teori belajar ausubel
DESCRIPTION
materi ausubelTRANSCRIPT
Teori Pembelajaran Ausubel
David Ausubel (1963) merupakan seorang psikolog pendidikan,
melakukan beberapa penelitian rintisan menarik di waktu yang hampir
sama dengan Burner, Ia sangat tertarik dengan cara mengorganisasikan
berbagai ide. Ia menjelaskan bahwa dalam diri seorang pelajar sudah ada
organisasi dan kejalasan tentang pengetahuan dibidang subjek tertentu. Ia
menyebut organisasi ini sebagai struktur kognitif dan percaya bahwa
struktur ini menentukan kemampuan pelajar untuk menangani berbagai
ide dan hubungan baru. Makna dapat muncul dari materi baru hanya bila
materi itu terkait dengan struktur kognitif dari pembelajaran sebelumnya.
David Ausubel terkenal dengan teori belajar yang dibawanya yaitu
teori belajar bermakna (meaningful learning). Menurut Ausubel belajar
bermakna terjadi jika suatu proses dikaitkannya informasi baru pada
konsep-konsep yang relevan yang terdapat dalam struktur kognitif
seseorang, selanjutnya bila tidak ada usaha yang dilakukan untuk
mengasimilasikan pengertian baru pada konsep-konsep yang relevan
yang sudah ada dalam struktur kognitif, maka akan terjadi belajar hafalan.
Ia juga menyebutkan bahwa proses belajar tersebut terdiri dari dua proses
yaitu proses penerimaan dan proses penerimaan dan proses penemuan.
(Ratna Wilis Dahar, 2006).
Faktor-faktor utama yang mempengaruhi belajar bermakna
menurut Ausubel adalah struktur kognitif yang ada, stabilitas dan
kejelasan pengetahuan dalam suatu bidang studi tertentu dan pada
waktu tertentu. Seseorang belajar dengan mengasosiasikan fenomena
baru ke dalam skema yang telah ia punya. Dalam prosesnya siswa
mengkonstruksi apa yang ia pelajari dan ditekankan pelajar
mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam
system pengertian yang telah dipunyainya.
Teori belajar bermakna Ausubel ini sangat dekat dengan inti pokok
konstruktivisme. Keduanya menekankan pentingnya siswa
mengasosiasikan pengalaman, fenomena, dan fakta-fakta baru kedalam
1
sistem pengertian yang telah dipunyai. Keduanya menekankan pentingnya
asimilasi pengalaman baru kedalam konsep atau pengertian yang sudah
dipunyai sisw. Keduanya mengandalkan bahwa dalam pembelajaran itu
aktif.
Terdapat empat prinsif dalam menerapkan teori belajar bermakna
Ausubel yaitu :
a. Pengaturan Awal, dalam hal ini hal yang perlu dilakukan adalah
mengarahkan dan membantu mengingat kembali.
b. Defrensiasi Progresif, dalam hal ini yang perlu dilakukan adalah
menyusun konsep dengan mengajarkan konsep-konsep tersebut dari
inklusif kemudian kurang ingklusif dan yang paling ingklusif.
c. Belajar Subordinat, dalam hal ini terjadi bila konsep-konsep tersebut
telah dipelajari sebelumnya.
d. Penyesuaian Integratif, dalam hal ini materi disusun sedemikian rupa
hingga menggerakkan hirarki konseptual yaitu ke atas dan ke bawah.
Terdapat 8 langkah pembelajaran yang bisa dilakukan dalam
menerapkan teori belajar bermakna Ausubel, yaitu :
1) Menentukan tujuan pembelajaran
2) Mengukur kesiapan siswa
3) Memilih materi pembelajaran dan mengatur dalam penyajian konsep
4) Mengidentifikasi prinsif-prinsif yang harus dikuasai peserta didik dari
materi pembelajaran
5) Menyajikan suatu pandangan secara menyeluruh tentang apa yang
seharusnya dipelajari
6) Menggunakan “advance organizer” dengan cara memberikan
rangkuman dilanjutkan dengan keterkaitan antara materi.
