terapi oksigen pada anestesi bahan

51
REFERAT TERAPI OKSIGEN Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Anestesiologi RSUD DR. Adhyatma, MPH Tugurejo Semarang Disusun oleh: Dirgantara Aliif Utama (012106131) Hesti Kartikasari (012095923) KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA SEMARANG

Upload: anggamadesanthika

Post on 21-Feb-2016

31 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

anes

TRANSCRIPT

Page 1: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

REFERAT

TERAPI OKSIGEN

Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Bagian Anestesiologi

RSUD DR. Adhyatma, MPH Tugurejo Semarang

Disusun oleh:

Dirgantara Aliif Utama (012106131)

Hesti Kartikasari (012095923)

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ANESTESIOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNISSULA SEMARANG

RSUD DR. ADHYATMA, MPH TUGUREJO

SEMARANG

2014

Page 2: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seseorang tidak dapat hidup tanpa menghirup oksigen. Begitu

esensialnya unsur ini bagi kehidupan sehingga apabila 10 detik saja otak

manusia tidak mendapatkan oksigen, maka yang akan terjadi kemudian

adalah penurunan kesadaran dan apabila terus berlanjut, otak akan mengalami

kerusakan yang lebih berat dan irreversible. Tak hanya untuk bernafas dan

memepertahankan kehidupan, oksigen juga sangat dibutuhkan untuk

metaboloisme tubuh (admin, 2014).

Dengan penemuan yang sangat penting mengenai molekul oksigen oleh

Joseph Priestley pada tahun 1775 dan bukti adanya pertukaran gas pada

proses pernafasan oleh Lavoisier, oksigen menjadi suatu cara pengobatan

dalam perawatan pasien. Sebelum tahun 1920 suplementasi oksigen

dievaluasi oleh Baruch dkk dan akhirnya pada tahun 1920 ditetapkan suatu

konsep bahwa oksigen dapat dipergunakan sebagai terapi. Sejak itu efek

hipoksia lebih dimengerti dan pemberian oksigen pada pasien penyakit paru

membawa dampak meningkatnya jumlah perawatan pasien (Pujdo, 2005).

Dua penelitian dasar di awal 1960an memperlihatkan adanya bukti

membaiknya kualitas hidup pada pasien penyakit paru obstruktif kronik

(PPOK) yang mendapat suplemen oksigen. Pada studi The Nocturnal Oxygen

Therapy Trial (NOTT), pemberian oksigen 12 jam atau 24 jam sehari selama

6 bulan dapat memperbaiki keadaan umum, kecepatan motorik, dan kekuatan

genggaman, namun tidak memperbaiki emosional mereka atau kualitas hidup

mereka. Namun penelitian lain memperlihatkan bahwa pemberian oksigen

Page 3: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

pada pasien-pasien hipoksemia, dapat memperbaiki harapan hidup,

hemodinamik paru, dan kapasitas latihan. Keuntungan lain pemberian

oksigen pada beberapa penelitian diantaranya dapat memperbaiki kor

pulmonal, meningkatkan fungsi jantung, memperbaiki fungsi neuropsikiatrik

dan pencapaian latihan, mengurangi hipertensi pulmonal, dan memperbaiki

metabolisme otot (Sudoyo, Aru, dkk, 2006).

Komposisi udara kering ialah 20,98% O2, 0,04% CO2, 78,6% N2 dan

0,92% unsur inert lainnya, seperti argon dan helium. Tekanan barometer (PB)

di permukaan laut ialah 760 mmHg (satu atmosfer). Dengan demikian,

tekanan parsial (dinyatakan dengan lambang P). O2 udara kering di

permukaan laut adalah 0,21 x 760, atau 160 mmHg. Tekanan parsial N2 dan

gas inert lainnya 0,79 x 760, atau 600 mmHg; dan PCO2 ialah 0,0004 x 760

atau 0,3 mmHg. Terdapatnya uap air dalam udara pada berbagai iklim

umumnya akan menurunkan persen volume masing masing gas, sehingga

juga sedikit mengurangi tekanan parsial gas gas-tersebut. Udara yang

seimbang dengan air jenuh dengan uap air, dan udara inspirasi akan jenuh

dengan uap air saat udara tersebut sangat dibutuhkan agar oksigen dapat

mencapai paru-paru (Ganong, 2003).

Page 4: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Rongga Toraks

Paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan terletak

dalam rongga dada atau toraks. Mediastinum sentral yang berisi jantung dan

beberapa pembuluh darah besar memisahkan paru tersebut. Setiap paru

mempunyai apeks (bagian atas paru) dan dasar. Pembuluh darah paru dan

bronchial, bronkus, saraf dan pembuluh limfe memasuki tiap paru pada

bagian hilus dan membentuk akar paru. Paru kanan lebih besar dari paru kiri

dan dibagi menjadi tiga lobus oleh fisura interlobaris. Paru kiri dibagi

menjadi dua lobus.

Anatomi Paru - Paru Normal

Lobus-lobus tersebut dibagi lagi menjadi 10 segmen sedangkan paru

kiri dibagi menjadi 9. Proses patologis seperti atelektasis dan pneumonia

seringkali hanya terbatas pada satu lobus dan segmen saja. Suatu lapisan tipis

kontinu dan jaringan elastis, dikenal sebagai pleura, melapisi rongga dada

Page 5: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

(pleura parietalis) dan menyelubungi setiap paru (pleura viseralis). Di antara

pleura parietalis dan pleura viseralis terdapat suatu lapisan tipis cairan pleura

yang berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan itu bergerak selama

pernafasan dan untuk mencegah pemisahan toraks dan paru. Tidak ada

ruangan yang sesungguhnya memisahkan kedua pleura tersebut sehingga apa

yang disebut dengan rongga pleura atau kavitas pleura hanyalah suatu

ruangan potensial. Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan

atmosfer, sehingga mencegah kolaps paru. Bila terserang penyakit, pleura

mungkin mengalami peradangan, atau udara ataupun cairan dapat masuk ke

dalam rongga pleura, menyebabkan paru tertekan atau kolaps.

Ada tiga faktor yang mempertahankan tekanan negatif yang normal

ini. Pertama, jaringan elastic paru memberikan kekuatan kontinu yang

cenderung menarik paru jauh dari rangka toraks. Setelah lahir, paru

cenderung mengerut ke ukuran aslinya yang lebih kecil daripada bentuknya

sebelum mengembang. Tetapi, permukaan pleura viseralis dan pleura

parietalis yang saling menempel itu tidak dapat dipisahkan, sehingga tetap

ada kekuatan kontinu yang cenderung memisahkannya. Kekuatan ini dikenal

sebagai tekanan negatif dari ruang pleura. Tekanan intrapleura secara terus-

menerus bervariasi sepanjang siklus pernafasan, tetapi selalu negatif.

Faktor utama kedua dalam mempertahankan tekanan negatif

intrapleura adalah kekuatan osmotik yang terdapat di seluruh membrane

pleura. Cairan dalam keadaan normal akan bergerak dari kapiler di dalam

pleura parietalis ke ruang pleura dan kemudian diserap kembali melalui

pleura viseralis. Pergerakan cairan pleura dianggap mengikuti hukum Starling

tentang pertukaran transkapiler; yaitu, pergerakan cairan bergantung pada

selisih perbedaan antara tekanan hidrostatik darah yang cenderung

mendorong cairan keluar dan tekanan onkotik dari protein plasma yang

Page 6: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

cenderung menahan cairan agar tetap di dalam. Selisih perbedaan absorbsi

cairan pleura melalui pleura viseralis lebih besar daripada selisih perbedaan

pembentukan cairan oleh pleura parietalis sehingga pada ruang pleura dalam

keadaan normal hanya terdapat beberapa milliliter cairan.

Faktor ketiga yang mendukung tekanan negatif intrapleura adalah

kekuatan pompa limfatik. Sejumlah kecil protein secara normal memasuki

ruang pleura tapi akan dikeluarkan oleh sistem limfatik dalam pleura

parietalis; terkumpulnya protein di dalam ruang intrapleura akan

mengacaukan keseimbangan osmotik normal tanpa pengeluaran limfatik.

Ketiga faktor ini kemudian, mengatur dan mempertahankan tekanan negatif

intrapleura normal.

