tentang visum et repertum

13
VISUM ET REPERTUM Pendahuluan VISUM et Repertum atau VER adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan pemeriksaan terhadap orang atau yang diduga orang, berdasarkan permintaan tertulis dari pihak yang berwenang, dan dibuat dengan mengingat sumpah jabatan dan KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana). Esensinya adalah laporan tertulis mengenai apa yang dilihat dan ditemukan pada orang yang sudah meninggal atau orang hidup (untuk mengetahui sebab kematian dan/atau sebab luka) yang dilakukan atas permintaan polisi demi kepentingan peradilan dan membuat pendapat dari sudut pandang kedokteran forensik. Surat permintaan VER ditujukan kepada Kepala Bagian Kedokteran Forensik. Dokter yang sedang mendapat giliran melakukan pemeriksaan jenazah pada hari itu adalah yang melakukan pemeriksaan jenazah tersebut. Jenazah yang bersangkutan disita sementara waktu untuk pemeriksaan. Selesai pemeriksaan, jenazah dikembalikan dan sepenuhnya menjadi milik keluarga kembali. Surat permintaan pemeriksaan jenazah ditandatangani oleh polisi berpangkat serendah- rendahnya Inspektur Dua. Namun, bila polisi ber pangkat sedemikian tidak ada di tempat, maka surat permintaan itu ditandatangani oleh polisi berpangkat lebih rendah namun dengan catatan "atas nama". Polisi tidak mempunyai wewenang menunjuk dokter tertentu untuk memeriksa jenazah tertentu. Dan untuk pemeriksaan jenazah tersebut, dokter yang memeriksa tidak boleh menerima balas jasa dalam bentuk materi atau dalam bentuk apa pun (uang dan lain sebagainya). Dokter forensik menyerahkan VER kepada polisi yang meminta. Yang berwenang mengemukakan isi VER itu adalah polisi yang bersangkutan dan bukan dokter yang melakukan pemeriksaan. Adalah hak polisi untuk memberikan keterangan atau menolak memberikan keterangan yang diminta kepada khalayak ramai/wartawan, sedangkan dokter forensik tidak berwenang sehingga tidak diperkenankan untuk mengungkapkan isi VER kepada siapa pun juga (misalnya pers)- apalagi sampai pada detail-detailnya-yang dapat menyinggung pihak-pihak tertentu (misalnya pihak keluarga korban yang diotopsi). Dokter forensik hanya diperkenankan untuk mengemukakan isi VER kepada majelis hakim dalam sidang pengadilan apabila ia dipanggil oleh pengadilan sebagai saksi ahli (kedokteran forensik). Hal ini sedikit banyak berkaitan juga dengan sumpah dokter yang diucapkannya sewaktu dilantik sebagai dokter untuk menjaga kerahasiaan dalam profesinya maupun korban yang sudah meninggal sebagai benda bukti seperti yang akan diuraikan di bawah. Dokter forensik tidak pernah berkewajiban ataupun perlu merasa berkewajiban membuka rahasia mengenai suatu kasus, tetapi ia berkewajiban melaporkan dengan sejujur-jujurnya atas sumpah jabatan bahwa ia akan melaporkan dalam VER semua hal yang dilihat dan ditemukan pada jenazah yang diperiksanya. Seorang dokter ahli forensik pada dasarnya adalah seorang dokter. Ia telah diangkat dan telah diambil sumpahnya sebagai dokter, sedangkan sebagai ahli Ilmu Kedokteran Forensik ia tidak mengucapkan sumpah lain. Pendapat yang menyatakan bahwa dasar Ilmu Kedokteran Forensik ialah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah sangat keliru. KUHAP adalah peraturan hukum, bukan sumpah. Dokter forensik tidak diperkenankan memberikan informasi apa pun kepada pihak lain (misalnya media massa kecuali dalam sidang pengadilan) karena tetap saja dokter forensik adalah seorang dokter yang pernah mengucapkan sumpah dokter dan sesuai sumpah dokter, ia harus menyimpan rahasia kedokteran (dalam hal ini termasuk apa yang dilihat dan ditemukannya dalam pemeriksaan forensik). Yang berwenang adalah polisi yang meminta VER.

Upload: fardhian-dhiyawardhana

Post on 01-Jan-2016

286 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

ndgfdfhgdhgfdf

TRANSCRIPT

Page 1: Tentang Visum Et Repertum

VISUM ET REPERTUM

Pendahuluan

VISUM et Repertum atau VER adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan

pemeriksaan terhadap orang atau yang diduga orang, berdasarkan permintaan tertulis dari

pihak yang berwenang, dan dibuat dengan mengingat sumpah jabatan dan KUHP (Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana). Esensinya adalah laporan tertulis mengenai apa yang

dilihat dan ditemukan pada orang yang sudah meninggal atau orang hidup (untuk

mengetahui sebab kematian dan/atau sebab luka) yang dilakukan atas permintaan polisi

demi kepentingan peradilan dan membuat pendapat dari sudut pandang kedokteran

forensik. Surat permintaan VER ditujukan kepada Kepala Bagian Kedokteran Forensik.

Dokter yang sedang mendapat giliran melakukan pemeriksaan jenazah pada hari itu adalah

yang melakukan pemeriksaan jenazah tersebut. Jenazah yang bersangkutan disita

sementara waktu untuk pemeriksaan. Selesai pemeriksaan, jenazah dikembalikan dan

sepenuhnya menjadi milik keluarga kembali.

