umi bab iiilibrary.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/11/jtptiain-gdl-s1... · pemikir...
TRANSCRIPT
30
BAB III
TRADISI DALAM PEMIKIRAN HASAN HANAFI
A. Riwayat Hidup dan Karya-Karyanya
a. Riwayat Hidup dan Kondisi Sosio-Kultural Hasan Hanafi
Hasan Hanafi lahir pada tanggal 13 Februari 1935 M di Kairo, di dekat
benteng Salahudin, daerah perkampungan al-Azhar,1 dari keluarga musisi yang
sangat religius.2 Keluarga Hasan Hanafi berasal dari Bani Suwayf, sebuah
propinsi yang berada di Mesir dalam, dan berurban di Kairo. Mereka mempunyai
darah keturunan Maroko. Kakeknya berasal dari Maroko sementara neneknya
berasal dari kabilah Bani Mur yang menunjukkan bahwa Mesir, terutama kota
Kairo, mempunyai arti penting bagi perkembangan awal tradisi keilmuan Hasan
Hanafi.
Masa kecil Hasan Hanafi berhadapan dengan kenyataan-kenyataan hidup
dibawah penjajahan dan dominasi pengaruh bangsa asing. Kenyataan itu
membangkitkan sikap patriotik dan nasionalismenya, sehingga tidak heran
meskipun masih berusia 13 tahun ia berani mendaftarkan diri untuk menjadi
sukarelawan Palestina pada tahun 1948 M. Tetapi ia ditolak oleh pemuda
Muslimin karena dianggap usianya masih terlalu muda. Disamping itu ia juga di
anggap bukan berasal dari kelompok pemuda Muslim. Kekecewaan menyelimuti
dirinya hingga ia menyadari bahwa di Mesir saat itu telah terjadi problem
persatuan dan perpecahan.
Ketika masih duduk di bangku SMA, tepatnya pada tahun 1951, Hasan
Hanafi menyaksikan sendiri bagaimana tentara Inggris membantai para syuhada
di terusan Suez. Bersama-sama para mahasiswa ia mengabdikan diri untuk
membantu revolusi yang telah dimulai pada akhir tahun 1940-an, hingga revolusi
itu meletus pada tahun 1952 M. Atas saran-saran anggota Pemuda Muslim, pada
tahun itu pula ia tertarik untuk memasuki organisasi Ikhwanul Muslimin. Akan
1Muhidin M. Dahlan, Postkolonial Sikap Kita Terhadap Imprealisme, Jendela, Yogyakarta, 2001, hlm. 53
2Ridwan Hambali, Reformasi Intelektual Islam, Yogyakarta, Ittqo Press, 1998, hlm. 18
31
tetapi, di tubuh Ikhwanpun terjadi perdebatan yang sama dengan apa yang terjadi
ketika ingin mendaftarkan diri menjadi sukarelawan Palistina. Kemudian Hasan
Hanafi disarankan oleh para anggota Ikhwanul untuk bergabung dalam organisasi
Mesir Muda. Ternyata keadaan di dalam tubuh Mesir Muda sama dengan kedua
organisasi sebelumnya. Hal ini menyebabkan ketidakpuasan Hasan Hanafi atas
cara berfikir kalangan muda Islam yang terkotak-kotak. Kekecewaannya tersebut
menyebabkan ia memutuskan berkonsentrasi mendalami pemikiran-pemikiran
keagamaan, revolusi dan perubahan sosial. Hal ini juga yang menyebabkan ia
lebih tertarik pada pemikiran-pemikiran Sayyid Qutb tentang prinsip-prinsip
keadilan sosial dalam Islam.3
Sejak tahun 1952 M sampai dengan tahun 1956 M Hasan Hanafi belajar di
Universitas Cairo dan mendapat gelar sarjana pada Fakultas Adab (Sastra Arab)
jurusan filsafat. Pada periode ini ia merasakan situasi yang paling buruk di Mesir
pada tahun 1954 M, misalnya, terjadi pertentangan keras antara Ikhwan dengan
revolusi. Hasan Hanafi berada pada pihak Muhammad Najib, yang berhadapan
dengan Nasser. Karena baginya Najib memiliki komitmen dan visi Islam yang
jelas.
Kejadian-kejadian yang dialami pada waktu itu, terutama yang dihadapi
dikampus, membuatnya ia bangkit menjadi seorang pemikir, pembaharu dan
reformis. Keprihatinan yang muncul saat itu adalah mengapa umat Islam selalu
dikalahkan dan mengapa konflik internal dalam Islam selalu terjadi.4
Tahun-tahun berikutnya, Hasan Hanafi berkesempatan untuk belajar di
Universitas Sarbone (Prancis) pada tahun 1956 M sampai 1966 M. Ia disini
memperoleh lingkungan yang kondusif untuk mencari jawaban atas persoalan-
persoalan mendasar yang dihadapi oleh Negrinya dan sekaligus merumuskan
jawaban-jawabannya. Negara Prancis adalah tempat melatih dirinya untuk berfikir
secara metodelogis melalui kuliah-kuliah maupun bacaan-bacaan dan karya-karya
3loc.cit. 4Hal ini sesuai dengan pemikiran Kazuo Shimogoki, dalam karyanya, Kiri Islam; antara
Modernisme dan Post Modernisme; Telaah Kritis atas Pemikiran Hassan Hanafi, LKIS, Yogyakarta, 1993, hlm. 4. Yang meletakkan pemikiran Hasan Hanafi pada tiga wajah, yaitu pemikir revolusioner, reformis tradisi intelektual klasik dan reformis penerus al-Afghani (1838-1896 M).
32
orentalis. Ia sempat belajar pada seorang reformis katolik, Jean Guitto; tentang
metodologi berfikir, pembaharuan dan sejarah filsafat.5 Ia belajar fenomenologi
dari Paul Recour, analisis kesadaran dari Husser dan bimbingan penulisan tentang
pembaharuan ushul fikih dari Prof. Masnion. Tak heran jika di kandang orentalis
ia berhasil menguasai tradisi, pemikiran dan keilmuan Barat dengan cukup baik.6
Semangat Hasan Hanafi untuk mengembangkan tulisan-tulisannya tentang
pembaharuan pemikiran Islam semakin tinggi sejak ia pulang dari Prancis pada
tahun 1966 M. Ia kemudian ikut serta dengan rakyat berjuang dan membangun
kembali semangat nasionalisme mereka. Pada sisi lain, untuk menunjang
perjuangnnya Hasan Hanafi mulai memanfaatkan pengetahuan-pengetahuan
akademis yang telah diperolehnya, yaitu dengan memanfaatkan media massa
sebagai jalan perjuangnnya. Ia menulis banyak artikel untuk menanggapi masalah-
masalah aktual dan melacak faktor kelemahan umat Islam.
