tesis profil imunoglobulin m (igm) sapi bali di nusa ... · daripada sapi bali muda (4.707±1.305...
TRANSCRIPT
i
TESIS
PROFIL IMUNOGLOBULIN M (IgM) SAPI BALI DI NUSA
PENIDA KABUPATEN KLUNGKUNG PROVINSI BALI
LUH KADEK NANDA LAKSMI
NIM 1682311010
PROGRAM STUDI MAGISTER KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018
ii
TESIS
PROFIL IMUNOGLOBULIN M (IgM) SAPI BALI DI NUSA
PENIDA KABUPATEN KLUNGKUNG PROVINSI BALI
LUH KADEK NANDA LAKSMI
NIM 1682311010
PROGRAM STUDI MAGISTER KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018
iii
PROFIL IMUNOGLOBULIN M (IgM) SAPI BALI DI NUSA
PENIDA KABUPATEN KLUNGKUNG PROVINSI BALI
Tesis untuk memperoleh gelar Magister
Pada Program Studi Magister Kedokteran Hewan
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Udayana
LUH KADEK NANDA LAKSMI
NIM 1682311010
PROGRAM STUDI MAGISTER KEDOKTERAN HEWAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018
iv
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI
PADA TANGGAL 13 JULI 2018
Pembimbing I,
Dr. drh. I Nengah Kerta Besung, M.Si
NIP. 19630528 198903 1 003
Pembimbing II,
Dr. drh. I Nyoman Suartha, M.Si
NIP. 19680301 199403 1 002
Mengetahui,
Ketua Program Studi Magister
Kedokteran Hewan
Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana
Prof. Dr. drh. Iwan Harjono Utama, MS
NIP. 19610406 198903 1 002
Dekan
Fakultas Kedokteran Hewan
Universitas Udayana
Dr. drh. I Nengah Kerta Besung, M.Si
NIP. 19630528 198903 1 003
v
Tesis Ini Telah Diuji Pada
Tanggal 13 Juli 2018
Panitia Penguji Tesis
Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana
No:1541/UN14.2.9/PD/1018
Tanggal: 2 Juli 2018
Ketua: Dr. drh. I Nengah Kerta Besung, M. Si
Anggota:
1. Dr. drh. I Nyoman Suartha, M.Si
2. Prof. Dr. drh. Ni Ketut Suwiti, M. Kes
3. Dr. drh. I Gusti Ayu Agung Suartini, M. Si
vi
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudu “Profil Imunoglobulin
M (IgM) Sapi Bali di Nusa Penida Kabupaten Klungkung Provinsi Bali” ini
dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Magister Kedokteran Hewan Program Studi Magister
Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
Dalam penyusunan tesis ini, penulis mendapatkan banyak bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu perkenankanlah penulis menyampaikan
rasa hormat, penghargaan, dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S(K) selaku rektor Universitas Udayana
atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti
dan menyelesaikan pendidikan Program Magister di Universitas Udayana.
2. Prof. Dr. dr. I Putu Gede Adiatmaka, M.Kes selaku Direktur Program
Magister Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis
untuk menjadi mahasiswa Magister pada Program Magister Universitas
Udayana.
3. Prof. Dr. drh. Iwan Harjono Utama, MS selaku Koordinator Program Studi
Magister Kedokteran Hewan Universitas Udayana.
vii
4. Dr. drh. I Nengah Kerta Besung, M.Si selaku Pembimbing I yang telah
bersedia meluangkan waktunya dan dengan penuh perhatian telah
memberikan dorongan, semangat bimbingan, dan saran selama penulis
mengikuti Program Magister, khususnya dalam penelitian ataupun
penyusunan tesis ini.
5. Dr. drh. I Nyoman Suartha, M.Si selaku Pembimbing II yang telah banyak
memberikan bimbingan, dorongan, semangat, dan masukan kepada penulis
selama penyusunan tesis.
6. Prof. Dr. drh. Ni Ketut Suwiti, M.Kes yang telah bersedia meluangkan
waktunya dan dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan,
semangat ,bimbingan, dan saran selama penulis mengikuti Program Magister,
khususnya dalam penelitian ataupun penyusunan tesis ini.
7. Dr. drh. I Gusti Ayu Agung Suartini, M. Si yang telah bersedia meluangkan
waktunya dan memberikan dorongan, semangat bimbingan, dan saran
selama penulis mengikuti Program Magister, khususnya dalam penelitian
ataupun penyusunan tesis ini.
8. Drh. I Wayan Masa Tenaya, M.Phil,Ph.D, selaku Kepala Balai Besar
Veteriner Denpasar yang telah memberikan dorongan, semangat serta
bimbingan, dan telah memberikan ijin tempat pelaksanaan penelitian di
Laboratorium Bioteknologi BB-Vet Denpasar.
viii
9. Drh. Ni Luh Putu Agustini, M.P yang telah bersedia meluangkan waktunya
dan memberikan dorongan, semangat, bimbingan khususnya dalam penelitian
di Laboratorium Bioteknologi BB-Vet Denpasar.
10. I Ketut Mayun yang telah bersedia meluangkan waktunya memberikan
bimbingan dalam pelaksanaan penelitian di Laboratorium Bioteknologi BB-
Vet Denpasar.
11. Para dosen pengajar yang telah membimbing penulis dalam mengikuti
pendidikan pada Program Studi Magister Kedokteran Hewan Universitas
Udayana.
12. Orang tua terkasih Bapak I Wayan Wirawan dan Ibu Luh Nyoman Sruti atas
dukungan dan doanya.
13. Untuk Suami tercinta drh. I Made Arthawan atas dukungan baik doa dan
moral dan anak mama yang cantik Pande Putu Ayu Kirana yang telah
memberikan supportnya buat mama.
14. drh. Eka Wiadnyana yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk
membantu proses pelaksanaan pengambilan sampel di Nusa Penida.
15. Teman-teman angkatan 2016 Program Studi Magister Kedokteran Hewan
Universitas Udayana yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu atas
semangat, bantuan dan kerjasamanya selama proses pendidikan.
ix
Penulis berharap tulisan ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan
seluruh pihak yang berkepentingan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa selalu
melimpahkan anugrah-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaan
dan penyelesaian tesis ini, serta kepada penulis dan keluarga.
Denpasar, Juli 2018
Penulis,
Luh Kadek Nanda Laksmi
x
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Luh Kadek Nanda Laksmi
NIM : 1682311010
Program Studi : Magister Kedokteran Hewan
Judul Tesis : Profil Imunoglobulin M (IgM) Sapi Bali di Nusa Penida
Kabupaten Klungkung Provinsi Bali
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat.
Apabila dikemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia
menerima sanksi Peraturan Mendiknas RI No. 17 Tahun 2010 dan Peraturan
Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, Juli 2018
Yang membuat pernyataan,
Luh Kadek Nanda Laksmi
xi
RIWAYAT HIDUP
Penulis, Luh Kadek Nanda Laksmi dilahirkan di Denpasar pada tanggal 09 Nopember
1979 dan merupakan anak kedua dari tiga bersaudara dari Bapak I Wayan Wirawan
S.Sos dan Luh Nyoman Sruti.S.Pd.
Penulis menempuh pendidikan pada tahun 1984 sampai 1986 di TK.Kumara Jaya.
Pada Tahun 1986 sampai 1992 penulis menempuh pendidikan di SDN 11 Dauh Puri.
Pada Tahun 1992 sampai 1995 penulis menempuh pendidikan di SMPN 3 Denpasar,
dan pada tahun 1995 sampai 1998 penulis melanjutkan pendidikan di SMUN 1
Denpasar. Pada Tahun 1998, penulis diterima sebagai mahasiswa Fakultas
Kedokteran Hewan Universitas Udayana melalui jalur UMPTN dan menyelesaikan
Sarjana Kedokteran Hewan (SKH) tahun… serta menyelesaikan pendidikan Profesi
Dokter Hewan pada tahun 2004.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Program Studi magister Kedokteran Hewan
Universitas Udayana pada tahun 2016. Selanjutnya penulis melakukan penelitian di
Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, Provinsi Bali, dengan judul “Profil
Imunoglobulin M (Ig M) Sapi Bali Di Nusa Penida Kabupaten Klungkung Provinsi
Bali”. Penelitian ini dibuat sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Kedokteran Hewan pada Program Studi Magister Kedokteran Hewan
Universitas Udayana.
xii
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil imunoglobulin M (IgM) sapi
bali di Nusa Penida. Sampel berupa serum dari 54 ekor sapi bali yang dipelihara di
Nusa Penida berdasarkan kriteria geografis wilayah terdiri dari dataran tinggi (Desa
Klumpu dan Batumedag) dan dataran rendah (Desa Ped), umur meliputi sapi bali
muda (12-18 bulan) dan dewasa (24 bulan ke atas), sementara jenis kelamin (jantan
dan betina). Serum yang diperoleh diuji dengan menggunakan metode ELISA
(Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Hasil menunjukkan bahwa 54 sampel serum
sapi bali di Nusa Penida terdeteksi adanya kadar imunoglobulin M (IgM) dengan nilai
yang bervariasi berkisar dari 2.565 ng/mL – 8.834 ng/mL. Rerata kadar IgM serum
sapi bali yang di pelihara di dataran rendah (4.837±1.385 ng/mL) secara deskriptif
lebih tinggi daripada di dataran tinggi (4.761±1.353 ng/mL), sementara untuk sapi
bali betina (5.018±1.370 ng/mL) lebih tinggi dibandingkan sapi bali jantan
(4.477±1.290 ng/mL), sedangkan sapi bali dewasa (4.869±1.417ng/mL) lebih tinggi
daripada sapi bali muda (4.707±1.305 ng/mL), akan tetapi secara statistik
perbandingan dari semua kategori menujukkan tidak berbeda nyata (P>0.05). Rerata
kadar IgM sapi bali yang dipelihara di Nusa Penida dapat di gunakan sebagai data
base profil IgM sapi bali yang di pelihara di Nusa Penida.
Kata-kata kunci: imunoglobulin M (IgM), sapi bali, Nusa Penida, geografis, jenis
kelamin, umur, ELISA.
xiii
ABSTRACT
This study aims to determine the profile of immunoglobulin M (IgM) of bali
cattle in Nusa Penida. The serum samples of 58 bali cattle that were kept in Nusa
Penida based on geographical criteria consisted of highlands (Klumpu and
Batumedag villages) and lowlands (Ped villages), age covering young bali cattle (12-
18 months ) and adults (24 months and over), while sex (male and female). The serum
obtained was tested using the ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay) method.
The results showed that 54 samples of serum of bali cattle in Nusa Penida were
detected in the presence of levels of immunoglobulin M (IgM) with values ranging
from 2.565 ng/mL – 8.834 ng/mL. The mean rate of serum IgM cattle raised in the
lowlands (4,837 ± 1,385 ng / mL) was descriptively higher than in the highlands
(4,761 ± 1,353 ng / mL), while for female bali cattle (5.018 ± 1.370 ng / mL) higher
than male (4,477 ± 1.290 ng / mL), while adult bali cattle (4,869 ± 1.417 ng / mL)
was higher than young bali cattle (4,707 ± 1.305 ng / mL), but statistically
comparable from all categories showed no significantly (P> 0.05). The average rate
of IgM of bali cattle maintained in Nusa Penida can be used as a data base of IgM
profile of bali cattle that is maintained in Nusa Penida.
Keywords: immunoglobulin M (IgM), bali cattle, Nusa Penida, geographic, gender,
age, ELISA.
xiv
RINGKASAN
Nusa Penida menjadi salah satu tempat pemurnian dan pembibitan sapi bali.
