teori new historisicm

17
MAKALAH ILMU SASTRA UMUM TEORI NEW HISTORISICM Disusun untuk memenuhi tugas presentasi Mata Kuliah Ilmu Sastra Umum yang diampu oleh Prof.Dr.Darni OLEH WINARTO RAHARJO NIM. 157835025 UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA PASCA SARJANA FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA JURUSAN S2 BAHASA ASING

Upload: winarto-raharjo

Post on 29-Jan-2016

245 views

Category:

Documents


11 download

DESCRIPTION

new historicism, teori sastra yang memandang sejajar antara karya sastra dan sejarah. Pertanyaan-pertanyaan yang ditanyakan oleh ahli sejarah tradisional dan oleh New Historicism cukup berbeda, hal itu dikarenakan dua pendekatan ini mempunyai pandangan yang sangat berbeda tentang apa itu sejarah dan bagaimana kita dapat mengetahuinya

TRANSCRIPT

Page 1: Teori New Historisicm

MAKALAH ILMU SASTRA UMUM

TEORI NEW HISTORISICM

Disusun untuk memenuhi tugas presentasi Mata Kuliah Ilmu Sastra Umum yang diampu oleh Prof.Dr.Darni

OLEHWINARTO RAHARJO

NIM. 157835025

UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA

PASCA SARJANA FAKULTAS PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA

JURUSAN S2 BAHASA ASING

KONSENTRASI PENDIDIKAN BAHASA JEPANG

2015

Page 2: Teori New Historisicm

TEORI NEW HISTORISICM

1. Perkembangan Teori Sastra

Perkembangan yang menyatakan bahwa karya sastra hanya berupa karya fiktif atau

rekaan imajinatif itu tidak terlepas dari arus pemikiran grand-narrative ilmu pengetahuan,

termasuk dalam hal ini yaitu perkembangan ilmu sastra itu sendiri. Sebagaimana

dikemukakan oleh Abrams (1981:1-8), bahwa pendekatan terhadap karya sastra diawali oleh

pendekatan yang berkaitan dengan alam semesta (teori mimetik Plato), kemudian dilanjutkan

pendekatan yang bersifat pragmatik (konsep dulce et utile dari Horace), lalu pendekatan yang

terfokus pada pengarangnya atau ekspresif (zaman Romantik), baru kemudian pendekatan

objektif (yang diwakili oleh strukturalisme).

Pendekatan-pendekatan terhadap karya sastra yang bersifat objektif inilah yang

mendasarkan analisis karya sastra hanya bertumpu pada karya sastra tersebut sebagai satu

kesatuan yang otonom, tanpa harus mengaitkannya dengan dunia atau masyarakat yang

menjadi representasinya, tanpa harus mengaitkannya dengan pengarangnya ataupun

pembacanya. Pendekatan objektif atau strukturalisme semacam ini diwakili oleh Formalisme

Rusia dan new criticism. Pendekatan ini menjadi trend yang dominan hingga kira-kira pada

pertengahan abad ke-20. Dengan demikian, karya seni atau sastra dalam konteks ini, tidak

dapat diajukan ke pengadilan mengingat karakteristiknya yang tidak harus dikaitkan dengan

latar belakang penulisannya, tidak harus dikaitkan ras, agama atau ideologi pengarangnya

ataupun kepada siapa saja pembacanya.

Perkembangan Teori Sastra pada Paruh Kedua Abad Ke-20 sebagaimana telah

dikemukkan di depan, menyatakan pergeseran orientasi teori dan kritik sastra itu bermula dari

mimetik, pragmatik, ekspresif hingga objektif yang mencapai puncak pengaruhnya pada

pertengahan abad ke-20. Akan tetapi, pada paruh kedua abad ke-20, pergeseran orientasi pada

teori dan kritik sastra tersebut berbalik arah, yakni dari perhatian pada teks sebagai sistem

yang otonom menuju pada kaitan antara sastra dengan konteks budaya yang melingkupinya.

Pergeseran itu bukan gerakan mundur ke belakang, melainkan sebagai perkembangan

akumulatif ilmu sastra yang bertumpu pada pengetahuan yang telah ditemukan sebelumnya

(Budianta, 2002:41-44).

