tembakau delisa

110
1882 Onderneming Boeloeh Tjina (Buluh Cina) 08.38 1881 - 1882 No comments Para Planter berpose di depan Rumah administrator Tabaksonderneming Boeloeh Tjina 1885 Ditahun 1882, selain membuka tabaksonderneming Loeboek Dalam di afdeling Beneden Langkat, Deli Maatschappij juga membuka Onderneming Boeloeh Tjina (Buluh Cina) di afdeling Langkat juga. Menurut catatan Kolonial tahun 1909, Onderneming ini mendapat tanah konsesi seluas 11325 bidang. Pada tahun itu sudah 415m2 lahan yang telah digarap. Jumlah kuli yang dikontrak diperkebunan ini 1258 orang dengan 160 orang kuli tetap. Pada tahun ini hasil yang diperoleh sebanyak 4350 pikol. Menurut catatan tahun 1911, hasil yang diperoleh menurun hingga 4300 pikol, sementara kuli kontrak berkurang hingga 1094 orang dan yang tetap sebanyak 196 orang.

Upload: fitriana-shenaga

Post on 21-Dec-2015

91 views

Category:

Documents


17 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tembakau DeliSA

1882 Onderneming Boeloeh Tjina (Buluh Cina)

08.38  1881 - 1882  No comments

Para Planter berpose di depan Rumah administrator Tabaksonderneming Boeloeh Tjina  1885

Ditahun 1882, selain membuka tabaksonderneming Loeboek Dalam di afdeling Beneden Langkat, Deli

Maatschappij juga membuka Onderneming Boeloeh Tjina (Buluh Cina) di afdeling Langkat juga. Menurut catatan

Kolonial tahun 1909, Onderneming ini mendapat tanah konsesi seluas 11325 bidang. Pada tahun itu sudah

415m2 lahan yang telah digarap. 

Jumlah kuli yang dikontrak diperkebunan ini 1258 orang dengan 160 orang kuli tetap. Pada tahun ini hasil yang

diperoleh sebanyak 4350 pikol. Menurut catatan tahun 1911, hasil yang diperoleh menurun hingga 4300 pikol,

sementara kuli kontrak berkurang hingga 1094 orang dan yang tetap sebanyak 196 orang.

Page 3: Tembakau DeliSA

1888: Rumah manajer perkebunan tembakau Deli, Sumatera Timur.Juru foto: G.R. Lambert & Co. (sumber foto)

Sejarah Kota MedanPada zaman dahulu Kota Medan ini dikenal dengan nama Tanah Deli dan keadaan tanahnya berawa-rawa kurang lebih seluas 4000 Ha. Beberapa sungai melintasi Kota Medan ini dan semuanya bermuara ke Selat Malaka. Sungai-sungai itu adalah Sei Deli, Sei Babura, Sei Sikambing, Sei Denai, Sei Putih, Sei Badra, Sei Belawan dan Sei Sulang Saling/Sei Kera. DAN SEI DELI

Sejarah awal Kota Medan

Page 4: Tembakau DeliSA

Pada mulanya yang membuka perkampungan Medan adalah Guru Patimpus, lokasinya terletak di Tanah Deli, maka sejak zaman penjajahan orang selalu merangkaikan Medan dengan Deli (Medan–Deli). Setelah zaman kemerdekaan lama kelamaan istilah Medan Deli secara berangsur-angsur lenyap sehingga akhirnya kurang popular.

Dahulu orang menamakan Tanah Deli mulai dari Sungai Ular (Deli Serdang) sampai ke Sungai Wampu di Langkat sedangkan Kesultanan Deli yang berkuasa pada waktu itu wilayah kekuasaannya tidak mencakup daerah di antara kedua sungai tersebut.

Secara keseluruhan jenis tanah di wilayah Deli terdiri dari tanah liat, tanah pasir, tanah campuran, tanah hitam, tanah coklat dan tanah merah. Hal ini merupakan penelitian dari Van Hissink tahun 1900 yang dilanjutkan oleh penelitian Vriens tahun 1910 bahwa di samping jenis tanah seperti tadi ada lagi ditemui jenis tanah liat yang spesifik. Tanah liat inilah pada waktu penjajahan Belanda ditempat yang bernama Bakaran Batu (sekarang Medan Tenggara atau Menteng) orang membakar batu bata yang berkwalitas tinggi dan salah satu pabrik batu bata pada zaman itu adalah Deli Klei.

Mengenai curah hujan di Tanah Deli digolongkan dua macam yakni : Maksima Utama dan Maksima Tambahan. Maksima Utama terjadi pada bulan-bulan Oktober s/d bulan Desember sedang Maksima Tambahan antara bulan Januari s/d September. Secara rinci curah hujan di Medan rata-rata 2000 pertahun dengan intensitas rata-rata 4,4 mm/jam.

Menurut Volker pada tahun 1860 Medan masih merupakan hutan rimba dan di sana sini terutama dimuara-muara sungai diselingi pemukiman-pemukiman penduduk yang berasal dari Karo dan semenanjung Malaya. Pada tahun 1863 orang-orang Belanda mulai membuka kebun Tembakau di Deli yang sempat menjadi primadona Tanah Deli. Sejak itu perekonomian terus berkembang sehingga Medan menjadi Kota pusat pemerintahan dan perekonomian di Sumatera Utara.

Pada awal perkembangannya merupakan sebuah kampung kecil bernama "Medan Putri". Perkembangan Kampung "Medan Putri" tidak terlepas dari posisinya yang strategis karena terletak di pertemuan sungai Deli dan sungai Babura, tidak jauh dari jalan Putri Hijau sekarang. Kedua sungai tersebut pada zaman dahulu merupakan jalur lalu lintas perdagangan yang cukup ramai, sehingga dengan demikian Kampung "Medan Putri" yang merupakan cikal bakal Kota Medan, cepat berkembang menjadi pelabuhan transit yang sangat penting.

Semakin lama semakin banyak orang berdatangan ke kampung ini dan isteri Guru Patimpus yang mendirikan kampung Medan melahirkan anaknya yang pertama seorang laki-laki dan dinamai si Kolok. Mata pencarian orang di Kampung Medan yang mereka namai dengan si Sepuluh dua Kuta

Page 5: Tembakau DeliSA

adalah bertani menanam lada. Tidak lama kemudian lahirlah anak kedua Guru Patimpus dan anak inipun laki-laki dinamai si Kecik.

Pada zamannya Guru Patimpus merupakan tergolong orang yang berfikiran maju. Hal ini terbukti dengan menyuruh anaknya berguru (menuntut ilmu) membaca Al-Qur'an kepada Datuk Kota Bangun dan kemudian memperdalam tentang agama Islam ke Aceh.

Keterangan yang menguatkan bahwa adanya Kampung Medan ini adalah keterangan H. Muhammad Said yang mengutip melalui buku Deli: In Woord en Beeld ditulis oleh N. ten Cate. Keterangan tersebut mengatakan bahwa dahulu kala Kampung Medan ini merupakan Benteng dan sisanya masih ada terdiri dari dinding dua lapis berbentuk bundaran yang terdapat dipertemuan antara dua sungai yakni Sungai Deli dan sungai Babura. Rumah Administrateur terletak di seberang sungai dari kampung Medan. Kalau kita lihat bahwa letak dari Kampung Medan ini adalah di Wisma Benteng sekarang dan rumah Administrateur tersebut adalah kantor PTP IX Tembakau Deli yang sekarang ini.

Penaklukan AcehSekitar tahun 1612 setelah dua dasa warsa berdiri Kampung Medan, Sultan Iskandar Muda yang berkuasa di Kesultanan Aceh mengirim Panglimanya bernama Gocah Pahlawan yang bergelar Laksamana Kuda Bintan untuk menjadi pemimpin yang mewakili kerajaan Aceh di Tanah Deli. Gocah Pahlawan membuka negeri baru di Sungai Lalang, Percut. Selaku Wali dan Wakil Sultan Aceh serta dengan memanfaatkan kebesaran imperium Aceh, Gocah Pahlawan berhasil memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga meliputi Kecamatan Percut Sei Tuan dan Kecamatan Medan Deli sekarang. Dia juga mendirikan kampung-kampung Gunung Klarus, Sampali, Kota Bangun, Pulau Brayan, Kota Jawa, Kota Rengas Percut dan Sigara-gara.

Dengan tampilnya Gocah pahlawan mulailah berkembang Kerajaan Deli dan tahun 1632 Gocah Pahlawan kawin dengan putri Datuk Sunggal bergelar "Sri Indra Baiduzzaman Surbakti". Setelah terjadi perkawinan ini raja-raja di Kampung Medan menyerah pada Gocah Pahlawan.

Gocah Pahlawan wafat pada tahun 1653 dan digantikan oleh puteranya Tuangku Panglima Perunggit, yang kemudian memproklamirkan kemerdekaan Kesultanan Deli dari Kesultanan Aceh pada tahun 1669, dengan ibukotanya di Labuhan, kira-kira 20 km dari Medan.

Masa Belanda

Belanda yang menjajah Nusantara kurang lebih tiga setengah abad namun untuk menguasai Tanah Deli mereka sangat banyak mengalami tantangan yang tidak sedikit. Mereka mengalami perang di Jawa dengan Pangeran Diponegoro sekitar tahun 1825-1830. Belanda sangat banyak mengalami kerugian sedangkan untuk menguasai Sumatera, Belanda juga berperang melawan Aceh, Minangkabau, dan Sisingamangaraja XII di daerah Tapanuli.

