teori dan gaya kepemimpinan 12.docx

46
teori dan gaya kepemimpinan BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG Kepemimpinan dan manajemen dalam keperawatan melibatkan upaya perorangan untuk mempengaruhi perilaku orang lain untuk memberikan layanan keperawatan yang profesional,langsung dan individual. Peran kepemimpinan atau manajerial merupakan peran penengah dimana tanggung jawab utama manajer perawat adalah merencanakan,mengorganisir,memotivasi dan mengendalikan kerja para perawat dan tenaga penunjang kesehatan lainnya dalam memberikan layanan keperawatan. Proses kepemimpinan dan manajemen didasarkan kepada pendekatan ilmiah yang disebut metode pemecahan masalah. Fungsi metode ilmiah ini adalah untuk meningkatkan kemungkinan keberhasilan dari kegiatan manajer perawat,dalam situasi lingkungannya yang unik dan tertentu. Dalam suatu lingkungan keperawatan tertentu,terdapat anggota staf,klien,manajer,berbagai penentu situasi seperti kebijakan- kebijakan dan norma-norma,serta sumber-sumber materi; keadaan ini unik karena tidak mungkin untuk menemukan lingkungan yang tepat sama ditempat lain atau di waktu lain. Tugas dari manajer perawat adalah mengenali sumber-sumber yang ada dalam suatu sistem yang menyeluruh dalam mencapai tujuan dan memungkinkan adanya pertumbuhan. Penggunaan metode ilmiah dalam manajemen adalah untuk membantu manajer dalam mengkaji beberapa kebutuhan dari sistem dan dalam memilih prioritas, mengidentifikasi elemen orang dan situasi yang penting dalam mengemban tujuan-tujuan khusus,mengkaji secara kritis kekuatan dari orang-orang tersebut dan mengembangkan strategi yang melibatkan kekuatan-kekuatan tersebut dalam pekerjaan. Seorang manajer dapat berfungsi menjalankan perannya tanpa menggunakan metode pemecahan masalah. Alternatif ini disebut manajemen "seat of the pants",berkembang secara perlahan-lahan dari dorongan dan keyakinan tentang diri sendiri dan diri orang lain.

Upload: risky-love-diia

Post on 03-Feb-2016

44 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

teori dan gaya kepemimpinan

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kepemimpinan dan manajemen dalam keperawatan melibatkan upaya perorangan untuk mempengaruhi perilaku orang lain untuk memberikan layanan keperawatan yang profesional,langsung dan individual. Peran kepemimpinan atau manajerial merupakan peran penengah dimana tanggung jawab utama manajer perawat adalah merencanakan,mengorganisir,memotivasi dan mengendalikan kerja para perawat dan tenaga penunjang kesehatan lainnya dalam memberikan layanan keperawatan.

Proses kepemimpinan dan manajemen didasarkan kepada pendekatan ilmiah yang disebut metode pemecahan masalah. Fungsi metode ilmiah ini adalah untuk meningkatkan kemungkinan keberhasilan dari kegiatan manajer perawat,dalam situasi lingkungannya yang unik dan tertentu. Dalam suatu lingkungan keperawatan tertentu,terdapat anggota staf,klien,manajer,berbagai penentu situasi seperti kebijakan-kebijakan dan norma-norma,serta sumber-sumber materi; keadaan ini unik karena tidak mungkin untuk menemukan lingkungan yang tepat sama ditempat lain atau di waktu lain. Tugas dari manajer perawat adalah mengenali sumber-sumber yang ada dalam suatu sistem yang menyeluruh dalam mencapai tujuan dan memungkinkan adanya pertumbuhan. Penggunaan metode ilmiah dalam manajemen adalah untuk membantu manajer dalam mengkaji beberapa kebutuhan dari sistem dan dalam memilih prioritas, mengidentifikasi elemen orang dan situasi yang penting dalam mengemban tujuan-tujuan khusus,mengkaji secara kritis kekuatan dari orang-orang tersebut dan mengembangkan strategi yang melibatkan kekuatan-kekuatan tersebut dalam pekerjaan.

Seorang manajer dapat berfungsi menjalankan perannya tanpa menggunakan metode pemecahan masalah. Alternatif ini disebut manajemen "seat of the pants",berkembang secara perlahan-lahan dari dorongan dan keyakinan tentang diri sendiri dan diri orang lain. Manajemen seperti itu timbul dari perilaku yang tidak disadari yang tidak melibatkan pemikiran tentang apa yang dibutuhkan oleh kelompok dari manajer dalam rangka mencapai tujuannya. Manajemen "seat of the pants" ini memang bisa berhasil. Yaitu,jika kebetulan,dorongan diri,keyakinan dan perilaku manajer ini sesuai dengan kebutuhan sistem. Meskipun ada kemungkinan,tetapi keberhasilan seperti ini jarang terjadi.

Penggunaan pendekatan ilmiah tidak menjamin keberhasilan; memang tidak ada cara untuk memperkirakan perilaku orang lain dengan tepat. Seorang manajer yang efektif akan menganalisa lingkungan dan memilih strategi terbaik untuk mencapai tujuan spesifik,menggunakan kekuatan dan kelemahan khusus dari karyawan yang akan bekerja mencapai tujuan itu. Akan selalu ada yang tidak diketahui,yang tidak dapat dikendalikan-yaitu faktor resiko. Karena semua manajer menginginkan keberhasilan,tujuan mereka dalam memilih strategi terbaik seharusnya mengidentifikasi strategi yang meyeimbangkan faktor resiko terrendah dengan perolehan tertinggi. Ini secara otomatis

meningkatkan kemungkinan keberhasilan. Seorang manajer yang menggunakan pemikiran "seat of the pants" akan memiliki faktor resiko lebih tinggi daripada manajer yang berkeinginan menerapkan pendekatan ilmiah. Metode manajemen ilmiah memaksa manajer untuk merencanakan,mengorganisir,memotivasi dan mengendalikan secara logis dan analitis. Lebih lanjut hal itu akan memungkinkan seorang manajer menyusun rencana alternatif untuk semua hasil yang memungkinkan dicapai,daripada menghadapi masalah yang tidak diharapkan.

Mengapa metode ilmiah ini dapat menjanjikan banyak hal?. Metode ini berasal dari penelitian yang metodologis pada berbagai disiplin dan profesi bisnis,administrasi pendidikan dan psikologi-semuanya membutuhkan manajemen yang sangat baik.

Dengan menggunakan sejumlah pemeriksaan yang memungkinkan sebuah proses atau keyakinan boleh disebut "teori",hasilnya menunjukkan bahwa teori ini,yang diterapkan secara khusus,mempunyai keberhasilan sedikit nya sebesar 95%. Seseorang yang mengambil keputusan secara sembarangan saja atau menerka secara acak,akan memiliki kesempatan yang sama besar untuk menjadi benar atau salah. Seorang manajer,seharusnya tidak puas dengan angka perbandingan seperti ini-ini masih kurang berharga. Penggunaan intuisi hanya akan benar dan perlu sesudah penerapan suatu teori. Seperti proses membuat kue apel di rumah tangga biasa.

Tujuan akhir makalah ini sesuai tujuan akhir keperawatan, yaitu membantu klien mencapai potensi kesehatan sepenuhnya. Dalam mencapai tujuan ini sangatlah diperlukan sebuah tujuan perantara yaitu membantu manajer perawat untuk mencapai keefektifan yang optimal. Proses pendidikan menghargai keunikan pribadi peserta belajar. Seorang manajer perawat yang puas kemungkinan besar akan memiliki anggota staf yang puas, anggota staf yang puas kemungkinan besar akn mempunyai klien yang puas; seorang klien yang puas memiliki kemungkinan besar untuk mencapai potensi kesehatan yang sepenuhnya.

Berdasarkan hal diatas, maka kami sebagai penulis tertarik untuk lebih memahami konsep teori dan gaya kepemimpinan, dimana konsep ini saling terkait satu sama lain. Semoga makalah ini dapat membantu pmasyarakat umum dan khusnya kami (mahasiswa keperawatan) dalam memahami dan memilih teori dan gaya kepemimpinan seperti apa yang akan diterapkan nantinya,agar tercapainya tujuan bersama,baik dalam sebuah kelompok ataupun organisasi.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa saja Teori kepemimpinan yang ada?

2. Bagaimana Gaya kepemimpinan diterapkan berdasarkan teori-teori kepemimpinan?

C. TUJUAN PENULISAN

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah:

1. Melatih mahasiswa menyusun makalah dalam upaya lebih meningkatkan pengetahuan dan kreatifitas mahasiswa.

2. Agar mahasiswa lebih memahami dan mendalami pokok bahasan khususnya tentang kepemimpinan dan kearifan lokal.

D. METODE PENULISAN

Dari banyak metode yang penulis ketahui, penulis menggunakan metode kepustakaan. Penulis menggunakan metode ini karena jauh lebih praktis, efektif, efisien, serta sangat mudah untuk mencari bahan dan data-data tentang topik ataupun materi yang penulis gunakan untuk karya tulis ini.

E. RUANG LINGKUP

Mengingat keterbatasan waktu dan kemampuan yang penulis miliki maka ruang lingkup karya tulis ini terbatas pada pembahasan mengenai teori dan gaya kepemimpinan.

BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Definisi Kepemimpinan

Stogdill (1974) dengan tepat mengatakan bahwa "terdapat begitu banyak definisi kepemimpinan, sebanyak orang yang berusaha mendefinisikan konsep tersebut". Tetapi, ia memberikan sebuah skema klasifikasi dan pengkajian literatur yang teliti pada area ini.

Pada literatur masa dulu (Cooley,1902: Knickerbocker,1989), kepemimpinan dianggap sebagai sebuah fokus dari proses-proses kelompok. Pemikiran bahwa kepemimpinan adalah suatu bakat kepribadian juga dianggap menarik oleh ahli-ahli teori masa dulu (Bingham,1927; Kilbourne,1935). Allport (1924) dan Bennis (1929) dan Tannenbaum,Weschler,dan Massarik (1961) juga melihatnya sebagai latihan mempengaruhi, Fiedler (1967) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu tindakan atau suatu perilaku, dan Koontz,O'Donnell, dan Weihrich (1980) menyebutnya sebagai suatu bentuk persuasi. Sejumlah ahli teori menyimpulkan bahwa kepemimpinan adalah alat untuk mencapai tujuan (Cattell,1951; Urwick,1953). Para ahli perilaku organisasi lainnya telah memandang kepemimpinan sebagai suatu efek interaktif (Merton, 1969),suatu peran yang berbeda (Sherif,1956), dan awal dari struktur (Homans, 1950)

Jadi,dari beberapa pendapat para ahli diatas dapat kita simpulkan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses komunikasi untuk mempengaruhi kegiatan-kegiatan seseorang individu atau suatu kelompok terhadap pencapaian tujuan.

