tgk. muhammad daud beure-eh; revolusioner dan mujaddid tanah rencong final publish

18
1 Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh; Sang Revolusioner dan Mujaddid Tanah Rencong Oleh: Khairil Miswar Bireuen, 30 April 2013 A. Pendahuluan Rasanya tidak ada orang Aceh yang tidak kenal dengan nama Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh. Sosok kharismatik Aceh yang pernah membuat pemerintah Jakarta panik dan kalang kabut khususnya di awal-awal kemerdekaan Indonesia. Biasanya, ketika menyebut nama Daud Beure-eh, memori orang-orang tua kita di Aceh langsung tertuju kepada peristiwa berdarah yang dikenal dengan Pemberontakan DI TII. Jika kalangan tua di Aceh kenal baik dengan Daud Beureu-eh, lantas bagaimana tanggapan kalangan muda di Aceh hari ini tentang sosok Daud Beure-eh? Tentunya kalangan muda memiliki pandangan yang berbeda disebabkan kalangan pemuda hari ini tidak hidup di zamannya Daud Beureu-eh. Tgk. Daud Beureu-eh hidup di zaman ayah dan kakek kita dulu jauh sebelum kita lahir. Bagi kalangan muda yang peduli tentang sejarah Aceh tentu sedikit banyaknya telah mengenal siapa Daud Beureu-eh, baik melalui buku-buku sejarah ataupun lewat cerita lisan. Berbeda halnya dengan pemuda-pemuda kita yang kurang respek terhadap sejarah, mungkin mendengar nama Daud Beureu-eh saja mereka tidak pernah. Sepanjang pengetahuan penulis, Daud Beureu-eh adalah sosok pejuang sejati yang memiliki kontribusi besar terhadap kemerdekaan Republik ini. Di samping itu, Daud Beureu-eh juga merupakan sosok yang sangat mencintai tanah kelahirannya Aceh. Kepedulian Daud Beureu-eh terhadap Aceh tidak perlu diragukan lagi oleh orang-orang yang mengaku dirinya sebagai bangsa Aceh. Selain sebagai pejuang, Daud Beureu-eh juga terkenal sebagai sosok ulama kharismatik di Aceh yang dikagumi oleh pengikutnya dan disegani oleh segenap musuh-musuhnya. Namun demikian, amat disayangkan ada sebagian pihak di Aceh yang justru menganggap Daud Beure-eh sebagai pengkhianat terkait dengan kembalinya beliau ke pangkuan ibu pertiwi setelah sekian lama beliau naik turun gunung. Menurut penulis anggapan bahwa beliau seorang pengkhianat adalah pendapat yang sangat naif dan absurd serta bertentangan dengan fakta sejarah. Untuk menepis segala tudingan miring terhadap sang Revolusioner, sangat penting rasanya bagi penulis untuk membuka kembali lembar-lembar sejarah guna memperkenalkan kembali

Upload: khairil-miswar

Post on 09-Feb-2016

227 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Seorang Tokoh Kharismatik Aceh yang sudah mulai dilupakan. Beliau adalah seorang ulama Pembaharu di Aceh

TRANSCRIPT

1

Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh; Sang Revolusioner

dan Mujaddid Tanah Rencong

Oleh: Khairil Miswar

Bireuen, 30 April 2013

A. Pendahuluan

Rasanya tidak ada orang Aceh yang tidak kenal dengan nama Tgk. Muhammad Daud

Beureu-eh. Sosok kharismatik Aceh yang pernah membuat pemerintah Jakarta panik dan kalang

kabut khususnya di awal-awal kemerdekaan Indonesia. Biasanya, ketika menyebut nama Daud

Beure-eh, memori orang-orang tua kita di Aceh langsung tertuju kepada peristiwa berdarah yang

dikenal dengan Pemberontakan DI TII.

Jika kalangan tua di Aceh kenal baik dengan Daud Beureu-eh, lantas bagaimana tanggapan

kalangan muda di Aceh hari ini tentang sosok Daud Beure-eh? Tentunya kalangan muda memiliki

pandangan yang berbeda disebabkan kalangan pemuda hari ini tidak hidup di zamannya Daud

Beureu-eh. Tgk. Daud Beureu-eh hidup di zaman ayah dan kakek kita dulu – jauh sebelum kita

lahir.

Bagi kalangan muda yang peduli tentang sejarah Aceh tentu sedikit banyaknya telah

mengenal siapa Daud Beureu-eh, baik melalui buku-buku sejarah ataupun lewat cerita lisan.

Berbeda halnya dengan pemuda-pemuda kita yang kurang respek terhadap sejarah, mungkin

mendengar nama Daud Beureu-eh saja mereka tidak pernah.

Sepanjang pengetahuan penulis, Daud Beureu-eh adalah sosok pejuang sejati yang memiliki

kontribusi besar terhadap kemerdekaan Republik ini. Di samping itu, Daud Beureu-eh juga

merupakan sosok yang sangat mencintai tanah kelahirannya Aceh. Kepedulian Daud Beureu-eh

terhadap Aceh tidak perlu diragukan lagi oleh orang-orang yang mengaku dirinya sebagai bangsa

Aceh. Selain sebagai pejuang, Daud Beureu-eh juga terkenal sebagai sosok ulama kharismatik di

Aceh yang dikagumi oleh pengikutnya dan disegani oleh segenap musuh-musuhnya.

Namun demikian, amat disayangkan ada sebagian pihak di Aceh yang justru menganggap

Daud Beure-eh sebagai pengkhianat terkait dengan kembalinya beliau ke pangkuan ibu pertiwi

setelah sekian lama beliau naik turun gunung. Menurut penulis anggapan bahwa beliau seorang

pengkhianat adalah pendapat yang sangat naif dan absurd serta bertentangan dengan fakta sejarah.

Untuk menepis segala tudingan miring terhadap sang Revolusioner, sangat penting rasanya

bagi penulis untuk membuka kembali lembar-lembar sejarah guna memperkenalkan kembali

2

sosok Daud Beureu-eh kepada anak negeri ini. Daud Beureu-eh adalah pahlawan yang terzalimi

dan sudah mulai dilupakan oleh para pemuda Tanah Rencong. Sebagai putra Aceh asli,

perkenankanlah penulis untuk mencoba mengulas kembali sisi yang terlupakan dari sosok Tokoh

Revolusioner dan Ulama Besar Tgk. Daud Beureue-eh.

B. Biografi Singkat Tgk. Daud Beureu-eh

1. Kelahiran Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh

Tentang kapan persisnya Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh lahir nampaknya tidak ada

catatan yang pasti. Hal ini dapat dimengerti, mungkin zaman dulu belum ada tradisi untuk

mencatat tanggal lahir dan belum ada akte kelahiran layaknya zaman kita ini. Namun dalam

Wikipedia disebutkan bahwa Daud Beureu-eh lahir pada tanggal 17 September 1899.1 Tapi

sejauh mana kebenaran tanggal ini – wallahu a’lam.

M. Nur El Ibrahimy, dalam bukunya mengutip sebuah tulisan yang ditulis oleh Anggraini

dengan judul “Siapa Teungku Daud Beureu-eh, bekas Gubernur Aceh yang Memberontak”.