Surat permintaan pemeriksaan jenazah ditandatangani oleh polisi berpangkat serendah-

rendahnya Inspektur Dua. Namun, bila polisi ber pangkat sedemikian tidak ada di tempat,

maka surat permintaan itu ditandatangani oleh polisi berpangkat lebih rendah namun

dengan catatan "atas nama". Polisi tidak mempunyai wewenang menunjuk dokter tertentu

untuk memeriksa jenazah tertentu. Dan untuk pemeriksaan jenazah tersebut, dokter yang

memeriksa tidak boleh menerima balas jasa dalam bentuk materi atau dalam bentuk apa

pun (uang dan lain sebagainya). Dokter forensik menyerahkan VER kepada polisi yang

meminta. Yang berwenang mengemukakan isi VER itu adalah polisi yang bersangkutan dan

bukan dokter yang melakukan pemeriksaan. Adalah hak polisi untuk memberikan

keterangan atau menolak memberikan keterangan yang diminta kepada khalayak

ramai/wartawan, sedangkan dokter forensik tidak berwenang sehingga tidak diperkenankan

untuk mengungkapkan isi VER kepada siapa pun juga (misalnya pers)- apalagi sampai pada

detail-detailnya-yang dapat menyinggung pihak-pihak tertentu (misalnya pihak keluarga

korban yang diotopsi).

Dokter forensik hanya diperkenankan untuk mengemukakan isi VER kepada majelis hakim

dalam sidang pengadilan apabila ia dipanggil oleh pengadilan sebagai saksi ahli (kedokteran

forensik). Hal ini sedikit banyak berkaitan juga dengan sumpah dokter yang diucapkannya

sewaktu dilantik sebagai dokter untuk menjaga kerahasiaan dalam profesinya maupun

korban yang sudah meninggal sebagai benda bukti seperti yang akan diuraikan di bawah.

Dokter forensik tidak pernah berkewajiban ataupun perlu merasa berkewajiban membuka

rahasia mengenai suatu kasus, tetapi ia berkewajiban melaporkan dengan sejujur-jujurnya

atas sumpah jabatan bahwa ia akan melaporkan dalam VER semua hal yang dilihat dan

ditemukan pada jenazah yang diperiksanya.

Seorang dokter ahli forensik pada dasarnya adalah seorang dokter. Ia telah diangkat dan

telah diambil sumpahnya sebagai dokter, sedangkan sebagai ahli Ilmu Kedokteran Forensik

ia tidak mengucapkan sumpah lain. Pendapat yang menyatakan bahwa dasar Ilmu

Kedokteran Forensik ialah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah

sangat keliru. KUHAP adalah peraturan hukum, bukan sumpah. Dokter forensik tidak

diperkenankan memberikan informasi apa pun kepada pihak lain (misalnya media massa

kecuali dalam sidang pengadilan) karena tetap saja dokter forensik adalah seorang dokter

yang pernah mengucapkan sumpah dokter dan sesuai sumpah dokter, ia harus menyimpan

rahasia kedokteran (dalam hal ini termasuk apa yang dilihat dan ditemukannya dalam

pemeriksaan forensik). Yang berwenang adalah polisi yang meminta VER.

Page 2: Tentang Visum Et Repertum

Dan tidak jelas pula pendapat ahli kedokteran forensik yang menyatakan bahwa demi

kepentingan umum, dokter forensik diperkenankan memberikan keterangan apabila

diperlukan kepada media massa (kepentingan pribadi demi popularitas atau sensasi?).

Jenazah tidak dapat disamakan dengan benda bukti lainnya, misalnya sepotong kayu yang

telah dipakai untuk membunuh, karena sebelumnya ia adalah seorang manusia hidup yang

bernyawa, yang mempunyai riwayat kehidupan tertentu, dan dengan demikian juga

terdapat ikatan-ikatan tertentu, seperti hubungan dengan anggota keluarganya yang masih

hidup maupun dengan kaum kerabat lainnya. Oleh karena itu, hal-hal tertentu yang

ditemukan dalam pemeriksaan yang dapat mencemarkan nama baik orang yang sudah

meninggal-juga keluarga serta kawan-kawannya yang masih hidup-itu tidak dapat

dibeberkan kepada pihak lain, apalagi untuk dikemukakan kepada publik. Sesuatu yang

memburukkan nama baik orang yang sudah meninggal (jenazah) itu pasti akan berakibat

aib bagi pihak keluarga yang ditinggalkan.

Definisi

Dalam undang-undang ada satu ketentuan hukum yang menuliskan langsung tentang visum

et repertum, yaitu pada staatsblad (lembaga Negara) Tahun 1937 No. 350. Ketentuan

dalam Staatsblad ini sebetulnya merupakan terobosan untuk mengatasi masalah yang

dihadapi dokter dalam membuat visum, yaitu mereka tidak perlu disumpah tiap kali

sebelum membuat visum. Seperti diketahui setiap keterangan yang akan disampaikan

untuk pengadilan haruslah keterangan dibawah sumpah. Dengan adanya ketentuan ini,

maka sumpah yang telah diikrarkan dokter waktu menamatkan pendidikannya, dianggap

sebagai sumpah yang syah untuk kepentingan membuat VeR, biarpun lafal dan maksudnya

berbeda.

Visum et repertum (VeR) adalah keterangan yang dibuat dokter atas permintaan penyidik

yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup ataupun mati,

ataupun bagian/diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah

sumpah, untuk kepentingan peradilan.

Peranan dan Fungsi

Visum et repertum berperan sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam proses

pembuktian perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Dalam VeR terdapat

uraian hasil pemeriksaan medis yang tertuang dalam bagian pemberitaan, yang karenanya

dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti. VeR juga memuat keterangan atau

pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medis yang tertuang dalam bagian

kesimpulan.

Bila VeR belum dapat menjernihkan persoalan di sidang pengadilan, hakim dapat meminta

keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum dalam Kitab Undang-

undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang memberi kemungkinan dilakukannya

pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang

beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan.

