tentang visum et repertum
DESCRIPTION
ndgfdfhgdhgfdfTRANSCRIPT
VISUM ET REPERTUM
Pendahuluan
VISUM et Repertum atau VER adalah laporan tertulis yang dibuat oleh dokter berdasarkan
pemeriksaan terhadap orang atau yang diduga orang, berdasarkan permintaan tertulis dari
pihak yang berwenang, dan dibuat dengan mengingat sumpah jabatan dan KUHP (Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana). Esensinya adalah laporan tertulis mengenai apa yang
dilihat dan ditemukan pada orang yang sudah meninggal atau orang hidup (untuk
mengetahui sebab kematian dan/atau sebab luka) yang dilakukan atas permintaan polisi
demi kepentingan peradilan dan membuat pendapat dari sudut pandang kedokteran
forensik. Surat permintaan VER ditujukan kepada Kepala Bagian Kedokteran Forensik.
Dokter yang sedang mendapat giliran melakukan pemeriksaan jenazah pada hari itu adalah
yang melakukan pemeriksaan jenazah tersebut. Jenazah yang bersangkutan disita
sementara waktu untuk pemeriksaan. Selesai pemeriksaan, jenazah dikembalikan dan
sepenuhnya menjadi milik keluarga kembali.
Surat permintaan pemeriksaan jenazah ditandatangani oleh polisi berpangkat serendah-
rendahnya Inspektur Dua. Namun, bila polisi ber pangkat sedemikian tidak ada di tempat,
maka surat permintaan itu ditandatangani oleh polisi berpangkat lebih rendah namun
dengan catatan "atas nama". Polisi tidak mempunyai wewenang menunjuk dokter tertentu
untuk memeriksa jenazah tertentu. Dan untuk pemeriksaan jenazah tersebut, dokter yang
memeriksa tidak boleh menerima balas jasa dalam bentuk materi atau dalam bentuk apa
pun (uang dan lain sebagainya). Dokter forensik menyerahkan VER kepada polisi yang
meminta. Yang berwenang mengemukakan isi VER itu adalah polisi yang bersangkutan dan
bukan dokter yang melakukan pemeriksaan. Adalah hak polisi untuk memberikan
keterangan atau menolak memberikan keterangan yang diminta kepada khalayak
ramai/wartawan, sedangkan dokter forensik tidak berwenang sehingga tidak diperkenankan
untuk mengungkapkan isi VER kepada siapa pun juga (misalnya pers)- apalagi sampai pada
detail-detailnya-yang dapat menyinggung pihak-pihak tertentu (misalnya pihak keluarga
korban yang diotopsi).
Dokter forensik hanya diperkenankan untuk mengemukakan isi VER kepada majelis hakim
dalam sidang pengadilan apabila ia dipanggil oleh pengadilan sebagai saksi ahli (kedokteran
forensik). Hal ini sedikit banyak berkaitan juga dengan sumpah dokter yang diucapkannya
sewaktu dilantik sebagai dokter untuk menjaga kerahasiaan dalam profesinya maupun
korban yang sudah meninggal sebagai benda bukti seperti yang akan diuraikan di bawah.
Dokter forensik tidak pernah berkewajiban ataupun perlu merasa berkewajiban membuka
rahasia mengenai suatu kasus, tetapi ia berkewajiban melaporkan dengan sejujur-jujurnya
atas sumpah jabatan bahwa ia akan melaporkan dalam VER semua hal yang dilihat dan
ditemukan pada jenazah yang diperiksanya.
Seorang dokter ahli forensik pada dasarnya adalah seorang dokter. Ia telah diangkat dan
telah diambil sumpahnya sebagai dokter, sedangkan sebagai ahli Ilmu Kedokteran Forensik
ia tidak mengucapkan sumpah lain. Pendapat yang menyatakan bahwa dasar Ilmu
Kedokteran Forensik ialah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah
sangat keliru. KUHAP adalah peraturan hukum, bukan sumpah. Dokter forensik tidak
diperkenankan memberikan informasi apa pun kepada pihak lain (misalnya media massa
kecuali dalam sidang pengadilan) karena tetap saja dokter forensik adalah seorang dokter
yang pernah mengucapkan sumpah dokter dan sesuai sumpah dokter, ia harus menyimpan
rahasia kedokteran (dalam hal ini termasuk apa yang dilihat dan ditemukannya dalam
pemeriksaan forensik). Yang berwenang adalah polisi yang meminta VER.
Dan tidak jelas pula pendapat ahli kedokteran forensik yang menyatakan bahwa demi
kepentingan umum, dokter forensik diperkenankan memberikan keterangan apabila
diperlukan kepada media massa (kepentingan pribadi demi popularitas atau sensasi?).
Jenazah tidak dapat disamakan dengan benda bukti lainnya, misalnya sepotong kayu yang
telah dipakai untuk membunuh, karena sebelumnya ia adalah seorang manusia hidup yang
bernyawa, yang mempunyai riwayat kehidupan tertentu, dan dengan demikian juga
terdapat ikatan-ikatan tertentu, seperti hubungan dengan anggota keluarganya yang masih
hidup maupun dengan kaum kerabat lainnya. Oleh karena itu, hal-hal tertentu yang
ditemukan dalam pemeriksaan yang dapat mencemarkan nama baik orang yang sudah
meninggal-juga keluarga serta kawan-kawannya yang masih hidup-itu tidak dapat
dibeberkan kepada pihak lain, apalagi untuk dikemukakan kepada publik. Sesuatu yang
memburukkan nama baik orang yang sudah meninggal (jenazah) itu pasti akan berakibat
aib bagi pihak keluarga yang ditinggalkan.