Setelah menyandang gelar Doctor dengan desertasi “Essai Sur La
Methode D’exegese” (esai tentang metode penafsiran) setebal 900 halaman, pada
tahun 1966 M, Hasan Hanafi pulang ke Mesir dan mengajar di Universitas Kairo
Fakultas Sastra, jurusan Filsafat hingga tahun 1971 M. Selain mengajar di
Universitas Kairo, ia juga sempat menjadi Professor tamu di Prancis dan Belgia
(1969-1970 M). Kemudian antara tahun 1971-1975 M ia mengajar di Universitas
5Hasan Hanafi mendiskripsikan “guru saya” yang bertanggung jawab atas semua formasi
filosofis saya adalah Jean Guitton, seorang professor ilmu filsafat di Sarbone dan seorang pemimpin modernis Katolik Roma. Jean Guitton bertindak sebagai pembimbing Hasan Hanafi melalui membaca dan mempelajari Filsafat Barat. Ia juga memberikan panduan kepada Hasan Hanafi dalam masalah-masalah praktis seperti bagaimana memberikan kuliah umum dan metode-metode penelitian. Jean Guitton pernah ke Mesir (1930-an) yang paling tidak memiliki gambaran sedikit tentang Mesir. Metode dan perspektif Jean Guitton membantu mengembangkan pemahaman Hasan Hanafi terhadap pendekatan-pendekatan untuk rekonsiliasi posisi yang berbeda. Hasan Hanafi sendiri mendiskripsikan dirinya sendiri sebagai bangunan di atas Jean Guitton dan kemudian menjulang tinggi. Diskripsi ini menggambarkan perkembangan pemikiran Jean Guitton dari kesadaran individu menuju kesadaran sosial, dari kanan ke kiri dan dari agama ke revolusi. Saya gunakan kritik yang berhubungan dengan kitab Injil secara negatif dan dia memakainya secara positif untuk memperhatikan sebuah kebenaran. Saya hidup untuk teologi kebebasan, sedangkan dia takut orang-orang akan berubah ke Marxisme dan kekerasan, dan elemen-elemen asing itu mungkin memasuki kebenaran otentik . Jhon L, Esposito dan Jhon O. Voll, Tokoh Kunci Gerakan Islam Kontemporer, terj. Hermawan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 75-76
6Dalam satu artikelnya ia mengatakan “itulah Barat yang aku pelajari, aku kritik, aku cintai dan akhirnya aku benci, lihat Ridwan Hambali, op. cit., hlm. 220
33
Tample Amerika Serikat.7 Aktivitasnya yang baru tersebut memberinya
kesempatan untuk banyak menulis tentang dialog antar agama dengan revolusi.
Sekembalinya dari Amerika, ia mulai menulis tentang pembaruan
pemikiran Islam dengan bukunya yang berjudul al-Turauts wa al-Tajdid. Buku
tersebut berisi tentang gerakan kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah yaitu
teologi untuk membebaskan dunia Islam dari penjajahan Barat.8 Pada waktu itu
pemerintah Anwar Sadad pro-Barat yang berkolaborasi dengan Israel. Ia terpaksa
harus terlibat untuk membantu menjernihkan situasi melalui tulisan-tulisannya
yang berlangsung antara tahun 1976 M hingga 1981 M. Tulisan-tulisan itu
kemudian dibukukan menjadi al-Din wa al-Tsaurah.
Pada tahun 1980-an M, posisinya sebagai intelektual publik Muslim
dengan pandangan internasional yang tinggi memberikan banyak kesempatan
untuk menyampaikan gagasan-gagasannya. Sebagai intelektual internasional,
setelah bekerja di Amerika Serikat, ia mengajar di Universitas Kuwait (1979 M),
Maroko (1982-1984 M), Jepang (1984-1985 M) dan Uni Emirat Arab (1979 M).
Hasan Hanafi kembali ke Jepang sebagai seorang konsultan akademik di
Universitas PBB di Tokyo pada tahun 1985-1987 M.9 Pada tahun 1989 M, ia
ditunjuk sebagai ketua jurusan Filsafat di Fakultas Sastra Universitaas Kairo
hingga diberhentikan pada tahun 1995 M.10
Hasan Hanafi seringkali mengunjungi negara Belanda, Swedia, Portugal,
Spanyol, Prancis, Jepang, India, Indonesia, Sudan, Saudi Arabia dan sebagainya
antara tahun 1980-1987 M. Pengalaman pertemuannya dengan para pemikir besar
negara-negara tersebut telah menambah wawasannya untuk semakin tajam
memahami persolan-persoalan yang dialami oleh dunia Islam.
Dari pengalaman hidup yang ia peroleh sejak remaja membuat Hasan
Hanafi memiliki perhatian yang begitu besar terhadap persoalan umat Islam.
7Kepergiannya ke Amerika, sesungguhnya berawal dari adanya keberatan pemerintah
terhadap aktivitasnya di Mesir, sehingga ia diberikan dua pilihan apakah ia harus tetap meneruskan aktivitasnya tersebuat atau pergi ke Amerika Serikat.
8 Hasan Hanafi, Turas dan Tajdid, terj. Yudian Wahyudi, Titian Illahi Press, Yogyakarta, 2001, hlm. viii
9Jhon L.Esposito dan Jhon O.Voll, Tokoh Kunci Gerakan…, op.cit., hlm 81 10 Ridwan Hambali, Reformasi Intelektual…,op.cit., loc.cit.
34
Karena itu, meskipun tidak secara sepenuhnya mengabdikan diri untuk sebuah
pergerakan tertentu, ia-pun banyak terlibat langsung dalam kegiatan-kegiatan
pergerakan yang ada di Mesir. Sedang pengalamannya dalam bidang akademis
dan intelektual, baik secara formal maupun tidak dan pertemuannya dengan para
pemikir besar dunia semakin mempertajam analisis dan pemikirannya, sehingga
mendorong hasratnya untuk terus menulis dan mengembangkan pemikiran-
pemikiran baru untuk membantu menyelesaikan persoalan-persolan besar umat
Islam.
b. Perkembangan Pemikiran Hasan Hanafi dan Karya-Karyanya
Barat dan timur (antara tradisional dan modern) adalah perpaduan dua
tradisi pemikiran Hasan Hanafi. Perpaduan tersebut, merespon basis sosialnya,
berupa kondisi obyektif dunia Islam yang penuh kemiskinan, kebodohan dan
keterbelakangan serta kenyataan Barat yang mendominasi tidak hanya aspek
politis, tetapi aspek pendidikan, ekonomi dan kultural yang menjadi ancaman
eksternal bagi Islam.
Karya-karya Hasan Hanafi dapat diklasifikasikan menjadi tiga periode.
Periode pertama berlangsung pada tahun 1960-an. Periode kedua berlangsung
pada tahun 1970-an, dan periode ketiga berlangsung dari tahun 1980-an sampai
dengan 1990-an.
Pada awal dasawarsa 1960-an pemikiran Hasan Hanafi dipengaruhi oleh
isme-isme dominan yang berkembang di Mesir, yaitu nasionalistik, sosialistik
populistik yang dirumuskan sebagai ideologi Pan Arabisme,11 dan oleh situasi
nasional yang kurang menguntungkan setelah kekalahan Mesir dalam perang
melawan Israel pada tahun 1967 M. Pada awal dasawarsa ini pula (1956-1960 M),
sebagaimana telah di kemukakan, Hasan Hanafi sedang berada dalam masa-masa
belajar di Prancis.12
Selama berada di Perancis ia mengadakan penelitian tentang, metode
interprestasi sebagai upaya pembaharuan dalam bidang ushul fiqih (teori hukum
11Abdurrahman Wahid, Hasan Hanafi dan Eksperimentasinya, LKIS, Yogyakarta, 1993,
hlm. xi 12Masa-masa belajar di Prancis, ia lebih banyak menekuni bidang-bidang filsafat dan ilmu
sosial dalam kaitannya dengan hasrat dan usahanya untuk merekonstruksi pemikiran Islam.
