tesis - uin matarametheses.uinmataram.ac.id/399/1/hijrah 154142014.pdf · tanggal ujian tesis pada...
TRANSCRIPT
i
TESIS
Pemikiran Quraish Shihab Tentang Poligami, dan Relevansinya Terhadap Kompilasi Hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan di Indonesia ( Study Atas Karya-Karya Quraish Shihab )
Oleh
HIJRAH NIM: 15.4.14.2.014
Pembimbing
DR. Miftahul Huda, MA DR. Zaidi Abdad, M.Ag
Tesis Diajukan Kepada Pascasarjana IAIN Mataram Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar
Magister Hukum Islam
PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ( IAIN ) MATARAM
2017
iii
PENGESAHAN
Tesis berjudul: “Pemikiran Quraish Shihab Tentang Poligami, dan
Relevansinya Terhadap Kompilasi Hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan di Indonesia ( Study Atas Karya-Karya Quraish Shihab )” yang ditulis
oleh saudara: Hijrah, N I M : 15.4.14.2.014, Program Studi: Ahwal Al-Syakhsiyyah
(Hukum Keluarga). Tanggal ujian tesis pada hari Kamis, tanggal 19 Januari 2017
telah dapat diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Magister Hukum
Islam.
v
MOTTO :
Muslim yang hebat adalah muslim yang mampu dengan ikhlas menerima dan menjalankan apapun keputusan Allah dalam al-Qur‟an dan semampu mungkin menjalani sunnah Nabi Muhammad SAW sampai akhir hayatnya.
vi
PERSEMBAHAN
Tesis ini saya persembahkan untuk :
1. Kedua orang tuaku, ayahanda ( Alm. M. Saleh H. Nurdin ) dan ibunda ( Hafsah
A. Bakar ) yang selalu memberikan motivasi, do‟a, keikhlasan, dan kasih sayang
yang tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik.
Dengan bangga ananda persembahkan tesis ini kepada engkau ayahanda yang
ada di kubur sana dan ibunda tercinta.
2. Istriku tercinta dan tersayang ( Mietha Firdha ) yang selalu memberikan cinta dan
yang selalu memberikan dorongan, motivasi, dan bantuannya baik berupa moril
maupun materil. Apalagi anakku ( Maryam Hanum al-Hijrah ), kau hadir di
tengah-tengah kesibukanku dan memberikan kebahagiaan yang tak terhingga dan
selalu menyemangatiku setiap melihat senyummu.
3. Keluarga besarku yang di Dompu ( Kak Sula, Kak Wahyu, Kak Azrun, Kak
Alam, Kak Adi, dan Raden beserta pasangan dan anak-anak masing-masing )
dan di Bima ( Mertua saya Pak Ahyar dan Bu Yuharti Sutji, Adik Ipar saya Bima
Setyawan dan Mentari Fikria beserta Suami Bahtiar dan anaknya yang lucu Muh.
Said Nursy ). Terima kasih atas bantuan semangat dan motivasi sehingga saya
mampu menyelesaikan S2 ini dengan baik. Dan spesial untuk Om Dian yang ada
di Pati Jawa Tengah yang telah tanpa sengaja memberikan saya buku yang
berjudul Kartini yang menjadi salah satu buku referensi Tesis ini.
4. Dosen-dosen Pascasarjana IAIN Mataram, khususnya dosen Pembimbing
Akademik ( Dr. Abdun Nasir, MA ) dan dosen pembimbing tesis ( Dr. Miftahul
Huda, MA dan Dr. Zaidi Abdad, M.Ag ) yang penuh kebijaksanaan dan
kesabaran memberikan bimbingannya sehingga saya menjadi orang yang berilmu
dan terbimbing dalam mengerjakan tesis ini dengan sangat baik. Serta seluruh
civitas akademika Pascasarjana IAIN Mataram ( Rektor IAIN Mataram, Direktur
vii
Pascasarjana, dosen-dosen pengajar dan staf akademik dan perpustakaan, dan
lain sebagainya yang tidak bisa saya sebut satu persatu ).
5. Teman-teman seperjuangan di jurusan Ahwal Syakhsiyah Pascasarjana IAIN
Mataram angkatan 2014 ( Jasri Hasan, Imam Sofwan, Paizah, Syarif
Hidayatullah, Suryadin, Saparudin, Lalu Wirabuana, M. Firmansyah, Umi
Kulsum, Muhammad Bages, Rahman, dan Lalu Rusdi Khalik ), Moga tetap
semangat dan terima kasih serta maaf sebesar-besarnya jika selama kuliah ada
salah dan khilaf. Serta semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
6. Almamaterku dan kampus tercinta IAIN Mataram.
x
ABSTRAK
Hijrah, “Pemikiran Quraish Shihab Tentang Poligami, dan Relevansinya Terhadap Kompilasi Hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di Indonesia ( Study Atas Karya-Karya Quraish Shihab )” yang ditulis oleh Saudara Hijrah, N I M. 15.4.14.2.014. Tesis Pascasarjana, Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah Institut Agama Islam Negeri Mataram, 2017. Pembimbing: (1) Dr. Miftahul Huda, MA., dan (2) Dr. Zaidi Abdad, M.Ag.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui “Pemikiran Quraish Shihab Tentang Poligami, dan Relevansinya Terhadap Kompilasi Hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research), yang meneliti pemikiran tokoh, dalam hal ini Quraish Shihab. Penulis telah melakukan study literatur dari karya-karya Beliau tentang tema yang dibicarakan yaitu poligami. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan teologis-normatif dan pendekatan filosofis. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Hukum asal poligami menurut Quraish Shihab hukumnya boleh dengan syarat, artinya hukum poligami akan menjadi haram jika syarat-syaratnya tidak terpenuhi. Hal tersebut bertentangan dengan teori yang menyatakan bahwa hukum poligami adalah sunnah asal adil, artinya hanya itu syaratnya. Tetapi adil saja tidak cukup menurut Quraish Shihab karena masih ada syarat lain yang harus dipenuhi dan itupun dalam keadaan benar-benar darurat seperti pintu darurat pesawat terbang, yaitu hanya boleh dibuka pada saat darurat dan oleh orang-orang tertentu saja. Pemikiran Quraish Shihab tentang poligami memiliki relevansi yang saling menguatkan dengan KHI dan UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Pertama, sama-sama berasaskan monogami. Kedua, sama-sama mengajukan syarat bagi suami yang ingin berpoligami walau Quraish Shihab mengajukan syarat yang lebih banyak. Sedangkan perbedaannya hanya pada beberapa syarat poligami, misalnya Quraish Shihab menyatakan syarat lain poligami adalah harus menikahi janda yang memiliki anak yatim, sedangkan KHI maupun UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak mensyaratkan hal tersebut. Posisi pemikiran Quraish Shihab tentang poligami dalam wacana kaum Feminisme berada di tengah-tengah. Artinya ada yang sama atau saling mendukung dan ada beda atau saling bertentangan. Quraish Shihab membolehkan poligami dengan syarat yang sangat berat, artinya Beliau melarang keras poligami kecuali benar-benar terpaksa. Arti lainnya adalah sebenarnya Quraish Shihab mengharamkan poligami, tetapi karena kondisi darurat/terpaksa maka poligami jadi halal atau boleh. Kaum Feminisme tetap menyatakan bahwa poligami itu haram karena sebab yang ditimbulkan. Karena pernikahan menurut mereka adalah ikatan komitmen yang kuat, sehingga tidak boleh ada salah satu pihak yang terdzolimi karena poligami adalah perselingkuhan yang dilegalkan dan menyebabkan kedzoliman bagi istri dan anak. Kata Kunci: Poligami, Quraish Shihab, KHI, UU No. 1 Tahun 1974, Kaum Feminisme
xi
الملخص
يسي ح اس ا س , ي ي ق ج فى ع ا ق في ج : ا
ق ق 1974 س 1ا ج , : ) ا ي ق حث ا ي ( في
سجي : ا ي 15.4.14.2.014ط ح ع ا صي , ج ش ا ا قس اح
ي , : , 2017اس ا ي ا , ك جس , ا ف ا , ك
. جس ا
ف ع حث يسي ا ا ح اس ا س , ج ا ع ي فى ي ق "
ق ق في ا ي في 1974س 1ا حث, ا ا ,( ي ق حث ا ي ( في ا
حث . ا ج ع ا ف فى ي ص حث ا ا ا , ج ع ا ي في ي ق
ي ى ع ي عي, ا ى ي سفي ح ف ا عي ش ج اح ا . ي ع
ش ع ا ي ي ق في ج ع ا ص ا ح ا . ج ع ا ي فى ق
ع فق ع ح ا ف ا ي ي . ا ش في ا ا ع ح ى ا ا ع
ح في ا ك ا , ص اخ ص ف ئ يف في ط ا
ق ق في ا ا يسي ح اس ا ي يق ي ق ع فى . ا ص
ا 1974س 1 . ع ج افق ا ى ش ع س ا ي ا . اح ا في ا
ق في ا يسي ح اس ا ف ق ا ع 1974س 1ا في ا ا ا
ش عسي ك سطى, ي ق ا ئيي في س ي ع ا ي ق . ي ا
ئيي ( س ا . ا ف ح ح ح ا feminismeا ع ح ي ا ا ) ف
, ق ثي ا في ا فس ج ا ي يص ا ي ي غ ا
. ا ج ى ي ا ي ا ح ع , ا ع س ا
, ا ي , ق ع ي : ا ف ا يسي ا ق ,ح اس ا ق في ا 1974س 1ا
xii
ABSTRACT
Hijrah : The Thought of Quraish Shihab about Polygamy, and It‟s Relevance to the Compilation of Islamic Law ( KHI ) and the Law Number 1 Year 1974 About Marriage ( Study of Quraish Shihab Works ). Written by Hijrah, N I M. 15.4.14.2.014. Graduate Thesis, Study Programme Ahwal Al-Syakhshiyah State Islamic Institute Mataram, 2017. Supervisors : (1) Dr. Miftahul Huda, MA., and (2) Dr. Zaidi Abdad, M.Ag.
This study aims to determine " The Thought of Quraish Shihab about Polygamy, and Relevance to the Compilation of Islamic Law and the Law Number 1 Year 1974 it‟s about Marriage. This study is a library research, which will examine the thought of leaders, in this case Quraish Shihab, The author had done a literature study of the Quraish‟s works that talked about polygamy. This research is qualitative research. The approach used is normative approach to theological and philosophical approach, so i found the thought of Quraish Shihab about polygamy. The results of this research show that the law of polygamy according Quraish Shihab is permissible (allowed) by requirement, that‟s mean that polygamy will be forbidden if requirements don‟t meet. This is contrary to the theory that the origin of the legal polygamy is sunnah fair, it means only that condition. But fair is not enough according to Quraish Shihab because there are other requirements that must be met and that too in a state of true emergencies such as aircraft emergency exit, it‟s mean that only can be opened when emergancy and by certain people. The Thought of Quraish Shihab about polygamy has mutual relevances to Compilation of Islamic Law ( KHI ) and the Law No. 1 of 1974 about Marriage. First, equally based on monogamous principle. Second, equally submit the requirments to who want to practice polygamy eventhough Quraish Shihab submit more requirments. While difference between Quraish Shihab and KHI/UU Number 1 is only in a few terms of polygamy, for example Quraish Shihab said that another requirement of polygamy is must marry the widow who has orphans, while KHI and Law No. 1 of 1974 does not require it. Position of thought of Quraish Shihab about polygamy in the discourse of feminism is in the middle. It means that there are equal things or mutual supportive and there are differences or conflicting. Quraish Shihab allow polygamy on condition very heavy, it‟s meaning that he strictly prohibits polygamy unless absolutely necessary. Another meaning is actually Quraish Shihab forbids polygamy, but for emergency / forced then polygamy become lawful or allowed. The Feminism remains that polygamy is forbidden for reasons caused. Because marriage is a bond according to their strong commitment, so there should not be one people hurt because polygamy is legalized affair and led to tyranny for his wife and children. Key words : Polygamy, Quraish Shihab, KHI dan UU No. 1 Tahun 1974, Feminisme
xiii
PEDOMAN TRANSLITRASI Pedoman Translitrasi : Arabic Romanization Table dengan Font Time New Arabic
b = z = F = ف
t = s = Q =
th = sh = K =
j = s} = L =
h} = d} = M =
kh = t} = N =
d = z} = H =
dh = „ = W =
r = gh = Y =
Short : A = i = U =
Long : a> = ا i> = u> =
Diphthong : Ay = ا aw = ا
xiv
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Swt. karena
atas hidayah dan inayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan
baik dan tepat waktu. Segala nikmat yang Allah berikan telah menguatkan hati
Penulis untuk selalu menuntut ilmu. Selanjutnya salawat beserta salam kepada sang
revolusioner Nabi Muhammad Saw. yang telah memberikan andil besar terhadap
perubahan peradaban manusia.
Tesis ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan
pada Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Mataram. Tesis ini
membahas tentang “Pemikiran Quraish Shihab Tentang Poligami, dan Relevansinya
Terhadap Kompilasi Hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan di
Indonesia ( Study Atas Karya-Karya Quraish Shihab )”. Tesis ini ditulis untuk
pengembangan keilmuan dalam hukum Islam, khususnya hukum keluarga di
Indonesia.
Dengan berbagai upaya yang telah dilakukan dan akan selalu penulis kenang,
tesis yang berjudul “Poligami Menurut Quraish Shihab dan Relevansinya Terhadap
Kompilasi Hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan ( Study
Literatur Buku-buku Karya Quraish Shihab Tentang Poligami )” ini dapat penulis
selesaikan dengan baik, walaupun dalam proses penulisannya banyak kendala yang
menuntut kesabaran dan ketegaran penulis.
Selesainya penulisan tesis ini sesuai dengan target waktu yang telah penulis
tentukan. Dalam hal ini, terlalu banyak pihak-pihak yang ikut andil membantu
penulis menyelesaikannya. Oleh karena itu, kepada semua pihak yang turut
membantu dalam penyelesaian tesis ini, penulis hanya mampu mengucapkan terima
xv
kasih yang sebesar-besarnya dan mudah-mudahan Allah Swt. memberikan balasan
yang setimpal. Ucapan terima kasih ini penulis sampaikan kepada:
1. Dr. H. Miftahul Huda, M.A, selaku pembimbing I dan Dr. Zaidi Abdad, M.Ag
selaku pembimbing II yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan
mengarahkan serta memberikan saran dalam penulisan tesis ini. Masukan, saran,
dan kritikan yang telah diberikan sangat berguna bagi Penulis untuk
mengembangkan pengetahuan akademis Penulis. Juga kepada seluruh dosen yang
telah memberikan gagasan-gagasan pemikiran demi berkualitasnya penulisan
tesis ini.
2. Dr. Abdun Nasir, MA sebagai dosen pembimbing Akademik yang senantiasa
meluangkan waktu memberikan bimbingan terhadap saya selama saya menjalani
perkuliahan di IAIN MAtaram sampai mampu menyelesaikan tesis ini
3. Dr. H. Nazar Na‟amy, M.Si, Selaku Direktur Pascasarjana IAIN Mataram yang
selalu semangat memberi motivasi pada kami semua agar dalam penulisan Tesis
benar-benar berkualitas sesuai prosedur dan pedoman penulisan
4. Dr. H. Mutawali, M.Ag, selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri Mataram
5. Ibunda serta almarhum ayahanda dan keluarga tercinta yang telah memberikan
bantuan moril maupun materil serta memotivasi penulis dalam penyelesaian tesis
ini.
6. Istri Tersayang Mietha Firdha dan si kecil cantik Maryam Hanum al Hijrah yang
selalu memberi ruh semangat yang luar biasa dan selalu menemani suka dan duka
dalam kehidupan saya. Saya mencintai kalian berdua karena Allah
7. Mertua saya yang tercinta di Bima yang senantiasa mendoakan saya dalam
menjalankan aktifitas kuliah dan penyelesaian tesis ini
8. Kakak adikku sekeluarga di Dompu yang telah memberikan dorongan dan
motivasi dan semangat belajar pada saya sehingga saya mampu menyelesaikan
kuliah dengan baik
9. Buat sahabat karib angkatan 2014 Program Pascasarjana Institut Agama Islam
Negeri Mataram yang telah meninggalkan kesan persahabatan yang begitu
xvi
mendalam untuk kenangan di masa yang akan datang. Khususnya teman kelas
pada Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyah. Penulis mengucapkan terimakasih
yang setulusnya kepada seluruh pihak yang tidak mungkin disebutkan satu-
persatu.
Akhirnya, semoga tesis ini dapat memberikan sumbangsih kepada semua pihak.
Penulis menyadari bahwa penulisan tesis ini sangat jauh dari kesempurnaan. Untuk
itu penulis mengharapkan adanya kritikan yang konstruktif demi perbaikan ke
depannya. Semoga penulis tetap berkarya dan dapat memberikan manfaat untuk
agama, bangsa dan negara. Amin ya Rabbal „alamin.
Mataram, 5 Januari 2016
Hijrah
xvii
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………….. 1
A. Latar Belakang …………………………………………………………….. 1 B. Identifikasi dan Batasan Masalah …………………………………… …….. 5 C. Perumusan Masalah ………………………………………………………… 6 D. Tujuan Penelitian …………………………………………………………… 6 E. Manfaat Penelitian ………………………………………………………….. 7 F. Tinjauan Pustaka …………………………………………………………… 7
BAB II KAJIAN TEORITIK …………………………………………………. 11
A. Pengertian Poligami ………………………………………………………… 11 B. Sejarah Poligami …………………………………………………………… 12 C. Hukum Poligami Menurut Al-Qur‟an dan Al-Hadits ……………………… 15 D. Nikah Siri dalam Islam …………………………………………………….. 18
BAB III METODE PENELITIAN ……………………………………………... 20
A. Jenis Penelitian ……………………………………………………………… 20 B. Sifat Penelitian ……………………………………………………………… 20 C. Pendekatan Penelitian ………………………………………………………. 21 D. Sumber Data ………………………………………………………………… 22 E. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data …………………………………… 23 F. Sistematika Pembahasan ……………………………………………………. 24
BAB IV PAPARAN DATA …………………………………………………… 26
A. Biografi dan Metode Tafsir Quraish Shihab………………………………… 26
1. Latar Belakang Sosial ……………………………………………………. 26 2. Latar Belakang Intelektual …………………………………………… 28 3. Latar Belakang Pemikiran Keagamaan ………………………… …… 30 4. Karya Intelektual …………………………………………………… 31 5. Metode Penafsiran …………………………………………………… 33 6. Gaya Bahasa ………………………………………………………….. 35 7. Sumber Penafsiran …………………………………………………… 36
B. Konsep Poligami Menurut Quraish Shihab ……………………………….. 37
1. Pengertian Perkawinan ……………………………………………….. 37 2. Tujuan Perkawinan ……………………………………………… …… 38
xviii
3. Konsep Keluarga Sakinah, Mawaddah wa rahmah ..…………………… 45 4. Kedudukan Suami Istri …………………………………………… 54 5. Hak dan Kewajiban Suami Istri ……………………………………… 56 6. Hukum Poligami ……………………………………………………… 60 7. Syarat-Syarat Poligami ……………………………………………….. 61 8. Alasan Rasulullah Berpoligami ……………………………………… 64 9. Alasan Wanita Dilarang Poliandri …………………………………… 66 10. Tafsir Surat An-Nisaa‟ Ayat 3 ……………………………………….. 67 11. Pengertian Keadilan dalam Poligami ………………………………… 70 12. Konsep Keadilan dalam Poligami ……………………………………… 73 13. Poligami dan Kawin Sirri ……………………………………………… 74
C. Relevansi Pemikiran Quraish Shihab dengan KHI dan UU No. 1 .………. 78
1. Keluarga Sakinah mawaddah wa rahmah ……………………………… 78 2. Kedudukan, Hak dan Kewajiban Suami Istri …………………………… 79 3. Hukum Poligami ………………………………………………………... 81 4. Syarat Utama Poligami ………………………………………………… 82 5. Syarat-Syarat lain Poligami …………………………………………….. 83 6. Keadilan Dalam Poligami ………………………………………………. 83 7. Batas Maksimal Poligami ……………………………………………… 85 8. Syarat Untuk Mendapatkan izin Poligami dari Pengadilan ……………. 85 9. Asas Perkawinan ……………………………………………………….. 86 10. Poligami dan Kawin Sirri …….…………………………………….. …. 87
D. Posisi Pemikiran Quraish Shihab Dalam Wacana Kaum Feminisme .……. 88
1. Konsep Keluarga Sakinah, Mawaddah wa Rahmah …………………….. 89 2. Kedudukan Perempuan ………………………………………………….. 90 3. Hukum Poligami …………………………………………………………. 92 4. Berbagai alasan Melakukan Poligami ……………………………………. 94 5. Poligami dan Kawin Sirri ………………………………………………… 98
BAB V PEMBAHASAN
A. Konsep Poligami Menurut Quraish Shihab ………………………………… 99
B. Relevansi pemikiran Quraish Shihab terhadap KHI dan UU No. 1 Tahun 1974 ………………………………………………………………… 105
1. Keluarga Sakinah, Mawaddah Wa Rahmah …………………………….. 105 2. Kedudukan, Hak dan Kewajiban Suami Istri ……………………… …… 107
xix
3. Hukum Poligami …...…………………………………………………… 112 4. Syarat Utama Poligami ………………………………………………… 114 5. Syarat-Syarat lain Poligami …………………………………………….. 115 6. Keadilan dalam Poligami……….……………………………………….. 116 7. Batas Maksimal Poligami ………………………………………………. 122 8. Syarat Untuk Mendapatkan izin Poligami dari Pengadilan …………….. 122 9. Asas Perkawinan ………………………………………………………… 123 10. Poligami dan Kawin Sirri …….…………………………………….. ….. 124
C. Posisi Pemikiran Quraish Shihab Dalam Wacana Kaum Feminisme
Indonesia…………………………………………………………………… 125 1. Keluarga Sakinah, Mawaddah Wa Rahmah ………….…………… …… 125 2. Kedudukan Perempuan ………..………………………………………… 129 3. Hukum Poligami …... …………………………………………................ 134 4. Berbagai Alasan Melakukan Poligami ………………………………….. 138 5. Poligami Dan Kawin Sirri …. …………………………………………… 148
Bab VI PENUTUP ……………………………………………………………. 153
A. Kesimpulan …………………………………………………………… 153 B. Implikasi Teoritis …………………………………………………………… 154 B. Saran ……………………………………………… …………………... 154
Daftar Pustaka Daftar Riwayat Hidup (Curriculum Vitae) Surat Ijin Penelitian
xx
DAFTAR TABEL
1. Diagram peta pemikiran tentang poligami …………………………..……… 148
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
1. Curiculum Vitae Penulis
2. Surat Ijin Penelitian
xxii
DAFTAR SINGKATAN
SWT : Subhanahu wata‟ala
SAW : Sallallahu alaihi wa sallam
UU : Undang-Undang
KHI : Kompilasi Hukum Islam
KUA : Kantor Urusan Agama
No : Nomor
IAIN : Institut Agama Islam Negeri
UIN Unversitas Islam Negeri
QS Al -Qur‟an Surat
HR Hadits Riwayat
MUI Majelis Ulama Indonesia
ICMI Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
ra Radiallahu anhu/anha
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum keluarga Islam adalah hukum yang sangat banyak dibicarakan
dan dikaji oleh manusia, salah satunya di Indonesia. Hukum keluarga Islam
selalu menjadi sorotan publik dan sering terjadi pro-kontra antar masyarakat
dan golongan-golongan tertentu. Salah satu contoh hal yang kontroversial
yang selalu hangat untuk dibicarakan dalam hukum keluarga Islam adalah
masalah perkawinan dan poligami. Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan, peraturan mengenai poligami telah jelas diatur
dalam pasal 3 ayat 2, yang menyatakan bahwa Pengadilan dapat memberi izin
kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang, dengan tiga syarat
seperti yang disebutkan dalam pasal 4 ayat 2 poin a, b dan c. Pada pasal
tersebut dikatakan bahwa Pengadilan hanya memberi izin untuk berpoligami
dengan syarat karena istri tidak dapat menjalani kewajiban sebagai istri, istri
cacat atau memiliki penyakit yang tidak dapat disembuhkan, kemudian karena
istri tidak dapat memberikan keturunan atau mandul.1
Begitu juga dalam Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) pasal 55 sampai
dengan pasal 59, yang intinya adalah seorang suami dibolehkan beristri lebih
dari seorang dengan tiga syarat seperti dalam UU Nomor 1 tahun 1974
tersebut di atas.2 Penafsiran ayat-ayat dari Al-Qur‟an mengenai poligami
melahirkan tafsir yang berbeda-beda antara ulama yang satu dengan ulama
yang lainnya. Pendapat-pendapat tersebut dapat diasumsikan ke dalam tiga
kelompok utama. Kelompok pertama, berpendapat bahwa orang yang
berpoligami mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, secara otomatis orang
yang berpoligami akan mendapatkan pahala karena menegakkan sunnah Nabi.
Menurut kelompok ini, poligami dianjurkan bagi laki-laki yang mampu
1 Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam Dilengkapi dengan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, ( Jakarta : Permata Press, t.t ), 78. 2 Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam Dilengkapi dengan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, ( Jakarta : Permata Press,t.t ), 17-18.
2
melaksanakannya. Poligami dijadikan sebagai alat ukur keimanan seorang
laki-laki”.3 Kelompok kedua, berpendapat bahwa poligami tidak dianjurkan
atau tidak disunnahkan dalam agama, melainkan hanya bersifat mubah (boleh)
atau diperbolehkan dalam keadaan tertentu. Sehingga orang yang ingin
berpoligami harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu untuk
melaksanakannya. Sedangkan Kelompok ketiga, berpendapat bahwa poligami
itu seharusnya tidak dijalankan pada masa kini. Menurut kelompok ini,
poligami dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW karena kondisi tertentu yang
ada pada zaman itu, yaitu masa perang yang menimbulkan banyak janda dan
anak yatim yang perlu dilindungi. Karena maksud al-Qur‟an surah al-Nisa‟ (4)
ayat 3 adalah untuk membatasi jumlah istri yang boleh dinikahi dan
“menghapuskan poligami secara perlahan.”4
Dalam pandangan fikih klasik, seperti pendapat imam Syafi‟i, yang
menyatakan bahwa firman Allah SWT dalam surah al-Nisa‟ ayat 3 sebagai
berikut ;
ا ف ا ا خ ط ي اقس ء اى ف ح ف ي ا س ث ا ف ث ى ع ف خ
ا ع ا ا ا ا ع ا ك ا ئ ا ا ا ي اح ف
Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan berlaku adil terhadap ( hak-hak anak yatim ), Maka nikahilah dua, tiga atau empat wanita yang kamu inginkan. Jika kamu tidak mampu adil maka menikahlah dengan satu saja atau dengan budak-budak yang kalian miliki. Hal tersebut lebih mendekati tidak berbuat aniaya“.
cenderung menekankan bolehnya seorang laki-laki poligami sampai empat
orang istri. Sedangkan persyaratan adil dalam ayat tersebut diartikan dengan
adil kuantitatif, yaitu adil dalam hal-hal yang bersifat lahiriyah, seperti
pakaian, tempat tinggal dan giliran antara istri yang satu dengan yang lain.
Keadilan kuantitatif tersebut tampak dalam aturan-aturan fikih mengenai
poligami, misalnya tentang pembagian rezeki secara merata di antara istri-istri
3 Setiati, Hitam Putih Poligami: Menelaah Perkawinan Poligami Sebagai Sebuah Fenomena, (Jakarta : Cisera Publishing, 2007), 23. 4 Eri Prima, Kritik Feminisme Terhadap Aturan Poligami di Indonesia, Skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum, Prodi Ahwal Asyakhsiyyah, ( Jakarta : UIN Jakarta, 2010 ), 42.
3
yang dikawini, pembagian jatah giliran, dan sebagainya. Adapun keadilan
kualitatif seperti cinta dan kasih sayang itu tidak wajib. Mempersamakan hak
atas kebutuhan seksual dan kasih sayang di antara istri-istri yang dikawini
bukanlah kewajiban bagi orang yang berpoligami, karena sebagai manusia,
orang tidak akan mampu berbuat adil dalam membagi kasih sayang. Kasih
sayang sangat bersifat naluriyah ( instingtif ). Bisa saja hati seseorang hanya
terpaut dengan istri yang A atau nafsu seksualnya bisa bangkit kalau bergaul
dengan istri yang B, dan ini semua lepas dari kontrol akal keadilan manusia.
Hal ini menurut ahli fikih merupakan kebenaran dari firman Allah SWT dalam
Surah al-Nisa‟ ayat 129 yang artinya “ Dan kamu tidak akan mampu berlaku
adil di antara wanita-wanita kamu “. Oleh Imam Syafi‟i, ayat ini ditafsirkan
sebagai ketidakmampuan manusia berbuat adil dalam hal kasih sayang dan
cinta. Dalam pengertian lain, tidak mungkin mencapai keadilan dalam kasih
sayang dan cinta. Untuk itu, Imam Syafi‟i dan lainnya tidak memasukkan
perasaan kasih sayang dan cinta sebagai kategori keadilan yang harus dipenuhi
oleh seorang suami yang berpoligami.5
Pada azasnya, perkawinan seperti ini dibolehkan bagi seorang muslim
dalam arti yang sebenarnya dan sanggup berlaku adil terhadap istri-istrinya.6
Mayoritas ulama klasik dan pertengahan berpendapat, bahwa poligami adalah
boleh secara mutlak, maksimal empat orang istri. Sementara mayoritas ulama
kontemporer membolehkan poligami dengan syarat-syarat, serta melihat
situasi dan kondisi tertentu yang sangat terbatas, bahkan ada yang
mengharamkannya.7
Namun seiring dengan perkembangan zaman dan pemikiran manusia,
peraturan mengenai poligami tersebut masih dirasa tidak adil, mendzolimi
wanita dan melanggar nilai-nilai hak asasi manusia. Bahkan, kalangan Islam
Liberal, termasuk kaum feminis, memandang poligami sebagai salah satu
5 Dr. Tutik hamidah, Fiqh Perempuan “ Berwawasan Keadilan Gender, ( Malang : UIN MALIKI PRESS, 2011), 122-123. 6 Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, ( Jakarta : Bulan Bintang, 1974 ), 27. 7 Khoirudin Nasution, Perdebatan Sekitar Status Poligami, ( Yogyakarta : PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2002), 58.
4
bentuk penindasan atau tindakan diskriminatif atas perempuan. Bagi Abdullah
Ahmed Na„im, poligami adalah diskriminasi hukum keluarga dan perdata,
dengan asumsi yang dia bangun bahwa “laki-laki muslim dapat mengawini
hingga empat perempuan dalam waktu bersamaan, tetapi perempuan hanya
dapat kawin dengan seorang laki-laki.8 Jika An-Naim menganggap poligami,
sebagai penindas perempuan, Amina Wadud Muhsin menganggap bahwa
poligami sebagai tindakan nonqur‟ani dan dianggap upaya mendukung nafsu
tak terkendali kaum pria”.9 Lain pula dengan Mahmud Muhammad Thaha
mengatakan :”Bahwa poligami bukan ajaran dasar Islam.10 Dan tidak
ketinggalan tokoh Feminis Liberal Indonesia, Siti Musdah Mulia ikut andil
melontarkan penolakan terhadap praktek pernikahan poligami, dengan alasan
Nabi melarang keinginan Ali bin Abi Thalib berpoligami.11
Begitu pula Fazlur Rahman mengatakan, bahwa poligami disamping
hanya merupakan pembenaran yang sifatnya kontekstual secara penerapan,
manusia tidak akan mungkin bisa berlaku adil terhadap para istri,12 yang pada
hakikatnya manusia tidak pernah merasa puas, dan kalau dituruti secara terus-
menerus manusia tidak ada bedanya dengan binatang.13 Karena idealnya
perkawinan adalah monogami14, maka sekiranya poligami bukanlah solusi
yang tepat dipraktekkan dewasa ini, bahkan lebih jauh lagi adalah poligami
seharusnya dihapuskan, sebab sama sekali bertentangan dengan persamaan
hak antara laki-laki dan perempuan.15
Ulama kontemporer seperti Quraish Shihab, memiliki pemahaman yang
beda dalam menafsir surat an-Nissa ayat 3 tersebut. Dia menyatakan bahwa
ayat tersebut tidak mengandung perintah untuk berpoligami, tetapi perintah
untuk tidak berbuat dzolim pada anak yatim. Sedangkan perintah untuk
8 Abdullah Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syare’ah, ( Yogyakarta : LKIS, 1997 ), 338. 9 Amina Wadud Muhsin, Wanita di dalam Al-Qur’an, ( Bandung : Penerbit Pustaka, 1994 ), 114. 10 Mahmud Muhammad Thaha, Arus Balik Syari’ah, ( Yogyakarta : LkiS, 2003), 167. 11 Musdah Mulia, Poligami Siapa Takut, ( Perdebatan seputar Poligami ), ( Jakarta : PT.Surya Citra Televisi ), 25. 12 Taufik Adnan Amal, Islam & Tantangan Modernitas, ( Bandung : Mizan, 1994 ), 89 13 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996 ), 104. 14 John L. Esposito, Women in Muslim Family Law, ( New York : Syracuse University, 1982), 92. 15 Musdah Mulia, Pandangan Islam Tentang Poligami, ( Jakarta : Lembaga Kajian Agama dan Jender, Solidaritas Perempuan, The Asia Foundaion, 1999 ), 33.
5
menikahi dua, tiga atau empat itu semacam kalimat sindiran agar tidak berbuat
dzolim pada anak yatim yang dalam perwaliannya dengan menikahinya
dengan cara yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.16 Bukan perintah poligami
yang sebenarnya dalam makna tekstual, karena asas pernikahan dalam Islam
adalah monogami ( pernikahan dengan satu istri ).
Begitu juga kaitannya dengan masalah konsep adil, syarat poligami dan
hukum poligami serta konsep darurat dalam poligami menurut Quraish
Shihab. Dia memiliki pemikiran yang sedikit berbeda dengan pemahaman
masyarakat pada umumnya serta pendapat atau pemikiran Kaum Feminisme
Islam Indonesia.
Oleh karena itu, penulis sangat tertarik untuk meneliti tentang
pemikiran Quraish Shihab tersebut. Kemudian melihat posisi keberpihakan
Quraish Shihab dengan banyaknya pro-kontra masalah poligami tersebut
sehingga akan menemukan juga kaitan antara pemikiran Quraish dengan
Kompilasi hukum Islam dan UU no 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Dan
akan menemukan posisi Quraish Shihab dalam wacana pemikiran Kaum
Feminisme Indonesia. Sehingga ke depannya, kita mampu memilah mana
yang kuat dan mana yang lemah pendapatnya dan kajian ini dapat dijadikan
peninjauan kembali hukum keluarga Islam dalam kaitannya dengan poligami
perkawinan dan poligami.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berangkat dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, terdapat
beberapa masalah yang muncul, di antaranya:
a. Apa latar sosial dan akademik serta faktor yang membentuk pemikiran
hukum Islam Quraish tentang poligami?
b. Bagaimana konsep poligami menurut Quraish Shihab?
c. Bagaimana kaitan atau relevansi pemikiran Quraish terhadap hukum
keluarga Islam yang berlaku di Indonesia?
16 Quraish Shihab,Tafsir Al-Misbâh, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, ( Ciputat : Lentera Hati, 2000 ), 321-322.
6
2. Batasan Masalah
Terminologi hukum keluarga mempunyai cakupan yang luas.
Menurut Mustafa al-Zarqa, ruang lingkup hukum keluarga pada dasarnya
meliputi tiga macam subsistem hukum, yaitu: Perkawinan dan hal-hal
yang berkaitan dengannya, perwalian dan wasiat, serta kewarisan.17
Sedangkan menurut Muhammad Amin Suma, pada dasarnya hukum
keluarga Islam meliputi empat rumpun sub-sistem hukum, yaitu:
perkawinan, pengasuhan dan pemeliharaan anak, kewarisan dan wasiat,
serta perwalian dan pengampuan.18
Pada penelitian ini penulis akan membatasi kajian pada satu buah
isu hukum keluarga Islam dalam bidang perkawinan yaitu: Poligami,
dalam hal ini penulis akan meneliti tentang poligami menurut M. Quraish
Shihab dan relevansinya terhadap hukum keluarga Islam di Negara
Indonesia ( Pasal-pasal tentang poligami dalam KHI dan UU No. 1 Tahun
1974 ) serta bagaimana posisi pemikiran Quraish Shihab dalam wacana
Kaum Feminisme Indonesia tentang poligami.
C. Perumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari penelitian ini sebagai berikut ;
1. Bagaimana konsep pemikiran Quraish Shihab tentang poligami?
2. Bagaimana relevansi pemikiran Quraish Shihab terhadap Kompilasi
Hukum Islam ( KHI ) dan UU No. 1 Tahun 1974?
3. Bagaimana posisi pemikiran Quraish Shihab dalam wacana Kaum
Feminisme Indonesia tentang poligami?
D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut ;
1. Untuk menjelaskan konsep pemikiran Quraish Shihab tentang poligami
2. Untuk menjelaskan relevansi atau kaitan antara pemikiran Quraish Shihab
dengan Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) dan UU No. 1 Tahun 1974
3. Untuk mengetahui bagaimana posisi pemikiran Quraish Shihab terhadap 17 Mustafa Ahmad al-Zarqa, al-Fiqh Islam fi Taubih al-Jadidi, jilid 1, ( Damaskus : al-Adib, t.t), 34. 18Muhammad Amin Suma, Hukum Islam di Dunia Islam, ( Jakarta : Grafindo Persada, 2005), 23.
7
wacana pemikiran Kaum Feminisme Indonesia
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut ;
1. Manfaat akademis dan teoritis dalam penelitian ini adalah dengan
penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan keilmuan khususnya
dalam masalah poligami dalam perkawinan. Penelitian ini juga diharapkan
semoga dapat menjadi literatur dan dorongan untuk mengkaji lebih dalam
lagi tentang poligami.
2. Manfaat praktis penelitian ini adalah Pemerintah dapat menggunakan hasil
penelitian ini untuk meninjau kembali/yudusial review pasal-pasal tentang
poligami dalam KHI dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan
Implementasi penelitian diharapkan dapat memberi kontribusi yang
memberi solusi terhadap problematika yang terkait dengan masalah
poligami.
3. Manfaat sosial dari penelitian adalah diharapkan agar masyarakat yang
membaca hasil penelitian ini menjadikan kajain dalam tesis ini jadi
rujukan ketika ingin mempraktekan poligami.
F. Tinjauan Pustaka
Sebagai upaya penulis untuk menjaga kredibilitas dan validitas
penelitian ini, perlu rasanya membawakan literatur-literatur atau hasil
penelitian yang bertalian dengan kajian penulis. Adapun literatur atau hasil
penelitian yang dimaksud adalah:
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Attan Navaron19. Judul
penelitiannya adalah “ Konsep Adil dalam Poligami ( Studi Analisis
Pemikiran M. Quraish Shihab)”20. Metode penelitiannya adalah jenis
penelitian Library Research dengan pendekatan Teologi-Normatif dan
Filosofis. Adapun metode analisa data yang dilakukan oleh Attan adalah
metode deskriptif-analitik yaitu menganalisa data yang diteliti dengan
19
Attan Navaron adalah mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum jurusan Hukum Keluarga Kampus IAIN Walisongo Semarang. 20
Attan Navaron, Konsep Adil dalam Poligami, Skripsi, ( Semarang : Fakultas Syari‟ah, IAIN Walisongo, 2010 ), 60-62.
8
memaparkan data tersebut untuk memperoleh kesimpulan tentang konsep adil
dalam poligami. Selain itu, untuk mempertajam analisis, Attan juga
menggunakan metode content analisys yaitu untuk mengkaji data yang diteliti.
Adapun rumusan masalah dalam skripsi ini adalah tentang bagaimana konsep
adil dalam poligami menurut Quraish Shihab, dan bagaimana metode
pemikiran Quraish Shihab dalam konsep adil dalam poligami. Dalam
penelitian Attan ini, dia berkesimpulan bahwa Quraish ”setengah-setengah”
dalam mendefinisikan adil, karena perintah penegakan keadilan yang
termaktub di dalam al-Qur‟an adalah keadilan yang hakiki. Islam
memerintahkan berbuat adil dan ihsan, yaitu adil yang berkemanusiaan, adil
yang berkualitas paling baik. Adil disejajarkan dengan ihsan yang merupakan
kualitas kebaikan paling sempurna. Penegakan keadilan ini tidak terkecuali
pada poligami.
Penelitian Kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Rahmat
Hidayat21. Judul Penelitiannya adalah tentang Pemikiran Muhammad Quraish
Shihab Tentang Poligami22. Pendekatan yang digunakan oleh Rahmat Hidayat
adalah pendekatan Teologi-Normatif dan Filosofis dengan jenis penelitian
Library Reasearch. Dalam penelitiannya, Rahmat Hidayat menggunakan
kajian literatur terhadap karya-karya Quraish Shihab yang membahas tentang
poligami dan memberikan kesimpulan bahwa poligami adalah salah satu
alternatif dalam kondisi darurat dan bagi yang hendak berpoligami haruslah
memiliki pengetahuan serta memenuhi persyaratan dan ketentuan dalam
poligami. Dalam penelitian ini juga dibahas tentang konsep darurat dalam
poligami menurut Quraish Shihab, dia menyimpulkan bahwa dibolehkannya
poligami jika itu darurat. Pembahasan Rahmat Hidayat sama seperti
pembahasan Attan Navaron yaitu masalah hukum poligami dan konsep adil
dalam berpoligami menurut Quraish Shihab. Dimana menurut Quraish Shihab,
hukum poligami itu mubah (boleh) karena darurat.
21 Rahmat Hidayat adalah mahasiswa Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang pada tahun 2008 22
Rahmat Hidayat, Pemikiran Muhammad Quraish Shihab Tentang Poligami, ( Malang : Fakultas Syariah UIN Maulana Malik Ibrahim, 2008), Skripsi tidak diterbitkan.
9
Penelitian ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Syamsul
Bahri23. Judul Penelitiannya adalah tentang Konsep Keluarga Sakinah
Menurut Quraish Shihab24. Pendekatan yang digunakan oleh Syamsul Bahri
adalah pendekatan Normatif dengan jenis penelitian Library Reasearch. Hasil
penelitiannnya menyatakan bahwa keluarga sakinah adalah keluarga yang
tenang, keluarga yang penuh kasih sayang yang disertai kelapangan dada, budi
bahasa yang halus.
Penelitian keempat adalah penelitian yang dilakukan oleh Mizanul
Hasan25 dengan judul penelitian skripsi yaitu Perempuan Sebagai Istri ( Telaah
Pemikiran Quraish Shihab ). Jenis penelitian adalah Library Research dengan
mencari karya-karya Quraish Shihab tentang perempuan dengan pendekatan
penelitian adalah Historis-Normatif dengan metode analisis adalah analisis
content. Sehingga dihasilkan kesimpulan bahwa Quraish Shihab melihat
perempuan memiliki hak yang sama dalam keluarga dan masyarakat.
Mencegahnya bekerja dan beraktifitas di luar rumah dan tidak melibatkan
perempuan dalam kegiatan yang bermanfaat bagi masyarakat berarti menyia-
nyiakan paling tidak setengah dari potensi masyarakat.
Penelitian yang kelima adalah penelitian yang berjudul Perspektif M.
Quraish Shihab terhadap Wanita Pekerja oleh Nurul Irfan yang diajukan
sebagai tugas akhir pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.26 Dalam skripsi tersebut diperoleh kesimpulan. para
wanita dalam pandangan M. Quraish Shihab boleh bekerja dalam berbagai
bidang, di dalam atau di luar rumah, baik secara mandiri atau bersama orang
lain dengan lembaga pemerintah atau swasta, selama pekerjaan tersebut
dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, dapat memelihara agamanya serta
dapat pula menghindari dampak-dampak negative dari pekerjaan tersebut baik
23 Syamsul Bahri adalah mahasiswa Fakultas Syariah Unversitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Jurusan Ahwal Syakhsiyah tahun 2009. 24
Syamsul Bahri, Konsep Keluarga Sakinah Menurut Quraish Shiihab, ( Yogyakarta : Fakultas Syariah Unversitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, 2009) 25
Mizanul Hasan adalah mahasiswa Fakultas Syariah Universitas Negeri Sunan Kajijaga Yogyakarta Jurusan Ahwal Syakhsiyah tahun 2009. 26
Nurul Irfan, Perspektif M. Quraish Shihab terhadap Wanita Pekerja (Jakarta: Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah, 2010)
10
terhadap diri maupun lingkungannya. Pandangannya itu didasarkan pada surah
An-Nisa Ayat 32 dan surat At-taubah ayat 71 yang mengandung prinsip-
prinsip kerja yang menghargai perempuan sepenuhnya untuk memilih
pekerjaan dalam rangka menafkahi kelurganya.