Definisi
Dalam undang-undang ada satu ketentuan hukum yang menuliskan langsung tentang visum
et repertum, yaitu pada staatsblad (lembaga Negara) Tahun 1937 No. 350. Ketentuan
dalam Staatsblad ini sebetulnya merupakan terobosan untuk mengatasi masalah yang
dihadapi dokter dalam membuat visum, yaitu mereka tidak perlu disumpah tiap kali
sebelum membuat visum. Seperti diketahui setiap keterangan yang akan disampaikan
untuk pengadilan haruslah keterangan dibawah sumpah. Dengan adanya ketentuan ini,
maka sumpah yang telah diikrarkan dokter waktu menamatkan pendidikannya, dianggap
sebagai sumpah yang syah untuk kepentingan membuat VeR, biarpun lafal dan maksudnya
berbeda.
Visum et repertum (VeR) adalah keterangan yang dibuat dokter atas permintaan penyidik
yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, hidup ataupun mati,
ataupun bagian/diduga bagian tubuh manusia, berdasarkan keilmuannya dan di bawah
sumpah, untuk kepentingan peradilan.
Peranan dan Fungsi
Visum et repertum berperan sebagai salah satu alat bukti yang sah dalam proses
pembuktian perkara pidana terhadap kesehatan dan jiwa manusia. Dalam VeR terdapat
uraian hasil pemeriksaan medis yang tertuang dalam bagian pemberitaan, yang karenanya
dapat dianggap sebagai pengganti barang bukti. VeR juga memuat keterangan atau
pendapat dokter mengenai hasil pemeriksaan medis yang tertuang dalam bagian
kesimpulan.
Bila VeR belum dapat menjernihkan persoalan di sidang pengadilan, hakim dapat meminta
keterangan ahli atau diajukannya bahan baru, seperti yang tercantum dalam Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang memberi kemungkinan dilakukannya
pemeriksaan atau penelitian ulang atas barang bukti, apabila timbul keberatan yang
beralasan dari terdakwa atau penasehat hukumnya terhadap suatu hasil pemeriksaan.
Perbedaan VeR dengan Catatan Medis dan Surat Keterangan Medis Lain
Catatan medis adalah catatan tentang seluruh hasil pemeriksaan medis beserta tindakan
pengobatan/perawatannya yang merupakan milik pasien, meskipun dipegang oleh
dokter/institusi kesehatan. Catatan medis ini terikat pada rahasia pekerjaan dokter yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1966 tentang rahasia kedokteran dengan
sanksi hukum seperti pasal 322 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Dokter boleh
membuka isi catatan medis kepada pihak ketiga, misalnya dalam bentuk keterangan medik,
hanya setelah memperoleh izin dari pasien, baik langsung maupun berupa perjanjuan yang
dibuat sebelumnya antara pasien dengan pihak ketiga tertentu, misalnya pada klaim
asuransi.
Karena Visum et repertum dibuat berdasarkan undang-undang yaitu pasal 120, 179, dan
133 ayat 1 KUHAP, maka dokter tidak dapat dituntut karena membuka rahasia pekerjaan
sebagaimana diatur dalam pasal 322 KUHP, meskipun dokter membuatnya tanpa seizin
pasien. Pasal 50 KUHP mengatakan bahwa barangsiapa melakukan perbuatan untuk
melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana, sepanjang visum et repertum
tersebut hanya diberikan kepada instansi penyidik yang memintnya, untuk selanjutnya
dipergunakan dalam proses pengadilan.
Jenis dan Bentuk Visum et Repertum
Ada beberapa jenis visum et repertum, yaitu visum et repertum perlukaan (termasuk
keracunan), visum et repertum kejahatan susila, visum et repertum jenazah, dan visum et
repertum psikiatrik. Tiga jenis visum yang pertama adalah visum et repertum mengenai
tubuh/raga manusia yang dalam hal ini berstatus sebagai korban tindak pidana, sedangkan
jenis terakhir adalah mengenai jiwa/mental tersangka atau terdakwa atau saksi lain dari
suatu tindak pidana. Visum et repertum dibuat secara tertulis, sebaiknya dengan mesin
ketik, di atas sebuah kertas putih dengan kepala surat institusi kesehatan yang melakukan
pemeriksaan, dalam bahasa Indonesia, tanpa memuat singkatan dan sedapat mungkin
tanpa istilah asing, bila terpaksa digunakan agar diberi penjelasan bahasa Indonesia.
1. Visum et Repertum pada Kasus Perlukaan.
Terhadap setiap pasien yang diduga korban tindak pidana meskipun belum ada surat
permintaan visum et repertum dari polisi, dokter harus membuat catatan medis atas semua
hasil pemeriksaan medisnya secara lengkap dan jelas sehingga dapat digunakan untuk
pembuatan visum et repertum. Umumnya, korban dengan luka ringan datang ke dokter
setelah melapor ke penyidik, sehingga membawa surat permintaan visum et repertum.
