umi bab iiilibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · pemikir...

21
30 BAB III TRADISI DALAM PEMIKIRAN HASAN HANAFI A. Riwayat Hidup dan Karya-Karyanya a. Riwayat Hidup dan Kondisi Sosio-Kultural Hasan Hanafi Hasan Hanafi lahir pada tanggal 13 Februari 1935 M di Kairo, di dekat benteng Salahudin, daerah perkampungan al-Azhar, 1 dari keluarga musisi yang sangat religius. 2 Keluarga Hasan Hanafi berasal dari Bani Suwayf, sebuah propinsi yang berada di Mesir dalam, dan berurban di Kairo. Mereka mempunyai darah keturunan Maroko. Kakeknya berasal dari Maroko sementara neneknya berasal dari kabilah Bani Mur yang menunjukkan bahwa Mesir, terutama kota Kairo, mempunyai arti penting bagi perkembangan awal tradisi keilmuan Hasan Hanafi. Masa kecil Hasan Hanafi berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hidup dibawah penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya, sehingga tidak heran meskipun masih berusia 13 tahun ia berani mendaftarkan diri untuk menjadi sukarelawan Palestina pada tahun 1948 M. Tetapi ia ditolak oleh pemuda Muslimin karena dianggap usianya masih terlalu muda. Disamping itu ia juga di anggap bukan berasal dari kelompok pemuda Muslim. Kekecewaan menyelimuti dirinya hingga ia menyadari bahwa di Mesir saat itu telah terjadi problem persatuan dan perpecahan. Ketika masih duduk di bangku SMA, tepatnya pada tahun 1951, Hasan Hanafi menyaksikan sendiri bagaimana tentara Inggris membantai para syuhada di terusan Suez. Bersama-sama para mahasiswa ia mengabdikan diri untuk membantu revolusi yang telah dimulai pada akhir tahun 1940-an, hingga revolusi itu meletus pada tahun 1952 M. Atas saran-saran anggota Pemuda Muslim, pada tahun itu pula ia tertarik untuk memasuki organisasi Ikhwanul Muslimin. Akan 1 Muhidin M. Dahlan, Postkolonial Sikap Kita Terhadap Imprealisme, Jendela, Yogyakarta, 2001, hlm. 53 2 Ridwan Hambali, Reformasi Intelektual Islam, Yogyakarta, Ittqo Press, 1998, hlm. 18

Upload: doantuong

Post on 10-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

30

BAB III

TRADISI DALAM PEMIKIRAN HASAN HANAFI

A. Riwayat Hidup dan Karya-Karyanya

a. Riwayat Hidup dan Kondisi Sosio-Kultural Hasan Hanafi

Hasan Hanafi lahir pada tanggal 13 Februari 1935 M di Kairo, di dekat

benteng Salahudin, daerah perkampungan al-Azhar,1 dari keluarga musisi yang

sangat religius.2 Keluarga Hasan Hanafi berasal dari Bani Suwayf, sebuah

propinsi yang berada di Mesir dalam, dan berurban di Kairo. Mereka mempunyai

darah keturunan Maroko. Kakeknya berasal dari Maroko sementara neneknya

berasal dari kabilah Bani Mur yang menunjukkan bahwa Mesir, terutama kota

Kairo, mempunyai arti penting bagi perkembangan awal tradisi keilmuan Hasan

Hanafi.

Masa kecil Hasan Hanafi berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hidup

dibawah penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu

membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya, sehingga tidak heran

meskipun masih berusia 13 tahun ia berani mendaftarkan diri untuk menjadi

sukarelawan Palestina pada tahun 1948 M. Tetapi ia ditolak oleh pemuda

Muslimin karena dianggap usianya masih terlalu muda. Disamping itu ia juga di

anggap bukan berasal dari kelompok pemuda Muslim. Kekecewaan menyelimuti

dirinya hingga ia menyadari bahwa di Mesir saat itu telah terjadi problem

persatuan dan perpecahan.

Ketika masih duduk di bangku SMA, tepatnya pada tahun 1951, Hasan

Hanafi menyaksikan sendiri bagaimana tentara Inggris membantai para syuhada

di terusan Suez. Bersama-sama para mahasiswa ia mengabdikan diri untuk

membantu revolusi yang telah dimulai pada akhir tahun 1940-an, hingga revolusi

itu meletus pada tahun 1952 M. Atas saran-saran anggota Pemuda Muslim, pada

tahun itu pula ia tertarik untuk memasuki organisasi Ikhwanul Muslimin. Akan

1Muhidin M. Dahlan, Postkolonial Sikap Kita Terhadap Imprealisme, Jendela, Yogyakarta, 2001, hlm. 53

2Ridwan Hambali, Reformasi Intelektual Islam, Yogyakarta, Ittqo Press, 1998, hlm. 18

31

tetapi, di tubuh Ikhwanpun terjadi perdebatan yang sama dengan apa yang terjadi

ketika ingin mendaftarkan diri menjadi sukarelawan Palistina. Kemudian Hasan

Hanafi disarankan oleh para anggota Ikhwanul untuk bergabung dalam organisasi

Mesir Muda. Ternyata keadaan di dalam tubuh Mesir Muda sama dengan kedua

organisasi sebelumnya. Hal ini menyebabkan ketidakpuasan Hasan Hanafi atas

cara berfikir kalangan muda Islam yang terkotak-kotak. Kekecewaannya tersebut

menyebabkan ia memutuskan berkonsentrasi mendalami pemikiran-pemikiran

keagamaan, revolusi dan perubahan sosial. Hal ini juga yang menyebabkan ia

lebih tertarik pada pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb tentang prinsip-prinsip

keadilan sosial dalam Islam.3

Sejak tahun 1952 M sampai dengan tahun 1956 M Hasan Hanafi belajar di

Universitas Cairo dan mendapat gelar sarjana pada Fakultas Adab (Sastra Arab)

jurusan filsafat. Pada periode ini ia merasakan situasi yang paling buruk di Mesir

pada tahun 1954 M, misalnya, terjadi pertentangan keras antara Ikhwan dengan

revolusi. Hasan Hanafi berada pada pihak Muhammad Najib, yang berhadapan

dengan Nasser. Karena baginya Najib memiliki komitmen dan visi Islam yang

jelas.

Kejadian-kejadian yang dialami pada waktu itu, terutama yang dihadapi

dikampus, membuatnya ia bangkit menjadi seorang pemikir, pembaharu dan

reformis. Keprihatinan yang muncul saat itu adalah mengapa umat Islam selalu

dikalahkan dan mengapa konflik internal dalam Islam selalu terjadi.4

Tahun-tahun berikutnya, Hasan Hanafi berkesempatan untuk belajar di

Universitas Sarbone (Prancis) pada tahun 1956 M sampai 1966 M. Ia disini

memperoleh lingkungan yang kondusif untuk mencari jawaban atas persoalan-

persoalan mendasar yang dihadapi oleh Negrinya dan sekaligus merumuskan

jawaban-jawabannya. Negara Prancis adalah tempat melatih dirinya untuk berfikir

secara metodelogis melalui kuliah-kuliah maupun bacaan-bacaan dan karya-karya

3loc.cit. 4Hal ini sesuai dengan pemikiran Kazuo Shimogoki, dalam karyanya, Kiri Islam; antara

Modernisme dan Post Modernisme; Telaah Kritis atas Pemikiran Hassan Hanafi, LKIS, Yogyakarta, 1993, hlm. 4. Yang meletakkan pemikiran Hasan Hanafi pada tiga wajah, yaitu pemikir revolusioner, reformis tradisi intelektual klasik dan reformis penerus al-Afghani (1838-1896 M).

