bab i pendahuluan -...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
Komitmen organisasi selalu menjadi isu penting dalam dunia
kerja, baik dalam organisasi profit maupun organisasi non profit. Hal ini
penting sebab suatu organisasi akan menunjukan eksistensi dalam
menjalankan roda organisasi secara efektif dan efisien sangat ditentukan
oleh komitmen individu terhadap organisasi tersebut. Dengan demikian,
komitmen organisasi menjadi fenomena yang menarik untuk dikaji guna
mengetahui sejauh mana individu menyatakan komitmennya bagi
organisasi. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, maka pada bab ini
penulis akan menguraikan pentingnya komitmen organisasi yang
difokuskan pada komitmen pendeta bagi Gereja Protestan Maluku.
1.1 Latar Belakang
Pesatnya arus globalisasi memberikan dampak bagi peningkatan
kompleksitas tantangan serta munculnya persaingan yang lebih
kompetitif dalam berbagai bidang kehidupan manusia, salah satunya
adalah dalam bidang organisasi. Menurut Suwatno dan Priansa (2011),
salah satu dampak yang paling nyata adalah dunia kerja di Indonesia
berkembang dengan sangat pesat, baik dalam organisasi sektor formal
maupun informal. Kondisi ini menuntut setiap organisasi kerja di dalam
negeri untuk membenahi diri. Salah satu upaya yang dapat di lakukan
untuk memenangkan persaingan adalah dengan mengelola dan
mengembangkan sumber daya manusia secara tepat dan optimal.
2
Pada suatu kesempatan, Darwito (2008) menjelaskan bahwa
sumber daya manusia merupakan faktor yang sangat penting dan utama
sebagai penggerak dalam sebuah organisasi, baik organisasi dalam skala
besar maupun organisasi dalam skala kecil. Dengan kata lain, sumber
daya manusia dipandang sebagai unsur yang sangat menentukan
keberhasilan suatu organisasi untuk mencapai tujuannya. Hal ini
semakin dipertegas oleh Noermijati dan Risti (2010), bahwa
keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuan yang telah
ditetapkan tidak dapat dilepaskan dari peran sumber daya manusia
karena sumber daya manusia bukan hanya semata-mata menjadi objek
pencapaian tujuan, tetapi sekaligus menjadi pelaku untuk mewujudkan
tujuan organisasi. Dengan demikian, setiap organisasi termasuk
organisasi gereja harus mampu mengembangkan sumber daya manusia
sehingga dapat menghasilkan tenaga kerja yang berkualitas. Adapun
kualitas sumber daya manusia pekerja yang memiliki pengaruh yang
kuat terhadap kinerja organisasi adalah komitmen (Robbins, 2001).
Ada beberapa fenomena yang menarik terkait dengan komitmen
pegawai bagi organisasi gereja. Salah satunya adalah komitmen pendeta
bagi Gereja Protestan Maluku. Berdasarkan data Laporan Umum
Pelayanan dan Keuangan Persidangan Majelis Pekerja Lengkap (MPL)
Sinode GPM tahun 2013, menunjukan ada beberapa fenomena yang
nampak terkait dengan komitmen pendeta bagi GPM. Secara positif,
pada tahun 2013 semua pendeta yang telah diangkat sebagai pegawai
organik menyatakan kesedianya untuk melayani jemaat-jemaat di
berbagai tempat yang selama ini mengalami kekosongan karena terisolir.
