membebaskanku dari siksaan ini selaindirimu, oh wanita berhati batu! Mengapa kau menikah dengan Wataru? Kasihanilah aku! Berikanlahaku semalam saja di sampingmu. Izinkanlah aku sekali saja mereguk cinta terlarang ini, kemudianbiarkanlah dosa ini, yang lebih berat daripada seluruh Sepuluh Dosa, melemparkanku ke tempatterdalam dan terpanas di neraka, karena siksaan apakah yang lebih berat daripada siksaan yang sedangkujalani sekarang ini?”

Dan, di dalam tidurnya yang gelisah, Morito melihat mata Kesa-Gozen yang terpejam dan menciumbibirnya. Di antara lipatan-lipatan kimono Kesa-Gozen, Morito melihat kulitnya yang pucat danlekukan payudaranya yang telanjang, namun ketika Morito mengulurkan tangan untuk memeluknya,Kesa-Gozen lenyap begitu saja, dan mimpi itu memudar, meninggalkan dahaga gairah yang menyiksa.

Terjaga kembali, Morito akan menangis terisak-isak hingga

segala sesuatu di alam pada tengah malam buta itu seolah-oiah berduka bersamanya.

Hari masih gelap ketika Morito, yang letih akibat menangis dan semalaman bermimpi buruk, terjaga.Dia bangkit berjalan terhuyung-huyung dan tersandung-sandung dalam kegelapan, tanpa mengetahuidi mana dirinya berada, ketika seluruh indranya sontak tergelitik menanggapi sebuah sensasi baru.Gelombang es seolah-olah menerpa otaknya, dan gemuruh gaduh memenuhi telinganya, bergema danterus bergema di dalam kepalanya.

Jeram Naratuki—di jalan menuju Takao yang dipagari pepohonan mapel!

Fajar telah datang, dan bulan pucat menggantung di langit. Morito memandang ke sekelilingnya,memuaskan penglihatannya dengan warna merah dedaunan mapel di seluruh sisi bukit. Baru kaliinilah dia melihat cahaya pagi sejernih ini. Akal sehatnya telah kembali. Kemudian, rangkaianperistiwa pada malam 14 September itu kembali diingatnya dengan jelas, seolah-olah dia kembaliberada di tempat kejadian. Gemuruh Jeram Naratuki dan gemericik air mendadak terdengar bagaikanratapan memilukan seorang ibu yang putus asa—pekikan kebencian Wataru, tawa menghina teman-temannya sesama pengawal, dan tangisan marah masyarakat.

Menghadapi jeram itu, Morito menjerit seolah-olah untuk menjawab, “Biarkan aku mati! … Aku tidakbisa menghadapi dunia ini hidup-hidup!”

Dengan tubuh gemetar, dia berpegangan ke sebongkah batu besar dan menunduk menatap arus deras dibawahnya, dan tiba-tiba dilihatnya sekelompok penebang kayu muncul di seberang sungai, melompatibatu demi batu dan

mendekat ke arahnya. Secepat kilat, Morito membalikkan badan dan berlari, dengan sigap mendakibukit Setibanya di puncak bukit, dia meletakkan buntalan yang dibawanya ke tanah, lalu jatuh berlututbernapas tersengal-sengal. Keringat membasahi seluruh tubuhnya, dan dia meraba dadanya yangberbulu, terengah-engah.

Dia harus mati, sekarang juga setelah dia tersadar kembali, pikirnya.

“Maafkan aku, Cintaku,” dia menangis, mengangkat kedua tangannya untuk berdoa. Satu per satu, diamembisikkan nama orang-orang yang dikenalnya, memohon ampunan mereka, lalu membukabuntalan berisi kepala Kesa-Gozen.

“Sekarang, lihatlah Morito, yang akan menebus dosa ini dengan nyawanya sendiri,” bisiknya.“Lihatlah dunia sekali lagi, karena aku pun akan segera melebur menjadi debu.”

Dengan perasaan tumpul, dipandangnya kepala Kesa-Gozen. Rambutnya lengket oleh darah hinggamenempel bagaikan lapisan kaku di pipi dan keningnya.

“Ah, Cintaku, benarkan ini dirimu?”

Kepala itu menyerupai bongkahan besar lempung. Di bawah langit yang mulai terang, Morito melihatbahwa daging di kepala itu telah mengerut di bawah jalinan rambut lengket; tulang-tulangnyabertonjolan di sana-sini, dan kulitnya bertotol-totol. Telinganya berkerut merut dan menyerupai remiskering; matanya seolah-olah terukir dari lilin biru yang bernoda putih. Tiada lagi wajah yang pernahdikaguminya.

Dan Morito pun berdoa, “Dai-nichi Nyorai, Dai-nichi Nyorai!” (“Yang Maha Penerang!”)

Dari topeng kematian di hadapannya, tatapannya berpindah ke langit. Di hadapannya, matahari terbitbagaikan bola api. Atap-atap bangunan di ibu kota.

Perbukitan Timur, dan puncak-puncak pagoda yang berselimut kabur, dan yang bisa dilihatnyahanyalah lingkaran cahaya terang benderang raksasa. Kemudian, mendadak dia teringat

0dw0

Pertapaan itu—atau lebih tepat disebut sebagai pondok sederhana, tempat yang sering kali ditinggalioleh Kepala Biara Kakuyu—berdiri di salah satu kantong Perbukitan Togano-o, di jalan menujuTakao, tepat di tempat Jeram Narutaki bertemu dengan Jeram Kiyotaki. Meskipun berkedudukansebagai kepala biara di Kuil Togano-o, Kakuyu lebih sering menghabiskan waktu di Toba. Dan parapenduduk di wilayah itu sudah terbiasa menyebutnya Kepala Biara Toba—Toba Sojo. Dia pernahmenjadi kepala biara di Kuil Enryakuji di Gunung Hiei, namun pada masa ini, ketika para biksumengangkat senjata dan melakukan pembakaran dan penjarahan, Toba Sojo sering terdengarmengatakan bahwa dirinya tidak pantas menjadi seorang biksu, karena dia tidak punya nyali untukbertempur.

Kehidupan sang kepala biara sendiri tidak bisa dikatakan wajar. Alih-alih tinggal bersama para biksuyang mengabdi kepadanya di pondok, seorang prajurit muda dan tiga orang pelayan bekerja untuknya,dan kepada orang-orang penasaran yang dengan terkejut menanyainya tentang apakah penghunipondok itu seorang pendeta atau rakyat biasa, Kakuyu dengan rendah hati menjelaskan bahwa merekabukan pelayannya melainkan pelayan seorang pejabat tinggi dari Kyoto yang sedang mengunjunginya.

Sekarang berusia tujuh puluhan, sang kepala biara adalah salah seorang dari banyak anak laki-lakiseorang

pejabat istana yang L berkarier cemerlang, yang pada masa kejayaannya dikenal sebagai K penulissebuah kronik.

Kakuyu, meskipun mewarisi kekayaan r yang cukup besar, memasuki biara dalam usia yang cukupmuda, namun segera mendapati bahwa kehidupan biara kurang sesuai dengan minatnya. Seiring waktu—untuk mengabaikan tugas-tugas kependetaannya—dia mulai menekuni kegemarannya melukis.Gulungan demi gulungan lukisan telah dihasilkan oleh kuasnya, kental oleh sindiran dan ledekan.Tidak pernah ada lukisan yang menyerupai karyanya, karena di matanya, yang selalu mengkritisisetiap pemandangan merisaukan yang terjadi di hadapannya, dia melihat manusia dalam wujudbinatang—monyet dan kelinci yang saling mengejar; musang berjubah pendeta; kodok bermahkota—dan kuasnya menggambarkan kejahatan para pemuka agama, kemewahan berlebihan para bangsawan,kepercayaan mereka pada takhayul, perjuangan untuk berebut kekuasaan, dan segala macamkedunguan dan kejahatan manusia lainnya.

Toba Sojo sedang sibuk melukis pada suatu hari, ketika pelayannya mengabarkan tentang kedatanganseorang tamu kepadanya. Setelah menyingkirkan kuas dan tintanya, dia membalikkan badan danmenerima tamunya, seorang pengawal muda dari Istana Kloister, Sato Yoshikiyo.

“Saya iri kepada Anda karena kehidupan Anda, Yang Terhormat Setiap kali saya datang untukmengunjungi Anda, saya yakin bahwa manusia semestinya menghabiskan kehidupannya menyatudengan alam.”

“Mengapa iri kepadaku?” jawab Toba Sojo. “Aku tidak mengerti mengapa kau tidak memilih sendirikehidupan yang paling kauhendaki.”

“Tidak, Yang Terhormat, saya sedang berada di tengah perjalanan menuju Kuil Ninna-ji untuk

menyelesaikan urusan yang berkaitan dengan ziarah kekaisaran.”

“Ya? Sungguh luar biasa bahwa Yang Mulia tidak pernah bosan dengan pacuan kuda. Aku tidak akanterkejut jika manusia berubah menjadi sekawanan kejahatan yang saling berpacu, dan para pengawalmenjadi sekawanan kuda liar, beringas dan ganas. Pikiran yang sangat mengerikan!”

Toba Sojo tiba-tiba menoleh ke arah sebuah ruangan di bagian belakang pondok. “Nak, apa buahkesemek yang kuminta sudah siap? Sajikanlah buah-buahan untuk tamu kita ini.”

Tidak ada jawaban, namun gumaman samar-samar terdengar di bagian belakang pondok. Kemudian,seorang pemuda muncul dari balik sudut pondok dan menghampiri beranda. Beberapa orang penebangkayu yang tinggal di dekat situ, katanya, telah datang dengan ketakutan untuk melaporkan bahwa sejakpagi itu, mereka melihat seorang pria aneh berpenampilan liar yang berkeliaran dengan kaki telanjangdi wilayah bukit; salah satu lengan kimononya hilang. Mereka telah secara diam-diam mengawasigerakannya, membuntutinya, dan melihatnya menghilang di tengah kerimbunan hutan di antaraperbukitan, tempatnya mengubur sebuah buntalan besar yang sebelumnya dipuja-pujanya. Ketikamelihat para penebang kayu itu mendekat, dia melesat bagaikan seekor burung ke kedalaman hutanTakao.

“Apa lagi itu?” seru sang kepala biara. “Mengapa menyusahkan diri dengan masalah sepele sepertiitu? Apa kau berpikir untuk mengejar pria itu?”

“Tidak—tentunya tidak, namun para penebang kayu itu bersemangat sekali untuk menangkapnya.Mereka menduganya sebagai anggota komplotan bajing loncat.”

“Biarkan saja dia, biarkan saja. Ini adalah masa yang berat, dan seorang perampok sekalipun harushidup. Dia akan mendapatkan makanan jika dijebloskan ke penjara, tapi bagaimana dengan istri dananak-anaknya? Bukan begitu, Yoshikiyo?”

Yoshikiyo tampak takjub mendengar cara berpikir itu, dan dia memandang perbukitan Takao yangberselimut awan dengan ekspresi bingung. Dia hendak menjawab, namun mengurungkan niatnya. Diameminta maaf karena telah terlalu lama mengganggu sang kepala biara dan cepat-cepat meninggalkanpondok.

Sebutir buah kesemek merah keemasan yang diabaikan oleh burung-burung menggantung di bawahlangit musim gugur, dan gebukan kapak para penebang kayu menggema dingin di antara gumpalan-gumpalan awan di puncak bukit.

0ooo-dw-ooo0

Bab VI - BOCAH LELAKI YANG

MEMBAWA AYAM SABUNGAN

Embun beku telah berjatuhan, dan pekikan burung-burung kembali terdengar. Bunga-bunga krisanputih dan kuning yang tumbuh subur di pinggir jalan mulai mengering. Kemuraman mulaimenggantung di udara.

“… Aneh. Wajarkah jika seorang bangsawan mau hidup di pinggir kota, di tengah gubuk-gubuk yangdihuni oleh rakyat jelata?”

Hari di bulan Oktober itu cerah, sehangat musim semi, dan Kiyomori sedang berkeliaran di sekitarJalan keenam membawa sepucuk surat yang ditujukan oleh ayahnya kepada seorang pejabatpemerintah, Fujiwara Tokinobu.

Ayahnya telah mengirimnya ke Gudang Pangan Pusat, tempat Tokinobu bekerja. Setibanya Kiyomoridi sana, seorang pegawai memberitahunya bahwa orang yang dicarinya telah pergi sesaat sebelumnyake Departemen Pendidikan untuk memeriksa beberapa catatan lama.

Setelah mendapatkan saran untuk mencarinya di perpustakaan, Kiyomori sekali lagi berjalan kaki,berangkat ke Departemen Pendidikan yang berjarak hanya beberapa langkah dari Akademi Kekaisarandan Gudang Pangan Pusat Bagaimanapun, sesampainya di Departemen Pendidikan, dia diberi tahubahwa orang yang dicarinya sudah pulang, namun pegawai yang ditanyainya bersedia memberikanalamat Tokinobu di Jalan keenam kepadanya, sehingga Kiyomori pun langsung mengarahkanlangkahnya ke sana.

Kiyomori heran melihat jalan becek dan kejorokan lingkungan tempatnya berada. Dia tidak melihatsatu pun bangunan yang menyerupai kediaman seorang bangsawan.

Tidak ada gerbang besar atau bangunan mewah, perpaduan harmonis antara arsitektur bergaya Tangdan tradisional yang biasa terlihat di bagian utama ibu kota dan selama berabad-abad telah dihuni olehpara pejabat negara, istana-istana bangsawan, dan rumah-rumah mewah yang dihuni oleh keluarga-keluarga terkenal. Wilayah di pinggiran ibu kota ini dan pemukiman di sisi jalan raya tidak lebih daritanah terbuka dengan gubuk-gubuk yang berdiri di sana-sini, tempat para tukang sol, tukang besi,tukang kertas, tukang samak kulit, dan tukang celup mencari penghidupan. Hujan akhir musim gugurmendatangkan banjir yang menggenangi jalanan, dan bocah-bocah kecil

memasang perangkap untuk burung berkik atau memancing ikan karper yang terjebak di antarasampah-sampah yang menggunung di jalan.

Kiyomori berhenti untuk mengamati keadaan di sekelilingnya, memikirkan apakah dia harus bertanya,ketika dilihatnya sekelompok orang mengerumuni sesuatu dengan penuh semangat.

Kotekan ribut terdengar—arena sabung ayam! Sebelum menyadari tindakannya, Kiyomori telahmendapati dirinya menjadi bagian dari kerumunan tersebut. Dari beranda sebuah rumah yang ada didekat situ, yang rupanya dihuni oleh seorang pawang ayam sabungan, istri si pelatih, seorang wanita

tua, dan beberapa orang bocah menjulurkan leher untuk melihat apa yang terjadi. Beberapa orangpejalan kaki dipaksa untuk menjadi penonton oleh si pelatih yang berwajah kaku, yang dikawal olehasistennya, yang berdiri di belakangnya sambil membawa sebuah keranjang berisi ayam jagoandalannya. Seorang remaja lelaki telah menantang si pawang, yang berkoar-koar dengan nyaringuntuk mengumumkan jumlah taruhan.

“Uang logam—aku hanya menerima uang logam!

Taruhan kecil tidak akan cukup untuk mengobati luka-luka ayamku! Aku akan bertarung habis-habisan untuk uang kalian. Nak, apa kau membawa uang?”

“Ya—aku sudah mempersiapkan uang,” jawab bocah itu, yang sepertinya baru berusia empat belasatau lima belas tahun. Tubuhnya kecil, namun tatapan garang yang diberikannya kepada si pawangtampak serasi dengan penampilan ganas ayam sabungan yang dikempitnya; lesung pipit terlihat ketikadia tersenyum, meskipun matanya tetap menatap dengan tajam. “Berapa banyak?

Berapa yang akan kaupertaruhkan?”

“Bagus! Bagaimana dengan ini?” si pawang menawarkan, meletakkan sejumlah uang logam ke dalamsebuah keranjang kecil, dan si bocah mengikutinya, meletakkan uang logam dengan jumlah yangsama.

“Siap?” Masih mengempit erat-erat ayam jago yang meronta-ronta di bawah lengannya, bocah ituberjongkok, mengukur jarak di antara dirinya dan ayam sabungan lawannya.

“Tunggu, tunggu! Beberapa orang masih ingin memasang taruhan. Sabarlah sedikit, Nak.” Si pawangmenoleh kepada para penonton dan mengamati mereka seorang demi seorang, menantang merekadengan nada setengah bergurau, “Ayolah, tidak ada serunya jika kalian hanya menonton. Bagaimanadengan sedikit taruhan—

sedikit saja?”

Gemerincing uang logam segera terdengar. Tepat ketika itulah seorang wasit dan bandar muncul. Adacukup banyak orang yang bertaruh untuk ayam si pawang, namun hanya beberapa orang saja yangbersedia mengambil risiko untuk ayam si bocah.

“Ini, aku akan membayar sisa taruhan untuk bocah itu!”

seru Kiyomori, yang terkejut mendengar suaranya sendiri.

Dia mengeluarkan sejumlah uang. Cukup sudah.

“Siap?” si wasit meneriakkan aba-aba. Mata semua penonton langsung tertuju pada arena suram yangada di hadapan mereka.

“Nak, siapa nama ayam jagomu?”

“Singa, Pawang. Siapa nama ayam jagomu?”

“Kau tidak tahu? Permata Hitam—mari kita mulai!”

“Tunggu! Wasitlah yang seharusnya memberi aba-aba.”

“Kurang ajar, kau sepertinya sudah berpengalaman!”

Kedua ayam jago itu saling berhadapan dengan leher terjulur. Si wasit memberi aba-aba, dankeduanya langung saling menubruk Kerikil-kerikil kecil dan bulu-bulu yang bernoda darah bertebaranke segala penjuru. Pertarungan telah dimulai.

Seorang pria tua justru mengamati wajah-wajah penonton sabung ayam itu dengan puas, mengabaikanpertarungan yang berlangsung di hadapannya. Dia mengenakan jubah pendeta dan sandal jerami;seorang pelayan muda menemani pendeta itu, yang berdiri menopangkan dagu ke kepala tongkatnya.

“… Ah, Kepala biara Toba!” Kiyomori cemas karena sabung ayam adalah pelanggaran hukum danKepala biara juga melarang judi jalanan; jangan sampai dirinya terlihat oleh sang kepala biara, karenapria itu sering berkunjung ke Istana. Tetapi Kiyomori, yang mengkhawatirkan uangnya, enggan pergidari sana dan lebih memilih untuk bersembunyi di balik tubuh seorang pria yang ada di dekatnya.

Teriakan wasit terdengar nyaring. Pertarungan itu telah usai. Meraup uang kemenangannya danmemeluk erat-erat ayam jagonya, si bocah berlari melewati Kiyomori dan menghilang begitu saja.

Kiyomori sedang hendak melenggang pergi dengan sikap lugu ketika seseorang mendadakmenghentikannya. “Anak muda—Heike Kiyomori—ke manakah kau hendak pergi?”

“Ah—Yang Terhormat!”

Suara sang kepala biara tidak mencerminkan keberatan apa pun. “Bukankah ini sangat menyenangkan?Aku juga

yakin bahwa bocah itu akan menang, dan dia benar-benar menang.”

Kelegaan yang luar biasa mendatangkan kembali keberanian Kiyomori. Dia berkata, “YangTerhormat, apakah Anda bertaruh untuk bocah itu?”

Sang kepala biara tertawa terbahak-bahak. “Tidak, aku miskin dalam urusan semacam itu.”

“Tapi, tebakan Anda benar, bukan?”

“Tidak, aku tidak pandai menilai ayam sabungan. Ayam milik si pawang sudah tua sepertiku; ayam sibocah masih muda sepertimu. Tidak diragukan lagi yang mana yang akan menang, tapikemenanganmu dibabat dengan curang oleh s’—bandar, sepertinya itu sebutan yang biasa dipakai olehorang-orang untuknya.”

“Yang Terhormatlah penyebabnya. Seandainya Anda tidak ada di sini, saya akan mendebat orang ituhabis-habisan.”

“Tidak, tidak, itu adalah sebuah kesalahan. Kau akan tetap kalah; tidakkah kau melihat bahwa sibandar adalah kaki tangan si pawang? Tidak, mungkin lebih baik jika kau tidak mengerti apa yang

terjadi. Dan omong-omong, bagaimana kabar ayahmu? Kudengar dia telah mengundurkan diri darijabatannya dan sekarang sedang menyepi.”

“Benar, Yang Terhormat. Beliau baik-baik saja. Beliau tidak suka terlibat dalam masalah Istana.”

“Aku cukup memahami perasaannya. Sampaikanlah pesanku kepadanya untuk menjaga baik-baikkesehatannya.”

“Terima kasih,” jawab Kiyomori, bersiap-siap pergi.

“Oh, Yang Terhormat, tahukah Anda apakah Tokinobu dari Gudang Pangan Pusat tinggal dilingkungan ini?”

“Maksudmu Tokinobu yang dahulu bertugas di Departemen Angkatan Bersenjata, Nak?” kata sangkepala biara, menoleh kepada pelayannya, “apa kau tahu?” Si pelayan mengiyakan dan memberi tahuKiyomori untuk menyusuri kanal di sepanjang Jalan Keenam menuju sebuah tempat pemujaan tuauntuk Dewa Kesehatan.

Kediaman Tokinobu ada di seberang rumpun bambu di kompleks tempat pemujaan tersebut katanya,dengan suka rela menambahkan berbagai macam detail—bahwa Tokinobu, karena kedekatannyadengan klan Heike, tidak saja dianggap aneh tetapi juga berkedudukan lemah; selain itu, dia jugaseorang yang terpelajar sehingga dianggap lembek—yang tentunya menjadikannya tidak cocok untukditempatkan di Departemen Angkatan Bersenjata. Bahkan di Gudang Pangan Pusat pun dia masihdianggap eksentrik.

Kediamannya, Kiyomori menyimpulkan, pasti akan menunjukkan sesuatu yang mengejutkan.

“Hmm—” gumam sang kepala biara, “seperti ayahmu saja, kurasa. Jadi, ternyata ada bangsawan yangmirip dengan ayahmu. Anak muda, katakan kepada ayahmu bahwa perbukitan Togano-o sekarang initerlalu dingin untukku, sehingga aku akan menghabiskan musim dingin di pertapaanku di Toba,tempatku akan menekuni kegemaranku melukis. Katakanlah kepadanya untuk mengunjungikusesekali.” Setelah mengatakan itu, sang kepala biara membalikkan badan dan meninggalkanKiyomori.

Kiyomori berjalan melewati rumpun bambu di dekat tempat pemujaan hingga mendapati dirinyaberada di bagian luar sebuah pagar anyaman ranting yang rupanya

menutupi seluruh blok. Kiyomori kaget ketika melihat bahwa gerbang rumah itu jauh lebih reyotdaripada gerbang rumahnya sendiri. Dia nyaris takut berteriak untuk meminta izin masuk karena tidakingin gerbang itu ambruk gara-gara dirinya, namun ternyata itu memang tidak perlu dilakukannyakarena dia melihat sebuah lubang yang cukup besar untuk dirangkakinya. Dia memutuskan,bagaimanapun, untuk mengumumkan kedatangannya dengan cara biasa, yaitu meneriakkan sapaanbeberapa kali.

Sejenak kemudian, dia mendengar langkah kaki. Pintu gerbang berderit nyaring seolah-olah seseorangmembukanya dengan penuh kesulitan, dan wajah seorang bocah lelaki tiba-tiba terlihat

“Oh? …” Bocah itu memandang Kiyomori dengan mata membulat

Senyum ramah merekah di wajah Kiyomori ketika dia mengenali bocah itu. Mereka baru sajabertemu. Tetapi, bocah itu langsung meninggalkannya di tempatnya berdiri, berlari begitu saja, danmenghilang dari penglihatan Kiyomori.

=odwo=

Sebuah mata air yang bergemericik di dalam kompleks tempat pemujaan untuk Dewa Kesehatanmengalir di sepanjang hamparan batu buatan di bagian dalam pagar dan melintasi pekarangan.Bagaikan seutas pita sutra, aliran sungai kecil itu berkelok-kelok di sepanjang taman, melewati bagiansayap timur kediaman Tokinobu, melingkari rumpun pepohonan dan menembus rumpun bambu,hingga menghilang ke sisi luar pagar. Kediaman Tokinobu sepertinya dahulu pernah digunakansebagai rumah peristirahatan kekaisaran dan tak kalah indahnya dari keadaan di sekelilingnya. Tetapi,bangunan utama dan sayap-sayapnya tampak bobrok bahkan jika berada di

wilayah luar ibu kota. Kendati begitu, tamannya terawat dengan cermat sehingga memancarkanseluruh keanggunan masa lalunya dan sepertinya mencerminkan budi pekerti pemiliknya saat ini.Setiap jengkal taman tersebut tampak rapi dan tersapu bersih.

Karena tidak melihat seorang budak pun, Kiyomori mengintip melalui lubang dan melihat dua oranggadis muda sedang mencuci baju di bagian sungai yang terletak di ujung bawah taman. Lenganpanjang kimono mereka terayun-ayun ke depan dan belakang, dan ujung lapisan luar kimono merekatergulung, memamerkan pergelangan kaki yang putih. Kiyomori yakin bahwa mereka adalah putrisang pemilik rumah, dan dia tiba-tiba mensyukuri tugas yang membawanya kemari.

Jika kedua gadis itu kakak beradik, maka bocah lelaki yang dilihatnya tadi tentunya juga saudaramereka. Rambut gadis yang lebih kecil masih disanggul dengan gaya kanak-kanak; Kiyomoripenasaran ingin mengatahui umur kakaknya.

Mereka sedang mewarnai benang yang akan ditenun. Di dekat mereka terdapat bejana berisi pewarnakain dan helaian-helaian benang sutra panjang yang terentang di antara tangkan rumah dan sebatangpohon mapel berdaun merah. Kiyomori tidak yakin bagaimana harus menyapa mereka, dan diakhawatir akan mengejutkan mereka, namun gadis yang lebih kecil tiba-tiba mendongak danmelihatnya. Dia membisikkan sesuatu kepada kakaknya; keduanya langsung berdiri, meninggalkanpekerjaan mereka begitu saja, dan berlari menuju salah satu sayap rumah.

Meskipun ditinggal seorang diri bersama unggas-unggas yang sedang berenang-renang di kali,Kiyomori tidak keberatan. Dia memutuskan bahwa sekaranglah saat yang

tepat baginya untuk membasuh tangannya di sungai dan meluruskan topi di kepalanya.

“Wah, Kiyomori, bagaimana kabarmu? Silakan masuk, silakan masuk,” sapa sebuah suara yangpernah berulang kali didengar oleh Kiyomori di rumahnya sendiri. Kiyomori membungkuk dalam-dalam ke arah sebuah galeri tempat suara itu berasal.

Setelah Tokinobu mempersilakannya memasuki ruangan yang longgar dan luar biasa bersih itu,Kiyomori langsung menyerahkan surat dari ayahnya.

“Ah, terima kasih,” kata Tokinobu, menerimanya dengan kesan telah mengetahui isi surat itu.

“Bukankah ini pertama kalinya kau mengunjungi rumahku?”

Kiyomori menjawab basa-basi singkat Tokinobu dengan sensasi seperti menghadapi para pemeriksa diakademi.

Bukan sikap sok tahu Tokinobu melainkan rasa penasarannya terhadap putri pria itulah yang membuatKiyomori tegang. Kiyomori tidak menyukai janggut panjang dan hidung bengkok Tokinobu, namunpikirannya sedang melayang ke tempat lain, sibuk dengan khayalannya sendiri. Dia segera menyadaribahwa dirinya mendapatkan sambutan yang lebih baik daripada yang semestinya diterima olehseorang kurir. Sake disajikan dan berbaki-baki makanan terhidang di hadapannya. Walaupun sikapnyabelum terpoles, kesadaran Kiyomori bisa tergerak dalam sekejap bagaikan senar harpa. Dia tidakmengetahui apa yang ada di dalam pikiran ayahnya akhir-akhir ini ataupun apa yang sedang dipikirkanoleh Tokinobu pada saat ini.

Kiyomori, yang pada awalnya tampak menjaga jarak, bukan karena dia merasa perlu berhati-hatimelainkan karena sudah menjadi sifatnya untuk tidak terlalu cepat memberikan penilaian,mendudukkan diri dengan nyaman di atas bantal, memutuskan untuk menyingkirkan seluruh

keraguannya. Dia akan minum banyak-banyak, memberikan kesempatan kepada sang tuan rumahuntuk mengamati tamu mudanya, sementara dia sendiri akan mengamati apakah putri sang tuan rumahcantik atau tidak.

Gadis itu masuk beberapa kali, lalu keluar lagi dengan gaya menggoda; akhirnya, dia masuk danduduk di samping ayahnya. Dia sudah dewasa dan, meskipun tidak cantik, berkulit mulus danberwajah oval; Kiyomori juga lega ketika melihat bahwa hidungnya tidak bengkok seperti hidungayahnya. Jelas terlihat bahwa dia adalah putri kesayangan ayahnya.

“Ini Tokiko, yang tertua dari dua orang putriku yang kaulihat di taman,” kata Tokinobu,memperkenalkan putrinya. “Eh?—adiknya, Shigeko, masih kanak-kanak, dan aku ragu apakah dia maumasuk meskipun aku memanggilnya kemari.” Kendati tersenyum dengan tulus, keletihan dankeuzuran terpancar dari mata Tokinobu, yang berkaca-kaca karena efek sake. Dia mengenang ibuTokiko yang telah meninggal dunia dan menyebabkan dirinya, seperti Tadamori, harus membesarkananak-anaknya seorang diri. Akibat sake yang melemaskan lidahnya, Tokinobu mengakui denganberurai air mata bahwa dia tidak sanggup menghadapi dunia dan telah gagal memberikan keceriaanyang layak kepada anak-anak gadisnya. Seraya melirik Tokiko, dia menambahkan, “Dia berumursembilan belas tahun, hampir dua puluh, dan dia tetap tidak bisa mengucapkan apa-apa di hadapantamu-tamuku.”

Sembilan belas! Kiyomori kecewa. Dia sudah tua!

Tetapi, dia berpikir bahwa bukan salah Tokikolah jika dia belum menikah, karena ayahnya sendiri,Tadamori, turut bertanggung jawab dalam hai ini. Kiyomori memikirkan ayahnya dan kejahatansemena-mena para pejabat istana.

Selama bertahun-tahun, mereka telah bersekongkol untuk menjungkalkan Tadamori dari posisinya,hingga kegagalannya dalam menangkap Morito menghadirkan kesempatan yang telah lama merekatunggu untuk menendangnya secara tidak terhormat dari Istana.

Kiyomori teringat ketika baru-baru ini ayahnya bercerita kepadanya tentang Tokinobu, dan dia merasaharus mempertimbangkan kembali pendapatnya tentang Tokiko.

Tokinobu telah secara tidak langsung terlibat dalam hubungan buruk Tadamori dengan para pejabatistana, dan peran yang dipegangnya tersebut tidak menguntungkan bagi dirinya dan putri-putrinya.Dalam banyak hal, masa kecil mereka sama dengan masa kecil Kiyomori, dan sekarang diamemahami betapa besarnya utang budi ayahnya kepada Tokinobu.

=dow=

Untuk memahami situasi yang berujung pada pengunduran diri Tadamori dari Istana, perlu dijelaskanmengenai sebuah peristiwa pada Maret 1131, ketika Kiyomori masih berusia lima belas tahun. Ketikaitu, kuil besar di Sanju-Sangen-Do yang memiliki seribu lukisan Buddha telah selesai dibangun danseluruh ibu kota larut dalam upacara pembukaan besar-besarannya. Pada kesempatan itu, MantanKaisar Toba tidak hanya menghadiahi Tadamori dengan tambahan tanah tetapi juga mengangkatnyamenjadi pejabat istana, sebuah kehormatan yang belum pernah diberikan kepada seorang samuraisebelumnya. Para bangsawan yang terusik karenanya sepakat untuk membunuh Tadamori pada malamperjamuan Istana, ketika dia dijadwalkan hadir. Lebih daripada kedengkian, rencana ini didasari olehketakutan.

Sebuah surat kaleng dilemparkan ke rumah Tadamori pada malam perjamuan, berisi peringatanbaginya

mengenai upaya pencabutan nyawanya. Menanggapi pesan itu, Tadamori tersenyum santai,mengatakan bahwa dia akan menghadapi tantangan itu sebagai seorang samurai, dan pada malamperjamuan, dia hadir di Istana dengan membawa pedangnya. Di sana, di bawah tatapan curiga parapejabat istana, dia menghunus pedangnya untuk menguji ketajamannya pada ikatan rambutnya. Bilahbaja itu, yang berkilauan bagaikan es di tengah kelap-kelip cahaya lilin, menebarkan keraguan kepadapara pejabat istana yang waspada. Seorang menteri, yang ketika itu sedang berjalan melewati salahsatu galeri terbuka di Istana, melihat dua sosok mencurigakan, yang bersenjata lengkap, sedangberjongkok di salah satu sudut halaman dalam, lalu meneriaki mereka; seorang perwira dari GolonganKeenam segera muncul untuk menantang para penyusup itu dan menerima jawaban, “Kami adalahanak buah Heike Tadamori. Kami telah mendapat peringatan tentang bahaya yang mengancammajikan kami. Kami siap

mempertaruhkan nyawa untuk beliau.”

Para pejabat istana, yang segera mendengar tentang hal ini, geram. Keesokan harinya, dipimpin olehseorang menteri, mereka menuntut agar Tadamori dihukum karena hadir di Istana dengan membawasenjata dan ditemani oleh prajurit Mantan Kaisar, yang gundah, memanggil Tadamori untuk memintapenjelasan. Dengan wajah menyesal yang sepantasnya, Tadamori perlahan-lahan menurunkanpedangnya, menghunusnya, dan menunjukkan kepada Mantan Kaisar bahwa pedang itu terbuat daribambu yang bercat perak. Kedua anak buahnya, kata Tadamori, hanya bertindak seperti layaknyasemua pelayan setia kepada majikannya. Sang mantan kaisar memuji Tadamori untukkebijaksanaannya, namun musuh-musuhnya di Istana semakin gelisah bersama setiap pemberian tandapenghormatan oleh sang penguasa kepada Tadamori, dan

ketika mereka mendengar bahwa Tokinobulah yang telah memberi peringatan kepada Tadamori

tentang rencana nista itu, mereka berusaha menyingkirkannya dari Istana.

Tokinobu, yang telah bertahun-tahun mengabdi di Istana, segera mendapati bahwa seluruh jalannyauntuk menduduki jabatan yang lebih tinggi telah tertutup.

dw

“Lihat, ada kubangan air lagi!” bocah bernama Tokitada itu berseru senang, mengayunkan obornya kekaki Kiyomori ketika mereka meraba-raba mencari jalan menembus rumpun bambu.

Kiyomori mabuk—sepenuhnya ditaklukkan oleh sake.

Meskipun dia yakin dirinya bisa mencari jalan pulang, Tokinobu meragukannya, dan atas desakanTokiko, menyuruh putranya untuk menemani Kiyomori hingga Jalan Ketujuh.

Setelah Kiyomori menghabiskan waktu lama di rumahnya, Tokiko sudah tidak bersikap malu-malulagi; dia banyak bicara dan tertawa, dan Kiyomori bisa merasakan kehangatan tertentu dari cara gadisitu mencuri pandang ke arahnya. Tetapi, astaga, gadis itu berumur sembilan belas tahun! Inimengganggu Kiyomori; dia seperti kakak perempuan saja. Kiyomori berpikir apakah ini karena diamembandingkan Tokiko dengan Ruriko. Apa pun itu, dia memutuskan untuk mengatakan kepadaayahnya bahwa penampilan dan kepandaian Tokiko begitu memikatnya.

Tetapi, yang benar-benar berhasil menarik minatnya adalah adik lelaki Tokiko yang berumur enambelas tahun, Tokitada.

“Ho, Singa,” Kiyomori menggodanya.

Sambil mengayun-ayunkan obornya ke depan dan belakang dengan riang, Tokitada membalasnya,“Apa, dasar jongos!”

“Oh? Bukan jongos, aku adalah seorang samurai muda.”

“Seorang samurai muda sama saja dengan seorang jongos tua!”

“Jadi, anak muda yang pemberani, tidakkah aku tadi melihatmu menyabung ayam di jalan?”

“Dan kau berjudi! Kau juga bersalah! Jadi, apa kata ayahku kepadamu?”

Kiyomori tergelak. “Ternyata ada juga orang yang sama dengan aku. Kau memang kocak!”

“Apanya yang sama dengan kamu?”

“Kau juga katak muda.”

“Katak muda itu kecebong. Aku akan menyuruh si Singa mematukmu.”

“Aku menyerah, aku menyerah,” Kiyomori memprotes.

“Ulurkan tanganmu—mari kita membuat kesepakatan—

kita akan berteman seumur hidup!”

Angin dingin dari Perbukitan Utara menyapu dedaunan kering sebelum menerpa mereka tanpa ampun,mendorong mereka memasuki wilayah pemukiman kumuh yang telah dilihat oleh Kiyomori siang itu.Tertiup dan terdorong oleh angin, Kiyomori menghilang dalam kegelapan malam, sementara sosokmungil di Jalan Keenam melambai kepadanya dengan obornya.

?=d-w=?

Sudah menjadi kebiasaan putra-putra Tadamori untuk menghadap dan memberikan penghormatanresmi kepada

ayah mereka setiap pagi. Bahkan Norimori, si bungsu, juga hadir untuk menerima ucapan selamat pagiyang disampaikan dengan sangat khidmat. Dan sudah menjadi kebiasaan Tadamori untukmenyampaikan beberapa patah kata penyemangat untuk anak-anak piatunya, yang menyambut ritualharian itu bersama terbitnya matahari.

Kiyomori menceritakan kejadian pada hari sebelumnya:

“Yang Terhormat Tokinobu tidak memberikan jawaban untuk surat Ayah. Karena tidak bertemudengan beliau di Gudang Pangan Pusat, aku mendatangi rumahnya.

Sebenarnya, aku mengalami sedikit kesulitan dalam mencari alamatnya dan nyaris gagal menemuibeliau.

Beliau sangat baik hati, dan aku pulang cukup larut malam.

Beliau juga mengirim salam untuk Ayah.”

Kiyomori kemudian menceritakan tentang

pertemuannya dengan Toba Sojo.

“Jadi, Kepala Biara sepertinya puas dengan lukisannya

…. Beliau berdarah biru, dan seandainya mau, beliau bisa menonjol di kalangan para bangsawan,”renung Tadamori, seolah-olah secara diam-diam malu karena dirinya sekarang menganggur.

“Begitulah sifat beliau; seorang yang sangat eksentrik,”

Kiyomori menjawab dengan singkat, merasa bahwa komentar ayahnya telah menyimpang dari topik,karena dia sepenuhnya mengira ayahnya akan bertanya tentang Tokinobu dan putrinya Tokiko.Berlawanan dengan perkiraan putranya, Tadamori bahkan tidak mengucapkan sepatah kata pun yangberkaitan dengan hal itu. Alih-alih, dia berkata, “Dan, omong-omong, kudengar Yang Mulia akansegera berangkat untuk melakukan perjalanan ziarah ke Kuil Anrakuju-in.”

“Ya, Yang Mulia akan berangkat pada pagi hari tanggal 15 Oktober dan kepergian beliau akan dilepasdi Aula Besar. Kudengar beliau akan menginap selama dua atau tiga malam di Istana Peristirahatan diTakeda,” jawab Kiyomori.

“Kau pasti sibuk di Pangkalan Pengawal. Aku yakin kau tidak sekali pun mengabaikan pekerjaanmusemenjak kepergianku, dan kuharap kau mengabdikan diri sepenuhnya kepada Yang Mulia.”

“Tentu saja, Ayah, namun para samurai kecewa. Mereka sekarang menjadikan Ayah sebagai alasanuntuk berkeluh kesah. Mereka belum melupakan bagaimana Istana memperlakukan Genji Yoshiiye,yang telah menghabiskan beberapa tahun meredakan pemberontakan di wilayah timur laut. Walaupundia berhasil, kaisar yang berkuasa ketika itu berpendapat bahwa dia menyelesaikan pekerjaannyaseorang diri dan menolak untuk memberinya imbalan, sehingga Yoshiiy& terpaksa menjual rumahdan tanahnya; kendati begitu, dia tetap tidak mampu membayar para prajuritnya dengan layak. Dirimusekalipun, Ayah, mengetahui bahwa operasi terakhir kita ke wilayah barat—

walaupun sukses—hanya mendapatkan imbalan yang sangat kecil sehingga nyaris tidak cukup untukdibagikan ke seluruh pasukan kita. Hasil akhirnya hanyalah ini—

kemiskinan kita ini.”

“Begitulah nasib samurai.”

“Dan benarkah jika para bangsawan itu menahan semua hak samurai untuk memastikan agar kitaselalu berkedudukan di bawah mereka? Kita tahu bahwa itulah niat mereka, namun semua samuraigelisah memikirkan masa depan.”

“Itu tidak masalah, karena kepada Yang Mulialah kita mengabdi, bukan kepada mereka.”

“Tetapi, mereka memiliki kekuatan untuk menentukan kehidupan atau kematian kita dan bisabertindak atas nama Istana, yang juga tempat mereka mengabdi. Kita tidak memiliki hubunganlangsung dengan Yang Mulia, jadi, apakah yang bisa kita lakukan? Karena itulah para samurai risau.Ayah harus kembali ke Istana.”

“Waktunya belum tiba. Untuk saat ini, mereka lebih baik tanpa aku.”

“Dan ada desas-desus yang mengatakan bahwa Genji Tameyoshi, yang namanya sudah selamabeberapa waktu tenggelam, akan dipanggil kembali ke Istana. Ada pula kabar burung yangmenyatakan bahwa Yorinaga, Menteri Golongan Kiri, mencegahnya atas nama Yang Mulia.

Semua desas-desus itu sangat meresahkan.”

“Heita, kau akan terlambat Kau harus berangkat pagi-pagi. Dan ingadah, kau harus mempersiapkanperjalanan ziarah Yang Mulia.”

“Maafkan aku jika aku telah menyinggung perasaan Ayah,” kata Kiyomori, merasa bahwa entahbagaimana, dia telah menjengkelkan ayahnya, yang menurut perasaannya tampak lebih tegas dan kerasdaripada sebelumnya.

=odwo=

Istana Peristirahatan di Takeda, sebuah wilayah di sebelah selatan ibu kota, adalah tempatperistirahatan favorit Mantan Kaisar Toba, yang menyukai pemandangan di seberang Sungai Kamodan Katsura, sehingga dia memerintahkan agar Kuil Anrakuju-in didirikan di sana.

Ketika waktu persembahan semakin dekat, sang penguasa itu menyampaikan keinginannya untukmembangun sebuah

pagoda bertingkat tiga di dalam kompleks kuil. Dia mengundang Nakamikado lyenari, yang sekarangtelah pensiun dari kegiatannya di Istana Kekaisaran, untuk mengikuti perjalanan ziarahnya danmemintanya menggambar rancangan pagoda dan mengawasi pembangunannya.

Berduyun-duyun, tibalah kereta para bangsawan, barisan pendeta dalam balutan jubah kebesaranmereka, dan rombongan para penonton dari seluruh penjuru desa, semuanya menuju kuil, tempat parafakir miskin membanjir bagaikan lalat untuk menerima sedekah. Tak terhitung banyaknya pengawalditempatkan di sepanjang rute yang dilalui oleh Mantan Kaisar; dan di tepi kedua sungai, di sekelilingwilayah Takeda, dan di mana pun mereka mendirikan perkemahan, api unggun besar menerangi langitmalam.

Mantan Kaisar tinggal di sana selama dua hari.

Menjelang malam hari kedua, hujan deras turun dan lingkungan Istana, yang sebelumnya ramai olehpengunjung, mendadak sunyi. Aula Besar terlihat mencolok di tengah kegelapan layaknya sebuahruangan dalam mimpi berkat kerlap-kerlip cahaya lentera.

Para pengawal akhirnya beristirahat dan menyantap makan malam mereka di tempat berteduhsementara. Jatah sake kekaisaran telah dibagikan kepada mereka sehari sebelumnya, namun merekasemua terlalu sibuk untuk mencicipinya. Sebagian pengawal mengeringkan mantel mereka di dekatapi; sebagian yang lain telah mencopot pakaian pelindung mereka, mengedarkan cangkir sake, danmenyantap jatah makanan mereka.

Salah seorang pengawal berkata, “Ini mungkin hanya desas-desus, tapi Genji Wataru tidak akandatang saat upacara persembahan.”

“Wataru? Oh, maksudmu suami Kesa-Gozen.

Bagaimana kabarnya?”

“Hmm … tepat sebelum kita berangkat, dia mendadak meminta izin untuk mengundurkan diri kepadaMenteri Golongan Kiri, yang, sepertinya, mendesaknya untuk mempertimbangkan kembalikeputusannya, namun Wataru tetap menyampaikan permohonan pengunduran dirinya pada penasihatIstana dan sejak saat itu tidak terlihat lagi di ibu kota.”

“Oh, apa maksudnya melakukan itu?”

“Bisa dipastikan, karena terbakar oleh kebencian kepada Morito, yang telah membunuh istrinya, diapergi untuk mencarinya dan membalas dendam. Dia pernah mengatakan bahwa dia sudah tidak tahanmenyandang predikat sebagai suami dari seorang wanita korban pembunuhan.”

‘Tidak ada yang tahu di mana Morito akan ditemukan.

Wataru tidak bisa disalahkan jika merasa begitu.

Bagaimanapun, menurutku Morito sudah ditakdirkan untuk melakukan dosa dan menjalani sisa

kehidupannya dengan siksaan rasa bersalah”

“Orang-orang mengatakan bahwa mereka pernah melihatnya di wilayah perbukitan Takao atau disekitar Kumano. Faktanya, ada sangat banyak cerita semacam itu yang terdengar di masyarakat,sehingga dia pasti masih hidup.”

Sementara para pengawal saling bertukar cerita, pendar cahaya yang terlihat di antara pepohonan diujung lain Istana menunjukkan bahwa para pengiring Mantan Kaisar—para pejabat istana, pendeta,dan dayang-dayang—

mungkin sedang menghabiskan waktu dengan mengadakan kontes puisi; dari bilik Mantan Kaisar,bagaimanapun, tidak

terdengar alunan musik; kegelapan menyelimuti tempat itu, dan hanya gemericik air hujan yangsedikit menghidupkan suasana.

“Apakah Yoshikiyo ada di sini? Adakah di antara kalian yang melihat Sato Yoshikiyo?” wajahKiyomori tiba-tiba muncul di tengah kegelapan malam, membelalakkan mata dan tampak cemas.Beberapa orang pengawal memanggilnya, mendesaknya untuk bergabung dan berbagi sake denganmereka, namun Kiyomori menggeleng dan menjelaskan dengan risau, “Aku tidak punya waktu untukitu sekarang. Aku tidak begitu yakin tentang ini, tapi kudengar salah seorang pelayan Yoshikiyoditahan oleh petugas dari kepolisian siang tadi. Dia terlibat perkelahian di Gerbang Rashomon. Akubaru saja mendapatkan kabar itu dan sepertinya Yoshikiyo belum mendengarnya. Aku tidakmenemukannya di mana-mana, tapi jika salah seorang dari kalian tahu di mana dia, tolong sampaikankabar ini kepadanya.”

Meskipun sikap santainya dipandang miring oleh semua orang di Istana, ketulusan Kiyomori dalammemperlakukan rekan-rekan sejawatnya menjadikannya populer di kalangan para pengawal, dan padasaat seperti ini, mereka siap sedia menolongnya.

“Apa! Di Gerbang Rashomon? Berarti masalah sedang menanti Yoshikiyo sekarang. Lebih cepat kitamemberi tahu dia, lebih baik.”

Kecemasan Kiyomori menular, dan para pengawal serta merta bangkit untuk membantunya. Empatatau lima orang temannya bergegas berlari ke berbagai penjuru menembus hujan deras.

o)-=dw=-(o

Bab VII – SALAM PERPISAHAN DARI

SEORANG SAMURAI

Yoshikoyo tidak bisa ditemukan. Dia tidak ada di Pangkalan Pengawal. Seseorang mengatakan bahwadia barangkali tergabung di dalam rombongan Tuan Tokudaiji, terhambat oleh beberapa tugas yangtidak terduga, dan mungkin sudah mendengar kabar buruk tentang pelayannya. Salah seorangpengawal bertanya, “Apakah dia belum sampai juga? Entah apa yang menahannya.”

“Apa kau yakin bahwa Yoshikiyo sudah mendengar tentang hal ini? Tentu saja, dia bukan pengecutyang akan mengabaikan pelayannya yang sedang kesusahan?”

“Kita sebaiknya tetap mencoba menyampaikan kabar ini kepadanya.”

Para pengawal membahas masalah ini, cemas dan gelisah, tidak menikmati sake mereka, dan kesalkarena Yoshikiyo tidak kunjung tiba. Mereka memiliki alasan untuk khawatir.

“Apa pun yang terjadi, orang-orang Tameyoshi tidak akan melepaskan si pelayan dengan mudah ….Apa sebenarnya yang sedang dilakukan oleh Yoshikiyo?”

Mereka sudah lelah, dan meskipun gelisah, sebagian dari mereka telah tertidur; beberapa yang lainterkantuk-kantuk, dan sisanya telah mabuk gara-gara sake.

Yoshikiyo akhirnya terlihat di luar salah satu tenda.

“Selamat malam, kalian semua! Aku sudah menjerumuskan kalian dalam masalah besar, tapi aku akanberangkat sekarang. Aku akan kembali saat matahari terbit, selambat-lambatnya—tepat padawaktunya untuk bergabung dengan kalian dalam perjalanan pulang. Jangan terlalu mencemaskan aku.”Yoshikiyo mengenakan mantel

berkuda dan menarik kudanya. Satu-satunya teman perjalanannya adalah seorang bocah pembawaobor.

Para pengawal terperangah melihat ketenangan Yoshikiyo. Seorang samurai—yang berbakat menulispuisi—bersikap seperti ini di tengah situasi krisis; kekaguman mereka pun semakin melambung.

“Eh, jadi kau berharap bisa membawa pelayanmu pulang sebelum pagi tiba, Yoshikiyo? Apa kaumenyadari dengan siapa kau berurusan?”

Kiyomori sendiri memprotes kesembronoan Yoshikiyo.

Tidakkah dia menyadari, tanya Kiyomori, bahwa Tameyoshi, mantan kepala Pengawal Genji, samasekali tidak menghargai samurai yang menggantikan anak buahnya sendiri di Istana? Dia bisadikatakan sebagai musuh bebuyutan mereka, yang selalu mencari-cari kesalahan Pengawal Heike.Yoshikiyo sebaiknya memikirkan hal ini baik-baik. Niat buruk Tameyoshi sudah tersebar luas, dansemua orang sudah menduga adanya batu sandungan bagi Yoshikiyo. Sungguh berbahaya untuk pergike sana seorang diri dan berusaha membuat kesepakatan dengan Tameyoshi. Jika Yoshikiyo hendakpergi seorang diri, mereka semua akan turut serta atas nama Kesatuan Pengawal dan siap melawankekerasan dengan kekerasan.

“Mari, kalian semua,” seru Kiyomori, “kita semua akan pergi bersama Yoshikiyo dan menyelamatkanpelayannya!”

Beberapa orang berseru, “Ini baru menyenangkan!” dan berbondong-bondong ke luar dengan gaduh,haus darah dan menyambut gembira perubahan suasana. Sekitar dua puluh orang prajurit mengelilingiYoshikiyo sambil berteriak-teriak, “Mari kita berangkat! Mari kita berangkat!”

Yoshikiyo bergeming, namun mengangkat tangan untuk menghentikan mereka.

“Tunggu, kalian bertingkah seperti anak-anak hanya gara-gara masalah sepele ini. Ingatlah, kalianmasing-masing memiliki tugas di sini dan kita tidak ingin perjalanan ziarah ini terganggu. Karena

pelayankulah yang menimbulkan semua keributan ini, akulah yang akan pergi dan membuatkesepakatan untuknya. Bersikaplah seolah-olah tidak ada yang terjadi.”

Setelah berhasil menenangkan rekan-rekannya, Yoshikiyo berpaling begitu saja dari Kiyomori,seolah-olah kesal karena dialah yang menyebabkan kekisruhan ini.

Kemudian, memerintah bocah pelayannya untuk mengangkat obornya tinggi-tinggi, dia memacukudanya menembus malam dan hujan.

=de=

Siang itu, Yoshikiyo memerintah pengawal kepercayaannya, Gengo, untuk mengirim beberapa puisiyang ditujukan kepada beberapa pengiring Nyonya Taikenmon, ibunda Kaisar dan mantan permaisuriMantan Kaisar Toba. Nyonya Bifukumon, yang dipilih oleh Toba untuk menggantikan NyonyaTaikenmon, menemani Toba dalam perjalanan ziarahnya, dan Yoshikiyo, yang tergabung dalamrombongan sang mantan kaisar, mau tidak mau teringat betapa Nyonya Taikenmon tentu hidupkesepian sekarang, hanya bersama beberapa teman yang sesekali mengunjunginya. Karena itulah diamengumpulkan puisi-puisi yang ditulisnya sepanjang dua hari perjalanan, menujukannya kepadabeberapa pujangga wanita di keputrian Nyonya Taikenmon. dan menyuruh Gengo untuk mengirimnyake ibu kota. Tidak penting bagi Yoshikiyo apakah Gengo mendapatkan masalah dalam perjalanannyamenuju atau meninggalkan ibu kota, karena pikirannya saat ini hanya tertuju pada kediamanTameyoshi. Walaupun tampak santai di hadapan Kiyomori dan para pengawal

lainnya, Yoshikiyo tahu betul reputasi pria yang akan ditemuinya. Gengo, pelayan kesayangannya,sedang berada dalam bahaya, dan jika diperlukan, Yoshikiyo siap mempertaruhkan nyawa untuknya.Dia memacu kudanya, berdoa agar tidak ada yang terjadi pada Gengo hingga dia tiba.

Ketika itu hampir tengah malam dan hujan telah reda.

Bulan memancarkan sinar pucatnya dari balik awan dan menerangi atap kediaman Tameyoshi dangerbangnya yang tampak mencekam. Tameyoshi, yang sedang bersiap-siap beristirahat malam itu,mendengar ketukan nyaring di gerbang dan jawaban galak si penjaga malam. Tameyoshi sendirikeluar untuk melihat apa yang terjadi, menemui Yoshikiyo, dan mengundangnya ke sebuah ruangan ‘yang menghadap ke halaman dalam. Di sana, di bawah cahaya temaram sebuah lentera, diamendengarkan penuturan Yoshikiyo.

Yoshikiyo mendapati bahwa, berlawanan dengan rumor yang sering didengarnya, Tameyoshi ternyataorang yang lemah lembut. Situasilah yang memaksa Tameyoshi, cucu seorang kepala klan termahsyur,menjadi kepala sebuah rumah tangga samurai. Masih berusia awal empat puluhan, Genji Tameyoshiberpembawaan menyenangkan dan bersikap rasional.

“Tentu saja, saya mengerti. Saya akan segera menangani masalah ini. Akhir-akhir ini ada begitubanyak desas-desus tentang pertikaian antara anak buah saya dan para pengawal, jika pelayan Andatelah ditahan tanpa alasan, maka dia harus sesegera mungkin dibebaskan. Ho, kemarilah Yoshitomo!”Tameyoshi memanggil seseorang yang ada di ruangan lain. Yoshitomo, putra sulungnya, segeramemenuhi panggilannya dan berlutut di beranda, dengan sopan menanyakan alasan ayahnyamemanggilnya.

Yoshikiyo menatap pemuda itu dengan ramah—seorang anak yang berbakti.

Setelah bertukar beberapa patah kata dengan ayahnya, Yoshitomo segera memanggil para penjagarumah dan pelayan untuk menanyai mereka; dalam waktu singkat, dia muncul kembali dan berlutut ditaman di luar.

“Aku membawa pelayan Yang Terhormat Yoshikiyo dan salah satu prajurit kita, yang telah menantangdia.”

Wajah Gengo bengkak akibat dihajar habis-habisan. Dia langsung menangis begitu melihatmajikannya.

“Siapa yang menahanmu?” Tameyoshi menuntut penjelasan.

“Putra Anda, Yang Terhormat Yoshikata.”

“Alasan penahananmu?”

Yoshitomo menjawab pertanyaan itu untuk si tahanan, menjelaskan tentang apa yang telah terjadisiang itu.

Gengo, katanya, berhenti di Gerbang Roshomon dan diperiksa oleh orang-orang Yoshikaya karenamembawa sesuatu yang terlihat seperti sebuah dokumen resmi. Gengo menolak untuk menyerahkangulungan yang dibawanya, bersikeras bahwa gulungan itu dikirim oleh beberapa wanita di Istanauntuk majikannya, dan menambahkan bahwa para prajurit yang memeriksanya tidak boleh membacaisi gulungan itu.

“Dan kemudian?”

Yoshitomo melanjutkan, “Aku mendengar bahwa Yuigoro merebut gulungan itu dari Gengo danmerobek-robeknya. Gengo yang marah menyerangnya, menangis karena majikannya telah dihina. Paraprajurit lain di

Gerbang Roshomon kemudian menghajar Gengo, mencaci makinya, dan menjebloskannya kepenjara.”

“Baiklah. Panggillah Yoshikata,” perintah Tameyoshi.

Seorang pemuda berusia dua puluhan segera datang.

Tameyoshi mendampratnya karena perilaku buruk para prajurit yang menjadi tanggung jawabnya dan,setelah selesai berbicara, tiba-tiba berdiri dan menendang putranya, yang jatuh dari beranda ke taman.Berpaling kepada Yoshikiyo, Tameyoshi berkata, “Saya akan menyerahkan kepada Anda untukmenindak putra saya dan prajuritnya sesuai dengan keinginan Anda. Saya menyalahkan diri sayasendiri atas apa yang telah terjadi dan akan mendatangi istana Nyonya Taikonmen untuk memintamaaf. Saya sangat menyesali apa yang telah terjadi pada pelayan Anda.

Ini sangat disayangkan, dan saya mohon agar Anda tidak menyalahkan saya dan mau berusahamelupakan kejadian ini.”

Terkejut dan lega karena masalah ini bisa diselesaikan dengan cara yang tidak diduganya, Yoshikiyomemohon kepada Tameyoshi untuk bersikap lebih lunak kepada Yoshikata dan prajuritnya. Setelahitu, dia dan Gengo meninggalkan kediaman Tameyoshi, yang didatanginya beberapa saat sebelumnyadengan pikiran terburuk.

Tidak bisa disangkal lagi bahwa Tameyoshi adalah keturunan dari leluhur yang mulia, pikir Yoshikiyodengan penuh kekaguman, karena perangai seperti yang ditunjukkannya jarang ditemui di kalangansamurai biasa.

Bagaimanapun, Yoshikiyo bisa merasakan kesuraman yang tertahan. Tameyoshi sedang menungguwaktu yang tepat; jelas terlihat bahwa dia tidak melupakan bagaimana kakeknya telah dipermalukanseumur hidup oleh para bangsawan, dan dia dengan sabar menantikan datangnya kesempatan untukmembalas dendam.

Di sekeliling Yoshikiyo, ibu kota telah lelap. Bulan bergeser dengan lembut di balik tirai awan. Dan,walaupun telinganya tidak mendengar bunyi-bunyian yang merusak kesunyian malam itu,

Yoshikiyo yakin bahwa ketenangan ini tidak akan berlangsung lama.

==odwo==

Kiyomori dan Tokiko menikah pada bulan Desember tahun itu. “Jadi, apakah kau mau menikahi dia?”tanya Tadamori kepada Kiyomori, yang wajahnya mendadak merah padam dan hanya sanggupmenjawab, “Oh—” Tidak diperlukan lagi pembahasan lebih lanjut di antara ayah dan anak yang salingmengenal dengan sangat baik itu.

Selama tiga malam berturut-turut, sesuai dengan adat istiadat yang berlaku, Kiyomori secara diam-diam mendatangi rumah di dekat tempat pemujaan bagi Dewa Kesehatan untuk memikat calonistrinya. Dia melenggang dengan gembira menembus udara malam yang menyelusup ke dalamtelinganya dan melewati jalanan kumuh. Rumah yang didatanginya gelap dan sunyi, namun cahayatemaram menerobos kerai dari jendela kamar Tokiko. Itu adalah simbol cinta yang melambai-lambaikepadanya dari ujung lain alam semesta, mendatangkan ke benak Kiyomori bayangan-bayangan yanglebih menggoda daripada mimpi-mimpi terpanasnya. Dan bagi kedua sejoli itu, yang berpisah sebelumfajar menyingsing, sesuatu yang lebih kuat daripada gairah seakan-akan berhasil meleburkan kokokayam jantan dan tetesan embun ke dalam sebuah dunia puitis.

Sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, Tokiko semestinya tinggal di rumah di Imadegawa sebagaimempelai Kiyomori, namun pasangan muda itu lebih

memilih untuk tinggal di rumah Tokinobu yang lebih besar.

Teman-teman dari kedua keluarga sepakat bahwa perjodohan antara keluarga samurai miskin danbangsawan papa ini sungguh serasi.

Sebagai sumbangan untuk pesta pernikahan kakaknya, Tokitada menyembelih dan memasak ayamsabungannya, yang telah lama disembunyikan dari ayahnya, dan menghidangkannya kepada Kiyomori.

“Apa! Kau menyembelih ayam sabunganmu yang berharga untuk malam ini?”

Tokitada hanya tersenyum lebar.

Kiyomori tidak sanggup berkata-kata. Dia hanya takut kepada ayahnya, namun semangat membarabocah ini membuatnya gentar Kedalaman seperti apakah yang akan ditemuinya dalam diri kakakbocah ini, istri yang baru saja dinikahinya?

?-dw-?

Pada musim semi 1138, Tokiko mengetahui bahwa dirinya hamil dan memberi tahu suaminya.Kiyomori mendengarnya tanpa berkata-kata, larut dalam kekecewaan.

Perasaan bersalah akibat kenangan menghabiskan semalam di dalam pelukan seorang wanita di jalanKeenam menerpanya, berbaur dengan kesadaran bahwa pada usia yang kedua puluh satu, dia akanmenjadi seorang ayah.

“… Apakah kau tidak senang?”Tokiko ragu-ragu.

Tidak ingin menyakiti perasaan istrinya, Kiyomori cepat-cepat menjawab, “Bahagia—ya, namun kitakeluarga samurai, jadi anak ini harus laki-laki.” Seandainya dia seorang bangsawan, dia mungkin akanberdoa agar anaknya perempuan, yang akan tumbuh dengan kecantikan tak tertandingi lalu diangkatmenjadi selir kaisar, namun

pikiran semacam itu tidak ada di benaknya. Tidak ada sedikit pun kasih sayang kebapakan yang

menggerakkannya.

Musim dingin kembali datang. Pada suatu pagi di bulan November, setelah hujan salju turunsepanjang malam, ketika salju menumpuk di beranda, tangisan seorang bayi terdengar. Para pelayanTokiko bergegas menemui sang ayah muda dan memberinya selamat atas kelahiran putra sulungnya.Kiyomori yang lega hanya sanggup berjalan mondar-mandir di ruangan antara beranda dan kamarnya.

“Tua Bangka—ambilkan kudaku, kudaku!”

Mokunosuke, yang bersama beberapa pelayan lain dari Imadegawa menemani Kiyomori di rumahbarunya, muncul. “Tuan Muda, Anda pasti sangat bahagia!”

“Lega—aku benar-benar lega!”

“Apakah Anda hendak pergi ke tempat pemujaan untuk mempersembahkan tanda terima kasih?”

“Tidak, aku harus menemui ayahku di Imadegawa sebelu melakukan yang lain. Tua Bangka, saljunyadalam

… kau harus tetap di sini.”

Kiyomori berkuda melewati gerbang. Ketika berada di dekat rumpun bambu, dia mendengar seruannyaring dari belakangnya. Adik istrinya, Tokitada, memanggilnya, “Aku akan menyertaimu hinggasetengah perjalananmu; bambu-bambu menghalangi jalan,” katanya, menyusul kuda Kiyomori.Terbebani oleh salju, bambu-bambu merunduk ke tanah dan menghalangi jalan. Tokitada menebaskan

belatinya, membelah bambu yang tertimbun salju satu per satu, melompat-lompat ke sana kemaribagaikan seekor kelinci, sesekali menengok ke belakang dengan tatapan sombong.

“Terima kasih, sudah cukup,” seru Kiyomori, memandang kegesitan dan kelincahan bocah itu dengankagum. Pikirannya seketika kembali kepada anak yang lahir pagi itu, dan sebuah kehangatan,kebangkitan naluri kasih sayang kebapakan, membanjirinya. Bayi laki-laki itu—tidak diragukan lagi—adalah miliknya dan Tokiko!

Sejauh yang bisa dilihat oleh Kiyomori, atap-atap bangunan di Kyoto, juga di Perbukitan Timur danBarat yang mengapit ibu kota, tertimbun salju tebal. Seorang diri, Kiyomori memacu kudanya,sesekali mengejutkan para pejalan kaki yang menatapnya dengan penasaran dan waspada. Kiyomoritiba di depan gerbang Imadegawa dan segera bertatap muka dengan ayahnya. Terengah-engah, diamenyampaikan kabar gembira itu, “Akhirnya dia lahir—

bayi laki-laki!”

“Jadi, dia sudah lahir jawab Tadamori dengan air mata berlinang.

Kiyomori nyaris tidak sanggup menahan air matanya sendiri ketika memandang pria yangdihormatinya lebih daripada ayah kandungnya sendiri itu. Jalan takdir yang aneh telah mempersatukanmereka. Mereka berhadapan dengan masa depan yang tidak pasti, karena tanda-tanda kekacauan telahterlihat dengan jelas. Dalam tiga tahun terakhir, telah banyak kediaman bangsawan yangdibumihanguskan. Para biksu bersenjata saling melawan, meluluhlantakkan kuil-kuil dan pagoda-pagoda, dan berbaris ke ibu kota bersama para tentara bayaran untuk menuntut kekuasaan. Sementaraitu, kelahiran putra Kaisar Sutoku, sang Putra Mahkota Utama, memperuncing pertikaian antara IstanaKekaisaran dan Pemerintahan Kloister, karena Mantan Kaisar Toba juga telah mengumumkan bahwaputra sulungnya bersama Nyonya

Bifukumon adalah Putra Mahkota yang akan mewarisi singgasananya.

Kerusuhan yang semakin sering terjadi di seluruh negeri dan kegelisahan umum mendorong Tobauntuk memanggil Tadamori. membujuknya agar mau mengambil kembali posisinya di Istana.

Dan Tadamori, setelah kelahiran cucunya, akhirnya setuju untuk ditempatkan di Golongan Kelima danmendapatkan jabatan di Departemen Keadilan. Kiyomori juga mendapatkan kenaikan jabatan dariMantan Kaisar, dan bintang keluarga Heike sepertinya bersinar terang.

Walaupun para pejabat istana yang iri tidak mencegah pemanggilan kembali Tadamori, mereka segerabersekongkol untuk menyingkirkannya. Terdengar desas-desus bahwa Tadamori telah secara diam-diam menjalin hubungan asmara dengan putri seorang bangsawan Fujiwara, Ariko, salah seorangdayang di Istana Kekaisaran, yang kemudian menjadi ibu susuan bagi Putra Mahkota Utama. Musuh-musuh Tadamori yakin bahwa hubungan asmara dengan seseorang yang mengabdi kepada sainganToba akan berujung pada hukuman mati. Tetapi, Mantan Kaisar sudah cukup lama mengetahui tentanghubungan ini, dan, tanpa diketahui oleh para pejabat istana, mendorong dan merestui pernikahanmereka, yang telah memberikan dua anak laki-laki kepada Tadamori.

==d-w==

Toba Sojo, yang sepanjang hidupnya menertawakan dunia melalui lukisan-lukisannya, wafat padamusim gugur 1140, di usia yang telah renta. Dalam keadaan meregang nyawa, dia mengatakan,“Kendati aku seorang biksu, jangan lakukan ritual biara setelah aku meninggal. Aku sudah hidupterlalu lama untuk mengolok-olok para kepala

biara, pembesar kuil, dan pendeta dengan ekor mengintip dari balik jubah kebesaran mereka.Menguburku dengan nyanyian khidmat dan doa-doa akan menjadi gurauan terbesar.”

Di bawah genting pertapaan, sang kepala biara sekarang berbaring, tidak bisa lagi mendengargemerisik daun yang berguguran dan gumaman para pelayat, yang sedang bertukar cerita tentang masalalu dan keeksentrikannya.

Pemimpin pelayat, seorang pejabat istana berkedudukan tinggi, heran ketika melihat bahwapemakaman yang akan dihadiri oleh deputi Kaisar dan Mantan Kaisar itu hanya akan dilakukandengan upacara sederhana. Para pejabat istana, yang tiba dengan kereta mereka, harus berjalan kakibersama para penduduk desa di sekitar Toba menuju pondok pertapaan di wilayah perbukitan.

“Yang Terhormat Yoshitomo—ini sungguh tidak terduga!”

Sato Yoshikiyo meninggalkan temannya untuk menyapa putra sulung Tameyoshi, Genji Yoshitomo,yang cepat-cepat menepi dan membalas sapaannya dengan sopan,

“Aku tidak yakin apakah yang kulihat benar-benar dirimu, karena aku hanya pernah bertemudenganmu sekali pada malam itu …” katanya.

“Aku khawatir kedatanganku yang selarut itu untuk menyelesaikan masalah pelayanku mengganggukalian.

Aku tidak pernah lagi berjumpa dengan ayahmu sejak saat itu, tapi aku ingin memperbaharuipermintaan maafku kepada beliau,” jawab Yoshikiyo.

“Tidak, kamilah yang bersalah dalam hal itu, walaupun aku malu mengakuinya. Apakah kau datangkemari untuk memberikan penghormatan kepada almarhum Kepala Biara?”

“Hubungan kami tidak mendalam, namun jika masih ada kesempatan untuk melihat beliau lagi, akuakan dengan senang hati mengejarnya,” kata Yoshikiyo. Teringat kepada temannya, dia buru-burumemperkenalkan mereka. “Ini Heike Kiyomori. Apakah kalian pernah bertemu?”

“Ah? Barangkali pernah.”

Yoshikiyo menyaksikan bagaimana kedua samurai muda itu saling menyapa dengan gembira, dantiba-tiba terpikir olehnya bahwa pertemuan ini bisa dikatakan penting.

Seorang prajurit Heike dan seorang petugas Kepolisian—

Seorang Heike dan seorang Genji!

“Aku akan berangkat ke timur untuk tinggal di Kamakura dalam waktu dekat ini—ke daerahku,tempat banyak keluargaku tinggal. Kalian harus mengunjungiku jika kebetulan berada di dekat

wilayah itu,” kata Yoshitomo ketika mereka berpisah.

Yoshikiyo, yang biasanya banyak bicara, tampak lebih pendiam hari itu. Kiyomori tidakmemerhatikan perubahan sikap ini. Mereka berjalan dalam keheningan hingga tiba di sebuahpersimpangan, tempat Kiyomori berpamitan.

Yoshikiyo kemudian bertanya, “Apakah kau akan pulang?”

“Ya, jalanan di distrik itu gelap gulita pada malam hari, dan anak istriku sudah menantikankedatanganku.

Kebahagiaan terbesarku akhir-akhir ini kudapatkan saat aku berjumpa dengan anakku.”

“Berapakah umurnya?”

“Baru dua tahun.”

“Dia tentu sedang lucu-lucunya! Tidak ada cara yang tepat untuk menjelaskan kasih sayang kitakepada seorang anak …. Kau harus buru-buru pulang sekarang.”

Dan mereka pun berpisah di remang senja.

Sebulan kemudian, pada 15 Oktober, Yoshikiyo raib.

Kiyomori, yang tidak bisa memercayai hal ini, bertanya kepada semua teman dan kenalan Yoshikiyotentang apa yang terjadi dan mendapatkan informasi bahwa pada hari sebelum dia menghilang,Yoshikiyo meninggalkan Pangkalan Pengawal bersama seorang sepupu yang berusia sedikit lebih tuadaripada dirinya. Keduanya pulang, membahas tentang kehampaan keberadaan manusia, dan berpisahdengan janji untuk bertemu kembali keesokan paginya. Malam itu, si sepupu mendadak jatuh sakit danmeninggal dunia, dan Yoshikiyo, yang pergi dengan niat untuk memenuhi janji temu mereka keesokanpaginya, berdiri di luar rumah sepupunya dan mendengar tangis memilukan sang istri yang masihmuda, sang ibu yang telah uzur, dan anak-anak yang masih kecil. Di sana, sekonyong-konyong, diamengetahui bahwa dia tidak bisa turut berduka bersama mereka, karena baru disadarinya bahwakematian, takdir yang tidak bisa dihindari oleh setiap manusia, terjadi setiap hari dan sekali lagiterulang di depan matanya. Yoshikiyo pun meninggalkan rumah sepupunya dan menuju Istana. Disana, dia mengundurkan diri dan pulang tanpa mengatakan apa pun kepada rekan-rekannya sesamapengawal. Kepergiannya yang begitu mendadak membingungkan seisi Istana, padahal Yoshikiyobegitu disukai oleh Mantan Kaisar karena bakatnya sebagai penyair, dan bahkan telah beredar kabarbahwa dia akan dipromosikan ke Kepolisian. Sepertinya tidak ada penjelasan yang masuk akal bagiperilaku anehnya.

Selanjutnya, setibanya dia di rumah, Yoshikiyo tampak resah, dan para pelayan dengan cemasmendengarkan isak tangis istrinya di sebuah kamar, tempat Yoshikiyo menahannya bersama dirinyaselama beberapa waktu.

Ketika keluar kembali, Yoshikiyo menampilkan ketenangan yang dipaksakan, namun ketika putrikesayangannya yang berumur empat tahun berlari menyongsong dan memeluknya, Yoshikiyo dengankasar mendorong bocah itu. Dia mengatakan kepada dirinya sendiri bahwa dia harus melupakan semua

ikatan dengan manusia lain jika ingin meninggalkan dunia fana dan memasuki biara.

Kemudian, dia mencabut belatinya, melakukan upacara penahbisan dengan memotong rambutnya danmelemparkannya ke altar leluhur di tempat persembahyangan keluarganya, lalu berlari keluar, diiringioleh isak tangis putus asa dari orang-orang di rumahnya.

Sepuluh hari kemudian, terdengar kabar bahwa Yoshikiyo telah bersumpah untuk mengabdikan dirisebagai pendeta dan mengganti namanya dengan nama Buddha, yaitu Saigyo. Beberapa orang bahkanpernah melihatnya berada di wilayah kuil di Perbukitan Timur.

Kiyomori semakin bingung ketika mendengar komentar ayah mertuanya, “Sulit untuk memercayaibahwa seseorang yang semuda dan seberbakat itu bisa mengambil keputusan berdasarkan doronganmendadak semata. Mungkin Yoshikiyo memang telah lama memilih untuk menjalani cara hidup yanglebih positif dan mulia.” Kiyomori berpikir untuk meminta penjelasan yang lebih memuaskan dariayahnya, namun dia segera melupakannya karena yang lebih mengganggu daripada raibnya Yoshikiyoadalah rangkaian peristiwa yang satu demi satu melibatkan dirinya; sekarang dia merasakanterpacunya kemampuan berpikirnya yang luar biasa.

=o0dw0o=

Bab VIII - BINTANG BEREKOR DI ATAS

IBU KOTA

Pada Desember 1141, kendati tidak ada seorang pun terkejut karenanya. Kaisar Sutoku yang berusiadua puluh satu tahun mendadak digulingkan dari tahtanya, dan putra Mantan Kaisar Toba bersamaNyonya Bifukumon yang baru berusia tiga tahun dinyatakan sebagai penggantinya.

Pada pertengahan Januari, kurang dari sebulan kemudian, seorang biksu muda berjalan seorang dirimelewati hutan tak berdaun di Perbukitan Timur, mengumpulkan ranting-ranting yang patah akibathujan salju yang lebat. Beberapa orang tetap akan mengenalinya sebagai Yoshikiyo sang pengawal,walaupun jubah biksu melekat di tubuhnya.

“Ah, Andakah itu?”

Saigyo terdiam ketika mendengar suara seseorang memanggilnya. “Kau—Gengo?”

“Anda tidak ada di pertapaan, dan orang-orang di kuil juga tidak tahu di mana Anda berada. Saya pikirAnda mungkin turun ke ibu kota, dan saya hendak menyusul ke sana untuk mencari Anda. Apakahyang sedang Anda lakukan?”

Saigyo tersenyum ceria. “Aku kemari untuk mengumpulkan kayu bakar, tapi kesunyian lembah danpikiranku begitu menyibukkanku sehingga aku tidak menyadari bahwa matahari telah tenggelam.”

“Kayu bakar?—Astaga, mengumpulkan kayu bakar!”

Perhatian Gengo langsung teralih pada seikat besar kayu bakar yang dibawa oleh mantan majikannya.Dia cepat-cepat menanyakan apakah Saigyo sedang berada dalam perjalanan pulang ke pertapaan.

“Apakah ada sesuatu yang mendesak yang membawamu kemari, Gengo?”

Gengo cepat-cepat menjawab, “Seluruh keluarga Anda baik-baik saja. Saya sudah mengurus rumah,para pelayan, dan kuda-kuda Anda. Tanah Anda telah dijual.”

“Aku sangat bersyukur. Aku tidak bisa mengatakan kepadamu betapa aku berterima kasih karena kaumau melakukan semua itu.”

“Para kerabat Anda sepertinya juga sudah melepaskan harapan bahwa Anda akan berubah pikiran, danistri Anda akan segera membawa putri Anda untuk tinggal bersama orangtuanya.”

“Jadi—mereka akhirnya mengikhlaskanku? Itu sungguh membahagiakanku.”

Kerutan di kening Yoshikiyo mendadak lenyap ketika dia mendengar kabar itu. Masalah yang masihmerisaukannya hingga saat ini adalah istri dan anaknya.

Mereka telah tiba di gubuk mengenaskan di belakang kuil yang menjadi tempat tinggal Saigyo. Diamengumpulkan puisi-puisi yang berserakan di atas sebuah meja kecil, menyingkirkan tintanya, danmenyalakan api, sementara Gengo mencuci bahan makanan yang dibawanya di sungai danmempersiapkan sepanci bubur untuk dimasak di atas perapian.

Kendati Saigyo telah berulang kali melarangnya, Gengo, mantan pelayannya, senantiasamengunjunginya, bersikeras bahwa dia akan tetap datang kalaupun dirinya sedang sekarat

Setelah makan malam mereka siap, Saigyo dan Gengo, layaknya sesama biksu dan orang yangberkedudukan

setara, duduk berdampingan di dekat perapian. Walaupun sedang makan, mereka tetap bercakap-cakap.

Segera setelah kepergian majikannya, Gengo secara resmi mengumumkan niatnya sendiri untukmenjadi biksu, dan meskipun belum melakukan upacara penahbisan, dia telah memilih namaBuddhanya, Saiju, dan berharap untuk bisa mengabdi kepada Saigyo di pertapaannya. Yoshikiyo,bagaimanapun, tidak merestui sumpah Gengo dan, untuk mengujinya, menasihatinya agar menungguhingga satu atau dua tahun lagi.

“Saya nyaris melupakan ini,” kata Gengo, meletakkan segulung surat di hadapan Saigyo.

Surat itu, yang dikirim oleh kurir Nyonya Tainkenmon, ditulis oleh tangan lembut seorang wanita dansulit dibaca karena banyaknya pesan dan puisi yang berjejalan di dalam satu halaman. Saigyomendekatkannya ke perapian, mengerutkan kening dalam upaya untuk membacanya.

Seusai membaca surat itu, dia tidak mengatakan apa-apa, namun menatap lekat-lekat api di perapian.

Beberapa orang teman pujangga wanitanya yang menjadi pengiring Nyonya Taikenmonmenyampaikan kabar mereka dan majikan mereka kepadanya. Nyonya Taikenmon, tulis salah seorangdari mereka, kesepian dan telah beberapa kali menyampaikan niat tulusnya untuk menjadi biarawati.Ini bisa dipahami, renung Saigyo. jalan itu sepertinya tidak terhindarkan lagi. Putra NyonyaTaikenmon, Sutoku, telah diturunkan dari tahtanya, dan masa depan sang mantan permaisuri menjadi

tidak pasti.

Saigyo memikirkan betapa Nyonya Taikenmon, yang pernah dianggap sebagai salah seorang wanitatercantik pada masanya, sekarang telah memasuki usia awal empat puluhan. Selain mengasihaninyasecara mendalam, Saigyo juga memikirkan nasib teman-temannya yang menjadi

pengiring sang mantan permaisuri. Jika mereka tidak mengikuti majikan mereka menjadi biarawati,ke manakah mereka akan menemukan keselamatan dari kemelut yang diramalkannya?

Gengo memecah kesunyian. “Sudahkah Anda

mendengar kabar Morito?”

Saigyo, yang sedang melamun menatap keindahan abu putih dan bara api, serta merta mendongak.“Morito?”

tanyanya, seolah-olah berusaha mengingat kembali sebuah kenangan lama.

“Namanya dicabut dari daftar buronan Desember silam.

Seorang pengembara dari Kumanoi di Kisho baru-baru ini memberi tahu saya bahwa Morito sekarangsudah menjadi biksu. Morito yang sama, yang lima tahun yang lalu membunuh Kesa-Gozen danmenghilang begitu saja. Dia mengganti namanya menjadi Mongaku, dan pada musim gugur yang lalubersumpah untuk menebus dosanya dengan seratus hari bertapa di bawah guyuran air suci dari AirTerjun Nachi.”

“Ah, Morito! … Tidak ada yang bisa menandingi Air Terjun Nachi untuk menyucikan dirinya, dantidak mungkin dia bisa menebus dosanya kecuali dengan senantiasa melakukan tindakan baik”

“Pengembara itu menceritakan kepada saya bahwa dia mendatangi Air Terjun Nachi untuk melihatseperti apa penampilan biksu gila ini dan mendapati Mongaku, berpakaian putih dari ujung kepalahingga kaki, seutas tali jerami kasar mengikat pinggangnya, berdoa dengan suara parau sementara airterjun mengguyur tubuhnya—sebuah pemandangan yang akan membekukan darah siapa pun yangmelihatnya! Mongaku sepertinya beberapa kali kehilangan kesadaran, dan akan tenggelam seandainya

tidak ada seseorang yang mengawasinya di sana. Saya diberi tahu bahwa rambut dan janggutnya nyarismenutupi wajah dan matanya yang cekung, dan dia tidak terlihat seperti manusia.”

“Jadi, itulah yang terjadi padanya.” Menarik sebatang kayu yang membara dari perapian, Saigyomenuliskan beberapa kata di hamparan abu.

Nada simpati terdengar dalam suara Gengo ketika dia mengulangi kisah tentang penebusan dosaMorito. Gengo termasuk di antara orang-orang yang paling keji mengecam Morito, dan ketikamendengarkan cerita Gengo tanpa ekspresi tertentu, Saigyo merasakan keengganan mantanpelayannya itu untuk mengabdikan dirinya seumur hidup pada biksu yang saat ini sedangmenghangatkan diri di dekat perapian. Bagaimana mungkin Gengo tahu, pikir Saigyo, bahwapenampilan yang sama sekali tidak mencerminkan keperkasaan ini merupakan siksaan yang jauh lebihbesar daripada guyuran Air Terjun Nachi yang sedingin es dari ketinggian seribu kaki sekalipun?

Bagaimana mungkin Gengo menyadari bahwa semalam pun Saigyo tidak bisa tidur dengan nyenyaksejak pelariannya dari rumahnya ke Perbukitan Timur, bahwa tidurnya selalu dihantui oleh tangisanputri kesayangannya yang telah diabaikannya.

Siapa yang mengetahui bahwa pada siang hari, ketika dia menyelesaikan tugasnya menimba air danmembelah-belah kayu bakar sembari tetap menulis puisi, embusan angin pada pucuk-pucukpepohonan di lembah di bawahnya dan pepohonan pinus di sekeliling kuil terdengar bagaikan ratapanistrinya di telinganya, dan betapa malam-malamnya senantiasa diliputi kegelisahan sehingga lelaptidak pernah lagi mendatanginya? Saigyo tidak akan pernah lagi menemukan kedamaian. Dia telahterenggut sepenuhnya

dari pohon kehidupannya. Penyesalan dan kasih sayang bagi orang-orang yang dicintainya akanmemburunya hingga akhir hayatnya. Di bawah Air Terjun Nachi, Morito membersihkan diri darihasrat dan siksaan duniawi yang merupakan beban alami manusia dan berharap bisa memperbaharuidirinya dengan air suci. Mereka berdua sama-sama sedang mencari kemerdekaan dari ambisi danhawa nafsu yang selamanya menyiksa manusia.

Di abu perapian, Saigyo berulang kali menulis kata

“belas kasihan”. Dia sedang belajar untuk menerima kehidupan beserta seluruh kebaikan dankeburukannya, untuk mencintai kehidupan beserta seluruh manifestasinya dengan cara menyatudengan alam. Dan untuk alasan ini, dia telah mengabaikan rumah, istri, dan anaknya di kota yangpenuh gejolak konflik. Dia telah melarikan diri untuk menyelamatkan kehidupannya sendiri, bukanuntuk mewujudkan impian agung menyelamatkan umat manusia; dia pun tidak bersumpah untukmenjadi biksu atas dasar niat merapalkan puja-puji kepada Buddha; dia bahkan tidak bercita-citauntuk menjadi pemuka agama. Hanya dengan menyerahkan diri kepada alamlah dia bisa menghargaikehidupannya dengan cara terbaik, mempelajari bagaimana manusia semestinya hidup, dan olehkarenanya menemukan kedamaian. Dan jika ada pendeta yang menuduhnya telah berikrar atas dasarcinta kepada diri sendiri, bukan untuk menyucikan dunia dan berkorban untuk umat manusia, Saigyosiap untuk mengakui bahwa tuduhan itu benar sehingga dia layak untuk dicerca dan dihina sebagaiseorang pendeta gadungan. Tetapi, jika diminta untuk membela diri, dia siap untuk menyatakan bahwaseseorang yang tidak bisa mencintai kehidupannya sendiri tidak akan bisa mencintai umat manusia,dan saat ini dia sedang belajar untuk mencintai kehidupannya sendiri. Dia tidak berbakat untukmenyebarkan ajaran

Buddha; yang diinginkannya hanyalah dibiarkan hidup sebebas kupu-kupu dan burung.

Keesokan paginya—19 Januari—Saigyo meninggalkan pertapaannya untuk pergi ke Jalan Keempat diibu kota.

Salju turun dan dia tergoda untuk kembali ke pertapaannya, namun pikiran mengenai surat yangdisampaikan oleh Gengo mendorongnya untuk meneruskan langkah. Dia telah cukup lama tidakberjumpa dengan teman-temannya, dan siapa yang mengetahui perubahan yang telah terjadi padamereka? Dia menyeberangi sebuah jembatan yang tertimbun salju tebal dan berbelok ke arah istanaNyonya Taikenmon. Di salah satu persimpangan di ibu kota, dia melihat orang-orang berkerumuntanpa memedulikan badai salju yang menerpa mereka. Terdengarlah teriakan-teriakan,

“Mereka sudah memberangkatkan orang-orang ke pengasingan!”

“Beberapa orang tawanan!”

“Pasangan suami istri, siapakah mereka? Apakah kejahatan mereka?”

Saigyo mempertimbangkan untuk melewati jalan yang lain, namun manusia dan kuda juga telahmenjejali jalan tersebut. Para petugas dari Kepolisian bersiaga untuk meredakan amukan beberapaorang prajurit yang sepertinya mengabdi kepada seseorang yang berjabatan tinggi.

“Lihatlah, tidak ada pelana di kuda mereka! Kejam sekali— padahal mereka sangat lemah lembut!”beberapa orang wanita meratap, mengulurkan leher untuk melihat lebih jelas, dan cepat-cepatmengusap air mata mereka dengan lengan kimono.

Beberapa orang petugas rendahan bersenjata tongkat bambu muncul dan dengan kasar menyodoki parapenonton, berseru, “Mundur, mundur! Jangan menghalangi

jalan!” Dengan berbagai perintah tegas, mereka mendorong orang-orang mundur dari jalan. Darigerbang sebuah kediaman bangsawan, muncullah dua ekor kuda tanpa pelana yang ditunggangi olehseorang pria dan wanita yang terikat satu sama lain. Seorang petugas memimpin prosesi itu, membawasebuah tanda bertuliskan, “Genji Moriyoki dan istrinya, Shimako, diperintahkan untuk diasingkan keTosa karena atas perintah Nyonya Taikenmon telah mengirimkan tulah mematikan kepada PermaisuriYang Mulia, Nyonya Bifukumon

Saigyo mengenal Moriyuki yang berambut putih dan istrinya; keduanya adalah pengiring NyonyaTaikenmon yang uzur dan tepercaya. Terkejut melihat apa yang terjadi pada mereka, Saigyo tidaksanggup menahan lolongan sedihnya. Suara itu mendorong orang-orang yang lain untuk merangsek kearah pasangan tersebut sembari berteriak-teriak, “Selamat jalan Yang Terhormat Moriyuku,menyedihkan sekali perpisahan ini! Semoga kalian berdua selalu dilimpahi kesehatan!” Para penontonberusaha mengejar kedua kuda yang ditunggangi oleh pasangan itu seolah-olah tidak rela melepaskepergian mereka.

Kemudian, para petugas yang garang memukuli mereka dengan tongkat bambu, membentak-bentakmarah, “Dasar kalian rakyat jelata, jangan coba-coba mendekat!”

Saigyo tidak semudah itu takluk pada gertakan; dengan lihai, dia menghindari sodokan bambu danmembiarkan dirinya hanyut oleh arus manusia, namun di tengah keributan itu, dia terpeleset salju.Kaki seekor kuda milik salah seorang petugas menginjaknya, dan dia kehilangan kesadaran. Ketikasiuman, dia mendapati dirinya tergeletak di atas genangan lumpur bersalju. Tidak ada lagi kerumunanmanusia dan kuda. Yang ada di sekelilingnya hanyalah keheningan malam dan salju, menghapusseluruh

jejak peristiwa beberapa waktu sebelumnya sehingga seolah-olah hanya terjadi di dalam mimpi.

Saigyo tidak jadi mengunjungi Nyonya Taikenmon hari itu.

Desas-desus menyebutkan bahwa tuduhan ilmu hitam tersebut benar adanya, namun sebagian orangmeyakini bahwa tuduhan itu salah dan merupakan hasil persekongkolan. Di permukaan, Kyototetaplah Ibu Kota Kedamaian dan Ketenangan, walaupun gejolak kemelut terasa begitu dahsyat dibagian dalamnya.

Tidak lama kemudian, Mantan Kaisar Toba membotaki kepalanya dan permaisuri pertamanya.Nyonya Taikenmon, menjadi biarawati di Kuil Ninna-ji. Saigyo mendengar kabar ini dari pengiringsang mantan permaisuri, yang menuliskan bahwa pada usianya yang keempat puluh dua, NyonyaTaikenmon menjalani upacara penahbisan dan berpamitan pada dunia fana.

Dari pertapaannya, Saigyo menyaksikan musim semi datang bersama kicauan burung-burung di pagihari.

0==dw==0

Jembatan besar di Gojo telah selesai dibangun; jembatan itu membentang di atas Sungai Kamo,menghubungkan wilayah timur ibu kota dengan kaki Perbukitan Timur.

Beberapa tahun sebelumnya, seorang biksu bernama Kakuyo mencari dukungan dari masyarakat disekitar tempat itu, meminta mereka menyisihkan sebagian penghasilan yang didapatkan dengan susahpayah untuk menyokong pembangunan jembatan itu; dia sendiri ambil bagian dengan mengangkutibatu, membantu menggali fondasi, dan tinggal di sebuah gubuk kecil di tepi sungai hingga jembatanitu siap digunakan.

Mengenai dirinya, masyarakat berkata, “Walaupun ada banyak biksu dan pendeta yang berkeliaran danmembakari kuil dan biara, Kakuyo, setidaknya, adalah seorang pria suci.”

Sebagai dampak pembangunan jembatan, wilayah ibu kota meluas hingga ke bagian selatan Kyoto,sejauh bukit tempat Kuil Kiyomizu berdiri. Daerah yang semula hanya berupa padang ilalang danhutan segera dibersihkan untuk pembangunan sebuah rumah mewah. Ketika pembangunan dilakukan,orang-orang penasaran ingin mengetahui siapa pemilik rumah tersebut, namun sepertinya tidak adayang mengetahuinya.

Pada awal musim panas 1145, bahkan sebelum tembok rumah mengering, tibalah sejumlah anggotakeluarga dan pelayan yang akan menghuni rumah itu, dan segera diketahui bahwa sang pemilik adalahHeike Kiyomori, kepala Kantor Pusat yang baru.

Menoleh kepada istrinya, Tokiko, Kiyomori bertanya dengan bangga, “Sekarang, katakanlah kepadakupendapatmu tentang rumah ini, walaupun tempat ini tidak sebanding dengan kediaman ayahmu.”

Tokiko, sekarang ibu dari tiga orang anak, bersama suaminya memeriksa rumah baru mereka dengangembira.

Bersama putra pertama mereka yang telah berumur tujuh tahun, Shigemori, mereka mengelilingirumah, memasuki setiap ruangannya, menghirup aroma kayu segar, dan menyusuri koridor-koridornya.

“Ayahmu,” lanjut Kiyomori, “yang jauh lebih aneh daripada ayahku, lebih meyukai rumah kunonyadaripada rumah ini dan menolak untuk tinggal bersama kita. Ah, baiklah, jika beliau menyukai tempattinggalnya sekarang,

lebih baik beliau tetap tinggal di sana. Aku harus menunggu selama delapan tahun untuk rumah ini.”

Delapan tahun telah berlalu sejak mereka menikah, dan baik Kiyomori maupun Tokiko tidak pernah

menyangka bahwa mereka akan segera memiliki rumah mereka sendiri.

Mengingat kembali tahun-tahun yang telah berlalu, Kiyomori kerap memikirkan bagaimana diamendapatkan semua ini. Betapa tahun-tahun yang dilaluinya dalam kelaparan terasa singkat dan tidaknyata sekarang. Para pelayan mereka, pria dan wanita, beserta budak-budak mereka, telah berjumlahsepuluh kali lipat, dan ada belasan ekor kuda di dalam istal.

Tadamori, ayahnya, juga semakin kaya dan menduduki jabatan tinggi di Departemen Kehakiman; diajuga memiliki kekayaan di provinsi Tajima, Bizen, dan Hasima.

Genji Tameyoshi juga mendapatkan kembali kekayaannya. Kyoto dibanjiri oleh prajurit muda dariwilayah timur, semuanya berasal dari wilayah kekuasaan Tameyoshi di Bando. Putra-putranya, yangsekarang telah berkedudukan tinggi, memiliki pasukan masing-masing, dan kekuatan militer Genjimeneguhkan reputasi mereka sebagai salah satu keluarga terkuat di ibu kota.

Para bangsawan, bagaimanapun, mengamati

pertumbuhan kekayaan dan kekuatan para samurai dengan waspada. Tidak bisa disangkal lagi bahwabahaya yang mengancam orde penguasa saat inilah yang menjadikan perubahan tersebut tidakterhindarkan, dan bahwa para bangsawan harus meminta perlindungan kepada samurai, karena tubuhkekaisaran sendiri sedang mendapatkan rongrongan dari luar maupun dalam. Pengaruh perdamaianterakhir antara Toba dan putranya, Sutoku, telah hilang bersama kepergian Nyonya Taikenmon kebiara, dan perseteruan antara kedua mantan kaisar tersebut semakin

terbuka. Kalangan Istana meramalkan adanya perebutan kekuasaan. Sejumlah faksi telah memecahbelah Istana, dan berbagai persekongkolan dan intrik susul-menyusul dengan cepat. Para pendetabersenjata dari Gunung Hiei dan Nara turut memperkeruh suasana dengan ancaman mereka untukmeledakkan perang saudara jika tuntutan mereka pada Istana tidak dikabulkan. Heike Tadamori danHeike Kiyomori, juga Genji Tameyoshi ditugaskan untuk meredakan perlawanan para biksu danmempertahankan Istana.

Pada suatu malam musim panas yang gerah, Juli 1146, wajah-wajah gelisah di seluruh ibu kotamendongak ke langit, tempat sebuah penampakan terang benderang memamerkan jejak panjang.

“Sebuah bintang berekor! Setiap malam bintang itu muncul …”

“Di arah barat laut sana—lihatlah komet besar itu!”

“Sesuatu akan terjadi—sesuatu yang buruk, jika dilihat dari pertanda itu.”

Penduduk ibu kota kini yakin bahwa penampakan di langit tersebut adalah pertanda akan datangnyasebuah bencana, karena pada masa itu terdengar banyak kabar bahwa para biksu di Nara telahmenghimpun sebuah pasukan besar dan sedang bersiap-siap untuk menyatakan perang kepada biarasaingan mereka. Para kurir berkuda mulai berdatangan sepanjang siang dan malam dari Nara, danTameyoshi diperintahkan untuk berangkat ke Uji bersama pasukannya.

Kecemasan merundung Istana. Para ahli nujum dan ahli perbintangan dipanggil untuk mengatakanapakah tanda di langit tersebut mencerminkan kebaikan atau keburukan.

Para pendeta melantunkan doa-doa dan mantra-mantra untuk mengusir segala kemalangan.

Tidak lama kemudian, pada 25 Agustus, terdengarlah kabar dari Kuil Ninna-ji bahwa NyonyaTaikenmon wafiat pada usia empat puluh lima tahun.

Pada tahun berikutnya, para biksu Nara menantang biara Gunung Hiei untuk berperang, dan KuilKiyomizu dibumihanguskan. Pada tahun yang sama, 1147, di usianya yang ketiga puluh, HeikeKiyomori dipromosikan ke Golongan Keempat dan mendapat gelar Tuan Aki. Sebagai gubernursebuah provinsi, dia menerima segala macam kehormatan dan tunjangan yang menyertai jabatannya.

Bagi Kiyomori, tibalah hari yang telah lama dinanti-nantikannya, yang akan menjadi ajangpembuktian bagi impian-impian rahasianya.

0)—=dw=—(0

Bab IX – PARA PRAJURIT BIKSU DARI

GUNUNG SUCI

Mereka menyebutnya Gunung Suci … Gunung Hiei yang menjulang tinggi di atas kaki perbukitan dihulu Sungai Kama, terlihat sepanjang tahun dari setiap persimpangan jalan di ibu kota. tidak terlalujauh namun juga tidak terlalu dekat. Sejak matahari terbit hingga tenggelam, para penduduk kota bisamengangkat mata letih mereka dan berseru, “Ah! Tidak akan ada penderitaan dan kebencian sebesaryang menggerogoti kita di sini …. Di sini, tempat orang-orang saling menggeram dan menggigit,menipu dan menjilat, dan beradu kekuatan, tidak ada yang percaya bahwa gunung itu juga menjaditempat tinggal manusia, karena jika bukit penebusan dosa itu sama saja

dengan kota kejahatan ini, dimanakah manusia bisa meletakkan keyakinan atau menemukankedamaian?

Mereka bersikukuh, “Ah tidak, hanya di sanalah cahaya Kebenaran menyala setiap hari.” Di kota ini,termakan oleh hawa nafsu, orang-orang awam hanya bertanya apakah mereka boleh melihat cahaya itudan berpegang pada keyakinan bahwa Buddha melihat segalanya … menilai manusia yang adil denganadil, yang baik dengan baik.

Bulan baru menggantung di langit. Sosok yang terlihat seperti seekor monyet berpinggang bengkoktertatih-tatih menaiki tangga curam menuju Puncak Shimei. Pria tua bijaksana itu bertopang ketongkatnya. Dia akhirnya tiba di atas sebuah tebing batu. Di bawahnya jurang gelap gulita mengangadan di sekelilingnya langit malam yang luas. Dia gemetar dan jatuh berlutut. “Na … namu …”

Air mata mengaliri pipinya ketika dia menyatukan kedua tangannya untuk berdoa, lalu menaikkannada suaranya dan terisak-isak, berbicara kepada alam semesta.

“Namu amida butsu (Mohon ampun, Amida Buddha) …

namu … Amida … namu … Amida … bu … ” erangnya.

“Mohon ampun … ampunilah hamba!” Bersujud, dia menjerit nyaring, “Terbutakan oleh kebodohan,hamba berusaha menyelamatkan umat manusia namun tidak sanggup menyelamatkan diri hamba

sendiri. Ke manakah hamba harus berpaling? Ilmu pengetahuan hanya membawakan kegelapan kepadahamba. Pembelajaran telah menjauhkan hamba dari jalan kebenaran. Sia-sia saja kehidupan hamba.Gunung Suci ini adalah singgasana kejahatan. Hamba tidak berani hidup lebih lama lagi.

Hamba tidak berani lagi hidup di gunung ini. Buddha Yang Maha Pengampun, jika janji-janji-Mubenar adanya, tunjukkanlah kepada hamba bahwa surga itu ada, dan

bahwa manusia bisa tinggal di sana … kemudian, biarkanlah hamba mati.”

Lama dia terisak-isak, berkeluh kesah dan meratap-ratap dengan suara terbata-bata.

Pada masa mudanya, dia telah tenggelam dalam kegetiran dan kepedihan dunia, dan, berharap dapatmenjadi seorang manusia suci untuk mengangkat penderitaan manusia, dia mengabdikan diri untukmenjadi biksu di Gunung Hiei. Selama lebih dari empat puluh tahun, nyaris sepanjang kehidupanseorang manusia, dia mengenakan pakaian yang diwajibkan, menjalankan tindakan yang diharuskan,dan mengabaikan tubuhnya.

Selama tujuh tahun, bertelanjang kaki, dia berkeliling di kuil-kuil yang ada di puncak gunung danlembah sepanjang siang hari hingga kakinya berdarah, dan bermeditasi sepanjang malam. Kemudian,dia mengurung diri selama bertahun-tahun di tengah kegelapan sebuah bilik untuk menghafalkan ayat-ayat Buddha hingga kedua matanya rabun. Kemudian, dia berkelana di seluruh negeri, menantang paracendekiawan dari berbagai aliran dalam debat-debat keagamaan hingga mendapatkan predikat sebagaiorang paling bijaksana di masanya. Pada hari tuanya, dia diangkat menjadi kepala sebuah biara,pemegang wewenang sekte Empat Doktrin Tendai di Gunung Miei. Tetapi, tidak ada pengikut yangbersimpuh di kakinya di biaranya di perbukitan karena kuil-kuil di Gunung Hiei semakin cemerlangseiring berjalannya waktu; cahaya terang benderang terpancar dari tempat-tempat pemujaanterdalamnya sekalipun; lumbung-lumbungnya dipenuhi oleh bahan makanan melimpah ruah yangdidatangkan dari berbagai provinsi, lebih dari cukup untuk menghidupi puluhan ribu biksu,cendekiawan, pengikut, pemula, dan budak yang tak terhitung banyaknya,

sementara kekayaan sekte Tendai hanya menambah keputusasaannya.

“Walaupun ayah pertama biara-biara ini, Saicho, membanting tulang di sini hingga ajalmenjemputnya, pengetahuan hamba tidak memiliki makna apa pun, dan hamba sudah tidak memilikikekuatan lagi untuk hidup ….

Hamba merana! Walaupun Buddha mendatangi hamba setelah kematian, apakah gunanya? Kaliangagak-gagak di seluruh perbukitan ini, ayo, jadikanlah dagingku sebagai santapan kalian siang ini!”Bersama kalimat itu, sang biksu tua berjinjit, dan sedetik kemudian melompat ke jurang.

Pada pagi buta, lama sebelum ibadah pagi dimulai, jeritan yang sepertinya menggema di antaragumpalan-gumpalan awan di atas Gunung Hiei membangunkan para biksu dari tidur mereka.

“Lonceng di Aula Ceramah berbunyi! Datanglah ke Aula Ceramah!”

Gelegar lonceng masih menyisakan getaran di udara ketika para biksu bergegas mengenakan jubahpendeta di atas baju zirah mereka, menyandang pedang panjang, dan menyambar tombak mereka.Berduyun-duyun, mereka mendaki dari biara-biara di perbukitan, bagaikan gumpalan-gumpalan awan

yang membubung dari ngarai, para biksu uzur bertopang pada tongkat mereka. Beberapa buah bintangmasih bersinar di langit bulan Juni itu. Menutupi wajah dengan syal sutra atau lengan jubah mereka,para pendeta tua dan muda itu, dengan kaki beralas sandal jerami, terburu-buru mendaki. Merekamencorongkan kedua tangan dan berseru ke atap-atap biara dan asrama yang gelap, “Datanglah keAula Besar! Lonceng itu menandakan pertemuan umum.” Layaknya para samurai yang berkumpulsebelum berperang, mereka dengan penuh semangat saling menanyakan alasan pemanggilan mereka.

Seorang biksu mendadak berhenti di tengah hamparan rumput di sebuah tebing di bawah PuncakShimei. “Ya, ya!

Sesosok mayat … seorang pria tua! Dari biara manakah pendeta itu berasal?” Sesosok mayatbersimbah darah tergeletak di antara bebatuan, wajahnya hancur sehingga tidak mungkin dikenali lagi;beberapa orang biksu berdiri dan menunduk di sekelilingnya, ketika salah seorang dari mereka dengansigap maju untuk memeriksa tasbih yang melingkari pergelangan tangannya dan berseru, “Ah!

Kepala Biara Jitsugyo, yang sudah lama menderita sakit-sakitan di biaranya. Tidak salah lagi … inibeliau.”

“Apa! Kakek tua bijaksana itu?”

”Tidak diragukan lagi. Lihatlah baik-baik.”

”Bagaimana beliau bisa terbunuh? Beliau pasti terpeleset di Puncak Shimei.”

“Aku meragukannya. Beliau sudah lama sakit-sakitan, dan mungkin rasa putus asa mendorong beliauuntuk menjemput ajalnya sendiri.”

“Itu tidak mungkin menjadi satu-satunya alasan. Siapa pun yang berjumpa dengan beliau akhir-akhirini mengatakan bahwa beliau mencaci maki kebusukan dan kebobrokan biara Tendai kita kepada siapapun yang mau mendengarnya.”

“Beliau tidak pernah puas … seorang pria yang tidak pernah tersenyum. Bertahun-tahun sakit-sakitanpasti penyebab utamanya. Pria malang … malang sekali!”

“Yah, apa yang bisa kita lakukan sekarang, karena lonceng pertemuan masih berdentang memanggilkita?”

“Kematian cepat atau lambat akan mendatangi seseorang yang sakit-sakitan. Sekarang beliau sudahmeninggal, dan ini bukan waktu yang tepat bagi kita untuk

mencemaskan sesosok mayat … pertemuan umum mungkin akan mengharuskan kita turun gunung.Kita bisa mengurus pemakaman beliau nanti. Kita harus mengikuti pertemuan. Ayo, mari kita menujuAula Ceramah!”

Mengalihkan perhatian dari mayat itu, para biksu bergegas melanjutkan perjalanan. Kelompok demikelompok pendeta bersenjata hanya melirik ketika melewati mayat mengenaskan itu.

Fajar mulai menyingsing. Di dekat wajah mayat sang biksu tua, sekuntum bunga berselimut embunbergetar tertiup angin. Mulut sang biksu terbuka, menunjukkan giginya yang tinggal sebuah, dan untuk

pertama kalinya, dia terlihat seolah-olah sedang tersenyum pada gunung.

Sebuah balok sepanjang tiga puluh tiga meter menyangga beranda Aula Ceramah Besar. Di kaki ruastangga lebar menuju aula, seorang biksu berbadan kekar berjongkok di atas sebongkah batu danmenghadapi rekan-rekannya. Di atas zirah kasarnya, dia mengenakan jubah pendetanya.

Lengan panjang dari jubah panjangnya setengah menutupi wajahnya, dan dia membawa sebuahtombak. Delapan atau sembilan orang biksu, tua dan muda, berdiri di beranda di atas dan menundukmenatap kepala-kepala di bawah mereka.

Salah seorang pendeta sedang menyampaikan kesimpulan dari sebuah pidato panjang dan berapi-api,“…

Ini mungkin terlihat seperti sebuah urusan sepele, namun sesungguhnya ini adalah masalah serius,karena ini mencerminkan kehormatan biara kita. Urusan ini tidak hanya membuka mata kita terhadapakal bulus sekte saingan kita, tetapi juga mengancam keberadaan kita di Gunung Hiei sebagaipelindung wilayah ini. Saudara-saudaraku, apa pun pikiran kalian, silang pendapat kita hanya berujungpada dua pilihan. Apakah kita akan

meledakkan unjuk rasa bersenjata atau tidak? Aku memohon kepada kalian semua yang berkumpul disini untuk tanpa segan-segan menyampaikan pendapat kalian mengenai hal ini”

Pertemuan umum ini diadakan untuk mengumumkan kepada para biksu tentang sebuah insiden yangterjadi beberapa minggu sebelumnya di awal bulan Juni dalam festival keagamaan tahunan di Gion. Dipuncak perayaan suci itu, sekelompok biksu terpancing dalam sebuah pertikaian melawan dua orangprajurit. Para biksu itu memang mabuk, begitu pula kedua samurai yang menjadi lawan mereka,sehingga kedua pihak sama bersalahnya.

Kendati begitu, masalah ini tidak bisa diabaikan begitu saja, katanya, karena para samurai itu tidakhanya menghajar para pendeta dari Gion tetapi juga melukai beberapa biksu lainnya yang berusahamelerai mereka, kemudian melarikan diri. Banyak orang menyaksikan keributan itu, dan darah telahtumpah ke tanah yang suci. Kaum pendeta telah dihina secara terbuka. Apakah mereka harusmelupakan kejadian itu dan membiarkan kedua samurai pemancing kerusuhan itu lolos tanpamendapatkan hukuman yang setimpal? Masalah ini telah dilimpahkan ke Departemen Kehakiman danKepolisian, dan biang keroknya berhasil dilacak dan diidentifikasi. Kedua samurai tersebut ternyatamengabdi di Istana Kloister: yang pertama adalah pelayan dari Kiyomori.Tuan Aki, dan yang keduaadalah adik iparnya, Tokitada. Para pendeta Gion telah berulang kali memohon agar kedua samurai itudiserahkan kepada mereka, namun Tuan Aki hanya tertawa dan mengabaikan permohonan tersebut.Perintah penangkapan mereka telah didaftarkan ke Departemen Kehakiman, namun kepala kantornya,Tadamori (ayah Kiyomori) mengabaikannya. Pihak pendeta akhirnya mengirim sebuah delegasi atasnama Gunung Hiei untuk menemui Mantan

Kaisar dan Perdana Menteri, memohon agar Tadamori dan Kiyomori diturunkan dari jabatan mereka;bagaimanapun, mereka hanya mendapatkan jawaban yang mengecewakan

… sebuah penghinaan pada Biara!

Ini adalah masalah yang merisaukan, dan para pendeta telah kehilangan kesabaran. Baik Istana

Kekaisaran maupun Istana Kloister semakin menyepelekan wewenang Gunung Hiei. Padahal,bukankah biara-biara di wilayah utara ibu kota itu telah menjaga “pintu masuk iblis” dan menghalausetiap pengaruh buruk yang hendak memasuki ibu kota? Bukankah atas persetujuan Istana pulalahbiara Tendai didirikan di Gunung Hiei? Bukankah Kaisar sendiri yang lebih dari tiga ratus tahun silammemerintahkan pembangunan Komponchudo di gunung, agar api kedamaian nan suci bisa menyalasecara abadi di kuil utamanya?

“Haruskah Tadamori dan Kiyomori diperbolehkan menginjak-injak kehormatan Biara Tendai?Haruskah Mantan Kaisar dan Perdana Menteri tanpa tahu malu melecehkan wewenang biara kita?Mereka menghina masa lalu kita dan hanya menyimpan kebencian kepada kita!”

Si pendeta mangacungkan tinju untuk mengakhiri pidato berapi-apinya. Gejolak perasaan melandasemua pendeta yang memenuhi Aula Besar; kemudian, sorak sorai lantang meluncur dari bibirmereka:

“Ke ibu kota! Mari kita turun ke ibu kota!”

“Unjuk rasa bersenjata! Unjuk rasa bersenjata! Keadilan harus ditegakkan!”

Sekali lagi, lonceng besar dibunyikan untuk menandai keberangkatan para pendeta menuruni gunung.Terpanggul di bahu para pendeta adalah Altar Sakral yang biasanya diletakkan di depanKomponchudo, tempat para dewa

dipuja, dan sebuah deklarasi untuk berbaris ke ibu kota dibacakan dengan khidmat di depan ribuanpendeta yang memadati pekarangan kuil besar itu.

Berbagai gumaman marah terdengar, “Sudah lama sejak kita terakhir kali mengunjungi Istana Kloisterdan Istana Kekaisaran.

Sesekali mengunjungi mereka dengan membawa Altar Sakral dan emblem suci kita adalah tindakanyang tepat agar kita tidak disepelekan. Ini adalah kesempatan dari langit untuk mengembuskanketakutan ke dalam hati para samurai itu.”

Matahari bulan Juni tanpa ampun memancarkan sinar panasnya; diiringi bunyi jangkrik dari segalapenjuru, Altar Sakral diarak menuruni gunung. Sepasukan besar pendeta mengikutinya, bergerak tanpahenti bagaikan tanah longsor.

Unjuk rasa bersenjata dari para pendeta Gunung Hiei tidak jarang terjadi, dan tuntutan yangdisampaikan oleh ribuan biksu yang berbaris ke Istana atau Kediaman Perdana Menteri biasanya akandidengar, karena tidak seorang pun berani memicu kemarahan para dewa dengan menentang parapendeta. Di hadapan Altar Sakral, Kaisar sekalipun akan turun dari singgasananya dan bersujuddengan khidmat.

0)—=dw=—(0

Bab X – DUSTA

“Tadamori dan Kiyomori … ayah dan anak itu …

mungkin bukan orang penting, namun kedua samurai Istana itu akhir-akhir ini menjadi orangkepercayaan Yang Mulia. Sudah saatnya kita mencabut mereka sepera rumput,

atau mereka akan menimbulkan masalah di masa yang akan datang.”

‘Tidak, seluruh Istana Kloisterlah yang menyepelekan kita.”

“Maksudmu, kericuhan di tanah Kagashirayama?”

“Itu dia. Kita tidak mendapatkan jawaban dari tuntutan kita dalam masalah itu.”

“Tanah itu ada di wilayah hukum kita. Ketika biksu yang menggarap tanah Kagashirayama meninggal.Istana berpendapat bahwa tanah tersebut harus dikembalikan kepada Yang Mulia.”

“Itu sama saja dengan upaya perampasan tanpa memedulikan hukum …”

“Istana Kloister adalah tujuan kita!”

“Kita harus lebih sering mendatangi tempat itu. jangan sampai mereka membudayakan kebiasaanburuk mereka!”

Saat malam tiba, beberapa ribu orang biksu bersenjata berduyun-duyun menuruni gunung sambilmemanggul Altar Sakral dan bagaikan awan badai yang berarak dari utara ke arah ibu kota, mengikut)aliran Sungai Kamo, mereka bergerak menuju gerbang-gerbang kota. Ketika kegelapan telahmenyelimuti kota, merelai mengumandangkan ayat-ayat suci, dan nyala obor-obor mereka seolah-olahmembakar tanah dan menyulut awan.

Di tetiap desa dan dusun yang dilalui oleh para biksu itu, kengerian melanda para penduduk seolah-olah Dewa Kejahatan sendirilah yang sedang melewati mereka; tidak seorang pun terlihat Di dalamgubuk mereka, para ibu memeluk anak-anak mereka erat-erat, menyembunyikan

wajah, dan menajamkan pendengaran mereka, menunggu hingga para pendeta beringas itu pergi.

Di Gion, Altar Sakral diletakkan di depan tempat pemujaan di kuil sementara para biksu mendirikanpos penjagaan, dan sepanjang malam itu, nyala api mereka menjadikan Perbukitan Timur tampakmembara.

•d•w•

Kebanggaan memiliki sebuah rumah baru. dan ketertarikannya sendiri pada bangunan, mendatangkankenikmatan yang berkesinambungan dalam diri Kiyomori.

Sejak menetap di Rokuhara, dia tidak pernah puas meminta para tukang kayu membuat perubahan danpenambahan di rumahnya. Selarik anak air yang mengalir dari perbukitan di belakang Kuil Kiyomizudan melewati tanahnya mengingatkan Kiyomori pada sungai yang mengalir melewati pekarangankediaman ayah mertuanya, dan Kiyomori mendapatkan gagasan untuk membelokkan sungai keciltersebut ke tamannya. Dia membicarakan tentang hal ini kepada istrinya, yang mengatakan:

“Ya, jika kita punya sungai di taman kita, maka aku dan adikku bisa mencelup benang di sana. Aku

akan mempekerjakan seorang gadis penenun dan merancang pola-pola baru dengan warna-warna unik.sehingga kau dan anak-anak akan memiliki pakaian yang sangat istimewa.”

Tokiko tidak hanya seorang penenun anda), tetapi juga pernah menjadi dayang di Istana Kekaisaran.Di sanalah dia melihat dan menangani berbagai macam brokat dan bordiran indah di lemarikekaisaran.

“Bagus! Aku akan bisa melihatmu dan adikmu mencelup benang, seperti yang kulakukan ketika kitapertama kali bertemu.”

Kiyomori memikirkan rencana tersebut dengan antusias dan menyuruh para pekerja untuk mulaimewujudkannya.

Saat musim panas tiba, semuanya sudah selesai.

“Nah, dengan adanya sungai yang mengalir di taman kita, akan ada banyak kunang-kunangbeterbangan di sana.

Aku harus mengundang ayahku untuk datang dan melihatnya,” kata Kiyomori.

Pada malam hari; ketika Tadamori dan Ariko, ibu tiri Kiyomori, berkunjung ke Rokuhara; para biksudari Gunung Hiei tiba di ibu kota.

Ariko dan Tokiko, yang berusia sebaya dan nyaris bisa disangka bersaudara, sepertinya bisa bergauldengan sangat akrab, dan melihat mereka bermain-main bersama ketiga cucunya menyenangkan hatiTadamori, yang duduk dan menyesap sakenya dengan penuh kedamaian. Dia menikmati pikiran bahwaputranya yang dahulu santai dan ceroboh sekarang tidak hanya menjadi seorang pegawai istanatepercaya tetapi juga menjadi Tuan Aid, tuan rumah sebuah kediaman baru yang indah. BagiKiyomori, yang perasaannya sedang terhanyutkan oleh sake, kehidupannya sepertinya sedang beradadi masa yang paling ranum.

“Seandainya Tsunemori datang bersama Ayah, dia tentu akan memainkan serulingnya untuk kita,”kata Kiyomori.

“Apa kau menyukai alunan seruling?” jawab Ariko.

“Kalau kau punya seruling, aku bisa memainkan sesuatu untukmu”

Kiyomori menoleh kepada Tokiko dan memintanya untuk mengeluarkan serulingnya.

Tadamori duduk dan menyaksikan kunang-kunang beterbangan di atas permukaan sungai; sembariperlahan-lahan menghirup sakenya, dia mendengarkan permainan

Ariko dan sejenak kemudian menyandarkan diri ke tiang, terkantuk-kantuk. Tiba-tiba, Tadamorimenegakkan badan, terbangun; seseorang sedang berlari melewati gerbang depan menuju halamankosong di dekat istal. Sebuah teriakan terdengar, dan dia juga bisa mendengar kegaduhan para pelayandi ruangan mereka.

“Mereka sudah datang!”

Tokitada, adik lelaki Tokiko, masuk dengan ribut, mengumumkan bahwa para biksu dari Gunung Hieitelah tiba di ibu kota. Heiroku, pelayan Kiyomori, berjongkok di belakangnya. Dari wajah keruhmereka, jelas bahwa keduanya mengetahui tingkat keseriusan pengumuman yang mereka sampaikan.

Ariko serta merta menurunkan serulingnya dan memandang Tadamori.

“Sayang sekali peristiwa ini terjadi sekarang,” gumam Kiyomori kepada dirinya sendiri, sebelummenyunggingkan senyuman kepada ayahnya. “Jadi, akhirnya mereka datang juga!”

Sekarang terjaga sepenuhnya, Tadamori duduk tegak, berkata dengan tenang, “Jadi, akhirnya merekadatang juga, bukan? Kita harus keluar dan menghadapi badai ini. Para biksu dari Gunung Hiei itusedahsyat badai petir pada musim panas dan hujan es pada musim gugur. Rumah ini bisa-bisa terbangbegitu saja bagaikan dedaunan yang terbawa pusaran angin.”

“Aku menyadarinya,” jawab Kiyomori, “dan aku hanya akan tunduk pada takdir dari langit, tidak padakemauan mereka. Rumah baru selalu bisa kubangun di atas reruntuhan rumah ini.”

“Jika kau sudah yakin, maka mustahil bagiku untuk menasihatimu agar melakukan yang sebaliknya,Kiyomori, namun jika kau sudah siap merelakan rumahmu, maka aku pun siap merelakan putraku.Seandainya kau gugur dalam pertempuran ini, aku masih memiliki anak lelaki yang lain, Tsunemori,dan jika dia gugur, aku masih memiliki cucuku, Shigemori.”

“Ayah, jangan cemas begitu. Aku berharap agar para biksu itu datang kemari terlebih dahulu, karenaaku mengkhawatirkan apa yang akan terjadi jika mereka memutuskan untuk langsung menyerbu IstanaKloister.”

“Yang Mulia telah diperingatkan untuk tidak memenuhi tuntutan Gunung Hiei kali ini, karena ituhanya akan mendorong mereka untuk semakin melecehkan beliau.

Yang Mulia telah menolak untuk menyerahkan tanah Kagashirayama pada Gunung Hiei.”

“Tidak diragukan lagi, itulah alasan utama unjuk rasa bersenjata ini, bukan peristiwa di Gion.Perkelahian Tokitada dengan para biksu adalah sesuatu yang umum terjadi dan bukan kejadian yangbiasanya akan mereka anggap serius.”

Mendengar namanya disebut, Tokitada dan Heiroku, yang telah mohon diri, muncul kembali.

“Tidak, Kakak, memang benar bahwa aku telah memukul beberapa orang biksu. Mereka menghajarHeiroku hanya gara-gara kesalahan sepele, memerintahnya untuk meminta maaf sambil bersujudkepada mereka, menyuruhnya menyebutkan nama majikannya, dan akhirnya menghina kami denganbahasa yang tidak akan bisa dibiarkan saja oleh seorang samurai pun, sehingga aku membalas mereka.Jika Kakak mau menyerahkanku kepada para biksu itu, tidak akan ada keributan. Biarkanlah aku

menyerahkan diri kepada orang-orang Gion itu. Ampunilah aku atas perbuatanku.”

‘Tunggu, tunggu, Tokitada, kau hendak ke mana?” tanya Kiyomori.

“Akulah alasan utama para biksu itu mengamuk,” seru Tokitada.

“Bukankah aku sudah menegaskan kepadamu untuk menyerahkan masalah ini kepadaku? Apa kausudah kehilangan akal sehat? Bukankah aku sudah mengatakan bahwa akulah yang akan menghadapiakibatnya? Dan kau

… Heiroku … menyingkirlah, karena aku akan menyelesaikan masalah ini sendirian. Jika akumembutuhkan pertolongan, ayahku akan siap memberikannya. Mengertilah, Heiroku, bahwa jika akuberniat mengambinghitamkan dirimu, aku tidak perlu berulang kali mengatakan bahwa aku siapmenanggung akibatnya. Aku merasa mendengar ribuan suara_suara rakyat kecil di pasar …mendorongku untuk maju dan melakukan yang harus dilakukan …Ada lebih banyak yangdipertaruhkan saat ini daripada kehidupanku. Aku akan menjadi jaminan bagi masa depan kaumsamurai, jangan memperpanjang perdebatan ini, karena aku tidak ingin momen langka ini terlepas darigenggamanku.”

Dalam keheningan menyesakkan yang menyusul, mereka bisa mendengar para pelayanmempersenjatai diri dan bersiap-siap menantikan perintah Kiyomori.

“Apakah Ayah akan tinggal lebih lama?.

Melihat Tsunemori datang menunggang kuda. ditemani oleh beberapa orang pelayan berkuda.Tadamori serta merta berdiri.

”Tidak, malam ini sungguh menyegarkan … Dan, Kiyomori, yang terburuk mungkin akan terjadi,seNngga aku menyarankan agar kau memindahkan para wanita dan anak-anak ke tempat yang amansebelum pagi tiba.”

Setelah menasihati putranya. Tadamori dengan santai berjalan ke halaman dan menunggangi kudanya.Kiyomori melihat Ariko memasuki tandunya. Kemudian, Kiyomori menunggangi kudanya danmemberi tahu mereka bahwa dia akan menyertai mereka hingga setengah perjalanan.

Bersama adiknya yang menunggang kuda di sampingnya, Kiyomori perlahan-lahan memimpinrombongan itu keluar dari gerbang.

Kunang-kunang beterbangan di dekat pelana mereka dan tersangkut di lengan kimono mereka.Embusan angin mengantarkan serangga-serangga mungil untuk terbang menghampiri cahaya.

Ketika rombongan mereka tiba di jembatan Gojo.

Kiyomori menoleh ke belakang dan melihat panah-panah api melesat ke langit Gion.

0)—=dw=—(0

Pagi tiba. Ibu kota tampak janggal. Semua rumah terkunci rapat, tidak sesosok manusia pun terlihatberkeliaran, jalanan yang lebar sunyi senyap seperti pada malam buta. Sesekali, seorang samuraiberpatroli. Sepuluh, dua puluh ekor kuda berlalu; kemudian uga atau empat ekor kuda, dituntun olehpara prajurit berjalan ke arah Istana Kekaisaran; para pegawai bergegas ke Istana Kloister uneekmemulai pekerjaan mereka.

“Saya ingin berbicara dengan Kiyomori, Tuan Aki. Saya Heikt Tadamasa. Di manakah dia bertugas?”

Kedelapan gerbang Istana Kloister dijaga ketat oleh para samurai bersenjata lengkap. Tadamasa,paman Kiyomori, menyelinap seorang diri dari Istana Kekaisaran untuk mencari keponakannya.

Seorang samurai menghampirinya untuk menjawab,

“Tuan Aki barangkali belum datang. Desas-desus mengatakan bahwa para biksu akan menyerbukediaman beliau sebelum melanjutkan perjalanan entah ke Istana Kekaisaran atau Istana Kloister.”

“Ah, begitu, dia lebih mengkhawatirkan keselamatan rumahnya daripada Istana. Benar-benar sesuaidengan sifatnya. Aku akan berangkat ke Rokuhara, kalau begitu.”

Tadamasa membelokkan kudanya ke timur dan memacunya menuju Jembatan Gojo. Ketika mendekatijembatan itu, dia melihat seseorang menunggang kuda ke arahnya. Kuda tunggangan orang itu berjalanpelan, mengayun-ayunkan ekornya dengan santai.

“Ho! Paman hendak ke mana?” panggil Kiyomori ketika Tadamasa melaju melewatinya.

Tadamasa sontak menarik tali kekang kudanya untuk menghentikannya. Ketika Kiyomorimenghampirinya, Tadamasa menyemburnya dengan marah:

“Ho, ternyata kamu, Kiyomori! Perhatikan omonganmu itu! Apa maksudmu mengatakan ‘Pamanhendak ke mana’?

Begitu mendengar bahwa dua ribu orang biksu dari Gunung Hiei telah tiba, pikiranku langsung tertujukepadamu.

Astaga, kataku, kau akhirnya bisa terentaskan dari kemiskinan, mampu membangun rumah sendiri,namun akhir keberuntunganmu mendekat begitu cepat Aku kasihan kepadamu seperti layaknyaseorang paman kepada keponakannya. Aku yakin bisa menolongmu, dan aku secepat mungkinmendatangimu.”

“Itu … Paman baik sekali,” kata Kiyomori sambil tertawa terbahak-bahak, walaupun dengan sopan diasegera menelengkan kepala, “tapi, Paman, tidakkah Paman menyadari siapa yang sedang kita hadapi?Tidak seorang pun,Yang Mulia sekalipun, berani melawan para biksu yang datang membawa emblemsuci mereka. Tidak peduli sebesar apa pun pertolongan yang Paman tawarkan, kita tidak berdayamenghadapi para biksu dari Gunung Hiei itu.

Kecuali jika Paman datang kemari untuk melihat reruntuhan rumah saya, kata-kata Paman tadisungguh menggelikan. Padahal saya tahu bahwa Paman bermaksud baik.”

“Hmm … sekarang aku mengerti. Aku bertemu dengan ayahmu pada pagi buta tadi di DepartemenKehakiman, dan dia sepertinya berpikiran sama denganmu. Bahkan, kalian berdua sama saja ….Jadi,tidak seorang pun dari kalian memedulikan apa yang terjadi. Kalian sama sekali tidak peduli.”

“Ayah saya berbicara untuk dirinya sendiri, dan saya untuk diri saya sendiri. Tidak ada yang anehdengan bersikap santai. Sebaliknya, ada apa dengan Paman? Unjuk rasa bersenjata seperti itu bukanlahsesuatu yang aneh.”

“Cukup. Semakin banyak aku mendengar kicauanmu, semakin aku menyadari bahwa kau dan ayahmu

sama-sama pengecut.”

Tadamasa, enggan mengakui bahwa keponakannya sekarang telah dewasa, bersikerasmempertahankan kebiasaannya menindas Kiyomori, seolah-olah dia adalah pemuda mengenaskan darisepuluh tahun silam. Kiyomori, sebaliknya, membiarkan Tadamasa menghinanya hanya karena priaitu adalah saudara ayahnya. Tidak ada orang yang lebih dibencinya daripada Tadamasa. Akhir-akhirini, dia melihat perubahan besar pada sikap Tadamasa, dan dia

menduga bahwa kenaikan jabatan Tadamori di Departemen Kehakiman, selain gelar dan golonganbarunya, entah bagaimana telah menggentarkan pamannya, walaupun Tadamasa tidak memiliki alasanuntuk iri kepada mereka karena dia sendiri baru saja mendapatkan jabatan penting di IstanaKekaisaran.

“Ayolah, Kiyomori, turunlah dari kudamu dan dengarlah apa yang akan kukatakan.”

“Tidak, aku sedang dalam perjalanan untuk mengawasi pertahanan Istana Kloister, dan sekarangbukan saat yang tepat untuk membuang-buang waktu.”

“Dan kau seharusnya menjadi orang pertama yang tiba di Istana … apa maksudmu bersantai-santai diwaktu seperti ini seolah-olah malas bekerja?” tukas Tadamasa, cepat-cepat turun dari kudanya danmenarik pijakan kaki Kiyomori.

“Apa mau Paman sebenarnya?” tanya Kiyomori dengan gusar, mau tidak mau turun dari kudanya. Diamelangkah ke bawah salah satu pohon pinus di pinggir jalan dan duduk di sana.

“Sekarang, dengarkan aku. Kalau kau menolak untuk mendengarkanku, ikatan darah di antara kitaakan putus sejak hari ini,” kata Tadamasa.

“Nah, apa maksud Paman sebenarnya?”

“Kau sudah dibutakan oleh cintamu kepada istrimu.

Tokiko mengendalikanmu.”

“Apa Paman sedang membicarakan istriku?”

“Siapa lagi kalau bukan Tokiko? Kau sudah membiarkan dia menggiringmu ke dalam bencana ini,dasar suami dungui Aku tidak pernah mengenal orang yang lebih dungu

daripada dirimu. Mengapa kau tidak menyerahkan Tokitada ke pihak yang berwenang di GunungHiei?”

“Ah, sebentar, aku kurang mengerti. Apakah Paman mengatakan bahwa karena Tokitada adalah adikistriku, maka aku mendengarkan rengekan Tokiko, dan karena itulah aku bertanggung jawab atassituasi serius ini?”

“Bisa jadi begitu. Aku tidak perlu bertanya kepadamu, karena itu sudah jelas bagiku, pamanmu.”

“Jadi begitu, dan apa pendapat Paman tentang hal itu?”

“Btersumpahlah kepadaku di sini dan saat ini juga bahwa kau akan menyerahkan Tokitada danpelayanmu Heiroku sementara kau sendiri bersedia untuk menjadi tahanan rumah sembari menunggukeputusan pengadilan. Aku, sementara itu, akan berangkat ke Gion sekarang juga dan berbicara sendirikepada para biksu itu. Mereka tidak akan memiliki alasan untuk melanjutkan unjuk rasa, dan kita akankembali hidup tenang.” “Aku menolak.” “Apa!”

“Para biksu itu harus mematahkan tulangku satu per satu sebelum aku mau menyerahkan merekaberdua.”

“Mengapa kau menolak? Apakah nilai kedua orang itu sebanding dengan kedamaian pikiran keduaYang Mulia?”

“Tokitada dan Heiroku tidak bersalah. Seandainya nestapa menimpa Istana Kekaisaran, itu adalahakibat dari penindasan yang terus-menerus terjadi. Seandainya Istana Kloister yang diserang, ituadalah akibat dari kesalahan cara memerintah. Bukan aku yang bertanggung jawab atas dampaknya.”

“Apa kau gila, Kiyomori? Perkataanmu itu sungguh memalukan!”

“Tidak lebih memalukan daripada perkataan Paman.

Istriku sangat menyayangiku, tapi dia tidak mengendalikan pikiranku.”

“Baiklah, baiklah …. Sudah cukup yang

kukatakan.Terjadilah apa yang akan terjadi! Aku juga mendengarmu mengatakan sesuatu yang tidakbisa diabaikan begitu saja. Apa pun yang terjadi kepada kedua Yang Mulia bukan urusanmu?”

“Memang itu yang kukatakan, tidak diragukan lagi.”

“Kau pengkhianat! Kau bangsat!”

“Betulkah?”

“Para dewa pasti akan menghujammu dengan hukuman karena kepalamu yang bejat itu! Ternyatakeponakanku adalah seorang monster! … Tidak, aku tidak akan mempertaruhkan jabatanku di Istanademi kamu. Aku angkat tangan, Kiyomori!”

“Mengapa Paman marah begitu!”

“Kau dan Tadamori … kalian berdua … menepiskan uluran tanganku.Tunggu dan lihatlah, kalian akanmenyesalinya … Tidak, aku tidak punya alasan untuk mengkhawatirkan kalian lagi. Sampaikanpesanku kepada ayahmu: sejak saat ini, aku, Tadamasa, memutuskan seluruh ikatanku dengan klanHeik6.”

Ketidakpastian, kematian yang mengancam ibu kota, mendorong Tadamasa dalam momenkepanikannya untuk memutuskan segala ikatan dengan klan Heik6. Kiyomori, bagaimanapun,mendengarkan ledakan kemarahan pamannya sambil tersenyum, seolah-olah ini hanyalahpertengkaran kecil sebelum sarapan.

Kiyomori menyaksikan Tadamasa dan kudanya menghilang di balik kepulan debu di kejauhan,kemudian berdiri dan kembali menunggangi kudanya sendiri; tepat ketika dia duduk di pelananya, duasosok melompat keluar dari balik pepohonan dan menyambar tali kekangnya dari dua sisi.

“Ho, kalian … Tokitada dan Heiroku? Kalian lama sekali, jadi aku berangkat lebih dahulu. Apa lagisekarang?

Bagaimana dengan Tokiko dan anak-anak?”

“Kami sudah melaksanakan perintahmu. Mereka aman di Kuil Anryakuju-in, dan kau tidak perlumengkhawatirkan mereka.”

“Bagus! Asalkan keamanan para wanita dan anak-anak sudah terjamin, Mokunosuk6 bisa menjagarumah di Rokuhara. Tidak ada yang kukhawatirkan lagi sekarang.

Kerja yang bagus!”

Mendengar pujian itu, Tokitada dan Heiroku menyembunyikan wajah di balik lengan mereka danmenangis terisak-isak, memohon kepada Kiyomori agar memaafkan mereka; mereka menangis karenatidak tahu harus berbuat apa lagi untuk menebus kesalahan mereka; tidak hanya telah memancingkemarahan Gunung Hiei, kebodohan mereka juga telah menyebabkan perpecahan di klan Heike, katamereka.

“Sudah, jangan meracau seperti itu, aku berangkat sekarang … i kata Kiyomori, memacu kudanya.

Terguncang, Tokitada dan Heiroku memandang Kiyomori sementara debu menerpa wajah mereka,kemudian keduanya bergegas berlari menyusulnya.

Tiga orang pendeta, pemimpin para biksu dari Gunung Hiei, keluar dari Istana Kloister, terbakaramarah. Dari

tatapan garang mereka, jelas terlihat bahwa tuntutan mereka telah ditolak. Mereka berhenti di pospenjagaan untuk mengambil kembali tombak mereka, mengempitnya dengan sigap dan berserumemanggil dua belas orang bawahan mereka seraya keluar dari gerbang.

Para biksu sudah terbiasa mengirim utusan kepada pemerintah untuk menyampaikan tuntutan mereka,dan jika mendapatkan penolakan, mereka akan mengusung Altar Sakral dan emblem suci ke ibu kotadan meneror pihak yang berwenang hingga mendapatkan keinginan mereka, karena kekuatan manusiasebesar apa pun tidak akan berani melawan Altar.

Hari ini, Gunung Hiei menuntut agar adik ipar Tuan Aki, Tokitada, dan pelayannya Heirokudiserahkan kepada mereka. Dalam hubungannya dengan hal ini, para biksu sekali lagi menekankankepemilikan mereka atas tanah Kagashirayama, namun Mantan Kaisar menolak tuntutan mereka.

Gelombang kegembiraan melanda para samurai. Mereka bersorak sorai, “Inilah dia Tuan Aki, HeikeKiyomori!”

Para pengawal menyambut hangat Kiyomori ketika dia muncul dengan sikap santai yang sudah biasaditunjukkannya. Tersenyum lebar ke segala arah sembari menunggang kudanya menembus kerumunan

para prajurit, Kiyomori merasakan semangat yang seketika bergejolak di sekelilingnya. Keringatmembasahi wajahnya, dan telinga caplangnya gemetar. Di belakangnya, Tokitada dan Heirokumenyusul dengan wajah muram, berlawanan dengan sosok gagah di atas punggung kuda.

Para juru tulis, pegawai, dan pejabat Istana berjejalan dengan wajah muram di depan singgasana,tempat Kaisar Kloister menunggu Kiyomori.

Kiyomori berlutut. “Yang Mulia, walaupun tuntutan utama Gunung Hiei adalah tanah Kagashirayama,pelayan sayalah yang memancing para biksu itu kemari. Saya sendirilah yang bertanggung jawab atassemua ini. Oleh karena itu, izinkanlah saya menghadapi Gunung Hiei dengan cara saya.”

Kaisar Kloister setuju; tidak ada protes dari para pejabat istana yang ketakutan, tidak ada pertanyaanmengenai bagaimana Kiyomori akan berhasil membujuk para biksu itu untuk kembali ke GunungHiei. Kiyomori membungkuk dan mohon diri.

Para prajuritnya mengawasinya dari kejauhan, saling berkasak-kusuk. “Kita tidak bisa mengharapkanapa pun dari para pejabat istana berlutut lemah itu, tapi Tuan Aki pasti punya rencana.”

Hingga saat ini, seluruh gerakan Kiyomori diamati lekat-lekat oleh orang-orang yang ada disekelilingnya, dan ada banyak spekulasi mengenai langkah apa yang akan diambilnya selanjutnya.Penolakannya untuk menyerahkan Tokitada dan Heiroku kepada para biksu disambut hangat oleh paraprajuritnya, yang semakin menghormatinya.

Kiyomori adalah jenis pemimpin yang bisa diajak berbicara empat mata oleh setiap anak buahnya.Tidak ada yang membedakan Kiyomori dengan para samurai lainnya dalam hal keberanian ataukeahlian bersenjata, namun simpatinya kepada kaum papa dan kaum tertindas, juga kesigapannyadalam membela mereka menjadikannya populer di kalangan anak buahnya; itu, dan keceriaan yangselalu ditularkannya. Ke mana pun dia melangkah, wajahnya yang mencolok … alis yang mirip ulat,mata sipit, hidung besar, bibir penuh, pipi merona dan dagu bulat seperti bocah, serta hidung caplangyang bergetar setiap kali dia tertawa … menyebarkan kegembiraan.

Pemilik wajah itu keluar dari gerbang dalam dan berjalan melintasi halaman Istana. Para samurailangsung mengerumuninya dan mendesaknya dengan pertanyaan,

“Heik6 Kiyomori, apa hasil pembicaraan tadi?”

“Apakah dekrit kekaisaran akan dikeluarkan?”

”Apa yang terjadi dan apa kata Yang Mulia”

Pertanyaan demi pertanyaan dengan cepat ditujukan kepadanya, Mengusap keningnya berpeluh,Kiyomori menarik hekn yang tergantung di pumpmgnyt.

memasangnya di kepala, dan mengikat tali di bawah dagunya.

“Tidak «da yeng perlu dikhaw atirkan lagi sekarang. Aku akan langsung berangkat ke Gion untukmencegah mereka membawa Altar kemari.”

“Mencegah mereka?”

”Diamlah, biarkan saja Tua Aki menjalankan rencananya!”

Tepi. tidak ada yang ditakuti oleh pera biksu itu; mereka Ueflfmnap kita aeme remehn) a dengan debuyang mereka injak, dan tadi malam mereka sudah menunjukkan bahwa mereka haus darah. SeandainyaTuan Aki pergi ke sana.

entah apa yang akan mereka lakukan

“Itu benar, tapi aku membawa Tokitada dan Hewoku bersamaku Walaupun menyesalinya, aku tetapharus menyerahkan mereka berdua dan berusaha membuat kesepakatan dengan para biksu.”

“Eh? jadi, akhirnya kau akan menyerahkan mereka kepada para biksu?”

“Aku tidak punya pilihan.”

“Sungguh berat tugas yang kauemban! Jadi. Yang Mulia berharap kaum samurai mau menangungsemuanya’

“Sudahlah, hentikanlah debat kusir ini. Tapi. ingatlah bahwa aku sendiri yang menawarkanpenyelesaian ini., bukan Yang Mulia. Sekerang, biarkan aku menghentikan langkah mereka sebelummerake meninggalkan Gion. Jika aku pulang dengan selamat, akan ada cerita untuk kailan dengarkan.Sekarang, kembalilah ke pos kalian masing masing.”

Diikuti oleh Tokitada dan Heiroku, Kiyomori menunggang kuda menentang sinar matahari yangmenyilaukan pucat kepanasan Setiap helai daun dan rumput merunduk di bawah matahari yang terik.Para pengawal memandang tanpa sanggup berkata kata ke arah ketiga orang Itu, seolah-olah merekaadalah hantu yang muncul di siang bolong.

Dari ruas tangga batu di salah satu kuil di Gion, ketiga pemimpm biksu yang baru saja tiba dari IstanaKloister berpidato di hadapan dua ribu orang biksu yang dipanggil untuk mendengar tentang harilperundingan mereka.

“… Kami tidak melihat ketulusan Yang Mulia. Kedua tuntutan kita ditolak mentah-mentah. Janganharap masalah tanah Kagashirayama itu akan diselesaikan. Tidak ada yang tersisa bagi fifi kecualimenyerbu Istana Kloister dengan membawa Altar Sakral agar Yang Mulia tersadarkan.**

Para biksu menyambutnya dengan gegap gempita, ”Ke Istana Kloister! Hukum mereka!” Dan diiringisorak sorai itu, mereka mulai menghimpun senjata dan menghambur ke ruang pemujaan, tempat AltarSakral diletakkan di antara lilin-lilin yang nyalinya k menyerupai gugusan bintang dan asap dupa yangmenyerupai gumpalan awan.

Diiringi oleh rapalan ayat-ayat suci. dentuman gon£ dan gebukan genderang yang menggetarkanlayaknya peringatan perang, pasukan besar itu berangkat, dan udara pun berdenyut-denyut seolah-olahtersengat oleh pengaruh iblis. Akhirnya dipanggul oleh para pendeta berjubah putih, dengan lapisanemas yang berkilau menyilaukan. Altar Sakral periahan-khan dibawa menuruni bukit menuju jalanraya. terayun-ayun perlahan.

Sesosok samurai tiba-tiba melompat ke hadapan barisan pengangkut altar dan mengacungkan tangan.“Tunggu, pera pendeta bejat!” Di kepalanya, dia mengenakan helm besi hitam tanpa lambang apa pun;

dia mengenakan baju zirah hitam, sandal jerami, dan mengacungkan sebilah pedang pantang. Tidakjauh di belakangnya, berdirilah Tokitada dan Heiroku. tanpa senjata, wajah mereka kaku bagaikantopeng

“Aku. Tuan Aki, Heiki Kiyomori, menuntut agar kaitan

«nendenprkan fienjelaiinku Di antara kalian semua para pendata bejat tentunya ada setidaknya satuorang yang memiliki akal sehat”

Di mata musuhnya. Kiyomori terlihat seperti Asura.

sang Dewa Parang terbalut pakaian perang hitam legam, dengan rahang ternganga yang mengeluarkanbadai suara.

Terpens melihat kelancangan dan kata-katanya, pera biksu berseru saru.”Huu! … Kiyomori!”Kemudian, sebuah suara lantang terdengar. “Cacah-cacah saja tubuhnya untuk festival darah!”

Para pemimpin biksu yang berjalan di depan tidak tampak terkejut. Mereka menghentikan barisan danmeneriakkan perintah. “Biarkan dia bicara. Jangan ada yang menyentuh dia. Mari kita dengar terlebihdahulu apa yang hendak dikatakannya.”

Para pemanggul akar mendorong) rekan-rekan mereka yang marah, berteriak. “Tidak ada yang bolehmendekati Akar dan mencamarkannya! Berhati-hatilah pada emblem suci!”

Kiyomori berdiri tegak, tetap berseru dengan suara parau. “Aku akan memenuhi tuntutan kalian, imadalah Tokitada dan Heiroku terimalah mereka! Tetapi, ingatlah bahwa mereka masih hidup!”

Tatapan waspada di wajah para pemimpin biksu tergantikan oleh senyum mengejek ketika merekamendengar kata-kaae Kiyomori Kiyomori menarik napas dalam dan melanjutkan. “Masalah di Gionberujung pada hari ini. tandanglah aku. wahai para dewa! Den kau.

Buddha, jangan sumbat telingamu! Dengarlah apa yang Hendak kukatakan. Kedua pihak dalampertikaian itu bersalah, karena bidankah keduanya mabuk? Tidakkah selalu dikatakan bahwa keduamm yang bertikai sama-sama bersalah? Aku. Kiyomori. karenanya, menyerahkan dua orang yangkucintai ini kepada Gunung Hiei. dan sebagai balasannya, aku menuntut untuk mendengar suara bendasakral itu, simbol dewa kalian!”

Gemuruh tawa seketika menyambut perkataan Kiyomori, ”Lihatlah dia, Kiyomori.Tuan Aki! Diameracau! Dia gila!

Tubuh Kiyomori gemetar dalam upayanya memancing para Mau agar mau mendengarnya. Keringatmengalir di pipi dan dagunya, juga dari balik telinganya, seperti genangan air yang mendidih di atasbesi panas

“Gila atau waras, dengarlah lebih jauh perkataanku.

Biarkanlah dewa kalian turut mendengarku! Entah dia dewa atau sang Buddha sendiri, dia adalahsebuah kutukan.

Musi. dan sumber penderitaan bagi manusia! Dia hanyalah

obyek sesembahan! Bukankah dia «alah menipu manusia selama berabad-abad dan kemudianmengabaikan mereka begitu saja, api kebencian dari Gunung Hiei ini?, Tetapi.

Kiyomori tidak tertipu. Dengarlah aku. wahai dewa terkutuk, dan waspadalah kepadaku!”

Para biksu gusar ketika Kiyomori memasang sebuah anak perah ke busurnya; senar busurnya berderitketika dia menariknya hingga menyerupai bulan purnama; kemudian, dia membidik langsung ke arahAltar.

Salah seorang pemimpin biksu maju dan memekik.

“Astaga! Terkutuklah engkau, penghina agama! Kau akan muntah darah hingga mati!”

“Mati? Aku rela mati.”

Senar busur melenting, anak panah berdesis dan melesat tepat ke bagian tengah Akar. Dari dua ributenggorokan, geraman marah keluar. Para pendeta berjubah putih serentak maju, berteriak-teriak satusama lain, dan udara seketika dipenuhi oleh pekikan, lengking ganas, teriakan putus asa, jeritanmanusia setengah gila. erangan, dan lolongan yang mirip binatang.

Baru kali Ini Altar dihina sedemikian rupa! Tidak pernah ada seorang pun yang berani mengangkattangan di hadapannya, karena orang yang melakukannya akan serta merta mati, mengeluarkan darahdari mulutnya. Namun, Kiyomori tetap berdiri tegak, tanpa sedikit pun darah mengalir dari mulutnya.Kehampaan mitos itu ditelanjangi pada siang hari bolong, dan para pendeta seolah-olah kehilanganpegangan. Para pemimpin biksu yang murka segera membelokkan kebingungan anak-anak buahnyamenjadi keberingasan dengan mendorong mereka untuk mengamuk.

“jangan biarkan orang gila itu melarikan diri!”

Amukan para biksu pun pecah. Kiyomori menghilang di tengah kekacauan yang terdiri dari tebasantombak, gumpalan debu, dan ayunan tongkat Tidak terlalu jauh darinya, Tokitada dan Heiroku segeratergulung gelombang amukan dan hilang dari pandangan.

Senar busur Kiyomori melenting; dia menghantamkan busurnya ke sana kemari, menjatuhkan tigaatau empat orang lawannya, dan terus menggila seolah-olah kerasukan.

Tetapi, keadaan tidak mendukungnya, karena dia kekurangan senjata.

“Jangan bunuh dia! Tangkap dia hidup-hidup!” Para biksu memburunya seolah-olah dia babi hutanyang terdesak. Ketiga pemimpin biksu menjerit-jerit parau.

“Tangkap dia! Hajar dia! Kita akan menyeretnya hidup-hidup ke Gunung Hiei!”

“Tangkap dia hidup-hidup!” seru mereka. Mereka bisa menjadikannya jaminan masa depan merekadengan Istana Kloister, atau menghukum pemberontak ini untuk menunjukkan wewenang Gunung Hieikepada semua orang.

Para biksu bergerak dengan canggung, dan dalam pertempuran satu-lawan-satu, Kiyomori berhasilmerebut sebuah tombak dari salah seorang lawannya. Dengan tombak itu, dia menghantami lengandan kaki lawan-lawannya hingga darah mereka bercucuran, dan melihat enam atau tujuh orangtergeletak cedera atau mati di tanah.

Dia melihat Tokitada dan Heiroku yang berada tidak jauh darinya, mengelak dari serangan dalamupaya mereka menghampirinya. Potongan-potongan pekikan cemas mereka hinggap di telinganya, dandia menjawab, “Jangan mundur! Jaga keberanian kalian! Matahari yang sama menyinari kita semua!”

Semua itu terjadi hanya dalam waktu yang singkat.

Sementara itu, pekikan perang dan kegaduhan yang terjadi menarik perhatian orang-orang yang ada disekitar arena pertempuran itu. Dalam sesaat, kerumunan orang telah berkumpul di sana. Salah seorangdari mereka memungut sebongkah batu dan berseru, “Jangan biarkan serigala-serigala Gunung Hieimemangsamu!” Teriakan lain terdengar, “Dasar tentara bayaran bangsat!” “Dasar biksu terkutuk!”Sambutan dari masyarakat menggemuruh,

“Habisi saja pendeta-pendeta jahat dan serakah itu!”

sementara mereka memunguti batu-batu dan segera melemparkannya kembali kepada para biksu.Mereka melolong marah dan terus melemparkan batu. Tepat ketika itu, asap hitam membubung daritengah-tengah pepohonan Gion. Satu lagi, lalu satu lagi, dan satu lagi. Melihat tanda ini, para biksugentar dan mulai menarik diri dengan bingung. Memperingatkan rekan-rekan mereka bahwa merekatelah tertipu, para biksu liar itu mundur sepenuhnya. Di tengah kepanikan, mereka melupakanketentuan untuk senantiasa menghormati Altar. Simbol keimanan yang mereka panggul itu nyaristerjungkal di tengah kekacauan, turut hanyut dalam gelombang biksu yang berlari tunggang langgangmenuju Gion.

Kiyomori berdiri di atas sebuah gundukan tanah di Perbukitan Timur dan memandang ke kejauhan,tertawa terbahak-bahak. “Mereka semua pergi! Menggelikan!” Baju zirah hitamnya tergeletak ditanah, dan dia berdiri bertelanjang dada sambil menyeka keringat dari tubuhnya.

Konyol! Sekali lagi, tawanya meledak. Bukan dia, melainkan kedua ribu orang pendeta itu yangmundur terlebih dahulu! Dia berencana untuk kabur begitu anak panahnya mengenai Altar dan telahmemberikan perintah tegas kepada Tokitada dan Heiroku untuk melakukan hal yang sama, walaupunmereka tergoda untuk bertempur

hingga titik darah terakhir. (“Kalian berdua tidak boleh mati secara sia-sia. Jangan pedulikan aku,pergi saja.”) Mereka sepakat untuk bertemu di bukit di belakang Kuil Kiyomizu.

Kiyomori kebingungan melihat para biksu itu mundur.

Tidak diragukan lagi, hujan batu mengejutkan mereka, namun asap yang membubunglah yangtentunya telah mendorong mereka untuk kabur. Dia memandang asap yang menjadikan mataharitampak semerah darah, dan sedang memikirkan penyebab kebakaran itu. ketika dilihatnya Tokitadaseorang diri mendaki bukit

“Ah, kau selamat!”

“Nah, kau sudah sampai di sini, Tokitada, tapi di manakah Heiroku?”

“Heiroku juga berhasil meloloskan diri dari para biksu haus darah itu.”

“Apakah dia akan bergabung dengan kita di sini nanti?”

“Aku bertemu dengannya di Jembatan Todoroki.

Melihat asap yang membubung dari hutan di Gion, dia mengatakan bahwa dia yakin ayahnyalah yangmelakukan pembakaran. Dia langsung berlari ke Gion. Dia pasti akan datang nanti.”

“Jadi, ternyata begitu. Rupanya Mokunosuke tidak sedang duduk santai di Rokuhara. Si Tua Bangkasudah merencanakan sesuatu … membakar pantat para biksu itu!”

Tebakan Kiyomori benar. Mokunosuke, sebagai seorang pelayan senior yang diminta untuk menjagarumah di Rokuhara bersama dua puluh orang pelayan muda, tidak sanggup memikirkan kemungkinanKiyomori akan mempertaruhkan nyawa demi Heiroku, sehingga pada pagi buta, setelah yakin bahwanyonya rumah dan dayang-dayangnya telah bersembunyi di tempat yang aman, dia diam-diammenyusun rencana sendiri dan mengirim para pelayan yang tersisa di rumah untuk bersembunyi dikaki Perbukitan Timur. Dia tidak menyangka bahwa Kiyomori akan mengambil langkah seberani itu.Rencana Mokunosuke adalah membakar kuil-kuil dan tempat-tempat pemujaan di Gion begitu parabiksu berangkat ke Istana atau menyerbu Rokuhara. Serangkaian peristiwa menguntungkan ternyatamendukung rencananya.

Mokunosuke dan Heiroku akhirnya mendaki bukit untuk mencari Kiyomori; bertemu kembali dalamkeadaan selamat, rasa syukur membuncah di dalam hati mereka.

Mereka mengangkat tangan ke arah matahari yang merah untuk berdoa, dan air mata membasahi pipiKiyomori.

Kepada dirinya sendiri, Kiyomori berbisik, “Sesungguhnya langit dan bumi ada di sini bersamaku, danarwah para leluhurku menjaga dan melindungi diriku yang lemah ini.”

Masih bertelanjang dada, Kiyomori duduk di atas sebongkah batu besar dan dengan ceria berkata,“Sekarang, kalian semua, masalah kita untuk hari ini telah berakhir; setelah ini, esok hari akan datang,lusa. dan hari-hari yang menyusul sesudahnya … kemudian, datanglah hari penebusan”

“Yang pasti akan datang,” jawab Mokunosukg, mengerutkan kening, “dan tidak akan ada yang bisakita tertawakan lagi ketika hari itu tiba.”

“Ho, biarkan saja seratus hari seperti itu tiba, dan aku akan tetap menang, karena aku punya duasekutu.”

“Apa maksud Anda?” tanya Mokunosuki.

“Yang pertama adalah ayahku di Imadegawa, yang kedua adalah mukjizat dari langit … hujan batu.Tentu saja.

Tua Bangka, kau melihatnya … orang-orang yang muncul

entah dari mana dan menghujani para biksu itu dengan batu?”

Suara orang-orang yang mendekat menyela Kiyomori.

Tokitada cepat-cepat mengintip dari balik sebongkah batu ke jalan setapak di bawah mereka. Yanglain menyambar baju zirah dan senjata mereka. Mengisyaratkan agar semua orang diam, Mokunosuk6meyakinkan Kiyomori bahwa orang-orang yang datang mendekat itu adalah para pelayan lain yangdatang untuk menemui mereka. Para pelayan Kiyomori segera tampak, dan dari mereka, Kiyomorimendengar cerita tentang bagaimana mereka telah mengendap-endap ke Gion dan mengejutkan lawandengan membakar pondok-pondok dan bangunan-bangunan kecil di sana. Lega karena mendengarbahwa mereka menyisakan kuil-kuil dan tempat-tempat pemujaan, Kiyomori memuji Mokunosuk6untuk tindakan cerdasnya.

“Tua Bangka, kau tidak hanya tua tetapi juga bijaksana.

Seandainya aku menjadi dirimu, aku pasti juga akan membumihanguskan seluruh kuil dan tempatpemujaan di Gion.” Mendengar pujian tuannya, si pelayan menggeleng.

“Tidak, tidak. Ini saya pelajari dari tuan saya, Tadamori, yang pada suatu malam perjamuan, ketikapara pejabat istana menantikan kesempatan untuk membunuh beliau, datang membawa danmemamerkan sebuah pedang bambu untuk membodohi musuh-musuhnya. Hari ini, yang saya lakukanhanyalah upaya untuk meniru ayah Anda.”

Kata-kata rendah hati si Tua Bangka mendatangkan si Mata Piclng ke benak Kiyomori. Sejenak, diaduduk diam dan menurunkan pandangan, seolah-olah sedang memikirkan sesuatu; kemudian,mendongak, Kiyomori berkata, “Tua Bangka, mari kita turun ke Rokuhara sekarang dan menantikanperintah dari Istana di sana. Aku telah menyelesaikan tugasku. Hatiku terasa ringan

sekarang, dan aku sama sekali tidak menyesal. Sekarang, aku akan pasrah menantikan keputusanIstana. Bagaimana menurutmu. Tokitada?”

Kiyomori berdiri dan mengenakan kembali baju zirah kulitnya, dan bersama para pelayannyamengikuti aliran air menuju Rokuhara.

dw*

“Jadi, putra si Mata Picing, Kiyomori. yang melakukan itu, ya? Betul-betul sebuah tindakan berani!”

Pembangkangan Kiyomori kepada Gunung Hiei menjadi buah bibir seluruh ibu kota, dan rasa puassesaat berhasil menyembunyikan kecemasan umum. Para pejabat istana sekalipun kehabisan akaluntuk meremehkan tindakan Kiyomori, sementara biara-biara saingan mengolok-olok Gunung Hiei.Ketika rasa syok telah mereda dan ketakutan akan pembalasan dendam dari para biksu telah lenyap,orang-orang mulai menduga-duga tentang bagaimana pihak yang berwenang akan menanganiKiyomori.

Kaisar Kloister, Toba, menerima ancaman beruntun dari Gunung Hiei, dan Perdana Menteri bersamapara menteri bertemu setiap hari untuk membahas tuntutan para pendeta.

Toba, pemegang kendali kekuasaan yang sesungguhnya, tidak memberikan tanda-tanda bahwa dirinya

pernah memuji ataupun menentang tindakan Kiyomori, dan mendengarkan baik-baik semua pendapatyang beredar. Oi sepanjang pembahasan tersebut, Menteri Golongan Kiri, Yorinaga, bersikeras agarKiyomori dihukum mati, berdasarkan pendapat bahwa tindakan Kiyomori telah mencerabut rasahormat masyarakat kepada para dewa dan melecehkan wewenang Gunung Hiei.

Dengan penampilan terhormat beserta berbagai kelebihan sebagai seorang pejabat istana, Yorinagatidak

hanya seorang cendekiawan yang mendalami karya sastra Cina klasik dan Buddha, tetapi juga seorangpembicara yang fasih, yang pendapatnya sulit disangkal.

Bagaimanapun, ketika amarahnya meledak, sikap beringas dan arogannya menjadikan semua orang,termasuk rekan-rekan sejawatnya, takut kepadanya, karena dia tidak akan memedulikan lagi pangkatdan jabatan lawan bicaranya.

“Memang benar,” kata Yorinaga, “bahwa ini bukan pertama kalinya Gunung Hiei melakukan unjukrasa bersenjata, namun tindakan Tuan Aki tidak bisa dibenarkan begitu saja. Yang dilakukannyaadalah pelecehan terhadap agama. Dia telah menghina para dewa dan berdosa kepada Buddha.Mengabaikan tindakannya sama saja dengan merestui perilaku kriminal dan mendukung perlawanankepada pihak yang berwenang. Saya yakin bahwa para pendeta tidak akan menganggap ringan masalahini. Tidak ada seorang pun yang mau diremehkan, dan tindakan Tuan Aki itu akan menimbulkankeresahan masyarakat. Maka, demi kebaikan bersama, saya menolak untuk mendengarkan setiappermbelaan kepada Kiyomori.”

Gumaman sanggahan terdengar dari beberapa orang menteri, namun Yorinaga dengan sigapmembungkam mereka. “Adakah yang menentang pendapat saya? Silakan sampaikan pendapat kalian.Mari kita mendiskusikannya di sini.”

Sorot mata Kaisar Kloister, yang dengan cermat mengamati wajah setiap pejabat istana, menunjukkankecemasan. Yang Mulia sekalipun tidak berani menyanggah Yorinaga. Bagaimanapun, ada seorangpejabat istana yang menyampaikan keberatan: Shinzei, seorang bangsawan tinggi, keturunan seorangmenteri Fujiwara yang berpengaruh kuat dan anggota cabang selatan klan tersebut Walaupun berdarahFujiwara, dia tidak populer di kalangan

kerabatnya di Istana dan selama bertahun-tahun menduduki jabatan yang kurang berarti. Baru setelahusianya menginjak enam puluhan dia berhasil mendapatkan jabatan penting di Istana Kloister, dan ini,menurut desas-desus yang beredar di Istana, disebabkan oleh istrinya. Nyonya Kii, salah seorangpengiring Nyonya Bifukumon. Sebagai seorang penasihat negara, tugas Shinzei mencakup menulisrancangan dan mengumumkan dekrit kekaisaran.

Keahliannya tidak bisa dipandang rendah karena dia memiliki reputasi sebagai seorang cendekiawan,dan Yorinaga sendiri pernah menjadi muridnya.