2 | P a g e

Page 3: Teori New Historisicm

Dalam perkembangannya, teori-teori sastra mengikuti dua kecendrungan. Pertama,

yang berkecenderungan tekstual yakni teori-teori sastra yang merespon dan mendobrak teori-

teori objektif (new criticism, formalisme, strukturalisme) tetapi tetap memakai konsep-

konsep strukturalisme sebagai kerangka acuannya. Teori-teori yang termasuk dalam

kelompok ini adalah dekonstruksi dan teori psikoanalisis Lacan. Kedua, yang

berkecenderungan politis/sosiologis yakni teori-teori mutakhir yang menerapkan kajiannya

dalam wilayah yang lebih luas, yakni melihat sastra dalam kaitannya dengan berbagai

dinamika sosial, budaya, politik, dan ekonomi. Yang termasuk dalam teori-teori ini antara

lain neomarxis, teori postkolonial, new historiscism, dan kajian budaya. Teori-teori feminis

yang berkembang setelah strukturalisme berkembang melalui dua arah, ada yang mengikuti

kecenderungan pertama, seperti yang dikembangkan di Prancis oleh Julia Kristeva, Helene

Xicous dan lain-lainnya dengan merevisi teori-teori Lacan. Yang mengikuti kecenderungan

kedua, yakni menggabungkan permasalahan feminis dengan masalah ras, etnis dan kelas,

berkembang lebih subur di Amerika, Inggris, dan Australia. Demikian pula teori-teori wacana

seperti yang dikembangkan Foucault kemudian Edward Said, berada di antara dua kutub

tersebut. Teori wacana Foucault lebih condong ke yang pertama, sedangkan Edward Said ke

yang kedua.

Dalam skema Abrams, pergeseran dari orientasi mimetik ke objektif merupakan

periodisasi teori sastra yang berlangsung secara silih berganti dan berlangsung selama

beberapa abad. Di pihak lain, teori-teori sastra yang berkembang setelah strukturalisme dalam

paruh abad ke-20 merupakan perkembangan yang cepat dan tidak meniadakan satu dengan

lainnya. Artinya, hingga awal abad ke-21 berbagai macam teori yang telah disebutkan di atas

saling bersaing, mempengaruhi dan meminjam satu sama lain. Yang menjadi trend pada

waktu tertentu yaitu yang paling akhir muncul. Dalam konteks saat ini, trend yang mutakhir

yaitu cultural studies.

Dari kecenderungan yang ada, orientasi kritik yang dominan adalah teori yang melihat

kaitan sastra dengan konteks (sosial/politik/ekonomi) yang melingkupinya. Dalam

putarannya kembali dari mengkaji teks secara otonom dan mengaitkannya ke konteks yang

melingkupinya, teori-teori sastra setelah strukturalisme secara umum memberikan

pemaknaan baru tentang apa yang disebut karya sastra, pengarang, pembaca, dan kenyataan

atau realitas semesta yang menjadi acuannya. Konsep-konsep tersebut berbeda dengan apa

yang dikemukakan Abrams (Budianta, 2002:41-44).

3 | P a g e

Page 4: Teori New Historisicm

2. Teori New Historicism

Dari sekian teori yang berkembang, teori yang akan kita bahas adalah teori new

historicism, teori sastra yang memandang sejajar antara karya sastra dan sejarah. Pertanyaan-

pertanyaan yang ditanyakan oleh ahli sejarah tradisional dan oleh New Historicism cukup

berbeda, hal itu dikarenakan dua pendekatan ini mempunyai pandangan yang sangat berbeda

tentang apa itu sejarah dan bagaimana kita dapat mengetahuinya.

New Historicism berhubungan dengan Traditional Historicism, mendapat nama yang

lebih lengkap, yakni New American Historicism, yang merupakan sebuah revolusi dari

American Historicism. Bagi Traditional Historicism, yang berkembang pada pertengahan

abad 19 dan awal abad 20, sejarah adalah serangkaian peristiwa yang mempunyai hubungan

linier, kausal; Peristiwa A menyatakan peristiwa B; peristiwa B menyebabkan peristiwa C,

dan lain- lain. Lagi pula, mereka menyakini kita sangat mampu, melalui analisis objektif,

mengungkapkan fakta tentang peristiwa sejarah, dan fakta-fakta tersebut kadang-kadang

mengungkapkan semangat zaman, yaitu, pandangan dunia yang dimiliki oleh kebudayaan

yang diacu oleh fakta-fakta itu. Memang, beberapa laporan sejarah tradisional yang sangat

terkenal telah memberikan konsep kunci yang akan menerangkan pandangan dunia populasi

sejarah tertentu. Sebaliknya, New Historicism yang berkembang sekitar tahun 1980-an tidak

percaya kita mempunyai akses yang jelas ke fakta mana pun, kecuali fakta yang paling dasar

dari sejarah. Alasannya adalah bahwa ketidakmungkinan dilakukannya analisis objektif,

karena ahli sejarah hidup pada tempat, waktu, dan kebudayaan yang berbeda dan perbedaan

tersebut memberikan pengaruh kepada mereka.