Sapi bali yang dipelihara di Nusa Penida telah diketahui secara subklinis bebas
penyakit Jembrana dan SE (Septicemia Epizootica). Sapi bali rentan terhadap
penyakit jembrana, ingusan (malignat catarrhal fever) dan bali ziekte. Nusa Penida
termasuk lahan kategori kritis, kondisi itu menyebabkan kesulitan dalam mendapat
sumber pakan bagi sapi bali. Indikator tingkat ketahanan tubuh dapat dideteksi dari
respon imun. Respon imun yang umum diukur diantaranya adalah jumlah produksi
imunoglobulin M (IgM). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil
imunoglobulin M (IgM) sapi bali di Nusa Penida. Sampel berupa serum dari 58 ekor
sapi bali yang di pelihara di Nusa Penida berdasarkan kriteria geografis wilayah
terdiri dari dataran tinggi (Desa Klumpu dan Batumedag) dan dataran rendah (Desa
Ped), umur meliputi sapi bali muda (12-18 bulan) dan dewasa (24 bulan ke atas),
sementara jenis kelamin (jantan dan betina). Serum yang diperoleh diuji dengan
menggunakan metode ELISA (Enzyme Linked Immunosorbent Assay). Hasil
menunjukkan bahwa 54 sampel serum sapi bali di Nusa Penida terdeteksi adanya
kadar imunoglobulin M (IgM) dengan nilai yang bervariasi berkisar dari 2.565 ng/mL
– 8.834 ng/mL. Rerata kadar IgM serum sapi bali yang di pelihara di dataran rendah
(4.837±1.385 ng/mL) secara deskriptif lebih tinggi daripada di dataran tinggi
(4.761±1.353 ng/mL), sementara untuk sapi bali betina (5.018±1.370 ng/mL) lebih
tinggi dibandingkan sapi bali jantan (4.477±1.290 ng/mL), sedangkan sapi bali
dewasa (4.869±1.417ng/mL) lebih tinggi daripada sapi bali muda (4.707±1.305
ng/mL), akan tetapi secara statistik perbandingan dari semua kategori menujukkan
tidak berbeda nyata (P>0.05). Rerata kadar IgM sapi bali yang dipelihara di Nusa
Penida dapat di gunakan sebagai data base profil IgM sapi bali yang di pelihara di
Nusa Penida.
xv
DAFTAR ISI
SAMPUL DALAM .............................................................................................. ii
PRASYARAT GELAR ....................................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iv
PENETAPAN PANITIA PENGUJI .................................................................. v
UCAPAN TERIMA KASIH .............................................................................. vi
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ................................................... ix
RIWAYAT HIDUP ............................................................................................. x
ABSTRAK ....................................................................................................... xi
ABSTRACT ....................................................................................................... xii
RINGKASAN ...................................................................................................... xiii
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xiv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xvi
DAFTAR TABEL ............................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... xviii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................ 4
1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................. 4
BAB II KAJIAN PUSTAKA .............................................................................. 5
2.1 Sapi Bali .............................................................................................. 5
2.2 Sumber Daya Genetik ........................................................................ 6
2.3 Sapi Bali Nusa Penida ........................................................................ 7
2.4 Wilayah Nusa Penida .......................................................................... 8
2.5 Fungsi Imunitas .................................................................................. 9
2.5.1 Sistem imun non-spesifik .......................................................... 9
2.5.2 Sistem imun spesifik ................................................................. 10
2.6 Imunoglobulin M (Ig M) .................................................................... 13
2.7 Uji Enzyme immunosorbent assay (ELISA) ....................................... 13
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS
PENELITIAN ....................................................................................... 17
3.1 Kerangka Berpikir ............................................................................. 17
3.2 Kerangka Konsep ............................................................................... 18
xvi
3.3 Hipotesis .............................................................................................. 19
BAB IV METODE PENELITIAN .................................................................... 20
4.1 Rencana Penelitian ............................................................................. 20
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 20
4.3 Ruang Lingkup Penelitian ................................................................... 20
4.4 Penentuan Sumber Data ...................................................................... 21
4.5 Variabel Penelitian ............................................................................. 22
4.6 Bahan Penelitian ............................................................................... 23
4.7 Instrumen Penelitian ........................................................................... 23
4.8 Prosedur Penelitian ........................................................................... 23
4.8.1 Koleksi sampel ........................................................................ 23
4.8.2 Pengenceran standart ................................................................. 24
4.8.3 Prosedur pengujian .................................................................... 24
4.9 Analisa Data ....................................................................................... 25
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................. 27
5.1 Hasil ....................................................................................... 27
5.1.1 Kadar imunoglobulin M (IgM) serum sapi bali di Nusa Penida
pada kategori geografis wilayah (dataran tinggi dan dataran
rendah) ....................................................................................... 27
5.1.2 Kadar imunoglobulin M (IgM) serum sapi bali di Nusa Penida
pada kategori jenis kelamin (jantan dan betina) ....................... 28
5.1.3 Kadar Imunoglobulin M (IgM) Serum Sapi Bali di Nusa Penida
Pada Kategori Umur (Muda dan Dewasa) ................................ 29
5.2 Pembahasan ....................................................................................... 29
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 36
6.1 Simpulan .............................................................................................. 36
6.2 Saran .................................................................................................... 36
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 37
DAFTAR LAMPIRAN ....................................................................................... 44
xvii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.6 Prinsip Uji Enzyme-LinkedIimmunosorbent Assay (ELISA) .......... 15
Gambar 3.2 Kerangka Konsep Penelitian ........................................................... 18
xviii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 5.1 Rerata Kadar IgM Serum Sapi Bali di Nusa Penida Berdasarkan
Geografis Wilayah (Dataran Tinggi dan Rendah) ............................... 28
Tabel 5.2 Rerata Kadar IgM Serum Sapi Bali di Nusa Penida Berdasarkan
Jenis Kelamin (Jantan dan Betina) ...................................................... 28
Tabel 5.3 Rerata Kadar IgM Serum Sapi Bali di Nusa Penida Berdasarkan
Umur (Muda dan Dewasa) .................................................................. 29
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Hasil Optical Density Pada Pengenceran Standart ........................... 44
Lampiran 2. Analisis dapa SPSS Hasil Optical Density Terhadap Pengenceran
Standart ............................................................................................ 44
Lampiran 3. Nilai Optical Density Sampel .......................................................... 46
Lampiran 4. Kadar Imunoglobulin M (IgM)......................................................... 47
Lampiran 5. Analisis Rerata Kriteria Geografis Wilayah (Dataran Tinggi dan
Rendah), Jenis Kelamin (Jantan dan Betina) dan Umur (Muda dan
Dewasa) ............................................................................................ 48
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sapi bali merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng), yang
merupakan sumber bibit sapi potong di Indonesia dan diatur dalam Permentan No. 36
Tahun 2006 (Departemen Pertanian, 2006). Sapi bali ini memiliki beberapa
keunggulan yaitu mempunyai kemampuan bereproduksi tinggi, sebagai ternak kerja
di ladang ataupun di sawah dan beradaptasi dengan baik terhadap lingkungan yang
ekstrim seperti lingkungan dengan ketersediaan pakan berkualitas rendah
(Handriwirawan dan Subandriyo, 2004). Mengingat permintaan daging sapi domestik
yang belum bisa dipenuhi dari produksi dalam negeri sehingga kebutuhan bibit sapi
potong dan peningkatan sistem pembibitan sapi bali dinilai sangat strategis dan
diperlukan (Sayaka, 2012).
Propinsi Bali merupakan daerah pemurnian utama dan peningkatan mutu
genetik sapi bali. Pengembangan sapi bali juga dilakukan di wilayah Pulau Sumbawa,
Pulau Flores dan Kabupaten Bone (Pane, 1991). Di Propinsi Bali, daerah Nusa
Penida menjadi salah satu tempat pemurnian dan pembibitan sapi bali yang
ditetapkan oleh Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan pada tahun 2002, serta
didukung oleh peraturan Gubernur Bali No. 45 tahun 2004 tentang pelestarian sapi
bali dan Peraturan Daerah No. 2 tahun 2003 akan perlindungan kemurnian genetik
sapi bali. Bahwasanya sapi bali yang dipelihara di Nusa Penida telah diketahui secara
subklinis bebas penyakit Jembrana dan SE (Septicemia Epizootica) (Suwiti et al.,
2
2009). Wilayah Nusa Penida termasuk lahan kategori kritis, struktur permukaan tanah
yang berbukit-bukit, dan tingkat curah hujan rendah, kondisi itu menyebabkan
kesulitan dalam mendapat sumber pakan bagi sapi bali (Suwiti et al., 2017). Kondisi
wilayah seperti itu berpengaruh pada ketahanan tubuh sapi.
Kondisi ketahanan tubuh sangat berhubungan dengan manifestasi suatu
penyakit dan pertambahan berat badan. Sapi dengan tingkat cekaman yang tinggi
menyebabkan terjadinya stres. Kondisi ini dapat menginduksi perubahan fungsi
imunitas selular dan humoral di dalam tubuh. Perubahan fungsi imunitas ini
memberikan kerentanan terhadap suatu penyakit (Carrol dan Forsberg, 2007).
Sapi bali rentan terhadap penyakit jembrana, ingusan (malignat catarrhal
fever) dan bali ziekte (Damayanti, 2016; Indriawati et al., 2013). Sapi bali juga
sering terinfestasi penyakit parasit (Antara et al., 2017; Indraswari et al., 2017).
Adanya penyakit yang menyerang sapi bali akan berakibat menurunnya produktivitas,
menambah biaya pengobatan, dan bahkan menimbulkan kematian.
Ketahanan tubuh sapi bali dapat diketahui melalui penilaian respon imun di
dalam tubuh (Putro, 2004). Indikator ketahanan tubuh dapat dideteksi dari respon
imun melalui pengukuran produksi imunoglobulin M (IgM). IgM merupakan kelas
imunoglobulin yang awal dibentuk ketika terjadi rangsangan antigen. IgM ini
berperan mencegah gerakan mikroorganisme patogen, memudahkan fagositosis,
aglutinator poten protein, sebagai reseptor permukaan sel B, dan untuk perlekatan
antigen. IgM memiliki kelebihan berupa efisiensi reaksi aglutinasi dan reaksi sitolitik
3
sehingga mampu di produksi sangat cepat setelah infeksi dan tetap berada dalam
darah (Abbas et al., 2007; Kresno, 2001).
Adanya IgM di dalam tubuh dipengaruhi oleh faktor umur dan jenis kelamin
(Surhayati dan Hartono, 2015; Telupere et al., 2014; Jazek et al., 2012; Iskandar,
2011; Rasyid et al., 2008). Faktor yang lain seperti letak geografis wilayah
pemeliharaan di dataran tinggi dan rendah, ketiadaan sumber pakan dan cekaman
suhu akan berpengaruh terhadap kesehatan sapi. Kondisi ini juga secara tidak
langsung berdampak pada kadar IgM di dalam tubuh. Deteksi IgM di dalam tubuh
penting dilakukan sebagai upaya untuk deteksi kejadian penyakit. Namun sampai saat
ini belum ada studi tentang profil IgM pada sapi bali, sehingga data awal standar
kadar IgM pada berbagai aspek seperti ketinggian tempat yang berbeda, tingkat umur,
dan jenis kelamin belum diketahui secara pasti.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas dapat dirumuskan masalah
sebagai berikut: Bagaimanakah profil Immunoglobulin M (IgM) berdasarkan atas
wilayah, jenis kelamin, dan umur sapi bali yang dipelihara di Nusa Penida Kabupaten
Klungkung Provinsi Bali?
4
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
1. Mendapatkan profil imunoglobulin M (IgM) pada sapi bali di Nusa Penida
Kabupaten Klungkung Provinsi Bali.
2. Mengetahui perbedaan profil immunoglobulin M (Ig M) sapi bali di Nusa
Penida Kabupaten Klungkung Provinsi Bali dilihat berdasarkan ketinggian
wilayah, umur dan jenis kelamin.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penelitian ini adalah:
1. Dijadikan tambahan ilmu pengetahuan dan data dasar profil
imunoglobulin M (IgM) sapi bali di Nusa Penida Kabupaten Klungkung
Provinsi Bali.
2. Dijadikan dasar untuk pengembangan penelitian lebih lanjut tentang
fungsi imunitas.
3. Sebagai dasar dan masukan untuk pengembangan dan pemeliharaan
sumber daya genetika sapi bali di wilayah pemurnian dan pembibitan di
Nusa Penida Kabupaten Klungkung Provinsi Bali.