Pada akhir musyawarah kekaisaran itu, Shinzei berkata kepada Yorinaga, “Sungguh meyakinkansekali pendapat Anda itu! Tidakkah Anda sadar, Tuan, bahwa Anda sedang membela Gunung Hiei?Tiga orang pemimpin …

Shirakawa, Horikawa, dan Toba … menyadari pentingnya meredam keganasan para pendeta Gunung

Hiei, namun tidak seorang pun dari mereka berhasil. Kita tidak bisa mengatakan bahwa Kiyomoriberhasil. Tetapi, dia telah membuka jalan untuk mengembalikan akal sehat mereka.

Bukankah dia telah menunjukkan kepada para pendeta bahwa Istana tidak bisa diintimidasi oleharogansi dan pameran kekuatan mereka?”

Shinzei berbicara dengan keyakinan seseorang yang mengenal baik jalan pikiran Kaisar Kloister; diajuga menyadari bahwa baik pihak penguasa maupun rakyat jelata sesungguhnya tidak bersimpatikepada para biksu dan mendukung Kiyomori. Kemudian, dia menyampaikan pembelaan, “TindakanKiyomori memang sepertinya tidak terampuni, namun kita harus mengingat bahwa Yang Mulia danpara pejabat istana telah memberikan kemerdekaan sepenuhnya kepada Kiyomori untukmenyelesaikan masalah ini dengan caranya sendiri, jika Kiyomori

melanggar batasan yang diberikan oleh pihak yang berwenang dan harus dihukum, maka siapa punyang menyetujui permintaannya juga harus berbagi kesalahan dengannya.

Memang benar bahwa Kiyomori telah melecehkan Altar Sakral, namun apakah altar serapuh itu benar-benar emblem sejati para dewa dan Buddha? Lebih tepat jika dikatakan bahwa tindakan Kiyomoritelah meniup awan dusta dan menolong kita semua untuk memperbaharui keimanan kita kepada hal-hal surgawi. Apakah serangan pada emblem sakral itu telah menjatuhkan para dewa dan Buddha kebumi atau mendatangkan kegelapan ke seluruh dunia?”

Tawa lirih menyambut kata-kata Shinzei. Yorinaga tersenyum pahit dan mengatupkan bibirnya ketikamelihat tatapan setuju sang Kaisar Kloister. Berakhirlah perundingan tertutup ini. Sebuah proklamasitelah dibuat, memerintahkan Kiyomori untuk membayar denda dalam bentuk uang tembaga, dan kabarmengenai hukuman ringan Kiyomori menyebar dengan cepat di seluruh ibu kota.

Rakyat jelata dan para tentara bayaran menyambut gembira kabar itu bersama seluruh anggota klanHeik6. Para samurai Genji mendengar kabar ini dengan gusar.

Kekesalan dan kekaguman menggerakkan para pemimpin Gunung Hiei untuk secara diam-diammengakui bahwa mereka telah mendapatkan lawan yang sepadan.

Mendapatkan ancaman dari dalam berupa perpecahan di tubuh biara mereka sendiri dan dari luarberupa serangan dari biara sekte-sekte lain, para biksu Gunung Hiei melayangkan beberapa ancamanterselubung kepada pemerintah, dan kemarahan mereka mereda ketika pemerintah menyerahkan tanahKagashirayama kepada mereka.

Genji Tameyoshi adalah samurai kesayangan Menteri Golongan Kiri, Yorinaga, yang leluhurnyaselalu berpihak kepada klan Genji. Yorinaga mengundang Tameyoshi untuk bercakap-cakap dirumahnya pada suatu malam.

“Tameyoshi, minumlah yang banyak,” kata Yorinaga.

“Kita harus mengakui bahwa Penasihat Negara Shinzei lebih unggul kali ini. Waktulah yang akanmeniupkan angin segar ke arah lata. Ini adalah kemunduran yang tidak terhindarkan bagimu. Ini jugamembuktikan bahwa Yang Mulia memang selalu memihak kepada Kiyomori.”

Yorinaga telah mabuk berat dan mulai kehilangan harapan. “Yang Mulia, sang Kaisar Kloister, terlaluberpihak kepada Tadamori dan Herk6 Kiyomori.

Dibandingkan dengan mereka, kau tidak terlalu berhasil, namun tunggu dulu, dalam waktu dekat ini,aku akan melihat klan Genji bangkit kembali.”

Yorinaga telah selama beberapa tahun meneguhkan janji ini kepada Tameyoshi, dan denganmendorong agar Heik6

Kiyomori dihukum, dia berharap bisa menyingkirkannya dari peta kekuatan untuk selama-lamanya.

‘Tuan,” kata Tameyoshi, “mari kita lupakan semua ini.

Saya akan dengan ikhlas menerima penugasan di provinsi yang jauh secepatnya, karena saya sudahtidak memiliki ambisi lagi.”

Ini bukan pertama kalinya Tameyoshi menolak tawaran dukungan dari Yorinaga, karena selalu adakerugian yang terkandung di dalam pertolongan dari sang menteri.

Tameyoshi, di sisi lain, berharap untuk ditugaskan di wilayah utara Jepang, tempat sebagian besaranggota klan Genji menetap pada masa kejayaan kakeknya, namun permohonannya terus-menerusditolak oleh para bangsawan Fujiwara, yang tidak menginginkan Tameyoshi

berada jauh dari ibu kota dan senantiasa membujuknya agar tetap tinggal di Tokyo, tempat merekabisa selalu mengawasinya.

0)—=dw=—(0

Bab XI - SEKELUARGA RUBAH DAN

SEBUAH KECAPI

Waktu menggantung berat di tangan Kiyomori. Setelah membayar denda dalam bentuk uang tembaga,dia dibebastugaskan selama setahun. Dalam masa istirahatnya, sensasi yang diciptakannya telahpadam. Pelanggarannya, mau tidak mau juga memengaruhi orang-orang yang memiliki hubungandekat dengannya: ayah Kiyomori dibebastugaskan selama seratus hari; sebagai anggota keluargaFujiwara, Tokinobu, ayah mertua Kiyomori, hingga waktu yang tidak ditentukan dilarangmenggunakan nama dan mendapatkan perlindungan dari Fujiwara.

Kemarahan Kiyomori kerap kali meledak kepada adik iparnya, “Ini lebih baik. Kau dan ayahmu yangbaik lebih pantas menjadi anggota keluarga Heike. Fujiwara bukanlah satu-satunya keluarga di negeriini.”

Walaupun bisa memberikan komentar yang jauh lebih pedas, Kiyomori masih akan memiliki alasanuntuk mengeluh karena tindakan pencegahan yang dilakukan oleh para bangsawan Fujiwara sepertinyaterlalu berlebihan.

“Mereka telah menunjukkan betapa pengecutnya mereka dalam upaya melindungi diri sendiri. Merekaterlalu penakut; mereka was-was bahwa seseorang yang menyandang nama Fujiwara dan berhubungan

dengan orang sekasar aku akan membawa kemalangan bagi mereka. Tetapi, mereka diam-diammendukung

perbuatanku. Ini adalah penghinaan yang lebih menyakitkan daripada hukuman yang mereka berikankepadaku. Tokitada, jangan pernah lupakan ini.”

Keceriaan Tokitada mencerahkan kemuraman kehidupan sunyi Kiyomori; pemuda itu selalu siap sediamendengarkan berbagai keluh kesah Kiyomori; berbeda dengan Kiyomori, dia juga gemar membaca;bermodalkan ingatannya yang tajam, hasil pengamatan Tokitada sering membuat Kiyomori tidaksanggup berkata-kata.

Kiyomori sedang berjalan santai menuju istal untuk melihat kuda-kudanya ketika mendengarlentingan busur.

Dia langsung membelokkan langkah ke arena panahan.

Dengan sentakan tajam, sebuah anak panah melesat dan menancap tepat di tengah sasaran.

“Hebat!” seru Kiyomori. Dua orang di depannya berputar dan tersenyum ketik» melihatnya:Shigemori, putranya yang berumur sepuluh tahun, dan Tokitada, yang sedang mengajarinya memanah.

“Bagaimana menurutmu kemampuan memanah

Shigemori?” tanya Kiyomori.

“Seperti yang kaulihat sendiri, dia sangat ahli, tapi … dia sepertinya tidak bisa memanah denganlurus, atau belum punya cukup kekuatan. Masalah temperamen, mungkin”

“Dia masih muda, Tokitada, dan busurnya kecil.”

“Itu tidak bisa disangkal. Watak seorang pria, bagaimanapun, terlihat dari caranya memanah. Apa kaupernah mendengar tentang putra bungsu Tameyoshi?”

“Kurasa pernah”

“Tameyoshi menganggap anak itu terlalu keras kepala …

aku melihatnya di sebuah pertandingan memanah waktu

dia berumur sebelas tahun. Dia sudah memakai busur yang kuat ketika itu, dan dia menembakkan anakpanahnya begitu dalam di sebuah gundukan tanah sehingga dua orang pria dewasa sekalipun tidak

bisa menariknya. Memang benar, dia akhirnya menjadi anak yang tidak bisa diatur dan memberikanbanyak masalah kepada ayahnya.”

Kiyomori tergelak. “Tokitada, kau pasti tengah membicarakan dirimu sendiri.”

“Aku? Tidak, tidak, aku sudah berhenti menyabung ayam, dan aku tidak pernah terlibat perkelahianlagi sejak peristiwa G ion itu. Aku bisa mengambil pelajaran.”

“Jangan menyerah secepat itu. Tokitada. Kudengar biara-biara di Nara kembali membuat keributan,meskipun Gunung Hlai sudah tidak pernah menyusahkan Idta lagi.

Aku khawatir bahwa satu anak panah tidaklah cukup untuk menyembuhkan hasrat berperang mereka,”

“Dan itu mengingatkanku bahwa pada akhir Agustus silam, Gcnji Tameyoshi membawa paraprajuritnya kc Uji dan berhaul mencegah kedatangan beberapa ribu orang biksu bersenjata ke Ibu kota.Sejak saat itu, kudengar, dia menjadi jauh lebih populer di Istana Kekaisaran.”

Tatapan Iri Kiyomori mendorong Tokitada untuk berbicara semakin banyak. “Aku juga mendengarbahwa Menteri Yortnags mendukung Genji dan berencana untuk menunjuk Tameyoshi sebagai kepalaKesatuan Pengawal sementara kau dan ayahmu masih bebas tugas hingga masa hukuman kalianselesai.”

Kerutan di kening Kiyomori sama sekali tidak menunjukkan perasaannya, namun ketenangan hari-harinya telah terganggu. Tepat ketika itu, Heiroku si pelayan

muncul untuk mengumumkan kedatangan Oshimaro si perajin baju zirah, yang hendak menemui tuanrumah.

Kiyomori, yang menyambut gembira kedatangan setiap tamu yang bisa mengusir kebosanannya,segera kembali ke rumah.

“Saya datang, Tuan, untuk membahas tentang baju zirah yang Anda pesan,” kata perajin baju zirahyang berusia uzur dan berpunggung bungkuk itu dengan suara paraunya.

Tidak ada yang bisa menandingi baju zirah buatannya.

Setiap jahitan dan pemasangan lapisan logam diselesaikan dengan keahlian tanpa tara. Kiyomori.

yang sudah tahu bahwa pria tua pemarah itu meminta harga yang terlampau tinggi dan gemarmerepotkan para pelanggannya, memesan sebuah baju zirah dengan hiasan bunga sakura. Pesanannyatersebut sudah hampir selesai dibuat.

“Kulitnya telah diwarnai sesuai dengan permintaan Anda, Tuan, lapisan logamnya telah selesaidipasang … tali-talinya, pelindung lengan, dan pelindung kaki … semuanya telah siap, kecuali kulitrubah yang Anda janjikan kepada saya. Sekarang, apa yang harus saya lakukan. Tuan?”

Pria tua itu menggunakan kulit rubah yang baru saja dibunuh untuk memperkuat bagian-bagian vitalbaju zirahnya; Kiyomori, ketika mengajukan pesanan, telah menjanjikan untuk memberikan kulit duaekor rubah kapan pun si perajin memintanya. Bulu rubah akan digunakan untuk melapisi pelindungbahu, sambungan antara pelindung dada dan punggung, dan pelindung ketiak. Ada rahasia dalammerebus lem yang akan digunakan untuk menempelkan lapisan kulit ke baju zirah; lem yang terbuatdari batu ambar harus dilelehkan secara perlahan-lahan selama lebih dari dua hari dan sesudahnyalangsung

dioleskan ke kulit. Yang artinya, jika kulit rubah belum tersedia, maka lem tersebut akan terbuangdengan sia-sia.

“Saya tidak tahu berapa hari saya harus menunggu kedatangan Anda, atau berapa kali saya harusmembuang lem,” omel pria tua itu dengan nada menuduh, “jika Anda mau memakai kulit biasa, tentuitu akan memudahkan pekerjaan saya. Jika baju zirah biasa seperti itu sudah memuaskan Anda, adabanyak perajin yang bisa Anda pakai, dan Anda lebih baik memesan baju zirah Anda di tempat lain.”

“Tidak, tidak! Maafkan saya. jangan marah … saya mohon, jarjgan marah,” Kiyomori membujuknya.“Saya sudah beberapa kali mengirim anak-anak buah saya untuk berburu rubah, dan mereka selakidatang membawa musang dan kelinci, tanpa pernah membawa rubah. Kali ini. saya sendirilah yangakan pergi berburu. Sekarang … man kita lihat, bukankah kita lebih baik menetapkan hari r’

“Pan membiarkan saya sekali lagi menanti dengan sia-sia?”

“Hmm … tidak, kali ini tidak.”

“Saya tidak bermaksud menyombongkan diri, tapi Anda harus mengerti bahwa saya tidak bisamenyerahkan pekerjaan merebus lem kepada murid ataupun istri saya.

Ada rahasia untuk menjaga nyala api, mengaduk lem, dan mengawasi lem saat mendidih di dalamkuali, dan saya harus menghabiskan dua hari dan dua malam untuk menyelesaikan pekerjaan itu,mengawasi kuali. Lalu …

tidak ada kulit! Lem pun mengental dan harus dibuang.

Anda tentu mengerti mengapa saya marah.”

“Tidak, kali ini tidak akan ada kesalahan lagi.

Bagaimana dengan lusa? lepat ketika matahari tenggelam

dan lentera-lentera dinyalakan, saya akan datang sendiri ke rumah Anda untuk mengantarkan kulitrubah itu.”

“Maksud Anda, Anda sendiri yang akan

melakukannya?”

“Saya tidak akan menyuruh orang lain melakukannya.”

“Bagaimana jika Anda tidak menepati janji Anda ini?”

“Saya akan membayar denda dengan uang tembaga atau apa pun yang Anda minta. Pak Tua.”

Pria tua itu menggeleng-geleng sambil tertawa dan menepuk pahanya. “Bagus! Lagi pula. Anda adalahTuan Aki yang memanah Altar. Saya memegang kata-kata Anda.

Saya akan pulang dan langsung merebus lem, dan saya akan menunggu Anda lusa, ketika mataharitenggelam”

Keesokan harinya, Kiyomori mengeluarkan busur kesayangannya dari dalam kotaknya, memasang

talinya, lalu keluar dari rumah untuk mencari istrinya. Seorang pelayan mengatakan bahwa sangnyonya rumah sedang sibuk di rumah-tenun dan menawarkan kepada Kiyomori untuk menjemputnya,namun Kiyomori menolaknya, “jika dia sedang berada di rumah-tenun, jangan panggil dia.

Keluarkan saja pakaian berburuku.”

Mengenakan celana berburu kulitnya, dengan sarung anak panah tersandang di punggung dan busur ditangan, Kiyomori singgah di rumah-tenun yang dibangun atas permintaan istrinya. DI tempat itu

terdapat dua alat tenun, tempat untuk menyimpan bejana-bejana berisi pewarna, dan sebuah mejabordir Tokiko duduk di balik alat tenunnya sementara anak-anaknya bermain dengan gembira disekelilingnya. Dia membanggakan hasil karyanya dan menikmati proses

membuat kain dengan desain unik untuk keluarganya.

Tokiko kerap mendapatkan pujian untuk keahliannya ini.

“Mengapa … mengapa mendadak sekali?” tanyanya, meninggalkan alat tenunnya. “Siapa yang akanpergi menyertaimu?”

“Aku akan pergi sendirian. Untuk saat ini, lebih sepi lebih baik”

‘Tentunya kau akan mengajak setidaknya seorang pelayan.”

“Tidak, aku tidak akan berkeliaran ke wilayah perbukitan, dan , aku akan pulang saat mataharitenggelam.

Bagaimana dengan kain I yang akan kauhadiahkan kepada istri Shinzei?”

“Aku sudah mewarnainya, dan bordirannya pun telah kuselesaikan. Apa kau mau melihatnya?”

“Tidak usah, itu tidak perlu, karena aku tidak berbakat dalam menilai kain,” jawab Kiyomori sebelummelangkah ke gerbang belakang.

Kiyomori telah mendengar secara tidak langsung bahwa Shinzei membelanya di hadapan KaisarKloister dan para pejabat istana. Sejak saat itu, dia menganggap Shinzei sebagai seorang sekutu dankeakraban pun terjalin di antara mereka. Ketika Tokiko menyarankan untuk

menghadiahkan salah satu kain terbaiknya kepada istri Shinzei, Nyonya Kii, Kiyomori langsungmenyetujuinya.

Kiyomori sering mendengar bahwa rubah pernah terlihat di dalam ibu kota begitu pula di luar gerbangkota, namun ketika dia mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, yang ada hanyalah bulu-bulukeperakan dari ilalang tinggi yang tumbuh di ladang-ladang di tengah musim gugur. Diamenghabiskan sepanjang hari untuk berkeliaran di ladang,

dan pulang pada malam harinya dengan kaki pegal dan tangan hampa.

Gerimis turun keesokan harinya, namun langit kembali cerah saat siang tiba. Tokitada, yang sudah

mendengar tentang kegagalan Kiyomori, mendesak kakak iparnya itu untuk tetap tinggal di rumah danbersiap-siap untuk pergi bersama Heiroku.

Tetapi, Kiyomori memprotes, “Oh tidak, waktu aku melihatmu dan Shigemori berlatih memanahkemarin, aku mendadak merindukan busurku- … karena aku sudah terlalu lama mendiamkannya,kurasa.”

Segera setelah Tokitada dan Heiroku pergi, Kiyomori pun berangkat. Kali ini, dia berburu di luargerbang utara ibu kota hingga matahari tenggelam. Dia berjalan menembus padang ilalang yang basahsehingga celananya basah kuyup dan kimononya lembap. Dia berkeliaran di tanah yang becek,menerjang liang-liang yang penuh berisi air, dan menembus bukit yang dipenuhi kuncup bunga hagi,hingga kabut pucat mulai turun dan mengaburkan pandangan. Matahari masih mengintip di ufuk barat,dan sebersit bulan sabit menggantung di atas kepalanya.

“Tidak seekor rubah pun terlihat … hanya burung-burung yang pulang ke sarang mereka … dan orang-orang mengatakan bahwa salakan rubah bisa didengar pada malam-malam musim gugur,” gumamKiyomori.

Di kejauhan, dia melihat kilatan cahaya dari sebuah pondok penjaga ladang. Dia membayangkan lemyang mendidih di rumah si perajin baju zirah, dan pikiran akan kembali mengecewakan Oshimaromembuatnya agak putus asa. Dia menyesal karena tanpa berpikir panjang telah berjanji untukmembawa dua ekor rubah hidup ke rumah si perajin saat matahari tenggelam.

Ladang di sekelilingnya sekarang bermandikan nuansa biru tua. Ketika berbalik untuk pulang,Kiyomori merasakan sesuatu berkelebat di dekat kakinya di tengah rumpun ilalang lebat; sesuatumelintasi jalannya dengan cepat, lalu lenyap begitu saja. Kiyomori langsung memasang anak panah kebusurnya ketika satu lagi bayangan berkelebat di antara kedua kakinya dan menghilang dengan bunyigemerisik. Dia sontak mengejar sebentuk ekor yang lenyap di depan matanya; mengikutinya dari saturumpun rumput ke rumpun yang lain, hingga dia tiba-tiba berhadapan dengan seekor rubah yangsedang berdiri diam di depan liangnya; kedua mata binatang itu terpaku dengan heran pada anak panahKiyomori. Dia menarik tali busurnya. Geraman bernada rendah terdengar, dan bau busuk memasukilubang hidung Kiyomori. Dia menajamkan mata dan melihat lebih dari seekor rubah; dua ekorbinatang berbulu berdesakan di dalam liang. Sepasang mata tajam sekarang tertuju kepadanya. Seekorrubah tua dengan ekor kecokelatan menggeram kepadanya. Rubah betina itu, setengah tertutupi olehtubuh pasangannya, memamerkan cakarnya, menggeram menyaksikan tangan yang memegang busurdengan tatapan ngeri. Binatang itu lebih kurus daripada rubah kebanyakan, lebih menyerupai serigala;tulang-tulang bahunya menonjol, bulunya kusam, dan perutnya bergelambir. Kiyomori kembalimenajamkan pandangan dan melihat bagaimana binatang itu melindungi anaknya di bawahnya.Mereka mungkin sudah berhasil meloloskan diri jika bukan gara-gara rubah mungil itu, pikirKiyomori. Tiga ekor rubah … sungguh beruntung dirinya!

Sejenak, dia mempertimbangkan rubah yang mana yang akan dipanahnya terlebih dahulu. Busurnyaberderak.

Pendar terang seolah-olah memancar dari pasangan rubah yang telah terdesak itu, dan merekamengeluarkan erangan aneh. Si jantan menggeramkan ancaman, dengan

keberanian seekor binatang putus asa, sementara si betina melengkungkan tubuhnya dan memeluk

bayinya semakin erat.

Lengan Kiyomori mendadak terasa kaku. “Ah, kasihan sekali kafcan, kasihan sekali! Keluarga yangcantik? jauh lebih terhormat danpada manusia yang bodoh …” had Kiyomori pedih.Apakah yangdiakukannya di uni dengan anak panahnya? Menyudutkan binatang-binatang mm? Baju zirah bajuzirah untuk dipamer-pamerkan! Menyelamatkan harga dirinya di hadapan si perajin baju zirah hanyademi sebuah janji? Bodoh … bodoh! Tidak masalah jika pria tua itu mengejeknya; baju zirah biasasudah cukup baginya!

Baju zirah tidak mencerminkan kejantanan, apalagi menambah keperkasaan.

“Walaupun hanya binatang bodoh, kalian sungguh menawan! Kesedihan, kasih sayang … wujud kasihsayang orangtua! Seandainya aku menjadi rubah tua itu …

bagaimana jika Tokiko dan Shigemori tersudut seperti ini?

Binatang sekalipun bisa bersikap begitu terhormat …

bisakah aku melakukannya?”

Kiyomori menaikkan busurnya dan membiarkan anak panahnya melesat ke arah satu-satunya bintangyang bersinar di langit yang mulai gelap.

Sebuah gerakan yang menyerupai embusan angin menggerakkan rerumputan di dekat kakinya, disusuloleh kesunyian. Kiyomori menunduk; ketiga rubah itu telah pergi.

Sebelum pulang, Kiyomori berhenti di luar pagar rumah si perajin baju zirah. Dia berseru memanggilsosok bungkuk yang berjalan melintasi pekarangan diterangi oleh cahaya suram sebuah lentera kecil.“Pak Tua, Pak Tua, aku tidak memerlukan kulit rubah untuk baju zirahku! Gunakanlah

apa pun yang kau mau. Aku akan menjelaskannya di lain waktu. Datanglah besok, dan aku akanmembayar denda dengan apa pun yang kauminta.”

Bau tajam lem mendidih menguar di udara ketika sosok bungkuk itu muncul di beranda denganmembawa sebuah kuali yang mengepul-ngepul. “Apa! Anda tidak menginginkan baju zirah Anda?Bukankah Anda sudah berjanji? Saya sudah mengatakan bahwa saya akan bergadang selama dua haridan dua malam seperti seorang pandir untuk mendidihkan lem ini! jadi. Anda memanah Altar hanyauntuk bercanda, ya? jadi. saya salah sangka tentang Tuan Aid! Apa menurut Anda saya mau membuatbaju zirah untuk seseorang yang telah menipu saya? Saya menolak … saya tidak mau lagi melakukanpekerjaan apa pun untuk Anda! … Ini. dasar anjing liar, kemari dan makanlah lem tol!”

Kuali berisi lem panas itu tiba-tiba melayang di udara dan jatuh di dekat kaki Kiyomori. Tercekik olehasap dan bau tajam lem, Kiyomori membalikkan badan dan pulang dengan bermuram durja.

November segera tiba, dan masa hukuman Kiyomori selesai. Dia pun kembali menjalankan tugasnyadi Istana.

Beberapa hari sebelum peristiwa ini terjadi, bagaimanapun, seorang tamu tiba di gerbang pelayan dirumahnya, memohon dengan air mata berlinangan untuk dipertemukan dengan sang tuan rumah.

“Aku tidak punya hak untuk meminta dipertemukan dengan Tuan Aki, tapi …”

Tamu itu adalah Oshimaru, si perajin baju zirah.

Punggung bungkuknya tampak semakin bungkuk, dan dia menolak untuk mengangkat pandangan.“Tuan, saya memohon agar Anda memaafkan kata-kata kasar saya

tempo hari … itu hanyalah ocehan seorang perajin tua dan bodoh … ” Butiran-butiran keringatmembasahi kening keriput pria tua itu.

“Apa masalahmu kali ini, Pak Tua?” Kiyomori tertawa, meminta penjelasan untuk kunjunganOshimaru.

“Karena terbakar amarah, saya melempar sekuali lem kepada Anda, Tuan, dan memaki-maki Anda,namun saya mendengar salah seorang pelayan Anda bercerita tentang kegagalan perburuan Anda hariitu, dan saya malu ketika mengetahui bahwa Anda memiliki belas kasihan untuk binatang biasa.Sebagai seorang pakar baju zirah, saya memohon agar Anda mengizinkan saya untuk membuat bajuzirah baru bagi Anda. Seorang samurai tidak hanya harus ahli menggunakan busurnya, tetapi jugaharus memiliki hati yang penuh belas kasihan kepada semua makhluk hidup, seperti Anda. Siapa punyang membuat baju zirah untuk samurai semacam itu mau tidak mau akan mencurahkan seluruh jiwadan raganya ke dalam pekerjaannya. … Sejujurnya, Tuan, saya membawa baju zirah pesanan

Anda hari ini. Maukah Anda melihatnya dan mengizinkan saya menghadiahkannya kepada Anda?”

Tidak ada jejak kesombongan dalam sikap Oshimaro sekarang; tidak ada kata-kata pujian untuk hasilkaryanya sendiri. Ekspresi puas di wajah Kiyomori sepertinya sudah menjadi penghargaan yang cukupbaginya, dan dia pun segera berpamitan.

Kiyomori menikmati kembalinya kemerdekaannya. Pada suatu malam, setibanya di rumah, diamemasuki kamar istrinya dan menemukan sebuah kecapi yang belum pernah dilihatnya. Tokikomenjelaskan bahwa kecapi itu adalah hadiah dari Nyonya Kii, yang mengutus seorang pendeta

untuk mengirimnya siang itu. Tokiko menceritakan kepada suaminya bahwa si pendeta singgahselama beberapa waktu untuk bercakap-cakap dan berulang kali menyelamatinya karena memilikiseorang suami yang hebat Tokiko menyanggah dengan senyuman, namun rasa penasaranmendorongnya untuk menanyakan alasan pendeta itu menyanjung-nyanjung Tuan Ala. Dia berhasilmendesak kurir Nyonya Ki untuk berbicara lebih banyak dan mengetahui bahwa Oshimaro, si perajinbaju zirah, telah bercerita kepada semua orang tentang kisah Kiyomori dan sekeluarga rubah. Kisah ituakhirnya didengar oleh Shinzei; tergerak oleh kelembutan hati Kiyomori, Shinzei mengeluarkankecapi warisan ibunya dan meminta tolong kepada kawan pendetanya untuk menyerahkannya kepadaKiyomori sebagai tanda kehormatan darinya. Si pendeta kemudian memberi tahu Tokiko bahwa rubahadalah kurir Dewi Belas Kasfan dan Oma. dan dengan melepaskan rubah-rubah buruannya, makaKiyomori layak mendapatkan tanda jasa. Shinzei. tambah si pendeta, juga menyampaikankeyakinannya tentang kebaikan hati Tuan Aki. Setebh berbicara panjang lebar, si pendeta berpamitandengan memberkati sang nyonya rumah dan suaminya.

Kiyomori mengambil kecapi tersebut, membolak-baliknya beberapa kali di atas pangkuannya untukmemeriksanya.

“Kecapi yang sangat bagus,” akhirnya dia berkomentar.

Toklko menjawab. “Pasti ada namanya di suatu tempat,”

“Di sini … ”

“Namanya ‘Angin Ladang’.”

Kecapi itu berhias motif bunga-bunga liar bernuansa keemasan, dan sebuah puisi karya Shinzei yangditujukan kepada mendiang ibunya diselipkan dengan tulisan indah.

‘Tokiko. bisakah kau memainkan alat musik ini?”

“Aku yakin bahwa Tokitada lebih pandai bermain musik daripada aku.”

“Eh, aku baru tahu bahwa Tokitada berbakat di bidang musik. Kalau begitu, biarkan aku memainkansesuatu untukmu. Penampilanku yang kusam mungkin tidak akan membuatmu percaya, tapi saatberumur delapan tahun, aku harus menyanyi dan menari dalam pementasan drama sakral di Gion.Ibuku, sang Perempuan Gion, menggemari pertunjukan semacam itu.”

Ketika mengatakan itu, Kiyomori merasakan hatinya tersengat Di manakah dia sekarang … ibunya, siwanita rubah, seseorang yang tidak sebandmg dengan rubah betina bijaksana itu? Apakah da masihhidup dan sehat? Dia tentu sudah tidak cantik lagi … usianya saat ini pasti sudah empat puluhan. Dimanakah da sekarang? Apakah seorang pria telah melukai hatinya dan meninggalkannya begitu saja disalah satu sudut dunia? … Kiyomori kehabisan kata-kata untuk menetaskan tentang emosi yangmembuncah dari kedalaman yang tidak dikenalnya dan membanjiri seluruh dirinya. Hatinya pedih.Seolah-olah untuk meredakan rasa sakitnya, dia memangku kecapi jas dan bersenandung denganlembut, melarikan jarinya di keempat senar yang berdenting bening.

“Nah, lagu apa itu?” Tokiko tergelak.

“Oh. kau mungkin tidak pernah mendengarnya.

Judulnya ‘Nyanyian Seorang Manusia dari drama berjudul Manyoshu candanya dengan tenang,walaupun matanya basah.

0)—=dw=—(0

Bab XII -SABDA ALMARHUM

Fujiwara Tsunemune, seorang pejabat istana dari Golongan Ketiga, adalah seorang pria mudaberprestasi.

Kendati dirinya seorang bangsawan, dia tidak sombong, karena dia bukan hanya menjadi anggotakelompok politik melainkan juga pusat kehidupan intelektual pada masanya, dan di kalangan pejabatmuda. dia sepertinya berkonsentrasi pada cara-cara untuk tampil sebagai seorang bangsawan yangbaik. Terobsesi pada detail dan anggun dalam penampilan, seperti halnya dalam bersikap danberbicara, Tsunemune memiliki selera seorang terpelajar dan banyak membaca karya-karya klasik;sebagai seorang penulis puoi berbakat, pakar permainan sepak bola bangsawan, dan pemain musik

ulung, dia memiliki pemahaman menyeluruh terhadap naik turunnya arus kehidupan di istana.

Pada hari ketika Tsunemune menerima undangan kenegaraan untuk menghadiri pertandingan sepakbola. juru tulis Perdana Menteri Tadamichi tiba di salah satu paviliun kekaisaran dan secara diam-diam memberi tahu Tsunemune bahwa sang perdana menteri ingin berbicara dengannya. Tsunemunemengikuti si juru tulis ke sebuah rumah-taman yang terletak di sebuah pulau buatan dan dipenuhi olehbunga teratai.

Ketika itu musim panas … Juni 1149. Kaisar Kecil Konoye akan segera merayakan ulang tahunnyayang kesebelas, dan para penasihatnya sedang mempersiapkan pelantikannya. Pertanyaan tentangpermaisuri bagi dirinya amat mendesak karena sudah sepanasnya seorang penguasa muda menghadiriPesat Syukuran Besar pada hari pelantikannya bersama seorang calon permaisuri Kaisar Kloister Tobatetah selama beberapa waktu memikirkan semua secara serius; desas-desus telah menyebar tentang

kemana Toba akan menjatuhkan pilihan dan setiap cabang klan Fujiwara yang memiliki putriterhanyut oleh harapan bahwa sang penguasa tertinggi akan mendatangi mereka.

Pifihan harus dombil secara diam-diam dan dengan mempertimbangkan pengaruh terhadapkeseimbangan politik yang rentan. Sejarah telah menunjukkan bahwa pifihan yang salah dapatmenjerumuskan istana ke dalam persekongkolan dan bahkan memecahkan perang.

Tugas Perdana Menteri tidak pernah seberat ini. Selama berbulan-bulan, sang perdana menteri telahmemikirkan masalah ini secara mendalam dan akhirnya berhasil mengambil keputusan. Setelahmempertimbangkan segala aspek yang ada, pilihannya yang jatuh kepada Tadako, putri MenteriGolongan Kiri, sepertinya tidak terbantahkan; walaupun baru berumur sebelas tahun … masih kanak-kanak … sang perdana menteri meyakini bahwa bakat alami dan kejelitaan sang putrilah yangmengarahkan takdirnya ke kedudukan tinggi yang sedang dipersiapkan untuknya saat ini. Satu-satunyakendala, bagaimanapun, adalah cara untuk menyampaikan pilihan ini kepada ayah Tadako.

Tadako adalah putri angkat Yorinaga, adik sang perdana menteri. Kedua saudara ini masih salingmenyayangi kendati memiliki watak yang bertolak belakang, dan Tadamichi, tidak sanggup menelanharga dirinya, enggan mengabarkan kepada Yorinaga mengenai pilihan yang telah disetujui olehKaisar Kloister. Dia resah memikirkan reaksi ganas Yorinaga saat menerima kabar yang telah lamadinanti-nantikan Ini, dan di tengah kebingungannya, terpikir olehnya untuk mengirim Tsunemunesebagai utusannya. Kepandaian bertutur kata dan kesabaran sang bangsawan mudi bea dperaya untukmemuluskan setiap kecanggungan yang mungkin muncul. Pertandingan sepak bola, oleh karenanya,memberikan kesempattan kepada

Tadamichi untuk menemui Tsunemune dan menjelaskan rencananya.

Tsunemune mendengarkan penjelasan Perdana Hantari dangm perasaan melambung. Tingkatkepentingan tugas ini membuatnya senang. Tugas m juga penang untuk kemajuan kariernya di Istana.Maka, setelah memasukan kapan dia akan kembal dengan membawa jawaban Yorinaga.

Tsunemune pun berangkat

Pertemuan antara Tsunemune dan Yorinaga dimulai dengan kaku. Sang mencen tidak memberikankomentar apa pun kecuali “jadi. Tadako diminta untuk menjadi permaisuri?** yang diikuti oleh

senyuman sinis. Setelah beberapa waktu berbicara tanpa tujuan. Tsunemun^

memohon jawaban dari Yorinaga.

Akhirnya. Yorinaga bertanya. “Apakah urusan ini sedemikian mendesaknya? Apakah saya harusmenjawabnya sekarang juga?”

Setelah diyakinkan bahwa ini adalah kehendak Kaisar Kloister, Yorinaga mendesak Tsunemun6 untukmenjelaskan alasan yang mencegah sang perdana menteri datang sendiri untuk menyampaikan kabarini. Penjelasan mengenai urusan kenegaraan yang menahan Tadamichi di Istana tidak memuaskanYorinaga, namun dia akhirnya mengatakan, “Saya tidak keberatan jika Tadako dijadikan permaisuri,namun saya menuntut janji bahwa dia akan ditetapkan sebagai permaisuri ketika Kaisar dilantik; sayatidak akan mengizinkannya menjadi selir biasa di Istana.

Jika itu yang terjadi, saya harus menolak tawaran ini. Harus ada jaminan resmi bahwa Tadako akandijadikan permaisuri.”

Tsunemun6 menyampaikan tuntutan Yorinaga kepada Kaisar Kloister dan Perdana Menteri, dankeduanya

menyanggupinya. Hanya dalam waktu singkat, Tadako telah diterima di Istana. Baru

beberapa bulan kemudian, bagaimanapun. Perdana Menteri kecewa ketika Kaisar Kloistermemerintahkannya untuk mengganti Tadako dengan gadis lain, Shimeko yang berumur sembilan belastahun, dayang kesayangan Nyonya Bifukumon. Setelah selama beberapa tahun mengawasi pendidikandan pertumbuhan gadis ini. Nyonya Bifukumon menyusun rencana agar dia, yang sudah dianggapnyaseperti anak sendiri, menjadi permaisuri Konoyt, putranya.

Ketika mengetahui bahwa Tadako telah dipilih tanpa sepengetahuannya. Nyonya Bifukumon dengangusar memprotes suaminya. Kaisar Kloister, dan menuntutnya untuk membatalkan keputusan tersebut

Tidak terlukiskan lagi betapa Yorinaga geram dan malu ketika mendengar kabar ini. Dia melihatkesempatannya untuk mendapatkan kekuasaan dan kehormatan berlalu begitu saja. Bertekad untuktidak tunduk kepada Kaisar Kloister sekalipun, Yorinaga meminta dukungan kepada ayahnya.

Fujiwara Tadazane, ayah Yorinaga, berusia tujuh puluh dua tahun dan selama beberapa tahun telahmenghabiskan masa pensiun di rumah peristirahatannya di wilayah Byodo-in di Uji. Sebagaibangsawan Fujiwara yang berusia paling tua, dia masih memegang pengaruh yang tidak bolehdiremehkan, karena selain memiliki hubungan dengan Istana dari pihak ibunya, salah seorang putrinyafugi pernah menjadi permaisuri pertama Kaisar Kloister. Perjalanan kariernya sungguh gemilang. Diapernah mengabdi kepada dua orang kaisar secara berturut-turut dan menduduki jabatan-jabatanterpenting dalam pemerintahan. Bahkan di masa pensiunnya, dia kerap sering menggelar berbagaiupacara sepera layaknya seorang bangsawan besar, dan

para pejabat dari ibu kota tak henti hentinya mengunjunginya dirumah peristirahatannya.

Walaupun Tadazane memiliki semua sifat yan dibutuhkan untuk menjadi seorang pejabat istana yangsukses, ada sebuah kelemahan yang berlawanan dengan seluruh kebaikannya; dia sangat menyayangi

putra bungsunya, Yorinaga, walau apapun yang terjadi dan untuk alasan yang tidak diketahui olehorang lain, selalu bersikap jahat kepada putra sulungnya, Tadamichi, sang perdana menteri.

Kedatangan mendadak Yorinaga di rumah

peristirahatannya di Uji menyebabkan kelopak mata tipis Tadazan& berkedut di bawah alis putihnya.Dia mendengarkan penjelasan putranya tanpa berkata-kata.

Tetapi, penderitaan dan penghinaan yang dialami oleh putranya mendorongnya untuk menegakkantubuh kurusnya, seolah-olah dengan mengerahkan seluruh kekuatannya yang masih tersisa, danakhirnya berkata,

“Ayolah, jangan sampai masalah ini terlalu mengusikmu.

Aku belum terlalu tua untuk mewakilimu menyelesaikan masalah ini dengan Yang Mulia. Aku akanpergi menemui beliau dan meluruskan semuanya. Hari ini, aku akan membuat perkecualian untukmasa pensiunku dan ikut bersamamu ke ibu kota.”

Masalah itu ternyata tidak sesepele yang disangka oleh Tadazane. Dalam berbagai kesempatan,permohonannya untuk menemui Kaisar Kloister ditolak; surat-suratnya dikembalikan tanpa dijawab;dua minggu telah berlalu, dan tidak ada sedikit pun kemajuan. Akhirnya, atas desakan Tsunemune,Tadazane setuju untuk bertemu dengan Perdana Menteri asalkan Tsunemunt berjanji untuk turut hadirdalam pertemuan itu. tetap saja, sebulan berlalu tanpa adanya tanda-tanda pertemuan yang telahdijanjikan;

hingga akhirnya, letih dan sakit hati Tadazane kembali ke Uji,

Musim dingin datang. Akhir tahun telah hampir tiba Hanya beberapa hari sebelun seluruh Istanamempersiapkan perayaan untuk menyambut pergantian tahun. Yorinaga sekali lagi kembali ke Ujiidalam keadaan gundah gulana.

Shimeko telah secara resm diterima di Istana dan kesempatan terakhir untuk merebut hak Tadakokatanya telah melayang.

Tadazane membangunkan pelayanan nya pada pagi buta. Napas sapi menggantung bagaikan asap putihditengah udara pagi ketika kereta Tadazane berderak melewati jalan beku menuju Kyoto. Baru padamalam hari dia tiba dihalaman Istana. Satu-satunya cahaya yang menerangi tempat itu adalah apiunggun para pengawal.

Perdkan air hujan memancar ke atas dari teritis yang lebar; karai-karai digulung ke atas dan pintu-pintu dibuka untuk menyambut TadazanA. Dia dipersilakan memasuki sebuah ruang tunggu, dan disana dia menanti hingga rasa putus asa tercermin di setiap kerutan wajahnya. Dia datang ke Istanadengan tekad untuk menunggu hingga kematian menjemputnya. Waktu berjalan begitu lambat dalampersaingan pahit antara berbagai latar belakang tindakannya: harga diri, cinta, kesombongan, kegilaansesaat. Akhirnya. Yang Mulia Kaisar Kloister mengalah dan menemuinya. Takluk oleh air mata dandesakan Tadazant yang uzur, sang penguasa terpaksa mengalah.

Dalam perayaan Tahun Baru, Tadako diumumkan sebagai Permaisuri terpilih, dan pada bulan Maret

dia berdiri mendampingi Kaisar-kecil.

Perdana Menteri, yang tidak sanggup menahan panas bulan Juli, mengungsi ke rumahperistirahatannya di luar Kyoto dan jarang terlihat di Istana. Yorinaga,

bagaimanapun, tanpa kenal lelah menyalurkan energinya untuk mengurus hal-hal kecil di tempatkerjanya.

Kemunculan mendadaknya di berbagai bagian pemerintahan mengembuskan teror ke hati para pejabatkecil dan menjadikan para pejabat tinggi kelelahan dan lebih sibuk daripada biasanya. Sebagai kerabatdekat sang permaisuri muda, Yorinaga menyadari betul posisinya saat ini, dan dia memanfaatkannyadengan sebaik mungkin, meyakini sepenuhnya buah yang akan dikumpulkannya sebagai hasil kerjakerasnya. Sebagai penasihat Kaisar-kecil, dia telah menggantikan, meskipun tanpa mendapatkan gelar,posisi kakaknya sebagai perdana menteri, dan sebuah faksi terbentuk mengikuti langkahnya.Keberpihakannya kepada Genji di Istana juga terlihat jelas. Baru-baru ini, alih-alih menugaskanKiyomori, dia memberangkatkan Tameyoshi untuk membuat kesepakatan dengan para biksupemberontak di Nara ketika mereka mengancam untuk menyerbu Ibu kota dongan pasukan bersenjiitiimarak»

yang berkekuatan ribuan orang

Tadazane, yang telah lama pensiun, sekail lagi aktif di litani Dia sekarang menjabat sebagal seorangmenteri kehormatan, mengarahkan seluruh tenaganya untuk memberikan dukungan kepada Yorinaga.Diam-diam bertekad untuk tidak menyisakan matalah sedikit pun, Tadazan* membisikkan kepadaKaisar Kloister bahwa Tadamichi tidak memiliki kesehatan dan kemampuan yang cukup untukmengemban tugas sebagai perdana menteri.

Tetapi, ketika mendengar bahwa Tadamichi tidak mau mengundurkan diri karena khawatir Yorinagaakan menyebabkan konflik dan pertumpahan darah, Tadazan6

yang marah mendatangi bagian arsip di Akademi Kekaisaran, tempat catatan keluarga dan segelkeluarga Fujlwara disimpan. Di sana, dia memindah namakan seluruh kepemilikannya kepadaYorinaga untuk

menandakan bahwa dia tidak mengakui lagi putra sulungnya, Tadamichi, sebagai keturunannya, danmenunjuk Yorinaga sebagai satu-satunya pewaris dan penerus namanya.

0)—=dw=—(0

Pada 1151, Kaisar-kecil Konoye berulang tahun ketiga belas. Pada saat ini, dia mulai bermasalahdengan matanya, yang selalu ditutupinya dengan selembar sutra merah.

Perdana Menteri Tadamichi, yang sangat disukai oleh penguasa muda itu, menemukan seorang tabibberbakat yang baru saja kembali dari Cina dan menugaskannya untuk merawat Kaisar. Tadamichitersentuh oleh penderitaan sang kaisar yang seolah-olah tak pernah berujung. Dia kerap mengunjungiKonoy6 dan memberikan kata-kata penghiburan kepadanya. Penglihatan bocah ringkih itu, yang sejaklahir telah terkurung di kamar-kamar istana yang gelap, terpenjara oleh jabatannya, menjadi korbandan biduk bagi persaingan ganas yang melingkupinya, mendatangkan belas kasihan mendalam di hati

Tadamichi. Mau tidak mau. dia memikirkan bagaimana kehidupan penguasa muda ini jauh darikebahagiaan. Terkekang oleh ritual-ritual istana, apakah yang diketahuinya tentang kebebasan dankenikmatan masa muda? Kapankah dia pernah bermain-main dengan salju di tengah musim dingin;bersiul-siul di tengah musim semi, ketika kuncup-kuncup bunga bermunculan di pepohonan;berbasah-basah di sungai seperti peri air di tengah musim panas; atau mendaki bukit di tengah musimgugur dan menjerit-jerit dari puncaknya hingga paru-parunya menggembung dan nyaris meledak?

Tetapi, Tadamichi sendiri barangkali tidak pernah

menyadari bahwa dia sendiri turut berperan dalam menciptakan lambang kekuasaan yang rapuh ini.

Pada 24 Juli 1155, Kaisar Konoya wafat dalam usia tujuh belas tahun. Masa kekuasaannyaberlangsung selama kurang dari lima tahun. Rakyat pun berduka. Ayahnya, Kaisar Kloister, larutdalam kesedihan, dan tidak ada yang bisa menenangkan Nyonya Bifukumon.

Segera setelah wafatnya Kaisar-kecil, Nyonya Bifukumon mendengar cerita aneh dari salah seorangpengiringnya. Nyonya Kii, istri Penasihat Shinzei. Nyonya Kii mendengar cerita mengerikan ini darisalah seorang dayangnya, yang mendengarnya dari seorang biksu pengembara. Kaisar Konoy6 telahmeninggal secara tidak wajar. Beberapa orang telah mengirim teluh kematian kepadanya sehingga diameninggal sebelum waktunya.

Sekitar setahun silam, kata si biksu, dia pernah menyaksikan sendiri ritual-ritual jahat di sebuahtempat pemujaan terpencil di Gunung Atago. Cerita Nyonya Kii tersebut membuat Nyonya Bifukumonketakutan dan risau.

Dia pun memerintahkan agar seorang cenayang … Yasura dari Tempat Pemujaan Shin-kumano …segera dipanggil.

Si cenayang tiba dan untuk waktu yang lama bermeditasi dengan khusuk. Tiba-tiba, tubuhnya gemetarhebat; wanita itu menarik sanggulnya hingga rambutnya terurai ketika arwah mendiang Kaisarmerasukinya dan berbicara melalui mulutnya, “… Teluh telah dikirimkan kepadaku. Paku-paku telahditancapkan ke gambar Iblis Tengu di Tempat Pemujaan Gunung Atago. Aku buta karenanya.Merekalah yang menyebabkan kematianku. Ah … malangnya diriku!”

Sesudah mengatakan itu, Yasura roboh ke lantai dan tergeletak pingsan. Nyonya Bifukumon menjerit-jerit ngeri dan mengamuk seraya menariki kimononya. Dayang-dayangnya yang ketakutan denganpanik menyediakan air

dan obat penenang, secepatnya mengangkut majikan mereka ke kamar tidurnya.

Sementara itu, si cenayang telah siuman dan bangkit seolah-olah tidak mengalami sesuatu pun yangluar biasa, memeluk erat-erat buntalan kain tempatnya menyimpan pelbagai keperluan penunjangpekerjaannya dan beberapa hadiah yang diberikan oleh Nyonya Kii kepadanya. Setelah keluar dariulah satu gerbang belakang, Yasura berhenti untuk mengintip isi buntalannya dan dengan gembiramengeluarkan sepotong daging yang menguarkan aroma bebek panggang; dia sedang berjalan pulangsembari menyantap makanan itu dengan lahap, mengunyah dengan penuh selera, ketika melihatbeberapa ekor anjing membuntutinya. Dia berhenti untuk memungut segenggam kerikil danmelemparkannya pada binatang-binatang itu.

Salah satu kerikilnya menghantam roda sebuah gerobak; buruh muda yang menarik gerobak ituberhenti dan menyapa Yasura dengan akrab.

“Wah, Yasura. apakah kau hendak pulang?”

Si cenayang menghampiri pemuda itu dengan ceria dan berhenti sejenak untuk bercakap-cakap dengannada rendah dan membagikan sedikit isi buntaiannya. Setelah selesai makan, si pemuda menolongYasura untuk menaiki gerobaknya, dan mereka pun melanjutkan perjalanan ke arah Tempat PemujaanShin-kumano.

dz*

Dua tahun sebelumnya, pada Januari 1153 ayah Kiyomori. Tadamori, meninggal secara mendadaksetelah menderita sakit selama beberapa minggu. Tadamori berusia lima puluh delapan ketikamengembuskan napas terakhir.

Selama tahun-tahun terakhir kehidupannya, tidak banyak prestasi yang dibukukan oleh Tadamori,

karena tahun-tahun itu juga menandai kebangkitan kekuasaan Yorinaga dan keberpihakannya kepadaGenji Tameyoshi dan putra-putranya. Setiap anggota klan Heike tidak akan lupa bahwa Yorinagapernah menuntut hukuman mati untuk Kiyomori dalam pengadilan setelah peristiwa pelecehanterhadap Altar Sakral, dan atas alasan itulah dia tidak akan memberikan jabatan apa pun kepadaanggota klan Heik6. Kendati begitu, Kiyomori tidak menunjukkan tanda-tanda keberatan ataskeberpihakan Yorinaga kepada klan Genji. Di tengah rasa kesepian yang melandanya, Kiyomori yangsedang berduka merasa bahwa salah satu pilah kehidupannya telah ambruk. Dan, sebelum sempatmemulihkan diri dari duka, Kiyomori telah larut dalam kesibukan baru. Dia tidak hanya harusmemikirkan anak-anaknya, tetapi juga harus menjadi wali bagi adik-adik kandung dan tirinya. Sebagaiseorang kepala keluarga muda, banyak yang harus dipelajarinya, karena masa depan keluarga Helkiada di tangannya.

Tidak lama setelah kematian Kaisar-kedl, Penasihat Shinzei memanggil Kiyomori. SepeninggalTadamorl, Kiyomori menjadikan Shlnzoi, yang berusia lebih tua dan berkedudukan lebih tinggidarinya, sebagai kawan dan tempat berpaling. Kiyomori tidak hanya menganggap Shlnzoi sebagalpatron karena utang nyawanya, tetapi juga sebagal iatu-«&tunya pelindung di tengah pertikaian klanHeikA dan Yorinaga, sang Menteri Golongan Kiri.

Kiyomori yakin bahwa Yorinaga. yang Uap melakukan apa pun untuk mencapai tujuannya, bukanlahtandingan sang penasihat yang bijaksana, karena Shinzei sangat tepi dan tidak membiarkan orang lainmengacaukan jalan pikirannya Shinzei memiliki kedalaman yang tidak bisa diselami oleh orang lain;selama bertahun-tahun, dia selalu menjalankan tugas-tugasnya … yang tidak bisa dianggap mudaholeh

sebagian besar orang …dengan baik tanpa menuntut perhatian.

Di balik perlindungan kantor Shinzei, Kiyomori mendapatkan kepercayaan untuk menjalankan sebuahmisi rahasia dan luar biasa.

“Isu-isu sensitif terkait dalam misi ini. Ini penting.

Sedikit saja salah langkah, kau akan membangkitkan kecurigaan Yorinaga dan

Genji Tameyoshi terhadap perbuatanmu. Tunggulah hingga matahari tenggelam, lalu keluarkan anakbuahmu seorang demi seorang,” kata Shinzei, mengulangi peringatannya.

Malam itu, sebuah pasukan beranggotakan lima puluh orang samurai berangkat dari ibu kota menujuperbukitan di bagian barat laut Kyoto, jarak yang cukup jauh dari gerbang kota. Mereka dengan cepatmendaki Gunung Atago, lalu berhenti di salah satu tebing untuk membahas langkah yang akan merekaambil selanjutnya. Sejenak kemudian, mereka kembali melanjutkan perjalanan untuk mencari Jomyo,kepala pendeta Gunung Atago. Setibanya di depan gerbang rumah Jomyo, mereka mengetuk gerbangdan memanggil namanya dengan nyaring.

“Kami datang dari Istana Kloister, prajurit Heike Kiyomori, Tuan Aki. Kami mendapatkan laporanbahwa seseorang telah bersekutu dengan Iblis Tengu di tempat pemujaan utama di sini untukmengirim teluh maut kepada mendiang Kaisar. Kaisar Kloister memerintahkan Tuan Aki untukmelakukan pencarian dan mengumpulkan barang bukti. Antarkan kami ke tempat pemujaan Itu. Jikakau menolak, kau akan dianggap bersalah karena menolak perintah Kaisar!”

Keributan terdengr dari dalam rumah kemudian, Jomyo sendiri keluar dan berbicara denpn Kiyomori.“Jika Anda datang kemari untuk keperluan Yang Mulia, Anda tentu membawa surat perintahresminya. Izinkan saya melihatnya.”

“Ho, kau yang di sana, berlututlah!”

Setelah Jomyo berlutut Kiyomori menyodorkan surat perintah resmi kepadanya.

“Tidak ada masalah dengan surat Ini” …saya tidak bisa menolak. Pintu-pintu tempat pemujaan akansegera dibuka, Lewa Ini Tuan’ Memerintahkan anak buahnya untuk menyalakan lebih banyak obor,Jomyo menunjukkan jalan menuju tempat pemujaan, Bayangannya tampak menjulang tinggi di pintu-pintu tempat pemujaan itu, Sebuah kunci diputar dengan kasar di dalam lubangnya Lidah-lidah apiseolah-olah saling menjilat dengan ganas di dinding-dinding tempat pemujaan, dan di depan matanya,Kiyomori melihat gambar Iblis Tengu menjulang tinggi, sebatang paku tertancap di masing-masingmatanya.

“Astaga … paku!” Kiyomori terkesiap, begitu pula Jomyo dan yang lainnya, yang melihat dari balikbahunya.

Tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Kiyomori telah melihat sendiri penyebab penugasannya kemari.

Pemandangan itu menyeramkan dan membuatnya merinding. Dia selalu mencibir setiap kalimendengar cerita-cerita tentang ilmu hitam, namun ini … ! Hawa dingin merambati tulangbelakangnya.

“Bagus. Ini harus dilaporkan sekarang juga.” Kiyomori membalikkan badan, terguncang oleh apa yangdilihatnya.

Pintu-pintu kembali dikunci, dan Kiyomori memasang segelnya di sana. Setelah memberikan perintahkepada sebagian besar prajuritnya untuk menjaga tempat itu,

Kiyomori kembali ke Kyoto dan menemui Shinzei pada malam itu juga.

Sejenak, kedua bola mata Shinzei seolah-olah hendak keluar dari rongganya ketika dia mendengarlaporan Kiyomori mengenai apa yang telah dilihatnya; kemudian kembali ke pembawaannya yangsantai dan berkata,

”Seperti yang sudah kuduga ….”

Nyonya Bifukumon telah mendesak Kaisar Kloister untuk mengirim Kiyomori dan para prajuritnya keGunung Atago. Dia jugalah yang telah dengan hati-hati menyampaikan keyakinannya bahwa Yorinagadan ayahnya telah menggunakan ilmu hitam untuk menyebabkan kematian Kaisar. Nyonya Bifukomonmemperingatkan Kaisar Kloister untuk berhati-hati kepada kedua orang tersebut, yang diyakininyasedang mengincar tahta kekaisaran. Dua orang pertapa kemudian dipanggil ke Istana untuk menjadisaksi, dan keduanya menggambarkan tentang ritual jahat yang dilakukan oleh beberapa biksupengembara. Tidak ada yang mengetahui ke mana para biksu pengembara itu pergi karena merekalenyap begitu saja

bagaikan awan musim panas, kata mereka. Dan tidak lama kemudian, Yorinaga dan ayahnya dilarangmemasuki Istana Kloister.

Sementara itu, pertanyaan mengenai pemilihan kaisar baru semakin mendesak, dan Yorinaga besertaayahnya kebingungan ketika mendapati bahwa diri mereka dilarang mengikuti musyawarah dewankekaisaran. Mereka segera mengetahui alasan kejatuhan mereka. Mereka berusaha untuk membela diridengan pernyataan tidak bersalah melalui surat yang dituju lean kepada Kaisar Kloister, namunpermohonan mereka dikembalikan tanpa jawaban

melalui kantor Penasihat Shinzei. Apa pun yang mereka lakukan sepertinya tidak akan bisamelunakkan hati Toba.

Melalui sela-sela jeruji salah satu jendela Istana, seorang pejabat memerhatikan ayah dan anak itumemasuki kereta mereka dan bertolak dan Istana untuk terakhir kalinya.

Shinzei tersenyum sinis; seandainya mereka tahu, mereka tentu akan mengambil langkah dengan lebihhati-hati; Yorinaga tidak pernah menyangka bahwa sosok pendiam ini, yang selama bertahun-tahunbekerja dengan tekun di mejanya, adalah musuh terberatnya. Sang menteri juga tidak tahu bahwa istripria itu. Nyonya Kii, adalah orang kepercayaan Nyonya Bifukumon.

Shinzei tertawa tanpa suara. “Lihatlah, iblis-iblisku yang baik … sakit, bukan? Sebatang paku di matakanan dan sebatang lagi di mata kiri? Siapa yang tahu bahwa akulah, Shinzei, pelakunya?”

0)—=dw=—(0

Bab XIII-ISTANA MATA AIR DEDALU

Selama hampir empat belas tahun, keberadaan seorang pria nyaris terlupakan. Dia adalah MantanKaisar Sutoku.

Yang, setelah dipaksa turun tahta saat berusia dua puluh tiga tahun, menyepi di Istana Mata AirDedalu hanya bersama sejumlah kecil pengiring. Tahun-tahun itu dijalaninya dengan mendalami

berbagai macam praktik peribadatan di ruang ibadah pribadinya, membaca, dan menulis puisi. Diajuga sudah terbiasa untuk berjalan-jalan seorang diri di taman Istana dan beristirahat di bawahsebatang pohon dedalu raksasa yang tumbuh di dekat sebuah mata air. Sejarah mengatakan bahwamata air ini, yang terkenal karena kemanisan dan kemurnian airnya,

telah ada bahkan sebelum Kyoto didirikan, dan pada waktu yang telah lama terlupakan, sebatangpohon dedalu tumbuh di sampingnya. Air dari Mata Air Dedalu, begitulah namanya, hanya disajikandi meja Mantan Kaisar, dan seorang juru kunci tinggal di sebuah pondok kecil di dekatnya.

Pada suatu hari, ketika berdiri di bawah pohon dedalu raksasa, Sutoku memanggil juru kund mata air,“Aku haus

… ambilkan air untukku.”

Si juru kunci dengan sigap menjalankan perintah, membawa sebuah mangkuk tembikar yang baru sajadibakar dan mengisinya dengan air yang jernih.

“Manis sekali … seperti embun dari surga,” kata Mantan Kaisar, mengembalikan wadah yang telahkosong dan duduk di atas sebongkah batu yang dinaungi bayangan pohon dedalu. Si juru kundmengeluarkan sehelai tikar alang-alang yang baru saja dianyam dan menggelarnya untuk tamunya.

Kemudian, Sutoku berkata, “Hidupmu sepertinya makmur, Juru Kunci. Sudah berapa lamakah kautinggal di sini?”

“Saya sudah menjaga mata air ini selama empat belas tahun, Yang Mulia, karena saya ikut dalamrombongan Anda ketika Anda pindah kemari.”

“Empat belas tahun! Dan apakah pekerjaanmu sebelumnya?”

“Ayah saya adalah seorang pemain musik istana, dan sejak kecil, saya telah diajari bermain serulingdan bangsi; saat berusia sepuluh tahun, saya disekolahkan di Akademi Musik Istana, dan saat berusiaempat belas tahun, saya untuk pertama kalinya tampil di hadapan Anda, Yang

Mulia. Itu adalah kehormatan yang tidak akan pernah saya lupakan. Kemudian, Yang Mulia turuntahta pada akhir tahun Itu.”

“Berarti, kau dan ayahmu bukan rakyat jelata, karena hanya ada empat keluarga di ibu kota yangsesuai dengan penjelasanmu itu.”

“Ayah saya adalah AM Torihiko. Pemain musik dari Golongan Keenam.”

“Dan namamu?”

“Saya … ” si juru kunci membungkuk dalam-dalam …

”saya bernama Asatori.”

Sutoku dengan penasaran menatap sosok yang membungkuk di hadapannya “Apa yangmenyebabkanmu meninggalkan pekerjaanmu … dan ayahmu … untuk menjadi juru kund biasa bagi

mata air ini?”

Asatori menyangkal ucapan Sutoku dengan gelengan.

“Tidak, ini bukan tugas biasa. Tuan, karena air adalah sumber kehidupan.

Dan menjaga mata air yang menghapus dahaga Yang Mulia bukanlah pekerjaan biasa. Lamaberselang, ayah saya pernah mengajari Yang Mulia memainkan berbagai macam alat musik danmenjadi pemain musik kesayangan Nyonya Bifukumon. Walaupun pintar bermain musik, kami hidupdalam kekurangan, sehingga ketika tiba waktunya untuk merayakan kedewasaan saya, Andamemberikan beberapa kimono bekas Anda sebagai hadiah untuk saya; saya mengenakannya dalamupacara dan tampil seperti seorang pria terhormat. Saya akan mengingat peristiwa itu seumur hidupsaya!”

“Oh, apakah peristiwa seperti itu pernah terjadi?”

“Yang Mulia mungkin sudah melupakan bantuan untuk hambanya yang papa, namun ayah saya tidakpernah melupakannya. Saya senantiasa teringat akan ucapan beliau ketika Anda turun tahta: ‘Asatori,mustahil bagiku untuk ikut bersama Yang Mulia, namun kau hanyalah seorang siswa di akademi dankarenanya bisa pergi ke mana pun kau mau. Ikutlah bersama Yang Mulia dan mengabdilah dengansetia kepada beliau, sesuai dengan suri tau ladan ku.

Aku masih memiliki anak-anak lelaki lain untuk mewarisi nama dan pekerjaan kita.’ Beliau kemudianmemberikan serulingnya kepada saya sebagai hadiah perpisahan, dan saya ikut bersama Anda kemaridan menjaga mata air ini sejak saat itu.”

Sutoku, yang selama ini mendengarkan baik-baik dengan kepala tertunduk dan mata terpejam,mendongak dan tersenyum tipis ketika Asatori mengakhiri ceritanya.

“Serulingmu … apakah kau membawanya sekarang?”

“Saya menyimpannya dengan baik di dalam sebuah wadah yang terbuat dari salah satu lapisan kimonopemberian Yang Muka. Benda itu adalah warisan dari ayah sayaT

“Warisan? Tetapi,, ayahmu pasti masih hidup.”

“Tidak, seruling ini menjadi kenang-kenangan sekarang.

Ayah saya sudah tidak ada di dunia ini dan karena keinginan terakhr ayah adalah agar saya mengabdikepada Anda. Maka saya akan tetap tinggal disini hingga air ini mengering.”

“Ah … ” Sutoku mendesah panjang seraya berdiri.

“Ibunya, Nyonya Taikenmon, juga telah wafat. Betapa fananya manusia dan segala sesuatu di duniaini, renungnya. “Suatu saat nanti, saat bulan purnama, kau harus memainkan serulingmu untukku.Sungguh sejuk

udara di sini! Asatori, aku akan mengunjungimu lagi di lain waktu.”

Mata Asatori mengikuti Sutoku ketika mantan kaisar itu menghilang di balik pepohonan. Kesempatanuntuk bisa bertemu dan bercakap-cakap dengan seseorang yang tidak akan berani didekatinya padawaktu yang lain membuatnya bahagia. Sepanjang malam musim panas, Asatori menantikankedatangan bulan purnama, mengingat janji Sutoku untuk mendengarkan permainan serulingnya.

Pada selatar waktu ini, orang-orang yang melewati Mata Air Dedalu mulai memerhatikan denganpenasaran banyaknya tandu dan kereta yang mendatangi istana yang telah lama terabaikan itu. Kabarburung mengatakan bahwa Kaisar Konoyt sedang meregang nyawa, dan putra Mantan Kaisar Sutoku,Pangeran Shigebito, cucu Kaisar Kloister Toba, akan menduduki tahta kekaisaran. Di antara sejumlahbesar tamu yang mengunjungi Mantan Kaisar terdapat Yorinaga dan ayahnya, Tadazant, yang barusekarang memedulikan keberadaan Sutoku. Mereka berulang kali meyakinkan Sutoku bahwa adabanyak kebaikan yang menantinya, dan bahwa putranya sudah pasti akan diangkat menjadi kaisar.Prospek kembalinya kejayaan dan kebangkitan harapan ini menyebabkan Sutoku melupakan janjinyakepada juru kunci Mata Air Dedalu.

Asatori menatap dengan penuh damba pada bulan purnama dan menantikan sang mantan kaisar, yangtidak pernah datang. Dia melilai kedatangan dan kepergjan tandu-tandu dan kereta-kereta, dansemakin gelisah, karena Mata Air Dedalu telah kehiangan kemilaunya dan bertambah kerai … sebuahpertanda adanya pergolakan alam atau ramalan akan sampainya bencana.

Masyarakat umum kecewa ketika pada bulan Oktober, putra keempat Kaisar Kloister. Adk Sutoku,iBmrii whag»

Kaisar dan mendapatkan gelar Gmhrafcawa. Sutoku terpdoi Putranya yang berada di tempat teratasdalam daftar pewaris tahta, diabaikan begitu saja. Nyonya Bifukumon, dia yakin, memainkan perananbesar dalam memengaruhi pilihan Kaisar Kloister, dan dirinya, Sutoku, tersisih akibat kejahatanwanita itu. Bagaimanapun, dia mendapatkan sedikit ketenangan dalam kata-kata Yorinaga, “Sabar …dan teruslah bersabar Waktu Anda akan tiba.”

Masa pemerintahan yang baru dimulai pada April 1156.

Pada musim panas tahun yang sama, masa kekuasaan Pemerintahan Kloister, yang telah berlangsungtanpa terputus selama dua puluh tujuh tahun, berakhir. Toba wafat di Istana Peristirahatan di KuilAnrakuju-in pada malam tanggal 2 Juli. Kabar mengenai keadaannya yang semakin buruk terdengar diibu kota pada siang harinya, menyebabkan terjadinya gelombang besar tandu dan kereta ke arahTakeda, tempat kuil tersebut berdiri. Di tengah keriuhan yang terdiri dari binatang-binatang yangsaling berdesakan dan orang-orang berkeringat yang saling membentak, sebuah kereta menembuskeramaian dan melaju dengan cepat. Di balik kerai jendela keretanya, Sutoku menutupi wajahberdukanya.

Kereta-kereta diparkir di dalam maupun luar gerbang Istana. Tidak ada ruang yang tersisa di pelataranluas di depan Istana sekalipun, karena tempat itu dijejali oleh pelayan bersenjata, kusir, dan tandu.Keheningan menyelimuti segalanya seperti kain penutup peti mati.

Tidak ada pengawal yang menyambut kereta Sutoku, sehingga pelayannya harus berteriak sangatnyaring untuk mengumumkan kedatangannya. Sutoku dengan geram menaikkan kerai dan membentakpelayannya, “Biarkan aku turun, biarkan aku turun, kataku!”

Ketika kereta Sutoku memasuki gerbang, dentangan khidmat loncong-lonceng kuil dan pagoda sudahtidak terdengar lagi. Yang didengarnya adalah napas-napas yang tercekat dan gumaman, “Mata YangMulia sudah terpejam

… ” Sutoku melihat orang-orang serentak berlutut, mengangkat kedua tangan mereka untuk berdoa,dan rasa duka serta merta menderanya. Bukan seorang penguasa yang meninggal melainkan ayahnyasendiri! Tahun-tahun panjang kegetiran itu … ketika Toba tidak mau mengakuinya lagi sebagaiputranya … satu kali pertemuan terakhir akan cukup untuk menghapuskan semuanya.

“Biarkan aku turun, kataku! Jangan bebal begitu! Buka pintunya cepat!”

Mendengar perintah yang disampaikan dengan nada panik ini, para pelayan cepat-cepat memutarkereta dan memaksakannya mendesak kendaraan-kendaraan lainnya.

Setibanya kereta di depan beranda, salah satu rodanya menabrak sebuah tandu yang diletakkan di sana.Lalu menggilasnya dengan bunyi nyaring. Mendengar keributan ini, Genji Akanori dan beberapa orangsamurai lainnya yang bertugas menjaga pintu langsung maju dan memaki-maki si kusir kereta.

Sutoku yang murka balas membentak mereka,

“Minggirlah, orang-orang dungu! Tidakkah kalian tahu siapa aku? Berani-beraninya kalianmelarangku!”

Akanori menghadapinya dengan sikap mengancam.

“Sekarang, setelah mengetahui siapa Anda, saya punya lebih banyak alasan untuk melarang Andamasuk. Saya mendapatkan perintah untuk tidak menerima Anda.

Mundur! Mundur!”

Terbakar amarah, Sutoku mengeluarkan badannya dari kereta. “Petugas bedebah! Aku kemari untukmenemui

Yang Mulia, ayahku, namun tidak ada seorang pun yang keluar untuk menyambutku, dan merekadengan lancangnya mengirim prajurit untuk menjalankan perintah mereka!”

“Saya menjalankan perintah dari Korekata. Panglima Golongan Kanan, yang mengabdi kepada YangMula.

Seorang samurai harus menjalankan tugasnya. Anda tidak boleh melangkah lebih jauh!”

“Aku tidak sudi berurusan dengan kalian, orang-orang rendahan …Gemetar oleh amarah. Sutokubersiap-siap untuk turun dari keretanya. Para pengawal serempak mengepung keretanya danmendorongnya mundur; para pelayan Sutoku menubruk dan berusaha melawan para prajurit;akibatnya, kereta terdorong mundur dan Sutoku.

Kendati telah mencengkeram kerai erat-erat torjerembap kc tanah. Kerai yang digenggamnya ketikater|atuh dengan kerat menggores pipi Akanori, menyebabkan darah tiba-tiba mengalir di wa|ahsamurai Itu.

Orang-orang di dalam Istana segera mendengar kabar bahwa Mantan Kaisar Sutoku baru sajamengamuk dan melukai salah seorang pengawal, dan saat Ini tengah menuju biliknya. Korekata,Panglima Golongan Kanan, yang sedang duduk di samping Penasihat Shlnael ketika kabar Itudisampaikan, bangkit dari kursinya dengan kaget Jeritan ngeri salah seorang dayang mendorongnyauntuk segara berlari menyusuri koridor yang pajang Ketika mendekati pintu masuk Istana, seberkascahaya dari salah satu ruang tunggu menerangi sebuah pilar di ruang depan, dan di sanalah diaberhadapan langsung dongan Sutoku.

Wajah sang mantan kaisar pucat pasi; matanya nyalang; lengan kimononya tercerabik. Dan rambutnyaacak-acakan di keningnya.

Sang panglima mengulurkan kedua tangannya untuk mengisyaratkan larangan. “Tuan … Andadilarang masuk,”

serunya, menghalangi jalan. “Anda tidak boleh terlihat dalam keadaan seperti Ini. Saya mohon kepadaAnda untuk pergi dengan tenang.”

Sutoku sepertinya tidak mengerti. Dia menepiskan tangan Koretaka dongan kasar. “Minggir! Akuharus menemui beliau sekarang … saat ini juga!”

“Tuan, tidakkah Anda mengerti bahwa Anda dilarang menemui beliau?”

“Aku … aku tidak mengerti … Koretaka! Apa salahnya jika aku ingin menemui ayahku yang sedangmeregang nyawa? Kau tidak berhak melarangku! Minggir … jangan halangi aku!”

Koretaka menaikkan nada suaranya kepada Sutoku yang kalap. “Anda sudah gila! Apa pun alasanAnda, Anda dilarang menemui beliau!”

Amukan Sutoku sekonyong-konyong meledak dalam isak tangis hebat ketika dia memberontak daripegangan Koretaka. Tanpa membuang-buang waktu, Koretaka memerintah beberapa orang anakbuahnya untuk menyeret Sutoku, yang menangis dan meronta-ronta, dan menaikkannya kembali tecarapakta ke keretanya.

Bagian dalam Kuil. Yang biasanya berkilauan Indah, kuil Ini tenggelam oleh kepulan asap dupa;gonggong dipukul secara serempak dan khidmat; seribu orang pendeta menunduk nunduk sementaraarwah Toba beranjak pergi dari dunia Ini.

Sebelum malam musim panaa yang pendek itu berakhir, sebuah desas desus telah menerpa seluruhIstana di Takeda bagaikan gelombang pasang. Bisikan menyebar dari telinga

ke telinga: Mantan Kaisar sedang membentuk sebuah persekongkolan. … Mengagetkan? Tanda-tandanya telah terlihat sejak lama … sebuah laporan dari Kesatuan Pengowal menegaskannya, RumahPeristirahatan Tanaka, yang dipisahkan oleh sebuah sungai dari Istana Peristirahatan, tempat Sutokumenginap, dicurigai menjadi tempat dibentuknya persekongkolon tersebut. Sejak Jam Babi Hutan(pukul sepuluh), sebuah pertemuan sepertinya dilangsungkan di sana. Dari salah seorang sumberlainnya di ibu kota, terdengar laporan bahwa pada siang sebelumnya, kuda-kuda dan kereta-keretayang mengangkut persenjataan terlihat memasuki Istana Mata Air Dedalu.

Para saksi mata melaporkan telah melihat kelompok-kelompok wanita dan anak-anak yang ketakutan,mengangkut berbagai keperluan rumah tangga, bergegas berangkat menuju Perbukitan Utara danTimur pada siang hari bolong. Jalanan ibu kota sunyi senyap seperti di sebuah kota mati pada tengahmalam buta ….

Menghilangnya Yorinaga dari tengah-tengah ruang duka semakin menegaskan kecurigaan. Bukanhanya dia yang menghilang melainkan juga Tsunemun6, Tadazant, dan tokoh-tokoh lainnya yangdiketahui bersimpati kepada Sutoku. Jelas sudah bahwa sebuah rencana sedang digodok oleh mereka.

Hingga hari ketujuh masa perkabungan utama berakhir, gerbang-gerbang Istana Peristirahatan danRumah Peristirahatan Tanaka tertutup bagi semua pendatang, dan tidak seorang pun tampak keluardari sana. Ketika malam tiba. Bagaimanapun, sosok-sosok dengan berbagai macam penyamaranmenyelinap keluar dari kedua tempat tersebut.

Pada hari kedua masa perkabungan utama, Yorinaga meninggalkan para pejabat istana yang tengahberkumpul di sekeliling keranda dengan dalih untuk menyelesaikan

urusan mendesak di Uji. Sambil berjalan ke keretanya, dia menggerutu kesal, “Mereka hanya duduk-duduk di sana, menyebarkan fitnah tentang persekongkolan, menyeka air mata sambil saling menatapcuriga, menyembunyikan kelicikan mereka dibalik nyanyian khidmat para pendeta!

Siapa yang tahan hanyut di tengah lautan air mata palsu kuT

Terlindung oleh kegelapan malam, kereta Yorinaga bergerak dari Istana Peristirahatan menuju RumahPeristirahatan Tanaka, tempatnya secara dom-dtam menemui Mantan Kaisar Sutoku.

“Baru kali ini saya mendengarnya … seorang anak dilarang menemui ayahnya yang sedang sekarat!Saya memahami betul penderitaan Anda, Saya melihat sendiri bagaimana Kaisar baru senantiasadikelilingi oleh Nyonya Bifukumon dan orang-orang jahat itu. Baru kali inilah singgasana menjadimangsa bagi para penasihat durjana,”

kata Yorinaga, menatap mata Sutoku.

Mendengar kata-kata Yorinaga, sesuatu seketika tergugah di mata sembap Sutoku. “Yorinaga …Yorinaga, kaulah satu-satunya orang yang bisa ku percaya!” isak sang mantan kaisar. Dia membiarkanair mata membasahi pipinya.

“Aku … putraku … adalah pewaris tahta yang sesungguhnya, namun kami diusir dengan semena-mena …

dikubur hidup-hidup. Orang-orang mengharapkan aku naik tahta kembali … Yorinaga, bukankah itubenar?”

Yorinaga memejamkan mata, seolah-olah tengah berjuang untuk mencari kata-kata yang tepat.

Sesungguhnya, dia telah menyiapkan sebuah jawaban. Dia telah menyimpannya cukup lama di dalamhatinya. Lagi pula. Siapakah yang akan memberi tahu Sutoku bahwa

kata-kata yang segera meluncur dari bibir Yorinaga adalah sari pati dari ambisi pria itu?

Mendesah panjang, Yorinaga akhirnya berbicara. “Ini hanyalah masalah waktu. Pada saat Yang Muliamemutuskan bahwa waktunya telah tiba, para dewa pun akan memberikan dukungan. Menolakdukungan para dewa sama saja dengan memancing amarah mereka. Ada banyak mantan kaisar yangpernah merebut kembali tahta mereka, jadi, adakah alasan untuk tetap ragu-ragu?”

Yorinaga sangat yakin akan tindakannya. Dia tidak hanya telah menghafal seluruh isi Kitab SiasatPerang, tetapi juga percaya bahwa Genji Tameyoshi telah aman dalam genggamannya.

Malam itu. Yorinaga memaparkan rencananya bagi Sutoku untuk merebut kembali tahtanya. DariIstana di seberang sungai, para pejabat istana dan petugas yang telah mendapatkan instruksi dariYorinaga segera berdatangan.

Persekongkolan itu digodok sepincang malam itu hingga keesokan harinya. Rencana pertempurantelah disusun, dan untuk menghindari kecurigaan akibat pembentukan pasukan di tempat yang sama,Yonnaga segera bertolak ke Uji untuk mempersiapkan langkah selanjutnya dalam rencananya.

Bersama terbitnya matahari, lonceng-lonceng besar di kuil berdentang. Tujuh hari perkabungan utamatelah berakhir. Sejak pagi hingga matahari terbenam, lonceng-lonceng terus dibunyikan, dan seolahtanpa akhir, rapalan ayat-ayat suci dari para pendeta terdengar berbaur dengan ringkikan kuda.Gerbang-gerbang di Rumah Peristirahatan Tanaka, bagaimanapun, tetap tertutup rapat Sutoku bahkantidak keluar ketika matahari tenggelam untuk mengikuti ritual yang menandai berakhirnya masaperkabungan utama, dan Penasihat Norinaga semakin gencar mendengar

bisikan-bisikan yang menyerang Sutoku. Mengkhawatirkan kemungkinan kebenaran desas-desustersebut. Norinaga memacu kudanya untuk menemui kakaknya yang sedang sakit-sakitan, seorangpejabat istana berkedudukan tinggi, untuk memohon saran.

Dengan susah payah mengerahkan tenaganya, kakak Norinaga berkata, “Seperti yang bisa kaulihatsendiri, kondisiku tidak memungkinkanku untuk menemui Mantan Kaisar dan membujuk beliau. Akuragu bahwa kalaupun aku mampu, aku akan berhasil mencegah beliau. Sekarang mungkin sudahterlambat, namun aku menasihatimu untuk segera kembali dan mendesak Yang Mulia untuk langsungmenjalani upacara penahbisan menjadi biksu; itu setidaknya akan menjamin keselamatan nyawabeliau. Kita sendiri tidak akan bisa melarikan diri dari bencana ini.”

Setibanya kembali di Rumah Peristirahatan Tanaka.

Norinaga waspada ketika mendapati Sutoku dan para pengikutnya sedang dengan tergesa-gesa bersiap-siap untuk berangkat ke Istana Shirakawa yang terletak dekat dari ibu kota Saat Itu juga, dia berusahauntuk membujuk sang mantan kaisar.

“Yang Mulia, tidak selayaknya Anda pergi sebelum keempat puluh sembilan hari masa perkabunganberakhir Terlebih lagi, ada desas-desus yang mengatakan bahwa Anda sedang bersekongkol untukmenggulingkan tahta Kaisar, sehingga kepergian Anda sekarang hanya akan membenarkanpergunjingan orang-orang .

Namun Sutoku hanya tersenyum dan menepiskan bujukan Norinaga, mengatakan bahwa dia telahmendapatkan peringatan rahasia mengenai ancaman bagi keselamatannya. Sementara dia berbicara,sepasukan samurai bersenjata aba untuk mengawalnya, dan Norinaga diperintahkan untuk ikut

bersama mereka. Pada tami

malam tak berbintang tanggal 9 Juli itu, dimulailah pergerakan nnoar menuju Shirakawa. Tidak adasatu pun obor yang dinyalakan untuk menerangi derit dan derak roda kereta, juga dentangan senjata ditengah kegelapan pekat itu Segera setelah Mantan Kaisar meninggalkan Istana Mata Air Dedalu,sepasukan samurai bersenjata tiba dan menduduki tempat itu. Asatori, sijuru kunci, mengamatimereka dengan gundah.

Tapak-tapak kuda mereka telah menodai hamparan pasir putih di halaman, dan para prajurit itubertingkah seenaknya di dalam Istana, menggeledahi ruangan-ruangannya dan menjarah gudang-gudang penyimpanan untuk mencari makanan, bahkan menerobos keputrian sehingga jeritan-jeritanngeri para penghuninya terdengar.

Tetapi, ketika para prajurit itu dengan gaduh mencopot kimono mereka untuk mandi di Mata AirDedalu dan meminum airnya langsung dari ember, Asatori tidak sanggup lagi menahan diri.

“Tuan-tuan … saya mohon, jangan gunakan mata air ini.”

“Apa-apaan ini? Apa maksudmu melarang kami, Bangsat?” balas para samurai itu, menganggapAsatori tidak lebih dari sekadar sebuah orang-orangan sawah.

“Siapa dirimu yang telah dengan lancang memerintah kami?”

“Saya juru kunci Mata Air Dedalu.”

“Juru kunci? Oh, jadi kau bertugas menjaga mata air ini?”

“Tugas saya adalah merawat mata air ini dan menjaga agar airnya tetap jernih. Saya menjaga mata airini dengan nyawa saya.”

Para prajurit tertawa terbahak-bahak ketika mendengar jawaban Asatori.

“Omong kosong. Jika hujan cukup sering turun di Ibu kota, mata airmu akan penuh dengan sendirinya.Aku berani bertaruh bahwa Yang Mulia tidak minum sebanyak Naga Raksasa sehingga mata air Initerancam kekeringan!”

“Kalian sungguh kasar. Siapakah kalian dan siapakah yang mengizinkan kalian membuat kekacauan disini?”

“Kekacauan? Siapa yang menimbulkan kekacauan?

Kami dikirim kemari untuk menjaga tempat ini. Menteri Golongan Kanan yang memberikan perintahkepada kami Semua, tanyakan sendiri kepada Menteri,”

“Apakah Yorinaga yang Anda maksud, sang Menteri?”

“Yorinaga atau siapa pun namanya, disana atau di sini, bukan urusan kami. Lagi pula, jika perangsudah pecah tidak akan ada lagi Istana atau Mata Air Dedalu.

Sekaranglah kesempatan bagi kami untuk memindahkan isi gudang ke perut kami!”

Kendati enggan. Asatori memilih untuk mundur. Sinar matahari yang terpantul dari tombak-tombakdan pedang-pedang mereka membuatnya gemetar. Ini bukan saat yang tepat untuk membantah paraprajurit garang ini, yang tidak akan segan-segan menghabisinya. Tidak ada yang bisa dilakukannyakecuali mengawasi mereka dari jauh. Sejenak kemudian, dia melihat salah seorang prajurit memanjatpohon dan mengangkat tangan untuk melindungi matanya, menatap lekat-lekat halaman IstanaTakamatsu, yang berjarak cukup dekat dari sana. Sesuatu yang dilihatnya menyebabkan si prajuritterburu-buru turun dan tiga orang prajurit lain memacu kuda mereka.

Asatori menyandarkan punggungnya ke batang pohon dedalu raksasa, dengan cemas memikirkan nasibmajikannya, sang mantan kaisar. Seandainya perang benar-benar pecah, bukankah dirinya, Asatori, sijuru kunci, harus siap membuktikan kesetiaannya … mengorbankan nyawanya? Tidak ada yang bisadilakukannya kecuali tetap tinggal di Istana dan menjaga Mata Air Dedalu.

Angin musim panas bertiup sepoi-sepoi di antara sulur-sulur panjang pohon dedalu; seutas sulur hijauberayun-ayun lembut, membelai pipi Asatori.

O0odwkzo0o

“Kita tidak punya cukup prajurit untuk melindungi Yang Mulia,” Penasihat Shinzei menegaskankepada Perdana Menteri.

Baru semalam sebelumnya, keributan besar terjadi ketika dayang-dayang Nyonya Bifukumon melihatsosok yang mirip burung hantu bertengger di atas sebatang pohon hazel di luar jendela kamar mereka.Para pengawal bergegas menghampiri sumber jeritan dan menembakkan panah mereka kepadaseorang bajingan malang … seorang pendeta muda yang mengaku tengah mengintip dayang-dayang dikamar tidur mereka.

“Kita harus mengambil tindakan,” kata Shinzei. “Di saat seperti inilah para samurai biasanyamenggodok persekongkolan. Bukankah sudah tiba waktunya bagi kita untuk menempatkan parapanglima yang direkomendasikan oleh mendiang Yang Mulia di sini, demi keamanan kita sendiri?”

Perdana Menteri tidak serta merta menjawab. “Itu mungkin diperlukan …” Dia tampak enggan karenaYorinaga adiknya dikenal luas sebagai salah seorang pendukung Sutoku, dan dia tahu bahwa diasendiri harus

segera menentukan ke mana dia akan berpihak Kemudian, Perdana Menteri melanjutkan, “PenasihatShinzei, panglima yang manakah yang Anda sarankan harus ditugaskan untuk melindungi Kaisar?”

“Itu … itu sudah diputuskan sendiri oleh mendiang ftng Mulia tidak lama sebelum beliau wafat.Sebuah daftar telah disusun, dan beliau menyetujuinya.”

“Saya tidak tahu bahwa daftar seperti itu telah dibuat”

“Daftar itu ada.”

“Kapan daftar itu dibuat? Siapakah yang memegangnya sekarang?”

“DI masa hidupnya, Yang Mulia menyerahkannya kepada Panglima Pengawal Golongan Kiri danFujiwara Mitsunaga. Setelah beliau wafat, dokumen tersebut diserahkan kepada Koretaka, PanglimaGolongan Kanan, untuk disimpan. Saya berniat untuk menunjukkannya kepada Nyonya Bifukumonsetelah masa perkabungan selesai. Kehendak Yang Mulia harus dilaksanakan.

Haruskah saya menyarankan pertemuan dengan Kaisar?”

Tadamichl tidak keberatan. “Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, saya tidak memilikikeberatan apa pun.”

“Panglima Koretaka akan segera diberi tahu, begitu pula Nyonya Bifukumon.”

Pada hari kelima setelah Kaisar Kloister wafat. Nyonya Bifukumon dan para penasihat Kaisar bertemuuntuk membahas isi surat wasiat. Kendati begitu, pertemuan ini dalam kenyataannya

adatats Nfeiofc ptnWniM perang. Menunaikan kemungkinan para ww* memberontak setelahkemaoannya.

Toba mengambil tongkah pencegahan dengan menyusun sebuah daftar berisi nama •epuluh orangpanglima Genji dan Heik£ yang ditugaskan untuk mengawal Kaisar baru dan Nyonya Bifukumon.Genji Yoshitomo. Putra Tameyoshi, akan diangkat untuk menjadi pemimpin dari kesepuluh panglimatersebut.

Satu nama, bagaimanapun, secara mencurigakan tidak ditemukan di daftar itu.

“Mengapa Tuan Aki, Heik6 Kiyomori, tidak ada di dalam daftar ini?” akhirnya Shinzei bertanya,menuntut penjelasan dari Nyonya Bifukumon. “Almarhum Heik£

Tadamori adalah tokoh penting di Istana, jandanya, ibu tiri Kiyomori, Nyonya Harima Ariko, sayadengar pernah menjadi ibu susuan Putra Mahkota. Mendiang Yang Mulia, saya yakin, tidakmelupakan itu.”

Kiyomori tidak sepenuhnya asmg bagi Nyonya Bifukumon, yang telah sering mendengar Nyonya Kiimembicarakannya. Nyonya Bifukumon cepat-cepat menjawab. “Memang benar, aku mendampingiYang Mulia ketika beliau menyusun daftar ini. Beliau juga pernah membahas masalah ini denganku dikesempatan yang bin, dan Yang Mulia sepertinya merasa bahwa Kiyomori bisa dipercaya, namunbeliau juga mengkhawatirkan kemungkinan ibu tiri Kiyomori akan menarik simpatinya atas namaPangeran Shigebito. Karena itulah nama Kiyomori disingkirkan. Yang mulia juga mengatakan,bagaimanapun, bahwa jika tidak ada tugas lain yang mengikat Kiyomori, dia akan dipanggil jikakeadaan membutuhkannya. Yfc … sekarang aku ingat dengan jelas bahwa itulah tepatnya yangdiucapkan oleh beliau”

Shinzei mencoba menarik kesimpulan berdasarkan penjelasan Nyonya Bifukumon, “Kita tidak punyaalasan untuk meyakini bahwa kfyomon terikat oleh tugas lain. Kita

juga harus mengingat bahwa setelah pecmma Gmw Yorinaga menjadikan Kiyomori sebagai musuhbebuj ucuwf i. Ada pub berbagai fitnah yang peda suatu masa pernah mendorong Yang Muka untukmerdukan Kiyomori. Sungguh sayang jika sekarang kita sepenuhnya mengabaikan Kiyomori. DanAnda, Tuan?” tanya Shinzei, mengangguk kepada Tadamichi. “Bagaimana pendapat Anda?”

“Untuk saat ini, saya tidak memiliki keberatan apa pun terhadap Tuan Aki. Saya tidak menghendakikeburukan terjadi padanya, dan saya juga tidak ingin dia diabaikan.”

“Jika begitu, haruskah kita memasukkannya … Kiyomori

… ke dalam daftar ini?”

“Sepertinya itu bijaksana.”

Satu nama lagi ditambahkan ke dalam daftar pengawal pribadi Kaisar Goshirakawa. Kesebelaspanglima tersebut adalah kepala keluarga-keluarga berpengaruh yang berhak menarik pajak dari tanahkekuasaan mereka. Keesokan paginya, pada 8 Juli, pasukan-pasukan mulai berdatangan dalam jumlahbesar di Kuil Anrakuju-in sehingga tempat itu dijejali oleh prajurit Yang pertama tiba di sana adalahGenji Yoshitomo beserta pasukannya, disusul oleh panglima-panglima lainnya beserta pasukanmereka masing-masing.

Yang terakhir tiba adalah seorang samurai muda yang menunggang kuda beserta pasukannya yangterdiri dari dua ratus orang penunggang kuda. Ketika mendaftarkan pasukannya, dia memperkenalkandiri dengan suara jernih dan nyaring:

“Inilah saya … putra kedua Tuan Aki, Heik6 Kiyomori

… Aki Motomori, samurai dari Golongan Keempat, tujuh belas tahun. Setelah mendapatkan panggilandari Istana, ayah saya segera menghimpun pasukan dari seluruh

wilayah kami dan dari siapa pun yang memiliki ikatan dengan keluarga kami. Beliau akan datangnanti beserta pasukannya. Saya datang terlebih dahulu atas perintah beliau.”

Semua orang yang menoleh ke arahnya melhat seorang pemuda bermata tajam dalam balutan bajuarah kulit berwarna biru tua dan berhias pola bunga kunyit Pemuda itu menyandang sewadah penuhanak panah berbulu hitam dan mengenakan penanda golongannya: sebuah helm tersampir dipunggungnya.

Pekikan terkejut terdengar dari beberapa orang samurai uzur, “Oh! Benarkah anak Kiyomori sudahsebesar itu?”

Perawakan Motomori mengingatkan mereka bukan hanya kepada Kiyomori sendiri, melainkan jugakepada sang kakek. Tadamori, dan tahun-tahun yang berlalu dengan sangat cepat.

o0odwkzo0o

Bab XIV-PANJI-PANJI MERAH HEIKE

Rokuhara, tempat tinggal Kiyomori sejak bertahun-tahun silam, bukan lagi sebuah wilayah terpencildi pinggiran Kyoto, melainkan telah menjadi sebuah kota kecil yang dihuni oleh begitu banyakanggota klan Heike. Putra sulung Kiyomori, Shigemori, yang tinggal di sana sejak masih bocah,sekarang telah berusia delapan belas tahun. Lahan kosong dan rawa-rawa di seberang tempat yangdahulu sesekali digunakan untuk upacara pemakaman dan dilewati oleh para pendeta dalam perjalananmenuju Toribeno dan Kuil Kiyomizu, telah mengalami perubahan besar sejak Jembatan Gojodidirikan. Rawa-rawa telah dikeringkan, dan jalan sempit yang berkelok-kelok telah digantikan oleh

seruas jalan lurus yang diapit oleh deretan pepohonan.

Pagar-pagar anyaman ranting berdiri mengelilingi rumah-rumah tinggal berukuran besar dengan atap-atap lengkungnya; gerbang-gerbang besar terlihat di antara rumah-rumah mungil yang jumlahnyasemakin bertambah seiring waktu. Bangunan-bangunan yang berukuran besar, percabangan darikediaman Kiyomori, dihuni oleh anggota-anggota keluarga Kiyomori beserta para pelayan mereka.

Sebuah gerbang bertingkat dua untuk menerima penunggang kuda berada di depan kediaman baruKiyomori yang lebih luas, dengan tanahnya yang melandai menuju Sungai Kam Bubungan-bubunganbertonjolan dari atap utama hingga bangunan pusat tenggelam dalam labirin atap.

Selama dua hari berturut-turut, para samurai data menunggang kuda dari wilayah-wilayah kekuasaanKiyomori dan memenuhi kediamannya. Mereka yang baru saja datang terpaksa ditampung di tempatterbuka, yaitu di bawah pepohonan di sepanjang sungai, padahal pasukan-pasukan lain masih terusberdatangan bagaikan gelombang.

Banyak di antara mereka yang telah berbaris atau mengendarai kuda sepanjang siang dan malam DariRokuhara, Motomori dan pasukannya terlihat mengikuti aliran sungai ke arah selatan: sorak soraiterdengar, sementara panji-panji merah Heike berkibar di atasnya dan para penunggang kuda yangperlahan-lahan menghilang dari pandangan.

“Apa itu … keributan itu?” Kiyomori bertanya kepada orang-orang di dekatnya.

“Yang Terhormat Motomori sedang menyusuri seberang sungai dalam perjalanan ke Uji.”

“Oh, begitu,” jawab Kiyomori singkat. Tujuh orang menyertainya: Tokitada, adik iparnya, yangsekarang menjadi juru tulis di Istana; adiknya, Tsunemori; pelayan tuanya, Mokunosuke, dan salahseorang putranya; dan tiga orang anggota keluarga Heike dari Ise.

“… Seluruhnya enam ratus orang.” Tokitada baru saja selesai membaca daftar samurai yang telah tiba.“Kurasa akan ada lebih banyak lagi yang datang selambat-lambatnya besok pagi, tapi sejauh ini, yangtelah terdaftar adalah enam ratus delapan puluh delapan orang.”

Kiyomori meminta Tokitada untuk membaca daftar sukarelawan itu sekali lagi. Ruangan besar tempatmereka duduk memiliki koridor-koridor yang saling memotong di keempat sisinya. Salah seoranggadis pelayan Tokiko masuk dan tampak kikuk ketika melihat orang-orang yang ada di dalamnya.

“Tuan,” akhirnya dia berkata, “Nyonya menyuruh saya kemari secepatnya … ”

“Apa maunya?” tanya Kiyomori tanpa sabar.

“Yang Terhormat Motomori sedang menyusuri tepi sungai sekarang, dan Nyonya memohon kepadaAnda untuk mengawasi beliau.”

“Apa-apaan ini?”

“Nyonya berharap Anda mengawasi beliau

menyelesaikan misi pertamanya.”

“Aku tidak punya waktu untuk melakukan itu. Katakan kepada nyonyamu bahwa Motomori tidaksedang berjalan-jalan untuk melihat-lihat bunga sakura.”

“Baiklah, Tuan.” – …

“Katakan kepada nyonyamu bahwa dia harus bersiap-siap menangis dan meratap ketika merekamengirimkan kepalanya ke rumah.”

Gadis pelayan itu berlari keluar seolah-olah baru saja dimarahi, menahan tangisnya.

Kiyomori menatap gadis itu hingga menghilang dari pandangannya dan berkomentar dengan nadadatar,

“Mereka, para wanita itu, tidak tahu betapa kejinya perang.

Mereka tidak pernah melihatnya. Pertempuran pecah sepanjang waktu di wilayah barat dan timur,namun tidak pernah terjadi di sini sejak berabad-abad silam. Tidak seorang pun dari kalianmengetahui seperti apa perang yang sesungguhnya. Kalian baru akan mencicipinya untuk pertamakalinya, dan ini tidak akan mudah bagi siapa pun yang ada di sini.”

Keheningan mencekam mengikuti ucapan Kiyomori, karena semua orang diam-diam sedangmemikirkan semangat membara yang mereka rasakan dalam menyambut perang yang akan segerapecah, namun kata-kata Kiyomori mendadak mengingatkan mereka pada kesuraman perang …dentangan senjata, pertempuran, pembakaran, keserakahan dalam memburu kemenangan.

Apakah makna semua itu kecuali impian hampa orang-orang tolol? Akan lebih baik jika merekamemikirkan kembali istri mereka, anak-anak mereka, dan penyesalan sia-sia yang akan menghantuimereka.

Seorang bocah pelayan duduk di samping Kiyomori, menggerakkan sebuah kipas besar denganlembut. Kiyomori duduk bersila di atas sebuah bantal duduk. Udara yang panas mengesalkannya. Diatelah mencopot baju zirahnya dan menggeletakkannya di hadapannya. Dia duduk dalam balutankimono dalam putihnya; bagian dadanya terbuka,

dan dari waktu ke waktu, dia mendekatkan dadanya yang telanjang ke kipas yang menyejukkan.

Walaupun ada sebagian orang yang menganggap kekasaran dan kegarangan Kiyomori sebagai wujudkejantanannya, sebagian orang yang lain menganggapnya menyebalkan … dan Tokiko adalah salahseorang di antaranya. Kiyomori nyaris bisa mendengar istrinya berkata, “Sungguh, itulah yangmenyebabkan para pejabat istana salah memahamimu. Itu pula yang menyebabkan Genji Tameyoshidan Yoshitomo menganggapmu lancang.

Karena semua putra kita bekerja di Istana sekarang, sudah saatnya kau berhenti bersikap seperti Heitadari Is6 yang berkeliaran di pasar!” Hanya istri dan ibu tirinyalah yang berani memprotesnya, danKiyomori, yang biasanya memperlakukan mereka dengan sabar dan lemah lembut, akanmendengarkan keluhan Tokiko dan berjanji untuk memperbaiki sikapnya. Tetapi, patut diragukanbahwa Kiyomori bersungguh-sungguh dengan janjinya, karena segera setelah Tokiko menghilang daripandangannya, dia akan langsung melupakan janjinya, dan dia punya alasan untuk melakukannya.

Kiyomori kini berusia tiga puluh sembilan tahun dan sedang berada pada masa kejayaannya …seorang samurai tangguh dan berpengalaman … sementara masa depan masih terbentang luas dihadapannya. Apa yang menantinya, dia tidak bisa menebaknya. Peran apa yang akan dimainkannyapun belum jelas baginya. Yang membakar semangatnya saat ini adalah hasrat membara untukbertindak. Samurai geram ini siap mempertaruhkan segalanya demi satu-satunya kesempatan ini. Diatahu betul apa artinya … kehidupan, istri, anak-anak, dan rumahnya.

Dan dia enggan bertindak gegabah hanya untuk memenuhi panggilan Istana. Dia telah menanggapiperintah itu dengan

mengirim Motomori beserta dua ratus orang prajurit, namun tetap tidak menunjukkan tanda bahwadirinya sendiri telah siap berangkat. Sekarang 10 Juli, dan dia menyaksikan matahari perlahan-lahantenggelam.

Bagi banyak orang, pertanyaan mengenai mengangkat senjata untuk Kaisar Goshirakawa atau untukmendukung Sutoku menimbulkan sebuah dilema, namun bagi Kiyomori, masalah itu jelas adanya. Diatidak pernah berniat untuk berdiri di pihak Sutoku. Sejak awal, dia telah melihat bahwa gerakan untukmendukung Mantan Kaisar tidak lebih daripada sebuah persekongkolan yang didalangi oleh Yorinaga.Seperti halnya Yorinaga yang tidak mengharapkan bantuan darinya, Kiyomori juga tidak bisamengharapkan apa pun dengan berpihak kepada Yorinaga.

Mereka adalah musuh bebuyutan. Kiyomori juga mendengar bahwa pamannya Tadamasa termasuk diantara orang-orang yang sejak awal terlibat dalam persekongkolan ini, namun keadaan ini tidakmendorong Kiyomori untuk begitu saja berpihak kepada Kaisar. Dengan menyatakan bahwa dirinyamendukung Goshirakawa, Kiyomori tahu bahwa dia tidak hanya akan mempertaruhkan nyawakeluarganya di Rokuhara tetapi juga semua Heik6 di negerinya. Satu kali salah langkah pada saat iniakan membahayakan nyawa entah berapa banyak wanita, anak-anak, dan orang berusia lanjut Halinilah yang membuat Kiyomori berhati-hati. Dengan mengirim Motomori, dia bisa dikatakan telahmenjalankan perintah dan tinggal menunggu saat yang tepat. Tetapi, suara hatinya dengan dahsyatmendesak bahwa momen yang dinantikannya telah tiba dan menggodanya untuk menepiskan seluruhkekhawatirannya. Dia yakin bahwa kesempatan seperti ini tidak akan mendatanginya kembali.Kesempatan ini adalah kunci bagi masa depannya.

Sementara keraguan menyelimutinya, kenangan tentang sebuah kejadian aneh terus-menerusmendatangi Kiyomori.

Peristiwa itu terjadi setahun setelah ayahnya meninggal, ketika Kiyomori sedang berada dalamperjalanan menuju Tempat Pemujaan Kumano. Dalam perjalanan air dari Is6

ke Kishu, seekor ikan besar melompat ke geladak, dan para awak kapal berseru-seru riang,mengatakan bahwa ikan tersebut adalah pertanda peruntungan baik bagi klan Heikd.

Mereka mengatakan kepada Kiyomori bahwa dewa yang menjaga Tempat Pemujaan Kumanomengirimkan pertanda untuk menghargai keimanannya. Kiyomori, kendati selalu mencibir padatahayul semacam itu, tidak rela untuk menyanggah perkataan orang-orang kepadanya.

Dia senang saat memikirkan bahwa peristiwa ini terjadi ketika dia sedang dalam perjalanan untukmengirim doa kepada ayahnya, walaupun kejadian selanjutnya sama sekali tidak membuktikanpertanda itu, karena Yorinaga segera merebut kekuasaan kembali.

Tetapi, Kiyomori sekarang mempertanyakan kepada dirinya sendiri tentang apakah panggilan dariKaisar adalah kesempatan yang dimaksud oleh dewa penjaga Tempat Pemujaan Kumano. Jelasbaginya bahwa konflik antara Kaisar dan Sutoku tidak lebih dari pertikaian antara persekongkolanfaksi-faksi, perbenturan antara ambisi yang terlalu berlebihan, dan pada intinya adalah perebutankekuasaan. Siapakah dirinya sehingga rela mengesampingkan keluarganya untuk menjadi bagian dariperjuangan menegakkan angkara murka ini? Ambisi yang dimilikinya, sebuah tujuan hidup, sebuahmimpi. Sebagai kepala klan Heike, dia harus melihat bahwa keluarganya telah semakin besar dankaya, dan bahwa kaum samurai telah mengakhiri dominasi para bangsawan Fujiwara.

Jelang senja, Tokitada mendapatkan pesan bahwa Yorimori, adik tiri Kiyomori, telah tiba bersamaenam puluh orang prajurit Dia bergegas menyampaikan kabar ini kepada Kiyomori, yang diketahuinyatelah dengan gelisah menantikan kabar ini sejak sehari sebelumnya. Kiyomori sedang mulai makanmalam, namun dia cepat-cepat menyelesaikannya sembari meminta Tokitada menghadap n Kiyomorikepadanya. Kiyomori ragu bahwa ibu tirinya, Nyonya Ariko, akan mengirimkan putranya untukmemperkuat pasukan Kiyomori, karena Yorimori masih berusia dua puluh tahun dan belum terikatkewajiban untuk memberikan bantuan kepada Kiyomori. Seandainya Nyonya Ariko mendesakYorimori untuk mendukung Mantan Kaisar Sutoku, Kiyomori harus menganggapnya dan adik tirinyasebagai musuh, dan pikiran itu menyakiti hatinya.

“Oh, kau hadir, Yorimori!” Kerutan di kening Kiyomori seketika lenyap; wajahnya berseri-seri karenakelegaan dan kegembiraan yang tidak ditutup-tutupinya.

Yorimori, yang sepertinya khawatir telah memicu kemarahan Kiyomori akibat keterlambatannya,buru-buru memberikan penjelasan. “Walaupun aku tiba jauh lebih lambat daripada yang lainnya,kumohon kau tidak menganggapku pengecut.”

“Omong kosong! Seperti yang bisa kaulihat sendiri, aku juga belum berangkat…. Mengesampingkanperasaan ibu kita yang mulia, aku dengan gelisah menantikan kehadiranmu. Katakanlah pesan beliaukepadamu.”

“Beliau tidak memberikan perintah apa pun, hanya mengatakan bahwa aku harus mematuhimu.”

“Apakah beliau menyampaikan pendapatnya tentang pihak yang akan menang?”

“Beliau menangis dan mengatakan keyakinannya bahwa Mantan Kaisar tidak menghendaki masalahini berujung kemari.”

“Bagus!” Seketika itu, Kiyomori mengambil keputusan.

Ibu tirinya, yang pernah menjadi bagian dari rumah tangga Mantan Kaisar, meyakini bahwa adasekelumit harapan bagi Sutoku. Kiyomori berniat mengandalkan pendapat ibu tirinya.

“Tokitada, pastikan agar prajuritmu cukup makan dan tidur. Kita akan berangkat besok pagi sekitarpukul dua atau tiga.”

Kiyomori segera tidur, namun menjelang tengah malam dia terbangun dan memanggil ketiga adik danputranya, Shigemori, untuk mengikuti upacara minum sake yang dipersiapkan oleh Tokiko. Tokikomemakaikan baju zirah Kiyomori. Pedang warisan dari Tadamori tergantung di samping tubuhnya.Yorimori memegang pedang warisan keluarga Heik6 yang lain.

o0odwkzo0o

Cerita pun kembali bergulir ke kematian Tadamori, pada 15 Januari 1153, tiga tahun sebelumnya.Tadamori, berusia lima puluh delapan tahun ketika itu, meninggalkan enam orang putra … Kiyomori,Tsunemori, Norimori, dan lyemori dari istri pertamanya, sang Perempuan Gion, dan Yorimori danTadashigg dari istri keduanya, Ariko. Dia menjabat sebagai Kepala Departemen Kehakiman ketika itudan menikmati kekayaan yang baru dimilikinya. Bertahun-tahun membesarkan anak-anaknya dalamkemiskinan telah mengajarkannya untuk mengamankan harta keluarganya, dan sudah menjadi rahasiaumum bahwa Tadamori memperoleh kekayaan besar melalui perdagangan dengan para bajak laut danpenyelundup yang membawa barang-barang berharga dari Cina ke pelabuhan Bingo, salah satuwilayah kekuasaannya di bagian selatan.

Ketika penyakit masuk angin biasa Tadamori berubah menjadi sesuatu yang serius dan harapan bagikesembuhannya semakin menipis, Tsunemori mendatangi Kiyomori dengan air mata berlinang,memohon kepadanya,

“Izinkanlah aku membawa Ibu kemari agar beliau bisa menemui Ayah untuk terakhir kalinya.”

“Ibu? Apa maksudmu dengan ‘Ibu’?”

Kiyomori berlagak pilon. Ariko, ibu tiri mereka, senantiasa mendampingi dan merawat Tadamoriselama ini. Bukan Ariko yang dimaksud oleh Tsunemori melainkan sang Perempuan Gion. Tsunemori,pikir Kiyomori dengan gusar, tetap berhati lembut seperti pada masa mudanya walaupun telahmenjadi seorang pegawai di istana, telah menikah dan memiliki anak. Mengingat ibunya memancingkemarahan Kiyomori.

“Kalaupun itu tindakan yang benar, kita tidak mengetahui perasaan Ayah. Lupakanlah dia, lupakanlahwanita itu, Tsunemori!”

Air mata membasahi pipi Tsunemori. “Aku tidak bisa

….Ayah tidak pernah melupakan beliau. Ketika ibu tiri kita tidak ada di sampingnya, Ayah beberapakali menanyakan kabar Ibu.”

“Benarkah ini, Tsunemori?”

“Itu bisa dipahami, karena bagaimanapun, beliau adalah ibu dari empat orang putra Ayah.”

“Mengikuti kehendak Ayah akan menyebabkan kecanggungan dengan ibu tiri kita.”

“Beliau keluar setiap pagi buta untuk pergi ke kuil dan berdoa bagi kesembuhan Ayah. Kita bisamembawa Ibu kemari ketika itu.”

“Tahukah kamu di mana beliau dan apa yang dilakukannya sekarang? Aku sudah tidak pernahmendengar kabarnya sejak beliau meninggalkan kita …

apakah beliau masih hidup atau sudah meninggal.”

“Jika kau mau berjanji untuk tidak memarahiku, aku akan membawa beliau kemari dengan diam-diambesok pagi, sebelum matahari terbit,”

“Jadi, kau tahu di mana beliau tinggal, dan kau sering menemui beliau?”

Tsunemori diam saja.

“Hei, mengapa kau tidak menjawab pertanyaanku?

Tahukah kau apakah beliau tinggal dekat atau jauh dari sini?”

Kiyomori membentak adiknya. Pikiran bahwa Tsunemori terkadang menemui ibu yang sudah tidakdiakuinya lagi memberinya sengatan cemburu. Dia tergoda untuk menghantam wajah

Tsunemori dengan tinjunya.

Tsunemori, menegakkan badannya, membalas, “Aku tidak akan

meminta apa pun lagi darimu!”

Kiyomori menyemburnya, “Lakukanlah saja sesukamu!

Aku tidak

punya urusan dengan ini. Semua ini tergantung pada Ayah.”

Semenjak kesehatan Tadamori memburuk, Ariko setiap hari berangkat menggunakan tandu ke KuilKiyomizu sebelum matahari terbit, tanpa memedulikan salju maupun hujan. Pagi itu. Tsunemonimelihat tandu Ariko di jalan yang bersalju, dan setelah ibu tiri itu menghilang dari pandangannya, diamengangkat tangan ke seseorang yang berdiri di balik bayangan salah satu pintu mengantarkannya kekamar ayahnya. Kiyomori, yang tidur dikamar sebelah, terbangun oleh suara-suara percakapan dansuara teredam.

n

“… Aku bahagia karena bisa bertemu kembali denganmu Kau pun sudah mengalami banyakkesedihan. Putra-putra kita telah dewasa. Aku tidak mencemaskan mereka, namun aku risaumemikirkanmu. Aku tidak memenuhi janjiku kepada mendiang Yang Mulia jika aku mengabaikanmubegitu saja. Inilah yang meresahkanku selama bertahun-tahun ini. Seandainya aku bisa teryakinkanbahwa kau akan hidup bahagia di masa yang akan datang …”

Kiyomori, yang mendengar potongan-potongan perkataan ayahnya, geram. Dia juga merasa tersakitidan terabaikan. Kendati tidak meragukan ketulusan ayahnya yang sedang sekarat, dia memikirkankebenaran bahwa ayahnya telah selama bertahun-tahun bersedih karena ibunya … wanita sombongdan berhati batu yang tidak pernah memberikan apa pun kepada Kiyomori kecuali masalah, dan yangtelah meninggalkan anak-anaknya.

Tidak lama kemudian, tibalah waktu kepulangan Ariko, dan Tsunemori, merangkul bahu ibunya,mengantarkan Perempuan Gion yang menangis terisak-isak ke gerbang belakang. Begitu mendengar

ibunya pergi, Kiyomori langsung bangkit dari kasurnya. Dia berlari ke luar untuk mengintip ibunyadari balik semak-semak, dan air matanya seketika merebak. Ibunya yang dahulu cantik jelita sekarang

terlihat bagaikan bunga yang telah tersentuh es. Wajahnya terpoles bedak tebal, namun Kiyomoridapat melihat pipinya yang bergelambir dan rambutnya yang telah kehilangan kemilaunya. Kiyomorimenghitung dengan cepat … lima puluh. Ibunya telah berumur lima puluh tahun! Seorang wanitaberusia lima puluh tahun … dan entah apa mata pencahariannya. Mengingat kembali kata-kataayahnya, Kiyomori mendadak mensyukuri kasih sayang Tsunemori kepada ibu mereka.

“Ayo, pakailah mantel Ibu. Ibu tidak boleh bersedih seperti ini, karena ini akan membuat Ibu sakit.Aku akan mengantar Ibu sampai gerbang. Pakailah mantel Ibu, dan tutupilah wajah Ibu agar orang-orang tidak mengenali kita.”

Ketika keduanya telah pergi, Kiyomori memasuki kamar ayahnya dan duduk di samping ranjangnya.Selama beberapa waktu, dia mengamati wajah ayahnya, lalu dengan mengerahkan seluruhkekuatannya, berbisik,

“Ayah, sudahkah Ayah puas sekarang?”

Keheningan menyusul, kemudian kelopak mata Tadamori perlahan-lahan terbuka. “Kau, Kiyomori?”

Tadamori kembali terdiam. “Kotak itu … di sana …”

akhirnya dia berkata. Dia menggapai kotak itu dengan jemarinya dan berhasil mengeluarkan sebuahkipas, yang diserahkannya kepada Kiyomori tanpa perkataan apa pun.

Setelah beberapa waktu, dia kembali berbicara, “Yakinlah.

Kau adalah putra mendiang Kaisar. Beliau memberikan kipas ini kepadaku dalam perjalanan terakhiryang kuikuti.

Kau berhak mewarisinya.”

Hari itu, Tadamori, yang merasakan bahwa akhir hidupnya telah tiba, memanggil putra-putranya danmewariskan sesuatu kepada masing-masing dari mereka.

Untuk Kiyomori, dia mewariskan baju zirah kulitnya …

sebuah warisan turun-temurun … dan salah satu pedang termahsyur milik klan Heike. UntukYorimori, putra sulungnya dari Ariko, dia juga mewariskan salah satu pedang termahsyur klan Heike.Ini dilakukannya untuk memberikan penghormatan kepada Ariko.

Beberapa saat setelah kematian Tadamori, seorang diri, Kiyomori membuka kipas warisan ayahnyadan menemukan sebuah puisi tertulis di sana. Baris pembukanya ditulis oleh ayahnya, namun barispenutupnya dibuat oleh tulisan tangan yang tidak dikenal namun Mokunosuke kemudianmeyakinkannya bahwa – adalah tulisan tangan Kaisar Shirakawa. Baris itu berbunyi.

Tadamor, harus merawatnya hingga ia tumbuh menjadi pohon besar yang memberikan naungan.Maknanya jelas bagi Kiyomori. Dia adalah putra Kaisar Shirakawa yang diserahkan untuk diasuh oleh

Tadamori. Teka-teki kelahirannya telah terjawab» namun tidak ada yang dirasakan oleh Kiyomorikecuali penyesalan yang mendalam karena dirinya bukan anak kandung Tadamori.

Tidak pernah lagi dilihatnya kipas itu, yang tersimpan rapat-rapat di dalam kotaknya dan terlupakan.

o0odwkzo0o

Pada 11 Juli, Kiyomori dan pasukannya berangkat dari Rokuhara menuju Istana Takamatsu pada dinihari dan tiba di sana ketika matahari terbit. Setelah mendaftarkan diri, mereka menempati beberapapos. Kiyomori, mencermati deretan nama yang telah terdaftar, mendapati bahwa Genji Yoshitomojuga telah datang.

Panji-panji merah Heike kini berkibar di samping panji-panji putih Genji, dan saat malam tiba,kobaran api perang mencapai ibu kota.

o0odwkzo0o

Bab XV-PANJI-PANJI PUTIH GENJI

Setiap manusia sepertinya ditakdirkan untuk menghadapi setidaknya satu atau dua kemalangan besarsepanjang masa hidupnya. Setidaknya, itulah pemahaman Genji Tameyoshi, yang selama beberapahari terakhir tidak melakukan apa pun kecuali menghela napas panjang.

Matanya nyalang dan rambutnya tampak memutih. Dia telah berumur enam puluh tahun dandihadapkan pada sebuah keputusan yang lebih menentukan daripada apa pun yang pernah ditemuinya.Yorinaga, seseorang yang telah berbuat banyak kebaikan kepada Tameyoshi, telah mengirim sebuahpesan yang berisi perintah bagi Tameyoshi untuk segera memberikan dukungan kepada Kaisar Sutoku.Pesan serupa juga datang dari Tadazan6, ayah Yorinaga. Tameyoshi tahu bahwa pemicu utama upayagegabah Yorinaga untuk merebut kembali tahta Sutoku adalah kepercayaannya kepada klan Genji.

Yorinaga menggantungkan harapan kepada pasukan Tameyoshi sebagai kekuatan utama, dibantu olehpara biksu bersenjata dari Nara dan para petani bersenjata dari wilayah-wilayah kekuasaannya. Ketikapesan dari Yorinaga tiba, Tameyoshi juga telah mendapatkan panggilan dari Kaisar, yangmemerintahkan kepadanya agar segera melaporkan diri bersama putranya Yoshitomo untukmenghentikan pemberontakan.

Baru kali ini melihat ayah mereka segundah itu, keenam putra Tameyoshi yang lain memohonkepadanya untuk memercayai dirinya sendiri, bersumpah bahwa mereka akan berdiri bersamanyauntuk mendukung keputusan apa pun yang diambilnya. Kesal kepada Yoshitomo, yang tidak

membahas keputusannya dengan seorang pun dari mereka, mereka mengeluh dengan nada pahit:

“Dia tidak mencintai darah dagingnya sendiri, apalagi memedulikan klannya. Dia haus kekuasaan,siap melakukan apa pun untuk melindungi jabatannya sebagai kepala pengawal kekaisaran. Apakahdia peduli jika kita bergabung dengannya atau tidak?”

Ketegangan di antara Yoshitomo dan saudara-saudaranya bukanlah sesuatu yang aneh. Selainkedudukannya di keluarga mereka yang hanya saudara tiri, pada usianya yang kedua puluh tiga,Yoshitomo telah pergi dari Kyoto ke wilayah timur Jepang untuk hidup bersama para Genji diKamakura. Pada saat itulah dia menyatakan diri sebagai samurai dan seorang diri menegakkanreputasinya sebagai panglima perang. Kedengkian melandasi tuduhan saudara-saudaranya bahwa diakurang mengabdi kepada keluarganya. Kendati berutang budi kepada Yorinaga atas pengangkatannyasebagai Kepala Pengawal untuk menggantikan Kiyomori, dia tanpa ragu-ragu memenuhi panggilanKaisar.

“Apakah keputusan Ayah?”

“Kita tidak bisa menunda-nunda lebih lama lagi.”

“Selama dua hari terakhir, prajurit kita telah berdatangan dari seluruh penjuru negeri. Merekamemadati jalan dari sini hingga Horikawa. Tidak ada cukup kamar di sini untuk menampung mereka,padahal mereka terus berdatangan.

Mereka tidak sabar lagi menantikan keputusan Ayah, dan ada desas-desus bahwa mereka akanmengambil keputusan dan tindakan sendiri.”

Mendapatkan tekanan dari putra-putranya, Tameyoshi terpaksa menjawab, “Bersabarlah, sebentar lagisaja.

Sejujurnya, gagasan untuk berdiri di pihak Mantan Kaisar

Sutoku tidak menarik minatku Aku pun tidak berminat untuk memenuhi panggilan dari Istana. Itulahperasaanku yang sesungguhnya saat ini. Tidak ada jalan yang terang di mataku. Walaupun begitu,ingatlah ini: kita harus melindungi para wanita dan anak-anak. Sampaikanlah ini kepada para prajuritkita. Jika ada di antara mereka yang ingin bertempur, biarkanlah mereka memilih sendiri pihak manayang akan mereka bela.”

Ledakan amarah menyambut petuah Tameyoshi.

Apakah klan Genji hanya akan menjadi penonton dan bahan tertawaan dalam perang ini. tanya putra-putranya.

Berkata lebih mudah daripada bertindak. Apakah anggota klan Genji di seluruh negeri akan puashanya dengan bersikap netral? Mudah bagi Tameyoshi untuk mengatakan bahwa dia tidak bersediaberpihak kepada siapa pun, namun bagaimana mungkin dia berharap bisa meloloskan diri dari jeratperang? Bisakah dia menjamin bahwa dia dan hartanya akan selamat dari pembumihangusan?Akankah para prajurit haus darah dari kedua pihak menghormati posisi netral mereka? Bukankahkebencian terhadap sikap pengecutnya justru akan menjadikannya sasaran empuk bagi kedua belahpihak, dan bukankah para prajuritnya sendiri akan menjadi korban perang?

Tameyoshi mendengarkan pendapat anak-anaknya, merasa bahwa apa yang mereka sampaikan adabenarnya.

Matanya tidak terbutakan dari dampak tragis keputusannya, dan kegundahan memperdalam kerutan-kerutan di kening dan pipinya. “Tepat seperti yang kalian katakan. Kita harus mempertimbangkan,bagaimanapun … jika kita berpihak kepada Mantan Kaisar, maka Yoshitomo. putraku, akan menjadimusuh kita. Jika kita mengangkat senjata untuk Kaisar Goshirakawa, maka aku bersalah karena tidaktahu berterima kasih kepada pelindung kita, Yorinaga. Pilihan

apa pun tidak akan menyelamatkan kita dari neraka itu …

perang. Aku, Tameyoshi, yang menyandang kehormatan klan Genji, terpaksa meletakkan senjataku.Selagi mungkin, aku akan menjalani penahbisan dan bersembunyi ….

Mari, mari kita menunggu hingga besok malam. Berilah aku waktu semalam untuk mengambilkeputusan.”

Anak-anak Tameyoshi kecewa, namun mereka tidak mendesak sang ayah karena jelas terlihat bahwapria tua itu tersiksa.

Ketika seorang lagi kurir Yorinaga tiba, Tameyoshi menyampaikan balasan yang mengatakan bahwadirinya sedang sakit sehingga tidak mungkin hadir; sedangkan kepada kurir yang mengantarkan surat

dari putranya Yoshitomo, dia dengan tegas mengatakan bahwa putranya tidak perlu mengharapkanbalasan. Ketika membaca kembali surat dari putranya, bagaimanapun, mata Tameyoshi berkaca-kaca.

Yoshitomo menulis, “Mustahil sebuah negara dipegang oleh dua orang penguasa. Apa pun pernyataanMantan Kaisar, tugasku adalah melindungi Kaisar. Tidak ada yang bisa kulakukan kecuali menjagakesetiaan kepada beliau.

Aku memohon kepadamu, Ayah, dan kepada saudara-saudaraku, untuk mengangkat senjata demiKaisar dan hadir di sini secepatnya. Aku memahami perasaan Ayah.

Aku tahu bahwa ada begitu banyak pertimbangan yang menyulitkan Ayah untuk mengambilkeputusan, namun tidak ada pilihan lagi kecuali mendukung pihak kami.

Hatiku pedih ketika memikirkan bahwa kita, yang berasal dari klan yang sama, terikat oleh darah,akan saling mengangkat senjata. Seandainya pasukan Mantan Kaisar datang untuk menghalangikepergian Ayah, aku sendiri akan menjemput dan mengawal Ayah. Anakmu yang tidak tahu berterimakasih ini sangat mencemaskanmu, ayahku

yang telah berumur. Seberat apa pun, ambillah keputusan ini sekarang, dan mari kita saksikan derajatAyah meningkat di samping mereka yang bertempur untuk Kaisar. Putra-putra Ayah yang lain akansiap bersatu padu untuk menolong Ayah melewati kesulitan ini.”

Kebanggaan membuncah di dalam hati Tameyoshi.

Tidak diragukan lagi, putranyalah yang telah berbicara.

Keraguan kembali menderanya ketika Penasihat Norinaga hadir lagi dengan membawa penawaranterakhir dari Yorinaga. Tameyoshi menolaknya dengan halus,

“Katakanlah kepada beliau bahwa Tameyoshi sudah tua dan sakit-sakitan.”

Tetapi, Norinaga bersikeras dan menolak untuk menerima jawaban ini. “Saya memahami betulperasaan Anda. Mungkinkah, bagaimanapun, Genji Tameyoshi, yang berutang budi sangat besarkepada Menteri, ternyata tidak tahu berterima kasih? Apakah Genji Tameyoshi menolak danmenyambut gembira kekalahan Mantan Kaisar?”

Sekali lagi, Tameyoshi memprotes, “Walaupun mereka mendesak saya, saya hanya bisa mengatakanbahwa saya sudah terlalu renta untuk berperang.”

“Cukup bagi kami jika Anda menegaskan dukungan Anda kepada kami. Pembahasan strategi perangtidak akan dilakukan sebelum Anda datang. Mereka bersedia menunggu kehadiran Anda.”

Tameyoshi yang letih terdiam, menatap hampa kepada Norinaga. Dia akhirnya berkata, “Semalam,saya bermimpi

… mimpi buruk. Saya melihat delapan pasang baju zirah Genji di dalam mimpi itu. Angin topan hebattiba-tiba muncul dan mencabik-cabiknya, dan saya terjaga. Sekarang saya mengerti bahwa perang initidak akan berdampak baik

bagi klan kami. Bencana sedang menggelayuti klan Genji….” : v. I

“Sungguh mengherankan saya bahwa seorang samurai seperti Anda memercayai mimpi. Bagaimanamungkin saya menyampaikan jawaban Anda ini? Saya tidak akan pergi sebelum Anda memberikanjawaban yang pasti. Anda menempatkan saya di dalam sebuah posisi yang sangat sulit; saya akanmenunggu di sini hingga matahari terbit kembali.”

Tameyoshi baru menyadari bahwa mereka berbicara dalam kegelapan; seseorang terdengarmengatakan, “Aku membawa lilin, Ayah. Bolehkah aku masuk?” Seorang pemuda bertubuh jangkungdan kekar, berusia sekitar delapan belas tahun, masuk membawa lilin-lilin yang telah dinyalakan danmenatanya di tempat lilin. Ketika dia hendak keluar, Tameyoshi menghentikannya. “Sebentar,Tametomo, tunggu!” Menoleh kepada Norinaga, Tameyoshi berkata, “Anda mungkin pernahmendengar tentang putra saya yang terkenal dengan keganasannya bahkan ketika masih kanak-kanak.Dia adalah yang termuda dari kedelapan putra saya, dan satu-satunya petarung hebat. Anak-anak sayayang lain terlihat seperti prajurit kikuk jika dibandingkan dengan dirinya, namun Tametomo bisamewakili saya jika diperbolehkan … dan jika dia setuju … saya akan mengirimnya atas nama saya.

Apakah kau bersedia, Tametomo?”

Pemuda itu dengan penuh semangat menjawab, “Aku akan pergi, jika Ayah menghendakinya.”

o0odwkzo0o

Walaupun dayang kesayangan Nyonya Bifukumon, Shimeko, tidak diangkat menjadi permaisuri, diatetap tinggal di Istana untuk merawat Kaisar-kecil Konoy6. Dia

masih menghuni Istana setelah Konoy* wafat, kendati jumlah pelayan yang dipekerjakan untuknyabanyak berkurang. Termasuk di antara orang-orang yang dengan teguh dipertahankannya adalahseorang dayang muda, Tokiwa. Tokiwa terpilih ketika berusia lima belas tahun dari ratusan gadiscantik yang menjadi calon dayang-dayang Shimeko. Dia belum lama tinggal di Istana ketika GenjiYoshitomo, terpikat oleh kemanisannya, secara diam-diam menjadikannya gundik. Maka, padausianya yang kedua puluh. Tokiwa telah memiliki dua orang putra dari Yoshitomo. Atas dasar kasihsayang mendalam kepada Tokiwa, Shimeko memaafkan hubungan gelap dayangnya, sesuatu yangtentunya akan dikecam oleh Nyonya Bifukumon. Dan, karena mustahil untuk memisahkan Tokiwadari anak-anaknya, Shimeko pun menawarkan kepadanya dan ibunya yang renta untuk menempatisebuah rumah kecil di dalam lingkungan Istana. Kendati begitu, Nyonya Shimeko tahu bahwa akantiba waktunya ketika rahasia Tokiwa tidak bisa disembunyikan lagi, dan Tokiwa harus memilih antaramelepaskan Gen|i Yoshitomo, samurai kesayangan Yorinaga, atau meninggalkan Istana.

Ketika hubungan antara Istana Kekaisaran dan Mantan Kaisar meruncing dan perang sepertinya tidakterhindarkan lagi, Yoshitomo tidak berani lagi mengunjungi Tokiwa.

Dalam salah satu kunjungan diam-diamnya, dia berpesan,

“Hapuslah air matamu, Sayangku. Jangan khawatir, aku masih akan mengenjungimu kalaupun perangpecah. Apa kau mengira bahwa aku akan membiarkan kedua buah hati kita menjadi musuhku?”Tertawa lembut, Yoshitomo membelai helaian rambut yang jatuh ke pipi basah Tokiwa danmenyelipkannya ke balik telinga mungil wanita itu, lalu berbisik, “Jangan katakan hal ini kepada siapapun, namun jika perang pecah, aku dan pasukanku tidak akan ragu-ragu untuk membela Kaisar. Utangbudiku kepada Menteri,

Yorinaga, tidak akan berarti jika Yang Mulia memanggilku.

Aku bukan boneka Menteri. Tidak peduli pihak mana pun yang akan dipilih oleh ayah dan saudara-saudaraku, aku akan tetap mendampingi Yang Mulia. Jangan mengkhawatirkan kemarahan NyonyaBifukumon kepadamu gara-gara aku, karena mulai saat ini, kau bisa dengan bangga mengatakanbahwa Yoshitomo, kekasihmu, adalah salah seorang pendukung setia Kaisar.”

Yoshitomo menangkupkan tangannya ke wajah Tokiwa, merengkuh tubuh kekasihnya itu, danmencium bibirnya, yang merekah dalam sebuah senyuman. Tanpa memedulikan bayi yang tertidurdalam pelukan Tokiwa, Yoshitomo memeluknya erat-erat, membaurkan air mata mereka.

Kepanikan melanda ibu kota ketika gembar-gembor tentang perang tersebar. Para penduduk yangketakutan, mengangkut kerabat mereka yang sakit, mengungsi keluar dari kota menuju perbukitan,membawa harta benda apa pun yang bisa mereka bawa. Ketakutan dan kecemasan Tokiwa,bagaimanapun, tampak sepele di samping kabar bahwa Yoshitomo adalah orang pertama yangbergabung dengan pasukan Kaisar. Hati Tokiwa melambung ketika mengetahui bahwa kekasihnyabersungguh-sungguh, bahwa panji-panji yang dibawa oleh Yoshitomo juga menjadi pernyataan cinta

mereka. Sekarang, dia bisa dengan bangga mengumumkan kepada dunia bahwa dia adalah kekasihYoshitomo. Tidak sabar untuk menyampaikan kabar ini kepada ibunya, Tokiwa bergegasmenyelesaikan tugas malamnya; kemudian, dia menyembunyikan wajahnya di balik mantel musimpanas, lalu menyelinap keluar. Dia tanpa sengaja mempercepat langkah menuju gerbang rumah karenamerasa mendengar anak-anaknya menangis.

Kemudian ketika tangannya menyentuh gerbang, seseorang tiba-tiba mengagetkan “Apakah kamuTokiwa?”

Siapakah Anda?” Tokiwa menjawab dengan waspada da menoleh dengan cemas kepada seorang priaberbaju zirah.

“Genji Yoshitomo mengirimku kemari”

“Aku membawa pesan untukmu. Pertempuran akan pecah di ibu kota besok pagi. Kau harus segerameninggalkan tempat ini”

“Ya, saya pulang untuk membicarakan soal itu dengan ibu saya”

“Bagaimana kabar anak-anakmu?”

“Mereka berdua baik-baik saja.”

“Yang sulung tiga tahun; bayi saya baru berumur beberapa bulan”

“Kalau begitu …” Pria itu bergumam. “Nama mereka?”

“Imawaka, dan bayi saya … ” Tokiwa, mendadak curiga, menatap lekat-lekat pria itu, yang tiba-tibaberlari kencang meninggalkannya. Sebelum pria itu menghilang dari pandangannya, sepuluh orangpelayan Yoshitomo muncul, mengatakan bahwa mereka dikirim untuk mengawal Tokiwa, dan tanpaberbasa-basi memasuki rumah dan mengemasi barang-barangnya. Dari mereka, Tokiwa tidak berhasilmendapatkan keterangan apa pun mengenai identitas pria asing yang baru saja menanyainya.

Menjelang tengah malam, pelayan Tameyoshi, Magoroku, kembali untuk melaporkan bahwa Tokiwameninggalkan ibu kota pada malam itu juga bersama kedua anaknya.

“Apakah Anda juga hendak mengungsi, Tuan? Segera setelah Anda menetapkan pikiran … ”

Kegetiran menggelayuti wajah Tameyoshi dan lenyap di balik kerutan dalam yang segera terwujuddalam senyuman.

“Aku sudah menetapkan pikiran. Aku tidak boleh terus-menerus seperti ini, karena kaum muda tidakakan mau mendengarkan alasan. Tidak ada yang benar maupun salah bagi mereka karen merekamerasa harus menggerakkan badan, dan aku menyuruh mereka melakukan apa pun sesuka mereka.”Tawa Tameyoshi tiba-tiba meledak.

“Apakah mereka sendiri akan berpihak kepada Mantan Kaisar’” “Apakah yang mungkin kulakukansendiri di sini dengan tubuh rentaku ini? Apa kau percaya bahwa aku bisa menolak untuk memberikanpertolongan kepadanya? Ini adalah takdirku nasib seorang samurai. Kita tidak boleh menunda-nunda

lagi’untuk menjawab panggilannya, dan aku sudah siap berangkat. Yoshitomo sudah mengambilkeputusan. Dia telah memercayakan nasibnya kepada Kaisar, dan dia tidak bisa mengubah pikirannyalagi.”

“Sepertinya begitu.”

“Begitulah. Dia telah memilih jalan yang akan diikutinya

…. Ambilkan baju zirahku, Magoroku.”

Hari-hari keheningan dan kebimbangan telah berakhir.

Tameyoshi mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian terberat dalam masa tuanya. KepadaPenasihat Norinaga, yang masih menantinya, Tameyoshi akan memberikan jawaban.

Delapan pasang baju zirah, harta warisan turun-temurun klan Genji sejak bergenerasi-generasi silam,dibawa masuk.

Tameyoshi memberikan sepasang kepada masing-masing putranya dan memerintahkan agar sepasangbaju zirah dikirimkan pada malam itu juga kepada Yoshitomo.

Pada pagi hari ketika Tameyoshi berangkat ke istana di Shirakawa bersama putra-putra danpasukannya untuk bergabung dengan pihak Sutoku, Kiyomori melaporkan diri ke Istana Kekaisaran.

Baru seminggu berlalu sejak Kaisar Kloister wafat.

Banyak di antara pejabat dan pegawai istana yang angkat tangan, menolak untuk ambil bagian dalampertikaian yang semakin meruncing dan memilih untuk mengurung diri di kediaman mereka masing-masing. Penasihat Norinaga, setelah menyampaikan jawaban Tameyoshi kepada Mantan Kaisar,bertolak dari Shirakawa menuju salah satu biara di luar Kyoto dan memotong rambutnya. FujiwaraTsunemone yang menemani Yorinaga ke Uji, menghilang tidak lama dan masih banyak pejabat istanalainnya yang menolak menjawab panggilan dari Istana.

o0odwkzo0o

Motomori, Putera Kiyomori yang berangkat dari Kyoto pada pagi hari tanggal 10 menempatiposisinya di Jalan Raya Oji pada siang hari.. Kegarangan para prajuritnya dan kesan berkuasa’ dalamsuara mereka menunjukkan bahwa mereka mengetahui betapa pentingnya peran baru mereka.

Orang-orang yang hendak memasuki Kyoto dari luar kota, yang belum mengetahui perkembanganyang terjadi di ibu kota, diperintahkan untuk kembali. Para pejabat dan pegawai istana yang berusahamelarikan diri dipaksa untuk mengurungkan niat mereka.

“Ya, ya! Siapa yang baru saja tiba?” Seorang bangsawan

… mengendarai kereta.” Berhati-hatilah, dia membawa banyak rombongan bersamanya.”

Sebuah kereta berdinding anyaman ranting mendekat, diikuti oleh sebuah kereta berhias ukiran logam.Sekitar dua puluh orang prajurit bersenjata memberikan kawalan.

“Berhentilah kalian!” seru para prajurit Motomori, menghalangi jalan. Mereka telah mendengarbahwa Yorinaga mungkin akan kembali ke Kyoto melewati rute yang mereka jaga dan yakin bahwa iniadalah rombongannya. Tetapi, penumpang kereta itu ternyata terbukti sebagai dua orang pejabat istanayang membawa dokumen yang mengesahkan bahwa mereka bepergian ke Uji untuk menyelesaikanurusan pribadi. Yorinaga, sementara itu, berhasil memasuki ibu kota menggunakan sebuah tandumelewati rute lain dan telah tiba dengan selamat di markas utamanya di Shirakawa.

Motomori dan pasukannya kecewa karena tidak berhasil menangkap Menteri Yorinaga. Saat mataharitelah tenggelam; ketika mereka sedang mempersiapkan makan malam; sepuluh orang dan menahansisanya. Tetapi, Chikaharu melawan sampai titik akhir, hingga tusukan sebuah tombak berkaitmenjatuhkannya dari kudanya.

Kemudian. Motomori segera menggiring para tahanannya ke ibu kota.

Ketika sedang bersiap-siap untuk kembali ke Jalan Raya Uji dari Istana, Motomori tertahan olehsebuah upacara singkat, di mana para samurai dari golongan yang lebih tinggi memberinya berbagaipertanyaan.

Keesokan paginya, saat Kiyomori akhirnya tiba di Istana, dia disambut dengan ucapan selamat untukkesuksesan Motomori dalam menangkap Genji Chikaharu hidup-hidup. Sambil tersenyum bangga,Kiyomori menyapa rekan-rekannya sesama panglima untuk mengumumkan kehadirannya danmeminta maaf atas keterlambatannya.

Orang yang terakhir disapanya adalah Yoshitomo.

“Ah. Heik6 Kiyomori!”

“Dan kau, Genji Yoshitomo!”

Tatapan mereka bertemu. Keheningan menyusul ketika masing-masing mengingat pertemuan pertamamereka, di pemakaman Toba Sojo, pada suatu siang musim gugur bertahun-tahun silam. Yoshikiyo

Sato yang memperkenalkan mereka. Beberapa waktu kemudian, Yoshikiyo kabur dari rumahnya,menjalani penahbisan, dan mengubah namanya menjadi Saigyo, biksu penyair yang berkelana darisatu tempat ke tempat lainnya. Enam belas tahun telah berlalu, walaupun peristiwa itu rasanya baruterjadi kemarin. Banyak perubahan telah terjadi di ibu kota sejak saat itu. Sebagian dari teman-temanmasa muda mereka telah meninggal atau pergi dari Kyoto. Keduanya tidak pernah mengira akanbertemu kembali dalam keadaan seperti ini-menjadi rekan sejawat dalam membela Kaisar.

Mereka juga bersaing-Genji dan Heik6-namun sebuah tujuan bersama

mengikat mereka menjadi saudara seperjuangan.

“Aku cemas memikirkanmu,” kata Yoshitomo, banyak desas-desus mengenai dirimu. Aku benar-benarlega eti akhirnya kau datang dan bergabung bersama kami di sini.

“Aku mengirim putraku beserta sebagian pasukanku terlebih dahulu agar bisa mengerahkan lebihbanyak kekuatan. Aku minta maaf atas keterlambatanku.”

“Tapi, kau pasti senang ketika mengetahui bahwa putramu telah berhasil membuat dirinya dikenal.”

Kiyomori tertawa. “Dan ternyata kemampuan para pemuda itu melampaui para pendahulunya …mencuri kemenangan kita!”

“Aku iri kepadamu,” kata Yoshitomo, “karena keluargamu tidak terpecah belah dan harus salingmelawan seperti keluargaku.”

Senyum Kiyomori seketika lenyap. Di tengah buncahan kebanggaannya kepada Motomori, tidakpernah terpikir olehnya apa makna perang saudara ini bagi Yoshitomo.

Beban baju zirahnya semakin membuatnya gelisah; dia mengorek-ngorek pikirannya untuk mencariungkapan simpati yang entah mengapa menolak untuk hadir, menatap kikuk ke depan, lalu dengansalam perpisahan yang buru-buru diucapkan, membalikkan badan dan meninggalkan Yoshitomo.

Yoshitomo mengernyitkan kening ketika Kiyomori mendadak menghadapkan punggung kokohnyakepadanya.

Pada hari yang sama, pihak Kaisar memindahkan Istana Kekaisaran ke bagian utara pusat kota, tempatmarkas utama pasukan Kaisar berada. Berdasarkan saran Yoshitomo, diputuskan bahwa seranganpertama ke istana di Shirakawa akan dilakukan secara mendadak pada malam itu juga, karena pasukanYorinaga diperkirakan baru akan tiba keesokan harinya. Gerakan ini, Yoshitomo menegaskan, akanmencegah terjadinya serangan tiga lapis ke Istana Kekaisaran.

Sementara itu. Tameyoshi dan putra-putranya, beserta pasukan berkuda dan berjalan kaki mereka, tibadi Shirakawa, tempat mereka menemukan Mantan Kaisar dan para penasihatnya menanti denganpenuh kecemasan.

Kabar mengenai penangkapan Chikaharu pada malam sebelumnya menambah keresahan merekaakibat pasukan Yorinaga dari provinsi-provinsi yang lain juga gagal datang.

Yonnaga mengharapkan tiga ribu orang prajurit berkuda dan berjalan kaki akan tiba tepat waktu untuk

melakukan serangan besar-besaran ke ibu kota, namun hanya sekitar seribu enam ratus atau seributujuh ratus orang yang telah melaporkan diri. Para biksu bersenjeta dari Nara dan Yoshino, yang telahmenjanjikan bantuan, juga baru akan

datang keesokan harinya. Kerisauan semakin memuncak malam itu ketika Yorinaga memandang keseberang Sungai Kamo dan melihat semburat matahari di ufuk barat tertutup oleh gumpalan asaptebal. Beberapa saat kemudian, datanglah kurir-kurir yang mengabarkan bahwa Istana Mata AirDedalu, yang dijadikan pangkalan oleh sebagian pasukan Yorinaga, telah terbakar. WalaupunYorinaga memerintahkan agar bantuan dikirim ke sana, Genji Tameyoshi dan Tadamasa (pamanKiyomori) berpendapat lain, menekankan pentingnya memperkuat pertahanan di Istana Shirakawa.

Tadamasa beserta ketiga ratus prajurit berkuda dan berjalan kakinya, dibantu oleh seratus orangprajurit Yorinaga, berjaga-jaga di gerbang timur Istana, menghadap ke kaki Gunung Hiei. Di sisi lainIstana, di gerbang barat yang menghadap ke Sungai Kamo, Tameyoshi berjaga-jaga bersama pasukanterpilihnya. Putra bungsunya, Tametomo, beserta pasukan berkekuatan seratus orang prajurit berkudadan berjalan kaki, menjaga gerbang yang lebih kecil di sisi yang sama.

Yorinaga, ketika memeriksa pertahanan Istana, tidak sanggup menyembunyikan kekecewaan akibatlemahnya pertahanan mereka, meskipun bantuan dari Tameyoshi bisa dikatakan hampir setara denganpenambahan sepuluh ribu orang prajurit, namun semangat Yorinaga melambung ketika dia melihatTametomo dan dua puluh orang prajurit berkudanya. Mereka telah menjalani pendidikan seni perangdi Kyushu, tempat popularitas Tametomo sebagai seorang petarung melegenda. Yorinaga mengamatipemuda itu dengan penasaran. Tametomo menjulang lebih jangkung sekepala daripada orang-orangterjangkung di sekelilingnya.

Dia mengenakan baju zirah berat bertali-temali putih di atas kimono biru tua dan membawa sebilahpedang panjang

bersarung kulit beruang. Salah seorang prajuritnya membawakan helm besinya. Inilah Tametomo siberingas, pemuda liar dan keras kepala yang telah memberikan banyak masalah kepada ayahnya, danakhirnya dikirim ke Kyushu untuk diasuh oleh kerabatnya ketika berusia tiga belas tahun. Di Kyushu,pada usia tujuh belas tahun, Tametomo telah dikenal sebagai seorang samurai beringas dan diangkatmenjadi salah seorang panglima perang di daerahnya.

Yorinaga menghampiri Tametomo untuk menanyakan tentang pendapat pemuda itu mengenai strategiperang mereka, dan mendapatkan jawaban, “Kita tidak akan bisa menang kecuali jika melakukanserangan pada malam hari.

Semestinya, malam inilah kesempatan kita. Saya agak terkejut melihat keengganan orang-orang untukmelakukannya.”

“Sebuah taktik yang akan terpikir oleh prajurit yang paling tidak berpengalaman sekalipun” …Yorinaga tersenyum … ”dan kita sudah mempersiapkan diri untuk itu.”

“Jika begitu,” lanjut Tametomo, “kita harus melumpuhkan musuh di ibu kota dari kedua bagiansamping dan bagian belakang dengan api, lalu mengerahkan pasukan kita untuk menyerbu dari depan.

Dengan begitu, kita bisa memerangkap musuh kita, sekaligus mengambil manfaat sebesar mungkin

dari jumlah pasukan kita yang kecil.”

“Bagaimana jika kakakmu Yoshitomo menyerang lebih dahulu?”

“Saya akan menembakkan anak panah menembus helmnya dan memaksanya memindahkandukungan.”

“Heik£ Kiyomori, kudengar, juga ada di sana.”

“Tidak ada yang lebih membanggakan daripada menghabisi pasukannya, lalu menyerbu ke Istana danmenahan Kaisar. Ini adalah waktu yang tepat untuk menyerang. Sekarang … sebelum matahari terbit.”

“Sebuah siasat menantang, menurutku,” Yorinaga tersenyum penuh arti, “dan cukup bagus, kurasa,jika ini adalah pertempuran kecil-kecilan yang melibatkan sepuluh atau dua puluh orang prajuritberkudamu di Kyushu …

tempat namamu cukup tersohor. Tapi kau harus menyadari bahwa operasi kita di sini berskala jauhlebih besar.

Menurutku, Tametomo, pendapatmu tidak terlalu berarti bagi kami di sini.”

Dengan wajah kecut, Tametomo kembali ke posisinya dan meletakkan tameng besarnya, lalu tidurhingga pagi tiba.

o0odwkzo0o

“Musuh telah menyerang!” “Musuh telah menyeberangi sungai!”

Teriakan dan pekikan perang terdengar sebelum fajar menyingsing pada tanggal 12. Kepanikanmelanda Istana, diwarnai oleh dentangan senjata dan ringkikan kuda. Para pemanah, yang berbaris disepanjang tembok Istana Shirakawa, telah membidikkan anak panah mereka ke musuh yang mendekat.

Yoshitomo, yang memimpin lebih dari seribu orang prajurit berkuda dan berjalan kaki. tiba di tepiSungai Kamo di seberang Istana Shirakawa, dan bersiap-siap untuk menyerang ketika melihat fajartelah menyingsing di bahu Gunung Hiei. Menyadari bahwa melakukan penyerangan di bawah sinarmatahari yang terang benderang tidak akan menguntungkan bagi mereka, Yoshitomo menggiringpasukannya perlahan-lahan ke utara hingga tiba di suatu

tempat yang mustahil dijangkau oleh anak panah lawan mereka.

Genji Tameyoshi memerintahkan agar gerbang selatan dan barat dibuka, dan hendak memimpinbarisan ketika Tametomo tiba-tiba memacu kudanya ke arahnya dan berseru. “Izinkan aku melakukanserangan pertama!” Dia segera disusul oleh Yorikata, kakaknya, yang memprotes haknya untukmemimpin serangan pertama. Tametomo mengabaikan kakaknya, dengan garang meneriakkan bahwadia tidak

peduli, dan melaju ke gerbang barat di tepi sungai.

Dalam temaram fajar, Yorikata memacu kudanya ke arah daerah kekuasaan musuh dan menyerukantantangan,

“Siapa yang ada disana, Genji atau Heik6? Aku Yorikata, putra keempat Genji Tameyoshi Genji!”

Salah seorang prajurit Yoshitomo menjawab tantangan itu, memberikan nama dan kedudukannyasebagai pelayan Yoshitomo. Tuan Shimotsuk6. Menuntut jawaban dari sang panglima sendiri,Yorikata secara berturut-turut menembakkan dua buah anak panah ke dekat tempat Yoshitomomenunggangi kudanya. Dia melihat dua orang penunggang kuda roboh terkena anak panahnya, lalumembalikkan badan, ketika sebuah anak panah mendadak menyerempet helmnya. Tanpamenghiraukannya, Yorikata memacu kembali kudanya ke arah rekan-rekannya yang bersorak soraimenyambutnya.

Murka melihat dua orang prajuritnya terluka, Yoshitomo mengejar Yorikata, bersumpah akanmembalas saudaranya itu atas kebengisannya, namun para prajuritnya dengan susah payahmenahannya.

Kiyomori, sementara itu, berkuda di sepanjang sisi kiri sungai bersama lebih dari delapan ratus orangprajurit

berkuda menuju sebuah titik di sebelah utara Istana Shirakawa dan menantikan Yoshitomo membukaserangan.

Ketika matahari terbit dan kabut tebal yang menyelimuti sungai menipis, Kiyomori melihat bahwa

pasukan Yoshitomo telah siap siaga. Walaupun mereka berdua sama-sama belum menunjukkan tanda-tanda pergerakan, jantung Kiyomori mulai berdegup kencang. Pekikan-pekikan perang semakin gencarterdengar dari kedua belah pihak Dari balik kabut yang mulai lenyap, dia melihat betapa jarak diantara pihak yang bermusuhan semakin tipis. Tiba-tiba, lima puluh orang penunggang kudamemisahkan diri dari pasukan Kiyomori dan menghampiri tepi sungai di seberang gerbang yangdijaga oleh Tametomo. Tiga orang samurai berkuda maju dan menuntut nama panglima yangbertanggung jawab atas gerbang itu, setelah sebelumnya memperkenalkan diri sebagai pelayan HeikeKiyomori.

Sebuah suara nyaring terdengar melampaui gemuruh arus sungai.

“Aku Tametomo, putra Tameyoshi. Anak panahku tidak pantas disia-siakan untuk prajurit rendahanseperti kalian.

Pemimpin kalian sekalipun, Heike Kiyomori, bukan lawan yang sepadan untukku Kembalilah kepasukanmu dan katakan kepadanya untuk datang sendiri kemari.”

Tiga buah anak panah seketika melesat ke arah Tametomo Pemuda itu dengan sigap menghindarsembari menembakkan anak panahnya, yang berdesing nyaring dan menembus dada salah seorangprajurit Kiyomori, lalu menancap di pelindung bahu prajurit lainnya. Kuda yang telah kehilanganpenunggangnya berdiri dengan kedua kaki belakangnya dan meringkik liar; para penunggang kuda diseberang sungai serempak maju, membidikkan anak panah untuk melindungi kedua rekan mereka dantunggangan

mereka yang menggila, sementara hujan anak panah datang dari pihak musuh.

Tanah seolah-olah bergetar dan bergemuruh di bawah kaki Kiyomori; kudanya, dengan lubang hidungkembang kempis, mendadak bergerak-gerak gelisah dan mengibas-ngibaskan surainya. “Ada apa?”tanyanya dengan tegas.

Para prajurit berkuda di sekeliling Kiyomori sedang mencegahnya menghela tali kekang kudanya,ketika seorang samurai berkuda menghampirinya dan berseru:

“Itoroku telah tumbang! Tamemoto memanahnya. Tuan, Anda akan menjadi sasaran selanjutnya jikatidak menjauh dari jarak tembak anak panahnya.”

“Apa, Itoroku telah tumbang? Mengapa kita harus takut kepada anak bungsu Tameyoshi?”

“Tuan, lihatlah sendiri … anak panah ini!”

Dari pelindung bahunya, prajurit itu menarik sebatang anak panah besar dan menyerahkannya kepadaKiyomori.

Anak panah itu terbuat dari bambu berumur tiga tahun yang terpoles mulus, dengan ujung besi tajamdi ujungnya dan ekor burung kuau.

“Aku mengerti … anak panah yang jahat, cocok untuk menumbangkan iblis. Pantas jika semua orangtakut kepadanya.

Kiyomon memeriksa anak panah itu dengan cermat lalu tiba-tiba mengatakan. Tidak ada alasan bagikita untuk menyeran*

gerbang ini. Aku tidak mendapatkan perintah khusus dan hanya

memilihnya secara acak. jika yang baru saja terjadi di sini

menceluskan hati kita, sebaiknya kita mencoba Gerbang Utara. Ke Gerbang Utara!”

Mendengar perintah sang panglima, pasukan Kiyomori segera bergerak ke utara, namun putra sulungKiyomori.

Shigemori, yang juga mendengar perintah itu, berseru:

“Sungguh konyol! Benar-benar konyol, memilih Gerbang Utara hanya gara-gara anak panahTametomo. Sungguh memalukan bagi kita yang membela nama Kaisar!”

Mengajak serta sekitar tiga puluh orang prajurit berkuda yang ada di dekatnya, Shigemori serta mertamenyongsong musuhnya.

“Hentikan dia! Bawa dia kemari!” Kiyomori memerintah orang-orang di sekelilingnya, “hanya oranggila yang cukup gegabah menghadapi anak panah itu dan mempertaruhkan nyawanya!”

Dari jarak jauh sekalipun Shigemori bisa menjadi sasaran empuk bagi musuh-musuhnya, karena diamengenakan kimono merah di bawah baju zirahnya dan menyandang sarung gemuk berisi dua puluhempat batang anak panah di punggungnya. Para prajurit dengan susah payah menahannya, karenaShigemori, yang memprotes sikap pengecut ayahnya dengan lantang dan gusar, terus berusaha untukmelepaskan diri, hingga salah seorang anak buahnya berkata, “Biarkanlah saya maju mewakili Andadan menghadapi Tametomo sendiri.” Prajurit itu, Koreyuki, telah melesat pergi sebelum teman-temannya bisa melarangnya, diiringi oleh teriakan-teriakan “Kembalilah, kembalilah!” Koreyukimenoleh dan menjawab, “jangan menyertaiku, apalagi menyusulku. Perhatikan saja!”

Ditemani oleh dua orang prajurit berjalan kaki, Koreyuki menyusuri sungai. Tametomo keluar untukmenemuinya, tetapi, melihat bahwa prajurit itu ragu-ragu, dia memasuki gerbang dan menutupnya.Setelah memasuki jarak tembak dari gerbang. Koreyuki meneriakkan tantangannya kepada Tametomo,yang akhi memacu kudanya keluar dan menjawab dengan nada meremehkan “Selamat datang, prajuritkurang ajar! Aku Tametomo. Kau boleh menembakkan anak panahmu lebih dahulu kepadaku.

Selanjutn adalah giliranku.”

Bahkan sebelum Tametomo selesai berbicara, anak panah Koreyuki telah menancap di pelindung pahakirinya.

Sementara Koreyuki terburu-buru memasang sebatang lagi anak panah ke busurnya, Tametomomenembakkan anak panahnya, yang langsung menembus paha Koreyuki dan menancap di pelananyadalam sekejap mata memakunya.

Para prajurit Koreyuki dengan sigap menangkapnya ketika dia limbung dan terjatuh dari kudanyaKeduanya memanggul Koreyuki dan kembali ke pasukan mereka secepat kaki mereka bisa berlari.

Kuda yang telah kehilangan penunggangnya, bersimbah darah, berlari liar di sepanjang tepi sungai kearah hilir, tempat pasukan Yoshitomo bersiaga. Beberapa orang prajurit Yoshitomo berlarimenyongsong si kuda gila karena khawatir binatang itu akan mengamuk di tengah-tengah pasukanmereka. Terdengar teriakan-teriakan “Tangkap kuda itu, tangkap kuda itu, tarik tali kekangnya!”hingga mereka akhirnya bisa menangkapnya; kemudian, mereka menemukan sebuah pijakan kaki yanglengket oleh darah dan sebuah mata panah besar yang tertancap di pelana.

“Lihat, bukankah ini sebuah mata panah? Siapakah pemilik panah sedahsyat ini?”

“Tentunya itu milik Genji Tametomo.”

Salah seorang pelayan Yoshitomo membawa kuda itu kepadanya dan berkata, “Tuan, lihatlah ini! Sayasudah pernah mendengar tentang anak panah semacam ini, namun tidak pernah percaya akanmelihatnya.”

Yoshitomo, bagaimanapun, tidak tampak terkesan. Dia tersenyum tipis, seolah-olah mengasihaniMasakiyo atas keluguannya. “Ayolah, Tametomo masih remaja dan tidak akan sanggup menarik busur

sekuat itu. Menurutku, ini adalah tipuan licik untuk menakut-nakuti kita. Masakiyo, aku akanmembagi pasukan kita menjadi dua bagian dan salah satunya bertugas menyerang gerbang Tametomo”

Masakiyo, beserta dua ratus orang prajurit berjalan kaki menuju sebuah gerbang di tembok baratMengerahkan seluruh keberaniannya untuk menantang Tametomo, yang langsung meladenipanggilannya.

“Ternyata kau Masakiyo, pelayan Tuan Yoshitomo. Apa kau datang untuk menawarkan diri menjadisasaran anak panahku?”

Sesaat, Masakiyo tampak gentar, namun dia berhasil menghimpun ketenangan dan menjawab dengangagah,

“Saya adalah salah satu pengikut setia Kaisar. Tugas saya adalah membunuh pengkhianat!” Bersamakata-kata itu, dia menembakkan anak panahnya, lalu cepat-cepat kembali ke pasukannya. Anak panahitu menancap di pelindung leher di helm Tametomo. Pemuda itu mencabutnya dan membantingnya ketanah, lalu berseru lantang, “Jadi, kau berani menghinaku, Masakiyo? Aku akan menangkapmu dengantangan kosong agar bisa memandang wajahmu dan melihat siapa dirimu yang sesungguhnya.”

Tametomo mengejar Masakiyo, yang memacu kudanya sambil memekik-mekik ngeri. Tametomo,mengempit

busurnya dengan satu lengan dan melambai dengan lengannya yang lain, terus memacu kudanya untukmengejar Masakiyo hingga teriakan panik para prajuritnya mendorongnya untuk segera kembali keposisinya.

Yoshitomo, yang mengamati kejadian itu dari kejauhan, melihat adiknya mundur. Dia segeramemerintahkan lima orang anak buah terbaiknya untuk berkuda bersamanya ke pos Tametomo,dengan mengatakan, “Busur Tametomo bagus untuk pertempuran di laut, namun kemampuanberkudanya lebih lemah daripada kita.”

Matahari telah tinggi di langit, dan nyanyian jangkrik terdengar dari sela-sela pepohonan musimpanas.

Tametomo berputar ketika mendengar seseorang berseru di belakangnya dan menyongsong parapenunggang kuda yang menghampirinya. Seorang samurai yang menunggang kuda hita denganpenampilan yang menunjukkan kedudukannya sebagai panglima perang, menghadangnya.

Panglima itu mengenakan helm bertanduk dan baju zirah klan Genji.

“Aku Genji Yoshitomo, hadir atas nama Kaisar.

Siapakah dirimu yang telah berani mengangkat pedang kepada penguasa yang sah? Jika kau berasaldari klan yang sama denganku, turunkanlah senjatamu dan bubarkanlah pasukanmu. Akumemperingatkanmu demi kepentinganmu sendiri.”

Tametomo menatap lekat-lekat wajah kakaknya dan berseru “Ketahuilah siapa diriku. Aku adalahputra Genji Tameyoshi, yang siap sedia memenuhi panggilan pengayomnya, dan aku tetap setiamengawal ayahku dalam keadaan hidup dan mati. Aku bukan anak yang tak tahu diuntung karenamelupakan ayahnya demi kecintaan pada ketenaran. Aku bukan bajingan, dan aku, Tametomo, akan

melawan setiap anjing atau siapa pun yang menyebut dirinya musuhku.’

Kau berani mengatakan itu kepadaku, Tametomo?’ “Ya.

Mulutku telah berhari-hari gatal karena ingin mengatakan itu kepadamu.”

“Apakah kau, adikku, berani melawanku? Apakah kau menolak untuk mengakui kepemimpinan sahKaisar? Jika kau menghormati beliau dan menghargai jalan kebajikan, turunkanlah busurmu danbersujudlah di hadapanku.”

“Aku mungkin bersalah karena melawan kakakku sendiri,

namun apakah sikapmu yang melawan ayahmu sendiri itu bisa dibenarkan?”

o0odwkzo0o

Jalan berlajur tiga di sepanjang tembok barat dan utara Kuil Hoshogon-in di antara Shirakawa danKamo menjadi medan sebuah pertempuran paling berdarah hari itu. Di seberang jalan, seruas sungaiberkelok-kelok melewati sebentang tanah datar,

hanya dipotong oleh sebuah hutan kecil yang melingkari atap-atap dan menara-menara KuilShichikatsu-ji, dengan latar belakang kaki Gunung Hiei. Di sana, kedua belah pihak bertempur hingotitik darah penghabisan, dan pertempuran terus berlangsung bahkan hingga matahari tenggelam. Diantara gumpalan debu yang mengaburkan pandangan, Tametomo sesekali bisa melihat kakaknya,Yoshitomo, yang tampak mencolok dalam balutan baju zirah Genjinya, dan kerap tergoda untukmenembakkan anak panahnya ke sosok tangguh itu. Walaupun kedengarannya tidak masuk akal,Tametomo ingin memercayai bahwa sebuah kesepakatan rahasia telah dibuat

oleh ayahnya dan Yoshitomo, dan siapa pun yang menang akan mengampuni pihak yang kalah.Tametomo tidak menggunakan busurnya kecuali jika ditantang, dan dia menyadari bahwa kakaknyapun begitu. Tetapi, tidak gentar pada panah mematikan Tametomo, para prajurit Yoshitomomenyerang dengan membabi buta tanpa memedulikan kawan maupun lawan.