Dengan kata lain, semua jemaat yang berada di berbagai pelosok daerah
telah dapat terlayani dengan baik. Lebih lanjut dikatakan bahwa secara
umum, para pendeta tidak menunjukan sikap penolakan terhadap SK
3
penempatan sekalipun wilayah pelayanannya berada jauh di daerah-
daerah pedalaman. Adanya kesediaan pendeta untuk melakukan
tanggung jawab pelayanan mengindikasikan bahwa pendeta memiliki
sikap komitmen bagi organisasi gereja. Hal ini berdampak positif bagi
kinerja organisasi yang dapat dilihat pada table 1.1 sebagai berikut:
Tabel 1.1
Data Pelaksanaan Program Pelayanan GPM Tahun 2013
NO DEP / NON DEP
JUMLAH REALISASI BELUM REALISASI
PROG KEG PROG % KEG % PROG % KEG %
1 Keesaan dan Hubungan Agama-Agama
16 53 14 87.5 41 77.36 2 12.5 12 22.64
2 PELPPEM 8 17 8 100 13 76.47 0 0 4 23.53
3 PIKOM 6 26 4 67 18 69.23 2 33 8 30.77
4 FINEK 7 15 4 57.14 12 80 3 42.86 3 20
5 RUMGA 1 15 1 100 10 66.67 0 0 5 33.33
6 LPJ 6 20 5 83.33 15 75 1 16.67 5 25
7 Balitbang 3 25 3 100 21 84 0 0 4 16
8 Ina Ama 1 7 1 100 4 57.14 0 0 3 42.86
9 LKAK Inahaha 1 9 1 100 9 100 0 0 0 0
10 Parpem 1 3 1 100 3 100 0 0 0 0
11 YPPK Dr. J. B. Sitanala
16 17 16 100 16 94.12 0 0 1 5.88
12 Yaperti 5 39 5 100 14 35.9 0 0 25 64.1
13 Tim Nyanyian Gerejawi
1 3 1 100 3 100 0 0 0 0
14 Percetakan 1 2 1 100 1 50 0 0 1 50
15 Rekomendasi MPL
66 51 77.28 15 22.72
16 Rekomendasi Sid. Sinode
38 35 92.11 3 7.89
Sumber: Laporan Umum Pelayanan dan Keuangan Persidangan MPL Sinode GPM tahun 2013
Data di atas menunjukan bahwa pada tahun 2013, berbagai
pogram pelayanan gereja yang ditetapkan berdasarkan visi dan misi
serta tujuan organisasi dapat terealisasi dengan baik, dengan persentase
4
untuk semua program pelayanan pada masing-masing departemen/non
departemen sebesar 57,14 % - 100 %. Kondisi ini tidak terlepas dari
peran dan tanggungjawab pendeta untuk terlibat dalam pelaksanaan
program-program pelayanan GPM sebagai manifestasi dari sikap
komitmen terhadap organisasi tersebut.
Fenomena lain yang berkaitan dengan komitmen pendeta bagi
GPM adalah para pendeta masih diwarnai oleh hal-hal yang bersifat
negatif. Data Laporan Umum Pelayanan dan Keuangan MPL Sinode
GPM tahun 2013 tentang problematika pelayan di jemaat menunjukan
bahwa, sebagian pendeta memiliki perilaku yang tidak sesuai dengan
peraturan organik GPM antara lain: sering meninggalkan jemaat dalam
waktu yang cukup lama (lebih dari 2 minggu sesuai dengan peraturan
organik GMP) bahkan tanpa melalui prosedur perijinan surat perintah
jalan (SPJ) dari pimpinan klasis setempat; ketidakmampuan untuk
bekerjasama dengan sesama rekan pendeta dan juga dengan para
pemimpin dalam masyarakat; perilaku yang tidak etis seperti kekerasan
dan umpatan; rendahnya komitmen untuk melayani dan belajar
melengkapi diri dengan berbagai pengetahuan dan peraturan-peraturan
gereja yang berlaku. Adanya penyimpangan perilaku menyebabkan
beberapa pendeta harus mendapatkan sanksi organisasi. Data
menunjukan bahwa pada tiga tahun terakhir terjadi peningkatan
pemberian sanksi bagi para pendeta. Berikut ini adalah data pendeta
GPM yang mendapatkan sanksi organisasi dari tahun 2010 s/d tahun
2013.
5
Tabel 1.2
Data sanksi organisasi GPM Tahun 2010 – 2013
Sanksi
Organisasi
2011 2012 2013
Nop. 2010 s/d Okt.
2011
Nop. 2011 s/d Sep.
2012
Jan s/d Sep.
2013
Skorsing
Pecat
5 orang
-
10 orang
1 orang
13 orang
-
Total 5 11 13
Sumber: Laporan Umum Pelayanan dan Keuangan Persidangan MPL Sinode GPM
tahun 2012 & 2013
Atas dasar data empirik yang menunjukan adanya komitmen
yang positif dan negatif, dapat dikatakan bahwa ada masalah yang
terkait dengan komitmen organisasi beberapa pendeta GPM yang
berkaitan dengan sikap dan perilaku yang menyimpang dari nilai-nilai
organisasi. Oleh sebab itu, komitmen organisasi merupakan isu penting
yang perlu dikaji lebih lanjut. Seorang pegawai yang memiliki
komitmen yang tinggi terhadap organisasinya ditunjukan dengan
memberikan usaha yang besar secara sukarela bagi kemajuan organisasi,
dan menunjukan komitmennya pada tujuan-tujuan dan nilai-nilai
organisasi, serta mempunyai kemungkinan yang lebih besar untuk
berpartisipasi demi kemajuan organisasi. Komitmen organisasi yang
dimiliki oleh seorang pegawai membuatnya merasa mempunyai
tanggung jawab besar dengan bersedia memberikan segala
kemampuannya sehingga timbulnya rasa memiliki organisasi. Rasa
memiliki yang kuat ini akan membuat pegawai bekerja lebih giat dan
menghindari perilaku yang kurang produktif, seperti perilaku tidak
disiplin dan lamban dalam menyelesaikan tugas. Selain itu, rasa
memiliki yang kuat ini akan membuat pegawai merasa berguna dan
nyaman berada dalam organisasi (Yuwono, 2005).
