teori naratisi

Download teori naratisi

If you can't read please download the document

Upload: 281067

Post on 07-Dec-2015

220 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

membahas tentang teori narasi

TRANSCRIPT

  • 8

    BAB 2

    LANDASAN TEORI

    2.1 Konsep Tiga Aspek Naratif oleh Tzvetan Todorov

    Di Perancis; salah seorang dari kaum naratologi yang bernama Tzvetan Todorov,

    mengembangkan penelitian teks sastra naratif dari Proff. Ia memisahkan tiga dimensi

    atau aspek dari naratif. Aspek-aspek ini adalah: aspek semantik (isi), aspek sintaksis

    (kombinasi dari berbagai struktur unit) dan aspek verbal (manipulasi istilah ataupun

    frasa tertentu dalam suatu cerita). Todorov menerapkan model linguistik pada penelitian

    teks kesusastraan. Todorov mengungkapkan teori sebagai berikut: Berdasarkan fakta

    bahwa teks sastra menggunakan bahasa sebagai bahan dasarnya; maka aspek sintaksis,

    semantik dan aspek verbal adalah model dasar aturan naratif. Dengan kata lain, artinya

    Todorov menggunakan metode strukturalisme dari Saussure yang diadaptasi untuk

    menganalisis teks dalam suatu karya sastra.

    Mula-mula, Todorov membagi jenis hubungan antar unsur yang terdapat dalam

    teks sastra ke dalam dua kelompok besar. Hal itu adalah sebagai berikut: (1) kelompok

    hubungan antar unsur-unsur yang hadir bersama (in praesentia), dan (2) kelompok

    hubungan antara unsur yang hadir dan yang tidak hadir (in absentia). Menurut Todorov

    (1985:11-13), hubungan ini dengan jelas membedakan hakikat dan fungsi setiap unsur.

    Lebih jauh dijelaskan sebagai berikut: hubungan in praesentia merupakan

    hubungan konfigurasi sekaligus hubungan antara konstruksi dan urutan. Karena adanya

    hubungan kausalitas, unsur-unsur peristiwa menjadi saling berkaitan antara yang satu

    dengan yang lain. Dengan kata lain, hubungan in absentia merupakan hubungan makna

  • 9

    dan pralambang. Sementara Hawkes (1977:96-97) mengemukakan bahwa suatu

    signifiant mengacu kepada signifie tertentu. Maksudnya, unsur tertentu mengungkapkan

    unsur yang lain; suatu peristiwa tertentu melambangkan suatu gagasan, sementara

    lainnya menggambarkan suatu situasi psikologi.

    Lebih jauh tentang pembahasan teori Todorov ini, dapat dijabarkan sebagai

    berikut:

    (1) Teori Analisis Sintaksis

    Teori sintaksis atau hubungan in praesentia digunakan untuk menganalisis alur

    cerita. Pengertian cerita dan alur cerita sering digunakan dalam arti yang berbeda-beda.

    Cerita adalah petanda suatu teks naratif, namun dalam telaah sastra, cerita sering disebut

    alur. Istilah alur sendiri digunakan untuk menunjuk serangkaian peristiwa yang saling

    berkaitan secara logis dan dikarenakan oleh suatu tindakan. Dalam suatu penelitian

    karya sastra, langkah pertama yang dilakukan adalah menganalisis struktur cerita yang

    bertujuan mendapatkan susunan teks.

    (2) Teori Analisis Semantik

    Analisis sintaksis menampilkan skema aktan dan skema fungsional. Sementara

    dalam pembahasan analisis semantik ditampilkan unsur yang berkaitan dengan tokoh.

    Todorov menyebutnya analisis in absentia. Hubungan in absentia atau hubungan

    paradigmatik disebut juga aspek semantik.

    Aspek semantik adalah hubungan antara unsur yang hadir dan unsur yang tak

    hadir dalam teks. Dalam analisis ini dibedakan dua jenis semantik, yaitu formal dan

    substansial. Bagian formal dari aspek semantik menjawab pertanyaan: bagaimana teks

    mengemukakan makna. Sementara, bagian substansial dari aspek semantik menjawab

  • 10

    pertanyaan: apa maknanya. Jadi, bagian pertama menerangkan tentang cara makna itu

    disampaikan: kiasan, perlambangan, dan/ atau metafora. Bagian kedua dari analisis

    semantik ini menjawab makna dari kiasan, perlambangan, dan/ atau metaforanya

    tersebut.

    Analisis aspek ruang dan waktu (latar) dapat juga digunakan untuk mencari makna.

    Ruang dan waktu itu akan menjadi metafora kehidupan di tengah-tengah alam dan

    masyarakat. Penggunaan metode analisis tokoh juga dapat dipakai untuk mencari makna.