7) Mengajar siswa dengan pemahaman konsep
8) Mengevaluasi hasil belajar (Prasetyo Irawan, 1996)
2
Teori Pembelajaran Vygotsky
Teori kontrukivis sosial dibangun berdasarkan pengembangan yang
dibuat oleh Lev Vygotsky. Vygotsky menekankan pada lingkungan sosial
yang ikut membantu perkembangan seorang anak. Bagi Vygotsky, budaya
sangat berpengaruh sekali dalam membentuk struktur kognitif anak. Yang
membantu perkembangan anak bukan hanya guru, tetapi jaga anak-anak
yang lebih dewasa. Vygotsky mengemukakan konsep mengenai zone of
proximal development. Dalam konsep ini seorang anak dapat memahami
suatu konsep dengan bantuan orang lain yang lebih dewasa yang tidak
bisa dilakukannya sendiri. Dengan begitu seorang anak akan lebih
mengerti dan mempunyai banyak pengalaman dan wawasan serta dapat
menyelesaiakan suatu permasalahan yang dianggapnya rumit dan
memerlukan bantuan orang lain yang dianggapnya mampu membantu
untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, suatu wawasan yang tidak
hanya didapat didalam sekolah tapi diluar sekolah. Dan permasalahan
tersebut yang ada hubungannya dengan sekolah. Disini para pendukung
kontruktivisme yakin bahwa pengalaman melalui lingkungan, kita aka
memperoleh informasi, dan dapat menggabungkan pengalaman yang
didapat sebelumnya dengan pengalaman yang baru. Dengan kata lain
pada proses belajar masing-masing pelajar harus mengkreasikan
pengetahuannya.
Vygotsky menekankan pentingnya memanfaatkan lingkungan
dalam pembelajaran.Lingkungan sekitar siswa meliputi orang-orang,
kebudayaan, termasuk pengalaman dalam lingkungan tersebut. Orang
lain merupakan bagian dari lingkungan (Taylor, 1993), pemerolehan
pengetahuan siswa bermula dari lingkup sosial, antar orang, dan
kemudian pada lingkup individu sebagai peristiwa internalisasi (Taylor,
1993). Vygotsky menekankan pada pentingnya hubungan antara individu
dan lingkungan sosial dalam pembentukan pengetahuan yang menurut
beliau, bahwa interaksi sosial yaitu interaksi individu tersebut dengan
orang lain merupakan faktor terpenting yang dapat memicu
perkembangan kognitif seseorang. Vygotsky berpendapat bahwa proses
3
belajar akan terjadi secara evisien dan efektif apabila anak belajar secara
kooperatif dengan anak-anak lain dalam suasana dan lingkungan yang
mendukung (supportive), dalam bimbingan seseorang yang lebih mampu,
guru atau orang dewasa. Dengan hadirnya teori konstruktivisme Vygotsky
ini, banyak pemerhati pendidikan yang megembangkan model
pembelajaran kooperatif, model pembelajaran peer interaction, model
pembelajaran kelompok, dan model pembelajaran problem solving.
Konstruktivisme menurut pandangan Vygotsky menekankan pada
pengaruh budaya. Vygotsky berpendapat fungsi mental yang lebih tinggi
bergerak antara inter-psikologi (interpsychological) melalui interaksi sosial
dan intra-psikologi (intrapsychological) dalam benaknya. Internalisasi
dipandang sebagai transformasi dari kegiatan eksternal ke internal. Ini
terjadi pada individu bergerak antara inter-psikologi (antar orang) dan
intra-psikologi (dalam diri individu). Berkaitan dengan perkembangan
intelektual siswa, Vygotsky mengemukakan dua ide; Pertama, bahwa
perkembangan intelektual siswa dapat dipahami hanya dalam konteks
budaya dan sejarah pengalaman siswa (van der Veer dan Valsiner dalam
Slavin, 2000), Kedua, Vygotsky mempercayai bahwa perkembangan
intelektual bergantung pada system tanda (sign system) setiap individu
selalu berkembang (Ratner dalam Slavin, 2000: 43). Sistem tanda adalah
simbol-simbol yang secara budaya diciptakan untuk membantu seseorang
berpikir, berkomunikasi, dan memecahkan masalah, misalnya budaya
bahasa, sistem tulisan, dan sistem perhitungan.
Berkaitan dengan pembelajaran, Vygotsky mengemukakan empat prinsip
seperti yang dikutip oleh (Slavin, 2000: 256) yaitu:
1. pembelajaran sosial (social leaning). Pendekatan pembelajaran
yang dipandang sesuai adalah pembelajaran kooperatif. Vygotsky
menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama dengan
orang dewasa atau teman yang lebih cakap,
2. ZPD (zone of proximal development). Bahwa siswa akan dapat
mempelajari konsep- konsep dengan baik jika berada dalam ZPD.
Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan
4
masalah sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu setelah
mendapat bantuan orang dewasa atau temannya (peer); Bantuan
atau support dimaksud agar si anak mampu untuk mengerjakan
tugas-tugas atau soal-soal yang lebih tinggi tingkat kerumitannya
dari pada tingkat perkembangan kognitif si anak.