6
Pernyataan di atas didukung oleh penelitian dari Lee dan
Olshfski (Khan.,et al, 2010), bahwa komitmen organisasi menawarkan
janji yang patut dipertimbangkan dalam menggambarkan perilaku
positif. Selain itu, individu mengambil pekerjaan dengan
mengidentifikasi peran yang melekat pada pekerjaan yang ada pada
organisasi, sehingga mereka menjadi berkomitmen untuk melakukan
pekerjaan, dan berperilaku sesuai dengan harapan yang melekat pada
pekerjaan itu. Dengan demikian, komitmen merupakan suatu bentuk
loyalitas yang lebih konkrit yang dapat dilihat dari sejauh mana individu
mencurahkan perhatian, gagasan, dan tanggungjawab dalam upaya
mencapai tujuan organisasi (Alwi, 2001).
Adanya komitmen yang tinggi menunjukan kepatuhan bersedia
melakukan kebijakan organisasi, memiliki motivasi kerja yang tinggi,
dan kinerja yang positif (Meyer.,et al & Newstrom, dalam Olesia.,et al,
2013). Dengan demikian, komitmen pendeta bagi organisasi gereja
memberikan kontribusi yang produktif terhadap kinerja dan
produktifitas organisasi yang berkaitan dengan pelaksanaan program-
program pelayanan sesuai dengan visi, misi, dan tujuan gereja.
Pernyataan ini didukung oleh penelitian McIntos (Rimes, 2011), bahwa
komitmen pendeta bagi gereja berhubungan dengan tanggung jawab
pelayanan untuk tujuan, visi, dan nilai-nilai gereja dimana mereka
melayani. Komitmen menjadi penting bagi seorang pendeta dalam
membangun hubungan dengan staf gereja dan menghindari konflik yang
berpotensi menggangu keseluruhan visi dan pelayanan gereja.
Hal tersebut di atas mendorong penulis untuk melakukan
penelitian tentang komitmen pendeta bagi GPM dengan berbagai
pertimbangan antara lain; 1). Sebagai pegawai organik GPM, pendeta
bertanggungjawab penuh dalam pelaksanaan program-program
7
pelayanan sesuai dengan visi, misi dan tujuan GPM. 2). Tanggungjawab
tersebut ditunjukan lewat perilaku yang sesuai dengan ketentuan dan
nilai-nilai organisasi, memiliki keyakinan untuk tetap mengabdikan diri
secara utuh terhadap organisasi, serta kepatuhan bersedia melakukan
kebijakan organisasi sebagai wujud dari sikap komitmennya terhadap
gereja. 3). GPM akan menunjukan eksistensi dalam menjalankan roda
organisasi secara efektif dan efisien sangat ditentukan oleh komitmen
organisasi pendeta.
Ada berbagai dampak dari komitmen organisasi. Secara positif,
pegawai yang memiliki komitmen organisasi yang tinggi, yaitu pegawai
yang produktif sehingga pada akhirnya akan lebih menguntungkan bagi
organisasi (Greenberg & Baron, dalam Dewi, 2011). Ketika pegawai
memiliki komitmen organisasi yang tinggi, maka efektivitas organisasi
akan lebih tinggi (Arthur; Wood & De Menezes; Whitener, dalam
Nambudiri, 2012). Sementara itu, menurut Olesia.,et al (2013), orang-
orang yang berkomitmen biasanya akan memiliki catatan kehadiran
yang baik, menunjukkan kepatuhan bersedia untuk melakukan kebijakan
organisasi dan memiliki turnover yang lebih rendah. Demikian juga,
komitmen organisasi telah ditemukan memiliki dampak positif bagi
peningkatan motivasi dalam pekerjaan, kewarganegaraan organisasi,
serta kinerja yang lebih tinggi (Meyer.,et al; Newstrom; dan Wasti,
dalam Olesia, 2012). Pernyataan ini didukung oleh penelitian dari
Khan.,et al (2010); Fu dan Despane (2014), bahwa komitmen organisasi
memiliki dampak yang positif terhadap kinerja pegawai. Temuan ini
memberikan perhatian khusus bagi organisasi untuk lebih mendorong
peningkatan komitmen organisasi pegawai dalam menghadapi masalah
produktivitas dan peningkatan kinerja.