35
Islam, Islamic legal theory) dan tentang fenomenologi sebagai metode untuk
memahami agama dalam konteks realitas kontemporer. Penelitian itu sekaligus
merupakan upayanya untuk memperoleh gelar Doktor pada Universitas Sorbon
(Perancis), dan ia berhasil menulis desertasi yang berjudul Essai sur la methode
d`Exegese (esai tentang metode penafsiran). Karya setebal 900 halaman itu
memperoleh penghargaan sebagai karya ilmiah terbaik di Mesir pada tahun 1961
M. Dalam karyanya itu jelas Hasan Hanafi berupaya menghadapkan ilmu ushul
fiqih pada mazhab filsafat fenomenologi Edmund Husserl.
Pada fase awal pemikirannya itu, tulisan-tulisan Hasan Hanafi masih
bersifat ilmiah murni. Setelah akhir dasawarsa itu, ia mulai berbicara tentang
keharusan Islam untuk mengembangkan wawasan kehidupan yang progresif dan
berdimensi pembebasan (taharrur, liberatioan). Ia mensyaratkan fungsi
pembebasan jika memang itu yang diinginkan Islam agar dapat membawa
masyarakat pada kebebasan dan keadilan, khususnya keadilan sosial, sebagai
ukuran utamanya. Struktur yang populistik adalah manifestasi kehidupannya dan
kebulatan kerangka pemikiran sebagai resep utamanya. Hasan Hanafi sampai pada
kesimpulan bahwa Islam sebaiknya berfungsi orientatif bagi ideologi populistik
yang ada.
Pada akhir periode ini, dan berlanjut hingga awal periode 1970-an, Hasan
Hanafi juga memberikan perhatian utamanya untuk mencari penyebab kekalahan
umat Islam dalam perang melawan Israel tahun 1967 M. Oleh karena itu, tulisan-
tulisannya bersifat populis. Awal periode 1970-an, ia banyak menulis artikel di
berbagai media massa, seperti al-Katib, al-Adab, al- Fakr, al-Muasyir dan al-
Islam. Pada tahun 1976 M, tulisan-tulisan tersebut di terbitkan dalam sebuah buku
yang berjudul Qodhaya Mu’asyirat fi Fikrina al-Mu’asyir. Buku ini
mendiskripsikan tentang realitas dunia Arab saat itu, analisis tentang tugas para
pemikir dalam menanggapi problema umat, dan tentang pentingnya pembaruan
pemikiran Islam untuk menghidupkan kembali khasanah tradisional Islam.
Kemudian, pada tahun 1977 M, kembali ia menerbitkan Qadhaya Mu`asyirst fi al
Fikr al-Gharib. Buku kedua ini mendiskusikan pemikiran para sarjana Barat
untuk melihat bagaimana mereka memahami persoalan masyarakatnya dan
36
kemudian mengadakan pembaruan. Beberapa pemikir Barat yang ia singgung itu
antara lain Spinoza, Voltaire, Kant, Hegel, Karl Jaspers, Karl Marx, Marx Weber,
Edmund Husserl dan Herbert Marcuse.
Kedua buku itu secara keseluruhan merangkum dua pokok pendekatan
analisis yang berkaitan sebab-sebab kekalahan umat Islam; memahami posisi
umat Islam yang lemah dam memahami posisi Barat yang superior. Pertama
penekanan diberikan pada upaya pemerdayaan umat, terutama dari segi pola
pikirnya, dan yang kedua ia berusaha untuk menunjukkan bagaimana menekan
superioritas Barat dalam segala aspek kehidupan. Kedua pendekatan inilah yang
nantinya melahirkan dua pokok pemikiran baru yang tertuang dalam dua buah
karyanya, yaitu al-Turats wa al-Tajdid (Tradisi dan Pembaharuan) dan al-
Istighrab (Oksidentalisme).
Pada periode ini, yaitu antara tahun-tahun 1972-1975 M, Hasan Hanafi
juga menganalisis sebab-sebab ketegangan antara berbagai kelompok kepentingan
di Mesir, Terutama antara kekuatan Islam radikal dengan pemerintah. Pada saat
yang sama situasi politik Mesir mengalami ketidakstabilan yang ditandai dengan
berbagai peristiwa penting yang berkaitan dengan sikap Anwar Sadat yang pro-
Barat dan memberikan kelonggaran pada Israel, hingga ia terbunuh pada oktober
1981 M. Keadaan ini membawa Hasan Hanafi pada pemikiran bahwa seorang
Ilmuwan juga harus mempunyai tanggung jawab politik terhadap bangsanya.
Untuk itulah kemudian ia menulis al-Din wa al-Tsaura fi Mishr (1952-1982 M).
Karya ini terdiri dari 8 jilid yang merupakan himpunan berbagai artikel yang
ditulis antara tahun 1976 M sampai 1981 M dan diterbitkan pertama kali pada
tahun 1987 M. Karya ini berisi pembicaraan dan analisis tentang kebudayaan
nasional dan hubungan dengan agama, hubungan antara agama dengan
perkembangan nasionalisme, tentang gagasan mengenai gerakan kiri keagaman
yang membahas gerakan-gerakan keagamaan kontemporer, fundamentalisme
Islam serta Kiri Islam dan Integritas Nasional. Hasan Hanafi dalam analisisnya
menemukan bahwa salah satu penyebab utama konflik berkepanjangan di Mesir
adalah tarik menarik antara ideologi Islam dan Barat serta ideologi sosialisme. Ia
37
juga memberikan bukti-bukti penyebab munculnya berbagai tragedi politik dan
terakhir, menganalisis penyebab munculnya radikalisme Islam.
Karya-karya lain yang ia tulis pada periode ini adalah Religious Dialogue
and Revolution dan dirasat al-Islamiyyah. Buku pertama berisi pikiran-pikiran
yang ditulisnya antara tahun 1972-1976 M ketika ia berada di Amerika Serikat,
dan terbit pertama kali pada tahun 1977 M. Pada bagian pertama buku ini ia
merekontruksi metode hermeneutika sebagai metode dialog antara Islam, Kristen
dan Yahudi. Sedangkan bagian kedua secara khusus membicarakan hubungan
antara agama dengan revolusi dan lagi-lagi ia menawarkan fenomenologi sebagai
metode untuk menyikapi dan menafsirkan realitas umat Islam.13
Sementara itu Dirasat Islamiyyah, yang ditulis sejak tahun 1978 M dan
terbit pertama kali tahun 1981 M, memuat deskripsi dan analisis pembaharuan
terhadap ilmi-ilmu keislaman klasik, seperti ushul fiqih, ilmu-ilmu ushuluddin dan
filsafat. Diskripsi dan analisis tersebut dimulai dengan pendekatan histories untuk
melihat perkembangannya, Hasan Hanafi berbicara tentang upaya rekontruksi atas
ilmu-ilmu tersebut untuk disesuaikan dengan realitas kontemporer.
