terorisme atas nama agama: akar masalah dan solusi
DESCRIPTION
Essay Mata Kuliah Pendidikan Kewarganegaraan (MKDU4111) mengenai akar masalah dan solusi untuk mengatasi gerakan terorisme yang mengatasnamakan agama di Indonesia.TRANSCRIPT
TERORISME ATAS NAMA AGAMA: AKAR MASALAH DAN SOLUSI
Oleh: Shofyan Khasani
NIM: 017098902
Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Sastra Inggris Penerjemahan
Universitas Terbuka UPBJJ – Jakarta
email: [email protected]
Menjelang awal abad ke-21, terorisme mulai memunculkan eksistensinya dan menjadi
ancama serta musuh bersama semua negara di dunia. Apalagi setelah runtuhnya komunisme di
Eropa Timur [4]. Terlebih lagi setelah pemboman gedung Word Trade Center (WTC) pada tanggal 9
November 2001 di Amerika muncul permasalahan terorisme yang mengatasnamakan kepentingan
suatu kelompok agama tertentu di seluruh dunia. Dan di Indonesia, sejumlah peristiwa pemboman
terjadi yang para pelakunya mengatasnamkan tinddakan mereka itu sebagai suatu perjuangan ats
nama agama. Dan memang, di Indonesia terorisme sendiri distigmakan dengan terorisme yang
dilakukan oleh suatu agama tertentu, meskipun tindakan kekerasan/ terorisme yang
mengatasnamakan agama hampir terjadi di seluruh negara.
Pengertian Terorisme
Sampai saat ini belum ada keseragaman mengenai definisi dari apa yang disebut sebagai
Tindak Pidana Terorisme ini. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional,
bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara
universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut [1]. Terorisme
adalah kegiatan yang melibatkan unsur kekerasan atau yang menimbulkan efek bahaya bagi
kehidupan manusia yang melanggar hukum pidana, yang jelas dimaksudkan untuk: a. mengintimidasi
penduduk sipil. b. memengaruhi kebijakan pemerintah. c. memengaruhi penyelenggaraan negara
dengan cara penculikan atau pembunuhan [2]. Muladi memberi catatan atas definisi ini, bahwa
hakekat perbuatan Terorisme mengandung perbuatan kekerasan atau ancaman kekerasan yang
berkarakter politik. Bentuk perbuatan bisa berupa perompakan, pembajakan maupun penyanderaan.
Pelaku dapat merupakan individu, kelompok, atau negara. Sedangkan hasil yang diharapkan adalah
munculnya rasa takut, pemerasan, perubahan radikal politik, tuntutan Hak Asasi Manusia, dan
kebebasan dasar untuk pihak yang tidak bersalah serta kepuasan tuntutan politik lain [3].
Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi
Beberapa tokoh nasional berpendapat bahwa faktor kemiskinan berkaitan erat sebagai faktor
penyebab terorisme dan konflik antar agama. Mahfud Sidiq, Ketua Komisi I DPR mengatakan bahwa
kemiskinan masyarakat Ambon menjadi faktor utama konflik di Ambon [5]. Jenderal Timur Pradopo,
Kapolri, mengatakan bahwa akar permasalahan radikalisme, kekerasan dan terorisme adalah masih
adanya kemiskinan yag masih melanda umat [6]. Langsung atau tidak langsung, faktor kemiskinan
dan ketidakadilan yang dialami oleh suatu kelompok tertentu memang berpeluang melahirkan suatu
tindakan yang mengarah kepada kekerasan, radikalisme, dan bahkan terorisme.
Pemahaman ajaran agama, dalam hal ini agama islam, yang sempit menjadi salah satu faktor
yang ikut mewabahnya faham radikalisme yang melahirkan para pelaku teror yang kebanyakan
adalah generasi muda. Mengapa mereka dengan begitu mudah menerima faham – faham yang
sesungguhnya bertentangan dengan ajaran Islam, merekalan diri menjadi martir bom bunuh
diri,membuat kerusakan dan kekacauan, memerangi aparat keamanan yang sesungguhnya adalah
saudara seagama dan seiman mereka sendiri? Penulis berpendapat bahwa fondasi mereka tentang
pemahaman Islam yang merupakan agama yang penuh dengan kedamaian sangat dangkal,
sehingga dengan begitu mudahnya faham radikalisme itu masuk dan benar – benar menjadi nilai –
nilai yang diyakini kebenarannya.
Runtuhnya kekuasan Orde Baru yang berimplikasi pada munculnya era baru bangsa
Indonesia, Era Reformasi, membawa perubahan besar dalam kehidupan masyarakat. Dari sisi
Keamanan dan Ketertiban Masyarakat, pertahanan terdepan masyarakat dalam menegakkan
Kamtibmas di lingkungannya masing – masing juga sudah tidak seketat di Era sebelumnya.
Siskamling hanya menjadi tulisan yang dipajang di gardu ronda di sudut – sudut kampung, tetapi
implementasinya menjadi minimal bahkan terasa longgar dan lemah, sehingga begitu banyak para
pelaku teror yang bersembunyi di tengah – tengah pemukiman tanpa tercium keberadaannya dan
baru kemudian rebut di belakang hari tentang digerebeknya suatu rumah karena menjadi tempat
untuk merakit bom.