8
Sebaliknya, rendahnya komitmen pegawai bagi organisasi
menyebabkan sikap dan perilaku pegawai menjadi tidak baik dalam
pekerjaan sehingga berdampak pada kinerja yang buruk, dan rendahnya
motivasi kerja. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Boal dan Blau;
Martin dan Shore (Kumar & Eng, 2012), bahwa komitmen organisasi
pegawai yang rendah akan menyebabkan pekerjaan yang berhubungan
dengan sikap dan perilaku pegawai menjadi tidak baik atau buruk. Hal
ini akan menyebabkan kinerja yang buruk dan rendahnya motivasi
pegawai untuk melanjutkan pekerjaan mereka.
Komitmen organisasi yang rendah juga ditunjukan lewat sikap
beberapa pendeta untuk tidak lagi memiliki kelekatan dan melibatkan
diri dengan GPM. Beberapa pendeta memilih untuk menjadi PNS,
tenaga dosen, serta menjadi pendeta non organik (pelayan umum). Hal
ini mengindikasikan bahwa ada keinginan untuk berpindah (turnover
intention). Keinginan berpindah (turnover intention) digambarkan oleh
Abelson (Yessica, 2004) sebagai tindakan penarikan diri (withdrawal
cognition) yang meliputi adanya pikiran untuk keluar, keinginan untuk
mencari lowongan pekerjaan, mengevaluasi kemungkinan menemukan
pekerjaan di tempat lain, dan adanya keinginan untuk berpindah yang
belum diwujudkan dalam perilaku nyata. Pernyataan ini didukung oleh
penelitian dari Yessica (2004); Kumar dan Eng (2012), bahwa pegawai
yang memiliki tingkat komitmen organisasi rendah akan berdampak
pada keinginan untuk berpindah (turnover intention), sebaliknya ketika
komitmen organisasi tinggi, maka niat untuk berpindah menjadi rendah.
Sementara itu, penulis menduga ada beberapa faktor yang
memengaruhi komitmen organisasi, diantaranya dijelaskan oleh: Hodge
dan Anthony (Ristaniar, 2010), mengemukakan beberapa faktor yang
memengaruhi komitmen organisasi antara lain: kepuasan kerja,
9
identifikasi dan keterlibatan kerja. Selain itu, Adeoye dan Torubelli
(2011); Akomolafe dan Olatomide (2013); serta Johar dan Shah (2014)
menyatakan, kecerdasan emosional juga menjadi faktor yang
memengaruhi komitmen organisasi. Sementara Mowday, Poters, dan
Steers (Prasetyo.,et al, 2005) menyatakan, faktor karakteristik personal
yang meliputi: usia, masa kerja, tingkat pendidikan, jenis kelamin, ras
serta kepribadian juga menjadi faktor penentu komitmen organisasi.
Dalam dunia kerja, kepuasan kerja pegawai merupakan salah
satu faktor yang turut memberikan kontribusi besar kepada organisasi.
Dengan demikian, tanggungjawab organisasi adalah berupaya
semaksimal mungkin untuk mengakomodir kebutuhan pegawai. Salah
satu cara untuk mengetahui apa yang dibutuhkan dan diharapkan oleh
pegawai adalah dengan mengetahui tingkat kepuasan kerja pegawai.
Selanjutnya, Mangkunegara (2002) menyatakan bahwa sebagian
pegawai akan merasa puas apabila ia mendapatkan apa yang
dibutuhkannya. Jadi, semakin besar kebutuhan pegawai terpenuhi,
makin puas pula pegawai tersebut. Begitu pula sebaliknya, makin sedikit
kebutuhan pegawai yang terpenuhi, pegawai tersebut akan merasa tidak
puas. Dengan demikian, dalam kaitannya dengan kepuasan kerja
pendeta, maka gereja perlu mengetahui kondisi bagaimana yang dapat
memberikan kepuasan kerja kepada pendeta. Hal ini bertujuan agar
gereja tersebut dapat melakukan prioritas dalam melakukan perbaikan
dan peningkatan kepuasan kerja bagi para pendeta.
Pada suatu kesempatan, Mowday.,et al (Ansel, 2013)
menyatakan bahwa semakin individu merasa puas akan pekerjaannya
sebagai refleksi dari tempat kerjanya, maka individu tersebut akan
semakin berkomitmen dengan pekerjaannya, akan lebih termotivasi
untuk hadir dalam organisasi, dan berusaha bekerja sebaik mungkin,
10
loyal, lebih stabil, dan produktif sehingga lebih menguntungkan
organisasi. Hal yang sama juga dijelaskan oleh Mathis dan Jackson
(Sadeli & Prawira, 2001), bahwa orang-orang yang relatif puas dengan
pekerjaannya akan lebih berkomitmen terhadap organisasi dan lebih
mungkin untuk mendapatkan kepuasan yang lebih besar.