Sedangkan korban dengan luka sedang/berat akan datang ke dokter sebelum melapor ke
penyidik, sehingga surat permintaan datang terlambat. Keterlambatan dapat diperkecil
dengan komunikasi dan kerjasama antara institusi kesehatan dengan penyidik. Di dalam
bagian pemberitaa biasanya disebutkan keadaan umum korban sewaktu datang, luka-luka
atau cedera atau penyakit yang diketemukan pada pemeriksaan fisik berikut uraian tentang
letak, jenis dan sifat luka serta ukurannya, pemeriksaan khusus/penunjang, tindakan medis
yang dilakukan, riwayat perjalanan penyakit selama perawatan, dan keadaan akhir saat
perawatan selesai. Gejala yang dapat dibuktikan secara obyektif dapat dimasukkan,
sedangkan yang subyektif dan tidak dapat dibuktikan tidak dimasukkan ke dalam visum
et repertum.
2. Visum et Repertum Korban Kejahatan Susila
Umumnya korban kejahatan susila yang dimintakan visum et repertumnya pada dokter
adalah kasus dugaan adanya persetubuhan yang diancam hukuman oleh KUHP (meliputi
perzinahan, perkosaan, persetubuhan dengan wanita yang tidak berdaya, persetubuhan
dengan wanita yang belum cukup umur, serta perbuatan cabul). Untuk kepentingan
peradilan, dokter berkewajiban untuk membuktikan adanya persetubuhan atau perbuatan
cabul, adanya kekerasan (termasuk keracunan), serta usia korban. Selain itu juga
diharapkan memeriksa adanya penyakit hubungan seksual, kehamilan, dan kelainan
psikiatrik sebagai akibat dari tindakan pidana tersebut. Dokter tidak dibebani pembuktian
adanya pemerkosaan, karena istilah pemerkosaan adalah istilah hukum yang harus
dibuktikan di depan sidang pengadilan.
Dalam kesimpulan diharapkan tercantum perkiraan tentang usia korban, ada atau tidaknya
tanda persetubuhan dan bila mungkin, menyebutkan kapan perkiraan terjadinya, dan ada
atau tidaknya tanda kekerasan.
Bila ditemukan adanya tanda-tanda ejakulasi atau adanya tanda-tanda perlawanan berupa
darah pada kuku korban, dokter berkewajiban mencari identitas tersangka melalui
pemeriksaan golongan darah serta DNA dari benda-benda bukti tersebut.
3. Visum et Repertum Jenazah
Jenazah yang akan dimintakan visum et repertumnya harus diberi label yang memuat
identitas mayat, dilak dengan diberi cap jabatan, diikatkan pada ibu jari kaki atau bagian
tubuh lainnya. Pada surat permintaan visum et repertum harus jelas tertulis jenis
pemeriksaan yang diminta, apakah pemeriksaan luar (pemeriksaan jenazah) atau
pemeriksaan dalam/autopsi (pemeriksaan bedah jenazah).
Pemeriksaan forensik terhadap jenazah meliputi :
1. Pemeriksaan luar jenazah yang berupa tindakan yang tidak merusak keutuhan
jaringan jenazah secara teliti dan sistematik.
2. Pemeriksaan bedah jenazah, pemeriksaan secara menyeluruh dengan membuka
rongga tengkorak, leher, dada, perut, dan panggul. Kadangkala dilakukan
pemeriksaan penunjang yang diperlukan seperti pemeriksaan histopatologi,
toksikologi, serologi, dan sebagainya. Dari pemeriksaan dapat disimpulkan sebab,
jenis luka atau kelainan, jenis kekerasan penyebabnya, sebab dan mekanisme
kematian, serta saat kematian seperti tersebut di atas.
4. Visum et Repertum Psikiatrik
Visum et repertum psikiatrik perlu dibuat oleh karena adanya pasal 44 (1) KUHP yang
berbunyi ”Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena
penyakit, tidak dipidana”. Jadi selain orang yang menderita penyakit jiwa, orang yang
retardasi mental juga terkena pasal ini. Visum ini diperuntukkan bagi tersangka atau
terdakwa pelaku tindak pidana, bukan bagi korban sebagaimana yang lainnya. Selain itu
visum ini juga menguraikan tentang segi kejiwaan manusia, bukan segi fisik atau raga
manusia. Karena menyangkut masalah dapat dipidana atau tidaknya seseorang atas tindak
pidana yang dilakukannya, maka adalah lebih baik bila pembuat visum ini hanya dokter
spesialis psikiatri yang bekerja di rumah sakit jiwa atau rumah sakit umum. Dalam Keadaan
tertentu di mana kesaksian seseorang amat diperlukan sedangkan ia diragukan kondisi
kejiwaannya jika ia bersaksi di depan pengadilan maka kadangkala hakim juga meminta
evaluasi kejiwaan saksi tersebut dalam bentuk visum et repertum psikiatrik.
Aspek Pengadaan Visum Et Repertum
Pejabat yang dapat meminta visum et repertum atas seseorang korban tindak pidana
kejahatan terhadap kesehatan dan nyawa manusia adalah penyidik dan penyidik pembantu
polisi, baik POLRI maupun Polisi Militer, sesuai dengan jurisdiksinya masing-masing. Selain
itu jaksa penyidik berwenang pula meminta visum et repertum pada perkara pelanggaran
Hak Asasi Manusia. Hakim juga dapat meminta visum et repertum (psikiatrik) sesuai
dengan pasal 180 jo pasal 187 KUHAP, biasanya melalui jaksa penuntut umum. Penasehat
hukum tersangka tidak diberi kewenangan untuk meminta visum et repertum kepada
dokter, demikian pula tidak boleh meminta salinan visum et repertum langsung dari dokter.