Walaupun dua puluh tiga orang penunggang kuda terbaik di pasukan Tametomo telah terbunuh dansisanya terluka, lima puluh tiga orang prajurit terbaik Yoshitomo tewas dan sekitar delapan puluhorang lainnya terluka.

Mayat-mayat bersimbah darah bergelimpangan di medan perang sementara pertempuran terusberlangsung. Yakin bahwa nasib baik sedang menaunginya, Tametomo memanggil anak buahnya:

“Aku akan menggertak panglima mereka dengan anak panahku, dan setelah mereka mulai mundur,kita akan menyerbu dan mengobrak-abrik pasukan mereka.”

Tametomo mengunci jemarinya di busur beratnya dan menarik talinya.

“Ah, apakah ini aman, Tuan? Bagaimana jika … ”

“Cukup mudah, lenganku masih ingat pada keahliannya.”

Tametomo membidikkan anak panahnya ke bintang di helm Yoshitomo. Gumpalan debu dan senjata-senjata yang beradu mengaburkan pandangannya, namun dia tetap menarik napas dalam-dalam danmelepaskan anak panahnya. Dia menyaksikan a panah itu melesat ke sebuah titik di helm Yoshitomo,menyerempe sasarannya, dan terus melesat hingga menancap di salah satu pil^ di gerbang kuil.

Menanggapi tindakan adiknya, Yoshitomo menyair^ tali kekang dan memacu kudanya dengan murka,berteriak lantan kepada Tametomo, “Benar-benar tembakan parah

dari seseorang yang tidak tertandingi keahliannya di Kyushu!”

“Tidak, tidak, kau mungkin musuhku, namun hatiku mengatakan bahwa kau adalah kakaku, dan akuhanya membidik bintang di helmmu. Namun jika kau menghendakinya, aku bisa melakukan yanglebih baik,”

jawab Tametomo.

Terbakar amarah, Tametomo kembali memasang sebatang anak panah ke busurnya, ketika salahseorang pelayan Yoshitomo, yang mengkhawatirkan keselamatan majikannya, tiba-tiba menghamburseraya mengacungkan lembing ke kaki kudanya. Pekikan memilukan terdengar; darah dan debubercampur ketika prajurit itu roboh dengan leher terkoyak oleh anak panah Tametomo.

Kedua belah pihak telah melebur dalam sebuah pertempuran satu lawan satu hingga titik darahpenghabisan. Perwira Tametomo telah tumbang, dan hanya ada beberapa orang prajurit yangdibawanya dari Kyushu yang masih bertahan, karena keahlian Tametomo menggunakan busurnyatidak terlalu berarti jika dibandingkan dengan pasukan Yoshitomo yang berkekuatan jauh lebih besar.Hari dengan cepat menjadi gelap meskipun malam baru akan turun beberapa jam lagi, dan di balikasap hitam yang menyelimuti mereka, matahari dapat terlihat di langit barat bagaikan

sebuah cakram perunggu.

Beberapa saat sebelumnya, Yoshitomo telah mengirim kurir ke Istana Kekaisaran dengan pesan,“Melihat keadaan saat ini, kita telah berada di atas angin. Saya tidak bisa menjamin apa yang akanterjadi jika bantuan kekuatan di pihak musuh tiba malam mi; pertempuran mungkin akan meluashingga ibu kota. Kita hanya a bisa menang dengan

membumihanguskan Istana Shirakawa. Kendati tidak menghendaki pembakaran terhadap bangunan-bangunan suci yang berada di dekat tempat ini dan menyaksikannya hancur lebur menjadi abu, untukmenyelamatkan penduduk ibu kota dari nasib serupa, saya menantikan perintah untuk melanjutkantindakan. Jika diperintahkan untuk melanjutkan pertempuran, maka itulah yang akan kamilaksanakan.”

Jawaban yang diterima oleh Yoshitomo menyatakan bahwa dia harus mengambil tindakan terbaikmenurutnya.

Maka, para prajuritnya memilih sebuah bangunan di dekat Istana Shirakawa dan membakarnya. Hujantidak turun selama beberapa hari sehingga semuanya sekering kayu bakar; angin barat yang bertiupkencang menyebarkan api ke istal dan ruang pelayan di bagian selatan Istana, dan dalam sekejap,bagian utara Istana juga telah berselimut asap.

“Mereka telah melakukannya! Pembakaran lebih menakutkanku daripada pasukan Yoshitomo. Diatahu betul cara memperoleh kemenangan.” Tametomo berdiri terpaku di medan laga tempat paraprajuritnya bergelimpangan di sekelilingnya dan memandang api yang menjangkau langit, tertawaputus asa. “Dia memang tidak mengenal rasa takut, namun aku mengkhawatirkan ayahku yang renta.Kita harus mencari cara untuk mundur dengan selamat”

Mengumpulkan para prajuritnya yang masih bertahan, Tametomo memacu kudanya meninggalkanmedan laga di tengah-tengah hujan anak panah.

Tameyoshi dan kelima putranya yang lain berhasil mempertahankan tembok barat dan selatan Istanasepanjang hari itu, namun Tadamasa, yang menjaga tembok timur, harus meminta bantuan beberapakali ketika

musuh berhasil mendobrak masuk. Dia telah kehilangan hasrat untuk bertempur karena kekalahansepertinya sudah tidak terhindarkan lagi. Api melalap tembok Istana dan menyebar tanpa kenal ampundari pohon ke pohon, mendekat dan melalapkan asap hitamnya ke Istana.

o0odwkzo0o

Bab XVI-PEDANG DAN ANAK PANAH

Pekikan-pekikan perang para prajurit dan desingan panah menghampiri gerbang-gerbang IstanaShirakawa bagaikan badai. Jeritan putus asa terdengar dari sejumlah ruangan di dalam Istana, danlangkah-langkah kaki yang sigap bergema di sepanjang lorong-lorongnya.

“Selamatkan nyawamu … selamatkan nyawamu …

sekarang!”

“Yang Mulia! Beliau harus dilarikan.”

“Musuh telah tiba di gerbang! Jangan sampai kita kehilangan waktu! Sekarang waktunya meloloskandiri, atau kita akan terbakar hidup-hidup di sini!”

lyehiro dan putranya menghambur memasuki deretan ruangan tempat Mantan Kaisar Sutoku dan parapengiringnya yang kebingungan duduk ketakutan.

“Ke gerbang kecil di utara … kita bisa keluar dari sana.

Sekarang juga”

Yorinaga, tersadar dari keterpakuannya, memohon,

“lyehiro, lyehiro, selamatkan kami!”

Ujung sebuah langkan, yang melingkari bagian Istana itu, tiba-tiba terlalap api. Sesaat kemudian, asaptebal yang menyesakkan napas menggulung ke bawah, menelan bulat—

bulat semua orang dan kuda yang dilewatinya. Mantan Kaisar Sutoku, yang bergegas menaikikudanya, berpegangan erat-erat ke pelananya, tidak berdaya dalam menenangkan tunggangannya yangpanik, hingga seorang juru tulis muncul di belakangnya dan mendorong kudanya menuju salah satugerbang. Yorinaga menyusul bersama seorang pejabat istana yang membonceng di belakangnya.

Api menggemuruh dan melalap labirin bangunan di bagian utara Istana; menghanguskan pepohonandan menimbulkan hujan bara. Panas yang tidak tertahankan mendatangkan angin puyuh yangmelontar-lontarkan manusia dan kuda ke sana kemari.

Ketika memacu kudanya melewati salah satu gerbang kecil, Yorinaga mendadak mengeluarkan jeritanmemilukan dan terjatuh dari pelananya, menyeret kawan seperjalanannya bersamanya. Parapenunggang kuda lainnya berhenti untuk melihat apa yang terjadi dan mendapati Yorinagaberkelojotan kesakitan, sebatang anak panah menancap di lehernya; darah memancar dari lukanya,dengan cepat membasahi seluruh kimono berburu biru mudanya.

“Cepat … cabut anak panahnya!” para pejabat istana saling menyuruh, namun tidak seorang punbertindak hingga seorang ajudan menghampiri mereka.

“Kita tidak punya banyak waktu! Jika musuh menemukan kita, semuanya tamat,” serunya. Kemudian,pria itu berlutut dan mencabut anak panah yang menancap di leher Yorinaga, menyumbat lukanya, danmemerintahkan dua orang pegawai istana untuk memindahkan sang menteri ke sebuah gubuk petani didekat Istana dan meninggalkannya di sana.

Mantan Kaisar Sutoku, sementara itu, telah tiba di kaki Perbukitan Timur, tempatnya meninggalkankudanya dan, ditemani oleh Genji Tameyoshi, Tadamasa, dan beberapa orang pejabat istana, dengansusah payah berjalan kaki menembus semak belukar. Letih dan pegal, Sutoku mengeluh kehausan.Para pengikutnya yang masih dirundung kepanikan, bagaimanapun, tidak berhasil mendapatkan air dibagian bukit itu karena musim kemarau panjang telah mengeringkan mata air yang ada di sana.

Tetapi, mereka tiba? tiba mendengar sebuah suara dari belakang mereka.

“Ini, ini air untuk Yang Mulia. Saya membawakan air untuk Y Mulia.”

Para pengiring Sutoku terkejut melihat seorang pria dengan susah payah menembus semak belukartebal dan menghampiri mereka. Dia adalah Asatori, juru kunci Mata Air Dedalu, yang segera bersujuddi hadapan Sutoku.

“Ini adalah air dari Mata Air Dedalu, Yang Mulia,” kata Asatori mengulurkan sebuah bumbung bambuhijau dengan tangan gemetar

Sutoku menatap Asatori dengan takjub. “Juru kunci Mata Air Dedalu!”

Asatori membungkuk dalam-dalam.

“… Asatori!”

“Yang Mulia, bumbung bambu ini mungkin mengubah rasanya, namun air ini saya ambil dari mata airyang telah menjadi sumber air minum Yang Mulia sejak empat belas tahun terakhir ini”

“Tetapi, bagaimana … apa alasanmu melakukan perjalanan sejauh ini demi membawakan airuntukku?”

“Semua ini terasa bagaikan mimpi sekarang, namun baru kemarin lusa pasukan Kaisar mendudukiIstana Mata Air Dedalu, dan pertempuran pecah di sana. Kendati bertekad untuk tetap tinggal di sanadan menjaga mata air, api mengusir saya.”

Asatori berbicara dengan terburu-buru karena melihat para pengiring Mantan Kaisar sudah tidak sabaringin melanjutkan perjalanan.

“Asatori, aku akan meminum air yang kaubawa dalam kebaikan hatimu ini …” Mendekatkanbumbung bambu itu ke bibirnya, Mantan Kaisar minum dengan nikmat “Air ini sungguhmenyegarkan. Semanis embun surga!” katanya, mengembalikan bumbung yang belum sepenuhnyakosong kepada Asatori. “Simpanlah sisanya, karena air ini terlalu berharga untuk dibuang.”

Malam tiba, namun tidak ada waktu beristirahat bagi buronan karena pasukan Kaisar telah menyebardi perbukitan untuk mencari mereka. Terlalu lelah untuk memedulkan apa yang tenjadi, Sutokumemohon kepada para pengiringnya untuk menanggalkannya menyuruh mereka menyelamatkan diri

mereka masmg-masmg.

Namun Tameyoshi, dengan mata berkaca-kaca menenangkannya “Kami tidak bisa meninggalkan Andasendiri Yang Mulia. Anda harus berusaha bertahan hingga beberan han ke depan. Sungguh pedih hatisaya melihat Yang Mulia har^ mengalami kesusahan seperti ini. Saya yakin bahwa kita akan seseramenemukan jalan raya menuju Omi. Setibanya di sana, kita bisa memutuskan apa yang akan kitalakukan untuk menebus kekalahan Sebelum mereka terdesak dan terpaksa mundur, Tameyoshi telahmembahas sebuah rencana bersama Yorinaga. namun ketika itu, sang menten dengan yakinmenyanggahnya. Tameyoshi berencana untuk, seandainya

upaya kudeta mereka gagal, mencapai sisi timur Gunung H,e. dan menyeberangi Danau Biwa menujuOmi, yang terletak d. sisi lain danau. Di sana, Tameyoshi yakin bahwa mereka akan mendapatkanperlindungan dari klan Genji.

Dia yakin bahwa mereka akan mendapatkan tambahan kekuatan yang cukup untuk melakukanserangan balasan.

Jika rencana ini gagal, Tameyoshi berpikir untuk pergi lebih jauh ke timur, ke Dataran Kanto diwilayah Sagami, daerah yang dihuni oleh begitu banyak cabang klan Genji. Di sana, dia akanmenghimpun sebuah pasukan yang akhirnya akan mengembalikan Sutoku ke singgasananya.Tameyoshi menyampaikan seluruh rencana tersebut kepada Mantan Kaisar, namun Sutoku mengakubahwa dirinya telah putus asa dan hanya berharap untuk ditinggalkan bersama dua orang pengiring,sementara yang lain boleh melarikan diri demi keselamatan mereka masing-masing.

Sepuluh orang pengiring Sutoku dalam pelariannya menerima pembebasan tugas mereka. Dua orangpengiring yang paling akhir meninggalkan Sutoku adalah Tameyoshi dan Tadamasa, yang bertolaksecara terpisah menuju Gunung Hiei sebelum fajar merekah

Oleh kedua orang pegawai istana yang menemaninya.

Sutoku d,desak untuk mengejar keselamatannya dengan masuk lebih dalam ke hutan, namun MantanKaisar yang kelelahan menolak sara mereka. Bunyi gemerisik yang mendadak terdengar dari semakbelukar di dekat mereka mengagetkan ketiganya. Sebuah suL terdengar:

“Yang Mulia, izinkanlah saya menggendong Anda di punggung saya dan menolong Anda dalampelarian ini, karena jalan di depan kita sangat gelap dan curam.”

“Asatori! Apa yang membawamu datang kemari lagi?

Mengapa kau tidak pergi menyelamatkan diri bersama yang lain?”

“Saya juga harus mencari tempat persembunyian, namun izinkanlah saya untuk menyertai Yang Muliahingga beberapa hari ke depan.”

Asatori membungkuk dan menawarkan kepada Sutoku agar naik ke punggungnya.

Kabut tebal menggelayuti puncak-puncak bukit, namun di kejauhan, langit di atas Kota Kedamaiandan Ketenteraman masih memendarkan cahaya merah dari api yang melalap sebagian ibu kota.Menjelang fajar, ketika Sutoku masih terlelap, Asatori menyelinap pergi. Dia kembali beberapa waktu

kemudian dengan membawa bahan makanan yang didapatkannya dari seorang pertapa yang tinggal didekat tempat itu.

lyehiro, yang telah melakukan penjagaan sepanjang malam, mengatakan, “Mustahil untuk memasaksesuatu di sini karena asapnya akan terlihat oleh musuh kita. Baru beberapa saat yang lalu, kurasa akumendengar suara-suara prajurit di dekat kita. Yang Mulia rupanya berharap untuk menjalani upacarapenahbisan, namun tidak ada seorang pun yang bisa membimbing beliau di sini. Bisakah kau mencarisebuah tandu untuk membawa beliau hingga kita menemukan seorang pendeta?”

Bersama Mitsuhiro, Asatori pergi ke sebuah dusun dan segera kembali membawa sebuah tandu reyotlyehiro dan Mitsuhiro melepas baju zirah dan berbagai atribut mereka, menggulung lengan danmengangkat ujung kimono mereka agar sebisa mungkin terlihat seperti pelayan. Hari itu juga, merekamemanggul tandu Sutoku menuruni bukit menuju ibu kota. Kabar bahwa pertempuran telah berakhirmengundang para pengungsi untuk berduyun-duyun pulang dari perbukitan dan dusun-dusun di sekitaribu kota, dan tandu Sutoku menyaru di tengah-tengah masyarakat tua dan muda yang kembali ke ibukota.

lyehiro dan Mitsuhiro, yang tidak terbiasa memanggul tandu, tersaruk-saruk di jalan yang berdebu,tubuh mereka basah kuyup oleh keringat untuk mencari kediaman Nyonya Awa. Setibanya dikediaman bangsawan itu, mereka mendapati gerbangnya terkunci rapat dan tidak ada tanda-tandakehidupan di dalamnya. Dari sana, mereka melanjutkan perjalanan menuju kediaman PenasihatNorinaga dan mendapati bahwa bangunan itu terbengkalai, karena Norinaga, kata seorang pejalan kakiyang berpapasan dengan mereka, telah menjalani upacara penahbisan sebelum perang pecah dan pergike tempat yang tidak diketahui oleh siapa pun. Kemudian, mereka mengetuk gerbang seorang wanitabaik hati yang pernah mengabdi kepada Sutoku, namun tidak seorang pun keluar untuk menyambutmereka; yang terlihat oleh mereka hanyalah seekor anak kucing yang tidur meringkuk di bawahserumpun semak Dari timur ke barat mereka menyusuri ibu kota, mencari tempat mengungsi, namunsia-sia saja. Berkali-kali, mereka melewati rumah-rumah besar tempat sorak sorai kemenanganterdengar. Senja telah tiba ketika lyehiro teringat pada sebuah kuil kecil yang mungkin akan menerimamereka; sekali lagi, mereka memanggul beban mereka dan meneruskan perjalanan. Mereka menemuiseorang pendeta tua, kerabat dari salah seorang pelayan lyehiro, yang menyajikan semangkuk buburgandum kepada Sutoku dan kemudian mencukur kepalanya di bawah temaram cahaya lentera.

Keesokan harinya, lyehiro dan Mitsuhiro membawa Sutoku ke Kuil Ninna-ji, tempat adiknya menjadikepala biara. Sang kepala biara sedang pergi, dan para pelayannya menolak untuk menerima merekanamun, atas desakan Sutoku, mengizinkan mereka untuk berteduh di salah satu pondok. Di sini, keduapengiring Sutok akhirnya meninggalkannya dan masing-masing bertolak ke tujuan

yang tidak mereka ketahui di sebuah provinsi yang berjarak jauh dari ibu kota.

o0odwkzo0o

Pembumi hangusan Istana Shirakawa disusul oleh pembakaran terhadap kediaman para bangsawanyang berpihak kepada Mantan Kaisar. Selama empat hari dan empat malam, udara di ibu kota sesakoleh asap. Tetapi, gerimis turun pada malam kedua dan hujan deras melanda ibu kota pada hari ketiga.Malam itu, sebuah perahu yang penuh dengan muatan kayu bakar terlihat menyusuri Sungai Katsuradan berhenti di mulut sungai untuk menanti hujan dan angin mereda. Beberapa sosok gemetar, dudukberselimut tikar di dasar perahu, berkerumun dalam keadaan basah kuyup dan merana, dan sesekaliterdengar erangan dari seseorang yang terbaring telentang di atas palang-palang perahu.

“Apakah kita sudah sampai di Uji? … Berapa lama lagikah perjalanan ini?” Yorinaga hanya sanggupmembisikkan pertanyaannya.

Harapan terakhir Yorinaga yang sedang sekarat adalah menemui ayahnya di Uji.

Tidak ada yang mengganggu perjalanan lambat menuju Uji itu selain tatapan tajam burung-burungpemakan ikan di sepanjang sungai. Dari waktu ke waktu, Yorinaga mengerang ketika seseorangmemeganginya dan menempelkan kayu obat membara pada luka di lehernya.

Sejauh ini, perawatan itu telah menghentikan perdarahannya dan mencegah belatung berkembang biakdi luka terbuka yang terpapar udara musim panas itu. Asap dupa dan kayu

obat mengepul-ngepul di udara, sementara Yorinaga, yang teria® dari tidurnya, merintih-rintihkesakitan. ,aga

Ketika mereka akhirnya tiba di Uji, Tadazan* ternyata telah melarikan diri ke Nara. Maka, Yorinagapun memulai perjalanan lambat dengan tandu kayu ke Kuil Kofukuji di Nara, dan tiba di sana padamalam hari tanggal 14. Kabut menyelimuti hutan kecil di sekeliling Tempat Pemujaan Kasuga danKolam Sarusawa. Tidak seberkas cahaya pun terlihat dari biara-biara di sekelilingnya.

Dua orang pejabat istana yang menyertai Yorinaga mengetuk gerbang Kuil Kofukuji. Jawabanterdengar dari dalam, dan beberapa orang samurai dan seorang pendeta, yang bersenjata lengkapkeluar. Setelah membisikkan penjelasan. Toshinari dipersilakan masuk seorang diri.

Ayah Yorinaga masih terjaga dan segera keluar.

Toshinari segera menceritakan kepadanya tentang apa yang telah terjadi dan bagaimana merekamembawa Yorinaga kemari. Tetapi, laporan mengenai kekalahan memalukan Yorinaga telah didengaroleh Tadazang.

Kecuali getaran singkat dagu berjanggut putihnya, tidak ada emosi yang terlihat di wajahnya, tidakada tanda-tanda bahwa dia menyambut hangat kedatangan putra yang dicintainya dengan begitu buta.

Akhirnya, dia berkata, “Astaga, Toshinari, aku tak henti-hentinya memikirkan mengapa majikanmubisa berakhir seperti ini! Tidak ada gunanya bertemu dalam keadaan semenyedihkan ini. Toshimaru,aku berpesan kepadamu untuk membawa Yorinaga ke suatu tempat di mana orang lain tidak bisamelihat atau mendengarnya.”

Setelah selesai berbicara, tubuh kurus Tadazane terguncang-guncang dalam isakan. Denganmelindungi putranya, dia akan menyeret istri, anak-anak, dan kerabat Yorinaga ke dalam penahananyang berujung pada hukuman mati.

Toshinari keluar dengan kekecewaan mendalam. Tandu masih berdiri berselimut kabut di tempat diameninggalkannya. Dia membungkuk di atas Yorinaga yang sedang merintih kesakitan dan perlahan-lahan menyampaikan hasil pembicaraannya dengan Tadazane.

“Apa! … ayahku?”

Tandu bergoyang ketika Yorinaga berjuang untuk duduk.

Beberapa patah kata diucapkannya dengan terbata-bata, diakhiri oleh bunyi tercekik daritenggorokannya. Tandu kembali bergoyang, disusul oleh keheningan yang mencekam. Toshinari dankawannya memanggil-manggil Yorinaga, namun tidak ada jawaban yang terdengar. Ketika merekamemeriksanya, Yorinaga ternyata telah tewas. Dia menggigit lidahnya sendiri hingga putus. Khawatirpihak yang berwenang akan menangkap mereka, keduanya memanggul tandu menuruni Bukit Naraselagi hari masih gelap dan berhenti di sebuah tanah lapang. Di sana, mereka menggali sebuah lubangdan menurunkan tandu beserta Yorinaga di dalamnya ke sana. Sebelum menimbun kuburan tersebut,Toshinari memotong ikatan rambutnya dan melemparkannya ke mayat Yorinaga untuk menandakanbahwa dia telah meninggalkan dunia.

Beberapa orang kawannya mengikuti tindakannya, sebelum saling berpamitan dan bertolak ke arahyang berlainan.

o0odwkzo0o

Suasana ibu kota dengan cepat kembali normal, walaupun perburuan besar-besaran terhadap parapengkhianat terus berlanjut. Begitu masuk melalui salah satu dari tujuh jalan utama menuju Kyoto,setiap pelancong, yang tidak tahu-menahu tentang peristiwa yang baru saja terjadi, waswas melihatbatas kota yang dipenuhi oleh petugas dan banyak peraturan baru diterapkan di kota.

Segera setelah terdengar kabar mengenai Sutoku yang telah

menjalani upacara penahbisan dan Yorinaga yang tewas karena lukanya, rumor tertentu mulaimenyebar dengan cepat di seluruh ibu kota. Desas-desus tersebut mengatakan bahwa siapa pun yanglangsung menyerahkan diri kepada pihak yang berwenang akan dianggap sebagai korban pemaksaandan diampuni kesalahannya; bahwa para pemimpin kudeta yang lain akan mendapatkan hukumanringan, Janji-janji yang tidak tidak diketahui sumbunya daa tidak ditegaskan dengan pernytaan resmiitu ternyata berhasil menggiring para bangsawan dan pejabat istana untuk keluar dari tempatpersembunyian mereka. Sejumlah besar prajurit, bersama pengikut Yorinata yang lain, menyerahkandiri setiap hari dan dijebloskan ke penjara tempat jeritan para tahanan yang disiksa menggunakan apidan air terdengar dari tembok tingginya.

Korekata, Panglima Pengawal Golongan Kanan, ditunjuk meniadi hakim kepala dan bertugasmemimpin pengadilan, tempat, catatan kejahatan telah menumpuk.

Wajah para pejabat dan pegawai istana seketika pucat pas, ketika bukti yang ditunjukkan dipengadilan tidak hanya menegaskan tentang pemberontakan tetapi juga secara tidak langsungmenggiring kecurigaan kepada orang-orang yang bersekongkol untuk mengakibatkan kematianKonoy6, sang Kaisar-kecil.

Sekarang telah jelas terlihat bahwa dalang yang dengan lihai menggerakkan dan menjalankan berbagaiurusan kenegaraan adalah Penasihat Shinzei; pejabat pendiam dan bijaksana yang telah bertahun-tahunmenenggelamkan diri ke dalam pekerjaannya dan lolos dari pengamatan Yorinaga. Sekarang, Shinzei,akhirnya melejit ke posisi yang begitu dekat dengan singgasana. Dialah yang memerintahkanperburuan besar-besaran terhadap para pengkhianat; jika diusut secara cermat, dia pulalah yang

mulai menyebarkan desas-desus tentang pengampunan; dan ketika tiba waktu untuk memberikanpenghormatan kepada orang-orang yang berperan dalam menumpas pemberontakan, Shinzei pulalahyang menyusun daftar penerimanya.

Kepada Yoshitomo dianugrahkan, kata banyak orang, hadiah yang terbesar, yaitu jabatan sebagai JuruKunci Istal Kekaisaran … sebuah jabatan yang belum pernah terdengar di kalangan samurai.Bagaimanapun, sebagian orang percaya bahwa Kiyomorilah yang menerima hadiah terbesar: jabatangubernur di Provinsi Harima dan gelar Tuan Harima, karena wilayah yang berhadapan dengan LautDalam itu pernah dipimpin oleh ayahnya dan dihuni oleh banyak anggota klan Heike. Bahwa sebuahkesepakatan telah dibuat diam-diam oleh Shinzei dan Kiyomori terpikir oleh beberapa orang yangmengetahui kedekatan hubungan mereka. Mereka tahu Shinzei mengandalkan kekuatan samuraisedangkan Kiyomori terus memegang teguh teman yang memiliki kekuasaan di Istana demi klanHeik6. a

o0odwkzo0o

Sebelum sempat melepas baju zirahnya dan tidur dengan nyenyak malam itu, Kiyomori telahmendapatkan perintah untuk membawa tiga ratus orang prajurit melintasi Gunung Hiei menuju Otsudan Sakamoto yang terletak di dekat Danau Biwa guna mencari dan menahan Tameyoshi beserta anak-anaknya. Para mata-mata melaporkan bahwa Tameyoshi bersembunyi di sebuah kuil di sisi lainGunung Hiei dan sedang menantikan saat yang tepat untuk menyeberangi danau agar bisa melarikandiri ke timur melewati jalan raya Tokaido. Tetapi, penyisiran di Kuil Mii-dera dan lingkungansekitarnya tidak membuahkan hasil apa pun; jejak para buronan juga tidak bisa ditemukan

di Otsu ataupun kampung-kampung nelayan di antara Otsu dan Sakamoto, sehingga Kiyomorimemindahkan pencarian ke Persimpangan Izumi, daerah milik salah satu biara di dekat situ. Desakecil itu, yang kedai-kedai tehnya sering dijadikan sebagai tempat bersantai oleh para biksu, adalahtempat pendaratan kapal-kapal yang lalu lalang di danau.

Para penghuni rumah-rumah bordil di sana menyambut gembira kedatangan Kiyomori dan pasukannyayang hendak melakukan pencarian dari rumah ke rumah.

Kiyomori memanggil dan menanyai para kepala keluarga dan pemilik rumah bordil. Kemudian,seorang wanita tua cerewet

muncul, menawarkan informasi.

“Nah, saya tidak tahu apakah Tameyoshi ada di antara mereka atau tidak, tapi seorang nelayanmemberi tahu saya bahwa pada pagi buta tadi, enam atau tujuh orang samurai berbaju zirah mahalmenyeberangi danau menuju Omi.”

Sementara Kiyomori menanyai wanita itu. sebuah gong peringatan mula. dibunyikan, dan teriakan-teriakan liar terdengar memasuki kampung. Kabar mengenai kedatangan Kiyomori telah terdengar dibiara, dan para biksu telah menyandang senjata mereka dan berduyun-duyun menuruni gunung untukmengusir para pelaku pelanggaran.

Ketika tiba di tempat kejadian. Kiyomori mendapati para prajuritnya terlibat dalam pertempuransengit melawan para biksu. Anak-anak panah berdesingan di udara sementara para biksu menyerangpasukan Kiyomori dengan tombak mematikan mereka. Kiyomori segera menarik busurnya danmembidik seorang biksu bertubuh kekar, ketika sasarannya tiba-tiba mengangkat kedua tangannya danberseru:

“Ya! Kaukah itu, Heik6 Kiyomori? Tunggu. Tuan Harima! Jika itu memang benar dirimu, aku tidakmau melawanmu di sini!”

“Apa, kau menolak melawanku? Sepengecut itukah dirimu?”

“Aku Kepala Biara Jisso dari biara di dekat sini.”

“Apa?”

“Sudah lupakah dirimu bahwa kita pernah bertemu delapan atau sembilan musim panas yang lalu …

pada bulan Juni … di kaki Bukit Gion ketika kami berbaris membawa Altar Sakral ke ibu kota? Hanyaada seorang samurai yang berani melawan kami dan memanah emblem sakral.

Tentunya kau belum melupakan hari itu!”

“Itu memang aku, Heike Kiyomori”

“Sebatang anak panahmu telah berhasil menggiring kami mundur. Kami bersumpah bahwa pada suatuhari nanti, akan tiba kesempatan untuk membalas dendam. Ada pula para biksu yang secara diam-diam mengagumimu, dan aku adalah salah seorang di antaranya.”

“Lalu?” -

“Aku bersumpah bahwa aku akan berusaha

menemuimu, yakin bahwa kau akan menjadi lawan bicara yang menarik”

“Di mana pun kau mau. Kapan pun yang bisa menyenangkanmu.”

“Ya, tapi apa alasanmu membuat keributan di sini”‘

Kam, tidak bermaksud membuat keributan Aku mendapat perintah untuk menangkap Tameyoshi.Situasi ini tak terhindarkan lagi.”

“Tarik pasukanmu sekarang juga, kita akan bertemu suatu hari nanyi.”

“Terserah apa katamu. Aku malu mengakui, namu memang bersalah.”

Kesal akibat gagal menangkap Tameyoshi dan harus menghadapi-amukan para biksu pasukanKiyomori baru mundur setelah membakar gubuk-gubuk di kampung.h Setelah dua puluh hari berlalu,semua buronan telah ditangkap dan dipenjarakan, kecuali dua orang-Genji Tameyoshi dan HeikiTadamasa, paman Kiyomori.

Dalam perjalanan menuju Rokuhara, Kiyomori menghibur diri dengan angan-angan untuk melepasbaju zirahnya dan mandi air hangat, dan setelah itu tidur nyenyak. Dia baru saja melewati JembatanGojo ketika seorang pendeta berjubah compang-camping dengan wajah nyaris tertutup sepenuhnyaoleh kain dan topi peziarah lebar mendadak melompat ke arahnya dari balik pepohonan.

“Ah, Tuan Harima, tunggu! Tunggu!”

Pria itu melempar tongkatnya saat menubruk Kiyomori dan memegangi pijakan kakinya. “Aku … iniaku, Tuan Harima, pamanmu!”

“Apa?” Kiyomori memekik kaget dan cepat-cepat memerintahkan kepada para prajuritnya untukbersiaga.

Dia menghentikan kudanya dan menatap bingung kepada sosok mengenaskan itu, nyaris tidakmemercayai pendengarannya. “Tinggalkan aku di sini. Pergilah ke bawah pepohonan di sana dantunggu aku,” perintah Kiyomori kepada para prajuritnya.

Si pendeta berlutut sambil memegangi pijakan kaki Kiyomori, menangis terisak-isak, “Oh,keponakanku, ini pamanmu, Tadamasa. Selamatkan aku! … Aku memohon kepadamu, darah dagingkusendiri, untuk mengampuniku.

Aku mendatangimu, harapan terakhirku Tuan Harima, keponakanku sendiri, selamatkan aku! Oh,selamatkan aku.”

“Lepaskan aku! Kiyomori tidak memiliki paman. Kau tidak punya alasan untuk menyebutkukeponakanmu.”

“Apa maksudmu? Bukankah aku saudara kandung ayahmu?”

“Bukankah Heik6 Tadamasa, pada musim panas sembilan tahun yang lalu, ketika aku berangkat untukmenghadapi para biksu dari Gunung Hiei,

mengkhawatirkan keselamatannya sendiri dan memutuskan seluruh ikatan darah dengan keluargaHeike?”

“Ah, tapi itu kejadian bertahun-tahun yang lalu …”

“Kau tidak punya harga diri ketika itu, dan sekarang pun sama saja.”

“Aku telah salah langkah ….Aku membuat kesalahan terbesar di dalam hidupku ketika membiarkanMenteri Yorinaga menyeretku ke dalam persekongkolan yang didalanginya. Aku menarik kembaliucapanku yang telah memutuskan seluruh ikatanku dengan keluarga

“Sesal kemudian tidak ada gunanya. Aku tidak menerima alasan apa pun. Kau adalah seorang penjahatbiasa … seorang pengkhianat”

“Apa kau tega melihatku ditangkap dan dihukum mati?”

“Mengapa kau tidak menyerahkan diri saja? Aku tidak punya urusan denganmu. Perintah yangkudapatkan adalah menangkap semua pemberontak Tugasku adalah menyerahkanmu kepada pihakyang berwenang.”

“Kau berhati batu! … Ah … ”

“Menjauhlah dari pandanganku! Pergilah ke mana pun kau mau! Pergilah, atau aku akan menahanmu.”

“Tidak, tidak! Aku sudah berhari-hari bersembunyi di perbukitan tanpa memiliki sedikit punmakanan, dan aku telah bersusah payah meloloskan diri dari para penjaga di persimpangan untukmenunggumu di sini. Jika aku pergi ke tempat lain, pasukan lain pasti akan menangkapku ….Ya, kau,Tuan Harima, seharusnya menghukumku dengan memenggal kepalaku!”

“Mengapa kau memilihku untuk menjadi algojomu?

Men kau tidak menyerahkan diri kepada pihak yang berwenang saja?^ itu terlalu memalukanmu, lebihbaik cabut sendiri saja nyawam seperti seorang samurai sejati.”

“Aku tidak akan melakukan keduanya. Aku datang kemari untuk memohon ampunan darikeponakanku sendiri. Jika dia menolakk maka tidak akan ada hukum di langit maupun bumi yangbisa’ menyelamatkanku. Aku memilih untuk dipenggal oleh keponakank Itulah permintaan terakhirku.Mari, Tuan Harima, tebaskan pedangmu! Penggallah kepalaku!”

Pamanku yang ini memang menyusahkan, pikir Kiyomori. Namun Tadamasa mengetahui betul watakKiyomori. Dia telah mengenal Kiyomori sejak masih bocah ingusan, dan kemudian tumbuh menjadipemuda melarat.

Dia juga tahu tentang betapa mudahnya keponakannya tergerak oleh rasa iba, dan Tadamasa telah siapmengambil keuntungan dari sifat itu. Dia yakin bahwa Kiyomori tidak akan tega menjatuhkannya.Tadamasa yakin bahwa air mata akan dengan mudah meloloskannya. Dan, tepat seperti yang telahdiperkirakan oleh Tadamasa, Kiyomori merasa sepenuhnya tidak berdaya, seolah-olah dirinyalah yangmenjadi korban, bukan pamannya.

Malam itu, dia menyembunyikan Tadamasa di salah satu bilik di Rokuhara. Malam berikutnya, diasecara diam-diam menemui Shinzei. Kiyomori, yang biasanya tetap ceria di

hari-hari terberat setelah perang sekalipun, kali ini tampak letih dan resah. Sesuatu membebanibenaknya, dan dia menatap kosong pada lentera di ruang tamu Shinzei, menunggu kehadiran sangpenasihat.

o0odwkzo0o

Bab XVII-SUNGAI BERDARAH

Heike Kiyomori maupun tuan rumahnya sudah cukup mabuk gara-gara sake yang dituangkan olehNyonya Kii.

Setelah mereka menenggak beberapa cangkir untuk merayakan kemenangan, Nyonya Kii, yang bisamenebak arah percakapan di antara keduanya, menyuruh para pelayan pergi dan melayani merekaseorang diri.

“Kau seharusnya memenggal dia. Tidak ada lagi yang bisa kaulakukan kecuali memenggal dia. Kautidak akan bisa menjadi pria sejati jika hatimu tetap lunak,” ulang Shinzei, mengolok-olok Kiyomoriyang sedang dirundung kebimbangan. “Kau resah karena Tadamasa adalah pamanmu, tapi bukankahdia sudah memutuskan ikatan darah denganmu?”

“Ya, waktu itu dia mengkhawatirkan dampak dari peristiwa Altar Sakral, dan langsung memutuskanhubungan keluarga denganku.”

“Kalau begitu, dia tidak memiliki urusan apa pun denganmu.”

“Tapi, ada … ”

Shinzei menatap tajam kepada Kiyomori dengan mata merahnya, lalu melanjutkan, “Ikatan darah …tapi kupikir Kaisar Shirakawalah ayah kandungmu, bukan Heike Tadamori”

“Ya, aku mendengar tentang hal itu dari ayahku sebelum beliau peninggal Walaupun aku barangkaliadalah putra Kaisar Shirakawa, pakah yang pernah beliau lakukan padaku? Tadamori adalah iyahku.Bagaimana mungkin aku melupakan beliau? Tadamasa adalah saudaranya, dan aku tidak tegamenahannya, apalagi memenggal ikepalanya.”

Shinzel tergelak. “Kau memang baik hati.” Menoleh kepada istrinya, dia berkata, “Adakah orang lainyang resah gara-gara hal tidak masuk akal semacam itu?”

Nyonya Kii menjawab, “Sepertinya aku kurang mengerti. Apakah yang sebegitu memberatkannya?”

“Baiklah, dengarkan penjelasanku. Kiyomori datang kemari untuk meratap kepadaku, dan ketika akumenanyakan apa yang meresahkannya, dia mengatakan bahwa dirinya siap menanggalkan gelarbarunya dan menyerahkan tanahnya demi kebebasan Heik6 Tadamasa.”

“Astaga, jadi Heik6 Tadamasa mendatangimu karena kau keponakannya?”

“Kiyomori menyembunyikan Tadamasa, lalu setelah berpikir panjang lebar mendatangiku, memohonkepadaku agar membersihkan nama Tadamasa. Aku menyebutnya bodoh. Nah, apa pendapatmutentang hal ini?”

“Aku tidak tahu harus mengatakan apa … ”

“Dirimu sekalipun, seorang wanita, yang pernah melaksanakan banyak tugas rahasia yang kaubencidemi memenuhi keinginan Nyonya Bifukumon dan mendiang Kaisar, semestinya tersenyum melihatbetapa cengengnya kepala klan Heik6 … si Tuan Harima ini.’

“Ini berlebihan, Shinzei … menjadikanku bahan olok-olokan mu seperti itu. Seperti yang baru sajakukatakan, aku telah menetapkan pikiran.”

“Aku masih bisa melihat jejak keresahan dan keraguan pada dirimu. Kau kelihatan cukup tenang, tapiaku bisa melihat tanda-tanda bahwa kau masih gundah.”

“Tidak ada apa-apa … ini hanyalah keraguan yang wajar dihadapi oleh seseorang yang berusia lebihmuda. Aku kesulitan meneguhkan hatiku untuk menyelesaikan masalah ini …”

“Masalahnya berbeda dalam kasusmu. Tadamasa adalah seorang pemberontak, dan kau hanyamenjalankan perintah dari Kaisar. Dia tidak punya hak lagi untuk mengatur-ngaturmu. Tidak ada lagiikatan darah di antara kalian”

“Aku tahu itu. Perintah ini harus segera dijalankan. Aku tidak akan ragu-ragu lagi.”

“Mengampuninya adalah tindakan bodoh; kau hanya akan membawa kemalangan kepada dirimusendiri. Siapa yang bisa menjamin bahwa jika dia bebas, dia tidak akan menghimpun pasukan dariklan Heik6 di wilayah-wilayah lain negeri ini untuk melawanmu?”

“Benar. Aku tidak akan menjadi pengecut. Jika Kaisar menghendakinya, maka aku akanmelakukannya besok.”

“Lebih cepat lebih baik, karena jika orang lain mengetahui bahwa kau menyembunyikan dia, entah apayang akan terjadi padamu dan seluruh klan Heik6.”

“Benar sekali.”

Setelah keraguannya menguap, Kiyomori meninggalkan kediaman Shinzei. Angin sejuk bertiup kepipinya, namun sakit kepala yang memualkan sekonyong-konyong menderanya, menyebabkannyabersempoyongan di atas pelananya. Kerisauan akibat tindakan yang harus diambilnya membuatnyangeri. Seluruh dirinya seakan-akan menciut gara-gara pikiran akan memenggal kepala

pamannya sendiri. Kesedihan mendalam menderanya, dan Kiyomori menggeleng-geleng danmemukuli keningnya sendiri dengan tangan terkepal untuk melampiaskan rasa putus asanya. Diamemang terlahir sebagai seorang pengecut …. Sebenci-bencinya dia kepada Tadamasa, ini bukanlahjalan keluar yang bisa diambilnya.

Tadamasa terlambat bangun keesokan paginya; sinar temaram matahari pagi telah menerangi bilikpelayan yang hanya dilengkapi dengan sedikit perabot. Dia mencuci mukanya dengan larutan obatyang sudah dipersiapkan untuknya pada saat kedatangannya, lalu menyantap bubur sisa makanmalamnya; yakin bahwa dirinya telah selamat, Tadamasa tidur dengan nyenyak malam itu. Diamelahap sarapannya dengan nikmat, dan pikirannya melayang kepada putra-putranya, yang terceraiberai gara-gara perang.

Di manakah mereka sekarang? Apakah mereka telah tertangkap atau terbunuh, pikirnya.

“Apakah Heike Tadamasa ada di sini?”

Tergugah dari lamunannya, Tadamasa menatap heran kepada seorang samurai ramah berusia awal tigapuluhan yang memasuki biliknya. Ada kesan akrab di dalam dirinya, namun Tadamasa tidak melihatkemiripan dengan Kiyomori.

Suara Tadamasa terdengar melengking ketika dia menjawab, “Aku sendiri. Siapakah dirimu?”

“Tokitada, ajudan juru tulis di Istana.”

“Ah, adik Nyonya Harima. Berlawanan dengan perkiraanku, Tuan Harima telah dengan murah hatimemberiku tempat berteduh. Aku benar-benar tidak menyangka, Tuan.”

“Saya mengerti. Seorang samurai harus menjunjung tinggi-tinggi namanya hingga titik darah yangpenghabisan.

Jika Anda hendak bercukur atau menyisir rambut Anda, saya bersedia menunggu”

“Menunggu? Apakah aku akan dibawa ke tempat lain?”

“Pukul empat sore nanti. Saya dikirim kemari untuk mengikat Anda.”

“Eh? Mengikatku? Siapakah yang memberi perintah kepadamu?”

‘Tuan Harima sendiri.”

“Mustahil! Panggil Tuan Harima kemari! Katakan kepadanya bahwa aku harus berbicara dengannya.”

“Tidak akan ada gunanya. Kami menerima surat penahanan dari Istana pagi ini dan mendapatkanperintah untuk menghukum mati Anda pada pukul empat sore ini.”

“Eh … !” Tadamasa berdiri dengan goyah, berusaha memprotes. “O-o-omong kosong! Mustahil!”Tokitada menubruknya dan keduanya roboh ke lantai, saling melawan. Beberapa orang samurai yangmenunggu di luar cepat-cepat masuk membawa seutas tali ke bilik itu dan mengikat Tadamasa.

“Panggil keponakanku! Bawa dia kemari … Tuan Harima! Apa maksudnya menipu pria tua takberdaya ini?”

lolong Tadamasa, namun pintu biliknya dipaku dari luar dan dijaga oleh seorang petugas, sementaraTokitada bergegas pergi.

Kiyomori menghabiskan pagi itu seorang diri di biliknya; kata-kata Shinzei terus terngiang-ngiang ditelinganya*

namun hatinya tetap berat.

“Kakak, aku sudah melaksanakan tugasku.”

“Ah, kaukah itu, Tokitada? Apa yang dikatakannya?”

“Dia mengumpat-umpat dengan dahsyat Seorang pria tua yang beringas, walaupun akhir hidupnyasudah dekat”

“Seandainya aku tahu bahwa inilah yang akan terjadi, aku tidak akan menunjukkan belas kasihankepadanya dan menahannya saat itu juga. Dia mungkin akan mendapatkan pengampunan.”

“Tidak juga. Kau harus mengingat bahwa dia adalah Heik6 Tadamasa. Kesalahannya sudah tidakdiragukan lagi.”

“Sudahkah kau membaca isi surat penahanan dari Istana?”

“Ya, aku sudah membacanya. Pemenggalan akan dilaksanakan pada pukul empat sore nanti, di tepisungai, tidak jauh dari Jembatan Gojo.”

“Aku sudah semalaman tersiksa gara-gara memikirkan Tadamasa, dan sekarang aku diperintahkanuntuk tidak hanya memenggalnya tetapi juga ketiga anaknya! Itu adalah keinginan Shinzei.”

“Itu tidak lebih buruk daripada yang kita lakukan di dalam medan pertempuran, ketika sandal kitabasah bersimbah darah.”

“Itu berbeda. Sangat berbeda.”

“Ini juga perang. Apa yang membuatmu berpikir bahwa arena hukuman mati bukanlah medanperang?”

Ucapan gamblang Tokitada lebih meneguhkan hati daripada penjelasan panjang lebar Shinzei, dankeraguan Kiyomori kepada dirinya sendiri pun reda.

“Aku akan tidur sejenak, kalau begitu. Masih ada beberapa jam sebelum pukul empat tiba. Tokitada,ambilkan kotak yang ada di sana itu.”

Kiyomori berbaring menatap langit musim panas; dari bawah pinggiran atap rumahnya, dia melihatgumpalan-gumpalan awan berarak melintasi matahari, sejenak mendatangkan keteduhan di duniasebelum cahaya menyilaukan menyorot kembali.

o0odwkzo0o

Pelaksanaan hukuman mati di depan umum telah menjadi kegiatan harian setelah perang berakhir,namun orang-orang sepertinya tidak bosan-bosannya menjadi penonton. Masyarakat dari berbagailapisan telah membanjiri kedua tepi Sungai Kamo di atas jembatan Gojo.

Para petugas yang baru saja tiba, yang memandang hukuman mati sebagai peringatan kepada rakyat,tidak melakukan apa pun untuk menghalau orang-orang yang terus berdatangan walaupun hari telahsemakin sore. Angin kencang meniup helaian hitam dan putih pada tirai yang menandai lokasihukuman mati dan mengancam untuk mencabik-cabiknya; hujan deras mulai turun.

Tiga orang pemuda berlutut dengan pasrah di atas tikar masing-masing, yang diletakkan di jarak yangsama di tepi sungai. Di dekat mereka, seorang pemeriksa mayat yang dikirim oleh PangkalanPengawal Kekaisaran dan para petugas penjara yang telah menyelesaikan tugas mereka menantikankedatangan Kiyomori dan Tokitada. Kehadiran mereka segera menimbulkan keributan di kalanganpenonton. Kiyomori turun dari kudanya dan berjalan ke arah sungai, berbasa-basi dengan para petugasyang telah menanti; Tokitada berjalan di belakangnya, dikawal oleh beberapa orang samurai danmenarik Tadamasa yang terikat erat. Tadamasa diperintahkan untuk duduk di atas

tikar keempat Ketiga pemuda yang telah lebih dahulu tiba di sana serentak berdiri dan berseru,“Ayah!” Tali yang mengikat masing-masing tahanan itu tertambat pada sebuah pasak, sehinggasebelum berhasil berdiri, ketiganya langsung terjerembap kembali ke tanah. Sifat kebapakanTadamasa muncul ketika dia melihat anak-anaknya, dan dia pun menenangkan mereka:

“Bersabarlah. Kita harus menyerah. Hari ini sungguh pahit bagiku; tetapi, aku bersyukur karenamendapatkan kesempatan untuk bertemu kembali dengan kalian. Ini sudah digariskan oleh karmakita.”

Suara Tadamasa, yang parau akibat jeritannya ketika bertahan dari penangkapan, terdengar lebihnyaring.

“Dengarkanlah, anak-anakku … jalan hidup sebagai samurailah yang membawa kita untuk matidengan cara ini, namun kita tidak jatuh serendah binatang itu; keponakanku yang tidak tahu berterimakasih, Kiyomori! Salahkah kita jika memilih untuk setia kepada pengayom kita? Kita tidak pernahmelupakan kebaikan hati beliau …. Lihatlah dia di sana, Kiyomori yang telah sejak lama kukenal.Itulah dia, orang yang paling tidak tahu berterima kasih! Untuk apa kita harus malu?”

Tadamasa memelototi Kiyomori, yang sekarang duduk di sebuah meja. Kiyomori membalastatapannya tanpa mengatakan apa pun; yang ada di hadapannya adalah seseorang yang telah begitudekat dengan kematian; rona telah menghilang dari pipinya, menyisakan kepucatan.

Tadamasa mendadak menyembur Kiyomori. “Hei, Kiyomori! Jika kau masih punya telinga untukmendengar, dengarkanlah ini! Apa kau sudah melupakan masa lalu, ketika Tadamori masih melaratdan tidak mampu memberimu makan dengan bubur terencer sekalipun, dan berulang kalimenyuruhmu meminjam uang kepadaku?”

Kiyomori tetap diam.

“Ingatkah kau ketika kau datang ke rumahku di tengah musim dingin dengan kimono usangmu, sepertipengemis, menyampaikan cerita-cerita kemalanganmu? Sudah lupakah dirimu bahwa kau menangistersedu-sedu sambil melahap makanan dingin yang kusajikan karena aku kasihan kepadamu? Akutertawa jika memikirkan bahwa iblis kelaparan itu sekarang telah menjadi Tuan Harima yang hebat!Biarlah masa lalu berlalu, tapi, apakah ini …

mengkhianati pamanmu sendiri, yang telah menolongmu di masa mudamu? Jadi, kau akan menyebutdirimu terhormat gara-gara menukar kepalaku dengan lebih banyak lagi imbalan dari Istana?”

“Kau lebih brengsek dari bajingan terbusuk sekalipun!

Jawablah pertanyaanku … kau … jika kau bisa!”

“Aku sudah menduga bahwa kau tidak bisa. Bagaimana mungkin kau akan menjawab? Jadi, kauberniat memenggal kepalaku … pamanmu … saudara kandung ayahmu? ….

Mungkin ini memang telah digariskan oleh karma. Kalau begitu, baiklah. Alih-alih berdoa, aku akanmerapalkan nama Tadamori sambil menantikan tebasan pedangmu.”

Tadamasa menjerit nyaring. “Ini, penggal kepalaku sekarang juga!”

Mendung semakin tebal sehingga kegelapan meliputi arena hukuman mati. Tidak ada matahari yangbisa memastikan waktu. Geledek terdengar di kejauhan, dan permukaan air sungai bergolak karenaangin dingin menimbulkan riak meniupkan pasir ke sana. Walaupun telah terbiasa melihatpelaksanaan hukuman mati, para petugas berkerumun seolah-olah racauan Tadamasa telah membuatmereka gentar. Sengatan tajam air hujan, bagaimanapun, berhasil menyadarkan mereka.

“Sudah pukul empat, Tuan Harima … mungkin bahkan lebih.”

“Oh?” Kiyomori tampak bingung ketika mendengar pemberitahuan itu. Dia berdiri denganmengerahkan seluruh tenaganya. Tadamasa mengangkat pandangannya dan menatap lekat-lekatkepada Kiyomori yang sedang berjalan menghampirinya.

“Tokitada … pedang.”

Tokitada, yang berjalan selangkah di belakang Kiyomori, menghunus pedang kakak iparnya. Diamemandang wajah pucat Kiyomori dengan ekspresi yang mengatakan, “Yang mana?”

“Yang di ujung.”

Ujung jari Kiyomori menunjuk ke wajah seorang pemuda. Kiyomori cepat-cepat membuang muka.

“Cepat, Tokitada … jangan berkedip,” desak Kiyomori.

“Ini bukan apa-apa,” gumam Tokitada. Sementara dia berbicara, suara aneh yang menyerupai gesekankain basah terdengar oleh telinga para penonton. Pada saat yang sama, mata pedang Tokitada berkilatdan meneteskan darah.

“Ah, Naganori, mereka sudah membunuhmu!”

Tadamasa menangis. Suara yang menegakkan bulu kuduk kembali terdengar, dan satu lagi kepalaterjatuh ke tanah.

“Tadatsuna! Ah, Tadatsuna!”

Tangisan Tadamasa menyaru dengan gemuruh guntur di atas mereka. Tadamasa melolong ketikadesingan pedang terdengar untuk ketiga kalinya, namun tidak semulus sebelumnya. Tokitadamendadak tampak bingung dan mengamati wajah-wajah di hadapannya dengan tatapan kosong.

“Hei, Tokitada, ada apa denganmu?”

“Air … bawakan air untukku sebelum aku menghabisi yang terakhir. Semuanya menjadi gelap,tanganku kehilangan kelihaiannya

“Pengecut! Kau mual gara-gara melihat darah …. Mana, biar aku yang menyelesaikannya.”

Amarah Kiyomori telah memuncak. Dia berjalan beberapa langkah menghampiri Tadamasa danmenatap dingin pada wajah yang mendongak kepadanya. Seluruh perasaan Kiyomori telah tercerabutdan melayang menuju kehampaan. Inti otaknya bagaikan es, begitu dingin sehingga menyayat dirinya.Sebuah tawa singkat mengagetkannya, hingga dia menyadari bahwa suara itu meluncur

dari bibirnya sendiri, sementara dia berdiri menjulang di hadapan Tadamara, mencengkerampedangnya.

“Heike Tadamasa, ada lagikah yang hendak kaukatakan?

Aku akan menghukum mati dirimu.”

“Hmm … lihat saja apakah kau bisa,” Tadamasa mendesis garang, mendongakkan kepalanya seolah-olah untuk mempercepat saat terakhirnya. Alih-alih membungkuk untuk memperlihatkan tengkuknya.

Tadamasa duduk dengan tegak, menggembungkan dadanya. “Aku tidak pernah menyukaimu …bahkan ketika kau masih kanak-kanak, Kiyomori … kau! Sekarang aku mengerti alasannya; itu adalahpertanda untuk hari ini.”

“Aku percaya kepadamu, karena tidak ada orang lain yang lebih kubenci daripada dirimu.”

“Seperti salju dan tinta … kita begitu berbeda, paman dan keponakan. Kau menang. Aku akan mati ditanganmu, dan tidak ada yang lebih keji daripada ini.”

“Sepahit apa pun ini bagimu, ini adalah perang.”

“Bukan perang melainkan takdir. Giliranmu akan tiba, Kiyomori.”

“Tidak perlu menantikan itu. Nah, sudah siapkah dirimu?”

“Jangan buru-buru. Satu kata lagi”

“Apakah itu? Apa lagi yang harus kaukatakan?”

“Sejujurnya, kemiripan itu tidak bisa disangkal lagi.

Benih-benih kejahatan dari pendeta mesum itu rupanya mengalir di darahmu”

“Pendeta apa? Apa?”

“Ayahmu.”

“Mirip dengan siapa pun diriku, yang jelas, ayahku Tadamori.”

“Ketahuilah bahwa istri pertama Tadamori sendirilah, si Perempuan Gion, yang memberitahukubahwa kau bukan anak Tadamori, dan bukan pula anak Kaisar Shirakawa.

Sesungguhnya, kau adalah buah dari hubungannya dengan kekasih gelapnya, si pendeta mesum….”Tadamasa mencerocos.

“Terkutuklah mulut kotormu itu … matilah kau!”

Kiyomori mengayunkan pedangnya. Kilat putih terlihat, memenggal leher Tadamasa dalam sekalitebas.

Dengan sekujur tubuh terciprat darah, Kiyomori berdiri terpaku, menurunkan pedangnya yangbersimbah darah.

Kilatan petir menyilaukannya. Guntur bergemuruh.

Helaian tirai berkibar-kibar liar. Tanah yang dipijaknya seolah-olah berguncang.

“Dasar tolol! Dungu!”

“Orang gila! Bengis!”

“Kau bajingan!”

“Kau iblis yang tidak tahu berterima kasih!”

Itu bukanlah gemuruh guntur melainkan lolongan para penonton, yang kemarahannya terpicu olehpemandangan memuakkan seseorang yang telah menghabisi nyawa kerabatnya sendiri dengan pedang.Batu-batu dilemparkan kepada Kiyomori, namun dia tidak berusaha meloloskan diri. Hujan batu yanglebih deras daripada hujan yang turun dari langit menghantami baju zirah, wajah, dan keduatangannya, dan darah mulai mengalir dari luka-lukanya.

Jeritan para penonton ditenggelamkan oleh gemuruh guntur. Para prajurit Kiyomori menghambur kearah para penonton, yang dengan cepat membubarkan diri begitu melihat pedang yang terhunus.Tetapi, Kiyomori tetap berdiri terpaku di dekat keempat mayat tanpa kepala itu.

Hujan deras menerpanya; petir putih kebiruan berkilat menyilaukan di atas puncak-puncak pagoda diPerbukitan Timur. Kiyomori mematung di bawah hujan deras, menjatuhkan pedangnya.

“Tuan ….Tuan.”

“Para petugas sudah pergi, Tuan.”

“Para penonton sudah membubarkan diri.”

“Anda telah merampungkan tugas ini tanpa cela.”

“Sekarang waktunya pulang, Tuan.”

Para prajurit Kiyomori mengerumuninya dengan cemas, ingin segera pergi dari sana, namun Kiyomorimemunggungi mereka memanjat tanggul; di bawah hujan yang mulai reda, dia mendongak ke arahcelah di awan dan

menggumamkan sebuah doa. Kemudian, dia memanggil lirih, “Tokitada, Tokitada!”

Tokitada yang berwajah gundah dan para prajurit bisa mendengar keanehan suara Kiyomori.Lengkungan pelangi menghiasi langit senja. Seolah-olah baru saja terbangun dari sebuah mimpiburuk, Tokitada menuntun kuda Kiyomori dan memenuhi panggilannya.

Meraih tali kekang kudanya, Kiyomori berbicara ke balik bahunya, “Tetaplah di sini, Tokitada,bersama empat atau lima orang prajurit. Bawalah keempat mayat itu dengan hati-hati ke tempatpembakaran mayat di Toribeno. Aku akan pulang dan berdoa malam ini. Aku memercayakanpenguburan keempat mayat ini kepadamu.”

Malam itu, Shinzei menerima kepala Tadamasa.

Korekata, Panglima Golongan Kanan, membawakan kepala Tadamasa dan ketiga l putranya dariRokuhara untuk Shinzei, yang segera memeriksanya di bawah cahaya lilin.

“Bagus sekali.” Dia mengangguk dan mendengarkan cerita tentang pelakasanaan hukuman mati, saatterakhir Tadamasa, sikap Kiyomori, dan penundaan yang terjadi.

Shinzei mendadak tertawa terbahak-bahak, menepuk-nepuk pahanya.

“Rupanya itulah yang terjadi, dan ada perkecualian bagi pepatah yang mengatakan bahwa penyesalanakan dibawa mati. Tidak banyak orang yang seperti Tadamasa, yang mati dengan getir dan menolakuntuk masuk surga.

Sedangkan Kiyomori … samurai berhati lembek itu. Aneh juga melihat dia berperang dengan garangdi Shirakawa.”

Keesokan harinya, Shinzei memanggil Yoshitomo, dan dengan sikap biasa mengatakan, “Tuan … juruKunci Istal

Kekaisaran, Tuan Harima mengirim kepala pamannya semalam. Sebuah tindakan yang patutditeladani …. Dan, omong-omong, sudahkah Anda mendengar laporan mengenai penampakan seorangburonan yang jauh lebih berbahaya daripada Tadamasa? Yang saya maksud adalah Genji Tameyoshi,yang telah memimpin pemberontakan melawan kita.”

Nada sopan dan ramah yang digunakan oleh Shinzei membekukan hati Yoshitomo. Wajahnyamendadak pucat pasi.

‘Tuan, pencarian sedang dilakukan … jejak Tameyoshi dan putra-putranya belum ditemukan.”

“Anda tahu. Yang Mulia akan terus menerima laporan tentang kegigihan Anda memburu parapengkhianat.”

“Segala sesuatu yang bisa menunjang pencarian telah dilakukan, dan saya yakin mereka akantertangkap, namun

… ”

“Namun apa?”

Yoshitomo menunduk. Shinzei melontarkan tatapan penuh pertanyaan dari bawah keningnya yangberkerut merut

o0odwkzo0o

Selama tiga hari dan tiga malam, Tameyoshi, putra-putranya, dan tiga orang pelayan merekabersembunyi di dalam sebuah kuil di wilayah perbukitan di antara Shirakawa dan Danau Biwa. Jurukunci kuil itu menerima mereka dengan baik, sehingga mereka bisa makan dan tidur, danmendapatkan kesempatan untuk merawat luka-luka mereka sembari menyusun rencana untuk mencariperahu yang bersedia membawa mereka menyeberangi danau dalam pelarian mereka ke arah timur.Tetapi, ketika

itu pulalah, seolah-olah nasib buruk telah membayangi mereka, penyakit reumatisme melumpuhkanTameyoshi dan mengharuskannya menghabiskan waktu di kasurnya, di dalam sebuah bilik kuil yangmengenaskan. Selama Tameyoshi terbaring di sana sebagai seorang samurai yang telah kalah,berbagai peristiwa yang terjadi selama enam puluh tahun kehidupannya berkelebatan dalamingatannya, diwarnai oleh penyesalan dan kesepian, karena dia menyadari betul penyebabkesedihannya.

Sementara itu; salah seorang putranya dan Magoroku, seorang pelayan, pergi ke Otsu untuk mencariketerangan penyewaan perahu, sementara Tametomo dan yang lainnya berjaga-jaga untuk mewaspadaikehadiran para pengejar mereka.

Yorikata dan Magoroku segera kembali dan mengabarkan bahwa mereka telah bertemu denganseorang nelayan yang mau membawa mereka menyeberangi danau secara diam-diam. Malam itu, 17Juli, para buronan dengan hati-hati berangkat ke tempat pertemuan yang telah disepakati, di bawahsebatang pohon pinus besar di Karasaki. Setibanya di sana, mereka gelisah karena tidak melihat tanda-tanda keberadaan sebuah perahu. Ketika melakukan pengamatan di tempat gelap itu, mereka tiba-tibamelihat kilatan obor di kejauhan, disusul oleh derap kaki-kaki kuda dan teriakan-teriakan gaduh.

“Kita dijebak!” seru Tametomo. Setelah dengan buru-buru memerintahkan kepada Magoroku untukmeloloskan diri bersama Tameyoshi ke perbukitan, mempersiapkan saudara-saudaranya untukbertahan hingga keduanya tiba di tempat yang aman.

Setengah menggendong dan setengah menyeret Tameyoshi, Magoroku akhirnya tiba di sebuah kuil diwilayah perbukitan. Di sana, Margoroku dengan putus asa

menceritakan tentang masalah mereka kepada seorang pendeta, yang bersedia memberikan tempatberlindung kepada mereka. Tetapi, ketika pagi tiba, Magoroku yang masih mengkhawatirkankeselamatan mereka, menggendong Tameyoshi di punggungnya dan membawanya melintasi sebuahlembah di Gunung Hiei hingga mereka tiba di sebuah kuil di Kurodani.

Tameyoshi, yang telah mengalami kehancuran jiwa dan raga, mengakui kepada Magoroku bahwa diasudah tidak memiliki keinginan lagi untuk menghimpun sebuah pasukan walaupun berhasil mencapaiwilayah timur Jepang.

“Tidak ada yang bisa kulakukan lagi sekarang ini, Magoroku, kecuali menjalani penahbisan danmenyerahkan diri kepada putraku, Yoshitomo,” katanya.

Ketika akhirnya bertemu kembali dengan ayah mereka, putra-putra Tameyoshi berduka karena sangayah telah menjalani penahbisan dengan dibimbing oleh seorang pendeta. Mereka pun meratap.

“Segala sesuatu yang kita miliki telah direnggut dari diri kita. Apa lagikah yang bisa kita harapkan?”

Tetapi, Tameyoshi menjawab, “Tidak, anak-anakku, kalian tidak bisa selamanya bergantungkepadaku. Akan tiba waktunya ketika anak-anak burung harus meninggalkan sarangnya untuk terbangke langit biru yang terbentang tanpa batas di hadapan mereka.” Tameyoshi meneteskan air mata getirketika menyadari bahwa dirinya tidak memiliki kata-kata yang lebih menenangkan untuk anak-anaknya.

Magoroku diperintahkan untuk pergi ke ibu kota dan menyampaikan surat dari Tameyoshi kepadaYoshitomo.

Sekembalinya dari ibu kota, dia mengabarkan bahwa

Yoshitomo sangat gembira ketika membaca pesan dari sang ayah. Ingin mendengar lebih banyaktentang kabar putranya, “Tameyoshi menanyakan apakah Magoroku juga telah berbicara denganYoshitomo, dan mendapatkan jawaban:

“Beliau tidak ada di rumahnya. Menduga akan bisa menemui beliau di rumah Nyonya Tokiwa, sayapun pergi ke sana. Saya beruntung karena berhasil berjumpa dengan beliau yang, masih memakai bajuzirahnya, sedang bermain-main dengan anak-anak di pangkuannya.”

“Kau melihatnya sedang bermain dengan cucu-cucuku?

Jadi, dia sudah mengetahui rasanya menjadi seorang ayah.

Dia memiliki dua orang anak, bukan?”

“Ya … dan sepertinya anak ketiga mereka akan segera lahir, dan karena itulah Tuan Yoshitomo sangatmengkhawatirkan Nyonya Tokiwa.”

“Ah, dari kabar yang kudengar, wanita itu memang menyenangkan. Hanya Yoshitomo seoranglah yangpaling beruntung di antara kita.”

Dengan kening berkerut, putra-putra Tameyoshi menyaksikan ayah mereka membaca surat dariYoshitomo:

“Aku menantikan kedatangan Ayah. Para pelayanku akan menjemput Ayah di pinggir hutan di dekatKamo.

Ayah tidak perlu cemas. Aku sudah siap untuk melepas seluruh kehormatan yang telah dianugrahkankepadaku asalkan Yang Mulia bersedia mengampuni Ayah.”

Putra-putra Tameyoshi, bagaimanapun, tidak rela membiarkan ayah mereka menyerahkan diri kepadaYoshitomo. Dan Tametomo berkata:

“Ayahku, tidak adakah cara untuk mencegahmu? Siapa yang tahu bahwa Yoshitomo bisa dipercayaatau tidak? Aku

merasa bahwa Ayah sedang berada dalam bahaya.

Tinggallah bersama kami.”

“Apa pun pendapatmu, Tametomo, aku tidak percaya bahwa Yoshitomo akan menipuku. Walaupunkelihatannya meragukan, aku memilih untuk pergi bukan karena nyawaku begitu berharga melainkanuntuk memohon pengampunan bagi kalian semua … itu, dan karena ini adalah satu-satunya cara agarYoshitomo memperoleh kedamaian di hatinya.”

Tametomo menggeleng. “Wajar jika Ayah berpikiran begitu. Anak macam apa yang berharap melihatayahnya dihukum mati? Kalaupun Yoshitomo ternyata monster bengis semacam itu, kesuksesanduniawi sebesar apa pun tidak akan sanggup menebus penyesalan yang akan ditanggungnya. Di sisilain, ingatlah bagaimana Kaisar telah mengkhianati saudaranya sendiri, sang Mantan Kaisar; begitupula Perdana Menteri yang telah mengkhianati adiknya, Yorinaga.”

Tameyoshi mempertimbangkan kata-kata Tametomo, namun tetap teguh pada pendiriannya.

“Aku sudah menyuruh Magoroku menyampaikan pesan kepada Yoshitomo. Orang-orang di ibu kotatentu sudah mengetahui di mana kita berada sekarang. Seandainya aku berhasil tiba di Kamakuranamun gagal menghimpun pasukan, pada akhirnya aku akan bersusah payah mengusahakanperdamaian dengan kehidupanku.

Sepertinya tidak ada pilihan lain bagiku kecuali menyerahkan diri kepada Yoshitomo.”

Keesokan harinya, Tameyoshi, dipapah oleh Magoroku, memulai perjalanan meninggalkan Kamo.Dengan hati tersayat karena menyaksikan sang ayah pergi, putra-putra Tameyoshi mengikutinyahingga tiba di dekat ibu kota,

yakin bahwa mereka tidak akan pernah lagi bertemu dengan sang ayah.

Tameyoshi berhenti untuk menoleh dan berkata, “Anak-anakku, kita sudah tiba di dekat ibu kota.Saatnya berpamitan … perpisahan kita pun harus ada akhirnya.”

Maka, putra-putra Tameyoshi pun mengucapkan salam perpisahan dan menangis terisak-isak

o0odwkzo0o

Sebuah tandu telah menanti Tameyoshi di tepi hutan di dekat Kamo, dan malam itu juga, dia dibawake kediaman Yoshitomo. Di sana, tiga orang wanita pelayan menerima dan menyiapkan air mandiuntuknya, lalu menyediakan kimono bersih, obat-obatan, dan berbagai macam makanan, sehinggatidak ada lagi yang diinginkan oleh Tameyoshi.

Malam itu, Tameyoshi tidur nyenyak, tidak terganggu oleh serangga dan ketakutan pada binatangbuas.

Pikiran pertama Tameyoshi ketika terjaga adalah bahwa dia telah selamat di bawah atap rumahputranya. Baru pada siang harinya, bagaimanapun, Yoshitomo secara diam-diam menemuinya. Kurangdari tiga minggu telah berlalu sejak pertemuan terakhir mereka, namun mereka merasa seolah-olahtelah bertahun-tahun tidak bertemu. Tameyoshi dan Yoshitomo menangis tanpa suara ketika merekabertemu muka.

“… Ayahku, ampunilah aku atas kepedihan yang telah kuberikan kepadamu.”

“Mengampunimu? Yoshitomo, ayahmu ini bersalah atas pengkhianatan kepada Kaisar. Aku tidakpunya hak untuk berada di sini. Perlakukanlah aku seperti layaknya seorang penjahat”

“Hatiku hancur mendengar Ayah berkata begitu.”

“Tidak, tidak, Yoshitomo, aku sudah tua dan menyerah kepada takdir. Hanya ada satu yang kumohondarimu …

ampunilah saudara-saudaramu, para wanita yang tidak berdosa, dan juga anak-anak. Biarkanlah akumenanggung hukuman bagi mereka.”

“Aku siap menyerahkan seluruh hartaku demi menyelamatkanmu, Ayah.”

“Tetapi, ingadah, ada banyak orang di Istana yang berpendapat lain. Jangan mengambil langkahgegabah yang akan membahayakan nyawamu. Aku hanya meminta kepadamu, putra sulungku, untukmeneruskan kedudukanku sebagai kepala keluarga dan menjaga nama klan kita,” Tameyoshimemohon.

Malam itu, Yoshitomo mengendarai kereta sapi yang tertutup rapat menuju kediaman Shinzei. Diatidak ada di rumahnya. Penasihat Shinzei sedang luar biasa sibuk akhir-akhir ini dan tidak akan pulangdari Istana hingga besok, kata pelayannya. Malam berikutnya, Yoshitomo kembali mendatangikediaman Shinzei dan berhasil menemuinya.

Ketika Yoshitomo menyelesaikan ceritanya, Shinzei menjawab dengan dingin:

“Apa! Anda meminta agar Tameyoshi diampuni? Saya sekalipun tidak bisa melakukannya untukAnda. Terlebih lagi. Anda sungguh tidak pantas datang kemari untuk mengatakan hal itu kepada saya.Akan lebih tepat jika Anda menyampaikan sendiri permohonan Anda ini di depan para pejabat istana.”

Yoshitomo, bagaimanapun, pantang menyerah. Dia mengenal seorang jenderal, Masasada, mantan

Menteri Golongan Kanan, yang terkenal sebagai seorang pria

berhati lembut dan dipercaya oleh banyak kalangan di Istana, termasuk Kaisar. Yoshitomomenemuinya pada suatu malam dan diterima dengan penuh kebaikan. Kendati begitu, sang jenderaltidak ingin terlalu berharap.

“… Ya. saya rasa saya memahami apa yang Anda lalui.

Tapi, dalam masa pelik seperti ini, saya tidak bisa menjamin bahwa Istana akan mempertimbangkanpermohonan Anda. Tetapi saya akan memastikan untuk menyampaikan pendapat saya demimendukung Anda,”

kata Masasada dengan hangat

Dalam pertemuan para penasihat Istana berikutnya, Masasada menyampaikan permohonanYoshitomo. Dia tidak hanya memohon pertukaran hadiah yang baru saja diterima oleh Yoshitomodengan ampunan untuk Tameyoshi, tetapi juga mengatakan,”… Pencabutan nyawa seseorang akanberujung pada pencabutan nyawa orang lain, dan yang lain, hingga seratus nyawa pun tidak akancukup, kata sebuah pepatah tua. Tameyoshi berpihak kepada musuh karena kesetiaan. Dia adalahseorang pria uzur yang telah berusia lebih dari enam puluh tahun, dan seorang veteran yang sangatberpengalaman. Kakeknya adalah seorang samurai termahsyur, yang berhasil menggagalkanperlawanan musuh di sebuah medan pertempuran yang berjarak terjauh, dan masih ada banyak orangyang mengingat perjuangannya. Menghukum mati Tameyoshi sama saja dengan menyulut kebenciandi hati orang-orang yang masih mengenang kebaikan kakeknya.

Sebagai hakim, kita juga akan dihakimi. Saya sungguh sedih dan khawatir ketika memikirkan bahwatindakan kejam yang diambil atas nama Kaisar hanya akan menambahkan kebengisan yang telahjamak terjadi di sekeliling kita. Bukankah pengampunan dan kasih sayang

yang menjangkau segalanya adalah inti dari pemerintahan Kaisar?”

Seseorang tertawa. Shinzei.

“Yang sudah berakhir, berakhir. Hari ini adalah hari ini.

Tugas pemerintah adalah menangani apa yang terjadi saat ini. Tuan, kata-kata Anda sungguhbijaksana, namun tidakkah Anda melihat apa yang terjadi di sekitar kita hari ini?” tanya Shinzei.

“Jika kita mengampuni Tameyoshi, bagaimanakah kita akan menghadapi si pemburu kekuasaan …Sutoku? Jika, alih-alih menghukum mati Tameyoshi, kita mengasingkannya, siapakah yang bisamenjamin bahwa dia tidak akan menghimpun sebuah pasukan di provinsi-provinsi yang jauh dari sinidan sekali lagi mengerahkannya untuk melawan kita? Apakah Kiyomori ragu pedang ke leherpamannya? Adilkah jika kita membuat perkecualian kepada Tameyoshi dan putra-putranya?”

Senyum licik tersungging di wajah Shinzei selama dia berbicara dan memerhatikan Masasada.

“Kepala Polisi melaporkan kepada saya bahwa Tuan Yoshitomo telah memberikan perlindungankepada Tameyoshi. Walaupun terdengar aneh dan mustahil, jika ini terbukti kebenarannya, berartiTuan Yoshitomo telah melakukan pelanggaran berat terhadap peraturan Kaisar.

Bagaimana mungkin Tuan Yoshitomo yang terhormat berharap kita akan memberikan pengampunankepada Tameyoshi jika saya sudah memutuskan bahwa dia pantas mendapatkan hukuman mati.”

Shinzei mengucapkan kalimat terakhirnya dengan garang. Sejak perang berakhir, Shinzei menjaditangan kanan Kaisar, dan sang jenderal menyadari bahwa dia tidak

memiliki peluang untuk memenangi perdebatan melawan Shinzei.

Masasada kemudian memanggil Yoshitomo dan menceritakan kepadanya tentang apa yang terjadidalam pertemuan di Istana. “Saya menasihati Anda untuk bertindak dengan sangat diam-diam jikaAnda tidak menghendaki para panglima lain menyerang Anda di kediaman Anda sendiri.”

Tersiksa oleh penyesalan, Yoshitomo mengecam dirinya sendiri karena tidak berada di pihak yangsama dengan ayahnya. Kedua pelayan kepercayaannya, Masakiyo dan Jiro, segera memahami apayang berkecamuk di dalam benak majikan mereka. Tidak hanya mereka, tetapi juga para pelayan lainyang turut menikmati kejayaan Yoshitomo cemas memikirkan apa yang akan terjadi kepadanya.Kemungkinan besar, Yoshitomo tidak hanya akan diperintahkan untuk memenggal ayahnya sendiritetapi juga dilucuti dari seluruh kehormatan dan wewenangnya.

Setelah menghabiskan dua malam tanpa tidur, Yoshitomo memanggil Masakiyo dan Jiro, danberbicara kepada mereka.

Menjelang malam pada hari yang sama, Masakiyo dan Jiro membawa sebuah tandu ke luar bilikTameyoshi dan berkata, “Ada desas-desus sangat meresahkan tentang Anda, dan majikan kamimengkhawati rkan keselamatan Anda. Sejak beberapa hari yang lalu, kegalauan menyebabkan beliautidak bisa tidur ataupun makan. Ada beberapa tokoh yang teramat sangat jahat di Istana. Gara-garamerekalah Anda sebaiknya bersembunyi di suatu tempat di Perbukitan Timur, dan kami akanmenyertai Anda.”

Tameyoshi bangkit untuk pergi bersama mereka.

Sebelum memasuki tandu, dia menoleh ke arah bilik Yoshitomo dan mengangkat kedua tangannyayang tertangkup. “Ada pepatah yang mengatakan bahwa anak adalah harta yang paling berharga.Hanya anakkulah yang bersedia bertindak sejauh itu untuk menjamin keselamatanku. Itu adalahkemuliaan hati yang mustahil dilupakan. Aku akan mengingat ini hingga akhir hayatku,”

Tameyoshi mengulang-ulang perkataannya dengan wajah berurai air mata.

Senja itu, tandu Tameyoshi diangkat melewati gerbang belakang dan membelah malam. Alih-alihmenuju Perbukitan Timur, para pemanggulnya sepertinya mengikuti seruas jalan lain; dan ketikamereka akhirnya tiba di sebuah lahan terbuka di luar ibu kota, Tameyoshi melihat bahwa beberapaorang pelayan kepercayaan Yoshitomo telah tiba di sana dan menunggu mereka dengan sebuah keretasapi.

Masakiyo menyikut Jiro yang, mengerutkan kening dan menepiskan tangannya, bergumam:

“… Kau saja yang melakukannya.Aku tidak bisa.”

Masakiyo beringsut dengan ragu-ragu dan memanggil para pemanggul tandu. “Ahh … kalian,

turunkan tandunya

…. Tuan, kita sudah berada di luar ibu kota dan masih harus melanjutkan perjalanan; maukah Tuanpindah ke kereta sekarang?” Masakiyo mendekati tandu. Dia mundur untuk memberikan ruang kepadaTameyoshi agar bisa melangkah ke luar seraya mempererat cengkeremannya ke gagang pedangnya.Jiro tiba-tiba berbicara dari belakangnya dan menyikut tangan Masakiyo sehingga melepaskanpedangnya.

“Masakiyo, aku ingin berbicara denganmu …” Jiro menjauh beberapa langkah dari tandu dan menolehkepada Masakiyo, yang mengikutinya. “Menurutku, sebaiknya kita melakukannya dengan jujur.Bagaimanapun, beliau adalah ayah dari majikan kita, dan tindakan ini rasanya salah.”

“Kalau begitu, bagaimana?”

“Mengapa kita tidak mengatakan yang sesungguhnya kepada beliau? Biarkanlah beliau berdoa.Walaupun kehidupan beliau berakhir di tempat terpencil ini, beliau tetaplah Genji Tameyoshi danberhak untuk meninggal seperti layaknya seorang samurai sejati.”

“Kau benar. Tapi, itu membuat semua ini semakin sulit Kau saja yang melakukannya.”

“Tidak mau! Aku tidak sanggup. Kaulah yang pantas melakukannya.”

Setelah perdebatan mereka berakhir, Masakiyo kembali menemui Tameyoshi dan mengatakankepadanya alasan mereka membawanya kemari.

Tameyoshi mendengarkan penjelasan itu tanpa berkata-kata. “Ternyata begitu.” Dia duduk di tanahdan berkata dengan perasaan mendalam, “Mengapa bukan putraku sendiri yang menyampaikan hal inikepadaku? Aku bisa memahami keengganannya, namun kasih sayang seorang ayah tidak terbatas.” Airmata Tameyoshi berlinang ketika dia meneruskan, “Tidakkah … tidakkah dia tahu bahwa kasih sayangseorang ayah bisa melambung lebih tinggi daripada semua ini? Tahun-tahun yang dihabiskannyauntuk bermain di pangkuanku setelah dia berpisah dari payudara ibunya, tidakkah dia mengenal setiapsudut hati ini? … Ah, Yoshitomo itu saja sudah cukup untuk membuatku berduka. Kehidupan kitaseperti buih di sungai, namun bukankah kita ayah dan anak, saling terhubung oleh

ikatan dari kehidupan yang lain? Mengapa kau tidak bisa membuka hatimu kepadaku? Aku memangtelah gagal, namun aku tidak serendah

itu. Aku tidak mendatangimu untuk merengek-rengek demi keselamatanku. Karena ini telahdigariskan oleh para dewa, mengapa kita tidak menghabiskan malam terakhirku bersama-sama,mengenang masa lalu dan membuka hati kita satu sama lain sebelum berpisah?”

Sesudah puas mencurahkan isi hatinya, Tameyoshi duduk lebih tegak di tanah dan menghentikanisakannya, seolah-olah seluruh air matanya telah habis. Dia menenangkan diri, menangkupkan keduatangannya, dan mengucapkan sebuah doa. Kemudian, dia menoleh kepada Masakiyo dan berbisikdengan nada selembut gemerisik jubah biksunya, “Masakiyo, penggal aku.”

Yoshitomo segera menyerahkan kepala ayahnya kepada pihak yang berwenang di Istana. Walaupunkepala Tameyoshi tidak mengalami penghinaan dengan dipamerkan di depan umum, rakyat

memberikan kecaman yang lebih tajam kepada Yoshitomo daripada kepada Kiyomori. Kecuali putrabungsunya, anak-anak Tameyoshi yang lain dengan cepat ditangkap dan dihukum mati.

Tametomo, yang berhasil melarikan diri ke Kyushu, akhirnya tertangkap dan dibawa ke ibu kota. DiKyoto, urat-urat lengannya dipotong sebelum dia menjalani pengasingan di Pulau Oshima di wilayahtimur.

o0odwkzo0o

Bab XVIII-ALUNAN SERULING

Sesaji berupa dupa, bunga-bungaan, dan tumpukan kecil batu menandai sisi jalan dan jembatan tempatbegitu

banyak samurai gugur dalam medan laga. Benda-benda tersebut ditinggalkan di sana oleh rakyat jelatayang tidak ambil bagian dalam pertikaian. Perempuan-perempuan tua yang menggendong bayi dipunggung mereka, ibu-ibu rumah tangga yang pulang dari pasar, para perajin tembikar yang berangkatke ibu kota untuk menjajakan hasil karya mereka, para pedagang tikar anyaman, dan sesekali bahkanpara penuntun kereta sapi berhenti untuk mendoakan para pahlawan tanpa nama.

“Sungguh menyedihkan kalian yang menyabung nyawa di sini, dan sungguh mengenaskan pertikaianini! Bisakah ini dijadikan simbol kebaikan hati manusia? Bagus, bagus!”

Seorang pria kekar yang mengenakan topi anyaman bambu lebar dan jubah biksu compang-campingberdiri di sebuah persimpangan jalan, menggumamkan sesuatu kepada dirinya sendiri sembarimengedarkan pandangan pada bunga-bunga dan dupa-dupa yang ditata di dekat reruntuhan sebuahbangunan. Dia sepertinya berusia awai empat puluhan dan memanggul buntalan seperti yang biasadibawa oleh seorang pendeta pengelana; dia menopangkan tubuh pada sebatang tongkat; sebuah tasbihmelingkari pergelangan tangannya yang berbulu. Kepalanya tidak tercukur dan rambutnya acak-acakan di atas wajahnya yang letih akibat perjalanan panjang; sandal jerami usangnya berlumuranlumpur. Kesan tegas di wajahnya menjadikannya tampak lebih menyeramkan daripada biksu-biksudari Gunung Hiei. Sementara dia bergerak, dengan cepat menyusuri jalan demi jalan di ibu kota,pemandangan reruntuhan di berbagai tempat sepertinya menyentuh hatinya, sehingga dia pun berdoadengan khusuk, “Namu Amida-butsu, namu Amida-butsu ….”

“Itu dia, si pendeta bersuara nyaring!”

“Si rambut gondrong, oh, si iblis berambut gondrong!”

“Pendeta, Pendeta, kau hendak ke mana?” anak-anak jalanan yang mengenali sosoknya mengolok-oloknya.

Pendeta berjubah compang-camping itu menoleh dan tersenyum dengan tulus, memamerkan mulutmerah di tengah-tengah janggut acak-acakannya..

“Pendeta gondrong, berikan kue untuk kami!”

“Kami ingin kue beras!”

“Uang juga boleh!” anak-anak terus-menerus berseru-seru, mengejarnya.

“Aku tidak punya apa-apa sekarang. Lain kali, lain kali.”

Si pendeta melambai, berbelok di sudut jalan dengan langkah-langkah panjang.

Sejenak kemudian, dia telah berdiri di depan gerbang kediaman Penasihat Shinzei, tempatnya berhentiuntuk mengukur tasbihnya dan berdoa. Kemudian, dengan berani melintasi gerbang, dia bergegasmelewati garasi kereta, duduk di teras depan rumah, dan dengan nyaring mengumumkankedatangannya.

“Ini aku … Mongaku … dari Perbukitan Togano-o di wilayah utara ibu kota. Aku datang kemari hariini dan juga kemarin. Aku harus berbicara kepada Penasihat yang terhormat hari ini juga; ada sesuatuyang harus kusampaikan kepada beliau. Tolong katakan kepada beliau bahwa aku ada di sini.”

Suara menggelegar Mongaku terdengar hingga ruangan-ruangan terdalam di bangunan besar itu;beberapa orang pelayan yang ketakutan bergegas menghampiri bilik majikan mereka, dan parapelayan lainnya keluar dari ruangan mereka. Kemudian, tiga orang samurai muda dan

kepala pelayan muncul. Mereka menyapa Mongaku dengan sangat sopan. Kemudian, salah seorangdari mereka berkata, “Sayang sekali, namun saya harus mengabarkan kepada Anda bahwa Tuanterhambat di Istana dan belum pulang. Kami tidak tahu kapan beliau akan pulang, karena beliau sangatsibuk mengurus kepentingan negara.”

“Oh? … Dalam perjalanan kemari, aku singgah di Pangkalan Pengawal, dan catatan di sanamenunjukkan bahwa beliau meninggalkan Istana semalam pada jam Ayam (pukul enam). Beliauseharusnya ada di rumah …

Mengapa beliau menolakku? Bukankah beliau sedang sibuk mengembalikan kedamaian danmenenangkan pikiran rakyat? Aku datang kemari bukan untuk berbasa-basi, melainkan untuk berbagipikiran dan memberi nasihat Karena itulah aku meminta agar . pesanku disampaikan kepada beliau.”

“Ya, ya. Semoga beliau bisa menemui Anda di lain waktu.”

“Bukan di lain waktu! Aku memohon untuk

dipertemukan dengan beliau saat ini juga. Hentikan kebohongan ini! Sampaikanlah pesanku kepadabeliau sekarang.”

“Tetapi, hari ini … ”

“Sekarang … hari ini! Tidak boleh besok, karena menunda satu hari sama halnya dengan membiarkanlebih banyak nyawa melayang. Atas nama perdamaian … ini urusan mendesak. Kalau kau menolak,maka aku akan memanggil beliau dari sini.”

Mongaku tidak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda akan beranjak. Menurunkan buntalanpengelananya, dia duduk di tanah.

Penasihat Shinzei dan istrinya. Nyonya Kii, sedang menemui seorang kawan mereka di PaviliunMusim Semi, tempat mereka menikmati sake sementara para juru masak mempersiapkan hidanganistimewa di hadapan mereka.

“Ah … berisik sekali!” dengus Shinzei dengan kesal sambil melirik ke arah tandu tamunya.

“Aku akan melihat apa yang terjadi,” putranya, Naganori, segera bangkit.

Shinzei berbisik ke telinga putranya, “Jika itu Mongaku si pendeta gila yang telah mengirimkan protestertulis ke Istana, sampaikan saja sebuah cerita kepadanya dan beri dia bingkisan.”

Naganori mengangguk-angguk dan keluar ke teras, berdiri dan menunduk kepada Mongaku. “Apakahkau Mongaku si pendeta? Ayahku ada di rumah, namun beliau sedang menemui seorang tamu penting.Beliau sudah membaca protes tertulismu. Tidakkah itu cukup?”

“Siapakah kamu?”

“Aku putra ketiga Penasihat Shinzei.”

“Kamu harus memaafkanku … namun itu tidak cukup.

Sampaikanlah kepada Penasihat Shinzei untuk menemuiku sendiri.”

“Kau benar-benar lancang dengan menuntut Penasihat Shinzei untuk menemuimu.”

“Tidak juga. Aku sudah datang kemari selama tiga hari berturut-turut dan tidak akan ada masalah jikabeliau mau menemuiku. Terlebih lagi, bukan urusan pribadi yang membawaku kemari; beliau harusmenyisihkan waktunya untukku jika aku datang untuk mengatakan kepada beliau tentangkekhawatiranku terhadap masyarakat”

“Sudah banyak tamu sepertimu yang datang kemari, dan aku yakin bahwa ayahku telah seringmendengar nasihat semacam itu.”

“Diam! Mongaku tidak seenaknya mendatangi rumah-rumah mewah karena sinting. Siang dan malam,para tahanan diseret dari penjara dan menjalani pemenggalan di tepi sungai!”

“Tolong, pelan-pelan! Kau mengganggu tamu kami.”

“Betulkah? Kalau begitu, Shinzei juga bisa mendengarku dari biliknya. Baiklah, aku akan bicaradengannya dari sini.

Jika dia sedang menemui tamu, maka tamunya juga akan mendengar apa yang harus kukatakan.”

Mongaku tiba-tiba berdiri dan menarik napas dalam-dalam. Suara yang pernah menggelegarmelampaui gemuruh Air Terjun Nachi selama lebih dari sepuluh tahun, kini tampaknya menggetarkansetiap rangka di kediaman mewah Shinzei:

“Hei, kamu, tuan rumah di sini! Ini adalah peringatan dari surga, bukan sekadar gosip murahan daripasar.

Hukuman matimu yang kejam telah menghasilkan enam putaran neraka di dunia ini. Kau telahmemerintahkan seorang keponakan menghabisi nyawa pamannya dengan pedang; saudara melawansaudara; seorang ayah muda memenggal ayahnya sendiri. Binatang terpandir sekalipun tidak sekejikepada sesamanya!”

“Dengarlah lebih jauh lagi: semakin banyak hari yang kauhabiskan I untuk berbicara di depan parapenasihat Istana, semakin banyak nyawa melayang. Kau telah memaksa Yoshitomo mengirim kepala

ayahnya, memanggal saudara-saudaranya, dan, masih belum puas, kau memastikan agar istriTameyoshi yang telah uzur ditenggelamkan, lalu anak-anaknya dan para penghuni

rumahnya dibariskan di jalan dan ditusuk dengan darah dingin hingga mati. Apa kaupikir tidak adayang membencimu gara-gara kelicikan dan kebengisanmu?”

Naganori dan para pelayan berdiri tanpa bisa berkata-kata menghadapi semburan hujatan yang tidakberkesudahan ini:

“Shinzei memerintahkan agar semua ini dilakukan atas nama Kaisar dan oleh para samurai. Tindakanapakah yang lebih jahat daripada ini? Selama lebih dari tiga ratus tahun, pemerintahan para kaisar kitabebas dari hukuman mati.

Tidak ada perang di ibu kota, dan rakyat dianggap sebagai anak berbakti penguasa. Masa itu telahberlalu sekarang.

Oh, negeri yang mengibakan!”

Butiran-butiran tasbih Mongaku bergemeretak ketika dia mengacung-acungkan tinjunya. Walaupuntelah lebih dari sepuluh tahun menjalani siksaan dan pembersihan jiwa, watak asli Morito, si pengawalmuda yang selalu berapi-api, hanya sedikit berubah. Luka akibat kisah cinta kelabunya telah nyarissembuh, namun pencarian panjang terhadap kedamaian jiwa tidak terlalu banyak mengubahnya.

Sekarang, api telah menyala di dalam dirinya; kebrengsekan dan kekotoran para pejabat telahmendorongnya untuk keluar dari keheningan Perbukitan Togano-o, tempatnya bermimpi akan bisamengembalikan sekte Tendai ke seluruh kemurniannya pada suatu hari nanti, dan tinggal di pondoktua yang pernah dihuni oleh Toba Sojo. Cerita-cerita tentang kebrutalan yang mengikuti PerangHogen, bagaimanapun, membawanya turun ke ibu kota, dan apa yang dilihatnya di sana membuatnyamengakui bahwa para guru agama dan pencerahan Buddhisme tidak berdaya melawan politik dankegilaan perang. Tetapi, Mongaku bukan jenis pendeta yang menarik diri dari dunia dan acuh

tak acuh pada perilaku tidak berperikemanusiaan antara sesama manusia atau penderitaan rakyatjelata.

Sementara Mongaku berteriak-teriak di halaman gerbang dalam, dua buah kereta sapi memasukigerbang luar, dan dua orang pejabat istana muda turun.

“Ada apa ini?”

“Seorang biksu kekar menjerit-jerit?”

Fujiwara Tsunemun6, sang pejabat istana, dan seorang bangsawan muda, Nobuyori, berhenti sejenakuntuk mendengarkan, lalu memasuki gerbang. Setengah tersembunyi oleh semak-semak di dekatgerbang dalam, mereka menunggu hingga Mongaku pergi.

Tsunemune, yang menghilang ketika perang pecah, muncul kembali di Istana segera setelah konflikberakhir, dan berusaha mengambil hati Perdana Menteri dan Penasihat Shinzei dengan berkunjung danmengucapkan selamat atas kemenangan mereka.

Tsunemune, walaupun tidak bermoral, memiliki bakat luar biasa dalam hal berbasa-basi danbergunjing, dipadukan dengan pesona dan kecerdasannya, dia mampu menyenangkan semua orangyang ditemuinya. Saat ini dia sedang menemani Nobuyori, yang menagih janjinya untukdiperkenalkan kepada Penasihat Shinzei. (“Shinzei adalah tokoh yang harus kautemui. Dialah tokohsaat ini. Tidak lama lagi, dia akan mengendalikan seluruh urusan negara.

Orangnya agak menjengkelkan, namun kau harus bertemu dengannya suatu hari nanti.”) Shinzei jugatelah memerhatikan Nobuyori dan lebih memilih untuk menemui bangsawan muda itu di luar Istana.

Melihat kedatangan kedua tamu tersebut, putra Shinzei yang hendak memerintah pelayannya untukmengusir

Mongaku, langsung mengambil tindakan sendiri. “Keluar!

Pulanglah!” serunya. “Kau dan tuduhan-tuduhan nistamu!

Sepatah kata lagi darimu dan aku akan menyerahkanmu kepada para prajurit.”

Tawa nyaring menyambut kata-kata Naganori. Mongaku tertawa terbahak-bahak. Di tengah-tengahpara pelayan yang mengerumuninya, dia berdiri tegak, merentangkan kedua tangannya lebar-lebar,memelototi mereka.

‘Tunggu, tunggu! Angkat tangan kalian! Lebih daripada segalanya, aku membenci kekerasan … danbukan kalian yang kutakuti, namun diriku sendiri jika aku lepas kendali!

Nah, tunggu! Biarkan aku mengucapkan sepatah kata lagi untuk majikanmu.”

Sorot tajam mata Mongaku berhasil menyingkirkan para calon penangkapnya, dan dia punmelanjutkan semburannya:

“Ya … Penasihat Shinzei, dengarkanlah dengan rendah hati perkataan Mongaku. Hentikanlahhukuman mati dan siksaan mulai hari ini … mulai saat ini juga! Akhirilah masa teror ini!Tunjukkanlah belas kasihan kepada musuh-musuhmu, atau pembalasan akan datang ke kepalamusendiri. … Walaupun kau berkuasa, apa gunanya jika orang-orang membencimu? Api neraka sendiriakan melalap rumahmu pada suatu hari nanti, dan kau akan dipaksa mendengarkan jeritan memilukansanak saudaramu. … jika kau meneruskan hukuman mati yang keji ini, aku sendiri akan datang untukmengikatmu ke roda api dan mengawalmu ke arena pemenggalan di tepi sungai …. Apa kaumendengarku, Shinzei … hah?”

“Pendeta kurang ajar! Berani-beraninya kau menghina Kaisar?”

Para pelayan Shinzei menusuk-nusuk kaki Mongaku dengan tombak mereka. Mongaku, melompat-lompat untuk menghindari serangan. Ketika para penyerangnya melihat ini, mereka menubrukMongaku, menjepit lengannya dan memegangi kakinya, sehingga Mongaku, yang kewalahan, tidaksanggup lagi melawan. Mongaku berbaring diam tanpa mengatakan apa-apa di bawah para pelayanyang menindihnya, terengah-engah. Ketika melihat bahwa mereka sedang berusaha mengikatnyadengan seutas tali, Mongaku meraung:

“Baiklah, aku akan berdiri,” dia pun berusaha bangkit, dengan mudah menepiskan para penyerangnya

seolah-olah mereka kurcaci.

“Jangan lepaskan dia,” seru beberapa orang prajurit yang menghalangi langkah Mongaku. Mendengarkeributan itu, lebih banyak lagi pelayan, dan bahkan para pawang kuda, berlarian ke tempat kejadian.Alih-alih berlari ke gerbang, Mongaku justru melompat ke beranda dan berdiri menantang.

Sebuah jeritan terdengar, “Dia pembunuh … jangan biarkan dia masuk!”

Mongaku mengulurkan kedua tangannya dan

mencengkeram seorang pelayan dengan masing-masing tangannya, lalu melemparkan keduanyamelewati langkan.

Dia menyambar kerah seorang pelayan lain dan membenturkan kepalanya ke tiang terdekat, hinggapria itu menjerit-jerit memohon ampun. Sebuah sekat ambruk dan sebuah kerai jatuh dari jendela.Kediaman mewah itu seolah-olah terguncang-guncang gara-gara keributan yang ditimbulkan olehMongaku, dan jeritan para wanita semakin memperkeruh keadaan. Mongaku mendadak munculkembali di beranda, memanggul buntalannya,

bertumpu pada tongkatnya, dan mengedarkan pandangan untuk mencari jalan keluar.

Ketika dia menghambur ke gerbang dalam, seseorang berseru, “Kau, yang di sana!” Mongakumenyingkir dengan kaku ketika sebuah lembing dilemparkan ke arahnya.

Mongaku menatap waspada ke gerbang luar dan sejumlah pedang dan tombak yang teracung kearahnya; beberapa kuntum bunga teratai, yang tumbuh di dalam sebuah bejana perunggu di sampinggerbang dalam, menarik perhatiannya.

Melemparkan tongkatnya, dia mengangkat tinggi-tinggi bejana berat itu. Air di dalamnya bercipratandan tumpah ke tanah. Takjub melihat keperkasaan Mongaku, lawan-lawannya mundur danmemerhatikannya. Mongaku berjalan terhuyung-huyung ke arah orang-orang yang menghadangnya digerbang luar dan, dengan tenaga luar biasa, melemparkan bejana itu sehingga dentangan nyaringlogam terdengar. Mongaku tertawa terbahak-bahak melihat para pelayan dan prajurit yangbermandikan air keruh dan bunga teratai. Kemudian, dia cepat-cepat menyelinap ke luar gerbang,masih sambil tertawa nyaring, dan segera menghilang dari pandangan.

Tsunemung dan Nobunori, yang berjongkok di balik semak-semak, terpukau menyaksikan aksiMongaku.

o0odwkzo0o

Lebih dari seratus orang bangsawan dan samurai dihukum penggal, namun tidak ada tanda-tandabahwa pelaksanaan hukuman mati akan dihentikan. Mayat Yorinaga berhasil digali dan dikenali.

“Seandainya aku masih Morito si pengawal, aku mungkin ditugaskan menggali mayat itu, ataubarangkali aku termasuk di antara mereka yang kepalanya dipenggal di

tepi sungai ….Ah, Kesa-Gozen, sayangku, kau memang penjelmaan malaikat pelindungku …. Kesa-Gozen!”

Cinta Mongaku kepada Kesa-Gozen tetap berkobar.

Mongaku telah menanggalkan seluruh cinta yang bersifat fisik dan mengabadikan wanita itu sebagaisosok suci di dalam hatinya. Selama lebih dari sepuluh tahun, dia berusaha menebus dosa-dosanyadengan menjalani siksaan yang hanya bisa ditanggung oleh segelintir manusia. Saat ini dia duduk ditepi Sungai Kamo, di samping sebuah api unggun kecil yang dinyalakannya di bawah langit berbintangdi bulan Agustus. Seorang diri … namun tidak sepenuhnya sendirian, karena jiwa Kesa-Gozenmendampinginya. Mengambil kuas dan tinta dari dalam buntalannya, Mongaku menuliskan doa-doa dibebatuan di sekelilingnya, doa-doa bagi mereka yang gugur di medan perang. Dia berharap agar parapejalan kaki yang melihat bebatuan ini … sepuluh ribu orang, sumpahnya, akan meneruskan doanya… akan berhenti dan dengan khusuk menambahkan doa-doa mereka kepada para pahlawan yang telahgugur.

Selama tiga hari dia bersembunyi karena mendengar bahwa Penasihat Shinzei telah memerintahkanpenangkapannya. Sembari memunguti batu demi batu, dia sesekali menuliskan nama mendiangtemannya di samping sebuah doa ….Ah, kehidupan, karma … segala sesuatu yang tampak pastimengalami perubahan. Bagaimanakah manusia bisa melarikan diri dari karma?

“… Masih banyak. Sisanya harus menunggu hingga besok malam,” gumam Mongaku, memasukkanalat-alat tulisnya ke dalam buntalan. Dia membasuh wajahnya dengan air sungai dan bersiap-siappergi, ketika dilihatnya seseorang yang berpenampilan suram menghampirinya.

Mongaku naik ke tanggul di bawah fajar yang mulai

merekah. Sosok diam itu mengikutinya. Mongaku menoleh kepada sosok yang menyerupai hantu itu.Dia berperawakan kecil dan berpenampilan dekil. Seorang mata-mata? Mongaku berjalan, dan sosokitu membuntutinya.

“Aku berterima kasih dari lubuk hatiku yang terdalam

….Ada banyak jiwa yang melayang tanpa ratapan di tepi sungai ini, dan tidak ada tempat yang merekatuju selain surga…. Aku berterima kasih untuk kepedihanmu.” Sambil mengulang-ulang ucapanterima kasihnya, sosok kecil yang aneh itu berjalan dengan ceria dan mengejar Mongaku.

“Apakah kau salah satu penduduk di dekat sini?” “Tidak

….”

“Mengapa kau berterima kasih kepadaku?”

“Kita memiliki perasaan yang sama. Tidak ada yang lebih membahagiakanku daripada menemukanorang lain yang bisa berbagi perasaan denganku.”

“Oh? Kalau begitu, apakah dirimu salah seorang yang terancam hukuman?”

“Barangkali. Atau seseorang yang sejenis.”

“Aku harus menanyakan sesuatu kepadamu. Apakah kau bisa mendermakan sebagian uangmupadaku?”

“Maaf, tapi aku tidak membawa uang sekarang. Kau boleh memiliki apa pun yang kumiliki, kecualikehidupanku.”

Mongaku tertawa, “Kau akan memberikan segala yang kaumiliki kepadaku … ” lalu terdiam untukmengamati sosok bertelanjang kaki itu di bawah cahaya fajar. Seorang pengemis, pikirnya, jika dilihatdari kimono dan celananya yang compang-camping. Dia tidak mengenakan topi, dan

rambutnya gimbal. “Aku enggan meminta apa pun kepadamu, untuk saat ini … **

“Jangan, kumohon, katakan saja kepadaku. Jika ada yang bisa kulakukan untukmu, aku akanmenghabiskan hariku dengan bermakna.”

‘Tidak banyak … hanya sedikit makanan. Sejujurnya, aku belum makan apa pun sejak kemarin pagi.”

“Ah, makanan, ya?” Pria kecil itu tampak bingung, lalu dengan nada menyesal berkata, “Aku harusmengakui bahwa aku tidak punya atap untuk berlindung sejak perang pecah, dan aku tidak tahu dimana aku akan mendapatkan makanan pagi ini. Aku menjaga kesehatan jiwa dan ragaku denganmeminta-minta … tapi, aku yakin akan bisa menemukan sesuatu untukmu nanti. Maukah kaumenunggu hingga aku kembali di dekat sumur di reruntuhan Istana Mata Air Dedalu?”

Mongaku menyesal dan cepat-cepat menarik kembali permintaannya, namun pria kecil itu telahberlari dengan ceria menyusuri jalan dan berbelok di persimpangan.

Mongaku segera berangkat ke reruntuhan Istana Mata Air Dedalu. Tempat itu sepertinya bisa menjaditempat persembunyian yang bagus, karena dia tidak bisa kembali ke pertapaannya di perbukitan dansangat kesulitan mencari tempat untuk tidur. Setibanya di Istana Mata Air Dedalu, dia tidakmenemukan sedikit pun sisa-sisa keindahan tempat itu … pecahan ubin dan batang-batang pohonberserakan di mana-mana. Sampah dan bangkai-bangkai burung mengambang di permukaan kolamyang keasriannya pernah termahsyur. Bagaimanapun, dia melihat bahwa pekarangan di sekelilingMata Air Dedalu telah disapu dan dibersihkan, dan pecahan papan ditata di sekeliling sumur untukmenjaga agar dedaunan yang tertiup

angin tidak jatuh ke sana. Khawatir akan mengotori tempat itu, Mongaku menepi ke bawah pepohonandan melihat sebuah gubuk yang dibangun dari bilah-bilah papan yang telah menghitam. Diamenurunkan buntalannya dan menggelar tikarnya untuk tidur. Sepertinya dia terlelap selama beberapawaktu, karena seseorang tiba-tiba mengguncang tubuhnya.

“Bangunlah, Tuan. Bangunlah, Tuan.”

Mongaku membuka mata. Matahari telah tinggi. Si pria kedi telah kembali. Dia menata bilah-bilahpapan untuk dijadikan meja dan menyajikan hidangan yang terdiri atas nasi, ikan asin, acar, dansedikit pasta kacang-kacangan di atas daun ek dan keladi.

“Bagus, Tuan. Makanan telah siap. Bagaimana jika kau bangun dan mulai makan?” kata pria itu,membungkuk dalam-dalam kepada Mongaku.

Mongaku menatap heran kepada sosok yang sedang membungkuk dengan penuh hormat kepadanya,lalu pada makanan yang disajikan di atas daun, dan air matanya seketika merebak. “Ini … kaumendapatkan semua ini dengan meminta-minta?”

“Aku tidak akan berbohong. Itulah tepatnya yang kulakukan … tapi, semua makanan ini bersih.Orang-orang termiskin, yang kesulitan memenuhi kebutuhan mereka sendiri, bersedia membagisedikit makanan yang mereka miliki kepada si pengemis ini, yang merapalkan satu ayat pun kesulitan.Yang harus kulakukan hanyalah mengetuk setiap pintu dengan tangan terlipat Penghargaan yangcukup bagiku jika dirimu, seorang pria suci, mau menyantap hidangan ini, dan aku yakin bahwa orang-orang yang memberikan makanan ini kepadaku akan merasakan hal yang sama, jika mereka tahu.Kumohon, makanlah.”

Mongaku duduk diam dengan mulut terkatup rapat; akhirnya, dia mengangkat sepasang sumpit danberkata,

“Terima kasih. Tetapi, kau juga tidak memiliki makanan.

Aku yakin, kau belum makan sedikit pun hari ini. Kau harus menyantap hidangan ini bersamaku.”

Pria kecil itu menggeleng, namun akhirnya mengalah, dan keduanya perlahan-lahan menghabiskanmakanan itu.

“Asatori … Asatori si juru kuna!”

Seorang gadis pelayan muncul membawa sebuah ember kayu.

“Kaukah itu.Yomogi? Kau memerlukan air?”

“Ya, aku datang lagi untuk meminta air dari sumurmu.

Orang-orang tidak mau memberi air kepada siapa pun yang dekat dengan majikanku, Nyonya Tokiwa.Beberapa orang malah melempari rumah kami dengan batu selagi lewat”

“Tunggu, biar aku saja yang mengambilkan air untukmu,” seru Asatori, segera berlari menghampirigadis itu.

Ada banyak cerita yang terdengar mengenai para prajurit yang membuang berbagai macam sampah kedalam sumur, atau bahkan mayat Sumur di rumah si gadis adalah salah satu yang tidak bisadimanfaatkan lagi, sehingga dia harus mencari air ke tempat lain. Mongaku pernah mendengar bahwaTokiwa adalah gundik Yoshitomo, dan bahwa orang-orang memperlakukan Yoshitomo dengan jahat

Sejak hari itu, Mongaku tinggal bersama Asatori di gubuk kecilnya, berbagi kehidupan aneh sebagaipeminta-minta. Keduanya kerap duduk di bawah cahaya bulan di reruntuhan Istana, merenungkanserba-serbi kehidupan di sekeliling mereka dalam keheningan yang tidak tersentuh oleh alunan musikdan kemeriahan.

Asatori pergi mengemis pada siang hari, dan Mongaku pada malam hari.

Pada suatu malam, Mongaku pulang lebih cepat dengan membawa seguci sake dan menyampaikanbahwa dia telah memutuskan untuk pergi ke perbukitan di wilayah Air Terjun Nachi. Sake itu, yangdidapatkannya dari kenalannya di sebuah kuil, dibawanya untuk pesta perpisahan mereka. Diaberterima kasih untuk kebaikan Asatori, mengatakan bahwa malam ini adalah gilirannya untukmenjamu Asatori.

Asatori kecewa ketika mendengar kabar itu. Dia memprotes, “Tapi, ini terlalu berlebihan untuk orangseperti aku,” namun dia terus menenggak secangkir demi secangkir sake hingga cukup mabuk.

“Ah … aku benar-benar tersanjung. Mongaku yang baik, jika kita diberi kesempatan untuk bertemulagi, kuharap tempatnya tidak di tengah reruntuhan seperti ini, dan aku akan mendengarkan baik-baikceramah agamamu.”

“Ah, Asatori, kau tidak perlu mendengarkan khotbahku.

Pengabdianmu dalam menjaga Mata Air Dedalu telah membahagiakanku. Kau merebut kekagumankudengan kesetiaanmu dalam menjalankan tugasmu walaupun majikanmu telah pergi. Sungguh senanghatiku saat mengetahui bahwa orang sepertimu ternyata ada di dunia ini.”

“Oh, tidak, pekerjaan ini memang cocok untuk seorang bodoh sepertiku. Dalam masa susah ini, akutidak sedikit pun berminat untuk bermain musik seperti yang pernah diajarkan oleh ayahku.”

“Jika semua masalah ini telah berakhir, para bangsawan di rumah mewah mereka dan para pejabatistana akan melanjutkan kebiasaan mereka berpesta setiap malam

dengan diiringi musik, dan jika kau kembali menjadi pemain musik di istana, betapa indah danmudahnya kehidupanmu nanti!”

“Aku sudah muak menjadi peliharaan para bangsawan.

Jika permainan seruling dan bangsiku benar-benar menghibur mereka.

maka aku akan dengan senang hati tampil di hadapan mereka dan bersedia disebut sebagai pemainmusik; tapi, itu jarang terjadi karena di tengah seluruh pesta dan kemeriahan itu, aku terlalu seringmelihat persaingan, kedengkian, dan intrik-intrik yang mengenaskan.”

“Ya, aku bisa memahami bagaimana para pemain musik menjadi orang luar yang menyaksikan parapenguasa mabuk-mabukan dan bersikap tidak masuk akal.”

“Ayahku sering bercerita tentang pekerjaannya sebagai pemain musik dan tugasnya mengiringi parageisha genit menghibur para pejabat istana.”

“Maksudmu, kau lebih memilih untuk hidup miskin dengan menjaga mata air ini? Aku setujudenganmu dalam hal ini. Kau sebaiknya memanfaatkan bakatmu untuk menolong rakyat jelata.”

“Aku ragu apakah musik yang biasa kumainkan di Istana bisa menghibur rakyat kecil Tapi, tentunyaada cara untuk menjadikan harmoni itu cocok bagi mereka.”

“Ayolah, Asatori, tidak maukah kau memainkan sesuatu untukku dengan serulingmu itu?”

Permintaan Mongaku mengingatkan Asatori pada janji Mantan Kaisar yang belum terpenuhi, dan diamenjawab,

“Maafkan aku karena menolakmu. Ada sangat banyak kenangan menyedihkan yang ditimbulkan olehserulingku, dan aku tidak bisa memainkannya tanpa menangis. Suasana

ceria yang dihadirkan oleh sake ini akan lenyap, dan yang akan tersisa hanyalah perasaan kesepianku.”

Mongaku tidak mendesak Asatori. Ada bunyi-bunyian manis lain yang bisa menenangkan pikiran dantelinganya, karena di sekelilingnya, di rerumputan di antara reruntuhan, jangkrik-jangkrik mengerik,mendering, dan mengetuk-ngetuk. Bulan menggantung tinggi di langit malam di atas mereka.

“Apakah ini akhir dari pertikaian?”

“Kurasa tidak.”

“Kau yakin bahwa perang akan pecah lagi?” Asatori bergidik.

“Perang akan terus terjadi hingga manusia belajar untuk menghilangkan keserakahan dan kecurigaandari hati mereka,” jawab Mongaku. “Selama anak masih meragukan ayah mereka, dan ayahmeragukan anak mereka, tidak ada yang bisa menghentikan sanak saudara menjadi musuh bebuyutan.Selama majikan, pelayan, dan teman-teman tidak saling memercayai, maka tanpa pertumpahan darahsekalipun, kehidupan di dunia ini akan menjadi neraka. Di perang terakhir ini, api neraka sendiri akanmenjangkau kita.”

“Kelihatannya perang sudah berakhir.”

“Tidak, ini hanyalah awal dari sesuatu yang jauh lebih mengerikan. Kekejian Penasihat Shinzei adalahjaminan bagi datangnya masa depan yang lebih buruk. Kau akan melihat sendiri bagaimana iblismenghantui ibu kota ini.

Pikiran itu membuatku ketakutan.”

“Apakah penyebab utama semua ini adalah kejahatan Shinzei?”

“Penyebabnya lebih jauh dan dalam, dan bukan Shinzei seoranglah yang bertanggung jawab.Kejahatan juga ada di dalam diriku … di dalam dirimu.”

“Di dalam diriku … dirimu?”

“Ketahuilah, Asatori … manusia adalah makhluk yang paling menyusahkan. Misalkan saja seseorang

datang dan menumpahkan sake yang sedang kita nikmati ini. Apakah menurutmu kita akan diam saja?Atau, bagaimana jika seseorang merampas seruling berhargamu, bukankah kau akan berusahamerebutnya kembali? Kita berdua adalah manusia sebatang kara yang tidak terikat pada keluarga,namun jika bukan begitu keadaannya, kita akan menjadi korban cinta buta, dan dalam kebutaan itu,siapa yang mengetahui apa yang akan kita lakukan? Kalaupun kita bebas dari segala ikatan, diri kitamasih bisa dihancurkan oleh hawa nafsu dan kecintaan kepada diri sendiri.

Tidakkah ajaran Buddha mengatakan bahwa manusia bisa menjadi dewa ataupun iblis secarabergantian, bahwa manusia adalah makhluk berbahaya yang tak henti-hentinya terjepit di antarakebaikan dan kejahatan?

Pangeran atau rakyat jelata sama

benarnya, mereka yang hidup dalam kelebihan atau kekurangan … dan dunia terdiri dari keduanya.Tidak heran jika satu kali salah langkah bisa berujung pada pertumpahan darah.”

“Apakah jika semua manusia jahat, berarti tidak ada seorang pun yang baik?”

“Dunia akan aman jika semua manusia menganggap diri mereka jahat. Aku harus mengatakan bahwaaku juga jahat, dan bahwa aku bisa dengan mudah membiarkan perasaanku menghanyutkanku.”

“Apakah ini berarti kita dikuasai oleh kekuatan jahat?”

“Tidak diragukan lagi. Tetapi, kekuasaan adalah racun yang lebih mematikan. Daya tarik kekuasaanbagi manusia merupakan sebuah misteri. Siapa pun yang pernah mengecap tampuk kekuasaan tidakakan bisa menghindar dari menciptakan sengketa atau membiarkan dirinya hanyut di dalamnya.Bukankah kita sudah melihat sendiri bagaimana para tokoh terbesar dan wanita tercantik sekalipun,atau bahkan seorang kaisar yang berumur tiga tahun, menjadi boneka dalam perebutan kekuasaan ini?…

Bahkan orang-orang suci di gunung mereka yang menggembar-gemborkan tentang penebusan dosatidak terbebas dari keserakahan terhadap gelar dan kekuasaan.

Tidak, bahkan para geisha di Eguchi dan pedagang di pasar, atau para pengemis …. Kita memangmakhluk yang betul-betul menyusahkan!”

Mongaku, terhanyut dalam renungannya mengenai kebodohan manusia, tanpa sadar menenggakbercangkir-cangkir sake yang dibawakannya untuk temannya. Asatori mendengarkannya sambil lalu.Berbagai hal yang disampaikan dengan menggebu-gebu oleh Mongaku sepertinya tidak bisaditemukannya di dalam dirinya sendiri. Renungan Mongaku terdengar seperti pengakuan seseorangyang tak henti-hentinya bergulat dengan iblis-iblis di dalam dirinya.

Keduanya segera tertidur. Ketika malam telah setengah berlalu, Mongaku terbangun danmempersiapkan keberangkatannya. Memanggul buntalan dan membawa tongkatnya, dia berjalanmenuju sungai, menyeberanginya selagi permukaannya masih dangkal, dan

menghilang dalam kegelapan. Asatori menyertai temannya hingga tiba di tepi sungai danmenyaksikannya menjauh sebelum kembali ke reruntuhan Istana. Ketika berbelok menuju salah satu

jalan raya, Asatori melihat arak-arakan panjang penunggang kuda dengan obor-obor menyalamendekat ke arahnya. Merasakan nyalinya menciut, Asatori berlari kembali ke gubuknya danbersembunyi, gemetar. Tetapi, dia tidak bisa tidur kembali karena tersiksa oleh kegelisahan. Dia telahberhari-hari memikirkan Mantan Kaisar dan kelanjutan nasibnya. Ke mana pun dia pergi meminta-minta, didengarnya desas-desus bahwa pihak yang berwenang sedang bersiap-siap untuk mengurusMantan Kaisar; bahwa Kaisar tidak bisa lagi menahan dan menghukum saudaranya, Sutoku, yang telahmenjalani penahbisan dan menyepi di Kuil Ninna-ji, atau bahwa Kaisar akan memindahkan Sutoku kesebuah kuil yang lebih jauh dari ibu kota. Ada pula rumor yang mengatakan bahwa pertemuan rahasiapara pejabat tinggi telah diselenggarakan untuk memutuskan nasib Sutoku.

Asatori tiba-tiba menegakkan badan. Mungkinkah arak-arakan itu menuju Kuil Ninna-ji? Diamemandang bintang-bintang di langit menjelang pagi, lalu bergegas bangkit dan berlari ke jalan. Diamelewati jalan pintas di belakang Akademi dan tiba di ruas jalan raya lain, tempatnya melihat arak-arakan yang sama, yang menyerupai kaki seribu berpendar, merayap melewati gerbang kota menujuKuil Ninna-ji di utara.

o0odwkzo0o

Sehari sebelumnya, utusan Kaisar tiba di Kuil Ninna-ji dan menemui Mantan Kaisar, Sutoku, untukmengatakan,

“Saya hendak menyampaikan perintah dari Kaisar. Besok, tanggal 23, Anda akan diberangkatkan keSanuki. Anda hanya memiliki waktu semalam untuk menyelesaikan urusan Anda dan mengucapkanselamat tinggal. Anda harus menunggu kedatangan para pengawal Anda.”

Pengasingan! Hati Sutoku mencelus ketika dia mendengar kata itu. Pengasingan di seberang laut!Sutoku

memohon agar diizinkan untuk berbicara dengan Kepala Biara. Pada tengah malam, Kepala Biaradatang, dan Sutoku mencurahkan kerisauannya akan nasib putranya.

Dia juga memohon kepada Kepala Biara untuk mendatangkan Pangeran ke biara dan melakukanpenahbisan kepadanya. Tergerak oleh kata-kata mengharukan Sutoku, Kepala Biara menyetujuipermohonannya.

Tiga orang wanita bangsawan, pengiring yang masih diizinkan oleh Sutoku untuk mengabdikepadanya, belum rampung mempersiapkan kepergian mereka ketika ringkikan kuda, teriakan parapawang dan prajurit, dan derak roda kereta terdengar di luar gerbang. Obor-obor kayu pinus berasapmenerangi pagi buta itu dengan nyala terang benderang. Gerbang-gerbang terbuka dan kesibukan parabiksu segera terlihat. Seberkas demi seberkas cahaya pucat terlihat begitu lilin-lilin dinyalakan. Duaorang samurai tiba di bilik Sutoku, mengatakan bahwa mereka adalah pengawalnya dan akanmembawanya ke kereta yang telah menunggu. Di bawah temaram fajar, para biksu, pria dan wanitapelayan, dan buruh tani yang mengerjakan tanah milik kuil berbaris di jalan masuk dan memadatigerbang untuk menyampaikan rasa duka. Di antara mereka, berdirilah Asatori, yang melongok agarbisa melihat majikannya untuk terakhir kalinya. Tetapi. Sutoku tidak terlihat oleh Asatori karenajendela-jendela keretanya ditutupi kayu. Sementara arak-arakan samurai dan petugas menjauh, parapenonton membubarkan diri sehingga hanya Asatori seorang yang tersisa, memandangi punggung parapenunggang kuda. Kemudian, Asatori mengejar mereka, tersuruk-suruk di belakang arak-arakan.

Untuk menghindari ibu kota, arak-arakan tersebut melewati jalan becek di sisi barat, melewatiGerbang

Rashomon, dan berbelok ke selatan, di dekat Fukumi dan Kuil Anrakuju-in. tempat Sungai Kamo danSungai Katsura bertemu dan membentuk Sungai Yodo. Seluruh ibu kota masih tertidur lelap pagi itu.

Tiga buah perahu tertambat di dermaga di Yodo.

“Mereka terlambat Mereka seharusnya sudah tiba sejak tadi,” gerutu seorang samurai yang mengawalGubernur Sanuki.

“Mereka datang,” seru seorang nakhoda.

“Di mana? Aku tidak melihat mereka.”

“Tidakkah kau melihat para nelayan berseru-seru senang?”

Sejenak kemudian, dua buah kereta yang diapit oleh samurai-samurai berkuda tiba. Gubernurmenyambut mereka. “Kalian datang lebih lambat daripada waktu yang telah disepakati. Inimerisaukan kami, yang mengandalkan pergerakan kami pada pasang surut air dan embusan angin.

Pastikan agar rombongan ini langsung berangkat”

Para nakhoda dan awak perahu bergegas mengatur kemudi, melonggarkan tali-tali, dan salingmeneriakkan perintah di tengah deru angin pagi. Salah seorang pengawal Sutoku sepertinya sedangterlibat dalam perdebatan panas dengan sang gubernur.

“Sekitar tiga ratus orang pengiring, katamu?”

“Lagi pula, beliau bukan tahanan biasa.”

“Walaupun begitu … banyak sekali. Hanya ada ruang untuk beliau dan tiga orang pelayan.”

“Mungkin saja, tapi kami diperintahkan untuk mengawal beliau. Berapakah perahu yang telah Andasiapkan?”

“Seperti yang kaulihat sendiri … satu untuk si tahanan dan pelayannya. Dua untuk para petugas danprajurit Mustahil untuk membawa tiga ratus orang. Kami bisa membawa dua puluh orang … tidaklebih. Tidak ada ruang lagi.”

Perdebatan semakin panas, dan akhirnya disepakati bahwa dua puluh orang samurai akan menyertaiSutoku; kedua pengawalnya kemudian berpamitan dengan Sutoku di sana. Tiga orang pengiringSutoku masuk terlebih dahulu ke perahu, diikuti oleh majikan mereka. Kabin sempit itu dilengkapidengan dua buah jendela kecil dan hanya sehelai tikar kasar di lantainya. Di dalam kabin, udaralembap dan berbau apak, dan serangga-serangga menjijikkan merayap ke sana kemari. Sang gubernur,yang perahunya telah lebih dahulu berangkat, berseru, “Kunci pintu kabinnya, kita berangkat!”

Teriakan tiba-tiba terdengar ketika seorang nakhoda menemukan seorang pria aneh bertubuh kecilbersembunyi di antara sebuah lemari geladak dan kabin, dan menyeretnya keluar denganmencengkeram tengkuknya. Si nakhoda, setelah mengamati pria itu lekat-lekat, menghardiknya,“Dasar pengemis sungai! Apa maksudmu dengan menyelinap kemari dan bersembunyi? Apa kau perisungai? Pasti begitu … kau memang makhluk sungai!” Si nakhoda pun melempar pria itu ke sungai.Orang-orang di kedua perahu lainnya bersorak sorai dan tertawa terbahak-bahak menyaksikan adeganini. Mendengar ceburan, Sutoku mengintip dari jendela dan melihat Asatori menggapai-gapai dipermukaan sungai. Asatori meneriakkan sesuatu, namun arus sungai yang deras menjerat danmenyeretnya.

Perjalanan laut yang berat itu berakhir pada 15 Agustus, ketika ketiga perahu nelayan kecil tersebuttiba di pesisir

timur laut Pulau Shikoku di dekat Sakad6. Sutoku dan ketiga pelayannya disambut oleh sipir mereka,seorang petugas baik hati yang membawa mereka ke sebuah kuil di wilayah perbukitan. Di sana,Sutoku tinggal selama tiga tahun hingga dipindahkan ke tempat yang lebih jauh lagi, di tengah

perbukitan wilayah selatan.

Di antara penduduk ibu kota yang bersedih mendengar kepergian mendadak Sutoku adalah Saigyo, sibiksu penyair (Sato Yoshikiyo), yang telah dengan cerdik berhasil mengirim sebuah puisi kepadaSutoku di tempat pengasingannya melalui sipirnya yang baik hati.

Pada suatu malam musim gugur, Sutoku meletakkan kuasnya dan berbicara kepada salah seorangpengiringnya:

“Aku mendengarnya malam ini, dan sepertinya aku mendengarnya lagi … mustahil jika aku hanyamembayangkannya. Apakah kau juga mendengarnya?”

Bunyi itu terdengar lagi … tidak salah lagi, alunan seruling … dan sepertinya mendekati mereka.

“Apakah kau mengenal seseorang di daerah ini yang pintar bermain seruling? Aku bertanya-tanya,siapakah dia?”

“Musik yang sungguh indah!”

“Keluarlah diam-diam untuk mencari tahu. Pasti seseorang telah melihat nyala lilin ini ….Tidakmungkin jika dia salah seorang pengawal.”

Wanita itu menyelinap keluar dan berlari ke pos pengawal, lalu mengetuk pintunya dengan lembut.Seorang pengawal keluar, dan wanita itu bercerita tentang apa yang didengarnya. Si pengawalmendengarkan dengan penuh perhatian dan menjanjikan kepadanya untuk

mempertemukannya dengan si pemain seruling misterius itu, ketika seorang peziarah muda tiba-tibamuncul, membawa sebuah seruling. Pemuda itu menjawab pertanyaan yang diberikan kepadanya.

“… Ya, ya. Saya melakukan perjalanan ziarah dari Shikoku dalam dengan harapan bahwa kesempatanakan membawa saya kemari, tempat musik saya akan menenangkan sang Mantan Kaisar yang sedangberada dalam pengasingan. Saya telah sangat lama berdoa agar beliau bisa mendengarkan alunanseruling ini. Nama saya Asatori. Saya berasal dari keluarga pemain musik istana, namun sayameninggalkan pekerjaan saya untuk mengabdi selama bertahun-tahun kepada Yang Mulia sebagai jurukunci Istana Mata Air Dedalu.”

Ketika mendengar namanya, sang wanita pengiring, yang telah sering mendengar Sutokumembicarakan tentang Asatori, bergegas menyampaikan kabar itu.

“Asatori? … Jadi, ternyata Asatori yang meniup seruling itu!” seru Sutoku, cepat-cepat keluar keberanda dan duduk di sana. Beranda itu menjorok di atas sebuah kolam yang ditumbuhi bunga-bungateratai, dan Asatori, yang dilarang melintasi jembatan lengkung di atasnya, berdiri cukup jauh diantara rerumputan tinggi. Bayangan bulan tampak di permukaan air.

Mereka bertukar pandangan tanpa berkata-kata, dan Sutoku menyesal karena tidak pernah memenuhijanjinya kepada Asatori … bahwa dia akan mendengarkan permainan serulingnya di bawah cahayabulan. Tetapi, Asatori tidak melupakannya. Dia telah mengarungi laut yang ganas dan menghadapibahaya yang tak terhitung banyaknya demi menemukan dirinya. Asatori juga menolongnya diperbukitan ketika dia melarikan diri dari Shirakawa.

Asatori hanya sanggup meneteskan air mata; kemudian, menempelkan serulingnya ke bibir, dia mulaimeniup, mencurahkan seluruh hatinya ke dalam nada-nada yang mengalun indah.

Bulan telah tenggelam. Matahari mulai mengintip, dan alunan seruling sudah tidak terdengar lagi.Setelah berpamitan kepada Sutoku, Asatori bertolak dari tempat itu, berulang kali menoleh kebelakang.

Sejauh yang diketahui umum, Asatori adalah satu-satunya orang yang pernah mengunjungi MantanKaisar Sutoku di pengasingan. Pada Agustus 1146, Sutoku wafat dalam usia empat puluh enam tahun,dalam keadaan hancur secara jiwa dan raga. Pada awal musim dingin tahun berikutnya, seorangpeziarah berdiri di samping sebuah batu nisan di perbukitan Shikoku; dia adalah Saigyo, yangmemulai sebuah perjalanan ziarah dari ibu kota pada musim gugur.

o0odwkzo0o

Bab XIX-SEBUAH KEDAI TEH DI EGUCHI

Menjelang tengah hari pada akhir November 1159, tiga orang samurai muda memacu kuda mereka ditepi Sungai Yodo. Ilalang layu membentang hingga bermil-mil di sekeliling mereka bagaikan asapyang menggantung rendah, dan sejauh mata memandang, awan gelap bertemu dengan permukaansungai yang kelabu. Matahari siang itu tampak bagaikan titik terang benderang di langit yang kusam.

“Ho-hoy … Jiro! Berhentilah berpura-pura kau tahu jalan. Apa kau yakin kau mengambil belokanyang benar?”

“Baiklah, baiklah. Kita baru saja melewati Perbukitan Tenno dan pasti berada di Jalan Raya Yamazakisekarang.

Kita akan tiba di Akutagawa dengan mengikuti kaki perbukitan.”

Tota dan Juro, yang memacu kudanya cukup jauh di belakang Jiro, meledek, “Jiro sepertinya tahubanyak tentang ini, ya? Katamu ini perjalanan pertamamu, tapi kau sudah mengenal jalan ini denganbaik”

“Oh, begitukah? Jadi kau sudah merencanakan ini dan baru terpikir untuk mengajak kami, ya?”

“Kau pembohong, Tota! Bukankah kau yang merengek-rengek terus padaku untuk pergi ke Eguchi danmenghabiskan malam disana dengan menonton para geisha beraksi?”

“Bukan, itu Juro, pemuda kota kita, yang tahu banyak soal geisha!”

“Hei.Tota! Berhati-hatilah dengan perkataanmu!

Juro tergelak. “Sudah, sudah, jangan saling menyalahkan! Jiro sepertinya sama sekali tidakkeberatan!”

“Sepertinya salju akan turun lagi sebelum malam tiba.

Mari kita berharap agar salju turun setelah kita tiba di Eguchi.”

Para penunggang kuda itu mendadak berhenti untuk mendengarkan lenguhan angsa-angsa liar yangterbang di kejauhan.

Keahlian berkuda mereka menunjukkan bahwa ketiganya, walaupun datang dari ibu kota, adalahsamurai yang mengenal baik wilayah timur Jepang. Kecuali Jiro, yang lainnya datang ke ibu kotauntuk memenuhi perintah Yoshitomo dan ambil bagian dalam perang di Shirakawa.

Jiro terlambat datang, namun tetap tinggal di Kyoto berdasarkan perintah Jenderal Yoshitomo danbergabung dalam Pasukan Pengawal Berkuda.

Dua tahun setelah Perang Hogen, banyak perubahan terjadi di Kyoto. Istana Kaisar telah dipugar.Menteri-menteri baru ditempatkan di berbagai departemen, dan undang-undang baru mulai dijalankan.

Upacara-upacara tradisional, yang telah diabaikan selama lebih dari seabad, diselenggarakan kembali;Akademi Musik dan pelatihan untuk penari istana dibuka kembali. Pertandingan sumo kembalidiadakan di taman Istana seperti sebelumnya, dan nuansa perdamaian telah kembali, ketika tanpaperingatan dan penyebab yang jelas, Kaisar Goshirakawa tiba-tiba digulingkan dari tahtanya dandigantikan oleh Kaisar Nijo.

Mendekati akhir November, ketika kebosanan merundung rentetan kegiatan resmi di Istana, parapengawal mendapatkan cuti secara bergiliran; sekarang adalah giliran ketiga samurai ini, yang telahsangat banyak mendengar tentang kecantikan luar biasa para geisha di Eguchi. Khawatir akandianggap kampungan oleh rekan-rekan mereka sesama pengawal, mereka membuat rencana untuksemalam di Eguchi, di dekat mulut Sungai Yodo.

Sungai Kamo dan Katsura bertemu beberapa mil di selatan Sungai Yodo membentuk sebuah delta diNaniwa.

Banyak di antara kapal yang membawa muatan untuk Kyoto, perahu nelayan, dan perahu dari timurdan barat yang singgah di Nakiwa, dengan kampung nelayan di tengah padang ilalangnya. Eguchi,yang terletak cukup dekat dengan mulut sungai, adalah sebuah desa yang dipenuhi oleh penginapan,kedai teh, dan rumah bordil.

Para pengunjung dari Kyoto biasanya singgah di Eguchi dalam perjalanan tamasya air, namun ketigasamurai tersebut tidak memiliki waktu untuk bersantai-santai.

“Jadi, inilah Eguchi dan kedai-kedai tehnya!”

“Lebih ramai daripada tempat-tempat lainnya yang kita lewati

“Sekarang, kita harus mencari tempat untuk menginap.”

Para samurai itu turun dan menuntun kuda mereka dengan kecewa di sepanjang jalan utama,mengamati setiap rumah yang mereka lewati. Wajah-wajah sepucat bunga bakung mengintip daribalik jendela-jendela berjeruji yang tampaknya hanya seukuran sangkar burung. Sesekali, merekamelihat para geisha di bilik-bilik kecil di balik pagar, berjongkok di dekat tungku-tungku tanah liat,memasak atau mengipasi bara. Semakin jauh mereka melangkah, bagaimanapun, rumah-rumah yangmereka lewati tampak lebih anggun dan mewah. Mereka melihat beberapa orang wanita dengansanggul berhias bunga krisan musim dingin.

Beberapa wanita lain yang mengenakan topi lebar atau mantel rapat melewati mereka, mendampingipara tamu yang baru saja mendarat. Dari suatu tempat di atas mereka, di lantai kedua sebuah rumah,terdengarlah petikan harpa, dan air yang bergemericik di selokan samar-samar mengeluarkanwewangian.

Menjelang senja, ketiga samurai itu menambatkan kuda mereka di luar sebuah rumah yang lebihmenyerupai rumah peristirahatan seorang bangsawan daripada Kedai teh.

Rumah ini terdiri dari beberapa ruangan yang dipisahkan oleh taman-taman kecil. Sebuah berandaberlangkan yang berpemandangan Sungai Yodo menjorok ke luar dari salah satu sisi rumah.

“… Sake, makanan-nah, bagaimana dengan ge.sha?

“Kau harus memintanya secara khusus.”

“Bukankah tempat ini lebih mirip dengan rumah seorang samurai ‘

“Tidak ada gunanya menginap di dekat sebuah keda, teh jika kita harus memikirkan kelakuan kita.”

“Tidak ada geisha-apakah kita harus menghibur diri sendm?

“Tunggu, aku akan memeriksanya.”

Tota keluar dari kamar mereka dan kembali sejenak kemudian. “Mereka akan datang kemari …sebentar lagi.”

“Datang kemari? Akhirnya … ”

“Gadis-gadis itu tinggal di sayap lain rumah ini bersama si nyonya rumah … seorang biksuni.”“Seorang biksuni, katamu?”

“Sepertinya begitu. Kudengar mereka lumayan memilih-milih tamu mereka. Sepertinya merekamenganggap kita orang terhormat” “Ini payah. Kita tidak akan bisa bersenang-senang.” “Jangan buru-buru mengeluh. Kita harus melihat gadis-gadis itu terlebih dahulu.”

Para geisha segera muncul dalam balutan kimono melambai berwarna-warni. Perangai, tatananrambut, dan rias wajah berlebihan mereka mengingatkan para pemuda itu pada gadis-gadis istana.

Perhiasan-perhiasan yang mereka kenakan menunjukkan bahwa para saudagar, yang sering melakukanpertukaran barang dengan para penyelundup dari Cina, merupakan langganan tetap tempat ini.

Juro, yang tertua di antara ketiganya, bertanya,

“Siapakah nama kalian?”

“ … Senzai.”

“… Kujaku.”

“… Ko-Kannon.”

Alih-alih hanya semalam seperti yang telah mereka rencanakan, samurai itu menginap selama tigamalam. Ko-Kannon sepertinya sangat terpikat pada kepolosan Jiro dan aksen timurnya yang terdengarkuno, dan Jiro menganggap Ko-Kannon sangat memesona. Sementara teman-temannya menghabiskanwaktu dengan minum-minum dan bermain dadu, atau menari dan menyanyi dengan iringan kecapibersama para penghibur lainnya di rumah itu, Jiro menyepi di sebuah bilik mungil bersama Ko-Kannon. Terhanyut oleh sake, Jiro menatap kelopak mata pucat Ko-Kannon dan bertanya,

“Sejak kapankah kau tinggal di Eguchi?” “Sejak tiga tahun terakhir.” “Sejak Perang Hogen, kalaubegitu?”

“Ya, rumahku terbakar hingga rata dengan tanah,”

jawab Ko Kannon, menurunkan pandangannya. “Ayahku meninggal ketika itu,

dan seluruh keluargaku tercerai berai.”

“Oh?”

“Aku bangga mengatakannya … ayahku berpihak kepada Mantan Kaisar dan dipenggal karenanya.”

“Jadi, ayahmu adalah seorang pejabat istana? Sungguh kejam, memisahkan seorang gadis muda yangmalang dari keluarganya dan menjadikannya seorang wanita penghibur!

Jika ayahmu masih

hidup, kau pasti akan menjadi seorang wanita terhormat yang hidup merdeka”

“Jangan katakan itu, kumohon ….Aku bukan satu-satunya orang yang datang kemari setelah perangberakhir.

Ada gadis lain yang berdarah lebih biru, yang telah … ” .

“Bukan sesuatu yang aneh jika banyaknya Pejabat Istana dan jenderal yang terbunuh berdampak padabanyaknya wanita berdosa yang harus menghadapi segala macam Kemalangan, tidak seluruhnya,rupanya, memilih untuk menjadi biksuni.

Tidak seluruhnya, tentu saja. karena Ibu kami di sini, begitulah kami memanggilnya, menikmatikehidupan semacam itu dan memilih untuk datang ke Eguchi. Tidak semua rumah disini, sepertikelihatannya, dan tidak semua penghibur di sini pelacur biasa.

Jiro yang telah banyak mendengar tentang wanita-wanita penghibur termahsyur dari Eguchi ketikamasih tinggal ditimur, menatap Ko-Kannon dengan kagum.

“Tentunya ada banyak pejabat istana dan pria terhormat yang datang kemari. Apakah yang mendorongkalian untuk menerima kami, samurai-samurai dan timur ini. dengan penuh kehangatan”

Ko-Kannon tersenyum ketika mendengar pertanyaan Jiro.

“Kami sudah tidak punya rasa hormat lagi untuk para bangsawan yang wangi dan rapi-para menteridan pejabat tinggi itu. Tidak terkatakan lagi kemuakan kami, setelah beberapa waktu, saat harusmenghibur mereka. Di mata kami. para saudagar ceria dan penuh senyuman yang telah mengarungilautan dan kalian para samurai muda. lebih terlihat seperti pria sejati. Aku tidak tahu alasan tepatnya-dan bukan aku seorang yang berpikir begitu.”

“Kita akan pergi besok,” kata para samurai muda saat mereka semua berkumpul. “Sekarang adalahmalam terakhir kita untuk berpesta. Para wanita di sini memang luar biasa. Kita sebaiknyamembiarkan Jiro berduaan

dengan Ko-Kannon agar dia bisa mengucapkan salam perpisahan.”

Tetapi, Jiro dan Ko-Kannon hanya saling melempar senyuman senang ketika mendengar ledekan itu.Mereka turut menari dan bermain dadu dengan berisik, sesuatu yang sepertinya tak bosan-bosannyadilakukan oleh Juro dan Tota. Bercangkir-cangkir sake mereka habiskan untuk mengiringi tarian,drama, dan canda tawa mereka.

Menjelang tengah malam, para penghibur mereka mendadak menghilang seorang demi seorang,hingga yang tersisa hanyalah seorang gadis pelayan bermata sayu yang bertugas menuangkan sake.

“Mengapa mereka mendadak lenyap?”

“Mungkinkah mereka hantu-karena mereka pergi begitu saja

Bahkan Ko-Kannon milik Jiro juga meninggalkan tanpa penjelasan-“

“Ada tamu penting yang baru saja tiba dari ibu kota, kurasa.”

“Astaga … aku penasaran, siapakah mereka?” Ketiganya mengintip dari balik cabang pohon yangmelengkung di atas sungai dan melihat sebuah perahu berhiasan mewah menepi. Nyala lenteramenerangi tepi sungai, dan akhirnya, seorang pria yang mengenakan mantel berburu, ditemani olehbeberapa orang pengiring, berjalan ke arah rumah.

Ko-Kannon, sementara itu. muncul kembali; dia menarik Jiro dan membisikkan sesuatu ke telinganya,lalu keluar lagi.

“Apa katanya, Jiro?” -

“Dia hanya menjelaskan duduk perkaranya, dan meminta maaf, dan menangis.”

“Aku diberi tahu bahwa tamu yang baru saja kita lihat itu bukan seorang pelancong biasa, atausaudagar kaya, tapi kerabat dekat dari pemilik rumah ini.”

“Apa hubungannya hal itu dengan kita? Kita juga tamu di sini.

“Kau marah? Itu tidak akan berguna.”

“Mudah saja berkata begitu, karena kau mendapatkan kenikmatan waktu Ko-Kannon menangis dibahumu, tapi bagaimana dengan kami?”

“Seorang samurai tidak boleh terbakar emosi.Tunggu hingga aKu selesai menjelaskan. Orang-orangyang baru saja tiba itu adalah para pengurus rumah tangga dan pelayan dari Rokuhara. M* Kyomon

sedang melakukan perjalanan ziarah ke Tempat Pemujaan di Kishu dan akan singgah sebentar di sini.Dan datang terlebih dahulu untuk mempersiapkan kedatangannya barang satu atau dua hari lagi.”

“Dari Rokuhara!” Tota dan Juro terkesiap dan saling memandang.

Aku pernah mendengar kabar burung tenung perjalanan ziarahnya ini. namun harinya sudahditetapkan, bukan?

“Itu berarti kita harus pulang ke ibu kota sekarang ,uga.

Kita sudah mendapatkan perintah dari Jenderal Genji Yoshtomo.

“Kita tidak boleh membuang-buang waktu.

Ketiga samurai itu segera bersiap-siap pergi. “Kuda kita apakah sudah disiapkan.”

Kuda kalian akan langsung diantarkan kemari.

Sayangnya kami agak sibuk …. Harap sabar sejenak.”

jawab seorang pelayan dengan nada menenangkan.

“Tidak, kami tidak marah. Ada urusan mendadak yang mengharuskan kami kembali ke ibu kotasekarang juga ….

Dimanakah istalnya? Kami akan berangkat dan sana. “

“Lewat sini, Tuan-Tuan. Saya akan menunjukkan

,alannya. Ko-Kannon menanti di luar dengan membawa sebuah lentera dan membawa merekamelintasi sebuah kebun, lalu melewat, sebuah gerbang. Istal itu terletak di sebuah lahan kosong diantara rumah an bangunan di sampingnya.

“Tolong jangan lupakan kami. dan datanglah lag., kata Ko-Kannon. ,

“Lain kali. Jiro sebaiknya datang sendirian. Tota dan juro tergelak sambil memasang pelana padapunggung kuda mereka dan bersiap-siap menungganginya. Ketika menoleh, mereka mel.hat bahwaJiro sedang mengintip dari bali semak-semak. “Apakah itu rumah tetangga kalian?”

“Bukan, di situlah kami tinggal bersama Ibu.” “Jiro! Dasar bajingan tukang intip! Ko Kannon, marahidia! “Tidak apa-apa, cahaya yang di sana berasal dari kamar Ibu.

Kamar kami ada di sisi kebun yang ini.”

Tota langsung menyodorkan tali kekangnya ke tangan Juro dan berlari untuk bergabung bersama Jiro.Walaupun udara ketika itu dingin, sebuah kerai terbuka, dan mereka bisa melihat dengan jelas sosokseorang wanita yang duduk di sana. Sulit untuk menentukan umurnya. Lipatan putih kerudung seorangbiksuni membingkai wajahnya dengan indah; sepertinya dia berusia awal lima puluhan, lotnyaberkilau pucat di bawah cahaya lentera, dan alisnya yang mulas menghadirkan kesan muda padawajahnya yang

terbingkai kerudung Kimononya yang bernuansa cokelat menjadikan sosoknya semakin mencolok,terutama ketika dia berbicara dengan seseorang vane berada di dekat tiang lentera. Tota dan Jirolangsung mengenali pria yang telah sering mereka lihat di ibu kota itu, dan mereka saling memandangdengan mulut ternganga. Dia adalah adik Kiyomori, Tsunemori, seorang samurai yang setelah PerangHogen diangkat ke Golongan Kelima.

Malam itu juga. ketiga samurai tersebut berangkat ke Kyoto.

Ketika berhenti di jalan untuk beristirahat, mereka membahas apa yang baru saja terjadi. Juro, yangtidak melihat semua yang dilihat oleh Jiro dan Tota, menambahkan, “Aku tahu bahwa adik Kiyomoridijadwalkan untuk datang mendahului rombongannya, namun siapakah nyonya rumah yangditemuinya itu? Aku tidak tahu namanya.”

Kemudian, mereka berusaha mengingat apakah mereka telan mengatakan sesuatu secara tersiratselama menghabiskan waktu di Eguchi, karena mereka pernah mendengar bahwa nyonya rumah

di penginapan yang mereka tempati memiliki hubungan keluarga dengan Kiyomori.

“Sudah, jangan khawatirkan itu,” Jiro meyakinkan teman-temannya.

“Jiro, Ko-Kannon pasti pernah mengatakan sesuatu padamu. Mudah saja kau menyuruh kami untuktidak khawatir, tapi apa yang membuatmu berkata begitu?” ..

“Aku ingin memercayai ceria Ko-Kannon, tapi aku tetap meragukannya …. “ “Nah, itu dia! Ko-Kannon pasti telah mengatakan sesuatu kepadamu.”

“Memang dan inilah yang dikatakannya, Ibu mereka memang pernah menjadi geisha di ibu kota, dandia pernah menjadi gundik Kaisar Shirakawa, julukannya ketika itu adalah Perempuan Gion.”

“Perempuan Gion?, sepertinya aku pernah mendengar nama itu.”

“Kaisar Shirakawa memberikannya pada Heike Tadamori untuk dijadikan isteri. Mereka memilikibeberapa orang putra dan yang tertua adalah Kiyomori. Hanya ada beberapa orang yang mengetahuihal ini, dan Ko-Kannon menyuruhku berjanji untuk tidak menceritakannya kepada siapa pun.

Jiro dan Tota menepuk pelana mereka dan berseru,

“Dari semuanya yang kalian obrolkan !, kita sebaiknya tidak pergi ke Euguchi bersama Jiro lagi. Kitatidak tahu ternyata dia sudah sedekat itu dengan Ko-Kannon. Tapi, dengar, apakah yang dikatakannyaitu benar? Ini desas-desus serius tentang seorang tokoh yang berpengaruh.”

“Serius mungkin dan tidak terlalu mustahil. Jenderal Yoshitomo sekalipun, kata orang-orang, adalahanak seorang geisha cantik.”

“Itu dia. Aku ingat-kisah tentang ayah kandung Kiyomori”.

“Omong-omong, kita benar-benar bersenang-senang di Eguchi.

“Ya, tapi seperti apakah suasana ibu kota saat ini?

«Tidak ada gunanya meramalkan hari esok, dan tidak akan berarti jika samurai biasa seperti kitaberusaha menebak-nebak. Yang jelas, bagaimanapun, Jenderal Yoshitomo ingin mengetahui tanggaltepat keberangkatan Kiyomori ke

Kumano, dan kita diperintahkan dengan tegas untuk kembali ke ibu kota jika tanggal itu sudah

diketahui.”

“Lihat, hujan es turun! Mari kita memacu kuda kita agar bisa cepat-cepat menghangatkan diri.”

Di belakang mereka, jalan, sawah, dan perbukitan segera tampak memudar.

o0odwkzo0o

Bab XX-Perjalanan Ziarah ke Kumano

Tsunemune, sang pejabat istana, lagi-lagi menghabiskan harinya di rumah peristirahatan WakilPenasihat di pinggir kota. Hampir semua orang di kalangan istana mengetahui tentang kedekatankeduanya, nemun demi menjaga penampilan, Tsunemune memberikan penjelasan bahwa alasan diasering mengunjungi rumah Nobuyori Fujiwara adalah untuk memberinya pelajaran sepak bola. Siapapun yang mengetahui bahwa Tsunemune lihai dalam memanfaatkan orang lain demi mendapatkankeinginannya, akan menghindari keterlibatan dengannya; kendati begitu, Tsunemune tidak pernahkehabisan pengikut. Mantan Kaisar Goshirakawa selalu memilihnya sebagai teman bermain sepakbola, dan Kaisar Nijo menyukainya, sementara Nobuyori, sang wakil penasihat, menjadikanTsunemune kawan sekaligus orang kepercayaan.

“Tsunemune, apakah yang menghalangi Jenderal Narichika dan Penasihat Moronaka?”

“Mereka akan segera tiba. Aku tidak mengetahui apa yang mungkin menghambat mereka, kecuali jikamereka datang terlambat dan terpisah untuk menghindari kecurigaan mengirim pesan kepadaKorekata?”

“Pamanku berjanji untuk datang malam ini.Tugasnya di Kepolisian menyibukkannya sepanjangsiang.”

“Kalau begitu, sebaiknya kita berlatih terlebih dahulu.’

“Tidak, aku lelah dan sudah cukup berlatih hari ini. Jika aku terlalu lelah, kepalaku tidak akan jernihuntuk mengikuti pembicaraan kita nanti.”

Tsunemune dan Nobuyori berada di sebuah lapangan sepak bola, tempat selama beberapa waktu bunyibola kaki yang disepak terdengar membelah udara musim dingin dengan tajam. Saat ini, merekasedang beristirahat di bawah sebatang pohon dan berbicara dengan nada rendah.

Beberapa orang pejabat istana yang masih muda semakin sering bertemu di tempat itu dengan kedokmenyelenggarakan kontes puisi dan pertandingan sepak bola, walaupun alasan utama pertemuanmereka adalah untuk membicarakan Shinzei.

Selama hampir tiga tahun setelah Perang Hogen berakhir, kekuasaan Shinzei tidak tertandingi lagi.Dia telah berubah dari seorang pejabat biasa menjadi pemegang kekuasaan mutlak, dan wajar saja jikabanyak pihak kemudian berseberangan dengannya.

Dalam menegakkan kekuasaannya, Shinzei senantiasa tegas dan menjalankan peraturan dengan tanganbesi.

Kendati begitu, terdapat keyakinan yang semakin kuat di kalangan pejabat istana bahwa

jika Shinzei tidak segera disingkirkan, maka entah sampai sejauh apa tangannya akan menjangkau.Bersama berakhirnya pertikaian, Shinzei memastikan agar perdamaian ditegakkan tanpa sedikit punpenundaan.

Reformasi besar-besaran dilakukan berdasarkan arahan darinya. Undang-undang baru yang mengaturpajak daerah dijalankan, dan pelarangan penggunaan senjata di wilayah

kota diberlakukan. Shinzei juga memiliki wewenang untuk menentukan jabatan seseorang danmenetapkan hukuman ataupun penghargaan. Walaupun telah menghadirkan banyak perbaikan,kekuasaan Shinzei tidak bisa diterima begitu saja oleh semua orang, dan sebagian orang jugamempertanyakan kediktatorannya.

Entah tirani yang menciptakan konflik, atau konflik yang munculkan tirani, tidak bisa dipungkiribahwa seorang penguasa memiliki hak luar biasa atas dirinya sendiri telah terlahir dalam semalam danmenempatkan dirinya sebagai kepala negara. Walaupun Situasi memihak dirinya dan keahliannyatidak bisa dipertanyakan, orang-orang yang membencinya berpendapat bahwa Shinzei mendapatkankesuksesannya sebagian besar adalah berkat dukungan dari kekuatan militer Kiyomori; alasan itu sajasudah cukup untuk melecutkan kekesalan di hati para samurai Genji.

Kemudian, mulai terdengar rumor bahwa peraturan-peraturan baru dibuat untuk mengukuhkan posisiShinzei dan para sekutunya.

Pertemuan rutin dan pembicaraan rahasia di rumah peristirahatan Nobuyori menghasilkan sebuahpersekongkolan besar untuk menggulingkan Shinzei.

Rencana itu diharapkan dapat dilaksanakan dalam waktu satu atau dua tahun. Menjelang akhirNovember 1159, bagaimanapun, terdengarlah desas-desus mengenai rencana perjalanan ziarahKiyomori ke Tempat Pemujaan Kumano, sebuah perjalanan sepanjang tujuh hari dari ibu kota. Desas-desus tersebut membuat orang-orang yang terlibat dalam persekongkolan sepakat; bahwa kesempatanuntuk melakukan serangan akhirnya tiba … sebuah kesempatan yang tidak akan terulang lagi dikemudian hari.

Rumah peristirahatan Nobuyori menjadi tempat pertemuan pada hari sebelumnya, dan keduapemimpin

persekongkolan in” TsunemunS dan Nobuyori … telah menyebarkan undangan untuk

pertemuan lanjutan hari ini.

Matahari sore memancarkan sinarnya yang terik ke lapangan sepak bola, tempat lima atau enam orangpria duduk di tanah di dekat gawang. Jenderal Narichika dan Penasihat Moronaka telah bergabungdengan kelompok itu, yang seolah-olah sedang mengobrol tentang sepak bola.

Padahal, mereka membahas sesuatu yang lebih penting.

“….Jadi 4 Desember adalah tanggal kebeningkatan Kiyomori ketempat pemujaan Kumano?”

“Itu sudah pasti karena aku mendengarnya dari sumber yang terpercaya, yang juga sering berkunjungke Rokuhara,” Jawab Jenderal Narichika.

“Tanggal 4-itu berarti, kita hanya memiliki sedikit waktu

.. »

Para penyusun rencana itu tanpa sadar bergidik ketika memikirkan apa yang sedang menanti merekaSarang sudah tidak ada lagi pertanyaan tentang menunda aou mundur

“Kta memiliki seluruh alasan untuk meyakini bahwa perjalanan Ziarah Itu akan dilaksanakan padaawal musim semi,. Namun perubahan rencana Ini memaksa kha untuk mempercepat persiapan kita.Apa pun Itu, sebaiknya kta meneruskan pembahasan ini didalam rumah.”

Mereka pun memasuki rumah; kerai-kerai ditutup dan para penjaga ditempatkan di sepanjang koridordan lorong untuk mencegah gangguan apa pun. Setelah matahan tenggelamkah paman Nobuyori.Korekata, mantan Panglima Pengawal Golong Kanan, dan pembicaraan pun menjad, lebihmendetail.Sebagai seorang pejabat

Kepolisian. Korekata bertugas menjaga kedamaian dan ketenteraman ibu kota. Wewenang Korekatadan pasukan Genji Yoshitomo, serta para pelaku persekongkolan, adalah perpaduan yang tidakterkalahkan.

o0odwkzo0o

Tuan Hidung Merah, pemilik sebuah rumah megah di pintu masuk pasar kota di dekat gerbang menujuJalan Kelima, adalah orang kaya baru. kata orang-orang. Dia mempekerjakan banyak pembantu …pria dan wanita … di gudang-gudangnya, yang penuh berisi gulungan kain.

pewarna kain. sisir, kosmetika, dan wewangian dari Cina.

Tuan Hidung Merah adalah saudagar kesayangan para wanita Istana. Bamboku adalah nama aslinya,namun dia lebih terkenal dengan julukannya karena hidungnya yang sewarna buah stroberi ranumtampak mencolok di pusat wajahnya. Kulit yang tertarik di bagian samping hidungnya

– bekas penyakit cacar yang dideritanya ketika masih kanak-kanak – menyebabkan hidungnyamencuat ke atas.

Namun sesuatu yang akan dianggap merusak penampilan oleh para pria berumur empat puluhanlainnya justru terbukti sebaliknya bagi Bamboku karena hidungnya justru memberikan kesankeramahan yang tulus.

Seandainya dia memiliki hidung bangir tanpa keanehan apapun mungkin perhatian setiap orang akanlangsung tertuju pada wajahnya yang berkesan licik. Dia jarang disapa menggunakan nama aslinyalebih sering disebut sebagai Tuan Hidung oleh rekan-rekarmya sesama saudagar, atau bahkan siHidung Merah atau si Hidung saja

… begitulah, sehingga wajar saja jika orang-orang tidak memedulikan nama aslinya.

“Bamboku, sepertinya kau semakin kaya saja.

“Ah, Yang Terhormat Tsunemune! Apakah Anda sedang berjalan-

“Oh. tidak, aku baru saja bermalam di rumah pensirahatan Wakil Penasihat … kontes puisi sepertibiasanya, kau tahu.” “Anda hendak pulang, kalau begitu?”

“Kau sepertinya sudah sibuk sepagi ini. Bagaimana ,.ka kita berbicara di dalam-ada sebuahpermintaan yang harus kusampaikan padamu …” . „

“Tidak perlu meminta maaf …. Nah, silakan, lewat sini.

Bamboku mempersilakan Tsunemune memasuki tokonya dann melewati sebuah lorong sempit, sebuaharena berkuda, dan sederet gudang, menuju sebuah halaman dalam.

“Anda sebenarnya bisa masuk melalui gerbang di halaman.

“Gerbang itu terkunci.” Bamboku

“Ah, ternyata saya sangat ceroboh, Hei …” kata Bamboku ketika melewati kamar tidur istrinya, “Adatamu, Yang Terhormat Tsunemune,” lalu membawa tamunya melewat, perkarangan menuju sebuahruangan yang bermandikan cahaya matahan pagi yang dingin.

“Kalian para saudagar memiliki rumah-rumah indah …

cerah dan ceria.”

“Tidak semuanya, Tuan, tidak seperti kediaman Anda yang cantik.”

“Kau salah dalam hal itu. Tradisi, kedudukan sosial, keharusan untuk menjaga penampilan, semua itumemperumit kehidupan kami, sehingga kami semakin jarang bisa melihat matahari. Kaisar dan parawanita istana menghabiskan waktu mereka di dalam ruangan-ruangan

yang berpenerangan lilin. Lebih baik kau tidak bertambah kaya dan membangun rumah yang lebihbesar.”

“Ah, tidak, Tuan, saya tidak bisa diperhitungkan di kalangan saudagar kaya di Jalan Kelimaini.Walaupuan saya memiliki beberapa ambisi ….Anda tidak perlu mengkhawatirkan saya. Tuan, dansaya tentu saja berharap bahwa Anda bisa terus menjadi pengayom saya.”

“Kudengar kau mendapatkan kekayaan yang cukup besar setelah perang usai.”

“Begitulah kelihatannya di mata orang-orang, Tuan, walaupun kenyataannya jauh dari itu.”

Tsunemune tergelak. “Jangan takut, Bamboku, aku tidak akan memohon utang.”

“Tetapi, Tuan, kalaupun Anda meminta sesuatu yang mustahil saya penuhi, saya akan tetapmengusahakannya dengan senang hati.”

“Kau hanya berusaha menyenangkan hatiku, bukan?”

“Apa lagikah yang bisa saya lakukan kepada pengayom saya?”

Tepat ketika itu, istri Bamboku yang menawan, yang berusia sekitar dua puluh tahun lebih mudadarinya, keluar setelah selesai berdandan.

“Selamat datang, Tuan! Anda tiba pagi sekali di udara yang sedingin ini.”

“Wah, wah, Umeno! Bagaimana kabarmu … baik-baik saja, kuharap?”

Umeno tersipu-sipu malu, dan Bamboku melontarkan tatapan heran kepadanya.

“Sajikan kue-kue yang lezat atau apa … dan teh herbal?”

kata Bamboku kepada istrinya, yang langsung beranjak dengan malu-malu.

Istri Bamboku, cucu seorang penasihat yang telah kehilangan jabatan, bekerja di rumah Tsunemun6hingga setahun silam, ketika Tsunemun6 mengatur sebuah perjodohan untuknya. Bamboku, yangpernah menjadi pegawai kecil di Istana … sebuah pekerjaan yang setidaknya memberikan penghasilanlebih banyak daripada menjadi pengiring seorang pejabat rendahan … mengundurkan diri sepuluhtahun sebelumnya, membeli sebuah toko kecil di pasar, dan menjadi saudagar. Melalui kenalan-kenalan masa lalunya, dia pun berhasil melakukan bisnis dengan Istana dan para wanitanya.