    2.2 Teori Hubungan Intertekstual Julia Kristeva

    Julia Kristeva (1980) dalam Desire in Language: A Semiotic Approach to

    Literature and Art mengemukakan tentang teori Intertextualite. Yaitu teori tentang teks.

    Ia mengemukakan teori ini setelah meneliti teori dialogisme yang dikemukakan oleh

    Mikhail Bakhtin. Kata Intertextualite sendiri artinya adalah interaksi antar teks yang

    terjadi dalam sebuah teks cerita. Maksudnya; salah satu unsur yang ada di dalam teks

    bisa menjadi indeks yang mengacu atau berhubungan dengan teks lain, sehingga

    pemahaman maknanya ditopang oleh rangkaian dari keseluruhan teks.

    Dijelaskan oleh Kristeva, Bakhtin membagi teori literary discourse yang

    dikemukakannya ke dalam dua kategori yaitu monologue dan dialogue. Masih menurut

    Bakhtin, suatu novel monolog (disebut juga wacana epical) bertentangan dengan novel

    polifoni (disebut juga wacana carnivalesque). Yang dimaksud dengan novel monolog

    adalah novel yang melukiskan sesuatu secara realistis; sedangkan yang dimaksud novel

    polifoni yaitu wacana yang mengandung suara ataupun unsur yang majemuk sifatnya.

    Novel polifoni tidak hanya menekankan pada analisis isi teks sumber data, namun juga

    berhubungan dengan karya sastra kuno maupun masa kini. Kristeva menyebutnya

  • 11

    dengan kata lain bahwa; teks dibentuk sebagai mosaik yang mengutip dari bermacam-

    macam teks lainnya. Hasil akhirnya, teks tersebut menjadi teks kombinasi dan deformasi

    dari teks-teks lain yang berkaitan dengan isi teks tersebut.

    Dengan demikian, struktur teks yang semula sifatnya tertutup, jadi dirusak dan

    diungkap pemahamannya ke arah bidang sejarah ataupun sosial. Dari sini maka

    terbentuklah teks yang merupakan pengungkapan struktur ruang yang polifonik

    (mengandung unsur yang bertentangan dari struktur carnivalesque) dan menjadi bentuk

    dialogis (dialogique=dwiteorik). Dalam teks dialogis, tidak hanya satu suara atau

    pandangan tokoh tertentu yang menjadi titik fokus untuk meyakinkan pembaca. Lingkup

    ruang carnivalesque atau dialogis dapat memperkenankan tampilnya semua suara atau

    unsur yang dihadirkan. Sehingga, ia bertentangan dengan wacana monolog

    (monologique=triteoretik).

    Berikut ini ditampilkan bagan teks polifoni.

    Teks yang

    timbul dari

    pemahaman

    polifoni

  • 12

    2.3 Teori Penafsiran Makna dalam Injil

    Winfried Noth (1990: 335) dalam Handbook of Semiotics mengatakan bahwa

    khusus untuk pencarian makna yang berasal dari tulisan isi Kitab Suci umat Kristiani

    (Injil), ada sebuah teori metode yang bisa dijadikan panduan pedoman dalam

    menafsirkan makna. Yaitu teori metode tahapan sententia. Sententia adalah peng-

    ikhtisaran makna yang mendalam tentang pokok-pokok yang berkaitan dengan Injil,

    yang diungkapkan dalam bentuk penafsiran spiritual. Teori ini dikaji dari elaborasi

    doktrin (ajaran) tentang kombinasi berbagai pengertian makna berdasarkan Injil.

    Dalam sejarah literatur, penafsiran makna spiritual ini dibedakan menjadi tiga

    model:

    (1) Tropology / Tropological

    penafsiran yang memiliki kesamaan rasa / pengertian dari apa yang dikandung

    Injil. Pemahaman maknanya bersifat universal; dapat diterima oleh semua pribadi atau

    individu dari setiap manusia di bumi ini.

    (2) Allegory / Allegorical

    mengungkap makna yang berkaitan khusus dengan Kristus dan gereja.

    (3) Anagogy / Anagogical

    mengungkap misteri-misteri tentang surgawi dan hal-hal bersifat ramalan yang

    baru akan diketahui dalam konteks masa depan.

    Dalam upaya penafsiran makna dari Injil, setiap pesan yang dikutip dari Injil

    diinterpretasikan menggunakan panduan metode dari tiga model di atas. Model

    penafsiran makna tersebut dapat digunakan salah satu saja, dua, atau bahkan ketiga-

    tiganya sekaligus untuk keperluan mencari makna.