Jadi untuk menguasai Tanah Deli Belanda hanya kurang lebih 78 tahun mulai dari tahun 1864 sampai 1942. Setelah perang Jawa berakhir barulah Gubernur Jenderal Belanda Johannes van den Bosch mengerahkan pasukannya ke Sumatera dan dia memperkirakan untuk menguasai Sumatera secara keseluruhan diperlukan waktu 25 tahun. Penaklukan Belanda atas Sumatera ini terhenti di tengah jalan karena Menteri Jajahan Belanda waktu itu Jean Chrétien Baud menyuruh mundur pasukan Belanda di Sumatera walaupun mereka telah mengalahkan Minangkabau yang dikenal dengan nama Perang Paderi (1821-1837).

Sultan Ismail yang berkuasa di Riau secara tiba-tiba diserang oleh gerombolan Inggeris dengan

Page 6: Tembakau DeliSA

pimpinannya bernama Adam Wilson. Berhubung pada waktu itu kekuatannya terbatas maka Sultan Ismail meminta perlindungan pada Belanda. Sejak saat itu terbukalah kesempatan bagi Belanda untuk menguasai Kesultanan Siak Sri Indrapura yang rajanya adalah Sultan Ismail. Pada tanggal 1 Februari 1858 Belanda mendesak Sultan Ismail untuk menandatangani perjanjian agar daerah taklukan kerajaan Siak Sri Indrapura termasuk Deli, Langkat dan Serdang di Sumatera Timur masuk kekuasaan Belanda. Karena daerah Deli telah masuk kekuasaan Belanda otomatislah Kampung Medan menjadi jajahan Belanda, tapi kehadiran Belanda belum secara fisik menguasai Tanah Deli.

Pada tahun 1858 juga Elisa Netscher diangkat menjadi Residen Wilayah Riau dan sejak itu pula dia mengangkat dirinya menjadi pembela Sultan Ismail yang berkuasa di kerajaan Siak. Tujuan Netscher itu adalah dengan duduknya dia sebagai pembela Sultan Ismail secara politis tentunya akan mudah bagi Netscher menguasai daerah taklukan Kesultanan Siak yakni Deli yang di dalamnya termasuk Kampung Medan Putri.

Perkebunan Tembakau

Perkebunan tembakau deli 1938/ist

Medan tidak mengalami perkembangan pesat hingga tahun 1860-an, ketika penguasa-penguasa Belanda mulai membebaskan tanah untuk perkebunan tembakau. Jacob Nienhuys, Van der Falk, dan Elliot, pedagang tembakau asal Belanda memelopori pembukaan kebun tembakau di Tanah Deli. Nienhuys yang sebelumnya berbisnis tembakau di Jawa, pindah ke Deli diajak seorang Arab Surabaya bernama Said Abdullah Bilsagih, Saudara Ipar Sultan Deli, Mahmud Perkasa Alam Deli. Nienhuys pertama kali berkebun tembakau di tanah milik Sultan Deli seluas 4.000 Bahu di Tanjung Spassi, dekat Labuhan. Maret 1864, Nienhuys mengirim contoh tembakau hasil kebunnya ke Rotterdam, Belanda untuk diuji kualitasnya. Ternyata, daun tembakau itu dianggap berkualitas tinggi untuk bahan cerutu. Melambunglah nama Deli di Eropa sebagai penghasil bungkus cerutu terbaik.

Seperti yang dituliskan oleh Tengku Luckman Sinar dalam bukunya, dijelaskan bahwa "kuli-kuli perkebunan itu umumnya orang-orang Tionghoa yang didatangkan dari Jawa, Tiongkok, Singapura, atau Malaysia. “Belanda menganggap orang-orang Karo dan Melayu malas serta melawan sehingga tidak dapat dijadikan kuli”

Pesatnya perkembangan Kampung "Medan Putri", juga tidak terlepas dari perkebunan tembakau yang sangat terkenal dengan tembakau Delinya, yang merupakan tembakau terbaik untuk pembungkus cerutu. Pada tahun 1863, Sultan Deli memberikan kepada Jacob Nienhuys, Van der Falk dan Elliot dari Firma Van Keeuwen en Mainz & Co, tanah seluas 4.000 bahu (1 bahu = 0,74 ha) secara erfpacht 20 tahun di Tanjung Sepassi, dekat Labuhan. Contoh tembakau deli. Maret 1864, contoh hasil panen dikirim ke Rotterdam di Belanda, untuk diuji kualitasnya. Ternyata daun tembakau tersebut sangat baik dan berkualitas tinggi untuk pembungkus cerutu.

Perjanjian tembakau ditandatangani Belanda dengan Sultan Deli pada tahun 1865. Selang dua tahun, Nienhuys bersama Jannsen, P.W. Clemen, dan Cremer mendirikan perusahaan De Deli Maatschappij

Page 7: Tembakau DeliSA

yang disingkat Deli Mij di Labuhan. Pada tahun 1869, Nienhuys memindahkan kantor pusat Deli Mij dari Labuhan ke Kampung Medan. Kantor baru itu dibangun di pinggir sungai Deli, tepatnya di kantor PTPN II (eks PTPN IX) sekarang. Dengan perpindahan kantor tersebut, Medan dengan cepat menjadi pusat aktivitas pemerintahan dan perdagangan, sekaligus menjadi daerah yang paling mendominasi perkembangan di Indonesia bagian barat. Pesatnya perkembangan perekonomian mengubah Deli menjadi pusat perdagangan yang mahsyur dengan julukan het dollar land alias tanah uang. Mereka kemudian membuka perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal pada tahun 1869, serta sungai Beras dan Klumpang pada tahun 1875.

Kemudian pada tahun 1866, Jannsen, P.W. Clemen, Cremer dan Nienhuys mendirikan Deli Maatschappij di Labuhan. Kemudian melakukan ekspansi perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal (1869), Sungai Beras dan Klumpang (1875), sehingga jumlahnya mencapai 22 perusahaan perkebunan pada tahun 1874. Mengingat kegiatan perdagangan tembakau yang sudah sangat luas dan berkembang, Nienhuys memindahkan kantor perusahaannya dari Labuhan ke Kampung "Medan Putri". Dengan demikian "Kampung Medan Putri" menjadi semakin ramai dan selanjutnya berkembang dengan nama yang lebih dikenal sebagai "Kota Medan".

Perkembangan Medan Putri menjadi pusat perdagangan telah mendorongnya menjadi pusat pemerintahan. Tahun 1879, Ibukota Asisten Residen Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan, 1 Maret 1887, ibukota Residen Sumatera Timur dipindahkan pula dari Bengkalis ke Medan, Istana Kesultanan Deli yang semula berada di Kampung Bahari (Labuhan) juga pindah dengan selesainya pembangunan Istana Maimoon pada tanggal 18 Mei 1891, dan dengan demikian Ibukota Deli telah resmi pindah ke Medan.

Pada tahun 1915 Residensi Sumatera Timur ditingkatkan kedudukannya menjadi Gubernemen. Pada tahun 1918 Kota Medan resmi menjadi Gemeente (Kota Praja) dengan Walikota Baron Daniel Mackay. Berdasarkan "Acte van Schenking" (Akte Hibah) Nomor 97 Notaris J.M. de-Hondt Junior, tanggal 30 Nopember 1918, Sultan Deli menyerahkan tanah kota Medan kepada Gemeente Medan, sehingga resmi menjadi wilayah di bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda. Pada masa awal Kotapraja ini, Medan masih terdiri dari 4 kampung, yaitu Kampung Kesawan, Kampung Sungai Rengas, Kampung Petisah Hulu dan Kampung Petisah Hilir.

Pada tahun 1918 penduduk Medan tercatat sebanyak 43.826 jiwa yang terdiri dari Eropa 409 orang, Indonesia 35.009 orang, Cina 8.269 orang dan Timur Asing lainnya 139 orang.

Sejak itu Kota Medan berkembang semakin pesat. Berbagai fasilitas dibangun. Beberapa di antaranya adalah Kantor Stasiun Percobaan AVROS di Kampung Baru (1919), sekarang RISPA, hubungan Kereta Api Pangkalan Brandan - Besitang (1919), Konsulat Amerika (1919), Sekolah Guru Indonesia di Jl. H.M. Yamin sekarang (1923), Mingguan Soematra (1924), Perkumpulan Renang Medan (1924), Pusat Pasar, R.S. Elizabeth, Klinik Sakit Mata dan Lapangan Olah Raga Kebun Bunga (1929).

Secara historis perkembangan Kota Medan, sejak awal telah memposisikan menjadi pusat perdagangan (ekspor-impor) sejak masa lalu. sedang dijadikannya medan sebagai ibukota deli juga telah menjadikannya Kota Medan berkembang menjadi pusat pemerintah. sampai saat ini di samping merupakan salah satu daerah kota, juga sekaligus sebagai ibukota Propinsi Sumatera Utara.

Masa Penjajahan Jepang

Tahun 1942 penjajahan Belanda berakhir di Sumatera yang ketika itu Jepang mendarat dibeberapa wilayah seperti Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan khusus di Sumatera Jepang mendarat di Sumatera

Page 8: Tembakau DeliSA

Timur.