Tulisan ini dikutip oleh Ibrahimy dari Majalah Indonesia Merdeka No. 214 yang terbit di

Banjarmasin pada tanggal 1 Oktober 1953. Dalam tulisan tersebut Anggraini memperkirakan

umur Daud Beureu-eh ketika itu (tahun 1953) adalah 50 tahun. Namun di catatan kaki nomor 246

dalam bukunya tersebut Ibrahimy mencantumkan bahwa Daud Beureu-eh pada tahun 1953 telah

berusia 55 tahun.2

Jika Daud Beureu-eh pada tahun 1953 berusia 50 tahun sebagaimana dugaan Anggraini maka

dapat diperkirakan beliau lahir pada tahun 1903. Namun jika kita merujuk kepada catatan yang

dibuat Ibrahimy bahwa Daud Beureu-eh pada tahun 1953 berusia 55 tahun, maka berdasarkan

hitungan mundur dapat disimpulkan bahwa Daud Beureu-eh lahir pada tahun 1898. Dalam hal

kelahiran Daud Beureu-eh ini penulis cenderung kepada pendapat Ibrahimy, mengingat beliau

(M. Nur El Ibrahimy) adalah menantunya Tgk. Daud Beureu-eh, sehingga pendapat Ibrahimy

lebih kuat karena adanya hubungan kekeluargaan antara keduanya.

Namun di bagian akhir bukunya tersebut Ibrahimy mencantumkan bahwa Daud Beureu-eh

lahir pada tanggal 23 September 18993 – wallahu a’lam.

2. Latar Belakang Pendidikan Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh

Tentang latar belakang pendidikan Daud Beureu-eh, Anggraini dalam tulisannya

menyebutkan bahwa Daud Beureu-eh tidak pernah masuk sekolah formal, tetapi meskipun

demikian beliau tidak buta huruf dan mengenal huruf latin.4

Ibrahimy mengisahkan bahwa Daud Beureu-eh menempuh pendidikannya di pesantren.

Pertama sekali beliau belajar di Pesantren Titeu yang dipimpin oleh Tgk. Muhammad Hamid

selama enam bulan. Kemudian beliau belajar di Pesantren Iie Leumbeu dibawah pimpinan Tgk.

3

Ahmad Harun. Setelah menyelesaikan pendidikannya selama 4,5 tahun di pesantren tersebut,

beliau sudah mantap pengetahuannya dan menjadi ulama.5

Sebagaimana uraian singkat di atas dapat diketahui bahwa Abu Daud Beureu-eh adalah

ulama lepasan pesantren dan tidak pernah mengecap pendidikan di lembaga formal. Meskipun

beliau dididik di dayah yang notabene merupakan lembaga pendidikan tradisional, namun

pemikiran keagamaan beliau terbilang maju dan moderat. Dalam pandangan penulis sisi keilmuan

beliau cenderung sepaham, seirama dan sebanding dengan pemikir-pemikir terkemuka di

Indonesia semisal HAMKA. Cuma saja Abu Beureu-eh dalam kehidupannya tidak meniggalkan

karya tulis seperti halnya Ali Hasyimi dan tokoh-tokoh Aceh lainnya sehingga sebagian besar

pemikirannya hilang digerus zaman.

3. Tokoh Yang Mempengaruhi Pemikiran Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh

Terus terang, penulis belum melakukan penelitian mendalam tentang siapa tokoh yang

mempengaruhi pemikiran politik dan keagamaan Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh. Hal ini

disebabkan minimnya referensi yang penulis miliki terkait sosok Daud Beureu-eh. Di samping itu,

Daud Beureu-eh sepengetahuan penulis tidak meninggalkan karya tulis yang memuat pokok-

pokok pikirannya, baik tentang agama maupun politik. Tgk Daud Beureu-eh terkenal sebagai

singa podium yang sering menyampaikan pikiran-pikirannya secara lisan. Dengan demikian

pemikiran-pemikiran beliau hanya terekam dalam memori para pendengarnya dan sulit untuk

dilacak.

Namun demikian, berdasarkan kajian penulis dari beberapa literatur, penulis berani menduga

bahwa Tgk. Daud Beure-eh adalah sosok ulama yang terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran

Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dari Saudi Arabiya dan juga pemikiran Jamaluddin Al-

Afghani, Syaikh Muhammad Abduh dari Mesir dan juga ulama-ulama lain yang semisal mereka.

Kesimpulan ini lahir, berdasarkan penulusuran penulis dari beberapa referensi terkait dengan

gaya kepemimpinan dan pandangannya tentang agama. Gerakan revolusioner yang dilakukan oleh

Abu Beureu-eh dan kebenciannya kepada kolonialisme hampir menyerupai dengan gaya-gaya

Jamaluddin Al-Afghani. Sedangkan dalam hal pendidikan modern, Daud Beureu-eh nampaknya

terpengaruh dengan pemikiran Abduh dari Mesir. Dalam hal ketauhidan, penulis punya asumsi

bahwa keyakinan Abu Daud Beureu-eh hampir menyerupai dan bahkan seirama dengan

Muhammad bin Abdul Wahab yang sangat anti kepada syirik, bid’ah, khurafat dan takhayul.

C. Kondisi Sosial Politik di Aceh Pasca Kemerdekaan RI dan Meletusnya Perang

Cumbok

1. Kondisi Politik Pasca Kemerdekaan.

4

Sejak diproklamirkannya Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945,

ketika itu Daerah Aceh masih termasuk dalam salah satu keresidenan dari Provinsi Sumatra yang

dibentuk pada tanggal 3 Oktober 1945. Pada saat itu Residen Aceh berkedudukan di Koetaradja

(sekarang Banda Aceh).6

Insider, dalam bukunya “Atjeh Sepintas lalu”, menyebutkan bahwa maklumat kemerdekaan

Indonesia tanggal 17 Augustus 1945 baru diketahui oleh rakyat Aceh pada pertengahan bulan

September 1945.7 Ketika itu, rakyat Aceh terpecah ke dalam dua kubu, yaitu kubu Ulama dan

kubu Ulee Balang. Pertentangan antara dua golongan ini bukanlah pertantangan yang baru timbul

pada masa itu, tetapi merupakan sebuah pertentangan yang sudah lama terpendam. Menurut

Insider pertentangan antara dua kubu ini menyerupai pertentangan antara adat dan hukum.8

Kedua pihak yang saling bertentangan (Ulee Balang dan Ulama) terlihat menyusun kekuatan

masing-masing. Kelompok pertama terdiri dari para Ulee Balang dan para pengikutnya,

sedangkan kelompok kedua terdiri dari Alim Ulama, pemuda dan masyarakat yang tidak

menyukai kekuasaan Ulee Balang. Jumlah kelompok Ulama ini lebih banyak jika dibanding

dengan pengikut Ulee balang.9

Pada perkembangan selanjutnya pertentangan antara kedua kelompok ini semakin

memuncak. Menurut Insider, baik pihak Ulee Balang maupun Ulama tidak menghendaki

penyelesaian dengan cara-cara damai, kedua kelompok ini menginginkan penyelesaian dengan

kekerasan dan senjata.10

Pada suatu malam di bulan November 1945, para pengikut Ulee Balang dengan bersenjata

pedang, rencong, parang dan beberapa senjata api memasuki Kota Sigli yang bertempat di rumah

Ulee Balang Pidie. Mereka melakukan persiapan untuk menguasai Kota Sigli. Mereka juga

melakukan pemeriksaan di jalan-jalan Kota Sigli dan menangkap serta menahan orang-orang

yang terindikasi sebagai pengikut kaum Ulama. Aksi yang dilakukan oleh pihak Ulee Balang ini

langsung mendapat reaksi dari kaum Ulama. Tidak lama setelah Kota Sigli diduduki oleh Ulee

Balang, pihak Ulama dengan disertai ribuan pengikutnya melakukan demonstrasi dengan

persenjataan lengkap. Mereka memasuki Kota Sigli dengan menyebut nama Allah dan Rasul.