5
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Sapi Bali
Sapi bali merupakan sumber daya genetik ternak lokal Indonesia. Sapi ini
merupakan hasil domestikasi dari Banteng liar (Bibos banteng) kelas Bovidae
primitif yang hidupnya sekitar 3500 SM di Indonesia (Namikawa et al., 1980;
Rollinson, 1984). Tempat dimulainya domestikasi sapi bali masih terdapat perbedaan
pendapat, menurut Payne dan Rollinson, (1973) menduga bahwa asal mula sapi bali
adalah dari Pulau Bali mengingat tempat ini merupakan pusat distribusi sapi bali di
Indonesia. Pendapat lain juga menyatakan bahwa sapi bali di Indonesia hampir
semuanya bermula dari sapi bali yang ada di Bali (Namikawa dan Widodo, 1978).
Sapi bali mempunyai ciri-ciri fisik yang seragam, dan hanya mengalami
perubahan kecil dibandingkan dengan leluhur liarnya (banteng). Warna sapi betina,
anakan atau muda biasanya coklat muda dengan garis hitam tipis terdapat di
sepanjang tengah punggung. Warna sapi jantan adalah coklat ketika muda tetapi
warna ini berubah agak gelap pada umur 12-18 bulan sampai mendekati hitam pada
saat dewasa, kecuali sapi jantan yang dikastrasi akan tetap berwarna coklat. Pada
kedua jenis kelamin terdapat warna putih pada bagian belakang paha (pantat), bagian
bawah (perut), keempat kaki bawah (white stocking) sampai di atas kuku, bagian
dalam telinga, dan pada pinggiran bibir atas (Payne dan Rollinson, 1973; National
Research Council, 1972; Hardjosubroto dan Astuti, 1993).
6
Penyebaran sapi bali di Indonesia dimulai pada tahun 1890 dengan adanya
pengiriman ke Sulawesi, pengiriman selanjutnya dilakukan pada tahun 1920 dan
1927. Kemudian pada sekitar tahun 1947 dilakukan pengiriman besar-besaran sapi
bali oleh pemerintah Belanda ke Sulawesi Selatan yang langsung didistribusikan
kepada petani (Pane, 1991). Sejak saat itu, populasi sapi Bali berkembang dengan
cepat sehingga sampai saat ini Propinsi Sulawesi Selatan menjadi provinsi yang
memiliki sapi bali dengan jumlah terbesar di Indonesia. Untuk penyebaran sapi Bali
ke Lombok mulai dilakukan pada abad ke-19 yang dibawa oleh raja-raja pada zaman
itu, dan sampai ke Pulau Timor antara tahun 1912 dan 1920 Penyebaran sapi Bali ke
banyak wilayah di Indonesia kemudian dilakukan sejak tahun 1962 dan saat ini telah
menyebar hampir di seluruh wilayah Indonesia (Harjosubroto dan Astuti,1993).
2.2 Sumber Daya Genetik
Pelestarian sumberdaya genetik sangat penting dilakukan karena merupakan
bagian dari keragaman hayati dalam memenuhi kebutuhan pangan saat ini
maupun masa yang akan datang. Perlestarian sumberdaya genetik merupakan
salah satu sudut pandang akan potensi jaminan peningkatan kehidupan sosial
ekonomi pada saat ini atau pada masa yang akan datang. Praktek breeding dan
persilangan dilakukan hampir di beberapa negara berkembang seperti Indonesia.
Persilangan dilakukan dengan mengimpor ternak yang memiliki produktivitas
lebih tinggi untuk meningkatkan produktivitas ternak lokal. Konsekuensi nyata
dalam praktek persilangan adalah menurunnya keragaman hayati dan mengancam
eksistensi sumberdaya genetik ternak lokal (Maskur et al., 2012).
7
Upaya dalam melestarikan sapi Bali sebenarnya sudah tercatat dalam
sejarah Indonesia bahkan sebelum Indonesia resmi menjadi negara. Hal ini
menunjukkan bahwa kesadaran akan pentingnya sumberdaya genetik ternak
khususnya sapi bali sudah ada sejak dulu. National Research Council (1983)
mencatat pada tahun 1913 pemerintah sudah melahirkan produk hukum yang
melarang adanya persilangan pada sapi Bali untuk mempertahankan kemurnian
bangsa sapi Bali. Pada saat itu konsentrasi pelestarian di arahkan ke dua
tempat yaitu Pulau Bali dan Pulau Sumbawa. Program pemuliaan pada sapi
Bali dengan memulai program seleksi pada sapi Bali di awali tahun 1942. Program
seleksi ini terus dikembangkan dengan melibatkan peternak sapi Bali. Tahun
1949 pemerintah memberikan insentif bagi peternak yang memiliki ternak jantan
baik untuk dipertahankan (Payne & Rollinson 1973).
2.3 Sapi Bali Nusa Penida
Menteri Pertanian melalui Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, pada
tahun 2013 menetapkan Nusa Penida sebagai wilayah pembibitan dan pemurnian sapi
bali. Kemurnian genetiknya telah dilindungi dengan Peraturan Gubernur Bali Nomor
45 Tahun 2004 dan Perda No 2/2003 yang melarang bibit sapi bali betina keluar dari
wilayah provinsi ini (Kasa, et al., 2015). Nusa Penida dianggap layak ditetapkan
sebagai wilayah pembibitan dan pemurnian dikarenakan oleh beberapa hal seperti
rasio populasi sapi bali antara betina dan jantan yang ideal yaitu 2,4:1 dan adanya
barier/ penghalang alami berupa lautan sehingga mencegah penyebaran penyakit dari
wilayah lainnya ke Nusa Penida ataupun sebaliknya (Hadi, 2002). Hingga saat ini
8
sapi bali dari wilayah Nusa Penida memiliki sistem pertahanan tuhuh yang lebih baik
dibandingkan sapi bali di wilayah lainnya di Bali. Umumnya sapi bali di Bali rentan
terserang penyakit Jembrana dan SE (Septicemia Epizootica) namun khusus sapi bali
di Nusa Penida bebas terhadap penyakit tersebut (Suwiti, 2009).
2.4 Wilayah Nusa Penida
Nusa Penida merupakan gugusan pulau yang luas 192,72 km2 terletak di
Kabupaten Klungkung Provinsi Bali. Daerahnya termasuk lahan kritis dan hampir
sepanjang tahun dilanda kekeringan sehingga memberikan dampak pada populasi
ternaknya. Pada umumnya di Nusa Penida digalakkan adanya penghijauan karena
berkaitan dengan diberdayakannya bidang pertanian dan peternakan terutama sapi
bali. Secara geografis Nusa Penida merupakan kawasan lahan kering, berbukit, dan
berzona iklim F yakni dengan distribusi 4 bulan hujan dan 8 bulan kemarau. Akan
tetapi, subsektor peternakan berkontribusi cukup besar terhadap total pendapatan
masyarakat, terutama dari komoditas sapi bali (BPS Klungkung, 2016).
Populasi ternak sapi bali di Nusa Penida mengalami perubahan dari tahun ke
tahun akibat berbagai faktor seperti kelahiran, kematian, dan pengeluaran ternak
karena permintaan pasar. Populasi ternak sapi bali di Nusa Penida tahun 2014
mencapai 2.550.000 ekor, termasuk sapi bali simantri bantuan dari pemda setempat.
Potensi pengembangan ternak sapi bali berdasarkan kepadatan ternak (populasi
perluasan lahan) di Nusa Penida menujukkan 136,21 ekor/km2. Potensi
pengembangan ternak sapi bali berdasarkan rata-rata kepemilikan ternak (populasi
per rumah tangga peternak) mencapai 2,67 ekor/KK (BPS Kelungkung, 2016).
9
2.5 Fungsi Imunitas
Tubuh memiliki suatu sistem pertahanan terhadap benda asing dan patogen
yang disebut sebagai sistem imun. Respon imun timbul karena adanya reaksi
yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul terhadap mikroba dan bahan lainnya.
Sistem imun terdiri atas sistem imun alamiah atau non spesifik
(natural/innate/native) dan didapat atau spesifik (adaptive/acquired).
2.5.1 Sistem imun non spesifik
Dalam mekanisme imunitas non spesifik memiliki sifat selalu siap dan
memiliki respon langsung serta cepat terhadap adanya patogen pada individu yang
sehat. Sistem imun ini bertindak sebagai lini pertahanan pertama dalam
menghadapi infeksi dan tidak perlu menerima paparan sebelumnya, bersifat tidak
spesifik karena tidak ditunjukkan terhadap patogen atau mikroba tertentu, telah ada
dan berfungsi sejak lahir. Mekanismenya tidak menunjukkan spesifitas dan mampu
melindungi tubuh terhadap patogen yang potensial. Manifestasi respon imun alamiah
dapat berupa kulit, epitel mukosa, selaput lendir, gerakan silia saluran nafas, batuk
dan bersin, lisozim, IgA, pH asam lambung (Kresno, 2001).
Pertahanan humoral non spesifik berupa komplemen, interferon, protein
fase akut dan kolektin. Komplemen terdiri atas sejumlah besar protein yang
bila diaktifkan akan memberikan proteksi terhadap infeksi dan berperan dalam respon
inflamasi. Komplemen juga berperan sebagai opsonin yang meningkatkan
fagositosis yang dapat menimbulkan lisis bakteri dan parasit. Tidak hanya
komplemen, kolektin merupakan protein yang berfungsi sebagai opsonin yang
10
dapat mengikat hidrat arang pada permukaan kuman (Bratawijaya, 2006). Interferon
adalah sitokin berupa glikoprotein yang diproduksi oleh makrofag yang
diaktifkan, sel Natural Killer (NK) dan berbagai sel tubuh yang mengandung
nukleus dan dilepas sebagai respons terhadap infeksi virus. Peningkatan kadar C-
reaktif protein dalam darah dan Mannan Binding Lectin yang berperan untuk
mengaktifkan komplemen terjadi saat mengalami infeksi akut.
Sel fagosit mononuklear dan polimorfonuklear serta sel NK dan sel mast
berperan dalam sistem imun non spesifik selular. Neutrofil, salah satu fagosit
polimorfonuklear dengan granula azurophilic yang mengandung enzyme hidrolitik
serta substansi bakterisidal seperti defensins dan katelicidin. Mononuklear fagosit
yang berasal dari sel primordial dan beredar di sel darah tepi disebut sebagai
monosit. Monosit berkembang menjadi makrofag dan di sistem saraf pusat disebut
sebagai sel mikroglia, saat berada di sinusoid hepar disebut sel Kupffer, di saluran
pernafasan disebut makrofag alveolar dan di tulang disebut sebagai osteoklas. Sel
NK merupakan sel limfosit yang berfungsi dalam imunitas nonspesifik terhadap
virus dan sel tumor. Sel mast berperan dalam reaksi alergi dan imunitas
terhadap parasit dalam usus serta invasi bakteri (Radji, 2010).
2.5.2 Sistem imun spesifik
Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenali benda yang
dianggap asing secara spesifik. Benda asing yang pertama kali muncul akan segera
dikenali dan terjadi sensitisasi sel-sel sistem imun tersebut. Benda asing yang
sama, bila terpajan ulang akan dikenal lebih cepat dan kemudian dihancurkan.
11
Respon sistem imun spesifik lebih lambat karena dibutuhkan sensitisasi oleh
antigen namun memiliki perlindungan lebih baik terhadap antigen yang sama.
Sistem imun ini diperankan oleh Limfosit B dan Limfosit T yang berasal dari
sel progenitor limfoid.
a. Sistem imun spesifik selular
Limfosit T berperan pada sistem imun spesifik selular. Pada orang
dewasa, sel T dibentuk di sumsung tulang tetapi proliferasi dan
diferensiasinya terjadi di kelenjar timus. Persentase sel T yang matang
dan meninggalkan timus untuk ke sirkulasi hanya 5-10%. Fungsi utama
sistem imun spesifik selular adalah pertahanan terhadap bakteri
intraselular, virus, jamur, parasit dan keganasan (Abbas et al., 2007). Sel T
terdiri atas beberapa subset dengan fungsi yang berbeda-beda yaitu sel Th1,
Th2, Tdth, CTL atau Tc, Th3 atau Ts atau sel Tr. CD4+ merupakan
penanda bagi sel T helper dan CD8 merupakan penanda dari CTL yang
terdapat pada membran protein sel (Bratawidjaja et al., 2010).
b. Sistem imun spesifik humoral
Limfosit B atau sel B berperan dalam sistem imun spesifik humoral
yang akan menghasilkan antibodi. Antibodi dapat ditemukan di serum
darah, berasal dari sel B yang mengalami proliferasi dan berdiferensiasi
menjadi sel plasma. Fungsi utama antibodi sebagai pertahanan terhadap
infeksi ekstraselular, virus dan bakteri serta menetralisasi toksinnya. Sel B
memiliki reseptor yang spesifik untuk tiap-tiap molekul antigen dan
12
dapat dideteksi melalui metode tertentu melalui marker seperti CD19,
CD21 dan MHC II (Kresno, 2001).