32

orentalis. Ia sempat belajar pada seorang reformis katolik, Jean Guitto; tentang

metodologi berfikir, pembaharuan dan sejarah filsafat.5 Ia belajar fenomenologi

dari Paul Recour, analisis kesadaran dari Husser dan bimbingan penulisan tentang

pembaharuan ushul fikih dari Prof. Masnion. Tak heran jika di kandang orentalis

ia berhasil menguasai tradisi, pemikiran dan keilmuan Barat dengan cukup baik.6

Semangat Hasan Hanafi untuk mengembangkan tulisan-tulisannya tentang

pembaharuan pemikiran Islam semakin tinggi sejak ia pulang dari Prancis pada

tahun 1966 M. Ia kemudian ikut serta dengan rakyat berjuang dan membangun

kembali semangat nasionalisme mereka. Pada sisi lain, untuk menunjang

perjuangnnya Hasan Hanafi mulai memanfaatkan pengetahuan-pengetahuan

akademis yang telah diperolehnya, yaitu dengan memanfaatkan media massa

sebagai jalan perjuangnnya. Ia menulis banyak artikel untuk menanggapi masalah-

masalah aktual dan melacak faktor kelemahan umat Islam.

Setelah menyandang gelar Doctor dengan desertasi “Essai Sur La

Methode D’exegese” (esai tentang metode penafsiran) setebal 900 halaman, pada

tahun 1966 M, Hasan Hanafi pulang ke Mesir dan mengajar di Universitas Kairo

Fakultas Sastra, jurusan Filsafat hingga tahun 1971 M. Selain mengajar di

Universitas Kairo, ia juga sempat menjadi Professor tamu di Prancis dan Belgia

(1969-1970 M). Kemudian antara tahun 1971-1975 M ia mengajar di Universitas

5Hasan Hanafi mendiskripsikan “guru saya” yang bertanggung jawab atas semua formasi

filosofis saya adalah Jean Guitton, seorang professor ilmu filsafat di Sarbone dan seorang pemimpin modernis Katolik Roma. Jean Guitton bertindak sebagai pembimbing Hasan Hanafi melalui membaca dan mempelajari Filsafat Barat. Ia juga memberikan panduan kepada Hasan Hanafi dalam masalah-masalah praktis seperti bagaimana memberikan kuliah umum dan metode-metode penelitian. Jean Guitton pernah ke Mesir (1930-an) yang paling tidak memiliki gambaran sedikit tentang Mesir. Metode dan perspektif Jean Guitton membantu mengembangkan pemahaman Hasan Hanafi terhadap pendekatan-pendekatan untuk rekonsiliasi posisi yang berbeda. Hasan Hanafi sendiri mendiskripsikan dirinya sendiri sebagai bangunan di atas Jean Guitton dan kemudian menjulang tinggi. Diskripsi ini menggambarkan perkembangan pemikiran Jean Guitton dari kesadaran individu menuju kesadaran sosial, dari kanan ke kiri dan dari agama ke revolusi. Saya gunakan kritik yang berhubungan dengan kitab Injil secara negatif dan dia memakainya secara positif untuk memperhatikan sebuah kebenaran. Saya hidup untuk teologi kebebasan, sedangkan dia takut orang-orang akan berubah ke Marxisme dan kekerasan, dan elemen-elemen asing itu mungkin memasuki kebenaran otentik . Jhon L, Esposito dan Jhon O. Voll, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, terj. Hermawan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 75-76

6Dalam satu artikelnya ia mengatakan “itulah Barat yang aku pelajari, aku kritik, aku cintai dan akhirnya aku benci, lihat Ridwan Hambali, op. cit., hlm. 220

33

Tample Amerika Serikat.7 Aktivitasnya yang baru tersebut memberinya

kesempatan untuk banyak menulis tentang dialog antar agama dengan revolusi.

Sekembalinya dari Amerika, ia mulai menulis tentang pembaruan

pemikiran Islam dengan bukunya yang berjudul al-Turauts wa al-Tajdid. Buku

tersebut berisi tentang gerakan kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah yaitu

teologi untuk membebaskan dunia Islam dari penjajahan Barat.8 Pada waktu itu

pemerintah Anwar Sadad pro-Barat yang berkolaborasi dengan Israel. Ia terpaksa

harus terlibat untuk membantu menjernihkan situasi melalui tulisan-tulisannya

yang berlangsung antara tahun 1976 M hingga 1981 M. Tulisan-tulisan itu

kemudian dibukukan menjadi al-Din wa al-Tsaurah.

Pada tahun 1980-an M, posisinya sebagai intelektual publik Muslim

dengan pandangan internasional yang tinggi memberikan banyak kesempatan

untuk menyampaikan gagasan-gagasannya. Sebagai intelektual internasional,

setelah bekerja di Amerika Serikat, ia mengajar di Universitas Kuwait (1979 M),

Maroko (1982-1984 M), Jepang (1984-1985 M) dan Uni Emirat Arab (1979 M).

Hasan Hanafi kembali ke Jepang sebagai seorang konsultan akademik di

Universitas PBB di Tokyo pada tahun 1985-1987 M.9 Pada tahun 1989 M, ia

ditunjuk sebagai ketua jurusan Filsafat di Fakultas Sastra Universitaas Kairo

hingga diberhentikan pada tahun 1995 M.10

Hasan Hanafi seringkali mengunjungi negara Belanda, Swedia, Portugal,

Spanyol, Prancis, Jepang, India, Indonesia, Sudan, Saudi Arabia dan sebagainya

antara tahun 1980-1987 M. Pengalaman pertemuannya dengan para pemikir besar

negara-negara tersebut telah menambah wawasannya untuk semakin tajam

memahami persolan-persoalan yang dialami oleh dunia Islam.

Dari pengalaman hidup yang ia peroleh sejak remaja membuat Hasan

Hanafi memiliki perhatian yang begitu besar terhadap persoalan umat Islam.

7Kepergiannya ke Amerika, sesungguhnya berawal dari adanya keberatan pemerintah

terhadap aktivitasnya di Mesir, sehingga ia diberikan dua pilihan apakah ia harus tetap meneruskan aktivitasnya tersebuat atau pergi ke Amerika Serikat.

8 Hasan Hanafi, Turas dan Tajdid, terj. Yudian Wahyudi, Titian Illahi Press, Yogyakarta, 2001, hlm. viii

9Jhon L.Esposito dan Jhon O.Voll, Tokoh Kunci Gerakan…, op.cit., hlm 81 10 Ridwan Hambali, Reformasi Intelektual…,op.cit., loc.cit.