Ada berbagai hasil temuan dari para peneliti sebelumnya yang
menyatakan bahwa kepuasan kerja memiliki hubungan yang positif
signifikan dengan komitmen organisasi diantaranya; penelitian Eftekhri
dan Sadegh (2013) terhadap 183 orang ahli penyuluhan pertanian di
propinsi Guilan, menyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara kepuasan kerja dan komitmen organisasi pada tingkat 1% dengan
(sig = 0.000 ≤ 0.01). Hasil penelitian ini didukung oleh Suma dan Lesha
(2013), Al-Aameri (2000), Ravindranath.,et al (2014); Tella.,et al
(2007); dan Azeem (2010). Adanya hubungan antara kepuasan kerja dan
komitmen organisasi mengindikasikan bahwa pegawai akan
berkomitmen bagi organisasi apabila organisasi tersebut dapat
mengakomodir apa yang menjadi kebutuhan mereka. Jika kebutuhannya
dapat terpenuhi, maka pegawai akan memperoleh kepuasan dalam
bekerja sehingga mendorong mereka untuk tetap berkomitmen bagi
organisasi tersebut. Semakin pegawai merasa puas dalam pekerjaannya,
maka tingkat komitmen organisasi akan semakin tinggi. Demikian juga
sebaliknya, apabila pegawai mengalami ketidakpuasan dalam
pekerjaannya, maka komitmen organisasi akan semakin rendah,
sehingga berdampak pada kinerja dan produktifitas suatu organisasi.
Sebaliknya, ada beberapa hasil penelitian yang ditemukan
berbeda oleh para peneliti sebelumnya, seperti: Suki dan Suki (2011)
yang melakukan penelitian terhadap 112 pegawai sektor industri di
Labuana. Hasilnya, kepuasan kerja dan komitmen organisasi memiliki
11
korelasi yang lemah (tidak kuat) dengan r = 0.575 pada tingkat
kepercayaan 90%. Demikian juga penelitian Curry.,et al (Malik.,et al,
2010), menemukan tidak ada hubungan yang signifikan antara kepuasan
kerja dengan komitmen organisasi. Temuan ini mengindikasikan bahwa
pada karakteristik organisasi tertentu, komitmen organisasi tidak selalu
berhubungan dengan seberapa puas atau tidak puas pegawai tersebut
dalam pekerjaanya. Orientasi pegawai terhadap pekerjaan yang
dilakukan dalam suatu organisasi tidak menempatkan aspek-aspek
kepuasan kerja sebagai hal yang utama. Artinya, kepuasan kerja bukan
menjadi syarat mutlak bagi pegawai untuk berkomitmen bagi organisasi
tersebut.
Selain kepuasan kerja, kecerdasan emosional juga turut
memengaruhi komitmen organisasi. Keberhasilan suatu organisasi tidak
terlepas dari kontribusi pegawainya dalam pekerjaan. Menurut Sani dan
Ghorbani (2012), keberhasilan pegawai dalam suatu situasi pekerjaan
apabila ia memiliki kecerdasan emosional yang baik. Jika pegawai
memiliki kecerdasan emosional yang baik, maka setiap masalah yang
dihadapi dalam pekerjaan dapat terselesaikan. Pegawai yang memiliki
kecerdasan emosional dapat melatih dirinya dan orang lain untuk
berkomitmen. Sementara itu, Goleman (Bakumawa, 2012) menyatakan
bahwa kemampuan untuk memahami, membedakan dan mengelola
perasaan atau emosi diri sendiri dan orang lain sebagai panduan untuk
meningkatkan pemikiran dan tindakannya dapat memengaruhi
komitmen pegawai terhadap organisasi.
Ada berbagai hasil temuan dari para peneliti sebelumnya yang
menyatakan bahwa kecerdasan emosional memiliki hubungan yang
positif signifikan dengan komitmen organisasi diantaranya; penelitian
dari Saedi dan Deghan (2013) terhadap 285 staf di kementerian
12
pendidikan propinsi Golestan-Iran. Hasil penelitian menunjukan bahwa
kecerdasan emosional memiliki hubungan yang signifikan dengan
komitmen organisasi pelayanan publik dengan koefisien korelasi sebesar
0.027 (p < 0.05). Hasil penelitian ini juga didukung oleh Antony (2013);
Sarboland (2012); Sani dan Ghorbani (2012); Amoozadeh.,et al (2013);
dan Salami (2008). Hasil temuan ini mengindikasikan bahwa pegawai
yang memiliki kecerdasan emosional yang tinggi, memiliki kemampuan
untuk memotivasi diri dan orang lain untuk bertanggungjawab terhadap
setiap kebijakan organisasi, serta mampu menempatkan dirinya sesuai
dengan nilai-nilai organisasi akan meningkatkan komitmennya bagi
organisasi tersebut. Dengan demikian, semakin tinggi kecerdasan
emosional seorang pegawai, maka semakin tinggi pula komitmennya
terhadap organisasi tersebut.
