teologi kalam syiah
DESCRIPTION
Pandangan Syiah terhadap Sifat Allah dan Sekte-Sekte DerivasinyaTRANSCRIPT
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Syiah dilihat dari etimologi berarti pengikut, sekte, partai, atau kelompok,
atau dalam arti yang lebih umum “pendukung”. Sedangkan secara terminologi,
terdapat beberapa pendapat, antara lain:
a. Asy-Syahrastani dalam al-Milal wa al-Nihal: Syiah adalah kelompok yang
mengikuti dan mendukung Ali dan berkeyakinan bahwa dia adalah imam dan
khalifah (pengganti) yang ditunjuk berdasarkan nash dan wasiat, baik apakah
wasiat itu secara eksplisit ataukah implisit dan mereka berkeyakinan bahwa
imamah tidak keluar dari anak keturunannya2.
b. DR. Mani’ Al-Juhni dalam al-Mawsu’ah: Syiah adalah kelompok yang
mengikuti dan mendukung Ali dan memandangnya lebih utama dibanding
dari para sahabat Rasulullah lainnya dan mereka berkeyakinan bahwa Ali
adalah imam yang ditetapkan berdasarkan wasiat dari Rasulullah saw3.
Sekte Syiah muncul pada akhir masa khalifah ketiga (Usman), yaitu ketika
merosotnya pamor khalifah Utsman yang dinilai melakukan nepotisme sehingga
memicu pemberontakan-pemberontakan yang pada puncaknya menjadi penyebab
terbunuhnya Utsman. Setelah peristiwa fitnah ini, muncul dua kelompok besar
yaitu pendukung Muawiyah dan pendukung Ali. Pendukung Ali yang dikenal
sebagai Syiah Ali kemudian tumbuh dan berkembang pada masa khalifah Ali.
Ketika Ali wafat, pemikiran Syiah berkembang menjadi sekte-sekte.
Dasar-dasar yang dipakai oleh sekte Syiah dalam menempatkan posisi Ali
dan ahlu bait sebagai khalifah (imam) adalah peristiwa-peristiwa ketika
Rasulullah masih hidup yang menunjukkan keistimewaan Ali dan menganggap
Ali tumbuh dalam lingkungan yang istimewa. Dan yang paling kuat dijadikan 2 Asy-Syahrastani, Al-Milal Wa Al-Nihal (Buku I), Alih Bahasa: Prof. Asywadie Syukur, Lc
(Surabaya: PT. Bina Ilmu, tanpa tahun), hal. 1243 DR. Mani’ bin Hamad Al-Juhni, Al-Mausu’ah Al-Muyassarah Fil Adyan Wal Madzahib Wal
Ahzab Al-Mu’ashirah (Jilid Awal), versi elektronik (Riyadh: Darun Nadwah, 1418H), hal. 51
4
Nu’man,
M
5
dasar sekte Syiah sebagai isyarat pengangkatan Ali sebagai khalifah adalah
peristiwa Ghadir Khum, yaitu hadits Rasulullah yang mengatakan :
من كنت مواله فعلي مواله”Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka Ali sebagai
walinya” (Musnad Ahmad 5/347 No. 22995, dan masih ada beberapa hadits yang
berbeda redaksinya, namun memiliki makna yang sama)
Rasulullah mengucapkan kata-kata tersebut sambil mengangkat tangan Ali.
Peristiwa ini terjadi pada 18 Dzulhijah (10 Maret 632M), setelah melakukan Haji
Wada, di suatu tempat yang bernama Ghadir Khum, yaitu suatu tempat antara
Mekah dan Madinah.
