tesis agung benar3-51gabung

104
1 Faktor Risiko dan Sebaran Tuberkulosis BTA Positif di Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2009 : Gambaran Epidemiologi Spasial Tesis Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat sarjana S-2 Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Jurusan Ilmu Ilmu Kesehatan Fakultas Kedokteran Minat Utama Epidemiologi Lapangan (Field Epidemiology Training Program - FETP) Diajukan oleh : Agung Nugroho 08/277976/PKU/10291 Kepada PROGRAM PASCA SARJANA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2010

Upload: chichi-fauziyah

Post on 20-Oct-2015

306 views

Category:

Documents


15 download

DESCRIPTION

n

TRANSCRIPT

1

Faktor Risiko dan Sebaran Tuberkulosis BTA Positif di Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara

Tahun 2009 : Gambaran Epidemiologi Spasial

Tesis

Disusun untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat sarjana S-2

Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Jurusan Ilmu – Ilmu Kesehatan Fakultas Kedokteran

Minat Utama Epidemiologi Lapangan (Field Epidemiology Training Program - FETP)

Diajukan oleh :

Agung Nugroho

08/277976/PKU/10291

Kepada PROGRAM PASCA SARJANA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2010

2

Faktor Risiko dan Sebaran Tuberkulosis BTA Positif di Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara

Tahun 2009 : Gambaran Epidemiologi Spasial

Dipersiapkan dan disusun oleh :

Agung Nugroho

Telah disetujui oleh :

Pembimbing Utama

Tanggal

............................................

Dr. Iswanto, SpP, FCCP

Pembimbing Pendamping

Tanggal

............................................

Anis Fuad, DEA

3

DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ii

DAFTAR ISI iii

ABSTRACT v

INTISARI vi

PRAKATA vii

DAFTAR TABEL ix

DAFTAR GAMBAR xi

I. PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B. Perumusan Masalah 6

C. Tujuan Penelitian 6

D. Manfaat Penelitian 7

E. Keaslian Penelitian 7

II. TINJAUAN PUSTAKA 9

A. Tuberkulosis 9

B. Geografi Kesehatan dan Geografi Penyakit 21

C. Kerangka Teori Penelitian 34

D. Kerangka Konsep Penelitian 34

E. Hipotesis 35

III. METODE PENELITIAN 37

A. Jenis dan Rancangan Penelitian 37

B. Subyek Penelitian 37

C. Identifikasi Variabel 40

D. Definisi Operasional 40

E. Instrumen Penelitian 42

F. Pengumpulan Data 42

G. Pengolahan Data 43

4

H. Cara Analisis Data 43

I. Etika Penelitian 44

J. Keterbatasan Penelitian 44

K. Jalannya Penelitian 45

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 47

A. Hasil 47

B. Pembahasan 75

V. KESIMPULAN DAN SARAN 82

A. Kesimpulan 82

B. Saran 83

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

5

ABSTRACT

Background: Coverage of case detection rate (CDR) of positive acid fast bacillus lung tuberculosis (PAFBLTB) trends to decrease. In 2008 CDR of Kendari municipality was only 42.8%. Low achievement of CDR raises worries with the existence of TB patients undetected by health staff and not well medicated according to TB medication guideline. This will bring risk for infection to healthy people. Objective: To identify area and factors associated with extent of disease at Kendari Municiaplity. Method: This was a case control study. Cases were patients of PAFBLTB and control were those non PAFBLTB patients visiting health center. There were 332 samples comprising 161 cases and 161 control. Research instruments consisted of structured questionnaire and geographic positioning system. Data analysis used 3 approaches, i.e. individual by individual analysis; spatial by observing extent related to population density, poverty, topography and buffer outreach of health operational unit; and diffusion analysis to identify pattern of case extent motion. Result: Variables associated with the prevalence of PAFBLTB were smoking, occupancy density, and distance to health service. The strongest variable was occupancy density with the score of sig 0.001, Exp β=2.417, 95%CI 1.439-4.058. The result of spatial analysis showed there was association between overlay of head of poor families and number of PAFBLTB cases (coefficient 0.0048, probability 0.025). There was cluster in radius 0-1 km from health service unit and radius 0-200 m from the road. Clustering of lung TB at coordinate S 40 00' 47.5” E 1220 33' 33.6” at radius 1,451.27 m, S 30 56' 36.3” E 1220 30' 37.2” at radius 1.076.3 m, S 30 57' 58.2” E 1220 32' 42.2” at radius 2,021.52 m. Diffusion analysis followed respond to expanding of contagious diffusion. Conclusion: The analysis showed there was association between variables of occupancy density, social economic status, smoking and service outreach and the prevalence of PAFBLTB. The result of multivariate analysis showed that variable having the strongest association was occupancy density. The result of spatial analysis showed there was association between poverty and the prevalence of PAFBLTB. There were 3 clusters of PAFBLTB and diffusion pattern followed respond to expanding of contagious diffusion. Keywords: tuberculosis, individual analysis, spatial analysis, cluster, diffusion

6

INTISARI

Latar Belakang :. Cakupan case detection rate (CDR) TB BTA positif cenderung mengalami penurunan. Tahun 2008 CDR Kota Kendari hanya sebesar 42.8%. Rendahnya pencapaian CDR ini menimbulkan kekuwatiran akan adanya penderita TB yang tidak ditemukan petugas kesehatan dan tidak berobat secara baik sebagaimana pedoman pengobatan TB. Hal ini akan memberikan resiko penularan pada orang sehat. Tujuan : Untuk mengetahui wilayah sebaran serta faktor yang berhubungan dengan sebaran penyakit tuberkulosis paru BTA positif di Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara Metode : Metode penelitian case control. Kasus adalah penderita TB BTA positif, sedangkan kontrol adalah orang yang tidak menderita TB yang berkunjung ke Puskesmas. Jumlah sampel 372 responden dengan 161 kasus dan 161 kontrol. Alat penelitian dengan kuesioner terstruktur dan GPS. Analisis data dilakukan 3 pendekatan yaitu individual yaitu dengan analisis individu, analisis spasial dengan melihat sebaran terkait dengan kepadatan penduduk, kemiskinan, topografi, dan buffer jangkauan dari unit pelaksana kesehatan, analisis difusi untuk mengetahui pola gerakan sebaran kasus. Hasil : Variabel yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru BTA positif, yaitu variabel merokok, kepadatan hunian dan jarak ke tempat pelayanan. Variabel yang paling kuat variabel kepadatan hunian dengan nilai sig 0.001 , Exp β = 2.417 , 95% confidence interval 1.439 – 4.058. Analisis spasial terdapat hubungan antara overlay kepala keluarga miskin dengan jumlah kasus TB paru BTA positif (coefficient 0.0048 , probability 0.025). Terdapata cluster pada radius 0 – 1 km dari UPK dan darius 0 – 200 m dari jalan.Pengelompokan TB paru pada koordinat koordinat 40 00’ 47.5” LS dan 1220 33’ 33.6” BT radius 1.451,27 m, 30 56’ 36.3” LS dan 1220 30’ 37.2” BT radius 1.076,3 m, 30 57’ 58.2” LS dan 1220 32’ 42.2” BT radius 2.021,52 m. Analisis diffusi mengikuti ekspansi tipe menjalar (contagious diffusion). Kesimpulan : Ada hubungan variabel kepadatan hunian, status sosial ekonomi, merokok dan jangkauan pelayanan dengan kejadian TB paru BTA positif, variabel yang paling kuat hubunganya yaitu variabel kepadatan hunian, analisis spasial ada hubungan antara kemiskinan dengan kejadian TB paru BTA positif, terdapat tiga cluster TB paru BTA positif dan pola difusi mengikuti ekspansi tipe menjalar (contagious diffusion) Keywords : tuberkulosis, analisis individual, spasial, cluster, difusi

7

PRAKATA

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas karunia dan

rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyusun proposal tesis yang berjudul

Faktor Resiko dan Sebaran Tuberkulosis BTA Positif di Kota Kendari Propinsi

Sulawesi Tenggara Tahun 2009 : Gambaran Epidemiologi Spasial

Proposal tesis ini disusun dalam rangka memenuhi penelitian tesis

pada Magister Epidemiologi Lapangan (FETP) Universitas Gadjah Mada

Yogyakarta.

Dalam kesempatan ini, kami menyampaikan penghargaan dan ucapan

terimakasih yang setulusnya kepada :

1. dr. Haripurnomo Kushadiwijaya, MPH, Dr.PH, selaku ketua minat utama

Epidemiologi Lapangan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

2. drg. Dibyo Pramono, SU., MDSc, selaku direktur bidang akademik

Program Magister Epidemiologi Lapangan Universitas Gadjah Mada dan

selaku pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan dan

arahan selama kuliah lapangan di Sulawesi Tenggara.

3. Dr. Iswanto, SpP, FCCP selaku pembimbing utama dan Anis Fuad, DEA

selaku pembimbing pendamping, yang telah banyak mengorbankan waktu

dan tenaga, memberikan sumbangan pemikiran dan dorongan moril

kepada penulis

4. dr. H. Thamrin Datjing, M.Kes, selaku pembimbing lapangan yang telah

memberikan bimbingan dan arahan kondisi lapangan selama kuliah

lapangan di Propinsi Sulawesi Tenggara.

5. Kepala Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tenggara, yang telah

memberikan ijin dan kesempatan serta saran kepada penulis untuk

melaksanakan kuliah lapangan di Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi

Tenggara.

6. Kepala Dinas Kesehatan Kota Kendari yang telah memberikan dukungan

kegiatan kuliah lapangan di wilayah Kota Kendari.

8

7. Kepala Bidang Pencegahan Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan

Propinsi Sulawesi Tenggara, yang telah meluangkan waktunya untuk

memberikan arahan dan membantu dalam penyusunan tesis.

8. Seluruh Kepala Bidang di lingkungan Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi

Tenggara, telah memberikan dukungan kepada kami berupa informasi

tentang situasi kesehatan di Propinsi Sulawesi Tenggara.

9. Kepala Bidang Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Dinas

Kesehatan Kota Kendari, yang telah meluangkan waktunya untuk

memberikan arahan di lapangan dan membantu dalam penyusunan tesis

ini.

10. Seluruh Kepala Puskesmas Kota Kendari beserta staf yang telah

membantu terlaksananya penyusunan tesis.

11. Kepala Seksi dan rekan – rekan sejawat di lingkungan Sub Dinas

Pemberantasan Penyakit, dengan suka rela meluangkan waktunya untuk

ikut memberikan dan mengumpulkan data sehingga dapat tersusun tesis.

12. Kepala Seksi Pengumpulan Data dan staf yang membantu kami dalam

pengumpulan data kesehatan di lingkungan Dinas Kesehatan Propinsi

Sulawesi Tenggara.

13. Serta semua pihak yang telah membantu kami guna kelancaran dari

pelaksanaan kuliah lapangan dan penulisan laporan penelitian.

Semoga amal baik bapak dan ibu diterima dan dicatat sebagai amal

yang sholeh.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan

dalam penulisan tesis ini mengingat keterbatasan kemampuan penulis, oleh

karena itu masukan dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak

sangat kami harapkan untuk penyusunan tesis selanjutnya.

Yogyakarta, April 2010

Agung Nugroho

9

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Jumlah BTA positif , jumlah kematian dan CFR Tubercolusis di Sulawesi Tenggara tahun 2005 - 2008

1

Tabel 2 Angka kesembuhan, konversi BTA +, dan kesalahan laboratorium Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2005 s/d 2008

3

Tabel 3 CDR, Angka konversi BTA positif dan Angka kesembuhan Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2004 s/d 2008

3

Tabel 4 Jumlah penduduk, perkiraan BTA positif, BTA positif dan CDR menurut tahun di Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2004 s/d 2008

4

Tabel 5 Penderita TB paru BTA positif menurut tribulan di Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009

37

Tabel 6 Luas wilayah dan jumlah kelurahan menurut kecamatan di Kota Kendari tahun 2009

47

Tabel 7 Jumlah penduduk, luas wilayah dan kepadatan penduduk menurut kecamatan di Kota Kendari tahun 2008

49

Tabel 8 Distribusi jumlah kelurahan menurut prosentase kepala keluraga miskin di Kota Kendari tahun 2008

50

Tabel 9 Distribusi unit pelaksana kesehatan pelayanan DOTS menurut kelompok pelaksanaKota Kendari tahun 2008

52

Tabel 10 Distribusi responden menurut jenis kelamin

52

Tabel 11 Distribusi responden menurut nilai mean, maksimum, minimum dan standart deviasi.

54

Tabel 12 Distribusi responden menurut kelompok umur

54

Tabel 13 Distribusi responden menurut kepadatan hunian

55

Tabel 14 Distribusi responden menurut status sosial ekonomi 55

10

Tabel 15 Distribusi responden menurut merokok.

56

Tabel 16 Distribusi responden menurut jangkauan tempat pelayanan

56

Tabel 17 Hasil uji multivariat regresi logistik metode backward stepwise variabel dependen dengan variabel independen.

59

Tabel 18 Distribusi kasus, kontrol dan kepadatan penduduk menurut kecamatan.

60

Tabel 19 Distribusi kasus, kontrol menurut radius dari UPK 69

11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) sebagai penyumbang nomor tiga penyebab

kematian umum di Indonesia 9,4% setelah penyakit jantung dan saluran

pernafasan sebagaimana laporan dari hasil Surkesnas 2001. Pada hasil riset

kesehatan dasar (Riskesdas) tuberkulosis paru klinis tersebar di seluruh

Indonesia dengan prevalensi 12 bulan terakhir adalah 1,0%. Dua belas

provinsi di antaranya dengan prevalensi di atas angka nasional, tertinggi di

Provinsi Papua Barat (2,5%) dan terendah di Provinsi Lampung (0,3%).

Sebagian besar kasus TB terdeteksi berdasarkan gejala penyakit, sedangkan

di Provinsi Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa

Tengah, Jawa Timur, DI Yogyakata, Bali, Kalimantan Tengah, dan Papua

terdeteksi berdasarkan diagnosis pasti dan gejala. (Depkes. RI. 2008)b,

Data yang dihimpun dari Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi

Tenggara, pada table 1 selama kurun waktu 2005 sampai dengan 2007 case

fatality rate (CFR) TB masih pada kisaran diatas 2 per 100 penderita TB

dengan bakteri tahan asam (BTA) positif. Angka tertinggi pada tahun 2005

sebesar 3 per 100 penderita BTA positif.

Tabel 1. Jumlah BTA positif , jumlah kematian dan CFR tuberkulosis di Sulawesi Tenggara tahun 2005 – 2009

No Uraian 2005 2006 2007 2008 2009

1 Jumlah BTA + 2,301 3,187 2,231 2,312 2.296

2 Jumlah kematian 63 78 42 43 18 3 CFR / 100 3 2 2 2 1

Sumber Data : Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009

Hasil Survei Prevalensi TB di Indonesia tahun 2004 menunjukan

angka prevalensi TB paru BTA positif secara nasional 110 per 100.000

12

penduduk, secara regional Sulawesi Tenggara prevalensi TB paru BTA positif

masuk pada wilayah Indonesia Timur dengan prevalensi sebesar 210 per

100.000 penduduk. Target case detection rate (CDR) sebesar 70% dari

perkiraan prevalensi tuberkulosis. Pada gambar 1 terlihat angka CDR

Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2006 sebesar 77.23 %. Sedangkan tahun

2007 dan 2008 angka CDR cenderung turun dibawah target yang ditetapkan,

tahun 2008 angka CDR hanya 50.57%. Angka kesembuhan cenderung

mengalami penurunan tahun 2008 sebesar 72.6%. Selama kurun waktu tiga

tahun 2005 sampai dengan 2007 angka kesembuhan sudah mencapai target

sebesar 85%.

0.00%

20.00%

40.00%

60.00%

80.00%

100.00%

2005 2006 2007 2008

Pers

en

tase

CDR angka kesembuhan angka konversi BTA+

Gambar 1. CDR, angka kesembuhan dan angka konversi BTA+ di Sulawesi Tenggara tahun 2005 s/d 2008

Sumber data : Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2008 Pada tabel 2 terlihat Propinsi Sulawesi Tenggara hasil pengobatan

tuberkulosis paru masih diatas target yang ditetapkan mulai tahun 2005 s/d

2008. Mutu pemeriksaan laboratorium cenderung naik turun yang dapat

dilihat dengan indikator angka kesalahan laboratorium terjadi penurunan

pada tahun 2006 dan naik lagi tahun 2007.

13

Tabel 2. Angka kesembuhan, konversi BTA +, dan kesalahan laboratorium Propinsi Sulawesi Tenggara

tahun 2005 s/d 2008

No Uraian 2005 2006 2007 2008

1 Angka kesembuhan 88.67 87.39 86.70 72.60

2 Angka konversi BTA+ 91.40 93.60 88.50 87.90

3 Angka kesalahan laboratorium

5.84 2.42 6.23 -

Sumber data : Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2008

Kota Kendari sebagai bagian Propinsi Sulawesi Tenggara cakupan

indikator TB cenderung mengalami penurunan pada cakupan CDR. Terlihat

pada table 3 mulai tahun 2004 cakupan CDR tidak pernah diatas angka 70%.

CDR tahun 2007 mempunyai angka yang paling rendah 34.7% selama kurun

waktu 4 tahun berturut – turut.

Tabel 3. CDR, Angka konversi BTA positif dan Angka kesembuhan Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara

tahun 2004 s/d 2008

No Indikator 2004 2005 2006 2007 2008

1 CDR (%) 70.4 57.0 69.8 34.7 42.8

2 Angka Konversi (%) 94.3 98.5 97.5 97.9 98.7 3 Angka Kesembuhan (%) 96.6 97.3 92.9 94.1 *-

Sumber data : Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2008 Catatan : *belum ada data

Mulai tahun 2005 perkiraan prevalensi TB paru BTA positif

210/100.000 penduduk. Penemuan penderita TB paru BTA positif di Kota

Kendari dari tahun 2005 sampai dengan 2009 antara 231 s/d 326 penderita

atau 34.7% sampai dengan 70.4% dari perkiraan prevalensi TB paru BTA

positif. Jumlah penderita tahun 2009 Kota Kendari sebesar 241 penderita

atau 45.1% dari perkiraan BTA positif.

Kota Kendari sebagai ibu kota Propinsi Sulawesi Tenggara dengan

mobilitas penduduk yang tinggi memudahkan penularan TB baik pada

penduduk menetap maupun penduduk pendatang. Dalam pemberantasan TB

Kota Kendari sebagai salah satu penyangga pencapaian indikator

14

keberhasilan program TB di Sulawesi Tenggara. Pada tabel 4 dan gambar 2

cakupan CDR BTA + cenderung mengalami penurunan dan masih dibawah

angka rata – rata propinsi. Tahun 2008 CDR Kota Kendari hanya sebesar

42.8%. Cakupan ini masih dibawah capaian Propinsi Sulawesi Tenggara dan

target nasional sebesar 70%.