B. Teori Kepemimpinan

1. Teori Kepemimpinan Sifat ( Trait Theory )

Analisis ilmiah tentang kepemimpinan berangkat dari pemusatan perhatian pemimpin itu sendiri. Teori sifat berkembang pertama kali di Yunani Kuno dan Romawi yang beranggapan bahwa pemimpin itu dilahirkan, bukan diciptakan yang kemudian teori ini dikenal dengan ”The Greatma Theory”. Dalam perkembanganya, teori ini mendapat pengaruh dari aliran perilaku pemikir psikologi yang berpandangan bahwa sifat-sifat kepemimpinan tidak seluruhnya dilahirkan akan tetapi juga dapat dicapai melalui pendidikan dan pengalaman. Sifat-sifat itu antara lain : sifat fisik, mental, dan kepribadian.

Keith Devis merumuskan 4 sifat umum yang berpengaruh terhadap keberhasilan kepemimpinan organisasi, antara lain :

a. Kecerdasan

Berdasarkan hasil penelitian, pemimpin yang mempunyai kecerdasan yang tinggi di atas kecerdasan rata-rata dari pengikutnya akan mempunyai kesempatan berhasil yang lebih tinggi pula. Karena pemimpin pada umumnya memiliki tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengikutnya.

b. Kedewasaan dan Keluasan Hubungan Sosial

Umumnya di dalam melakukan interaksi sosial dengan lingkungan internal maupun eksternal, seorang pemimpin yang berhasil mempunyai emosi yang matang dan stabil. Hal ini membuat pemimpin tidak mudah panik dan goyah dalam mempertahankan pendirian yang diyakini kebenarannya.

c. Motivasi Diri dan Dorongan Berprestasi

Seorang pemimpin yang berhasil umumnya memiliki motivasi diri yang tinggi serta dorongan untuk berprestasi. Dorongan yang kuat ini kemudian tercermin pada kinerja yang optimal, efektif dan efisien.

d. Sikap Hubungan Kemanusiaan

Adanya pengakuan terhadap harga diri dan kehormatan sehingga para pengikutnya mampu berpihak kepadanya

2. Teori Perilaku

Berdasarkan penelitian, perilaku seorang pemimpin yang mendasarkan teori ini memiliki kecendrungan kearah 2 hal.

1) Konsiderasi yaitu kecendrungan seorang pemimpin yang menggambarkan hubungan akrab dengan bawahan. Contoh gejala yang ada dalam hal ini seperti : membela bawahan, memberi masukan kepada bawahan dan bersedia berkonsultasi dengan bawahan.

2) Struktur Inisiasi yaitu Kecendrungan seorang pemimpin yang memberikan batasan kepada bawahan. Contoh yang dapat dilihat , bawahan mendapat instruksi dalam pelaksanaan tugas, kapan, bagaimana pekerjaan dilakukan, dan hasil yang akan dicapai.

Jadi, berdasarkan teori ini, seorang pemimpin yang baik adalah bagaimana seorang pemimpin yang memiliki perhatian yang tinggi kepada bawahan dan terhadap hasil yang tinggi pula.

a. Model kepemimpian

Ada beberapa teori yang menggambarkan gaya-gaya kepemimpinan. Seperti pada komponen perilaku kepemimpinan, para pengarang memberikan nama yang berbeda pada setiap gaya atau model kepemimpinan, meskipun kerangka kerja dan arti dari model-model tersebut tetaplah sama.ada tiga model perilaku pemimpin yang baku yang akan didiskusikan dan dibandingkan dibagian ini.

1. Studi Universitas Ohio

Model Ohio State untuk gaya kepemimpianan mengandung dua komponen perilaku pemimpin sebagai berikut:

1). "Struktur prakarsa" menunjukkan upaya pemimpin untuk mengorganisir dan mendifiniskan peran-peran serta kegiatan para anggota kelompok. Unsur ini menyatakan suatu tujuan dan menggambarkan apa yang harus dilakukan, bagaimana melakukannya, kapan akan dilakukan, dimana akan dilakukan dan siapa yang akan bertanggung jawab atas tugas-tugas tertentu. Struktur ini melibatkan komunikasi satu arah; pemimpin mengarahkan bawahan tentang apa yang harus dilakukan dalam rangka mencapai suatu tujuan.

2). "Pertimbangan" melibatkan komunikasi dua arah, menjawab kebutuhan-kebutuhan pokok melalui meminta pendapat, keyakinan, keinganan dan sebagainya. Kegiatan-kegiatan kelompok dan diskusi termasuk dalam unsur pertimbangan. Lebih lanjut, pertimbangan membutuhkan penciptaan suasana saling percaya antar dan diantara para anggota kelompok, menunjukkan rasa hormat dan kehangatan. Menciptakan hubungan interpersonal yang efektif adalah bagian dari pertimbangan.

Skema 1-1

OTORITER DEMOKRATIK

Perilaku tugas

Struktur prakarsa

Penggunaan kewenangan oleh pemimpin

Kepedulian terhadapproduksi Perilaku hubungan Pertimbangan

Wilayah kebebasan untuk bawahan

Kepedulian terhadap orang

s

u

m

b

e

r

a

u

t

o

r

i

t

a

s

Gambar 1-1: Keseimbangan perilaku-perilaku pemimpin. Sumber: Dicetak kembali dengan ijin dari Harvard Businness Review. Diadaptasi dari :”How to Choose a Leadershift Pattern” oleh Robbert Tannenbaum dan Warren H. Schmidt (March/April,1958)

Model Ohio State dapat dilihat pada skema 1-1 (stogdill,coons,1957). Jika dua komponen kepemimpinan ditempatkan pada sumbu vertikal dan horisontal dan kotak-kotak jendela diisi; timbullah empat gaya perilaku kepemimpinan.

2. Studi Universitas Michigan

Kepemimpinan merupakan salah satu topik terpenting didalam mempelajari dan mempraktekkan manajemen. Studi tentang kepemimpinan ini sejak dulu telah banyak menarik perhatian para ahli. Sepanjang sejarah dikenal adanya kepemimpinan yang berhasil dan tidak berhasil selain itu kepemimpinan banyak mempengaruhi cara kerja dan prilaku banyak orang. Sebagian sebabnya sudah ada yang diketahui, sebagian belum terungkap. Oleh karena itu kepemimpinan banyak menarik perhatian para ahli untuk mempelajari.

Di Amerika Serikat terdapat banyak serangkaian penelitian tentang kepemimpinan mulai dari yang klasik sampai yang modern. Pada makalah ini akan diuraikan kembali tentang studi klasik dari kepemimpinan tersebut, dalam hal ini kami memfokuskan kajian tentang studi kepemimpinan Universitas Michigan.

Selama kurun waktu tiga dekade, dimulai pada permulaan tahun 1950-an, penelitian mengenai perilaku pemimpin telah didominasi oleh suatu fokus pada sejumlah kecil aspek dari perilaku. Teori perilaku adalah teori kepemimpinan yang menjelaskan ciri-ciri perilaku seorang pemimpin dan ciri-ciri perilaku seorang bukan pemimpin. Kebanyakan studi mengenai perilaku kepemimpinan selama periode tersebut menggunakan kuesioner untuk mengukur perilaku yang berorientasi pada tugas dan yang berorientasi pada hubungan.

Beberapa studi telah dilakukan untuk melihat bagaimana perilaku tersebut dihubungkan dengan kriteria tentang efektivitas kepemimpinan seperti kepuasan dan kinerja bawahan. Peneliti-peneliti lainnya menggunakan eksperimen laboratorium atau lapangan untuk menyelidiki bagaimana perilaku pemimpin mempengaruhi kepuasan dan kinerja bawahan. Jika kita cermati, satu-satunya penemuan yang konsisten dan agak kuat dari teori perilaku ini adalah bahwa para pemimpin yang penuh perhatian mempunyai lebih banyak bawahan yang puas. (massofa.wordpress.com)

Pusat Riset Micihigan University melakukan suatu penelitian. Penelitian ini mengidentifikasikan dua konsep yakni orientasi produksi (production orientastion) dan orientasi bawahan (employee orientation). Pemimpin yang menekankan pada orientasi bawahan sangat memperhatikan bawahan, di mana mereka merasa bahwa setiap karyawan itu penting, dan menerima karyawan sebagai pribadi. Sedangkan pemimpin yang berorientasi pada produksi sangat memperhatikan hasil dan aspek-aspek kerja untuk kepentingan organisasi, dengan tanpa menghiraukan apakah bawahan senang atau tidak. Kedua ini hampir sama dengan tipe otoriter dan tipe demokrtatis. (Wahjo Sumidjo, Kepemimpinan dan Motivasi, Jakarta: Ghalia, 1987:66.)

Dalam mengadakan penelitian pusat riset survei universitas Michigan bekerjasama dengan riset angkatan laut yang tujannya untuk menentukan prinsip-prinsip produktivitas kelompok, dan kepuasan anggota kelompokyang diperoleh dari partisipasi mereka. Untuk mencapai tujuan ini maka pada tahun 1947, dilakukan penelitian di Newark, new Jersey, pada perusahaan asuransi Prudental. Pada penelitian Newark, New Jersey tersebut pengukuran yang sistematis dibuat berdasarkan persepsi dan sikap para pekerja. Variabel-variabel ini kemudian dihubungkan dengan pengukuran-pengukuran pelaksanaan kerja. Hasil menunjukkan bahwa pengawas-pengawas pada seksi produksi tinggi lebih menyukai:

1. Menerima pengawasan dari pengawas-pengawas mereka yang bersifat terbuka di banding yang terlalu ketat.

2. Menyukai sejumlah otoritas dan tanggungjawab yang ada pada pekerjaan mereka

3. Menggunakan sebagian besar waktunya dalam pengawasan

4. Memberikan pengawasan terbuka kepada bawahannya dari pada pengawasan yang ketat

5. Berorientasi pada pekerja dari pada berorientasi pada produksi.

Menurut Fred Luthans pengawasan seksi produksi rendah memiliki karakteristik dan teknik-teknik yang berlawananan. Mereka dijumpai menyukai pengawasan-pengawasan yang ketat yang berorientasi pada produksi. Penemuan lain yang penting tapi kadang-kadang di abaikan adalah bahwa kepuasan karyawan tidak secara langsung berhubungan dengan produktivitas.

Pada umumnya orientasi pengawasan karyawan seperti yang diuraikan di atas telah memberikan patokan untuk pendekatan hubungan kemanusiaan seacra tradisional bagi kepemimpinan. Hasil-hasil dari penemuan prudential diatas telah banyak dikutib untk membuktikan teori-teori dalam hubungan kemanusiaan.