Dari beberapa penelitian atau tinjauan pustaka tersebut, penulis tidak
menemukan adanya pembahasan relevansi pemikiran Quraish tentang
poligami terhadap hukum keluarga Islam di Indonesia, khususnya relevansi
dengan Kopilasi Hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan. Di samping itu juga, penulis tidak menemukan pembahasan
bagaimana posisi pemikiran Quraish Shihab jika melihat begitu banyaknya
pro kontra tentang poligami, terutama yang datang dari kaum feminsime
Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa kajian penulis dengan judul Poligami
Menurut Quraish Shihab dan Relevansinya terhadap Hukum Keluarga Islam
di Indonesia ( KHI dan UU No. 1 Tahun 1974 ) layak untuk diteliti karena
memang belum ditemukan tema kajian yang serupa yang telah dikaji oleh para
peneliti sebelumnya. Beberapa penelitian di atas hanya menjelaskan apa
adanya tentang konsep poligami menurut Quraish Shihab, sedangkan mereka
tidak mengaitkan konsep tersebut dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan
UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
11
BAB II
KAJIAN TEORITIK
A. Pengertian Poligami
Istilah poligami berasal dari bahasa Yunani, yang merupakan penggalan
kata poly atau polus yang artinya banyak, dan kata gamien yang artinya kawin
atau perkawinan. Ketika kedua kata ini digabungkan berarti suatu perkawinan
yang banyak.27 Pengertian poligami menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah system perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau mengawini
beberapa lawan jenisnya dalam waktu yang bersamaan.28 Para ahli
membedakan istilah bagi seorang laki-laki yang mempunyai lebih dari
seorang istri dengan istilah poligini yang berasal dari kata polus berarti
banyak dan gune yang berarti perempuan. Sedangkan bagi seorang istri yang
mempunyai lebih dari seorang suami disebut poliandri yang berasal dari kata
polus yang berarti banyak dan Andros yang berarti laki-laki.29
Dalam kamus Ilmiah Populer,30 Poligami diartikan sebagai perkawinan
antara seorang dengan dua orang atau lebih. (namun cenderung diartikan :
perkawinan seorang suami dengan dua istri atau lebih). Itu artinya bahwa
seorang laki-laki yang memiliki lebih dari satu orang istri maka hal itu
disebut bahwa laki-laki tersebut sedang melakukan poligami. Tidak dikatakan
poligami jika istri pertama meninggal dunia kemudian menikah lagi, karena
jumlah istrinya hanya satu orang karena istri pertama tidak dihitung lagi
sebagai istri.
Dalam Islam, pengertian poligami disebut Ta’adduz Zaujah. Dari
beberapa definisi diatas, pada intinya poligami adalah sistem perkawinan
seorang laki-laki yang mempunyai istri lebih dari satu dalam waktu yang
bersamaan, atau seorang perempuan mempunyai suami lebih dari seorang
27 Khoiruddin Nasution, Riba dan Poligami, ( Yogyakarta : Academia, 1996 ), 84. 28 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa Depdiknas, ( Jakarta : Balai Pustaka, 2006 ), 904. 29 H.M.A. Tihami dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat : Kajian Fiqh Nikah Lengkap, ( Jakarta : Rajawali Pers, 2010 ), 352. 30 Hendro Darmawan, dkk, Kamus Ilmiah Populer Lengkap dengan EYD dan Pembentukan Istilah Serta Akronim Bahasa Indonesia, ( Yogyakarta : Bintang Cemerlang, 2010 ), 576.
12
dalam waktu yang bersamaan pula yang sering disebut dengan istilah
poliandri. Dalam bahasa Arab poligami disebut ta’addud az-zaujat yang
berarti perbuatan seorang laki-laki mengumpulkan dalam tanggungannya dua
sampai empat orang isteri, tidak boleh lebih darinya.31
B. Sejarah Poligami
a. Poligami Pra Islam
Poligami sudah berlaku sejak jauh sebelum datangnya Islam.
Orang-orang Eropa (Rusia, Yugoslavia, Cekoslovakia, Jerman, Belgia,
Belanda, Denmark, Swedia dan Inggris) semuanya adalah bangsa-bangsa
yang berpoligami. Demikian juga bangsa-bangsa Timur seperti Ibrani dan
Arab, mereka juga berpoligami. Karena itu tidak benar apabila ada
tuduhan bahwa Islamlah yang melahirkan aturan tentang poligami, sebab
nyatanya yang berlaku sekarang ini juga hidup dan berkembang di negeri-
negeri yang tidak menganut Islam, seperti Afrika, India, Cina dan
Jepang.32
Dalam masyarakat Arab juga sebelum datangnya Islam, praktik
poligami menjadi budaya yang sudah kental dalam keseharian. Ada
beberapa jenis perkawinan yang dipraktekan di kalangan masyarakat Arab,
sebagian diakui keabsahannya oleh hukum Islam dan sebagian lain
dihapuskan karena tidak bersesuaian dengan jiwa hukum. Salah satu jenis
perkawinan yang diakui keabsahannya dalam Islam adalah poligami.
Poligami sudah melembaga di masyarakat Arab pra Islam, namun
poligami yang dipraktekkan oleh masyarakat Arab waktu itu tidak ada
aturan dan batas-batasnya. Seorang laki-laki boleh menikahi perempuan
sebanyak-banyaknya tanpa batas maksimal.33
Jauh sebelum Islam, poligami telah dipraktikkan bangsa-bangsa di
seluruh belahan bumi. Poligami dipraktikkan bangsa Yunani, Cina, India,
31 Arij Abdurrahman As-Sanan, Memahami Keadilan Dalam Poligami, ( Jakarta : Global Media Cipta, 2003), 25. 32 H.S.A. Alhamdani, Risalah Nikah : Hukum Perkawinan Islam, ( Jakarta : Pustaka Amani, 1980 ), 80 33 Saiful Anam, Hukum Pra-Islam di Arab, diakses dari situs ( http://saeful-anam.blogspot.co.id/2011/03/ hukum-pra-islam-di-arab.html ), tanggal 20 Juni 2016.
13
Babilonia, Assyiria, Mesir, dan tempat lain. Bahkan umat Yahudi dan
Kristen pada sejarah awal memperkenankan dan mempraktikkan poligami.
Nabi-nabi yang disebutkan dalam kitab Taurat semuanya berpoligami.
Nabi Sulaiman as. sendiri diriwayatkan dalam kitab mereka beristeri 700
orang dari perempuan merdeka dan 300 orang perempuan budak.34
Dari beberapa kisah poligami para sahabat sebelum al-Qur‟an
diturunkan dapat dibuktikan bahwa poligami datang dan berkembang jauh
sebelum kedatangan Islam. Seperti dikisahkan tentang Ghilan bin Salamah
ats-Tsaqafi ra.:
"Dari Ibn Umar r.a. berkata: Ghilan bin Salamah ats-Tsaqafi masuk Islam dan memiliki sepuluh orang isteri pada masa Jahiliyah (sebelum masuk Islam), bersamanya mereka juga masuk Islam, lalu Nabi menyuruhnya untuk memilih empat orang saja dari mereka".35 Praktik mengawini banyak perempuan sudah biasa dilakukan
masyarakat Arab sebelum Islam. Setelah Islam datang praktik ini juga
masih merupakan suatu kebanggaan yang biasa dilakukan termasuk oleh
para sahabat dan tabi‟in. Al-Qur`an hanya memberikan batasan-batasan
tertentu sebagaimana firman Allah SWT dalam Q.S. al-Nisa‟ ayat 3
disebutkan :
ا ف ا ا خ ا ط ي قس اف ي ا ء ى ف ح س ث ا ع ف ث ى
ف ا خ ا ع ا ك ا ئ ا ا ا ي اح ا ف ا ع ا
Artinya : “Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atauempat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil,maka (kawinlah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.”36
34 Faqihuddin Abdul Kodir, Memilih Monogami, ( Yogyakarta : LKiS Pustaka Pesantren, 2005 ), 64. 35 Muhammad Nashirudin al-Albani, Shahih Sunan Tirmidzi Jilid II, ( Jakarta : Pustaka Azzam, 2010 ), .. 36 Departemen Agama RI, Al-Qur`an dan Terjemahnya, ( Jakarta : Depag ( al Waah ), 1987 ), 115.
14
b. Poligami pada Masa Rasulullah SAW
Berbicara masalah poligami, kita tidak bisa lepas dari apa yang
dilakukan oleh Rasulullah SAW. Beliau berpoligami untuk memberikan
contoh aplikasi ayat-ayat yang bercerita tentang beristri lebih dari satu.
Untuk bisa memahami makna yang terkandung dibalik praktek poligami
Rasulullah ini, kita harus melihat persoalannya secara utuh dan holistik.
Yang pertama, kita harus paham bahwa Rasulullah diutus oleh Allah untuk
menebarkan kasih sayang kepada seluruh alam ( QS. Al -Anbiya (21):107).
Kedua, Rasulullah diutus untuk memberi contoh akhlak yang mulia ( QS.
Al -Ahzab (33):21). Ketiga, Rasulullah diutus untuk melindungi dan
mengangkat martabat kaum wanita, anak-anak yatim, para budak, dan
kaum tertindas lainnya ( QS. Al-Nisa‟ (4): 127). Ke empat, Rasulullah
menyuruh ummatnya untuk berumah tangga. Ke lima, berbagai ayat dalam
al-Qur‟an yang diwahyukan kepada Rasulullah perlu dicontohkan secara
nyata, agar jelas maknanya. Kita melihat alasan – alasan dibalik praktek
poligami itu sebenarnya adalah manifestasi aturan Allah di dalam al-
Qur‟an.37
Poligami pada masa Rasulullah SAW dijadikan sebagai cerminan
poligami dalam Islam. Pada dasarnya alasan Nabi Muhammad berpoligami
bersifat mulia, yakni untuk menolong janda-janda dan anak yatim untuk
“berjuang di jalan Allah” dan beliau mengamalkan monogami lebih lama
daripada poligami. Rasulullah, para sahabat, para khalifah, dan para ulama
di setiap masanya selalu berusaha berlaku adil pada setiap istri mereka.
Rasulullah dan para ulama salaf tidak akan pernah mendatangi seorang
istri pada hari yang tidak ditentukannya kecuali bila telah mendapatkan
izin dari istri yang memilki hari tersebut. Bahkan Rasulullah pun tetap
berkeliling ke rumah istri-istrinya walau ia dalam keadaan sakit agar dapat
37 Agus Mustofa, Poligami yukk !?, ( Surabaya : Padma Press, 2007 ), 225.
15
berlaku adil pada semua istrinya. Beliau tidak rela untuk berdiam dan
beristirahat pada salah satu rumah istrinya saja.38
Dari catatan sejarah, setelah Siti Khadijah Wafat, Nabi Muhammad
SAW menikahi 11 wanita, tiga diantaranya adalah wanita budak atau
tawanan perang (Siti Juwariyah, Siti Shafiyah, dan Maria Al-Qibtiyah),
delapan lainnya adalah wanita merdeka yaitu (Siti Saudah, Siti Aisyah, Siti
Hafsah, Siti Zainab Ummul Masakin, Ummi Salamah, Siti Zainab Putri
Umaimah, Ummi Habibah dan Siti Maimunah). Dari delapan wanita
merdeka itu, hanya seorang wanita yang berstatus gadis. Itulah Siti
Aisyah, sedangkan yang lainnya berstatus janda. Sebenarnya, Nabi
Muhammad SAW itu “penganut monogami”. Buktinya, ketika poligami
(beristri lebih dari satu) begitu mentradisi dan menjadi kebanggaan di
kalangan masyarakat arab pada waktu itu, Nabi Muhammad SAW hanya
punya istri satu saja. Dialah “Siti Khadijah”, wanita yang telah
memberikan enam anak (dua laki dan empat wanita) selama 25 tahun
membina rumah tangga dengan Nabi Muhammad SAW.39
C. Hukum Poligami Menurut al-Qur‟an dan al-Hadits
Menilik al-Qur`an dan as-Sunnah dalam menyebutkan tentang
hukum poligami, maka didapatkan bahwa berpoligami itu hukumnya
sunnah bagi yang mampu. Dalam firman-Nya, Allah telah menyatakan:
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi ; dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya” (Al-Nisa`(4):3).
Dalam ayat ini Allah berbicara kepada para wali (pengasuh) anak-
anak yatim, bila anak yatim berada dalam pengasuhan dan tanggung
38 Ali Ahmad Al-Jarjawi, Hikmah dan Falsafah Syari’at Islam, ( Jakarta : Gema Insani, 2006), 322-323. 39 Firmansyah, Rahasia Agung di balik Poligami Nabi Muhammad, diakses dari situs ( https://firmansyahbetawi.wordpress.com/2013/01/31/rahasia-agung-di-balik-poligami-nabi-muhammad-saw/ ), tanggal 20 Juni 2016.
16
jawab salah seorang kalian, dan ia khawatir tidak dapat memberinya
mahar yang cukup, maka hendaknya beralih kepada wanita yang lainnya,
karena wanita itu banyak. Allah tidak membuatnya sempit, karena
menghalalkan untuknya sampai empat wanita. Apabila khawatir berbuat
zhalim bila menikahi lebih dari satu wanita, maka wajib baginya untuk
mencukupkan satu saja, atau mengambil budak-budak wanitanya.40
Dalam hadits Shahih Bukhari disebutkan bahwa Nabi memiliki 9 (
Sembilan ) istri, bunyi haditsnya sebagai berikut ;
اح ي اي ا ئ ف ي ا ف ع ى س ا ا ك ي ط س ى ه ع ي ا ي ص ا ا سع ا س
Artinya : “Sungguh Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam pernah mengelilingi (menggilir) isteri-isterinya dalam satu malam, dan ketika itu beliau memiliki sembilan isteri”41
Dalam hadits selanjutnya yang diriwayatkan oleh Bukhari dalam
kitab Shahihnya dikatakan bahwa Ibnu „Abbas berkata kepada Sa‟id bin
Jubair ;
ا ! ف ا :ف ,ق , ؟ ق ج ا ء ا ا ك س ي ا خ
Artinya : “Apakah kamu telah menikah?” Sa‟id menjawab,”Belum,” lalu beliau berkata,”Menikahlah! Karena orang terbaik ummat ini paling banyak isterinya.”42
Dalam kalimat “orang terbaik ummat”, terdapat dua pengertian. :
Pertama : Yang dimaksudkan ialah Rasulullah Shallallahu „alaihi
wa sallam. Sehingga memiliki pengertian, bahwa Rasulullah SAW orang
terbaik dari ummat ini adalah orang yang paling banyak isterinya. Kedua :
Yang dimaksud dengan “yang terbaik dari ummat ini” dalam pernikahan,
yaitu yang paling banyak isterinya. Syaikh Mushthafa al „Adawi
berkata,”Semuanya mempunyai dasar dan menunjukkan pengertian yang
40 Kholid Syamsudi, Keindahan Poligami dalam Islam, diakses dari situs ( https://almanhaj.or.id/2551-keindahan-poligami-dalam-islam.html ), tanggal 20 Juni 2016. 41 Imam Bukhari, Shahih Bukhari, ( Jakarta : Pustaka Sunnah, 2010 ), 4078. 42 Ibid., 5069.
17
sama, yang menjadi dasar pendapat ulama yang menyatakan sunnahnya
berpoligami”.43
Landasan lain yang menunjukkan poligami merupakan sunnah,
juga didapatkan dengan merujuk kepada hadits-hadits yang menganjurkan
agar kaum Muslimin memiliki banyak anak. Di antara hadits-hadits
tersebut ialah:
“Dari Ma‟qil bin Yasar, beliau berkata: Seseorang datang menemui Nabi Shallallahu „alaihi wa sallam dan berkata: “Aku mendapatkan seorang wanita yang memiliki martabat dan cantik, namun ia mandul. Apakah aku boleh menikahinya?” Beliau Shallallahu „alaihi wa sallam menjawab: “Jangan!” Lalu ia mendatangi beliau kedua kalinya, dan beliau melarangnya. Kemudian datang ketiga kalinya, dan beliau berkata: “Nikahilah wanita yang baik dan subur, karena aku berbangga-bangga dengan banyaknya kalian terhadap ummat-ummat lainnya”.44
Syaikh bin Baz juga menyatakan, hukum asal perkawinan itu
adalah poligami (menikah lebih dari satu isteri) bagi laki-laki yang mampu
dan tidak ada rasa kekhawatiran akan terjerumus kepada perbuatan zhalim,
karena (dengan poligami) mengandung banyak maslahat dalam
memelihara kesucian kehormatan, kesucian kehormatan wanita-wanita
yang dinikahi itu sendiri, berbuat ihsan kepada mereka dan memperbanyak
keturunan, yang dengannya ummat Islam akan menjadi banyak, dan makin
banyak pula orang yang menyembah Allah Subhanahu wa Ta‟ala semata.
Begitu juga Syaikh Muhammad al Amin asy-Syinqithi berkata: “al-Qur`an
menghalalkan poligami untuk kemaslahatan wanita agar mendapatkan
suami, dan kemaslahatan lelaki agar tidak terbuang kemanfaatannya,
ketika seorang wanita dalam keadaan udzur, serta (untuk) kemaslahatan
ummat agar menjadi banyak jumlahnya, lalu dapat menghadapi musuh-
musuhnya demi menegakkan kalimatullah agar tetap tinggi.45
43 Kholid Syamsudi, Keindahan Poligami dalam Islam, diakses dari situs ( https://almanhaj.or.id/2551-keindahan-poligami-dalam-islam.html ), tanggal 20 Juni 2016. 44 Nashirudin al-Albani. Shahih Sunan Abu Daud, ( Jakarta : Pustaka Azzam, 1995 ), 2050. 45 Kholid Syamsudi, Keindahan Poligami dalam Islam, diakses dari situs ( https://almanhaj.or.id/2551-keindahan-poligami-dalam-islam.html ), tanggal 20 Juni 2016.
18
D. Nikah Siri Dalam Islam
Banyak masyarakat yang mempraktekan kawin siri atau nikah
bawah tangan. Baik menikah pertama kali maupun yang melakukan
praktek poligami dengan cara kawin siri pada perkawinan kedua, ketiga
atau keempatnya. Hal umum yang biasa terjadi di Indonesia adalah praktek
kawin sirri pada perkawinan kedua, ketiga dan keempat. Oleh karena itu
penulis perlu menjelaskan teori dasar kawin sirri sebagai berikut.
Nikah siri dalam mempunyai tiga pengertian : Pengertian pertama
: Nikah siri adalah pernikahan yang dilakukan secara sembunyi–sembunyi
tanpa wali dan saksi. Inilah pengertian yang pernah diungkap oleh Imam
Syafi‟i di dalam kitab Al Umm.
“Dari Malik dari Abi Zubair berkata bahwa suatu hari Umar dilapori tentang pernikahan yang tidak disaksikan kecuali seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka beliau berkata:“Ini adalah nikah sirri, dan saya tidak membolehkannya, kalau saya mengetahuinya, niscaya akan saya rajam (pelakunya)“.46
Sehingga pernikahan siri dalam bentuk yang pertama ini hukumnya tidak
sah.
Pengertian kedua : Nikah siri adalah pernikahan yang dihadiri oleh
wali dan dua orang saksi, tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh
mengumumkannya kepada khayalak ramai. Ada dua pendapat tentang
hukum nikah siri seperti ini. Pendapat pertama : menyatakan bahwa nikah
seperti ini hukumnya sah tapi makruh. Ini pendapat mayoritas ulama,
diantaranya adalah Umar bin Khattab, Urwah, Sya‟bi, Nafi‟, Imam Abu
Hanifah, Imam Syafi‟I, Imam Ahmad ( Ibnu Qudamah, al Mughni, Beirut,
Daar al Kitab al Arabi, : 7/ 434-435 ) . Dalilnya adalah hadist Aisyah ra ;
“Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil “47
46 Muhammad Bin Idris As-Syafi‟I, al-umm jilid II, terj. Dr. Rif’at Fauzi, ( Jakarta : Pustaka Azzam, 2011 ), .. 47 Al-Baihaqi, al-Jami’ Asy-Syu’ab, Terj. Abdul Qodir Arnauth, ( Jakarta : Pustaka Azzam, 2010 ), ..
19
Pendapat Kedua: Nikah seperti ini hukumnya tidak sah. Pendapat
ini dipegang oleh Malikiyah dan sebagian dari ulama madzhab Hanabilah (
Ibnu Qudamah, al Mughni : 7/ 435, Syekh al Utsaimin, asy-Syarh al-
Mumti‟ ‟ala Zaad al Mustamti‟, Dar Ibnu al Jauzi , 1428, cet. Pertama : 12/
95 ). Mereka berdalil dengan apa yang diriwayatkan oleh Muhammad bin
Hatib al Jumahi, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
“Pembeda antara yang halal ( pernikahan ) dan yang haram ( perzinaan ) adalah gendang rebana dan suara “48.
Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda :
“Umumkanlah nikah, adakanlah di masjid, dan pukullah rebana untuk mengumumkannya."49 Pengertian ketiga : Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan
dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya ijab qabul,
hanya saja pernikahan ini tidak dicatatkan dalam lembaga pencatatan
Negara, dalam hal ini adalah KUA . Menurut kaca mata Syariat, Nikah siri
dalam katagori ini, hukumnya sah dan tidak bertentangan dengan ajaran
Islam, karena syarat-syarat dan rukun pernikahan sudah terpenuhi.50
48 Al-Hakim, al- Mustadrak, terj. Ali Murtado, ( Jakarta : Pustaka Azzam, 2010 ) 49 Muhammad Nashirudin al-Albani, Shahih Sunan Tirmidzi Jilid II, ( Jakarta : Pustaka Azzam, 2010 ), .. 50 Ahmada Zain, Hukum Nikah Siri Dalam Islam, Diakses dari situs ( http://www.ahmadzain.com/read/karya -tulis/227/hukum-nikah-siri-dalam-islam/ ), tanggal 25 Juni 2016.
20
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research),
yang akan meneliti pemikiran tokoh, dalam hal ini Quraish Shihab. Penulis
telah melakukan study literature dari karya-karya Beliau tentang tema yang
dibicarakan yaitu poligami. Salah satu jenis penelitian bila dilihat dari tempat
pengambilan data adalah penelitian kepustakaan (library research). Disebut
penelitian kepustakaan karena data-data atau bahan-bahan yang diperlukan
dalam menyelesaikan penelitian tersebut berasal dari perpustakaan baik
berupa buku, ensklopedi, kamus, jurnal, dokumen, majalah dan lain
sebagainya.51 Sehingga dalam penelitian ini, penulis telah mengumpulkan
dokumen kepustakaan yang berkaitan dengan topik permasalahan yang
diangkat untuk dikaji dan diteliti, seperti kitab tafsir al-Misbah, UU No.1
Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, dan buku-buku Wacana Kaum
Feminisme Indonesia tentang poligami. Kemudian ditambah lagi dengan
karya-karya Quraish Shihab yang lain yang berkaitan seperti Buku yang
berjudul Wawasan al-Qur‟an, Perempuan, Membumikan al-Qur‟an, dan lain
sebagainya.
B. Sifat Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kualitatif yaitu penelitian yang
memiliki karakter data yang dinyatakan dalam keadaan apa sewajarnya
(natural setting). Dalam penelitian ini akan dikumpulkan data berdasarkan
hasil dokumentasi yang telah dilakukan dan dinyatakan atau dipaparkan
sebagaimana adanya tanpa dipengaruhi atau dimanipulasi.52
Berdasarkan orientasi kajian di atas maka penelitian ini bersifat
deskriptif-analitik. Metode deskriptif digunakan untuk membuat deskripsi,
51 Nursapia Harahap, Penelitian Kepustakaan, Diakses dari situs ( http://oaji.net/articles/2015/1937-1430102006.pdf ), tanggal 30 Juni 2016. 52 Kaelan M. S, Metode Penelitian Tentang Filsafat, ( Yogyakarta : Paradigma, 2005 ), 18.
21
gambaran secara sistematis dan objektif mengenai pendapat atau
pemikiran seseorang dalam hal poligami. Penelitian deskriptif tidak
dimaksudkan untuk menguji hipotesis tertentu, tetapi, hanya
menggambarkan “apa adanya” tentang suatu variabel, gejala, atau
keadaan.53
Maka pada penilitian ini penulis telah berupaya mendeskripsikan,
menjelaskan atau memaparkan konsep poligami yang dianut oleh Quraish
Shihab, dibahas apa adanya dan kemudian akan dianalisis posisi dan
keterkaitan pemikiran Quraish Shihab dengan UU Perkawinan dan KHI
serta Kaum Feminisme Indonesia berdasarkan teori-teori yang disebutkan
dalam landasan teori, sehingga ditemukan pemecahan masalah dalam
rumusan masalah yang dicari.
C. Pendekatan Penelitian
Pendekatan adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat
dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami
agama. Sedangkan metode dipahami lebih sempit dari pendekatan. Metode
memiliki arti cara atau jalan yang dipilih dalam upaya memahami sesuatu.
Dalam hal ini, memahami ajaran agama yang bersumber dari al-Quran dan
Hadits.54 Berbagai pendekatan dalam penelitian Hukum Islam terdiri dari
pendekatan teologis normatif, antropologis, sosiologis, psikologis,
kebudayaan, dan pendekatan filosofis. Adapun maksud pendekatan disini
adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam memahami
agama.55 Karena penulis akan meneliti tentang pemikiran tokoh terkait
dengan hukum agama yaitu poligami, maka penulis menggunakan
pendekatan teologis-normatif dan pendekatan filosofis.
Pendekatan teologis-normatif adalah upaya memahami agama
dengan menggunakan kerangka ilmu Ketuhanan yang menganggap bahwa
53Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, ( Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2003), 310. 54 Prof. Supiana, Metodologi Studi Islam, cet. II, ( Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Agama Islam, 2012 ), 77. 55 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, ( Depok : PT Rajagrafindo Persada, 2012), 27-28.
22
agama merupakan yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.56
Asumsi dasar dari pendekatan normatif yang digunakan adalah, bahwa
penelitian ini mengkaji dan menelaah pokok kajian yang ada dari sisi-sisi
legal formal atau normatifitasnya. Maksud legal formal adalah
hubungannya dengan halal-haram, boleh atau tidak, dan sejenisnya.
Sedangkan normatif-nya adalah seluruh ajaran yang terkandung dalam
nash. Sedangkan pendekatan filosofis ( filsafat ) yaitu berpikir secara
mendalam, sistematik, radikal, dan universal dalam rangka mencari
kebenaran, inti, hikmah atau hakikat mengenai segala sesuatu yang ada.57
Sehingga akan ditemukan bagaimana pemikiran Quraish Shihab tentang
poligami jika menggunakan pendekatan teologis-normatif dan filosofis.
Dengan pendekatan teologis-normatif, maka penulis bisa menilai
pemikiran Quraish Shihab tentang poligami tersebut dengan melihat lebih
dalam untuk menemukan point-point penting dari pemikiran tersebut.
Dengan pendekatan tersebut diharapkan mampu menemukan secara
objektif kesimpulan dari pemikiran Quraish Shihab, relevansinya terhadap
KHI dan UU No. 1 Tahun 1974 serta posisi pemikiran Quraish Shihab
dalam wacana kaum feminisme Indonesia.
D. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian adalah subyek darimana data dapat
diperoleh.58 Menurut sumbernya, data penelitian digolongkan sebagai data
primer dan data sekunder. Pengertian data primer atau definisi data primer
adalah data yang diperoleh langsung dari subyek penelitian dengan
mengenakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada
subjek sebagai sumber informasi yang dicari. Data primer ini disebut juga
dengan data tangan pertama. Pengertian data sekunder atau definisi data
sekunder adalah data yang diperoleh lewat pihak lain, tidak langsung
56 Ibid., 28. 57 Ibid., 42. 58 Achmad Suhaidi, Penertian Sumber Data, Jenis-Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data, diakses dari situs ( https://achmadsuhaidi.wordpress.com/2014/02/26/pengertian-sumber-data-jenis-jenis-data-dan-metode-pengumpulan-data/), tanggal 10 Juli 2016.
23
diperoleh oleh peneliti dari subjek penelitiannya. Data sekunder ini disebut
juga dengan data tangan kedua. Data Sekunder biasanya berwujud data
dokumentasi atau data laporan yang telah tersedia.59
Dalam membahas pemikiran Quraish Shihab tentang poligami,
sumber data primernya adalah Kitab “ Tafsir al-Misbah : Pesan, Kesan,
dan Keserasian al-Qur‟an” karya Quraish Shihab, juga buku yang berjudul
“ Membumikan al-Qur‟an : fungsi dan Peran wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat “karya Quraish Shihab, kemudian buku lain yang membahas
poligami juga yaitu yang berjudul “ Perempuan : Dari Cinta sampai Seks,
dari Nikah Mut‟ah sampai Nikah Sunnah, dari Bias Lama sampai Bias
Baru “ karya Quraish Shihab, dan buku lainnya yang membahas tentang
poligami karya Quraish Shihab. Penulis juga akan mencari tulisan-tulisan
lain membahas pemikiran Quraish Shihab tentang poligami. Adapun
sumber untuk membahas aturan poligami di Negara Indonesia adalah
Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) dan UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan pada pasal-pasal tentang poligami. Sedangkan sumber data
yang membahas wacana Kaum Feminisme tentang poligami adalah buku
karya Musdah Mulia yang berjudul, 1. Muslimah Sejati, 2. Islam
Menggugat Poligami. Kemudian buku yang berjudul Kartini karya Hadi
Prayitno. Kemudian Buku yang berjudul Feminisme dan Pemberdayaan
Perempuan dalam Timbangan Islam karya Siti Muslihat. Sedangkan
sumber data sekunder adalah buku-buku atau karya ilmiah karya orang lain
yang membahas pemikiran Quraish Shihab.
E. Teknik Pengumpulan dan Analisis Data
Secara garis besar, teknik yang dapat digunakan untuk
pengumpulan data dalam studi kasus adalah wawancara, observasi, dan
studi dokumentasi.60 Pengumpulan data untuk penelitan yang penulis
59 Prakoso, Data Primer dan Data Sekunder, diakses dari situs ( http://prasko17. blogspot.co.id/2012/07/data-primer-dan-data-sekunder.html ), tanggal 10 Juli 2016. 60 Nurhibatullah, Pengumpulan Data dan Analisis Data, diakses dari situs ( http://nurhibatullah.blogspot. co.id/2015/12/pengumpulan-data-dan-analisis-data.html ), tanggal 10 Juli 2016.
24
lakukan adalah dengan cara dokumentasi. Mengingat jenis penelitian ini
adalah library research, maka teknik pengumpulan data yang digunakan
dalam penelitian ini adalah pengumpulan data literer yaitu dengan
mengumpulkan bahan-bahan pustaka yang berkesinambungan ( koheren )
dengan objek pembahasan yang diteliti.61 Dokumentasi adalah salah satu
metode pengumpulan data kualitatif dengan melihat atau menganalisis
dokumen-dokumen yang dibuat oleh subjek sendiri atau oleh orang lain
tentang subjek.62 Dalam hal ini, dokumen yang dikumpulkan oleh penulis
adalah karya-karya Quraish Shihab, Kaum Feminisme dan UU Perkawinan
dan KHI tentang poligami dan karya-karya orang lain yang membahas
tentang pokok bahasan penelitian ini.
Penelitian ini menggunakan metode analisis isi ( content analysis ).
Analisis isi adalah suatu teknik penelitian untuk membuat kesimpulan-
kesimpulan ( inferensi ) yang dapat ditiru ( replicable ) dan dengan data
yang valid, dengan memperhatikan konteksnya.63 Metode ini dimaksudkan
untuk menganalisis seluruh pembahasan mengenai pemikiran Quraish
Shihab, Quraish Shihab dengan wacana Kaum Feminisme, Quraish Shihab
dengan KHI dan UU Perkawinan tentang poligami.
G. Sistematika Pembahasan
Agar dapat memperoleh gambaran yang utuh dan jelas mengenai
isi karya tulis ini, dan untuk menghasilkan penelitian yang komprehensif,
maka dalam penyusunan tesis ini, penulis menyusunnya dengan
sistematika pembahasan sebagai berikut ;
Bagian Awal yang terdiri dari cover tesis, Surat pernyataan
keaslian tesis dari penulis, halaman pengesahan oleh Direktur Pascasarjana
61 Fitri Zakiah Hafizah, Contoh Proposal Library Research, diakses dari situs ( https://hidrosita.wordpress. com/2013/02/17/contoh-proposal-library-research/ ), tanggal 11 Juli 2016. 62 Nurhibatullah, Pengumpulan Data dan Analisis Data, diakses dari situs ( http://nurhibatullah.blogspot. co.id/2015/12/pengumpulan-data-dan-analisis-data.html ), tanggal 10 Juli 2016. 63 Ibid.,
25
IAIN Mataram, Halaman persetujuan tim/pembimbing tesis, halaman
motto, halaman persembahan, halaman nota dinas pembimbing I dan II
tesis, halaman abstrak yang terdiri dari abkstrak bahasa Indonesia, bahasa
Arab dan bahasa Inggris, halaman pedoman transliterasi, halaman kata
pengantar, halaman daftar isi, dan halaman daftar singkatan.
Kemudian bagian isi yang terdiri dari Bab I sampai dengan Bab VI
yang isinya sebagai berikut : Bab Pertama merupakan pendahuluan yang
terdiri dari latar belakang diangkatnya masalah dalam penelitian ini,
perumusan masalah, pokok masalah, manfaat penelitian, tinjauan pustaka,
landasan teori, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Bab kedua
adalah kajian teoritik yaitu pembahasan landasan teori yang akan menjadi
teori dasar dalam membandingkan dengan pemikiran Quraish Shihab.
Kemudian bab ketiga adalah Metode Penelitian, yang terdiri dari jenis
penelitian, sifat penelitian, pendekatan penelitian, sumber data, tekhnik
Pengumpulan dan analisis data, dan sistematika pembahasan. Bab keempat
adalah tentang paparan data penelitian yang diperoleh. Mulai dari Biografi
dan karya-karya Quraish Shihab, Pemikiran Quraish Shihab tentang
poligami, poligami dalam KHI dan UU No 1 Tahun 1974 serta wacana
kaum Feminisme Indonesia. Bab kelima adalah bab pembahasan yang
terdiri dari pembahasan konsep poligami menurut Quraish Shihab,
relevansi pemikiran Quraish Shihab terhadap KHI dan UU No. 1 Tahun
1974, dan wacana kaum Feminisme Indonesia tentang poligami. Dan bab
keenam merupakan bab terakhir yang merupakan penutup dari
pembahasan penelitian yang berisi kesimpulan dan saran.
Kemudian Bagian akhir tesis yang terdiri dari lampiran curriculum
Vitae penulis, surat permohonan bimbingan tesis dan daftar pustaka
26
BAB IV PAPARAN DATA
A. Biografi dan Metode Tafsir Quraish Shihab
1. Latar Belakang Sosial
M. Quraish Shihab lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, pada 16
Februari 1944. Ia berasal dari keturunan Arab terpelajar. Ayahnya,
Abdurrahman Shihab ( 1905-1986 ), adalah seorang ulama tafsir dan guru
besar dalam bidang tafsir di IAIN Alauddin, Ujung Pandang. Di samping
sebagai wiraswastawan, Abdurrahman Shihab sudah aktif mengajar dan
berdakwah sejak masih muda. Namun, di tengah kesibukannya itu, ia masih
selalu menyempatkan diri dan meluangkan waktu pagi dan petang untuk
membaca al-Qur‟an dan kitab tafsir.64 Quraish Shihab adalah sosok teduh
berperawakan tegap dan kharismatik, memiliki tinggi badan 172 cm, berat
badan seimbang, bicaranya khas, warna rambut hitam tersisir rapi, muka
lonjong, berkacamata, dan berkulit putih.65
Sebagai seseorang yang berpikiran maju, Abdurrahman Shihab
percaya bahwa pendidikan merupakan agen perubahan. Sikap dan
pandangannya itu dapat dilihat dari latarbelakang pendidikannya, yaitu
Jamiat Kheir, sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Murid-
murid yang belajar di lembaga ini diajari tentang gagasan-gagasan
pembaruan gerakan dan pemikiran Islam. Lembaga ini memiliki hubungan
erat dengan sumber-sumber pambaharuan di Timur Tengah, seperti
Hadramaut, Haramain, dan Mesir. Banyak guru yang berasal dari Sudan,
Afrika.66
Sejak masa kanak-kanak, Quraish Shihab kecil dan saudara-
saudaranya biasa dikumpulkan oleh sang ayah untuk diberi nasehat dan
petuah-petuah keagamaan. Belakangan Quraish Shihab mengetahui bahwa
petuah-petuah keagamaan dari orang tuanya itu ternyata merupakan
64 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an ( Jakarta : Mizan, 1994 ), 14. 65 Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Qur’an dalam Tafsir al-Misbah, ( Jakarta : Amzah, 2015), 83. 66
Ibid, 84.
27
kandungan ayat-ayat al-Qur‟an dan hadits Nabi Muhammad saw.
Sedemikian berkesannya nasihat dan petuah orang tuanya itu di hati Quraish
Shihab sampai ia dewasa. Ia mengaku bahwa “ hingga detik ini petuah-
petuah itu masih terngiang-ngiang di telinganya “.67
Di antara nasihat-nasihat itu, seperti ia tulis dalam kata pengantar
bukunya Membumikan al-Qur’an, sebagai berikut ;
“Aku akan palingkan ( tidak memberi ayat-ayat-Ku kepada mereka yang bersikap angkuh di permukaan bumi … “ ( QS. Al-A‟raf [7]: 146).
“Al-Qur‟an adalah jamuan Tuhan, “ bunyi sebuah hadits. “ Rugilah yang
tidak menghadiri jamuan-Nya, dan lebih rugi lagi yang hadir tetapi tidak
menyantapnya. “
“Biarkanlah al-Qur‟an berbicara” kata Ali bin Abi Thalib.
“Bacalah al-Qur‟an seakan-akan ia diturunkan kepadamu,” kata Muhammad
Iqbal.
“Rasakanlah keagungan al-Qur‟an, sebelum kau menyentuhnya dengan
nalarmu,”kata Syeikh Muhammad Abduh.
“Untuk mengantarmu mengetahui rahasia-rahasia al-Qur‟an, tidaklah cukup
kau membacanya sempat kali sehari,” seru al-Mawardi.68
Pada saat-saat berkumpul dengan keluarga semacam itu, sang ayah
juga menjelaskan tentang kisah-kisah dalam al-Qur‟an. Tampaknya suasana
keluarga yang serba bernuansa qur‟ani itulah yang memotivasi dan
menumbuhkan minat Quraish Shihab untuk mendalami al-Qur‟an . Sampai-
sampai ketika masuk belajar di Universitas Al-Azhar, Mesir, ia rela
mengulang setahun agar dapat melanjutkan studinya di jurusan tafsir,
padahal jurusan-jurusan yang lain telah membuka pintu lebar-lebar untuk
dirinya.69
67 Ibid., 68 Ibid., 69 Ibid.,
28
2. Latar Belakang Intelektual
Pendidikan Quraish Shihab dimulai dari kampung halamannya sendiri.
Ia menempuh pendidikan dasar di kota kelahirannya sendiri, Ujung
Pandang. Selanjutnya ia melanjutkan pendidikan menengahnya di kota
Malang, sambil mengaji di pondok pesantren Darul Hadist al-Faqihiyah.
Setamat dari pendidikan menengah di Malang, ia berangkat ke Kairo,
Mesir, untuk melanjutkan studi dan diterima di kelas II Madrasah
Tsanawiyah Al-Azhar. Pada tahun 1967 ia meraih gelar Lc pada Fakultas
Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Hadist Universitas Al-Azhar. Selanjutnya ia
melanjutkan studinya di Fakultas yang sama, memperoleh gelar MA pada
tahun 1969 dengan spesialisasi bidang tafsir al-Qur‟an dengan tesis
berjudul al-I’jaz al-Tasyri”iy li al-Qur’an al-Karim.70
Sekembalinya ke Ujung Pandang, ia dipercaya menjabat Wakil Rektor
Bidang Akademis dan Kemahasiswaan pada IAIN Alauddin, Ujung
Pandang. Di samping itu, ia juga diserahi jabatan-jabatan lain, baik di
dalam kampus maupun di luar kampus. Di dalam kampus, ia diserahi
jabatan sebagai coordinator Perguruan Tinggi Swasta ( Wilayah VII
Indonesia bagian Timur). Di luar kampus, ia diberi tugas sebagai Pembantu
Pimpinan kepolisian Indonesia Timur Bidang Pembinaan Mental. Selama
di Ujung Pandang ini, ia juga melakukan berbagai penelitian, antara lain
penelitian tentang “Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia
Timur” (1975) dan “Masalah Wakaf di Sulawesi Selatan”(1978).71
Pada tahun 1980, Quraish Shihab kembali ke Kairo dan melanjutkan
pendidikan di almamaternya yang lama, yakni Universitas Al-Azhar, Kairo.
Hanya dalam jangka waktu dua tahun, ia menyelesaikan program doktoral
dan memperoleh gelar doctor pada tahun 1982. Disertasinya berjudul Nazm
al-Durar li al-Biqa’iy, Tahqiq wa Dirasah. Disertasi ini telah
mengantarkannya meraih gelar doctor dengan yudisium Summa Cum
70 Ibid., 71 Ibid.,
29
Laude dengan penghargaan tingkat I ( Mumtaz ma’a martabat as-syaraf al-
ula). Spesialisasi keilmuannya adalah dalam bidang ilmu-ilmu al-Qur‟an.
Sekembalinya ke Indonesia, sejak 1984, Quraish Shihab ditugaskan di
Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Pascasarjana IAIN Syarif Hidayatullah,
Jakarta. Selain itu, di luar kampus, ia juga dipercaya menduduki berbagai
jabatan, antara lain ketua Majelis Ulama Indonesia ( MUI ) Pusat ( sejak
1984), anggota Lajnah Pentashih al-Qur‟an Departemen Agama ( sejak
1989 ), anggota Badan Pertimbangan Pendidikan Nasional ( sejaka 1989).72
Quraish Shihab juga pernah menjadi Rektor IAIN Jakarta selama dua
periode ( 1992-1996 dan 1997-1998 ). Setelah itu ia dipercaya menduduki
jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal
tahun 1998, sehingga kemudian ia diangkat menjadi Duta Besar Luar Biasa
dan berkuasa penuh Republik Indonesia untuk Negara Repblik Arab
Mesir.73
Kecuali itu, ia juga banyak terlibat dalam beberapa organisasi
professional, antara lain pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syari‟ah,
pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Departemen Pendidikkan dan
Kebudayaan, serta Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia ( ICMI ). Di sela-sela berbagai kesibukannya itu, ia juga aktif
terlibat dalam berbagai kegiatan ilmiah di dalam maupun di luar negeri.
Berbagai pertemuan ilmiah dan seminar di dalam dan di luar negeri ia ikuti.
Hal yang penting juga perlu dicatat adalah bahwa Quraish Shihab juga
sangat aktif dalam kegiatan tulis menulis. Ia menulis di harian Pelita,
dalam rubrik “ Pelita Hati “, penulis tetap rubric “ Tafsir al-amanah” dalam
majalah Amanah, sebagai dewan redaksi dan penulis dalam majalah
Ulumul Qur’an dan Mimbar Ulama. Dan lain-lain. Selain menulis di
media, ia juga aktif menulis buku. Tidak kurang 28 judul buku telah ia tulis
dan terbitkan yang sekarang beredar di tengah-tengah masyarakat
Indonesia.
72 Ibid. 73 M. Quraish Shihab, Membumikan al-Quran ( Bandung : Mizan, 1996 ), 6.
30
M. Quraish Shihab adalah ulama dan intelektual yang fasih dalam
berbicara dan lancar dalam menulis. Ia sangat produktif menghasilkan
karya-karya tulis ilmiah, disamping memberikan ceramah dan presentasi
dalam berbagai forum ilmiah. Kemampuan demikian, fasih berbicara dan
lancer menulis, tidak banyak ilmuwan yang memilikinya.
3. Latar Belakang Pemikiran Keagamaan
Sebagai putra dari seorang guru besar, M. Quraish Shihab
mendapatkan motivasi awal dan benih kecintaan terhadap bidang studi
tafsir dari ayahnya yang sering mengajak anak-anaknya duduk bersama.
