teori perilaku merokok

15
Teori Perilaku Merokok 3 May 2009 — maman

Upload: divaviya

Post on 30-Jan-2016

3 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

tpm

TRANSCRIPT

Page 1: Teori Perilaku Merokok

Teori Perilaku Merokok3 May 2009 — maman

Page 2: Teori Perilaku Merokok

1. Pengertian Perilaku Merokok

Para ilmuwan psikologi umumnya sesuai dalam pendapat bahwa pokok persoalan psikologi

adalah perilaku, namun tetap terdapat perbedaan yang besar sekali dalam pendapat mereka

mengenai hal-hal apa saja tepatnya yang harus dimasukkan ke dalam kategori perilaku tersebut.

Dalam pengertian paling luas, perilaku ini mencakup segala sesuatu yang dilakukan atau dialami

seseorang. Ide-ide, impian-impian, reaksi-reaksi kelenjar, lari, menggerakkan sesuatu, semuanya

itu adalah perilaku. Dengan kata lain, perilaku adalah sebarang respon (reaksi, tanggapan,

jawaban, balasan) yang dilakukan oleh suatu organisme. Sedangkan menurut pengertian yang

lebih sempit, perilaku hanya mencakup reaksi yang dapat diamati secara umum atau objektif

(Chaplin, 2005). Hampir sama dengan definisi tersebut, Atkinson dkk (tanpa tahun) menyatakan

bahwa perilaku adalah aktivitas suatu organisme yang dapat dideteksi. Munculnya perilaku dari

organisme ini dipengaruhi oleh faktor stimulus yang diterima, baik stimulus internal maupun

stimulus eksternal.

Seperti halnya perilaku lain, perilaku merokok pun muncul karena adanya faktor internal

(faktor biologis dan faktor psikologis, seperti perilaku merokok dilakukan untuk mengurangi stres)

dan faktor eksternal (faktor lingkungan sosial, seperti terpengaruh oleh teman sebaya). Sari dkk

(2003) menyebutkan bahwa perilaku merokok adalah aktivitas menghisap atau menghirup asap

rokok dengan menggunakan pipa atau rokok. Menurut Ogawa (dalam Triyanti, 2006) dahulu

perilaku merokok disebut sebagai suatu kebiasaan atau ketagihan, tetapi dewasa ini merokok

disebut sebagai tobacco dependency atau ketergantungan tembakau. Tobacco dependency sendiri

dapat didefinisikan sebagai perlaku penggunaan tembakau yang menetap, biasanya lebih dari

setengah bungkus rokok per hari, dengan adanya tambahan distres yang disebabkan oleh

kebutuhan akan tembakau secara berulang-ulang. Perilaku merokok dapat juga didefinisikan

sebagai aktivitas subjek yang berhubungan dengan perilaku merokoknya, yang diukur melalui

intensitas merokok, waktu merokok, dan fungsi merokok dalam kehidupan sehari-hari (Komalasari

& Helmi, 2000). Sementara Leventhal & Cleary (1980) menyatakan bahwa perilaku merokok

terbentuk melalui empat tahap, yaitu: tahap preparation, initiation, becoming a

smoker, dan maintenance of smoking.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku merokok adalah aktivitas

menghisap atau menghirup asap rokok dengan menggunakan pipa atau rokok yang dilakukan

secara menetap dan terbentuk melalui empat tahap, yaitu: tahappreparation, initiation, becoming

a smoker, dan maintenance of smoking.

1. Etiologi Perilaku Merokok Pada Remaja

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai etiologi perilaku merokok pada remaja, akan

dibahas terlebih dahulu definisi remaja. Remaja atau adolescene berasal dari bahasa

latin adolescere yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa.” Istilah ini mencakup

kematangan mental, emosional, sosial dan fisik. Menurut Piaget (dalam Hurlock, 1999) secara

psikologis masa remaja adalah usia di mana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa.

Masa remaja adalah usia di mana anak tidak lagi merasa di bawah tingkat orang dewasa

melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak, integrasi

dalam masyarakat, mempunyai banyak aspek efektif, kurang lebih berhubungan dengan masa

puber. Termasuk juga perubahan intelektual yang mencolok, tranformasi yang khas dari cara

berpikir remaja memungkinkan untuk mencapai integrasi dalam hubungan sosial orang dewasa,

yang kenyataannya merupakan ciri khas yang umum dari periode perkembangan. Monks (1999)

membagi masa remaja menjadi tiga kelompok tahap usia perkembangan, yaitu early

adolescence (remaja awal) yang berada pada rentang usia 12 sampai 15 tahun, middle

adolescence (remaja pertengahan) yang berada pada rentang usia 15 sampai 18 tahun, dan late

adolescence (remaja akhir) yang berada pada usia 18 sampai 21 tahun.

Page 3: Teori Perilaku Merokok

Dalam membahas etiologi (penyebab) gangguan penyalahgunaan dan ketergantungan

zat  termasuk perilaku merokok, harus dipahami bahwa seorang individu menjadi tergantung

pada zat umumnya melalui suatu proses. Pertama, orang yang bersangkutan harus mempunyai

sikap positif terhadap zat tersebut, kemudian mulai bereksperimen dengan menggunakannya,

mulai menggunakannya secara teratur, menggunakannya secara berlebihan, dan terakhir

menyalahgunakannya atau menjadi tergantung secara fisik padanya. Setelah menggunakannya

secara berlebihan dalam waktu lama, orang yang bersangkutan akan terikat oleh proses-proses

biologis toleransi dan putus zat (Davison dkk, 2006). Secara lebih spesifik, Kurt Lewin (dalam

Komalasari & Helmi, 2000) berpendapat bahwa perilaku merokok merupakan fungsi dari

lingkungan dan individu. Artinya, perilaku merokok selain disebabkan faktor-faktor dari dalam diri

juga disebabkan oleh faktor lingkungan. Berbagai penelitian di beberapa negara telah dilakukan

untuk mengetahui faktor apa saja yang berperan terhadap perilaku merokok pada remaja.