Imunoglobulin merupakan substansi molekul dalam serum yang
menetralkan dan menghancurkan antigen atau mikroorganisme penyebab
infeksi. Molekul ini dibentuk oleh sel B dalam dua bentuk yang berbeda yaitu
sebagai reseptor permukaan untuk antigen dan sebagai antibodi yang
disekresikan ke dalam cairan ekstraseluler. Imunoglobulin memiliki banyak
persamaan dalam hal struktur dan sifat biologiknya, berbeda dalam susunan
asam amino yang membentuk molekulnya. Antibodi yang dibentuk sebagai
reaksi terhadap salah satu jenis antigen mempunyai susunan asam amino
yang berbeda dengan antibodi yang dibentuk terhadap antigen lain dan
masing-masing hanya dapat berikatan dengan antigen yang relevan dan
antibodi berfungsi sebagai adaptor yang mengikat antigen melalui binding
sitenya yang spesifik (Effendi dan Widiastuti, 2014).
Sistem imun ini berkaitan erat dengan adanya antibodi. Antibodi
merupakan protein immunoglobulin yang disekresi oleh sel B yang terfiksasi
oleh antigen. Semua molekul antibodi terdiri dari dua untaian peptida
pendek yang sama yang dikenal dengan light chain, kappa dan lambda yang
terdiri dari 230 asam amino, sedang yang terdiri dari untaian peptida yang
panjang disebut heavy chain (imunoglobulin) yang terdiri dari lima jenis yaitu
IgG, IgA, IgM, IgD dan IgE (Bratawidjaja, 2004).
13
2.6 Imunoglobulin M (IgM)
Immunoglobulin M (IgM) memiliki pentamer yang terdiri dari 5 monomer
masing-masing monomernya terkait satu dengan yang lainnya melalui suatu
polipeptida rantai J (joining chain), karena itu IgM merupakan imunoglobulin yang
paling besar. IgM merupakan 5-7 % dari total antibodi dalam serum. Ukuran yang
besar dari molekul Ig M menghambat pergerakan IgM. IgM biasanya tetap berada
dalam saluran peredaran darah dan tidak berdifusi ke dalam jaringan tubuh. IgM
dapat menyebabkan aglutinasi berbagai partikel dan fiksasi komplemen dengan
efisiensi yang sangat tinggi. IgM merupakan imunoglobulin yang pertama kali
dibentuk karena adanya rangsangan antigen. Sedangkan paparan yang ke dua dengan
antigen yang sama dapat meningkatkan pembentukan IgG. Karena IgM merupakan
antibodi pertama yang dibentuk ketika ada paparan antigen tertentu dengan waktu
yang relatif pendek, maka keadaan ini dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya
suatu infeksi akut atau kronis (Radji, 2010).
2.7 Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
ELISA (enzyme-linked immunosorbent assay) adalah teknik uji berbasis plate
yang dirancang untuk mendeteksi dan mengukur peptida, protein, antibodi dan
hormon. Dalam ELISA, antigen diimobilisasi ke permukaan padat kemudian
direaksikan dengan antibodi yang terkait dengan enzim. Deteksi dilakukan dengan
menilai aktivitas enzim terkonjugasi melalui inkubasi dengan substrat untuk
menghasilkan produk yang dapat diukur. Elemen terpenting dari strategi deteksi
adalah interaksi antibodi-antigen yang sangat spesifik. ELISA biasanya dilakukan
14
pada piring polistiren 96-well (atau 384-well), yang secara pasif akan mengikat
antibodi dan protein. Ini adalah pengikatan dan imobilisasi reagen yang membuat
ELISA begitu mudah disain dan kinerjanya. Setelah reaktan ELISA diimobilisasi ke
permukaan lempeng mikro memudahkan untuk memisahkan bahan yang tidak terikat
selama pengujian. Kemampuan untuk menghilangkan bahan terikat secara
nonspesifik membuat ELISA menjadi alat yang ampuh untuk mengukur analit
spesifik (BosterBio, 2010).
ELISA dapat dilakukan dengan sejumlah modifikasi pada prosedur dasar:
langsung (direct), tidak langsung (indirect), sandwich atau kompetitif. Langkah
kunci, imobilisasi antigen yang diinginkan, dapat dilakukan dengan adsorpsi
langsung ke plate uji atau secara tidak langsung melalui antibodi penangkapan yang
telah menempel pada plate. Antigen kemudian dideteksi secara langsung (antibodi
primer berlabel enzim) atau secara tidak langsung (antibodi sekunder berlabel enzim).
Antibodi pendeteksi biasanya diberi label dengan alkaline phosphatase (AP) atau
Horseradish Peroxide (HRP). Sejumlah besar substrat yang ada untuk uji ELISA
dengan konjugat HRP atau AP. Pilihan substrat bergantung pada sensitivitas uji yang
diperlukan dan instrumentasi tersedia untuk deteksi sinyal (spektrofotometer,
fluorometer atau luminometer). Di antara prosedur uji standar yang dibahas dan
diilustrasikan seperti Gambar 4.1. Perbedaan dalam penangkapan dan pendeteksian
menjadi perhatian, penting untuk membedakan antara strategi khusus yang ada secara
khusus untuk tahap deteksi. Namun antigen ditangkap ke plate (dengan adsorpsi
langsung ke permukaan atau melalui antibodi "penangkapan" berlapis pra, seperti
15
pada ELISA sandwich), ini adalah langkah deteksi (baik sebagai deteksi langsung
maupun tidak langsung) yang sangat menentukan sensitivitas ELISA (BosterBio,
2010).
Sumber: (BosterBio, 2010).
Gambar 2.6 Prinsip uji Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
ELISA Sandwich telah banyak mengalami perubahan sejak teknik ini pertama
kali dipublikasikan. Ciri utama teknik ini ialah dipakainya indikator enzim untuk
reaksi imunologi. Tersedia sangat banyak pilihan konfigurasi, sehingga tidak ada dua
kelompok peneliti yang berusaha melaksanakan tugas sama menggunakan ELISA,
menghasilkan konfigurasi yang identik penampilan atau kinerjanya. Mereka yang
ingin dengan baik mengenal teknik ini harus memulainya dengan konfigurasi yang
relatif sederhana dan memperoleh rasa percaya diri kepada teknik tersebut. Untuk
pengembangan teknik ini selanjutnya perlu diperhatikan adanya keterbatasan-
keterbatasan pada teknologinya. Metode pengujian yang baru perlu dievaluasi
dengan pertama-tama membandingkannya terhadap teknologi yang telah ada. Semua
16
hasil yang menyimpang harus diteliti secara rinci untuk menjamin bahwa metode
pengujian yang baru tersebut telah dievaluasi dengan benar (Burgess, 1995).
ELISA Sandwich merupakan konfigurasi menggunakan antibodi yang terikat
pada fase padat untuk menangkap antigen secara spesifik. Apabila digunakan antibodi
dari berbagai spesies, harus diingat bahwa hanya reaksi spesifik yang diinginkan.
Karenanya jika mungkin perlu dipilih antibodi yang dimurnikan berdasarkan afinitas
dan diabsorbsi berdasarkan afinitas juga. ELISA sandwich mempunyai potensi untuk
meningkatkan spesifitas ELISA tidak langsung asalkan antibodi penangkapnya dapat
menghindarkan penempelan antigen yang ada dalam jumlah kecil yang dapat
mengganggu spesifitas ELISA secara tidak langsung (Murkati et al., 2004).
17
BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Berpikir
Berdasarkan kondisi geografis, umumnya sapi bali di Nusa penida terdiri dari
dua lokasi yaitu dataran tinggi dan dataran rendah. Jenis pakan, ketersedian pakan,
dan kondisi geografis di dua jenis lokasi tersebut berbeda. Adanya perbedaan kondisi
geografis tersebut dapat mempengaruhi tingkat produktivitas serta berpengaruh
terhadap sistem imun sapi bali salah satunya kadar imunoglobulin. Hal itu terjadi
karena pada umumnya dataran tinggi memiliki suhu dan kelembaban yang bagus
menyebabkan mudahnya sapi bali beradaptasi dengan kondisi tersebut sehingga tidak
menyebabkan stress. Adanya ketersediaan pakan yang bergizi, seimbang dan variatif
yang berpengaruh terhadap bagusnya performa sapi bali dan mengakibatkan
terbentuknya sistem imun yang baik (Iskandar, 2011; Telupere et al., 2014).
Tingkatan umur pada saat muda dan dewasa sangat berpengaruh besar
terhadap kadar imunoglobulin sapi. Menurut jazek et al., (2012) melaporkan bahwa
sapi di usia muda memiliki kadar immunoglobulin lebih rendah dibandingkan dengan
usia dewasa. Hal itu dipengaruhi oleh transfer pasif kolostrum pada saat usia muda,
sedangkan saat usia dewasa sapi sudah terjadi auto-sintesis imunoglobulin (Erhard et
al., 1999). Akan tetapi perbedaan jenis (breed) sapi pada umur dewasa juga telah
ditemukan perbedaan kadar imunoglobulin (Muller and Ellinger, 1981; Dolenc, 1998;
Morin et al., 2001).
18
Perbedaan jenis kelamin sapi bali jantan dan betina berpengaruh terhadap
kondisi sistem imun tubuh salah satunya pada kadar imunoglobulin. Diketahui bahwa
Sapi bali betina mengandung hormon estrogen lebih banyak dibandingkan sapi
jantan. Hormon estrogen ini merupakan aktifator dari respon imun. Adanya hormon
estrogen menyebabkan sel-sel respon imun teraktivasi sehingga lebih tanggap
terhadap antigen yang masuk ke dalam tubuh (Rasyid et al., 2008).
3.2 Kerangka Konsep
Adapun kerangka konsep yang dapat disusun dari penelitian ini sebagai
berikut:
Gambar 3.2 Kerangka Konsep Penelitian
Kadar Imunoglobulin M (IgM) Sapi Bali
Aspek yang Berpengaruh terhadap Kadar IgM
Geografis Wilayah Jenis Kelamin Tingkat Umur
Dataran Rendah Dataran Tinggi Jantan Betina
Muda Dewasa
Profile
IgM
Enzyme Immunolinked Sorbent Assay
19
3.3 Hipotesis
Berdasarkan penjelasan diatas, hipotesis dari penelitian ini dapat dirumuskan
sebagai berikut:
1. Terdapat perbedaan kadar IgM sapi bali yang dipelihara di dataran tinggi
dibandingkan di dataran rendah.
2. Terdapat perbedaan kadar IgM sapi bali yang berumur muda dibandingkan
dengan umur dewasa.
3. Terdapat perbedaan kadar IgM sapi bali betina dibandingkan sapi bali jantan.
20
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif untuk mengetahui
profil imunoglobulin M (IgM) pada sapi bali di Nusa Penida Kabupaten Klungkung
Provinsi Bali dengan mengukur konsentrasi IgM pada serum sapi bali.
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Pengukuran konsentrasi Ig M pada serum sapi bali dilaksanakan di
Laboratorium Bioteknologi Balai Besar Veteriner Denpasar. Penelitian dilakukan
dalam dua tahap, yakni pengambilan serum sampel dilakukan pada bulan Oktober
2017, sedangkan pengukuran konsentrasi IgM dengan menggunakan metode
ELISA (Glory Science Co., Ltd., Catalog #:14543) dilaksanakan pada bulan
Desember 2017.