  • 13

    2.4 Pemikiran Tentang Agama Kristen Dalam Sastra Jepang

    Mulanya, pada masa pemerintahan Tokugawa di Jepang terdapat suatu periode

    masa di mana agama Kristen (atau disebut Kirishitan dalam pengucapan bahasa Jepang)

    dilarang beredar. Pada masa tersebut (abad 17-19), banyak terdapat fumie; yaitu papan

    dengan gambar Yesus Kristus di tengahnya yang dibuat untuk diinjak oleh rakyat Jepang,

    sebagai bukti diri bahwa seseorang bukan penganut Kirishitan. Kebanyakan pada masa

    ini, penganut Kirishitan terpaksa membelot dari agama Kristen. Ada juga kelompok

    yang menginjak fumie hanya untuk sekedar kamuflase, namun secara diam-diam mereka

    tetap mempertahankan agama itu sampai larangannya dicabut pada saat restorasi Meiji

    di akhir abad ke-19. Kelompok seperti ini disebut Kakure Kirishitan atau penganut

    Kristen yang tersembunyi dalam sejarah Jepang.

    Fransiskus de Xaverius (1506-1552) dari Societas Jesu (Ordo Jesuit)

    memperkenalkan agama Kristen Katolik ke Jepang. Pada tanggal 15 Agustus 1549,

    Xaverius dan rombongannya tiba di Kagoshima (ujung selatan pulau Kyushu).

    Rombongan mereka dipandu oleh Anjiro. Tidak ada yang mengetahui nama Anjiro yang

    sebenarnya, tetapi dalam surat Xaverius ditulis nama baptis orang ini; yaitu Paulo de

    Santa Fe. Anjiro adalah seorang samurai bawahan asal Kagoshima yang pernah berbuat

    kejahatan dan melarikan diri dengan kapal Portugis ke Malaka. Kemuian ia bertemu

    dengan Xaverius pada tahun 1547. Dari Malaka, Xaverius berangkat ke Jepang bersama

    Cosme de Torres, Juan Fernandez dan Anjiro yang dibaptis di Goa.

    Di Kagoshima, Xaverius tinggal selama satu tahun. Ia mempelajari budaya dan

    tata krama orang Jepang dan mendapat kesimpulan bahwa orang Jepang adalah orang

    terdidik dan sangat menjaga kehormatan. Ia pun mengetahui bahwa orang Jepang

    memuja alam dan gejala-gejalanya seperti cuaca, matahari dan bulan. Tetapi ia

  • 14

    mendapatkan fakta bahwa bhiksu agama Budha di sana terjerumus ke dalam kegelapan

    duniawi secara moralitas. Atas dasar itulah, Xaverius termotivasi ingin membebaskan

    orang Jepang dari kuasa kegelapan dalam pandangan orang Kristen. Ia lalu berangkat ke

    Kyoto melalui Hirato dan Yamaguchi pada musim panas tahun 1550 untuk menemui

    Kaisar Kyoto. Saat itu Kyoto menjadi ibukota Jepang. Tapi sesampainya di sana,

    Xaverius tidak dapat menemui Kaisar. Lebih tepatnya lagi, karena saat itu kota Kyoto

    sudah menjadi puing-puing akibat perang. Tidak ada kemungkinan bagi para misionaris

    Kristen Katolik untuk menjalankan misi mereka di sana. Karena itu, rombongan

    Xaverius kembali ke Yamaguchi, ke wilayah daimyo (penguasa wilayah) Ouchi

    Yoshitaka. Kota itu maju dalam hal perdagangan dan Xaverius mendapat ijin dari

    Daimyo Ouchi untuk menjalankan misi agama Kristen di sana.

    Berdasarkan nasehat Anjiro, Xaverius menterjemahkan istilah Deus (Tuhan)

    sebagai Dainichi (Dewa agama Budha yang panteis atau Mahavairocana) sehingga

    agama Kristen diminati orang Jepang karena dianggap salah satu aliran dari agama

    Budha. Semakin lama Xaverius menetap di Jepang, ia semakin mengerti kondisi

    kebudayaan Jepang yang banyak dipengaruhi budaya Cina. Karena itu ia berpikir, jika

    Cina di-Kristenisasi, maka Jepang pun lama-lama akan menerima ajaran agama Kristen

    sepenuhnya. Maka, pada musim gugur tahun 1551, Xaverius meninggalkan Jepang

    menuju ke Cina lewat India.

    Namun karena sakit pada musim semi di sekitar Makau, Xaverius akhirnya

    meninggal dunia sebelum ia sempat menginjakkan kakinya di Cina. Dari misi Xaverius

    sewaktu berada di Jepang selama dua setengah tahun, ia telah berhasil membuat sekitar

    1.000 orang Jepang dibaptis. Namun, jika dibandingkan dengan jumlah orang yang

  • 15

    dibaptis di India, jumlah itu sangat sedikit. Di India, setidaknya ada 15.000 orang per

    bulan yang dibaptis masuk agama Kristen Katolik.