Pada saat seperti itulah sang ayah menyampaikan nasihatnya yang
kebanyakan berupa ayat-ayat al-Qur‟an. Quraish Shihab menjalani
pergumulan dan kecintaan terhadap al-Qur‟an sejak umur 6-7 tahun. Ia
harus mengikuti pengajian al-Qur‟an yang diadakan oleh ayahnya sendiri.
Selain menyuruh membaca al-Qur‟an, ayahnya juga menguraikan secara
sepintas kisah-kisah dalam al-Qur‟an. Disinilah benih-benih kecintaannya
kepada al-Qur‟an mulai tumbuh.74
Quraish Shihab banyak memperoleh basis intelektualnya dari
lingkungan keluarganya, dalam hal ini pengaruh kuat ayahnya.
Sebagaimana penuturannya, “ Ayah,kami, Almarhum Abdurrahman Shihab
( 1905-1986 ) adalah guru besar dalam bidang tafsir. Pengaruh akan
pentingnya ilmu dan pendidikan ternyata tidak hanya diperoleh dari
ayahnya, tetapi juga dating dari ibunya. Dalam penuturan Quraish Shihab
sendiri, ibunya, Asma Aburisah ( 1912-1984 ), senantiasa mendorong diri
dan saudara-saudaranya belajar dengan rajin dan tidak segan dan bosan-
bosannya mengingatkan mereka untuk mengamalkan ajaran agama; baik
ketika mereka masih kecil maupun sudah besar, atau sudah menjadi doctor
sekalipun. Selai n itu juga, kesuksesan dan semangatnya juga tidak terlepas
dari dukungan saudara kandungnya.75
74 Hasani Ahmad Said, Diskursus Munasabah al-Qur’an dalam Tafsir al-Misbah, ( Jakarta : Amzah, 2015), 85. 75 Ibid.,
31
Melihat latar belakang pendidikan atau intelektualitasnya di atas,
secara keseluruhan Quraish Shihah telah melewati pengembangan
intelektualnya di bawah asuhan dan bimbingan Universitas al-Azhar, Kairo
Mesir. Dengan demikian hamper bisa dipastikan bahwa iklim dan tradisi
keilmuan dalam studi Islam di lingkungan Universitas tersebut, mempunyai
pengaruh besar terhadap kecendrungan intelektual dan corak pemikiran
keagamaannya. Menurut G.H. Jansen, al-Azhar merupakan lembaga Islam
yang paling ortodoks. Selain merupakan pusat gerakan pembaharuan Islam,
al-Azhar juga merupakan tempat yang tepat untuk studi al-Qur‟an. Sederet
tokoh popular yang berasal dari sana, antara lain dua mufassir kenamaan
yaitu Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha.76
Pendidikan tinggi Quraish Shihab yang kebanyakan ditempuhnya di
al-Azhar ini, dianggap sebagai seorang yang unik bagi Indonesia; pada saat
dimana sebagian pendidikan pada tingkat itu diselesaikan di Barat.
Mengenai hal itu, Howard M. Federspiel mengatakan, “ Ketika meneliti
biografinya, saya menemukan bahwa ia berasal dari Sulawesi Selatan,
terdidik di Pesantren dan menerima pendidikan tingginya di Mesir, di
Universitas al-Azhar, tempat ia menerima gelar M.A, dan Ph.D-nya. Ini
menjadikannya terdidik lebih baik dibandingkan dengan hamper semua
pengarang lainnya yang terdapat dalam popular Indonesian Literature of
The Qur‟an.77
4. Karya Intelektual
Karya-karya Quraish Shihab yang telah dipublikasikan adalah;
1. Tafsir al-Manar: Keistimewaan dan Kelemahannya ( Ujung Pandang:
IAIN Alauiddin, 1984).
2. Filsafat Hukum Islam ( Jakarta:Depag, 1987).
3. Mahkota Tuntunan Ilahi: Tafsir Surah al-Fatihah ( Jakarta:Untagma,
1988 ).
76 Ibid., 89. 77 Ibid.,
32
4. Membumikan al-Qur‟an: fungsi dan Peran wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat ( Bandung:Mizan, 1992).
5. Studi Kritik Tafsir al-Manar ( Bandung:Pustaka hidayah, 1994).78
6. Lentera Hati: Kisah dan Hikmah kehidupan ( bandung: Mizan, 1984).
7. Untaian Permata Buat Anakku; Pesan al_Qur‟an Untuk Mempelai (
Jakarta: al-Bayan, 1995).
8. Wawasan al-Qur‟an : tafsir Maudhu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat (
Bandung: Mizan, 1996 ).
9. Hidangan Illahi Ayat-ayat Tahlil ( Jakarta : Lentera Hati, 1997).
10. Tafsir al-Qur‟an al-Karim: Tafsir Surah-surah Pendek Berdasar urutan
Turunnya Wahyu ( Bandung: Pustaka Hidayah,1997).
11. Mukjizat al-Qur‟an Ditinjau dari aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan
Pemberitaan Gaib ( Bandung:Mizan, 1997).
12. Sahur Bersama Quraish Shihab di RCTI ( Bandung: Mizan, 1997).
13. Menyingkap Tabir Illahi: Asma al-Husna dalam Perspektif al-Qur‟an (
Jakarta: Lentera, 1998).
14. Haji Bersama Quraish Shihab: Panduan Praktis Untuk Menuju Haji
Mabrur ( Bandung: Mizan, 1999).
15. Fatwa-fatwa Seputar Ibadah Mahdhah ( Bandung: Mizan, 1999).
16. Yang Tersembunyi: Jin, Setan, dan Malaikat dalam al-Qur‟an dan as-
Sunnah serta Wacana Pemikiran Ulama Masa Lalu dan Masa Kini (
Jakarta: Lentera Hati, 1999).
17. Fatwa-fatwa: Seputar al-Qur‟an dan Ahdits ( Bandung: Mizan, 2000).
18. Panduan Puasa Bersama Quraish Shihab ( Jakarta: Republika, 2000).
19. Menyingkap Tabir Ilahi: Asmaul Husna dalam Perspektif al-Qur‟an (
Jakarta: Lentera Hati, 2000).79
20. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur‟an ( Jakarta:
lentera Hati, 2000).
78
Dr. H. Mahfudz Masduki, MA, Tafsir Al-Misbah M. Quraish Shihab: kajian Atas Amtsal Al-Qur’an, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012), 13. 79
Ibid., 14.
33
21. Perjalanan menuju Keabadian, Kematian, Surga, dan Ayat-ayat tahlil (
Jakarta: Lentera hati, 2001)
22. Panduan Sholat Bersama Quraish Shihab ( Jakarta: Republika, 2003).
23. Kumpulan Tanya Jawab Bersama Quraish Shihab: Mistik, Seks, dan
Ibadah ( Jakarta: Republika, 2004).
24. Logika Agama: kedudukan Wahyu dan Batas-batas Akal dalam Islam (
Jakarta: Lentera Hati, 2004).
25. Pandangan Ulama Masa Lalu dan Cendekiawan Konemporer, Jilbab
pakaian Wanita Muslimah ( Jakarta: Lentera Hati, 2006).
26. Dia di mana-mana: “ Tangan” Tuhan di Balik Setiap fenomena ( Jakarta:
Lentera Hati, 2006).
27. Perempuan: dari Cinta sampai Seks, dari Nikah Mut‟ah sampai Nikah
Sunnah, dari Bias Lama sampai Bias Baru ( Jakarta: lentera Hati, 2006 ).
28. Menjemput Maut: Bekal Perjalanan menuju Allah SWT. ( Jakarta:
Lentera Hati, 2006).80
29. Kaidah Tafsir. ( Jakarta : Lentera Hati, 2003 )
30. Al -Qur‟an dan Maknanya., ( Jakarta : Lentera Hati, 2010 )
31. Berbisnis dengan Tuhan, ( Jakarta : Republika, 2000 )
32. Pengantin al-Qur‟an, ( Jakarta : Lentera Hati, 2010 )
33. Membumikan al-Qur‟an Jilid 2 ( Jakarta : Lentera Hati, 2011 )
34. Kematian adalah Nikmat, ( Jakarta : Lentera Hati, 2013 )
5. Metode Penafsiran
Dalam menulis tafsir, metode tulisan Quraish Shihab lebih bernuansa
kepada tafsir tahlili81 dan maudhu’i82. Dengan tafsir tahlili , Beliau
80 Ibid., 15. 81 Tafsir Tahlili merupakan metode tafsir al-Qur'an yang memaparkan segala aspek yang terkandung didalam yang ditafsirkan itu serta menerangkan makna-makna yang tercakup didalamnya, sesui dengan keahlian dan kecenderungan mufassir yang menafsirkan ayat-ayat tersebut. Selain itu, ada juga Ulama yang menyebutkan yang dimaksud dengan tafsir tahlili adalah tafsir yang mengkaji ayat-ayat al-Qur'an dari segala segi dan maknanya. Seorang yang mengkaji dengan metode ini harus menafsirkan ayat-ayat al-Qur'an, ayat demi ayat, dan surat demi surat dari awal hingga akhir, sesuai dengan urutan Mushaf utsmani. 82 Tafsir maudhu’i (tematik) ialah mengumpulkan ayat-ayat al-qur‟an yang mempunyai tujuan yang satu yang bersama-sama membahas judul/topik/sektor tertentu dan menertibkannya sedapat mungkin sesuai dengan masa turunnya selaras dengan sebab-sebab turunnya, kemudian
34
menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an dari segi ketelitian redaksi kemudian
menyusun kandungannya dengan redaksi indah yang lebih menonjolkan
petunjuk al-Qur‟an bagi kehidupan manusia serta menghubungkan
pengertian ayat-ayat al-Qur‟an dengan hukum-hukum alam yang terjadi
dalam masyarakat. Uraian yang ia paparkan sangat memperhatikan kosa
kata atau ungkapan al-Qur‟an dengan menyajikan pandangan-pandangan
para pakar bahasa, kemudian memperhatikan bagaimana ungkapan tersebut
digunakan al- Qur‟an, lalu memahami ayat dan dasar penggunaan kata
tersebut oleh al-Qur‟an.83
Penulisan kitab Tafsir al-Misbah adalah sebagai berikut:
Menjelaskan Nama Surat. Sebelum memulai pembahasan yang lebih
mendalam, Quraish mengawali penulisannya dengan menjelaskan nama
surat dan menggolongkan ayat-ayat pada Makkiyah dan Madaniyah.
a. Menjelaskan Isi Kandungan Ayat. Setelah menjelaskan nama surat,
kemudian ia mengulas secara global isi kandungan surat diiringi dengan
riwayat-riwayat dan pendapat-pendapat para mufassir terkait ayat
tersebut.
b. Mengemukakan Ayat-Ayat di Awal Pembahasan. Setiap memulai
pembahasan, Quraish Shihab mengemukakan satu, dua atau lebih ayat-
ayat al-Quran yang mengacu pada satu tujuan yang menyatu.
c. Menjelaskan Pengertian Ayat secara Global. Kemudian ia menyebutkan
ayat-ayat secara global, sehingga sebelum memasuki penafsiran yang
menjadi topik utama, pembaca terlebih dahulu mengetahui makna ayat-
ayat secara umum.
d. Menjelaskan Kosa Kata. Selanjutnya, Quraish Shihab menjelaskan
pengertian kata-kata secara bahasa pada kata-kata yang sulit dipahami
oeh pembaca.
memperhatikan ayat-ayat tersebut dengan penjelasan-penjelasan, keterangan-keterangan dan hubungan-hubungannya dengan ayat-ayat lain, kemudian mengistimbatkan hukum-hukum. 83 Quraish Shihab, Tafsir al-Quran al-Karim, ( Bandung : Pustaka Hidayah, 1999), VI.
35
e. Menjelaskan Sebab-sebab Turunnya Ayat. Terhadap ayat yang
mempunyai asbab al-nuzul dari riwayat sahih yang menjadi pegangan
para ahli tafsir, maka Quraish Shihab Menjelaskan lebih dahulu.
f. Memandang Satu Surat Sebagai Satu Kesatuan Ayat-ayat yang Serasi.
Al -Qur‟an merupakan kumpulan ayat-ayat yang pada hakikatnya
adalah simbol atau tanda yang tampak. Tapi simbol tersebut tidak dapat
dipisahkan dari sesuatu yang lain yang tidak tersurat, tapi tersirat.
Hubungan keduanya terjalin begitu rupa, sehingga bila tanda dan simbol
itu dipahami oleh pikiran maka makna tersirat akan dapat dipahami pula
oleh seseorang.84 Dalam penanfsirannya, ia sedikit banyak terpengaruh
terhadap pola penafsiran Ibrahim al Biqa‟i, yaitu seorang ahli tafsir,
pengarang buku Nazm al-Durar fi Tanasub al-Ayat wa al-suwar yang
berisi tentang keserasian susunan ayat-ayat al-Quran.
6. Gaya Bahasa.
Quraish Shihab menyadari bahwa penulisan tafsir al-Quran selalu
dipengaruhi oleh tempat dan waktu dimana para mufassir berada.
Perkembangan masa penafsiran selalu diwarnai dengan ciri khusus, baik
sikap maupun kerangka berfikir. Oleh karena itu, ia merasa berkewajiban
untuk memikirkan muncul sebuah karya tafsir yang sesuai dengan alam
pikiran saat ini. Keahlian dalam bidang bahasa dapat dilihat melalui
penafsiran seseorang. Seperti penafsiran yang dilakukan oleh Tim
Departeman Agama dalam QS. al-Hijr ayat 22.
”Dan kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan (tumbuh-tumbuhan) dan kami turunkan hujan dari langit”. Menurutnya, terjemahan ini disamping mengabaikan arti huruf fa, juga menambahkan kata ”tumbuh-tumbuhan”
sebagai penjelasan sehingga terjemahan tersebut menginformasikan bahwa
angin berfungsi mengawinkan tumbuh-tumbuhan. Quraish Shihab
berpendapat, bahwa terjemahan dan pandangan tersebut tidak didukung
oleh faanzalna min al-sama ma’an yang seharusnya diterjemahkan dengan
84
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, ( Jakarta : Lentera Hati, 2001), Vol V..., 3.
36
”maka” menunjukkkan adanya kaitan sebab dan akibat antara fungsi angin
dan turunnya hujan atau urutan logis antara keduanya. Sehingga tidak tepat
huruf tersebut diterjemahkan dengan ”dan” sebagaimana tidak tepat
penyisipan kata tumbuh-tumbuhan dalam terjemahan tersebut.85
7. Sumber Penafsiran
Untuk menyusun kitab Tafsir al-Misbah, Quraish Shihab
mengemukakan sejumlah kitab tafsir yang ia jadikan sebagai rujukan atau
sumber pengambilan. Kitab-kitab rujukan itu secara umum telah ia sebutkan
dalam “Sekapur Sirih” dan “Pengantar” kitab tafsirnya yang terdapat pada
volume I, kitab Tafsir al-Misbah. Selanjutnya kitab-kitab rujukan itu dapat
dijumpai bertebaran di berbagai tempat ketika ia menafsirkan ayat-ayat al-
Qur‟an.
Sumber-sumber pengambilan dimaksud di antaranya;
a. Shahih al-Bukhari karya Muhammad bin Ismail al-Bukhari
b. Shahih Muslim karya Muslim bin Hajjaj
c. Nazm al-Durar karya Sayyid Qutb
d. Tafsir al-Mizan karya Muhammad Husain al-Thabathaba‟i
e. Tafsir Asma’ al-Husna karya al-Zallaj
f. Tafsir al-Qur’an al-Azhim karya Ibnu Katsir
g. Tafsir Jalalain karya jalaluddin al-Mahalli dan Jalaludin al-Suyuthi
h. Tafsir al-Kabir karya Fakhruddin ar-Razi
i. al-Kasyaf karya az-Zamakhsyari
j. Nahwa Tafsir al-Maudhu’i karya Muhammad al-Ghazali
k. al-Dur al-Manshur karya al-Suyuti
l. at-Tabrir wa at-Tanwir karya Muhammad Thahir ibnu Asyur
m. Ihya’ Ulumuddin, Jawahir al-Qur’an karya Abu Hamid al-Ghazali
n. Bayan I’jaz al-Qur’an karya al-khaththabi
o. Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin ar-Razi
p. al-Burhan karya al-Zarkasyi
q. Asrar Tartib al-Qur’an dan Al-Itqan karya as-Suyuti
85
Depag, al-Quran dan Terjemahnya..., 392.
37
r. al-Naba’ al-Azhim dan Madkhal ila al-Qur’an al Karim karya
Abdullah Darraz
s. al-Manar karya Muhammad Abduh dan Muhammad Rasyid Rida dan
lain-lain.86
B. KONSEP POLIGAMI MENURUT QURAISH SHIHAB
Pembicaraan tentang poligami tidak akan lepas dari pembahasan
tentang perkawinan. Oleh karena itu penulis akan memulai pemaparan data
pemikiran Quraish Shihab dari penegrtian perkawinan, tujuan perkawinan,
konsep keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah, dan sebagainya. Karena hal-
hal tersebut sangat berkaitan dengan pembahasan selanjutnya sesuai tujuan
tesis ini.
1. Pengertian Perkawinan
Setiap manusia diciptakan berpasang-pasangan. Manusia diciptakan
laki-laki dan perempuan untuk saling membutuhkan. Laki-laki
membutuhkan perempuan, perempuan membutuhkan laki-laki. Quraish
Shihab menyatakan bahwa Allah menciptakan dua jenis manusia yang
berbeda dengan alat kelamin yang tidak dapat berfungsi secara sempurna
apabila ia berdiri sendiri dan naluri seksual yang oleh tiap jenis tersebut
perlu menemukan lawan jenisnya atau membutuhkan pasangan yang
berbeda jenis untuk menyempurnakannya.87 Adapun jalan yang diatur oleh
Allah untuk menyatukan dua jenis tersebut adalah melalui proses
perkawinan.
Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kata "nikah" sebagai (1)
perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami istri (dengan
resmi); (2) perkawinan. Al-Quran menggunakan kata ini untuk makna
tersebut, di samping secara majazi diartikannya dengan "hubungan seks".
86 DR.H. Mahfudz Masduki, MA, Tafsir al-Misbah M. Quraish Shihab: Kajian atas Amtsal al-Qur’an, ( Yogyakarta : Pustaka belajar, Cet. I, 2012 ), 37-38. 87
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah ( Pesan, Kesan, Dan Keserasian Al-Quran ), ( Jakarta : Lentera Hati, 2002 ), Vol 11, 35.
38
Kata ini dalam berbagai bentuknya ditemukan sebanyak 23 kali. Secara
bahasa pada mulanya kata nikah digunakan dalam arti "berhimpun".88
Quraish Shihab juga mengatakan bahwa pernikahan atau perkawinan
berasal dari kata zawwaja atau zauwj yang berarti “pasangan “. Ini karena
pernikahan akan menghasilkan pasangan.89 Maka menurut kesimpulan
penulis, Quraish Shihab mengartikan kata pernikahan itu dengan pasangan.
Pernikahan itu dalam rangka penyatuan dua insan yang berbeda jenis
kelamin sehingga membentuk pasangan yang disebut pasangan suami istri.
Pernikahan, atau tepatnya "keberpasangan", lanjut Beliau,
merupakan ketetapan Ilahi atas segala makhluk. Berulang-ulang hakikat
ini ditegaskan oleh al-Quran antara lain dengan firman-Nya:90
“ Segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu menyadari (kebesaran Allah)”. (QS Al-Dzariyat [51]: 49).
2. Tujuan Perkawinan
Dalam sebuah ikatan perkawinan, semua pasangan pasti
menginginkan terciptanya keluarga yang penuh dengan kebahagiaan dan
memiliki tujuan dan target bersama untuk menciptakan kehidupan
keluarga yang harmonis, hubungan suami istri yang romantik, saling
membutuhkan dan saling bekerjasama. Perkawinan memiliki tujuan yang
sangat mulia, yaitu menciptakan keluarga yang penuh dengan
keharmonisan, kesejahateraan dan kebahagiaan yang selama ini kita kenal
dengan sebutan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Tujuan
perkawinan ialah untuk memenuhi petunjuk agama dalam rangka
mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Harmonis
dalam menggunakan hak dan kewajiban anggota keluarga, sejahtera
artinya terciptanya ketenangan lahir batin disebabkan terpenuhinya
keperluan hidup lahir dan batinnya, sehingga timbul kebahagian, yakni
kasih sayang antar anggota keluarga.
88 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, ( Bandung : Mizan, 1996 ), 189. 89 Ibid., 90 Ibid., 190.
39
Berbicara tentang tujuan perkawinan, Quraish Shihab menyatakan bahwa
perkawinan memiliki tujuan sebagai berikut ;
a) Membentuk Keluarga yang Sakinah, mawaddah wa rahmah
Beliau mengatakan dalam bukunya bahwa tujuan sebuah
perkawinan dalam pandangan al-Qur‟an adalah menciptakan sakinah,
mawaddah dan rahmah antara suami, istri, dan anak-anaknya.91 Beliau
menafsirkan dalil dalam al-Qur‟an, Surah ar-Rum ( 30 ) ayat 21 sebagai
berikut :
ح ا ع ي ج اا ي اج س ف س ا ا ي ع خ ق ا
ا ي ق ي ف ا ك ا ف ي ا
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir“. ( Q.S. ar-Rum (30): 21).
Kata Beliau, kalimat litaskunuu „alaiha memiliki makna “ agar
kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya”. Kata ilaiha, lanjut
dia, merangkai redaksi litaskunuu yang mengandung makna cenderung
atau menuju kepadanya, Sehingga penggalan ayat di atas bermakna
Allah menjadikan pasangan suami-istri masing-masing merasakan
ketenangan di samping pasangannya serta cenderung kepadanya.92
Dalam kesempatan lain juga, Beliau menjelaskan bahwa kata
sakinah diambil dari bahasa Arab yang terdiri dari huruf-huruf sin, kaf,
dan nun yang mengandung makna ketenangan atau antonim dari
kegoncangan dan perserakan. Berbagai bentuk kata yang terdiri dari
ketiga huruf tersebut, kesemuanya bermuara kepada makna tersebut.
Misalnya, rumah dinamai maskan karena ia adalah tempat untuk meraih
ketenangan setelah penghuninya bergerak, bahkan boleh jadi
91
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, ( Jakarta : Lentera Hati, 2002 ), 185. 92Ibid., 185.
40
mengalami kegoncangan di luar rumah. Memang, pakar-pakar bahasa
menegaskan bahwa kata itu tidak digunakan kecuali untuk
menggambarkan ketenangan dan ketenteraman setelah sebelumnya ada
gejolak. Setiap jenis kelamin lelaki atau perempuan, jantan atau betina
dilengkapi Allah dengan alat serta aneka sifat dan kecenderungan yang
tidak dapat berfungsi secara sempurna jika ia berdiri sendiri.93
a. Menyatukan dua insan yang saling membutuhkan
Manusia adalah makhluk yang saling membutuhkan dan saling
melengkapi, terutama antara laki-laki dan perempuan. Quraish Shihab
mengatakan bahwa tidak mungkin manusia bisa hidup sendiri dan tidak
mungkin laki-laki tidak membutuhkan teman hidup yang berlawanan
jenis dengannya yaitu perempuan.
Hal tersebut penulis kutip dari pernyataan Beliau dalam bukunya :
“Kesempurnaan eksistensi makhluk, hanya akan tercapai dengan
bergabungnya masing-masing pasangan dengan pasangannya. Untuk
maksud itu pula Allah menciptakan dalam diri setiap makhluk dorongan
untuk menyatu dengan pasangannya, tidak mungkin bisa hidup sendiri
tanpa ada pasangan hidup yang akan menemaninya setiap hari “.94 Ini
bukan hanya pada manusia atau makhluk hidup, tetapi pada semua
makhluk walau tak bernyawa. Atom pun demikian. Bagi manusia, ia
merupakan naluri di kala kanak-kanak, lalu menjadi salah satu
dorongan kuat kalau enggan berkata yang terkuat setelah dewasa, yang
bila tidak terpenuhi akan melahirkan gejolak dan kegelisahan. Cinta
yang bergejolak di dalam hati dan yang diliputi oleh ketidakpastian,
akan membuahkan sakinah atau ketenangan dan ketenteraman hati bila
dilanjutkan dengan pernikahan.
b. Menyatukan Kekuatan Untuk Menghadapi Tantangan
Dengan bersatunya antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah
ikatan perkawinan, maka Quraish Shihab mengatakan bahwa pasangan
93 Quraish Shihab, Perempuan, ( Jakarta : Lentera Hati, 2006 ), 136. 94
Ibid., 137.
41
perkawinan tersebut akan mendapatkan kekuatan danenergi baru dalam
menghadapi tantangan hidup. Hal ini penulis kutip dari buku Beliau, “
Manusia telah menyadari bahwa hubungan yang dalam dan dekat
dengan pihak lain akan membantunya mendapatkan kekuatan dan
membuatnya lebih mampu menghadapi tantangan”.95
Maka dengan alasan inilah maka manusia diperintahkan untuk
menikah, berkeluarga, bahkan bermasyarakat dan berbangsa. “ Akan
tetapi, lanjut beliau, harus diingat bahwa keberpasangan manusia bukan
hanya didorong oleh desakan naluri seksual, tetapi lebih dari pada itu. la
adalah dorongan kebutuhan jiwanya untuk meraih ketenangan.
Ketenangan itu didambakan oleh suami setiap saat, termasuk saat dia
meninggalkan rumah dan anak istrinya, dan dibutuhkan pula oleh istri,
lebih-lebih saat suami meninggalkannya ke luar rumah. Ketenangan
serupa dibutuhkan juga oleh anak-anak, bukan saja saat mereka berada
di tengah keluarga, melainkan juga sepanjang masa.” 96
Maka dari pernyataan tersebut, kita bisa mengatakan bahwa
hubungan suami istri itu harusnya bisa bertahan sampai ajal menjemput.
Masalah atau gejolak rumah tangga hanya bumbu kehidupan untuk
menguji ketenangan dalam rumah tangga tersebut.
Sakinah bukan berarti keluarga tersebut lepas dari masalah-
masalah atau gejolak antara suami dengan istri, lingkungan, anak-anak
dan lain-lain. Sehingga keluarga sakinah adalah keluarga yang saat
kapanpun tetap merasa tenang karena mereka hadapi dengan penuh
kebersamaan. Dalam hal ini Quraish Shihab menjelaskan bahwa “
Sakinah harus didahului oleh gejolak menunjukkan bahwa ketenangan
yang dimaksud adalah ketenangan dinamis”.97 Oleh karena itu, pasti
dalam setiap rumah tangga ada saat ketika gejolak, bahkan
kesalahpahaman dapat terjadi. Namun, ia dapat segera tertanggulangi
bersama dan menyatukan kekuatan untuk menyelesaikan masalah yang 95 Ibid., 137. 96 Ibid., 97
Ibid., 138.
42
terjadi, lalu melahirkan sakinah. la tertanggulangi bila agama yakni
tuntunan-tuntunannya dipahami dan dihayati oleh anggota keluarga.
Atau, dengan kata lain, bila agama berperan dengan baik dalam
kehidupan keluarga.
Perlu dicatat bahwa sakinah menurut Beliau, bukan sekadar apa
yang terlihat pada ketenangan lahir yang tercermin pada kecerahan raut
muka karena yang ini bisa muncul akibat keluguan, ketidaktahuan, atau
kebodohan. Akan tetapi, sakinah terlihat pada kecerahan raut muka
yang disertai dengan kelapangan dada, budi bahasa yang halus, yang
dilahirkan oleh ketenangan batin akibat menyatunya pemahaman dan
kesucian hati serta bergabungnya kejelasan pandangan dengan tekad
yang bulat.98 Itulah makna sakinah kata Beliau, sehingga dalam
pandangan penulis, Quraish Shihab menjelaskan bahwa sakinah itu hal
wajib yang harus ada dalam rumah tangga karena tanpa sakinah maka
itu bukan rumah tangga tetapi rumah masalah. Perlu juga kita catat
bahwa pendapat Quraish Shihab tersebut mengandung makna bahwa
sakinah adalah kata kunci dalam membangun dan menjalankan roda
kehidupan berkeluarga. Tidak aka nada sakinah tanpa menyatukan
kekuatan cinta dan kasih sayang antara keluarga.
c. Membentuk Keluarga yang mawaddah dan rahmah
Di samping sakinah, al-Qur'an menyebut dua kata lain dalam
konteks kehidupan rumah tangga, yaitu mawaddah dan rahmat yang
biasa disebut dalam acara pernikahan dalam bentuk doa semoga
menjadi keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Dalam hal ini,
Quraish Shihab menyadari bahwa Beliau mengalami kesulitan yang
sangat besar untuk menemukan padanan kata mawadah dalam bahasa
Indonesia karena kata cinta belum menggambarkan secara utuh makna
kata tersebut. Kesulitan itu, di sini Quraish Shihab hanya akan
melukiskan dampak mawaddah bila telah bersemai dalam jiwa
seseorang. Ketika itu, yang bersangkutan tidak rela pasangan atau mitra
98
Ibid., 138.
43
yang tertuang kepadanya mawaddah disentuh oleh sesuatu yang
mengeruhkan pasangannya, kendati boleh jadi si penyandang
mawaddah memiliki sifat dan kecenderungan kejam.
Seorang penjahat yang bengis sekalipun, yang dipenuhi hatinya
oleh mawaddah, tidak akan rela pasangan hidupnya disentuh sesuatu
yang buruk. Dia bahkan bersedia menampung keburukan itu atau
mengorbankan diri demi kekasihnya. Ini karena makna asal kata
mawaddah, mengandung arti kelapangan dan kekosongan. Ia adalah
kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari kehendak buruk. Kalau
menginginkan kebaikan dan mengutamakannya untuk orang lain berarti
orang itu telah mencintainya. Tetapi, jika seseorang menghendaki
untuknya kebaikan serta tidak menghendaki untuknya selain itu apa pun
yang terjadi mawaddah telah menghiasi hati seseorang.
Kata Quraish Shihab, “ Mawaddah adalah jalan menuju
terabaikannya pengutamaan kepentingan dan kenikmatan pribadi untuk
siapa yang tertuju kepadanya mawaddah itu. Karena itu, siapa yang
memilikinya, dia tidak pernah akan memutuskan hubungan, apa pun
yang terjadi. Jika demikian, kata ini mengandung makna cinta, tetapi ia
adalah cinta plus. Makna kata ini mirip dengan makna kata rahmat.
Hanya saja, rahmat tertuju kepada yang dirahmati, sedangkan yang
dirahmati itu dalam keadaan butuh. Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa rahmat tertuju kepada yang lemah, sedangkan mawaddah tidak
demikian. Mawaddah dapat tertuju juga kepada yang kuat “.99
Ada sekian banyak hal yang perlu digarisbawahi menyangkut
unsur-unsur cinta agar ia dapat meningkat menjadi mawaddah. Siapa
yang tidak mengindahkannya, dia tidak pernah dapat bercinta apalagi
meraih mawaddah. Kita mengenal ungkapan, "Tak kenal maka tak
cinta". Dengan demikian, semakin banyak pengenalan, semakin dalam
pula cinta. Dalam hal ini, Beliau mengatakan bahwa cinta harus
99 Ibid., 139.
44
bermula dari adanya perhatian. Unsur – Unsur cinta yang dapat
melahirkan mawaddah adalah :
1) Perhatian
Menurut Beliau, Seseorang harus memberi perhatian kepada
sesuatu jika memang orang mengaku mencintainya. Tanpa perhatian
maka tiada cinta. Dengan memperhatikan, seseorang dapat
mengenalnya lebih banyak, dan ini menimbulkan cinta yang lebih
dalam.
2) Tanggungjawab
Unsur kedua dari cinta yang mampu melahirkan mawaddah
menurut Beliau lagi adalah tanggung jawab. Seseorang dituntut
bukan sekadar memperhatikan tetapi ikut bertanggung jawab. Pada
saat seseorang memerhatikan sebuah bunga yang akan mekar
kembangnya, dia akan menyadari bahwa ada hal-hal yang
dibutuhkan bunga itu guna tumbuh dan mekar. Ketika itu, tanggung
jawab menuntutnya untuk melakukan sesuatu, boleh jadi menyirami
dengan kadar tertentu, memindahkannya agar mendapat cahaya
matahari yang cukup, dan sebagainya. Dengan demikian,
tanggungjawab berarti mengetahui kebutuhan dan memberinya
walau tanpa diminta.
3) Penghormatan
Tanggung jawab pun, lanjut Beliau, tidak jarang disalahpahami
sehingga menimbulkan kesewenang-wenangan. Karena itu, unsur ini
harus didampingi oleh unsur ketiga, yaitu penghormatan.100 Seorang
pencinta harus menghormati yang dicintainya. Dalam konteks
hubungan cinta antara suami-istri, si pencinta harus sadar bahwa
yang dicintainya sejajar dan setara dengannya. Sebagaimana ia
membutuhkan penghormatan, yang dicintainya pun demikian. Jika
unsur ini telah bergabung dalam diri seseorang terhadap pasangan
cintanya, cinta akan tumbuh menjadi mawaddah dan ketika itu yang
100
Ibid., 140-141.
45
bercinta dan dicintai menyatu sehingga masing-masing tidak pernah
akan menampung di dalam hatinya sesuatu yang dianggap buruk
pada diri kekasihnya.
Hal ini karena mawadah seperti telah dikemukakan makna
kebahasaannya adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari
kehendak buruk. Di sisi lain, karena yang mencintai dan yang
dicintai telah menyatu, sering kali tidak lagi diperlukan untuk
menanyai pasangan apa yang dia sukai dan tidak dia sukai karena
masing-masing telah menyelam ke dalam lubuk hati pasangannya.
Masing-masing telah menggunakan mata kekasihnya untuk
memandang, lidahnya untuk berbicara, telinganya untuk mendengar,
dan seterusnya. Demikian mawaddah yang kemudian membuahkan
sakinah.
3. Cara Membentuk Sakinah dalam keluarga
Keluarga Sakinah adalah keluarga impian bagi setiap pasangan
manusia yang melakukan perkawinan. Namun perlu digarisbawahi bahwa
sakinah tidak datang begitu saja, tetapi ada syarat bagi kehadirannya. Ia
harus diperjuangkan dan diusahakan agar ia hadir di tengah-tengah
keluarga sehingga melahirkan sakinah tersebut itu sendiri. Hal yang paling
utama untuk meraih sakinah dalam keluarga menurut Quraish Shihab
adalah menyiapkan kalbu.
Kata Beliau, “ sakinah/ketenangan demikian juga mawadddah dan
rahmat bersumber dari dalam kalbu, lalu terpancar ke luar dalam bentuk
aktivitas”.101 Al -Qur'an menegaskan bahwa tujuan disyariatkannya
pernikahan adalah untuk menggapai sakinah. Namun, itu bukan berarti
bahwa setiap pernikahan otomatis melahirkan sakinah, mawaddah, dan
rahmat. Hampir pada setiap acara pernikahan keluarga muslim
diperdengarkan firman Allah yang tercantum dalam QS. ar-Rum (30): 21,
yang menyatakan:
101 Ibid., 142.
46
ح ا ع ي ج اا ي اج س ف س ا ا ا ي ع خ ق ا ا
ا ي ق ي ف ا ك ف ي
Artinya : “Dan di antara tanda-tanda-Nya adalah Dia menciptakan untuk kamu pasangan-pasangan dari jenis kamu sendiri supaya kamu tenang kepadanya, dan dijadikan-Nya di antara kamu mawaddah dan rahmat. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”.102
Ayat dalam Surah ar-Rum itu, kata Quraish Shihab, bermakna : “
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Dia menciptakan untuk
kamu secara khusus pasangan-pasangan hidup berupa lelaki yang
berfungsi sebagai suami dan perempuan yang berfungsi sebagai istri dari
anfusikum, yakni diri kamu sendiri, supaya kamu tenang dan tenteram
serta cenderung kepadanya”.103 Sehingga Allah menciptakan lelaki dan
perempuan dengan sifat dan kecenderungan-kecenderungan tertentu yang
tidak dapat menghasilkan ketenangan dan kesempurnaan kecuali dengan
memadukan kecenderungan-kecenderungan itu, lalu menjadikan antara
mereka mawaddah dan rahmat, yakni menganugerahi mereka potensi yang
harus mereka asah dan kembangkan sehingga dapat lahir dari pernikahan
mereka mawaddah dan rahmat.
Quraish Shihab menganggap bahwa kelirulah yang beranggapan
bahwa, dengan pernikahan, otomatis Allah menganugerahi pasangan itu
mawaddah dan rahmat karena, jika demikian, pastilah kita tidak akan
menemukan pernikahan yang gagal. Sekian banyak tuntunan agama yang
tersurat dan tersirat yang harus diindahkan oleh pasangan suami istri
sehingga sakinah, mawaddah, dan rahmat itu dapat menghiasi rumah
tangga mereka. Mawaddah harus diusahakan karena hati berada di
"tangan" Tuhan, yang kuasa membolak-balikkannya, antara cinta dan
benci, suka dan tidak suka.104
Dalam QS. al-Anfal (8): 24 Allah berfirman:
102 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, 645. 103 Ibid., 142. 104 Ibid., 143.
47
ا ه ا ا اع ك ي حي ي ا ع س ا ا ا ل ي ي ا اس ج ا ا ي ح ي ي ي
ا ا ي حش ا ق ء ا
Artinya : "Hai orang-orang yang beriman, perkenankanlah Allah dan Rasul apabila dia menyeru kamu kepada apa yang menghidupkan kamu, dan ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara seseorang dan hatinya, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan".
Beliau menyatakan bahwa peranan Allah menyangkut hati manusia
sangat besar. Hati manusia berada di antara "jari-jari Tuhan". Dia yang
membolakbalikkannya ke kiri dan ke kanan. Karena itu, salah satu doa
yang sering dipanjatkan Nabi SAW. adalah: Artinya: Wahai Tuhan yang
membolakbalikkan hati, mantapkan hatiku dalam memeluk melaksanakan
agama-Mu".105
Hati adalah wadah perasaan, lanjut Beliau, adalah seperti amarah,
senang, benci, iman, ragu, tenang, gelisah, dan sebagainya. Kesemuanya
tertampung di dalam hati.106 Setiap orang tentu pernah mengalami
perbedaan gejolak hati dan perpindahan yang begitu cepat antara senang
dan susah, kegelisahan dan ketenteraman, bahkan cinta dan benci. Oleh
karena itu Beliau menegaskan bahwa pentingnya kondisi hati dan agar kita
senantiasa berdoa untuk kekuatan hati agar ketika perasaan apapun yang
muncul dapat ditanggulangi sehingga sakinah tetap hidup dan terjaga
dalam kehidupan berkeluarga.
Akan tetapi, jangan menduga bahwa semua yang tertampung di
dalam hati atau perubahan dan terbolak-baliknya perasaan adalah hasil
perbuatan Tuhan yang berlaku sewenang-wenang. Jangan menduga
demikian karena nafsu dan setan pun ikut berperan dalam gejolak hati. Ada
was-was dan rayuan yang dilakukan setan. Ada juga dorongan nafsu
manusia. Jika bisikan berkaitan dengan tuntunan tauhid atau ajakan Nabi
105 Ibid., 144. 106
Ibid., 145.
48
Muhammad SAW, ketika itu pilihlah ajakan tersebut karena yang
menyerunya ketika itu adalah hati yang digerakkan oleh Allah.107
Dalam QS. al-Anfal (8): 63, yang berbicara dalam konteks
penyatuan hati dan jalinan hubungan harmonis antara dua kelompok
masyarakat Madinah Aus dan Khazraj yang tadinya selama bertahun-tahun
berperang, menegaskan bahwa:
Artinya: Dia (Allah Yang Maha kuasa Yang mempersatukan hati
mereka. Seandainya engkau membelanjakan semua apa yang berada di
bumi, niscaya engkau tidak dapat mempersatukan hati mereka, tetapi Allah
telah mempersatukan mereka". (QS. al-Anfal (8): 278).
Ayat ini, kata Quraish Shihab, mengingatkan kita semua bahwa
cinta tidak dapat dibeli dengan harta. la hanya dapat diraih dengan bantuan
Allah melalui budi pekerti yang luhur. Setiap orang memiliki naluri cinta
dan benci. Cinta dan benci adalah dua hal yang tidak dapat lepas dari
kehidupan. Seandainya semua orang hanya membenci, niscaya hidup tidak
akan berhasil. Demikian juga sebaliknya, jika segala sesuatu disenangi
atau dicintai termasuk yang bertolak belakang maka hidup pun tidak akan
tegak.108 Hal ini mengandung makna bahwa perasaan hati tidak mungkin
bisa dibeli. Perasaan hati hanya bisa diperjuangkan melalui rasa saling
menghargai dan menghormati serta memahami bahwa Allah lah yang
membolak-balikan hati kita maka kita diharuskan berdoa agar hati tetap
stabil dalam mengahadapi apapun.
Kini, banyak sekali orang yang dinilai telah menjalin cinta antar
mereka sebelum pernikahan, tetapi ternyata, setelah pernikahan, cinta itu
layu, bahkan terjadi perceraian dan permusuhan. Sebaliknya, dulu banyak
pernikahan yang tidak didahului oleh cinta bahkan oleh perkenalan pun
tetapi kehidupan rumah tangga mereka sedemikian kokoh dan ternyata
antara mereka terjalin hubungan cinta yang demikian mesra melebihi
kemesraan para muda-mudi dewasa ini yang "bercinta" sebelum
107 Ibid., 146. 108
Ibid., 147.
49
pernikahan. Kenyataan tersebut, kata Quraish Shihab, membuktikan bahwa
ada keterlibatan Allah dalam langgengnya cinta yang dianugerahkanNya
kepada mereka yang beriman dan beramal saleh atau, dengan kata lain,
kepada mereka yang mengikuti tuntunan-tuntunan-Nya.109
Agar nikah (penyatuan) dan zawaj (keberpasangan) itu langgeng
lagi diwarnai oleh sakinah, agama menekankan sekian banyak hal, antara
lain kata Quraish Shihab adalah :
a) Kesetaraan
Quraish Shihab menyatakan bahwa tidak ada perbedaan antara
laki-laki dengan perempuan. Mereka hanya bermitra satu sama lain. Hal
ini ditegaskan oleh Beliau dengan mengambil dalil dalam surah al-
„Imran (3) ayat 195 yang potongan ayatnya berbunyi عض ك من ب ض ع ب
(sebagian kamu dari sebagian yang lain). Ini adalah satu istilah yang
digunakan untuk menunjukkan kesetaraan/kebersamaan dan kemitraan
sekaligus menunjukkan bahwa lelaki sendiri atau suami sendiri,
belumlah sempurna ia baru sebagian demikian juga perempuan,
sebelum menyatu dengan pasangannya baru juga sebagian.110 Mereka
baru sempurna, lanjut Beliau, bila menyatu dan bekerja sama. QS. al-
Imran (3): 195 yang menggunakan istilah tersebut berpesan bahwa, baik
lelaki maupun perempuan lahir dari sebagian lelaki dan sebagian
perempuan, yakni perpaduan antara sperma lelaki dan indung telur
perempuan. Karena itu, tidak ada perbedaan dari segi kemanusiaan dan
derajat antar-mereka. Kalimat serupa dikemukakan dalam hubungan
suami istri, "Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali (mas
kawin), padahal sebagian kamu telah (bercampur) dengan sebagian
yang lain (sebagai suami istri)" (QS. an-Nisa' (4): 21). "Percampuran"
yang direstui Allah terjadi berkat kerja sama dan kerelaan masing-
109 Ibid., 148. 110
Ibid., 149.
50
masing untuk membuka rahasia yang terdalam, dan ini tidak mungkin
terjadi tanpa adanya kemitraan antara keduanya.111
b) Musyawarah
Pernikahan yang sukses bukan saja ditandai oleh tidak adanya
cekcok antara suami. istri karena bisa saja cekcok tidak terjadi bila
salah satu pasangan menerima semua yang dikehendaki oleh
pasangannya menerimanya tanpa diskusi atau tanpa satu kata yang
menampakkan keberatannya. Pernikahan semacam ini memang dapat
memenuhi kebutuhan jasmani termasuk biologis kedua pasangan tetapi,
pada hakikatnya, bukan pernikahan semacam ini yang dapat dinamai
sukses dan mengantar kepada kebahagiaan lahir dan batin.