Tabel 4. Jumlah penduduk, perkiraan BTA positif, BTA positif dan CDR menurut tahun di Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara

tahun 2004 s/d 2009

Tahun Jumlah

Penduduk

Perkiraan BTA Positif per 100.000

penduduk

Jumlah BTA Positif

CDR (%)

2004 217,305 250 176 70.4

2005 217,305 456 260 57.0

2006 222,496 467 326 69.8

2007 256,975 540 187 34.7

2008 256,975 540 231 42.8

2009 254,675 535 241 45.1

Sumber data : Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009

Dengan kecilnya angka CDR ini masih ada penderita yang sakit TB

tidak terdeteksi oleh petugas kesehatan. Penderita ini merupakan potensi

yang baik untuk menularkan pada keluarga, tetangga atau masyarakat yang

kontak dengan penderita yang tidak diobati. Hal ini ditambah dengan

dukungan faktor – faktor yang mempercepat terjadinya penularan, seperti

kondisi rumah yang tidak sehat, lama kontak dengan orang, adanya infeksi

penyakit HIV, malnutrisi, kepadatan penghuni rumah, serta faktor lain yang

mendukung. Faktor lain tidak ditemukannya penderita TB adalah jarak yang

jauh atau tingginya biaya transportasi antara penderita dengan pelayanan

kesehatan.(Depkes RI, 2008)c

15

Gambar 2. CDR, Kota Kendari dan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2004 s/d 2008

Sumber data : Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2008

Kondisi Kendari dengan luas 295,89 km² atau 0.70% dari luas wilayah

Propinsi Sulawesi Tenggara merupakan daratan yang berbukit dan dilalui

oleh beberapa sungai yang bermuara di teluk Kendari. Kota Kendari terbagi

menjadi wilayah administrasi terdiri dari 10 kecamatan, 64 kelurahan. Secara

geografi Kota Kendari terletak di 3º54’30”-4º3’11” LS dan 122º23’-122º39’ BT.

Kepadatan penduduk 860 per km². (BPS Kota Kendari, 2008)

Dengan melihat permasalahan pencegahan dan pemberantasan

penyakit paru serta dengan melihat variabel geografi yang ada di Kota

Kendari perlu kiranya dilakukan kajian untuk meningkatkan capaian kinerja

program TB. Salah satunya dengan melihat pola sebaran penderita TB BTA +

di Kota Kendari. Apakah ada pola sebaran yang mengelompok, atau

menyebar di beberapa kelurahan. Apakah faktor yang mempengaruhi pola –

pola sebaran tersebut. Analisis yang dapat menberikan informasi tentang

pola sebaran digunakan analisis spasial. Dengan dilakukan analisis spasial

16

dapat membantu programer TB baik di Kota Kendari maupun di

Propinsi Sulawesi Tenggara untuk merencanakan strategi pencegahan dan

pemberantasan TB paru dengan lebih tepat sasaran.

B. Perumusan Masalah.

Melihat permasalahan penderita TB BTA + di Kota Kendari Propinsi Sulawesi

Tenggara maka perumusan masalah adalah sebagai berikut :

1. Apakah faktor umur, kepadatan hunian rumah, status sosial ekonomi,

merokok, dan jarak tempat pelayanan berhubungan dengan kejadian

tuberkulosis paru BTA positif.

2. Apakah ada faktor kepadatan penduduk, jumlah keluarga miskin, topografi

kelurahan berhubungan dengan kejadian tuberculosis paru BTA positif.

3. Apakah ada pengelompokan tuberkulosis BTA positif yang mengelompok

(cluster) di Kota Kendari tahun 2009

4. Apakah ada difusi kasus tuberkulosis paru BTA positif di Kota Kendari

tahun 2009.

C. Tujuan Penelitian.

1. Umum

Untuk mengetahui wilayah sebaran serta faktor yang berhubungan

dengan sebaran penyakit tuberkulosis paru BTA positif di Kota Kendari

Propinsi Sulawesi Tenggara

2. Khusus

a. Untuk mengetahui faktor umur dengan kejadian tuberkolosis paru BTA

positif di Kota Kendari.

b. Untuk mengetahui faktor kepadatan hunian rumah dengan kejadian

tuberkolosis paru BTA positif di Kota Kendari.

c. Untuk mengetahui faktor status sosial ekonomi dengan kejadian

tuberkolosis paru BTA positif di Kota Kendari.

17

d. Untuk mengetahui faktor merokok dengan kejadian tuberkolosis paru

BTA positif di Kota Kendari.

e. Untuk mengetahui jarak penderita tuberkulosis paru BTA positif

dengan tempat pelayanan kesehatan di Kota Kendari.

f. Untuk mengetahui faktor kepadatan penduduk, status sosial kepala

keluarga, topografi kelurahan berhubungan dengan kejadian

tuberculosis paru BTA positif.

g. Untuk mengetahui pengelompokan penderita penyakit tuberkulosis

paru BTA positif di Kota Kendari.

h. Untuk mengetahui difusi kasus tuberkulosis paru BTA positif di Kota

Kendari tahun 2009.

D. Manfaat Penelitian.

1. Untuk Dinas Kesehatan Kota Kendari, penelitian ini dapat memberikan

masukan dalam menyusun langkah dan strategi pencegahan dan

pemberantasan penyakit tuberkulosis

2. Untuk fakultas, sebagai tambahan kepustakaan kesehatan masyarakat

terutama pada pemberantasan dan pencegahan penyakit tuberkulosis

BTA positif.

3. Untuk peneliti lain. Hasil kegiatan ini diharapkan dapat melengkapi

penelitian tentang penyakit tuberkulosis paru BTA positif dengan Analisis

sebaran wilayah.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan penelusuran kepustakaan dalam bentuk artikel dan jurnal

tentang penyakit tuberkulosis melalui pencarian dengan kata kunci spasial

tuberculosis, cluster spasial tuberculosis. Penelitian tuberkulosis sudah

banyak dilakukan di Indonesia dan di beberapa negara di dunia. Tetapi

18

penelitian dengan menggunakan Analisis sebaran wilayah masih sangat

jarang dilakukan.

1. Patel, et al (2007) yang dimuat pada www.chestjournal .com dengan

judul Risk of progression to active tuberculosis among foreign-born

persons with latent tuberculosis. Pesamaan dengan penelitian ini sama –

sama meneliti TB. Perbedaan pada tempat penelitian, Analisis penelitian

serta faktor yang mempengaruhi.

2. Souza. et al (2000), dengan judul The use of socioeconomic factor in

mapping tuberkolosis risk areas ini a city of northeastern Brazil.

Persamaan dengan penelitian ini meneliti tentang TB, perbedaan pada

tempat penelitian, metode penelitian dan faktor yang mempengaruhi.

3. Kristina, (2007) dengan judul Aplikasi Sistem Informasi Geografis Untuk

Pemodelan Spasial Kejadian Tuberkulosis (TB) Di Kota Denpasar Tahun

2007. Persamaan pada penelitian TB dan faktor yang berhubungan yaitu

jarak penderita ke tempat pelayanan. Perbedaan pada metode penelitan

yang mengunakan cross sectional dan faktor yang berhubungan dengan

kejadian TB.

4. Nunes, (2007) dengan judul Tuberculosis incidence in Portugal:

spatiotemporal clustering. Persamaan dengan penelitian ini meneliti

tentang TB, perbedaan pada tempat penelitian, metode penelitian dan

faktor yang mempengaruhi.

19

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis Paru

Tuberkulosis paru adalah penyakit yang disebabkan oleh

Mycobacterium tuberkulosis, yakni kuman aerob yang dapat hidup terutama

di paru atau di berbagai organ tubuh lainnya yang mempunyai tekanan

parsial oksigen yang tinggi. Kuman ini juga mempunyai kandungan lemak

yang tinggi pada membrana selnya sehingga bakteri ini menjadi tahan

terhadap asam dan pertumbuhan dari kumannya berlangsung dengan

lambat. Bakteri ini tidak tahan terhadap ultraviolet, terutama penularannya

terjadi pada malam hari. ( Rab ,1996)

.Apabila seseorang sudah terpapar dengan bakteri penyebab

tuberkulosis akan berakibat buruk seperti menurunkan daya kerja atau

produktivitas kerja, menularkan kepada orang lain terutama pada keluarga

yang bertempat tinggal serumah, dan dapat menyebabkan kematian.

Pada penyakit tuberkulosis jaringan pang paling sering diserang

adalah paru-paru (95,9 %). Cara penularan melalui ludah atau dahak

penderita yang mengandung basil tuberkulosis paru. Pada waktu batuk butir-

butir air ludah beterbangan diudara dan terhisap oleh orang yang sehat dan

masuk kedalam parunya yang kemudian menyebabkan penyakit tuberkulosis

paru (TB Paru).

Mycobacterium tuberculosis dapat tahan hidup diudara kering maupun

dalam keadaan dingin, atau dapat hidup bertahun-tahun dalam lemari es. Ini

dapat terjadi apabila kuman berada dalam sifat dormant (tidur). Pada sifat

dormant ini kuman tuberkulosis suatu saat dimana keadaan memungkinkan

untuk dia berkembang, kuman ini dapat bangkit kembali.

20

Pada penderita tuberkulosis paru apabila sudah terpapar dengan

agent penyebabnya penyakit dapat memperlihatkan tanda-tanda seperti

dibawah ini:

1. Batuk-batuk berdahak lebih dari dua minggu.

2. Batuk-batuk mengeluarkan darah atau pernah mengeluarkan darah.

3. Dada terasa sakit atau nyeri.

4. Terasa sesak pada waktu bernafas.

Mulai saat masuknya bibit penyakit sampai timbul gejala adanya lesi

primer atau reaksi tes tuberkulosis positif kira-kira memakan waktu 2 – 10

minggu. Risiko menjadi TB paru dan TB ekstrapulmoner progresif setelah

infeksi primer biasanya terjadi pada tahun pertama dan kedua. Infeksi laten

dapat berlangsung seumur hidup. Infeksi HIV meningkatkan risiko terhadap

infeksi TB dan memperpendek masa inkubasi. (Chin, 2000)

Perioda potensi penularan, selama basil tuberkel ada pada sputum

(dahak). Beberapa kasus tanpa pengobatan atau dengan pengobatan tidak

adekwat mungkin akan kumat-kumatan dengan sputum positif selama

beberapa tahun. Tingkat atau derajat penularan tergantung kepada

banyaknya basil tuberkulosis dalam sputum, virulensi atas basil dan peluang

adanya pencemaran udara dari batuk, bersin dan berbicara keras secara

umum. (Depkes RI, 2008)c

Kepekaan untuk terinfeksi penyakit ini adalah semua penduduk, tidak

ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan, tua muda, bayi dan balita.

Kepekaan tertinggi pada anak kurang dari tiga tahun terendah pada anak

akhir usia 12-13 tahun, dan dapat meningkat lagi pada umur remaja dan awal

tua. (Depkes RI, 2008)c

21

1. Morfologi dan identifikasi Mycobacterium tuberkulosis

a. Bentuk.

Mycobacterium tuberculosis berbentuk batang lurus atau agak

bengkok dengan ukuran 0,2 - 0,4 x 1-4 um. Pewarnaan Ziehl-Neelsen

dipergunakan untuk identifikasi bakteri tahan asam.

b. Penanaman.

Kuman ini tumbuh lambat, koloni tampak setelah lebih kurang 2

minggu bahkan kadangkadang setelah 6-8 minggu. Suhu optimum

37°C, tidak tumbuh pada suhu 25°C atau lebih dari 40°C. Medium

padat yang biasa dipergunakan adalah Lowenstein-Jensen. PH

optimum 6,4-7,0.

c. Sifat-sifat.

Mycobacterium tidak tahan panas, akan mati pada 6°C selama 15-20

menit. Biakan dapat mati jika terkena sinar matahari lansung selama 2

jam. Dalam dahak dapat bertahan 20-30 jam. Basil yang berada dalam

percikan bahan dapat bertahan hidup 8-10 hari. Biakan basil ini dalam

suhu kamar dapat hidup 6-8 bulan dan dapat disimpan dalam lemari

dengan suhu 20°C selama 2 tahun. Mykobakteri tahan terhadap

berbagai bahan – bahan kimia dan disinfektan antara lain phenol 5%,

asam sulfat 15%, asam sitrat 3% dan NaOH 4%. Basil ini dihancurkan

oleh jodium tinctur dalam 5 menit, dengan alkohol 80 % akan hancur

dalam 2-10 menit. (Depkes RI, 2008)c

2. Riwayat terjadinya Tuberkulosis

a. Infeksi primer

Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan

kuman TB. Droplet yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga

dapat melewati sistem pertahanan mukosillier bronkus, dan terus

berjalan sehinga sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi

dimulai saat kuman TB berhasil berkembang biak dengan cara

22

pembelahan diri di Paru, yang mengakibatkan peradangan di dalam

paru, saluran linfe akan membawa kuma TB ke kelenjar linfe disekitar

hilus paru, dan ini disebut sebagai kompleks primer. Waktu antara

terjadinya infeksi sampai pembentukan kompleks primer adalah 4 - 6

minggu.

Adanya infeksi dapat dibuktikan dengan terjadinya perubahan

reaksi tuberkulin dari negatif menjadi positif. Kelanjutan setelah infeksi

primer tergantung kuman yang masuk dan besarnya respon daya

tahan tubuh (imunitas seluler). Pada umumnya reaksi daya tahan

tubuh tersebut dapat menghentikan perkembangan kuman TB.

Meskipun demikian, ada beberapa kuman akan menetap sebagai

kuman persister atau dormant (tidur). Kadang-kadang daya tahan

tubuh tidak mampu mengehentikan perkembangan kuman, akibatnya

dalam beberapa bulan, yang bersangkutan akan menjadi penderita

Tuberkulosis. Masa inkubasi, yaitu waktu yang diperlukan mulai

terinfeksi sampai menjadi sakit, diperkirakan sekitar 6 bulan.

b. Tuberkulosis pasca primer (post primary TB)

Tuberkulosis pasca primer biasanya terjadi setelah beberapa bulan

atau tahun sesudah infeksi primer, misalnya karena daya tahan tubuh

menurun akibat terinfeksi HIV atau status gizi yang buruk. Ciri khas

dari tuberkulosis pasca primer adalah kerusakan paru yang luas

dengan terjadinya kavitas atau efusi pleura

3. Penularan kuman tuberkulosis.

Penularan tuberkulosis dari seseorang penderita ditentukan oleh

banyaknya kuman yang terdapat dalam paru-paru penderita, pesebaran

kuman tersebut diudara melalui dahak berupa droplet. Penderita TB-Paru

yang mengandung banyak sekali kuman dapat terlihat lansung dengan

mikroskop pada pemeriksaan dahaknya (penderita bta positif) adalah

sangat menular. (Depkes RI, 2008)c

23

Penderita TB Paru BTA positif mengeluarkan kuman-kuman

keudara dalam bentuk droplet yang sangat kecil pada waktu batuk atau

bersin. Droplet yang sangat kecil ini mengering dengan cepat dan menjadi

droplet yang mengandung kuman tuberkulosis. Dan dapat bertahan

diudara selama beberapa jam. (Depkes RI, 2008)c

Droplet yang mengandung kuman ini dapat terhirup oleh orang lain.

Jika kuman tersebut sudah menetap dalam paru dari orang yang

menghirupnya, maka kuman mulai membelah diri (berkembang biak) dan

terjadilah infeksi dari satu orang keorang lain. (Depkes RI, 2008)c

4. Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis.

Pada penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan yaitu tuberkulosis

paru dan tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis paru merupakan bentuk

yang paling sering dijumpai yaitu sekitar 80 % dari semua penderita.

Tuberkulosis yang menyerang jaringan paru-paru ini merupakan satu

satunya bentuk dari TB yang mudah menular.

Tuberkulosis ekstra paru merupakan bentuk penyakit TB yang

menyerang organ tubuh lain, selain paru-paru seperti pleura, kelenjar

limpe, persendian tulang belakang, saluran kencing, susunan syaraf pusat

dan perut. Pada dasarnya penyakit TB ini tidak pandang bulu karena

kuman ini dapat menyerang semua organ-organ dari tubuh.

5. Diagnosis TB

Penegakan diagnosis pada penyakit TB-paru dapat dilakukan

dengan melihat keluhan/gejala klinis, pemeriksaan biakan, pemeriksaan

mikroskopis, radiologik dan tuberkulin test. Pada pemeriksaan biakan

hasilnya akan didapat lebih baik, namun waktu pemeriksaannya biasanya

memakan waktu yang terlalu lama. Sehingga pada saat ini pemeriksaan

dahak secara mikroskopis lebih banyak dilakukan karena sensitivitas dan

spesivitasnya tinggi disamping biayanya rendah. (Depkes RI, 2008)c

24

Seorang penderita tersangka dinyatakan sebagai penderita paru

menular berdasarkan pemeriksaan bakteri di dahak sebanyak 3 kali yaitu

sewaktu, pagi dan sewaktu. Kuman ini baru kelihatan dibawah

mikroskopis bila jumlah kuman paling sedikit sekitar 5000 batang dalam 1

ml dahak. Dalam pemeriksaan ini dahak yang baik adalah dahak

mukopurulen berwarna hijau kekuningan dan jumlahnya harus 3 – 5 ml

tiap pengambilan. Untuk hasil yang baik spesimen dahak sebaiknya

sudah dapat dikumpulkan dalam 2 hari kunjungan berurutan. Dahak yang

dikumpulkan sebaiknya dahak yang keluar sewaktu pagi hari. (Depkes RI,

2008)c

6. Resiko penularan TB

Resiko penularan setiap tahun (annual risk of tuberculosis infection

= ARTI) di Indonesia dianggap cukup tinggi dan bervariasi antara 1 - 3 %.

Pada daerah dengan ARTI sebesar 1 %, berarti setiap tahun diantara

1000 penduduk, 10 (sepuluh) orang akan terinfeksi. Sebagian besar dari

orang yang terinfeksi tidak akan menjadi penderita TB, hanya 10 % dari

yang terinfeksi yang akan menjadi penderita TB. Dari keterangan tersebut

diatas, dapat diperkirakan bahwa daerah dengan ARTI 1 %, maka

diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 100 (seratus) penderita

tuberkulosis setiap tahun, dimana 50 % penderita adalah BTA positif.

Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi penderita

TB adalah daya tahan tubuh yang rendah; diantaranya karena gizi buruk

atau HIV/AIDS. (Depkes, 2008)c

Perjalanan alamiah TB yang tidak diobati (tanpa pengobatan),

setelah lima tahun, 50% dari penderita TB akan meninggal, 25% akan

sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh tinggi, dan 25% sebagai kasus

kronik yang tetap menular. (WHO 2008)

25

7. Berdasarkan Faktor Yang Mempengaruhi Kejadian Penyakit TB.

Untuk terpapar penyakit TB pada seseorang dipengaruhi oleh

beberapa faktor seperti : status sosial ekonomi, status gizi, umur, jenis

kelamin, dan faktor toksis untuk lebih jelasnya dapat kita jelaskan seperti

uraian dibawah ini :

1) Faktor Sosial Ekonomi.

Disini sangat erat dengan keadaan rumah, kepadatan hunian,

lingkungan perumahan, lingkungan dan sanitasi tempat bekerja yang

buruk dapat memudahkan penularan TB. Pendapatan keluarga sangat

erat juga dengan penularan TB, karena pendapatan yang kecil

membuat orang tidak dapat hidup layak dengan memenuhi syarat-

syarat kesehatan. (Depkes RI, 2008)c

2) Status Gizi.

Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi

dan lain-lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh seseorang

sehingga rentan terhadap penyakit termasuk TB-Paru. Keadaan ini

merupakan faktor penting yang berpengaruh dinegara miskin, baik

pada orang dewasa maupun anak-anak. (Depkes RI, 2008)c

3) Umur.

Penyakit TB-Paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usia

produktif (15 – 50) tahun. Dewasa ini dengan terjadinya transisi

demografi menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih

tinggi. Pada usia lanjut lebih dari 55 tahun sistem imunologis

seseorang menurun, sehingga sangat rentan terhadap berbagai

penyakit, termasuk penyakit TB-Paru. (Depkes RI, 2008)c

4) Jenis Kelamin.

Penyakit TB-Paru cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin laki-laki

dibandingkan perempuan. Menurut WHO, sedikitnya dalam periode

setahun ada sekitar 1 juta perempuan yang meninggal akibat TB-Paru,

26

dapat disimpulkan bahwa pada kaum perempuan lebih banyak terjadi

kematian yang disebabkan oleh TB-Paru dibandingkan dengan akibat

proses kehamilan dan persalinan. Pada jenis kelamin laki-laki penyakit

ini lebih tinggi karena merokok tembakau dan minum alkohol sehingga

dapat menurunkan sistem pertahanan tubuh, sehingga lebih mudah

terpapar dengan agent penyebab TB-Paru. ( Rab,1996)

8. Pencegahan Penyakit TB-Paru.

Tindakan pencegahan dapat dikerjakan oleh penderita, masyarakat dan

petugas kesehatan.

a. Pengawasan Penderita, Kontak dan Lingkungan.

1) Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu

batuk dan membuang dahak tidak disembarangan tempat.

2) Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan dengan

terhadap bayi harus harus diberikan vaksinasi BCG.

3) Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang

penyakit TB yang antara lain meliputi gejala bahaya dan akibat

yang ditimbulkannya.

4) Isolasi, pemeriksaan kepada orang-orang yang terinfeksi,

pengobatan khusus TB.

5) Pengobatan mondok dirumah sakit hanya bagi penderita yang

kategori berat yang memerlukan pengembangan program

pengobatannya yang karena alasan-alasan sosial ekonomi dan

medis untuk tidak dikehendaki pengobatan jalan.

6) Des-Infeksi, cuci tangan dan tata rumah tangga kebersihan yang

ketat, perlu perhatian khusus terhadap muntahan dan ludah (piring,

laundry, tempat tidur, pakaian), ventilasi rumah dan sinar matahari

yang cukup.

7) Imunisasi orang-orang kontak. Tindakan pencegahan bagi orang-

orang sangat dekat (keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan

27

lain) dan lainnya yang terindikasi dengan vaksin BCG pada mereka

yang tidak dan tindak lanjut bagi yang positif tertular.

8) Penyelidikan orang-orang kontak. Tuberculin-test bagi seluruh

anggota keluarga dengan foto rontgen yang bereaksi positif,

apabila cara-cara ini negatif, perlu diulang pemeriksaan tiap bulan

selama 3 bulan, perlu penyelidikan intensif.

9) Pengobatan khusus. Penderita dengan TB aktif perlu pengobatan

yang tepat. Obat-obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter

diminum dengan tekun dan teratur, waktu yang lama ( 6 atau 12

bulan). Diwaspadai adanya kebal terhadap obat-obat, dengan

pemeriksaan sensitivitas tes oleh dokter.

b. Tindakan Pencegahan.

1) Status sosial ekonomi rendah yang merupakan faktor menjadi

sakit, seperti kepadatan hunian, dengan meningkatkan pendidikan

kesehatan.

2) Tersedia sarana-sarana kedokteran, pemeriksaan penderita,

kontak serumah, pemeriksaan dan pengobatan dini bagi penderita,

kontak, suspect, perawatan.

3) Pengobatan preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan

terhadap penyakit inaktif dengan pemberian pengobatan INH

sebagai pencegahan.

4) Di AS dimana imunisasi BCG tidak dilakukan secara rutin terhadap

mereka yang mempunyai risiko tinggi tertulari TB dan HIV

dilakukan tes tuberkulin secara selektif dengan tujuan untuk

menemukan penderita. Mereka yang diangap mempunyai risiko

tinggi ini seperti petugas kesehatan, bayi yang lahir dari daerah

risiko tinggi, kelompok risiko tinggi terinfeksi HIV sepeti pada

pemakai Napza Suntik. Pada kelompok masyarakat dimana TB

masih ada, perlu dilakukan tes tuberkulin secara sistematis untuk

28

mengetahui kecenderungan insidensi penyakit. Pemeriksaan

radiologis diperlukan apabila ditemukan gejala klinis TB namun

hasil pemeriksaan bakteriologisnya negatif. Imunisasi BCG dapat

mengacaukan interpretasi tes tuberkulin yang dilakukan kemudian

pada anak-anak dan oran dewasa. Namun reaksi akibat imunisasi

BCG terhadap tes tuberkulin bekurang dengan perjalanan waktu,

sehingga jika hasil tes tuberkulin positif kuat maka dapat diambil

kesimpulan bahwa yang bersangkutan menderita infeksi TB.

5) Pemberian imunisasi BCG terhadap mereka yang tidak terinfeksi

TB (tes tuberkulin negatif), lebih dari 90% akan memberikan hasil

tes tuberkulin positif. Proteksi yang diberikan karena pemberian

imunisasi BGC berbeda satu sama lain dari berbagai penelitian, hal

ini kemungkinan dipengaruhi oleh karakteristik penduduk , kualitas

vaksin, strain dari vaksin BCG yang membrikan perlindungan

dampai 20 tahun di wilayah dengan insidens TB tinggi, sedangkan

hasil penelitian lain menunjukkan BCG sama sekali tidak

memberikan perlindungan (Desain penelitian yang dipakai adalah

“Controlled trials”). Sedangkan pada penelitian dengan

menggunakan desain “Case-Control” imunisasi BCG secara

konsisten memberikan perlindungan terhadap terjadinya meningitis

TB dan TB miliair pada anak usia dibawah 5 tahun. Oleh karena

risiko penularan di AS sangat rendah maka imunisasi BCG secara

rutin tidak dilakukan. Imunisasi BCG harus dipertimbangkan untuk

diberikan kepada anak-anak dengan tes tuberkulin segatif yang

karena sesuatu hal tidak boleh diberikan terapi preventif namun

mereka secara terus menerus terpajan dengan sumber infeksi.

Sumber infeksi ini bisa berupa penderita TB yang tidak mendapat

pengobatan atau yang mendapat pengobatan tidak adekuat,

penderita yang terinfeksi oleh organisme yang resisten terhadap

29

isoniasid dan rifampin. Imunisasi BCG tidak boleh diberikan kepada

mereka yang menderita penyakit-penyakit imunodefisiensi seperti

penderita HIV/AIDS.

6) Memberantas penyakit TB pada pemerah air susu dan tukang

potong sapi, dan pasteurisasi air susu sapi.

7) Tindakan mencegah bahaya penyakit paru kronis karena

menghirup udara yang tercemar debu para pekerja tambang,

pekerja semen dan sebagainya.

8) Pemeriksaan bakteriologis dahak pada orang dengan gejala TB

paru.

9) Pemeriksaan screening dengan tubercullin test pada kelompok

beresiko tinggi, seperti para emigrant, orang-orang kontak dengan

penderita, petugas dirumah sakit, petugas/guru disekolah, petugas

foto rontgen.

10) Pemeriksaan foto rontgen pada orang-orang yang positif dari hasil

pemeriksaan tuberculin test. (Chin, 2000)

9. Pengendalian, pengobatan dan penyuluhan yang dilaksanakan pada

penderita TB.

a. Pengendalian penderita tuberkulosis.

1) Petugas dari puskesmas harus mengetahui alamat rumah dan

tempat kerja penderita.

2) Petugas turut mengawasi pelaksanaan pengobatan agar penderita

tetap teratur menjalankan pengobatan dengan jalan mengingatkan

penderita yang lupa. Disamping itu agar menunjuk seorang

pengawas pengobatan dikalangan keluarga.

3) Petugas harus mengadakan kunjungan berkala kerumah-rumah

penderita dan menunjukkan perhatian atas kemajuan pengobatan

serta mengamati pemungkinan terjadinya gejala sampingan akibat

pemberian obat. (Rab ,1996)

30

b. Pengobatan penderita tuberkulosis.

1) Penderita yang dalam dahaknya mengandung kuman dianjurkan

untuk menjalani pengobatan di puskesmas.

2) Petugas dapat memberikan pengobatan jangka pendek di rumah

bagi penderita secara darurat atau karena jarak tempat tinggal

penderita dengan puskesmas cukup jauh untuk bisa berobat

secara teratur.

3) Melaporkan adanya gejala sampingan yang terjadi, bila perlu

penderita dibawa ke puskesmas. (Depkes RI, 2008)c

10. Pencatatan dan pelaporan program nasional penanggulangan

tuberkulosis

Salah satu komponen penting dari survailans yaitu pencatatan dan

pelaporan dengan maksud mendapatkan data untuk diolah, dianalisis,

diinterpretasi, disajikan dan disebarluaskan untuk dimanfaatkan. Data

yang dikumpulkan pada kegiatan survailans harus valid (akurat, lengkap

dan tepat waktu) sehingga memudahkan dalam pengolahan dan analisis.

Data program Tuberkulosis dapat diperoleh dari pencatatan di semua unit

pelayanan kesehatan yang dilaksanakan dengan satu sistem yang baku.

(Depkes. RI, 2008)c

Formulir-formulir yang dipergunakan dalam pencatatan TB di:

a. Pencatatan di unit pelayanan kesehatan (UPK)

UPK (Puskesmas, Rumah Sakit, BP4, klinik dan dokter praktek swasta

dll) dalam melaksanakan pencatatan menggunakan formulir:

1) Kartu pengobatan pasien TB (TB.01).

2) Kartu identitas pasien TB (TB.02).

3) Register TB UPK (TB.03 UPK)

4) Register laboratorium TB (TB.04).

5) Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak

TB.05).

31

6) Daftar tersangka pasien (suspek) yang diperiksa dahak SPS

(TB.06).

7) Formulir rujukan/pindah pasien (TB.09).

8) Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB.10).

Khusus untuk dokter praktek swasta, penggunaan formulir pencatatan

TB dapat disesuaikan selama informasi survailans yang dibutuhkan

tersedia.

b. Pencatatan dan pelaporan di dinas kesehatan kota/kabupaten

Dinas kesehatan kabupaten/kota menggunakan formulir

pencatatan dan pelaporan sebagai berikut:

1) Register TB kabupaten (TB.03)

2) Laporan triwulan penemuan dan pengobatan pasien TB (TB.07)

3) Laporan triwulan hasil pengobatan (TB.08)

4) Laporan triwulan hasil konversi dahak akhir tahap intensif (TB.11)

5) Formulir pemeriksaan sediaan untuk uji silang dan analisis hasil uji

silang kabupaten (TB.12)

6) Laporan OAT (TB.13)

7) Data situasi ketenagaan program TB

8) Data situasi public-private mix (PPM) dalam pelayanan TB

c. Pencatatan dan pelaporan di propinsi

1) Rekapitulasi penemuan dan pengobatan pasien TB per

kabupaten/kota.

2) Rekapitulasi hasil pengobatan per kabupaten/kota.

3) Rekapitulasi hasil konversi dahak per kabupaten/kota.

4) Rekapitulasi analisis hasil uji silang propinsi per kabupaten/kota.

5) Rekapitulasi laporan OAT per kabupaten/ kota.

6) Rekapitulasi data situasi ketenagaan program TB.

7) Rekapitulasi data situasi public-private mix (PPM) dalam

pelayanan TB.

32

B. Geografi kesehatan dan geografi penyakit

Geografi kesehatan adalah analisis hubungan antara lingkungan hidup

manusia dengan penyakit, gizi, dan sistem pelayanan kesehatan untuk

menjelaskan hubungan timbal-baliknya dalam ruang. Geografi kesehatan

adalah bagian dari geografi manusia yang berhubungan dengan aspek-aspek

geografi dari (status) kesehatan dan (sistem) pelayanan kesehatan (Boulos,

2000). Berdasarkan definisi tersebut, mengidentifikasikan hubungan antar

tiga komponen terkait dengan geografi penyakit, geografi pelayanan

kesehatan, dan geografi ilmu gizi, dengan analisis pada skala regional untuk

pengintegrasian ketiga pendekatan itu.

Dalam perkembangannya, dokter, ahli kesehatan masyarakat, dan

geografer kesehatan mengukur kesehatan dalam kaitan dengan indikator

sakit-sehat seperti morbiditas (kesakitan dan komplikasi penyakit) dan

mortalitas (kematian). Tiga bidang kesehatan, yaitu epidemiologi, kesehatan

masyarakat, dan geografi kesehatan berkaitan dengan analisis distribusi

penyakit dan kematian pada berbagai skala geografis, dalam usaha untuk

menentukan apakah keberadaan penyakit tertentu berhubungan dengan

beberapa faktor dalam lingkungan sosial atau lingkungan fisik (Boulos, 2000).

Namun dalam geografi kesehatan, ada 2 subdisiplin yang berkembang

pesat yaitu geografi penyakit dan geografi sistem pelayanan kesehatan.

Geografi penyakit, meliputi eksplorasi, deskripsi, dan pemodelan ruang-waktu

atas kejadian penyakit, berkaitan dengan persoalan lingkungan, deteksi dan

analisis cluster dan pola penyebaran penyakit, analisis sebab-akibat, dan

rumusan hipotesis-hipotesis baru mengenai penyebab penyakit (Boulos,

2000). Geografi penyakit berperan penting dalam surveilans, intervensi

kesehatan, dan strategi pencegahan penyakit. Sedangkan geografi sistem

pelayanan kesehatan, berkaitan dengan perencanaan, manajemen dan

jaminan pelayanan agar sesuai kebutuhan, merumuskan kebutuhan

33

kesehatan masyarakat yang dilayani, dan pola wilayah yang dilayani service

catchments zones (Boulos, 2000). Riset geografis atas pelayanan kesehatan

dapat mengidentifikasi ketimpangan dalam pelayanan kesehatan antara

wilayah satu dan yang lain, dan alokasi sumberdaya yang terbatas. Sebagai

contoh mengalokasikan tenaga ke daerah-daerah yang membutuhkan, dan

membantu penempatan fasilitas kesehatan yang baru dan perluasan yang

telah ada.

1. Fenomena keruangan penyakit

Ide tempat atau lokasi mempengaruhi kesehatan merupakan

konsep lama dan populer pada pengobatan barat. Jauh di masa lampau

Hippocrates (360-370SM), bapak kedokteran moderen, yang mengamati

bahwa penyakit tertentu tampak terjadi pada tempat tertentu dan tidak

pada tempat lain. Hippocrates secara tekun telah mencari sebab penyakit.

Dia mempelajari bagaimana cuaca, air, pakaian, makanan, pola makan

dan minum berpengaruh pada timbulnya penyakit. Konsep Hippocrates

tentang sehat dan sakit menekankan hubungan antara manusia dan

lingkungannya, di mana perbedaan wilayah terkait dengan profil sehat

dan sakit tersebut yang berubah sesuai perjalanan waktu (Boulos, 2000).

Berabad lalu manusia juga menyadari bahwa proses sakit telah

menembus melintasi wilayah administrasi, bahkan ketika etiologi

penyebab penyakit masih misteri. Usaha memahami mengapa penyakit

tertentu tampak hanya terjadi pada tempat tertentu dan tidak pada tempat

lain mengarahkan dugaan baru tentang sifat alamiah penyakit itu.

Lompatan sejarah pada revolusi pengobatan adalah "kesadaran besar

akan lingkungan bersih" terjadi di Inggris pertengahan abad ke-19 yang

secara berkelanjutan menyebar kebeberapa negara lain. Studi dilakukan

oleh John Snow pada tahun 1854, seorang ahli anestesi,

mendemostrasikan kegunaan pemetaan dan surveilans pada letusan

kasus penyakit diare. John Snow memetakan dan mencatat rumah-rumah

34

orang yang sakit rumah-rumah tersebut berkelompok pada area tertentu

dan memakai sumber air dari pompa yang sama. Untuk menduga

penyebab penyakit dilakukan dengan menutup pompa air. Karena diduga

air yang dipakai dari sumber pompa tersebut penyebabnya. John Snow,

telah memetakan distribusi kasus kolera di Soho, London selama periode

epidemi. Dia mengungkapkan kasus terbanyak terjadi di sekitar

perumahan, di mana perumahan tersebut menggunakan pompa air umum

pada jalan besar sebagai sumber airnya (Boulos, 2000).

Interaksi manusia dengan lingkungan dapat menyebabkan kontak

antara kuman dengan manusia. Sering terjadi, kuman yang tinggal di

tubuh inang (host) kemudian berpindah ke manusia, karena manusia tidak

mampu menjaga kebersihan lingkungannya. Hal ini terjadi misalnya pada

kasus penularan berbagi penyakit melalui binatang yang mengalami

domestikasi seperti sapi, babi, dan anjing. Loncat inang juga terjadi

karena perubahan lingkungan. Misalnya perambahan hutan, pengubahan

pola tanam pertanian, pendangkalan rawa, dan sebagainya. Perubahan

lingkungan juga menyebabkan manusia lebih mudah terpapar, melalui

kontak langsung ataupun melalui kotoran, dengan hewan-hewan yang

menjadi inang alami (natural host) kuman (Danoedoro, 2003).

Penyakit yang terkait dengan kondisi lingkungan tidak hanya yang

menular. Kondisi lingkungan yang spesifik dapat memicu angka kejadian

penyakit yang tinggi. Secara alami, wilayah gunung api biasanya miskin

yodium. Daerah berbatuan kapur juga menyebabkan kandungan air

tanahnya mempunyai kandungan kapur yang tinggi. Di pedalaman

Kalimantan Timur, penulis pernah menjumpai air permukaan dengan

kandungan logam berat kadmium yang cukup tinggi meskipun tidak

terdapat kegiatan industri di sekitarnya (Danoedoro, 2003).

Faktor non-alami juga bisa memunculkan masalah kesehatan yang

perlu dipahami risiko cakupan kewilayahannya. Penggunaan pestisida

35

yang berlebihan di daerah hulu daerah aliran sungai (DAS) akan

mencemari air tanah dan terbawa sampai ke hilir. Jarak, arah angin, curah

hujan, kemiringan lereng, gerakan air tanah, dan konsentrasi polutan

industri sangat berpengaruh terhadap kesehatan penduduk di sekitar

lokasi industri (Danoedoro, 2003).