B. Kontrol Pernafasan

Terdapat beberapa mekanisme yang berperan membawa udara ke

dalam paru sehingga pertukaran gas dapat berlangsung. Fungsi mekanis

pergerakan udara masuk dan keluar dari paru disebut ventilasi dan

mekanisme ini dilaksanakan oleh sejumlah komponen yang saling

berinteraksi. Komponen yang berperan penting adalah pompa yang bergerak

maju mundur, disebut pompa pernafasan. Pompa ini mempunyai dua

komponen volume-elastis: paru itu sendiri dan dinding yang mengelilingi

paru. Dinding terdiri dari rangka dan dan jaringan rangka toraks, serta

diafragma, isi abdomen dan dinding abdomen. Otot-otot pernafasan yang

merupakan bagian dinding toraks merupakan sumber kekuatan untuk

menghembus pompa. Diafragma (dibantu oleh otot-otot yang dapat

mengangkat tulang iga dan sternum) merupakan otot utama yang ikut

berperan dalam peningkatan volume paru dan rangka toraks selama inspirasi;

ekspirasi merupakan suatu proses pasif pada pernafasan tenang.

Page 7: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

Otot-otot pernafasan diatur oleh pusat pernafasan yang terdiri dari

neuron dan reseptor pada pons dan medulla oblongata. Pusat pernafasan

merupakan bagian sistem saraf yang mengatur semua aspek pernafasan.

Faktor utama pada pengaturan pernafasan adalah respon dari pusat

kemoreseptor dalam pusat pernafasan terhadap tekanan parsial (tegangan)

karbon diokasida (PaCO2) dan pH darah arteri. Peningkatan PaCO2 atau

penururnan pH merangsang pernafasan.

Penurunan tekanan parsial O2 dalam darah arteri PaO2 dapat juga

merangsang ventilasi. Kemoreseptor perifer yang terdapat dalam badan

karotis pada bifurkasio arteria komunis dan dalam badan aorta pada arkus

aorta, peka terhadap penurunan PaO2 dan pH, dan peningkatan PaCO2. Akan

tetapi PaO2 harus turun dari nilai normal kira-kira sebesar 90-100 mmHg

hingga mencapai sekitar 60 mmHg sebelum ventilasi mendapat rangsangan

yang cukup berarti.

Mekanisme lain mengontrol jumlah udara yang masuk ke dalam paru.

Pada waktu paru mengembang, reseptor-reseptor ini mengirim sinyal pada

pusat pernafasan agar menghentikan pengembangan lebih lanjut.  Sinyal dari

reseptor regang tersebut akan berhenti pada akhir ekspirasi ketika paru dalam

keadaan mengempis dan pusat pernafasan bebas untuk memulai inspirasi lagi.

Mekanisme ini yang dikenal dengan nama refleksHering-Breuer, refleks ini

tidak aktif pada orang dewasa, kecuali bila volume tidal melebihi 1 liter

seperti pada waktu berolah raga. Refleks ini menjadi lebih penting pada bayi

baru lahir. Pergerakan sendi dan otot (misalnya, sewaktu berolah raga) juga

merangsang peningkatan ventilasi. Pola dan irama pengaturan pernafasan

dijalankan melalui interaksi pusat-pusat pernafasan yang terletak dalam pons

dan medulla oblongata. Keluaran motorik akhir disalurkan melalui medulla

spinalis dan saraf frenikus yang mempersarafi diafragma, yaitu otot utama

Page 8: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

ventilasi. Saraf utama lain yang ikut ambil bagian adalah saraf asesorius dan

interkostalis torasika yang mempersarafi otot bantu pernafasan dan otot

interkostalis.

Kontrol pernafasan pada jalan nafas

Otot polos terdapat pada trakea hingga bronkiolus terminalis dan

dikontrol oleh sistem saaraf otonom. Tonus bronkomotorik bergantung pada

keseimbangan antara kekuatan konstriksi dan relaksasi otot polos pernafasan.

Persarafan parasimpatis (kolinergik – melalui nervus vagus) memberikan

tonus bronkokonstriktor pada jalan nafas. Rangsangan parasimpatis

menyebabkan bronkokonstriksi dan peningkatan sekresi kelenjar mukosa dan

sel-sel goblet. Rangsangan simpatis terutama ditimbulkan oleh epinefrin

melalui reseptor-reseptor adrenergic-beta2, dan menyebabkan relaksasi otot

polos bronkus,  bronkodilasi, dan berkurangnya sekresi bronkus. Simpatis

mempersarafi jalan nafas, namun hanya sedikit. Sekarang ini, komponen

ketiga pengontrolan saraf yan telah digambarkan disebut nonkolinergik,

sistem penghambat nonadrenergik. Stimulasi serat saraf ini terletak pada

nerfus vagus dan menyebabkan bronkodilasi, dan neurotransmitter yang

digunakan adalah nitrogen oksida. Reseptor-reseptor jalan nafas bereaksi

terhadap iritan-iritan mekanik ataupun kimia yang akan menimbulkan

masukan sensoris jaras vagus aferen, dan dapat menyebabkan

bronkokonstriksi, peningkatan sekresi mucus, peningkatan permeabilitas

pembuluh darah.

   

C. Fisiologi Pernapasan

Proses fisiologi pernafasan yaitu proses O2 dipindahkan dari udara ke

dalam jaringan-jaringan, dan CO2 dikeluarkan ke udara ekspirasi, dapat

dibagi menjadi tiga stadium. Stadium pertama adalah ventilasi, yaitu

Page 9: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

masuknya campuran gas-gas ke dalam dan ke luar paru. Stadium

kedua, transportasi, yang harus ditinjau dari beberapa aspek : 1) difusi gas-

gas antara alveolus dan kapiler paru (respirasi eksterna) dan antara darah

sistemik dan sel-sel jaringan; 2) distribusi darah dalam sirkulasi pulmonar dan

penyesuaiannya dengan distribusi udara dalam alveolus-alveolus; dan 3)

reaksi kimia dan fisik dari O2 dan CO2dengan darah. Respirasi sel atau

respirasi interna merupakan stadium akhir respirasi, yaitu saat zat-zat

dioksidasi untuk mendapatkan energi, dan CO2 terbentuk sebagai sampah

proses metabolisme sel dan dikeluarkan oleh paru.   

Ventilasi

Udara bergerak masuk dan keluar paru karena ada selisih tekanan

yang terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot.

Rangka toraks berfungsi sebagai pompa. Selama inspirasi, volume toraks

bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat kontraksi

beberapa otot. Otot sternokleidomastoideus mengangkat sternum keatas dan

otot seratus, skalenus dan interkostalis eksternus mengangkat iga-iga. Toraks

membesar ke tiga arah: anteroposterior, lateral, dan vertical. Peningkatan

volume ini menyebabkan penurunan tekanan intrapleura,  dari sekitar -

4mmHg (relative terhadap terkanan atmosfer) menjadi sekitar -8 mmHg bila

paru mengembang pada waktu inspirasi. Pada saat yang sama tekanan

intrapulmonal atau tekanan jalan nafas menurun sampai sekitar -2 mmHg dari

0 mmHg pada waktu mulai inspirasi. Selisih tekanan antara jalan nafas dan

atmosfer menyebabkan udara mengalir ke dalam paru sampai tekanan jalan

nafas pada akhir inspirasi sama dengan tekanan atmosfer.

Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupakan gerakan pasif akibat

elastisitas dinding dada dan paru. Pada waktu otot interkostalis internus

relaksasi, rangka iga turun dan lengkung diafragma naik ke atas ke dalam

Page 10: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

rongga toraks, menyebabkan volume toraks berkurang. Otot interkostalis

internus dapat menekan iga ke bawah dan ke dalam pada waktu ekspirasi kuat

dan aktif, batuk, muntah, atau defekasi. Selain itu, otot-otot abdomen dapat

berkontraksi sehingga tekanan intraabdomen membesar dan menekan

diafragma ke atas. Peningkatan volume toraks ini meningkatkan tekanan

intrapleura maupun tekanan intrapulmonal. Tekanan intrapulmonal sekarang

meningkat dan mencapai 1 sampai 2 mmHg di atas tekanan atmosfer. Selisih

tekanan antara jalan nafas dan atmosfer menjadi terbalik, sehingga udara

mengalir keluar dari paru sampai tekanan jalan nafas dan atmosfer menjadi

sama kembali pada akhir ekspirasi. Tekanan intrapleura selalu berada

dibawah tekanan atmosfer selama siklus pernafasan.