Beberapa penelitian yang dilakukan terhadap para remaja menghubungkan perilaku merokok ini

dengan etnis (Scragg dkk, 2002), usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan orang tua, perilaku

merokok orang tua, jumlah uang saku (Rachiotis dkk, 2008; Paavola dkk, 2004), perilaku merokok

teman (Siziya dkk, 2007), dan intensitas melihat iklan rokok (Siziya dkk, 2008; López dkk, 2004).

Berikut ini adalah penjelasan beberapa faktor yang berperan dalam perilaku merokok pada remaja:

1.

Page 4: Teori Perilaku Merokok

1. Faktor Individu

Erik H. Erikson (dalam Komalasari & Helmi, 2000) menyatakan bahwa keputusan seorang

remaja untuk merokok berkaitan dengan adanya krisis aspek psikososial yang dialami pada masa

perkembangannya, yaitu masa mencari identitas diri seperti usaha untuk menjelaskan siapa

dirinya dan apa perannya dalam masyarakat. Dalam masa remaja ini, sering dilukiskan sebagai

masa badai dan topan karena ketidaksesuaian antara perkembangan psikis dan sosial. Tugas

utama seorang remaja adalah mengintegrasikan berbagai macam identifikasi yang mereka bawa

dari masa kanak-kanak menuju identitas yang lebih utuh (Miller, 1993). Usaha-usaha untuk

menemukan identitas diri tersebut tidak semuanya berjalan sesuai harapan, oleh karenanya

beberapa remaja melakukan perilaku merokok sebagai cara kompensatoris.

Di sisi lain, saat pertama kali mengonsumsi rokok, gejala-gejala yang mungkin terjadi

adalah batuk-batuk, lidah terasa getir, dan perut mual. Namun demikian, sebagian dari para

pemula tersebut mengabaikan perasaan tersebut, biasanya berlanjut menjadi kebiasaan, dan

akhirnya menjadi ketergantungan. Ketergantungan ini dipersepsikan sebagai kenikmatan yang

memberikan kepuasan psikologis. Gejala ini dapat dijelaskan dari konsep tobacco

dependency (ketergantungan rokok). Artinya, perilaku merokok merupakan perilaku yang

menyenangkan dan bergeser menjadi aktivitas yang bersifat obsesif. Hal ini disebabkan sifat

nikotin adalah adiktif, jika dihentikan secara tiba-tiba akan menimbulkan perasaan tidak nyaman.

Secara manusiawi, orang cenderung untuk menghindari ketidakseimbangan dan lebih senang

mempertahankan apa yang selama ini dirasakan sebagai kenikmatan sehingga dapat dipahami jika

para perokok sulit untuk berhenti merokok (Komalasari & Helmi, 2000).

Selain karena krisis psikososial dan kepuasan psikologis, perilaku merokok pada remaja

juga dapat timbul karena pengaruh emosi yang menyebabkan seorang individu mencari relaksasi.

Merokok dianggap dapat memudahkan berkonsentrasi, memperoleh pengalaman yang

menyenangkan, relaksasi, dan mengurangi ketegangan atau stres (Aritonang dalam Komalasari &

Helmi, 2000). Saat ini para remaja menghadapi berbagai tuntutan, harapan, resiko-resiko, dan

godaan-godaan yang nampaknya lebih banyak dan kompleks daripada yang dihadapi para remaja

generasi sebelumnya. Semua ini sangat berpotensi menyebabkan remaja merasa tertekan dan

stres. Remaja yang mengalami stres ini sangat mungkin mengembangkan perilaku merokok

sebagai suatu cara untuk mengatasi stres yang mereka hadapi karena kurangnya perkembangan

ketrampilan menghadapi masalah secara kompeten dan pengambilan keputusan yang

bertanggung jawab (Santrock, 2002). Hal ini sesuai dengan riset yang dilakukan oleh Koalisi Untuk

Indonesia Sehat (KuIS) terhadap 3.040 remaja di Jakarta yang menghasilkan temuan bahwa

perilaku merokok dengan motif meringankan ketegangan dan stres menempati urutan tertinggi,

yakni 54,59 persen (http://lifestyle.okezone.com).

Page 5: Teori Perilaku Merokok

Keterhubungan antara perilaku merokok dan stres telah diteliti oleh para ahli sejak tiga

dekade yang lalu. Fink (2007) mencatat bahwa terdapat beberapa penemuan yang

mengindikasikan bahwa secara klinis dan teoritis memang terdapat hubungan yang signifikan

antara perilaku merokok, stres, dan coping. Individu dengan masalah psikiatri seperti

gangguan major depressive, berbagai macam gangguan kecemasan, schizophrenia, gangguan

kepribadian antisosial, dan individu dengan trait kepribadian tertentu yang menyebabkan mereka

lebih sering mengalami distres pribadi lebih mungkin untuk merokok. Contohnya, trait

kepribadian neuroticism (kecenderungan umum untuk mengalami perasaan negatif dan stres)

ternyata berhubungan dengan tingginya prevalensi perilaku merokok. Beberapa hasil penelitian

terhadap keluarga, saudara kembar, dan molekul genetis memperlihatkan bahwa faktor genetis

memainkan peran penting dalam perilaku merokok dan respon terhadap stres. Lebih lanjut dapat

dijelaskan bahwa terdapat banyak gen yang berperan ganda, mempengaruhi seorang individu

untuk merokok dan membuat seorang individu cenderung mengembangkan trait kepribadian dan

gangguan psikiatri yang berhubungan dengan stres. Perilaku merokok juga seringkali digunakan

sebagai cara untuk mengatasi stres meskipun merokok bukanlah cara coping yang sehat atau

menguntungkan (Wills & Cleary dalam Davison, 2006). Seorang mantan perokok seringkali

memutuskan untuk mulai merokok lagi ketika mereka mengalami stres karena kebanyakan

perokok telah belajar bahwa merokok merupakan cara untuk mengurangi stres (Brandon, 2000).

