teori-teori tentang konflik dan rekonsiliasi - dari disertasi hamdi
TRANSCRIPT
1. Resolusi Konflik
Rekonsiliasi sebagai suatu bentuk resolusi konflik (conflict resolution)
akhir-akhir ini menjadi sangat populer, terutama setelah kasus Afrika
Selatan dengan komisi kebenaran dan rekonsiliasinya (truth and
reconciliation commission), dianggap cukup berhasil. Rekonsiliasi dapat
dianggap sebagai bagian atau satu cara untuk menuntaskan konflik, dalam
hal ini rekonsilasi diperlukan agar persoalan-persoalan pasca konflik dapat
dituntaskan. Rekonsiliasi dapat juga disejajarkan pengertiannya dengan
upaya transformasi konflik, yaitu bagaimana mengubah konflik menjadi
damai.
Pada bagian ini akan dibahas teori-teori resolusi konflik, khususnya
teori mengenai rekonsiliasi.
Umumnya, para peneliti dan praktisi di bidang resolusi konflik
menganggap peran masa lalu dalam perkembangan skenario konflik
adalah sangat penting. Meskipun sejarah masa lalu banyak mempengaruhi
persepsi dan pengalaman individu/kolektif terhadap konflik, topik ini
sedikit sekali dibahas dalam penelitian-penelitian mengenai konflik (Cairns
& Roe, 2003). Secara lebih spesifik misalnya, hanya sedikit informasi yang
41
diperoleh tentang bagaimana ingatan kolektif (collective memory) berperan
dalam mempermudah atau mempersulit tercapainya resolusi konflik.
Teori-teori mengenai resolusi konflik umumnya mencakup rentang
yang sangat luas dengan akar dan landasan disiplin ilmu yang bermacam-
macam. Bab ini akan menyajikan perspektif teori resolusi konflik, terutama
dalam perspektif ilmu-ilmu perilaku seperti psikologi, dan lebih spesifik
mengenai isu sejarah (history) dan ingatan (memory).
2. Teori Negosiasi
Teori mengenai negosiasi sebagai cara menyelesaikan konflik
umumnya mengambil setting dan konteks konflik dalam bisnis dan
organisasi (Bazerman & Neale, 1992; Breslin & Rubin, 1995; Fisher & Ury,
1991; Fisher & Brown, 1988; Jandt, 1985; Lewicky, Saunders & Minton,
1999). Teori-teori yang dikembangkan dalam konteks ini biasanya
memusatkan perhatiannya pada tingkat individu, walaupun belakangan
banyak teknik dan cara-cara negosiasi diaplikasikan juga untuk setting
kelompok. Tujuan utama dari negosiasi secara umum adalah tercapainya
kesepakatan yang bisa diterima pihak yang bertikai. Pada umumnya
penelitian-penelitian pada area ini banyak memusatkan perhatiannya pada
pelbagai macam strategi dan teknik-teknik untuk mencapai kesepakatan.
Dalam kelompok literatur mengenai hal ini, isu-isu seperti kekuasaan
(power) (Boulding, 1999; Dawson, 1999; Fisher, 1995; Kritek, 1994),
42
eskalasi dan de-eskalasi konflik (Bazerman & Neale, 1992; Kriesberg, 1995;
Rubin, Pruit & Him, 1994) serta pemecahan masalah secara berkolaborasi
(collaborative problem solving) (Fisher & Ury, 1981; Gray, 1989; Jandt,
1985) banyak mendapat perhatian.
Isu seputar masa lalu, ingatan dan faktor sejarah masa lampau
(historical past) dalam skenario konflik biasanya kurang diperhatikan,
kalau tidak dapat dikatakan diabaikan sama sekali. Meskipun kebanyakan
perundingan (negosiasi) pada kasus-kasus konflik akhir-akhir ini,
terutama, misalnya, antara Israel dan Palestina, Irlandia Utara,
memperlihatkan isu sejarah masa lalu selalu menjadi ganjalan bagi kedua
belah pihak untuk mencapai kesepakatan (Tint, 2002).
Fisher dan Ury (1981) misalnya, menulis tiga buku yang cukup
berpengaruh dalam literatur mengenai negosiasi. Getting to Yes (1981),
Getting Together (1988) dan Getting Past No (1991), yang pada intinya
memposisikan konflik terjadi ketika keinginan, kepentingan dan
kebutuhan kedua belah pihak berada pada posisi yang saling berlawanan
satu sama lain. Polarisasi kepentingan ini sering membawa kedua kubu
pada posisi zero-sum, kalah atau menang. Strategi negosiasi adalah
bagaimana membawa kedua belah pihak kepada keputusan yang memberi
kemungkinan untuk saling menguntungkan, atau yang dikenal sebagai
‘solusi menang-menang’ (win-win solution).
43
Dalam perkembangan selanjutnya, karya Fisher dan Ury sedikit
membahas isu masa lalu tapi tidak dalam posisi yang beranggapan bahwa
masa lalu itu perlu mendapat perhatian. Bagi Fisher dan Ury (1981) masa
lalu adalah sesuatu yang harus diatasi atau ditinggalkan supaya tercapai
hasil yang memuaskan. Hanya ada satu pilihan, masa lalu atau masa depan,
seperti ungkapan mereka:
The question “Why?” has two quite diffferent meanings. One Looks backward for cause and treats our behavior as determined by prior events. The other looks forward for a purpose and treats our behavior as subject to our free will….Either we have free will ot it is determined that we behave as if we do. In either case, we make choices. We can choose to look back or to look forward. You will satisfy your interest better if you talk about where you would like to go rather than about where you have come from. Instead of arguing with the other side about the past..talk about what you want to have happen in the future. Instead of asking them to justify what they did yesterday, ask, who should do what tommorow?
(Fisher & Ury, 1981: 53)
Jelas sekali bahwa orientasinya adalah masa depan; melihat ke
belakang berarti merintangi kemungkinan untuk maju ke masa depan.
Faktor masa lalu adalah sesuatu yang bisa dan seharusnya diabaikan atau
ditinggalkan di belakang. Di sisi lain, mungkin benar bahwa orientasi ke
depan selalu lebih penting dibandingkan dengan melihat ke belakang.
Dalam kenyataannya, seperti yang disarankan Fisher dan Ury (1981), soal-
soal apa yang sudah pernah terjadi pada masa lalu tidak bisa dianggap
nihil. Kalaupun tidak bisa didamaikan (reconciling the past), paling tidak
masa lalu juga sesuatu yang harus dinegosiasikan (the negotiated past).
44
Pengalaman kelompok yang berkonflik dalam jangka waktu yang cukup
panjang memperlihatkan betapa sulitnya pihak yang berkonflik untuk
hanya melihat ke masa depan dan faktor masa lalu ‘hanya ditinggal di
belakang’ (left behind), karena masih akan menjadi beban ingatan (memory
burden) yang terus menghantui masa depan.
3. Teori Psikologi Sosial
Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir ini, psikologi sosial memberikan
sumbangan yang signifikan dalam kajian resolusi konflik, diawali dengan
hasil karya Kurt Lewin (1948). Karya-karya Kurt Lewin dalam bidang
konflik sosial, keadilan sosial, dan dengan ‘action research’-nya telah
membuka jalan bagi psikolog sosial lainnya untuk memainkan peranan
yang lebih banyak dalam bidang resolusi konflik, di antaranya Morton
Deutsch.
Karya-karya Deutsch (1973, 1985, 2000) mengenai teori konflik,
kooperasi, kompetisi serta keadilan distributif, mengambil premis utama
bahwa konflik timbul akibat pola hubungan saling ketergantungan yang
bersifat negatif antara pihak-pihak yang bertikai (negative interdependence
between parties), dan masing-masing konflik akan mempunyai dimensi
kooperatif dan kompetitif sekaligus. Menurut Deutsch, konflik dengan
kadar kompetisi yang sangat tinggi cenderung untuk menjadi destruktif,
sementara konflik dalam iklim kooperasi yang tinggi justru akan menjadi 45
konstruktif. Menurut teori ini, tujuan utama dari resolusi konflik adalah
mengubah dinamika konflik, dari yang kompetitif menjadi yang lebih
kooperatif. Namun sekali lagi, soal isu masa lalu juga kurang mendapat
tempat dalam pembahasan Deutsch. Misalnya, tetap akan menjadi
persoalan, apa yang akan terjadi dalam suatu skenario konflik bilamana
memang terjadi kooperasi, tapi kedua kelompok masih menyimpan sejarah
pertikaian dan kompetisi yang kuat. Dengan kata lain, dapat disimpulkan
bahwa kondisi kooperatif lebih mungkin dicapai jika tidak ada sejarah
pertikaian pada masa lalu yang masih belum selesai.
Walaupun tidak secara langsung berbicara mengenai pentingnya
sejarah dan masa lalu, Deutsch (1973) sebenarnya adalah psikolog sosial
pertama yang mulai mengaitkan hubungan antara ingatan (memory)
dengan identitas kolektif (collective identity). Lebih lanjut Deutsch
(1973:60) mengatakan: ”the existence of an historical time perspective, with
a sense of continuity relatedness, and awareness of shared memories of past
events contributes to heightened consciousness of group identity”. Walaupun
Deutsch mulai menganggap penting kaitan antara ingatan dan identitas
serta implikasinya terhadap perkembangan dan evolusi resolusi konflik,
namun ia tidak membahas soal ini lebih dalam. Kaitan antara ingatan dan
identitas akan dibahas lebih lanjut dalam pembahasan mengenai ingatan.
46
Teori lain yang berakar dalam tradisi psikologi sosial, yang memberi-
kan sumbangan signifikan dalam teori resolusi konflik adalah teori
kebutuhan manusia (human needs theory). Terinspirasi dari teori Abraham
Maslow mengenai hierarki kebutuhan (1954, 1968), beberapa peneliti
menggarap isu ini lebih lanjut dan mengaitkannya secara langsung dengan
resolusi konflik (Burton, 1984, 1990a, 1990b, 1991; Fisher, 1990; Mitchell,
1990; Galtung, 1980, 1990; Klineberg, 1980; Lederer, dkk, 1980). Proposisi
utama teori ini adalah kebutuhan dasar manusia sebagai unsur mutlak
dalam pemenuhan kesejahteraan manusia. Kelompok atau individu akan
berusaha sekuat tenaga untuk memenuhi kebutuhan ini. Konflik dan
kekerasan akan timbul dalam usaha memenuhi kebutuhan tersebut, jika
satu pihak merasa terhalangi atau terancam. Dalam hal ini, resolusi konflik
pun harus dipahami dalam konteks pemenuhan kebutuhan dasar.
John Burton (1984, 1990a, 1990b, 1991), adalah tokoh terkemuka
dalam kelompok teori ini. Hasil-hasil karyanya banyak diadopsi oleh
psikolog sosial yang bekerja di bidang tersebut. Burton membedakan
istilah pertikaian (dispute)—yang pengertiannya merujuk kepada
kesenjangan perebutan material namun masih dalam taraf yang bisa
dinegosiasikan—dengan konflik (conflict)—kondisi di mana kekurangan
atau deprivasi dalam kebutuhan dasar manusia sudah berada dalam taraf
yang tidak bisa lagi dinegosiasikan. Konflik identitas misalnya, menurut
47
Burton berakar pada kebutuhan yang tidak bisa lagi dinegosiasikan, karena
kebutuhan akan identitas ini bersifat mendasar. Dengan demikian, jika kita
bisa mengaitkan identitas—walaupun Burton tidak secara eksplisit
melakukannya—dengan kesadaran tentang masa lalu, bisa dimengerti
mengapa konflik identitas yang berakar yang kuat pada masa lalu
terkadang sangat sulit untuk didamaikan.
Dengan landasan ini Burton ingin mengatakan bahwa usaha untuk
melakukan resolusi konflik pertama-tama harus mengupayakan
terciptanya kondisi yang memungkinkan pihak-pihak yang bertikai untuk
saling memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dengan cara yang konstruktif,
sehingga mengurangi kemungkinan timbulnya kekerasan dan konflik
terbuka. Burton mengemukakan ‘provention1’ (1990,a) sebagai istilah
untuk menghilangkan kondisi-kondisi yang berpotensi menjadi penyebab
dan pencetus konflik, sembari mempromosikan lingkungan yang positif
untuk memungkinkan masyarakat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya
secara konstruktif, lebih lanjut jelasnya, “Once we introduce the notion of
provention the total social environtment and sources of conflict become
1 Isitilah provention dikemukakan oleh John Burton (1990) sebagai pengganti atau padanan dengan kata prevention, yang menurut dia lebih berkonotasi pada pembatasan dan pencegahan semata, sementara kata provention diperkenalkan untuk lebih dari sekadar pencegahan tapi secara lebih jauh menghilangkan sumber-sumber konflik, dan secara lebih proaktif dan positif mempromosikan kondisi-kondisi di mana kolaborasi dan hubungan mendapat prioritas utama. (The term prevention has the connotation of containment. The term provention has been introduced to signify taking steps to remove sources of conflict, and more positively to promote conditions in wich collaborative and valued relationships control behaviors).
48
relevant. Conflict provention adresses problems of social relationships and all
the conditions that affect them” (Burton, 1990a: 18).
Dengan konsep provention tersebut, Burton mengatakan semua
kondisi—“all the conditions”—yang memungkinkan timbulnya konflik
harus dihilangkan. Tidak terlalu jelas bagaimana Burton memasukkan
segala kondisi yang berakar pada masa lalu tersebut , bisa diatasi untuk
mencapai kondisi yang kondusif pada masa sekarang. Sepertinya Burton
menganggap hal itu sebagai sesuatu yang diterima begitu saja (taken as
given). Jelas bahwa analisis tersebut sangat mementingkan pemenuhan
kebutuhan masa sekarang dan masa depan, serta membahas—kalau tidak
bisa dikatakan tidak ada—sedikit sekali soal-soal tentang apa yang terjadi
di masyarakat pada masa lalu. Burton, misalnya, tidak terlalu peduli
dengan sejarah deprivasi atau sejarah marjinalisasi pada masa lalu. Asal
masa sekarang beres, soal-soal sejarah dan ingatan tidaklah terlalu
penting.
Burton bisa dipandang sebagai sarjana kelompok pertama dalam studi
resolusi konflik, tetapi teori-teorinya telah mengilhami banyak pakar
lainnya yang menerapkannya pada bidang praktik. Satu pakar psikologi
sosial yang paling terkemuka adalah Herbert Kelman (1990a, 1990b, 1991,
1996, 1997a, 1997b, 1998, 1999, 2001) yang mendefisikan pendekatannya
sebagai suatu aplikasi dari pendekatan kebutuhan manusia dalam resolusi
49
konflik pada tingkat international (an application of human needs
perspective to international conflict resolution). Selama bertahun-tahun
Kelman melakukan serangkaian lokakarya untuk pemecahan masalah
(problem-solving workhsop) dalam dan antar kelompok-kelompok yang
bertikai. Hasil kerja Kelman yang paling signifikan adalah sebagai mediator
dalam usaha perdamaian selama konflik antara Israel dan Palestina
(1990b, 1997a, 1999, 2001).
Teknik lokakarya pemecahan masalah yang dikembangkan oleh
Kelman pada dasarnya mengandalkan pada proses mediasi nonformal oleh
pihak ketiga dengan mempertemukan orang-orang yang berpengaruh pada
kelompok-kelompok yang bertikai. Selama proses lokakarya, tujuan utama
dari kegiatan ini adalah diskusi untuk sampai pada kesepahamam timbal
balik, mengubah persepsi dan sikap terhadap konflik, dan yang terakhir
dan terutama adalah mengubah pola hubungan di antara pihak yang
bertikai. Pihak ketiga dalam hal ini lebih banyak berfungsi sebagai
fasilitator ketimbang sebagai intervensionis, dan pada umumnya berasal
dari kalangan akademis, bukan dari kalangan politisi. Karena tujuan dari
workshop ini tidak terutama pada tercapainya suatu keputusan atau
kesepakatan, namun harapannya lebih kepada terjadinya perubahan dalam
sikap dan hubungan di antara pihak yang bertikai, yang pada akhirnya
akan membuka jalan ke arah penyelesaian konflik yang lebih konstruktif.
50
Kelman juga menganggap penting soal kebutuhan, terutama lebih kepada
soal kebutuhan kolektif, bukan pada kebutuhan individu dari partisipan.
Tidak seperti Burton, Kelman sudah lebih jelas mempertimbangkan
sejarah masa lalu sebagai bagian yang harus diperhatikan dalam sesi-sesi
workshopnya. Bagi Kelman, dinamika hubungan antara kondisi masa
sekarang dengan sejarah masa lalu harus diperhatikan supaya hasil
workshop dapat dimantapkan. Kelman misalnya memperingatkan, “Bahkan
di antara individu dan kelompok yang tampaknya sudah terbangun rasa
percaya dan kerjasama pun, tidak ada jaminan bahwa kondisi sekarang,
tingkah laku, ucapan-ucapan sekarang tidak akan membangkitkan serta
memicu luka lama.” Oleh karena itu, soal ini harus diperhatikan secara
berhati-hati. Kelman menegaskan bahwa mengetahui sejarah viktimisasi
(victimization) atau kekerasan yang pernah dialami satu pihak, penting
bagi pencapaian hasil dalam lokakarya pemecahan masalah (1990b, 1996).
Lebih lanjut dinyatakannya, “Mengetahui dan menghargai serta empati
dengan sejarah viktimisasi suatu bangsa akan memungkinkan masing-
masing pihak untuk bisa melepaskan diri dari belenggu sejarah masa lalu,
yang terus-menerus menjadi alasan bagi mereka untuk berkonflik.” Lebih
lanjut Kelman mengatakan:
Even.. Destructive elements cannot be made to disappear overnight in conflict that have pursued for many years – in some cases, for generation – and are marked by accumulated memories that are constantly being revived
51
by new events and experiences. Conflict resolution doesn’t imply that past grievances and historical traumas have been forgotten and consistently harmonious relationship has been put in place. It simply implies that a process has been set into motion that addresses the central needs and fears of the societies and established continuing mechanisms to confront them.
(Kelman, 1997b: 197).
Bagi Kelman, isu ingatan harus diberlakukan dengan sangat hati-hati,
mengingat ingatan jika diperbandingkan dengan fakta sejarah lebih
bersifat lentur dan mudah untuk direkonstruksi sesuai dengan tujuan
politik:
In most intense protracted conflict..Historical traumas serve as the points of reference for current events. There is no question that ambitious, often ruthless, nationalistic leaders manipulated memories in order to whip up public support for their projects. But the fact remains that these memories – and the associated sense of injustice, abandonment and vulnerability – are part of the people’s consciousness and available for manipulation.
(Kelman, 1997b: 214).
Kelihatannya semenjak Kelman, mulai meningkatkan perhatian dari
para peneliti untuk memberi perhatian yang lebih serius pada trauma
sejarah dan pengaruh antargenerasinya pada suatu masyarakat. Namun
masih terdapat kesenjangan antara aspek penyembuhan (therapeutic
aspects) pada orang-orang yang menderita akibat konflik yang
berkepanjangan pada masa lalu dengan aspek ‘pemecahan masalah’ yang
berada pada dimensi masa sekarang. Dalam kebanyakan literatur
mengenai resolusi konflik, tampaknya hanya ada dua pilihan. Pertama,
membongkar akar-akar kesedihan, trauma, kemarahan masa lalu dan
52
mencari cara untuk katarsis, serta berharap akan berakhir dengan
pemaafan. Pendekatan lain adalah dengan meninggalkan masa lalu dan
memulai hidup sebagai komunitas baru. Mengabungkan kedua pendekatan
tersebut dalam menangani konflik-konflik yang mengakar lama tampaknya
menjadi suatu hal yang sulit dilakukan; menuntaskan masa lalu, sekaligus
menuntaskan kesepakatan dan pemecahan masalah pada masa sekarang
(Lumsden & Wolfe, 1996).