Kata Quraish Shihab dalam bukunya bahwa pernikahan yang
melahirkan mawaddah dan rahmat adalah pernikahan yang di dalamnya
kedua pasangan mampu berdiskusi menyangkut segala persoalan yang
mereka hadapi, sekaligus keluwesan untuk menerima pendapat
mitranya. Penerimaan yang tulus dan tidak menilainya sebagai
mengurangi kehormatan siapa yang menerima itu. Pernikahan meraih
sukses bila kedua pasangan memiliki kesadaran bahwa hidup bersama
adalah take and give, kaki harus silih berganti ke depan, dan bahwa
hidup berumahtangga walaupun disertai dengan aneka masalah dan
kesulitan jauh lebih baik daripada hidup sendiri-sendiri. Aneka
keinginan atau problema yang dihadapi, harus diselesaikan dengan
musyawarah atas dasar kesetaraan kedua belah pihak. Musyawarah
tidak dapat dilaksanakan dalam situasi ketika seseorang merasa lebih
unggul daripada yang lain. Musyawarah tidak diperlukan oleh mereka
yang telah sepakat karena apalagi yang perlu dimusyawarahkan bila
semua telah disepakati. Kalau demikian, perintah agama agar dalam
kehidupan rumah tangga suami istri bermusyawarah, menunjukkan
bahwa agama mengakui adanya perbedaan tetapi dalam kesetaraan.
Memang, kesetaraan tidak berarti persamaan dalam segala segi. Ada
111 Ibid., 149.
51
perbedaan antara lelaki dan perempuan. Perbedaan itu, bukan saja pada
alat reproduksinya, tetapi juga struktur fisik dan cara berpikirnya.112
Perbedaan-perbedaan ini, lanjut Beliau, tidak menjadikan salah
satu jenis kelamin lebih unggul atau istimewa daripada yang lain, tetapi
justru dengan menggabungkan keduanya terjadi kesempurnaan kedua
pihak. Dengan pernikahan/keberpasangan itu lahir kerja sama, dan
dengan kerja sama hidup dapat berkesinambungan lagi harmonis.
Seandainya jarum tidak lebih keras daripada kain, atau cangkul tidak
lebih kuat daripada tanah, tidak akan ada jahit-menjahit, tidak juga
berhasil pertanian. Dan, harus disadari bahwa kekuatan atau
kelemahlembutan di sini sama sekali tidak menunjukkan superioritas
satu pihak atas pihak lain, tetapi masing-masing memiliki keistimewaan
dan masing-masing membutuhkan yang lain guna tercapainya tujuan
bersama. Saat bermusyawarah atau melakukan komunikasi timbal balik
ini, diperlukan kearifan memilih waktu-waktu yang sesuai, demikian
juga kalimat-kalimat yang tepat.113
Pada saat bermusyawarah atau berkomunikasi, Beliau
melanjutkan pendapatnya, banyak sekali tuntunan dan tata cara yang
diajarkan agama, mulai dari sikap batin dan kesediaan memberi maaf,
kelemahlembutan dan kehalusan kata-kata, sampai kepada ketekunan
mendengar mitra musyawarah/diskusi (QS. All 'Imran (3): 159).
Masing-masing juga harus mampu mengetahui kebutuhan dan
pandangannya serta memiliki keterampilan mengungkapkannya, di
samping mampu pula mendengar secara aktif pandangan mitranya,
sehingga tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Dalam hal
musyawarah tidak mempertemukan pandangan, salah seorang harus
mampu menyatakan bahwa, "Boleh jadi engkau yang benar". Kalimat
ini tidak kurang mesranya dari kalimat, "Aku cinta atau aku bangga
112
Ibid., 150-151. 113
Ibid., 151.
52
padamu". Kalimat itulah yang otomatis lagi penuh kesadaran akan
tercetus selama mawaddah dan rahmat menghiasi jiwa mereka.114
c) Kesadaran akan Kebutuhan Pasangan
Kitab suci al-Qur'an dalam surah al-Baqarah ayat 187
menggarisbawahi bahwa suami maupun istri adalah pakaian untuk
pasangannya. Suami adalah pakaian bagi istrinya, begitu juga istri
adalah pakaian bagi suaminya.
ا ا ا
Artinya : "Mereka (istri-istri kamu) adalah pakaian bagi kamu (wahai para suami) dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka".115
Quraish Shihab menyatakan bahwa ayat ini menggaris bawahi
sekian banyak hal yang harus disadari oleh suami dan istri guna
terciptanya keluarga sakinah. Kalau dalam kehidupan normal sehari-
hari seseorang tidak dapat hidup tanpa pakaian, demikian juga
keberpasangan tidak dapat dihindari dalam kehidupan normal manusia
dewasa. Kalau pakaian berfungsi menutup aurat dan kekurangan
jasmani manusia, Demikian pula pasangan suami istri harus saling
melengkapi dan menutupi kekurangan masing-masing. Kalau pakaian
merupakan hiasan bagi pemakainya, suami: adalah hiasan bagi istrinya,
demikian pula sebaliknya (baca QS. al-A'raf (7): 26). Kalau pakaian
mampu melindungi manusia dari sengatan panas dan dingin (QS. an-
Nahl (16): 81), suami terhadap istrinya dan istri terhadap suaminya
harus pula mampu melindungi pasangan-pasangannya dari krisis dan
kesulitan yang mereka hadapi. Walhasil, suami dan istri saling
membutuhkan. Kebutuhan tersebut banyak dan beraneka ragam tidak
hanya dalam bidang jasmani atau seks, tetapi juga ruhani sedemikian
banyak hingga dia tidak putus-putusnya. Begitu kebutuhan tersebut
114
Ibid., 153. 115 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahannya, 79.
53
tidak dirasakan lagi, ketika itu pula cinta memudar dan pernikahan
goyah.116
Sementara pakar menyatakan bahwa seorang suami sangat butuh
untuk merasa bahwa ia dinilai penting oleh istrinya, menghargai
pekerjaannya, serta bangga dengannya. la juga memerlukan dorongan-
dorongannya. Sedangkan, istri butuh untuk merasakan bahwa suaminya
selalu berada di sampingnya dengan segala potensi dan kemampuannya
lagi mampu membelanya serta menyiapkan baginya kehidupan yang
tenang dan damai. Istri juga ingin merasakan bahwa suaminya cemburu
terhadapnya, dan merasakan bahwa ia disunting bukan karena suaminya
butuh kepadanya, tetapi karena ia dicintainya. Pernikahan adalah
gabungan antara kekuatan dan kelemahan. Pada saat seseorang
memberi, orang itu kuat, dan pada saat orang itu menerima, maka orang
itu lemah.117
Ada juga pakar yang menggarisbawahi, lanjut Beliau lagi, bahwa
istri mendambakan perhatian sedangkan suami mengharapkan
kepercayaan, istri menuntut pengertian, sedangkan suami menuntut
penerimaan; istri merindukan penghormatan, sedangkan suami
mengharapkan penghargaan; istri meminta penegasan, sedangkan suami
persetujuan, istri membutuhkan cinta dan jaminan, sedangkan suami
membutuhkan kekaguman dan dorongan. Akhirnya, keduanya, baik
suami maupun istri tidak dapat hidup bersama tanpa kesetiaan.
Tanpa kesadaran akan kebutuhan-kebutuhan tersebut, dan tanpa
memfungsikan pernikahan seperti makna-makna tersebut, kehidupan
rumah tangga tidak akan menggapai sakinah, dan ini juga berarti bahwa
agama belum berfungsi dengan baik dalam kehidupan rumah tangga.
Akhirnya, dapat dikatakan bahwa ada indikatorindikator untuk
mengukur kebahagiaan, pernikahan, antara lain adalah:118
116
Ibid., 154. 117
Ibid., 155. 118 Ibid., 156.
54
1). Bila keikhlasan dan kesetiaan merupakan inti yang merekat
hubungan suami istri. 2). Bila satu-satunya tujuan yang tertinggi adalah
hidup langgeng bersamanya di bawah naungan ridha Ilahi. 3). Bila
seseorang ingin keikutsertaannya bersamanya dalam segala kesenangan
dan ingin pula memikul segala kepedihan yang dideritanya.
Bila seseorang ingin memberinya serta menerima darinya segala
perhatian dan pemeliharaan. 5). Bila dari hari ke hari kenangan-
kenangan indah dalam hidup orang itu, jauh lebih banyak dan besar
daripada kenangan buruk. 6). Bila pada saat seseorang tidur
sepembaringan dengannya, orang merasakan ketenangan sebelum
kegembiraan, damai sebelum kesenangan, dan kebahagiaan sebelum
kelezatan. 7). Bila isi hati seseorang yang terdalam berucap: "Aku ingin
hidup dengan manusia ini sampai akhir hidupku, bahkan setelah
kematianku". Ini karena orang itu merasa bahwa dirinya tidak mampu,
bahkan tidak ingin mengenal manusia lain sebagai teman hidup kecuali
dia semata, tanpa diganti dengan apa dan siapa pun.
4. Kedudukan Suami Istri
Suami adalah pemimpin terhadap perempuan. Seorang suami
memiliki kedudukan satu derajat lebih tinggi dari istrinya. Artinya bahwa
kepemimpinan dalam sebuah keluarga dipegang oleh seorang suami.
Dalam hal ini Quraish Shihab menyatakan bahwa kedudukan perempuan
terhadap laki-laki atau suami didasarkan pada Surah al-Baqarah ayat 228
yang berbunyi :
ج ا ج ع ي
Artinya : “Bagi lelaki (suami) terhadap mereka (wanita/istri) satu derajat (lebih tinggi).”
Derajat lebih tinggi yang dimaksud dalam ayat di atas menurut
Quraish Shihab dijelaskan oleh surat An-Nisa‟ ayat 34, yang
menyatakan bahwa ;
55
“Lelaki (suami) adalah pemimpin terhadap perempuan (istri)”.119
Hak kepemimpinan menurut al-Qur‟an seperti yang dikutip dari ayat
di atas, dibebankan kepada suami. Menurut Quraish Shihab,
Pembebanan itu disebabkan oleh dua hal, yaitu:120
a. Adanya sifat-sifat fisik dan psikis pada suami yang lebih dapat
menunjang suksesnya kepemimpinan rumah tangga jika dibandingkan
dengan istri.
b. Adanya kewajiban memberi nafkah kepada istri dan anggota
keluarganya.
Tetapi, kepemimpinan yang dimaksud oleh Quraish Shihab tersebut
hanya berlaku dalam keluarga atau rumah tangga. Sehingga di luar rumah
tangga, seperti dalam jabatan public, maka Quraish Shihab tidak menolak
kepemimpinan seorang perempuan. Seperti menjadi seorang Pemimpin
Negara, propinsi, Kota maupun Kabupaten dan lain sebagainya.
Quraish Shihab menafsirkan ayat ini bahwa ia tidak menolak
kepemimpinan perempuan selain di rumah tangga. Meski ia menerima
pendapat Ibn „Âsyûr tentang cakupan umum kata “al-rijâl ” untuk semua
laki-laki, tidak terbatas pada para suami, tetapi uraiannya tentang ayat ini
ternyata hanya terfokus pada kepemimpinan rumah tangga sebagai hak
suami. Dengan begitu, istri tidak memiliki hak kepemimpinan atas dasar
sesuatu yang kodrati (given) dan yang diupayakan (nafkah).121 Sekarang,
persoalannya mungkinkah perempuan mengisi kepemimpinan di ruang
publik?
Ayat 34 surah al-Nisa‟ tersebut di atas tidak melarang kepemimpinan
perempuan di ruang publik, karena konteksnya dalam kepemimpinan
rumah tangga. Quraish Shihab mengungkapkan tidak ditemukan dasar
yang kuat bagi larangan tersebut. Justru sebaliknya ditemukan sekian
banyak dalil keagamaan yang dapat dijadikan dasar untuk mendukung
119 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, ( Bandung ; Mizan, 1996 ), 309. 120 Ibid., 310. 121 Quraish Shihab, Perempuan, ( Jakarta : Lentera Hati, 2001 ), 345.
56
hak-hak perempuan dalam bidang politik. Salah satu yang dapat
dikemukakan dalam kaitan ini adalah QS.at-Taubah [9]: 71:
ي ع ا ف ع ء عض ي ؤ ع ا ي ا ؤ ا ا ه ح ه ا ي س ا ك س يع ه ي ط ك ا ي ؤ ا صا ي ق ي ا
ي ح ع ي
Artinya : “Orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka adalah auliyâ` bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang makruf, mencegah yang mungkar, melaksanakan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya.Mereka itu akan dirahmati Allah; sesungguhnya Allah Maha perkasa lagi Mahabijaksana”.122
5. Hak dan Kewajiban Suami Istri
Dalam sebuah rumah tangga, suami istri memiliki hak dan kewajiban
dalam rumah tangga yang mereka bina. Pembagian hak dan kewajiban
tersebut adalah mutlak harus dilakukan agar keluarga bisa berjalan sesuai
dengan ketentuan agama. Al-Qur‟an telah banyak menjelaskan hak dan
kewajiban suami istri setiap hari dalam rumah tangganya.
Hak suami adalah kewajiban bagi istri untuk memenuhinya, begitu
juga hak istri adalah kewajiban suami untuk dapat mewujudkannya.
Adapun hak dan kewajiban tersebut Quraish Shihab membagi hak
dan kewajiban suami istri sebagai berikut :
a. Suami berhak untuk dilayani oleh istri dan istri wajib melayaninya
Dalam hal ini suami berhak menyalurkan hasrat biologisnya pada
istrinya dan istrinya wajib melayaninya kecuali ada ujur syar‟i misalnya
sedang haid, sakit atau kelelahan karena mengurus anak dan
sebagainya. Quraish Shihab menyatakan dalam bukunya, “ Suami
wajib ditaati selama tidak bertentangan dengan ajaran agama dan hak
pribadi sang istri. Sedemikian penting kewajiban ini, sampai-sampai
Rasulullah SAW. bersabda, “Seandainya aku memerintahkan
seseorang untuk sujud kepada seseorang, niscaya akan
kuperintahkan para istri untuk sujud kepada suaminya.” Bahkan Islam
122Ibid., 346.
57
juga melarang seorang istri berpuasa sunnah tanpa seizin suaminya.
Hal ini disebabkan karena seorang suami mempunyai hak untuk
memenuhi naluri seksualnya “.123
Namun dalam hal di luar urusan biologis, seorang istri tidak
berkewajiban untuk melayani suami, justru suamilah yang berkewajiban
melayani istri. Dalam hal ini Quraish Shihab mengambil pendapat Ibnu
Hazm, yang menyatakan bahwa “ Wanita pada dasarnya tidak
berkewajiban melayani suami dalam hal menyediakan makanan,
menjahit, dan sebagainya. Justru sang suamilah yang berkewajiban
menyiapkan pakaian jadi, dan makanan yang siap dimakan untuk istri
dan anak-anaknya “.124
Namun jika dilihat dari segi moral, Quraish Shihab setuju dengan
pendapat Abu Tsaur, seorang pakar hukum Islam, yang menyatakan
bahwa walau tugas-tugas memasak, menjahit, mencuci baju adalah
kewajiban suami, seorang istri secara moral harus membantu suaminya
untuk melakukan hal tersebut.
Dalam hal ini Abu Tsaur, berpendapat bahwa seorang istri
hendaknya membantu suaminya dalam segala hal. Salah satu alasan
yang dikemukakannya adalah bahwa Asma, putri Khalifah Abu
Bakar, menjelaskan bahwasanya ia dibantu oleh suaminya dalam
mengurus rumah tangga, tetapi Asma, juga membantu suaminya
antara lain dalam memelihara kuda suaminya, menyabit rumput,
menanam benih di kebun, dan sebagainya.125
b. Seorang Istri berhak dinafkahi oleh suami dan suami wajib
menafkahinya
Kewajiban mencari nafkah adalah kewajiban suami, walau istri
juga dibolehkan bahkan berhak bekerja asal tidak melalaikan
kewajibannya sebagai ibu rumah tangga. Suamilah yang memiliki
123
Ibid., 346. 124 Quraish Shihab, Perempuan, ( Jakarta : Lentera Hati, 2001 ), 311. 125 Ibid., 311.
58
kewajiban menghidupi keluarga sedangkan istri tinggal tunggu di
rumah dan menikmati hasil kerja dan jerih payah suami.
Quraish Shihab mengambil dalil dalam surah Thaha ayat 117 sebagai
dalil bahwa kewajiban mencari nafkah adalah kewajiban suami. Beliau
menyatakan, “ Surat Thaha ayat 117 memberikan isyarat bahwa al-
Qur‟an meletakkan kewajiban mencari nafkah di atas pundak lelaki dan
bukan perempuan. Ayat yang dimaksud adalah:
ا ف شق ى ج ا ا ي ج ك ف ج ا ع ك ا ف ق ي ا ا
Artinya : "Maka Kami berfirman, "Wahai Adam, sesunggahnya ini (Iblis) adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga, yang akan menyebabkan engkau bersusah payah."
yakni bersusah payah dalam memenuhi kebutuhan sandang, papan dan
pangan, sebagaimana disebutkan dalam lanjutan ayat tersebut.126
c. Kewajiban suami istri menjaga rumah tangga
Rasulullah SAW. menegaskan bahwa seorang istri memimpin
rumah tangga dan bertanggung jawab atas keuangan suaminya.
Pertanggungjawaban tersebut terlihat dalam tugas-tugas yang harus
dipenuhi, serta peran yang diembannya saat memelihara rumah
tangga, baik dari segi kebersihan, keserasian tata ruang, pengaturan
menu makanan, maupun pada keseimbangan anggaran. Bahkan pun
istri ikut bertanggung jawab bersama suami untuk menciptakan
ketenangan bagi seluruh anggota keluarga, misalnya, untuk tidak
menerima tamu pria atau wanita yang tidak disenangi oleh sang
suami. Pada tugas-tugas rumah tangga inilah Rasulullah SAW.
membenarkan seorang istri melayani bersama suaminya tamu pria
yang mengunjungi rumahnya.
Pada konteks inilah, kata Quraish Shihab, perintah al-Quran
harus dipahami agar para istri berada di rumah. Firman Allah waqarna
fi buyutikunna ( Dan tetaplah tinggal berdiam di rumah kalian)
126 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, ( Bandung : Mizan, 1996 ), 303-304.
59
dalam surat Al -Ahzab ayat 33, menurut kalimatnya ditujukan untuk
istri-istri Nabi kendati dapat dipahami sebagai acuan kepada semua
wanita. Namun tidak berarti bahwa wanita harus terus-menerus
berada di rumah dan tidak diperkenalkan keluar, melainkan
mengisyaratkan bahwa tugas pokok yang harus diemban oleh seorang
istri adalah memelihara rumah tangganya.127
Kesimpulannya, peranan seorang istri sebagai ibu rumah
tangga adalah untuk menjadikan rumah itu sebagai sakan, yakni
“tempat yang menenangkan dan menenteramkan seluruh
anggotanya.” Dan dalam konteks inilah Rasulullah SAW.
menggarisbawahi sifat-sifat seorang istri yang baik yakni yang
menyenangkan suami bila ia dipandang, menaati suami bila ia
diperintah, dan ia memelihara diri, harta, dan anak-anaknya, bila
suami jauh darinya.
d. Kewajiban suami istri merawat anak
Sebagai ibu, seorang istri adalah pendidik pertama dan utama
bagi anak-anaknya, khususnya pada masa-masa balita. Memang,
keibuan adalah rasa yang dimiliki oleh setiap wanita, karenanya
wanita selalu mendambakan seorang anak untuk menyalurkan rasa
keibuan tersebut. Mengabaikan potensi ini, berarti mengabaikan jati
diri wanita. Pakar-pakar ilmu jiwa menekankan bahwa anak pada
periode pertama kelahirannya sangat membutuhkan kehadiran ibu-
bapaknya. Anak yang merasa kehilangan perhatian (misalnya dengan
kelahiran adiknya) atau rnerasa diperlakukan tidak wajar, dengan dalih
apa pun, dapat mengalami ketimpangan kepribadian. Rasulullah SAW.
pernah menegur seorang ibu yang merenggut anaknya secara kasar
dari pangkuan Rasulullah, karena sang anak pipis, sehingga
membasahi pakaian Rasul. Rasulullah bersabda,
“Jangan engkau menghentikan pipisnya. (Pakaian) ini dapat dibersihkan dengan air tetapi apakah yang dapat
127 Ibid., 311.
60
menghilangkan kekeruhan dalam jiwa anak ini (akibat perlakuan kasar itu)?”
Para ilmuwan juga berpendapat bahwa, sebagian besar
kompleks kejiwaan yang dialami oleh orang dewasa adalah akibat
dampak negatif dari perlakuan yang dialaminya waktu kecil. Oleh
karena itu, dalam rumah tangga dibutuhkan seorang penanggung
jawab utama terhadap perkembangan jiwa dan mental anak, khususnya
saat usia dini (balita). Disini pula agama menoleh kepada ibu, yang
memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki sang ayah, bahkan tidak
dimiliki oleh wanita-wanita selain ibu kandung seorang anak.128
6. Hukum Poligami
Terdapat perbedaan para ulama dalam menentukan hukum poligami
dalam Islam. Quraish Shihab menganggap bahwa poligami itu tidak
bersifat wajib, bukan bersifat sunnah dan tidak bersifat anjuran. Beliau
menyatakan bahwa hukum poligami hanya bersifat boleh ( jaiz ) dan
itupun dalam kondisi darurat.
Dalam bukunya yang berjudul Wawasan al-Qur‟an, Beliau
menyatakan tafsirnya tentang surah al-Nisa‟ ayat 3 sebagai berikut ; “
Perlu juga digarisbawahi bahwa ayat ini, tidak membuat satu peraturan
tentang poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh
syariat agama dan adat istiadat sebelum ini. Ayat ini juga tidak
mewajibkan poligami atau menganjurkannya, dia hanya berbicara tentang
bolehnya poligami, dan itu pun merupakan pintu darurat kecil, yang hanya
dilalui saat amat diperlukan dan dengan syarat yang tidak ringan “.129
Begitu juga dalam kitab tafsir al-Misbahnya, beliau juga
menyatakan hal yang sama yaitu “ Perlu digaris bawahi bahwa ayat ini
tidak membuat peraturan tentang poligami, karena poligami telah dikenal
dan dilaksanakan oleh penganut berbagai syariat agama serta adat istiadat
masyarakat sebelum turunya ayat ini. Sebagaimana ayat ini tidak 128
Ibid., 312. 129 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, ( Bandung : Mizan, 1996 ), 189.
61
mewajibkan poligami atau menganjurkannya, ia hanya berbicara bolehnya
poligami itupun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh yang
amat membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan “.130
7. Syarat-Syarat Poligami
Jika seseorang ingin melakukan poligami, maka syarat-syaratnya
sangatlah tidak ringan kata Quraish Shihab. Dan itu hanya boleh dilakukan
karena kondisi darurat. Layaknya pintu darurat dalam pesawat terbang
yang hanya bisa dibuka jika dalam kondisi darurat atas perintah kapten
penerbangan saat itu. Jadi, jika tidak dalam keadaan darurat maka pintu
darurat tersebut tidak boleh dibuka atau lebih tegasnya “haram” untuk
dibuka. Karena jika para penumpang pesawat membuka pintu darurat
tersebut tanpa ada kondisi darurat maka akan bisa menyebabkan
kecelakaan pesawat tersebut.
Begitu juga dalam pernikahan, poligami diibaratkan sebagai pintu
darurat pesawat terbang tersebut di atas, hanya boleh dilakukan jika
kondisi darurat. seperti yang dikatakan oleh Quraish Shihab sebagai
berikut ; “ Poligami mirip dengan pintu darurat dalam pesawat terbang
yang hanya boleh dibuka dalam keadaan emergency tertentu, poligami
merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh siapa yang sangat
membutuhkan dan dengan syarat yang tidak ringan. Keberadaan „pintu
darurat‟ di pesawat, tentu tidak dimaksudkan bahwa ia bisa dibuka oleh
siapa saja dan kapan saja “.131
Dalam bukunya yang lain, Quraish Shihab menyatakan bahwa
“Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seseorang yang melarang orang
1ain memakan makanan tertentu, dan untuk menguatkan larangan itu
dikatakannya, " Jika Anda khawatir akan sakit bila makan makanan ini,
maka habiskan saja makanan selainnya yang ada di hadapan anda selama
anda tidak khawatir sakit". Tentu saja perintah menghabiskan makanan
130 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, ( Jakarta : Lentera Hati, 2002 ), 325. 131 Reprositi.com, Quraish Shihab tentang poligami bagai membuka pintu darurat pesawat, diakses dari situs ( http://resiprositi.com/2016/08/quraish-shihab-tentang-poligami-bagai-membuka-pintu-darurat-pesawat/ ), tanggal 24 Desember 2016.
62
yang lain hanya sekadar untuk menekankan larangan memakan makanan
tertentu itu “.132 Hal ini semakn memperjelas bahwa Quraish Shihab
menegaskan begitu hati-hatinya dalam hal poligami, karena memiliki
syarat-syarat yang berat.
Apa saja syarat bolehnya seseorang berpoligami?. Menurut
Quraish Shihab, ada tiga syarat yang harus dipenuhi jika seseorang ingin
melakukan poligami yaitu sebagai berikut ;
a. Karena Istri pertama yang mandul dan memiliki penyakit parah
Hal ini ditegaskan oleh Beliau dalam kitabnya, yaitu beliau
menyatakan “ bukankah kemandulan dan penyakit parah merupakan
satu kemungkinan yang tidak aneh dapat terjadi dimana-mana?
Apakah jalan keluar yang diusulkan kepada suami yang menghadapi
kasus demikian? Bagaimanakah seharusnya ia menyalurkan kebutuhan
biologisnya atau memperoleh dambaannya pada keturunan? Poligami
ketika itu adalah jalan yang paling ideal “.133
b. Karena Istri Pertama mengalami menopause
Menopause merupakan suatu hal yang pasti dialami perempuan.
Menopause adalah waktu dalam kehidupan seorang wanita ketika
fungsi ovarium berhenti. Ovarium (gonad atau indung telur), adalah
salah satu dari sepasang kelenjar reproduksi pada wanita. Ovarium
terletak di panggul, di setiap sisi rahim. Ovarium menghasilkan telur
(ovum) dan hormon kewanitaan seperti estrogen dan progesterone.
Setiap siklus menstruasi bulanan, telur dilepaskan dari salah satu
ovarium. Sel telur kemudian bertransportasi dari ovarium ke uterus
melalui tuba fallopi.134 Sehingga pada saat tersebut laki-laki
membutuhkan wanita non menopause untuk melakukan hubungan sex
sehingga menyebabkan kehamilan.
132 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, ( Bandung : Mizan, 1996 ), 198. 133 Ibid., 199. 134 Kesehatan.com, Apa itu Menopause dan apa penyebab dan gejalanya, diakses dari situs ( http://www.webkesehatan.com/menopause-wanita-penyebab-gejala/ ), tanggal 24 Desember 2016.
63
Sedangkan laki-laki tidak mengenal menopause. Bahkan
mungkin umur sudah kakek-kakek sekalipun, laki-laki selalu tetap
memiliki hasrat untuk melakukan hubungan sex. Sehingga poligami
saat itu dibolehkan dan bahkan menjadi jalan terbaik daripada harus
menceraikan istri pertama karena menopause. Hal ini ditegaskan
Quraish Shihab dalam kitabnya, Beliau menyatakan bahwa “ bukankah
rata-rata usia wanita lebih panjang dari usia laki-laki, sedangkan
potensi membuahi lelaki lebih lama dari potensi wanita, bukan saja
wanita mengalami masa haid, tetapi juga karena wanita mengalami
menopause sedangkan lelaki tidak mengalami keduanya ”.135
c. Karena Kondisi banyaknya janda akibat peperangan
Kemudian Quraish Shihab menyatakan dalam kitabnya yang
berbunyi “ Bukankah peperangan hingga saat ini tidak dapat dicegah,
lebih banyak merenggut nyawa lelaki daripada perempuan? Bukankah
kenyataan ini yang mengundang beberapa tahun lalu, sekian banyak
wanita di Jerman Barat menghimbau agar poligami dapat dibenarkan
walau untuk beberapa tahun. Sayang pemerintah dan Gereja tidak
merestuinya, sehingga prostitusi dalam berbagai bentuk merajalela
“.136 Hal ini bukan berarti Jerman sebagai patokan hukumnya tetapi
inilah kenyataan bahwa jumlah perempuan pada saat Perang selalu
lebih banyak dari laki-laki, sehingga poligami saat kondisi seperti itu
adalah jalan terbaik.
d. Karena atas dasar tujuan untuk mensukseskan dakwah dan harus
dengan janda
Jika ingin melakukan poligami, menurut Quraish Shihab, adalah
dengan meneladani Rasulullah yaitu menikah dengan wanita yang
berstatus janda. Semua istri Rasulullah adalah janda kecuali Aisyah ra.
Dan kesemuanya untuk tujuan mensukseskan dakwah, atau membantu
dan menyelamatkan para wanita yang kehilangan suami itu, yang pada
135
Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, ( Jakarta : Lentera Hati, 2002 ), 325. 136 Ibid., 326.
64
umurnya bukan wanita-wanita yang dikenal memiliki daya tarik yang
mengikat.137
Hal ini menunjukan bahwa Quraish Shihab menyinggung
siapapun yang ingin melakukan poligami, harus menikahi para janda
jika alasan mereka berpoligami karena sunnah Nabi Muhammad SAW.
Jadi jika benar ingin meneladani RAsulullah maka ikuti juga kenapa
dan tujuan apa Rasulullah berpoligami. Bahkan Rasulullah tidak
pernah menduakan istri pertamanya yaitu Siti Hadijah ra.
Siti Hadijah adalah istri pertama Nabi dan selama Hadijah ra
masih hidup, Rasulullah tidak pernah berpoligami. Poligami
Rasulullah terjadi karena keadaan tertentu saja.
8. Alasan Rasulullah Melakukan poligami
Ada berbagai alasan Rasulullah ketika akan melakukan poligami.
Ada alasan karena perintah Allah, ada alasan karena untuk membantu para
janda, dan ada juga karena alasan untuk mensukseskan dakwah di suatu
daerah tertentu dan lain sebagainya.
Quraish Shihab dalam menjelaskan alasan-alasan poligami
Rasulullah, Beliau menceritakan kisah-kisah pernikahan Rasulullah
dengan semua istri-istrinya. Seperti Pernikahannya dengan Saudah binti
Zim‟ah, Hindun Binti Abi Umayah, Romlah binti Abu Sofyan, Huriyah
binti Haris, Hafsah Binti Umar bin Khattab, Shafiyah seorang putri
Yahudi, Zainab binti Jahsyi, Zainab binti Khuzaimah, dan yang terakhir
adalah Aisyah ra.
Adapun alasan pernikahan Rasulullah adalah sebagai berikut :138
a. Saudah binti Zim‟ah seorang wanita tua. Suaminya meninggal di
perantauan, sehingga ia terpaksa kembali ke Mekah menanggung
beban kehidupan bersama anak-anaknya dengan resiko dipaksa
murtad, atau kawin dengan siapa yang tidak disenanginya.
137 Ibid., 327. 138 Ibid., 327-328.
65
b. Hindun binti Abi Umayah yang dikenal dengan Ummu Salamah,
suaminya Abdullah al-Makhzumi, yang juga anak pamannya, luka
dalam perang uhud kemudian gugur, ia juga seorang tua, sampai-
sampai pada mulanya beliau menolak lamaran Rasul, sebagaimana
beliau telah menolak lamaran Abu Bakar dan Umar ra tetapi pada
akhirnya bersedia demi kehormatan dan anak-anaknya.
c. Romlah putri Abu Sufyan meningalkan orang tuanya dan hijrah ke
Habasyah bersama suaminya, tetapi sang suami memilih agama
Nasrani disana dan menceraikannya, sehingga ia hidup sendirian di
perantauan. Maka melalui Negus, penguasa Habasyah (Ethopia). Nabi
melamarnya, dengan harapan mengangkatnya dari penderitaan
sekaligus menjalin hubungan dengan ayahnya yang ketika itu
merupakan salah satu tokoh utama kaum musyrikin di Mekah.
d. Huriyah binti Haris adalah putri kepala suku dan termasuk salah
seorang yang ditawan. Nabi saw mengawininya sambil
memerdekakannya dengan harapan kaum muslim dapat membebaskan
para tawanan yang mereka tawan, dan hasilnya seperti yang
diharapkan, dan semua pada akhirnya memeluk islam, Huriah sendiri
memilih menetap bersama Nabi Muhammad SAW dan enggan kembali
bersama ayahnya.
e. Hafsah Putri Umar Ibnu Khattab ra suaminya wafat dan ayahnya
merasa sedih melihat anaknya hidup sendiri, maka ia “menawarkan”
putrinya kepada Abu Bakar untuk dipersuntingnya, namun yang tidak
mau menyambut, maka tawaaran diajukan kepada Usman ra tetapi
beliau pun diam. Nah ketika itu Umar ra mengadukan kesedihannya
kepada Nabi SAW, yang kemudian bersedia mengawini Hafsah ra
demi persahabatan, dan demi tidak membedakan Umar ra dangan
sahabatnya Abu Bakar ra yang sebelum ini telah dikawini putrinya,
yakni Aisyah ra.
f. Shafiyah, putri pemimpin yahudi dari bani Quraizhah yang ditawan
setelah kekalahan mereka dalam pengepungan yang dilakukan oleh
66
nabi, diberi pilihan kembali ke keluarga atau tinggal bersama nabi
dalam keadaan bebas merdeka. Dia memilih untuk tinggal di rumah
itu. Nabi mendengar seseorang memaki pendek maka nabi menghibur
shafiyah sambil mengecam dengan keras pemakinya. Itulah kisah dan
latar belakang perkawinan Nabi dengan wanita ini.
g. Zainab binti Jahsyi sepupu nabi SAW dikawinkan langsung oleh nabi
dengan bekas anak angkat dan budak beliau, Zaid ibn Haritsah. Rumah
tangga dia tidak bahagia sehingga mereka bercerai, dan sebagai
penangung jawab perkawinan itu, nabi mengawininya atas perintah
Tuhan, sekaligus untuk membatalkan adat jahiliah yang menganggap
anak angkat menjadi anak kandung sehinga tidak boleh mengawini
bekas istrinya.(baca Q.S al-ahzab: 36-37).
h. Zainab binti Khuzaimah , suaminya gugur dalam perang uhud dan
tidak seorang pun kaum dari kaum muslim ketika itu yang berminat
maka nabi pun mengawininya.
i. Aisyah, dinikahi oleh Rasulullah atas dasar perintah Allah SWT. Dan
salah satu hikmahnya adalah bahwa Aisyah paling banyak
meriwayatkan hadits dari Nabi SAW. Dan juga Nabi Muhammad
SAW, berhak melakukan hal tersebut karena dia memiliki
keistimewaan-keistimewaan yang tidak dimiliki manusia lainnya.
"(Nabi) mempunyai keistimewaan khusus yang tidak bisa
dibandingkan dengan manusia lainnya.
9. Alasan Wanita dilarang poliandri
Ada yang bertanya, kata Quraish Shihab dalam kitabnya, mengapa
Islam membenarkan pria menghimpun dalam saat yang sama, empat orang
wanita sednagkan wanita tidak diperbolehkan kecuali dengan satu pria?
Boleh jadi ada yang menerima pendapat ilmuan yang menyatakan bahwa
fitrah manusia cenderung berpoligami dan fitrah wanita bermonogami.
Karena itu menjawab pertanyaan Negara yang membolehkan prostitusi
melakukan pemeriksaan kesehatan rutin bagi wanita-wanita berlaku seks
bebas, tidak melakukanya bagi pasangan sah? Ini karena kenyataan
67
menunjukkan bahwa wanita diciptakan untuk disentuh oleh cairan yang
bersih, yaitu sperma seorang pria. Begitu terlibat dua pria dalam
hubungan seksual dengan seorang wanita maka ketika itu pula cairan itu
yang merupakan benih anak tidak bersih lagi dan sangat dikhawatirkan
menjangkitkan penyakit. Kenyataan menjadi bukti yang sangat jelas yang
menyangkut hal ini.139
10. Tafsir Surah al-Nisa‟ ayat 3 adalah tentang anak yatim, bukan perintah
poligami.
Dalam tafsir al-Misbah surah al-Nisa‟ ayat 3 yang menjadi
landasan bagi orang-orang melakukan poligami adalah sebagai berikut :
“dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (Q.S Al-Nisa‟ : 3)
Quraish Shihab menafsir ayat tersebut bahwa Setelah melarang
mengambil dan memanfaatkan harta anak yatim secara aniaya, kini yang
dilarang-Nya adalah berlaku aniaya terhadap pribadi anak-anak yatim itu,
karena itu ditegaskan bahwa : dan jika kamu takut tidak akan dapat
berbuat adil terhadap perempuan yatim, dan kamu percaya diri akan
berbuat adil terhadap wanita-wanita selain yang yatim itu, maka
kawinilah apa yang kamu senangi sesuai dengan selera kamu, dan halal
dari wanita wanita yang lain itu. kalau perlu, kamu dapat
menggabungkan saat yang sama dua, tiga, atau empat, tapi jangan lebih,
lalu jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil dalam hal harta dan
perlakuan lahiriah, bukan hal cinta bila menghimpun lebih dari seorang
istri, maka kawinilah seorang saja, atau kawinilah budak-budak yang
kamu miliki. Yang demikian itu, yakni menikahi selain anak yatim yang
mengakibatkan ketidakadilan, dan mencukupkan satu orang istri adalah
139 Ibid., 329.
68
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya, yakni lebih mengantarkan kamu
kepada keadilan atau tidak memiliki banyak anak yang kamu tanggung
biaya hidup mereka.140
Ayat di atas, lanjut Beliau, menggunakan kata tuqsithu dan ta’dilu
yang keduanya diterjemahkan “adil”. Ada ulama yang mempersamakan,
ada juga yang membedakannya dengan berkata bahwa tuqsithu adalah
berlaku adil antara dua orang atau lebih, keadilan yang membuat
keduanya senang, sedangkan ta’dilu adalah berbuat adil, baik terhadap
orang lain maupun diri sendiri, tapi keadilan itu bisa saja tidak
menyenangkan salah satu pihak.141
Firman-Nya : maka kawinilah apa yang kamu senangi, bukan
siapa yang kamu senangi, bukan dimaksudkan seperti tulisan al-Biqa‟i
untuk mengisyaratkan bahwa wanita kurang berakal dengan alasan
pertanyaan yang dimulai dengan apa adalah bagi sesuatu yang tidak
berakal dan siapa untuk yang berakal. Sekali lagi bukan itu tujuannya,
tapi agaknya ia disebabkan karena kata itu bermaksud menekankan
tentang sifat wanita itu, bukan orang tertentu, nama, atau keturunanya.
Bukankah jika anda berkata : “siapa yang dia kawini?” maka anda
menanti jawaban tentang wanita tertentu, namanya dan anak siapa dia.
Sedangkan bila anda bertanya dengan mengunakan kata apa, maka
jawaban yang anda nanti adalah sifat dari yang ditanyakan itu, misalnya
janda atau gadis, cantik atau tidak dan sebagainya.142
Penafsiran yang terbaik menyangkut ayat di atas, Lanjut Quraish
Shihab, adalah penafsiran yang berdasarkan keterangan istri nabi, Aisyah
ra, Iman Bukhari, Muslim, Abu Dawud serta at-Turmuzy dan lain – lain
meriwayatkan bahwa Urwah ibnu Zubair bertanya pada istri nabi, Aisyah
ra, tentang ayat ini, beliau menjawab bahwa ini berkaitan dengan anak
yatim yang berada dalam pemeliharaan seorang wali, dimana hartanya
bergabung dengan harta wali dan sang wali senang dengan kecantikan dan 140 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, ( Ciputat : Lentera Hati, 2000 ), 321. 141 Ibid., 322. 142 Ibid., 323.
69
dan harta sang yatim, maka ia hendak mengawininya tanpa memberikan
mahar yang sesuai. As-Sayyidah Aisyah ra. lebih lanjut menjelaskan
bahwa setelah turunya ayat ini, para sahabat bertanya lagi pada nabi
SAW. tentang perempuan, maka turunlah firman-Nya dalam surah al-
Nisa‟ (4) : 127, sebagai berikut :
ا ا ي ى ع ي ف ي ا ف ي ي ى ا ء ق ه ي ف ي ف ي س ي س ف ك ف ي ا ء س
ف ي ا ع س ا ا غ ا ح ا ا ك ؤ ا ي ا ا ا
ا ه ك ع ي ي ف ا خ ق س فع ي ى ق
Artinya:“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah: "Allah memberi fatwa kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Quran (juga memfatwakan) tentang Para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang anak-anak yang masih dipandang lemah. dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu mengurus anak-anak yatim secara adil. dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahuinya”.
Aisyah ra. Kemudian melajutkan keterangannya bahwa firman-
Nya : sedang kamu enggan mengawini mereka, itu adalah keengganan
para wali untuk mengawini anak yatim yang sedikit hartanya dan
kecantikannya. Maka sebaiknya dalam ayat 3 surat Al -Nisa‟ ini mereka
dilarang mengawini anak-anak yatim yang mereka inginkan karena harta
dan kecantikannya, tetapi enggan berlaku adil terhadap mereka.143
Penyebutan dua, tiga, atau empat, pada hakikatnya adalah dalam
rangka tuntutan berlaku adil kepada anak yatim. Redaksi ayat ini mirip
dengan ucapan seseorang yang melarang makan makanan tertentu, dan
untuk menguatkan larangan itu dikatakanya :” jika ada khawatir akan
sakit bila makan makanan ini, maka habiskan saja makanan selainya
yang ada dihadapan anda”. Tentu saja peritah menhabiskan makanan lain
143 Ibid., 324-325.
70
itu hanya sekedar menekankan perlunya mengindahkan larangan untuk
tidak makan makanan tertentu itu.144
11. Pengertian Keadilan Dalam Poligami
a. Pentingnya Keadilan
Keadilan adalah hal yang wajib ditegakkan dalam segala
keadaan. Adil dalam memimpin, adil dalam membagi harta, adil
dalam kekuasaan, dan adil dalam poligami. Pentingnya keadilan
tersebut Allah tegaskan dalam al-Qur‟an dalam surah al-Nisa‟ ayat
135,
ا ن اآم ن ك ن ي ام ق سط ق ال داءب ش ال ل ى ع كم س ف ذيأن االArtinya : “ Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak
al-qisth (keadilan),menjadi saksi karena Allah, walaupun terhadap dirimu sendiri...”.
Dalam ayat lain juga Q.S. al-An‟am (6) : 152 disebutkan,
اق ى ع ك ا ق ف ا
Artinya : “Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil walaupun terhadap kerabat...
Dalam ayat lain QS Al-Hadid (57): 25 juga disebutkan bahwa,
ا ق ي ا ي ا ا ع ا ي س س ا ق ا س ق
Artinya : “ Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul, dengan membawa bukti-bukti nyata, dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat melaksanakan keadilan…”.
Keadilan adalah melakukan atau memutuskan sesuatu
berdasarkan proporsinya atau kesesuaiannya. Keadilan itu tidak harus
sama besar tetapi sesuai porsi masing-masing. Seperti yang
diungkapkan oleh Quraish Shihab bahwa “ keadilan identik dengan
kesesuaian ( keproporsionalan ), bukan lawan kata "kezaliman". Perlu
dicatat bahwa keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar 144 Ibid., 325.
71
dan syarat bagi semua bagian unit agar seimbang. Bisa saja satu
bagian berukuran kecil atau besar,sedangkan kecil dan besarnya
ditentukan oleh fungsi yang diharapkan darinya.145
b. Macam-macam makna keadilan
1. Adil dalam makna “ sama “
Adil yang bermakna sama maksudnya adalah
memperlakukan sama antara orang yang satu dengan yang lain.
Bisa saja dalam hal ini memperlakukan sama antara istri yang satu
dengan istri yang lain.
Hal ini ditegaskan oleh Quraish Shihab dalam bukunya,
Anda dapat berkata bahwa si A adil, karena yang Anda maksud
adalah bahwa dia memperlakukan sama atau tidak membedakan
seseorang dengan yang lain. Tetapi harus digarisbawahi bahwa
persamaan yang dimaksud adalah persamaan dalam hak. Dalam
surat Al-Nisa' (4): 58 dinyatakan bahwa, Apabila kamu
memutuskan perkara di antara manusia, maka hendaklah engkau
memutuskannya dengan adil... Kata "adil" dalam ayat ini -bila
diartikan "sama"- hanya mencakup sikap dan perlakuan hakim pada
saat proses pengambilan keputusan.146
Penulis menyimpulkan bahwa jika adil disini dikaitkan
dengan poligami maka seorang suami sebagai pelaku poligami jika
memutuskan suatu perkara dalam rumah tangga poligaminya
hendaklah sang suami memutuskan dengan adil dan menganggap
bahwa semua istrinya sama di mata dia.
