teori-teori tentang konflik dan rekonsiliasi - dari disertasi hamdi

158
1. Resolusi Konflik Rekonsiliasi sebagai suatu bentuk resolusi konflik (conflict resolution) akhir-akhir ini menjadi sangat populer, terutama setelah kasus Afrika Selatan dengan komisi kebenaran dan rekonsiliasinya (truth and reconciliation commission), dianggap cukup berhasil. Rekonsiliasi dapat dianggap sebagai bagian atau satu cara untuk menuntaskan konflik, dalam hal ini rekonsilasi diperlukan agar persoalan-persoalan pasca konflik dapat dituntaskan. Rekonsiliasi dapat juga disejajarkan pengertiannya dengan upaya transformasi konflik, yaitu bagaimana mengubah konflik menjadi damai. Pada bagian ini akan dibahas teori-teori resolusi konflik, khususnya teori mengenai rekonsiliasi. 41

Upload: dialantropologi

Post on 05-Jul-2015

6.926 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

1. Resolusi Konflik

Rekonsiliasi sebagai suatu bentuk resolusi konflik (conflict resolution)

akhir-akhir ini menjadi sangat populer, terutama setelah kasus Afrika

Selatan dengan komisi kebenaran dan rekonsiliasinya (truth and

reconciliation commission), dianggap cukup berhasil. Rekonsiliasi dapat

dianggap sebagai bagian atau satu cara untuk menuntaskan konflik, dalam

hal ini rekonsilasi diperlukan agar persoalan-persoalan pasca konflik dapat

dituntaskan. Rekonsiliasi dapat juga disejajarkan pengertiannya dengan

upaya transformasi konflik, yaitu bagaimana mengubah konflik menjadi

damai.

Pada bagian ini akan dibahas teori-teori resolusi konflik, khususnya

teori mengenai rekonsiliasi.

Umumnya, para peneliti dan praktisi di bidang resolusi konflik

menganggap peran masa lalu dalam perkembangan skenario konflik

adalah sangat penting. Meskipun sejarah masa lalu banyak mempengaruhi

persepsi dan pengalaman individu/kolektif terhadap konflik, topik ini

sedikit sekali dibahas dalam penelitian-penelitian mengenai konflik (Cairns

& Roe, 2003). Secara lebih spesifik misalnya, hanya sedikit informasi yang

41

Page 2: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

diperoleh tentang bagaimana ingatan kolektif (collective memory) berperan

dalam mempermudah atau mempersulit tercapainya resolusi konflik.

Teori-teori mengenai resolusi konflik umumnya mencakup rentang

yang sangat luas dengan akar dan landasan disiplin ilmu yang bermacam-

macam. Bab ini akan menyajikan perspektif teori resolusi konflik, terutama

dalam perspektif ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi, dan lebih spesifik

mengenai isu sejarah (history) dan ingatan (memory).

2. Teori Negosiasi

Teori mengenai negosiasi sebagai cara menyelesaikan konflik

umumnya mengambil setting dan konteks konflik dalam bisnis dan

organisasi (Bazerman & Neale, 1992; Breslin & Rubin, 1995; Fisher & Ury,

1991; Fisher & Brown, 1988; Jandt, 1985; Lewicky, Saunders & Minton,

1999). Teori-teori yang dikembangkan dalam konteks ini biasanya

memusatkan perhatiannya pada tingkat individu, walaupun belakangan

banyak teknik dan cara-cara negosiasi diaplikasikan juga untuk setting

kelompok. Tujuan utama dari negosiasi secara umum adalah tercapainya

kesepakatan yang bisa diterima pihak yang bertikai. Pada umumnya

penelitian-penelitian pada area ini banyak memusatkan perhatiannya pada

pelbagai macam strategi dan teknik-teknik untuk mencapai kesepakatan.

Dalam kelompok literatur mengenai hal ini, isu-isu seperti kekuasaan

(power) (Boulding, 1999; Dawson, 1999; Fisher, 1995; Kritek, 1994),

42

Page 3: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

eskalasi dan de-eskalasi konflik (Bazerman & Neale, 1992; Kriesberg, 1995;

Rubin, Pruit & Him, 1994) serta pemecahan masalah secara berkolaborasi

(collaborative problem solving) (Fisher & Ury, 1981; Gray, 1989; Jandt,

1985) banyak mendapat perhatian.

Isu seputar masa lalu, ingatan dan faktor sejarah masa lampau

(historical past) dalam skenario konflik biasanya kurang diperhatikan,

kalau tidak dapat dikatakan diabaikan sama sekali. Meskipun kebanyakan

perundingan (negosiasi) pada kasus-kasus konflik akhir-akhir ini,

terutama, misalnya, antara Israel dan Palestina, Irlandia Utara,

memperlihatkan isu sejarah masa lalu selalu menjadi ganjalan bagi kedua

belah pihak untuk mencapai kesepakatan (Tint, 2002).

Fisher dan Ury (1981) misalnya, menulis tiga buku yang cukup

berpengaruh dalam literatur mengenai negosiasi. Getting to Yes (1981),

Getting Together (1988) dan Getting Past No (1991), yang pada intinya

memposisikan konflik terjadi ketika keinginan, kepentingan dan

kebutuhan kedua belah pihak berada pada posisi yang saling berlawanan

satu sama lain. Polarisasi kepentingan ini sering membawa kedua kubu

pada posisi zero-sum, kalah atau menang. Strategi negosiasi adalah

bagaimana membawa kedua belah pihak kepada keputusan yang memberi

kemungkinan untuk saling menguntungkan, atau yang dikenal sebagai

‘solusi menang-menang’ (win-win solution).

43

Page 4: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

Dalam perkembangan selanjutnya, karya Fisher dan Ury sedikit

membahas isu masa lalu tapi tidak dalam posisi yang beranggapan bahwa

masa lalu itu perlu mendapat perhatian. Bagi Fisher dan Ury (1981) masa

lalu adalah sesuatu yang harus diatasi atau ditinggalkan supaya tercapai

hasil yang memuaskan. Hanya ada satu pilihan, masa lalu atau masa depan,

seperti ungkapan mereka:

The question “Why?” has two quite diffferent meanings. One Looks backward for cause and treats our behavior as determined by prior events. The other looks forward for a purpose and treats our behavior as subject to our free will….Either we have free will ot it is determined that we behave as if we do. In either case, we make choices. We can choose to look back or to look forward. You will satisfy your interest better if you talk about where you would like to go rather than about where you have come from. Instead of arguing with the other side about the past..talk about what you want to have happen in the future. Instead of asking them to justify what they did yesterday, ask, who should do what tommorow?

(Fisher & Ury, 1981: 53)

Jelas sekali bahwa orientasinya adalah masa depan; melihat ke

belakang berarti merintangi kemungkinan untuk maju ke masa depan.

Faktor masa lalu adalah sesuatu yang bisa dan seharusnya diabaikan atau

ditinggalkan di belakang. Di sisi lain, mungkin benar bahwa orientasi ke

depan selalu lebih penting dibandingkan dengan melihat ke belakang.

Dalam kenyataannya, seperti yang disarankan Fisher dan Ury (1981), soal-

soal apa yang sudah pernah terjadi pada masa lalu tidak bisa dianggap

nihil. Kalaupun tidak bisa didamaikan (reconciling the past), paling tidak

masa lalu juga sesuatu yang harus dinegosiasikan (the negotiated past).

44

Page 5: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

Pengalaman kelompok yang berkonflik dalam jangka waktu yang cukup

panjang memperlihatkan betapa sulitnya pihak yang berkonflik untuk

hanya melihat ke masa depan dan faktor masa lalu ‘hanya ditinggal di

belakang’ (left behind), karena masih akan menjadi beban ingatan (memory

burden) yang terus menghantui masa depan.

3. Teori Psikologi Sosial

Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir ini, psikologi sosial memberikan

sumbangan yang signifikan dalam kajian resolusi konflik, diawali dengan

hasil karya Kurt Lewin (1948). Karya-karya Kurt Lewin dalam bidang

konflik sosial, keadilan sosial, dan dengan ‘action research’-nya telah

membuka jalan bagi psikolog sosial lainnya untuk memainkan peranan

yang lebih banyak dalam bidang resolusi konflik, di antaranya Morton

Deutsch.

Karya-karya Deutsch (1973, 1985, 2000) mengenai teori konflik,

kooperasi, kompetisi serta keadilan distributif, mengambil premis utama

bahwa konflik timbul akibat pola hubungan saling ketergantungan yang

bersifat negatif antara pihak-pihak yang bertikai (negative interdependence

between parties), dan masing-masing konflik akan mempunyai dimensi

kooperatif dan kompetitif sekaligus. Menurut Deutsch, konflik dengan

kadar kompetisi yang sangat tinggi cenderung untuk menjadi destruktif,

sementara konflik dalam iklim kooperasi yang tinggi justru akan menjadi 45

Page 6: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

konstruktif. Menurut teori ini, tujuan utama dari resolusi konflik adalah

mengubah dinamika konflik, dari yang kompetitif menjadi yang lebih

kooperatif. Namun sekali lagi, soal isu masa lalu juga kurang mendapat

tempat dalam pembahasan Deutsch. Misalnya, tetap akan menjadi

persoalan, apa yang akan terjadi dalam suatu skenario konflik bilamana

memang terjadi kooperasi, tapi kedua kelompok masih menyimpan sejarah

pertikaian dan kompetisi yang kuat. Dengan kata lain, dapat disimpulkan

bahwa kondisi kooperatif lebih mungkin dicapai jika tidak ada sejarah

pertikaian pada masa lalu yang masih belum selesai.

Walaupun tidak secara langsung berbicara mengenai pentingnya

sejarah dan masa lalu, Deutsch (1973) sebenarnya adalah psikolog sosial

pertama yang mulai mengaitkan hubungan antara ingatan (memory)

dengan identitas kolektif (collective identity). Lebih lanjut Deutsch

(1973:60) mengatakan: ”the existence of an historical time perspective, with

a sense of continuity relatedness, and awareness of shared memories of past

events contributes to heightened consciousness of group identity”. Walaupun

Deutsch mulai menganggap penting kaitan antara ingatan dan identitas

serta implikasinya terhadap perkembangan dan evolusi resolusi konflik,

namun ia tidak membahas soal ini lebih dalam. Kaitan antara ingatan dan

identitas akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan mengenai ingatan.

46

Page 7: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

Teori lain yang berakar dalam tradisi psikologi sosial, yang memberi-

kan sumbangan signifikan dalam teori resolusi konflik adalah teori

kebutuhan manusia (human needs theory). Terinspirasi dari teori Abraham

Maslow mengenai hierarki kebutuhan (1954, 1968), beberapa peneliti

menggarap isu ini lebih lanjut dan mengaitkannya secara langsung dengan

resolusi konflik (Burton, 1984, 1990a, 1990b, 1991; Fisher, 1990; Mitchell,

1990; Galtung, 1980, 1990; Klineberg, 1980; Lederer, dkk, 1980). Proposisi

utama teori ini adalah kebutuhan dasar manusia sebagai unsur mutlak

dalam pemenuhan kesejahteraan manusia. Kelompok atau individu akan

berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan ini. Konflik dan

kekerasan akan timbul dalam usaha memenuhi kebutuhan tersebut, jika

satu pihak merasa terhalangi atau terancam. Dalam hal ini, resolusi konflik

pun harus dipahami dalam konteks pemenuhan kebutuhan dasar.

John Burton (1984, 1990a, 1990b, 1991), adalah tokoh terkemuka

dalam kelompok teori ini. Hasil-hasil karyanya banyak diadopsi oleh

psikolog sosial yang bekerja di bidang tersebut. Burton membedakan

istilah pertikaian (dispute)—yang pengertiannya merujuk kepada

kesenjangan perebutan material namun masih dalam taraf yang bisa

dinegosiasikan—dengan konflik (conflict)—kondisi di mana kekurangan

atau deprivasi dalam kebutuhan dasar manusia sudah berada dalam taraf

yang tidak bisa lagi dinegosiasikan. Konflik identitas misalnya, menurut

47

Page 8: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

Burton berakar pada kebutuhan yang tidak bisa lagi dinegosiasikan, karena

kebutuhan akan identitas ini bersifat mendasar. Dengan demikian, jika kita

bisa mengaitkan identitas—walaupun Burton tidak secara eksplisit

melakukannya—dengan kesadaran tentang masa lalu, bisa dimengerti

mengapa konflik identitas yang berakar yang kuat pada masa lalu

terkadang sangat sulit untuk didamaikan.

Dengan landasan ini Burton ingin mengatakan bahwa usaha untuk

melakukan resolusi konflik pertama-tama harus mengupayakan

terciptanya kondisi yang memungkinkan pihak-pihak yang bertikai untuk

saling memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dengan cara yang konstruktif,

sehingga mengurangi kemungkinan timbulnya kekerasan dan konflik

terbuka. Burton mengemukakan ‘provention1’ (1990,a) sebagai istilah

untuk menghilangkan kondisi-kondisi yang berpotensi menjadi penyebab

dan pencetus konflik, sembari mempromosikan lingkungan yang positif

untuk memungkinkan masyarakat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya

secara konstruktif, lebih lanjut jelasnya, “Once we introduce the notion of

provention the total social environtment and sources of conflict become

1 Isitilah provention dikemukakan oleh John Burton (1990) sebagai pengganti atau padanan dengan kata prevention, yang menurut dia lebih berkonotasi pada pembatasan dan pencegahan semata, sementara kata provention diperkenalkan untuk lebih dari sekadar pencegahan tapi secara lebih jauh menghilangkan sumber-sumber konflik, dan secara lebih proaktif dan positif mempromosikan kondisi-kondisi di mana kolaborasi dan hubungan mendapat prioritas utama. (The term prevention has the connotation of containment. The term provention has been introduced to signify taking steps to remove sources of conflict, and more positively to promote conditions in wich collaborative and valued relationships control behaviors).

48

Page 9: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

relevant. Conflict provention adresses problems of social relationships and all

the conditions that affect them” (Burton, 1990a: 18).

Dengan konsep provention tersebut, Burton mengatakan semua

kondisi—“all the conditions”—yang memungkinkan timbulnya konflik

harus dihilangkan. Tidak terlalu jelas bagaimana Burton memasukkan

segala kondisi yang berakar pada masa lalu tersebut , bisa diatasi untuk

mencapai kondisi yang kondusif pada masa sekarang. Sepertinya Burton

menganggap hal itu sebagai sesuatu yang diterima begitu saja (taken as

given). Jelas bahwa analisis tersebut sangat mementingkan pemenuhan

kebutuhan masa sekarang dan masa depan, serta membahas—kalau tidak

bisa dikatakan tidak ada—sedikit sekali soal-soal tentang apa yang terjadi

di masyarakat pada masa lalu. Burton, misalnya, tidak terlalu peduli

dengan sejarah deprivasi atau sejarah marjinalisasi pada masa lalu. Asal

masa sekarang beres, soal-soal sejarah dan ingatan tidaklah terlalu

penting.

Burton bisa dipandang sebagai sarjana kelompok pertama dalam studi

resolusi konflik, tetapi teori-teorinya telah mengilhami banyak pakar

lainnya yang menerapkannya pada bidang praktik. Satu pakar psikologi

sosial yang paling terkemuka adalah Herbert Kelman (1990a, 1990b, 1991,

1996, 1997a, 1997b, 1998, 1999, 2001) yang mendefisikan pendekatannya

sebagai suatu aplikasi dari pendekatan kebutuhan manusia dalam resolusi

49

Page 10: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

konflik pada tingkat international (an application of human needs

perspective to international conflict resolution). Selama bertahun-tahun

Kelman melakukan serangkaian lokakarya untuk pemecahan masalah

(problem-solving workhsop) dalam dan antar kelompok-kelompok yang

bertikai. Hasil kerja Kelman yang paling signifikan adalah sebagai mediator

dalam usaha perdamaian selama konflik antara Israel dan Palestina

(1990b, 1997a, 1999, 2001).

Teknik lokakarya pemecahan masalah yang dikembangkan oleh

Kelman pada dasarnya mengandalkan pada proses mediasi nonformal oleh

pihak ketiga dengan mempertemukan orang-orang yang berpengaruh pada

kelompok-kelompok yang bertikai. Selama proses lokakarya, tujuan utama

dari kegiatan ini adalah diskusi untuk sampai pada kesepahamam timbal

balik, mengubah persepsi dan sikap terhadap konflik, dan yang terakhir

dan terutama adalah mengubah pola hubungan di antara pihak yang

bertikai. Pihak ketiga dalam hal ini lebih banyak berfungsi sebagai

fasilitator ketimbang sebagai intervensionis, dan pada umumnya berasal

dari kalangan akademis, bukan dari kalangan politisi. Karena tujuan dari

workshop ini tidak terutama pada tercapainya suatu keputusan atau

kesepakatan, namun harapannya lebih kepada terjadinya perubahan dalam

sikap dan hubungan di antara pihak yang bertikai, yang pada akhirnya

akan membuka jalan ke arah penyelesaian konflik yang lebih konstruktif.

50

Page 11: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

Kelman juga menganggap penting soal kebutuhan, terutama lebih kepada

soal kebutuhan kolektif, bukan pada kebutuhan individu dari partisipan.

Tidak seperti Burton, Kelman sudah lebih jelas mempertimbangkan

sejarah masa lalu sebagai bagian yang harus diperhatikan dalam sesi-sesi

workshopnya. Bagi Kelman, dinamika hubungan antara kondisi masa

sekarang dengan sejarah masa lalu harus diperhatikan supaya hasil

workshop dapat dimantapkan. Kelman misalnya memperingatkan, “Bahkan

di antara individu dan kelompok yang tampaknya sudah terbangun rasa

percaya dan kerjasama pun, tidak ada jaminan bahwa kondisi sekarang,

tingkah laku, ucapan-ucapan sekarang tidak akan membangkitkan serta

memicu luka lama.” Oleh karena itu, soal ini harus diperhatikan secara

berhati-hati. Kelman menegaskan bahwa mengetahui sejarah viktimisasi

(victimization) atau kekerasan yang pernah dialami satu pihak, penting

bagi pencapaian hasil dalam lokakarya pemecahan masalah (1990b, 1996).

Lebih lanjut dinyatakannya, “Mengetahui dan menghargai serta empati

dengan sejarah viktimisasi suatu bangsa akan memungkinkan masing-

masing pihak untuk bisa melepaskan diri dari belenggu sejarah masa lalu,

yang terus-menerus menjadi alasan bagi mereka untuk berkonflik.” Lebih

lanjut Kelman mengatakan:

Even.. Destructive elements cannot be made to disappear overnight in conflict that have pursued for many years – in some cases, for generation – and are marked by accumulated memories that are constantly being revived

51

Page 12: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

by new events and experiences. Conflict resolution doesn’t imply that past grievances and historical traumas have been forgotten and consistently harmonious relationship has been put in place. It simply implies that a process has been set into motion that addresses the central needs and fears of the societies and established continuing mechanisms to confront them.

(Kelman, 1997b: 197).

Bagi Kelman, isu ingatan harus diberlakukan dengan sangat hati-hati,

mengingat ingatan jika diperbandingkan dengan fakta sejarah lebih

bersifat lentur dan mudah untuk direkonstruksi sesuai dengan tujuan

politik:

In most intense protracted conflict..Historical traumas serve as the points of reference for current events. There is no question that ambitious, often ruthless, nationalistic leaders manipulated memories in order to whip up public support for their projects. But the fact remains that these memories – and the associated sense of injustice, abandonment and vulnerability – are part of the people’s consciousness and available for manipulation.

(Kelman, 1997b: 214).

Kelihatannya semenjak Kelman, mulai meningkatkan perhatian dari

para peneliti untuk memberi perhatian yang lebih serius pada trauma

sejarah dan pengaruh antargenerasinya pada suatu masyarakat. Namun

masih terdapat kesenjangan antara aspek penyembuhan (therapeutic

aspects) pada orang-orang yang menderita akibat konflik yang

berkepanjangan pada masa lalu dengan aspek ‘pemecahan masalah’ yang

berada pada dimensi masa sekarang. Dalam kebanyakan literatur

mengenai resolusi konflik, tampaknya hanya ada dua pilihan. Pertama,

membongkar akar-akar kesedihan, trauma, kemarahan masa lalu dan

52

Page 13: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

mencari cara untuk katarsis, serta berharap akan berakhir dengan

pemaafan. Pendekatan lain adalah dengan meninggalkan masa lalu dan

memulai hidup sebagai komunitas baru. Mengabungkan kedua pendekatan

tersebut dalam menangani konflik-konflik yang mengakar lama tampaknya

menjadi suatu hal yang sulit dilakukan; menuntaskan masa lalu, sekaligus

menuntaskan kesepakatan dan pemecahan masalah pada masa sekarang

(Lumsden & Wolfe, 1996).