3. Masa Magang Kognitif (cognitif apprenticeship). Suatu proses yang
menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh kecakapan
intelektual melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, orang
dewasa, atau teman yang lebih pandai;
4. Pembelajaran Termediasi (mediated learning). Vygostky
menekankan pada scaffolding. Siswa diberi masalah yang
kompleks, sulit, dan realistik, dan kemudian diberi bantuan
secukupnya dalam memecahkan masalah siswa.
Inti teori Vigotsky adalah menekankan interaksi antara aspek
internal dan eksternal dari pembelajaran dan penekanannya pada
lingkungan sosial pembelajaran. Menurut teori Vigotsky, fungsi kognitif
manusia berasal dari interaksi social masing-masing individu dalam
konteks budaya. Vigotsky juga yakin bahwa pembelajaran terjadi saat
siswa bekerja menangani tugas-tugas yang belum dipelajari namun tugas-
tugas tersebut masih dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas
itu berada dalam zona of proximal development mereka.
Dalam teori konstruktivisme menurut vygotsky adalah bahwa
dalam proses pembelajaran,siswa yang harus aktif mengembangkan
pengetahuan mereka, bukan pembelajar atau orang lain. Mereka yang
harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Penekanan belajar
siswa secara aktif ini perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa
akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif
siswa sehingga belajar lebih diarahkan pada experimental learning yaitu
merupakan adaptasi kemanusiaan berdasarkan pengalaman konkrit di
laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, yang kemudian
dikontemplasikan dan dijadikan ide dan pengembangan konsep baru.
5
Karenanya aksentuasi dari mendidik dan mengajar tidak terfokus pada si
pendidik melainkan pada pelajar. Beberapa hal yang mendapat perhatian
pembelajaran konstruktivistik, :
1. mengutamakan pembelajaran yang bersifat nyata dalam kontek
yang relevan.
2. mengutamakan proses,
3. menanamkan pembelajran dalam konteks pengalaman social,
4. pembelajaran dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman.
Tepri Pembelajaran Albert Bandura
Albert Bandura sangat terkenal dengan teori pembelajaran social
( Social Learning Teory ) salah satu konsep dalam aliran behaviorisme
yang menekankan pada komponen kognitif dari fikiran, pemahaman dan
evaluasi. Ia seorang psikologi yang terkenal dengan teori belajar social
atau kognitif social serta efikasi diri. Eksperimen yang sangat terkenal
adalah eksperimen Bobo Doll yang menunjukkan anak – anak meniru
seperti perilaku agresif dari orang dewasa disekitarnya.
Teori-teori Albert Bandura banyak di aplikasikan dalam bidang
pendidikan terutama pada pembelajaran sosial (social learning theory).
Teori pembelajaran sosial ini pada awalnya dinamakan sebagai “Teori
Sosial Kognitif” oleh Bandura sendiri (Moore, 2002). Teori pembelajaran
sosial menyatakan bahwa faktor-faktor sosial, kognitif dan tingkah laku
memainkan peranan penting dalam pembelajaran (Santrock, 2001).
Faktor kognitif akan mempengaruhi wawasan pelajar tentang
pemahaman; sementara faktor sosial, termasuk perhatian pelajar tentang
tingkah laku dan imitasi ibu bapaknya, akan mempengaruhi tingkah laku
pelajar tersebut.
Teori pembelajaran sosial menganggap manusia sebagai makhluk
yang aktif, berupaya membuat pilihan dan menggunakan proses-proses
perkembangan untuk menyimpulkan peristiwa serta berkomunikasi
6
dengan orang lain. Perilaku manusia tidak ditentukan oleh pengaruh
lingkungan dan sejarah perkembangan seseorang atau bertindak pasif
terhadap pengaruh lingkungan. Dalam banyak hal, manusia adalah
selektif dan bukan entiti yang pasif, yang boleh dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan mereka.
Bandura (1977) menyatakan bahwa "Learning would be
exceedingly laborious, not to mention hazardous, if people had to rely
solely on the effects of their own action to inform them what to do.
Fortunately, most human behavior is learned observationally through
modeling: from observing others one form an idea of her new behavior are
performed, and on later occasion this coded information serves as a guide
for action".
Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks
interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan
pengaruh lingkungan. Kondisi lingkungan sekitar individu sangat
berpengaruh pada pola belajar sosial jenis ini. Contohnya, seorang yang
hidupnya dan dibesarkan di dalam lingkungan judi, maka dia cenderung
untuk memilih bermain judi, atau sebaliknya menganggap bahawa judi itu
adalah tidak baik.
Teori belajar ini juga dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana
seseorang belajar dalam keadaan atau lingkungan yang sebenarnya.