Beberapa tahun terakhir mulai timbul perhatian yang serius dari para
pakar yang bergerak di bidang penelitian dan praktik resolusi konflik
tentang pentingnya faktor ingatan dalam kaitannya dengan konflik etnik.
Konsorsium psikolog dalam area Peace and Conflict Resolution yang
diketuai Prof. Ed Cairns, seorang psikolog dari University of Ulster, Irlandia
Utara dan Direktur INCORE (Initiative on Conflict Resolution and Ethnicity)
telah mengadakan beberapa kali simposium dan seminar, dan telah
berhasil mengangkat wacana tentang ingatan dan konflik etnik menjadi isu
yang penting. Karya-karya Cairns (1997, 1998, 1999, 2003) dengan kasus
Irlandia Utara cukup berhasil memperlihatkan hubungan yang erat antara
ingatan dan konflik. Penelitiannya mengenai hubungan antara ingatan dan
identitas menjadi sangat penting dalam menjelaskan mengapa konflik
terus berkepanjangan dan sukar untuk didamaikan—misalnya dengan
pedekatan negosiasi—hanya karena soal faktor identitas yang terkait
53
dengan cara suatu komunitas mengartikan dan menempatkan ingatan
sebagai basis identitas. Studi Cairns (1997) juga memperlihatkan kaitan
yang erat antara faktor ingatan, dan kesehatan mental serta perpanjangan
konflik.
Pada tahun 1995, INCORE menjadi tuan rumah untuk pertemuan dan
workshop mengenai ‘Memories and Ethnic Conflict’. Para psikolog yang
bergerak dalam bidang perdamaian dan konflik ini berkumpul untuk
menelaah soal ini. Isu yang paling sering dibahas adalah mengenai ingatan
dan identitas, transmisi ingatan kolektif antargenerasi. Pengaruh kedua hal
tersebut pada usaha-usaha resolusi konflik dan rekonsiliasi. Patrick
Devine-Wright (1996, 2003), yang meninjau literatur mengenai ingatan
dan konflik etnik, menyatakan bahwa masih terlalu sedikit penelitian
empirik mengenai topik ini, sehingga masih diperlukan banyak penelitian
lanjutan untuk mengeksplorasi topik ini (Devine-Wright, 2003).
4. Rekonsiliasi
Dalam kebanyakan literatur mengenai rekonsiliasi, masa lalu justru
dipandang sebagai komponen terpenting untuk sampai kepada pemaafan
(forgiveness) terhadap kekekerasan dan kejahatan-kejahatan pada masa
lalu. Walaupun dalam hal ini, pemaafan secara sosial (social forgiveness)
dan pemaafan secara individual tidak selalu berjalan paralel (Montiel,
2002). Artinya, bisa saja seseorang memaafkan orang lain secara personal, 54
tapi tidak dalam tataran kelompok atau apa yang disebut sebagai pemaafan
sosial. Dalam hal pemaafan secara sosial ini, komponen masa lalu dalam
bentuk ingatan kolektif—lebih dari sekadar ingatan individual—harus
dipertimbangkan supaya proses rekonsiliasi bisa tercapai. Montville (1991,
1993) mengatakan bahwa tahap pertama workshop yang menandai
rekonsiliasi justru adalah membicarakan sejarah konflik tersebut.
Healing and reconciliation in violent and ethnic and religious depend on a process of transactional contrition and forgiveness between aggressor and victims which is indispensable to the establishment of a new relationship based on mutual acceptance and reasonable trust. The process depends on joint analysis of the history of the conflict, recognition of injustice and historic wounds, and acceptance of moral responsibility where due. (Montville, 1993: 112).
Montville (1993) mengemukan idenya lebih lanjut seperti berikut:
The purpose of the walk through history is to elicit specific grievances and wounds of the groups or nations in conflcit, which have not been acknowledged by the side responsible for inflicting them. Only the victims know for certain which historic events sustain the sense of victimhood and these become cummulatively the agenda for healing. Published histories and official government versions of violent events iniatiated by the aggressors very rarely convey the unvarnished truth. The almost universal tendency in not to discuss or to gloss or mythologize an event or military concquest as a justified defense if not heroic advance for the nation or perhaps civilization itself…The need for revising and cleaning up the published historical record of a conflict intergroup or international relationship has become widely accpeted as an essential part of a reconciliation process.
(Montville, 1993: 115).
Literatur lain mengenai rekonsiliasi berbicara mengenai cara
mendorong proses pemaafan sosial sebagai suatu cara untuk melepaskan
55
beban masa lalu. Momentum rekonsiliasi dipandang sebagai kesempatan
bagus untuk memotong lingkaran masa lalu dengan masa sekarang.
Rekonsiliasi dan Resolusi Konflik
Walaupun secara umum dipahami sebagai cara untuk mengakhiri
konflik (resolusi konflik), rekonsiliasi sebagai istilah dan konsep tidak
diartikan secara sama oleh para ilmuwan dan praktisi. Beberapa definisi,
misalnya, mengartikan rekonsiliasi sebagai suatu peristiwa (event).
Sebagian lagi menyatakan rekonsilasi sebagai proses dan hasil sekaligus.
Beberapa peneliti lainnya beranggapan rekonsiliasi lebih tepat dipandang
sebagai pemulihan hubungan (misalnya: Kriesberg, 1988, TRC Report,
1996).
Umumnya, rekonsiliasi dimaknai sebagai suatu usaha untuk
menyelesaikan konflik pada masa lalu sekaligus memperbarui hubungan
ke arah perdamaian dan hubungan yang lebih harmonis pada masa yang
akan datang, seperti apa yang dikatakan oleh Melor & Bretherton (2003:
39), sebagai berikut:
.. describe reconciliation as relating to our capacity to restore harmony to that which has been broken, severed and disrupted, implying not only that there is damage to be repaired, but also that there was at some previous stage an harmonious relationship…Our analysis of the reconciliation process presents it as having three stages: (1) coming to terms with the past; (2) taking responsibility in the present; and then (3) working together to make a better future. (cetak tebal: penulis).
56
Pada bagian-bagian berikutnya, konsep rekonsiliasi akan dipaparkan
secara lebih rinci menurut lima aspek. Pertama, rekonsiliasi berdasarkan
model pendekatan teoretik, merujuk kepada salah satu model; rational
choice atau game theory, human need theory, dan forgiveness model. Kedua,
lingkup rekonsiliasi (spheres of reconciliation) merujuk pada pelbagai
aspek hubungan (identitas, sikap, keyakinan dan perilaku). Ketiga,
komponen rekonsiliasi, merujuk pada pelbagai kebutuhan sosial dari pihak
yang terlibat konflik (keadilan, kebenaran, penyembuhan dan rasa aman),
dan. Keempat, tingkatan rekonsiliasi, yang merujuk pada tingkatan
intervensi rekonsiliasi; apakah pada tingkat interpersonal, komunitas dan
nasional. Terakhir, rekonsiliasi dari aspek pendekatan; apakah pendekatan
dari bawah (bottom-up approach) ataukah dari atas (top-down approach).
5. Model Teoretik Rekonsiliasi
a. Teori Pilihan Rasional (rational choice model)
Model rekonsiliasi yang bertolak dari teori pilihan rasional ataupun
teori permainan (game theory) berangkat dari asumsi maksimalisasi
kegunaan, utility maximalization. Dasar teori ini adalah bahwa masyarakat
ataupun aktor (atau individu yang bertindak atas nama kolektiva), adalah
pelaku yang rasional, yang akan bertindak untuk mencapai hasil maksimal
yang mungkin dari setiap interaksinya. Dalam konteks rekonsiliasi,
terutama dalam konteks pertikaian internasional (international disputes),
57
rekonsiliasi dapat dipahami sebagai tindakan atau keputusan terbaik yang
menguntungkan semua pihak yang didapat dari suatu proses perundingan
yang rasional.
Dalam pandangan teori ini, rekonsiliasi dapat dipandang sebagai
pilihan aktor politik yang mengambil manfaat maksimal buat keuntungan
pribadi atas nama kepentingan publik. Asumsi pengambilan keputusan
secara rasional (rational decission making) adalah sebagai berikut: 1) aktor
mempunyai tujuan tertentu; 2) tujuan tesebut merefleksikan kepentingan
aktor; 3) individu mempunyai kecederungan yang konsisten dan stabil; 4)
jika ada pelbagai macam pilihan, aktor akan memilih alternatif yang akan
memberikan keuntungan maksimal; 5) aktor dengan kepentingan politik
adalah pemain terpenting (Long & Brecke, 2003).
Menurut model pilihan rasional ini, keputusan untuk perang atau
rekonsiliasi sangat ditentukan oleh pola pertukaran (trade-off) dan
perhitungan untung-rugi (estimation of costs and benefits) (Long & Brecke,
2003). Menurut model ini, pemulihan hubungan baik adalah konsekuensi
dari tercapainya pilihan-pilihan rasional dalam suatu negosiasi untuk
mencapai suatu penyelesaain konflik (conflict settlement negotiation).
Karena model ini sangat mengandaikan pada asumsi rasionalistik, segala
sesuatu yang menyangkut kerugian harus bisa ditakar dan direkompensasi
secara hitungan yang rasional.
58
Kritik terhadap pendekatan pilihan rasional ini adalah bahwa dalam
soal pemulihan hubungan pascakonflik atau rekonsiliasi, pola pertukaran
antara pihak-pihak yang bertikai tidak selamanya bisa diukur secara
rasional. Misalnya, sangat sukar untuk menentukan berapa pertukaran
yang layak untuk kematian, cacat, trauma dan kerugian-kerugian
psikologis lainnya. Keseimbangan rasional juga tidak selalu terjadi atas
pilihan pertukaran (trade-off) yang diambil, seperti yang diasumsikan teori
ini.
Kritik lain terhadap pendekatan teori pilihan rasional adalah pada
pemahamannya yang sempit mengenai tindakan manusia. Asumsi-asumsi
psikologis di balik teori ini adalah bahwa manusia selalu bisa
menggunakan alternatif pilihan rasional sebaik mungkin, berpijak pada
logika deduktif. Dalam kenyataannya, bahkan secara kognitif, pengambilan
keputusan lebih banyak mengandalkan pada cara-cara yang cepat
(heuristic). Persoalan lain adalah, teori ini mengabaikan faktor emosi dalam
rekonsiliasi.
Daya tarik teori pilihan rasional ini terletak pada kenyataan bahwa ia
memungkinkan semua pihak untuk merundingkan aspek pemuasan
kebutuhan-kebutuhan dasar seperti yang diisyaratkan oleh pendekatan
teori kebutuhan (human need theory) (Burton,1990, Kelman, 1990).
b. Teori Kebutuhan Manusia (human need theory).
59
Model rekonsiliasi ini bertolak dari kenyataan bahwa konflik yang
berkepanjangan telah menimbulkan kondisi deprivasi, atau paling tidak
marginalisasi dalam pemenuhan kebutuhan manusia yang mendasar
(Burton, 1990, Kelman, 1990). Oleh karenanya, rekonsiliasi menurut
pandangan teori ini baru akan sukses jika momen rekonsiliasi bisa
menjamin akan tercapainya pemenuhan kebutuhan-kebutuhan mendasar
ini. Teori ini terinspirasi oleh teori Maslow mengenai dasar motivasi
manusia. Proposisi utama yang disandang oleh teori ini adalah bagaimana-
pun motivasi manusia yang paling hakiki adalah pemenuhan kebutuhan
dasar dan kebutuhan eksistensi. Dalam hal ini dorongan pemenuhan
kebutuhan bisa menjadi dasar motivasi untuk melakukan rekonsiliasi, jika
dipersepsikan bahwa rekonsiliasi bisa menjamin terpenuhinya keinginan
kelompok untuk memperoleh kebutuhan-kebutuhannya.
Posisi teori ini misalnya sejalan dengan teori sinyal (signal theory),
yang berhipotesis momen rekonsiliasi adalah semacam isyarat atau sinyal
bahwa perbaikan hubungan akan segera dimulai. Long & Brecke (2003:
18), mengatakan, “The best strategy for breaking a pattern of hostile
interactions is by sending signals that provide a measure of commitment to
the pursuit of improved relations. Reconciliation events or gestures are
particularly effective forms of this type of signal...” Berkaitan dengan teori
60
kebutuhan, sinyal ini harus menjadi isyarat bagi semua pihak bahwa
rekonsiliasi akan menjamin tercapainya pemenuhan kebutuhan manusia.
Mengenai kebutuhan ini, Burton (1990a, 1990b) memberikan tiga
label untuk soal ini, yaitu kebutuhan (needs), nilai-nilai (values) dan
kepentingan (interests). Kebutuhan (needs) dimaksudkan oleh Burton
merujuk kepada kebutuhan universal seperti yang dimaksudkan Maslow,
yaitu kelompok kebutuhan biologis dan meta needs. Sementara itu nilai-
nilai (values) dimaksudkan oleh Burton lebih kepada ide-ide (ideas),
kebiasaan-kebiasaan (habits), adat (customs), dan kepercayaan-
kepercayaan (beliefs), yang menjadi ciri utama (identitas) suatu
kebudayaan, etnik ataupun kelompok. Berbeda dari kebutuhan yang
bersifat universal, biologis, atau bahkan genetis, nilai-nilai lebih bersifat
simbolik, terikat konteks sosial dan budaya. Kepentingan dimaksudkan
oleh Burton terkait dengan posisi, status dan peran seseorang atau
kelompok dalam konteks pekerjaan, ekonomi dan politik. Kepentingan bisa
dikatakan juga sebagai aspirasi seseorang atau kelompok. Kepentingan-
kepentingan ini bisa terwujud dalam bentuk material ataupun non
material, seperti kekuasaan, pengaruh, dll. Kepentingan mempunyai arti
strategis terutama dalam konteks politik karena akan mempengaruhi
bagaimana suatu keputusan politik akan diambil. Bahkan, misalnya, arena
61
politik bisa dapat dikatakan sebagai arena di mana kepentingan-
kepentingan politik ditandingkan dan dinegosiasikan.
Salah satu ciri kepentingan—seperti yang diisyaratkan juga oleh teori
pilihan rasional—ialah bahwa kepentingan sangat mudah untuk
dipertukar-kan (trade-off) dan dinegosiasikan (negotiable), sedangkan
kebutuhan lebih bersifat mutlak dan kadang-kadang tidak bisa ditawar-
tawar lagi. Begitu juga dengan nilai-nilai yang pada titik tertentu tidak bisa
lagi dikompromikan. Kebutuhan yang lebih khusus misalnya, adalah
dorongan yang inheren untuk keperluan kelangsungan hidup (survival)
dan perkembangan, begitu juga identitas dan rasa hormat (recognition)
(Burton, 1990a, 1990b).
Proses negosiasi dalam rangka rekonsiliasi menurut Burton (19901,
1990b) adalah menjaga keseimbangan pertukaran antara kebutuhan, nilai-
nilai dan kepentingan-kepentingan. Dalam model rekonsilasi yang lebih
terintegrasi, isu mengenai hal ini tercakup dalam pengertian kompensasi
dan rekonstruksi.
c. Model Pemaafan (Forgiveness Model)
Model pemaafan bertitik tolak dari asumsi bahwa rekonsiliasi adalah
bagian dari proses pemaafan, atau proses transformasi emosi-emosi
tertentu, misalnya marah, dendam, menjadi kedekatan, hubungan baik
62
serta terciptanya etos berdamai. Dengan adanya proses transformasi ini
terbukalah kemungkinan untuk memperbarui hubungan yang pernah
buruk, dan ini hanya bisa tercapai melalui proses pemaafan (Long &
Brecke, 2003). Model pemaafan ini jika dibandingkan dengan model-model
sebelumnya, mempunyai beberapa keunggulan, terutama pada kemam-
puannya untuk mempertimbangkan faktor emosi dan penalaran
(reasoning) sekaligus. Dalam model ini, rekonsiliasi dipandang sebagai
proses transformasi etos berkonflik (conflictive ethos) menjadi etos
berdamai (peace ethos). Kelemahan model ini terletak pada diperlukannya
usaha yang sungguh-sungguh untuk melaksanakannya, dan terkadang
proses pemaafan baru bisa terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama. Di
luar itu harus ada misalnya usaha-usaha untuk mengungkapkan
kebenaran, proses penyembuhan/ pemulihan dan pembenahan faktor
struktural.
Teori yang dikembangkan oleh seorang tokoh psikologi politik
terkemuka, Daniel Bar-Tal (2002), sebenarnya bisa dikategorikan ke dalam
kelompok model ini, walaupun ia tidak pernah secara eksplisit
mengatakan-nya. Menurut Bar-Tal (2000), proses rekonsiliasi terutama
harus menyen-tuh aspek psikologis yang terdalam pada masyarakat.
Rekonsiliasi menurut Bar-Tal (2000) harus mensyaratkan adanya
perubahan-perubahan psikolo-gis yang mendasar, yaitu proses
63
transformasi beliefs dan sikap yang menyokong hubungan yang damai
(peacefull relation) antara pihak-pihak yang bermusuhan. Yang dimaksud
oleh Bar-Tal (2000), adalah harus terjadi perubahan etos dari etos
berkonflik (conflictive ethos) menjadi etos damai (peace ethos). Perubahan
etos ini hanya bisa terjadi jika adanya perubahan belief dalam masyarakat.
Proses perubahan etos ini menurut Bar-Tal (2000) bukanlah proses
yang mudah karena disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya proses
rekonsiliasi terkadang belum tentu menjamin adanya kesembuhan atau
pemulihan di tingkat individual (individual healing), healing process
terkadang hanya terjadi pada tingkat kolektif (collective healing), atau
sebaliknya. Terkadang terjadi proses healing pada tingkat individual,
namun tidak pada tingkat kolektif. Faktor lain adalah sulitnya perubahan
pada tingkat struktural. Namun salah satu faktor yang menurut Bar-Tal
paling penting adalah bagaimana mengubah keyakinan mengenai hakikat
hubungan antar kelompok (beliefs about adversary groups, beliefs about
intergroup relation) yang dipenuhi oleh rasa permusuhan dan sudah
tercetak dan tertanam dalam ingatan kolektif. Persoalan ini menurut Bar-
Tal (2000) sangat terkait dengan penilaian tentang masa lalu. Lebih lanjut
Bar-Tal (2000: 359) mengatakan:
“The new belief about the relation should also concern the past, the period of intractable conflict. The reconstruction of the past is an important part of reconciliation, because collective memory (cetak tebal, penulis) of the past
64
underlies much of the animosity, hatred, and mistrust between the parties. The collective memory of each party views the past selectively in one-sided manner, focusing mostly on the misdeeds of the other group and its responsibility for the conflict, and on the glorification and victimhood of the ingroup.
Proses perubahan etos ini juga harus menyangkut mengenai belief
atau konsepsi dan harapan tentang tujuan-tujuan masyarakat pada masa
datang (beliefs about societal goals), dan belief mengenai prospek
perdamaian di masa mendatang (belief about peace). Dengan demikian,
jelas bagi Bar-Tal proses pemaafan tidak terjadi begitu saja, tapi lewat
proses transformasi kesadaran.
Long dan Brecke (2003) menggambarkan proses model pemaafan ini
ke dalam empat fase, seperti gambar di bawah ini:
Gambar 3.1Proses rekonsiliasi dengan model pemaafan(Sumber; Long & Brecke (2003: 31)
Pada fase pertama, kelompok yang berkonflik harus mau dan rela
menyadari apa yang telah terjadi pada masa lalu. Setiap kelompok yang
bertikai harus mau dan mampu menyadari kesalahan di masa lalu.