Beberapa tahun terakhir mulai timbul perhatian yang serius dari para

pakar yang bergerak di bidang penelitian dan praktik resolusi konflik

tentang pentingnya faktor ingatan dalam kaitannya dengan konflik etnik.

Konsorsium psikolog dalam area Peace and Conflict Resolution yang

diketuai Prof. Ed Cairns, seorang psikolog dari University of Ulster, Irlandia

Utara dan Direktur INCORE (Initiative on Conflict Resolution and Ethnicity)

telah mengadakan beberapa kali simposium dan seminar, dan telah

berhasil mengangkat wacana tentang ingatan dan konflik etnik menjadi isu

yang penting. Karya-karya Cairns (1997, 1998, 1999, 2003) dengan kasus

Irlandia Utara cukup berhasil memperlihatkan hubungan yang erat antara

ingatan dan konflik. Penelitiannya mengenai hubungan antara ingatan dan

identitas menjadi sangat penting dalam menjelaskan mengapa konflik

terus berkepanjangan dan sukar untuk didamaikan—misalnya dengan

pedekatan negosiasi—hanya karena soal faktor identitas yang terkait

53

Page 14: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

dengan cara suatu komunitas mengartikan dan menempatkan ingatan

sebagai basis identitas. Studi Cairns (1997) juga memperlihatkan kaitan

yang erat antara faktor ingatan, dan kesehatan mental serta perpanjangan

konflik.

Pada tahun 1995, INCORE menjadi tuan rumah untuk pertemuan dan

workshop mengenai ‘Memories and Ethnic Conflict’. Para psikolog yang

bergerak dalam bidang perdamaian dan konflik ini berkumpul untuk

menelaah soal ini. Isu yang paling sering dibahas adalah mengenai ingatan

dan identitas, transmisi ingatan kolektif antargenerasi. Pengaruh kedua hal

tersebut pada usaha-usaha resolusi konflik dan rekonsiliasi. Patrick

Devine-Wright (1996, 2003), yang meninjau literatur mengenai ingatan

dan konflik etnik, menyatakan bahwa masih terlalu sedikit penelitian

empirik mengenai topik ini, sehingga masih diperlukan banyak penelitian

lanjutan untuk mengeksplorasi topik ini (Devine-Wright, 2003).

4. Rekonsiliasi

Dalam kebanyakan literatur mengenai rekonsiliasi, masa lalu justru

dipandang sebagai komponen terpenting untuk sampai kepada pemaafan

(forgiveness) terhadap kekekerasan dan kejahatan-kejahatan pada masa

lalu. Walaupun dalam hal ini, pemaafan secara sosial (social forgiveness)

dan pemaafan secara individual tidak selalu berjalan paralel (Montiel,

2002). Artinya, bisa saja seseorang memaafkan orang lain secara personal, 54

Page 15: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

tapi tidak dalam tataran kelompok atau apa yang disebut sebagai pemaafan

sosial. Dalam hal pemaafan secara sosial ini, komponen masa lalu dalam

bentuk ingatan kolektif—lebih dari sekadar ingatan individual—harus

dipertimbangkan supaya proses rekonsiliasi bisa tercapai. Montville (1991,

1993) mengatakan bahwa tahap pertama workshop yang menandai

rekonsiliasi justru adalah membicarakan sejarah konflik tersebut.

Healing and reconciliation in violent and ethnic and religious depend on a process of transactional contrition and forgiveness between aggressor and victims which is indispensable to the establishment of a new relationship based on mutual acceptance and reasonable trust. The process depends on joint analysis of the history of the conflict, recognition of injustice and historic wounds, and acceptance of moral responsibility where due. (Montville, 1993: 112).

Montville (1993) mengemukan idenya lebih lanjut seperti berikut:

The purpose of the walk through history is to elicit specific grievances and wounds of the groups or nations in conflcit, which have not been acknowledged by the side responsible for inflicting them. Only the victims know for certain which historic events sustain the sense of victimhood and these become cummulatively the agenda for healing. Published histories and official government versions of violent events iniatiated by the aggressors very rarely convey the unvarnished truth. The almost universal tendency in not to discuss or to gloss or mythologize an event or military concquest as a justified defense if not heroic advance for the nation or perhaps civilization itself…The need for revising and cleaning up the published historical record of a conflict intergroup or international relationship has become widely accpeted as an essential part of a reconciliation process.

(Montville, 1993: 115).

Literatur lain mengenai rekonsiliasi berbicara mengenai cara

mendorong proses pemaafan sosial sebagai suatu cara untuk melepaskan

55

Page 16: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

beban masa lalu. Momentum rekonsiliasi dipandang sebagai kesempatan

bagus untuk memotong lingkaran masa lalu dengan masa sekarang.

Rekonsiliasi dan Resolusi Konflik

Walaupun secara umum dipahami sebagai cara untuk mengakhiri

konflik (resolusi konflik), rekonsiliasi sebagai istilah dan konsep tidak

diartikan secara sama oleh para ilmuwan dan praktisi. Beberapa definisi,

misalnya, mengartikan rekonsiliasi sebagai suatu peristiwa (event).

Sebagian lagi menyatakan rekonsilasi sebagai proses dan hasil sekaligus.

Beberapa peneliti lainnya beranggapan rekonsiliasi lebih tepat dipandang

sebagai pemulihan hubungan (misalnya: Kriesberg, 1988, TRC Report,

1996).

Umumnya, rekonsiliasi dimaknai sebagai suatu usaha untuk

menyelesaikan konflik pada masa lalu sekaligus memperbarui hubungan

ke arah perdamaian dan hubungan yang lebih harmonis pada masa yang

akan datang, seperti apa yang dikatakan oleh Melor & Bretherton (2003:

39), sebagai berikut:

.. describe reconciliation as relating to our capacity to restore harmony to that which has been broken, severed and disrupted, implying not only that there is damage to be repaired, but also that there was at some previous stage an harmonious relationship…Our analysis of the reconciliation process presents it as having three stages: (1) coming to terms with the past; (2) taking responsibility in the present; and then (3) working together to make a better future. (cetak tebal: penulis).

56

Page 17: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

Pada bagian-bagian berikutnya, konsep rekonsiliasi akan dipaparkan

secara lebih rinci menurut lima aspek. Pertama, rekonsiliasi berdasarkan

model pendekatan teoretik, merujuk kepada salah satu model; rational

choice atau game theory, human need theory, dan forgiveness model. Kedua,

lingkup rekonsiliasi (spheres of reconciliation) merujuk pada pelbagai

aspek hubungan (identitas, sikap, keyakinan dan perilaku). Ketiga,

komponen rekonsiliasi, merujuk pada pelbagai kebutuhan sosial dari pihak

yang terlibat konflik (keadilan, kebenaran, penyembuhan dan rasa aman),

dan. Keempat, tingkatan rekonsiliasi, yang merujuk pada tingkatan

intervensi rekonsiliasi; apakah pada tingkat interpersonal, komunitas dan

nasional. Terakhir, rekonsiliasi dari aspek pendekatan; apakah pendekatan

dari bawah (bottom-up approach) ataukah dari atas (top-down approach).

5. Model Teoretik Rekonsiliasi

a. Teori Pilihan Rasional (rational choice model)

Model rekonsiliasi yang bertolak dari teori pilihan rasional ataupun

teori permainan (game theory) berangkat dari asumsi maksimalisasi

kegunaan, utility maximalization. Dasar teori ini adalah bahwa masyarakat

ataupun aktor (atau individu yang bertindak atas nama kolektiva), adalah

pelaku yang rasional, yang akan bertindak untuk mencapai hasil maksimal

yang mungkin dari setiap interaksinya. Dalam konteks rekonsiliasi,

terutama dalam konteks pertikaian internasional (international disputes),

57

Page 18: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

rekonsiliasi dapat dipahami sebagai tindakan atau keputusan terbaik yang

menguntungkan semua pihak yang didapat dari suatu proses perundingan

yang rasional.

Dalam pandangan teori ini, rekonsiliasi dapat dipandang sebagai

pilihan aktor politik yang mengambil manfaat maksimal buat keuntungan

pribadi atas nama kepentingan publik. Asumsi pengambilan keputusan

secara rasional (rational decission making) adalah sebagai berikut: 1) aktor

mempunyai tujuan tertentu; 2) tujuan tesebut merefleksikan kepentingan

aktor; 3) individu mempunyai kecederungan yang konsisten dan stabil; 4)

jika ada pelbagai macam pilihan, aktor akan memilih alternatif yang akan

memberikan keuntungan maksimal; 5) aktor dengan kepentingan politik

adalah pemain terpenting (Long & Brecke, 2003).

Menurut model pilihan rasional ini, keputusan untuk perang atau

rekonsiliasi sangat ditentukan oleh pola pertukaran (trade-off) dan

perhitungan untung-rugi (estimation of costs and benefits) (Long & Brecke,

2003). Menurut model ini, pemulihan hubungan baik adalah konsekuensi

dari tercapainya pilihan-pilihan rasional dalam suatu negosiasi untuk

mencapai suatu penyelesaain konflik (conflict settlement negotiation).

Karena model ini sangat mengandaikan pada asumsi rasionalistik, segala

sesuatu yang menyangkut kerugian harus bisa ditakar dan direkompensasi

secara hitungan yang rasional.

58

Page 19: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

Kritik terhadap pendekatan pilihan rasional ini adalah bahwa dalam

soal pemulihan hubungan pascakonflik atau rekonsiliasi, pola pertukaran

antara pihak-pihak yang bertikai tidak selamanya bisa diukur secara

rasional. Misalnya, sangat sukar untuk menentukan berapa pertukaran

yang layak untuk kematian, cacat, trauma dan kerugian-kerugian

psikologis lainnya. Keseimbangan rasional juga tidak selalu terjadi atas

pilihan pertukaran (trade-off) yang diambil, seperti yang diasumsikan teori

ini.

Kritik lain terhadap pendekatan teori pilihan rasional adalah pada

pemahamannya yang sempit mengenai tindakan manusia. Asumsi-asumsi

psikologis di balik teori ini adalah bahwa manusia selalu bisa

menggunakan alternatif pilihan rasional sebaik mungkin, berpijak pada

logika deduktif. Dalam kenyataannya, bahkan secara kognitif, pengambilan

keputusan lebih banyak mengandalkan pada cara-cara yang cepat

(heuristic). Persoalan lain adalah, teori ini mengabaikan faktor emosi dalam

rekonsiliasi.

Daya tarik teori pilihan rasional ini terletak pada kenyataan bahwa ia

memungkinkan semua pihak untuk merundingkan aspek pemuasan

kebutuhan-kebutuhan dasar seperti yang diisyaratkan oleh pendekatan

teori kebutuhan (human need theory) (Burton,1990, Kelman, 1990).

b. Teori Kebutuhan Manusia (human need theory).

59

Page 20: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

Model rekonsiliasi ini bertolak dari kenyataan bahwa konflik yang

berkepanjangan telah menimbulkan kondisi deprivasi, atau paling tidak

marginalisasi dalam pemenuhan kebutuhan manusia yang mendasar

(Burton, 1990, Kelman, 1990). Oleh karenanya, rekonsiliasi menurut

pandangan teori ini baru akan sukses jika momen rekonsiliasi bisa

menjamin akan tercapainya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan mendasar

ini. Teori ini terinspirasi oleh teori Maslow mengenai dasar motivasi

manusia. Proposisi utama yang disandang oleh teori ini adalah bagaimana-

pun motivasi manusia yang paling hakiki adalah pemenuhan kebutuhan

dasar dan kebutuhan eksistensi. Dalam hal ini dorongan pemenuhan

kebutuhan bisa menjadi dasar motivasi untuk melakukan rekonsiliasi, jika

dipersepsikan bahwa rekonsiliasi bisa menjamin terpenuhinya keinginan

kelompok untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhannya.

Posisi teori ini misalnya sejalan dengan teori sinyal (signal theory),

yang berhipotesis momen rekonsiliasi adalah semacam isyarat atau sinyal

bahwa perbaikan hubungan akan segera dimulai. Long & Brecke (2003:

18), mengatakan, “The best strategy for breaking a pattern of hostile

interactions is by sending signals that provide a measure of commitment to

the pursuit of improved relations. Reconciliation events or gestures are

particularly effective forms of this type of signal...” Berkaitan dengan teori

60

Page 21: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

kebutuhan, sinyal ini harus menjadi isyarat bagi semua pihak bahwa

rekonsiliasi akan menjamin tercapainya pemenuhan kebutuhan manusia.

Mengenai kebutuhan ini, Burton (1990a, 1990b) memberikan tiga

label untuk soal ini, yaitu kebutuhan (needs), nilai-nilai (values) dan

kepentingan (interests). Kebutuhan (needs) dimaksudkan oleh Burton

merujuk kepada kebutuhan universal seperti yang dimaksudkan Maslow,

yaitu kelompok kebutuhan biologis dan meta needs. Sementara itu nilai-

nilai (values) dimaksudkan oleh Burton lebih kepada ide-ide (ideas),

kebiasaan-kebiasaan (habits), adat (customs), dan kepercayaan-

kepercayaan (beliefs), yang menjadi ciri utama (identitas) suatu

kebudayaan, etnik ataupun kelompok. Berbeda dari kebutuhan yang

bersifat universal, biologis, atau bahkan genetis, nilai-nilai lebih bersifat

simbolik, terikat konteks sosial dan budaya. Kepentingan dimaksudkan

oleh Burton terkait dengan posisi, status dan peran seseorang atau

kelompok dalam konteks pekerjaan, ekonomi dan politik. Kepentingan bisa

dikatakan juga sebagai aspirasi seseorang atau kelompok. Kepentingan-

kepentingan ini bisa terwujud dalam bentuk material ataupun non

material, seperti kekuasaan, pengaruh, dll. Kepentingan mempunyai arti

strategis terutama dalam konteks politik karena akan mempengaruhi

bagaimana suatu keputusan politik akan diambil. Bahkan, misalnya, arena

61

Page 22: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

politik bisa dapat dikatakan sebagai arena di mana kepentingan-

kepentingan politik ditandingkan dan dinegosiasikan.

Salah satu ciri kepentingan—seperti yang diisyaratkan juga oleh teori

pilihan rasional—ialah bahwa kepentingan sangat mudah untuk

dipertukar-kan (trade-off) dan dinegosiasikan (negotiable), sedangkan

kebutuhan lebih bersifat mutlak dan kadang-kadang tidak bisa ditawar-

tawar lagi. Begitu juga dengan nilai-nilai yang pada titik tertentu tidak bisa

lagi dikompromikan. Kebutuhan yang lebih khusus misalnya, adalah

dorongan yang inheren untuk keperluan kelangsungan hidup (survival)

dan perkembangan, begitu juga identitas dan rasa hormat (recognition)

(Burton, 1990a, 1990b).

Proses negosiasi dalam rangka rekonsiliasi menurut Burton (19901,

1990b) adalah menjaga keseimbangan pertukaran antara kebutuhan, nilai-

nilai dan kepentingan-kepentingan. Dalam model rekonsilasi yang lebih

terintegrasi, isu mengenai hal ini tercakup dalam pengertian kompensasi

dan rekonstruksi.

c. Model Pemaafan (Forgiveness Model)

Model pemaafan bertitik tolak dari asumsi bahwa rekonsiliasi adalah

bagian dari proses pemaafan, atau proses transformasi emosi-emosi

tertentu, misalnya marah, dendam, menjadi kedekatan, hubungan baik

62

Page 23: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

serta terciptanya etos berdamai. Dengan adanya proses transformasi ini

terbukalah kemungkinan untuk memperbarui hubungan yang pernah

buruk, dan ini hanya bisa tercapai melalui proses pemaafan (Long &

Brecke, 2003). Model pemaafan ini jika dibandingkan dengan model-model

sebelumnya, mempunyai beberapa keunggulan, terutama pada kemam-

puannya untuk mempertimbangkan faktor emosi dan penalaran

(reasoning) sekaligus. Dalam model ini, rekonsiliasi dipandang sebagai

proses transformasi etos berkonflik (conflictive ethos) menjadi etos

berdamai (peace ethos). Kelemahan model ini terletak pada diperlukannya

usaha yang sungguh-sungguh untuk melaksanakannya, dan terkadang

proses pemaafan baru bisa terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama. Di

luar itu harus ada misalnya usaha-usaha untuk mengungkapkan

kebenaran, proses penyembuhan/ pemulihan dan pembenahan faktor

struktural.

Teori yang dikembangkan oleh seorang tokoh psikologi politik

terkemuka, Daniel Bar-Tal (2002), sebenarnya bisa dikategorikan ke dalam

kelompok model ini, walaupun ia tidak pernah secara eksplisit

mengatakan-nya. Menurut Bar-Tal (2000), proses rekonsiliasi terutama

harus menyen-tuh aspek psikologis yang terdalam pada masyarakat.

Rekonsiliasi menurut Bar-Tal (2000) harus mensyaratkan adanya

perubahan-perubahan psikolo-gis yang mendasar, yaitu proses

63

Page 24: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

transformasi beliefs dan sikap yang menyokong hubungan yang damai

(peacefull relation) antara pihak-pihak yang bermusuhan. Yang dimaksud

oleh Bar-Tal (2000), adalah harus terjadi perubahan etos dari etos

berkonflik (conflictive ethos) menjadi etos damai (peace ethos). Perubahan

etos ini hanya bisa terjadi jika adanya perubahan belief dalam masyarakat.

Proses perubahan etos ini menurut Bar-Tal (2000) bukanlah proses

yang mudah karena disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya proses

rekonsiliasi terkadang belum tentu menjamin adanya kesembuhan atau

pemulihan di tingkat individual (individual healing), healing process

terkadang hanya terjadi pada tingkat kolektif (collective healing), atau

sebaliknya. Terkadang terjadi proses healing pada tingkat individual,

namun tidak pada tingkat kolektif. Faktor lain adalah sulitnya perubahan

pada tingkat struktural. Namun salah satu faktor yang menurut Bar-Tal

paling penting adalah bagaimana mengubah keyakinan mengenai hakikat

hubungan antar kelompok (beliefs about adversary groups, beliefs about

intergroup relation) yang dipenuhi oleh rasa permusuhan dan sudah

tercetak dan tertanam dalam ingatan kolektif. Persoalan ini menurut Bar-

Tal (2000) sangat terkait dengan penilaian tentang masa lalu. Lebih lanjut

Bar-Tal (2000: 359) mengatakan:

“The new belief about the relation should also concern the past, the period of intractable conflict. The reconstruction of the past is an important part of reconciliation, because collective memory (cetak tebal, penulis) of the past

64

Page 25: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

underlies much of the animosity, hatred, and mistrust between the parties. The collective memory of each party views the past selectively in one-sided manner, focusing mostly on the misdeeds of the other group and its responsibility for the conflict, and on the glorification and victimhood of the ingroup.

Proses perubahan etos ini juga harus menyangkut mengenai belief

atau konsepsi dan harapan tentang tujuan-tujuan masyarakat pada masa

datang (beliefs about societal goals), dan belief mengenai prospek

perdamaian di masa mendatang (belief about peace). Dengan demikian,

jelas bagi Bar-Tal proses pemaafan tidak terjadi begitu saja, tapi lewat

proses transformasi kesadaran.

Long dan Brecke (2003) menggambarkan proses model pemaafan ini

ke dalam empat fase, seperti gambar di bawah ini:

Gambar 3.1Proses rekonsiliasi dengan model pemaafan(Sumber; Long & Brecke (2003: 31)

Pada fase pertama, kelompok yang berkonflik harus mau dan rela

menyadari apa yang telah terjadi pada masa lalu. Setiap kelompok yang

bertikai harus mau dan mampu menyadari kesalahan di masa lalu.