Definisi-definisi berikut ini akan berguna dalam pembahasan ventilasi

yang efektif :

Volume semenit atau ventilasi semenit (VE) adalah volume udara yang

terkumpul selama ekspirasi dalam periode satu menit. VE dapat dihitung

dengan mengalikan nilai VT dengan kecepatan pernafasan. Dalam

keadaan istirahat, VE orang dewasa sekitar 6 atau 7 liter/ menit.

Frekuensi pernafasan (f) atau ‘kecepatan; adalah jumlah nafas yang

dilakukan per menit. Pada keadaan istirahat, pernafasan orang dewasa

sekitar 10-20 kali per menit.

Volume tidal (VT) adalah banyaknya udara yang diinspirasi atau

diekspirasi pada setiap pernafasan. VT sekitar 8-12 cc/kgBB dan jauh

meningkat pada waktu melakukan kegiatan fisik yaitu bila bernafas

dalam.

Ruang mati fisiologis (VD) adalah volume udara inspirasi yang tidak

tertukar dengan udara paru; udara ini dapat dianggap sebagai ventilasi

yang terbuang sia-sia. Ruang mati fisiologis terdiri dari ruang mati

Page 11: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

anatomis (volume udara dalam saluran nafas penghantar, yaitu sekitar 1

ml per pon berat badan), ruang mati alveolar (alveolus mengalami

ventilasi tapi tidak mengalami perfusi), dan ventilasi melampaui perfusi.

Perbandingan antara VD dengan VT (VD / VT) menggambarkan bagian

dati VT yang tidak mengadakan pertukaran dengan darah paru. Nilai rasio

tersebut tidak melebihi 30% sampai 40% pada orang yang sehat.

Perbandingan ini seringkali digunakan untuk mengikuti keadaan pasien

yang mendapatkan ventilasi mekanik.

Ventilasi alveolar (VA) adalah volume udara segar yang masuk ke dalam

alveolus setiap menit, yang mengadakan pertukaran dengan darah paru.

Ini merupakan ventilasi efektif. Ventilasi alveolar dapat dihitung dengan

menggunakan rumus :

VA= (VT-VD) x f, atau VA= VE-VD.

VA merupakan petunjuk yang lebih baik tentang ventilasi dibandingkan

VE atau VTkarena pada pengukuran ini diperhitungkan volume udara

yang terbuang dalam ventilasi VD.

Komplians (C=daya kembang) adalah ukuran sifat elastik (distensibilitas)

yang dimilii oleh paru dan toraks. Didefinisikan sebagai perubahan

volume per unit perubahan dalam tekanan dalam keadaan statis. 

Komplians total (daya kembang paru dan toraks) atau komplians paru

saja dapat ditentukan. Komplians paru normal dan komplians rangka

toraks per VT masing-masing sekitar 0,2 liter/ cm H2O sedangkan

komplians total besarnya sekitar 0,1 liter/ cm H2O.

Transportasi – Difusi

Tahap kedua dari proses pernafasan mencakup proses difusi gas-gas

melintasi membran alveolus kapiler yang tipis (tebalnya kurang dari 0.5 µm).

kekuatan pendorong untuk pemindahan ini adalah selisih tekanan parsial

Page 12: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

antara darah dan fase gas. Tekanan parsial O2 (PO2) dalam atmosfer pada

permukaan laut sekitar 159 mmHg (21% dari 760 mmHg). Namun, pada

waktu O2 sampai di trakea, tekanan parsial ini akan mengalami penurunan

sampai sekitar 149 mmHg karena dihangatkan dan dilembabkan oleh jalan

nafas (760-47 x 0,21 = 149). Tekanan parsial uap air pada suhu tubuh adalah

47 mmHg. Tekanan parsial O2 yang diinspirasi akan menurun kira-kira 103

mmHg pada saat mencapai alveoli karena tercampur dengan udara dalam

ruang mati anatomik pada saluran jalan nafas. Ruang mati anatomik ini dalam

keadaan normal mempunyai volume sekitar 1 ml udara per pound berat badan

ideal. Hanya udara bersih yang mencapai alveolus yang merupakan ventilasi

efektif. Tekanan parsial O2 dalam darah vena campuran (PVO2) di kapiler

paru kira-kira sebesar 40 mmHg. PO2 kapiler lebih rendah daripada tekanan

dalam alveolus (PAO2 = 103 mmHg) sehingga O2 nudah berdifusi ke dalam

aliran darah. Perbedaan tekanan antara darah (46 mmHg) dan PaCO2

(40  mmHg) yang lebih rendah 6 mmHg menyebabkan CO2 berdifusi ke

dalam alveolus. CO2 ini kemudian dikeluarkan ke atmosfer, yang

konsentrasinya mendekati nol. Kendati selisih CO2 antara darah dan alveolus

amat kecil namun tetap memadai, karena dapat berdifusi melintasi membran

alveolus kapiler kira-kira 20 kali lebih cepat dibandingkan O2 karena daya

larutnya yang lebih besar.

Dalam keadaan beristirahat normal, difusi dan keseimbangan antara

O2 di kapiler darah paru dan alveolus berlangsung kira-kira 0,25 detik dari

total waktu kontak selama 0,75 detik. Hal ini menimbulkan kesan bahwa paru

normal memiliki cukup cadangan waktu difusi. Pada beberapa penyakit

(misalnya, fibrosis paru), sawar darah dan udara dapat menebal dan difusi

dapat melambat sehingga keseimbangan mungkin tidak lengkap, terutama

seawktu berolah raga ketika waktu kontak total berkurang. Jadi, blok difusi

Page 13: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

dapat mendukung terjadinya hipoksemia, tetapi tidak dianggap sebagai faktor

utama. Pengeluaran CO2 dianggap tidak dipengaruhi oleh kelainan difusi.

Hubungan antara ventilasi – perfusi

Pemindahan gas secara efektif antara alveolus dan kapiler paru

membutuhkan distribusi merata dari udara dalam paru dan perfusi (aliran

darah) dalam kapiler. Dengan perkataan lain, ventilasi dan perfusi unit

pulmonar harus sesuai. Pada orang normal dengan posisi tegak dan dalam

keadaan istirahat, ventilasi dan perfusi hamir seimbang kecuali pada apeks

paru. Sirkulasi pulmoner dengan tekanan dan resistensi rendah

mengakibatkan aliran darah di basis paru lebih besar daripada di bagian

apeks, disebabkan pengaruh gaya tarik bumi. Namun, ventilasinya cukup

merata. Nilai rata-rata rasio antara ventilasi terhadap perfusi :

V/Q = 0,8

Nilai diatas didapatkan melalui rasio rata-rata laju ventilasi alveolar

normal (4L/menit) dibagi dengan curah jantung normal (5L/menit).

Ketidakseimbangan antara proses ventilasi-perfusi terjadi kebanyakan

pada penyakit pernafasan. Penyakit paru dan gangguan fungsional pernafasan

dapat diklasifikasikan secara fisiologis sesuai jenis penyakit yang dialami,

apakah menimbulkan pirau yang besar (tidak terdapat ventilasi tapi perfusi

normal, sehingga perfusi terbuang sia-sia, V/Q kurang dari 0,8) atau

menimbulkan penyakit pada ruang mati (ventilasi normal, akan tetapi tanpa

perfusi, V/Q lebih dari 0,8).

Transpor O2 dalam darah

O2 dapat diangkut dari paru ke jaringan-jaringan melalui dua jalan:

secara fisik larut dalam plasma atau secara kimia berikatan dengan Hb

sebagai oksihemoglobin (HbO2). Ikatan kimia O2 dengan Hb ini bersifat

reversible, dan jumlah sesungguhnya yang diangkut dalam bentuk ini

Page 14: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

mempunyai hubungan nonlinear dengan tekanan parsial O2 dalam darah arteri

(PaO2), yang ditentukan oleh jumlah O2 yang secara fisik larut dalam plasma

darah. Selanjutnya, jumlah O2 yang secara fisik larut dalam plasma

mempunyai hubungan langsung dengan tekanan parsial O2 dalam alveolus

(PAO2). Jumlah O2 juga bergantung pada daya larut O2 dalam plasma. Hanya

sekitar 1% dari jumlah O2 total yang ditranspor dengan cara ini. Cara

transport seperti ini tidak memadai untuk mempertahankan hidup walaupun

dalam keadaan istirahat sekalipun. Sebagian besar O2 diangkut oleh Hb yang

terdapat dalam sel darah merah. Dalam keadaan tertentu

(misalnya :keracunan karbon monoksida atau hemolisis masif dengan

insufisiensi Hb), O2 yang cukup untuk mempertahankan hidup dapat diangkut

dalam bentuk larutan fisik dengan memberikan pasien O2 bertekanan lebih

tinggi dari tekanan atmosfer (ruang O2 hiperbarik).