Akhirnya terjadilah pertempuran hebat antara pengikut Ulee Balang dengan kaum Ulama selama

tiga hari tiga malam. Tentara pemerintah (TKR) yang ketika itu dipimpin oleh Kolonel Syamaun

Gaharu terlihat tidak mampu mengendalikan situasi. Namun setelah pihak pemerintah melakukan

negosiasi dengan kedua pihak, akhirnya kedua pihak bersedia meninggalkan Kota Sigli.11

2. Revolusi Sosial dan Meletusnya Perang Cumbok

a. Sebab-Sebab Terjadinya Perang Cumbok

5

Di antara sebab-sebab yang menjadi pemicu terjadinya pertentangan antara Ulee Balang dan

Ulama, menurut El-Ibrahimy adalah disebabkan oleh sikap Ulee Balang yang telah banyak

melakukan kejahatan dan pemerasan terhadap rakyat. Melihat kondisi ini pihak ulama

melancarkan dakwah guna memerangi perbuatan maksiat yang dilakukan oleh pihak Ulee Balang

di Aceh. Gerakan dakwah yang dilakukan oleh para Ulama ini mendapat dukungan besar dari

rakyat Aceh ketika itu.12

Namun sayangnya pihak Ulee Balang ketika itu salah faham dengan gerakan dakwah yang

dilakukan oleh para Ulama. Pihak Ulee Balang beranggapan bahwa aksi yang dilakukan oleh

kaum Ulama ini dapat membahayakan posisi mereka dan juga merusak pendapatan mereka. Pada

tahapan selanjutnya, pihak Ulee Balang menuduh kaum Ulama ingin merebut kekuasaan mereka.

Menurut Ibrahimy faktor inilah yang menjadi sebab utama lahirnya pertentangan antara Ulee

Balang dengan Ulama.13

Pertentangan antara Ulee Balang dan Ulama semakin meruncing ketika pendudukan Jepang.

Pada saat itu Abu Beureue-eh memiliki peran besar untuk membebaskan rakyat Aceh dari

tekanan dan kezaliman para Ulee Balang. Abu Beureu-eh ketika itu berhasil membujuk pihak

Jepang untuk mencabut hak yudikatif dari tangan Ulee Balang yang telah beberapa abad lamanya

digunakan oleh pihak Ulee Balang untuk menindas rakyat Aceh.14

Akhirnya, mungkin karena terpengaruh dengan bujukan Abu Beureu-eh, pihak Jepang

menggantikan kekuasaan peradilan yang dulunya dipegang oleh Ulee Balang dan menyerahkan

perkara tersebut kepada kaum Ulama dari kalangan PUSA.15

Dengan demikian sejak itu, peranan

penegakan hukum dipegang oleh kaum Ulama, sedangkan para Ulee Balang memelihara

persoalan adat.16

Keberhasilan Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh membujuk pihak Jepang sebagaimana telah

penulis singgung di atas menjadi bukti paling otentik bahwa Abu Beureu-eh adalah tokoh yang

memiliki pengaruh besar dan disegani di Aceh kala itu, termasuk oleh para penjajah sekalipun.

b. Peran Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh dalam Perang Cumbok

Pada 31 Desember, pasukan Ulee Balang yang dikenal dengan pasukan Cumbok melakukan

penyerangan ke Metarium dan desa-desa di sekitarnya. Tentara Cumbok dengan merajalela

melakukan perampokan dan perampasan terhadap harta benda milik rakyat. Dalam penyerangan

tersebut mereka juga membakar rumah-rumah rakyat. Melihat kondisi tersebut, Tgk. Muhammad

Daud Beureu-eh untuk kesekian kalinya membawa persoalan Cumbok tersebut kepada Komite

Nasional Indonesia Daerah Aceh. Beliau juga memperlihatkan bukti-bukti penyerangan yang

dilakukan oleh Cumbok, seperti pecahan mortir. Sebelas jam kemudian atas inisiatif Syamaun

6

Gaharu diputuskan bahwa persoalan Cumbok tersebut diambil alih oleh Markas Umum Daerah

Aceh.17

Singkat cerita, pada akhir Desember Tgk. Daud Beureu-eh mengintruksikan kepada barisan

bersenjata yang berada di daerah Bireuen untuk segera berangkat ke Pidie guna membantu barisan

rakyat di Garot yang sudah terdesak akibat serangan Cumbok. Jumlah rombongan dari Bireuen

yang berangkat ke Pidie waktu itu sekitar seribu orang dengan 100 pucok senjata.18

Bergeraknya rakyat dari Bireuen menuju Pidie setelah mendapat intruksi dari Abu Beureu-eh

ketika itu, mengisyaratkan kepada kita bahwa Abu Beureu-eh adalah sosok pemimpin yang

diikuti dan disegani oleh rakyat.

Tepatnya pada 12 Januari 1946, dilakukanlah serangan umum terhadap Kota Lam Meulo

yang merupakan benteng terkuat pihak Cumbok. Keesokan harinya pada tanggal 13 Januari

pasukan Barisan Rakyat berhasil memasuki Kota Lam Meulo.19

Terkait pertentangan antara Ulama dan Ulee Balang ini, Hasan Saleh mengisahkan bahwa

ketika situasi telah gawat, seorang Ulee Balang dari Glumpang Payong yang dikenal dengan

Teuku Hasan Glumpang Payong atau Hasan Dik menghadap kepada Tgk. Daud Beureu-eh untuk

meminta maaf atas perilaku Ulee Balang di masa lalu. Dengan berjiwa besar akhirnya Abu

Beureu-eh memaafkan mereka (para Ulee Balang), dan keduanya (Hasan Dik dan Daud Beureu-

eh) nampak berpelukan.20

Sebuah kejadian yang unik dan langka di Aceh.

Kisah di atas lagi-lagi menjadi bukti bahwa Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh adalah

pemimpin besar yang tidak menaruh dendam kepada lawan-lawannya meskipun kesalahan yang

mereka lakukan sangat besar, namun sebagai seorang muslim yang taat, Abu Beureu-eh

menerima permohonan maaf mereka. Sungguh sikap yang luar biasa.

Padahal sebelumnya antara Hasan Dik dan Abu Beureu-eh pernah bersitegang, dan Hasan

Dik pernah membentak Abu Beureu-eh di depan polisi Jepang sambil menuduh bahwa Abu

Beureue-eh sebagai pengkhianat, namun dengan pembawaan tenang Abu Beureu-eh menolak

tuduhan tersebut.21

D. Pola Kepemimpinan Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh

1. Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh dan berdirinya Persatuan Ulama Seluruh Aceh

(PUSA)

Organisasi Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) berdiri pada tahun 1939 yang diketuai

oleh Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh.22

Sebelum kelahiran PUSA perkembangan agama di

Aceh belum menunjukkan gejala yang menggembirakan. Tidak semua rakyat Aceh memahami

agama Islam secara intensif dan korelasi antara pengetahuan agama dengan penngetahuan umum

7

masih sangat kurang. Aqidah orang Aceh sebelum berdirinya PUSA masih banyak dipengaruhi

oleh khurafat dan bid’ah.23

Kelahiran PUSA sedikit banyaknya juga dipengaruhi oleh pembaharuan yang dilakukan oleh

Syekh Muhammad bin Abdul Wahab di Saudi Arabiya yang pada pekembangan selanjutnya

melahirkan tokoh-tokoh reformis semisal Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha di Mesir.