Menurut Ja’fari, “The event is, however, not recorded by some of those
Sources. which are commonly used for the study of the life of the Prophet, such as
Ibn Hashim, Tabari, and Ibn Sa'd. They either pass in silence over Muhammad's
stop at Ghadir Khum, or, if they mention it, say nothing of this tradition.” 4
(Peristiwa itu tidak dicatat oleh sebagian sumber-sumber rujukan yang
biasa digunakan untuk studi mengenai kehidupan Rasulullah, seperti Ibnu
Hashim, Tabari, dan Ibnu Sa'd. Mereka melewatkan peristiwa berhentinya
Rasulullah di Ghadir Khum, jika mereka menuliskannya maka sia-sialah
tradisi ini).
Lebih lanjut menurut pendapat Ja’fari mengutip Vecca Vaglieri “the attitude of
these few writers in that they ‘evidently’ feared to attract the hostility of the
Sunnis, who were in power, by providing material for the polemic of the Shi'is,
who used these words to support their thesis of 'Ali's right to the caliphate.
Consequently, the western biographers of Muhammad, whose work is based on
these sources, equally make no reference to what happened at Ghadir Khum.” 5
(Sikap beberapa penulis ini, yang secara nyata takut menimbulkan
permusuhan dari aliran Sunni yang berkuasa, apabila menyajikan materi
yang berpolemik dengan Syiah, yang mana menggunakan tulisan-tulisan 4 Sayyid Husayn Muhammad Ja'fari, The Origins and Early Development of Shia Islam (electronic
version), (Republik Islam Iran : Ansariyan Publications, tanpa tahun), hal. 225 Ja’fari, The Origins and Early Development of Shia Islam, hal. 22
6
tersebut untuk mendukung hak-hak Ali sebagai khalifah. Konsekuensinya,
penulis biografi Muhammad dari dunia barat, yang juga mendasarkan
tulisannya pada sumber-sumber ini, sama-sama tidak mereferensikan
mengenai apa yang terjadi di Ghadir Khum).
B. Ajaran-Ajaran Syiah Dan Sekte-Sekte Derivasinya
1. Ajaran-Ajaran Syiah
a. Pandangan Teologi
Keberadaan imam bukan hanya penting untuk menerangkan syariah dan
menyempurnakan apa yang telah dimulai oleh Rasulullah. Tetapi juga penting
untuk menjaga syariah dan memeliharanya dari kelenyapan serta mencegahnya
dari adanya penyimpangan dan kesesatan.
Dalam perkembangannya selain memperjuangkan hak kekhalifahan, Syiah
juga mengembangkan doktrin-doktrinnya sendiri. Berkaitan dengan teologi,
mereka mempunyai lima rukun iman, yakni :
tauhid (kepercayaan kepada keesaan Allah);
nubuwwah (kepercayaan kepada kenabian);
ma’ad (kepercayaan akan adanya hidup di akhirat);
imamah (kepercayaan terhadap adanya imamah yang merupakan ahlul bait);
dan
‘adl (keadilan Ilahi).
Allah Bukan Jasmani dan Tidak Dapat Dilihat
Syiah meyakini bahwa Allah swt. tidak dapat dilihat dengan kasat mata,
sebab sesuatu yang yang dapat dilihat dengan kasat mata adalah jasmani dan
memerlukan ruang, warna, bentuk, dan arah, padahal semua itu adalah sifat-sifat
makhluk, sedangkan Allah jauh dari segala sifat-sifat makhluk-Nya. Syiah
meyakini bahwa memberikan sifat-sifat makhluk kepada Allah seperti ruang, arah,
fisik, atau dapat dilihat akan membuat seseorang tidak dapat mengenal Allah dan
dapat rnembawa kepada kemusyrikan.
7
Pandangan Mengenai Kasab (Upaya Manusia)
Tuhan memang yang menghendaki manusia bebas dalam perbuatan-
perbuatannya, karena Dia ingin menguji dan membawa manusia ke jalan
kesempurnaan. Sebab manusia tidak akan mencapai kesempurnaan kecuali dengan
kebebasan berkehendak (f'ree will) dan mengikuti jalan kebenaran melalui
pilihannya sendiri; itu karena perbuatan yang dipaksakan dan di luar kemauan
seseorang tidak menggambarkan apakah ia baik atau buruk. Jika manusia bersifat
terpaksa dalam perbuatan-perbuatannya, maka tidak ada artinya pengutusan para
nabi, turunnya kitab-kitab samawi, ajaran agama, pengajaran, pendidikan, dan
sebagainya. Demikian pula tidak ada artinya pahala dan azab Tuhan.