Satu gram Hb dapat mengikat 1,34 ml O2. Konsentrasi Hb rata-rata

dalam darah laki-laki dewasa sekitar 15 g per 100 ml sehingga 100 ml darah

dapat mengangkut 20,1 ml O2(15 x 1,34) bila O2 jenuh (SaO2) adalah 100%.

Tetapi sedikit darah vena campuran dari sirkulasi bronchial ditambahkan ke

darah yang meninggalkan kapiler paru dan sudah teroksigenasi. Proses

pengenceran ini menjelaskan mengapa hanya kira-kira 97 persen darah yang

meninggalkan paru menjadi jenuh.

Pada tingkat jaringan, O2 akan melepaskan diri dari Hb ke dalam

plasma dan berdifusi dari plasma ke sel-sel jaringan tubuh untuk memenuhi

kebutuhan jaringan yang bersangkutan. Meskipun kebutuhan jaringan

tersebut bervariasi, namun sekitar 75% Hb masih berikatan dengan O2 pada

waktu Hb kembali ke paru dalam bentuk darah vena campuran. Jadi hanya

sekitar 25% O2 dalam darah arteri yang digunakan untuk keperluan jaringan.

Hb yang telah melepaskan O2 pada tingkat jaringan disebut Hb tereduksi. Hb

Page 15: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

tereduksi berwarna ungu dan menyebabkan warna kebiruan pada darah vena,

sedangkan HbO2 berwarna merah terang dan menyebabkan warna kemerah-

merahan pada darah arteri.

Kurva Disosiasi Oksihemoglobin

Untuk dapat memahami kapasitas angkut O2 dengan jelas harus

diketahui afinitas Hb terhadap O2 karena suplai O2 untuk jaringan maupun

pengambilan O2 oleh paru sangat bergantung pada hubungan tersebut. Jika

darah lengkap dipajankan terhadap berbagai tekanan parsial O2 dan

persentase kejenuhan Hb diukur, maka didapatkan kurva berbentuk huruf S

bila kedua pengukuran tersebut digabungkan. Kurva ini dikenal dengan

nama kurva disosiasi oksihemoglobin dan menyatakan afinitas Hb terhadap

O2 pada berbagai tekanan parsial.

Fakta fisiologis yang sangat penting tentang kurva ini yaitu adanya

bagian atas yang datar. Pada bagian atas kurva yang datar, perubahan yang

besar pada tekanan O2 akibat sedikit perubahan pada kejenuhan HbO2. Ini

berarti bahwa jumlah O2 yang relatif konstan dapat disuplai ke jaringan

bahkan pada ketinggian yang tinggi saat PO2 dapat sebesar 60 mmHg atau

kurang. Ini juga berarti bahwa pemberian O2 dalam konsentrasi tinggi (udara

normal 21%) pada pasien dengan hipoksemia ringan (PaO2=60-75 mmHg)

adalah sia-sia, karena HbO2 hanya dapat ditingkatkan sedikit sekali. Pelepasan

O2  ke jaringan dapat ditingkatkan oleh hubungan PO2 terhadap SaO2 pada

kurva bagian vena yang curam. Pada bagian ini perubahan-perubahan besar

pada HbO2 merupakan akibat sedikit perubahan pada PO2.

Afinitas Hb terhadap O2 dipengaruhi oleh banyak faktor lain yang

menyertai jaringan dan dapat diubah oleh penyakit. Daftar dari beberapa

faktor tersebut serta pengaruhnya pada afinitas terhadap O2 dapat dilihat pada

tabel di bawah.

Page 16: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

Tabel 1. Faktor yang mempengaruhi afinitas oksihemoglobin (HbO2)

Kurva disosiasi HbO2

Pergeseran ke kiri

(P50 menurun)

Pergeseran ke kanan

(P50 meningkat)

pH ↑ pH ↓

PCO2 ↓ PCO2 ↑

Suhu ↓ Suhu ↑

2,3 DPG ↓ 2,3 DPG ↑

P50 = tegangan oksigen dibutuhkan untuk menghasilka kejenuhan 50%

Kurva bergeser ke kanan apabila pH darah menurun atau

PCO2 meningkat. Dalam keadaan ini, pada PO2 tertentu afinitas Hb terhadap

O2 berkurang, sehingga O2 yang dapat diangkut oleh darah berkurang.

Keadaan patologis yang dapat menyebabkan asidosis metabolic, seperti syok

(pembentukan asam laktat berlebihan akibat metabolisme anaerobic) atau

retensi CO2 (seperti yang ditemukan pada banyak penyakit paru) akan

menyebabkan pergeseran kurva ke kanan. Pergeseran kurva sedikit ke kanan

seperti pada bagian vena kurva normal (pH 7,38) akan membantu pelepasan

O2 ke jaringan. Pergeseran ini dikenal dengan nama efek Bohr. Faktor lain

yang menyebabkan pergeseran kurva ke kanan adalah peningkatan suhu dan

2,3 difosfogliserat (2,3-DPG) yaitu fosfat organic dalam sel darah merah yang

mengikat Hb dan mengurangi afinitas Hb terhadap O2. Pada anemia dan

hipoksemia kronik, 2,3-DPG sel darah merah meningkat. Meskipun

kemampuan transport O2 oleh Hb menurun bila kurva bergeser ke kanan,

namun kemampuan Hb untuk melepaskan O2 ke jaringan dipermudah. Karena

itu, pada anemia dan hipoksemia kronik pergeseran kurva ke kanan

Page 17: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

merupakan proses kompensasi. Pergeseran kurva ke kanan yang disertai

kenaikan suhu, selain menggambarkan adanya kenaikan metabolisme sel dan

peningkatan kebutuhan O2, juga merupakan proses adaptasi dan

menyebabkan lebih banyak O2 yang dilepaskan ke jaringan dari aliran darah.

 Sebaliknya, peningkatan pH darah (alkalosis) atau penurunan

PCO2, suhu, dan 2,3-DPG akan menyebabkan pergeseran kurva disosiasi

oksihemoglobin ke kiri. Pergeseran ke kiri menyebabkan peninkatan afinitas

Hb terhadap O2. Akibatnya ambilan O2 paru meningkat pada pergeseran ke

kiri, namun pelepasan ke jaringan terganggu. Karena itu secara teoretis dapat

terjadi hipoksia (insufisiensi O2 jaringan guna memenuhi kebutuhan

metabolisme) pada keadaan alkalosis berat,  terutama bila disertai dengan

hipoksemia. Keadaan ini terjadi selama proses mekanisme overventilasi

dengan respirator atau pada tempat yang tinggi akibat hiperventilasi. Karena

hiperventilasi juga diketahui dapat menurunkan aliran darah serebral karena

penurunan PaCO2, iskemia serebral juga bertanggung jawab atas gejala

berkunang-kunang yang sering terjadi pada kondisi demikian. Darah yang

disimpan akan kehilangan aktifitas 2,3-DPG, sehingga afinitas Hb terhadap

O2 akan meningkat. Oleh karena itu, pasien yang menerima transfuse darah

yang disimpan dalam jumlah banyak kemungkinan akan mengalami

gangguan pelepasan O2 ke jaringan karena adanya pergeseran kurva disosiasi

HbO2 ke kiri.

Afinitas Hb diberi batasan melalui PO2 yang dibutuhkan untuk

menghasilkan kejenuhan 50% (P50). Dalam keadaan normal, P50 sekitar 27

mmHg. P50 akan meningkat, bila kurva disosiasi bergeser ke kanan

(pengurangan afinitas Hb terhadap O2) sedangkan pada pergeseran kurva ke

kiri, (peningkatan afinitas Hb terhadap O2), P50 akan menurun.