    Cita-cita Xaverius diteruskan di Kyoto oleh misionaris Gasper Vilela dan Lorenzo

    pada tahun 1559. Misi Gasper dan Lorenzo berkembang di daerah Kyushu Utara dan

    wilayah Kinki (meliputi daerah Osaka, Nara dan Kyoto). Para daimyo seperti Takayama

    Tosho, Omura Sumitada, ayah dan anak Ukon, dan lain-lain turut menerima baptis.

    Pada tahun 1568, Oda Nobunaga memerintah Kyoto. Ia bersimpati pada para

    misionaris agama Kristen; di antaranya adalah Luis Frois. Karena itu, mereka

    diperbolehkan mendirikan Gereja Nanbaji (tapi dalam pengertian budaya Jepang

    dipahami sebagai kuil Nanbaji) di Kyoto.

    Tahun 1579, misonaris bernama Alessandro Valignano mengubah prinsip

    penyampaian agama Kristen kepada orang Jepang menjadi lebih fleksibel. Ia mendorong

    politik saling pengertian di antara negara Jepang dan Eropa, serta merencanakan adanya

    pendidikan pastor bagi orang Jepang dengan mendirikan sekolah seminari dan kolegio.

    Sekolah seminari yang ia dirikan terletak di kota Arima dan Azuchi, serta kolegio di

    Oita. Di kemudian hari ia juga menerbitkan buku Katekismo untuk orang Jepang.

    Alessandro juga mengirim utusan orang Jepang ke Eropa yang disebut Tensho

    Keno Shisetsu (Utusan ke Eropa pada masa Tensho). Utusan ini terdiri dari empat orang

    remaja yang diutus oleh tiga orang daimyo di wilayah Kyushu. Para daimyo ini adalah

    Omura Sumitada, Otomo Sorin dan Arima Harunobu. Hal ini bertujuan untuk

    meningkatkan kegiatan misionaris di Jepang oleh Paus di Roma maupun negara Portugal.

    Sementara itu, bagi para remaja yang diutus, mereka berkesempatan untuk melihat

    kekuatan negara-negara Kristen di Eropa dan diharap dapat menjadi bekal kesaksian

  • 16

    bagi rakyat Jepang. Perjalanan mereka makan waktu selama sembilan tahun dan mereka

    akhirnya dapat bertemu dengan Paus Roma.

    Namun, ketika para remaja yang telah menjadi pemuda-pemuda itu pulang ke

    Jepang pada tahun 1590, keadaan negara mereka sudah berubah karena pemerintahan

    Shogun Toyotomi Hideyoshi pada masa itu. Sebelumnya, pada tahun 1582, Oda

    Nobunaga orang yang simpatik kepada misi agama Kristen dibunuh di kuil Honnoji

    oleh Akechi Mitsuhide. Shogun Toyotomi, penggantinya, mengumumkan Bateren

    Tsuiho-rei (Perintah Pengusiran Misionaris Kristen). Walau begitu, ada hal-hal baik

    yang dibawa para pemuda tersebut untuk kebudayaan Jepang, seperti mesin cetak dari

    Eropa (sesuai rencana Alessandro Valignano). Dengan mesin cetak ini, buku-buku

    seperti Isoppu Monogatari (Cerita Aisop) dan Heike Monogatari (Cerita Heike) dapat

    dicetak untuk pertama kalinya di Jepang.

    Shogun Toyotomi Hideyoshi ingin meneruskan usaha untuk menyatukan negara

    Jepang. Pada masa itu Jepang dibagi menjadi tiga wilayah menurut organisasi gereja;

    yaitu Miyako, Bungo dan Shimo (di dalamnya terdiri dari daerah Nagasaki, Arima,

    Omura dan Amakusa). Jumlah umat Kristen di Miyako mencapai 25.000 orang, di

    Bungo 10.000 orang dan di Shimo 115.000 orang. Total keseluruhan mencapai 150.000

    orang. Pada mulanya, Hideyoshi juga bersimpati kepada agama Kristen, namun ke

    belakangnya tidak lagi.