Penemuan ini kemudian banyak diikuti oleh ratusan penemuan-penemuan berikutnya dibidang yang luas pada pemerintahan, industri, rumah sakit dan organisasi lainnya. Sebagai bukti pada tahun 1961, Rensis Likert, direktur dari penelitian ilmu-ilmu sosial, Universitas Michigan, mengeluarkan hasil penelitan tahunannya yang berjudul New Pattern of Management, walaupun dalam penelitian tersebut banyak terdapat variasi dan penyempurnaan dari hasil penemuan yang lalu namun dalam New Pattern tersebut secara esensial masih banyak dijumpai kesamaan dengan penelitian diperusahaan Prudential diatas (Miftah Toha, 2001,21)

Berdasarkan penelitian universitas michigan tersebut ada dua macam tipe perilaku kepemimpinan yang telah kami sebutkan diatas. Rensis leinkert memberikan uraian karaktesitik dari masing-masing tipe kepemimpinan tersebut. Dalam tipe kepemimpinan yang berorientasi pada tugas ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut :

1. Pemimpin memberikan petunjuk kepada bawahan.

2. Pemimpin selalu mengadakan pengawasan secara ketat terhadap bawahan.

3. Pemimpin meyakinkan kepada bawahan bahwa tugas-tugas harus dilaksanakan sesuai dengan keinginannya.

4. Pemimpin lebih menekankan kepada pelaksanaan tugas daripada pembinaan dan pengembangan bawahan.

Sedangkan tipe kepemimpinan yang berorientasi kepada karyawan atau bawahan ditandai dengan beberapa hal sebagai berikut:

1. Pemimpin lebih memberikan motivasi daripada memberikan pengawasan kepada bawahan.

2. Pemimpin melibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan.

3. Pemimpin lebih bersifat kekeluargaan, saling percaya dan kerja sama, saling menghormati di antara sesama anggota kelompok.

Sebagai pengembangan, maka para ahli berusaha dapat menentukan mana di antara kedua gaya kepemimpinan itu yang paling efektif untuk kepentingan organisasi atau perusahaan. Salah satu pendekatan yang dikenal dalam menjalankan gaya kepemimpinan adalah ada empat sistem manajemen yang dikembangkan oleh Rensis Likert. Empat system tersebut terdiri dari:

1. Sistem otoritatif dan eksploitif:

Pemimpin membuat semua keputusan yang berhubungan dengan kerja dan memerintah para bawahan untuk melaksanakannya. Standar dan metode pelaksanaan juga secara kaku ditetapkan oleh pemimpin. Manajemen menggunakan rasa takut dan ancaman; komunikasi atas ke bawah dengan kebanyakan keputusan diambil di atas; atasan dan bawahan memiliki jarak yang jauh;

2. Sistem otoritatif dan benevolent:

Pemimpin tetap menentukan perintah-perintah, tetapi memberi bawahan kebebasan untuk memberikan komentar terhadap perintah-perintah tersebut. berbagai fleksibilitas untuk melaksanakan tugas-tugas mereka dalam batas-batas dan prosedur-prosedur yang telah ditetapkan. Manajemen menggunakan penghargaan;, informasi mengalir ke atas dibatasi untuk manajemen apa yang ingin didengar dan keputusan kebijakan sementara datang dari atas beberapa keputusan yang ditetapkan dapat dilimpahkan ke tingkat yang lebih rendah, atasan mengharapkan kepatuhan bawahan

3. Sistem konsultatif:

Pemimpin menetapkan tujuan-tujuan dan memberikan perintah-perintah setelah hal-hal itu didiskusikan dahulu dengan bawahan. Bawahan dapat membuat keputusan-keputusan mereka sendiri tentang cara pelaksanaan tugas. Penghargaan lebih digunakan untuk memotivasi bawahan daripada ancaman hukuman. Manajemen menawarkan hadiah, kadang-kadang hukuman; keputusan besar datang dari atas sementara ada beberapa yang lebih luas keterlibatan dalam pengambilan keputusan dan komunikasi rincian ke bawah ke atas sementara komunikasi penting hati-hati.

4. Sistem partisipatif:

Adalah sistem yang paling ideal menurut Likert tentang cara bagaimana organisasi seharusnya berjalan. Tujuan-tujuan ditetapkan dan keputusan-keputusan kerja dibuat oleh kelompok. Bila pemimpin secara formal yang membuat keputusan, mereka melakukan setelah mempertimbangkan saran dan pendapat dari para anggota kelompok. Untuk memotivasi bawahan, pemimpin tidak hanya mempergunakan penghargaan-penghargaan ekonomis tetapi juga mencoba memberikan kepada bawahan perasaan yang dibutuhkan dan penting. Manajemen kelompok mendorong partisipasi dan keterlibatan dalam menetapkan tujuan kinerja yang tinggi dengan beberapa penghargaan ekonomi; komunikasi mengalir ke segala arah dan terbuka dan jujur dengan pengambilan keputusan melalui proses kelompok dengan masing-masing kelompok terkait dengan orang lain dengan orang-orang yang menjadi anggota lebih dari satu kelompok yang disebut menghubungkan pin; dan bawahan dan atasan dekat. Hasilnya adalah produktivitas yang tinggi dan lebih baik hubungan industrial.

3. Managerial Grid

Blake and Mouton (1964,1978) mengembangkan kisi-kisi manajerial (lihat skema 1-2) dan kemudian diterapkan pada kepemimpinan keperawatan (Blake,Mouton,Tapper 1981). Kisi-kisi ini mempunyai lima gaya kepemimpinan didasarkan pada suatu kombinasi kepedulian terhadap produksi dan kepedulian terhadap orang. Skala untuk setiap komponen bergerak dari satu (rendah) ke sembilan (tinggi). Kelima gaya kepemimpinan ini digambarkan sebagai berikut (Blake, Mouton,Barners, dan kawan-kawan 1964):

a. Kepemimpinan “Otoritas-kepatuan (Tugas)” (9.1). pemimpin dianggap sebuah posisi kekuasaan untuk mengatur kondisi-kodisi kerja secara efisien dan dalam cara tertentu dimana elemen manusia terlibat secara minimal.

b. Kepemimpinan “Tim” (9.9)[1]

c. Kepemimpinan "Country Club" (1.9). Pemimpin memberi perhatian yang penuh terhadap kebutuhan para anggota kelompok dan menciptakan suatu atmosfir dan tempo kerja yang menyenangkan dan bersahabat.

d. Kepemimpinan yang "miskin" (1.1). Pemimpin memberikan upaya yang minimal dalam meyelesaikan pekerjaan yang perlu diselesaikan.

e. Kepemimpinan "orang-organisasi". (Ditengah-tengah) (5.5). Pemimpin mengimbangkan perilaku yang berhubungan dengan tugas sementara mempertahankan moral anggota kelompok pada tingkat yang memuaskan.

b. Perbandingan teori-teori kepemimpinan

Ketiga model kepemimpinan yang telah dibahas diatas secara konseptual memang hampir sama. Gambar 1-2 menyatukan model Ohio State,Michigan,dan kisi-kisi manajerial dan ketiga gaya kepemimpinan yang umum.

c. Menentukan gaya perilaku pemimpin yang tepat

Perilaku pemimpin berrespon terhadap diagnosa lingkungan diri, sistem dan tugas ditambah penerapan teori perilaku pemimpin. Perilaku pemimpin yang akan digunakan dalam bagian ini adalah model Ohio State,ditunjukkan oleh gambar 1-2,yaitu:

tinggi 9

"country club"

"Tim"

9,9

8

1,9

7

6

orang-orang organisasi

5

5,5

4

3

2

pemiskinan

Otoritas-ketaatan

1

1,1

9,1

rendah

1

2

3

4

5

6

7

8

9

tinggi

Keperluan terhadap produksi

Gambar 1-2:

Teori-teori kepemimpinan: Model Ohio State,teori kepemimpinaan situasional,Managerial Grid dan gaya perilaku pemimpin yang umum.

3. Teori situasional

Teori kepemimpinan situasional (Hersey, Blanchard, 1977) tumbuh dari model Ohio state dan dapat dilihat pada gambar 1-3. Teori ini tampak persis seperti model Ohio State kecuali bahwa nama-nama komponen perilaku pemimpinnya berbeda. Tugas setara dengan struktur dan hubungan/relasi setara dengan pertimbangan.

Keempat kuadran pada model Ohio State dan pada teori ini kepemimpinan situasional dapat dijelaskan seperti berikut:

1. "Struktur/tugas yang tinggi dan pertimbangan/hubungan yang rendah". Seorang pemimpin pada pokoknya mendefinisikan tugas, menerangkan pada kelompok tanggung jawab setiap orang dan menyebutkan kapan tugas-tugas harus dilakukan. Komunikasi satu arah menjadi karakteristik perilaku pemimpin meskipun perilaku hubungan yang rendah haruslah ada. Perilaku hubungan yang rendah ini adalah semata-mata berupa rasa hormat dan kehangatan terhadap orang lain dan dorongan positif setelah tujuan tercapai. Pada gaya ini tidak ada pengambilan keputusan oleh kelompok.

2. "Struktur/tugas yang tinggi dan pertimbangan/hubungan yang tinggi". Seorang pemimpin memberikan perhatian yang seimbang terhadap keruwetan penyelesaian suatu tugas dan terhadap keyakinan, keinginan dan kebutuhan kelonpok. Pemimpin mungkin mendefinisikan suatu tujuan, menunjuk apa yang akan dikerjakan dan siapa yang mempunyai tanggung jawab khusus, dan mengundang pertanyaan atau reaksi. Rencana sebelumnya dari pemimpin ini,pemimpin masih mengendalikan secara penuh tetapi interaksi kelompok telah dimulai.

3. "Pertimbangan/hubungan yang tinggi dan struktur/tugas yang rendah". Pada gaya ini perhatian utama pemimpin bukanlah tugas dan berbagai keruwetannya. Sebaliknya perhatian untuk proses, untuk mendapatkan kelompok bekerjasama secara efektif untuk menyelesaikan tugas. Pemimpin masih memiliki bebrapa pengendalian dalam cara bagaimana kelompok menyelesaikan tugas-tugas,misalnya, pada gaya ini pemimpin dapat mendefinisikan masalah dan meminta para anggota kelompok untuk membuat keputusan lebih lanjut tentang bagaimana mereka pekerja bersama-sama untuk menyelesaikan tugas.

4. "Struktur/tugas yang rendah dan pertimbangan/hubungan yang rendah". Pemimpin mempertahankan suatu sikap merendah dalam gaya ini, memungkinkan para bawahan untuk berfungsi dalam batasan-batasan yang telah didefinisikan sebelumnya. Pada waktunya, pemimpin

mungkin dibutuhkan untuk konsultasi, untuk memberikan arahan, atau untuk memberikan dorongan positif. Interaksi seperti ini tidak direncanakan secara teratur, tetapi akan terjadi karena kebutuhan meningkat. Gaya perilaku pemimpin ini merupakan pendelegasian karena pengendalian dipindahkan dari pemimpin kepada para bawahan.

Gambar 1-3[2];

Struktur Tugas Rendah

Pertimbangan Tinggi.

Struktur Tugas Tinggi

Pertimabngan Tinggi

Struktur Tugas Rendah

Pertimbangan Rendah

Struktur Tugas Tinggi

Pertimbangan Rendah

Gambar 1-3:

Teori kepemimpinan situasional. Sumber: Paul Hersey, Kenneth H Blanchard, Management of Organizational Behavior: Utilizing Human Resources,ed 3, Hak cipta 1977, hal 103. Dicetak ulang dengan ijin dari Prentice Hall, Inc, Englewood Cliffs, NJ.

a. Teori Kontingensi

Pendekatan teori kontingensi mengidentifikasi bentuk-bentuk optimal pengendalian organisasi di bawah kondisi operasi yang berbeda dan mencoba untuk menjelaskan bagaimana prosedur operasi pengendalian organisasi tersebut. Pendekatan akuntansi pada akuntansi manajemen didasarkan pada premis bahwa tidak ada sistem akuntansi secara universal selalu tepat untuk dapat diterapkan pada setiap organisasi, tetapi hal ini tergantung pada faktor kondisi atau situasi yang ada dalam organisasi.