34

Karena itu, meskipun tidak secara sepenuhnya mengabdikan diri untuk sebuah

pergerakan tertentu, ia-pun banyak terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan

pergerakan yang ada di Mesir. Sedang pengalamannya dalam bidang akademis

dan intelektual, baik secara formal maupun tidak dan pertemuannya dengan para

pemikir besar dunia semakin mempertajam analisis dan pemikirannya, sehingga

mendorong hasratnya untuk terus menulis dan mengembangkan pemikiran-

pemikiran baru untuk membantu menyelesaikan persoalan-persolan besar umat

Islam.

b. Perkembangan Pemikiran Hasan Hanafi dan Karya-Karyanya

Barat dan timur (antara tradisional dan modern) adalah perpaduan dua

tradisi pemikiran Hasan Hanafi. Perpaduan tersebut, merespon basis sosialnya,

berupa kondisi obyektif dunia Islam yang penuh kemiskinan, kebodohan dan

keterbelakangan serta kenyataan Barat yang mendominasi tidak hanya aspek

politis, tetapi aspek pendidikan, ekonomi dan kultural yang menjadi ancaman

eksternal bagi Islam.

Karya-karya Hasan Hanafi dapat diklasifikasikan menjadi tiga periode.

Periode pertama berlangsung pada tahun 1960-an. Periode kedua berlangsung

pada tahun 1970-an, dan periode ketiga berlangsung dari tahun 1980-an sampai

dengan 1990-an.

Pada awal dasawarsa 1960-an pemikiran Hasan Hanafi dipengaruhi oleh

isme-isme dominan yang berkembang di Mesir, yaitu nasionalistik, sosialistik

populistik yang dirumuskan sebagai ideologi Pan Arabisme,11 dan oleh situasi

nasional yang kurang menguntungkan setelah kekalahan Mesir dalam perang

melawan Israel pada tahun 1967 M. Pada awal dasawarsa ini pula (1956-1960 M),

sebagaimana telah di kemukakan, Hasan Hanafi sedang berada dalam masa-masa

belajar di Prancis.12

Selama berada di Perancis ia mengadakan penelitian tentang, metode

interprestasi sebagai upaya pembaharuan dalam bidang ushul fiqih (teori hukum

11Abdurrahman Wahid, Hasan Hanafi dan Eksperimentasinya, LKIS, Yogyakarta, 1993,

hlm. xi 12Masa-masa belajar di Prancis, ia lebih banyak menekuni bidang-bidang filsafat dan ilmu

sosial dalam kaitannya dengan hasrat dan usahanya untuk merekonstruksi pemikiran Islam.

35

Islam, Islamic legal theory) dan tentang fenomenologi sebagai metode untuk

memahami agama dalam konteks realitas kontemporer. Penelitian itu sekaligus

merupakan upayanya untuk memperoleh gelar Doktor pada Universitas Sorbon

(Perancis), dan ia berhasil menulis desertasi yang berjudul Essai sur la methode

d`Exegese (esai tentang metode penafsiran). Karya setebal 900 halaman itu

memperoleh penghargaan sebagai karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961

M. Dalam karyanya itu jelas Hasan Hanafi berupaya menghadapkan ilmu ushul

fiqih pada mazhab filsafat fenomenologi Edmund Husserl.

Pada fase awal pemikirannya itu, tulisan-tulisan Hasan Hanafi masih

bersifat ilmiah murni. Setelah akhir dasawarsa itu, ia mulai berbicara tentang

keharusan Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dan

berdimensi pembebasan (taharrur, liberatioan). Ia mensyaratkan fungsi

pembebasan jika memang itu yang diinginkan Islam agar dapat membawa

masyarakat pada kebebasan dan keadilan, khususnya keadilan sosial, sebagai

ukuran utamanya. Struktur yang populistik adalah manifestasi kehidupannya dan

kebulatan kerangka pemikiran sebagai resep utamanya. Hasan Hanafi sampai pada

kesimpulan bahwa Islam sebaiknya berfungsi orientatif bagi ideologi populistik

yang ada.

Pada akhir periode ini, dan berlanjut hingga awal periode 1970-an, Hasan

Hanafi juga memberikan perhatian utamanya untuk mencari penyebab kekalahan

umat Islam dalam perang melawan Israel tahun 1967 M. Oleh karena itu, tulisan-

tulisannya bersifat populis. Awal periode 1970-an, ia banyak menulis artikel di

berbagai media massa, seperti al-Katib, al-Adab, al- Fakr, al-Muasyir dan al-

Islam. Pada tahun 1976 M, tulisan-tulisan tersebut di terbitkan dalam sebuah buku

yang berjudul Qodhaya Mu’asyirat fi Fikrina al-Mu’asyir. Buku ini

mendiskripsikan tentang realitas dunia Arab saat itu, analisis tentang tugas para

pemikir dalam menanggapi problema umat, dan tentang pentingnya pembaruan

pemikiran Islam untuk menghidupkan kembali khasanah tradisional Islam.

Kemudian, pada tahun 1977 M, kembali ia menerbitkan Qadhaya Mu`asyirst fi al

Fikr al-Gharib. Buku kedua ini mendiskusikan pemikiran para sarjana Barat

untuk melihat bagaimana mereka memahami persoalan masyarakatnya dan

36

kemudian mengadakan pembaruan. Beberapa pemikir Barat yang ia singgung itu

antara lain Spinoza, Voltaire, Kant, Hegel, Karl Jaspers, Karl Marx, Marx Weber,

Edmund Husserl dan Herbert Marcuse.

Kedua buku itu secara keseluruhan merangkum dua pokok pendekatan

analisis yang berkaitan sebab-sebab kekalahan umat Islam; memahami posisi

umat Islam yang lemah dam memahami posisi Barat yang superior. Pertama

penekanan diberikan pada upaya pemerdayaan umat, terutama dari segi pola

pikirnya, dan yang kedua ia berusaha untuk menunjukkan bagaimana menekan

superioritas Barat dalam segala aspek kehidupan. Kedua pendekatan inilah yang

nantinya melahirkan dua pokok pemikiran baru yang tertuang dalam dua buah

karyanya, yaitu al-Turats wa al-Tajdid (Tradisi dan Pembaharuan) dan al-

Istighrab (Oksidentalisme).

Pada periode ini, yaitu antara tahun-tahun 1972-1975 M, Hasan Hanafi

juga menganalisis sebab-sebab ketegangan antara berbagai kelompok kepentingan

di Mesir, Terutama antara kekuatan Islam radikal dengan pemerintah. Pada saat

yang sama situasi politik Mesir mengalami ketidakstabilan yang ditandai dengan

berbagai peristiwa penting yang berkaitan dengan sikap Anwar Sadat yang pro-

Barat dan memberikan kelonggaran pada Israel, hingga ia terbunuh pada oktober

1981 M. Keadaan ini membawa Hasan Hanafi pada pemikiran bahwa seorang

Ilmuwan juga harus mempunyai tanggung jawab politik terhadap bangsanya.

Untuk itulah kemudian ia menulis al-Din wa al-Tsaura fi Mishr (1952-1982 M).

Karya ini terdiri dari 8 jilid yang merupakan himpunan berbagai artikel yang

ditulis antara tahun 1976 M sampai 1981 M dan diterbitkan pertama kali pada

tahun 1987 M. Karya ini berisi pembicaraan dan analisis tentang kebudayaan

nasional dan hubungan dengan agama, hubungan antara agama dengan

perkembangan nasionalisme, tentang gagasan mengenai gerakan kiri keagaman

yang membahas gerakan-gerakan keagamaan kontemporer, fundamentalisme

Islam serta Kiri Islam dan Integritas Nasional. Hasan Hanafi dalam analisisnya

menemukan bahwa salah satu penyebab utama konflik berkepanjangan di Mesir

adalah tarik menarik antara ideologi Islam dan Barat serta ideologi sosialisme. Ia

37

juga memberikan bukti-bukti penyebab munculnya berbagai tragedi politik dan

terakhir, menganalisis penyebab munculnya radikalisme Islam.