Tsunemung, yang pertama kali bertemu dengan Bamboku di rumah peristirahatan Perdana Menteri,menyukai saudagar jenaka yang selalu berhasil menghiburnya itu. Mendapati bahwa Bambokuternyata ambisius dan memiliki semangat berapi-api seperti dirinya, Tsunemune pun bersedia menjadipengayom baginya.

Kemudian, ketika perang berakhir dan terdapat begitu banyak permintaan untuk berbagai macambarang, Tsunemun6 memastikan agar Bamboku dijadikan pemasok bagi bahan-bahan bangunan untukpembangunan istana baru. Transaksi bisnis ini berujung pada pendirian rumah indah Bamboku danderetan gudang-gudangnya di mulut Jalan Kelima.

Setelah rumahnya rampung dibangun, Bamboku membutuhkan seorang istri untuk mengurus rumahtangganya. Karena yakin bahwa dirinya adalah keturunan bangsawan, Bamboku berniatmempersunting seorang gadis dari kalangan sosial seorang pejabat istana yang telah lewat masajayanya. Terlebih lagi, waktu yang dihabiskannya di Istana telah membakar ambisi rahasianya untukhidup

layaknya seorang pria terhormat, istri yang dikehendaki ternyata disediakan oleh Tsunemune, dansebagai ucapan terima kasih, Bamboku langsung mengangkat Tsunemune sebagai pengayom seumurhidupnya. Bamboku, bagaimanapun, sudah menanti-nantikan kesempatan untuk membalas kebaikanTsunemun6, dan pagi ini, dia menyadari bahwa hari pembalasannya telah tiba. “Anda akanmenyampaikan sebuah permintaan. Sekarang, jelaskanlah tentang hal itu kepada saya. Saya akandengan senang hati memberikan apa pun yang bisa saya berikan kepada Anda.”

‘Tidak, Bamboku, aku tidak datang kemari untuk uang atau apapun yang berhubungan dengan uang.Sebaliknya, aku menawarkan keuntungan besar untukmu.”

“Wah, itu luar biasa di masa seperti ini.”

‘Tidak juga. Tapi, kau harus berjanji untuk menyetujui hal ini,

atau menolaknya sebelum aku menutup

pembahasannya.”

“Tentu saja, saya tidak mungkin menolak. Apakah ini urusan rahasia?”

“Bamboku, maukah kau menutup kerai agar

pembicaraan kita tidak terganggu?”

Tsunemun6 memaparkan tentang bagian persekongkolan yang akan melibatkan Bamboku. Melihatkesan tertarik di wajah si Hidung, dia menambahkan, setelah menatapnya dengan cermat, “Jika kaubersedia ambil bagian dalam rencana ini, aku berani menjamin bahwa kau akan mendapatkan apa punyang kauminta. Bamboku, apakah kau mengizinkan kami menggunakan rumahmu? Kami tidak bisamengambil risiko dengan mengadakan pertemuan

di luar gerbang kota. Aku yakin bahwa pasar yang ramai ini akan bisa menjadi tempat pertemuanteraman bagi kita.

Dan, terlebih lagi, sebagian besar dari kami akan menyamar jika harus datang kemari.”

Tsunemune memiliki permohonan lain. “Sudah bertahun-tahun ini, sejak Perang Hogen berakhir,larangan keras penggunaan senjata diberlakukan, dan kami kekurangan senjata yang dibutuhkan. Jadi,tugasmu adalah menyediakan seluruh persenjataan yang kami butuhkan.

Semuanya harus dikerjakan secara sangat rahasia, kau mengerti.”

Tsunemung menghabiskan waktu di rumah Bamboku hingga siang tiba. Istri Bamboku, sementara itu,mempersiapkan dan menyajikan hidangan menggiurkan yang mencakup setermos anggur nikmat dariCina, yang dibeli di pasar dari para saudagar yang secara teratur memasok barang-barang dariseberang laut Setelah urusannya dengan Bamboku selesai, Tsunemun6

menyelinap keluar melalui gerbang belakang dan berjalan ke arah sungai, tempat keretanya telahmenanti. Dia mendapati sapi penarik keretanya terkantuk-kantuk di bawah matahari musim dingin,dan si bocah penuntun sapi terlelap di atas hamparan rumput. Tsunemung memandang ke seberangsungai pada tembok dan pepohonan Rokuhara.

o0odwkzo0o

Sejak Perang Hogen berakhir, Kiyomori telah berulang kali mengatakan, “Sekaranglah saat bagikuuntuk melakukan perjalanan ziarah ke Tempat Pemujaan Kumano sebagai lambang rasa syukurku.Tahun ini, aku bisa dipastikan akan pergi.”

Perjalanan ziarah terakhirnya adalah pada 1154, setahun setelah kematian Tadamori, ayahnya.

Ibu tiri Kiyomori, Ariko, sedang berkunjung ke Rokuhara ketika Kiyomori setengah berguraumengatakan,

“Aku sudah sangat lama tidak pergi ke Tempat Pemujaan Kumano, sehingga aku yakin para dewa akanmenghukumku.”

“Kiyomori, kau terlalu lancang,” tukas Ariko dengan tegas. “Jika kau terus-menerus berkomentar yangmelecehkan agama seperti itu, kau akan menyesalinya pada suatu hari nanti. Ayahmu yang baik,Tadamori, adalah seorang pria yang sangat soleh, tapi kau tidak sedikit pun menyerupai beliau. Kauharus ingat bahwa – adalah kepala klan dan karena itulah kau harus menjaga sikapmu dalam na.

semacam ini.”

Teguran Ariko membungkam Kiyomori. Dia tidak pernah bisa bersikap santai di hadapan ibu tirinya.Sejak kematian suaminya, Ariko menjalani penahbisan dan menjadi seorang biksuni, dan tinggal disebuah tempat yang jauh dari ibu kota untuk melewati hari-harinya dengan melakukan berbagaimacam peribadatan. Dia tetap sering berkunjung ke Rokuhara, dan pada waktu seperti itu, Kiyomorimerasa seperti seorang bocah nakal yang dipanggil untuk menerima nasihat yang bermaksud baik.

Yang menjengkelkannya adalah kebiasaan ibu tirinya untuk mengawali setiap kalimat dengan“Ayahmu tersayang, almarhum Tadamori” Tidak hanya Kiyomori tetapi juga istrinya, Tokiko, yangmerasa kecil di hadapan Ariko. Ariko sendiri tanpa segan-segan menunjukkan kasih sayangnya kepadacucu tertuanya, Shigemori. Di dalam dirinya, Ariko melihat sosok seorang pria teladan yang berbedadengan Kiyomori. Shigemori tidak hanya gagah tetapi juga lemah lembut dan lebih memerhatikannyadaripada semua orang lain di Rokuhara.

“Kau harus menyempatkan diri untuk berziarah ke Kumano. Bawalah Shigemori bersamamu.Berdoalah agar tipisnya keimananmu mendapatkan pengampunan dan mohonlah rahmat bagi dirimudan seluruh keluargamu”

Ariko dengan tulus memohon agar Kiyomori pergi ke Tempat Pemujaan Kumano, dan Kiyomoriberniat untuk menurutinya. Karena telah menerima penugasan untuk mengawai detail-detailpembangunan sebuah kuil di Shirakawa, Kiyomori baru bisa berangkat setelah pekerjaannya rampung.Sepanjang musim gugur, Shinzei terus-menerus meminta pendapat Kiyomori mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan berbagai peraturan sipil, dan walaupun semakin kehabisan waktuuntuk urusan pribadi, Kiyomori tetap menyambut gembira kesempatan untuk mencicipi dunia politikdi bawah bimbingan Shinzei dan berharap tumpukan pekerjaannya akan menipis pada pertengahanDesember Ketika dia menyampaikan niatnya untuk pergi ke Kumano, Shinzei mengizinkannya danbahkan mengirim sebuah hadiah perpisahan untuknya.

Beberapa hari sebelum tanggal keberangkatannya, Kiyomori mengirim adiknya, Tsunemori, ke Eguchiuntuk mengurus penginapan rombongan mereka dan menyewa perahu-perahu yang akan membawamereka menempuh sebagian jalan ke Kumano. Pada 4 Desember, Kiyomori beserta putra sulungnya,Shigemori, diiringi oleh Mokunosuk6 dan rombongan yang terdiri atas lima puluh orang pelayan,berangkat dari Rokuhara. Persinggahan mereka pada malam pertama adalah Eguchi, yang merekacapai setelah berlayar di Sungai Yodo. Kumano bisa dicapai melalui jalan darat maupun laut, namununtuk sebuah rombongan besar, perjalanan air lebih disukai karena sebuah kapal besar bisamenampung seluruh rombongan.

Pada malam yang sama, Kiyomori tiba di Eguchi, tempat Tsunemori telah menantinya. Karena sebuahrombongan yang beranggotakan lebih dari lima puluh orang tidak bisa ditampung dalam satu rumah,Kiyomori dan Shigemori menempati penginapan yang berbeda. Kiyomori, yang telah bersumpahuntuk menghindari alkohol hingga perjalanan ziarahnya berakhir, bersiap-siap untuk tidur lebih awaltanpa minum-minum dan bersenang-senang di Eguchi. Hanya ada beberapa lentera yang menyala dipenginapan sunyi itu.

“Tuan … saya meminta maaf karena telah mengganggu Anda … ”

“Oh, Tua Bangka, kaukah itu? Ada apa?”

“Adik Anda menitipkan sebuah pesan kepada saya.”

Mokunosuk6 berlutut di luar kamar dan mengamati wajah Kiyomori untuk melihat bagaimana diaakan bereaksi terhadap kabar yang dibawanya.

“Malam ini dingin sekali, Tua Bangka; lebih baik kau masuk ke ruangan ini dan menutup pintunya.”

Melihat bahwa suasana hati majikannya sedang bagus, Mokunosuke masuk dan berlutut di hadapanKiyomori, lalu mulai menyampaikan pesan Tsunemori.

Mokunosuk6, yang sekarang telah berusia delapan puluh tahun dan tetap menyandang panggilansayang “Tua Bangka , telah mengabdi kepada Kiyomori sejak masa kanak-kanaknya. Dari pelayanrenta itu-yang telah lama mengamati perilaku manusia dan sekarang menganggapnya membosankan,seperti kepakan sayap tawon atau kupu-kupu. atau pertumbuhan lambat sebatang pohon atau sekuntumbunga-muncullah penuturan panjang dan

monoton yang seolah-olah diucapkan oleh sebuah topeng beruban putih.

Tetapi. Kiyomori terkejut ketika mendengar penuturannya. Dia baru mengetahui bahwa pemilik rumahyang mereka tinggali adalah janda dari seorang pejabat istana yang telah menjadi seorang biksuni.Ada banyak orang yang mengenalnya di masa lalu; dia adalah seorang geisha ternama di ibu kota dankemudian men,ad, gundik Kaisar Shirakawa. yang memberikannya kepada Tadamori untuk diperistri.Wanita itu. yang mendapatkan beberapa orang putra bersama Tadamori. dikenal dengan julukanPerempuan Gion.”

Kiyomori selama beberapa saat berjuang untuk meredakan gejolak emosi akibat cerita yang baru sajadidengarnya, lalu menoleh kepada Mokunosuke dengan wajah datar. Dia merasa bahwa Tsunemoritelah mengelabuinya. Perempuan Gion adalah ibunya, ibunda jelita yang pernah mengabaikan

suaminya yang miskm dan anak-anaknya berpuluh-puluh tahun silam. Kiyomor, tdah lama berhentimemikirkannya, namun Tsunemori seperanya tidak pernah melupakannya. Tsunemori telah melacakkeberadaannya dan mempertemukannya dengan Tadamori yang sedang sekarat. U ia rupanya tetapmenemuinya sejak saat itu. dan menyembunyikan pertemuan mereka dari Kiyomori dan ibu tirimereka, Anko.

“Tua Bangka, sampaikanlah pesanku kepada Tsunemone”

“Baiklah …”

“Tsunemori mungkin menganggap wanita itu sebagai ibunya, namun dia bukan ibuku. Tidak adaalasan bagiku untuk menemuinya. Katakanlah ini kepada Tsunemori.”

“Anda tidak mau menemui beliau?”

“Mengapa aku harus merasa yang sebaliknya. Tua Bangka? Kau

eharusnya memahamiku, lebih daripada orang lain.

Untuk apa kita mengais-ais abu masa lalu?”

“Saya sudah mengetahui jawaban Anda sebelum saya menyampaikan kabar ini.”

“Kalau begitu, untuk apa kau menyampaikan padaku?

Kau telah merusak malam pertama perjalananku.”

“Saya juga mencemaskan itu, namun adik Anda sepertinya merasa bahwa selagi Anda melakukanperjalanan ziarah ke Kumano, maka tidak ada salahnya jika, untuk menghormati kenangan mendiangayah Anda, Anda menenangkan hati ibu Anda yang telah renta. Dan menurut saya, pendapat adik Andabenar adanya.”

“Apa! Berani-beraninya kau memaksakan pendapatmu?

Aku sudah bilang bahwa aku tidak punya ibu seperti itu, Tolol! Siapa pun atau apa pun dia. BiarkanlahTsunemori pergi dan berbicara dengannya, jika menurutnya itu bermanfaat Aku lelah … mengantuk.

Di manakah kamar tidurku?”

Bocah pelayan yang duduk terkantuk-kantuk di belakang Kiyomori tiba-tiba mendadak terbangundengan kaget akibat hardikan majikannya. Dia cepat-cepat bangkit dan menunjukkan jalan

dengan sebuah lentera.

Semua pelayan penginapan telah lama tidur. Pada waktu Kiyomori semestinya telah tidur, sesosokbayangan dengan lincah menyelinap keluar dari kamarnya. Mokunosuke, yang masih terjaga,menyaksikan sosok itu melintasi

koridor, mengintip ke luar dari balik kerai, dan membuka gerendel. Curiga, Mokunosuk6 menegur

sosok itu.

Kiyomori berputar dengan kaget dan menatap tajam ke tempat teguran itu berasal; di dalamkegelapan, dia tiba-tiba menyeringai lebar.

“… Kaukah itu,Tua Bangka?” .

“Tuanku, apa yang membuat Anda keluar ke kebun pada malam

sedingin ini?”

“Aku tidak pernah bisa memejamkan mata pada malam pertama di sebuah tempat asing. Entahmengapa, aku tidak bisa tidur. Sejujurnya, Tua Bangka, aku telah merenungkan perkataanmu. Apakahkau tahu di mana tempatnya?”

“Tahu apa, Tuan?”

“Bilik yang ditempati wanita yang dibicarakan oleh Tsunemori.”

“Anda akhirnya memutuskan untuk menemui beliau?”

“Hmm … ya.” Kiyomori menggaruk-garuk bagian belakang kepalanya dengan malu. “Lagi pula,setelah aku memikirkannya, beliau tentu telah berusia mendekati enam puluh tahun. Umurku sendiritelah hampir empat puluh tiga tahun … dan sungguh konyol jika aku membiarkan masa lalumencegahku untuk menemuinya, terutama ketika aku tinggal seatap dengannya. Aku mulai merasabahwa aku mungkin akan menyesal jika aku pergi tanpa berjumpa dengannya.”

“Ah, itu terdengar cukup bijaksana.”

“Tua Bangka, apakah kau benar-benar berpikir bahwa ini lebih baik?”

“Sejak awal saya berharap agar Anda merasa seperti sekarang. Ayah Anda tentu juga menghendaki halyang sama.”

“Benar. Beliau bukan orang brengsek yang dibutakan oleh prasangka buruk seperti aku. Beberapa saatsebelum beliau wafat, Tsunemori secara diam-diam mempertemukan mereka, dan aku mendengarkankata-kata ayahku kepadanya, si Perempuan Gion, yang selalu berbuat buruk kepada ayahku.”

“Ya, saya mendengar tentang seluruh kejadian itu pada pagi harinya.”

“Tua Bangka, aku menangis ketika mencuri dengar percakapan mereka … karena besarnya cintaayahku, karena apa yang dikatakannya kepada seseorang yang telah begitu tega melukai hatinya.”

“Di mata ayah Anda, beliau adalah seseorang yang patut dikasihani. Ayah Anda tentu telah merasakanitu selama bertahun-tahun sebelum mereka akhirnya berpisah.”

“Aku hanya bisa berharap untuk menjadi seperti ayahku.

Tetapi, aku adalah seorang pria yang telah berumur empat puluhan ….Apa pun yang pernah terjadi,

tidak bisa disangkal lagi bahwa beliaulah yang melahirkanku …

Kiyomori ini. Aku setidaknya bisa mengikuti teladan Tsunemori dan menemui beliau kali ini.Bawalah aku kepadanya. Tua Bangka.”

Malam itu, Kiyomori menemui ibunya, yang telah menghabiskan malam bersama Tsunemori.

Yasuko ternyata jauh dari perkiraan Kiyomori. Dia tidak kelihatan murung atau kesepian, tetapisebaliknya tampak menikmati kehidupannya saat ini. Perabot di kamarnya

mencerminkan keanggunan dan kenyamanan, seperti yang selalu disukainya.

‘Tuan Harima,” sapanya kepada Kiyomori,

“Keteganganlah yang membawa Tsunemori ke Eguchi, juga kebimbangan dan ketakutan, namun darimasa mudamu kau sudah mengetahui bahwa hiburan bisa didapatkan di rumah-rumah di JalanKeenam, jadi kau harus sesekali datang kemari untuk mencari sedikit kemeriahan. Dan, kapan pun kaudatang ke Eguchi, kau harus singgah di sini dan membiarkan gadis-gadis mudaku menghiburmu …ada banyak gadis muda di sini, dan semuanya memesona.

Seandainya kau sedang tidak dalam perjalanan menuju Tempat Pemujaan Kumano, aku akanmemanggil mereka kemari sehingga kau bisa melihatnya sendiri.”

Itulah dia … ibunya. Kiyomori mengerti. Dia telah membujuk Tsunemori untuk mengatur agarKiyomori menginap di sini sehingga mereka bisa bertemu. Yasuko berbicara dengan luwes dan ramah,tanpa sedikit pun merasa malu. Kiyomori terkejut ketika mendengar nada bangga Yasuko ketikabercerita tentang bisnisnya.

Kiyomori, yang terheran-heran, hanya sanggup menatap ibunya. Dari penampilannya, mustahil untukmemercayai bahwa Yasuko telah berusia mendekati enam puluh tahun.

Dari tubuhnya, Kiyomori bisa mencium semerbak wewangian yang dikenalinya sebaga. azimatpemikat yang pernah menjerat seorang penguasa, dan juga membuat Tadamori begitu lama menahandiri dari perselingkuhan dan perilaku buruknya. Kiyomori pun terus mendengarkan celotehan ibunya:

“Sungguh menyenangkan bisa menerimamu di sini!

Sayang sekali kau sedang terikat oleh aturan peribadatanmu. Tapi, kau harus singgah di Eguchi selama

dua atau tiga malam untuk menghormati rombonganmu.

Eguchi memang tempat yang membosankan selama musim dingin, ketika kami hanya ada tamupenting yang datang kemari.”

Yasuko berbicara tak tentu arah dengan ceria, seolah-olah tidak menyadari bahwa dirinya adalah ibudari empat orang putra yang telah dewasa. Tidak ada jejak kelembutan seorang ibu yangmendorongnya untuk mengatakan tentang kebahagiaannya melihat putra-putranya telah dewasa;sepertinya dia bahkan telah melupakan Tadamori. Seperti halnya memakai rias wajah, dia tampaknyabisa dengan mudah dan lihai menyingkirkan masa lalu dari ingatannya.

“Wanita yang paling beruntung,” pikir Kiyomori. Dia mulai menganggap dirinya sendiri tolol.Seharusnya dia tidak semarah itu kepada ibunya, karena wanita itu benar-benar naif. Yasuko tidak bisamenjadi yang sebaliknya. Dia terlahir sebagai seorang wanita penghibur. Alamlah yang menjadikanibunya seperti ini. dan dia tidak bisa disalahkan. Kiyomori senang dan lega atas keputusannya untukmenemui ibunya, karena dia sudah tidak membenci wanita itu. Ibunya tidak bersalah, karenakehidupan seorang geisha telah mengalir di dalam darahnya; yang salah adalah keinginannya untukmenjadikan ibunya yang sebaliknya. Kiyomori mengamati wajah dan gerak-gerik ibunya … inilahkehidupan yang didambakan dan yang paling bisa membahagiakan Yasuko. Selama bertahun-tahun,Kiyomori telah dengan tolol memakan hatinya sendiri dengan mendambakan

agar ibunya berubah.

“Ibu … maksudku, Nyonya Rumah yang baik, adakah sake untuk menemani obrolan kita? Tidak perlumenundanya hingga aku pulang.

“Sedikit sake … atau banyak?”

Ibunya tertawa nyaring. “Sake? Itu mudah untuk didapatkan di sini. Baiklah … ” dia menepukkantangannya untuk memanggil pelayan. Seorang gadis pelayan muncul dan mendengarkan bisikannyadengan penuh perhatian.

Segera setelah si gadis pelayan pergi, tiga orang geisha muncul membawa lentera, dan kamar ituseketika terang benderang. Sake dan makanan pun dihidangkan.

“Nyonya Rumah yang baik, apakah hanya mereka penghibur disini:

“Masih ada beberapa orang lagi.

“Selagi kita bersenang-senang, sebaiknya kita juga memanggil mereka. Tsunemone … “

“Apa kau tidak pernah datang kemari untuk bersenang-senang?”

“Aku?Tidak pernah” Tsunemori sepertinya kesal. Dia merasa tersisih dan menjadi seorangpengganggu ketika menyaksikan Kiyomori dan ibunya bercakap-cakap.

“Ini adalah rumah hiburan. Wanita ini adalah nyonya rumah kita. Jangan cemberut begitu.”

Kiyomori tak henti-hentinya mengisi cangkirnya dan membujuk adiknya agar bergabung bersamamereka.

‘Ayolah, kau juga harus minum.’ ‘Aku akan minum dalam perjalanan pulang dari Kumano “Apakahkau takut minum bersama kakakmu, yang telah membatalkan

pantangannya?” Kiyomori tergelak. “Jangan kolot begitu, Tsunemori, tidak perlu khawatir. Aku akanminum untuk mengenang ayah kita sebelum kita berangkat ke Kumano.”

“Tetapi, mengapa?”

“Tidak bisakah kau melihat alasannya? Tidakkah kau mengerti bahwa sebelum wafat, Ayah

menekankan bahwa kita harus bahagia.

“Benarkah itu?”

“Karena itulah aku melakukan ini-agar Jiwanya * dalam kedamaian. Aku yakin bahwa dewa penungguTempat Pemujaan Kumano akan memandang kita sebagai anak yang berbakti dan tidak akanmengutukmu, Tsunemori.

Ayo, minum dan bergembiralah.”

Belum selesai Kiyomori berbicara, ruangan itu mendadak menjadi jauh lebih terang benderangbersamaan dengan munculnya sepuluh orang geisha, yang masing-masing lebih cantik daripada yanglainnya. Kiyomori mengangkat sebuah cangkir besar dan menyentuhkannya ke bibirnya, lalumengoperkannya ke salah seorang dari mereka, dan sebentuk demi sebentuk tangan ramping punbergiliran menerimanya.

“Suasa hati Tuan Harima sedang bagus,” para geisha berkelakar. Gelak tawa dan obrolan meriahterdengar dari ruangan itu. Kiyomori, yang telah mabuk sake, terhanyut oleh aroma bedak dan

kemilau hiasan rambut di sekelilingnya.

“Genderang, genderang! Mari menari!” serunya dengan lantang. “Tuan Harima memerintahkankepada kita untuk menari. Ayo, menari, menyanyi!”

Sorak sorai meledak begitu beberapa orang geisha berdiri dan mengepakkan lengan kimonopanjangnya, lalu mulai menari. Kerai-kerai diangkat, pintu-pintu geser diangkat untuk menyatukandua buah kamar agar menjadi lebih luas.

Sebuah harpa dimasukkan, genderang-genderang besar

ditempatkan di atas dudukannya, dan seruling-seruling dikeluarkan dari wadah-wadah sutranya.

Seorang geisha bersanggul tinggi, membawa sebilah pedang mainan ramping, melenggang anggundari kamarnya dan melintasi jembatan menuju ruangan itu. Dia membawa sebuah kipas, yangdilempar dan diputarnya dengan iringan sebuah lagu terkenal. Gerakan luwes kakinya, goyanganpinggulnya, dan lekukan bahunya seolah-olah menyatu dengan alunan musik. Kiyomori meletakkancangkirnya dan menatap wanita itu, yang begitu menghayati tariannya. Pandangan Kiyomori tertujupada wajahnya yang terpoles bedak tebal di bawah hiasan rambut bernuansa emas. Seketika itu,Kiyomori merasa gelisah dan tidak bisa duduk tenang. Mata sipenari sekadar mengikuti pola tariandan tidak sekali pun tertuju ke arahnya. Kegusaran tercermin dalam setiap kerutan di wajah Kiyomori.Tarian yang membosankan! Pergilah kalian dengan genderang kalian, seruling kalian! Kapankahmereka pergi sehingga dia bisa berbicara empat mata dengan wanita ini?

Tarian itu akhirnya berakhir. Musik seketika berhenti mengalun. Sementara si penari terkulai di lantaiuntuk memberi hormat, para geisha lainnya mengerumuni Kiyomori untuk mengisi ulang cangkirnya.”

“Jangan ganggu aku! Menjauhlah dariku! Bawa si penari itu kemari!” hardiknya, dengan kesalmenyikuti para geisha di sekelilingnya dan melambai dengan tangannya yang memegang cangkir sake.Tetapi, si penari telah meninggalkan ruangan itu dan melangkah dengan cepat melintasi jembatan, lalu

menghilang kembali di kamarnya.

Kiyomori memanggil-manggilnya dan mengirim seorang demi seorang geisha lainnya untukmenjemputnya, namun si penari menolak untuk keluar lagi.

Kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Aku tidak tahu di mana dia bersembunyi, tapi dia tidakbisa ditemukan di mana pun.” Amarah Kiyomori meledak. Dia tidak pernah minum sebanyak

itu ataupun bersikap sekasar itu.

“Apa, dia menyebut dirinya geisha? Dahulu dia bernama Ruriko, keponakan bangsawan Nakamikado!Itu Ruriko, aku yakin! Hoi, Nyonya Rumah, apa maksudmu menyembunyikannya?”

Kiyomori membanting cangkirnya dan menoleh kepada si nyonya rumah dengan amarah berkobar,namun Yasuko tetap berbaring santai dan menopangkan dagunya ke bantal.

Ledakan emosi Kiyomori sepertinya justru membuatnya senang, dan dia menyambutnya dengantertawa terpingkal-pingkal.

“Jadi, Tuan Harima „ mengingat dia? Saking cintanya dirimu kepadanya, pernah melupakannya?”

“Ini benar-benar jahat! Kau memang wanita kejam!”

“Mengapa? Apa yang membuatmu berkata begitu?”

“Jika kau tidak tahu malu, itu urusanmu sendiri, namun kau menyeret dia … gadis muda tak berdosabernama Ruriko itu … ke lembah nista!”

“Dia adalah anak angkat keluarga Nakamikado. Dia bisa dibilang tidak memiliki ayah, dan akulahyang membesarkannya. Aku sendirilah yang mengajarinya menari, memainkan berbagai alat musik,dan mengubahnya menjadi seorang wanita yang akan bisa dengan bangga menjalani kehidupannyasendiri di dunia ini. Apa salahnya hal itu?”

Kiyomori tiba-tiba merasakan pikirannya jernih kembali, dan dia menggeleng. “Itu salah; jika Rurikodibesarkan dengan benar, dia akan menjadi istri yang baik bagi seorang pria terhormat, namun kaumeracuninya, mendidiknya menjadi seorang pelacur.”

“Tuan Harima, kau sedikit banyak mengingatkanku kepada mendiang ayahmu. Apa masalahnya jikaseseorang lebih memilih untuk menjadi seorang wanita penghibur atau apa pun yang disukainya? JikaTuan Harima merasa sangat marah sekarang, mengapa dia tidak dari dahulu berusaha membiasakandiri bercinta dengan Ruriko ketika aku masih tinggal bersama keluarga Nakamikado?

Bukankah kau juga patut disalahkan karena telah bersikap pengecut? … Tetap saja, sekarang belumterlambat Kembalilah kemari dalam perjalananmu pulang dari Kumano. Aku akan berbicara denganRuriko dan berharap bisa bertemu kembali denganmu.”

Kiyomori dan sang nyonya rumah tiba-tiba tertawa terpingkal-pingkal hingga meneteskan air mata,bertukar lebih banyak sake dan gurauan yang semakin membingungkan keduanya, hingga Kiyomorijatuh tertidur dengan Yasuko dalam pelukannya.

Tsunemori dan Mokunosuk6 memapah Kiyomori ke ranjangnya. Ketika terbangun keesokan paginya,Kiyomori mendapati dirinya berada di kamarnya sendiri, seolah-olah tidak ada sesuatu yang luar biasaterjadi pada malam sebelumnya.

“Sudahkah Anda bangun, Tuan? Saya sudah

menyiapkan air untuk Anda.”

Ucapan selamat pagi dari seorang gadis pelayan muda memulai hari Kiyomori. Sebuah bejana berisiair telah disiapkan di dekat jendela. Kiyomori melirik ke luar

sembari membasuh wajahnya dan membasahi rambutnya.

Matahari bersinar cerah hari itu, dan udara terhitung hangat untuk ukuran bulan Desember. Kiyomoribisa melihat sungai dari jendelanya. Bunyi nyaring tepukan dayung di permukaan air dan nyanyianpara nelayan hinggap di telinganya, juga suara para awak kapal yang sudah tidak sabar menantikanaba-aba darinya untuk memulai perjalanan. Kiyomori berusaha untuk mendapatkan kembalikekhusyukannya dan menghirup dalam-dalam udara pagi yang segar. Lagi pula, dia sedang beradadalam perjalanan menuju Tempat Pemujaan Kumano, dan kerangka berpikirnya seharusnya serius ….

Ketika Kiyomori tergesa-gesa menyantap sarapan, para anggota rombongannya silih berganti munculuntuk memberinya ucapan selamat pagi. Shigemori juga muncul dan menyapa ayahnya dengankhidmat Kiyomori agak malu kepada putranya, namun para anggota rombongan lainnya berusahamencerahkan suasana hatinya dengan mengobrolkan tentang perjalanan yang telah menanti mereka.

Di dalam hatinya, Kiyomori menertawakan dirinya sendiri; tidak seorang pun sepertinya mengetahuiapa yang terjadi pada malam sebelumnya, namun sesuatu yang begitu menggerakkan telah

berpadu dengan kekonyolan itu.

Tiga buah perahu layar besar telah menanti mereka di kejauhan. Air sedang surut dan beberapa perahukecil bergiliran membawa lima atau enam orang anggota rombongan mereka menuju ketiga perahubesar yang tertambat di mulut sungai; banyak orang bersorak sorai di tepi sungai untuk melepaskepergian mereka.

“Nah, Tsunemori. aku memercayakan Rokuhara kodamu, kata Kiyomori sambil bersiap-siap menaikisalah satu perahu.

Tsunemori, yang akan langsung kembali ke ibu kota, menjawab, “Baiklah. Semoga perjalananmulancar.”

Kiyomori berdiri di atas perahu, tampak berkilauan terkena cahaya yang memantul dari permukaanair.

Cakrawala membentang di hadapannya begitu perahu layarnya menjauh dari pesisir, dan Kiyomorisekilas dapat melihat orang-orang yang berkerumun di tepi sungai.

Ibunya ada di sana, berdiri di tengah-tengah sekelompok wanita yang berpakaian indah, sebagian diantara mereka mengenakan topi lebar, sebagian yang lain mengenakan mantel bertudung, dan sebagian

yang lain membiarkan kepala mereka terbuka, memamerkan rambut hitam nan lurus. Kipas-kipasdiayunkan ke arahnya sebagai lambang perpisahan, namun mata Kiyomori, yang terpicing untukmemburu seraut wajah, tidak menemukan apa yang dicarinya. Dengan bingung, dia memikirkanapakah kejadian semalam hanya ada di dalam mimpinya.

Perjalanan laut itu memakan waktu beberapa hari.

Rombongan Kiyomori mendarat di Pelabuhan Waka. Sisa perjalanan akan mereka tempuh denganberkuda.

Pemberhentian pertama mereka adalah pada siang hari tanggal 13 Desember, ketika seluruhrombongan beristirahat di sebuah penginapan di Kirib6. Di situlah seorang kunr akhirnya berhasilmengejar mereka. Dia telah memacu kudanya selama sehari semalam dari Kyoto.

“Peristiwa terburuk telah terjadi, Tuan! Sebuah pergolakan rakyat yang lebih parah daripadasebelumnya!”

“Apa! Di ibu kota? Sebutkanlah nama para pemimpinnya!”

Semua orang seketika pucat pasi begitu mendengar kabar buruk itu; mereka terperanjat dan berlomba-lomba menyuarakan kepanikan mereka … jarak yang jauh, tidak adanya senjata, dan di waktu yangtidak terpikirkan ini!

Kiyomori mengerang kesal, memikirkan apakah ini balasan dari dewa penunggu Tempat PemujaanKumano yang marah kepadanya.

o0odwkzo0o

Bab XXI-Tuan Hidung Merah Sang Saudagar Bunga es bertebaran di mana-mana pagi itu. Pasar didekat gerbang Jalan Keenam telah riuh rendah oleh kegiatan jual beli. Keramaian itu terdengar sampaiseberang jalan, di dalam toko megah Hidung Merah, bahkan di ruang tamu rumahnya. Sebagai orangyang selalu bangun pagi.

Hidung telah kembali dari transaksi bisnis sehari-harinya.

Hidungnya, yang tampak lebih merah daripada biasanya, mengepul-ngepulkan napas beku sepertihidung kuda. Alih-alih menghangatkan diri di depan tungku, dia langsung memasuki lorong di antararumah-rumah petak tempat tinggal para pegawai tokonya.

“Hoi … hoi! Apakah kalian masih mengemasi barang?

Jangan menghabiskan waktu untuk bersiap-siap! Cepatlah keluar, cepat-bergegaslah kalian!”

Hidung menoleh ke arah lain. ke deretan rumah petak lain, dan melambai-lambai kepada para gadispelayan toko.

S S* bl terakhir di ^^^ Tidakkah kalian menyadari bahwa r n ^

Desember? Kalian gadis-gadis. |ika kalian ingin Tahun Baru, sebaiknya kalian lebih giat berjualan.

Hidung kemudian berjalan menuju rumahnya dan berhenti di beranda yang menghadap kebun dalam,lalu berseru, “Umeno, Umeno! Ambilkan sarapanku, sarapanku!” Dia membuka sandalnya danmemasuki rumah.

Istrinya bergegas menyajikan sarapan yang terdiri atas bubur panas, ikan kering, dan acar untuksuaminya yang rajin bekerja.

“Kau pasti kedinginan … ada sangat banyak bunga es pagi ini!”

“Ini bukan apa-apa,” jawab Hidung, meniup-niup buburnya dengan gaduh. “Desember telah datang,dan semua orang bangun sebelum matahari terbit … gerobak dan sapi sibuk bekerja, dan para pegawaitoko kita, yang tidak tahu arti kelaparan, malah bermalas-malasan. … Ah, apakah Shika ada di toko?Panggil dia kemari.”

Seorang gadis pelayan dikirim untuk memanggil Shika.

Shika adalah kepala pegawainya. Setelah kunjungan Tsunemung pada pagi sebelumnya, Hidungmembocorkan rahasia kepada Shika dan memerintahkannya untuk mengawasi setiap pelanggan yangmemasuki toko.

“Shika, kau tidak melihat orang yang berpenampilan mencurigakan, bukan?”

“Semuanya sudah dilakukan di toko. Saya sudah memasang tanda yang mengatakan bahwa toko akantutup hingga akhir tahun.”

“Mungkin saja ada mata-mata atau orang suruhan dari Rokuhara yang datang kemari dalampenyamaran.”

“Yang jauh lebih penting adalah mengawasi baik-baik mata dan lidah para pegawai kita.”

“Karena itulah aku memerintah mereka untuk berkeliling menjajakan barang dagangan, dimulai hariini, dan mereka akan menghabiskan waktu untuk menyelesaikan pekerjaan itu. Aku baru saja berbicaradengan mereka. Kau sebaiknya memberikan petuah dan mengawasi pekerjaan mereka, Shika.”

“Betul. Saya akan menemui mereka sekarang juga!”

“Nah, tunggu sebentar … satu lagi. Apakah kau yakin bahwa ikan karper laut yang kupesan di pasarikan akan dikirim kemari? Sekarang tanggal 3, besok tanggal 4 …

besok sudah terlambat”

“perahu-perahu nelayan tiba di Yodo pada pagi buta, dan kita tidak bisa mengharapkan mereka tiba disini hingga menjelang “Saat pesanan itu tiba, sebaiknya kau menyertai Nyonya menerimanya.”

“Ya, saya juga akan mengingat-ingat itu.” Kesibukan terlihat di depan gudang-gudang, tempat parapegawai toko

… pria dan wanita … memanggul barang dagangan mereka dan bersiap-siap berangkat. Para saudagarKyoto biasa mengirim para pegawai mereka untuk berkeliling menjajakan dagangan ke kota-kotatetangga dan daerah-daerah pinggiran setiap akhir tahun. Untuk alasan yang tidak bisa dijelaskan,bagaimanapun, Hidung memulai rutinitas ini lebih awal daripada biasanya pada tahun ini.

Shika melihat pegawai terakhir berangkat, dan dengan ekspresi lega, dia kembali ke dekat tungku,yang apinya telah mulai padam, untuk menghangatkan badan. Tepat ketika itulah dua orang pria yangmenarik gerobak tiba di depan toko. Topi dan pakaian mereka tampak berkilauan oleh sisik ikan.

“Selamat pagi. Periksalah ikan karper laut ini …

semuanya lima puluh ekor! Para nelayan yang

menangkapnya mengatakan bahwa mereka baru kali ini mendapat tangkapan sebagus ini. Lihadahbetapa segarnya ikan-ikan ini!”

Kedua pria itu dengan bangga menurunkan dua puluh lima buah keranjang, yang masing-masing berisidua ekor ikan karper laut sepanjang satu kaki yang telah dikemas dengan rapi menggunakan daunbambu.

Hidung segera keluar. “Bagus, bagus!” serunya, matanya membelalak mengamati pemandanganmenakjubkan itu.

Hei-mana ikan bass pesananku? Pesanan terpentingku … . ,

.„

“Eh, ikan bass? Tuan, Anda hanya memesan seekor, bukan.”

“Benar … itulah yang terpenting. Tanpa seekor ikan bass itu, kelima puluh ekor ikan karper laut initidak berarti apa-apa.”

“Ini. ini, dan ikan bass ini adalah yang terbagus. Tuan.

Di sini, di keranjang ini.”

Segera setelah kedua pengantar ikan itu pergi, Hidung menginstruksikan kepada Shika untuk langsungmengemas ulang ikan-ikan itu sebagai hadiah. Ikan-ikan yang telah diletakkan di dalam keranjang-keranjang beralaskan daun bambu dan dihias dengan buah-buahan beri merah dan hijau, dimasukkanke dalam sebuah tandu.

Istri Bamboku, yang mengenakan kimono terbaiknya, segera bertolak ke arah timur, ditemani olehShika dan empat orang pelayan yang memanggul dua buah tandu …

yang satu berisi tumpukan keranjang ikan dan yang lain berisi gulungan sutra dan anggur Cina,semuanya ditata dengan indah … dengan muatan yang seluruhnya ditutupi kertas minyak. Di mataorang awam, mereka tampak

seolah-olah sedang mengantar hadiah pernikahan. Setelah melintasi Jembatan Gojo, tibalah mereka diluar lingkungan Rokuhara. Esok hari adalah 4 Desember, yaitu tanggal keberangkatan Kiyomori keKumano. dan kuda, kereta, dan manusia tampak memadati jalanan, lebih daripada biasanya.

Istri Hidung berbelok menuju salah satu sayap, tempat tinggal nyonya rumah Rokuhara. Pintu masukbagi wanita terletak di sebelah barat gerbang dapur, tempat para penjaga, yang sepertinya telah akrabdengan Umeno, tersenyum dan mempersilakannya masuk. Umeno menghilang di balik pepohonan disekitar pintu masuk utama menuju rumah Nyonya Harima.

Setelah beberapa waktu, Umeno muncul kembali di gerbang dan berbasa-basi sejenak dengan parapenjaga.

“Bagaimana tanggapannya, Umeno?” tanya Hidung dengan penuh semangat setelah istrinya kembali.

“Ah, kau seharusnya melihat betapa gembiranya Tuan Harima … dan istrinya!”

“Jadi, kau bertiasil menemui istrinya?” “Bukan hanya itu

… semua kiriman kita ditata dan dipuji-puji.” “Bagus sekali, tapi, apakah dia berkomentar soal ikanbass itu?” “Mereka penasaran ingin mengetahui bagaimana kau tahu bahwa ikan bass adalah lambangkeberuntungan keluarga mereka, dan kedatangannya pada malam sebelum keberangkatan TuanHarima, kata mereka, adalah firasat terbaik … sebuah hadiah indah yang mereka terima dengan penuhsuka cita.

Aku cukup terhanyut oleh kebahagiaan mereka.” •

“Kau tidak mengatakan apa pun yang tidak seharusnya kau katakan, bukan?”

“Oh, tidak, tidak sepatah kata pun soal itu …” Umeno, yang mengetahui maksud sesungguhnya dandampak dari urusan berbahaya suaminya, menjawab dengan lirih.

Hidung memiliki penglihatan tajam untuk membidik keuntungan, penciuman tajam untuk mengendusunsur paling menguntungkan dari sebuah situasi, sehingga ketika Tsunemun& membocorkan tentangpersekongkolan rahasia para pejabat istana, dia serta merta bersedia memberikan dukungan. Bukankahdia seorang sosok penting di dalam dunia perdagangan, yang telah melejit dari pekerja rendahan diIstana menjadi seorang saudagar kaya? Dan, walaupun dia seolah-olah bersedia menanggung risikobesar demi pengayomnya, sesungguhnya dia tidak selugu itu. Dia tidak berminat untukmempertaruhkan nyawa dan seluruh kekayaannya demi mendukung persekongkolan beberapa orangbangsawan. Menurut pengamatan Hidung, pergolakan besar-besaran tidak akan terhindarkan lagi, dandia akan mendapatkan lebih banyak keuntungan jika memberikan dukungan kepada dua belah pihak.Bangsawan atau samurai-siapa pun yang menang. Hidung adalah seorang saudagar dan harusmemperoleh keuntungan.

Hidung melibatkan istri dan kepala pegawainya dalam rencananya Walaupun di satu sisi dia telahmenyanggupi untuk membantu Tsunemun*. dia tetap tidak lalai mengirim hadiah selamat jalan yangindah untuk Kiyomori.

Sejak beberapa tahun terakhir, pusat kegiatan ibu kota telah secara jelas berpindah ke pasar di gerbangJalan Kelima, dan banyak orang mengatakan bahwa semakin besarnya kekayaan keluarga Heik6 dariRokuhara adalah salah satu penyebab utamanya. Rokuhara, yang terletak di seberang sungai, teriihatdengan sangat jelas dari gerbang Jalan Keenam dan. setelah mempertimbangkan berbagai

risikonya, Tsunemun^ memutuskan bahwa rumah Hidung adalah tempat yang tidak akanmenimbulkan kecurigaan.

Segera setelah tersebar kabar bahwa Kiyomori akan meninggalkan ibu kota untuk berziarah keKumano. para pelaku persekongkolan mulai mempercepat persiapan mereka. Mereka menjadikanrumah Bamboku sebagai pangkalan, tempat rencana-rencana akhir mengenai pembentukan danpenempatan pasukan dijabarkan.

Gerimis turun pada malam hari tanggal 7 Desember.

Timbunan batu bara dan karung-karung jerami yang telah kosong bertumpuk di dekat pintu masukrumah Hidung.

Sosok-sosok yang bermantel jerami dan bertopi lebar atau menyamar dengan jubah pendeta satu demisatu bergegas memasuki rumah sang saudagar. Sebagian dari mereka menambatkan kuda mereka kepohon dedalu di depan rumah, dan sebagian yang lain. begitu turun dari kereta sapi mereka, langsungdisambut oleh pelayan-pelayan berpayung.

Ini adalah pertemuan rahasia terakhir yang diselenggarakan oleh para pemimpin persekongkolan;selain orang-orang yang telah secara teratur bertemu di rumah peristirahatan Nobuyori. GenjiYoshitomo dan seorang anggota keluarga Genji yang berpengaruh lainnya, Yorimasa, juga tampak disana. Yorimasa, yang tidak kuasa menolak bujukan Yoshitomo. akhirnya bersedia hadir.

Yorimasa adalah seorang samurai berusia awal lima puluhan, lebih tua daripada Yoshitomo. dan

sejauh ini adalah tokoh tertua yang hadir di sana.

“Kami semua menyambut gembira kesediaan Anda untuk bergabung bersama kami,” sambutNobuyori, yang segera dilanjutkan oleh Korekata:

“Kedatangan Anda memberikan suntikan semangat yang tak terkira besarnya bagi kami, begitu besar,sehingga kami yakin bahwa rencana ini akan berhasil.” .

Tidak diragukan lagi, kehadiran Yorimasa berhasil menghadirkan dukungan moral yang dibutuhkanoleh para pejabat istana itu, karena selain sebagai salah satu dari sepuluh orang panglima pengawalsinggasana pilihan mendiang Kaisar Toba, kedudukannya sebagai pemimpin pos pengadaanpersenjataan militer juga tidak bisa diabaikan. Karena itulah, merebut dukungannya menjadi sesuatuyang sangat penting.

Yorimasa, seorang pria pendiam, tampak menjaga jarak dan hanya sesekali menyela perdebatan sengitantara Nobuyori dan Korekata. Hujan telah reda dan angin bertiup kencang ketika para pelakupersekongkolan itu akhirnya keluar dari rumah Bamboku dan menghilang seorang demi seorang ditengah kegelapan malam.

Keesokan paginya, tanggal 8 Desember, kehidupan di ibu kota berjalan seperti biasanya. Pada tengahmalam menjelang tanggal 9 Desember, bagaimanapun, derap kaki-kaki kuda yang menyerupai gelegarguruh teredam menggema di seluruh daerah di antara JaJan Keempat dan Keenam. Tidak berapa lamakemudian, sosok-sosok berkuda berkumpul di Istana Kloister di Jalan Ketiga dan di tempat-tempatsekelilingnya. Di masing-masing gerbang Istana, terdengarlah dentangan senjata dan ringkikan kuda.

Pedang-pedang dan tombak-tombak berkilauan di bawah cahaya bintang; aroma kebengisan dankebiadaban menggelayuti udara malam yang sarat akan bunga es.

Sebuah kelompok memisahkan diri dari sebuah pasukan yang terdiri atas enam ratus orangpenunggang kuda, rnenghamp.n gerbang utama, dan sebuah suara lantang

yang membelah malam bagaikan badai salju, terdengar berseru:

“Adakah orang di dalam? Buka gerbangnya … ini adalah Wakil Penasihat Nobuyori! Urusanmendesak memanggil saya dari ibu kota! Saya harus menemui Yang Mulia secepatnya!”

Sebelum gema dari teriakan itu menghilang, para prajurit telah mulai menggedor-gedor gerbang.Sorak sorai berisi tuntutan agar gerbang-gerbang didobrak segera menyusul, namun sosok di atas kudaitu mengisyaratkan kepada pasukannya untuk diam. Jawaban tidak kunjung terdengar dari dalam.Suara yang terdengar hanyalah deru angin di antara cabang-cabang pepohonan yang telanjang.

Mantan Kaisar Goshirakawa masih terjaga, menghabiskan malam bersama dua orang putra Shinzeidan para pejabat istana lainnya dengan menikmati drama dan tarian, diiringi oleh para pemain musikistana. Ketika derap langkah dan kegaduhan terdengar di koridor-koridor istana, mereka seketika pucatpasi. Kekhawatiran pertama mereka adalah api. Belum sebulan berlalu sejak salah satu istana di dekatsungai terbakar habis, dan seorang putri yang sedang mementaskan tarian Tahun Baru tewas di sana.

Kengerian telah melumpuhkan mereka ketika seorang pegawai istana tiba-tiba memasuki ruangan dan

dengan terengah-engah mengumumkan, “Wakil Penasihat ada di sini, dikawal oleh pasukan pembawaobor dan prajurit bersenjata! Beliau menuntut untuk dipertemukan dengan Yang Mulia. Beliau datangdengan membawa senjata lengkap dan untuk mengucapkan selamat tinggal. Beliau tidak mengatakanalasan mengenai kedatangannya yang seperti ini. Sorak sorai dan keributan terdengar di luar gerbang.Dengarkanlah!”

Si pembawa pesan membuka pintu. Angin dingin bertiup masuk dan memadamkan lilin-lilin sehinggaruangan itu seketika menjadi gelap gulita.

“Apakah Yang Mulia bersedia menemui Wakil Penasihat?”

“Cahaya … aku ingin cahaya!”

Ketika mendengar bahwa Nobuyori adalah penyebab keributan itu, Mantan Kaisar Goshirakawa sertamerta berdiri dan menghambur ke koridor yang dingin.

Lilin-lilin, yang segera dinyalakan kembali, dibawa mengikuti sosok Mantan Kaisar melintasi Istanamenuju Ruang Selatan. Pintu-pintu di sana dibuka. Di bawah cahaya lilin, Goshirakawa melihat sosokberkuda, yang menyapanya:

“Yang Mulia, saya baru saja mendengar sebuah desas-desus yang mengatakan bahwa PenasihatShinzei telah menetapkan tuduhan alsu kepada saya dan mengirim pasukannya untuk menahan saya;karena itulah saya memutuskan untuk melarikan diri ke timur bersama sebagian pasukan saya danbersembunyi selama beberapa waktu. Saya datang kemari untuk berpamitan kepada Anda.”

Terkejut mendengar pemberitahuan dari salah seorang pejabat kesayangannya, Mantan Kaisarbertanya,

“Siapakah yang telah menyebarkan desas-desus tak berdasar itu? Itu hanyalah kabar burung yang keji,Nobuyori, dan kau terkelabui.” “Tidak, desas-desus itu tidak mungkin salah.” “Tetapi, tidak ada yangmengatakan apa pun kepadaku …” “Jika begitu, bagaimanakah pendapat Yang Mulia mengenai halitu.”

“Aku sendiri akan menemui Kaisar dan memastikan agar tuduhan kepadamu itu dicabut. Tetapi,Nobuyori …

mempersenjatai diri hingga segigi-gigimu?” ‘

“Izinkanlah saya, jika begitu, Yang Mulia, untuk menyertai Anda ke Istana. Mari, gunakanlah keretasaya.”

“Apa maksudmu merintahku seperti itu, Nobuyori?”

amarah Goshirakawa pecah, namun sebelum bisa mengatakan sepatah kata pun lagi, para prajurit telahmenghambur ke beranda, meringkusnya, dan mengangkutnya ke sebuah kereta. Penasihat Moronakatelah menanti di dekat kereta itu. Bingung dan marah akibat perlakuan kasar yang diterimanya,Goshirakawa menolak untuk memasuk, kereta dan menoleh kepada sang penasihat

“Kau, Morinaka, apa maksud kedatanganmu kemari –

bersenjata pula?”

Penasihat Morinaka mundur dan menjawab dengan terbata-bata. “Hanya untuk kali ini, Yang Mulia.Jangan cemas. Kita akan segera kembali kemari.”

Sementara Morinaka dengan gemetar merentetkan berbagai alasannya, beberapa orang prajurit munculsambil menyeret seorang putri yang meratap-ratap, adik Goshirakawa. Mantan Kaisar tidak sangguplagi berkata-kata ketika melihat adiknya. Tanpa menyanggah lagi, dia membiarkan dirinya didorongke kereta, menyusul sang adik.

Sebuah perintah tegas terdengar, “Begitu kereta berangkat, nyalakan api di semua gerbang! Jangansampai anak-anak Shinzei melarikan diri. Habisi saja siapa pun yang melawan!”

Kereta berderak maju dan keluar melalui salah satu gerbang, yang terlalap api sesaat kemudian.Sebuah cambuk

melecut-lecut di belakang kerbau penarik kereta, sementara kendaraan besar itu terguncang-guncangdi atas jalan yang beku. Yoshitomo dan Nobuyori beserta pasukan berkuda mereka mengiringi langkahsi kerbau yang, terpacu oleh dentangan senjata dan derap kaki kuda, berlari menggila hingga keretayang ditariknya mendekati Gerbang Selatan Istana Kekaisaran.

“Utara … ke Gerbang Utara!”

Barisan berantakan itu membanjiri tembok Istana Kekaisaran, berbelok dengan tajam ke utara danmenghambur memasuki halaman Istana, sebelum berhenti di antara gerbang luar dan dalam di dekatGedung Arsip Istana.

Yoshitomo dan Nobuyori melakukan perundingan singkat:

“Sebaiknya kita menahan mereka di sana hingga keributan di kota mereda.”

Goshirakawa dan adiknya dibawa memasuki Gedung Arsip dan dikurung di sana. Para prajuritdiperintahkan untuk mengawasi tahanan hingga perintah selanjutnya dikeluarkan.

Kaisar Nijo, sementara itu, secara paksa dibangunkan dari tidurnya oleh para prajurit dan secepatnyadigelandang, dalam keadaan ketakutan, ke sebuah gedung di sisi utara Istana untuk kemudian dikurungdi sana.. -

Sekarang, setelah Kaisar dan Mantan Kaisar ditahan dan para prajurit Genji memegang kekuasaanutuh di Pangkalan Pengawal, yang harus dilakukan oleh para pelaku persekongkolan adalah menanganiShinzei dan Kiyomori.

Ketika meninggalkan gedung Arsip dan mengitari halaman Istana ke arah timur, Genji Yoshitomo,Wakil

Penasihat Nobuyori, dan para pengikut mereka melihat api telah melalap Istana Kloister. Langit diatasnya seolah-olah turut terbakar. Asap yang menyesakkan napas membubung ke langit danmenghujankan bara biru menyala yang menjadikan bintang-bintang musim dingin tampak gemetar.

Kuda Nobuyori mendadak berhenti ketika sepasukan prajurit mengyongsong mereka dengan tombakteracung.

Nobuyori tanpa sadar menjerit, “Musuh! … Genji atau Heike?” Yoshitomo tertawa di belakangnya.

“Mereka pasti anak buah kita, tapi aku tidak heran jika mereka ternyata Heike.”

Pasukan itu maju menghampiri Nobuyori dan Yoshitomo, lalu mendadak berhenti di hadapan merekauntuk melaporkan apa yang telah terjadi di Istana Kloister.

Mereka telah menangkap dan memenggal kepala dua orang penasihat Mantan Kaisar, kata mereka,sementara seorang prajurit mengacungkan sebilah pedang yang digunakan untuk menancapkan duabuah kepala. Nobuyori bergidik dan langsung mengalihkan pandangan, namun Yoshitomomencondongkan badan untuk memeriksa kedua kepala itu dari jarak dekat.

“Bagus sekali,” perintahnya, “pajang kedua kepala ini di Gerbang Timur. Umumkanlah kepadamasyarakat nama semua anggota keluarga Genji dan Heike yang telah dipenggal.”

Diikuti oleh para prajurit yang bersorak sorai dengan semangcberapi-api, Nobuyori dancberbelok kebarat dan menyusuri jalan disebelah selatan akedemi.

Ketika itu pukul dua dini hari. Api masih menyala, dan angin kencang menebarkan bara, meniupnyake segala arah dalam sebuah tarian iblis.

Korekata dan Nobuyori, setelah menerima laporan dari mata-mata bahwa Shinzei dan putra-putranyasedang menghabiskan malam di Istana Kloister, memerintahkan agar seluruh tempat itudibumihanguskan. Tetapi, ketika diketahui bahwa Shinzei tidak menyerati putra-putranya, Korekatasegera memerintah para prajuritnya untuk mengepung kediaman sang penasihat dan membakarnya,tanpa membiarkan seorang pun meloloskan diri. Ketika pagi tiba, para prajurit menyisir seluruh abu direruntuhan bangunan itu namun tidak menemukan mayat Shinzei.

Ketika fajar merekah pada 10 Desember, seluruh ibu kota masih dicekam kengerian. Rumah-rumahdan toko-toko tertutup rapat, dan hanya kelompok-kelompok prajurit berwajah menghitam danbernoda darah yang terlihat berkeliaran di jalanan. Di gerbang Jalan Kelima, bagaimanapun, tokoHidung buka seperti biasa.

Bamboku menghabiskan sepanjang malam di atas atap rumahnya, menyaksikan pembakaran di ibukota. Melihat bangunan-bangunan yang ditelan api dan asap, dia mengerang, “Sayang sekali … api ituadalah emas murni!”

Jiwa sang saudagar mendesah melihat begitu banyaknya harta yang hancur lebur menjadi abu malamitu.

“Apa pun yang terjadi, sepertinya Wakil Penasihat Nobuyori berkuasa saat ini. Luar biasa … benar-benar luar biasa! Dengan kepergian Shinzei, ini bisa diduga.”

Bertengger di atapnya bagaikan seekor burung bangkai, Hidung menyaksikan api perlahan-lahanpadam, dan dia pun segera mengalihkan pikirannya pada bisnis yang telah menantinya keesokanharinya. Tidak sekelumit pun ketakutan atau keraguan tebersit di benaknya. Otaknya tanpa henti

berputar dan menggeliat.

“Bagaimana Tuan Harima akan menerima kabar ini?

Dengan kepergian nya, Rokuhara tentu tidak berdaya.”

Bamboku menoleh ke arah Rokuhara di seberang sungai.

Dia tidak melihat geliat kehidupan di sana. Membayangkan perasaan para penghuni tempat itu, diaberkomentar dengan lega, “Untunglah aku seorang pedagang … oh, sungguh bagus takdirku,dilahirkan menjadi seorang pedagang!”

Kemudian, dia turun dari angkat dan berseru dengan suara yang sarat akan emosi, “Perempuan,bangunkan Shika! … Katamu dia sudah bangun? Kalau begitu, bangunkan para pelayan. Perintahkanmereka untuk mengeluarkan gerobak-gerobak dan menunggu di dekat gudang.”

Di saat pikirannya kalut, Hidung melupakan bahwa istrinya berdarah biru dan membentak-bentaknyaseperti istri biasa. Sejenak kemudian, Hidung telah sibuk mengangkut berguci-guci sake … lebih dariselusin … keluar dari gudang dan memuatnya ke dalam gerobak.

“Pastikan agar sake ini terkirim ke kediaman Yang Terhormat Nobuyori dan Yoshitomo.Sampaikanlah kepada mereka bahwa ini adalah hadiah kemenangan dariku. Katakan juga bahwa akuakan menemui Penasihat Tsunemune secara pribadi siang nanti,” kata Hidung kepada Shika.

Para pelayan tampak enggan. Masih terlalu berbahaya untuk melintasi ibu kota dengan membawagerobak bermuatan seperti itu, dan mereka pun memprotes dengan keras kepala.

Hidung cepat-cepat menyanggah mereka. “Omong kosong! Seandainya kalian pelayan samurai,semalam kalian harus mengangkat pedang dan panah untuk menyelamatkan diri kalian sendiri!Apakah kalian mengira

bahwa para samurai dan pelayan mereka itu pernah punya cukup makanan untuk mengenyangkan dirimereka?

Bagaimana kalian bisa menjadi pedagang yang baik jika kalian tidak berani menghadapi keadaanseperti ini?”

Setelah melihat sendiri para pelayannya keluar menyusun jalanan yang masih gelap. Hidung kembalimemasuk, rumah dan menikmati Lapan yang masih panas, kemudian merayap ke ranjang dan tidurnyenyak.

Tanpa menyia-nyiakan waktu, Wakil Penasihat Nobuyori dan Korekata dari Kepolisian mendudukiIstana dan mengeluarkan proklamasi atas nama Kaisar.

Tanggal 12 telah tiba, dan kabar tentang Shinzei belum juga terdengar. Sang penasihat segeramelarikan diri dari ibu kota dengan menunggang kuda begitu mata-matanya memberinya peringatan,sejenak sebelum pemberontakan pecah pada malam hari tanggal 10. Dia tidak sempat lagimemperingatkan istrinya, Nyonya Kii, atau putra-putranya yang sedang berada di Istana Kloister.Shinzei melakukan perjalanan dalam kegelapan, menyusuri Jalan Raya Uji menuju salah satu tanah

kekuasaannya. Lima orang pelayan tersaruk-saruk di belakangnya. Menjelang siang pada tanggal 13,salah seorang pelayan Shinzei, yang berhasil meloloskan diri dari ibu kota, bertemu dengan rekannyasesama pelayan di wilayah perbukitan di dekat Uji.

“Di manakah majikan kita? Apakah beliau selamat?”

tanyanya.

Rekannya ragu-ragu dan, berpikir bahwa lebih bijaksana jika dirinya tidak banyak bicara,meyakinkannya bahwa Shinzei selamat dan balas menghujaninya dengan pertanyaan mengenai apayang terjadi di ibu kota. Setelah

mendengar semua kabar yang mungkin diperolehnya, dia mendesak temannya agar kembali ke Kyoto.

Sekembalinya di tempat majikannya, si pelayan menuturkan semua cerita yang telah didengarnya.Shinzei pucat pasi karenanya dan, selagi mereka masih berbicara, beberapa orang pelayan lain, yangbaru saja kembali setelah melakukan pemeriksaan di lingkungan sekitar mereka, menyampaikan kabarbahwa sebuah pasukan

beranggotakan tujuh puluh orang samurai berkuda sedang mendekat ke arah mereka.

Bagaikan seekor binatang yang telah terdesak, mata Shinzei berkaca-kaca. Dia mengerang. Tidak adaharapan lagi baginya untuk mencapai daerah kekuasaannya.

Kemudian, dia menoleh kepada kelima pelayannya.

“Aku punya rencana. Ada rumah petani di belakang kuil ini. Carilah sekop dan galilah sebuah lubangdi sana … di belakang rumpun bambu …. Cepat … sebuah lubang!”

Para pelayan itu secara membabi buta menggali tanah yang beku hingga mendapatkan sebuah lubangyang cukup besar untuk menampung Shinzei dalam posisi duduk bersila. Shinzei memasuki lubang itudan memerintahkan kepada para pelayannya untuk menimbunnya dengan daun dan ranting pepohonanhingga batas lehernya.

“Sekarang, timbuni aku dengan tanah,” perintah Shinzei, menyelipkan seruas bambu ke bibirnya,“hingga bahuku tertutup seluruhnya. Pasang topi bambu itu di kepalaku, dan masukkan

lebih banyak lagi tanah, perlahan-lahan, hingga puncak kepalaku rata dengan permukaan tanah.Robeklah secarik kain dari kimono kalian dan sumpallah telinga dan hidungku dengan lembut;kemudian, tutupilah jejak kalian dengan dedaunan. Pastikan agar tidak ada kotoran yang

menyumbat bambu yang kugunakan untuk bernapas ini.

Tinggalkan aku di sini hingga besok, dan kembalilah segera setelah keadaan aman.”

Setelah menyelesaikan tugas mereka, para pelayan Shinzei segera pergi.

Keesokan siangnya, dua dari lima orang pelayan Shinzei kembali secara diam-diam dan terperanjatketika menemukan sebuah lubang menganga dengan sesosok mayat di dalamnya. Beberapa orang

petani yang mereka temui mengatakan bahwa beberapa orang prajurit, dengan dipandu oleh seorangpenebang pohon, mendatangi tempat itu pada malam hari dan menggali lubang tempat Shinzeibersembunyi, menariknya keluar, memenggalnya di sana dan saat itu juga, lalu langsung pergi setelahmelemparkan kembali mayat tanpa kepala sang penasihat ke dalam lubang.

Pada hari ketika Shinzei menemui ajalnya – 13

Desember – seorang kurir dari Rokuhara berhasil mengejar Kyomori di Kiribe.

Pada tanggal 14, ketika kabar mengenai penangkapan dan pemenggalan Shinzei mencapai ibu kota,sebuah proklamasi dibuat, mengumumkan bahwa kepala Shinzei akan diarak di sepanjang jalan-jalanutama ibu kota dan kemudian dipajang di sebuah tempat umum.

Masyarakat berduyun-duyun turun ke jalanan ibu kota untuk menyaksikan pemandangan yangmendirikan bulu kuduk ini. Ketika kepala Shinzei dipamerkan di hadapan Nobuyori, Korekata, danYoshitomo yang duduk di dalam kereta mereka, salah seorang penonton terdengar mengatakan telahmelihat simbol mengerikan itu mengangguk dua kali ke arah ketiga pria tersebut. Maka, cerita anehini pun beredar dengan cepatnya dari mulut ke

mulut di antara para penonton yang siap memercayai segalanya.

Dari keluarga Shinzei, sembilan belas orang, termasuk putra-putranya, ditahan dan dipenggal di tepisungai, tempat begitu banyak orang telah menemui ajal mereka belum lama berselang berdasarkanperintah Shinzei. Kepala Shinzei dipajang di atas sebatang pohon di sisi barat ibu kota agar semuaorang bisa melihat nasib ironis seorang pria yang telah membangkitkan hukuman mati.

Sebelum pekan itu berakhir, para pemberentok telah membagi-bagikan jabatan-jabatan terpenting diantara mereka sendiri dan memproklamirkan diri sebagai pemerintah yang baru. Selain menjadimenteri, Nobuyori juga menghadiahi dirinya sendiri dengan jabatan Jenderal Kesatuan PengawalKekaisaran yang telah lama didambakannya. Korekata, fsunemung, dan yang lainnya mendapatkanjabatan idaman mereka masing-masing, dan Genji Yoshitomo mendapatkan Provinsi Harima. GenjiYorimasa, bagaimanapun, tidak menghadiri pesta perayaan kemenangan mereka dengan alasan bahwacedera yang dideritanya menghalanginya untuk keluar dari rumah.

Segala macam pikiran tentang Kaisar dan Goshirakawa yang masih ditahan untuk sementara ituterlupakan. Tetapi, ketika pesta tengah berlangsung, seorang juru tulis istana menghampiri Yoshitomountuk menyampaikan sebuah pesan:

‘Tuan, putra Anda baru saja tiba dari Kamakura. Beliau sedang menanti Anda di salahi satu ruangtunggu.”

Wajah Yoshitomo mendadak berseri-seri. “Benarkah?”

Wajah Nobuyori tampak merah padam di bawah lapisan bedak tebalnya. Dia telah minum sepanjangmalam.

Mendengar kata-kata si juru tulis, dia mencondongkan

badan ke arah Yoshitomo, yang duduk di sampingnya.

“Tuan Juru Kunci Istal Kekaisaran, siapakah yang baru saja tiba dari Kamakura?”

“Putra sulungku, Yoshihira. Dia dikirim ke sana sejak masih bocah untuk memperoleh pendidikan.Namanya tercoreng gara-gara dia pernah membunuh pamannya sendiri dalam sebuah pertengkaran.Dia memang anak nakal, namun sepertinya dia telah mendengar tentang gejolak yang terjadi di sinidan datang untuk menawarkan bantuan. Ini membuatku bangga kepadanya. Pepatah mengatakanbahwa semakin bermasalah seorang anak, semakin besar cinta orangtuanya kepadanya”

“Sudah berapa lamakah sejak kau terakhir kali berjumpa dengannya?” -

“Aku tidak ingat lagi berapa tahun telah berlalu.”

“Berapakah umurnya?”

“Sembilan belas tahun.”

“Dia tentu telah berkuda dari Kamakura sepanjang siang dan malam tanpa sekali pun berhenti. Kausebaiknya menemuinya tanpa membuang-buang waktu lagi. Ajak saja dia kemari”

Yoshitomo menelengkan kepala. “Jika kau

menghendaki, Tuan.” “Aku ingin bertemu sendiri dengan Yoshihira.” Si juru tulis mempersilakanseorang pemuda masuk, dan seluruh ruangan serentak menoleh dengan penasaran ke arahnya. Tetapi,ekspresi kecewa seketika muncul diwajah mereka karena, berbeda dengan reputasinya, Yoshihiraternyata berpenampilan biasa-biasa saja dan berperawakan agak kecil, Dia mengenakan baju zirahyang biasa dikenakanan seorang samurai muda. Tali sutra ungu di topinya terikat di bawah dagunya,semakin menonjolkan rona merah pipinya dan menimbulkan kesan

lembut pada sosoknya yang sehat. Topinya masih baru dan sepertinya dikenakannya dengan tergesa-gesa untuk mengikuti acara ini.

Nobuyori mengamati pemuda itu dari ujung kepala hingga ujung kaki.

“Genji Yoshihira, kau membawa keberuntungan bagi kami. Kau datang pada hari perayaan,” katanya.“Kau pun juga harus sesegera mungkin membuktikan dirimu di dalam peperangan, dan dengankekuatanmu sendiri merebut sebuah jabatan di istana. Semua orang yang kaulihat di sekelilingku initelah membuktikan diri mereka selama empat hari terakhir dan saat ini sedang mendapatkan hujanpujian dan kehormatan, seperti yang selayaknya mereka terima.

Ini … sake untuk Yoshihira.”

Yoshihira membungkuk dalam-dalam untuk

memberikan penghormatan, kemudian duduk tegak dan menatap para pejabat istana yang duduk dipanggung kehormatan, seolah-olah belum pernah melihat pemandangan semenakjubkan itu. Seorangpelayan menyerahkan secangkir sake kepadanya. Yoshihira menghabiskannya dalam sekali tenggak.Si pelayan mengisi kembali cangkirnya, dan dia menenggaknya lagi tanpa mengatakan apa-apa. Ronadi wajah berkulit cokelatnya menimbulkan kesan lugu yang jarang ditemui dalam diri para pemudaibu kota. Tatapan mata jernihnya tidak menunjukkan kelicikan apa pun.

“Minummu hebat, Yoshihira. Kau menikmatinya?”

“Ya.”

“Dan … cinta?”

“Mengenai itu, saya tidak tahu apa-apa.”

“Apakah yang membawamu ke ibu kota? Untuk memperoleh nama?”

“Itu cita-cita saya. Saya datang kemari karena mendengar bahwa h saya sedang membutuhkanbantuan, dan putra macam apakah tidak akan melakukan hal yang sama?” Jawaban lugas dan langsungitu sepertinya memuaskan Nobuyori. “Cara bicaramu khas orang timur!”

Dia tergelak, memamerkan giginya yang telah diwarnai.

Yoshihira mengernyitkan wajah dengan jijik melihat deretan gigi hitam di tengah wajah yang terpolescat.

“Kau tidak sombong tetapi jantan, Yoshihira. Ayo, kau harus mengikuti teladan ayahmu dan merebuttempatmu di antara kami. Aku akan memastikan agar kau bisa.”

Kesan kesal mengambang di atas senyuman Yoshihira.

Para pejabat istana itu, pikirnya, masih memperlakukan samurai seperti anjing penjaga. Saat inimereka sedang mengiming-iminginya dengan jabatan, seolah-olah dirinya seekor anak anjing.

“Apakah yang membuatmu tersenyum, Yoshihira?”

tanya Nobuyori. “Apakah kau tertarik untuk memegang jabatan?”

Yoshihira menggeleng. “Tidak, saya sedang memikirkan paman saya dan apa yang beliau lakukanselama Perang Hogen.”

“Perang Hogen? Pamanmu?”

“Genji Tametomo adalah paman saya. Beliau menolak sebuah jabatan di istana dari MenteroGolongan Kiri ketika perang dimulai, dan terjun begitu saja ke medan perang ….

Saya hanya memikirkan itu.”

Nobuyori mengernyitkan wajah. Dia merasa telah menyinggung perasaan pemuda itu. Para pejabatistana

memelototi Yoshihira; Yoshitomo menahan sambutan bangganya. Untungnya, kedatangan sebuahpesan untuk Nobuyori memecahkan keheningan yang menyelimuti ruangan. Seorang kurir telahkembali dengan membawa laporan mengenai lokasi keberadaan Kiyomori.

Setelah Shinzei tewas, hanya Kiyomori yang harus mereka hadapi, dan tidak ada yang perlu

dikhawatirkan dan Rokuhara tempat adik dan adik ipar Kiyomori bertanggung jawab, desas-desusyang mengatakan bahwa mereka pun telah membawa para wanita dan anak-anak, dan satu sajaperintah dari Nobuyori kepada pasukannya akan bisa memastikan kebenaran kabar burung itu. Tetapi,Nobuyori dan para pendukungnya bersedia menunggu hingga mereka mengetahui tindakan yang akandiambil oleh Kiyomori.

Mereka yakin bahwa Kiyomori telah berada di ujung tanduk; dia tidak akan berani melawan mereka.Tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali menyerah. Beberapa orang, bagaimanapun,mengkhawatirkan kemungkinan bahwa Kiyomori akan cukup kalap dan menantang mereka melakukanpertempuran habis-habisan.

Walaupun sebagian orang merasa waswas, pihak yang telah menang tidak terganggu sedikit pun ketikamendengar berita terbaru tersebut “Sepertinya Kiyomori telah memutuskan untuk kembali ke ibu kota.Kurir yang kita berangkatkan pagi ini baru saja kembali. Tidak ada kabar tentang langkah yang akandiambil Kiyomori. Tetapi, kita akan mengetahuinya dari kurir berikutnya.”

Pesta dilanjutkan, dan Nobuyori kembali memerhatikan Yoshihira.

“Dan, omong-omong, Anak Muda, apakah pendapatmu mengenai semua ini?”

Yoshihira, yang telah memerhatikan baik-baik potongan-potongan pembicaraan di sekelilingnya,dengan penuh semangat menjawab, “Izinkanlah saya memimpin sepasukan prajurit. Saya akan pergike Abeno dan menantang Heik6 Kiyomori untuk melakukan pertarungan satu lawan satu di sana danmembawa kepalanya kemari.”

Kepercayaan diri Yoshihira menggelikan para pejabat istana, yang menyambut ucapannya dengantertawa terbahak-bahak.

Yoshihira mengedarkan pandangan dengan heran.

o0odwkzo0o

Bab XXII-Jeruk Dari Selatan

Malam musim dingin turun perlahan-lahan di tengah laut, menghadirkan nuansa kebiruan yangmenyerupai sisik ikan sementara matahari tenggelam di cakrawala. Di permukaan air yang jauh,lekak-lekuk ombak tampak putih berkilauan. Ketika itulah kecepatan putaran bumi nyaris terasa,seiring sejalan dengan perubahan cahaya. Garis panjang pesisir Semenanjung Kii tampak berkerutmerut di bagian selatan, disambut oleh deretan perbukitan, dan Pelabuhan Kirib6 berdiri di antaranya,tampak indah dan permai. Beberapa titik cahaya berkilauan dari dusun yang terletak di antara mulutsungai dan laut.

“Tenggelamlah matahari … ah, tenggelamlah,” bisik Kiyomori pada langit yang semakin gelap dankaki bukit yang menjadi tempat berdirinya Tempat Pemujaan Kumano. Tidak pernah sekali punselama empat puluh dua tahun kehidupannya, dia menyaksikan matahari tenggelam dengan perasaansegetir itu. Ketika rtu adalah tanggal 13

Desember, hari saat dia mendengar kabar mengenai peristiwa memilukan yang terjadi di Kyoto.

Ketika rombongannya telah pulih dari kepanikan mereka, Kiyomori memanfaat sebuah bangsal disalah satu bangunan yang terhubung dengan Tempat Pemujaan Kiribe untuk mengadakanmusyawarah; dikelilingi oleh para pengikutnya, Kiyomori berbicara:

“Kita tidak boleh kehilangan semangat di masa terburuk dalam kehidupan kita ini. Lalu, apakah yangsebaiknya kita lakukan? Shigemori, sampaikanlah pendapatmu kepada kami. Mokunosuk6 … dankalian semua … bicaralah.

Semua orang di sini, katakanlah pendapat kalian kepadaku tentang apa yang sebaiknya kita lakukan.”

Tidak seorang pun dari mereka pernah melihat Kiyomori seperti ini. Sikap seriusnya menjadikansosoknya sulit dikenali. Dia bukan lagi seorang pemimpin berperangai riang dan penuh kepercayaandiri seperti yang selalu mereka kenal. Alis tebalnya, yang memberinya kesan keras kepala, bertautmenjadi seruas garis tebal, menaungi sepasang matanya yang memancarkan kecemasan.

Kesan muram juga tampak di wajah Shigemori, yang biasanya selalu tenang.

“Pertama-tama, katakanlah kepada kami pendapat Ayah.

Tidak ada yang kami inginkan melebihi hidup atau mati bersama Ayah,” kata Shigemori.

Kiyomori segera menjabarkan garis besar dua buah rencana. Shigemori menyampaikan keberatan, danMokunosuk6 menggeleng. Dan, sementara mereka berunding, siang musim dingin yang pendekdengan cepat berganti malam.

“Setiap detik begitu berharga, dan kita harus beristirahat dan tidur, atau kita akan kesulitanmenghadapi hari esok.

Bagaimana jika kita meminta juru kunci tempat pemujaan untuk menghidangkan makan malam kita di

dekat tungku?

Dan kau, Mokunosukg, katakan kepada para pelayan untuk memasak makanan mereka dan tidur.”

Pembicaraan itu berakhir ketika juru kunci tempat pemujaan muncul untuk menyambut Kiyomori danmengawalnya ke sebuah pondok yang khusus didirikan bagi para tamu kekaisaran yang hendakmenuju Tempat Pemujaan Kumano, beberapa hari perjalanan lagi ke arah tenggara. Besarnya perapianterbuka yang ada di pondok itu selalu mengejutkan para tamu dari ibu kota. Kiyomori duduk

di dekat api yang bergolak dan mendengarkan gumaman laut di kejauhan.

“Ayah pasti lelah.”

“Oh, kaukah itu, Shigemori? Di manakah si Tua Bangka?”

“Dia akan kemari sebentar lagi.”

“Aku hanya ingin berbicara bertiga di sini.”

“Mokunosuk6 juga berpendapat begitu. Dia sedang memeriksa apakah semua orang telah tidur malamini.”

“Bagaimanakah keadaan mereka?”

“Mereka sangat terguncang pada awalnya, namun semangat mereka sepertinya telah kembali.”

“Jika ada di antara mereka yang hendak kabur, biarkanlah saja. Jangan mengawasi mereka terlaluketat.”

Para perawan biara membawa masuk sake dan makanan, dan kepala pendeta hadir beberapa saatkemudian untuk

menyapa Kiyomori. Kiyomori cepat-cepat memberinya penghormatan dengan cara yang semestinya.

“Dari kabar yang saya dengar, iklim di wilayah ini cukup hangat, namun laut menimbulkan kesandingin dan mengancam pada malam hari. Kami berharap bisa menghabiskan makanan kami di dekatperapian ini, tanpa gangguan, karena saya harus membahas masalah pribadi,”

kata Kiyomori tanpa berbasi-basi.

Mokunosuke segera hadir.

Kedua rencana yang telah disampaikan oleh Kiyomori kepada para pengikutnya adalah sebagaiberikut: pertama, melanjutkan perjalanan ziarah karena mereka tidak akan berdaya untuk melakukanperlawanan jika mereka kembali saat ini. Di Kumano, Kiyomori akan menemui seorang ahli nujumdan bertindak berdasarkan nasihat darinya. Yang kedua adalah langsung kembali ke Naniwa (Osaka),dan dari sana berlayar ke Pulau Shikoku untuk melakukan pengintaian dan berusaha menghimpunpasukan.

Sesungguhnya, kedua rencana tersebut bisa mereka jalankan. Bagaimanapun, Mokunosuk6 bisamemahami apa yang sesungguhnya berkecamuk di benak Kiyomori. Alih-alih kepada musuh yangtelah menanti di ibu kota, Kiyomori lebih mencemaskan pengkhianatan di antara para prajurit yangada di dalam rombongannya saat ini, karena imbalan berjumlah besar telah ditawarkan kepada siapapun yang bisa menyerahkan kepala Kiyomori kepada pihak yang berwenang. Kendati begitu, adamasalah lain yang lebih merisaukan Kiyomori, yaitu nasib keluarganya di Rokuhara. Jika Kiyomorimemutuskan untuk mengangkat senjata guna melawan Nobuyori dan Korekata, maka mereka tidakakan segan-segan membawa obor mereka ke Rokuhara dan membantai seluruh penghuninya, dankemudian menuntut Kiyomori agar menyerahkan diri. Hal

ini tidak bisa disangkal, sehingga apa pun keputusan yang akan diambilnya, Kiyomori harusmerahasiakannya dari teman maupun musuhnya, kembali ke Kyoto tanpa menyia-nyiakan waktu, danbertindak dengan cepat.

Mokunosuk6, dengan tubuh delapan puluh tahunnya yang bungkuk, menghadapi ayah dan anak itu didepan perapian, berbicara seperti orang yang berkumur-kumur.

“Peristiwa di ibu kota itu cepat atau lambat pasti terjadi.

Si Tua Bangka ini sulit memercayai apa yang baru saja Anda katakan. Saya juga sangat menyadarikesulitan yang akan Anda hadapi jika Anda kembali ke ibu kota. Tetapi, sejauh pengetahuan saya, kitamemiliki cukup busur, anak panah, dan baju zirah.”

“Tua Bangka, apa kau mengatakan bahwa kita membawa persenjataan kemari?”

“Itu adalah bagian dari pendidikan samurai; saya berutang budi kepada ayah Anda, Tadamori, untukpengetahuan ini.”

“Bagus sekali!”

Shigemori, yang secara diam-diam memerhatikan wajah ayahnya dalam temaram cahaya perapian,berkata:

“Apakah Ayah memutuskan untuk segera kembali ke ibu kota?”

“Begitulah. Tidak ada pilihan lain bagiku sebagai seorang samurai. Para dewa telah memberikankesempatan ini kepada kita. Ada begitu

banyak halangan dan rintangan di jalan menuju Kumano

… seperti manusia yang menjalani kehidupan, Shigemori.

Kau telah dewasa sekarang, dan Ini akan menjadi ujian besar bagi kejantananmu.”

“Aku pasti akan mendukung Ayah. Tetapi, bagaimana dengan keluarga kita di Rokuhara?”

“Ya. kita memiliki semua alasan untuk

mengkhawatirkan mereka, dan itulah satu-satunya keberatanku untuk kembali. Lebih baik kita

mengirim seseorang yang kita percaya untuk menyampaikan pesan ke penginapan di Tanab6.”

“Hanzo adalah orang yang tepat untuk tugas itu. Apakah isi pesannya?”

“Kepala pendeta Kumano sedang singgah di sana. Aku akan menulis kepadanya dan memohon bantuandi sepanjang jalan.”

“Jika tugas ini memang penting, tidakkah sebaiknya aku saja yang pergi?”

“Tidak, itu akan membuat kita tampak putus asa. Hanzo sudah cukup.”

Kiyomori segera menulis sebuah surat dan mengirim Hanzo untuk menyampaikannya. Kemudian, diamengatakan kepada kepala pendeta bahwa sebuah panggilan mendadak dari ibu kota telahmemaksanya untuk membatalkan perjalanan. Dia menambahkan, “Karena kami akan berangkatsebelum fajar merekah, saya harus memohon kemurahan hati Anda untuk mengizinkan kamimenghadiri upacara peribadatan pagi.”

Mengenakan baju zirah lengkap, Kiyomori, Shigemori, beserta para prajurit dan pelayan mereka,bergerak perlahan-lahan ke utara. Masing-masing dari mereka menyematkan sepotong ranting cemarake baju zirah mereka. Para peziarah memang disyaratkan untuk membawa sepotong ranting cemara,pohon keramat di Tempat Pemujaan Kirib6, sebagai azimat.

Para pendeta, yang belum mendengar tentang pemberontakan di Kyoto, mengira bahwa Kiyomorimendapatkan panggilan biasa dari istana. Mereka menghadiahi Kiyomori beserta rombongannyadengan potongan besar ranting-ranting pohon, yang diikatkan ke pelana kuda mereka. Kiyomori danrombongannya menatap heran pada jeruk-jeruk mandarin wangi yang menyembul dan berkilauanbagaikan emas di antara dedaunan hijau tua di ranting-ranting tersebut. Benar-benar hiasan yangindah, pikir Kiyomori, untuk pesta Tahun Baru di Istana, tempat para bangsawan akan mengagumibuah asing berjenis baru ini. Kemudian, dia mencabut sebutir jeruk, mengupasnya, lalu mencicipinya.

“Cobalah, ini lezat!” serunya, tiba-tiba menoleh dari atas kudanya. “Shigemori, Tua Bangka, cicipilah.Sepertinya mustahil buah jeruk ini masih tersisa setibanya kita di ibu kota. Cobalah, semuanya,bagikanlah jeruk-jeruk ini di antara kalian.”

Kiyomori memetiki berfoutir-butir jeruk lalu melempar ke para prajuritnya, yang berebutanmenangkapnya sembari bersorak sorai seperti anak-anak yang penuh semangat.

Matahari telah tinggi di atas cakrawala sekarang, dan udara pagi yang dingin telah dipecahkan olehgelak tawa menyambut hujan buah emas.

Mereka berkuda melewati desa demi desa hingga matahari tenggelam, ketika Kiyomorimemerintahkan kepada mereka untuk berhenti. Keesokan paginya, mereka melintasi rute pegunungandan terus maju hingga tiba di Sungai Kii. Di sana, mereka memperkuat pasukan dengan dua puluhorang penunggang kuda bersenjata yang disediakan oleh kepala pendeta Tempat Pemujaan Kumanosebagai jawaban atas surat Kiyomori.

Pada hari yang sama, ketika sedang berbaris, seorang panglima beserta tiga puluh orang pelayannyamenemui mereka. Sebagai jawaban atas pertanyaan Kiyomori tentang alasan kedatangan mereka, sang

panglima menjawab:

“Ayah saya berutuang budi begitu besar kepada mendiang ayah Anda, Tadamori, yang pernah menjadipelindung kami. Saya mendengar bahwa Anda mendadak memutuskan untuk kembali ke ibu kotakarena adanya pergolakan di sana, dan saya datang untuk memberikan peringatan kepada Anda.”

Sang panglima kemudian mengatakan bahwa kabar burung mengenai Kiyomori yang membatalkanperjalanan ziarahnya ke Kumano telah sampai di ibu kota. Putra Yoshitomo, Yoshihira, bersama tigaribu orang prajurit berkuda, telah tiba di Naniwa (Osaka) dan menggiring pasukannya ke selatan untukmenghadang Kiyomori.

Darah Kiyomori terasa menggelegak. Tatapan Shigemori semakin nyalang ketika mereka melanjutkanperjalanan ke utara. Niat Kiyomori telah terbaca dengan jelas oleh para pengikutnya, dan Kiyomorimenyadari bahwa telah tiba waktunya bagi mereka untuk memutuskan apakah mereka maumeninggalkannya.

“Berhenti, istirahatkanlah kuda-kuda kalian. Habiskan jeruk kalian. Tidak banyak lagi yang tersisa.Kalian semua harus mencicipinya,” perintahnya, sebelum menambahkan sambil tertawa, “ini mungkinkesempatan terakhir kalian.”

Matanya mengamati wajah-wajah di sekelilingnya untuk melihat dampak kata-katanya kepadapasukannya.

o0odwkzo0o

Pasukan Kiyomori membentuk lingkaran di

sekelilingnya di sebentang lahan kosong.

“Aku membawa kalian melakukan perjalanan sejauh ini dengan rencana menyeberang ke PulauShikoku, namun aku berubah pikiran. Aku tidak akan memperoleh keamanan di mana pun, bahkan jikaaku menyeberang ke Cina.”

Kiyomori berbicara tanpa sedikit pun tanda-tanda kegundahan.

“Kita akan selamat jika angkat tangan dari kericuhan di ibu kota, namun para samurai di mana punakan membenci klan Heik6 yang pengecut dan menolak untuk memberikan dukungan mereka kepadakita. Barangkali mereka justru akan memberikan dukungan kepada klan Genji.”

Para prajurit mendengarkan petuah Kiyomori dengan penuh perhatian. Dari ekspresi wajah mereka,terlihat bahwa tidak seorang pun dari mereka bersedia mengikuti sarannya, dan Kiyomori tiba-tibamerasa malu menerima tatapan bingung mereka. Dia menyadari bahwa bukan hanya nyawanya sendiriyang menjadi tanggung jawabnya melainkan juga nyawa mereka, dan mereka

memercayainya. Seandainya mereka berniat mengkhianatinya, renung Kiyomori, mereka pasti telahmenyambar setiap peluang yang ada untuk melakukannya.

“Sudah cukup yang kukatakan. Sekarang bukan saat untuk berbicara. Walaupun kita hanyaberkekuatan seratus orang penunggang kuda, aku yakin bahwa jika kita memiliki tekad, maka kitaakan berhasil mencapai ibu kota.

Dan kabar bahwa aku telah kembali ke Rokuhara telah tersebar, maka kawan-kawan kita akanmemberikan dukungan mereka kepada kita. Bagaimana menurut kalian?”

Ucapan Kiyomori mendapatkan sambutan gegap gempita karena semua prajurit mencemaskan nasibanak dan istri mereka yang mereka tinggalkan di ibu kota.

Kiyomori melanjutkan, “Ada satu kesulitan yang masih menghadang kita. Aku diberi tahu bahwaGenji Yoshihira bersama tiga ribu orang prajurit berkuda telah menanti kita di utara. Itu berarti tigapuluh melawan satu.”

Para prajurit balas menyemangati Kiyomori dengan tekad mereka untuk kembali ke ibu kota, danmereka menegaskan kepadanya bahwa mereka telah siap untuk menghadapi musuh yang tak terhitungbanyaknya, mengikutinya ke mana pun dia akan membawa mereka, dan menunjukkan betapaperkasanya pasukan Heike.

Kiyomori tidak membutuhkan suntikan tekad lagi. Apa pun keraguan yang dimilikinya tentang paraprajuritnya lenyap sudah. Dia kemudian memerintah pasukannya untuk menyediakan makanan danminuman bagi kuda-kuda mereka, menyiapkan makan malam, dan memeriksa tali-temali di sandaldan baju zirah mereka sebelum mempersiapkan diri untuk menembus wilayah musuh pada malam itujuga.

Mereka beristirahat dan menunggu hingga matahari tenggelam sebelum melanjutkan perjalanan, danberkas-berkas sinar matahari terakhir memberikan nuansa keemasan kepada pasukan yang tengahbergerak lambat di sepanjang pesisir.

“Kita sudah dekat sekarang,” Kiyomori memperingatkan pasukannya, memerintah tiga orangpenunggang kuda untuk memeriksa keadaan. Cukup jauh dari sana, ketiga orang prajurit itu melihatpendar pucat api-api unggun di sebuah dataran dan menduga bahwa itu adalah perkemahan musuh.Kematian tengah menghadang mereka. Dengan air

muka keruh dan tangan yang seolah-olah lumpuh, ketiganya kembali ke pasukan mereka.

“Mari kita berkumpul. Mendekatlah kemari,” perintah Kiyomori dengan nada rendah. “Tetaplahbersatu; kita akan menyerang titik terlemah mereka untuk menembus masuk.

Ingatlah … jangan lakukan pertempuran satu lawan satu!

Tujuan kita adalah mencapai ibu kota. Shigemori, jangan memisahkan diri dari pasukan,” Kiyomorimenekankan, menatap putranya dengan tegas.

Shigemori pernah mendengar pamannya, Tokitada, berkomentar bahwa Kiyomori tidak berperawakanseperti layaknya seorang samurai. Walaupun Kiyomori tampak tegap ketika duduk di atas pelananya,akhir-akhir ini Shigemori melihat bahwa ayahnya mulai menggemuk dan kehilangan kelincahan dankepiawaiannya dalam pertempuran satu lawan satu.

“Jangan khawatir, Ayah. Berhati-hatilah agar Ayah tidak jatuh dari pelana saat kuda-kuda kita mulaiberlari kencang.”

“Kurang ajar!” Kiyomori tergelak. “Berani-beraninya kau berbicara seperti itu kepada ayahmu! Diamdan masuklah ke dalam barisan. Jangan cambuk kudamu hingga aku memberikan aba-aba. Kau tidakterbiasa berperang, ingat itu. Siapa pun yang menyombongkan diri sebelum perang dimulai biasanyamenjadi orang pertama kehilangan kepala saat berhadapan dengan musuh” Ketika tengah bergerakperlahan-lahan, para penunggang kuda itu melihat sosok-sosok yang berkuda dengan cepat ke arahmereka dengan membawa obor dan membidikkan anak panah, namun Kiyomori memerintahkankepada mereka untuk menahan serangan.

‘Tahan! Tunggu! Aku mendengar mereka memanggil.

Mari kita dengarkan terlebih dahulu apa yang hendak mereka katakan.”

Beberapa orang samurai menyongsong mereka dengan gembira, “Apakah kalian prajurit Heik6Kiyomori yang sedang menuju ibu kota? Apakah Tuan Harima ada di antara kalian?”

Kiyomori membawa kudanya maju. “Akulah yang kalian cari, Heik6 Kiyomori. Siapakah kalian?KaJian bukan Genji?”

Seorang samurai dengan sigap turun dari kudanya dan menghampiri Kiyomori.

“Kami bukan Genji. Kami datang dari Is6. Kami mendengar bahwa Tuan sangat membutuhkanbantuan.”

“Heikt dari Is6?”

“Kami Heik6 yang pernah memperoleh pertolongan dari ayah Anda. Kami tidak pernah melupakankebaikan hati beliau kepada kami, dan kami siap mendukung Anda.”

“Ah, lse … akar klan Heike.”

“Seribu orang telah bertolak dari Ise … dua ratus orang menuju Rokuhara. Sekitar lima ratus orangtengah menuju kemari. Tiga ratus orang penunggang kuda akan menyambut dan mengawal Anda.”

“Terpujilah para dewa! Ternyata pasukan yang kami lihat tadi bukan musuh, ya? Aku tidak layakmendapatkan pujian untuk hal ini. Semua ini berkat ayahku, yang seumur hidupnya telah menebarkanbenih kebaikan” Kiyomori menangis bersyukur.

Sambutan gegap gempita terdengar malam itu, ketika Kiyomori berkuda ke perkemahan pasukanpendukungnya.

Sebelum fajar menyingsing, mereka telah melanjutkan perjalanan, dan Kiyomori, menoleh kebelakang dari atas pelananya, merasakan dadanya membuncah melihat matahari bersinar di ataspasukan berkekuatan empat ratus orang yang dipimpinnya … bukan jumlah yang kecil.

Matahari masih tinggi ketika mereka tiba di Tempat Pemujaan Fushimi, belasan mil di sebelah selatanibu kota, tempat para peziarah yang baru kembali dari Kumano biasanya mempersembahkan daun-daun cemara yang mereka bawa dari Tempat Pemujaan Kirib6. Kiyomori menghentikan pasukannyacukup lama untuk berdoa bagi kemenangan mereka. Ketika dia menunduk untuk berdoa, sebentuk ekorrubah seolah-olah berkelebat dan menghilang di depan matanya yang terpejam; dia sekonyong-konyong teringat pada perburuan rubah yang dilakukannya bertahun-tahun silam, ketika diaberpapasan dengan tiga ekor rubah, dan Kiyomori, yang selalu mengolok-olok takhayul, sangat inginmeyakini bahwa para dewa berada di pihaknya.

Kiyomori dan pasukannya tiba di Rokuhara malam itu.

Cahaya tidak terlihat di mana pun dan jalanan sunyi senyap walaupun akhir tahun telah mendekat.Hanya lolongan anjing-anjing pada rembulan musim dingin yang memecahkan keheningan. Tetapi,begitu mendengar kabar bahwa Kiyomori telah tiba, para penghuni Rokuhara yang selama inimenekan perasaan mereka, segera berseru lega.

Tua dan muda, pria dan wanita, para prajurit dan pelayan membanjir keluar dari setiap rumah kejalanan, melambai-lambai dan bersorak-sorai dengan liar.

“Tokiko! Tokiko!”

Kiyomori memacu kudanya ke gerbang rumahnya, diiringi oleh lautan wajah pendukungnya. Diasekilas melihat beberapa orang penghuni rumahnya dan memanggil-manggil nama istrinya.

Tokiko, yang menanti di luar dalam keadaan kedinginan bersama anak-anaknya, berdiri mengangkatujung kimononya untuk menghindari noda lumpur. Begitu mendengar namanya dipanggil, diamelepaskan pegangannya pada kimononya, berlari menyambut, dan menyambar tali kekang Kiyomori.

“Selamat datang di rumah! Kau selamat!”

“Ah, kau ada di sini,” seru Kiyomori. mengamati wajah istrinya dengan lega.

“Anak-anak … ibu kita yang baik?” Kiyomori cepat-cepat menambahkan.

“Mereka semua menantikan kedatanganmu dengan gelisah.”

“Apakah mereka semua baik-baik saja? Ini sebuah mukjizat … benar-benar sebuah mukjizat!”

Kiyomori membawa kudanya ke halaman, tempat ibu tiri dan anak-anaknya menanti di dekat pintumasuk menuju rumahnya. Tempat gelap itu segera hidup kembali dengan derap langkah di sana-sini.

Setelah mengetahui bahwa ibu tirinya, Tokiko, anak-anak, dan semua wanita di rumahnya mengungsidan bersembunyi di perbukitan begitu pemberontakan pecah, namun kembali ke Rokuhara begitumendengar bahwa dia sedang berada dalam perjalanan pulang, Kiyomori gusar.

“Siapa yang memerintahkan kepada kalian untuk pulang? Sebaliknyalah yang harus kalian lakukan.Kalian boleh menginap di sini semalam, namun sebelum matahari terbit besok, kalian semua haruskembali ke perbukitan.

Aku tidak bisa membiarkan kalian melihat kekerasan yang akan terjadi di sini. Kita sedangmenghadapi situasi

terburuk, dan Rokuhara mungkin akan segera menjadi reruntuhan berasap.”

Pada hari ketika Kiyomori kembali ke Rokuhara, Nobuyori dan Korekata mengadakan pertemuan danmemerintahkan kepada semua pejabat istana untuk hadir dengan ancaman hukuman mati. Banyak diantara mereka, bagaimanapun, tidak hadir. Kendati kabar telah tersebar di Kyoto bahwa para samuraidari Is6 dan provinsi-provinsi tetangga sedang menuju Rokuhara, dan Kiyomori sendiri akan segeratiba, Nobuyori lebih merisaukan kekosongan ruang pertemuannya daripada laporan tersebut Nobuyorimenduduki singgasana di Bangsal Utama dan tengah menatap dengan bimbang kepada deretan pejabatistana di bawahnya, ketika seseorang terlambat memasuki bangsal, tidak dengan cara biasa tetapimelintasi taman dan menaiki tangga dari sana. Kelima pelayan pria itu, yang mengenakan mantel diatas baju zirah dan pedang mereka, menanti di salah satu gerbang. Pipi Nobuyori seketika memucat dibawah rias wajahnya ketika sang pendatang baru, pamannya, Mitsuyori, melontarkan tatapan kesal kesinggasana.

“Astaga, betul-betul pemandangan luar biasa! Apakah aku melihat tempat kehormatan diduduki olehkaum perlente dan para pria pemerhati penampilan, dan mereka yang selayaknya berada di sana justrugemetar ketakutan di bawah sini? Apakah ini hiburan di kedai teh, lengkap dengan geisha-geishanya?Bisakah ini disebut Istana?”

semburnya dengan getir.

Nobuyori menelengkan kepala dengan bingung ketika mendengar kata-kata pamannya, sementarayang lain gelisah menantikan apa yang akan terjadi selanjutnya.

Mitsuyori, kakak Korekata, yang jarang menghadiri

pertemuan di istana, dipandang dengan penuh kekaguman oleh para bangsawan yang ada di sana.

Seorang pejabat turun dari tempat duduknya di samping Nobuyori dan menghampiri Mitsuyori. “Tuan,kami telah menunggu Anda. Silakan duduk.”

“Kalau begitu, ini memang Istana?”

“Ya … ”

“jika ini memang Istana, ada yang patut dipertanyakan.

Siapakah laki-laki perlente dengan wajah berias yang duduk di atas sana?”

“Jenderal Kesatuan Pengawal yang baru, Menteri Nobuyori.”

“Aku tidak pernah mendengar tentang dia. Tidak ada yang namanya Jenderal Nobuyori di KesatuanPengawal Istana. Barangkali yang kaumaksud adalah Wakil Penasihat Nobuyori?”

“Beliau baru saja ditunjuk untuk memegang jabatan tersebut”

“Omong kosong! Di manakah Yang Mulia, yang berhak menyelenggarakan pertemuan?” tanyaMitsuyori, menepuk pahanya dengan marah dan mengacungkan telunjuknya kepada Nobuyori.

“Nobuyori, kau menduduki singgasana; di manakah kau akan menempatkanku, yang berasal darigolongan yang lebih tinggi daripada dirimu?”

“Mengenai pertemuan hari ini … apakah yang hendak kaubicarakan? Dan, kalian, Tuan-Tuan,mengapa mereka yang tidak hadir hari ini diancam dengan hukuman mati?”

“Hanya Yang Mulia yang berhak menyelenggarakan pertemuan seperti ini. Di manakah beliau? Tidakadakah

yang bisa menjawabku? Benar-benar aneh dan mengherankan!” sembur Mitsuyori sembari beranjakdari bangsal menuju salah satu sayap Istana.

“Korekata, apa yang kaulakukan di sini,” hardiknya kepada adiknya, yang didapati sedangbersembunyi di salah satu bilik.

“Kaukah itu … kakakku?”

“‘Kakak’? Kau berani memanggilku ‘kakak’?”

“Ya … ”

“Kalau begitu, kau telah mempermalukan ku, karena rasa bersalahmu adalah rasa bersalahku juga.Beban ini lebih berat daripada yang bisa kutanggung.”

“Aku tidak melakukan kesalahan apa pun”

“Kau memahami maksudku, kalau begitu? Apa yang membuatmu melakukan ini?”

“Kau, seorang pejabat dari Kepolisian, menjadi salah satu dalang pameran kepala Shinzei? Tidakpernahkah kau memikirkan pendapat orang-orang mengenai dirimu? Aku bergidik mendengar desas-desus tentangmu. Sepertinya mustahil bahwa adikku sendiri bisa berbuat sebodoh itu.

Aku selalu meragukannya.”

“Nama kita tidak pernah tercoreng hingga sekarang, dan tingkah tololmulah penyebabnya! Pikirkanlahbetapa kau telah mencoreng

nama mendiang ayah kita … menghadirkan aib bagi ibu kita yang telah renta. Apa yang membuatmumelakukan kegilaan seperti ini?”

“Kebodohanku semata. Aku telah menyaksikan perilaku Nobuyori selama beberapa hari terakhir inidan sekarang menyesali ketololanku.”

“Kalau yang kaukatakan itu benar, maka pastikan agar Yang Mulia dibebaskan secepatnya danselamatkanlah beliau.”

“Aku akan melakukannya.”

“Aku tidak akan menghambatmu dalam melakukan tugas itu. Apakah kau mengerti, Korekata? Ah,Korekata,”

lanjut Mitsuyori dengan iba, “mengapa kau harus mempertaruhkan nyawamu dengan cara setolol itu?”

Berkat kehadiran tidak terduga Mitsuyori, pertemuan bubar begitu saja.

Tanggal 19 Desember hampir tiba. Malam itu, terdengar kabar di kalangan Pengawal Kekaisaranbahwa Kiyomori telah kembali ke Rokuhara dan tengah menghimpun pasukan.

Pada malam itu juga, Nobuyori, yang telah menghuni Istana, tidak bisa memejamkan mata karenakecemasan yang menyiksanya. Dia mengirim seorang dayang ke bilik Korekata dengan permohonanagar pria itu menemuinya.

Nobuyori terkejut ketika mendengar bahwa Korekata tidak ada di biliknya. Kemudian, dia memanggilTsunemune, namun bangsawan itu juga tidak ada di Istana Sementara itu, fajar menyingsing tanpadiwarnai oleh serangan dari Rokuhara. Burung-burung mulai berkicau dari pucuk-pucuk pepohonanberlapis es di taman-taman Istana. Nobuyori, yang menantikan matahari terbit, akhirnya terlelap.

o0odwkzo0o

Bab XXIII – PENCULIKAN KAISAR

Tanggal 20, 21, dan 22 Desember berlalu tanpa kepastian di Istana Kekaisaran, tempat lalu lalang paraprajurit bersenjata di taman-taman menggantikan kesibukan untuk menyambut Tahun Baru. Kabarmengenai rencana Kiyomori untuk menyerang Istana terus terdengar. Di Rokuhara, penghimpunankekuatan terus dilakukan seiring dengan tersebarnya desas-desus bahwa pasukan Genji akan berbarisdari Istana untuk menyerbu pusat kekuatan pasukan Heike. Tetapi, tanda-tanda mengenai pecahnyapertempuran tidak kunjung terlihat

Di tengah kejenuhan itu, ada seorang pria yang tetap sibuk. Dia adalah Hidung. Korekata danNobuyori, kedua pemimpin pemberontakan, secara diam-diam mengunjungi rumah Bamboku di JalanKelima pada suatu malam, dan sesaat setelah mereka pergi. Hidung Merah berangkat ke Rokuharauntuk menyampaikan sebuah surat kepada Kiyomori.

Selama hampir seminggu, terdengarlah rumor bahwa perundingan gencatan senjata sedangberlangsung, namun pada malam tanggal 26, Nobuyori menyadari bahwa dekrit apa pun yangdikeluarkan atas nama Kaisar tidak akan mampu meredakan konflik, karena para

panglima Genji semakin gelisah dan pihak Heikg terus melanjutkan persiapan perang mereka. Seluruhsituasi ini sekarang berkembang menjadi pertikaian antara Genji dan Heik6, dan jika mereka inginmenghancurkan klan Heik6, sekaranglah saat yang tepat untuk melakukannya.

Mantan Kaisar Goshirakawa, yang dikurung di Gedung Arsip sejak 9 Desember, pada suatu malammendapatkan kunjungan dari pria-pria bertopeng yang mengatakan:

“Yang Mulia, jangan bersuara dan Anda akan selamat Ada kisikan tentang pertempuran yang akanpecah sebelum pagi tiba. Sebuah tandu telah menanti Anda, dan kami akan mengawal Anda hinggatiba di Kuil Ninna-ji”

Goshirakawa tidak melawan dan memasrahkan dirinya untuk dibawa keluar melewati Gerbang BaratLaut Seekor kuda telah menantinya di sana, dan dia pun cepat-cepat menungganginya untuk pergi dariIstana.

Pada sekitar waktu yang sama … pukul tiga pagi …

Kaisar, yang ditahan di bagian lain Istana, mendadak terbangun gara-gara mendengar bisikan yangmemerintahkannya untuk melarikan diri ke tempat yang aman pada saat itu juga. Dia terkejut ketikamendapati bahwa Tsunemung dan Korekata datang menemuinya.

Mereka membawa pedang dan mengenakan baju zirah di bawah mantel mereka. Terlalu gentar untukmenjawab, Nijo membiarkan Korekata memasangkan mantel wanita ke tubuhnya dan membawanyapergi.

Tsunemun6 menggiring Nijo yang gemetar ke luar dan menyuruhnya memasuki sebuah keretabersama adiknya, sang Putri. Kereta itu segera bertolak dari Istana. Dua orang penuntun sapi danbeberapa orang pelayan menyertai mereka menuju sebuah gerbang di sisi barat tembok Istana, tempat

mereka dihadang oleh tantangan dari salah seorang pengawal Genji, Juro.

“Siapa di sana?”

Para prajurit menghampiri kereta itu dan menghentikannya.

“Ada sesuatu yeng mencurigakan di sini. Ke manakah kalian akan pergi di malam selarut ini?”

“Putri dan dayangnya sedang menuju kuil.” sebuah jawaban terdengar. “Katakan kepada Juro untukdatang kemari.”

“Ini saya, Juro.”

“Kaukah itu, Juro?”

“Siapa yang berbicara?”

“Korekata dari Kepolisian.”

“Anda, Tuan?”

“Buka gerbangnya dan biarkan kami lewat. Aku sendiri yang akan mengawal Yang Mulia Tuan Putri.Apakah kau perlu menanyai kami lagi?”

“Tidak perlu, Tuan, tapi Jenderal Yoshitomo melarang kami untuk mengizinkan Anda sekalipunkeluar. Tuan.”

“Kalau begitu, panggil jenderalmu kemari.”

“Saya tidak tahu di mana beliau berada saat ini.”

“Hingga berapa lama lagi kau berniat membiarkan Yang Mulia menunggu di sini bersama paraprajurit beringas itu?

Apa hakmu menanyai beliau jika aku sendiri yang memberikan pengawalan? Menyingkirlah!”

“Sebentar, Tuan. “Tugas kami adalah menjaga gerbang ini, dan Anda sekalipun dilarang untukmenerobosnya seperti ini. Tetapi, jika Anda bersikeras, izinkanlah saya memeriksa isi kereta Anda,”kata Juro, maju dan menyibak tirai kereta menggunakan ujung busurnya. Para pengawal lainnyaberkerumun di belakang Juro, mengacungkan obor mereka. Pancaran obor menerangi dua sosokwanita muda yang ketakutan dan saling merangkul dengan lemas. Mata Kaisar, yang baru berusiatujuh belas tahun, terpejam, dan tubuh kurusnya, yang mirip perawakan perempuan, tampak

pucat pasi. juro, yang menyangkanya sebagai seorang dayang, mempersilakan kereta untuk lewat.

Mereka melanjutkan perjalanan melewati sepasukan besar samurai yang membawa obor, melewatijalan yang berlapis es, dan menembus kegelapan malam.

“Pergilah ke arah sana! Cepat!” Korekata dan Tsunemun6 memerintah kedua penuntun sapi yang

terengah-engah untuk membelokkan kereta mereka ke timur di ujung tembok Istana.

o0odwkzo0o

Kedua rencana riskan Kiyomori ternyata berhasil dilaksanakan. Mantan Kaisar telah diungsikan keKuil Ninna-ji, dan Kaisar-muda dilarikan dengan selamat menggunakan kereta dari Istana. Sesaatkemudian, api yang bergolak dan asap hitam yang membubung dari bagian utara Istana Kekaisaranmenyebarkan berbagai cerita yang berkembang dengan liar; terdengar desas-desus bahwa Kiyomoritelah mengirim pasukannya menyeberangi sungai dan menyerang kompleks kekaisaran dari utara, danpara biksu dari Gunung Hiei telah memberikan dukungan kepada Kiyomori dan saat ini tengahberbaris ke ibu kota.

Genji Yoshitomo mengirim putranya, Yoshihira, beserta sebuah pasukan kecil ke Istana Kekaisaran,sementara sepasukan pengawal yang ada di sana dikirim ke gerbang-gerbang kota di wilayah utarauntuk memeriksa kebakaran.

Sementara itu, dengan lecutan cambuk dan teriakan nyaring, para penuntun sapi mendorong binatangpenarik kereta itu menuju Rokuhara.

“Tunggu … jangan secepat itu! Berhenti, kita sudah terbebas dari bahaya sekarang …” Korekata dan

Tsunemun6 dengan terengah-engah menyusul kereta Kaisar.

Para penuntun sapi menurunkan laju dan tertawa, “Kau mendengar mereka tersengal-sengal? Haruskahkita menunggu mereka?”

“Sepertinya keadaan sudah aman sekarang.”

Keduanya menghentikan kereta dan mengusap keringat yang membanjiri wajah mereka.

Kereta itu segera tiba di seruas jalan yang diapit pepohonan di sepanjang Sungai Kamo, tempat sosok-sosok gelap bermunculadari balik bayangan dan menemui mereka. Kiyomori telah mengirim dua ratusorang samurai dari Rokuhara untuk mengawal Nijo, dan setibanya mereka di Jembatan Gojo,gumpalan-gumpalan awan menurunkan salju.

Rokuhara, yang selama bermalam-malam sunyi dan gelap, tampak bermandikan cahaya untukmenyambut kedatangan Kaisar. Lilin berkelap-kelip di mana-mana bagaikan bintang-bintang ditengah hujan salju. Segera setelah Kaisar tiba di Rokuhara, pasukan samurai Heiki membanjiri jalan-jalan utama ibu kota, mengumumkan bahwa Kaisar telah berada di Rokuhara sejak Jam Macan (pukulempat pagi), dan bahwa Mantan Kaisar saat ini sudah tiba di Kuil Ninna-ji. Siapa pun yang menaruhkesetiaan kepada Kaisar diimbau untuk segera pergi ke Rokuhara.

Ketika matahari terbit, para pejabat istana dan menteri, dipimpin oleh Perdana Menteri, berduyun-duyun ke Rokuhara.

Sementara semua itu terjadi, Nobuyori, sang pemimpin pemberontakan, sedang berbaring di kamarnyadi Istana

Kekaisaran dalam keadaan mabuk, ditemani oleh dayang-dayangnya. Kebiasaannya minum-minumsetiap malamlah yang akhirnya memuakkan Tsunemung dan Korekata, yang menyangka Nobuyori

telah kehilangan akal sehat Terlebih lagi, semburan Mitsuyori tempo hari telah menyadarkan mereka,sehingga mereka pun tidak membuang-buang waktu lagi untuk menghubungi Kiyomori.

Ketika seorang penasihat muncul dengan napas terengah-engah di biliknya untuk mengabarkan bahwapara tahanan kehormatan telah pergi, Nobuyori sekonyong-konyong bangkit dari kasurnya denganwaspada, lalu tertawa histeris.

“Omong kosong macam apa ini? Ini halusinasi …

Korekata dan Tsunemunt sudah memastikan agar kedua Yang Mulia tidak melarikan diri!”

‘Tuan, para pengawal telah berkhianat dan kabur bersama para tahanan.”

“Mustahil!” Nobuyori bersikeras, namun keraguan melintasi benaknya seketika itu juga; dia cepat-cepat berpakaian, menyambar pedangnya, dan berlari menyusuri labirin koridor. Sumpah serapahmembanjir dari mulutnya, dan raungan marah terdengar begitu dia melihat sendiri apa yang telahterjadi.

“Jangan sampai siapa pun mendengar tentang ini …

sekutu kita sekalipun,” perintah Nobuyori.

Bagaimanapun, sudah terlambat untuk menutup-nutupi kejadian itu. Genji Yoshihira telah mengetahuibahwa para tahanan telah kabur dan segera melaporkannya kepada ayahnya.

“Sesuatu yang luar biasa telah terjadi tadi malam!

Kiyomori berhasil mengelabui kita … Yang Mulia telah

dilarikan ke Rokuhara dan Kaisar Kloister telah diamankan di Kuil Ninna-ji. Mungkinkah berita inibenar?”

Yoshitomo tidak menjawab.

“Benarkah ini. Ayah?” Yoshihira menuntut jawaban.

Yoshitomo enggan memberikan jawaban. “Begitulah.

Aku juga sudah mendengar kabar itu, walaupun Nobuyori belum melaporkannya kepadaku.”

Ekspresi prihatin tampak di wajah si pemuda.

“Yoshihira!” “Ya … ”

“Bagaimana dengan api di Istana?”

“Itu adalah siasat musuh. Pasukan Kiyomori belum menginjakkan kaki di sana, namun aku mendapatibahwa gubuk-gubuk dan rumah-rumah petani di luar tembok kota telah habis terbakar.”

“Lagi-lagi kecerdikan Kiyomori, atau siasat mata-mata licik. Aku harus mengakui kehebatan tindakanmusuh kita tadi malam. Langkah kita tidak akan mudah.”

‘Tetapi, Ayah, apa gunanya membela Istana jika kedua Yang Mulia tidak ada lagi di sana?”

“Tidak, aku sudah bersumpah atas nama Genji dalam kesepakatan ini dan tidak bisa menariknya lagi.Seorang samurai harus memegang janjinya hingga akhir hayatnya.

Walaupun itu berarti tidak ada pilihan bagiku kecuali tunduk kepada Heik6 atau binasa untuk selama-lamanya.”

Yoshitomo pun mengakui sesuatu yang tidak berani disebutkannya hingga saat ini. Dia telah salahmemandang Nobuyori dan dengan getir menyesali perbuatannya. Tetapi, renung Yoshitomo, kalaupundia tidak merangkaikan takdirnya dengan Wakil Penasihat Nobuyori, kebengisan Shinzei padaakhirnya juga akan berujung pada pertikaian

senjata antara klan Genji dan klan Heik6. Shinzei telah tewas sekarang, namun Kiyomori masih ada.Tidak bisa disangkal lagi bahwa Genji telah memperoleh pukulan hebat akibat penculikan Kaisar olehHeik6. Bagaimanapun, dalam berperang, Yoshitomo yakin bahwa dirinya memiliki pengalaman yangjauh lebih unggul daripada Kiyomori.

Seorang penasihat yang dikirim oleh Yoshitomo untuk menemui Nobuyori telah kembali.

“Saya telah menemui Menteri, dan beliau menyangkal laporan itu. Beliau meyakinkan saya bahwatidak ada sedikit pun kejadian luar biasa di Istana.”

Semua orang yang berkumpul di dekat perapian bertukar senyuman iba demi mendengar tentangkepengecutan Nobuyori.

“Kalau begitu, tidak ada lagi yang perlu dikatakan,” kata Yoshitomo, “biarkanlah siapa pun yangditugaskan untuk menjaga Istana mengatur pertahanan di sana dan menghadapi apa pun yang akanterjadi.”

o0odwkzo0o

Nobuyori, Jenderal Kesatuan Pengawal Kekaisaran, tengah memeriksa pasukannya dari Aula Utamayang berhadapan dengan halaman Istana. Para pejabat Istana …

para menteri dan pejabat tinggi … berbaris di kedua sisinya, dan selama pemeriksaan berlangsung,para kurir silih berganti datang dengan menunggang kuda menembus lapisan salju untukmenyampaikan laporan terbaru tentang pergerakan Kiyomori. Sebuah pasukan telah disiagakan di tepisungai, kata mereka, menantikan perintah untuk menyerang. Terdengar pula kabar bahwa pasukanKiyomori telah bersiaga di sepanjang kaki Perbukitan Timur, bersiap-siap untuk melakukan serangankejutan ke Istana.

Dua ribu orang prajurit berkuda Genji menunggu di halaman Istana, sementara bunga-bunga esperlahan-lahan terbentuk di atas pelindung mata mereka, dan darah di tubuh mereka bergolak akibatkecemasan dan ketakutan.

Nobuyori mengenakan baju zirah bernuansa ungu, dengan lapisan ungu tua di bagian pinggulnya; dibawahnya, dia mengenakan kimono merah; sarung pedangnya bertahtakan emas dengan motif bungakrisan yang cantik; sambungan-sambungan di helm bertanduknya tampak berkilauan di balik hujansalju. Kuda hitam legamnya, tunggangan ternama yang diambil dari istal kekaisaran, ditambatkan kepohon sakura yang berdiri di dekat salah satu ruas tangga lebar menuju Aula Utama.

Yoshitomo hadir dengan lebih memerhatikan detail-detail penampilannya, dan ketiga putranya punmengenakan kimono dan baju zirah Genji terindah mereka.

Dari ketiga putra Yoshitomo* si bungsu Yoritomo, seorang remaja berusia tiga belas tahun, palingmenyedot perhatian semua orang. Karena usianya yang masih sangat hijau, ayah dan kakak-kakaknyamengawasinya dengan sangat hati-hati. Dia baru saja terbangun dari tidur siang di pangkalanpengawal dan digiring, dengan mata sayu dan tubuh gemetar, ke halaman Istana dalam balutan bajuzirah lengkap berukuran kecil. Para prajurit tersentuh ketika melihat bocah malang yang hendakmendapatkan pelajaran pertama dalam hal pertumpahan darah.

Pada pagi hari, hujan salju telah reda dan jalan-jalan utama di ibu kota bersinar menyilaukan, namuntidak terlihat sedikit pun asap pembakaran yang membubung dari dapur-dapur penduduk.

Yoshitomo bersiap-siap untuk menyerang Rokuhara alih-alih bertahan. Putranya, Yoshihira, yangtelah dikirim untuk memeriksa situasi, segera kembali dengan membawa

laporan tentang Genji Yorimasa yang dilihatnya sedang melintasi jembatan Gojo. “Aku khawatir,Ayah, bahwa Yorimasa telah mengelabui kita dengan menggunakan penyakitnya sebagai alasan; diasedang menuju Rokuhara.

Izinkanlah aku mengejarnya dan menantangnya melakukan pertempuran satu lawan satu.”

Yoshitomo, tersentak ketika mendengar laporan itu, menjawab, “jangan, aku sendirilah yang akanmenemuinya.” Tetapi, begitu membelokkan kudanya, dia berkata sambil tertawa getir, “Mengapa kitaharus merisaukan tindakan Yorimasa dan pasukannya? Aku tidak peduli kepadanya.”

Tidak lama kemudian, Yoshitomo dan Yorimasa saling berhadapan di seberang sungai di dekatjembatan Gojo, dan Yoshitomo memacu kudanya, berseru meremehkan:

“jadi, Yorimasa, dirimu yang seorang Genji telah berpihak kepada Heik6? Terkutuklah hari ketika kaudilahirkan sebagai seorang Genji! Sungguh memalukan bahwa kau melawan klanmu sendiri dalamperang!”

Yorimasa memutar kudanya dan menjawab dengan bangga, “Yang kaukatakan itu benar, Yoshitomo.Sejak waktu yang tidak bisa diingat lagi, klan Genji selalu setia kepada kaisar yang berkuasa, dankaulah yang mempermalukan Genji dengan berpihak kepada si pengkhianat bejat Nobuyori. Akumenyesali aib yang kauberikan kepada Genji!”

o0odwkzo0o

Bab XXIV-IRAMA GENDERANG

Kaisar Nijo beserta seluruh pengiring dan para menterinya menempati bangunan-bangunan utama diRokuhara. Tempat itu penuh sesak sehingga sebagian pengiring Kaisar harus ditempatkan dibangunan-bangunan pendukung dan dapur.

Putra Kiyomori, Shigemori, melintasi pekarangan tempat salju yang telah berubah menjadi lumpurakibat terinjak-injak oleh entah berapa banyak pasang kaki, dan menghampiri bangunan utama untukmencari ayahnya.

“Apakah ayahku bersama Yang Mulia?” tanyanya kepada seorang pengiring Kaisar yang sedangberdiri bersandar ke langkan.

“Tidak, beliau tidak ada di sini,” begitulah jawaban yang diterimanya.

Shigemori meninggalkan pekarangan dan menuju gerbang bertingkat dua, melongok ke pos penjaga,dan kembali ke tempatnya semula. Mustahil baginya untuk mencari ayahnya ke semua bangunan yangada di seluruh kompleks Rokuhara. Matahari akan terbit sebentar lagi, pikir Shigemori, menatap langitdengan cemas. Dia tidak sampai hati menyaksikan fajar merekah di sepanjang bahu Perbukitan Timur.Ayahnya, yang sedang hanyut dalam kegembiraan, mungkin telah melupakan bahwa mereka masihharus berperang. Pasukan mereka, yang telah menghabiskan sepanjang malam di tepi sungai, telahmulai gelisah menantikan perintah selanjutnya.

Shigemori menggerutu kesal kepada dirinya sendiri.

Tidak mungkin ayahnya ada di ruang pelayan di dekat istal.

Tetap saja, tidak ada salahnya mencarinya di sana, pikirnya. Dia pun berbelok ke arah itu danberpapasan

dengan ayahnya, yang sedang melintasi lorong menuju dapur.

“Astaga, ternyata Ayah ada di sini!”

“Kaukah itu, Shigemori? Apa maumu?”

“Pantas saja aku kesulitan menemukan Ayah. Tidak pernah kusangka Ayah ada di sini.”

“Aku baru saja berbicara dengan para juru masak. Aku harus melihat sendiri apakah merekamenyiapkan hidangan yang tepat untuk Yang Mulia.”

“Mengapa Ayah tidak menyerahkan saja urusan itu kepada para juru masak dan pembantu mereka?Para prajurit sudah gelisah menantikan perintah dari Ayah.”

“Masih ada waktu hingga macahan terbit.”

“Begitu terang, musuh akan lebih dahulu menyerang kita di Jembatan Gojo, dan jika itu terjadi,Rokuhara akan jatuh ke tangan mereka.”

“Berikanlah perintah kepada beberapa orang untuk memeriksa keadaan.”

“Itu sudah dilakukan.”

“Itu sudah cukup untuk saat ini”

“Tapi, kita tidak boleh kehilangan peluang untuk melakukan serangan pertama saat fajar menyingsing.Itu adalah jaminan kemenangan kita.”

“Aku tidak keberatan mendengar pendapatmu tentang siasat perang. Tapi. aku memiliki gagasansendiri. Lagi pula, kita harus memastikan agar Yang Mulia membuat proklamasi, dan kondisi beliaumasih buruk akibat berhari-hari menjadi tahanan di Istana. Beliau

jarang makan dan tidur selama masa itu. Aku harus memastikan agar beliau mendapatkan bubur panassebelum memohon kepada beliau untuk melakukan apa pun. Aku tidak bisa menekan beliau mengenaimasalah ini sekarang

….Aku akan memberikan perintah pada saat yang tepat.”

“Baiklah, Ayah.”

“Sampaikanlah hal ini kepada adik-adikmu, Mokunosukt, dan para prajurit.”

“Baiklah.”

“Katakan kepada mereka untuk menunggu hingga Yang Mulia menghabiskan makanannya. Sementaraitu, perintahkan kepada pasukan kita untuk menumpuk banyak kayu bakar dan melemaskan talikekang dan tali busur mereka.”

Shigemori mohon diri. Dia yakin bahwa posisi mereka sudah tidak di atas angin lagi; ayahnya jelastampak galau.

Shigemori, yang tidak pernah mempertanyakan penilaian ayahnya, segera menuju tepi sungai,mengumpulkan para prajurit, dan menyampaikan instruksi dari ayahnya.

Kiyomori tidak membutuhkan pemberitahuan dari Shigemori mengenai betapa gentingnya situasi saatini. Dia segera menuju bangunan utama, namun kembali dihentikan di lorong oleh seseorang yangsepertinya sengaja menunggunya di sana.

Pria itu membungkuk dengan gaya berlebihan kepadanya, “Ah, Tuan Harima, izinkanlah sayamengucapkan selamat atas keberhasilan mutlak rencana Anda.”

Kiyomori menatap tajam kepadanya. Dia adalah Hidung Merah, saudagar yang bertugasmenyampaikan pesan antara Korekata, Tsunemun6, dan Rokuhara.

“Oh, Bamboku, aku juga berterima kasih untuk kerjamu yang bagus.”

“Tidak perlu, Tuan, tugas saya tidaklah penting.”

“Sebaliknya, kau telah menunjukkan kecerdikanmu dalam menjalankan seluruh siasat ini.”

“Anda berlebihan, Tuan … ini hanyalah wujud rasa terima kasih yang tak seberapa untuk kebaikanhati istri Anda”

“Bagaimana keadaan Korekata dan Tsunemun6?”

“Cukup kelelahan, tentunya. Mereka sedang beristirahat di ruang pelayan.”

“Begitu rupanya. Dan kau datang bersama Yang Mulia tadi malam?”

“Sepanjang sebagian jalan, dengan penuh ketakutan dan tubuh gemetar. Percayalah, Tuan, tidakbanyak yang saya lakukan untuk memberikan bantuan …. Bagaimanapu, saya datang saat ini untukmelihat apakah saya bisa lebih berguna di dapur, untuk mencuci piring, dan ternyata, secara kebetulan,saya malah bertemu dengan Anda,Tuan

…. Sungguh, saya yakin bahwa ini adalah suatu kehormatan.”

“Kau akan mendapatkan penghargaan atas bantuanmu.

Tunggulah hingga beberapa hari lagi.”

Kiyomori tidak memiliki alasan untuk meragukan Bamboku; bukan hanya karena Tokikomenganggapnya bisa diandalkan melainkan juga karena saudagar itu telah terbukti sangatmembantunya dalam mengatur kesepakatan nlnastk selama seminggu terakhir.

Kiyomori memasuki sebuah ruang tunggu, tempat salah seorang pegawai istana menemuinya danmengatakan:

“Putra Anda, Tuan, telah mencari Anda sejak tadi.”

“Aku baru saja bertemu dengannya. Tapi, bagaimana keadaan Yang Mulia?”

“Beliau baru saja menikmati bubur panas.”

“Apakah beliau sudah lebih tenang?”

“Saya tidak tahu bagaimana harus mengatakan ini kepada Anda … kami benar-benar tersentuh ketikamelihat beliau menangis hanya karena melihat makanan.”

“Bagus, bagus!” seru Kiyomori sambil tersenyum hangat.

“Dan sekarang, kita harus memohon kepada beliau agar merestui serangan yang akan kita lakukan.”

“Itu telah disampaikan kepada beliau, dan sebuah proklamasi tengah disiapkan.”

“Kalau begitu, suruh putraku Shigemori menemuiku,”

kata Kiyomori.

Shigemori, yang telah ditunjuk untuk mewakili ayahnya dalam memimpin pasukan, segera datang.

“Shigemori, Yang Mulia sudah memberikan restunya.

Seranglah Istana sekarang juga … dengan kecepatan penuh!”

Ketika Shigemori menyampaikan perintah ayahnya, semua samurai dalam pasukannya memberikansambutan meriah; gonggong dan genderang-genderang dibunyikan mengiringi tiga ribu orangpenunggang kuda yang berbaris menembus hamparan salju untuk menyerbu Istana.

Berkas-berkas sinar matahari pertama pagi itu memancar dari bahu Perbukitan Timur, berkilauan dibaju zirah para prajurit, pelana kuda, dan berkilat menyilaukan di pucuk-pucuk pepohonan dan atap-atap Istana. Seluruh gerbang Istana terbuka, menanti untuk dilewati oleh Genji

Yoshitomo beserta pasukannya, namun Yoshitomo mengurungkan niatnya, menyadari bahwa dia tidakmungkin lagi mendapatkan kemenangan dari taktik ini.

Rencana awalnya adalah menyerang Rokuhara sebelum fajar menyingsing, namun kelambananNobuyori dalam mengambil keputusan dan kekacauan perintahnya kepada pasukan mereka telahmenghabiskan waktu mereka. Dan sekarang, musuh mereka akan lebih dahulu memulai serangan.

Yoshitomo segera memerintahkan agar genderang digebuk untuk mengumumkan perubahan posisipasukan dan menugaskan para prajuritnya untuk menjaga tiga buah gerbang di tembok luar sebelahtimur. Dua puluh tujuh gerbang berdiri di sepanjang tembok Istana, termasuk di tembok dalam, yangdipisahkan oleh jalan lebar dan taman-taman dengan tembok luar. Dan sekarang, dua ribu orangprajurit berkuda Genji, mengacungkan senjata, membanjir dari setiap penjuru ke halaman luas didepan Aula Utama begitu mendengar gonggong Heikg dibunyikan di sepanjang tembok timur.

Oi bawah langit tanpa awan, tiga puluh buah panji-panji merah Heik6 berkibaran di tengah hutanbusur ketika pasukan Heik6 berdiri diam di depan ketiga gerbang timur yang terbuka menyambutkedatangan mereka.

Yoshitomo, dicekam oleh kegetiran, mengerang kepada dirinya sendiri ketika melihat Nobuyori yangberwajah pucat pasi akhirnya keluar dari Aula Utama, lalu menunggangi kudanya dengan kikuk dan,dikawal oleh sepasukan prajurit bersenjata, menuju gerbang tempatnya akan memimpin pertempuran.Shigemori dan kelima ratus prajurit berkudanya telah menanti di sana, dan begitu Nobuyori muncul,Shigemori beserta delapan orang ajudannya segera menyongsong. Nobuyori menjerit ketika

melihat mereka, ragu-ragu, lalu membalikkan kudanya dan melarikan diri. Shigemori tentu sajamengejarnya. Melihat kejadian ini, lima ratus orang prajurit berkuda segera membanji memasukigerbang, diikuti oleh lima ratus orang prajurit lainnya.

Dari tempatnya di gerbang kedua, Yoshitomo melihat kejadian itu dan memanggil putranya,Yoshihira, yang dilihatnya sedang melintas.

“Musuh telah menembus gerbang utama! Aku tidak bisa meninggalkan posisiku di sini, tapi kau harusmenolong si pengecut Nobuyori! Giring keluar orang-orang Rokuhara itu!”

Mendengar perintah Yoshitomo, tujuh belas orang prajurit berkuda maju untuk memberikan dukungankepada Yoshihira. Shigemori menunggangi kuda berbulu cokelat, dan Yoshihira mengenali baju zirahdan kimono merah yang dikenakannya. Sementara Shigemori menghujani pasukan Genji dengan anakpanah, pasukan berkudanya menghalangi Yoshihira untuk mendekatinya dan memaksakanpertempuran satu lawan satu. Tetapi, begitu Shigemori menurunkan busurnya untuk mengatur napas,Yoshihara langsung

menyambar peluangnya. Ekor kudanya berkibas-kibas tertiup angin ketika dia melaju ke arahShigemori, menantangnya dengan lantang:

“Aku Genji Yoshihira, putra Yoshitomo! Siapa namamu?”

Shigemori menolehkan kepalanya cukup lama untuk menatap mata garang Yoshihira; kemudian,mencipratkan salju berlumpur, dia membalikkan kudanya dengan tajam dan menjawab, “Ah, rupanyakau Genji Yoshihira! Aku Heik6 Shigemori, putra Kiyomori!”

Begitulah generasi muda Genji dan Heik6 itu berhadapan di depan Aula Utama. Di salah satu sisitangga lebar yang mengarah ke aula terdapat sebatang pohon sakura, dan di sisi lainnya terdapatsebatang pohon jeruk pahit, dan di halaman depan aula, dua orang petarung saling berhadapan, salingmengejar.

Sambil memekikkan seruan perang kepada Yoshihira, yang tidak membawa busur, Shigemori tiba-tibamenembakkan sebatang anak panah.

“Pengecut!” Yoshihira membalas teriakannya. “Kau hendak memanahku padahal aku tidak membawabusur?

Beranikah kau beradu pedang denganku?”

Anak panah kedua berdesing, namun begitu tangan Shigemori untuk ketiga kalinya menyentuh wadahanak panahnya, Yoshihira telah ada di hadapannya. Kuda cokelat Shigemori mendadak berhenti ketikakuda hitam Yoshihira memotong jalannya.

“Jadi, kau, seorang Heik6, mengira bisa melarikan diri dariku?”

Satu lagi anak panah berdesing; ketika Yoshihira menunduk, Shigemori langsung menghunuspedangnya.

Kilat putih terlihat ketika baja beradu dengan baja; pijakan kaki keduanya berderit-derit nyaring.Berputar, menghindar, menusuk, dan memamerkan keahlian berkuda yang menakjubkan, keduapemuda itu saling memburu dengan beringas hingga tujuh, dan kemudian delapan kali mengelilingipohon sakura dan jeruk. Pedang mereka berkali-kali terayun, membelah udara, dan berbenturandiiringi percikan bunga api.

Kedelapan ajudan Shigemori sibuk melawan ketujuh belas prajurit Yoshitomo di bagian lain halaman,tempat salju yang terinjak-injak telah tercampur dengan lumpur

dan darah. Shigemori terus terseret dalam kekacauan itu hingga kedatangan lebih banyak lagi prajuritberkuda Genji yang memaksanya untuk mundur ke gerbang tempatnya masuk.

Mokunosuk£, yang bertugas mengarahkan penarikan pasukan itu, menghampiri Shigemori, yangdilihatnya sedang beristirahat di sebuah persimpangan jalan.

“Bagus!” seru Mokunosuk&, “seandainya Tuan Kiyomori bisa melihat tindakan Anda!” Lalu, diamenambahkan, “Tetapi, ingadah pesan dari ayah Anda, dan biarkanlah musuh kita mendapatkankemenangan untuk saat ini.”

‘Tua Bangka, tidak perlu memarahiku.”

Bersama pasukan berkuda yang baru saja tiba, Shigemori kembali memasuki halaman Istana. Di sana,Yoshihira menyambut mereka dengan lambaian tangan, kendati menghadapi hujan anak panah.

“Kemarilah kalian, Heik* dari Rokuhara! Tentu saja aku musuh yang tangguh, atau mungkinkahkalian sebenarnya takut kepadaku?”

Shigemori memacu kudanya. “Berani-beraninya kau menyombongkan diri? Kau sendirilah yang akantakut kepadaku!”

“Kapankah aku pernah lari darimu?”

Sekali lagi, keduanya saling menyerang dengan beringas di halaman bersalju itu, hingga Shigemori,yang kelelahan, berputar dan melarikan diri ke luar tembok Istana, diikuti oleh para prajuritnya yangbersorak sorai liar.

Yoshihira, memusatkan pandangannya pada kuda cokelat mengilap yang ditunggangi oleh Shigemori,

mengejar pemuda itu dan berseru, “Kembalilah, kembalilah, pengecut!”

Salju bertebaran bagaikan asap di bawah kaki-kaki kuda Shigemori ketika dia meloloskan diri darikejaran Yoshihira. Shigemori membungkuk di atas punggung kudanya, melecut-lecutkan

cambuknya, sementara dua orang ajudannya berusaha menyusulnya; mendengar teriakan peringatan,kuda Shigemori dengan mulus melompati sebuah kanal sempit, diikuti oleh kuda para ajudannya.Anak-anak panah berdesingan di kanan dan kiri mereka. Salah satunya melesat ke baju zirahShigemori dengan desingan keras dan menancap di pelindung bahunya.

“Tunggu, tunggu, apa kau tak tahu malu?” seru Yoshihira, nyaris di dekat telinga Shigemori, ketikakuda yang ditungganginya terpeleset di tepi kanal sehingga dia terlontar ke atas sebuah rakit Sambilberusaha bangkit, Yoshihiro berseru kepada salah seorang prajuritnya yang berhasil dengan mulusmelompati kanal, “Jangan tunggu aku … jangan sampai Shigemori lolos.”

Si prajurit mengangguk dan memasang anak panah ketiga ke busurnya; dia membidikkannya ke arahShigemori, tepat ketika kuda Shigemori melompati batang kayu yang tertimbun salju. Sebatang anakpanah menancap di perut binatang itu, darah merah menciprat ke salju yang putih bersih, dan kudabeserta penunggangnya roboh ke tanah. Helm melayang dari kepala Shigemori; dia bangkit untukmenangkapnya, namun ketika dia mendongak, dilihatnya salah seorang prajurit pengejarnyamenunduk menatapnya. Merasakan bahwa kudanya gentar melihat timbunan salju di dekat kanal, siprajurit langsung melompat turun dari pelananya dan menubruk Shigemori.

Dengan sekuat tenaganya, Shigemori mengayunkan

busurnya ke wajah penyerangnya; si prajurit mundur beberapa langkah dan menghunus pedangnya;tiba-tiba, salah seorang prajurit Shigemori mendarat di antara mereka dengan tangan terentang untukmelindungi pemimpinnya.

Bagaikan banteng mengamuk, kedua prajurit itu bergulat hingga terguling ke tanah.

Begitu berhasil menyeberangi kanal, Yoshihira melihat pelayan kesayangan ayahnya jatuh. Denganpedang terhunus, dia berlari untuk menyelamatkan pria itu.

Seorang lagi prajurit Shigemori tiba di sana dan cepat-cepat turun dari kudanya; dia menarik dansetengah mengangkat Shigemori ke pelana kudanya, mendorong majikannya itu untuk kabur, sebelummenolong rekannya yang telah roboh ke tanah.

Pertempuran dahsyat terus berlangsung di gerbang yang dijaga oleh Yoshitomo, ketika adik tiriKiyomori. Yorimori, kembali dan melakukan serangan membabi buta bersama pasukan prajuritberkuda bersenjata panah yang baru saja tiba. Ketika kedua belah pihak akhirnya mulai kehabisanpersediaan anak panah, pasukan Heik6 telah berhasil menerobos ke halaman Istana. Di tengah hingarbingar yang menyusul, hanya warna putih dan merah di panji-panji dan ikatan pita pada baju zirahpara prajuritlah yang membedakan antara teman dan musuh. Empat kali pasukan Heik6 terdesak danterpaksa keluar dari gerbang yang telah mereka masuki. Silih berganti, gelombang pertempuranberalih arah hingga akhirnya pasukan Heik6 terpaksa mundur hingga sejauh Jembatan Gojo.

Yoshitomo dan ketiga putranya memburu para prajurit Heikt yang masih tersisa di jalan-jalan utamaibu kota, dan tanpa sengaja menengok ke Istana. Pekikan gusar seketika meluncur dari mulutnyabegitu dilihatnya panji-panji Heik6

berkibar di atas gerbang-gerbang dan atap-atap Istana. Salah

satu pasukan Heik6 telah berhasil menyelinap ke dalam Istana, yang penjagaannya telah lemah, danmendudukinya.

Perkembangan terbaru dalam pertempuran ini mengecewakan Yoshitomo. Firasatnya mengatakanbahwa kemalangan telah menanti mereka. Pasukannya tidak bertempur dengan semangat yangmenggebu-gebu seperti biasanya. “Hanya ada secuil peluang untuk merebut kemenangan,” katanyakepada dirinya sendiri, baru menyadari bahwa dirinya pun tidak biasanya memiliki keraguan semacamini. Baru ketika itu jugalah dia mengakui bahwa dirinya sendirilah yang bertanggung jawab ataskekalahan ini. Sekali lagi, Kiyomori telah mengelabuinya dengan siasat kekanak-kanakan danmemotong jalannya untuk mundur. Pasukan Genji telah terdesak; satu-satunya pilihan yang tersisabaginya untuk saat ini adalah terus mengejar musuh ke Rokuhara, menculik Kaisar, dan menantang

Kiyomori untuk berduel, pikir Yoshitomo dengan kesal.

Luluh lantak … atau kemungkinan satu berbanding seribu

… ini adalah lemparan dadu terakhirnya. Tetapi, semangat Yoshitomo tersentuh ketika melihat parapanglimanya dengan penuh semangat memukul mundur musuh dan menggiring pasukan mereka dari

Jembatan Gojo ke arah utara.

Begitu pasukan Genji memenuhi tepi sungai, pasukan Heik6 mulai meruntuhkan Jembatan Gojo di sisimereka.

Genji Yoshihira memacu kudanya hingga ke tengah jembatan yang telah rusak, memerintahkan limaratus orang prajurit berkuda untuk mengikutinya dengan anak panah terbidik ke arah Rokuhara.Sementara itu, dari posisi mereka di seberang sungai, pasukan Yoshitomo telah menghujani pusatpertahanan Heik6 dengan anak panah.

Serangan balasan dilakukan oleh pasukan Kiyomori, dan pasukan berkuda maupun berjalan kaki darikedua pihak pun segera membanjiri sungai.

Yoshihira, dikesalkan oleh adu panah yang tidak membuahkan hasil apa pun, membelokkan kudanyadan memimpin pasukannya ke hilir untuk melakukan serangan ke Rokuhara dari arah selatan. Ketikasedang menyusuri sungai, dia melihat sebuah pasukan, yang berkekuatan lebih dari seratus orangprajurit berkuda, telah menghadang, siap siaga di balik dinding tameng, dengan panji-panji berkibar diudara.

“Pasukan Yorimasa!” semburnya dengan nada pahit.

Seorang panglima yang mendampinginya berkata,

“Ayahmu hendak menyeberangi sungai di sana, namun beliau mengurungkan niatnya ketika melihatpasukan Yorimasa.”

“Apa! Ayahku tidak mau menantang Yorimasa?”

“Tetapi, beliau mencaci makinya karena

pengkhianatannya.”

“Itu saja?”

“Dan Yorimasa membalas makiannya.”

“Tapi, apa gunanya beradu mulut dengan marah?

Yorimasa, seorang Genji, berani-beraninya menganggap kita musuh, dan sekarang dia sedangmenunggu untuk melihat siapa yang menang sebelum memutuskan pilihannya. Aku akan memberikanapa yang sepantasnya diterimanya!”

Yoshihira memacu kudanya dan melompati pematang yang membelah pasukan Yorimasa. Pertahananpasukan berkuda itu bubar, dan sebagian di antaranya mulai

menyeberangi sungai menuju Rokuhara. Kegegabahan Yoshihira ternyata berakibat buruk, karenatindakan itu membuahkan sebuah kesempatan yang telah lama dinanti-nantikan oleh Yorimasa, yaitumenggabungkan pasukannya dengan pasukan Heik6. Penghargaan kepada nama Genji telah mencegahYorimasa untuk secara terbuka memberikan perlawanan kepada Yoshitomo dan para pelaku

persekongkolan, dan dia memilih untuk menarik pasukannya cukup jauh agar bisa menghindariketerlibatan langsung dengan kedua belah pihak. Tetapi, tindakan sembrono Yoshihira memicunyauntuk meninggalkan posisi netralnya dan berpihak kepada Heike.

Rokuhara porak poranda oleh kerusuhan dan huru-hara.

Kiyomori telah memberikan perintah tegas kepada pasukannya untuk menghindari pertempuran didalam tembok Istana Kekaisaran; musuh harus dipancing keluar dan dihancurleburkan di sana. Namunpenyerangan lebih mudah dilakukan daripada penarikan pasukan. Pelarian Shigemori dan penolakanYorimori untuk melawan Yoshitomo berujung pada pelarian pasukan Heik& ke Rokuhara danperobohan sebagian Jembatan Gojo.

Setelah jalan mereka untuk mundur tertutup dan tanpa adanya sesuatu pun yang bisa dipertahankanlagi. pasukan Genji dengan putus asa menyeberangi sungai dan menginjak-injak mayat kawan-kawanmereka sendiri hingga mereka tiba di bawah tembok Rokuhara. Dari atas atap, tembok, dan pohon,para penghuni Rokuhara bahu-membahu dengan para prajurit untuk membela tempat berlindungKaisar dengan melemparkan bongkahan batu dan serpihan ubin kepada para penyerang.

Telah tiba waktu bagi Kiyomori untuk turun tangan memimpin pasukannya, karena ketakutanterbesarnya adalah Rokuhara habis terbakar di tangan musuh. Dia

menyambar pedangnya dari salah seorang pelayannya dan, sambil tergesa-gesa mengencangkan talihelmnya, berlari-lari melintasi lorong masuk, ketika adik iparnya, Tokitada, yang membuntutinya,tiba-tiba menghentikannya dengan tegas, “Tunggu … tunggu!”

Kiyomori, mengempit pedangnya, berhenti di tengah lorong dan membalikkan badan. “Ada apa,Tokitada?

Apakah kau melarangku memimpin pasukan kita?”

“Tidak,” jawab Tokitada, kesulitan menahan tawanya,

“helmmu terbalik … bagian belakangnya menghadap ke depan. Jangan sampai jenderal kitaberpenampilan seburuk itu!”

“Helmku … terbalik?”

Kiyomori meraba kepalanya, menyeringai, lalu tertawa terbahak-bahak.

“Salah, Tokitada! Memang beginilah yang seharusnya, helmku menghadap ke arah Yang Mulia. Ayo,mari kita memimpin dan menyapu bersih musuh kita!”

Tokitada, tidak mampu berkata-kata, berlari mengikuti Kiyomori, diikuti oleh para prajurit, tertawahingga tubuhnya terguncang-guncang.

Pertempuran yang dimulai pagi itu berlangsung sepanjang hari, dengan pasukan Genji yang terusberusaha menembus pertahanan Rokuhara. Pada saat Kiyomori turun tangan untuk mengarahkanpertahanan, anak panah musuh telah menumpuk di depan pintu gerbang dan kerai-kerai rumahnya. Diahanya bisa mendengar raungan memekakkan telinga dari para prajurit musuh yang berusaha

mendobrak pagar. Berkali-kali, Kiyomori merasa yakin bahwa Rokuhara telah ditaklukkan;mengabaikan bahaya yang mengancam dirinya, Kiyomori keluar untuk

memberikan suntikan semangat kepada para prajuritnya yang ketakutan, dan telah mundur ke salahsatu gerbang dalam. Kiyomori memanjat menara gerbang dan memekikkan yel-yel pertempuran untukpara prajuritnya seraya merentetkan anak panah ke arah musuh.

Seandainya pasukan yang berkekuatan lebih besar menyerbu dari timur, Rokuhara mungkin tinggalkenangan, namun di sisi ini, para penyerang mendapatkan balasan yang tak kalah dahsyatnya danterpaksa melarikan diri ke perbukitan bersalju di belakang Kuil Kiyomizu.

Sementara itu pasukan berkuda Yorimasa merapat ke pasukan Genji dari belakang. Yoshitomo,melihat sendiri betapa banyaknya prajuritnya yang telah gugur, dengan putus asa memimpin upayaterakhir untuk mendobrak gerbang-gerbang Rokuhara. Dia berteriak lantang, “jangan sampai kitakehilangan waktu lagi! Pria yang berdiri di atas menara gerbang itu adalah Kiyomori!”

Pasukan pendukung Yoshihira mendadak terpecah belah dan mundur ke arah sungai. AmarahYoshitomo meledak; dia menyandang busurnya dan memacu kudanya ke arah gerbang, mengacungkanpedangnya dan meneriakkan tantangan kepada Kiyomori. Tepat ketika itu, kericuhan yang melandapasukan berkudanya mendesak Yoshitomo dari segala arah dan mendorongnya menuju sungai.

Bala bantuan terbaru untuk Heik6 telah tiba melalui jalan raya dan menyerbu pasukan Yoshitomo dariutara.

Sementara pasukan berkuda Yorimasa menggebrak pasukan Yoshitomo dari selatan, sepasukanprajurit berkuda bersenjata panah mendadak menebar kengerian dari seberang sungai dan membukaserangan kepada pasukan Genji. Ancaman tidak terduga ini mendorong Yoshihira untuk berbalikmenuju sungai. Pasukan utama Yoshitomo, yang telah berhasil merangsek hingga depan gerbang

Rokuhara, sekarang mendapati bahwa mereka telah terkepung dari segala penjuru, dan dengan panikmulai mundur ke utara di sepanjang Sungai Kamo. Walaupun telah dihadang oleh pasukan Heik6 dipinggir sungai, Yoshihira dan pasukannya mempertahankan kedudukan mereka hingga perintahYoshitomo untuk melarikan diri terdengar.

Yoshitomo mengedarkan pandangan putus asa kepada para ajudan dan panglimanya, lalu berseru,“Kita telah kalah dalam pertempuran ini! Ini adalah takdir bagi siapa pun yang terlahir untukmengangkat senjata! Akhirku telah tiba, namun kaburlah, kalian semua, selamatkan nyawa kalian!”

Dan ketika kedua putra termudanya memohon untuk tetap tinggal bersamanya hingga ajal menjemputmereka, Yoshihira, putra sulung Yoshitomo, menghampiri mereka dan mengatakan, “Aku sendirilahyang akan bertahan.

Inilah yang kuinginkan, lebih daripada segalanya. Kalian dan ayah kita harus selamat.”

Para panglima Yoshitomo pun membujuknya untuk melarikan diri bersama mereka denganmengatakan, “Ini bukan momen ke matian Genji; jika kita bersembunyi sekarang, akan tiba hari saatkita bisa membalas aib ini.”

Dikawal oleh para pengawalnya yang setia, Yoshitomo dan putra-putranya mulai mundur menembuspertahanan musuh. Walaupun dikepung dari segala penjuru, mereka berhasil mundur ke utara menujuperbukitan di bagian Kamo yang lebih tinggi, walaupun terpaksa merelakan beberapa anggota pasukanmereka kepada keganasan pasukan Heik6. Dan, setelah mereka mendapatkan keamanan di sebuahpemukiman tertutup yang berselimut salju di daerah perbukitan, Yoshitomo melihat ke sekelilingnyadan menyadari bahwa dari seluruh

pasukannya yang semua berjumlah lima puluh orang, hanya empat belas orang yang tersisa. Tidaksanggup menutupi duka dan penyesalannya, Yoshitomo meratapi bagaimana dirinya telahmendatangkan kehancuran bagi keluarganya, membawa mereka ke masa depan yang suram.

Wilayah perbukitan ini hanya menjanjikan kelaparan dan penderitaan. Apakah yang akan terjadikepada orang-orang tercinta yang ditinggalkan di ibu kota oleh para pengiringnya ini? Di manakahmereka sekarang?

Bagaimanakah nasib istrinya … Tokiwa? Tokiwa menolak untuk meninggalkan Kyoto agar bisa tetapberada di dekatnya. Apakah Tokiwa akhirnya mau mengungsi ke pedesaan bersama ketiga putramereka, seperti yang dimintanya? Yoshitomo membayangkan istrinya terpukul ketika mendengarberita kekalahannya.

Kuda mereka kewalahan karena telah lama berjalan di atas salju; ketika mereka mendaki bukit,Yoshitomo menghentikan kudanya dan mengedarkan pandangan. Jauh di bawahnya, setiap pagoda danatap bangunan di ibu kota berpendar keperakan di tengah temaram senja, dan di seluruh penjuru kota,tampaklah kobaran api dan kepulan asap gelap yang menandai pembumihangusan berbagai bangunan.

o0odwkzo0o

Bab-XXV BADAI SALJU

Yoshitomo sangat berharap rombongannya bisa tiba di sisi lain Gunung Hiei sebelum pagi tiba, karenaada anggota klan Genji yang akan memberikan tempat berteduh dan pertolongan kepada mereka diDesa Mino, yang terletak di ujung terjauh Danau Biwa. Maka, mereka pun mempercepat laju ke utara,mengikuti aliran Sungai

Takano, melewati Has6, dan berbelok ke timur mengikuti jalur perbukitan menuju Yokokawa, hinggamereka tiba di Katado, di dekat ujung selatan danau.

Angin kencang seolah-olah hendak memuntahkan seisi danau ke laut yang bergolak dahsyat ketika duabuah perahu, yang mengangkut rombongan Yoshitomo beserta beberapa ekor kuda mereka, bertolakpada pagi buta. Awan muram menggantung begitu rendah di langit utara, mengancam mereka denganhujan salju yang lebih lebat Pada sekitar tengah hari, para buronan itu akhirnya merapat di antarailalang air layu di pesisir timur pantai, dan timbunan salju di sana jauh lebih tebal daripada di ibukota.

Mereka turun dari perahu tanpa banyak bersuara dan berhenti sejenak untuk mengamati sekawananangsa liar yang terbang melintasi langit kelam. Dua orang di antara mereka kemudian pergi kekampung nelayan terdekat untuk menukarkan beberapa buah senjata dengan bahan makanan,sementara yang lain menunggu sembari mengumpulkan ranting-ranting untuk dijadikan kayu bakar.

Pada sore harinya, setelah menghangatkan dan mengenyangkan diri, Yoshitomo dan para pengikutnyamembahas tentang perjalanan tahap selanjutnya. Mereka telah menyepakati untuk melakukannyasetelah matahari tenggelam, ketika bahaya pengejaran tidak sebesar pada siang hari. Kemudian, tujuhorang panglima dan pelayan Yoshitomo meminta izin untuk meninggalkannya dan melanjutkanperjalanan secara terpisah, menekankan keamanan bepergian dalam rombongan-rombongan kecil.

Ketika matahari mulai turun, masing-masing dari mereka berpamitan kepada Yoshitomo, berjanjiuntuk bertemu kembali setibanya mereka di wilayah timur Jepang.

Saat malam tiba, Yoshitomo, ketiga putranya, dan empat orang panglima memacu kuda merekamengikuti aliran

sungai hingga tiba di seruas jalan, lalu melanjutkan pelarian mereka dari sana. Langit hitammengancam di atas mereka, dan bukit-bukit menjulang tinggi di kanan dan kiri mereka.

Kampung demi kampung mereka lewati, sunyi senyap di bawah selimut salju tebal, tanpa adanyasetitik pun cahaya yang bisa memandu mereka. Tidak ada sedikit pun suara manusia yang hinggap ditelinga mereka; seluruh kehidupan seolah-olah telah dibungkam. Malam itu sempurna untuk sebuahpelarian, dan sekelompok kecil buronan itu mempercepat laju mereka hingga badai tiba danmenggulung mereka dalam pusaran-pusaran salju yang membutakan.

? ??

Sementara itu, pada malam ketika Yoshitomo menembus perbukitan menuju Danau Biwa, Wakil

Penasihat Nobuyori

… dalang utama persekongkolan untuk merebut kekuatan dari Kiyomori … melarikan diri menujuKuil Ninna-ji.

Tempay yang berada di sebelah utara gerbang kota itu juga dipilih oleh sekitar lima puluh orang rekansesama bangsawannya sebagai tempat pengungsian. Di sana, sebelum malam larut, Nobuyori diseretkeluar oleh para prajurit kiyomori, dan keesokan paginya dipenggal bersama para pengkhianat Kaisarlainnya.

Pada 29 Desember, hari kedua setelah pertempuran berakhir, ketika ketenangan di Kyoto telahkembali, Kiyomori diperintahkan untuk melakukan pemeriksaan pada Istana dan bangunan-bangunanmilik negara lainnya.

Para ahli nujum menyuarakan pendapat mereka, dan dipilihlah tanggal yang tepat bagi kembalinyaKaisar ke Istana Kekaisaran. Bagi Kiyomori, kunjungan pemeriksaan ini sama halnya dengan paradekemenangan, sehingga dia memerintahkan kepada para adik, putra, dan panglimanya, juga siapa punyang ada di Rokuhara untuk berbaris

bersamanya dalam sebuah arak-arakan yang sarat oleh samurai berbaju zirah indah dan kudaberornamen lengkap.

Di sepanjang rute yang terbentang di antara Jembatan Gojo dan jalan-jalan utama ibu kota, masyarakatbersorak sorai mengelu-elukan dan menonton pemandangan indah; berupa pasukan berkuda denganbaju zirah warna-warni, diikuti oleh pasukan pemanah dan prajurit berjalan kaki dengan baju zirahlengkap, serta sepasukan bocah dengan kimono terbaik mereka di baris terbelakang.

Selama pertempuran berlangsung, kaum terpapa ibu kota

… para pengemis dan pencuri, gelandangan dan penjahat …

telah menduduki dan tinggal di Istana; mereka menggeledah setiap ruangan di sana selama tiga haridan tiga malam, menjarah gudang-gudang penyimpanan untuk mencari makanan, menirukan parapejabat istana dengan memakai kimono dan mahkota mereka, dan pesta-pesta meriah merekameninggalkan kekacauan dan keributan di semua penjuru Istana. Ketika berita mengenai kedatanganKiyomori menyebar, kepanikan melanda mereka. Di setiap sudut istana bisa ditemukan sekelompokgembel ketakutan, sehingga jumlah mereka terlalu besar untuk ditangani oleh patroli pengawal atauditampung di penjara. Maka, atas perintah Kiyomori, mereka dibariskan di halaman Istana dandiperintahkan untuk membersihkan seluruh kekotoran yang mereka timbulkan. Tidak ada ancamanhukuman bagi mereka, justru iming-iming untuk mendapatkan semangkuk nasi setelah pekerjaanmereka selesai.

“Ya, dia tahu rasanya kelaparan. Dia tahu,” kata salah seorang gelandangan sambil bekerja dengansapunya.

“Itulah Heikt Kiyomori. Aku mengenalnya di masa lalu, waktu orang-orang masih memanggilnyadengan nama

‘Heita*. Ini sungguhan. Dahulu, dia adalah bocah miskin anak si Mata Picing … itulah julukanayahnya dahulu …

yang sering kulihat berkeliaran dengan pakaian compang-camping di Shiokoji, dan di Pasar Pencuri didekat pohon jelatang. Aku tidak mengatakan bahwa dia adalah gembel seperti kita, tentunya, dan akujuga pernah berbicara dengannya. Dan bukankah setiap kali aku punya sake, aku pasti selalumenawarinya sedikit?”

“Jadi, dia juga sudah pernah hidup susah, ya?”

“Begitulah. Dia mungkin berpenampilan seperti seorang tuan besar, tapi dia adalah salah satu darikita, yakinlah tentang hal ini.”

“Dan dia mau minum-minum sake denganmu?”

“Yah, tidak, dia selalu menolak tawaranku, tapi yang kumaksud adalah, kami bisa dibilang berteman.Karena itulah dia memahami kaum kita.”

“Lihat mereka datang!”

“Siapa … di mana?”

“Tuan Rokuhara sendiri … arak-arakan itu!”

o0odwkzo0o

Jalan putih membentang seolah-olah tanpa ujung di hadapan rombongan Yoshitomo, dan kantukmenyerang mereka semua. Dingin yang menusuk tulang dan keletihan yang mendera membuai merekabagaikan obat tidur.

Teriakan Yoshitomo untuk memanggil nama para pengiringnya, bagaimanapun, menggugah merekadari waktu ke waktu; teriakan balasan meyakinkan Yoshitomo bahwa tidak seorang pun anggotarombongannya tertinggal terlalu jauh di belakang.

“Jangan sampai kalian mengendurkan pengawasan satu sama lain,” Yoshitomo memperingatkan.“Pastikan agar salju tidak membeku di atas bulu mata kalian. Mari kita

saling memanggil untuk memastikan bahwa kita semua tetap terjaga!”

Pada larut malam, setelah berhasil dengan selamat melewati pos-pos penjagaan di jalan danmenyeberangi Sungai Hino, mereka telah serak dan kehabisan napas akibat berteriak-teriak melawanterpaan angin dan salju.

Semakin sulit bagi mereka untuk saling mengawasi. Tiba-tiba, Yoshitomo dan Yoshihira, yangmengendarai kuda mereka di depan, merasa mendengar teriakan-teriakan di kejauhan. Merekamenghentikan kuda mereka, lalu memicingkan mata menembus hujan salju dan mempertajampendengaran.

“Yoritomo … Yoritomo-o! Ho-oi!”

Sebuah suara lain terdengar, “Ho-oi, Yoritomo!”

Suara-suara itu sepertinya berasal dari belakang mereka.

“Apakah mereka memanggil Yoritomo?”

“Dia pasti tertinggal jauh di belakang. Tunggu aku di sini, Ayah, aku akan melihat apa yang terjadi disana.”

“Tidak, aku akan ikut bersamamu.”

Seorang pelayan, yang mengendarai kudanya beberapa langkah di depan Yoshitomo, berbalik danbertanya,

“Apakah kita semua akan ke belakang?”

Yoshitomo menapaki kembali jejaknya dan menghitung anggota rombongannya. Semuanya adakecuali Yoritomo, putra bungsunya.

“Yoritomo hilang?”

Beberapa waktu tentu telah berlalu sejak salah seorang dari mereka menyadari tentang menghilangnyaYoritomo, karena walaupun mereka telah memanggil-manggil

namanya secara serempak, tetap tidak ada jawaban yang terdengar.

“Katamu dia tidak ada di sini,” kata Yoshitomo dengan cemas, tidak kepada siapa pun secara khusus.“Kapankah kau menyadarinya?”

“Dia berkuda di antara kami ketika kita melintasi dataran di belakang,” jawab dua orang panglima.

“Di Sungai Hino?”

“Badai terdahsyat menerpa kita di sana, dan kami harus berpencar agar bisa menyeberangi sungai.Kami mungkin terpisah di sana. Ini adalah kesalahan kami. Biarkanlah kami kembali ke sana untukmencarinya,” kata kedua panglima itu, bersiap-siap untuk kembali.

Tetapi, suara Yoshitomo, yang hampa akibat duka, menghentikan mereka. ‘Tunggu, tunggu. Kaliantidak perlu melakukan itu. Kita tidak bisa berbalik arah setiap kali ada yang terpisah dari rombongan.”