Hal ini berarti bahwa perilaku merokok akan terjadi dan akan dialami sebagai sebuah

ganjaran (reward) bagi para perokok (Fink, 2007).

1.

Page 6: Teori Perilaku Merokok

1. Faktor Lingkungan

Bandura dalam teori social learning berasumsi bahwa perilaku dan sistem nilai seorang

remaja terbentuk oleh sekumpulan interaksi yang kompleks antara hubungan-hubungan sosial

interpersonal. Perilaku bermasalah pada remaja, termasuk merokok, merupakan hasil interaksi

antara variabel interpersonal seperti kepribadian, sikap, dan perilaku, dengan sistem lingkungan,

termasuk lingkungan keluarga dan teman sebaya (Jessor & Jessor dalam Richardson dkk, 2002).

Faktor lingkungan keluarga meliputi struktur keluarga, riwayat, pola hubungan orang tua-

anak, pola asuh, dan perilaku merokok orang tua. Struktur keluarga memainkan peran yang cukup

signifikan dalam hal ini, misalnya dalam sebuah penelitian terungkap bahwa perceraian orang tua

meningkatkan resiko perilaku ini (Gil dkk dalam Gullota & Adams, 2005). Di samping struktur

keluarga, riwayat keluarga juga memainkan peran yang tidak kalah pentingnya. Keluarga dengan

riwayat perilaku kejam, penyia-nyiaan, dan pengabaian berkontribusi terhadap pemakaian dan

penyalahgunaan zat pada remaja, termasuk perilaku merokok. Pola interaksi dan hubungan dalam

sebuah keluarga merupakan faktor yang juga berkontribusi terhadap perilaku merokok, misalnya

dalam keluarga dengan tingkat peraturan dan pengawasan yang lebih ketat akan menurunkan

tingkat perilaku merokok secara signifikan (Guo dkk dalam Gullota & Adams, 2005). Pola asuh

adalah faktor lain yang mempengaruhi perilaku merokok. Secara lebih spesifik dapat dijelaskan

bahwa perilaku merokok berhubungan dengan pola asuh permisif dan rendahnya tingkat

kelekatan. Selain itu, penelitian-penelitian terdahulu menghasilkan temuan bahwa perilaku

merokok orang tua mempunyai pengaruh yang kuat terhadap perilaku merokok remaja. Conrad,

Flay, dan Hill (dalam Richardson dkk, 2002) menemukan bahwa 7 dari 13 penelitian yang direview,

perilaku merokok orang tua secara signifikan menjadi prediktor munculnya perilaku merokok pada

usia remaja.

Perilaku merokok juga dapat disebabkan oleh pengaruh kelompok sebaya (peer

group). Kelompok sebaya seringkali menjadi faktor utama dalam masalah penggunaan zat oleh

remaja (Richardson dkk, 2002). Selama masa remaja, seorang individu mulai menghabiskan lebih

banyak waktu dengan teman sebayanya daripada dengan orang tua. Hal ini berarti bahwa teman

sebaya mempunyai peran yang sangat berarti bagi remaja, karena masa tersebut remaja mulai

memisahkan diri dari orang tua dan mulai bergabung pada kelompok sebaya. Kebutuhan untuk

diterima sering kali membuat remaja berbuat apa saja agar dapat diterima kelompoknya dan

terbebas dari sebutan “pengecut” dan “banci” (Komalasari & Helmi, 2000). Memiliki teman-teman

yang merokok memprediksi kebiasaan merokok pada seorang individu (Davison dkk, 2006). Sikap

teman sebaya terhadap penggunaan berbagai zat termasuk nikotin dapat mempengaruhi individu

untuk menggunakan zat tersebut. Dalam sebuah penelitian longitudinal ditemukan bahwa para

pemuda New York yang pernah berhubungan dengan teman sebaya yang merokok atau memakai

mariyuana lebih mungkin untuk memakai mariyuana dalam rentang kehidupan mereka (Brook dkk

dalam Gullota & Adams, 2005). Harlianti (dalam Komalasari & Helmi, 2000) menemukan bahwa

lingkungan sebaya memberikan sumbangan efektif sebesar 33,048%. Dalam penelitian lain

terungkap bahwa identifikasi kelompok sebaya di kelas 7 memprediksi kebiasaan merokok di kelas

8. Meskipun pengaruh teman-teman sebaya adalah penting dalam pengambilan keputusan yang

dilakukan para remaja untuk menggunakan suatu zat, namun mereka yang memiliki rasa

efektivitas diri yang tinggi menjadi kurang terpengaruh oleh teman-teman sebaya mereka. Para

remaja yang memiliki kualitas tersebut setuju dengan pernyataan seperti “Saya dapat

membayangkan diri saya menolak memakai tembakau bersama pelajar seusia saya dan mereka

tetap menyukai saya (Stacy dkk dalam Davison dkk, 2006).