Idealnya proses pengungkapan kebenaran harus terbuka untuk publik,
65
Pengungkapan kebenaran
Redefinisi identitas sosial
Keadilan parsial
Kesediaan membangun
hubungan baru
Rekonsiliasi yang berhasil
misalnya melalui investigasi resmi, laporan di media massa, dll. Memang
harus disadari konsekuensi psikologik dari proses ini. Pelbagai macam
reaksi bisa muncul dari proses ini; merasa malu, bersalah, dan perilaku
agresif. Seperti yang diungkapkan oleh Fitzgibbons (1998), cara coping
yang paling mungkin muncul, bisa dalam bentuk pengingkaran, agresivitas
aktif (marah) atau pasif (dendam) atau bisa juga pemaafan. Pilihan untuk
memaafkan mengharuskan semua pihak untuk menyadari terlebih dulu
(bukan mengikari) apa-apa yang telah terjadi, mengapa terjadi, siapa yang
melakukan, mengapa ia melakukan, apa kesalahannya. Seperti yang
dikatakan North (1998: 17), memaafkan bukan berarti melupakan, “The
forgiveness option requires recognition. Forgiveness does not remove the fact
or event of wrongdoing having been committed in order for the process of
forgiveness to be made possible. One does not forget, one remembers and
forgives.”
Pada fase kedua, persis sama seperti yang dikatakan Bar-Tal
sebelumnya, rekonsiliasi menghendaki kesediaan kelompok mengubah
sudut pandangnya mengenai posisi dan identitas kelompok sendiri, posisi
dan identitas kelompok lainnya (beliefs about adversary groups, beliefs
about intergroup relation). Redefenisi atau reframing hubungan
pascakonflik melibatkan sekaligus faktor kognitif dan emosi. Seperti yang
dikatakan Long & Brecke (2003: 30),
66
Reframing the other, seperating the wrongdoer from the wrong wich has been committed… Reframing does not do away with the wrong itself, nor does it deny the wrongdoer’s responsibility for it, but it allows us to regard the wrongdoer in a more complete, more detailed, more rounded way..The other party is recognized as separate from the injury he or she inflicted, and the humanity of that person is acknowledge by those who have suffered.
Ketiga, kelompok-kelompok yang dirugikan sungguhpun berhak untuk
mendapat keadilan yang setimpal dengan apa yang telah diperbuat oleh
pihak perpetrator kepadanya sebelumnya, ataupun mempunyai
kesempatan untuk membalas dendam, hendaknya bisa menyadari bahwa
keadilan tidak akan bisa ditegakkan sepenuhnya. Menurut Long dan
Brecke, apa yang bisa dicapai dalam soal keadilan ini, hanya sebatas pada
yang disebut sebagai ‘partial justice’. Penegakan dan pencarian keadilan
dalam pengertian setuntas-tuntasnya tidak akan pernah didapat, yang
penting dalam hal ini adalah adanya perhatian pada pemenuhan ‘rasa
keadilan’ saja.
Keempat, proses rekonsiliasi harus diakhiri dengan keinginan untuk
membuat kontak lebih intens, jika perlu disertai dengan pemaafan secara
publik atau secara sosial (social forgiveness), menawarkan hubungan yang
lebih bagus, paling tidak hidup berdampingan secara damai (coexistence),
saling menghormati, dan saling toleran.
Proses rekonsiliasi menurut model pemaafan ini pada umumnya
terjadi menurut fase-fase di atas, walaupun tidak selalu berjalan berurutan
secara satu arah (linear). Kadang-kadang fase-fase tersebut berjalan secara 67
berurutan, terkadang justru berlangsung secara simultan dalam saat yang
bersamaan. Proses dari keempat fase sebagai fungsi dari waktu dan
intensitas dalam digambarkan dalam bagan berikut:
intensitas
waktu keterangan :
pengungkapan kebenaran (truth telling)
keadilan parsial (partial justice)
kesediaan membangun hubungan baru
(call for new relationship)
redefinisi identitas (redefinition of identities)
Gambar 3.2 Sekuens Model Pemaafan
(Sumber: Long & Brecke, 2003: 31)
Lingkup Rekonsiliasi
68
Rekonsiliasi pada intinya memperbaiki hubungan antara kelompok-
kelompok yang terpecah karena konflik. Dalam tingkat komunitas dan
nasional, rekonsiliasi bisa dianggap sebagai suatu gerakan untuk mencapai
hubungan yang lebih kooperatif. Empat hal utama selayaknya menjadi inti
dari gerakan rekonsiliasi. Pertama, mengembalikan hakikat kemanusiaan
semua kelompok, bahkan perpetrator sekalipun. Dengan kata lain, harus
ada kesediaan untuk menata kembali identitas dan pendefinisian ulang
hubungan antarkelompok. Dalam hal ini hak asasi dan kemanusiaan harus
mendapat prioritas pertama. Kedua, rekonsiliasi harus dipahami sebagai
penataan ulang tatanan moral baru, yang bertitik tolak dari adanya
konsesus mengenai nilai-nilai yang menyokong kerjasama. Ketiga,
pentingnya perubahan sikap (attitudinal aspect) dan keyakinan (belief).
Perubahan sikap dan belief adalah penting supaya seseorang bisa
mengatasi (cope) rasa ketakutan, rasa marah, dan dendam yang membuat
konflik berkepanjangan. Keempat, pola interaksi dengan kelompok musuh
harus direorientasi ulang ke arah hubungan saling tergantung yang
menguntungkan. Kelompok harus berani mengambil risiko untuk memulai
kontak baru supaya mulai timbul rasa percaya satu sama lain (Merwe,
1999).
Berdasarkan empat dimensi atau lingkup rekonsiliasi seperti yang
disebutkan di atas, empat dimensi hubungan dapat diidentifikasi sebagai:
69
dimensi identitas, dimensi nilai-nilai yang mengarahkan interaksi, dimensi
sikap-sikap, dan dimensi pola-pola interaksi. Dengan mempergunakan
kerangka koseptual dari Dugan (1996), dimensi rekonsiliasi dapat
digambarkan ke dalam model lingkaran konsentris sebagai berikut:
Gambar 3.3. Dimensi Rekonsiliasi
(Sumber; Merwe (1999: 41)
Lingkaran terluar adalah dimensi tingkah laku atau dalam konteks
rekonsiliasi adalah pola-pola interaksi. Pada dimensi ini diperlihatkan
70
IDENTITAS
NILAI
SIKAP
PERILAKU
apakah pola interaksinya cenderung ke arah kooperatif, atau justru masih
bernuansa konflik. Lingkaran kedua adalah aspek sikap, yang menyangkut
keyakinan dan sikap terhadap bekas musuhnya; apakah masih negatif atau
sudah bergeser menjadi positif. Lingkaran ketiga menyangkut sistem nilai
yang mendasari dan menentukan sikap dan perilaku—menyangkut
konsepsi tentang keadilan, prinsip-prinsip dasar kemanusiaan, dsb.
Perubahan dalam dimensi ini diyakini akan dapat mempengaruhi sikap
dan perilaku. Komponen keempat, yang terpenting yaitu menyangkut
identitas (baik kelompok sendiri dan kelompok musuh). Jika kelompok-
kelompok dapat mereposisi diri sendiri (kelompok sendiri) dan kelompok
lain dalam konteks konflik dan yang lebih terpenting redefinisi diri
pascarekonsiliasi. Pendefinisian identitas dengan cara ‘saya benar - dan
yang itu penindas, musuh’ bisa bergesar kepada kesadaran bahwa semua
kelompok mungkin bisa bersalah. Kalau transformasi identitas dapat
dilakukan, besar kemungkinan rekonsilasi pada dimensi lain akan tercapai
pula. Secara detail, masing-masing dimensi akan dibahas di bawah ini.
Rekonsiliasi dan Pola Interaksi
Dimensi rekonsiliasi yang paling tampak adalah pada aspek perilaku,
yaitu bagaimana pola interaksi antar kelompok selama, saat dan setelah
proses rekonsiliasi. Pola interaksi yang dikehendaki adalah yang tidak lagi
menunjukkan pola berkonflik (seperti eskalasi kekerasan, saling curiga),
71
namun lebih ke arah pola interaksi yang kooperatif. Harus ada peningkatan
kualitas komunikasi yang lebih baik, mulai adanya pertukaran barang dan
jasa antarkelompok misalnya, bisa menjadi indikator mulai tumbuhnya
pola interaksi yang positif.
Pola tingkah laku dan sikap akan saling terkait untuk satu kelompok
dengan kelompok lainnya. Jarangnya interaksi misalnya, akan memperkuat
sikap berprasangka dan timbulnya stereotip. Rasa saling tidak percaya
(mistrust) sangat bergantung pada apakah pola interaksi masih terisolasi
satu sama lain, dan tidak adanya komunikasi yang terbuka. Tingkah laku
negatif yang ditampilkan oleh salah satu pihak akan memperkuat sikap
negatif pada kelompok lainnya, dan sikap negatif ini akan memicu pola
interaksi yang negatif. Sebaliknya pola interaksi yang positif akan
meningkatkan rasa percaya kelompok untuk berinteraksi dan berani
mengambil risiko yang lebih dari hubungan antar kelompok. Pola
hubungan timbal-balik (reciprocal) yang positif pada akhirnya adalah
modal utama untuk membangun rasa saling percaya (trust building) di
kemudian hari.
Rekonsiliasi dan Sikap
Satu indikator dari kesuksesan rekonsiliasi diukur dari terjadinya
perubahan sikap dari membenci, takut, tidak percaya, keinginan untuk
72
membalas dendam menuju sikap saling menghormati, percaya dan
memaafkan (Merwe, 1999).
Mitchell (1981), mengklasifikasikan sikap ini menjadi dua kategori
besar:
1) berorientasi emosional, seperti perasaan marah, tidak percaya, dendam,
memandang rendah (scorn), curiga;
2) proses-proses kognitif, seperti stereotip, belief.
Proses perubahan sikap ini biasanya menjadi salah satu teknik
intervensi dalam usaha membangun kedamaian (peace building). Teknik
pelatihan seperti ‘cultural sensivity training’ biasanya memfokuskan
perhatiannya pada aspek sikap antarkelompok. Kraybill (1996)
mengatakan lebih detail seperti berikut:
Trust takes time and effort to build, and the only way to build it is through taking risk. In the beginning, trust may be low, so risk may that are taken are low too. But as trust grows, bigger risks are taken, leading to increased trust. Where people live in a state of shalom, risk and trust expand in an on-going cycle, and the relationship moves to an ever deepening plane.
(Kraybill, 1996: 19)
Rekonsiliasi dan nilai
Rekonsiliasi pada hakekatnya adalah penataan ulang tatanan moral
baru, tatanan nilai atau semacam kontrak sosial yang baru. Brummer
(1994) misalnya mengidentifikasi tiga kemungkinan jenis nilai-nilai dan
kaitannya dengan kemungkinan tercapainya rekonsiliasi. Pertama, nilai-
73
nilai manipu-latif. Jika nilai ini yang dikedepankan, rekonsiliasi tidak akan
bisa menda-tangkan hubungan yang harmonis, karena bertolak belakang
dari nilai-nilai perdamaian. Kemungkinan kedua adalah muncul dalam
bentuk nilai-nilai kontraktual, dalam hal ini rekonsiliasi tercapai dengan
mendasarkan diri pada kontrak sosial, masing-masing pihak terikat pada
hak dan kewajiban masing-masing. Kemungkinan ketiga adalah
tumbuhnya nilai-nilai persaudaraan, persahabatan atau dinamakan oleh
Brummer (1994) sebagai fellowship. Dengan nilai ini pihak-pihak tidak
hanya sekadar mendasarkan hubungan pada sejenis kontrak sosial, tetapi
lebih terutama pada penghargaan dan empati, juga pada kebutuhan dan
kepentingan pihak lain, sama seperti ia menghargai kebutuhan dan
kepentingan kelompok sendiri. Brummer (1994) berpendapat nilai-nilai
fellowship ini penting untuk mengukuhkan identitas baru dalam proses
rekonsiliasi.
Memperbaiki hubungan dan menciptakan tatanan moral yang baru,
kalau perlu harus dilakukan dengan mengintrodusir nilai-nilai baru, ketim-
bang sekadar mengubah kerangka nilai-nilai yang sudah ada. Bahkan kalau
perlu tatanan sosial, politik dan kultural yang baru perlu diintrodusir
menyertai penataan nilai-nilai baru. Seperti yang dikatakan oleh Zalaquett
(1994: 9-10):
74
Building or reconstructing a morally just order entails building political culture and setting in place values, institutions and policies that will guard against the
Rekonsiliasi dan Identitas
Pada dasarnya, perubahan dalam dimensi identitas dalam suatu
hubungan adalah pendefinisian ulang batas-batas yang membedakan dan
mencirikan suatu kelompok dengan kelompok lainnya. Membangun suatu
identitas baru, ketika pencirian dan pembedaan identitas tidak lagi dalam
kategori ‘salah’ atau ‘benar’, ‘kita’ dan ‘musuh’ . Dalam hal ini misalnya citra
(image) yang dikaitkan dengan posisi sejarah masa lampau adalah penting
untuk pendefinisian ulang suatu identitas kelompok. Isu ingatan misalnya
adalah dalam kaitannya dengan soal identitas ini pula. Bahkan, rekonsiliasi
menurut Correa (1992) adalah ‘reconciling people with their history’, lebih
lanjut menurut dia:
Men and women not only to reconcile with each other, but also need to reconcile themselves as a people. They need to reconcile their own history as a nation. History is their mirror, in order to reconcile themselves, they first need to recognize themselves in that mirror.
Correa (1992: 493)
Citra dan identitas diri sendiri dan orang lain (musuh) selama konflik
biasanya terus-menerus didistorsi dan disimplifikasi sedemikian rupa,
sehingga penting kiranya momen rekonsiliasi dimanfaatkan untuk
meluruskan citra dan identitas ini. Masalah citra dan identitas ini perlu di
reevaluasi dengan mengkonfrontasikannya dengan fakta-fakta masa lalu
75
sehingga posisi masing-masing identitas kelompok menjadi jelas, tidak lagi
terdistorsi.
Dimensi-dimensi Rekonsiliasi
Dari pembahasan di atas terlihatlah dimensi kunci dari rekonsiliasi
yang perlu diperhatikan adalah menyangkut ruang lingkup (spheres) yang
perlu diubah (identitas, nilai-nilai, sikap dan perilaku). Dua dimensi
lainnya yang juga perlu diperhatikan dan dibahas lebih detail adalah
komponen-komponen substantif dari rekonsiliasi (keadilan, kebenaran,
penyembuhan, dan rasa aman), dan pada tingkatan mana intervensi
diperlukan (individual, kelompok/komunitas atau nasional).
Secara singkat, dapat dikatakan bahwa dimensi ruang lingkup
memperlihatkan tingkat kedalaman perubahan di mana rekonsiliasi dapat
dilakukan. Apakah hanya pada perubahan sikap, nilai atau perilaku atau
sudah sampai pada perubahan identitas. Rekonsiliasi yang superfisial
misalnya hanya menyentuh perubahan sikap dan perilaku, sementara
transformasi kesadaran dan identitas antara kelompok-kelompok belum
tercapai.
Dimensi kedua dalam rekonsiliasi adalah komponen atau unsur-unsur
substantif yang perlu diperhatikan dalam proses rekonsiliasi. Unsur
substantif ini berkaitan dengan model kebutuhan manusia (human needs
theory). Artinya, unsur-unsur kebutuhan berikut harus dijadikan agenda
76
(addressed) dalam proses rekonsiliasi. Unsur-unsur itu menyangkut;
kebenaran (truth), keadilan (justice), penyembuhan/pemulihan (healing)
dan rasa aman (security).
Dimensi berikutnya menyangkut pada tingkat sosial tempat
rekonsiliasi akan dilakukan; apakah pada tingkat individual, komunitas
atau nasional. Isu penting seputar dimensi ini adalah pada perdebatan di
seputar pertanyaan: pada tingkat manakah rekonsiliasi harus dilakukan?
Apakah rekonsiliasi pada suatu tingkatan tertentu mempengaruhi atau
menjadi presenden untuk tingkat lainnya? Apakah terjadi kesejajaran
(paralel) atau kontradiksi antara masing-masing tingkatan? Persoalan
tingkat ini juga jadi sangat relevan jika dikaitkan dengan strategi dan
ideologi rekonsiliasi, apakah dimulai dari bawah (bottom-up strategy)
ataukah dari atas ke bawah (top-down strategy). Strategi rekonsiliasi dari
atas ke bawah memulai proses rekonsiliasi dari tingkat nasional dengan
target elite dan pemimpin politik terlebih dahulu, baru kemudian pada
tingkat komunitas dan individual. Sementara strategi dari bawah memilih
mulai rekonsiliasi dari tingkat komunitas dan interpersonal terlebih
dahulu baru kemudian meningkat pada level nasional.
Secara diagram ketiga dimensi ini dapat digambarkan sebagai berikut:
77
Gambar 3.4. Lingkup rekonsiliasi
(Sumber; Merwe (1999: 41)
Rekonsiliasi dapat juga digambarkan berdasarkan unsur atau kompo-
nen substantifnya dengan diagram lingkaran sebagai berikut:
Gambar 3.5 Komponen rekonsiliasi
(Sumber; Merwe (1999: 51)
78
IDENTITAS
NILAI
SIKAP
PERILAKU
KEADILAN
KEAMANAN
KEBENARANPEMULIHAN
Dua gambar berikut dapat digabung menjadi model dua dimensi
sebagai berikut :
Gambar 3.6 Lingkup dan komponen rekonsiliasi
(Sumber; Merwe (1999: 51)
Dimensi ketiga dalam rekonsiliasi adalah dalam tingkat rekonsiliasi
yang dapat digambarkan ke dalam diagram vertikal sebagai berikut:
79
Identitas
Sikap
Perilaku
Nilai
KEBENARAN
KEAMANAN
PEMULIHAN
KEADILAN
NASIONAL
KOMUNITAS
ANTAR PERSONAL
Gambar 3.7. Tingkat rekonsiliasi
(Sumber; Merwe (1999: 52)
Ketiga gambar diatas dapat dirangkum ke dalam model rekonsiliasi
tiga dimensi sebagai berikut:
Gambar 3.8. Model rekonsiliasi tiga dimensi
(Sumber; Merwe (1999: 53)
Komponen Rekonsiliasi: Kebutuhan-kebutuhan Sosial
Empat unsur penting sering disebut dalam banyak literatur menjadi
komponen terpenting dalam rekonsiliasi, yaitu kebenaran (truth), keadilan
(justice), penyembuhan/pemulihan (healing), dan rasa aman (security).
80
Nasional
Komunitas
Interpersonal
Pada umumnya kebanyakan sarjana dan praktisi di bidang rekonsiliasi
menyebutkan empat unsur tersebut secara umum, namun ada beberapa
sarjana yang mengemukakan dengan cara sedikit berbeda. Lederach
(1994) melihat rekonsiliasi dalam tiga perspektif. Pertama, rekonsiliasi
sebagai hubungan. Kedua, rekonsiliasi sebagai ‘pergulatan’ (encounter),
dan ketiga, rekonsiliasi sebagai suatu ‘ruang sosial’ (social space). Yang
dimaksud oleh Lederach sebagai ‘ruang sosial’ adalah tempat di mana
konsep-konsep yang lazim disebut sebagai konsep keadilan (justice),
kedamaian (peace), pengampunan (mercy) dan kebenaran (truth) saling
berinteraksi. Secara diagram, lingkaran konsep Lederach dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 3.9. Komponen rekonsiliasi dari Lederach.
Bagi Lederach, keadilan (justice) mencakup ide-ide mengenai
persamaan hak (equality); bagaimana hak-hak asasi diwujudkan dan
dihormati, bagaimana restitusi dapat dilakukan. Sementara itu aspek 81
REKONSILIASI
KEADILAN
PENGAMPUNAN
KEBENARAN
PERDAMAIAN
kebenaran (truth) mencakup penghargaan, kejujuran, pengungkapan dan
kejelasan (clarity). Pengampunan (mercy) merujuk kepada soal peneri-
maan, rahmat (grace), belas kasihan (compassion), penyembuhan, dan
pemulihan (healing). Dan kedamaian mencakup pengertian; harmoni,
kesatuan, kesejahteraan (well being), rasa aman (security), dan rasa hormat
(respect). Bagi Lederach, rekonsiliasi dalam hal ini lebih dilihat dari hasil
akhir terpenuhinya unsur-unsur ini.