Inilah yang diajarkan Syiah bahwa manusia tidak jabr (mutlak terpaksa)
dan tidak pula tafwidh (bebas mutlak), tapi di antara keduanya.
“Sesungguhnya tidak jabr dan tidak pula tafwidh, tapi di antara keduanya” (Ushul
al-Kafi, I, hal.92)
Tidak Ta'thil dan Tidak Pula Tasybih
Syiah meyakini bahwa ta'til ma'rifatullah atau anggapan tidak ada jalan
untuk mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya adalah pendirian yang keliru. Demikian
pula tasybih atau menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Bahkan menurut
Syiah, tasybih adalah perbuatan yang sesat dan syirik. Dengan kata lain, Syiah
mengatakan bahwa Allah swt. dapat diketahui dan jalan untuk mengenal-Nya
tidak tertutup. Demikian pula Syiah mengatakan bahwa Allah tidak mempunyai
keserupaan dengan makhluk-Nya.
b. Imamah (Khalifah / Wilayah)
Adapun inti dari paham Syiah yang paling menonjol adalah mengenai
imamah (wilayah) adalah :
1) Pangkat khalifah pengganti Rasulullah sesudah Rasulullah wafat diwarisi
oleh ahli waris Rasulullah dengan jalan tunjukan dari Nabi. Yang ditunjuk
oleh Rasulullah Muhammad saw. sesudah wafatnya adalah Ali bin Abi
Thalib.
8
2) Khalifah yang dalam istilah Syiah “Imam”, adalah pangkat yang tertinggi
dalam Islam dan menjadi salah satu rukun dan tiang Islam. Karena itu
imam harus ditunjuk oleh Rasulullah dan imam-imam yang lain ditunjuk
pula oleh imam itu.
3) Khalifah (Imam) itu menurut paham Syiah adalah “ma’shum”, artinya
tidak pernah membuat dosa dan tidak boleh diganggu-gugat dan dikritik,
karena ia adalah pengganti Rasulullah yang sama kedudukannya dengan
Rasulullah.
c. Metode Istinbath (Pengambilan Dasar Hukum)
Kalangan Syiah punya Ushul Fikih tersendiri dan kaidah-kaidah istinbath
yang banyak perbedaannya dari kalangan sekte Sunni yang sudah ada. Syiah
mempunyai imam yang menjadi marja’ (panutan) mereka dalam hal yang
berkaitan dengan urusan ajaran agama. Umumnya kalangan Syiah mempunyai
dasar tersendiri dalam melakukan Istinbath hukum, yaitu berpijak pada Alkitab
(Alquran), Sunnah, Ijma’ dan Akal.
Alkitab atau Alquran dalam pandangan Syiah tidak jauh beda dengan
ulama lainnya. Alquran adalah sumber utama dari segala corak pemikiran Islam.
Alquranlah yang memberikan kesahan dan kewenangan kepada segala sumber
keagamaan yang lain dalam Islam. Oleh karena itu harus dipahami oleh semua
orang.
Sunnah bagi Syiah berbeda dengan apa yang difahami oleh kalangan
jumhur ulama Sunni. Tentang sunnah yang dimaksudkan oleh Syiah adalah segala
sesuatu yang diucapkan, dikerjakan oleh orang-orang yang mempunyai sifat
ma’shum yang berhubungan dengan penetapan hukum serta penjelasan-
penjelasannya. Yang mereka maksudkan dengan sifat ma’shum disini ialah
Rasulullah Muhammad dan para imam mereka.