Mereka semua saat ini berkerumun untuk menahan badai, dan Yoshitomo melanjutkan, “Matahariakan terbit sebentar lagi, dan kita harus mengalihkan rute kita untuk menghindari perjumpaan denganorang lain di jalan.

Sebelum kita tiba di wilayah perbukitan, para pengejar masih mengancam kita, dan Yoritomo harusdibiarkan untuk menjalani takdirnya sendiri jika kita ingin berhasil dalam pelarian ini. Masa depanseluruh klan Genji tergantung pada keselamatan kita. Kita tidak bisa mempertaruhkan nyawa demiYoritomo seorang.”

Kedua panglimanya membantah, “Tuan, dia adalah putra bungsu Anda, dan kesayangan kami;bagaimana mungkin kita meninggalkannya seorang diri di tengah badai sedahsyat ini? Anda akanmenyesali hal ini hingga akhir

hayat Anda. Biarkanlah masa depan menentukan jalannya sendiri. Izinkanlah kami kembali untukmencari Yoritomo!”

Tetapi, pendirian Yoshitomo tidak tergoyahkan. “Tidak, walaupun kata-kata kalian teramat sangatmenyentuhku.

Kalian tahu betul betapa aku menyayangi putraku, namun seluruh klan Genji menganggapku sebagaiorangtua mereka, dan aku tidak bisa mengabaikan mereka demi Yoritomo seorang. Di dalam upayaperebutan kemenangan, mereka lebih berarti daripada anak-anakku.”

Yoshitomo terdiam, lalu tiba-tiba memalingkan wajahnya dan mengangkat kedua tangannya untukberdoa,

“Ah, malam yang keji! Seperti inikah cara langit menguji putraku? Benarkah bahwa dia ditakdirkanuntuk meninggal dalam udara sedingin ini? Langit yang pengampun, jika memang para dewamenghendaki, tolong selamatkan dia!”

Yoshitomo memperkuat diri untuk mengambil keputusan yang tidak bisa dihindarinya, lalu sekali lagimenoleh kepada rombongannya yang telah menanti. “Kita tidak bisa kembali. Kita harus bergegas

karena pagi akan segera tiba,” katanya, menjalankan kembali kudanya.

Walaupun enggan, semua orang mengambil posisi di belakang Yoshitomo. Semuanya, kecuali seorangpanglima termuda yang, setelah bertukar beberapa pandangan penuh arti dengan Yoshihira,membelokkan kudanya ke arah barat.

o0odwkzo0o

Putih, putih di sekelilingnya … seruas jalan putih yang tak berujung … malam putih menyelimutinya.

Kantuk mendera Yoritomo sehingga guncangan kudanya sekalipun terasa selembut buaian. Mustahilbaginya untuk

tetap terjaga. Terkantuk-kantuk … terkantuk-kantuk, dan akhirnya dia takluk. Terkadang, suaraseseorang yang memanggil namanya menembus kesadarannya, dan Yoritomo menjawab, atau itulahperasaannya. Kemudian, dia kembali tertidur. Dia baru berumur empat belas tahun, dan beban yangharus ditanggungnya selama beberapa hari terakhir ini terlampau berat baginya. Seluruh kengerianterlupakan di dalam tidurnya. Yang harus dilakukannya hanyalah memegang erat-erat pada talikekangnya agar kudanya tetap maju, dan maju. Dia masih bisa mengingat ketika dia melewati sebuahdesa di Moriyama; kemudian, mereka melintasi sebuah dataran gersang, namun tidak ada lagi yangbisa diingatnya

setelah itu. Dia bahkan tidak melihat empat orang pria yang membuntutinya.

Sehari sebelum Yoritomo tiba di Moriyama, seorang prajurit tiba terlebih dahulu dari Rokuhara danmenemui kepala desa dan petani di sana. Dia memerintahkan kepada mereka untuk mewaspadaikedatangan Yoshitomo.

Sebelum si kurir pergi, telah tersebar pengumuman di seluruh desa dan wilayah sekitarnya tentangimbalan yang akan diberikan bagi siapa pun yang berhasil menangkap Yoshitomo. Demi mendengartentang hal ini. Gen, seorang bandit kampung, mengumpulkan beberapa orang antek dengan janji akanmembagi imbalan yang didapatkannya, yang jumlahnya jauh lebih besar daripada harga selusin babihutan. Mempersenjatai dirinya dengan sebuah tombak dan antek-anteknya dengan bambu runcing, Genmulai melakukan perburuan terhadap Yoshitomo dan rombongan kecilnya.

“Itu dia … dan dia sendirian, Gen.”

“Begitulah.”

“Itu aneh.”

“Kenapa?”

“Kurasa aku melihat banyak jejak kaki kuda di hamparan salju di dekat jembatan. Tapi, cuma satuorang yang kulihat. Beruntung sekali aku karena tertidur di kedai sake, atau aku tidak akan mendengartentang ini. Kita tidak pernah tahu kapan keberuntungan akan datang!”

“Ini tidak buruk, apalagi karena akhir tahun sudah dekat.

Aku tidak pernah bermimpi bahwa keberuntungan sebesar ini akan menghampiriku tahun ini.”

“Hei, ayo kita tangkap dia!”

“jangan tergesa-gesa, dia masih bocah. Dia pasti anak Yoshitomo.”

“Lihat … lihat itu!”

“Dia pasti tertidur. Lihat, dia mengangguk-angguk!”

“Semudah menangkap bayi beruang. Aku akan memuntir pijakan kakinya dan mendorongnya daripelana, dan saat dia jatuh, tangkap dan tindihlah dia di tanah.

Setelah itu, aku akan mengikatnya.”

Gen dan antek-anteknya mengepung Yoritomo, yang mendadak mendongak.

Gen menghadang Yoritomo.

“Hei, Nak, kau hendak ke mana?” tanyanya dengan tajam.

Yoritomo tidak menjawab. Dia menatap dengan bingung pada salju yang berjatuhan di sekelilingnyadan baru menyadari bahwa ayah dan kakak-kakaknya tidak ada lagi di dekatnya. Kesan mengibakandalam sepasang mata jernih yang menatap dari balik pelindung salju, juga garis-garis halus sosokkekanak-kanakan Yoritomo, menghadirkan perasaan tidak enak di perut Gen.

“Turun, turunlah dari kudamu!” seru Gen sambil berlari menghampiri kuda Yoritomo dan menyambarpijakan kaki kanannya.

Yoritomo memutar tubuhnya di atas pelananya supaya tidak terjatuh.

“Hei, turunlah kamu!”

“Kau bangsat!” Yoritomo berseru sambil menebaskan pedangnya dengan sekuat tenaga ke kepala Gen.Jeritan yang mendirikan bulu kuduk berhasil menggugah kesadaran Yoritomo; noda gelap bercecerandi atas hamparan salju; ujung-ujung bambu runcing terarah kepadanya, dan dia menyerang seseorangyang menghalangi jalannya dengan sebuah tombak. Sesuatu menggeram kepadanya, dan Yoritomoketakutan, menyadari bahwa ayahnya tidak ada lagi bersamanya.

“Ayah! Ayah!Yoshihira! …”

Kuda Yoritomo menerjang penyerangnya dan berlari kencang meninggalkan mereka semua.

Yoritomo tidak tahu ke mana kudanya membawanya, namun dia yakin bahwa dia tidak sedangmendekati ayahnya. Dan ketika kudanya yang telah lelah akhirnya menolak untuk terus berjalan.

Yoritomo meninggalkannya, melempar helm beratnya, dan berjalan tanpa arah melewati sejumlahbukit dan lembah.

Beberapa hari kemudian, dia menyeret langkahnya ke sebuah desa pegunungan yang sunyi dan tertidurdi luar pondok kayu seorang petani. Istri si petani, yang keluar

untuk membuka stoples acar, menjerit nyaring ketika melihat seorang bocah yang nyaris beku, tertidurdi antara tumpukan kayu dan gundukan batu bara. Dia memanggil suaminya, dan bersama-sama,mereka membawa Yoritomo ke dalam pondok mereka, menghangatkannya, dan memberinya

bermangkuk-mangkuk bubur kentang panas.

Kemudian, setelah Yoritomo siap pergi, mereka memberikan petunjuk mendetail kepadanya tentangcara mencapai Mino.

“Berjalanlah ke arah gunung yang kaulihat di sana,” kata mereka, “dan kau akan menemukan jalanmenuju selatan, yang harus kaulewati untuk tiba di Mino.”

Yoritomo meninggalkan mereka dengan sebersit kesedihan di hatinya. Untuk pertama kalinya dalamkehidupannya, dia berbagi makanan dengan orang miskin dan mereka memperlakukannya denganbegitu baik.

Seorang biksuni, yang ditemuinya di jalan, tersentuh oleh kemudaannya dan dengan lembutmemperingatkannya,

“Anakku, ada banyak prajurit Heik6 di pos penjagaan di jalan ini. Nah, jangan sampai kau tersesat,”katanya ketika mereka berpisah.

Hari demi hari, Yoritomo tersuruk-suruk, tidur di gubuk-gubuk kecil dan tempat-tempat pemujaanyang telah terbengkalai pada malam hari. Salju semakin menipis seiring perjalanannya. Dia yakinbahwa Tahun Baru telah tiba dan terlewati olehnya, dan dia meneguhkan diri dengan meyakini bahwaayah dan kakak-kakaknya sedang menantinya di Mino. Yoritomo pernah mendengar bahwa saudaratiri perempuannya tinggal di sana. Tetapi, dia masih ragu-ragu tentang hubungan saudara tirinyadengan Ohi, panglima setempat, yang masih memiliki hubungan darah dengan Genji dan bisadipercaya olehnya.

Ketika Yoritomo tiba di sebuah sungai pada suatu hari, seorang nelayan, yang sedang mencuciperahunya, menyapanya, “Bukankah kau salah seorang Genji … putra Yoshitomo?”

Yoritomo tidak berupaya menyembunyikan identitasnya.

“Ya, aku putra ketiga Yoshitomo. Namaku Yoritomo.”

Si nelayan tampak puas dan bercerita bahwa saudara-saudaranya pernah menjadi pelayan di kediamanYoshitomo. Dia memperingatkan Yoritomo tentang bahaya bepergian seorang diri, lalu mengundangbocah itu untuk singgah di gubuknya.

Yoritomo menginap selama beberapa hari di gubuk si nelayan, lalu meneruskan perjalanannya, kali iniditemani oleh putra si nelayan, yang baru meninggalkannya setelah mereka tiba di rumah Ohi, sangpanglima.

Rumah itu tampak terbengkalai, namun seorang pelayan akhirnya keluar dan mempersilakanYoritomo memasuki sebuah ruangan yang pengap oleh asap dupa.

“Jadi, inikah Yoritomo?” kata seorang wanita sambil terisak-isak. Dia adalah Enju, putri Ohi, ibusaudara tiri Yoritomo. Enju terus menangis, dan air matanya membingungkan Yoritomo, yangmenyimpulkan bahwa kekalahan Genji adalah penyebab kesedihan wanita itu.

Akhirnya, Enju mengusap air matanya dan berkata,

“Yoritomo, ayahmu sudah tidak ada di sini. Dia menginap di sini pada suatu malam dan, berpikirbahwa lebih aman bagi rombongannya jika mereka terus bergerak, langsung melanjutkan perjalananke timur menuju Owari untuk mencari seseorang yang bernama Tadamun6, kepala suku di sana. Padahari ketiga Tahun Baru, Tadamun6

membunuhnya dengan bengis.”

“Eh, ayahku?”

“Tadamun6 mengirim kepala ayahmu ke ibu kota pada saat itu juga, dan mereka memajangnya di atassebatang pohon di dekat gerbang Penjara Timur.”

“Tapi … mungkinkah ini benar?”

“Dan, bukan hanya itu. Kakakmu Tomonaga tewas akibat luka-lukanya. Yoshihira melarikan diri, dankami belum mendengar kabarnya sejak saat itu.”

“Jadi, ayah dan kakak-kakakku sudah meninggal? Aku tidak akan bertemu dengan mereka lagi didunia ini?”

“Anakku, anakku yang malang …. Tidak aman bagimu untuk tinggal lebih lama di sini. Heik6 sedangmemburumu.”

“Ayah! Ayahku!”

Yoritomo, dengan tubuh gemetar, mendongak ke langit-langit; air mata membasahi pipi. Bocah itumenangis terisak-isak dengan nyaring, dan menjerit-jerit tanpa sanggup mengendalikan diri, seolah-olah jantungnya hendak meledak.

Baru ketika ayah Enju yang telah uzur muncul dan berusaha menenangkannya, Yoritomo berhasilmengatakan,

“Aku tidak akan menangis lagi. …Aku tidak ingin menangis.” Kemudian, menoleh kepada panglimarenta itu, Yoritomo bertanya, “Ke manakah sebaiknya aku pergi?”

Sang panglima renta menjawab. “Ke wilayah timur Jepang,” lalu menyebutkan nama para panglimayang bisa dipastikan akan menerima Yoritomo dengan baik. Dia melanjutkan, “Aku mendengar bahwaNyonya Tokiwa masih ada di ibu kota, dan dia memiliki tiga orang anak lelaki, saudara tirimu, namunmereka masih kanak-kanak.

Di timur, kau bisa dipastikan akan bertemu dengan para anggota klan Genji yang akan berdiri dipihakmu.”

Yoritomo duduk tenang dan memikirkannya.

o0odwkzo0o

Bersama setiap hari yang dilalui oleh Yoritomo dalam perjalanannya ke selatan, ladang-ladang luas dikedua sisi jalan tampak menghijau oleh tanaman jelai yang mulai tumbuh. Burung-burung berkicau diatasnya, dan Yoritomo terus berjalan, hatinya terasa ringan. Enju melepas kepergiannya dengan kasihsayang seorang ibu …

membekalinya dengan kimono baru, mantel berbulu, sandal, sekotak batu api, dan sebilah pedang.

Februari hampir tiba dan bulan baru tampak mengambang di langit biru tua pada tengah hari itu.

“Bocah yang baru saja berpapasan dengan kita …

sungguh aneh melihat anak setampan itu di sini. Aneh sekali,” kata Munekiyo sambil menoleh dariatas pelananya untuk kembali memandang Yoritomo.

Seorang samurai lain turut mengamati bocah itu.

“Sikapnya juga menarik, membuatmu menyangkanya sebagai anak seorang panglima di wilayah ini.”

“Mungkin saja, tapi ini latihan yang sangat berat bagi bocah seperti itu, menyuruhnya melakukanperjalanan tanpa ditemani oleh seorang pelayan pun di masa berbahaya ini.”

Tanpa berkomentar lebih lanjut, Munekiyo melanjutkan perjalanan, ketika sebuah firasat mendadakmenggelitiknya; dia langsung menghentikan kudanya dan kembali menoleh kepada sosok yang kinitelah menghilang di kejauhan.

Munekiyo, pelayan adik tiri Kiyomori, Yorimori, diberangkatkan sebagai duta Yorimori untukmemastikan kabar kematian Yoshitomo Dia tengah berada dalam

perjalanan pulang ke ibu kota setelah menyelesaikan berbagai macam urusan yang berkaitan denganTadamun6.

Munekiyo menoleh dan memerintah prajurit di dekatnya:

“Bawa kemari bocah yang baru saja berpapasan dengan kita. Jika dia berusaha melarikan diri, makabisa dipastikan bahwa dialah orangnya. Tangkap dia, apa pun yang terjadi.”

Munekiyo memutar kudanya dan mengikuti para prajuritnya dengan santai.

Yoritomo ternyata berusaha meloloskan diri dan melawan para penangkapnya. Saat ini dia berbaringtelentang di bawah pohon dedalu di tepi sungai, memandang para prajurit bersimbah keringat yangmengepungnya. Para prajurit itu terengah-engah; urat-urat besar tampak bertonjolan bagaikan sumbudi wajah dan leher mereka yang merah padam.

“Kemari kau, berdirilah!”

“Berdiri kamu!”

Alih-alih menurut, Yoritomo tetap berbaring diam dan menatap matahari.

Munekiyo membungkuk di atasnya dan mengamati wajahnya. “Ada apa dengan dirimu? Apakah yangsedang kaulakukan?”

“Dia memang masih kecil, tapi jangan sampai kita tertipu oleh penampilannya,” kata salah seorangprajurit dengan kesal. “Dia petarung cilik …. Lihatlah dia, bisa-bisanya dia memerintah kita untukmenariknya berdiri, seolah-olah kita pelayannya!”

Senyum tipis terulas di wajah Munekiyo, “Tarik dia berdiri,” perintahnya.

Dua orang prajurit maju dan mencengkeram lengan Yoritomo, lalu menariknya hingga berdiri.Yoritomo berdiri tegak, menatap Munekiyo. Wajahnya berlepotan debu.

Goresan luka merah tampak di pipinya yang merona, dan rambutnya acak-acakan.

“Apakah mereka menyakitimu. Nak?”

“Kau hendak pergi ke mana? Timur?”

“Ayahmu? Siapakah ayahmu, Nak?”

Yoritomo menolak untuk menjawab, namun pertanyaan terakhir itu menghadirkan setetes air matayang mengalir di pipinya, walaupun dia tetap tidak melontarkan sepatah kata pun.

“jawablah pertanyaanku. Jika kau tetap diam, kami akan melihat apakah rasa sakit akan mendorongmuuntuk menjawab,” Munekiyo mengancam.

Yoritomo menegakkan bahunya dan, dengan tatapan meremehkan, berkata, “Dan siapakah kamu?Turunlah dari kudamu jika kau ingin berbicara denganku. Aku bukan jenis orang yang bisa disapa olehseorang prajurit Heik6 biasa dari atas punggung kuda.”

Munekiyo terdiam dengan takjub ketika mendengar jawaban bocah itu. Dia mengamati Yoritomo dariujung kepala hingga ujung kaki. Kemudian, dia cepat-cepat turun dari kudanya dan menghampiriYoritomo, lalu menjelaskan bahwa dia adalah pelayan Heik6 Yorimori.

Munekiyo telah menduga bahwa bocah itu adalah Genji Yoritomo, namun dia masih membujukdengan lembut,

“Siapakah dirimu? Sebutkanlah nama ayahmu.”

o0odwkzo0o

Bab XXVI – BELAS KASIHAN

Lebih dari sebulan telah berlalu sejak ibu tiri Kiyomori, Ariko, mengungsi ke Rokuhara demikeamanannya, dan dia tinggal di sana hingga Tahun Baru berlalu, menjalani kehidupan bersamaseluruh penghuni rumah dan menikmati perhatian dari cucu-cucunya. Ariko berusia sekitar empatpuluh tahun, hanya sedikit lebih tua dari Kiyomori, dan penampilannya tampak terlalu muda untukseorang nenek. Kiyomori kerap tertikam oleh perasaan cemburu ketika melihat Ariko dan Tokikomenghabiskan waktu bersama, karena janda ayahnya itu jauh lebih menawan daripada istrinya; adakalanya, dia bahkan mengasihani dirinya sendiri atas pernikahannya.

Walaupun bisa menyembunyikan kekesalannya dengan baik, Kiyomori tidak pernah merasa tenangsaat berada di dekat Ariko. Ada sesuatu di dalam diri Ariko yang senantiasa mendorong Kiyomoriuntuk melawan keinginan untuk mengabaikannya. Kiyomori kadang-kadang bertanya-tanya, apakahyang menjadi akar dari perasaannya kepada ibu tirinya itu.

Pada suatu pagi, ketika Kiyomori hendak berangkat ke Istana, dayang Ariko muncul untukmenyampaikan pesan bahwa majikannya ingin berbicara dengan Kiyomori. Ariko terbiasa untuk

menghabiskan sebagian paginya dengan merapalkan ayat-ayat suci di ruang peribadatan kecil yangterhubung dengan kamarnya, dan Kiyomori selalu menghindari bagian rumah itu; bukan hanya karenanisan ayahnya ada di sana melainkan juga karena kesan muram dan angker yang dimiliki tempat itu.

Ketika Kiyomori muncul, Tokiko sudah ada di sana, duduk diam di dekat Ariko.

“Aku ingin berterima kasih kepadamu,” kata Ariko,

“dan kuharap kau mau memaafkanku karena telah memintamu untuk datang kemari.”

Kiyomori mengendus-endus asap dupa yang masih mengepul di belakang Ariko. Dia mendengarseekor burung berkicau di luar jendela yang terbuka, tempat sinar matahari menerobos masuk. Cahayaitu menerangi lipatan-lipatan di kimono biksuni yang dikenakan oleh Ariko, sehingga sosoknyatampak menyerupai ukiran indah. Kekayaan detail di ruang peribadatan itu, hiasan-hiasan brokatnya,lekukan-lekukan di langit-langitnya, lentera-lenteranya, semuanya bersatu padu untuk menonjolkansosok berpakaian putih itu. Kemudian, tiba-tiba terpikir oleh Kiyomori, ketika dia terdiam sejenak diambang pintu, bahwa kehidupan Ariko, masa menjandanya yang dititikberatkannya untuk berdoa danberkomunikasi dengan mereka yang sudah meninggal, entah bagaimana telah menjadikannya bagiandari dunia arwah … dan ada banyak cara untuk menangani arwah.

‘Tetapi, untuk apa berterima kasih … dan mengapa Ibu mendadak memanggilku? Apakah yang bisakulakukan untuk menolong Ibu?”

Ariko tersenyum. “Aku tidak menyadari betapa cepatnya hari-hari berlalu. Aku sudah tinggal di siniselama lebih dari sebulan, dan Yorimori telah mengirim banyak pesan untuk memohon agar akupulang, sehingga aku memutuskan untuk pulang hari ini. Kalian berdua telah memperlakukankudengan sangat baik sejak kekacauan itu terjadi … ”

“Pulang hari ini? Maafkan aku jika selama ini sudah terlalu sibuk dan mengabaikan Ibu. Tapi,izinkanlah aku mengatakan bahwa aku telah berpikir untuk mendirikan rumah baru bagi Ibu di atassebidang tanah di Rokuhara ini.”

“Aku tentu akan sangat bahagia jika bisa tinggal berdekatan dengan kalian.”

“Karena rumah Shigemori di lembah baru saja selesai pembangunannya, kita bisa segera mulaimembangun rumah untuk Ibu dan Yorimori.”

“Betapa beruntungnya aku … bahkan, kita semua! Kau, Kiyomori, tidak boleh sedikit pun melupakanbahwa kau adalah pemimpin klan Heik6. Teruskanlah melakukan kebaikan; bersikap tegaslah kepadadirimu sendiri; jalankanlah tugasmu dengan baik, karena sikap santai seperti yang selalu kautunjukkanhingga saat ini tidak akan cukup. … Dan.Tokiko, jangan pernah melupakan kedudukan suamimu.Teruslah berusaha untuk menjadi istri yang lebih baik baginya, dan ibu yang lebih berbakti.

Sebagai nyonya rumah di sini, berikanlah dukunganmu kepada suamimu dalam segala bidang.”

Kiyomori dan Tokiko mendengarkan petuah dari Ariko dengan takzim, karena Ariko memangmemiliki wewenang untuk berbicara seperti itu kepada mereka.

“Dan sekarang, aku memercayakan segalanya kepada kalian berdua,” Ariko mengakhiri petuahnya.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, dia menghadap ke ruang peribadatan untuk bermeditasi selamabeberapa waktu di depan nisan Tadamori sebelum berangkat.

Bagi Kiyomori, ibu tirinya seolah-olah melimpahkan seluruh tanggung jawab keluarga merekakepadanya; kesan membingungkan yang didapatkannya dari Ariko agak

merisaukannya, namun dia tidak memiliki alasan untuk membantahnya. Dia menyadari bahwa diabukanlah putra teladan Tadamori, dan dia mencoba untuk menebusnya dengan berusaha setulusnyamenjadi putra yang patuh bagi janda ayahnya, Ariko. Dan memang wajar jika dirinya, seorang

kepala klan, menunjukkan pengabdiannya kepada orangtua sebagai contoh bagi seluruh keluarganya.

Beberapa hari setelah Ariko kembali ke rumahnya di bagian utara ibu kota, putranya, Yorimori,mengunjunginya. Ariko menyambutnya dengan hangat.

“Ah, Yorimori, kaukah itu?”

“Maafkan aku karena baru berkunjung, Ibu.”

“Tidak apa-apa. Wilayah kekuasaan barumu di Owari tentunya menyibukkanmu akhir-akhir ini.”

“Begitulah. Aku mengirim Munekiyo ke sana untuk menyelesaikan beberapa urusan, dan dia kembalidua malam yang lalu, membawa seorang bocah yang ditangkapnya di jalan. Kemarin, urusan itumenghabiskan waktuku seharian.”

“Oh? Dan siapakah bocah yang dibawa oleh Munekiyo itu?”

“Putra Yoshitomo, Yoritomo, yang baru saja berulang tahun keempat belas.”

“Putra Yoshitomo? Ini berita besar! Empat belas tahun, katamu? Astaga, dia masih bocah! Apakahyang mereka pikirkan … membiarkan seorang bocah seperti dirinya ikut berperang! Dia masih terlalumuda untuk memahami masalah yang sesungguhnya. Anak malang! Di manakah dia sekarang?”

“Kami sedang menantikan perintah dari Rokuhara, dan untuk sementara ini, aku menugaskan kepadaMunekiyo untuk mengawasinya.”

“Apakah yang akan dilakukan oleh Kiyomori kepada bocah itu?”

“Kita akan mengetahuinya hari ini.”

Pembicaraan itu selesai, dan Yorimori segera berpamitan, namun Ariko menahannya. “Tinggallahlebih lama di sini,” bujuknya. “Aku akan memerintahkan kepada pelayan untuk memasak makanankesukaanmu; tinggallah sejenak untuk makan bersamaku.”

Tepat ketika Ariko mengirim dayangnya ke dapur untuk menyampaikan beberapa instruksi,kedatangan Munekiyo diumumkan.

Dia hendak berbicara dengan majikannya, kata si pelayan. Ariko memerintahkan kepada Munekiyountuk menunggu.

Ibu dan anak itu menyantap hidangan dengan tenang, dan ketika mereka telah selesai makan, Yorimorimemanggil prajurit kepercayaannya.

“Munekiyo, apakah kau sudah menerima kabar dari Rokuhara?”

“Ya, dari seorang kurir.”

“Apakah isi pesannya … tentang Yoritomo?”

“Dia akan dihukum mati pada 13 Januari.”

“… Hmm.”

Air muka Yorimori seketika keruh. Perutnya bergejolak ketika dia memikirkan bahwa satu lagihukuman mati harus dilaksanakan. Setelah perang berakhir, dia telah melihat

terlalu banyak pemenggalan kepala dan mendengar cukup banyak ratapan orang-orang yangberkumpul setiap hari untuk menyaksikan perahu-perahu berisi kerabat mereka yang akan diasingkanbertolak. Ketika asap sisa pertempuran masih menggantung di langit ibu kota, semua itu tidak terlaluberdampak padanya. Namun setelah kedamaian datang kembali dan pepohonan plum di kebunberbunga, seluruh bagian dirinya seolah-olah menjerit untuk menentang kekejian dari mengangkatsenjata demi menghabisi nyawa seorang bocah biasa.

Awan gelap juga tampak menyelimuti wajah Ariko; sebagai seorang penganut Buddha yang taat,memberikan belas kasihan dianggapnya sebagai tugas pertama dan iktikad utama orang yang beriman.

Dampak dari kabar yang disampaikannya kepada mereka berdua sepertinya memberikan keberanianbagi Munekiyo untuk menyampaikan pendapatnya, sehingga dia menoleh kepada Yorimori:

“Dia baru berumur empat belas tahun … sebaya dengan adik Anda, jika saya mengingatnya denganbenar, apabila saat ini beliau masih hidup.”

“Ya, seandainya dia masih … ”

“Dan mereka berdua sangat mirip. Saya nyaris percaya bahwa mereka bersaudara.”

“Munekiyo,” potong Ariko dengan nada tertarik,

“ceritakan lebih banyak tentang bocah itu”

Munekiyo pun menceritakan semua yang diketahuinya.

Ariko, yang tergerak ketika mendengar kemiripan bocah itu dengan almarhum putranya, berniat untukmempertahankan tekadnya bahwa Yoritomo harus diselamatkan. Ketika dia tidur malam itu, ceritaMunekiyo

seolah-olah menghantui dirinya sehingga sosok “kembaran”

almarhum putranya itu seolah-olah menempel di kelopak matanya, dan dia mendambakan pertemuandengannya.

Beberapa hari kemudian, membawa ranting pohon plum berbunga merah, Ariko melintasi halamanrumah putranya menuju bilik sederhana Munekiyo di sisi lain rumah. Ariko menyuruh seorangpelayan untuk memanggil Munekiyo, dan ketika prajurit itu muncul, dia mengulurkan bunga plumyang dibawanya:

“Taruhlah ini di dalam vas, dan biarkanlah bocah malang itu melihatnya.”

Munekiyo menerima bunga itu dengan anggukan dalam, dan sorot matanya tampak melembut,“Sebuah hadiah kecil untuknya?”

“Dan, Munekiyo … ”

Suara Ariko berubah menjadi bisikan. Munekiyo menganggukkan persetujuan pada apa pun yangdiucapkannya, lalu mempersilakan Ariko memasuki rumahnya. Pagar bambu tinggi mengelilingi salahsatu sisinya. Pintunya terkunci dan kerai-kerainya tertutup, kecuali sebuah jendela kecil yangdigunakan oleh seorang penjaga untuk mengawasi tahanan.

Munekiyo memasuki ruangan tempat Yoritomo ditahan, meminta Ariko untuk menunggu di luar, didekat lubang intip.

Seperti biasanya, Yoritomo duduk diam bagaikan patung kayu cendana di balik sebuah meja tuliskecil; dia menoleh ke arah Munekiyo dan membelalakkan mata dengan kaget begitu melihat rantingplum yang dibawanya. Walaupun Munekiyo mengunjunginya setiap pagi dan petang,

Yoritomo tidak menyadari bahwa kuncup-kuncup bunga plum telah mekar.

“Indah sekali bunga itu!” desahnya.

“Indah, bukan?” jawab Munekiyo. “Salju terlalu banyak turun akhir-akhir ini sehingga pohon-pohonplum terlambat berbunga tahun ini.”

“Jangan ingatkan aku pada salju.”

“Maafkan aku. Haruskah aku menaruh bunga ini di air untukmu?”

“Biar aku sendiri saja yang melakukannya. Terima kasih.”

Yoritomo membungkuk untuk mengamati ranting itu, yang diletakkan oleh Munekiyo di dekatmejanya. Sebuah buku terbuka di atas mejanya. Munekiyo menatap ranting di lantai, yang sedangdiamati dari dekat oleh Yoritomo.

Bocah ini berbahaya … sebuah ancaman bagi klan Heik6, pikir Munekiyo; semakin jelas baginyabahwa dirinya telah semakin menyukai bocah ini. Di dalam sosok Yoritomo, Munekiyo melihatseorang samurai berdarah biru, yang sebentar lagi akan dibunuh- … disia-siakan.

“Apakah yang kaulakukan hari ini? Menulis puisi?”

‘Tidak, aku membaca.”

“Apakah yang kaubaca?”

“Aku membaca kumpulan puisi yang kaupinjamkan kepadaku dan sebuah hikayat tua.”

“Yang manakah yang paling kausukai?”

“Aku tidak terlalu menikmati puisi.”

“Kalau begitu, kau lebih menyukai kisah-kisah peperangan … kepahlawanan dan pertempuran?”

Yoritomo berlama-lama menatap Munekiyo dengan matanya yang jernih, namun Munekiyo gelisahkarenanya, merasa seolah-olah bocah itu bisa membaca pikirannya, dan cepat-cepat mengalihkanpandangan. Tatapan Munekiyo tertuju pada lubang kecil di dekat tempat Ariko mungkin sedangmendengarkan mereka, dan dia merasakan jantungnya berdegup kencang saat dia menantikan jawabanYoritomo.

Yoritomo, yang mengenakan baju hangat sutra berwarna ungu pucat dan celana berwarna senadadengan garis ungu tua di bagian mata kakinya, duduk bersila di atas sebuah bantal, menatap jauh kedepan. Setelah terdiam lama, dia tiba-tiba menjawab:

“Kitab-kitab … aku paling menyukai buku-buku yang menceritakan tentang Buddha, jika kebetulankau memilikinya.”

“Aku yakin aku punya beberapa … tapi, apakah yang mendorongmu untuk menyukai bacaanmelankolis seperti itu?”

“Entah mengapa … aku menyukainya. Pasti karena ibuku, yang sekarang sudah meninggal, kerapmembawaku mengikuti perjalanan ziarah menuju kuil-kuil termahsyur; aku bahkan pernah

mengunjungi Biksu Honen dan mendengarkan beliau berbicara tentang kitab-kitab suci.”

“Jadi … ”

“Jadi, kurasa, jika aku sudah dewasa nanti, aku lebih memilih untuk menjadi seorang biksu daripadaseorang samurai. Tetapi, sekarang … ”

Bocah itu mendadak menunduk. Jelas bahwa dia telah mendapatkan pendidikan tentang kode yangmengajarkan

bahwa seorang samurai berdarah biru hanya bisa mengharapkan ke matian di tangan penangkapnya.

o0odwkzo0o

Baru pada musim semi itulah arak-arakan kereta dengan jumlah sangat banyak terlihat di JembatanGojo, ketika beraneka ragam kendaraan dan kuda berduyun-duyun ke arah Rokuhara.

Akhir-akhir ini, Kiyomori mulai lelah menerima arus tamu yang seolah-olah tak kunjung habis.Walaupun pangkatnya masih mengharuskannya untuk menyambut setiap tamu terhormat denganupacara yang selayaknya, sisanya … mereka yang berpindah haluan atau mencari muka … ditolaknyatanpa basa-basi; Rokuhara sepertinya telah berubah menjadi surga berbunga bagi para nyamuk danngengat yang berkerumun dengan gaduh di gerbang-gerbangnya.

“Ini berlebihan!” sembur Kiyomori. Dengan gusar, dia mengganti kimono kebesarannya pada suatumalam dan bergabung dengan keluarganya.

‘Tokiko, besar sekali keluarga kita sekarang ini! Tapi, pikirkan saja bahwa tahun-tahun terus berlalu,meninggalkanku hanya dengan seorang istri uzur untuk menemaniku dan menuangkan sake untukku.Betapa buruknya bulan itu walaupun pohon plum telah berbunga!”

Kiyomori jarang minum terlalu banyak, namun malam ini dia berniat untuk mabuk sake dengan tekadagar bisa melupakan segalanya di dalam tidurnya.

“Tokiko, kemarilah dan mainkan sesuatu untukku!”

“Aku? Aneh sekali permintaanmu kepadaku!”

“Perempuan, kau sama sekali tidak berbudaya!

Mainkanlah sesuatu dengan harpa, atau kecapi.”

‘Tapi, bukankah kau selalu mengatakan bahwa kau benci segala sesuatu yang meniru kaumbangsawan?”

“Semua itu tergantung pada waktu dan tempatnya.

Musik diperlukan untuk menghibur telinga. Musik bisa mendamaikan pikiran. Dampaknya luar biasa!

Keluarkanlah kecapiku dan aku akan memainkannya untuk istri uzur dan anak-anakku.”

Tokiko mengeluarkan kecapi yang dihadiahkan oleh Penasihat Shinzei lama berselang, dan Kiyomorimulai memetiknya dengan kikuk, ketika seorang pelayan muncul dan mengumumkan dengan ragu-ragu:

“Yang Terhormat Yorimori, Tuan, memaksa untuk berbicara dengan Anda. Beliau telah menunggucukup lama dan berharap untuk bisa menemui Anda di saat Anda sedang bersantai.”

Kiyomori mengernyitkan kening. “Yorimori? Apa maunya? Suruh dia kemari.”

Si pelayan beranjak, namun segera kembali lagi.

“Beliau memohon agar bisa berbicara empat mata dengan Anda.”

“Kebiasaan buruknya ini …. Aku benci pembicaraan rahasianya … segala sesuatu yang ditutup-tutupinya”

Kiyomori menyingkirkan kecapinya dengan kesal.

“Baiklah … aku akan segera ke sana,” dia mendorong si pelayan dan menghambur keluar denganmarah.

Genangan air di bawah jendela yang terbuka di salah satu ruangan rumah Kiyomori memantulkancahaya dari satu-satunya lentera yang ada di sana.

“Yorimori, sesampainya kau di rumah nanti, cobalah untuk membujuk ibu kita yang baik hati. Lebihbaik jika beliau tidak turut campur dalam masalah seserius ini.

Mengertikah dirimu? Selalu ada wanita di balik setiap pengambilan keputusan yang salah … danperang.”

‘Tapi … ”

“Ya? Mengapa kau memandangku seperti itu? Apakah kau kecewa?”

“Aku mengerti.”

“Tentu saja kau mengerti. Sudah sepantasnya begitu.”

“… Tapi, izinkanlah aku menyampaikan pendapatku sendiri.”

“Apakah aku melarangmu?”

“Tapi, yang kaulakukan hanyalah menggerutu tanpa membiarkanku mengatakan apa pun. Aku kemarihanya untuk menyampaikan perkataan Ibu dan memohon atas nama beliau. Dan kau … f

“Dan aku mengatakan kepadamu bahwa alasan apa pun tidak akan bisa mendorongku untukmengampuni Yoritomo. Tidak ada lagi yang harus kukatakan.”

“Itu saja. Kata-katamu sungguh kasar … kau mengatakan bahwa Ibu turut campur dan bahwa diasebaiknya menyibukkan diri dengan cucu-cucunya saja, atau merawat kebun bunga di biaranya.Haruskah aku mengatakan itu kepada beliau?”

“Ya, ulangi saja kata per katanya. Ucapanku mungkin saja kasar, tapi apa lagi yang bisa kukatakan,jika beliau, seorang Heik6, mengusulkan untuk mengampuni seorang Genji.”

“Aku masih tidak mengerti apa yang menjadikan dirimu semarah itu. Bukankah kau pernahmengampuni Jenderal Narichika hanya karena Shigemori memohon kepadamu?”

“Itu kulakukan untuk berterima kasih atas kebaikannya kepada Shigemori ketika putraku itu pertamakali terjun ke dalam politik Istana Apakah yang pernah dilakukan oleh putra Yoshitomo kepada ibu

kita atau dirimu?”

‘Tidak ada, tapi Ibu adalah penganut Buddha yang taat, dan beliau memohon kepadamu untukmenunjukkan belas kasihan kepada bocah itu.”

“Belas kasihan? … Apakah kau mengatakan bahwa aku sama sekali tak berperasaan?”

“Aku tidak mengatakan itu.”

“Dasar bodoh! Sampaikanlah satu lagi saja pesanku kepada ibu kita … bahwa beban yang ditanggungoleh Kiyomori sangatlah berat. Dengan mengampuni Yoritomo, haruskah aku membiarkan seluruhklan kita terpapar oleh ancaman tanpa akhir? Apakah kita mau berhadapan dengan perang yang takberkesudahan?”

“Aku sudah mengatakan pendapatku dan tidak akan mengungkit-ungkit masalah ini lagi.”

“Sebaiknya kau jangan kemari untuk menyampaikan hal bodoh lainnya.”

Malam itu, Yorimori mengendarai kudanya dengan murung. Ibunya telah menantinya, tidak sabaringin mendengar jawaban Kiyomori.

“Sia-sia saja. Dia menolak untuk mendengarkanku.

Terlebih lagi, suasana hatinya sedang buruk, walaupun dia memang selalu seperti itu, dan kata-katanya kasar.”

“Apakah aku penyebabnya?”

“Tidak, sepertinya dia juga mencari-cari kesalahanku.”

“Aku khawatir dia akan salah langkah kali ini.”

“Bagaimanapun, dia tidak punya alasan untuk bersikap sekeji Itu”

“Dan dia tidak menunjukkan tanda-tanda akan memaafkan Yoritomo?”

“Akan lebih bijaksana jika kita tidak mengungkit-ungkit masalah ini lagi. Ibu. Ini hanya akanmembangkitkan kecurigaan dan memicu kemarahannya.”

o0odwkzo0o

Tinggal beberapa hari lagi hingga 13 Februari tiba Munekiyo belum memberi tahu Yoritomo tentangtakdir yang telah menantinya pada hari itu. Dia menemui bocah itu setiap hari, dan dari hari ke hari,rasa sayang dan belas kasihannya kepada Yoritomo semakin bertambah.

Yoritomo, yang jarang meminta tolong, pada suatu hari memohon kepada penjaganya untukmemanggilkan Munekiyo, yang segera muncul.

“Munekiyo, bawakanlah seratus kepingan kecil kayu cipres dan sebuah pisau untukku.”

“Kayu cipres dan pisau? Apakah yang akan kaulakukan dengannya?”

“Aku baru saja menghitung hari, dan ternyata hari keempat puluh sembilan wafatnya ayahku hampirtiba. Aku ingin menghabiskan hariku dengan mengukir kepingan-kepingan doa untuk beliau, agar akubisa memberikannya ke beberapa kuil untuk membersihkan jiwanya.”

“Sudah sebanyak itu hari berlalu?” jawab Munekiyo, sangat tersentuh oleh permintaan Yoritomo.“Walaupun aku ingin sekali menolongmu, seorang tahanan tidak

diizinkan untuk memiliki pisau. Kurasa, yang bisa kaulakukan hanyalah membaca doa-doa untukayahmu.”

Kendati begitu, Munekiyo kembali keesokan paginya dengan membawa seratus kepingan kecil kayucipres, dan Yoritomo pun menghabiskan hari-harinya dengan menuliskan nama Buddha ayahnya disana.

Ketika Ariko mendengar tentang semua itu dari Munekiyo, belas kasihan menyengat sanubarinya, dantekadnya untuk menyelamatkan Yoritomo pun semakin bulat. Iktikad baik, diyakininya, akan selalumendapatkan balasan yang setimpal, dan Heik6 tidak akan kehilangan apa pun dengan menunjukkanbelas kasihan; arwah Tadamori juga akan turut mendapatkan rahmat. Setelah menimbang-nimbangmengenai hal ini, Ariko semakin meyakini tugas yang diembannya. Dia pun memanggil kereta untukmembawanya ke Rokuhara.

Ketika mendengar bahwa ibu tirinya telah tiba, Kiyomori bertekad untuk bersikap tegas.

Dayang Ariko segera menyampaikan sebuah pesan, yang mengatakan bahwa majikannya inginberbicara dengan Kiyomori di ruang peribadatannya.

Kiyomori memasang wajah muram, bukan sesuatu yang aneh baginya, dan menyapa ibu tirinyadengan nada gusar.

“Kiyomori, atas nama belas kasihan, tidak maukah kau mendengarkanku?”

Kiyomori sudah menebak arah pembicaraan Ariko.

“Mengenai Yoritomo … putra Yoshitomo, bukan?”

“Ya, kemarin malam … ”

“Yorimori sudah menceritakannya padaku, tapi … ”

‘Tidak mungkinkah itu dilakukan?”

“Mustahil. Masalah ini sangat serius sehingga aku harus memohon kepada Ibu untuk tidak turutcampur.”

Kiyomori merasa lega karena penolakan tegasnya; bahkan, ini adalah pertama kalinya dia membantahAriko.

Tetapi, ketika melihat Ariko menyeka air mata tanpa berkata-kata, hati Kiyomori seketika mencelus;dia mengalihkan tatapan dengan bingung.

Desahan panjang keluar dari mulut Ariko. “Jika memang harus begitu … dengan meninggalnyaayahmu …

sekarang, setelah beliau tiada … ”

Petuah terpatah-patah Ariko melenyapkan kesabaran Kiyomori, sehingga dia menjawab dengandingin, “Ibu salah memahamiku … seperti biasanya.”

“Seandainya ayahmu masih hidup, kurasa kau tidak akan bicara seperti itu kepadaku. Kiyomori, setiapkali memikirkan masa depanmu, aku hanya bisa berduka.”

“Ibu tidak memperiakukanku dengan adil. Bukankah aku selalu menunjukkan rasa hormatku walaupunIbu bukanlah ibu kandungku? Kapankah aku pernah menyebabkan Ibu berduka? Aku hanya memohonkepada Ibu untuk tidak turut campur dalam masalah Ini.”

“Dan kau masih menolak mendengarkanku?”

“Tetapi, pikirkanlah. Ibu! Adakah pengaruhnya jika sepasukan prajurit, jenderal Narichika dansemacamnya, dibebaskan? Dengan putra seorang samurai seperti Yoritomo, masalahnya sungguhberbeda.”

“Bukankah kau juga putra seorang samurai?”

“Itu justru memberiku lebih banyak alasan untuk menyingkirkannya. Aku tahu betul apa artinya. Anak

harimau tidak akan melupakan induknya. Belai dan rengkuhlah dia ke dalam pelukan Ibu sekarang,dan dia akan menancapkan cakar-cakarnya ketika saatnya tiba.”

“Dia meratapi kepergian ayahnya dan sudah berencana untuk menjadi seorang biksu … bocah malangitu!”

“Ibu, kita tidak perlu lagi membahas tentang masalah ini.

Pergilah ke keputrian. Aku lebih suka jika Ibu menghabiskan waktu dengan cucu-cucu Ibu.”

“Tentunya kau mencintai anak-anakmu?”

“Tentu saja … apa pun yang mereka lakukan.”

“Yoritomo adalah putra Yoshitomo. Dan ingatlah, ada kehidupan setelah kematian. Apakah kau tidaktakut pada akhirat?”

“Apakah Ibu mau menceramahiku tentang agama Buddha?”

“Ah, sudahlah, sudah cukup aku menasihatimu,” jawab Ariko. Dia memunggungi Kiyomori danmenghadapi nisan suaminya di atas altar, lalu menggumamkan sesuatu dengan lirih.

Persilangan pendapat antara Kiyomori dan ibu tirinya hanya memperlebar jarak yang senantiasamemisahkan mereka. Ariko pergi pada hari itu juga dari Rokuhara dengan membawa kekecewaanmendalam, namun dia memiliki alasan yang kuat bagi tekadnya dan tidak akan menyampaikannyakepada Kiyomori jika dirinya sendiri ragu-ragu. Kendati begitu, orang-orang yang mengenal baikdirinya sekalipun ternyata kurang menyadari betapa keimanan telah menguasai sanubarinya.

Alih-alih langsung pulang, Ariko pergi ke kediaman Shigemori di Lembah Pinus Kecil, yang berjarakcukup dekat dari Rokuhara, untuk berbincang-bincang dengannya hingga larut malam.

Berbeda dengan ayahnya, Shigemori memiliki hubungan dekat dengan neneknya, yang selalumenganggapnya sebagai cucu kesayangan.

“Shigemori, maukah kau ikut mencoba membujuk ayahmu?”

Shigemori langsung menyanggupi permohonan neneknya. Dia menemui Munekiyo secara diam-diampada malam berikutnya dan meminta untuk dipertemukan dengan Yoritomo.

Bocah itu sedang duduk di belakang sebuah meja tulis kecil, menulisi kepingan-kepingan doa untukayahnya.

Tidak ada sedikit pun sumber kehangatan di ruangan itu …

tidak ada sedikit pun cahaya, kecuali dari bulan yang mengintip dari balik sebuah jendela kecil.Yoritomo meletakkan kuasnya dan memicingkan mata untuk menatap tamunya, yang berdiri diam diambang pintu.

Merasakan kewaspadaan bocah itu, Shigemori menghampirinya dan berkata dengan sangat lembut,

“Apakah yang sedang kaulakukan, Yoritomo?”

“Ini untuk almarhum ayahku.” “Apakah kau merindukannya … ayahmu?” “Tidak.”

“Kau pasti berpikir untuk menuntut balas demi dirinya.”

‘Tidak.”

‘Tidak?”

“Tidak.”

“Mengapa tidak?”

“Saat sedang menulis seperti ini, tidak ada apa bisa yang merisaukan hatiku.”

“Kalau begitu, kau hanya mendambakan saat kematianmu agar bisa berjumpa kembali denganayahmu?

Kata orang-orang, kau tahu, kita akan bertemu kembali dengan orang-orang yang kita sayangi di duniayang lain.”

“Aku tidak ingin mati. Aku takut memikirkannya.”

‘Tapi, bukankah kau turut terjun ke medan perang?”

“Aku bersama ayah dan kakak-kakakku ketika itu, dan sangat bersemangat sehingga tidak pernahberpikir tentang kematian.”

“Apakah kau terkadang bermimpi?”

“Tidak … mimpi macam apa?”

“Maksudku, pernahkah kau memimpikan ayah dan kakak-kakakmu?”

Yoritomo menggeleng. ‘Tidak … tidak pernah.” Setitik air mata berkilauan dan jatuh ke pipinya, dandia buru-buru menunduk.

Shigemori sangat tersentuh oleh pembicaraan ini. Dia pun segera menemui ayahnya dan secara berapi-api menyampaikan pendapat yang telah disusunnya dengan penuh perhitungan, memohon kepadaKiyomori untuk mengabulkan permintaan Ariko. Tetapi, permintaan Shigemori justru semakinmembakar amarah Kiyomori.

“Apa-apaan ini, kau sendiri masih bocah! Berani-beraninya kau membantahku … dengan lagak sokpintar pula! Kau masih terlalu muda untuk hanyut dalam khayalan keagamaan seperti itu! Jangansebut-sebut lagi tentang ceramah ‘Kebudhaan’ dan ‘karma’ dan omong kosong lainnya dari nenekmu… semua itu tidak akan bisa

menguraikan masalah dunia saat ini! Lihat saja sendiri kebusukan para pendeta di Nara! Apakahserigala-serigala serakah dari Gunung Hiei itu lebih suci daripada para gelandangan dan pengemis dijalanan kita? Kita semua manusia yang memiliki darah dan daging, dan dunia yang kita tinggali iniadalah arena tempat kita memangsa dan dimangsa! Jangan pedulikan orang lain; yang penting adalahmenang atau kalah …. Jika kau terus larut dalam omong kosong semacam ini … meneteskan air matadan mengoceh tentang ‘belas kasihan’ dan ‘karma baik …

sebaiknya kau pergi ke kuil atau rumah nenekmu saja!

Jangan pernah mengungkit-ungkit masalah ini di hadapanku jika ada urusan lain yang jauh lebihmenyita perhatianku.”

Walaupun Shigemori menyampaikan pendapatnya kepada ayahnya dengan tenang, Kiyomorimenjawabnya dengan semburan kata-kata pedas. Ketika berada di bawah tekanan, Kiyomori kembalimenampilkan kebiasaan melakukan tindakan gegabah seperti pada masa mudanya.

Dia pun mengumpat-umpat putranya dengan berbagai makian yang pernah dipelajarinya dari parabajingan di pasar. Tetapi, dalam keadaan seperti ini, ketika dia menghujat “kecengengan” orang lain,Kiyomori selalu mengalami kesulitan untuk menyembunyikan air matanya sendiri.

Pertanyaan mengenai jadi atau tidaknya Yoritomo dihukum mati bukan sekadar isu politik lagi,melainkan sebuah kemelut keluarga, dan Kiyomori mendapati ibu tiri, adik tiri, dan bahkan putranyasendiri menentangnya.

Walaupun tidak secara langsung, dia menganggap dirinya telah dituduh sebagai iblis yang keji danberhati batu.

o0odwkzo0o

Bab XXVII – SEBUAH KAPEL DI ATAS

BUKIT

Ketika itu 3 Januari, dan dinginnya udara terasa menusuk tulang. Tidak seberkas cahaya pun terlihat dimana-mana. Kegelapan pekat menyelimuti bangunan-bangunan di kompleks kuil dan mengisi lorong-lorong terbukanya, yang lantainya telah berlapis es. Udara malam yang ganas menerebos masukmelalui kerai-kerai, dan bahkan dinding-dinding Kapel Kannon di kompleks Kuil Kiyomizu.

“Oh, tenanglah, tenanglah, sayangku …. Kau aman di pelukan Ibu. Udara dinginkah yang membuatmumenangis sekeras ini? Ada apa, bayi mungilku?”

Di dekat sebuah pilar kayu di dekat altar, tempat tikar jerami digelar, tidurlah dua orang anak, salingberpelukan di bawah sehelai selimut tipis.

Tokiwa menggendong bayi tujuh bulan yang menangis di balik lipatan-lipatan kimononya dan berbisikke telinganya,

“Air susuku sudah kering, dan kau pasti menangis karena kelaparan ….Apakah yang menahanYomogi? … Dia seharusnya segera kembali. Cup, cup, jangan hancurkan hati Ibu, Nak.”

Ibu muda itu berjalan mondar-mandir di lantai kapel dengan resah, khawatir tangis bayinya akanmembangunkan kedua putranya.

Kejadian pada malam sebelumnya juga sama, dan kali ini, Ushiwaka sudah mulai merengek-rengekmengibakan sejak senja tiba. Perasaan Tokiwa tersayat karena tidak ada setetes pun air susu yangkeluar dari payudaranya untuk membasahi bibir bayinya.

Tokiwa, yang mendatangi Kapel Kannon untuk berdoa setiap bulan pada hari-hari suci dan dikenaloleh para pendeta di sana, melarikan diri ke Kuil Kiyomizu bersama anak-anak dan para pelayannyaketika pertempuran pecah di ibu kota. Tetapi, segera terdengar kabar bahwa Kiyomori telah mengirimprajurit untuk menangkapnya, dan di tengah kepanikan, para pelayannya meninggalkannya, kecualiYomogi, pengasuh anak-anaknya. Walaupun kasihan kepadanya, para pendeta di Kuil Kiyomizu takutkepada Kiyomori, sehingga menolak untuk berurusan dengan Tokiwa. Seorang biksu muda, Kogannamanya, terharu melihat keprihatinan Tokiwa dan menawarkan diri untuk menyembunyikannya diKapel Kannon, tempat yang jarang dikunjungi orang. Bersama anak-anaknya, Tokiwa telahbersembunyi di sana selama tiga hari. Kogan secara diam-diam menyelundupkan sehelai tikar jeramidan beberapa selimut, juga sedikit makanan yang hanya cukup untuk bertahan hidup.

Untuk pertama kali dalam kehidupannya, Tokiwa mengecap pahitnya kebencian manusia. Di tengahkenyamanan Istana, ketika dia menjadi kesayangan Permaisuri-terpilih, Nyonya Shimeko, Tokiwa,yang kecantikannya menjadi buah bibir dan sumber kedengkian para wanita ibu kota, hanya mengenalkebahagiaan.

Baginya, Yoshitomo merupakan perwujudan dari seluruh kebaikan manusia, dan cinta Yoshitomokepadanya telah mencukupi semua kebutuhannya. Tokiwa tidak tahu apa-apa tentang pria; sepanjang

hidupnya, dia hanya menjalankan tugasnya sebagai seorang gundik dan merawat anak-anak yangdidapatkannya dari Yoshitomo. Hingga dia mendadak terlempar kemari, memohon belas kasihan padadunia yang sarat oleh kebencian, pertumpahan darah, dan perburuan untuk saling membasmi.

Ushiwaka adalah seorang bayi yang manja semenjak lahir, dan tangisan nyaringnya membuat ibumuda itu merana. Pada hari-hari menegangkan ketika Tokiwa harus membawa lari anak-anaknya dariibu kota, air susunya mulai mengering. Dia berusaha memberikan makanan kepada bayinya, namunUshiwaka masih terlalu kecil sehingga makanan justru membuatnya sakit. Dengan panik, lokiwamemanjatkan doa di Kannon agar bayinya selamat; dan, Tokiwa yang berdoa di sana bukan lagiseorang ibu yang bahagia. Setengah gila akibat ancaman bahaya, kekerasan, dan ketakutan akantertangkap, Tokiwa mengerahkan seluruh dirinya untuk mewujudkan kehendak agar ketiga anaknyatetap hidup. Seluruh kesadarannya, seluruh hasratnya, sekarang menyatu dengan diri anak-anaknya.Didera kegundahan, dengan rambut acak-acakan, Tokiwa berjalan mondar-mandir di dalam kapel dibawah cahaya suram satu-satunya lilin yang ada di sana, membuai dan menenangkan bayinya.Mendengar derak pintu yang terbuka, Tokiwa menoleh dengan waspada, kemudian bertanya,”…Kaukah itu,Yomogi?”

“Ya, ini Yomogi. Saya memohon kepada Kogan, si biksu berhati mulia, untuk memasakkan sedikitbubur talas, dan inilah hasilnya.”

“Oh? Bagus! Berikanlah bubur itu padaku. Dia bahkan sudah tidak bisa menangis lagi karena terlalulapar.”

“Lihadah betapa lahapnya dia makan!”

“… Dia ingin tetap hidup, lihatlah. Dia tahu bahwa bubur talas bagus untuknya. Lihat, dia bahkantidak berhenti makan untuk menarik napas! Lihatlah dia!”

Tokiwa kembali meneteskan air mata demi melihat bayi dalam pelukannya. Mengapa, mengapa,pikirnya, air susunya tidak mengalir sederas air matanya? Mengapa

seluruh darah dan daging di dalam tubuhnya tidak mau berubah menjadi susu?

“Nyonya Tokiwa … dia akhirnya berhenti menangis, bukan?”

Yomogi lupa mengatakan kepada majikannya bahwa si biksu muda turut menyertainya.

“Oh, Tuan yang baik hati, saya sudah merepotkan Anda di malam selarut ini.”

“Saya tidak melakukan apa-apa, sungguh, namun sesuatu yang sangat mengganggu telah terjadi.”

“Apa … lagi?”

“Saya yakin Anda mengetahui maksud saya. Ada sangat banyak desas-desus yang beredar di kuil, dantempat ini tidak aman lagi bagi Anda.”

“Oh, apakah yang harus kulakukan jika aku dipaksa pergi dari sini?”

Kemudian, Kogan bercerita bahwa para pendeta telah mendengar tangisan bayi, dan sekarang

mengetahui bahwa Tokiwa bersembunyi di kapel. Kabar burung mengatakan bahwa para prajuritKiyomori akan tiba besok pagi untuk menggeledah seluruh kompleks kuil, dan Kogan akan disalahkankarena memberikan perlindungan kepada buronan.

“Saya akan menggendong salah satu anak Anda,” desak Kogan, “Yomogi bisa menggendong Imawaka,dan Anda, Nyonya, Ushiwaka membutuhkan Anda. Dan sebelum fajar merekah …”

Setelah Kogan menekankan tentang betapa

mendesaknya situasi ini, Tokiwa berhenti gemetar. Maka,

sebelum fajar merekah, mereka telah berjalan menembus perbukitan yang mengelilingi KuilKiyomizu.

Kogan menyertai mereka hingga tiba di sungai, tempat sebuah perahu kecil telah menanti untukmembawa mereka ke Eguchi, di mulut Sungai Yodo. Setelah Tokiwa, anak-anaknya, dan si pengasuhmenaiki perahu, Kogan meninggalkan mereka.

Dua orang geisha, yang hendak kembali ke Eguchi, memberikan kue kedua anak Tokiwa sambilberkomentar,

“Anak-anak yang manis! … Ke manakah kalian akan pergi sepagi ini?”

“Terima kasih banyak. Kami memiliki kerabat di Mimaki, tidak jauh dari sungai,” jawab Tokiwa.

“Kalau begitu, kalian akan turun sebentar lagi. Apakah kalian bertamu di sana?”

‘Tidak ….”

“Berarti, kalian pasti senasib dengan orangtua kami, yang rumahnya terbakar habis dalampertempuran bulan lalu. Kami baru saja menjenguk mereka, dan sekarang hendak pulang ke Eguchi.Memang benar bahwa mereka yang tidak berdosa selalu mendapatkan dampak yang terburuk, bukan?… Anak-anak manis ini tentu telah mendapatkan pengalaman yang buruk!”

“Mmm …” Imawaka menggeleng kesal kepada wanita asing yang mengacak-acak rambutnya. “Ibu,Otowaka sudah memakan kuenya! Aku juga mau makan kueku …

Ibu!”

“Ucapkan terima kasih sebelum kau makan.”

Kedua geisha itu sepertinya sangat menyukai anak-anak Tokiwa, sehingga mereka mengeluarkan lebihbanyak kue

dari wadah bambu yang mereka bawa; salah seorang dari mereka bahkan menurunkan selendang sutrayang membungkus bahunya untuk menyelimuti si bayi.

“Selamat jalan, anak-anak!” keduanya melambai-lambai ketika Tokiwa turun di M i mata.

Paman Tokiwa adalah seorang pedagang sapi pedaging, yang dipelihara di peternakannya.

“Wah, wah, kaukah itu, Tokiwa?” seru bibinya dengan kaget, walaupun dia tidak menunjukkan tanda-tanda akan mempersilakan Tokiwa masuk. “Kau pasti menganggapku kejam, namun kau seharusnyatahu bahwa para prajurit sedang memburumu. Mereka menjanjikan imbalan besar bagi siapa pun yangbisa menyerahkanmu kepada Kiyomori di Rokuhara … hadiah, kau tahu …. Nah, lebih baik kau pergisekarang, selagi pamanmu masih tidur; dia tidak akan membiarkanmu pergi jika mengetahui bahwakau ada di sini. Nah, jangan membantah nasihatku,” kata si bibi, mengusir Tokiwa dari rumahnya.

Tokiwa hanya bisa mengingat seorang lagi kerabat jauhnya yang mungkin bisa dimintai pertolongan,dan pria itu tinggal di sebuah desa bernama Yamato. Walaupun letih, dia berjalan kaki ke

sana, meminta-minta makanan untuk anak-anaknya kepada siapa pun yang mau memberi, tidur diberanda-beranda kuil, melanjutkan perjalanan sepanjang siang dan malam bagaikan gelandangan.Orang-orang melontarkan tatapan curiga kepada Tokiwa namun memperlakukannya dan anak-anaknyadengan baik. Mereka yang mengetahui bahwa dirinya buronan justru mengasihaninya danmenyembunyikan keberadaannya dari pihak yang berwenang.

Kerabat yang dicari oleh Tokiwa adalah seorang pendeta, dan dia bersedia menyembunyikan Tokiwadan anak-anaknya di dalam sebuah kuil yang dikelolanya. Pada awal Februari, ketika Ushiwaka sudahsehat kembali, paman Tokiwa mendadak mendatangi rumah si pendeta dengan membawa sebuahgerobak sapi tua yang berderit-derit ribut. Dia berbicara dengan si pendeta hingga larut malam, dankeesokan paginya berkata kepada Tokiwa:

“Kau tahu bahwa kau tidak bisa bersembunyi lebih lama lagi di sini. Kau lebih baik kembali ke ibukota dan menyelesaikan urusanmu di sana jika tidak ingin mereka menggantung atau menyiksa ibumu,yang masih di sana.”

“… Tapi, untuk apa mereka melakukan itu?”

“Untuk apa? Bukankah itu sudah sewajarnya? Kau kabur bersama anak-anak Yoshitomo, sehinggamereka menangkap ibumu dan menjebloskannya ke penjara di Rokuhara.”

“Apa … ibuku?”

“Siapa lagi? Semua orang mengetahuinya. Mereka juga menggunjingkan dirimu … kata mereka, kaumengabaikan ibumu demi cintamu kepada anak-anak hasil hubungan gelapmu dengan Yoshitomo!”

Tomizo memelototi Tokiwa tanpa berkedip, bagaikan seekor binatang garang, sementarakeponakannya itu menangis. Selama ini, Tokiwa hanya memikirkan anak-anaknya, namun sekarangdia meratap bagaikan seorang bocah yang mendambakan kasih sayang ibunya.

Tomizo tertawa getir. “Sudah, berhentilah menangis!” …

ketika sebuah pikiran lain mendadak terlintas di benaknya, dan dia pun melanjutkan, “Mumpung airmatamu belum kering, sebaiknya kau juga meratapi kekasihmu itu …

Yoshitomo. Kau mengira dia pergi ke timur dan akan segera menjemputmu, namun dia sudah mati.Dia mati pada 3 Januari, kau sudah tahu?”

Tokiwa menatap pamannya tanpa bisa memercayai kata-katanya; bibirnya ternganga dan seolah-olahmembeku.

“Itulah kebenarannya. Kau bisa mencari tahu sendiri setibanya dirimu di ibu kota. Kepalanyadigantungkan di pohon yang berdiri di dekat Penjara Timur selama tujuh hari. Tidak ada seorang pundi Kyoto yang belum melihatnya.”

Desahan penuh derita meluncur dari bibir Tokiwa,

“Kalau begitu … ”

“Tokiwa!”

“Tapi, Yoshitomo … ”

“Sudahlah, Tokiwa, apakah yang merasukimu?

Tenangkan dirimu! Jangan memandangku seolah-olah kau sudah gila seperti itu. Semua itu tidak adahubungannya denganku, kau mendengarku? Peranglah yang melakukan itu kepadamu dan anak-anakmu, dan bukankah Yoshitomo juga berperan dalam menyebabkan huru-hara itu?

Sudahlah, lupakanlah masa lalumu.”

Tetapi, Tokiwa tidak mau mendengarkan pamannya; duka yang mendalam telah mengaduk-adukpikirannya, dan dia meratap seolah-olah ingin menguras seluruh air matanya. Hanya bayi dalampelukannyalah yang berhasil mengembalikan kesadarannya. Kesedihan ibunya membuat Ushiwakaketakutan, sehingga dia menangis mengibakan.

Keesokan harinya, berbekal tipuan dan bujuk rayu, Tomizo berhasil menyuruh Tokiwa beserta ketigaanaknya menaiki gerobak bobrok yang dibawanya, meninggalkan

Yomogi si pengasuh yang terisak-isak sedih di belakang mereka. Tomizo mendecakkan

bibirnya dengan penuh nafsu ketika memikirkan hadiah yang telah menantinya, lalu memecut sapinyadan bergegas membawa mereka ke ibu kota.

Setibanya di ibu kota, mereka mendapati bahwa rumah yang semula dihuni oleh ibu Tokiwa sekarangtelah kosong, tanpa sedikit pun harta benda berharga yang tersisa.

“Nah, kita sebaiknya menginap di sini,” kata Tomizo, mengangkat Tokiwa dan anak-anaknya keluardari gerobak, lalu mengangkuti selimut, peralatan masak, dan harta benda ala kadarnya yang merekabawa ke dalam rumah.

“Ini tidak akan cukup … anak-anakmu menangis; kau pun pasti lapar. Aku akan mencari makanan.”

Setelah membeli bahan-bahan makanan di pasar, Tomizo mulai memasak, lalu dengan galakmenyuruh Tokiwa dan anak-anaknya makan, seolah-olah mereka adalah pengemis yang terpaksa diaurus. “Ayo, habiskanlah makanan kalian dan segeralah tidur,” perintahnya dengan gusar sambilmemelototi Imawaka dan Otowaka. Tidak lama kemudian, Tomizo pergi untuk menemui salah

seorang anteknya di kota.

Tokiwa sendiri saat ini telah mengendus kelicikan pamannya. Tomizo berniat menyerahkannya kepadaKiyomori untuk merebut hadiah yang telah dijanjikan. Dia tidak melihat jalan keluar, karenamelarikan diri dari pamannya sama halnya dengan membahayakan nyawa ibunya. Kabur bersama tigaorang bocah yang tidak berdaya juga bukan sesuatu yang mudah. Di tengah keputusasaannya, pikiranuntuk bunuh diri setelah membunuh anak-anaknya terus mendesaknya, namun surat

terakhir Yoshitomo untuknya senantiasa menghentikan niatnya.

Adakah yang bisa dikatakan tentang pahitnya kekalahan?

Aku tidak bisa datang sendiri untuk mengucapkan selamat tinggal kepadamu, karena aku telah pergi… ke mana aku akan pergi, aku tidak tahu. Pada suatu hari nanti, aku pasti akan kembali kepadamu.Mengungsilah ke hutan, ke perbukitan jika perlu. Jangan sampai bahaya mendatangi anak-anakkutersayang, aku memohon kepadamu.

Walaupun jarak kita terpisah oleh ribuan gunung dan sungai, ingatlah bahwa aku selamanyamencintaimu. Dan kutegaskan kepadamu … -jangan larut dalam keputusasaan.

Kata-kata itu terukir di dalam kenangan Tokiwa bagaikan ayat-ayat suci di Kannon, dan setiap kalikematian memanggil-manggil dan menggodanya, dia merapalkan isi surat Yoshitomo kepada dirinyasendiri, seolah-olah berdoa untuk menolak nestapa.

Tetapi, seluruh harapannya telah sirna; Yoshitomo telah wafat, dan besok, Tokiwa yakin, akanmenjadi hari terakhirnya di muka bumi ini. Kemudian, dia sekonyong-konyong teringat bahwa dirinyabelum berpamitan kepada Nyonya Shimeko, yang telah menjadi pengayomnya selama sembilan tahun.Maka, senja itu, menggendong bayi dan menggandeng kedua anaknya, Tokiwa berjalan menuju istanadi Jalan Kesembilan, yang terletak cukup dekat dari rumah ibunya. Dia sudah menghafal seluk beluktempat itu, sehingga dia langsung menghampiri Gerbang Barat, yang dijaga oleh orang-orang yangdikenalnya. Setibanya dia di ruang dayang, teman-teman lamanya langsung mengerumuninya danmenghujaninya dengan pertanyaan tentang di mana dirinya bersembunyi, lalu menangisi nasib Tokiwadan anak-anaknya.

Nyonya Shimeko segera memanggil Tokiwa dan menyambutnya dengan air mata, mengatakan, “Ah,Tokiwa, menyedihkan sekali perubahanmu. Mengapa kau tidak secepatnya mendatangiku?”

Kelegaan dan kegembiraan meliputi istana Nyonya Shimeko. Para penghuni tempat itu sempatmencemaskan kemungkinan Kiyomori akan menuduh Nyonya Shimeko telah menyembunyikan ataumembantu pelarian Tokiwa.

Namun sekarang, teman-teman Tokiwa memuji-mujinya karena sanggup bersembunyi begitu lama,dan kemudian menangis karena dia kembali hanya untuk mengucapkan selamat tinggal.

o0odwkzo0o

“Aku Tomizo, pedagang sapi dari Mimata … paman Tokiwa,” kata seorang pria yang tiba di Rokuharamenjelang senja. Tokitada, adik ipar Kiyomori, begitu mengetahui bahwa pria itu datang untukmenyampaikan kabar tentang Tokiwa, memerintahkan agar dia dikurung di pos penjaga.

“Ini bukan lelucon,” Tomizo memprotes si penjaga.

“Aku sudah menempuh jarak yang sangat jauh untuk mengatakan di mana kalian akan menemukanwanita yang sedang kalian buru, dan aku menuntut hadiahku! Kalian bahkan tidak berterima kasihkepadaku … Apa maksud kalian menjebloskanku ke dalam lubang ini?”

Tokitada menjalankan perintah Kiyomori, yang gusar karena banyak orang telah mendatangi Rokuharauntuk menyampaikan keterangan tentang para buronan. Sebagian besar dari mereka, didorong olehketamakan dan keinginan untuk menjadi kaya, tidak segan-segan mengkhianati mantan pengayommereka ataupun orang-orang yang tidak bersalah demi memuaskan hasrat mereka. Karena itulah

Kiyomori memerintahkan kepada Tokitada untuk membuka mata orang-orang itu pada kelicikanmereka sendiri sebelum mengusir mereka.

Malam itu, Tokitada menceritakan kejadian pada siang harinya kepada Kiyomori. “Dan sekarang,apakah sebaiknya tindakanku selanjutnya?”

“Tindakanmu selanjutnya?” ulang Kiyomori dengan kesal sebelum terdiam. Pertanyaan itumengingatkannya pada betapa kasarnya perkataannya kepada ibu tirinya mengenai nasib Yoritomo.Akhirnya, dia berkata, “Suruh Itogo melihat apakah Tokiwa benar-benar ada di sana”

“Kau hendak menyuruh Itogo untuk menangkap Tokiwa dan membawanya dan anak-anaknyakemari?”

“Ya, dia hanya perlu membawa beberapa orang prajurit untuk melakukan itu.”

‘Tidak, tidak untuk seorang wanita dengan tiga orang anak yang tidak berdaya.”

“Jika benar bahwa si paman ini menemukan Tokiwa bersembunyi di Yamato dan membawanyakemari, maka wanita itu harus menyerahkan diri demi keselamatan ibunya.”

“Pamannya tidak mengatakan apa-apa tentang itu.”

“Tentu saja tidak. Bajingan itu memburu uang, dan itulah alasannya melaporkan keberadaan Tokiwa.Dia adalah perongrong rumah tangga Yoshitomo dan dia tentu banyak berutang budi kepadakeponakannya … bajingan yang tidak tahu berterima kasih! Pastikan agar dia mendapatkan apa yanglayak diterimanya.”

“Itu akan segera diurus.”

“Dan katakan kepada Itogo bahwa saat menangkap Tokiwa, dia tidak boleh menyakiti anak-anaknya.”

“Aku akan memberitahunya.”

“Sejak saat ini, dia akan bertanggung jawab atas para tahanan itu. Dia akan mendapatkan perintahdariku nanti, setelah aku memiliki waktu untuk memikirkan langkah selanjutnya.”

Tokitada langsung beranjak untuk menyampaikan perintah kepada Itogo, yang berangkat pada pagibuta bersama beberapa orang prajurit ke rumah di Jalan Keenam. Setibanya di sana, Itogo mendapatirumah itu kosong; dari para tetangga, Itogo mendengar bahwa Tokiwa telah pergi ke istana di JalanKesembilan. Untuk menghindari keributan karena kehadiran prajurit bersenjata, Itogo cepat-cepatmelaporkan kedatangannya kepada pengurus rumah tangga Istana, menjelaskan bahwa dia dikirim dariRokuhara untuk menahan Tokiwa. Si pengurus rumah tangga meyakinkan Itogo bahwa mereka tidakberupaya melindungi seorang buronan. Tokiwa sendiri, katanya, sedang bersiap-siap untukmenyerahkan diri ke Rokuhara.

Sementara Itogo dan para prajuritnya menunggu di pos penjaga di salah satu gerbang dalam, Tokiwamempersiapkan diri untuk keberangkatannya. Dia telah melalui malamnya bersama teman-teman yangmenyayangi dan menenangkannya, sehingga keberangkatan ini tidak sepahit yang disangkanya. Diabangun pada pagi buta untuk mandi dan menata rambutnya. Dia membuka kotak peralatan riasnya danduduk di depan cermin. Dia terkejut melihat kedamaian sosok yang balas menatapnya dari dalamcermin. Bedak menempel mulus di kulitnya, dan dia tampak gemerlap berkat sentuhan peralatanriasnya.

Putra sulung Tokiwa menatap bayangan ibunya dan bertanya, “Ke manakah Ibu akan pergi?” Diamenari-nari gembira ketika mendengar jawaban ibunya.

“Ke tempat yang indah … dan kau akan ikut bersamaku.”

Mengenakan kimono pemberian Nyonya Shimeko dan dayang-dayangnya, Tokiwa menemui sangmajikan, membungkuk dalam-dalam, dan berkata:

“Walaupun tidak berani berharap akan bisa kembali kemari, saya tidak akan melupakan kebaikanAnda selama bertahun-tahun ini … begitu pula perhatian yang Anda berikan kepada saya tadi malam.”

Nyonya Shimeko hanya sanggup berbisik saat membungkuk ke arah Tokiwa, “Sebaiknya kaumenyerah kepada takdirmu, namun jangan pernah kehilangan harapan. Aku akan memohon kepadaayahku untuk berbicara kepada Tuan Kiyomori.”

Sementara dayang-dayang, dengan berurai air mata, menemani Imawaka dan Otowaka menyantapsarapan, Tokiwa menyusui putra bungsunya untuk terakhir kalinya.

Di tempat lain, Itogo dan para prajuritnya mulai kehabisan kesabaran, dan Tokiwa bisa mendengarmereka menuntut agar dirinya segera berangkat. Nyonya Shimeko cepat-cepat menyampaikan pesanmelalui pengurus rumah tangganya, meminta agar Tokiwa diizinkan menggunakan keretanya.Mengenai hal ini, Itogo menjawab, “Tidak biasanya seorang tahanan diizinkan mengendarai kereta,namun karena dia membawa anak-anak, saya akan memperbolehkannya.”

Sejenak kemudian, sebuah kereta wanita, dikawal oleh beberapa orang prajurit berjalan kaki, berderakmelewati

gerbang belakang, melewati jalan-jalan utama ibu kota untuk menuju Rokuhara.

o0odwkzo0o

Bab XXVIII-SANG IBU

Kiiyomori tidur dengan gelisah malam itu. Sepertinya tidak ada alasannya; jika didesak untukmengungkapkan alasannya, dia akan menjawab bahwa dia merasa tertekan oleh tugas-tugas resminya… berbagai pertemuan dengan para pejabat, berbagai tugas dari Kaisar. Tetapi, walaupun senantiasasiap siaga menjalani semua formalitas itu, Kiyomori sesungguhnya berhati rapuh. Dia tidakmembutuhkan nasihat dari Ariko ataupun putranya untuk menangani masalah Tokiwa dan anak-anaknya, karena kabar mengenai penangkapan mereka telah merisaukannya, lebih daripada yang maudiakuinya.

“Sudahkah kau bertemu dengan mereka, Tokitada?”

Kiyomori bertanya kepada Tokitada keesokan siangnya.

“Ya, aku sudah menemui mereka. Semuanya sudah dilaksanakan sesuai dengan perintahmu. Itogolahyang sekarang bertanggung jawab, dan mereka ditahan dengan penjagaan ketat” “Apakah merekasepertinya merasa nyaman?” “Bayinya tak henti-hentinya menangis, dan Tokiwa sendiri tampakletih.”

“Tokiwa, yang kecantikannya pernah menjadi buah bibir dan sumber kedengkian para wanita darikalangan bangsawan dan rakyat jelata.”

“Dia baru berumur dua puluh tiga tahun dan memiliki tiga orang anak. Sulit untuk memercayai bahwaberminggu-minggu pelarian dan kelaparan tidak berpengaruh pada

penampilannya. Ada kesan mengibakan dalam kecantikannya sekarang.”

“Hmm?”

“Mengenai pengadilannya … apakah kau ingin aku atau Itogo yang menanyainya dan menunjukkanbukti-bukti yang diperlukan?”

“Tidak,” Kiyomori langsung menggeleng. “Biar aku saja yang melakukan pemeriksaan silang. Diaadalah janda Yoshitomo dan berada di sini bersama ketiga putranya. Ini adalah masalah yang haruskutangani sendiri.”

Tokitada telah mendengar tentang dampak dari pendapat Ariko mengenai kasus Yoritomo, danmenyimpulkan bahwa Kiyomori ingin segera menyelesaikan masalah yang menyangkut nasib Tokiwasebelum ibu tirinya sekali lagi turut campur.

“Kapankah kau ingin menemui si tahanan?”

“Lebih cepat lebih baik … sebelum petang.”

Seorang tamu hadir tidak lama setelah Tokitada pergi.

Dia adalah seorang pejabat istana, Fujiwara Koremichi, yang datang sebagai duta dari putrinya,Nyonya Shimeko.

Kiyomori menerimanya dengan penuh kesopanan.

‘Tentu saja saya tidak mencurigai Nyonya Shimeko.

Saya terkejut karena Anda sendirilah yang datang untuk membicarakan masalah ini dengan saya.Sungguh sayang bahwa tidak ada lebih banyak orang seperti Anda di Istana, yang bisa memberikannasihat kepada kami di masa seperti ini.”

Kiyomori diam-diam mengagumi Koremichi dan menduga bahwa Koremichi memiliki perasaan yangsama kepadanya. Ketika tiba waktunya bagi Koremichi untuk

pulang, Kiyomori telah menenggak lebih banyak sake daripada biasanya, dan selagi suasana hatinyamasih bagus, Tokitada hadir kembali untuk mengatakan bahwa Tokiwa telah siap ditanyai.

Kiyomori menyusuri sebuah lorong menuju sayap barat Rokuhara. Beberapa perbaikan besar-besarandan penambahan sedang dilakukan pada bangunan itu, sehingga dia melangkah dengan hati-hatimenuju salah satu ruangan di dekat halaman dalam dengan taman yang sedang diperluas.

“Di manakah mereka ditahan?”

“Di sana.”

“Di bawah … sana?”

Kiyomori menghampiri langkan dan melongok ke bawah. Tokiwa duduk bersimpuh di atas sehelaitikar jerami, menunduk dalam-dalam; di kedua sisinya, duduklah anak-anaknya, menggenggam erat-erat lengan kimono ibu mereka.

“Itogo, berikanlah bantal duduk untuk wanita itu dan anak-anaknya,” Kiyomori memerintah sebelumduduk di tengah ruangan itu. Itogo tampak bingung dan kikuk. Tidak biasanya seorang tahanandiperlakukan dengan cara seperti ini.

“Kemari, bawa mereka ke atas sini,” kata Kiyomori, menyentakkan kepalanya ke arah lorong di luarruangan.

Bukan hanya Itogo yang tampak terkejut; tidak diragukan lagi, bagaimanapun, bahwa yang dimaksudoleh Kiyomori adalah lorong di luar ruangan.

“Di sini, Tuan?”

Kiyomori mengangguk ketika Itogo meletakkan tiga buah bantal di puncak tangga yang berpangkal dihalaman bawah. Tokitada mengisyaratkan kepada Tokiwa untuk mendekat Wanita itu mendongakdengan tubuh gemetar dan menarik anak-anaknya yang ketakutan. Itogo berbicara kepadanya:

“Naiklah seperti yang telah diperintahkan. Duduklah di sini.”

Tokiwa berdiri, menggendong bayinya dan

menggandeng tangan mungil Otowaka, lalu melangkah maju dan perlahan-lahan menaiki

tangga, diikuti oleh Imawaka yang berpegangan erat pada kimono ibunya.

Ketika Tokiwa mendekat, Kiyomori merasakan jantungnya berdebar kencang … dia gelisah. Jadi,inilah dia, wanita yang kecantikannya tidak tertandingi dan namanya pernah menjadi buah bibir semuaorang!

“Apakah kau bersedih, Tokiwa?”

‘Tidak, air mata saya sudah kering. Saya memohon agar Anda mengasihani ibu saya. Bebaskanlahbeliau, saya mohon, Tuan.”

“Hmm … itu akan dilakukan,” Kiyomori langsung menjawab, lalu melanjutkan, “Di manakah kaubersembunyi selama ini? Apakah yang mendorongmu untuk melarikan diri bersama anak-anakmu?”

“Saya bersembunyi di Yamato. Mengenai anak-anak saya, saya hanya bisa mengatakan bahwa sayatidak berbeda dengan ibu-ibu lainnya, yang secara naluriah membutuhkan anak-anaknya.”

“Apakah yang membawamu kembali ke ibu kota?”

“Laporan mengenai ibu saya.”

“Pamanmu datang kemari, kau tahu.”

“Saya tidak tahu bahwa paman saya mendahului saya kemari. Saya kembali ke ibu kota dengan niatuntuk menyerahkan diri kepada Anda.”

“Seperti yang sudah kuduga. Kau gila karena kembali ke ibu kota.”

Kiyomori terdiam dan menatap lekat-lekat sang ibu muda dan anak-anaknya; kemudian, dia mendadakbertanya, “Apakah kau bisa menyusui bayimu?”

Tokiwa memandang bayi dalam pelukannya, lalu menjawab pertanyaan Kiyomori dengan gelengantersamar.

“Tidak bisa. Sudah kuduga,” kata Kiyomori kepada dirinya sendiri dengan tatapan galau. “Para ibumemang tolol. Mereka berpura-pura memiliki makanan padahal tidak ada apa-apa; sedikit makananyang ada mereka berikan kepada suami dan anak-anak mereka, sementara bayi mereka melolongmeminta susu …. Dan kau, yang telah kabur ke wilayah perbukitan dan hutan … bayimu masih hidupkarena mukjizat.”

“Tokiwa, kau tidak perlu takut. Ini adalah perang antara Yoshitomo dan aku. Kau tidak bersalah.”

“Ya.”

“Sungguh sayang bahwa pria seperti Yoshitomo telah salah mengambil langkah dengan berpihak

kepada para bangsawan muda yang bejat. Dia juga telah salah menilaiku.”

Tangis Tokiwa pecah, dan dia terisak-isak hebat.

“Tuanku … tuanku … ” dia memohon.

Kiyomori memandang wajah yang terangkat ke arahnya, lalu tatapannya tertuju pada bulu mata lentikyang sarat oleh air mata, dan hatinya pun seketika tersengat oleh belas kasihan.

“Tokiwa, kau tidak perlu menangis seperti itu. Kau tidak memiliki peran apa pun dalam pertikaian ini.Ibumu akan dibebaskan karena kau telah menyerahkan diri kepada kami. Hapuslah air matamu,lokiwa, karena kau juga akan dibebaskan.”

Tokiwa mendadak berhenti menangis, “Tidak … tidak, saya tidak memohon kepada Anda untukmengampuni saya. Tetapi, ampunilah mereka, anak-anak saya!”

“Apa?”

“Ampunilah anak-anak saya, Tuan; biarkanlah saya mati untuk menggantikan mereka!”

Mendengar hal ini, amarah Kiyomori seketika meledak, dan dia meraung:

“Perempuan, berhati-hatilah dengan omonganmu! Kau memiliki kebiasaan buruk yang ada di dalamdiri setiap wanita … kau ingin mempermainkan kelembutan hatiku.

Kau memang bukan seorang Genji, tapi anak-anakmu berbeda, karena darah Genji mengalir di tubuhmereka.

Aku tidak bisa mengampuni mereka!”

Kiyomori, yang berdiri akibat kemarahannya, duduk kembali. Tetapi, dia tetap menatap garang kepadasosok yang menjura di hadapannya.

“Jadi, kau sama saja dengan Genji Yoshitomo, salah menilai diriku. Aku membenci kata ‘belaskasihan*. Aku memang tidak mengenal belas kasihan. Itogo! Tokitada!”

Itogo dan Tokitada segera maju.

“Bawa perempuan ini dan anak-anaknya. Pengadilan ini selesai.”

Tanpa menunggu para pengawalnya, Kiyomori bergegas keluar dari ruangan itu dan mengurung diri disalah satu bilik.

o0odwkzo0o

Tidak sampai dua minggu kemudian. Kiyomori mengalah, seperti yang biasa dilakukannya kepadaorang-orang kecil atau keluarga dekatnya. Tidak tahan mendengar permohonan ibu tirinya, diamemerintahkan agar hukuman mati untuk Yoritomo ditangguhkan. Seorang kurir dikirim ke rumahShigemori untuk menyampaikan pesan bahwa Kiyomori ingin berbicara dengannya.

“Shigemori, aku telah memikirkan masalah ini.”

“Dan, apakah keputusan Ayah?”

“Setelah mendengarkan pendapat nenekmu. Shigemori, aku memutuskan untuk mengampuniYoritomo.”

“Lalu?”

“Dia akan diasingkan. Ke tempat yang sejauh dan seterpencil mungkin.”

“Nenek akan bahagia mendengarnya, dan orang-orang akan memuji Ayah sebagai seorang anak yangberbakti.”

‘Tidak. Aku tidak melakukannya karena Itu, tetapi karena aku sendiri adalah seorang ayah, dan akutidak ingin menghadirkan ajal kepada anak orang lain.”

“Ya, Shinzei adalah contoh seseorang yang telah dengan keji membantai musuh-musuhnya. Dia harusmenyaksikan putra-putranya dibunuh, sebelum dirinya sendiri akhirnya tewas dengan cara yangsama.”

“Tidak perlu menceramahiku. Aku tidak berpura-pura menjadi manusia budiman. Manusiawi jika akumerasa iba kepada seorang bocah seperti Yoritomo. Menghukum mati dirinya saat ini juga bukanlangkah yang bijaksana, dan aku tidak ingin masyarakat membenciku. Pergilah dan sampaikanlahkeputusanku mengenai nasib Yoritomo ini kepada nenekmu.”

Ketika tanggal 13 Februari semakin dekat, perintah resmi menyangkut nasib Yoritomo tidak kunjungturun.

Berlawanan dengan kebiasaannya, Kiyomori diam seribu bahasa, dan tanggal tersebut berlalu begitusaja. Baru sekitar sebulan kemudian, sebuah dekrit diturunkan, berisi perintah untuk mengasingkanYoritomo ke Izu, di wilayah timur Jepang. Dia akan diberangkatkan pada tanggal 20 Maret Beberapahari kemudian, seluruh penduduk ibu kota dikejutkan oleh kabar bahwa Kiyomori telah mengampuniTokiwa dan anak-anaknya. Beberapa di antara mereka bahkan menghujat Kiyomori danmempertanyakan kebijakan yang melandasi keputusannya, dan kepada mereka, Kiyomori mengatakanbahwa dirinya hanya meneruskan perintah dari pihak yang lebih berwenang.

Kemudian, mulai beredar desas-desus bahwa alasan yang dikemukakan oleh Kiyomori adalah omongkosong belaka, karena terdapat laporan bahwa kereta Kiyomori terlihat setiap malam di luar rumahtempat Tokiwa ditahan.

o0odwkzo0o

Bab XXIX-PENGASINGAN

Kegelapan masih menyelubungi kuntum-kuntum sakura ketika sepasukan prajurit dan beberapa orangpetugas berkumpul di bawah pepohonan di sepanjang tembok

kediaman Ariko. Bunga sakura juga bermekaran bagaikan gumpalan awan di pohon-pohon yangmenjulang tinggi di halaman. Seisi rumah sepertinya telah terjaga, karena cahaya dari rumahmenerobos tirai sakura dan menunjukkan sosok-sosok yang bergerak ke sana kemari di lorong-lorongrumah.

“Nyenyakkah tidurmu semalam?”

Pagi itu adalah 20 Maret, hari ke berangkatan Yoritomo ke rumah pengasingannya di Izu.

Munekiyo bangun pada pagi buta dan datang untuk membantu persiapan Yoritomo sebelummelakukan perjalanan.

“Ya, aku bisa tidur, namun aku sangat gembira dan bersemangat sehingga aku terbangun pada pagibuta; dan, ketika aku membuka kerai jendela, ternyata bulan masih bersinar.”

“Itu berarti kau terbangun pada tengah malam. Kau harus berhati-hati agar tidak tertidur di ataskudamu lagi.”

“Oh tidak, Munekiyo, tidak masalah jika itu terjadi lagi kali ini.”

“Mengapa begitu?”

“Para pengawal akan memastikan agar aku tidak tertinggal di belakang.”

Munekiyo tertawa terbahak-bahak mendengar gurauan Yoritomo; tingkahnya bagaikan seekor burungyang akan dilepaskan dari sangkar, dan keceriaannya begitu menular sehingga Munekiyo mau tidakmau merasa bahwa peristiwa hari ini, yang ditandai dengan mekarnya bunga-bunga sakura, patutdirayakan. Seorang pelayan muncul untuk membantu Yoritomo mandi. Yoritomo segera kembali,

dengan wajah berseri-seri dan pipi merona bagaikan buah yang ranum. Dia mengenakan kimono baruyang dihadiahkan oleh Ariko.

“Sebelum berangkat, aku ingin mengucapkan terima kasih lagi kepada Nyonya Ariko danberpamitan.”

“Ya, Nyonya Ariko juga sudah menunggumu. Aku akan membawamu menemui beliau segera setelahkau menghabiskan sarapanmu.”

Yoritomo duduk dan menyantap sarapannya dengan tenang.

“Munekiyo, ini terakhir kalinya aku makan di sini, bukan?”

“Ya, dan aku bersedih karenanya.”

“Aku pun sedih, Munekiyo,” kata Yoritomo, menoleh kepada penahannya, “aku tidak akan pernahmelupakan kebaikanmu kepadaku.”

Munekiyo terkekeh. “Aku tidak melakukan apa pun …

hanya menjalankan tugasku. Kau sebaiknya tidak berharap akan menemui kebaikan di mana pun kauberada. Beri tahu aku jika kau secara khusus menginginkan seseorang menemanimu.”

“Tidak, tidak ada seorang pun yang terpikir olehku.

Mungkin ada, namun dia tidak akan berani datang kemari.”

“Benar juga. Nah, jika kau sudah siap, kita akan menemui Nyonya Ariko.”

Yoritomo dibawa keluar dari sebuah bilik mungil tempatnya disekap selama seratus hari menujukediaman Ariko, sebuah rumah mungil yang ditata dan dihias sedemikian rupa sehingga menyerupaisebuah kapel.

Yoritomo datang kemari pada malam sebelumnya untuk

makan malam bersama Ariko dan dihadiahi kimono-kimono baru dan berbagai keperluan untukperjalanannya.

Sebagai tambahan atas kepuasan karena telah menjalankan perintah agamanya, Ariko terharu melihatkemiripan bocah itu dengan almarhum putranya, sehingga ketika Yoritomo berpamitan, diamenanyakan apakah masih ada sesuatu yang bisa diberikannya. Yoritomo dengan malu-malumenjawab, “Saya ingin memiliki papan permainan dadu …

sesuatu untuk dimainkan saat saya merasa kesepian di Izu.”

Sayangnya, Ariko tidak bisa memenuhi permintaan Yoritomo malam itu, namun dia mempersiapkanbenda itu keesokan harinya dan dengan gembira menantikan kedatangan Yoritomo.

“Nyonya, saya datang untuk berpamitan,” kata Yoritomo, membungkuk rendah-rendah di hadapanAriko, yang matanya tampak berkaca-kaca. “Dan, setibanya saya di Izu yang jauh, saya tidak akanpernah melupakan Anda yang telah menyelamatkan nyawa saya. Saya akan berdoa setiap pagi danmalam untuk kebahagiaan Anda, Nyonya.”

“Jadi, kau akan pergi sekarang. Aku tidak melakukan apa pun untuk menyelamatkan nyawamu;semuanya adalah berkat sang Buddha yang penuh rahmat …. Ingatlah petuahku kepadamu tadi malam,Yoritomo, bahwa kau harus meninggalkan jalan pedang, mengabaikan panggilan pertumpahan darah.”

“Baiklah.”

“Tidak peduli sebesar apa pun godaannya, berpalinglah dari bisikan mereka yang tidak beriman ….Pusatkanlah kehidupanmu untuk mendoakan mendiang ibu dan ayahmu.”

“Baiklah.”

“Ingatlah petuahku hingga kau dewasa. Jangan biarkan seorang pun menyeretmu ke dalam rencanapembalasan dendam karena aku tidak ingin kau dipenjara lagi. Dan, jangan pernah lupa bahwa doakuselalu bersamamu.”

“Baiklah … baiklah.”

“Kau anak baik …. Ini papan permainan dadu yang kujanjikan. Apakah kau senang?”

Ariko mengeluarkan sebuah kotak hitam berhiaskan emas yang indah.

“Oh, kotak yang sangat cantik! Bolehkah saya membukanya sekarang?”

Ariko tersenyum. “Kurasa kau tidak punya waktu untuk melakukan itu sekarang. Apakah dia punyawaktu, Munekiyo?”

“Saya rasa tidak. Peti-petimu sedang diangkut keluar, dan sebaiknya aku menyatukan kotak itu denganbarang-barangmu yang lain agar tidak rusak.”

“Lebih baik begitu ….Yang lebih penting bagimu saat ini adalah menemui orang-orang yang baru sajameminta izin kepadaku untuk mengucapkan selamat jalan kepadamu.

Mereka sedang menunggumu di ruang pelayan.”

“Oh, tamu untuk saya?”

Yoritomo menarik napas dalam-dalam. Kesedihan melandanya, dan kepedihan yang tidak bisadijabarkannya; dia tidak bisa menebak siapa yang sedang menantinya. “…

Oh!”

Ketiga orang tamu Yoritomo menoleh kepadanya dengan mata berkaca-kaca. Salah satunya adalahpamannya dari pihak ibu, Sukenori, yang menolak untuk berpihak ke mana pun ketika perang pecah;yang kedua adalah Genji

Moriyasu, yang tertahan oleh penyakitnya di sebuah provinsi terpencil hingga perang berakhir. Tamuketiga Yoritomo adalah pengasuh tuanya, yang telah mengasuhnya sejak dia masih bayi; wanita ituberlutut dan menangis terisak-isak di hadapannya.

“Tuan Muda, izinkanlah saya mengikat rambut Anda untuk terakhir kalinya,” kata wanita itu, serayabangkit dan berdiri di belakang Yoritomo. Sambil menyisiri rambut Yoritomo, dia membungkukcukup lama untuk berbisik,

“Ini adalah saat yang

menyedihkan bagi Tuan, namun ini bukan perjumpaan terakhir kita, karena pengasuh tua ini tidakakan gagal menyusul Tuan ke Izu.”

Kemudian, dua orang tamu lainnya mendekati Yoritomo ketika si penjaga berpaling, dan berbicaradengan nada rendah kepadanya, “Para dewa telah menyelamatkanmu dengan mukjizat mereka. Janganbiarkan seorang pun membujukmu untuk mencukur rambutmu dan menjalani penahbisan.”

Maka, sementara si pengasuh menata rambutnya, Yoritomo dengan tenang mendongak ke langit-langit, berpura-pura tidak mendengarkan, namun dengan gerakan tersamar di alisnya mengisyaratkanbahwa dia mengerti dan mengiyakan.

“Waktunya berangkat,” seorang petugas memerintahkan kepada Yoritomo untuk berdiri daribangkunya dan menunggangi kudanya. Si petugas memberikan aba-aba kepada para pengawal,“Bersiaplah … kita akan segera berangkat!”

Kuda-kuda beban dikeluarkan ke jalan, sementara sejumlah petugas rendahan mengatur kerumunanpenonton menggunakan tongkat bambu. Para pengawal yang akan

mengiringi Yoritomo segera berbaris di luar gerbang, menggiring Yoritomo ke kudanya, dan berseru,“Waktunya berangkat! Ayo, cepadah!”

Sejenak kemudian, tahanan muda itu keluar dari gerbang, ditemani oleh para penghuni rumah Ariko.

Pemandangan ini berbeda dari yang biasa terlihat … bukan tahanan berpenampilan muram dan beruraiair mata melainkan seorang pemuda ceria berwajah berseri-seri yang dengan lincah melompat kepelana kudanya.

“Selamat tinggal,” seru Yoritomo, tersenyum dan menolehkan kepala ke arah rumah.

Ariko dan putranya, Yorimori, termasuk di antara orang-orang yang berkumpul untuk melepaskepergian Yoritomo.

“Yoritomo, semoga kau selalu dilimpahi kesehatan!”

“Yoritomo, selamat jalan!” seru mereka kepada bocah yang pintar mengambil hati semua orang itu.Mata Yoritomo, bagaimanapun, beralih kepada sosok yang berdiri di dekat gerbang.

“Munekiyo, selamat tinggal,” ucapnya sambil menundukkan kepala.

Munekiyo segera menjawab, “Selamat jalan,” dan balas membungkuk.

Iring-iringan itu bergerak dengan lambat, diiringi oleh taburan bunga. Sesaat kemudian, yang tersisadari keramaian itu hanyalah jalan yang berselimut bunga putih.

Ketika mereka mulai mendaki Kuritaguchi, matahari musim semi telah menggantung tinggi di langit.Atap-atap bangunan yang berjajar di ibu kota dan wilayah pedesaan, yang membentang dariPerbukitan Utara hingga Perbukitan Timur, seolah-olah mengambang di laut bunga. Yoritomo kerapmenunduk untuk memandang Sungai Kamo.

Siapakah yang mengetahui apa yang berkecamuk di benaknya saat dia mengingat hari berdarah ketikadia bertempur di tepi sungai bersama ayah dan kakak-kakaknya?

Kabar burung memancing kedatangan banyak orang …

biksu, pria dan wanita, pengelana, anak-anak dan orangtua mereka … ke Otsu, yang terletak di pesisirDanau Biwa.

Semua orang itu ingin melihat keberangkatan Yoritomo.

Ketika Yoritomo akhirnya tiba dan menunggu arus pasang untuk menyeberang ke sisi lain danau,pamannya dan Genji Moriyasu, yang diizinkan untuk menemani Yoritomo hingga sejauh ini,mengucapkan selamat jalan dengan berurai air mata.

Tetapi, Yoritomo justru memandang mereka dengan bingung. “Lihatlah, aku tidak sedih. Aku tidaktahu bagaimana seharusnya perasaan orang yang akan diasingkan pada saat seperti ini, namun bagiku,ini adalah peristiwa yang menggembirakan, sebuah hari perayaan.”

Begitu seluruh rombongan menaiki perahu, Yoritomo langsung mengeluarkan kotak yang dihadiahkanoleh Nyonya Ariko kepadanya, dan mulai menata dadu-dadunya di atas papan. Dia memanggilpengawal yang sedang bertugas, “Maukah kau menemaniku bermain?”

Si pengawal menertawakannya. “Aku harus

mengingatkanmu bahwa kau adalah tahanan dan aku petugas. Kau harus mempelajari aturan untuktahanan jika tidak ingin terkena hukuman.”

“Apakah aku dilarang bermain?”

“Ini bukan perjalanan tamasya, dan aku akan sekali lagi memperingatkanmu. Setibanya kau di Izu, kautetap akan diperlakukan sebagai tahanan dan dijaga dengan ketat.”

Yoritomo mengernyitkan wajahnya dengan kesal. “Ini, simpan saja ini sampai aku tiba di penjara,”perintahnya kepada salah seorang pelayan, mendorong mainannya jauh-jauh.

Si pengawai menggeleng dengan heran. “Anak ini sepertinya tidak menyadari siapa dirinya,”gumamnya sambil beringsut menjauh.

Dalam perjalanan panjang melintasi jalan raya Tokaido, si pengawal dan rekan-rekannya semakincuriga bahwa tahanan muda mereka adalah seorang pandir, karena Yoritomo kerap berusahamemancing mereka untuk mengobrol tentang taktik bermain dadu atau menghabiskan waktu di ataspunggung kudanya dengan bersiul-siul menggunakan rumput.

Bertepatan dengan pengasingan Yoritomo ke Izu, Penasihat Moronaka, Kepala Kepolisian Korekata,dan Tsunemunt sang bangsawan juga diberangkatkan ke pengasingan. Persekongkolan mereka untukmenggulingkan Kiyomori ternyata justru semakin mengukuhkan kekuasaannya.

Musim semi telah tiba, dan kehidupan di ibu kota kembali berwarna; para penduduk dengan legamenghirup udara yang sarat oleh kedamaian dan semerbak aroma bunga. Tidak seperti biasanya,Kiyomori disibukkan oleh tugas-tugas resmi. Kendati begitu, dia berhasil menyelesaikan beberapamasalah sembari menunggu keadaan kembali normal. Kasus Tokiwa dan anak-anaknya telah diurus:Imawaka, putra sulungnya, dikirim ke sebuah kuil di dekat Fushimi, di bagian selatan ibu kota, untuk

diasuh oleh kepala biara dengan perjanjian bahwa anak itu akan menjadi biksu setelah cukup umur;seorang pendeta berkedudukan tinggi di Kuil

Tennoji dipercaya untuk mengasuh Otowaka, yang juga diarahkan untuk menjadi biksu; bertentangandengan permohonan sang ibu, si bungsu, Ushiwaka, diserahkan bersama seorang ibu susuan kepadakepala biara di Gunung Kurama, tempatnya akan menjalani penahbisan setelah usianya cukup.

Ketika kabar tentang keputusan ini tersebar, semua orang mulai bergunjing.

“Nah, lihatlah akibatnya jika seorang wanita sudah menebarkan pesonanya!”

“Itu tidak akan terjadi pada semua orang. Dibutuhkan seorang wanita secantik Tokiwa untukmenggerakkan hati Kiyomori.”

“Begitulah. Apakah yang akan terjadi jika Tokiwa buruk rupa?”

“Kemungkinan besar anak-anaknya tidak akan diampuni.”

Seorang pejalan kaki berkomentar dengan kesal, “Huh, omong kosong!”

“Apa maksudmu? Kau juga senang mendengarnya!”

“Kalian ini bagaimana … apakah kalian tidak menyadari bahwa jika Tokiwa buruk rupa, maka diatidak akan pernah dijadikan dayang di Istana?”

‘Tentu saja.”

“Tuan Yoshitomo tidak akan jatuh cinta kepadanya, dan ketiga anak itu tidak akan lahir.”

“Seperti yang kukatakan, semua ini omong kosong. Apa yang membuat kalian begitu curiga?”

“Heh, kalau begitu, katakanlah pendapatmu kepada kami. Apakah menurutmu Tuan Kiyomorimengampuni ketiga anak itu tanpa alasan sama sekali?”

“Dia tidak butuh alasan. Jangan lupakan bahwa dia adalah penguasa Rokuhara. Untuk apa diamendengar ocehan orang lain atau mengambil risiko yang tidak diperlukan? Untuk apa diamempermalukan diri di depan seorang janda dengan tiga anak, jika dunia ini dipenuhi oleh wanitacantik?”

“Ah, tidak, hanya ada seorang Tokiwa di seluruh Kyoto.”

Si pejalan kaki tergelak. “Ho, ho! Jadi, begitulah cara berpikir kalian, tapi kalian tidak tahu apa-apatentang perasaan seorang pria berumur empat puluhan … betapa dia merasa berkuasa … ketikamemandang taklukannya.”

Ini adalah topik pergunjingan di seluruh ibu kota …

rakyat jelata, para pejabat istana dan istri mereka, bahkan para cendekiawan di kompleks kuil dan parabiksuni di asrama mereka; di Rokuhara sekalipun terdengar bisikan-bisikan tentang Kiyomori yang

telah dengan teguh membela Tokiwa.

o0odwkzo0o

Beberapa tambahan bangunan di kediaman Kiyomori telah rampung dibangun … lengkap dengantaman tertutupnya.

“Hidung Merah, ini bagus sekali! Rumpun mawar ini sangat menghiburku.”

“Saya sudah menduganya. Saya rasa taman di tepi sungai milik Menteri Golongan Kiri pun tidak akanbisa menandingi keindahan taman ini.”

“Kebanggaanmu akan semua ini cukup berlebihan, bukan, Bamboku?” Kiyomori menggodanya.

“Tanaman di taman ini dan bangunan ini bisa disebut sebagai milik saya.”

Kiyomori tergelak. “Baiklah, Hidung, kau boleh menyombong hari Ini.”

“Tetapi, jika ternyata semua ini tidak membanggakan, dan Anda kecewa, betapa suramnya hari inibagi saya!”

“Baiklah, baiklah, Hidung, rayuanmu membuatku melupakan semua masalahku.”

Kiyomori sedang menemui si saudagar di salah satu ruangan baru yang berhadapan dengan rumpunmawar.

Kiyomori tahu bahwa Bamboku memiliki cara misterius dalam menebak pikiran seseorang. Pria yanglicik.

Kiyomori pada awalnya mewaspadainya, namun Tokiko sangat menghormatinya sehingga Kiyomoriterbujuk untuk menerimanya, dan akhirnya lebih banyak berurusan dengan Bamboku daripada Tokiko.Dia bahkan cukup menyukai Hidung Merah, kejenakaannya … sosoknya yang menonjol dan culas,yang berbeda dari dirinya. Itu telah dibuktikan oleh Bamboku dalam perundingan antara Kiyomori danpara pelaku persekongkolan yang menyebabkan intrik terbaru di Istana.

Bamboku layak untuk dijadikan sekutu, Kiyomori memutuskan, sehingga dia mulai menjalinhubungan baik dengan si saudagar. Ketika suasana hatinya sedang buruk atau ketika dia sedangmembutuhkan teman untuk menghilangkan kejenuhan, yang harus dilakukannya hanyalah memanggilHidung, sama seperti orang-orang yang menggunakan ramuan wangi untuk memicu semangat mereka.Sekaranglah contohnya; Hidung sudah menenggak

bercangkir-cangkir sake, dan rona merah di hidungnya telah menyebar ke seluruh wajahnya.

“Oh, masalah, ya? Dan Anda ingin melupakannya?”

“Mengapa kau mempertanyakannya?”

“Tuanku, sulit bagi saya untuk percaya bahwa Anda punya masalah.”

“Otak udang! Memangnya kaupikir aku bukan manusia?”

“Baiklah … bukankah Anda pernah mengatakan kepada saya bahwa Anda adalah ‘putra langit danbumi’ … putra alam?”

“Itu hanya kiasan.”

“Betapa bodohnya saya, sungguh … saya tidak melihat apa pun yang berarti masalah bagi Anda.”

“Benarkah?”

“Semuanya tampak wajar dan cukup bisa dipahami. Lagi pula, musim semi telah tiba. Bukankah itusaja sudah menjadi cukup alasan untuk bergembira. Tuan?”

“Semacam itu,” Kiyomori menjawab sambil tertawa renyah.

“Sejujurnya, Tuan, saya agak kecewa dengan Anda kali ini. Saya telah salah menilai Anda.” “Tentangapa?”

“Kecengengan Anda,” Hidung berseloroh, lalu melanjutkan, “Benar-benar pemandangan hebat!

Kecengengan macam apakah ini? Saya tidak percaya bahwa Anda, jenderal perang yang tidak punyatandingan! Sang kesatria, sang pahlawan! Beranikah Anda menyebut diri Anda sebagai manusia jikaAnda seloyo itu?”

Di bawah pengaruh sake, Bamboku kerap berbicara dengan gamblang; hanya Hidung yang beranimengejek Kiyomori dengan cara seperti itu. Sendirian seperti itulah yang dibutuhkan oleh Kiyomori,yang membuatnya semakin menyukai si saudagar.

Hidunglah yang pertama kali mendengar tentang kunjungan Kiyomori kepada Tokiwa … yangsekarang sudah menjadi rahasia umum … dan sekarang turut menyertainya. Hidung juga selalumembisikkan gosip-gosip terbaru yang didengarnya ke telinga Kiyomori: “Tokiwa yang malang, diamenyerahkan dirinya kepada penguasa Rokuhara demi anak-anaknya! Dan sekarang, Kiyomori tergila-gila kepadanya. Sungguh memalukan si Tokiwa, takluk begitu saja pada pria berotak mesum itu! …”Itulah desas-desus yang beredar di masyarakat, yang telah dibumbui oleh siapa pun yangmenyebarkannya. Tetapi, Hidung tahu bahwa asap tidak akan ada tanpa api; walaupun ada sekelumitkebenaran di dalam kabar burung yang beredar, sisanya murni omong kosong. Kiyomori,bagaimanapun, membenci omong kosong itu.

“Saya terganggu oleh semua ini … sangat menjengkelkan. Semua desas-desus itu … dan Anda yangcengeng!”

“Sudahlah, Hidung Merah, berhentilah mengejekku.

Posisiku memang menyulitkan, kau tahu.”

“Anda masih bimbang, ya? Bukankah Anda sudah mengambil keputusan tadi malam?”

“Mengambil keputusan?”

“Nah, tepat ketika kita tiba di inti permasalahannya.

Anda justru menghindar. Apakah yang membuat Anda ragu-ragu untuk mengatakan kepada sayatentang

keputusan Anda untuk menjadikan Tokiwa sebagai gundik?”

o0odwkzo0o

Bab XXX-SAKURA

Tokiwa duduk di dekat jendela kamarnya, bergeming, memandang bulan musim semi yang berselaputawan.

Bagaimanakah kabar Imawaka, pikirnya. Sudahkah Otowaka betah tinggal bersama orang-orangasing? Apakah dia tumbuh dengan sehat … Ushiwaka, yang direbut dari pelukannya dan dilarikan keGunung Kurama? Seseorang pernah berkata kepadanya, “Seorang anak akan tetap bisa tumbuh sehattanpa ibunya.”

Seandainya saja itu benar, doanya. Dia membenci berbagai macam petuah yang dimaksudkan untukmenghiburnya, dan yang diketahuinya sebagai kebenaran walaupun pahit. Untuk apakah dia hidupsetelah anak-anaknya direnggut dari dirinya? Apakah makna dirinya yang mengenaskan ini? Yangjuga hampir tidak tertahankan olehnya adalah kenyataan bahwa setelah Ushiwaka diambil darinya,payudaranya kembali bengkak berisi susu dan semakin nyeri; demam menyebar dari dadanya kesekujur tubuhnya, sehingga dia terbaring sakit selama berhari-hari.

Penjaganya akhirnya memanggil seorang tabib karena tidak ingin dianggap mengabaikan tahanannyaoleh Kiyomori.

Para pelayan lalu lalang di dekat Tokiwa, namun dia menjauh dari mereka karena takut dan malu; diamengetahui apa yang ada di dalam pikiran mereka, karena seorang wanita tua, yang ditugaskan secarakhusus untuk melayaninya, pernah berbisik kepadanya, “Nyonya, semua orang memuji-muji Anda atasapa yang telah Anda lakukan. Kemuliaan bukanlah milik wanita yang senantiasa

menjaga kesuciannya saja. Orang-orang mengidolakan Anda sebagai ibu berbudi luhur yang relamengorbankan dirinya demi buah hatinya.”

Beberapa saat kemudian, istri si penjaga pun secara diam-diam menghampiri pembaringan Tokiwauntuk mengatakan, ‘Tak terhitung lagi banyaknya wanita ibu kota yang berambisi merebut perhatianTuan Kiyomori dengan habis-habisan menonjolkan diri mereka. Kau sepertinya tidak menyadaribetapa beruntungnya dirimu. Kau pasti dilahirkan di bawah bintang keberuntungan. Sudahlah,berhentilah merengek dan berdandanlah, karena aku tahu bahwa kau masih muda. Sebagai seorangwanita, masa depan terbentang di hadapanmu, dan jika Tuan Kiyomori menyukaimu, maka semuanyaakan menjadi milikmu.”

Tokiwa sangat malu mendengarnya, sehingga dia membenamkan wajah merah padamnya ke lipatan-lipatan kimononya.

o0odwkzo0o

Tokiwa bisa merasakan bahwa seseorang sedang berdiri di belakangnya, namun rasa takutmencegahnya untuk menoleh.

‘Tokiwa, apakah yang sedang kaulihat?”

Kiyomori yang berbicara, dan walaupun mengenali suaranya, Tokiwa menjawab tanpa menggerakkantubuhnya, “Saya sedang melihat bunga sakura.”

Ruangan itu temaram berkat cahaya rembulan. Kiyomori akhirnya duduk, namun tidak mengatakanapa-apa, dan Tokiwa tetap duduk di dekat jendela. Beruntung bagi Tokiwa karena lentera di kamarnyatelah dipadamkan sehingga dia tidak perlu menjauh dari Kiyomori untuk menyembunyikan wajahnyayang basah oleh air mata.

Tidak lama setelah Tokiwa mendengar tentang nasib anak-anaknya, Kiyomori kerap mengunjunginya.Tokiwa tidak memiliki alasan untuk melarangnya datang, dan dia berusaha untuk tidak mengatakanapa pun yang bisa menyakiti hatinya, karena dia sesungguhnya sangat berterima kasih atas kebaikanKiyomori. Seiring waktu, Tokiwa tidak lagi membenci Kiyomori; tetapi, walaupun menanti-nantikankedatangan Kiyomori, dia merasa jijik terhadap ketidaksetiaannya sendiri.

“Oh, angin mengacak-acak kertas-kertasmu!”

Kiyomori meraih selembar kertas yang terbang ke bawah salah satu jendela. Dia meliriknya sekilas dibawah sinar bulan dan hendak meletakkannya kembali di meja tulis, ketika Tokiwa mendadakmenyadari apa yang terjadi.

“Itu … itu … ” serunya, terkejut. Dia tampak kebingungan selama beberapa waktu, sebelummengulurkan tangan untuk meminta kembali kertas tersebut.

“Apa kau keberatan kalau aku membacanya?”

“Tidak … tidak juga.”

“Ini bukan tulisanmu. Siapakah yang mengirimkan surat ini kepadamu?”

“Seorang pria, rupanya.”

Tokiwa tidak tahu harus menjawab apa. Dia tidak bisa mengatakan bahwa puisi yang ada di sanaditulis olehnya sendiri, karena lipatan-lipatan yang ada menunjukkan bahwa lembaran kertas ituadalah sebuah surat; dari tulisan tangannya pun bisa dipastikan bahwa pembuatnya adalah seorangpria.

“Ini, seperti yang Anda katakan … adalah sebuah surat Seorang biksu aneh yang berkeliaran di jalan

menyerahkannya kepada Yomogi untuk diserahkan kepada saya, lalu dia pergi begitu saja.”

“Siapakah Yomogi?”

“Yomogi adalah pengasuh anak-anak saya. Saya meninggalkannya di Yamato, tempat persembunyiankami, namun dia menyusul kami.

dan entah bagaimana berhasil menemukan kami.

Katanya, dia bertemu dengan si biksu dalam perjalanannya kemari, dan biksu itulah yang memberikansurat ini kepadanya.”

“Berarti, kau mengenal biksu itu, bukan? Jika tidak, bagaimana mungkin dia tahu bahwa gadis ituadalah pengasuh anak-anakmu?”

“Saya tidak terlalu mengenalnya, karena dia adalah seorang biksu yang hidup layaknya pengemis direruntuhan Istana Mata Air Dedalu setelah Perang Hogen berakhir.”

“Siapa namanya?”

“Mongaku, saya yakin.”

Kiyomori mengamati surat itu sekali lagi. Tidak diragukan lagi, sebuah tanda tangan tertera di sana …

Mongaku. Tulisan tangannya besar dan tebal.

Mongaku. Kapankah terakhir kalinya Kiyomori berjumpa dengannya … Morito dari KesatuanPengawal Kekaisaran? Sesekali, Kiyomori pernah mendengar kabarnya. Shinzei pernah berceritakepadanya tentang kekacauan yang ditimbulkan oleh Mongaku di kediamannya. Ini adalah biksupengelana yang sama, Mongaku … yang berkeliaran ke sana kemari di ibu kota, tidur di alam terbuka,tanpa memiliki tempat tinggal tetap.

Kiyomori mengenang teman sekolahnya itu dengan rasa iba

yang mendalam. Mengingat Mongaku mau tidak mau juga membuatnya teringat kepada Kesa-Gozendan kisah asmara tragis yang telah menghancurkan sebuah masa depan cemerlang, semuanya hanyademi mendapatkan cinta seorang wanita. Orang-orang menganggap Morito bodoh ketika itu, namunbaru sekaranglah Kiyomori menyadari bahwa dirinya tidak lebih baik daripada Morito. Apakah yangakan dikatakan oleh Mongaku kepadanya sekarang? …

”Apakah perbedaan kebodohanku ketika aku berumur dua puluhan dengan kebodohanmu saat ini,ketika kau sudah berumur empat puluhan? Yang manakah yang lebih buruk?

Siapakah yang lebih hina? Kau melakukan tindakan yang benar dengan mengampuni anak-anakTokiwa, namun apakah alasanmu untuk mengunjungi Tokiwa?”

Tidak perlu dipertanyakan lagi, dia memang memuakkan, secengeng yang dituduhkan oleh Hidung.

Berbeda dengan Mongaku, Kiyomori tidak memiliki tujuan hidup yang jelas, gairah. Ini jelas terlihatdi dalam hubungan gelapnya dengan Tokiwa. Betapa dia bernafsu untuk memiliki Tokiwa danberpura-pura menjadi seorang pria terhormat di matanya!

“Mongaku, itulah panggilannya sekarang, pernah tergabung dalam Kesatuan Pengawal. Kami teman

sekelas di akademi …. Menurutmu, apakah alasannya mengirimkan puisi ini kepadamu?”

Apakah yang mendorongnya memburu penjelasan ini, pikir Kiyomori dengan bimbang, serayamelanjutkan,

“Apakah yang ingin dikatakannya kepadamu? … ’Jalan tak berujung yang membelah padang gersangberselimut kabut

… ’”

“Entahlah. Saya tidak pernah berjumpa dengan Mongaku.”

“Hmm … aku yakin dia memahami maksudnya.”

“Apakah yang ingin dikatakannya?”

“Genji telah kalah. Benih-benih Yoshitomo telah tersebar di seluruh dunia yang keji, namun akan adaakhir dari semua ini, dan Genji akan kembali berjaya. Puisi ini dimaksudkan untuk menguatkandirimu.”

“Oh, sungguh menakutkan maknanya!”

“Tidak perlu heran. Ada banyak orang yang merasa seperti Mongaku. Dia yakin bahwa aku adalahpenerus Shinzei dan memandang rendah diriku.”

“Tidak, tidak. Tuan, Anda salah. Saya menemukan makna lain dari puisi itu.”

“Apakah itu?”

“‘Padang gersang berselimut kabut’ adalah hati saya. Dia membicarakan tentang kesedihan wanita.Dia menasihati saya untuk bersikap lebih tegar.”

“Kau boleh saja mengartikannya begitu jika mau.”

“Saya senang menerima puisi ini. Saya sudah membacanya berulang kali sepanjang hari.Karenanyalah saya memutuskan untuk

melanjutkan kehidupan saya, untuk terus melangkah melewati jalan yang membelah ‘padang gersangberselimut kabut’ itu.”

“Apakah kau kadang-kadang masih berpikir untuk mengakhiri kehidupanmu sendiri?”

“Ya, ketika kesepian terlampau berat untuk saya tanggung, gemerisik sakura sekalipun terdengarbagaikan undangan untuk mati.”

“Apakah itu disebabkan oleh kerinduanmu kepada anak-anakmu?”

“Lancang jika saya mengatakannya … kepada Anda, penyelamat mereka. Saya hanya bisa pasrah.”

“Apakah kau masih berduka atas kematian Yoshitomo?”

“Ah, sungguh kejam kata-kata Anda!” Tokiwa menjerit, menatap Kiyomori dengan mata berkaca-kaca.

“… Tokiwa!”

Kiyomori merengkuh Tokiwa ke dalam pelukannya.

Malam inilah pertama kalinya Kiyomori merasakan gemulai tubuh Tokiwa. Api gairah menggelora didalam dirinya, mendorongnya untuk dengan liar menciumi bibir Tokiwa. Terkejut akibat gairah yangterlepas dari kendalinya, Tokiwa meronta-ronta untuk melepaskan diri, namun Kiyomori tidakmendengar tangisannya.

o0odwkzo0o

Tokiwa terbaring lemas, meringkuk di antara lipatan-lipatan kimono sutranya, terisak-isak lirih. Diatidak sekali pun mendongak ketika Kiyomori bangkit dan meninggalkannya. Kelopak-kelopak bungaputih tertiup angin memasuki jendelanya dan berjatuhan di rambut dan kimononya, dan dia tetapmenghabiskan malam musim semi itu dengan tetesan air mata.

o0odwkzo0o

Sesosok pria mengendap-endap melewati jalan masuk dan menuruni tangga di tengah kegelapan.

“Bagaimanakah hasilnya. Tuan?” bisik Bamboku, yang segera menghampiri Kiyomori.

“Tuanku, berhasilkah Anda? Anda sudah bersumpah bahwa malam ini Anda akan … ”

Kiyomori membungkam Bamboku dengan tatapan garangnya. Hidung belum pernah melihatnyaseperti ini.

Sesuatu yang luar biasa tentu telah terjadi. Selama beberapa waktu, Hidung berjalan di sampingKiyomori tanpa mengatakan apa pun, kemudian dia tiba-tiba terkekeh.

Kiyomori memelototinya, namun dia justru tertawa terbahak-bahak.

“Tuan, Anda barangkali bisa menipu orang lain, namun Anda tidak mungkin membodohi saya. Sayasudah berpengalaman dalam permainan ini.”

Kiyomori melontarkan senyum lebar kepadanya di tengah kegelapan. “Hentikanlah ceracaumu itu, kaumenggangguku.”

“Tapi, bukankah saya sudah menemani Anda di sepanjang kisah asmara ini, dan bukankah sayamenghayatinya seolah-olah saya sendiri yang sedang menjalaninya? Anda setidaknya bisamenceritakan kepada seorang teman apakah Anda berhasil atau tidak. Saya rasa itu tidak adasalahnya.”

“Berisik sekali kau ini! Omonganmu itu cukup untuk menenggelamkan kelembutan apa pun yangmungkin kumiliki. Menjauhlah dariku. Dan diamlah!”

Hidung mencuri pandang dengan penasaran ke wajah Kiyomori dan menghela napas panjang. Diasudah mendengar cukup banyak untuk mengetahui apa yang terjadi. Dia juga bisa mengendus samar-samar semerbak minyak wangi.

“Hoi-i-i … !” Hidung tiba-tiba berseru ke arah rumpun pinus di kaki bukit tempat beberapa orangsamurai menjaga kereta Kiyomori di tengah kegelapan. Beberapa orang prajurit dan si penarik sapimembawa kendaraan tersebut ke jalan.

Suara Hidung sekalipun tidak cukup untuk menggugah Kiyomori. Dia seolah-olah tenggelam di dalammimpi, hanyut di dunia lain bersama Tokiwa di sisinya, sehingga kenyataan pun tidak sanggup untuksepenuhnya menyingkirkan bayangan itu.

“Tidak perlu buru-buru. Biar saja sapi itu berjalan santai,” Kiyomori memerintah dari balik tirai yangtertutup.

Dia berniat untuk sepenuhnya menikmati sensasi berkereta menembus pagi buta pada musim semisembari mengingat-ingat malam indahnya. Apakah Tokiwa membencinya, pikirnya. BagaimanakahTokiwa akan menyapanya saat mereka bertemu lagi? Dia sudah kenyang akan kekerasan.

Dia sudah melihat banyak hal selama dua perang terakhir.

Dia telah menyaksikan kepala Yoshitomo digantungkan di gerbang penjara dan beratus-ratuspemenggalan ….

Kehidupan atau ke matian Tokiwa ada di tangannya, namun dia tidak berniat untukmemperlakukannya dengan kasar. Tokiwa menyerahkan diri kepadanya dengan cara yang wajar,bagaikan sekuntum bunga yang mekar dengan lembut, seperti yang semestinya. Kiyomori hanyamemberikan cinta yang dibutuhkan oleh Tokiwa tanpa sedikit pun memaksanya. Dia tetap akanmencintai Tokiwa seandainya Yoshitomo masih hidup ….

Pikiran semacam itu berpusar di benak Kiyomori …

membebaskannya dari beban, meringankan hatinya, dan membenarkan tindakannya malam itu. Diatidak bisa menyangkal tuduhan Hidung Merah kepadanya; dia pengecut karena jika tidak, mengapa diamerisaukan Yoshitomo pada saat ini?

Ketika kereta Kiyomori melewati jalan yang diapit pepohonan pinus ke arah barat salah seorangprajurit yang berjalan di belakangnya memekik kesakitan dan jatuh

bergedebuk ke tanah. Para prajurit lainnya berseru-seru, dan sebuah teriakan nyaring terdengar, “Disini, bajingan!”

Keributan perkelahian terdengar ketika Kiyomori bangkit dari bangkunya dan menyibakkan tiraiseraya berseru,

“Hoi, kalian, apa yang terjadi?”

Kiyomori melongok ke luar ketika keretanya mendadak berhenti, dan sesosok pria bersenjatamenatapnya dengan mata nyalang, mengacungkan pedang.

“Heik6 Kiyomori* sudah lupakah kau kepadaku? …

Genji Yoshihira, putra Yoshitomo?”

Yoshihira beberapa kali berusaha meraih lengan kimono Kiyomori dari balik tirai, ketika sapi penarikkereta mendadak berlari kencang gara-gara pedang Yoshihira menggores pantatnya.

‘Tunggu, Yoshihira!”

Yoshihira berusaha bangkit dan mengejar kereta itu, namun ujung-ujung tombak telah teracung kearahnya dari segala penjuru.

Hidung Merah, yang semula terpaku, berlari dari tempat persembunyiannya di balik pepohonan danmenjerit-jerit

“Putra Yoshitomo … Genji Yoshihira!” Dia berlari menuju pangkalan prajurit berjalan kaki Rokuhara,berseru-seru di sepanjang jalan, “Tolong, ada rampok! Tolong, ada pembunuh!”

Para prajurit dengan berbagai senjata segera mendatangi arah yang ditunjukkan oleh Hidung Merah.

“Di persimpangan! Bunyikan lonceng peringatan, bunyikan lonceng peringatan!”

Sepasukan prajurit tiba di persimpangan jalan untuk memeriksa keadaan. Mereka hanya bisa salingbertukar tatapan bingung karena tidak ada apa pun di sana.

“Siapa orang pandir yang membangunkan dan menyuruh kita ke sini?”

Tetapi, mereka segera menemukan sebuah tombak tergeletak di jalan; lebih jauh lagi, mereka melihatseseorang tergeletak kesakitan, mengerang-erang, dan beberapa langkah dari sana, sesosok tubuhterbaring diam. Keributan pun terjadi; para pelayan dikirim ke luar untuk menyelidiki apa yangterjadi, dan pelana-pelana segera dipasang.

Hidung semakin gelisah. Apakah dia telah mengambil langkah gegabah karena terburu-buru mencaripertolongan?

Kereta

Kiyomori tidak terlihat lagi. Apakah Kiyomori selamat?

Mustahil jika

Kiyomori ternyata sudah tiba kembali di rumahnya.

o0odwkzo0o

Sapi kesakitan itu berlari menyeret kereta, dan baru berhenti setelah tiba di depan sebuah tembok.

“Di manakah kita?” Kiyomori berseru.

Pengawal Kiyomori dan si penarik sapi akhirnya muncul, terengah-engah:

“Kediaman Tuan Hitachi, Tuan!”

“Ketuk gerbangnya!”

Nada panik di dalam suara Kiyomori mendorong para pengawalnya untuk menggedor-gedor gerbang.Penjaga gerbang segera membukakan pintu untuk mereka dan terheran-heran ketika si Kiyomorimemerintahkan agar

keretanya cepat-cepat dimasukkan ke halaman tanpa memberikan penjelasan apa pun. Seorangpelayan muncul dan, ketika mendengar bahwa tamu yang datang adalah tuan rumah Rokuhara, segeraberlari untuk memberi tahu majikannya.

Norimori, adik Kiyomori, langsung keluar. “Ada apa ini

… sepagi ini pula?” tanyanya dengan kesal kepada Kiyomori.

“Aku tadi berkunjung ke rumah Itogo dan mendapat serangan dari pengikut Yoshitomo ketika sedangdalam perjalanan pulang.”

“Pengikut Yoshitomo? Berapa jumlahnya?”

“Sebenarnya, hanya seorang.”

“Hanya seorang?”

“Hmm …” Kiyomori menggumam dengan malu

sebelum mulai bercerita tentang peristiwa yang baru saja dialaminya. Dia tidak pernah merasa sepanikitu. Seorang diri, Yoshihira berhasil membuatnya ketakutan setengah mati dan terguncang. Apakahyang menyebabkan kengerian luar biasa ini, pikir Kiyomori, mengorek-ngorek pikirannya.

Kepala Yoshitomo, seperti yang dilihatnya menggantung di gerbang Penjara Timur, tak henti-hentinyaberkelebatan di benaknya dalam perjalanannya pulang, dan begitu dia mendengar jeritan “putraYoshitomo”, bayangan menyeramkan itu terwujud pada wajah yang memelototinya dari balik tiraikeretanya. Seketika itu, Kiyomori percaya bahwa yang dilihatnya adalah hantu Yoshitomo yanghendak membalas dendam kepadanya.

Masih ada penjelasan mengenai peristiwa menegangkan itu: dia baru saja menyelesaikankunjungannya kepada Tokiwa dengan kebanggaan atas penaklukannya, namun di lubuk

hatinya yang terdalam, terdapat rasa bersalah yang menghadirkan arwah Yoshitomo ….

Norimori mempersilakan kakaknya masuk dan menanyainya dengan curiga.

“Mengapa kau ketakutan gara-gara Yoshihira seorang?

Bukankah kau membawa cukup banyak pengawal?”

tanyanya.

“Pasti ada yang salah denganku,” Kiyomori mengakui.

“Apa kau baru saja minum?”

“Tidak, tidak setetes pun.”

“Dari manakah dirimu?”

“Dari rumah Itogo.”

“Dari rumah Itogo? Tapi, Itogo pergi malam ini.”

“Karena itulah aku pulang, dan Yoshihira menyerangku.”

“Oh … ?” jawab Norimori, namun ekspresi mengejek di matanya menambahkan, “kau pastiberbohong. Aku sudah tahu tentang kunjungan-kunjungan kepada Tokiwa.”

Sementara itu, Hidung, yang akhirnya berhasil melacak keberadaan Kiyomori, tiba di rumahNorimori.

Segera setelah Hidung datang, Kiyomori bangkit untuk menyambut dan menanyainya dengan cemas,“Bagaimana nasib bajingan itu?”

“Dia melarikan diri,” jawab Hidung. Begitu mendengar kabar ini, Kiyomori buru-buru bersiap-siapdan mengatakan bahwa dia akan menggunakan keretanya lagi. Bamboku langsung keluar untukmemastikan bahwa kereta Kiyomori telah siap digunakan. Norimori memandang Bamboku denganjijik. Dia tidak pernah memercayai

Bamboku, dan sebagai tindakan pencegahan, dia memerintahkan sepuluh orang pelayannya untukmenyertai Kiyomori.

Keesokan harinya, Kiyomori bangun lebih siang daripada biasanya; sementara dia mengenakankimono resminya dan bersiap-siap untuk berangkat ke Istana, dayang istrinya muncul untukmengatakan, “Nyonya berharap bisa menikmati sarapan bersama Anda dan sedang menunggu Anda,Tuan.”

Kiyomori terkejut “Sarapan? … Biasanya hanya pada malam hari … Apa yang dikehendakinya darikusepagi ini?” jawab Kiyomori, mempercepat persiapannya seolah-olah berbagai urusan yang lebihpenting telah menantinya.

“Aku sudah terlambat harus segera pergi ke Istana. Ada banyak pertemuan dan urusan lainnya ….

Katakan kepada nyonyamu bahwa aku akan menemuinya nanti malam.”

Kiyomori memerintahkan agar keretanya dibawa ke beranda depan, lalu terburu-buru pergi. Memangbenar bahwa dia semakin sibuk. Kehadirannya di Istana biasanya menandakan bahwa para pejabattinggi atau rekan sejawatnya menantikan nasihat persetujuan, dan keputusannya. Kekagumansekaligus rasa penasaranlah yang mendorong para pejabat istana untuk mendekatinya.

Kalangan istana baru-baru ini menawarkan kenaikan jabatan kepada Kiyomori, yang dahulu pernahditolaknya, dan sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Kiyomori memegang pengaruh besar bagijalannya pemerintahan.

Pengaruh baru mulai terasa sejak masa ayahnya, Tadamori, ketika seorang samurai yang mendudukijabatan Kiyomori di Istana akan memancing kedengkian para bangsawan dan mendatangkankebencian. Kepercayaan diri Kiyomori juga mencerminkan perubahan itu. Kiyomori

adalah era baru; tidak ada keputusan yang bisa diambil tanpa melibatkan dirinya dan kesimpulan yangditarik tanpa menunggu persetujuan darinya. Kaum samurai, dengan kata lain, memegang kekuasaan,dan kata-kata Kiyomori menentukan kelangsungan hidup negara.

Fujiwara Koremichi, yang dikenal berpihak kepada Heikl, diangkat sebagai Perdana Menteri padamasa itu, dan Kiyomori, yang meletakkan kepercayaan kepadanya, bersikeras agar pengambilansemua keputusan penting diserahkan kepada Koremichi. Penunjukan itu juga memuaskan Kiyomorikarena putri sang perdana menteri baru adalah Nyonya Shimeko, mantan majikan Tokiwa.

“Saya senang melihat bahwa Anda baik-baik saja.”

Kiyomori terperangah mendengar ucapan ini ketika dia tanpa sengaja berpapasan dengan Koremichi disalah satu koridor Istana.

“Apa maksud Anda?” tanyanya dengan kaget

“Anda kelihatannya tidak memusingkan kejadian itu.

Sebenarnya, itulah ciri khas Anda. Saya dengar Anda diserang oleh salah seorang Genji semalam.Begitulah kabar burung yang terdengar oleh saya.”

“Ah? Ya, tentu saja, itu,” jawab Kiyomori.

“Tepat”

“Jadi, kabar itu sudah tersebar di Istana, ya?”

“Ya, semua orang terkejut ketika mendengar bahwa penyerang Anda adalah Genji Yoshihira. Andasebaiknya lebih berhati-hati jika bepergian pada malam hari,”

Koremichi menambahkan dengan tatapan penuh arti.

“Malam-malam musim semi, Anda tahu … tidak tertahankan.” Kiyomori tertawa, namun peringatan

Koremichi mencemaskannya, sehingga dia langsung pulang malam itu, hanya untuk mendapatkansemburan dari Ibkiko.

“Ah, di umurmu yang setua ini pula! Aku harus memintamu untuk tidak mengulanginya lagi …mengendap-endap keluar pada malam hari melalui gerbang belakang taman mawar!”

“Kapankah aku pernah … ”

“Apakah kau berpikir bahwa aku tidak tahu apa-apa?

Apakah kau mengira bahwa Shigemori dan adik-adiknya, para kepala keluarga kita, para pelayan dananggota rumah tangga mereka, juga para pejabat di Istana tidak tahu apa-apa?”

“Tapi, apa hubungan semua itu denganku?”

“Bagaimana mungkin kau berlagak pilon seperti itu.

Dengan semua orang yang memandangmu sebagai penguasa Rokuhara, aku benar-benar tak mengertibagaimana kau bisa berkelayapan setiap malam bersama si brengsek Hidung Merah itu untukmengunjungi janda musuhmu. Tidakkah kau menyadari betapa memalukannya itu? Aku tidakmengatakan ini karena aku cemburu.”

“Ya, makin hari kau makin mirip dengannya.”

“Apakah kaupikir aku sedang bercanda?”

“Tidak, aku menanggapimu dengan bersungguh-sungguh, dan karena itulah aku menghela napas. Jikakau menjadi semakin mirip dengan ibu tiriku, ke mana lagtkah aku bisa mencari kedamaian?”

“Aku tidak keberatan jika kau memelihara seorang gundik di paviliun belakang, atau di tempat lain dilingkungan ini. Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh

seorang istri jika suaminya menyukai orang lain. Tapi, dari semua wanita yang ada … jandaYoshitomo!”

“Cukup. Aku mengerti.”

“Aku tidak akan mengatakan apa-apa lagi jika kau mau berjanji untuk tidak mengulangi perbuatanmu.Tapi, bagaimana mungkin kau mengharapkanku untuk tetap tenang jika aku mendengar bahwa salahseorang Genji mencoba membunuhmu?”

“Ah, jadi kau pun ternyata salah satu dari istri-istri berbudi pekerti mulia itu …. Aku mulaimendambakan wanita semacam Perempuan Gion.”

“Apa yang baru saja kaugumamkan sendiri itu? Jika kau tidak menganggapiku dengan serius, aku akanmengundang ibu tirimu kemari agar beliau bisa menasihatimu. Beliau bisa memutuskan apakahpermintaanku ini masuk akal atau tidak.”

“Jangan, aku memohon dengan tulus, demi seluruh dunia ini, jangan panggil beliau kemari.”

“Kalau begitu, kau akan menghentikan pertemuan diam-diammu dengan Tokiwa, bukan? Dan kautidak akan keberatan jika aku berbicara sendiri dengan Itogo dan Bamboku?”

“Terserah kau saja,” jawab Kiyomori dengan kesal.

Malam itu, Kiyomori duduk di dekat jendela kamar istrinya, dengan wajah cemberut memandangbulan yang berselaput awan. Dia baru saja mendapati sesuatu yang mengejutkannya: Tokiko, yangtelah begitu lama disibukkan dengan pengasuhan anak-anak mereka, yang jarang mempertanyakankesibukannya, ternyata menyimpan perasaan cemburu.

Keesokan harinya, Tokiko memanggil adiknya, Tokitada, ke kamarnya. Barangkali penyebabnyaadalah udara musim semi, namun Tokitada melihat bahwa wajah kakaknya bersemu merah.

“Tokitada, kuharap kau bersikap tegas kepada Itogo.

Aku sudah mendapatkan restu dari suamiku untuk melakukan ini.”

“Itogo? Apakah yang harus kulakukan kepadanya?”

“Langsung saja kukatakan, ini tentang Tokiwa. Ketiga anaknya sudah diurus, dan tidak ada alasan lagibaginya untuk tinggal di Rokuhara lebih lama.”

“Tetapi, itu tidak termasuk di dalam wewenangku.”

“Kau bertanggung jawab mengurus keamanan di sini, dan Tokiwa tentu saja termasuk di dalamwewenangmu.

Katakan kepada Itogo untuk membebaskannya, atau memasukkannya ke biara dan memastikan agardia menjalani penahbisan. Tanggung jawabmulah untuk menghentikan kabar miring ini.”

“Ah, sekarang aku mulai mengerti. Tapi, Tokiko, kau harus mengakui bahwa kau juga patut disalahkanuntuk perilaku Kiyomori.”

“Menurutmu begitu, bukan, Tokitada? Coba katakan kepadaku mengapa kau berpikir bahwa aku patutdisalahkan.”

“Baiklah, Tokiko, tanpa kausadari, kau telah menua …

membiarkan kecantikanmu memudar, dan kau tidak pernah berpikir untuk memperbaiki kerusakanyang diakibatkan oleh waktu itu agar suamimu tetap terpikat kepadamu.

Kejadian ini sedikit banyak bisa diperkirakan.”

“Ketika seorang wanita telah memiliki beberapa orang anak, wajar saja jika kecantikannya memudar.Apakah dia bersalah jika dirinya tidak lagi … menarik?”

“Tidak, Tokiko,” Tokitada tergelak, “kau tidak boleh marah-marah seperti itu. Aku berbicara terusterang kepadamu karena kau adalah kakakku. Aku hanya mengingatkanmu bahwa seorang wanita …bukan, seorang istri … harus mempelajari keanggunan baru seiring dengan pertambahan usianya, jika

dia tidak ingin dipandang dengan sebelah mata oleh suaminya.”

“Jadi, apa saranmu kepadaku?”

“Lupakanlah umurmu, dan hadirkanlah kesan yang segar dan menyenangkan.”

“Aku bukan geisha, jika itu maksudmu!”

“Nah, pikiran semacam itulah yang umum dimiliki oleh para istri penggerutu. Yang kukatakan initidak hanya berlaku bagi Kiyomori tetapi juga bagiku. Omong-omong, setelah mencapai usia empatpuluhan, seorang pria siap untuk menaklukkan dunia, namun tiba-tiba dia mendapati bahwa istrinyatampak mengenaskan di sampingnya.”

“Rupanya itulah obrolan para pria seperti kalian jika sedang berkumpul!”

“Sejujurnya, itu benar. Sepertinya semua orang mengeluhkan hal yang sama, walaupun kamimencintai istri kami, namun mereka menua dan membosankan.”

“Kalian memang mau menang sendiri …”

“Kau benar. Begitulah kaum pria, namun seorang pria harus diberi kesempatan untuk mengembangkanegonya di bawah atap rumahnya sendiri sebelum dia bisa menghadapi dunia dan menaklukkannya.Ada pepatah lama yang

mengatakan bahwa seorang pria menjadi mudah terhanyut oleh keraguan setelah dia menginjak usiaempat puluhan.

Kami sepertinya sedang memasuki tahap itu sekarang, namun Kiyomori ditakdirkan untuk melakukanhal-hal besar, percayalah.”

“Apa kau berharap aku memercayainya? Kau termasuk di antara orang-orang yang mendorongnyauntuk tenggelam dalam khayalan seperti itu.”

“Tidak, kau akan menyadarinya sendiri ketika namanya semakin termasyhur, dan kau harusmendampinginya dengan keanggunan dan tingkah laku yang sempurna, atau kau akan semakinmeredup sementara bintangnya bersinar cemerlang.”

“Cukup sudah omong kosongmu itu. Silakan tinggalkan aku sekarang.”

“Satu lagi saja.”

“Apa itu?”

“Bukankah kau sendiri yang sering mengundang Bamboku si saudagar itu kemari? Kau melakukankesalahan besar karena memercayai pria brengsek itu. Aku tahu bahwa Hidung memegang perananbesar dalam hubungan gelap suamimu dengan Tokiwa. Bahkan, pada malam ketika Yoshihiramenyerang Kiyomori, Norimori terheran-heran karena si brengsek itu ada di tempat kejadian.”

Tokitada sebisa mungkin memanfaatkan kesempatannya untuk menyampaikan pendapatnya tentang

kakaknya, dan Tokiko hanya bisa diam saat mendengarnya, menatap senyum tipis di wajah Tokitadadengan penuh kegusaran.

Pertengkaran di antara mereka terjadi dari waktu ke waktu, dan Tokiko biasanya mengalah, namunbibirnya yang

terkatup rapat kali ini menunjukkan tekadnya untuk menutup adu mulut mereka.

“Ya, aku sendirilah yang akan mengurus Bamboku.

Sementara itu, kuharap kau menemui Itogo dan mencari tahu apa yang hendak dilakukannya kepadaTokiwa.

Kuharap kau berangkat sekarang juga.”

“Terserah padamu, aku mengerti.”

“Jangan mengatakan ‘terserah padamu’ … aku ingin kau memahami bahwa itu adalah perintah darisuamiku,” tukas Tokiwa, teringat pada berbagai desas-desus tentang kecantikan Tokiwa yang taklekang oleh masa. Dirinya, sang istri yang terbakar oleh api

cemburu, menyadari bahwa dunia tidak bersimpati kepadanya tetapi kepada Tokiwa, yang kinidianggapnya sebagai pesaing.

Pada hari yang sama, Tokiko juga mengundang Hidung Merah.

“Anggap saja dirimu sudah tidak diterima lagi di sini.

Aku memerintahkan agar kau tidak lagi mengunjungi tempat ini mulai sekarang.”

“Baiklah … ” Hidung, yang biasanya berlidah tajam, menjawab dengan lirih. Kemudian, setelahterdiam sejenak, dia melanjutkan, “Apakah saya sudah melakukan sesuatu yang menyinggungperasaan Anda, Nyonya?”

‘Tanyakanlah itu kepada akal sehatmu.”

“Jika saya memang telah menyinggung Anda, tidak ada yang bisa saya lakukan kecuali memotongleher saya sendiri.”

“Lakukanlah, kalau begitu. Kau lebih tahu daripada siapa pun bahwa kau punya alasan bagus untuk itu.Aku

sudah membiarkanmu berkeliaran di sini karena menganggapmu menyenangkan, dan kaumembalasnya dengan mengambil keuntungan dariku. Kau telah mempermalukan suamiku denganmenjerumuskannya ke dalam intrik bersama Tokiwa.”

“Astaga, itu … ” Hidung tersentak kaget, menepuk kepalanya dan berusaha membujuk Tokiko. Tetapi,Tokiko telah bangkit dan menghambur keluar dari ruangan dengan kibasan marah kimononya.

o0odwkzo0o

Bab XXXI-GAGAK

Bamboku memerintah salah seorang pegawainya untuk pergi ke wilayah barat ibu kota, ke sebuahrumah peristirahatan sederhana yang dahulu dibangun oleh seorang bangsawan untuk gundiknya dankini telah terbengkalai. Si pegawai diperintahkan untuk membeli rumah peristirahatan tersebut padasaat itu juga. Hal ini terjadi hanya selang sehari dari pengusiran Hidung Merah dari Rokuhara, danpada malam harinya, rumah itu telah siap dihuni kembali. Bamboku turut sibuk mengerjakan berbagaimacam urusan rumah tangga untuk mempercepat persiapannya, termasuk menyediakan kereta sapidan gerobak untuk mengangkut peralatan tidur, perangkat dapur, perabot, dan yang semacamnya kesana. Seorang diri, Hidung menghabiskan siangnya untuk menata kebun sesuai dengan seleranya,menata sejumlah ruangan dan bahkan menyapu lantainya. Dan pada malam harinya, sekat telahdipasang di ruangan-ruangan utamanya, tirai telah digantungkan di tempat-tempat yang semestinya,bahkan sebuah altar peribadatan kecil dan meja tulis anggun

telah dipasang di salah satu ruangan yang berukuran lebih kecil.

“Wah, wah, ini hari yang sibuk! Melihat hasilnya, pekerjaan kita lumayan. Ini tentu akanmenyenangkan hatinya,” Hidung mendesah puas, mengedarkan pandangan ke sekelilingnya di bawahcahaya sebuah lentera.

Seorang pria meninggalkan keretanya bersama para pelayannya di bawah pepohonan yang cukuptersembunyi dari rumah itu. Dia adalah Kiyomori.

“Luar biasa, sungguh luar biasa! Di sini juga sangat tenang. Kebunnya pun bagus, mungil … dan adasungai yang membelahnya,” Kiyomori berkomentar seraya memeriksa keadaan rumah itu, menengokke sana dan kemari.

“Bagaimana menurut Anda, Tuan?”

“Bagus sekali, dan semuanya dirampungkan dalam waktu sesingkat itu.”

“Pujian itu, Tuan, adalah imbalan yang setimpal untuk Hidung. Saya sungguh terhina oleh perlakuanNyonya, namun Tuan justru memerintah saya untuk mengerjakan ini secepatnya dan secara rahasia. …Saya belum tidur sekejap pun selama dua hari dan dua malam terakhir.”

“Ini sudah cukup untuk sekarang. Nah. bagaimana dengan Tokiwa?”

“Kita harus menunggu hingga larut malam dan jalanan telah sepi. Saya akan memastikan agar beliaudibawa kemari pada waktu yang tepat”

“Baiklah. Aku tidak akan merisaukannya lagi. Nah, aku memercayakan kepadamu untukmenyelesaikan urusan dengan orang-orang … memberikan penjelasan dan lain

sebagainya, kau tahu. Dan pastikan agar semua kebutuhan Tokiwa terpenuhi.”

“Anda akan pergi sekarang?”

“Aku mungkin sebaiknya tidak ke sini selama beberapa waktu … banyak masalah di rumah,” ujarKiyomori dengan nada gusar, walaupun dia meninggalkan rumah itu dengan lagak riang.

Seperti yang telah diperkirakannya sendiri, Kiyomori tidak terlihat kembali di rumah peristirahatanitu. Mudah untuk meyakini bahwa kemarahan Tokiko akan berlangsung lama. Terlebih lagi,kesibukannya di Istana tidak memungkinkannya untuk keluar lebih cepat dan singgah ke rumahperistirahatan sebelum pulang ke rumahnya.

Hidung, bagaimanapun, dengan teratur mengunjungi rumah peristirahatan setiap pagi dan malam, danbertanya kepada Tokiwa tentang kenyamanan dan kesehatannya.

Untuk tugasnya ini. Hidung mencurahkan seluruh perhatiannya.

“Nyonya, apakah Tuan Kiyomori belum sekali pun mengunjungi Anda? Belum? Astaga, setia sekalibeliau ini!”

Tokiwa belum bisa melupakan Yoshitomo. Dari jendelanya, dia bisa melihat Gunung Kuratama danlangit di kejauhan, yang memayungi anak-anaknya saat ini.

Kenyamanan yang ada di sekelilingnya justru semakin membuatnya tertekan. Tidak sehari pun berlalutanpa dihabiskannya untuk berlutut di hadapan patung Kannon di ruang peribadatannya, mendoakankeselamatan anak-anaknya dan memasrahkan mereka pada perlindungan Kannon. Patung perakberukuran kecil itu dihadiahkan oleh Yoshitomo kepadanya lama berselang, ketika mereka masihberbahagia; memandangnya tidak hanya mengingatkan

Tokiwa kepada anak-anaknya tetapi juga wajah dan kelembutan Yoshitomo. Bagi Tokiwa, saattermanisnya adalah ketika dia berlutut dan berdoa.

Tetapi, ada kalanya dia terbakar oleh rasa malu dan tersiksa oleh rasa bersalah. Apakah yangmendorongnya untuk duduk dan menunggu, seolah-olah dia sedang mengharapkan kehadiranseseorang? Rumah peristirahatan itu terletak di luar sebuah hutan di dekat jalan sunyi di pinggiran ibukota, dan derak roda kereta, yang jarang terdengar, selalu mengagetkannya dan melambungkanharapannya. Jantungnya akan berdegup kencang, dia akan gelisah, lalu berusaha menenangkan dirikembali.

Jahatkah dia karena merasa seperti ini, tanyanya kepada dirinya sendiri. Kegilaan jenis apakah yangmenguasai dirinya ini? Nyeri di tubuhnya, pikiran menyiksa yang tak bisa dihindarinya? Dan seringkali, di malam-malam musim semi yang hangat, air mata membasahi bantalnya ketika hatinyamendambakan anak-anaknya dan Yoshitomo, sementara tubuhnya menantikan Kiyomori, yangdikehendaki sekaligus dibencinya.

o0odwkzo0o

“Benarkah itu, Shika?”

“Saya berani bersumpah, karena itulah saya kembali secepat kaki saya bisa membawa tubuh saya.”

Hidung mengerang, lalu mengatakan, “Bagus! Aku senang kau mengatakan ini kepadaku. Aku akanmemastikannya sendiri. Nah, tunjukkanlah jalannya.”

“Tapi, saya tidak tahu apakah kita akan bertemu dengan siapa pun sekarang.”

“Yah, kita hanya perlu melihat-lihat keadaannya,” desak Hidung, dan dengan penuh semangat, diamenghambur keluar dari tokonya di Jalan Kelima.

Bunga-bunga sakura mulai berguguran, dan ujung-ujung ranting mulai dipenuhi warna merah buahceri. Aroma khas bulan April tercium di udara.

“Di jalan kecil itu … di sana,” kata Shika, menunjuk seruas jalan di dekat sebuah lahan terbuka yangakhir-akhir ini mulai diisi oleh rumah-rumah berukuran kecil.

“Rumah keberapa dari sini?”

“Yang kelima atau keenam, tapi Anda tidak akan bisa melihat apa pun jika melewatinya. Ada pagarhidup dan gerbang anyaman ranting kecil di sana, tapi bentuknya mirip dengan rumah-rumah Heikt.”

“Ya, aku tahu …” kata Hidung, mencubit-cubit dagunya untuk berkonsentrasi.

Inilah yang didengar oleh si kepala pegawai, Shika, ketika melewati lingkungan itu: seorang prajuritbernama Rokuro, yang tinggal di salah satu rumah di sana, telah menyewakan salah satu kamarnyakepada seseorang sejak awal musim semi. Si penyewa adalah seorang samurai muda, yang bertubuhpendek namun kekar dan berasal dari suatu daerah terpencil. Dia mengatakan kepada orang-orangbahwa dirinya adalah sepupu Rokuro dari Tamba yang sedang mencari pekerjaan di Rokuhara. Diabersedia menerima pekerjaan apa pun, katanya. Sepertinya tidak ada yang salah dengan dirinya, danorang-orang tidak mempertanyakan ceritanya hingga seorang janda tua, yang bekerja serabutan dirumah Rokuro, menyebarkan cerita tentang hal-hal aneh yang terjadi di dalam rumah Rokuro.

Secara kebetulan, katanya, dia melihat sepupu Rokuro ketika dia sedang menyantap sarapannya padasuatu pagi.

Tidak ada yang aneh mengenai hal itu, kecuali bahwa dia melihat Rokuro melayani sepupunya itudengan penuh hormat; terlebih lagi, Rokuro mempersilakan sepupunya untuk menyantap hidanganterlezat, sementara dirinya menghabiskan remah-remah yang tersisa. Sebuah pemandangan luar biasadi mata seorang rakyat jelata yang senantiasa kelaparan.

Ketika mendengar tentang hal ini, Shika teringat bahwa Hidung beberapa kali menyebut-nyebuttentang pencarian terhadap si “orang pendek”. Shika pun menyimpulkan bahwa sepupu Rokuro itulahpria yang dicari oleh Hidung

… Genji Yoshihira. Dia pun segera pergi ke rumah Rokuro, memastikan kecurigaannya, dansecepatnya kembali ke toko di Jalan Kelima untuk menyampaikan kabar ini.

“Shika, tunggulah di sini. Akan mencurigakan jika kita berdua peragi ke sana.”

“Berdiri di sini juga sama mencurigakannya.”

“Berjalan-jalanlah sedikit, kalau begitu, sementara aku memeriksa rumah itu seorang diri.”

Bamboku menyusuri jalan. “Kelima … keenam … ?” Dia berhenti melangkah. Samurai adalahsamurai, tidak peduli seberapa pun miskinnya mereka, dan setiap rumah di sana dilengkapi oleh pagarhidup dan gerbang anyaman ranting kecil, walaupun tanpa papan nama. “Aku akan memeriksanya … ”Hidung berdiri dengan bimbang hingga didengarnya sebuah tawa melengking. Seorang prajuritjangkung keluar dari gerbang terdekat, diikuti oleh temannya yang lebih pendek, dan menatap Hidungdengan heran.

o0odwkzo0o

“Rokuro, apa kau melihat pria bermata licik yang berkeliaran di depan rumah itu? Apakah dia salahsatu tetanggamu?” tanya Yoshihira begitu mereka berbelok di jalan.

“Tidak, dia sepertinya tidak berasal dari daerah miskin ini. Penampilannya seperti saudagar dari salahsatu daerah pemukiman besar di Jalan Kelima atau Keenam”

“Apa yang membuatmu berpikir begitu?”

“Sikapnya dan kimono mahal yang dipakainya.”

“Apakah kau melihat hidung merahnya yang mencolok?

Dari tatapannya aku tahu bahwa dia berotak licik Kau sebaiknya berhati-hati, Rokuro.”

“Saya akan berhati-hati. Tapi, dia sepertinya tidak membuntuti kita.”

Rokuro berulang kali menoleh ke belakang hingga Hidung menghilang dari pandangannya. Tetapi,keduanya tidak memerhatikan Shika, yang berjalan ke arah mereka untuk menjawab isyarat dariBamboku. Mereka terus berjalan, menerjang kubangan air dan jalan yang becek, melewati rumah-rumah reyot para pandai besi, penyamak kulit perajin busur, pewarna kain, dan perajin pelana.

“Lihatlah, Rokuro, orang-orang itu sepertinya jauh lebih sibuk daripada sebelum perang terakhirpecah.”

“Memang benar. Kekayaan Rokuhara dan ketukan palunya terdengar hingga larut malam.”

“Persenjataan untuk pasukan Heik6?”

“Tidak diragukan lagi, apalagi sekarang, setelah Genji terusir dari ibu kota.”

Yoshihira mendadak mulai mengamati pemandangan di sekelilingnya dengan getir. Ya, pikirnya,perubahan besar-besaran telah terjadi sejak Genji terusir dari ibu kota! Segala sesuatu yang telahdiakrabinya sepertinya telah lenyap; apa pun yang dilihat dan didengarnya saat ini membuatnya putusasa. Yoshihira sendiri dianggap telah tewas ketika tersebar desas-desus bahwa dia telah ditangkap dandihukum mati. Sebenarnya, dia melarikan diri ke utara, ke sebuah desa bernama Echizen danbersembunyi hingga keadaan aman sebelum kembali lagi ke Kyoto.

Pengaruh Rokuhara terlihat di mana-mana … termasuk dalam cara bergaya dan berpakaian orang-orang. Tidak hanya di kalangan istana, tetapi juga di kalangan saudagar dan perajin yang bekerja untukRokuhara. Kehidupan seolah-olah berputar mengelilingi Rokuhara, si matahari pemberi kehidupan!Amarah Yoshihira menggelegak; melihat orang-orang yang dengan mudahnya tunduk padapemerintahan baru. Ini adalah pergolakan batin hebat pertama yang melandanya sejak dua puluh tahunkehidupannya, dan dia yakin bahwa pertikaian ini tidak akan pernah berakhir. Dunia sepertinya tidakmenarik lagi baginya, kecuali sebagai tempat untuk mengabdikan dirinya demi upaya pembalasandendam … kematian Kiyomori untuk membayar kehormatan Genji.

Beberapa saat setelah kembali ke ibu kota, Yoshihira tanpa sengaja berjumpa dengan Rokuro, mantanprajurit Yoshitomo. Rokuro menjelaskan bahwa dirinya adalah salah seorang dari banyak prajurit yangditangkap oleh pasukan Heik6, dan kemudian dipekerjakan sebagai tentara bayaran untuk Rokuhara.Sebagai wujud kegembiraan atas pertemuan itu, Rokuro menawarkan tempat tinggal kepada Yoshihiradan menasihatinya untuk menantikan kesempatan membalas dendam. Tidak lama kemudian, Rokuromendengar bahwa Kiyomori mengunjungi Tokiwa setiap malam; maka, bersama Yoshihira, dia pun

merencanakan sebuah serangan. Kendati upaya untuk merenggutnyawa Kiyomori gagal, Yoshihirayakin bahwa Kiyomori adalah sasaran yang empuk.

Seorang lagi calon pembunuh juga tengah bersembunyi

… dia adalah Konno-maru, panglima muda yang berbalik arah di tengah badai salju untuk mencariYoritomo. Setelah gagal dalam pencariannya, Konno-maru kembali ke ibu kota untuk mengawasipergerakan Kiyomori secara saksama dan mencari kesempatan untuk membalas dendam bagimendiang majikannya, Yoshitomo. Sementara itu, kasak-kusuk mengenai Tokiwa tersebar, danketidaksetiaan wanita itu memancing amarah Konno-maru.

Yoshihira dan Rokuro hendak menemui Konno-maru di sebuah kios perajin pelana. Mereka telahbeberapa kali bertemu sebelumnya di berbagai wilayah ibu kota, dan pembalasan dendam selalumenjadi topik pembicaraan datar mereka.

“Itu, Rokuro, di sana. Aku melihat kios perajin pelana.”

“Jadi, dia ada di sana, dan tengah bekerja. Apakah kita sebaiknya mendatanginya dan diam-diamberbicara dengannya?”

“Tunggu, ingatlah pesan dari Konno-maru … berlaga kiah seperti seseorang yang hendak melakukanbisnis. Si perajin pelana mungkin sudah memahaminya, tapi kita harus berhati-hati pada paramuridnya. Kita tidak boleh mengambil risiko.”

“Ya, dia sudah berulang kali mengatakannya kepada saya. Tunggulah di sini sementara saya ke sanauntuk berbicara dengannya.”

“Aku akan menunggu di sana, di belakang tempat pemujaan itu,” jawab Yoshihira, menunjuk kesebuah tempat di dekat sebuah kolam.

Sebuah tempat pemujaan kuno berdiri di tengah sebuah hutan kecil, tampak reyot dan terbengkalai.Yoshihira memandang ke sekelilingnya, pada sulur-sulur tumbuhan merambat yang menggantung dariatap tempat pemujaan, cabang-cabang pepohonan, dan kuntum-kuntum bunga mangkok keemasanyang menghiasi tepi kolam. Konno-maru datang bersama Rokuro dan hendak berlutut di hadapanYoshihira, namun Yoshihira memperingatkannya dengan tegas.

“Jaga perilakumu baik-baik, karena orang-orang bisa melihat dan mencurigai kita. Kita bukan lagimajikan dan pelayan melainkan sesama buronan. Kemari dan duduklah di sampingku.”

Yoshihira menunjuk pangkal sebatang pohon sembari berbicara. “Sudahkah kau mendengar kabarlainnya, Konno-maru?”

“Tidak ada kabar baru tentang Kiyomori, tapi tahukah Anda bahwa Tokiwa diam-diam sudahdipindahkan ke sebuah rumah peristirahatan di pinggiran ibu kota?”

“Begitulah yang kudengar, namun aku diberi tahu bahwa Kiyomori tidak pernah mengunjunginyasekali pun. Aku menantikan kesempatan untuk menyerangnya saat dia pergi ke sana.”

“Saya yakin bahwa Kiyomori telah meningkatkan kewaspadaannya semenjak peristiwa malam itu,namun kesempatan kita tentu akan datang.”

“Ya, suatu ketika nanti.”

“Penyesalan mewarnai setiap hari yang berlalu. Tidak sehari pun saya lewati tanpa memikirkan TuanYoshitomo.”

“Aku pun seperti itu setiap kali memikirkan ayahku.”

“Dan bagaimanakah menurut Anda, Tuan, tentang wanita itu, Tokiwa?”

“Ada apa dengannya?”

“Apakah kita akan membiarkannya tetap hidup?”