Penasehat hukum tersangka dapat meminta salinan visum et repertum dari penyidik atau
dari pengadilan pada masa menjelang persidangan.
Korban atau keluarga korban juga tidak memiliki kewenangan untuk meminta visum et
repertum langsung dari dokter. Akan tetapi mereka berhak memperoleh informasi tentang
korban pada saat yang tepat dari penyidik, dan mereka juga dapat memperoleh salinan
visum et repertum dari penyidik atau dari pengadilan pada masa menjelang persidangan.
Dalam hal visum et repertum tersebut merupakan hasil pemeriksaan atas seseorang korban
hidup, maka dokter pemeriksa berhak untuk memberitahukan hasil pemeriksaannya kepada
korban. Sikap ini masih dapat dibenarkan dari segi etika kedokteran, dan berkaitan dengan
hak pasien atas informasi medis dirinya. Berbeda dengan prosedur pemeriksaan korban
mati yang telah mempunyai ketentuan yang mengaturnya dan bahkan mempunyai
ancaman hukuman bagi pelanggarnya, prosedur permintaan visum et repertum korban
hidup (luka, keracunan dan kejahatan seksual /abortus) tidak diatur secara rinci di dalam
KUHAP. Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang pemeriksaan apa saja yang harus dan
boleh dilakukan oleh dokter (dalam pasal 133 hanya tertulis pemeriksaan luka). Hal ini
berarti bahwa pemilihan jenis pemeriksaan yang dilakukan diserahkan sepenuhnya kepada
dokter dengan mengandalkan tanggung-jawab profesi kedokteran. KUHAP juga tidak
memuat ketentuan tentang bagaimana menjamin keabsahan seseorang korban sebagai
"barang bukti". Ketentuan tentang perlakuan terhadap korban hidup tidak menunjukkan
bahwa ia adalah barang bukti; ia tidak diberi label dan tidak disegel, apalagi disita oleh
negara. Situasi tersebut membawa kita kepada keadaan, dimana dokter turut bertanggung-
jawab atas pemastian kesesuaian antara identitas yang tertera di dalam surat permintaan
visum et repertum dengan identitas korban yang diperiksa. Dalam praktek sehari-hari,
orang dengan luka-luka akan dibawa langsung ke dokter, baru kemudian dilaporkan ke
penyidik. Hanya korban dengan luka ringan atau tampak ringan saja yang akan lebih dahulu
melapor ke penyidik sebelum pergi ke dokter. Hal ini membawa kemungkinan bahwa surat
permintaan visum et repertum korban luka akan datang "terlambat" dibandingkan dengan
pemeriksaan korbannya. Sepanjang keterlambatan ini masih cukup beralasan dan dapat
diterima, maka keterlambatan ini tidak boleh dianggap sebagai hambatan pembuatan visum
et repertum. Sebagai contoh keterlambatan seperti ini adalah keterlambatan pelaporan
kepada penyidik seperti yang dimaksud di atas, kesulitan komunikasi dan sarana
perhubungan, overmacht (berat lawan) dan noodtoestand (keadaan darurat). Syarat
pembuatan visum et repertum sebagai alat bukti surat sebagaimana tercantum dalam pasal
187 butir c sudah terpenuhi dengan adanya surat permintaan resmi dari penyidik. Tidak ada
alasan bagi dokter untuk menolak permintaan resmi tersebut. Perlu diingat bahwa selain
sebagai korban (pidana), ia juga berperan sebagai pasien, yaitu seorang manusia yang
merupakan subyek hukum, dengan segala hak dan kewajibannya. Hal ini berarti bahwa
seseorang korban hidup tidak secara "en block" (seutuhnya) merupakan barang bukti. Yang
merupakan "barang bukti" pada tubuh korban hidup tersebut adalah perlukaannya beserta
akibatnya, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan perkara pidananya. Sedangkan
orangnya sebagai manusia tetap diakui sebagai subyek hukum dengan segala hak dan
kewajibannya. Dengan demikian, oleh karena barang bukti tersebut tidak dapat dipisahkan
dari orangnya, maka tidak dapat disegel maupun disita. Yang dapat dilakukan adalah
"menyalin" barang bukti tersebut ke dalam bentuk visum et repertum. Adanya keharusan
membuat visum et repertum atas seseorang korban tidak berarti bahwa korban tersebut,
dalam hal ini sebagai pasien, untuk tidak dapat menolak sesuatu pemeriksaan. Keadaan ini
berbeda dengan korban mati yang tidak merangkap perannya sebagai pasien dengan segala
haknya. Korban hidup adalah juga pasien sehingga mempunyai hak untuk memperoleh
informasi medik tentang dirinya, hak menentukan nasibnya sendiri (rights to self
determination), hak untuk menerima atau menolak suatu pemeriksaan dan hak
memperoleh pendapat kedua (second opinion), serta tentu saja hak untuk dirahasiakan
ihwalnya. Umumnya korban tidak akan menolak pemeriksaan dokter bila telah dijelaskan
manfaatnya bagi korban sendiri sehubungan dengan perkara pidananya. Terlebih bila
diingat bahwa biasanya pemeriksaan tersebut dikaitkan dengan upaya pengobatan dirinya.