Page 7: Teori Perilaku Merokok

Di samping karena pengaruh teman sebaya dan lingkungan keluarga, perilaku merokok

juga dapat muncul sebagai akibat dari iklan di media massa. Iklan rokok di berbagai tempat dan

media massa yang saat ini makin merajalela sangat menarik bagi para remaja (Widiyarso, 2008).

Menurut López dkk (2004), beberapa penelitian telah menghasilkan temuan adanya hubungan

yang cukup signifikan antara keterpaparan terhadap iklan rokok dengan perilaku merokok pada

remaja. Melihat iklan di media massa dan elektronik yang menampilkan gambaran bahwa perokok

adalah lambang kejantanan atau glamour, membuat remaja seringkali terpicu untuk mengikuti

perilaku seperti yang ada dalam iklan tersebut (Mu’tadin, 2002). Iklan rokok Joe Camel telah

dituduh bertanggung jawab menyebabkan 3,5 juta anak-anak di Amerika untuk merokok antara

tahun 1988-1998 (Pierce dkk dalam López dkk, 2004). Iklan rokok terbukti dapat menghambat

usaha orang tua melarang anak-anak mereka untuk tidak merokok dan mempengaruhi perilaku

anak-anak muda untuk tetap merokok meski orang tua mereka melarangnya (Mu’tadin, 2002).

1.

Page 8: Teori Perilaku Merokok

1. Faktor Demografis

Demografis berarti variabel-variabel kependudukan, termasuk distribusi geografis, statistik

vital, situasi fisik, dan seterusnya (Chaplin, 2005). Beberapa faktor demografis yang berhubungan

dengan perilaku merokok adalah usia, jenis kelamin, ras dan etnis, serta tingkat sosial ekonomi.

Dalam sebuah penelitian terhadap para remaja didapatkan temuan bahwa remaja berusia

16-17 tahun mempunyai kemungkinan lima kali lebih besar untuk merokok (dengan prevalensi

sebesar 48,2% pada remaja pria dan 47,6% pada remaja putri) dibandingkan remaja berusia 11-12

tahun (dengan prevalensi sebesar 9,4% pada remaja pria dan 12,8% pada remaja putri) (Rachiotis

dkk, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa prevalensi merokok lebih tinggi pada kelompok usia

tertentu.

Selain faktor usia, jenis kelamin mempunyai hubungan yang cukup signifikan dengan

perilaku merokok. Rachiotis dkk (2008) mencatat bahwa dalam berbagai penelitian telah

terungkap kecenderungan yang lebih tinggi pada pria untuk merokok dibanding perempuan.

Namun pada beberapa negara tertentu, prevalensi perilaku merokok pada remaja putri lebih tinggi

daripada remaja putra seperti di Swedia (13,7% vs 5,5%), Norwegia (19.9% vs 15.4%), Austria

(24.7% vs 19.5%), Belgia (19.0 vs16.8%) dan Finlandia (18.0 vs 16.4), sementara pada negara-

negara lain (seperti Yunani, Jepang, Malawi, dan Etiopia) prevalensi perilaku merokok tetap lebih

tinggi pada remaja pria.

Penelitian menunjukkan signifikansi ras dan etnis dalam masalah perilaku merokok pada

remaja (Ellickson dkk, 2004 dan Davison dkk, 2006). Orang kulit putih dan hispanik mempunyai

kecenderungan lebih besar untuk merokok dan mulai merokok pada usia lebih muda dibanding

orang-orang Afrika Amerika. Sementara orang Asia memperlihatkan tingkat perilaku merokok yang

lebih rendah dibanding orang kulit putih dan Hispanik. Perbedaan perilaku merokok antar etnis ini

dipengaruhi oleh setidaknya empat faktor psikososial, yaitu: pertalian sosial (keluarga, sekolah,

agama), pengaruh lingkungan yang mendukung perilaku merokok, penanganan masalah-masalah

yang berhubungan dengan perilaku, dan sikap mendukung perilaku merokok. Dibandingkan orang

kulit putih, orang Hispanik dan Asia menunjukkan tingkat kelekatan terhadap keluarga yang lebih

tinggi, dan orang Asia menunjukkan komitmen yang lebih besar terhadap pencapaian prestasi

akademis yang berakibat menjadikan mereka tidak mudah terpengaruh oleh sikap lingkungan

yang mendukung perilaku merokok. Orang Afrika Amerika mempunyai keterikatan yang kuat

dengan agama dan sikap orang tua lebih cenderung menolak rokok, sebaliknya orang kulit putih

biasanya mempunyai lebih banyak teman yang merokok dan menerima dengan begitu saja apa

yang mereka lakukan sehingga mereka lebih mudah terpengaruh oleh perilaku merokok teman

sebaya dan orangtua. (Ellickson dkk, 2004). Selama bertahun-tahun telah diketahui bahwa para

perokok etnis Afrika Amerika mempunyai kemungkinan lebih kecil untuk berhenti merokok dan

lebih mungkin, jika mereka tetap mempertahankan kebiasaannya, menderita kanker paru-paru

karena nikotin tersimpan di dalam darah mereka untuk waktu yang lebih lama dibanding orang-

orang kulit putih, yang berarti mereka memetabolisasi nikotin lebih lambat. Juga diketahui bahwa

etnis Afrika Amerika menghirup jauh lebih banyak nikotin dari setiap rokok yang dihisap karena

mereka lebih sedikit menghembuskan asap dan menghisap rokok lebih dalam (Davison dkk, 2006).