Perbedaan VeR dengan Catatan Medis dan Surat Keterangan Medis Lain

Catatan medis adalah catatan tentang seluruh hasil pemeriksaan medis beserta tindakan

pengobatan/perawatannya yang merupakan milik pasien, meskipun dipegang oleh

dokter/institusi kesehatan. Catatan medis ini terikat pada rahasia pekerjaan dokter yang

diatur dalam Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1966 tentang rahasia kedokteran dengan

sanksi hukum seperti pasal 322 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dokter boleh

Page 3: Tentang Visum Et Repertum

membuka isi catatan medis kepada pihak ketiga, misalnya dalam bentuk keterangan medik,

hanya setelah memperoleh izin dari pasien, baik langsung maupun berupa perjanjuan yang

dibuat sebelumnya antara pasien dengan pihak ketiga tertentu, misalnya pada klaim

asuransi.

Karena Visum et repertum dibuat berdasarkan undang-undang yaitu pasal 120, 179, dan

133 ayat 1 KUHAP, maka dokter tidak dapat dituntut karena membuka rahasia pekerjaan

sebagaimana diatur dalam pasal 322 KUHP, meskipun dokter membuatnya tanpa seizin

pasien. Pasal 50 KUHP mengatakan bahwa barangsiapa melakukan perbuatan untuk

melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana, sepanjang visum et repertum

tersebut hanya diberikan kepada instansi penyidik yang memintnya, untuk selanjutnya

dipergunakan dalam proses pengadilan.

Jenis dan Bentuk Visum et Repertum

Ada beberapa jenis visum et repertum, yaitu visum et repertum perlukaan (termasuk

keracunan), visum et repertum kejahatan susila, visum et repertum jenazah, dan visum et

repertum psikiatrik. Tiga jenis visum yang pertama adalah visum et repertum mengenai

tubuh/raga manusia yang dalam hal ini berstatus sebagai korban tindak pidana, sedangkan

jenis terakhir adalah mengenai jiwa/mental tersangka atau terdakwa atau saksi lain dari

suatu tindak pidana. Visum et repertum dibuat secara tertulis, sebaiknya dengan mesin

ketik, di atas sebuah kertas putih dengan kepala surat institusi kesehatan yang melakukan

pemeriksaan, dalam bahasa Indonesia, tanpa memuat singkatan dan sedapat mungkin

tanpa istilah asing, bila terpaksa digunakan agar diberi penjelasan bahasa Indonesia.

1. Visum et Repertum pada Kasus Perlukaan.

Terhadap setiap pasien yang diduga korban tindak pidana meskipun belum ada surat

permintaan visum et repertum dari polisi, dokter harus membuat catatan medis atas semua

hasil pemeriksaan medisnya secara lengkap dan jelas sehingga dapat digunakan untuk

pembuatan visum et repertum. Umumnya, korban dengan luka ringan datang ke dokter

setelah melapor ke penyidik, sehingga membawa surat permintaan visum et repertum.

Sedangkan korban dengan luka sedang/berat akan datang ke dokter sebelum melapor ke

penyidik, sehingga surat permintaan datang terlambat. Keterlambatan dapat diperkecil

dengan komunikasi dan kerjasama antara institusi kesehatan dengan penyidik. Di dalam

bagian pemberitaa biasanya disebutkan keadaan umum korban sewaktu datang, luka-luka

atau cedera atau penyakit yang diketemukan pada pemeriksaan fisik berikut uraian tentang

letak, jenis dan sifat luka serta ukurannya, pemeriksaan khusus/penunjang, tindakan medis

yang dilakukan, riwayat perjalanan penyakit selama perawatan, dan keadaan akhir saat

perawatan selesai. Gejala yang dapat dibuktikan secara obyektif dapat dimasukkan,

sedangkan yang subyektif dan tidak dapat dibuktikan tidak dimasukkan ke dalam visum

et repertum.

2. Visum et Repertum Korban Kejahatan Susila

Umumnya korban kejahatan susila yang dimintakan visum et repertumnya pada dokter

adalah kasus dugaan adanya persetubuhan yang diancam hukuman oleh KUHP (meliputi

perzinahan, perkosaan, persetubuhan dengan wanita yang tidak berdaya, persetubuhan

dengan wanita yang belum cukup umur, serta perbuatan cabul). Untuk kepentingan

peradilan, dokter berkewajiban untuk membuktikan adanya persetubuhan atau perbuatan

cabul, adanya kekerasan (termasuk keracunan), serta usia korban. Selain itu juga

diharapkan memeriksa adanya penyakit hubungan seksual, kehamilan, dan kelainan

psikiatrik sebagai akibat dari tindakan pidana tersebut. Dokter tidak dibebani pembuktian

Page 4: Tentang Visum Et Repertum

adanya pemerkosaan, karena istilah pemerkosaan adalah istilah hukum yang harus

dibuktikan di depan sidang pengadilan.

Dalam kesimpulan diharapkan tercantum perkiraan tentang usia korban, ada atau tidaknya

tanda persetubuhan dan bila mungkin, menyebutkan kapan perkiraan terjadinya, dan ada

atau tidaknya tanda kekerasan.

Bila ditemukan adanya tanda-tanda ejakulasi atau adanya tanda-tanda perlawanan berupa

darah pada kuku korban, dokter berkewajiban mencari identitas tersangka melalui

pemeriksaan golongan darah serta DNA dari benda-benda bukti tersebut.

3. Visum et Repertum Jenazah

Jenazah yang akan dimintakan visum et repertumnya harus diberi label yang memuat

identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan, diikatkan pada ibu jari kaki atau bagian

tubuh lainnya. Pada surat permintaan visum et repertum harus jelas tertulis jenis

pemeriksaan yang diminta, apakah pemeriksaan luar (pemeriksaan jenazah) atau

pemeriksaan dalam/autopsi (pemeriksaan bedah jenazah).