Agak lain dari pendapat sebelumnya, Shriver (1985) mengembangkan
suatu model rekonsiliasi yang lebih menekankan pada aspek keadilan
(justice), ingatan dan harapan untuk komunitas pada masa datang. Shriver
(1985) mengatakan:
No ‘new integration’ will ever possible between enemies in a struggle over social justice without mutual achievement of a new memory of the past, a new justice in the present, and a new hope for community in the still-to-be achived future.
(Shriver, 1995: 217).
Model Shriver dapat digambarkan dalam diagram sebagai berikut:
82
Keadilan
Rekonsiliasi
Harapanterhadap masa depan
komunitas
Ingatan
Gambar 3.10. Komponen rekonsiliasi menurut Shriver
Seperti terlihat dari gambar di atas, agak berbeda dari yang terdahulu
dalam memandang proses rekonsiliasi, Shriver sangat mementingkan
faktor ingatan dalam modelnya. Bagi Shriver, proses rekonsiliasi hanya
tercapai dengan mengintegrasikan ketiga komponen tersebut secara
menyeluruh. Rekonsiliasi adalah harapan baru untuk komunitas pada masa
depan sekaligus penyelesaian persoalan-persoalan masa lampau.
Baik model Shriver maupun Lederach, masing-masing komponennya
hampir mirip dan saling melengkapi satu sama lain. Model terintegrasi
yang dikembangkan oleh Merwe (1999) mencakupnya ke dalam satu
model terintegrasi seperti yang bisa dilihat pada gambar 3.8. Dalam model
tiga dimensi ini masing-masing tingkat kedalaman rekonsiliasi (identitas,
nilai-nilai, sikap dan perilaku) akan terus bergerak ke lingkaran terdalam
(identitas) jika masing-masing komponen rekonsilasi (keadilan,
kebenaran, pengampunan dan rasa aman) bisa terpenuhi selama proses
rekonsiliasi berlangsung. Rekonsiliasi mungkin bisa dipandang sebagai
penjumlah unsur-unsur yang mendukungnya, tapi tidak dalam pengertian
masing-masing komponen saling lepas satu sama lainnya. Misalnya,
keadilan lebih mungkin dirasakan kalau kebenaran diungkapkan.
Penyembuhan dan pemulihan akan mudah tercapai kalau ada keadilan dan
83
kebenaran. Begitu juga dalam soal kedalaman intervensi, perubahan
tingkah laku akan memudahkan perubahan sikap. Transformasi kesadaran
(identitas) lebih mudah tercapai kalau didahului oleh perubahan nilai-nilai,
sikap dan perilaku.
Dengan begitu dapat dikatakan, rekonsiliasi adalah suatu proses
perubahan pada empat komponen penting yang berkaitan dengan
kebutuhan sosial pihak-pihak yang terkait. Pertama, pihak terkait harus
merasakan adanya keadilan. Keadilan pascarekonsiliasi harus diupayakan
untuk dipenuhi, sementara itu ketidakadilan harus dikoreksi. Kedua,
diperlukan kesadaran bahwa kebenaran pada masa lalu harus diungkap
dan dijelaskan secara terbuka. Ketiga, kerentanan kelompok untuk
memulai lagi konflik karena tidak adanya rasa aman harus dikurangi.
Dalam hal ini, kelompok-kelompok perlu mendapatkan jaminan keamanan,
bahwa eskalasi tidak akan terjadi lagi. Keempat, kelompok-kelompok
terkait perlu menyadari bahwa proses penyembuhan dan pemulihan
(healing) hanya bisa berlangsung kalau ada kemauan untuk menghargai
perasaan, luka-luka, trauma serta sejarah viktimisasi kelompok lainnya.
Pemulihan harga diri dan manajemen trauma diperlukan dalam rangka
pemulihan ini.
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, proses rekonsiliasi idealnya
mencoba memenuhi semua komponen dan dimensi rekonsiliasi, walapun
84
prioritas bisa saja berbeda-beda antara satu budaya, bangsa, dan
komunitas tertentu. Maksudnya negara tertentu misalnya mungkin lebih
memprioritaskan isu kebenaran dulu, negara dan kelompok lain misalnya
memprioritaskan keadilan terlebih dahulu.
Model terintegrasi mengenai rekonsiliasi seperti yang terlihat dalam
gambar 3.8 mengisyaratkan bahwa pemenuhan komponen yang menjadi
kebutuhan sosial kelompok/komunitas perlu mendapat perhatian. Berikut
pembahasan mengenai komponen tersebut secara lebih detail.
Rekonsiliasi dan Keadilan
Betapapun beragamnya definisi dan pengertian ‘keadilan’ sebagai
suatu istilah ilmiah, semua ahli sepakat bahwa pemenuhan rasa keadilan
bersifat universal dan merupakan satu kebutuhan dasar manusia di muka
bumi ini. Mungkin terdapat pelbagai macam variasi dan ekspresi mengenai
keadilan, namun secara umum masyarakat bisa mengerti dan merasakan
apakah keadilan sudah tercapai atau belum.
Studi-studi dari ahli psikologi dan antropologi (Lerner, 1986; Nader &
Sursock, 1986) menyimpulkan bahwa motif untuk keadilan mungkin sama
mendasarnya dengan kebutuhan biologis lainnya. Kaitan mengenai motif
untuk keadilan (justice motive) dengan rekonsiliasinya oleh Zehr,
dikatakan sebagai berikut :
85
The experience of justice is a basic human need. Without such an experience, healing and reconciliation are difficult or even impossible. Justice is a precondition for closure. A full sense of justice may, of course, be rare. However, even ‘approximate justice’ can help
(Zehr, 1990: 188)
Dalam konflik yang berat dan serius memang mustahil mendapatkan
keadilan, justru ketidakadilan biasanya merupakan salah sumber pecahnya
konflik. Perlakuan tidak adil dalam pelbagai macam bentuk, penindasan,
pengusiran, pengucilan, diskriminasi dan sebagainya menimbulkan ‘luka’
yang mendalam buat kelompok lainnya. Karenanya proses rekonsiliasi
harus bisa mengkoreksi praktik-praktik ketidakadilan pada masa lalu
lewat perbaikan strutural, pemerataan kesempatan, penegakan hukum dan
sebagainya. Perbaikan hubungan yang merupakan tujuan utama rekon-
siliasi akan mustahil tercapai jika pelanggaran hukum dan praktik ketidak-
adilan dibiarkan terus-menerus terjadi tanpa ada usaha yang serius untuk
memperbaikinya.
Kedua belah pihak secara bersama-sama harus mempunyai kesepa-
haman tentang bagaimana keadilan pada masa mendatang dapat
diwujudkan. Keadilan menurut Merwe (1999) adalah proses interaktif
yang menghendaki partisipasi aktif dari kedua belah pihak. Misalnya, soal
retribusi, soal rekonstruksi masa lalu, soal pengampunan dan pemaafan,
harus dirasakan adil oleh kedua belah pihak. Kedua belah pihak harus
86
mempunyai kesepahaman bagaimana proses yang adil dalam menangani
masalah-masalah ini.
Dalam masa transisi (misalnya pascakonflik) ketika dukungan dan
mekanisme instituisi untuk mewujudkan keadilan sering kali tidak dapat
diterapkan, yang kemudian mengemuka justru persepsi satu dimensi
mengenai keadilan (salah – benar). Hal ini malah akan bersifat kontra-
produktif. Dalam hal ini banyak sarjana berpendapat bahwa konsep
keadilan transisi (transitional justice) lebih layak untuk dikedepankan.
Rekonsiliasi, Kebenaran dan Ingatan
Satu kata kunci untuk mencapai rekonsiliasi terletak pada cara
bagaimana menyikapi soal kebenaran di masa lalu, yang pada akhirnya
akan berkaitan dengan persolan sejarah dan ingatan. Maksudnya adalah
bahwa rekonsiliasi memerlukan kesepakatan di antara kelompok-
kelompok mengenai bagaimana masa lalu harus dipandang. Dengan kata
lain, harus ada kesepakatan antara kelompok-kelompok tentang aspek
‘kebenaran’ (truth) yang terjadi di masa lalu tersebut. Namun persoalannya
tidaklah sesederhana itu, mengingat beberapa persoalan kemudian akan
mengemuka. Pertama, karena biasanya antara pihak yang bertikai terdapat
perbedaan tentang versi kebenaran yang mereka pegang. Pertanyaannya;
versi kebenaran siapakah yang harus dipegang? Kalau terdapat perbedaan
versi, bagaimana mereka harus mencari titik tengah antara pelbagai 87
macam versi tersebut? Kedua, bagaimanakah caranya kebenaran itu bisa
diungkap? Mekanisme dan instrumen apakah yang dapat diandalkan untuk
mengungkap kebenaran tersebut? Pada titik inilah kaitan antara masa lalu,
kebenaran, aspek sejarah dan ingatan akan saling berkaitan satu sama lain.
Kejadian-kejadian yang telah terjadi pada masa lalu akan selalu
menjadi bagian dari ingatan orang-orang dan komunitas yang
menyaksikannya, sebagian lagi akan menjadi fakta-fakta sejarah. Dengan
begitu jelaslah, bahwa kebenaran tentang masa lalu sebagian akan sangat
tergantung kepada faktor ingatan, sebagian lagi akan sangat tergantung
kepada ‘kecanggihan’ sejarah sebagai mekanisme perekam kejadian-
kejadian faktual. Persoalannya akan menjadi rumit manakala sejarah juga
tidak akan sepenuhnya bisa seratus persen objektif, sahih dan terandalkan
dalam merekam fakta sejarah. Kebenaran sejarah dalam ukuran
obyektivitas, tingkat kesahihan dan keterandalannya sering juga
diragukan. Kekurangan ini biasanya ditutupi oleh faktor ingatan, yakni
seberapa jauh masyarakat bisa menggunakan mekanisme ingatannya
untuk mengatasi kekurangan dalam fakta sejarah tersebut. Persoalanya
justru kemudian menjadi lebih rumit lagi, mengingat ingatan sebagai suatu
proses kognitif dan sebagai suatu proses konstruksi sosial justru sangat
rentan terhadap distorsi dan pengelabuan. Dengan demikian, jika
mengandalkan kebenaran tentang masa lalu pada faktor ingatan,
88
kemungkinkan timbulnya konflik ingatan dibandingkan dengan konflik
sejarah lebih mungkin terjadi. Persoalan yang kemudian menjadi pelik
adalah bagaimana caranya merekonsiliasi sejarah sekaligus ingatan
tentang masa lalu tersebut.
Mengenai hal ini terdapat pelbagai macam solusi. Pertama, soal-soal
mengenai aspek kebenaran di masa lalu yang menjadi pelik karena
lemahnya faktor kebenaran sejarah dan tentu saja soal ingatan, akan
dicoba diatasi dengan memakai wasit atau hakim (arbitrase atau
pendekatan hukum) untuk menentukan mana yang paling benar. Dalam hal
ini tentu saja mekanisme hukum akan menjadi andalannya. Beberapa
orang misalnya menyakini bahwa pencarian aspek kebenaran melalui jalur
hukum ini lebih memungkinkan terpenuhinya aspek keadilan bagi semua
pihak. Namun sebagian yang lainnya justru memandang proses pencarian
kebenaran lewat pengadilan misalnya hanya akan menghasilkan ‘pihak
yang menang’ dan ‘pihak yang kalah’, yang justru di kemudian hari berpo-
tensi meninggalkan luka dan dendam baru, yang pada satu saat akan
berpotensi menimbulkan konflik baru.
Pendekatan kedua, mencoba menyelesaikan perbedaan mengenai
masa lalu ini dengan mencoba memperbincangkannya, mencari makna
baru, serta merundingkan di antara pihak-pihak yang terkait. Apa yang
diinginkan adalah bukan sekadar mencari kebenaran hukum atas masa
89
lalu, namun yang lebih penting adalah adanya pemaknaan baru dan
kesepakatan baru tentang apa yang telah terjadi di masa lalu.
Pendekatan ketiga adalah dengan mencoba menggabungkan kedua
pendekatan di atas. Ada proses pengungkapan kebenaran dengan
pendekatan hukum dan sekaligus usaha untuk merekonsiliasi dan
menegosiasikan persoalan masa lalu tersebut. Pola ini adalah yang paing
ideal untuk sebuah gerakan rekonsiliasi. Berdamai atau melakukan
rekonsiliasi, yang intinya memaafkan kesalahan pihak lain, tidak berarti
bahwa kesalahan di masa lalu dilupakan dan kebenaran tentang hal itu
tidak diungkapkan. Semua pihak perlu mendapat kejelasan tentang apa
sebenarnya yang terjadi pada masa lalu. Kekaburan pengertian tentang
kejadian pada masa lalu akan terus-menerus menimbulkan perasaan saling
tidak percaya (mistrust), atau paling tidak akan menjadi beban ingatan
(memory burden) mengenai kejadian tersebut. Hal ini di kemudian hari
akan menjadi rintangan untuk mewujudkan rekonsiliasi.
Becker (1990) mengaitkan isu kebenaran, keadilan dan transformasi
sosial dalam rangka rekonsiliasi sebagai berikut:
To advance the process of social reparation, it will be necessary to publicly establish the truth of the victims’ experience. Truth, in this case, means the end of denial and silence. It means facing pain, loss, and conflict that have been intentionally avoided in the belief that if things are not mentioned they cease to exist and that wounds not reopened will allow social peace. Establishing the truth is necessarily linked to demands for justice, but the process cannot and must not end there. Clarifying responsibilities for what
90
happened is a necessary but not a sufficient condition for obtaining truth. At both the individual and collective levels, the capacity for being moved ethically and emotionally must be recovered.
(Becker, 1990: 133)
Negara yang punya pengalaman dalam mengungkap aspek kebenar-
an, keadilan dan rekonsiliasi adalah Afrika Selatan. Deputy chairperson TRC
commission, Alex Boraine, mengungkapkan pengalaman Afrika Selatan
sebagai berikut:
To seek truth is not necessity an act of revenge, nor does it need to deteriorate into a witch-hunt. To know the truth is to counter the deceit, the cover-ups, which characterize much of oppression in South Africa. In this sense, truth is the beginning of reconciliation. To perpetuate the living of a lie makes reconciliation impossible.
(Boraine, 1994: x)
Bagi Shriver isu kebenaran dan pemaafan adalah elemen terpenting
dalam rekonsiliasi. Bagi dia rekonsiliasi tidak akan tercapai kalau dua hal
ini tidak dibicarakan sungguh-sungguh oleh para pihak yang bertikai. Lebih
lanjut ia mengatakan:
Begins with a remembering and a moral judgment of wrong, injustice, and injury… Absent a preliminary agreement between two or more parties that there is something from the past to be forgiven, forgiveness stalls in the starting gate.
(Shriver, 1995: 7)
Jelaslah kelihatan, bahwa aspek kebenaran tidak dapat dilepaskan dari
persoalan mengingat (remembrance). Mengingat dalam suatu masya-rakat
yang akan direkonsiliasikan memerlukan adanya pertautan ingatan dengan
masa lalu. Dalam pengertian ini, masyarakat tetap perlu mengingat 91
kejadian-kejadian tersebut tanpa disertai dengan perasaan dendam,
melainkan menerimanya dengan ikhlas sebagai bagian dari masa lalu.
Kehilangan ingatan terhadap masa lalu adalah kehilangan jati diri
masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat memerlukan kesamaan
pengetahuan mengenai ingatan kolektif tentang masa lalu, dan dengan
begitu identitas yang sama dapat ditegakkan. Tidak ada lagi perpecahan
yang disebabkan karena adanya perbedaan dalam faktor ingatan kolektif.
Where common memory is lacking, where men do not share in the same past there can be no real community, and where community is to be formed common memory must be created… The measure of our distance from each other in our nations and our groups can be taken by noting the divergence, the separateness and leack of sympathy in our social memories. Conversely the measure of our unity is the extent of our common memory.
(Niebuhr, 1941: 9).
A society cannot reconcile itself on the grounds of a divided memory. Since memory is identity, this would result in a divided identity. It would thus be important to reveal the truth and so build a moral order.
(Zalaquett, 1994: 13).
Sehubungan dengan persoalan ingatan ini, memang ada keengganan
dan resistansi yang besar untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya
terjadi pada masa lalu. Mengingat begitu banyak kekerasan-kekerasan dan
pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia yang telah terjadi di masa lalu,
yang notabene banyak menginggalkan perasaan traumatik. Bagi para
pelaku (perpetrator), jika pelanggaran ini diungkap maka akan berisiko
kepada posisi politik mereka di saat sekarang, atau kemungkinan untuk
92
mendapatkan hukuman jika terbukti bersalah. Bagi para korban,
pengungkapan ini juga tidak mudah karena akan berisiko pada
pembangkitan kembali luka-luka lama yang sebenarnya ingin mereka
lupakan. Namun menurut Jelin (1994), walaupun pahit hal ini selayaknya
tetap harus diungkap. Karena, walau bagaimanapun, ingatan tidak akan
pernah bisa diabaikan dan dilupakan begitu saja, bahkan demi dalih untuk
ke masa depan sekalipun.
[The] human rights movement is an ‘entrepreneur’ attempting to promote a certain kind of memory. Its adversaries belong to two political streams with alternative ideological projects: there are those who want to glorify the behavior of the military as heroes…, and there are those who seeks to heal society’s wounds and conflicts through forgetfulness and ‘reconciliation’, concentrating their efforts on the (economic and political) urgencies of the presents and trying to ‘look toward the future’…[The goal of the human rights movement] is a political and ideological task that stems from identifying remembrance with the construction of political culture and identity.
(Jellin, 1994: 50)
Lebih lanjut, Jellin mengatakan :
Only when the incorporation of historical events becomes an active and dynamic process can it feed into the construction of a democratic culture and collective identity. In this sense, there is a double historical danger: oblivion and void fostered by politics and its complement, ritualized repetition of the traumatic and sinister story, of tragedy reappearing constantly without the chance for new subjectivities to emerge.
(Jellin, 1994: 53)
Terlepas dari pola mana yang akan ditempuh dalam penegakan
keberaran, harus diingat bahwa pencarian kebenaran pada masa lalu harus
menjamin tercapainya rekonsiliasi, bukan malah sebaliknya menimbulkan
93
konflik baru. Proses rekonsiliasi seharusnya menjadi sarana yang tepat
untuk merekonsiliasi ingatan terhadap masa lalu.
Rekonsiliasi dan Rasa Aman / Pemberdayaan
Rekonsiliasi pada intinya adalah perubahan dalam hubungan
antarkelompok ke arah hubungan baru yang dilandasi oleh tingkat
kepercayaan (trust) tertentu. Karena proses membangun saling percaya
(trust building) ini adalah mutlak—dan selama dalam prosesnya masih
akan terdapat risiko pola kekerasan bisa muncul kembali—makanya
selama proses ini tingkat rasa aman (security) antarkelompok harus bisa
dijamin. Harus ada jaminan bahwa eskalasi kekerasan, ataupun
penyalahgunaan kekuasaan seperti yang pernah dilakukan pada masa lalu,
tidak akan terulang lagi.
Di tempat-tempat di mana konflik sering ditandai dengan pelanggaran
berat hak asasi manusia serta eskalasi kekerasan, diperlukan perlindungan
bagi kelompok-kelompok untuk tidak terkena eskalasi kekerasan. Kalau
perlu, diciptakan semacam zona damai di mana kelompok bisa merasa
aman. Perlindungan rasa aman juga dibutuhkan kelompok dari kemung-
kinan untuk terancam tidak hanya dalam pengertian fisik, tapi juga
keterancaman secara verbal, oleh proses ‘labeling’ dan lain-lainnya.