Page 9: Teori Perilaku Merokok

Status sosial ekonomi yang terdiri dari tingkat pekerjaan, pendidikan dan penghasilan juga

mempunyai hubungan yang cukup signifikan dengan perilaku merokok. Pada banyak negara

berkembang, prevalensi perilaku merokok menjadi lebih besar pada kelompok sosial ekonomi

rendah (Cavelaars dkk dalam Paavola dkk, 2004). Dalam sebuah penelitian di Finlandia Timur

terungkap bahwa anak-anak dari para pekerja kerah biru (buruh) lebih banyak yang merokok

dibandingkan anak-anak dari para pekerja kerah putih (pegawai kantor) atau petani. Dalam

penelitian ini juga ditemukan bahwa status sosial ekonomi khususnya tingkat pendidikan

mempunyai keterhubungan yang kuat dengan perilaku merokok. Pada subjek kelompok usia 13

tahun, 10% anak-anak yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi merokok

sementara pada anak-anak yang melanjutkan hanya 4% yang merokok. Pada subjek kelompok usia

28 tahun, 63% persen subjek yang hanya mengenyam pendidikan wajib merokok sementara yang

mengenyam bangku kuliah hanya 12% yang merokok. Dari ketiga variabel, satu-satunya variabel

sosial ekonomi yang tidak berhubungan secara signifikan dengan perilaku merokok adalah tingkat

penghasilan (Paavola dkk, 2004). Seperti hasil penelitian Paavola dkk, Rachiotis dkk (2008) dalam

penelitian lain menemukan bahwa usia yang semakin tua, jenis kelamin pria, tingkat pendidikan

orang tua yang semakin rendah, dan ketersediaan uang saku yang cukup banyak pada masa

remaja berhubungan secara signifikan dengan perilaku merokok saat ini. Secara lebih spesifik

dapat dijelaskan bahwa anak-anak dari ayah yang mengenyam pendidikan lebih tinggi lebih kecil

kemungkinannya untuk merokok dibanding anak-anak dari ayah yang hanya mengenyam

pendidikan dasar. Ini berarti bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seorang ayah, semakin

jarang anak mereka yang menjadi perokok. Lebih lanjut dapat dijelaskan bahwa status sosial

ekonomi, khususnya tingkat pendidikan sang ayah lebih berpengaruh terhadap perilaku remaja

dibanding tingkat pendidikan sang ibu. Sementara dari penelitian Scragg (2002) yang dilakukan

terhadap para remaja di Selandia Baru diketahui bahwa perilaku merokok berkorelasi positif

dengan jumlah uang saku yang diterima, namun tergantung pada status sosial ekonomi. Kelompok

remaja dengan status sosial ekonomi rendah yang menerima uang saku lebih dari 30 dolar dalam

30 hari terakhir merupakan kelompok yang paling besar kemungkinannya untuk merokok.

Berbagai temuan tersebut mengindikasikan bahwa perilaku merokok sangat erat hubungannya

dengan status sosial ekonomi.

1. Tahap-Tahap Perilaku Merokok

Pada dasarnya perilaku merokok merupakan sebuah perilaku yang kompleks yang

melibatkan beberapa tahap. Perilaku merokok pada remaja umumnya melalui serangkaian

tahapan yang ditandai oleh frekuensi dan intensitas merokok yang berbeda pada setiap tahapnya

(Mathew dkk dalam Richardson, 2002), dan seringkali puncaknya adalah menjadi tergantung pada

nikotin. Menurut Leventhal & Cleary (1980) terdapat 4 tahap dalam perilaku merokok sehingga

seorang individu benar-benar menjadi perokok, yaitu:

a. Tahap Preparation

Page 10: Teori Perilaku Merokok

Pada tahap ini, seorang individu mendapatkan gambaran yang menyenangkan mengenai

merokok. Anak-anak mengembangkan sikap terhadap rokok dan sebelum mencobanya mereka

sudah mempunyai gambaran seperti apa merokok itu. Sikap ini merupakan sesuatu yang penting

dalam perkembangan kebiasaan merokok nantinya. Dalam sebuah penelitian, pernyataan yang

dimaksudkan untuk mencoba rokok terbukti menjadi prediktor terbaik bagi terbentuknya perilaku

merokok selanjutnya. Tahap persiapan (prepatory stage) melibatkan persepsi tentang apa yang

dilibatkan dalam merokok dan apa fungsi merokok. Para siswa sekolah berbeda dalam

mendeskripsikan ciri kepribadian perokok dan non-perokok; mereka menganggap perokok sebagai

orang yang bodoh, ceroboh, kuat, santai, malas, lebih sering mengalami masalah, dan sebagainya.

Menariknya, beberapa anak yang merokok memandang diri mereka memiliki ciri-ciri tersebut.

Mengapa gambaran ini menjadi pendorong untuk merokok? Kemungkinannya adalah merokok

memberikan kesan kuat, sebuah kemampuan untuk menyatakan dorongan, bebas dari

cengkeraman kekuasaan. Anak yang kurang berhasil di sekolah, lebih banyak melawan, dan suka

melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan orangtua atau tradisi, akan lebih mungkin

tertarik untuk merokok pada usia kanak-kanak dan mulai menggunakan rokok sebagai simbol

bahwa dirinya adalah kuat, keren, bebas dari cengkeraman kekuasaan, sebagaimana mereka akan

memakai obat-obatan untuk selanjutnya.