Pemeriksaan forensik terhadap jenazah meliputi :

1. Pemeriksaan luar jenazah yang berupa tindakan yang tidak merusak keutuhan

jaringan jenazah secara teliti dan sistematik.

2. Pemeriksaan bedah jenazah, pemeriksaan secara menyeluruh dengan membuka

rongga tengkorak, leher, dada, perut, dan panggul. Kadangkala dilakukan

pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti pemeriksaan histopatologi,

toksikologi, serologi, dan sebagainya. Dari pemeriksaan dapat disimpulkan sebab,

jenis luka atau kelainan, jenis kekerasan penyebabnya, sebab dan mekanisme

kematian, serta saat kematian seperti tersebut di atas.

4. Visum et Repertum Psikiatrik

Visum et repertum psikiatrik perlu dibuat oleh karena adanya pasal 44 (1) KUHP yang

berbunyi ”Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan

padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena

penyakit, tidak dipidana”. Jadi selain orang yang menderita penyakit jiwa, orang yang

retardasi mental juga terkena pasal ini. Visum ini diperuntukkan bagi tersangka atau

terdakwa pelaku tindak pidana, bukan bagi korban sebagaimana yang lainnya. Selain itu

visum ini juga menguraikan tentang segi kejiwaan manusia, bukan segi fisik atau raga

manusia. Karena menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya seseorang atas tindak

pidana yang dilakukannya, maka adalah lebih baik bila pembuat visum ini hanya dokter

spesialis psikiatri yang bekerja di rumah sakit jiwa atau rumah sakit umum. Dalam Keadaan

tertentu di mana kesaksian seseorang amat diperlukan sedangkan ia diragukan kondisi

kejiwaannya jika ia bersaksi di depan pengadilan maka kadangkala hakim juga meminta

evaluasi kejiwaan saksi tersebut dalam bentuk visum et repertum psikiatrik.

Aspek Pengadaan Visum Et Repertum

Pejabat yang dapat meminta visum et repertum atas seseorang korban tindak pidana

kejahatan terhadap kesehatan dan nyawa manusia adalah penyidik dan penyidik pembantu

polisi, baik POLRI maupun Polisi Militer, sesuai dengan jurisdiksinya masing-masing. Selain

itu jaksa penyidik berwenang pula meminta visum et repertum pada perkara pelanggaran

Hak Asasi Manusia. Hakim juga dapat meminta visum et repertum (psikiatrik) sesuai

dengan pasal 180 jo pasal 187 KUHAP, biasanya melalui jaksa penuntut umum. Penasehat

hukum tersangka tidak diberi kewenangan untuk meminta visum et repertum kepada

Page 5: Tentang Visum Et Repertum

dokter, demikian pula tidak boleh meminta salinan visum et repertum langsung dari dokter.

Penasehat hukum tersangka dapat meminta salinan visum et repertum dari penyidik atau

dari pengadilan pada masa menjelang persidangan.

Korban atau keluarga korban juga tidak memiliki kewenangan untuk meminta visum et

repertum langsung dari dokter. Akan tetapi mereka berhak memperoleh informasi tentang

korban pada saat yang tepat dari penyidik, dan mereka juga dapat memperoleh salinan

visum et repertum dari penyidik atau dari pengadilan pada masa menjelang persidangan.

Dalam hal visum et repertum tersebut merupakan hasil pemeriksaan atas seseorang korban

hidup, maka dokter pemeriksa berhak untuk memberitahukan hasil pemeriksaannya kepada

korban. Sikap ini masih dapat dibenarkan dari segi etika kedokteran, dan berkaitan dengan

hak pasien atas informasi medis dirinya. Berbeda dengan prosedur pemeriksaan korban

mati yang telah mempunyai ketentuan yang mengaturnya dan bahkan mempunyai

ancaman hukuman bagi pelanggarnya, prosedur permintaan visum et repertum korban

hidup (luka, keracunan dan kejahatan seksual /abortus) tidak diatur secara rinci di dalam

KUHAP. Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang pemeriksaan apa saja yang harus dan

boleh dilakukan oleh dokter (dalam pasal 133 hanya tertulis pemeriksaan luka). Hal ini

berarti bahwa pemilihan jenis pemeriksaan yang dilakukan diserahkan sepenuhnya kepada

dokter dengan mengandalkan tanggung-jawab profesi kedokteran. KUHAP juga tidak

memuat ketentuan tentang bagaimana menjamin keabsahan seseorang korban sebagai

"barang bukti". Ketentuan tentang perlakuan terhadap korban hidup tidak menunjukkan

bahwa ia adalah barang bukti; ia tidak diberi label dan tidak disegel, apalagi disita oleh

negara. Situasi tersebut membawa kita kepada keadaan, dimana dokter turut bertanggung-

jawab atas pemastian kesesuaian antara identitas yang tertera di dalam surat permintaan

visum et repertum dengan identitas korban yang diperiksa. Dalam praktek sehari-hari,

orang dengan luka-luka akan dibawa langsung ke dokter, baru kemudian dilaporkan ke

penyidik. Hanya korban dengan luka ringan atau tampak ringan saja yang akan lebih dahulu

melapor ke penyidik sebelum pergi ke dokter. Hal ini membawa kemungkinan bahwa surat

permintaan visum et repertum korban luka akan datang "terlambat" dibandingkan dengan

pemeriksaan korbannya. Sepanjang keterlambatan ini masih cukup beralasan dan dapat

diterima, maka keterlambatan ini tidak boleh dianggap sebagai hambatan pembuatan visum

et repertum. Sebagai contoh keterlambatan seperti ini adalah keterlambatan pelaporan

kepada penyidik seperti yang dimaksud di atas, kesulitan komunikasi dan sarana

perhubungan, overmacht (berat lawan) dan noodtoestand (keadaan darurat). Syarat

pembuatan visum et repertum sebagai alat bukti surat sebagaimana tercantum dalam pasal