Idealnya proses pengungkapan kebenaran harus terbuka untuk publik,

65

Pengungkapan kebenaran

Redefinisi identitas sosial

Keadilan parsial

Kesediaan membangun

hubungan baru

Rekonsiliasi yang berhasil

Page 26: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

misalnya melalui investigasi resmi, laporan di media massa, dll. Memang

harus disadari konsekuensi psikologik dari proses ini. Pelbagai macam

reaksi bisa muncul dari proses ini; merasa malu, bersalah, dan perilaku

agresif. Seperti yang diungkapkan oleh Fitzgibbons (1998), cara coping

yang paling mungkin muncul, bisa dalam bentuk pengingkaran, agresivitas

aktif (marah) atau pasif (dendam) atau bisa juga pemaafan. Pilihan untuk

memaafkan mengharuskan semua pihak untuk menyadari terlebih dulu

(bukan mengikari) apa-apa yang telah terjadi, mengapa terjadi, siapa yang

melakukan, mengapa ia melakukan, apa kesalahannya. Seperti yang

dikatakan North (1998: 17), memaafkan bukan berarti melupakan, “The

forgiveness option requires recognition. Forgiveness does not remove the fact

or event of wrongdoing having been committed in order for the process of

forgiveness to be made possible. One does not forget, one remembers and

forgives.”

Pada fase kedua, persis sama seperti yang dikatakan Bar-Tal

sebelumnya, rekonsiliasi menghendaki kesediaan kelompok mengubah

sudut pandangnya mengenai posisi dan identitas kelompok sendiri, posisi

dan identitas kelompok lainnya (beliefs about adversary groups, beliefs

about intergroup relation). Redefenisi atau reframing hubungan

pascakonflik melibatkan sekaligus faktor kognitif dan emosi. Seperti yang

dikatakan Long & Brecke (2003: 30),

66

Page 27: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

Reframing the other, seperating the wrongdoer from the wrong wich has been committed… Reframing does not do away with the wrong itself, nor does it deny the wrongdoer’s responsibility for it, but it allows us to regard the wrongdoer in a more complete, more detailed, more rounded way..The other party is recognized as separate from the injury he or she inflicted, and the humanity of that person is acknowledge by those who have suffered.

Ketiga, kelompok-kelompok yang dirugikan sungguhpun berhak untuk

mendapat keadilan yang setimpal dengan apa yang telah diperbuat oleh

pihak perpetrator kepadanya sebelumnya, ataupun mempunyai

kesempatan untuk membalas dendam, hendaknya bisa menyadari bahwa

keadilan tidak akan bisa ditegakkan sepenuhnya. Menurut Long dan

Brecke, apa yang bisa dicapai dalam soal keadilan ini, hanya sebatas pada

yang disebut sebagai ‘partial justice’. Penegakan dan pencarian keadilan

dalam pengertian setuntas-tuntasnya tidak akan pernah didapat, yang

penting dalam hal ini adalah adanya perhatian pada pemenuhan ‘rasa

keadilan’ saja.

Keempat, proses rekonsiliasi harus diakhiri dengan keinginan untuk

membuat kontak lebih intens, jika perlu disertai dengan pemaafan secara

publik atau secara sosial (social forgiveness), menawarkan hubungan yang

lebih bagus, paling tidak hidup berdampingan secara damai (coexistence),

saling menghormati, dan saling toleran.

Proses rekonsiliasi menurut model pemaafan ini pada umumnya

terjadi menurut fase-fase di atas, walaupun tidak selalu berjalan berurutan

secara satu arah (linear). Kadang-kadang fase-fase tersebut berjalan secara 67

Page 28: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

berurutan, terkadang justru berlangsung secara simultan dalam saat yang

bersamaan. Proses dari keempat fase sebagai fungsi dari waktu dan

intensitas dalam digambarkan dalam bagan berikut:

intensitas

waktu keterangan :

pengungkapan kebenaran (truth telling)

keadilan parsial (partial justice)

kesediaan membangun hubungan baru

(call for new relationship)

redefinisi identitas (redefinition of identities)

Gambar 3.2 Sekuens Model Pemaafan

(Sumber: Long & Brecke, 2003: 31)

Lingkup Rekonsiliasi

68

Page 29: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

Rekonsiliasi pada intinya memperbaiki hubungan antara kelompok-

kelompok yang terpecah karena konflik. Dalam tingkat komunitas dan

nasional, rekonsiliasi bisa dianggap sebagai suatu gerakan untuk mencapai

hubungan yang lebih kooperatif. Empat hal utama selayaknya menjadi inti

dari gerakan rekonsiliasi. Pertama, mengembalikan hakikat kemanusiaan

semua kelompok, bahkan perpetrator sekalipun. Dengan kata lain, harus

ada kesediaan untuk menata kembali identitas dan pendefinisian ulang

hubungan antarkelompok. Dalam hal ini hak asasi dan kemanusiaan harus

mendapat prioritas pertama. Kedua, rekonsiliasi harus dipahami sebagai

penataan ulang tatanan moral baru, yang bertitik tolak dari adanya

konsesus mengenai nilai-nilai yang menyokong kerjasama. Ketiga,

pentingnya perubahan sikap (attitudinal aspect) dan keyakinan (belief).

Perubahan sikap dan belief adalah penting supaya seseorang bisa

mengatasi (cope) rasa ketakutan, rasa marah, dan dendam yang membuat

konflik berkepanjangan. Keempat, pola interaksi dengan kelompok musuh

harus direorientasi ulang ke arah hubungan saling tergantung yang

menguntungkan. Kelompok harus berani mengambil risiko untuk memulai

kontak baru supaya mulai timbul rasa percaya satu sama lain (Merwe,

1999).

Berdasarkan empat dimensi atau lingkup rekonsiliasi seperti yang

disebutkan di atas, empat dimensi hubungan dapat diidentifikasi sebagai:

69

Page 30: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

dimensi identitas, dimensi nilai-nilai yang mengarahkan interaksi, dimensi

sikap-sikap, dan dimensi pola-pola interaksi. Dengan mempergunakan

kerangka koseptual dari Dugan (1996), dimensi rekonsiliasi dapat

digambarkan ke dalam model lingkaran konsentris sebagai berikut:

Gambar 3.3. Dimensi Rekonsiliasi

(Sumber; Merwe (1999: 41)

Lingkaran terluar adalah dimensi tingkah laku atau dalam konteks

rekonsiliasi adalah pola-pola interaksi. Pada dimensi ini diperlihatkan

70

IDENTITAS

NILAI

SIKAP

PERILAKU

Page 31: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

apakah pola interaksinya cenderung ke arah kooperatif, atau justru masih

bernuansa konflik. Lingkaran kedua adalah aspek sikap, yang menyangkut

keyakinan dan sikap terhadap bekas musuhnya; apakah masih negatif atau

sudah bergeser menjadi positif. Lingkaran ketiga menyangkut sistem nilai

yang mendasari dan menentukan sikap dan perilaku—menyangkut

konsepsi tentang keadilan, prinsip-prinsip dasar kemanusiaan, dsb.

Perubahan dalam dimensi ini diyakini akan dapat mempengaruhi sikap

dan perilaku. Komponen keempat, yang terpenting yaitu menyangkut

identitas (baik kelompok sendiri dan kelompok musuh). Jika kelompok-

kelompok dapat mereposisi diri sendiri (kelompok sendiri) dan kelompok

lain dalam konteks konflik dan yang lebih terpenting redefinisi diri

pascarekonsiliasi. Pendefinisian identitas dengan cara ‘saya benar - dan

yang itu penindas, musuh’ bisa bergesar kepada kesadaran bahwa semua

kelompok mungkin bisa bersalah. Kalau transformasi identitas dapat

dilakukan, besar kemungkinan rekonsilasi pada dimensi lain akan tercapai

pula. Secara detail, masing-masing dimensi akan dibahas di bawah ini.

Rekonsiliasi dan Pola Interaksi

Dimensi rekonsiliasi yang paling tampak adalah pada aspek perilaku,

yaitu bagaimana pola interaksi antar kelompok selama, saat dan setelah

proses rekonsiliasi. Pola interaksi yang dikehendaki adalah yang tidak lagi

menunjukkan pola berkonflik (seperti eskalasi kekerasan, saling curiga),

71

Page 32: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

namun lebih ke arah pola interaksi yang kooperatif. Harus ada peningkatan

kualitas komunikasi yang lebih baik, mulai adanya pertukaran barang dan

jasa antarkelompok misalnya, bisa menjadi indikator mulai tumbuhnya

pola interaksi yang positif.

Pola tingkah laku dan sikap akan saling terkait untuk satu kelompok

dengan kelompok lainnya. Jarangnya interaksi misalnya, akan memperkuat

sikap berprasangka dan timbulnya stereotip. Rasa saling tidak percaya

(mistrust) sangat bergantung pada apakah pola interaksi masih terisolasi

satu sama lain, dan tidak adanya komunikasi yang terbuka. Tingkah laku

negatif yang ditampilkan oleh salah satu pihak akan memperkuat sikap

negatif pada kelompok lainnya, dan sikap negatif ini akan memicu pola

interaksi yang negatif. Sebaliknya pola interaksi yang positif akan

meningkatkan rasa percaya kelompok untuk berinteraksi dan berani

mengambil risiko yang lebih dari hubungan antar kelompok. Pola

hubungan timbal-balik (reciprocal) yang positif pada akhirnya adalah

modal utama untuk membangun rasa saling percaya (trust building) di

kemudian hari.

Rekonsiliasi dan Sikap

Satu indikator dari kesuksesan rekonsiliasi diukur dari terjadinya

perubahan sikap dari membenci, takut, tidak percaya, keinginan untuk

72

Page 33: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

membalas dendam menuju sikap saling menghormati, percaya dan

memaafkan (Merwe, 1999).

Mitchell (1981), mengklasifikasikan sikap ini menjadi dua kategori

besar:

1) berorientasi emosional, seperti perasaan marah, tidak percaya, dendam,

memandang rendah (scorn), curiga;

2) proses-proses kognitif, seperti stereotip, belief.

Proses perubahan sikap ini biasanya menjadi salah satu teknik

intervensi dalam usaha membangun kedamaian (peace building). Teknik

pelatihan seperti ‘cultural sensivity training’ biasanya memfokuskan

perhatiannya pada aspek sikap antarkelompok. Kraybill (1996)

mengatakan lebih detail seperti berikut:

Trust takes time and effort to build, and the only way to build it is through taking risk. In the beginning, trust may be low, so risk may that are taken are low too. But as trust grows, bigger risks are taken, leading to increased trust. Where people live in a state of shalom, risk and trust expand in an on-going cycle, and the relationship moves to an ever deepening plane.

(Kraybill, 1996: 19)

Rekonsiliasi dan nilai

Rekonsiliasi pada hakekatnya adalah penataan ulang tatanan moral

baru, tatanan nilai atau semacam kontrak sosial yang baru. Brummer

(1994) misalnya mengidentifikasi tiga kemungkinan jenis nilai-nilai dan

kaitannya dengan kemungkinan tercapainya rekonsiliasi. Pertama, nilai-

73

Page 34: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

nilai manipu-latif. Jika nilai ini yang dikedepankan, rekonsiliasi tidak akan

bisa menda-tangkan hubungan yang harmonis, karena bertolak belakang

dari nilai-nilai perdamaian. Kemungkinan kedua adalah muncul dalam

bentuk nilai-nilai kontraktual, dalam hal ini rekonsiliasi tercapai dengan

mendasarkan diri pada kontrak sosial, masing-masing pihak terikat pada

hak dan kewajiban masing-masing. Kemungkinan ketiga adalah

tumbuhnya nilai-nilai persaudaraan, persahabatan atau dinamakan oleh

Brummer (1994) sebagai fellowship. Dengan nilai ini pihak-pihak tidak

hanya sekadar mendasarkan hubungan pada sejenis kontrak sosial, tetapi

lebih terutama pada penghargaan dan empati, juga pada kebutuhan dan

kepentingan pihak lain, sama seperti ia menghargai kebutuhan dan

kepentingan kelompok sendiri. Brummer (1994) berpendapat nilai-nilai

fellowship ini penting untuk mengukuhkan identitas baru dalam proses

rekonsiliasi.

Memperbaiki hubungan dan menciptakan tatanan moral yang baru,

kalau perlu harus dilakukan dengan mengintrodusir nilai-nilai baru, ketim-

bang sekadar mengubah kerangka nilai-nilai yang sudah ada. Bahkan kalau

perlu tatanan sosial, politik dan kultural yang baru perlu diintrodusir

menyertai penataan nilai-nilai baru. Seperti yang dikatakan oleh Zalaquett

(1994: 9-10):

74

Page 35: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

Building or reconstructing a morally just order entails building political culture and setting in place values, institutions and policies that will guard against the

Rekonsiliasi dan Identitas

Pada dasarnya, perubahan dalam dimensi identitas dalam suatu

hubungan adalah pendefinisian ulang batas-batas yang membedakan dan

mencirikan suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Membangun suatu

identitas baru, ketika pencirian dan pembedaan identitas tidak lagi dalam

kategori ‘salah’ atau ‘benar’, ‘kita’ dan ‘musuh’ . Dalam hal ini misalnya citra

(image) yang dikaitkan dengan posisi sejarah masa lampau adalah penting

untuk pendefinisian ulang suatu identitas kelompok. Isu ingatan misalnya

adalah dalam kaitannya dengan soal identitas ini pula. Bahkan, rekonsiliasi

menurut Correa (1992) adalah ‘reconciling people with their history’, lebih

lanjut menurut dia:

Men and women not only to reconcile with each other, but also need to reconcile themselves as a people. They need to reconcile their own history as a nation. History is their mirror, in order to reconcile themselves, they first need to recognize themselves in that mirror.

Correa (1992: 493)

Citra dan identitas diri sendiri dan orang lain (musuh) selama konflik

biasanya terus-menerus didistorsi dan disimplifikasi sedemikian rupa,

sehingga penting kiranya momen rekonsiliasi dimanfaatkan untuk

meluruskan citra dan identitas ini. Masalah citra dan identitas ini perlu di

reevaluasi dengan mengkonfrontasikannya dengan fakta-fakta masa lalu

75

Page 36: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

sehingga posisi masing-masing identitas kelompok menjadi jelas, tidak lagi

terdistorsi.

Dimensi-dimensi Rekonsiliasi

Dari pembahasan di atas terlihatlah dimensi kunci dari rekonsiliasi

yang perlu diperhatikan adalah menyangkut ruang lingkup (spheres) yang

perlu diubah (identitas, nilai-nilai, sikap dan perilaku). Dua dimensi

lainnya yang juga perlu diperhatikan dan dibahas lebih detail adalah

komponen-komponen substantif dari rekonsiliasi (keadilan, kebenaran,

penyembuhan, dan rasa aman), dan pada tingkatan mana intervensi

diperlukan (individual, kelompok/komunitas atau nasional).

Secara singkat, dapat dikatakan bahwa dimensi ruang lingkup

memperlihatkan tingkat kedalaman perubahan di mana rekonsiliasi dapat

dilakukan. Apakah hanya pada perubahan sikap, nilai atau perilaku atau

sudah sampai pada perubahan identitas. Rekonsiliasi yang superfisial

misalnya hanya menyentuh perubahan sikap dan perilaku, sementara

transformasi kesadaran dan identitas antara kelompok-kelompok belum

tercapai.

Dimensi kedua dalam rekonsiliasi adalah komponen atau unsur-unsur

substantif yang perlu diperhatikan dalam proses rekonsiliasi. Unsur

substantif ini berkaitan dengan model kebutuhan manusia (human needs

theory). Artinya, unsur-unsur kebutuhan berikut harus dijadikan agenda

76

Page 37: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

(addressed) dalam proses rekonsiliasi. Unsur-unsur itu menyangkut;

kebenaran (truth), keadilan (justice), penyembuhan/pemulihan (healing)

dan rasa aman (security).

Dimensi berikutnya menyangkut pada tingkat sosial tempat

rekonsiliasi akan dilakukan; apakah pada tingkat individual, komunitas

atau nasional. Isu penting seputar dimensi ini adalah pada perdebatan di

seputar pertanyaan: pada tingkat manakah rekonsiliasi harus dilakukan?

Apakah rekonsiliasi pada suatu tingkatan tertentu mempengaruhi atau

menjadi presenden untuk tingkat lainnya? Apakah terjadi kesejajaran

(paralel) atau kontradiksi antara masing-masing tingkatan? Persoalan

tingkat ini juga jadi sangat relevan jika dikaitkan dengan strategi dan

ideologi rekonsiliasi, apakah dimulai dari bawah (bottom-up strategy)

ataukah dari atas ke bawah (top-down strategy). Strategi rekonsiliasi dari

atas ke bawah memulai proses rekonsiliasi dari tingkat nasional dengan

target elite dan pemimpin politik terlebih dahulu, baru kemudian pada

tingkat komunitas dan individual. Sementara strategi dari bawah memilih

mulai rekonsiliasi dari tingkat komunitas dan interpersonal terlebih

dahulu baru kemudian meningkat pada level nasional.

Secara diagram ketiga dimensi ini dapat digambarkan sebagai berikut:

77

Page 38: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

Gambar 3.4. Lingkup rekonsiliasi

(Sumber; Merwe (1999: 41)

Rekonsiliasi dapat juga digambarkan berdasarkan unsur atau kompo-

nen substantifnya dengan diagram lingkaran sebagai berikut:

Gambar 3.5 Komponen rekonsiliasi

(Sumber; Merwe (1999: 51)

78

IDENTITAS

NILAI

SIKAP

PERILAKU

KEADILAN

KEAMANAN

KEBENARANPEMULIHAN

Page 39: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

Dua gambar berikut dapat digabung menjadi model dua dimensi

sebagai berikut :

Gambar 3.6 Lingkup dan komponen rekonsiliasi

(Sumber; Merwe (1999: 51)

Dimensi ketiga dalam rekonsiliasi adalah dalam tingkat rekonsiliasi

yang dapat digambarkan ke dalam diagram vertikal sebagai berikut:

79

Identitas

Sikap

Perilaku

Nilai

KEBENARAN

KEAMANAN

PEMULIHAN

KEADILAN

NASIONAL

KOMUNITAS

ANTAR PERSONAL

Page 40: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

Gambar 3.7. Tingkat rekonsiliasi

(Sumber; Merwe (1999: 52)

Ketiga gambar diatas dapat dirangkum ke dalam model rekonsiliasi

tiga dimensi sebagai berikut:

Gambar 3.8. Model rekonsiliasi tiga dimensi

(Sumber; Merwe (1999: 53)

Komponen Rekonsiliasi: Kebutuhan-kebutuhan Sosial

Empat unsur penting sering disebut dalam banyak literatur menjadi

komponen terpenting dalam rekonsiliasi, yaitu kebenaran (truth), keadilan

(justice), penyembuhan/pemulihan (healing), dan rasa aman (security).

80

Nasional

Komunitas

Interpersonal

Page 41: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

Pada umumnya kebanyakan sarjana dan praktisi di bidang rekonsiliasi

menyebutkan empat unsur tersebut secara umum, namun ada beberapa

sarjana yang mengemukakan dengan cara sedikit berbeda. Lederach

(1994) melihat rekonsiliasi dalam tiga perspektif. Pertama, rekonsiliasi

sebagai hubungan. Kedua, rekonsiliasi sebagai ‘pergulatan’ (encounter),

dan ketiga, rekonsiliasi sebagai suatu ‘ruang sosial’ (social space). Yang

dimaksud oleh Lederach sebagai ‘ruang sosial’ adalah tempat di mana

konsep-konsep yang lazim disebut sebagai konsep keadilan (justice),

kedamaian (peace), pengampunan (mercy) dan kebenaran (truth) saling

berinteraksi. Secara diagram, lingkaran konsep Lederach dapat

digambarkan sebagai berikut:

Gambar 3.9. Komponen rekonsiliasi dari Lederach.