Tentara Jepang yang mendarat di Sumatera adalah tentara XXV yang berpangkalan di Shonanto yang lebih dikenal dengan nama Singapura, tepatnya mereka mendarat tanggal 11 malam 12 Maret 1942. Pasukan ini terdiri dari Divisi Garda Kemaharajaan ke-2 ditambah dengan Divisi ke-18 dipimpin langsung oleh Letjend. Nishimura. Ada empat tempat pendaratan mereka ini yakni Sabang, Ulele, Kuala Bugak (dekat Peureulak, Aceh Timur sekarang) dan Tanjung Tiram (kawasan Batubara sekarang).

Pasukan tentara Jepang yang mendarat di kawasan Tanjung Tiram inilah yang masuk ke Kota Medan, mereka menaiki sepeda yang mereka beli dari rakyat di sekitarnya secara barter. Mereka bersemboyan bahwa mereka membantu orang Asia karena mereka adalah saudara Tua orang-orang Asia sehingga mereka dieluelukan menyambut kedatangannya.

Ketika peralihan kekuasaan Belanda kepada Jepang Kota Medan kacau balau, orang pribumi mempergunakan kesempatan ini membalas dendam terhadap orang Belanda. Keadaan ini segera ditertibkan oleh tentara Jepang dengan mengerahkan pasukannya yang bernama Kempetai (Polisi Militer Jepang). Dengan masuknya Jepang di Kota Medan keadaan segera berubah terutama pemerintahan sipilnya yang zaman Belanda disebut gemeentebestuur oleh Jepang dirobah menjadi Medan Sico (Pemerintahan Kotapraja). Yang menjabat pemerintahan sipil di tingkat Kotapraja Kota Medan ketika itu hingga berakhirnya kekuasaan Jepang bernama Hoyasakhi. Untuk tingkat keresidenan di Sumatera Timur karena masyarakatnya heterogen disebut Syucokan yang ketika itu dijabat oleh T.Nakashima, pembantu Residen disebut dengan Gunseibu.

Penguasaan Jepang semakin merajalela di Kota Medan mereka membuat masyarakat semakin papa, karena dengan kondisi demikianlah menurut mereka semakin mudah menguasai seluruh Nusantara, semboyan saudara Tua hanyalah semboyan saja. Di sebelah Timur Kota Medan yakni Marindal sekarang dibangun Kengrohositai sejenis pertanian kolektif. Di kawasan Titi Kuning Medan Johor sekarang tidak jauh dari lapangan terbang Polonia sekarang mereka membangun landasan pesawat tempur Jepang.Masa Kemerdekaan

Dimana-mana di seluruh Indonesia menjelang tahun 1945 bergema persiapan Proklamasi demikian juga di Kota Medan tidak ketinggalan para tokoh pemudanya melakukan berbagai macam persiapan. Mereka mendengar bahwa bom atom telah jatuh melanda Kota Hiroshima, berarti kekuatan Jepang sudah lumpuh. Sedangkan tentara sekutu berhasrat kembali untuk menduduki Indonesia.

Khususnya di kawasan kota Medan dan sekitarnya, ketika penguasa Jepang menyadari kekalahannya segera menghentikan segala kegiatannya, terutama yang berhubungan dengan pembinaan dan pengerahan pemuda. Apa yang selama ini mereka lakukan untuk merekrut massa pemuda seperti Heiho, Romusha, Gyu Gun dan Talapeta mereka bubarkan atau kembali kepada masyarakat. Secara resmi kegiatan ini dibubarkan pada tanggal 20 Agustus 1945 karena pada hari itu pula penguasa Jepang di Sumatera Timur yang disebut Tetsuzo Nakashima mengumumkan kekalahan Jepang. Ia juga menyampaikan bahwa tugas pasukan mereka dibekas pendudukan untuk menjaga status quo sebelum diserah terimakan pada pasukan sekutu. Sebagian besar anggota pasukan bekas Heiho, Romusha, Talapeta dan latihan Gyu Gun merasa bingung karena kehidupan mereka terhimpit dimana mereka hanya diberikan uang saku yang terbatas, sehingga mereka kelihatan berlalu lalang dengan seragam coklat di tengah kota.

Beberapa tokoh pemuda melihat hal demikian mengambil inisiatif untuk menanggulanginya. Terutama bekas perwira Gyu Gun di antaranya Letnan Achmad Tahir mendirikan suatu kepanitiaan untuk

Page 9: Tembakau DeliSA

menanggulangi para bekas Heiho, Romusha yang famili/saudaranya tidak ada di kota Medan. Panitia ini dinamai dengan “Panitia Penolong Pengangguran Eks Gyu Gun“ yang berkantor di Jl. Istana No.17 (Gedung Pemuda sekarang).

Tanggal 17 Agustus 1945 gema kemerdekaan telah sampai ke kota Medan walupun dengan agak tersendat-sendat karena keadaan komunikasi pada waktu itu sangat sederhana sekali. Kantor Berita Jepang “Domei" sudah ada perwakilannya di Medan namun mereka tidak mau menyiarkan berita kemerdekaan tersebut, akibatnya masyarakat tambah bingung.

Sekelompok kecil tentara sekutu tepatnya tanggal 1 September 1945 yang dipimpin Letnan I Pelaut Brondgeest tiba di kota Medan dan berkantor di Hotel De Boer (sekarang Hotel Dharma Deli). Tugasnya adalah mempersiapkan pengambilalihan kekuasaan dari Jepang. Pada ketika itu pula tentara Belanda yang dipimpin oleh Westerling didampingi perwira penghubung sekutu bernama Mayor Yacobs dan Letnan Brondgeest berhasil membentuk kepolisian Belanda untuk kawasan Sumatera Timur yang anggotanya diambil dari eks KNIL dan Polisi Jepang yang pro Belanda.

Akhirnya dengan perjalanan yang berliku-liku para pemuda mengadakan berbagai aksi agar bagaimanapun kemerdekaan harus ditegakkan di Indonesia demikian juga di kota Medan yang menjadi bagiannya. Mereka itu adalah Achmad Tahir, Amir Bachrum Nasution, Edisaputra, Rustam Efendy, Gazali Ibrahim, Roos Lila, A.malik Munir, Bahrum Djamil, Marzuki Lubis dan Muhammad Kasim Jusni.

1990-an dan 2000-an

Pada tahun 1998, dari 1 hingga 12 Mei, Medan dilanda kerusuhan besar yang menjadi titik awal kerusuhan-kerusuhan besar yang kemudian terjadi di sepanjang Indonesia, termasuk Peristiwa Mei 1998 di Jakarta seminggu kemudian. Dalam kerusuhan yang terkait dengan gerakan "Reformasi" ini, terjadi pembakaran, perusakan, maupun penjarahan yang tidak dapat dihentikan aparat keamanan.

Pada durasi Tragedi Trisakti hingga Kerusuhan Mei 1998 selama pada tanggl 12 Mei hingga sekarang karena tidak dapat bekerja kantor dan pendidikan lagi waktunya menjelang libur umum semasa pada tidak terbit dari media massa, Sementara Bandar Udara Internasional Polonia dari seluruh dibuka selama 24-jam setiap hari, Pada tanggal 21 Mei tepat pada pukul 02:00 WIB sebagai libur umum besar sudah upacara penutup telah berhenti bandar udara dari semuanya berkumpul pindah ke Kuala Lumpur (adalah ibu kota negara Malaysia) yang tidak kembali tempat tinggal lagi dan bandar udara ke dari pesawat terbang milik penerbangan Malaysia Airlines Penerbangan Airbus A330 tiba ke Bandar Udara Internasional Kuala Lumpur (dulu Bandar Udara Sultan Abdul Aziz Shah) dari kawasan Subang Jaya, Kota Petaling, Negara Bagan Selangor, Daerah Semenanjung Malaysia, Negara Malaysia.

Saat ini kota Medan telah kembali berseri. Pembangunan sarana dan prasarana umum gencar dilakukan. Meski jumlah jalan-jalan yang rusak, berlobang masih ada, namun jika dibandingkan dahulu, sudah sangat menurun.[rujukan?] Kendala klasik yang dihadapi kota modern seperti Medan adalah kemacetan akibat jumlah kenderaan yang meningkat pesat dalam hitungan bulan, tidak mampu diimbangi dengan peningkatan sarana jalan yang memadai.sumber 

Page 10: Tembakau DeliSA

1885-1895: Rumah manajer perkebunan tembakau Helvetia, Medan, Sumatera Utara.Juru foto: G.R. Lambert & Co. Studio Foto. (sumber foto)

1910: Rumah manajer kepala perkebunan tembakau Deli, Sumatera Utara. (sumber foto)

Page 11: Tembakau DeliSA

1885-1895: Rumah asisten perkebunan tembakau Deli Tuwah, Deli Serdang, Sumatera Utara.Juru foto: G.R. Lambert & Co. Studio Foto. (sumber foto)

Page 12: Tembakau DeliSA

Rumah manajer perkebunan tembakau Bandar Bejambu, Sumatera Utara. (sumber foto)

Page 13: Tembakau DeliSA

1886: Rumah McDonald asisten perkebunan tembakau Deli, Sumatera bagian timur. (sumber foto)