Paham pembaharuan di Aceh dikembangkan oleh ulama-ulama yang terpengaruh dengan

paham tersebut. Di antara tokoh pembaharu tersebut adalah Syekh Al-Kalaly yang merupakan

guru dari Hasbi Ash-Siddiqie.24

Setelah ulama-ulama Aceh sadar akan pentingnya persatuan ulama untuk mewujudkan cita-

cita rakyat Aceh, maka ketika itu beberapa orang ulama Aceh, di antaranya Tgk. Muhammad

Daud Beureu-eh dan Tgk. Abdurrahman Meunasah Meucap bersepakat untuk melaksanakan

musyawarah alim ulama seluruh Aceh.25

Musyawarah Besar Alim Ulama Seluruh Aceh berlangsung dari tanggal 5 s/d 8 Mei 1939

bertempat di gedung Madrasah Al-Muslim Peusangan Matangglumpangdua.26

Sejak hari itu

ditetapkan bahwa tanggal 5 Mei 1939 sebagai hari lahirnya Persatoean Oelama Seloeroeh Atjeh

yang disingkat dengan P.Oe.S.A. Dalam musyawarah selama empat hari tersebut Tgk.

Muhammad Daud Beureu-eh terpilih sebagai ketua PUSA.27

Tgk. Daud Beureu-eh adalah salah seorang tokoh yang memiliki peran besar dalam

melahirkan organisasi PUSA. Beliau dianggap sebagai orang kuat yang mampu melaksanakan ide

pembaharuan pendidikan di Aceh.28

Terpilihnya Abu Beureu-eh sebagai ketua PUSA juga

mengisyaratkan kepada kita bahwa beliau benar-benar tokoh besar yang digandrungi oleh para

ulama yang ada di Aceh kala itu.

2. Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh Sebagai Pemimpin Militer

Pada era perjuangan kemerdekaan, Tgk. Daud Beureu-eh dikenal sebagai pemimpin Laskar

Mujahidin yang cukup ditakuti di Aceh. Di kisahkan bahwa pada saat Pemerintah Indonesia ingin

menggabungkan laskar-laskar (pasukan) yang ada di Aceh ke dalam TRI, mereka menolak karena

revolusi belum selesai dan mereka telah berjasa dalam revolusi kemerdekaan tersebut. Para

revolusioner di Aceh ketika itu masih ingin bergerak sendiri-sendiri dan keberatan jika

digabungkan ke dalam TRI. Pada saat ketegangan di kalangan laskar-laskar tersebut semakin

memuncak, muncullah Tgk. Daud Beureu-eh sebagai mediator untuk mengatasi ketegangan

tersebut. Akhirnya berkat pengaruh dan kewibaan beliau, laskar-laskar bersenjata di Aceh

bersedia bergabung dengan TRI yang merupakan cikal bakal dari TNI (Tentara Nasional

Indonesia).29

8

Ketika Wakil Presiden Indonesia berada di Bukit Tinggi, atas berbagai pertimbangan beliau

mengangkat Tgk. Daud Beureu-eh sebagai Gubernur Militer untuk daerah Aceh, Langkat dan

Tanah Karo dengan pangkat Jenderal Mayor Tituler.30

Diangkatnya Abu Beuerue-eh sebagai Gubernur Militer ketika itu adalah atas pertimbangan

bahwa beliau merupakan orang yang sangat berpengaruh di Aceh kala itu meskipun beliau tidak

pernah mendapatkan pendidikan formal layaknya pimpinan di daerah lain.

Pada saat masih menjabat sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Abu

Beureu-eh pernah diajak oleh Wali Negara Sumatra Timur untuk membentuk negara bagian. Abu

Beureu-eh menyatakan bahwa tidak ada perasaan kesukuan di Aceh sehingga tidak perlu

membentuk Aceh Raya karena republikan adalah semangat orang Aceh.31

Seandainya Daud

Beureu-eh gila kekuasaan, tentunya beliau akan menerima ajakan untuk membentuk negara

bagian di Aceh. Namun hal tersebut ternyata diabaikan oleh Abu Beureu-eh, fakta ini menjadi

bukti bahwa Abu Beureu-eh adalah seorang nasionalis yang setia kepada Republik.

Tgk. Daud Beureu-eh adalah sosok pemimpin yang memiliki kharisma dan disegani oleh

masyarakat dan tokoh-tokoh di Aceh. Ketika terjadi pemberontakan DI TII di Aceh yang ketika

itu dipimpin oleh Abu Beureu-eh, terlihat jelas bahwa mayoritas rakyat Aceh mendukung aksi

yang dilakukan oleh Abu Beureu-eh tersebut.

A. H. Geulanggang menceritakan bahwa pemberontakan yang dilakukan oleh Abu Beureu-

eh pada tahun 1953 selain mendapat dukungan rakyat juga turut didukung oleh Bupati, Patih,

Wedana, Camat, para Kepala Jawatan dan juga para Pegawai Negeri.32

Fakta ini tentu berbeda

dengan pergolakan yang terjadi di Aceh pada era 1976 – 2005 yang pada awalnya justru tidak

mendapat respon positif dari masyarakat dan menghabiskan waktu 20 tahun lebih untuk

menanamkan idiologinya.

Hasan Saleh, mantan pejuang TII, menceritakan bahwa dibawah kepemimpinan Daud

Beureu-eh semua unsur masyarakat Aceh bersatu, kecuali segelintir orang-orang yang sakit hati

kepada beliau. Pihak yang tidak senang dengan kepemimpinan Daud Beureu-eh hanyalah sisa-

sisa keluarga dan kerabat kaum kontrarevolusioner.33

Mereka adalah para Ulee Balang yang

sudah terpaut hati dengan Belanda.

E. Pandangan Politik Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh tentang Eksistensi Aceh

1. Janji dan Pengkhianatan Soekarno terhadap Aceh

Pada tahun 1947, Presiden Soekarno dalam kunjungan pertamanya ke Aceh sempat berdialog

dengan Abu Beureu-eh. Dalam dialog tersebut Soekarno meminta bantuan Abu Beureu-eh agar

rakyat Aceh bersedia berjuang bersama Pemerintah Indonesia untuk mempertahankan

9

kemerdekaan Indonesia yang ketika itu sedang kewalahan mengahadapi serangan Belanda. Secara

tegas Abu Beureu-eh bersedia menerima ajakan Soekarno asalkan perjuangan yang dilakukan

tersebut adalah jihad fisabilillah dan untuk menegakkan agama Allah.34

Dalam dialog tersebut Abu Beureu-eh juga meminta kepada Soekarno agar setelah

perjuangan usai, di Aceh agar diberikan kebebasan untuk melaksanakan Syari’at Islam.