187 butir c sudah terpenuhi dengan adanya surat permintaan resmi dari penyidik. Tidak ada

alasan bagi dokter untuk menolak permintaan resmi tersebut. Perlu diingat bahwa selain

sebagai korban (pidana), ia juga berperan sebagai pasien, yaitu seorang manusia yang

merupakan subyek hukum, dengan segala hak dan kewajibannya. Hal ini berarti bahwa

seseorang korban hidup tidak secara "en block" (seutuhnya) merupakan barang bukti. Yang

merupakan "barang bukti" pada tubuh korban hidup tersebut adalah perlukaannya beserta

akibatnya, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara pidananya. Sedangkan

orangnya sebagai manusia tetap diakui sebagai subyek hukum dengan segala hak dan

kewajibannya. Dengan demikian, oleh karena barang bukti tersebut tidak dapat dipisahkan

dari orangnya, maka tidak dapat disegel maupun disita. Yang dapat dilakukan adalah

"menyalin" barang bukti tersebut ke dalam bentuk visum et repertum. Adanya keharusan

membuat visum et repertum atas seseorang korban tidak berarti bahwa korban tersebut,

dalam hal ini sebagai pasien, untuk tidak dapat menolak sesuatu pemeriksaan. Keadaan ini

berbeda dengan korban mati yang tidak merangkap perannya sebagai pasien dengan segala

haknya. Korban hidup adalah juga pasien sehingga mempunyai hak untuk memperoleh

informasi medik tentang dirinya, hak menentukan nasibnya sendiri (rights to self

determination), hak untuk menerima atau menolak suatu pemeriksaan dan hak

memperoleh pendapat kedua (second opinion), serta tentu saja hak untuk dirahasiakan

ihwalnya. Umumnya korban tidak akan menolak pemeriksaan dokter bila telah dijelaskan

Page 6: Tentang Visum Et Repertum

manfaatnya bagi korban sendiri sehubungan dengan perkara pidananya. Terlebih bila

diingat bahwa biasanya pemeriksaan tersebut dikaitkan dengan upaya pengobatan dirinya.

Apabila suatu pemeriksaan dikaitkan dengan upaya pengobatan dirinya. Apabila suatu

pemeriksaan dianggap perlu oleh dokter pemeriksa tetapi pasien menolaknya, maka

hendaknya dokter meminta pernyataan tertulis singkat penolakan tersebut dari pasien

disertai alasannya atau bila hal itu tidak mungkin dilakukan, agar mencatatnya di dalam

catatan medis. Ketentuan hukum mengenai siapa yang paling berwenang dalam pembuatan

visum et repertum korban kejahatan seksual tidaklah jelas. Selama ini para dokter spesialis

kebidanan dan penyakit kandungan, yang memang terbiasa memeriksa pasien wanita,

dianggap paling berwenang dalam pembuatan visum et repertum korban kejahatan seksual.

Namun apabila diingat bahwa korban kejahatan seksual pada dasarnya adalah korban

"perlukaan", dan bahwa pemeriksaan yang harus dilakukan bukan hanya sekedar

pemeriksaan fisik dan tujuannya adalah untuk pembuktian, maka dokter spesialis forensik

tampaknya akan mempunyai peranan yang lebih besar. Hal ini juga didukung oleh segi

keilmuan yang digunakan dalam memeriksa korban kejahatan seksual, yaitu ilmu-ilmu

forensik dan bukan ilmu obstetri maupun ginekologi. Hal penting yang harus diperhatikan

adalah bahwa pemeriksa adalah dokter yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang

memadai, baik di bidang ginekologi maupun di bidang kedokteran forensik. Tindakan yang

akan dilakukan harus didahului dengan penjelasan dan permintaan persetujuan korban,

atau bila korban tidak cakap memberi persetujuan dimintakan dari orang tuanya atau

keluarga terdekatnya.

Apabila korban belum cukup umur, maka disarankan agar persetujuan tersebut

ditandatangani oleh bersama, baik oleh korban maupun oleh orangtuanya. Selain adanya

surat permintaan visum et repertum dan persetujuan korban, pemeriksaan harus disaksikan

oleh chaperone (saksi yang berjenis kelamin sama dengan korban) guna menghindari

keadaan yang tidak diinginkan.

Struktur Dan Isi Visum Et Repertum

Konsep visum yang digunakan selama ini merupakan karya pakar bidang kedokteran

kehakiman yaitu Prof. Muller, Prof. Mas Sutejo Mertodidjojo dan Prof. Sutomo Tjokronegoro

sejak puluhan tahun yang lalu (Nyowito Hamdani, Ilmu Kedokteran kehakiman, edisi kedua,

1992).

Konsep visum ini disusun dalam kerangka dasar yang terdiri dari :

1. Pro Yustitia

Menyadari bahwa semua surat baru sah di pengadilan bila dibuat di atas kertas materai dan

hal ini akan menyulitkan bagi dokter bila setiap visum yang dibuat harus memakai kertas

materai. Berpedoman kepada Peraturan Pos, maka bila dokter menulis Pro Yustitia di bagian

atas visum maka ini sudah dianggap sama dengan kertas materai. Penulisan kata Pro

Yustitia pada bagian atas dari visum lebih diartikan agar pembuat maupun pemakai visum

dari semula menyadari bahwa laporan itu adalah demi keadilan (Pro Yustitia). Hal ini sering

terabaikan oleh pembuat maupun pemakan tentang arti sebenarnya kata Pro yustitia ini.

Bila dokter sejak semula memahami bahwa laporan yang dibuatnya tersebut adalah sebagai

partisipasinya secara tidak langsung dalam menegakkan hukum dan keadilan, maka saat

mulai memeriksa korban ia telah menyadari bantuan yang diberikan akan dipakai sebagai

salah satu alat bukti yang sah dalam menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena

biarpun Pro Yustitia hanya kata-kata biasa, tetapi kalau dokter menyadari arti dan makna

yang terkandung di dalamnya maka kata-kata atau tulisan ini menjadi sangat penting

artinya.