2. Pemetaan penyakit

Peta merupakan suatu metode yang efisien dan unik untuk

menggambarkan suatu distribusi fenomena dalam ruang. Beberapa

dirancang untuk menggambarkan suatu negara atau daerah yang

menunjukkan pengaturan negara-negara atau daerah-daerah berkenaan

dengan satu sama lain dan konfigurasi dari batasan-batasan mereka. Ada

peta lain yang sifatnya berbeda, yang digunakan oleh para ilmuwan terkait

dengan sebab dan akibat dari distribusi fenomena dalam ruang, seperti

dalam disiplin meteorologi, klimatologi, geologi, geomorfologi, pedologi,

oseanografi, ekologi, ekonomi, ilmu-ilmu sosial, dan geografi. Meskipun

demikian membuat peta terutama untuk menunjukkan fakta, untuk

menunjukkan distribusi spasial dengan suatu ketelitian yang tidak bisa

dicapai dengan uraian atau statistik, itu semua sangat penting sebagai

alat penelitian. Peta dapat merekam pengamatan dalam format singkat

tapi jelas, membantu analisis, merangsang gagasan dan membantu

perumusan hipotesis, dan untuk mengkomunikasikan penemuan (Howe,

1986 dalam Pacion, 1986).

Pemetaan penyakit masuk dalam kategori terakhir walaupun itu

tidak bisa diklaim bahwa penggunaannya dimaksudkan untuk keperluan

penelitian epidemiologis geografi kesehatan lebih lanjut. Melainkan

keterangan tambahan yang berarti dalam laporan dan yang diharapkan

untuk melengkapi uraian penjelasan tentang morbiditas dan mortalitas

penyakit (Pacion, 1986).

36

Pemetaan penyakit dan analisis tentang variasi geografis dan pola

spasial penyakit memberikan suatu kontribusi berharga pada

pendeteksian penyebab penyakit itu yang secara etiologi tak dikenal

hingga kini. Pada saat yang sama memberikan suatu tambahan yang

komplementer dan berharga kepada metode yang baku dari epidemiologi

dan bertindak sebagai pendamping pada sudut pandang yang

antroposentris dari metode klinis dan laboratoris yang digunakan oleh

sebagian besar ilmuwan kedokteran (Howe, 1986 dalam Pacion, 1986).

3. Difusi penyakit sebagai proses spasial

Dalam istilah sehari-hari difusi berarti pemencaran, penyebaran,

atau penjalaran, seperti penyebaran berita dari muiut ke mulut, penjalaran

penyakit dari suatu daerah ke daerah lain, penyebaran kebudayaan dari

suatu suku ke suku yang lain (Bintarto, 1987). Model-model difusi spasial

merupakan salah satu bentuk model geografi, di mana geografi modern

menekankan pada 3 karakteristik dalam menghampiri suatu masalah

yaitu: analisis spasial, analisis ekologis, dan analisis komplek wilayah.

Model difusi spasial ini bermanfaat bagi para geograf untuk melakukan

analisis spasial yang menitikberatkan pada struktur spasial yang secara

teori meliputi antara lain teori interaksi spasial teori difusi.

Konsep difusi spasial adalah konsep tentang menyebarnya suatu

fenomena dalam ruang geografi dan merupakan konsep yang dapat

berlaku di berbagai bidang seperti menyebarnya penyakit menular

(infeksius), berkembangnya kota, meluasnya kebakaran hutan, difusi

inovasi lain-lain. Walaupun tidak mudah untuk meneliti suatu proses yang

dinamis ini namun konsep penting dan bermanfaat untuk dipahami para

geograf untuk dapat berperan dalam menangani aspek yang multidisiplin

tersebut.

Pada Analisis Hagerstrand tentang difusi keruangan terdapat enam

unsur. Unsur pertama adalah area atau lingkungan di mana proses difusi

37

terjadi. Unsur kedua adalah waktu, di mana difusi dapat terjadi terus-

menerus atau atau dalam waktu yang terpisah-pisah. Unsur ketiga adalah

item yang didifusikan, dapat berbentuk material penduduk, pesawat

televisi, pesawat radio, pupuk, dan dapat pula berbentuk non material

seperti tingkah laku, penyakit, pesan, dan lain sebagainya. Item-item

tersebut berbeda-beda dalam derajad untuk dapat dipindahkan, untuk

dapat diteruskan, atau untuk dapat diterima. Misalnya penyakit cacar air

mudah dipindahkan atau mudah menular kepada orang lain. Sebaliknya

teknik keluarga berencana sukar untuk diteruskan dan sukar juga untuk

dapat diterima. Tiga unsur lain dalam pendekatan berkaitan dengan pola

penyebaran keruangan yaitu perbedaan tempat asal, tempat tujuan, dan

jalur perpindahan yang dilalui oleh item yang didifusikan (Bintarto ,1987).

Para geograf tertarik pada bentuk-bentuk difusi terutama karena

penyebaran mengandung rahasia-rahasia yang berharga rnenyangkut

bagaimana sesuatu berpindah atau menyebar antar wilayah, di mana

pusat-pusat difusi, mengapa, seberapa cepat perjalanan gelombang

difusi, dan melalui saluran-saluran apa. Menurut Hagget (2001) dalam

kajian geografi difusi dapat dibedakan ke dalam difusi ekspansi

(expansion diffusion) dan difusi relokasi (relocation diffusion).

Difusi ekspansi adalah suatu proses di mana informasi atau

material atau yang lainnya menyebar atau menjalar melalui suatu populasi

dari suatu daerah ke daerah yang lain. Dalam proses ekspansi ini

informasi atau material yang didifusikan tetap ada dan kadang-kadang

menjadi lebih intensif di tempat asalnya. Hal ini berarti bahwa terjadi

penambahan jumlah anggauta baru pada populasi antara periode dua

waktu (t1 dan t2) dan penambahan anggauta baru tersebut mengubah

pola keruangan populasi secara keseluruhan. Ini berarti bahwa daerah

asal mengalami perluasan oleh karena terdapat tambahan anggauta baru

dalam populasi. Difusi ekspansi terjadi melalui 2 jalan yaitu (a) Difusi

38

contagious, di mana difusi ekspansi terjadi karena kontak langsung

seperti campak yang menyebar ke seluruh penduduk dari kontak orang

per orang, yang mana proses ini sangat dipengaruhi oleh jarak karena

wilayah yang berdekatan memiliki probabilitas kontak langsung yang

tinggi dibanding wilayah yang terpencil; dan (b) Difusi hirarkis, di mana

difusi ekspansi atau penyebaran fenomena terjadi melalui suatu rangkaian

perubahan yang teratur (misalnya model baju baru atau barang

kebutuhan seperti TV) dimulai dari kota-kota besar dengan tingkat sosial

yang tinggi baru mengalir ke tingkat di bawahnya. Sedangkan difusi

kaskade merupakan proses penyebaran yang selalu ke bawah, dari pusat

yang besar ke yang lebih kecil (Hagget, 2001).

Difusi relokasi merupakan proses yang sama dengan penyebaran

keruangan di mana informasi atau material yang didifusikan meninggalkan

daerah yang lama dan berpindah atau ditampung di daerah baru. Ini

berarti bahwa anggauta dari populasi pada waktu t1 berpindah letaknya

dari waktu t1 hingga waktu t2 (Hagget, 2001). Sebagai contoh adalah

penyakit El Tor yang merupakan kombinasi dari kedua teori tersebut,

karena penyakit ini sebagai endemik dan epidemik.

Sebagimana diketahui bahwa studi difusi spasial mempunyai

sejarah panjang dalam geografi dan model persebaran berbagai macam

fenomena geografis telah diaplikasikan secara luas. Dalam dua dekade

terakhir, berbagai usaha dilakukan untuk mengukur model itu dan

memfokuskannya pada permasalahan aplikasi dalam geografi kesehatan.

Dalam kontribusi ini, penyebaran penyakit melalui suatu populasi biologis

dilihat sebagai proses spasial, terutama pada bentuk gelombang

epidemik, pada persebaran dan intensitasnya dan pada jalur geografis

yang mengikuti. Perhatian pada difusi penyakit ini didasarkan atas

kebutuhan untuk meramalkan epidemik dan mengurangi gelombang

39

epidemik yang merupakan bagian dari kebijakan kesehatan masyarakat

(Haggett, 1986 dalam Pacion, 1986).

Selanjutnya Cliff dan Haggett (1986) juga memperkenalkan

sebagian dari model difusi penyakit yang telah dikemukakan oleh beberapa

ahli. Model difusi penyakit dikenalkan dalam suatu format non-matematik

dan digambarkan menggunakan contoh regional spesifik. Berikut ini

contoh-contoh model difusi penyakit, antara lain epidemic wave-generating

model oleh Hamer dan Soper, yang mana epidemik penyakit dilihat sebagai

suatu gelombang difusi yang bergerak melalui suatu populasi yang rentan

menurut proses biologis (process model) dan menurut catatan sejarah

(time-series model); epidemic wavelength model oleh Bartlett, yang mana

epidemik penyakit dilihat berdasarkan hubungan antara jarak gelombang

epidemik dan jumlah penduduk dari suatu komunitas; epidemic threshold

and waveform oleh Kendall, yang mana epidemik penyakit dilihat

berdasarkan hubungan antara ambang batas populasi dan bentuk

gelombang yang membawa implikasi pada bentuk dan percepatan

gelombang epidemik ketika bergerak menuju ke seberang ruang geografis;

dan model yang lebih komplek lainnya yang melihat epidemik penyakit

berdasarkan perbandingan gelombang antar wilayah menggunakan fungsi

korelasi silang dan jalur yang diambil oleh gelombang ketika melalui ruang

geografis yang berbeda (Pacion, 1986).

4. Analisis data spasial

Kemampuan SIG juga dikenali dari fungsi-fungsi analisis yang dapat

dilakukan. Kemampuan analisis spasial menggunakan SIG dapat

diklasifikasikan sebagai berikut :

a) Pengukuran, query spasial dan fungsi klasifikasi

Fungsi ini merupakan fungsi yang meng-eksplore data tanpa

membuat perubahan yang mendasar, dan biasanya dilakukan

40

sebelum analisis data. Fungsi pengukuran mencakup pengukuran

jarak suatu obyek, luas area baik itu 2 dimensi atau 3 dimensi.

Query spasial dalam mengidentifikasikan obyek secara selektif, definisi

pengguna, maupun melalui kondisi logika. Contoh pada gambar 3

query spasial adalah misalnya mencari suatu area yang kurang dari

400000 m2 pada area peruntukan lahan. Fungsi klasifikai adalah

mengklasifikasikan kembali suatu data spasial (atau atribut) menjadi

data spasial yang baru dengan menggunakan kriteria tertentu.

Misalnya pada gambar 4 klasifikasi pendapatan pertahun dari rumah

tangga suatu daerah, dari kalsifikasi sebelumnya dibagi menjadi 7

kelas menjadi 5 kelas klasifikasi.

Gambar 3. Query spasial dengan mencari daerah yang luasnya kurang dari 400000 m2

Gambar 4. Klasifikasi pendapatan rumah tangga suatu daerah dari (kiri) 7 kelas klasifikasi menjadi (kanan) 5 kelas klasifikasi

41

b) Fungsi Overlay

Fungsi ini menghasilkan data spasial baru dari minimal dua data

spasial yang menjadi dua data spasial yang menjadi masukannya.

Sebagai contoh, bila untuk menghasilkan wilayah-wilayah yang sesuai

untuk budidaya tertentu (misalnya kelapa sawit) diperlukan data

ketinggian permukaan bumi, kadar air tanah, dan jenis tanah, maka

fungsi analisis spasial overlay akan dilakukan terhadap ketiga data

spasial (dan atribut) tersebut. Prinsip overlay dapat dilihat pada

gambar di bawah ini. Fungsi overlay ini juga dapat berlaku untuk

model data raster.

Gambar 5. Prinsip dasar overlay untuk poligon

Prinsip dasar overlay untuk poligon. Pada gambar 5 dua buah

poligon layer A dan B akan menghasilkan data spasial baru (dan

atribut) yang merupakan hasil interseksi dari A dan B. (Nuarsa, 2005)

42

c) Fungsi Neighbourhood

Salah satu yang terdapat dalam dalam klasifikasi adalah

Buffering. Fungsi ini menghasilkan data spasial baru yang berbentuk

poligon atau area dengan jarak tertentu dari data spasial yang menjadi

masukannya. Data spasial titik akan menghasilkan data spasial baru

yang berupa lingkaran-lingkaran yang mengelilingi titik-titik pusatnya.

Untuk data spasial garis akan menghasilkan data spasial baru yang

berupa poligon-poligon yang melingkupi garis-garis. Demikian pula

untuk data spasial poligon berupa poligon-poligon yang lebih besar

dan konsenris. (Nuarsa, 2005)

d) Fungsi Network

Fungsi network merujuk data spasial titik-titik (points) atau garis-

garis (lines) sebagai suatu jaringan yang tidak terpisahkan. Fungsi ini

sering digunakan di dalam bidang-bidang transportasi, hidrologi dan

utility (misalnya, aplikasi jaringan kabel listrik, komunikasi, pipa minyak

dan gas, air minum, saluran pembuangan). Sebagai contoh dengan

fungsi analisis spasial network, untuk menghitung jarak terderka antara

dua titik tidak menggunakan jarak selisih absis dan ordinat titik awal

dan titik akhirnya. Tetapi menggunakan cara lain yang terdapat dalam

lingkup network. Pertama, cari seluruh kombinasi jalan-jalan (segmen-

segmen) yang menghubungkan titik awal dan akhir yang dimaksud.

Pada setiap kombinasi, hitung jarak titik awal dan akhir dengan

mengakumulasikan jarak-jarak segmen yang membentuknya. Pilih

jarak terpendek (terkecil) dari kombinasi-kombinasi yang ada. Salah

satu aplikasi yang dapat diterapkan menggunakan fungsi network

adalah mencari urutan rute yang optimal. Misalnya pada gambar 6

kita memiliki 3 tujuan yang harus di datangi. Dengan menghitung

43

efektifitas dan efisien kita dapat menentukan rute optimal tujuan kita.

(Nuarsa, 2005)

Gambar 6. Contoh (a) urutan rute yang direncanakan (b) rute optimal

e) Fungsi 3D Analyst

Fungsi 3 Dimensi terdiri dari sub-sub fungsi yang berhubungan

dengan presentasi data spasial dalam ruang 3 dimensi. Fungsi analisis

spasial ini banyak menggunakan fungsi interpolasi. Sebagai contoh,

untuk menampilkan data spasial ketinggian, tataguna tanah, jaringan

jalan dan utility dalam bentuk model dimensi, fungsi ini banyak

digunakan. Gambar 7 menyajikan contoh penggunaan fungsi 3D

analyst untuk pemboran sumur minyak. (Nuarsa, 2005)

Gambar 7. Contoh penggunaan fungsi 3D analsyt untuk aplikasi pertambangan

44

C. Kerangka teori penelitian

Gambar 8. Kerangka teori penelitian

D. Kerangka konsep penelitian

Variabel independen Variabel dependen

Gambar 9. Kerangka konsep penelitian analisis individual

Umur

Kejadian TB paru BTA positif

TB paru BTA positif

Faktor Lingkungan

Ventilasi

Kepadatan penduduk

Kepadatan hunian dalam ruangan

Fasilitas kesehatan

Lama kontak penderita TB

Merokok

Faktor Sosial ekonomi

Pendidikan

Pendapatan

Pekerjaan

Akses ke fasilitas kesehatan

Penyakit penyerta

Malnutrisi

Penyakit DM

Infeksi HIV

Pecandu alkohol

Merokok

Kepadatan hunian

Jarak tempat pelayanan

Faktor Demografi

Umur

Jenis Kelamin

Tempat tinggal

Status sosial ekonomi

45

Variabel independen Variabel dependen

Gambar 10. Kerangka konsep penelitian analisis spasial

E. Hipotesis

Dari uraian tersebut maka hipotesis yang dapat dibangun adalah sebagai

berikut :

1. Ada hubungan antara umur dengan kejadian tuberkulosis paru BTA

positif.

2. Ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian tuberkulosis

paru BTA positif.

3. Ada hubungan antara status sosial ekonomi dengan kejadian tuberkulosis

paru BTA positif.

4. Ada hubungan antara merokok dengan kejadian tuberkulosis paru BTA

positif.

5. Ada hubungan antara jarak tempat pelayanan dengan kejadian

tuberkulosis paru BTA positif.

6. Ada hubungan antara faktor kepadatan penduduk, status sosial ekonomi

kepala keluarga, topografi kelurahan berhubungan dengan kejadian

tuberculosis paru BTA positif

Kepadatan penduduk

Kejadian TB paru BTA positif

Buffer dari UPK

Status sosial ekonomi KK

Pengelompokan TB paru

Topografi kelurahan

46

7. Ada pengelompokan tuberkulosis BTA positif yang mengelompok (cluster)

di Kota Kendari tahun 2009

8. Ada difusi kasus tuberkulosis BTA positif yang menjalar di Kota Kendari

tahun 2009

47

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

1. Jenis penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan menggunakan

metode case control, untuk mempelajari wilayah sebaran dengan

pendekatan epidemiologi spasial dan mempelajari faktor yang

berhubungan dengan penyakit tuberkulosis paru BTA positif di Kota

Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara.

2. Rancangan penelitian

Rancangan penelitian penelitian case control sbb :

Gambar 11. Rancangan penelitian case control

B. Subyek Penelitian

1. Batasan populasi

Batasan populasi pada penelitian ini adalah penderita TB paru BTA

positif yang tercatat di formulir TB 03 (register TB kabupaten) tribulan I, II,

III dan IV tahun 2009 Kota Kendari,

Penderita TB BTA +

Terpapar faktor resiko

Tidak terpapar faktor resiko

Bukan Penderita TB

Terpapar faktor resiko

Tidak terpapar faktor resiko

48

Tabel 5. Penderita TB paru BTA positif menurut tribulan di Kota Kendari, Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009

No Tribulan Jumlah penderita TB paru BTA positif

1 I 58 orang

2 II 42 orang

3 III 60 orang

4 IV 81 orang

Total 241 orang

.Adapun kriteria inklusi kasus :

a. Bersedia menjadi subjek penelitian dengan menandatangani surat

persetujuan yang telah disediakan (informed consent).

b. Tercatat di form TB 03 tribulan I, II, III dan IV tahun 2009 Kota Kendari

Sedangkan kriteria eksklusi kasus :

a. Tercatat di form TB 03 diagnosis foto toraks dan pertimbangan dokter.

b. Tidak tinggal di Kota Kendari

c. Tidak mampu diajak berkomunikasi.

Populasi kontrol diperoleh dari pengunjung rawat jalan puskesmas tahun

2009 di Kota Kendari dengan kriteria sebagai berikut :

Kriteria inklusi kontrol :

a. Bersedia menjadi subjek penelitian dengan menandatangani surat

persetujuan yang telah disediakan (informed consent).

b. Tercatat di register rawat jalan puskesmas

Sedangkan kriteria eksklusi kontrol :

a. Tercatat di register rawat jalan dan didiagnosis TB paru BTA positif.

b. Tidak tinggal di Kota Kendari

c. Tidak mampu diajak berkomunikasi.

2. Besar sampel

Sampel penelitian diambil pada populasi penderita TB BTA positif yang

tercatat di formulir TB 03 tribulan I , II, III dan IV tahun 2009 Kota Kendari.

Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus case control study

(Lemeshow, et al, 1997) :

49

n = { Z1-α/2√[2P2*(1- P2

*)] + Z1-β√[P1*(1- P1

*)] +P2*(1- P2

*)]2

(P1*-P2)

2

Dimana : P1 = (OR) P2

(OR) P2 + (1 – P2)

Keterangan:

P1 = proporsi paparan pada kelompok kasus

P2 = proporsi paparan pada kelompok kontrol

OR= nilai odds ratio

α = tingkat kemaknaan ( 5%)

β = Kekuatan uji (80%)

Dari penelitian Aris (2000) yang berjudul faktor – faktor yang

mempengaruhi penularan tuberkulosis paru di Kabupaten Tabalong

Propinsi Kalimantan Selatan diperoleh proporsi merokok pada kelompok

kontrol sebesar 27.27%, dengan demikian proporsi paparan kelompok

kontrol (P2) = 0,2727, odds ratio (OR) yang digunakan mengacu pada

penelitian Lin, (2009) yang berjudul Association Between Tobacco

Smoking and Active Tuberculosis in Taiwan: Prospective Cohort Study

yaitu OR yang diperoleh sebesar 1.94 , dan kekuatan uji (β) sebesar 80%

maka akan didapatkan besar sampel sebanyak 147 sampel untuk masing-

masing kasus dan kontrol sehingga jumlah sampel seluruhnya adalah 294

sampel.

Sampel kasus diperoleh dari register TB 03 Kota Kendari dan

dilakukan klarifikasi pada register TB 03 puskesmas / rumah sakit dan TB

01 yang ada di puskesmas/rumah sakit. Klairfikasi dilakukan untuk

memastikan diagnosis TB, umur, tanggal pemeriksaan sputum, serta

alamat responden TB paru BTA positif.

Pengambilan sampel kontrol dilakukan dengan simple rundom

sampling. Jumlah tiap puskesmas sesuai dengan jumlah penderita TB

paru BTA positif di wilayah puskesmas.

50

3. Pengambilan titik koordinat geografi.

a. Penitikan koordinat kasus dilakukan pada penderita TB paru BTA

positif tribulan I, II, III dan IV tahun 2009 tercatat di regiater TB 03 Kota

Kendari yang memenuhi kriteria inklusi.

b. Penitikan koordinat pada kontrol dilakukan sebanyak kasus penderita

TB.paru BTA positif.

c. Puskesmas dan Rumah Sakit yang melayani pengobatan TB.

C. Identifikasi Variabel

Variabel independen adalah umur, kepadatan hunian rumah, status sosial

ekonomi, merokok, dan jarak tempat pelayanan.

Variabel dependen adalah kejadian TB paru BTA positif.

D. Definisi Operasional

1. Kejadian TB paru BTA positif adalah penderita yang tercatat di formulir TB

03 Kota Kendari dengan diagnosis pemeriksaan dahak mikroskopis

sesuai definisi tubekulosis BTA positif.

Kategori :

a. Penderita TB paru BTA positif, kode 1

b. Bukan penderita TB paru BTA positif, kode 2

Skala : nominal

2. Difusi kasus TB paru BTA positif adalah penyebaran atau penjalaran

penyakit TB paru BTA positif dari wiayah ke wilayah dalam satuan waktu ,

satuan waktu yang digunakan dalam penelitian ini adalah bulan.

3. Umur adalah umur responden dalam satuan tahun dihitung sampai

dengan hari ulang tahun terakhir responden.

51

Kategori :

a. Umur ≥ 55 tahun, kode 1

b. Umur < 55 tahun, kode 2

Skala : nominal

4. Kepadatan penduduk adalah jumlah penduduk dibagi luas wilayah

kelurahan.

Skala : rasio

5. Kepadatan hunian adalah luas lantai dibagi jumlah penghuni rumah

Kategori :

a. Kepadatan hunian ≥ 8 orang/m2 , kode 1

b. Kepadatan hunian < 8 orang/m2, kode 2

Skala : nominal

6. Status sosial ekonomi dilihat dengan status keluarga tersebut keluarga

miskin sebagaimana keluarga yang ditetapkan oleh pemerintah daerah

tergolong keluarga miskin atau yang memiliki kartu miskin atau yang

sejenis.

Kategori :

a. Keluarga miskin , kode 1

b. Keluarga tidak miskin , kode 2

Skala : nominal

7. Merokok adalah responden yang pernah merokok atau masih aktif

merokok.

Kategori :

a. Merokok , kode 1

b. Tidak merokok , kode 2

Skala : nominal

8. Jarak tempat pelayanan adalah jarak dari rumah penderita TB paru BTA

positif ke tempat pelayanan kesehatan TB paru (puskemas, rumah sakit

pemerintah)

52

Kategori :

a. Jarak rumah ke tempat pelayanan TB paru ≥ 1 km , kode 1

b. Jarak rumah ke tempat pelayanan TB paru < 1 km , kode 2

Skala : nominal

E. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini :

1. Kuesioner terstruktur

2. Peta spasial Kota Kendari

3. 4 (empat) buah GPS merek garmin type vista cx

Metode validasi ke 4 GPS dilakukan dengan mengkalibrasi titik

koordinat GPS dengan koordinat Rumah Sakit Umum Pemerintah atau

salah satu dari 13 Puskesmas di Kota Kendari. Kalibrasi dilakukan

sebelum melakukan penitikan di lokasi responden. Segala kejadian yang

mempengaruhi hasil titik koordinat tercatat tiap titik koordinat

4. Alat ukur ( pita ukur)

F. Pengumpulan Data

1. Pengumpulan data primer dengan melakukan wawancara dan

pengamatan di lapangan.

2. Pengumpulan data spasial Kota Kendari diperoleh dari Bappeda Propinsi

Sulawesi Tenggara

3. Data koordinat penderita TB paru BTA positif dikumpulkan dengan

melakukan penitikan koordinat lokasi kasus penderita TB paru BTA positif

tahun 2009 dan kontrol bukan penderita TB paru BTA positif yang

berkunjung ke puskesmas.

53

4. Data sekunder penderita TB paru BTA positif diperoleh dari formulir TB

03 Kota Kendari, TB 03 puskesmas/rumah sakit, TB 01

puskesmas/rumah sakit, BPS Propinsi Sulawesi Tenggara dan BPS Kota

Kendari.

G. Pengolahan Data

Pengolahan data spasial dengan menggunakan sofware Epiinfo versi 3.3.2,

Geoda, Map Source, Satscan serta Google Earth.

H. Cara Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan 3 cara :

1. Analisis individual

Analisis data hasil penelitian dilakukan melalui 2 tahapan yaitu :

analisis bivariat dan analisis multivariat.

a. Analisis bivariat

Analisis antara variabel bebas dengan variabel terikat untuk melihat

hubungan masing-masing variabel bebas dengan variabel terikat.

Analisis dilakukan dengan tabel silang 2x2 untuk menghitung nilai

odds rasio dan nilai confidence interval (CI). Uji statistik yang

digunakan adalah Chi square dengan menggunakan tingkat

kemaknaan 95% (α = 5%).

b. Analisis multivariat

Analisis multivariabel dilakukan menganalisis secara bersama-sama

faktor risiko yang bermakna secara statistik terhadap kejadian diabetes

mellitus dengan Uji regresi logistik berganda.

2. Analisis spasial, digunakan untuk melihat wilayah sebaran penderita TB

paru BTA positif dihubungkan dengan layer :

a. Kepadatan penduduk

b. Keluarga miskin

54

c. Topografi desa

d. Buffer jarak tempat pelayanan.

Pada analisis spasial dilakukan analisis tetangga terdekat (nearest

neighbour analysis)

3. Analisis difusi (Analisis spasial dengan waktu ), Analisis ini digunakan

untuk mengetahui pola penyebaran atau penjalaran penderita TB paru

BTA positif apakah mengikuti tipe ekspansi (expansion diffusi), difusi

penampungan (relocatoin diffusi), difusi kaskade (cascade diffusi).

I. Etika Penelitian

Responden akan diberikan penjelasan mengenai maksud dan tujuan

penelitian. Semua informasi dan data yang akan diperoleh dari responden

hanya akan dipergunakan untuk keperluan penelitian dan akan dijaga

kerahasiaannya, dan subyek penelitian akan diberikan lembar persetujuan

kesediaan mengikuti penelitian (informed consent)

J. Keterbatasan Penelitian

1. Untuk diagnosis pada kasus, peneliti tidak melakukan diagnosis pasti

lagi, diagnosis diperoleh dari informasi yang diperoleh dari register TB 03

Kota Kendari dan TB 01 puskesmas di Kota Kendari

2. Pengukuran kemiskinan hanya mengandalkan kepemilikan kartu

jamkesmas atau kartu lain yang sejenis.

3. Karena GPS yang digunakan hanya bisa melakukan penitikan di luar

rumah maka penitikan koordinat dilakukan di luar rumah, dan

menghindari adanya pepohonan dan tegangan listrik. Akibat dari

penitikan ini dimungkinkan adanya pergeseran koordinat dari rumah

responden.

55

4. Pada analisis pengelompokan (cluster) dengan menggunakan statscan

dengan asumsi semua titik terdapat di daratan sedangkan wilayah Kota

Kendari terdapat Teluk Kendari, hal ini akan mengakibatkan radius

cluster akan melewati batas laut atau teluk.

5. Penelitian ini hanya mengambil responden dari penderita TB paru BTA

positif yang berobat ke puskesmas dan rumah sakit, tidak mengikutkan

penderita TB yang berobat diluar puskesmas dan rumah sakit. Akibat dari

pengambilan responden ini, pada hasil penelitian kurang memberikan

gambaran yang utuh tentang kondisi penderita TB paru BTA positif yang

ada di Kota Kendari.

6. Alamat responden pada umumnya hanya memberikan informasi nama

jalan atau nama kelurahan, tidak memperikan informasi yang rinci

sehingga memberikan kesulitan pada peneliti untuk memperoleh alamat

responden.

H. Jalannya Penelitian

1. Tahap persiapan

a. Konsultasi dengan pembimbing tentang persiapan penelitian

b. Melakukan pengumpulan data sekunder penderita TB paru di Dinas

Kesehatan Kota Kendari.

c. Melakukan cross check alamat reponden TB paru BTA positif di unit

pelaksana kesehatan (UPK) pada 13 puskesmas dan 3 rumah sakit.

d. Mengurus administrasi perizinan di UGM dan di Kota Kendari

e. Melakukan rekrutmen surveyor dan menghubungi puskesmas dan

rumah sakit DOTS.

f. Melatih surveyor tentang teknik wawancara, pengisian koesioner dan

penggunaan GPS.

56

2. Tahap pelaksanaan

a. Penelitian dilakukan pada bulan Nopember sampai dengan bulan

Desember 2009 di wilayah Kota Kendari.

b. Pengumpulan data dilakukan oleh 3 tim surveyor dan didampingi oleh

petugas puskesmas.

c. Melakukan pengumpulan dan pengolahan dan penyajian data.

d. Membuat laporan penelitian

e. Melakukan konsultasi dengan pembimbing.

57

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Letak dan batas wilayah

Gambar 12. Peta Kota Kendari

Kota Kendari secara geografis terletak di bagian selatan garis

katulistiwa berada di antara 30 54’ 30” – 40 3’ 11” lintang selatan (LS) dan

dari barat ke timur diantara 1220 23’ – 1220 39’ bujur timur (BT).

Wilayah Kota Kendari berbatasan dengan :

Sebelah Utara : Kecamatan Soropia, Kabupaten Konawe

Sebelah Timur : Laut Kendari

Sebelah Selatan : Kecamatan Moramo dan Kecamatan Konda, Kabupaten

Konawe Selatan

58

Sebelah Barat : Kecamatan Ranomeeto Konawe Selatan dan

Kecamatan Sampara, Kabupaten Konawe

2. Luas wilayah dan wilayah administrasi

Wilayah Kota Kendari terletak di jazirah tenggara Pulau Sulawesi.

Wilayah daratannya sebagian besar terdapat di daratan Pulau Sulawesi,

mengelilingi Teluk Kendari dan terdapat satu pulau yaitu Pulau

Bungkutoko. Luas wilayah Kota Kendari 295.89 km2 atau 0.70 persen

dari luas daratan Provinsi Sulawesi Tenggara.(BPS Kota Kendari 2008)

Pada tabel 6 terlihat bahwa wilayah administrasi Kota Kendari

terbagi menjadi 10 Kecamatan dan 64 kelurahan. Kecamatan yang

memiliki jumlah kelurahan terbanyak pada Kecamatan Abeli, sedangkan

kecamatan dengan 4 kelurahan pada Kecamatan Baruga, Kendari,

Kendari Barat dan Kadia.

Tabel 6. Luas wilayah dan jumlah kelurahan menurut kecamatan di Kota Kendari tahun 2008

No Kecamatan Luas wilayah (km2) Jumlah Kelurahan

1 Mandonga 22.65 6 2 Baruga 41.68 4 3 Poasia 52.52 6 4 Abeli 50.49 5

5 Kendari 14.19 4

6 Kendari Barat 21.31 4

7 Wua - Wua 11.63 13

8 Kadia 9.97 4 9 Puuwatu 42.70 8

10 Kambu 28.75 9

11 Kota Kendari 295.89 64

Sumber data : BPS Kota Kendari 2008

3. Jumlah dan laju pertumbuhan penduduk

Jumlah penduduk Kota Kendari tahun 2008 berdasarkan proyeksi

penduduk antar sensus (SUPAS) 2005 sebesar 254.236 jiwa dengan laju

pertumbuhan penduduk selama kurun waktu 2006 – 2008 sebesar 1.97

persen per tahun.

59

Pada laju pertumbuhan penduduk per kecamatan, Kecamatan

Kadia dengan laju pertumbuhan penduduk tertinggi se Kota Kendari yaitu

sebesar 2.04 persen. Sedangkan laju pertumbuhan penduduk terendah

pada Kecamatan Wua – Wua sebesar 1.92 persen. (BPS Kota Kendari.

2009). Pada gambar 13 terlihat laju pertumbuhan tertinggi antara tahun

2005 sampai dengan 2006.

200000

210000

220000

230000

240000

250000

260000

2003 2004 2005 2006 2007 2008

Tahun

Ju

mla

h P

en

du

du

k

Gambar 13. Trend perkembangan jumlah penduduk Kota Kendari tahun 2003 s/d 2008

Sumber data : BPS Kota Kendari tahun 2008

4. Persebaran penduduk

Persebaran penduduk di Kota Kendari berpusat pada Kecamatan

Kendari Barat dengan jumlah penduduk sebesar 43.360 jiwa atau 17.06

% dari total penduduk Kota Kendari, dengan kepadatan penduduk

2,034.73 per km2, menyusul Kecamatan Mandongan 36.828 jiwa atau

14.49 persen dari total penduduk Kota Kendari, dengan kepdatan

penduduk 1,625.96 per km2, sebagaimana tersaji pada tabel 7.

Penyebab utama terjadinya persebaran penduduk di dua kecamatan ini

adalah adanya pergeseran kegiatan perekonomian di Kota Kendari.

60

Tabel 7. Jumlah penduduk, luas wilayah dan kepadatan penduduk menurut kecamatan di Kota Kendari tahun 2008

No. Kecamatan Jumlah

Penduduk Luas Wilayah

(km2)

Kepadatan Penduduk org/km2

1 Mandonga 36,828 22.65 1,625.96 2 Baruga 13,126 41.68 314.92 3 Poasia 19,717 52.52 375.42 4 Abeli 21,618 50.49 428.16 5 Kendari 26,179 14.19 1,844.89 6 Kendari Barat 43,360 21.31 2,034.73 7 Wua - Wua 20,343 11.63 1,749.18 8 Kadia 29,189 9.97 2,927.68 9 Puuwatu 23,450 42.70 549.18 10 Kambu 20,426 28.75 710.47 Kota Kendari 254,236 295.89 859.22

Sumber data : BPS Kota Kendari 2008

5. Struktur umur

Keadaan struktur penduduk di Kota Kendari tahun 2008 sebanyak

42.39% atau 107,765 jiwa adalah penduduk muda dengan usia dibawah

dari 20 tahun. Struktur penduduk menurut jenis kelamin berdasarkan

SUPAS 2006 – 2008 terdiri dari 48 persen atau 123,150 penduduk laki –

laki dan jumlah penduduk perempuan sebanyak 52 persen atau 131,086

jiwa. Ratio penduduk perempuan dengan laki – laki tahun 2008 sebesar

98 persen yang artinya setiap 100 penduduk perempuan terdapat 98

penduduk laki – laki.

6. Keluarga miskin

Jumlah keluarga miskin di Kota Kendari tahun 2008 sebesar

21,291 atau 41.9 % dari jumlah kepala keluarga yang ada di Kota

Kendari. Jumlah rumah tangga miskin sebanyak 21,496. (BPS Kota

Kendari 2008). Pada tabel 8 terlihat jumlah kelurahan terbanyak pada

persentase keluarga miskin 25.00 – 49.99 %.

61

Tabel 8. Distribusi jumlah kelurahan menurut prosentase kepala keluraga miskin di Kota Kendari tahun 2008

No Prosentase KK miskin Jumlah kelurahan

1 0.00 – 24.99 % 7 2 25.00 – 49.99 % 28 3 50.00 – 74.99 % 13 4 75.00 – 100.00 % 16

Sumber data : BPS Kota Kendari tahun 2008

Terlihat pada gambar 14 presentase keluarga miskin terbanyak

pada Kelurahan Mata Kecamatan Kendari, sedangkan keluarga miskin

paling sedikit di Kelurahan Wududopi Kecamatan Baruga.

Gambar 14. Peta distribusi keluarga miskin menurut kelurahan di Kota Kendari tahun 2008

Sumber data : BPS Kota Kendari 2008

62

7. Unit pelayanan kesehatan

Sarana kesehatan yang melaksanakan pengobatan TB paru

sebanyak 16 sarana kesehatan , yang terdiri dari 13 puskesmas dan 3

rumah sakit, ketiga rumah sakit tersebut adalah Rumah Sakit Propinsi,

Rumah Sakit Abunawas Kota Kendari dan Rumah Sakit Bhayangkari

Kendari. Pada gambar 15 terlihat letak UPK menyebar pada seluruh

wilayah Kota Kendari.

Gambar 15. Peta unit pelaksana kesehatan TB paru di Kota Kendari tahun 2009

Pada tabel 9 jumlah UPK di Kota Kendari sebanyak 16 UPK yang

terbagi menjadi 3 puskesmas rujukan mikroskopis (PRM), 7 puskesmas

satelit (PS), 3 puskesmas pelaksana mandiri (PPM) dan 3 rumah sakit

pelaksana mandiri.

63

Tabel 9. Distribusi unit pelaksana kesehatan pelayanan DOTS menurut kelompok pelaksanaKota Kendari tahun 2008

No Unit Pelaksana Kesehatan Kelompok Pelaksana

1 Puskesmas Benu - Benua PRM 2 Puskesmas Mata, Kemaraya, Mekar PS 3 Puskesmas Poasia PRM 4 Puskesmas Mokoau, Abeli PS

5 Puskesmas Jatiraya PRM

6 Puskesmas Perumnas, Wua - Wua PS

7 Puskesmas Lepo-Lepo, Mandonga, Labibia RS. Bhayangkara, RS Abunawas,

RS Propinsi.

PPM

8. Tenaga kesehatan.

Jumlah tenaga dalam pengelolaan program TB paru di Kota

Kendari tahun 2009 terdiri dari 27 dokter terlatih, 8 analis terlatih dan 4

perawat terlatih. Jumlah tenaga yang belum terlatih sebanyak 9 dokter, 3

analis dan 3 perawat.