“Kita tidak akan membicarakan tentang dia.”

“Tidak, itu mustahil. Bagaimana mungkin kita mengabaikan aib yang dicorengkannya kepada Genjikarena dia mau menjadi gundik Kiyomori?”

“Jangan lupakan bahwa karena dirinyalah tiga orang anak selamat, Konno-maru.”

“Itulah yang dikatakan oleh semua orang, namun bagaimana kita bisa memastikan bahwa dia memangmengorbankan dirinya demi anak-anaknya? Saya meragukannya. Saya yakin bahwa ambisilah yangmendorongnya untuk melupakan ayah Anda dan berpaling kepada Kiyomori”

“Apakah yang membuatmu berpikir begitu?”

“Karena dia tidak bunuh diri dan mengikuti tuannya”

“Kau berharap terlalu banyak darinya. Dan kau juga terlalu keras menilainya.”

“Keras, memang, namun Anda juga harus ingat, Tuan, bahwa saya tumbuh dewasa denganmengabdikan diri kepada ayah Anda,” Konno-maru mengeluh. “Saya adalah pelayan kepercayaanbeliau, dan sayalah yang bertugas menyampaikan pesan-pesan dari beliau untuk Tokiwa

ketika dia masih menjadi dayang Nyonya Shimeko. Saya sering kali turut hadir ketika TuanYoshitomo menemuinya.

Saya tahu betapa Tuan Yoshitomo mencintainya

….Apakah menurut Anda saya bisa memaafkan perbuatan Tokiwa? Perang memang telah berakhir,

tapi apakah yang bisa mencegah saya dari membalas pengkhianatan Tokiwa demi mendiang TuanYoshitomo?”

“Jadi, Konno-maru, kau berniat membunuh Tokiwa?”

“Sebagai seorang wanita, saya rasa dia tidak memiliki keberanian untuk mencabut nyawanya sendiri.Jadi, saya akan membunuhnya sebagai wujud belas kasihan dan untuk menghapuskan aib yangdicorengkannya kepada Genji.”

“Tidak, tunggu,” Yoshihira buru-buru memotong,

“dengan melakukan itu, kau akan merusak kesempatanku untuk membalas dendam kepada Kiyomori.”

“Tidak, saya akan menunggu saat yang tepat Saya tidak memiliki peluang selama Tokiwa masihtinggal di rumah Itogo. Setelah Anda menghabisi Kiyomori, saya akan mengurus Tokiwa,” jawabKonno-maru dengan nada getir.

Walaupun ragu-ragu mengenai hal ini, Yoshihira dirisaukan oleh emosinya yang bercampur aduk.Mendiang ayahnya … penghinaan terhadap klan Genji, aib yang harus mereka tanggung.

“… tapi tidak secepat itu. Sasaran utama kita adalah Kiyomori. Jangan mengambil tindakan sebelumkau mendengar bahwa Kiyomori telah mendapatkan apa yang layak diterimanya.”

Yoshihira dan Konno-maru terdiam, ketika derak nyaring mendadak terdengar di atas mereka danserpihan-serpihan kulit kayu menghujani mereka. Keduanya mendongak, terkejut Seekor gagak besar,yang semula

bertengger di atap tempat pemujaan, mengepak-ngepakkan sayapnya dengan gaduh menuju cabangpohon yang lebih tinggi. Di atas atap, mereka berdua melihat sesosok pria …

seorang biksu. Sosok berjubah compang-camping itu membungkuk ke arah mereka dan tersenyum,memamerkan sebaris gigi putih di tengah-tengah janggut lebatnya. Ada kesan ramah sekaligusmengejek dalam tatapan yang sekilas dilontarkannya kepada mereka. Yoshihira, Konno-maru, danRokuro merasakan bulu kuduk mereka meremang; wajah mereka pucat pasi. Apakah si biksumendengar pembicaraan mereka? Pikiran pertama yang terlintas di benak mereka adalah membunuh sibiksu, namun seolah-olah bisa membaca pikiran mereka, sosok di atas atap itu berseru kepada mereka:

“Aku tidak punya urusan dengan ini. Gagak itulah biang keroknya. Kalian tidak perlu takut kepadaku.”

Tidak diragukan lagi, biksu itu mendengar setiap patah kata yang mereka ucapkan, karena dia dudukmenyandarkan punggungnya ke atap; si gagak sekalipun tidak akan bisa melihat si biksu yang sedangbersantai-santai di atap itu.

Yoshihira akhirnya tersenyum pahit dan memberikan isyarat kepadanya. “Biksu yang terhormat akuingin menanyakan sesuatu kepadamu. Maukah kau turun kemari?”

“Aku sedang sibuk, karena itulah aku ada di atas sini.

Jika kau hendak bertanya kepadaku, bicaralah dari sana.

Aku bisa mendengarmu dari sini.”

“Apakah yang sedang kaulakukan di atas sana?”

‘Tidak bisakah kau menebaknya? Aku sedang memperbaiki atap.”

“Memasang genting?”

“Ya, aku biksu pengembara, dan aku sudah cukup lama tinggal di tempat pemujaan tua ini. Tempat iniselalu banjir saat hujan turun. Gagak itu tentu turut mengacak-acak genting. Hari ini cerah sekali,bukan?” Si biksu tergelak.

“Aku sudah berada di sini sepagian, bekerja. Apakah yang sedang kalian lakukan di sana?”

‘Tidak apa-apa, kalian tidak perlu memberitahuku, tapi karena kita kebetulan bertemu, aku akanmemberitahukan tentang beberapa hal kepada kalian. Jangan anggap aku sebagai seorang biksu biasayang nasihatnya tidak berarti apa-apa bagi kalian, tapi kalian masih muda … sangat muda, sehinggamau tidak mau aku merasa iba. Lebih berhati-hatilah dalam menjaga nyawa kalian yang berhargaJangan lupakan bahwa masa depan masih terbentang luas di hadapan kalian.”

“Menurutmu, siapakah kami?**

“Mana aku tahu? Mengapa aku harus tahu?”

“Kau pasti telah mendengar pembicaraan kami.”

“Apakah aku seharusnya tidak mendengarkan pembicaraan kalian? Kalian sungguh ceroboh.Untunglah hanya aku yang mendengarnya … aku sama jinaknya dengan gagak tua itu.”

“Kemari, turunlah. Sangat disayangkan bahwa kau telah mendengar pembicaraan kami. Kami tidakakan membiarkanmu lolos hidup-hidup.”

Si biksu terkekeh nyaring, entah untuk mencemooh atau memperingatkan mereka. Sepasang matayang terpicing kepada para pemuda itu tampaknya memancarkan kasih sayang dan keinginan untukmelindungi.

“Aku melihatnya. Aku mengenalinya sekarang …

samurai muda sembrono yang mengejar putra Kiyomori dari Gerbang Taikenmon hingga tiba di kanal.Dan dunia telah begitu berubah sehingga dia bahkan tidak punya nyali lagi untuk menangkap gagakyang bertengger di atap ini!”

“Jika kau menolak untuk turun, kami sendirilah yang akan naik ke sana dan menyeretmu kemari.”

“Cobalah … kalian hanya akan membuang-buang waktu.

Aku mendengar pembicaraan kalian, namun rahasia kalian aman di tanganku. Sama seperti gagak itu,aku tidak berniat untuk melaporkan kalian ke Rokuhara. Simpatiku, bahkan, tertuju pada pihak yangkalah, dan karena itulah aku ingin berbicara denganmu, Anak Muda, yang masih memiliki masa depan

nan menjanjikan. Ayah dan saudara-saudaramu telah tewas dan klan Genji tercerai berai, namun untukapa kau harus menyia-nyiakan kehidupanmu? Dari dirimu akan hadir generasi-generasi selanjurnya.Jagalah baik-baik nyawamu yang berharga itu! Lupakanlah rencana tololmu untuk membalas dendam.Kau tidak bisa mengubah dunia ini hanya dengan membunuh seorang manusia. Oh, tolol, tolol sekalidirimu jika berpikir begitu!

Tidak bisakah kalian melihat bahwa wanita yang tidak berdaya itu, yang dengan pasrah membiarkandirinya tersiksa demi kasih sayangnya kepada anak-anaknya, jauh lebih berani daripada kalian?”

Ketiga pemuda di bawah pohon itu terdiam. Sinar matahari yang menerobos dari sela-sela dedaunanmenunjukkan bahwa senja sebentar lagi tiba, dan semburat merah mengambang di atas sosok mereka.

“Lihatlah, lihatlah bahwa matahari tetap bergerak sementara kita berbicara. Tidak ada yang bisamenghentikan lajunya. Doa-doa tidak akan bisa menghentikan pergerakan alam. Begitu pula dengan

kehidupan manusia. Kemenangan dan kekalahan hanyut bersama dalam arus deras kehidupan.Kemenangan adalah awal dari kekalahan, dan siapakah yang bisa beristirahat dengan tenang di tengahkemenangan? Tidak ada yang tetap di dunia ini. Kau akan mendapati bahwa nasib burukmu sekalipunakan berubah. Mudah untuk memahami ketergesaan orang-orang berusia lanjut, yang sisa harinya bisadihitung dengan jari, namun mengapa kalian yang masih muda ini tergesa-gesa padahal masa depanada di dalam genggaman tangan kalian? Untuk apa kalian menuruti nafsu angkara murka danmelakukan tindakan gegabah yang hanya akan berujung pada kematian?”

“Lihatlah kembali si gagak itu. Sudah waktunya bagi kalian para pemuda untuk mundur. Lebih baiklagi, pergilah sejauh mungkin dari ibu kota. Dan sudah waktunya bagiku untuk turun dari atap ini,”kata si biksu, beranjak dari tempat duduknya.

Ketiga pemuda itu dengan serta merta berdiri, seolah-olah tersihir oleh kata-kata yang baru sajamereka dengar, dan Yoshihira segera berlari mendekati tempat pemujaan.

“Tunggu, tunggu, kata-katamu menyentuhku. Aku akan datang kemari besok pagi untukmendengarkan petuahmu lagi. Aku akan merenungkan nasihat yang baru saja kauberikan.Tapi, biksuyang mulia, katakanlah kepada kami siapa dirimu.”

“Maafkanlah aku jika harus menolak permintaanmu; namaku adalah aibku.”

“Kau adalah manusia yang luar biasa. Hubungan apakah yang kaumiliki dengan Genji?”

‘Tidak ada. Begitu pula dengan Heik6. Aku tak ubahnya dari sosok yang kalian lihat, seorang biksupengembara.

Mari kita bertemu lagi di sini besok pagi.”

‘Tetapi, setidaknya, katakanlah kepada kami siapa dirimu.”

“Tidak. Yang kulakukan hanyalah menasihatimu agar tidak bertindak gegabah, menyadarkanmu agartidak melakukan hal bodoh seperti halnya diriku ketika seusiamu.

Ketika itu, aku bahkan lebih tolol daripada kalian semua.

Aku terbutakan oleh cintaku kepada istri pria lain dan menjadi bahan tertawaan seluruh ibu kota.Hanya kematianlah yang bisa menghapuskan perasaan bersalahku, namun aku telah menghabiskanbertahun-tahun di Air Terjun Nachi, menebus dosaku.”

“Kau? Kalau begitu, kau adalah Mongaku!” Yoshihira berseru, mendongak agar bisa melihat denganlebih jelas.

Namun sia-sia saja, karena Mongaku telah lenyap. Hanya ada seekor gagak yang bertengger di puncakatap, menyelisik bulunya dan sesekali menengok ke arah bintang-bintang di langit senja.

o0odwkzo0o

Ketiganya beranjak dari tempat itu, diam dan larut dalam pikiran mereka masing-masing, hinggaYoshihira tergugah oleh pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu benaknya. Mengapa kata-kata sibiksu menggentarkannya?

Mengapa dia membiarkan dirinya tergiur sejenak oleh saran-saran yang tidak masuk akal itu?Bagaimanapu, dia tidak bisa menyangkal bahwa si biksu mengatakan kebenaran, karena manusia dansemua hal yang ada di muka bumi ini berubah dari waktu ke waktu.

“Dia benar … tidak bisa disangkal lagi. Bahkan saat kita berjalan, bintang-bintang bermunculan danmalam semakin

gelap. Konno-maru, bagaimana menurutmu? Apakah keputusanmu?”

“Keputusan saya tidak berubah. Saya agak terhanyut oleh perkataan Mongaku, namun semua ituadalah ajaran Buddha aliran Jodo. Bagaimanapun, saya adalah seorang samurai, dan pengikut TuanYoshitomo. Untuk apa saya membiarkan kata-kata seorang biksu mengubah diri saya dalam sekejap?”

“Kau benar, kita terlahir sebagai samurai dan menyandang nama samurai.”

“Kita tidak bisa menyangkal siapa diri kita. Biarkanlah Mongaku meracau sesuka hatinya tentangalam semesta dan betapa segala hal di dunia ini senantiasa berubah.

Hidup ini pendek, dan samurai menghargai segalanya.”

“Benar sekali! Kaum samurai memiliki cara tersendiri dalam menghargai kehidupan,” bisikYoshihira, setengahnya kepada dirinya sendiri, seraya mendongak ke arah bintang-bintang. Diamendapatkan keyakinannya lagi.

Angin berembus ke keningnya ketika dia berkata dengan riang:

“Baiklah, Konno-maru, sampai jumpa lagi!”

Mereka berpisah di persimpangan. Konno-maru berjalan, namun tiba-tiba menoleh dan bertanya,“Apakah yang akan Anda lakukan besok pagi?”

“Besok pagi? Apa maksudmu?”

“Bukankah Anda tadi mengatakan akan menemui Mongaku lagi?”

“Tidak. Apa gunanya mendengarkan dia jika kita sudah menetapkan pikiran? Lebih baik kitamengintai Kiyomori.”

“Dan ada lebih banyak alasan bagi saya untuk mencamkan bahwa Tokiwa tidak boleh hidup lebihlama.

Saya akan mengurus hal itu. Sampai berjumpa lagi,” kata Konno-maru sebelum kembali ke kiosperajin pelana.

Yoshihira dan Rokuro juga pulang, mempersiapkan makan malam mereka di bawah cahaya lilin.Yoshihira membaca buku setelah kenyang, sementara Rokuro menghabiskan sisa-sisa makanannya.Sejenak kemudian, mereka mengunci pintu rumah dan bersiap-siap tidur.

Menjelang fajar, ketika embun menetes dari teritis, sosok-sosok berpakaian hitam dengan sigapmenghampiri rumah dan mengepungnya dari segala penjuru. Setelah mendapatkan peringatan dariHidung, Kiyomori memberangkatkan tiga ratus orang prajurit dari Rokuhara.

Bamboku tidak bergabung bersama mereka, namun pegawainya, Shika, turut bersama sang panglimadan memandunya ke rumah yang dijadikan tempat persembunyian Yoshihira. Keributan pecah ketikapara prajurit mengepung rumah Rokuro dan menggedor-gedor pintunya. Para tetangga terbangundengan bingung dan menjerit-jerit, “Gempa bumi!” atau “Kebakaran!” Di tengah kegaduhan,terdengar teriakan, “Kami berhasil menangkapnya!” Tetapi, para prajurit segera menyadari bahwamereka menangkap orang yang salah, karena Yoshihira berhasil mengendap-endap keluar, melompatipagar, dan naik ke atap rumah terdekat.

“Itu dia … busurku!” seru si panglima. “Lihat, dia berlari ke sana!”

Yoshihira melesat, melompati atap demi atap, dan melarikan diri di tengah situasi yang kacau balau.

Tidak sampai sepuluh hari kemudian, Yoshihira tertangkap; dia ditemukan ketika sedang tertidur disebuah

tempat pemujaan di luar ibu kota, beberapa saat setelah dia berhasil meloloskan diri dari parapengejarnya. Dia diseret ke Rokuhara dan dihadapkan kepada Kiyomori, yang disapanya dengananggukan dan ucapan lantang,

“Seandainya aku diizinkan untuk menghadangmu bersama pasukan berkekuatan tiga ribu orangprajurit, ketika kau dalam perjalanan pulang dari Kumano, aku yakin bahwa saat ini dirimu akanbertukar tempat dengan mendiang ayahku.” Kemudian, dia menambahkan dengan penuh kebencian,‘Terlebih lagi, seandainya ayahku menang, beliau tidak akan melakukan apa yang telah kaulakukan …

merebut wanita yang mencintai orang lain!”

Para pelayan dan prajurit Kiyomori menahan napas, menantikan ledakan amarah Kiyomori, yangselama ini hanya menatap pemuda itu tanpa berkata-kata. Kiyomori tidak sampai hati untukmembenci Yoshihira. Hanya secara kebetulanlah, renungnya, dia mendapatkan kemenangan di haribersalju itu. Dia juga memiliki seorang putra, dan mau tidak mau dia membanding-bandingkanYoshihira dengan Shigemori.

Pada malam sebelum Yoshihira digiring ke arena hukuman mati, Kiyomori memerintahkan agar sakeditambahkan ke dalam hidangan terakhir untuk pemuda itu.

Kisah yang kemudian beredar adalah Yoshihira menolak untuk menyentuh makanan ataupun minumanyang diberikan oleh penahannya, dan ketika para petugas memeriksa mayatnya, mereka mendapatibahwa lambungnya telah mengerut karena dia tidak sekali pun makan selama berhari-hari sejakpenangkapannya.

o0odwkzo0o

Bab XXXII-JALAN PEDAGANG SAPI

“Yomogi, Yomogi, di manakah dirimu?”

Seruas jalan di dekat gerbang menuju Jalan Keenam, yang dikenal dengan sebutan Jalan PedagangSapi, adalah sebuah jalan tembus yang diapit oleh gubuk-gubuk kumuh dan berisik oleh dengunganlalat awal musim panas. Udara cukup hangat sehingga menghadirkan keringat, dan samar-samar baukotoran manusia maupun hewan terbawa oleh angin.

“Kaukah itu, Mongaku yang baik?”

Mata tajam Yomogi melihat sosok yang bergerak di tengah kerumunan manusia. Mongaku berjalandengan sandal usangnya. Dia tidak memakai topinya ataupun membawa tongkat peziarahnya.

“Akhirnya kita bertemu lagi!”

“Ya, untuk yang ketiga kalinya.”

“Ya, aku pertama kali berjumpa denganmu di jalan dari Yamato, ketika kau sedang menangis saatmencari majikanmu, Tokiwa.”

“Kemudian, sekali lagi pada awal bulan ini di Kuil Kiyomizu, saat hari raya Kannon.”

“Ya, berkat kebesaran Buddha! Dan sudahkah kau pergi ke kapel lagi untuk mewakili majikanmu?”

“Aku harus menyampaikan doa khusus kepada Kannon, dan karena itulah aku akan pergi ke kapelselama seratus hari, dan aku baru saja memulainya.”

“Mengapa kau selalu mewakilinya? Apakah yang mencegah majikanmu pergi ke kapel sendiri?”

“Karena … ” alih-alih menjelaskan, Yomogi melontarkan tatapan heran kepada Mongaku, “bagaimanakau mengharapkanku untuk menjawab pertanyaan seperti itu?”

“Bagaimana? … ”

“Tentu saja, karena beliau takut keluar dari rumah, untuk ke kebun sekalipun. Beliau tidak inginmelihat siapa pun, atau dilihat oleh siapa pun.”

“Bisa-bisa majikanmu sakit jika terus-menerus bersikap seperti itu. Ada sesuatu yang membuatnyakhawatir setengah mati. Puisi yang pernah kutitipkan kepadamu …

apakah beliau sudah melihatnya?”

“Ya, aku memberikannya kepada beliau ketika beliau masih tinggal di rumah Itogo. Aku masih ingat,bunyinya begini … ” kata Yomogi, melafalkan puisi tersebut.

“Itu dia! Ternyata kau menghafalnya!”

“Beliau selalu meletakkannya di meja tulisnya, kau tahu.”

“Kemarilah, jangan berdiri di situ. Sekawanan sapi sedang berjalan ke arahmu.”

Mongaku menarik Yomogi ke pinggir jalan. Di belakang rumah-rumah yang berjajar di tepi jalanterdapat lahan berpagar, tempat sapi-sapi dan kuda-kuda dibiarkan merumput. Para pedagangmembawa hewan-hewan ternak mereka ke pasar hari ini. Sekawanan sapi sedang melewati mereka,ketika Yomogi tiba-tiba mencengkeram lengan Mongaku dan berusaha bersembunyi di belakangnya.

Seorang pria bertampang garang, yang menggiring berekor-ekor sapi, menatap tajam Yomogi ketikamelewatinya, lalu menoleh untuk memandangnya sekali lagi.

“Siapakah pria itu?”

“Itu adalah paman majikanku,Tokiwa …” _

“Oh, pria brengsek itu, bukankah dia yang mencoba merebut hadiah dari Rokuhara setelah menipumajikanmu dan membawanya beserta ketiga anaknya kembali ke ibu kota?”

“Dia jahat Matanya membuatku bergidik. Apakah menurutmu dia mengenaliku? Apakah yang haruskulakukan jika dia mengingatku?”

Mongaku, seorang biksu pengembara yang tidak terikat dengan biara atau kuil mana pun,menghabiskan sebagian besar waktunya di Kumano atau Air Terjun Nachi, sesuka hatinyamengunjungi berbagai kuil dari beraneka ragam aliran, dan sesekali kembali ke ibu kota. Tidakseorang pun kawannya di ibu kota pernah melihatnya selama tiga tahun terakhir, hingga Mongakumendadak muncul di Kyoto pada suatu hari dan terpana ketika mendengar bahwa teman sekolahnya,Kiyomori, telah berkuasa. Kebangkitan kekuasaan Kiyomori menghadirkan keraguan kepadaMongaku; dia mendapati dirinya menghabiskan waktu untuk memikirkan tentang hal ini; orang-orangsepertinya menyukai Kiyomori. Apakah teman sekolahnya itu akan mengikuti jejak pendahulunyayang bengis. Shinzei? Ini menggelikan, sulit dipercaya! Mungkinkah Kiyomori, si pemudabertengkorak tebal, seperti sebutan mantan teman-teman sekolahnya, menjadi orang nomor satu dinegeri ini?

Mengherankan sekali bahwa prestasi Kiyomori bisa melampaui dirinya! Tetapi, Mongaku tidak bisamenyembunyikan kepuasannya ketika melihat bahwa kaum samurai yang semula dibenci sekarangdianggap berkedudukan setara oleh para bangsawan.

“Mongaku yang baik, ke manakah kau hendak pergi?”

tanya Yomogi, masih memegangi lengan Mongaku erat-erat. Dia mengedarkan pandangan ketakutanke arah kerumunan orang di dekat mereka.

Mongaku tertawa. “Kau masih ketakutan gara-gara pedagang sapi itu, ya?”

“Aku takut dia akan membuntutiku … aku mengkhawatirkan majikanku.”

“Kesetiaanmu kepada majikanmu sama seperti Asatori, kawanku.”

“Asatori … si juru kunci Mata Air Dedalu?”

“Ya. apa kau masih ingat ketika kau sering meminta air kepadanya?”

“Aku kerap memikirkan apa jadinya dirinya.”

“Dia tinggal di sini, di dalam sebuah gubuk kecil yang reyot”

“Wah, aku tidak tahu tentang itu! Apakah kau yakin?”

‘Tahun lalu, dia menyeberang ke Shikoku untuk mengunjungi majikannya di tempat pengasingannya.Aku kadang-kadang bertemu dengannya di jalan, sedang memainkan serulingnya. Seorang teman yanganeh.”

“Oh tidak, dia baik sekali. Dia selalu bersikap baik kepadaku, kepada semua orang.”

“Berapakah umurmu ketika itu?”

“Dua belas.”

“Jadi, sekarang umurmu enam belas?”

“Ya, enam belas …” jawab Yomogi, mendadak tersipu-sipu malu. “Apakah kau hendak menemuinyasekarang?”

“Tidak, aku akan berdoa di makam seorang wanita tua yang pernah kukenal.”

“Siapakah wanita tua itu?”

“Banyak sekali pertanyaan yang kauberikan kepadaku! …

Wanita tua itu adalah ibu Kesa-Gozen.”

“Dan siapakah Kesa-Gozen?”

“Kau tidak akan tahu. Kau belum lahir waktu dia masih hidup. Ibunya bunuh diri ketika Kesa-Gozenmeninggal, dan aku, yang tidak layak hidup, ternyata justru masih hidup. Doa yang kupanjatkan setiaphari, dan ziarah yang kulakukan ke makamnya setiap bulan tidak cukup untuk menghapus rasabersalahku. Aku harus melakukan kebaikan di dunia ini sebelum bisa mengharapkan pengampunan.Yomogi, katakanlah kepadaku tentang apa yang sebaiknya kulakukan.”

“Aku tidak memahami ucapanmu, Mongaku yang baik.”

“Tidak, aku yakin kau memang tidak mengerti. Aku berbicara kepada diriku sendiri. Mari kitamencari Asatori sambil meneruskan obrolan kita. Aku tidak tahu apakah dia mau ikut atau tidak.”

Keduanya menyusuri jalan yang kotor oleh sampah dan berbau busuk, menerjang kerumunan lalatyang beterbangan ke sana kemari dan anak-anak yang senantiasa menghalangi langkah mereka …anak-anak dengan mata merah atau badan berkoreng; tidak ada seorang pun di sana yang terbebas dari

berbagai macam wabah atau penyakit kulit, dan dari gubuk-gubuk kumuh di sekitar mereka,terdengarlah raungan orang-orang mabuk dan jeritan pasangan-pasangan yang sedang bertengkar.

“Aku yakin inilah tempatnya,” kata Mongaku, berhenti di depan salah satu gubuk. Batu-batudifungsikan sebagai pemberat di atap gubuk itu, teritisnya miring ke sana kemari, dan lapisan semendi dindingnya telah mengelupas

di sana-sini, memperlihatkan rangka anyaman bambu di bawahnya. Tetapi, sebuah tikar jeramimenggantung di pintu; beberapa rumpun rumput galah dan tanaman lainnya tumbuh di bawah jendela.Sepertinya seseorang telah menyapu bagian depan gubuk.

“Apakah Asatori ada di rumah?” Mongaku berseru, mengangkat tirai seraya melangkah ke dalam.Seorang pria sedang duduk di dekat jendela, membaca sebuah buku yang diletakkan di atas peti kayu.Dia menoleh.

“Ah, silakan masuk, silakan masuk!” serunya, menatap Yomogi, yang berdiri di belakang Mongaku.Asatori membelalakkan mata dengan takjub. Mereka tidak pernah berjumpa lagi sejak pertemuanterakhir mereka di reruntuhan Istana Mata Air Dedalu. Betapa masih ada kenangan indah dan hangatyang mereka miliki di tengah kekerasan dan kebrutalan dunia!

“Astaga, Asatori, aku tidak tahu bahwa kau tinggal di sini!”

“Kau sudah besar, Yomogi! Aku hampir saja tidak mengenalimu.”

“Kau juga telah berubah, Asatori. Kau kelihatan lebih tua.”

“Apakah aku banyak berubah?”

“Tidak juga. Apakah kau masih menjadi juru kunci Mata Air Dedalu?”

‘Tidak, namun di dalam hatiku, aku masih seorang juru kunci hingga ajal menjemputku.”

“Ya, dan itu mengingatkanku akan perkataan orang-orang tentang Istana Mata Air Dedalu. Katamereka, alunan musik misterius terdengar setiap malam dari sana,

dan arwah Kaisar yang terasingkan bergentayangan di antara pepohonan. Orang-orang takutberkeliaran di dekat tempat itu.”

“Dan rumah majikanmu tidak terbakar ketika itu, namun perang terakhir pasti telahmembinasakannya?”

“Ya, tidak hanya terbakar, tapi kami harus melarikan diri untuk menyelamatkan nyawa kami.”

“Hidupmu pasti sangat berat”

“Bebanku tidak seberapa jika dibandingkan dengan majikanku dan anak-anak beliau.”

“Aku mendengar banyak gosip dari seorang pedagang sapi … Tomizo, seorang tokoh penting di sini.”

“Oh, kau mengenal pria jahat itu, Asatori?” tanya Yomogi, bergidik.

Keduanya melanjutkan obrolan mereka dengan penuh semangat lupa bahwa Mongaku ada di sana.Karena tidak tahu harus melakukan apa, Mongaku mengambil buku yang tengah dibaca oleh Asatoridan mulai membuka-buka halamannya. Dia penasaran … apakah yang sedang dilakukan oleh Asatoridengan buku tentang obat-obatan?

Mongaku mengeluarkan satu demi satu buku dari dalam peti. Semuanya membahas tentangpengobatan. Selama ini Mongaku telah menganggap Asatori sebagai seorang pria aneh, namunternyata dia lebih aneh daripada yang diduganya. Apakah yang sedang direncanakan oleh Asatori saatini? Dia adalah seorang pemain musik istana yang beralih pekerjaan menjadi juru kunci Mata AirDedalu; dia juga pernah mengejutkan Mongaku dengan menceritakan bahwa dirinya bergabungdengan rombongan pertunjukan boneka jalanan; dan sekarang dia sedang belajar tentang

obat-obatan. Mongaku kesulitan menyembunyikan keheranannya.

“Apakah kalian berdua sudah selesai mengobrol?” tanya Mongaku, terkekeh.

“Maafkan kami, Mongaku, karena mengabaikanmu.”

“Asatori … ” “Ya?”

“Apakah kau sedang mempelajari ilmu pengobatan?”

“Ya, aku melakukannya jika memiliki waktu.”

“Kalau begitu, kau tidak akan menjadi dalang pertunjukan boneka?”

“Tidak, tidak, aku akan menjelaskannya kepadamu. Aku tidak akan bisa mencari uang dengan menjaditabib, jadi aku tetap memainkan serulingku untuk pertunjukan boneka dan memberikan pelajaranmemainkan lonceng dan genderang. Bahkan, aku melakukan banyak hal untuk menyambungkehidupanku.”

“Hmm … kau memang memiliki banyak sisi”

“Itu benar; ada begitu banyak hal yang kuinginkan sehingga aku selalu gelisah.”

“Mengapa kau tidak kembali ke Istana dan mengambil kembali pekerjaanmu sebagai pemain musik?”

“Jika keadaan Istana tidak seperti sekarang, aku tentu mau melakukannya.”

“Kalau begitu, apakah kau pada akhirnya akan menjadi tabib?”

“Sebenarnya, aku belum memikirkan tentang itu, namun ada sangat banyak orang yang miskin dantidak berpendidikan di sekelilingku, sehingga kupikir akan lebih

baik jika aku menjadi biksu sepertimu dan mempraktikkan ilmu pengobatan yang sudah kupelajari.”

“Hmm … aku mengerti; aku bisa menduganya darimu.

Itu adalah tindakan yang baik. dan kau orang yang tepat untuk melakukannya. Para bangsawan danorang kaya sanggup membayar tabib dan

membeli obat, namun orang miskin hanya mampu menanti ajal. Aku meragukan apakah ada seorangsaja dari seratus orang di sini yang mampu membayar jasa seorang tabib.”

“Begitulah. Aku sudah mengunjungi semua gubuk itu, dan di dalamnya bisa dipastikan ada seseorangyang sakit.

Tidak ada harapan bagi orang-orang ini. Jika mereka sudah tidak memiliki cukup makanan untukorang-orang yang masih sehat, mereka yang sakit akan dibawa ke perbukitan atau sungai dandibiarkan meninggal di sana.”

“Aku kalah darimu, Asatori.”

“Apa maksudmu?”

“Maksudku adalah kemampuanmu untuk mencintai, cintamu kepada sesama manusia. Kaumembuatku merasa sangat hina.”

“Omong kosong, Mongaku. Ingatlah bahwa aku terlahir sebagai pemain musik dan bisa memainkanhampir semua alat musik dengan baik, namun aku bukan orang berpendidikan sepertimu dan harusberjuang keras untuk memahami buku-buku ini.”

“Sepertinya kau akan sangat kesulitan jika harus belajar sendiri. Aku akan memperkenalkanmu kepadaseorang tabib baik hati yang pasti bersedia mendidikmu.”

“Betapa beruntungnya aku! Tapi, apakah kau mengenal orang yang mau menolongku?”

“Ya, seorang lulusan sekolah tabib terkenal. Beliau sudah cukup tua sekarang ini dan tinggal di rumahperistirahatannya yang terletak tidak jauh dari ibu kota.

Aku akan membekalimu dengan sebuah surat dan kau bisa mencari tahu sendiri apakah dia maumendidikmu atau tidak.”

Tanpa membuang-buang waktu, Mongaku

mengeluarkan tinta dan menulis sebuah surat pengantar.

Selagi Mongaku berbicara dengan Asatori, Yomogi duduk diam, sepenuhnya terabaikan, gelisahmemikirkan Tomizo. Dia ingin secepatnya pulang.

“Asatori bisa mengantarmu pulang,” kata Mongaku, menenangkannya. “Aku tentu saja maumengantarmu, namun aku bisa-bisa terlibat masalah dengan para prajurit dari Rokuhara. Asatori, kaumau mengantarkan Yomogi pulang, bukan?”

“Tentu saja aku mau,” jawab Asatori, dan lesung pipit pun seketika muncul di wajah cemas Yomogi.

Ketiganya keluar bersama-sama, dan Mongaku memisahkan diri di sebuah persimpangan di dekat

Jalan Pedagang Sapi.

Yomogi dan Asatori melanjutkan perjalanan, dan setibanya mereka di daerah yang sunyi, Yomogimelihat dua orang pria mengikuti mereka, namun dia tidak merisaukannya karena Tomizo tidakterlihat di antara mereka.

“Rumah yang di sebelah sana itu,” kata Yomogi, menunjuk sebuah rumah, “adalah milik majikanku.

Tokiwa.” Dia mendadak berhenti, kecewa karena perjalanan mereka ternyata pendek.

“Selamat jalan, sampai berjumpa di lain waktu,” seru Yomogi, meninggalkan Asatori dan menghilangdi balik gerbang rumah peristirahatan itu.

o0odwkzo0o

Bab XXXIII-SEKUNTUM PEONI PUTIH

Lenguhan sesekali terdengar dari sudut sebuah tanah lapang tempat pasar digelar pada siang hari.Seekor kerbau gelisah memanggil pasangannya di tengah kegelapan malam, dan jejakan kakinyamenambah kegelapan di sekelilingnya. Satu-satunya cahaya yang ada berasal dari sebuah gubuk yangdigunakan oleh beberapa orang pria untuk berjudi. Ruangan sempit itu pengap oleh asap lentera danaroma sake, dan gemerincing uang logam terdengar meningkahi suara-suara parau. Beberapa orangpedagang terlihat di antara para penggembala sapi dan pejudi ulung, berlomba-lomba menetapkantaruhan yang lebih tinggi.

Peluh mengalir di wajah serius mereka, dan mata mereka membelalak setiap kali dadu bergulir.

Tomizo menggeram. “Masih sama saja? Apa gunanya, kalau begitu? … Belum selesai juga?” Marahdan menyesali kekalahannya, Tomizo bersandar ke dinding papan tipis dan menopangkan kepala kesebuah bantal kayu. Beberapa saat kemudian, dia duduk dan meraih guci sake sembari menggumam,“Mengapa semua yang kulakukan akhir-akhir ini sia-sia. Aku tak mengerti …” Tomizo menenggaksisa sake di guci, lalu menggeleng perlahan dan mengernyitkan wajahnya; dia menepuk-nepukpahanya, tidak mampu melarikan diri dari kegelisahan yang menyiksanya. Tokiwa

adalah ujung pangkal dari rangkaian nasib buruknya, pikirnya. Dia telah bertindak bodoh denganmelaporkan tentang keberadaan Tokiwa ke Rokuhara. Dia tidak mendapatkan apa-apa dari tindakan itu… tidak sepeser pun. Lebih buruk lagi, mereka memenjarakannya dan baru melepaskannya setelahmenghajarnya habis-habisan. Dia tentu akan melawan para penyiksanya seandainya itu akanmembawanya langsung ke hadapan Kiyomori, namun itu tidak terpikir olehnya. Dan ketika diamengeluh kepada teman-temannya tentang perlakuan buruk yang diterimanya, mereka malahmengolok-oloknya sehingga amarahnya semakin menggelegak. Dia juga sudah mendengar bahwaTokiwa saat ini tinggal di suatu tempat di ibu kota, menikmati segala kemewahan dan kehormatanyang menyertai kedudukannya sebagai gundik Kiyomori.

Sake, wanita, judi … sedikit demi sedikit, seluruh harta yang dimilikinya melayang. Hewan ternakyang tersisa di peternakannya telah terjual di pasar pagi itu. Dia berjudi lagi sesudahnya untukmenebus kekalahannya, namun justru mendapati dirinya semakin terbelit utang.

‘Pinjami aku uang hingga hari pasar yang selanjutnya,”

pintanya, namun tidak seorang pun menanggapinya. “Hei, jangan menghinaku begitu! Aku punyakeponakan …

Tokiwa … dan dia lebih berharga bagiku daripada seluruh uang yang ada di situ,” geramnya sebelumberbaring kembali.

Ketika terbangun keesokan paginya, Tomizo mendapati dirinya sendirian. Dia mengusir lalat-lalatyang mengerumuni wajahnya, bangkit menguap, dan berjalan ke padang rumput yang telahbermandikan sinar matahari.

“Hei, Kame, bagaimana dengan kemarin? Bukankah aku sudah membayarmu?”

Kame, seorang penggembala sapi yang sehari sebelumnya ditugaskan oleh Tomizo untuk membuntutiYomogi dan Asatori, keluar dari salah satu kandang dan memberikan keterangan yang diminta olehTomizo.

Karena hari pasar berikutnya telah mendekat Tomizo membutuhkan uang. Dia pun berangkat kerumah peristirahatan Mibu, tempat tinggal Tokiwa. Di gerbang pelayan, dia mengumumkankedatangannya, “Aku adalah paman majikan kalian, Tokiwa. Aku datang untuk menengoknya.Katakan kepadanya bahwa aku ada di sini.”

Seorang pelayan menyampaikan pesan tersebut kepada Tokiwa Selagi Tomizo menunggu, Yomogiberjalan ke halaman sambil membawa seikat bunga dan mendadak gemetar begitu melihatnya.

“Oh, Yomogi, cantik sekali kau sekarang! Aku baru saja memberi tahu mereka tentang siapa diriku.Aku juga ingin memintamu untuk memberi tahu majikanmu bahwa aku telah datang untukmenengoknya. Hmm … kalian tinggal di tempat yang asri dan tenang.”

“Nyonya tidak ada di rumah … beliau baru saja pergi.”

“Apa?”

“Nyonya sedang tidak ada di rumah.”

“Kaupikir kau bisa membodohiku, ya?”

“Tetapi, ini benar; beliau sedang tidak ada di rumah!”

“Dasar pembohong cilik! Apa-apaan kau ini? Aku pamannya Cepat katakan kepada majikanmu bahwaaku ada di sini!” Tomizo memelototi gadis yang gemetar ketakutan itu.

Pelayan yang membawa pesan Tomizo muncul kembali, ditemani oleh seorang wanita tua. “Nyonyasudah sakit agak lama,” kata si wanita tua dengan nada datar.

“Sakit? Itu memberiku lebih banyak alasan untuk menemuinya. Aku tidak bisa pergi sebelumberjumpa dengannya,” Tomizo bersikeras, duduk di depan pintu tanpa menunjukkan tanda-tanda akansegera pergi.

Sementara itu, Yomogi menyelinap pergi. Pikiran pertama yang terlintas di benaknya adalahmemanggil Mongaku, namun dia tidak tahu ke mana dia akan mencari biksu pengembara itu.“Asatoril” adalah orang kedua yang terpikir olehnya, namun dia ragu apakah pria itu bisa menjadilawan yang seimbang bagi Tomizo. Kemudian, satu nama lagi terlintas di benaknya … Bamboku!

Yomogi segera pergi ke toko di Jalan Kelima dan menemui Hidung Merah di sana.

“Astaga, ini kabar buruk! Nyonyamu pasti ketakutan!”

seru Bamboku. Dia segera memerintahkan agar kudanya disiapkan dan bergegas berangkat ke rumahperistirahatan di Mibu.

Mendengar ringkikan kuda di gerbang, Tomizo langsung berdiri dengan waspada. Tetapi, Bambokuhanya menatapnya tanpa ekspresi apa pun.

“Hei, kamu, siapa pun dirimu … kemarilah sebentar.”

Bamboku melambai kepada si pedagang sapi; seraya menjejalkan segenggam uang ke tangan Tomizo,Hidung Merah menepuk-nepuk punggungnya. “Sudahlah, lupakan saja ini! Jangan bertingkah sepertiorang bodoh. Jika uang yang kauinginkan, kau akan mendapatkannya. Kau ingin sake, kau juga akanmendapatkannya. Langsung temui saja Bamboku di Jalan Kelima. Ya, sangat gampang jika kau

mau menemuiku,” katanya, mendadak tertawa terbahak-bahak.

Takjub karena kebaikan hati Bamboku. Tomizo berkata dengan terbata-bata, “Saya tidak bermaksudburuk …

datang kemari hanya untuk menengok keponakan saya tersayang. … Tidak akan menyampaikan kabarburuk apa pun kepadanya, namun penguasa Rokuhara

memperlakukannya dengan buruk, bukan? Ya, beliau memperlakukannya dengan sangat buruk”

Sambil menggumam tanpa arah, Tomizo menyelipkan uang yang diterimanya ke balik obi-nya danpergi begitu saja. Tetapi, sesaat setelah dia melangkah keluar dari gerbang, sebuah pekikan ngeriterdengar. Hidung, yang berdiri di bagian dalam gerbang, berlari keluar sambil menjerit-jerit danmengedarkan pandangan ke jalan. Tidak ada yang terlihat olehnya kecuali atap-atap peternakan didekat situ yang berselimut kabut di bawah langit berbintang.

“Bawalah obor … lentera juga boleh! Cepat!” Seru Hidung Merah sambil membungkuk untukmemeriksa badan Tomizo yang telah terpisah dari kepalanya. Di bawah cahaya beberapa buah lentera,dia memeriksa wilayah di sekitarnya dan melihat rumput dan batu yang basah oleh darah.

Siapakah yang telah membunuh Tomizo? Pekerjaan yang sangat rapi! Bamboku menggeleng,kebingungan. Para pelayan, bagaimanapun, saling mengangguk dan melontarkan tatapan penuh arti.Sesosok iblis … hanya iblis yang bisa melakukannya.

“Ini tidak dilakukan oleh seorang ahli pedang biasa, dan dengan pedang biasa,” gumam Bamboku.“Terlebih lagi, kepalanya hilang. … Ini urusan yang sama sekali tidak menyenangkan,” lanjutnya.Mengabaikan keributan di

sekelilingnya, Bamboku menatap lekat-lekat cahaya lenteranya. Kemudian, dia menoleh ke arah parapelayan yang berkumpul di belakangnya dan berkata, “Ya, kita akan merahasiakan kejadian ini.Majikan kalian tidak boleh mendengar tentang ini, mengerti?”

Tepat ketika itu, Yomogi pulang membawa sebuah cerita menakutkan.

“Waktu saya tiba di sungai dan hendak menyeberangi jembatan, saya merasa mendengar bebekmemercikkan air di bawah saya, namun waktu saya menunduk, yang terlihat adalah seorang pria yangsedang membungkuk untuk membilas pedangnya yang bersimbah darah, dan di sampingnya tergeletaksebuah kepala manusia! Saya terpaku di jembatan. Kemudian, dia mendongak dan memelototi saya.Mungkin sinar bulanlah yang menghadirkan kesan mengerikan, tapi saya yakin bahwa seumur hidup

saya, baru kali inilah saya melihat wajah semenakutkan itu. Dan saya langsung secepatnya berlaripulang ….Tapi, oh, saya tak bisa melupakan tatapannya!”

“Seperti apakah pakaian orang itu?”

“Dia memakai mantel berburu dan topi samurai.”

“Sepertinya dia masih cukup muda … awal dua puluhan, mungkin.”

“Semakin sulit untuk menebak-nebak,” Bamboku menggumam, bersedekap.

Ketika diberi tahu bahwa pemuda yang dilihatnya barangkali adalah pembunuh Tomizo, wajahYomogi sekonyong-konyong pucat pasi akibat ketakutan dan ketakjuban; kemudian, matanya berkaca-kaca dan air mata mengalir ke pipinya. Melihat hal ini, para pelayan yang lain memandanginya,kebingungan. “Mengapa kau menangis,

Yomogi? Dia memang paman majikanmu, tapi keadaan akan lebih baik jika dia disingkirkan dari sini.Kematian bajingan itu akan menghadirkan kebaikan kepada kita.

Majikanmu tentu akan lega jika mendengar tentang hal ini.

Tidak ada alasan bagimu untuk menangisinya.”

Tetapi, Yomogi menggeleng dan mengatakan, “Saya tidak menangisi dia. Saya pergi ke Kapel Kannonsetiap hari, dan saya yakin bahwa Kannon mendengar doa-doa saya. Saya baru sadar bahwa pemudaitu adalah penjelmaan dari Kannon, dan entah mengapa, itu membuat saya terharu.”

Bamboku, bagaimanapun, tetap duduk dengan lengan bersedekap; dia menggeleng-geleng, kesulitanmemercayai kejadian ini. Menurut cara berpikirnya, dibutuhkan lebih dari sekadar campur tanganKannon untuk mewujudkan apa yang baru saja terjadi. Perkara lain juga meresahkannya. Sekali pun,Kiyomori tidak pernah terlihat lagi di rumah peristirahatan ini sejak dia memeriksanya lamaberselang; Hidung bertanggung jawab atas Tokiwa.

Apakah yang menyebabkan perubahan sikap Kiyomori itu, pikir Bamboku, gundah. Dia juga khawatir.Tokiko memang sudah dengan jelas melarangnya menginjakkan kaki di Rokuhara, namun mengapaKiyomori menjaga jarak darinya, atau dengan kata lain mengabaikannya?

Entah bagaimana, perhitungan Bamboku sepertinya meleset. Selama pergolakan terakhir, dia telahmempertaruhkan seluruh harta, reputasi, dan bahkan nyawanya untuk memastikan kemenangan

Kiyomori. Segala upayanya tampaknya sia-sia saja sekarang. Sudah saatnya dia mendapatkan balasanatas segala risiko yang telah diambilnya. Namun seluruh rencananya sepertinya terhambat oleh urusanhubungan gelap dengan Tokiwa ini, dan hari-hari musim semi

berkelebat dengan cepat, kecemasan semakin menyiksa Hidung Merah. Dia tidak tahu kapan Kiyomoriakan mengunjunginya, dan apakah dirinya boleh mengunjungi Kiyomori … tetapi, karena dia telahdilarang menginjakkan kaki di Rokuhara, bagaimanakah dia akan menemui Kiyomori? Inimembuahkan sebuah pertanyaan lain.

Hidung mendadak tergugah dari lamunannya dan menoleh kepada Yomogi dan para pelayan lainnyauntuk menanyakan, “Apakah yang akan dilakukan oleh majikan kalian malam ini?”

“Beliau mungkin akan merapalkan ayat-ayat suci, seperti kebiasaannya.”

“Baiklah, kalau begitu, aku akan pergi tanpa mengganggu beliau. Pastikan agar tidak seorang pun diantara kalian menceritakan tentang kejadian tadi kepada beliau.”

Bamboku melangkah turun dari beranda dan memakai sandalnya, lalu berhenti cukup lama untukmengintip dari balik pagar pada nyala lentera dari dalam kamar Tokiwa.

Dia bisa melihat Tokiwa dari sela-sela kerai, duduk di balik meja tulisnya. Seperti sekuntum peoniputih, pikir Hidung, yang layu pada malam musim semi. Dia mendesah. Patut disayangkan bahwabunga secantik itu disia-siakan begitu saja ….Jika Kiyomori tidak berani datang kemari gara-garaistrinya, maka tidak ada alasan yang bisa mencegah Hidung Merah dari merebut Tokiwa untuk dirinyasendiri, pikirnya dengan gairah membara. Itu setidaknya adalah imbalan yang cukup atas semuakerepotan yang harus ditanggungnya ….

Beberapa hari kemudian. Hidung Merah berkunjung ke Rokuhara. Di gerbang yang berhadapan dengansungai, dia menyuap penjaga yang dikenalnya, lalu menantikan kepulangan Kiyomori di antarapepohonan yang rimbun.

“Tuan, saya berharap bisa berbicara sebentar dengan Anda,” panggil Bamboku ketika Kiyomorimelewatinya.

Kiyomori berhenti dan menengok ke belakang. “Kau, Hidung … kupikir kau katak besar yang hendakmenyergapku. Ternyata dirimu! Mengapa kau tidak pernah menunjukkan hidungmu itu di sini akhir-akhir ini? Dasar brengsek,” gerutu Kiyomori.

“Ini lebih daripada yang saya harapkan. Saya tidak menyangka Anda akan menerima saya dengansehangat ini,” jawab Bamboku.

Kiyomori tergelak. “Apa maksud perkataanmu itu?”

“Ini bukan bahan tertawaan. Tuan,” Bamboku mengeluh. “Anda tentu tahu bahwa Nyonya

memerintahkan saya untuk tidak menginjakkan kaki lagi di sini?” “Ulu?”

“Bagaimana mungkin saya bisa datang kemari, jika begitu? Dan siapakah yang menjadi alasan bagilarangan itu, jika saya boleh bertanya, Tuan?”

“Tolol! Perintah Tokiko tidak ada hubungannya denganku, jika Tokiko melarangmu kemari, janganmasuk melalui gerbang perempuan lagi, Tolol!”

“Tetapi, beliau menekankan kepada saya bahwa perintah itu berasal dari Anda.”

“Aku memberikan perintah semacam itu? Wanita selalu mengatakan apa pun yang mereka mau. Kaucukup berhati-hati agar dia tidak melihatmu. Nah, kau tidak kemari selama sebulan terakhir dan tidakmengabarkan tentang keadaan Tokiwa kepadaku. Dasar manusia tak berguna!

Dasar bajingan pemalas dan pengecut!”

“Ah, ternyata keresahan saya sia-sia saja. Anda ternyata jauh lebih pemaaf daripada yang saya sangka.Tuan!”

“Aneh juga, untuk orang selancang dirimu. Katakan kepadaku, apakah Tokiwa baik-baik saja? Diasehat dan hidup nyaman di rumah itu, bukan?”

Walaupun diucapkan dengan nada bercanda, pertanyaan Kiyomori tentang kabar Tokiwa sarat denganemosi. “Ada hal lain yang harus kusampaikan, tapi sebaiknya kita masuk terlebih dahulu,” katanya,mempersilakan Hidung memasuki kamarnya. Kemudian, Kiyomori pun mulai bertanya lebih banyaktentang Tokiwa, seolah-olah berusaha mencari ketenangan dari jawaban-jawaban Bamboku. Kendatibegitu, Bamboku bisa merasakan bahwa bukan larangan Tokiko, melainkan sesuatu yang lebihpentinglah yang menghalangi Kiyomori mengunjungi Tokiwa. Sudah jelas bahwa tugas-tugas Istanahanya menyisakan sedikit waktu baginya untuk mengurus kepentingan pribadinya. Untuk menjelaskantentang kesibukannya akhir-akhir ini, Kiyomori menceritakan bahwa seorang panglimanya baru sajakembali dari sebuah ekspedisi melawan gerombolan perompak dan berhasil menangkap si kepalagerombolan. Kiyomori menanyai si perompak secara panjang lebar dan terpesona dengan luasnyapengetahuan mengenai dunia luar. Dari si perompak pulalah Kiyomori mendengar kisah tentangperadaban Sung yang menakjubkan.

Saat ini, Kiyomori tengah terpikat oleh sebuah cita-cita, yang bukan sekadar angan-angan, untukmelakukan perdagangan. Dia yakin bahwa dirinya akan berhasil … dia telah menyusun sebuah rencanauntuk menyebarkan kesenian dan kesusastraan melalui perdagangan dengan Cina. Impian ini semakinberkembang, mendorongnya untuk mengabaikan kemarahan Tokiko, dan bahkan

membuatnya hampir melupakan Tokiwa. Rencana itulah yang saat ini menghabiskan waktunya, dannafisu birahinya untuk sejenak menguap dan lenyap.

Pada masa kejayaan Tadamorl, Heik6 menguasai sebagian besar tanah di bagian barat Jepang … diantaranya adalah Harima, Bingo, Aki, dan Higo … dan Tadamori secara diam-diam melakukanperdagangan dengan kapal-kapal dari Cina; tetapi, perdagangan itu hanya dilakukan dalam skala yangsesuai dengan rencana Tadamori untuk menambah kekayaan keluarganya. Sekarang, Kiyomori inginmeneruskan perdagangan dengan Cina dalam skala yang jauh lebih ambisius.

“… Seperti yang kaulihat sendiri, Bamboku, penangkapan para perompak itu tidak ternilai harganyabagiku. Lihatlah kemari, Hidung Merah, picingkanlah matamu ke seberang lautan dan bayangkanlahkeuntungan luar biasa yang bisa kita dapatkan dari berdagang di sana.”

“Pembicaraan ini berbelok ke arah yang tidak pernah saya duga. Pikirkanlah keuntungan yang akandidapatkan oleh negeri ini jika kita membawa barang-barang dari Cina.

Sedangkan saya … saya akan menjadi seorang pangeran saudagar! Tidak, saya tentu tidak akanberkeliaran ke sana kemari seperti ini lagi,” Bamboku berandai-andai.

“Tetapi, intinya adalah … ” lanjut Kiyomori, “kita harus mencari cara untuk membawa kapal-kapaldari Cina langsung ke ibu kota. Percuma saja jika mereka harus menurunkan muatan di Kyushu.”

“Betul juga. Jika tersebar kabar bahwa kapal-kapal itu membawa banyak muatan, para perompak bisadipastikan akan menghadang mereka. Karena itulah belum ada saudagar yang mau melakukanperdagangan dengan Cina dari sini. Dengan adanya pelabuhan yang bagus dan setelah

Laut Dalam dibersihkan dari perompak, kita akan bisa mendatangkan kapal-kapal kemari.”

“Nah, Bamboku, aku sudah memaparkan perkara ini kepadamu, dan untuk sementara ini, kau akanpunya sesuatu untuk dipikirkan.”

“Saya akan memikirkannya. Saya bisa melihat bahwa cita-cita ini akan membuat kita sibuk seumurhidup.

Tentunya Anda bisa menghabiskan waktu luang Anda, Tuan, untuk mencurahkan perhatian Anda kebeberapa tempat lain. Bunga yang Anda petik di pinggir jalan itu …

sayang sekali jika Anda mengabaikannya begitu saja. Anda menyuruh saya memegangnya, dan sayatidak tahu harus melakukan apa untuknya. Apakah, Tuan, yang harus saya lakukan?”

“Aku akan berbicara denganmu tentang hal itu di lain waktu.”

“Tidak sekarang? … Di lain waktu, kata Anda?”

“Ya, urusan perdagangan yang baru saja kuceritakan ini

… semua itu menyedot pikiranku; begitu pula Istana … ada beberapa masalah,

532 -tf»

kau tahu. Aku tidak tahu apakah aku akan bisa membereskannya dengan cepat.”

“Baiklah, jika begitu, malam ini saya bisa dengan santai menyampaikan ucapan Anda kepadanya,bukan?”

“Kau sudah memastikan bahwa dia tidak membutuhkan apa-apa?”

“Saya sendiri yang mengurus semua keperluannya.”

“Aku akan mengirim puisi untuknya seandainya aku dikaruniai bakat menulis seperti ayahku ….Tidak ada darah pujangga yang mengalir di tubuhku.”

“Ah, tidak, jika saya boleh mengatakannya. Tuan, Nyonya pernah menunjukkan kepada saya sebuahpuisi dari Anda. Saya masih ingat … bagaimana bunyinya? …”

“Sudahlah, jangan bicarakan soal puisiku …. Bersama bulan Mei hujan akan turun, dan kau sebaiknyamenjaga kesehatanmu.”

“Apakah itu pesan yang harus saya sampaikan kepadanya?”

“Kau memang lancang! Mengapa kau harus mengulangi apa yang sudah kaupahami?”

“Maafkan saya. Tuan, jika saya memberikan satu lagi pertanyaan kepada Anda. Benarkah bahwa sayaboleh datang kemari sesuka saya seperti dahulu?”

“Datanglah kapan pun kau mau,” jawab Kiyomori sebelum menambahkan, “tetapi jangan sampaiTokiko tahu.”

o0odwkzo0o

Bab XXXIV-SEBUAH PATUNG PERAK

Pada suatu pagi buta di bulan Mei, ketika deretan bukit dan lembah masih berselimut kabut putih,Yomogi berdiri di luar rumah Hidung yang masih tertutup rapat di Jalan Kelima.

“Apakah yang sedang kaulakukan di sini sepagi ini,”

Bamboku, yang masih memakai kimono tidurnya, menatap

dengan mata nyalang kepada Yomogi dari ujung kepala hingga ujung sandalnya yang basah olehembun.

“Maafkan saya karena datang sepagi ini, namun saya mendengar sebuah kabar buruk.”

“Kau selalu datang kemari dengan membawa kabar terburuk. Ada apa sekarang … pagi ini?”

“Kejadiannya kemarin, waktu saya hendak pulang dari kunjungan rutin saya ke Kuil Kiyomizu.”

“Kau masih rutin pergi ke kuil, ya? Gadis baiki”

“Dan sepulangnya saya dari sana, saya mendapati Mongaku tengah menunggu saya di kaki bukit.”

“Mongaku … biksu berjanggut itu, ya?”

“Ya, dia akan pergi ke Air Terjun Nachi lagi bulan ini dan baru akan kembali ke ibu kota saat musimgugur, dan dia juga akan berziarah ke Kishu.”

“Sejak kapankah kau mengenal pengembara itu? Kau sebaiknya berhati-hati kepadanya. Kudengar diamenyebarkan cerita bahwa dirinya pernah menjadi teman sekolah Tuan Kiyomori dan tidak pernahmengatakan yang baik-baik tentang beliau.”

“Tetapi, dia orang baik. Dia selalu berbuat baik kepada kita.”

“Biarpun begitu, kau tetap harus berhati-hati. Jadi, ada apa dengan si Mongaku ini?”

“Karena dia hendak pergi ke Kishu untuk waktu yang cukup lama, kami mengunjungi seorang temankami …

Asatori. Dan, waktu kami sedang mengobrol ke sana kemari, aku menceritakan kepadanya tentangpemuda yang kulihat sedang membilas darah dari pedangnya di sungai, dan Tomizo yang kepalanyaterpenggal …”

“Hmm … lalu?”

“Lalu, Mongaku terkejut dan memperingatkan agar kita berhati-hati. Dia juga mengatakan bahwasesuatu yang mengerikan akan menimpa majikan saya nanti … sepertinya itu adalah ramalannya.”

“Apa maksudnya mengatakan itu?”

“Katanya, si pedagang sapi itu bukanlah orang yang diburu oleh si pemuda. Dia membunuhnya karenakebetulan semata. Begitulah menurut Mongaku.”

“Baiklah … jadi, si pembunuh itu tentu bersembunyi di sana. Benar begitu?”

“Ya, kata Mongaku, orang itu sudah bersembunyi cukup lama di kebun Nyonya atau di suatu tempat disekitar rumah.”

“Mengagetkan … benar-benar mengagetkan!”

“Tapi, Mongaku cukup yakin bahwa itulah yang terjadi.

Dia bahkan menyebutkan nama orang itu kepada saya.”

“Siapakah namanya?”

“Saya tidak boleh mengatakannya kepada Anda.”

“Saya sudah berjanji kepada Mongaku untuk tidak menyebutkan namanya kepada siapa pun. KataMongaku, sayang sekali jika namanya diketahui dan para prajurit Rokuhara menangkapnya.”

“Apakah kau kemari sebagai pembawa pesan Mongaku atau suruhan majikanmu? Apakah yangmendorongmu untuk datang kemari?”

‘Tunggulah sampai saya selesai bercerita, jangan membentak-bentak saya seperti itu!”

Yomogi adalah lawan yang sepadan bagi Hidung, yang gampang marah pada pagi hari, dan ceritatentang penjelasan Mongaku meluncur deras dari mulut gadis itu.

Nama pemuda itu, dia bersikeras, harus tetap dirahasiakan; dia adalah seorang pelayan Gen j i yangtelah bersumpah untuk membalaskan dendam tuannya dengan cara membunuh Ibkiwa. Pemuda itutelah lama mengintai Tokiwa; dia bahkan bersembunyi di kebun di luar kamar Tokiwa, namunnyalinya melayang ketika dia akhirnya melihat calon korbannya. Mongaku telah berjanji kepadaYomogi untuk mengusir si pembunuh menggunakan sebuah mantra yang ditulisnya di atas selembarkertas. Dia memberikan kertas yang telah terlipat rapi itu kepada Yomogi dan dengan saksamamemerintahkannya untuk menggantungkannya di tempat yang terlihat di pagar kebun.

Dia meyakinkan Yomogi bahwa jika kertas itu lenyap pada malam hari, maka mereka tidak perlukhawatir lagi. Hingga saat itu tiba, Mongaku berulang kali memperingatkannya, mereka harusmelakukan apa pun untuk melindungi Tokiwa. Yomogi kemudian pulang dan melaksanakan perintahMongaku, mengikatkan kertas itu ke batang bambu di pagar utara rumah, yang jarang dilewati orang.

“… Dan saya tidak bisa memejamkan mata sesaat pun semalam, memikirkan apakah kertas itu akantetap ada di sana atau tidak pagi ini.”

Yomogi berhenti bicara, walaupun dia sepertinya masih ingin bercerita, namun Bamboku telahberhasil menebak siapa pemuda itu.

“Dia pasti Konno-maru. Dia sudah lama bersembunyi di ibu kota bersama Genji Yoshihira.”

“Oh, bagaimana Anda bisa tahu?”

“Siapa yang tidak tahu? Dan mantra Mongaku … apakah masih ada di sana pagi ini?”

“Mantra itu sudah hilang.”

“Seperti yang kuduga …”

“Tapi, ada mantra lain yang menggantikannya.” Yomogi mengeluarkan selembar kertas dan dengancemas menatap Bamboku ketika pria itu membacanya.

Bamboku mengernyitkan keningnya dan membacanya beberapa kali. Tulisan tangan di kertas itu, yangbasah oleh embun, nyaris tidak terbaca.

“Apakah katanya?”

“Sepertinya ini adalah jawaban untuk mantra Mongaku.”

“Bagaimana dengan sihir yang kata Mongaku akan bekerja?”

“Apa! Kau percaya bahwa kata-kata si biksu akan mendatangkan sihir? Sepertinya dia malahmenyemangati pembunuh itu.”

“Oh, ini menakutkan ….Apakah yang akan kita lakukan, Bamboku, Tuan? Katakanlah kepada saya,Hidung … ”

“Hm? Dengan nama apa kau memanggilku?”

“Tidak ada. Tuan, saya hanya … ”

“Kau memang gadis berotak udang! Inilah jadinya jika kau berteman dengan Mongaku. Kejadian inisemestinya memberikan pelajaran untukmu!”

“Tetapi, jika bukan karena Mongaku, kita tidak akan tahu tentang orang jahat yang ingin membunuhmajikan saya ini … ataupun namanya. Sekarang, jika saya … ”

“Bah, ocehanmu itu! Kita semua tahu betapa kau menyayangi majikanmu, tapi kau seharusnya janganterlalu cerewet”

“Mau tidak mau saya terus khawatir …. Saya tidak tahu akan melakukan apa lagi untuk meredakankekhawatiran saya.”

“Bagaimana kau akan tahu? Otakmu tidak lebih besar daripada otak burung gereja! Kembalilahkepada majikanmu dan hentikanlah ocehan mu itu!”

? ??

Penasihat Kiyomori diam-diam bermalam di Istana untuk menghadiri sebuah pertemuan rahasia yangberlangsung hingga pagi hari. Dia berhasil mencuri-curi tidur selama beberapa jam, dan sedangberjalan kembali ke aula Istana ketika seorang pejabat istana melihatnya dan bergegasmenghampirinya untuk menyampaikan sebuah pesan yang ditinggalkan di Pos Pengawal. Seseorangbernama Bamboku dari Jalan Kelima, rupanya, berharap bisa berbicara dengannya dan tengahmenantinya di perpustakaan.

“Bamboku? Apa maunya?” Kiyomori bertanya kepada dirinya sendiri dengan bingung. Masalah biasatidak akan mendorong Bamboku untuk mencarinya ke Istana dan tidak akan cukup untuk membuatnyaditerima di Istana.

Kiyomori pergi ke perpustakaan dan menemui Bamboku dan Itogo di sana.

Bamboku, yang jelas merasa istimewa karena diizinkan untuk berada di tempatnya berada ketika itu,bersujud dengan takzim dan, tanpa sikap meledak-ledak yang telah menjadi ciri khasnya. Dengansingkat, Bamboku, menyampaikan keyakinannya bahwa Tokiwa sedang

berada dalam bahaya, dan karena itulah dia memohon nasihat dari Kiyomori.

“Pemuda itu pasti Konno-maru, yang telah bersumpah akan membalas dendam kepada Heiki. Inimasalah yang sangat serius,” jawab Kiyomori. Lalu, kepada Itogo,

“Bawalah prajurit-prajurit terbaikmu ke rumah peristirahatan di Mibu, kepung tempat itu, dantangkaplah dia. Hanya ada satu tersangka … seorang pemuda.”

Sebelum meninggalkan mereka, Kiyomori

menambahkan, “Dan kau. Hidung Merah, pastikan agar dirimu terlindung dari bahaya. Jika ada apa-apa dengan Tokiwa, kaulah yang bertanggung jawab.”

Hidung membungkuk dalam-dalam.

Pada pagi itu juga, dua ratus orang prajurit di bawah pimpinan Itogo berangkat ke rumahperistirahatan di Mibu.

Itogo memerintahkan kepada para prajuritnya untuk berpencar dan menyisir wilayah di sekitar rumahselangkah demi selangkah hingga seluruh tanah yang luas itu tersapu bersih.

Mungkin saja seseorang bersembunyi selama beberapa hari tanpa mengalami kesulitan apa pun disana, di suatu tempat di dalam wilayah rumah peristirahatan … yang mencakup sebuah danau buatankecil dengan rumpun-rumpun pepohonan rimbun yang menyerupai hutan di sekelilingnya, dan jugasebentartg tanah yang dilewati seruas sungai kecil.

Para prajurit mengalami kesulitan dalam menembus rumpun-rumpun bambu dan pepohonan rimbunyang berbatasan dengan pagar rumah peristirahatan, namun selangkah demi selangkah, jaring manusiaitu menjadi semakin ketat dan mustahil untuk ditembus. Akhirnya, Hidung, ditemani oleh beberapaorang prajurit, melewati

gerbang. “Dia tidak mungkin melarikan diri lagi sekarang,”

katanya. “Aku sendirilah yang akan menggeledah rumah.

Pastikan agar Nyonya Tokiwa tidak terganggu.”

Setengah dari pasukan Itogo diperintahkan untuk menyisir bagian dalam rumah peristirahatan; merekamerangkak ke bawah rumah; beberapa orang prajurit memanjat ke atap; beberapa lainnya memeriksaisi sumur atau memanjat pohon-pohon. Kendati begitu, mereka tidak menemukan sedikit pun jejak sipembunuh. Seluruh pencarian itu sepertinya akan sia-sia saja, dan para prajurit yang kesal mulaiberkeluh kesah. Tetapi, Hidung justru melipatgandakan upayanya. Dia yang akan disalahkan untukkekacauan ini, karena dialah yang pertama kali meributkannya. Dia melampiaskan kemarahannyakepada Yomogi. “Konno-maru tidak ada di sini, bukan? Ini semua gara-gara cerita omong kosongmuitu! Lihatlah kekacauan yang sudah kaubuat!” raungnya ketika mereka berpapasan di ruang pelayan.

“Sudah, sudah, Hidung.” seorang prajurit yang berdiri di dekat mereka berkata dengan jengkel, “untukapa kau menyemprot gadis malang itu? Mari kita tutup hari ini. Lagi pula, para prajurit belum makan…”

Itogo, yang telah letih, meninggalkan dua puluh orang anak buahnya untuk menjaga rumahperistirahatan.

Sekali lagi, Hidung memikirkan keseluruhan perkara ini.

Dialah yang harus melaporkannya kepada Kiyomori.

Dengan kesal, dia pun mengalihkan perhatian kepada Yomogi. “Dengar, sampaikanlah pesanku inikepada nyonyamu. Katakanlah kepada beliau bahwa kamu menyesal karena telah mengganggunya danmenyebabkan kekacauan yang tidak diperlukan ini. Kami telah menempatkan penjaga baik di dalammaupun di luar rumah, jadi beliau tidak perlu mengkhawatirkan

kemungkinan adanya penyusup. Penyisiran menyeluruh telah dilakukan, dan beliau bisa percayabahwa tidak ada orang asing yang bersembunyi di sini. Kau mengerti, bukan, Yomogi?”

“Ya, saya akan menyampaikannya kepada beliau.”

“Aku akan pergi ke Rokuhara sekarang.”

“Berhati-hatilah, Tuan.”

“Sampaikan pesanku kepada majikanmu tanpa membumbuinya dengan kata-katamu sendiri. Jangankatakan apa-apa lagi kepada beliau.”

“Saya benar-benar tidak secerewet yang Anda duga. Lagi pula, siapakah yang harus diam kali ini?”

“Kau mulai lagi! Mengoceh dan mengoceh …”

“Yah, baiklah, saya tidak akan mengatakan apa-apa lagi.

Saya tidak akan mengucapkan sepatah kata pun bahkan jika sesuatu betul-betul terjadi!”

‘Terserah kau saja. Lagi pula, kau tidak akan banyak berarti. Para prajurit akan berjaga-jaga di sinimulai malam ini, jadi kau tidak perlu khawatir lagi. Dan ingat, jangan mengoceh ke sana kemari lagisaat kau keluar dari sini.

Ocehanmu itu tidak berguna. Ingat itu!”

“Itu saja?” Yomogi cemberut, memalingkan wajahnya dari Hidung.

Dua batang pohon ek besar berdiri dengan cabang-cabang terentang bagaikan payung di atas sebuahlorong, yang menghubungkan salah satu sayap dengan bangunan utama dan berujung di salah satu sisihalaman dalam rumah peristirahatan. Dedaunan baru dan sisa-sisa dedaunan layu dari tahun lalusaling jalin berkelindan dan membentuk selimut tebal nan rapat. Konno-maru meregangkan badan

dan mendesah lega ketika melongok ke bawah dari dalam sarangnya. Cabang-cabang pohon yangsaling berjalin memungkinkannya untuk berselonjor atau bahkan berbaring di antara dedaunan. Diatelah bersembunyi di sana sepanjang hari sementara para prajurit Itogo melakukan pencarian. Diatelah menyusun rencana, apabila tempat persembunyiannya ditemukan, untuk melarikan diri melaluicabang pohon yang berdekatan dengan atap rumah.

Hari telah gelap, dan dia bisa melihat beberapa api unggun dinyalakan di sepanjang pagar.

Dia mengingat-ingat rangkaian peristiwa selama beberapa hari terakhir, menyalahkan dirinya sendiriatas sikap pengecutnya. Beberapa kesempatan untuk menunaikan sumpahnya telah datang, namunnyalinya menciut setiap kali dia hendak bertindak. Sekarang, dia merasa lebih mudah untukmemikirkan apa yang akan dilakukannya selanjutnya: dia akan membunuh Tokiwa malam itu jugatanpa perlu memikirkan keselamatannya sendiri. Dia menunggu hingga malam larut dan semua orangtidur. Menjelang tengah malam, Konno-maru merayap turun dari atas pohon bagaikan seekor laba-laba dan mengendap-endap ke sebuah kamar yang masih diterangi oleh nyala sebuah lentera. Diasudah menghafal denah rumah itu, dan dia tahu bahwa kamar itu ditempati oleh Tokiwa. Diamelompati langkan dan menyusuri sebuah lorong, lalu berjongkok di dekat sebuah pintu. Pintu ituterkunci. Dia bisa dengan mudah membongkar kuncinya memakai belati dan mendobrak pintu itu,walaupun keributan yang timbul bisa dipastikan akan mendatangkan para pelayan dan prajurit; tetapi,sebelum mereka datang, dia tentu telah menikam Tokiwa. Apa yang akan terjadi padanya sesudah itutidak perlu dipikirkannya.

Selagi pikiran itu berkecamuk di benaknya, sebuah suara mengejutkannya.

“… Siapa di situ?”

Itu adalah suara seorang wanita. Cahaya memancar dari kerai yang terangkat, dan gemerisik sutraterdengar menghampiri pintu; Konno-maru cepat-cepat menjauh.

Pintu terbuka dan wajah pucat Tokiwa terlihat, diterangi oleh lentera yang dipegangnya.

“Apakah kau Konno-maru?” tanya wanita itu.

Konno-maru memekik kaget dan berdiri terpaku.

Tokiwa, bagaimanapun, tidak menunjukkan tanda-tanda keterkejutan ataupun ketakutan. Kata-katanya

yang selanjutnya meluncur dalam bisikan.

“Konno-maru, aku yakin itu dirimu … pelayan kesayangan Tuan Yoshitomo. Kemarilah … kemari …

jangan sampai orang lain mendengar pembicaraan kita,”

kata Tokiwa, melambai ke arah Konno-maru.

Tokiwa menyibakkan tirai sutra di depan pintunya dan masuk kembali ke kamarnya, diikuti olehKonno-maru, yang berjongkok di salah satu sudut kamar.

Tokiwa perlahan-lahan menutup pintu. Sumbu lentera memancarkan cahaya cemerlang; di atas mejatulis tergeletak ayat-ayat suci yang sedang disalin oleh Tokiwa.

Tokiwa mendengar tentang Konno-maru dan tujuan hidupnya dari Yomogi, namun hal itu tidakmengusiknya; dia hanya dengan tenang mengungkapkan keterkejutannya saat mengetahui bahwaKonno-maru telah selama beberapa hari berada begitu dekat darinya. Ketika Yomogi menunjukkanmantra yang diikatkan oleh Konno-maru di pagar, Tokiwa tersentuh dan berkata, “Dia adalah seorang

pelayan yang baik dan setia, dan perasaannya kepadaku tidak bisa disalahkan.”

Selama beberapa waktu, keduanya hanya duduk diam dan saling memandang. Api lentera bergoyang-goyang tertiup angin.

Konno-maru tidak menemukan kesan menjijikkan di dalam sosok wanita yang duduk di hadapannya.Tokiwa, dengan rambut hitam yang terurai di atas lipatan kimono sutranya, duduk dengan tenang.Kepalanya sedikit tertunduk, seolah-olah dia tengah bermeditasi. Konno-maru merasakan tubuhnyalemas lunglai walaupun pikirannya terus berpacu. Apakah yang menahannya dari menghampiriTokiwa dan menikamnya pada saat itu juga? Bersama setiap detik yang berlalu, hatinya semakinlemah akibat belas kasihan yang tak tertahankan. Dia sama sekali tidak melihat kesan jahat dan binalseperti yang selama ini disangkanya. Aroma dupa menggelitik lubang hidungnya, dan dia menoleh kealtar, tempat aroma itu berasal. Sekali lagi, dia menatap Tokiwa dan mengernyitkan wajah melihatperawakan kurusnya.

“… Konno-maru, apakah kau masih ingat ketika dahulu kau sering mendatangi rumahku untukmenyampaikan surat dari Tuan Yoshitomo?”

Suara lembut itu seolah-olah menyadarkan Konno-maru, dan dia pun membelalakkan matanya kepadaTokiwa.

“Jadi, kau belum sepenuhnya melupakan beliau?”

“Bagaimana mungkin aku bisa melupakan beliau?”

jawab Tokiwa dengan lirih.

“Ah, dasar kau wanita binal, bagaimana mungkin kau mengatakan itu tanpa malu! Kau memangwanita jahat!”

“Kau benar, Konno-maru. Aku ingin mendengar seseorang mengatakan itu kepadaku … menghujatku,menghinaku, mempermalukanku.”

“Benarkah itu?”

“Itulah kebenarannya, Konno-maru. Kau bisa melihatnya sendiri; aku tidak berusaha melarikan diridarimu.”

“Ya, itu benar. Tapi penyesalanmu tentu tidak bertahan lama.”

“Aku tidak menyesali apa pun yang telah kulakukan.

Aku hanya menjalankan pilihanku.”

“Apa! Maksudmu, kau juga memilih kematian dengan cara tertentu?”

Konno-maru meraih gagang pedangnya dengan tangan gemetar; hanya dengan sedikit mengangkattangannya, dia akan bisa menghunjamkan ujung pedangnya ke bagian mana pun dari tubuh Tokiwa.

Kemudian, Tokiwa berkata, “Tidak ada pilihan lain bagi seorang wanita …. Tidak ada, setidaknyabagiku. Aku malu

… malu karena didapati dalam keadaan seperti ini oleh seorang mantan pelayan Tuan Yoshitomo.”

Tokiwa sepertinya hendak pingsan namun tidak mengatakan apa-apa.

“Jika hatimu akan tenang setelah kau membalas dendam dengan cara membunuhku, maka bunuhlahaku. Aku sudah siap …. Aku tidak akan berusaha melarikan diri ataupun menjerit ketakutan,” kataTokiwa dengan tenang seraya mengulurkan setumpuk surat yang sudah disiapkannya.

“Aku hanya punya satu permintaan terakhir. Ini adalah surat untuk anak-anakku, pesan terakhirkukepada putra—

putraku …. Dan ini … ini adalah milik Tuanku Yoshitomo.

Pastikanlah agar benda ini tiba di tangan Genji yang tepercaya. Hanya itu yang kuminta darimu.”

Kemudian, Tokiwa memalingkan wajah dari Konno-maru dan berdoa di hadapan patung Kannon didalam ruang peribadatannya.

Konno-maru mendadak risau. Dia teringat pada sederetan patung perak seperti itu di kamarYoshitomo, tempat majikannya itu berdoa setiap pagi dan malam. Di tengah kebingungannya, Konno-maru menyambar surat dengan tulisan tangan Yoshitomo yang telah diakrabinya.

Itu adalah surat terakhir dari mendiang majikannya untuk Tokiwa. Dia membacanya perlahan-lahandengan air mata berlinang, lalu meletakkannya. “Maafkanlah saya. Nyonya.

Bagaimana saya bisa bertindak sebodoh ini? Memang betul kata si biksu Mongaku itu … bahwa sayagila karena memikirkan pembalasan

dendam, dan bahwa Anda, seorang wanita yang tidak berdaya, jauh lebih berani daripada saya.”

Keheningan menyelimuti ruangan ketika Konno-maru berusaha menenangkan diri. Kemudian, diaberkata,

“Seandainya saya membunuh Anda, kehidupan saya akan menjadi jauh lebih gelap daripada kehidupanMongaku.

Sekarang saya menyadari kebodohan saya. Saya akan melanjutkan kehidupan saya dengan awal baru,dengan keberanian …. Saya bersumpah bahwa surat dari Tuan akan tiba di tangan Genji di timur, dansurat untuk putra-putra Anda akan saya sampaikan sendiri.”

Konno-maru hendak berlutut di depan Tokiwa, namun Tokiwa cepat-cepat berdiri, membuka pintu,mengintip ke luar, lalu menutupnya kembali. “Aku bisa melihat api

unggun para penjaga. Tidakkah sebaiknya kau menunggu di sini hingga pagi tiba?”

Tetapi, Konno-maru telah siap pergi. Dia mengeluarkan sehelai selendang hitam untuk menutupiwajahnya.

“Anda tidak perlu mencemaskan saya, Nyonya; mereka tidak akan bisa melihat saya sekarang.”

Konno-maru melangkah ke pintu, membukanya lebar-lebar, dan menghilang di kebun yang gelap.Beberapa saat kemudian, Tokiwa merasa melihat sebentuk bayangan bergerak di atas pagar, seolah-olah untuk mengucapkan selamat tinggal kepadanya. Dia mengangkat lentera sebagai jawaban.

o0odwkzo0o

Bab XXXV-RIBUAN BATANG LILIN

Hujan yang celah lama turun akhirnya berhenti, dan kerikan jangkrik, gumpalan awan, serta langityang panas menunjukkan bahwa puncak musim panas telah tiba.

“Coba kulihat … apakah kita terlanda banjir lagi? …

Tidak terlalu banyak kerusakan, kuharap,” seru Hidung.

Dia memiliki kebiasaan untuk menaikkan nada bicaranya kepada setiap pelayan yang terlihat olehnyatengah memasuki gerbang rumah peristirahatan di Mibu.

Yomogi dan beberapa orang teman pelayannya sedang mencuci baju di sungai yang mengalirmelewati halaman.

Di dekat mereka, beberapa buah payung kertas untuk melindungi dari hujan dan panas tengah dijemuragar kering.

“Indah sekali payung yang satu ini, Yomogi! Ini tentu bukan milikmu, ya?”

“Bukan, ini milik Nyonya.”

“Nyonyamu, ya? Tapi, apa gunanya beliau memiliki payung seperti ini? Beliau tidak pernah keluarrumah.”

“Saya baru membelinya tadi pagi di Pasar Barat. Tapi, percayakah Anda, saya baru menyadari bahwapayung itu kotor setelah membukanya, karena itulah saya mencucinya bersama yang lain.”

“Hmm … kau membelinya di Pasar Barat? Apakah nyonyamu berencana untuk pergi ke suatu tempatdalam waktu dekat ini?”

“Kami berniat untuk pergi ke kuil bersama; lusa adalah hari keseratus kami.”

“Dan ke manakah kau akan menemani beliau, kalau aku boleh bertanya?”

“Ke mana? Tapi, tentunya Anda tahu … ke Kapel Kannon di Kuil Kiyomizu.”

Hidung segera memasuki rumah dan berbicara cukup lama dengan Tokiwa.

Tidak ada tanda-tanda keberadaan ataupun jejak Konno-maru sejak para penjaga ditempatkan dirumah, dan Hidung menjadi lebih tenang berkat kesigapan para prajurit.

Dia bahkan mulai melupakan seluruh masalah itu, walaupun masih merisaukan pandangan Kiyomorikepadanya jika dia dianggap gagal. Sepertinya rencananya untuk mengambil hati Kiyomori terbuangsia-sia. Memang benar bahwa Kiyomori tidak memiliki waktu untuk memikirkan tentang asmara,namun, dengan bekal kesabaran, pada akhirnya dia pasti akan mendatangi Tokiwa. Hidung bersedia

menunggu hingga saat itu tiba, dan dia secara berkala berkunjung ke rumah peristirahatan untukmemastikan bahwa semuanya baik-baik saja.

Setelah masalah Konno-maru berakhir, Hidung mendapati dirinya berhadapan dengan sebuah masalahlain.

Apakah Kiyomori sebaiknya diberi tahu atau tidak bahwa Tokiwa kerap meninggalkan rumahperistirahatan? Tentu saja Hidunglah yang akan disalahkan jika ada sesuatu yang buruk menimpaTokiwa.

“Dalam keadaan biasa, saya tidak akan melarang Anda pergi ke kuil, dan saya senang karena Andabegitu bersemangat Tetapi, akan lebih bijaksana jika saya bertanya terlebih dahulu kepada TuanKiyomori tentang pendapat beliau mengenai hal ini. Saya akan berkunjung ke kediamannya nanti ataubesok,” Hidung berpesan kepada Tokiwa sebelum pergi.

Keesokan harinya, Tokiwa mendapatkan izin pergi melalui sebuah surat. Maka, ditemani olehYomogi, dia pun segera berangkat ke Kuil Kiyomizu. Pada hari doa kepada Kannon yang keseratus,Tokiwa terpana melihat serombongan pendeta di kapel merapalkan ayat-ayat suci atas namanya.Ribuan batang lilin dinyalakan di dalam kapel, dan udara terasa pengap oleh asap dupa ketika diaberdoa:

“Lindungilah ketiga putra yatim hamba, wahai Sang Maha Suci. Ibu mereka telah direnggut darimereka.

Tokiwa ini hanyalah cangkang hampa, dan arwahnya akan terbang ke neraka. Kesedihan dan cobaanapa pun yang menghadang ibu mereka, selamatkanlah anak-anaknya, wahai Sang Maha Pengampundan Penyayang.

Bersihkanlah dosa-dosa Genji dari diri anak-anak malang itu.”

Tokiwa terisak-isak saat dia teringat pada malam musim dingin ketika dia berdoa di kapel itu disamping anak-anaknya.

“Nyonya, misa telah berakhir. Apakah Anda mau duduk dan beristirahat di sini?” bisik seorangpendeta.

Bisikan itu menggugah Tokiwa. “Terima kasih.”

Kemudian, “Astaga, benarkah Anda Kogan?”

“Ya, Kogan … saya harap Anda selalu sehat. Nyonya.”

“Bagaimana mungkin saya melupakan kebaikan Anda ketika itu?” kata Tokiwa, menyatukan keduatangannya untuk menunjukkan rasa terima kasihnya. “Saya tidak akan pernah melupakan betapa Andatetap bersikap baik kepada saya walaupuan saya sudah tidak berarti bagi Anda.”

“Nyonya, Anda tidak boleh berkata begitu. Anda tidak perlu malu. Di mata saya, Anda sesuciKannon.”

Seorang pendeta lain menghampiri mereka. “Lewat sini.

Nyonya, lewat sini, silakan.”

Tokiwa menolak undangan itu dengan halus. ‘Terima kasih, namun perjalanan saya panjang, dan sayasebaiknya berangkat sekarang.”

Tetapi, si pendeta menahannya. “Tetapi, Nyonya, Anda telah datang sejauh dan sepagi ini, dan beliautelah lama menanti Anda.”

“… Siapa … siapakah yang menanti saya?”

“Pria yang memerintahkan penyelenggaraan misa tadi.”

Tokiwa terpana. Siapakah pria itu? Dia tidak melihat jemaat di kapel ini selain dirinya. Tetapi, siapapun pria itu, jangan sampai dia menunggu lebih lama lagi … maka, dipandu oleh Kogan, Tokiwamenyusuri lorong-lorong bertangkan hingga akhirnya tiba di sebuah ruangan. Ketika memasukiruangan itu, dia tiba-tiba mundur, gemetar, dan perlahan-lahan duduk terkulai.

“Tokiwa … kau tidak menyangka akan bertemu denganku di sini, bukan?”

Sinar matahari, yang menerobos melalui sela-sela dedaunan di luar, menerangi wajah Kiyomorisehingga tampak cemerlang.

“Aku kerap memikirkanmu, Tokiwa, namun banyak hal menghalangi untuk mendatangimu … dansekarang, musim panas telah tiba …. Betapa cepatnya musim-musim berlalu!

Apakah segalanya baik-baik saja, Tokiwa?”

“Ya …” jawab Tokiwa, dan berbagai macam emosi berkecamuk di dalam dirinya sehingga diatercekat oleh air mata.

Kiyomori pun, ketika memandang Tokiwa, berusaha sekuat dayanya untuk menahan gejolak di hatinya… dia teringat pada kenangan mengenai malam musim semi dan penyesalannya. Sejenak, dia merasacanggung dan malu seperti seorang pemuda yang masih hijau. Setelah berhasil menguasai dirinya, diakembali berbicara:

“Kau tentu tidak menduga bahwa akulah yang menyelenggarakan misa hari ini. Kau boleh saja merasabahwa aku terlalu turut campur. Tetapi, Tokiwa, aku juga perlu berdoa. Ya, Kiyomori, pria malangyang sering melakukan kesalahan tolol ini … pria tak berarti ini! Bisakah seorang wanita sepertidirimu mengerti?”

“Saya rasa bisa … sedikit”

“Sedikit pun sudah cukup, Tokiwa, dan aku berterima kasih karenanya. Saat ini pun aku tengahmelakukan kebodohan, namun sulit bagiku untuk mengakui alasannya kepadamu. BiarkanlahBamboku saja yang menjelaskannya di lain waktu.”

Kiyomori berbicara dengan nada riang, namun begitu kalimatnya selesai, dia buru-buru membuang

muka, dan cahaya dari dedaunan yang bergoyang-goyang tertiup angin pun terpantul di matanya yangberkaca-kaca.

Setelah pertemuan singkat itu, Tokiwa tidak sekali pun bertemu kembali dengan Kiyomori padamusim panas itu ataupun pada musim panas yang berikutnya. Mereka tidak pernah bertemu lagikarena beberapa waktu kemudian, Kiyomori memerintahkan kepada Hidung untuk mengaturpernikahan antara Tokiwa dengan seorang bangsawan Fujiwara yang telah berusia lanjut.

Ketika musim gugur tiba, seluruh pergunjingan mengenai Tokiwa telah terlupakan.

o0odwkzo0o

Bab XXXVI-SI PENYAIR PENGEMBARA

Saigyo, si biksu penyair, telah beberapa tahun tidak menginjakkan kaki di ibu kota, namun ke manapun dia melangkah, dia selalu mendengar pembicaraan tentang setiap peristiwa yang terjadi di sana.Untuk sementara, dia tinggal di sebuah pertapaan di Yoshino dan telah beberapa kali berziarah keKumano dan Omine. Pada awal musim semi 1160, dia mulai menyusuri jalan raya Tokaido untukmelakukan perjalanan ziarah ke timur laut, dan di tengah perjalanannya, seorang kepala pemerintahansetempat, Hidehara, mengundangnya untuk menginap di rumahnya.

Hidehara, yang telah sering memasok kuda-kuda unggulan dari wilayah timur laut kepada parabangsawan dan samurai di Kyoto, mendengar banyak cerita tentang si biksu penyair setiap kali diapergi ke Kyoto untuk

menyelesaikan urusan bisnis ataupun melaporkan pengabdiannya kepada pemerintah pusat.

Ketika musim gugur tiba, Saigyo berpamitan kepada tuan rumahnya dan melanjutkan perjalanan keProvinsi Echigo di barat: pada bulan September, dia tiba di sisi selatan Danau Biwa, tempat sebuahperahu hendak berlayar ke pesisir barat. Saigyo turut menumpang perahu tersebut, dan sembarimenunggu keberangkatan.

dia memikirkan nasib teman dan pengikutnya, Saiju, yang berpisah darinya beberapa bulansebelumnya di Sungai Tenryu.

o0odwkzo0o

Saigyu dan Saiju tiba di Sungai Tenryu untuk menumpang sebuah perahu yang hendak berlayardengan muatan penuh, ketika tiga orang samurai berpangkat rendah tiba-tiba muncul danmemerintahkan kepada si pendayung untuk menghentikan perahunya. Keengganan si pendayung untukmenerima penumpang lain memicu kemarahan ketiga samurai itu, yang memaksakan diri untuk naikke perahu dengan wajah masam sambil berteriak-teriak, “Kami sedang tergesa-gesa, sementara kalianhanyalah petani dan biksu pengemis, bukan?”

Saigyo bisa menebak perangai mereka. Prajurit di mana pun selalu bersikap pongah dan garang. Diamengabaikan mereka dan tetap duduk dengan tenang sambil memandang sungai, hingga salah seorangdari mereka tiba-tiba menghampirinya dan membentaknya: “Hei, dasar pengemis

… berdirilah!”

Saigyo pura-pura tidak mendengarnya, namun teman-teman prajurit itu memaki-makinya denganlagak mengancam. “Turunlah kalian! Berani-beraninya kalian menentang perintah kami?”

Saigyo tidak berniat melawan mereka, namun bisa dirasakannya Saiju yang ada di sebelahnya gemetarmenahan amarah. Dia pun mencengkeram erat-erat lengan pengikutnya itu. Mereka telah sama-samamenjadi biksu selama dua puluh tahun, namun Saigyo tahu bahwa di dalam hatinya, Saiju, mantanpelayannya, masih seorang samurai yang berdarah panas. Dia bahkan telah berkali-kalimemperingatkan Saiju untuk menahan amarahnya!

Ketenangan Saigyo, bagaimanapun, justru semakin memicu amarah para prajurit tersebut

“Hei, apa kau tuli?” seru salah seorang dari mereka. Dia mencengkeram kerah Saigyo danmelemparkan tubuhnya ke tepi sungai. Kepala Saigyo terbentur pada sebongkah batu dan

dia mengerang lirih; darah mengalir dari salah satu matanya. Terbaring tanpa daya, dia memanggil-manggil Saiju, yang akhirnya menolongnya.

Saiju kehilangan kendali. “Jadi, seperti inikah kau bersikap, Yoshiklyo, yang pernah menjadi samuraipaling perkasa di Kesatuan Pengawal Kekaisaran, ketika dirimu dihina!” desisnya. “Jika kau berharapaku akan diam saja menerima perlakuan seperti itu … meringkik seperti anjing teraniaya … maka akusudah muak dengan kehidupan suci ini! Aku menjalani penahbisan untuk menyelamatkan diri darisiksaan neraka, namun ini lebih buruk daripada yang kubayangkan! Aku sudah muak dengankehidupan ini!

Seandainya aku bukan biksu, aku pasti telah membalas mereka!” Saiju menangis karena marah.

“Ah, Saiju, belum siapkah dirimu menghadapi jalan hidup yang sudah kaupilih ini? Sudah lupakah kaupada hari ketika aku menyuruhmu menemui Nyonya Taikenmon dan kau terlibat dalam masalahdengan para penjaga di

Gerbang Roshomon, yang akhirnya menjebloskanmu ke penjara? Ketika aku mendengar bahwa kauterlibat masalah, aku langsung memacu kudaku sepanjang malam dari Toba untuk menyelamatkanmudari Genji Tameyoshi yang terkenal akan darah dinginnya. Sudahkah kau melupakan itu, Saiju?”

“Aku belum melupakannya.”

“Apakah dirimu yang sekarang lebih bijaksana daripada dirimu yang dahulu?”

“Kau boleh mengatakan semua itu, tapi aku tidak bisa diam saja ketika melihat para berandalanmempecundangi manusia yang tidak berdaya. Aku tidak mau dipermalukan seperti itu karena akuselalu menghormati orang lain.”

“Saiju, selama kau merasa seperti itu, kita tidak akan pernah bisa seiring sejalan. Walaupun kitaberdampingan ketika melakukan perjalanan, hati kita tidak akan menyusuri jalan yang sama. Lebihbaik kita berpisah di sini dan pada saat ini juga, Saiju.”

“Mengapa kau berkata begitu?”

“Untuk saat ini, akan lebih baik jika kau melakukan apa pun yang kauinginkan.”

“Apakah ini berarti aku telah terbebas dari sumpahku?”

“Aku tidak punya wewenang untuk membebaskanmu dari sumpahmu, Saiju. Aku selalu berdoa agarkita menemukan kebahagiaan di dalam hidup kita, dan untuk itu, kita harus mengikhlaskan setiapambisi dan gejolak yang ada di hati kita, menyerahkan diri kepada alam, dan menjalani kehidupansebagai pujangga, mencari ketenangan di dalam ajaran Buddha. Itulah sumpah kita. Siapakah akusehingga bisa membengkokkan peraturan? Ah, Saiju, kau sepertinya sama sekali tidak bisamemahamiku.”

‘Tidak, aku memang hanya orang bodoh yang kau izinkan untuk menjadi pengikutmu. Tapi, aku yakinbahwa aku mengerti.”

“Kurasa kau masih belum mengerti. Kau sama saja dengan orang-orang yang kutinggalkan dikehidupanku yang lalu. Bukan ini yang kucari, karena aku ingin melepaskan diri dari ikatan duniawi.Tujuanku adalah lebih menyadari keberadaanku, lebih menikmati kehidupan, dan tidak menyesali apapun. Dengan cara itulah aku berharap bisa menjadikan kehidupanku lebih bermakna, dan hanya itulahyang kuinginkan …. Betapa besarnya perbedaan yang kita miliki dalam gagasan kita mengenaikehidupan suci!”

“Tidak, aku sependapat denganmu, tapi … ”

“Kalau begitu, mengapa kau sering sekali marah, lepas kendali karena merasa terhina, dan menyesalipilihanmu?

Jika kau benar-benar menghayati kehidupanmu sebagai biksu, kau tidak akan menyesalinya ataupuningin terbebas dari sumpahmu. Kau sepertinya belum bisa meninggalkan dunia, jadi untuk apa kauterus menjadi biksu? Bukankah lebih baik kau berhenti berpura-pura dan kembali ke dunia?”

Ketika mengatakan itu, Saigyo menyadari bahwa jalan hidup sebagai biksu, yang semestinyabermakna kemerdekaan justru menjadi beban bagi Saiju; dan karena kasih sayangnya kepada Saijulahdia bersikeras agar mereka berpisah.

Akhirnya, Saiju berkata, “Aku akan menuruti kemauanmu dan merenungkan kata-katamu … tidak

hanya merenungkannya tetapi juga menjadikannya landasan bagi tindakanku. Saat kau kembali ke ibu

kota pada musim gugur nanti, aku akan menunggumu di sana.”

o0odwkzo0o

Saigyo memikirkan di mana Saiju akan menantinya setelah perpisahan lama mereka, karena dia tidaktahu di mana dia sendiri akan tinggal selama di ibu kota. Dia menyadari bahwa perahu yangditumpanginya telah setengah jalan menyeberangi Danau Biwa, dan bahwa puncak Gunung Hiei telahtampak menjulang di hadapannya. Dia masih ingat ketika setahun silam, para penumpang perahu takhenti-hentinya membicarakan tentang Genji Yoshitomo dan putra-putranya yang melarikan diri ke Omi Timur. Kemudian, dia tertidur.

Ketika dia terielap, salah seorang penumpang perahu berkali-kali memandangnya, dan ketika diaterbangun, orang itu tersenyum ramah kepadanya dan berkata:

“Akhirnya kita berjumpa lagi!”

“Wah, siapakah kamu?”

“Aku Otoami, pemahat patung Buddha … kita pernah bertemu beberapa waktu yang lalu di timurlaut.”

“Ah, ya, tentu saja! … Apakah kau juga hendak pulang ke ibu kota?”

“Ya, walaupun aku masih harus bekerja di kuil di timur laut hingga bertahun-tahun lagi. Aku pulangkarena panggilan mendadak dari Rokuhara, dari Nyonya Ariko.”

“Jauh sekali jarak yang harus kautempuh!”

“Ya. memang. Akan menyenangkan jika aku bisa berkelana sesuka hatiku sepertimu. Sekarang ini, akuharus menyelesaikan tugas di ibu kota sekaligus di utara, dan melakukan perjalanan bersama teman-temanku dalam waktu terbatas …” Otoami tersenyum, mengedarkan pandangan kepada teman-temannya, yang memenuhi hampir setengah kapasitas perahu. Rombongannya tidak

hanya terdiri dari anak buahnya tetapi juga tukang vernis, tukang kayu, pengukir logam, dan paraperajin lainnya.

Seorang penumpang yang duduk di samping Otoami tiba-tiba mencondongkan badan dan berbisik-bisik kepada teman-temannya, lalu berkata kepada Saigyo:

‘Tuan, apakah kau Saigyo, si biksu penyair? Aku beberapa kali melihatmu di Koromogawa, tempattinggal salah satu pengayomku, yaitu Tuan Hidehara,” katanya, lalu menambahkan, “aku Kichiji,pekerjaanku adalah saudagar. Beberapa kali dalam setahun, aku membawa emas dari timur laut ke ibukota dan menukarnya dengan barang-barang dagangan dari Cina. yang kemudian dikirim ke utara ….Jika lain kali kau pergi ke daerah kami, kau harus mengunjungiku.”

Saigyo mengangguk dengan ramah, tersenyum sendiri ketika memikirkan rumor bahwa dirinya pernahberkelana ke wilayah sejauh itu.

Ketika perahu itu hendak merapat ke pesisir, para penumpang sibuk bersiap-siap turun. Otoami dan sisaudagar adalah penumpang pertama yang turun dari perahu. Setelah menaikkan barang-barang

mereka ke atas punggung kuda, mereka bersiap-siap melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba, Kichijimenoleh kepada Saigyo dan menawarkan dengan ramah:

“Ada cukup banyak kuda untuk kita semua. Maukah kau bergabung bersama kami di penginapan?”

Saigyo menolak undangan itu dan melanjutkan perjalanannya seorang diri.

Dia tinggal cukup lama di wilayah perbukitan di dekat Kyoto, menghabiskan waktunya denganberkunjung ke berbagai kuil dan menemui teman-teman lamanya. Pada suatu hari, dia berkeliaran diibu kota dan mendapati

dirinya berada di jalan tempat rumahnya dahulu berdiri.

Tidak ada yang tersisa dari bangunan itu kecuali pecahan Ubin dan rumpun-rumpun rumput musimgugur. Dia mengamati tempat itu tanpa perasaan apa pun, lalu pergi dari sana ketika senja tiba untukmencari penginapan, sementara angin malam

menerpa sosoknya yang lusuh oleh pengembaraan. Dia memikirkan beberapa orang temannya yangakan dengan senang hati menerimanya, namun kenangan mengenai istri dan anaknya, yangditinggalkannya dua puluh tahun silam, senantiasa menghantuinya. Istrinya, dia mendengar, telahmenjadi seorang biksuni; dia memikirkan nasib anaknya, yang masih berumur empat tahun ketika diapergi. Saigyo mendengar bahwa putrinya telah menikah. Sesekali dia berhenti dan mendengarkanbunyi-bunyian malam, yang berisik oleh kerikan jangkrik. Segalanya … pepohonan, tanah, semak-semak, dan bahkan bintang-bintang mendadak dipenuhi oleh bunyi isak tangis: benak dan hati Saigyoterasa pedih karenanya, dan dia mulai memikirkan mengapa dia berkeliaran tanpa tujuan di jalananyang gelap gulita. Apakah yang membawanya kemari bagaikan sesosok hantu dari masa lalu?

Kerinduan mendalam kepada Saiju mendadak menyergapnya … bukan sebagai pengikutnya melainkanteman yang bisa dimintai ampunan dan tempat mengakui kebutaan dan kebodohannya. Dua puluhtahun menjalani kehidupan suci! … dan dia baru menyadari pada malam ini bahwa hati manusia tidakbisa disangkal oleh pengarahan kehendak atau kedisiplinan beragama. Di manakah Saijumenunggunya setelah berjanji untuk menemuinya di ibu kota? Kemudian, Saigyo teringat kepadasepupunya. Tuan Tokudaiji, yang beberapa pelayannya berteman dengan Saiju. Saigyo bermalam disebuah kuil di Perbukitan Timur,

dan keesokan harinya turun kembali ke ibu kota. Setibanya di kediaman Tuan Tokudaiji, dia terkejutketika melihat para prajurit, kurir, dan pelayan berkerumun di gerbang, tempat beberapa buah keretaindah menanti. Dia hendak berbalik arah ketika didengarnya seseorang memanggilnya.

Saiju.

“Ah, Saiju, ternyata kau ada di sini!”

“Ya, aku telah tinggal di sini bersama teman-temanku selama beberapa waktu; aku yakin bahwa kauakan segera datang, dan aku gelisah menantimu.”

“Ya, sungguh menyenangkan bisa berjumpa lagi denganmu!” jawab Saigyo dengan penuh semangat.

“Sejak kita berpisah di Sungai Tenryu. aku bermeditasi setiap pagi dan malam berkat kata-katamu

kepadaku.

Selamban-lambannya aku, aku merasa bahwa diriku lebih bijaksana sekarang. Aku tidak pernah lagibertindak bodoh seperti dahulu. Maafkanlah aku atas kata-kataku kepadamu.”

“Saiju, bukan hanya dirimu yang bodoh. Aku bahkan jauh lebih bodoh. … Aku juga perlu memintamaaf.Tapi, lebih baik kita membicarakannya di lain waktu saja.”

“Tidak, tidak, itu mustahil …. Tapi, ini memang bukan tempat yang tepat untuk berbicara. Mari kitapergi ke pondokku di dekat gerbang belakang.”

“Tapi, sepupuku sedang menerima tamu hari ini.”

“Tidak hanya hari ini. Kiyomori dan para menteri lainnya sering datang kemari untuk meminta nasihatdari Tuan Tokudaiji. Kita tidak akan mengganggu mereka di pondokku.” Maka. Saiju pun membawaSaigyo mengitari rumah menuju salah satu gerbang belakang.

o0odwkzo0o

Bab XXXVII-SEORANG SAUDAGAR DARI

TIMUR LAUT

Upacara tradisional tidak mungkin diselenggarakan pada perayaan Tahun Baru sebelumnya, namunkali ini, pohon-pohon dan batang-batang pinus yang baru saja dipotong menguarkan aromakemeriahan di seluruh ibu kota.

“Kita tidak boleh melupakan bahwa kita berutang budi untuk semua ini kepada Tuan Kiyomori. Tidurdengan kaki mengarah ke Rokuhara sama saja dengan bertindak lancang,” kata Bamboku kepadaserombongan pekerja lepas dan pegawainya sambil menyesap sake Tahun Baru. Selama perayaanTahun Baru, Bamboku membuka gerbangnya lebar-lebar untuk semua tamu … kerabat, rekan bisnis,teman sesama saudagar, dan tetangga … yang berduyun-duyun datang.

Hidung memiliki semua alasan untuk selamanya berterima kasih kepada Rokuhara, walaupun paratamunya mencemooh sake yang disajikan oleh Bamboku, yang kualitasnya menurun pada tahun inikarena berkurangnya keuntungan yang didapatkan sepanjang tahun lalu. Untuk menjawab sindiran-sindirannya, Bamboku menjawab dengan lihai:

“Jika kita mau jujur, keuntungan materi tidak berarti apa-apa … tidak sebanding dengan apa yangakan kudapatkan jika aku benar-benar berhasil. Dan, jika saat itu tiba, lihat saja sendiri apa yang akankutampilkan untuk menghibur kalian.”

Sorak sorai meriah menyambut ucapan Bamboku, karena tidak seorang pun meragukannya. Semuasaudagar

di ibu kota tidak pernah mempertanyakan prestasi ataupun kemampuan Bamboku. Bukankah Hidungtelah, seorang diri, memasok semua bahan bangunan untuk pemugaran Istana Kloister tahun lalu?Terlebih lagi, Kiyomori adalah patronnya, dan dia bisa menjamah setiap transaksi bisnis di ibu kota.Tidak bisa disangkal bahwa tanpa bantuan dari Kiyomori, Bamboku tidak akan bisa sekaya itu. Di sisilain, Hidung juga telah menghabiskan banyak tenaga dan uang untuk menyelesaikan urusan Tokiwa.Tetapi, seluruh kerepotan itu tidak sebanding dengan apa yang diperolehnya: yang terpenting adalahTokiko kembali menyukainya. Nyonya rumah Rokuhara itu memanggilnya dan mengatakan, “Kauboleh datang kemari seperti sedia kala, Bamboku.” Selain itu, Kiyomori telah mewujudkan ambisiBamboku yang telah lama terpendam … sebuah jabatan di Istana.

Ada masanya Hidung Merah mencibir pada gagasan menjadi pejabat istana, namun saat ini umurnyasudah menjelang lima puluhan, dan tidak ada salahnya berubah pikiran setelah menjalani sebuahpekerjaan selama dua puluh tahun. Kehidupan istana yang tampak konyol di matanya pernahmembuatnya muak dan menyatakan,

“Segala macam peraturan dan penghormatan tolol itu! Ya, aku mengabdi hanya kepada dirikuseorang! Aku akan meraih kekayaanku sendiri, dan emas … emas kuning …

akan menghadirkan kebahagiaan dalam kehidupanku.”

Ironisnya, begitu kekayaannya bertambah. Hidung Merah mulai menginginkan kehidupan yang dahuludibencinya.

Orang kaya baru itu pernah mendambakan istri dari kalangan bangsawan dan berhasilmendapatkannya; dan begitu jumlah pegawainya bertambah, dia mulai tergoda untuk memilikiwewenang yang lebih besar. Sebagai seorang saudagar besar, Hidung Merah telah berkali-kalimendapatkan kesempatan untuk bergaul bersama para

bangsawan yang berkedudukan cukup tinggi. Dia bisa bekerja sebaik mereka … bahkan lebih baik,pikirnya, seandainya dirinya memiliki persyaratan yang cukup untuk memasuki kalangan itu …sebuah jabatan di istana. Dan, semakin sering Hidung Merah memikirkannya, semakin yakinlah diabahwa dirinya layak memupuk ambisi itu.

Hidung berasal dari kalangan rakyat jelata yang terjelata; namun istrinya, Umeno, adalah keturunanbangsawan.

Kiyomori menganugrahinya dengan gelar Pengawas Sungai Kamo … sebuah jabatan yangmemberinya wewenang atas para petugas dan pekerja yang bertugas di sekitar Kamo; jabatan itumemberi Bamboku kedudukan setara dengan bangsawan dari Golongan Kelima dan mengharuskannyamengenakan kimono yang sesuai dengan golongannya dalam setiap acara kenegaraan.

“Ya, jabatan ini memang sesuai denganku, namun pakaian ini sama sekali tidak nyaman!” Bambokuberseru kepada dirinya sendiri pada suatu hari ketika dia baru saja tiba di rumah. “Aku harusmenemukan tempat untuk meregangkan badan.” Kemudian, tiba-tiba terpikir olehnya bahwa Kichiji,si saudagar emas dari timur laut, tengah mengunjungi ibu kota. Dia langsung berangkat ke rumahsewaan Kichiji di pusat hiburan Horikawa, sebuah wilayah yang berada di sepanjang kanal dan banyakditumbuhi pohon dedalu.

“Apakah Tuan Kichiji ada? Aku Pengawas Sungai Kamo,” Hidung Merah mengumumkan kepadaseorang gadis pelayan yang ditemuinya di gerbang.

Pelayan itu menggumam lirih dan memasuki rumah, tempat Kichiji sedang bercakap-cakap denganseorang tamu. Kichiji heran.

“Pengawas Sungai Kamo … siapakah dia? Aku tidak mengenal seorang pun dengan nama seperti itu.”

Tamunya tergelak. “Itu pasti Tuan Hidung Merah. Dia dianugrahi gelar Pengawas Sungai Kamo dalamperayaan Tahun Baru yang lalu. Anda tahu.”

“Ah … si Hidung! Seorang tamu penting, rupanya …

persilakanlah dia menunggu di ruangan terbaik,” kata Kichiji. Dia meneruskan pembicaraannyadengan tamunya, seorang tokoh penting di wilayah itu, yang dikenal dengan julukan “Ular”. Diamemiliki usaha jual beli perempuan dan anak-anak.

“Jadi, jumlah keseluruhan perempuan yang kita beli sejak musim gugur silam adalah tujuh belas …termasuk yang kemarin,” kata Kichiji.

“Ya, dan mengenai yang itu, saya sangat kesulitan memenuhi permintaan Anda, Tuan, karena ada

terlalu banyak wanita cantik yang bisa ditemukan di ibu kota ini.**

“Yah, aku akan kembali dalam satu atau dua tahun, tapi untuk sementara ini, kuharap kau memasangmata untukku.”

“Baiklah, Tuan, saya akan melakukannya. Bahkan, saya sudah menemukan seseorang di pemukimankumuh di Jalan Pedagang Sapi.”

“Berapa umurnya?”

“Baru tiga belas.”

“Itu tidak masalah. Aku akan menjadikannya pelayan di rumahku hingga dia cukup umur. Aku akanmembawanya nanti.”

“Tetapi, ada satu masalah … gadis itu tidak bisa lepas dari orangtuanya … yang miskin papa. Mereka

menyayanginya dan tidak mau menerima tawaranku.

Ayahnya sudah sakit-sakitan dan mereka terlilit utang.

Mereka bahkan tidak tahu kapan mereka akan bisa makan lagi … tapi, kecantikannya!”

“Secantik itukah?”

“Saya tidak melebih-lebihkan jika mengatakan bahwa kecantikannya setara dengan gadis tercantik diIstana.”

“Sayang sekali … ”

“Yah, selalu ada jalan untuk mendapatkan apa yang kita inginkan.”

“Maksudmu uang, bukan?”

“Andalah yang paling tahu tentang itu, Tuan,” Ular tertawa licik, seringai di bibirnya menunjukkanketamakannya.

Kichiji berkunjung ke ibu kota setiap dua atau tiga tahun, dan selalu menginap di rumah yang sama dikawasan mewah itu, tempatnya memboroskan hartanya. Karena sebagian besar transaksi bisnisnyadilakukan untuk Tuan Hidehira, seorang tokoh besar di timur laut, Kichiji dikenal oleh setiap saudagardi Kyoto. Dia bertugas memburu segala macam barang mewah untuk pengayomnya … karya seni danbahkan wanita cantik … dan menukarnya dengan emas, kuda, ukiran, dan sutra yang dibawanya daritimur laut.

Kakek Hidehira, seorang bangsawan Fujiwara yang menjadi pemimpin klan pertama di wilayah itu,memiliki impian mendirikan sebuah ibu kota di wilayah paling utara Provinsi Michinoku. Tempatyang pernah menjadi wilayah kekuasaan penduduk asli yang semakin terpinggirkan, suku Ainu.Sebuah kota besar akan didirikan di sana untuk

menyaingi kejayaan Kyoto, dan pembangunan terus dilakukan.

Kichiji, yang berhasil merampungkan misinya setelah beberapa bulan tinggal di ibu kota, lagi-lagikecewa karena tidak mendapatkan banyak wanita cantik untuk dibawa pulang bersamanya. Dia tidakmenculik atau memperdagangkan perempuan dan anak-anak tetapi menawarkan banyak uang danjaminan kesejahteraan hidup kepada siapa pun yang bersedia ikut ke timur laut. Karena tidak banyakhal yang menarik yang bisa ditawarkan dari Michoniku, dia harus meminta tolong kepada Ular untukmencarikan wanita-wanita cantik baginya.

Si gadis pelayan muncul kembali untuk mengatakan,

“Pengawas Sungai Kamo mengatakan bahwa beliau akan berkunjung lagi lain kali, jika Anda sibukhari ini, Tuan.”

“Baiklah, Ular,” kata Kichiji, berdiri di ambang pintu untuk mempersilakan Ular pergi, “jika kau bisamendapatkannya sebelum aku pergi, aku akan memeriksanya.”

Bamboku dipersilakan masuk.

“Aku harus meminta maaf karena memintamu menunggu”

“Tidak apa-apa, Kichiji, aku tidak mau mengganggu,”

jawab Bamboku.

“Tidak, aku sudah bebas sekarang. Baik sekali kamu karena mau datang kemari. Sebenarnya, aku akanpulang dalam satu atau dua hari dan sudah berpikir untuk mengunjungimu …. Beruntungnya akukarena kau lebih dahulu datang kemari.”

“Tepat seperti yang kuduga,” seru Bamboku. “Agak mendadak, mungkin, tapi tiba-tiba terpikir olehkubahwa

kau mungkin punya waktu untuk minum-minum bersamaku malam ini sebelum pulang.”

“Bagus! … walaupun ini bukan tempat yang cocok untuk menjamumu.”

“Sama sekali tidak cocok. Tapi, kaulah yang akan menjadi tamuku. Perubahan pemandangan akanbagus untukmu, dan kalau kau tidak keberatan, kita akan pergi ke salah satu rumah kesukaanku,”Hidung Merah bersikeras mengajak Kichiji pergi.

Hidung Merah berseru-seru memanggil si nyonya rumah seraya melenggang layaknya di rumahsendiri. “Taji! Taji!

Ini aku … Bamboku! Apakah Ruang Ungu kosong?”

Segera setelah keduanya menempati sebuah ruangan yang menghadap ke sebuah taman indah. HidungMerah mengeluarkan seperangkat alat tulis dan dengan cepat menulis sebuah pesan beserta alamatyang hendak ditujunya, lalu memanggil seorang pelayan dan memberinya perintah, “Panggil seorangpelari untuk mengantar surat ini. Sekarang juga … sekarang!”

Hidangan yang menggoda selera disajikan bersama sake, namun hanya para pelayan yang menemanimereka karena, berbeda dari kebanyakan rumah hiburan semacamnya, sang nyonya rumahmembanggakan para tamunya yang terhormat dan para penghiburnya yang benar-benar terpilih, yanghanya tampil atas permintaan tamu-tamu terpilih, itu pun hanya untuk menari dan menyanyi.

Malam telah larut dan mereka masih menikmati sake.

Hidung Merah bersikeras untuk memanggil beberapa orang geisha; dia menyebutkan nama-namagadis pilihannya dan meminta mereka menghibur Kichiji.

“Kapankah kau akan kembali kemari … tahun depan, mungkin?”

‘Tidak, aku belum bisa memastikannya ….Tapi, kurasa aku akan kembali kemari tiga tahun lagi.”

“Nah, Kichiji, jika kau kemari lagi, kau tidak perlu tinggal di Horikawa karena rumah peristirahatankuboleh kaupakai sesuka hatimu.”

“Rumah peristirahatanmu … di manakah adanya?”

“Itulah yang sedang kurencanakan sekarang. Dan, Tuan Kichiji, katakan saja di mana kaumenginginkan rumah itu dibangun, dan aku akan membangunnya.”

“Aku tergoda untuk menerima tawaran ini. Di suatu tempat yang berpemandangan indah.”

“Kau akan mendapatkannya … dan kau akan membawa sedikit emasmu, bukan? Pasokan terakhirmu… yah, aku tidak terlalu senang melakukan bisnis bernilai sekecil itu.

Kau mungkin menganggapku rewel, tapi … dengan memikirkan bisnis ke luar negeri … emas yangkaubawakan untukku tidak akan cukup untuk memenuhi permintaan para perajin emas langgananku diibu kota ini saja.”

Kichiji tergelak. ‘Tuan Hidung, kau sudah minum terlalu banyak, dan sekarang bicaramu melantur.”

“Tidak, aku tidak berbohong.”

“Aku tidak menuduhmu berbohong, tapi kau pasti melebih-lebihkan. Aku menyangsikan bahwa emasyang kubawa kemari bisa disamakan dengan apa pun yang bisa ditemukan di tempat lain di seluruhJepang. Nah, nah, diangkat menjadi Pengawas Sungai Kamo dan pejabat Golongan Kelima pastimemengaruhi pandanganmu, tapi Heik6 bukan satu-satunya klan yang harus diperhitungkan

dan Kyoto bukan satu-satunya tempat tinggal yang bagus.

Kunjungilah kami di timur laut sekali saja, dan lihatlah sendiri keadaan di sana.”

Tawa Hidung meledak. “Menyombongkan daerahmu, ya? Aku menyukai kata-katamu tentang ibu kota… ’bukan satu-satunya tempat tinggal yang bagus! … aku pasti akan mengunjungimu di Michinoku.”

“Aku sendiri yang akan mengajakmu berjalan-jalan di sana.”

“Tuan Kichiji, aku ragu bahwa kau sekadar saudagar.”

“Hmm … apakah yang membuatmu berkata begitu?”

“Menurutmu aku tidak tahu apa-apa? Kau adalah seorang samurai! Kau adalah pelayan Hidehira atauseseorang yang memiliki kedudukan serupa, aku tahu itu.

Kau tidak perlu menutup-nutupinya dariku. Bamboku dari Golongan Kelima adalah seorang pria yangberpandangan luas, percayalah. Kau akan mengetahuinya sendiri setelah lama berteman denganku.”

Kichiji tersenyum tipis. “Hmm, mungkin saja begitu,”

jawabnya tanpa menambahkan apa pun, karena berbeda dengan Bamboku yang banyak omong, Kichijiadalah seorang pria utara yang santun dan tertutup.

“Aku merasa tersanjung karena disangka sebagai seorang samurai pada masa seperti ini …. Sepertiyang kauketahui sendiri, Tuan Hidung, aku sudah melakukan perjalanan ribuan mil di atas punggungkuda dengan membawa harta yang tak terhitung harganya. Di dalam hatiku barangkali aku memangseorang saudagar, namun dibutuhkan keberanian seorang samurai untuk menempuh perjalanan sepertiitu … terutama di masa berbahaya seperti ini.”

“Begitulah, begitulah. Itulah alasannya. Aku hanya bercanda tadi. Tiba-tiba aku ingat … ada apadengan temanku. Dia semestinya sudah sampai di sini sekarang.”

“Siapakah dia?”

“Dia pernah menjadi juru tulis di Istana … Tokitada …

adik ipar Kiyomori. Aku ingin mempertemukannya denganmu.”

“Ya, ya, kita pernah membicarakan ini, dan aku juga tidak sabar ingin berkenalan dengannya.”

Seorang kurir segera datang dan mengatakan bahwa Tokitada tidak ada di rumah dan baru akan pulangmalam itu.

Hidung Merah dan tamunya telah mabuk sekarang.

Setelah beberapa waktu, mereka terbangun dari tidur dan pulang ke rumah masing-masing pada pagibuta.

Beberapa hari kemudian, Tokitada menghentikan keretanya di depan toko Hidung Merah di JalanKelima, namun dia tidak turun.

“Bamboku, Bamboku! … Apakah Bamboku ada?”

serunya dari depan toko.

Beberapa orang pegawai toko mendengar seruan Tokitada namun tidak memedulikannya.

“Bamboku? Siapakah yang Anda maksud dengan Bamboku, Tuan?” seorang pegawai akhirnyamenghampiri kereta Tokitada dan bertanya.

‘Tuan Hidung Merah … ”

“Oh, Anda mencari Tuan?”

Hidung Merah bergegas keluar dari gudangnya.

“Ah, rupanya Anda, Tuan! Silakan masuk ke rumah,”

sapanya.

“Tidak, aku sedang menuju kediaman Yang Terhormat Yorimori sekarang. Karena tidak bisa mampir,aku akan berbicara denganmu di sini.”

“Apakah Anda sedang tergesa-gesa? Apakah yang bisa saya lakukan untuk Anda, Tuan?”

“Tidak ada … tapi ada pesan dari Rokuhara. Aku tidak tahu untuk apa, tapi kau diharapkan datang kekebun mawar pada senja hari, ketika lentera-lentera dinyalakan.”

“Hmm …” gumam Hidung.”Sesuatu mengusik beliau?”

“Sepertinya dia baik-baik saja, jadi kau tak perlu khawatir …. Dan, omong-omong, Bamboku, kausepertinya agak cemas, namun dia bagaikan lempung yang bisa kaubentuk sesuka hatimu, bukan?”

“Astaga, tidak! Saya tidak pernah mengatakan itu kepada Tuan Kiyomori … beliau memang pemarah,tapi lempung … tidak pernah!”

Tokitada tertawa terpingkal-pingkal hingga keretanya berguncang-guncang. “Bamboku … kau, akuhanya ingin melihat reaksimu. Kau memang jenaka, mendengus dan menyangkal sampai hidungmusemakin merah padam!

Tapi, bahkan dirimu pun punya sisi baik.”

“Nah, apakah Anda kemari untuk menertawakan saya?”

“Sudahlah, Bamboku, jangan marah. Hanya dengan melihat hidungmu, semua orang akan merasagembira. Apa kata istrimu tentang hidungmu ketika dia mengigau?”

“Saya rasa Anda sudah mabuk. Tuan, bahkan sebelum Anda bertamu.”

“Sekarang masih Tahun Baru … tidak ada perang …

Tahun Baru terbaik sejak bertahun-tahun terakhir …. Ya, dan itu mengingatkanku … maaf, aku sedangpergi ketika kurirmu datang tempo hari. Siapakah orang yang hendak kauperfce naikan kepadaku itu?”

“Anda pasti pernah mendengar tentang dia … Kichiji, seorang saudagar emas dari timur laut.”

“Ya, aku pernah mendengar tentang dia.”

“Saya memerhatikan beberapa hal yang membuat saya berpikir bahwa dia kemari tidak sekadar untukurusan bisnis. Saya curiga Hidehara mengirimnya ke sini untuk memata-matai keadaan di sini, dansaya rasa tidak ada salahnya jika Anda melihatnya sendiri.”

“Ah, begitukah? Apakah si Kichiji ini masih ada di ibu kota?”

“Dia akan kembali ke timur laut besok pagi, katanya.

Saya akan melepas kepergiannya.”

“Bagus! Aku juga akan datang …. Tapi, aku akan menyamar, ingatlah itu.” Setelah mengatakan itu,Tokitada langsung menutup tirai keretanya.

Keesokan paginya, Hidung Merah mengiringi Kichiji hingga gerbang kota, tempat serombongan priadan wanita telah berkumpul untuk melepas kepergiannya.

“Ya, aku akan kembali tak lama lagi … dalam dua atau tiga tahun,” seloroh Kichiji dari atas punggungkudanya.

Dia berterima kasih dan mengangguk kepada semua pengantarnya. “Kalian akan menjadikanperpisahan ini lebih berat jika menyertaiku lebih jauh lagi, jadi biarkanlah aku mengucapkan selamattinggal kepada kalian semua di sini, dan dengan mendoakan yang terbaik untuk kalian.”

Kichiji akhirnya mulai mendaki bukit, dan satu demi satu pengiringnya membubarkan diri. Parapelayan, tukang angkut, dan kuda-kudanya telah menanti tidak jauh dari sana. Mendadak, Kichijimendengar seseorang memanggilnya dari kaki bukit. Pria itu akhirnya berhasil menyusulnya beberapasaat kemudian. Dia terengah-engah dan tidak sanggup mengucapkan sepatah kata pun.

Kichiji menoleh. “Kaukah yang memanggilku?” katanya dengan sinis, menatap pria bertubuh kecilyang bersujud di hadapannya seperti seorang pengemis. “Aku tidak mengenalmu. Tidak pernahmelihatmu sebelum ini. Apa maksudmu menghentikanku?”

“Ya. ya, maafkanlah saya karena telah menghambat Anda …. Saya … saya Asatori, bukan siapa-siapa.Saya tinggal di daerah kumuh di Jalan Pedagang Sapi.”

“Kau pasti salah mengiraku dengan orang lain. Untuk apa kau menemuiku?”

“Saya tinggal di Jalan Pedagang Sapi … di daerah kumuh; ada seorang perajin roda kereta bernamaRyozen di sana …. Dan pagi ini, saya mendengarnya dan istrinya menjerit-jerit dengan nyaringnyasehingga saya pergi ke sana untuk melihat apa yang terjadi, dan saya mendengar bahwa seorangpedagang perempuan dan anak-anak, yang bernama Ular, telah membawa putri semata wayangmereka, Asuka …. Mereka putus asa.”

Kichiji menoleh ke belakang. Keributan sepertinya telah terjadi di dalam rombongannya; dan seoranggadis menjerit-jerit nyaring.

“Asatori, tolong aku! Asatori!”

“Kaukah itu, Asuka? Tunggu aku …. Semuanya akan baik-baik saja. Aku akan menolongmu!”

Asatori bangkit, balas melambai kepada Asuka, lalu memegang erat-erat pelana Kichiji, mendesaknya.

“Hentikan omong kosongmu ini, dalang boneka bodoh!”

desis Ular, menerobos sekelompok pengawal dan mencengkeram baju Asatori. “Apa maksudmumengatakan bahwa aku membawanya pergi dari keluarganya dengan paksa? Kau sepertinya tidak tahubahwa ayahnya sudah lama sakit-sakitan dan berutang banyak kepadaku. Dia dan istrinya memohonkepadaku untuk melakukan sesuatu kepada anak ini karena mereka tidak bisa memberinya makananlagi. Aku memang tidak membayar mereka, tapi aku memohon kepada tuan ini untuk membawaAsuka dengannya …. Untuk apa kau ikut campur?”

Asatori tidak memiliki kekuatan maupun keberanian untuk melawan lengan kekar Ular, yang menarikdan membekuk tubuh ringkihnya. Yang bisa dilakukan oleh Asatori hanyalah menjejak-jejakkankakinya ke udara.

“Aku akan membayar utang mereka,” desisnya. “Aku akan membayarnya, bagaimanapun caranya!”

“Dasar pembohong, apa kaupikir aku memercayaimu?

Pulanglah sana! Apa maksudmu merengek-rengek dan menghalang-halangi tuan ini?” sembur Ular,mengancam untuk menghajar Asatori. Kichiji membungkuk dengan waspada di atas punggungkudanya.

“Cukup, Ular.”

“Tapi, Tuan, dia tidak akan jera.”

“Tidak, Ular, lepaskanlah anak itu. Kita tidak ingin membahayakan siapa pun. Aku sudah mengatakankepadamu, bukan, bahwa kau tidak boleh memaksa dia?”

“Utang ayahnya yang sakit-sakitan kepada saya memang tidak banyak, tapi mereka tidak bisamemberinya makanan, jadi saya bermaksud menolong mereka.”

“Sudahlah, lepaskanlah dia. Aku bukan manusia jahat”

Asatori bersujud di hadapan Kichiji, lalu melambai kepada Asuka, yang berlari menyongsongnya danmemeluknya erat-erat sambil terisak-isak.

“Jangan menangis,” Asatori menenangkannya, menghapus air mata dari pipinya yang basah. “Janganmenangis, Asuka. Kau tidak perlu takut. Mari kita pulang.”

Wajah mungil nan menawan itu mendongak

memandangnya dan senyuman tipis terulas di sana. Kichiji dan rombongannya telah meninggalkanmereka.

Bergandengan tangan, keduanya berjalan menuruni bukit Sejenak setelah mereka lenyap dari

pandangan, dua orang penunggang kuda muncul dari tengah kerimbunan hutan di atas bukit dan turunke ibu kota.

“Bamboku, diakah orang yang kaumaksud?” tanya Tokitada.

“Ya … ”

“Diakah Kichiji yang kaubicarakan kemarin?”

“Ya, bagaimana pendapat Anda tentangn dia?”

‘Tidak ada yang aneh dari dirinya sejauh pandanganku.

Sebagai seorang saudagar, dia lebih baik hati daripada dirimu, ya?”

“Daripada saya? … Anda memang sangat penuh perhatian. Tuan!” Bamboku tergelak.

“Setidaknya, dia lebih punya hati daripada dirimu, Hidung. Aku tidak tahu mengapa dia membiarkanbajingan

itu membeli si gadis kecil, tapi setidaknya dia menunjukkan kebaikan hati … melepaskannya.”

“Dan menurut Anda, saya tidak akan melakukan itu?”

Tokitada tertawa terbahak-bahak namun tidak menjawab. “Asuka … Asuka. Nama yang indah,”

gumamnya kepada dirinya sendiri. “Tidak heran Ular mengincarnya …. Sungguh menakjubkan bahwabunga secantik itu bisa tumbuh di tengah pemukiman kumuh yang jorok.”

o0odwkzo0o

Bab XXXVIII-TIGA BUAH MIMPI

Tokitada bangun lebih pagi keesokan harinya. Kereta beserta sepasukan samurai dan pengawal telahmenanti di depan pintunya, menyambutnya yang tampil dengan keagungan khas istana. Rombonganitu segera mendekati gerbang Rokuhara; Tokitada telah mengirim pesan untuk mengumumkankedatangannya dan menanyakan apakah sang nyonya rumah telah siap. Sebuah kereta wanita yanganggun telah menanti di dekat beranda; rumbai-rumbai ungu menggantung di jendelanya; tidak setitikpun debu tampak di badan dan atapnya yang bercat indah; hiasan perak dan emas dengan ukiranbermotif burung dan kupu-kupu berkilauan cemerlang. Namun, dua sosok yang melangkah ke beranda,diiringi oleh serombongan dayang, dari dalam rumah jauh lebih cemerlang daripada kereta itu.

“Maafkan aku karena telah membuatmu menunggu, Tokitada,” kata Tokiko, yang didampingi olehputrinya yang berumur tujuh tahun.

“Ah, Tokiko, aku nyaris tidak mengenalimu dengan penampilan semewah itu!”

“Oh, tidak setiap hari aku berkunjung ke Istana Kloister

…. Dan lagipula, sekarang musim semi.”

“Kau tampak memesona, sungguh! Aku yakin semua orang tidak akan keberatan dengan perubahanmuini …

tidak peduli secantik apa pun dirimu. Benarkah bahwa kau mendengar saranku kepadamu?”

“Jangan mengolok-olokku. Para pelayan melihat kita dan kesulitan menahan tawa.”

“Biarkan saja mereka tertawa. Aku tak mengerti mengapa kalian para wanita takut ditertawakan.Wanita-wanita serius seperti Nyonya Ariko terlalu berlebihan bagiku, jangan sampai kau menjadiseperti dia …. Betul, bukan, Tokuko?” kata Tokitada, membelai rambut kemilau keponakannya. “TuanPutri’, mari naik ke keretaku, dan aku akan mendongeng untukmu.” Tokitada mengulurkan keduatangannya untuk menggendong gadis kecil itu, namun Tokuko malah bersembunyi di balik kimonoibunya dan mengintip pamannya sambil menggeleng. Dayang-dayang, yang berdiri di sekitar mereka,tertawa terbahak-bahak sementara Tokiko menggendong putrinya dan memasuki keretanya.

Kereta Tokitada dan sepasukan pengawal mengiringi kereta Tokiko di sepanjang jalan berapitpepohonan di Rokuhara.

Tokiko jarang meninggalkan Rokuhara; setiap kali dia melakukannya, sepasukan besar samurai selalumengawalnya. Selama bertahun-tahun dia disibukkan oleh anak-anaknya … sembilan orang, sehinggadia kerap terheran-heran kepada dirinya sendiri. Suaminya sedang berada di puncak kejayaannya, danTokiko sendiri masih

berumur awal empat puluhan. Dan melihat suaminya yang gemar bersenang-senang dan main mata,Tokiko mulai menyadari bahwa dia harus mencegah dirinya menua sebelum waktunya. Hubungangelap Kiyomori dengan Tokiwa setahun silam telah memberinya pelajaran pahit dan menimbulkan

banyak luka di hatinya. Pada masa itu, dia sering berdoa agar kesuksesan Kiyomori terhambat agarhubungan gelap semacam itu tidak terjadi lagi ….

Dibuai oleh guncangan keretanya, Tokiko tenggelam dalam renungannya: empat puluh tahun …kebanggaannya terhadap pesona ragawinya telah memudar. Bagi seorang pria, yang telah diperkayaoleh pengalaman dan kebijaksanaan, usia ini adalah saat yang tepat untuk mengambil tindakan-tindakan penting, meraih prestasi-prestasi besar; telah tiba waktu baginya untuk menghadapi seorangbocah dewasa yang mustahil dikekang ….

Kereta Tokiko mendadak berhenti dan kereta Tokitada berhenti di sampingnya.

“Tokiko, bukalah kerai jendelamu dan lihatlah ke sekelilingmu.”

“DI mana … di manakah kita sekarang?”

“Jalan Kedelapan Barat … di seberang sungai yang mengalir dari Rokuhara … itu adalah wilayahpedesaan Shimabara, Mibu. Yang di sana adalah Kamiya dan Sungai Omura …. Lebih jauh lagi diselatan, kau bisa melihat Sungai Yodo. Pemandangannya luar biasa, bukan?”

“Mengapa kau membawaku menyimpang sejauh ini dari Istana? Bukankah Istana ada di arah yangberlawanan?”

“Tidak, kita tidak sepenuhnya menyimpang ….

Lihatlah,Tokiko, lihatlah sendiri … ribuan orang sedang bekerja di sebelah sana!”

“Apakah yang sedang mereka kerjakan?”

“Mereka sedang membangun jalan baru. Kaulihat orang-orang itu menggali, mengangkut tanah, dansibuk bekerja?

Kaudengar keramaian samar-samar di kejauhan? Para tukang batu, tukang kayu, dan yang lainnyabekerja di sana.

Dalam waktu enam bulan, kau tidak akan mengenali tempat ini lagi.”

“Lalu, apakah yang akan mereka dirikan di sini?**

“Perumahan mewah dan istana-istana. Sebuah kota akan berdiri di sini tidak lama lagi … bahkan,sebuah kota di dalam kota, sebuah pusat klan Heik6!”

“Apakah Rokuhara saja tidak cukup?”

“Rokuhara sudah terlalu sesak sekarang. Aku yakin bahwa Kiyomori memikirkan masa depan, dantidak ada yang mengetahui apa yang akan dilakukan oleh pria sepintar dia. Tidak diragukan lagi,

dia terlahir sebagai seorang tokoh besar dan kau adalah istrinya. Jangan lupakan itu, Tokiko.”

“Tokitada, apa kau benar-benar yakin bahwa itu akan membahagiakanku?”

“Kau adalah seorang wanita dan kurasa kau memiliki semua alasan untuk bersyukur karenabersuamikan pria seperti itu.”

“Omong kosong, Tokitada. Rokuhara paling sesuai untukku. Semua ini hanya akan berujung padasemakin banyaknya hal untuk dikhawatirkan. Kuharap kau bisa mencegah suamiku melanjutkanrencananya.”

Tokitada terkejut ketika Tokiko menutup kerai jendelanya dengan gusar. Dia telah berepot-repotmembawanya kemari karena yakin bahwa kakaknya itu

akan senang, dan dia mulai memikirkan apakah keputusannya ini akan menghadirkan masalah baru didalam rumah tangga Tokiko.

Tokitada menghela napas. “… Wanita-wanita itu, aku tidak bisa memahami mereka. Mereka lebihserakah daripada pria, lebih keras kepala, tapi sepertinya mereka tidak menyukai hal-hal yangmenyenangkan.”

Kedua kereta itu melewati kanal di sepanjang Jalan Kedelapan dan segera tiba di depan gerbang IstanaKloister.

Adik Tokiko, Shigeko, baru setahun sebelumnya melahirkan Pangeran Noribito, putra ketiga darikaisar terguling, Goshirakawa. Shigeko telah beberapa kali memohon kepada Tokiko untuk datang danmenjenguk bayinya. Etika, bagaimanapun, mencegah Tokiko dari memenuhi permintaan adiknyahingga sang mantan kaisar sendiri mengirim undangan untuknya.

“Membosankan sekali …!” keluh Tokitada ketika menunggu. Dia datang bersama Tokiko hanyasebagai pengawal resmi sehingga tidak diizinkan memasuki bagian dalam Istana. Dari tempatnyamenunggu, dia bisa mendengar suara-suara dan gelak tawa kedua saudarinya.

Tangisan melengking seorang bayi tiba-tiba mengejutkan dan menyadarkan Tokitada bahwa dirinyaadalah paman dari sang pangeran baru. Pikiran ini sungguh mengesankan.

Tidak ada yang pernah menyangka … memiliki hubungan darah dengan seorang pangeran …. Apakahyang akan dikatakan oleh ayahnya, seorang bangsawan miskin, jika beliau masih hidup? PikiranTokitada melayang ke masa kecilnya. Mereka sangat miskin sehingga dia harus menyabung ayamuntuk melipatgandakan uang melalui perjudian …. Pikirannya kemudian melayang ke masa depan:kekuasaan, kejayaan, kebesaran yang menyaingi klan Fujiwara! Gelak tawa kedua saudarinya kembali

menggugah lamunannya. Mereka semua sama-sama bahagia … ya, gembira … namun berkat sumberyang sangat berbeda.

Mantan Kaisar sendiri mendesak Tokiko untuk makan malam di Istana, dan Tokitada pun segerabergabung bersama mereka. Mantan Kaisar memangku putri Tokiko.

membelai rambutnya, dan berkata, “Orang-orang selalu mengatakan bahwa anak perempuan biasanyamirip dengan ayahnya, dan anak laki-laki dengan ibunya, namun si kecil ini tidak memiliki kemiripansedikit pun dengan Kiyomori.”

Kebahagiaan Tokiko membuncah ketika dia melihat Mantan Kaisar membelai-belai Tokuko dan

berkali-kali mengatakan, “Kau gadis kecil yang cantik, anak yang cantik sekali! …” Tokiko merasabahwa tidak ada hal lain yang bisa menandingi kehormatan dari pujian tersebut.

“Tokiko, berapakah jumlah anakmu?” kata sang mantan kaisar.

Tokiko menjawab dengan tertawa, “Sangat banyak, sampai-sampai saya sendiri tak sanggupmenghitungnya.”

“Lebih banyak anak laki-laki atau perempuan?”

“Anak perempuan.”

“Dan si kecil ini, anak keberapa?”

“Ini putri ketiga kami.”

“Ada begitu banyak anak hingga kau tidak sanggup mengingat-ingatnya. Kalau begitu, kau tentu tidakkeberatan jika yang satu ini tinggal bersama bibinya, bukan?” ujar Mantan Kaisar Goshirakawadengan senyuman. “Apakah kau mau, Nak?”

Bocah itu tidak menunjukkan air mata; dia melepaskan diri dari pelukan Goshirakawa dan berlarimenyongsong ibunya.

“Seperti yang Anda lihat sendiri, Yang Mulia, Tokuko masih kecil.”

“Baiklah, tapi dia harus sering-sering mengunjungi bibinya agar bisa berkenalan dengan kehidupan disini. Dan setelah itu, tinggal di sini?”

Goshirakawa kemudian mengalihkan perhatiannya kepada Tokiko, dengan sopan bertanya tentangdirinya, rumah tangganya, dan kehidupan di Rokuhara; dia berbicara kepadanya tentang Kiyomori …kekuatan dan kelemahannya … mendorong Tokiko untuk menyambut gembira masa depan suaminya.Saking terpesonanya kepada sang mantan kaisar, Tokiko menceritakan banyak hal kepadanya. Dengansikap simpatik, Goshirakawa mendengarkan keluhan Tokiko mengenai suaminya dan memberikantanggapan yang memuaskan tanpa harus mencela Kiyomori:

“Tidak, memang bukan sesuatu yang mudah bagi seorang wanita untuk menjadi istri seorang priasehebat itu

…. Kendati begitu, kau tidak akan berbahagia jika bersuamikan seorang pria pengecut”

“Tidak, saya yakin bahwa seorang pria yang biasa-biasa saja, walaupun miskin, yang kerap tinggal dirumah dan memerhatikan istrinya akan jauh lebih saya sukai.”

“Ya, suamimu memang seseorang yang tak pernah kenal lelah dan senantiasa mengejar mimpi-mimpinya.” “Ya, tepat seperti itu,” Tokiko mengiyakan. “Kau bisa mendorongnya untuk sedikit lebihmendalami agama.

Kelemahan Kiyomori adalah kebiasaannya untuk

meremehkan keimanan orang lain … kesan tidak kenal takut itu.”

Semakin banyak sang mantan kaisar mengungkapkan kelemahan Kiyomori, semakin Tokikomengaguminya.

Ketika tiba waktu bagi Tokiko untuk berpamitan, Goshirakawa telah mengetahui tentang seleranya.Dia menghadiahkan sehelai kain yang langka dan indah kepada Tokiko dan memintanya untuk lebihsering berkunjung.

Pada malam yang sama, Bamboku tiba di taman mawar dan mendapati bahwa Kiyomori telahmenunggu di sana bersama Michiyoshi, si pemimpin perompak, yang sejak setahun silamdipekerjakan di Rokuhara sebagai pelayan Kiyomori.

“Pengerjaannya sudah rampung. Tuan,” kata Michiyoshi, membentangkan sebuah peta besar dihadapan Kiyomori. Sebagian dari peta itu … garis pesisir dan pelabuhan-pelabuhan di Cina … dibuatberdasarkan perkiraan; jalur-jalur yang membelah Laut Dalam juga tampak di sana.

Kiyomori membungkuk di atas peta itu dengan penuh minat “Ini? … Mendekatlah, Bamboku, danlihatlah sendiri peta ini.”

“Michiyoshi di bandar yang manakah kau berdagang di Cina?”

“Tidak ada satu bandar pun yang permanen. Semuanya tergantung pada arah angin dan pasang surutair laut.”

“Bagaimana dengan di Laut Dalam?”

“Saya belum pernah ke sana karena tidak ada pelabuhan yang bagus di sana.”

Kiyomori menunjuk empat atau lima titik di peta.

“Bagaimana dengan ini?”

“Pelabuhan-pelabuhan itu hanya cukup untuk menampung perahu nelayan dan kapal kecil.”

“Lebih jauh lagi, jika begitu?”

“Arus di luar pelabuhan tidak bisa ditebak. Jika ada kapal yang bisa mencapai Teluk Kumano,pelabuhan-pelabuhan alami yang bagus bisa ditemukan di antara pulau-pulau di sana. Tetapi, kapal-kapal dagang Cina yang besar tidak akan muat di sana.”

“Sayang sekali … ” Kiyomori mendesah dan mendongak. “Lima ratus tahun yang lalu, ketika dutanegeri kita diterima di singgasana T’ang, harta benda dari Cina mengalir kemari. Itu adalah harikejayaan …!”

“Lebih jaya daripada sekarang?”

“Tentu saja. Kau pasti menganggapnya aneh, namun aku yakin bahwa negeri kita lebih makmur limaratus tahun yang lalu, kebudayaan kita lebih cemerlang, para pemuka agama kita lebih bijaksana dan

giat, dan penduduk kita lebih menikmati kedamaian. Sungguh aneh bahwa kita tidak membuatkemajuan. Kita berjalan di tempat selama lima ratus tahun.”

“Menurut Anda, apakah alasannya?”

“Kita membiarkan diri kita terjebak di pasir isap.

Saluran-saluran untuk mendapatkan ilmu pengetahuan baru telah tersumbat … ini sudah terjadi sejakberabad-abad silam, ketika kaisar berhenti mengirim dutanya ke Istana Tang. Bagaimana menurutmu,Hidung Merah?” Kiyomori tergelak dan cepat-cepat meralat ucapannya, “Bamboku, maksudku. Nah,Pengawas Sungai Kamo, jangan terlena oleh gelarmu. Kau akan menangani salah satu dari kelima

pelabuhan di Laut Dalam dan akan mengirim sejumlah kapal ke Cina, kau tahu.”

“Ya, saya akan mempertaruhkan seluruh kekayaan saya untuk itu.”

“Apabila kita sudah memulainya … pelabuhan manakah yang pertama kaupilih?” tanya Kiyomori.

“Bagaimana dengan Pelabuhan Kanzaki di mulut sungai?”

“Tidak disarankan karena kubangan pasirnya.”

“Muro?”

‘Terlalu sempit.”

“Di manakah tempat yang tepat, jika begitu?”

“Owada (Kobe). Aku sudah berkali-kali berlayar melewatinya ketika masih bocah. Tanah Ayahkuterbentang di sepanjang pesisir di sana. Kerabatku juga tinggal di sana, dan kapal yang kutumpangiselalu melewati Owada ….

Dan setiap kali kami mencoba berlabuh di sana, angin kencang dan keadaan pelabuhan yang burukmenyulitkan kami. Semasa masih bocah pun aku sudah memikirkan apa yang bisa diperbuat untukpelabuhan di sana.”

Bamboku menatap Kiyomori dengan terkejut. “Eh, Anda sudah memiliki pikiran semacam itu sejakmasih bocah?”

“Hmm … sejak aku berumur dua puluhan karena, Bamboku, pikirkanlah … ” tidak seperti biasanya,Kiyomori berbicara dengan nada serius kepada Hidung Merah … ”aku baru saja menganugrahkansebuah gelar kepadamu …

sesuatu yang beberapa tahun silam tidak pernah kusangka akan bisa kulakukan. Dan siapakahKiyomori semasa mudanya? Seorang samurai yang dibenci oleh kaum bangsawan! Seekor anjingpenjaga dan keturunan Heik6

yang mengenaskan …. Bagaimana mungkin aku tahu ketika itu bahwa masa depan terbentang luas dihadapanku? Aku masih muda … tertindas, terinjak-injak, namun bertekad untuk tetap hidup.”

“Ya, saya masih mengingat masa itu.”

“Ya, kau tentu masih ingat, Bamboku. Kau sendiri bukan siapa-siapa di Istana ketika itu. Dan tidakada peluang bagi tumbuhnya harapan atau ambisi seorang pemuda untuk tumbuh, kecuali denganmemberontak atau bergabung dengan kelompok penjahat …. Karena itulah, setiap kali aku berlayarmelewati Owada bersama ayahku, aku selalu bermimpi bahwa akan tiba suatu hari ketika akumembelah sebagian bukit itu dan melihat sebuah kapal membuang sauh di pelabuhannya. Tempat ituakan menjadi bandar perdagangan besar yang didatangi oleh kapal-kapal dari Cina. Itulah angan-anganku setiap kali memandang laut.”

Hidung Merah, yang mendengarkan dengan saksama, mengatakan, “Ternyata saya salah. Sayamenyangka bahwa semua ini adalah impian liar yang baru saja terlintas di benak Anda.”

“Tidak, aku sudah memupuknya selama dua puluh tahun. Bermimpilah, bermimpilah selagi kau muda,Bamboku. Impianku, seperti yang bisa kaulihat sendiri, telah mulai terwujud. Ini adalah sebuahkebahagiaan yang tidak tertandingi oleh apa pun bagiku. … Kurasa, tidak hanya dirimu yangberanggapan bahwa semua ini hanyalah angan-angan liarku?”

Kiyomori jarang merenung hingga sepanjang itu; sekarang, matanya berkaca-kaca, terpesona padaimpiannya sendiri. Bamboku mengenang Kiyomori setahun silam …

ketika dia tengah tergila-gila kepada Tokiwa … dan nyaris tidak percaya bahwa dia sedangmemandang pria yang sama. Kiyomori melipat peta di hadapannya sementara para pelayan mulaimenghidangkan sake dan makanan; para pria lain di rumah itu segera bergabung bersama merekauntuk minum-minum dan menikmati hiburan.

Kiyomori menenggak bercangkir-cangkir sake, menonton para geisha dengan pikiran melayang karenamabuk; baginya, tabuhan genderang terdengar bagaikan deburan ombak di laut.

Sementara itu, sebuah kereta bergerak tanpa suara melewati gerbang, dan Tokiko keluar denganmenggendong Tokuko yang tertidur nyenyak.

Kiyomori meninggalkan tarian dan nyanyian di belakangnya dan menyusuri lorong menuju kamarTokiko.

Tokiko melihat bahwa, tidak seperti biasanya, suaminya sedang gembira dan penyebabnya bukanminuman. Tokiko sendiri, yang sedang tidak sekaku biasanya, dengan penuh semangat menceritakansetiap detail kegiatannya hari itu kepada suaminya.

Pertanyaan pertama Kiyomori adalah “Bagaimana kabar sang pangeran cilik?”

“Beliau sehat, dan sangat mirip dengan ayahnya.”

“Mm …. Bagaimana kabar Shigeko?”

“Yang Mulia juga baik-baik saja.” Tokiko meralat dengan senyuman menawan.

“Apakah kau berbicara panjang lebar dengan Yang Mulia Mantan Kaisar? Apakah beliau mengatakansesuatu?” adalah pertanyaan Kiyomori yang selanjutnya.

“Ya, beliau begitu ramah, dan aku merasa sangat terhormat karena pertanyaan-pertanyaan beliautentang keluarga kita dan pendapatnya mengenai dirimu.”

Kiyomori mencermati ekspresi wajah Tokiko ketika sedang berbicara. Dia menyadari bahwa sangmantan kaisar sedang sebisa mungkin berusaha mendapatkan dukungan militer dari dan seluruh klanHeik6. Kendati begitu, Tokiko terus mencerocos tentang pesona, kelembutan, dan kebaikan hati YangMulia.

Kiyomori terpaksa menguap untuk mengakhiri pembicaraan mereka. “Aku senang kau menikmatiharimu,” katanya. “Bagus bagimu jika sesekali keluar rumah. Aku akan tidur lebih cepat karena harusmengikuti pertemuan di Istana besok pagi,” ujarnya seraya berdiri.

“Oh, tinggallah di sini untuk mengobrol lebih lama denganku,” pinta Tokiko.

“Masih adakah yang hendak kauceritakan kepadaku?”

“Ya, aku terkantuk-kantuk di kereta di sepanjang perjalanan pulang tadi dan mendapatkan mimpi yangsangat aneh.”

“Mimpi?”

“Mungkin bukan mimpi …”

“Omong kosong!”

“Mimpi ataupun bukan, penajamanku tadi sangat luar biasa. Kejadiannya tepat setelah kami tiba dijembatan Gojo. Tokuko tertidur di pangkuanku, dan aku juga pasti tertidur, karena mendadak keretakami seolah-olah terbang ke awan; derak kereta tidak lagi terdengar, tapi aku malah mendengardeburan ombak …. Aku memandang ke

sekelilingku, dan ternyata kami sedang terbang di atas laut Aku memikirkan ke mana aku dibawa danmenangis di dalam tidurku, dan tahukah kamu? … alih-alih seekor sapi.

sepasang rubah menarik kereta kami! Lalu, aku melihat sebuah pulau yang seindah puncak-puncaksurga menjelma di hadapanku; sebentuk pelangi melengkung di langit, dan sebuah suara terdengarolehku … ’Itsuku-shima … Itsuku-shima,’ katanya. Kemudian, rubah-rubah itu lenyap, dan akuterbangun oleh deburan ombak dan petikan harpa.”

“Kau terbangun?”

“Bahkan setelah benar-benar terjaga, aku masih bisa mendengar alunan musik dan suara di awan yangmengatakan, ‘Itsuku-shima.’

Aku bahkan masih bisa mendengarnya sekarang! Aku mendengarnya selama di dalam kereta.”

“Bisakah kau menjelaskan makna mimpimu itu?”

“Apakah kau masih ingat waktu itu … kau masih berumur tiga puluh tahun saat itu, sepertinya …ketika kau berburu karena membutuhkan bulu rubah untuk baju zirahmu? Peristiwa itu terjadi setahun

setelah pertikaian dengan para biksu, dan kau harus menjauhi Istana.”

“Oh, ya, aku ingat masa itu.”

“Apakah kau masih ingat bahwa kau jatuh iba pada rubah-rubah itu dan lebih memilih untuk pulangdengan tangan hampa daripada memanah mereka?”

“Hebat sekali ingatanmu!”

“Aku belum pernah menceritakan ini kepadamu, tapi sejak saat itu, aku menyimpan kecapi, yangdihadiahkan oleh Shinzei kepadamu, di ruang peribadatan kita dan mempersembahkannya kepadaDewi Musik karena rubah

adalah kurirnya dan kecapi adalah alat musik kesukaannya.”

“Gagasanmu itu bagus sekali. Walaupun Shinzei bukan kenangan yang bagus, aku yakin arwahnyabahagia karena persembahanmu kepada sang dewi.”

“… Jadi, makna mimpiku adalah, kurasa, sebuah pertanda bahwa rubah-rubah itu mengawasi rumahkita.

Tidakkah kau berpikir bahwa kurir-kurir sang dewi datang untuk mengingatkan kita bahwa kitasesekali harus memberikan penghormatan kepada dewa klan Heik6 di Itsuku-shima?”

“Apakah tempat pemujaan untuk dewa klan kita terletak di Itsuku-shima?”

“Begitulah kata ibu tirimu. Kakekmu, begitu pula ayahmu, yang memiliki tanah di sana, telahbeberapa kali datang ke Itsuku-shima untuk berdoa.”

“Ya, kau benar. Begitulah.”

“Kecuali dua kali peperangan, kita tidak pernah mendapatkan kemalangan apa pun … bahkan, selainsemua hal berjalan dengan lancar, Shigeko sekarang menjadi ibu bagi seorang pangeran, dan aku tidakpercaya bahwa ini hanyalah kebetulan semata. Kuharap kau mau memberikan penghormatan kepadapara dewa dan, seperti ayahmu, sesekali melakukan ziarah ke tempat pemujaan klan kita.”

“Hmm …. Maksudmu, Itsuku-shima?”

“Ya, Itsuku-shima.”

“Ya, aku akan pergi ke sana tahun ini.”

Kiyomori, yang biasanya gusar setiap kali ibu tirinya menegurnya karena tipisnya keimanannya,mengejutkan Tokiko dengan persetujuannya.

“Kau serius?” Tokiko menyangsikannya.

Kiyomori tidak bisa menahan tawa ketika melihat mimik wajah Tokiko. Dia sepenuhnya memahamijalan pikiran istrinya, namun sesekali dia bersedia berlagak seperti seorang suami bodoh yang

mengikuti apa pun saran istrinya. Ya, dia memercayai mimpi Tokiko; dia akan melakukan apa punyang diharapkan oleh Mantan Kaisar; dia akan berusaha untuk menjadi seorang abdi setia dan suamiyang baik. Semuanya akan dilakukan tepat seperti yang dikatakan oleh istrinya.

‘Tidak, aku tidak akan mengolok-olok agama, dan aku berjanji kepadamu untuk melakukan perjalananziarah ke Itsuku-shima tahun ini, apa pun yang terjadi. Aku berjanji

… tidak, aku bersumpah.”

o0odwkzo0o

Bab XXXIX-TABIB ASATORI

Asatori meninggalkan rumah Momokawa dan dengan hati riang menuruni bukit. Setahun telah berlalusejak dia menyampaikan surat pengantar dari Mongaku kepada Tabib Momokawa dan diterimasebagai muridnya. Ada beberapa orang lain yang menimba ilmu kepada Momokawa, namun semangatAsatori dan pengalaman yang didapatkannya dari merawat orang-orang sakit di pemukiman kumuhternyata bermanfaat di dalam pendidikannya … pembedahan, pelajaran tentang tubuh dan tanamanherbal, dan pengetahuan tentang berbagai aliran pengobatan baru dari Cina. Seandainya Asatorimemilih untuk menjadi pemain musik di Istana, dia mungkin akan mendapatkan kehormatan danketenaran, namun di dalam jalan hidup yang dipilihnya, kemiskinan di antara kaum

papa, dia mendapatkan kepuasan yang tidak pernah dirasakannya di Istana. Dalam keadaan kelaparannyaris sepanjang waktu, sesuatu di dalam kehidupan barunya memberikan rona di pipi tirusnya.

Di seluruh ibu kota, pohon-pohon paulownia telah berkembang, dan Asatori mendesah ketikamendongak untuk memandang bunga-bunga itu. Sejak kuntum-kuntum ungu paulownia berguguranhingga musim gugur tiba, wabah penyakit melanda pemukiman kumuh. Dalam beberapa tahun, wabahtersebut melanda lebih dahsyat daripada biasanya; dia baru saja membaca tentang penyakit disentriyang mematikan, yang belum ditemukan obatnya walaupun kekejamannya telah diketahui oleh semuaorang.

Orang kaya maupun miskin rawan terkena penyakit itu, dan mereka yang sudah tertular tidak bisamelakukan apa-apa kecuali menunggu kematian hingga wabah mereda. Ribuan penduduk ibu kotatelah kehilangan nyawa akibat penyakit disentri tahun lalu, hingga hujan salju pertama turun.

Asatori berdoa agar kejadian yang sama tidak terulang kembali tahun ini, karena sepertiga pendudukJalan Pedagang Sapi telah tewas akibat wabah terakhir.

“Asuka, apakah yang sedang kaulakukan di sini?”

Asatori bertanya dengan heran ketika tiba di Jalan Keenam.

Sebatang paulownia berbunga berdiri di tepi padang rumput berpagar di dekat Jalan Pedagang Sapi.Seorang gadis tengah menunggu Asatori di bawah pohon itu.

“Akhirnya, Asatori!” seru Asuka, berian menyongsong Asatori dan menangis sambil menyambutuluran tangannya.

“Ada apa, Asuka? Apakah kau sedang menungguku?”

“Ya … ”

“Apakah Ular datang lagi?”

“Dia datang lagi hari ini dan membentak-bentak kami, mengatakan bahwa dia akan membawaku lagi.Karena itulah aku kabur dan menunggumu di sini.”

“Kau tidak perlu takut,” Asatori menenangkannya. “Aku akan menebus utang orangtuamu kepadanya,dan aku yakin dia tidak akan memaksamu lagi.”

Kekumuhan terlihat bersama setiap belokan yang membawa mereka mendekati Jalan Pedagang Sapi.

Setibanya mereka di pondok berdinding lempung milik si perajin roda kereta, Ular masih ada di sana,mengancam si perajin dan istrinya yang ketakutan. Ular ditemani oleh seorang wanita tua berpakaianmencolok, yang menjelaskan dengan keramahan palsu, “Kau tidak perlu menghabiskan seluruhkehidupanmu di lingkungan mengenaskan ini, bukan? Aku kemari untuk memberimu beberapa nasihat… dan kau memiliki anak perempuan yang secantik itu! Tidak pernahkah kau memikirkan masadepannya?”

Ryozen dan istrinya tidak sedikit pun menunjukkan tanda-tanda kepasrahan, namun Ular terusmendesak mereka. “Baiklah, kalau begitu, aku akan meminta kalian untuk sekarang juga melunasiutang kalian dari tahun lalu.

Jika bukan karena itu, Asuka tidak akan ada di sini sekarang … aku pasti sudah menjualnya kepadaseseorang di timur laut Jangan bilang bahwa kalian sudah melupakan itu! Memangnya untuk apa akulagi-lagi mau meminjami kalian uang pada musim semi lalu? Karena kalian mengatakan bahwa akusangat kejam lantaran merenggut putri kalian yang masih kecil. Dan sekarang, wanita ini berjanjiuntuk mendidiknya menjadi seorang geisha. Apa lagi yang kalian keluhkan? Ini lebih daripada yanglayak kalian dapatkan!”

Asatori dan Asuka menerobos kerumunan para tetangga penasaran di depan pintu. Ular dan temannyasepertinya gelisah melihat kerumunan orang yang memerhatikan mereka.

“Kami akan kembali lagi di lain waktu. Kalian berdua, pikirkanlah tawaran dariku ini,” ujar Ulardengan garang sebelum pergi.

“Dia pantang menyerah … si Ular itu. Kalian sebaiknya mengawasi Asuka. Iblis sedangmemburunya,” Asatori menasihati seraya memeriksa Ryozen, yang seperti biasanya sedang sakit.“Apakah obatmu masih ada? Segera setelah obatmu habis, kau harus mengirim seseorang kepadakuuntuk mengambil tambahannya,” katanya dengan ramah. Setelah berbincang-bincang sejenak dengansi sakit, Asatori pulang.

Keesokan harinya, Asuka mendatangi rumah Asatori.

“Asatori yang baik, orang itu menyuruh kami untuk mengembalikan jepit rambut ini kepadamu.Apakah ini milikmu?” katanya, menyerahkan benda itu kepada Asatori.

Jepit rambut indah yang terbuat dari emas dan perak itu, yang nyaris tampak terlalu mewah bagiseorang pemusik istana sekalipun, didapat oleh Asatori dari ibunya ketika dia beranjak dewasa, jepitrambut itu biasa dikenakan oleh para pemain musik istana dalam acara-acara resmi. Ibu Asatorimemesan jepit rambut itu untuk putranya setelah sebelumnya menjual beberapa barang, dan benda itumenjadi salah satu harta paling berharga yang dimiliki oleh Asatori. Setelah berjanji untuk menebusutang Ryozen kepada Ular, Asatori membujuk Ular agar mau menerima satu-satunya benda mahalyang dimilikinya.

“… Apakah kau serius mengatakan bahwa si serakah itu mengembalikannya?”

“Ya,” jawab Asuka.”

“Mengapa dia mengembalikannya?”

“Entahlah.”

“Tapi, aku tidak percaya dia melakukan itu, kecuali jika dia memang berniat untuk datang lagi. Kausebaiknya menyimpan jepit rambut ini, Asuka, siapa tahu dia memang berniat begitu ….Aku tidakmembutuhkannya lagi.”

Asuka menerimanya dengan enggan, dan baru setelah gadis itu pergi, Asatori melihat jepit rambutnyatelah tergeletak di atas salah satu peti yang digunakannya untuk menyimpan buku-bukunya. Asukakerap mengunjunginya sejak dia menyelamatkannya dari Ular. Akhir-akhir ini, bagaimanapun, Asukalebih sering menghabiskan waktu bersamanya lebih daripada bersama orangtuanya, dan Asatori, yangsemakin menyayanginya, mengajarinya membaca dan menulis. Asatori mengagumi bakat Asuka,karena gadis itu tidak hanya pintar membuat kaligrafi tetapi juga lihai dalam menulis puisi. Walaupunjarang ditemui di kalangan kaum rakyat jelata, ayah Asuka, mantan pelayan seorang bangsawan yangdihukum mati setelah Perang Hogen, telah mendidik putrinya seperti layaknya seorang gadis istana.