Page 7: Tentang Visum Et Repertum

2. Pendahuluan

Bagian pendahuluan berisi tentang siapa yang memeriksa, siapa yang diperiksa, saat

pemeriksa (tanggal, hari dan jam), di mana diperiksa, mengapa diperiksa dan atas

permintaan siapa visum itu dibuat. Data diri korban diisi sesuai dengan yang tercantum

dalam permintaan visum.

3. Pemeriksaan

Bagian terpenting dari visum sebetulnya terletak pada bagian ini, karena apa yang dilihat

dan ditemukan dokter sebagai terjemahan dari visum et repertum itu terdapat pada bagian

ini. Pada bagian ini dokter melaporkan hasil pemeriksaannya secara objektif. Biasanya pada

bagian ini dokter menuliskan luka, cedera dan kelainan pada tubuh korban seperti apa

adanya, misalnya didapati suatu luka, dokter menuliskan pada visum suatu luka berbentuk

panjang, dengan panjang 10 cm, lebar luka 2 cm dan dalam luka 4 cm, pinggir luka rata,

jaringan dalam luka terputus tanpa menyebutkan jenis luka. Sebagai tambahan pada bagian

pemeriksaan ini, bila dokter mendapatkan kelainan yang banyak atau luas dan akan sulit

menjelaskannya dengan kata-kata, maka sebaiknya penjelasan ini disertai dengan lampiran

foto atau sketsa.

4. Kesimpulan

Untuk pemakai visum, ini adalah bagian yang penting, karena diharapkan dokter dapat

menyimpulkan kelainan yang terjadi pada korban menurut keahliannya. Pada korban luka

perlu penjelasan tentang jenis kekerasan, hubungan sebab akibat dari kelainan, tentang

derajat kualifikasi luka, berapa lama korban dirawat dan bagaimana harapan kesembuhan.

Pada korban perkosaan atau pelanggaran kesusilaan perlu penjelasan tentang tanda-tanda

persetubuhan, tanda-tanda kekerasan, kesadaran korban serta bila perlu umur korban

(terutama pada anak belum cukup umur atau belum mampu untuk dikawini). Pada

kebanyakan visum yang dibuat dokter, bagian kesimpulan ini perlu mendapat perhatian

agar visum lebih berdaya guna dan lebih informatif.

5. Penutup

Bagian ini mengingatkan pembuat dan pemakai visum bahwa laporan tersebut dibuat

sejujur-jujurnya dan mengingat sumpah. Untuk menguatkan pernyataan itu dokter

mencantumkan Staatsblad 1937 No.350 atau dalam konsep visum yang baru ditulis sesuai

KUHP.(IJO) Tatacara permintaan Visum Et Repertum Seperti tercantum dalam KUHAP pasal

133 ayat 1, dimana dalam hal penyidik atau kepentingan peradilan menangani seorang

korban baik luka, keracunan ataupun mati, yang diduga karena peristiwa tindak pidana, ia

berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli Kedokteran Kehakiman

atau Dokter dan atau Dokter lainnya, adapun tata cara permintaannya sabagai berikut :

a. Surat permintaan Visum et Repertum kepada Dokter, Dokter ahli Kedokteran

Kehakiman atau Dokter dan atau Dokter lainnya, harus diajukan secara tertulis

dengan menggunakan formulir sesuai dengan kasusnya dan ditanda tangani oleh

penyidik yang berwenang.

b. Syarat kepangkatan Penyidik seperti ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Republik

Indonesia Nomor 27 tahun 1983, tentang pelaksanaan KUHAP pasal 2 yang berbunyi

: Penyidik adalah Pejabat Polri yang sekurang-kurang berpangkat Pelda Polisi

1. Penyidik Pembantu adalah Pejabat Polri yang sekurang-kurangnya berpangkat

Serda Polisi.

Page 8: Tentang Visum Et Repertum

2. Kapolsek yang berpangkat Bintara dibawah Pelda Polisi karena Jabatannya

adalah Penyidik

Catatan : Kapolsek yang dijabat oleh Bintara berpangkat Serda Polisi, sesuai

dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No 27 tahun 1983 Pasal 2 ayat (2),

maka Kapolsek yang berpangkat Serda tersebut karena Jabatannya adalah

Penyidik

c. Barang bukti yang dimintakan Visum et Repertum dapat merupakan :

1) Korban Mati.

Dalam hal korban mati jenis Visum et Repertum yang diminta merupakan Visum

et Repertum Jenazah. Untuk keperluan ini penyidik harus memperlakukan mayat

dengan penuh penghormatan, menaruh label yang memuat identitas mayat, di lak

dengan diberi cap jabatan, diletakkan pada ibu jari atau bagian lain badan mayat.

Mayat selanjutnya dikirim ke Rumah Sakit (Kamar Jenazah) bersama surat

permintaan Visum et Repertum yang dibawa oleh petugas Penyidik yang

melakukan pemeriksaan TKP. Petugas penyidik selanjutnya memberi informasi

yang diperlukan Dokter dan mengikuti pemeriksaan badan mayat untuk

memperoleh barang-barang bukti lain yang ada pada korban serta keterangan

segera tentang sebab dan cara kematiannya.

2) Korban Hidup.