Periode selanjutnya, yaitu dasawarsa 1980-an sampai awal 1990-an,
dilatarbelakangi oleh kondisi politik yang relatif lebih stabil ketimbang masa-
masa sebelumnya. Hasan Hanafi dalam periode ini, mulai menulis al-Turats wa
al-Tajdid yang terbit pertama kali tahun 1980 M. Buku ini merupakan landasan
teoritis yang memuat dasar-dasar ide pembaharuan dan langkah-langkahnya.
Kemudian, ia menulis al-Yasar al-Islamy (Kiri Islam), sebuah tulisan yang lebih
merupakan sebuah “manifesto politik” yang berbau ideologis, sebagaimana telah
saya kemukakan secara singkat di atas.
Jika Kiri Islam baru merupakan pokok-pokok pikiran yang belum
memberikan rincian dari program pembaharuannya, buku Min al-Aqidah ila al-
Tsaurah (5 jilid), yang ditulisnya selama sepuluh tahun dan terbit pertama kali
pada tahun 1988 M. Buku ini memuat uraian terperinci tentang pokok-pokok
pembaharuan yang ia canangkan dan termuat dalam kedua karyanya yang
13Hasan Hanafi, Dialog Agama dan Revolusi, terj. Tim Penterjemah Pustaka Firdaus,
Pustaka Firdaus, Jakarta, 1994, hlm. 1-25
38
terdahulu. Oleh karena itu, bukan tanpa alasan jika buku ini dikatakan sebagai
karya Hasan Hanafi yang paling monumental.
Satu bagian pokok bahasan yang sangat penting dari buku ini adalah
gagasan rekontrusi ilmu kalam, baik dari sisi kemunculannya, aspek isi dan
metedologi maupun perkembangannya. Lalu ia melakukan analisis untuk melihat
kelebihan dan kekurangannya, terutama relevansinya dengan konteks modernitas.
Salah satu kesimpulannya adalah bahwa pemikiran kalam klasik masih sangat
teoritis, elitis dan statis secara konsepsional. Ia merekontruksi sebuah teologi atau
ilmu kalam yang antroprosentris, populis dan transformatif.
Pada tahun 1985-1987 M, Hasan Hanafi menulis banyak artikel yang ia
presentasikan dalam berbagai seminar di beberapa negara, seperti Amerika
Serikat, Perancis, Belanda, Timur tengah, Jepang, termasuk Indonesia. Kumpulan
tulisan itu kemudian disusun menjadi sebuah buku yang berjudul religion,
Ideology and development yang terbit pada tahun 1993 M. Beberapa artikel
lainnya juga tersusun menjadi buku dan diberi judul Islam in the Modern Word (2
jilid). Selain berisi kajian-kajian agama dan filsafat, dalam karya-karyanya yang
terakhir pemikiran Hasan Hanafi juga berisi kajian-kajian ilmu sosial seperti
ekonomi dan teknologi. Pemikiran Hasan Hanafi pada karya-karyanya terakhir ini
lebih tertuju pada upaya untuk meletakkan posisi agama serta fungsinya dalam
pembangunan di negara-negara dunia ketiga.
Pada perkembangan selanjutnya, Hasan Hanafi tidak lagi berbicara tentang
ideologi tertentu melainkan tentang paradigma baru yang sesuai dengan ajaran
Islam sendiri maupun kebutuhan hakiki kaum Muslimin. Sublimasi pemikiran
dalam diri Hanafi ini antara lain didorong oleh maraknya wacana nasionalisme-
pragmatik Anwar Sadat yang menggeser popularitas paham sosialisme Nasser di
Mesir pada dasawarsa 1970-an hingga sekarang.
Pandangan unversalistik ini disatu sisi ditopang oleh upaya
pengintegrasian wawasan keislaman dari kehidupan kaum muslimin ke dalam
upaya penegakkan martabat manusia melalui pencapaian otonomi individual bagi
warga masyarakat, penegakan kedaulatan hukum, penghargaan pada HAM dan
penguatan (empowerment) bagi kekuatan masa rakyat jelata.
39
Pada sisi lain, paradigma universalistik yang diinginkan Hasan Hanafi
harus dimulai dari perkembangan epistemologi ilmu pengetahuan baru. Orang
Islam, menurut Hasan Hanafi, tidak butuh hanya sekedar menerima dan
mengambil alih paradigma ilmu pengetahuan modern Barat yang tertumpu pada
materialisme, melainkan juga harus mengikis habis penolakkan mereka terhadap
peradaban ilmu pengetahuan Arab. Seleksi dan diaolg konstruktif dengan
peradaban Barat itu dibutuhkan untuk mengenal dunia Barat dengan setepat-
tepatnya. Upaya pengenalan itu sebagai unit kajian ilmiah, berbentuk ajakan
kepada ilmu-ilmu kebaratan (al-istisyraq, orientalisme). Oksidentalisme
dimaksudkan untuk mengetahui peradaban Barat sebagaimana adanya, sehingga
dari pendekatan ini akan muncul kemampuan mengembangkan kebijakan yang
diperlukan kaum Muslim dalam ukuran jangka panjang. Hasan Hanafi dengan
pandangan ini telah menghantarkannya menjadi filosof kaliber dunia yang
mengusung mega proyek al-Turats wa al-Tajdid. Hasan Hanafi adalah seorang
yang sangat produktif menulis dan telah menelurkan ratusan buku yang ditulisnya
dengan serius dan sistematis.
B. Tradisi dalam Pemikiran Hasan Hanafi
Meskipun Hasan Hanafi dalam banyak hal menolak dan mengkritik Barat,
tetapi ia juga banyak menyerap dan mengkonsentrasikan dirinya pada kajian
pemikir Barat pra-modern. Sebagaimana Kazuo Shimogaki, mengkategorikan
Hasan Hanafi sebagai seorang modernis-liberal, karena ide-ide liberalisme Barat,
Demokrasi, rasionalisme dan pencerahan telah banyak mempengaruhinya.14
14Kazuo Shimogaki menegaskan bahwa memantapkan posisi pemikiran Hasan Hanafi
dalam dunia pemikiran Islam dapat di tengarai dari tiga wajah, yaitu wajah pertama adalah peranannya sebagai seorang pemikir revolusioner. Segera setelah Iran menang, ia meluncurkan Kiri Islam. Salah satu tugasnya ialah untuk mencapai revolusi tauhid (keesaan, pengesaan: konsep inti dalam pandangan dunia Islam), dalam hal ini, ia dapat dikategorikan sebagai pemikir Islam revolusioner, seperti Ali Syari’ati, pemikir yang menjadi tulang punggung revolusi Islam Iran dan Imam Khomaini yang memimpin revolusi dengan sukses.
Wajah kedua adalah sebagai seorang reformis tradisi intelektual Islam klasik, dalam hal ini, ia mirip dengan posisi Mohammad Abduh (seorang pemikir Mesir terkemuka, 1849-1905 M). Sebagai seorang reformis tradisi Islam Hasan Hanafi adalah seorang rasionalis sebagaimana Mohammad Abduh.