4.3 Ruang Lingkup Penelitian
Berdasarkan uraian di atas, adapun beberapa ruang lingkup penelitian ini
sebagai berikut:
a. Sapi bali: sapi bali jantan dan betina, dewasa dan muda yang dipelihara di
kawasan dataran tinggi dan rendah Nusa Penida Kabupaten Klungkung Provinsi
Bali.
b. Konsentrasi imunoglobulin M (Ig M): kadar Ig M yang diperoleh dari pengujian
menggunakan metode ELISA.
21
c. Geografis: wilayah pengambilan sampel terdiri dari dataran tinggi (di atas 700 m
dpl) yaitu Desa Klumpu dan Desa Batumadeg, sedangkan pengambilan sampel
dari dataran rendah (sampai dengan 200 m dpl) yaitu Desa Ped.
d. Umur: sapi bali muda berumur 12-18 bulan dan sapi bali dewasa umur 24 bulan
ke atas.
e. Jenis Kelamin: sapi bali betina dengan ciri fenotipik berwarna merah bata,
memiliki vagina dan sapi bali jantan dengan ciri fenotipik berwarna merah bata
saat pedet dan berubah menjadi warna coklat tua hingga hitam saat mencapai
dewasa serta memiliki penis.
4.4 Penentuan Sumber Data
Data dalam penelitian ini merupakan data populasi target terdiri dari sapi bali
jantan dan betina, dewasa dan muda yang dipelihara di Nusa Penida Kabupaten
Klungkung Provinsi Bali. Populasi terjangkau penelitian ini adalah sapi bali dengan
kriteria sehat dan sapi bali yang di pelihara di kawasan dataran tinggi dan dataran
rendah di wilayah pembibitan dan pemurnian sapi bali di Nusa Penida Kabupaten
Klungkung Provinsi Bali.
Pengambilan sampel penelitian menggunakan model Purposive sampling.
Perkiraan jumlah sampel mengacu pada metode Zainuddin, (1999). Jumlah sampel
yang digunakan dalam penelitian ini 54 ekor sapi bali yang berkriteria berdasarkan
ketinggian wilayah (dataran tinggi dan dataran rendah), umur (dewasa dan muda),
dan jenis kelamin (jantan dan betina).
22
4.5 Variabel Penelitian
Adapun variabel dalam penelitian ini sebagai berikut:
a. Variabel bebas:
Jenis kelamin yaitu sapi bali betina memiliki ciri fenotipik yakni berwarna
merah bata serta memiliki vagina, sedangkan sapi bali jantan adalah sapi bali
yang memiliki ciri fenotipik berwarna merah bata pada saat pedet dan berubah
menjadi warna coklat tua sampai hitam pada saat mencapai dewasa, serta
memiliki penis.
Geografis wilayah pengambilan sampel yaitu dataran tinggi Desa Klumpu
dan Batumadeg, sedangkan dataran rendah yaitu Desa Ped.
Umur sapi adalah muda yaitu sapi bali berumur 12-18 bulan dan sapi bali
dewasa berumur 24 bulan.
b. Variabel terikat:
Kadar imunoglobulin M (IgM) adalah kadar IgM dalam serum yang diukur
titernya menggunakan teknik ELISA metode Indirect.
c. Variabel terkendali:
Sapi bali di Nusa penida, waktu pengambilan sampel pada bulan oktober, sapi
sehat, dan perlakuan serum.
23
4.6 Bahan Penelitian
Adapun bahan yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu Bovine IgM ELISA
Kit (Glory Science Co., Ltd., Catalog #:14543), micro stripplate 12 well x 8 strip,
standart: 360 ng/ml, standart diluent, Horse Radish Peroxidase-Conjugate Reagent,
chromogen solution A, chromogen solution B, stop solution, wash solution, adhesive
strip.
4.7 Instrumen Penelitian
Adapun instrumen yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu jarum venoject 10
ml, single atau multi-channel pipette 100 µl dan 10 µl, tabung efendorf, microplate 96
well, inkubator, ELISA reader 450 nm (Thermo Scientific Multiskan® EX), tissue,
container, dan vortex.
4.8 Prosedur Penelitian
Prosedur uji ELISA yang dipergunakan dalam penelitian ini mengacu pada
metode Jazek et al., (2012) dan Bayram et al., (2016) dengan beberapa modifikasi.
Pengujian ini dilakukan berdasarkan standart operating procedure Bovine
Immunoglobulin M (IgM) ELISA Kit.
4.8.1 Koleksi sampel
Sampel berupa serum diperoleh dari pengambilan darah menggunakan jarum
venoject, melalui vena jugularis sebanyak 10 ml darah. Serum diletakkan pada suhu
ruangan sekitar 10-20 menit, selanjutnya serum dipusingkan dengan kecepatan 2000-
3000 rpm sekitar 20 menit agar tidak terjadi endapan.
24
4.8.2 Pengenceran standard
Pengenceran standard dilakukan dengan cara mencampurkan standard dengan
standart dilution. Pertama-tama disiapkan 5 tabung efendorf, kemudian diambil 50 μl
standart dilution untuk diisikan pada setiap tabung efendorf, selanjutnya diambil
sebanyak 100 μl standart (360 ng/ml) dan dimasukkan pada tabung yang pertama.
Sebanyak 100 μl larutan (campuran standart dilution dan standart) diambil dari
tabung pertama dan dimasukkan ke dalam tabung ke dua. Sebanyak 50 μl larutan dari
tabung yang kedua diambil dan dimasukkan ke dalam tabung yang ketiga. Pada tahap
ketiga ini diulang hingga tabung kelima sehingga konsentrasi standart senilai 20
ng/ml.
4.8.3 Prosedur Pengujian
Prosedur pengujian pertama kali dengan disiapkan well untuk blank dan
sampel, akan tetapi pada well blank tidak dilakukan penambahan sampel dan
Horseradish Peroxidase (HRP) – Conjugate. Selanjutnya dimasukkan 40 μl sampel
dilution ke masing-masing well dan ditambahkan 10 μl sampel yang di uji pada plate
uji. Setelah itu di inkubasi dengan ditutup menggunakan adhesive strip selama 30
menit pada suhu 37oC. Pada saat pengenceran wash solution digunakan perbandingan
1: 20 dan wash solution diencerkan 30 kali lipat dengan menggukan destilled water.
Hasil wash solution dipakai pada saat proses washing. Pada saat washing, strip
adhesive dibuka, larutan yang ada di well di hilangkan, kemudian tambahkan washing
buffer pada setiap well selama 30 detik, setelah itu dikeringkan. Proses washing
dilakukan sebanyak 5 kali. Selanjutnya ditambahkan enzim HRP-Conjugate reagent
25
50 μl pada setiap well kecuali blank well. Kemudian diinkubasi menggunakan
adhesive strip selama 30 menit pada suhu 37oC. Setelah 30 menit, dilakukan washing
selama 30 detik sebanyak 5 kali pengulangan. Setelah proses washing dilanjutkan
dengan pewarnaan dengan cara ditambahkan Chromogen Solution A dan Chromogen
Solution B 50 μl pada setiap well selama 15 menit pada suhu 37oC. Setelah 15 menit
dilakukan stop reaction dengan cara ditambahkan stop solution 50 μl pada setiap
well, pada proses stop reaction akan terjadi perubahan warna dari warna biru menjadi
warna kuning dan ditunggu selama 15 menit. Pada saat mendekati 24 menit ke 15
dilakukan pembacaan absorbance (daya serap) menggunakan ELISA reader 450 nm
dengan blank well bernilai nol. Konsentrasi IgM pada sampel ditentukan dengan
membandingkan nilai optical density (O.D) dari sampel dengan kurva standar. Pada
penilaian ini konsentrasi standart diibaratkan sebagai bidang horisontal, sedangkan
nilai O.D pada bidang vertikal. Gambar kurva standar pada kertas grafik. Konsentrasi
yang bersesuaian dicari berdasarkan nilai dari O.D sampel dengan kurva sampel dan
diperoleh dengan menggunakan persamaan X= aY^b-0.5, dengan X adalah
konsentrasi IgM dalam serum sapi bali, Y adalah nilai O.D, a adalah konstatnta dan b
adalah koefisien (Sampurna dan Nindhia, 2008; Sampurna, 2012).
4.9 Analisis Data
Penghitungan kadar IgM berdasarkan nilai OD dan standar dilakukan dengan
analisis regresi, selanjutnya analisis data kadar imunoglobulin M (IgM) sapi bali di
Nusa Penida Kabupaten Klungkung Provinsi Bali disajikan secara deskriptif.
26
Perbedaan rerata kadar IgM serum sapi bali dianalisis dengan uji Independent T-test
dengan menggunakan program software SPSS 17 (Sampurna dan Nindhia, 2008).
27
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil
Kadar imunoglobulin M (IgM) hasil uji terhadap serum sapi bali yang di
pelihara di Nusa Penida Kabupaten Klungkung Provinsi Bali menggunakan metode
Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dengan Bovine IgM ELISA kit (Glory
Science Co., Ltd., Catalog: 14543) telah diperoleh nilai optical density (OD) berkisar
dari 0,055-2,886. Hasil nilai optical density yang selanjutnya digunakan untuk
menentukan kadar imunoglobulin M (IgM) pada serum sapi bali berdasarkan
persamaan X= 53.747Y*1.579-0.5 dengan nilai (R2 = 0.975). Sebanyak 54 sampel
serum sapi bali di Nusa Penida yang diuji telah diperoleh bahwa semua sampel serum
sapi bali terdeteksi adanya kadar IgM yang bervariasi dengan kisaran 2.565 ng/mL –
8.834 ng/mL.
5.1.1 Kadar imunoglobulin M (IgM) serum sapi bali di Nusa Penida pada
kategori geografis wilayah (dataran tinggi dan dataran rendah).
Kadar IgM serum sapi bali di dataran tinggi memiliki nilai bervariasi berkisar
antara 2.565 ng/mL - 8.834 ng/mL dengan rerata 4.761±1.353 ng/mL, sedangkan
kadar IgM serum sapi bali di dataran rendah memiliki nilai bervariasi berkisar antara
2.929 ng/mL - 8.217 ng/mL dengan rerata 4.837±1.385 ng/mL. Kadar IgM serum
sapi bali yang dipelihara di dataran rendah lebih tinggi daripada di dataran tinggi,
akan tetapi tidak berbeda nyata (P>0.05) (Tabel 5.1).
28
Tabel 5.1 Rerata Kadar Imunoglobulin M (IgM) Serum Sapi Bali di Nusa Penida
Berdasarkan Geografis Wilayah.
Geografis Wilayah Rerata Kadar IgM Serum (ng/mL) Signifikansi
Dataran Tinggi 4.761±1.353 a
Dataran Rendah 4.837±1.385 a
Keterangan: Rerata kadar IgM serum sapi bali mean ± standard deviation. Nilai dengan huruf (a) yang
sama menujukkan tidak berbeda nyata (P>0.05).
5.1.2 Kadar imunoglobulin M (IgM) serum sapi bali di Nusa Penida pada
kategori jenis kelamin (jantan dan betina).
Kadar IgM serum sapi bali betina memiliki nilai bervariasi berkisar antara 2.775
ng/mL - 8.834 ng/mL dengan rerata 5.018±1.370 ng/mL, sedangkan kadar IgM
serum sapi bali jantan memiliki nilai bervariasi juga berkisar antara 2.565 ng/mL -
6.742 ng/mL dengan rerata 4.477±1.290 ng/mL. Kadar IgM serum sapi bali betina
lebih tinggi daripada sapi bali jantan, akan tetapi tidak berbeda nyata (P>0.05) terlihat
pada tabel (Tabel 5.2).
Tabel 5.2 Rerata Kadar Imunoglobulin M (IgM) Serum Sapi Bali di Nusa Penida
Berdasarkan Jenis Kelamin.
Jenis Kelamin Rerata Kadar IgM Serum (ng/mL) Signifikansi
Jantan 4.477±1.290 a
Betina 5.018±1.370 a
Keterangan: Rerata kadar IgM serum sapi bali mean ± standard deviation. Nilai dengan huruf (a) yang
sama menujukkan tidak berbeda nyata (P>0.05).