Mendengar permintaan Abu Beureu-eh, Soekarno menjawab dengan diplomatis bahwa hal

tersebut tidak perlu dikhawatirkan oleh Abu Beureu-eh karena 90% rakyat Indonesia beragama

Islam dan akhirnya secara lebih tegas Soekarno juga menyanggupi permintaan dari Abu Beureu-

eh tersebut. Mendengar penjelasan Soekarno, Abu Beureue-eh belum puas, sambil menyodorkan

secarik kertas kepada Soekarno, Abu Beureu-eh meminta Soekarno untuk menuliskan janjinya

tersebut.35

Karena merasa tidak mendapat kepercayaan dari Abu Beureu-eh, ketika itu Soekarno

langsung menangis terisak-isak dan bersumpah demi nama Allah bahwa ia akan memberikan hak

kepada Aceh untuk mengatur rumah tangganya sendiri dan melaksanakan Syari’at Islam. Setelah

mendengar ucapan Soekarno tersebut akhirnya Abu Beureu-eh percaya saja dengan ucapan

tersebut. Menurut Ibrahimy, ketika itu Abu Beureu-eh merasa iba melihat Soekarno menangis.36

Dari kutipan singkat di atas dapat kita tarik sebuah kesimpulan bahwa Abu Beureu-eh adalah

tipe pemimpin yang tegas. Beliau tidak mudah mempercayai orang lain meskipun orang tersebut

adalah tokoh bangsa semisal Soekarno. Menurut Abu Beureu-eh sebuah janji itu tidak cukup

hanya di mulut, tapi mesti ada jaminan hitam di atas putih. Meskipun permintaan Abu Beureu-eh

ketika itu tidak sempat teralisasi, namun bukan berarti bahwa Abu Beureu-eh mengalah dengan

Soekarno. Sikap mundur selangkah yang dipraktekkan oleh Abu Beureu-eh ketika itu adalah

sikap yang dapat dimengerti dan kondisional. Sikap tersebut tidaklah menjatuhkan wibawa beliau,

tetapi justru menjadi bukti bahwa Abu Beureu-eh adalah tipe pemimpin yang bijak.

Di samping itu kepercayaan Daud Beureu-eh terhadap Soekarno, menurut penulis disebabkan

Soekarno telah bersumpah dengan nama Allah. Sebagai seorang muslim yang taat tentunya Daud

Beureu-eh sangat menghargai sumpah tersebut.

Namun sayangnya, janji Soekarno kepada Abu Beureu-eh hanya tinggal janji dan tidak

pernah ditepati, sehingga pada perkembangan selanjutnya memicu pemberontakan DI TII yang

dipimpin langsung oleh Abu Beureu-eh.

2. Meletusnya Pemberontakan DI TII

Tujuan utama pemberontakan DI TII yang dipimpin oleh Abu Beureu-eh di Aceh

pada 21 September 1953 adalah untuk membentuk Negara Islam. Dalam maklumat

10

pemberontakan tersebut dinyatakan bahwa mereka akan melenyapkan kekuasaan

Pancasila di Aceh dan menggantinya dengan Pemerintah Negara Islam.37

Dalam naskah proklamasi 21 September 1953, Abu Beureu-eh menyatakan bahwa

Aceh sejak tanggal tersebut menjadi bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) yang

didirikan oleh Imam Kartosuwiryo.38

Dengan demikian sejak tanggal 21 September 1953,

Aceh keluar dari rangkaian Negara Pancasila Republik Indonesia, dan sejak tanggal itu

pula Aceh resmi menjadi Daerah Negara Islam.39

Dalam keterangan politiknya pada tahun 1953 Abu Beureu-eh menyatakan bahwa

pihak Republik Indonesia melalui Kejaksaan Agung pernah melakukan percobaan untuk

menghalang-halangi aktivitas beragama masyarakat Aceh. Kejaksaan Agung pernah

mencoba mengeluarkan larangan berkhutbah dengan muatan politik di mesjid dan tempat -

tempat lainnya. Hal ini membuat Abu Beureue-eh menjadi berang, karena menurutnya

kegiatan politik adalah bagian dari agama yang tidak dapat dipisahkan.40

Dari pernyataan Abu Beureu-eh dalam keterangan politiknya tersebut dapat difahami

bahwa politik dan agama adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Artinya politik dan

agama itu bersifat integral dan saling melengkapi. Pandangan Abu Beureu-eh tentang

politik tersebut mengisyaratkan bahwa beliau sangat anti kepada konsep politik sekuler

yang memisahkan konsep politik dengan agama sehingga terjadilah kerancuan dalam

penerapannya.

Sebab lainnya yang turut memicu pemberontakan DI TII di Aceh adalah ucapan

Presiden Soekarno yang menyatakan akan mendirikan negara yang berdasarkan kepada

dasar kebangsaan dan bukan didasarkan pada agama.41

Hal ini membuat Abu Beureu-eh

kecewa, apalagi Soekarno pada tahun 1947 –sebagaimana penulis singgung di atas pernah

berjanji kepada Abu Beureu-eh bahwa Aceh akan diberi kewenangan untuk menjalankan

Syari’at Islam.

Hal terpenting lainnya yang turut mendorong Abu Beureu-eh memberontak adalah

masalah status otonomi khusus yang memungkinan Aceh memiliki sistem pemerintahan

sendiri dengan asas Islam tak kunjung dipenuhi oleh Soekarno.42

Abu Beureu-eh juga menyatakan bahwa pemberontakan yang dilakukannya terhadap

Pemerintah Indonesia merupakan ekses dari tidak terealisasinya janji Soekarno. Menurut

Abu Beureu-eh Soekarno adalah orang yang paling bertanggung jawab atas

pemberontakan tersebut. Abu Beureu-eh juga berprinsip bahwa siapa saja yang tidak

menjalankan hukum Allah, maka di adalah kafir.43

Prinsip yang dipegang oleh Abu Beureu-eh tersebut bukanlah karangannya sendiri, tetapi

merupakan perintah Tuhan yang terdapat dalam Al-Quran, sebagai berikut:

11

(44:المائدة )

Artinya: Dan janganlah kamu menukar ayat-ayatKu dengan harga yang sedikit. Barang siapa

yang tidak memutuskan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-

orang kafir (Q.S. Al-Maidah: 44).44

Dari pernyataan Abu Beureu-eh di atas, bahwa siapa saja yang tidak menjalankan hukum

Allah adalah kafir, merupakan cerminan dari sikap beliau yang tetap konsisten dengan ajaran

Islam. Namun demikian, hendaknya pernyataan Daud Beureu-eh tentang kafirnya orang yang

tidak menjalankan hukum Allah, jangan dipolitisir, sehingga kita menuduh Abu Beureu-eh

sebagai tipe orang yang mudah mengkafirkan.

A. H. Geulanggang dalam bukunya menyimpulkan bahwa pemberontakan yang dilakukan

oleh Abu Beureue-eh adalah murni untuk menegakkan Syari’at Islam di Aceh dan bukan karena

beliau digeser dari kursi pemerintahan45

sebagaimana dituding oleh sebagian pihak yang anti

kepada perjuangan Abu Beureu-eh.

Hasan Saleh, mantan pejuang DII TII dalam bukunya menceritakan bahwa di antara sebab-

sebab utama pemberontakan Abu Beureu-eh bersama DI TII adalah karena pembubaran Provinsi

Aceh. Hal ini sangat menyakitkan hati Abu Beureu-eh dan rakyat Aceh, karena dari dulu Aceh

memperjuangkan status otonomi di daerahnya.46

Sikap Pemerintah RI yang membubarkan Provinsi Aceh adalah sikap yang sangat

menyakitkan bagi Abu Beureu-eh dan rakyat Aceh. Padahal rakyat Aceh memiliki jasa besar

terhadap berdirinya Republik ini. Soekarno telah jelas-jelas menipu dan menyakiti hati Abu

Beureu-eh dengan keputusan membubarkan Provinsi Aceh. Soekarno telah membuat Abu

Beureu-eh sakit hati, dan Abu Beureu-eh kala itu adalah jantung hatinya rakyat Aceh.47

Adalah wajar jika Abu Beureu-eh menjadi berang dan marah besar terhadap keputusan ini,

mengingat Soekarno pernah berjanji kepada Abu Beureu-eh bahwa Aceh diberi kewenangan

untuk menjalankan Syariat Islam, dan kewenangan itu tidak akan pernah ada jika hak otonomi

tidak diberikan kepada Aceh.