Wajah ketiga adalah penerus gerakan al-Afghani (1838-1896 M), pendiri gerakan Islam modern, yang disebut sebagai pejuang melawan imperialisme Barat dan mempersatukan dunia Islam. Hasan Hanafi menyebut perjuangannya dengan hal yang sama. Yaitu perjuangan melawan
40
Hasan Hanafi adalah salah seorang pemikir Arab yang sangat dipengaruhi
oleh tradisi pemikir Filsafat Materialisme Historis dari Marx. Dengan
menggunakan metode dialektika,15 Hasan Hanafi mengadakan sistematisasi
penyatuaan aspek pengetahuan dan pengalaman serta menyusunannya ke dalam
suatu keutuhan yang inklusif. Pemikiran Hasan Hanafi bisa disebut Marxis
walaupun tidak harus menjadi Marxisme. Dalam bentuknya yang paling
sederhana, metode ini berpandangan bahwa proses sejarah terjadi lewat
konfrontasi dialektis, dimana tesis menimbulkan antitesis dan keduanya akan
diangkat menjadi sintesis.
Hasan Hanafi terpengaruh oleh dialektika Marx, yang ia jadikan sebagai
metode untuk melihat sejarah perkembangan perjuangan Islam. Yaitu dengan
bantuan metode itu, Hasan Hanafi mencoba melihat kembali sejarah
perkembangan perjuangan Islam dengan berusaha melakukan rekonstruksi
terhadap seluruh bangunan pemikiran Islam tradisional, yang selama ini
mengandalkan pada otoritas teks dan bertumpu pada metodelogi yang
mengalihkan teks ke dalam kenyataan.
Hasan Hanafi menemukan kelemahan yang mendasar dalam tradisi
pemikiran Islam tradisional. Ia memberikan kritik terhadap metode ini,
diantaranya bahwa teks bukanlah realitas, ia hanya sebuah teks. Teks adalah
ekspresi mistik yang menggambarkan realitas, tetapi bukan realitas itu sendiri.
Teks tertumpu pada otoritas Kitab, bukan pada otoritas rasio. Otoritas Kitab
bukan bukti, karena ada beberapa teks yang disakralkan, sementara di sisi lain ada
realitas dan ada akal. Teks memerlukan interpretasi terhadap acuan realitas yang
ditunjuknya, yakni peristiwa yang ditandai teks. Tanpa interpretasi, teks tidak
imperialisme kultur Barat dan penyatuan dunia Islam. Lihat Kazuo Shimogoki, Kiri Islam…, op.cit., hlm. 3 . Begitu juga dengan Issa J. Boullata menegaskan bahwa pemikiran Hasan Hanafi tertumpu pada tiga metodelogi: pertama tradisi atau sejarah Islam, kedua metode fenomenologi dan ketiga analisis sosial Marxian. Lihat Issa J. Boullata, Hasan Hanafi; Terlalu Teoritis untuk di Praktekkan, terj. Saiful Muzani, Jurnal Islamika, Nomer 1, 1993, hlm. 21
15Metode dialektika pertamakali dikenalkan oleh Hegel (1770-1831), lihat Antony Brewer, Kajian Kritis Das Kapital Karl Marx, terj. Joebar Ajoeb, Teplok Press, Jakarta, hlm. 6 Metode dialektika dipakai oleh Hasan Hanafi untuk menjelaskan sejarah perkembangan pemikiran Islam, yaitu untuk menentukan titik pijak dan alasan dasar suatu revolusi. Demikianlah revolusi harus di pandang sebagai panggilan sejarah.
41
menjadi bermakna. Konsekwensinya, akan terjadi interprestasi teks diluar apa
yang dimaksudkannya dan terjadilah kesalahpahaman dan penggunaan teks diluar
konteksnya.16
Hasan Hanafi tidak berhenti pada Teks, tetapi berusaha mencari hubungan
rasional antara teks dan konteks. Tadisi dapat dipelajari dengan obyektifitas
historis yang memadai dan dipisahkan tidak saja dari masa kini, tetapi juga dari
faktor-faktor normative yang diduga telah melahirkannya. Kerangka inilah yang
membedakan tradisi pemikiran Mu’tazilah yang pure reason dengan metode
berpikir Hasan Hanafi yang menghargai sisi historis sebagai sebuah proses yang
dapat memberikan pemahaman yang inklusif tentang suatu pengetahuan.
Sebagai contoh dalam dimensi teologis dituangkan dalam bukunya al-din
wa al-Tsaurah vol. 1V. Hasan Hanafi dalam Buku tersebut menunjukkan
perjalanan peran agama dalam pergolakan politik di Mesir dari tahun 1952 M
sampai 1981 M. Selama periode hampir 30 tahun ini, ia membagi tiga tahap peran
agama. Tahap pertama, agama dan revolusi (1961-1966 M). Tahap kedua, agama
dan pembangunan masa depan (1961-1966 M). Tahap ketiga, kembali ke iman.
Kemudian, Hasan Hanafi menggunakan dialektika untuk membahas teologi
sebagai antropologi yang merupakan cara ilmiah untuk mengatasi keterasingan
teologi itu sendiri.
Disamping itu, gerakan peradabaan dan kebudayaan Hasan Hanafi sangat
dipengaruhi ketajaman analisis pemahaman terhadap realitas. Realitas, bagi Hasan
Hanafi, adalah realitas masyarakat, politik dan ekonomi, khazanah Islam dan
tantangan Barat. Keberhasilan mencapai cita-cita Islam tergantung pada
kecermatan menganalisis realitas-realiatas itu. Untuk menganalisis realitas-realitas
itu dan meletakkan semuanya, Hasan Hanafi menggunakan metode
fenomenologi.17
16Hasan Hanafi, Bongkar Tafsir; Liberalisasi, Revolusi, Hermeneutik, terj. Jajat Hidayatul
Firdaus dan Neila Meuthia Diena Rohman, Ar-Ruzz, Yogyakarta, 2003, hlm. 20 17Metode ini diadopsi dari metode Marx dan Edmund Hussel (1859-1938), metode ini
menekankan pada refleksi mengenai pengalaman langsung sejauh aktivitas secara intensional berhubungan dengan obyek (fenomena), dalam pengertian ini, metode fenomenologi merupakan cara berfikir filosofis ilmiah yang lepas dari prasangaka metafisis dan segala undur tradisi. Anton Beker, Metode-Metode Filsafat, Ghalia, Jakarta, t.t.h., hlm. 112
42
Hasan Hanafi meyakini pentingnya menggunakan metode fenomenologi
sebagai pilihan metode yang tepat, sebagaimana ia jelaskan: “sebagai bagian dari
gerakan Islam Mesir dan sebagai seorang fenomenolog, saya tidak mempunyai
pilihan lain untuk menggunakan metodologi fenomenologi dalam menganalisis
Islam alternatif di Mesir”.
a. Kiri Islam dalam Pemikiran Hasan Hanafi
Istilah kiri tidak hanya dipakai oleh kalangan komunis, istilah kiri juga
dikenal dalam khasanah pemikir Islam. Itulah al-Yasar al-Islam, yaitu paham
Islam yang menekankan aspek revolusioner dalam agama. Kiri Islam tak
Bersangkut paut dengan Marxisme. Sebagaimana dikatakan oleh Abdurrahman
Wahid, kiri Islam bukanlah Islam yang berbaju marxisme sebab hal tersebut akan
menafikan makna revolusioner dalam Islam sendiri. Kiri Islam juga tidak
berbentuk elektik (perpaduan) antara Marxisme dengan Islam, karena hal
demikian hanya menunjukkan bentuk pemikiran yang tercerabut dari akarnya
tanpa ada pertautan yang erat dengan realitas yang ada dalam kaum Muslim
sendiri.18 Kiri tersebut adalah istilah dalam ilmu sosial yang berarti resentasi dan
kritisisme.