Karya-karya lain yang ia tulis pada periode ini adalah Religious Dialogue

and Revolution dan dirasat al-Islamiyyah. Buku pertama berisi pikiran-pikiran

yang ditulisnya antara tahun 1972-1976 M ketika ia berada di Amerika Serikat,

dan terbit pertama kali pada tahun 1977 M. Pada bagian pertama buku ini ia

merekontruksi metode hermeneutika sebagai metode dialog antara Islam, Kristen

dan Yahudi. Sedangkan bagian kedua secara khusus membicarakan hubungan

antara agama dengan revolusi dan lagi-lagi ia menawarkan fenomenologi sebagai

metode untuk menyikapi dan menafsirkan realitas umat Islam.13

Sementara itu Dirasat Islamiyyah, yang ditulis sejak tahun 1978 M dan

terbit pertama kali tahun 1981 M, memuat deskripsi dan analisis pembaharuan

terhadap ilmi-ilmu keislaman klasik, seperti ushul fiqih, ilmu-ilmu ushuluddin dan

filsafat. Diskripsi dan analisis tersebut dimulai dengan pendekatan histories untuk

melihat perkembangannya, Hasan Hanafi berbicara tentang upaya rekontruksi atas

ilmu-ilmu tersebut untuk disesuaikan dengan realitas kontemporer.

Periode selanjutnya, yaitu dasawarsa 1980-an sampai awal 1990-an,

dilatarbelakangi oleh kondisi politik yang relatif lebih stabil ketimbang masa-

masa sebelumnya. Hasan Hanafi dalam periode ini, mulai menulis al-Turats wa

al-Tajdid yang terbit pertama kali tahun 1980 M. Buku ini merupakan landasan

teoritis yang memuat dasar-dasar ide pembaharuan dan langkah-langkahnya.

Kemudian, ia menulis al-Yasar al-Islamy (Kiri Islam), sebuah tulisan yang lebih

merupakan sebuah “manifesto politik” yang berbau ideologis, sebagaimana telah

saya kemukakan secara singkat di atas.

Jika Kiri Islam baru merupakan pokok-pokok pikiran yang belum

memberikan rincian dari program pembaharuannya, buku Min al-Aqidah ila al-

Tsaurah (5 jilid), yang ditulisnya selama sepuluh tahun dan terbit pertama kali

pada tahun 1988 M. Buku ini memuat uraian terperinci tentang pokok-pokok

pembaharuan yang ia canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang

13Hasan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, terj. Tim Penterjemah Pustaka Firdaus,

Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994, hlm. 1-25

38

terdahulu. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika buku ini dikatakan sebagai

karya Hasan Hanafi yang paling monumental.

Satu bagian pokok bahasan yang sangat penting dari buku ini adalah

gagasan rekontrusi ilmu kalam, baik dari sisi kemunculannya, aspek isi dan

metedologi maupun perkembangannya. Lalu ia melakukan analisis untuk melihat

kelebihan dan kekurangannya, terutama relevansinya dengan konteks modernitas.

Salah satu kesimpulannya adalah bahwa pemikiran kalam klasik masih sangat

teoritis, elitis dan statis secara konsepsional. Ia merekontruksi sebuah teologi atau

ilmu kalam yang antroprosentris, populis dan transformatif.

Pada tahun 1985-1987 M, Hasan Hanafi menulis banyak artikel yang ia

presentasikan dalam berbagai seminar di beberapa negara, seperti Amerika

Serikat, Perancis, Belanda, Timur tengah, Jepang, termasuk Indonesia. Kumpulan

tulisan itu kemudian disusun menjadi sebuah buku yang berjudul religion,

Ideology and development yang terbit pada tahun 1993 M. Beberapa artikel

lainnya juga tersusun menjadi buku dan diberi judul Islam in the Modern Word (2

jilid). Selain berisi kajian-kajian agama dan filsafat, dalam karya-karyanya yang

terakhir pemikiran Hasan Hanafi juga berisi kajian-kajian ilmu sosial seperti

ekonomi dan teknologi. Pemikiran Hasan Hanafi pada karya-karyanya terakhir ini

lebih tertuju pada upaya untuk meletakkan posisi agama serta fungsinya dalam

pembangunan di negara-negara dunia ketiga.

Pada perkembangan selanjutnya, Hasan Hanafi tidak lagi berbicara tentang

ideologi tertentu melainkan tentang paradigma baru yang sesuai dengan ajaran

Islam sendiri maupun kebutuhan hakiki kaum Muslimin. Sublimasi pemikiran

dalam diri Hanafi ini antara lain didorong oleh maraknya wacana nasionalisme-

pragmatik Anwar Sadat yang menggeser popularitas paham sosialisme Nasser di

Mesir pada dasawarsa 1970-an hingga sekarang.

Pandangan unversalistik ini disatu sisi ditopang oleh upaya

pengintegrasian wawasan keislaman dari kehidupan kaum muslimin ke dalam

upaya penegakkan martabat manusia melalui pencapaian otonomi individual bagi

warga masyarakat, penegakan kedaulatan hukum, penghargaan pada HAM dan

penguatan (empowerment) bagi kekuatan masa rakyat jelata.

39

Pada sisi lain, paradigma universalistik yang diinginkan Hasan Hanafi

harus dimulai dari perkembangan epistemologi ilmu pengetahuan baru. Orang

Islam, menurut Hasan Hanafi, tidak butuh hanya sekedar menerima dan

mengambil alih paradigma ilmu pengetahuan modern Barat yang tertumpu pada

materialisme, melainkan juga harus mengikis habis penolakkan mereka terhadap

peradaban ilmu pengetahuan Arab. Seleksi dan diaolg konstruktif dengan

peradaban Barat itu dibutuhkan untuk mengenal dunia Barat dengan setepat-

tepatnya. Upaya pengenalan itu sebagai unit kajian ilmiah, berbentuk ajakan

kepada ilmu-ilmu kebaratan (al-istisyraq, orientalisme). Oksidentalisme

dimaksudkan untuk mengetahui peradaban Barat sebagaimana adanya, sehingga

dari pendekatan ini akan muncul kemampuan mengembangkan kebijakan yang

diperlukan kaum Muslim dalam ukuran jangka panjang. Hasan Hanafi dengan

pandangan ini telah menghantarkannya menjadi filosof kaliber dunia yang

mengusung mega proyek al-Turats wa al-Tajdid. Hasan Hanafi adalah seorang

yang sangat produktif menulis dan telah menelurkan ratusan buku yang ditulisnya

dengan serius dan sistematis.

B. Tradisi dalam Pemikiran Hasan Hanafi

Meskipun Hasan Hanafi dalam banyak hal menolak dan mengkritik Barat,

tetapi ia juga banyak menyerap dan mengkonsentrasikan dirinya pada kajian

pemikir Barat pra-modern. Sebagaimana Kazuo Shimogaki, mengkategorikan

Hasan Hanafi sebagai seorang modernis-liberal, karena ide-ide liberalisme Barat,

Demokrasi, rasionalisme dan pencerahan telah banyak mempengaruhinya.14

14Kazuo Shimogaki menegaskan bahwa memantapkan posisi pemikiran Hasan Hanafi

dalam dunia pemikiran Islam dapat di tengarai dari tiga wajah, yaitu wajah pertama adalah peranannya sebagai seorang pemikir revolusioner. Segera setelah Iran menang, ia meluncurkan Kiri Islam. Salah satu tugasnya ialah untuk mencapai revolusi tauhid (keesaan, pengesaan: konsep inti dalam pandangan dunia Islam), dalam hal ini, ia dapat dikategorikan sebagai pemikir Islam revolusioner, seperti Ali Syari’ati, pemikir yang menjadi tulang punggung revolusi Islam Iran dan Imam Khomaini yang memimpin revolusi dengan sukses.