Bagi New Hisotricism pemahaman kita tentang apa artinya fakta-fakta seperti itu,

tentang bagaimana fakta-fakta itu sesuai dalam jaringan kompleks ideologi yang bersaing dan

agenda – agenda sosial, politik, dan kultural yang bertentangan dengan waktu dan tempat di

mana itu terjadi merupakan masalah penafsiran, bukan fakta. Bahkan ketika ahli sejarah

tradisional percaya mereka bersandar pada fakta, cara mereka mengkontekstualisasikan fakta-

fakta tersebut ( termasuk fakta mana yang dipandang cukup penting untuk dilaporkan dan

yang mana yang harus dibuang ) menetukan cerita apa yang akan diceritakan oleh fakta-fakta

itu. Dari perspektif ini, tidak ada hal seperti presentasi fakta; hanya ada penafsiran. Lagi pula,

New Historicism mengungkapkan bahwa penafsiran yang dapat dipercaya sulit untuk

dihasilkan karena sejumlah alasan.

4 | P a g e

Page 5: Teori New Historisicm

New Historicism, menolak marjinalisasi sastra historisisme tradisional. Teks sastra

tidak mewujudkan maksud penulis atau mengilustrasikan semangat zaman yang

menghasilkannya, seperti ditegaskan ahli sejarah sastra tradisional. Teks sastra juga bukan

objek seni yang sanggup mencukupi keperluannya sendiri yang melebihi waktu dan tempat di

mana teks itu ditulis seperti diyakini Kritikus Baru. Teks sastra adalah artefak budaya yang

dapat menceritakan kepada kita sesuatu tentang wacana yang saling mempengaruhi, jaringan

makna sosial yang bekerja dalam waktu dan tempat di mana teks ditulis. Bagi New

Historicism, teks sastra dan situasi sastra sama pentingnya karena teks (karya sastra ) dan

konteks (kondisi sejarah yang menghasilkannya) saling konstitutif: mereka manciptakan satu

sama lain. Seperti interplay yang dinamis antara identitas individu dan masyarakat, teks sastra

membentuk dan dibentuk oleh konteks sejarahnya.

Berdasarkan pandangan tersebut, Greenblatt (2000:168-169; Tyson 1999:295)

menunjukkan beberapa permasalahan yang muncul dalam kajian budaya dan juga New

Historicism. Pertama, prilaku atau budaya yang dikukuhkan dalam teks. Kedua, kenapa

pembaca menganggap karya tersebut bermakna. Ketiga, perbedaan nilai kritikus dengan nilai

teks. Keempat, pemahaman sosial yang melatari teks. Kelima, kebebasan pikiran yang

dibayangkan dalam teks secara eksplisit maupun implisit. Keenam, pandangan atau ideologi

yang didukung atau ditentang oleh teks.

Maka perbedaan antara Traditional Historicism dengan New Historicism adalah pada

cara pandang terhadap sebuah karya sastra yang tidak hanya sebagai produk personal namun

juga sebagai produk impersonal yang bahkan mungkin mampu mempengaruhi budaya pada

saat karya tersebut ditulis atau diterbitkan.

New Historicism dalam bidang sastra merupakan sumbangan besar dari penelitian-

penelitian tokoh Amerika bernama Stephen Greenblatt. Menurut Newton (2004:152),

Greenblatt merupakan tokoh penganut antiesensialisme. Kodrat manusia ditentukan oleh

budayanya. Sistem budaya menciptakan individu-individu yang khas. Sistem budaya tersebut

secara abstrak menentukan arah untuk membentuk suatu wujud sejarah.