Kiri Islam (al-Yasar al-Islam) hanyalah sebuah jurnal yang bahkan hanya
terbit sekali pada januari 1981 M. Tetapi popularitasnya seperti melebihi buku-
buku hasil karyanya. Hasan Hanafi dengan kiri Islam juga mengukuhkan diri
sebagai salah seorang yang memiliki pemikiran orisinil.
Kiri Islam mencakup delapan hal yang meliputi; nama dan kredo, latar
belakang dan momentum revitalisasi klasik, menentang peradaban Barat, realitas
dunia Islam, agama dan revolusi, integrasi nasional dan menjawab keraguan.
Tentang nama dan kredo, Hanafi menegaskan bahwa esai-esai kiri Islam
adalah kelanjutan al-Urwab al-Watsa Dar al-Manar dilihat dari keterkaitan
dengan agenda Islam al-Afghani. Agenda tersebut meliputi melawan kolonialisme
dan keterbelakangan, menyerukan kebebasan dan keadilan sosial serta
mempersatukan kaum Muslimin ke dalam blok Islam dan blok timur. Kiri Islam
18Kholid, et.al., Hasan Hanafi: Kiri Islam Sebagai Ideologi, Just Satadies, Volume I,
Februari, 2002, hlm. 12
43
bermaksud mentransformasikan “keadaan individual” menjadi “ keadaan kolektif
”, dari revolusi intelektual ke revolusi kenyataan, kiri Islam berada dalam barisan
orang-orang yang disukai, tertindas, kaum Muslimin. Dengan demikian ia
merefleksikan kiri dan dalam konotasi akademik.19
Kiri Islam lahir dilatarbelakangi oleh kegagalan berbagai metode
pembaharuaan yang telah ada. Metode pembaharuaan yang telah ada hanya
menghasilkan keberhasilan yang relatif bahkan gagal dalam menuntaskan
kemiskinan. Kiri Islam lahir dalam rangka merealisasikan tujuan-tujuan
pengarahan nasional dan prinsip-prinsip revolusi sosial. Hal ini dilakukan dengan
melalui pengembangan khasanah umat dan berpijak pada kesadaran rakyat.
Hasan Hanafi sangat menekankan perlunya revitalitas khasanah Islam
klasik. Karena itu, rekontruksi, pengembangan dan pemurnian khasanah lama itu
sangat penting untuk dilakukan. Khasanah klasik meliputi tiga macam ilmu
pengetahuan yaitu; ilmu-ilmu normative rasional (al-ulum al-naqliyah al-aqliyah),
seperti ilmu ushul al-din, ilmu ushul al-fiqih, ilmu hikmah dan tasawuf. Ilmu-ilmu
rasional semata (al-aqliyah), seperti matematika, fisika, kimia. Kemudian ilmu
normative-tradisional (al-naqliyah) seperti hadits, fiqih, dan tafsir.20
Kiri Islam dalam kaitannya dengan Barat, hadir untuk menentang dan
menggantikan kedudukan peradaban Barat. Jika al-Afghani bergaul dengan
imperalisme militer, maka kini kita menghadapi imperalisme ekonomi yang
berupa koroporasi multi nasional dan imperialisme kebudayaan. Tugas kiri Islam
adalah mengembalikan peradaban Barat ke dalam batas-batas alamiahnya,
menjelaskan proporsinya, asal-asulnya, kesesuaiannya dengan situasi dan
kesejahteraan tertentu. Kiri Islam menjadikan Barat sebagai obyek studi dengan
membangun ilmu baru yakni oksidentalisme untuk menandingi orientalisme lama.
Pembahasan kiri Islam yang lain adalah tentang realitas dunia Islam,
gambaran dunia Islam sebagaimana adanya. Sejak era al-Afghani bahkan sejak
perang salib dunia Islam dihadapkan pada tiga bentuk tantangan yakni;
imperialisme, zionisme, dan kapitalisme. Bangsa-bangsa Islam merupakan
19Kazuo Shimogoki, Kiri Islam…, op.cit., hlm. 83-88 20Kholid, et.al, Hasan Hanafi: Kiri Islam…, op. cit., hlm. 13
44
bangsa-bangsa termiskin di dunia, sehingga kemiskinan dan keterbelakangan
menjadi ancaman internal.
Tugas kiri Islam yang lain adalah membongkar unsur-unsur revolusioner
dalam agama dan menjelaskan pokok-pokok peraturan antara agama dan revolusi.
Agama adalah landasan dan revolusi terhadap tuntutan zaman, sebagaimana
syari’ah dan filsafat. Syari’ah adalah landasan dan filsafat adalah tuntutan pada
zamannya. Revolusi Islam diilhami oleh aneka revolusi sosio-politik, baik yang
muncul dikalangan umat Islam maupun di luar umat Islam, seperti yang terjadi
dalam Yudaisme dan Kristen, perlawanan Ibnu Uqaibah melawan Romawi,
pemberontakan petani di Jerman pada abad ke-16, teologi pembebasan di
Amerika latin dan revolusi ”Gereja Kristen” di Amerika Utara.
Keinginan lain kiri Islam adalah integrasi nasional. Kiri Islam sangat
mendorong terjadi dialog antara berbagai kecenderungan pemikiran Islam dengan
menghindari suasana debat, saling caci dan perpecahan. Kiri Islam bukanlah
madzab baru dalam Islam, baik teologi maupun fiqh, tetapi upaya mempersatukan
kaum Muslimin sejalan dengan kebutuhan-kebutuhan dan tuntutan zaman
terhadap nilai-nilai kebebasan, keadilan dan kemajuan. Setelah selama ini
terpecah-pecah oleh madzab dan sekte (Q.S. 30:32) dan didominasi kaum kolonial
yang bersemboyan ”pecah belah dan kuasai”, maka kesatuan pemikiran
merupakan prasarat utama bagi kesatuan umat.
Mungkin orang masih meragukan tentang keberadaan kiri Islam. Maka
Hassan Hanafi mengakhiri uraiannya dengan sub judul ”menjawab keraguan”.
Kiri Islam secara keseluruhan terbebas dari pengaruh Barat dan Timur. Dia
bukanlah neo-marxisme, liberalisme revoliusioner, Khawarij, Syiah, ataupun
gerakan Qaramitah. Dia adalah refleksi pemikiran historis yang
mempresentasikan suatu gerakan sosial politik dalam khasanah klasik, dengan
menggali akarnya pada al-Kitab dan al-Sunnah dan hanya bertujuan untuk rakyat.