Wajah kedua adalah sebagai seorang reformis tradisi intelektual Islam klasik, dalam hal ini, ia mirip dengan posisi Mohammad Abduh (seorang pemikir Mesir terkemuka, 1849-1905 M). Sebagai seorang reformis tradisi Islam Hasan Hanafi adalah seorang rasionalis sebagaimana Mohammad Abduh.

Wajah ketiga adalah penerus gerakan al-Afghani (1838-1896 M), pendiri gerakan Islam modern, yang disebut sebagai pejuang melawan imperialisme Barat dan mempersatukan dunia Islam. Hasan Hanafi menyebut perjuangannya dengan hal yang sama. Yaitu perjuangan melawan

40

Hasan Hanafi adalah salah seorang pemikir Arab yang sangat dipengaruhi

oleh tradisi pemikir Filsafat Materialisme Historis dari Marx. Dengan

menggunakan metode dialektika,15 Hasan Hanafi mengadakan sistematisasi

penyatuaan aspek pengetahuan dan pengalaman serta menyusunannya ke dalam

suatu keutuhan yang inklusif. Pemikiran Hasan Hanafi bisa disebut Marxis

walaupun tidak harus menjadi Marxisme. Dalam bentuknya yang paling

sederhana, metode ini berpandangan bahwa proses sejarah terjadi lewat

konfrontasi dialektis, dimana tesis menimbulkan antitesis dan keduanya akan

diangkat menjadi sintesis.

Hasan Hanafi terpengaruh oleh dialektika Marx, yang ia jadikan sebagai

metode untuk melihat sejarah perkembangan perjuangan Islam. Yaitu dengan

bantuan metode itu, Hasan Hanafi mencoba melihat kembali sejarah

perkembangan perjuangan Islam dengan berusaha melakukan rekonstruksi

terhadap seluruh bangunan pemikiran Islam tradisional, yang selama ini

mengandalkan pada otoritas teks dan bertumpu pada metodelogi yang

mengalihkan teks ke dalam kenyataan.

Hasan Hanafi menemukan kelemahan yang mendasar dalam tradisi

pemikiran Islam tradisional. Ia memberikan kritik terhadap metode ini,

diantaranya bahwa teks bukanlah realitas, ia hanya sebuah teks. Teks adalah

ekspresi mistik yang menggambarkan realitas, tetapi bukan realitas itu sendiri.

Teks tertumpu pada otoritas Kitab, bukan pada otoritas rasio. Otoritas Kitab

bukan bukti, karena ada beberapa teks yang disakralkan, sementara di sisi lain ada

realitas dan ada akal. Teks memerlukan interpretasi terhadap acuan realitas yang

ditunjuknya, yakni peristiwa yang ditandai teks. Tanpa interpretasi, teks tidak

imperialisme kultur Barat dan penyatuan dunia Islam. Lihat Kazuo Shimogoki, Kiri Islam…, op.cit., hlm. 3 . Begitu juga dengan Issa J. Boullata menegaskan bahwa pemikiran Hasan Hanafi tertumpu pada tiga metodelogi: pertama tradisi atau sejarah Islam, kedua metode fenomenologi dan ketiga analisis sosial Marxian. Lihat Issa J. Boullata, Hasan Hanafi; Terlalu Teoritis untuk di Praktekkan, terj. Saiful Muzani, Jurnal Islamika, Nomer 1, 1993, hlm. 21

15Metode dialektika pertamakali dikenalkan oleh Hegel (1770-1831), lihat Antony Brewer, Kajian Kritis Das Kapital Karl Marx, terj. Joebar Ajoeb, Teplok Press, Jakarta, hlm. 6 Metode dialektika dipakai oleh Hasan Hanafi untuk menjelaskan sejarah perkembangan pemikiran Islam, yaitu untuk menentukan titik pijak dan alasan dasar suatu revolusi. Demikianlah revolusi harus di pandang sebagai panggilan sejarah.

41

menjadi bermakna. Konsekwensinya, akan terjadi interprestasi teks diluar apa

yang dimaksudkannya dan terjadilah kesalahpahaman dan penggunaan teks diluar

konteksnya.16

Hasan Hanafi tidak berhenti pada Teks, tetapi berusaha mencari hubungan

rasional antara teks dan konteks. Tadisi dapat dipelajari dengan obyektifitas

historis yang memadai dan dipisahkan tidak saja dari masa kini, tetapi juga dari

faktor-faktor normative yang diduga telah melahirkannya. Kerangka inilah yang

membedakan tradisi pemikiran Mu’tazilah yang pure reason dengan metode

berpikir Hasan Hanafi yang menghargai sisi historis sebagai sebuah proses yang

dapat memberikan pemahaman yang inklusif tentang suatu pengetahuan.

Sebagai contoh dalam dimensi teologis dituangkan dalam bukunya al-din

wa al-Tsaurah vol. 1V. Hasan Hanafi dalam Buku tersebut menunjukkan

perjalanan peran agama dalam pergolakan politik di Mesir dari tahun 1952 M

sampai 1981 M. Selama periode hampir 30 tahun ini, ia membagi tiga tahap peran

agama. Tahap pertama, agama dan revolusi (1961-1966 M). Tahap kedua, agama

dan pembangunan masa depan (1961-1966 M). Tahap ketiga, kembali ke iman.

Kemudian, Hasan Hanafi menggunakan dialektika untuk membahas teologi

sebagai antropologi yang merupakan cara ilmiah untuk mengatasi keterasingan

teologi itu sendiri.

Disamping itu, gerakan peradabaan dan kebudayaan Hasan Hanafi sangat

dipengaruhi ketajaman analisis pemahaman terhadap realitas. Realitas, bagi Hasan

Hanafi, adalah realitas masyarakat, politik dan ekonomi, khazanah Islam dan

tantangan Barat. Keberhasilan mencapai cita-cita Islam tergantung pada

kecermatan menganalisis realitas-realiatas itu. Untuk menganalisis realitas-realitas

itu dan meletakkan semuanya, Hasan Hanafi menggunakan metode

fenomenologi.17

16Hasan Hanafi, Bongkar Tafsir; Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutik, terj. Jajat Hidayatul

Firdaus dan Neila Meuthia Diena Rohman, Ar-Ruzz, Yogyakarta, 2003, hlm. 20 17Metode ini diadopsi dari metode Marx dan Edmund Hussel (1859-1938), metode ini

menekankan pada refleksi mengenai pengalaman langsung sejauh aktivitas secara intensional berhubungan dengan obyek (fenomena), dalam pengertian ini, metode fenomenologi merupakan cara berfikir filosofis ilmiah yang lepas dari prasangaka metafisis dan segala undur tradisi. Anton Beker, Metode-Metode Filsafat, Ghalia, Jakarta, t.t.h., hlm. 112