Teori New Historicism merupakan salah satu teori sastra yang berkembang setelah era

strukturalisme, teori yang muncul dalam dua dekade terakhir abad ke-20 bersama teori-teori

lain seperti postruktural, poskolonial, ataupun kajian budaya. Menurut Budianta (2006:2),

Greenblatt mendobrak kecenderungan kajian tekstual formalis dalam tradisi New Criticism

yang bersifat ahistoris, yang melihat sastra sebagai wilayah estetik yang otonom, dipisahkan

dari aspek-aspek yang dianggap berada di”luar” karya tersebut. Sebaliknya Greenblatt

5 | P a g e

Page 6: Teori New Historisicm

menekankan kaitan antara teks dan sejarah. New Historicism menawarkan perspektif kajian

sastra yang tidak bisa dilepaskan dari praktis-praktis sosial, ekonomi dan politik karena ia

ikut mengambil bagian di dalamnya. Semua teks, baik sastra maupun non sastra, merupakan

produk dari zaman yang sama dengan berbagai pertarungan kuasa dan ideologi, sehingga

New Historicism mengaitkan antara teks sastra dengan nonsastra.

New Historicism tidak lepas dari perkembangan pemikiran poststrukturalis.

Strukturalisme yang memiliki pandangan adanya makna yang objektif dalam sebuah karya

sastra mulai diragukan. Mereka, kaum poststrukturalis, mulai melihat pluralitas dan menolak

sistem yang dikukuhkan oleh kaum strukturalisme. Menurut sarup (2008:141), landasan

filosofis tersebut diilhami oleh pemikiran Nietzsche. Menurut tokoh filsafat tersebut, tidak

ada sistem yang dapat mengungkapkan seluruh kebenaran. Suatu sistem hanya dapat

mengadopsi satu sudut pandang.

Sedangkan menurut Myers (1989) New Historicism merupakan reaksi terhadap

formalism dan kritik baru yang memandang puisi sebagai sebuah objek yang berdiri sendiri.

New Historicism menolak keluarnya sosio politik dari interprestasi karya sastra.

Ditambahkan oleh Feluga (2002) bahwa konteks sejarah merupakan faktor penting untuk

memahami karya sastra. Ada kepaduan antara teks dengan konteks. Kembali dijelaskan oleh

Myers bahwa menemukan makna asli sebuah teks merupakan suatu hal yang tidak mungkin.

Sebaliknya New Historicism berfikir untuk menemukan kembali ideologi asli yang

melahirkan teks, dan pada gilirannya teks membantu menyebarkannya. Karya sastra ikut

mereproduksi dan membangun konvensi, norma, dan nilai budaya melalui tindak verbal dan

imajinasi kreatif.

Terlepas dari maksud, kesadaran, dan tujuan pengarangnya, relasi kuasa

menghadirkan ideologi melalui apa yang oleh Foucault dinamakan dengan istilah discourse

atau yang sering diindonesiakan menjadi wacana. Cipta bahasa dalam teks sastra dan teks

nonsastra di warnai oleh “rezim kebenaran” yang mensosialisasikan atau membakukan

aturan-aturan (tentang apa yang boleh dan tidak boleh dikatakan, siapa yang boleh

mengatakan, bagaimana cara mengatakannya) dalam mengatur relasi kuasa tertentu (misalnya

dalam hal seksualitas, gender, moralitas, identitas asli atau tidak asli, hubungan antar kelas

dll).

Asumsi dasar New Historicism seperti yang diungkapkan Greenblatt (2005:5) adalah

adanya pengaruh timbal balik antara manusia dan kebudayaannya. Manusia dibentuk dan ikut

membentuk kebudayaan tempat mereka hidup. Didukung pula oleh Tyson (1999:286) bahwa

6 | P a g e

Page 7: Teori New Historisicm

hubungan antara individu dan masyarakat saling konstitutif. Tidak ada semangat zaman

monolitik. Wacana selalu dalam keadaan perubahan terus menerus dan tumpang tindih. Oleh

karena itu New Historicism memandang laporang sejarah sebagai naratif, sebagai cerita,

karena biasanya tidak bisa dihindari. Ditambahkan oleh Con (1989:374) bahwa sejarah dan

sastra merupakan produk bahasa yang memiliki kesamaan sebagai sebuah wacana narasi.

Begitu juga yang disampaikan oleh Budianta (2006:3) bahwa kenyataan sejarah tidak tunggal

dan absolut. Melainkan terdiri dari bermacam-macam versi yang penuh kontradiksi,

keterputusan dan pluralitas.

Lebih lanjut Greenblatt (budianta, 2006:8) menyatakan bahwa meskipun sastrawan

menginternalisasi nilai-nilai budaya yang ada, bukan tidak mungkin karyanya mempunyai

potensi untuk menggugat dan mempertanyakan batas yang ditentukan oleh budaya tersebut.