2. Adil dalam makna “ Seimbang “
Adil yang bermakna seimbang adalah keadilan yang
menuntut kesimbangan antara yang satu dengan yang lain.
Quraish Shihab menyatakan bahwa “ keadilan identik dengan
kesesuaian ( keproporsionalan ), bukan lawan kata "kezaliman".
145 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, ( Bandung : Mizan, 1996 ), 115. 146 Ibid., 114.
72
Perlu dicatat bahwa keseimbangan tidak mengharuskan
persamaan kadar dan syarat bagi semua bagian unit agar
seimbang. Bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar,
sedangkan kecil dan besarnya ditentukan oleh fungsi yang
diharapkan darinya.147
Dalam kaitannya dengan poligami, keseimbangan antara
istri yang satu dengan yang lain harus menjadi landasan bagi para
pelaku poligami. Dalam keadilan makna seimbang ini, seorang
suami pelaku poligami harus memberikan porsi masing-masing
istri sesuai dengan kebutuhannya. Dalam hal ini, materi yang
diberikan tidak harus sama besar, tetapi sesuai porsi dan
kebutuhan masing-masing. Jelas akan terjadi perbedaan jumlah
antara istri yang memiliki dua anak dengan istri lain yang hanya
memiliki satu anak.
3. Adil adalah "perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan
hak-hak itu kepada setiap pemiliknya"
Adil adalah memberikan hak-hak seseorang sesuai dengan
kemampuan dan keahlian pekerjaannya. Raja harus ditempatkan
sebagai raja, prajurit harus ditempatkan sebagai prajurit. Bukan
sebaliknya. Adil dalam makna ini adalah adil yang menempatkan
seseorang sesuai posisinya.
Quraish Shihab menyatakan bahwa “Pengertian inilah yang
didefinisikan dengan "menempatkan sesuatu pada tempatnya" atau
"memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat".
Lawannya adalah "kezaliman", dalam arti pelanggaran terhadap
hak-hak pihak lain. Dengan demikian menyirami tumbuhan adalah
keadilan dan menyirami duri adalah lawannya. Sungguh merusak
permainan(catur), jika menempatkan gajah di tempat raja”.
Jika dikaitkan keadilan dalam poligami, maka seorang suami
dalam memperlakukan istri-istrinya sesuai posisi masing-masing
147
Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, ( Bandung : Mizan, 1996 ), 115.
73
dan kemampuan masing-masing. Istri tua harus bisa dihormati oleh
istri yang lebih muda. Yang muda harus dihargai oleh yang tua.
Keadilan seperti inilah yang akan mampu melahirkan kesejahteraan
dan kerukunan dalam rumah tangga.
12. Konsep Keadilan dalam poligami
Keadilan dalam poligami adalah menjadi syarat utama bagi yang
ingin mempraktekkan poligami dalam keluarganya. Jika tidak yakin akan
mampu berlaku adil maka dilarang untuk melakukan poligami karena
akan menyebabkan pelaku poligami berdosa dan berlaku aniaya terhadap
istri-istrinya.
Adil dalam poligami menurut Quraish Shihab adalah adil dalam
bidang material. Ia mendasarkan pendapatnya pada surat An-Nisa‟ ayat
129:
يع ا ي ا س ط ا كس ا ا ع ي ص ف ي ف ء ح ا ا
ا اق ع اص ح ك ي ح ا ف ا ه ك غ ا ف اق
Artinya : “Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu senderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung”.148
Keadilan yang dimaksudkan dalam ayat diatas, lanjut Beliau,
adalah “ adil dalam bidang immaterial (cinta). Keadilan ini yang tidak
mungkin dicapai oleh kemampuan manusia. Oleh sebab itu suami yang
berpoligami dituntut tidak memperturutkan hawa nafsu dan berkelebihan
cenderung kepada yang dicintai. Dengan demikian, tidaklah tepat
menjadikan ayat ini sebagai dalih untuk menutup rapat pintu poligami
“.149
148 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, 78. 149 Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, ( Bandung : Mizan, 1994 ), 201.
74
Dengan pengertian ini, Quraish Shihab tidak hendak
menyampaikan bahwa jika seseorang sudah yakin dan percaya mampu
berbuat adil dalam hal materi maka dianjurkan poligami, karena masih
banyak syarat yang harus dipenuhi dalam poligami. Selain itu, dengan
melihat sejarah poligami pada masa Nabi SAW, Quraish Sihab
menyatakan bahwa poligami bukanlah sesuatu yang mudah untuk
dilakukan karena menyangkut berbagai aspek.150
Walau begitu, Quraish Shihab menambahkan bahwa dampak
buruk yang dilukiskan di atas adalah apabila mereka tidak mengikuti
tuntunan hukum dan agama. Terjadinya pelanggaran terhadap ketentuan
hukum bukanlah alasan yang tepat untuk membatalkan ketentuan hukum
itu, apalagi bila pembatalan tersebut mengakibatkan dampak buruk bagi
masyarakat. Di sini perlu disadari bahwa dalam masyarakat yang
melarang poligami atau menilainya buruk, baik di Timur lebih-lebih di
Barat, telah mewabah hubungan seks tanpa nikah, muncul wanita-wanita
simpanan, dan pernikahanpernikahan di bawah tangan. Ini berdampak
sangat buruk, lebih-lebih terhadap perempuan-perempuan.
Dalam hal ini, Quraish Shihab membandingkan hal tersebut
dengan poligami bersyarat, maka ia melihat betapa hal itu jauh lebih
manusiawi dan bermoral dibanding dengan apa yang terjadi di tengah
masyarakat yang melarang poligami. Masyarakat yang melarang poligami
tetapi membiarkan perzinahan, pelacuran dan sebagainya merupakan hal
jauh lebih buruk daripada yang berpoligami walau kurang adil.
13. Poligami dan Kawin Sirri
Sebelum masuk pembahasan tentang kawin sirri, penulis akan
memulai tema poligami dan kawin sirri dengan syarat sahnya suatu
perkawinan. Untuk sahnya sebuah pernikahan atau perkawinan, para
ulama telah banyak mengkaji tentang syarat-syarat suatu perkawinan
dikatakan sah menurut agama. 150 Quraish Shihab, Poligami dan Kawin Sirri Dalam Islam, diakes dari http://nambas.wordpress.com/2016/03/03/quraish-shihab-poligami-dan-kawin-sirri-menurut-islam/. Diakses tanggal 22/11/2016
75
Menurut Quraish Shihab, Syarat sahnya perkawinan adalah “ adanya
calon suami dan istri, wali, dua orang saksi, mahar serta terlaksananya ijab
dan Kabul.151 Tetapi rincian syarat-syaratnya berbeda antara ulama yang
satu dengan yang lain.
Nikah siri memiliki tiga pengertian, yaitu sebagai berikut :152
a. Pengertian pertama : Nikah siri adalah pernikahan yang dilakukan
secara sembunyi–sembunyi tanpa wali dan saksi. Sehingga pernikahan
siri dalam bentuk yang pertama ini hukumnya tidak sah.
b. Pengertian kedua : Nikah siri adalah pernikahan yang dihadiri oleh
wali dan dua orang saksi, tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh
mengumumkannya kepada khayalak ramai. Ada dua pendapat tentang
hukum nikah siri seperti ini. Pendapat pertama : menyatakan bahwa
nikah seperti ini hukumnya sah tapi makruh. Dalilnya adalah hadist
Aisyah ra ;
“Tidak sah suatu pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil”153. Pendapat Kedua: Nikah seperti ini hukumnya tidak sah. Pendapat ini
dipegang oleh Malikiyah. Mereka berdalil dengan apa yang
diriwayatkan oleh Muhammad bin Hatib al Jumahi, bahwasanya
Rasulullah saw bersabda :
“Pembeda antara yang halal ( pernikahan ) dan yang haram ( perzinaan ) adalah gendang rebana dan suara“.154 Diriwayatkan dari Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda : “Umumkanlah nikah, adakanlah di masjid, dan pukullah rebana untuk mengumumkannya".155
151 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, ( Bandung : Mizan, 1996 ), 200. 152 Ahmad Zain, Hukum Nikah Siri Dalam Islam, diakses dari situs ( http://www.ahmadzain.com/read/karya -tulis/227/hukum-nikah-siri-dalam-islam/ ), tanggal 25 Juni 2016. 153
Abu Bakar Ahmad al-Baihaqi, Sunan al-Kubra al-Baihaqi, ( Bombai : ad-Dar as- Salafiyah, 1986 ), .. 154 Al-Hakim, al- Mustadrak, terj. Ali Murtado, ( Jakarta : Pustaka Azzam, 2010 ) 155
Muhammad Nashirudin al-Albani, Shahih Sunan Tirmidzi Jilid II, ( Jakarta : Pustaka Azzam, 2010 ), ..
76
c. Pengertian ketiga : Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan
dengan adanya wali dan dua orang saksi yang adil serta adanya ijab
qabul, hanya saja pernikahan ini tidak dicatatkan dalam lembaga
pencatatan Negara, dalam hal ini adalah KUA . Menurut kaca mata
Syariat, nikah sirri dalam katagori ini, hukumnya sah dan tidak
bertentangan dengan ajaran Islam, karena syarat-syarat dan rukun
pernikahan sudah terpenuhi.
Dalam hal ini, Quraish Shihab cenderung pada pendapat kedua
dan ketiga yang mensyaratkan wajibnya ada wali nikah. Ada beberapa
syarat menurut Quraish Shihab dikatakan suatu pernikahan itu sah yaitu
apabila :
1. Adanya wali nikah
Seperti kata Beliau dalam bukunya, “ amat bijaksana untuk
tetap menghadirkan wali, baik bagi gadis maupun janda. Hal
tersebut merupakan sesuatu yang amat penting karena "seandainya
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan", maka ada sandaran yang
dapat dijadikan rujukan. Ini sejalan dengan jiwa perintah Al-Quran
yang menyatakan,
"Nikahilah mereka atas izin keluarga (tuan) mereka." (QS Al -Nisa' [4]: 25). Walaupun ayat ini turun berkaitan dengan budak-budak
wanita yang boleh dikawini “.156
2. Adanya saksi-saksi pernikahan
Syarat kedua yang harus dipenuhi agar sahnya suatu
pernikahan adalah adanya saksi-saksi. Seperti yang tertulis dalam
lanjutan bukunya bahwa “ Hal kedua yang dituntut bagi
terselenggaranya pernikahan yang sah adalah saksi-saksi “.157
3. Adanya pencatatan nikah
156 Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, ( Bandung : Mizan, 1996 ), 202. 157 Ibid.,
77
Quraish Shihab menegaskan bahwa pernikahan yang tidak
dicatatkan dalam buku catatan nikah Negara, maka pernikahan
tersebut tidak sah. Karena pasangan suami istri tidak menunjukan
ketaatan pada ulil amri ( pemerintah ), sedangkan ketaatan pada ulil
amri hukumnya wajib.
Hal tersebut dikatakan oleh Beliau dalam bukunya yang
penulis kutib sebagai berikut : “dalam konteks keindonesiaan,
walaupun pernikahan demikian dinilai sah menurut hukum agama,
namun perkawinan di bawah tangan dapat mengakibatkan dosa
bagi pelaku-pelakunya, karena melanggar ketentuan yang
ditetapkan oleh Pemerintah dan DPR (Ulil Amri). Al-Quran
memerintahkan setiap Muslim untuk menaati Ulil Amri selama
tidak bertentangan dengan hukum hukum Allah. Dalam hal
pencatatan tersebut, ia bukan saja tidak bertentangan, tetapi justru
sangat sejalan dengan semangat Al-Quran “.158 Walau menurut
mazhab Syafi‟i dan Hanafi menyatakan boleh boleh saja
pernikahan tanpa perlu dicatatkan dalam buku Negara.
Dalam kaitannya dengan nikah sirri, Quraish Shihab dengan
sangat jelas menyatakan bahwa nikah sirri sah secara agama namun
menyebabkan pelakunya mendapat dosa karena tidak taat pada ulil
amri. Sehingga untuk konteks keindonesiaan, Quraish Shihab
menganggap bahwa pencatatan pernikahan adalah wajib
hukumnya. Jadi secara tidak langsung, Penulis menganggap bahwa
Quraish Shihab melarang atau mengharamkan pernikahan
sembunyi-sembunyi atau pernikahan sirri tersebut.
4. Adanya pengumuman pernikahan
Islam menganjurkan agar dilakukan pesta untuk
mengumumkan pernikahan, walau sederhana, dan dirayakan
dengan bunyi-bunyian (musik). Karena itu pula, siapa yang
diundang ke walimah (pesta pernikahan), maka dia sangat
158 Ibid., 203.
78
dianjurkan untuk menghadirinya. Jika dia tidak berpuasa, maka
hendaklah dia makan, tapi bila berpuasa cukup menghadirinya saja.
Ini bukan saja untuk menampakkan kegembiraan dengan
terjalinnya pernikahan itu, tetapi juga sebagai kesaksian, sehingga
dapat menampik sekian banyak isu negatif yang boleh jadi muncul
atau penganiayaan yang dapat terjadi atas salah satu pasangan.
Dalam hal ini Quraish Shihab mensyaratkan sebuah
pernikahan harus diumumkan dan tidak boleh sembunyi-sembunyi.
Beliau mengatakan, “ Dengan diumumkannya perkawinan, maka
tidak juga akan hilang hak-hak masing-masing jika seandainya
terjadi perceraian, baik perceraian mati maupun perceraian hidup.
Hak anak yang dilahirkan pun akan menjadi jelas siapa orang
tuanya. Dalam kompilasi Hukum Islam yang berlaku di Indonesia,
diharuskan adanya pencatatan pernikahan demi terjaminnya
ketertiban dan menghalangi terjadinya persengketaan tanpa
penyelesaian. Hal ini berlaku hampir di seluruh negeri
bermasyarakat Islam “.159
Oleh karena itu penulis berkesimpulan bahwa Quraish
Shihab melarang pernikahan sirri, karena akan berdampak negative
bahkan berdosa bagi pelakunya, baik suami istri, wali nikah, saksi
dan sebagainya. Pengumuman pernikahan adalah sunnah yang
harus ditegakkan saat ini untuk melindungi istri dan anak yang
akan dilahirkan.
C. Konsep Poligami dalam KHI dan UU No. 1 Tahun 1974
1. Keluarga Sakinah mawaddah wa rahmah Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau
mitssqan ghalidzan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya
adalah ibadah. Perkawinan adalah proses suci dalam sebuah hubungan
159 Imam Puji Hartono, Poligami dan Nikah Sirri Menurut Quraish Shihab, diakses di situs ( https://nambas.wordpress.com/2010/03/03/quraish-shihab-poligami-dan-kawin-sirri-menurut-islam/), tanggal 6 Desember 2016.
79
antara dua insan yang saling mencintai satu sama lain sehingga melahirkan
keluarga yang bahagia dan penuh keharmonisan.
Kompilasi Hukum Islam memberikan gambaran bahwa tujuan
sebuah perkawinan adalah dalam rangka membentuk keluarga yang
sakinah, mawaddah wa rahmah. Hal tersebut dijelaskan dalam pasal 3
Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) sebagai berikut :
“ Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah”.160 Begitu juga dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
menjelaskan bahwa pernikahan adalah ikatan lahir bathin antara seorang
pria dan wanita dengan tujuan agar menjadi keluarga yang bahagia. Berikut
kutipannya dalam pasal 1 :
“Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seoran wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa‟.161 Sehingga secara hukum, perkawinan itu memiliki tujuan yang mulia
yaitu membentuk keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah yaitu keluarga
yang dipenuhi dengan cinta, kasih dan sayang antara dua manusia yang
berlainan jenis sebagai suami istri yang bahagia.
2. Kedudukan, Hak dan Kewajiban Suami Istri
Dalam sebuah rumah tangga, suami istri merupakan dua insan yang
saling membutuhkan satu sama lain, saling membantu sesuai dengan hak
dan kewajiban masing-masing. Suami adalah kepala keluarga dan istri
adalah ibu rumah tangga yang membantu suami melakukan pekerjaan
rumah. Hal tersebut dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam ( KHI )
pasal 79 ayat 1 sebagai berikut :
“Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga”.162
160 Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam,dilengkapi dengan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, ( Jakarta : Permata Press, t.t ), 2. 161
Ibid., 78. 162
Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam,dilengkapi dengan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, ( Jakarta : Permata Press, t.t ), 25.
80
Kemudian dalam ayat 2 nya dijelaskan bahwa : “ Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat”.163 Hal senada juga dijelaskan dalam UU No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa “ “Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat”.164 Suami istri memiliki hak dan kewajiabn yang harus ditegakkan
bersama dalam menjalani rumah tangga. Suami istri harus sama-sama
berjuang menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah,
saling mencintai satu sama lain, mendidik anak, menjaga kehormatan.
Bahkan pengadilan memberikan ijin agar mengajukan gugatan jika salah
satu pihak melalaikan kewajibannya. Hal tersebut diterangkan dalam pasal
77 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:165
“a. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang sakinah, mawaddah wa rahmah yang menjadi sendi dasar dan susunan masyarakat, b. Suami Istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain, c. Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan jasmani, rohani maupun kecerdasannya dan pendidikan agamanya, d. Suami istri wajib memelihara kehormatannya, e. Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama”.
Sedangkan dalam UU No. 1 tahun 1974 menjelaskan bahwa :
“Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat”.166 Dalam pasal 33 dan 34 juga dijelaskan bahwa suami sebagai
pelindung dan istri mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Suami
163
Ibid., 25. 164
Ibid., 87. 165
Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam,dilengkapi dengan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, ( Jakarta : Permata Press, t.t ), 24. 166
Ibid., 87.
81
istri harus saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi
bantuan lahir bathin yang satu dengan yang lain. Berikut kutipan pasal 34 :
“Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain”.167 Dan pasal 34 yang berbunyi : “1.Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya, 2.Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya”.168
3. Hukum Poligami
Hukum poligami menurut peraturan yang berlaku di Indonesia, baik
Kompilasi Hukum Islam maupun UU No. 1 tahun 1974, adalah boleh
dengan syarat. Syarat-syarat tersebut menjadi hal yang wajib dipenuhi oleh
siapapun yang ingin mempraktekkan poligami. Adapun syarat-syarat
tersebut adalah : 1. Karena istri mandul, 2. Karena istri tidak mampu
melaksanakan kewajiban sebagai istri, 3. Karena istri menderita cacat atau
penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Hal tersebut dijelaskan dalam
Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) pasal 55 sampai dengan pasal 59 yang
berbicara khusus bolehnya poligami berserta syarat-syaratnya. Sedangkan
dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga menyatakan bahwa
poligami itu boleh tetapi harus memenuhi syarat seperti tersebut di atas.
Berikut penulis kutip dari buku Kompilasi Hukum Islam yang
dilengkapi dengan UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan sebagai
berikut :
Kompilasi Hukum Islam pasal 55 ayat 1 menyatakan bahwa istri itu
boleh lebih dari satu orang dengan batas maksimal empat orang :
“ Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat istri”.169
167
Ibid., 88. 168
Ibid., 169
Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam,dilengkapi dengan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, ( Jakarta : Permata Press, t.t ), 17.
82
Begitu juga dalam UU No. 1 tahun 1974 pasal 3 ayat 2 yang
menyatakan bahwa pengadilan memberikan ijin menikah lagi bagi suami
asal dikehendaki oleh pihak-pihak bersangkutan, berikut kutipannya ;
“Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan“.170 Adapun syarat yang disebutkan dalam KHI pasal 57 dan UU No. 1
tahun 1974 tentang perkawinan pasal 4 ayat 2 sebagai berikut :
“1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, 2. Istri mendapat cacat atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan, 3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan”.171
4. Syarat Utama Poligami
Jika seorang suami ingin berpoligami, maka syarat utama yang wajib
dipenuhi adalah mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya serta anak-anak-
anaknya. Hal tersebut dapat dilihat pada pasal 55 KHI ayat kedua sebagai
berikut :
“Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya”.
Jika syarat utama tersebut tidak mampu dipenuhi oleh seorang suami, maka
suami dilarang beristri lebih dari seorang. Hal tersebut dapat kita lihat pada
lanjutan pasal 55 ayat 3 Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) tentang adil
sebagai berikut :
“Apabila syarat utama yang disebut pada ayat 2 tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang”.172
5. Syarat-Syarat lain Poligami
Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa syarat-syarat tersebut
adalah : 1. Karena istri mandul, 2. Karena istri tidak mampu melaksanakan
kewajiban sebagai istri, 3. Karena istri menderita cacat atau penyakit yang
170
Ibid., 78. 171
Ibid., 78-79. 172
Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam,dilengkapi dengan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, ( Jakarta : Permata Press, t.t ), 17.
83
tidak bisa disembuhkan. Hal tersebut dijelaskan dalam KHI pasal 57 dan
UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 4 ayat 2 sebagai berikut :
“1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, 2. Istri mendapat cacat atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan, 3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan”.173
6. Keadilan Dalam Poligami
Kompilasi Hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan menjadikan keadilan sebagai syarat utama dalam poligami.
Keadilan menjadi sesuatu yang wajib dan menentukan boleh tidaknya
seseorang melakukan poligami. Pada dasarnya pernikawan atau perkawinan
menganut prinsip monogamy, tetapi jika seseorang mampu adil dan
memenuhi persyaratan maka monogamy bisa berubah menjadi monogami.
Hal tersebut diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 55 ayat 2 sebagai
berikut :
“Syarat utama beristri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya”.174 Apabila syarat tersebut tidak bisa dipenuhi maka pengadilan tidak
akan pernah memberikan izin untuk berpoligami atau beristri lebih dari
seorang. Hal tersebut ditegaskan lagi dalam ayat 3 pasal 55 tersebut sebagai
berikut :
“Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristri lebih dari seorang”.175 Begitu juga dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
menjelaskan bahwa seorang suami yang hendak mengajukan permohonan
poligami pada Pengadilan, maka diharuskan adanya jaminan bahwa suami
tersebutakan berlaku adil pada istri-istri dan anak-anaknya. Hal tersebut
dapat kita lihat dalam pasal 5 UU No. 1 Tahun 1974 ayat 1 point c yaitu :
“Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya”.176
173
Ibid., 78-79. 174
Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam,dilengkapi dengan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, ( Jakarta : Permata Press, t.t ), 17. 175
Ibid.,
84
Maksud dari keadilan dalam KHI maupun UU No. 1 tahun 1974
adalah keadilan materi, yaitu seorang suami menjamin kebutuhan materi
atau kebutuhan hidup istri-istri dan anak-anaknya. Hal tersebut dapat kita
lihat dalam pasal 5 juga ayat 1 point b, yaitu :
“Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anaknya mereka”.177 Hal tersebut juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam dalam pasal
82 tentang kewajiban suami yang beristri lebih dari seorang ayat 1 yang
mengatakan bahwa suami wajib memberikan tempat tinggal dan biaya hidup
kepada istri-istri secara adil atau berimbang. Berikut kutipan pasalnya :
“Suami yang mempunyai istri lebih dari seorang berkewajiban memberikan tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing istri secara berimbang menurut besar kecilnya (adil) jumlah keluarga yang ditanggung masing-masing istri, kecuali jika ada perjanjian perkawinan”.178 Selain keadilan materi, Kompilasi Hukum Islam juga mensyaratkan
agar adil dalam hal cinta. Suami harus mencintai istrinya, dan istri juga
harus mencintai suaminya. Begitu juga kalau seorang berpoligami, dia harus
adil dalam cinta juga agar tidak terjadi kecemburuan sosial antar istri. Hal
tersebut secara umum dijelaskan dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 77
ayat 2 sebagai berikut :
“Suami istri wajib saling cinta mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain”.179
7. Batas Maksimal Poligami
Konsep poligami atau beristri lebih dari satu dalam Kompilasi
Hukum Islam dibahas dalam Bab IX pasal 55 sampai dengan pasal 59.
Pasal 55 terdiri dari 3 ayat. Ayat pertama menyatakan bahwa batas
176
Ibid.,79. 177
Ibid., 178
Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam,dilengkapi dengan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, ( Jakarta : Permata Press, t.t ), 27. 179
Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam,dilengkapi dengan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, ( Jakarta : Permata Press, t.t ), 24.
85
maksimal orang yang ingin berpoligami adalah empat orang istri. Hal
tersebut tercantum dalam pasal 55 ayat satu sebagai berikut :
“Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat istri”.180
Sedangkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak
disebutkan batasan maksimal orang boleh berpoligami, tetapi hanya
menjelaskan bolehnya beristri lebih dari seorang. Hal tersebut dijelaskan
dalam pasal 3 ayat 2 sebagai berikut :
“ Pengadilan, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.181
8. Syarat Untuk Mendapatkan izin Poligami dari Pengadilan
Dalam hal mengatur dan mengurangi praktek poligami sembarangan,
pemerintah melalui KHI memberi syarat yang cukup berat bagi seorang
yang hendak berpoligami. Ada tiga syarat yang ditawarkan oleh pemerintah,
yaitu 1. Istri tidak mampu lagi menjalani kewajiban sebagai seorang istri, 2.
Istri memiliki cacat badan atau fisik yang tidak bisa disembuhkan, 3. Istri
tidak mampu melahirkan keturunan. Hal tersebut tercantum dalam KHI
pasal 57 sebagai berikut :
“Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila : a. istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai seorang istri, b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, c. istri tidak dapat melahirkan keturunan”.182 Begitu juga dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
memberi tiga syarat agar mendapat izin berpoligami dari Pengadilan, yaitu
1. Istri tidak mampu lagi menjalani kewajiban sebagai seorang istri, 2. Istri
memiliki cacat badan atau fisik yang tidak bisa disembuhkan, 3. Istri tidak
180 Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam,dilengkapi dengan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, ( Jakarta : Permata Press, t.t ), 17. 181 Ibid., 79. 182 Ibid.,
86
mampu melahirkan keturunan. Hal tersebut dapat dilihat dalam pasal 4 ayat
2 UU No. 1 tahun 1974 sebagai berikut :
“Pengadilan hanya memberi izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila : a. istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai seorang istri, b. istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, c. istri tidak dapat melahirkan keturunan”.183 Selain syarat-syarat tersebut di atas untuk mendapatkan izin
Pengadilan Agama untuk berpoligami, seorang yang ingin berpoligami
harus memenuhi syarat lain jika benar-benar ingin mendapat izin dari
Pengadilan Agama. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut : 1.
Adanya persetujuan istri, 2. Adanya kepastian bahwa suami mampu
menjamin keperluan istri-istri dan anak-anak mereka. Hal tersebut
tercantum dalam pasal 58 KHI dan pasal 5 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan, bahkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 5 ditegaskan
kembali pada ayat 3 tentang kepastian bahwa seorang suami mampu berlaku
adil. Bunyi pasal 5 ayat 3 UU No. 1 tahun 1974 adalah sebagai berikut :
“Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka”.184
9. Asas Perkawinan
Pada dasarnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan menganut asas monogami di dalam perkawinan. Hal ini tegas
disebut dalam pasal 3 ayat 1 sebagai berikut :
“Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami”.185 Asas monogami dalam Undang-undang perkawinan ini tidak bersifat
mutlak, tetapi hanya bersifat pengarahan kepada pembentukan perkawinan
183 Ibid., 78-79. 184 Ibid., 79. 185 Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam,dilengkapi dengan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, ( Jakarta : Permata Press, t.t ), 78.
87
monogami dengan jalan mempersempit penggunaan lembaga poligami dan
bukan menghapuskan sama sekali sistem poligami.
10. Poligami dan Kawin Sirri
Banyak masyarakat Indonesia melakukan praktek poligami dengan
cara kawin sirri. Bahkan menikah pertamapun tanpa dicatatkan di Kantor
Urusan Agama ( KUA ). Padahal perkawinan di Indonesia harus dicatatkan
dalam catatan KUA. Hal tersebut dapat kita lihat pada pasal 4, 5, 6 dan 7
Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) yang menyatakan bahwa perkawinan itu
sah dan sebagainya jika dilakukan oleh KUA.
Pasal 4 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut :
“Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut Hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan”.186 Sedangkan pasal 2 ayat 1 UU No. 1 Tahun 1974 berbunyi :
“Perkawinan sah apabila dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Kompilasi Hukum Islam juga menyatakan bahwa pencatatan
perkawinan itu dalam rangka menertibkan perkawinan yang terjadi di
masyarakat yang dilakukan oleh pegawai pencatat nikah. Hal tersebut
dijelaskan dalam pasal 5 KHI sebagai ayat 1 sebagai berikut :
“ Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat”.187 Dan perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan pegawai
pencatat nikah atau yang kita kenal dengan kawin sirri atau nikah bawah
tangan tidak memiliki kekuatan hukum. Artinya nikah/kawin sirri tidak sah
sesuai dengan aturan yang berlaku. Hal tersebut disebutkan dalam KHI
pasal 6 ayat 2 sebagai berikut :
“ Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak memiliki kekuatan Hukum “.188
186 Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam dilengkapi dengan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, ( Jakarta : Permata Press, t.t ), 2. 187 Ibid., 188 Ibid., 3.
88
Kemudian dipertegas lagi dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan sebagai berikut :
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”.189 Jadi kawin sirri dalam hal ini dilarang oleh hukum karena mencatat
nikah adalah wajib bagi seluruh masyarakat yang akan melangsungkan
pernikahan.
D. Wacana Kaum Feminisme Indonesia Tentang Poligami
1. Konsep Keluarga Sakinah, Mawaddah wa Rahmah
Perkawinan adalah peristiwa besar yang sangat sakral dalam
pandangan Islam. Perkawinan adalah penyatuan komitmen besar antara
dua insan yang saling mencintai satu sama lain. Ikatan perkawinan adalah
ikatan yang sangat suci yang harus dijaga oleh suami istri untuk
menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
Musdah Mulia, sebagai tokoh feminsme Indonesia, menjelaskan
secara rinci dan mendalam bagaimana konsep sebuah keluarga sakinah,
mawaddah wa rahmah tersebut. Beliau menjelaskan bahwa al-Quran
menggambarkan ikatan perkawinan dengan istilah mitsaqan ghalizha (
komitmen besar ). Perkawinan sejatinya merupakan perjanjian serius di
antara dua pihak yang memiliki posisi setara menuju kehidupan keluarga
yang sakinah dan bahagia, meliputi mawaddah wa rahmah.
Sebuah keluarga dikatakan sakinah mawaddah wa rahmah jika
memenuhi prinsip dasar perkawinan. Menurut Musdah Mulia, ada lima
prinsip dasar perkawinan sebagai berikut :
a. Prinsip Mitsaqan ghalizha ( Komitmen besar )
b. Prinsip mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang yang amat tulus).
c. Prinsip equality ( persamaan )
d. Prinsip mu’asyarah bi al-ma’ruf ( pergaulan yang sopan dan santun )
e. Prinsip monogami
189 Ibid., 79.
89
Kelima prinsip tersebut menjadi pegangan utama dalam sebuah
perkawinan menurut Beliau. Tanpa lima dasar tersebut maka perkawinan
tidak akan melahirkan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
Dimulai dari prinsip Mitsaqan ghalizha sampai prinsip monogami adalah
rentetan syarat jika sebuah ikatan perkawinan menginginkan kesakinahan
dalam keluarganya. Seperti kata Musdah Mulia dalam bukunya,
“Pesan moral islam dalam perkawinan adalah membangun keluarga yang sakinah yang sepi dari semua bentik diskriminasi , dominsi, eksploitasi dan kekerasan apapun alasannya. Beranjak dari prinsip prinsip perkawinan tersebut, dapat disimpulkan bahwa Islam lebih menekankan pemeluknya pada perkawinan monogami bukan poligami“.190 Bahkan Musdah Mulia menyatakan bahwa dengan prinsip
mawaddah wa rahmah, pasangan suami istri harus saling cinta,
memberikan kasih sayang, saling setia terhadap pasangan tanpa batas.
Walaupun seorang istri mengalami kondisi yang menjadi syarat bolehnya
poligami bagi suaminya seperti yang dirumuskan oleh KHI dan UU No 1
tahun 1974, yaitu istri mandul, cacat atau memiliki penyakit yang tidak
dapat disembuhkan.
Musdah mulia tetap bersikeras menyatakan bahwa jangan jadikan
keadaan tersebut sebagai alasan bagi para suami untuk menikah lagi.
Berikut kutipan pernyataan Musdah Mulia dalam bukunya :
“Perkawinan dibangun di atas landasan cinta , kesetiaan, dan kasih sayang yang tak bertepi. Cinta, kasih sayang, dan kesetiaan itu tidak boleh pudar apapun yang terjadi. Semua itu harus terpelihara meski salah satu pasangan mengalami hal-hal yang tidak menyenangkan, seperti kecelakaan yang menyebabkan lumpuh , cacat fisik dan mental, sakit berkepanjanngan, atau salah satunya divonis mandul atau dipenjara untuk waktu yang lama “.191
2. Kedudukan Perempuan
Kedudukan laki-laki dan perempuan sama di mata kaum
Feminisme. Tidak ada pembatasan hak. Musdah Mulia melihat bahwa ada 190 Musdah Mulia, Muslimah Sejati ; Menempuh jalan Islami Meraih Ridho Illahi, ( Bandung : MARJA, 2011 ), 187. 191
Ibid.,188.
90
tiga pemikiran masyarakat atau ulama pada umumnya yang Beliau kritisi,
yaitu pertama, pemahaman tentang asal usul penciptaan manusia. kedua,
pemahaman tentang kejatuhan Adam dan Hawa dari Syurga. Ketiga,
pemahaman tentang kepemimpinan perempuan.
a. Pemahaman tentang asal usul penciptaan manusia
Menurut pemahaman masyarakat pada umumnya bahwa Adam as
diciptakan dari tanah, sedangkan Hawa as diciptakan dari tulang rusuk
Adam as. Sehingga melahirkan anggapan bahwa perempuan itu hanya
sebagai pelengkap laki-laki, orang nomor dua, diciptakan dari dan
untuk lelaki dan sebagainya.
Hal tersebut menjadi kritikan dari kaum Feminis, yang
menyatakan bahwa pemahaman tersebut hanya akan menyebabkan
pembagian kelas dalam manusia, yaitu manusia kelas satu ( laki-laki ),
dan perempuan sebagai manusia kelas dua, sehingga terjadi
diskriminasi status dalam masyarakat. Hal ini dikritik dan disalahkan
oleh kaum Feminisme, karena bagi mereka, laki-laki dan perempuan itu
sama saja. Yang membedakan hanya tingkat ketaqwaannya saja.
Musdah Mulia, dalam bukunya yang berjudul Muslimah Sejati,
menyatakan bahwa :
“Umat Islam meyakini agamanya sebagai rahmatan lil alamin, artinya agama yang menebarkan rahmat bagi alam semesta. Salah satu bentuk dari rahmat itu adalah pengakuan Islam terhadap keutuhan kemanusiaan perempuan dan laki-laki adalah sama, tidak perbedaan sedikitpun. Ukuran kemulian seorang di hadapan Allah SWT adalah prestasi dan kualitas taqwanya, tanpa membedakan jenis kelaminnya alki-laki atau perempuan ( Q.S. al-Hujurat ( 49 ) : 13 )”.192
b. Pemahaman tentang kejatuhan Adam dan Hawa dari Syurga
Tokoh Feminisme Indonesia seperti Musdah Mulia sangat tidak
setuju jika penyebab kejatuhan Adam dan Hawa as dari Syurga karena
kesalahan Hawa as. Kata Musdah Mulia dalam bukunya yang
192
Musdah Mulia, Muslimah Sejati, ( Bandung : Marja, 2011 ), 131.
91
menyinggung pemahaman masyarakat yang diajarkan oleh oknum-
oknum tertentu sebagai berikut :
“Kita memahami bahwa penyebab keluarnya mereka dari syurga adalah karena kesalahan Hawa as. Hawa lah yang menjadi biang kerok cikal bakal dikeluarkannya Adam dan dirinya sendiri dari syurga. Kesalahan bersumber dari Hawa yang menghasut Adam as untuk memakan buah larangan Tuhan. Akhirnya para ulama menyimpulkan bahwa penyebab Adam dan Hawa as dikeluarkan dari Syurga karena kesalahan Hawa as”.193 Hal tersebut adalah singgungan Beliau terhadap doktrin yang
menyebar di masyarakat sehingga mereka menyatakan bahwa apapun
kesalahan laki-laki selalu yang disalahkan adalah perempuan. Kita
memahami bahwa gara-gara Hawa lah yang menyebabkan kita diusir
dari syurga, Hawa lah penyebab keluarnya manusia dari Syurga.
c. Pemahaman tentang kepemimpinan perempuan.
Pemahaman selanjutnya yang dikritisi oleh kaum Feminisme
adalah tentang kepemimpinan perempuan. Selama ini kita memahami
bahwa perempuan tidak layak menjadi pemimpin. Pemimpin itu hanya
laki-laki, sedangkan perempuan, kata Musdah Mulia,
“Gambaran tipe ideal perempuan dalam masyarakat Islam adalah feminism, lemah lembut, tubuh yang tidak berotot, suara kecil berbisik, tidak menuntut, tidak mengeluh, tidak kritis dan tidak protes. Kalau berjalan pandangannya ke bawah dan wajahnya selalu tersenyum menyenangkan, subur dan banyak anak, pandai merawat dan mengasuh anak, pandai memuaskan nafsu seksual suami, pandai memasak dan menghidangkan makanan lezat dan murah, pandai menjaga rahasia keluarga, pandai mengelola keuangan suami, hemat dan tidak boros, banyak minum jamu untuk mengecilkan perut, merampingkan badan, dan mengharumkan tubuh, terutama bagian organ-organ reproduksi, tidak banyak bergaul walau dengan sesama perempuan “.194 Hal tersebut di atas merupakan singgungan ketidaksetujuan
Musdah Mulia terhadap pemahaman masyarakat pada umumnya.
Sehingga dalam masyarakat diajarkan bahwa perempuan tidak layak
193
Ibid., 132. 194
Ibid., 133.
92
menjadi pemimpin karena tubuhnya sangat lembut dan lemah, serta
akalnya pendek.
3. Hukum Poligami
a. Islam Datang Untuk Menghapus Tradisi Poligami
Kaum Feminisme juga menyatakan hal yang sama bahwa Islam
datang untuk menghapus praktek poligami sembarangan tanpa aturan
orang-orang jahiliyah jaman dulu. Penghapusan Poligami mirip dengan
penghapusan perbudakan.
Cara Islam menghapus perbudakan adalah dengan mengeluarkan
fatwa tentang keutamaan membebaskan budak. Jika dipahami lebih
mendalam maksud dari perintah itu adalah hal tersebut dalam rangka
penghapusan perbudakan secara halus dan bijaksana sehingga akhir dari
perintah tersebut adalah terhapusnya perbudakan. Jika semua budak
dibebaskan maka itulah keberhasilan perintah tersebut walau dalil
bolehnya perbudakan tidak dihapus.
Begitu juga poligami menurut pemahaman kaum Feminisme
seperti Musdah Mulia. Awalnya poligami tanpa batas dan tidak ada
aturan. Siapapun boleh poligami dengan berapapun jumlahnya. Islam
datang untuk mengatur hal tersebut dengan awal perintahnya adalah
boleh poligami tetapi maksimal empat orang istri. Tetapi akhir perintah
dalam ayat ke tiga surat al-Nisa‟ tersebut adalah disarankan satu saja
karena lebih mendekati tidak berbuat aniaya. Musdah Mulia memahami
ayat ini mirip dengan perintah keutamaan membebaskan budak.
Perbudakan boleh tetapi lebih baik tidak. Begitu juga poligami, boleh
tetapi lebih baik tidak, yaitu cukup satu istri saja.
Kata Musdah Mulia dalam bukunya,
“Islam datang untuk menghapus poligami sebagaimana menghapuskan berbagai tradisi keji lainnya seperti minum khamr, perselingkuhan, prostitusi, perzinahan dan perbudakan. Walaupun ayat poligami masih ada, tetapi tugas kita pasca Nabi lah yang terus berjuang agar poligami dihapuskan”.195
195
Ibid., 190.
93
b. Asas Perkawinan adalah monogami
Ada lima prinsip dasar perkawinan menurut kaum Feminisme
yaitu prinsip mitsaqan ghaliza, prinsip mawaddah wa rahmah, prinsip
persamaan, prinsip mu’asyarah bil ma’ruf dan terakhir adalah prinsip
monogami. Musdah Mulia mensyaratkan dasar perkawinan dengan lima
hal tersebut. Jika tidak, maka itu bukan sebuah perkawinan yang sesuai
ajaran Islam. Beliau mengatakan bahwa :
“Prinsip atau asas perkawinan Islam yang disebutkan terdahulu hanya dapat terealisasi melalui perkawinan monogami, bukan poligami “.196 Hal ini berarti bahwa poligami telah ada sebelum Islam datang
dan Islam datang untuk menghapus hal tersebut yang dianggap akan
berbuat aniaya terhadap istri-istri.
c. Hukum poligami
Poligami menurut Kaum Feminisme hanya akan menimbulkan
kesengsaraan bagi kaum perempuan dan terbengkalainya anak-anak
akibat ayahnya menikah lagi. Poligami adalah musibah yang dapat
menyebabkan hancurnya sebuah hubungan suci yaitu perkawinan.
Banyak sekali kasus perceraian yang terjadi bukan hanya karena
perselingkuhan tetapi karena poligami. Sehingga poligami dilarang
keras oleh kaum Feminis atau menyatakan bahwa poligami hukumnya
haram lighoirihi yaitu haram karena sebab yang akan ditimbulkan.
Poligami adalah perselingkuhan yang dilegalkan, begitu kata
Musdah Mulia. Berikut kutipannya,
“Poligami pada hakekatnya adalah selingkuh yang dilegalkan, dan karenanya jauh lebih menyakitkan perasaan istri. Islam menuntun manusia agar menjauhi selingkuh, dan sekaligus menghindari poligami. Islam menuntun pengikutnya: laki-laki dan perempuan agar mampu menjaga organ-organ reproduksinya dengan benar sehingga tidak terjerumus pada segala bentuk pemuasan syahwat
196 Ibid., 188.
94
yang dapat mengantarkan pada kejahatan terhadap kemanusiaan “.197 Oleh karena itu lah Musdah Mulia menganggap bahwa poligami
sebenarnya haram untuk dipraktekan karena akan menyebabkan
kejahatan terhadap istri-istri dan anak-anaknya.
4. Berbagai alasan Melakukan Poligami
a. Poligami karena sunnah nabi?
Sunnah Nabi memang menjadi alasan bagi para pelaku poligami
dalam mempraktekan poligaminya. Seharusnya jika benar-benar
mengikuti sunnah Nabi, maka harusnya tunggu istri pertama meninggal
dulu baru nikah lagi dan poligami. Karena Hadijah istri pertama Nabi
tidak pernah dipoligami semasa hidupnya.
Hal tersebut dapat kita lihat dalam buku karya Musdah Mulia,
yang menyatakan bahwa :
“Pernyataan para pendukung poligami dengan dalil bahwa itu
sunnah merupakan kedangkalan dalam pemikiran “.198
Bagi Beliau, kenapa sunnah Nabi selalu dikaitkan dengan
poligami? Padahal begitu banyaknya sunnah Nabi yang lain yang
menjadi prioritas seperti Sunnah Nabi dalam menciptakan keadilan dan
perdamaian. Dan jika benar poligami karena sunnah Nabi, maka
harusnya mereka poligami dengan para janda tua untuk menolong
mereka. Bahkan Nabi sendiri selama Hadijah hidup, Nabi SAW tidak
menduakannya atau berpoligami.
b. Poligami Karena ada ayatnya?
Dalam pandangan kaum Feminisme, alasan poligami karena ada
ayat yang membolehkannya adalah sangatlah keliru. Begitu banyaknya
ayat-ayat perintah yang lain diabaikan, justru yang satu ayat bahkan
sepotong ayat dalam surah al-Nisa‟ ayat 3 tersebut diutamakan. Begitu 197 Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, ( Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004 ), 61. 198
Ibid., 191.
95
banyak juga dalil-dalil tentang pernikahan yang lain yang tidak
diperhatikan. Jadi, alasan poligami karena ayatnya adalah kena‟ifan
yang luar biasa.
Musdah Mulia menyatakan,
“Sangat tidak logis memahami poligami hanya dengan bersandar pada satu ayat atau bahkan setengah ayat dan mengabaikan ayat-ayat lainnya yang sangat relevan dijadikan dasar hukum “.199 Jadi hal tersebut hanya alasan saja untuk memenuhi nafsu laki-laki
yang tidak bisa mencukupi diri dengan satu istri.