29
5.1.3 Kadar Imunoglobulin M (IgM) Serum Sapi Bali di Nusa Penida Pada
Kategori Umur (Muda dan Dewasa).
Kadar IgM serum sapi bali muda memiliki nilai bervariasi berkisar antara 2.775
ng/mL - 8.217 ng/mL dengan rerata 4.707±1.305 ng/mL, sedangkan kadar IgM serum
sapi bali dewasa memiliki nilai bervariasi juga berkisar antara 2.565 ng/mL - 8.834
ng/mL dengan rerata 4.869±1.417 ng/mL. Kadar IgM serum sapi bali dewasa lebih
tinggi daripada sapi bali muda, akan tetapi tidak berbeda nyata (P>0.05) (Tabel 5.3).
Tabel 5.3 Rerata Kadar Imunoglobulin M (IgM) Serum Sapi Bali di Nusa Penida
Berdasarkan Umur.
Umur Rerata Kadar IgM Serum (ng/mL) Signifikansi
Muda 4.707±1.305 a
Dewasa 4.869±1.417 a
Keterangan: Rerata kadar IgM serum sapi bali mean ± standard deviation. Nilai dengan huruf (a) yang
sama menujukkan tidak berbeda nyata (P>0.05).
5.2 Pembahasan
Sapi bali yang dipelihara di Nusa Penida Kabupaten Klungkung Provinsi Bali
telah terdeteksi adanya kadar imunoglobulin M (IgM) sebanyak 54 sampel serum
yang telah di uji menggunakan Bovine IgM ELISA kit (Glory Science Co., Ltd.,
Catalog: 14543) dengan nilai bervariasi 2.565 ng/mL - 8.834 ng/mL. Pada studi
sebelumnya telah diketahui kadar IgM pada susu sapi dengan kondisi sapi yang sehat
yaitu 0,12 g/L (Korhonen et al., 1995) dan 1,23-1,65 g/L (Zagorska et al., 2007).
Terdeteksinya kadar IgM dalam serum pada penelitian ini menujukkan bahwa sapi
bali yang dipelihara di Nusa Penida telah menujukkan respon yang baik oleh innate
IgM ataupun adaptive IgM terhadap antigen.
30
Antibodi alami (innate IgM) dikenal sebagai suatu antibodi yang dapat
dibentuk sebelum terjadi infeksi ataupun paska vaksinasi. Tingginya avidity IgM
menyebabkan IgM dapat mendeteksi dan mengikat antigen kurang reaktif yang
sering dijumpai (Boes, 2000). IgM alami merupakan kelas IgM yang telah di deteksi
pada manusia dan tikus (Countinho et al., 1995; Haury et al., 1997; Mouthon et al.,
1995). IgM alami sebagian besar di hasilkan tanpa adanya eksposur antigen eksogen,
hal ini di buktikan dengan ditemukan pada tikus bebas antigen dan manusia yang
baru lahir (Avrameas S, 1991; Casali et al., 1996; Pereira et al., 1986). IgM alami
telah diketahui hanya dapat mengenali self-antigen, sehingga terdeteksi dengan kadar
rendah untuk infeksi mikroba (Notkin, 2004), akan tetapi saat ini sejumlah penelitian
menujukkan bahwa natural IgM dapat mengikat sejumlah mikroba patogen
(Ochsenbein et al., 2000; Briels et al., 1981; Gobert et al., 1988; Boes et al., 1998;
Baumgarth et al., 2000). Selain IgM sebagai antibodi alami, IgM dapat muncul
sebagai akibat telah terjadi paparan imunogen. Berdasarkan hal itu IgM
dikelompokkan menjadi dua kelas IgM yaitu innate sel B1 dan adaptive sel B2.
Kadar IgM dalam serum dapat muncul karena tubuh terekspose secara akut oleh
sebuah imunogen atau patogen sebagai respon imun primer (Schroeder dan Cavacini,
2010).
IgM telah diketahui sebagai sebuah kekebalan terhadap infeksi sistemik,
terutama terhadap virus (Diker, 2005; Mendonsa, 2011). Sapi bali yang dipelihara di
Nusa Penida telah diketahui bebas penyakit Jembrana dan SE (Septicemia Epizootica)
(Suwiti et al., 2009) yang mana sapi bali sangat rentan terhadap penyakit tersebut.
31
Sehingga kemungkinan adanya kadar IgM pada serum sapi bali di Nusa Penida bukan
disebabkan oleh infestasi penyakit akibat virus, melainkan dapat diasumsikan bahwa
terdeteksinya kadar IgM pada serum sampel sapi bali disebabkan oleh parasit seperti
infestasi ektoparasit ataupun endoparasit. Hal itu didukung karena Indonesia
termasuk kedalam wilayah tropis yang memiliki kelembaban nisbi tinggi dan
merupakan tempat yang cocok untuk tumbuh berkembangnya ektoparasit ataupun
endoparasit. Indraswari et al, (2017) melaporkan bahwa sapi bali di Nusa Penida
terinfeksi oleh protozoa gastrointestinal. Studi sebelumnya Batan et al., (2001)
melaporkan bahwa sapi bali dapat terinfeksi oleh ektoparasit salah satunya adalah
Demodex bovis.
Infeski parasit dapat memepengaruhi sirkulasi dari IgM dan IgG meskipun
telah terjadi respon oleh IgE oleh tubuh (Arlian, 1996), sehingga ketika terjadi
infestasi parasit pada sapi bali dapat menyebabkan terstimulasi dan meningkatnya
kadar IgE, IgM dan IgG (Morsy et al., 1993). Studi lain melaporkan bahwa infestasi
arthropoda pada sapi dapat merubah nilai hematologi yang secara spesifik terjadi
peningkatan pada eusinofil dan peningkatan nilai limfosit. Hal ini yang
mempengaruhi dalam produksi IgM (Raut et al., 2008; Wikel, 1985).
Kadar IgM serum sapi bali yang berada di Nusa penida pada penelitian ini
sangat bervariasi dan memiliki rentang nilai yang jauh berkisar dari 2.565 ng/mL -
8.834 ng/mL. Hal itu diasumsikan karena terjadi perbedaan kondisi lingkungan dan
pemeliharaan. Studi sebelumnya Bayram et al., (2016) mendeteksi kadar IgM pada
sapi Holstein Friesian juga memiliki kadar yang rendah serta bervariasi karena di
32
pengaruhi oleh kondisi lingkungan dan pemeliharaan. Selain itu kemungkinan bisa
juga diakibatkan oleh perbedaan jumlah antigen yang masuk di setiap individu sapi
bali yang dapat mempengaruhi kadar IgM. Telah diketahui IgM memiliki waktu
paruh yang relatif singkat dalam serum, kira-kira 28 jam, pada tikus normal dengan
tidak adanya antigen (Viera dan Rajewsky, 1998). Diasumsikan bahwa produksi IgM
berkurang sejak respon maturasi dari sel B. Akan tetapi, kejadian ini tidak selalu
menjadi sebuah kasus dan menunjukkan bahwa respon IgM dapat dipertahankan
untuk waktu yang lama setelah infeksi atau imunisasi dikarenakan sel B yang
berumur panjang (Racine dan Winslow, 2009). Pada studi lain juga melaporkan
bahwa IgM alami ada dalam serum dengan titer yang rendah dan berkonstribusi
dalam kekebalan awal sebelum timbulnya respon humoral adaptif (Zhou et al., 2007;
Haas et al., 2005; Ehrenstein et al., 1998; Fearon et al., 1996).
Secara geografis wilayah, kadar IgM serum sapi bali dipelihara di dataran
rendah (4.837±1.385 ng/mL) lebih tinggi daripada di dataran tinggi (4.761±1.353
ng/mL) meskipun juga tidak berbeda nyata secara statistik (P>0.05). Pada penelitian
ini bertolak belakan dengan beberapa penelitian yang menyebutkan bahwa kadar IgM
sapi di dataran tinggi lebih tinggi daripada di dataran rendah karena berkaitan dengan
kondisi lingkungan yang berbeda pada dataran tinggi dan dataran rendah (Mazzullo et
al., 2014). Bertolak belakang juga dengan studi sebelumnya yang melaporkan bahwa
pada dataran rendah cenderung memiliki tingkat suhu udara yang tinggi, sehingga
memudahkan untuk terjadinya stress pada sapi akibat kombinasi kondisi lingkungan
yang menyebabkan suhu lingkungan menjadi lebih tinggi daripada zona suhu
33
nyaman pada sapi (thermoneutral) (Amstrong, 1994). Terpaparnya sapi dengan
kondisi suhu lingkungan yang tinggi menstimulasi mekanisme termoregulasi dan
penurunan tingkat metabolisme, nafsu makan dan produktivitas (Abdelatif dan
Alameen, 2012).
Pada penelitian ini dapat diasumsikan bahwa tingginya kadar IgM serum sapi
bali di dataran rendah dibandingkan di dataran tinggi karena faktor stress akibat
kondisi lingkungan ataupun sapi bali telah terinfeksi oleh beberapa penyakit salah
satunya adalah parasit. Telah diketahui bahwa infeksi parasit dapat mempengaruhi
tingginya kadar IgM serum (Morsy et al., 1993). Telah diketahui bahwa sapi bali juga
rentan terhadapa parasit serta di Nusa Penida telah terjadi beberapa kasus penyakit
akibat infeksi parasit (Batan et al., 2001; Indraswari et al., 2017). Diketahui juga
bahwa Nusa Penida termasuk lahan kritis dan hampir sepanjang tahun dilanda
kekeringan sehingga memberikan dampak pada tingkat stress populasi ternaknya.
Secara geografis Nusa Penida merupakan kawasan lahan kering, berbukit, dan
berzona iklim F yakni dengan distribusi 4 bulan hujan dan 8 bulan kemarau (BPS
Klungkung, 2016). Stress dengan kondisi lingkungan dapat merubah dan menurunkan
fungsi imun pada sapi dengan perubahan imunitas seluler dan imunitas humoral yang
memiliki dampak signifikan pada imunokompetensi (Carroll dan Forsberg, 2007).
Penurunan fungsi imun akibat pengaruh kondisi lingkungan dapat menyebabkan
penurunan respon imun baik respon secara selular ataupun humoral pada sapi.
Kriteria jenis kelamin pada penelitian ini juga mempengaruhi terhadap kadar
IgM serum sapi bali. Kadar IgM serum sapi bali betina (5.018±1.370 ng/mL) lebih
34
tinggi daripada sapi bali jantan (4.477±1.290 ng/mL) meskipun secara statistik tidak
signifikan atau berbeda nyata (P>0.05). Studi sebelumnya telah melaporkan bahwa
jenis kelamin memiliki pengaruh signifikan pada kadar IgM serum pada sapi dalam
masa penyapihan, dimana sapi betina memiliki kadar konsentrasi tinggi dibandingkan
sapi jantan (Akbulut et al., 2003).
Sapi bali betina mengandung hormon estrogen lebih banyak dibandingkan
sapi jantan. Hormon estrogen ini merupakan aktifator dari respon imun. Adanya
hormon estrogen menyebabkan sel-sel respon imun teraktivasi sehingga lebih
tanggap terhadap antigen yang masuk ke dalam tubuh (Rasyid et al., 2008). Selain
itu, didukung pula penelitian oleh Mirzadeh et al, (2010) dengan membandingkan
salah satu kriteria penelitian terhadap jenis kelamin yaitu jantan dan betina terhadap
gambaran hematologi yang menujukkan bahwa sapi betina memiliki nilai leukosit
yang tinggi dibandingkan dengan sapi jantan. Hal itu dapat diasumsikan bahwa
respon sapi bali betina lebih tanggap dibanding sapi bali jantan ketika terjadi adanya
infeksi, sehingga kemampuan produksi IgM lebih cepat dan memiliki kadar yang
lebih tinggi jika dibandingkan dengan jantan.