Menurut Otley (1980) para peneliti telah menerapkan pendekatan kontingensi guna menganalisis dan mendesain sistem kontrol, khususnya di bidang sistem akuntansi manajemen. Beberapa peneliti dalam bidang akuntansi manajemen melakukan pengujian untuk melihat hubungan variabel-variabel kontekstual seperti ketidakpastian lingkungan, ketidakpastian tugas,

struktur dan kultur organisasional, ketidakpastian strategi dengan desain sistem akuntansi manajemen.

Teori kontingensi (contingency theory) menyatakan bahwa keselarasan antara strategi dengan lingkungan bisnis eksternal menentukan kelangsungan hidup dan kinerja perusahaan (Child, 1997; Lee & Miller, 1996). Teori kontijensi juga bermakna bagaimana perencanaan strategi mampu memenuhi tuntutan ling-kungan, yang mana jika tidak tercipta keselarasan antara perencanaan strategi dengan lingkungan bisnis eksternal dapat berakibat turunnya kinerja sehingga munculnya krisis organisasi atau perusahaan (Elenkov, 1997).

Keselarasan antara strategi organisasi dengan lingkungan eksternalnya merupakan fokus kajian manajemen strategik. Pendekatan dengan menggunakan teori kontijensi ini mendapat du-kungan dari banyak pakar. Bukti empiris yang ada pada umumnya menunjukkan bahwa perusahaan yang berhasil menyelaraskan strateginya dengan lingkungan eksternal yang dihadapinya akan memperlihatkan kinerja yang lebih baik diban-dingkan perusahaan-perusahaan yang kurang berhasil menyelaraskan strateginya. (Beal, 2000; Elenkov, 1997).

Pendekatan kontingensi menarik minat para peneliti karena mereka ingin mengetahui apakah tingkat keandalan suatu sistem akuntansi manajemen akan selalu berpengaruh sama pada setiap kondisi atau tidak. Berdasarkan teori kontingensi maka terdapat faktor situasional lain yang mungkin akan saling berinteraksi dalam suatu kondisi tertentu. Diawali dari pendekatan kontingensi ini maka muncul lagi kemungkinan bahwa desentralisasi juga akan menyebabkan perbedaan kebutuhan informasi akuntansi manajemen.

Hirst (1981) mengatakan bahwa perkembangan suatu organisasi dipengaruhi oleh perbedaan fitur lingkungan. Lebih jauh hipotesisnya menyebutkan bahwa kesuksesan suatu organisasi tergantung pada ketidakpastian, faktor internal, umpan balik dengan organisasi lainnya, interaksi eksternal organisasi.

Teori-teori kontingensi berasumsi bahwa berbagai pola perilaku pemimpin (atau ciri) dibutuhkan dalam berbagai situasi bagi efektivitas kepemimpinan. Teori Path-Goal tentang kepemimpinan meneliti bagaimana empat aspek perilaku pemimpin mempengaruhi kepuasan serta motivasi pengikut. Pada umumnya pemimpin memotivasi para pengikut dengan mempengaruhi persepsi mereka tentang konsekuensi yang mungkin dari berbagai upaya. Bila para pengikut percaya bahwa hasil-hasil dapat diperoleh dengan usaha yang serius dan bahwa usaha yang demikian akan berhasil, maka kemungkinan akan melakukan usaha tersebut. Aspek-aspek situasi seperti sifat tugas, lingkungan kerja dan karakteristik pengikut menentukan tingkat keberhasilan dari jenis perilaku kepemimpinan untuk memperbaiki kepuasan dan usaha para pengikut.

LPC Contingency Model dari Fiedler berhubungan dengan pengaruh yang melunakkan dari tiga variabel situasional pada hubungan antara suatu ciri pemimpin (LPC) dan kinerja pengikut. Menurut model ini, para pemimpin yang berskor LPC tinggi adalah lebih efektif untuk situasi-situasi yang secara moderat menguntungkan, sedangkan para pemimpin dengan skor LPC rendah akan lebih menguntungkan baik pada situasi yang menguntungkan maupun tidak menguntungkan. Leader Member Exchange Theory menjelaskan bagaimana para pemimpin mengembangkan hubungan pertukaran dalam situasi yang berbeda dengan berbagai pengikut. Hersey and Blanchard Situasional

Theory lebih memusatkan perhatiannya pada para pengikut. Teori ini menekankan pada perilaku pemimpin dalam melaksanakan tugas kepemimpinannya dan hubungan pemimpin pengikut.

Leader Participation Model menggambarkan bagaimana perilaku pemimpin dalam proses pengambilan keputusan dikaitkan dengan variabel situasi. Model ini menganalisis berbagai jenis situasi yang mungkin dihadapi seorang pemimpin dalam menjalankan tugas kepemimpinannya. Penekanannya pada perilaku kepemimpinan seseorang yang bersifat fleksibel sesuai dengan keadaan yang dihadapinya.

b. Teori Kontingensi Fielder

Model Contingency dari kepemimpinan yang efektif dikembangkan oleh Fiedler (1967) . Menurut model ini, maka the performance of the group is contingen upon both the motivasional system of the leader and the degree to which the leader has control and influence in a particular situation, the situational favorableness (Fiedler, 1974:73).

Dengan perkataan lain, tinggi rendahnya prestasi kerja satu kelompok dipengaruhi oleh sistem motivasi dari pemimpin dan sejauh mana pemimpin dapat mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi tertentu.

Model ini menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang paling efektif tergantung pada situasi yang dihadapi dan perubahan gaya bukan merupakan suatu hal yang sulit.

Fiedler memperkenalkan tiga variabel yaitu:

1. Task structure : keadaan tugas yang dihadapi apakah strucktured atau unstructured task

2. leader-member relationship : hubungan antara pimpinan dengan bawahan, apakah kuat (saling percaya, saling menghargai) atau lemah.

3. Position power : ukuran aktual seorang pemimpin,

ada beberapa power yaitu:

1. Legitimatepower : adanya kekuatan legal pemimpin

2. reward power : kekuatan yang berasal imbalan yang diberikan pimpinan

3. coercive power : kekuatan pemimpin dalam memberikan ancaman

4. expert power : kekuatan yang muncul karena keahlian pemimpinnya

5. referent power : kekuatan yang muncul karena bawahan menyukai pemimpinnya

6. information power : pemimpin mempunyai informasi yang lebih dari bawahannya.

Menurut model ini, maka the performance of the group is contingen upon both the motivasional system of the leader and the degree to which the leader has control and influence in a particular situation, the situational favorableness (Fiedler, 1974:73).

Dengan perkataan lain, tinggi rendahnya prestasi kerja satu kelompok dipengaruhi oleh sistem motivasi dari pemimpin dan sejauh mana pemimpin dapat mengendalikan dan mempengaruhi suatu situasi tertentu.

Untuk menilai sistem motivasi dari pemimpin, pemimpin harus mengisi suatu skala sikap dalam bentuk skala semantic differential, suatu skala yang terdiri dari 16 butir skala bipolar. Skor yang diperoleh menggambarkan jarak psikologis yang dirasakan oleh peminpin antara dia sendiri dengan “rekan kerja yang paling tidak disenangi” (Least Prefered Coworker = LPC). Skor LPC yang tinggi menunjukkan bahwa pemimpin melihat rekan kerja yang paling tidak disenangi dalam suasana menyenangkan. Dikatakan bahwa pemimpin dengan skor LPC yang tinggi ini berorientasi ke hubungan (relationship oriented). Sebaliknya skor LPC yang rendah menunjukkan derajat kesiapan pemimpin untuk menolak mereka yang dianggap tidak dapat bekerja sama. Pemimpin demikian, lebih berorientasi ke terlaksananya tugas (task oriented). Fiedler menyimpulkan bahwa:

1. Pemimpin dengan skor LPC rendah (pemimpin yang berorientasi ke tugas) cenderung untuk berhasil paling baik dalam situasi kelompok baik yang menguntungkan, maupun yang sangat tidak menguntungkan pemimpin.

2. Pemimpin dengan skor LPC tinggi ( pemimpin yang berorientasi ke hubungan) cenderung untuk berhasil dengan baik dalam situasi kelompok yang sederajat dengan keuntungannya.

Sebagai landasan studinya, Fiedler menemukan 3 (tiga) dimensi kritis daripada situasi / lingkungan yang mempengaruhi gaya Pemimpin yang sangat efektif, yaitu:

a. Kekuasaan atas dasar kedudukan/jabatan (Position power)

Kekuasaan atas dasar kedudukan / jabatan ini berbeda dengan sumber kekuasaan yang berasal dari tipe kepemimpinan yang kharismatis, atau keahlian (expertise power). Berdasarkan atas kekuasaan ini seorang pemimpin mempunyai anggota-anggota kelompoknya yang dapat diperintah / dipimpin, karena ia bertindak sebagai seorang Manager, di mana kekuasaan ini diperoleh berdasarkan atas kewenangan organisasi (organizational authority).

b. Struktur tugas (task structure)

Pada dimensi ini Fiedler berpendapat bahwa selama tugas-tugas dapat diperinci secara jelas dan orang-orang diberikan tanggung jawab terhadapnya, akan berlainan dengan situasi di mana tugas-tugas itu tidak tersusun (unstructure) dan tidak jelas. Apabila tugas-tugas tersebut telah jelas, mutu daripada penyelenggaraan kerja akan lebih mudah dikendalikan dan anggota-anggota kelompok dapat lebih jelas pertanggungjawabannya dalam pelaksanaan kerja, daripada apabila tugas-tugas itu tidak jelas atau kabur.

c. Hubungan antara Pemimpin dan anggotanya (Leader-member relations)

Dalam dimensi ini Fiedler menganggap sangat penting dari sudut pandangan seorang pemimpin. Kekuasaan atas dasar kedudukan / jabatan dan struktur tugas dapat dikendalikan secara lebih luas dalam suatu badan usaha / organisasi selama anggota kelompok suka melakukan dan penuh kepercayaan terhadap kepimpinannya (hubungan yang baik antara pemimpin-anggota).

Berdasarkan ketiga variabel ini Fiedler menyusun delapan macam situasi kelompok yang berbeda derajat keuntungannya bagi pemimpin. Situasi dengan dengan derajat keuntungan yang tinggi misalnya adalah situasi dimana hubungan pemimpin-anggota baik, struktur tugas tinggi, dan kekuasaan kedudukan besar. Situasi yang paling tidak menguntungkan adalah situasi dimana hubungan pemimpin-anggota tidak baik, struktur tugas rendah dan kekuasaan kedudukan sedikit.

c. Teori Normatif

PEMIMPINAN NORMATIF MENURUT VROOM DAN YETTON (Normative Theory: Decision Making and Leader Effectiveness: Vroom & Yetton, 1973)

Salah satu tugas utama dari seorang pemimpin adalah membuat keputusan. Karena keputusan2 yg dilakukan para pemimpin sering kali sangat berdampak kpd para bawahan mereka, maka jelas bahwa komponen utama dari efektifitas pemimpin adalah kemampuan mengambil keputusan yang sangat menentukan keberhasilan ybs melaksanakan tugas2 pentingnya. Pemimpin yang mampu membuat keputusan dengan baik akan lebih efektif dalam jangka panjang dibanding dengan mereka yg tidak mampu membuat keputusan dengan baik.