Page 18: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

Homeostasis CO2 juga merupakan suatu aspek penting dalam

kecukupan respirasi. Transpor CO2  dari jaringan ke paru untuk dibuang

dilakukan dengan tiga cara. Sekitar 10% CO2 secara fisik larut dalam plasma,

karena tidak seperti O2, CO2 mudah larut dalam plasma. Sekitar 20%

CO2 berikatan dengan gugus amino pada Hb (karbaminohemoglobin) dalam

sel darah merah, dan sekitar 70% diangkut dalam bentuk bikarbonat plasma

(HCO3-). CO2 berikatan dengan air dalam reaksi berikut ini :

CO2 + H2O ↔ H2CO3↔ H+ + HCO3-

Reaksi ini reversible dan disebut persamaan buffer asam bikarbonat-

karbonat.Keseimbangan asam basa tubuh ini sangat dipengaruhi oleh fungsi

paru dan homeostasis CO2. Pada umumnya hiperventilasi (ventilasi alveolus

dalam keadaan kebutuhan metabolisme yang berlebihan) menyebabkan

alkalosis (peningkatan pH darah melebihi pH normal 7,4) akibat ekskresi

CO2 berlebihan dari paru; hipoventilasi (ventilasi alveolus yang tidak dapat

memenuhi kebutuhan metabolisme) menyebabkan asidosis akibat retensi

CO2oleh paru. Penurunan PCO2 seperti yang terjadi pada hiperventilasi, akan

menyebabkan reaksi bergeser ke kiri sehingga menyebabkan penurungan

konsentrasi H+(kenaikan pH), dan peningkatan PCO2 menyebabkan reaksi

menjurus ke kanan, menimbulkan kenaikan H+(penurunan pH).  

Sama seperti O2, jumlah CO2 dalam darah berkaitan dengan PCO2.

Kurva disosiasi CO2 hampir linear pada batas-batas fisiologis PCO2. Ini berarti

bahwa kandungan CO2dalam darah berhubungan lansung dengan PCO2.

Selain itu, tidak ada sawar yang bermakna terhadap difusi CO2. Karena itu

PaCO2 merupakan petunjuk yang baik akan kecukupan ventilasi. 

Page 19: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

D. Penilaian Status Pernafasan

Pengetahuan tentang gas darah (PO2, PCO2, dan pH darah arteri) saja

tidak cukup memberikan keterangan tentang transpor O2 dan CO2 untuk

memastikan apakah oksigenasi jaringan pasien sudah memadai. Banyak

faktor lain yang ikut berperan dalam proses transport, seperti curah jantung

yang memadai dan perfusi jaringan, serta difusi gas-gas pada tingkat jaringan.

Karena itu deteksi hipoksia jaringan harus selalu disertai dengan pengamatan

klinis serta interpretasi gas-gas darah.

 Informasi penting lain yang diperlukan untuk menilai status respirasi

pasien adalah konsentrasi Hb serta persentase kejenuhan Hb. Persentase

kejenuhan Hb tidak bergantung pada konsentrasi Hb, sedangkan kandungan

O2 dalam volume persen berhubungan langsung dengan konsentrasi Hb.

Volume persen menunjukkan berapa banyak O2 yang dapat dihantarkan ke

jaringan pada PaO2 tertentu.

E. Analisa Gas Darah

Untuk menilai fungsi pernafasan secara adekuat, perlu juga

mempelajari hal-hal di luar paru seperti volume dan distribusi gas yang

diangkut oleh sistem sirkulasi. PaCO2 merupakan petunjuk VA yang terbaik.

Bila PaCO2 meningkat, penyebab langsung selalu hipoventilsai alveolar.

Hipoventilasi menyebabkan asidosis respiratorik dan penurunan pH darah.

Penyebab langsung penurunan PaCO2 adalah selalu hiperventilasi alveolar.

Hiperventilasi menyebabkan alkalosis resiratorik dan kenaikan pH darah.

Bila PaO2 turun sampai di bawah nilai normal, terjadi hipoksemia.

Pada gagal pernafasan yang berat, PaO2 makin turun sampai 30-40 mmHg.

Hipoksemia akibat penyakit paru disebabkan oleh salah satu atau lebih dari

mekanisme di bawah ini : 1) ketidakseimbangan antara proses ventilasi-

Page 20: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

perfusi (penyebab tersering), 2) hipoventilasi alveolar, 3)gangguang difusi,

atau 4) pirau anatomic intrapulmonar. Hipoksemia akibat tiga kelainan yang

pertama dapat diperbaiki dengan pemberian O2. Tetapi pirau anatomic

intrapulmonar (pirau arteriovenosa) tidak dapat diatasi dengan terapi O2.

Perubahan gas darah arteri merupakan hal yang kritis dalam

diagnosis kegagalan pernafasan atau ventilasi yang mungkin timbul secara

perlahan-lahan. Apabila kadar PaO2tutun di bawah normal, terjadi insufisiensi

pernafasan, dan terjadi kegagalan pernafasan bila PaO2 turun sampai 50

mmHg. PaCO2 dapat meningkat atau turun sampai di bawah nilai normal

pada insufisiensi atau kegagalan pernafasan.

Tabel 2. Nilai Normal dari Gas Darah Arteri

Pengukuran Gas Darah Simbol Nilai normal

Tekanan CO2 PaCO2

35-45 mmHg

(rata-rata, 40)

Tekanan O2 PaO2 80-100 mmHg

Persentase kejenuhan O2 SaO2 97

Konsentrasi ion hydrogen pH 7,35-7,45

Bikarbonat HCO3- 22-26 mEq/L

F. Terapi Oksigen

Terapi oksigen merupakan pemberian oksigen sebagai suatu

intervensi medis, dengan konsentrasi yang lebih tinggi disbanding yang

terdapat dalam udara untuk terapi dan pencegahan terhadap gejala dan

menifestasi dari hipoksia. Oksigen sangat penting untuk metabolisme sel, dan

lebih dari itu, oksigenasi jaringan sangat penting untuk semua fungsi

fisiologis normal.

Page 21: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

Oksigen dapat diberikan secara temporer selama tidur maupun

selama beraktivitas pada penderita dengan hipoksemia. Selanjutnya

pemberian oksigen dikembangkan terus ke arah ventilasi mekanik, pemakaian

oksigen di rumah. Untuk pemberian oksigen dengan aman dan efektif perlu

pemahaman mengenai mekanisme hipoksia, indikasi, efek terapi, dan jenis

pemberian oksigen serta evaluasi penggunaan oksigen tersebut.

Hipoksemia

Hipoksemia adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan

konsentrasi oksigen dalam darah arteri (PaO2) atau saturasi O2 arteri (SaO2)

dibawah nilai normal. Hipoksemia dibedakan menjadi ringan sedang dan

berat berdasarkan nilai PaO2 dan SaO2, yaitu:

Hipoksemia ringan dinyatakan pada keadaan PaO2 60-79 mmHg dan

SaO2 90 94%

Hipoksemia sedang PaO2 40-60 mmHg, SaO2 75%-89%

Hipoksemia berat bila PaO2 kurang dari 40 mmHg dan SaO2 kurang

dari 75%.

Hipoksemia dapat disebabkan oleh gangguan ventilasi, perfusi,

hipoventilasi, pirau, gangguan difusi dan berada ditempat yang tinggi.

Keadaan hipoksemia menyebabkan beberapa perubahan fisiologi yang

bertujuan untuk mempertahankan supaya oksigenasi ke jaringan memadai.

Bila tekanan oksigen arteriol (PaO2) dibawah 55 mmHg, kendali nafas akan

meningkat, sehingga tekanan oksigen arteriol (PaO2) yang meningkat dan

sebaliknya tekanan karbondioksida arteri (PaCO2) menurun, jaringan

vaskuler yang mensuplai darah di jaringan hipoksia mengalami vasodilatasi,

juga terjadi takikardi kompensasi yang akan meningkatkan volume sekuncup

jantung sehingga oksigenasi jaringan dapat diperbaiki. Hipoksia alveolar

menyebabkan kontraksi pembuluh pulmoner sebagai respon untuk

Page 22: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

memperbaiki rasio ventilasi perfusi di area paru terganggu, kemudian akan

terjadi peningkatan sekresi eritropoitin ginjal sehingga mengakibatkan

eritrositosis dan terjadi peningkatan kapasitas transfer oksigen. Kontraksi

pembuluh darah pulmoner, eritrositosis dan peningkatan volume sekuncup

jantung akan menyebabkan hipertensi pulmoner, gagal jantung kanan bahkan

dapat menyebabkan kematian.