Sebaliknya, beberapa hasil penelitian ditemukan berbeda oleh
para peneliti sebelumnya seperti; Beri dan Beri (2014), dalam
penelitiannya terhadap 300 guru pemerintah dan swasta di 30 Sekolah
Menengah Atas di kabupaten Jammu. Hasilnya, bahwa kecerdasan
emosional tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan komitmen
organisasi (r = -0.01; p < 0.05). Hasil penelitian ini didukung oleh
Aghdasi.,et al (2011); Efendi dan Sutanto (2013); Wong dan Law; dan
Guleryus.,et al (Aghdasi, 2011). Hasil temuan ini mengindikasikan
bahwa komitmen organisasi tidak selalu memiliki hubungan dengan
kemampuan pegawai mengelola emosinya dalam lingkungan pekerjaan.
Artinya, pegawai yang cerdas emosi belum tentu memiliki komitmen
orgaisasi yang tinggi. Demikian juga, pegawai yang kecerdasan emosi
rendah belum tentu komitmen organisasinya juga rendah. Komitmen
organisasi bukan disebabkan oleh seberapa cerdasnya pegawai
mengelola emosinya.
13
Secara simultan, penelitian terdahulu juga telah membuktikan
adanya hubungan kepuasan kerja dan kecerdasan emosional dengan
komitmen organisasi. Penelitian Akomolafe dan Olatomide (2013)
terhadap 220 guru Sekolah Menengah di Ekiti State–Nigeria
menemukan hasil bahwa, adanya hubungan yang kuat kepuasan kerja
dan kecerdasan emosional dengan komitmen organisasi guru. Analisis
statistik menunjukan nilai koefisien (R²) sebesar 0.55. Hal ini berarti,
55% variabel kepuasan kerja dan kecerdasan emosional dapat
menjelaskan perubahan variabel komitmen organisasi guru, dan sisanya
45% dijelaskan oleh variabel lain. Hasil temuan ini mengindikasikan
bahwa kombinasi dari variabel independen (kepuasan kerja dan
kecerdasan emosional) cukup efektif dalam memprediksi komitmen
organisasi, dan itu tidak bisa terjadi secara kebetulan. Pegawai yang
memiliki komitmen organisasi yang baik adalah mereka yang
mengalami kepuasan dalam lingkungan pekerjaan, dan juga memiliki
kecerdasan emosional yang baik.
Dalam kaitan dengan pengaruh interaksi kepuasan kerja dan
jenis kelamin terhadap komitmen organisasi, beberapa peneliti
menemukan hasil yang berbeda. Penelitian Nifadkar dan Dongre (2014),
menemukan hasil bahwa kepuasan kerja memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap komitmen organisasi (β= 0.371, t= 2.615, p<0.013),
namun tidak ada perbedaan yang signifikan antara jenis kelamin dengan
komitmen organisasi (β= -0.088, t= -0.592, p<0.558). Hasil penelitian
ini didukung oleh Eftekhri dan Sadegh (2014); dan Salami (2008).
Temuan ini mengindikasikan bahwa tidak ada perbedaan kepuasan kerja
laki-laki dan perempuan terhadap komitmen organisasi. Artinya,
komitmen organisasi pegawai laki-laki dan perempuan akan semakin
tinggi apabila mereka memiliki kepuasan dalam pekerjaan. Organisasi
14
perlu mengakomodir apa yang menjadi kebutuhan setiap pegawai untuk
meningkatkan komitmen organisasi tanpa harus ada diskriminasi.
Sebaliknya hasil penelitian yang berbeda ditemukan oleh Pala.,
et al (2008) terhadap 473 petugas kesehatan di Bursa-Turky. Hasil
menunjukan bahwa ada hubungan yang positif signifikan antara
kepuasan kerja dengan komitmen organisasi staf perawat kesehatan
0.485 (p<0.01). Disamping itu, ditemukan juga bahwa jenis kelamin
memiliki hubungan dengan komitmen organisasi. Temuan ini
mengindikasikan bahwa ada perbedaan tingkat kepuasan kerja laki-laki
dan perempuan terhadap komitmen mereka bagi organisasi. Artinya,
baik laki-laki maupun perempuan akan lebih berkomitmen bagi
organisasi apabila keinginan mereka dapat diakomodir sesuai dengan
kebutuhan masing-masing.