Dalam mengambil keputusan, bagaimana pemimpin memperlakukan bawahannya? Dengan kata lain seberapa jauh para bawahannya diajak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan?

Sebagaimana telah kita pahami bahwa partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusan dapat meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi stress, dan meningkatkan produktivitas.Namun seberapa jauh partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusan akan diberikan pemimpinnya? Jawabannya adalah Normative Theory dari Vroom and Yetton.

Vroom dan Yetton (1973) mengembangkan model kepemimpinan normatif dalam 3 kunci utama: metode taksonomi kepemimpinan, atribut-atribut permasalahan, dan pohon keputusan (decision tree). 5 tipe kunci metode kepemimpinan yang teridentifikasi (Vroom & Yetton, 1973):

Autocratic I : membuat keputusan dengan menggunakan informasi yang saat ini terdapat pada pemimpin.

Autocratic II : membuat keputusan dengan menggunakan informasi yang terdapat pada seluruh anggota kelompok tanpa terlebih dahulu menginformasikan tujuan dari penyampaian informasi yang mereka berikan.

Consultative I: berbagi akan masalah yang ada dengan individu yang relevan, mengetahui ide-ide dan saran mereka tanpa melibatkan mereka ke dalam kelompok; lalu membuat keputusan.

Consultative II: berbagi masalah dengan kelompok, mendapatkan ide-ide dan saran mereka saat diskusi kelompok berlangsung, dan kemudian membuat keputusan.

Group II : berbagi masalah yang ada dengan kelompok, mengepalai diskusi kelompok, serta menerima dan menerapkan keputusan apapun yang dibuat oleh kelompok.

Tidak ada satupun dari metode ini yang dianggap terbaik untuk diterapkan pada berbagai situasi. Para pemimpin harus mencocokkan metode kepemimpinan dengan situasi yang ada. Ada 7 atribut

dari situasi yang harus diambil dalam memutuskan metode kepemimpinan seperti apa yang harus digunakan (Vroom & Yetton, 1973):

1. Adakah kualitas lain yang lebih rasional daripada solusi yang telah ada?

2. Apakah saya memiliki informasi dan keahlian yang cukup untuk membuat sebuah keputusan yang berkualitas tinggi?

3. Apakah masalahnya terstruktur?

4. Apakah penerimaan subordinat saya terhadap keputusan yang saya buat akan mempengaruhi efektivitas dalam implementasi keputusan saya?

5. Jika saya harus membuat keputusan sendiri, apakah keputusan saya dapat diterima secara beralasan oleh subordinat saya?

6. Apakah subrodinat saya memiliki tujuan organisasi yang sama dengan saya saat memecahkan masalah ini?

7. Apakah konflik akan terjadi di kalangan subordinat saya ketika solusi ini terpilih?

Jawaban-jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut terspesifikasi melalui metode kepemimpinan macam apa yang paling tepat diterapkan pada situasi tertentu. Jawaban “ya” dan “tidak” akan mengarah pada pohon keputusan (decision tree) yang membantu pemimpin untuk melanjutkan tanggungjawabnya. Aturan Yang Dirancang Untuk Mendukung Dan Melindungi Hasil Penerimaanm Keputusan ; Vroom & Yetton, 1973:

1) Penerimaan Aturan: Jika penerimaan oleh bawahan sangat penting untuk pelaksanaan yang efektif, menghilangkan gaya otokratis.

2) Konflik Aturan: Jika penerimaan oleh bawahan sangat penting untuk pelaksanaan yang efektif, dan mereka memegang pendapat yang saling bertentangan atas sarana untuk mencapai beberapa tujuan, menghilangkan gaya otokratis.

3) Keadilan Aturan: Jika kualitas keputusan penerimaan tidak penting tapi penting, gunakan gaya yang paling partisipatif.

4) Penerimaan Aturan Prioritas: Jika penerimaan sangat penting dan tidak pasti hasil dari keputusan otokratis, dan jika súbor-dinates tidak termotivasi untuk mencapai tujuan organisasi, gunakan gaya yang sangat partisipatif.

d. Teori Siklus-Hidup dari Hersey dan Blanchard

Teori ini sangat dipengaruhi oleh penelitian-penelitian kepemimpinan sebelumnya. Terutama studi Ohio State. Seperti Fiedler, Hersey dan Blanchard memepergunakan pendekatan situasional─dengan suatu perbedaan pokok. Mereka menekankan bahwa penggunaan gaya adaptif oleh pemimpin tergantung pada diagnosa yang mereka buat terhadap situasi.

Konsep dasar teori ini adalah bahwa strategi dan perilaku pemimpin harus situasional dan terutama didasarkan pada kedewasaan atau tidak kedewasaan para pemgikut. Definisi-definisi berikut akan akan membantu untuk memahami teori ini.

1) Kedewasaan (maturity) adalah kemampuan individu atau kelompok untuk menetapkan tujuan yang tinggi tetapi dapat tercapai, dan keinginan serta kemampuan mereka untuk mengambil tanggungjawab. Variable-variaibel kedewasaan ini yang merupakan hasil dari pendidikan dan/atau pengalaman, harus dipertimbangkan hanya dalam hubungannya dengan tugas tertentu yang dilaksanakan.

2) Perilaku tugas adalah tingkat dimana pemimin cenderung untuk mengorganisasikan dan enentukan peranan-peranan para pengikut, menjelaskan setiap kegiatan yang dilaksanakan, kapan, dimana, dan bagaimana tugas-tugas diselesaikan. Ini tergantung pola-pola perencanaan organisasi, saluran komunikasi, dan cara-cara penyelesaian pekerjaan.

3) Perilaku hubungan, berkenaan dengan hubungan pribadi pemimpin dengan individu atau para anggota kelompoknya. Ini mencakup besarnya dukungan yang disediakan oleh pemimpin dan tingkat dimana pemimin menggunakan komunikasi antar pribadi dan perilaku pelayanan.

e. Kepemimpinan Kontinum

Gaya Kepemimpinan Kontinuum (continuum of leadership)menjelaskan pembagian kekuasaan antara pemimpin dan bawahannya (Robert Tannenbaum and. Warren H. Schmidt, How to Choose Leadership Pattern). Kontinuum membagi 7 daerah mulai dari otoriter sampai dengan laissez-fairedengan titik demokratis.

Demokrasi (hubungan berorientasi) pola kepemimpinan yang ditandai oleh penggunaan wewenang oleh bawahan. Otoriter (tugas berorientasi) pola kepemimpinan yang ditandai oleh penggunaan wewenang oleh pemimpin. Perhatikan bahwa sebagai penggunaan kekuasaan oleh bawahan meningkat (gaya demokratis) penggunaan wewenang oleh pemimpin berkurang secara proporsional.

Tujuh “pola kepemimpinan” yang diidentifikasi oleh Tannenbaum dan Schmidt :

1) Kepemimpinan Pola 1: “Para pemimpin membuat keputusan dan mengumumkan ke grup/bawahan.” Contoh: Pemimpin memutuskan bahwa tim akan mengadakan pertemuan pada hari Kamis dan mengatakan berita itu kepada tim, apakah mereka suka atau tidak.

2) Kepemimpinan Pola 2: “Pemimpin menjual keputusan.” Para pemimpin membuat keputusan kemudian meyakinkan kelompok bahwa keputusan yang diambil benar. Contoh: Pemimpin mengatakan kepada anggota tim bahwa mereka akan bertemu pada hari Kamis. Pemimpin kemudian meyakinkan anggota tim bahwa Kamis adalah hari-hari terbaik untuk bertemu.

3) Kepemimpinan Pola 3: “Pemimpin menyajikan ide-ide/pemikiran dan mengundang pertanyaan-pertanyaan.” Contoh: Pemimpin tim mengatakan bahwa ia sedang mempertimbangkan membuat hari Kamis untuk pertemuan tim. Pemimpin kemudian mempersilahkan kelompok jika mereka memiliki pertanyaan.

4) Kepemimpinan Pola 4: “Pemimpin menyajikan keputusan yang bersifat sementara untuk kelompok yang kemungkinan dapat diubah.” Contoh: Pemimpin kelompok bertanya apakah hari Kamis akan menjadi hari yang baik untuk bertemu. Tim menyarankan hari-hari lain yang mungkin lebih baik.

5) Kepemimpinan Pola 5: “Pemimpin menyajikan masalah, meminta saran, dan membuat keputusan.” Contoh: Pemimpin meminta tim untuk menyarankan hari-hari baik untuk bertemu, maka pemimpin memutuskan hari apa tim akan bertemu.

6) Kepemimpinan Pola 6: “Pemimpin merumuskan batas-batas, dan meminta kelompok bawahan untuk membuat keputusan.” Contoh: Pemimpin mengatakan bahwa anggota tim harus memenuhi setidaknya sekali seminggu, tetapi tim bisa memutuskan mana hari adalah yang terbaik.

7) Kepemimpinan Pola 7: “Pemimpin mengizinkan bawahan melakukan fungsi-fungsinya dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh pimpinan.” Contoh: Pemimpin memungkinkan anggota tim untuk memutuskan kapan dan seberapa sering untuk bertemu.

Robert Tannenbaum dan Warren H. Schmidt menggambarkan gagasannya melalui gambar dibawah ini. Ada dua bidang pengaruh yang ekstrim, pertama bidang pengaruh pimpinan dan kedua bidang pengaruh kebebasan bawahan. Pada bidang pertama, pimpinan menggunakan otoritasnya dalam gaya kepemimpinannya sedangkan pada bidang kedua, pemimpin menunjukkan gaya yang demokratis. Kedua bidang pengaruh ini dipengaruhi dalam hubungannya jika pemimpin melakukan aktivitasnya dalam pembuatan keputusan.

Jadi, berdasarkan teori kontinuum, perilaku pemimpin pada dasarnya bertitik tolak dari dua pandangan dasar :

1. Berorientasi kepada pemimpin.

2. Berorientasi kepada bawahan

Stogdill menyatakan bahwa terdapat enam kategori faktor pribadi yang membedakan antara pemimpin dan pengikut, yaitu kapasitas, prestasi, tanggung jawab, partisipasi, status dan situasi (Bernard M. Bassl, Stogdill’s Handbook of Leadership,). Namun demikian banyak studi yang menunjukkan bahwa faktor-faktor yang membedakan antara pemimpin dan pengikut dalam satu studi tidak konsisten dan tidak didukung dengan hasil-hasil studi yang lain.

Disamping itu, watak pribadi bukanlah faktor yang dominan dalam menentukan keberhasilan kinerja manajerial para pemimpin. Hingga tahun 1950-an, lebih dari 100 studi yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi watak atau sifat personal yang dibutuhkan oleh pemimpin yang baik, dan dari studi-studi tersebut dinyatakan bahwa hubungan antara karakteristik watak dengan efektifitas kepemimpinan, walaupun positif, tetapi tingkat signifikasinya sangat rendah.