Hipoksia

Hipoksia adalah kekurangan O2 ditingkat jaringan. Istilah ini lebih

tepat dibandingkan anoksia, sebab jarang dijumpai keadaan dimana benar-

benar tidak ada O2 tertinggal dalam jaringan. Jaringan akan mengalami

hipoksia apabila aliran oksigen tidak adekuat dalam memenuhi kebutuhan

metabolisme jaringan, hal ini dapat terjadi kira-kira 4-6 menit setelah

ventilasi spontan berhenti. Secara tradisional, hipoksia dibagi dalam 4 jenis.

Keempat kategori hipoksia adalah sebagai berikut :

Hipoksia hipoksik (anoksia anoksik) yaitu apabila PO2 darah arteri

berkurang. Merupakan masalah pada individu normal pada daerah

ketinggian serta merupakan penyulit pada pneumonia dan berbagai

penyakit sistim pernafasan lainnya. Gejala yang muncul pada keadaan ini

antara lain iritabilitas, insomnia, sakit kepala, sesak nafas, mual dan

muntah.

Hipoksia anemik yaitu apabila O2 darah arteri normal tetapi mengalami

denervasi. Sewaktu istirahat, hipoksia akibat anemia tidaklah berat,

karena terdapat peningkatan kadar 2,3-DPG didalam sel darah merah,

kecuali apabila defisiensi hemoglobin sangat besar. Meskipun demikian,

penderita anemia mungkin mengalami kesulitan cukup besar sewaktu

melakukan latihan fisik karena adanya keterbatasan kemampuan

meningkatkan pengangkutan O2 ke jaringan aktif.

Page 23: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

Hipoksia stagnan; akibat sirkulasi yang lambat merupakan masalah bagi

organ seperti ginjal dan jantung saat terjadi syok. Hipoksia akibat

sirkulasi lambat merupakan masalah bagi organ seperti ginjal dan jantung

saat terjadi syok. Hati dan mungkin jaringan otak mengalami kerusakan

akibat hipoksia stagnan pada gagal jantung kongestif. Pada keadaan

normal, aliran darah ke paru-paru sangat besar, dan dibutuhkan hipotensi

jangka waktu lama untuk menimbulkan kerusakan yang berarti. Namun,

syok paru dapat terjadi pada kolaps sirkulasi berkepanjangan,terutama

didaerah paru yang letaknya lebih tinggi dari jantung.

Hipoksia histotoksik; hipoksia yang disebabkan oleh hambatan proses

oksidasi jaringan paling sering diakibatkan oleh keracunan sianida.

Sianida menghambat sitokrom oksidasi serta mungkin beberapa enzim

lainnya. Biru metilen atau nitrit digunakan untuk mengobati keracunan

sianida. Zat-zat tersebut bekerja dengan sianida, menghasilkan

sianmethemoglobin, suatu senyawa non toksik. Pemberian terapi oksigen

hiperbarik mungkin juga bermanfaat.

Manifestasi klinik hipoksia

Manifestasi klinik hipoksia tidak spesifik, sangat bervariasi,

tergantung pada lamanya hipoksia, kondisi kesehatan individu, dan biasanya

timbul pada keadaan hipoksia yang sudah berat. Manifestasi klinik dapat

berupa perubahan status mental/bersikap labil, pusing, dispneu,

takipneu, respiratory distress, dan aritmia. Sianosis sering dianggap sebagai

tanda dari hipoksia, namun hal ini hanya dapat dibenarkan apabila tidak

terdapat anemia.

Page 24: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

Untuk mengukur hipoksia dapat digunakan alat oksimetri (pulse

oxymetry) dan analisis gas darah. Bila nilai saturasi kurang dari 90%

diperkirakan hipoksia, dan membutuhkan oksigen.

Tabel 3. Gejala dan Tanda-Tanda Hipoksia Akut.

Sistem Gejala dan tanda

Respirasi

Kardiovaskuler

Sistem saraf pusat

Neuromuskular

Metabolik

Sesak nafas, sianosis

Cardiac output meningkat, palpitasi, takikardi,

aritmia, hipotensi, angina, vasodilatasi, dan syok

Sakit kepala, perilaku yang tidak sesuai, bingung,

delirium, gelisah, edema papil, koma

Lemah, tremor, hiperrefleks, incoordination

Retensi cairan dan kalium, asidosis laktat

Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang Lain

Karena berbagai tanda dan gejala hipoksia bervariasi dan tidak

spesifik, maka untuk menentukan hipoksia diperlukan pemeriksaan

laboratorium. Pemeriksaan yang paling sering digunakan adalah pemeriksaan

PaO2 arteri atau saturasi oksigen arteri melalui pemeriksaan invasif yaitu

analisis gas darah arteri ataupun non invasif yaitu pulse oximetry.Pada

pemeriksaan gas darah, spesimen darah diambil dari pembuluh darah arteri

(a.Radialis atau a.Femoralis) dan akan didapatkan nilai PaO2, PCO2, saturasi

oksigen, dan parameter lain. Pada pemeriksaan oksimetri hanya dapat melihat

saturasi oksigen. Pemeriksaan saturasi oksigen ini tidak cukup untuk

mendeteksi hipoksemia, karena hanya dapat memperkirakan PaO2 ≥ 60

mmHg atau PaO2 < 60mmHg. Berulang kali studi dilakukan, ternyata

oksimetri tidak bisa untuk menentukan indikasi pemberian terapi oksigen

jangka panjang, namun pemeriksaan noninvasif ini efektif digunakan untuk

Page 25: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

evaluasi kebutuhan oksigen selama latihan, dan untuk mengevaluasi dan

memastikan dosis oksigen bagi pasien yang menggunakan terapi oksigen di

rumah.

Gagal Nafas

Gagal nafas merupakan suatu keadaan kritis yang memerlukan

perawatan di instansi perawatan intensif. Diagnosis gagal nafas ditegakkan

bila pasien kehilangan kemampuan ventilasi secara adekuat atau tidak mampu

mencukupi kebutuhan oksigen darah dan sistem organ. Gagal nafas terjadi

karena disfungsi sistem respirasi yang dimulai dengan peningkatan

karbondioksida dan penurunan jumlah oksigen yang diangkut kedalam

jaringan. Gagal nafas akut sebagai diagnosis tidak dibatasi oleh usia dan

dapat terjadi karena berbagai proses penyakit. Gagal nafas hampir selalu

dihubungkan dengan kelainan diparu,tetapi keterlibatan organ lain dalam

proses respirasi tidak boleh diabaikan.

Gagal Nafas Tipe I

Pada tipe ini terjadi perubahan pertukaran gas yang diakibatkan kegagalan

oksigenasi. PaO2 ≤50 mmHg merupakan ciri khusus tipe ini, sedangkan

PaCO2 ≤40 mmHg, meskipun ini bisa juga disebabkan gagal nafas

hiperkapnia. Ada 6 kondisi yang menyebabkan gagal nafas tipe I yaitu:

• Ketidaknormalan tekanan partial oksigen inspirasi (low PIO2)

• Kegagalan difusi oksigen

• Ketidakseimbangan ventilasi / perfusi [V/Q mismatch]

• Pirau kanan ke kiri

• Hipoventilasi alveolar

• Konsumsi oksigen jaringan yang tinggi

Gagal Nafas Tipe II

Page 26: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

Tipe ini dihubungkan dengan peningkatan karbondioksida karena

kegagalan ventilasi dengan oksigen yang relatif cukup. Beberapa kelainan

utama yang dihubungkan dengan gagal nafas tipe ini adalah kelainan

sistem saraf sentral, kelemahan neuromuskuler dan deformitas dinding

dada.Penyebab gagal nafas tipe II adalah :

• Kerusakan pengaturan sentral

• Kelemahan neuromuskuler

• Trauma spina servikal

• Keracunan obat

• Infeksi

• Penyakit neuromuskuler

• Kelelahan otot respirasi

• Kelumpuhan saraf frenikus

• Gangguan metabolisme

• Deformitas dada

• Distensi abdomen massif

• Obstruksi jalan nafas

Manfaat Terapi Oksigen

Tujuan terapi oksigen adalah mengoptimalkan oksigenasi jaringan dan

meminimalkan asidosis respiratorik. Ada beberapa keuntungan dari terapi

oksigen. Terapi oksigen pada pasien PPOK dengan konsentrasi oksigen yang

tepat dapat mengurangi sesak nafas saat aktivitas, dapat meningkatkan

kemampuan beraktifitas dan dapat memperbaiki kualitas hidup.