Page 14: Tembakau DeliSA

1885-1888: Rumah manajer perkebunan tembakau Tumpatan, Medan, Sumatera Utara.Juru foto: G.R. Lambert & Co. (sumber foto)

Page 15: Tembakau DeliSA

1890: Rumah manajer perkebunan tembakau Tumpatan, Medan, Sumatera Utara.Juru foto: G.R. Lambert & Co. (sumber foto)

Page 16: Tembakau DeliSA

1920-1940: Rumah direktur pusat penelitian tembakau di Deli, Sumatera Utara. (sumber foto)

Page 17: Tembakau DeliSA

1897: Komplek perumahan kuli/buruh petani di perkebunan tembakau Deli.Juru foto: J, Willem Schut, dari Medan. (sumber foto)

Spoiler for Istana Kesultanan Serdang

Page 18: Tembakau DeliSA

pada tahun 1723 tak lama setelah Panglima Paderap meninggal, terjadi kemelut yang terjadi karena putera tertua Raja yang seharusnya menggantikannya memiliki cacat di matanya, sehingga tidak bisa menjadi raja. Putera nomor 2, Tuanku Pasutan yang bergelar Panglima Gandar Wahid sangat berambisi menjadi raja kemudian mengambil alih tahta dan mengusir adiknya, Tuanku Umar yang bergelar Kejeruan Junjungan. bersama ibundanya Permaisuri Tuanku Puan, Tuanku Umar pergi Sampai ke wilayah Serdang. Untuk menghindari agar tidak terjadi perang saudara, maka 2 Orang Besar Deli, yaitu Raja Urung Sunggal dan Raja Urung Senembal, bersama seorang Raja Urung Batak Timur di wilayah Serdang bagian hulu (Tanjong Merawa), dan seorang pembesar dari Aceh (Kejeruan Lumu), lalu merajakan Tuanku Umar sebagai Raja Serdang pertama tahun 1723. Sejak saat itu, berdiri Kerajaan Serdang sebagai pecahan dari Kerajaan Deli.

Kerajaan Serdang berdiri lebih dari dua abad, dari 1723 hingga 1946. Selama periode itu, telah berkuasa 5 orang Sultan. Sultan Serdang I adalah Tuanku Umar, kemudian ia digantikan oleh Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah (1767-1817). Tuanku Sultan Ainan Johan Almashah beristerikan Tuangku Sri Alam, puteri Raja Perbaungan. Di masa Sultan Ainan Johan ini, terjadi penyatuan Kerajaan Serdang dan Perbaungan. Ceritanya, sewaktu Raja Perbaungan meninggal dunia, tidak ada orang yang berhak menggantikannya, sebab ia tidak memiliki anak laki-laki. Oleh karena anak perempuan Raja Perbaungan menikah dengan Sultan Serdang, maka akhirnya, Kerajaan Perbaungan digabung dengan Serdang. Jadi, penggabungan ini berlangsung semata-mata karena adanya hubungan kekerabatan, bukan karena peperangan.

Putera Ainan Johan Almashah yang tertua, Tuangku Zainal Abidin, diangkat menjadi Tengku Besar. Suatu ketika ia pergi berperang membantu mertuanya yang sedang terlibat perang saudara merebut tahta Langkat. Dalam peperangan membela mertuanya tersebut, ia terbunuh di Pungai (Langkat) dan digelar Marhom Mangkat di Pungai (1815). Untuk menggantikan putera mahkota (di Serdang disebut Tengku Besar) yang tewas, maka, adik putera mahkota, yaitu Tuanku Thaf Sinar Basyarshah kemudian diangkat sebagai penggantinya, dengan gelar yang sama: Tengku Besar.

View bbcode

Titipapan48 - 09/03/2012 03:50 AM#33

Page 19: Tembakau DeliSA

Kesultanan Asahan

Spoiler for lambang kesultanan Asahan

Spoiler for Istana Kota Pinang

Page 20: Tembakau DeliSA

Spoiler for istana Asahan

Raja-raja Asahan, Bilah, Kotapinang, dan Panai mempunyai hubungan keluarga. Menurut cerita, Batara Sinomba dari Minangkabau menikah dengan adiknya sendiri (mungkin maksudnya satu marga, yaitu Nasution). Batara Sinomba dan istrinya diusir dan sampai di Tapanuli Selatan. Suami istri tersebut menetap di Pinang Awan, dekat Sungai Barumun. Batara Sinomba dirajakan di Air Merah. Mereka kemudian mempunyai dua putra dan seorang putri yang bernama Siti Onggu.

Batara Sinomba menikah lagi dan istri mudanya berkeinginan agar putranya ditunjuk sebagai pengganti ayahnya. Oleh karena itu, istri kedua berusaha mengusir putra Batara Sinomba dari istri pertama. Usahanya berhasil. Dua putra Batara Sinomba dari istri pertama dendam dan menemui rombongan Sultan Aceh yang kebetulan lewat di situ. Tentara Aceh tersebut ternyata mempunyai masalah dengan Batara Sinomba, sehingga akhirnya Batara Sinomba terbunuh, kemudian diberi gelar Marhum Mangkat Di Jambu.

Siti Onggu dibawa orang Aceh dan diperistri Sultan Aceh. Lama-kelamaan putra Batara Sinomba dari istri pertama rindu dan ingin mengetahui nasib Siti Onggu. Oleh karena itu, mereka pergi ke Asahan menemui Haro-haro yang pandai mengadu ayam. Mereka bertiga pergi ke Aceh untuk menebus Siti Onggu. Sultan Aceh mengajak mereka untuk mengadu ayam. Ayam Sultan kalah dalam pertandingan dan terpaksa melepaskan Siti Onggu yang sedang hamil tua. Siti Onggu boleh dibawa pulang dengan syarat apabila bayi yang lahir laki-laki harus menjadi raja di Asahan. Setelah mereka kembali, Siti Onggu melahirkan seorang putra yang kemudian dirajakan di Asahan dengan gelar Sultan Abdul Jalil (Marhum Mangkat Di Tangkahan Sitarak).

Selanjutnya Siti Onggu menikah dengan Haro-haro. Setelah masuk Islam, Haro-haro

Page 21: Tembakau DeliSA

bernama Raja Bolon. Dari pernikahan ini lahir putranya yang bernama Abdul Karim, yang disebut bangsawan Bahu Kanan. Haro-haro menikah lagi dengan putri Raja Siman Golong dan memperoleh dua putra, masing-masing bernama Abdul Samad dan Abdul Kahar. Keturunan mereka disebut bangsawan Bahu Kiri.

Cicit Sultan Asahan yang bernama Sultan Abdul Jalil II pernah membantu Raja Ismail dalam merebut tahta Siak dari tangan Raja Alam (1771). Setelah berhasil, maka Siak memberinya gelar “Yang Dipertuan”. Berdasarkan gelar ini, Sultan Yahya dari Siak dalam suratnya kepada Gubernur Belanda di Melaka pada tahun 1791 menyebutkan bahwa Asahan adalah jajahannya dan ini ditentang oleh Asahan sendiri.

Cucu Sultan Abdul Jalil II adalah Raja Musa dan Raja Ali. Raja Musa menjadi raja di Asahan. Ketika Raja Musa mangkat, putranya masih dalam kandungan. Oleh karena itu pemerintahan digantikan oleh adiknya, Raja Ali. Raja Ali mempunyai seorang putra yang bernama Husin dan seorang putri yang bernama Raja Siti. Raja Siti menikah dengan Sultan Deli dengan mas kimpoi daerah Bedagai, dan putra yang lahir dari pernikahan tersebut harus menjadi raja di Bedagai.

Sultan Musa mempunyai putra bernama Raja Ishak. Ketika Sultan Musa mangkat, di Asahan pecah perang saudara antara Raja Husin (putra Sultan Ali) dengan Raja Ishak (putra Sultan Musa). Situasi ini ditemui John Anderson ketika ia berkunjung ke Asahan pada tahun 1823. Perang saudara itu diakhiri dengan perdamaian. Dalam perdamaian ditetapkan bahwa Raja Husin menjadi sultan dan Raja Ishak menjadi Rajamuda Asahan merangkap Raja Kualuh-Leidong.

Pada tahun 1835, Sultan Ismail dari Siak menyerang Asahan. Angkatan perang Siak yang dipimpin oleh Tengku Panglima Besar berhasil menundukkan Asahan. Pengganti Sultan Husin adalah putranya, yaitu Sultan Ahmadsyah (1854). Sultan Ahmadsyah ini terkenal gigih dalam melawan Belanda dan akhirnya dibuang ke Ambon oleh Belanda pada tahun 1865.

Seperti sudah disinggung di atas, ketiga putra Marhum Mangkat Di Jambu yaitu Raja Indera, Raja Segar, dan Raja Awan masing-masing diberi kekuasaan dan wilayah sendiri. Raja Indera sebagai putra tertua menetap di Kumbul dan menjadi zuriat Raja Panai dan Raja Bilah. Raja Segar menetap di Sungai Tunas dan Raja Awan menjadi zuriat Raja-raja Kotapinang.

Ketika pasukan Siak ke Panai dan Bilah pada tahun 1835, raja-raja tersebut tunduk dan diharuskan membantu menyerang Asahan. Akan tetapi Panai membantu setengah hati, sehingga serangan Siak gagal. Namun, tentara Siak sempat masuk ke Panai dan Raja Sultan Mangedar Alam lari ke Kotapinang. Raja Kotapinang, Sultan Busu, berikrar dengan Raja Panai menentang Siak, tetapi ternyata Kotapinang ingkar janji, sehingga Panai terpaksa meminta ampun dan membayar upeti sebesar $2.000 pada Siak.