    Pada tahun 1612, pemerintah Tokugawa mengumumkan Kinzei atau larangan

    agama Kirishitan. Umat Kirishitan atau penganut Kristen mulai tertindas. Selama

    adanya larangan tersebut, kebanyakan dari mereka membelot dan sebagian menjadi

    Kakure Kirishitan atau penganut Kristen tersembunyi. Restorasi Meiji menjadi titik

    pencerahan kembali. Kebijakan larangan agama Kristen dihapuskan, dan sebagian

  • 17

    Kakure Kirishitan kembali ke gereja Katolik yang mulai aktif lagi di Jepang. Namun,

    sebagian lagi tidak kembali ke gereja dan masih tetap menjadi Kakure Kirishitan yang

    dipertahankan secara rahasia sejak jaman Tokugawa. Walau begitu, mereka ini tidak

    perlu lagi menyembunyikan diri.

    Secara global, latar belakang jaman masuknya agama Kristen ke Jepang

    dipengaruhi oleh penemuan dunia baru oleh orang Eropa. Dalam buku Catatan

    Perjalanan oleh Marco Polo; seorang penjelajah Italia pada akhir abad ke-13,

    Christophorus Columbus berangkat ke arah barat dari Spanyol untuk mencari negeri

    Zipangu (Jepang). Menurut catatan tersebut, di negeri Zipangu (Jepang) rumah-

    rumahnya dibuat dari emas. Columbus sebenarnya tidak datang ke Jepang, melainkan

    menemukan daratan Amerika pada tahun 1492.

    Selain Columbus, Vasco de Gama juga menemukan rute timur laut ke India.

    Sementara pada awal abad ke-16 kapal Portugis mulai menuju Goa di India dan Makau

    di Cina. Kesimpulannya, pada sekitar jaman Sengoku adalah masa pertemuan

    kabudayaan Barat dengan Timur di Jepang.

    Sementara itu, pada tahun 1517 di Eropa terjadi Pembaharuan Agama Kristen

    Katolik oleh Martin Luther (1483-1546). Sejak saat itu, dimulai penyebaran ajaran

    agama Kristen baru yang disebut agama Kristen Protestan. Raja-raja di Eropa mulai

    mendukung Kristen Protestan dan agama Kristen Katolik menghadapi krisis yang amat

    besar. Ketika itu, Ignatius de Loyola (1491-1556) yang belajar di Universitas Paris

    membentuk Societas Jesu (Ordo Jesuit) bersama tujuh orang rekannya, salaha satunya

    adalah Fransiskus de Xaverius yang di kemudian hari menyebarkan Kristen Katolik di

    Jepang. Societas Jesu adalah perkumpulan biarawan yang dibentuk pada tahun 1534 dan

    bermotto kepatuhan, kemiskinan, kejujuran dan kesucian. Tujuan ordo ini adalah

  • 18

    mengabdi kepada Kristus dengan kesadaran agama yang baru dan melayani kegiatan

    misi atas perintah Paus Roma.

    Gereja Katolik Roma membuka Konsili Trente untuk rekonstruksi gerejanya mulai

    tahun 1545. Tradisi gereja Roma direkonfirmasikan dan diperbaharui. Selain itu, prinsip

    untuk meningkatkan kegiatan misi dari Societas Jesu secara aktif ke Amerika dan

    negara-negara Timur untuk memulihkan kekuatannya yang hilang karena reformasi

    Kristen juga ditingkatkan. Selanjutnya, Societas Jesu menjadi pelopor kegiatan

    misionaris agama Katolik Roma ke dunia baru dan kegiatannya ini disokong oleh

    Portugal.

    Secara global, kegiatan misi agama Kristen Katolik di Jepang dilakukan pada

    pertengahan abad ke-16 sampai dengan pertengahan abad ke-17. Menurut Ebisawa

    Arimichi (1981:1) kegiatan misi tersebut bukan hanya untuk kepentingan perkembangan

    agama Nasrani saja, melainkan juga untuk kebudayaan dan kemajuan masyarakat pada

    masa itu. Tapi, akibat pemikiran agama itu yang sangat berbeda dengan agama

    tradisional Jepang, penganut maupun gereja Kristen Katolik di negara itu selanjutnya

    ditindas oleh penguasa pada jaman tersebut. Contohnya oleh Toyotomi Hideyoshi

    (1536-1598) serta para shogun pemerintahan Tokugawa. Dalam upaya pembentukan

    sistem wilayah, para daimyo di bawah pengawasan mereka sibuk memperkuat militer

    dan memperluas kekuasaan wilayah secara politik maupun ekonomi.

    Pada jaman pertengahan abad ke-16, kota-kota besar di Jepang belum maju dan

    mayoritas rakyat Jepang tinggal di desa-desa pertanian. Namun, saat itu perubahan mulai

    tampak. Misalnya dalam hal ekonomi, rakyat Jepang tidak terikat pada pertanian di

    dalam desa saja. Daimyo ingin memperkuat wilayahnya, dan oleh sebab itu, rakyat

    didorong untuk memperjual-belikan hasil pertanian desa mereka ke kota hingga

  • 19

    berdagang ke luar negeri. Kecenderungan adanya gekokujo (orang bawahan yang

    mengalahkan atasannya dan mengambil kekuasaannya) yang sering terjadi pada masa itu

    mengubah cara berpikir rakyat tentang ketertiban dalam masyarakat. Pemberontakan

    juga sering terjadi di mana-mana sehingga kehidupan rakyat menjadi sangat susah.