Adapun cara kaum Syiah dalam mengikuti hadits yaitu hadits yang
langsung didengar dari Rasulullah atau dari salah seorang imam. Mengenai hadis
yang diterima melalui perantara, kebanyakan orang-orang Syiah menerimanya
9
apabila sanad atau mata rantai penyampaiannya meyakinkan, atau ada bukti yang
pasti mengenai kebenarannya.
Sedangkan yang dimaksudkan dengan ijma sebagai dalil dalam
menetapkan hukum adalah ijma yang berasal dari imam-imam mereka yang
ma’shum.
d. Taqiyah
Syeikh Al-Mufid mengartikan taqiyah adalah menyembunyikan kebenaran,
menutupi keyakinan, demi maslahat agama atau dunia 6.
Imam Khomeini menyebutkan bahwa taqiyah merupakan syariat. Kewajiban
berpegang dengan konsep taqiyyah dalam setiap perkara, kecil maupun besar.
Sesungguhnya taqiyyah telah disyariatkan untuk memelihara diri sendiri dan
orang lain dari kemudaratan di bidang cabang-cabang hukum. Tetapi apabila
Islam seluruhnya berada dalam keadaan genting maka tiada tempat lagi untuk
berlindung dan berdiam diri 7.
e. Mut’ah
Mut’ah adalah perkawinan temporer, atau disebut juga kawin kontrak.
Sekte Syiah membolehkan adanya mut’ah, dengan mendasarkan argumennya
pada QS. An-Nisa : 24.8 Berbeda dengan pemahaman Sunni yang telah
menganggap kebolehan mut’ah telah dimansukh pada peristiwa Khaibar. Yang
masyhur di kalangan Syiah, yang mengharamkan mut’ah adalah Umar bin
Khattab, itulah sebabnya Syiah tidak menerima pengharaman tersebut.
Menurut Ja’fari “Another problem was that of mut'a (temporary marriage),
over which the Shi'i and Kufan jurists differed, the former allowing it on the
authority of 'Ali, the latter forbidding it, referring to the decision of Umar. The
6 Muhammad bin Muhammad bin Nu’man (Syeikh Mufid), Tashhih I’tiqad Al-Imamiyah (versi
elektonik), (tanpa penerbit : tanpa tahun), hal. 137 7 Imam Khomeini, Al-Hukumah Al-Islamiyyah (versi elektronik), (Najf : tanpa penerbit, 1389H),
hal. 1428 Sayid Husein Al-Musawi, Lillaahi … tsumma li at-Tarikh, Edisi Terjemah : Mengapa Saya
Keluar Dari Syiah? Penterjemah Iman Sulaiman, Lc (Jakarta : Pustaka Kautsar, 2003), hal. 43
10
argument was that if 'Umar could revoke a permission granted by the Prophet,
then 'Ali could revoke a ruling of 'Umar.” 9
(Masalah lainnya yaitu mengenai mut’ah (kawin temporer / kontrak) yang
mana ada perbedaan pandangan antara Syiah dan penduduk Kufah. Kelompok
pertama membolehkan atas dasar otoritas Ali, sedangkan kelompok yang
terakhir menolaknya, dengan mendasarkan kepada keputusan Umar.
Argumentasinya adalah sebagai berikut, jika Umar bisa membatalkan sesuatu
kebolehan yang berasal dari Nabi, maka demikian juga Ali bisa membatalkan
peraturan yang dikeluarkan Umar).