9. Jenis kelamin

Distribusi jenis responden menurut jenis kelamin laki – laki lebih

banyak dibandingkan dengan jenis kelamin perempuan baik pada kasus

dan kontrol. Untuk mengendalikan faktor – faktor yang melekat pada jenis

kelamin seperti pada responden laki – laki mempunyai kebiasaan

merokok dan mobilitas yang tinggi maka peneliti mendekatkan

prosentase responden laki – laki dan perempuan pada kasus dan kontrol.

Pada tabel 10 jumlah kasus laki – laki sebanyak 64% dan jumlah

kontol laki – laki sebanyak 62%.

Tabel 10. Distribusi responden menurut jenis kelamin

No Jenis kelamin Kasus Kontrol

Jumlah persen jumlah Persen

1 Laki – laki 103 64.0% 100 62.1%

2 Perempuan 58 36.0% 61 37.9%

Jumlah 161 100% 161 100%

64

10. Pengumpulan titik koordinat dan jumlah sampel

Pengumpulan data koordinat dilakukan pada kasus dan kontrol

yang tersebar di seluruh wilayah puskesmas Kota Kendari. Jumlah

koordinat kasus sebanyak 161 titik dan koordinat kontrol sebanyak 161

titik. Penitikan dibantu oleh 3 tenaga dengan latar belakang pendidikan

kesehatan masyarakat (S1) yang sudah dilatih selama 2 hari tentang cara

penggunaan GPS oleh peneliti.

Pada pelaksanaan penitikan dilakukan di luar rumah responden

dan menghindari adanya tegangan listrik. Kalibrasi penitikan dilakukan

sebelum melakukan penitikan, kalibrasi dilakukan dengan mencocokan

koordinat GPS pada koordinat yang disepakati yaitu puskesmas wilayah

penitikan.

Dari hasil perhitungan besar sampel diperoleh besar sampel

sebesar 147 kasus dan 147 kontrol. Pada pelaksanaan penelitian, peneliti

menambah jumlah sampel menjadi 161 kasus dan 161 kontrol, hal ini

dilakukan setelah melihat pola pengelompokan kasus BTA positif yang

berobat di Kota Kendari agar lebih baik.

11. Analisis individual

Kemaknaan secara statistik tiap variabel independen dengan

variabel dependen dilakukan Analisis bivariat dengan menggunakan uji

chi square, confidence interval yang digunakan 95% atau α 5%. Pada uji

ini akan dilakukan pemilihan variabel yang dianggap berperan atau

mempunyai potensi pada analisis multivariat, variabel yang berpotensi

dilihat dari kemaknaan statistik atau nilai Asymp. Sig. (2-sided) (nilai p) <

0.25 serta variabel yang memiliki kemaknaan biologi. (Hastono, 2007).

65

a. Umur

Pada tabel 11 tersaji nilai mean pada kelompok kasus sebesar

36.23 tahun dan kelompok kontrol sebesar 49.11 tahun. Umur tertua

pada kelompok kontrol 86 tahun sedangkan pada kelompok kasus 90

tahun.

Tabel 11. Distribusi umur responden menurut nilai mean, maksimum minimum dan standart deviasi.

No Uraian Kasus Kontrol

1 Mean 36.23 49.11 4 Minimum 12 20

5 Maksimun 90 86

6 Standart deviasi 15.66 11.85

Pada penelitian umur dikategorikan menjadi 2 yaitu kelompok umur ≥

55 tahun dan kelompok umur < 55 tahun. Pada tabel 12 tersaji jumlah

kelompk umur kurang dari 55 tahun lebih banyak baik pada kelompok

kontrol maupun pada kelompok kasus.

Tabel 12. Distribusi responden menurut kelompok umur

No Kelompok

umur Kasus Kontrol

jumlah persen jumlah persen

1 ≥ 55 tahun 28 17.4% 42 26.1%

2 < 55 tahun 133 82.6% 119 73.9%

Total 161 100% 161 100%

Hubungan antara variabel umur dengan kejadian TB paru BTA

positif dari hasil uji chi square menunjukan nilai p sebesar 0.059

dengan 95% confidence Interval 0.348 – 1.022, yang berarti pada

penelitian ini variabel umur tidak bermakna secara statistik. Tetapi

variabel umur masih dapat diikutkan dalam analisis multivariat

mengingat nilai p masih < 0.25.

66

b. Kepadatan hunian rumah

Kepadatan hunian menggunakan definisi luas lantai dibagi

jumlah penghuni rumah. Dari hasil analisis data diperoleh kepadatan

terkecil 3 orang/m2 dan kepadatan terbesar 31.5 orang/m2. Sedangkan

mean kepadatan hunian 13.95 orang/m2’

Variabel ini dikategorikan menjadi 2 kategori yaitu kepadatan

≥ 8 orang/m2 dan kepadatan > 8 orang/m2. Pada tabel 13 kepadatan

kurang dari > 8 orang/m2 pada kelompok kasus 61.5% dan kelompok

kontrol 70.5%.

Tabel 13. Distribusi responden menurut kepadatan hunian

No Kepadatan

hunian

Kasus Kontrol

jumlah persen jumlah persen

1 ≥ 8 orang/m2 62 38.5 % 33 20.5 % 2 < 8 orang/m2 99 61.5 % 128 70.5 % Total 161 100.0 % 161 100.0 %

Variabel kepadatan hunian dengan kategori 1 yaitu ≥ 8

orang/m2 dan kategori 2 yaitu < 8 orang/m2 , pada uji chi square

diperoleh nilai p sebesar 0.000 dan nilai OR sebesar 2.429. Ini berarti

hubungan variabel kepadatan hunian rumah bermakna secara statiktik

dan mempunyai kemaknaan biologi sebesar 2.429. Hasil ini

memperlihatkan variabel kepadatan hunian mempunyai potensi untuk

diikutkan dalam analisis multivariat.

c. Status sosial ekonomi

Status sosial ekonomi diukur dengan melihat apakah termasuk

keluarga miskin atau keluarga tidak miskin, keluarga miskin pada

penelitian ini dilihat dengan memiliki kartu jaminas kesehatan

masyarakat (Jamkesmas) atau yang sejenis kartu Batramas

kesehatan, atau surat keterangan miskin.

67

Tabel 14. Distribusi responden menurut status sosial ekonomi

No Status sosial

ekonomi Kasus Kontrol

jumlah persen jumlah persen

1 Miskin 89 55.3 % 68 42.2 % 2 Tidak miskin 72 44.7 % 93 57.8 % Total 161 100.0 % 161 100.0 %

Pada tabel 14 tersaji prosentase kasus dengan status sosial

ekonomi miskin sebesar 55.3 %, sedangkan pada kelompok kontrol

prosentase terbesar pada kategori tidak miskin yaitu sebesar 56.8%.

Uji bivariat dengan chi square diperoleh niali p sebesar 0.019

dengan 95 % confidence interval 1.088 – 2.627 serta kemaknaan

biologi sebesar 1.691. Hasil ini memperlihatkan variabel status sosial

ekonomi mempunyai potensi untuk diikutkan dalam uji multivariat

bersama variabel lain pada penelitian ini.

d. Merokok

Pada table 15 memperlihatkan jumlah kasus yang merokok

52.8% lebih besar dari tidak merokok, sedangkan pada kelompok

kontrol jumlah responden merokok 34.2 % lebih kecil dibandingkan

yang tidak merokok.

Tabel 15. Distribusi responden menurut merokok.

No Merokok Kasus Kontrol

jumlah persen jumlah persen

1 Merokok 85 52.8 % 55 34.2 % 2 Tidak merokok 76 47.2 % 106 65.8 % Total 161 100.0 % 161 100.0 %

Hubungan antara variabel merokok dengan variabel dependen

pada hasil uji chi square diperoleh nilai p sebesar 0.001 dengan 95%

confidence interval 1.375 - 3.378 dan nilai OR sebesar 2.156. Hasil ini

berarti variabel merokok bermakna secara statistik dan mempunyai

68

kemaknaan biologi sebesar 2.156. Dari hasil uji statistik ini variabel

merokok memiliki potensi untuk ikut dalam analisis multivariat.

e. Jarak tempat pelayanan

Jarak tempat pelayanan dikategorikan lebih besar sama dengan

1 km dan lebih kecil dari 1 km, pada tabel 16 kelompok kasus jumlah

responden dengan jarak ≥ 1 km sebear 43.5% sedangkan pada

kelompok kontrol hanya 24.8%.

Tabel 16. Distribusi responden menurut jarak tempat pelayanan

No Jarak tempat

pelayanan Kasus Kontrol

jumlah persen jumlah persen

1 ≥ 1 km 70 43.5 % 40 24.8 % 2 < 1 km 91 56.5 % 121 75.2 % Total 161 100.0 % 161 100.0 %

Uji chi square pada hubungan antara variabel jarak tempat

pelayanan dengan variabel dependen diperoleh nilai p sebesar 0.000

dengan 95% confidence interval 1.448 – 3.739 serta nilai OR sebesar

2.327. Hasil ini menunjukan hubungan variabel jarak tempat

pelayanan dengan variabel dependen bermakna secara statistik dan

memiliki kemaknaan biologi sebesar 2.327. Variabel ini berpotensi

untuk dilakukan analisis multivariat bersama variabel lain pada

penelitian ini

12. Analisis multivariat

Dari hasil analisis bivariat semua variabel independen yang diteliti

mempunyai potensi untuk dalam analisis multivariat, uji yang digunakan

regresi logistik dengan metode backward stepwise. Uji ini digunakan

untuk mendapatkan variabel independen yang paling berpengaruh

terhadap variabel dependen, dengan cara memasukan semua variabel

yang berpotensi untuk dilakukan uji multivariat.

69

Dari hasil analisis multivariat dengan memasukan 5 variabel

independen diperoleh 3 variabel yang mempunyai pengaruh terhadapat

kejadian TB paru BTA positif yaitu :

a. Merokok

Variabel merokok pada uji multivariat mempunyai nilai odds

ratio (OR) sebesar 2.328 dan mempunyai kemaknaan statistik dengan

nilai p 0.000 dan 95% confidence interval (CI) 1.455 – 3.726.

b. Kepadatan hunian

Pada variabel kepadatan hunian nilai kemaknaan biologi (OR)

sebesar 2.417 sedangkan kemaknaan statistik dengan nilai p sebesar

0.001 dan 95% CI 1.439 – 4.058

c. Jarak ke tempat pelayanan

Variabel jarak ke tempat pelayanan mempunyai nilai OR

sebesar 2.267 dan nilai p sebesar 0.001 dan 95% CI 1.384 – 3.715

Ketiga variabel diatas dengan nilai sig <0.05 maka Ho ditolak yang

berarti ada pengaruh variabel independen merokok, kepadatan hunian dan

jarak ke tempat pelayanan dengan variabel dependen kejadian TB paru BTA

positif.

Nilai -2 log likelihood sebesar 410.457 cox & Snell R Square sebesar

0.141 dan nilai overall percentage 64.3 yang berarti kemampuan

memprediksi faktor resiko pada kejadian TB paru BTA positif sebesar 62.4 %

dan masih ada 37.6 % faktor resiko lain yang tidak terjaring pada penelitian

ini. Faktor dominan dalam penelitian ini adalah variabel kepadatan hunian

dengan nilai sig 0.001 , Exp β = 2.417 , 95% confidence interval 1.439 –

4.058.

Sedangkan variabel umur dan status sosial ekonomi pada penelitian

tidak ada pengaruh terhadap kejadian TB paru BTA positif sebagaimana

tersaji pada tabel 17 kelompk umur telah dikeluarkan pada step 1 dan status

sosial ekonomi dikeluarkan pada step 2.

70

Tabel 17. Hasil uji multivariat regresi logistik metode backward stepwise variabel dependen dengan variabel independen.

13. Analisis spasial

a. Sebaran kasus menurut wilayah kecamatan

Pada tabel 18 dan gambar 16 terlihat sebaran kasus TB paru

BTA positif di Kota Kendari tidak merata pada semua kecamatan,

sebaran cenderung mengumpul pada wilayah dengan kepadatan

penduduk lebih padat dari kecamatan yang lain yaitu pada Kecamatan

Kadia, Kecamatan Kendari Barat dan Kecamatan Kendari.

Kecamatan Baruga memiliki jumlah kasus paling sedikit dibandingkan

dengan kecamatan lainnya.

Variabel ß Sig.

Exp(ß)

95.0% C.I.for EXP(ß)

Lower Upper

Step 1(a) Merokok 0.729 0.003 2.074 1.285 3.347

Umur -0.406 0.173 0.667 0.372 1.194

Kepadatan hunian

0.888 0.001 2.430 1.443 4.092

Status social ekonomi

0.466 0.054 1.594 0.993 2.561

Jarak ke tempat pelayanan

0.799 0.002 2.223 1.347 3.669

Step 2(a) Merokok 0.763 0.002 2.145 1.333 3.453

Kepadatan hunian

0.880 0.001 2.410 1.433 4.054

Status social ekonomi

0.443 0.065 1.557 0.972 2.493

Jarak ke tempat pelayanan

0.839 0.001 2.314 1.408 3.805

Step 3(a) Merokok 0.831 0.001 2.296 1.436 3.670

Kepadatan hunian

0.890 0.001 2.434 1.451 4.082

Jarak ke tempat pelayanan

0.814 0.001 2.256 1.379 3.691

71

Tabel 18. Distribusi kasus, kontrol dan kepadatan penduduk menurut kecamatan.

No Kecamatan Kasus Kontrol Kepadatan penduduk org/km2

1 Mandonga 16 16 1,626 2 Baruga 2 7 315 3 Poasia 27 13 375 4 Abeli 13 15 428 5 Kendari 22 31 1,845 6 Kendari Barat 26 21 2,035 7 Wua - Wua 9 6 1,749 8 Kadia 14 24 2,928 9 Puuwatu 11 15 549

10 Kambu 21 13 710 Kota Kendari 161 161 859

Gambar 16. Overlay kepadatan peduduk kecamatan dengan distribusi kasus

Kota Kendari

72

b. Sebaran kasus menurut wilayah puskesmas

Sebaran kasus pada wilayah puskesmas terlihat pada gambar

17 menyebar pada seluruh wilayah puskesmas di Kota Kendari, pola

kepadatan penyebaran beragam, puskesmas dengan kasus

terbanyak yaitu pada Puskesmas Poasia, sedangkan puskesmas

dengan kasus sedikit pada Puskesmas Lepo – Lepo. Kasus TB paru

BTA positif yang diobati di puskesmas berasal dari dalam wilayah

puskesmas, luar wilayah puskesmas dan luar wilayah Kota Kendari.

Penderita yang berasal dari luar wilayah pada umumnya mempunyai

saudara yang tinggal di Kota Kendari.

Gambar 17. Distribusi kasus pada wilayah puskesmas Kota Kendari

73

c. Overlay kepadatan penduduk dengan kasus

Pada gambar 18 terlihat sebaran kasus menurut kepadatan

penduduk per kelurahan menyebar pada kelurahan dengan

kepadatan lebih dari 335 orang/km2 , kasus mengelompok pada

pemukiman padat seperti Kelurahan Padaleu, Anggoeya. Kelurahan

dengan kepadatan penduduk kurang dari 335 orang/km2 memiliki

kasus yang sedikit yaitu pada Kelurahan Labibia, Lalodati, Sambuli,

Nambo, Benuanirai, Matabubu. Sedangkan kelurahan yang tidak

terdapat kasus TB paru BTA positif pada Kelurahan Tondong dan

Kelurahan Baruga.

Gambar 18. Overlay kepadatan penduduk menurut kelurahan dengan

distribusi kasus

Hasil perhitungan statistik dengan menggunakan regresi

software Geoda diperoleh coefficient 2.63804e-005, standard error

0.0001, t – statistic 0.1699 dan nilai probability 0.8655, hasil

74

menyimpulkan tidak ada hubungan antara kepadatan penduduk

dengan kejadian TB paru BTA positif

d. Overlay kepala keluarga miskin dengan kasus

Kasus TB paru BTA positif menyebar pada wilayah kelurahan

dengan kepala keluarga miskin lebih dari 25% sebagaimana terlihat

pada gambar 19. Hasil perhitungan statistik dengan menggunakan

regresi software Geoda diperoleh coefficient 0.0048 , standard error

0.0021, t – statistic 2.2838 dan nilai probability 0.025, ada hubungan

antara jumlah kepala keluarga miskin dengan kejadian TB paru BTA

positif.

Gambar 19. Overlay prosentase keluarga miskin menurut kelurahan

dengan distribusi kasus

75

e. Overlay topografi desa dengan kasus dan kontrol

Topografi kelurahan di Kota Kendari terbagi menjadi topografi

pesisir 21 kelurahan, lembah 2 kelurahan , lereng 14 kelurahan dan

dataran 22 kelurahan. Pada gambar 20 sebaran kasus menurut

topografi kelurahan menyebar pada semua kelurahan.

Hasil perhitungan statistik dengan menggunakan regresi

software Geoda diperoleh coefficient -0.0401 , standard error 0.2829, t

– statistic -0.1420 dan nilai probability 0.8875, hasil menyimpulkan

tidak ada hubungan antara topografi kelurahan dengan kejadian TB

paru BTA positif.

Gambar 20. Overlay topografi menurut kelurahan dengan distribusi kasus

76

f. Pengelompokan kasus

Untuk melihat pengelompokan kasus pada penelitian ini digunakan 2

metode yaitu metode nearest neighbour analysis dan purely spatial

analysis dengan menggunakan model bernoulli.

1) Analisis tetangga terdekat (nearest neighbour analysis)

Untuk mengetahui pola sebaran kasus apakah mengikuti

pola seragam (uniformity), random, mengelompok (clustered)

peneliti menggunakan analisis tetangga terdekat (nearest

neighbour analysis ). Analisis ini memerlukan data jarak antara satu

titik koordinat kasus dengan titik koordinat kasus yang lain.

TB paru BTA positif pada area Kota Kendari diperoleh nilai

z = 0 dan R = 0 dengan hipotesa nol ditolak yang berarti ada

kecenderungan ke arah pola sebaran yang seragam (uniformity).

Analisis pada kelompok kontrol diperoleh nilai z = 1.16925 dan R =

0.567821 kecenderungan pola sebaran random.

Gambar 21. Sebaran kasus dan kontrol pada buffer 3 km dari UPK

77

Untuk melihat sebaran yang lebih mengarah ke area

pemukiman maka analisis tetangga terdekat menggunakan buffer 3

km dari UPK sebagaimana terlihat pada gambar 21. Terdapat 4

kasus dan 3 kontrol yang tidak masuk dalam buffer 3 km. Kelompok

kasus diperoleh nilai z = 1.58148 dan R = 1.8667 , yang berarti

kasus ada kecenderungan ke arah pola random, sedangkan pada

kelompok kontrol diperoleh nilai z = 2.62219 dan R = 0.208641

maka Ho ditolak ada kecenderungan ke arah pola mengelompok.

2) Purely spatial analysis dengan menggunakan model bernoulli

Analisis spasial untuk mengetahui pengelompokan kasus.