Faktor lain yang menjadi akar utama terorisme adalah kebebasan pers. Faktor yang sangat
signifikan dan memberi efek yang luar biasa bagi penyebaran faham terorisme atas dasar apapun,
termasuk agama. Pemberitaan yang luar biasa bebasnya mengenai sepak terjang Osama Bin Laden
dengan Al Qaedanya, Noordin M Top dengan Jamaah Islamiyah menjadi pemeritaan yang hangat
setiap kali terjadi peristiwa pemboman di Indonesia, serta pemberitaan mengenai sepak terjang
kelompok Abu Sayyaf dan pejuang Moro menjadi sasaran pemberitaan terkait dengan kegiatan
terorisme [7]. Pesatnya arus informasi yang memberitakan tokoh-tokoh yang dalam tanda petik terkait
dengan terorisme justru melahirkan adanya simpati bagi kelompok tertentu yang bukan tidak mungkin
akan memberikan semangat baru bagi mereka untuk menumbuhkembangkan radikalisme yang
mengatasnamakan agama.
Tentu kita tidak lupa peristiwa yang dikenal dengan Mumbay Attact di hotel Taj Mahal di
pusat bisnis Mumbay, India. Dimana sekelompok pemuda militan (teroris) dengan begitu sukses
menguasi hotel mewah itu dan mampu memperdaya aparat keamanan India. Tayangan life hasil dari
liputan wartawan di tempat kejadian justru dimanfaatkan oleh para teroris untuk memonitor gerakan
pasukan anti-teror India sehingga belasan aparan keamanan pun tewas. Peristiwa itu hanya satu
contoh kecil dari betapa kebebasan untuk menyampaikan informasi di ruang publik oleh kalangan
jurnalis yang telah melanggar kepentingan dan keselamatan umum. Buntut dari dari kejadian itu
adalah Dewan Pers India menentukan suatu kode etik bagi media, khususnya televise dalam
melakukan peliputan kasus terorisme [8].
Terlepas dari betapa pentingnya stabilitas publik terutama bagaimana opini publik
menganggapi pemberitaan media yang luar biasa terhadap kasus terorisme, maka sepertinya seluruh
pemangku kepentingan sudah saatnya untuk menengok kembali sistem pertahanan dan keamana
kita yang kita kenal sebagai Sistem Pertahanan dan Keamanan Rakyat Semesta (Sishankamrata).
Dan sebagai warga negara apapun posisi dan kedudukan kita di masyarakat, kita harus menyadari
bahwa tanggung jawab untuk mempertahankan stabilitas bangsa dan negara serta memelihara
ketertiban masyarakat bukanlah merupakan tugas dari aparat TNI dan Polri saja. Sebagaimana
prinsip yang kita kenal sebagai Pertahanan Rakyat Semesta harus benar – benar difungsikan, dan
bukan menjadi sekedar bahan diskusi semata.
Menengok skema Komponen Kekuatan Pertahanan Keamanan berdasarkan UU RI No.20
Tahun 1982 yang diintegrasikan ke dalam UU No.3 Tahun 2000 Tentang Pertahanan Negara, kita
melihat betapa sempurnanya sistem pertahanan dan keamanan kita itu [9]. Secara teoritis, negara
kita sudah mempunyai landasan dan fondasi yang kuat dalam kontek Pertahanan dan Keamanan
Negara. Sebab ancaman terbesar bangsa dan negara ini bukan lagi perang konvensional dengan
negara tetangga, tetapi ancaman terbesar negara ini ke depan adalah perang melawan terorisme
atas paham apapun serta desintegrasi bangsa.
Kesimpulan
Bagai satu tubuh manusia yang rentan atas penyakit dan bahaya, manusia dikaruniai panca
indra untuk dapat menjadi rambu – rambu saat elemen yang satu tidak dapat mengetahui
rangsangan yang lain; misalnya, saat mata tidak dapat melihat, telinga masih bisa mendengar, saat
telinga tidak dapat mendengar, maka penciuman dapat merasakan, dan begitu seterusnya. Begitu
pula kemampuan kita sebagai suatu bangsa, indra (perasa) bangsa ini adalah setiap warga negara
yang setia kepadanya. Apabila setiap warga negara Indonesia menerapkan kewaspadaan,
memberlakukan upaya Kamtibmas secara optimal, mempelajari ilmu agama dengan
mengesampingkan fanatisme faham dan aliran yang berlebihan, serta negara dapat memberikan
keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, maka penulis yakin bahwa terorisme
sudah tercabut hingga ke akar – akarnya. Karena sesungguhnya operasi terorisme hanya bisa
sukses pada suatu wilayah yang lengah, sehingga apabila kewaspadaan sudah menjadi standar
dalam Kamtibmas, maka tidak aka nada ruang lagi bagi terorisme atas dasar apapun di negeri ini.
Referensi:
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Definisi_terorisme (p.1)
[2] http://thelawdictionary.org/search2/?cx=partner-pub-
4620319056007131:7293005414&cof=FORID:11&ie=UTF-8&q=terrorism&x=13&y=15
[3] Muladi, Hakekat Terorisme dan Beberapa Prinsip Pengaturan dalam Kriminalisasi, Jurnal
Kriminologi Indonesia FISIP UI, vol 2 no III (Desember 2002): 1.
[4] http://www.mahfudz-tejani.com/2012/04/analisis-tentang-terorisme-agama-di.html
[5] Kompas, 14/09/2011
[6] Lampung Pos, 21/03/2012
[7] http://cyber.unissula.ac.id/journal/dosen/publikasi/211108002/5885Mubarok.Unissula.2012.pd
f
[8] http://nasional.kompas.com/read/2011/06/04/16083123/Media.Dilematis.Beritakan.Terorisme
[9] Ittihad Amin, Zaenal, Pendidikan Kewarganegaraan (MKDU4111), Penerbit Universitas
Terbuka, 2011