Dalam hal korban luka, keracunan, luka akibat kejahatan kesusilaan menjadi

sakit, memerlukan perawatan/berobat jalan, penyidik perlu memintakan Visum et

Repertum sementara tentang keadaan korban. Penilaian keadaan korban ini dapat

digunakan untuk mempertimbangkan perlu atau tidaknya tersangka ditahan. Bila

korban memerlukan / meminta pindah perawatan ke Rumah Sakit lain,

permintaan Visum et Repertum lanjutan perlu dimintakan lagi. Dalam perawatan

ini dapat terjadi dua kemungkinan, korban menjadi sembuh atau meninggal

dunia. Bila korban sembuh Visum et Repertum definitif perlu diminta lagi karena

Visum et Repertum ini akan memberikan kesimpulan tentang hasil akhir keadaan

korban. Khusus bagi korban kecelakaan lalu lintas, Visum et Repertum ini akan

berguna bagi santunan kecelakaan. Kemungkinan yang lain adalah korban

meninggal dunia, untuk itu permintaan Visum et Repertum Jenazah diperlukan

guna mengetahui secara pasti apakah luka paksa yang terjadi pada korban

merupakan penyebab kematian langsung atau adakah penyebab kematian

lainnya.

d. Dalam surat permintaan Visum et Repertum, kelangkapan data-data jalannya

peristiwa dan data lain yang tercantum dalam formulir, agar diisi selengkapnya,

karena data-data itu dapat membantu Dokter mengarahkan pemeriksaan mayat

yang sedang diperiksa.

Contoh :

1. Pada kecelakaan lalu lintas perlu dicantumkan apakah korban pejalan

kaki/pengemudi/penumpang dan jenis kendaraan yang menabrak. Gambaran

luka-luka dan tempat luka pada tubuh dapat menggambarkan bagaimana

posisi korban pada waktu terjadi kecelakaan.

2. Dalam kasus pembunuhan jangan hanya diisi, korban diduga meninggal

karena pembunuhan atau penganiayaan saja. Sebutkan keterangan tentang

jenis senjata yang diduga dipergunakan pelaku, senjata tajam, senjata api,

racun. Sebaiknya jenis senjata yang diduga dipergunakan pelaku diikut

sertakan sebagai barang bukti, sehingga dapat diperiksa apakah senjata /

alat yang ditemukan sesuai dengan luka-luka yang terdapat pada tubuh

korban.

Page 9: Tentang Visum Et Repertum

3. Pada kasus keracunan atau yang diduga mati karena keracunan, cantumkan

keterangan tentang tanda-tanda atau gejala-gejala keracunan (dari saksi

serta perkiraan racun yang dipergunakan.) Bersama dengan korban perlu

dikirim sisa-sisa makanan/racun yang dicurigai sebagai penyebab

4. Pada kasus diduga bunuh diri data-data tentang alat ataupun racun yang dipergunakan korban agar diisi slengkapnya. Apabila korban dirawat,

sertakan salinan rekaman medis pada waktu perawatan

e. Permintaan Visum et Repertum ini diajukan kepada Dokter ahli Kedokteran

Kehakiman atau Dokter dan atau ahli lainnya.

Catatan :

Dokter ahli Kedokteran Kehakiman biasanya hanya ada di Ibu Kota Propinsi yang

terdapat Fakultas Kedokteran. Ditempat-tempat dimana tidak ada Dokter ahli

Kedokteran Kehakiman maka biasanya surat permintaan Visum et Repertum ini

ditujukan kepada Dokter.

Dalam pelaksanaannya maka sebaiknya :

1) Prioritas Dokter Pemerintah, ditempat dinasnya (bukan tempat praktek

partikelir)

2) Ditempat yang ada fasilitas rumah sakit umum / Fakultas Kedokteran,

permintaan ditujukan kepada bagian yang sesuai yaitu :

Untuk korban hidup :

a) Terluka dan kecelakaan lalu lintas : kebagian bedah b) Kejahatan susila / perkosaan : ke bagian kebidanan Untuk korban mati

: bagian Kedokteran Kehakiman

3) Korban, baik hidup ataupun mati harus diantar sendiri oleh petugas Polri,

disertai surat permintaannya

4) Ditempat yang tidak memiliki fasilitas tersebut, permintaan ditujukan kepada

Dokter pemerintah di Puskesmas atau Dokter ABRI/ khususnya Dokter Polri.

Bila hal ini tidak memungkinkan, baru dimintakan ke Dokter swasta

f. Sebaiknya petugas yang meminta Visum / petugas penyidik hadir ditempat otopsi

dilakukan untuk dapat memberikan informasi kepada Dokter yang membedah mayat

tentang situasi TKP, barang-barang bukti relevan yang ditemukan, keadaan korban

di TKP hal-hal lain yang diperlukan, agar memudahkan Dokter mencari sebab dan

cara kematian korban.

g. Sebaiknya petugas penyidik dapat segera memperoleh informasi yang perlu tentang

korban seperti :

1) Berapa lama korban hidup setelah terjadi serangan yang fatal.

2) Sejauh mana korban masih dapat berlari / jalan.

3) Apakah korban dipindah 4) Senjata/alat jenis apa yang melukai korban

5) Apakah jenis alat/ senjata yang ditemukan di TKP sesuai dengan bentuk luka

yang ada pada tubuh korban

6) Bagaimana caranya alat /senjata tersebut mengenai tubuh korban

7) Apakah ada tanda-tanda perlawanan 8) Apakah luka-luka yang ada pada tubuh korban terjadi sebelum atau sesudah

kematian

9) Kapan kira-kira korban meninggal

10) Apakah korban minum obat-obatan atau minuman keras sebelum meninggal

Tata Cara Pencabutan Visum Et Repertum

a. Pencabutan permintaan Visum et Repertum pada prinsipnya tidak dibenarkan,

namun kadang kala dijumpai hambatan dari keluarga korban yang keberatan untuk

dilaksanakan bedah mayat dengan alasan larangan Agama, adat dan lain-lain.