Bagi Lederach, keadilan (justice) mencakup ide-ide mengenai

persamaan hak (equality); bagaimana hak-hak asasi diwujudkan dan

dihormati, bagaimana restitusi dapat dilakukan. Sementara itu aspek 81

REKONSILIASI

KEADILAN

PENGAMPUNAN

KEBENARAN

PERDAMAIAN

Page 42: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

kebenaran (truth) mencakup penghargaan, kejujuran, pengungkapan dan

kejelasan (clarity). Pengampunan (mercy) merujuk kepada soal peneri-

maan, rahmat (grace), belas kasihan (compassion), penyembuhan, dan

pemulihan (healing). Dan kedamaian mencakup pengertian; harmoni,

kesatuan, kesejahteraan (well being), rasa aman (security), dan rasa hormat

(respect). Bagi Lederach, rekonsiliasi dalam hal ini lebih dilihat dari hasil

akhir terpenuhinya unsur-unsur ini.

Agak lain dari pendapat sebelumnya, Shriver (1985) mengembangkan

suatu model rekonsiliasi yang lebih menekankan pada aspek keadilan

(justice), ingatan dan harapan untuk komunitas pada masa datang. Shriver

(1985) mengatakan:

No ‘new integration’ will ever possible between enemies in a struggle over social justice without mutual achievement of a new memory of the past, a new justice in the present, and a new hope for community in the still-to-be achived future.

(Shriver, 1995: 217).

Model Shriver dapat digambarkan dalam diagram sebagai berikut:

82

Keadilan

Rekonsiliasi

Harapanterhadap masa depan

komunitas

Ingatan

Page 43: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

Gambar 3.10. Komponen rekonsiliasi menurut Shriver

Seperti terlihat dari gambar di atas, agak berbeda dari yang terdahulu

dalam memandang proses rekonsiliasi, Shriver sangat mementingkan

faktor ingatan dalam modelnya. Bagi Shriver, proses rekonsiliasi hanya

tercapai dengan mengintegrasikan ketiga komponen tersebut secara

menyeluruh. Rekonsiliasi adalah harapan baru untuk komunitas pada masa

depan sekaligus penyelesaian persoalan-persoalan masa lampau.

Baik model Shriver maupun Lederach, masing-masing komponennya

hampir mirip dan saling melengkapi satu sama lain. Model terintegrasi

yang dikembangkan oleh Merwe (1999) mencakupnya ke dalam satu

model terintegrasi seperti yang bisa dilihat pada gambar 3.8. Dalam model

tiga dimensi ini masing-masing tingkat kedalaman rekonsiliasi (identitas,

nilai-nilai, sikap dan perilaku) akan terus bergerak ke lingkaran terdalam

(identitas) jika masing-masing komponen rekonsilasi (keadilan,

kebenaran, pengampunan dan rasa aman) bisa terpenuhi selama proses

rekonsiliasi berlangsung. Rekonsiliasi mungkin bisa dipandang sebagai

penjumlah unsur-unsur yang mendukungnya, tapi tidak dalam pengertian

masing-masing komponen saling lepas satu sama lainnya. Misalnya,

keadilan lebih mungkin dirasakan kalau kebenaran diungkapkan.

Penyembuhan dan pemulihan akan mudah tercapai kalau ada keadilan dan

83

Page 44: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

kebenaran. Begitu juga dalam soal kedalaman intervensi, perubahan

tingkah laku akan memudahkan perubahan sikap. Transformasi kesadaran

(identitas) lebih mudah tercapai kalau didahului oleh perubahan nilai-nilai,

sikap dan perilaku.

Dengan begitu dapat dikatakan, rekonsiliasi adalah suatu proses

perubahan pada empat komponen penting yang berkaitan dengan

kebutuhan sosial pihak-pihak yang terkait. Pertama, pihak terkait harus

merasakan adanya keadilan. Keadilan pascarekonsiliasi harus diupayakan

untuk dipenuhi, sementara itu ketidakadilan harus dikoreksi. Kedua,

diperlukan kesadaran bahwa kebenaran pada masa lalu harus diungkap

dan dijelaskan secara terbuka. Ketiga, kerentanan kelompok untuk

memulai lagi konflik karena tidak adanya rasa aman harus dikurangi.

Dalam hal ini, kelompok-kelompok perlu mendapatkan jaminan keamanan,

bahwa eskalasi tidak akan terjadi lagi. Keempat, kelompok-kelompok

terkait perlu menyadari bahwa proses penyembuhan dan pemulihan

(healing) hanya bisa berlangsung kalau ada kemauan untuk menghargai

perasaan, luka-luka, trauma serta sejarah viktimisasi kelompok lainnya.

Pemulihan harga diri dan manajemen trauma diperlukan dalam rangka

pemulihan ini.

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, proses rekonsiliasi idealnya

mencoba memenuhi semua komponen dan dimensi rekonsiliasi, walapun

84

Page 45: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

prioritas bisa saja berbeda-beda antara satu budaya, bangsa, dan

komunitas tertentu. Maksudnya negara tertentu misalnya mungkin lebih

memprioritaskan isu kebenaran dulu, negara dan kelompok lain misalnya

memprioritaskan keadilan terlebih dahulu.

Model terintegrasi mengenai rekonsiliasi seperti yang terlihat dalam

gambar 3.8 mengisyaratkan bahwa pemenuhan komponen yang menjadi

kebutuhan sosial kelompok/komunitas perlu mendapat perhatian. Berikut

pembahasan mengenai komponen tersebut secara lebih detail.

Rekonsiliasi dan Keadilan

Betapapun beragamnya definisi dan pengertian ‘keadilan’ sebagai

suatu istilah ilmiah, semua ahli sepakat bahwa pemenuhan rasa keadilan

bersifat universal dan merupakan satu kebutuhan dasar manusia di muka

bumi ini. Mungkin terdapat pelbagai macam variasi dan ekspresi mengenai

keadilan, namun secara umum masyarakat bisa mengerti dan merasakan

apakah keadilan sudah tercapai atau belum.

Studi-studi dari ahli psikologi dan antropologi (Lerner, 1986; Nader &

Sursock, 1986) menyimpulkan bahwa motif untuk keadilan mungkin sama

mendasarnya dengan kebutuhan biologis lainnya. Kaitan mengenai motif

untuk keadilan (justice motive) dengan rekonsiliasinya oleh Zehr,

dikatakan sebagai berikut :

85

Page 46: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

The experience of justice is a basic human need. Without such an experience, healing and reconciliation are difficult or even impossible. Justice is a precondition for closure. A full sense of justice may, of course, be rare. However, even ‘approximate justice’ can help

(Zehr, 1990: 188)

Dalam konflik yang berat dan serius memang mustahil mendapatkan

keadilan, justru ketidakadilan biasanya merupakan salah sumber pecahnya

konflik. Perlakuan tidak adil dalam pelbagai macam bentuk, penindasan,

pengusiran, pengucilan, diskriminasi dan sebagainya menimbulkan ‘luka’

yang mendalam buat kelompok lainnya. Karenanya proses rekonsiliasi

harus bisa mengkoreksi praktik-praktik ketidakadilan pada masa lalu

lewat perbaikan strutural, pemerataan kesempatan, penegakan hukum dan

sebagainya. Perbaikan hubungan yang merupakan tujuan utama rekon-

siliasi akan mustahil tercapai jika pelanggaran hukum dan praktik ketidak-

adilan dibiarkan terus-menerus terjadi tanpa ada usaha yang serius untuk

memperbaikinya.

Kedua belah pihak secara bersama-sama harus mempunyai kesepa-

haman tentang bagaimana keadilan pada masa mendatang dapat

diwujudkan. Keadilan menurut Merwe (1999) adalah proses interaktif

yang menghendaki partisipasi aktif dari kedua belah pihak. Misalnya, soal

retribusi, soal rekonstruksi masa lalu, soal pengampunan dan pemaafan,

harus dirasakan adil oleh kedua belah pihak. Kedua belah pihak harus

86

Page 47: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

mempunyai kesepahaman bagaimana proses yang adil dalam menangani

masalah-masalah ini.

Dalam masa transisi (misalnya pascakonflik) ketika dukungan dan

mekanisme instituisi untuk mewujudkan keadilan sering kali tidak dapat

diterapkan, yang kemudian mengemuka justru persepsi satu dimensi

mengenai keadilan (salah – benar). Hal ini malah akan bersifat kontra-

produktif. Dalam hal ini banyak sarjana berpendapat bahwa konsep

keadilan transisi (transitional justice) lebih layak untuk dikedepankan.

Rekonsiliasi, Kebenaran dan Ingatan

Satu kata kunci untuk mencapai rekonsiliasi terletak pada cara

bagaimana menyikapi soal kebenaran di masa lalu, yang pada akhirnya

akan berkaitan dengan persolan sejarah dan ingatan. Maksudnya adalah

bahwa rekonsiliasi memerlukan kesepakatan di antara kelompok-

kelompok mengenai bagaimana masa lalu harus dipandang. Dengan kata

lain, harus ada kesepakatan antara kelompok-kelompok tentang aspek

‘kebenaran’ (truth) yang terjadi di masa lalu tersebut. Namun persoalannya

tidaklah sesederhana itu, mengingat beberapa persoalan kemudian akan

mengemuka. Pertama, karena biasanya antara pihak yang bertikai terdapat

perbedaan tentang versi kebenaran yang mereka pegang. Pertanyaannya;

versi kebenaran siapakah yang harus dipegang? Kalau terdapat perbedaan

versi, bagaimana mereka harus mencari titik tengah antara pelbagai 87

Page 48: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

macam versi tersebut? Kedua, bagaimanakah caranya kebenaran itu bisa

diungkap? Mekanisme dan instrumen apakah yang dapat diandalkan untuk

mengungkap kebenaran tersebut? Pada titik inilah kaitan antara masa lalu,

kebenaran, aspek sejarah dan ingatan akan saling berkaitan satu sama lain.

Kejadian-kejadian yang telah terjadi pada masa lalu akan selalu

menjadi bagian dari ingatan orang-orang dan komunitas yang

menyaksikannya, sebagian lagi akan menjadi fakta-fakta sejarah. Dengan

begitu jelaslah, bahwa kebenaran tentang masa lalu sebagian akan sangat

tergantung kepada faktor ingatan, sebagian lagi akan sangat tergantung

kepada ‘kecanggihan’ sejarah sebagai mekanisme perekam kejadian-

kejadian faktual. Persoalannya akan menjadi rumit manakala sejarah juga

tidak akan sepenuhnya bisa seratus persen objektif, sahih dan terandalkan

dalam merekam fakta sejarah. Kebenaran sejarah dalam ukuran

obyektivitas, tingkat kesahihan dan keterandalannya sering juga

diragukan. Kekurangan ini biasanya ditutupi oleh faktor ingatan, yakni

seberapa jauh masyarakat bisa menggunakan mekanisme ingatannya

untuk mengatasi kekurangan dalam fakta sejarah tersebut. Persoalanya

justru kemudian menjadi lebih rumit lagi, mengingat ingatan sebagai suatu

proses kognitif dan sebagai suatu proses konstruksi sosial justru sangat

rentan terhadap distorsi dan pengelabuan. Dengan demikian, jika

mengandalkan kebenaran tentang masa lalu pada faktor ingatan,

88

Page 49: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

kemungkinkan timbulnya konflik ingatan dibandingkan dengan konflik

sejarah lebih mungkin terjadi. Persoalan yang kemudian menjadi pelik

adalah bagaimana caranya merekonsiliasi sejarah sekaligus ingatan

tentang masa lalu tersebut.

Mengenai hal ini terdapat pelbagai macam solusi. Pertama, soal-soal

mengenai aspek kebenaran di masa lalu yang menjadi pelik karena

lemahnya faktor kebenaran sejarah dan tentu saja soal ingatan, akan

dicoba diatasi dengan memakai wasit atau hakim (arbitrase atau

pendekatan hukum) untuk menentukan mana yang paling benar. Dalam hal

ini tentu saja mekanisme hukum akan menjadi andalannya. Beberapa

orang misalnya menyakini bahwa pencarian aspek kebenaran melalui jalur

hukum ini lebih memungkinkan terpenuhinya aspek keadilan bagi semua

pihak. Namun sebagian yang lainnya justru memandang proses pencarian

kebenaran lewat pengadilan misalnya hanya akan menghasilkan ‘pihak

yang menang’ dan ‘pihak yang kalah’, yang justru di kemudian hari berpo-

tensi meninggalkan luka dan dendam baru, yang pada satu saat akan

berpotensi menimbulkan konflik baru.

Pendekatan kedua, mencoba menyelesaikan perbedaan mengenai

masa lalu ini dengan mencoba memperbincangkannya, mencari makna

baru, serta merundingkan di antara pihak-pihak yang terkait. Apa yang

diinginkan adalah bukan sekadar mencari kebenaran hukum atas masa

89

Page 50: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

lalu, namun yang lebih penting adalah adanya pemaknaan baru dan

kesepakatan baru tentang apa yang telah terjadi di masa lalu.

Pendekatan ketiga adalah dengan mencoba menggabungkan kedua

pendekatan di atas. Ada proses pengungkapan kebenaran dengan

pendekatan hukum dan sekaligus usaha untuk merekonsiliasi dan

menegosiasikan persoalan masa lalu tersebut. Pola ini adalah yang paing

ideal untuk sebuah gerakan rekonsiliasi. Berdamai atau melakukan

rekonsiliasi, yang intinya memaafkan kesalahan pihak lain, tidak berarti

bahwa kesalahan di masa lalu dilupakan dan kebenaran tentang hal itu

tidak diungkapkan. Semua pihak perlu mendapat kejelasan tentang apa

sebenarnya yang terjadi pada masa lalu. Kekaburan pengertian tentang

kejadian pada masa lalu akan terus-menerus menimbulkan perasaan saling

tidak percaya (mistrust), atau paling tidak akan menjadi beban ingatan

(memory burden) mengenai kejadian tersebut. Hal ini di kemudian hari

akan menjadi rintangan untuk mewujudkan rekonsiliasi.

Becker (1990) mengaitkan isu kebenaran, keadilan dan transformasi

sosial dalam rangka rekonsiliasi sebagai berikut:

To advance the process of social reparation, it will be necessary to publicly establish the truth of the victims’ experience. Truth, in this case, means the end of denial and silence. It means facing pain, loss, and conflict that have been intentionally avoided in the belief that if things are not mentioned they cease to exist and that wounds not reopened will allow social peace. Establishing the truth is necessarily linked to demands for justice, but the process cannot and must not end there. Clarifying responsibilities for what

90

Page 51: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

happened is a necessary but not a sufficient condition for obtaining truth. At both the individual and collective levels, the capacity for being moved ethically and emotionally must be recovered.

(Becker, 1990: 133)

Negara yang punya pengalaman dalam mengungkap aspek kebenar-

an, keadilan dan rekonsiliasi adalah Afrika Selatan. Deputy chairperson TRC

commission, Alex Boraine, mengungkapkan pengalaman Afrika Selatan

sebagai berikut:

To seek truth is not necessity an act of revenge, nor does it need to deteriorate into a witch-hunt. To know the truth is to counter the deceit, the cover-ups, which characterize much of oppression in South Africa. In this sense, truth is the beginning of reconciliation. To perpetuate the living of a lie makes reconciliation impossible.

(Boraine, 1994: x)

Bagi Shriver isu kebenaran dan pemaafan adalah elemen terpenting

dalam rekonsiliasi. Bagi dia rekonsiliasi tidak akan tercapai kalau dua hal

ini tidak dibicarakan sungguh-sungguh oleh para pihak yang bertikai. Lebih

lanjut ia mengatakan:

Begins with a remembering and a moral judgment of wrong, injustice, and injury… Absent a preliminary agreement between two or more parties that there is something from the past to be forgiven, forgiveness stalls in the starting gate.

(Shriver, 1995: 7)

Jelaslah kelihatan, bahwa aspek kebenaran tidak dapat dilepaskan dari

persoalan mengingat (remembrance). Mengingat dalam suatu masya-rakat

yang akan direkonsiliasikan memerlukan adanya pertautan ingatan dengan

masa lalu. Dalam pengertian ini, masyarakat tetap perlu mengingat 91

Page 52: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

kejadian-kejadian tersebut tanpa disertai dengan perasaan dendam,

melainkan menerimanya dengan ikhlas sebagai bagian dari masa lalu.

Kehilangan ingatan terhadap masa lalu adalah kehilangan jati diri

masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat memerlukan kesamaan

pengetahuan mengenai ingatan kolektif tentang masa lalu, dan dengan

begitu identitas yang sama dapat ditegakkan. Tidak ada lagi perpecahan

yang disebabkan karena adanya perbedaan dalam faktor ingatan kolektif.

Where common memory is lacking, where men do not share in the same past there can be no real community, and where community is to be formed common memory must be created… The measure of our distance from each other in our nations and our groups can be taken by noting the divergence, the separateness and leack of sympathy in our social memories. Conversely the measure of our unity is the extent of our common memory.

(Niebuhr, 1941: 9).

A society cannot reconcile itself on the grounds of a divided memory. Since memory is identity, this would result in a divided identity. It would thus be important to reveal the truth and so build a moral order.

(Zalaquett, 1994: 13).

Sehubungan dengan persoalan ingatan ini, memang ada keengganan

dan resistansi yang besar untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya

terjadi pada masa lalu. Mengingat begitu banyak kekerasan-kekerasan dan

pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang telah terjadi di masa lalu,

yang notabene banyak menginggalkan perasaan traumatik. Bagi para

pelaku (perpetrator), jika pelanggaran ini diungkap maka akan berisiko

kepada posisi politik mereka di saat sekarang, atau kemungkinan untuk

92

Page 53: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

mendapatkan hukuman jika terbukti bersalah. Bagi para korban,

pengungkapan ini juga tidak mudah karena akan berisiko pada

pembangkitan kembali luka-luka lama yang sebenarnya ingin mereka

lupakan. Namun menurut Jelin (1994), walaupun pahit hal ini selayaknya

tetap harus diungkap. Karena, walau bagaimanapun, ingatan tidak akan

pernah bisa diabaikan dan dilupakan begitu saja, bahkan demi dalih untuk

ke masa depan sekalipun.

[The] human rights movement is an ‘entrepreneur’ attempting to promote a certain kind of memory. Its adversaries belong to two political streams with alternative ideological projects: there are those who want to glorify the behavior of the military as heroes…, and there are those who seeks to heal society’s wounds and conflicts through forgetfulness and ‘reconciliation’, concentrating their efforts on the (economic and political) urgencies of the presents and trying to ‘look toward the future’…[The goal of the human rights movement] is a political and ideological task that stems from identifying remembrance with the construction of political culture and identity.

(Jellin, 1994: 50)

Lebih lanjut, Jellin mengatakan :

Only when the incorporation of historical events becomes an active and dynamic process can it feed into the construction of a democratic culture and collective identity. In this sense, there is a double historical danger: oblivion and void fostered by politics and its complement, ritualized repetition of the traumatic and sinister story, of tragedy reappearing constantly without the chance for new subjectivities to emerge.

(Jellin, 1994: 53)

Terlepas dari pola mana yang akan ditempuh dalam penegakan

keberaran, harus diingat bahwa pencarian kebenaran pada masa lalu harus

menjamin tercapainya rekonsiliasi, bukan malah sebaliknya menimbulkan

93

Page 54: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

konflik baru. Proses rekonsiliasi seharusnya menjadi sarana yang tepat

untuk merekonsiliasi ingatan terhadap masa lalu.

Rekonsiliasi dan Rasa Aman / Pemberdayaan

Rekonsiliasi pada intinya adalah perubahan dalam hubungan

antarkelompok ke arah hubungan baru yang dilandasi oleh tingkat

kepercayaan (trust) tertentu. Karena proses membangun saling percaya

(trust building) ini adalah mutlak—dan selama dalam prosesnya masih

akan terdapat risiko pola kekerasan bisa muncul kembali—makanya

selama proses ini tingkat rasa aman (security) antarkelompok harus bisa

dijamin. Harus ada jaminan bahwa eskalasi kekerasan, ataupun

penyalahgunaan kekuasaan seperti yang pernah dilakukan pada masa lalu,

tidak akan terulang lagi.

Di tempat-tempat di mana konflik sering ditandai dengan pelanggaran

berat hak asasi manusia serta eskalasi kekerasan, diperlukan perlindungan

bagi kelompok-kelompok untuk tidak terkena eskalasi kekerasan. Kalau

perlu, diciptakan semacam zona damai di mana kelompok bisa merasa

aman. Perlindungan rasa aman juga dibutuhkan kelompok dari kemung-

kinan untuk terancam tidak hanya dalam pengertian fisik, tapi juga

keterancaman secara verbal, oleh proses ‘labeling’ dan lain-lainnya.