    Agama Budha yang sudah lama ada di Jepang pada masa itu tidak berdaya, bahkan

    bhiksu-bhiksunya bersekutu dengan politik pemerintahan karena mereka hanya

    memikirkan diri sendiri. Akibatnya, masalah kesulitan yang dialami rakyat tidak dapat

    teratasi secara material maupun spiritual. Pada situasi seperti itulah menurut Ebisawa

    (1966: 2-12) dan Hori (1990:176), bangsa Portugis baru dapat membuka jalur

    perdagangan dan kegiatan misi agama Kristen Katolik ke Jepang.

    Namun, para misionaris yang menyebarkan agama Katolik mengalami kesulitan

    karena sebelumnya orang Jepang belum mempunyai pandangan monoteisme. Para

    misionaris tidak mengakui agama-agama yang ada di Jepang. Xaverius, misalnya,

    menganggap agama Shinto sebagai agama primitif. Namun ia berusaha menengahi

    konsep agama Budha dengan maksud supaya lebih mudah mengajarkan konsep agama

    Kristen kepada orang Jepang. Salah satu strategi penyebaran Kristen yang dilakukan

    para misionaris menurut Ebisawa (1974: 33-35) adalah dengan menterjemahkan buku

    Roma Katekismo (Caterchismus Romanus) ke bahasa Jepang pada tahun 1563 untuk

    mengimbangi kehidupan keagamaan yang khas di Jepang.

    Berapa banyak pengikut agama Kristen Katolik di Jepang pada masa penyebaran

    itu dapat diketahui dari surat dan laporan para misionaris. Pada masa itu, jumlah

    pengikutnya cenderung naik walaupun angka yang pasti belum ada. Pada tahun 1570,

    penganut Katolik menunjukkan angka 20.000 30.000 jiwa dan pada tahun 1600

    menjadi 300.000 jiwa. Kenaikan jumlah yang mencolok ini terjadi sejak tahun 1570-an

  • 20

    berdasarkan pencatatan Ide Shimizu (1988: 34-35). Dari catatan Laporan Tahunan Ordo

    Jesuit Jepang tahun 1581 (Shimizu:36), dapat diketahui bahwa jumlah penganut di

    daerah Nagasaki lebih banyak jika dibandingkan dengan jumlah penganut di wilayah

    lain seperti di bagian timur Kyushu maupun Honshu. Di daerah Shimoarima, sekitar

    kota Nagasaki, penganut agama Kristen Katolik pada masa itu mencapai 76%. Ini

    dikarenakan di daerah tersebut ada beberapa daimyo Kirishitan yang terkemuka seperti

    Omura Sumitada, Arima Yoshinao (dibaptis tahun 1576), Arima Harunobu (dibaptis

    tahun 1580), Amakusa Naotane (dibaptis tahun 1570), Amakusa Tanemoto (dibaptis

    tahun 1577) dan Goto Jyunko (dibaptis tahun 1568). Karena itulah gereja Kristen

    Katolik berkembang dengan mudah (Shimizu: 35-39).

    Sebenarnya, pada masa awal penyebarannya, tidak ada data sensus yang resmi

    tentang banyaknya penganut Kirishitan di Jepang. Jika ditilik dari jumlah penduduk

    Jepang pada masa itu yang diperkirakan ada 18 juta jiwa, penganut Kirishitan pada

    tahun 1581 amat sedikit, hanya 0,83%. Pada tahun 1590 tidak banyak pertambahannya,

    hanya mencapai 1,3%. Angka ini hampir sama dengan angka perbandingan menurut

    sensus 1979 dari Asahi Nenkan (buku Sensus Tahunan dari Harian Asahi), yaitu

    penganut Kristen (Protestan maupun Katolik) mencapai 1.100.000 jiwa. Artinya, 0,97%

    dari jumlah seluruh penduduk Jepang yang totalnya 11.490.000 jiwa. Mengingat

    kesulitan yang terjadi pada masa awal misi Kirishitan di abad 16, angka ini

    menunjukkan perkembangan yang stabil (Shimizu: 37-38).