94
Rekonsiliasi dan Pemulihan
Satu pertanyaan penting dalam proses rekonsiliasi adalah apakah
rekonsiliasi menghasilkan penyembuhan dan pemulihan baik pada tingkat
individual, komunitas dan nasional? Terkadang kita berhadapan dengan
lingkaran setan rekonsiliasi-pemulihan. Rekonsiliasi diasumsikan
memerlu-kan tingkat pemulihan tertentu untuk bisa terwujud; pulih dulu
baru rekonsiliasi. Di lain pihak, kalau rekonsiliasi tercapai, maka
pemulihan adalah hasil akhir dari proses rekonsiliasi tersebut. Terlepas
dari sukarnya menarik batas dalam pengertian anteseden-konsekuen dari
pemulihan atau penyembuhan dan rekonsiliasi, yang terpenting adalah
proses rekonsiliasi harus secara bersungguh-sungguh mengupayakan
tercapainya proses penyembuhan (pemulihan) baik pada tingkat
individual, komunitas dan masyarakat (Winslow, 1997, Merwe, 1999),
seperti yang dikatakan Desmond Tutu sebagai chairperson TRC di Afrika
Selatan:
Our nation needs healing. Victims and survivors need healing. Perpetrator are, in their own way, victims of apartheid system and they, too, need healing
(Tutu, 2000: ).
Sama dengan komponen rekonsiliasi lainnya, penyembuhan atau
pemulihan (healing) lebih tepat dipandang sebagai prasyarat dan sekaligus
hasil akhir dari proses rekonsiliasi. Maksudnya, tingkat pemulihan tertentu
dalam individu dan kelompok diperlukan supaya mereka bisa melangkah
95
ke proses rekonsiliasi dalam skala yang lebih besar. Sebaliknya kalau
rekonsiliasi tercapai, proses penyembuhan atau pemulihan baik pada
tingkat individu, kelompok ataupun bangsa bisa dipercepat, sebagaimana
dikatakan Montvile (1989 & 1983).
Islah
Sebagai sebuah istilah, islah diartikan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI) sebagai ‘perdamaian atau penyelesaian suatu pertikaian’.
Menurut Mubarok (2001), istilah islah berasal dari kosa kata bahasa Arab
yang berarti kurang lebih sama dengan rekonsiliasi. Lebih lanjut Mubarok
(2001) mengatakan:
In Arabic Language, reconciliation called as “ishlah” which is from the world of “Shalaha”. “Shalaha” defines as an opposite meaning of damage, that is good, proper, suitable and peaceful reconciliation and compromise…
Furthermore, the term of ishlah in the Quran means to improve ourselves toward other person, family, or even society. In the surah of as-Syura/42:40, Ishlah is recommended for people who are suffering from a despotic government. In this context, they are encouraged to forgive and to treat people who made despotic action nicely, though they are able to make revenge.
(Mubarok, 2001: 65-66)
Dari definisi tersebut, jelas bahwa istilah islah adalah pengertian
umum yang mencakup rekonsiliasi, resolusi konflik dan perdamaian.
Landasan utama dari islah adalah adanya kesediaan dari korban untuk
tidak membalas dendam, sungguhpun ia diperbolehkan untuk dan bisa
melakukannya. Nilai keutamaan dari islah terletak pada kemampuan dan 96
kemauan untuk memberikan maaf kepada pihak yang telah menyebabkan
penderitaan (berbuat zalim) terhadap korban. Dalam perspektif Al Qur’an
lebih lanjut dikatakan bahwa islah dianggap sebagai suatu bentuk
penyelesaian konflik secara bijaksana.
Ingatan (Memory)
Bagaimana manusia mengingat masa lalunya adalah salah satu
pertanyaan utama yang menjadi perhatian banyak sarjana dan peneliti dari
pelbagai macam disiplin ilmu, mulai dari biologi, psikologi, filsafat,
antropologi hingga sosiologi. Jalan panjang dalam rangka menjawab
pertanyaan di atas telah menghasilkan banyak temuan dan teori. Studi
tentang mengingat (remembering) dan tentang ingatan (memory) dalam
perspektif ingatan individual (individual memory)—terutama dalam model
kognitif atau yang sering juga disebut dengan model pengolahan informasi
(human information processing)—pada umumnya mendominasi literatur-
literatur psikologi mengenai ingatan. Disertasi ini tidak akan membahas
ingatan dalam pengertian dan perspektif ini, namun difokuskan kepada
97
ingatan dalam pengertian ‘shared memory’ atau yang lebih sering disebut
sebagai ingatan kolektif (collective memory). Pembaca yang ingin
mempelajari literatur mengenai studi ingatan dalam perspektif individual
dan kognitif bisa melihat pada Baddeley, 1983; Boles, 1988, Neisser, 1982,
Neisser & Winograd, 1988; Parkin, 1987; Ross, 1991, Tulving & Craik,
2000.
Pembahasan berikut akan menguraikan lebih lanjut soal ingatan
kolektif ini, dan terutama kaitannnya dengan konflik dan rekonsiliasi.
Ingatan Kolektif (Collective Memory)
Who are the keeper of collective memories? In the final analysis, we all are.
(Neal, 1998: 213)
Kebanyakan riset dan teori dalam psikologi pada umumnya difokus-
kan pada proses penyimpanan dan pemanggilan kembali (recall) informasi
yang sudah disimpan dalam diri individu. Proses-proses kognitif yang
mendapat perhatian utama adalah seperti proses jejak ingatan (mnemonic),
penyimpanan dan pemanggilan (storage and retrieval), akurasi ingatan
(accuracy of recollection). Dalam bidang psikologi, studi mengenai ingatan
secara tradisional diserahkan pada psikolog eksperimental atau psikolog
kognitif. Akhir-akhir ini, bidang psikologi sosial mulai menggeser pusat
98
studinya kepada psikologi sosial yang lebih berorientasi pada analisis
tingkat kelompok sosial (group level of analysis) ketimbang hanya sekadar
invidual. Kesadaran ini misalnya mulai dilontarkan oleh Stephan & Stephan
(1985) dalam bukunya The Two Social Psychologies: An integrated
Approach. Menurut Stephan & Stephan (1985), tingkah laku sosial manusia
hanya bisa dijelaskan dengan lebih memuaskan jika penjelasan pada
tingkat individu (individual level) berjalan paralel dengan penjelasan pada
tingkat kelompok (group level of analysis). Konsep ingatan kolektif,
collective memory—ingatan yang dipunyai oleh kelompok sosial—menjadi
subjek penelitian dari banyak psikolog sosial akhir-akhir ini (Pennebaker,
dkk, 1997), dan menjadi konstruk yang signifikan dalam kaitannya dengan
konflik etnik (Cairns & Roe, 2003). Penelitian-penelitian mengenai ingatan
kolektif, tampaknya adalah salah satu respon terhadap buku Stephan &
Stephan tadi.
Akar pemikiran mengenai ingatan kolektif dapat ditelusuri pada
Durkheim (1912) seorang pemikir sosiologi terkemuka. Konsep Durkheim
mengenai ‘collective representations’ misalnya dimaksudkan sebagai
bagaimana suatu masyarakat atau kelompok mengembangkan sistem
kepercayaan mereka sendiri, dan pada akhirnya hidup dalam representasi
itu serta kemudian menjadi ciri dan identitas mereka. Bartlett (1923,
1932) seorang psikolog sosial eksperimental dalam karya monumentalnya
99
yang berjudul Remembering: A Study in Experimental and Social Psychology,
meletakkan batu pertama dalam studi ingatan ke arah ingatan kolektif.
Penjelasan Bartlet (1932), tentang pentingnya representasi sosial dan
proses rekonstruksi sosial dalam proses mengingat telah memperlihatkan
kelemahan pendekatan kognitif individual semata dalam menjelaskan
bagaimana ingatan dibagi (shared). Salah satu temuan Bartlett adalah,
bahwa konstruksi sosial dan budaya akan memberikan semacam ‘skema
sosial’ yang membuat hasil recall dalam studi ingatan menjadi bias. Hasil
eksperimentasi sosial Bartlett menyimpulkan bahwa ketika proses
mengingat diletakkan dalam konteks sosial, proses rekonstruksi sosial
lebih memungkinkan terjadi daripada hanya sekadar mekanisme kognitif,
recalling.
Ide tentang ingatan kolektif (collective memory) ini kemudian menjadi
sangat terkenal setelah dikembangkan oleh Maurice Halbwachs (1950/
1980; 1982), seorang murid Durkheim, yang banyak belajar dan mengajar
psikologi sosial (Coser, 1992). Sejak Maurice Halbwach mempelopori
konsep collective memory, sejumlah sarjana dan peneliti dari pelbagai latar
belakang disiplin ilmu mulai mengeksplorasi konsep ini dengan pelbagai
variasi perspektif teori dan metodologi, misalnya: Connerton, 1989;
Fentres & Wickham, 1992; Huton, 1993; Middleton & Edwards, 1990b;
Neiser, 1982; Neisser & Winograd, 1988; Pennebaker & Banasik, 1997;
100
Schwartz, 1982, Cairns & Roe, 2003, untuk menyebut beberapa di
antaranya.
Menurut Halbwachs dan pengikut-pengikutnya, ingatan adalah suatu
konstruk yang tidak bisa dipisahkan dari domain sosial tempat orang
tinggal. Posisi Halbwachs ini juga didukung oleh psikolog Rusia Lev
Vygotsky (Wertsch,1985). Masing-masing mereka mempertanyakan
anggapan bahwa ingatan hanya ada pada individu. Halbwachs (1922)
berargumentasi bahwa pada hakikatnya hampir semua ingatan manusia
dibentuk dan diorganisir dalam konteks kolektif. Hampir semua kejadian,
pengalaman, dibentuk lewat interaksi individu dengan orang lain.
Karenanya masyarakat akan memberikan bingkai (framework) pada
keyakinan-keyakinan, pengetahuan, tingkah laku dan proses-proses
rekoleksinya. Asumsi Vygotsky hampir sama Halbwachs, dengan
mengatakan bahwa ingatan orang dewasa sangat tergantung pada
masyarakat atau komunitas. Mekanisme sosial yang mengarahkan ingatan
adalah bahasa dan wacana (discourse). Bahasa dan wacana merupakan
simbol utama yang akan mendefinisikan bingkai ingatan manusia, yang
dalam hal ini sangat terikat konteks sosial (Bakhursts, 1990).
Halbwach lebih lanjut mengatakan bahwa kelompok sosial atau
kelompok kultural menyediakan dasar-dasar bagi pembentukan ingatan,
dan yang akan menentukan apa yang akan diingat dan bagaimana manusia
101
mengingatnya. Halbwach berbicara mengenai lokalisasi ingatan
(localization of memory) dengan berargumen bahwa ingatan (memory)
tersebut ‘berada’ di dalam kelompok-kelompok tersebut, dan secara
bersamaan ada juga ‘di dalam’ individu-individu yang berada dalam
kelompok tersebut.
What makes recent memories hang together is not that they are contiguous in time: it is rather that they are part of a totality of thoughts common to a group, the group of people with whom we have a relationship at this moment, or with whom we have had a relation on the preceding day or days. To recall them it is hence sufficient that we place ourselves in the perspective of this group, that we adopt its interests and follow the slant of its reflections. Exactly the same process occurs when we attempt to localize older memories. We have to place them within a totality of memories common to other groups..
(Halbwach, 1992: 52).
Salah satu premis utama dari teori Halbwach terletak pada argumen-
tasinya bahwa proses wacana dan bahasa adalah elemen utama dalam
ingatan. Seseorang dalam mengingat atau membuat kaitan dengan masa
lalunya adalah dengan cara membicarakannya dengan orang lain. Menurut
Halbwach (1952), sebagai makhluk sosial, proses mengingat manusia
sangat dipengaruhi oleh interaksi kita dengan orang lain, dan pengaruh
dari interaksi inilah yang pada akhirnya mempengaruhi proses internal
kognitif seseorang. Premis ini misalnya ditegaskan lagi oleh Neal (1998)
sebagai berikut:
We usually think of memory as reflected in the retrieval of information that is stored in the brains of individuals. However, in the final analysis, memory is a
102
collective phenomenon. The human brain is certainly central to what we associate with being human. After all, it is the complexity and sophistication of the human brain that sets us apart from all other animals. In the final analysis, however, the contents of the human brain are primarily social in character. It is through the use of language and other symbols, and through our interactions with others, that we construct the possibilities and the limits of the world around us. Images of ourselves and of our external environment are shaped by memories that are passed on by legions of men and women we have never known and shall never meet.
(Neal, 1998 : 202)
Neal (1998) berpendapat, bahwa hanya dengan cara mengkonsep-
tualisasikan ingatan dengan cara seperti inilah kita punya cara untuk
memulai dimensi baru dalam studi mengenai ingatan, dan yang akan
menghubungkan kita dengan masa lalu. Dalam hal ini ingatan individual
tidak lagi dipisahkan dengan konteks sosialnya. Apa yang diingat dan
bagaimana cara kita mengingat dalam suatu konteks sejarah, politik, sosial,
dan budaya menjadi sangat penting.
Ingatan kolektif (collective memory) sering disamarkan pengertiannya
dengan ingatan sosial (social memory). Beberapa ahli memang meng-
anggap pengertiannya sama saja, di antaranya Swindler & Arditi (dalam
Pennebaker, 1997). Sementara itu, Paez & Basabe (1997, dalam
Pennebaker, 1997), membedakan konsep ini. Menurut mereka, “Collective
memory ask how social groups remember, forget, or reappropriate the
knowledge of the social past” atau seperti yang dikatakan oleh Wegner
sebagai ingatan kolektif adalah:
103
Collective memory is the memory of the society”. Collective memory, on the other hand, can be considered as distributed process of memory or transactive memory.
(Wegner ,1998, dalam Paez, Basabe & Gonzalez, 1997: 147)
Sementara itu, ingatan sosial dianggap sebagai pengaruh-pengaruh
faktor-faktor sosial tertentu terhadap ingatan invididu atau pengaruhnya
terhadap ingatan-ingatan dalam masyarakat (social memory can be
conceived of as the influence that certain social factors have on the individual
memory or the memory in society). Terlihat disini ada penajaman konsep.
Pertama dibedakan antara ‘ingatan’ itu sendiri, apa yang dinama-kan
sebagai ingatan yang dibagi (shared)oleh sebagian besar masyarakat atau
ingatan kolektif (collective memory). Kedua, yaitu ingatan sosial (social
memory), atau bagaimana faktor-faktor sosial membingkai dan mempe-
ngaruhi ingatan tadi. Pada kenyataannya dalam pelbagai riset perbedaan
yang tajam antara social memory dan collective memory tidaklah terlalu
dipersoalkan. Dalam memahami ingatan kolektif, kedua hal ini sukar
dilepaskan satu sama lain. Dari pelbagai sumber, secara ringkas pengertian
collective memory dapat diringkas sebagai berikut :
Collective memories are widely shared images and knowledge of a past event that has not been personally experienced, is collectively created and shared, and has social functions.
(Schuman & Scott, 1989)
Collective memories: those socially and culturally influenced memories that are shared by individuals within different groups of society, and whose main characteristic include :
104
a) These memories have a discursive nature and are based on communication. They are constructed, transmitted, and modified through talk.
b). Collective rememberring is a dynamic process by which images of the past are influenced by discourses in the present and reinterpreted to the context in wich they are articulated and by reference to their future implications for a nations’s self-understanding and political priorities.
c). Collective memories are contested: Groups battle for the acceptance of their different versions of the past and a society’s memories are negotiated and defined within a context of debate, sometimes fierce and sustained.
d). Memory is spatial. Nora (1989:9) notes that memory “takes root in the concrete, in spaces, gestures, images, and objects”.
(Burke, 1989; Fentriss & Wickham, 1992; Halbwachs, 1980, 1982; Huyssen, 1995; Middleton & Edwards, 1990; Nora, 1989; 1996; Pennebaker, dkk, 1997; Sturken, 1997; Zelizer, 1995).
Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik suatu pengertian dan
defenisi yang mencakup keseluruhan pengertian tentang ingatan kolektif
(collective memory) sebagai berikut:
Ingatan kolektif adalah: ingatan, gambaran, pengetahuan tentang masa lalu yang dikenang secara bersama oleh individu-individu yang ada dalam kelompok. Ingatan tersebut sifatnya dibagi (shared), ditransmisikan, dan dilanggengkan bersama lewat proses diskursif (komunikasi, bahasa, tulisan, percakapan, dialog, diskusi, dll) atau juga lewat tindakan nyata (bodily practices) seperti: perayaan dan upacara (commemoration), pergerakan sosial (social movement). Dalam hal ini, antara ingatan individual dan ingatan kolektif saling melengkapi satu sama lain, dalam arti kata proses berbagi bersama secara sosial (social sharing) akan membingkaikan dan mengarahkan persepsi dan ingatan masing-masing individu tentang masa lalu, dan semacam narasi tentang hal itu akan timbul dalam kelompok. Isu dalam ingatan kolektif bukan sekadar apa yang diingat, tetapi malah mengapa itu yang diingat dan bagaimana mengingatnya.
105
Ingatan Kolektif dan Ingatan Individual.
While the collective memory endures and draws strenght from its base in coherent body of people, it is individuals as group members who remember.
(Halbwachs, 1950: 48)
Walaupun maksud dan tujuan disertasi ini ingin mengeksplorasi lebih
lanjut isu ingatan kolektif, sejumlah riset tradisional mengenai ingatan
dalam psikologi kiranya relevan juga untuk diuraikan, terutama yang
berkaitan sangat erat dengan kolektif ingatan.
Kiranya relevan untuk menguraikan dimensi dari ingatan individual
yang dapat diterapkan dalam konteks sosial dan lebih jauh bagaimana
hubungan timbal baliknya dengan ingatan kolektif. Seperti yang dikatakan
Halbwachs (1950), setiap kelompok pastilah terdiri dari individu-individu
yang menjadi anggotanya, namun seperti juga prinsip Psikologi Gestalt,
keseluruhan tidak sama dengan penjumlahan bagian-bagiannya. Ingatan
kelompok tidak sama dengan penjumlahan ingatan anggota-anggota
kelompok. Ingatan kelompok terbentuk bukan karena penjumlahan elemen
ingatan individual, namun ingatan kelompok timbul karena proses
pertukaran atau proses diskursif lewat proses social sharing yang terjadi
antar anggota dalam kelompok. Dalam bahasa kelompok teori representasi
sosial (Moscovici, 2000), pengertian ingatan kolektif ini bisa kita
106
analogkan sebagai representasi sosial kelompok atas masa lalu (social
representation of the past).
Studi-studi ingatan dalam pengertian psikologi kognitif individual,
memberikan istilah autobiographical memory (Conway, dkk, 1992; Kotre,
1995; Neisser & Fivush, 1994; Ross, 1991; Rubin, 1986, 1996) untuk
menunjuk bagaimana sesorang mengingat aspek personal dari masa
lalunya. Studi-studi dalam bidang autobiographical memory misalnya
membahas isu-isu seperti: seberapa jauh individu bisa mengingat
kehidupan masa lampaunya, bagaimana akurasi dari ingatannya, mengapa
individu hanya mengingat hal tertentu dan melupakan hal tertentu lainnya.
Kalau kita menempatkan posisi autobiograhical memory dalam konteks
ingatan kolektif, hal itu akan menambah dan memperkaya dinamika dari
ingatan kolektif. Hutton (1993) misalnya, menganggap hubungan antara
ingatan individu dengan ingatan kelompok adalah penting, dalam
pengertian ingatan kolektif adalah sarana bagi ingatan individual untuk
menempati signifikansi sosial:
.. memory is only able to endure within sustaining social contexts. Individual images of the past are provisional. They are ‘remembered’ only when they are located within the conceptual structures that are defined by communities at large. Without the life-support system of group confirmation, individual memories wither away…even individual memories have their social dimension, for they are in fact composite images in which personal reminiscences are woven into an understanding of the past that is socially acquired.