Apabila suatu pemeriksaan dikaitkan dengan upaya pengobatan dirinya. Apabila suatu
pemeriksaan dianggap perlu oleh dokter pemeriksa tetapi pasien menolaknya, maka
hendaknya dokter meminta pernyataan tertulis singkat penolakan tersebut dari pasien
disertai alasannya atau bila hal itu tidak mungkin dilakukan, agar mencatatnya di dalam
catatan medis. Ketentuan hukum mengenai siapa yang paling berwenang dalam pembuatan
visum et repertum korban kejahatan seksual tidaklah jelas. Selama ini para dokter spesialis
kebidanan dan penyakit kandungan, yang memang terbiasa memeriksa pasien wanita,
dianggap paling berwenang dalam pembuatan visum et repertum korban kejahatan seksual.
Namun apabila diingat bahwa korban kejahatan seksual pada dasarnya adalah korban
"perlukaan", dan bahwa pemeriksaan yang harus dilakukan bukan hanya sekedar
pemeriksaan fisik dan tujuannya adalah untuk pembuktian, maka dokter spesialis forensik
tampaknya akan mempunyai peranan yang lebih besar. Hal ini juga didukung oleh segi
keilmuan yang digunakan dalam memeriksa korban kejahatan seksual, yaitu ilmu-ilmu
forensik dan bukan ilmu obstetri maupun ginekologi. Hal penting yang harus diperhatikan
adalah bahwa pemeriksa adalah dokter yang memiliki pengetahuan dan ketrampilan yang
memadai, baik di bidang ginekologi maupun di bidang kedokteran forensik. Tindakan yang
akan dilakukan harus didahului dengan penjelasan dan permintaan persetujuan korban,
atau bila korban tidak cakap memberi persetujuan dimintakan dari orang tuanya atau
keluarga terdekatnya.
Apabila korban belum cukup umur, maka disarankan agar persetujuan tersebut
ditandatangani oleh bersama, baik oleh korban maupun oleh orangtuanya. Selain adanya
surat permintaan visum et repertum dan persetujuan korban, pemeriksaan harus disaksikan
oleh chaperone (saksi yang berjenis kelamin sama dengan korban) guna menghindari
keadaan yang tidak diinginkan.
Struktur Dan Isi Visum Et Repertum
Konsep visum yang digunakan selama ini merupakan karya pakar bidang kedokteran
kehakiman yaitu Prof. Muller, Prof. Mas Sutejo Mertodidjojo dan Prof. Sutomo Tjokronegoro
sejak puluhan tahun yang lalu (Nyowito Hamdani, Ilmu Kedokteran kehakiman, edisi kedua,
1992).
Konsep visum ini disusun dalam kerangka dasar yang terdiri dari :
1. Pro Yustitia
Menyadari bahwa semua surat baru sah di pengadilan bila dibuat di atas kertas materai dan
hal ini akan menyulitkan bagi dokter bila setiap visum yang dibuat harus memakai kertas
materai. Berpedoman kepada Peraturan Pos, maka bila dokter menulis Pro Yustitia di bagian
atas visum maka ini sudah dianggap sama dengan kertas materai. Penulisan kata Pro
Yustitia pada bagian atas dari visum lebih diartikan agar pembuat maupun pemakai visum
dari semula menyadari bahwa laporan itu adalah demi keadilan (Pro Yustitia). Hal ini sering
terabaikan oleh pembuat maupun pemakan tentang arti sebenarnya kata Pro yustitia ini.
Bila dokter sejak semula memahami bahwa laporan yang dibuatnya tersebut adalah sebagai
partisipasinya secara tidak langsung dalam menegakkan hukum dan keadilan, maka saat
mulai memeriksa korban ia telah menyadari bantuan yang diberikan akan dipakai sebagai
salah satu alat bukti yang sah dalam menegakkan hukum dan keadilan. Oleh karena
biarpun Pro Yustitia hanya kata-kata biasa, tetapi kalau dokter menyadari arti dan makna
yang terkandung di dalamnya maka kata-kata atau tulisan ini menjadi sangat penting
artinya.
2. Pendahuluan
Bagian pendahuluan berisi tentang siapa yang memeriksa, siapa yang diperiksa, saat
pemeriksa (tanggal, hari dan jam), di mana diperiksa, mengapa diperiksa dan atas
permintaan siapa visum itu dibuat. Data diri korban diisi sesuai dengan yang tercantum
dalam permintaan visum.
3. Pemeriksaan
Bagian terpenting dari visum sebetulnya terletak pada bagian ini, karena apa yang dilihat
dan ditemukan dokter sebagai terjemahan dari visum et repertum itu terdapat pada bagian
ini. Pada bagian ini dokter melaporkan hasil pemeriksaannya secara objektif. Biasanya pada
bagian ini dokter menuliskan luka, cedera dan kelainan pada tubuh korban seperti apa
adanya, misalnya didapati suatu luka, dokter menuliskan pada visum suatu luka berbentuk
panjang, dengan panjang 10 cm, lebar luka 2 cm dan dalam luka 4 cm, pinggir luka rata,
jaringan dalam luka terputus tanpa menyebutkan jenis luka. Sebagai tambahan pada bagian
pemeriksaan ini, bila dokter mendapatkan kelainan yang banyak atau luas dan akan sulit
menjelaskannya dengan kata-kata, maka sebaiknya penjelasan ini disertai dengan lampiran
foto atau sketsa.