94

Page 55: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

Rekonsiliasi dan Pemulihan

Satu pertanyaan penting dalam proses rekonsiliasi adalah apakah

rekonsiliasi menghasilkan penyembuhan dan pemulihan baik pada tingkat

individual, komunitas dan nasional? Terkadang kita berhadapan dengan

lingkaran setan rekonsiliasi-pemulihan. Rekonsiliasi diasumsikan

memerlu-kan tingkat pemulihan tertentu untuk bisa terwujud; pulih dulu

baru rekonsiliasi. Di lain pihak, kalau rekonsiliasi tercapai, maka

pemulihan adalah hasil akhir dari proses rekonsiliasi tersebut. Terlepas

dari sukarnya menarik batas dalam pengertian anteseden-konsekuen dari

pemulihan atau penyembuhan dan rekonsiliasi, yang terpenting adalah

proses rekonsiliasi harus secara bersungguh-sungguh mengupayakan

tercapainya proses penyembuhan (pemulihan) baik pada tingkat

individual, komunitas dan masyarakat (Winslow, 1997, Merwe, 1999),

seperti yang dikatakan Desmond Tutu sebagai chairperson TRC di Afrika

Selatan:

Our nation needs healing. Victims and survivors need healing. Perpetrator are, in their own way, victims of apartheid system and they, too, need healing

(Tutu, 2000: ).

Sama dengan komponen rekonsiliasi lainnya, penyembuhan atau

pemulihan (healing) lebih tepat dipandang sebagai prasyarat dan sekaligus

hasil akhir dari proses rekonsiliasi. Maksudnya, tingkat pemulihan tertentu

dalam individu dan kelompok diperlukan supaya mereka bisa melangkah

95

Page 56: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

ke proses rekonsiliasi dalam skala yang lebih besar. Sebaliknya kalau

rekonsiliasi tercapai, proses penyembuhan atau pemulihan baik pada

tingkat individu, kelompok ataupun bangsa bisa dipercepat, sebagaimana

dikatakan Montvile (1989 & 1983).

Islah

Sebagai sebuah istilah, islah diartikan dalam Kamus Besar Bahasa

Indonesia (KBBI) sebagai ‘perdamaian atau penyelesaian suatu pertikaian’.

Menurut Mubarok (2001), istilah islah berasal dari kosa kata bahasa Arab

yang berarti kurang lebih sama dengan rekonsiliasi. Lebih lanjut Mubarok

(2001) mengatakan:

In Arabic Language, reconciliation called as “ishlah” which is from the world of “Shalaha”. “Shalaha” defines as an opposite meaning of damage, that is good, proper, suitable and peaceful reconciliation and compromise…

Furthermore, the term of ishlah in the Quran means to improve ourselves toward other person, family, or even society. In the surah of as-Syura/42:40, Ishlah is recommended for people who are suffering from a despotic government. In this context, they are encouraged to forgive and to treat people who made despotic action nicely, though they are able to make revenge.

(Mubarok, 2001: 65-66)

Dari definisi tersebut, jelas bahwa istilah islah adalah pengertian

umum yang mencakup rekonsiliasi, resolusi konflik dan perdamaian.

Landasan utama dari islah adalah adanya kesediaan dari korban untuk

tidak membalas dendam, sungguhpun ia diperbolehkan untuk dan bisa

melakukannya. Nilai keutamaan dari islah terletak pada kemampuan dan 96

Page 57: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

kemauan untuk memberikan maaf kepada pihak yang telah menyebabkan

penderitaan (berbuat zalim) terhadap korban. Dalam perspektif Al Qur’an

lebih lanjut dikatakan bahwa islah dianggap sebagai suatu bentuk

penyelesaian konflik secara bijaksana.

Ingatan (Memory)

Bagaimana manusia mengingat masa lalunya adalah salah satu

pertanyaan utama yang menjadi perhatian banyak sarjana dan peneliti dari

pelbagai macam disiplin ilmu, mulai dari biologi, psikologi, filsafat,

antropologi hingga sosiologi. Jalan panjang dalam rangka menjawab

pertanyaan di atas telah menghasilkan banyak temuan dan teori. Studi

tentang mengingat (remembering) dan tentang ingatan (memory) dalam

perspektif ingatan individual (individual memory)—terutama dalam model

kognitif atau yang sering juga disebut dengan model pengolahan informasi

(human information processing)—pada umumnya mendominasi literatur-

literatur psikologi mengenai ingatan. Disertasi ini tidak akan membahas

ingatan dalam pengertian dan perspektif ini, namun difokuskan kepada

97

Page 58: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

ingatan dalam pengertian ‘shared memory’ atau yang lebih sering disebut

sebagai ingatan kolektif (collective memory). Pembaca yang ingin

mempelajari literatur mengenai studi ingatan dalam perspektif individual

dan kognitif bisa melihat pada Baddeley, 1983; Boles, 1988, Neisser, 1982,

Neisser & Winograd, 1988; Parkin, 1987; Ross, 1991, Tulving & Craik,

2000.

Pembahasan berikut akan menguraikan lebih lanjut soal ingatan

kolektif ini, dan terutama kaitannnya dengan konflik dan rekonsiliasi.

Ingatan Kolektif (Collective Memory)

Who are the keeper of collective memories? In the final analysis, we all are.

(Neal, 1998: 213)

Kebanyakan riset dan teori dalam psikologi pada umumnya difokus-

kan pada proses penyimpanan dan pemanggilan kembali (recall) informasi

yang sudah disimpan dalam diri individu. Proses-proses kognitif yang

mendapat perhatian utama adalah seperti proses jejak ingatan (mnemonic),

penyimpanan dan pemanggilan (storage and retrieval), akurasi ingatan

(accuracy of recollection). Dalam bidang psikologi, studi mengenai ingatan

secara tradisional diserahkan pada psikolog eksperimental atau psikolog

kognitif. Akhir-akhir ini, bidang psikologi sosial mulai menggeser pusat

98

Page 59: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

studinya kepada psikologi sosial yang lebih berorientasi pada analisis

tingkat kelompok sosial (group level of analysis) ketimbang hanya sekadar

invidual. Kesadaran ini misalnya mulai dilontarkan oleh Stephan & Stephan

(1985) dalam bukunya The Two Social Psychologies: An integrated

Approach. Menurut Stephan & Stephan (1985), tingkah laku sosial manusia

hanya bisa dijelaskan dengan lebih memuaskan jika penjelasan pada

tingkat individu (individual level) berjalan paralel dengan penjelasan pada

tingkat kelompok (group level of analysis). Konsep ingatan kolektif,

collective memory—ingatan yang dipunyai oleh kelompok sosial—menjadi

subjek penelitian dari banyak psikolog sosial akhir-akhir ini (Pennebaker,

dkk, 1997), dan menjadi konstruk yang signifikan dalam kaitannya dengan

konflik etnik (Cairns & Roe, 2003). Penelitian-penelitian mengenai ingatan

kolektif, tampaknya adalah salah satu respon terhadap buku Stephan &

Stephan tadi.

Akar pemikiran mengenai ingatan kolektif dapat ditelusuri pada

Durkheim (1912) seorang pemikir sosiologi terkemuka. Konsep Durkheim

mengenai ‘collective representations’ misalnya dimaksudkan sebagai

bagaimana suatu masyarakat atau kelompok mengembangkan sistem

kepercayaan mereka sendiri, dan pada akhirnya hidup dalam representasi

itu serta kemudian menjadi ciri dan identitas mereka. Bartlett (1923,

1932) seorang psikolog sosial eksperimental dalam karya monumentalnya

99

Page 60: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

yang berjudul Remembering: A Study in Experimental and Social Psychology,

meletakkan batu pertama dalam studi ingatan ke arah ingatan kolektif.

Penjelasan Bartlet (1932), tentang pentingnya representasi sosial dan

proses rekonstruksi sosial dalam proses mengingat telah memperlihatkan

kelemahan pendekatan kognitif individual semata dalam menjelaskan

bagaimana ingatan dibagi (shared). Salah satu temuan Bartlett adalah,

bahwa konstruksi sosial dan budaya akan memberikan semacam ‘skema

sosial’ yang membuat hasil recall dalam studi ingatan menjadi bias. Hasil

eksperimentasi sosial Bartlett menyimpulkan bahwa ketika proses

mengingat diletakkan dalam konteks sosial, proses rekonstruksi sosial

lebih memungkinkan terjadi daripada hanya sekadar mekanisme kognitif,

recalling.

Ide tentang ingatan kolektif (collective memory) ini kemudian menjadi

sangat terkenal setelah dikembangkan oleh Maurice Halbwachs (1950/

1980; 1982), seorang murid Durkheim, yang banyak belajar dan mengajar

psikologi sosial (Coser, 1992). Sejak Maurice Halbwach mempelopori

konsep collective memory, sejumlah sarjana dan peneliti dari pelbagai latar

belakang disiplin ilmu mulai mengeksplorasi konsep ini dengan pelbagai

variasi perspektif teori dan metodologi, misalnya: Connerton, 1989;

Fentres & Wickham, 1992; Huton, 1993; Middleton & Edwards, 1990b;

Neiser, 1982; Neisser & Winograd, 1988; Pennebaker & Banasik, 1997;

100

Page 61: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

Schwartz, 1982, Cairns & Roe, 2003, untuk menyebut beberapa di

antaranya.

Menurut Halbwachs dan pengikut-pengikutnya, ingatan adalah suatu

konstruk yang tidak bisa dipisahkan dari domain sosial tempat orang

tinggal. Posisi Halbwachs ini juga didukung oleh psikolog Rusia Lev

Vygotsky (Wertsch,1985). Masing-masing mereka mempertanyakan

anggapan bahwa ingatan hanya ada pada individu. Halbwachs (1922)

berargumentasi bahwa pada hakikatnya hampir semua ingatan manusia

dibentuk dan diorganisir dalam konteks kolektif. Hampir semua kejadian,

pengalaman, dibentuk lewat interaksi individu dengan orang lain.

Karenanya masyarakat akan memberikan bingkai (framework) pada

keyakinan-keyakinan, pengetahuan, tingkah laku dan proses-proses

rekoleksinya. Asumsi Vygotsky hampir sama Halbwachs, dengan

mengatakan bahwa ingatan orang dewasa sangat tergantung pada

masyarakat atau komunitas. Mekanisme sosial yang mengarahkan ingatan

adalah bahasa dan wacana (discourse). Bahasa dan wacana merupakan

simbol utama yang akan mendefinisikan bingkai ingatan manusia, yang

dalam hal ini sangat terikat konteks sosial (Bakhursts, 1990).

Halbwach lebih lanjut mengatakan bahwa kelompok sosial atau

kelompok kultural menyediakan dasar-dasar bagi pembentukan ingatan,

dan yang akan menentukan apa yang akan diingat dan bagaimana manusia

101

Page 62: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

mengingatnya. Halbwach berbicara mengenai lokalisasi ingatan

(localization of memory) dengan berargumen bahwa ingatan (memory)

tersebut ‘berada’ di dalam kelompok-kelompok tersebut, dan secara

bersamaan ada juga ‘di dalam’ individu-individu yang berada dalam

kelompok tersebut.

What makes recent memories hang together is not that they are contiguous in time: it is rather that they are part of a totality of thoughts common to a group, the group of people with whom we have a relationship at this moment, or with whom we have had a relation on the preceding day or days. To recall them it is hence sufficient that we place ourselves in the perspective of this group, that we adopt its interests and follow the slant of its reflections. Exactly the same process occurs when we attempt to localize older memories. We have to place them within a totality of memories common to other groups..

(Halbwach, 1992: 52).

Salah satu premis utama dari teori Halbwach terletak pada argumen-

tasinya bahwa proses wacana dan bahasa adalah elemen utama dalam

ingatan. Seseorang dalam mengingat atau membuat kaitan dengan masa

lalunya adalah dengan cara membicarakannya dengan orang lain. Menurut

Halbwach (1952), sebagai makhluk sosial, proses mengingat manusia

sangat dipengaruhi oleh interaksi kita dengan orang lain, dan pengaruh

dari interaksi inilah yang pada akhirnya mempengaruhi proses internal

kognitif seseorang. Premis ini misalnya ditegaskan lagi oleh Neal (1998)

sebagai berikut:

We usually think of memory as reflected in the retrieval of information that is stored in the brains of individuals. However, in the final analysis, memory is a

102

Page 63: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

collective phenomenon. The human brain is certainly central to what we associate with being human. After all, it is the complexity and sophistication of the human brain that sets us apart from all other animals. In the final analysis, however, the contents of the human brain are primarily social in character. It is through the use of language and other symbols, and through our interactions with others, that we construct the possibilities and the limits of the world around us. Images of ourselves and of our external environment are shaped by memories that are passed on by legions of men and women we have never known and shall never meet.

(Neal, 1998 : 202)

Neal (1998) berpendapat, bahwa hanya dengan cara mengkonsep-

tualisasikan ingatan dengan cara seperti inilah kita punya cara untuk

memulai dimensi baru dalam studi mengenai ingatan, dan yang akan

menghubungkan kita dengan masa lalu. Dalam hal ini ingatan individual

tidak lagi dipisahkan dengan konteks sosialnya. Apa yang diingat dan

bagaimana cara kita mengingat dalam suatu konteks sejarah, politik, sosial,

dan budaya menjadi sangat penting.

Ingatan kolektif (collective memory) sering disamarkan pengertiannya

dengan ingatan sosial (social memory). Beberapa ahli memang meng-

anggap pengertiannya sama saja, di antaranya Swindler & Arditi (dalam

Pennebaker, 1997). Sementara itu, Paez & Basabe (1997, dalam

Pennebaker, 1997), membedakan konsep ini. Menurut mereka, “Collective

memory ask how social groups remember, forget, or reappropriate the

knowledge of the social past” atau seperti yang dikatakan oleh Wegner

sebagai ingatan kolektif adalah:

103

Page 64: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

Collective memory is the memory of the society”. Collective memory, on the other hand, can be considered as distributed process of memory or transactive memory.

(Wegner ,1998, dalam Paez, Basabe & Gonzalez, 1997: 147)

Sementara itu, ingatan sosial dianggap sebagai pengaruh-pengaruh

faktor-faktor sosial tertentu terhadap ingatan invididu atau pengaruhnya

terhadap ingatan-ingatan dalam masyarakat (social memory can be

conceived of as the influence that certain social factors have on the individual

memory or the memory in society). Terlihat disini ada penajaman konsep.

Pertama dibedakan antara ‘ingatan’ itu sendiri, apa yang dinama-kan

sebagai ingatan yang dibagi (shared)oleh sebagian besar masyarakat atau

ingatan kolektif (collective memory). Kedua, yaitu ingatan sosial (social

memory), atau bagaimana faktor-faktor sosial membingkai dan mempe-

ngaruhi ingatan tadi. Pada kenyataannya dalam pelbagai riset perbedaan

yang tajam antara social memory dan collective memory tidaklah terlalu

dipersoalkan. Dalam memahami ingatan kolektif, kedua hal ini sukar

dilepaskan satu sama lain. Dari pelbagai sumber, secara ringkas pengertian

collective memory dapat diringkas sebagai berikut :

Collective memories are widely shared images and knowledge of a past event that has not been personally experienced, is collectively created and shared, and has social functions.

(Schuman & Scott, 1989)

Collective memories: those socially and culturally influenced memories that are shared by individuals within different groups of society, and whose main characteristic include :

104

Page 65: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

a) These memories have a discursive nature and are based on communication. They are constructed, transmitted, and modified through talk.

b). Collective rememberring is a dynamic process by which images of the past are influenced by discourses in the present and reinterpreted to the context in wich they are articulated and by reference to their future implications for a nations’s self-understanding and political priorities.

c). Collective memories are contested: Groups battle for the acceptance of their different versions of the past and a society’s memories are negotiated and defined within a context of debate, sometimes fierce and sustained.

d). Memory is spatial. Nora (1989:9) notes that memory “takes root in the concrete, in spaces, gestures, images, and objects”.

(Burke, 1989; Fentriss & Wickham, 1992; Halbwachs, 1980, 1982; Huyssen, 1995; Middleton & Edwards, 1990; Nora, 1989; 1996; Pennebaker, dkk, 1997; Sturken, 1997; Zelizer, 1995).

Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik suatu pengertian dan

defenisi yang mencakup keseluruhan pengertian tentang ingatan kolektif

(collective memory) sebagai berikut:

Ingatan kolektif adalah: ingatan, gambaran, pengetahuan tentang masa lalu yang dikenang secara bersama oleh individu-individu yang ada dalam kelompok. Ingatan tersebut sifatnya dibagi (shared), ditransmisikan, dan dilanggengkan bersama lewat proses diskursif (komunikasi, bahasa, tulisan, percakapan, dialog, diskusi, dll) atau juga lewat tindakan nyata (bodily practices) seperti: perayaan dan upacara (commemoration), pergerakan sosial (social movement). Dalam hal ini, antara ingatan individual dan ingatan kolektif saling melengkapi satu sama lain, dalam arti kata proses berbagi bersama secara sosial (social sharing) akan membingkaikan dan mengarahkan persepsi dan ingatan masing-masing individu tentang masa lalu, dan semacam narasi tentang hal itu akan timbul dalam kelompok. Isu dalam ingatan kolektif bukan sekadar apa yang diingat, tetapi malah mengapa itu yang diingat dan bagaimana mengingatnya.

105

Page 66: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

Ingatan Kolektif dan Ingatan Individual.

While the collective memory endures and draws strenght from its base in coherent body of people, it is individuals as group members who remember.

(Halbwachs, 1950: 48)

Walaupun maksud dan tujuan disertasi ini ingin mengeksplorasi lebih

lanjut isu ingatan kolektif, sejumlah riset tradisional mengenai ingatan

dalam psikologi kiranya relevan juga untuk diuraikan, terutama yang

berkaitan sangat erat dengan kolektif ingatan.

Kiranya relevan untuk menguraikan dimensi dari ingatan individual

yang dapat diterapkan dalam konteks sosial dan lebih jauh bagaimana

hubungan timbal baliknya dengan ingatan kolektif. Seperti yang dikatakan

Halbwachs (1950), setiap kelompok pastilah terdiri dari individu-individu

yang menjadi anggotanya, namun seperti juga prinsip Psikologi Gestalt,

keseluruhan tidak sama dengan penjumlahan bagian-bagiannya. Ingatan

kelompok tidak sama dengan penjumlahan ingatan anggota-anggota

kelompok. Ingatan kelompok terbentuk bukan karena penjumlahan elemen

ingatan individual, namun ingatan kelompok timbul karena proses

pertukaran atau proses diskursif lewat proses social sharing yang terjadi

antar anggota dalam kelompok. Dalam bahasa kelompok teori representasi

sosial (Moscovici, 2000), pengertian ingatan kolektif ini bisa kita

106

Page 67: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

analogkan sebagai representasi sosial kelompok atas masa lalu (social

representation of the past).

Studi-studi ingatan dalam pengertian psikologi kognitif individual,

memberikan istilah autobiographical memory (Conway, dkk, 1992; Kotre,

1995; Neisser & Fivush, 1994; Ross, 1991; Rubin, 1986, 1996) untuk

menunjuk bagaimana sesorang mengingat aspek personal dari masa

lalunya. Studi-studi dalam bidang autobiographical memory misalnya

membahas isu-isu seperti: seberapa jauh individu bisa mengingat

kehidupan masa lampaunya, bagaimana akurasi dari ingatannya, mengapa

individu hanya mengingat hal tertentu dan melupakan hal tertentu lainnya.

Kalau kita menempatkan posisi autobiograhical memory dalam konteks

ingatan kolektif, hal itu akan menambah dan memperkaya dinamika dari

ingatan kolektif. Hutton (1993) misalnya, menganggap hubungan antara

ingatan individu dengan ingatan kelompok adalah penting, dalam

pengertian ingatan kolektif adalah sarana bagi ingatan individual untuk

menempati signifikansi sosial:

.. memory is only able to endure within sustaining social contexts. Individual images of the past are provisional. They are ‘remembered’ only when they are located within the conceptual structures that are defined by communities at large. Without the life-support system of group confirmation, individual memories wither away…even individual memories have their social dimension, for they are in fact composite images in which personal reminiscences are woven into an understanding of the past that is socially acquired.