f. Khumus
Menurut Imam Khomeini, khumus (yaitu cukai seperlima dari pendapatan)
merupakan sumber keuangan besar yang menyumbang kepada Baitul Mal harta-
harta yang banyak dan menampung sebagian besar Baitul Mal. Menurut mazhab
Syiah cukai seperlima itu diambil dari semua perolehan, manfaat dan keuntungan,
baik dari pertanian, perniagaan, galian dan harta karun. Seorang penjual sayur-
sayuran juga mengeluarkan cukai seperlima itu manakala ia memperolehi lebih
dari keperluan tahunannya sesuai dengan dasar ajaran syariat dalam masalah
perbelanjaan, sebagaimana juga kapten kapal dan orang yang memperoleh harta
karun dan galian turut mengeluarkannya. Disumbangkan seperlima dari kelebihan
keuntungan kepada Imam atau pemerintahan Islam untuk disalurkan kepada
Baitul Mal. 10
g. Tahrif
Mengenai tahrif atau pengurangan pada ayat-ayat Alquran, ada 3 pandangan
dalam sekte Syiah, yaitu (1) sebagian kecil meyakini bahwa Alquran yang ada
pada umat muslim sama persis ketika diturunkan dan yakin bahwa Allah
menjaganya; (2) sebagian besar meyakini bahwa Alquran itu sama seperti
diturunkan namun mengalami perubahan dalam redaksi susunannya; dan (3)
9 Ja’fari, The Origins and Early Development of Shia Islam, hal. 21910 Imam Khomeini, Al-Hukumah Al-Islamiyyah, hal 29
11
sebagian lagi meyakini bahwa Alquran yang ada di tangan sebagian besar kaum
muslim, telah mengalami tahrif yang dilakukan oleh Abu Bakar, Umar, dan
Utsman. Al-Kulaini – sebagaimana derajat Imam Bukhari dalam sekte Sunni –
menyebutkan dalam kitabnya Ushul Kaafi :
“Abu Basyir berkata, “Aku berada di sisi Imam Shadiq as dan aku berkata,
‘Apa mushaf Fathimah itu?’ Beliau menjawab, ‘Mushaf yang tebalnya tiga
kali Alquran yang ada di tanganmu. Namun, demi Allah! Tidak satu kata pun
dari Alquran ada di dalamnya.” 11
h. Raj’ah
Raj’ah adalah keyakinan hidupnya kembali pada orang meninggal. Ahli
tafsir Syiah, Al-Qummi menafsirkan QS. An-Nahl:85 sebagai raj’ah.
“Yang dimaksud dengan ayat tersebut adalah raj’ah, kemudian menukil
dari Husain bin Ali bahwa ia berkata tentang ayat ini: ‘Nabi kalian dan
Amirul Mukminin (Ali bin Abu Thalib) serta para imam as akan kembali
kepada kalian” 12
i. Al-Bada’
Al-Bada’ adalah mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui.
Syiah berkeyakinan bahwa Al-Bada’ ini terjadi pada Allah. Al-Kulaini dalam
Ushul Kaafi meriwayatkan dari Abu Abdullah (ia berkata): “Tidak ada
pengagungan kepada Allah yang melebihi Al-Bada’”. 13
2. Sekte-Sekte Syiah dan Derivasinya
Dalam perjalanan sejarah, kelompok ini akhirnya terpecah menjadi
beberapa sekte. Perpecahan ini terutama dipicu oleh masalah doktrin imamah.
Dan diantara golongan Syiah yang sanggup mempertahankan kelompoknya
11 Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini, Ushul Kaafi Jilid 1 (versi elektronik), (Beirut: Mansyurat
Al-Fajr, 2007), hal. 14112 Muhammad Shohibul Imam, Mengurai Pemikiran Islam Dalam Perspektif Sunny Syiah, Ad-Din
, Vol. 2 No 1 (Januari-Juli 2008), hal. 5513 Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini, Ushul Kaafi, hal. 85
12
sampai sekarang ini ialah golongan Kisaniyah, Zaidiyah, Imamiyah (Itsna
Asyariyah), Ghulat / Saba’iyah, dan Sab’iyah / Ismailiyah. 14Kepercayaan-
kepercayaan golongan tersebut mengalami perkembangan, karena hubungan-
hubungan mereka dengan para pengaku Syiah.