(Hutton, 1993 : 6)
107
Memisahkan dan menganggap yang satu (antara ingatan kolektif dan
ingatan individu) lebih penting dari yang lain akan membawa kita pada
pemahaman parsial, dan akan kehilangan dinamika dalam memahami
hakikat ingatan manusia (human memory). Ingatan kolektif misalnya
muncul sebagai hasil interaksi dan proses diskursif dari anggota-anggota
yang saling berkomunikasi satu sama lain. Kalaupun terjadi kontradiksi
antara ingatan individual dan ingatan kolektif, proses ini tidak bisa
dikatakan sebagai peniadaan satu sama lain. Wagner (1987) misalnya lebih
setuju untuk menggunakan istilah sistem ingatan transaktif (transactive
memory system) untuk merujuk pada proses timbal balik antara ingatan
individual dan ingatan kolektif. Menurut Wagner (1997), fenomena ingatan
kolektif tidaklah tepat jika diletakkan semata-mata dalam pengertian
tempat ber’da’nya (reside); apakah berada di dalam individu atau di dalam
kelompok, namun di antara keduanya, bahkan mungkin dalam interaksi
dan transaksi di antara dan di dalam kelompok tersebut (Wagner, 1997).
Lebih lanjut ia mengatakan:
This unique quality of transactive memory brings with it the realization that we are speaking of a constructed system, a mode of group operation that is build up over time by its individual constituents. Once in place, then the transactive memory system can have an impact on what the group as a whole can remember, and, as a result, on what individuals in the group remember and regard as correct even outside the group. In short, transactive memory derives from individuals to form a group information processing system that eventually may return to have a profound influence upon its individual participants.
108
(Wagner, 1987: 191)
Fenomena sistem ingatan transaktif ini misalnya bisa diterapkan
untuk menjelaskan gejala ‘roupthink’ dari Janis (1983), yang mengatakan
pikiran kelompok kerap kali mengambil alih dan lebih berkuasa dari
pikiran individual. Ia adalah kesadaran dan pikiran kelompok yang
mentran-sendensi pikiran dan kesadaran anggotanya, the whole becomes
greater than the sum of its parts.
Proses-proses Ingatan
Teori-teori psikologi kongnitif atau pengolahan informasi (human
information processing) biasanya memfokuskan perhatiannya pada proses
bagaimana individu menyimpan (store) dan memanggil kembali (recall)
informasi (Baddeley, 1989; Siegel, 1999; Tulving & Craik, 2000; Wegner,
1987). Walaupun seperti dikatakan Bolles (1998), proses mengingat
adalah seni berimajinasi, bahkan tidak ada ‘lokasi’ dalam otak yang jelas-
jelas menunjukkan di mana soal masa lalu itu disimpan, “remembering is as
act of imagination. There is no storehouse of information about the past
anywhere in our brain” (Bolles, 1998: xi).
Proses-proses ingatan dalam model psikologi kognitif umumnya
dibagi kedalam empat tahap:
- Sensing and perception: yaitu cara bagaimana informasi
sampai ke manusia, dan bagaimana manusia menyerap informasi tersebut.
109
- Encoding: proses saat kita memilah-milah, memberi arti dan
memberikan kode tertentu terhadap pesan atau informasi
- Storage: sistem dan cara penyimpanan informasi.
- Retrieval: proses yang memungkinkan kita mengambil kembali
informasi yang disimpan.
Tahapan dan proses ini kalau kita kaitkan dengan ingatan kolektif
serta implikasinya terhadap resolusi konflik adalah: pada tahapan mana
saja dalam proses ingatan tersebut yang rentan terhadap pemalsuan dan
pengelabuan.
Tahapan awal dalam proses ingatan, persepsi, misalnya adalah akar
dari konflik. Kebanyakan premis utama dalam literatur mengenai resolusi
konflik adalah bahwa persepsi yang berbeda-beda terhadap suatu hal
adalah kerap kali menjadi penyebab utama dari konflik (Folger & Poole,
1984; Singer, 1998a, 1998b). Persepsi acapkali sangat subjektif, mudah
berubah, bahkan acapkali keliru yang pada akhirnya akan makin
mempertajam konflik. Walaupun demikian, bukan berarti pada tahapan-
tahapan lainnya kemungkinan untuk timbul distorsi dan subjektifitas tidak
tinggi. Dalam beberapa studi di antaranya; Bartlett (1932); Baddeley
(1989); Conway (1996), Rubin, (1996), justru menunjukkan proses
pemanggilan kembali (retrieval) sepertinya adalah tahapan yang paling
rentan terhadap bias. Ingatan pada kenyataannya tidaklah diberi kode,
disimpan, dan dipanggil seperti bagaimana kita memahami dalam
110
pengertian ‘mesin’ yang sempurna, namun dalam prosesnya hal-hal seperti
subjektivitas, emosi, khayalan, narasi akan mewarnai proses coding,
storage dan retrieval (Rubin, 1996).
Adanya kesalahan dalam proses recalling tidak hanya menyangkut
soal akurasi, tapi terkadang juga bahkan orang bisa mengingat dan
mengeluarkan lagi ingatan tentang kejadian-kejadian yang tidak pernah
dialaminya sama sekali. Gejala ini sering disebut sebagai: sindroma ingatan
palsu, False Memory Syndrom (Loftus, 1979).
Bias, subjektifitas dan kesalahan-kesalahan dalam proses ingatan ini
ternyata tidak hanya murni gejala individual, tapi dijumpai juga pada
ingatan kolektif. Hampir sama dengan gejala pada ingatan individual,
fenomena bias pada ingatan kolektif juga ada pada tahap persepsi,
encoding, storage, terutama pada tahap retrieval. Halbwachs misalnya
menegaskan bahwa: ”even at the moment of reproducing the past our
imagination remains under the influence of the present social milieu”
(Halbwach, 1992 : 49).
Distorsi atas ingatan kolektif ini kadang-kadang memang disengaja
untuk kepentingan politik tertentu. Dalam kaitannya dengan resolusi
konflik dan rekonsiliasi, pengelabuan dan pendistorsian ingatan kolektif ini
bisa merintangi jalan ke arah rekonsiliasi. Atau bisa juga bisa sebaliknya,
terjadinya perubahan pemahaman kita atas masa lalu suatu kelompok yang
111
negatif dan dalam kaitannya dengan identitas kelompok di masa sekarang
akan mempermudah jalan ke arah pemaafan dan rekonsiliasi.
Ingatan Kolektif dalam Perspektif Waktu
The simple passage of time reshape memory.
(Schudson, 1995 : 348)
Satu pertanyaan penting dalam studi ingatan adalah: apakah ada
korelasi antara lama berjalannya waktu dengan akurasi ingatan? Studi-
studi klasik dalam bidang psikologi kognitif tentang ingatan, misalnya
tentang kurva lupa dari Ebbinghaus (Baddeley, 1982) memang memperli-
hatkan bahwa ingatan akan cenderung memburuk sejalan dengan
berjalannya waktu. Artinya ingatan kita tentang suatu hal dari waktu ke
waktu cenderung akan berkurang, yang pada suatu titik lebih tepat
dikatakan sebagai suatu bentuk lupa (forgetting). Prinsip-prinsip dalam
ingatan individual ini akan berlaku juga pada ingatan kolektif, namun tidak
dalam pengertian yang linear seperti dalam perspektif ingatan individual.
Schudson (1995) mengatakan bahwa isu mengenai ketidakakuratan
ingatan kolektif seiring dengan berjalannya waktu bisa jadi tidak terlalu
relevan, dalam pengertian bahwa memang pada kenyataannya dengan
berlalunya waktu ingatan kolektif pasti sedikit banyak akan berubah.
Paling tidak dua aspek dari ingatan kolektif akan berubah sejalan dengan
proses berjalannya waktu. Pertama, detail tertentu akan mulai berkurang
112
dan mungkin hilang. Ingatan lama-kelamaan bisa menjadi lebih kabur
(vague). Kedua, intensionalitas emosi dan perhatian mengenai hal tersebut
akan terus berkurang. Dengan demikian arti pentingnya ingatan tersebut
baik bagi individu, kelompok ataupun bangsa akan menjadi berkurang.
Dengan begitu lama-kelamaan suatu ingatan bisa menghilang (fade away).
Namun sebegitu jauh tidak ada hukum yang pasti dalam jangka waktu
berapa lama suatu ingatan kolektif akan tetap bertahan, dan dalam jangka
waktu berapa lama suatu ingatan kolektif akan menghilang ditelan waktu.
Beberapa variabel misalnya bisa dianggap sebagai variabel moderator
terhadap pengaruh dari waktu terhadap ingatan kolektif. Pertama, akan
sangat tergantung kepada seberapa penting suatu ingatan dalam kaitannya
dengan suatu identitas, terutama identitas politik. Semakin penting suatu
ingatan untuk keberlangsungan identitas, semakin besar kemungkinan
ingatan tersebut dilestarikan. Dalam hal ini kepentingan politik, kekuasaan,
faktor kultural akan menentukan seberapa jauh ingatan kolektif tersebut
akan terus ditransmisikan ke generasi berikutnya, termasuk juga seberapa
jauh ingatan tersebut akan diubah, dimodifikasi, direkonstruksi ulang, dan
atau diciptakan ingatan baru.
Dengan tidak terelakkannya dimensi waktu dalam ingatan kolektif,
dengan cara yang sama pula faktor waktu sebenarnya dapat dimanfaatkan
sebagai suatu sarana untuk mendistorsi ingatan kolektif. Schudson (1995)
113
misalnya menyebutkan bahwa strategi ‘distanciation’ (membiarkan untuk
waktu yang lama, sehingga tercipta jarak waktu yang lama dengan
peristiwa), adalah lazim dipakai misalnya dalam konteks politik ingatan.
Misalnya, apa yang sebelumnya dikatakan sebagai strategi pendiaman
ingatan (the silent memory). Strategi pendiaman ini biasanya dipadukan
dengan kontrol represi negara untuk tidak mengingat suatu peristiwa.
Strategi ‘distanciation’ yang tidak dipadukan dengan kontrol represif,
asal bersifat alamiah dan sukarela sebenarnya tidak selamanya bersifat
merugikan, bahkan seperti prinsip umum yang berlaku, time heals all the
wounds. Sedikitnya ada dua keuntungan yang didapat dengan berlalunya
waktu. Pertama, kemungkinan terjadinya perubahan sudut pandang
(perspektif). Dengan berjalannya waktu, ada kesempatan untuk meman-
dang persoalan pada masa lalu secara lain, tidak hanya dari perspektif yang
selama ini mereka yakini. Kedua, soal peredaan kadar emosi. Dengan
berjalannya waktu emosi-emosi negatif yang menyertai ingatan kolektif
dapat berkurang seiring dengan berjalannya waktu.
Transmisi Ingatan Kolektif
The structure of memory is quite complex and sensitive to both external and internal factors as it constructs the past, the present and the future.
(Siegel, 1999: 23-23)
114
Satu pertanyaan penting adalah, jika ingatan kolektif tidak harus suatu
ingatan yang dialami langsung oleh seseorang, lantas dari mana asal usul
dan datangnya ingatan itu, dan bagaimana ia ditransmisikan. Penelitian
dalam bidang ingatan kolektif memperlihatkan pelbagai macam cara
masyarakat belajar tentang masa lalu mereka. Ada institusi-instusi yang
akan bertindak sebagai penampung yang konsisten bagi penciptaan dan
pelanggengan ingatan-ingatan tersebut dalam suatu kelompok atau
masyarakat. Dalam kebanyakan literatur, dapat ditelusuri tiga macam
sumber ingatan kolektif, yaitu: keluarga dan kelompok (Fivush, 1991;
Halbwachs, 1992; Hirst & Manier, 1996; Neisser, 1994), pendidikan (Apple
& Christian-Smith, 1991; Firer, 1998; Fratczak, 1981) dan media (Farr,
1990; Neal, 1998; Nerone & Wartella, 1989; Wegner, 1987).
Dalam kebanyakan penelitian, keluarga sering diidentifikasi sebagai
institusi awal tempat seseorang mewariskan ingatan kolektifnya. Seperti
yang dikatakan Halbwachs:
It is true that all sort of ideas can call to mind recollections of our family. In fact, from the moment that family is the group within we pass the major part of our life, family thoughts become ingredients of most of our thoughts.
(Halbwachs, 1992: 61)
Pewarisan ingatan kolektif ini misalnya dapat ditelusuri dari cerita-
cerita dan narasi-narasi dalam keluarga lewat transmisi oral (oral trans-
mission). Lewat cara transmisi oral inilah ingatan kolektif ditransmisikan
115
dari satu generasi ke generasi lainnya. Oleh karena itu tidak hanya ingatan
personal atau dalam dimensi personal yang ditransmisikan, namun ingatan
tentang peristiwa sosial, politik dan kultural juga ikut ditransmisikan.
Karenanya beberapa isu-isu kultural, politik, sosial sangat mudah terselip-
kan dalam cerita-cerita keluarga. Oleh karena itu, keluarga dan kelompok
terdekat memang merupakan sumber ingatan politik dan ingatan kultural
yang paling signifikan (Fivush, 1991).
Pendidikan adalah sumber lainnya di mana ingatan kolektif
ditanamkan dan ditransmisikan. Beberapa penelitian memperlihatkan
bahwa konstruksi sosial atas buku teks dan kurikulum sekolah mempunyai
pengaruh yang besar dalam penciptaan dan pelanggengan ingatan kolektif
(Apple & Chistina-Smith, 1991; Lerner, Nagai, & Rothman, 1995). Dalam
soal ini, misalnya pengaruh politik dalam bentuk kekuatan untuk
mengontrol informasi menjadi faktor penentu yang signifikan, bahkan
walaupun dalam bentuk kontrol yang tidak langsung sekalipun.
Media massa juga mempunyai pengaruh yang besar dalam
mentransmisikan ingatan-ingatan tertentu. Koran, radio, televisi punya
pengaruh dalam menentukan dan memilih hanya untuk menyiarkan
peristiwa tertentu dan tidak peristiwa lainnya. Para pelaku media juga bisa
memasukkan opini dan ideologi tertentu dalam pemberitaannya. Menurut
Neal (1998), masyarakat tidak hanya merespon informasi yang disiarkan
116
oleh media tapi juga kepada interpretasi, makna dan opini yang dibawakan
berita tersebut. Seperti halnya juga dalam area pendidikan, kontrol politik
dalam hal ini sangat berkaitan dengan kontribusi media terhadap ingatan
kolektif.
Sebegitu jauh kita telah melihat pengaruh keluarga, pendidikan dan
media dalam memahami bagaimana (why) dan di mana (where) ingatan
kolektif ditanamkan. Namun faktor terpenting lainnya adalah pada saat
kapan (when) ingatan kolektif menjadi sangat penting dan menonjol
(salient).
Memang pada kenyataannya ingatan kolektif bertumbuh dan
berevolusi sepanjang masa dalam kehidupan individu dan masyarakat. Ada
saat-saat tertentu dalam kesadaran kolektif kita yang mudah sekali
menerima pengaruh.
Riset-riset dalam bidang ingatan kolektif (Neal, 1998; Schuman &
Scott, 1989) memperlihatkan bahwa orang-orang cenderung mengingat
dan tidak mudah lupa pada kejadian-kejadian yang terjadi ketika mereka
berada pada usia remaja sampai dewasa awal, masa-masa yang disebut
sebagai masa pembentukan identitas (the formating years). Fenomena ini
dikenal sebagai ‘generational effects’ dalam studi ingatan kolektif. Selama
periode ini, satu generasi dalam masa (cohort) ini akan terkena pengaruh
yang sama dan akan mengingat secara bersama-sama (collective
117
remembering) semua peristiwa budaya, politik, sosial yang ada di sekitar
mereka. Ingatan dari satu generasi mungkin berbeda dengan ingatan di
satu generasi lainnya, mungkin bisa jadi terjadi kesenjangan (gap), bia jadi
terjadi konflik (conflicting memories), atau pelanggengan ingatan (perpetu-
ating memories).
Dalam hal ini kemungkinan mana yang akan terjadi akan sangat
ditentukan oleh bagaimana pola transmisi ingatan kolektif itu. Kuatnya
penanaman dan pewarisan ingatan kolektif oleh ketiga institusi tadi;
keluarga, pendidikan dan media boleh jadi akan melanggengkan ingatan
kolektif suatu komunitas.
Sementara itu, sejarah menurut Pennebaker (1997) besar kemung-
kinan akan bersumber dari ingatan kolektif orang-orang pada masa itu
yang punya kekuatan sosial dan politik untuk menuliskannya, seperti yang
ia katakan:
Members of a given cohort who have been affected by large-scale events will be the very people who subsequently write the event’s history and influence the collective memories for succeding generations
(Pennebaker, 1997: viii)
Ingatan Kolektif sebagai Konstruksi Sosial
Memory is where social constructionism and developmental psychology meet
(Neisser, 1994 : 11)
118
Tidak diragukan lagi semenjak dari era Bartlett (1932) sampai pada
teori dan penelitian mutakhir dalam era psikologi kognitif—terutama pada
eranya Urich Neisser—satu premis dasar dari psikologi kognitif yang tidak
terbantahkan adalah bahwa manusia akan secara selektif memproses dan
menginterpretasikan dunia sekeliling mereka. Di antara pelbagai macam
teori yang ada, terdapat satu asumsi universal: proses-proses kognitif akan
diarahkan oleh kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan dari individu
(Robinson, 1996). Prinsip ini konsisten dengan pandangan teori konstruksi
sosial (Berger & Luckman, 1966: Gergen, 1985) yang menyatakan bahwa
realitas adalah subjektif, cair dan suatu entitas yang mempunyai tujuan
sendiri sesuai dengan kepentingan dan ideologi yang merekonstuksinya.
Prinsip dan perspektif konstruksi sosial sebagaimana ia berlaku pula
pada fenomena ingatan kolektif akan menjelaskan bagaimana masa
sekarang mempengaruhi ‘realitas’ masa lalu, dan bagaimana individu dan
masyarakat secara selektif mengenang dan mengingat masa lalu berdasar-
kan kebutuhan, ideologi, dan tujuan-tujuan masa sekarang (Eber & Neal,
2001; Ross & McFarland, 1988; Schwartz, 1982; Shotter, 1990). Relevansi-
nya pada disertasi ini adalah terletak pada prinsip bahwa ingatan kolektif
bukanlah proses yang pasif, sebagai sekadar recalling, tapi sesuatu yang
lebih aktif, suatu proses konstruksi sosial di mana kepentingan turut
bermain.
119
Berangkat dari pemahaman ingatan kolektif sebagai suatu bentuk
konstruksi sosial dapatlah dimengerti bahwa ingatan kolektif dalam
praktik-nya tidaklah dapat dilepaskan dari kepentingan politik suatu
kelompok, komunitas atau suatu bangsa. Dalam hal ini proposisi bahwa
posisi masa sekarang adalah sebagaimana ia dipengaruhi oleh masa lalu,
mungkin tidaklah sesederhana itu, tapi bahkan juga mungkin sebaliknya,
hakikat dan realitas masa lalu akan ditentukan oleh kepentingan,
kebutuhan dan tujuan masa sekarang. Posisi ini misalnya ditegaskan oleh
Melor & Bretherton (2003) dalam studi tentang ingatan kolektif antara
kulit putih dan aborigin dalam konteks Australia:
An examination of the literature on memory suggest that a chronological account, where past memories generate present stances it too simplistic to be useful basis for understanding reconciliation process. In reality, present stances influence what is remembered and what is forgotten in both individuals and groups. Therefore, an alternative analysis of memory is required.
(Melor & Bretherton, 2003: 39).
Ingatan Kolektif sebagai Alat Kepentingan
Memory dies unless it’s given a use.
(Michaels, 1966: 193)
Berangkat dari pemahaman bahwa ingatan kolektif lebih mudah
dipahami dalam perspektif konstruksi sosial, pertanyaan berikutnya
adalah untuk kepentingan siapa ingatan kolektif dibuat, ditransmisikan
dan dilanggengkan? Dalam perspektif invidual, ingatan akan menentukan
120
siapa kita, “we are what we remember” (Cummins, 1995: 59). Dalam
perspektif kolektif, ingatan kolektif adalah alat untuk memperkokoh
kohesivitas sosial, identitas, dan alat justifikasi kepentingan dan tujuan-
tujuan tertentu, seperti yang dikatakan oleh Halbwach:
Specifically, the function of socially shared images of the past (collective memory) is to allow the group to foster social cohession, to develop and defend social identification, and to justify current attitudes and needs.