Bandura (1977) menghipotesiskan bahwa tingkah laku (B = behavior),
lingkungan (E = environment) dan kejadian-kejadian internal pada pelajar
yang mempengaruhi persepsi dan aksi (P = perception) adalah
merupakan hubungan yang saling berpengaruh atau berkaitan
(interlocking). menurut Albert Bandura lagi, tingkah laku sering dievaluasi,
iaitu bebas dari timbal balik sehingga boleh mengubah kesan-kesan
personal seseorang. Pengakuan sosial yang berbeda mempengaruhi
konsepsi diri individu.
7
Teori belajar sosial menekankan, bahwa lingkungan-lingkungan
yang dihadapkan pada seseorang secara kebetulan; lingkungan-
lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui
perilakunya sendiri. Menurut Bandura, sebagaimana (Kardi, S., 1997: 14)
bahwa “sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara
selektif dan mengingat tingkah laku orang lain”. Inti dari teori pembelajaran
sosial adalah pemodelan (modelling), dan permodelan ini merupakan
salah satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu.
Ada dua jenis pembelajaran melalui pengamatan (observational
learning).
1. Pertama, pembelajaran melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi
yang dialami orang lain atau vicarious conditioning. Contohnya, seorang
pelajar melihat temannya dipuji atau ditegur oleh gurunya kerana
perbuatannya, maka ia kemudian meniru melakukan perbuatan lain yang
tujuannya sama ingin dipuji oleh gurunya. Kejadian ini merupakan contoh
dari penguatan melalui pujian yang dialami orang lain atau vicarious
reinforcement.
2. Kedua, pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku suatu model
meskipun model itu tidak mendapatkan penguatan atau pelemahan pada
saat pengamat itu sedang memperhatikan model itu mendemonstrasikan
sesuatu yang ingin dipelajari oleh pengamat tersebut dan mengharapkan
mendapat pujian atau penguatan apabila menguasai secara tuntas apa
yang dipelajari itu. Model tidak harus diperagakan oleh seseorang secara
langsung, tetapi kita dapat juga menggunakan seseorang pemeran atau
visualisasi tiruan sebagai model.
Menurut Bandura, perlakuan seseorang adalah hasil interaksi faktor
dalam diri (kognitif) dan lingkungan. Untuk menjelaskan pandangan ini,
beliau telah mengemukakan teori tentang imitasi. Bersama dengan Walter
(1963) dia mengadakan penelitian pada anak-anak dengan cara
menonton orang dewasa memukul, mengetuk dengan tukul besi dan
menumbuk sambil menjerit-jerit ‘sockeroo’ dalam film. Setelah menonton
8
film anak-anak ini diarah bermain di ruang permainan dan terdapat patung
seperti yang ditayangkan dalam film. Setelah kanak-kanak tersebut
melihat patung tersebut, mereka meniru aksi-aksi yang dilakukan oleh
orang yang mereka tonton dalam film.
Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses perkembangan
sosial dan moral ditekankan pada perlunya conditioning (pembiasaan
merespons) dan imitation (peniruan).
Prosedur-prosedur Social learning:
Conditioning
Prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku sosial dan moral
pada dasarnya sama dengan prosedur belajar dalam mengembangkan
perilaku-perilaku lainnya, yakni dengan; Reward (hadiah), Punishment
(hukuman). Dasar pemikirannya: Sekali seorang mempelajari perbedaan
antara perilaku-perilaku yang menghasilkan ganjaran (reward) dengan
perilaku-perilaku yang mengakibatkan hukuman (punishment), sehingga
dia bisa memutuskan sendiri perilaku mana yang akan dia perbuat.
Imitation
Imitation (peniruan). Dalam hal ini, orang tua dan guru diharapkan
memainkan peran penting sebagai seorang model/tokoh yang dijadikan
contoh berperilaku sosial dan moral. Kualitas kemampuan peserta didik
dalam melakukan perilaku social hasil pengamatan terhadap model
tersebut, antara lain bergantung pada ketajaman persepsinya mengenai
ganjaran dan hukuman yang berkaitan dengan benar dan salahnya
perilaku yang ia tiru dari model tadi. Selain itu, tingkat kualitas imitasi
tersebut juga bergantung pada persepsi peserta didik “siapa “ yang
menjadi model. Maksudnya, semakin piawai dan berwibawa seorang
model, semakin tinggi pula kualitas imitasi perilaku social dan moral
peserta didik tersebut. Jadi dalam Social Learning, anak belajar karena
9
contoh lingkungan. Interaksi antara anak dengan lingkungan akan
menimbulkan pengalaman baru bagi anak-anak.
10