Pemikiran kiri Islam lahir di Mesir yang merupakan pusat dari dunia Islam
dan jantung Arabisme. Dia bukanlah partai politik yang berposisi terhadap
establishment dan tidak menganjurkan siapa-pun untuk memberontak kepada
pemerintah yang sah. Bagi kiri Islam peraturan yang mendasar justru terletak pada
45
kebudayaan dan kesadaran historis rakyat. Ukuran keberhasilan gerakan bukanlah
kekuasaan melainkan pada “perpecahan” menyeluruh. Kiri Islam ditujukan untuk
membekali pribadi dan menggugah kesadaran untuk menyongsong kebangkitan
modern rakyat. Dia menawarkan berbagai pemikiran alternatif, meninggalkan
solusi-solusi persial menuju suatu ide komprehensif untuk memantapkan posisi
rakyat dalam sejarah dan ahlinya, mengakui kedaulatan pada mayoritas rakyat.
Yang jelas kiri Islam akan mengusik kemapanan politik dan agama.
Mengusik kemapanan politik dieksperimentasikan dengan menjadikan
agama sebagai ruh pembebasan dan aksi sosial untuk melawan kemapanan rezim
atau penguasa yang sewenang-wenang, mengkebiri hak-hak rakyat. Kiri Islam
mengadakan pembelaan terhadap kaum marjinal (kaum mustad’afin) dan
menjadikan diri individu sebagai bagian dari publik sehingga ada rasa tanggung
jawab atas realitas di sekitarnya.
b. Turas dan Tajdid dalam Pemikiran Hasan Hanafi
Meskipun di negaranya (Mesir) pemikirannya kurang bisa diterima,
bahkan cenderung dikecam oleh kelompok Islam konservatif-skripturalis.
Sebagaimana yang dihadapi oleh para intelektual Muslim yang senada dengannya.
Tetapi dengan keadaan yang seperti itu Hasan Hanafi tetap tegar menjalankan dan
menuangkan gagasan-gagasannya dalam buku.
Hasan Hanafi sangat sistematis dalam membahas dan mendiskusikan
proyek besar yang dibinanya. Dengan tidak ragu-ragu ia mengklaim proyek yang
dijalankan sebagai proyek peradaban (Masyru`Nahdhawi) umat Islam. Seperti
pernah di elaborasikan dalam sebuah tulisannya, Maufiquna al-Hadlari, ia
membagi tiga sikap seorang (Arab Islam) modern; pertama, sikap terhadap masa
lalu (Turats Qodim), yaitu kepedulian diri terhadap tradisi dan warisan lama.
Kedua, sikap terhadap tradisi Barat (Taurats Gharbi), dan ketiga, sikap terhadap
realitas dan kondisi muslim kontemporer (Al-Waqi’). Ketiga sikap tersebut, oleh
Hanafi dirancang dalam mega proyek yang ia sebut dengan istilah al-Turats wa
al- tajdid.21
21Hasan Hanafi, Turas dan Tajdid, terj. Yudian Wahyudi, Titian Illahi Press, Yogyakarta,
2001, hlm.47-64
46
Proyek yang cukup ambisius ini terdiri dari tiga agenda besar, yang
masing-masing memiliki agenda turunan yang bersifat eleboratif dan derivatif.
Agenda besar adalah “sikap kita terhadap tradisi lama”. Dalam agenda pertama
ini, dibahas persoalan-persolan rekonstruksi teologis untuk transformasi sosial.
Untuk penjelasan agenda ini, Hasan Hanafi menulis Min al-Qaid ila al-Tsurab
(sikap kita terhadap warisan),22 yang akan disusul kemudian dengan 6 jilid lainnya
yang berisi penjelasan terhadap agenda pertama. Tanpa menunggu
diselesaikannya penjelasan teoritis dari agenda pertama, Hasan Hanafi
memutuskan untuk menulis penjelasan awal mengenai agenda kedua, “sikap kita
terhadap tradisi Barat”. Untuk keperluan itu Hasan Hanafi menulis muqaddimah
fi`ilm al-Istigrab yang kemudian disempurnakan dalam kitab Madza Ya`ni “Ilm
al-Istighrab. Setelah menyelesaikan agenda pertama dan kedua, ia melanjutkan
menjelaskan secara teoritis penjelasan agenda ketiga yaitu, “sikap kita terhadap
realitas”. Agenda terakhir ini, Hasan Hanafi mengembangkan teori dan paradigma
interpretasi.
Berikut ini gambaran lengkap proyek al-Turats wa al-Tajdid Hassan
Hanafi;
Tradisi dan Pembaharuan23 (Turas wa al-Tajdid)
Sikap Kita terhadap
Tradisi Lama
1. Dari Aqidah ke Revolusi 2. Dari Terjemah ke Kreasi 3. Dari Nash ke Realita 4. Dari Fana Menuju Baqo’ 5. Dari Naql Menuju Akal 6. Akal dan Alam 7. Manusia dan Sejarah
Sikap Kita terhadap Tradisi Barat
1. Sumber-Sumber
Kesadaran Eropa 2. Awal kesadaran
Eropa 3. Akhir Kesadaran
Eropa
Sikap Kita terhadap Realita
1. Metodelogi 2. Perjanjian Baru 3. Perjanjian Lama
22Buku ini merupakan buku pertama yang ditulisnya dan merupakan agenda pertama.
Buku lainnya adalah al-Naql Ila al-‘Ibda’ (rekonstrusi filsafat), min al-Fana’ Ila Baqo’ (rekonstruksi tasawuf), Min al-Nasb Ila al-Waqi’ (rekonstrusi ilmu fiqih), Min al-Naqli Ila al-Aqli (rekonstrusi ilmu-ilmu tradisional), Min al-‘Aqli wa al-Thobi’ab (rekonstruksi ilmu-ilmu rasional), al-Insan wa-Tarikh (tentang ilmu-ilmu humaniora).
23Hasan Hanafi, Turas dan Tajdid…, op. cit., hlm. 252-273
47
Gambar di atas menggambarkan bahwa dalam memformat proyek al-
Turats wa al-Tajdid, Hasan Hanafi meletakkan landasan teoritis pada lingkungan
peradaban; bahwa manusia tidak bisa lepas dari tiga akar pijakan berfikir kemarin
(al-madli) yang dipersonifikasikan dengan Turats Qadim (khasanah klasik), esok
(al-Mustaqbal) yang dipersonofikasikan dengan Turats Gharbi (khasanah Barat)
dan sekarang (al-Hali) yang dipersonifikasikan dengan al-Waqi` (realitas
kontemporer). Tiga akar pijakan ini oleh Hasan Hanafi dijadikan sebagai Tri-
Frontasi proyek al-Turats wa al-Tajdid, dan kita, menurut Hasan Hanafi berada di
tengah lingkaran piramida peradaban.