4. Kesimpulan
Untuk pemakai visum, ini adalah bagian yang penting, karena diharapkan dokter dapat
menyimpulkan kelainan yang terjadi pada korban menurut keahliannya. Pada korban luka
perlu penjelasan tentang jenis kekerasan, hubungan sebab akibat dari kelainan, tentang
derajat kualifikasi luka, berapa lama korban dirawat dan bagaimana harapan kesembuhan.
Pada korban perkosaan atau pelanggaran kesusilaan perlu penjelasan tentang tanda-tanda
persetubuhan, tanda-tanda kekerasan, kesadaran korban serta bila perlu umur korban
(terutama pada anak belum cukup umur atau belum mampu untuk dikawini). Pada
kebanyakan visum yang dibuat dokter, bagian kesimpulan ini perlu mendapat perhatian
agar visum lebih berdaya guna dan lebih informatif.
5. Penutup
Bagian ini mengingatkan pembuat dan pemakai visum bahwa laporan tersebut dibuat
sejujur-jujurnya dan mengingat sumpah. Untuk menguatkan pernyataan itu dokter
mencantumkan Staatsblad 1937 No.350 atau dalam konsep visum yang baru ditulis sesuai
KUHP.(IJO) Tatacara permintaan Visum Et Repertum Seperti tercantum dalam KUHAP pasal
133 ayat 1, dimana dalam hal penyidik atau kepentingan peradilan menangani seorang
korban baik luka, keracunan ataupun mati, yang diduga karena peristiwa tindak pidana, ia
berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli Kedokteran Kehakiman
atau Dokter dan atau Dokter lainnya, adapun tata cara permintaannya sabagai berikut :
a. Surat permintaan Visum et Repertum kepada Dokter, Dokter ahli Kedokteran
Kehakiman atau Dokter dan atau Dokter lainnya, harus diajukan secara tertulis
dengan menggunakan formulir sesuai dengan kasusnya dan ditanda tangani oleh
penyidik yang berwenang.
b. Syarat kepangkatan Penyidik seperti ditentukan oleh Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 27 tahun 1983, tentang pelaksanaan KUHAP pasal 2 yang berbunyi
: Penyidik adalah Pejabat Polri yang sekurang-kurang berpangkat Pelda Polisi
1. Penyidik Pembantu adalah Pejabat Polri yang sekurang-kurangnya berpangkat
Serda Polisi.
2. Kapolsek yang berpangkat Bintara dibawah Pelda Polisi karena Jabatannya
adalah Penyidik
Catatan : Kapolsek yang dijabat oleh Bintara berpangkat Serda Polisi, sesuai
dengan ketentuan Peraturan Pemerintah No 27 tahun 1983 Pasal 2 ayat (2),
maka Kapolsek yang berpangkat Serda tersebut karena Jabatannya adalah
Penyidik
c. Barang bukti yang dimintakan Visum et Repertum dapat merupakan :
1) Korban Mati.
Dalam hal korban mati jenis Visum et Repertum yang diminta merupakan Visum
et Repertum Jenazah. Untuk keperluan ini penyidik harus memperlakukan mayat
dengan penuh penghormatan, menaruh label yang memuat identitas mayat, di lak
dengan diberi cap jabatan, diletakkan pada ibu jari atau bagian lain badan mayat.
Mayat selanjutnya dikirim ke Rumah Sakit (Kamar Jenazah) bersama surat
permintaan Visum et Repertum yang dibawa oleh petugas Penyidik yang
melakukan pemeriksaan TKP. Petugas penyidik selanjutnya memberi informasi
yang diperlukan Dokter dan mengikuti pemeriksaan badan mayat untuk
memperoleh barang-barang bukti lain yang ada pada korban serta keterangan
segera tentang sebab dan cara kematiannya.
2) Korban Hidup.
Dalam hal korban luka, keracunan, luka akibat kejahatan kesusilaan menjadi
sakit, memerlukan perawatan/berobat jalan, penyidik perlu memintakan Visum et
Repertum sementara tentang keadaan korban. Penilaian keadaan korban ini dapat
digunakan untuk mempertimbangkan perlu atau tidaknya tersangka ditahan. Bila
korban memerlukan / meminta pindah perawatan ke Rumah Sakit lain,
permintaan Visum et Repertum lanjutan perlu dimintakan lagi. Dalam perawatan
ini dapat terjadi dua kemungkinan, korban menjadi sembuh atau meninggal
dunia. Bila korban sembuh Visum et Repertum definitif perlu diminta lagi karena
Visum et Repertum ini akan memberikan kesimpulan tentang hasil akhir keadaan
korban. Khusus bagi korban kecelakaan lalu lintas, Visum et Repertum ini akan
berguna bagi santunan kecelakaan. Kemungkinan yang lain adalah korban
meninggal dunia, untuk itu permintaan Visum et Repertum Jenazah diperlukan
guna mengetahui secara pasti apakah luka paksa yang terjadi pada korban
merupakan penyebab kematian langsung atau adakah penyebab kematian
lainnya.
d. Dalam surat permintaan Visum et Repertum, kelangkapan data-data jalannya
peristiwa dan data lain yang tercantum dalam formulir, agar diisi selengkapnya,
karena data-data itu dapat membantu Dokter mengarahkan pemeriksaan mayat
yang sedang diperiksa.
Contoh :
1. Pada kecelakaan lalu lintas perlu dicantumkan apakah korban pejalan
kaki/pengemudi/penumpang dan jenis kendaraan yang menabrak. Gambaran
luka-luka dan tempat luka pada tubuh dapat menggambarkan bagaimana
posisi korban pada waktu terjadi kecelakaan.