    Sejak jaman Meiji hingga sekarang, agama Kristen masih melakukan misinya

    secara bebas, kecuali pada saat Perang Dunia I dan II. Namun jika dibandingkan pada

    jaman Kirishitan, jumlah penganutnya cenderung statis atau tidak bertambah banyak. Ini

    dikarenakan dalam pandangan orang Jepang, agama Kristen seperti halnya pula agama

  • 21

    Budha bukan agama asli Jepang. Orang Jepang punya kecenderungan sifat

    membedakan hal-hal asli Jepang dan hal-hal yang asing secara sensitif sejak jaman

    dahulu. Dengan kata lain, mereka bisa secara ekstrim menerima atau menolak budaya

    asing karena keasingannya tersebut.

    Sebenarnya, agama Budha pun termasuk agama asing. Namun, karena agama itu

    datang melalui negara tetangga Cina, maka dianggap lebih akrab oleh orang Jepang.

    Agama Budha lebih mudah diterima orang Jepang karena sebelum masuk ke Jepang,

    ajarannya sudah berubah di Cina. Selain itu, karena agama ini tidak disampaikan oleh

    misionaris asing. Meskipun begitu, agama Budha juga perlu waktu beberapa abad

    lamanya sampai menjadi Kamakura Bukkyo atau agama Budha ala Kamakura.

    Dibandingkan agama Budha, agama Kristen lebih bersifat heterogen bagi orang

    Jepang. Walaupun memang agama Kristen lahir di ujung wilayah Asia, namun agama

    ini dibesarkan di Eropa yang jauh dari Asia. Misionaris yang menyampaikan agama itu

    ke Jepang pun berbeda ras, bahasa dan kebudayaan; ditambah lagi ajaran agamanya

    sendiri benar-benar sangat berbeda dan merupakan sesuatu yang baru bagi orang Jepang.

    Karena sifat-sifat heterogen agama Kristen inilah, reaksi orang Jepang terhadapnya pun

    cukup ekstrim antara yang menerima maupun yang menolak.

    Dalam sejarah agama Kristen di Jepang, ada beberapa penerimaan positif terhadap

    agama tersebut yang dicatat. Di antaranya: (1) ketika masa transisi dari jaman Sengoku

    ke masa terbentuknya sistem feodal kekuasaan sentralisasi pada jaman Edo, (2) pada

    masa restorasi Meiji, (3) sesudah Perang Dunia II. Jika ditelaah lebih lanjut, semuanya

    itu terjadi pada masa-masa pembaharuan besar dalam sejarah masyarakat Jepang.

    Agama Kristen diterima sebagai agama yang baru manakala agama yang telah ada

    dianggap terlalu kaku sistemnya dan tidak bisa menyesuaikan diri lagi dengan jaman

  • 22

    yang baru. Pada masa seperti itu, sifat asing atau heterogenitas agama Kristen malah

    lebih bisa menarik hati orang Jepang karena kadang-kadang bisa memicu perubahan

    masyarakatnya. Tapi, jika perubahan masyarakat itu selesai dalam satu babak dan sistem

    baru telah ditetapkan, semangat mereka dengan cepat terhenti. Namun bagaimanapun

    juga, agama Kristen telah menjadi salah satu unsur agama yang penting dalam

    kebudayaan Jepang hingga masa kini. Termasuk di dalam perkembangan karya sastra.

    Berdasarkan sejarah tersebut, menurut teori-teori pemikiran tentang agama

    Kristen dalam sastra di Jepang, Yamagata Kazumi (1994: 164) berpendapat bahwa

    istilah kirisutokyo bungaku (sastra agama Kristen) berarti sastra yang ditulis oleh

    pengarang / pencipta yang beragama Kristen. Koeksistensi unsur tokoh dalam karya

    sastra dengan unsur kekuatan seperti Tuhan atau iblis merupakan pola asli yang umum

    bagi sebagian besar tema karya mereka. Garis horizontal; dalam hal ini perbuatan

    manusia, bertemu dengan garis vertikal, yaitu Tuhan (atau iblis). Ini merupakan unsur

    dinamik dalam tema sastra yang banyak dikembangkan.

    Kritikus sastra Jepang lainnya, Takeda Tomoju (1976: 318) menyatakan bahwa

    tidak ada arti kalau kita memikirkan putusnya hubungan agama dan sastra atau

    menyambungnya secara ideologis. Tetapi, hal yang diperlukan oleh pengarang / pencipta

    ialah unsur agama Kristen yang terdapat dalam sastra modern; termasuk sastra

    kontemporer. Atau, bagaimana sastrawan Jepang memperlihatkan ketertarikannya pada

    agama Kristen atau unsur agama dalam sastra. Kemudian, pemerhati karya sastra

    tersebut (bisa pembaca, penonton ataupun pengamat) juga akan memperhatikan maksud

    pencipta dalam berbagai karya sastra secara praktis.