(Hutton, 1993 : 6)

107

Page 68: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

Memisahkan dan menganggap yang satu (antara ingatan kolektif dan

ingatan individu) lebih penting dari yang lain akan membawa kita pada

pemahaman parsial, dan akan kehilangan dinamika dalam memahami

hakikat ingatan manusia (human memory). Ingatan kolektif misalnya

muncul sebagai hasil interaksi dan proses diskursif dari anggota-anggota

yang saling berkomunikasi satu sama lain. Kalaupun terjadi kontradiksi

antara ingatan individual dan ingatan kolektif, proses ini tidak bisa

dikatakan sebagai peniadaan satu sama lain. Wagner (1987) misalnya lebih

setuju untuk menggunakan istilah sistem ingatan transaktif (transactive

memory system) untuk merujuk pada proses timbal balik antara ingatan

individual dan ingatan kolektif. Menurut Wagner (1997), fenomena ingatan

kolektif tidaklah tepat jika diletakkan semata-mata dalam pengertian

tempat ber’da’nya (reside); apakah berada di dalam individu atau di dalam

kelompok, namun di antara keduanya, bahkan mungkin dalam interaksi

dan transaksi di antara dan di dalam kelompok tersebut (Wagner, 1997).

Lebih lanjut ia mengatakan:

This unique quality of transactive memory brings with it the realization that we are speaking of a constructed system, a mode of group operation that is build up over time by its individual constituents. Once in place, then the transactive memory system can have an impact on what the group as a whole can remember, and, as a result, on what individuals in the group remember and regard as correct even outside the group. In short, transactive memory derives from individuals to form a group information processing system that eventually may return to have a profound influence upon its individual participants.

108

Page 69: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

(Wagner, 1987: 191)

Fenomena sistem ingatan transaktif ini misalnya bisa diterapkan

untuk menjelaskan gejala ‘roupthink’ dari Janis (1983), yang mengatakan

pikiran kelompok kerap kali mengambil alih dan lebih berkuasa dari

pikiran individual. Ia adalah kesadaran dan pikiran kelompok yang

mentran-sendensi pikiran dan kesadaran anggotanya, the whole becomes

greater than the sum of its parts.

Proses-proses Ingatan

Teori-teori psikologi kongnitif atau pengolahan informasi (human

information processing) biasanya memfokuskan perhatiannya pada proses

bagaimana individu menyimpan (store) dan memanggil kembali (recall)

informasi (Baddeley, 1989; Siegel, 1999; Tulving & Craik, 2000; Wegner,

1987). Walaupun seperti dikatakan Bolles (1998), proses mengingat

adalah seni berimajinasi, bahkan tidak ada ‘lokasi’ dalam otak yang jelas-

jelas menunjukkan di mana soal masa lalu itu disimpan, “remembering is as

act of imagination. There is no storehouse of information about the past

anywhere in our brain” (Bolles, 1998: xi).

Proses-proses ingatan dalam model psikologi kognitif umumnya

dibagi kedalam empat tahap:

- Sensing and perception: yaitu cara bagaimana informasi

sampai ke manusia, dan bagaimana manusia menyerap informasi tersebut.

109

Page 70: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

- Encoding: proses saat kita memilah-milah, memberi arti dan

memberikan kode tertentu terhadap pesan atau informasi

- Storage: sistem dan cara penyimpanan informasi.

- Retrieval: proses yang memungkinkan kita mengambil kembali

informasi yang disimpan.

Tahapan dan proses ini kalau kita kaitkan dengan ingatan kolektif

serta implikasinya terhadap resolusi konflik adalah: pada tahapan mana

saja dalam proses ingatan tersebut yang rentan terhadap pemalsuan dan

pengelabuan.

Tahapan awal dalam proses ingatan, persepsi, misalnya adalah akar

dari konflik. Kebanyakan premis utama dalam literatur mengenai resolusi

konflik adalah bahwa persepsi yang berbeda-beda terhadap suatu hal

adalah kerap kali menjadi penyebab utama dari konflik (Folger & Poole,

1984; Singer, 1998a, 1998b). Persepsi acapkali sangat subjektif, mudah

berubah, bahkan acapkali keliru yang pada akhirnya akan makin

mempertajam konflik. Walaupun demikian, bukan berarti pada tahapan-

tahapan lainnya kemungkinan untuk timbul distorsi dan subjektifitas tidak

tinggi. Dalam beberapa studi di antaranya; Bartlett (1932); Baddeley

(1989); Conway (1996), Rubin, (1996), justru menunjukkan proses

pemanggilan kembali (retrieval) sepertinya adalah tahapan yang paling

rentan terhadap bias. Ingatan pada kenyataannya tidaklah diberi kode,

disimpan, dan dipanggil seperti bagaimana kita memahami dalam

110

Page 71: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

pengertian ‘mesin’ yang sempurna, namun dalam prosesnya hal-hal seperti

subjektivitas, emosi, khayalan, narasi akan mewarnai proses coding,

storage dan retrieval (Rubin, 1996).

Adanya kesalahan dalam proses recalling tidak hanya menyangkut

soal akurasi, tapi terkadang juga bahkan orang bisa mengingat dan

mengeluarkan lagi ingatan tentang kejadian-kejadian yang tidak pernah

dialaminya sama sekali. Gejala ini sering disebut sebagai: sindroma ingatan

palsu, False Memory Syndrom (Loftus, 1979).

Bias, subjektifitas dan kesalahan-kesalahan dalam proses ingatan ini

ternyata tidak hanya murni gejala individual, tapi dijumpai juga pada

ingatan kolektif. Hampir sama dengan gejala pada ingatan individual,

fenomena bias pada ingatan kolektif juga ada pada tahap persepsi,

encoding, storage, terutama pada tahap retrieval. Halbwachs misalnya

menegaskan bahwa: ”even at the moment of reproducing the past our

imagination remains under the influence of the present social milieu”

(Halbwach, 1992 : 49).

Distorsi atas ingatan kolektif ini kadang-kadang memang disengaja

untuk kepentingan politik tertentu. Dalam kaitannya dengan resolusi

konflik dan rekonsiliasi, pengelabuan dan pendistorsian ingatan kolektif ini

bisa merintangi jalan ke arah rekonsiliasi. Atau bisa juga bisa sebaliknya,

terjadinya perubahan pemahaman kita atas masa lalu suatu kelompok yang

111

Page 72: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

negatif dan dalam kaitannya dengan identitas kelompok di masa sekarang

akan mempermudah jalan ke arah pemaafan dan rekonsiliasi.

Ingatan Kolektif dalam Perspektif Waktu

The simple passage of time reshape memory.

(Schudson, 1995 : 348)

Satu pertanyaan penting dalam studi ingatan adalah: apakah ada

korelasi antara lama berjalannya waktu dengan akurasi ingatan? Studi-

studi klasik dalam bidang psikologi kognitif tentang ingatan, misalnya

tentang kurva lupa dari Ebbinghaus (Baddeley, 1982) memang memperli-

hatkan bahwa ingatan akan cenderung memburuk sejalan dengan

berjalannya waktu. Artinya ingatan kita tentang suatu hal dari waktu ke

waktu cenderung akan berkurang, yang pada suatu titik lebih tepat

dikatakan sebagai suatu bentuk lupa (forgetting). Prinsip-prinsip dalam

ingatan individual ini akan berlaku juga pada ingatan kolektif, namun tidak

dalam pengertian yang linear seperti dalam perspektif ingatan individual.

Schudson (1995) mengatakan bahwa isu mengenai ketidakakuratan

ingatan kolektif seiring dengan berjalannya waktu bisa jadi tidak terlalu

relevan, dalam pengertian bahwa memang pada kenyataannya dengan

berlalunya waktu ingatan kolektif pasti sedikit banyak akan berubah.

Paling tidak dua aspek dari ingatan kolektif akan berubah sejalan dengan

proses berjalannya waktu. Pertama, detail tertentu akan mulai berkurang

112

Page 73: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

dan mungkin hilang. Ingatan lama-kelamaan bisa menjadi lebih kabur

(vague). Kedua, intensionalitas emosi dan perhatian mengenai hal tersebut

akan terus berkurang. Dengan demikian arti pentingnya ingatan tersebut

baik bagi individu, kelompok ataupun bangsa akan menjadi berkurang.

Dengan begitu lama-kelamaan suatu ingatan bisa menghilang (fade away).

Namun sebegitu jauh tidak ada hukum yang pasti dalam jangka waktu

berapa lama suatu ingatan kolektif akan tetap bertahan, dan dalam jangka

waktu berapa lama suatu ingatan kolektif akan menghilang ditelan waktu.

Beberapa variabel misalnya bisa dianggap sebagai variabel moderator

terhadap pengaruh dari waktu terhadap ingatan kolektif. Pertama, akan

sangat tergantung kepada seberapa penting suatu ingatan dalam kaitannya

dengan suatu identitas, terutama identitas politik. Semakin penting suatu

ingatan untuk keberlangsungan identitas, semakin besar kemungkinan

ingatan tersebut dilestarikan. Dalam hal ini kepentingan politik, kekuasaan,

faktor kultural akan menentukan seberapa jauh ingatan kolektif tersebut

akan terus ditransmisikan ke generasi berikutnya, termasuk juga seberapa

jauh ingatan tersebut akan diubah, dimodifikasi, direkonstruksi ulang, dan

atau diciptakan ingatan baru.

Dengan tidak terelakkannya dimensi waktu dalam ingatan kolektif,

dengan cara yang sama pula faktor waktu sebenarnya dapat dimanfaatkan

sebagai suatu sarana untuk mendistorsi ingatan kolektif. Schudson (1995)

113

Page 74: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

misalnya menyebutkan bahwa strategi ‘distanciation’ (membiarkan untuk

waktu yang lama, sehingga tercipta jarak waktu yang lama dengan

peristiwa), adalah lazim dipakai misalnya dalam konteks politik ingatan.

Misalnya, apa yang sebelumnya dikatakan sebagai strategi pendiaman

ingatan (the silent memory). Strategi pendiaman ini biasanya dipadukan

dengan kontrol represi negara untuk tidak mengingat suatu peristiwa.

Strategi ‘distanciation’ yang tidak dipadukan dengan kontrol represif,

asal bersifat alamiah dan sukarela sebenarnya tidak selamanya bersifat

merugikan, bahkan seperti prinsip umum yang berlaku, time heals all the

wounds. Sedikitnya ada dua keuntungan yang didapat dengan berlalunya

waktu. Pertama, kemungkinan terjadinya perubahan sudut pandang

(perspektif). Dengan berjalannya waktu, ada kesempatan untuk meman-

dang persoalan pada masa lalu secara lain, tidak hanya dari perspektif yang

selama ini mereka yakini. Kedua, soal peredaan kadar emosi. Dengan

berjalannya waktu emosi-emosi negatif yang menyertai ingatan kolektif

dapat berkurang seiring dengan berjalannya waktu.

Transmisi Ingatan Kolektif

The structure of memory is quite complex and sensitive to both external and internal factors as it constructs the past, the present and the future.

(Siegel, 1999: 23-23)

114

Page 75: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

Satu pertanyaan penting adalah, jika ingatan kolektif tidak harus suatu

ingatan yang dialami langsung oleh seseorang, lantas dari mana asal usul

dan datangnya ingatan itu, dan bagaimana ia ditransmisikan. Penelitian

dalam bidang ingatan kolektif memperlihatkan pelbagai macam cara

masyarakat belajar tentang masa lalu mereka. Ada institusi-instusi yang

akan bertindak sebagai penampung yang konsisten bagi penciptaan dan

pelanggengan ingatan-ingatan tersebut dalam suatu kelompok atau

masyarakat. Dalam kebanyakan literatur, dapat ditelusuri tiga macam

sumber ingatan kolektif, yaitu: keluarga dan kelompok (Fivush, 1991;

Halbwachs, 1992; Hirst & Manier, 1996; Neisser, 1994), pendidikan (Apple

& Christian-Smith, 1991; Firer, 1998; Fratczak, 1981) dan media (Farr,

1990; Neal, 1998; Nerone & Wartella, 1989; Wegner, 1987).

Dalam kebanyakan penelitian, keluarga sering diidentifikasi sebagai

institusi awal tempat seseorang mewariskan ingatan kolektifnya. Seperti

yang dikatakan Halbwachs:

It is true that all sort of ideas can call to mind recollections of our family. In fact, from the moment that family is the group within we pass the major part of our life, family thoughts become ingredients of most of our thoughts.

(Halbwachs, 1992: 61)

Pewarisan ingatan kolektif ini misalnya dapat ditelusuri dari cerita-

cerita dan narasi-narasi dalam keluarga lewat transmisi oral (oral trans-

mission). Lewat cara transmisi oral inilah ingatan kolektif ditransmisikan

115

Page 76: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

dari satu generasi ke generasi lainnya. Oleh karena itu tidak hanya ingatan

personal atau dalam dimensi personal yang ditransmisikan, namun ingatan

tentang peristiwa sosial, politik dan kultural juga ikut ditransmisikan.

Karenanya beberapa isu-isu kultural, politik, sosial sangat mudah terselip-

kan dalam cerita-cerita keluarga. Oleh karena itu, keluarga dan kelompok

terdekat memang merupakan sumber ingatan politik dan ingatan kultural

yang paling signifikan (Fivush, 1991).

Pendidikan adalah sumber lainnya di mana ingatan kolektif

ditanamkan dan ditransmisikan. Beberapa penelitian memperlihatkan

bahwa konstruksi sosial atas buku teks dan kurikulum sekolah mempunyai

pengaruh yang besar dalam penciptaan dan pelanggengan ingatan kolektif

(Apple & Chistina-Smith, 1991; Lerner, Nagai, & Rothman, 1995). Dalam

soal ini, misalnya pengaruh politik dalam bentuk kekuatan untuk

mengontrol informasi menjadi faktor penentu yang signifikan, bahkan

walaupun dalam bentuk kontrol yang tidak langsung sekalipun.

Media massa juga mempunyai pengaruh yang besar dalam

mentransmisikan ingatan-ingatan tertentu. Koran, radio, televisi punya

pengaruh dalam menentukan dan memilih hanya untuk menyiarkan

peristiwa tertentu dan tidak peristiwa lainnya. Para pelaku media juga bisa

memasukkan opini dan ideologi tertentu dalam pemberitaannya. Menurut

Neal (1998), masyarakat tidak hanya merespon informasi yang disiarkan

116

Page 77: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

oleh media tapi juga kepada interpretasi, makna dan opini yang dibawakan

berita tersebut. Seperti halnya juga dalam area pendidikan, kontrol politik

dalam hal ini sangat berkaitan dengan kontribusi media terhadap ingatan

kolektif.

Sebegitu jauh kita telah melihat pengaruh keluarga, pendidikan dan

media dalam memahami bagaimana (why) dan di mana (where) ingatan

kolektif ditanamkan. Namun faktor terpenting lainnya adalah pada saat

kapan (when) ingatan kolektif menjadi sangat penting dan menonjol

(salient).

Memang pada kenyataannya ingatan kolektif bertumbuh dan

berevolusi sepanjang masa dalam kehidupan individu dan masyarakat. Ada

saat-saat tertentu dalam kesadaran kolektif kita yang mudah sekali

menerima pengaruh.

Riset-riset dalam bidang ingatan kolektif (Neal, 1998; Schuman &

Scott, 1989) memperlihatkan bahwa orang-orang cenderung mengingat

dan tidak mudah lupa pada kejadian-kejadian yang terjadi ketika mereka

berada pada usia remaja sampai dewasa awal, masa-masa yang disebut

sebagai masa pembentukan identitas (the formating years). Fenomena ini

dikenal sebagai ‘generational effects’ dalam studi ingatan kolektif. Selama

periode ini, satu generasi dalam masa (cohort) ini akan terkena pengaruh

yang sama dan akan mengingat secara bersama-sama (collective

117

Page 78: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

remembering) semua peristiwa budaya, politik, sosial yang ada di sekitar

mereka. Ingatan dari satu generasi mungkin berbeda dengan ingatan di

satu generasi lainnya, mungkin bisa jadi terjadi kesenjangan (gap), bia jadi

terjadi konflik (conflicting memories), atau pelanggengan ingatan (perpetu-

ating memories).

Dalam hal ini kemungkinan mana yang akan terjadi akan sangat

ditentukan oleh bagaimana pola transmisi ingatan kolektif itu. Kuatnya

penanaman dan pewarisan ingatan kolektif oleh ketiga institusi tadi;

keluarga, pendidikan dan media boleh jadi akan melanggengkan ingatan

kolektif suatu komunitas.

Sementara itu, sejarah menurut Pennebaker (1997) besar kemung-

kinan akan bersumber dari ingatan kolektif orang-orang pada masa itu

yang punya kekuatan sosial dan politik untuk menuliskannya, seperti yang

ia katakan:

Members of a given cohort who have been affected by large-scale events will be the very people who subsequently write the event’s history and influence the collective memories for succeding generations

(Pennebaker, 1997: viii)

Ingatan Kolektif sebagai Konstruksi Sosial

Memory is where social constructionism and developmental psychology meet

(Neisser, 1994 : 11)

118

Page 79: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

Tidak diragukan lagi semenjak dari era Bartlett (1932) sampai pada

teori dan penelitian mutakhir dalam era psikologi kognitif—terutama pada

eranya Urich Neisser—satu premis dasar dari psikologi kognitif yang tidak

terbantahkan adalah bahwa manusia akan secara selektif memproses dan

menginterpretasikan dunia sekeliling mereka. Di antara pelbagai macam

teori yang ada, terdapat satu asumsi universal: proses-proses kognitif akan

diarahkan oleh kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan dari individu

(Robinson, 1996). Prinsip ini konsisten dengan pandangan teori konstruksi

sosial (Berger & Luckman, 1966: Gergen, 1985) yang menyatakan bahwa

realitas adalah subjektif, cair dan suatu entitas yang mempunyai tujuan

sendiri sesuai dengan kepentingan dan ideologi yang merekonstuksinya.

Prinsip dan perspektif konstruksi sosial sebagaimana ia berlaku pula

pada fenomena ingatan kolektif akan menjelaskan bagaimana masa

sekarang mempengaruhi ‘realitas’ masa lalu, dan bagaimana individu dan

masyarakat secara selektif mengenang dan mengingat masa lalu berdasar-

kan kebutuhan, ideologi, dan tujuan-tujuan masa sekarang (Eber & Neal,

2001; Ross & McFarland, 1988; Schwartz, 1982; Shotter, 1990). Relevansi-

nya pada disertasi ini adalah terletak pada prinsip bahwa ingatan kolektif

bukanlah proses yang pasif, sebagai sekadar recalling, tapi sesuatu yang

lebih aktif, suatu proses konstruksi sosial di mana kepentingan turut

bermain.

119

Page 80: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

Berangkat dari pemahaman ingatan kolektif sebagai suatu bentuk

konstruksi sosial dapatlah dimengerti bahwa ingatan kolektif dalam

praktik-nya tidaklah dapat dilepaskan dari kepentingan politik suatu

kelompok, komunitas atau suatu bangsa. Dalam hal ini proposisi bahwa

posisi masa sekarang adalah sebagaimana ia dipengaruhi oleh masa lalu,

mungkin tidaklah sesederhana itu, tapi bahkan juga mungkin sebaliknya,

hakikat dan realitas masa lalu akan ditentukan oleh kepentingan,

kebutuhan dan tujuan masa sekarang. Posisi ini misalnya ditegaskan oleh

Melor & Bretherton (2003) dalam studi tentang ingatan kolektif antara

kulit putih dan aborigin dalam konteks Australia:

An examination of the literature on memory suggest that a chronological account, where past memories generate present stances it too simplistic to be useful basis for understanding reconciliation process. In reality, present stances influence what is remembered and what is forgotten in both individuals and groups. Therefore, an alternative analysis of memory is required.

(Melor & Bretherton, 2003: 39).

Ingatan Kolektif sebagai Alat Kepentingan

Memory dies unless it’s given a use.