(Halbwachs dalam Paez, Basabe & Gonzalez, 1997: 147)
Oleh karena itu ingatan kolektif sangat memungkinkan untuk
dipolitisir, atau apa yang disebut sebagai politik ingatan (the politics of
memory). Karena itu besar kemungkinan bagi ingatan kolektif untuk
dimodifikasi, direkayasa, dimanipulasi ataupun didistorsi supaya cocok
dengan kebutuhan dan kepentingan politik saat sekarang ini (Baumeister
& Hastings, 1997; Eber & Neal, 2001; Gaskel & Wright, 1997; Lustiger-
Thaler, 1996; Middleton & Edwards, 1990, Neale, 1998; Pennebaker,
1997).
Karena masalahnya adalah lebih kepada konstruksi atau tafsir sosial
atas masa lalu, ingatan kolektif memungkinkan kelompok-kelompok untuk
membuat pelbagai macam tafsir atas ingatan kolektif. Bahkan, sangat
memungkinkan antara satu kelompok dengan kelompok lain akan saling
berkonflik dalam soal ingatan kolektif ini. Dengan begitu menjadi jelas
bahwa ingatan kolektif bisa merupakan sumber konflik atau dijadikan alat
121
legitimasi untuk memperpanjang konflik. Seperti yang dikatakan oleh
Pennebaker (1997: vii): “powefull collective memories – wether real or
concocted – can be at the roots of war, prejudice, nationalism, and cultural
identities”. Posisi sebaliknya juga bisa terjadi; kemauan politik dan
kebutuhan sosial kelompok saat ini—katakanlah misalnya untuk resolusi
konflik dan rekonsiliasi—mengharuskan kelompok untuk membuat tafsir
baru atas ingatan kolektif mereka.
Satu tujuan khusus dari penanaman, pentransmisian dan pelestarian
ingatan kolektif adalah dalam rangka memperkuat dan meneguhkan rasa
nasionalisme atau identitas kultural tertentu (Balibar, 1995; Conway,
1997; Kelman, 2001; Zerubavel, 1995). Ingatan kolektif ini kemudian akan
diperkuat dengan perayaan-perayaan atau diromantisir dalam bentuk
mitos. Mitos adalah contoh paling jelas dari bagaimana sejarah dan ingatan
kolektif diarahkan untuk kepentingan politik, betapapun terkadang
disadari bahwa mitos-mitos tersebut akan terasa ‘janggal’ ketika diselipkan
dalam sejarah, bahkan tekadang bersifat kontradiktif (LeGoff, 1992;
Yerushalmi, 1982).
Ingatan Kolektif sebagai Alat untuk Mencapai Penyembuhan/ Pemulihan
Collective memory can be an effective tool for reconciliation and healing for individuals and local communities.
(Chirwa, 1997: 482)
122
Ingatan kolektif timbul, direkonstruksi, dipertahankan, dan
diwariskan selalu dalam suatu konteks sosial dan politik tertentu. Ingatan
kolektif dalam hal ini selalu dipahami sebagai suatu hasil dari proses
mengalami kejadian-kejadian yang mempunyai makna sosial yang cukup
signifikan, misalnya kejadian politik traumatik. Pada umumnya lebih
banyak kejadian-kejadian traumatik kolektif yang kemudian menjadi
ingatan kolektif masyarakat. Persoalan kemudian menjadi dilematis ketika
peristiwa tersebut akan diingat, baik pada tingkat individu, kelompok dan
terutama pada tingkat kolektif yang menyangkut: apakah kita akan
melupakan peristiwa tersebut? Apakah tetap akan mengingat seperti ‘apa
adanya’, secara objektif, lengkap dengan data dan fakta yang objektif? Atau
akan mengingat dengan ‘cara yang lain’? Dalam konteks inilah pertanyaan
krusial yang ingin dijawab baik pada tingkat teoretis dan praktis adalah
menyangkut hubungan pengungkapan kebenaran (antara kebenaran
sejarah dan ingatan kolektif), dengan proses penyembuhan dan pemulihan
serta rekonsiliasi.
Dalam hal ini, pandangan bahwa ingatan kolektif akan memainkan
fungsinya sebagai alat untuk mencapai kesembuhan dan pemulihan pasca
peristiwa traumatik akan sangat masuk akal. Berangkat dari asumsi bahwa
langkah pertama untuk mencapai rekonsiliasi adalah dengan cara peng-
ungkapan kebenaran (Edelstein, 1994). Pertanyaan selanjutnya adalah:
123
versi kebenaran siapa yang mesti didengar dan diungkapkan? Bagaimana
jika timbul berbagai macam versi kebenaran? Bisakah dicapai
‘kesepakatan’ jika terjadi berbagai macam versi kebenaran?
Di beberapa negara, pengungkapan kebenaran disponsori oleh negara
(Afrika Selatan, Rwanda), pada beberapa negara lain, proses ini disponsori
oleh lembaga bukan negara (gereja, LSM) seperti kasus Guatemala. Hasil
yang ingin dicapai oleh adanya komisi kebenaran (baik itu disponsori
negara atau lembaga bukan negara) adalah untuk menghasil-kan
‘kesepakatan’ yang terdokumentasi tentang suatu peristiwa traumatik.
Hasil kerja komisi ini kemudian yang akan menjadi proyek sejarah
(historical project) yang dilaporkan pada negara, yang kemudian akan
menjadi pijakan bagi bangsa, komunitas, dan individu untuk pulih dan
melangkah ke arah rekonsiliasi. Dalam kerangka proyek rekonsiliasi yang
disponsori oleh lembaga formal, strategi dan politik ingatan suatu negara
akan menjadi pijakan formal (hukum dan politik) bagi suatu komunitas
untuk mengusahakan pemulihan dan rekonsiliasi. Dalam ketiadaan
kerangka ini, komunitas akan mencari cara mereka sendiri untuk pulih dan
melakukan rekonsiliasi. Dalam kondisi seperti ini, peranan ingatan kolektif
sebagai alat untuk mencapai penyembuhan dan pemulihan akan sangat
masuk akal.
124
Satu contoh dari usaha kelompok dan kolektiva untuk memunculkan
ingatan kolektif mereka sendiri adalah apa yang dilakukan oleh gerakan
Madres de la Plaza de mayo – mothers of disappeared child - , kelompok ibu-
ibu di Argentina pascadiktatorial yang menginginkan ‘kebenaran’ tentang
penghilangan dan penculikan anak-anak mereka diungkapkan. Dalam hal
ini ingatan kolektif versi mereka hendak ditampilkan sebagai kebenaran
sejarah. Mereka meminta pengakuan bahwa telah terjadi kejahatan
(penculikan, pembunuhan) secara sistematis oleh negara terhadap anak-
anak mereka. Pengakuan terhadap ingatan kolektif ini yang mereka tuntut,
bukan kompensasi dalam bentuk uang.
Dengan demikian, dapat dimengerti bahwa ingatan kolektif akan
dengan sendirinya dimunculkan, diciptakan, didokumentasikan, dan
diabadikan demi dan untuk mencapai proses penyembuhan dan pemulihan
terhadap masa lalu yang menyakitkan. Apa yang dicapai oleh gerakan
sosial yang bernama ‘Khulumani’ (speak out group) di Afrika Selatan,
kelompok-kelompok tempat orang berbicara dan bersaksi, adalah sebagai
satu strategi untuk membicarakan, proses berbagi dan proses katarsis
setelah peristiwa politik traumatis. Apa yang ingin dicapai adalah adanya
dukungan emosional dan proses penyembuhan lewat katarsis bicara, atau
analog dengan apa yang dikatakan Freud sebagai ‘talking cure’.
125
Persoalannya adalah, ingatan kolektif seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya bersifat dikonstruksi secara sosial, lentur, sarat kepentingan,
mudah mengalami distorsi, subjektif. Padahal posisinya sebagai alat untuk
sebagai titik berangkat (starting point) bagi proses penyembuhan dan
pemulihan dalam rangka rekonsiliasi menjadi amat strategis. Walaupun
kaitan antara ingatan kolektif dengan proses pemulihan, rekonstruksi dan
rekonsiliasi secara teoretis masih belum konklusif, namun Chirwa (1997)
berani menyimpulkan bahwa:
It is for this reason that collective memory becomes part of the process of healing, reconciliation, and reconstruction at both the individual and communal levels.
(Chirwa, 1997: 482)
Commemoration
Satu cara masyarakat membuat ingatan kolektif terus hidup dalam
komunitasnya adalah lewat perayaan-perayaan (commemoration), atau
proses saat komunitas mengenang, memberi penghormatan dan
melakukan semacam ‘napak tilas’ terhadap kejadian-kejadian pada masa
lalu. Distorsi dan penggunaan ingatan kolektif seperti yang diuraikan di
atas sangat ditunjang oleh proses commemoration ini. Sesuai dengan
pendapat Halbwach seperti dikutip Hutton (1993) berikut ini:
Halbwach’s theory was particularly appealing to the historians of the politics of commemoration because of his insistence on the way which collective memory is continually revised to suit present purposes. Because we continually reinvent the past in our living memories, they are highly
126
unreliable as a guide to what actually transpired, and their imagery must be interpreted for hidden agendas
(Hutton, 1993: 7)
Connerton (1989) mengatakan commemoration adalah semacam
praktik ritual dengan cara mana masyarakat mengingat. Sementara Frijda
(1997) mengatakan bahwa commemoration adalah proses tingkah laku
yang akan mendefinisikan posisi individu dalam kontinuitas sejarah.
Beberapa penelitian lain melihat bahwa commemoration dan pengaruhnya
terhadap ingatan kolektif dalam suatu masyarakat menempati posisi
penting dalam wacana mengenai sejarah (Hutton, 1993; Neal, 1998;
Schwartz, 1982; Zerubavel, 1985).
Collective memory is substantiated through multiple forms of commemora-tion: the celebration of communal festival, the reading of a tale, the participation in a memorial service, or the observance of a holiday. Through these commemorative rituals, group create, articulate and negotiate their shared memories of particular events
(Zerubavel, 1995: 5)
Peristiwa-peristiwa yang sering diperingati biasanya adalah peristiwa
yang mempunyai pengaruh dan perubahan besar dalam kehidupan
individu dan masyarakat. Satu bentuk lain dari commeration adalah proses
pengkisahan kembali (storytelling). Pelbagai macam bentuk cerita, narasi
dan sejarah lisan mempunyai kontribusi yang besar dalam pembentukan
ingatan kolektif (Fentress & Wickham, Freeman, 1993: 1992; Gergen &
Gergen, 1997; Middleton & Edwards, 1990; Miller, 1994; Neisser, 1994;
127
Pennebaker & Banasik, 1997; Ross, 1991). Pentingnya soal narasi dan
wacana dalam pembentukan ingatan kolektif terletak pada kenyataan
bahwa ‘realitas baru’ akan terbentuk dengan cara membawa masa lalu ke
masa sekarang. Bellah, dkk. (1985) menyatakannya sebagai komunitas
ingatan di mana masyarakat mengabadikan masa lalunya, “a community of
memory is “one that does not forget its past”. In order not to forget the past, a
community is involved in retelling its story, its constitutive narrative” (Bellah,
dkk , 1985: 153).
Kecenderungan untuk membuat pengisahan kembali (storytelling)
sebenarnya adalah kecenderungan manusia yang paling lumrah, sebagai-
mana juga anak kecil terpesona dengan kisah-kisah yang dituturkan oleh
kakek-neneknya. Adalah juga lumrah dalam proses pengisahan kembali
beberapa bagian hilang, kebenaran dan makna mungkin berubah selama
proses transmisi informasi.
With the passing of time, the boundaries around specific events weaken as they are placed within the general fabric of social life. In telling and retelling the stories of our past, the events in question become stereotyped and selectively distorted as they become embedded in our collective memories
(Neal, 1998: 201)
Banyak cara yang dilakukan tiap-tiap generasi untuk membuat
narasinya sendiri. Narasi bukan sekadar memperingati (commemorate)
dan mengenang masa lalu, bahkan terkadang ia mengkonstruksikannya.
Terkadang jalinan kekuasan ikut pula menentukan apa yang harus
128
dituturkan. Bahkan terkadang apa yang dituturkan dalam sebuah narasi
tidak terlalu penting dibandingkan siapa yang menuturkan dan bagaimana
ia dituturkan (Sarup, 1996). Juga kepada siapa narasi tadi akan dituturkan,
akan sangat menentukan keberlangsungan ingatan kolektif.
Dari uraian-uraian sebelumnya mengenai dinamika ingatan kolektif
sebagai suatu konstruksi sosial, kelihatannya masalah ini lebih tepat
didekati lewat lewat metode penelitian (method of inquiry) dengan
paradigma kualitatif seperti groundend theory methodology, social
constructionism, analisis wacana (discourse analysis) dan narasi (narrative
approach).
3.3.9. Ingatan Kolektif dan Sejarah
Sebegitu jauh telah dibahas mengenai ingatan kolektif dan dinamika-
nya. Soal yang belum jelas adalah bagaimana sebenarnya kaitan antara
ingatan kolektif dan sejarah?
Teori-teori psikologi tradisonal mengenai ingatan—terutama dalam
proses mengingat kembali (recall)—membedakan dua macam ingatan;
pertama ingatan episodik (episodic memory), yaitu ketika seseorang
mengingat kembali peristiwa-peristiwa yang dialami secara personal, dan
ingatan semantik (semantic memory), mengingat kembali fakta-fakta
umum atau yang sudah menjadi sejarah (Baddeley, 1989; Buttler, 1989;
Siegel, 1999; Tulving, 1972; Tulving & Craik, 2000). Sebagai contoh 129
misalnya, seseorang seorang ikut dalam demonstrasi 12 Mei 1998, dengan
segala episode dan pengalaman personal dia selama ikut demonstrasi.
Semantic memory dari peristiwa yang sama akan meliputi misalnya
pengetahuan bahwa tanggal 12 Mei dua mahasiswa tertembak mati,
tanggal itu demonstrasi dipusatkan di Jembatan Semanggi, mahasiswa
yang meninggal itu kemudian dikenal sebagai pahlawan reformasi, dan
sebagainya.
Masalahnya kemudian, dengan berjalannya waktu, kesulitan dan
kebingungan kerap kali muncul saat orang-orang mulai mencampur-
adukkan kedua jenis ingatan ini. Misalnya, seseorang menganggap ingatan
episodik sebagai fakta sejarah. Soal ini memang menjadi problematika,
ketika misalnya penulisan sejarah harus didasarkan pada fakta yang
didapat lewat sejarah tuturan (oral history). Dalam hal ini kemungkinan
munculnya pelbagai macam versi fakta sesuai dengan banyaknya
kelompok, ataupun pelaku sejarah yang menuturkan ceritanya
berdasarkan interaksi antara ingatan episodik dan ingatan semantik
menjadi sangat besar. Baddeley (1989) misalnya mengatakan bahwa apa
yang didefinisi-kan sebagai ingatan semantik seringkali adalah akumulasi
dari serangkaian ingatan episodik, yaitu ketika beberapa orang meyakini
masing-masing ingatan episodiknya sebagai suatu ingatan semantik.
130
Dalam beberapa hal, pembedaan antara episodik dan ingatan semantik
ini mempunyai kesejajaran pengertian dengan pembedaan antara sejarah
dan ingatan kolektif. Sejarah lebih menyerupai hakikat ingatan semantik,
proses-proses yang faktual, sementara itu ingatan kolektif lebih
menyerupai prinsip ingatan episodik. Karena sejarah mengklaim
faktualitas, namun dalam kenyataanya sejarah sebagai ilmu yang
interpretif juga tidak bisa mengelak dari persoalan penafsiran. Pembatasan
yang tegas antara ingatan dan sejarah menjadi suatu soal yang
problematik. Polarisasi ataupun konflik antara sejarah resmi (formal
history) dengan ingatan membawa kesukaran tersendiri dalam proses
resolusi konflik dan rekonsiliasi. Proses pembuatan sejarah sering kali
berhadapan dengan kenyataan tidak sesuainya antara ingatan kolektif
terhadap peristiwa sejarah yang sama antara satu kelompok dengan
kelompok lainnya. Pertanyaannya: sejarah menurut versi siapa?
Pertempuran tidak hanya antara satu ingatan kolektif dengan ingatan
kolektif lainnya, tapi mungkin juga pertempuran dalam kelompok sendiri,
pertempuran ‘ingatan melawan lupa’, seperti yang dikatakan oleh karya
satra Milan Kundera dalam bukunya The Book of Lauhgter and Forgetting
(Kundera, 1978).
Sejarah sebagai disiplin akademik sebenarnya juga sedang bergulat
dengan persoalan objektivitas dalam paradigma keilmuannya. Persoalan-
131
persoalan; objektivitas, bukti, dan pengukuran seperti yang dituntut oleh
pendekatan positivisme tampaknya makin menjauh dari studi sejarah.
Sementara itu, lebih banyak para sarjana lebih leluasa menempatkan studi
sejarah sebagai studi interpretif di mana batas antara ingatan, narasi, dan
proses-proses konstruksi sosial lainnya tidak terlalu dipersoalkan. Karena-
nya banyak peneliti yang mencoba mencari kejelasan kaitan antara sejarah
dan ingatan (Halbwachs, 1950/1980; Hutton, 1993; LeGoff, 1992; Neal,
1998; Nora, 1989; Schwartz, 1982; Yerushalmi, 1982) menemui kesulitan
tersendiri untuk menjawab pertanyaan ini. Sebegitu jauh, tidak terdapat
kesesuaian temuan antara para peneliti terhadap persoalan ingatan dan
sejarah ini.
Halbwachs (1950/1980) memberikan definisi konseptual yang
membe-dakan antara proses ingatan kolektif dengan ingatan sejarah
(historical memory). Bagi Halbwachs batas dan pembedaan antara
keduanya sangat jelas, keduanya malah berada dalam kutub yang
berlawanan. Sejarah menurut Halbwachs, adalah melulu investigasi dan
pencarian fakta-fakta objektif tentang masa lalu, eksplorasi terhadap fakta,
data, dan catatan-catatan tanpa ada kaitannya atau dipengaruhi oleh
kepentingan masa sekarang. Sementara ingatan, adalah proses mengingat
kembali (recalling) secara subjektif masa lalu, yang dasar-dasarnya
ditentukan oleh kebutuhan masa sekarang yang terus berubah. Ingatan dan
132
sejarah dalam posisi pembedaan yang berhadap-hadapan dapat dikatakan
sebagai berikut: ketika ingatan sangat kuat ia akan cenderung
mengaburkan sejarah, sebaliknya ketika ingatan melemah, sejarah akan
mengambil alihnya sebagai sumber utama pengetahuan terhadap masa
lalu. Dengan cara pandang seperti ini bisa dikatakan sejarah berciri: statis,
objektif, serangkaian fakta tentang kejadian-kejadian di masa lalu. Ingatan
di sisi lain bersifat cair, lebih dinamis dan terkait dengan fenomena dan
kebutuhan pada masa sekarang.
Dengan penjelasan tersebut, terlihat bahwa sejarah (formal history)
dan ingatan kolektif (dalam bentuk diskursif, interaksi, social sharing,
bahasa, narasi, monumen, perayaan-perayaan, peringatan-peringatan)
keduanya akan hidup dalam masyarakat dan individual dengan pola
hubungan yang bisa linear, transaktif, ataupun kontradiktif dan konfliktual
satu sama lainnya. Pertanyaannya adalah: apakah sejarah dan ingatan bisa
dipisahkan secara jelas? Bisakah seorang peneliti meneliti sejarah tanpa
melihat pengaruh subjektif dari ingatan? Bisakah seorang sejarawan
mempelajari masa lalu tanpa pertimbangan pengaruh masa sekarang?