    Takeda (1976: 310) juga menyatakan bahwa unsur agama dan sastra bertemu

    dalam imaji pengarang / pencipta ketika mereka memperhatikan eksistensinya.

  • 23

    Eksistensi itu bergerak menuju upaya menyucikan diri dengan sendirinya. Dengan

    begitu, agama dan karya sastra bergabung dalam sikap pengarang / pencipta ketika ia

    berusaha menyaksikan hal-hal duniawi sambil berorientasi ke unsur yang kekal.

    Setelah pasca Perang Dunia kedua, sikap budayawan terhadap agama Kristen

    mulai menampakkan beberapa perubahan. Mereka bersikap tidak membanci ataupun

    memprotes agama asing itu seperti yang ditunjukkan pada masa sebelum Perang Dunia

    kedua. Sikap mereka terhadap agama Kristen menjadi lebih netral. Sikap seperti rasa

    ingin tahu pada unsur eksotisme dalam agama Kristen yang diidamkan oleh kaum

    cendekiawan sebelumnya sudah tidak tampak lagi.

    Sebagai contoh, menurut Fukuda Tsuneari (19121994), pandangan dunia

    maupun budaya, pandangan tentang manusia, pandangan tentang kematian dan

    kehidupan, diciptakan berdasarkan konsep pemikiran Katolikisme. Ia tidak dibaptis

    ataupun menganut agama Katolik. Namun, ia menyatakan dirinya seperti pengemudi

    mobil yang beragama Katolik tanpa SIM. Dengan kata lain, ia dilatar-belakangi

    pandangan agama Katolik, tetapi tidak mengabaikan kebudayaan Jepang yang tertanam

    dalam dirinya. Perhatiannya yang paling besar adalah terhadap keterlibatan agama

    Katolik dalam budaya Jepang.

    Pada pasca Perang Dunia kedua, mereka yang termasuk di antara jajaran

    pengarang kelompok agama Protestan adalah Sako Junichiro, Miura Ayako, Abe

    Mitsuko, Shiina Rinzo dan Sato Yasumasa. Sedangkan pengarang yang termasuk di

    antara kelompok agama Katolik adalah Endo Shusaku, Sono Ayako, Miura Shumon,

    Ariyoshi Sawako, Shimao Toshio dan Ogawa Kunio. Dilihat dari nama-nama tersebut,

    para pengarang kelompok Katolik lebih menonjol dalam penulisan karya sastra.

  • 24

    Menurut Takeda, sastra Jepang modern tidak bisa lepas dari unsur pengakuan

    ala agama Kristen Protestan. Contohnya adalah Kitamura Tokoku (1868-1894), yang

    menganjurkan tema pengakuan yang serius. Pengarang sastra modern merasa perlu

    untuk mengakui kebenaran kepada publik pembacanya. Gaya seperti ini dikenal dengan

    sebutan genre Shishosetsu atau novel Aku yang khas dalam sastra Jepang. Gaya

    penulisan ini dipengaruhi oleh dorongan pengakuan dosa seperti layaknya dalam agama

    Protestan. Mereka memakai cara pengakuan berdasarkan kehidupan pribadi sebagai

    bahan referensi yang paling mudah diperoleh.

    Perkembangan sastra agama Kristen pasca Perang Dunia kedua yang dipelopori

    oleh Shiina Rinzo (1911-1973) merupakan tantangan terhadap gaya Shishosetsu

    sebelumnya. Para sastrawan mulai mencari kebenaran eksistensi Tuhan atau keberadaan

    manusia. Gagasan mereka tidak ditunjang oleh formalitas pengakuan fakta yang disebut

    zange (pengakuan / pertobatan), tetapi didorong oleh unsur konflik batin atau drama

    kejiwaan manusia yang terjadi sebelum proses pencapaian zange itu. Karena itu, untuk

    menulis karya sastra atau naskah drama, bagaimanapun juga akhirnya mereka harus

    mempunyai kesadaran tentang manusia. Mereka berusaha menulis tentang pandangan

    manusia yang diperoleh dari pengalaman melalui agama Kristen Katolik; seperti

    persoalan dosa manusia, konflik kebaikan dan kejahatan, nasib manusia yang

    menyangkal Tuhan walau di sisi lain ia mencari Tuhan, dan sebagainya. Agama Katolik

    banyak berpengaruh dalam sejarah sastra Jepang. Pengaruh agama Katolik mengambil

    alih peranan pengaruh agama Protestan, yang menganggap pengakuan sebagai tema

    yang paling tinggi hakekatnya di antara tema-tema lain. Karena itulah, sastra pasca

    perang menyangkal sastra pengakuan.