Pada kriteria umur, kadar IgM serum sapi bali dewasa (4.869±1.417 ng/mL)
lebih tinggi daripada kadar IgM serum sapi bali muda (4.707±1.305 ng/mL)
meskipun tidak terdapat perbedaan nyata secara statistik (P>0.05). Hal itu sejalan
dengan studi sebelumnya oleh jazek et al., (2012) bahwa sapi di usia muda memiliki
kadar immunoglobulin lebih rendah dibandingkan dengan usia dewasa. Hal itu
dipengaruhi oleh transfer pasif kolostrum pada saat usia muda, sedangkan saat usia
35
dewasa sapi sudah terjadi auto-sintesis immunoglobulin (Erhard et al., 1999). Akan
tetapi faktor lain seperti adanya infeksi oleh parasit juga dapat mempengaruhi kadar
IgM dan IgG serum sapi (Arlian, 1996).
36
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
1. Sebanyak 54 sampel terdeteksi adanya kadar imunoglobulin M (IgM) dengan
nilai yang bervariasi berkisar dari 2.565 ng/mL - 8.834 ng/mL.
2. Kadar IgM serum sapi bali di dataran rendah (4.837±1.385 ng/mL) lebih
tinggi daripada di dataran tinggi (4.761±1.353 ng/mL) akan tetapi tidak
berbeda nyata secara statistik (P>0,05).
3. Kadar IgM serum sapi bali dewasa (5.018±1.370 ng/mL) lebih tinggi daripada
muda (4.477±1.290 ng/mL) akan tetapi tidak berbeda nyata secara statistik
(P>0,05).
4. Kadar IgM serum sapi bali betina (4.869±1.417 ng/mL) lebih tinggi daripada
jantan (4.707±1.305 ng/mL) akan tetapi tidak berbeda nyata secara statistik
(P>0,05).
6.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan jumlah sampel yang lebih banyak
dengan kriteria bervariasi dan membandingkan sampel serum dengan sapi bali yang
dipelihara di luar daerah Nusa Penida supaya dapat mengetahui perbandingan
bagaimana kadar IgM serum sapi bali di Nusa Penida dan di luar daerah Nusa
penida.
37
DAFTAR PUSTAKA
Abbas KA, Lichtmant AH, Pillai S. 2007. Cellular and Molecular Immunology. Sixth
ed. Philadelphia : W B Saunders Company.
Abdelatif AM, Alameen AO. 2012. Influence of season and pregnancy on thermal
and haemotological responses of crossbred dairy cows in a tropical
environment. Global Veterinaria, 9: pp. 334–340.
Akbulut O, Bayram B, Yanar M. 2003. Serum Immunoglobulin Concentration of
Brown Swiss and Holstein Friesian Calves and Their Relationship with
Growth Characteristics. Ataturk Univ. Ziraat Fak. Derg 34 (2): pp. 157-159.
Antara PATK, Suwiti NK, Apsari IAP. 2017. Prevalensi Nematoda Gastrointestinal
Bibit Sapi Bali di Nusa Penida. Buletin Veteriner Udayana, 9(2): pp. 195-201.
Armstrong DV. 1994. Heat stress interaction with shade and cooling. J. Dairy Sci 7:
pp. 2044–2050.
Arlian LG. 1996. Immunology of scabies-The Immunology of Host-Ectoparasitic
Arthropod Relationships. CAB International.Wallingford, Oxon, UK.
Avrameas S. 1991. Natural autoantibodies: from ‘horror autotoxicus’ to ‘gnothi
seauton’. Immunol Today 12 (15): pp. 4–9.
Baratawidjaja, K.G. 2004, Imunologi Da-sar, edisi ke-5, Jakarta: Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas In-donesia.
Baratawijaya, K.G. 2006. Immunologi Dasar. Edisi ke 7. Jakarta: Balai Penerbitan
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Baratawijaja, K.G. dan Rengganis, I. 2010. Imunologi Dasar. Edisi ke 9. Jakrta: Bali
Penerbitan Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Batan IW, Wiyanti NWS, dan Wirat P. 2001. Pola Penyebaran Lesi Demodekosis
Sapi Bali dan Efektifitas Pengobatan Doramectin. J Vet 2 (2): Pp. 49-54.
Baumgarth N, Herman OC, Jager GC, Brown LE, Herzenberg LA, Chen J. 2000. B-1
and B-2 cell-derived immunoglobulin M antibodies are nonredundant
components of the protective response to influenza virus infection. J Exp Med
192 (2): pp.71–80.
38
Bayram B, Aksakal V, Turan I, Demir S, Mazlum H, dan Cosar I. 2016. Comparison
of immunoglobulin (IgG, IgM) concentration in calves raised under organic
and conventional condition. Indian J. Anim. Res 50 (6): pp. 995-999.
Boes M, Prodeus AP, Schmidt T, Carroll MC, Chen J. 1998. A critical role of natural
immunoglobulin M in immediate defense against systemic bacterial infection.
J Exp Med 188 (238): pp.1–6.
Boes M. 2000. Role of Natural and Immune IgM antibodies in Immune Responses.
Molecular Immunology 37: pp. 1141-1149.
BosterBio. 2010. ELISA Handbook: Principle, Troubleshooting, Sample Preparation
and Assay Protocols. Plesanton, CA: Boster Biological Technology.
BPS Klungkung. 2016. Kabupaten Klungkung Dalam Angka 2016. Denpasar:
Percetakan Bali.
Briles DE, Nahm M, Schroer K, Davie J, Baker P, Kearney J. 1981.
Antiphosphocholine antibodies found in normal mouse serum are protective
against intravenous infection with type 3 Streptococcus pneumoniae. J Exp
Med 153: pp.694–705.
Burgess, G.W. 1995. Teknologi ELISA dalam Diagnosis dan Penelitian. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Carroll JA dan Forsberg NE. 2007. Influence of stress and nutrition on cattle
immunity. Vet. Clin. North Am. Food Anim. Pract (23): 105-149.
Casali P, Schettino EW. 1996. Structure and function of natural antibodies. Curr Top
Microbiol Immunol 210: pp.167–79.
Coutinho A, Kazatchkine MD, Avrameas S. 1995. Natural autoantibodies. Curr Opin
Immunol 7: pp. 812–8.
Damayanti R. 2016. Penyakit Malignant Catarrhal Fever di Indonesia dan Upaya
Pengendaliannya. Wartazoa 26 (3): pp. 103-114.
Departemen Pertanian. 2006. Peraturan Menteri Pertanian tentang Sistem Perbibitan
Ternak Nasional, Direktur Jenderal Peternakan. Direktorat Pembibitan.
Jakarta.
Diker KS. 2005. Immunoloji. Medisan Yayin Serisi: 37, ISSBN: 975-7774-34-0,
Ankara.
Dolenc, A. 1998. Vpliv razlicno dolge suhe dobe kravna vsebnost imunoglobulinovv
mlezivu. Doktorska disertacija. Ljubljana, veterinarska fakulteta: pp. 94.
39
Effendi, N. dan Widiastuti, H. 2014. Identifikasi Aktivitas Imunoglobulin M (IgM)
Ekstrak Etanolik Daun Ceplukan (Physalis Minima Linn) Pada Mencit. Jurnal
Kesehatan 7(2):pp. 353-360.
Ehrenstein MR, O’Keefe TL, Davies SL, Neuberger MS. 1998. Targeted gene
disruption reveals a role for natural secretory IgMin the maturation of the
primary immune response. Proc Natl Acad Sci USA 95 (100): pp.89–93.
Erhard, M.H., Amon, P., Younana, M., Ali, Z., Stangassinger, M. 1999. Absorption
and synthesis of immunoglobulins g in newborn calves. Reproduction of
Domestic Animals, 34: pp. 173–175.
Fearon DT, Locksley RM. 1996. The instructive role of innate immunity in the
acquired immune response. Science 272 (5): pp.1–4.
Gobet R, Cerny A, Ruedi E, Hengartner H, Zinkernagel RM. 1988. The role of
antibodies in natural and acquired resistance of mice to vesicular stomatitis
virus. Exp Cell Biol 56 (1): pp.75–80.
Haas KM, Poe JC, Steeber DA, Tedder TF. 2005. B-1a and B-1b cells exhibit distinct
developmental requirements and have unique functional roles in innate and
adaptive immunity to S. pneumoniae. Immunity23: pp.7–18.
Hadi PU. 2002. Problem dan prospek pengembangan usaha pembibitan sapi potong
di indonesia. J. Litbang Pertanian. 21(4): 18-157.
Hamilton AM, Lehuen A, Kearney JF. 1994. Immunofluorescence analysis of B-1
cell ontogeny in the mouse. Int. Immunol 6: pp. 355–361.
Handriwirawan, E. dan Subandriyo. 2004. Potensi Keragaman Sumberdaya Genetik
Sapi Bali. Wartazoa 14(3):pp. 50-60.
Hardjosubroto, W. dan Astuti, J.M. 1993. Buku Pintar Peternakan. Jakarta: PT
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Haury M, Sundblad A, Grandien A, Barreau C, Coutinho A, Nobrega A. 1997. The
repertoire of serum IgM in normal mice is largely independent of external
antigenic contact. Eur J Immunol 27 (15): pp. 57–63.
Indraswari, A.A.S.I, Suwiti, N.K., Apsari, I.A.P. 2017. Protozoa Gastrointestinal:
Eimeria Auburnensis dan Eimeria Bovis Menginfeksi Sapi Bali Betina di
Nusa Penida. Buletin Veteriner Udayana, 9(1): pp. 112-116.
Indriawati, Margawati ET, Ridwan M. 2013. Identifikasi Virus Penyakit Jemberana
Pada Sapi Bali Menggunakan Penanda Molekular Gen env SU. Berita Biologi
12(2): pp. 211-216.
40
Iskandar. 2011. Performa Reproduksi Sapi PO Pada Dataran Rendah dan Dataran
Tinggi di Provinsi Jambi. Jurnal Ilmiah Ilmu-ilmu Peternakan 14(1): pp. 51-
61.
Jazek J, Malovrh T, Klinkon M. 2012. Serum Immunoglobulin (IgG, IgM, IgA)
Concentration in Cows and Their Calves. Acta Agriculture Slovenica 3: pp.
295-298.
Kasa IW, Sukmaningsih AAS, Darmayasa IB. 2015. Efforts in conserving purebred
bali cattle as draught and beef type in Bali Island, Indonesia. Bul. Vet.
Udayana. 7(1): pp. 95-100.
Korhonen H. dan Kaartinen, L. 1995. Changes in the composition of milk induced by
mastitis. The Bovine Udder and Mastitis. Iyvaskyla, Finland: Gummerus
Kirjapaino Oy: pp. 76-82.
Kresno, SB. 2001. Imunologi: Diagnosis dan Prosedur laboratorium Edisi 4. Jakarta:
Balai Penerbit Fakultas Keddokteran Universitas Indonesia.
Namikawa, T dan Widodo, W. 1978. Electrophoretic variation of hemoglobulin and
serum albumin in Indonesian cattle including Bali cattle. Japan Journal of
Zootechnical Science 49: 11.
Notkins AL. 2004. Polyreactivity of antibody molecules. Trends Immunol 25:
pp.174–9.
National Research Council. 1983. Little known asian animals with a promising
economic future. Wasington D.C National Academic Press.
Mazzullo G, Rafici C, Commarata F, Caccamo G, Rizzo M, dan Piccione G. 2014.
Effect of Different Environmental Conditions on Some Haematological
Parameters in Cow. Ann. Anim. Sci. 14(4): pp. 947-954.
Maskur, Muladno, Tappa, B.. 2007. Identifikasi menggunakan marker mikrosatelit
dan hubungan dengan sifat kuantitatif pada sapi. Media Peternakan:
pp.147-155.
Mendonsa, KM. 2011. Factors affecting passive transfer in neonatal calves. Dairy
Science Department. California Polytechnic State University, San Luis
Obispo.
Mirzadeh KH, Tabatabaei S, Bojarpour M, Mamoei M. 2010. Comparative Study of
Hematological Parameters According Strain, Age, Sex, Physiological Status
and Season in Iranian Cattle. Journal of Animal and Veterinary Advance 9
(16): pp. 2123-2127.
41
Morin, De, Constable, P.D., Maunsell, F.P., McCoy, G.C. 2001. Factors associated
with colostral specific gravity in dairy cows. Journal of Dairy Science, 84: pp.