Dengan segala daya dan upaya Abu Beureu-eh terus melakukan usaha-usaha untuk

mempertahankan Provinsi Aceh, namun usaha tersebut gagal. Abu Beureu-eh pernah berkata

kepada Wakil Presiden Muhammad Hatta yang berkunjung ke Aceh waktu itu; “jika besok lusa

rakyat Aceh melakukan sesuatu untuk mempertahankan hak hidupnya, maka tanggung jawab

sepenuhnya ada di tangan Pemerintah Pusat”.48

Dari pernyataan Abu Beureu-eh di atas dapat disimpulkan bahwa pemberontakan yang

dilakukannya terhadap Republik bukanlah atas kepentingan pribadi dan kekuasan, tetapi

disebabkan kecintaannya kepada Aceh dan demi tegaknya Syariat Allah di bumi Aceh.

12

F. Tgk Muhammad Daud Beureu-eh; Ulama dan Mujaddidnya Tanah Rencong

1. Aqidah Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh

Sebagaimana telah penulis singgung di atas, bahwa menurut penulis, Tgk. Muhammad Daud

Beureu-eh adalah sosok ulama yang murni akidahnya. Beliau sangat membenci segala bentuk

kesyirikan. Daud Beureu-eh adalah tipe ulama yang sangat konsisten memegang Al-Quran dan

Hadits, sehingga siapa saja yang menurutnya menolak ataupun merubah Al-Quran dan Hadits

maka orang tersebut menurut beliau adalah kafir.

Dalam kehidupannya Daud Beureu-eh dikenal sebagai ulama yang sangat gencar

memberantas bid’ah dan khurafat yang ketika itu telah merasuki benak sebagian masyarakat

Aceh. Satu hal lagi perlu penulis sebutkan di sini, bahwa pemikiran Tauhid Abu Beureu-eh

menurut penulis memiliki kesamaan dengan pemikiran Tauhid Muhammad bin Abdul Wahab

yang dikembangkan di Saudi Arabia.

2. Tgk. Muhammad Daud Bureu-eh; Ulama Anti Bid’ah dan Maksiat

Dikisahkan bahwa pada saat Tgk. Daud Beureu-eh tinggal di Kampung Usi, ketika itu

penduduk kampung banyak terpengaruh dengan ajaran sufi Al-Hallaj. Berkat usaha dan

bimbingan yang dilakukan oleh Tgk. Daud, akhirnya banyak penduduk kampung yang

meninggalkan ajaran sesat tersebut dan kembali ke jalan yang benar.49

Tgk. Daud Beureu-eh dikenal sebagai ulama yang keras pendiriannya dalam

mempertahankan ajaran Islam. Pernah suatu ketika, pada saat Tgk. Daud Beureu-eh berkhutbah di

Mesjid Raya Kuta Raja, beliau dengan terang-terangan menyatakan bahwa komunis adalah

musuhnya umat Islam dan beliau meminta rakyat Aceh untuk menjauhi PKI (Partai Komunis

Indonesia) yang pada saat itu sudah mulai masuk ke Aceh.50

Daud Beureu-eh adalah ulama yang sangat ahli berpidato dan mampu berbicara berjam-jam

dengan suara keras dan lantang. Beliau pernah berkeliling selama 25 hari dan berpidato sebanyak

70 kali, tapi suaranya tidak parau dan kondisinya tetap sehat.51

Dalam hal perbuatan maksiat, Abu Beureue-eh dikenal sebagai tipe pemimpin dan ulama

yang sangat anti kepada perilaku maksiat. Dalam sebuah maklumat yang dikeluarkan oleh Abu

Beureue-eh semasa masih menjabat sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo

pada 18 September 1948, tertulis sebagai berikut:

Barang siapa jang melakukan atau turut berhubungan dengan perbuatan djudi dalam rupa

dan tjara jang bagaimana sekalipun, jang melakoekan perbuatan zina atau tjoeri, baik

sesudah mendjalankan hukumannja menoeroet kepoetoesan Hakim, maupun tidak ada

keputusan Hakim untuk itu, kita, djika merasa perlu akan mengambil ketetapan untuk

memindahkan mereka itu dari tempat tinggal asalnja kepada suatu tempat tinggal lain jang

ditentukan…52

13

Kutipan di atas sengaja penulis penulis sajikan sebagaimana aslinya agar nuansa

sejarahya tidak pudar. Dari kutipan di atas nampak jelas ketegasan Abu Beureu-eh sebagai

pemimpin dalam memberantas perilaku maksiat di wilayah yang dipimpinnya.

Abu Beureue-eh adalah sosok ulama yang kuat pendirian dan pemahamannya terhadap

Al-Quran dan Hadits. Abu Beureu-eh memandang wajib menjalankan hukum Islam sesuai

dengan Al-Quran dan Hadits.

Dalam seruan dakwah yang disampaikan oleh Abu Beureu-eh pada tahun 1954, beliau berkata:

Kita dan Ibu Bapa kita adalah umat Islam. Umat Islam wadjib mendjundjung tinggi Quran

dan Hadis sebagai dasar hukum dalam pergaulan hidupnja. Mereka jang merobah Quran

dan Hadis atau menolak sebahagianja adalah mereka itu “kafir” hukumnja dan putuslah

tali nasab (hubungan tali keturunannja) dengan ibu bapanja.53

Berdasarkan kutipan di atas dapat dimengerti bahwa Abu Beureu-eh adalah salah seorang

ulama yang sangat konsisten dengan Al-Quran dan Hadits. Beliau menganggap kafir siapa saja

yang menolak ataupun merubah Al-Quran dan Hadits. Sikap konsisten Abu Beureu-eh terhadap

Al-Quran dan Hadits juga terlihat dalam setiap pidatonya, beliau selalu mengiringi

pembicaraannya dengan ayat-ayat Al-Quran dan juga hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam

yang beliau gunakan sebagai dalil guna menguatkan pendapatnya tersebut.

Hasanuddin Yusuf Adan dalam bukunya menyebutkan bahwa Daud Beureu-eh pernah

berkata; ”Sudah ratusan tahun syari’at Islam berlaku di Aceh. Tetapi hanya beberapa tahun

bergabung dengan RI, sirna hukum Islam di Aceh. Oleh karena itu, saya akan pertaruhkan

segalanya demi tegaknya syari’at Islam di Aceh.”54

Pernyataan yang dikutip oleh Yusuf Adan di atas semakin mempertegas kepada kita bahwa

Abu Beure-eh adalah tokoh yang sangat kental rasa keagamaannya sehingga bersedia melakukan

apa saja – termasuk memberontak demi tegaknya agama Allah.

Dalam sebuah tulisan lain, Yusuf Adan juga menginformasikan kepada kita bahwa Tgk.