Pada penelitian ini menggunakan software satscan dengan metode

Purely spatial analysis model bernoulli. Pada gambar 22 setelah

dilakukan perhitungan cluster dengan menggunkan maximum

cluster size 2.500 m.

Gambar 22. Cluster TB paru BTA positif Kota Kendari tahun 2009

78

Terdapat 3 cluster pada kejadian TB paru BTA positif di Kota

Kendari.

a) Most likely cluster pada koordinat 40 00’ 47.5” LS dan 1220 33’

33.6” BT radius 1.451,27 m, dengan jumlah kasus sebanyak 12

penderita TB paru BTA positif, p-value 0,041. Cluster ini

terdapat di Kelurahan Matabubu dan Anggouya.

b) Secondary cluster 1 pada koordinat 30 56’ 36.3” LS dan 1220

30’ 37.2” BT radius 1.076,3 m, dengan jumlah kasus sebanyak

11 penderita TB paru BTA positif, p-value 0,043. Cluster ini

terdapat di Kelurahan Watu – watu dan Tipulu.

c) Secondary cluster 2 pada koordinat 30 57’ 58.2” LS dan 1220

32’ 42.2” BT radius 2.021,52 m, dengan jumlah kasus sebanyak

10 penderita TB paru BTA positif, p-value 0,076. Cluster ini

terdapat di Kelurahan Mandonga, Alolama, Wawombalata. Pada

cluster ini secara statistik tidak bermakna.

Terlihat pada gambar 23 pengelompokan pada Most likely

cluster kasus cenderung berada di pemukiman padat penduduk.

Gambar 23. Most likely cluster pada citra google earth

79

Gambar 24. Secondary cluster 1 pada citra google earth

Gambar 24 dan 25 memperlihatkan secondary cluster 1 dan

secondary cluster 2 penderita TB paru BTA positif terdapat di

pemukiman padat penduduk , dan terletak di radius yang tidak jauh

dari jalan raya.

Gambar 25. Secondary cluster 2 pada citra google earth

80

g. Buffer analisis jarak tempat pelayanan TB dengan kasus dan kontrol

Tabel 19. Distribusi kasus, kontrol menurut radius dari UPK

No Radius dari UPK (meter) Kasus Kontrol

1 500 40 14 2 500 – 1,000 51 107 3 1,000 – 2,000 50 21 4 > 2,000 20 19

Hasil analisis menunjukan kasus terbanyak terletak pada radius

0 – 1 km sebesar 91 kasus, sedangkan pada kelompok kontrol

sebesar 121 orang. Pada radius lebih dari 2 km terdapat 20 kasus

dan 19 kontrol.

Gambar 26. Distribusi kasus menurut buffer dari UPK di Kota Kendari

81

Terlihat pada gambar 26 kasus mengelompok pada radius 0 – 1

km pada 10 UPK. Pada nearest neighbour analysis untuk melihat

apakah terjadi pengelompokan pada radius 0 – 1 km, dari hasil

analisis ini diperoleh nilai z = 5.4553 dan R = 0.688864 dimana

hipotesis nol ditolak yang berarti ada kecenderungan ke arah pola

mengelompok pada radius 0 – 1 km dari UPK.

Pada Analisis buffer dari jalan sebagaimana terlihat pada

gambar 26, terdapat 154 kasus pada buffer 0 – 200 m dari jalan,

sedangkan pada buufer 0 – 500 m dari jalan terdapat 160 kasus. Pada

analisis nearest neighbour analysis dengan nilai z = 3.91845 dan nilai

R = 0.834947 yang berarti ada kecenderungan ke arah pola

mengelompok pada radius 0 – 200 m dari jalan.

Gambar 27. Distribusi kasus menurut buffer dari jalan di Kota Kendari

82

14. Analisis difusi

Analisis difusi untuk melihat pola penyebaran kasus TB paru BTA

positif. Terlihat pada gambar 28 pola penyebaran mengikuti difusi

ekspansi dimana kasus TB paru BTA positif menjalar melalui populasi

dari suatu tempat ke tempat yang lain, dalam proses ekspansi ini TB paru

BTA positif yang menyebar tetap ada dan kadang – kadang menjadi lebih

intensif di tempat asalnya. Hal ini berarti bahwa terjadi penambahan

jumlah kasus baru pada populasi antara periode waktu dan penambahan

anggota baru tersebut mengubah pola keruangan populasi secara

keseluruhan. Ini berarti bahwa tempat asal mengalami perluasan oleh

karena terdapat anggota baru dalam populasi. (Bintarto. 1991).

Gambar 28. Pola difusi kasus TB paru BTA positif per bulan

83

84

85

Gambar 29. Pola difusi kasus TB paru BTA positif dari bulan Desember

2008 ke bulan Desember 2009

Gambar 29 terlihat pola penyebaran TB paru BTA positif dari bulan

Desember 2008 sampai dengan bulan Desember 2009, pola ini mengikuti

pola difusi menjalar (contagious diffusion) dimana proses menjalarnya

terjadi kontak yang langsung antar manusia atau antar daerah.

B. PEMBAHASAN

1. Hubungan antara variabel umur dengan kejadian TB paru BTA positif

Risiko untuk menjadi sakit TB paling tinggi usia dibawah 3 tahun

dan paling rendah pada usia akhir masa kanak – kanak dan risiko

meningkat lagi pada usia adolesendan dewasa muda, usia tua dan pada

penderita kelainan sistem imunitas (Chin, 2000). Usia tua lebih dari 55

tahun sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan

terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB-Paru. Sekitar 75%

pasien TB adalah kelompok usia yang paling produktif secara ekonomi

(15 – 50 tahun ) (Depkes RI 2008)c.

Hasil penelitian menunjukan jumlah penderita TB paru BTA positif

pada usia < 55 tahun sebesar 82.6%. dari Analisis bivariat diperoleh nilai

p sebesar 0.059 dengan 95% confidence interval 0.348 – 1.022, yang

86

berarti pada penelitian ini variabel umur tidak bermakna secara statistik.

Hasil ini menunjukan tidak ada hubungan antara variabel umur dengan

kejadian TB paru BTA positif di Kota Kendari.

2. Hubungan antara variabel kepadatan hunian rumah dengan kejadian TB

paru BTA positif

Pada kelompok kasus dengan kepadatan hunian ≥ 8 orang/m2

sebesar 38.5%. Hasil uji chi square diperoleh nilai p sebesar 0.000 dan

nilai OR sebesar 2.429. Hal ini berarti ada hubungan antara kepadatan

hunian dengan kejadian TB paru BTA positif , orang dengan kepadatan

hunian ≥ 8 orang/m2 mempunyai resiko 2.429 kali dibandingkan dengan

orang dengan kepadatan < 8 orang/m2

Kepadatan hunian menjadi salah satu resiko orang yang terpajan

kuman TB menjadi terinfesi TB (WHO, 2008). Untuk mencegah terjadinya

penularan TB yaitu dengan mengurangi dan menghilangkan kondisi sosial

yang mempertinggi resiko terjadinya infeksi misalnya kepadatan hunian

(Chin, 2000). Pada penelitian Lenny 2008 di Kabupaten Bantul

menunjukan kepadatan hunian berpengaruh terhadap kejadian TB paru

BTA positif dengan OR sebesar 2.888.

3. Hubungan antara variabel status sosial ekonomi dengan kejadian TB paru

BTA positif

Status sosial ekonomi responden miskin pada kelompok kasus

sebesar 55,3 %, hasil uji bivariat diperoleh nilai p sebesar 0.019 dengan

95 % confidence interval 1.088 – 2.627 serta kemaknaan biologi sebesar

1.691. Hal ini berarti ada hubungan antara status sosial ekonomi dengan

kejadian TB paru BTA positif, status sosial ekonomi miskin mempunyai

resiko 1.691 kali dibandingkan dengan status sosial ekonomi tidak miskin.

Suparlan (2000) mendefinisikan bahwa kemiskinan adalah

keadaan serba kekurangan harta dan benda berharga yang diderita oleh

seseorang atau sekelompok orang yang hidup dalam lingkungan serba

87

miskin atau kekurangan modal, baik dalam pengertian uang,

pengetahuan, kekuatan sosial, politik, hukum, maupun akses terhadap

fasilitas pelayanan umum, kesempatan berusaha dan bekerja.

Sumodiningrat (1999) membagi kemiskinan menjadi tiga kategori, yaitu

kemiskinan absolut (pendapatan di bawah garis kemiskinan dan tidak

dapat memenuhi kebutuhan dasarnya), kemiskinan relatif (situasi

kemiskinan di atas garis kemiskinan berdasarkan pada jarak antara miskin

dan non-miskin dalam suatu komunitas), dan kemiskinan struktural

(kemiskinan ini terjadi saat orang atau kelompok masyarakat enggan

untuk memperbaiki kondisi kehidupannya sampai ada bantuan untuk

mendorong mereka keluar dari kondisi tersebut).

Melihat definisi kemiskinan tersebut kemiskinan menjadi salah satu

resiko untuk TB paru (Rab. 1996). Hal ini dimungkinkan dengan

kemiskinan keterbatasan akses ke pelayanan kesehatan, kekurangan gizi,

dan sarana sanitasi serta faktor lain kemiskinan akan meningkatkan risiko

untuk menjadi sakit TB.

4. Hubungan antara variabel merokok dengan kejadian TB paru BTA positif

Jumlah kasus yang merokok 52.8% lebih besar dari tidak merokok,

sedangkan pada kelompok kontrol jumlah responden merokok 34.2 %

lebih kecil dibandingkan yang tidak merokok. Hasil Riskesdas 2007

prevalensi perokok dalam rumah tangga sebesar 89.2%.

Hubungan antara variabel merokok dengan variabel dependen

pada hasil uji chi square diperoleh nilai p sebesar 0.001 dengan 95%

confidence interval 1.375 - 3.378 dan nilai OR sebesar 2.156. Hasil ini

menyimpulkan adanya hubungan antara merokok dengan kejadian TB

paru BTA positif dimana merokok mempunyai resiko 2.156 kali menderita

TB paru BTA positif dari yang tidak merokok.

Banyak penelitian tentang bahaya merokok bagi kesehatan, sejak

tahun 1761 sebagai tahun pertama yang membuktikan tentang bahaya

88

merokok bagi kesehatan. Merokok selama 10 -1 5 tahun dapat merubah

struktur paru yang bererti dapat merusak fungsi paru. Merokok juga dapat

menurunkan sistem pertahanan tubuh sehingga mudah terpapar dengan

agent TB paru. (WHO, 2008)

Merokok merupakan faktor resiko bagi tuberkulosis paru bila

merokok meningkatkan kepekaan host untuk terkena tuberkulosis atau

dengan kata lain menyebabkan penurunan daya tahan host terhadap

infeksi tuberkulosis dan atau meningkatkan kemungkinan penularan lewat

batuk yang lebih sering, karena kuman M. tuberkulosis memasuki tubuh

manusia sebagai kuman hidup yang ada di dalam droplet. (Margono,

2007)

5. Hubungan antara variabel jarak tempat pelayanan dengan kejadian TB

paru BTA positif

Jarak ke tempat pelayanan terkait dengan kemudahan penderita

dalam pencarian pengobatan serta kemudahan petugas kesehatan dalam

melayani dan menemukan penderita TB paru BTA positif. Kemudahan

mencapai (accesible) merupakan salah satu syarat pokok pelayanan

kesehatan.( Azwar, 1999). Kondisi di Kota Kendari akses ke pelayanan

kesehatan jarak terjauh 8 km. Kendaraan yang digunakan untuk akses ke

pelayanan kesehatan pada umumnya menggunakan sarana ojek dan

angkutan kota.

Jarak tempat pelayanan dikategorikan lebih besar sama dengan 1

km dan lebih kecil dari 1 km, pada kelompok kasus jumlah responden

dengan jarak ≥ 1 km sebear 43.5% sedangkan pada kelompok kontrol

hanya 24.8%, uji chi square pada hubungan antara variabel jarak tempat

pelayanan dengan variabel dependen diperoleh nilai p sebesar 0.000

dengan 95% confidence interval 1.448 – 3.739 serta nilai OR sebesar

2.327. Hasil ini menunjukan adanya hubungan bivariat antara jarak ke

tempat pelayanan dengan kejadian TB paru BTA positif, dimana jarak ≥ 1

89

km mempunyai resiko 2.327 kali. HUbungan ini terkait dengan

kemudahan UPK untuk menemukan dan melakukan pengobatan pada

penderita TB paru BTA positif.

6. Variabel yang paling berpengaruh dengan kejadian TB paru BTA positif

Pada analisis multivariat variabel merokok, kepadatan hunian dan

jarak ke tempat pelayanan mempunyai hubungan dengan variabel

kejadian TB paru BTA positif. Nilai -2 log likelihood sebesar 410.457 cox

& Snell R Square sebesar 0.141 dan nilai overall percentage 62.4 yang

berarti kemampuan memprediksi faktor resiko pada kejadian TB paru

BTA positif sebesar 62.4 % dan masih ada 37.6 % faktor resiko lain yang

tidak terjaring pada penelitian ini. Faktor dominan dalam penelitian ini

adalah variabel kepadatan hunian dengan nilai sig 0.001 , Exp β = 2.417 ,

95% confidence interval 1.439 – 4.058.

7. Analisis spasial kejadian TB paru BTA positif

Sebaran kasus TB paru BTA positif tidak merata pada semua

kecamatan maupun pada wilayah puskesmas. Sebaran tidak merta juga

terjadi pada wilayah kelurahan. Overlay sebaran kasus dengan kepadatan

penduduk per kelurahan terlihat menyebar pada kelurahan dengan

kepadatan 335 – 12,005 orang/km2, kasus mengelompok pada

pemukiman padat seperti Kelurahan Padaleu, Anggoeya. Tingginya

kepadatan penduduk memicu lebih mudahnya penduduk terserang agent

TB paru (Chin, 2000). Hasil perhitungan statistik regresi dengan software

Geoda menunjukan tidak ada hubungan antara kepadatan penduduk

dengan kejadian TB paru.

Dari hasil overlay antara kepala keluarga (KK) miskin dengan

kasus TB paru BTA positif menunjukan pola menyebar pada wilayah

kelurahan dengan kepala keluarga miskin lebih dari 25%. Hasil

perhitungan statistik dengan menggunakan regresi software Geoda

diperoleh coefficient 0.0048 , standard error 0.0021, t – statistic 2.2838

90

dan nilai probability 0.025, hasil menyimpulkan ada hubungan antara

jumlah kepala keluarga miskin dengan kejadian TB paru BTA positif.

Overlay topografi kelurahan dengan kasus TB paru BTA positif

diperoleh hasil perhitungan statistik dengan menggunakan regresi

software Geoda diperoleh coefficient -0.0401 , standard error 0.2829, t –

statistic -0.1420 dan nilai probability 0.8875, hasil menyimpulkan tidak ada

hubungan antara topografi kelurahan dengan kejadian TB paru BTA

positif. Topografi kelurahan untuk melihat pola tingkat kesulitan

masyarakat terhadap akses pelayanan kesehatan dan melihat pola

pengelompokan pemukiman.

Analisis tetangga terdekat menggunakan buffer 0 - 3 km dari UPK.

Terdapat 4 kasus dan 3 kontrol yang tidak masuk dalam buffer 3 km. Hasil

analisis pada kelopok kasus diperoleh nilai z = 1.58148 dan R = 1.8667 ,

hasil ini berarti kasus ada kecenderungan ke arah pola random,

sedangkan pada kelompok kontrol diperoleh nilai z = 2.62219 dan R =

0.208641 maka Ho ditolak ada kecenderungan ke arah pola

mengelompok. Kasus terlihat mengelompok pada buffer radius 0 – 1 km,

dari hasil perhitungan analisis tertangga terdekat diperoleh nilai z =

5.4553 dan R = 0.688864 dimana hipotesis nol ditolak yang berarti kasus

ada kecenderungan ke arah pola mengelompok pada radius 0 – 1 km dari

UPK.

Analisis buffer 0 – 200 meter dari jalan terdapat 154 kasus, pada

analisis nearest neighbour analysis dengan nilai z = 3.91845 dan nilai R =

0.834947 yang berarti ada kecenderungan ke arah pola mengelompok

pada radius 0 – 200 m dari jalan.

Analisis cluster terdapat 3 cluster TB paru BTA positif dengan

koordinat 40 00’ 47.5” LS dan 1220 33’ 33.6” BT radius 1.451,27 m,

dengan jumlah kasus sebanyak 12 penderita TB paru BTA positif,

terdapat di Kelurahan Matabubu dan Anggouya. Koordinat 30 56’ 36.3”

91

LS dan 1220 30’ 37.2” BT radius 1.076,3 m, dengan jumlah kasus

sebanyak 11 penderita TB paru BTA positif, terdapat di Kelurahan Watu –

Watu dan Tipulu. Koordinat 30 57’ 58.2” LS dan 1220 32’ 42.2” BT radius

2.021,52 m, dengan jumlah kasus sebanyak 10 penderita TB paru BTA

positif, terdapat di Kelurahan Mandonga, Alolama, dan Wawombalata.

8. Analisis difusi kejadian TB paru BTA positif.

Penularan TB terjadi melalui udara yang mengandung basil Tb

dalam percikan ludah yang dikeluarkan penerita paru atau TB laring pada

waktu mereka batuk. Penderita TB yang tidak berobat dapat menularkan

penyakit kepada sekitar 10 - 15 orang dalam jangka waktu 1 tahun

(Depkes RI 2008)c. Pajanan dalam jangka waktu lama dalam lingkungan

keluarga menyebabkan risiko terinfeksi sekitar 30% (Chin 2000). Cara

penularan dan kondisi lingkungan mempengaruhi pola difusi dari penyakit

TB.

Pada Analisis difusi terlihat kasus mengikuti pola ekspansi dimana

kasus TB paru BTA positif menjalar melalui populasi dari suatu tempat ke

tempat yang lain, dalam proses ekspansi ini TB paru BTA positif yang

menyebar tetap ada dan kadang – kadang menjadi lebih intensif di tempat

asalnya. Hal ini berarti bahwa terjadi penambahan jumlah kasus baru

pada populasi antara periode waktu dan penambahan anggota baru

tersebut mengubah pola keruangan populasi secara keseluruhan. Ini

berarti bahwa tempat asal mengalami perluasan oleh karena terdapat

anggota baru dalam populasi. (Bintarto. 1991)

Difusi ekspasi pada kasus TB paru BTA positif bila dilihat dari jenis

ekspansi mengikuti pola difusi menjalar (contagious diffusion) dimana

proses menjalarnya terjadi kontak yang langsung antar manusia atau

antar daerah

92

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan di Kota Kendari, maka dapat

disimpulkan :

1. Variabel yang berhubungan dengan kejadian tuberkulosis paru BTA

positif, yaitu variabel merokok, kepadatan hunian dan jarak ke tempat

pelayanan. Faktor dominan dalam penelitian ini adalah variabel

kepadatan hunian.

2. Tuberkulosis paru BTA positif mengelompok pada buffer 0 – 1 km dari

UPK dan 0 – 200 meter dari jalan. Pada radius 0 – 3 km dari UPK

kecenderungan ke arah pola random. Pada analisis dengan wilayah Kota

Kendari kecenderungan ke arah seragam (uniformity).