937–943.
Morsy TA, Kenawi MZ, Zohdy HA, Abdalla, KF dan Fakahany AFE. 1993. Serum
immunoglobulin and complement values in scabietic patients. J. Egypt. Soc.
Parasitol. 23: pp.221-228.
Mouthon L, Nobrega A, Nicolas N, Kaveri SV, Barreau C, Coutinho A. 1995.
Invariance and restriction toward a limited set of self-antigens characterize
neonatal IgM antibody repertoires and prevail in autoreactive repertoires of
healthy adults. Proc Natl Acad Sci USA 92 (38):pp. 39–43.
Muller, LD. dan Ellinger, D.K. 1981. Colostral immunoglobulin concentrations
among breeds of dairy cattle. Journal of Dairy Science, 64: pp. 1727–1730.
Murkati, Suripto N., Supargiyono, Tjokrosonto S., Hnes M., Artama, W.Y., Prayitno
A. 2004. Perbedaan Metode ELISA Sandwich A dan B dalam Deteksi
Antigen Membran Toxoplasma gomdii. Bioteknologi 1(2): pp. 54-57.
Namikawa, T., Matsuda, Y., Kondo, K., Pangestu, B., Martojo, H. 1980.
Blood Groups and Blood Protein Polymorphisms of Different Types of the
Cattle in Indonesia. The Origin of Phylogeny of Indonesian Native
Livestock Bogor :. The Research Group of Overseas Scientific Survey. 35-45.
Ochsenbein AF, Zinkernagel RM. 2000. Natural antibodies and complement link
innate and acquired immunity. Immunol Today 21: pp.624–30.
Payne, W.J.A. & Rollinson, D.H.L. 1976. Madura cattle. Z. Tier.Züchts. 93: 89-100.
Pane, I. 1991. Produktivitas dan breeding sapi Bali. Pros. Seminar Nasional Sapi Bali.
Fakultas Peternakan Universitas Hasanudin. Ujung Pandang. 2-3 September
1991.
Pereira P, Forni L, Larsson EL, Cooper M, Heusser C, Coutinho A. 1986.
Autonomous activation of B and T cells in antigen-free mice. Eur J Immunol
16 (68): pp.5–8.
Putro PP. 2004. Pencegahan, Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan
Menular Strategis Dalam Pengembangan Usaha Sapi Potong. Lokakarya
Nasional Sapi Potong: pp. 22-26.
Racine R dan Winslow GM. 2009. IgM in microbial infection: Taken for granted ?.
Immunology Letters 125:pp. 79-85.
Radji M. 2010. Immunologi dan Virologi. Edisi Revisi. Jakarta: Isfi.
42
Rasyid R, Yanwirasti, Nasrul E. 2008. Pengaruh Esterogen Terhadap Aktifitas Sel
Makrofag dalam Menfagosit Candida albicans Secara InVitro. Majalah
Kedokteran Andalas 1(32): pp. 79-87.
Raut PA, Sonkhusale VG, Khan LA, Nakade MK, Pagrut NS, dan Boodkhe AM.
2008. Veterinary world 1(11): pp. 338-339.
Rollinson, D.H.L. 1984. Bali Cattle In: Evolution of Domestication Animal Mason,
I.L. editor. New York: Longman.
Sampurna IP. 2012. Analisis regresi non-linear terapan dengan spss. Pelawa Sari.
Denpasar.
Sampurna IP dan Nindhia TS. 2008. Analisis Data dengan SPSS dalam
Rancangan Percobaan. Udayana University Press. Denpasar.
Sayaka B. 2012. Pengembangan Perbenihan Sapi Potong dan Perananya Dalam
Pencapaian Swasembada Daging Sapi. Forum Peneliti Agro Ekonomi 30 (1):
pp. 59-71.
Schroeder HW dan Cavacini L. 2010. Structure and Function of Immunoglobulins. J
Allergy Clin Immunol 125 (202): pp. 1-24.
Surhayati S dan Hartono M. 2015. Pengaruh Manajemen Peternakan Terhadap
Efisiensi Reproduksi Sapi Bali di Kabupaten Pringinsewu Provinsi Lampung.
Jurnal Penelitian Pertanian Terapan 16 (1):pp. 61-67.
Suwiti NK. 2009. Fenomena jembrana disease dan bovine immunodeficiency virus
pada sapi bali. Bul. Vet. Udayana. 1(1): pp. 21-25.
Suwiti, N.K, Tenaya, IW.M, Besung IN.K. 2017. Kadar Hormon Pertumbuhan Sapi
Bali Lebih Rendah di Nusa Penida daripada Daerah Bali Lainnya. Journal
Veteriner 18(2):pp. 226-231.
Telupere, F.M.S. dan Katipana, N.G.F. 2014. Pengaruh Ketinggian Tempat dan
Sistem Pemeliharaan Terhadap Korelasi Genetik Bobot Lahir Dengan Bobot
Dewasa Sapi Bali. Jurnal Nukleus Peternakan 1(1): pp.1-6.
Vieira P dan Rajewsky K. 1988. The half-lives of serum immunoglobulins in adult
mice. Eur J Immunol 18: pp.313–316.
Wikel SK, 1985. Effects of tick infestation on the plaqueforming cell response to a
thymic dependant antigen. Ann. Trop. Med. Parasitol. 79: pp. 195–198.
Wuhan Fine Biological Technology. 2010. Bovine IgM (Immunoglobulin M) ELISA
kit. China: Estlake High-tech.
43
Zainudin, M. 1999. Metodologi Penelitian. Fakultas Farmasi Universitas Airlangga:
Surabaya.
Zagorska J, Ciproviča I, Miķelsone V. 2007. Baktericīdo vielu un antivielu satura
izvērtējums dažādās lauksaimniecības sistēmās turēto govju pienā. Latvijas
Lauksaimniecības Universitātes Raksti, 18 (313): pp. 45-50.
Zhou ZH, Tzioufas AG, Notkins AL. 2007. Properties and function of polyreactive
antibodies and polyreactive antigen-binding B cells. J Autoimmun 29 (21): pp.
9–28.
44
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Hasil Optical Density Pada Pengenceran Standart
Titer Standart Optical Density
360 2,886
240 2,442
160 2,294
80 1,244
40 0,666
20 0,462
0 0,055
Lampiran 2. Analisa data SPSS Hasil Optical Density Terhadap Pengenceran
Standart.
Persamaannya: Konsentrasi IgM= 53.747Y^1.579-0.5
45
46
Lampiran 3. Nilai Optical Dencity Sampel.
No. Kriteria Sampel (n=54) Optical
Density
Konsentrasi
ng/mL Geografis Wilayah Jenis
Kelamin
Umur
1 Dataran Tinggi Klumpu Betina Muda 0,219 4.386
2 Dataran Tinggi Klumpu Betina Muda 0,201 3.767
3 Dataran Tinggi Klumpu Betina Muda 0,196 3.600
4 Dataran Tinggi Klumpu Betina Muda 0,264 6.062
5 Dataran Tinggi Klumpu Betina Muda 0,197 3.633
6 Dataran Tinggi Batumedag Betina Muda 0,238 5.071
7 Dataran Tinggi Batumedag Betina Muda 0,195 3.567
8 Dataran Tinggi Batumedag Betina Muda 0,17 2.775
9 Dataran Tinggi Batumedag Betina Muda 0,21 4.072
10 Dataran Tinggi Batumedag Betina Muda 0,258 5.829
11 Dataran Tinggi Batumedag Betina Muda 0,237 5.035
12 Dataran Tinggi Klumpu Betina Dewasa 0,179 3.053
13 Dataran Tinggi Klumpu Betina Dewasa 0,33 8.834
14 Dataran Tinggi Klumpu Betina Dewasa 0,277 6.580
15 Dataran Tinggi Batumedag Betina Dewasa 0,199 3.700
16 Dataran Tinggi Batumedag Betina Dewasa 0,239 5.108
17 Dataran Tinggi Batumedag Betina Dewasa 0,233 4.888
18 Dataran Tinggi Batumedag Betina Dewasa 0,246 5.370
19 Dataran Tinggi Batumedag Betina Dewasa 0,216 4.280
20 Dataran Tinggi Batumedag Betina Dewasa 0,246 5.370
21 Dataran Tinggi Klumpu Jantan Muda 0,234 4.924
22 Dataran Tinggi Klumpu Jantan Muda 0,217 4.315
23 Dataran Tinggi Klumpu Jantan Muda 0,174 2.898
24 Dataran Tinggi Batumedag Jantan Muda 0,23 4.779
25 Dataran Tinggi Batumedag Jantan Muda 0,183 3.179
26 Dataran Tinggi Batumedag Jantan Muda 0,183 6.742
27 Dataran Tinggi Batumedag Jantan Muda 0,275 6.499
28 Dataran Tinggi Batumedag Jantan Muda 0,239 5.108
29 Dataran Tinggi Batumedag Jantan Muda 0,24 5.146
30 Dataran Tinggi Klumpu Jantan Dewasa 0,272 6.379
31 Dataran Tinggi Klumpu Jantan Dewasa 0,271 6.339
32 Dataran Tinggi Klumpu Jantan Dewasa 0,201 3.767
33 Dataran Tinggi Batumedag Jantan Dewasa 0,23 4.779
34 Dataran Tinggi Batumedag Jantan Dewasa 0,215 4.245
35 Dataran Tinggi Batumedag Jantan Dewasa 0,163 2.565
36
37
38
Dataran Rendah
Dataran Rendah
Dataran Rendah
Ped
Ped
Ped
Betina
Betina
Betina
Muda
Muda
Muda
0,205
0,253
0,316
3.902
5.636
8.217
47
39 Dataran Rendah Ped Betina Muda 0,269 6.260
40 Dataran Rendah Ped Betina Muda 0,213 4.176
41 Dataran Rendah Ped Betina Dewasa 0,236 4.998
42 Dataran Rendah Ped Betina Dewasa 0,255 5.713
43 Dataran Rendah Ped Betina Dewasa 0,273 6.419
44 Dataran Rendah Ped Betina Dewasa 0,241 5.183
45 Dataran Rendah Ped Betina Dewasa 0,221 4.456
46 Dataran Rendah Ped Betina Dewasa 0,253 5.636
47 Dataran Rendah Ped Jantan Muda 0,212 4.141
48 Dataran Rendah Ped Jantan Muda 0,189 3.372
49 Dataran Rendah Ped Jantan Dewasa 0,267 6.181
50 Dataran Rendah Ped Jantan Dewasa 0,216 4.280
51 Dataran Rendah Ped Jantan Dewasa 0,176 2.960
52 Dataran Rendah Ped Jantan Dewasa 0,216 4.280
53 Dataran Rendah Ped Jantan Dewasa 0,183 3.179
54 Dataran Rendah Ped Jantan Dewasa 0,175 2.929
Lampiran 4. Kadar Imunoglobulin M (IgM)
Kadar IgM Serum Sapi Bali
Dataran Tinggi (ng/mL)
Jantan Betina
Muda (n= 9) Dewasa (n= 6) Muda (n= 11) Dewasa (n=9)
4.924 6.379 4.386 3.053
4.315 6.339 3.767 8.834
2.898 3.767 3.600 6.580
4.779 4.779 6.062 3.700
3.179 4.245 3.633 5.108
6.742 2.565 5.071 4.888
6.499 - 3.567 5.370
5.108 - 2.775 4.280
5.146 - 4.072 5.370
- - 5.829 -
- - 5.035 -
- - - -
48
Kadar IgM Serum Sapi Bali
Dataran Rendah (ng/mL)
Jantan Betina
Muda (n= 2) Dewasa (n= 6) Muda (n= 5) Dewasa (n= 6)
4.141 6.181 3.902 4.998
3.372 4.280 5.636 5.713
- 2.960 8.217 6.419
- 4.280 6.260 5.183
- 3.179 4.176 4.456
- 2.929 - 5.636
Lampiran 5. Analsis Rerata Geografis Wilayah (Dataran Timggi dan Dataran
Rendah), Jenis Kelamin (Jantan dan Betina), dan Umur (Muda dan
Dewasa).
49