42

Hasan Hanafi meyakini pentingnya menggunakan metode fenomenologi

sebagai pilihan metode yang tepat, sebagaimana ia jelaskan: “sebagai bagian dari

gerakan Islam Mesir dan sebagai seorang fenomenolog, saya tidak mempunyai

pilihan lain untuk menggunakan metodologi fenomenologi dalam menganalisis

Islam alternatif di Mesir”.

a. Kiri Islam dalam Pemikiran Hasan Hanafi

Istilah kiri tidak hanya dipakai oleh kalangan komunis, istilah kiri juga

dikenal dalam khasanah pemikir Islam. Itulah al-Yasar al-Islam, yaitu paham

Islam yang menekankan aspek revolusioner dalam agama. Kiri Islam tak

Bersangkut paut dengan Marxisme. Sebagaimana dikatakan oleh Abdurrahman

Wahid, kiri Islam bukanlah Islam yang berbaju marxisme sebab hal tersebut akan

menafikan makna revolusioner dalam Islam sendiri. Kiri Islam juga tidak

berbentuk elektik (perpaduan) antara Marxisme dengan Islam, karena hal

demikian hanya menunjukkan bentuk pemikiran yang tercerabut dari akarnya

tanpa ada pertautan yang erat dengan realitas yang ada dalam kaum Muslim

sendiri.18 Kiri tersebut adalah istilah dalam ilmu sosial yang berarti resentasi dan

kritisisme.

Kiri Islam (al-Yasar al-Islam) hanyalah sebuah jurnal yang bahkan hanya

terbit sekali pada januari 1981 M. Tetapi popularitasnya seperti melebihi buku-

buku hasil karyanya. Hasan Hanafi dengan kiri Islam juga mengukuhkan diri

sebagai salah seorang yang memiliki pemikiran orisinil.

Kiri Islam mencakup delapan hal yang meliputi; nama dan kredo, latar

belakang dan momentum revitalisasi klasik, menentang peradaban Barat, realitas

dunia Islam, agama dan revolusi, integrasi nasional dan menjawab keraguan.

Tentang nama dan kredo, Hanafi menegaskan bahwa esai-esai kiri Islam

adalah kelanjutan al-Urwab al-Watsa Dar al-Manar dilihat dari keterkaitan

dengan agenda Islam al-Afghani. Agenda tersebut meliputi melawan kolonialisme

dan keterbelakangan, menyerukan kebebasan dan keadilan sosial serta

mempersatukan kaum Muslimin ke dalam blok Islam dan blok timur. Kiri Islam

18Kholid, et.al., Hasan Hanafi: Kiri Islam Sebagai Ideologi, Just Satadies, Volume I,

Februari, 2002, hlm. 12

43

bermaksud mentransformasikan “keadaan individual” menjadi “ keadaan kolektif

”, dari revolusi intelektual ke revolusi kenyataan, kiri Islam berada dalam barisan

orang-orang yang disukai, tertindas, kaum Muslimin. Dengan demikian ia

merefleksikan kiri dan dalam konotasi akademik.19

Kiri Islam lahir dilatarbelakangi oleh kegagalan berbagai metode

pembaharuaan yang telah ada. Metode pembaharuaan yang telah ada hanya

menghasilkan keberhasilan yang relatif bahkan gagal dalam menuntaskan

kemiskinan. Kiri Islam lahir dalam rangka merealisasikan tujuan-tujuan

pengarahan nasional dan prinsip-prinsip revolusi sosial. Hal ini dilakukan dengan

melalui pengembangan khasanah umat dan berpijak pada kesadaran rakyat.

Hasan Hanafi sangat menekankan perlunya revitalitas khasanah Islam

klasik. Karena itu, rekontruksi, pengembangan dan pemurnian khasanah lama itu

sangat penting untuk dilakukan. Khasanah klasik meliputi tiga macam ilmu

pengetahuan yaitu; ilmu-ilmu normative rasional (al-ulum al-naqliyah al-aqliyah),

seperti ilmu ushul al-din, ilmu ushul al-fiqih, ilmu hikmah dan tasawuf. Ilmu-ilmu

rasional semata (al-aqliyah), seperti matematika, fisika, kimia. Kemudian ilmu

normative-tradisional (al-naqliyah) seperti hadits, fiqih, dan tafsir.20

Kiri Islam dalam kaitannya dengan Barat, hadir untuk menentang dan

menggantikan kedudukan peradaban Barat. Jika al-Afghani bergaul dengan

imperalisme militer, maka kini kita menghadapi imperalisme ekonomi yang

berupa koroporasi multi nasional dan imperialisme kebudayaan. Tugas kiri Islam

adalah mengembalikan peradaban Barat ke dalam batas-batas alamiahnya,

menjelaskan proporsinya, asal-asulnya, kesesuaiannya dengan situasi dan

kesejahteraan tertentu. Kiri Islam menjadikan Barat sebagai obyek studi dengan

membangun ilmu baru yakni oksidentalisme untuk menandingi orientalisme lama.

Pembahasan kiri Islam yang lain adalah tentang realitas dunia Islam,

gambaran dunia Islam sebagaimana adanya. Sejak era al-Afghani bahkan sejak

perang salib dunia Islam dihadapkan pada tiga bentuk tantangan yakni;

imperialisme, zionisme, dan kapitalisme. Bangsa-bangsa Islam merupakan

19Kazuo Shimogoki, Kiri Islam…, op.cit., hlm. 83-88 20Kholid, et.al, Hasan Hanafi: Kiri Islam…, op. cit., hlm. 13

44

bangsa-bangsa termiskin di dunia, sehingga kemiskinan dan keterbelakangan

menjadi ancaman internal.

Tugas kiri Islam yang lain adalah membongkar unsur-unsur revolusioner

dalam agama dan menjelaskan pokok-pokok peraturan antara agama dan revolusi.

Agama adalah landasan dan revolusi terhadap tuntutan zaman, sebagaimana

syari’ah dan filsafat. Syari’ah adalah landasan dan filsafat adalah tuntutan pada

zamannya. Revolusi Islam diilhami oleh aneka revolusi sosio-politik, baik yang

muncul dikalangan umat Islam maupun di luar umat Islam, seperti yang terjadi

dalam Yudaisme dan Kristen, perlawanan Ibnu Uqaibah melawan Romawi,

pemberontakan petani di Jerman pada abad ke-16, teologi pembebasan di

Amerika latin dan revolusi ”Gereja Kristen” di Amerika Utara.

Keinginan lain kiri Islam adalah integrasi nasional. Kiri Islam sangat

mendorong terjadi dialog antara berbagai kecenderungan pemikiran Islam dengan

menghindari suasana debat, saling caci dan perpecahan. Kiri Islam bukanlah

madzab baru dalam Islam, baik teologi maupun fiqh, tetapi upaya mempersatukan

kaum Muslimin sejalan dengan kebutuhan-kebutuhan dan tuntutan zaman

terhadap nilai-nilai kebebasan, keadilan dan kemajuan. Setelah selama ini

terpecah-pecah oleh madzab dan sekte (Q.S. 30:32) dan didominasi kaum kolonial

yang bersemboyan ”pecah belah dan kuasai”, maka kesatuan pemikiran

merupakan prasarat utama bagi kesatuan umat.

Mungkin orang masih meragukan tentang keberadaan kiri Islam. Maka

Hassan Hanafi mengakhiri uraiannya dengan sub judul ”menjawab keraguan”.