Spoiler for penobatan tuan bosar Raja Panei

Page 22: Tembakau DeliSA

Spoiler for Sultan Asahan Ke-10 , Sultan Muhammad Husyin Syah

Page 23: Tembakau DeliSA

View bbcode

Titipapan48 - 09/03/2012 04:09 AM#34

Ekspedisi Militer Belanda I (1862) 

Pada bulan Mei 1862 Belanda mengirim seorang pegawai tingginya yang bernama Raja Burhanuddin ke Sumatera Timur. Raja Burhanuddin adalah putra Raja Uyang bin Sultan Cagar Pagaruyung. Menurut laporan Raja Burhanuddin, beberapa negeri di Sumatera

Page 24: Tembakau DeliSA

Timur bersedia dilindungi Belanda, kecuali Asahan dan beberapa negeri lainnya mereka menentang, bahkan di Asahan berkibar bendera Inggris (yang saat itu satu-satunya Kesultanan yang berani mengibarkan bendera Inggris di Wilayah Hindia Belanda).

Berdasarkan laporan Asisten Residen Riau, E. Netscher, Belanda mempersiapkan angkatan perang dari Bengkalis pada tanggal 2 Agustus 1862. Pembesar-pembesar Siak diikutsertakan untuk dikonfrontasikan dengan raja-raja di Sumatera Timur. Beberapa negeri seperti Panai, Bilah, dan Kotapinang berhasil ditundukkan. Sementara itu ekspedisi Belanda berhasil memasuki Kuala Serdang. 

Sultan Basyaruddin mencoba menemui ekspedisi itu dengan mengibarkan bendera Aceh dan bertindak selaku wazir Sultan Aceh atas dasar pengangkatannya dari Aceh. Perundingan antara Belanda dengan Sultan Basyaruddin dilakukan di kapal Belanda. Dengan paksaan Belanda, Sultan Basyaruddin menandatangani perjanjian yang ditetapkan tanpa ada kontrasain dari orang-orang besarnya. Perjanjian tersebut antara lain menyebutkan bahwa Belanda turut mengakui jajahan Serdang, yaitu Denai, Percut, Padang, Perbangunan, dan Bedagai.

Sultan Mahmud Deli menolak mengakui kedaulatan Siak atas Deli. Hal ini karena Siak tidak membantu Deli sejak masa pemerintahan ayahnya, Sultan Osman Deli, ketika diserang Aceh pada tahun 1854. Netscher berhasil menemukan jalan keluar sehingga Sultan Deli bersedia menandatangani pernyataan tunduk kepada Belanda dengan kalimat yang berbunyi “Mengikut pada negeri Siak bersama-sama bernaung pada Gubernemen Belanda”. Perundingan itu berjalan lancar berkat usaha Said Abdullah bin Umar Bilsagih, ipar sultan.

Pangeran Langkat yang bernama Musa mendukung sepenuhnya kedaulatan Siak dan Belanda, bahkan Pangeran Umar meminta bantuan untuk menghantam Kejeruan Stabat Muhammad Syeh, yang bekerja sama dengan wakil Sultan Aceh, yaitu Tuanku Hasyim. Inggris memperhatikan kegiatan Netscher di Sumatera Timur. Keadaan ini terbukti dengan munculnya kapal perang Inggris “Scout” di Deli atas perintah Gubernur Inggris di Singapura. Sementara itu kaum pedagang di Penang ribut memprotes kegiatan Belanda di Sumatera Timur. Akibatnya Netscher tidak berani memasuki Asahan dan hanya mengirim surat ancaman, kemudian segera pulang ke Bengkalis.

Pada awal tahun 1863 armada perahu perang dari Aceh yang dipimpin Cut Latief Meurude muncul di Kuala Langkat. Akan tetapi karena sungai tempat mereka berlabuh sudah diberi hempangan, maka mereka tidak bisa berlabuh. Lalu armada Aceh itu merapat ke Deli, dan di tempat itu patroli Belanda sudah menanti, sehingga mereka tidak berhasil mendarat. Di Serdang dan Asahan, orang-orang Aceh tersebut disambut baik. Orang Aceh juga mendapat sambutan baik dari Datuk Laksamana Putra Raja Negeri Serdang dan Lima Laras (Baturaja). Kegiatan Belanda kemudian dipusatkan di Deli. Di Deli berdiam pengusaha Nieuwenhuyze yang sejak 7 Juli 1863 membuka perkebunan tembakau. Residen Riau lalu mengirim surat ancaman kepada Sultan Asahan dan Sultan Serdang, tetapi utusan Belanda itu diusir. Dalam bulan April 1864 di Deli ditempatkan Kontrolir J. A. M. Van Cats Baron de Reet, L. de Scheemaker di Batubara, dan Vigelius di Kabupaten Batu.

View bbcode

Titipapan48 - 09/03/2012 05:02 AM#35

Perkara Perkebunan Tembakau Deli

Orang pertama yang berinisiatif membuka perkebunan di Sumatera Timur adalah Nienhuys (Nieuwenhuyze). Ia tiba pada 1863 dengan niat khusus untuk menetap sebagai pengusaha didaerah yang pada waktu itu hampir tidak dikenal oelh orang Belanda.

Page 25: Tembakau DeliSA

Dialah peletak dasar budaya tembakau yang dikemudian hari bakal memasyurkan pesisir Sumatera Timur ke seluruh dunia. Perusahaan yang didirikannya kelak tumbuh menjadi salah satu perusahaan perkebunan kolonial terbesar. Pada tahun 1864, Sultan mengizinkan Nienhuys menanam tembakau sebanyak yang ia kehendaki tanpa meminta sewa atas tanah yang dipakai. Pada 1866, bersama tiga orang tuan kebun lainnya yang juga menetap di Deli, Nienhuys membuat perjanjian tentang pemakan tanah selama 99 tahun. Ia sempat menguasai tanah seluas 12.000 batu dengan cara yang kemudian hari dipuji sebagai langkah yang menguntungkan dan cerdik. Apabila disimak cerita Nienhuys sendiri yang nadanya puas diri agaknya lebih tepat tindakan itu disebut penyesatan dan penipuan baik terhadap penduduk maupun pejabat kolonial setempat.

Pada masa permulaan itu tenaga kerja jauh lebih langka daripada tanah pada 1874, tak lama sesudah tanah dibuka, mayoritas penduduk Deli dan daerah bawahannya terdiri dari orang Karo dan Melayu. Pada mulanya Nienhuys tidak menyimpang dari cara produksi yang berlaku. Ia memberikan persekot kepada orang karo agar mereka mau menanam lebih banyak tembakau khusus untuk dirinya. Namun hasil dari cara itu mengecewakan karena Nienhuys memutuskan membuka perkebunan tembakau sendiri dengan mempekerjakan tenaga kuli. Awalnya ia sulit mendapatkan kuli sebab orang Melayu dan karo kurang tertarik, akhirnya ia memilih orang Tionghoa yang berasal dari penang.

Spoiler for Kuli Cina, sebelum teken kontrak, akan di ukur tinggi badannya dan surat penjanjiannya

Spoiler for Kuli Cina memilah daun tembakau yang baik, dan kemudian di tusuk dengan kayu untuk di keringkan/di layukan

Page 26: Tembakau DeliSA

Spoiler for Kuli memilah daun tembakau

Page 27: Tembakau DeliSA

Orang-orang Karo dan orang-orang Melayu tidak mau bekerja diperkebunan-perkebunan ini, walaupun di kantor , apalagi menjadi kuli/buruh. Mereka tidak mau masuk perangkap, dan lebih suka bekerja bebas. Oleh sebab itu Belanda mengatakan bahwa 

“orang Melayu dan orang Karo itu pemalas, tidak dapat dipercaya, lebih suka menghabiskan waktunya dengan memancing dan duduk-duduk di lepau saja”. 

Malahan seorang Belanda bernama A.J. Van Der Aa dalam bukunya Aardrijkskunde Woordenboek, jilid III tahun 1841 halaman 253 mengatakan: 

“orang Melayu di tanah Deli adalah perompak dan lanun-lanun”. 

Sudah menjadi adat dunia, orang yang tidak disukai apalagi orang yang tidak mau diperintah selalu dicerca.

Dengan dibukanya tanah Deli untuk perkebunan asing dan karena politik pintu terbuka dari pemerintah Belanda, maka timbullah arus pembangunan dan arus manusia dari berbagai sudut,Tak Hanya Kuli dari Cina, tapi juga Jawa, Keling, Banjar, Minang, Sunda sehingga membuat Deli (Kota Medan) menjadi Daerah Multi Etnis Terbesar setelah Batavia (Jakarta). namun di hampir setiap perkebunan tembakau di deli, tak ada pekerja dari suku Melayu dan Karo. tak lupa pula Belanda selalu mengatakan kepada para kuli kalau ;

Page 28: Tembakau DeliSA

"Melayu dan Karo itu Pemalas, Kerjanya cuma duduk duduk menyewakan tanah, Karo itu suka lepau minum tuak, melayu suka naik haji dan suka kimpoi, melayu dan karo pemalas"

dan yang pahitnya, streotip itu ada sampai sekarang, Melayu dan Karo itu Pemalas...