a. Kisaniyah
Sekte Syiah ini dinisbatkan kepada Kisan, mantan sahaya Ali bin
Abi Thalib. Ia pernah belajar kepada Muhammad bin Hanafiyah, karena itu
ilmunya mencakup berbagai pengetahuan. Kelompok ini meyakini
Muhammad bin Hanafiyah sebagai imam, meskipun Muhammad bin
Hanafiyah sendiri tidak mendeklarasikan diriya sendiri sebagai imam, dan
meyakini bahwa beliau tidak wafat melainkan menghilang dan bersembunyi
di pegunungan Radwa dekat Madinah. Sekte ini meyakini tentang adanya
raj’ah yaitu hidup kembali setelah kematian. Dalam imamah mereka bisa
menerima imam selain dari keturunan Ali, namun imamah pada akhirnya
akan dipegang oleh keturunan ahlu bait.
b. Zaidiyah
Disebut Zaidiyah karena sekte ini mengakui Zaid bin Ali sebagai
imam kelima, setelah Ali bin Abi Thalib. Aliran ini yang paling dekat
dengan kepada jamaah Islam (Sunni) dan paling moderat karena tidak
mengangkat para imam ke derajat kenabian. Namun, mereka menganggap
para imam sebagai manusia paling utama setelah Rasulullah Muhammad.
Aliran Zaidiyah tidak berkeyakinan bahwa seorang imam yang
mewarisi kepemimpinan Rasulullah telah ditentukan nama dan orangnya
oleh Rasul, tetapi hanya sifat-sifatnya saja. Namun, sifat-sifat yang
disebutkan itu telah membuat Ali sebagai orang yang pantas menjadi imam
setelah Rasulullah wafat, karena sifat-sifat itu tidak dimiliki orang lain.
Syiah Zaidiyah juga berpendapat bahwa kekhalifahan Abu Bakar
dan Umar bin Khatab adalah sah dari sudut pandang Islam. Dalam
14 Asy-Syahrastani, Al-Milal wa Al-Nihal, hal 124
13
pandangan mereka, jika ahl al hall wa al-‘aqd telah memilih seorang imam
dari kaum muslim, meskipun ia tidak memenuhi sifat-sifat keimanan yang
ditetapkan oleh Zaidiyah dan telah dibaiat oleh mereka, keimanannya
menjadi sah. Zaidiyah tidak mencela dan mengutuk Abu Bakar dan Umar.
Atas penerimaan Zaid bin Ali terhadap kekhalifahan Abu Bakar
dan Umar, maka sebagian pengikutnya menolak ajaran tersebut, dan
memisahkan diri menjadi sekte yang disebut Rafidhah. Sebutan ini diambil
dari kata yang diucapkan Zaid bin Ali “Engkau menolakku, engkau
menolakku”.
c. Sab’iyah / Ismailiyah
Istilah Syiah Sab’iyah (Syiah Tujuh) dianalogikan dengan syiah
Istna Asyariyah. Istilah itu memberikan pengertian bahwa sekte Syiah
Sab’iyah hanya mengakui tujuh imam, yaitu Ali, Hasan, Husein, Ali Zainal
Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far Ash-Shadiq, dan Ismail bin Ja’far Ash-
Shadiq. Karena dinisbatkan pada imam ketujuh, Ismail bin Ja’far Ash-
Shadiq, Syiah Sab’iyah disebut juga Syiah Ismailiyah.