Perusahaan merupakan organisasi bisnis yang terdiri atas orang-orang, maka pimpinan seharusnya dapat menyelaraskan antara kebutuhan-kebutuhan individu dengan kebutuhan organisasi yang dilandasi oleh hubungan manusiawi. Sejalan dengan itu diharapkan seorang pimpinan mampu memotivasi dan menciptakan kondisi sosial yang menguntungkan setiap karyawan sehingga tercapainya kepuasan kerja karyawan yang berimplikasi pada meningkatnya produktivitas kerja karyawan (Robbins, 2002 : 181).

Perilaku atasan juga merupakan determinan utama dari kepuasan. Umumnya kepuasan dapat ditingkatkan, bila atasan bersifat ramah dan memahami, menawarkan pujian untuk kinerja yang baik, mendengarkan pendapat karyawan, dan menunjukkan suatu minat pribadi pada mereka (Robbins, 2002 : 181).

4. Teori Transaksional & Transformational

a. Kepemimpinan Transaksional

Kepemimpinan Transaksional mendasarkan pada asumsi bahwa kepemimpinan merupakan kontrak sosial antara pemimpin dan para pengikutnya. Pemimpin dan para pengikutnya merupakan pihak-pihak yang independen yang masing-masing mempunyai tujuan, kebutuhan dan kepentingan sendiri. Sering tujuan, kebutuhan dan kepentingan tersebut saling bertentangan sehingga mengarah ke situasi konflik. Misalnya, di perusahaan sering tujuan pemimpin perusahaan dan tujuan karyawan bertentangan sehingga terjadi peerselisihan industrial.

Dalam teori kepemimpinan ini hubungan antara pemimpin dan para pengikutnya merupakan hubungan transaksi yang sering didahului dengan negosiasi tawar menawar. Jika para pengikut memberikan sesuatu atau melakukan sesuatu untuk pemimpinnya, pemimpin juga akan memberikan sesuatu kepada para pengikutnya.

Jadi seperti ikan lumba-lumba di Ancol yang akan meloncat jika pelatihnya memberikan ikan. Jika pelatihnya tidak memberikan ikan, lumba-lumba tidak akan meloncat.

Prinsip dasar teori kepemimpinan transaksional adalah:

(1) Kepemimpinan merupakan pertukaran sosial antara pemimpin dan para pengikutnya.

(2) Pertukaran tersebut meliputi pemimpin dan pengikut serta situasi ketika terjadi pertukaran

(3) Kepercayaan dan persepsi keadilan sangat esensial bagi hubungan pemimpin dan para pengikutnya.

(4) Pengurangan ketidak pastian merupakan benefit penting yang disediakan oleh pemimpin.

(5) Keuntungan dari pertukaran sosial sangat penting untuk mempertahankan suatu hubungan sosial.

b. Kepemimpinan Transformasional

Kepemimpinan jenis ini didefinisikan sebagai kepemimpinan yang melibatkan suatu proses pertukaran (exchange process) di mana para pengikut mendapat imbalan yang segera dan nyata untuk melakukan perintah-perintah pemimpin. Sementara itu kepemimpinan transformasional adalah kepemimpinan yang dipertentangkan dengan kepemimpinan yang memelihara status quo. Kepemimpinan transformasional inilah yang sungguh-sungguh diartikan sebagai kepemimpinan yang sejati karena kepemimpinan ini sungguh bekerja menuju sasaran pada tindakan mengarahkan organisasi kepada suatu tujuan yang tidak pernah diraih sebelumnya.

Di dalam merumuskan proses perubahan, biasanya digunakan pendekatan transformasional yang manusiawi, di mana lingkungan kerja yang partisipatif, peluang untuk mengembangkan kepribadian, dan keterbukaan dianggap sebagai kondisi yang melatarbelakangi proses tersebut, tetapi di dalam praktek, proses perubahan itu dijalankan dengan bertumpu pada pendekatan transaksional yang mekanistik dan bersifat teknikal, di mana manusia cenderung dipandang sebagai suatu entiti ekonomik yang siap untuk dimanipulasi dengan menggunakan sistem imbalan dan umpan balik negatif, dalam rangka mencapai manfaat ekonomik yang sebesar-besarnya (Bass, 1990; Bass dan Avolio, 1990; Hater dan Bass, 1988.

Seperti diungkapkan oleh Andi Mapiare, pertumbuhan jabatan dalam pekerjaan dapat dialami oleh seorang hanya apabila dijalani proses belajar dan berpengalaman, dan diharapkan orang yang bersangkutan memiliki sikap kerja yang bertambah maju kearah positif, memiliki kecakapan (pengetahuan) kerja yang bertambah baik serta memiliki ketrampilan kerja yang bertambah dalam kualitas dan kuantitas (Rakhmat, 1996). Lama menjabat pada Jabatan sekarang Seperti halnya dengan lama bekerja di organisasi, lama menjabat pada jabatan sekarang juga berkaitan dengan penyesuaian jabatan. Seperti diungkapkan oleh Andi Mapiare, penyesuaian di sini berkaitan dengan penyesuaian-penyesuaian diri sendiri terhadap pekerjaan atau jabatan itu sendiri, terhadap jam kerja, terhadap personal yang lain terutama terhadap bawahannya (Rakhmat, 1996).

Secara garis besar ditemukan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan antara kepemimpinan transformasional dengan karakteristik personal pemimpin, sedangkan seluruh dimensi kepemimpinan transformasional ''karismatik'', ''motivasi inspirasional'', ''stimulasi intelektual'', dan ''konsiderasi individual'' berhubungan paling erat dan searah dengan karakteristik personal tingkat pendidikan pemimpin. Walaupun tidak ada hubungan yang berarti antara dimensi kepemimpinan transformasional dengan karakteristik personal pemimpin pada organisasi yang bergerak dalam bidang pendidikan, organisasi tetap harus memperhatikan hubungan dari kedua variabel ini karena karakteristik personal tidak hanya terbatas pada pengalaman (experience), tetapi juga meliputi derajat kemampuan pemimpin menghadapi kegagalan dan memiliki kekuatan pribadi (emotional coping), derajat kemampuan pemimpin mendukung perilaku yang efektif dan memelihara rasa optimis (behavioral coping), kemampuan pemimpin untuk menyalurkan dan mengevaluasi ide kritis (abstrak orientation), derajat kesediaan pemimpin untuk menerima tantangan (risk taking), kesediaan pemimpin untuk mecoba hal baru dan menantang status quo (inovation), derajat

kemampuan pemimpin menggunakan humor untuk menyenangkan bawahannya (use of humor) (Dubinsky, Yammarino, Jolson, 1995).

Dari adanya berbagai teori kepemimpinan di atas, dapat diketahui bahwa teori kepemimpinan tertentu akan sangat mempengaruhi gaya kepemimpinan (Leadership Style), yakni pemimpin yang menjalankan fungsi kepemimpinannya dengan segenap filsafat, keterampilan dan sikapnya. Gaya kepemimpinan adalah cara seorang pemimpan bersikap, berkomunikasi, dan berinteraksi dengan orang lain dalam mempengaruhi orang untuk melakukan sesuatu.Gaya tersebut bisa berbeda-beda atas dasar motivasi , kuasa ataupun orientasi terhadap tugas atau orang tertentu. Diantara beberapa gaya kepemimpinan, terdapat pemimpin yang positif dan negatif, dimana perbedaan itu didasarkan pada cara dan upaya mereka memotivasi karyawan. Apabila pendekatan dalam pemberian motivasi ditekankan pada imbalan atau reward (baik ekonomis maupun nonekonomis) berartitelah digunakan gaya kepemimpinan yang positif. Sebaliknya jika pendekatannya menekankan pada hukuman atau punishment, berarti dia menerapkan gaya kepemimpinan negatif. Pendekatan kedua ini dapat menghasilakan prestasi yang diterima dalam banyak situasi, tetapi menimbulkan kerugian manusiawi.

Hubungan antara persepsi gaya kepemimpinan transaksional dan transformasional dengan kepuasan kerja karyawan

Salah satu teori yang menekankan suatu perubahan dan yang paling komprehensif berkaitan dengan kepemimpinan adalah teori kepemimpinan transformasional dan transaksional (Bass, 1990). Gagasan awal mengenai gayakepemimpinan transformasional dan transaksional ini dikembangkan oleh James MacFregor Gurns yang menerapkannya dalam konteks politik. Gagasan ini selanjutnya disempurnakan serta diperkenalkan ke dalam konteks organisasional oleh Bernard Bass (Berry dan Houston, 1993).

Burn (dalam Pawar dan Eastman, 1997) mengemukakan bahwa gayakepemimpinan transformasional dan transaksional dapat dipilah secara tegas dan keduanya merupakan gaya kepemimpinan yang saling bertentangan. Kepemimpinan transformasional dan transaksional sangat penting dan dibutuhkan setiap organisasi.

Selanjutnya Burn (dalam Pawar dan Eastman, 1997; Keller, 1992) mengembangkan konsep kepemimpinan transformasional dan transaksional dengan berlandaskan pada pendapat Maslow mengenai hirarki kebutuhan manusia. Menurut Burn (dalam Pawar dan Eastman, 1997) keterkaitan tersebut dapat dipahami dengan gagasan bahwa kebutuhan karyawan yang lebih rendah, seperti kebutuhan fisiologis dan rasa aman hanya dapat dipenuhi melalui praktik gaya kepemimpinan transaksional. Sebaliknya, Keller (1992) mengemukakan bahwa kebutuhan yang lebih tinggi, seperti harga diri dan aktualisasi diri, hanya dapat dipenuhi melalui praktik gaya kepemimpinan transformasional.

Sejauh mana pemimpin dikatakan sebagai pemimpin transformasional, Bass (1990) dan Koh, dkk. (1995) mengemukakan bahwa hal tersebut dapat diukur dalam hubungan dengan pengaruh pemimpin tersebut berhadapan karyawan. Oleh karena itu, Bass (1990) mengemukakan ada tiga cara seorang pemimpin transformasional memotivasi karyawannya, yaitu dengan:

1) mendorong karyawan untuk lebih menyadari arti penting hasil usaha;

2) mendorong karyawan untuk mendahulukan kepentingan kelompok; dan

3) meningkatkan kebutuhan karyawan yang lebih tinggi seperti harga diri dan

aktualisasi diri.

Hubungan antara Persepsi Gaya Kepemimpinan Transformasional Berkaitan dengan kepemimpinan transformasional, Bass (dalam Howell dan Hall-Merenda, 1999) mengemukakan adanya empat karakteristik kepemimpinan transformasional, yaitu:

1) karisma,

2) inspirasional,

3) stimulasi intelektual, dan

4) perhatian individual.

Selanjutnya, Bass (1990) dan Yukl (1998) mengemukakan bahwa hubungan pemimpin transaksional dengan karyawan tercermin dari tiga hal yakni:.