Sepertinya tidak ada tanda-tanda wabah penyakit pada tahun ini, namun udara dingin, yang tidaksesuai dengan musim, membusukkan dan mengerutkan gabah dan bibit gandum. Dengan gelisah,orang-orang membicarakan tentang musim paceklik dan bencana kelaparan yang mengancam padamusim dingin.

Pada suatu hari, Asatori berjalan kaki pulang dari rumah Tabib Momokawa. Sambil menghampiripintu rumahnya, dia berseru memanggil Asuka, berharap gadis itu ada di

sana dan merapikan rumahnya. Dia tidak mendengar jawaban, namun begitu melewati ambang pintu,dia disambut oleh tamu lain, Yomogi, yang memelototinya dengan kesal. Dia mengedarkan pandanganuntuk mencari Asuka dan mendapati gadis itu sedang duduk dengan marah di dapur. Kedua gadistersebut tidak mengatakan apa-apa. Setelah keheningan yang panjang, Asatori berkata,

“Astaga, ada apa sebenarnya ini?” Dia kebingungan ketika melihat mata kedua gadis itu berkaca-kaca.

“Ah, Yomogi, aku senang karena bisa bertemu denganmu lagi! Kita sudah lama tidak berjumpa,bukan?”

“Apa kabar, Asatori?” jawab Yomogi sambil mengangguk kaku. “Kau mungkin sudah mendengarbahwa nyonyaku mendadak menikah pada musim gugur silam.”

“Ya, aku sudah mendengarnya.”

“Sejak saat itulah aku kesulitan keluar, karena beliau selalu dikelilingi oleh para pelayan aneh danmenghendakiku untuk sesering mungkin berada di dekatnya.”

“Beruntung sekali dirimu! Tapi, kau tidak sepantasnya mendatangi tempat ini, meskipun aku akansenang jika bisa sesekali bertemu denganmu.”

“Aku yakin kau senang karena aku tidak bisa sering-sering mengunjungimu.”

“Oh, sama sekali tidak!” Asatori menyangkal sambil tertawa.

“Tapi … aku mengerti. Aku sudah melihatnya sendiri.”

“Ada apa ini? Apa maksudmu?”

“Tidak ada … tidak ada sama sekali.”

Yomogi memalingkan wajah dan menangis tersedu-sedu.

Asuka, yang memerhatikan mereka tanpa berkata-kata, mendadak bangkit dan berlari keluar rumahdengan kaki telanjang.

“Asuka! Hei, Asuka, kau hendak ke mana? Ada apa sebenarnya?”

Asatori melongok dari jendela dan memanggilnya senyaring mungkin, namun Asuka tidak maukembali.

Asatori, yang masih bingung, mulai menduga bahwa Yomogi dan Asuka bertengkar sebelum diadatang. Mereka pasti bersilat lidah gara-gara masalah sepele, pikirnya dengan geli sebelum kembalimenemui Yomogi. Dia terkejut ketika mendapati bahwa Yomogi bukan lagi gadis kecil yangdikenalnya sekitar setengah tahun silam.

Segala sesuatu di dalam diri Yomogi sepertinya telah berubah … caranya menata rambut dan bersikapmenunjukkan bahwa dia telah menjadi seorang wanita muda. Mungkinkah, Asatori membatin, nalurikewanitaan, yang muncul pada usia tujuh belas tahun, telah sepenuhnya mengubah Yomogi menjadisosok memesona ini? Asatori kemudian menyimpulkannya sebagai suatu kewajaran yang luput daripantauannya. Dia kembali bertanya:

“Yomogi, apakah Asuka tadi melakukan sesuatu yang melukai perasaanmu?”

“Tidak, sama sekali tidak,” Yomogi menjawab dengan ketus, lalu menambahkan, “Aku bahkanmengira dia bisu karena dia tidak mengucapkan sepatah kata pun ketika pertama kali melihatku.”

“Dia jarang bertemu dengan siapa pun kecuali para penduduk di sini. Dia miskin dan sangat malukarenanya.”

“Tidak, kurasa bukan itu masalahnya.”

“Kalau begitu, apakah itu?”

“Dia memelototiku seolah-olah dia ingin mengusirku.

Aku mengira kau akan menikahinya. Benarkah itu, Asatori?”

Asatori terpana. Jengah oleh tatapan menyelidik dari Yomogi, dia terpaksa membuang muka. Diamerasakan wajah dan telinganya memanas ketika menyadari bahwa dialah alasan tatapan cemburu

itu. Tetapi, dia terkejut ketika menyadari bahwa seorang gadis secantik Asuka juga bisa merasacemburu. Dia memikirkan apakah Yomogi telah memiliki perasaan berbeda kepadanya pada musimgugur silam, ketika dia masih memperlakukannya seperti layaknya seorang bocah.

“Apakah nyonyamu menyuruhmu kemari?” Asatori bertanya, mengalihkan pembicaraan.

“Tidak, aku ingin meminta nasihatmu dalam suatu perkara.”

“Oh …?” tanya Asatori, menantikan penjelasan.

“Asatori, aku berpikir untuk meninggalkan majikanku dan hidup di sini. Bagaimana pendapatmutentang itu?”

“Maksudmu, kau akan meninggalkan Nyonya Tokiwa?”

“Aku tidak senang memikirkan akan meninggalkan beliau sendirian di sana, tapi … ”

‘Tapi, kau sudah menyertai beliau semenjak putra-putranya lahir, bukan? Aku khawatir beliau akankehilangan dirimu.”

“Ya, aku juga sudah memikirkannya secara mendalam.”

“Apa yang membuatmu berpikir bahwa dirimu ingin menjalani kehidupan di sini?”

“Bukankah kau selalu mengatakan kepadaku bahwa kemewahan hanya ada di permukaan? Bahwa kitatidak bisa membandingkan orang kaya dengan orang miskin, karena kau justru menemukan kebaikansejati di antara mereka? Aku sudah memikirkannya, dan aku yakin bahwa kau benar.”

“Tapi, Yomogi, tidak ada alasan bagimu untuk memilih kehidupan sengsara di sini padahal adabanyak orang yang bersedia melakukan apa pun untuk pergi dari sini!”

“Aku sudah muak dengan kemewahan. Ketika aku mengetahui bahwa kau melepaskan pekerjaanmusebagai pemain musik istana karena merasa sepertiku, aku menyadari bahwa aku juga ingin tinggal disini.”

“Tidak, kau tidak akan sanggup hidup di sini setelah lama bergelimang kemewahan. Kau harusberbicara kepada nyonyamu dan mendengar pendapat beliau tentang keinginanmu ini”

‘Tentu saja beliau akan menghentikanku. Sejujurnya, perasaanku kepada beliau sudah berubah,terlebih lagi setelah apa yang terjadi antara beliau dengan Tuan Kiyomori, lalu beliau menikah lagi.Dan walaupun kecantikan beliau sungguh memesona, memalukan sekali Yomogi telah dewasa, renungAsatori; dia telah menjadi seorang wanita yang bisa menilai wanita lain. Dia mulai meragukanmajikannya dan gelisah ingin menjalani masa depannya sendiri. Tetapi, Asatori risau ketikamenyadari bahwa Yomogi memintanya untuk berbagi masa depan bersamanya. Bagaimanakah diaakan menolak Yomogi?

Hati Asatori mencelus ketika dia memikirkan tugas yang diembannya. Tetapi, Yomogi sepertinyasenang hanya dengan berada di sana, mengobrol dengannya dan mengabaikan waktu yang terusberjalan. Ketika malam tiba,

Yomogi membantu Asatori menyiapkan makan malam sederhana dan mereka pun menyantapnyabersama.

“Kau sebaiknya pulang sekarang,Yomogi”

“Ya, tapi segera setelah nyonyaku mau melepaskan ku, kau akan mengizinkanku tinggal di sini, bukan,Asatori?”

Tetapi, Asatori membungkamnya dengan mengatakan,

“Yah, apabila Mongaku sudah tiba kembali di ibu kota, kau harus menanyakan pendapatnya. Jangantergesa-gesa mengambil keputusan.”

Asatori mengantar Yomogi hingga tiba di persimpangan jalan, lalu kembali ke rumahnya danmendapati bahwa lenteranya menyala. Api lentera bergoyang-goyang tertiup angin sepoi-sepoi; diamengangkat lentera dan meletakkannya di atas meja, lalu mulai membuka buku-buku pengobatannya.Kemudian, dia mendengar percikan air di dekat rumahnya; gemeretak galah bambu. Dia melongok keberanda dan melihat sebatang galah bambu telah disangkutkan di antara cabang-cabang sebatangpohon; sesosok gadis bertubuh mungil

sedang menggapai untuk menjemur cucian. “Kaukah itu, Asuka, yang ada di luar sana? Jangan coba-coba mencuci di tengah kegelapan. Masuklah kemari, di sana dingin.”

“Tapi, kalau aku mencuci sekarang, kau akan memiliki kimono bersih untuk kaukenakan besok.”

“Oh, sebaik itukah dirimu hingga mau mencucikan baju kotorku?”

“Aku baru mulai melakukannya tadi siang, waktu tamumu datang, jadi … ” kata Asuka, dengan malu-malu berjalan ke beranda. Dia akhirnya duduk di samping Asatori, dengan lembut merawat jarinyayang sakit.

“Kau terkena serpihan kayu?”

“Dari galah bambu itu.”

“Mana, biar kuperiksa.” Asatori menarik tangan Asuka dan mendekatkannya ke matanya. “Di siniterlalu gelap, masuklah ke dekat lentera.” Asatori menggunakan sebuah penjepit untuk mencabutserpihan bambu yang memasuki jari Asuka. Asuka memasrahkan tangannya dan sepertinya tidakkeberatan dengan rasa sakitnya.

“Ah, ini dia … sudah keluar! Kau pasti kesakitan, jarimu berdarah.”

“Tidak, tidak apa-apa.”

“Perdarahannya akan segera berhenti,” Asatori menenangkannya, mendekatkan jari Asuka kemulutnya dan mengisapnya. Asuka tiba-tiba menangis. Asatori cepat-cepat memeluknya danmembuainya seolah-olah Asuka seorang bocah kecil.

“Mengapa kau menangis, Asuka?” tanyanya.

“Karena aku bahagia … sangat bahagia,” jawab Asuka di antara isak tangisnya.

“Berhentilah menangis, kalau begitu.”

“Aku menangis karena aku tidak akan bisa datang kemari lagi.”

“Mengapa kau berkata begitu?”

Asuka tidak mau menjawab dan Asatori terus mengayun-ayunnya di atas pangkuannya. Anak malang,pikirnya, begitu haus kasih sayang, anak pemukiman kumuh ini.

“Asuka, mengapa kau meninggalkan jepit rambut yang kuberikan kepadamu tempo hari? Kau harusmembawanya malam ini … kau tidak boleh malu.”

“Apakah jepit rambut itu benar-benar untukku?”

“Kau tahu, kau bisa menjualnya. Untuk membeli baju yang bagus, mungkin?”

“Tidak … ” Asuka menggeleng. Dia menggenggam jepit rambut itu dan akhirnya tersenyum. “Akuakan menyimpannya selamanya … seumur hidupku.”

Asuka akhirnya pulang setelah kesedihannya mereda, dan Asatori kembali menekuni buku-bukunya.Tetapi, malam ini, isi buku-buku itu sepertinya mustahil untuk dipahami, dan percuma saja diamembacanya.

Sekitar seminggu kemudian, Asatori, yang telah dua atau tiga hari tidak bertemu dengan Asuka,singgah di rumah Ryozen sebelum pulang ke rumahnya. Dia terperangah ketika mengatahui bahwaseorang bocah bungkuk dan seorang pincang telah pindah ke rumah Ryozen dengan membawa seluruhharta mereka … sebuah kuali dan sebuah ember kayu.

Si pincang berkata dengan nada dengki. “Kau mencari Ryozen? Dia sudah pindah kemarin lusa kesebuah rumah bagus di daerah pusat hiburan sana … jauh berbeda dari gubuk lempung ini. Kudengarseorang kaya sudah menjemput putrinya. Aku hanya punya si bungkuk ini; tidak seorang punmenghendakinya waiaupuan aku mau memberikannya. Kau tabib, bukan? Kau bisamenyembuhkannya, bukan?”

Malam itu, Asatori seperti biasanya menyibukkan diri dengan buku-bukunya, namun dia kesulitanmemahami apa yang dibacanya karena wajah Ular dan si mucikari tua terus

menerus berkelebat di antara dirinya dan bukunya yang terbuka. Dia juga sakit hati karena Ryozentidak berpamitan kepadanya. Pertemanan semacam itu sudah biasa di lingkungan kumuh, tempatorang-orang datang pada pagi hari dan pergi begitu saja pada malam hari; peristiwa seperti ini sudahsering terjadi, katanya kepada dirinya sendiri; dia tidak memiliki alasan untuk merasa sakit hati. Diatak henti-hentinya memikirkan Asuka. Gadis itu bukan anaknya. Lagipula, apakah yang bisadiperbuatnya untuk Asuka? Apakah yang membuatnya tertarik kepada Asuka?

Sejumlah ngengat dan serangga kecil bertebaran di atas meja dan buku-bukunya, menjemput ajalbersama godaan api. Sebagian serangga itu tampak cantik dan rapuh …

seperti Asuka; sebagian yang lain … yang buruk rupa …

mengingatkannya kepada Ular. Apakah yang bisa dilakukan oleh Asatori selain mengobati orangsakit?

Membahagiakan Asuka? Mana mungkin! Mengapa dia percaya bahwa dirinya bisa menolong oranglain? Sudah menjadi seangkuh itukah dirinya sehingga merasa sanggup menanggung beban mahaberatbagi seorang manusia? Dia bahkan tidak mampu menyembuhkan orang sakit!

Asatori keluar dari rumahnya dan mengguyurkan seember air sumur ke tubuhnya, sebagian untukmengusir rasa kantuknya.

Ketika sedang mengeringkan diri dan mengenakan kimono katunnya, dia melihat orang-orang berdiridi atas atap, berseru-seru, “Dari manakah asal apinya?”

“Dari Horikawa.”

“Di daerah hiburan malam atau sekitarnya.”

Asatori mendongak dan melihat pendar merah di langit.

Ketika mendengar bahwa api berasal dari suatu tempat di pusat hiburan, dia mendadak tergoda untukmengikuti

derap kaki orang-orang. Tetapi, dia malah kembali ke rumahnya, menutup kerai-kerai jendelanya, danbersiap-siap tidur. Sesekali, dia mendengar buah kesemek mentah jatuh dan bergulir di atap tipis diatas kepalanya.

o0odwkzo0o

Bab XL-PERMATA LAUT

DALAM berombongan kecil perahu sedang bersiap-siap untuk bertolak menuju Yodo, dan parapengantar bersorak sorai di tepi sungai. Meredanya kesibukan di Istana yang bertepatan dengankehadiran musim panas akhirnya memberikan kesempatan kepada Kiyomori untuk melakukanperjalanan ke Itsuku-shima dan beribadah di tempat pemujaan leluhurnya. Perahu dari berbagai jenisdan ukuran ada di sana: perahu berkabin, perahu pengangkut kuda-kuda dan persenjataan, perahupengangkut bahan makanan, semuanya memenuhi sungai dan siap diberangkatkan.

“Apakah Tokitada belum juga datang?” Kiyomori bertanya dengan gusar.

“Dia akan tiba sebentar lagi,” jawab Norimori untuk menenangkan kakaknya yang tidak sabaran.

Bersama Norimori dan dua orang panglimanya, Michiyoshi si mantan perompak, akan mengawalKiyomori dalam perjalanan melintasi Laut Dalam yang telah diakrabinya. Para tukang kayu, tukangbatu, tukang angkut, dan pekerja lainnya juga termasuk di dalam rombongan beranggotakan sekitartiga puluh orang itu.

Kiyomori menoleh ke arah Hidung Merah, yang berdiri di belakangnya. “Bamboku,” katanya,“Tokitada belum datang. Apakah sebaiknya kita berangkat tanpa dirinya?”

“Yah, kita bisa menunggu sebentar lagi. Tuan Tokitada terlambat, namun pasti akan datang.”

“Apakah menurutmu yang menghambatnya?”

“Bukan urusan Istana melainkan urusan yang melibatkan salah seorang pelayannya. Ada kebakaran diwilayahnya semalam.”

“Mengapa perkara itu sampai membuatnya terlambat?”

“Saya mendengar bahwa salah seorang pelayannya berkelahi dengan pelan seorang bangsawan, danitulah penyebab kebakaran semalam.”

“Perkelahian antara kedua prajurit itu?”

“Sepertinya perkelahian semacam itu semakin sering terjadi akhir-akhir ini. Para pengawal di IstanaKekaisaran dan Istana Kloister kerap saling menghina dan memancing perkelahian.”

“Persaingan para penguasa telah merembes ke bawah?

Patut disayangkan … ”

“Kemarahan para prajurit sepertinya belum mereda sejak pembantaian besar-besaran dalam duaperang terakhir. Saya tidak suka mengatakannya … tapi, para samurai semakin semakin beringasakhir-akhir ini.”

“Kita harus mengabaikan persoalan itu untuk saat ini.

Mereka sudah sangat lama tertindas dan baru mulai mendapatkan kekuasaan. … Tapi, apakah yangsebenarnya terjadi semalam?”

“Si pelayan minum terlalu banyak dan menghujat selir kedua Yang Mulia …. Pelayan lainnyamendengarnya dan membantahnya. Itulah awalnya.”

“Pertengkaran itukah yang menyebabkan kebakaran?”

“Begitulah.”

“Kita bisa mengabaikan kelakuan pongah para prajurit rendahan itu, namun menyulut api danmenjadikan politik sebagai alasan pertengkaran pribadi tidak bisa ditoleransi.”

“Sepertinya memang para prajurit ini menjadikan pertikaian antara pemimpin mereka sebagai alasanpertengkaran mereka.”

“Apa yang bisa dilakukan oleh para prajurit itulah yang mengkhawatirkanku. Kuharap Tokitada bisamengawasi mereka selama aku peragi.”

“Oh, itu Tuan Tokitada … tepat pada waktunya!”

Wajah Kiyomori tampak berseri-seri ketika dia mengedarkan pandangan ke tepi sungai dan melihatTokitada turun dari kudanya di tengah-tengah deretan kereta. Dia sepertinya sangat terburu-buru;setelah berhasil menerobos kerumunan pengantar, Tokitada naik ke perahu Kiyomori.

Di balik kerai yang tertutup, Kiyomori dan Tokitada berbicara selama beberapa waktu. Kiyomorimenganggap Tokitada sebagai tangan kanannya dan mengandalkannya lebih daripada adik-adiknyasendiri.

“… Baiklah, kalau begitu, aku akan menyerahkan tanggung jawab kepadamu,” Kiyomori mengakhiripembicaraan, dan Tokitada segera menuju tepi sungai untuk bergabung dengan rombongan pria danwanita dari Rokuhara, yang datang untuk melepas kepergian Kiyomori.

Di musim kemarau ini, permukaan Sungai Yodo menyurut Lambung perahu menyentuh dasar sungaidi bagian terdalam sekalipun sehingga para awak perahu dan prajurit terpaksa harus menarik ataumendayung dengan giat untuk melewati bagian yang dangkal. Tanpa adanya angin yang bertiup,panasnya udara nyaris tak tertahankan.

Kiyomori berencana untuk berlayar mengikuti arus Sungai Kanzaki menuju teluk, dan dari sanaberalih ke kapal laut menuju Bandar Owada (Kob6), namun kedangkalan sungai mengharuskanrombongannya untuk menunggang kuda keesokan harinya dan melanjutkan perjalanan melintasihamparan pasir yang kering kerontang di sepanjang pesisir. Mereka jarang melihat tanda-tandakehidupan manusia di sana; angin barat daya tanpa henti-hentinya

menyemburkan serpihan daun cemara ke pantai, dan dari waktu ke waktu, mereka melihat sampah-sampah dari Cina mengapung di permukaan laut, terbawa oleh arus dan angin. Tetapi, udara hari itucerah dan rombongan Kiyomori bersemangat tinggi.

Daerah yang mereka lalui, dan yang mereka sebut Fukuhara … Dataran Keberuntungan …menghadirkan banyak kenangan bagi Kiyomori.

“… Di sinilah kami berlabuh pada 1153, ketika aku berlayar bersama ayahku. Kami hendakmeredakan pergolakan di barat dan mendarat di sini …. Perkampungan nelayan itu dan pepohonanpinus yang di sana tidak banyak berubah. Hanya waktu yang berubah … dan aku.”

Seluruh tanah kekuasaan Heik6 … Is6. Bingo, Higo, Aki, Harima … berbatasan dengan laut. Semuakenangan masa muda Kiyomori mengenai ayahnya, pencapaian-pencapapain Heik6, tidak bisadilepaskan dari laut, dan

Fukuhara merupakan tautan antara peristiwa menentukan pada masa lalu dan angan-angan masa depanKiyomori.

Selama hampir tiga minggu, Kiyomori tinggal di Fukuhara untuk melakukan berbagai persiapan. Padatahap itu, dia kerap mengajak Bamboku menjelajahi wilayah perbukitan dan pegunungan di sekitarsana, atau menghabiskan seharian untuk berkeliaran di bawah sinar matahari yang terik. Di lain waktu,Kiyomori memerintah kepala pekerjanya untuk melakukan pengukuran kedalaman air di sekitarSemenanjung Owada dan mulut sungai.

Ketika hujan menghalangi mereka untuk keluar, Kiyomori memerintahkan pemetaan desa-desa disekitar tempat itu, kemudian menghabiskan malamnya untuk mencermati peta-peta yang telah dibuat,tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Kendati dirinya sendiri tidak kenal lelah, Kiyomori menyedot tenaga anak-anak buahnya denganmengajak mereka berunding hingga larut malam. Kemudian, setelah semua orang tidur, dia mendadakduduk tegak di kasurnya, menyalakan lentera, dan melanjutkan mempelajari peta hingga fajarmenyingsing.

“Saya bertanya-tanya, apakah bijaksana jika kita tinggal di sini lebih lama? Bagaimana pendapatorang-orang di ibu kota ketika mengetahui tentang hal ini?” tanya Bamboku pada suatu hari.

Kiyomori menggeleng. “Aku tidak tahu. Mereka mengira kita sedang melakukan perjalanan ziarah keItsuku-shima.”

“Jika memang begitu adanya. Tuan, biarkanlah saya tinggal di sini untuk menyelesaikan pekerjaanyang ada.

Saya akan mengikuti rencana Anda untuk memeriksa

wilayah di sekitar sini, memastikan kecukupan pasokan air, dan menyelidiki kemungkinanpembangunan jalan.”

Mengikuti saran Bamboku, Kiyomori meninggalkan beberapa orang pekerja ahli di sana danmeneruskan perjalanan ke Itsuku-shima melalui laut Selama berhari-hari, dia mengisi paru-parunyadengan udara segar yang tanpa henti bertiup dari samudra biru. Bersama banyaknya pulau yangmereka lewati di sepanjang Laut Dalam, angan-angan Kiyomori semakin melambung denganbebasnya, dan dia berseru, “Ah, begitu sesaknya ibu kota! Ada terlalu banyak orang hebat yang

menjejali liang sempit itu! Rumah masa depanku akan dibangun dengan pemandangan laut ini. Kalianakan melihat sendiri pencapaian-pencapaian hebatku di laut!”

Pada suatu hari, garis pantai Itsuku-shima akhirnya terlihat, meliuk-liuk diterpa ombak.

Para pendeta dan perawan kuil segera berdatangan ke pantai untuk menyambut Kiyomori. Setelahberlabuh, Kiyomori segera mendapati bahwa kuil dan tempat-tempat pemujaan yang ada di sana telahhampir runtuh; angin lautlah penyebabnya, namun pepohonan pinus yang berdiri di sepanjang pantaitetap menawan.

Kiyomori dan rombongannya beristirahat di sebuah penginapan di dekat pantai, dan keesokan harinya,dia memulai peribadatannya pekan itu.

Selama Kiyomori tinggal di pulau itu, tak terhitung banyaknya tamu dari daratan telah berperahu kesana untuk menyampaikan penghormatan kepadanya, yang ketenarannya telah tersiar ke seluruhnegeri. Para samurai uzur yang pernah mengabdi kepada kakek Kiyomori datang, begitu pula parasamurai yang hendak mengenang almarhum Tadamori; para prajurit yang pernah mengabdi

kepada Kiyomori di masa lalu juga berdatangan untuk menjumpainya sekali lagi.

“Saya merasa seperti sedang pulang kampung,” kata Kiyomori kepada para tamu yang menghadiriperjamuan untuknya. “Tempat ini terasa bagaikan kampung halaman bagiku sehingga saya tidak inginlagi pulang ke ibu kota.”

Kiyomori tinggal selama dua minggu di sana, dan dia telah mengungkapkan rencananya kepada kepalapendeta di Itsuku-shima. Rencana-rencana itu sungguh besar … saking hebatnya, sang kepala pendetahanya sanggup mendengarkan dengan takjub. Kiyomori adalah seorang samurai, yang berkedudukansetara dengan seorang penasihat di Istana, masih berusia empat puluhan … namun kata-katanyamenunjukkan pandangan yang sangat luar biasa! Mengenai hal ini, Kiyomori berkata:

“Kami tidak mungkin meninggalkan pulau yang permai ini dalam keadaan penuh reruntuhan. Sayaingin melihat …

dan saya tidak bisa mengatakan kepada Anda secepat apa ini akan terjadi … pesisir dan perbukitandengan keindahan alaminya ini bersinar lebih cemerlang daripada Kyoto.

Sebuah gerbang lengkung yang belum pernah dibayangkan oleh siapa pun akan didirikan, menyambutsetiap orang yang merapat ke Itsuku-shima dari laut, dan siapa pun yang akan beribadah di sini akanmasuk melalui gerbang yang indah. Tempat pemujaan utama dan bangunan-bangunan di sekitarnyaakan dihubungkan oleh lorong-lorong lebar, menjulang tinggi di atas laut, dan gelombang pasang dansurut akan menjadikan pemandangan semakin indah. Pada malam hari, seratus buah lentera batu akandinyalakan dan cahaya cemerlangnya akan menyapu gelombang, menjadikan pulau ini semakinmenawan. Aula peribadatan utama akan cukup luas untuk menampung ribuan jemaat; menara-menaradan pagoda-pagoda bertingkat lima akan

menjulang melampaui hutan pinus di kaki perbukitan.

Tempat pemujaan dan menara-menara itu, yang berdiri dengan latar belakang perbukitan, akan

mempercantik pulau ini …”

Dengan semangat menggelora berkat gambaran yang dilukisnya sendiri, Kiyomori melanjutkan, “Initidak akan dilakukan untuk kepuasan saya semata, tetapi juga untuk semua orang yang khusus datangdari ibu kota demi menyaksikan pemandangan indah di sini. Mereka yang berlayar melewati tempatini dari negeri nun jauh di sana …

dari Cina … akan berkata, ‘Lihatlah, ini Jepang, tempat pulau terkecil dan terpencil sekalipundibangun dengan indah!’ Mereka boleh saja mengatakan bahwa kita meniru bangunan mereka, namunkeindahan pepohonan pinus dan pasir putih di pantai, yang berubah-ubah mengikuti musim, adalahkeunikan tempat ini. Dan apabila mereka menjauh dari laut, karya seni agung kita yang tidak lekangoleh masa akan terbentang di hadapan mereka … dari era Asuka, Nara, dan Heian …. Dan apabilakapal mereka berlabuh di Owada, saya akan menerima mereka di rumah saya.

Owada? Mungkin butuh waktu lama, namun saya berniat untuk mendirikan sebuah pelabuhan besar disana, yang terlindung dari angin dan ombak. Dan setelah rumah pembangunan peristirahatan saya diFu ku hara selesai, saya akan datang kemari untuk beribadah setiap bulan, menggunakan kapal yangsemegah kapal Cina …”

Bagi para pendengarnya, ucapan Kiyomori hanyalah omongan muluk-muluk, ocehan orang gila …sebuah mimpi yang mustahil terwujud. Tetapi, semangat Kiyomori mengingatkan mereka pada laut,dan mereka dengan bangga mengatakan bahwa Kiyomori adalah salah seorang dari mereka.

Ketika Kiyomori hendak pulang, mereka membanjirinya dengan hadiah … harta benda yang takternilai harganya dari Cina … dupa, kayu cendana yang harum, pakaian, kain sutra, kain brokat berat,lukisan, barang pecah belah, berbagai macam kerajinan tangan, dan obat-obatan. Tidak semuanyaberasal dari Cina, karena sebagian di antaranya berasal dari sejumlah negeri yang berbatasan denganLaut Mediterania di sebelah timur, yang dikirim menggunakan karavan dari Arab dan Teluk Persia.

Pemandangan, wewangian, dan berbagai macam barang eksotis yang ada di hadapannya menjadikanKiyomori semakin tidak sabar. “Tunggu, tunggulah hingga pelabuhan di Owada selesai dibangun,” diaterdengar berkali-kali mengatakan itu. Kendati begitu, hari itu mendekatinya dengan sangat lambat,bagaikan bayangan yang merayap perlahan di bawah jam matahari.

Di Owada, Kiyomori sekali lagi bertandang sebelum kembali ke Kyoto untuk menemui Bamboku, danpada bulan September, setelah pergi selama satu setengah bulan, dia tiba kembali di ibu kota.

o0odwkzo0o

Ada sesuatu yang salah. Kiyomori langsung menyadarinya begitu dia memasuki gerbang Rokuhara.

Putra sulungngnya, Shigemori, salah satu orang pertama yang menyambutnya, mengatakan, “Pamanbedebah itu telah melakukan kesalahan serius selama Ayah pergi, namun Ayah sebaiknya mendengarsendiri ceritanya dari Yorimori.”

Kiyomori mengernyitkan keningnya dengan kesal mendengar nada yang digunakan oleh putranyauntuk membicarakan Tokitada. Tingkah Tokitada memang kerap dianggap serampangan olehShigemori yang berpikiran

serius, namun Kiyomori jauh lebih menyukai keliaran dan keteledoran Tokitada daripada kelurusanputranya.

Jantungnya, bagaimanapun, berdegup lebih kencang ketika dia mendengar pemberitahuan Shigemori.

“Ada apa? Apakah dia menyeret Yorimori untuk bertingkah memalukan?”

“Ada sesuatu yang lebih serius daripada biasanya.

Paman terlibat di dalam sebuah persekongkolan yang bisa menggoyahkan pemerintah.”

“Aku tidak percaya dia bahwa dia bisa bersekongkol untuk menggulingkan Kaisar.”

“Tidak, tapi akan sulit bagi Yang Mulia untuk menganggapnya sebagai sesuatu yang lain.”

“… Baiklah, kita akan menunggu. Aku akan berbicara lagi denganmu nanti,” kata Kiyomori,meninggalkan Shigemori.

Setelah menemui sejumlah penghuni rumahnya dan mendengar bagaimana mereka merampungkantugas mereka selama kepergiannya, Kiyomori memasuki kamar istrinya dan mendapati Tokiko yangmenatapnya dengan air mata berlinang.

“Aku tidak bisa mengampuni diriku sendiri atas apa yang telah terjadi …” isaknya, dan di antara sedusedannya,Tokiko bercerita.

Selagi Kiyomori lama meninggalkan Rokuhara, dia mendengar, pergesekan tetap kerap muncul diantara Istana Kekaisaran dan Istana Kloister. Ada rumor yang mengatakan bahwa Tokitada danYorimori, keduanya pegawai di istana, bersekongkol untuk menempatkan putra Kaisar Kloister disinggasana. Desas-desus itu segera sampai di telinga Kaisar Nijo, dan sang penguasa yakin

bahwa bukan Tokitada melainkan ayahnyalah. Kaisar Kloister, yang menjadi dalang persekongkolan.Tetapi, beberapa waktu kemudian, Tokitada dan Yorimori diturunkan pangkatnya dan diasingkan.

Kiyomori menggerutu setelah mendengar cerita Tokiko.

Tetapi, Tokiko melihat senyum tipis mengambang di bibir suaminya ketika dia menenangkannya,“Tidak ada alasan bagimu untuk menyalahkan dirimu. Kaisar Kloister memang telah merencanakan

ini. Beliau tidak akan bisa dihentikan oleh Tokitada sekalipun. … Walaupun begitu.

Tokitada terlalu gegabah dalam mengambil tindakan. Ada kemungkinan bahwa ketergesa-gesaannyauntuk meraih sesuatu selama aku pergi memberikan alasan kepada Yang Mulia Kaisar untukmencurigaiku, dan dengan begitu, aku pun mau tidak mau harus berpihak kepada Kaisar Kloister;itulah tujuan sesungguhnya dari Yang Mulia.”

“Tapi, apakah yang benar-benar terjadi menurutmu?”

“Jangan khawatir, aku sudah pulang sekarang,”

Kiyomori meyakinkan Tokiko dengan ketenangannya dan tidak mengatakan apa-apa lagi. Tokikokecewa karena suaminya menolak untuk memberikan penjelasan lebih lanjut, namun pikirannyasendiri mulai bekerja.

Mungkinkah suami dan adiknya memang telah berencana untuk menggulingkan Putra Mahkota dan

menggantikannya dengan sang pangeran muda, keponakan mereka sendiri? Apakah Kaisar Kloisterturut mengetahui rahasia ini? Kemungkinan merisaukan ini menyiksa batin Tokiko. Ke manakahambisi meledak-ledak para pria itu akan membawa mereka, pikirnya. Tetapi, apa pun pikiran yang adadi benak Kiyomori, Tokiko tahu bahwa suaminya, seperti pria lainnya, tidak akan membaginyakepadanya.

Segera setelah tiba kembali di ibu kota, Kiyomori langsung melapor ke Istana dan menghadap KaisarNijo.

Walaupun dirinya termasuk di antara beberapa orang kepercayaan kaisar muda itu, Kiyomori tidaksekali pun menyebut-nyebut tentang Kaisar Kloister, ayah Nijo, dan Nijo pun sama sekali tidakmenyebut-nyebut tentang Tokitada.

Keesokan harinya, Kiyomori menemui Kaisar Kloister.

Di matanya, Mantan Kaisar Goshirakawa sepertinya diam-diam merasa puas berkat keberhasilanintrik terbaru, yang diyakininya terjadi karena andil Kiyomori. Tetapi, ketika mengakhiri ceritanyatentang perjalanannya ke Itsuku-shima, Kiyomori membungkuk dengan takzim dan mengatakan:

“Saya juga harus menceritakan bahwa ketika menyepi selama tujuh hari dan tujuh malam, sayamendapatkan wahyu yang turun melalui sebuah mimpi.”

“Sebuah mimpi?” ulang Goshirakawa, terkejut ketika mendengar nada serius yang digunakan olehKiyomori, yang biasanya tidak memercayai takhayul.

“Ya, saya yakin bahwa itu adalah pesan yang dikirim oleh para dewa. Saya mendengar deburan ombakdan sebuah suara yang berasal dari gumpalan awan lembayung di atas saya.”

“Sebuah pesan suci?”

“‘Kiyomori,’ katanya, ‘apabila kau sudah benar-benar menelaah masalah yang sedang kauhadapi,sebagai seorang abdi yang setia, katakanlah ini kepada pemimpinmu: hanya ada satu matahari di

angkasa, namun di muka bumi ini.

Istana Kekaisaran dan Istana Kloister memiliki dua orang pemimpin yang berbeda, dan keduanyamenyatakan diri mereka sebagai penguasa tertinggi. Perselisihan seperti apakah yang akan menyusul,dan kemalangan apakah yang akan dirasakan oleh rakyat?’”

“Sebentar, Kiyomori, apakah itu kaudengar di dalam mimpimu?”

“Ya, di dalam mimpi. Saya seolah-olah sedang berada di dalam sebuah kereta wanita, mengarungilaut, dan, jika Anda percaya, sepasang rubah menarik kereta saya!”

Goshirakawa tiba-tiba tertawa terbahak-bahak. Kiyomori ingin tertawa lebih nyaring, namun diamenahan diri dan melanjutkan berbicara dengan nada serius, “Itu adalah isi mimpi saya. Tapi, sayaharus mengakui bahwa Tokiko lebih pintar dalam menafsirkan mimpi.”

“Aku memahami maksudmu, Kiyomori. Cukup …

cukup untuk saat mi

“Saya senang jika makna mimpi saya jelas bagi Anda,”

kata Kiyomori, “namun izinkanlah saya menambahkan sepatah kalimat lagi. Semoga tumbuhkedamaian di antara ayah dan anak.”

Raut wajah Goshirakawa seketika berubah akibat kata-kata itu.

“… Ya, Kiyomori, aku akan mengambil hati perkataanmu. Kau tidak perlu cemas. Kaisar adalahputraku dan aku tidak memiliki alasan untuk membencinya”

Kendati begitu, tidak lama kemudian, pada bulan Oktober, Kaisar Nijo memerintah dua orang pejabattinggi, orang-orang kesayangan Goshirakawa … ayahnya … untuk mengundurkan diri dari jabatanmereka. Dan, walaupun berbagai macam perkiraan dan desas-desus telah beredar, Kaisar Nijo tidakpernah menjelaskan alasannya yang sesungguhnya. Anehnya, Goshirakawa, yang dalam keadaan wajartidak akan tinggal diam, kali ini sama sekali tidak berkomentar.

Pada bulan Maret tahun berikutnya, Kaisar Nijo membebaskan Tsunemung si pejabat Istana, yangdiasingkan oleh Goshirakawa seusai perang.

Pada 1165, tiga setengah tahun setelah perjalanan ziarah ke Itsuku-shima, Kiyomori masih larut dalamimpiannya untuk menjadikan Owada sebuah kota pelabuhan besar dan pusat perdagangan dengan Cina.Kiyomori telah banyak berubah sepanjang waktu itu … menjadi lebih dewasa.

Setiap waktu luang yang dimilikinya dihabiskan untuk menyerap berbagai pengalaman Bambokusebagai saudagar; dia tak henti-hentinya bertukar pendapat dengan Bamboku, mematangkan berbagairencana, mengabdikan dirinya tanpa kenal lelah pada impiannya hingga dia bisa menarik kesimpulanbahwa yang dibutuhkan oleh Owada hanyalah sebuah pelabuhan yang bagus. “Tapi, aku tidak tahubagaimana aku akan menanggung biayanya seorang diri,”

akunya kepada Bamboku. Jelas bagi Kiyomori bahwa dia tidak mungkin mengharapkan pertolongan

dari Kaisar Kloister karena ambisi Goshirakawa tertuju ke tempat lain

… meraih kekuasaan mutlak. Tidak ada jalan lain untuk mewujudkan rencana besar ini kecuali denganmenyampaikannya kepada Kaisar Nijo. Dan, karena kedua penguasa tersebut sama-samamengandalkan kekuatan militer darinya, Kiyomori menyambar kesempatan ini untuk menyampaikandua buah permohonan kepada Nijo.

Yang pertama, hak untuk menduduki wilayah Fukuhara di Owada, langsung dikabulkan. Yang kedua… modal untuk menyelesaikan pembangunan pelabuhan di Owada …

diabaikan. Nijo dan para penasihatnya hanya menanggapi impian muluk-muluk Kiyomori dengansenyuman. Sebagai seorang samurai, seorang Heik6, memimpikan perdagangan dengan luar negeriadalah sesuatu yang konyol … sebentang tanah untuk mendirikan rumah peristirahatan di Fukuharamasih bisa dipahami, namun …. Kendati begitu, tekad

Kiyomori tidak tergoyahkan dan bahkan tumbuh semakin besar.

Di luar pengetahuan Kiyomori, Kaisar Kloister diresahkan oleh desas-desus dari berbagai pihak. Diamendengar bahwa bukan perdagangan yang menjadi sasaran Kiyomori melainkan pembangunansebuah pusat militer di wilayah barat, tempat sepasukan kapal perang akan dilabuhkan di Owada, didekat daerah yang dihuni oleh banyak anggota klan Heike.

Pada tahun yang sama, selama puncak musim panas di bulan Juli, Kaisar Nijo, sang penguasa mudayang telah lama sakit parah, mendadak wafat, dan sebuah upacara pemakaman kekaisarandiselenggarakan pada malam tanggal 27 di Kuil Koryuji, di wilayah utara ibu kota.

o0odwkzo0o

Bab XLI-WAFATNYA SEORANG KAISAR

Guruh bersahut-sahutan di kejauhan selama beberapa waktu, dan rerumputan tampak layu akibat lamaterpapar sinar matahari yang terik. Walaupun udara sangat panas, masyarakat berbaris dari ibu kotadan bahkan dari wilayah Kinugasa yang jauh untuk mengiringi kereta jenazah Kaisar Nijo.

“Kurasa kita akan kehujanan, Yomogi.”

“Tidak adakah pohon yang bisa kita jadikan sebagai tempat berteduh? … Oh, lihat, orang-orang mulaibubar!”

“Ada sebuah kuil di dekat hutan kecil itu.”

Asatori dan Yomogi bergegas berlari ke bawah naungan atap kuil tersebut, yang telah didatangi olehbanyak orang lain.

Empat tahun telah berlalu sejak Yomogi, menentang nasihat Asatori, meninggalkan Tokiwa. SebelumAsatori menyadari apa yang terjadi, Yomogi telah tinggal bersamanya sebagai istrinya, dan dia punberangsur-angsur bisa menerima keadaan ini dan terbiasa dengan perannya sebagai seorang suami.

“Oh, aku takut sekali!” Yomogi gemetar dan berpegangan erat-erat ke lengan Asatori setiap kalimendengar guruh menggelegar.

Mereka mendengar bahwa kereta jenazah Yang Mulia akan tiba di kuil di Bukit Funaoka malam itu.

Di tengah kemuraman sore itu, cahaya terang benderang menerangi langit ketika petir menyambarmembelah awan tebal yang menaungi Bukit Funaoka, dan semua orang terpana seolah-olahpemandangan mengagetkan itu adalah sebuah pertanda.

“Hei, kalian, menyingkirlah dari sini sekarang juga!

Kami akan menggunakan tempat ini senja nanti,” dua puluh orang penunggang kuda, yang baru sajamemasuki kompleks kuil, memerintah dan mengusir orang-orang yang berteduh di sana. Segerasetelah mendengar bahwa para penunggang kuda itu adalah samurai dari Rokuhara, kerumunan orangsegera bubar dan pindah ke bangunan kuil yang lebih kecil.

Dari arah barat, awan gelap berarak bersama dengan kedatangan malam, dan hujan deras pun mulaimembasahi pepohonan.

“Lihat, masih ada beberapa orang yang berada di wilayah kuil. Usir mereka!” perintah seorang prajuritmuda, menoleh dari atas kudanya. Sekelompok pria dan wanita tengah berjongkok di bawah tendadarurat di dekat sebuah pilar. Beberapa orang prajurit menghampiri mereka dan

dengan tegas merenggut secara paksa tenda darurat mereka sambil mengulang-ulang perintah agarmereka segera pergi.

Empat atau lima orang wanita berpakaian indah dan seorang pelayan cepat-cepat berdiri melindungiseorang wanita tua yang tergeletak diam di atas sehelai tikar jerami.

“… Ada yang sakit?” tanya seorang samurai muda dengan lembut seraya turun dari kudanya. Diamembungkam teman-temannya yang tidak sabaran dan menghampiri orang-orang itu.

Si pelayan menjawab dengan ketakutan, “Ya, udara hari ini terlalu panas untuk nyonya kami, danbeliau pingsan di jalan. Kami membawa beliau kemari dan berusaha membuatnya siuman. Kami akanmembawa beliau pergi jika Anda mau memberikan sedikit waktu.”

“Tidak, tunggu, majikanmu sepertinya kesakitan.

Tinggallah di sini lebih lama hingga keadaan beliau membaik.”

“Tuan, apakah Anda serius?”

“Tentu saja, jangan sampai beliau kehujanan ….

Mungkin aku juga punya obat untuknya. Di sini,” kata si samurai muda, merogoh-rogoh kimononyadan memandang mereka kembali dengan wajah kecewa,

“apakah ada di antara kalian yang membawa obat? Dari manakah asal kalian?” akhirnya dia bertanya.

“Kami dari pusat hiburan di Horikawa?”

“Geisha?” tanya si prajurit, menatap para wanita di hadapannya. “Apakah kalian berjalan sejauh inidemi menghadiri upacara pemakaman?”

“Ya …” jawab salah seorang wanita yang lebih tua,

“nyonya kami, Toji, bersikeras untuk memberikan

penghormatan terakhir, namun justru inilah yang terjadi.

Saya tidak tahu apa yang akan kami lakukan sekarang.”

“Aku akan mencarikan gerobak untuk kalian. Kalian sebaiknya membawa nyonya kalian pulang.”

Seorang prajurit diperintahkan untuk mencari sebuah gerobak. Sementara itu, wanita tua yangberbaring di bawah tenda darurat kejang-kejang kesakitan.

Asatori, yang menyaksikan seluruh kejadian itu dari kejauhan, tidak sanggup lagi menahan dirimelihat penderitaan si wanita tua. Dia pun kembali ke gerbang, memeriksa keadaan si wanita, danberlari kembali menemui Yomogi. “Yomogi … ”

“Ada apa?”

“Aku ingin melakukan sesuatu untuk wanita yang sakit itu.”

“Jangan, ada banyak prajurit Heike di sana.”

“Apa hubungannya? Aku harus menolong wanita itu.”

“Ya, tapi apakah kau melihat pria pelayan muda yang berdiri di sebelah kanan para geisha itu?” tanyaYomogi.

“Ya, dia datang bersama wanita yang sakit itu.”

“Aku tahu,” lanjut Yomogi, “tapi, apa kau tidak mengenali dia?”

“Mengapa?”

“Yah, dialah alasanku melarangmu kembali ke sana.

Sulit bagiku untuk memercayai penglihatanku. Karena yakin bahwa dia akan terkejut ketikamelihatku, aku memilih untuk menunggu di bawah pohon ini.”

“Pelayan itu? Ada apa dengannya, dia hanya seorang pelayan biasa.”

“Dia adalah mantan pelayan Tuan Yoshitomo … Konno-maru.”

Asatori terkejut. “Apa! Konno-maru … diaV’

“Sekarang kau mengenalinya, bukan? Dialah pelayan yang hendak ditangkap oleh para prajurit Heik6setelah Perang Heiji berakhir”

“Aku yakin kau salah, Yomogi.”

“Tidak, aku tak pernah salah mengenali orang. Aku sering melihatnya ketika dia secara diam-diammenemui nyonyaku di rumah peristirahatan di Mibu.”

“Sungguh aneh jika dia bekerja sebagai seorang pelayan di sebuah tempat hiburan!”

“Aku juga tidak mengerti mengapa dia mau melakukan itu, tapi para prajurit Heik6 tidak akanmenduga bahwa dia adalah Konno-maru. Bayangkanlah apa yang akan terjadi jika merekamenyadarinya!”

“Aku sama sekali tidak tertarik untuk

membayangkannya. Aku bukan seorang Genji maupun Heike, jadi tidak ada yang membuatkukhawatir sekarang.

Tapi, aku adalah seorang tabib dan naluriku terusik jika aku tidak melakukan sesuatu untuk menolongwanita itu.”

“Haruskah kau mengobatinya?”

“Penyakitnya tidak parah, dia hanya kepanasan. Hanya butuh waktu singkat untuk mengobatinya.

Tidak akan ada yang mengenaliku di sana. Tidak apa-apa jika aku pergi sendiri. Lebih baik kaumenunggu di sini, Yomogi.”

Asatori kembali menghampiri gerbang kuil. Ketika mendengarnya mendekat, orang-orang yangmengerumuni wanita sakit itu melontarkan tatapan curiga, namun tampang ramah dan pengakuannyabahwa dia adalah

seorang tabib segera menyingkirkan keraguan mereka. Si samurai muda pun mempersilakannyamemeriksa si sakit.

Setelah beberapa saat mengamati si sakit tanpa berkata-kata, Asatori akhirnya memeriksa denyutnadinya, meraba-raba tubuhnya, lalu memulai perawatan; dengan lihai, dia menusukkan jarum keberbagai bagian tubuh wanita itu; kemudian, dia menuangkan beberapa butir pil ke telapak tangannyadan menoleh ke arah para geisha yang memerhatikannya, “Salah satu dari kalian, ambillah pil-pil ini,lalu kunyah dan jejalkan ke mulutnya,” katanya. Si pelayan memberikan isyarat kepada para geisha,yang langsung mundur. Kemudian, salah seorang dari mereka mendorong temannya yang lebih mudake arah Asatori, mengatakan, “Giwo, kaulah yang sebaiknya melakukannya. Toji selalumenganggapmu sebagai putrinya sendiri, dan kau adalah kesayangannya.”

“… Kalau memang ini yang kalian semua inginkan,”

jawab Giwo, gadis muda itu. Dia cepat-cepat melepas ikatan topi lebarnya dan meletakkan benda itudi sampingnya Kemudian, dia duduk di sebelah Asatori dan mengulurkan tangannya yang ramping danberkulit mulus.

Mengangkat telapak tangannya untuk menerima beberapa butir pil berwarna putih, Giwo mendadakmenjerit

“Kau!”

“Asuka! Benarkah ini dirimu?”

Butiran-butiran pil mungil itu berjatuhan dari sela-sela jemari gadis itu.

“Astaga, itu tidak boleh dipakai lagi!” seru Asatori.

Khawatir yang lain mendengarnya, dia cepat-cepat menuangkan beberapa butir pil lagi dari pundi-pundi obatnya dan mengatakan, “Nah, berikan ini kepadanya

sekarang juga …. Buka mulutnya … sekarang, beri beliau air.”

Sebuah gerobak sapi tiba tepat pada waktunya, dan si samurai muda menaiki kudanya lagi,memerintahkan kepada salah seorang anak buahnya untuk mengawasi mereka.

“Sekarang, angkat majikan kalian ke gerobak Perjalanan kalian mungkin tidak akan terlalu nyaman,tapi kalian semua, kecuali laki-laki ini, harus naik ke gerobak. Aku akan memeriksa majikan kaliansekali lagi. Dari rona wajahnya, keadaan beliau sepertinya sudah jauh lebih baik.”

Para geisha menoleh kepada prajurit yang mengawasi mereka dan mengatakan, “Kami beruntung

sekali karena bertemu dengan samurai berhati mulia itu. Bisakah Anda memberitahukan namanyakepada kami?”

Si prajurit menjawab, “Beliau baru saja tiba di ibu kota dari Kumano. Namanya Tadanori, adik tiriTuan Kiyomori dan seorang petugas di Kepolisian.”

Para geisha menatap sosok yang telah menghilang di kejauhan itu, menyebut namanya, “Adik tiriTuan Kiyomori … Tadanori?”

Sebelum bergiliran menaiki gerobak, para geisha hendak mengucapkan terima kasih kepada Asatori,namun tabib itu telah

Hujan deras turun sejenak kemudian, namun Tadanori, dengan baju zirah dan kuda basah kuyup, tetapmendaki Bukit Funaoka. Ketika dia tiba di kaki bukit, seorang petugas yang bertanggung jawab ataspara pengawal di wilayah timur bukit, menegurnya dengan keras:

‘Tadanori, dari mana kamu?”

“Saya menyisir jalan yang akan dilalui oleh rombongan, seperti perintah Anda.”

“Bagus, tapi bagaimana dengan anak-anak buahmu?”

“Kami bertemu dengan seorang wanita tua yang jatuh sakit di jalan dan saya menyuruh merekamencarikan gerobak untuknya. Mereka akan tiba sebentar lagi, Tuan.”

“Kudengar jalanan dipenuhi orang, tapi kau tidak bertugas merawat orang sakit Biarkan orang-orangitu mengurus diri mereka masing-masing.”

“Ya, Tuan.”

Tadanori menerima teguran itu tanpa banyak berkata-kata, malu karena sifat kampungan dankekurangan pengalamannya. Baru beberapa minggu berlalu sejak dia mendampingi Kiyomori, saudaratitinya, dari Kumano.

Segera setelah tiba di ibu kota, Tadanori diberi jabatan terendah di Kepolisian. Petugas yang baru sajamenegurnya adalah Norimori, adik bungsu Kiyomori. Upacara pemakaman ini adalah kesempatanpertama Tadanori untuk ambil bagian di dalam sebuah peristiwa penting, dan wajar saja jika dia inginmelakukan yang terbaik walaupun dia hanya membawahi beberapa orang samurai rendahan.

Langit segera cerah kembali dan sebentuk pelangi muncul, menghadirkan semangat baru di kalanganpara petugas, yang bergegas merampungkan pekerjaan mereka selagi hari masih terang.

Kompleks makam kaisar terletak di Bukit Funaoka, tempat sebuah bilik batu telah disiapkan untukmenampung peti mati. Pagar kayu telah dipasang di kaki bukit, dengan Kuil Koryuji sebagai batasnya;di kompleks kuil tersebut terdapat paviliun-paviliun tertutup tirai yang disediakan untuk pengiringjenazah yang berkedudukan tinggi, para

pejabat kuil, dan para pemain musik sakral; bendera-bendera lambang duka cita terlihat di mana-manadan di cabang-cabang “pohon keramat”.

Di sini, perwakilan-perwakilan dari biara besar dan kecil di Nara dan Gunung Hiei akan tiba danmenempati posisi mereka sesuai dengan kedudukan dan golongan masing-masing. Entah sejak kapan,biara Todaiji, ditetapkan oleh Istana sebagai biara yang berkedudukan tertinggi di antara ketujuh biarautama di Jepang, diikuti oleh biara Kofukuji dari Nara. Biara Enryakuji di Gunung

Hiei menduduku posisi ketiga, dan biara-biara lainnya berkedudukan di bawah ketiga biara tersebut.

Malam tiba; bintang-bintang berkilauan cemerlang di langit yang cerah, dan keheningan menyelimutimalam ketika iring-iringan panjang kereta jenazah perlahan-lahan mendaki bukit. Api-api unggundinyalakan di berbagai bagian bukit tempat umbul-umbul, yang bergambar lambang matahari danbulan, berkibar-kibar bagaikan naga dengan latar belakang langit. Tetapi, sebuah kericuhan mendadakmemecahkan keheningan ketika para pendeta Kofukuji mendapati bahwa rekan-rekan mereka dariEnryakuji telah menempati posisi mereka di bukit. Luapan kemarahan membakar suasana dan obor-obor diayun-ayunkan dengan lagak mengancam ke arah para biksu Kofukuji, yang mengancam untukmembalas saingan mereka menggunakan pedang dan tombak. Kemudian, kepala biara mereka muncul,mencegah agar para pengikut mereka menghindari kekerasan. Dua orang petugas langsungdiperintahkan untuk menuntut permintaan maaf dari pihak Enryakuji.

Laporan tentang pecahnya kericuhan segera didengar oleh Norimori, yang sedang berjaga-jaga digerbang utama; dia langsung memerintahkan kepada para panglimanya

untuk mengikutinya dan mendatangi sumber keributan tersebut. Tadanori, yang mengikuti saudaratirinya, mendapati bahwa dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk mengatasi kekacauan itu dan hanyasanggup berdiri dengan takjub di tengah para biksu yang sedang mengamuk.

‘Tadanori, mengapa kau tidak meredakan amukan para biksu itu!” seru Norimori, menunjuk ke arahsekelompok biksu Kofukuji.

“Yang itu atau yang di sana?” Tadanori balas berseru.

“Ya, yang itu … jangan sampai mereka merangsek lebih jauh!”

“Dengan cara apa pun?”

“Kecuali menghunus pedangmu,” jawab Norimori dengan lantang, mendorong Tadanori untukmenerobos kerumunan biksu yang ditunjuknya.

Tadanori yang gagah perkasa, pemberani sejak lahir, dan telah ditempa oleh latihan berat sejak masakanak-kanaknya di Kumano, menghadang biksu pertama yang menyerangnya dan mendorongnya kearah biksu lainnya.

Tadanori menangkis tombak dan membalas serangan lawan-lawannya, dan seorang demi seorangbiksu berjatuhan.

Seseorang berseru, “Siapakah orang itu?”

“Dia bukan biksu …”

“Jika dia bukan salah satu dari kita, berarti dia seorang polisi atau Heik6!”

Para biksu gentar dan mundur melihat Tadanori menghajar teman-teman mereka seorang diri hinggaNorimori membubarkan kerumunan dengan teriakannya:

“Bersikaplah yang tertib! Kereta jenazah telah tiba!”

Di kaki bukit, arak-arakan obor menandai mendekatnya kereta jenazah, dan para biksu yang semulabertikai mendadak diam; mereka yang terluka segera diangkut, dan jubah yang compang-campingsegera dirapikan untuk menutupi baju zirah dan pedang panjang di bawahnya. Para biksu Enryakujiterlambat mengetahui bahwa saingan mereka telah menggusur mereka karena kereta jenazah telah tibadi kaki Bukit Funaoka bersama nyala obor yang cemerlang. Keheningan pun kembali menyelimutitempat itu.

Diapit oleh para bangsawan dan pejabat tinggi istana yang berkimono putih, kereta jenazah itu melajudengan lambat. Lilin yang terhitung banyaknya, api-api unggun, dan ribuan obor menerangi BukitFunaoka, tempat gerbang-gerbang akhirnya dibuka untuk menerima jenazah sang kaisar.

Menjelang pagi, suasana kembali sunyi dan upacara berakhir. Api-api unggun mulai padam dan parapelayat pun berduyun-duyun menuruni bukit. Para samurai yang menunggang kuda, para bangsawandan pejabat yang mengendarai tandu dan kereta, dan rakyat jelata yang berjalan kaki kembalimembanjiri ibu kota.

Pertikaian yang pecah antara para biksu semalam, bagaimanapun, menghadirkan berbagai macamperkiraan dan gosip di antara orang-orang yang turun dari bukit, dan yang paling menggelitik benakmereka adalah pertanyaan mengenai kapan tepatnya perang antara Enryakuji dan Kofiikuji akanpecah. Telah beredar pula desas-desus bahwa Mantan Kaisar dan para penasihatnya sengajamempertajam pertikaian antara kedua biara yang saling bersaing. Dan ketika rombongan pelayatpertama tiba di Kyoto, telah terdengar laporan bahwa Kaisar Kloister telah mengirim para duta untukmelakukan perundingan dengan

para biksu Enryakuji, yang menyambut mereka dengan persenjataan penuh di Sakamoto Barat.

o0odwkzo0o

Pada akhir musim panas itu, Kiyomori sekeluarga beserta sejumlah besar pelayan pindah dariRokuhara ke rumah baru yang terletak di seberang Sungai Kamo, walaupun Kiyomori sendiri tetaptinggal di Rokuhara. Dia bahkan hanya tinggal selama sepuluh hari di rumahnya setelah upacarapemakaman kekaisaran, dan selebihnya tinggal di Istana untuk menghadiri berbagai macam acarayang menandai diangkatnya seorang penguasa baru.

Sang penguasa baru masih berusia dua tahun, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan urusankenegaraan harus ditangani oleh beberapa orang pejabat istana senior. Karena kawan lama dantepercayanya. Perdana Menteri Koremichi, telah wafat, tanggung jawab untuk menjadi pimpinandewan jatuh ke pundak Kiyomori. Sederetan wajah baru mengelilinginya, masih hijau dan tanpapengalaman, dan Kiyomori hanya bisa menggeleng ketika memandang mereka. Beberapa putramendiang Perdana Menteri menduduki berbagai jabatan kunci … si bungsu, yang baru enam belastahun, adalah Penjaga Stempel Rahasia. Tsunemun6, yang masih tampan walaupun nasibnya telahberubah, telah diangkat menjadi Menteri Golongan Kanan. Tidak ada yang berubah di Istana, pikirKiyomori. Perdana Menteri, Penasihat Utama, dan para menteri … semuanya anggota klan Fujiwara.Dan tidak ada yang lebih menyenangkan hati atau mendekati tujuan utama Kaisar KloisterGoshirakawa daripada ini, pikir Kiyomori dengan ragu-ragu.

Walaupun hanya ditunjuk untuk menjadi Penasihat dan Jenderal Pengawal Golongan Kiri, Kiyomorimemiliki wewenang yang besar dan keberatan untuk kekuasaan yang

besarnya tidak sesuai bagi samurai sekelas dirinya pun dengan cepat mereda. Tetapi, Kiyomorimendapati bahwa Istana dan kursi-kursi kepemerintahan di dalamnya kosong, dan dia berhadapandengan dewan kekaisaran yang ditinggalkan oleh anggota-anggota utamanya. Perdana Menteri danmenteri-menterinya disibukkan oleh masalah-masalah di tempat lain … di Istana Kloister, memenuhikebutuhan Mantan Kaisar Goshirakawa.

“Penantian ini tidak akan berakhir,” akhirnya Kiyomori membatin. “Jika aku tinggal lebih lama disini, aku harus menjadi Perdana Menteri …” Untuk pertama kalinya sejak berhari-hari, Kiyomoriteringat pada Rokuhara dan bersiap-siap untuk pulang. Ketika meninggalkan Gedung Urusan Istana,dia mendongak ke langit. Musim gugur telah tiba!

Kiyomori, yang telah terkurung begitu lama di Istana, terperangah ketika menghirup udara segar.Waktu dia melewati Pangkalan Pengawal, beberapa orang panglima menghormat kepadanya.

“Hendak pulang, Tuan?” mereka bertanya dengan tatapan lega.

“Tapi, ada apa ini … mengapa kalian bersenjata lengkap?” jawab Kiyomori, menatap curiga kepadabeberapa ratus prajurit bersenjata dari Rokuhara.

Tepat ketika itu, adiknya, Tsunemori, menghampiri keretanya. Dia menatap wajah letih Kiyomori danberbisik,

“Berarti kau belum mendengar, ya? Rumor itu telah tersebar di seluruh Istana dan aku yakin kau sudahmengetahuinya.”

“Mengetahui apa? Ada apa ini? Apakah sesuatu telah terjadi di Rokuhara?”

‘Tidak ada yang perlu dikhawatirkan untuk saat ini dan Rokuhara sudah dijaga dengan baik.”

“Apa yang terjadi?” Kiyomori bersikeras. “Mengapa kalian semua bersenjata lengkap?”

“Para biksu dari Gunung Hiei … ”

“Apa yang mereka perbuat?”

“Ini masih desas-desus, tapi kami mendengar bahwa sikap Kaisar Kloister telah menghasut mereka.Kami hanya berjaga-jaga.”

“Apa? Apakah kau mengatakan bahwa Kaisar Kloister menghasut para biksu untuk melawan aku?”Kiyomori tertawa terbahak-bahak. “Omong kosong! Ini benar-benar omong kosong!” serunya, dantanpa mendengarkan penjelasan lebih lanjut dari Tsunemori, Kiyomori memerintahkan kepada penariksapinya untuk terus berjalan.

Seperti halnya berbagai desas-desus senada, tidak seorang pun mengetahui dari mana asalnya.Sumbernya tidak pernah terungkap. Tetapi, sudah menjadi rahasia umum bahwa anggota KesatuanPengawal Kekaisaran hanya dipilih dari kian Heik6, bahwa kelakuan buruk para prajurit Heik6rendahan menimbulkan kebencian di mana-mana, bahwa Kiyomori sedang merencanakan sebuahproyek pembangunan besar-besaran, dan bahwa adik-adik dan putra-putra Kiyomori mendudukijabatan-jabatan penting di Istana. Berdasarkan hal-hal tersebut, wajar saja jika rakyat menyimpulkanbahwa Mantan Kaisar Goshirakawa ingin mematikan pengaruh Kiyomori yang semakin besar.Terlebih lagi, Goshirakawa sendiri akhir-akhir ini telah secara tidak langsung menyampaikan tentangpendapatnya mengenai perlunya perubahan dalam sistem pemilihan pengawal, dan sistim di IstanaKloister pun mendadak berubah. Goshirakawa memikat para pengikut

yang ambisius, berani menerima tantangan, dan sependapat dengannya di ranah intrik pribadi danpolitik.

Berbagai rumor baru tersebar, menambahkan bumbu pada kabar-kabar burung sebelumnya; katanya,biksu-biksu Gunung Hiei telah mempersenjatai diri … dua ribu orang …

di Sakamoto Barat,

ratusan orang di titik-titik strategis lainnya, dan bersiap-siap untuk menyerbu Rokuhara. Setiap kabarbaru menambahkan keyakinan masyarakat bahwa perang akan segera pecah. Pergerakan para prajuritHeik6

memastikannya, karena garis pertahanan ulah dibentuk di sekeliling Rokuhara dan di sebelah baratJembatan Gojo, termasuk di Jalan Kedelapan Barat

Sementara itu, Kiyomori tiba di Rokuhara. Ke mana pun dia melangkah, dia melihat prajurit-prajuritbersembunyi di balik tembok busur dan tameng. Dari keretanya, Kiyomori mengamati pemandanganitu dengan kesal.

Setelah mengundang anak-anak dan para panglimanya untuk menghadap kepadanya, Kiyomori

bertanya kepada mereka semua:

“Siapakah yang memerintahkan semua ini?”

Karena tidak seorang pun menjawab, Kiyomori meledak,

“Tidak adakah yang mau menjawab pertanyaanku?

Siapakah yang memerintahkan penggalangan pasukan? Kau

… Munemori?”

“Tuan … ”

“Motomori, apakah kau juga tidak mau menjawab?”

Ragu-ragu, Motomori menjawab, “Ini bukan perintah dari siapa pun, tapi karena kesibukan Ayah yangsangat tinggi di Istana, kami tidak sempat memohon nasihat dari

Ayah. Saudara-saudaraku dan Paman Tokitada memutuskan bahwa kita sebaiknya bersiap-siap untukmenangkal serangan pertama dari para biksu itu.”

Kiyomori mengangguk dengan penuh pengertian. “Aku tidak melihat Norimori,” mendadak diaberkata.

“Paman sedang berjaga-jaga di jalan raya utama. Apakah Ayah ingin memanggil beliau?” tanya salahseorang putranya.

“Ya, panggil dia,” jawab Kiyomori. Sembari menunggu adiknya, Kiyomori menanyai anak-anaknyaseorang demi seorang.

“Apakah pendapat kakakmu Shigemori didengar dalam hal ini?”

“Ya.”

“Apa katanya?”

“Dia menasihati kami untuk terlebih dahulu meminta pendapat Ayah. Dia sepertinya berpikir bahwapasukan harus dikerahkan hanya jika situasi menuntutnya.”

“Tepat seperti yang ada di dalam pikiranku. Dia pasti akan menggunakan otaknya untuk mengambilkeputusan

…”

Norimori baru tiba, dan Kiyomori langsung berpaling kepadanya:

“Norimori, aku mengerti bahwa terdapat

kesalahpahaman di antara para biksu dari Enryakuji dan Kofukuji dalam upacara pemakaman

kekaisaran di Funaoka. Kaulah yang bertanggung jawab memimpin para pengawal ketika itu.Bagaimanakah kau menyelesaikan urusan itu? Aku sudah mendengar laporan tentang kejadian

itu, namun aku menginginkanmu menyampaikan detail-detailnya.”

Kiyomori memicingkan mata dan mendengarkan baik-baik penjelasan adiknya.

“Tidak banyak detail yang bisa kusampaikan. Tadanori ada di sana ketika itu, dan aku menyuruhnyamenertibkan para biksu Kofukuji sementara aku mengurus yang lainnya.”

“Tetapi, sebelum kejadian itu, apakah kau kebetulan menerima perintah dari dua orang penasihat yangdikirim ke sana oleh Kaisar Kloister?”

“Tersebar kabar bahwa itulah yang terjadi, tapi apa menurutmu aku akan mendengarkan mereka?”

“Itulah yang kuduga.”

“Ya. Semua orang sudah tahu bahwa Gunung Hiei selalu bertentangan dengan Heik6, dan aku tahubahwa sudah dua atau tiga kali mereka mencoba mengadu domba klan kita dengan Kaisar Kloister.Kedua penasihat itu, bagaimanapun, mengatakan bahwa para biksu Enryakuji dari Gunung Hieibersalah pada malam itu dan mendesakku untuk menindak tegas mereka, begitu pula para biksuKofukuji … mencelakai dan membunuh mereka jika perlu … dan mengatakan bahwa mereka akanmenutup-nutupinya dari Yang Mulia.”

“Lalu, apakah yang kaulakukan ketika itu?”

“Aku mendengarkan mereka, namun mengabaikan perintah mereka. Tadanori sudah memberikanhukuman yang setimpal kepada para biksu Kofukuji, tapi yang kulakukan hanyalah tetap berada ditengah, dan entah bagaimana, mereka tenang dengan sendirinya.”

“Kalau begitu. Gunung Hiei tidak berseberangan dengan kita, bukan?”

“Tidak ada alasan bagi mereka untuk berseberangan dengan kita.”

“Kalau begitu, apakah yang melandasi desas-desus meresahkan yang terdengar selama beberapa hariterakhir ini?”

“Aku curiga bahwa para penasihat Kaisar Kloister tengah berusaha mengadu domba para biksuGunung Hiei dengan kita.”

“Bagus! Itu menjelaskan semuanya,” seru Kiyomori, tampak lega. Dia meminta agar alat-alat tulisdisiapkan dan dengan cepat menulis sebuah surat pendek, lalu memanggil adik tirinya, yang duduk disudut terjauh ruangan itu:

“Tadanori, wajahmu belum begitu dikenal di ibu kota, jadi kaulah yang paling cocok untukmengerjakan tugas ini.

Tanggalkanlah baju zirahmu … bawa surat ini ke Gunung Hiei dan pastikan agar salah seorang dariketiga kepala biara di sana menerimanya. Jawaban? … Kurasa kita tidak membutuhkannya. Tapi,

sebaiknya kau berhati-hati … para mata-mata dari Istana Kloister mungkin sedang mencarimu.”

Setelah Tadanori pergi membawa surat tersebut, semua orang di ruangan itu memandang Kiyomori,penasaran akan alasannya memulai surat-menyurat dengan para pemimpin Gunung Hiei.

“Kita sedang dirundung masalah sekarang,” kata Kiyomori, setengahnya kepada dirinya sendiri.“Ambilkan baju zirahku. Lebih baik aku mempersiapkan diri untuk yang terburuk.” Dia menambahkansambil bangkit dengan

malas, “Sejujurnya, aku sudah lelah dan lebih siap untuk tidur daripada melakukan apa pun.”

Sembari mengenakan pelindung dada hitam dan mengencangkan tali-tali pelindung kakinya, Kiyomorimenggumam,”… terlalu suka ikut campur. Orang-orang berjenis terburuk di sekelilingnya. Terlalukeras kepala untuk kebaikannya sendiri …. Seandainya saja dia mau berhenti ikut campur!”

Menjelang malam, terdengar laporan bahwa para biksu Gunung Hiei telah membanjiri ibu kota.Kiyomori mengerang. Apakah suratnya terlambat tiba di tangan para pemimpin Gunung Hiei? Tanpamenunda lebih lama, dia memerintahkan kepada putra-putranya untuk membawa pasukan ke Istana,menegaskan kepada mereka bahwa dia akan tetap tinggal dan memperkuat pertahanan Rokuhara.

Sementara itu, sisa-sisa prajurit Heik6 dan anggota Kepolisian, yang telah berjaga-jaga di SakamotoBarat dan sepanjang sisi utara Sungai Kamo, tiba kembali senja itu di ibu kota dengan membawakabar bahwa para biksu telah menghabisi pasukan Heik6. Seluruh ibu kota pun kacau balau seolah-olah baru saja dilanda gempa bumi.

Kepanikan mendera seluruh rakyat, yang menantikan pecahnya pertikaian antara Kiyomori danMantan Kaisar.

Tetapi, di tengah hiruk pikuk ini, sebuah kereta kekaisaran tampak melaju di Jalan Kelima, dan terusmelintasi Jembatan Gojo menuju Rokuhara.

“Yang Mulia … Kaisar Kloister … ada di sini?” Kiyomori kebingungan ketika mendengarpengumuman itu, lalu buru-buru keluar untuk menemui tamunya.

“Kaukah itu, Kiyomori?” panggil Goshirakawa, menaikkan kerai keretanya dan tersenyum.”Tanganmu….

Bantu aku turun,” katanya, tetap ramah seperti biasanya.

Kiyomori menatap senyuman tulus yang tersungging di wajah Goshirakawa, lalu maju bagaikanseseorang yang berjalan dalam tidur untuk menolongnya turun dari kereta dan mempersilakannyamemasuki rumah.

‘Tetapi, Yang Mulia, ada apakah ini? Apakah yang menyebabkan saya mendapatkan kehormatanberupa kunjungan dari Anda di malam yang telah selarut ini?”

tanya Kiyomori dengan heran.

Kiyomori, yang telah terbiasa menghadapi situasi apa pun, benar-benar terperangah mendapati

perubahan mendadak ini. Tetapi, Mantan Kaisar tetap tersenyum seolah-olah tidak ada yang terjadi.Walaupun berusia lebih muda daripada dirinya, tatapan penuh wibawa sang mantan kaisarmenunjukkan bahwa Kiyomori tidak akan bisa menundukkannya.

“Apakah aku mengejutkanmu, Kiyomori?”

‘Tentu saja. Yang Mulia.”

“Apa lagi yang bisa kulakukan? Seandainya desas-desus itu benar, pertumpahan darah tentunya sudahterjadi di mana-mana”

“Benarkah bahwa semua laporan itu hanyalah rumor?”

“Apakah kau masih meragukanku, Kiyomori? Bukankah aku datang kemari … kepadamu?”

“Ya, benar,” Kiyomori menjawab dengan malu. Dan dia menyambut Yang Mulia dengan persenjataanlengkap.

Apakah penilaiannya yang piciklah yang menyebabkan kesalahpahaman ini? Mantan Kaisar tetapmemercayainya walaupun dia telah meragukan beliau. Kiyomori merasa tidak enak ketikamemikirkan kemelut yang mau tidak mau telah menjerat Yang Mulia Kemudian, kesombongan

samurainya runtuh begitu saja, dan air matanya seketika merebak.

“Kiyomori … air mata?”

“Air mata terharu, Yang Mulia.”

“Lucu sekali, Kiyomori! Kau bersenjata lengkap begitu pula para prajuritmu … lalu kau meneteskanair mata!”

“Benar, memang lucu. Saya menertawakan diri saya sendiri karena telah bertindak bodoh.”

“Tidak apa-apa. Sebaiknya kita bersyukur karena kita tidak saling salah paham. Jangan tertipu olehdesas-desus murahan, Kiyomori. Yakinilah aku, percayalah kepadaku.”

Bersama kata-kata itu, Goshirakawa meninggalkan Kiyomori, dikawal oleh pasukan dari Rokuhara.

Tidak lama setelah Mantan Kaisar pergi, putra sulung Kiyomori tiba. “Apakah Yang Mulia telahpergi?”

tanyanya. “Aku baru saja mendengar mengenai kunjungan beliau dari adik-adikku.”

“Shigemori, kau tidak memakai baju zirahmu?”

“Tidak, dan tepat seperti yang kuduga dan telah kukatakan kepada yang lainnya … bahwa Yang Muliatidak memiliki niat untuk melawan Heik6.”

“Kau berpendapat begitu, ya? Aku masih ragu-ragu,”

jawab Kiyomori.

“Mengapa Ayah ragu-ragu?”

“Semua ini tidak akan bisa saja terjadi tanpa dilandasi oleh niat dari Yang Mulia. Senyumnyamenyembunyikan sesuatu. Aku yakin bahwa beliau diam-diam memiliki rencana untuk menjatuhkanHeik6.”

“Ayah …!”

“Mengapa kau memandangku seperti itu?” tukas Kiyomori.

“Itu mustahil, Ayah. Jangan berkata begitu! Jangan sampai Ayah melakukan sesuatu yang bisamenyulut kemarahan Yang Mulia kepada kita. Kuharap Ayah bisa mengabdi kepada beliau dengankesetiaan yang lebih mendalam.”

“Oh, aku tidak perlu diingatkan tentang semua itu. Tapi, Shigemori, aku ragu-ragu bahwa kaumemahami maksud dibalik sikap menawannya kepada kita. Aku tahu, dan itu menjadikan semuanyasemakin berat bagiku.”

“Tidak, aku yakin bahwa jika Ayah mengabdikan diri dengan sepenuh hati kepada Yang Mulia, dewa-dewa akan melindungi Ayah.”

“Hati-hati,” tukas Kiyomori sambil tertawa, “jangan menceramahi ayahmu … masalahnya tidaksesederhana itu, Shigemori. Kau, ibumu, dan semua orang telah teperdaya oleh pesonanya. Akuseoranglah yang bisa melihat dirinya yang sesungguhnya …. Ya, dan tidak masalah jika kalian tidaksependapat denganku.”

Tetapi, selagi mereka berbicara, api menjilat langit di atas Kuil Kiyomizu; api dengan cepat menyebarke bangunan-bangunan di sekelilingnya, menyebarkan serpihan-serpihan terbakar ke Rokuhara. Disana, para penghuni yang panik percaya bahwa para biksu Gunung Hiei berusaha membalas dendampada Kofukuji dengan cara membakar kuil saingan mereka.

Di tengah huru-hara itu, Tadanori tiba dengan membawa sepucuk surat dari Kepala Biara Jisso …sebuah pesan rahasia yang ditujukan kepada Kiyomori.

Pada malam tanggal 9 Agustus itu, ketika api masih melahap salah satu sisi Perbukitan Timur,beberapa ribu biksu bersenjata berbaris pulang ke Gunung Hiei.

o0odwkzo0o

Bab XLII-CAHAYA KEBENARAN

tersisa dari Kuil Kiyomizu, dari pagoda dan bangunan-bangunan lainnya di kompleks kuil itu.hanyalah onggokan abu. Hari-hari terus berlalu, namun tidak seorang pun pendeta kembali untukmelihat reruntuhan ataupun berkabung bagi kehancuran tempat sakral mereka; hanya rakyat jelata …pria dan wanita … yang datang dan bersujud dengan wajah bersimbah air mata di antara tumpukanabu, memanjatkan doa-doa. Kendati begitu, di antara kerumunan orang-orang berduka itu, tampaklahseorang biksu muda … masih berusia awal tiga puluhan … yang bersujud dan berdoa dengan khusyuk.Jubah polosnya menunjukkan bahwa dia masih menuntut ilmu; kesederhanaan sosoknya menunjukkankesan seseorang yang luluh lantak akibat kesedihan. Akhirnya, ketika dia meraih topi peziarahnya danberdiri, orang-orang di sekelilingnya mengerumuni dan menghujaninya dengan berbagai pertanyaan.

“Biksu yang terhormat, apakah kamu bukan pendeta dari Kuil Kiyomizu?”

“Bukan, aku datang dari Gunung Hiei,” jawabnya.

Semua mata tiba-tiba tertuju ke arahnya.”Gunung Hiei?

… Tapi, tidakkah kamu takut terlihat di sini? … Dari sebuah kuil di Gunung Hiei, katamu?”

“Dari Kurodani di sebelah barat. Memang betul bahwa aku berasal dari Gunung Hiei, namun tidaksemua pendeta di sana brengsek. Pria yang menjadi guruku … dan banyak pendeta lainnya … mencarikebenaran di dalam kedamaian. Ada banyak orang yang seperti guruku, yang mencari pencerahan didalam agama Buddha agar bisa berbagi cahaya kepada manusia yang sengsara.”

“Benarkah itu? Masih adakah orang-orang seperti itu di Gunung Hiei sekarang?” seru orang-orang disekelilingnya dengan sangsi.

“Masih banyak, tapi bagaimana aku bisa berharap kalian akan memercayaiku setelah kalian melihatsendiri ribuan biksu bersenjata itu? Memang benar bahwa di lembah-lembah tersembunyi dikedalaman hutan Gunung Hiei, cahaya suci belum ternoda. Bagaimana mungkin kami, para pendeta,membiarkan api itu padam jika kalian, yang telah hidup dalam kesengsaraan setelah bertahan dariPerang Hogen dan Heiji belum melupakan cara untuk saling mencintai dan menenangkan?”

“Kata-katamu memberi kami harapan, namun jika ada banyak biksu yang sepertimu, mengapa merekatidak turun kemari dan mengajarkan kepada kami cara untuk menjalani kehidupan?”

“Tetapi … ” si biksu mengernyitkan wajah, menunjukkan kegalauannya yang mendalam. “Tetapi,tidakkah kalian, yang telah datang kemari dan berdoa di antara reruntuhan kuil, mendengarkan ajaran-ajaran para pendeta kalian di sini?”

“Pembohong, mereka semua pembohong! Kami tidak memercayai apa pun yang mereka katakan!Siapakah yang akan memercayai mereka setelah melihat reruntuhan ini?

Mereka hanya memberikan kata-kata indah, sementara diri

mereka sendiri tidak lebih baik daripada pencuri, dan menipu kami adalah pekerjaan mereka! Bisakahkami memercayai mereka? Apakah kau heran karena kami membenci mereka?”

“Kalau begitu, kalian sudah putus asa dan tidak memercayai mereka?”

“Ya, dan karena itulah kami datang kemari dan memanjatkan doa di antara onggokan debu ini”

“Ah, kalau begitu, Buddha akhirnya telah turun di antara kalian! Percayalah kepadaku!”

“Cukup! Kami sudah tidak membutuhkan kata-kata hampa lagi!”

“Kalian benar. Kalian menyuarakan kebenaran ….

Tetapi, walaupun patung suci telah lenyap dari dalam kuil

… hancur lebur menjadi abu, Kannon masih ada di sini.”

“Di mana … di manakah kau melihat Kannon?”

“Di dalam setiap butiran abu itu, di sekelilingnya.”

“Bukankah debu tak lebih dari sekadar debu?”

“Ya.”

“Apakah yang bisa dilihat di situ?**

“Sosok suci tidak bisa dilihat dengan mata telanjang.”

“Tunjukkanlah kepada kami ….Tidak, kau masih terlalu muda untuk itu. Adakah pendeta sungguhanyang bisa menunjukkan hal-hal gaib kepada kami saat kami masih bernyawa?”

“Ada. Tidak ada alasan untuk menganggap bahwa orang seperti itu tidak ada.”

“Di manakah dia? Di manakah pendeta ini?” orang-orang bersorak sorai ribut, terus mendesak si biksumuda.

“Ah … tolong lepaskan aku,” si biksu memohon, melambaikan topinya dan menerobos kerumunan.“Aku sudah bicara terlalu banyak. Aku belum bisa bercerita tentang itu kepada kalian, tapi aku yakinbahwa orang seperti itu ada di muka bumi ini. Dia akan segera hadir di tengah kalian. Jika dia tidakhadir, maka ajaran Buddha memang palsu dan surga hanyalah sebuah kebohongan …

hakikat manusia dan seluruh perintah Buddha adalah omong kosong belaka. Jika memang itu yangterjadi, maka kalian akan memiliki alasan untuk berputus asa. Tidak, wacana dan cahaya kebenaranbelum seluruhnya lenyap dari Gunung Hiei.”

Si biksu memakai topi lebar yang menyembunyikan wajahnya dan berlari menjauh dari kerumunanorang itu, berseru, “jangan putus asa ataupun kehilangan kepercayaan satu sama lain! Hiduplah denganberani hingga dia datang!”

Kerumunan itu pun bubar dengan cepat karena banyak di antara orang-orang itu yang berlari mengejarsi biksu; beberapa orang yang lain mengikutinya dengan teriakan-teriakan menghina. Sejenakkemudian, debu yang mengepul ke udara kembali berjatuhan ke tanah.

Seorang pendeta, yang baru saja tiba, menoleh ke arah sosok yang tengah berlari itu.

“Siapakah itu, Yasunori? Sepertinya aku pernah melihatnya sebelum ini,” kata Saiko, seorangbangsawan Fujiwara yang saat ini tengah menjadi sosok yang banyak diperbincangkan di IstanaKloister, menoleh ke seorang anggota Kepolisian yang mengawalnya. “Apakah kau mengenalinya?”

Petugas itu, Yasunori, segera menjawab, “Bukankah Anda pernah diperkenalkan kepadanya. Tuan,oleh kepala biara di Kuil Ninna-ji?”

“Ah, itu dia Kudengar dialah orang terpintar di sekte Tendai. Aku masih ingat penjelasan Kepala Biaratentang dirinya. Seorang biksu … siapa namanya? … yang tinggal di Kurodani di Gunung Hiei.”

“Dia pasti Honen.”

“Honen … itu dia. Aku yakin dialah orangnya. Dia tidak pernah meninggalkan pertapaannya diKurodani …. Entah apa yang membawanya turun kemari.”

“Penghancuran kuil ini banyak dibicarakan orang sehingga dia pasti penasaran dan tidak bisa menahandiri dari datang kemari untuk melihat reruntuhan ini.”

“Pasti itu alasannya,” kata Saiko, memandang ke sekelilingnya untuk memastikan bahwa tidakseorang pun mengenalinya.

Setelah memeriksa reruntuhan secara saksama, Saiko mengisyaratkan kepada seorang pelayan untukmenyiapkan kudanya, dan kembali ke Istana Kloister sesaat kemudian.

Istana Kloister selalu bermandikan cahaya pada malam hari karena akhir-akhir ini Goshirakawaterbiasa untuk mengundang empat atau lima orang pengikut yang disukainya untuk makan malambersamanya. Saiko baru saja selesai berbicara. Goshirakawa, yang mendengarkan dengan cermat ceritatentang pendeta yang singgah di reruntuhan Kuil Kiyomizu siang itu, menoleh kepada Saiko danmengatakan:

“Jadi, rakyat berduyun-duyun mendatangi reruntuhan itu dan berdoa di antara onggokan-onggokandebu, katamu?

Lucu sekaligus menyentuh … sesuatu harus segera

dilakukan untuk meredakan kemarahan para biksu Kofukuji agar kita bisa membangun kembali kuilitu …. Benar begitu,Toshitsune?”

“Benar, Yang Mulia,” jawab Toshitsune, seorang pejabat istana, sambil menundukkan kepala, tidaktahu lagi harus mengatakan apa karena baru beberapa hari sebelumnya, dia kembali dari Naramembawa kegundahan mendalam. Para biksu Kofukuji telah secara keras kepala mendesaknya untukmembuat kesepakatan dan menuntut agar para pemimpin Gunung Hiei dihukum sesegera mungkin.

Goshirakawa hanya mengangguk-angguk ketika mendengar laporannya, tidak sedikit punmengungkapkan pendapatnya. Tetapi, Toshitsun6 telah melihat sendiri bagaimana para biksu Kofukujibersiap-siap untuk berperang. Dia juga punya alasan untuk meyakini bahwa Goshirakawa mengetahuibahwa para biksu itu akan segera memasuki ibu kota dengan membawa emblem suci mereka untukmenjarah dan membumihanguskan kuil-kuil yang berada di bawah perlindungan Gunung Hiei, jugabahwa Gunung Hiei tidak akan tinggal diam. Sementara itu, tidak ada pasukan tangguh di ibu kotayang akan menangkal serbuan para biksu ke Istana Kloister untuk mengintimidasi Goshirakawa.Sekarang tentunya adalah saat yang tepat untuk meminta dukungan dari Heik6. Tetapi, tidak ada yangtahu tentang keadaan hubungan antara Goshirakawa dan Kiyomori, karena walaupun kunjunganMantan Kaisar ke Rokuhara rupanya telah menghapuskan keraguan Kiyomori, masih ada keraguanmengenai apa yang ada di dalam benaknya. Bagaimanapun, tanpa Kiyomori, mustahil untukmengerahkan pasukan samurai guna menghalau para biksu.

Goshirakawa menoleh ke arah si pendeta, “Saiko, apa yang dikatakan penduduk ibu kota tentangrentetan peristiwa akhir-akhir ini?”

Saiko menelengkan kepala dan menunjukkan ekspresi serius. “Apakah yang ingin Yang Muliaketahui?”

Goshirakawa menatap Saiko lekat-lekat. “Pada malam ketika Kuil Kiyomizo dilalap api, ada desas-desus yang beredar di seluruh ibu kota bahwa aku memberikan perintah rahasia untuk menyerangHeik6.”

“Begitulah.”

“Tetapi, itu konyol, Saiko; apakah pendapatmu tentang hal ini?”

Para tamu yang lain mendengarkan dengan saksama jawaban Saiko. Mereka baru saja mendengarsangkalan terhadap semua yang dituduhkan kepada Goshirakawa hingga saat ini. Tetapi, jawaban dariSaiko segera meluncur:

“Yang Mulia, manusia adalah kepanjangan lidah para dewa. Walaupun Yang Mulia engganmengatakannya, rakyat bisa melihat sendiri betapa arogannya para Heik6

saat ini, dan rakyat telah berdoa kepada para dewa, bukan?”

Goshirakawa mengangguk mengiyakan, kemudian mendadak tertawa terbahak-bahak. “Cukup, Saiko!Kau telah memberiku cukup penjelasan!”

Segera setelah menyadari bahwa dia tidak bisa mengabaikan peran Kiyomori, Goshirakawa punmengambil hatinya; adik kandung Kiyomori, Yorinori, dan adik iparnya, Tokitada, yang telahdiasingkan dari Kyoto, cepat-cepat dipanggil kembali. Goshirakawa pun membiarkan saja ketenaranKiyomori meningkat di Istana dan seluruh ibu kota.

Kiyomori, memimpin pasukannya, berangkat untuk melakukan perundingan bersama para biksuKofukuji selagi mereka berbaris menuju Kyoto. Dalam satu atau dua hari, dia berhasil mengatursebuah pertemuan antara para pemimpin Gunung Hiei dan Kofukuji, yang berujung pada penarikanpasukan Kofukuji ke Nara. Kecepatan perundingan itu mengherankan rakyat yang ketakutan dan

menakjubkan para pengikut Goshirakawa. Bahkan setelah Saiko mendapatkan nama ketiga pemimpinyang paling berkuasa di Gunung Hiei, yang sebelumnya diketahui berseberangan dengan Heik6 namunbaru-baru ini telah beberapa kali bertukar surat dengan Kiyomori … tidak ada yang bisa menjelaskanbagaimana Kiyomori bisa mengenal mereka. Semua orang telah melupakan peristiwa yang terjadipada suatu hari di musim panas, delapan belas tahun silam, ketika Kiyomori menantang para biksuGunung Hiei di Gion, dan tidak ada yang tahu bahwa dia telah merebut hati beberapa orang berkatkeberaniannya itu.

Setahun kemudian, pada 1166, Penasihat Utama Fujiwara Motozane, yang menikah dengan putrikedua Kiyomori, meninggal secara mendadak pada usia muda, dua puluh empat tahun. Setahunkemudian, Kiyomori ditunjuk menjadi Menteri Luar Negeri dan mendapatkan seluruh wewenang dankehormatan yang menyertai jabatannya. Dia baru saja berulang tahun yang kelima puluh; rumahbarunya di Jalan Kedelapan Barat telah selesai dibangun; seluruh kerja kerasnya, tampaknya, akhirnyamembuahkan hasil. Tetapi, berbagai godaan baru terus-menerus muncul di hadapannya, tantangandemi tantangan, karena masa kejayaan Heik6 baru saja dimulai.

Semua adik dan putranya, yang masih berusia tiga puluhan atau empat puluhan, telah mendudukijabatan penting di Istana dan pemerintahan. Namun, kekuasaan dan ketenaran begitu saja mendatangiKiyomori tanpa bantuan

kekerasan maupun intrik; kedekatannya dengan kalangan berdarah biru bukanlah buah dari sebuahkesengajaan; baik putri maupun adik iparnya, Shigeko, dipersunting oleh bangsawan: putrinya olehMantan Perdana Menteri untuk putranya dan adik iparnya oleh Mantan Kaisar Goshirakawa.

o0odwkzo0o

Bab XLIII-DUA ORANG GEISHA

Klan Heike telah memasuki periode ketika pengaruh mereka begitu besar, dan sudah menjadi rahasiaumum bahwa apa pun yang berhubungan dengan Heike tidak akan dipandang sebelah mata. Padasekitar masa inilah beredar berbagai macam pergunjingan tentang Giwo di seluruh ibu kota.

Giwo, yang berasal dari salah satu daerah hiburan di Kyoto, adalah salah seorang geisha yangmengiringi nyonya mereka untuk menghadiri upacara pemakaman Kaisar Nijo di Bukit Funaoka. Padahari itu, ketika Toji jatuh sakit lantaran terpapar sinar matahari, seorang samurai Heik6

muda jatuh kasihan kepadanya dan meminjamkan sebuah gerobak sapi untuk membawanya pulang keibu kota. Toji pulih kembali dalam satu atau dua hari, dan pada suatu siang, sambil menyantappotongan melon dingin, dia mengobrolkan peristiwa hari itu dengan gadis-gadisnya.

“Ya, samurai itu baik sekali. Aku tidak tahu apa yang akan kita lakukan seandainya dia tidakmencarikan kendaraan untuk kita.”

“Ya, Ibu, kami sangat panik ketika itu. Ibu berbaring kesakitan dan hujan mulai turun, sementara paraprajurit hendak mengusir kita.”

“Seandainya samurai muda itu tidak ada di sana dan mengasiha-niku, kita semua akan celaka.”

“Kami akan harus menggendong Ibu hingga tiba di rumah. Aku yakin Ibu tidak akan sembuh secepatini ….

Dan samurai itu meminjamkan sebuah gerobak sapi untuk membawa kita semua pulang! … Kitabenar-benar harus melakukan sesuatu untuk membalas kebaikan hatinya, Ibu.”

Toji telah memikirkan tentang hal itu selama beberapa waktu. Samurai muda itu, dia segeramengetahui, adalah adik Kiyomori yang bernama Tadanori. Seandainya dia bukan seorang Heik6, Tojitidak akan menunda-nunda begitu lama, namun firasatnya yang bagus mengatakan kepadanya bahwaseperti apa pun wujudnya, ungkapan terima kasihnya haruslah memberinya ikatan yang kuat denganklan Heik6. Dia menanti hingga musim gugur tiba sebelum memanggil gadis kesayangannya, Giwo,dan mengatakan, “Kaulah orang yang paling tepat untuk bertandang ke Rokuhara sebagai kurirku danmenyampaikan ucapan terima kasihku kepada Yang Terhormat Tadanori.”

Wajah Giwo seketika merona. Dia mengiyakan perintah Toji, namun ekspresi cemas di wajahnyamendorong Toji untuk menambahkan, “Kau tidak perlu takut; aku sudah berbicara dengan TuanBamboku tentang ini, dan beliau berjanji untuk menemuimu di balik gerbang utama Rokuhara. Beliauakan memastikan bahwa kau bertemu dengan Tuan Tadanori yang terhormat…. Yang haruskaulakukan hanyalah naik ke kereta dan pergi ke sana.”

Giwo siap berangkat pada saat itu juga, namun Toji menahannya. ‘Tidak, tidak, jangan berpakaianseperti itu!

Ingat, kau hendak pergi ke Rokuhara. Ini mungkin adalah kesempatan pertama sekaligus terakhirmu,

dan kau harus

menunjukkan penampilan terbaik …. Nah, aku akan menolongmu berdandan.”

Toji sendirilah yang merias Giwo, membubuhkan berbagai warna ke wajahnya dengan saksama,hingga dia puas dengan hasil karyanya. Dengan kimono bernuansa biru muda, hiasan rambut emas,dan sebilah pedang perak yang tersemat di obi-nya, Giwo memasuki kereta perempuan yang telahmenantinya. Kowaka, pelayan pria yang mengawalnya, mengenakan kimono baru yang sesuai dengankesempatan ini dan berjalan di belakang keretanya.

Ketika keretanya melintasi Jembatan Gojo dan memasuki wilayah Rokuhara, Giwo merasakanjantungnya berdebar kencang akibat kebahagiaannya; dia merasa seperti seseorang yang kerasukan.Sejak hari ketika dia bertemu dengan samurai itu, dia tidak pernah berhenti memimpikannya.Bayangan mengenai pria itu, suaranya, dan wajahnya senantiasa menyertainya. Ketika memikirkanbahwa mereka akan segera bertemu, pipi Giwo langsung panas dan merona. Apakah yang akandikatakannya?

Bagaimanakah dia akan menjawab?

Kereta Giwo telah mendekati salah satu dari beberapa gerbang yang ada.

“Permisi … ” Kowaka menyapa prajurit yang menjaga gerbang, “apakah Tuan Bamboku sudahdatang?”

“Ah, maksudmu Hidung Merah, ya?” si prajurit meralatnya. “Kalau memang yang kaumaksud adalahHidung Merah, pergilah ke gerbang di sebelah sana dan tengoklah pondok di sebelah kanannya. Akubaru saja melihatnya di sana.”

Kowaka membungkuk dan mengucapkan terima kasih, lalu bergegas pergi ketika sebuah teriakanmembuatnya menoleh.

“Tidak, tidak! Jangan ke sana! Bawalah keretamu ke situ!” Bamboku mengarahkannya denganlambaian.

Kereta itu akhirnya berhenti di depan beranda, dan Giwo melangkah turun. Dia dengan ragu-ragumenghampiri seorang pelayan dan mengatakan:

“Namaku Giwo, dan aku dikirim kemari oleh nyonyaku, Toji dari Horikawa, untuk berterima kasihkepada Tuan Tadanori.”

Beberapa orang pelayan lainnya segera berkumpul di pintu masuk dan terpana menatap Giwo, hinggasalah seorang dari mereka sadar dan bergegas menyampaikan pesan darinya.

“Hei, tunggulah di sini!” Bamboku mencegah si pelayan.

“Majikanmu sudah menunggu kami. Kau tidak perlu memberi tahu beliau.

Aku sendirilah yang akan mengantarkan tamu kita ini kepada beliau.” Bamboku telah menaiki tangga.“Ayo, Giwo, lewat sini,” katanya.

Giwo berlalu melewati para pelayan yang menatapnya dengan takjub. Dia mengikuti Hidung Merahmenyusuri koridor-koridor panjang dan melewati beberapa petak taman. Ketika mereka tiba di sebuahjembatan yang menghubungkan dua buah bilik, Giwo mendengar langkah kaki yang dengan cepatmengejar mereka. Dua atau tiga orang pengawal terlihat dan menyuruh mereka menepi,

‘Tuan Kiyomori … silakan menepi.”

Bamboku dan Giwo langsung menepi dan menunggu dengan rikuh. Gelak tawa yang nyaring terdengaroleh mereka; kemudian, Kiyomori muncul, tenggelam dalam pembicaraan bersama beberapa orangpejabat istana. Dia melontarkan tatapan tertarik ke arah Giwo ketika

melewatinya dan menoleh ke belakang sekali lagi sambil membisikkan pertanyaan kepada salahseorang teman bicaranya.

“Saya harap kami tidak mengganggu Anda, Tuan,” kata Hidung Merah setibanya dia dan Giwo didepan pintu bilik Tadanori.

“Kaukah itu, Bamboku?”

“Anda sedang sibuk membaca rupanya. Maafkan saya

…”

“Tidak perlu minta maaf. Aku sedang melihat-lihat koleksi puisi yang katanya ditulis oleh ayahku,Tadamori, dan sangat senang ketika mendapati bahwa beliau ternyata memiliki bakat menulis puisi.”

“Begitulah yang saya dengar,” kata Bamboku, sama sekali tidak menunjukkan ketertarikan pada topiktersebut.

“Anda yakin saya tidak mengganggu? Sesungguhnya, saya kemari untuk hal yang sudah saya sebutkantadi pagi.

Toji dari Horikawa menitipkan pesan untuk Anda kepada salah seorang muridnya, yang tengahmenunggu di ruang sebelah.”

“Oh? Ya, tentu saja, bawalah dia ke sini,” kata Tadanori, menyingkirkan bukunya dan memunggungimeja tulisnya.

Dia mencuri pandang ke ruang sebelah.

Giwo, yang sedang menikmati suara Tadanori dengan pikiran melayang, menatap bingung ketikaHidung Merah menyibakkan tirai.

Tadanori menatap pemandangan luar biasa di hadapannya, kemudian menoleh kepada Bamboku untukbertanya, ‘Tapi, Bamboku, siapakah dia?”

“Ini Giwo, seorang geisha murid Toji, yang telah menerima kebaikan hati Anda.”

“Tapi, dia berpakaian seperti laki-laki.”

“Seperti inilah para geisha di ibu kota berdandan ketika mereka menjadi penghibur di dalam berbagaiacara perjamuan.”

Tadanori tergelak. “Aku ini memang kampungan sekali, ternyata.”

“Giwo, kau hendak berterima kasih kepada Tuan Tadanori, bukan?” Bamboku memberikan dorongan.

“Ya …. Saya … nyonya saya, Toji, menitipkan salam hormat dan terima kasih yang mendalam.”

“Apakah dia sudah pulih sekarang?”

“Berkat Anda, beliau sudah sepenuhnya pulih.”

Seseorang terdengar memanggil Bamboku, kemudian seorang pelayan muncul. ‘Tuan Kiyomori inginmenemui Anda sekarang juga,” katanya.

Bamboku, yang tahu bahwa Kiyomori bisa menjadi sangat tidak sabaran, langsung mohon diri. “Tuan,maafkan saya … saya akan secepatnya kembali kemari,” katanya, pada saat yang sama memikirkanmasalah apa yang kali ini muncul menyangkut pembangunan di Fukuhara, karena di sanalah diamenghabiskan sebagian besar waktunya akhir-akhir ini.

Giwo pun bersiap-siap untuk berpamitan kepada Tadanori, yang tidak berupaya menahannya, namunHidung Merah, mengabaikan Tadanori, menyuruh Giwo duduk kembali. “Ayolah, tinggallah lebihlama untuk mengobrol dengan tuan muda ini, karena beliau sepertinya menyukaimu. Aku akankembali secepatnya.”

o0odwkzo0o

Hidung Merah mendengarkan Kiyomori dengan gelisah.

Sepertinya Kiyomori akan menahannya di sini lebih lama daripada yang disangkanya. Kiyomorimencerocos tanpa henti dan dengan panjang lebar tanpa topik yang jelas.

Sungguh sulit untuk menanyakan maksud Kiyomori memanggilnya tanpa membuatnya tersinggung,pikir Bamboku.

Tetapi, Kiyomori akhirnya menawarkan, “Anggur?” dan memerintah pelayan untuk menyiapkan meja.

“Terima kasih, Tuan, saya … ”

Hidung Merah tidak sanggup lagi menyembunyikan kekesalannya. “Sejujurnya, Tuan …” dia mulaimenjelaskan sambil mengetuk-ngetuk keningnya.

“Ada apa, Bamboku, kau sedang memikirkan hal lain?”

“Tepat, Tuan.”

“Bodoh! Apa kau mengira aku mau menebaknya? …

Mengapa kau tidak langsung mengatakannya saja?”

“Bukan begitu, tapi saya meninggalkan seseorang bersama Tuan Tadanori.”

“Seseorang?”

“Betul.”

“Apa tepatnya yang kaumaksud dengan ‘seseorang*?”

“Sejujurnya, dia adalah seorang geisha dari Horikawa.”

Kiyomori terkekeh, lalu menyeringai. “Seorang geisha, katamu?”

Hidung Merah menepuk kening. Dirinya memang tolol!

Dia seharusnya tahu sejak awal bahwa inilah tujuan dari pemanggilan dirinya.

“Anda mungkin melihatnya. Tuan, waktu Anda melewati kami?”

“Ya, aku melihatnya,” jawab Kiyomori. “Seseorang yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Siapakahnamanya?”

“Giwo, Tuan.”

“Mengapa kau membawanya menemui Tadanori?

Apakah adik kampunganku itu sudah mulai gemar keluar malam?”

“Justru sebaliknya … ” Bamboku menyangkal dengan sikap berlebihan. lalu dengan runutmenceritakan kejadian yang berujung pada kedatangan Giwo ke Rokuhara. Dia menekankan bahwaGiwo

adalah murid kesayangan Toji, baru tujuh belas tahun dan sangat berharga sehingga belum pernahditampilkan di depan umum.

Ketika sake dan makanan disajikan, Bamboku sudah mengungkapkan banyak hal.

“Hidung Merah,” kata Kiyomori sebelum menyentuh sakenya. “Dia akan menjadi geisha yangberhasil. Bawalah dia kemari.”

“Eh, Tuan, maksud Anda Giwo?”

“Hmm … Kiyomori mengangguk.

Satu per satu lampu dinyalakan di sepanjang lorong yang gelap, sementara Giwo menyaksikannyaseolah-olah di dalam mimpi. Ini adalah negeri peri, pikirnya. Langit malam semakin kelam danserangga-serangga berdering

lembut di antara rerumputan di taman. Seandainya saja ini bisa berlangsung selamanya, desahnya,hingga lampu-lampu itu mendadak mengingatkannya bahwa waktu pulang telah tiba. Apakah yangtelah dibicarakannya bersama Tadanori? … Hanya beberapa patah kata untuk menjawabpertanyaannya … kata-kata yang dahulu tidak akan pernah bisa diucapkannya. Giwo duduk diam,memandang taman. Baru kali inilah dia melihat pemandangan seindah ini! Tidak, itu tidak benar …dia pernah melihat pemandangan yang sama indahnya, lama berselang, ketika dia masih tinggal diJalan Pedagang Sapi.

Namanya masih Asuka waktu itu … seorang bocah biasa

… dan dia mencintai Asatori. Dia baru berusia tiga belas atau empat belas tahun dan belum bisamenyanggul rambutnya sendiri, dan dia memuja Asatori. Tetapi, seorang wanita lain datang untuktinggal bersama Asatori dan menjadi istrinya, dan tidak lama kemudian, Asuka dijual kepada seorangmucikari di daerah hiburan.

Kenangan mengenai cinta itu sudah luntur dari benaknya ketika dia tanpa diduga bertemu denganAsatori di dekat Bukit Funaoka. Giwo melihat istri Asatori, dan setibanya di rumah, diamembenamkan wajahnya ke bantal dan menangis semalaman. Kemudian, perlahan-lahan, bayangantentang Tadanori mulai menggusur kenangan tentang Asatori, hingga Giwo menyadari bahwa dirinyatengah jatuh cinta kepada samurai

muda yang tampan itu. Tidak pernah sekalipun dia memimpikan bahwa pertemuan kedua mereka akanberlangsung sesegera ini, seperti ini, dan tidak ada yang diinginkannya kecuali berdekatan denganTadanori.

Di tengah lamunannya, Giwo mendongak dan mendapati sebuah lentera telah menyala di dekatnya.

Tadanori telah duduk kembali di balik meja tulisnya,

mencermati kumpulan puisi di dekat lampu baca yang terang benderang, mengabaikan Giwo.

“Anda pasti kesulitan melihat,” kata Giwo, mendorong lentera ke arah Tadanori.

“Oh, kau ternyata masih di sini?”

“Sebenarnya, saya hendak pulang …. Entah apa yang menahan Tuan Bamboku.”

“Ya, katanya dia akan menjemputmu.”

“Nyonya saya pasti khawatir, jadi saya sebaiknya berpamitan sekarang.”

“Sekarang? Kau bisa-bisa tersesat; aku akan menemanimu ke beranda.”

Tadanori tengah menunjukkan jaJan melewati serangkaian lorong, ketika keduanya tiba-tibaberpapasan dengan Bamboku. Dengan tatapan lega, Tadanori memasrahkan Giwo kepada Bambokudan kembali ke biliknya.

“Lewat sini, Giwo, lewat sini.”

“Hari sudah gelap, jadi lebih baik saya pulang sekarang.”

‘Tuan Kiyomori ingin bertemu denganmu. Kemarilah.”

Giwo mendadak mundur. ‘Tapi … ” protesnya. Dia berpegangan ke tiang dan menolak untukmengikuti Bamboku. Sebuah lentera menyala di sudut ruangan, dan ketika melihat para pelayanbergegas melewati mereka, Giwo baru menyadari bahwa ini bukanlah jalan menuju beranda depan,tempat keretanya menanti.

“Kau tidak perlu cemas. Kalau kau terlambat, para prajurit akan mengawalmu sampai rumah. Kalaukaupikir Toji akan khawatir, seorang kurir akan langsung dikirim

untuk mengabarkan tentang keadaanmu kepadanya. Apa paun itu, kau tidak boleh menyinggungperasaan Tuan Kiyomori dengan menolak undangannya.”

Setelah membujuk, memarahi, dan memaksanya, Hidung Merah akhirnya berhasil mempertemukanGiwo dengan Kiyomori.

Kiyomori menuangkan sake untuk dirinya sendiri. Dari tempatnya duduk, tusuk konde emas dankimono biru muda Giwo tampak berkilauan di bawah cahaya lentera.

“Hidung Merah, lepaskanlah sanggul dan pedangnya; dia sepertinya tidak nyaman,” katanya.

“Giwo … itukah namamu? Mendekatlah … kemari

….Mengobrollah denganku sebentar. Apakah gosip terbaru di ibu kota?”

Hidung Merah menahan tawa ketika melihat kekikukan Kiyomori, ucapan konyolnya, dan wajahnyayang merah padam … Kiyomori memang selalu canggung saat berhadapan dengan wanita. Kiyomori,yang mudah terpesona pada kecantikan dan rapuh, tidak pernah belajar untuk menutup-nutupiperasaannya. Ini bukan hal baru bagi Bamboku, karena dia telah melihat Kiyomori bersama Tokiwadan setelah itu bersama sejumlah wanita lain, dan keadaannya selalu sama. Tetapi, Hidung masihbingung ketika memikirkan mengapa pengayomnya, yang memiliki kekuasaan besar danberkedudukan begitu tinggi, sangat malu setiap kali berhadapan dengan wanita.

Kiyomori pernah mengakui, dalam keadaan mabuk, bahwa walaupun usianya telah matang, dia tidakpernah berhasil menghilangkan rasa enggan dan malu ketika seorang wanita memikatnya. Dia pernahdengan kesal bercerita bahwa kepolosan seorang perawan muda hanya akan membuatnya malu dancanggung. Bamboku akhirnya

menyimpulkan bahwa ini hanyalah cara Kiyomori untuk mengambil hati, karena apa lagikah yang bisamenjadi penjelasan bagi sikap Kiyomori terhadap Tokiwa? Tokiwa adalah seorang wanita yang sudahterluka, jadi alasan apakah yang dimiliki oleh Kiyomori untuk memperdalam lukanya? Jika memangbenar, seperti pengakuan Kiyomori, bahwa dia malu saat berhadapan dengan wanita muda, makaseharusnya dia tidak tega untuk melukai wanita itu.

Tetapi, tindakannya berlawanan dengan kata-katanya.

Menurut Bamboku ada jejak kekejaman di dalam diri Kiyomori, yang selalu berusaha ditutup-tutupinya bahkan dari dirinya sendiri, dalam hubungannya dengan wanita.

“Hidung Merah, kau tahu di mana Giwo tinggal, bukan?

Kau juga mengenal nyonyanya?”

“Yi, tapi … ”

“Salah satu tempat kesukaanmu?”

“Bukan begitu.”

“Tidak perlu menutup-nutupi apa-apa. Kau mau pergi ke sana untukku?”

“Ke mana, Tuan?”

“Ke rumah Toji dan mengatakan kepadanya bahwa Giwo akan tinggal di sini. Yakinkanlah Toji bahwadia akan mendapatkan semua imbalan yang dimintanya, dalam bentuk emas maupun perak.”

Bamboku menjawab dengan enggan, “Anda menyuruh saya menyampaikan itu kepada Toji, Tuan?”

“Ya, pergilah sekarang,” perintah Kiyomori, melontarkan tatapan tajam ke arah Giwo yang ketakutan.

Tanpa sanggul, gadis itu tampak jauh lebih muda dan polos, dan dia terisak-isak lirih, menggumamkanpenolakan,

menunduk dalam-dalam ke lipatan-lipatan kimono biru mudanya.

Bamboku ragu-ragu. “Sekarang sudah larut malam.

Tuan, jadi kapankah Anda bersedia menerima jawabannya?”

“Besok juga boleh,” jawab Kiyomori.

Bamboku membungkuk dan mohon diri, perlahan-lahan menutup pintu ganda di belakangnya.Menggunakan kereta perempuan, yang masih menunggu Giwo, dia menyuruh Kowaka si pelayanmembawanya menemui Toji.

Kisah Giwo segera menjadi buah bibir seluruh penduduk ibu kota. Gadis itu berkunjung ke Rokuharatanpa diundang, menaklukkan Kiyomori dalam pandangan pertama, dan sekarang tinggal di tamanmawar! Dan orang-orang pun menebak-nebak tentang nasib orangtua Giwo, yang sebelumnya miskinpapa.

Giwo, dalam kunjungan singkat pertamanya kepada orangtuanya, yang sekarang tinggal di sebuahrumah baru, mengendarai sebuah kereta baru, yang berkilauan dengan hiasan emas dan perak, dandikawal oleh sepasukan samurai. Pemandangan semencolok itu tidak pernah ada sebelumnya di JalanJuzenji, dan orang-orang segera berkerumun untuk melihat Giwo dan menunggunya dengan sabarhingga dia menampakkan diri. Ketika Giwo keluar, diantar ke gerbang oleh ayah dan ibunya, parapenonton yang penasaran mengerubutinya untuk mengamati penampilannya dari ujung kepala hinggaujung kaki. Giwo mengangkat lengan kimononya untuk menutupi wajah dan cepat-cepat memasukikeretanya, namun beberapa orang yang berada di dekatnya bisa melihat parasnya yang pucat danmurung, dan mereka heran mengapa gadis seberuntung itu bisa dirundung kesedihan.

Ryozen, ayah Giwo, yang kesehatannya telah pulih, tampak gemuk dan mentereng di dalam balutankimono indahnya, segera dibanjiri tamu. Orang-orang itu menyanjung-nyanjungnya dan istrinya,mengagumi perabotan mewah dan pakaian mahal yang mereka lihat di mana-mana, dan menebak-nebak jumlah uang yang diberikan oleh Kiyomori kepada mereka setiap bulannya.

Di antara para tamu tersebut tampaklah Ular, yang kerap datang untuk minum-minum bersamaRyozen.

“Nah, Ryozen,” Ular menekankan, “bukankah aku sudah membawakan keberuntungan untukmu?”

Ryozen menikmati sanjungan Ular dan, dengan suasana hati ceria, menjawabnya, “Ya, ini memangsama sekali tidak buruk. Dan, kalau Giwo melahirkan anak Tuan Kiyomori, maka aku pun akandianggap sebagai kerabatnya. Aku yakin akan bisa mendapatkan jabatan di Rokuhara karenanya.”

Ryozen yang lugu, bagaimanapun, bukanlah tandingan Ular yang licik dan gemar menindas orang lain.

“Ya, Ryozen,” kata Ular, “jika bukan berkat aku, di manakah dirimu sekarang berada? Bukankah akuyang mengentaskanmu dari

Jalan Pedagang Sapi, waktu kalian kelaparan? Akulah yang membeli anakmu dan menjadikannyageisha, bukan?

Kita sudah sangat dekat seperti saudara, ya? Memang, aku mungkin sesekali marah kepadamu, tapi itukarena aku selalu menginginkan yang terbaik untukmu.”

Ryozen jarang terlihat di rumahnya sekarang; dia berkeliaran ke sana kemari bersama Ular, yangmembawanya berjudi, minum-minum, dan menghabiskan uang di tempat hiburan. Rumahnya, yangtadinya diselimuti kedamaian, kini menjadi ajang kekerasan rumah

tangga, karena istri Ryozen mendengar bahwa suaminya memiliki kekasih gelap di Jalan Keenam.Sang istri mencecar, “Ingatlah,” katanya dengan air mata merebak,

“kehidupan yang nyaman ini kita dapatkan bukan karena dirimu, dan dengan menghambur-hamburkanuang kita, kau akan menjadi bahan tertawaan para tetangga. Terlebih lagi, bagaimanakah menurutmuperasaan Giwo, anak kita tersayang, jika melihatmu seperti ini?”

Pada sekitar waktu ini, orang-orang juga mulai membicarakan tentang geisha jelita bernama Hotok6dari rumah lain di Horikawa. Hotok6 baru berumur enam belas tahun dan datang ke Kyoto ketikamasih bocah dari Provinsi Kaga, tempat kelahirannya. Sebagai seorang geisha yang dididik untukmenjalani profesi ini sejak masa kanak-kanaknya, tarian dan nyanyiannya pun dikabarkanmengalahkan para penghibur terbaik di Istana sekalipun.

Para penikmat hiburan di Kyoto, yang pernah melihat penampilannya, bersumpah bahwakecantikannya setara dengan Giwo. Karena kemolekan Giwo sudah tersebar luas, nyonya Hotok6merasa perlu menyombongkan kualitas muridnya yang mengalahkan Giwo, dan pada suatu harimemanggil Hotoke.

‘Tidak diragukan lagi, kau adalah penari terbaik di ibu kota, namun hanya pengunjung daerah hiburandi Kyoto yang pernah melihat penampilanmu. Jika kau bisa menarik perhatian Tuan Kiyomori, kauakan kaya raya. Seorang Giwo saja bisa diterima di Rokuhara, jadi kau pasti juga bisa. Berdandanlahseperti Giwo, dan kita akan melihat apakah kau bisa menyainginya.”

Hotoke langsung setuju karena dia lugu dan membanggakan keahliannya menari. Pikiran tentang apayang akan diperolehnya tidak pernah terlintas di benaknya.

Pada awal musim gugur, sebuah kereta perempuan yang indah berhenti di depan gerbang jalanKedelapan Barat, tempat Kiyomori, yang telah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri sejak Februari,tinggal di sebuah kediaman yang semegah istana. Rumah-rumah megah berdiri di sepanjang jalanyang lebar itu … rumah Nyonya Ariko di sini, rumah Tokiko di sana … dan jalan-jalan kecil tempatpara samurai tinggal bercabang dari sana. Perpaduan antara arsitektur gaya lama dan baru terlihat diseluruh tempat itu, mencerminkan perubahan zaman.

Hotoke, menebarkan seluruh pesonanya, melongok dari keretanya ketika seorang penjaga menghadangkeretanya di gerbang. “Aku Hotoke, seorang geisha … dari lahir, ya, aku memang mainan kaum pria.Aku dikirim oleh nyonyaku dan memberanikan diri untuk datang kemari tanpa diundang. Izinkanlahaku menari dan menyanyi di depan Tuan Kiyomori.”

Si penjaga ragu-ragu dan curiga; kemudian, khawatir Kiyomori akan memarahinya, dia membentakHotoke.

“Apa-apaan ini? Datang kemari tanpa diundang? Keluar

… pulanglah sana!”

“Tidak, sudah menjadi kebiasaan di kalangan para geisha untuk melakukan kunjungan mendadakseperti ini, dan aku melakukannya untuk memberikan penghormatan kepada Tuan Kiyomori. Akumasih muda, dan aku tidak sanggup menanggung luka hati akibat penolakan.”

Hotok6, dengan hati kecewa, tengah beranjak dari sana, ketika seorang pelayan tiba-tibamemanggilnya.

“Karena kau memaksa, aku akan melihat apa yang bisa kulakukan,” katanya, membawa Hotok6memasuki rumah.

Dengan mata membelalak, Hotok6 memandang ruangan-ruangan indah yang terpampang seolah-olahtanpa akhir di hadapannya, hingga akhirnya dia melihat seseorang yang diketahuinya sebagai sangtuan rumah. Kiyomori duduk dikelilingi oleh para pengiringnya; salah seorang di antaranyamenghampiri Hotoke dan mengatakan,

“Apakah kau Hotoke? Anggap saja dirimu beruntung, karena tidak semua orang bisa bertemu denganTuan Kiyomori. Kau ada di sini hanya karena Giwo memohon kepada Tuan untuk membuatperkecualian …. Kau boleh menyanyi untuk kami sebagai balasan atas kebaikan luar biasa ini.”

Hotoke membungkuk dan menoleh ke arah Giwo dengan ekspresi berterima kasih, yang dibalas olehGiwo dengan tatapan menguatkan. Hotok6 pun mulai menyanyikan sebuah lagu sederhana yangdiulangi hingga tiga kali. Dari bibir ranumnya mengalirlah rangkaian nada yang menyentuh hati parapendengarnya dan mengiang di telinga mereka dalam gema yang merdu.

Kiyomori tiba-tiba berkata, “Kau rupanya benar-benar pandai menyanyi. Sekarang, menarilah. Hei …gebuklah genderangnya!”

Hotok6 menelengkan kepala dan berdiri. Dia bergerak dengan lemah gemulai, berbalut kecantikanyang menyembunyikan kebelia-annya.

Kiyomori terpukau menatap setiap gerakannya, namun ketika dia membiarkan matanya membuntutiHotoke, mereguk seluruh kecantikannya, sebuah dorongan luar biasa untuk mencabik-cabik danmeluluhlantakkan keindahan itu menyergapnya.

“Bagus sekali. Lebih bagus daripada yang kusangka,”

akhirnya dia berkata. “Mari kita bersulang untuk

keahlianmu … Hotoke? Mari kita menghabiskan sake ini di Paviliun Musim Semi sambilmenyaksikan Hotok6 menari sekali lagi.”

Hotok6 diperintahkan untuk tinggal di kediaman Kiyomori di Jalan Kedelapan Barat, dan di seluruhpenjuru ibu kota bisa didengar pergunjingan tentang Tuan Kiyomori yang memiliki gundik baru.Tetapi, yang sesungguhnya terjadi bukan begitu karena Hotoke, yang merasa berutang budi kepadaGiwo, tidak pernah menuruti keinginan Kiyomori dan setiap hari selalu memohon agar diizinkanpulang.

“Katakanlah kepada Giwo bahwa dia boleh pergi,”

Kiyomori memerintahkan. “Aku sudah melakukan segalanya untuk membahagiakan dia. Dia sudahmemiliki semua yang dibutuhkannya untuk hidup makmur.”

Giwo menerima kabar pembebasannya dengan lega, walaupun dia merasa sedih ketika memikirkanTadanori, adik tiri Kiyomori; selama ini, Giwo telah membiarkan dirinya menjadi mainan seorangpria dan diam-diam memberikan hatinya kepada pria lain.

Segera setelah tersebar kabar bahwa Giwo telah dilepaskan, para pria ibu kota mulai mengiriminyaundangan untuk menghadiri perjamuan yang mereka selenggarakan dan membanjirinya denganhadiah, namun Giwo mengurung diri di rumah dan menolak untuk menemui siapa pun.

Kendati begitu, hati Giwo hancur ketika melihat betapa ayahnya, Ryozen, telah banyak berubah.Ryozen memimpin rumah tangganya dengan tangan besi, pemarah, selalu mabuk, dan terlilit utang.Ibunya menderita, padahal Giwo selama ini mengira bahwa pengorbanannya akan membahagiakanwanita itu. Tidak lama kemudian, Ryozen

lenyap bersama Ular dan sejak saat itu tidak terdengar lagi kabarnya.

Pada akhir musim semi tahun berikutnya, 1168, Giwo, adik perempuannya, dan ibunya memotongrambut panjang mereka untuk hidup menyepi di daerah perbukitan di Saga, di dekat sebuah kuil disebelah utara gerbang kota. Mereka telah lama tinggal di sana ketika Hotok6 si geisha melarikan diridari rumah megah di Jalan Kedelapan Barat dan mendatangi Saga, memohon kepada Giwo dankeluarganya untuk menerimanya. Seperti halnya mereka, Hotok6 juga sudah cukup banyak melihatbetapa jahatnya kekayaan dan jabatan, dan sudah muak terhadap kemewahan.

o0odwkzo0o

Bab XLIV-HURU-HARA

Kiyomori semakin sering melakukan perjalanan ke Fukuhara, dan para pelancong, yang melewati jalurantara ibu kota dan wilayah barat Jepang, terheran-heran melihat perubahan yang terjadi di sana sejaklima atau enam tahun terakhir. Kampung-kampung nelayan dan desa-desa kecil telah berubah menjadidaerah indah yang ditempati oleh banyak rumah peristirahatan, dengan rumah megah Kiyomorisebagai pusatnya. Selain jalanan yang telah diperbaiki, toko-toko yang telah berjajar di sepanjangpesisir juga akan menjadikan Owada sebagai sebuah pelabuhan yang bagus.

Walaupun rumah peristirahatan mewah Kiyomori telah selesai dibangun dan rumah-rumah Heik6yang berbentuk seragam juga telah didirikan di sekelilingnya, Kiyomori hanya membuat sedikitkemajuan dalam mewujudkan pelabuhan impiannya. Angin barat daya yang kencang dan

ombak yang dahsyat segera menghancurkan tanggul, walaupun perahu-perahu yang dirancang khususuntuk mengangkut batu telah berkali-kali mengosongkan muatan di laut, untuk membuatnya. Dan,setiap kali tanggul mulai terbentuk, angin taufan musim gugur selalu menghantamnya hingga keropos.Tetapi, Kiyomori menolak untuk mengabaikan impiannya. Dengan tegas, dia mengumumkan:

“Adakah orang yang memiliki keahlian dan kepercayaan diri untuk merampungkan pekerjaan ini? Jikaada, aku akan memenuhi semua kebutuhannya. Carikanlah orang semacam itu untukku, danhadapkanlah dia kepadaku.”

Setelah mencari ke seluruh penjuru negeri, ditemukanlah seorang pria yang bisa melanjutkanpembangunan. Ribuan orang dan perahu bahu-membahu bekerja di bawah pimpinannya. Hari demihari, lalu minggu demi minggu, dan akhirnya bulan demi bulan berlalu, dan Kiyomori membiayaiseluruh pembangunan itu seorang diri. Setiap kali berkunjung ke Fukuhara, Kiyomori tidak bersantai-santai dan mengenang masa lalu di rumah

peristirahatannya yang megah tetapi sibuk mengikuti kemajuan pembangunan pelabuhan,mencurahkan seluruh jiwa dan raganya untuk memecahkan setiap masalah yang menghadang.

Dalam salah satu kunjungannya ke Fukuhara, Kiyomori mengabaikan gejala demam yang dideritanya,dan pada malam hari ketika dia sedang dalam perjalanan kembali ke ibu kota, suhu tubuhnya semakinmeningkat. Kecemasan melanda penduduk ibu kota ketika kabar mengenai jatuh sakitnya Kiyomoribocor dari rumah di Jalan Kedelapan Barat Kaisar mengirim tabib pribadinya untuk mengobatiKiyomori. Sepanjang hari, kereta para bangsawan dan pejabat tinggi bergantian melewati gerbangrumah untuk

mencari kabar terbaru tentang kondisi Kiyomori. Tidak seorang pun … kerabat Kiyomori sekalipun …bisa menemuinya, dan kabar tentang Kiyomori hanya bisa didapatkan dari si tabib. Tetapi, kondisiKiyomori semakin parah. Sudah berhari-hari dia tidak mau makan.

Demamnya tidak kunjung mereda, dan si tabib pun sepertinya tidak bisa memastikan apa penyakitnya.

Kabar mengenai semakin merosotnya kesehatan Kiyomori tersebar dalam waktu singkat Begitu

mendengar berita ini, seorang pejabat Heike di Kyushu langsung berangkat ke Kyoto bersama seorangtabib Cina yang baru saja tiba di Jepang.

Ibu tiri Kiyomori, Nyonya Ariko, bersama Shigemori mendatangi kuil-kuil dan tempat-tempatpemujaan utama di Perbukitan Timur dan Gunung Hiei untuk berdoa bagi kesembuhannya.

Wajar saja jika orang-orang mengira-ngira tentang apa yang akan terjadi jika Kiyomori tutup usia.Klan Heik6

belum cukup kuat untuk menjaga agar kekuasaan tidak jatuh ke tangan Mantan Kaisar Goshirakawa,dan semua orang percaya bahwa langkah pertama yang akan diambil oleh sang mantan kaisar adalahmenyingkirkan semua Heik6 … dan golongan samurai … dari Istana. Istana Kloister, sementara itu,setiap hari menerima kunjungan dari Istana Kekaisaran, dan pada suatu hari, Goshirakawamemerintahkan agar keretanya disiapkan karena dia akan menjenguk Kiyomori.

Begitu mendengar bahwa Mantan Kaisar telah tiba, Kiyomori tampak panik. Dia memerintahkan agarkamarnya disapu dan dupa disulut Ketika dia bersujud di hadapan sang tamu agung, Goshirakawa bisamelihat betapa kurusnya Kiyomori dan berkata dengan lembut:

“Sebaiknya kau berbaring saja.”

“Tidak, Yang Mulia, saya masih bisa bangun.”

Dengan tubuh tetap tegap dalam balutan kimono tidur sutranya, dan tampak lebih tenang daripadabiasanya, Kiyomori menjawab pertanyaan-pertanyaan Mantan Kaisar.

Ada beberapa persoalan mendesak yang disampaikan oleh Goshirakawa di sisi tempat tidur Kiyomori.Seperti yang kemudian diketahui, pembicaraan tersebut menyangkut penurunan tahta Kaisar-cilikRokujo untuk kemudian digantikan oleh putra Goshirakawa, Takakura.

Rupanya Mantan Kaisar telah cukup lama merencanakan hal yang dianggapnya akan mengamankankekuasaannya ini. Dia yakin bahwa Kiyomori akan tertarik pada rencana ini karena Takakura adalahkeponakannya. Bagaimanapun, tidak ada jaminan bahwa Mantan Kaisar akan berhasil membujuk

Kiyomori untuk mendukungnya, dan bahkan ada kemungkinan Kiyomori akan menolaknya.

Sehari setelah kunjungannya. Mantan Kaisar mengirim tabib pribadinya ke rumah di Jalan KedelapanBarat dan kemudian menanyainya.

“Bagaimanakah keadaannya? Apakah ada kemungkinan dia akan tetap hidup?”

Si tabib menjawab pertanyaan ini, “Yang Mulia, sulit bagi saya untuk memastikannya. Mustahil bagisaya untuk mengetahui penyakit yang dideritanya. Gejala-gejala aneh yang ditunjukkannya membuatsaya semakin kesulitan memastikan penyakitnya.”

Gejala-gejala yang aneh? Goshirakawa mendengarkan dengan saksama. Apakah Kiyomori akanbertahan atau

tidak bukan masalah baginya; rencananya akan tetap dijalankan.

Kiyomori sakit dan tidak berdaya. Kesehatannya yang prima selalu membuatnya menyepelekankelemahan fisiknya, walaupun masalahnya berbeda jika dia jatuh sakit Istrinya, Tokiko, kerapmengolok-oloknya, “Aku tidak pernah melihat seorang pun yang lebih manja dan menjengkelkandaripada dirimu saat jatuh sakit”

Anehnya, kali ini si sakit tidak bersikap manja maupun menjengkelkan; dia sama sekali tidak tertarikpada makanan; demamnya tidak menunjukkan tanda-tanda akan mereda. Dari waktu ke waktu,erangan kesakitan dan igauan tanpa arah terdengar dari kamarnya. Tabib Kiyomori semakin waspada.Tokiko, Nyonya Ariko, dan Shigemori menghabiskan berjam-jam sehari untuk berdoa di kapel pribadimereka. Para ahli nujum dipanggil, dan para kurir diberangkatkan ke pusat-pusat peribadatan untukmenyampaikan pesan agar upacara khusus digelar demi kesembuhan Kiyomori. Para dewa yang marahseolah-olah telah bersatu padu untuk membalas dendam kepada pria tak beriman yang sudah terlalulama melecehkan dan menyangkal mereka.

Tetapi, Kiyomori tidak merisaukan igauannya. Setiap kali demamnya mereda, dia justru merasakannyeri di perutnya; serangan mual yang dahsyat kembali dan membuatnya merindukan demam yangakan meredakan rasa sakitnya dan sekali lagi membawanya ke kedamaian tempatnya melayang diantara gumpalan awan merah jambu. Dalam keadaan setengah sadar, dia mengingat dirinyamengatakan, “Jadi, inilah ambang antara kehidupan dan kematian …” Kemudian, dia akan melihatpara malaikat beterbangan di antara gumpalan-gumpalan awan dengan iringan musik yang indah, dandi antara mereka, dia

melihat seorang bocah … dirinya ketika berumur delapan tahun. Dia berada di atas sebuah panggungdi Gion, dan yang semula dikiranya sebagai gumpalan awan ternyata sakura. Di bawah pepohonan,ibunya yang cantik jelita berdiri dan tersenyum kepadanya, tersenyum ketika menyaksikannya menari.Ayahnya berdiri di samping ibunya. … Ibu! Ayah! Lihatlah aku menari! … Dan Kiyomori terusmenari hingga keletihan menderanya.

Ayahnya mendadak lenyap, disusul oleh ibunya.

Kemudian, lolongan anak-anak menusuk telinganya.

Dengarlah! Itu adalah Si Tua Bangka, menyanyikan lagu pengantar tidur. Dia melihat istal di rumahtuanya, dan kuda-kuda di dalamnya menatapnya dengan wajah mereka yang kurus kelaparan. Dan, dibawah bulan yang menggantung di langit malam, dia melihat Imadegawa …

rumah reyot yang pernah dihuninya … menjulang di depannya. Tangis kelaparan adik-adiknyamembuatnya panik. Ibunya telah menelantarkan anak-anak ini ….

Ayahnya … ke manakah dia? Dan Kiyomori akhirnya melihat Si Mata Picing bersandar pada sebuahtiang dan memandang atap rumahnya tanpa berkata-kata …. Aku memang bukan anak siapa-siapa,tapi kau adalah ayah kandungku … dan di tengah igauannya, Kiyomori memanggil-manggil, “Ayah!… Ayahku!”

Kemudian, sebuah suara … Shigemori … mengatakan,

“Ayah, ada apa?”

Adik-adik Shigemori, yang berkumpul di sekeliling ayah mereka, mengguncang-guncang tubuhKiyomori agar dia terbangun.

“Apakah aku mengatakan sesuatu yang aneh dalam mimpiku?” tanya Kiyomori.

“Ayah mengigau.”

“Aku bermimpi indah. Terbangun membuatku kesakitan lagi.”

“Tabib Cina dari Kyushu baru saja tiba. Ayah. Apakah Ayah mau menemuinya di sini?”

“Apa! Tabib dari negeri Sung? Ya, bawa dia kemari.”

Si tabib segera muncul dalam balutan jubah perjalanannya, dengan rambut putih yang terurai di bahu,paras kaku, dan tubuh sekerempeng burung bangau. Dia memeriksa Kiyomori dengan cermat; sesekalimenelengkan kepala dan berkomat-kamit, kemudian duduk di tepi tempat tidur Kiyomori.

Kiyomori menoleh kepada si tabib dan bertanya,

“Apakah saya akan sembuh?”

Si tabib menjawab sambil tersenyum, “Saya yakin Anda akan sembuh dalam dua atau tiga hari.”

Sulit bagi Kiyomori untuk memercayai pendengarannya, namun setelah si tabib pergi, dia secarateratur meminum ramuan yang diberikan kepadanya. Keesokan paginya, Kiyomori merasa jauh lebihsehat dan terus meminum ramuannya sesuai arahan si tabib, dan pada malam harinya, dia tertidurnyenyak dan lama

Penyakit Kiyomori disebabkan oleh kuman-kuman di dalam ususnya. Setelah kuman-kuman tersebutdisingkirkan dengan obat dan pencahar, kesehatannya pun pulih dengan cepat Kendati begitu, kabaryang tersebar di seluruh ibu kota menyebutkan bahwa kesembuhan Kiyomori adalah sebuah mukjizatIlmu kedokteran, yang masih berada di dalam tahap paling awal perkembangannya, menghubungkankehadiran kuman di dalam tubuh manusia dengan alasan supernatural, dan para dukun dan ahli nujumkerap dipanggil untuk mengobati orang-orang yang sakit.

Di rumah megah di Jalan Kedelapan Barat dan Rokuhara, kehidupan kembali berjalan dengan normal;pesta syukuran digelar di mana-mana, dan musik kembali terdengar mengalun dari rumah-rumahHeike.

Semua orang yang mengenal Kiyomori takjub ketika mengetahui bahwa segera setelah kesehatannyapulih, dia menjalani penahbisan dan menarik diri dari keramaian.

Tidak ada lagi yang diinginkan oleh Kiyomori; kedudukannya telah aman, reputasinya telah terjaga;posisi tertinggi yang bisa diraihnya di bidang pemerintahan sudah berada di dalam genggamannya.Kendati begitu, kedua ambisinya belum terwujud … pelabuhan di Owada dan perdagangan denganCina. Dia masih memegang erat-erat mimpinya untuk menjadikan Fukuhara sebagai pusatperdagangan besar dan Itsuku-shima sebagai permata Laut Dalam, penghubung antara Jepang dannegeri Sung.

Kejayaan menantinya jika dia berhasil mewujudkan mimpinya ini!

Setelah mengundurkan diri dari jabatannya, Kiyomori langsung menetap di Fukuhara untukmengabdikan seluruh waktunya pada tahap terakhir pembangunan pelabuhan, dan menyusulkepergiannya. Kaisar Rokujo digulingkan dari tahtanya dan digantikan oleh putra Goshirakawa yangberumur sembilan tahun. Semua orang yakin bahwa Kiyomori adalah dalang dari peristiwa itu.Tuduhan-tuduhan terpedas datang dari para bangsawan Fujiwara, yang sudah berabad-abad melahirkancalon kaisar, yang tidak tahu-menahu tentang perubahan ini. Pelanggaran hak prerogatif yang tidakpernah dilakukan sebelumnya ini menginjak-injak wewenang mereka. Pelakunya adalah seorangsamurai … Heik£ Kiyomori. Kendati begitu, walaupun tuduhan terberat ditujukan kepada Kiyomori,adik iparnya, Tokitada, dianggap sebagai tokoh

berpengaruh di balik layar. Kiyomori tiba-tiba mendapati dirinya berada di bawah bayang-bayangketakutan begitu gosip-gosip liar itu berkembang. Orang-orang mengatakan bahwa Tokitadamenempatkan mata-mata di mana-mana untuk melaporkan siapa pun yang berani berbicara miringtentang Heik6.

Pada Juli 1170, sebuah huru-hara, yang akan lama diingat, pecah di antara para pelayan PerdanaMenteri Fujiwara dan Heik6 Shigemori.

Melihat segala aspek yang ada, bulan itu sungguh menentukan. Gerhana matahari telah diramalkan,dan tujuh buah panggung telah didirikan di Istana Kekaisaran untuk menyaksikan fenomena alamtersebut, walaupun ketika hari beranjak siang, langit menjadi berawan dan hujan deras turun. Musimpanas ternyata datang lebih cepat. Semua orang mengkhawatirkan kemungkinan datangnya musimkemarau panjang, sehingga upacara khusus untuk meminta hujan diselenggarakan di TempatPemujaan Utama dan tempat-tempat pemujaan yang lebih kecil. Setelah pemujaan itu, lalu turunlahhujan deras yang tidak pernah dilihat oleh siapa pun sejak sepuluh tahun terakhir. Sungai-sungaimeluap, dan sebagian wilayah ibu kota terendam banjir. Pada 3 Juli, sehari setelah gerhana matahari,sebagian besar penghuni Istana … para pangeran, putri, dan Perdana Menteri … menghadiri MisaBesar di kuil di dekat Shirakawa, di sebelah utara Rokuhara.

Matahari bersinar sangat terik pada hari itu. Perdana Menteri, yang mengenakan kimono kebesarantebalnya, lalu menyelesaikan tugasnya. Dia tergoda untuk pulang dan menanggalkan berlapis-lapispakaian yang dikenakannya.

Tetapi, tidak, matahari masih tinggi, putusnya. Dia akan kembali ke Istana, menyelesaikan beberapaurusan, lalu pulang pada malam hari, setelah udara lebih sejuk. Dia

memerintah penarik sapinya untuk membawanya kembali ke Istana Kekaisaran dan membiarkankereta mengayun-ayunnya dengan lambat.

Sinar matahari yang panas menyengat menembus kerai dan menerangi sosok berkimono putih itu.Perdana Menteri masih berusia pertengahan dua puluhan. Tampak anggun dan berwibawa dalambalutan kimono kebesarannya, dia tetap duduk tegak walaupun keringat mengalir ke pipinya daribawah hiasan kepala berat yang dikenakannya.

Rombongan ajudan, penarik sapi, dan pelayannya tentu saja jauh lebih merana di bawah siksaan panasini. Dengan tubuh berselimut debu, mereka berkali-kali dan dengan letih berusaha mengusir lalat yang

mengerumuni mereka.

Sapi penarik kereta dibiarkan menentukan kecepatannya sendiri, dan iring-iringan panjang itumerayap di sepanjang jalan raya. Ketika mendekati sebuah persimpangan, dari jauh mereka melihatkereta lain bergerak ke arah mereka, diiringi oleh serombongan besar pelayan. Dari jarak yang lebihdekat, tampaklah bahwa rombongan itu mengiringi sebuah kereta perempuan. Kereta Perdana Menteri,yang tampak mencolok berkat lambang besarnya, menguasai bagian tengah jalan. Etika yang berlakumenuntut permaisuri sekalipun untuk memberi jalan kepada Perdana Menteri, namun keretaperempuan tersebut terus maju tanpa menunjukkan tanda-tanda akan menepi. Jarak keduanya semakinpendek … empat puluh meter, lima belas, sepuluh, lalu tujuh. Kereta itu sudah nyaris bersentuhandengan kereta Perdana Menteri namun tetap melaju dengan kencang. Para pengiring kereta perempuanmengisyaratkan dengan liar agar kereta Perdana Menteri menepi, sementara para pengiring PerdanaMenteri maju untuk menghentikan kereta perempuan tersebut Tidak ada

yang mau mengalah, jeritan liar, umpatan, dan caci maki pun gagal menghentikan keduanya.

“Apa kalian tuli? Tidakkah kalian lihat kereta siapa ini?”

“Pakai mata kalian! Ini kereta Perdana Menteri!”

“Memangnya siapa majikan kalian?”

Kereta perempuan itu terus maju, menceraiberaikan kerumunan pelayan Perdana Menteri ke tepi jalan.

“Berhentilah di sana! Berhenti!”

Seorang ajudan Perdana Menteri tiba-tiba bertari maju sambil memekik, “Orang-orang kurang ajar!”Dia menonjok si penarik sapi dan menyambar tali kekangnya sambil menyeret kereta perempuan ituke pinggir jalan.

“Berani-beraninya kau menyentuhkan tanganmu ke kereta majikanku?”

Para pengawal yang berjaga-jaga di belakang kereta segera merangsek ke depan dan mengancam.“Berani-beraninya kalian menghina kami? Apa maksud semua ini?”

Para ajudan Perdana Menteri balas membentak.

“Diam! Orang-orang kampungan seperti kalian pasti tidak tahu bahwa yang sedang kalian hadapi iniadalah rombongan Perdana Menteri! … Mundurlah kalian!

Menyingkirlah dari jalan kami, bangsat!”

“‘Orang-orang kampungan* kata kalian?”

“Kalian sama tololnya dengan kucing atau anjing!

‘Orang-orang kampungan* terlalu bagus untuk kalian!”

“Kalian ingin berkelahi, ya!”

“Kalian yang memulai, tapi kami sudah siap!”

Empat atau lima orang pengawal Perdana Menteri mengangkat senjata.

“Kalian mau apa?”

Perkelahian pun pecah begitu para pengiring Perdana Menteri menyerang para pengiring keretaperempuan.

“Hajar mereka!”

“Dasar anjing-anjing Rokuhara!”

Sumpah serapah membahana. Ranting-ranting dan batu-batu dilemparkan ke kereta Perdana Menteri.Gumpalan-gumpalan debu membubung ke udara, menyelubungi mereka yang berkelahi mati-matiansehingga kawan dan lawan mustahil untuk dibedakan lagi. Rombongan pengiring Perdana Menteriterdiri dari delapan puluh orang, mencakup sejumlah samurai, sementara rombongan lawan merekahanya beranggotakan empat puluh orang. Tetapi, prajurit-prajurit Rokuhara gagah perkasa danpetarung yang tangguh, dengan sikap dan tutur bahasa yang kasar.

Para penumpang kedua kereta tersebut sepertinya sudah sepenuhnya terlupakan. Bukan seorangperempuan yang ada di dalam kereta perempuan itu melainkan cucu Kiyomori, putra Shigemori yangberumur sepuluh tahun, yang hendak pulang dari kursus seruling. Keretanya terayun-ayun keras kekanan dan kiri kemudian berputar.

Huru-hara itu pun berhenti, sementara si bocah duduk gemetar di dalam kereta, ketakutan melihatwajah-wajah berdarah dan tubuh-tubuh penuh luka yang saling menyerang. Sebongkah batu melayangmenembus kerai, dan jeritan melengking seorang bocah mendadak terdengar.

Walaupun kedudukan mereka masih unggul, para pelayan Heik6 terpaksa untuk mundur bersamakereta mereka yang rusak parah. Tetapi, mereka telah

mengerahkan seluruh tenaga mereka dan bersumpah untuk membalas dendam.

Hari semakin gelap dan Rokuhara sunyi senyap; jangkrik-jangkrik di bawah pepohonan pun seolah-olah tidak berani mengerik. Kabar tentang perkelahian itu telah sampai di Rokuhara, dan obor-oborterangkat begitu kereta datang. Berbagai seruan terdengar:

“Kaukah itu, Shiro? Apakah Tuan Muda selamat?”

“Semuanya baik-baik saja, tapi rombongan Perdana Menteri habis-habisan mempermalukan kita ….Jumlah mereka jauh melampaui kami.”

“Laporkanlah itu kepada Tuan, tapi bagaimana dengan Tuan Muda … tidak ada cedera?”

“Beliau baik-baik saja, walaupun sedikit menangis.”

“Cepatlah masuk! Apa kau tidak tahu betapa khawatirnya orang-orang di rumah?”

Baru beberapa saat kereta itu berhenti di depan beranda, Shigemori telah keluar, dengan panikberseru-seru memanggil putranya.

Shigemori mendengarkan cerita tentang huru-hara itu dari salah seorang kepala rombongannya. Yangbersalah bukan pihak mereka melainkan pihak Perdana Menteri, si kepala rombongan bersikeras. Paraajudan Perdana Menteri tidak hanya menantang mereka tetapi juga merusak kereta mereka. Tidak,mereka tentunya akan memberikan jalan secara suka rela kepada Perdana Menteri jika parapengiringnya tidak melecehkan mereka. Tidak ada pilihan selain membela kehormatan Heike ….

Ketika si panglima mengakhiri ceritanya, Shigemori, yang biasanya selalu tenang, meledak.“Seandainya saat itu

gelap, aku mengerti jika mereka tidak mengenali anakku, tapi mustahil jika mereka tidakmengenalinya di tengah siang hari bolong. Jelas, Perdana Menteri bersalah, dan aku akan memastikanagar dia mendapatkan balasan yang setimpal.”

Keesokan harinya, pada 5 Juli, Shigemori berangkat ke Istana bersama pasukan bersenjata lengkapdengan jumlah yang lebih besar daripada biasanya, bertekad untuk melabrak Perdana Menteri di manapun mereka berjumpa.

Sementara itu, Perdana Menteri, yang baru mengetahui bahwa huru-hara yang disebabkan oleh paraajudannya tempo hari ternyata melibatkan putra Shigemori, sudah beberapa hari menghindari Istana.Secara pribadi, Perdana Menteri menyemburkan kekesalannya kepada para kepala rombongan danajudannya.

“Tidak bisakah kalian melihat siapa yang sedang kalian hadapi sebelum menyerang mereka? Darisemua orang yang bisa kalian tindas … cucu Kiyomori! Pandir … tolol! Dan akulah yang harusmenanggung akibatnya!”

Tetapi, walaupun sudah melampiaskan kemarahannya, Perdana Menteri tetap merasa tidak berdayauntuk meluruskan masalah ini, hingga salah satu temannya …

seorang penasihat … menyarankan agar dia menyerahkan ajudan-ajudannya yang bersalah kepadaRokuhara untuk dijadikan jaminan. Si penasihat meyakinkan Perdana Menteri bahwa tindakan ini bisadipastikan akan melunakkan sikap Shigemori. Maka, dua orang kepala rombongan beserta beberapaorang prajurit dan penarik sapi diserahkan ke Rokuhara. Beberapa saat kemudian, si penasihat, yangbertindak sebagai duta Perdana Menteri, kembali bersama orang-orang yang akan diserahkan itu.

Dia membawa berita bahwa Shigemori menolak untuk menemuinya.

“Aku diberi tahu bahwa Tuan Shigemori tidak mau menemui siapa pun. Tetapi, kudengar dia maumembicarakan tentang masalah ini asalkan tidak denganmu.”

Pada 16 Juli, sebelum berangkat untuk menghadiri sebuah acara yang sudah dijadwalkan di kuil diShirakawa, Perdana Menteri memerintahkan kepada anak-anak buahnya untuk memeriksa keadaan disekeliling kuil.

Ketika mendapatkan laporan bahwa para samurai Heikt telah ditempatkan di sepanjang rute yang akan

dilaluinya, Perdana Menteri membatalkan semua rencananya hari itu.

Beberapa bulan kemudian, pada 21 Oktober, pada hari ketika Perdana Menteri dijadwalkan untukhadir di hadapan Dewan Kekaisaran dalam pembahasan terakhir tentang hak-hak yang akan diterimaoleh Kaisar setelah cukup umur, sebuah pesan tiba di Istana Kekaisaran, mengatakan bahwa PerdanaMenteri telah diserang di tengah perjalanan menuju Istana sehingga tidak bisa menghadiri pertemuan.Seisi Istana pun waspada. Jadwal baru pertemuan Dewan Kekaisaran ditetapkan, dan para menteri danpejabat istana yang kebingungan segera dibubarkan. Masyarakat segera mendengar kabar tentangserangan yang terjadi di dekat salah satu gerbang Istana itu; Perdana Menteri berhasil meloloskan diritanpa menderita cedera apa pun; sekitar dua ratus orang samurai tiba-tiba muncul di tepi jalan danmengepung keretanya; para penyerang yang tidak dikenal itu menyergap enam orang pengawalberkuda yang berbaris di depan, menyeret mereka turun sehingga terluka parah akibat terinjak-injak,dan memotong ikat rambut mereka sebagai ungkapan penghinaan. Para anggota rombongan lainnyayang tidak berhasil melarikan diri, yang jumlahnya tidak seberapa, menemui nasib serupa.

Orang-orang berusaha mencari penjelasan, dan segera tersebar kabar bahwa Kiyomori sendirilah yangmelakukan pembalasan kepada Perdana Menteri demi cucu kesayangannya. Padahal, Kiyomorisesungguhnya tengah berada di Fukuhara, dan insiden yang melibatkan cucunya baru terdengarolehnya lama kemudian.

Setelah perhatian masyarakat pada kasus ini berkurang, kebenaran mencuat dari jalinan kusut desas-desus dan peyangkalan yang menjadi buah bibir seluruh ibu kota: Shigemori sendirilah yang telahmemerintahkan penyerangan kepada Perdana Menteri.

o0odwkzo0o

Bab XLV-PEMBANGUNAN SEBUAH

PELABUHAN

Tahun 1170 adalah tahun banjir dan bencana alam yang telah merenggut tempat tinggal dan panenanribuan petani.

Kendati begitu, santer terdengar kabar ini: ‘Tidak ada seorang pun yang kelaparan di Fukuhara.Lapangan kerja melimpah ruah di sana” Karena itulah para fakir miskin berbondong-bondongberangkat ke Fukuhara untuk turut membangun pelabuhan. Sembilan tahun telah berlalu sejakKiyomori mengemban tugas luar biasa besar ini, dan keperkasaan tanggulnya mulai terbukti, mencuatbagaikan semenanjung di laut. Tetapi, pada bulan September, angin topan dalam sekejapmeluluhlantakkan hasil kerja keras selama sembilan tahun tersebut.

Kiyomori melamun menatap laut. Impiannya mulai tampak mengenaskan. Dia sudah menghabiskansangat banyak uang dan tenaga, namun belum ada sesuatu pun yang baru di sana. Karena itu Kiyomorimeminta kepada

Gubernur Heike di wilayah utara Kyushu untuk mengirim beberapa orang insinyur dari Cinakepadanya, para buangan politik yang baru-baru ini meminta perlindungan di wilayah selatan Jepang.

Setibanya di Fukuhara, orang-orang asing itu ditempatkan di Aula Seribu Lentera, yang didirikansetahun silam di tengah hutan pinus di dekat laut untuk menyambut kunjungan pertama Mantan KaisarGoshirakawa.

Kedatangan para insinyur dari Cina itu disambut dengan gegap gempita karena inilah kali pertamapara penduduk asli dan juga orang-orang Kyoto yang telah lama tinggal di Fukuhara melihat orangasing.

Para insinyur dari Cina itu menghabiskan hari-hari mereka di laut atau berlama-lama berdiskusidengan seorang mandor, yang menggeleng dengan kecewa. Tidak ada pengetahuan baru yang merekadapatkan, lapor si mandor kepada Kiyomori. Semua yang mungkin dilakukan telah dicoba. Kendatiharapannya telah kandas, Kiyomori tetap merasakan kepuasan yang mendalam lantaran seluruhpengetahuan manusia telah dicurahkan ke dalam proyek pembangunan yang dikerjakan oleh para ahlinan giat ini.

Dia kemudian memerintahkan agar pembangunan pelabuhan itu dilanjutkan, dan menambahkankepada mandornya:

“Kita luput memperhitungkan akibat kedatangan badai musim gugur tempo hari karena baru kaliinilah badai besar terjadi sejak tanggul kita berdiri. Sembilan puluh persen pembangunan harusdirampungkan di antara musim gugur dan musim panas tahun depan. Jika kita bisa mencapai targetitu, aku menjamin bahwa kita akan berhasil. Kita membutuhkan lebih banyak pekerja, lebih banyakbahan bangunan … dan uang, tapi kau tidak perlu mengkhawatirkannya.”

Kiyomori tampak percaya diri. Hingga saat ini, dia telah menguras kekayaan Heik6; bagaimanapun,

ada batas bagi semua hal, termasuk sumber daya itu. Tetapi, kali ini dia yakin bahwa pemerintah akanbersedia untuk turut menanggung biaya yang akan dikeluarkannya. Dua tahun telah berlalu sejakMantan Kaisar menjanjikan kepadanya untuk menyumbang dana bagi pembangunan pelabuhan, danwalaupun belum ada tindakan nyata yang diambil, Kiyomori yakin bahwa Goshirakawa akanmendukungnya.

Kiyomori sudah sejak lama mengajukan permohonan resmi untuk dana yang telah dijanjikan itukepada Mantan Kaisar, dan Goshirakawa selalu memintanya menunggu sebentar, sesuatu yang selaludipatuhinya. Tetapi, sekarang Kiyomori menyadari bahwa dia sudah tidak bisa menunggu lagi.Pelabuhan itu harus segera didirikan atau dilupakan untuk selamanya, sehingga dia pun sekali lagimenemui Goshirakawa secara pribadi untuk memohon bantuan.

Ketika pertama kali mendengar tentang pertikaian antara rombongan pengiring Perdana Menteridengan rombongan pelayan putra Shigemori, kemarahan Kiyomori tidak meledak seperti yang sudahdiperkirakan; dia hanya menggeleng dan berkata, “Cucu-cucu dan keponakan-keponakanku semakinlama semakin sembrono. Cucuku memang bersalah karena melanggar etika, namun Perdana Menterijuga masih terlampau belia dan pongah.”

Kemudian, dia menambahkan dengan sedih, “Kehidupan terlalu mudah bagi mereka tanpa adanyakesulitan yang menempa mereka.”

Tidak lama kemudian. Mantan Kaisar berkunjung ke Fukuhara untuk memenuhi undangan Kiyomori.

Kunjungan pertamanya setahun silam bertujuan untuk melihat kemajuan dalam pembangunanpelabuhan di Owada dan menghadiri upacara peresmian sebuah kuil

baru. Kali ini, Kiyomori telah mengatur agar Goshirakawa bertemu dengan kedelapan insinyur dariCina yang masih tinggal di Fukuhara. Dua orang wanita muda, putri salah seorang insinyur Cina, akanmenari di hadapan Mantan Kaisar untuk memikatnya dengan hiburan dari kebudayaan Sung. Tetapi,maksud Kiyomori yang sesungguhnya adalah mengingatkan Goshirakawa akan janjinya untukmemberikan bantuan dana.

Setelah kunjungan Mantan Kaisar usai, Kiyomori menyadari bahwa tidak ada bantuan yang bisadiharapkan dari Goshirakawa. Mantan Kaisar telah dengan lihai menangkis dan berkelit daripermohonan Kiyomori.

Tetapi, Kiyomori tetap menolak untuk menerima kekalahan. Dia berumur lima puluh tiga tahunsekarang; kebugaran fisiknya tetap terjaga dan masih tampak muda.

Bagi para rekan sejawatnya di Istana, dia adalah seorang ambisius yang setiap langkahnya harusdiawasi, karena walaupun telah mendapatkan penolakan, dia kembali mencurahkan seluruh tenaganyauntuk merampungkan pembangunan pelabuhan.

Pada musim gugur itu, semua tenaga kerja yang biasa ditemukan di setiap wilayah kekuasaan Heik6 dibagian barat Jepang, disalurkan ke Fukuhara. Untuk membuktikan bahwa impian Kiyomori bukansekadar omong koson, segala macam bahan bangunan dikumpulkan dalam upaya terakhir. Siang danmalam, bulan demi bulan, ribuan orang bekerja tanpa kenal lelah untuk menyelesaikan pekerjaan inisebelum kedatangan musim badai tahun depan. Bebatuan dibersihkan dari semenanjung dan bukit-

bukit di sekitarnya, untuk ditimbun di sepanjang pantai. Rakit yang terbuat dari rangkaian batang-batang pohon berukuran raksasa digunakan untuk memuat peti-peti kayu berisi batu dan ditarik kelaut. Secara bergantian, perahu-perahu

menjatuhkan bongkahan-bongkahan batu besar dan membiarkannya tenggelam di laut; rakit demi rakitdan perahu demi perahu.

Pada malam-malam yang panjang selama akhir musim gugur, perahu-perahu dengan obor-obor terangbenderang berderet di sepanjang garis pantai, menghadirkan kesan agung dan misterius. Kiyomorimemandangnya dengan puas. Dia telah mengerahkan seluruh kemampuannya; para dewalah yang akanmenentukan segalanya. Ketika Kiyomori memandang Galaksi Bima Sakti pada suatu malam, baruterlintas di dalam benaknya bahwa berbulan-bulan telah berlalu sejak dia meninggalkan ibu kota, dandia pun memikirkan apa yang terjadi di sana. Siapakah di antara semua putra dan adik lelakinya,pikirnya, yang memiliki cukup ketangguhan untuk menjadi kepala klan Heik6? Tsunemori, adiknya,terlalu ringkih; Norimori, adiknya yang lain, terlalu pendiam. Tokitada, adik iparnya, kurang memilikitanggung jawab; dia memang berbakat, namun terlalu keras kepala. Kendati menjanjikan, Tadanori,adik tirinya, masih terlalu muda.

Sedangkan putra sulung dan penerusnya, Shigemori …

Kiyomori tahu bahwa seluruh anggota klan Heike menghormatinya namun tidak benar-benarmencintainya.

Ada sesuatu yang salah dengannya; di balik permukaan yang tenang, dia menyembunyikan jiwa yangsemena-mena. Kiyomori selalu mencurigai tatapan teduh Shigemori, yang pancarannya kerap kalilebih menunjukkan kelicikan daripada kebijaksanaan. Shigemori juga telah berubah. Sebagian besarkesegaran dan kebugaran, yang selalu ditunjukkannya pada masa mudanya, kini telah lenyap.Kiyomori bertanya-tanya, apakah putra sulungnya itu sakit? Dia akan meminta seorang tabib untukmemeriksa Shigemori sekembalinya dirinya ke Kyoto. Kiyomori juga

sudah mendengar bahwa Shigemori saat ini memiliki sebuah kapel pribadi, tempatnya menghabiskansebagian besar waktunya …. Itulah inti masalahnya. Ada terlampau banyak omong kosong yangterjadi, pikir Kiyomori. Adik-adik dan anak-anaknya mulai meniru tingkah kaum bangsawan: merekamulai mencintai kemewahan dan terbiasa dengan beraneka ragam gaya hidup mahal. Merekamenunjukkan sikap berlebih-lebihan dengan menagatasnamakan agama, memanjatkan doa denganriasan wajah dan alis, dan gigi yang dihitamkan.

Kiyomori tidak keberatan dengan keindahan dan gaya hidup yang baik. Semua itu memang menggoda.Itu menjadikan kehidupan mereka lebih berwarna. Sedangkan agama … dia sendiri bahkan sudahmenjalani penahbisan.

Dia sendiri mengecam orang-orang yang tidak beriman, tetapi peniruan tingkah kaum bangsawan danperibadatan dengan cara berlebihan … itulah yang membuatnya muak.

Di Rokuhara, dia pernah mencoba untuk menerapkan aturan-aturan tertentu bagi kaum samurai. Diamemastikan agar Buddhisme bisa diterima dengan kehormatan yang selayaknya di dalam kehidupanmereka, tetapi sejak masa mudanya, dia sudah menolak untuk menerima kepercayaan terhadaptakhayul yang begitu marak di sekitarnya. Hanya alam semesta yang misteriuslah yang layak untuk

dipuja.

Dia akan meminta Tokiko untuk berbicara secara serius kepada Shigemori mengenai hal ini.Shigemori akan lebih mendengarkan pendapat ibunya dalam masalah ini …

o0odwkzo0o

Akhir musim gugur itu, Kiyomori kembali ke Kyoto, dan tersebarlah kabar bahwa dia akan tinggal diibu kota selama musim dingin.

Pada suatu hari yang tenang, ketika dau-daun mapel baru mulai memerah, kereta Perdana Menterimelaju ke kediaman mewah di Jalan Kedelapan Barat, tempat Kiyomori telah menantikan sang tamuagung itu. Karena telah kerap mendengar bahwa Kiyomori adalah seorang pria yang ramah, PerdanaMenteri merasa tenang ketika berangkat. Tetapi, setibanya di Rokuhara, dia mendapati bahwakegelisahannya ternyata meledak-ledak.

“Saya sangat senang, Tuan, karena Anda baik-baik saja.

Sudah lama saya ingin bertandang ke Fukuhara untuk melihat kemajuan pembangunan pelabuhan disana dan mengagumi rumah peristirahatan Anda, namun karena pengangkatan resmi Yang Mulia akandilaksanakan sebentar lagi, berbagai tugas menghalangi saya untuk mengunjungi Anda, Tuan.”

“Justru sebaliknya, jangan sampai hal sepele semacam itu mengganggu tanggung jawab Anda diIstana. Jika rentetan upacara pengangkatan resmi telah berakhir, Anda harus berlibur ke Fukuhara.Dan ini mengingatkan saya untuk menanyakan apakah tanggal pengangkatan Yang Mulia telahditetapkan.”

“Dewan Kekaisaran sudah memutuskannya, yaitu pada hari ketiga Tahun Baru.”

“Itu akan menjadi hari baik bagi kita semua,” sambut Kiyomori.

Perdana Menteri mengernyitkan keningnya. “Sejujurnya

… ” dia mulai menjelaskan. “Anda mungkin sudah mendengar tentang pertikaian serius yang pecahantara rombongan saya dan rombongan putra Anda pada hari pertemuan Dewan Kekaisaran.”

“Hmm … ya, saya sudah mendengarnya. Huru-hara besar-besaran, katanya.”

“Saya tidak hendak menimpakan kesalahan kepada siapa pun karena mereka semua sama-sama salingmenyerang, namun orang-orang memiliki khayalan mereka sendiri dan menyebarkan desas-desusbahwa yang sesungguhnya terjadi adalah pertikaian antara keluarga kita.”

“Mustahil bagi kita untuk membendung desas-desus semacam itu. Biarkan saja masyarakat bicara …tapi saya sudah memperingatkan putra saya, Shigemori. Dia sudah bertingkah sangat kekanak-kanakan.”