Pembatasan poligami yang sangat ketat dalam ajaran Islam
harusnya menjadi landasan moral bagi kita semua bahwa poligami itu
berbahaya. Pembatasan poligami tersebut sebenarnya dalam rangka
menghapus poligami pelan-pelan, sehingga ujungnya adalah tak ada lagi
poligami layaknya perbudakan yang sekarang sudah dihapus walau dalil
yang membolehkannya masih tetap berlaku. Penulis kutib dari
pernyataan Beliau sebagai berikut ;
“Tradisi poligami dan perbudakan sudah demikian berakar dalam kehidupan masyarakat, sehingga mustahil rasanya menghapus tradisi tersebut secara total sekaligus “.200 Penghapusan perbudakan dilakukan dengan cara halus karena
sudah membudayanya sistem perbudakan, begitu juga poligami.
c. Poligami karena jumlah perempuan lebih banyak?
Alasan lain yang sering diangkat di masyarakat dalam
perbincangan mengenai poligami adalah karena kelebihan jumlah
perempuan atas laki-laki. kata Musdah Mulia,
“Pandangan ini jelas tidak benar. Sebab, jika mengacu kepada data Badan Pusat Statistik Nasional, terlihat bahwa yang dimaksudkan dengan kelebihan jumlah perempuan adalah perempuan yang berusia di bawah 12 tahun dan di atas 60 tahun karena usia harapan hidup perempuan rata-rata lebih panjang daripada usia laki-laki “.201
199 Ibid., 199. 200
Ibid., 200. 201 Ibid., 201.
96
Bahkan menurut Musdah Mulia, Menikah itu tidak wajib, jadi tidak
menikahpun tidak masalah. Kalaupun jumlah perempuan lebih banyak
dari laki-laki maka Beliau menyarankan tidak harus menikah apalagi
dengan suami orang. Karena banyak perempuan lebih memilih tidak
menikah daripada menikah menyebabkan sakit hati karena dipoligami.
d. Poligami karena istri mengalami kekurangan?
Alasan lain yang sering dimunculkan oleh para pelaku poligami
adalah karena istri tidak dapat melaksanakan kewajiban sebagai istri, catat,
mandul, atau berpenyakit kronis yang sulit disembuhkan. Semua alasan
kekurangan tersebut menjadi landasan hukum bagi laki-laki yang ingin
melakukan poligami. alasan ini juga yang membolehkan seorang suami
untuk berpoligami dalam undang-undang perkawinan dan KHI (
Kompilasi Hukum Islam ).
Musdah Mulia menganggap bahwa kekurangan tersebut bukanlah
alasan yang tepat untuk melakukan poligami. Karena dasar sebuah
perkawinan adalah komitmen yang kuat dan monogami. Perkawinan itu
wajib dipertahankan karena niat awal nikah karena saling suka sama suka,
cinta mencintai dan saling membutuhkan. Jadi sebuah hubungan suci
pernikahan tidak boleh runtuh hanya karena istri mandul, cacat atau
mengalami penyakit. Solusi mandul adalah mengadopsi anak. Solusi cacat
adalah diobati. Dan penyakit bisa disembuhkan. Kalaupun tidak bisa
disembuhkan, harusnya laki-laki menunjukan cintanya bahwa dalam
kondisi sakit seperti itu pun dia tetap setia bersama istrinya, bukan
selingkuh atau pun minta nikah lagi.
Seharusnya kondisi tersebut membuat pembuktian cinta bagi sang
suami untuk selalu setia pada istrinya. Seperti kata Musdah Mulia,
“Hidup ini penuh misteri ilahi. Manusia umumnya tidak tahu seperti apa jalan takdirnya. Siapa pernah menduga tiba-tiba suatu hari pasangan kita (suami istri) mengalami kecelakaan sakit atau apa saja yang mengakibatkan cacat, mandul, lumpuh, masuk penjara dan seterusnya. Kondisi kekurangan dalam diri pasangan harusnya kian mengekalkan cinta dan kasih sayang diantara
97
mereka, kian memperkuat tali perkawinan yang sudah diikrarkan bukan sebaliknya “.202 Perkawinan dalam Islam itu bukan sekedar kebutuhan biologis,
tetapi memiliki makna yang jauh dari sekedar memuaskan nafsu biologis
manusia. Allah telah mengajarkan pada kita semua bahwa jika ada sesuatu
yang bikin kita tidak suka pada pasangan maka bersabarlah. Jangan
menyakitinya dan jangan mengkhianatinya. Dalam surah al-Nisa‟ ayat 19
menurut Musdah Mulia,
“Ayat tersebut menjelaskan solusi bagi suami yang mengalami kekurangan kehidupan perkawinannya, seperti istri mengalami kekurangan. Ayat ini justru memerintahkan agar suami berlaku santun, arif dan bijaksana terhadap istri. Jika suami mendapatkan hal-hal yang tidak menyenangkan dalam diri istri maka hendaklah bersabar, bukan dengan kawin lagi “.203
e. Poligami karena takut perselingkuhan atau takut zina?
Alasan lain para lelaki berpoligami adalah karena takut
terjerumus dalam zina dan pergaulan bebas. Takut terjerumus dalam
perselingkuhan dengan perempuan lain karena tidak puas dengan satu
istri. Alasan ini menjadi sangat popular di masyarakat, termasuk
Indonesia. Akhirnya banyak yang melakukan poligami secara sembunyi-
sembunyi. Alasan tersebut tidak tepat menurut Musdah Mulia karena
perzinahan dan perselingkuhan sebenarnya masalah moral, karena tidak
ada jaminan laki-laki yang memiliki istri empatpun sudah bisa puas.
Musdah Mulia menyatakan bahwa :
“Perselingkuhan dan perzinahan menyangkut soal moral dan ketersediaan sarana untuk itu. Laki-laki yang poligamipun tidak dijamin sepi dari perselingkuhan dan perzinaan. Lihat saja kebanyakan laki-laki di Arab yang datang ke Indonesia. Rata-rata mereka beristri banyak tetapi di Indonesia tetap saja cenderung mengunjungi tempat-tempat mesum dan mereka menyebutnya sebagai ziarah”.204
202 Ibid., 204. 203
Ibid., 205. 204
Ibid., 206.
98
5. Poligami dan Kawin Sirri
Musdah Mulia menilai pernikahan seperti ini biasanya karena ada
masalah. Misalnya laki-laki sudah menikah dan dia ingin menikah lagi.
Maka nikah sirri agar tidak diketahui keluarga, atau identitas salah satunya
dipalsukan.
Semua nikah sirri tidak dicatatkan secara resmi, hanya memenuhi
unsur agama. Menurut Musdah Mulia, kaidah tersebut dipakai dalam
definisi Imam Syafii saja. Sebab, dalam definisi Hanafi, pencatatan
pernikahan itu wajib, tidak sah tanpa pencatatan. Lanjut Musdah, saat ini
nikah sirri di masyarakat telah menjadi salah satu modus operandi kegiatan
trafficking terhadap anak perempuan. Oleh sebab itu, pemerintah harus
menindak tegas persoalan ini.
Menurut Musdah Mulia, nikah sirri harus dihapuskan dan
pelakunya dikenakan sanksi karena melanggar ketentuan UU Perkawinan
yang menyebutkan kewajiban pencatatan.
“Nikah sirri (apa pun bentuknya) selalu membawa kesengsaraan bagi istri dan anak. Sebab, tanpa pencatatan keduanya tidak memiliki akte legal ( kekuatan hukum ) untuk mendapatkan hak-haknya sebagai isteri dan anak”.205
205 Indonesian Conference of Religion and Peace ( ICRP ), Selalu Menyengsarakan, Musdah Mulia Minta Pelaku Nikah Sirri Diberi Sanksi, diakses pada situs ( http://icrp-online.org/2015/03/23/selalu-menyengsarakan-musdah-mulia-minta-pelaku-nikah-sirri-diberi-sanksi/ ), Tanggal 23 Desember 2016
99
BAB V
PEMBAHASAN
A. Konsep Poligami Menurut Quraish Shihab
Seperti yang telah diuraikan dalam Bab sebelumnya bahwa Quraish
Shihab menyatakan bahwa hukum poligami adalah mubah atau boleh. Tetapi
Beliau memberi syarat-syarat yang sangat berat bagi siapapun yang ingin
mempraktekkan poligami. Syarat-syarat tersebut yaitu : 1. Karena istri
pertama mandul atau tidak mampu melahirkan keturunan, 2. Karena istri
pertama mengalami cacat tetap yang tidak bisa disembuhkan atau penyakit
keras yang tidak bisa disembuhkan lagi, 3. Istri pertama mengalami masa
menopause yaitu masa umumnya perempuan sudah tidak bergairah lagi
melakukan hubungan biologis dan tidak bisa lagi melahirkan anak, 3. Jika
ingin berpoligami, seorang suami harus menikahi atau berpoligami dengan
janda-janda yang memiliki anak yatim seperti yang dicontohkan oleh Nabi
Muhammad SAW yang menikahi para janda yang rata-rata memiliki anak
yatim, 4. Berpoligami harus karena tujuan dakwah, bukan karena nafsu
semata. Karena Nabi Muhammad SAW berpoligami karena ada tujuan
dakwah tertentu, 5. Karena sedang dalam kondisi peperangan sehingga banyak
para suami yang mati karena peperangan sehingga meninggalkan banyak
janda. Dalam hal ini Quraish Shihab membolehkan poligami dengan janda-
janda tersebut untuk mencegah fitnah dan memperbanyak generasi baru
karena generasi lama banyak yang gugur dalam peperangan.
Syarat-syarat yang ditawarkan oleh Quraish Shihab tersebut menurut
penulis terlalu berlebihan karena menurut teori pada Bab II menyatakan
bahwa satu-satunya syarat dalam melakukan poligami adalah mampu bersikap
adil. Tidak ada syarat-syarat seperti yang tercantum tersebut di atas. Selama
seorang suami mampu berlaku adil, selama itu juga dia berhak atau boleh
bahkan sunnah melakukan poligami. Penulis merasa Quraish Shihab terlalu
bermain logika dalam menentukan sebuah hukum, sehingga memberatkan
bagi seseorang yang ingin berpoligami. Syarat-syarat tersebut hanya akan
100
semakin membuat maraknya perselingkuhan atau kawin sirri. Sehingga akan
menciptakan dampak buruk yang akan terjadi.
Penulis akan membahas satu persatu tentang syarat-syarat bolehnya
poligami tersebut menurut Quraish Shihab, yaitu sebagai berikut :
1. Bolehnya poligami karena istri pertama mandul
Syarat bolehnya poligami karena istri pertama mandul atau tidak
mampu melahirkan keturunan menurut penulis, hal ini bertentangan
dengan landasan teori yang menyatakan bahwa tidak ada satu dalilpun
yang menyatakan bahwa bolehnya poligami jika istri pertama mandul.
Rasulullah dan para sahabat yang melakukan poligami pun tidak ada yang
berpoligami karena syarat istri pertama mandul dulu. Itu hanya logika
berpikir Quraish Shihab untuk membatasi praktek poligami dan untuk
menengahi banyaknya pro kontra tentang masalah boleh tidaknya
poligami. Jadi Quraish Shihab menawarkan syarat tersebut sebenarnya
untuk memasuki akal logika perempuan yang anti poligami. Jadi menurut
penulis, Quraish Shihab mencoba menengahi pro kontra yang ada
khususnya di Indonesia.
2. Bolehnya poligami karena istri pertama menderita penyakit atau cacat yang
tidak mungkin bisa disembuhkan
Penulis melihat syarat kedua yang ditawarkan oleh Quraish Shihab
yaitu karena istri pertama mengalami penyakit atau cacat yang tidak
mungkin bisa disembuhkan adalah syarat yang semakin kelihatan dibuat-
buat tanpa dasar hukum yang jelas. Alasan Quraish Shihab hanya logika
akal agar para wanita ikhlas menerima suami menikah lagi. Sungguh
sangat lucu jika seorang suami baru boleh mempraktekkan keadilannya
dalam poligami harus menunggu istri pertamanya mengalami penyakit
dulu. Bukankah hal itu sama saja secara tidak langsung mendoakan istri
pertama agar menderita sakit? Atau bukankah hal tersebut malah
merupakan penghinaan terhadap istri pertama?
Misalkan suatu saat sang suami tanpa sengaja berkata pada istrinya,
“ hai istriku sayang, kalau besok – besok kamu mengalami cacat atau
101
penyakit yang tidak bisa disembuhkan, izinkan saya menikah lagi ya”.
Atau suami berkata “ wahai istriku, kamu harus ikhlas jika suatu saat kamu
cacat, terus saya menikah lagi “. Menurut penulis hal tersebut akan
semakin mendzolimi sang istri karena seakan-akan suami mendoakan
istrinya menjadi cacat seumur hidup demi melakukan poligami.
Pertanyaannya, kenapa harus tunggu istri pertama cacat dulu baru
boleh berpoligami?. Bukankah syariat hanya mensyaratkan keadilan saja?.
Syarat tersebut sangat tidak sesuai dengan tujuan poligami dan hikmah
dari poligamiitu sendiri. Poligami yang memiliki tujuan mulia, harus
dinodai oleh syarat yang mengharuskan istri pertama cacat dulu. Hal itu
berarti jika istri tidak cacat, maka tiada pintu bagi laki-laki yang adil untuk
menikah lagi. Justru hal tersebut adalah kedzoliman terhadap para lelaki
adil. Keadilan mereka tertahan demi egoism perempuan yang tidak mau
dimadu karena alasan nafsu ingin menguasai sendiri suaminya sehingga
tanpa sadar perempuan tersebut sedang memberi hukuman berat bagi
suaminya.
3. Bolehnya poligami karena istri mengalami masa menopause.
Menurut penulis, perempuan akan rentan mengalami menopause
pada umur 40 tahun atau di atas 40 tahun. Hal tersebutpun dapat dicegah
jika perempuan rajin olahraga dan menjaga kesehatannya. Seperti penulis
kutip dari sebuah artikel sebagai berikut :
“Usia menopause pada tiap wanita berbeda-beda, tapi menopause umumnya terjadi usia 50 tahun. Meski demikian, ada juga sebagian wanita yang mengalaminya sebelum berusia 40 tahun. Inilah yang disebut menopause dini atau prematur.”.206 Misalkan kiat mengambil saja umur menopause adalah 45 tahun.
Berarti seorang suami baru dibolehkan berpoligami jika umur istrinya
adalah 45 tahun. Apalagi rata-rata umur suami selalu lebih tua dari istri.
Misalkan kita ambil umur suami 47 tahun. Berarti sang suami baru
diizinkan berpoligami pada umur 47 tahun setelah resmi dokter memvonis
206 Alodokter, Menopause, Diakses dari situs (http://www.alodokter.com/menopause), tanggal 15 Januari 2016.
102
bahwa istrinya telah mengalami menopause. Hal yang harus diperhatikan
adalah bahwa umur segitu adalah umur sudah mulai rentan penyakit juga
bagi laki-laki. Dan menurut penulis, usia 40 tahun ke atas sudah bukan
usia produktif lagi dan terlalu tua untuk menikah lagi walau Nabi SAW
menikah lagi umur 50 tahun ke atas. Sungguh begitu lama harus
menunggu untuk berpoligami karena syarat ini yang harus diikuti.
Sehingga penulis menyatakan bahwa Quraish Shihab terlalu
mengada-ada syarat yang begitu memberatkan kaum laki-laki adil yang
telah siap berpoligami dan memperbanyak keturunan Umat Islam pada
usia muda, bukan pada usia 50 tahun.
Hal yang harus diperhatikan juga adalah, jika suami menikah umur
sudah tua seperti itu, maka dia akan kewalahan mengurus anak. Akhirnya
anak dititip di pembantu atau penitipan anak. Karena pada usia tersebut
manusia sudah mulai mudah lelah dan makin banyak kesibukan, termasuk
kesibukan mencari nafkah. Sungguh hal tersebut penghinaan bagi laki-laki
adil yang ditunggu tua dulu baru boleh berpoligami. Sehingga masa
mudanya dijadikan ajang puas-puas diri dengan zina dan perselingkuhan.
Akan lebih aman dari itu jika dari muda pun seorang suami berpoligami.
4. Bolehnya poligami hanya dengan janda tua yang memiliki anak yatim
Syarat bolehnya poligami hanya dengan janda tua yang memiliki
anak yatim adalah hal yang lebih memberatkan lagi abgi laki-laki yang
ingin berpoligami. Syarat tersebut disyaratkan untuk menyinggung para
lelaki/suami yang berpoligami dengan para gadis cantik rupawan. Menurut
penulis, orang menikah atau berpoligami itu karena nafsu. Sehingga
menikah atau berpoligami menyalurkan nafsu di tempat yang dihalalkan.
Sungguh munafik orang yang mengatakan bahwa mereka menikah bukan
karena nafsu, tetapi karena cinta. Nafsu dan cinta itu sulit dibedakan.
Karena menurut penulis, cinta adalah nafsu, jika tidak ada nafsu maka tidak
mungkin ada cinta. Nafsu terhadap lawan jenis itulah namanya cinta.
Terlepas dari Nabi SAW yang menikahi janda umur 65 tahun karena tujuan
dakwah.
103
Menurut teori, laki-laki dibolehkan menikahi maksimal empat orang
perempuan secara bersamaan. Hal ini menunjukan bahwa nafsu laki-laki itu
hanya mampu dilayani oleh empat orang wanita. Walau jika hanya cukup
dengan satu istri itu lebih baik. Tetapi akan menjadi tidak baik bagi laki-
laki yang seharusnya dilayani oleh dua, tiga atau empat istri jika dipaksa
hanya beristri satu orang saja. Sehingga nafsu untuk tiga kekuatannya tidak
terpakai atau terpakai di tempat yang diharamkan seperti perzinahan dan
perselingkuhan.
Jadi, syarat harus menikahi janda untuk menunjukan bahwa laki-laki
menikah bukan karena nafsu adalah kemunafikan, karena tidak mungkin
orang menikah itu karena tanpa nafsu. Walau janda juga masih menarik
bagi laki-laki. Tetapi bukan berarti suami tidak boleh menikahi gadis,
karena Nabi Muhammad SAW pernah menikahi gadis cantik kecil berumur
di bawah 10 tahun yang bernama Aisyah ra. Dan menikahi janda-janda
muda juga seperti Hafsah binti Umar bin Khattab. Jadi, alasan harus
menikahi janda adalah tanpa keterangan yang kuat.
5. Bolehnya poligami karena banyaknya janda dan anak yatim yang ditinggal
mati suami/ayahnya karena gugur dalam peperangan.
Syarat bolehnya poligami karena kondisi banyaknya janda akibat
peperangan adalah suatu hal cukup aneh menurut penulis. Walau memang
dulu waktu jaman Nabi, peperangan yang terjadi menyebabkan banyak
janda di Makkah dan Madinah. Tetapi hal tersebut tidak menjadi syarat
bolehnya poligami. Bahkan menurut penulis, dalam keadaan tersebut,
poligami menjadi hal yang wajib dilakukan oleh para suami yang masih
hidup. Quraish Shihab mengambil contoh Negara Jerman yang menyerukan
agar laki-laki berpoligami karena banyak prajurit jerman yang gugur dalam
peperangan.
Kondisi peperangan memang selalu ada setiap jaman. Saat ini juga
peperangan dan penjajahan masih tetap terjadi. Bahkan akan terus terjadi
sampai kiamat. Hal ini bukan berarti itu syarat bagi bolehnya poligami.
Bisa jadi nanti orang yang berpoligami tidak mau ikut perang untuk
104
membela Negaranya karena takut mati dan ingin menikahi janda-janda
peninggalan para prajurit. Jadi lebih baik hal tersebut tidak dijadikan syarat
untuk menikah lagi.
Terakhir yang ingin penulis bahas adalah pernyataan Quraish Shihab
yang menyatakan bahwa poligami ibaratnya pintu darurat pesawat terbang.
Hanya boleh dibuka dalam keadaan darurat dan oleh orang-orang tertentu saja.
Secara sepintas, hal tersebut sangat masuk dalam akal penulis. Tetapi penulis
menganggap bahwa logika tersebut tidak bis disamakan dengan boleh atau
tidak bolehnya berpoligami. Karena menurut teori yang ada, poligami itu
bukan darurat seperti darurat menurut Quraish Shihab. Daruratnya karena itu
sunnah Nabi dan para sahabat. Jadi sungguh terlalu berat jika poligami
dianggap sebagai pintu darurat pesawat terbang yang hanya terpaksa dibuka
pada saat pesawat mau jatuh. Hal tersebut penulis anggap bahwa Quraish
Shihab terlalu takut sampai mengatakan bahwa poligami itu hanya dalam
keadaan darurat karena kalau tidak darurat tetapi pintu tetap dibuka maka akan
berakibat fatal bagi kehidupan banyak orang.
Ibaratnya jika poligami dilakukan tanpa memenuhi syarat yang diajukan
oleh Quraish Shhab akan menyebabkan dosa dan bencana bagi pembuka pintu
poligami tersebut. Begitu banyak contoh poligami sukses yang dilakukan oleh
Nabi, para sahabat dan orang-orang sholeh lainnya yang tidak menyebabkan
kemudharatan, justru menciptakan suasana kebahagiaan yang luar biasa. Maka
logika pengibaratan poligami sebagai pintu darurat pesawat terbang adalah hal
yang berlebihan.
Sebuah hukum tidak boleh dibuat-buat tanpa dasar yang kuat hanya
demi menengahi pro kontra yang ada. Karena takutnya syarat-syarat tersebut
seakan-akan syarat menurut syariat atau syarat menurut sunnah Nabi
Muhammad SAW padahal tidak ada satupun dalil yang secara tegas
menyatakan syarat-syarat tersebutlah yang membolehkan poligami. Dan
penulis menilai Quraish Shihab hanya berbicara keindonesiaan untuk
menengahi pro kontra yang terjadi.
105
B. Relevansi Pemikiran Quraish Shihab tentang Poligami Terhadap KHI
dan UU No. 1 Tahun 1974
1. Keluarga Sakinah, Mawaddah Wa Rahmah
Keluarga Sakinah merupakan keluarga yang penuh dengan
ketenangan di dalamnya, penuh dengan cinta dalam kehidupannya dan
penuh dengan kasih sayang dalam setiap aktifitasnya. Keluarga sakinah
adalah keluarga yang penuh dengan keharmonisan dan kebahagiaan bathin
walau ditimpa oleh masalah apapun. Keluarga sakinah itu bukan berarti
tanpa masalah, justru masalah tersebut yang menjadi ujian benar tidaknya
keluarga tersebut sakinah. Jika sakinah, maka pasti ujung dari masalah
tersebut adalah melahirkan sakinah. Quraish Shihab menitikberatkan
bahwa sebuah keluarga itu harus sekuat tenaga menciptakan keadaan yang
sakinah, mawaddah wa rahmah dalam rumah tangga.
Seperti dalam bab sebelumnya, Quraish Shihab menjelaskan tujuan
pernikahan/perkawinan dalam pandangan al-Qur'an, salah satu tujuan
utama pernikahan adalah untuk menciptakan sakinah, mawaddah, dan
rahmat antara suami, istri, dan anak-anaknya. Kemudian Quraish Shihab
mengambil dalil dari ayat dalam al-Qur‟an dalam surah ar-Rum surah ke
30 ayat 21 sebagai berikut ;
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir”. Hal tersebut sejalan dengan Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) dalam
bab II pasal 3 yang berbunyi : “Perkawinan bertujuan untuk mewujudkan
kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan rahmah”. Begitu
juga dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan bab I pasal 1, yang
menjelaskan bahwa tujuan perkawinan adalah dalam rangka membentuk
keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa. Begitu juga dalam pasal 33 yang berbunyi : “ Suami-istri
106
wajib saling cinta-mencintai, hormat menghormati, setia dan memberi
bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain ”.
Semua pasangan suami istri pasti ingin keluarga yang mereka bina
menjadi keluarga ideal seperti tujuan perkawinan tersebut di atas. Tidak
mungkin dalam sebuah pernikahan memiliki tujuan hanya sekedar basa-
basi, main-main dan sekedar formalitas sebuah hubungan. Quraish Shihab
menekankan bahwa hubungan pernikahan tersebut wajib diusahakan agar
menjadi sakinah, mawaddah dan rahmah. Karena hubungan suami istri
yang sejati adalah hubungan harmonis dan selalu bersama dalam suka
maupun duka selamanya.
Dalam hal ini, penulis menilai bahwa tidak ada pertentangan antara
Quraish Shihab dengan KHI maupun UU No. 1 tahun 1974 tentang
Perkawinan. Karena sama-sama merumuskan tujuan sebuah pernikahan
atau perkawinan adalah semata-sama membentuk keluarga sakinah,
mawaddah dan rahmah selama-lamanya.
Walau dalam keluarga yang berpoligami pun Quraish Shihab tetap
menekankan keadilan dari para suami agar keharmonisan keluarga tetap
terjaga. Sehingga akan membentuk masyarakat yang harmonis juga yang
akan berakibat baik bagi sebuah Negara. Seperti yang digambarkan oleh
UU No 1 tahun 1974 pasal 1 bahwa keluarga itu harus bahagia dan kekal
selama-lamanya. Suami istri saling mencintai satu sama lain agar tercipta
keharmonisan walau akan ada masalah yang datang dari luar silih berganti
menerpa keluarga tersebut.
Terdapat sedikit perbedaan tetapi tidak mengurangi makna antara
Quraish Shihab dengan UU No. 1 tahun 1974 pasal 1. Tujuan perkawinan
menurut Quraish Shihab adalah terbentuknya keluarga sakinah, mawaddah
dan rahmah, sedangkan UU No 1 pasal 1 menjelaskan bahwa tujuan
perkawinan adalah terbentuknya keluarga yang bahagia dan kekal.
Menurut pendapat penulis, kata bahagia bisa mewakili kata sakinah,
mawaddah dan rahmah, karena keluarga yang sakinah, mawaddah dan
rahmah jelas akan melahirkan kebahagiaan yang kekal dalam sebuah
107
hubungan perkawinan. Hal tersebut juga sangat sesuai dengan dalil-dalil
tentang tujuan perkawinan menurut Islam pada umumnya. Sehingga antara
Quraish Shihab, KHI, UU no 1 tahun 1974 dan menurut Islam umumnya
tidak saling bertentangan dalam hal merumuskan tujuan perkawinan dan
makna dari kata sakinah, mawaddah dan rahmah.
Quraish juga menyatakan bahwa keluarga sakinah itu tidak lahir
dengan sendirinya, melainkan diusahakan bersama antara suami istri.
Dalam artian bahwa bukan hanya suami yang bisa menciptakan sakinah,
tetapi seluruh anggota keluarga juga bisa mengusahakan kehidupan
keluarga yang sakinah. Segala macam bala bencana, musibah dan ujian
yang menimpa keluarga harus diakhiri dengan kesakinahan, bukan
permusuhan, bukan kebencian dan tidak saling menyalahkan.
2. Kedudukan, Hak dan Kewajiban Suami Istri
a. Kedudukan Suami Istri
Kedudukan suami menurut Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) dan
UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan adalah sebagai kepala
keluarga artinya pemimpin keluarga, sedangkan istri adalah ibu rumah
tangga. Seperti yang dijelaskan dalam KHI pasal 79 ayat 1 dan UU No.
1 tahun 1974 pasal 31 ayat 3 yang menyatakan bahwa Suami adalah
kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah tangga.
Point pasal ini sesuai dengan pemahaman Quraish Shihab bahwa
Suami merupakan pemimpin bagi istrinya dalam rumah tangga seperti
yang tercantum dalam bab III tesis ini. Oleh karena itu penulis
berpendapat bahwa Quraish Shihab dengan point ini tidak saling
bertentangan dan hal ini juga sejalan dengan hukum Islam pada
umumnya dengan mengambil dalil bahwa kaum laki-laki adalah
pemimpin bagi kaum perempuan.
Dalam ruang publik, Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) pasal 79
ayat 2 dan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 31 ayat 1
menyatakan bahwa hak dan kedudukan istri itu seimbang dengan hak
dan kedudukan suami dalam keluarga maupun dalam pergaulan sosial.
108
Jika melihat pendapat Quraish Shihab dalam bab III tesis ini, hal
ini juga tidak bertentangan. Tidak ada perbedaan antara suami dan istri
dalam hal hak dan kedudukan dalam rumah tangga maupun dalam
pergaulan sosial. Hanya saja Quraish Shihab menyatakan bahwa
kedudukan suami lebih tinggi setingkat dari istri. Namun hal ini,
penulis menilai bahwa kedudukan suami harusnya lebih tinggi dari istri
dalam rumah tangga maupun dalam ruang publik. Islam mengatur
menempatkan laki-lakilah pemimpin dalam keluarga maupun
masyarakat atau ruang publik.
Penulis tidak setuju pendapat Quraish Shihab yang menyatakan
bahwa maksud dari “ lelaki adalah pemimpin bagi perempuan “ Quraish
Shihab menganggap itu hanya konteks keluarga saja. Sedangkan di luar
keluarga, perempuan boleh menjadi pemimpin publik seperti Presiden,
Gubernur atau lainnya.
Penulis menilai bahwa kedudukan suami terhadap istri tetap
suami berada di atas, baik dalam keluarga maupun di ruang publik. Hal
ini dapat kita lihat sejarah-sejarah Pemimpin Islam dari sejak jaman
Nabi SAW sampai masa khilafah Ustmaniyah, semua pemimpinnya
adalah laki-laki. Hal ini menunjukan bahwa pemimpin tetap harus laki-
laki, dimanapun kepemimpinan tersebut ada.
b. Hak dan Kewajiban Suami Istri
Berbicara tentang hak dan kewajiban suami istri menurut KHI dan
UU No. 1 Tahun 1974 dapat dilihat dalam pasal 77 ayat 1 sampai 5
Kompilasi Hukum Islam dan pasal 30 sampai 34 dalam UU no 1 tahun
1974 yang menjelaskan secara umum hak dan kewajiban suami istri
dalam menjalani kehidupan berkeluarga.
Pasal 77 ayat 1-5 KHI dan pasal 30-34 UU No. 1 tahun 1974
tersebut diuraikan dengan jelas oleh Quraish Shihab dalam buku-
bukunya. Beliau menjelaskan agar suami istri saling bahu membahu
untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah.
Dan suami istri harus saling cinta mencintai, saling menghormati dan
109
menghargai satu sama lain, sehingga anak juga tidak terbengkalai dalam
kehidupan rumah tangga maupun lingkungan belajar dan masyarakat.
Rusaknya sebuah Negara tidak lepas dari rusaknya keluarga yang
tidak mentaati hak dan kewajibannya masing-masing. Sehingga dalam
menjaga keutuhan keluarga, UU Hukum Keluarga di Indonesia
membolehkan saling menggugat antara suami istri jika salah satu pihak
tidak melaksanakan kewajibannya. Dulu hanya suami yang boleh
menceraikan istri, tetapi di Indonesia dengan adanya UU tersebut istri
juga boleh menggugat cerai suaminya jika suaminya tidak
memnjalankan kewajibannya sebagai suami.
Menurut hemat penulis, adanya ketentuan pasal 77 point (e)
dalam KHI tersebut sedikit menutup pintu kedzoliman suami dan agar
para suami hati-hati dalam memperlakukan pasangannya. Jangan karena
mentang-mentang sebagai pemimpin keluarga terus dia berbuat
semaunya. Dalam hal ini penulis sangat setuju karena Nabi juga pernah
memisahkan pasangan suami istri yang dikawin paksa oleh orang
tuanya. Ibaratnya Nabi adalah pengadilannya. Sehingga saat sekarang,
pengadilan agama boleh memisahkan pasangan yang sudah tidak bisa
lagi dipertahankan karena sudah tidak saling cinta dan saling
melalaikan kewajiban.
Suami adalah penanggungjawab dari apapun yang terjadi dalam
rumah tangga. Suami bertanggungjawab atas segala kebutuhan
keluarga, termasuk kebutuhan pendidikan istri dan anak-anaknya.
Seperti yang tercantum dalam pasal 80 KHI juga, dijelaskan juga
tentang kewajiban suami, yaitu ;
a. Suami adalah pembimbing, terhadap isteri dan rumah tangganya,
akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-
penting diputuskan oleh suami isteri bersama
b. Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu
keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya
110
c. Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada isterinya dan
memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan
bermanfaat bagi agama, nusa dan bangsa
d. Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung :
1. Nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri
2. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi
isteri dan anak
3. Biaya pendidikan bagi anak
e. Kewajiban suami terhadap isterinya seperti tersebut dalam ayat ( d
) huruf 1 dan 2 di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna
dari isterinya
f. Isteri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap
dirinya sebagaimana tersebut pada ayat ( d ) huruf 1 dan 2
g. Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat ( e ) gugur apabila
isteri nusyuz
Bahkan suami yang berpoligami pun diatur sedemikian rupa agar
tidak terjadi ketidakadilan dalam keluarga. Hal ini diatur dalam pasal 82
dijelaskan juga tentang kewajiban suami, yaitu ;
1. Suami yang memiliki isteri lebih dari seorang berkewajiban
memberikan tempat tinggal dan biaya hidup kepada masing-masing
isterinya secara berimbang menurut besar kecilnya jumlah keluarga
yang ditanggung masing-masing isteri, kecuali ada perjanjian
perkawinan
2. Dalam hal para isteri rela dan ikhlas, suami dapat menempatkan
isterinya dalam satu tempat kediaman
Dalam pasal 82 tersebut, sejalan dengan pemahaman Quraish
Shihab yang mewajibkan suami pelaku poligami berlaku adil dalam hal
materi walau tidak wajib adil dalam hal perasaan cinta. Dan mengenai
point ke duanya dalam pasal 82 tersebut, penulis tidak menemukan
pembahasan khusus mengenai itu oleh Quraish Shihab, namun secara
umum, beliau tidak akan setuju dengan hal tersebut.
111
Dalam hal ini penulis menilai bahwa KHI lebih rinci lagi
membahas tempat tinggal seperti point 2 dalam pasal 82 tersebut. Karena
menurut pemahaman penulis selama ini, keadilan materi adalah wajib,
sehingga jika istri pertama diberikan tempat tinggal yang bagus, maka istri
kedua dan seterusnya pun begitu. Karena Nabi pun tidak menempatkan
semua istrinya dalam satu rumah. Setiap istri Beliau ditempatkan di bilik
masing-masing. Sehingga penulis menyimpulkan bahwa dari pandangan
Quraish Shihab tentang keadilan, maka menempatkan istri-istri dalam satu
rumah tidak dibolehkan. Itulah konsep keadilan dalam Islam, walaupun
keadilan perasaan susah diwujudkan tetapi keadilan materi bersifat wajib
bagi para suami yang memiliki istri lebih dari satu.
Istri memiliki kewajiban hanya semata-mata untuk berbakti kepada
suami dalam hal yang dibenarkan oleh agama dan tidak bertentangan
dengan agama. Tugas utama istri adalah mengatur segala macam
kebutuhan rumah tangga sehari-hari. Hal ini dapat kita lihat dalam pasal 83
sebagai berikut ;
1. Kewajiban utama bagi seorang isteri adalah berbakti lahir dan bathin
kepada suami di dalam yang dibenarkan oleh hukum Islam
2. Isteri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-
hari dengan sebaik-baiknya
Dalam pasal tersebut juga Quraish Shihab jelas sangat mendukung
bahwa istri wajib hukumnya melayani dan berbakti untuk suaminya
selama tidak dalam bermaksiat pada Allah. Istri menjaga rumah, menjaga
harta suami dan lain sebagainya merupakan tugas yang harus dijalani
seorang istri sebagai bentuk pengabdian.
Secara umum, mengenai kedudukan, hak dan kewajiban suami
istri, penulis menilai bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara
Quraish Shihab dan peraturan yang ada. Kedua-duanya sama-sama
memahami bahwa sebuah keluarga itu harus sama-sama bahu membahu
dan bekerjasama dalam membangun keluarga sakinah, mawaddah wa
rahmah dengan menjalani tugas dan kewajiban masing-masing. Kewajiban
112
suami terhadap istrinya adalah hak istri. Sedangkan kewajiban istri
terhadap suaminya adalah hak suaminya.
Tidak ada perbedaan kedudukan antara laki-laki dan perempuan.
Semua sama-sama memiliki hak hidup, hak diperlakukan dengan baik, hak
untuk dicintai, hak untuk belajar dan beraktifitas di ruang publik bahkan
perempuan berhak dipilih untuk menjadi pemimpin di ruang publik. Dan
hal ini lah yang bertentangan dengan masyarakat Islam pada umumnya
yang menyatakan bahwa pemimpin dimanapun harus laki-laki.
Dalam hal ini penulis tidak sepakat dengan Quraish Shihab, karena
bagi penulis, dalam lingkungan rumah tangga yang kecil saja laki-laki
yang harus memimpin apalagi di ruang publik yang jumlah orangnya dan
permasalahan yang ada semakin kompleks dan banyak. Istri dalam Islam
hanya memiliki kewajiban yang ada di rumah saja seperti mengurus dan
mendidik anak, menjaga harta suami, menjaga rumah dan sejenisnya,
walau Quraish Shihab dan beberaparapa ulama lain membolehkan seorang
perempuan bekerja di luar rumah untuk membantu suami bahkan boleh
menjadi pemimpin publik. Sejarah juga telah mencatat bahwa pemimpin-
pemimpin Islam selalu laki-laki, mulai dari Jaman Nabi SAW sampai
runtuhnya khilafah Turkey Utsmani selalu yang memegang kendali
kepemimpinan adalah laki-laki.
3. Hukum Poligami
Hukum poligami menurut Quraish Shihab hanya bersifat mubah,
itupun karena terpaksa atau karena darurat. Seperti yang dijelaskan dalam
bab sebelumnya bahwa keadaan darurat dibolehkannya poligami menurut
Beliau adalah ibarat seperti pintu darurat pesawat terbang yang hanya
boleh dibuka pada keadaan darurat. penumpang pesawat dilarang keras
bahkan bisa diharamkan membuka pintu darurat tersebut karena bisa
berbahaya. Begitu juga poligami ini, pintu darurat poligami hanya boleh
dibuka pada saat darurat dan oleh orang-orang tertentu. Lebih tegas lagi
KHI dan UU perkawinan di Indonesia menyatakan bahwa poligami
dibolehkan dengan syarat yang sangat berat.
113
Pada dasarnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan menganut asas monogami di dalam perkawinan. Hal ini tegas
disebut dalam pasal 3 :
a. Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh
mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai
seorang suami.
b. Pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristeri
lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan.207
Asas monogami dalam Undang-undang perkawinan ini tidak
bersifat mutlak, tetapi hanya bersifat pengarahan kepada pembentukan
perkawinan monogami dengan jalan mempersempit penggunaan jalan
poligami dan bukan menghapuskan sama sekali sistem poligami. Dapat
tidaknya seorang suami beristeri dari seorang ditentukan Pengadilan
Agama berdasarkan syarat-syarat yang ditentukan. Pembolehan adanya
poligami adalah merupakan suatu pengecualian. Dan pembolehan ini
diberikan dengan pembatasan-pembatasan yang berat berupa syarat-syarat
dan tujuan yang mendesak.
Begitu juga dalam Kompilasi Hukum Islam membolehkan
poligami dengan syarat seperti yang dijelaskan dalam pasal 55 sampai 59
tentang beristri lebih dari seorang. Dalam pasal-pasal tersebut dijelaskan
bahwa poligami dibolehkan dengan syarat-syarat. Sehingga penulis
menyimpulkan bahwa hukum poligami menurut KHI dan UU No. 1 tahun
1974 adalah boleh dengan syarat. Hal tersebut sejalan dengan Quraish
Shihab, bahkan Quraish Shihab memberikan syarat-syarat lebih banyak
daripada KHI dan UU No. 1 Tahun 1974.
Dalam hal ini penulis tidak setuju dengan Quraish Shihab maupun
KHI/UU No. 1 tahun 1974 tersebut. Penulis lebihi cenderung mengikuti
pendapat dalam kajian teoritik yang menyatakan bahwa hukum poligami
itu sunnah. Bahkan penulis menyatakan bahwa poligami bisa bersifat 207
Departemen Agana RI,Undang-undang No.1 Tahun 1974, 117.
114
wajib, sunnah, makruh, mubah dan haram. Poligami menjadi wajib jika
seorang suami ditakutkan terjerumus dalam zina. Poligami menjadi sunnah
jika ada kemaslahatan yang akan ditimbulkan jika berpoligami. Poligami
menjadi makruh jika dikhawatirkan dalam poligami tersebut akan terjadi
hal yang membahayakan. Poligami akan menjadi mubah jika berpoligami
atau tidak sama saja keadaannya. Poligami menjadi haram jika dalam
poligami tidak ada keadilan sehingga terjadi kedzoliman terhadap anak
dan istri.
Di satu sisi juga penulis menilai bahwa Quraish Shihab, KHI dan
UU No. 1 membolehkan poligami dengan syarat itu tidak bisa menampung
orang lain yang bisa saja tidak memenuhi syarat-syarat sebagai kewajiban
untuk berpoligami, tetapi mereka direlakan oleh istrinya berpoligami
walau istrinya tersebut dalam keadaan subur, tidak cacat atau tidak
menderita penyakit yang tidak bisa disembuhkan bahkan memiliki anak
yang banyak.
Penulis mengambil contoh misalnya Ustadz Arifin Ilham. Beliau
bersama istri pertamanya memiliki keturunan. Itu tandanya bahwa istrinya
subur, bahkan tidak menderita cacat/penyakit. Tetapi Ustadz Arifin Ilham
tetap berpoligami dan melahirkan keturunan juga dengan istri keduanya.
Bahkan mantan Presiden RI pertama Bapak Soekarno tercatat memiliki
banyak istri. Tetapi hal tersebut tidak tertampung oleh KHI, Uu No. 1
tahun 1974, dan Quraish Shihab.
4. Syarat Utama Poligami
Seperti yang dijelaskan dalam Bab IV tentang paparan data,
dijelaskan bahwa syarat utama dalam poligami adalah mampu adil. Adil
adalah syarat utama yang wajib dipenuhi oleh seorang yang ingin
berpoligami. Quraish Shihab dan Kompilasi Hukum Islam serta UU No. 1
tahun 1974 memiliki pemahaman yang sejalan. Begitu juga dengan
landasan teori dalam Bab II yang menyatakan bahwa syarat utama bagi
pelaku poligamia adalah mampu berlaku adil terhadap istri-istrinya dan
anak-anaknya.
115
Penulis juga sangat setuju bahwa syarat utama bagi orang akan
melakukan poligami adalah mampu berlaku adil. Baik adil secara material
maupun adil secara perasaan cinta pada istri-istri serta anak-anaknya. Jika
tidak mampu adil maka menurut penulis, poligami tersebut menjadi haram
karena akan menyebabkan dosa bagi suami.
5. Syarat-Syarat lain Poligami
Undang-undang mengenai syarat-syarat poligami adalah
sebagaimana tata cara yang telah diatur dalam pasal 4(2) Undang-undang
No.1 tahun 1974 dan pasal 57 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi:
“Pengadilan Agama hanya memberi izin kepada seorang suami
yang akan beristeri lebih dari seorang apabila208 :
a. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri
b. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan
c. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan
Dalam hal ini penulis menilai bahwa Quraish Shihab setuju dengan
tiga syarat tersebut di atas. Point a, istri tidak mampu lagi menjalani
kewajiban sebagai istri. Dalam hal ini misalnya istri dalam masa
menopause, sehingga tidak bisa melayani suami. Begitu juga point b dan c,
mau tidak mau menurut Quraish Shihab, seorang istri yang mengalami hal
tersebut harus ikhlas suaminya berpoligami.
Namun penulis lebih cenderung pada pendapat ulama lain seperti
dalam landasan teori tesis ini yang menyatakan bahwa syarat poligami
hanya cukup dengan adil saja. Selama seorang suami dapat berlaku adil
maka disunnahkan untuk berpoligami. Hal ini sangat masuk akal karena
jika harus menunggu istri pertama mandul dan berpenyakit/cacat dulu,
maka hal ini penulis katakana bahwa poligami hanya bagi suami yang
memiliki istri mandul dan cacat. Sungguh beruntung suami yang memiliki
istri mandul dan cacat karena mereka saja yang berhak berpoligami.
208
Departemen Agana RI,Undang-undang No.1 Tahun 1974, 118.
116
Banyak alasan kenapa penulis lebih cenderung pada sunnahnya
poligami. Salah satunya adalah menghidupkan sunnah Nabi dan
memperbanyak keturunan karena menurut dalil, Nabi SAW berbangga-
bangga pada ummatnya yang banyak di hari kiamat nanti.