1) pemimpin mengetahui apa yang diinginkan karyawan dan menjelasakan apa

yang akan mereka dapatkan apabila kerjanya sesuai dengan harapan;

2) pemimpin menukar usaha-usaha yang dilakukan oleh karyawan dengan

imbalan; dan

3) pemimpin responsif terhadap kepentingan pribadi karyawan selama kepentingan tersebut sebanding dengan nilai pekerjaan yang telah dilakukan karyawan.

Bass (dalam Howell dan Avolio, 1993) mengemukakan bahwa karakteristik kepemimpinan transaksional terdiri atas dua aspek, yaitu imbalan kontingen, dan manajemen eksepsi.

Berkaitan dengan pengaruh gaya kepemimpinan transformasional terhadap perilaku karyawan, Podsakoff dkk. (1996) mengemukakan bahwa gayakepemimpinan transformasional merupakan faktor penentu yang mempengaruhi sikap, persepsi, dan perilaku karyawan di mana terjadi peningkatan kepercayaan kepada pemimpin, motivasi, kepuasan kerja dan mampu mengurangi sejumlah konflik yang sering terjadi dalam suatu organisasi.

Menurut Bycio dkk. (1995) serta Koh dkk. (1995), kepemimpinan transaksional adalah gaya kepemimpinan di mana seorang pemimpin menfokuskan perhatiannya pada transaksi interpersonal antara pemimpin dengan karyawan yang melibatkan hubungan pertukaran. Pertukaran tersebut didasarkan pada kesepakatan mengenai klasifikasi sasaran, standar kerja, penugasan kerja, dan penghargaan.

Judge dan Locke (1993) menegaskan bahwa gaya kepemimpinan merupakan salah satu faktor penentu kepuasan kerja. Jenkins (dalam Manajemen, 1990), mengungkapkan bahwa keluarnya karyawan lebih banyak disebabkan oleh ketidakpuasan terhadap kondisi kerja karena karyawan merasa pimpinan tidak memberi kepercayaan kepada karyawan, tidak ada keterlibatan karyawan

dalam pembuatan keputusan, pemimpin berlaku tidak objektif dan tidak jujur pada karyawan. Pendapat ini didukung oleh Nanus (1992) yang mengemukakan bahwa alasan utama karyawan meninggalkan organisasi disebabkan karena pemimpin gagal memahami karyawan dan pemimpin tidak memperhatikan kebutuhan-kebutuhan karyawan. Dalam kaitannya dengan koperasi, Kemalawarta (2000) dalam penelitiannya menunjukkan bahwa kendala yang menghambat perkembangan koperasi di Indonesia adalah keterbatasan tenaga kerja yang terampil dan tingginya turnover.

Pada dasarnya, kepemimpinan merupakan kemampuan pemimpin untuk mempengaruhi karyawan dalam sebuah organisasi, sehingga mereka termotivasi untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam memberikan penilaian terhadap gayakepemimpinan yang diterapkan pemimpin, karyawan melakukan proses kognitif untuk menerima, mengorganisasikan, dan memberi penafsiran terhadap pemimpin (Solso, 1998).

Berbagai penelitian yang dilakukan berkaitan dengan kepuasan kerja terutama dalam hubungannya dengan gaya kepemimpinan transformasional dan transaksional. Penelitian yang dilakukan oleh Koh dkk. (1995) menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara kepemimpinan transformasional dan transaksional dengan kepuasan kerja. Penelitian yang dilakukan oleh Popper dan Zakkai (1994) menunjukkan bahwa pengaruh kepemimpinan transformasional terhadap organisasi sangat besar.

C. Gaya Kepemimpinan

Gaya kepemimpinan dapat diartikan sebagai penampilan atau karakteristik khusus dari suatu bentuk kepemimpinan (Follet, 1940; dikutip dari Gillies, 1996).

1. Gaya Kepemimpian menurut Gillies (1996).

a. Gaya Kepemimpinan Otokratis:

Gaya kepemimpinan otokratis adalah gaya kepemimpinan yang menggunakan kekuatan jabatan dan kekuatan pribadi secara otoriter, melakukan sendiri semua perencanaan tujuan dan pembuatan keputusan dan memotivasi bawahan dengan cara paksaan, sanjungan, kesalahan dan penghargaan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Menurut Rivai (2003), kepemimpinan autokratis adalah gaya kepemimpinan yang menggunakan metode pendekatan kekuasaan dalam mencapai keputusan dan pengembangan strukturnya, sehingga kekuasaanlah yang paling diuntungkan dalam organisasi (p. 61). Robbins dan Coulter (2002) menyatakan gaya kepemimpinan autokratis mendeskripsikan pemimpin yang cenderung memusatkan kekuasaan kepada dirinya sendiri, mendikte bagaimana tugas harus diselesaikan, membuat keputusan secara sepihak, dan meminimalisasi partisipasi karyawan (p.406) Lebih lanjut Sukanto (1987) menyebutkan ciri-ciri gaya kepemimpinan autokratis (pp. 196-198):

a. Semua kebijakan ditentukan pemimpin

b. Teknik dan langkah-langkah kegiatan didikte oleh atasan setiap waktu sehingga langkah-langkah yang akan dating selalu tidak pasti untuk tingkatan yang luas.

c. Pemimpin biasanya membagi tugas kerja bagian dan kerjasama setiap anggota.

Sedangkan menurut Handoko dan Reksohadiprodjo (1997), ciri-ciri gaya kepemimpinan autokratis (p.304):

d. pemimpin kurang memperhatikan kebutuhan bawahan.

e. Komunikasi hanya satu arah yaitu kebawah saja.

f. Pemimpin cenderung menjadi pribadi dalam pujian dan kecamannya terhadap kerja setiap anggota.

g. Pemimpin mengambil jarak dari partisipasi kelompok aktif kecuali bila menunjukkan keahliannya.

2.Gaya Kepemimpinan Demokratis:

Gaya kepemimpinan demokratis adalah gaya seorang pemimpin yang menghargai karakteristik dan kemampuan yang dimiliki oleh setiap anggota organisasi. Pemimpin yang demokratis menggunakan kekuatan jabatan dan kekuatan pribadi untuk menggali dan mengolah gagasan bawahan dan memotivasi mereka untuk mencapai tujuan bersama.

Kepemimpinan demokratis ditandai dengan adanya suatu struktur yang pengembangannya menggunakan pendekatan pengambilan keputusan yang kooperatif. Dibawah kepemimpinan demokratis bawahan cenderung bermoral tinggi, dapat bekerja sama, mengutamakan mutu kerja dan dapat mengarahkan diri sendiri (Rivai, 2006, p.61). Menurut Robbins dan Coulter (2002), gaya kepemimpinan demokratis mendeskripsikan pemimpin cenderunng mengikutsertakan karyawan dalam pengambilan keputusan, mendelegasikan kekuasaan, mendorong partisipasi karyawan dalam menentukan bagaimana metode kerja dan tujuan yang ingin dicapai, dan memandang umpan balik sebagai suatu kesempatan untuk melatih karyawan(p. 460). Jerris (1999) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang menghargai kemampuan karyawan untuk mendistribusikan knowledge dan kreativitas untuk meningkatkan servis, mengembangkan usaha, dan Ciri-ciri gaya kepemimpinan demokratis (Sukanto, 1987, pp. 196-198):

1. Semua kebijaksanaan terjadi pada kelompok diskusi dan keputusan diambil dengan dorongan daan bantuan dari peimpin.

2. Kegiatan-kegiatan didiskusikan, langkah-langkah umum untuk tujuan kelompok dibuat, dan jika dibutuhkan petunjuk-petunjuk teknis pemimpin menyarankan dua atau lebih alternative produser yang dapat dipilih.

3. Para anggota bebas bekerja dengan siapa saja yang mereka pilih dan pembagian tugas ditentukan oleh kelompok. Lebih lanjut cirri-ciri gaya kepemimpinan demokratis (Handoko dan Reksoha diprodjo, 1997, p.304):

a. Lebih memperhatian bawahan untuk mencapai tujuan organisasi.

b. Menekankan dua hal yaitu bawahan dan tugas.

c. Pemimpin adalah obyektif atau fact-minded dalam pujian dan kecaamannya dan mencoba menjadi seorang anggota kelompok biasa dalam jiwa dan semangat tanpa melakukan banyak pekerjaan. Menghasilkan banyak keuntungan menjadi motivator bagi karyawan dalam bekerja.

3.Gaya Kepemimpinan Partisipatif:

Gaya kepemimpinan partisipatif adalah gabungan bersama antara gayakepemimpinan otoriter dan demokratis dengan cara mengajukan masalah dan mengusulkan tindakan pemecahannya kemudian mengundang kritikan, usul dan saran bawahan. Dengan mempertimbangkan masukan tersebut, pimpinan selanjutnya menetapkan keputusan final tentang apa yang harus dilakukan bawahannya untuk memecahkan masalah yang ada.

4.Gaya Kepemimpinan Laisses Faire:

Gaya kepemimpinan laisses faire dapat diartikan sebagai gaya “membiarkan” bawahan melakukan sendiri apa yang ingin dilakukannya. Dalam hal ini, pemimpin melepaskan tanggung jawabnya, meninggalkan bawahan tanpa arah, supervisi atau koordinasi sehingga terpaksa mereka merencanakan, melakukan dan menilai pekerjaan yang menurut mereka tepat.

Selanjutnya dapat dikemukan bahwa keempat gaya kepemimpinan di atas memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Setiap gaya kepemimpinan bisa efektif dalam situasi tertentu tetapi tidak efektif dalam situasi lainya (Tannenbaum dan Schmit, 1973; dikutif dari Gillies, 1996). Faktor yang menetukan efektifitas gaya kepemimpinan secara situasional meliputi: kesulitan atau kompleksitas tugas yang diberikan, waktu yang tersedia untuk menyelesaikan tugas, ukuran unit organisasi, pola komunikasi dalam organisasi, latar belakang pendidikan dan pengalaman pegawai, kebutuhan pegawai dan kepribadian pemimpin (Gillies, 1996).

Dilihat dari orientasi si pemimpin, terdapat dua gaya kepemimpinan yang diterapkan, yaitu gaya konsideral dan struktur, atau dikenal juga sebagai orientasi pegawai dan orientasi tugas. Beberapa hasil penelitian para ahli menunjukkan bahwa prestasi dan kepuasan kerja pegawai dapat ditingkatkan apabila konsiderasi merupakan gaya kepemimpinan yang dominan. Sebaliknya, para pemimpin yang berorientasi tugas yang terstruktur, percaya bahwa mereka memperoleh hasil dengan tetap membuat orang-orang sibuk dan mendesak mereka untuk berproduksi.

Pemimpin yang positif, partisipatif dan berorientasi konsiderasi,tidak selamanya merupakan pemimpinyan terbaik.fiedler telah mengembakan suatumodel pengecualian dari ketiga gaya kepemimpinan diatas,yakni model kepemimpinankontigennis.model ini nyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang paling sesuai bergantung pada situasi dimana pemimpin bekerja.dengan teorinya ini fiedler ingin menunjukkan bahwa keefektifan ditunjukkan oleh interaksi antara orientasi pegawai dengan 3 variabel yang berkaitan dengan pengikut, tugas dan organisasi. Ketiga variabel itu adalah hubungan antara pemimpin dengan anngota ( Leader-member rolations), struktur tugas (task strukture), dan kuasa posisi pemimpin (Leader position power). Variabel pertama ditentukan oleh pengakuan atau penerimaan (akseptabilitas) pemimpin oleh pengikut, variabel kedua mencerminkan kadar diperlukannya cara spesifik untuk melakukan pekerjaan, variabel ketiga menggambarkan kuasa organisasi yang melekat pada posisi pemimpin.