Demikian juga, ada berbagai hasil temuan dari para penelitian
sebelumnya yang menyatakan adanya pengaruh interaksi kecerdasan
emosional dan jenis kelamin terhadap komitmen organisasi, diantaranya;
Franzway; Singh dan Vinnicombe (Fisher.,et al, 2004), menyatakan
bahwa ada hubungan antara jenis kelamin, emosi dan komitmen
organisasi. Hasil penelitian didukung oleh Singh dan Vinnicombe
(Fisher.,et al, 2004), menyatakan bahwa dalam konteks organisasi,
perempuan cenderung mengalami emosi yang berbeda dengan laki-laki
dalam kaitan dengan komitmen organisasi. Dalam perbedaan ini,
perempuan cenderung menampilkan perubahan emosi dalam
tindakannya sehingga sering diartikan sebagai kurangnya komitmen.
Lebih lanjut Singh dan Vinnicombe (Fisher.,et al, 2004) mengatakan
bahwa dalam kerja, wanita dianggap memiliki tingkat komitmen
organisasi lebih rendah dari daripada laki-laki. Penelitian mereka
15
menunjukkan bahwa komitmen perempuan terlibat pertimbangan
emosional yang berbeda dengan laki-laki.
Sebaliknya, hasil penelitian berbeda ditemukan oleh Beri dan
Beri (2014). Penelitiannya terhadap 300 guru pemerintah dan swasta di
30 Sekolah Menengah Atas di kabupaten Jammu menemukah hasil
bahwa kecerdasan emosional tidak memiliki hubungan yang signifikan
dengan komitmen organisasi (r= -0.01; p<0.05), dan tidak ada perbedaan
yang signifikan dalam kecerdasan emosional antara guru laki-laki dan
perempuan, dengan t-nilai adalah 0,141 yang tidak signifikan pada 0,05
dan 0,01. Temuan ini mengindikasikan bahwa kecerdasan emosional
dan jenis kelamin tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
komitmen organisasi. Artinya, pegawai laki-laki dan perempuan
memiliki kecerdasan emosional yang sama, sehingga dalam melakukan
pekerjaan dapat memberikan yang terbaik dengan ditunjukan melalui
adanya komitmen bagi organisasi.
Selanjutnya, ada berbagai hasil temuan dari para peneliti
sebelumnya yang menyatakan bahwa jenis kelamin memiliki hubungan
yang positif signifikan dengan komitmen organisasi, diantaranya;
Penelitian Shoaib.,et al (2013) terhadap karyawan perbankan di
Pakistan. Hasil penelitian menemukan ada perbedaan antara laki-laki
dan perempuan mengenai persepsi komitmen bagi organisasi. Pegawai
perempuan memiliki komitmen afektif yang lebih tinggi dari pada
pegawai laki-laki. Sementara untuk komitmen normatif, pegawai laki-
laki cenderung memiliki komitmen normatif yang lebih dari pegawai
perempuan, sedangkan untuk komitmen berkelanjutan, pegawai
perempuan dan laki-laki memiliki komitmen berkelanjutan yang kurang
lebih sama. Hasil penelitian didukung oleh Leow (2011); Celik (2008);
dan Pedro (Gehlawat, 2012). Adanya hubungan antara jenis kelamin
16
dengan komitmen organisasi mengindikasikan bahwa komitmen
organisasi antara pegawai laki-laki dan perempuan memiliki perbedaan.
Mowday (Dewi, 2011) menyatakan, perempuan dalam dunia kerja
cenderung memiliki komitmen terhadap organisasi yang lebih tinggi
dibandingkan dengan laki-laki, karena perempuan pada umumnya harus
mengatasi lebih banyak rintangan dalam mencapai posisi mereka dalam
organisasi sehingga keanggotaan dalam organisasi menjadi lebih penting
bagi mereka.
Sebaliknya, hasil penelitian berbeda ditemukan oleh Suki dan
Suki (2011) pada pegawai sektor industri, bahwa tidak terdapat
hubungan signifikan jenis kelamin dengan komitmen organisasi pada
tingkat signifikan sebesar 0.273 (p>0.05). Hasil temuan ini didukung
oleh Alshitri (2013); Sani dan Ghorbani (2012); dan Salami (2008).
Temuan ini mengindikasikan bahwa dalam dunia kerja, tingkat
komitmen terhadap organisasi antara laki-laki dan perempuan tidak
menunjukan adanya perbedaan. Perempuan dan laki-laki memiliki sikap
yang sama untuk berkomitmen bagi organisasi dimana mereka
dipekerjakan.
Bertolak dari hasil-hasil penelitian sebelumnya, secara parsial
penelitian tentang hubungan kepuasan kerja, kecerdasan emosional dan
jenis kelamin dengan komitmen organisasi pegawai telah dilakukan.