Manfaat lain dari terapi oksigen adalah memperbaiki hemodinamik

paru, kapasitas latihan, kor pulmonal, menurunkan cardiac

output, meningkatkan fungsi jantung, memperbaiki fungsi neuropsikiatrik,

mengurangi hipertensi pulmonal, dan memperbaiki metabolisme otot.

Page 27: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

Indikasi Terapi Oksigen

Dalam pemberian oksigen harus dipertimbangkan apakah pasien benar-

benar membutuhkan oksigen, apakah dibutuhkan terapi oksigen jangka

pendek (Short-term oxygen therapy) atau terapi oksigen jangka panjang (Long

term oxygen therapy).

Indikasi untuk pemberian oksigen harus jelas. Oksigen yang diberikan

harus diatur dalam jumlah yang tepat, dan harus dievaluasi agar mendapat

manfaat terapi dan menghindari toksisitas.

Terapi Oksigen Jangka Pendek

Terapi oksigen jangka pendek merupakan terapi yang

dibutuhkan pada pasien-pasien dengan keadaan hipoksemia akut,

diantaranya pneumonia, PPOK dengan eksaserbasi akut, asma bronkial,

gangguan kardiovaskular, emboli paru. Pada keadaan tersebut, oksigen

harus segera diberikan secara adekuat. Pemberian oksigen yang tidak

adekuat akan menimbulkan cacat tetap dan kematian. Pada kondisi ini,

oksigen harus diberikan dengan FiO2 60-100% dalam waktu pendek

sampai kondisi membaik dan terapi yang spesifik diberikan. Selanjutnya

oksigen diberikan dengan dosis yang dapat mengatasi hipoksemia dan

meminimalisasi efek samping. Bila diperlukan, oksigen harus diberi

secara terus-menerus.

Untuk pedoman indikasi terapi oksigen jangka pendek terdapat

rekomendasi dari The American College of Chest Physicians dan The

National Heart, Lung, and Blood Institute(tabel 4).

Tabel 4. Indikasi Akut Terapi Oksigen

Indikasi yang sudah direkomendasi :

          Hipoksemia akut (PaO2 < 60 mmHg; SaO2 < 90%)

          Cardiac arrest dan  respiratory arrest

Page 28: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

          Hipotensi (tekanan darah sistolik < 100 mmHg)

          Curah jantung yang rendah dan asidosis metabolik (bikarbonat < 18

mmol/L)

          Respiratory distress (frekuensi pernafasan > 24/min)

Indikasi yang masih dipertanyakan :

          Infark miokard tanpa komplikasi

          Sesak nafas tanpa hipoksemia

          Krisis sel sabit

          Angina

Terapi Oksigen Jangka Panjang

Banyak pasien hipoksemia membutuhkan terapi oksigen jangka

panjang. Pasien dengan PPOK merupakan kelompok yang paling banyak

menggunakan terapi oksigen jangka panjang. Studi awal pada terapi

oksigen jangka panjang pada pasien PPOK memperlihatkan bahwa

pemberian oksigen secara kontinu selama 4-8 minggu menurunkan

hematokrit, memperbaiki toleransi latihan, dan menurunkan tekanan

vaskular pulmonar.

Pada pasien dengan PPOK dan kor pulmonal, terapi oksigen

jangka panjang dapat meningkatkan jangka hidup sekitar 6 sampai 7 tahun.

Angka kematian menurun pada pasien dengan hipoksemia kronis apabila

oksigen diberikan lebih dari 12 jam sehari dan manfaat survival lebih besar

telah ditunjukkan dengan pemberian oksigen berkesinambungan.

Berdasarkan beberapa penelitian didapatkan bahwa terapi

oksigen jangka panjang dapat memperbaiki harapan hidup. Karena adanya

perbaikan dengan terapi oksigen jangka panjang, maka direkomendasikan

untuk pasien hipoksemia (PaO2 < 55 mmHg atau saturasi oksigen < 88%)

Page 29: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

oksigen diberikan secara terus-menerus 24 jam dalam sehari. Pasien

dengan PaO2 56-59 mmHg atau saturasi oksigen 88%, kor pulmonal atau

polisitemia juga memerlukan terapi oksigen jangka panjang.

Pada keadaan ini, awal pemberian oksigen harus dengan

konsentrasi rendah (FiO224-28%) dan dapat ditingkatkan bertahap

berdasarkan hasil pemeriksaan analisis gas darah, dengan tujuan

mengoreksi hipoksemia dan menghindari penurunan pH dibawah 7,26.

Oksigen dosis tinggi yang diberikan kepada pasien PPOK yang sudah

mengalami gagal nafas tipe II (peningkatan karbondioksida oleh karena

kegagalan ventilasi dengan oksigen yang relatif cukup) akan dapat

mengurangi efek hipoksik untuk pemicu gerakan bernafas dan

meningkatkan mismatch ventilasi-perfusi. Hal ini akan menyebabkan

retensi CO2 dan akan menimbulkan asidosis respiratorik yang berakibat

fatal.

Pasien yang menerima terapi jangka panjang harus dievaluasi

ulang dalam 2 bulan untuk menilai apakah hipoksemia menetap atau ada

perbaikan dan apakah masih dibutuhkan terapi oksigen. Hingga 40%

pasien yang mendapat terapi oksien mengalami perbaikan setelah 1 bulan

dan tidak perlu lagi meneruskan suplemen oksigen.

Berikut ini adalah indikasi terapi oksigen jangka panjang yang

telah direkomendasi :

Tabel 5. Indikasi terapi oksigen jangka panjang

Pemberian oksigen secara kontinyu :

          PaO2 istirahat ≤ 55 mmHg atau saturasi oksigen ≤ 88%

          PaO2 istirahat 56-59 mmHg atau saturasi oksigen 89% pada satu

keadaan :

o   Edema yang disebabkan karena CHF

Page 30: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

o   P pulmonal pada pemeriksaan EKG (gelombang P > 3mm pada lead II,

III, aVF

          Eritrositoma (hematokrit > 56%)

          PaO2 > 59 mmHg atau saturasi oksigen > 89%

Pemberian oksigen tidak kontinyu :

          Selama latihan : PaO2 ≤ 55 mmHg atau saturasi oksigen ≤ 88%

          Selama tidur : PaO2 ≤ 55 mmHg atau saturasi oksigen ≤ 88% dengan

komplikasi seperti hipertensi pulmoner, somnolen, dan artimia

Tabel 6. Indikasi terapi oksigen jangka panjang pada pasien

PPOK

Indikasi Pencapaian terapi

PaO2 ≤ 55 mmHg or SaO2 ≤

88%

Pasien dengan kor pulmonal

PaO2 55-59 mmHg atau SaO2 ≥

89%

Adanya P pulmonal pada EKG,

hematokrit > 55% dan gagal

jantung kongestif

Indikasi khusus

Nocturnal hypoxemia

Tidak ada hipoksemia saat

- PaO2 ≥ 60 mmHg atau SaO2  ≥ 90%

Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan

saat tidur dan latihan

-PaO2 ≥ 60 mmHg atau SaO2  ≥ 90%

Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan

saat tidur dan latihan

-Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan

saat tidur

Dosis oksigen sebaiknya disesuaikan

Page 31: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

istirahat, tetapi saturasi

menurun selama latihan atau

tidur

saat latihan

Kontraindikasi Terapi Oksigen

Pasien dengan keterbatasan jalan nafas yang berat dengan keluhan

utama dispneu, tetapi dengan PaO2 lebih atau sama dengan 60 mmHg dan

tidak mempunyai hipoksia kronik. Pasien yang meneruskan merokok,

karena kemungkinan prognosis yang buruk dan dapat meningkatkan resiko

kebakaran. Pasien yang tidak menerima terapi adekuat.