Berbeda dengan Syiah Sab’iyah, Syiah Itsna Asyariyah
membatalkan Ismail bi Ja’far sebagai imam ketujuh karena disamping
memiliki kebiasaan tak terpuji juga karena dia wafat (143 H/760M)
mendahului ayahnya, Ja’far (w. 765). Sebagai penggantinya adalah Musa
Al-Kazim, adik Ismail. Syiah Sab’iyah menolak pembatalan tersebut,
berdasarkan sistem pengangkatan imam dalam Syiah dan menganggap
Ismail sebagai imam ketujuh dan sepeninggalnya diganti oleh putranya yang
tertua, Muhammad bin Ismail.
d. Ghulat / Saba’iyah
Istilah Ghulat berasal dari kata ghala-yaghlu-ghuluw artinya
bertambah dan naik. Syiah Ghulat adalah kelompok pendukung Ali yang
memiliki sikap berlebih-lebihan atau ekstrim. Syiah ini dipelopori oleh Ibnu
Saba’, yaitu seorang Yahudi dari Yaman yang masuk Islam, yang
14
menunjukkan keislamannya secara berlebihan. Oleh karena itu Syiah Ghulat
disebut juga Saba’iyah yang dinisbatkan kepada Ibnu Saba’.
Lebih jauh, Abu Zahrah menjelaskan bahwa Syiah Ghulat adalah
kelompok yang menempatkan Ali pada derajat kenabian, bahkan lebih
tinggi daripada Muhammad.
Gelar ekstrim (ghuluw) yang diberikan kepada kelompok ini
berkaitan dengan pendapatnya yang janggal, yakni ada beberapa orang yang
secara khusus dianggap Tuhan dan juga ada beberapa orang yang dianggap
Rasul setelah Rasulullah Muhammad.
e. Imamiyah
Dinamakan Syiah Imamiyah karena yang menjadi dasar akidahnya
adalah persoalan imam dalam arti pemimpin religio politik. Yakni Ali
berhak menjadi khalifah bukan hanya karena kecakapannya atau kemuliaan
akhlaknya, tetapi juga karena ia telah ditunjuk nash dan pantas menjadi
khalifah pewaris kepemimpinan Rasulullah Muhammad saw. Ide tentang
hak Ali dan keturunannya untuk menduduki jabatan khalifah telah ada sejak
Rasulullah wafat.
Syiah Imamiyah juga dinamai dengan Itsna Asyariyah. Disebut
Itsna Asyariyah karena mereka mempunyai dua belas imam, Kedua belas
imam yang mereka yakini itu adalah: 1.Ali bin Abi Thalib, 2. Hasan bin Ali,
3. Husain bin Ali, 4. Ali Zainal Abidin, 5. Muhammad al-Baqir 6. Ja’far al-
Shadiq, 7. Musa al-Khadim, 8. Ali al-Ridha 9. Muhammad al-Jawwad, 10.
Ali al-Hadi, 11. Al-Hasan al-Askari, 12. Muhammad al-Muntadhar.
Nama dua belas (Itsna Asyariyah) ini mengandung pesan penting
dalam tinjauan sejarah, yaitu golongan ini terbentuk setelah lahirnya kedua
belas imam yaitu kira-kira pada tahun 260 H/878 M. Menurut keyakinan
Syiah dua belas (Imamiyah), imam yang terakhir ini menghilang di dalam
gua semenjak kecil sehigga tidak memiliki keturunan dan dengan demikian
silsilah keimanan terhenti padanya.
15
Sekitar pertengahan abad ke-2 H, Syiah Imamiyah telah
menciptakan sebuah model kehidupan dunia untuk terus menerus
mengharapkan sebuah zaman yang lain. Di tengah perlawanan terdapat
sejumlah rezim politik yang terbentuk, sehingga paham Syiah Imamiyah
menjadi sebuah agama kedamaian. Kedamaian ini bisa tercapai dengan
menjalankan hidup serasi melalui hadits Rasulullah dan hadits-hadits para
imam melalui penyerapan emosional kesyahidan mereka. Dengan
konsolidasi sejumlah keyakinan doktrinal mereka dalam bentuk tulisan,
pengembangan kehidupan publik dan dengan pengakuan politik oleh
otoritas yang sedang berkuasa. Maka Syiah menjadi sebuah komunitas di
dalam tubuh islam di Iran, Yaman, dan Irak bagian selatan.