Menurut Hersey dan Blanchard (dalam Ludlow dan Panton,1996 : 18 dst), masing-masing gaya kepemimpinan ini hanya memadai dalm situasi yang tepat meskipun disadari bahwa setiap orang memiliki gaya yang disukainya sendiri dan sering merasa sulit untuk mengubahnya meskipun perlu.

2. Gaya Kepemimpinan menurut Blanchard

a. Directing

Gaya tepat apabila kita dihadapkan dengan tugas yang rumit dan staf kita belum memiliki pengalaman dan motivasi untuk mengerjakan tugas tersebut. Atau apabila anda berada di bawah tekanan waktu penyelesaian. Kita menjelaskan apa yang perlu dan apa yang harus dikerjakan. Dalam situasi demikian, biasanya terjadi over-communicating (penjelasan berlebihan yang dapat menimbulkan kebingungan dan pembuangan waktu). Dalam proses pengambilan keputusan, pemimpin memberikan aturan –aturan dan proses yang detil kepada bawahan.Pelaksanaan di lapangan harus menyesuaikan dengan detil yang sudah dikerjakan.

b. Coaching

Pemimpin tidak hanya memberikan detil proses dan aturan kepada bawahan tapi juga menjelaskan mengapa sebuah keputusan itu diambil, mendukung proses perkembangannya, dan juga menerima barbagai masukan dari bawahan. Gaya yang tepat apabila staf kita telah lebih termotivasi dan berpengalaman dalam menghadapi suatu tugas. Disini kita perlu memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengerti tentang tugasnya, dengan meluangkan waktu membangun hubungan dan komunikasi yang baik dengan mereka.

c. Supporting

Sebuah gaya dimana pemimpin memfasiliasi dan membantu upaya bawahannya dalam melakukan tugas. Dalam hal ini, pemimpin tidak memberikan arahan secara detail, tetapi tanggung jawab dan proses pengambilan keputusan dibagi bersama dengan bawahan. Gaya ini akan berhasil apabila karyawan telah mengenal teknik-teknik yang dituntut dan telah mengembangkan hubungan yang lebih dekat dengan anda. Dalam hal ini kita perlumeluangkan waktu untuk berbincang-bincang, untuk lebih melibatkan mereka dalam penganbilan keputusan kerja, serta mendengarkan saran-saran mereka mengenai peningkatan kinerja

d. Delegating

Sebuah gaya dimana seorang pemimpin mendelegasikan seluruh wewenang dan tanggung jawabnya kepada bawahan. Gaya Delegating akan berjalan baik apabila staf kita sepenuhnya telah paham dan efisien dalm pekerjaan, sehingga kita dapat melepas mereka menjalankan tugas atau pekerjaan itu atas kemampuan dan inisiatifnya sendiri.

Keempat gaya ini tentu saja mempunyai kelemahan dan kelebihan, serta sangat tergantung dari lingkungan di mana seorang pemimpin berada, dan juga kesiapan dari bawahannya. Maka kemudian timbul apa yang disebut sebagai ”situational leadership”. Situational leadership mengindikasikan bagaimana seorang pemimpin harus menyesuaikan keadaan dari orang-orang yang dipimpinnya.

Ditengah-tengah dinamika organisasi (yang antara lain diindikasikan oleh adanya perilaku staf / individu yang berbeda-beda), maka untuk mencapai efektivitas organisasi, penerapan keempat gaya

kepemimpinan diatas perlu disesuaikan dengan tuntutan keadaan. Inilah yang dimaksud dengan situasional leadership,sebagaimana telah disinggung di atas. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa untuk dapat mengembangkan gaya kepemimpinan situasional ini, seseorang perlu memiliki tiga kemampuan khusus yakni :

1. Kemampuan analitis (analytical skills) yakni kemampuan untuk menilai tingkat pengalaman dan motivasi bawahan dalam melaksanakan tugas.

2. Kemampuan untuk fleksibel (flexibility atau adaptability skills) yaitu kemampuan untuk menerapkan gaya kepemimpinan yang paling tepat berdasarkan analisa terhadap situasi.

3. Kemampuan berkomunikasi (communication skills) yakni kemampuan untuk menjelaskan kepada bawahan tentang perubahan gaya kepemimpinan yang kita terapkan.

Ketiga kemampuan di atas sangat dibutuhkan bagi seorang pemimpin, sebab seorang pemimpin harus dapat melaksanakan tiga peran utamanya yakni peran interpersonal, peran pengolah informasi (information processing), serta peran pengambilan keputusan (decision making) (Gordon, 1996 : 314-315).

Peran pertama meliputi :

1. Peran Figurehead : Sebagai simbol dari organisasi

2. Leader: Berinteraksi dengan bawahan, memotivasi dan mengembangkannya

3. Liaison : Menjalin suatu hubungan kerja dan menangkap informasi untuk kepentingan organisasi.

Sedangkan peran kedua terdiri dari 3 peran juga yakni :

1. Monitior : Memimpin rapat dengan bawahan, mengawasi publikasi perusahaan, atau berpartisipasi dalam suatu kepanitiaan.

2. Disseminator : Menyampaikan informasi, nilai-nilai baru dan fakta kepada bawahan.

3. Spokeman : Juru bicara atau memberikan informasi kepada orang-orang di luar organisasinya.

Peran ketiga terdiri dari 4 peran yaitu :

1. Enterpreneur : Mendesain perubahan dan pengembangan dalam organisasi.

2. Disturbance Handler : Mampu mengatasi masalah terutama ketika organisasi sedang dalam keadaan menurun.

3. Resources Allocator : Mengawasi alokasi sumber daya manusia, materi, uang dan waktu dengan melakukan penjadwalan, memprogram tugas-tugas bawahan, dan mengesahkan setiap keputusan.

4. Negotiator : Melakukan perundingan dan tawar-menawar.

Dalam perspektif yang lebih sederhana, Morgan ( 1996 : 156 ) mengemukakan 3 macam peran pemimpin yang disebut dengan 3A, yakni :

1. Alighting : Menyalakan semangat pekerja dengan tujuan individunya.

2. Aligning : Menggabungkan tujuan individu dengan tujuan organisasi sehingga setiap orang menuju ke arah yang sama.

3. Allowing : Memberikan keleluasaan kepada pekerja untuk menantang dan mengubah cara kerja mereka.

Rahasia utama kepemimpinan adalah kekuatan terbesar seorang pemimpin bukan dari kekuasaanya, bukan kecerdasannya, tapi dari kekuatanpribadinya. Maka jika ingin menjadi pemimpin yang baik jangan pikirkan orang lain, pikirkanlah diri sendiri dulu. Tidak akan bisa mengubah orang lain dengan efektif sebelum merubah diri sendiri. Bangunan akan bagus, kokoh, megah, karena ada pondasinya. Maka sibuk memikirkan membangun umat, membangun masyarakat, merubah dunia akan menjadi omong kosong jika tidak diawali dengan diri sendiri. Merubah orang lain tanpa merubah diri sendiri adalah mimpi mengendalikan orang lain tanpa mengendalikan diri.

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Kata pemimpin, kepemimpinan serta kekuasaan memiliki keterikatan yang tak dapat dipisahkan. Karena untuk menjadi pemimpin bukan hanya berdasarkan suka satu sama lainnya, tetapi banyak faktor. Pemimpin yang berhasil hendaknya memiliki beberapa kriteria yang tergantung pada sudut pandang atau pendekatan yang digunakan, apakah itu kepribadiannya, keterampilan, bakat, sifat-sifatnya, atau kewenangannya yang dimiliki yang mana nantinya sangat berpengaruh terhadap teori maupun gaya kepemimpinan yang akan diterapkan.

Rahasia utama kepemimpinan adalah kekuatan terbesar seorang pemimpin bukan dari kekuasaanya, bukan kecerdasannya, tapi dari kekuatan pribadinya. Seorang pemimpin sejati selalu bekerja keras memperbaiki dirinya sebelum sibuk memperbaiki orang lain.

Pemimpin bukan sekedar gelar atau jabatan yang diberikan dari luar melainkan sesuatu yang tumbuh dan berkembang dari dalam diri seseorang.Kepemimpinan lahir dari proses internal (leadership from the inside out).

SARAN

Sangat diperlukan sekali jiwa kepemimpinan pada setiap pribadi manusia. Jiwa kepemimpinan itu perlu selalu dipupuk dan dikembangkan. Paling tidak untuk memimpin diri sendiri.

Jika saja Indonesia memiliki pemimpin yang sangat tangguh tentu akan menjadi luar biasa. Karena jatuh bangun kita tergantung pada pemimpin. Pemimpin memimpin, pengikut mengikuti. Jika pemimpin sudah tidak bisa memimpin dengan baik, cirinya adalah pengikut tidak mau lagi mengikuti. Oleh karena itu kualitas kita tergantung kualitas pemimpin kita. Makin kuat yang memimpin maka makin kuat pula yang dipimpin

DAFTAR PUSTAKA

Brown, Montague.. Manajemen Perawatan Kesehatan. Jakarta : EGC.1997

Kartini Kartono.Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta : PT. Grafindo Persada, 1998

Kuntoro, Agus.. Buku Ajar Manajemen Keperawatan. Yogyakarta : Nuha Medika.2010

La Monica, E.L. Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan;Pendekatan berdasarkan Pengalaman. (Nurachmah,E., Waluyu, A., Ester, M; Penerjemah). Jakata: EGC. 1994

Mohamad Miftah Thoha,.Kepemimpinan dalam Manajemen Suatu Pendekatan Prilaku.Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1999

Rosemary Mc.MAHON,ELIZABETH BARTON.Manajemen pelayanan kesehatan primer edisi 2; alih bahasa, Poppy kumala ; editor, Brahm U. Pendit.-Jakarta : EGC, 1999

Suarli dan Bahtiar, Yanyan.. Manajemen Keperawatan. Jakarta : Erlangga. 2002

Suarli S & Yayan Bahtiar..Manajemen Keperawatan Dengan Pendekatan Praktis.Tasikmalaya.Erlangga. 2002

Suyanto,SKp,M.Kep; Kepemimpinan dan manajemen keperawatan; Jogjakarta : MITRA CENDIKIA Press, 2008

Swansburg,Russel.C.Pengantar Kepemimpinan dan manajemen keperawatan untuk perawat klinis.Jakarta:EGC. 2000.

[1] Penelitian terbaru oleh Blake dan Mouton (1981) menentukan bahwa para manajer lebih menyukai gaya Tim (9.9). bagian ini timbul dari hasil kerja Hersey dan Blanchard (1977)

[2] Gambar 1-3 diadaptasi dari yang disajikan oleh Harsey dan Blanchard (1977)