Dalam turats qadim, kita meletakkan khasanah klasik sebagai pijakan
berfikir yang mempunyai bentengan sejarah, peradaban yang sangat luas dan
dalam, serta telah mengakar jauh ke bawah. Dalam turats gharbi kita meletakkan
khasanah Barat sebagai tamu peradaban yang mempunyai bentengan sejarah
selama sekitar dua abad (masa saat Islam mulai mengakui adanya signifikasi
budaya Barat, sehingga ia harus datang dengan berpakaian sebagai seorang
murid). Sedangkan dalam turats al-waqi` kita meletakkan realitas kontemporer
sebagai ladang untuk bertanam, bercangkok dan berinteraksi antara khasanah
klasik dengan khasanah Barat. Korelasi ketiganya (khasanah klasik, khasanah
Barat dan realitas kontemporer), lanjut Hasan Hanafi sangat kuat sehingga antara
yang satu dengan yang lainnya sulit untuk bisa diceraikan. Disinilah proses
terjadinya akulturasi (al-Tatsaqufa Itahadlur) tidak mungkin terelakkan. Dua
agenda pertama berdominasi peradaban, sedangkan agenda terakhir adalah
realitas. Sehingga ketiganya dapat digambarkan sebagai sisi-sisi segitiga yang
mengurung Ego di tengah. Sisi pertama dalam tradisi lama (khasanah klasik, masa
lalu), sisi kedua adalah tradisi Barat (masa depan), dan sisi ketiga adalah realitas
kekinian (masa kini) seperti terlihat dalam skema berikut ini:24
24Hasan Hanafi, Mada Ya’ni Ilmu Istigrob, Dar al-Hadi, Beirut, 200 M/1421 H, hlm.31
48
Tradisi Barat Tradisi Klasik
Ego
Realita Kontemporer
Sebagaimana dijelaskan Ridwan Hambali,25 turats (tradisi) menurut Hasan
Hanafi bukanlah sekedar barang mati yang telah ditinggalkan oleh orang-orang
terdahulu di perpustakaan atau musium, baik dalam agama, sastra, seni, budaya,
kesadaran berfikir, serta potensi yang hidup dan masih terpendam dalam tanggung
jawab generasi berikutnya. Dia adalah sebagai dasar argumentative dan sebagai
bentuk The world view (pandangan dunia) serta sebagai pembimbing perilaku bagi
setiap generasi mendatang. Karena itu, setiap masa mempunyai turats. Semestinya
seperti itulah turats di interpretasikan.
Akan tetapi, kenyataan berbicara lain. Turats kita telah banyak dicapai
oleh hegemoni feodalisme yang mencekam, akibat ulah tangan-tangan penguasa
(kanan) yang menindas. Sementara “kalangan awam” (kiri), dan masyarakat selalu
menjadi kaum lemah yang tertindas. Hasan Hanafi menggambarkan adanya
kecenderungan kooptasi agama oleh kelompok minoritas kekuasaan dan praktek
keagamaan seperti itu hanyalah “kedok” yang menyembunyikan sikap feodalisme
dan kapitalisme kekuasaan.
Berangkat dari realitas di atas, Hasan Hanafi memandang perlunya
langkah-langkah eksploratif terhadap turats yang berorientasi pada kepentingan
umat Islam yang tertindas. Turats harus direvitalisasi dan bukan hanya sekedar
dipajang, dikutip. Turats hendaknya mampu menjadi basis dan titik tolak bagi
kekuatan revolusioner umat Islam.
Rekonstruksi atas tradisi lama merupakan gerbang umat memasuki
tantangan zaman, sekaligus dapat menghentikan westernisasi yang menjerat
golongan elit. Mereka tidak mengenal tradisi lama kecuali yang bertentangan
25Ridwan Hambali, Reformasi Intelektual Islam …,op.cit., hlm. 228
49
dengan kepentingan umat dan telah dikondisikan oleh kelompok penguasa, karena
mereka tidak menemukan penyelesaian kecuali dalam tradisi Barat. Penyikapan
Barat dapat mambantu para westernis bersikap kritis pendahulu-pendahulu
Yunani hingga orang-orang Barat sekarang, selama ini tidak pernah terjadi
keterputusasaan antara kita dengan the other, kecuali pada gerakan salaf. Sampai
sekarang pun belum pernah ada gerakan kritis terhadap Barat kecuali dalam batas-
batas yang sempit. Itupun dilakukan dengan metode retorik atau dialektik, bukan
metode kritik dan logika pembuktian. Karena pengkonsentrasian pada sumber
Barat inilah yang kemudian memunculkan kebudayaan sekuler, gerakan reformasi
dan modernisasi, pendidikan dan sistem modern kita, demi membela kepentingan
atau keyakinan penguasa.26
Telah disebutkan di atas, untuk penjelasan agenda kedua (sikap kita
terhadap tradisi Barat), Hasan Hanafi menulis Madza ya`ni`ilmal-Istighrab, dalam
tulisan ini mengandung penjelasan teoritis yang terdiri atas empat tema dalam
empat bab. Bab pertama, adalah tentang pengertian oksidentalisme yang
membicarakan tiga agenda proyek “tradisi dan pembaharuan”. Penjelasan agenda
kedua, pendefinisian oksidentalisme yang berhadapan dengan orientalisme, reaksi
atas erosentrisme dan perlunya melakukan perubahan dari tranferensi ke inovasi,
hasil yang diharapkan dari oksidentalisme, pembahasan akar sejarah dan
penggambaran status quo gejala oksidentalisme baik menurut orang yang semasa
dengan Hasan Hanafi atau dalam karya-karyanya terdahulu.
Bab kedua adalah tentang pembentukan kesadaran Eropa. Bab ketiga
tentang stuktur kesadaran Eropa dan keempat tentang nasib kasadaran Eropa.
Proyek “tradisi dan pembaharuan” pada saatnya peralihan abad. Jika
penjelasan toritis pertama bagi agenda pertama “sikap kita terhadap tradisi lama”
diterbitkan pada akhir Abad 14 H dan awal abad 15 H, maka penjelasan kedua
untuk agenda kedua, yaitu “sikap kita terhadap tradisi Barat”, diterbitkan pada
akhir abad ke-20 atau menjelang munculnya abad baru yaitu abad ke-21 Masehi,
yang banyak diperbincangkan terutama di Jepang yang menjadi perpanjangan
26Bernard Lewis, Islam Liberalisme Demokrasi, Membangun kinerja Warisan Sejarah,
Doktrin dan Konteks Global, terj. Mun’im A. Sirry, Mizan, Jakarta, 2002, hlm. 196-197
50
tangan Barat di Timur sekaligus pembendung Timur di Barat. Jika penjelasan
teoritis pertama merupakan pernyataan bagi kebangkitan baru kaitannya dengan
Ego, maka penjelasan teoritis kedua adalah pernyataan berakhirnya kebangkitan
lama bagi the other yang lahir berkembang lalu mencapai kematangannya dan
kini mulai meredup.
Agenda terakhir dalam proyek”tradisi dan pembaharuan” adalah “sikap
kita terhadap realitas”. Agenda yang juga disebut dengan teori interprestasi ini
meletakkan Ego pada suatu tempat dimana ia mengadakan observasi langsung
terhadap realitas yang lalu untuk menemukan teks sebagai bagian dari elemen
realitas tersebut, Baik teks sebagai bagian dari elemen realitas tersebut, baik teks
agama yang dikondisikan dalam kitab-kitab suci maupun teks oral tradisional
yang terdiri dari kata-kata mutiara dan pepatah.