Spoiler for pekerja rodi dari Jawa dan India membuka Perkebunan di Asahan

menurut buku Oostkust van Sumatera Instituut Croniek 1922 karangan Dr. T. Volker, jumlah penduduk Sumatera Timur membumbung dari 568.417 jiwa pada tahun 1905 menjadi 1.197.554 jiwa pada tahun 1920 yang terdiri dari: 1.042.930 jiwa bangsa Indonesia, 134.750 jiwa bangsa Cina, 7.882 jiwa bangsa Eropa, 11.592 jiwa bangsa Asia Timur dan 400 jiwa bangsa Arab. Diantara jumlah 1.042.930 jiwa bangsa Indonesia itu terdapat 285.553 jiwa orang suku Melayu, diantaranya 145.364 orang laki-laki dan 140.189 orang perempuan serta 353.557 orang suku Jawa, sebagian besar buruh diperkebunan. 323.125 orang suku Karo, Simalungun dan Mandailing. 37.231 orang suku Sunda, sebagian besar diperkebunan. 17.258 orang suku Banjar, buruh bebas dikebun tembakau dan 15.002 orang suku Minangkabau. Yang selebihnya adalah dari suku lain.

Spoiler for "Duet Token", uang dollar Kisaran, Asahan

Page 29: Tembakau DeliSA

Spoiler for

Page 30: Tembakau DeliSA

Kantor Perkebunan, lihat penjaganya orang India

Spoiler for Becak Medan

Page 31: Tembakau DeliSA

Buruh Kontrak di Perkebunan

Benhidris Nainggolan[1]

Sejarah Buruh Kontrak Di Perkebunan

Relasi kerja kontrak dan penyaluran tenaga kerja di Indonesia dapat ditelusuri sedari masa kolonialisme. Relasi tersebut merupakan wujud konkret penjajahan Bangsa Eropa atas Hindia Belanda. Salah satu pengusaha terkenal kala itu adalah Jacob Nienhuys yang menguasai

Page 32: Tembakau DeliSA

perkebunan tembakau pada 1863 di Sumatera Timur. Jacob memiliki konsensi tanah yang diberikan raja di Sumatera Timur untuk membuat lahan perkebunan semakin luas.

Para kontrolir berkebangsaan Eropa berdiri angkuh mengawasi para buruh kontrak asal China dan  Jawa yang sedang bekerja perkebunan di Deli 1900 (Koleksi: www.kitlv.nl)

Buruh kontrak tersebut awalnya berasal dari warga lokal. Untuk mengerjakan lahan yang luas tersebut maka dibutuhkan tenaga kerja yang sangat banyak. Dalam rangka memenuhi kebutuhan akan tenaga kerja pada waktu itu, maka ribuan buruh kontrak (kuli kontrak) didatangkan dari luar Sumatera. Sebagian besar kuli kontrak tersebut dipasok dari Jawa, walaupun terdapat juga buruh yang didatangkan dari India dan China. Buruh kontrak yang didatangkan dari

Page 33: Tembakau DeliSA

Jawa ke Sumatera Timur (sekarang Sumatera Utara) tersebut pada umumnya adalah mereka yang tidak memiliki tanah di daerah asal. 

Untuk mendatangkan buruh kontrak tersebut, perkebunan melakukan berbagai cara di antaranya dengan membentuk biro atau agen pengerah tenaga kuli kontrak. Cara lain yang dilakukan adalah dengan mengirimkan kuli kontrak yang sudah bekerja kembali ke daerah asalnya untuk mencari kuli kontrak yang baru. Pada waktu itu, untuk memudahkan pengawasan dan mencegah persatuan kuli kontrak, perkebunan mempekerjakan kuli berdasarkan etnisitas. Kuli China dipekerjakan untuk pembangunan Bangsal, kuli Jawa dipekerjakan  di perkebunan,  kuli Batak dan Melayu dipekerjakan untuk membuka hutan, kuli Keling di pekerjakan untuk membangun Jalan baru dan kuli India di pekerjakan sebagai kusir gerobak sapi.

Para kuli kontrak ini diperkerjakan dengan upah murah, sesuai target kerja yang ditentukan sepihak oleh perkebunan. Pemerintah Hindia Belanda  juga memberikan kewenangan bagi perkebunan untuk menghukum para kuli yang di pekerjakan di perkebunan masing-masing (Poenale Sanctie). Kekuasaan besar yang diberikan kepada perkebunan mengakibatkan kehidupan kuli kontrak berada dalam situasi miskin dan menderita. Perkebunan diberi kuasa penuh untuk menghukum kuli, dengan cara memasukkan ke dalam penjara perkebunan, dirantai, dibal-bal, ditendang, disekap dalam

Page 34: Tembakau DeliSA

ruangan tanpa diberi makan dan minum, sedangkan buruh perempuan diperkosa atau dijadikan gundik oleh mandor dan asisten perkebunan. 

Kondisi Perburuhan Pada 1945 – 1950 an  (Pasca Kemerdekaan)

Pasca Kemerdekaan,  buruh perkebunan  mulai mendapatkan  kesejahteraannya, akan tetapi perbaikan kondisi perburuhan ini tidak semata-mata datang dari pemerintah melainkan muncul dari kesadaran buruh. Kesadaran ini mendorong buruh untuk mendirikan serikat atau organisasi sebagai alat perjuangan. Serikat-serikat buruh pada waktu itu aktif dalam melakukan kerja-kerja pengorganisasian dan aksi-aksi perlawanan terutama pemogokan-pemogokan.

Hasil yang didapatkan atas perjuangan-perjuangan SB/SP pada zaman itu adalah pemerintah memberlakukan bahwa hubungan kerja adalah hubungan yang berbasis kesejahteraan (kolektif) sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 yaitu hidup yang layak dan jaminan atas pekerjaan, yang dalam bentuknya sandang, pangan dan papan. Pada waktu itulah dikenal adanya  catu 11 bagi buruh. Kehidupan buruh juga relatif terjamin karena adanya jaminan K3. Buruh juga diberikan sarana kerja, seperti sepeda serta perumahan yang layak. 

Realitas Kekinian Buruh Kontrak Di Perkebunan

Page 35: Tembakau DeliSA

Realitas buruh kontrak di perkebunan saat ini justru tidak jauh berbeda bila dibandingkan dengan zaman kolonial. Pola-pola penindasan dan kontrol yang dilakukan pada zaman kolonial masih berlangsung pada saat ini. Rezim pascakemerdekaan telah merestorasi praktik-praktik kolonial. Di zaman kolonial pengerahan tenaga kerja dilakukan melalui program migrasi-Politik Etis (pemindahan paksa penduduk), pemborongan pekerjaan (anemer) dan kontrak tertutup. Saat ini, praktik tersebut dikenal dengan istilah praktik outsourcing. 

Perkebunan melakukan rekrutmen buruh dengan beberapa cara.  Umumnya buruh kontrak dipasok melalui asisten, mandor kebun, kepala desa, tokoh masyarakat, tokoh pemuda bahkan melalui SB yang ada di perkebunan. Individu-individu inilah yang berfungsi sebagai agen pengerah buruh. Selain itu, perkebunan kerap membuat pengumuman kebutuhan akan tenaga kerja yang ditempel di kantor manajer.

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Outsourcing baru-baru ini, tidak berdampak terhadap hubungan kerja antara buruh dan perkebunan. Kekuasaan besar yang dimiliki perkebunan justru tidak dapat diimbangi oleh negara. Kita setidaknya harus memahami bahwa perkebunan itu adalah bagaikan negara dalam negara, memiliki kekuasaan besar yang tidak bisa diintervensi oleh negara. Praktik perbudakan ala zaman kolonial masih berkelanjutan dan lestari. Penetapan besaran

Page 36: Tembakau DeliSA

upah oleh BKPPS yang selalu dibawah besaran UMP merupakan contoh lain, di mana kebijakan perkebunan tidak dapat di intervensi oleh pemerintah.

Data yang dilansir dari penelitian yang dilakukan KPS pada tahun 2008, jumlah buruh perkebunan di Sumatera Utara mencapai sekitar 220.000 orang dan 80.000 di antaranya adalah BHL. Jumlah ini dipastikan meningkat karena luas perkebunan di Sumatera Utara setiap tahunnya bertambah (ekspansi) dan tidak adanya pengawasan dari pemerintah. 

Rezim outsourcing di perkebunan

Praktik outsourcing di perkebunan umumnya dilakukan dengan cara: mengubah status buruh SKU (Standar Kerja Umum/buruh tetap) menjadi BHL (Buruh Harian Lepas/kontrak); menambah beban kerja perusahaan ke perorangan (individu); dan menerapkan sistem kerja ancak mandiri.

Mengubah Status Buruh SKU Menjadi BHL (Kontrak)

Pergeseran status buruh ini lazim diterapkan oleh perkebunan di Sumatera Utara. Buruh SKU yang bekerja di perkebunan umumnya buruh yang mempunyai masa kerja yang lama, jika buruh tersebut melakukan kesalahan atau dianggap salah oleh pihak perkebunan maka akan diberikan sanksi dengan menurunkan status buruh  SKU menjadi BHL (Kontrak). Bila buruh

Page 37: Tembakau DeliSA

tidak menerima sanksi tersebut, maka perkebunan memberhentikan buruh tanpa memberikan hak-haknya. Minimnya lapangan kerja dan tiadanya tabungan (karena upah murah) menyebabkan buruh tidak memiliki pilihan lain, selain harus mengikuti kebijakan perkebunan. Praktik seperti ini dapat ditemukan di PT Soeloeng Laoet Serdang Bedagai.