Kiri Islam secara keseluruhan terbebas dari pengaruh Barat dan Timur. Dia

bukanlah neo-marxisme, liberalisme revoliusioner, Khawarij, Syiah, ataupun

gerakan Qaramitah. Dia adalah refleksi pemikiran historis yang

mempresentasikan suatu gerakan sosial politik dalam khasanah klasik, dengan

menggali akarnya pada al-Kitab dan al-Sunnah dan hanya bertujuan untuk rakyat.

Pemikiran kiri Islam lahir di Mesir yang merupakan pusat dari dunia Islam

dan jantung Arabisme. Dia bukanlah partai politik yang berposisi terhadap

establishment dan tidak menganjurkan siapa-pun untuk memberontak kepada

pemerintah yang sah. Bagi kiri Islam peraturan yang mendasar justru terletak pada

45

kebudayaan dan kesadaran historis rakyat. Ukuran keberhasilan gerakan bukanlah

kekuasaan melainkan pada “perpecahan” menyeluruh. Kiri Islam ditujukan untuk

membekali pribadi dan menggugah kesadaran untuk menyongsong kebangkitan

modern rakyat. Dia menawarkan berbagai pemikiran alternatif, meninggalkan

solusi-solusi persial menuju suatu ide komprehensif untuk memantapkan posisi

rakyat dalam sejarah dan ahlinya, mengakui kedaulatan pada mayoritas rakyat.

Yang jelas kiri Islam akan mengusik kemapanan politik dan agama.

Mengusik kemapanan politik dieksperimentasikan dengan menjadikan

agama sebagai ruh pembebasan dan aksi sosial untuk melawan kemapanan rezim

atau penguasa yang sewenang-wenang, mengkebiri hak-hak rakyat. Kiri Islam

mengadakan pembelaan terhadap kaum marjinal (kaum mustad’afin) dan

menjadikan diri individu sebagai bagian dari publik sehingga ada rasa tanggung

jawab atas realitas di sekitarnya.

b. Turas dan Tajdid dalam Pemikiran Hasan Hanafi

Meskipun di negaranya (Mesir) pemikirannya kurang bisa diterima,

bahkan cenderung dikecam oleh kelompok Islam konservatif-skripturalis.

Sebagaimana yang dihadapi oleh para intelektual Muslim yang senada dengannya.

Tetapi dengan keadaan yang seperti itu Hasan Hanafi tetap tegar menjalankan dan

menuangkan gagasan-gagasannya dalam buku.

Hasan Hanafi sangat sistematis dalam membahas dan mendiskusikan

proyek besar yang dibinanya. Dengan tidak ragu-ragu ia mengklaim proyek yang

dijalankan sebagai proyek peradaban (Masyru`Nahdhawi) umat Islam. Seperti

pernah di elaborasikan dalam sebuah tulisannya, Maufiquna al-Hadlari, ia

membagi tiga sikap seorang (Arab Islam) modern; pertama, sikap terhadap masa

lalu (Turats Qodim), yaitu kepedulian diri terhadap tradisi dan warisan lama.

Kedua, sikap terhadap tradisi Barat (Taurats Gharbi), dan ketiga, sikap terhadap

realitas dan kondisi muslim kontemporer (Al-Waqi’). Ketiga sikap tersebut, oleh

Hanafi dirancang dalam mega proyek yang ia sebut dengan istilah al-Turats wa

al- tajdid.21

21Hasan Hanafi, Turas dan Tajdid, terj. Yudian Wahyudi, Titian Illahi Press, Yogyakarta,

2001, hlm.47-64

46

Proyek yang cukup ambisius ini terdiri dari tiga agenda besar, yang

masing-masing memiliki agenda turunan yang bersifat eleboratif dan derivatif.

Agenda besar adalah “sikap kita terhadap tradisi lama”. Dalam agenda pertama

ini, dibahas persoalan-persolan rekonstruksi teologis untuk transformasi sosial.

Untuk penjelasan agenda ini, Hasan Hanafi menulis Min al-Qaid ila al-Tsurab

(sikap kita terhadap warisan),22 yang akan disusul kemudian dengan 6 jilid lainnya

yang berisi penjelasan terhadap agenda pertama. Tanpa menunggu

diselesaikannya penjelasan teoritis dari agenda pertama, Hasan Hanafi

memutuskan untuk menulis penjelasan awal mengenai agenda kedua, “sikap kita

terhadap tradisi Barat”. Untuk keperluan itu Hasan Hanafi menulis muqaddimah

fi`ilm al-Istigrab yang kemudian disempurnakan dalam kitab Madza Ya`ni “Ilm

al-Istighrab. Setelah menyelesaikan agenda pertama dan kedua, ia melanjutkan

menjelaskan secara teoritis penjelasan agenda ketiga yaitu, “sikap kita terhadap

realitas”. Agenda terakhir ini, Hasan Hanafi mengembangkan teori dan paradigma

interpretasi.

Berikut ini gambaran lengkap proyek al-Turats wa al-Tajdid Hassan

Hanafi;

Tradisi dan Pembaharuan23 (Turas wa al-Tajdid)

Sikap Kita terhadap

Tradisi Lama

1. Dari Aqidah ke Revolusi 2. Dari Terjemah ke Kreasi 3. Dari Nash ke Realita 4. Dari Fana Menuju Baqo’ 5. Dari Naql Menuju Akal 6. Akal dan Alam 7. Manusia dan Sejarah

Sikap Kita terhadap Tradisi Barat

1. Sumber-Sumber

Kesadaran Eropa 2. Awal kesadaran

Eropa 3. Akhir Kesadaran

Eropa

Sikap Kita terhadap Realita

1. Metodelogi 2. Perjanjian Baru 3. Perjanjian Lama

22Buku ini merupakan buku pertama yang ditulisnya dan merupakan agenda pertama.

Buku lainnya adalah al-Naql Ila al-‘Ibda’ (rekonstrusi filsafat), min al-Fana’ Ila Baqo’ (rekonstruksi tasawuf), Min al-Nasb Ila al-Waqi’ (rekonstrusi ilmu fiqih), Min al-Naqli Ila al-Aqli (rekonstrusi ilmu-ilmu tradisional), Min al-‘Aqli wa al-Thobi’ab (rekonstruksi ilmu-ilmu rasional), al-Insan wa-Tarikh (tentang ilmu-ilmu humaniora).

23Hasan Hanafi, Turas dan Tajdid…, op. cit., hlm. 252-273

47

Gambar di atas menggambarkan bahwa dalam memformat proyek al-

Turats wa al-Tajdid, Hasan Hanafi meletakkan landasan teoritis pada lingkungan

peradaban; bahwa manusia tidak bisa lepas dari tiga akar pijakan berfikir kemarin

(al-madli) yang dipersonifikasikan dengan Turats Qadim (khasanah klasik), esok

(al-Mustaqbal) yang dipersonofikasikan dengan Turats Gharbi (khasanah Barat)

dan sekarang (al-Hali) yang dipersonifikasikan dengan al-Waqi` (realitas

kontemporer). Tiga akar pijakan ini oleh Hasan Hanafi dijadikan sebagai Tri-

Frontasi proyek al-Turats wa al-Tajdid, dan kita, menurut Hasan Hanafi berada di

tengah lingkaran piramida peradaban.