2. Dalam kasus pembunuhan jangan hanya diisi, korban diduga meninggal
karena pembunuhan atau penganiayaan saja. Sebutkan keterangan tentang
jenis senjata yang diduga dipergunakan pelaku, senjata tajam, senjata api,
racun. Sebaiknya jenis senjata yang diduga dipergunakan pelaku diikut
sertakan sebagai barang bukti, sehingga dapat diperiksa apakah senjata /
alat yang ditemukan sesuai dengan luka-luka yang terdapat pada tubuh
korban.
3. Pada kasus keracunan atau yang diduga mati karena keracunan, cantumkan
keterangan tentang tanda-tanda atau gejala-gejala keracunan (dari saksi
serta perkiraan racun yang dipergunakan.) Bersama dengan korban perlu
dikirim sisa-sisa makanan/racun yang dicurigai sebagai penyebab
4. Pada kasus diduga bunuh diri data-data tentang alat ataupun racun yang dipergunakan korban agar diisi slengkapnya. Apabila korban dirawat,
sertakan salinan rekaman medis pada waktu perawatan
e. Permintaan Visum et Repertum ini diajukan kepada Dokter ahli Kedokteran
Kehakiman atau Dokter dan atau ahli lainnya.
Catatan :
Dokter ahli Kedokteran Kehakiman biasanya hanya ada di Ibu Kota Propinsi yang
terdapat Fakultas Kedokteran. Ditempat-tempat dimana tidak ada Dokter ahli
Kedokteran Kehakiman maka biasanya surat permintaan Visum et Repertum ini
ditujukan kepada Dokter.
Dalam pelaksanaannya maka sebaiknya :
1) Prioritas Dokter Pemerintah, ditempat dinasnya (bukan tempat praktek
partikelir)
2) Ditempat yang ada fasilitas rumah sakit umum / Fakultas Kedokteran,
permintaan ditujukan kepada bagian yang sesuai yaitu :
Untuk korban hidup :
a) Terluka dan kecelakaan lalu lintas : kebagian bedah b) Kejahatan susila / perkosaan : ke bagian kebidanan Untuk korban mati
: bagian Kedokteran Kehakiman
3) Korban, baik hidup ataupun mati harus diantar sendiri oleh petugas Polri,
disertai surat permintaannya
4) Ditempat yang tidak memiliki fasilitas tersebut, permintaan ditujukan kepada
Dokter pemerintah di Puskesmas atau Dokter ABRI/ khususnya Dokter Polri.
Bila hal ini tidak memungkinkan, baru dimintakan ke Dokter swasta
f. Sebaiknya petugas yang meminta Visum / petugas penyidik hadir ditempat otopsi
dilakukan untuk dapat memberikan informasi kepada Dokter yang membedah mayat
tentang situasi TKP, barang-barang bukti relevan yang ditemukan, keadaan korban
di TKP hal-hal lain yang diperlukan, agar memudahkan Dokter mencari sebab dan
cara kematian korban.
g. Sebaiknya petugas penyidik dapat segera memperoleh informasi yang perlu tentang
korban seperti :
1) Berapa lama korban hidup setelah terjadi serangan yang fatal.
2) Sejauh mana korban masih dapat berlari / jalan.
3) Apakah korban dipindah 4) Senjata/alat jenis apa yang melukai korban
5) Apakah jenis alat/ senjata yang ditemukan di TKP sesuai dengan bentuk luka
yang ada pada tubuh korban
6) Bagaimana caranya alat /senjata tersebut mengenai tubuh korban
7) Apakah ada tanda-tanda perlawanan 8) Apakah luka-luka yang ada pada tubuh korban terjadi sebelum atau sesudah
kematian
9) Kapan kira-kira korban meninggal
10) Apakah korban minum obat-obatan atau minuman keras sebelum meninggal
Tata Cara Pencabutan Visum Et Repertum
a. Pencabutan permintaan Visum et Repertum pada prinsipnya tidak dibenarkan,
namun kadang kala dijumpai hambatan dari keluarga korban yang keberatan untuk
dilaksanakan bedah mayat dengan alasan larangan Agama, adat dan lain-lain.
b. Bila timbul keberatan dari pihak keluarga, sesuai dengan ketentuan KUHAP Pasal 134
ayat 2, maka penyidik wajib menerangkan sejelasjelasnya tentang maksud dan
tujuan bedah jenazah tersebut. Disamping itu perlu pula dijelaskan bahwa bedah
mayat Forensik :
1) Menurut Agama Islam hukumnya Mubah Fatwa Majelis Kesehatan dan Syurat
Nomor 4 / 1955.
2) Bila keluarga tetap menghalangi bedah mayat penyidik dapat memberi
penjelasan tentang ketentuan KUHP Pasal 2 yang tertulis : Barang siapa dengan
sengaja mencegah menghalangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk
pengadilan, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan bulan
atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
3) Bilamana permintaan Visum et Repertum terpaksa harus dibatalkan, maka
pelaksanaan pencabutan harus diajukan tertulis secara resmi dengan
menggunakan formulir pencabutan dan ditanda tangani oleh Pejabat, petugas
yang berwenang dimana pangkatnya satu tingkat diatas peminta, serta terlebih
dahulu membahasnya secara mendalam.