Anak-anak muda yang menganggap diri mereka sebagai orang yang bebas mungkin

merokok bukan untuk menuruti tekanan teman sebaya. Anak muda yang merokok untuk pertama

kalinya karena dorongan teman-temannya mungkin memiliki alasan yang berbeda pada tahap

persiapan. Beberapa dari mereka mungkin merasa cemas dan tidak mampu sehingga mereka

merokok untuk bisa diterima secara sosial dan menjadi bagian dari gang. Beberapa orang mulai

mencoba rokok adalah untuk mengendalikan emosi seperti kecemasan kerja. Merokok mungkin

dianggap dapat meningkatkan performansi dalam ujian dan memperbesar kesempatan seseorang

untuk meraih prestasi akademik. Hal-hal tersebut mungkin merupakan sesuatu yang penting bagi

orang-orang yang mulai merokok pada usia-usia remaja akhir atau dewasa awal, suatu jenis

perilaku merokok yang banyak ditemui pada mahasiswa kedokteran dan mahasiswa-mahasiswa

lainnya.

b. Tahap Initiation

Tahap initiation adalah tahap ketika seseorang benar-benar merokok untuk pertama

kalinya. Tahap ini merupakan tahap kritis bagi seseorang untuk menuju tahap becoming a

smoker. Pada tahap ini, seorang individu akan memutuskan untuk melanjutkan percobaannya atau

tidak. Meskipun rasa serak yang timbul ketika pertama kali mencoba rokok merupakan faktor

penting yang mendasari keputusan ini, tampaknya tidak mungkin bahwa perbedaan individu dalam

hal respon fisiologis terhadap rokok dan terhadap rasa panas dapat dipandang sebagai alasan

utama bagi mereka yang ingin berhenti dan tidak menginginkannya. Timbulnya rasa sakit tidaklah

cukup jadi alasan untuk menghentikan atau meneruskan sebuah perilaku, bagaimana rasa sakit itu

didapatkan hendaknya juga dijelaskan, contohnya, tanda berupa rasa sakit dan tanda bahaya pada

diri seseorang merupakan hal penting yang mendorongnya untuk mencari nasihat medis dan

menganggap dirinya sedang menghadapi sebuah risiko. Sensasi berbahaya yang dirasakan oleh

tubuh namun ditafsiri sebagai sesuatu yang tidak berbahaya lama-lama akan menjadi sesuatu

yang biasa dan berakibat pada diabaikannya sensasi tersebut. Hal tersebut memainkan peran

penting dalam adaptasi perilaku merokok.

Page 11: Teori Perilaku Merokok

Seiring dengan berjalannya waktu, jelas akan ada perkembangan toleransi yang bersifat

fisiologis terhadap efek merokok. Pengalaman merokok, menjadi waspada, santai, dan segar yang

dialami sehari-hari dapat menjadi fakta yang nyata bahwa merokok memang bermanfaat. Rasa

sakit yang tidak terlalu kentara yang timbul ketika pertama kali mencoba rokok, seperti rasa

terbakar, rasa kesat, sengatan rasa panas dan asap rokok, mungkin ditafsiri sebagai bukti bahwa

merokok memang tidak berbahaya. Keyakinan anak-anak bahwa merokok berbahaya bagi orang

lain dan orang-orang yang lebih tua dan bukan bagi diri mereka mungkin timbul dari pengalaman

adaptasi (penyesuaian).

c. Tahap Becoming a Smoker

Salber dkk (dalam Leventhal dan Cleary, 1980) menyatakan bahwa merokok empat batang

rokok sudah cukup membuat orang untuk merokok pada masa dewasa dan dapat membuat

mereka jadi tergantung melalui percobaan berulang dan pemakaian secara teratur. Data

menunjukkan bahwa 85%-90% orang yang merokok empat batang rokok akan merokok secara

teratur yang secara tidak langsung berarti bahwa percobaan merokok pada masa remaja akan

mendorong mereka untuk merokok ketika dewasa, baik ketika usia muda mereka ingin atau tidak

ingin menjadi perokok. Namun jelas bahwa banyak anak muda tidak sampai menghabiskan empat

batang rokok. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa 80-90% pemuda mencoba sedikitnya satu

batang rokok, dan proporsi perokok pada siswa SD, SMP, dan SMA jarang yang melebihi 50% dari

anak-anak yang mencoba rokok.

Page 12: Teori Perilaku Merokok

Sesungguhnya data yang ada tampak mendukung hipotesis bahwa dibutuhkan 2 tahun

atau lebih untuk menjadi seorang perokok berat (yang terus-menerus merokok) dihitung dari

waktu pertama kali merokok atau hanya kadang-kadang mencoba rokok: ini adalah

tahap becoming a smoker. Persentase pelajar yang merokok bertambah secara bertahap (7% pada

kelas 7 menjadi 46% pada kelas 11) dan jumlah rokok yang dikonsumsi juga meningkat secara

bertahap (1 batang seminggu 20 batang sehari), dengan peningkatan yang cukup tinggi pada

kelas 10, perempuan merokok 5-9 batang per hari dan pria merokok 10-19 batang per hari.

d. Tahap Maintenance of Smoking

Pada tahap ini merokok sudah menjadi bagian dari cara pengaturan diri (self-

regulating) seseorang dalam berbagai situasi dan kesempatan. Merokok dilakukan untuk

memperoleh efek fisiologis yang menyenangkan (Leventhal & Cleary, 1980). Efek dari perilaku

merokok terutama berkaitan dengan relaksasi dan kenikmatan sensoris. Nesbitt (dalam Christanto,

2005) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa orang yang merokok merasa rileks saat merokok

karena mereka mengatribusikan semua gejala yang muncul saat merokok ke dalam rokoknya.