Page 10: Tentang Visum Et Repertum

b. Bila timbul keberatan dari pihak keluarga, sesuai dengan ketentuan KUHAP Pasal 134

ayat 2, maka penyidik wajib menerangkan sejelasjelasnya tentang maksud dan

tujuan bedah jenazah tersebut. Disamping itu perlu pula dijelaskan bahwa bedah

mayat Forensik :

1) Menurut Agama Islam hukumnya Mubah Fatwa Majelis Kesehatan dan Syurat

Nomor 4 / 1955.

2) Bila keluarga tetap menghalangi bedah mayat penyidik dapat memberi

penjelasan tentang ketentuan KUHP Pasal 2 yang tertulis : Barang siapa dengan

sengaja mencegah menghalangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk

pengadilan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan

atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.

3) Bilamana permintaan Visum et Repertum terpaksa harus dibatalkan, maka

pelaksanaan pencabutan harus diajukan tertulis secara resmi dengan

menggunakan formulir pencabutan dan ditanda tangani oleh Pejabat, petugas

yang berwenang dimana pangkatnya satu tingkat diatas peminta, serta terlebih

dahulu membahasnya secara mendalam.

4) Dengan pencabutan permintaan Visum et Repertum maka penyidik harus

menyadari sepenuhnya bahwa tidak ada sesuatu yang jelas dapat diharapkan lagi

sebagai keterangan dari barang bukti berupa manusia sebagai corpus delicti yang

berkaian erat dengan masalah penyidikan yang sedang ditangani.

Pasal KUHP Yang Berkaitan Dengan Visum Et Repertum

Pasal 90 KUHP

Luka berat berarti :

1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama

sekali, atau yang menimbulkan bahaya mati.

2) Tidak mampu untuk terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan

pencarian.

3) Kehilangan salah satu panca indera. 4) Mendapat cacat berat. 5) Menderita sakit lumpuh.

6) Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih.

7) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.

Pasal 351 KUHP

1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan

atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah diancam dengan

pidana penjara paling lama lima tahun.

3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

4) Dengan penganiayaan dimaksud sengaja merusak kesehatan.

5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana

Pasal 352 KUHP

Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak

menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian,

diancam, sebagai penganiayaan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau

pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga

bagi orang yang melakukan kejahatan atau terhadap orang yang bekerja padanya, atau

menjadi bawahannya. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.

Page 11: Tentang Visum Et Repertum

Pasal 353 KUHP

(1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling

lama empat tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang berarti dekenakan pidana

penjara pailing lama tujuh tahun.

(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana

penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 354 KUHP

(1) Barang siapa melakukan penganiayaan kepada orang dengan pidana penjara paling

lama delapan tahun.

(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian yang bersalah diancam dengan pidana

penjara paling lama sepuluh tahun.

Pasal 341 KUHP

Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada anak yang dilahirkan

atau tidak lama kemudian, dengan sengaja mematikan anaknya, diancam karena

membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.

Pasal 342 KUHP

Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena akan ketahuan bahwa

ia akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas

nyawa anaknya, diancam karena akan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan

pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 89 KUHP

Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.

Pasal 285 KUHP

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa bersetubuh dengan dia

di luar perkawinan, diancam karena memperkosa, dengan pidana penjara paling lama dua

belas tahun.

Pasal 286 KUHP

Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan hal itu diketahui bahwa

wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara

paling lama sembilan tahun.

Pasal 287 KUHP

(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan padahal

diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa belum lima belas tahun, atau

kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan

pidana penjara paling lama sembilan tahun.

(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika wanita belum sampai dua

belas tahun atau jika ada salah satu berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.

Page 12: Tentang Visum Et Repertum

Pasal 288 KUHP

(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang yang diketahuinya atau

sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk

dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana

penjara paling lama empat tahun.

(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan penjara paling lama

delapan tahun.

(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 289 KUHP

Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa untuk melakukan atau

membiarkan dilakukan perbuatan cabul, karena melakukan perbuatan yang menyerang

kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pasal 44 KUHP

(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya

karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak

dipidana.

(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat

memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu

tahun sebagai waktu percobaan.

(3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung pengadilan Tinggi,

dan Pengadilan Negeri.

Pasal 222 KHUP

Barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan

pemeriksaan mayat forensik, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan

atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Yang berhak meminta visum et repertum

Yang berhak meminta visum et repertum adalah penyidik,hakim pidana,hakim perdata dan

hakim agama.

Penyidik

Penyidik adalah pejabat polisi negara tertentu dengan pangkat serendah-rendahnya

pelda,sedangkan pangkat terendah untuk penyidik pembantu adalah serda.Di daerah

terpencil mungkin saja seorang dengan pangkat serda diberi wewenang sebagai penyidik

karena ia komandan.

Hakim pidana

Hakim pidana biasanya tidak langsung minta visum et repertum pada dokter,tetapi

memerintahkan kepada jaksa untuk melengkapi berita acara pemeriksaan dengan visum et

repertum.Kemudian jaksa melimpahkan permintaan hakim kepada penyidik.

Page 13: Tentang Visum Et Repertum

Hakim Perdata

Dasar hukumnya:HIR pasal 154 Karena di sidang pengadilan perdata tidak ada jaksa,maka

hakim perdata minta langsung visum et repertum kepada dokter.Sebagai contoh adalah

sidang pengadilan mengenai penggantian kelamin Iwan Robyanto iskandar menjadi Vivian

rubiyanti iskandar.

Hakim Agama

Dasar hukumnya:Undang-undang No.14.tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan

kehakiman pasal 10. Hakim agama mengadili perkara yang bersangkutan dengan agama

islam,sehingga permintaan visum et repertum hanya berkenaan dengan hal syarat untuk

berpoligami,syarat untuk melakukan perceraian dan syarat waktu tunggu (idah) seorang

janda.

Penulis

Thiazone http://thiazone.blogspot.com