(Michaels, 1966: 193)

Berangkat dari pemahaman bahwa ingatan kolektif lebih mudah

dipahami dalam perspektif konstruksi sosial, pertanyaan berikutnya

adalah untuk kepentingan siapa ingatan kolektif dibuat, ditransmisikan

dan dilanggengkan? Dalam perspektif invidual, ingatan akan menentukan

120

Page 81: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

siapa kita, “we are what we remember” (Cummins, 1995: 59). Dalam

perspektif kolektif, ingatan kolektif adalah alat untuk memperkokoh

kohesivitas sosial, identitas, dan alat justifikasi kepentingan dan tujuan-

tujuan tertentu, seperti yang dikatakan oleh Halbwach:

Specifically, the function of socially shared images of the past (collective memory) is to allow the group to foster social cohession, to develop and defend social identification, and to justify current attitudes and needs.

(Halbwachs dalam Paez, Basabe & Gonzalez, 1997: 147)

Oleh karena itu ingatan kolektif sangat memungkinkan untuk

dipolitisir, atau apa yang disebut sebagai politik ingatan (the politics of

memory). Karena itu besar kemungkinan bagi ingatan kolektif untuk

dimodifikasi, direkayasa, dimanipulasi ataupun didistorsi supaya cocok

dengan kebutuhan dan kepentingan politik saat sekarang ini (Baumeister

& Hastings, 1997; Eber & Neal, 2001; Gaskel & Wright, 1997; Lustiger-

Thaler, 1996; Middleton & Edwards, 1990, Neale, 1998; Pennebaker,

1997).

Karena masalahnya adalah lebih kepada konstruksi atau tafsir sosial

atas masa lalu, ingatan kolektif memungkinkan kelompok-kelompok untuk

membuat pelbagai macam tafsir atas ingatan kolektif. Bahkan, sangat

memungkinkan antara satu kelompok dengan kelompok lain akan saling

berkonflik dalam soal ingatan kolektif ini. Dengan begitu menjadi jelas

bahwa ingatan kolektif bisa merupakan sumber konflik atau dijadikan alat

121

Page 82: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

legitimasi untuk memperpanjang konflik. Seperti yang dikatakan oleh

Pennebaker (1997: vii): “powefull collective memories – wether real or

concocted – can be at the roots of war, prejudice, nationalism, and cultural

identities”. Posisi sebaliknya juga bisa terjadi; kemauan politik dan

kebutuhan sosial kelompok saat ini—katakanlah misalnya untuk resolusi

konflik dan rekonsiliasi—mengharuskan kelompok untuk membuat tafsir

baru atas ingatan kolektif mereka.

Satu tujuan khusus dari penanaman, pentransmisian dan pelestarian

ingatan kolektif adalah dalam rangka memperkuat dan meneguhkan rasa

nasionalisme atau identitas kultural tertentu (Balibar, 1995; Conway,

1997; Kelman, 2001; Zerubavel, 1995). Ingatan kolektif ini kemudian akan

diperkuat dengan perayaan-perayaan atau diromantisir dalam bentuk

mitos. Mitos adalah contoh paling jelas dari bagaimana sejarah dan ingatan

kolektif diarahkan untuk kepentingan politik, betapapun terkadang

disadari bahwa mitos-mitos tersebut akan terasa ‘janggal’ ketika diselipkan

dalam sejarah, bahkan tekadang bersifat kontradiktif (LeGoff, 1992;

Yerushalmi, 1982).

Ingatan Kolektif sebagai Alat untuk Mencapai Penyembuhan/ Pemulihan

Collective memory can be an effective tool for reconciliation and healing for individuals and local communities.

(Chirwa, 1997: 482)

122

Page 83: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

Ingatan kolektif timbul, direkonstruksi, dipertahankan, dan

diwariskan selalu dalam suatu konteks sosial dan politik tertentu. Ingatan

kolektif dalam hal ini selalu dipahami sebagai suatu hasil dari proses

mengalami kejadian-kejadian yang mempunyai makna sosial yang cukup

signifikan, misalnya kejadian politik traumatik. Pada umumnya lebih

banyak kejadian-kejadian traumatik kolektif yang kemudian menjadi

ingatan kolektif masyarakat. Persoalan kemudian menjadi dilematis ketika

peristiwa tersebut akan diingat, baik pada tingkat individu, kelompok dan

terutama pada tingkat kolektif yang menyangkut: apakah kita akan

melupakan peristiwa tersebut? Apakah tetap akan mengingat seperti ‘apa

adanya’, secara objektif, lengkap dengan data dan fakta yang objektif? Atau

akan mengingat dengan ‘cara yang lain’? Dalam konteks inilah pertanyaan

krusial yang ingin dijawab baik pada tingkat teoretis dan praktis adalah

menyangkut hubungan pengungkapan kebenaran (antara kebenaran

sejarah dan ingatan kolektif), dengan proses penyembuhan dan pemulihan

serta rekonsiliasi.

Dalam hal ini, pandangan bahwa ingatan kolektif akan memainkan

fungsinya sebagai alat untuk mencapai kesembuhan dan pemulihan pasca

peristiwa traumatik akan sangat masuk akal. Berangkat dari asumsi bahwa

langkah pertama untuk mencapai rekonsiliasi adalah dengan cara peng-

ungkapan kebenaran (Edelstein, 1994). Pertanyaan selanjutnya adalah:

123

Page 84: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

versi kebenaran siapa yang mesti didengar dan diungkapkan? Bagaimana

jika timbul berbagai macam versi kebenaran? Bisakah dicapai

‘kesepakatan’ jika terjadi berbagai macam versi kebenaran?

Di beberapa negara, pengungkapan kebenaran disponsori oleh negara

(Afrika Selatan, Rwanda), pada beberapa negara lain, proses ini disponsori

oleh lembaga bukan negara (gereja, LSM) seperti kasus Guatemala. Hasil

yang ingin dicapai oleh adanya komisi kebenaran (baik itu disponsori

negara atau lembaga bukan negara) adalah untuk menghasil-kan

‘kesepakatan’ yang terdokumentasi tentang suatu peristiwa traumatik.

Hasil kerja komisi ini kemudian yang akan menjadi proyek sejarah

(historical project) yang dilaporkan pada negara, yang kemudian akan

menjadi pijakan bagi bangsa, komunitas, dan individu untuk pulih dan

melangkah ke arah rekonsiliasi. Dalam kerangka proyek rekonsiliasi yang

disponsori oleh lembaga formal, strategi dan politik ingatan suatu negara

akan menjadi pijakan formal (hukum dan politik) bagi suatu komunitas

untuk mengusahakan pemulihan dan rekonsiliasi. Dalam ketiadaan

kerangka ini, komunitas akan mencari cara mereka sendiri untuk pulih dan

melakukan rekonsiliasi. Dalam kondisi seperti ini, peranan ingatan kolektif

sebagai alat untuk mencapai penyembuhan dan pemulihan akan sangat

masuk akal.

124

Page 85: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

Satu contoh dari usaha kelompok dan kolektiva untuk memunculkan

ingatan kolektif mereka sendiri adalah apa yang dilakukan oleh gerakan

Madres de la Plaza de mayo – mothers of disappeared child - , kelompok ibu-

ibu di Argentina pascadiktatorial yang menginginkan ‘kebenaran’ tentang

penghilangan dan penculikan anak-anak mereka diungkapkan. Dalam hal

ini ingatan kolektif versi mereka hendak ditampilkan sebagai kebenaran

sejarah. Mereka meminta pengakuan bahwa telah terjadi kejahatan

(penculikan, pembunuhan) secara sistematis oleh negara terhadap anak-

anak mereka. Pengakuan terhadap ingatan kolektif ini yang mereka tuntut,

bukan kompensasi dalam bentuk uang.

Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa ingatan kolektif akan

dengan sendirinya dimunculkan, diciptakan, didokumentasikan, dan

diabadikan demi dan untuk mencapai proses penyembuhan dan pemulihan

terhadap masa lalu yang menyakitkan. Apa yang dicapai oleh gerakan

sosial yang bernama ‘Khulumani’ (speak out group) di Afrika Selatan,

kelompok-kelompok tempat orang berbicara dan bersaksi, adalah sebagai

satu strategi untuk membicarakan, proses berbagi dan proses katarsis

setelah peristiwa politik traumatis. Apa yang ingin dicapai adalah adanya

dukungan emosional dan proses penyembuhan lewat katarsis bicara, atau

analog dengan apa yang dikatakan Freud sebagai ‘talking cure’.

125

Page 86: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

Persoalannya adalah, ingatan kolektif seperti yang telah dikemukakan

sebelumnya bersifat dikonstruksi secara sosial, lentur, sarat kepentingan,

mudah mengalami distorsi, subjektif. Padahal posisinya sebagai alat untuk

sebagai titik berangkat (starting point) bagi proses penyembuhan dan

pemulihan dalam rangka rekonsiliasi menjadi amat strategis. Walaupun

kaitan antara ingatan kolektif dengan proses pemulihan, rekonstruksi dan

rekonsiliasi secara teoretis masih belum konklusif, namun Chirwa (1997)

berani menyimpulkan bahwa:

It is for this reason that collective memory becomes part of the process of healing, reconciliation, and reconstruction at both the individual and communal levels.

(Chirwa, 1997: 482)

Commemoration

Satu cara masyarakat membuat ingatan kolektif terus hidup dalam

komunitasnya adalah lewat perayaan-perayaan (commemoration), atau

proses saat komunitas mengenang, memberi penghormatan dan

melakukan semacam ‘napak tilas’ terhadap kejadian-kejadian pada masa

lalu. Distorsi dan penggunaan ingatan kolektif seperti yang diuraikan di

atas sangat ditunjang oleh proses commemoration ini. Sesuai dengan

pendapat Halbwach seperti dikutip Hutton (1993) berikut ini:

Halbwach’s theory was particularly appealing to the historians of the politics of commemoration because of his insistence on the way which collective memory is continually revised to suit present purposes. Because we continually reinvent the past in our living memories, they are highly

126

Page 87: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

unreliable as a guide to what actually transpired, and their imagery must be interpreted for hidden agendas

(Hutton, 1993: 7)

Connerton (1989) mengatakan commemoration adalah semacam

praktik ritual dengan cara mana masyarakat mengingat. Sementara Frijda

(1997) mengatakan bahwa commemoration adalah proses tingkah laku

yang akan mendefinisikan posisi individu dalam kontinuitas sejarah.

Beberapa penelitian lain melihat bahwa commemoration dan pengaruhnya

terhadap ingatan kolektif dalam suatu masyarakat menempati posisi

penting dalam wacana mengenai sejarah (Hutton, 1993; Neal, 1998;

Schwartz, 1982; Zerubavel, 1985).

Collective memory is substantiated through multiple forms of commemora-tion: the celebration of communal festival, the reading of a tale, the participation in a memorial service, or the observance of a holiday. Through these commemorative rituals, group create, articulate and negotiate their shared memories of particular events

(Zerubavel, 1995: 5)

Peristiwa-peristiwa yang sering diperingati biasanya adalah peristiwa

yang mempunyai pengaruh dan perubahan besar dalam kehidupan

individu dan masyarakat. Satu bentuk lain dari commeration adalah proses

pengkisahan kembali (storytelling). Pelbagai macam bentuk cerita, narasi

dan sejarah lisan mempunyai kontribusi yang besar dalam pembentukan

ingatan kolektif (Fentress & Wickham, Freeman, 1993: 1992; Gergen &

Gergen, 1997; Middleton & Edwards, 1990; Miller, 1994; Neisser, 1994;

127

Page 88: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

Pennebaker & Banasik, 1997; Ross, 1991). Pentingnya soal narasi dan

wacana dalam pembentukan ingatan kolektif terletak pada kenyataan

bahwa ‘realitas baru’ akan terbentuk dengan cara membawa masa lalu ke

masa sekarang. Bellah, dkk. (1985) menyatakannya sebagai komunitas

ingatan di mana masyarakat mengabadikan masa lalunya, “a community of

memory is “one that does not forget its past”. In order not to forget the past, a

community is involved in retelling its story, its constitutive narrative” (Bellah,

dkk , 1985: 153).

Kecenderungan untuk membuat pengisahan kembali (storytelling)

sebenarnya adalah kecenderungan manusia yang paling lumrah, sebagai-

mana juga anak kecil terpesona dengan kisah-kisah yang dituturkan oleh

kakek-neneknya. Adalah juga lumrah dalam proses pengisahan kembali

beberapa bagian hilang, kebenaran dan makna mungkin berubah selama

proses transmisi informasi.

With the passing of time, the boundaries around specific events weaken as they are placed within the general fabric of social life. In telling and retelling the stories of our past, the events in question become stereotyped and selectively distorted as they become embedded in our collective memories

(Neal, 1998: 201)

Banyak cara yang dilakukan tiap-tiap generasi untuk membuat

narasinya sendiri. Narasi bukan sekadar memperingati (commemorate)

dan mengenang masa lalu, bahkan terkadang ia mengkonstruksikannya.

Terkadang jalinan kekuasan ikut pula menentukan apa yang harus

128

Page 89: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

dituturkan. Bahkan terkadang apa yang dituturkan dalam sebuah narasi

tidak terlalu penting dibandingkan siapa yang menuturkan dan bagaimana

ia dituturkan (Sarup, 1996). Juga kepada siapa narasi tadi akan dituturkan,

akan sangat menentukan keberlangsungan ingatan kolektif.

Dari uraian-uraian sebelumnya mengenai dinamika ingatan kolektif

sebagai suatu konstruksi sosial, kelihatannya masalah ini lebih tepat

didekati lewat lewat metode penelitian (method of inquiry) dengan

paradigma kualitatif seperti groundend theory methodology, social

constructionism, analisis wacana (discourse analysis) dan narasi (narrative

approach).

3.3.9. Ingatan Kolektif dan Sejarah

Sebegitu jauh telah dibahas mengenai ingatan kolektif dan dinamika-

nya. Soal yang belum jelas adalah bagaimana sebenarnya kaitan antara

ingatan kolektif dan sejarah?

Teori-teori psikologi tradisonal mengenai ingatan—terutama dalam

proses mengingat kembali (recall)—membedakan dua macam ingatan;

pertama ingatan episodik (episodic memory), yaitu ketika seseorang

mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang dialami secara personal, dan

ingatan semantik (semantic memory), mengingat kembali fakta-fakta

umum atau yang sudah menjadi sejarah (Baddeley, 1989; Buttler, 1989;

Siegel, 1999; Tulving, 1972; Tulving & Craik, 2000). Sebagai contoh 129

Page 90: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

misalnya, seseorang seorang ikut dalam demonstrasi 12 Mei 1998, dengan

segala episode dan pengalaman personal dia selama ikut demonstrasi.

Semantic memory dari peristiwa yang sama akan meliputi misalnya

pengetahuan bahwa tanggal 12 Mei dua mahasiswa tertembak mati,

tanggal itu demonstrasi dipusatkan di Jembatan Semanggi, mahasiswa

yang meninggal itu kemudian dikenal sebagai pahlawan reformasi, dan

sebagainya.

Masalahnya kemudian, dengan berjalannya waktu, kesulitan dan

kebingungan kerap kali muncul saat orang-orang mulai mencampur-

adukkan kedua jenis ingatan ini. Misalnya, seseorang menganggap ingatan

episodik sebagai fakta sejarah. Soal ini memang menjadi problematika,

ketika misalnya penulisan sejarah harus didasarkan pada fakta yang

didapat lewat sejarah tuturan (oral history). Dalam hal ini kemungkinan

munculnya pelbagai macam versi fakta sesuai dengan banyaknya

kelompok, ataupun pelaku sejarah yang menuturkan ceritanya

berdasarkan interaksi antara ingatan episodik dan ingatan semantik

menjadi sangat besar. Baddeley (1989) misalnya mengatakan bahwa apa

yang didefinisi-kan sebagai ingatan semantik seringkali adalah akumulasi

dari serangkaian ingatan episodik, yaitu ketika beberapa orang meyakini

masing-masing ingatan episodiknya sebagai suatu ingatan semantik.

130

Page 91: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

Dalam beberapa hal, pembedaan antara episodik dan ingatan semantik

ini mempunyai kesejajaran pengertian dengan pembedaan antara sejarah

dan ingatan kolektif. Sejarah lebih menyerupai hakikat ingatan semantik,

proses-proses yang faktual, sementara itu ingatan kolektif lebih

menyerupai prinsip ingatan episodik. Karena sejarah mengklaim

faktualitas, namun dalam kenyataanya sejarah sebagai ilmu yang

interpretif juga tidak bisa mengelak dari persoalan penafsiran. Pembatasan

yang tegas antara ingatan dan sejarah menjadi suatu soal yang

problematik. Polarisasi ataupun konflik antara sejarah resmi (formal

history) dengan ingatan membawa kesukaran tersendiri dalam proses

resolusi konflik dan rekonsiliasi. Proses pembuatan sejarah sering kali

berhadapan dengan kenyataan tidak sesuainya antara ingatan kolektif

terhadap peristiwa sejarah yang sama antara satu kelompok dengan

kelompok lainnya. Pertanyaannya: sejarah menurut versi siapa?

Pertempuran tidak hanya antara satu ingatan kolektif dengan ingatan

kolektif lainnya, tapi mungkin juga pertempuran dalam kelompok sendiri,

pertempuran ‘ingatan melawan lupa’, seperti yang dikatakan oleh karya

satra Milan Kundera dalam bukunya The Book of Lauhgter and Forgetting

(Kundera, 1978).

Sejarah sebagai disiplin akademik sebenarnya juga sedang bergulat

dengan persoalan objektivitas dalam paradigma keilmuannya. Persoalan-

131

Page 92: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

persoalan; objektivitas, bukti, dan pengukuran seperti yang dituntut oleh

pendekatan positivisme tampaknya makin menjauh dari studi sejarah.

Sementara itu, lebih banyak para sarjana lebih leluasa menempatkan studi

sejarah sebagai studi interpretif di mana batas antara ingatan, narasi, dan

proses-proses konstruksi sosial lainnya tidak terlalu dipersoalkan. Karena-

nya banyak peneliti yang mencoba mencari kejelasan kaitan antara sejarah

dan ingatan (Halbwachs, 1950/1980; Hutton, 1993; LeGoff, 1992; Neal,

1998; Nora, 1989; Schwartz, 1982; Yerushalmi, 1982) menemui kesulitan

tersendiri untuk menjawab pertanyaan ini. Sebegitu jauh, tidak terdapat

kesesuaian temuan antara para peneliti terhadap persoalan ingatan dan

sejarah ini.

Halbwachs (1950/1980) memberikan definisi konseptual yang

membe-dakan antara proses ingatan kolektif dengan ingatan sejarah

(historical memory). Bagi Halbwachs batas dan pembedaan antara

keduanya sangat jelas, keduanya malah berada dalam kutub yang

berlawanan. Sejarah menurut Halbwachs, adalah melulu investigasi dan

pencarian fakta-fakta objektif tentang masa lalu, eksplorasi terhadap fakta,

data, dan catatan-catatan tanpa ada kaitannya atau dipengaruhi oleh

kepentingan masa sekarang. Sementara ingatan, adalah proses mengingat

kembali (recalling) secara subjektif masa lalu, yang dasar-dasarnya

ditentukan oleh kebutuhan masa sekarang yang terus berubah. Ingatan dan

132

Page 93: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

sejarah dalam posisi pembedaan yang berhadap-hadapan dapat dikatakan

sebagai berikut: ketika ingatan sangat kuat ia akan cenderung

mengaburkan sejarah, sebaliknya ketika ingatan melemah, sejarah akan

mengambil alihnya sebagai sumber utama pengetahuan terhadap masa

lalu. Dengan cara pandang seperti ini bisa dikatakan sejarah berciri: statis,

objektif, serangkaian fakta tentang kejadian-kejadian di masa lalu. Ingatan

di sisi lain bersifat cair, lebih dinamis dan terkait dengan fenomena dan

kebutuhan pada masa sekarang.

Dengan penjelasan tersebut, terlihat bahwa sejarah (formal history)

dan ingatan kolektif (dalam bentuk diskursif, interaksi, social sharing,

bahasa, narasi, monumen, perayaan-perayaan, peringatan-peringatan)

keduanya akan hidup dalam masyarakat dan individual dengan pola

hubungan yang bisa linear, transaktif, ataupun kontradiktif dan konfliktual

satu sama lainnya. Pertanyaannya adalah: apakah sejarah dan ingatan bisa

dipisahkan secara jelas? Bisakah seorang peneliti meneliti sejarah tanpa

melihat pengaruh subjektif dari ingatan? Bisakah seorang sejarawan

mempelajari masa lalu tanpa pertimbangan pengaruh masa sekarang?