Perkebunan PT Langkat Nusantara Kepong  (LNK-Langkat) menerapkan praktik lain. Perkebunan ini awalnya merupakan PTPN II yang kemudian beralih menjadi PT LNK kerjasama dengan perusahaan Malaysia. Sebelum kerjasama tersebut atau tepatnya di waktu masih PTPN II, PTPN II melakukan rekrutmen tenaga kerja dengan cara mengumumkan langsung dari kantor manajer kebun setempat. Buruh yang direkrut kemudian dipekerjakan di bagian pemanen buah sawit (mendodos) dengan sistem kerja target borong, di mana  upah yang diterima berdasarkan hasil target yang dicapai mereka. Target yang harus dicapai BHL di tentukan sepihak oleh perkebunan. Untuk mencapai target tersebut, Buruh BHL harus melibatkan keluarganya (istri dan anak).  Sistem seperti ini berlangsung hingga di antara mereka ada yang memiliki masa kerja mereka sampai 13 tahun dengan status  Buruh Harian Lepas (BHL). Pelibatan kerja anggota keluarga ini disebut sebagai kernet, yang menerima upah dari buruh yang bersangkutan. Mereka dianggap membantu

Page 38: Tembakau DeliSA

buruh yang bersangkutan bukan bekerja untuk perusahaan.

Perkebunan PTPN II pada saat perekrutan menjanjikan akan mengangkat BHL menjadi  SKU.  Ketika kerjasama PTPN II dengan perusahaan Malaysia berjalan dan melahirkan PT LNK. Nyatanya, ketika beroperasi PT LNK malah memborongkan sebagian pekerjaannya kepada pihak lain, yakni CV Obiputra dan CV. Rejekinta. Tidak hanya itu, ratusan buruh BHL pun turut dialihkan kepada CV tersebut. Karena buruh-buruh tersebut tidak terorganisasikan –bahkan, tidak diterima di serikat semisal SPSI, SPBun, SPM, SEKAR dan PERBUNI, mereka tidak mendapatkan perlindungan. Hal tersebut mengakibatkan BHL tidak mendapatkan seperti THR, upah yang diterima tidak sesuai UMP/UMSP, tidak terdaftar peserta jamsostek, tidak mendapat cuti,  dan hak-hak lainya. Lebih dari itu, BHL merupakan status yang rentan dengan pemecatan, tidak memiliki kepastian pendapatan dan jaminan sosial. 

Pemindahan Pekerjaan Dari Perusahaan Ke Perorangan (Individu)

 Pemindahan pekerjaan dari perkebunan ke individu merupakan hal lain yang lazim ditemukan di perkebunan di Sumatera Utara. PT Bakrie Sumatera Plantation (BSP) Kabupaten Asahan misalnya, menerapkan sistem tersebut, di mana sebahagian pekerjaan diberikan kepada orang-orang yang mempunyai kedekatan dengan

Page 39: Tembakau DeliSA

manajer perkebunan. Individu yang menerima “borongan” tersebut lalu mencari buruh untuk mengerjakan pekerjaan tersebut. Jenis pekerjaan yang diberikan kepada orang-orang tertentu itu adalah pemancangan, penanaman, penyemprotan, dan pemumpukan. Biasanya tenaga yang direkrut  berasal dari warga lokal dan sebagian besar adalah perempuan. Besaran upah yang diterima para berada pada kisaran Rp 15.000 s/d Rp 22.000 per hari. 

Sebutan untuk hubungan kerja di atas, disebut sebagai buruh kontraktor. Mereka disebut sebagai buruh kontraktor, karena mereka menerima upah dari agen tersebut (yang disebut kontraktor). Selain upah, tidak ada hak-hak yang mereka terima sebagaimana yang diatur dalam regulasi perburuhan. Ketika buruh tersebut diorganisasikan, mereka diintimidasi dan diancam akan diberhentikan dan diganti dengan orang lain. Ancaman ini dikeluarkan oleh perkebunan dan agenoutsourcing tersebut. Pemerintah (dinas tenaga kerja) tidak melakukan apa-apa, bahkan cenderung tutup mata. 

Penerapan Sistem Kerja Ancak Mandiri

Praktik lain dalam hal ini adalah penerapan sistem kerja ancak mandiri. Sistem ini mengharuskan buruh pemanen (SKU) mengerjakan target berdasarkan luas dan waktu tertentu. Model ini dapat ditemui di PT Indah Pontjan Serdang Bedagai khususnya untuk pekerjaan memanen. Di perusahaan tersebut,

Page 40: Tembakau DeliSA

buruh pemanen diharuskan untuk mengerjakan lahan seluas 30 hektar dalam waktu 12 hari. Untuk menyelesaikan pekerjaan ini, buruh pemanen harus mengerahkan minimal 5 orang tenaga kerja. Mereka kemudian diberi upah oleh buruh pemanen yang mempekerjakannya. Mereka hanya memeroleh upah, tanpa jaminan kesehatan dan tidak mendapatkan hak-hak lainnya. Tenaga kerja yang dikerahkan, biasanya warga lokal. 

Model kerja di atas, sekilas seperti memperluas lapangan kerja, seperti dalam kasus ancak mandiri dan pemborongan pekerjaan. Atau, sedang memacu buruh agar memiliki daya saing dan memiliki produktivitas tinggi seperti model kerja demosi dari SKU menjadi BHL. Namun, jika diperhatikan lebih lanjut model kerja tersebut tidak memiliki kaitan langsung dengan perluasan lapangan kerja dan “pendidikan” produktivitas, selain mengalihkan tanggung jawab perkebunan kepada buruh untuk memaksimalkan keuntungan.   Pengalaman SBPI

Praktik–praktik di atas berlangsung sebelum keluarnya UUK Nomor 13 Tahun 2003. Artinya, relasi buruh kontrak di perkebunan jauh lebih dalam ketimbang di industri-industri manufaktur perkotaan. Kini, praktik tersebut kian sah. Keadaan tersebut ditopang pula oleh ketiadaan (ditiadakannya) serikat buruh alternatif. Upaya-upaya membangun serikat buruh alternatif telah dilakukan sejak 12 tahun lalu, namun kerap

Page 41: Tembakau DeliSA

tersandung dengan kuasa perkebunan. Aktivis-aktivis serikat kerap berhadapan dengan ancaman mutasi, intimidasi hingga pemecatan sepihak. 

Pertengahan 2011 lalu, SBPI didirikan sebagai alternatif dari serikat buruh yang tersedia. Berbeda dengan serikat buruh lainnya, keanggotaan SBPI terdiri dari buruh tetap, buruh harian lepas, dan semua jenis buruh yang berada di sekitar perkebunan. SBPI meyakini bahwa meluasnya praktikoutsourcing berkaitan dengan situasi industri dalam negeri yang tidak mampu menyerap tenaga kerja, karenanya serikat buruh perlu membuka perspektif luas dari sekadar problem hubungan industrial. Selain itu, taktik perlawanan terhadap outsourcing pun perlu dikembangkan lebih jauh, tidak sekadar negosiasi dan lobi. Pertengahan 2012 lalu, aksi mogok menuntut THR untuk BHL di PT LNK telah menuai hasil, meskipun masih jauh dari yang diharapkan. Kemenangan tersebut merupakan kemenangan seluruh buruh di tanah air dan akan menjadi titik tolak bagi penguatan serikat buruh di masa mendatang.Perkebunan TembakauMedan tidak mengalami perkembangan pesat hingga tahun 1860-an, ketika penguasa-penguasa Belanda mulai membebaskan tanah untuk perkebunan tembakau. Jacob Nienhuys, Van der Falk, dan Elliot, pedagang tembakau asal Belanda memelopori pembukaan kebun tembakau di Tanah Deli.

Nienhuys yang sebelumnya berbisnis tembakau di Jawa, pindah ke Deli diajak seorang Arab Surabaya bernama Said Abdullah Bilsagih, Saudara Ipar Sultan Deli, Mahmud Perkasa Alam Deli. Nienhuys

Page 42: Tembakau DeliSA

pertama kali berkebun tembakau di tanah milik Sultan Deli seluas 4.000 Bahu di Tanjung Spassi, dekat Labuhan.

Maret 1864, Nienhuys mengirim contoh tembakau hasil kebunnya ke Rotterdam, Belanda untuk diuji kualitasnya. Ternyata, daun tembakau itu dianggap berkualitas tinggi untuk bahan cerutu. Melambunglah nama Deli di Eropa sebagai penghasil bungkus cerutu terbaik.