3. Terdapat tiga pengelompokan penderita TB paru dengan koordinat 40 00’

47.5” LS dan 1220 33’ 33.6” BT radius 1.451,27 m, 30 56’ 36.3” LS dan

1220 30’ 37.2” BT radius 1.076,3 m, 30 57’ 58.2” LS dan 1220 32’ 42.2” BT

radius 2.021,52 m. Radius cluster tersebut terletak di kelurahan

Matabubu, Anggouya, Watu – Watu, Tipulu, Mandonga, Alolama, dan

Wawombalata

4. Pola difusi kejadian tuberkulis paru BTA positif mengikuti pola difusi

ekspansi tipe menjalar (contagious diffusion) dimana proses menjalarnya

terjadi kontak yang langsung antar manusia atau antar daerah

5. Ada hubungan antara jumlah kepala keluarga miskin dengan kejadian TB

paru BTA positif.

93

B. Saran

1. Salah satu fokus strategi directly observed treatment, shorcourse

chemotherapy (DOTS) dalam penemuan pasien TB dilakukan dengan

promosi aktif, maka perlu dilakukan upaya promosi aktif untuk

pencegahan ditekankan pada mereka yang berisiko yaitu pada perokok,

kepadatan hunian dan jarak dari pelayanan kesehatan.

2. Hasil regresi menyimpulkan ada hubungan antara jumlah kepala keluarga

miskin dengan kejadian TB paru BTA positif maka penulis sarankan untuk

lebih mencermati daerah dengan jumlah penduduk miskin tinggi dengan

melakukan promosi aktif tentang pencegahan dan pemberantasan TB.

3. Dinas Kesehatan Kota Kendari perlu lebih memaksimalkan upaya

penemuan kasus TB paru dengan promosi aktif di luar radius 0 – 1 km

dari UPK dan 0 – 200 meter dari jalan.

4. Dinas Kesehatan Kota Kendari dalam meningkatkan capaian CDR

sebagai salah satu fokus strategi DOTS perlu memperhatikan pola

sebaran kasus yang mengelompok pada koordinat 40 00’ 47.5” LS dan

1220 33’ 33.6” BT radius 1.451,27 m, 30 56’ 36.3” LS dan 1220 30’ 37.2”

BT radius 1.076,3 m, 30 57’ 58.2” LS dan 1220 32’ 42.2” BT radius

2.021,52 m di kelurahan Matabubu, Anggouya, Watu – Watu, Tipulu,

Mandonga, Alolama, dan Wawombalata dan pola difusi serta melihat

kluster penderita TB.

5. Untuk lebih memperbaiki pola difusi dan pengelompokan TB paru BTA

positif, bagi peneliti lain untuk melakukan penelitian yang bersifat kohort,

serta melihat faktor resiko yang lain.

94

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 CDR, angka kesembuhan dan angka konversi BTA+ di Sulawesi Tenggara tahun 2005 s/d 2008

2

Gambar 2 CDR, Kota Kendari dan Propinsi Sulawesi Tenggara angka tahun 2004 s/d 2008

5

Gambar 3 Query spasial dengan mencari daerah yang luasnya kurang dari 400000 m2

29

Gambar 4 Klasifikasi pendapatan rumah tangga suatu daerah dari (kiri) 7 kelas klasifikasi menjadi (kanan) 5 kelas klasifikasi

29

Gambar 5 Prinsip dasar overlay untuk poligon

30

Gambar 6 Contoh (a) urutan rute yang direncanakan (b) rute optimal

31

Gambar 7 Contoh penggunaan fungsi 3D analsyt untuk aplikasi pertambangan

32

Gambar 8 Kerangka teori penelitian

33

Gambar 9 Kerangka konsep penelitian analisis individual

33

Gambar 10 Kerangka konsep penelitian analisis spasial

34

Gambar 11 Rancangan penelitian case control

36

Gambar 12 Peta Kota Kendari

46

Gambar 13 Trend perkembangan jumlah penduduk Kota Kendari tahun 2003 s/d 2008

48

Gambar 14 Peta distribusi keluarga miskin menurut kelurahan di Kota Kendari tahun 2008

50

Gambar 15 Peta unit pelaksana kesehatan TB paru di Kota 51

95

Kendari tahun 2009

Gambar 16 Overlay kepadatan peduduk kecamatan dengan distribusi kasus Kota Kendari

60

Gambar 17 Distribusi kasus pada wilayah puskesmas Kota Kendari

61

Gambar 18 Overlay kepadatan penduduk menurut kelurahan dengan distribusi kasus.

63

Gambar 19 Overlay prosentase keluarga miskin menurut kelurahan dengan distribusi kasus.

63

Gambar 20 Overlay topografi menurut kelurahan dengan distribusi

kasus.

64

Gambar 21 Sebaran kasus dan kontrol pada buffer 3 km dari UPK

64

Gambar 22 Cluster TB paru BTA positif

66

Gambar 23 Most likely cluster pada citra google earth

67

Gambar 24 Secondary cluster 1 pada citra google earth

68

Gambar 25 Secondary cluster 1 pada citra google earth

68

Gambar 26 Distribusi kasus dan kontrol menurut buffer dari UPK di Kota Kendari

69

Gambar 27 Distribusi kasus menurut buffer dari jalan di Kota Kendari

70

Gambar 28 Pola difusi kasus TB paru BTA positif per bulan

71

Gambar 29 Pola difusi kasus TB paru BTA positif dari bulan Desember 2008 ke bulan Desember 2009

72,73, 74

96

DAFTAR PUSTAKA

Aris M (2000), Faktor – faktor yang mempengaruhi penularan tuberkulosis

paru di Kabupaten Tabalong Propinsi Kalimantan Selantan, thesis, Universitas Gajah Mada

Azwar, Azrul (1999), Pengantar Administrasi Kesehatan, Binarupa Aksara, Jakarta.

Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes RI , WHO (2005) Laporan

akhir analisa lanjut survei prevalensi tuberkulosis 2004 investigasi faktor lingkungan dan faktor resiko tuberkulosis Indonesia. Badan Pengembangan dan Penelitian Departemen Kesehatan , WHO

Bintarto, R dan Hadisumarno S., (1987). Metode Analisa Geografi. Edisi

ketiga. Penerbit LP3ES, Jakarta.

Boulos, M.N.K. (2000) Health Geomatics. MIM Centre, School of Informatics,

City University. London. BPS Propinsi Sulawesi Tenggara (2008), Sulawesi Tenggara Dalam Angka

Tahun 2008, Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Tenggara, www.bps.sultra.go.id, diakses 7 Desember 2009

BPS Kota Kendari (2008), Kota Kendari Dalam Angka Tahun 2008, Badan

Pusat Statistik Kota Kendari, www.bps.kotakendari.go.id, diakses 7 Desember 2009

Chin, James (2000), Control of communicable Diseases Manual, American

Public Health Association, 800 I Street, NW, Washington, DC 20001-3710

Danoedoro, P. 2003. Fenomena Keruangan Penyakit Menular: Suatu

Perspektif Geoinformasi. Kompas Online, 7 Juni 2003. Jakarta. Depkes RI (2008)a, Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) Propinsi

Sulawesi Tenggara 2007, Badan penelitian dan pengembangan kesehatan, Depkes RI, Jakarta

97

Depkes RI (2008)b, Riset kesehatan dasar (Riskesdas) 2007 Laporan Nasional, Badan penelitian dan pengembangan kesehatan, Depkes RI, Jakarta

Depkes RI (2008)c, Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Depkes RI, Jakarta

Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tenggara (2006), Profil Kesehatan

Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2005. Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tenggara, Kendari

Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tenggara (2006), Laporan Pelaksanaan

Pembangunan Kesehatan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2005. Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tenggara, Kendari

Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tenggara (2007), Profil Kesehatan

Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2006. Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tenggara, Kendari

Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tenggara (2007), Laporan Pelaksanaan

Pembangunan Kesehatan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2006. Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tenggara, Kendari

Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tenggara (2008), Profil Kesehatan

Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2007. Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tenggara, Kendari

Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tenggara (2008), Laporan Pelaksanaan

Pembangunan Kesehatan Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2007. Dinas Kesehatan Propinsi Sulawesi Tenggara, Kendari

Hastono, S P. (2007) Analisis data kesehatan, Fakultas Kesehatan

Masyarakat, Universitas Indonesia, Jakarta. Hutahuruk, Lenny Susie Oktriana (2008), Analisis Spasial dan Faktor Risiko

TB Paru dengan BTA (+) di Kabupaten Bantul tahun 2008, UGM, Yogyakarta.

Kristina, N. N. , Kusnanto, H., Fuad A., (2007) ; Aplikasi Sistem Informasi

Geografis Untuk Pemodelan Spasial Kejadian Tuberkulosis (TB) Di Kota Denpasar Tahun 2007, 9 Juli 2009.

98

Lienhardt, C. , Fielding, K., Sillah, J.S. ,Bah,P., Gustafson, P., Warndorff, D.,

Palayew,M., Lisse, I., Donkor, S., Diallo, S., Manneh, K ., Adegbola, R ., Aaby, P., Bah-Sow, O., Bennett, S., McAdam, K.,(2005) Investigation of the risk factors for tuberculosis: a case–control study in three countries in West Africa : International Journal of Epidemiology , Oxford University Press, 24 May 2005, pp 914 -923.

Lin, H.H., Ezzati, M., Chang, H., Murray, M., (2009) Association Between Tobacco Smoking and Active Tuberculosis in Taiwan: Prospective Cohort Study , Volume 180, Number 5, September 2009, 475-480

Nuarsa, I Wayan, (2005) Menganalisis Data Spasial untuk pemula, PT Alex Media Komputindo, Kelompok Grammedia, Jakarta.

Nunes, Carla (2007), Tuberculosis incidence in Portugal: spatiotemporal clustering ,11 Juli 2007 International Journal of Health Geographics 2007, This article is available from: http://www.ij-healthgeographics.com/content/6/1/30.

Margono, Benyamin (2007), Merokok dan tuberkulosis paru, Simposium

Nasional TB Update IV – 2007, Fighting Tb : Protect the vulnerable population from TB, TB/HIV and MDR-TB March, 3 – 4, 2007, Surabaya, pp 158 – 168.

Oxford University (2000), Principles and Practice of Public Health

Surveilance, Oxford University, New York Pacion, Michael (ed). 1986. Medical Geography: Progress and Prospect.

Croom Helm, London UK dan Sidney Australia Patel S., Parsyan A.E., Gunn J., Barry M.A., Reed C., Sharnprapa S.

Horsburgh C. R. (2007), Risk of progression to active tuberculosis among foreign born person with latent tuberculosis. Chest Journal , 5 April 2007, pp 1811 – 1816.

Rab. (1996), Ilmu penyakit paru, Hypokrates , Jakarta

Randremanana ( 2009 ), Spatial clustering of pulmonary tuberculosis and

impact of the care factors in Antananarivo City

99

Souza, W.V.,Ximenes, R.,. Albuquerque, M. F. M , Lapa, T. M, Portugal, J. L. , Lima, M. L. C., Martelli, C. M. T. (2000); The use of socioeconomic factors in mapping tuberculosis risk areas in a city of northeastern Brazil, Journal Public Health, 8 Juni 2000, pp 403 - 411

Sumodiningrat, Gunawan. 1999. JPS dan Pemberdayaan. Gramedia. Jakarta Suparlan, Parsudi. 2000. Kemiskinan Perkotaan dan Alternatif

penanganannya. Ditujukkan dalam Seminar Forum Perkotaan. Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah. Jakarta

WHO, 2008. Global tuberculosis control - Surveillance, planning, financing.

World Health Organization. http://www.who.int/tb/publications/global_report/2008/summary/en/index.html, diakses 7 Desember 2009

Widoyo. A., (2001). Epistemologi Geografi. Gadjah Mada University Press,

Yogyakarta William G. (2001) TB Guidelines for for Nurses in the Care and Control of

tuberculosis and Multi-drug Resistant Tuberculosis, International Council of Nurses, Geneva, Switzerland.

100

INFORMED CONSENT (SURAT PERNYATAAN)

Sehubungan dengan adanya kegiatan penelitian tentang faktor resiko dan sebaran tuberkulosis BTA positif di Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009 : gambaran epidemiologi spasial : Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : ................................................... Umur : ......... Thn L / P Pekerjaan : ................................................... Bersedia ikut dalam penelitian ini, apabila dikemudian hari terdapat kekeliruan dalam hasil penelitian ini saya berhak membatalkan surat persetujuan ini. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya, tanpa ada unsur paksaan. Kendari,

Yang membuat pernyataan, ...........................................

Terimakasih kami ucapkan, anda telah bersedia menjadi responden mengenai kegiatan penelitian tentang faktor resiko dan sebaran tuberkulosis BTA positif di Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara tahun 2009 : gambaran epidemiologi spasial, hasil data tersebut/isi dari wawancara ini kami jamin kerahasiaannya dan hanya untuk penelitian semata .

101

KUESIONER Faktor Risiko dan Sebaran Tuberkulosis BTA Positif

di Kota Kendari Propinsi Sulawesi Tenggara Tahun 2009 : Gambaran Epidemiologi Spasial

I. Pengenalan Tempat

1 Kota Kendari

2 Kecamatan .......................................

3 Kelurahan .......................................

4 Nomor kode sampel

5 Jenis sampel 1. kasus 2. kontrol

6 Alamat lengkap (nama jalan/lorong,RT/RW,No Rumah) ....................................... ....................................... ....................................... .......................................

7 Titik koordinat a. Latitute (lintang) b. Longitute (bujur)

-

8 Ketinggian dari permukaan laut (elevation) ........................ meter

9

Cuaca saat penitikan koordinat 1. Mendung. 2. Cerah 3. Hujan

II. Keterangan Rumah Tangga

1 Nama kepala rumah tangga ....................................

2 Banyaknya anggota rumah tangga .................... orang

III. Keterangan Wawancara

1 Tanggal wawancara ( tgl/bl ) Tgl .... Bln ......

2 Kunjungan a. Pertama ( tgl/bl ) b. Kedua ( tgl/bl ) c. Ketiga ( tgl/bl )

Tgl .... Bln ......

Tgl .... Bln ......

Tgl .... Bln ......

3 Nama pewawancara ....................................

4 Tanda tangan ..............................................

IV. Identitas Responden

1 Nama : . .............................................

2 Jenis Kelamin : 1. Laki – laki 2. Perempuan

3 Umur ....................... tahun

102

4 Pekerjaan 1. PNS 2. Swasta 3. Petani 4. Nelayan

5. Buruh 6. TNI 7. Polri 8. BUMN 9. Lainnya

.................................

5 Pendidikan tertinggi yang ditamatkan responden ? 1. Tidak / belum tamat SD 2. Tamat SD 3. Tamat SLTP 4. Tamat SLTA umum / kejuruan 5. Tamat perguruan tinggi

6 Nomor register TB Kota Kendari ( untuk responden kasus )

........................................

V. Status Sosial Ekonomi

1 Pendapatan per bulan kepala rumah tangga ? 1. < Rp. 200.000 per bulan 2. Rp. 200.000,- – Rp. 600.000,- 3. Rp. 600.000,- – Rp. 1.000.000,- 4. Rp. 1.000.000,- – Rp. 2.000.000,- 5. Rp. > 2.000.000,-

2 Apakah keluarga saudara termasuk dalam daftar keluarga miskin ? 1. Ya dengan kartu Gakin atau yang sejenis 2. Ya dengan surat keterangan miskin dari Kelurahan 3. Ya menurut pengakuan responden 4. Tidak

VI. Riwayat Sakit

1 Apakah saudara didiagnosis menderita TB oleh petugas kesehatan ? 1. Ya 2. Tidak (jika jawaban „tidak“ ke VI no. 10)

2 Bila ya, kapan saudara mengalami gejala batuk 2 – 3 minggu (gejala TB) ? tgl......... bln.............. th....................

....., ........., ...........

3 Tanggal mulai berobat ? tgl......... bln.............. th....................

....., ........., ...........

4 Apakah saudara masih dalam pengobatan TB ? 1. Ya 2. Tidak (jika jawaban „tidak“ ke VI no 6)

5 Bila ya, menurut petugas kesehatan kapan saudara terakhir minum obat ? tgl......... bln.............. th....................

....., ........., ...........

6 Bila tidak, kapan saudara dinyatakan sembuh? tgl......... bln........ th..........

....., ........., ...........

103

7. Apakah saudara mengindap penyakit lain, selain TB paru ? 1. Ya (sebutkan : ..........................................) 2. Tidak

8 Kapan terakhir kali saudara berkunjung ke Puskesmas / Rumah sakit ? tgl......... bln.............. th....................

....., ........., ...........

9 Dimana saudara pertama kali berobat waktu mengalami gejala TB ( batuk berdahak lebih dari 2 – 3 minggu ) ? (ke pertanyaan VII. No 1)

1. Rumah sakit pemerintah

2. Rumah sakit swasta 3. Praktek dokter 4. Puskesmas 5. Puskesmas pembantu

6. Poliklinik 7. Praktek petugas kesehatan 8. Praktek pengobatan tradisional 9. Polindes 10. Posyandu 11. Lainnya : ............................

10 Bila tidak, diagnosis penyakit waktu saudara berkunjung ke puskesmas ? ..................................

VII. Riwayat Kontak dengan Penderita TB Paru

1 Apakah sebelum sakit saudara pernah kontak dengan penderita TB ? 1. Ya 2. Tidak (jika jawaban „tidak“ ke VII no 7)

2 Bila ya, berapa lama berhubungan/kontak dengan penderita ? ..........minggu

3 Kapan saudara berhubungan/kontak terakhir dengan penderita TB ? tgl......... bln.............. th....................

....., ........., ...........

4 Apakah saudara tinggal serumah dengan pend. TB paru ? 1. Ya 2. Tidak (jika jawaban „tidak“ ke VII no 6)

5 Bila ya, apa hubungan dengan saudara dengan penderita TB paru ?

1. Kepala rumah tangga 2. Isteri/Suami 3. Anak 4. Menantu 5. Cucu

6. Orang tua / mertua 7. Famili lain 8. Pembantu rumah tangga 9. Lainnya ..........................

6. Bila tidak, dimana saudara pernah kontak penderita TB paru ? 1. Tetangga 2. Teman satu tempat kerja 3. Saudara termasuk di jawaban no 5 tinggal tidak serumah 4. Lainnya ...............

7 Berapa biaya perjalanan dari rumah saudara ke fasilitas pengobatan TB paru? Rp. ....................................

Rp. .............

8 Berapa jarak rumah saudara ke fasilitas pengobatan TB paru ? ........ km

9 Apakah saudara merokok ? 1. Ya 2. Tidak (jika jawaban „tidak“ ke VII no. 11)

104

10 Bila ya, sejak usia berapa saudara merokok ? ........... tahun

................. tahun

11 Apakah ada anggota rumah tangga yang merokok ? 1. Ya 2. Tidak

VIII. Observasi kondisi rumah

1 Jarak dengan tetangga ......... m

2 Luas ventilasi (m2) .......... m x .........m

3 Luas lantai (m2) .......... m x .........m

4 Sumber air bersih 1. PDAM 2. Sumur 3. Lainnya ............................

Terima kasih atas parpisipasi saudara, semoga menjadi amal yang baik

untuk membantu mencegah dan memberantas penyakit TB di Kota Kendari.