Dalam pasal 5 (1) Undang-undang Perkawinan no 1 tahun 1974
maupun pasal 58 Kompilasi Hukum Islam diatur secara jelas tentang tata
cara untuk dapat mengajukan permohonan poligami kepada pengadilan.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut :209
a. Adanya persetujuan dari isteri-isteri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-
keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri
dan anak-anak mereka
Quraish Shihab memandang bahwa point a dalam pasal 5 UU No 1
tersebut berlebihan. Karena bukan syarat dalam berpoligami. Quraish
Shihab menyatakan bahwa tidak perlu ijin istri pertama untuk berpoligami
jika istri pertama tersebut sudah termasuk kriteria harus dipoligami
misalnya karena cacat, mandul dan sebagainya. Karena menurut Beliau,
jika suami yang ingin berpoligami dan telah memenuhi syarat poligami
harus meminta ijin lagi pada istri, itu tidak akan mungkin dikasih oleh
istrinya.210
6. Keadilan dalam Poligami
Adil menjadi syarat utama bagi pelaku poligami. Adil cinta
maupun adil harta. Walau adil cinta bukan kewajiban menurut Quraish
Shihab tetapi hal itu tetap harus diusahakan agar tidak ada yang merasa
tidak diperhatikan perasaannya. Perempuan mana yang tidak mau dicintai
dan disayang oleh suaminya. Mereka mau dipoligami pun tetap berharap
agar suaminya tetap cinta dan sayang padanya. Seperti kata pepatah,
209 Ibid., 119 210
Muhammad Abid, Poligami Menurut Quraish Shihab, diakses dari situs (http://tempatbagibagi.blogspot.com/2011/01/poligami-menurut-quraish-shihab.html), tanggal 5 JAnuari 2017.
117
materi gampang dicari, cinta harus menjadi landasan utama dalam sebuah
hubungan.
Menurut penulis, seorang lelaki menikahi perempuan itu harus atas
dasar cinta dan dakwah. Jika tidak mengandung keduanya, maka itu cinta
terlarang. Nabi SAW menikahi semua istrinya atas dasar cinta dan
dakwah. Jika beliau tidak cinta maka tidak mungkin menikahinya. Nabi
menikahi janda untuk melindungi janda tersebut itu juga namanya cinta.
Nabi juga menikahi Aisyah juga karena cinta. Jadi knsekwensinya menurut
penulis, menikah pertama atau selanjutnya harus berdasarkan cinta karena
tanpa cinta maka akan sulit mewujudkan keadilan. Baik keadilan perasaan
dan giliran maupun keadilan materi yang menjadi titik tekan Quraish
Shihab.
Maka menurut hemat penulis, keadilan menurut KHI dan UU No. 1
tahun 1974 tidak sejalan dengan Quraish Shihab. Karena KHI dan UU No.
1 tahun 1974 menjelaskan bahwa suami harus adil secara umum, baik adil
harta maupun adil perasaan. Hal tersebut dapat kita lihat dalam pasal 77
ayat 2 KHI dan pasal 33 UU No. 1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa
suami istri wajib saling cinta mencintai. Artinya jika seoarng
berpoligamipun, dia wajib mencintai semua istrinya dengan seadil-adilnya,
termasuk adil dalam giliran. Kecuali memang seperti yang Nabi lakukan
yaitu menikahi janda-janda tua untuk menolong mereka dan atas tujuan
dakwah. Tetapi di satu sisi, kita jangan lupakan bahwa Nabi juga menikahi
gadis dan janda-janda muda sebagai tanda bahwa Beliau menikah atas
dasar cinta seperti ketika Beliau menikahi Hafsah binti Umar.
Adil adalah menempatkan sesuatu sesuai dengan tempatnya dan
memposisikan sesuatu berdasarkan keahliannya serta memberi atau
membagi sesuatu sesuai porsi dan kebutuhan. Adil adalah sikap wajib
yang harus dimiliki oleh semua pemimpin, termasuk pemimpin rumah
tangga yaitu seorang suami. Adil juga menjadi syarat mutlak yang harus
dipenuhi oleh seorang yang ingin melakukan poligami. Karena poligami
membutuhkan seorang pemimpin atau suami yang memiliki sifat adil
118
dalam kehidupannya. Quraish Shihab juga berpendapat seperti itu, bahwa
syarat utama berpoligami adalah keadilan, baru yang lain – lainnya lagi.
Dalam poligami, Quraish Shihab dengan tegas menyatakan bahwa
maksud adil adalah keadilan material. Keadilan material tersebut menurut
Beliau hukumnya wajib. Sedangkan keadilan lain seperti perasaan cinta
atau kecendrungan pada salah seorang istri itu tidak wajib, karena menurut
Beliau Nabi saja tidak bisa berlaku adil dalam hal perasaan cinta.
Penulis membagi keadilan dalam poligami menjadi dua bagian
yaitu :
a. Adil material
Adil material dalam poligami adalah keadilan dalam harta atau
materi lainnya untuk istri maupun anak-anak. Misalnya pembagian
harta, rumah tempat tinggal, pendidikan, makanan dan minuman,
pakaian, isi rumah, kursi, meja, sepatu, sandal, pangan dan papan dan
sejenisnya. Dalam hal ini Quraish Shihab meganggap hukumnya wajib
bagi suami atau seorang ayah yang poligami berlaku adil. Tidak boleh
seorang suami pilih kasih dalam hal ini menurut Beliau. Semua harus
dibagi rata dan sama-sama dapat sesuai dengan kebutuhan masing-
masing,
Misalkan istri pertama dibelikan sepeda motor baru atau bekas,
maka istri kedua juga harus dibelikan sepeda motor yang sama juga.
Begitu juga anak-anak. Jika istri pertama memiliki dua orang anak dan
suami membelikan anak-anaknya tersebut sepatu baru, maka istri
kedua yang memiliki satu anak misalnya harus dapat juga sepatu yang
sama. Dua sepatu pada anak dari istri pertama dan satu sepatu untuk
anak istri kedua bukan berarti tidak adil, tetapi itulah makna adil yang
sebenarnya. Dua sepatu dikasih ke istri pertama karena anaknya ada
dua, sedangkan satu sepatu pada istri kedua karena jumlah anaknya
hanya satu. Begitu juga kalau sebaliknya.
Menurut kesimpulan penulis, hal ini memang sifatnya wajib
karena jika tidak maka akan menimbulkan kecemburuan sosial antar
119
istri dan anak-anaknya. Jadi setiap pembagian apapun, harus sama-
sama dapat. Jika tidak mampu, maka lebih baik tidak dibelikan dulu
kecuali menggunakan konsep prioritas. Misalkan antara anak yang
masih SD dengan anak yang sudah SMA pasti beda kebutuhannya.
Jadi skala prioritas menurut penulis harus diperhatikan juga oleh suami
atau ayah.
Hal tersebut sejalan dengan pasal 5 (1) Undang-undang
Perkawinan No. 1 tahun 1974 dan pasal 58 Kompilasi Hukum Islam
diatur secara jelas tentang tata cara untuk dapat mengajukan
permohonan poligami kepada pengadilan. Adapun syarat-syarat yang
harus dipenuhi adalah sebagai berikut :211
a. Adanya persetujuan dari isteri-isteri
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-
keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-
isteri dan anak-anak mereka.
Point (b) dan (c) tersebut di atas bermakna bahwa seorang
suami pelaku poligami wajib memastikan dirinya mampu berlaku adil
secara material terhadap istri-istrinya dan anak-anaknya, baik dari anak
dari istri pertama maupun dari istri kedua, ketiga dan keempat. Jika
terjadi kelalaian suami maka sang suami melanggar aturan agama dan
aturan hukum yang berlaku.
Namun dalam point (a) tersebut di atas tidak disetujui oleh
Quraish Shihab, karena tidak ada dalam al-Qur‟an maupun hadits yang
mensyaratkan persetujuan istri dulu baru boleh berpoligami. Namun
menurut penulis, persetujuan istri dalam pasal tersebut bermanfaat
untuk ke depannya. Sehingga poligami kuat secara hukum. Penulis
menganggap bahwa persetujuan istri adalah hal positif yang sangat
bagus dilakukan. Sehingga poligami berjalan atas persetujuan istri
pertama juga. Jika istri pertama tidak bisa memberi persetujuan, maka
211
Ibid, 119.
120
pengadilan berhak mengijinkan poligami asal persyaratan poligami
terpenuhi. Hal ini penulis setuju karena jika perempuan minta dimadu
maka sulit memberikan persetujuan walau mereka tahu bahwa mereka
mandul misalnya.
b. Adil Waktu/giliran
Adil dalam hal waktu atau giliran di masing-masing istri bagi
pelaku poligami adalah hal wajib juga. Semua istri harus mendapat
jadwal waktu dan giliran masing-masing. Karena Rasulullah juga
melakukannya. Menurut Quraish Shihab, hal tersebut merupakan
konsep keadilan non material atau perasaan. Hal tersebut tidak wajib
bagi seorang suami karena dalam hal ini suami berhak menentukan
giliran istri yang mana yang diutamakan asal terpenuhinya kebutuhan
sehari-hari.
Penulis kurang sependapat dengan Quraish Shihab karena
giliran terhadap istri-istri itu sangat penting agar tidak terjadi
kecemburuan sosial antar istri-istri. Jadi, kalau dijadwal masing-
masing hari terhadap istri-istrinya maka itu akan menjadi keadilan
yang luar biasa tanpa memandang tua muda, gadis atau janda. Selama
berstatus istri dalam poligami maka dia berhak mendapatkan waktu
atau giliran yang adil suaminya.
Walau KHI dan UU No. 1 tahun 1974 tidak menyebutkan
secara rinci tentang waktu dan giliran, tetapi KHI dan UU No. 1 telah
menetapkan secara umum bahwa dalam poligami harus ada pembagian
waktu yang adil terhadap istri-istrinya tanpa memandang istri pertama,
kedua, ketiga atau keempat. Yang penting selama mereka berstatus
sebagai istri pertama, dua, tiga atau empat maka wajib hukumnya
mendapat giliran yang adil.
c. Adil Perasaan
Dalam hal perasaan, Quraish Shihab lebih cenderung memiliki
pemahaman bahwa boleh suami lebih mencintai istri yang A daripada
121
yang B, C dan D. karena keadilan cinta tersebut tidak mungkin dapat
dilakukan oleh seorang suami yang poligami.
Quraish Shihab berpegang pada surah al-Nisa‟ ayat 129 yang
menyatakan bahwa kalian tidak akan mampu berlaku adil. Dalam hal
ini Quraish Shihab menafsirkan ketidakmampuan dalam berbuat adil
tersebut dalam hal materi saja, bukan cinta. Karena Nabi pun berdoa
agar dimaafkan karena sulitnya adil dalam perasaan. Pasti lebih
condong pada yang satu. Sedangkan yang lain tetap diberikan haknya
secara biologis walau porsinya berbeda-beda.
Penulis menganggap bahwa pendapat ini cukup keliru karena
yang namanya pernikahan harus atas dasar suka sama suka, cinta sama
cinta walau pernikahan tersebut pernikahan kedua, ketiga atau keempat.
Tidak mungkin seorang manusia yang bernama laki-laki menikahi
perempuan tanpa ada perasaan cinta dan saling suka satu sama lain,
kecuali Nabi. Karena Nabi selain menikah karena kebutuhan sex, juga
karena kebutuhan dakwah. Tetapi Nabi tetap mencintai seluruh istrinya
walau janda umur 65 tahun.
Keadilan perasaan menurut penulis adalah keadilan suami dalam
hal mencintai istrinya yang telah dia nikahi. Landasan Quraish Shihab
adalah tentang Nabi yang berdoa agar Allah memaafkan Beliau jika
tidak mampu adil dalam perasaan. Hal ini menurut penulis, Nabi tetap
berusaha keras untuk mencintai semua istrinya tanpa cenderung pada
salah satu istri. Asalkan jika sudah berikhtiar maksimal untuk adil
dalam perasaan, maka suatu saat pelaku poligami tidak mampu adil
secara perasaan maka insya Allah gugur dosanya. Makanya Rasulullah
berdoa seperti di atas tadi.
Menurut penulis, antara Quraish Shihab dengan UU hukum
keluarga di Indonesia ( KHI dan UU No. 1tahun 1974 ) hanya 50 %
sejalan. Yang sejalan hanya keadilan material, sedangkan keadilan
perasaan, Quraish Shihab tidak sejalan dengan KHI dan UU No. 1
tahun 1974. Menurut KHI dan UU No. 1 tahun 1974 keadilan itu
122
mencakup segala hal, baik material maupun cinta. Karena jelas UU
mengatur bahwa suami istri harus saling cinta mencintai.
Apa guna pernikahan jika diperlakukan tidak adil. Fungsi
pernikahan adalah kebahagiaan. Tidak mungkin sebuah pernikahan
akan langgeng jika antara suami istri tidak memiliki perasaan. Jadi,
syarat utama sebuah pernikahan, termasuk poligami, adalah adanya
perasaan cinta dan kasih sayang. Kecuali mungkin pada kondisi
peperangan, yang mana begitu banyaknya janda akibat banyaknya laki-
laki yang meninggal dunia karena perang. Poligami dengan menikahi
janda pada saat ini murni hanya untuk menolong janda tersebut agar ada
yang bertangungjawab mengurusnya.
7. Batas Maksimal Poligami
Dalam hal ini, penulis, Quraish Shihab, KHI dan UU No. 1 tahun
1974 setuju bahwa batas maksimal poligami itu adalah empat orang istri.
Hal tersebut tidak bisa dibantah karena telah disebutkan dengan jelas
dalam al-Qur‟an surah al-nisa‟ ayat 3. Begitu juga dalam KHI dan UU no.
1 tahun 1974.
Dalam hal ini juga, kita tidak bisa menyamakan diri kita sama
seperti Nabi yang memiliki 9 istri secara bersamaan sebelum Beliau
meninggal dunia. Kita sebagai pengikutnya, hanya dibatasi maksimal
empat.
8. Syarat Untuk Mendapatkan izin Poligami dari Pengadilan
Syarat untuk mendapatkan ijin pengadilan menurut KHI dan UU
No. 1 tahun 1974 adalah adanya persetujuan istri/istri-istri dan adanya
jaminan seorang suami mampu adil dan mampu secara ekonomi
memenuhi kebutuhan istri-istri dan anak-anaknya.
Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Quraish Shihab yang
menyatakan bahwa syarat adil materi adalah kewajiban bagi suami
terhadap istri-istri dan anak-anaknya. Sehingga antara Quraish Shihab
dengan KHI serta UU No. 1 tahun 1974 memiliki relevansi saling
123
menguatkan sehingga masyarakat tidak sembarangan dalam melakukan
poligami.
Penulis menilai bahwa hal tersebut juga wajib jika seorang ingin
berpoligami. Keadilan dan jaminan materi bagi istri-istri dan anak-anak
adalah landasan wajib dalam sebuah hubungan poligami. Walau rejeki
telah diataur oleh Allah tetapi secara psikologi, kepastian atau jaminan
seorang suami mampu secara ekonomi adalah hal yang harus dipenuhi.
Bahkan menurut penulis, tidak akan ada perempuan mau dipoligami jika
calon suaminya tersebut miskin, tidak memiliki harta dan tidak memiliki
jaminan kehidupan yang bagus. Sehingga sangat setuju dan masuk akal
sekali jika syarat tersebut diatur dan diwajibkan bagi siapa saja pelaku
poligami.
9. Asas Perkawinan
Quraish Shihab, KHI dan UU No. 1 Tahun 1974 sama-sama
menganut asas monogami dalam perkawinan. Tetapi pada saat tertentu,
asas monogamy tersebut akan berubah menjadi poligami jika istri pertama
mandul atau menderita cacat atau penyakit, atau istri tidak mampu lagi
melaksanakan kewajiban sebagai istri seperti yang dijelaskan oleh KHI
dan UU No. 1 tahun 1974. Hanya saja Quraish Shihab lebih banyak
mengajukan syarat bolehnya poligami selain tiga hal tersebut di atas.
Dalam landasan teori, Syeikh bin Baz menyatakan bahwa asas
pernikahan adalah poligami bagi yang mampu, monogami bagi yang tidak
mampu adil. Hal ini berarti bahwa ada pertentangan antara landasan teori
dengan Quraish Shihab, KHi maupun UU No. 1 tahun 1974. Tetapi
penulis lebih memilih asas perkawinan adalah monogami, karena lebih
menjauhkan diri dari berbuat aniaya seperti yang disarankan al-Qur‟an
surah al-nisa‟. Tetapi monogami bukan berarti tidak boleh poligami.
Perbedaan penulis dengan Quraish Shihab, KHI dan UU no. 1
tahun 1974 adalah masalah syarat poligami. Penulis lebih cenderung
syaratnya cukup dengan adil saja, tidak perlu tunggu istri mandul dulu,
sakit dulu seperti yang dijelaskan oleh KHI dan UU No. 1 tersebut.
124
Apalagi Quraish Shihab yang menambah lagi syarat harus nikah dengan
janda atau menunggu istri mengalami masa menopause.
10. Poligami dan Kawin Sirri
Poligami merupakan hal yang tidak habis-habisnya dibahas. Pro-
kontra terus terjadi. Terutama di Negara Indonesia. Apalagi poligami lewat
jalan nikah sirri. Hal ini dengan tegas Quraish Shihab menyatakan bahwa
pernikahan sirri memang sah secara agama tetapi pelakunya dapat berdosa
karena melanggar aturan ulil amri. Ini sebenarnya pengharaman secara
tidak langsung oleh Quraish Shihab karena jika tetap melakukan praktek
nikah sirri maka semua pelaku dan pihak yang terlibat akan mendapat dosa
karena tidak taat pada ulil amri.
Begitu juga dalam KHI maupun UU perkawinan, tidak
dicantumkan sedikitpun tentang nikah sirri. Hanya saja menegaskan bahwa
setiap perkawinan harus dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Sehingga
yang tidak mencatat perkawinannya di KAU maka perkawinannya tidak
sah secara hukum Negara dan tidak memiliki kekuatan hukum sama sekali.
Sehingga akan ada pihak yang terdzolimi, terutama anak yang akan
dilahirkan oleh pasangan nikah sirri. Isteri yang dinikah sirri juga tidak
memiliki kekuatan hukum untuk menuntut suaminya atau untuk
mendapatkan hak waris dari suaminya.
Hal itulah yang membuat Quraish Shihab sangat melarang kawin
atau nikah sirri. Selain tidak taat pada ulil amri, pelaku kawin sirri akan
menyebabkan resiko yang besar juga yaitu mendzolimi istri yang disirri
dan mendzolimi anak yang lahir dari pernikahan sirri tersebut.
Secara halus Beliau menyatakan bahwa “ walau sah menurut
agama, tetapi khusus untuk keindonesiaan, nikah sirri dilarang “.
Pelarangan tersebut karena akan ada dosa yang dialami oleh pelaku nikah
sirri. Karena mentaati pemimpin atau ulil amri hukumnya wajib. Sesuatu
yang wajib jika dilanggar maka akan mengakibatkan dosa bagi
pelanggarnya. Apalagi aturan yang dibuat oleh ulil amri demi keamanan
125
dan menghindari kedzoliman terhadap perempuan dan anak. Dan harusnya
didukung oleh kaum muslimin di Indonesia.
Penulis sangat setuju dengan Quraish Shihab dan UU yang berlaku
di Indonesia. Karena walau tidak ada dalil yang mengharuskan pernikahan
itu dicatat oleh Negara tetapi ketaatan pada Negara ada dalil yang
mewajibkannya. Taatilah Allah, Taati Rasul, dan ulil amri di antara kalian.
Apalagi ketaatan dalam hal ini bukan untuk bermaksiat pada Allah, justru
menurut penulis sangat sesuai dengan ajaran Islam. Buktinya Nabi tidak
pernah melakukan poligami sembunyi-sembunyi. Semua istrinya ditahu
oleh para sahabat dan masyarakat luas sampai saat ini.
Jadi antara Quraish Shihab dan peraturan yang berlaku tidak saling
bertentangan. Walau dalam kenyataannya tidak ada sangsi bagi pelaku
poligami yang nikah sirri. Harusnya jika tidak mematuhi aturan yang
berlaku maka pelaku nikah sirri harus dihukum oleh pemerintah agar
member efek jera bagi pelakunya. Karena akan menimbulkan
ketidakaturan dalam Negara. Dan tugas Negara adalah melindungi
warganya dari segala macam praktek yang melanggar UU, termasuk UU
Perkawinan dan KHI tersebut.
Seharusnya para kiyai, tuan guru, ustadz dan para guru lainnya
mengajarkan masyarakat tidak harus menunggu dalil secara tekstual dalam
memahami hukum. Ijtihad untuk membantu Negara menertibkan
perkawinan liar ( perkawinan sirri ) adalah tugas mereka yang bergelar
ulama. Sehingga fatwa pengharaman kawin sirri perlu diterbitkan.
C. Posisi Pemikiran Quraish Shihab Dalam Wacana Kaum Feminisme
Indonesia Tentang Poligami
1. Keluarga Sakinah, Mawaddah wa Rahmah
Perkawinan adalah peristiwa besar yang sangat sakral dalam
pandangan Islam. Perkawinan adalah penyatuan komitmen besar antara
dua insane yang saling mencintai satu sama lain. Ikatan perkawinan adalah
ikatan yang sangat suci yang harus dijaga oleh suami istri untuk
menciptakan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
126
Musdah Mulia, sebagai tokoh feminsme Indonesia, menjelaskan
secara rinci dan mendalam bagaimana konsep sebuah keluarga sakinah,
mawaddah wa rahmah tersebut. Beliau menjelaskan bahwa al-Quran
menggambarkan ikatan perkawinan dengan istilah mitsaqan ghalizha (
komitmen besar ). Perkawinan sejatinya merupakan perjanjian serius di
antara dua pihak yang memiliki posisi setara menuju kehidupan keluarga
yang sakinah dan bahagia, meliputi mawaddah wa rahmah.
Sebuah keluarga dikatakan sakinah mawaddah wa rahmah jika
memenuhi prinsip dasar perkawinan. Menurut Musdah Mulia, ada lima
prinsip dasar perkawinan sebagai berikut :
a. Prinsip Mitsaqan ghalizha ( Komitmen besar )
b. Prinsip mawaddah wa rahmah (cinta dan kasih sayang yang amat
tulus).
c. Prinsip equality ( persamaan )
d. Prinsip mu‟asyarah bi al-ma‟ruf ( pergaulan yang sopan dan santun )
e. Prinsip monogamy
Kelima prinsip tersebut menjadi pegangan utama dalam sebuah
perkawinan menurut Beliau. Tanpa lima dasar tersebut maka perkawinan
tidak akan melahirkan keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.
Dimulai dari prinsip Mitsaqan ghalizha sampai prinsip monogami adalah
rentetan syarat jika sebuah ikatan perkawinan menginginkan kesakinahan
dalam keluarganya.
Semua prinsip di atas sejalan dengan pemikiran Quraish Shihab,
kecuali point ke (e) nya yaitu monogami. Quraish Shihab memang
berasaskan monogami juga dalam perkawinan, tetapi tidak menutup mati
pintu poligami. Sedangkan Musdah Mulia, monogami adalah harga mati,
karena poligami hanya akan membuat suasana sakinah hilang dalam
keluarga.
Seperti kata Musdah Mulia dalam bukunya, “ pesan moral islam
dalam perkawinan adalah membangun keluarga yang sakinah yang sepi
dari semua bentik diskriminasi , dominsi, eksploitasi dan kekerasan
127
apapun alasannya. Beranjak dari prinsip prinsip perkawinan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa islam lebih menekankan pemeluknya pada perkawinan
monogami bukan poligami “.212
Bahkan Musdah Mulia menyatakan bahwa dengan prinsip mawaddah
wa rahmah, pasangan suami istri harus saling cinta, memberikan kasih
sayang, saling setia terhadap pasangan tanpa batas. Walaupun seorang istri
mengalami kondisi yang menjadi syarat bolehnya poligami bagi suaminya
seperti yang dirumuskan oleh Quraish Shihab maupun KHI dan UU No 1
tahun 1974, yaitu istri mandul, menopause, cacat atau memiliki penyakit
yang tidak dapat disembuhkan.
Musdah mulia tetap bersikeras menyatakan bahwa jangan jadikan
keadaan tersebut sebagai alasan bagi para suami untuk menikah lagi.
Sedangkan Quraish Shihab menyatakan, keadaan istri yang mengalami
hal-hal tersebut di atas adalah pintu masuk bolehnya seorang suami
menikah lagi.
Berikut kutipan pernyataan Musdah Mulia dalam bukunya,
“Perkawinan dibangun diatas landasan cinta , kesetiaan, dan kasih sayang
yang tak bertepi. Cinta, kasih sayang, dan kesetiaan itu tidak boleh pudar
apapun yang terjadi. Semua itu harus terpelihara meski salah satu
pasangan mengalami hal hal yang tidak menyenangkan ,seperti kecelakaan
yang menyebabkan lumpuh , cacat fisik dan mental, sakit
berkepanjanngan, atau salah satu nya divonis mandul atau dipenjara untuk
waktu yang lama “.213
Menurut penulis, pendapat Musdah Mulia tersebut terlalu berlebihan.
Karena Islam membolehkan berpoligami seperti perkataan Quraish Shihab.
Selama seorang suami adil, maka poligami dibolehkan, apalagi seorang
istri mengalami kondisi seperti di atas yang menyebabkan dia tidak
mampu lagi melayani suami. Pendapat Musdah Mulia tersebut jelas
bertentangan dengan pendapat Quraish Shihab. Penulis menilai bahwa 212 Musdah Mulia, Muslimah Sejati ; Menempuh jalan Islami Meraih Ridho Illahi, ( Bandung : MARJA, 2011 ), 187. 213
Ibid., hal. 188.
128
Quraish Shihab cukup mendukung monogami seperti Kaum Feminisme,
tetapi seorang istri harus tau diri bahwa ada saatnya istri-istri
mengikhlaskan suamiinya nikah lagi jika keadaan darurat yang dialami
istri tersebut.
Hal yang menjadi landasan juga bagi para penolak poligami adalah
kisah Kartini. Dalam buku karya Hadi Priyanto, beliau mengutip kata
Kartini dalam suratnya sebagai berikut ; “ Bagaimana saya dapat
menghormati seseorang, yang sudah kawin dan menjadi bapak, yang
apabila sudah bosan kepada ibu anak-anaknya, dapat membawa
perempuan lain ke dalam rumah dan mengawininya secara sah. Semua
perbuatan yang menyebabkan semua manusia menderita, saya anggap
sebagai dosa”.214
Hal ini menandakan bahwa seorang Kartini menganggap bahwa
monogami adalah syarat untuk mewujudkan keluarga yang sakinah. Jika
yang terjadi dalam keluarga adalah poligami maka itu hanya akan
menyebabkan penderitaan di pihak istri, sedangkan tujuan perkawinan
adalah kebahagiaan dan ketenangan bathin. Hal yang menjadi pertanyaan
besar adalah kenapa pemerintah melalui UU membolehkan poligami?
Apakah tidak terbalik dengan pasal tujuan perkawinan walau ada
syaratnya?
Pertanyaan besar tersebut dijawab dengan cerdas oleh Quraish Shihab
bahwa asas pernikahan dalam Islam memang berasaskan monogami.
Sedangkan poligami itu hanya karena darurat. Di satu sisi Quraish Shihab
menyatakan bahwa asas pernikahan adalah monogami, di sisi lain
membolehkan poligami. Kata Quraish Shihab dalam pandangannya
tentang keluarga sakinah pada bab III bahwa ; “ Sakinah harus didahului
oleh gejolak menunjukkan bahwa ketenangan yang dimaksud adalah
ketenangan dinamis. Pasti dalam setiap rumah tangga ada saat ketika
gejolak, bahkan kesalahpahaman dapat terjadi. Namun, ia dapat segera
tertanggulangi lalu melahirkan sakinah. la tertanggulangi bila agama yakni
214 Hadi Priyanto, Kartini ; Pembaharu Peradaban, ( Semarang ; Fortsastran Jepara, 2011 ), 135.
129
tuntunan-tuntunannya dipahami dan dihayati oleh anggota keluarga. Atau,
dengan kata lain, bila agama berperan dengan baik dalam kehidupan
keluarga”.
Hal ini menurut penulis, gejolak dalam keluarga tersebut bisa saja
salah satunya karena tidak memiliki keturunan, sehingga sang suami
berpoligami. Hal ini merupakan gejolak bagi istri dan tantangan bagi
suami. Namun nanti di akhir cerita, Quraish Shihab berharap walau dalam
kasus ini dibolehkan seorang suami poligami, tetap istri dapat menerima
dengan lapang dada karena istri tersebut tidak dapat memberikan
keturunan atau anak untuk suaminya, sehingga sakinah akan tetap terbina
walau kondisi demikian.
Menurut penulis, Quraish Shihab memberikan solusi atas pertentangan
yang terjadi. Dengan kata lain, keluarga sakinah tetap bisa terbina walau
terjadi poligami. Dalam hal ini penulis menganggap bahwa Quraish Shihab
sangat bijak sehingga mampu meredam kontroversi para kaum feminisme
yang tetap menitikberatkan bahwa keluarga sakinah itu tanpa poligami.
Walau dalam kesempatan lain para kaum Feminisme memberi saran agar
suami tidak berpoligami karena istrinya mandul maka suami istri tersebut
bisa mengadopsi anak. Tetapi menurut penulis, sangat beda antara
megurus anak orang lain dengan anak sendiri. Jangan hanya demi egoisme
perempuan akhirnya mendzolimi suami yang sangat ingin memiliki
keturuanan sendiri.
2. Kedudukan Perempuan
Kedudukan laki-laki dan perempuan sama di mata kaum Feminisme.
Tidak ada pembatasan hak. Musdah Mulia melihat bahwa ada tiga
pemikiran masyarakat atau ulama pada umumnya yang Beliau kritisi, yaitu
pertama, pemahaman tentang asal usul penciptaan manusia. kedua,
pemahaman tentang kejatuhan Adam dan Hawa dari Syurga. Ketiga,
pemahaman tentang kepemimpinan perempuan.
a. Pemahaman tentang asal usul penciptaan manusia
130
Menurut pemahaman masyarakat pada umumnya bahwa Adam as
diciptakan dari tanah, sedangkan Hawa as diciptakan dari tulang rusuk
Adam as. Sehingga melahirkan anggapan bahwa perempuan itu hanya
sebagai pelengkap laki-laki, orang nomor dua, diciptakan dari dan
untuk lelaki dan sebagainya.
Hal tersebut menjadi kritikan dari kaum Feminis, yang
menyatakan bahwa pemahaman tersebut hanya akan menyebabkan
pembagian kelas dalam manusia, yaitu manusia kelas satu ( laki-laki ),
dan perempuan sebagai manusia kelas dua, sehingga terjadi
diskriminasi status dalam masyarakat. Hal ini dikritik dan disalahkan
oleh kaum FEminisme, karena bagi mereka, laki-laki dan perempuan
itu sama saja. Yang membedakan hanya tingkat ketaqwaannya saja.
Hal ini serupa dengan pemikiran Quraish Shihab menyatakan
bahwa penciptaan Adam dan Hawa as berasal dari jenis yang sama
yaitu tanah. Dalam tafsirnya BEliau menyatakan bahwa kata nafs
dalam surat al-Nisa‟ ayat 1 memiliki makna jenismu sendiri. Jadi,
proses penciptaan manusia berasal dari sumber yang sama yaitu tanah.
Sehingga tidak ada perbedaan dalam hal penciptaan. Dan perempuan
memiliki kedudukan yang sama dalam hal penciptaan manusia.
Musdah Mulia, dalam bukunya yang berjudul Muslimah Sejati,
Menyatakan bahwa Umat Islam meyakini agamanya sebagai rahmatan
lil alamin, artinya agama yang menebarkan rahmat bagi alam semesta.
Salah satu bentuk dari rahmat itu adalah pengakuan Islam terhadap
keutuhan kemanusiaan perempuan dan laki-laki adalah sama, tidak
perbedaan sedikitpun. Ukuran kemulian seorang di hadapan Allah
SWT adalah prestasi dan kualitas taqwanya, tanpa membedakan jenis
kelaminnya ( Qs. Al_Hujurat ( 49 ) : 13 ).215
Menurut penulis, terlepas dari pro kontra pemahaman tentang asal
usul laki-laki dan perempuan, penulis tetap memahami bahwa laki-
laki tetap berada lebih tinggi kedudukannya dari perempuan. Dengan
215
Musdah Mulia, Muslimah Sejati, ( Bandung : Marja, 2011 ), 131.
131
asalan bahwa yang pertama kali diciptakan adalah Adam as sebagai
laki-laki dan khalifah ( pemimpin ) di muka bumi. Dan adanya dalil
yang menyatakan bahwa kedudukan laki-laki lebih tinggi satu derajat
dari perempuan.
b. Pemahaman tentang kejatuhan Adam dan Hawa dari Syurga
Pemahaman lain yang menyebar di masyarakat adalah penyebab
Adam as dan Hawa as dikeluarkan dari syurga. Kita memahami
bahwa penyebab keluarnya mereka dari syurga adalah karena
kesalahan Hawa as. Hawa lah yang menjadi biang kerok cikal bakal
dikeluarkannya Adam dan dirinya sendiri dari syurga. Kesalahan
bersumber dari Hawa yang menghasut Adam as untuk memakan buah
larangan Tuhan. Akhirnya para ulama menyimpulkan bahwa
penyebab Adam dan Hawa as dikeluarkan dari Syurga karena
kesalahan Hawa as.216
Hal tersebut juga dikritisi oleh Quraish Shihab, yang menyatakan
bahwa kesalahan tersebut bukan hanya dari Hawa as, tetapi dari Adam
as juga. Dalam tafsirnya Beliau menyatakan bahwa Iblis membisikan
ke telinga Adam untuk memakan buah keabadian tersebut. Jadi
kesalahan terjadi dilakukan oleh keduanya.
Menurut penulis, tafsir Quraish Shihab tersebut lebih mendekati
kebenaran karena dalam sebuah keputusan antara dua orang atau lebih
yang hidup bersama, tidak boleh disalahkan satu sama lain jika suatu
saat keputusan tersebut salah. Karena dalam keputusan pasti
melibatkan pasangannya juga. Jadi memang salah jika satu-satunya
penyebab keluarnya Adam dan Hawa as adalah Hawa as saja.
Quraish Shihab dalam hal ini sejalan dengan Kaum Feminisme
atau berada pada posisi mendukung kaum Feminisme dalam rangka
mengkritisi pemahaman yang kurang teapt dari masyarakat pada
umumnya. Sehingga tidak bisa kita menyatakan bahwa ketika suami
216
Ibid., 132.
132
melakukan kesalahan dalam rumah tangga, tetapi istri yang
disalahkan. Padahal belum tentu istri yang bersalah.
Begitu juga dalam kasus Adam as dan Hawa as, Adam as
memakan buah keabadian tersebut atas hasutan Iblis dengan iming-
iming akan hidup abadi selamanya. Peran istri mempengaruhi suami
untuk mengikuti bisikan Iblis tersebut. Kesalahan Istri ( Hawa as )
adalah mempengaruhi Adam untuk memakan buah tersebut.
Sedangkan kesalahan Adam as adalah mengambil dan memakan buah
tersebut. Artinya kedua-duanya sama-sama salah makanya keduanya
dikeluarkan dari syurga. Tidak mungkin Adam as dikeluarkan dari
syurga oleh Allah jika dia tidak berbuat salah juga, karena Allah maha
adil dan maha tahu.
c. Pemahaman tentang kepemimpinan perempuan.
Pemahaman selanjutnya yang dikritisi oleh kaum Feminisme
adalah tentang kepemimpinan perempuan. Selama ini kita memahami
bahwa perempuan tidak layak menjadi pemimpin. Pemimpin itu hanya
laki-laki, sedangkan perempuan, kata Musdah Mulia, “Gambaran tipe
ideal perempuan dalam masyarakat Islam adalah feminism, lemah
lembut, tubuh yang tidak berotot, suara kecil berbisik, tidak menuntut,
tidak mengeluh, tidak kritis dan tidak protes. Kalau berjalan
pandangannya ke bawah dan wajahnya selalu tersenyum
menyenangkan, subur dan banyak anak, pandai merawat dan
mengasuh anak, pandai memuaskan nafsu seksual suami, pandai
memasak dan menghidangkan makanan lezat dan murah, pandai
menjaga rahasia keluarga, pandai mengelola keuangan suami, hemat
dan tidak boros, banyak minum jamu untuk mengecilkan perut,
merampingkan badan, dan mengharumkan tubuh, terutama bagian
organ-organ reproduksi, tidak banyak bergaul walau dengans sesama
perempuan “.217
217
Ibid., 133.
133
Dalam masyarakat diajarkan bahwa perempuan tidak layak
menjadi pemimpin karena tubuhnya sangat lembut dan lemah, serta
akalnya pendek. Apalagi ada hadits yang menyatakan bahwa : “
perempuan itu lemah akal dan agamanya ( HR. Bukhari ). Ada juga
hadits yang menyatakan bahwa : „” celakalah suatu bangsa yang
mempercayakan kepemimpinannya kepada perempuan ( HR. Bukhari
). Lalu diperkuat lagi dengan ayat yang menjelaskan bahwa laki-laki
itu pemimpin bagi perempuan ( Qs al-Nisa‟ (4) : 34 ).218
Jadi, kesimpulannya, Musdah Mulia sebagai tokoh feminisme
Indonesia sangat tidak setuju dengan KHI dan UU Perkawinan di
Indonesia karena hanya menyudutkan dan merendahkan kedudukan
perempuan. Dan jika melihat pemikiran Quraish Shihab, ada sedikit
perbedaan dengan pemikiran Musdah Mulia yaitu tentang kedudukan
perempuan dalam keluarga beserta hak dan kewajibannya. Quraish
Shihab setuju bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan,
tetapi ia menafsirkan bahwa hal tersebut hanya dalam lingkungan
keluarga. Sedangkan dalam ruang publik, Quraish Shihab tidak
menolak adanya potensi perempuan untuk menjadi pemimpin.
Sehingga Quraish Shihab dalam hal kepemimpinan publik, sejalan
dengan pemikiran kaum feminisme dimana laki-laki dan perempuan
memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi pemimpin di ruang
publik seperti menjadi Presiden, Gubernur, Bupati atau Walikota dan
segala bentuk kepemimpinan publik.
Penulis mengkritisi pendapat Quraish Shihab yang menafsirkan
ayat tentang kepemimpinan itu hanya di lingkup keluarga saja,
sedangkan di publik, perempuan boleh menjadi pemimpin. Menurut
Penulis, pendapat tersebut tidak sesuai dengan pemahaman ulama
pada umumnya. Para ulama menyatakan bahwa pemimpin adalah laki-
laki, dimanapun dan kapanpun. Imam al-Qurtubi misalnya dalam
tafsirnya menyatakan bahwa khalifah ( kepala Negara ) haruslah
218
Ibid., 134.
134
seorang laki-laki dan para fuqaha telah bersepakat bahwa wanita tidak
boleh menjadi pemimpin.219
Tetapi dalam hal ini, Quraish Shihab mencoba menengahi pro
kontra yang terjadi. Quraish Melihat konteks ayat tentang laki-laki
adalah pemimpin kaum perempuan hanya dalam lingkup keluarga
karena ayat tersebut sedang berbicara dalam konteks keluarga, bukan
konteks publik. Quraish Shihab sedikit mendukung Feminisme dan
sedikit mengkritisi.
3. Hukum Poligami
a. Islam Datang Untuk Menghapus Tradisi Poligami
Seperti yang tertulis dalam landasan teori tesis ini, yang
menyatakan bahwa poligami itu telah ada jauh sebelum Islam datang.
Islam datang hanya sekedar mengatur aturan poligami. Kaum
Feminisme juga menyatakan hal yang sama bahwa Islam datang untuk
menghapus praktek poligami sembarangan tanpa aturan orang-orang
jahiliyah jaman dulu. Penghapusan Poligami mirip dengan penghapusan
perbudakan.
Cara Islam menghapus perbudakan adalah dengan mengeluarkan
fatwa tentang keutamaan membebaskan budak. Jika dipahami lebih
mendalam maksud dari perintah itu adalah hal tersebut dalam rangka
penghapusan perbudakan secara halus dan bijaksana sehingga akhir dari
perintah tersebut adalah terhapusnya perbudakan. Jika semua budak
dibebaskan maka itulah keberhasilan perintah tersebut walau dalil
bolehnya perbudakan tidak dihapus.
Begitu juga poligami menurut pemahaman kaum Feminisme
seperti Musdah Mulia. Awalnya poligami tanpa batas dan tidak ada
aturan. Siapapun boleh poligami dengan berapapun jumlahnya. Islam
datang untuk mengatur hal tersebut dengan awal perintahnya adalah
boleh poligami tetapi maksimal empat orang istri. Tetapi akhir perintah
219
Utary maharani Barus, Pemimpin wanita dalam Islam, ( Universitas Sumut : Sumut, 2005 ), hal. 3. Skripsi tidak diterbitkan.
135
dalam ayat ke tiga surat al-Nisa‟ tersebut adalah disarankan satu saja
karena lebih mendekati tidak berbuat aniaya. Musdah Mulia memahami
ayat ini mirip dengan perintah keutamaan membebaskan budak.
Perbudakan boleh tetapi lebih baik tidak. Begitu juga poligami, boleh
tetapi lebih baik tidak, yaitu cukup satu istri saja.
Kata Musdah Mulia dalam bukunya, “ Islam datang untuk
menghapus poligami sebagaimana menghapuskan berbagai tradisi keji
lainnya seperti minum khamr, perselingkuhan, prostitusi, perzinahan
dan perbudakan “.220 Walaupun ayat poligami masih ada, tetapi tugas
kita pasca Nabi lah yang terus berjuang agar poligami dihapuskan.
Begitulah pemahaman kaum Feminisme selain melihat sisi Hak asasi
manusia dan sebagainya.
Hal tersebut kurang sejalan dengan pemahaman Quraish Shihab,
karena Quraish Shihab tidak pernah mengatakan bahwa poligami itu
haram. Beliau hanya melarang poligami yang tidak memenuhi syarat.
Sedangkan Musdah Mulia karena dasar pemikiran bahwa poligami mau
dihapus seperti perbudakan maka Beliau melarang poligami secara
mutlak agar sukses seperti saat ini sudah tidak ada perbudakan walau
ayat yang membolehkannya masih tetap berlaku.
Namun penulis menilai bahwa kasus penghapusan khamr,
perzinahan, perbudakan dan sebagainya tidak bisa disamakan dengan
kasus poligami. Penulis menganggap bahwa poligami memiliki nilai-
nilai moral yang tinggi disbanding dengan perbudakan. Banyak hal
positif yang menjadi landasan poligami itu dibolehkan. Kita juga harus
memahami bahwa tidak ada sahabat Nabi yang memahami perintah
poligami sama dengan perintah membebaskan budak. Perbudakan itu
jelas bertentangan dengan ayat tentang persamaan kedudukan manusia
di mata Allah sedangkan poligami adalah masalah lain yang Nabi dan
para sahabat juga mempraktekannya.
220
Ibid., 190.
136
Jika perintah monogami disamakan dengan perintah
membebaskan budak maka para sahabat akan berlomba-lomba
menceraikan istri-istrinya ( cukup sisai satu saja ) seperti mereka
berlomba-lomba membebaskan budak seperti yang Nabi lakukan. Hal
ini lah yang mendasari pemikiran penulis menolak jika perbudakan
disamakan dengan poligami.
b. Asas Perkawinan adalah monogami
Ada lima prinsip dasar perkawinan menurut kaum Feminisme
yaitu prinsip mitsaqan ghaliza, prinsip mawaddah wa rahmah, prinsip
persamaan, prinsip mu‟asyarah bil ma‟ruf dan terakhir adalah prinsip
monogami. Musdah Mulia mensyaratkan dasar perkawinan dengan lima
hal tersebut. Jika tidak, maka itu bukan sebuah perkawinan yang sesuai
ajaran Islam.
Beliau mengatakan bahwa “ prinsip atau asas perkawinan Islam
yang disebutkan terdahulu hanya dapat terealisasi melalui perkawinan
monogami, bukan poligami “.221 Hal ini berarti bahwa poligami telah
ada sebelum Islam datang dan Islam datang untuk menghapus hal
tersebut yang dianggap akan berbuat aniaya terhadap istri-istri.