Banyak peneliti kontemporer di bidang ini memberikan jawaban: tidak!

Seperti yang ditegaskan Zerubavel:

Historical writing is inevitably limited by its interpretive perspective, the choice and ordering of information, and narratological constraints. Historians may indeed strive to become detached analysis, but they are also

133

Page 94: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

members of their own societies, and, as such, they often respond to prevalent social ideas about the past.. Collective memory continuously negotiates between available historical records and current social political agendas.

(Zerubavel, 1995: 5)

Sarjana yang pertama kali mengulas masalah ini adalah seorang

sarjana Perancis, Piere Nora (1989). Dalam studinya tentang ingatan

kolektif dan kaitannya dengan sejarah, Norra menyebut istilah ‘lieux de

memoire’ (sites of memory), untuk mengatakan ingatan akan terus bertahan

dalam dalam masyarakat, ada ataupun tidak ada sejarah resmi, apalagi

dalam ketiadaan sejarah. Ia mengatakan masyarakat memerlukannya

untuk menciptakan tempat untuk mengenang kembali (commemoration).

Tanpa ‘lokasi’ seperti itu ingatan tentang masa lalu akan hilang. Nora

membedakan ingatan dan sejarah sebagai berikut:

Memory and history, far from being synonymous, appear now to be in fundamental opposition. Memory is life, borne by living societies founded in its name. It remains in permanent evolution, open to dialectic of remembering and forgetting. Unconscious of its successive deformations, vulnerable to manipulation and appropriation, susceptible to being long dormant and periodically revived. History, on the other hand, is the reconstruction, always problematic and incomplete of what is no longer. Memory is a perpetually actual phenomenon, a bond tying us to the eternal present; history is a representation of the past. History is perpetually suspicious of memory, and its true mission is to suppress and destroy it.

(Nora, 1989: 9)

Seorang ahli lain Nadel, seperti dikutip LeGoff (1992) mengatakan ada

dua jenis sejarah. Pertama, sejarah yang bisa dianggap sebagai ‘objektif’,

pengumpulan rangkaian fakta-fakta sejarah, dan yang kedua sejarah dalam

134

Page 95: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

bentuk ‘ideological’, di mana fakta-fakta diorganisir sesuai dengan tradisi,

keyakinan, kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat. Pendapat ini masih

sejalan dengan pembedaan sebelumnya, dan juga sejalan dengan pembe-

daan antara konstruk ingatan semantik dan ingatan episodik. Sebagai

penyimpulan dapat dikatakan sejarah dan ingatan kolektif pada taraf

tertentu memungkinan untuk dibedakan, namun dalam praktik dan

implikasinya terhadap perilaku kolektif, perbedaan di antara keduanya

menjadi sangat cair dan tipis. Hal terpenting ingin dicapai oleh studi ini

(terlepas dari apakah itu sejarah atau ingatan kolektif) adalah: bagaimana

masyarakat bisa menyelesaikan masa lalunya dan membuat rekonsiliasi

antara masa lalu, masa sekarang dan masa mendatang. Tesis yang ingin

ditegakkan dalam studi ini adalah, masyarakat dan individual perlu menata

ulang masa lalunya supaya proses rekonsilasi tercapai.

3. 3.10. Ingatan Kolektif dan Emosi

Penelitian-penelitian dalam ingatan memperlihatkan pentingnya

pengaruh faktor emosi dalam proses recall. Banyak hasil penelitian yang

menunjukkan bahwa pengalaman-pengalaman yang bermuatan emosional

yang tinggi cenderung lebih banyak diingat-kembali (recall) dibandingkan

pengalaman yang tidak bermuatan emosional (Buttler, 1989; Christianson

& Safer, 1996; Siegel, 1995, 1999). Pengecualian terhadap kecenderungan

ini adalah jika peristiwa tersebut tidak saja mengandung muatan emosi,

135

Page 96: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

tapi sudah merupakan peristiwa traumatis. Apa yang lumrah terjadinya

adalah kebalikannya, recall banyak gagal karena orang cenderung

melakukan represi terhadap ingatan mereka (memory repression).

Terhadap peristiwa-peristiwa yang bermuatan emosional, terutama

bersifat negatif, kecende-rungannya adalah akan diingat secara tidak

akurat (Baddeley, 1989; Christianson & Safer, 1996; Loftus, 1979). Oleh

karena itu, ingatan terhadap peristiwa-peristiwa negatif yang bermuatan

emosional yang tinggi akan lebih mudah untuk didistorsi. Walaupun ada

juga sebagian ahli yang menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa yang

mempunyai muatan emosi akan diingat-kembali (recall) dengan lebih

akurat (Bohannon & Symons, 1992; Heuer & Reisberg, 1990). Namun

terlepas dari soal mana yang lebih akurat, dalam konteks disertasi ini, hal

tersebut bukan tujuan dari penelitian. Suatu yang prinsip yang mungkin

perlu dikemukakan adalah bahwa faktor emosi memainkan peranan

penting dalam ingatan kolektif. Masyarakat cenderung akan lebih

memperhatikan dan mengingat kembali peristiwa-perisitiwa yang

mempunyai muatan emosi tinggi.

Faktor emosi sebagaimana ia juga dialami secara kolektif, akan

mempengaruhi kolektivitas dalam pengertian bahwa transmisi ingatan

kolektif tidak hanya mewariskan informasi, tapi juga sekaligus emosi dan

trauma. Seperti yang dikatakan Neal (1998):

136

Page 97: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

The traumas of the past become ingrained in collective memories and provide reference points to draw upon when the need arises. Hearing or reading about an event does not have the same implications as experiencing event directly. However, as parts of the social heritage, events from the past become selectively embedded in collective memories.

Neal (1998: 7)

Bukan hanya kandungan emosi yang ditansmisikan kepada generasi

berikutnya, tetapi juga pada tingkat mana masyarakat masih larut dengan

trauma tersebut. Masyarakat yang masih trauma dengan masa lalu

menandakan masyarakat yang belum pulih dan sembuh dari luka-luka

lama. Banyak penelitian memperlihatkan bahwa peristiwa yang mengan-

dung muatan emosi yang tinggi akan cenderung dibagi (shared) dengan

orang lain. Seperti yang dikatakan Pennebaker dan Banasik (1997), Rime

dan Christophe (1997), semakin kuat emosi di sekeliling kejadian tersebut,

semakin sering orang-orang akan membicarakannya satu sama lain, maka

semakin kental narasi dan wacana di sekitar peristiwa tersebut. Sebaliknya

jika intensitas emosional masyarakat mulai berkurang, maka wacana dan

proses social sharing juga akan berkurang.

Penelitian di Spanyol dan Amerika latin pascakekerasan politik

memperlihatkan proses-proses sosial dan emosi yang beragam. Pasca

kekerasan politik di bawah rezim yang represif, memperlihatkan adanya

kecenderungan untuk tidak mengingat-ingat dan membicarakan peristiwa

traumatik tersebut (inhibition of talking past traumatic events). Namun

137

Page 98: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

kecenderungan ini diikuti secara paradoksal dengan proses ruminasi

mental (mental rumination) yang terjadi secara spontan setelah

sebelumnya melewati fase pengingkaran (denial), serta penghindaran

(avoidance) (Paez, Basabe & Gonzalez, 1997). Apa yang ingin dikatakan

oleh hasil penelitian tersebut adalah: proses-proses emosi dan sosial akan

berinteraksi dalam menentukan apakah kelompok sosial akan cenderung

mengingat atau akan melupakan suatu peristiwa traumatik pada masa lalu.

Hasil penelitian dalam konteks Amerika latin dan Spanyol pascaperang

saudara, memperlihatkan bahwa mengingat masa lalu yang traumatik akan

meningkatkan proses berbagi secara sosial (social sharing) di antara

individu dalam komunitas. Proses-proses emosi yang menyertai proses

sosial ini di antaranya yang menonjol adalah ruminasi mental (mental

rumination) dan inhibisi mental (mental inhibition). Adanya usaha-usaha

untuk pemaknaan ulang (reappraisal) dan proses asimilasi terhadap masa

lalu dengan kepentingan di masa sekarang. Hasil penelitian di beberapa

negara Amerika Latin tidak sepenuhnya mendukung anggapan kaum Neo-

Freudian yang mengatakan adanya proses repressed memory setelah

peristiwa traumatik, untuk selamanya melupakan peristiwa tersebut.

Memang ada keinginan yang kuat untuk melupakan, tapi juga ada proses

mental dan emosi secara voluntary untuk mengingat kembali peristiwa

tersebut secara otomatis, atau apa yang disebut sebagai ruminasi mental

138

Page 99: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

(mental rumination). Yang lebih penting dalam konteks ini adalah proses-

proses sosial dan proses regulasi emosi serta proses coping terhadap

peristiwa traumatik tersebut akan menentukan apakah suatu komunitas

akan tetap terbelenggu atau terbebas dari beban ingatan (memory burden)

masa lalu. Secara alamiah, individu dan komunitas akan berusaha secara

sungguh-sungguh untuk keluar dari beban ingatan di masa lalu.

Pengalaman Afrika Selatan memperlihatkan bahwa pemaparan peris-

tiwa yang mengandung muatan emosi kepada publik (public disclosure)

lewat proses storytelling misalnya, sebagian besar akan bisa melepaskan

(release) tegangan emosional dalam masyarakat, dan mendorong ke arah

pemaafan sosial (social forgiveness) dan rekonsiliasi. Namun proses ini

tidak menjamin adanya penyembuhan dan pemulihan (healing procesess)

di tingkat individual dan di tingkat antar personal.

Neal (1998) mengatakan, bagaimanapun masyarakat perlu pulih dari

ingatan kolektif yang masih mengandung beban emosional yang tinggi,

supaya masyarakat bisa lepas dari beban ingatan masa lalu (burden of

memory).

3.3.11. Ingatan Kolektif dan Identitas

Seperti yang dikatakan Halbwachs (1950/1990) salah satu kegunaan

ingatan kolektif adalah untuk pengukuhan identitas kelompok:

139

Page 100: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

Specifically, the function of socially shared images of the past (collective memory) is to allow the group to foster social cohession, to develop and defend social identification, and to justify current attitudes and needs.

(Halbwach dalam Paez, Basabe & Gonzalez, 1997: 147)

Identitas dengan demikian adalah konstruk terpenting dalam

kaitannya dengan ingatan, baik identitas individu maupun identitas sosial

atau kolektif. Tajfel (1978; Tajfel & Turner, 1986) pelopor teori identitas

sosial mengangap indentitas individu bahkan tidak bisa lagi dilepaskan

dari identitas sosial. Seperti yang diaktakan oleh Tajfel (1978: 63); “that

part of individual’s self concept which derives from his knowledge of his

member-ship of a social group (or groups) together with the value and

emotional significance attached to that memberships”. Oleh karena itu

kelompok dipandang sebagai piranti utama tempat individu

mengembangkan identitasnya (Ross, 1993). Jika identitas orang-orang

sangat terkait dengan afiliasinya pada kelompok, dan kesadaran

berkelompok sangat berhubung-an dengan ingatan, konklusinya adalah

bahwa hubungan antara ingatan dan identitas adalah sangat kuat. Seperti

yang dikatakan Pennebaker:

Families, neighborhoods, cities, regions and entire cultures are bound together by a shared of beliefs, experiences, and memories. The shared histories cement individual’s identities with the groups to which they belong”

(Pennebaker, 1997: vii).

Dengan demikian, seperti halnya ingatan kolektif yang bersifat

subjektif, dikontruksi secara sosial, demikian juga kiranya dengan identitas

140

Page 101: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

(Bruner, 1994; Deaux, 1993; Rose, 1996; Sarup, 1996). Diri dan identitas

adalah cerita yang ditulis, narasi yang dikembangkan, seperti yang

dikatakan Bruner (1994: 53); “Self is a perpetually rewritten story. What we

remember from the past is what is necessary to keep that story satisfactorily

well formed…the self is a remembered self, the remembering reaches far back

beyond our own birth back to the cultural and language forms that specify

the defining properties of a self”. Dimensi konstruktif dari identitas dan

kaitannya dengan masa lalu berlaku juga pada identitas kolektif. Pendapat

ini juga didukung Halbawachs (1992: 47);”We preserve memories of each

epoch in our lives, and these are continually reproduced: through them, as by

a continual relationship, a sense of our identity is prepetuated”.

Sebagaimana dikatakan oleh Erickson (198, 1978), dalam perkem-

bangan identitasnya, individu pernah mengalami krisis identitas, demikian

juga dengan identitas kelompok. Kejadian-kejadian besar seperti perang,

tragedi nasional yang traumatis berpengaruh terhadap indentitas

kelompok (Balibar, 1995: Neal, 1998), atau misalnya apa saja yang baru

dialami Amerika Serikat dengan tragedi 11 September. Kejadian-kejadian

ini bisa memperkuat atau memperlemah identitas kelompok, tergantung

bagaima-na dampaknya terhadap identitas kelompok. Seperti yang

dikatakan Neal (1998: 31):” All collective traumas have some bearing on

national identity. While in some cases national trauma results in enhancing a

141

Page 102: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

sense of unity within a society, there are other cases in wich collective

traumas have fragmenting effects”.

Soal penguatan dan pelemahan identitas ada kaitannya juga antara

persoalan hubungan antara ingatan dan sejarah, seperti yang dikatakan

Nora berikut ini:

The passage from memory to history has required every social group to redefine its identity through the revitalization of its own history. The task of remembering makes everyone his own historian. The demand for history has thus largely overflowed the circle of professional historians. Those who have long been marginalized in traditional history are not only ones haunted by the need to recover their buried pasts. Following the example of ethnic groups and social minorities, every established group, intellectual or not, learned or not, has felt the need to go in search of its own origins and identity.

(Nora, 1989: 15).

Berkaitan juga dengan soal perayaan-perayaan dan usaha penge-

nangan kembali (commemoration), proses narasi adalah sangat penting

dalam usaha membangun identitas kelompok. Seperti halnya juga narasi

kehidupan adalah salah satu cara individu mendefinisikan dirinya (Neisser,

1994), narasi kelompok menjadi forum tempat masyarakat mengembang-

kan dan membangun identitasnya (Conway, 1997; Deutsch, 1973; Rose,

1996). Narasi, kata Zerubael (1995) adalah satu cara terpenting dimana

masyarakat mengembangkan identitas nasional dan kulturalnya. Sekali

lagi, terlihat bahwa adanya kesejajaran antara teori identitas individu

142

Page 103: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

dengan identitas kelompok, di mana identitas besar kemungkinan akan

terus ditanamkan dan ditancapkan pada periode krisis.

Dalam kaitanya dengan konflik, teori identitas sosial dari Tajfel (1978)

memberikan sumbangan pemikiran yang signifikan, dalam artian bahwa

identitas individu akan mengental dalam konteks identitas kelompok.

Konflik sosial seringkali adalah konflik dengan dasar identitas (Hofman,

1988; 1997), identitas misalnya akan semakin mengental dalam suasana

konflik di mana terdapat keterancaman (Burton, 1990b; Kelman, 2001;

Volkan, 1988, 1990). Dapat dimengerti misalnya pada periode konflik,

kepentingan politik akan terus memperkuat identas kelompok lewat

pelbagai macam cara commemoration untuk memperkuat kohesivitas

kelompok, dan ingatan kolektif adalah satu instrumennya.

143

Page 104: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

3.4. Ringkasan

Dari penelusuran terhadap banyak ragam literatur dalam kelompok

teori resolusi konflik terlihat jelas bahwa tidak ada kesepakatan tentang

cara menempatkan faktor masa lalu dalam proses-proses intervensi.

Kelompok teori negosiasi mengabaikan faktor masa lalu, atau paling tidak

beranggapan bahwa masa lalu adalah sesuatu yang harus ditinggalkan jika

kita ingin melangkah ke masa depan. Kelompok teori dalam payung

psikologi sosial mencoba menelaah isu ini lebih lanjut dengan mencoba

memberi tempat terhadap pentingnya masa lalu. Tetapi masih terlalu

sedikit elaborasi dan penelitian lebih lanjut mengenai soal-soal ini.

Kelompok teori rekonsiliasi justru banyak memfokuskan perhatiannya

pada masa lalu. Walaupun terdapat pelbagai macam sudut pandang

teoretik terhadap isu rekonsiliasi, di antaranya pandangan teori pilihan

rasional, teori kebutuhan manusia, dan kelompok teori pemaafan, namun

semua kelompok teori tersebut sepakat bahwa penanganan terhadap isu

masa lalu, faktor pemaafan, pengungkapan kebenaran, proses

penyembuhan dan pemulihan adalah elemen penting dalam rekonsiliasi.

Walaupun terdapat pelbagai macam definisi tentang rekonsiliasi, namun

dalam hal ini rekonsiliasi dapat dipandang sebagai suatu peristiwa, suatu

proses dan sekaligus suatu hasil dari suatu proses perbaikan hubungan ke

arah yang lebih konstruktif di masa depan. Perbaikan hubungan tersebut

144

Page 105: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

mensyarat-kan perlunya perubahan dalam aspek identitas, nilai-nilai, sikap

dan perilaku. Rekonsiliasi didorong oleh adanya usaha untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan sosial dari pihak yang bertikai. Beberapa kebutuhan

yang substansial tersebut mencakup; keadilan, keamanan, penyembuhan

dan pemulihan dan pengungkapan kebenaran. Rekonsiliasi dapat dicapai

bila ada usaha untuk mengagendakan isu-isu tersebut serta adanya usaha

untuk melakukan negosiasi yang dilandasi oleh rasa saling percaya dan

rasa saling membutuhkan. Rekonsiliasi bisa dimulai dari ranah

antarpersonal, antarkelompok (bottom-up approach) dan atau dimulai dari

tingkat nasional (top-down approach). Fokus dari disertasi ini adalah pada

peranan masa lalu sebagaimana yang terekam dalam ingatan kolektif

kelompok-kelompok yang pernah bertikai di masa lalu. Sepintas diungkap-

kan bagaimana pentingnya unsur masa lalu dalam usaha rekonsiliasi,

namun masih sangat sedikit elaborasi dan eksplorasi bagaimana masa lalu

dimaknai ulang, diubah, direkonstruksi, dan dipertahankan untuk keperlu-

an rekonsiliasi.

Literatur-literatur dalam bidang psikologi mengenai ingatan selama

ini masih didominasi oleh pendekatan kognitif yang memandang manusia

semata-mata sebagai ‘mesin’ pengolah informasi. Pendekatan ini

menempatkan ingatan semata-mata sebagai hasil dari proses kognitif

seperti: sensing, perception, encoding, storage dan retrieval. Penelaahan

145

Page 106: Teori-Teori Tentang Konflik Dan Rekonsiliasi - Dari Disertasi Hamdi

lebih lanjut mengenai usaha manusia untuk mengingat kejadian-kejadian

sehari-hari dan kejadian-kejadian sosial memperlihatkan kelemahan

pendekatan psikologi kognitif. Terlihat bahwa ingatan dalam

pengertiannya lebih sering bersifat kolektif dan sosial, di mana proses-

proses sosial lebih sering terlibat dalam menentukan ingatan, termasuk

mulai dari proses sensing, perceiving, encoding, dan retrieval. Ingatan dalam

hal ini sangat bersifat konstruksi sosial di mana faktor subjektivitas,

kepentingan, budaya, kelompok dan masyarakat saling berinteraksi dalam

mempengaruhi hakikat ingatan. Konstruksi ingatan sebagai suatu yang

sosial melibatkan juga proses-proses emosi, proses pembentukan dan

perubahan identitas yang tidak dapat terelakkan secara bersama-sama

saling membentuk pengalaman dan ingatan kolektif yang terkadang di luar

batas-batas kejadian yang terjadi secara faktual. Dalam hal ini sejarah

sebagai usaha rekonstruksi faktor-faktor faktual dari masa lalu mendapat

tantangan dari proses ingatan. Bagaimana fenomena ingatan kolektif

ditempatkan dalam konteks rekonsiliasi, bagaimana peranan yang

dimainkannya, serta bagaimana ingatan bisa mempersulit atau

mempercepat usaha rekonsiliasi adalah inti dari penulisan disertasi ini.

146