4) Dengan pencabutan permintaan Visum et Repertum maka penyidik harus
menyadari sepenuhnya bahwa tidak ada sesuatu yang jelas dapat diharapkan lagi
sebagai keterangan dari barang bukti berupa manusia sebagai corpus delicti yang
berkaian erat dengan masalah penyidikan yang sedang ditangani.
Pasal KUHP Yang Berkaitan Dengan Visum Et Repertum
Pasal 90 KUHP
Luka berat berarti :
1) Jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama
sekali, atau yang menimbulkan bahaya mati.
2) Tidak mampu untuk terus menerus untuk menjalankan tugas jabatan atau pekerjaan
pencarian.
3) Kehilangan salah satu panca indera. 4) Mendapat cacat berat. 5) Menderita sakit lumpuh.
6) Terganggunya daya pikir selama empat minggu lebih.
7) Gugur atau matinya kandungan seorang perempuan.
Pasal 351 KUHP
1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun.
3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
4) Dengan penganiayaan dimaksud sengaja merusak kesehatan.
5) Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana
Pasal 352 KUHP
Kecuali yang tersebut dalam pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak
menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau pencarian,
diancam, sebagai penganiayaan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau
pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah. Pidana dapat ditambah sepertiga
bagi orang yang melakukan kejahatan atau terhadap orang yang bekerja padanya, atau
menjadi bawahannya. Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Pasal 353 KUHP
(1) Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu, diancam dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan luka-luka berat, yang berarti dekenakan pidana
penjara pailing lama tujuh tahun.
(3) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 354 KUHP
(1) Barang siapa melakukan penganiayaan kepada orang dengan pidana penjara paling
lama delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian yang bersalah diancam dengan pidana
penjara paling lama sepuluh tahun.
Pasal 341 KUHP
Seorang ibu yang karena takut akan ketahuan melahirkan anak, pada anak yang dilahirkan
atau tidak lama kemudian, dengan sengaja mematikan anaknya, diancam karena
membunuh anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Pasal 342 KUHP
Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena akan ketahuan bahwa
ia akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas
nyawa anaknya, diancam karena akan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan
pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 89 KUHP
Membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan.
Pasal 285 KUHP
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa bersetubuh dengan dia
di luar perkawinan, diancam karena memperkosa, dengan pidana penjara paling lama dua
belas tahun.
Pasal 286 KUHP
Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan hal itu diketahui bahwa
wanita itu dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya, diancam dengan pidana penjara
paling lama sembilan tahun.
Pasal 287 KUHP
(1) Barang siapa bersetubuh dengan seorang wanita diluar perkawinan padahal
diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa belum lima belas tahun, atau
kalau umurnya tidak jelas, bahwa belum waktunya untuk dikawin, diancam dengan
pidana penjara paling lama sembilan tahun.
(2) Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan, kecuali jika wanita belum sampai dua
belas tahun atau jika ada salah satu berdasarkan pasal 291 dan pasal 294.
Pasal 288 KUHP
(1) Barang siapa dalam perkawinan bersetubuh dengan seorang yang diketahuinya atau
sepatutnya harus diduganya bahwa yang bersangkutan belum waktunya untuk
dikawin, apabila perbuatan mengakibatkan luka-luka diancam dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, dijatuhkan penjara paling lama
delapan tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, dijatuhkan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Pasal 289 KUHP
Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa untuk melakukan atau
membiarkan dilakukan perbuatan cabul, karena melakukan perbuatan yang menyerang
kehormatan kesusilaan dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
Pasal 44 KUHP
(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan kepadanya
karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak
dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat
memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu
tahun sebagai waktu percobaan.
(3) Ketentuan dalam ayat 2 hanya berlaku bagi Mahkamah Agung pengadilan Tinggi,
dan Pengadilan Negeri.
Pasal 222 KHUP
Barang siapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan
pemeriksaan mayat forensik, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Yang berhak meminta visum et repertum
Yang berhak meminta visum et repertum adalah penyidik,hakim pidana,hakim perdata dan
hakim agama.
Penyidik
Penyidik adalah pejabat polisi negara tertentu dengan pangkat serendah-rendahnya
pelda,sedangkan pangkat terendah untuk penyidik pembantu adalah serda.Di daerah
terpencil mungkin saja seorang dengan pangkat serda diberi wewenang sebagai penyidik
karena ia komandan.
Hakim pidana
Hakim pidana biasanya tidak langsung minta visum et repertum pada dokter,tetapi
memerintahkan kepada jaksa untuk melengkapi berita acara pemeriksaan dengan visum et
repertum.Kemudian jaksa melimpahkan permintaan hakim kepada penyidik.
Hakim Perdata
Dasar hukumnya:HIR pasal 154 Karena di sidang pengadilan perdata tidak ada jaksa,maka
hakim perdata minta langsung visum et repertum kepada dokter.Sebagai contoh adalah
sidang pengadilan mengenai penggantian kelamin Iwan Robyanto iskandar menjadi Vivian
rubiyanti iskandar.
Hakim Agama
Dasar hukumnya:Undang-undang No.14.tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan
kehakiman pasal 10. Hakim agama mengadili perkara yang bersangkutan dengan agama
islam,sehingga permintaan visum et repertum hanya berkenaan dengan hal syarat untuk
berpoligami,syarat untuk melakukan perceraian dan syarat waktu tunggu (idah) seorang
janda.
Penulis
Thiazone http://thiazone.blogspot.com