“Justru sebaliknya, Tuan … dan alasan saya menemui Anda hari ini adalah untuk meminta maaf. Sayajuga layak Anda peringatkan. Baik putra Anda maupun saya sama-sama tidak mengetahui apa yangsesungguhnya terjadi.

Saya juga sudah mendengar bahwa cucu Anda telah diberangkatkan ke Ise demi menutupi aib, dansaya memohon agar Anda membawanya kembali kemari selain memberikan ampunan kepada saya.”

“Bukan Anda yang harus meminta maaf,” kata Kiyomori sambil tersenyum penuh arti. “Masalah inisepertinya hanya menambah beban Anda. Hanya Shigemori yang berhak mengambil keputusan bagiputranya. Saya bersikap keras kepadanya karena saya menyayanginya. Shigemori adalah penerus saya,dan dia harus belajar tentang cara bersikap yang baik jika pelayannya terlibat dalam pertikaian. Kaliini dia bersikap di luar kebiasaan, dan saya menyalahkannya. Seorang tabib Cina, yang dahulumengobati saya, telah memeriksa Shigemori dan menemukan penyakit di perutnya, dan Shigemoriharus beristirahat untuk menyembuhkan diri.

Kendati sulit bagi Anda, saya memohon agar Anda mau melupakan saja masalah ini.

“Ini lebih daripada yang sepantasnya bagi saya, Tuan.”

“Shigemori akan segera datang, dan saya akan memanggil anak-anak saya yang lain dan Tokitada agarkita bisa minum bersama untuk merayakan perdamaian ini.”

Pada 3 Januari 1173, Kaisar, yang telah berusia sebelas tahun, diangkat secara resmi dengan perayaanbesar-besaran. Kemudian, pada bulan Oktober, Mantan Kaisar meminang putri Kiyomori yang ketikaitu sudah berusia tujuh belas tahun, Tokuko, untuk putranya. Maka, Tokuko pun secara resmi diangkatmenjadi permaisuri bagi Takakura.

Rangkaian peristiwa tersebut mengalir begitu saja sehingga, mau tidak mau, klan Heik6 berada dipuncak kekuasaan. Nama Kiyomori menjadi buah bibir semua orang, dan tidak ada yang beranimengatakan hal-hal buruk tentang Heike. Ketakutan juga menguar di udara.

Meskipun begitu, Kiyomori seolah-olah tidak terkesan dengan semua itu, bahkan mengecamkedudukan yang telah ditempati oleh Heik6, karena keinginan sejatinya telah terpenuhi: pembangunanpelabuhan di Owada sudah hampir selesai. Akhirnya, pada tahun ini kapal-kapal akan bisa berlabuh disana, termasuk kapal-kapal dari negeri Sung.

o0odwkzo0o

Bab XLVI-PENGASINGAN SEORANG

BIKSU

Siapakah itu? Pada suatu sore yang sejuk di tengah musim semi, sebuah suara nyaring melantunkanayat-ayat suci dan menggangu para pemain musik yang tengah bekerja

“Jangan bergerak! Kau dilarang masuk … hendak ke mana dirimu?” seorang penjaga menantang.

Adu mulut pun tak terhindarkan.

Seorang pejabat istana yang penasaran meletakkan kecapinya ketika teriakan nyaring sekali lagiterdengar menembus dinding.

Mantan Kaisar memberi isyarat kepada salah seorang pengiringnya. “Pergilah dan periksalah apa yangsedang terjadi.”

Orang itu tiba di lorong, tepat ketika seorang biksu gagah perkasa mendorong seorang penjaga danberlari menerobos gerbang menuju bagian dalam istana. Rambut si biksu terurai di bahunya dan bulu-bulu di kakinya mencuat-cuat menembus jubah compang-campingnya bagaikan sebatang kayu pinusbesar.

“Yang Mulia bisa mendengarku sekarang. Beliau tentu lelah setelah mendengarkan musik seharian.Sebagai gantinya, biarkanlah beliau mendengarkan ceramah Mongaku pada rakyat jelata di jalanan ibukota!” katanya, mengedarkan pandangan ke halaman dalam yang sempit dan membuka gulungan yangdipegangnya.

“Mongaku dari perbukitan Takao!” seru seorang pejabat istana, mengenali sosok janggal yang seringdilihatnya berdiri di sudut jalan untuk meminta sumbangan.

Mongaku membacakan sebuah surat permohonan sokongan untuk pembangunan sebuah kuil baru,namun surat itu lebih terdengar seperti sebuah pidato kecaman terhadap penyimpangan-penyimpangandi Istana dan gaya hidup mewah para bangsawan.

“Pastikan agar orang itu ditahan,” perintah Mantan Kaisar. Salah seorang pengiringnya melompatilangkan dan menyergap Mongaku, memuntir lengannya.

“Apa kau gila! Tidakkah kau tahu bahwa ini adalah Istana?”

Mongaku tetap berdiri tegak ketika si pengiring Kaisar menubruknya.

“Ya,” jawabnya dengan lantang, membiarkan si pengiring Kaisar memegangnya. “Aku sudahmenghabiskan bertahun-tahun di perbukitan Takao, berdoa untuk pembangunan sebuah kuil tempatpencerahan akan dihadirkan ke dunia, dan meminta-minta sumbangan dari rakyat jelata di jalanan ibukota. Aku datang kemari untuk memohon sebuah hadiah dari Yang Mulia … sepeser pun yangdiberikan dengan ikhlas sudah cukup bagiku.

Izinkanlah aku menyampaikan permohonanku.”

“Untuk apa kau melakukan kekerasan jika maksud dari kedatanganmu kemari adalah untukmengajukan permohonan?”

“Aku juga punya batasan. Aku sudah mengetuk gerbang beberapa kali, tapi alunan musik itu meredamsemua suara lain dan para penjaga berpura-pura tidak mendengarku.

Tidak ada lagi yang bisa kulakukan kecuali menerobos masuk. Jangan bertingkah macam-macamkepadaku atau kau akan menanggung akibatnya!”

“Diamlah, biksu gila!”

Mongaku membebaskan salah satu tangannya dan, dengan sekali gerakan di pergelangan tangannya,melontarkan lawannya sehingga

jatuh ke tanah. Si pengiring Kaisar cepat-cepat berdiri dan kembali menerjang Mongaku, yangmenghantam

pipinya dengan gulungan surat di tangannya. Ketika lawannya sekali lagi menyerangnya, Mongakumenghantam dadanya. Si pengiring Kaisar terhuyung-huyung mundur dan roboh ke tanah, tidaksanggup bangkit kembali.

“Apakah kalian masih mau melawanku?”

Mongaku memelototi belasan prajurit yang mengepungnya.

“Jangan gentar! Tubruk kakinya!” para prajurit berseru-seru, menubruk Mongaku.

Mongaku masih memegang gulungan surat, namun sebilah belati tiba-tiba tampak berkilat di dalamgenggamannya. “Mundur;” ancamnya; para prajurit serentak mundur begitu Mongaku dengan lincahmelompati beberapa anak tangga. Seorang prajurit menerjangnya, dan Mongaku menebaskanbelatinya; prajurit itu, dengan lengan berlumuran darah, terus berpegangan kepada Mongaku hinggarekan-rekannya datang, meringkus Mongaku, dan menjebloskannya ke tahanan.

Mongaku diasingkan ke Izu, di wilayah timur Jepang.

Sebelumnya, terdapat silang pendapat di antara para penasihat Goshirakawa mengenai apakahMongaku seharusnya dimaafkan atau tidak, tidak hanya karena dia pendeta tetapi juga karena rakyatmenyukainya dan bahkan mencintainya.

Mongaku, mengendarai seekor kuda tanpa pelana ke tempat pengasingannya, tersenyum danmemamerkan gigi cemerlangnya di tengah janggut lebatnya.

“Kudengar teman kita Mongaku telah diasingkan.”

“Teman kita yang menyenangkan itu?”

“Apa alasannya? Diasingkan kemana?”

“Izu. Ke Izu, kata orang-orang.”

Orang-orang berkumpul untuk melepas kepergian Mongaku ketika biksu itu menunggang kudanyamelewati jalan-jalan ibu kota. Di persimpangan jalan, dia berceramah sesuai ciri khasnya kepadaorang-orang itu hingga para pengawal mendorongnya dengan kesal.

Seorang pria bertubuh kecil berjinjit di sana, memandang dari antara bahu orang-orang lainnya kepadasosok tinggi besar yang bergerak menjauh.

Dengan menegakkan kepala dan menyunggingkan senyum, Mongaku melewati gerbang kota, yangtelah dilewati oleh banyak orang buangan lainnya dengan penuh duka dan air mata. Tetapi, ada gelaktawa dan bahkan keceriaan di antara para penonton ketika mereka meleaps kepergian Mongaku.Begitu Mongaku melewati gerbang kota, hanya tersisa beberapa orang saja yang mengikuti arak-arakan itu.

Mongaku tiba-tiba menoleh untuk menyapa pemimpin pasukan pengawalnya, yang berpura-pura tidakmendengarnya. Kemudian, Mongaku mencondongkan badan ke arah prajurit yang menarik kudanya.“Berhentilah.

Aku ingin turun,” katanya, menjelaskan bahwa dia harus membuang hajat. Si prajurit berhenti danmenunggu hingga atasannya tiba di dekatnya sebelum menuruti permintaan Mongaku. Mongaku, yangdigelandang ke hutan di dekat situ, segera kembali, tetapi alih-alih menunggangi lagi kudanya, diamendaki gundukan tanah dan duduk di atas sebongkah batu, lalu mengatakan, “Ambilkan air untukku.

Aku haus.”

Si pemimpin pasukan menggeleng dan mengernyitkan wajah. Ini tepat seperti yang telahdiperkirakannya. Karena

sudah menduga bahwa tahanan ini akan berperilaku menyusahkan, dia memilih para prajurit terkuatuntuk menyertainya kali ini … pasukannya pun berjumlah lebih banyak daripada yang diperlukannya.

“… Tidak banyak yang bisa kita lakukan. Berikan air untuknya,” katanya. “Jangan usik dia dan bujukdia agar secepatnya menunggangi kudanya lagi.”

Setelah memuaskan dahaganya, Mongaku menoleh lalu berkata kepada si pemimpin pasukan,“Mumpung kita baru sampai di sini, aku ingin berbicara denganmu. Kemarilah.

Beristirahatlah sejenak.”

“Apa-apaan ini? Kau adalah seorang tahanan yang hendak diasingkan dan kami adalah pengawalmu.Apa maksudmu bertingkah

seperti ini? Kita akan berlayar dari Otsu dan kau bisa bicara padaku setibanya kita di perahu.”

“Jika begitu, semuanya akan terlambat”

“Kita baru saja keluar dari ibu kota dan kau tidak bisa membuang-buang waktu seperti ini. Naiklahkembali ke kudamu. Jangan sampai perahu kita menunggu terlalu lama di Otsu.”

Mongaku bergeming. “Kau tidak ingin bercakap-cakap denganku?” katanya, tertawa meledek. “Ah,panglimaku yang malang … Genji terakhir di ibu kota! Waktu aku mendengar bahwa putra Yorimasaakan mengawalku, aku senang karena mengira akan mendapatkan teman bicara.

Astaga, ternyata kau sama saja dengan mereka semua!”

Dengan wajah merah padam, si pemimpin pasukan turun dari kudanya. Dia menyerahkan tali kekangkudanya kepada seorang anak buahnya, lalu menghampiri Mongaku dengan sikap terkendali.

“Biksu yang terhormat, ayahku sering berbicara tentangmu. Anak-anak buahku sudah diperintahkanuntuk tidak memperlakukanmu seperti tahanan biasa, tapi aku tidak akan membiarkanmu bertingkahseperti ini karena aku harus menjalankan tugasku.”

“Aku tidak ingin menyusahkanmu, tapi tentunya kau tidak ingin pergi ke pengasingan tanpamengucapkan selamat tinggal kepada teman-temanmu?”

“Tidak ada peraturan yang melarangnya. Setidaknya, yang bisa kami lakukan adalah menoleh ke arahlain waktu kau berbicara dengan mereka.”

“Itu dia! Aku ingin kau melakukan itu. Aku sebenarnya berhati lunak, dan waktu melihat beberapaorang mengikutiku ke sini jauh-jauh dari penjara, aku merasa bahwa aku harus menenangkan merekadan menyuruh mereka pulang. Berikanlah sedikit waktu agar aku bisa berbicara dengan mereka.”

Si pemimpin pasukan mengerutkan kening, ragu-ragu.

“Yah, baiklah, namun cepatlah,” katanya, memerintahkan kepada para prajuritnya untuk menepi.

Mongaku berdiri dan melambai kepada beberapa sosok di kejauhan. Para prajurit melihat beberapaorang berlari mendekat … empat atau lima orang biksu muda, pasangan suami istri, dan seorang priabiasa. Para biksu itu adalah pengikut Mongaku dari Takao, dan Mongaku menggunakan kesempatanitu untuk menasihati mereka.

Asatori dan istrinya, Yomogi, turut melepas kepergian Mongaku dengan harapan agar bisa mendengarkata-kata terakhir darinya. Mereka menatap Mongaku dengan mata berkaca-kaca.

“Aku sudah menduga bahwa kalianlah yang

mengikutiku kemari,” kata Mongaku. “Bagaimanakah

kabar kalian? Apakah kalian masih tinggal di Jalan Pedagang Sapi? Semuanya baik-baik saja?Sekarang adalah saat yang tepat untuk memiliki anak … apakah kalian sudah punya anak?”

“Kami memiliki seorang anak, yang langsung meninggal dunia setelah dilahirkan, dan tidak ada lagiyang lahir sesudahnya,” kata Asatori. “Aku dan Yomogi sudah sangat lama mengenalmu, tapi kamitidak pernah menyangka bahwa kita akan berpisah dengan cara seperti ini.”

“Benar, kita dipertemukan dalam banyak kesempatan aneh. Setelah Perang Hogen, aku dan Asatoriberbagi makanan dan tempat berteduh di reruntuhan Istana Mata Air DedaJu. Dan kau, Yomogi, waktuitu kau adalah gadis cilik pengasuh anak-anak Nyonya Tokiwa, dan kau sering mendatangi Istana Mata

Air DedaJu dengan membawa embermu. Ya, kalian berdua telah banyak berubah, begitu pula dunia!”

‘Tentu saja, itu sudah bisa diduga. Tujuh belas tahun telah berlalu sejak pertemuan pertama kita,” kataYomogi, menjejalkan sebuah bungkusan kecil ke tangan Mongaku.

“Ini obat-obatan, kalau-kalau kau jatuh sakit Ada tujuh rupa di dalamnya. Yang lainnya adalah nasikepal dengan daun kenikir yang baru kumasak tadi pagi.

Bekal untuk kausantap saat menyeberangi danau.”

“Ternyata kau masih mengingat sayuran kesukaanku!

Aku sangat berterima kasih kepada kalian untuk bekal dan obat-obatan ini.”

Mongaku kembali menoleh kepada Asatori. “Dan pendidikanmu?”

“Ini kabar lain yang ingin kusampaikan kepadamu …

dan kau akan senang mendengarnya. Baru-baru ini, aku

mendapatkan izin praktik dan diterima di Akademi Pengobatan. Tapi, aku sama sekali tidak berminatuntuk bekerja di Istana karena berharap bisa mengabdikan seluruh ilmuku di Jalan Pedagang Sapi,menolong rakyat miskin.”

Mongaku mengangguk setuju. “Betapa berlainannya jalan hidup membawa kita, walaupun kitamenginginkan hal yang sama … sebuah surga di dunia! Kau memang terlahir sederhana, dan aku …penuh gejolak!”

“Mongaku yang baik, sikapmu benar, dan kau telah mengusahakan dengan sepenuh jiwamu untukmelawan begitu banyak kejahatan di dunia ini. Tetap saja, aku tak mengerti mengapa kau bertingkahseperti itu di Istana Kloister, tempat mereka menganggapmu sebagai orang gila.”

“Sayang sekali, Asatori, tindakan dan hatiku tidak seiring sejalan. … Ya, aku sudah menghabiskanbertahun-tahun di Air Terjun Nachi, berharap bisa menyucikan diri dengan airnya, tapi aku barumenyadari bahwa penebusan dosa bukanlah satu-satunya tujuanku. Aku tidak terlahir untuk menjadiseorang perenung, karena aku tidak bisa mengabaikan kejahatan dan kebejatan di dunia ini. Aku hanyamelakukan apa pun yang kuanggap benar, dan aku ingin mencari cara untuk melenyapkan seluruhkebusukan dari ibu kota ini … kebejatan Pemerintahan Kloister dan arogansi Heik6. Bagaimanacaranya, aku tidak bisa memberi tahu kalian, tetapi, Asatori, kau akan melihatnya sendiri dalambeberapa tahun ke depan.”

Mongaku mendadak terdiam dan menoleh dengan waspada ke arah pasukan pengawalnya, yang berdiritidak jauh dari sana.

Khawatir Mongaku akan mengamuk lagi, Asatori melirik Yomogi, namun si pemimpin pasukan telah

menoleh ke arah Mongaku dan mendesaknya untuk segera menyelesaikan urusannya.

Mongaku menunggangi kudanya. “Baiklah,” katanya sebelum mengucapkan selamat tinggal kepada

Asatori dan Yomogi.

Seorang pria muda yang setengah tersembunyi di balik semak-semak di dekat gundukan tanah,menantikan kesempatan untuk berbicara dengan Mongaku, keluar tepat ketika iring-iringan ituberangkat Dia berdiri diam, menatap kepergian Mongaku. Ketika Mongaku menoleh sekali lagi,keduanya menunjukkan tanda-tanda saling mengenali.

Kemudian, Mongaku kembali menoleh ke depan dengan santai dan memandang sinar matahari yangmenerobos sela-sela dedaunan.

Ketika hendak beranjak dari sana, Yomogi dan Asatori mendengar seseorang memanggil namamereka.

“Oh? Kapankah kita terakhir kali bertemu?”

“Mungkin kau ingat, kau pernah bertemu denganku di Bukit Funoka beberapa tahun silam … dipemakaman, ketika nyonyaku Toji jatuh sakit Kau sangat baik kepada beliau.”

“Ya, tentu saja, kau merawat wanita itu bersama para geisha.”

“Ya … dan nyonyaku pernah mengunjungimu untuk mengucapkan terima kasih di rumahmu di JalanPedagang Sapi.”

“Sekarang aku ingat …. Kau hendak pergi ke mana sekarang?”

“Aku datang kemari untuk mengucapkan selamat jalan kepada tahanan itu.”

“Kau juga mengenalnya?”

“Sudah sejak lama. Dia memberiku nasihat ketika aku paling membutuhkannya dan aku selalubersyukur karenanya. Begitulah,” kata pria itu. Karena masih ingin bercakap-cakap dengan Asatoridan Yomogi, dia melanjutkan, “Jika bukan karena dia, aku tentu sudah mati sekarang, begitu pulamajikan istrimu ini. Dua nyawa terselamatkan pada hari ketika aku bertemu dengannya.”

Yomogi terperanjat, lalu menoleh kepada pria asing itu, yang sedang menatap tajam kepadanya. Priaitu dengan malu menurunkan pandangannya dan, sesudah memastikan bahwa tidak ada orang lain disana, berbisik:

“Yomogi … kau dan aku sama-sama mengabdi kepada Tuan Genji Yoshitomo sekitar dua puluh tahunyang lalu.

Apakah kau masih ingat?”

“Ya, Tuan Yoshitomo … ”

“Tuan Yoshitomo adalah kekasih nyonyamu, kau tahu.”

“Aku selalu menangis setiap kali memikirkan masa lalu

… ”

“Aku adalah pelayan kesayangan Tuan Yoshitomo ketika itu. Kau pasti masih ingat bahwa akulahyang mencoba membalas dendam untuk almarhum tuanku ketika nyonyamu bersedia menjadisimpanan Kiyomori. Akulah yang meninggalkan pesan di kebun rumah peristirahatan di Mibu.”

“Astaga, kau pasti Konno-maru!”

“Benar.”

Yomogi membelalakkan mata dengan takjub. Dia gemetar ketakutan sehingga harus berpegangankepada Asatori.

“Jangan takut,” kata Konno-maru, “karena aku sudah lama melupakan semua rencana jahatku. Akumenjadi pelayan di tempat hiburan dan mengawasi Nyonya Tokiwa dari jarak jauh.”

Yomogi tiba-tiba merasa malu akibat ketakutannya.

“Konno-maru, apakah kau masih suka menjumpai nyonyaku?” tanyanya.

“Ya, selama hampir sepuluh tahun, aku mengendap-endap ke kebun dan menemui beliau. Akulah satu-satunya orang yang mengenal beliau ketika beliau masih bahagia, dan beliau selalu senang saatberjumpa denganku.”

“Oh, apa yang sudah kulakukan!” kata Yomogi dengan putus asa. “Sekali pun aku belum pernahmengunjungi beliau sejak aku menikah. Bagaimanakah keadaan beliau sekarang?”

“Beliau sakit sejak hampir setahun terakhir.” “Sakit?”

“Beliau hanya bisa berbaring selama enam bulan terakhir. Aku tidak pernah menemui beliau sejak saatitu, walaupun aku masih mengendap-endap ke kebunnya.”

“Aku tidak pernah menyangka bahwa beliau sakit …”

“Jika bukan karena Mongaku, aku tidak akan kemari hari ini. Tapi, aku ingin berbicara denganmu. Iniagak mendadak, tapi … ” Konno-maru menoleh kepada Asatori.

“Bisakah kau menyampaikan pesanku untuk Nyonya Tokiwa?”

Asatori bertanya dengan heran. “Mengapa kau memintaku?”

“Kau seorang tabib dan Yomogi pernah menjadi dayang Nyonya Tokiwa, jadi kalian tidak akankesulitan menemui

beliau. Kuharap kau mau memberikan sesuatu dariku untuk beliau.”

Asatori menatap Yomogi dengan ragu-ragu, tidak mampu menjawab. Namun Yomogi, yang senangkarena mendapatkan alasan untuk menemui mantan majikannya, langsung setuju.

“Tentu saja kami mau, dan suamiku pasti akan bisa mencari penyebab penyakit beliau. Beliau pastiakan senang jika bisa bertemu dengan kami. Apakah yang akan kautitipkan kepada kami?”

“Aku tidak membawanya sekarang, tapi aku akan membawanya ke rumah kalian besok malam.Ingatlah bahwa semua ini harus dirahasiakan.”

‘Tentu saja, kami tidak akan mengatakannya kepada siapa pun.”

“Aku tidak tahu apakah kabar ini bisa dipercaya atau tidak, tapi aku mendengar bahwa mata-mataHeike ada di mana-mana, memasang mata dan telinga.”

‘Tapi, kau tidak meminta kami untuk melakukan sesuatu yang sulit bukan?”

“Sama sekali tidak. Kalian hanya perlu memastikan agar sebuah bungkusan yang sangat kecil sampaidi tangan Nyonya Tokiwa. Jangan sampai benda itu jatuh ke tangan Heik6, karena beliaulah yang akanmenanggung akibatnya.

Ini harus benar-benar dirahasiakan. Aku akan datang ke Jalan Pedagang Sapi besok malam,” Konno-maru mengakhiri pembicaraan dan meninggalkan mereka.

Konno-maru menepati janjinya untuk mendatangi rumah Asatori pada malam berikutnya. Setelahmengulangi peringatannya tentang perlunya menjaga rahasia, dia menyerahkan sebuah bungkusankecil dan pergi dari sana.

“Apakah isinya menurutmu?” tanya Asatori dengan gelisah.

“Hanya surat, aku yakin,” Yomogi menenangkan suaminya, tidak sabar menantikan kunjungan kepadamantan majikannya. “Bukan hanya satu melainkan setumpuk. Jadi, kapankah kau bisa pergibersamaku ke rumah Nyonya Tokiwa?”

“Kapan pun. Apakah kau tidak takut dicurigai?”

“Mengapa mereka harus mencurigai kita?”

“Orang-orang masih ingat bahwa Nyonya Tokiwa pernah memiliki keterkaitan dengan Genji, dan jikakita pergi … ”

“Lagi pula, aku hanyalah seorang pelayan dan tetap mendampingi nyonyaku bahkan setelah beliaumenikah lagi. Aku tidak melihat alasan mengapa orang-orang akan mencurigaiku. Lagi pula, kaubelum pernah memohon doa dan restu beliau, dan sudah saatnya kau melakukan itu, karena sekarangkita sudah menikah. Tidakkah kau sependapat denganku?”

o0odwkzo0o

Bab XLVII-GENJI AKAN BANGKIT

KEMBALI

Beberapa hari kemudian, Asatori memakai kimono bersih yang telah dipersiapkan oleh Yomogiuntuknya, dan Yomogi sendiri mengenakan kimono terbaiknya. Mereka berdua pun berangkat kerumah mewah di Jalan Pertama, tempat tinggal Tokiwa.

Kini, Tokiwa telah melewati usia tiga puluhan. Dia memiliki satu anak dari pernikahan keduanyadengan seorang bangsawan tua dari klan Fujiwara, namun kareka kesehatannya yang rentan, diamengucilkan diri di salah satu sayap rumah besar itu. Hanya ada beberapa tamu yang pernahmenjenguknya, dan kesunyian kehidupannya hanya sesekali disela oleh kedatangan para pendeta padahari-hari besar tertentu.

Konno-maru seoranglah yang secara teratur mengunjunginya, dengan diam-diam, untuk membawakankabar tentang ketiga putranya. Dan, setiap kali bertemu dengan Tokiwa, Konno-maru selalu bercelotehtentang masa depan dengan berapi-api:

“Heikt tidak akan pernah bermimpi tentang apa yang terjadi di timur, tapi kejayaan mereka tidak akanberlangsung selamanya. Mereka tengah dimabuk kekuasaan sehingga tidak menyadari bahwa padasuatu hari nanti, Genji akan membalas mereka. Yoritomo di Izu sudah dewasa, dan putra bungsu Anda,Ushiwaka, yang saat ini ada di Gunung Kurama, juga akan segera dewasa.”

Tokiwa, yang belum melupakan kengerian perang, bergidik setiap kali Konno-maru membicarakan halitu. Dia juga menyangsikan bahwa beberapa orang Genji yang tersisa akan bisa menaklukkan Heik6,dan dia telah berulang kali memohon kepada Konno-maru, “Jangan biarkan anakku tersedot olehpusaran tanpa ujung itu, Konno-maru. Jangan pernah berbicara tentang hal itu kepada mereka.”

Tokiwa teramat merindukan Ushiwaka. Anak itu sudah berumur lima belas tahun sekarang … ceriadan keras kepala, kata Konno-maru, dan dari ketiga anak Tokiwa, hanya dialah yang terus bersikerasmeminta kepada Konno-maru untuk dipertemukan dengan ibunya. Dia bahkan mengancam untukberangkat sendiri menemui ibunya.

Tokiwa sendiri benar-benar tergoda untuk menyetujui kedatangan putranya ketika Konno-marumengatakan:

“Nyonya, saya memohon kepada Anda untuk menunggu di dekat semak-semak di dekat sungai, agardia bisa melihat Anda dari kejauhan.”

Tetapi, Tokiwa mengetahui besarnya risiko yang akan ditanggung oleh Ushiwaka dan, terlebih lagi,dia yakin bahwa setelah merasakan kebebasan, Ushiwaka tidak akan mau lagi kembali ke biaranya diGunung Kurama. Tokiwa akhirnya menolak untuk bertemu dengan Konno-maru lagi dan menyuruhdayangnya menyampaikan pesan kepada pria itu bahwa dia sakit.

Semua pintu dan jendela kamar Tokiwa tertutup kecuali yang menghadap ke halaman dalam. Tokiwasedang larut dalam kegiatan sehari-harinya, yaitu menyalin ayat-ayat suci, ketika dayangnya

menghampiri dan mengatakan bahwa dua orang tamu telah datang untuk menemuinya.

Keterkejutan Tokiwa berubah menjadi kegembiraan ketika dia mendengar siapa mereka, dan dia buru-buru meninggalkan meja tulisnya untuk menyambut mereka.

Yomogi, melupakan salam hormat yang telah dengan tekun dihafalnya, langsung berurai air matabegitu melihat mantan majikannya.

“Baik sekali dirimu karena mau menjengukku, Yomogi!”

kata Tokiwa. “Sudah bertahun-tahun berlalu sejak pertemuan terakhir kita. Dan kau banyak berubahsetelah menikah!”

Sementara kedua wanita itu saling menyapa dengan hangat, Asatori mengamati penampilan Tokiwadengan mata tabib yang sudah terlatih. Dia tidak melihat sesuatu

pun yang salah dengannya. Nama Konno-maru pun akhirnya disebut dalam pembicaraan mereka.

“Konno-maru memberi tahu kami bahwa Nyonya sakit, tapi untunglah suami saya tabib dan bersediauntuk menemani saya kemari hari ini. Ini Asatori,” kata Yomogi, memperkenalkan suaminya untukpertama kalinya. Dengan sangat bangga, dia menjelaskan bahwa Asatori pernah menjadi pemainmusik di Istana, dan dia meninggalkan pekerjaannya itu untuk mempelajari ilmu pengobatan.

Asatori duduk di hadapan istrinya yang cerewet dan mendengarkan sambil sesekali mengangguk.Kemudian, Tokiwa menoleh ke arahnya dan menyapanya dengan senyum terulas.

“Maafkan aku karena sudah membuat kalian cemas.

Sejujurnya, aku sehat-sehat saja. Aku berbohong tentang penyakitku karena khawatir orang-orangakan bergunjing, dan kupikir, jika Konno-maru mengatakan bahwa aku sakit, Ushiwaka akanmengurungkan niatnya untuk datang kemari. Jika Ushiwaka melarikan diri dari Gunung Ku rama dandatang kemari, aku tahu bahwa kehidupannya akan berakhir.”

Beberapa titik air mata mengalir di pipi Tokiwa. Dengan lembut, Yomogi mengeluarkan bungkusankecil yang dibawanya dan meletakkannya di depan Tokiwa.

“Konno-maru menitipkan ini untuk Anda, Nyonya.”

Tokiwa memandang bungkusan kecil itu, mendadak disergap oleh kerinduan yang mendalam. Diacepat-cepat membukanya. Benda

itu pasti dikirim oleh Ushiwaka, firasatnya berkata …

Ushiwaka, yang cerita-cerita tentang kenakalannya sudah sering didengar oleh Tokiwa. Ushiwakaadalah seorang

anak aktif dan jenaka, yang selalu melakukan kenakalan di biara-biara Gunung Kurama danmemancing kekesalan semua biksu. Kepala biara, yang semula diberi tanggung jawab untukmembesarkannya, akhirnya angkat tangan dan menyerahkannya kepada kepala biara yang lain, yang

juga kewalahan menghadapinya. Laporan tahunan mengenai perilaku Ushiwaka yang didapatkan olehKiyomori begitu meresahkan sehingga dia merasa perlu mengirim seseorang dari Rokuhara untukmenguraikan kemelut di sekitar bocah itu. Akhirnya, Tokiwa mendengar bahwa pihak yang berwenangtelah memperketat pengawasan mereka kepada Ushiwaka.

Tahun depan, Ushiwaka akan berusia enam belas tahun, cukup besar untuk menjalani penahbisan, pikirTokiwa. Dia juga cukup besar untuk melampiaskan rasa duka akibat kematian ayahnya dan nasibburuk ibunya dengan melakukan tindakan melanggar hukum. Satu-satunya doa yang selaludipanjatkan oleh Tokiwa adalah agar Ushiwaka berhenti memberontak terhadap penahannya, tundukpada takdirnya, dan menjalani hari-harinya dalam kedamaian.

Dari bungkusan yang dibukanya, Tokiwa mengeluarkan sehelai kain berwarna cemerlang yang dirobekdari bagian lengan kimono pendeta muda. Sepucuk surat tersembunyi di dalamnya.

“Ibuku,” begitulah surat itu dimulai.

Apakah Ibu sudah sembuh? Setelah Konno-maru mengabariku bahwa Ibu sakit, aku selalumemimpikan Ibu setiap malam. Dari puncak gunung ini, aku bisa melihat cahaya-cahaya lentera di ibukota, dan aku kerap memandang ke arah rumah Ibu sambil berdoa agar Ibu segera pulih kembali.

Mereka mengatakan bahwa aku harus menjalani penahbisan tahun ini, tapi aku tidak mau menjadiseperti biksu-biksu itu.

Kain ini kurobek dari lengan kimono yang kupakai waktu aku berumur tujuh tahun dan pertama kaliambil bagian dalam upacara sakral itu. Tentu saja, aku sudah banyak berubah sejak itu.

Festival Besar Gunung Kurama akan berlangsung pada 20 Juni Aku akan ambil bagian dalam upacarasakral di situ, tapi aku tidak bisa memberi tahu Ibu tentang apa yang akan terjadi padaku tahun depan.

Ibuku, kirimkanlah kepadaku pernak-pernik yang pernah Ibu pakai melalui Konno-maru.

Udara masih dingin wataupun musim semi telah datang, jadi Ibu harus minum obat secara teratur agarbisa lekas pulih.

Putra Ibu, Ushiwaka

Air mata Tokiwa menetes ke secarik kertas yang dipegangnya. Kemudian, dia menyodorkan surat itukepada Yomogi dan mengatakan, “Yomogi … bacalah ini.” Tokiwa pun menangis terisak-isak serayamenciumi robekan lengan kimono yang dikirim oleh Ushiwaka.

Yomogi dan Asatori saling melempar tatapan iba dan bersiap-siap untuk mengakhiri kunjungan yanghanya menghadirkan kesedihan kepada Tokiwa ini, namun Tokiwa mendesak mereka untuk tetaptinggal hingga lentera-lentera dinyalakan.

Ketika pasangan itu akhirnya berpamitan, Tokiwa mengeluarkan sebuah kotak mungil danmengatakan. “Ada sepucuk surat untuk Ushiwaka di dalamnya. Maukah kalian mengusahakan agar diamenerimanya?”

Kotak itu, yang berukuran selebar telapak tangan, memuat sebuah patung Kannon dari perak dan

sepucuk surat.

Setibanya di rumah, Asatori dan Yomogi meletakkan patung itu di atas meja.

“Bagaimana kita bisa menyampaikan benda ini kepada Ushiwaka tanpa terlihat oleh siapa pun? Adasangat banyak orang yang akan melihat kita di Gunung Kurama. Kita bisa terjerat masalah jikapetugas dari Rokuhara tahu,” kata Asatori.

Yomogi menghela napas panjang. “Entah apa alasan Nyonya Tokiwa berbuat seperti ini.”

“Apa maksudmu?”

“Maksudku adalah … jika nyonyaku begitu mengkhawatirkan Ushiwaka, mengapa beliau tidak maumenemui Konno-maru?”

Asatori mendekatkan diri kepada istrinya. “Ini tidak sesederhana yang kaupikirkan. Pendapat Konno-maru tentang kesetiaan jauh berbeda dari pendapat Nyonya Tokiwa.”

“Dalam hal apa?”

“Lebih baik aku tidak memberitahumu.”

“Kau tidak mau memberitahuku … istrimu sendiri?”

“Nah, Yomogi, kau terlalu mudah tersinggung.”

“Lagi pula, beliau adalah nyonyaku tersayang, dan dahulu, akulah yang bertugas menggendongUshiwaka dan mengasuhnya, meminta-minta susu untuk diberikan kepadanya. Aku sudah melakukanbanyak hal untuk Ushiwaka, dan tidak banyak yang bisa kulakukan untuknya sekarang. Wajar kalauaku kesal, bukan?”

“Yomogi, aku tidak bermaksud menyinggung perasaanmu. Tetapi, keinginan Konno-maru terhadapUshiwaka berlawanan dengan keinginan Nyonya Tokiwa.”

“Berlawanan?”

“Ya, itulah inti masalahnya. Kita harus berpikir dengan cermat sebelum mengambil tindakan apapun.”

“Baiklah, tapi apa maksudmu dengan apa pun? Apa maksudmu dengan berlawanani Kau harus terlebihdahulu menjelaskannya kepadaku.”

Asatori menurunkan nada bicaranya sambil dengan resah mengintip ke luar jendela. “Hati-hati,Yomogi, kau memang agak cerewet, jadi kau harus sangat berhati-hati agar tidak ada yang mendengartentang ini.”

“Ya, aku memang cerewet, memangnya apa

masalahnya!”

“Sudahlah, Yomogi, jangan marah-marah begitu!

Pertama-tama, dengarlah apa yang akan kusampaikan kepadamu. Mengapa

menurutmu Nyonya Tokiwa bersedia menjalani seluruh aib yang ditimpakan kepadanya?”

“Karena pesan terakhir Tuan Yoshitomo kepada beliau, tentu saja. Lagi pula. Tuan Yoshitomomencintai beliau dan mereka berdua sudah memiliki tiga orang anak …. Dan, walaupun hatinyahancur dan anak-anaknya direnggut darinya, nyonyaku selalu memikirkan mereka. Aku pun akanmelakukan hal yang sama seandainya aku menjadi beliau.”

“Bagi Konno-maru, masalahnya berbeda. Dia adalah seorang samurai dan tidak pernah melupakannya.

Kesetiaan, dalam pemahamannya, berarti dia harus

memastikan bahwa salah satu putra Tuan Yoshitomo akan mengikuti jejak ayahnya menjadi kepalaklan Genji.

Dengan kata lain, pada suatu hari nanti, Genji harus cukup kuat untuk menggulingkan Heik6.”

“Itu pasti akan membahagiakan nyonyaku.”

“Ah, Yomogi, apakah kau sudah melupakan seperti apa keadaan di sini selama perang Hogen danHeiji? Sekarang pun kau bahkan masih sering menceritakan tentang masa-masa berat yang kaulaluibersama Nyonya Tokiwa dan anak-anaknya. Sudah lupakah kau pada semua kejadian menyedihkanyang menimpamu? Tentu saja, kau pasti merasa bahwa Ushiwaka adalah darah dagingmu sendiri.”

“Mengapa kau berkata begitu?”

“Seandainya kau menjadi Nyonya Tokiwa, yang berusaha melarikan diri dari ibu kota bersama anak-anak yang masih kecil, kau tidak akan menginginkan perang pecah lagi.”

“Tapi, pernahkah aku mengatakan bahwa aku menginginkan perang pecah lagi?”

“Itu sama halnya dengan percaya bahwa Konno-maru benar.”

“Apakah kau mengatakan bahwa Konno-maru jahat karena berpikir begitu?”

“Tidak. Dia beranggapan bahwa ini adalah tugasnya sebagai seorang samurai, tapi aku yakin bahwaNyonya Tokiwa benar karena tidak menginginkan anak-anaknya ambil bagian dalam pertumpahan

darah dan berharap mereka menjalani kehidupan yang damai sebagai biksu.”

“Baiklah, kalau begitu, apakah yang akan kita lakukan dengan patung ini?”

“Akan jauh lebih sulit untuk memberikan patung ini kepadanya setelah Rokuhara menempatkanprajurit di sekitar Gunung Kurama. Tetap saja, aku tidak akan tenang sebelum berusaha menemuiUshiwaka untuk menyerahkan patung dan surat dari ibunya. Salah juga jika aku tidak mengatakankepadanya tentang perasaan ibunya dan mengingatkannya tentang kewajibannya kepada ibunya.”

“Sungguh berat tugas yang harus kita emban ini!”

“Itulah tepatnya yang ada di benakku waktu kita sedang berbicara dengan Nyonya Tokiwa. Bertemudengan Ushiwaka saja sudah sulit apalagi membuatnya memahami keinginan ibunya.”

“Sulit? Menurutku, kau hanya membesar-besarkannya.”

‘Tidak, kau salah tentang ini, Yomogi. Ini lebih rumit daripada yang kaukira, dan jika kita salahlangkah, perang bisa-bisa kembali pecah,” kata Asatori sambil menghela napas sekaligus berdoa.Kemudian, dia mengatakan kepada Yomogi tentang cara yang akan digunakannya untuk mencapaiGunung Kurama.

Yomogi, yang tidak pernah mengira bahwa suaminya bisa bertindak seberani itu, dengan takjubmendengarkan rencana Asatori.

“Sebaiknya aku pergi seorang diri, Yomogi. Itu lebih baik.”

“Apakah kau yakin akan keselamatanmu jika kau pergi sendiri?”

“Aku tidak yakin tentang hal itu, tapi aku sudah meneguhkan hatiku.”

Asatori mempersiapkan diri untuk mengemban tugasnya seolah-olah dirinya hendak melakukansebuah perjalanan panjang. Setelah menyiapkan bekal berupa makanan kering dan kebutuhan-kebutuhan lainnya, dia mempersenjatai diri dengan sebilah belati dan menyimpan serulingkesayangannya, yang sudah bertahun-tahun tidak dimainkannya, di balik obi yang mengikatcelananya.

Kemudian, pada suatu malam di bulan Mei, dia berangkat ke Gunung Kurama. Alih-alih melewati rutebiasa, yang akan membawanya ke kaki gunung saat fajar merekah, dia memilih jalan lain yang jarangdigunakan dan lebih sulit ditembus untuk menghindari perjumpaan dengan orang lain. Dia mengawaliperjalanannya dengan melintasi padang rumput gersang yang gelap dan sunyi. Musim hujan hampirtiba sehingga tidak tampak bintang-bintang yang bisa dijadikan panduan. Ketika memasuki wilayahberbukit-bukit dengan gunung menjulang tinggi di hadapannya, Asatori teringat pada cerita tentangpara pencoleng yang pernah merajai daerah itu. Dia mendadak ketakutan dan memutuskan untukberistirahat di rumah pertama yang ditemuinya. Seberkas cahaya tiba-tiba terlihat di antara pucuk-pucuk ilalang; Asatori mendesah lega ketika melihat sebuah gubuk reyot di sebentang tanah terbuka.Deretan tanaman gandum mengelilingi gubuk itu. Keceriaan musim semi seolah-olah memecahkankesunyian. Kemudian, Asatori mendengar suara-suara.

“Seekor kuda? Seekor kuda sudah cukup untuk mengirimkan pesan.’

“Ya, benar, seekor kuda! Tidak hanya praktis … tetapi juga bisa dikendarai!”

“Kau semakin lembek saja, ya, setelah bersembunyi terlalu lama?”

“Begitulah. Gara-gara tidak punya kegiatan.”

“Tapi, kita perlu uang untuk mendapatkan kuda.”

“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan di sana. Kau akan bisa menemukan berbagai macam kuda diistal-istal terbaik di ibu kota.”

‘Tidak, bukan itu.”

Asap mengepul dari sebuah jendela kecil di salah satu sisi dinding yang kasar. Asatori berjinjit danmengintip melalui lubang angin; tujuh atau delapan orang pemburu, pembuat arang, dan penebangkayu tengah berkumpul sambil minum-minum di sekeliling tungku yang menyala. Asatori terkejutketika melihat penampilan mereka dan langsung menjauh dari jendela. Mereka bukan orang gunungbiasa!

“Apa salahnya dengan itu?” tanya salah seorang dari mereka sambil menyambar guci sake danmenuangkan isinya untuk teman yang ditanyainya.

“Aku tidak perlu menjelaskannya, jika bisa membeli kuda, sebaiknya kita memilih kuda pengangkutbarang.”

“Kuda pengangkut barang tidak akan berguna.”

“Ya, tapi kuda yang bagus bisa dipastikan akan menarik perhatian dan memancing kecurigaan orang-orang kepada kita.”

“Betul … itu betul. Sudahlah. Tidak ada gunanya membaha sesuatu yang mustahil.”

“Bagaimana kalau kita membahas lagu-lagu yang akan kita nyanyikan sambil menunggang kuda?”

“Itu dia! Kalau kau sudah muak dengan wilayah timur, menyanyilah!”

Dua orang yang semula terlibat dalam perdebatan panas pun bergabung dengan yang lainnya, bertepuktangan mengiringi sebuah lagu. Lagu yang gaduh itu sulit dipahami

oleh Asatori. Mereka menyanyikannya berulang-ulang, dan jiwa pemain musik di dalam diri Asatorimengenali irama yang mengalun dari tanah, senandung padang rumput, deru angin dini hari, danbintang-bintang di langit Tidak ada kemiripan antara lagu itu dan musik yang didengarnya di Istana,namun Asatori menikmatinya.

Segumpal asap tiba-tiba mengepul dari jendela tempat Asatori mengintip; dia tercekik karenaterbantuk-batuk beberapa kali, lalu segera bersembunyi.

“Apa itu?”

Keheningan menyusul. Asatori, berlari terbirit-birit menyongsong kegelapan malam. Begitumendengar langkah kaki Asatori, kepanikan melanda orang-orang di dalam gubuk itu. Sebuah teriakannyaring terdengar. Lebih banyak teriakan dan langkah kaki memburu Asatori. Anak-anak panah mulaiberdesingan di sekitarnya dan melesat melewati telinganya. Asatori membiarkan kakinyamembawanya kabur dari sana.

Dua hari kemudian, Asatori duduk di atas sebuah tebing batu, menyantap bekal pertamanya … adonanfermentasi kacang-kacangan dan sayuran kering, dan sejumput nasi kering yang dibasahi dengan air

dari sungai di dekatnya.

Gumpalan-gumpalan awan tampak indah senja itu, dan ikan-ikan berkecipakan di permukaan air.Sambil memikirkan di mana dirinya tengah berada, Asatori menghampiri tepi tebing dan mengamatiwilayah di sekelilingnya. Ke mana pun matanya memandang, hanya puncak gunung yang dilihatnya.

Dia tidur nyenyak sepanjang siang itu di hutan dan merasa lebih segar setelah terjaga, walaupun tetapbelum bisa menduga di mana dirinya berada. Sehari sebelumnya, dia mendaki perbukitan, tempatnyasesekali melihat gubuk-gubuk penebang kayu atau pembuat arang. Dari tempat persembunyiannya,Asatori mengamati para penebang kayu dan pembuat arang itu, yang di matanya mirip dengan orang-orang yang dilihatnya semalam sebelumnya, bekerja keras. Dia pun terkejut ketika melihat busur-busur panah dan tombak-tombak menggantung di dinding gubuk mereka.

Asatori mengedarkan pandangan. Seluruh pemandangan di depannya seolah-olah mengambang ditengah genangan biru tua. Bintang-bintang segera bermunculan di langit, dan di lembah di tebingseberang, tampaklah tiga berkas cahaya terang. Mendadak terlintas di benak Asatori bahwa dia sudahsangat dekat dengan Gunung Kurama, dan cahaya-cahaya itu berasal dari salah satu biara. Saat itujuga, dia memutuskan untuk mencapai Gunung Kurama sebelum pagi tiba dan bersembunyi di sanahingga mendapatkan kesempatan untuk berbicara empat mata dengan Ushiwaka.

Jalan setapak yang dilewatinya berliku-liku dan terkadang lenyap begitu saja, namun tidak sepertibiasanya, bintang-bintang bersinar sangat cemerlang untuk ukuran bulan Mei. Bulan meninggi ketikaAsatori berjalan melintasi lembah. Akhirnya, dia tiba di tepi selarik sungai dan berjalan di atassebatang pohon tua yang dijadikan jembatan di sana. Asatori tengah meraba-raba tanah di depannyauntuk mencari jejak ketika tiba-tiba dikejutkan oleh suara-suara dalam dan teredam. Dia menoleh danmelihat beberapa orang menyeberangi sungai. Mereka mengenakan pakaian hitam yang pas di badandan membawa pedang panjang. Wajah mereka tertutup topeng.

Mereka melintas di dekat tempat Asatori berdiri dan lenyap begitu saja bagaikan desiran anginmalam.

o0odwkzo0o

Bab XLVIII-IBLIS-IBLIS GUNUNG

KURAMA

Belasan atau lebih banyak penginapan dan rumah singgah kecil berdiri di sepanjang jalan menujuGunung Kurama dan kedelapan belas biaranya. Seorang pengelana turun dari kudanya di depan sebuahrumah singgah dan menambatkan kudanya ke sebatang tiang sambil memandang pinggiran atap rumahitu.

“Bunga wistaria itu indah sekali!” serunya. “Apakah kau baik-baik saja? Aku kembali lagi tahun ini,seperti yang kaulihat sendiri!” Beberapa buah bangku dan meja diletakkan di salah satu sisi rumah,tempat beberapa orang biksu sedang mengobrol dan tertawa-tawa dengan gaduh.

Seorang pria tua, si induk semang, meninggalkan kelompok itu dan berlari menyongsong tamunya.

“Selamat siang, Tuan! Dari timur laut lagi, Tuan? Anda tampak segar bugar!” si induk semangmenyapa pendatang baru itu dengan hangat dan meminta agar air panas dan bantal disiapkanuntuknya.

“Tidak, Pak Tua, kau sama sekali tidak berubah. Aku jarang melakukan perjalanan ziarah seperti ini.Kapankah terakhir kalinya aku kemari?”

“Tahun lalu … menjelang pertengahan musim panas, seingat saya, dan hujan badai besar sedangmelanda waktu itu.”

“Ya, benar! Petir menyambar pohon cedar besar hingga tumbang dan nyaris menimpaku! Aku ingatsekarang. Aku tidak akan pernah melupakan betapa ketakutannya aku waktu memasuki rumahmu.”

“Lalu, bagaimana kabar teman Anda, Kowaka, yang bersama Anda waktu itu? Anda tidak melakukanperjalanan seorang diri tahun ini, bukan?”

“Tidak, Kowaka akan segera datang dengan membawa barang-barangku. Dia sepertinya bersantai-santai di belakang, tapi dia akan tiba sebentar lagi, pastinya.”

Para biksu melanjutkan minum-minum sambil sesekali mencuri pandang ke arah si pengelana dansaling berbisik-bisik. Kemudian, salah seorang dari mereka berdiri dan menghampirinya:

“Saya harap Anda mau memaafkan saya. Tuan, karena saya ingin bertanya, apakah Anda Tuan Kichijidari timur laut?”

“Ya, saya Kichiji.”

“Kalau begitu, berarti saya benar. Teman-teman saya merasa mengenali Anda. Selamat datang, Tuan!”

“Dan Anda?”

“Saya seorang biksu, anak buah Kepala Biara Toko.”

“Oh? … Sejujurnya, saya selalu menginap di salah satu biara di sini setiap kali saya datang, dan belumsekali pun saya melewatkan tujuh-hari peribadatan selama beberapa tahun terakhir, jadi saya sedikitbanyak mengenal Kepala Biara Toko. Beliau baik-baik saja, saya harap?”

“Dengan sangat menyesal saya mengabarkan bahwa beliau wafat beberapa bulan yang lalu. ApakahAnda datang kemari untuk mengikuti tujuh-hari peribadatan?”

“Ya, saya merasa bahwa kebiasaan itu baik bagi bisnis saya. Mendatangkan keberuntungan,sepertinya. Bahkan, saya yakin bahwa saya berutang budi kepada dewa-dewa di sini atas kekayaanyang saya dapatkan.”

Gemerincing lonceng di kaki bukit mengumumkan kedatangan kuda barang. Seorang pemuda, lengankimononya tergulung tinggi, wajahnya merah padam dan basah oleh keringat, berjalan dengan napasterengah-engah.

“Nah, Kowaka, kau lambat sekali. Aku sampai menguap-nguap saking lamanya aku menunggumu.”

Kowaka, seorang pemuda bertubuh pendek dan kekar, melontarkan tatapan penuh tanya pada wajah-wajah di sekelilingnya, lalu tertawa terbahak-bahak.

“Anda pasti bercanda, Tuan! Mudah bagi Anda, yang mendaki bukit dengan menunggang kuda. Jarakdari ibu kota kemari nyaris sepuluh mil, dan dengan bawaan seberat ini … lihatlah, bahkan kuda initerengah-engah.”

Para biksu dan sekelompok pria dan wanita telah berkumpul di depan rumah singgah itu; mereka tidakmemerhatikan Kowaka tetapi langsung memeriksa dengan penuh rasa penasaran beraneka ragambarang persembahan yang dibawanya. Gulungan-gulungan sutra ditumpuk tinggi-tinggi di ataspunggung kuda barang; tong-tong besar yang terpoles halus terpasang di kedua sisi pelana kuda, danpundi-pundi berisi pasir emas, yang dengan hati-hati dibungkus menggunakan berlapis-lapis kertasdan jerami, diletakkan di tempat teratas.

Kichiji dan pembantunya, yang sudah mengganti kimono berdebunya dengan yang bersih, menikmatimakan siang sembari beristirahat di luar. Akhirnya, mereka bangkit dan berpamitan kepada si induksemang dengan janji untuk menemuinya kembali dalam perjalanan pulang.

Bagian terberat dalam pendakian itu telah menanti mereka, dan jalan pun dengan cepat menjadi terlalucuram untuk kuda mereka, sehingga beban segera diserahkan kepada para kuli angkut yang kebetulansedang turun dari

puncak gunung. Para biksu pun turut membantu mengangkut sebagian muatan, dan iring-iringanmenyerupai semut itu merayap perlahan melewati jalan yang curam. Begitu rombongan Kichijiterlihat dari biara yang hendak mereka singgahi. Kepala Biara dan para biksunya segera keluar untukmemberikan sambutan.

Keesokan harinya, Kichiji memasuki kuil untuk mulai menjalani tujuh hari peribadatan. Kowaka,sementara itu, menginap di salah satu penginapan yang disediakan untuk para pelayan yang menyertai

para peziarah, dan menyibukkan diri di sana hingga Kichiji merampungkan peribadatannya.

Menjelang tengah malam, Kowaka diam-diam menyelinap dari penginapannya dan berjalan menujusebuah tempat pemujaan di sebelah utara gerbang biara.

Terdapat seruas jalan menuju biara lain di dekat tempat pemujaan itu. Kowaka berjongkok di tengahkegelapan dan menunggu, tidak melihat siapa pun dan hanya mendengar gemerisik pepohonan pinusdi dekat sana. Tiba-tiba, sebuah pintu biara terbuka, dan sesosok laki-laki kecil tampak di lorongpanjang terbuka yang ada di sana, sejenak membungkuk di atas langkan, lalu melompat ke bawahtanpa suara dan melesat selincah burung walet.

“Kamukah itu. Tuan Muda Ushiwaka?”

“Konno-maru!”

Keduanya sosok gelap itu bertemu dan bergegas menyongsong kegelapan lembah di bawah.

“Tidak perlu buru-buru, Tuan. Tidak seorang pun akan menemukan kita.”

“Tapi, yang lain pasti sudah menunggu.”

“Ya, tapi dari kedudukan bulan di langit, saya tahu bahwa kita lebih cepat daripada semalam.”

“Kau sudah sering bertemu dengan mereka, tapi aku hanya bisa melakukannya sekali dalam setahun.”

“Tuan kesepian, saya tahu, dan setelah malam ini, kita harus berpencar dan bersembunyi.”

Ushiwaka melambatkan langkahnya dan menunduk, menggigiti kukunya. Dia bertelanjang kaki danmengenakan celana pendek dan kimono yang sudah kekecilan. Kowaka berlutut dengan cemas,menyangka Ushiwaka telah menginjak serpihan bambu yang tajam.

“Ada apa. Tuan Muda?”

Ushiwaka hanya menggeleng. “Tidak … tidak apa-apa,”

jawabnya setelah terdiam sejenak, sebelum kembali berjalan.

Bagi Konno-maru, sosok kecil yang berjalan di depannya tampak lebih murung daripada yangditemuinya selama beberapa malam terakhir ini. Kono-maru yakin bahwa hanya dirinyalah yangmengenal baik Ushiwaka …

kelebihan dan kekurangannya, kenakalan dan gejolak hatinya. Bukan kebetulan semata jika Konno-maru menghabiskan lebih dari sepuluh tahun kehidupannya untuk menyamar sebagai seorang pelayanbernama Kowaka di rumah Toji di Horikawa. Dia tidak hanya mendapatkan tempat persembunyianyang aman di daerah hiburan tetapi juga mendapatkan kesempatan untuk mengamati perkembanganpolitik, karena tempat itu sering dikunjungi oleh orang-orang yang berhubungan dekat dengan Istanadan para pejabat tinggi istana … terutama yang berhubungan dengan pergerakan klan Heik6. Dansering kali, dengan alasan hendak mengunjungi ibunya di Tamba, Konno-maru pergi ke GunungKurama untuk secara diam-diam menemui Ushiwaka atau para Genji lainnya yang bersembunyi di

wilayah perbukitan di sana untuk berunding dengan mereka, atau bahkan melakukan perjalanan kewilayah timur Jepang dan kembali dengan membawa balasan pesan untuk Tokiwa.

Selama masa itu pulalah Konno-maru mengenal Kochiji, yang setiap kali berkunjung ke ibu kotaselalu menginap di rumah Toji. Tidak lama kemudian, mereka telah saling mengenal baik danmembuat kesepakatan yang menguntungkan keduanya, karena Kochiji adalah seorang saudagar yangambisius. Kichiji mendambakan penggalangan sebanyak mungkin dukungan bagi pengayomnya, TuanHidehira, yang menguasai wilayah timur laut, seperti yang dilakukan oleh Bamboku kepada HeikgKiyomori. Bagi Kichiji, mustahil untuk menebak apakah Hidehira akan menyetujui rencananya untukmenculik Ushiwaka, namun dengan penuh tekad dan kesabaran, dia setiap tahun berziarah ke GunungKurama dengan mengajak Konno-maru.

o0odwkzo0o

Orang-orang percaya bahwa sebuah ras iblis bersayap …

Tengu … tinggal di salah satu lembah di Gunung Kurama, dan pada malam-malam ketika petirmenyambar-nyambar menembus gumpalan awan di atas lembah tersebut, mereka percaya bahwaTengu sedang berpesta. Tidak seorang pun berani memasuki lembah itu untuk mengintai ulah mereka,karena Tengu, yang berhidung mirip paruh, akan mengendus kedatangan orang asing danmenjatuhkannya dari puncak pohon tertinggi atau mencabik-cabik tubuhnya hingga hancur. Di seluruhdesa di sekitar Gunung Kurama, yang penduduknya telah selama bergenerasi-generasi mendengarkisah tentang Tengu, semua orang percaya bahwa para iblis itu masih tinggal di lembah danbertingkah

sangat beringas: mereka menggelindingkan batu-batu besar ke kaki gunung, mendatangkan anginputing beliung yang meluluhlantakkan sawah-sawah, dan menghujankan bebatuan ke desa-desa disekitar wilayah kekuasaan mereka.

Akhir-akhir ini, bagaimanapun, beredar lebih banyak kisah tentang ulah mereka yang menebarkankengerian di kalangan para penduduk desa yang berpikiran sederhana.

Selama tujuh malam berturut-turut, sebuah pertemuan mencurigakan berlangsung di salah satu lembahdi Gunung Kurama. Sebut saja para pelakunya sebagai Tengu.

“Apakah dia sudah datang?”

“Belum.”

“Dia terlambat.”

“Tidak, kitalah yang datang lebih cepat daripada biasanya. Bulan masih rendah,” jawab salah seorangdari mereka, menunjuk langit Beberapa pasang mata mengikuti arah telunjuknya.

“Baiklah, kalau begitu, lebih baik kita mengobrol saja.”

Bongkahan batu bertebaran di dasar lembah itu, dan gemuruh jeram yang melintasi ngarai menjadilatar belakang pertemuan ini.

“Ini adalah malam terakhir pertemuan kita.”

“Tidak juga … kita bisa bertemu kapan pun kita mau, tapi baru setahun lagi kita akan mendengarkabar Tuan Hidehira dari timur laut”

“Kata Kichiji, kita harus menunggu setahun lagi. Dia bersikeras bahwa sekarang terlalu buru-buru,tapi jika kita menunggu hingga tahun depan, Heik6 akan mengetahui apa yang terjadi, dan hasil kerjakita selama sepuluh tahun ini akan menjadi sia-sia.”

“Aku kurang memercayai Kichiji. Setiap tahun, dia selalu menunda-nunda dengan berbagai macamalasan.

Sepertinya dia belum sepaham dengan Tuan Hidehira.”

“Betul. Kita masih meragukannya.”

“Genji sudah selama bergenerasi-generasi memiliki banyak sekutu di timur laut tapi Hidehira tidakberseberangan dengan mereka. Bahkan bisa dikatakan bahwa dia dan Kiyomori memiliki ambisi yangsama.”

“Mungkinkah itu? … Siapa yang bisa memastikannya?”

Keheningan menyusul.

Tengu yang lain menanggapi, “Sebaiknya kita memikirkan kembali tentang hal ini. Sudah dua tahunberlalu sejak Hidehira diangkat menjadi jenderal di timur laut Orang-orang mengatakan bahwa diaberutang budi kepada Kiyomori. Itu saja cukup untuk menunjukkan kepada kita tentang pendapatHeik6 mengenai dirinya.”

“Tidak, itu kesimpulan yang terlalu sederhana. Jangan terlalu banyak menebak-nebak. Itu hanyalahsogokan untuk Hidehira dan sama sekali tidak membuktikan tentang perasaan Kiyomori kepadanya.Pelabuhan di Owada dan pembangunan Itsuku-shima menguras kekayaan Heik6, dan Kiyomorimembutuhkan seluruh emas yang bisa didapatkannya dari Hidehira. Tidak diragukan lagi, Hidehiramengetahuinya. Mereka menyadari persaingan mereka.”

“Benar! Itu lebih masuk akal. Omong-omong, Konno-maru akan segera tiba di sini, dan dia akanmenceritakan kepada kita tentang pembicaraannya dengan Kichiji semalam. Kita akan segeramengetahui keputusan mereka.

Kita tidak bisa mempertaruhkan apa pun ataupun menunda

lebih lama lagi. Apa pun pendapat Kichiji, lebih baik kita menyelesaikan masalah ini sendiri.”

Seseorang, yang menunggu di dekat sungai, tiba-tiba berseru kepada para Tengu, “Aku melihatmereka! Mereka datang!”

Sesosok bayangan tampak melintasi lembah yang curam, melompat dari satu cabang pohon ke cabangpohon lainnya, berkelit dengan lihai di antara bongkahan-bongkahan batu.

Bayangan itu tampak jelas di bawah sinar bulan yang menerangi bebatuan dan pepohonan. Para Tenguyang menunggu di bawah memandangnya dengan kagum tanpa berkata-kata.

“Konno-maru, tempat ini berbeda dari yang kemarin.”

“Aku bisa mendengar gemuruh jeram di bawah sana; kita pasti berada di atas air terjun.”

“Air terjun, ya?”

“Di sana berbahaya; sebaiknya kita mencari jalan lain.”

“Lihat mereka sudah menunggu di bawah sana. Mari kita lewat sini.”

“Mustahil!”

“Berputarlah kalau kau mau, aku akan melompat”

Mengetahui berdasarkan pengalamannya bahwa membantah Ushiwaka adalah usaha yang sia-sia saja,Konno-maru berpegangan ke semak-semak dan melongok dari atas tebing batu yang curam. Lebih darienam meter di bawah mereka terbentanglah tanah dengan bebatuan berserakan di sana-sini, dan didasarnya terdapat sebuah kolam yang tersaput kabut

Konno-maru meneriakkan peringatan, namun Ushiwaka sudah terlanjur melompat dan tengahmengayunkan diri

dari cabang sebuah pohon besar di bawahnya, lalu menyeimbangkan badan untuk berpijak di cabangpohon lain.

“Beginilah cara melakukannya, Konno-maru!” seru Ushiwaka sementara cabang pohon yangdipijaknya melengkung menanggung beban tubuhnya. Ushiwaka melingkarkan kakinya ke cabangpohon lain dan melepaskan pegengannya.

Konno-maru kesulitan mengikutinya.

“Kau tidak terlalu pintar dalam hal ini, Konno-maru,”

Ushiwaka mengolok-oloknya dengan jahil.

Ushiwaka bertubuh kecil untuk ukuran remaja seusianya; wajahnya tirus; lengan dan kakinya kurus.Selalu kekurangan makanan dan pakaian sejak tinggal di biara, Ushiwaka seolah-olah bertahan hidupkarena mukjizat. Dia adalah calon biksu terkecil dan terburuk rupa di biara, yang selalu menjadikorban ejekan nista semua orang. Berjiwa pemberontak dan keras kepala, Ushiwaka kerapmelampiaskan perasaannya dalam tangisan liar yang menjadi bahan pembicaraan para biksu daribiara-biara tetangga. Ketika dia berumur sepuluh tahun, sebagai tambahan bagi pendidikan agamanya,dia menerima pendidikan ketentaraan karena biara-biara di Gunung Kurama berada di wilayahkekuasaan Gunung Hiei sehingga para biksunya tidak hanya dilatih untuk bertempur tetapi juga untukmenjadi prajurit.

Seiring pertumbuhannya, tatapan Ushiwaka menjadi setajam burung elang; garis-garis mulutnya, yangsenantiasa mengalirkan kata-kata cerdas, menunjukkan ketegasan, dan kesan berkuasa selalu terpancardari dirinya. Meskipun begitu, dia tidak pernah memedulikan penampilannya.

Rambutnya memanjang dan tak terawat, kakinya dipenuhi

bekas luka dan selalu berkoreng, dan walaupun sudah kerap diperingatkan untuk menambal robekan-robekan di kimono dan atasannya, dia tidak pernah memedulikannya. Tetapi, perubahan mengejutkanterjadi padanya sejak beberapa tahun terakhir. Ushiwaka mendadak bersikap lebih tenang dan patuh,dan para seniornya mengira bahwa ini berkaitan dengan pendidikan yang diikutinya. Padahalsesungguhnya Ushiwaka setiap malam mengendap-endap keluar dari asramanya untuk menemui paraTengu di lembah, dan di sanalah dia mendapatkan pengetahuan yang telah lama disembunyikandarinya: bahwa dia adalah pemimpin mereka, putra Genji Yoshitomo, dan tahanan Heik6

Kiyomori. Dari para Tengu pulalah dia mendengar tentang kematian mendadak ayahnya dan nasibibunya. Dan sejak saat itu, dia menyadari tentang masa depan maupun bahaya yang telah menantinya.

“Baiklah, Konno-maru, bisakah kau mengikutiku?”

“Ya. tapi kau sendiri harus berhati-hati.”

“Jangan khawatirkan aku. Lihat, aku akan melompat,”

Ushiwaka menoleh ke belakang; kemudian, melompat dari satu cabang ke cabang yang lain, diamemperhitungkan jarak antara dirinya dengan kolam di bawahnya dan melompat ke atas sebongkahbatu.

“Lihai sekali!” seru para Tengu, berlari menyongsong dan mengerumuni Ushiwaka.

Para Tengu menyoraki Konno-maru yang ragu-ragu hingga gema terdengar di seluruh lembah. Tetapi,Konno-maru tiba-tiba berseru:

“Aku melihat seseorang bersembunyi di belakang batu itu. Tangkap dia!”

Para Tengu segera berpencar dan memeriksa setiap bongkah batu yang ada di sana. Dari tempatnyayang lebih tinggi dan dengan bantuan sinar bulan, Konno-maru melihat sesosok bayangan bergerak dilembah itu.

o0odwkzo0o

Sangat mudah untuk meloloskan diri dan bersembunyi di balik bebatuan besar yang bertonjolan disepanjang tepi sungai, di antara batang-batang pohon besar yang tumbang dan membusuk, atau dibalik semak-semak lebat. Asatori terus berlari, melesat dan tersandung-sandung di antara bongkahan-bongkahan batu. Akhirnya, dia merangkak di antara dua bongkah batu besar dan berjongkok di sana,mendengarkan teriakan-teriakan di atasnya.

“Ada yang berhasil menangkapnya?”

‘Tidak, sudahkah kau mencarinya di sebelah sana?”

“Ya, tapi dia tidak ada di sana.”

Dari kejauhan terdengarlah teriakan yang terbawa angin,

“Hoi-M, apakah kalian berhasil menangkapnya?”

“Sama sekali tidak. Kalian berhasil di sana?”

‘Tidak ada apa-apa di sini.”

“Apa sebenarnya yang diributkan oleh Konno-maru?”

“Dia pasti melihat monyet atau rusa.”

Suara-suara itu segera menjauh. Para Tengu sepertinya telah menghentikan pencarian mereka, danhanya deru anginlah yang terdengar di lembah.

Asatori mendesah lega. Kesakitan karena harus berbaring diam di tempat persembunyiannya yangsempit, dia merayap keluar. Tatapannya yang tertuju ke tempat pertemuan Tengu serta mertamenariknya kembali untuk

mendekati mereka. Mereka duduk bersila dengan posisi melingkar, larut dalam pembicaraan.Ushiwaka duduk di tempat yang lebih tinggi, didampingi oleh Konno-maru.

Mereka berjumlah belasan orang, dengan nama-nama yang dikenali oleh Asatori sebagai milik paratokoh samurai Genji dari timur.

“Baiklah, Konno-maru, apakah Kichiji bersikeras bahwa sekarang belum saatnya?”

Salah seorang Tengu, yang sepertinya dianggap sebagai pemimpin kelompok itu, menjawab,“Begitulah. Kami sudah memberitahukan pendapat kita tentang hal ini kepadanya, tapi Kichijimenolak untuk mengubah rencananya. Dia bersikukuh bahwa sekarang belum saatnya.”

“Menurutnya, kapankah tepatnya kita harus bertindak?”

“Dia juga tidak yakin tentang itu, tapi dia menekankan bahwa kita harus menunggu hingga beberapaperubahan terjadi.”

“Apa maksudnya?”

“Misalnya, ada tanda-tanda bahwa hubungan antara Mantan Kaisar Goshirakawa dan Heik6 Kiyomorimemburuk. Apa pun bentuknya, tidak akan ada asap tanpa api.”

“Bagaimana jika keadaan itu berlangsung tanpa perubahan selama bertahun-tahun?”

“Ya, kita juga harus memperhitungkan kemungkinan itu.”

“Apakah kalian siap untuk itu? Apakah kalian bersedia menunggu tanpa kejelasan?”

Si pemimpin melihat bahwa tidak seorang pun anak buahnya bersedia menunggu lebih lama. Tetapi,Kichiji adalah satu-satunya harapan mereka sekarang. Segalanya tergantung pada keputusannya.Tanpa Kichiji dan bantuan dari Hidehara mustahil untuk menjamin keamanan Ushiwaka ataupun masadepan Genji.

Semua orang seketika terdiam, putus asa.

Ushiwaka tiba-tiba bersuara. “Cukup … kita tidak usah membicarakan tentang ini lagi. Tidak perlumemikirkannya lagi.”

Para pria itu memandang Ushiwaka dengan takjub, dan salah satu dari mereka berkata dengan mataberkaca-kaca:

“Tuan Muda, mengapa kamu berkata begitu?

Pikirkanlah semua yang telah kita lalui hingga kini, dan juga sumpah setia kami kepadamu.”

“Yang kumaksud hanyalah semua perdebatan ini sia-sia saja.”

“Mengapa sia-sia saja?”

“Mengapa kita harus menunggu dan mengharapkan sesuatu yang tidak akan pernah terjadi? Sudahhampir tiba waktu bagiku untuk menjalani penahbisan, dan aku sama sekali tidak menginginkannya.”

“Ya, itulah yang sangat merisaukan kami. Kami ingin Kichiji selekas mungkin membuat kesepakatandengan Tuan Hidehira.”

“Kichiji … saudagar itu? Kalian menggantungkan diri kepadanya?”

Para pria itu mendengarkan dengan resah. Ushiwaka telah mencetuskan sesuatu yang tidak beranimereka akui.

Ushiwaka memandang ke sekelilingnya. “Baiklah, aku tidak mengharapkan apa pun darinya. Akan jadiapakah aku jika kita menggantungkan diri kepada Kichiji? Tidak peduli apa pun perkataan orang-orang, tidak akan ada yang bisa menahanku untuk melarikan diri dari Gunung Kurama tahun ini. Lihatsaja sendiri!”

Para Tengu mendengarkan ucapan Ushiwaka dengan kaget, lalu menyuarakan protes mereka,

memperingatkannya agar tidak bertindak gegabah.

Asatori, yang hanya mendengar potongan-potongan pembicaraan mereka, merayap semakin dekat,bertekad untuk mempertaruhkan nyawanya seandainya dia tertangkap basah demi menyampaikanpetuah untuk Ushiwaka yang diamanatkan oleh ibunya, Tokiwa. Tetapi, sebelum itu terjadi, Ushiwakatelah terisak-isak nyaring dan lama.

o0odwkzo0o

Asatori terbangun berkat kicauan burung. Dia mengingat-ingat peristiwa yang disaksikannyasemalam, mengumpulkan kepingan-kepingan penjelasan yang didengarnya dan menyatukannyamenjadi sebuah gambaran yang utuh.

Matahari sudah tinggi, dan seluruh lembah bermandikan udara cahaya bulan Mei. Asatori merayapkeluar dari tempat persembunyiannya dan mengedarkan pandangan.

Dia telah bersembunyi di sana selama dua hari, menangkap ikan di sungai dan menjatuhkan satu ataudua ekor burung menggunakan katapelnya. Kemudian, dia memutuskan untuk tetap bersembunyi disana hingga mendapatkan kesempatan untuk menemui Ushiwaka seorang diri.

Hari demi hari berganti, kemudian minggu demi minggu, hingga pada suatu hari Asatori melihatsekelompok orang

menyusuri jalan setapak. Bahkan dari jarak jauh dia bisa melihat bahwa mereka bukan pendeta. Diamengintip mereka dengan penuh damba karena sudah beberapa minggu dia tidak melihat ataupunberbicara dengan orang lain. Setelah meyakinkan diri bahwa mereka adalah peziarah yang datang dariwilayah Danau Biwa atau Tamba, Asatori menampakkan diri untuk menyapa mereka.

Semakin dirinya mendekat, semakin kencang jantunya berdetak, karena dari warna mantel dan bentuktopi mereka, Asatori tahu bahwa mereka adalah pemain musik istana. Mengira akan melihat beberapaorang teman lamanya di antara mereka, Asatori serta merta berlari ke jalan yang dilalui sekitardelapan belas orang itu. Begitu melihat Asatori, mereka berhenti dan berkerumun.

Asatori menyadari bahwa mereka mengiranya sebagai pencoleng. Dia membungkuk rendah-rendahdan menyapa mereka, “Jangan takut. Aku juga pemain musik. Ke manakah kalian akan pergi?”

Para pemain musik itu saling berbisik-bisik, lalu menghampiri Asatori dan berkata:

“Kami pemain musik dari Shuzan dan datang kembali tahun ini untuk tampil di festival GunungKurama. Katamu kau juga pemain musik, apakah yang membawamu kemari?”

Karena tidak ingin menjawab pertanyaan itu, Asatori balik bertanya, “Festival? Kapankah festival itudiselenggarakan?”

“Baru sekitar dua minggu lagi. Kami datang untuk melakukan geladi bersih.”

“Dari Shuzan?”

“Ya, tapi kelompok-kelompok pemain musik lainnya juga datang.”

“Bukankah kalian pemain musik dari keluarga Ab6?”

“Rupanya kau benar-benar mengenali kami!”

“Aku sendiri juga anggota keluarga Ab6 dari Kyoto.”

“Benarkah?”

Para pemain musik itu serentak menghampiri Asatori dan mengerumuninya dengan penasaran.

Malam itu, Asatori turut menginap bersama para pemain musik di penginapan mereka, tidak jauh dariGunung Kurama, dan bercakap-cakap dengan mereka hingga larut malam.

“Kau bukan pemain musik biasa,” kata mereka, kagum sekaligus penasaran terhadap Asatori;“ceritakanlah tentang dirimu kepada kami.”

“Aku sudah berhenti bermain musik untuk menjadi tabib.”

“Apakah yang mendorongmu meninggalkan

pekerjaanmu di istana?”

“Aku tidak bahagia di sana.”

“Kau tidak menyukai tekanan kehidupan di istana?”

“Ya, kurang lebih begitu,” jawab Asatori. Dia menambahkan, “Aku sedang mengumpulkan tumbuh-tumbuhan herbal di bukit itu, dan waktu melihat kalian, aku tidak bisa menahan diri untuk menyapa.Bagaimana kalau aku ikut dan melihat penampilan kalian di festival? Jika kalian bisa memberikupekerjaan, aku akan dengan senang hati melakukannya.”

Beberapa orang menyambut baik usul Asatori, namun beberapa lainnya ragu-ragu. Baru pada keesokanharinya mereka sepakat untuk mengajak Asatori.

Di Gunung Kurama, mereka menginap di salah satu asrama, yang juga ditinggali oleh kelompok-kelompok pemain musik lainnya. Geladi bersih dilakukan di semua biara, tempat para calon biksumelatih peran meraka dalam drama-drama suci. Asatori menghadiri geladi bersih setiap hari, yakinbahwa dia akan menemukan Ushiwaka.

Semakin mendekati hari penyelenggaraan festival, dari pagi buta hingga larut malam, biara-biara diGunung Kurama dipenuhi oleh gema genderang, lonceng, seruling, dan bangsi. Pada suatu malam,Asatori menyelinap ke sebuah tempat pemujaan di dekat asrama yang diketahuinya sebagai tempattinggal Ushiwaka. Dia mengeluarkan serulingnya dan mulai memainkannya.

Beberapa hari sebelumnya, dia telah berhasil menyelipkan pesan ke lengan kimono Ushiwaka, danselama dua malam berturut-turut dia memainkan serulingnya, berharap Ushiwaka akan menemuinya.Asatori sudah memutuskan bahwa ini adalah malam terakhirnya menunggu Ushiwaka karena diakhawatir para biksu akan mencurigainya.

Ushiwaka bersembunyi di tengah kegelapan bayangan, tidak jauh dari tempat pemujaan, danmendengarkan permainan seruling Asatori. Begitu Asatori menurunkan serulingnya, dia berjingkat-jingkat keluar dan berdiri tanpa mengucapkan sepatah kata pun di sampingnya.

“Siapa kamu?” tanya Asatori, terkejut

“Kaukah yang memainkan seruling selama beberapa malam ini di sini?”

“Apakah Anda Ushiwaka?”

“Dan kau … siapakah dirimu?”

“Sayalah yang menyelipkan pesan ke lengan kimono Anda.”

“Ya, tapi katakanlah kepadaku siapa dirimu. Siapa dirimu? Apakah kau sedang mencobamengelabuiku?”

“Tentu saja tidak. Saya tabib, nama saya Asatori,” kata Asatori, bersujud di hadapan Ushiwaka.

“Seorang tabib yang pintar bermain seruling … dan seindah itu?”

“Saya akan menceritakan tentang itu di lain waktu.

Karena Anda ragu-ragu untuk memercayai saya, lebih baik saya langsung menjelaskan. Ibu Andameminta saya menyampaikan sebuah pesan kepada Anda. Ada sepucuk surat di dalam kotak ini.”

Ushiwaka membungkuk dan memungut benda yang diletakkan oleh Asatori di dekat kakinya, lalumemasuki tempat pemujaan tanpa mengucapkan apa-apa. Di sana, di bawah cahaya lentera, diamembaca surat ibunya. “Aku berdoa untuk kebahagiaanmu setiap pagi dan malam,”

begitulah surat itu dimulai. “Patuhilah para biksu di sana dalam segala hal. Aku akan bahagia jika kautekun belajar.

Patung yang kuserahkan kepadamu melalui seorang kurir ini adalah milik almarhum ayahmu, GenjiYoshitomo. Ini adalah hadiah terakhir beliau kepadaku …”

Sisa surat itu membicarakan tentang doa-doa dan harapan-harapan Tokiwa kepada Ushiwaka … agardia melupakan semua pikiran untuk menjadi samurai dan mengikuti jalan perdamaian dan kesuciandengan menjadi seorang pendeta.

Asatori menanti kemunculan Ushiwaka, namun akhirnya berdiri dan melongok ke dalam tempatpemujaan;

dia melihat Ushiwaka larut dalam surat yang tengah dibacanya. Asatori segera menyelinap masuk danberlutut di hadapan Ushiwaka, lalu mulai menceritakan tentang Tokiwa kepadanya, membujukUshiwaka agar mau mempertimbangkan pesan ibunya.

Ushiwaka tidak mengatakan apa pun selama beberapa waktu; kemudian, dia akhirnya mendongak.“Ya, Asatori, aku tahu apa keinginan ibuku untukku.”

“Benarkah?” jawab Asatori dengan penuh semangat.

“Tapi … ” lanjut Ushiwaka, “ibuku adalah seorang wanita dan tidak akan mengerti. Dari suratnya, akutahu betapa beliau adalah seorang wanita sejati. Seandainya aku bisa menemui beliau! Apakah beliaubenar-benar seperti ibu yang kuimpikan sepanjang waktu?”

“Apakah Anda benar-benar ingin menemui beliau?”

“Mengapa kau terus-menerus berkata bodoh!”

“Tidak ada alasan mengapa Anda tidak boleh menemui beliau setelah menjalani penahbisan. Jikaorang-orang mengenal Anda sebagai seorang pria bijak dan suci, saya yakin bahwa Anda akandiizinkan untuk kembali ke ibu kota dan menemui beliau. Heik£ sekalipun mungkin akan menerimaAnda di kalangan mereka pada suatu hari nanti.”

“Aku tidak bisa menunggu selama itu. Aku harus menemui beliau sekarang”

“Jika Anda mengambil pilihan yang salah, Anda mungkin tidak akan pernah bisa bertemu denganbeliau.”

“Anehkah jika aku ingin menemui ibuku?”

“Anda harus mengingat Heik6.”

“Siapakah mereka, dan apakah arti mereka bagiku?

Apakah mereka dewa? Apakah mereka makhluk gaib?”

“Peranglah yang menghadirkan semua kemalangan ini, dan Anda harus berpaling dari segala sesuatuyang bisa menyebabkan perang.”

“Apakah keadaan ini akan berlangsung selamanya?

Apakah aku harus tetap seperti ini, menjadi tawanan di sini sejak bayi?”

Asatori meneruskan, “Kita sendirilah yang bisa menentukan jalan hidup yang tidak akan menimbulkankonflik atau menciptakan neraka di dunia. Hanya dengan mengikuti jalan yang mengarah padaperdamaianlah Anda bisa menunjukkan sebesar apa Anda mencintai ibu Anda. Dunia tidak akan bisaberubah dalam semalam, dan kita pun tidak bisa semudah itu melarikan diri dari karma”

“Hanya itukah yang hendak kaukatakan kepadaku, Asatori?” tanya Ushiwaka, membungkus patungperak dengan surat ibunya dan menyelipkannya ke balik lipatan-lipatan kimononya. Tiba-tiba, diamenjejakkan kakinya kepada Asatori, yang berlutut di hadapannya.

“Sekarang aku mengetahui siapa dirimu,” katanya.

“Kaulah yang telah memata-matai kami malam itu di lembah. Pergilah dari sini! Aku sendirilah yangakan menyampaikan jawabanku kepada ibuku. Jangan berlama-lama lagi di sini … pergilah sekarangjuga!”

Sambil berbicara, Ushiwaka berlari keluar dari tempat pemujaan dan menghilang ke hutan. Asatoriberusaha mengikutinya namun Ushiwaka telah lenyap dari pandangannya

o0odwkzo0o

Bab XLIX-USHIWAKA MELARIKAN DIRI

Kabut membubung bagaikan uap dari gunung. Hari itu adalah hari terakhir dari festival yangberlangsung selama tiga hari. Ribuan lentera berkelap-kelip pada dini hari itu, dan senandung ayat-ayat suci dengan iringan musik terdengar di mana-mana- Udara hari itu bisa dipastikan akan panas.

“Ushiwaka kelihatan cukup gagah, bukan?”

“Sama sekali tidak terlihat seperti dirinya kalau dia berdandan seperti itu!”

“Kau pasti Ushiwaka. Ayo, biarkan kami melihat dirimu yang sesungguhnya.”

Para calon biksu berkumpul di dalam sebuah ruangan di belakang panggung dansa dan menggodaUshiwaka, yang mengenakan kimono bermotif bunga candu dan celana ungu tua. Rambutnya diikattinggi-tinggi di atas kepalanya.

Sementara para calon biksu lainnya tertawa-tawa, bersorak sorai, dan melompat-lompat girang,Ushiwaka menjauhkan diri dari mereka, menanti dengan tenang.

“Kau khawatir, ya?” tanya salah seorang temannya.

Ushiwaka menggeleng. “Tidak, aku tak bisa tidur sejenak pun semalam.”

“Bohong! Apa yang membuatmu terjaga?”

“Aku sangat gelisah.”

“Gelisah? Karena apa?”

“Karena hari ini, tentunya.”

“Kau memang aneh, ya?” Seorang calon biksu lainnya mendengus, lalu berlari dan bergabung denganteman-temannya yang tengah melongok dari balik langkan sebuah lorong.

Sebuah teriakan nyaring terdengar, “Lihatlah orang-orang yang datang hari ini!”

“Masih banyak yang akan datang! Mereka berbaris seperti semut!”

“Mana, mana? Aku ingin melihatnya!”

Para calon biksu melompat ke atas langkan dan memanjat tiang-tiang dengan penuh semangat.Sementara mereka larut dalam keramaian, Ushiwaka bangkit dan menyelinap ke kamarnya. Dari baliktumpukan buku-buku di atas meja tulis kecilnya, dia menyambar sebuah kotak kecil, mengeluarkansebuah patung perak, melemparkan kotaknya, dan dengan hati-hati menyelipkan benda itu ke baliklipatan-lipatan kimononya. Dia menepuk-nepuknya untuk memastikan bahwa patung itu berada ditempat yang aman, lalu mengencangkan obi yang melingkari pinggangnya.

“Ushiwaka, Ushiwaka, di manakah dirimu?”

Teriakan-teriakan itu mengagetkan Ushiwaka, yang segera berlari keluar seraya menjawab.

Semua calon biksu telah berbaris, dan seorang biksu membentak Ushiwaka:

“Dari mana kamu?”

“Saya dari kamar kecil.”

“Bohong! Aku melihatmu keluar dari kamarmu.”

“Saya baru saja mengencangkan ikat pinggang saya.”

Seorang biksu memimpin prosesi itu, membelah kerumunan orang untuk membentuk jalan. Parapemain

musik mengikutinya, membunyikan lonceng dan gong; para pendeta tinggi berbaris di

belakang mereka, diikuti oleh para calon biksu yang turut ambil bagian dalam drama suci.

Udara semakin panas dan tidak segumpal pun awan tampak ketika barisan itu berjalan mengitarigunung, dari tempat pemujaan yang satu ke tempat pemujaan yang lain, dari kuil yang satu ke kuilyang lain. Para calon biksu terengah-engah dan berpeluh, tersuruk-suruk, berhenti sejenak ketikamelihat sesuatu yang menarik, dan berlari-lari saling menyusul. Ushiwaka, yang terkecil di antaramereka semua, berbaris di belakang, melangkah dengan teratur dan tertib. Matanya, bagaimanapun,sibuk memandang ke kiri dan kanan untuk mengamati para peziarah yang menonton mereka, danterkadang sorot tertentu tampak di matanya ketika dia mengenali orang-orang yang dilihatnya.

Ketika prosesi mengitari gunung selama empat jam itu berakhir, para calon biksu membubarkan diriuntuk menyantap makan siang dan bersiap-siap menari.

Sepanjang siang dan malam-itu, tarian dan musik terus dipertontonkan. Api unggun dinyalakan diseluruh bagian gunung. Para peziarah, yang tak terhitung banyaknya, saling mendorong dan menyikut,berpindah-pindah dari satu pertunjukan ke pertunjukan lainnya. Para calon biksu berusaha meneroboskerumunan orang, tidak ingin melewatkan apa pun. Hanya Ushiwaka yang berkeliaran tanpa tujuan dilapisan luar penonton hingga seorang pria sekonyong-konyong menghampirinya dari belakang,menyampirkan sehelai mantel musim panas tipis ke bahunya, dan berbisik:

“Sekarang, Tuan!”

“Kaukah itu, Masachika?”

“Aku akan menemanimu sampai ke jalan menuju lembah.”

“Jalan itu sudah dipagari.”

“Bukan masalah … cepat!”

Ushiwaka berlari. Tidak lama setelah mereka menjauh dari tempat keramaian, Masachikamendekatkan kedua jarinya ke bibir dan bersiul nyaring. Beberapa orang pria dengan tenangmemisahkan diri dari kerumunan peziarah yang tengah menonton ritual membelah bambu, lalumenghilang di kegelapan malam. Beberapa waktu kemudian, para pendeta yang ambil bagian dalamritual tersebut dengan cepat meninggalkan tempat itu.

Seseorang terdengar mengatakan. “Seorang biksu dibunuh dengan sadis di perbatasan salah satulembah.”

Keributan pun pecah. Seorang calon biksu telah menerobos pagar dan melarikan diri. Dia membunuhdua orang penjaga yang menghalang-halanginya. Tidak, Tengulah pelakunya, kata orang-orang.

Desas-desus itu segera didengar oleh para pemain musik yang sedang beristirahat dan minum-minumdi ruangan mereka. Asatori, yang sedang minum sake bersama yang lainnya, segera duduk tegak.

“Seorang calon biksu melarikan diri? Siapakah dia?

Siapakah namanya? Benarkah itu?” dia bertanya kepada teman-temannya, lalu diam-diammeninggalkan tempat duduknya dan menyelinap keluar.

o0odwkzo0o

Para Tengu berkumpul di gubuk tempat Asatori pernah melihat mereka.

“Langkah pertama telah berhasil kita lalui, dan kita harus memberikan ucapan selamat kepada kalian,”kata salah seorang dari mereka, menoleh kepada Ushiwaka, yang duduk di antara sosok-sosok gelap didalam gubuk itu, masih takjub akan keberhasilan pelariannya.

Salah seorang dari mereka, yang sepertinya lebih dewasa dan berpengalaman daripada yang lainnya,berkata, “Masih terlalu dini untuk menyelamati diri kita sendiri. Ingatlah, kita masih harus membuatkesepakatan dengan Tuan Hidehira dan, terlebih lagi, kita harus melakukannya tanpa Kichiji.Meloloskan diri dari Gunung Kurama memang cukup mudah, tapi bagaimanakah kita akanmenjalankan keseluruhan rencana kita? Jika keberuntungan menyertai kita, Kichiji akan mendengartentang kejadian ini; jika tidak, akan mustahil bagi kita untuk berkelit dari para prajurit Kiyomori danmelarikan diri ke timur.”

Seseorang yang lain angkat bicara, “Tapi, ini adalah kesempatan terakhir kita. Apa pun hasilnya,Ushiwaka telah mengambil keputusan.”

“Kita tidak akan menggantungkan diri kepada Kichiji.

Jika dia menolak untuk memberikan pertolongan, maka kita akan terus bertindak tanpa mengandalkandirinya.

Ingatlah, kita sudah memperkirakan hal ini ketika Ushiwaka mengatakan bahwa dia akan melarikandiri.

Tidak ada lagi yang bisa kita upayakan, dan melakukan yang sebaliknya adalah tindakan pengecut.”

“Itu bukan tindakan pengecut. Wajar saja jika kita harus memperhitungkan segala kemungkinan dalammenyelesaikan urusan sepelik Ini.”

‘Tidak ada gunanya memperdebatkan tentang hal ini.

Aku sudah pernah memperingatkan Konno-maru tentang

apa yang akan terjadi malam ini. Aku cemas karena dia belum juga muncul.”

Kegagalan mengancam upaya pelarian diri itu karena Heik6 akan bersiaga dan menutup semua jalanmenuju timur. Mereka menunggu Konno-maru, yang akhirnya datang sesaat sebelum matahari terbit.

“Ya, aku terkejut Kupikir kalian baru akan melakukannya saat tengah malam, dan aku kesulitanmengikuti kalian.”

“Kami minta maaf soal itu. Itu tidak akan membantu.

Kami mengatakan tengah malam, tapi rencana kita mendadak berubah karena peluang yang lebih baikmuncul

…. Tapi, kita beruntung karena bisa sampai di sini.

Bagaimana dengan Kichiji? Apa katanya?”

“Dia menertawakan keterburu-buruan kita dan sepertinya menganggap bahwa tidak ada yang bisadilakukannya kecuali mengikuti rencana kita.”

“Jadi, dia sepakat dengan kita?”

“Apakah Kichiji menyampaikan gagasannya, atau apakah dia bersikeras bahwa sekarang belumsaatnya untuk mengatakan keputusan mereka? Apa katanya, Konno-maru?”

Fajar mulai merekah, dan berkas-berkas cahaya pucat menerobos jendela kecil gubuk itu.

Para Tengu menantikan jawaban Konno-maru.

“Kichiji selalu mendukung kita, tapi dia mengajukan beberapa syarat Katanya, dia tidak akanmenjamin keselamatan Ushiwaka jika kita tidak menerima persyaratan yang diajukannya.”

“Apakah itu?”

“Dia hanya akan menjamin keselamatan Ushiwaka. Kita semua, katanya, harus bertanggung jawabakan keselamatan kita masing-masing.”

“Apa! Dia akan begitu saja angkat tangan?”

“Ya, katanya, keselamatan Ushiwaka bergantung pada hal ini.”

“Bagaimana mungkin?”

‘Tidak seorang pun di wilayah ini mengenali kalian.

Orang-orang menganggap kalian sebagai iblis Tengu, tapi jika kalian pergi bersama Ushiwaka, Kichijiyakin bahwa itu akan membahayakan nyawanya.”

“Konno-maru, apakah kau memercayainya?”

“Ya. Kita telah memainkan peran kita masing-masing.

Sekarang, sesudah Ushiwaka berhasil meloloskan diri dari Gunung Kurama, tidak ada lagi yang bisakita lakukan kecuali meninggalkannya dan menghilang dari sini.”

“Lalu, apa yang akan dilakukan oleh Ushiwaka tanpa kita?”

“Kichijilah yang akan bertanggung jawab.”

“Apakah kita bisa memercayainya?”

“Jika dia tidak bisa dipercaya, dia tidak akan memercayai kita sejak awal … begitulah katanya.”

“Bagaimana jika kau salah?”

“Jika ada yang salah, maka Kichijilah yang akan menerima akibatnya … dan membayarnya dengannyawanya. Tidak ada gunanya berdebat lebih jauh. Yang bisa kita lakukan hanyalah memercayainya,”kata Konno-maru.

Mereka semua pun menantikan pendapat Ushiwaka, dan Masachika bertanya:

“Kamu sudah mengetahui sendiri masalahnya. Jadi, bagaimana menurutmu?”

Dihadapkan pada perwujudan harapan terbesarnya, Ushiwaka menjawab tanpa ragu-ragu, “Aku tidakberharap bisa berangkat ke timur saat ini juga. Seandainya aku berangkat sekarang, tidak ada yangbisa menjamin apakah aku akan bisa bertemu lagi dengan ibuku. Aku harus pergi ke ibu kota …seorang diri, atau bersama kalian semua. Aku harus menemui ibuku …. Bawa aku menemui beliausekarang juga.”

Kabar mengenai pelarian Ushiwaka terdengar sampai ke Rokuhara pada dini hari. Para prajurit danmata-mata segera berangkat ke Gunung Kurama. Para biksu, yang lebih mengenal baik tempat itu,telah memulai pencarian mereka. Siang harinya, ketika beberapa ratus orang samurai dari Rokuharatiba di Gunung Kurama, Ushiwaka dan para pengikutnya telah berada dalam perjalanan menujuPuncak Sajiki. Setibanya mereka di sana, Konno-maru berkata,

“Dari sini, jalan mengarah ke Provinsi Shiga, Tamba, dan Sanjo, dan kami harus meninggalkan kaliansekarang. Aku sendirilah yang akan menyertai Tuan Muda hingga sampai ke ibu kota.” Kemudian, diamenoleh kepada Ushiwaka,

“Aku akan menyertaimu hingga kau siap untuk berangkat ke timur laut bersama Kichiji. Setelah itu,kau akan sendirian. Kau sudah bertekad untuk menjalani semua ini bukan, Ushiwaka?”

Ushiwaka ragu-ragu sejenak, lalu kembali bertanya,

“Konno-maru, benarkah kau akan membawaku menemui ibuku? Kapankah kau akan melakukannya?”

“Aku harus membicarakannya dengan Kichiji terlebih dahulu,” jawab Konno-maru. “Kichiji akanmencari cara untuk melakukannya.”

“Tidak bisakah kau melakukannya sendiri, Konno-maru?

Mengapa kau harus membicarakannya dengan Kichiji?”

“Aku sudah berjanji untuk tidak melakukan apa pun tanpa persetujuannya.”

“Sekarang … demi masa depan!”

“Pertama-tama, aku akan ke Tamba dan bersembunyi sejenak di sana”

“Dan kau.Adachi?”

“Kurasa aku akan pergi ke Shiga Utara. Dan kau, Kamata?”

“Aku akan menyeberangi Omi, lalu ke Owari, tempat ayahku dibunuh bersama Tuan Yoshitomo.”

Seorang demi seorang, para pria itu meninggalkan Ushiwaka dengan janji untuk menemuinya kembalidi timur. Senja itu, hanya Ushiwaka dan Konno-maru yang tersisa di Puncak Sajiki, yang menjulang diatas Gunung Kurama; matahari terbenam dan kabut mulai menyelimuti mereka.

“Ushiwaka, apakah kau masih sanggup berjalan lebih jauh?”

“Tentu saja!”

“Kita akan melihat cahaya ibu kota esok senja Sebuah kereta akan menanti kita di sebuah tempat.”

“Sebuah kereta? … Dan ke manakah kita akan pergi?”

“Tentang itu, aku tidak tahu, tapi kau tidak perlu mengkhawatirkannya. Kichiji akan mengatursegalanya.

Kau hanya perlu memercayainya. Jika aku melihat alasan untuk meragukannya, dia tidak akan loloshidup-hidup.”

Keduanya mulai turun dari puncak gunung. Mereka tidak bertemu dengan seorang pun hingga malamdatang, kertika mereka berpapasan dengan seorang asing yang menanyakan arah. Mereka terusberjalan hingga melewati sebuah dusun kecil dan, jauh di bawah, melihat kerlap-kerlip cahaya ditengah kegelapan.

“Konno-maru, apakah itu cahaya dari ibu kota?”

“Bukan, itu adalah Gunung Atago … cahaya dari Tempat Pemujaan Atago dan biara.”

“Perjalanan kita sudah jauh, tapi apakah kita sudah mendekati ibu kota?”

“Belum. Kita sedang mengacaukan jejak kita untuk mengelabui para pengejar kita, tapi kita sudahsemakin dekat dengan ibu kota.”

“Ushiwaka … ” Konno-maru mendadak berkata,

“setibanya kita di ibu kota, jangan panggil aku Konno-maru. Namaku Kowaka di sana.”

“Aku harus memanggilmu Kowaka?”

“Orang-orang di sana memanggilku dengan nama itu.”

“Oh? … Aku lapar, Konno-maru,” kata Ushiwaka.

“Itu wajar. Aku akan mencari makanan untukmu.

Tunggulah aku di tempat pemujaan yang ada di sana.”

Setelah waktu yang berjalan begitu lambat, Konno-maru kembali dan mendapati Ushiwaka tertidur di

beranda tempat pemujaan. Dia bisa mendengar napas teratur bocah yang tertidur di bawah langitberbintang itu. Konno-maru mengguncang-guncangnya hingga terbangun, dan mereka pun bersama-sama menyantap makanan yang didapatkan

oleh Konno-maru dari seorang petani; setelah itu, mereka berbaring untuk tidur hingga malam musimpanas yang singkat itu memudar.

Mereka berjalan kaki selama setengah hari. Sesekali, mereka berpapasan dengan orang-orang asing,yang dari penampilannya menunjukkan bahwa Kyoto sudah dekat.

“Kita sudah mendekati Saga sekarang,” Konno-maru memberi tahu Ushiwaka ketika merekaberhadapan dengan sebuah bukit. Sebuah pondok beratap rumbia berdiri di salah satu sisi bukit itu,dikelilingi oleh pagar hidup. “Lihat, dia datang seperti yang dijanjikannya! Kereta sapinya ada di jalandi dekat pondok itu” seru Konno-maru.

Ushiwaka tidak terkesan dengan apa yang dilihatnya, namun kelegaan yang terpancar dari wajahKonno-maru membuatnya senang. Konno-maru dengan hati-hati menghampiri sebuah gerbang ditengah pagar dan melongok ke pondok.

Akhirnya, dia memanggil dengan nada lembut:

“Selamat siang, benarkah ini tempat Giwo menyepi?”

Alunan ayat-ayat suci dari dalam pondok seketika terhenti. “Ya? … ” sahut sebuah suara segar;kemudian, seraut wajah yang ternyata muda dan cantik untuk ukuran seorang biksuni, melongok keluar. “Siapakah kalian?”

“Apakah kamu Giwo?”

“Bukan, aku adiknya.”

Konno-maru tersenyum ketika mengenalinya. “Apakah kau masih mengingatku … Kowaka, pelayanToji?”

“Benarkah itu dirimu, Kowaka? Masuk dan

menunggulah di dalam. Aku akan memanggil Giwo.”

Giwo segera muncul, dan Konno-maru menyapanya:

“Ah, Giwo! Kapankah kita terakhir kalinya bertemu?

Aku sering memikirkanmu, tapi … ”

“Apakah semuanya baik-baik saja, Kowaka? Apakah kau masih bersama Toji?”

“Ya, semuanya baik-baik saja di sana. Pekerjaanku menyenangkan, dan tahun-tahun berlalu tanpakusadari.

Ya, tentu setidaknya sudah delapan tahun berlalu sejak aku mengantarmu ke Rokuhara.”

“Seperti mimpi saja, ya? Lima atau enam tahun telah berlalu sejak aku menyepi di sini bersama ibuku,adikku, dan Hotok6.”

“Ya, benar, sudah bertahun-tahun berlalu sejak kau pergi ke Rokuhara. Kau tidak pernah kembalikepada kami sesudahnya.”

Wajah Giwo seketika mengeruh. “Sudahlah, Kowaka, jangan membicarakan masa lalu. Aku sudahbersumpah untuk menjadi seorang biksuni sekarang, dan aku malu setiap kali mengingat masa itu.”

“Maafkan aku; bodoh sekali aku yang menceracau seperti itu … dan ini mengingatkanku tentangalasanku mendatangimu di sini.”

“Kau berjanji untuk menemui Tuan Kichiji di sini, bukan?”

“Ya, beliau adalah pengayom Toji yang paling terhormat dan budiman.”

“Beliau sering memintaku tampil di hadapannya dahulu.

Aku kaget waktu beliau tiba-tiba muncul di sini kemarin.”

“Kemarin?”

“Ya, kami berbincang-bincang cukup lama, lalu sebelum pergi, beliau mengatakan bahwa beliau sudahmenyewa

sebuah perahu di Sungai Hozu dan akan membawa beberapa orang gadis Toji untuk menghabiskanmalam di air.”

“Apakah beliau sudah kembali?”

“Beliau kembali kemari pagi ini untuk mengagumi keindahan pagi hari di sekitar rumah ini danmemberitahuku bahwa kau akan datang kemari untuk menjemputnya. Beliau memerintahkan agarkeretanya diletakkan di tempat yang bisa kaulihat. Aku disuruh menyampaikan pesan bahwa beliaumenunggu di kuil yang bisa kaulihat dari sini.”

Konno-maru berterima kasih kepada Giwo dan mengucapkan selamat tinggal. Kemudian, bersamaUshiwaka, dia menghampiri kereta itu. Konno-maru mengangkat kerainya dan melongok ke dalam.Bagian dalam kereta itu menguarkan aroma dupa dan minyak wangi.

“Ushiwaka, maukah kau menunggu di dalam? Aku akan segera kembali.”

Dari bagian belakang kereta, Konno-maru mengeluarkan sehelai kimono putih seperti yang biasadikenakan oleh penarik sapi, lalu memakainya di atas pakaiannya sendiri sebelum mereka berangkatke kuil.

Ushiwaka memeriksa bagian dalam kereta itu dengan penasaran. Udara yang pengap dan wangiseolah-olah mencekiknya. Dia teringat kepada ibunya … surat dari ibunya menguarkan aroma yang

sama, aroma yang disadarinya sebagai aroma wanita. Dia mengangkat kerai, yang letaknya sudahdibenahi oleh Konno-maru, dan sesekali mengintip ke luar.

o0odwkzo0o

Kichiji sedang tidur siang di salah satu ruangan kuil ketika seorang pendeta masuk danmembangunkannya, mengatakan bahwa seorang

pelayan telah tiba untuk menjemputnya. Kichiji cepat-cepat bangun dan menuju sebuah pintu dibagian belakang kuil.

“Kowaka! Kau sudah datang … terima kasih!”

“Saya khawatir tidak akan bisa tiba di sini tepat waktu,”

jawab Konno-maru. “Apakah kita akan berangkat sekarang?”

Setelah berterima kasih kepada si pendeta, keduanya meninggalkan kuil dan kembali ke pondok Giwo.

“Saya akan kembali lagi,” Kichiji tersenyum. “Maafkan saya yang telah merepotkan Anda,” katanyakepada si pendeta dengan nada memohon maaf sambil melangkah memasuki kereta

Kemunculan mendadaknya mengagetkan Ushiwaka, yang memandang Kichiji tanpa mengatakan apa-apa.

Begitu kereta itu bergerak, Kichiji mendekatkan diri kepada Ushiwaka dan berbisik:

“Kau tidak perlu mengkhawatirkan apa pun sekarang karena aku ada di sini.”

Setelah keheningan sesaat, Kichiji kembali berbisik,

“Tapi … jika kau bukan Heik6, berarti kau bukan siapa-siapa. Seperti itulah dunia saat ini. Jika kaumenggantungkan diri kepadaku untuk menolongmu melarikan diri ke timur laut, maka kau harus siapmenghadapi banyak hal dan melakukan apa pun tepat seperti yang kuperintahkan.”

Kereta itu berhenti setibanya di depan sebuah rumah peristirahatan di dekat sungai. Derak rodanyamengundang dua orang geisha berlari melewati pepohonan dedalu.

Kichiji menyapa mereka dengan wajah berseri-seri.

“Di manakah yang lainnya? Sudah pergi, katamu? Ya sudah, tidak apa-apa, aku bisa menyewa kudaatau tandu untuk diriku sendiri.”

Setelah selama beberapa waktu mengobrol tak tentu arah, kedua geisha itu menjejalkan diri ke dalamkereta dan duduk di samping Ushiwaka.

“Nah, kalian sebaiknya berangkat sekarang,” kata Kichiji kepada Kowaka, yang mengangguk danmelecutkan cambuk ke sapinya

Dari percakapan mereka, Ushiwaka menebak bahwa kedua geisha itu bersaudara … salah satunyaadalah gundik Kichiji. Mereka berlama-lama memandang Ushiwaka, saling berbisik, lalu tersenyumkepadanya.

“Dia tampan, ya?”

‘Tapi agak kecil untuk pemuda seumurnya, ya?”

Sambil meliriknya, kedua wanita itu berkali-kali mengomentari penampilan Ushiwaka seolah-olahbaru saja mendapatkan hewan piaraan baru. Ushiwaka merasa tercekik oleh wewangian yang menguardari pakaian kedua wanita itu; jantungnya berdegup kencang, dan tatapannya tertuju padapemandangan di luar.

“Dia sepertinya terpesona melihat pemandangan kota.

Benarlah itu … Tuan?”

Ushiwaka mengabaikan pertanyaan yang ditujukan untuknya itu. Dia terpikat oleh segala sesuatu yang

dilihatnya di sepanjang perjalanan mereka melintasi ibu kota.

“Uhat! … Tuan Kichiji ada di sana, di depan kita,” seru salah seorang geisha itu, menunjuk ke salahsatu sisi jalan.

Ketika melewati mereka, Kichiji menoleh ke kereta mereka dan mengatakan sesuatu kepada Kowaka,yang menuntun sapinya.

Sejenak kemudian, ruas jalan berapit pohon dedalu di Horikawa terlihat Cahaya-cahaya lentera darirumah-rumah di sepanjang kanal seolah-olah menari-nari di atas permukaan air, sementara alunanseruling, gebukan genderang; dan kehangatan aroma malam musim panas menerobos kerai kereta.Mereka berbelok ke salah satu ruas jalan dan berhenti di depan sebuah rumah yang asri. Kichiji telahmenunggu di sana.

“Tuan,” katanya kepada Ushiwaka, “silakan masuk. Ini rumahku. Anggap saja sebagai rumah sendiri.”

Ushiwaka tidak bisa tidur malam itu. Semua yang didengar dan dilihatnya di lingkungan baru inimembuatnya gundah. Makanan yang dikecapnya pun terasa aneh.

Dia semakin gelisah karena tidak diizinkan keluar rumah. Kichiji baru kembali dua minggu kemudiansetelah pergi pada malam pertama mereka di sana.

“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya kepada Ushiwaka.

“Tidak kesepian, bukan? Heik6 masih mengawasi semua orang, jadi aku sengaja menghindari tempatini. Jangan mengira aku telah melupakanmu.”

Karena Ushiwaka diam saja, Kichiji melanjutkan,

“Kabar baiknya, kurasa mereka tidak akan memeriksa tempat ini. Semua jalan, pelabuhan, dangerbang kota diawasi dengan ketat Siapa pun yang memiliki keterkaitan

dengan Genji hingga saat ini dianggap sebagai tersangka, tapi aku berhasil mengakali mereka,”katanya sambil tertawa. “Siapakah yang akan berpikir untuk menggeledah daerah hiburan?”

Ushiwaka tetap diam saja.

Kichiji melanjutkan, “Tentu saja, Tuan, aku tidak perlu mengingatkanmu tentang betapa berharganyanyawamu bagi Genji. Jika bukan karena dirimu dan saudara tirimu,Yoritomo, di Izu, Genji tidak akanmemiliki pegangan lagi. Seluruh harapan mereka ada di benakmu.”

“Kichiji … kapankah aku berangkat ke timur laut?”

Ushiwaka mendadak bertanya.

“Yah, aku harus sangat berhati-hati. Aku tidak boleh mengambil risiko apa pun. Aku akan menungguhingga penjagaan Heik6 lebih longgar. Mungkin musim semi nanti akan menjadi saat yang tepat untukmenemanimu ke utara.”

“Musim semi?”

“Awal tahun depan, tepatnya.”

“Dan sebelum itu?”

“Ibu kota akan cukup aman bagimu. Untuk

memastikannya, bagaimanapun, kau harus berdandan seperti perempuan, dan setelah merasa nyamandengan penyamaranmu, kau bisa bepergian ke sana kemari tanpa takut dikenali. Kau akan tinggal disini hingga aku datang menjemputmu.”

Kichiji segera berangkat ke timur laut, berjanji untuk menjemput Ushiwaka pada bulan Februari atauMaret Dia telah memberikan instruksi mendetail kepada Konno-maru

tentang apa yang harus dilakukannya selama dia pergi, dan Ushiwaka dititipkan kepada kedua geishabersaudara.

“Aku tidak mau berdandan seperti perempuan,”

Ushiwaka terus bersikeras kepada kedua geisha yang ingin mendandaninya, dan juga kepada Konno-maru, yang datang setiap hari; baru setelah dibujuk habis-habisan, Ushiwaka akhirnya setuju untukmembiarkan rambutnya disanggul seperti seorang perempuan. Dia mengenakan kimono berwarnamencolok seperti yang dikenakan oleh para geisha muda. Wajahnya dibedaki secara merata danpipinya dibubuhi pemerah hingga wajahnya benar-benar mirip perempuan. Setelah terbiasa denganpenyamarannya dan nama Rindo (bunga gentian), Ushiwaka mulai merongrong Konno-maru.

“Kowaka, kau sudah membohongi ku.” katanya berulang kali. “Kau belum juga memberitahuku kapankita akan menemui ibuku. Kau pernah mengatakan bahwa beliau sakit, tapi bukan begitukenyataannya. Asatori memberitahuku bahwa beliau pun ingin bertemu denganku.”

Sejak melarikan diri dari Gunung Kurama, Ushiwaka seolah-olah terobsesi pada pikiran mengenaiibunya. Tetapi, Konno-maru sebisa mungkin berusaha untuk menekankan risiko yang akanditanggungnya. “Kau harus mengerti bahwa aku tidak sedang mencoba menghalang-halangimumenemui ibumu, tapi Heikt menjaga rumahnya sepanjang siang dan malam. Mereka yakin bahwa kau

akan mendatanginya, dan mereka sudah siap membekukmu di sana.”

Tetapi. Ushiwaka bersikeras.

“Kau akan berangkat ke timur laut, bukan?”

“Tidak. Aku harus menemui ibuku terlebih dahulu.”

“Aku sudah berulang kali memberitahumu bahwa demi ibumu, begitu pula demi dirimu sendiri, kausebaiknya tidak menemui beliau sekarang.”

“Jalan Pertama, tempat tinggal beliau, tidak jauh dari sini, bukan, Kowaka? Kalau begitu, salahkahaku jika ingin menemui beliau?”

“Jika para prajurit Heik6 tidak berjaga-jaga di sana, tidak ada yang mencegahmu menemui beliau.”

“Kau jahat, Kowaka, karena melarangku menemui ibuku. Seandainya aku seorang pria dewasa, akankuhabisi semua Heik6.”

“Bagus! Jika kau ingin menemui ibumu, jangan lupa bahwa itulah yang pertama-tama haruskaulakukan.”

“Betapa bencinya aku kepada mereka … para Heike itu!”

seru Ushiwaka dengan tatapan garang.

o0odwkzo0o

Ushiwaka, menyamar sebagai Rindo yang jelita, segera dikenal oleh orang-orang yang tinggal disepanjang kanal berapit pepohonan dedalu di Horikawa, tempatnya sering berjalan-jalan seorang diri.Kedua kakak beradik yang tinggal bersamanya kadang-kadang mengajaknya ke pasar di jalan Keempatdan Kelima. Mereka pun mengajarinya menabuh genderang dan meniup seruling, dan ketika musimdingin tiba, Ushiwaka mulai berlatih menari.

Daigo, seorang perajin genderang yang tinggal di dekat Horikawa, memiliki seorang putri berumursepuluh tahun yang datang setiap hari ke rumah mereka untuk belajar menari. Gadis kecil itu bernamaShizuka dan lebih pintar memainkan genderang dan seruling daripada Ushiwaka, yang dianggapnyasebagai kakak.

“Rindo, mengapa kau tidak menjadi geisha saja?”

tanyanya kepada Ushiwaka pada suatu hari.

“Entahlah,” jawab Ushiwaka. “Aku belum ahli memainkan genderang dan seruling.”

“Mengapa tidak tahun depan saja, kalau begitu?”

“Ya, tapi bagaimana denganmu, Shizuka?”

“Aku … ” Shizuka ragu-ragu, memikirkan pertanyaan Ushiwaka.

“Apakah kau tidak ingin menjadi geisha?”

“Entahlah.”

Mereka tengah berjalan-jalan di tengah hamparan salju pada suatu hari, lupa bahwa mereka harussegera pulang, ketika Ushiwaka mendadak bertanya:

“Maukah kau ikut denganku ke jalan Pertama?”

“Di manakah letak Jalan Pertama?”

“Di dekat sungai.”

Saat ini, Ushiwaka sudah mengenal baik rumah tua di dekat sungai itu; dia telah melewatinya berkali-kali dengan jantung berdegup kencang, dihantui oleh ketakutan bahwa para penjaga Heik6 akanmengenalinya.

“Rindo! Kau mau ke mana?” seru Konno-maru, mengejar kedua anak nakal itu. Mengetahui bahwaUshiwaka kerap berkeliaran di sekitar Jalan Pertama, Konno-maru membawa kereta untukmembawanya pulang.

Pakaian Ushiwaka basah; dia kedinginan dan merana, menangis terisak-isak untuk melampiaskankekecewaannya ketika Konno-maru merangkulnya bersama teman ciliknya, lalu membawa mereka kekereta untuk pulang ke Horikawa.

Di dalam kereta, kedua anak itu berpelukan. Shizuka

menghangatkan tangan dingin Ushiwaka dengan menggosok-gosokkannya ke pipi, dan Ushiwakamemeluknya erat-erat hingga mereka berdua jatuh tertidur.

o0odwkzo0o

Bab L-PERJALANAN KE TIMUR

Tahun Baru 1174 diwarnai oleh kegembiraan dan kekhusyukan; ketenangan menyelimuti seluruh ibukota.

Upacara besar-besaran di Istana telah berakhir tanpa kericuhan. Tidak seorang pun mati kelaparan dijalanan Kyoto. Kedamaian di bawah kekuasaan Heike ini telah berlangsung selama lebih dari sepuluhtahun, jauh lebih lama daripada yang pernah terjadi di bawah kekuasaan Fujiwara. Tidak sekali punpertikaian berdarah pecah sepanjang masa itu, dan rakyat percaya bahwa mereka berutang budi kepadaKiyomori untuk semua ini.

Kendati begitu, hujatan kepada Heik6 masih sesekali terdengar, bukan dari rakyat jelata melainkankaum bangsawan. Heik6 dipandang miring lantaran kekuasaan, arogansi, dan bahkan hubunganmereka dengan kaum darah biru. Akhir-akhir ini, bagaimanapun, topik lain menjadi buah bibir seluruhibu kota. Terdengar desas-desus bahwa Genji belum tercerabut hingga ke akar-akarnya, dan merekasedang bersiap-siap untuk sekali lagi menantang Heikg. Rumor itu sepertinya disebarkan oleh parabiksu dari Gunung Kurama setiap kali mereka turun ke ibu kota, dan cerita-cerita tentangmenghilangnya Ushiwaka dan para Tengu pun turut menguatkannya.

Heike melipatgandakan kesiagaan mereka. Mencurigai daerah hiburan, sejak bulan Februari, paraprajurit Rokuhara secara teratur berpatroli dari rumah ke rumah

untuk mencari Ushiwaka, dan mata-mata dari Kepolisian juga sering terlihat di sana.

Dua atau tiga kuntum bunga telah mekar di pohon plum di dekat kios Daijo pada suatu hari di bulanFebruari itu, dan si perajin genderang memanggil seorang pejalan kaki dari bengkelnya:

“Halo, halo! Kaukah itu, Kowaka?”

Kowaka berbalik arah dan melongok ke dalam bengkel.

“Kau sepertinya sedang sibuk seperti biasanya, Daijo.

Kau yakin aku tidak mengganggumu?”

“Duduklah sebentar. Jangan melewatiku begitu saja.”

“Aku tak ingin mengganggumu.”

“… Omong-omong, aku harus memberitahukan sesuatu kepadamu sebelum secara langsungmengatakan tentang hal ini kepada Toji. Aku baru mengatakan kepada istriku tadi pagi bahwa kuharapkau akan berkunjung.”

“Eh? Apakah sesuatu yang luar biasa telah terjadi?”

“Dengar, apakah kau mengenal seseorang yang bernama Ular?” “Ya.”

“Lebih baik kau berhati-hati terhadap dirinya.”

“Terhadap Ular, maksudmu?”

“Sejujurnya, dia kemarin datang ke sini dan mengatakan kepadaku bahwa ada yang aneh mengenaiRindo.”

“Apa! Dia mengatakan itu kepadamu?”

“Sekarang, dengarkanlah … kau tahu bahwa Rindo dan putriku Shizuka selalu bermain bersama. Nah,Ular kemari untuk alasan yang tidak kumengerti. Dia sepertinya

menyembunyikan sesuatu. Aku sudah meminta Shizuka berjanji untuk tidak mengatakan apa punkepadanya.”

“Apakah si Ular ini juga menanyai putri kecilmu?”

“Dia menarik Shizuka dan mengatakan kepadanya bahwa Rindo bukan perempuan. Ular mengancamShizuka bahwa jika dia tidak berkata jujur, maka prajurit Heik6 akan menangkapnya.”

“Hmm? … Pria kurang ajar … menyebarkan desas-desus murahan.”

“Kowaka … ”

“Ya.”

“Hanya itulah yang ingin kuberitahukan kepadamu, tapi kuharap kau berhati-hati. Orang lain, samaseperti Ular, mungkin juga menangkap keanehan yang sama.”

“Baiklah, Daijo, aku berterima kasih kepadamu dan tidak akan melibatkanmu di dalam masalah. Kautidak perlu mengulangi peringatanmu, aku tahu.”

“Jangan khawatir. Jika aku gemar bergunjing, aku tidak akan menceritakan tentang semua itukepadamu.”

“Terima kasih, Daijo … aku tidak akan menceritakan apa pun kepadamu sekarang. Kau bisa menebak-nebaknya sendiri,” kata Kowaka sambil membungkuk dalam-dalam dan memandang Daijo denganpenuh hormat.

Daijo meraih palunya dan tersenyum. “Itu sudah cukup!

Sikap resmi seperti itu tidak pantas ditunjukkan di daerah hiburan, kau tahu,” katanya dengan riangsambil mengumpulkan serutan kayu dan melemparkannya ke perapian.

o0odwkzo0o

Bulan telah meninggi di atas Perbukitan Timur, dan permukaan air Sungai Kamo berkilauan bagaikanmutiara Jembatan Gojo semakin sepi begitu kegelapan malam di bulan Februari itu menyelimutisungai. Tanpa memedulikan kesunyian, sesosok remaja berbadan kecil terus melongok dari atas pagarjembatan, mengamati unggas-unggas yang masih bermain di sungai.

Sosok itu adalah Ushiwaka, yang mengenakan mantel dan bakiak wanita hitam bertumit tinggi. Diamembawa sebuah seruling, yang

tersimpan di dalam wadahnya, dan terlihat sangat mirip dengan seorang geisha. Siang itu, keduageisha yang tinggal bersamanya membawanya ke pasar di Jalan Kelima untuk membeli beberapakeperluan guna menyambut Festival Boneka. Tanggal 3 Maret tinggal beberapa hari lagi, dan merekaberlama-lama di pasar, melihat-lihat beraneka ragam barang dagangan yang dijajakan di sana. Ketikasedang berjalan-jalan, kedua kakak beradik itu bertemu dengan seorang pria yang sepertinya mengenalbaik mereka.

Mereka pun menerima undangan untuk mengunjungi kediaman si pria dan menyuruh Ushiwaka pulangsendirian. Ushiwaka, yang tidak sanggup menaklukkan gejolak rasa ingin tahunya, justrumenyeberangi jembatan menuju Rokuhara, tempat yang sudah lama ingin dilihatnya. Dia berkeliarandi sekitar Rokuhara hingga sore hari, terpesona melihat ukurannya, deretan rumah megah yang berdirimengapit jalan nan luas, banyaknya gang yang bercabang dari jalan utama, kereta-kereta dan parapejabat dengan kimono beraneka warna, dan entah seberapa banyak samurai yang melewatinya didepan kediaman Kiyomori. Kota yang tengah berkembang ini adalah tempat tinggal musuh ayahnya!

Merana dan kesepian, Ushiwaka pulang, hingga dia tiba-tiba roboh dan menangis tersedu-sedu ditengah Jembatan Gojo. Di tempat inikah ayahnya, Yoshitomo, dan saudara-saudaranya menghadapikekalahan mereka? Konno-maru telah berkali-kali menceritakan rangkaian peristiwa pada hari yangmenentukan itu. Dan saat berdiri di sana, menatap permukaan air, Ushiwaka diterpa oleh kesadaranbahwa dia adalah putra Genji Yoshitomo. Dengan gigi terkatup, dia menggumam, “Ayah, aku sudahdewasa sekarang. Putramu ini sudah enam belas tahun. Aku akan membalaskan dendam Ayah. Hari itusudah dekat.”

Ketika Ushiwaka mengakhiri renungannya untuk pulang, seseorang menghadangnya. Ushiwakaberusaha melewatinya, namun pria itu tiba-tiba merentangkan kedua tangannya dan berlarimenyongsongnya.

‘Tunggu! Jangan bergerak, Rindo!”

“Apa maumu? Siapa kamu?”

“Aku?” pria itu menyeringai. “Semua geisha di ibu kota ini mengenalku. Namaku Ular … janganpernah melupakannya!”

“Itu tidak berarti apa-apa bagiku. Aku sedang terburu-buru, lepaskan aku!”

“Hei … ” Ular mencengkeram erat-erat mantel Ushiwaka. “Aku punya urusan denganmu. Kau laki-laki, bukan?”

‘Tentu saja tidak …. Lepaskan aku!”

“Ayolah, aku sudah cukup mengenal geisha untuk mengetahui tipuanmu!”

“Lepaskan aku! Aku akan menjerit kalau kau tidak melepaskanku!”

“Jadi, kaupikir aku akan menculikmu, setan kecil? Aku akan memberitahumu siapa dirimu yangsesungguhnya …

Ushiwaka!”

“Kau tidak bisa menyanggahku, ya?”

“Itu tuduhan yang salah, aku Rindo … seorang geisha!”

“Seorang geisha, ya? Dari Gunung Kurama? … Kau adalah putra sulung Tokiwa. Kalau tidak,mengapa aku sering melihatmu berkeliaran di Jalan Pertama?”

Ular menyambar bahu Ushiwaka dan mendorongnya ke arah Rokuhara.

“Ular benar, bukan? Ikutlah bersamaku sekarang.

Mengapa kau ketakutan begitu? Kita akan pergi ke rumahku,” kata Ular, terdorong maju denganmantel di tangannya karena Ushiwaka mendadak mengelak dan menjatuhkan diri ke tanah.

“Kurang ajar!” Ular mengumpat ketika Ushiwaka menendang kakinya. Dalam sekejap, Ushiwaka telahbangkit dan lari dari sana.

“Sekarang aku yakin bahwa kau memang Ushiwaka, dan aku akan menangkapmu!” seru Ular,berusaha berdiri dan mengejarnya. Derap kakinya bergema di sepanjang jembatan selama diamemburu sosok kecil itu. Sebuah pekikan terdengar setibanya Ular di ujung jembatan.

Sesuatu berkelebat di bawah cahaya bulan. Kesunyian menyusul. Tanpa disertai kepalanya, tubuh Ularterhuyung-huyung beberapa langkah dan roboh ke tanah.

o0odwkzo0o

Ushiwaka terbangun dari tidurnya yang nyenyak dan memandang ke sekelilingnya. Di sampingnya,sebuah patung besar menjulang tinggi hingga langit-langit. Dia

mendadak teringat tentang Ular dan pertemuan mereka semalam. Satu demi satu, dia menatap seluruhisi ruangan yang menyerupai gudang itu, pada patung-patung besar dan kecil yang mengelilinginya.Dia mengenali Asura, sang Dewa Perang; para dewa pemarah; Dewa Angin dan Petir, dan bahkanKannon yang tersenyum bijaksana.

Seketika itu, dia mengira dirinya tengah berada di gudang harta sebuah kuil; kemudian, dia teringatbahwa seseorang telah membawanya kemari dan dia tertidur.

Sebuah suara menggugahnya, dan dia menoleh. Dilihatnya Kowaka sedang bangkit dari salah satusudut yang dipenuhi oleh berbagai macam perkakas dan peralatan melukis.

“Apakah kau sudah bangun, Ushiwaka?” tanya Konno-maru.

“Kau tidak memanggilku ‘Rindo* pagi ini, ya?”

“Kau sudah tidak memerlukan panggilan itu. Dan kau boleh kembali memanggilku ‘Konno-maru’.”

“Apa yang telah terjadi?”

“Kita tidak akan kembali ke daerah hiburan lagi.”

“Di manakah kita saat ini?”

“Kita ada di bengkel seorang perajin patung Buddha.”

“Wah?”

“Kau mungkin akan cemas jika aku tidak

memberitahukan yang setepat-tepatnya kepadamu. Otoami, seorang murid Unkei yang termashyur,tinggal di sini.

Beliau telah selama bertahun-tahun bekerja di timur laut untuk membuat patung bagi Hidehira, dan

karena itulah Otoami mengenal baik Kichiji. jadi, kau tidak perlu mengkhawatirkan keberadaanmu disini.”

“Di manakah letak rumah ini?”

“Tidak jauh dari Shirakawa.”

“Kalau begitu, tempat ini tidak jauh dari Jalan Pertama, bukan?”

“Ushiwaka … ”

“Ya?”

“Kau nyaris celaka tadi malam, bukan?”

“Ya, jika tidak ada kau dan pedangmu … ”

“Aku tidak ingin mengingatkanmu pada peristiwa itu, tapi kurasa Ular sudah melaporkan tentangdirimu kepada Heik6. Berkeliaran di luar sama saja dengan menantang bahaya.”

“Bagaimana kau bisa tiba di Jembatan Gojo dalam sekejap mata?”

“Kedua kakak beradik itu tiba di rumah dan mengatakan bahwa mereka meninggalkanmu di salah satusudut pasar di Jalan Kelima Begitu mendengarnya, aku langsung merasa bahwa kau sedang beradadalam bahaya karena baru pagi itu si perajin genderang memberiku peringatan tentang dirimu.”

Ushiwaka tidak berkomentar apa-apa tentang hal ini, dan Konno-maru melanjutkan, “Aku langsungmencarimu ke Jalan Pertama, namun kau tidak ada di sana. Kupikir kau mungkin masih ada di JalanKelima, dan takdirlah yang tentunya membawaku ke Jembatan Gojo tepat pada waktunya.”

“Dan kita bersembunyi di sini setelah malam larut, bukan?”

“Ya, apakah tidurmu nyenyak?”

“Ya, tapi aku mencemaskan nasib kedua kakak beradik itu.”

“Kichiji sudah memberi tahu mereka tentang apa yang harus mereka lakukan jika masalah terjadi. Akusudah memperingatkan mereka semalam, jadi mereka mungkin sudah meninggalkan Horikawa saatini.”

“Ke manakah mereka pergi?”

“Mereka mungkin akan bersembunyi di desa dan kemudian berangkat ke timur laut Kichiji akanmenjamin keselamatan mereka. Sementara itu, bagaimanapun, kau berada dalam bahaya besar …setidaknya hingga kita tiba di timur.”

“Apakah aku akan segera berangkat ke timur laut?”

“Melihat keadaan saat ini, sebaiknya kau tidak tinggal lebih lama lagi di ibu kota. Di dalam suratnya,Kichiji mengatakan bahwa dia akan sesegera mungkin menjemputmu.”

“Dan hingga saat itu tiba?”

“Kau akan bersembunyi selama beberapa hari di sini.

Kau harus bersabar hingga Kichiji datang untuk menjemputmu, tapi itu tidak akan lama.”

Ketika terjaga setiap pagi, Ushiwaka menatap jendela bengkel yang tinggi dan melihat langit darisana.

Kemudian, dia akan mengeluh kepada dirinya sendiri. “Oh, menyebalkan! Hingga kapankah aku harusmenunggu di sini?”

Dia gelisah karena harus melalui setiap hari dengan cara yang sama, di tengah patung-patung yangmengerikan.

Kemudian, pada suatu malam di bulan Maret ketika pohon-pohon plum tengah berbunga, badai besarmenerpa atap

bengkel. Deru angin kencang membangunkan Ushiwaka.

Bantalnya basah, dan dia mendengar air menetes-netes dari patung-patung di sekelilingnya. Dia dudukdan menajamkan pendengaran. Alam sepertinya sedang melampiaskan kemarahannya. Ushiwakasendirian di sana karena Konno-maru, yang meninggalkan bengkel bersama Otoami maJam itu, belumkembali. Seketika itu juga, terlintaslah di benaknya bahwa malam ini adalah waktu yang tepat untukmelaksanakan rencana yang telah lama disusunnya. Dia bangkit dari kasurnya dan meraba-raba pintu.Terkunci. Konno-maru atau Otoami mengunci pintu itu dari luar, menjadikannya tawanan di sana!Pikiran ini mendorong seluruh nalurinya untuk memberontak. Konno-maru, para Tengu … merekasemua … selalu mengatakan kepadanya bahwa segalanya bergantung kepada Kichiji.

Untuk apa dia harus memedulikan Kichiji! Siapakah Kichiji sehingga bisa mengatur apa yang bolehatau tidak boleh dilakukannya? Sekaranglah saat bagi Ushiwaka untuk menunjukkan tekadnya kepadaKichiji, bahwa dia akan menemui ibunya terlebih dahulu ….

Ushiwaka memanjat salah satu patung dan meraih jendela. Angin dan hujan menerpa wajahnya. Diamenarik napas dalam-dalam dan melompat ke luar. Kegelapan yang pekat menyelimutinya ketika diaberlari ke arah Jalan Pertama.

o0odwkzo0o

Angin mengoyak teritis dan mengguncang kerai-kerai di rumah tua itu. Tokiwa berdoa agar hujanlekas reda karena gemuruh sungai meresahkannya dan menyebabkannya sulit tidur. Diamenyumpalkan selimut ke telinganya untuk meredam lolongan angin. Kali ini, dia merasa yakin telahmendengar bunyi gaduh di ujung lorong. Bunyi itu terdengar berkali-kali; Tokiwa akhirnyamenyibakkan

selimutnya dan menoleh ke arah Yomogi, yang tidur di sampingnya.

Kemarin adalah 3 Maret … Hari Festival Boneka … dan Tokiwa telah menata beberapa boneka kertasdan lempung di kamarnya. Yomogi bertandang ke rumahnya, membawakan seikat bunga persik danpenganan manis yang dipersiapkannya sendiri. Mereka mengobrol hingga larut malam, ketika badaimemaksa Yomogi untuk menginap.

Yomogi juga terbangun, bergerak-gerak dengan gelisah di kasurnya.

“Yomogi … bunyi apakah kira-kira itu?”

“Bunyi yang aneh. Bisa saja angin. Saya juga terganggu karenanya. Saya akan memeriksanya,” jawabYomogi, bangkit dari kasurnya dan menyalakan lentera. Api berkelap-kelip liar. “Sungguh anehkarena angin terus-menerus menerobos masuk ke rumah.”

Bayangan Yomogi, yang sedang berjalan dengan hati-hati di lorong dengan membawa lentera,berkelebatan liar.

Tokiwa duduk tegak di kasurnya. Sementara itu, Yomogi melangkah di lorong yang panjang danberhenti di setiap belokan, setiap kali merasa tertekan oleh kegelapan yang meliputinya; bunyi tetesanair hujan mendadak mengusiknya; sebuah pintu yang menghadap ke sungai terbuka dan sesosok orangberdiri di keremangan ambang pintu.

“Apakah kau pelayan di sini?” tanya sosok itu.

“Ya.” jawab Yomogi. “Aku sedang menemani mantan nyonyaku.”

Ketika Yomogi menghampiri pintu, api lenteranya berkedip dan padam.

Yomogi menyadari bahwa sosok itu adalah salah seorang prajurit Heikt yang bertugas menjaga rumahini setiap malam.

“Apakah kau melihat seseorang?” tanya prajurit itu.

“Tidak, tidak seorang pun,” jawab Yomogi.

“Pasti anginlah yang menyebabkan bunyi berisik itu, tapi aneh juga bahwa pintu ini bisa terbuka.”

“Ya, segala sesuatu di sini sepertinya copot gara-gara angin.”

“Itu benar. Mengapa kau masih terjaga di malam selarut ini?”

“Aku tidak bisa tidur gara-gara keributan itu … angin yang menerobos masuk ke rumah.”

“Tapi badai ini sudah hampir reda.”

“Ini malam yang buruk bagi kaitan yang harus berjaga di luar sana, ya?”

“Kehidupan memang berat, hanya itu yang bisa kukatakan. Lagi pula, banyak kejadian janggal di jalanKelima dan Horikawa akhir-akhir ini sehingga kita harus selalu membuka mata.”

“Ada apa di Jalan Kelima dan Horikawa?”

“Ada banyak desas-desus tentang iblis Tengu dan kejahatan mereka …. Kebanyakan adalah kasuspenjarahan rumah, tapi aku tidak semestinya membicarakan tentang ini. Lebih baik kau menguncipintu dan tidur. Sebentar lagi pagi datang.”

Yomogi mendengarkan langkah kaki prajurit itu menjauh; kemudian, dia menutup pintu dan meraba-raba jalan untuk kembali ke kamar. Sesuatu yang hangat dan lembut mendadak menyentuhnya dan,seketika itu, darahnya seolah-olah membeku. Dia hendak menjerit namun berhasil menahan diri.“Siapa … siapa di sana?”

tanyanya.

Yomogi terlonjak kaget ketika melihat sebuah gerakan di dekat dinding.

“Tolonglah … ” seseorang berkata dan memeluk Yomogi.

Yomogi merasakan kelembutan pipi seseorang di pipinya

“Ibu?” sebuah bisikan parau terdengar.

Yomogi terkesiap. “Siapa … siapa kamu?”

“Ushiwaka … ini Ushiwaka, Ibu!”

“Tidak, tidak! Aku bukan ibumu. Bukan ibumu,”

Yomogi mengulang-ulang jawabannya, berusaha membebaskan diri dari pelukan Ushiwaka.Kemudian, sesuatu menyentuh bahunya dan dia tersadar. Yomogi meloloskan diri dan berlari disepanjang lorong.

“Nyonya, Nyonya … Ushiwaka!” bisiknya dengan napas terengah-engah ke telinga Tokiwa.

“Ya?” jawab Tokiwa dengan tenang.

“Tunggu sebentar, Nyonya, saya akan menyalakan lentera.”

“Tidak, Yomogi, jangan sekarang. Para penjaga akan tahu.”

“Itu benar, tapi … bagaimana kalau sedikit saja?”

“Jangan nyalakan lentera … aku sudah lama memikirkan apa yang akan terjadi jika aku bisa bertemukembali dengan putraku. Tidak … pikiran itu membuatku ketakutan. Tapi, ini bukan mimpi, dan diabenar-benar ada di sini!”

“Ushiwaka, di manakah dirimu?”

“Di sini, aku di sini! Di sini, Ibu!”

Isak tangis terdengar dari tengah kegelapan.

“Ushiwaka, kau sudah sangat besar!” “Ya … ”

“Surat-surat dan pesan-pesanku sudah terkirim ke Gunung Kurama, bukan?” “Ya.”

“Apa lagi yang bisa kukatakan kepadamu, karena pada musim semi ini kau sudah berumur enam belastahun.

Sudah menjadi seorang pria dewasa. Jika kau masih tinggal di biara, sebagai ibumu, aku punyabeberapa petuah untukmu. Ini adalah doaku bagi putraku ….Tetapi, tidak peduli sekhusyuk apa punkita memanjatkan doa, hanya sedikit saja yang akan terjawab. Kau memanggilku Ibu, padahal sungguhkecil peranku di dalam kehidupanmu.”

“Tidak, tidak … ” Ushiwaka menyanggah, memeluk Tokiwa dan membenamkan wajah kepangkuannya.

“Bukan salah Ibu jika keadaan kita menjadi seperti ini. Ini semua gara-gara Heik6 … Kiyomorilahyang bersalah!”

Tokiwa tercekat; wajahnya yang pucat tertunduk ke bahu Ushiwaka, dan putranya mendongak,menatapnya dalam kegelapan dan mengatakan:

“Ibu, itu benar, bukan? Aku berhasil mengelabui mereka dan melarikan diri. Aku melakukannyasecara sadar. Ibu berharap aku akan menjadi seorang biksu, tapi aku adalah putra Yoshitomo danseorang samurai. Bagaimana

mungkin aku menjadi yang lain? Tidak ada tempat bagi seorang pun yang berusaha kabur dari dirinyayang sejati.

Di manakah kehidupan semacam itu mungkin berjalan?

Apakah beda antara kehidupan di sini dan di kuil paling terpencil sekalipun, tempat semua orangmenjadi budak Heike, yang takut dan patuh kepada mereka?”

“Ampunilah aku, Ibu. Aku tidak akan bisa memenuhi keinginan Ibu. Tetapi, aku adalah putraYoshitomo dan tidak bisa menjadi apa pun selain samurai. Aku harus memastikan agar nama Genjikembali dihargai. Sebentar lagi aku akan menjadi seorang pria dewasa. Kejayaan Kiyomori tidak akanberlangsung lama.”

Tokiwa mendengarkan ucapan Ushiwaka dengan perasaan hancur lebur. Semua orang mengetahui

tentang kemalangan yang menimpa Genji, namun hanya dia seoranglah yang mengetahui bahwaUshiwaka berutang nyawa kepada Heike Kiyomori. Kendati

begitu, dia tidak sampai hati untuk mengungkapkannya kepada putranya. Ini akan tetap menjadirahasianya.

Karena cemas, Yomogi tidak bisa duduk tenang dan terus-menerus mengintip ke lorong untukmeyakinkan diri bahwa tidak ada orang di sana. Badai telah reda, dan langit mulai terang. Kokok ayamjantan di kejauhan menambah kegelisahannya.

“Bukankah sekarang sudah saatnya bagi Ushiwaka untuk pergi? Fajar sudah hampir merekah,”bisiknya kepada Tokiwa. Keheningan menyusul. Di bawah cahaya temaram yang menerobos darilubang-lubang udara kecil di atas jendela, Yomogi melihat Ushiwaka terkulai di dalam pelukanibunya, seolah-olah sedang tertidur nyenyak.

Enggan mengganggu mereka, Yomogi berpaling selama

beberapa waktu. Kemudian, dia kembali berbisik, kali ini dengan lebih tegas:

“Nyonya … sudah pagi.”

Ushiwaka segera melepaskan diri dari pelukan ibunya.

“Sudah waktunya bagiku untuk pergi ….Aku akan kembali kemari bersama sepasukan samurai Genjiuntuk menjemput Ibu.”

‘Tidak, lebih baik lagi … ”

“Apa kata Ibu?”

“Jagalah dirimu baik-baik. Hanya itu pintaku.”

“Tentu saja. Jagalah kesehatan Ibu hingga kita bertemu lagi.”

“Untuk itulah aku hidup, Ushiwaka. Ingatlah bahwa dalam menentukan kebenaran dan kesalahan, kauharus menggunakan akal sehatmu. Kau juga harus meneladani orang-orang yang paling kaukagumi;akan ada banyak orang yang meremehkanmu, dan sejarah pertumpahan darah yang bodoh danmengerikan akan selamanya terulang. Sebagai seorang samurai, ingatlah bahwa kau harus selalumencintai dan melindungi mereka yang lemah dan tertindas, dan namamu pun akan selamanyasemerbak.”

“Aku mengerti, Ibu. Aku tidak akan pernah melupakan nasihat Ibu.”

“Dengan cara apa lagikah kau bisa memberikan penghormatan kepada ayahmu, Yoshitomo, selainmenjadi seorang samurai yang gagah berani dan bijaksana? … Lihat Yomogi … matahari sudahterbit!”

“Tuan Muda,” kata Yomogi, melambai kepada Ushiwaka, “bagaimanakah Anda akan pergi dari sini?”

“Jangan khawatir. Aku akan pergi seperti ketika aku datang.”

“Tapi, baju Anda basah kuyup! Bagaimana mungkin Anda pergi dalam keadaan seperti ini?”

“Keadaanku tidak pernah sebaik ini waktu masih tinggal di biara. Aku tidak mempermasalahkan hujanatau angin, tapi … ” Ushiwaka mendadak menoleh kepada Tokiwa dengan ekspresi memohon …”berikanlah salah satu boneka Ibu kepadaku sebagai kenang-kenangan,” katanya, menunjuk salah satuboneka, yang buru-buru diserahkan oleh ibunya kepadanya. Ushiwaka tersenyum dan melesat dilorong, lalu melompati langkan dan menghilang di antara pepohonan. Sejenak kemudian, dia telahberdiri di atas tembok yang berbatasan dengan Sungai Kamo. Ushiwaka menoleh untuk menatapibunya sebelum lenyap sesaat kemudian.

Ushiwaka berdiri di bagian sungai yang dangkal, lalu berenang di bagian yang dalam. Dia adalahseorang manusia merdeka sekarang. Dia tidak bergantung kepada siapa pun. Konno-maru, Kichiji,Tuan Hidehira … tidak seorang pun dari mereka berarti apa-apa baginya. Dia hanya bergantungkepada dirinya sendiri. Ushiwaka terdiam di tengah sungai dan memandang ke sekelilingnya; mataharibaru saja terbit di balik Perbukitan Timur. Dia sedang menoleh sekali lagi ke rumah tua di JalanPertama ketika mendengar sebuah teriakan dari suatu tempat di tepi sungai. Ushiwaka mendongak dantersenyum ketika melihat sesosok pria berlari ke arahnya. Dia adalah Konno-maru, yang terengah-engah dan berkeringat.

“Tuan Muda, apa yang terjadi?” katanya sambil menarik dan mencengkeram lengan Ushiwaka hinggaremaja itu mengernyitkan wajah kesakitan. “Kau tidak tahu betapa

khawatirnya kami. Saat aku datang bersama Kichiji, bengkel itu kosong.”

“Apakah Kichiji sudah datang?”

“Bahkan Kichiji pun kebingungan. Dari mana sajakah kamu?”

“Aku menemui ibuku.”

“Apa! … ibumu?”

“Apa salahku?”

“Risikonya terlampau besar.”

“Aku melakukannya karena kau tidak menepati janjimu.”

“Kau seharusnya tidak bertindak segegabah itu.

Bagaimana jika sesuatu terjadi padamu?”

“Ya, itulah yang terus-menerus kaukatakan kepadaku …

bahwa keselamatanku jauh lebih penting daripada semua hal lainnya … lebih daripada keinginankuuntuk menemui ibuku. Apakah menurutmu nyawaku akan berarti jika aku tidak bisa bertemu denganbeliau?”

“Aku tidak akan mengatakan apa-apa lagi tentang itu.

Yang jelas, Kichiji panik karenamu. Lebih baik kita bergegas pulang ke rumah Otoami.”

Begitu mendekati rumah Otoami, mereka melihat Kichiji berdiri di dekat seekor kuda barang digerbang belakang.

Seperti biasanya, dia ditemani oleh sepasukan pelayannya, seolah-olah hendak melakukan perjalananpanjang.

“Kita akan berangkat sekarang juga,” katanya kepada Ushiwaka dengan tegas. “Kau akan menunggangkuda karena kau masih kecil.” Kemudian, Kichiji menoleh kepada Konno-maru. “Konno-maru, kitaberpisah di sini

seperti yang telah kaujanjikan. Aku akan bertanggung jawab atas keselamatan Ushiwaka. Yakinlahbahwa dia akan aman bersamaku.”

“Aku yakin bahwa Anda akan sangat berhati-hati, namun perjalanan ini panjang dan Ushiwaka belumberpengalaman, jadi saya harap Anda bisa memastikan bahwa tidak ada masalah yang menimpanya.”

“Kau tidak perlu mengkhawatirkannya. Aku siap mempertaruhkan nyawaku untuk menjaminUshiwaka tiba di tempat tujuannya dengan selamat. Tidak ada yang perlu ditakuti setelah kamimelewati Gunung Ashigara.

Selebihnya akan mudah.”

Dari atas pelananya, Ushiwaka menoleh kepada Konno-maru. “Konno-maru, kau hendak ke mana?”tanyanya dengan sedih.

“Aku akan kembali ke perbukitan dan memberi tahu teman-teman kita bahwa kau telah berangkatKami sudah berjanji kepada Kichiji untuk tetap tinggal di ibu kota setelah kau pergi bersamanya. TuanFujiwara Hidehira akan melindungimu. Pada suatu hari nanti, setelah kau tumbuh dewasa dan Heik6lebih lemah, kita semua akan bertemu kembali di timur.”

Ushiwaka menunduk dalam-dalam, menahan air matanya. “Ya, Konno-maru, kita pasti akan bertemukembali. Suatu hari nanti, kau akan mendapatkan penghargaan atas kesetiaanmu. Sampaikanlah inikepada yang lainnya.”

Kichiji menarik tali kekang kuda Ushiwaka. “Baiklah, Konno-maru, kita akan segera berjumpa lagi.Selamat tinggal, selamat tinggal!”

Mereka bergerak menuju wilayah perbukitan di dekat Shirakawa, dan kuda yang ditunggangiUshiwaka tiba-tiba berlari, seolah-olah tidak sabar lagi untuk melewati Jalur Shiga menuju timur.

LATAR BELAKANG SEJARAH THE HEIKE

STORY DAN PENULISNYA

Hingga beberapa waktu silam, ibu kota sekaligus pusat perkembangan peradaban Jepang bukan Tokyo

melainkan Kyoto, tempat Istana Kekaisaran berdiri dari 794 – 1868.

Dibatasi oleh pegunungan di sebelah utara dan timur, dan Sungai Kamo yang mengalir di sepanjanggaris batas timurnya, Kyoto merupakan pusat pemerintahan oleh para bangsawan sejak masa awal kotaitu berdiri hingga abad kedua belas. Tidak terhitung lagi banyaknya kuil, pagoda, dan tempatpemujaan berdiri di tengah hutan lebat di berbagai bukit dan puncak gunung atau di lembah-lembahnya; sejumlah gerbang megah, di antaranya adalah Gerbang Rashomon di sebelah selatan,membuka jalan menuju wilayah ibu kota yang berbentuk persegi dan jalan-jalan protokolnya, yangsaling bersimpangan dengan jarak teratur. Di luar ibu kota terdapat desa-desa yang permai, denganbanyak sekali pemandangan indah, yang menjadi tempat pilihan bagi kalangan istana untukbertamasya dan menyaksikan pacuan kuda dengan latar belakang Sungai Kamo.

Pada sekitar masa ketika ibu kota dipindahkan dari Nara menuju Kyoto, pemerintahan pusatmemegang kendali seluruh wilayah barat Jepang sekaligus provinsi-provinsi di timur hingga sejauhkota yang saat ini dikenal dengan nama Tokyo, dan para bangsawan dari klan Fujiwara mulaimemegang peranan penting di dalam pengambilan

keputusan-keputusan negara. Dengan cara mengembangkan sebuah sistem pemerintahan yangberpusat pada kaisar, dan dengan menduduki semua jabatan penting, klan Fujiwara segera menjadipenguasa negara. Untuk mengikat hubungan dengan trah kekaisaran, mereka menyerahkan putri-putritercantik mereka untuk dipersunting oleh para kaisar dan pangeran sehingga keturunan merekalahyang nantinya menduduki singgasana. Lebih jauh lagi, klan Fujiwara menjaga agar tampuk kekuasaantetap berada di tangan mereka dengan tanpa segan-segan menggulingkan seorang kaisar danmenggantikannya dengan seorang keturunan Fujiwara. Bahkan ada masa ketika seorang kaisar kecilduduk di singgasana sementara dua orang kaisar terguling … seorang mantan kaisar dan seorangkaisar kloister … tetap berkuasa.

Karena wewenang pemerintahan pusat menjangkau provinsi-provinsi terjauh, kekayaan Fujiwara punterus bertambah dan para bangsawan hidup bergelimang kemewahan dan kekayaan yang berlimpahruah. Kesenian berkembang pesat dan Fujiwara menjadi pengayom bagi golongan seniman yangtumbuh subur di lingkungan Istana.

Dan pada masa kejayaan mereka di awal abad kesebelas inilah sebuah novel berjudul Kisah Genjiditulis oleh seorang wanita bangsawan, menggambarkan keanggunan dan kemeriahan kehidupan parabangsawan di puncak kejayaan mereka.

Kurang dari seabad setelah Kisah Genji ditulis, akhir kejayaan Fujiwara mulai bisa diperkirakan.Begitu pengaruh mereka memudar, timbullah perebutan kekuasaan di antara mereka sendiri sehinggagejolak yang terjadi di istana bisa dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat, dan di tengah kekacauanitu, beberapa kaisar bahkan berupaya untuk memperkuat kekuasaan mereka.

Sementara itu, lembaga agama Buddha, yang berkembang pesat di bawah pembinaan Fujiwara danmendapatkan kekayaan besar dalam bentuk tanah bebas pajak, semakin korup. Kuil-kuil dan biara-biara besar melatih para pendeta dan biksu mereka untuk bertempur, menggalang pasukan bayaranuntuk memperkuat pertahanan mereka, dan memaksakan berbagai kebijakan kepada pemerintah. Kuilyang terkuat pada masa itu adalah Enryakuji di Gunung Hiei, di sebelah timur laut ibu kota.

Kriminalitas, gejolak, dan kemarahan masyarakat marak di ibu kota sejak awal abad kedua belas. Klan

Fujiwara, yang sudah tidak memiliki wewenang kecuali yang bisa mereka rebut secara paksa, berniatuntuk menarik dukungan dari klan Heik6 atau Genji. Kedua klan samurai tersebut, yang tidakmemiliki keterkaitan apa pun dengan istana, hingga saat itu bertugas mengelola wilayah kekuasaanFujiwara di provinsi-provinsi yang jauh atau dipekerjakan sebagai pengawal di Istana; merekakemudian dipanggil untuk saling mengadu domba faksi-faksi di dalam klan Fujiwara sendiri,meredam gejolak masyarakat, dan menengahi pertikaian bersenjata di antara kuil-kuil dan biara-biarabesar.

Pada pertengahan abad itu, sebuah pertikaian militer besar-besaran terjadi, dan klan Heik6, di bawahpanglima muda mereka, Kiyomori, mengakhiri dominasi klan Fujiwara sekaligus menjatuhkansaingan mereka, klan Genji. Kendati Heikt telah menggantikan Fujiwara, sama seperti pendahulunya,Kiyomori gagal untuk merumuskan sebuah sistem pemerintahan dan perundang-undangan baru. Halini berujung pada perebutan kekuasaan antara Heike dan Genji, dan pada seperempat abad terakhir,Heike bertekuk lutut di hadapan Genji.

Tetapi, kejayaan Genji juga tidak bertahan lama ataupun berhasil meredam gejolak yang terjadi diseluruh Jepang, karena pada awal 1300-an, klan Genji ditumbangkan oleh pertikaian yang terjadi didalam tubuh mereka sendiri. Dan, sementara semua itu terjadi, kaisar dan para bangsawan berupayauntuk merebut kekuasaan dari klan-klan samurai yang senantiasa saling berseberangan.

Seluruh Jepang dirundung konflik pada awal abad keenam belas. Para panglima kecil di berbagaiwilayah saling melawan hingga seluruh negeri dilanda perang saudara. Kedamaian baru terasa padaakhir abad tersebut, dibawa oleh seorang jenderal bernama Tokugawa leyasu.

Dialah pelopor diktator samurai yang memerintah Jepang dengan tangan besi selama dua ratus limapuluh tahun …

hingga 1868, ketika persatuan antara Kaisar, beberapa orang bangsawan, dan beberapa klan samuraiberhasil merebut singgasana kembali. Kendati begitu, keberhasilan itu tidak mengakhiri ketimpangankekuasaan di antara unsur-unsur yang memungkinkan terjadinya Restorasi, dan gejolak itu terusberlanjut hingga 1945, ketika Jepang kalah dalam Perang Pasifik.

Ketika merenungi kembali sejarah Jepang, kita akan menyadari adanya keterkaitan yang begitu dekatantara era modern dengan abad kedua belas. Jepang hari ini masih mendapatkan pengaruh besar dariajaran Bushido, atau kode etik samurai, yang berasal dari kasta samurai. Kisah-kisah tentang parakesatria pria dan wanita dari abad pertengahan, yang disukai oleh anak-anak Jepang hingga saat ini,adalah kisah-kisah yang juga diperdengarkan pada masa lalu. Drama, Noh, Kabuki yang termasyhur,dan banyak legenda lainnya diturunkan dari mulut ke mulut, semuanya terinspirasi dari para pria danwanita dari abad kedua belas dan menjadi warisan kesusastraan rakyat

Jepang. Hampir bisa dikatakan bahwa tanpa memiliki pengetahuan tentang abad kedua belas,pemahaman kita mengenai Jepang dan berbagai cabang keseniannya tidaklah utuh.

Dari berbagai sumber yang membahas tentang periode itu, Heike Monogatori (The Heik6 Story atauHikayat Heike), sebuah kisah epik yang menggambarkan keadaan pada awal abad ketiga belas, tidaklama setelah tumbangnya Heik6, bertahan sebagai sebuah dokumen yang penting bagi sejarah dansalah satu karya sastra besar dari masa itu.

Tidak diragukan lagi bahwa kejatuhan Heik6 berkesan begitu mendalam di hati setiap pendudukJepang karena puisi panjang yang menceritakan tentang akhir tragis klan Heik6 itu dinyanyikan diberbagai sudut negeri oleh para penyanyi balada yang tampil dengan kecapi mereka. Dan hinggaberabad-abad sejak pertama kali dilantunkan, lagu itu menjadi salah satu romansa kesukaan pendudukJepang, yang menjadikan para pahlawan di dalamnya sebagai idola.

Eiji Yoshikawa mulai menulis The Heiki Story tidak lama setelah Perang Pasifik berakhir, karenaakhir tragis dari perang tersebut mengingatkannya pada kisah yang terkandung di dalam Heik6Monogatori dari tujuh abad silam, dan di dalam buku ini, dia mengangkat tema tentang kepercumaandan kebejatan perang, juga nafsu untuk meraup kekuasaan. Penulis menjadikan Kiyomori sebagaisalah seorang tokoh utamanya, namun The Heiki Story, berbeda dari cerita-cerita pendahulunya, lebihdari sekadar kronik tentang kehebatan para kesatria dan putri, karena kisah yang disampaikannya lebihdari sekadar rangkaian peristiwa yang tercatat di dalam epik abad pertengahan, dan kekalahan Heik6diceritakan terjadi setelah kematian Kiyomori, ketika seorang panglima Genji, Yoritomo, tampil

untuk memainkan sebuah peranan penting seperti yang terekam di dalam sejarah.

Penulis memperkenalkan tokoh-tokoh sejarah, begitu pula tokoh-tokoh khayalan di dalam novelnya,namun tidak seorang pun dari mereka menjadi pahlawan utama. Sejarah, atau rangkaian peristiwayang tidak terduga, adalah protagonis yang sesungguhnya dalam The Heike Story, mencakupsegalanya, dan para tokoh besar yang ada di dalam kisah itu hanyalah sosok-sosok yang sejenakterselamatkan dari arus deras waktu, dan dengan interpretasinya sendiri, Mr. Yoshikawa mengawalipenuturan epik kuno yang diawali dengan “Lonceng kuil menggemakan betapa mudahnya segalasesuatu berubah.

Warna-warni bunga menegaskan kenyataan bahwa apa pun yang berkembang dengan indah akanmembusuk di kemudian hari. Kebanggaan hanya sejenak bertahan, bagaikan mimpi di malam musimsemi. Dalam waktu singkat, kedigdayaan akan surut, dan segalanya akan menjadi debu yang tertiupangin.”

Dalam melakukan interpretasi sejarah untuk The Heike Story, Mr. Yoshikawa tidak hanyamempelajari kesusastraan dari abad kedua belas dan ketiga belas tetapi juga sejumlah buku harian,surat, kronik, dan gulungan gambar, yang memberikan sumber pengetahuan dan detail otentik dalampenyampaian kisah ini.

Mr. Yoshikawa menduduki tempat terhormat di jajaran penulis novel Jepang modern. Jika sebagianbesar dari mereka, kalaupun tidak semuanya, pada waktu tertentu di dalam karier mereka, pernahmendapat pengaruh dari kesusastraan Eropa, terutama dari penulis-penulis Rusia dan Prancis, Mr.Yoshikawa, disebabkan oleh situasi pada awal kehidupannya, tidak memiliki kesempatan untukbersinggungan dengan kesusastraan Barat, versi

terjemahannya sekalipun. Bacaan pada masa mudanya …

yang dilahapnya dengan rakus … adalah kisah-kisah klasik Jepang, dari masa kuno dan abadpertengahan, yang bisa ditemukannya di perpustakaan. Sebagai hasilnya, latar belakang dan teknikmenulisnya terbentuk secara eksklusif oleh tradisi sastra klasik Jepang, dan dari sanalah diamendapatkan model dan sumber pengetahuan.

The Heiki Story (Hikayat Heike), yang mulai ditulis oleh Mr. Yoshikawa pada 1951, belum sempat

dirampungkannya, namun lebih dari dua per tiga bagian dari proyek monumental ini telah selesaiditulis dan membentuk sebuah buku. Buku ini laris dan dibaca oleh berbagai kalangan, dan oleh parakritikus dianggap sebagai sebuah tonggak di dunia sastra Jepang modern.

Beberapa patah kata perlu ditambahkan berkaitan dengan terjemahannya. Akan lebih tepat jika bukuini disebut sebagai versi bahasa Inggrisnya, karena berdasarkan kesepakatan dengan penulisnya, TheHeiki Story telah banyak dimodifikasi agar lebih mudah dicerna oleh para pembaca non-jepang.Banyak hal yang signifikan dan menarik bagi pembaca Jepang, yang telah akrab dengan latar belakangsejarah kisah ini, dihilangkan dari versi terjemahannya; setiap bab telah dipadatkan dan sejumlahbesar sub-plot dan tokoh pembantu juga dihilangkan. Oleh karena itu, versi terjemahan ini bukansebuah kisah yang utuh dan tidak akan mampu menyampaikan kerumitan dan kekayaan versi aslinya.Kendati begitu, penerjemah dengan tulus berharap agar The Heike Story bisa memberikan kesempatanbagi pembaca non-jepang untuk mendapatkan kenikmatan membaca yang setara dan juga perkenalanpada Jepang dan penduduknya.

THE END

Document Outline

DAFTAR ISI

Bab I – PASAR

Bab II - PEREMPUAN GION

Bab III – PACUAN KUDA

BAB IV-SEORANG WANITA YANG BERMANDIKAN CAHAYA REMBULAN

Bab V – RUMPUT YANG TERINJAK-INJAK

Bab VI - BOCAH LELAKI YANG MEMBAWA AYAM SABUNGAN

Bab VII – SALAM PERPISAHAN DARI SEORANG SAMURAI

Bab VIII - BINTANG BEREKOR DI ATAS IBU KOTA

Bab IX – PARA PRAJURIT BIKSU DARI GUNUNG SUCI

Bab X – DUSTA

Bab XI - SEKELUARGA RUBAH DAN SEBUAH KECAPI

Bab XII -SABDA ALMARHUM

Bab XIII-ISTANA MATA AIR DEDALU

Bab XIV-PANJI-PANJI MERAH HEIKE

Bab XV-PANJI-PANJI PUTIH GENJI

Bab XVI-PEDANG DAN ANAK PANAH

Bab XVII-SUNGAI BERDARAH

Bab XVIII-ALUNAN SERULING

Bab XIX-SEBUAH KEDAI TEH DI EGUCHI

Bab XX-Perjalanan Ziarah ke Kumano

Bab XXI-Tuan Hidung Merah Sang Saudagar

Bab XXII-Jeruk Dari Selatan

Bab XXIII – PENCULIKAN KAISAR

Bab XXIV-IRAMA GENDERANG

Bab-XXV BADAI SALJU

Bab XXVI – BELAS KASIHAN

Bab XXVII – SEBUAH KAPEL DI ATAS BUKIT

Bab XXVIII-SANG IBU

Bab XXIX-PENGASINGAN

Bab XXX-SAKURA

Bab XXXI-GAGAK

Bab XXXII-JALAN PEDAGANG SAPI

Bab XXXIII-SEKUNTUM PEONI PUTIH

Bab XXXIV-SEBUAH PATUNG PERAK

Bab XXXV-RIBUAN BATANG LILIN

Bab XXXVI-SI PENYAIR PENGEMBARA

Bab XXXVII-SEORANG SAUDAGAR DARI TIMUR LAUT

Bab XXXVIII-TIGA BUAH MIMPI

Bab XXXIX-TABIB ASATORI

Bab XL-PERMATA LAUT

Bab XLI-WAFATNYA SEORANG KAISAR

Bab XLII-CAHAYA KEBENARAN

Bab XLIII-DUA ORANG GEISHA

Bab XLIV-HURU-HARA

Bab XLV-PEMBANGUNAN SEBUAH PELABUHAN

Bab XLVI-PENGASINGAN SEORANG BIKSU

Bab XLVII-GENJI AKAN BANGKIT KEMBALI

Bab XLVIII-IBLIS-IBLIS GUNUNG KURAMA

Bab XLIX-USHIWAKA MELARIKAN DIRI

Bab L-PERJALANAN KE TIMUR