Banyak peneliti kontemporer di bidang ini memberikan jawaban: tidak!
Seperti yang ditegaskan Zerubavel:
Historical writing is inevitably limited by its interpretive perspective, the choice and ordering of information, and narratological constraints. Historians may indeed strive to become detached analysis, but they are also
133
members of their own societies, and, as such, they often respond to prevalent social ideas about the past.. Collective memory continuously negotiates between available historical records and current social political agendas.
(Zerubavel, 1995: 5)
Sarjana yang pertama kali mengulas masalah ini adalah seorang
sarjana Perancis, Piere Nora (1989). Dalam studinya tentang ingatan
kolektif dan kaitannya dengan sejarah, Norra menyebut istilah ‘lieux de
memoire’ (sites of memory), untuk mengatakan ingatan akan terus bertahan
dalam dalam masyarakat, ada ataupun tidak ada sejarah resmi, apalagi
dalam ketiadaan sejarah. Ia mengatakan masyarakat memerlukannya
untuk menciptakan tempat untuk mengenang kembali (commemoration).
Tanpa ‘lokasi’ seperti itu ingatan tentang masa lalu akan hilang. Nora
membedakan ingatan dan sejarah sebagai berikut:
Memory and history, far from being synonymous, appear now to be in fundamental opposition. Memory is life, borne by living societies founded in its name. It remains in permanent evolution, open to dialectic of remembering and forgetting. Unconscious of its successive deformations, vulnerable to manipulation and appropriation, susceptible to being long dormant and periodically revived. History, on the other hand, is the reconstruction, always problematic and incomplete of what is no longer. Memory is a perpetually actual phenomenon, a bond tying us to the eternal present; history is a representation of the past. History is perpetually suspicious of memory, and its true mission is to suppress and destroy it.
(Nora, 1989: 9)
Seorang ahli lain Nadel, seperti dikutip LeGoff (1992) mengatakan ada
dua jenis sejarah. Pertama, sejarah yang bisa dianggap sebagai ‘objektif’,
pengumpulan rangkaian fakta-fakta sejarah, dan yang kedua sejarah dalam
134
bentuk ‘ideological’, di mana fakta-fakta diorganisir sesuai dengan tradisi,
keyakinan, kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat. Pendapat ini masih
sejalan dengan pembedaan sebelumnya, dan juga sejalan dengan pembe-
daan antara konstruk ingatan semantik dan ingatan episodik. Sebagai
penyimpulan dapat dikatakan sejarah dan ingatan kolektif pada taraf
tertentu memungkinan untuk dibedakan, namun dalam praktik dan
implikasinya terhadap perilaku kolektif, perbedaan di antara keduanya
menjadi sangat cair dan tipis. Hal terpenting ingin dicapai oleh studi ini
(terlepas dari apakah itu sejarah atau ingatan kolektif) adalah: bagaimana
masyarakat bisa menyelesaikan masa lalunya dan membuat rekonsiliasi
antara masa lalu, masa sekarang dan masa mendatang. Tesis yang ingin
ditegakkan dalam studi ini adalah, masyarakat dan individual perlu menata
ulang masa lalunya supaya proses rekonsilasi tercapai.
3. 3.10. Ingatan Kolektif dan Emosi
Penelitian-penelitian dalam ingatan memperlihatkan pentingnya
pengaruh faktor emosi dalam proses recall. Banyak hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa pengalaman-pengalaman yang bermuatan emosional
yang tinggi cenderung lebih banyak diingat-kembali (recall) dibandingkan
pengalaman yang tidak bermuatan emosional (Buttler, 1989; Christianson
& Safer, 1996; Siegel, 1995, 1999). Pengecualian terhadap kecenderungan
ini adalah jika peristiwa tersebut tidak saja mengandung muatan emosi,
135
tapi sudah merupakan peristiwa traumatis. Apa yang lumrah terjadinya
adalah kebalikannya, recall banyak gagal karena orang cenderung
melakukan represi terhadap ingatan mereka (memory repression).
Terhadap peristiwa-peristiwa yang bermuatan emosional, terutama
bersifat negatif, kecende-rungannya adalah akan diingat secara tidak
akurat (Baddeley, 1989; Christianson & Safer, 1996; Loftus, 1979). Oleh
karena itu, ingatan terhadap peristiwa-peristiwa negatif yang bermuatan
emosional yang tinggi akan lebih mudah untuk didistorsi. Walaupun ada
juga sebagian ahli yang menyatakan bahwa peristiwa-peristiwa yang
mempunyai muatan emosi akan diingat-kembali (recall) dengan lebih
akurat (Bohannon & Symons, 1992; Heuer & Reisberg, 1990). Namun
terlepas dari soal mana yang lebih akurat, dalam konteks disertasi ini, hal
tersebut bukan tujuan dari penelitian. Suatu yang prinsip yang mungkin
perlu dikemukakan adalah bahwa faktor emosi memainkan peranan
penting dalam ingatan kolektif. Masyarakat cenderung akan lebih
memperhatikan dan mengingat kembali peristiwa-perisitiwa yang
mempunyai muatan emosi tinggi.
Faktor emosi sebagaimana ia juga dialami secara kolektif, akan
mempengaruhi kolektivitas dalam pengertian bahwa transmisi ingatan
kolektif tidak hanya mewariskan informasi, tapi juga sekaligus emosi dan
trauma. Seperti yang dikatakan Neal (1998):
136
The traumas of the past become ingrained in collective memories and provide reference points to draw upon when the need arises. Hearing or reading about an event does not have the same implications as experiencing event directly. However, as parts of the social heritage, events from the past become selectively embedded in collective memories.
Neal (1998: 7)
Bukan hanya kandungan emosi yang ditansmisikan kepada generasi
berikutnya, tetapi juga pada tingkat mana masyarakat masih larut dengan
trauma tersebut. Masyarakat yang masih trauma dengan masa lalu
menandakan masyarakat yang belum pulih dan sembuh dari luka-luka
lama. Banyak penelitian memperlihatkan bahwa peristiwa yang mengan-
dung muatan emosi yang tinggi akan cenderung dibagi (shared) dengan
orang lain. Seperti yang dikatakan Pennebaker dan Banasik (1997), Rime
dan Christophe (1997), semakin kuat emosi di sekeliling kejadian tersebut,
semakin sering orang-orang akan membicarakannya satu sama lain, maka
semakin kental narasi dan wacana di sekitar peristiwa tersebut. Sebaliknya
jika intensitas emosional masyarakat mulai berkurang, maka wacana dan
proses social sharing juga akan berkurang.
Penelitian di Spanyol dan Amerika latin pascakekerasan politik
memperlihatkan proses-proses sosial dan emosi yang beragam. Pasca
kekerasan politik di bawah rezim yang represif, memperlihatkan adanya
kecenderungan untuk tidak mengingat-ingat dan membicarakan peristiwa
traumatik tersebut (inhibition of talking past traumatic events). Namun
137
kecenderungan ini diikuti secara paradoksal dengan proses ruminasi
mental (mental rumination) yang terjadi secara spontan setelah
sebelumnya melewati fase pengingkaran (denial), serta penghindaran
(avoidance) (Paez, Basabe & Gonzalez, 1997). Apa yang ingin dikatakan
oleh hasil penelitian tersebut adalah: proses-proses emosi dan sosial akan
berinteraksi dalam menentukan apakah kelompok sosial akan cenderung
mengingat atau akan melupakan suatu peristiwa traumatik pada masa lalu.
Hasil penelitian dalam konteks Amerika latin dan Spanyol pascaperang
saudara, memperlihatkan bahwa mengingat masa lalu yang traumatik akan
meningkatkan proses berbagi secara sosial (social sharing) di antara
individu dalam komunitas. Proses-proses emosi yang menyertai proses
sosial ini di antaranya yang menonjol adalah ruminasi mental (mental
rumination) dan inhibisi mental (mental inhibition). Adanya usaha-usaha
untuk pemaknaan ulang (reappraisal) dan proses asimilasi terhadap masa
lalu dengan kepentingan di masa sekarang. Hasil penelitian di beberapa
negara Amerika Latin tidak sepenuhnya mendukung anggapan kaum Neo-
Freudian yang mengatakan adanya proses repressed memory setelah
peristiwa traumatik, untuk selamanya melupakan peristiwa tersebut.
Memang ada keinginan yang kuat untuk melupakan, tapi juga ada proses
mental dan emosi secara voluntary untuk mengingat kembali peristiwa
tersebut secara otomatis, atau apa yang disebut sebagai ruminasi mental
138
(mental rumination). Yang lebih penting dalam konteks ini adalah proses-
proses sosial dan proses regulasi emosi serta proses coping terhadap
peristiwa traumatik tersebut akan menentukan apakah suatu komunitas
akan tetap terbelenggu atau terbebas dari beban ingatan (memory burden)
masa lalu. Secara alamiah, individu dan komunitas akan berusaha secara
sungguh-sungguh untuk keluar dari beban ingatan di masa lalu.
Pengalaman Afrika Selatan memperlihatkan bahwa pemaparan peris-
tiwa yang mengandung muatan emosi kepada publik (public disclosure)
lewat proses storytelling misalnya, sebagian besar akan bisa melepaskan
(release) tegangan emosional dalam masyarakat, dan mendorong ke arah
pemaafan sosial (social forgiveness) dan rekonsiliasi. Namun proses ini
tidak menjamin adanya penyembuhan dan pemulihan (healing procesess)
di tingkat individual dan di tingkat antar personal.
Neal (1998) mengatakan, bagaimanapun masyarakat perlu pulih dari
ingatan kolektif yang masih mengandung beban emosional yang tinggi,
supaya masyarakat bisa lepas dari beban ingatan masa lalu (burden of
memory).
3.3.11. Ingatan Kolektif dan Identitas
Seperti yang dikatakan Halbwachs (1950/1990) salah satu kegunaan
ingatan kolektif adalah untuk pengukuhan identitas kelompok:
139
Specifically, the function of socially shared images of the past (collective memory) is to allow the group to foster social cohession, to develop and defend social identification, and to justify current attitudes and needs.
(Halbwach dalam Paez, Basabe & Gonzalez, 1997: 147)
Identitas dengan demikian adalah konstruk terpenting dalam
kaitannya dengan ingatan, baik identitas individu maupun identitas sosial
atau kolektif. Tajfel (1978; Tajfel & Turner, 1986) pelopor teori identitas
sosial mengangap indentitas individu bahkan tidak bisa lagi dilepaskan
dari identitas sosial. Seperti yang diaktakan oleh Tajfel (1978: 63); “that
part of individual’s self concept which derives from his knowledge of his
member-ship of a social group (or groups) together with the value and
emotional significance attached to that memberships”. Oleh karena itu
kelompok dipandang sebagai piranti utama tempat individu
mengembangkan identitasnya (Ross, 1993). Jika identitas orang-orang
sangat terkait dengan afiliasinya pada kelompok, dan kesadaran
berkelompok sangat berhubung-an dengan ingatan, konklusinya adalah
bahwa hubungan antara ingatan dan identitas adalah sangat kuat. Seperti
yang dikatakan Pennebaker:
Families, neighborhoods, cities, regions and entire cultures are bound together by a shared of beliefs, experiences, and memories. The shared histories cement individual’s identities with the groups to which they belong”
(Pennebaker, 1997: vii).
Dengan demikian, seperti halnya ingatan kolektif yang bersifat
subjektif, dikontruksi secara sosial, demikian juga kiranya dengan identitas
140
(Bruner, 1994; Deaux, 1993; Rose, 1996; Sarup, 1996). Diri dan identitas
adalah cerita yang ditulis, narasi yang dikembangkan, seperti yang
dikatakan Bruner (1994: 53); “Self is a perpetually rewritten story. What we
remember from the past is what is necessary to keep that story satisfactorily
well formed…the self is a remembered self, the remembering reaches far back
beyond our own birth back to the cultural and language forms that specify
the defining properties of a self”. Dimensi konstruktif dari identitas dan
kaitannya dengan masa lalu berlaku juga pada identitas kolektif. Pendapat
ini juga didukung Halbawachs (1992: 47);”We preserve memories of each
epoch in our lives, and these are continually reproduced: through them, as by
a continual relationship, a sense of our identity is prepetuated”.
Sebagaimana dikatakan oleh Erickson (198, 1978), dalam perkem-
bangan identitasnya, individu pernah mengalami krisis identitas, demikian
juga dengan identitas kelompok. Kejadian-kejadian besar seperti perang,
tragedi nasional yang traumatis berpengaruh terhadap indentitas
kelompok (Balibar, 1995: Neal, 1998), atau misalnya apa saja yang baru
dialami Amerika Serikat dengan tragedi 11 September. Kejadian-kejadian
ini bisa memperkuat atau memperlemah identitas kelompok, tergantung
bagaima-na dampaknya terhadap identitas kelompok. Seperti yang
dikatakan Neal (1998: 31):” All collective traumas have some bearing on
national identity. While in some cases national trauma results in enhancing a
141
sense of unity within a society, there are other cases in wich collective
traumas have fragmenting effects”.
Soal penguatan dan pelemahan identitas ada kaitannya juga antara
persoalan hubungan antara ingatan dan sejarah, seperti yang dikatakan
Nora berikut ini:
The passage from memory to history has required every social group to redefine its identity through the revitalization of its own history. The task of remembering makes everyone his own historian. The demand for history has thus largely overflowed the circle of professional historians. Those who have long been marginalized in traditional history are not only ones haunted by the need to recover their buried pasts. Following the example of ethnic groups and social minorities, every established group, intellectual or not, learned or not, has felt the need to go in search of its own origins and identity.
(Nora, 1989: 15).
Berkaitan juga dengan soal perayaan-perayaan dan usaha penge-
nangan kembali (commemoration), proses narasi adalah sangat penting
dalam usaha membangun identitas kelompok. Seperti halnya juga narasi
kehidupan adalah salah satu cara individu mendefinisikan dirinya (Neisser,
1994), narasi kelompok menjadi forum tempat masyarakat mengembang-
kan dan membangun identitasnya (Conway, 1997; Deutsch, 1973; Rose,
1996). Narasi, kata Zerubael (1995) adalah satu cara terpenting dimana
masyarakat mengembangkan identitas nasional dan kulturalnya. Sekali
lagi, terlihat bahwa adanya kesejajaran antara teori identitas individu
142
dengan identitas kelompok, di mana identitas besar kemungkinan akan
terus ditanamkan dan ditancapkan pada periode krisis.
Dalam kaitanya dengan konflik, teori identitas sosial dari Tajfel (1978)
memberikan sumbangan pemikiran yang signifikan, dalam artian bahwa
identitas individu akan mengental dalam konteks identitas kelompok.
Konflik sosial seringkali adalah konflik dengan dasar identitas (Hofman,
1988; 1997), identitas misalnya akan semakin mengental dalam suasana
konflik di mana terdapat keterancaman (Burton, 1990b; Kelman, 2001;
Volkan, 1988, 1990). Dapat dimengerti misalnya pada periode konflik,
kepentingan politik akan terus memperkuat identas kelompok lewat
pelbagai macam cara commemoration untuk memperkuat kohesivitas
kelompok, dan ingatan kolektif adalah satu instrumennya.
143
3.4. Ringkasan
Dari penelusuran terhadap banyak ragam literatur dalam kelompok
teori resolusi konflik terlihat jelas bahwa tidak ada kesepakatan tentang
cara menempatkan faktor masa lalu dalam proses-proses intervensi.
Kelompok teori negosiasi mengabaikan faktor masa lalu, atau paling tidak
beranggapan bahwa masa lalu adalah sesuatu yang harus ditinggalkan jika
kita ingin melangkah ke masa depan. Kelompok teori dalam payung
psikologi sosial mencoba menelaah isu ini lebih lanjut dengan mencoba
memberi tempat terhadap pentingnya masa lalu. Tetapi masih terlalu
sedikit elaborasi dan penelitian lebih lanjut mengenai soal-soal ini.
Kelompok teori rekonsiliasi justru banyak memfokuskan perhatiannya
pada masa lalu. Walaupun terdapat pelbagai macam sudut pandang
teoretik terhadap isu rekonsiliasi, di antaranya pandangan teori pilihan
rasional, teori kebutuhan manusia, dan kelompok teori pemaafan, namun
semua kelompok teori tersebut sepakat bahwa penanganan terhadap isu
masa lalu, faktor pemaafan, pengungkapan kebenaran, proses
penyembuhan dan pemulihan adalah elemen penting dalam rekonsiliasi.
Walaupun terdapat pelbagai macam definisi tentang rekonsiliasi, namun
dalam hal ini rekonsiliasi dapat dipandang sebagai suatu peristiwa, suatu
proses dan sekaligus suatu hasil dari suatu proses perbaikan hubungan ke
arah yang lebih konstruktif di masa depan. Perbaikan hubungan tersebut
144
mensyarat-kan perlunya perubahan dalam aspek identitas, nilai-nilai, sikap
dan perilaku. Rekonsiliasi didorong oleh adanya usaha untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan sosial dari pihak yang bertikai. Beberapa kebutuhan
yang substansial tersebut mencakup; keadilan, keamanan, penyembuhan
dan pemulihan dan pengungkapan kebenaran. Rekonsiliasi dapat dicapai
bila ada usaha untuk mengagendakan isu-isu tersebut serta adanya usaha
untuk melakukan negosiasi yang dilandasi oleh rasa saling percaya dan
rasa saling membutuhkan. Rekonsiliasi bisa dimulai dari ranah
antarpersonal, antarkelompok (bottom-up approach) dan atau dimulai dari
tingkat nasional (top-down approach). Fokus dari disertasi ini adalah pada
peranan masa lalu sebagaimana yang terekam dalam ingatan kolektif
kelompok-kelompok yang pernah bertikai di masa lalu. Sepintas diungkap-
kan bagaimana pentingnya unsur masa lalu dalam usaha rekonsiliasi,
namun masih sangat sedikit elaborasi dan eksplorasi bagaimana masa lalu
dimaknai ulang, diubah, direkonstruksi, dan dipertahankan untuk keperlu-
an rekonsiliasi.
Literatur-literatur dalam bidang psikologi mengenai ingatan selama
ini masih didominasi oleh pendekatan kognitif yang memandang manusia
semata-mata sebagai ‘mesin’ pengolah informasi. Pendekatan ini
menempatkan ingatan semata-mata sebagai hasil dari proses kognitif
seperti: sensing, perception, encoding, storage dan retrieval. Penelaahan
145
lebih lanjut mengenai usaha manusia untuk mengingat kejadian-kejadian
sehari-hari dan kejadian-kejadian sosial memperlihatkan kelemahan
pendekatan psikologi kognitif. Terlihat bahwa ingatan dalam
pengertiannya lebih sering bersifat kolektif dan sosial, di mana proses-
proses sosial lebih sering terlibat dalam menentukan ingatan, termasuk
mulai dari proses sensing, perceiving, encoding, dan retrieval. Ingatan dalam
hal ini sangat bersifat konstruksi sosial di mana faktor subjektivitas,
kepentingan, budaya, kelompok dan masyarakat saling berinteraksi dalam
mempengaruhi hakikat ingatan. Konstruksi ingatan sebagai suatu yang
sosial melibatkan juga proses-proses emosi, proses pembentukan dan
perubahan identitas yang tidak dapat terelakkan secara bersama-sama
saling membentuk pengalaman dan ingatan kolektif yang terkadang di luar
batas-batas kejadian yang terjadi secara faktual. Dalam hal ini sejarah
sebagai usaha rekonstruksi faktor-faktor faktual dari masa lalu mendapat
tantangan dari proses ingatan. Bagaimana fenomena ingatan kolektif
ditempatkan dalam konteks rekonsiliasi, bagaimana peranan yang
dimainkannya, serta bagaimana ingatan bisa mempersulit atau
mempercepat usaha rekonsiliasi adalah inti dari penulisan disertasi ini.
146