Seringkali pengarang ditempatkan sebagai “subjek” dalam suatu tegangan antara menjadi

agen yang mempunyai kesadaran akan pilihan, tindakan dan kemauan atau sebagai pihak

yang ditaklukkan atau mengalami subjektivikasi oleh ideology atau nilai-nilai yang dominan.

Dalam hal ini new historisisme seringkali menempatkan teks dalam pilihan yang dikotomis

antara menentang atau mengikuti dengan ideologi yang dominan. Akan tetapi, umumnya

kajian new historicism menunjukkan bahwa ideologi bekerja dalam teks dengan cara yang

lebih kompleks, heterogen, tidak stabil, suatu kekuatan yang terus-menerus berproses.

Pandangan pluralitas terhadap sejarah oleh Braningan (1999:147) dijelaskan lebih

lanjut bahwa dalam penelaahan sejarah dalam karya sasta, tugas utamanya tidak untuk

menemukan apa yang teks cerminkan atau tidak. Ahli tersebut memandang sastra merupakan

kendaraan bagi representasi sejarah. Dengan demikian teks sastra menunjukkan proses-proses

dan ketegangan-ketegangan yang terjadi karena adanya perubahan sejarah. Ditambahkan oleh

Myers (1989), dalam kritik New Historicism fokusnya pada bagaimana teks sastra berfungsi

dengan sendirinya sebagai wacana sejarah yang berinteraksi dengan wacana sejarah lainnya.

Wacana berhubungan dengan waktu dan tempat teks diatur, waktu teks diterbitkan, atau

dalam sejarah penerimaan teks. Namun ideologilah yang dipentingkan, bukan sejarah. Jika

ideologi bukan hal yang penting dalam sejarah, maka tidak akan ada hubungan suatu sejarah.

Karya sastra adalah agen idiologi.

New Historicism memilliki fokus pada naratif sejarah kelompok-kelompok yang

termarjinalkan, seperti perempuan, warna kulit, kaum miskin, kelas pekerja, pria gay, lesbian,

dan narapidana. Ditambahkan oleh Budianta (2006:3) bahwa New Historicism tidak

menerima begitu saja perbedaan antara budaya tinggi dan rendah. New Historicism justru

7 | P a g e

Page 8: Teori New Historisicm

ingin menunjukkan keterkaitan antara ragam budaya tinggi dan rendah, sastra dan non sastra

saling terkait dengan persoalan-persoalan pada zamannya. Dengan pandangan tersebut, New

Historicism telah meruntuhkan aksioma yang mendasari New Criticism, bahwa sastra popular

biasanya bersifat konformis, mendukung nilai-nilai dominan yang ada, sedangkan sastra

tinggi menentang dan bersikap kritis terhadap tatanan social, politik dan ekonomi.

Disamping memberi perhatian terhadap kelompok orang yang termarjinalkan,

menurut Greenblatt (2000:21) New Historicism juga melibatkan apa yang disebut “thick

description” deskripsi mendalam. Istilah tersebut dilahirkan oleh seorang ahli antropologi,

Clifford Girtz. Diskripsi mendalam tidak sekedar mencari fakta-fakta, melainkan mencari

makna yang kompleks dalam kode budaya yang melandasinya. Dalam bidang sastra, Myers

(1989) mencatat 4 asumsi New Historicism. Pertama, karya sastra bernilai sejarah, bukan

sekedar catatan tentang pikiran seseorang. Karya sastra merupakan bentuk sosial budaya dan

untuk memahaminya harus dikaitkan dengan sosial budaya yang menghasilkannya. Kedua,

karya sastra merupakan pandangan tertentu terhadap sejarah. Ketiga, seperti halnya karya

sastra, manusia, termasuk ahli sejarah dan kritikus juga mengalami bentuk tekanan social

politik. Keempat, akibatnya ahli sejarah atau kritikus terjebak pada kesejarahannya sendiri.

Tak seorangpun mampu bangkit dari struktur sosialnya sendiri.

3. Penelitian dengan Teori New Historicism

Pada tahun 2006, Melani Budianta mempublikasikan hasil penelitian berjudul

"Budaya, Sejarah, dan Pasar: New Historicism dalam Perkembangan Kritik Sastra" dalam

Susastra 3 volume 2 nomor 3. Inilah kajian awal menggunakan teori new historicism dalam

sastra Indonesia. Budianta (2006) meneliti karya Aman Datoek Madjoindo (Tjerita Boedjang

Bingoeng dan Si Doel Anak Jakarta). Dalam kedua karya tersebut, pasar dan uang adalah hal

yang sangat penting. Teks di luar sastra yang diteliti oleh Budianta adalah surat pembaca

yang dipublikasikan dalam majalah Minangkabau tahun 1918. Surat ini berisi keluhan

pembaca majalah tersebut terhadap hawa nafsu orang terhadap uang pada masa transisi dari

masyarakat tradisional ke industri. Surat ini dipilih oleh Budianta karena mengandung pokok

yang sama dengan kedua karya sastra yang dikaji.