Muhammad Daud Beureu-eh juga telah berjaya mengawal dan mengembangkan Islam sehingga

Aceh harum dengan syari’ah. Ketika beliau memimpin organisasi Persatoean Oelama Seloeroeh

Atjeh (POESA), Islam jaya dan syari’ah semakin berbunga, ’aqidah bertambah kuat dan akhlak

juga semakin mantap dalam kehidupan muslim Aceh dalam kurun tahun 1950an.55

Cerita menarik lainnya yang mengindikasikan bahwa Abu Beureu-eh adalah Ulama yang

kuat pemahamannya terhadap agama adalah ketika ulama terkenal dari Sumatra Barat, Buya

Hamka, berkunjung ke Aceh. Kedatangan Buya Hamka ke Aceh untuk menemui Abu Beureu-eh

kononnya karena diminta oleh pemerintah RI. Informasi ini penulis kutip dari blog

serbasejarah.wordpress.com yang merupakan salinan dari Majalah Panji Masyarakat no. 543 yang

ditulis oleh sekretaris Buya Hamka.

14

Dalam pertemuannya dengan Daud Beureu-eh tersebut, Buya Hamka menjelaskan secara

panjang lebar tentang hakikat Pancasila yang menjadi dasar Negara Indonesia. Setelah

mendengar penjelasan dari Buya, Abu Beureu-eh berkata;

Yang jadi masalah bagi saya ialah keadaan sehari-hari yang jauh berbeda dengan ucapan-

ucapan para pemimpin”. Kita percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, tapi kita

membiarkan berlakunya perbuatan-perbuatan syirik, memuja kubur, memuja api, bahkan

ada pemimpin yang ikut melakukannya. Disebutnya juga perjudian yang semakin meluas.

Bukankah itu namanya kita main-main dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.56

Jawaban Abu Beureu-eh setelah mendengar penjelasan HAMKA sebagaimana tersebut di

atas menjadi bukti paling valid bahwa Abu Beureu-eh sangat tidak sepakat dengan azas Pancasila

yang digunakan oleh Pemerintah RI sebagai dasar negara Indonesia yang mayoritas penduduknya

beragama Islam. Pancasila, menurut Abu Beureu-eh tidak akan pernah mampu menghilangkan

kemaksiatan yang terjadi di Indonesia. Orang-orang mengaku bertuhan dan beragama Islam,

tetapi perilaku dan tingkahnya justru bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri.

3. Tgk. Muhamamd Daud Beure-eh dan Pembaharuan Pendidikan di Aceh

Diceritakan bahwa setelah menikah dengan Tgk. Halimah di Kampung Usi Meunasah

Dayah, Tgk. Daud Beureu-eh mendirikan pesantren bagi murid-muridnya di desa tersebut.

Kemudian pada tahun 1930 beliau membentuk Jami’ah Diniah dan mendirikan Madrasah Sa’adah

Abadiah di Blang Paseh Sigli.57

Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh bertindak langsung sebagai pimpinan Madrasah Sa’adah

Abadiah yang didirikannya tersebut. Dengan dibukanya Madrasah ini oleh Abu Beureu-eh, maka

ramailah pelajar-pelajar di Aceh yang belajar di Madrasah tersebut, sehingga Blang Paseh yang

menjadi tempat Madrasah tersebut kian terkenal ke seluruh Aceh. Di samping itu

Jami’atuddiniyah Blang Paseh juga memiliki beberapa cabang di Aceh.58

Dari kisah singkat di atas dapat diketahui bersama bahwa Abu Daud Beureu-eh, selain

sebagai pemimpin politik, pemimpin militer dan ulama, beliau juga sosok yang sangat peduli

dengan pendidikan. Meskipun pada awalnya beliau berasal dari lembaga pendidikan tradisional

(dayah) namun akibat luas pengetahuan dan pergaulannya, terutama dengan tokoh-tokoh

pembaharu pendidikan di Aceh seperti ayah Hamid, akhirnya beliau mampu mendirikan

madrasah yang merupakan cikal bakal pendidikan modern.

G. Hari-Hari Terakhir Sang Revolusioner

1. Kembalinya Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh ke Pangkuan Ibu Pertiwi

Ibrahimy menceritakan dalam bukunya bahwa Tgk. Daud Beureu-eh pasca kembali ke

pangkuan Ibu Pertiwi, beliau hidup sederhana dan tidak pernah meminta fasilitas apapun kepada

pemerintah baik bagi dirinya maupun keluarganya. Bahkan beliau tidak pernah mengurus

15

pensiunnya sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo, Gubernur Aceh, Anggota

DPA dan juga anggota DPR. Uniknya lagi, beliau juga menolak bantuan rumah di Kuta Raja yang

ditawarkan oleh pemerintah di Aceh ketika itu. 59

Bisa disimpulkan bahwa pasca kembalinya ke pangkuan Ibu Pertiwi kehidupan Abu Beureu-

eh biasa saja dan tidak ada hal yang istimewa. Padahal hampir seluruh usianya dipergunakan

untuk melancarkan revolusi guna mencapai kemerdekaan Indonesia. Berbeda dengan pemimpin

kita hari ini yang larut kemewahan dan bergelimang harta benda.

2. Daud Beureu-eh; Pahlawan yang Terzalimi

Istri Tgk. Daud Beureu-eh pernah menceritakan kepada Ibrahimy, bahwa ketika Daud

Beureu-eh akan dipindahkan ke Jakarta dalam keadaan mendadak, beliau sempat diperlakukan

secara zalim dan tidak manusiawi oleh petugas yang berseragam hijau. Padahal tindakan yang

oleh Ibrahimy disebut sebagai “immoral treatment” tersebut tidak pantas diterima oleh Abu

Beureu-eh yang memiliki jasa besar dalam menyelamatkan Republik ini,60

khususnya pada saat

agresi Belanda 1949 yang membuat Indonesia ketika itu jatuh tersungkur akibat serangan

Belanda.

Daud Beureu-eh yang ketika itu (tahun 1949) menjabat sebagai Gubernur Militer memberi

pelayanan yang sangat baik kepada perwira-perwira Indonesia yang pada saat itu telah terdesak

dan berhijrah ke Aceh. Oleh Daud Beureu-eh mereka diberikan tempat yang layak di Kuta Raja,61

tapi ironisnya di akhir-akhir kehidupannya, sang Revolusioner dan pahlawan kita ini diperlakukan

secara tidak pantas oleh aparat di negeri ini.

Ketika itu, tepatnya tanggal 1 Mei 1978, selepas Shalat Shubuh serombongan petugas

Republik Indonesia yang dipimpin oleh Komandan Kodim Pidie, Letkol Nyak Umar, seorang

jaksa dan seorang dokter beserta beberapa orang tentara datang ke rumah Tgk. Daud Beureu-eh.

Singkat cerita dalam acara penjemputan paksa tersebut, meskipun mengaku sakit dan tidak

sanggup pergi ke Surabaya, namun atas perintah Letkol Nyak Umar beliau disergap oleh beberapa

orang tentara. Tidak cuma itu, sang dokter juga menyuntikkan jarum berisi narkose di bahu Abu

Beureu-eh. Tragisnya lagi ketika istri Abu Beureu-eh keluar hendak melihat suaminya, Letkol

Nyak Umar malah menodongkan pistol kepada istri Abu Beureu-eh.62

Sungguh perlakuan yang

sama sekali tidak pantas diterima oleh seorang mantan pemimpin besar sekaliber Daud Beureu-eh.