Hal ini jelas bertentangan dengan pemahaman Quraish Shihab
bahwa hukum poligami itu dibolehkan dengan syarat yang berat walau
Beliau sepakat bahwa asas perkawinan dalam Islam adalah asas
monogami. Artinya Beliau setuju dengan pendapat Musdah Mulia
tentang asas tersebut. Namun Quraish Shihab menganggap bahwa asas
monogami memang asas awalnya tetapi boleh berubah jadi poligami
dalam keadaan darurat. Tetapi Musdah Mulia tetap konsisten melarang
poligami karena sebab yang akan ditimbulkan.
Di satu sisi Quraish Shihab menyatakan bahwa asas perkawinan
adalah monogami, di sisi lain membolehkan poligami dengan syarat
yang sangat berat. Hal ini menunjukan bahwa sebenarnya Quraish
Shihab lebih menyarankan bagi para wanita agar lebih legowo dan tau
221
Ibid., 188.
137
diri. Jika sudah tidak mampu lagi melayani suami, memiliki penyakit
atau mandul, maka harus bisa mengikhlaskan suami kawin lagi. Karena
kalau tidak maka istri telah mendzolimi suaminya.
Posisi Quraish Shihab dalam menengahi kerasnya para kaum
Feminisme menutup mati pintu poligami adalah memberikan logika
yang sangat masuk akal sehingga banyak wanita yang tersadarkan akan
bolehnya poligami pada keadaan darurat tersebut.
c. Hukum poligami
Poligami menurut Kaum Feminisme hanya akan menimbulkan
kesengsaraan bagi kaum perempuan dan terbengkalainya anak-anak
akibat ayahnya menikah lagi. Poligami adalah musibah yang dapat
menyebabkan hancurnya sebuah hubungan suci yaitu perkawinan.
Banyak sekali kasus perceraian yang terjadi bukan hanya karena
perselingkuhan tetapi karena poligami. Sehingga poligami dilarang
keras oleh kaum Feminis atau menyatakan bahwa poligami hukumnya
haram lighoirihi yaitu haram karena sebab yang akan ditimbulkan.
Poligami adalah perselingkuhan yang dilegalkan, begitu kata
Musdah Mulia. Berikut kutipannya, “ poligami pada hakekatnya adalah
selingkuh yang dilegalkan, dan karenanya jauh lebih menyakitkan
perasaan istri. Islam menuntun manusia agar menjauhi selingkuh, dan
sekaligus menghindari poligami. Islam menuntun pengikutnya: laki-laki
dan perempuan agar mampu menjaga organ-organ reproduksinya
dengan benar sehingga tidak terjerumus pada segala bentuk pemuasan
syahwat yang dapat mengantarkan pada kejahatan terhadap
kemanusiaan “.222Oleh karena itu lah Musdah Mulia menganggap
bahwa poligami sebenarnya haram untuk dipraktekan karena akan
menyebabkan kejahatan.
Berbeda dengan Quraish Shihab, Beliau menyatakan bahwa
hukum poligami itu boleh, tetapi dengan syarat. Salah satunya adalah
222 Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami, ( Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2004 ), 61.
138
mampu berbuat adil. Beliau mengkritisi orang yang menutup mati pintu
poligami karena poligami bisa jadi solusi dari berbagai masalah istri
misalnya istri yang kena penyakit sehingga tidak mampu lagi melayani
suami dengan maksimal apalagi tidak mampu lagi sama sekali.
Quraish Shihab mencoba meredam nafsu amarah perempuan yang
anti poligami dengan logika yang masuk akal. Walau penulis tetap tidak
setuju dengan pendapat Quraish Shihab tersebut. Apalagi dengan
pendapat Musdah Mulia sang feminis. Menurut penulis, poligami itu
asal adil maka dibolehkan. Karena jika harus tunggu istri cacat dulu
atau mandul dulu atau menopause dulu maka justru itu yang akan
mendzolimi laki-laki karena tenaganya terbuang sia-sia. Sedangkan
perbuatan sia-sia adalah dilarang dalam Islam. Jadi penulis lebih
cenderung pada pendapat ulama lain yang mensunnahkan poligami bagi
yang adil tanpa ada embel-embel syarat dan sejenisnya.
4. Berbagai alasan Melakukan Poligami
a. Poligami karena sunnah nabi?
Sunnah Nabi memang menjadi alasan bagi para pelaku poligami
dalam mempraktekan poligaminya. Seharusnya jika benar-benar
mengikuti sunnah Nabi, maka harusnya tunggu istri pertama meninggal
dulu baru nikah lagi dan poligami. Karena Hadijah istri pertama Nabi
tidak pernah dipoligami semasa hidupnya.
Hal tersebut dapat kita lihat dalam buku karya Musdah Mulia,
yang menyatakan bahwa “ pernyataan para pendukung poligami dengan
dalil bahwa itu sunnah merupakan kedangkalan dalam pemikiran “.223
Bagi Beliau, kenapa sunnah Nabi selalu dikaitkan dengan poligami?
Padahal begitu banyaknya sunnah Nabi yang lain yang menjadi prioritas
seperti Sunnah Nabi dalam menciptakan keadilan dan perdamaian. Dan
jika benar poligami karena sunnah Nabi, maka harusnya mereka
poligami dengan para janda tua untuk menolong mereka. Bahkan Nabi
223
Ibid., 191.
139
sendiri selama Hadijah hidup, Nabi SAW tidak menduakannya atau
berpoligami.
Nabi Muhammad SAW hidup dan tumbuh dalam tradisi poligami
tetapi Beliau lebih memilih bermonogami dengan Hadijah ra sampai
Hadijah meninggal dunia dan itu berlangsung selama 28 tahun. Nabi
setelah Hadijah Wafat pun, menikahi janda umur 65 tahun bernama
saudah binti Zam‟ah berumur 65 tahun, sebagian riwayat menyebutkan
berusia 45 tahun. Setelah saudah Rasul menikahi aisyah binti abu bakar,
satu-satunya istri yang perawan dan masih muda. Selanjutnya berturut-
turut mengawini Hafsah binti umar ibn al-khattab, Ummu salamah,
Ummu Habibah, Zainab binti Jahsyi, Zainab binti Khuzaimah,
Juwairiyah binti Haris, Syafiyyah binti huyai, Raihanah binti Zaid dan
yang terakhir Maimunah binti Harist terjadi pada tahun ke-7 hijriah “.224
Hal serupa juga Quraish Jelaskan bahwa jika seseorang ingin
berpoligami karena mengikuti sunnah Nabi, maka harusnya berpoligami
dengan janda-janda dengan tujuan dakwah bukan memperturutkan hawa
nafsu biologis saja. Sehingga dalam hal ini Quraish Shihab sama dengan
Musdah Mulia mengkritisi para ulama lain yang mensunnahkan poligami
karena Nabi berpoligami.
Tetapi menurut penulis, pembantahan yang masuk akal tersebut
tidak ada landasan tertulis sedikitpun semacamam pernyataan NAbi
dalam hadits yang menyatakan bahwa Istri pertama tidak boleh
dipoligami atau tunggu istri pertama meninggal dulu baru boleh menikah
lagi dan berpoligami. Hal ini dibuktikan bahwa para sahabat juga
berpoligami tanpa harus menunggu istri pertama meninggal dunia.
Kecuali Ali bin Abi Thalib yang awalnya ingin mempoligami Siti
Fatimah istri pertamanya namun kandas karena Nabi tidak
mengijinkannya. Tetapi perlu dipahami bahwa Nabi tidak mengijinkan
bukan berarti Nabi melarang poligami.
b. Poligami Karena ada ayatnya?
224 Ibid., 193-194.
140
Dalam pandangan kaum Feminisme, alasan poligami karena ada
ayat yang membolehkannya adalah sangatlah keliru. Begitu banyaknya
ayat-ayat perintah yang lain diabaikan, justru yang satu ayat bahkan
sepotong ayat dalam surah al-Nisa‟ ayat 3 tersebut diutamakan. Begitu
banyak juga dalil-dalil tentang pernikahan yang lain yang tidak
diperhatikan. Jadi, alasan poligami karena ayatnya adalah kena‟ifan
yang luar biasa.
Musdah Mulia menyatakan, “ sangat tidak logis memahami
poligami hanya dengan bersandar pada satu ayat atau bahkan setengah
ayat dan mengabaikan ayat-ayat lainnya yang sangat relevan dijadikan
dasar hukum “.225 Jadi hal tersebut hanya alasan saja untuk memenuhi
nafsu laki-laki yang tidak bisa mencukupi diri dengan satu istri.
Pembatasan poligami yang sangat ketat dalam ajaran Islam
harusnya menjadi landasan moral bagi kita semua bahwa poligami itu
berbahaya. Pembatasan poligami tersebut sebenarnya dalam rangka
menghapus poligami pelan-pelan, sehingga ujungnya adalah tak ada lagi
poligami layaknya perbudakan yang sekarang sudah dihapus walau dalil
yang membolehkannya masih tetap berlaku. Penulis kutib dari
pernyataan Beliau sebagai berikut ; “ Tradisi poligami dan perbudakan
sudah demikian berakar dalam kehidupan masyarakat, sehingga
mustahil rasanya menghapus tradisi tersebut secara total sekaligus “.226
Penghapusan perbudakan dilakukan dengan cara halus karena sudah
membudayanya system perbudakan, begitu juga poligami.
Menurut Penulis, Musdah Mulia menilai bahwa poligami
seharusnya dipahami seperti perbudakan. Ayat tentang perbudakan
masih ada dan masih dibolehkan tetapi jika dipikir lagi dengan
keutamaan pembebasan budak maka secara tidak langsung Nabi SAW
melarang perbudakan. Begitu juga poligami, dengan pernyataan al-
225 Ibid., 199. 226
Ibid., 200.
141
Qur‟an bahwa menikah dengan satu istri lebih menjauhi diri dari berbuat
aniaya adalah sebagai tanda bahwa poligami itu dilarang.
Hal tersebutlah yang membuat Musdah Mulia mengharamkan
poligami. Tetapi Quraish Shihab tidak berpendapat demikian. Karena
perbudakan lebih baik dihapuskan tetapi diganti dengan system
pembantu. Begitu juga poligami yang sembarangan diganti dengan
poligami yang diatur dengan syarat. Sehingga pembantu maupun istri
yang dipoligami dilindungi oleh UU. Seperti pembahasan sebelumnya
bahwa penulis menilai bahwa tidak bisa disamakan antara perbudakan
dengan poligami karena jauh antara langit dan bumi perbedaannya.
Perbudakan adalah pelecehan terhadap manusia, sedangkan poligami
adalah memuliakan perempuan.
c. Poligami karena jumlah perempuan lebih banyak?
Alasan lain yang sering diangkat di masyarakat dalam
perbincangan mengenai poligami adalah karena kelebihan jumlah
perempuan atas laki-laki. Pandangan ini kata Musdah Mulia, jelas tidak
benar. Sebab, jika mengacu kepada data Badan Pusat Statistik Nasional,
terlihat bahwa yang dimaksudkan dengan kelebihan jumlah perempuan
adalah perempuan yang berusia di bawah 12 tahun dan di atas 60 tahun
karena usia harapan hidup perempuan rata-rata lebih panjang daripada
usia laki-laki.227
Hukum asal sebuah perkawinan adalah mubah ( boleh ). Jadi
menikah itu tidak wajib. Jika suatu perkawinan hanya akan
menimbulkan dosa dan kesalahan dan kedzoliman bagi salah satu pihak
maka pernikahan tersebut bisa berubah hukum menjadi haram. Ada
saatnya sunnah jika sudah mencapai umur dan tidak tahan lagi hidup
sendiri dan lain sebagainya.
Musdah Mulia mengatakan, “ Pertama-tama perlu ditegaskan
bahwa perkawinan bukan suatu kewajiban atau keharusan dalam Islam.
Hukum dasar perkawinan adalah mubah ( Boleh ). Namun, hukum asal
227 Ibid., 201.
142
itu dapat berubah dan berkembang menurut kondisi manusia. Bisa jadi
hukumnya makruh, sunnah, wajib, dan bahkan dapat berubah menjadi
haram kalau perkawinan itu dimaksudkan untuk mengeksploitasi
pasangan “.228
Perempuan tidak wajar menikah dengan seorang laki-laki yang
beristri. Hal tersebut dapat menimbulkan kehancuran pernikahan orang
lain atau perempuan lain. Sehingga Musdah Mulia selalu
mengkampanyekan kalimat “say no to marriage men ( katakan tidak
pada laki-laki yang beristri ) “.229 Dengan begitu, sejak dini dalam diri
mereka terbangun rasa empati, rasa kemanusiaan untuk tidak merusak
kebahagiaan perkawinan orang lain, kebahagiaan sesama perempuan “.
Kelompok propoligami selalu memandang perempuan yang tidak
menikah, baik perawan maupun janda, sebagai perempuan bermasalah.
Bahkan mereka diberi stigma berpotensi melakukan kejahatan. Tetapi
menurut Musdah Mulia, “ realitas yang ada malah menujukan
sebaliknya. Dijumpai begitu banyak perempuan baik-baik yang memilih
secara sadar dan penuh tanggungjawab untuk tidak menikah. Baik
mereka yang masih perawan atau sudah janda. Bahkan, ada yang
memilih tidak menikah karena pertimbangan keagamaan, yaitu takut
kekhusukan ibadahnya terganggu setelah menikah”.230
Realitas menunjukan juga bahwa banyak perempuan memilih
hidup sendiri karena mereka merasa sudah bahagia tanpa suami. Hal ini
Musdah Mulia terangkan bahwa “ begitu banyak perempuan yang tidak
bersuami hidup senang dan berkecukupan secara material, tidak terlantar
dan sengsara sebagaimana yang dituduhkan. Bahkan, pada umumnya
perempuan yang tidak bersuami lebih mandiri dan dewasa karena
tuntutan keadaan memaksa mereka untuk tampil demikian “.231
228 Ibid., 202. 229
Ibid., 203. 230 Ibid., 204. 231
Ibid., 205
143
Quraish juga menyatakan bahwa Jika poligami itu dianjurkan maka
Allah akan menciptakan perempuan empat kali lebih banyak dari laki-
laki. Artinya 4 banding 1. Dalam hal ini Quraish Shihab berada pada
posisi mendukung kaum Feminisme. Walau dalam kesempatan lain
Quraish Shihab menyatakan bahwa tidak mungkin manusia bisa hidup
sendiri karena fitrah manusia itu berpasangan.
Bukan karena lebih banyaknya perempuan yang menjadi landasan
Quraish Shihab membolehkan poligami tetapi karena darurat. Jadi
alasan tersebut yang diuraikan oleh Musdah Mulia sejalan dengan
Quraish Shihab walau Quraish Shihab tetap menolak menutup mati
pintu poligami.
Tetapi menurut penulis, ada saatnya nanti jumlah perempuan jauh
lebih banyak dari jumlah laki-laki. Itu ada dalilnya dari Nabi SAW
bahwa salah satu tanda kiamat adalah jumlah perempuan lebih banyak
dari jumlah laki-laki. Sehingga pada saat itulah poligami semakin
disunnahkan bahkan wajib agar perempuan tidak terjerumus dalam
pelacuran atau merebut suami orang. Sehingga poligami saat itu adalah
solusi terbaik.
d. Poligami karena istri mengalami kekurangan?
Alasan lain yang sering dimunculkan oleh para pelaku poligami
adalah karena istri tidak dapat melaksanakan kewajiban sebagai istri,
catat, mandul, atau berpenyakit kronis yang sulit disembuhkan. Semua
alasan kekurangan tersebut menjadi landasan hukum bagi laki-laki yang
ingin melakukan poligami. alasan ini juga yang membolehkan seorang
suami untuk berpoligami dalam undang-undang perkawinan dan KHI (
Kompilasi Hukum Islam ).
Musdah Mulia menganggap bahwa kekurangan tersebut bukanlah
alasan yang tepat untuk melakukan poligami. Karena dasar sebuah
perkawinan adalah komitmen yang kuat dan monogami. Perkawinan itu
wajib dipertahankan karena niat awal nikah karena saling suka sama
suka, cinta mencintai dan saling membutuhkan. Jadi sebuah hubungan
144
suci pernikahan tidak boleh runtuh hanya karena istri mandul, cacat
atau mengalami penyakit. Solusi mandul adalah mengadopsi anak.
Solusi cacat adalah diobati. Dan penyakit bisa disembuhkan. Kalaupun
tidak bisa disembuhkan, harusnya laki-laki menunjukan cintanya bahwa
dalam kondisi sakit seperti itu pun dia tetap setia bersama istrinya,
bukan selingkuh atau pun minta nikah lagi.
Seharusnya kondisi tersebut membuat pembuktian cinta bagi sang
suami untuk selalu setia pada istrinya. Seperti kata Musdah Mulia, “
Hidup ini penuh misteri ilahi. Manusia umumnya tidak tahu seperti apa
jalan takdirnya. Siapa pernah menduga tiba-tiba suatu hari pasangan
kita (suami istri) mengalami kecelakaan sakit atau apa saja yang
mengakibatkan cacat, mandul, lumpuh, masuk penjara dan seterusnya.
Kondisi kekurangan dalam diri pasangan harusnya kian mengekalkan
cinta dan kasih sayang diantara mereka, kian memperkuat tali
perkawinan yang sudah diikrarkan bukan sebaliknya “.232
Perkawinan dalam Islam itu bukan sekedar kebutuhan biologis,
tetapi memiliki makna yang jauh dari sekedar memuaskan nafsu
biologis manusia. Allah telah mengajarkan pada kita semua bahwa jika
ada sesuatu yang bikin kita tidak suka pada pasangan maka bersabarlah.
Jangan menyakitinya dan jangan mengkhianatinya. Dalam surah al-
Nisa‟ ayat 19 menurut Musdah Mulia, “ ayat tersebut menjelaskan
solusi bagi suami yang mengalami kekurangan kehidupan
perkawinannya, seperti istri mengalami kekurangan. Ayat ini justru
memerintahkan agar suami berlaku santun, arif dan bijaksana terhadap
istri. Jika suami mendapatkan hal-hal yang tidak menyenangkan dalam
diri istri maka hendaklah bersabar, bukan dengan kawin lagi “.233
Akan tetapi dalam kenyataan di masyarakat, lanjut Beliau, “ ajaran
islam tentang indahnya bersabar selalu ditujukan kepada perempuan,
232 Ibid., 206. 233
Ibid., 205.
145
khususnya para istri. Istri harus bisa menerima segala kekurangan
suami. Bahkan dibanyak majlis taklim para ibu dininabobokkan dengan
ajaran bersabar kalau suami berpoligami. Istri harus sabar dan rela.
Hanya dengan bersabar istri dapat masuk syurga dan seterusnya.
Sementara memngacu pada ayat diatas (an-nisa‟ [4]: 19) justru yang
diminta bersabar adalah para suami,bukan istri artinya telah tejadi
pemutar balikkan ajaran Islam “.234
Dalam hal ini, Quraish Shihab tidak sepakat dengan Musdah
Mulia.. Quraish Shihab bahkan menganjurkan poligami jika istri
pertama mandul, berpenyakit, atau catat. Terserah diakibatkan oleh apa
kondisi-kondisi tersebut. Justru dalam kondisi demikian, Seorang istri
harus legowo mengikhlaskan suami menikah lagi demi kebahagiaan
suami.
Dan menurut penulis, penulis lebih sepakat dengan Quraish Shihab.
Hal seperti ini adalah moment pembuktian seorang istri pada suaminya.
Dengan kondisi dia yang tidak memungkinkan lagi melayani suami
maka demi kebahagiaan suami dia rela dipoligami. Dalam hal ini,
Musdah Mulia terlalu egois melihat ke sisi perempuan saja tanpa
memperhatikan kondisi psikologi dan fitrah laki-laki yang selalu ingin
berhubungan biologis.
e. Poligami karena takut perselingkuhan atau takut zina?
Alasan lain para lelaki berpoligami adalah karena takut terjerumus
dalam zina dan pergaulan bebas. Takut terjerumus dalam
perselingkuhan dengan perempuan lain karena tidak puas dengan satu
istri. Alasan ini mnejadi sangat popular di masyarakat, termasuk
Indonesia. Akhirnya banyak yang melakukan poligami secara
sembunyi-sembunyi. Alasan tersebut tidak tepat menurut Musdah
Mulia karena perzinahan dan perselingkuhan sebenarnya masalah
234 Ibid., 205.
146
moral, karena tidak ada jaminan laki-laki yang memiliki istri empatpun
sudah bisa puas.
Musdah Mulia menyatakan bahwa “ Perselingkuhan dan
perzinahan menyangkut soal moral dan ketersediaan sarana untuk itu.
Laki-laki yang poligamipun tidak dijamin sepi dari perselingkuhan dan
perzinaan. Lihat saja kebanyakan laki-laki di Arab yang datang ke
Indonesia. Rata-rata mereka beristri banyak tetapi di Indonesia tetap
saja cenderung mengunjungi tempat-tempat mesum dan mereka
menyebutnya sebagai ziarah”.235
Poligami maupun perselingkuhan hanya akan menimbulkan
problem sosial. Karena hal tersebut adalah bentuk penyimpangan sex
sehingga harus dihapuskan. Oleh karena itu, Kata Musdah Mulia, kedua
bentuk penyimpangan tersebut harus dihapuskan dari kehidupan
masyarakat sebab yang terpuji adalah perkawinan monogami “.236
Harusnya laki-laki maupun perempuan tidak mengumbar nafsu.
Harusnya dijaga dan ditahan. Karena kalau tidak ditahan maka tidak
ada bedanya dengan binatang. Menurut Musdah Mulia, “ Itulah akhlak
Islam, akhlak karimah yang telah dicontohkan dengan sempurna oleh
diri nabi. Salah satu cara untuk menjaga kesucian organ-organ
reproduksi itu adalah melalui perkawinan. Karena itu perzinaan,
selingkuh, dan segala bentuk hubungan seksual lainnya yang tidak sah
diharamkan islam “.237
Perselingkuhan yang dilakukan oleh suami pasti akan menyakiti
istri. Poligami biasanya berawal dari perselingkuhan. Hal itu
bertentangan dengan Islam. Musdah Mulia menyatakan, “ Poligami
pada hakikatnya adalah selingkuh yang dilegalkan karenanya jauh lebih
menyakitkan perasaan istri. Membolehkan poligami berarti membuka
perselingkuhan “.238 Sebab umumya poligami selalu diawali
235
Ibid., 206. 236
Ibid., 207. 237 Ibid., 207. 238
Ibid.,
147
perselingkuhan yang bentuknya bervariasi, mulai dari yang ringan
dimulai dari mengirim SMS sampai selingkuh berat. Artinya
menyetujui poligami berarti membenarkan perselingkuhan “.
Dalam hal ini Quraish Shihab setuju bahwa takut zina bukan alasan
untuk melakukan poligami bagi suami yang memiliki istri normal.
Dalam artian bahwa selama istri pertama masih bisa melayani suami
dalam hubungan biologis maka zina bukan jadi alasan untuk poligami.
Tetapi jika seorang istri tidak mampu lagi melayani suami, Quraish
Shihab maupun UU membolehkan poligami karena sudah memenuhi
syarat. Sedangkan Musdah Mulia menyarankan agar terapi nafsu
seksual bisa dilakukan. Karena kalau dituruti terus maka tidak ada
bedanya dengan binatang.
Penulis menilai bahwa ada benarnya juga Musdah Mulia
menyatakan bahwa jika nafsu tidak bisa dikendalikan maka tidak aka
nada bedanya antara manusia dengan binatang dalam hal nafsu biologis.
Tetapi sekali lagi hal ini tidak bisa menjadi alasan terlarangnya
poligami. Apalagi kondisi istri yang cacat dan berpenyakit atau mandul.
Tanpa alsan ini pun poligami menurut penulis itu mulia. Cara
memanusiakan perempuan adalah dengan menikahinya walau poligami
bukan perselingkuhan atau pelacuran. Menurut penulis, ada 3 pilihan
bagi perempuan yang tidak memiliki pasangan, yaitu 1. Tetap perawan
atau menyendiri selamanya. 2. Menjadi pelacur. 3. Dipoligami. Dan
penulis menyimpulkan bahwa poligami adalah solusi terbaik dalam
kondisi seperti itu.
Di satu sisi, penulis mengkritisi pernyataan Musdah Mulia yang
menyatakan bahwa perselingkuhan dan poligami adalah perilaku
menyimpang. Jadi harus diterapi biar sembuh. Pendapat tersebut
menurut penulis adalah pendapat yang keliru karena pelaku poligami
yang asli benar-benar karena sunnah Nabi melakukan poligami karena
murni ketaatan pada Nabi untuk memperbanyak anak, menjaga
kesucian diri dan lain sebagainya.
148
5. Poligami dan Kawin Sirri
Musdah Mulia menilai pernikahan seperti ini biasanya karena ada
masalah. Misalnya laki-laki sudah menikah dan dia ingin menikah lagi.
Maka nikah sirri agar tidak diketahui keluarga, atau identitas salah satunya
dipalsukan.
Semua nikah sirri tidak dicatatkan secara resmi, hanya memenuhi
unsur agama. Menurut Musdah Mulia, kaidah tersebut dipakai dalam
definisi Imam Syafii saja. Sebab, dalam definisi Hanafi, pencatatan
pernikahan itu wajib, tidak sah tanpa pencatatan. Lanjut Musdah, saat ini
nikah sirri di masyarakat telah menjadi salah satu modus operandi kegiatan
trafficking terhadap anak perempuan. Oleh sebab itu, pemerintah harus
menindak tegas persoalan ini.
“Menurut Musdah Mulia, nikah sirri harus dihapuskan dan
pelakunya dikenakan sanksi karena melanggar ketentuan UU Perkawinan
yang menyebutkan kewajiban pencatatan” “Nikah sirri (apa pun
bentuknya) selalu membawa kesengsaraan bagi istri dan anak. Sebab,
tanpa pencatatan keduanya tidak memiliki akte legal ( kekuatan hukum )
untuk mendapatkan hak-haknya sebagai isteri dan anak”.239
Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Quraish Shihab yang
menyatakan bahwa Nikah sirri atau kawin sirri khusus keindonesian itu
dapat menyebabkan dosa bagi pelakunya dan beliau melarang kawin sirri
karena bisa mendzolomi istri dan anak serta dosa karena tidak taat pada
ulil amri.
Ketaatan pada ulil amri sifatnya wajib. Sehingga apapun hukum
positif asal tidak melanggar nilai syariat Islam maka wajib hukumnya
untuk ditaati. Kompilasi Hukum Islam dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan adalah contoh yang harus ditaati. Karena UU tersebut sangat
baik bahkan diambil dan dirumuskan oleh para Ulama untuk mengatur
ketertiban perkawinan masyarakat Indonesia. 239 Indonesian Conference of Religion and Peace, diakses pada situs ( http://icrp-online.org/2015/03/23/selalu-menyengsarakan-musdah-mulia-minta-pelaku-nikah-sirri-diberi-sanksi/ ), Tanggal 23 Desember 2016
149
Penulis pun berpendapat bahwa kawin atau nikah sirri tidak sesuai
dengan hukum Islam di Indonesia. Jadi harus dijauhi dan dihindari. Dan di
satu sisi, penulis juga menyarankan agar pemerintah menambah pasal
tentang poligami bahwa jika ada seorang istri rela dipoligami maka
seorang suami tidak boleh dibatasi dengan syarat-syarat yang berat tadi.
Agar nikah sirri tidak dijadikan jalan pintas untuk pernikahan seperti itu.
Banyak contoh kasus poligami atas persetujuan istri. Bahkan istri
pertamanya yang mencarikan istri kedua, ketiga atau keempat untuk
suaminya. Bahkan dalam berita yang pernah penulis tonton, ada yang
berpoligami sampai 9 istri dan mereka hidup rukun dalam satu rumah.
Saya setuju jika ada pengkhususan bagi suami yang mendapat ijin
istrinya untuk berpoligami walau istrinya tidak mengalami cacat, tidak
memiliki penyakit dan tidak mandul. Hal tersebut dilakukan demi
menampung para suami yang ingin berpoligami dan dikhlaskan oleh
istrinya untuk berpoligami. Agar praktek nikah sirri dihapuskan.
Banyaknya praktek nikah sirri akibat pemerintah memberi syarat yang
berat bagi yang ingin berpoligami.
Berikut adalah diagram peta pemikiran tentang poligami dari
Quraish Shihab, KHI dan UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,
serta Kaum Feminisme Indonesia :
N
o
Tema Quraish
Shihab
KHI/UUP Feminisme Penulis
1 Hukum
Poligami
Boleh dengan
syarat
Boleh dengan
Syarat
Haram Wajib,
Sunnah,
Makruh,
Mubah,
Haram
2 Asas
Poligami
Monogami,
tetapi poligami
saat darurat
Monogami,
tetapi poligami
jika memnuhi
Monogami,
tidak ada
poligami
Monogami
bagi yang
tidak
150
syarat mampu,
poligami
bagi yang
mampu
3 Syarat Adil wajib harus Tidak ada wajib
4 Syarat lain (
Istri
mandul,
menderita
cacat, tidak
mampu
melakukan
kewajiban
sbg istri )
wajib harus Menentang Tidak
wajib
5 Syarat lain
kedua ( istri
menopause,
banyak
janda
karena
kondisi
perang,
harus
menikahi
janda yang
memiliki
anak yatim )
wajib Tidak ada menentang Hanya
setuju
dengan
banyaknya
janda saat
perang,
bahkan
wajib
berpoliga
mi saat
kondisi
tersebut
5 Nikah sirri Tidak sah,
bahkan
berdosa karena
Tidak
memiliki
kekuatan
Haram, dan
pelakunya
harus diberi
Khusus di
Indonesia,
penulis
151
tidak taat ulil
amri
hukum sanksi setuju
dengan
Quraish
Shihab
6
.
Kedudukan
Perempuan
Laki-laki
sebagai
pemimpin
dalam
keluarga, tetapi
di ruang publik
perempuan
boleh menjadi
pemimpin
Sama dengan
Quraish
Shihab
Kedudukan
laki-laki
dan
perempuan
sama, baik
dalam
lingkungan
keluarga
maupun
ruang
publik
Laki-laki
tetap jadi
pemimpin
di
keluarga
maupun di
ruang
publik
7 Ijin istri
dalam
poligami
Tidak perlu Harus, tetapi
jika tidak
memungkinka
n, pengadilan
tak perlu
meminta ijin
Tidak
dibahas
Ijin istri
perlu agar
poligami
benar-
benar
baik.
8 Alasan Nabi
berpoligami
Menolong
janda-janda
dan anak yatim
dan
mensukseskan
dakwah
Tidak dibahas Menolong
janda tua
Atas
perintah
wahyu,
menolong
janda dan
anak
yatim, dan
cinta
9 Konsep adil Wajib adil Adil secara Tidak ada Adil
152
poligami materi, tidak
wajib adil
perasaan
umum, tanpa
penjelasan adil
materi atau
perasaan
keadilan
dalam
poligami
materi dan
perasaan
153
BAB VI
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai
berikut :
1. Hukum asal poligami menurut Quraish Shihab adalah boleh dengan
syarat, artinya hukum poligami akan menjadi haram jika syarat-
syaratnya tidak terpenuhi. Hal tersebut bertentangan dengan teori yang
menyatakan bahwa hukum poligami adalah sunnah asal adil, artinya
hanya itu syaratnya. Tetapi adil saja tidak cukup menurut Quraish
Shihab karena masih ada syarat lain yang harus dipenuhi dan itupun
dalam keadaan benar-benar darurat seperti pintu darurat pesawat
terbang. Ia hanya boleh dibuka pada saat tertentu dan oleh orang-orang
tertentu saja.
2. Pemikiran Quraish Shihab tentang poligami memiliki relevansi yang
yang saling menguatkan dengan KHI dan UU No. 1 tahun 1974
tentang perkawinan. Pertama, sama-sama berasaskan monogami.
Kedua, sama-sama mengajukan syarat bagi yang ingin berpoligami
walau Quraish Shihab mengajukan syarat yang lebih banyak dan sulit.
Sedangkan perbedaannya hanya pada beberapa syarat poligami,
misalnya Quraish Shihab menyatakan syarat lain poligami adalah harus
menikahi janda yang memiliki anak yatim, sedangkan KHI maupun
UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan tidak mensyaratkan hal
tersebut.
3. Posisi pemikiran Quraish Shihab tentang poligami dalam wacana kaum
Feminisme berada di tengah-tengah. Artinya ada yang sama atau saling
mendukung dan ada beda atau saling bertentangan. Quraish Shihab
membolehkan poligami dengan syarat yang sangat berat, artinya
Beliau melarang keras poligami kecuali benar-benar terpaksa. Arti
lainnya adalah sebenarnya Quraish Shihab mengharamkan poligami,
tetapi karena kondisi darurat/terpaksa maka poligami jadi halal atau
154
boleh. Walau Kaum Feminisme tetap menyatakan bahwa poligami itu
haram karena sebab yang ditimbulkan. Tidak ada istilah darurat dalam
kamus kaum feminisme. Karena pernikahan menurut mereka adalah
ikatan komitmen yang kuat, sehingga tidak boleh ada salah satu pihak
yang terdzolimi karena poligami adalah perselingkuhan yang
dilegalkan dan menyebabkan kedzoliman bagi istri dan anak.
B. Implikasi Teoritis
1. Penulis menyarankan kepada Pemerintah agar menambah pasal dalam
KHI maupun UU No. 1 Tahun 1974 dalam bab poligami, agar
menambah pasal tentang bolehnya poligami walau istri pertama tidak
mandul atau mampu memberikan keturunan dan tidak memiliki
penyakit. Jadi, jika istri pertama setuju, maka pemerintah
membolehkannya agar menghindari praktek poligami dengan cara
kawin sirri.
2. Penulis menyimpulkan bahwa poligami memiliki lima hukum sesuai
dengan sebab musababnya, yaitu 1. Wajib, 2. Sunnah, 3. Mubah, 4.
Makruh, 5. Haram. Hukum poligami menjadi haram jika dalam
poligami tersebut terjadi kedzoliman. Hukum poligami menjadi
makruh jika dalam poligami tersebut dikhawatirkan akan terjadi
kedzoliman. Hukum poligami menjadi mubah jika dalam poligami
tersebut tidak dikhawatirkan terjadi kedzoliman tetapi tidak ada
jaminan ada kebahagiaan. Hukum poligami menjadi sunnah jika
dalam poligami tersebut menyebabkan kemaslahatan bagi suami istri.
Dan hukum poligami menjadi wajib jika tidak berpoligami maka akan
terjadi kedzoliman bagi laki-laki maupun perempuannya.
C. Saran/Rekomendasi
Adapun saran – saran dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut ;
1. Penulis merasa kurang dalam mengkaji pemikiran Quraish Shihab
karena tidak bertemu langsung dengan Quraish Shihab, jadi disarankan
155
bagi peneliti selanjutnya agar dapat bertemu langsung dengan Quraish
Shihab untuk menjamin keshahihan pendapat Beliau. Begitu juga
dengan Musdah Mulia sebagai tokoh utama Feminisme Indonesia.
2. Masukan, saran dan kritik yang membangun demi perbaikan tesis ini
sangat penulis harapkan guna kesempurnaan tesis ini ke depannya.
Curiculum Vitae
Nama : Hijrah
Panggilan : Hijrah
Tempat/Tanggal Lahir : Dompu, 14 September 1986
Alamat : Jl. Zamrud III Blok J NO 8 Perumahan BSA Midang Gunungsari Lobar
Hobi : Belajar dan Mengajar
Cita-cita : Ulama Bidang Hukum Islam
Pengalaman Organisasi :
1. Ketua BEM UNRAM : 2008-2009 2. Ketua DPM UNRAM : 2007-2008 3. Ketua NANMAMPU : 2006-2007 4. Anggota KAMMI NTB : 2006 – 2009 5. Anggota LDK UNRAM : 2004-2009 6. Ketua LTII NTB : 2011 – Sekarang 7. TDA Community : 2013 – sekarang 8. Pengurus PKS Kota Mataram : Periode 2015 - 2019
Pengalaman Kerja :
1. IKIP Mataram : Dosen tahun 2010 – 2012 2. LP3I : Dosen Tahun 2014-2015 3. Ponpes ar-Rasyidi NW : 2010 – Sekarang 4. Bank Muamalat Mataram : 2011 – 2016
Riwayat Pendidikan :
1. SD : SD Inpres Kandai 1 Dompu tahun 1998 2. SMP : SLTP N 1 Dompu tahun 2001 3. SMA : SMUN 1 Dompu tahun 2004 4. S1 : Universitas Mataram tahun 2009
Motto Hidup : Menuntut Ilmu adalah Kewajiban yang sangat menyenangkan
DAFTAR PUSTAKA Al -Albani, Nashirudin. Shahih Sunan Abu Daud, ( Jakarta : Pustaka Azzam,1995 ) Al -Hamdani, H.S.A. Risalah Nikah : Hukum Perkawinan Islam, ( Jakarta : Pustaka
Amani, 1980 ) Al -Jarjawi, Ali Ahmad. Hikmah dan Falsafah Syari’at Islam, ( Jakarta : Gema Insani,
2006) Al -Zarqa, Mustafa Ahmad. al-Fiqh Islam fi Taubih al-Jadidi, jilid 1 ( Damaskus :
al-Adib, t.t ) Amal, Taufik Adnan. Islam & Tantangan Modernitas. ( Bandung: Mizan, 1994 ) An-Naim, Abdullah Ahmed. Dekonstruksi Syare’ah. ( Jogjakarta : LKIS, 1997 ) Arikunto, Suharsimi. Manajemen Penelitian, ( Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2003 ) As-Sanan, Arij Abdurrahman. Memahami Keadilan Dalam Poligami, (
Penerjemah : Ahmad Sahal Hasan ), ( Jakarta : Global Media Cipta, 2003 )
Barus, Utary maharani. Pemimpin wanita dalam Islam, ( Universitas Sumut : Sumut,
2005 ) Bukhari, Imam. Shahih Bukhari, ( Jakarta : Pustaka Sunnah, 2010 ) Chodjim, A. Benarkah poligami dibenarkan dalam Islam, ( Paras : Bacaan Utama
Wanita Islam, No.41, Th. IV, 2007 ) Darmawan, Hendro, dkk. Kamus Ilmiah Populer Lengkap dengan EYD dan Pembentukan
Istilah Serta Akronim Bahasa Indonesia, ( Yogyakarta : Bintang Cemerlang, 2010 )
Depdiknas, Tim Penyusun. Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta : Balai
Pustaka, 2007 ) Esposito, John L. Women in Muslim Family Law, ( New York : Syracuse
University, 1982 ) Hamidah, Tutik. Fiqh Perempuan “ Berwawasan Keadilan Gender. ( Malang :
UIN Maliki Press, 2011 ) Hasanah. Kritik Terhadap Hukum Poligami di Indonesia. ( Riau ; UIN RIAU,
2013 )
Hidayat, Rahmat. Pemikiran Muhammad Quraish Shihab Tentang Poligami. (
Malang : UIN Maulana Malik Ibrahim, 2008) Harahap, M.Yahya. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
Cetakan keempat, ( Yogyakarta : Sinar Grafika, 2007 ) http://www.ahmadzain.com/read/karya -tulis/227/hukum-nikah-siri-dalam-islam/ https://achmadsuhaidi.wordpress.com/2014/02/26/pengertian-sumber-data-jenis-
jenis-data-dan-metode-pengumpulan-data/ http://www.ahmadzain.com/read/karya -tulis/227/hukum-nikah-siri-dalam-islam/ https://almanhaj.or.id/2551-keindahan-poligami-dalam-islam.html https://firmansyahbetawi.wordpress.com/2013/01/31/rahasia-agung-di-balik-
poligami-nabi-muhammad-saw/ https://hidrosita.wordpress. com/2013/02/17/contoh-proposal-library-research/ http://icrp-online.org/2015/03/23/selalu-menyengsarakan-musdah-mulia-minta-
pelaku-nikah-sirri-diberi-sanksi/ http://nambas.wordpress.com/2016/03/03/quraish-shihab-poligami-dan-kawin-
sirri-menurut-islam/ http://nurhibatullah.blogspot. co.id/2015/12/pengumpulan-data-dan-analisis-
data.html http://library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/91/jtptiain-gdl-attannavar-4535-1-
skripsi-_.pdf http://oaji.net/articles/2015/1937-1430102006.pdf http://prasko17. blogspot.co.id/2012/07/data-primer-dan-data-sekunder.html http://resiprositi.com/2016/08/quraish-shihab-tentang-poligami-bagai-membuka-
pintu-darurat-pesawat/ http://saeful-anam.blogspot.co.id/2011/03/ hukum-pra-islam-di-arab.html http://www.webkesehatan.com/menopause-wanita-penyebab-gejala Muchtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. ( Jakarta : Bulan
Bintang, 1974)
Mulia, Musdah. Islam Menggugat Poligami, ( Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,
2004 ) ____________. Muslimah Sejati, ( Bandung : MARJA, 2004 ) ____________. Pandangan Islam Tentang Poligami. ( Jakarta : Lembaga Kajian
Agama dan Jender, Solidaritas Perempuan, The Asia Foundaion, 1999 ) ____________. Poligami? Siapa Takut, ( Perdebatan Seputar Poligami ). (
PT.Surya Citra Televisi, t.t ) Kodir, Faqihuddin Abdul. Memilih Monogami, ( Yogyakarta : Pustaka Pesantren,
2005 ) Masduki, Mahfudz. Tafsir Al-Misbah M. Quraish Shihab: kajian Atas Amtsal Al-Qur’an,
( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012) Muchtar, Kamal. Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, ( Jakarta : Bulan
Bintang, 1974 ) Muhsin, Amina Wadud. Wanita di dalam Al-Qur’an. ( Bandung : Pustaka, 1994) Mustofa, Agus. Poligami yukk !?, ( Surabaya : Padma Press, 2007 ) Nasution, Khoirudin. Perdebatan Sekitar Status Poligami. ( Musawa Jurnal Studi
Gender Dan Islam, vol.1.no.1, 2002 ) ________________. Riba dan Poligami, ( Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1996 ) Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam, ( Depok : PT Rajagrafindo Persada, 2012
) Navaron, Attan. Konsep Adil dalam Poligami, Skripsi Fakultas Syari’ah, ( Semarang :
IAIN Walisongo Semarang, 2010 ) Press, Tim Permata. Kompilasi Hukum Islam ( Dilengkapi Dengan UU No.1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan ), ( Jakarta : Permata Press, t.t ) Prima, Eri. Kritik Feminisme Terhadap Aturan Poligami di Indonesia, Skripsi
Fakultas Syari’ah dan Hukum, Prodi Ahwal Asyakhsiyyah, ( Jakarta : UIN Jakarta, 2010 )
Poerwadarminta, W.J.S. Kamus Umum Besar Bahasa Indonesia, Pusat Bahasa
Depdiknas, ( Jakarta : Balai Pustaka, 2006 )
Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum, ( Bandung : Citra Aditya Bakti, 2006 ) RI, Departemen Agama. Al-Qur`an dan Terjemahnya. ( Jakarta : Departemen
Agama RI, 2010 ) Said , Hasani Ahmad. Diskursus Munasabah al-Qur’an dalam Tafsir al-Misbah, (
Jakarta : Amzah, 2015) Shihab, Quraish. Tafsir Al-Misbâh ( Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an ), (
Ciputat : Lentera Hati, 2000 ) _____________. Tafsir al-Quran al-Karim, ( Bandung : Pustaka Hidayah, 1999) _____________. Perempuan, ( Jakarta : Lentera Hati, 2006 ) _____________. Membumikan al-Qur’an ( Jakarta : Mizan, 1994 ) S, Kaelan M. Metode Penelitian Tentang Filsafat, ( Yogyakarta : Paradigma,
2005) Setiati. Hitam Putih Poligami : Menelaah Perkawinan Poligami Sebagai Sebuah
Fenomena, ( Jakarta : Cisera Publishing, 2007 ) Soemiyati. Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan, (
Yogyakarta : Liberty, 1982 ) Supiana, Prof.. Metodologi Studi Islam, cet. II, ( Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan
Agama Islam, 2012 ) Syahrur, Muhammad. Metodologi Fiqh Islam Kontemporer, terj. Syahiron
Syamsuddin, ( Yogyakarta : Elsaq Press, 2004 ) Suma, Muhammad Amin. Hukum Islam di Dunia Islam. ( Jakarta : Grafindo
Persada, 2005 ) Thaha, Mahmud Muhammad. Arus Balik Syari’ah, ( Jogjakarta : LKiS, 2003) Tihami, H.M.A. dan Sohari Sahrani, Fiqh Munakahat : Kajian Fiqh Nikah Lengkap, (
Jakarta : Rajawali Pers, 2010 ) Yunus, Hadi . S. Metodologi Penelitian Wilayah Kontemporer. ( Yogyakarta :
Pustaka Pelajar. 2010 )