Senada dengan Nesbitt, Daniel Horn, Direktur The National Clearing House for Smoking and

Health yang melakukan survei atas 5000 orang untuk mengetahui alasan-alasan mereka merokok

menemukan bahwa sebagian besar perokok (40-50%) merokok untuk meringankan kecemasan

dan ketegangan, sedangkan lainnya karena ingin memunculkan efek stimulan (perangsang), iseng-

iseng, dan merasa santai (Psikologi Indonesia Forum, 2006). Karch (1998) yang meneliti efek

nikotin terhadap kemampuan sensoris, motorik, perhatian, dan kognitif menemukan bahwa nikotin

tidak berpengaruh terhadap kemampuan sensoris seseorang, namun mampu meningkatkan

performa motorik, perhatian, dan kognitif. Lebih spesifik dapat dijelaskan bahwa dalam hal

performa motorik, nikotin mampu meningkatkan tingkat ketukan jari tangan dan keseimbangan

tangan. Sedangkan dalam kemampuan perhatian dan fungsi kognitif, nikotin meningkatkan

kecepatan waktu reaksi dan menurunkan tingkat kesalahan dalam merespon tugas-tugas yang

membutuhkan perhatian. Dalam eksperimen dengan tugas belajar kata-kata berpasangan, nikotin

dapat meningkatkan jumlah kata yang harus diingat, meningkatkan pengenalan terhadap ingatan,

mengurangi jumlah kesalahan, mengoptimalkan tingkat keterjagaan, dan mempercepat waktu

reaksi dalam tes ingatan Sternberg.

Pemahaman tentang fungsi pengaturan sebuah perilaku mungkin penting untuk

pengembangan teknik pengurangan dan penghentian merokok yang mampu bertahan lama.

Faktor-faktor yang berperan dalam menetapnya perilaku merokok telah diselidiki, baik melalui

pendekatan psikologis maupun biologis. Sayangnya, dua pendekatan ini sering disajikan sebagai

sesuatu yang berbeda, yaitu fungsi-fungsi psikologis terlibat tidak lebih untuk menyelidiki laporan

tentang kepuasan merokok yang dirasakan oleh perokok, sementara penelitian-penelitian biologi

lebih banyak menjabarkan mekanisme fisiologis yang mendasari perilaku merokok. Sebenarnya

dua pendekatan tersebut saling melengkapi dalam menjelaskan masalah yang sama. Tidak

mungkin seseorang mampu menjelaskan mekanisme biologis dalam perilaku merokok jika dia

tidak bisa menjelaskannya secara psikologis: Analisa biologis seringkali mengikuti bentuk analisa

psikologis. Paling tidak, analisa psikologis dapat mempertajam pandangan tentang proses-proses

yang mendasari sebuah respon dan membantu menjelaskan individu serta pada keadaan apa dia

merokok mungkin mencerminkan suatu proses tertentu yang dapat menjelaskan suatu mekanisme

biologis (Leventhal & Cleary, 1980). Dengan diketahuinya tahap-tahap terbentuknya perilaku

merokok ini maka diharapkan dapat dikembangkan strategi untuk mengendalikan perilaku

merokok pada remaja.

DAFTAR RUJUKAN:

Aritonang, M.E.R. 1997. Fenomena Wanita Merokok. Skripsi Tidak Diterbitkan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada.

Page 13: Teori Perilaku Merokok

Atkinson, Rita L; Atkinson, Richard C.; Smith, Edward E. dan Bem, Darly J. Tanpa tahun. Pengantar Psikologi. Batam:

Interaksara.

Brandon, Ph.D., Thomas. 2000. Smoking, Stress, and Mood. H. Lee Moffit Cancer Center and Research Institute at the

University of South Florida.

Chaplin, J.P. 2005. Kamus Lengkap Psikologi. Jakarta. Rajawali Pers.

Christanto, A. 2005. Merokok: Antara Ya dan Tidak (Suatu Kajian Praktis Filsafat Ilmu), (online),

(http://www.mailarchive.com/dokter@yahoo- groups.com/msg0035.html, diakses 1 Maret

2009).

Cohen, Sheldon & Lichtenstein, Edward. 1990. Perceived Stress, Quitting Smoking, and Smoking

Relaps. Health Psychology, 9(4): 466-478.

Davison, Gerald C.; Neale, John M. and Kring, Ann M. 2006. Psikologi Abnormal (Edisi ke-9). Jakarta:

PT. RajaGrafindo Persada.

Ellickson, Ph.D, Phyllis L.; Orlando, Ph.D, Maria; Tucker, Ph.D, Joan S. and Klein MS, David J. 2004.

From Adolescence to Young Adulthood: Racial/ Ethnic Disparities in Smoking. American

Journal of Public Health, 94(2): 293-299.

Enggarsasi, Aries. 2008. Perbedaan Tingkat Stres Antara Mahasiswa Berkepribadian Extrovert Dan

Introvert Dalam Pengerjaan Skripsi. Skripsi Tidak Diterbitkan. Malang: Universitas Negeri

Malang.

Fink, George. 2007. Encyclopedia of Stress Vol I. 2nd ed. San Diego: Academic Press.

Fink, George. 2007. Encyclopedia of Stress Vol II. 2nd ed. San Diego: Academic Press.

Gullotta, Thomas P. & Adams, Gerald R. 2005. Handbook of Adolescent Behavioral Problems:

Evidence-Based Approaches to Prevention and Treatment. New York: Springer Science.

Hurlock, B.Elizabeth. 1999. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang

Kehidupan. Terjemahan oleh Istidawanti & Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.

Karch, M.D., Steven B. 1998. Drug Abuse Handbook. New York: CRC Press.