Tgk Daud Beureu-eh tinggal di Jakarta dibawah pengawasan pemerintah Indonesia sejak

1978 sampai dengan 1982, menurut Ibrahimy, selama di Jakarta Daud Beureu-eh berstatus

sebagai orang buangan. Abu Beureu-eh baru diizinkan pulang ke Aceh pada tahun 1982. Ketika

itu kondisi Abu Beureu-eh sudah sangat uzur, beliau harus dipapah ketika berjalan dan matanya

sudah hampir tidak dapat melihat lagi.63

16

3. Wafatnya Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh; Aceh Kehilangan Pemimpin Berani,

Pejuang Sejati dan Ulama Besar

Ibrahimy mengisahkan bahwa pada awal-awal kepulangannya ke Aceh, Abu Beureu-eh tidak

dibenarkan shalat di Mesjid Baitul A’la lil Mujahidin dan ketika itu beliau layaknya tahanan

rumah. Menjelang tahun kedua kepulangannya, beliau baru diizinkan shalat di Mesjid Baitul A’la

tetapi ketika itu beliau masih diawasi secara ketat.64

Memasuki tahun ketiga, pengawasan terhadap Tgk. Daud Beureu-eh sudah mulai longgar,

namun sayangnya ketika itu fisik Abu Beureu-eh sudah sangat lemah dan sudah tidak mampu lagi

menjadi imam shalat. Pada tahun 1986 sampai dengan 1987 beliau hanya bisa shalat sambil

duduk. Tepatnya tanggal 10 Juni 1987 Abu Beureu-eh menghembuskan nafasnya yang terakhir

dan berpulang ke rahmatullah dalam usia 88 tahun. Beliau dimakamkan secara sederhana di

halaman sebelah barat Masjid Baitul A’la yang beliau dirikan sendiri.65

Allahummagfirlahu…

H. Penutup

Demikianlah sepotong kisah tentang Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh, seorang tokoh besar

yang pernah memimpin Aceh. Sebagai pemuda-pemudi Aceh sudah selayaknya kita mengenang

jasa-jasa beliau dan memohon kepada Allah agar beliau ditempatkan di tempat yang sesuai

dengan amalnya. Wallahul Musta’an.

Endnote:

1Wikipedia, Daud Beureu’eh, diakses dari http://id.wikipedia.org/wiki/Daud_Beureu'eh pada tanggal 02 Mei

2013.

2M. Nur El Ibrahimy, Peranan Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh dalam Pergolakan Aceh, Edisi Revisi

(Jakarta: Media Dakwah, 2001), hal. 261.

3Ibid., hal. 282.

4Ibid., hal. 262.

5Ibid.

6T. Ibrahim Alfian, dkk, Revolusi Kemerdekaan Indonesia di Aceh (1945-1949) (Banda Aceh: Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Pengembangan Permuseuman Daerah Istimewa Aceh, 1982), hal. 1.

7Insider, Atjeh Sepintas Lalu (Djakarta: FA ARCHAPADA, 1950), hal. 5.

8Ibid., hal. 7.

9Ibid., hal. 8.

10

Ibid., hal. 10.

11

Ibid., hal. 10 – 11.

12

M. Nur El-Ibrahimy, Teungku Muhammad Daud Beureu-eh dan Peranannya dalam Pergolakan di Aceh,

cet. 2 (Jakarta: PT. Gunung Agung, 1982), hal. 76.

13

Ibid.

17

14Ibid., hal. 84 – 85.

15

Ariwiadi, Gerakan Operasi Militer VII Penjelesaian Peristiwa Atjeh (t.t.p: Mega Bookstore, t.t), hal. 1.

16

Ibid., hal. 2.

17

El-Ibrahimy, Teungku Muhammad Daud Beureu-eh dan Peranannya, hal. 97.

18

Ibid., hal. 101 – 102.

19

Ibid., hal. 104.

20

Hasan Saleh, Mengapa Aceh Bergolak (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1992), hal. 26 – 27.

21

Ibid., hal. 29.

22

Dada Meuraxa, Peristiwa Berdarah di Atjeh (Medan: Pustaka Sedar, 1956), hal. 18.

23

Lembaga Research dan Survey IAIN Jami’ah Ar-Raniry, Laporan Penelitian Pengaruh PUSA Terhadap

Reformasi di Aceh (Banda Aceh: IAIN Ar-Raniry Darussalam, 1978), hal. 10.

24

Ibid., hal. 18 – 19.

25

Ibid., hal. 23 – 24.

26

Ibid., hal. 27.

27

Ibid., hal. 28.

28

Ibid., hal. 31.

29

Ibrahimy, Peranan Tgk. Muhammad Daud, hal. 264.

30

Ibrahimy, Peranan Tgk. Muhammad Daud, hal. 265.

31

Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, hal. 116.

32

A. H. Geulanggang, Rahasia Pemberontakan Atjeh dan Kegagalan Politik MR. S.M. Amin (Kutaradja:

Pustaka Murnihati, 1956), hal. 43.

33

Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, hal. 122.

34

Ibrahimy, Teungku Muhammad Daud Beureu-eh dan Peranannya, hal. 64.

35

Ibid., hal. 64 – 65.

36

Ibid.

37

MR. SM. Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah di Atjeh (Jakarta: Soeroengan Djakarta, 1956), hal. 48.

38

Ibid., hal. 249.

39

Geulanggang, Rahasia Pemberontakan Atjeh, hal. 31.

40

Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah, hal. 250.

41

Ibid.

42

Anonim, Pemberontakan Daud Beureueh, artikel diakses pada tanggal 05 Mei 2013 melalui

http://elib.rangkang.com/pemberontakan-daud-beureueh/.

43

Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah, hal. 250.

44

Mujamma’ Malik Fahd, Al-Quran dan Terjemahannya (ttp: Kementrian Urusan Agama Islam, Waqaf,

Dakwah dan Irsyad Kerajaan Saudi Arabia, tt), hal. 167.

45

Geulanggang, Rahasia Pemberontakan Atjeh, hal. 43.

46

Saleh, Mengapa Aceh Bergolak, hal. xvi – xvii.

47

Ibid., hal. 128.

48

Ibid., hal. 132.

49

Ibrahimy, Peranan Tgk. Muhammad Daud, hal. 262.

50

Ibid., hal. 262 – 263.

51

Ibid., hal. 263.

52

Amin, Sekitar Peristiwa Berdarah, hal. 291.

53

Geulanggang, Rahasia Pemberontakan Atjeh, hal. 54.

18

54Hasanuddin Yusuf Adan, Tamaddun dan Sejarah Etnografi Kekerasan di Aceh (Yogyakarta: Prisma

Sophie, 2003), hal. 5.

55

Hasanuddin Yusuf Adan, Mengatasi Pendangkalan Akidah dan Aliran Sesat di Aceh, artikel diakses pada

tanggal 06 Mei 2013 melalui

http://ddii.acehprov.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=135:mengantisipasi-p...

56

Anonim, Pada Suatu Hari dengan Daud Beureu-eh, artikel diakses pada tanggal 05 Mei 2013 melalui

http://serbasejarah.wordpress.com/2010/05/03/pada-suatu-hari-dengan-daud-beureueh/.

57

Ibrahimy, Peranan Tgk. Muhammad Daud, hal. 262.

58

Depdikbud, Sejarah Pendidikan Daerah Istimewa Aceh (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah, 1984), hal. 61.

59

Ibrahimy, Peranan Tgk. Muhammad Daud, hal. 273 – 274.

60

Ibid., hal. 275 – 276.

61

Ibid., hal. 276.

62

Ibid., hal. 278.

63

Ibid., hal. 278 – 279.

64

Ibid., hal. 281.

65

Ibid., hal. 281 – 282.