Selain Melani Budianta, Darni dalam Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan

Pengajarannya Volume 12, Nomor 1, April 2013 juga mempublikasikan hasil penelitian yang

8 | P a g e

Page 9: Teori New Historisicm

berjudul “Fenomena Perdagangan Perempuan dalam Fiksi Jawa Modern” yang menggunakan

teori New Historisicm secara keseluruhan dalam proses menganalisa penelitian ini. Melalui

cara pandang New Historisism dilakukan penafsiran terhadap kekerasan yang menimpa

perempuan, yakni perdagangan perempuan. Ada kaitan yang erat antara kekerasan terhadap

perempuan, khususnya perdagangan perempuan dengan sejarah yang ikut membentuk

terciptanya karya sastra. Ada timbal balik antara keduanya. Dalam rangka melihat kaitan

antara sejarah dan sastra dalam cara pandang New Historicisms ini digunakan konsep-konsep

dan praktik sosial, yang merupakan konteks sejarah, yang berkaitan erat dengan fokus

penelitian, yakni kekerasan, patriarkhi, dan feminisme. Nilai yang dipegang oleh peneliti

dalam New Historicism sangat menentukan hasil penafsiran. Nilai yang dipegang peneliti

adalah nilai feminisme yang sesuai dengan budaya Jawa.

9 | P a g e

Page 10: Teori New Historisicm

Daftar Pustaka

Budianta, Melani. 2000. “Teori Sastra Sesudah Strukturalisme: dari Studi

Teks ke Studi Wacana Budaya,” Teori dan Kritik Sastra. Jakarta:

Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.

Budianta, Melani. 2006. “Budaya, Sejarah, dan Pasar: New Historisisme

dalam Perkembangan Kritik Sastra,” dalam Susastra 3 (Jurnal Ilmu

Sastra dan Budaya Universitas Indonesia). Volume 2 Nomor

Budianta, Melani. “Budaya, Sejarah, dan pasar : New Historicism dalam

Perkembangan Kritik Sastra” dalam jurnal Susastra Vol 2 No 3, Hal

1-19. Jakarta HISKI.

Budianta, Melani. 2002. “Teori Sastra Sesudah Strukturalisme,” Bahan Pelatihan Teori dan

Kritik Sastra. Jakarta: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Universitas

Indonesia

Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt, Rinehart and Winston

dalam http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/PERAN%20DISKURSIF%20KARYA

%20SASTRA%20DAN%20MEDIA.pdf. Diakses tanggal 08-12-2015

Guerin, Wilfred L. dkk. 2005. A Handbook Of Critical Approach to

Literature. New York : Oxford University Press

Myers,G.D.“The New Historicism in Literature”dalam

http://journal.uny.ac.id/index.php/litera/article/viewFile/1322/1098. Diakses tanggal

07-12-2015

Tyson, Lois. 1999. Critical Theory Today: A User-Friendly Guide. New York: Garland

Publishing Inc. dalam

http://journal.uny.ac.id/index.php/litera/article/viewFile/1322/1098. Diakses tanggal

07-12-2015

Darni, “Fenomena Perdagangan Perempuan dalam Fiksi Jawa Modern” dalam Jurnal

Penelitian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya Volume 12, Nomor 1, April 2013

dalam http://journal.uny.ac.id/index.php/litera/article/viewFile/1322/1098. Diakses

tanggal 07-12-2015

10 | P a g e

Page 11: Teori New Historisicm

Greenblatt, Stephen and Catherine Gallagher. 2000. Practicing New Historicism. Chicago:

The University of Chicago Press. dalam

http://journal.uny.ac.id/index.php/litera/article/viewFile/1322/1098. Diakses tanggal

07-12-2015

Greenblatt, Stephen. 2005. Renaissance SelfFashioning. Chicago: The University of Chicago

Press. dalam http://journal.uny.ac.id/index.php/litera/article/viewFile/1322/1098.

Diakses tanggal 07-12-2015

11 | P a g e