Komalasari, Dian & Helmi, Avin Fadilla. 2000. Faktor-Faktor Penyebab Perilaku Merokok Pada

Remaja. Jurnal Psikologi, 28: 37-47.

Leventhal, Howard & Cleary, Paul D. 1980. The Smoking Problem: A Review of the Research and

Theory in Behavioral Risk Modification. Psychological Bulletin, 80(2): 370-405.

López, M. Luisa; Herrero, Pablo; Comas, Angel; Leijs, Ingrid; Cueto, Antonio; Charlton, Anne;

Markham, Wolf and Vries, Hein de. 2004. Impact of Cigarette Advertising on Smoking

Behaviour in Spanish Adolescents as Measured Using Recognition of Billboard

Advertising. European Journal of Public Health, 14(4): 428 432.

Mappiare, Andi. 1992. Pengantar Konseling dan Psikoterapi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Miller, Patricia H. 1993. Theories of Developmental Psychology. 3rd ed. New York: W. H. Freeman

and Company.

Page 14: Teori Perilaku Merokok

Monks, Prof. Dr. F.J. dkk. Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya. 2002.

Yogyakarta. Gajah Mada University Press.

Mu’tadin, Zainul. 2002. Remaja dan Rokok, (online),

(http://herbalstoprokok. wordpress.com/2009/02/04/remaja-dan-rokok, diakses 28 Februari

2009).

Paavola, Meri; Vartiainen, Erkki and Haukkala, Ari. 2004. Smoking From Adolescence to Adulthood, the Effects of Parental

and Own Socioeconomic Status.European Journal of Public Health, 14(4): 417-420.

Psikologi Indonesia Forum. 2006. Pengaruh terapi Hipnosa Terhadap intensitas Perilaku Merokok di

Kalangan Pria Dewasa Dini, (online), (http://groups. google.co.id/group/psikologi-indonesia-

forum/browse_thread/thread/6c3a8-daf8702f1f7/935da65c0ebf1f93%23935da65c0ebf,

diakses 3 Maret 2009)

Rachiotis, George; Muula, Adamson S; Rudatsikira, Emmanuel; Siziya, Seter; Kyrlesi, Athina;

Gourgouliani, Konstantinos and Hadjichristodoulou, Christos. 2008. Factors Associated With

Adolescent Cigarette Smoking in Greece: Results From A Cross Sectional Study (GYTS

Study). BMC Public Health, 8: 313.

Remaja Merokok, Salah Lingkungan?, (Online),

(http://lifestyle.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/09/12/27/145232/remaja-merokok-

salah-lingku-ngan, diakses 25 Februari 2009).

Richardson, Elizabeth E. Lloyd; Papandonatos, George; Kazura, Alessandra; Stanton, Cassandra and

Niaura, Raymond. 2002. Differentiating Stages of Smoking Intensity Among Adolescents:

Stage-Specific Psychological and Social Influences. Journal of Consulting and Clinical

Psychology, 70(4): 998-1009.

Santrock, John W. 2002. Life-Span Development: Perkembangan Masa Hidup. Jakarta: Penerbit

Erlanga.

Sari, Ari Tris Ochtia; Ramdhani, Neila dan Eliza, Mira. 2003. Empati dan Perilaku Merokok di Tempat

Umum. Jurnal Psikologi, 30: 81-90.

Scragg, Robert; Laugesen, Murray and Robinson, Elizabeth. 2002. Cigarette Smoking, Pocket Money and Socioeconomic

Status: Results From A National Survey of 4th Form Students in 2000. The New Zealand Medical Journal, 115.

Siziya, Seter; Rudatsikira, Emmanuel; and Muula, Adamson S. 2007. Cigarette Smoking Among School-Going Adolescents

in Kafue, Zambia. Malawi Medical Journal, 19(2): 75-78.

Siziya, Seter; Rudatsikira, Emmanuel; and Muula, Adamson S. 2008. Prevalence and Correlates of Current Cigarette

Smoking Among Adolescents in East Timor-Leste. Indian Pediatric, 45 : 963-968.

SSDC. 2000. Understanding Smoking Behavior, (online), (http://ssdc.ucsd.edu/ tobacco/reports/Chap3.pdf, diakses 3 Maret

2009).

Stevens, M. 2001. The Joy of Not Smoking, (online), (http://www.ubishops.ca/ccc/ div/soc/psy/Smokin01/Peers/body.htm,

diakses 4 Maret 2009).

Su’udiyah, Windawati. 2002. Hubungan Antara Sosial Ekonomi Orang Tua dan Penyesuaian Sosial

Siswa Kelas II SLTPN I Pajarakan. Probolinggo. Skripsi tidak diterbitkan. Malang: Universitas

Negeri Malang.

Page 15: Teori Perilaku Merokok

Taylor, Shelley E. 1991. Health Psychology, 2nd ed. Tokyo: Mc Graw-Hill.

Triyanti. 2006. Kebiasaan Merokok, (online), (http://triyanti.blogspot.com/2007/ 07/kebiasaan-

merokok.html, diakses 27 Februari 2009).

Wagiatiningsih, I.S. 2005. Persepsi Siswa SMA Terhadap Rokok dan Bahayanya Ditinjau dari Status

Remaja Sebagai Perokok dan bukan Perokok. Skripsi Tidak Diterbitkan. Malang: Universitas

Negeri Malang.

Widiyarso, Joko. 2008. Iklan Rokok Merajalela, Remaja Perokok Meningkat, (online),

(http://gudeg.net/news/2008/05/3595/Iklan-Rokok-Merajalela, Re-maja-Perokok-

Meningkat.html, diakses 3 Maret 2009).