Demikian juga penggunaan ketiga variabel secara simultan yang
diterapkan pada kasus dan konteks yang berbeda. Perbedaan tersebut
antara lain didasarkan pada adanya variasi tempat, situasi dan subjek
penelitian. Dalam kaitan dengan subjek penelitian dalam penulisan ini
yaitu pendeta, penulis berasumsi bahwa apabila pendeta memiliki
kepuasan kerja yang tinggi, dengan tanpa adanya perbedaan jenis
kelamin serta kecerdasan emosional yang tinggi pula, maka pendeta
17
akan memiliki komitmen yang tinggi terhadap organisasi gereja.
Sebaliknya, apabila pendeta tidak memperoleh kepuasan dalam
pekerjaan dan memiliki kecerdasan emosional yang rendah tanpa adanya
perbedaan jenis kelamin, maka komitmen organisasi pendeta akan
rendah yang ditunjukan dengan perilaku yang tidak sesuai dengan
ketentuan dan aturan organisasi gereja dalam pelaksanaan program-
program pelayanan gereja.
Berdasarkan pertimbangan di atas, maka peneliti akan
melakukan penelitian lebih lanjut tentang hubungan kepuasan kerja dan
kecerdasan emosional dengan komitmen organisasi pendeta GPM
ditinjau dari jenis kelamin, dengan alasan: (1) Adanya inkonsistensi
antara hasil - hasil penelitian sebelumnya sehingga mendorong peneliti
untuk melakukan suatu kajian untuk membuktikan adakah hubungan
kepuasan kerja, kecerdasan emosional, dan jenis kelamin dengan
komitmen organisasi pendeta GPM. (2) Dalam konteks Indonesia,
kepuasan kerja, kecerdasan emosional, dan jenis kelamin merupakan
variabel yang masih jarang diteliti dalam kaitan dengan komitmen
organisasi pendeta GPM. (3) Meskipun variabel yang akan diteliti dalam
penelitian ini memiliki kesamaan dengan penelitian-penelitian
sebelumnya, tetapi yang membedakannya adalah subjek dalam
penelitian ini adalah pendeta. Disamping itu, subjek dalam penelitian ini
menjalankan seluruh aktifitas pekerjaannya pada organisasi non profit
yaitu gereja. Hal inilah yang membuat penulis tertarik untuk melakukan
suatu penelitian terhadap pendeta GPM mengenai “Hubungan antara
kepuasan kerja dan kecerdasan emosional dengan komitmen organisasi
ditinjau dari jenis kelamin pendeta GPM”
18
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana yang telah
dikemukakan di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah:
1. Adakah hubungan signifikan antara kepuasan kerja dan
kecerdasan emosional dengan komitmen pendeta bagi GPM ?
2. Adakah pengaruh interaksi kepuasan kerja dan jenis kelamin
terhadap komitmen pendeta bagi GPM ?
3. Adakah pengaruh interaksi kecerdasan emosional dan jenis
kelamin terhadap komitmen pendeta bagi GPM ?
4. Adakah perbedaan signifikan komitmen pendeta bagi GPM
ditinjau dari jenis kelamin ?
1.3 Tujuan Penulisan
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, maka tujuan
dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui hubungan antara kepuasan kerja dan
kecerdasan emosional dengan komitmen pendeta bagi GPM
2. Untuk mengetahui pengaruh interaksi kepuasan kerja dan
jenis kelamin terhadap komitmen pendeta bagi GPM
3. Untuk mengetahui pengaruh interaksi kecerdasan emosional
dan jenis kelamin terhadap komitmen pendeta bagi GPM
4. Untuk mengetahui perbedaan signifikan komitmen pendeta
bagi GPM ditinjau dari jenis kelamin.
19
1.4 Manfaat Penelitian
Merujuk pada tujuan penelitian di atas, maka penelitian ini
diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut:
1.4.1 Manfaat Teoritis
Dapat memperkaya konsep serta pola pikir tentang bagaimana
kepuasan kerja, kecerdasan emosional, dan jenis kelamin saling
berinteraksi dalam memberikan pengaruh bagi komitmen organisasi.
Selain itu, penelitian ini dapat memberikan kontribusi pikir khususnya
dalam bidang psikologi industri organisasi, serta menjadi acuan bagi
penelitian-penelitian selanjutnya.
1.3.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis
antara lain:
1. Memberikan informasi dan masukan positif bagi gereja untuk
dapat mengembangkan sumber daya manusia dalam hal ini
adalah pendeta agar dapat meningkatkan komitmennya bagi
organisasi.
2. Memberikan kontribusi pikir kepada GPM mengenai
pentingnya kepuasan kerja dan kecerdasan emosional
pendeta dalam upaya meningkatkan komitmen organisasi
3. Agar GPM tetap menunjukan eksistensinya dalam
menjalankan roda organisasi secara efekif dan efisien, maka
pendeta sebagai salah satu komponen penting bagi gereja
harus terus diberdayakan agar memiliki komitmen yang
tinggi bagi organisasi.