Teknik Pemberian Oksigen

Cara pemberian oksigen dibagi dua jenis, yaitu sistem arus rendah

dan sistem arus tinggi, keduanya masing-masing mempunyai keuntungan

dan kerugian. Alat oksigen arus rendah diantaranya kanul nasal, topeng

oksigen, reservoir mask,kateter transtrakheal, dan simple mask. Alat

oksigen arus tinggi diantaranya venturi mask, dan reservoir nebulizer

blenders.

Alat pemberian oksigen dengan arus rendah

Kateter nasal dan kanul nasal merupakan alat dengan sistem arus

rendah yang digunakan secara luas. Kanul nasal terdiri dari sepasang

tube dengan panjang ± 2 cm, dipasangkan pada lubang hidung pasien

dan tube dihubungkan secara langsung keoxygen flow meter. Alat ini

dapat menjadi alternatif bila tidak terdapat masker, terutama bagi

pasien yang membutuhkan suplemen oksigen rendah. Kanul nasal arus

rendah mengalirkan oksigen ke nasofaring dengan aliran 1-6 L/m,

dengan FiO2 antara 24-40%. Aliran yang lebih tinggi tidak

Page 32: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

meningkatkan FiO2 secara bermakna diatas 44% dan akan

menyebabkan mukosa membran menjadi kering. Kanul nasal

merupakan pilihan bagi pasien yang mendapatkan terapi oksigen

jangka panjang.

Gambar 1. Kanul nasal

Simple oxygen mask dapat menyediakan 40-60% FiO2, dengan aliran

5-10L/m. aliran dapat dipertahankan 5L/m atau lebih dengan tujuan

mencegah CO2 yang telah dikeluarkan  dan tertahan di masker terhirup

kembali. Penggunaan alat ini dalam jangka panjang dapat

menyebabkan iritasi kulit dan pressure sores.

Page 33: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

Gambar 2. Simple oxygen mask

Partial rebreathing mask merupakan simple mask yang disertai

dengan kantung reservoir. Aliran oksigen harus selalu tersuplai untuk

mempertahankan kantung reservoir minimal sepertiga sampai

setengah penuh pada inspirasi. Sistem ini mengalirkan oksigen 6-

10L/m dan dapat menyediakan 40-70% oksigen. Sedangkan non-

rebreathing mask hampir sama dengan parsial rebreathing

mask kecuali alat ini memiliki serangkai katup ‘one-way’. Satu katup

diletakkan diantara kantung dan masker untuk mencegah udara

ekspirasi kembali kedalam kantung. Untuk itu perlu aliran minimal

10L/m. Sistem ini mengalirkan FiO2 sebesar 60-80%.   

Page 34: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

Gambar 3. Partial rebreathing mask

Gambar 4. Non-rebreathing mask

Transtracheal oxygen. Mengalirkan oksigen secara langsung melalui

kateter ke dalam trakea. Oksigen transtrakea dapat meningkatkan

kesetiaan pasien menggunakan oksigen secara kontinyu selama 24

jam, dan sering berhasil bagi pasien hipoksemia yang refrakter. Dari

Page 35: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

hasil studi, dengan oksigen transtrakea ini dapat menghemat

penggunaan oksigen 30-60%. Keuntungan dari pemberian oksigen

transtrakea yaitu tidak menyolok mata, tidak ada bunyi gaduh, dan

tidak ada iritasi muka/hidung. Rata-rata oksigen yang diterima

mencapai 80-96%. Kerugian dari penggunaan oksigen transtrakea

adalah biaya tinggi dan resiko infeksi lokal. Komplikasi yang biasa

terjadi pada pemberian oksigen transtrakea ini adalah emfisema

subkutan, bronkospasme, dan batuk paroksismal. Komplikasi lain

diantaranya infeksi stoma, dan mucus ball yang dapat mengakibatkan

fatal. 

Gambar 5. Transtrakheal oksigen

Alat pemberian oksigen dengan arus tinggi

Alat oksigen arus tinggi diantaranya venture mask dan reservoir

nebulizer blenders.

Alat venturi mask menggunakan prinsip jet mixing (efek

Bernoulli). Jet mixing mask, mask dengan arus tinggi, bermanfaat

Page 36: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

untuk mengirimkan secara akurat konsentrasi oksigen rendah (24-

35%). Pada pasien dengan PPOK dan gagal nafas tipe II, bernafas

dengan mask ini mengurangi resiko retensi CO2, dan memperbaiki

hipoksemia. Alat tersebut terasa lebih nyaman dipakai, dan

masalah rebreathing diatasi melalui proses pendorongan dengan arus

tinggi tersebut.

Sistem arus tinggi ini dapat mengirimkan sampai 40L/menit oksigen

melalui mask, yang umumnya cukup untuk total kebutuhan respirasi.

Dua indikasi klinis untuk penggunaan oksigen dengan arus tinggi

adalah pasien dengan hipoksia yang memerlukan pengendalian FiO2,

dan pasien hipoksia dengan ventilasi abnormal.  

Gambar 6. Venturi mask

Page 37: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

Komplikasi Terapi Oksigen

1.    Penderita PPOK dengan retensi CO2 sering bergantung pada “hypoxic

drive” untuk mempertahankan ventilasinya. Konsentrasi O2 yang

tinggi dapat mengurangi “drive” ini. Oksigen sebaiknya hanya

diberikan dengan persentase rendah dan pasien diobservasi secara

ketat untuk menilai adanya retensi CO2.

2.   Kerusakan retina (retrorental fibroplasia) menyebabkan kebutaan pada

neonatus, terjadi karena pemberian terapi oksigen yang tidak tepat.

Semua terapi oksigen pada bayi baru lahir harus dimonitor secara

berkelanjutan.

3.   Pneumonitis dan pembentukan membran hyaline didalam alveoli yang

dapat menyebabkan penurunan pergantian gas dan atelektasis.

Page 38: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

BAB III

KESIMPULAN

Oksigen merupakan unsur yang paling dibutuhkan bagi kehidupan manusia,

sebentar saja manusia tak mendapat oksigen maka akan langsung fatal akibatnya.

Tak hanya untuk bernafas dan mempertahankan kehidupan, oksigen juga sangat

dibutuhkan untuk metabolisme tubuh. Pembarian oksigen dapat memperbaiki

keadaan umum, mempermudah perbaikan penyakit dan memperbaiki kualitas

hidup. Oksigen dapat diberikan jangka pendek dan jangka panjang. Untuk

pemberian oksigen kita harus mengerti indikasi pemberian oksigen, teknik yang

akan dipakai, dosis oksigen yang akan diberikan, dan lamanya oksigen yang akan

diberikan serta waktu pemberian. Pemberian oksigen perlu selalu dievaluasi

sehingga dapat mengoptimalkan pemberian oksigen dan mencegah terjadinya

retensi CO2.

Page 39: Terapi Oksigen Pada Anestesi bahan

DAFTAR PUSTAKA

Admin, 2008, “Oksigen”, diakses dari www.healthcare.wordpress.com pada

tanggal 25 Juli 2014.

Anonymous, “Stress and Health Solution”, diakses dari  www.MedDzik.org pada

tanggal 25 Juli 2014.

Astowo, Pudjo, 2005, “Terapi oksigen”, Ilmu Penyakit Paru. Bagian Pulmonologi

dan Kedokteran Respirasi. Jakarta:  FK UI.

Ganong, F. William, 2003, “ Fisiologi Kedokteran”, Edisi 20, Jakarta: EGC.

Guyton, Arthur C., Hall, John E., 2005, “Buku Ajar Fisiologi Kedokteran”, edisi 9,

Jakarta: EGC.

Latief, A. Said, 2002, “Petunjuk Praktis Anestesiologi”, Bagian Anestesiologi dan

Terapi Intesif, Jakarta: FK UI.

Price, Sylvia A., Wilson, Lorraine M., 2006, “Patofisiologi Konsep Klinis Proses-

Proses Penyakit”, volume 2, edisi 6, Jakarta : EGC.

Sudoyo, Aru W., Setiyohadi, Bambang, dkk., 2006, “Buku Ajar Ilmu Penyakit

Dalam”, edisi ke-4, jilid I, Jakarta : FK UI