Dalam turats qadim, kita meletakkan khasanah klasik sebagai pijakan

berfikir yang mempunyai bentengan sejarah, peradaban yang sangat luas dan

dalam, serta telah mengakar jauh ke bawah. Dalam turats gharbi kita meletakkan

khasanah Barat sebagai tamu peradaban yang mempunyai bentengan sejarah

selama sekitar dua abad (masa saat Islam mulai mengakui adanya signifikasi

budaya Barat, sehingga ia harus datang dengan berpakaian sebagai seorang

murid). Sedangkan dalam turats al-waqi` kita meletakkan realitas kontemporer

sebagai ladang untuk bertanam, bercangkok dan berinteraksi antara khasanah

klasik dengan khasanah Barat. Korelasi ketiganya (khasanah klasik, khasanah

Barat dan realitas kontemporer), lanjut Hasan Hanafi sangat kuat sehingga antara

yang satu dengan yang lainnya sulit untuk bisa diceraikan. Disinilah proses

terjadinya akulturasi (al-Tatsaqufa Itahadlur) tidak mungkin terelakkan. Dua

agenda pertama berdominasi peradaban, sedangkan agenda terakhir adalah

realitas. Sehingga ketiganya dapat digambarkan sebagai sisi-sisi segitiga yang

mengurung Ego di tengah. Sisi pertama dalam tradisi lama (khasanah klasik, masa

lalu), sisi kedua adalah tradisi Barat (masa depan), dan sisi ketiga adalah realitas

kekinian (masa kini) seperti terlihat dalam skema berikut ini:24

24Hasan Hanafi, Mada Ya’ni Ilmu Istigrob, Dar al-Hadi, Beirut, 200 M/1421 H, hlm.31

48

Tradisi Barat Tradisi Klasik

Ego

Realita Kontemporer

Sebagaimana dijelaskan Ridwan Hambali,25 turats (tradisi) menurut Hasan

Hanafi bukanlah sekedar barang mati yang telah ditinggalkan oleh orang-orang

terdahulu di perpustakaan atau musium, baik dalam agama, sastra, seni, budaya,

kesadaran berfikir, serta potensi yang hidup dan masih terpendam dalam tanggung

jawab generasi berikutnya. Dia adalah sebagai dasar argumentative dan sebagai

bentuk The world view (pandangan dunia) serta sebagai pembimbing perilaku bagi

setiap generasi mendatang. Karena itu, setiap masa mempunyai turats. Semestinya

seperti itulah turats di interpretasikan.

Akan tetapi, kenyataan berbicara lain. Turats kita telah banyak dicapai

oleh hegemoni feodalisme yang mencekam, akibat ulah tangan-tangan penguasa

(kanan) yang menindas. Sementara “kalangan awam” (kiri), dan masyarakat selalu

menjadi kaum lemah yang tertindas. Hasan Hanafi menggambarkan adanya

kecenderungan kooptasi agama oleh kelompok minoritas kekuasaan dan praktek

keagamaan seperti itu hanyalah “kedok” yang menyembunyikan sikap feodalisme

dan kapitalisme kekuasaan.

Berangkat dari realitas di atas, Hasan Hanafi memandang perlunya

langkah-langkah eksploratif terhadap turats yang berorientasi pada kepentingan

umat Islam yang tertindas. Turats harus direvitalisasi dan bukan hanya sekedar

dipajang, dikutip. Turats hendaknya mampu menjadi basis dan titik tolak bagi

kekuatan revolusioner umat Islam.

Rekonstruksi atas tradisi lama merupakan gerbang umat memasuki

tantangan zaman, sekaligus dapat menghentikan westernisasi yang menjerat

golongan elit. Mereka tidak mengenal tradisi lama kecuali yang bertentangan

25Ridwan Hambali, Reformasi Intelektual Islam …,op.cit., hlm. 228

49

dengan kepentingan umat dan telah dikondisikan oleh kelompok penguasa, karena

mereka tidak menemukan penyelesaian kecuali dalam tradisi Barat. Penyikapan

Barat dapat mambantu para westernis bersikap kritis pendahulu-pendahulu

Yunani hingga orang-orang Barat sekarang, selama ini tidak pernah terjadi

keterputusasaan antara kita dengan the other, kecuali pada gerakan salaf. Sampai

sekarang pun belum pernah ada gerakan kritis terhadap Barat kecuali dalam batas-

batas yang sempit. Itupun dilakukan dengan metode retorik atau dialektik, bukan

metode kritik dan logika pembuktian. Karena pengkonsentrasian pada sumber

Barat inilah yang kemudian memunculkan kebudayaan sekuler, gerakan reformasi

dan modernisasi, pendidikan dan sistem modern kita, demi membela kepentingan

atau keyakinan penguasa.26

Telah disebutkan di atas, untuk penjelasan agenda kedua (sikap kita

terhadap tradisi Barat), Hasan Hanafi menulis Madza ya`ni`ilmal-Istighrab, dalam

tulisan ini mengandung penjelasan teoritis yang terdiri atas empat tema dalam

empat bab. Bab pertama, adalah tentang pengertian oksidentalisme yang

membicarakan tiga agenda proyek “tradisi dan pembaharuan”. Penjelasan agenda

kedua, pendefinisian oksidentalisme yang berhadapan dengan orientalisme, reaksi

atas erosentrisme dan perlunya melakukan perubahan dari tranferensi ke inovasi,

hasil yang diharapkan dari oksidentalisme, pembahasan akar sejarah dan

penggambaran status quo gejala oksidentalisme baik menurut orang yang semasa

dengan Hasan Hanafi atau dalam karya-karyanya terdahulu.

Bab kedua adalah tentang pembentukan kesadaran Eropa. Bab ketiga

tentang stuktur kesadaran Eropa dan keempat tentang nasib kasadaran Eropa.

Proyek “tradisi dan pembaharuan” pada saatnya peralihan abad. Jika

penjelasan toritis pertama bagi agenda pertama “sikap kita terhadap tradisi lama”

diterbitkan pada akhir Abad 14 H dan awal abad 15 H, maka penjelasan kedua

untuk agenda kedua, yaitu “sikap kita terhadap tradisi Barat”, diterbitkan pada

akhir abad ke-20 atau menjelang munculnya abad baru yaitu abad ke-21 Masehi,

yang banyak diperbincangkan terutama di Jepang yang menjadi perpanjangan

26Bernard Lewis, Islam Liberalisme Demokrasi, Membangun kinerja Warisan Sejarah,

Doktrin dan Konteks Global, terj. Mun’im A. Sirry, Mizan, Jakarta, 2002, hlm. 196-197

50

tangan Barat di Timur sekaligus pembendung Timur di Barat. Jika penjelasan

teoritis pertama merupakan pernyataan bagi kebangkitan baru kaitannya dengan

Ego, maka penjelasan teoritis kedua adalah pernyataan berakhirnya kebangkitan

lama bagi the other yang lahir berkembang lalu mencapai kematangannya dan

kini mulai meredup.

Agenda terakhir dalam proyek”tradisi dan pembaharuan” adalah “sikap

kita terhadap realitas”. Agenda yang juga disebut dengan teori interprestasi ini

meletakkan Ego pada suatu tempat dimana ia mengadakan observasi langsung

terhadap realitas yang lalu untuk menemukan teks sebagai bagian dari elemen

realitas tersebut, Baik teks sebagai bagian dari elemen realitas tersebut, baik teks

agama yang dikondisikan dalam kitab-kitab suci maupun teks oral tradisional

yang terdiri dari kata-kata mutiara dan pepatah.