Seperti yang dituliskan oleh Tengku Luckman Sinar dalam bukunya, dijelaskan bahwa "kuli-kuli perkebunan itu umumnya orang-orang Tionghoa yang didatangkan dari Jawa, Tiongkok, Singapura, atau Malaysia, dimana disebutkan dalam catatan berbahasa Belanda bahwa “Belanda menganggap orang-orang Karo dan Melayu malas serta melawan sehingga tidak dapat dijadikan kuli”

Pesatnya perkembangan Kampung "Medan Putri", juga tidak terlepas dari perkebunan tembakau yang sangat terkenal dengan tembakau Delinya, yang merupakan tembakau terbaik untuk pembungkus cerutu. Pada tahun 1863, Sultan Deli memberikan kepada Jacob Nienhuys, Van der Falk dan Elliot dari Firma Van Keeuwen en Mainz & Co, tanah seluas 4.000 bahu (1 bahu = 0,74 ha) secara erfpacht 20 tahun di Tanjung Sepassi, dekat Labuhan. Contoh tembakau deli. Maret 1864, contoh hasil panen dikirim ke Rotterdam di Belanda, untuk diuji kualitasnya. Ternyata daun tembakau tersebut sangat baik dan berkualitas tinggi untuk pembungkus cerutu.Perjanjian tembakau ditandatangani Belanda dengan Sultan Deli pada tahun 1865. Selang dua tahun, Nienhuys bersama Jannsen, P.W. Clemen, dan Cremer mendirikan perusahaan De Deli Maatschappij yang disingkat Deli Mij di Labuhan. Pada tahun 1869, Nienhuys memindahkan kantor pusat Deli Mij dari Labuhan ke Kampung Medan.

Kantor baru itu dibangun di pinggir sungai Deli, tepatnya di kantor PTPN II (eks PTPN IX) sekarang. Dengan perpindahan kantor tersebut, Medan dengan cepat menjadi pusat aktivitas pemerintahan dan perdagangan, sekaligus menjadi daerah yang paling mendominasi perkembangan di Indonesia bagian barat.

Page 43: Tembakau DeliSA

Pesatnya perkembangan perekonomian mengubah Deli menjadi pusat perdagangan yang mahsyur dengan julukan het dollar land alias tanah uang. Mereka kemudian membuka perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal pada tahun 1869, serta sungai Beras dan Klumpang pada tahun 1875.

Kemudian pada tahun 1866, Jannsen, P.W. Clemen, Cremer dan Nienhuys mendirikan Deli Maatschappij di Labuhan. Kemudian melakukan ekspansi perkebunan baru di daerah Martubung, Sunggal (1869), Sungai Beras dan Klumpang (1875), sehingga jumlahnya mencapai 22 perusahaan perkebunan pada tahun 1874.Mengingat kegiatan perdagangan tembakau yang sudah sangat luas dan berkembang, Nienhuys memindahkan kantor perusahaannya dari Labuhan ke Kampung "Medan Putri". Dengan demikian "Kampung Medan Putri" menjadi semakin ramai dan selanjutnya berkembang dengan nama yang lebih dikenal sebagai "Kota Medan".

Perkembangan Medan Putri menjadi pusat perdagangan telah mendorongnya menjadi pusat pemerintahan. Tahun 1879, Ibukota Asisten Residen Deli dipindahkan dari Labuhan ke Medan, 1 Maret 1887, ibukota Residen Sumatera Timur dipindahkan pula dariBengkalis ke Medan, Istana Kesultanan Deli yang semula berada di Kampung Bahari (Labuhan) juga pindah dengan selesainya pembangunan Istana Maimoon pada tanggal 18 Mei 1891, dan dengan demikian Ibukota Deli telah resmi pindah ke Medan.Pada tahun 1915 Residensi Sumatera Timur ditingkatkan kedudukannya menjadi Gubernemen. Pada tahun 1918 Kota Medan resmi menjadi Gemeente (Kota Praja) dengan Walikota Baron Daniel Mackay. Berdasarkan "Acte van Schenking" (Akte Hibah) Nomor 97 Notaris J.M. de-Hondt Junior, tanggal 30 Nopember 1918, Sultan Deli menyerahkan tanah kota Medan kepada Gemeente Medan, sehingga resmi menjadi wilayah di bawah kekuasaan langsung Hindia Belanda. Pada masa awal Kotapraja ini, Medan masih terdiri dari 4 kampung, yaitu Kampung Kesawan, Kampung Sungai Rengas, Kampung Petisah Hulu dan Kampung Petisah Hilir.

Page 44: Tembakau DeliSA

Pada tahun 1918 penduduk Medan tercatat sebanyak 43.826 jiwa yang terdiri dari Eropa 409 orang, Indonesia 35.009 orang, Cina 8.269 orang dan Timur Asing lainnya 139 orang.

Sejak itu Kota Medan berkembang semakin pesat. Berbagai fasilitas dibangun. Beberapa di antaranya adalah Kantor Stasiun Percobaan AVROS di Kampung Baru (1919), sekarang RISPA, hubungan Kereta Api Pangkalan Brandan - Besitang (1919), Konsulat Amerika (1919), Sekolah Guru Indonesia di Jl. H.M. Yamin sekarang (1923), Mingguan Soematra (1924), Perkumpulan Renang Medan (1924), Pusat Pasar, R.S. Elizabeth, Klinik Sakit Mata dan Lapangan Olah Raga Kebun Bunga (1929).

Secara historis perkembangan Kota Medan, sejak awal telah memposisikan menjadi pusat perdagangan (ekspor-impor) sejak masa lalu. sedang dijadikannya medan sebagai ibukota deli juga telah menjadikannya Kota Medan berkembang menjadi pusat pemerintah. sampai saat ini di samping merupakan salah satu daerah kota, juga sekaligus sebagai ibukota Propinsi Sumatera Utara.

Tembakau Deli, Sejarah Bangsa yang Mulai MemudarShare on

facebook Share on twitter Share on email Share on print Share on gmail Share on

pinterest_share More Sharing Services

Tembakau Deli

Dari namanya saja, semua akan tahu kalau komoditas tembakauini berasal dari tanah Deli atau Melayu yang ada di Sumatera Utara (Sumut). Meski tanaman tembakau bukan merupakan komoditas langka, namun hanya dari tanah

Page 45: Tembakau DeliSA

Deli inilah, tembakaudeli memiliki taste atau rasa yang berbeda dengan tembakaumana pun di dunia.

Keistimewaan spesialnya tembakau deli ini, membuat pasar Eropa sejak masa Indonesia dijajah Belanda pun tetap menjadi konsumen besar untuk tembakau yang dikelola PT Perkebunan Nusantara (PTPN) 2 tersebut.

Namun, anehnya, komoditas yang dijadikan pembalut cerutu bagi konsumen Eropa itu tidak dapat terus berbangga atas keistimewaannya tersebut. Adanya larangan merokok di Eropa, membuat PTPN2 melakukan "penyempitan" lahan untuk mengembangkan tembakau deli yang otomatis berdampak pada jumlah produksi yang akan dipasarkan di luar.

Bayangkan saja, tahun 2005 penanaman dilakukan sebanyak 2.000 ladang, tahun 2006 menurun dengan 1.000 ladang, 2007 tembakau ditanam 900 ladang dan tahun 2008 menurun lagi hanya sekitar 800 ladang.

Dan, kini untuk tanaman tahun 2013, tidak sampai 700 ladang. Bahkan yang dulunya PTPN2 memiliki 12 kebun ditahun 1990-an, kini hanya tingal tiga kebun saja yang bertahan yakni kebun Helvetia, Buluh Cina dan Kelumpang.

Wakil Manager Distrik Tembakau PTPN2, Mariadi, kepada MedanBisnis akhir pekan lalu, menjelaskan, kelangsungan tanaman tembakau deli semakin pudar di tengah lahan yang juga menciut. Selain faktor permintaan dan tanah juga dipengaruhi banyaknya lahan milik PTPN2 yang digarap masyarakat. "Tahun ini tidak sampai 600 ladang kita tanam tembakau. Kebun Helvetia lahannya banyak digarapi masyarakat," ujarnya.

Diakuinya, tamanan tembakau merupakan aset bangsa dan sejarah Indonesia. Tapi manajemen sendiri masih kewalahan untuk mengembangkannya karena modal produksi tanaman tembakau tidak terbilang kecil, sedangkan permintaan menurun.

Kondisi itu pula yang membuat PTPN2 menghentikan pelelangan tembakau deli di Brehmen, Jerman pada tahun 2011. Penjualan tembakau deli langsung dilakukan di Indonesia dengan terlebih dahulu melakukan promosi melalui agen di Jerman.

"Dengan begini, harga bisa naik karena ada nilai tawar. Kita juga sudah memiliki gudang penyimpanan tembakau yang sesuai standar sehingga tembakau masih aman dan berkualitas," ungkapnya.

Lantas, di mana kesalahan dari hilangnya pamor tembakau deli ini? Mungkin pertanyaan tersebut terselip di hati masyarakat Deli khususnya Sumut. Kalau dilihat dari tanah yang masih subur, seharusnya tanaman tembakau dapat terus berkembang seiring zaman di mana kebutuhan akan tembakau sebagai salah satu konsumsi untuk merokok semakin besar.

Meski dikatakan Mariadi, untuk varietas tanaman tembakau deli hingga saat ini masih sama atau belum menemukan jenis varietas lain yang mungkin memiliki produktivitas tinggi. Untuk varietas tamanan tembakau yang masih digunakan yakni

Page 46: Tembakau DeliSA

Deli 4 dan F145. "Memang hanya ini varietas yang cocok pada lahan dan menghasilkan tembakau dengan rasa tetap berkualitas," ucapnya.

Sedangkan untuk menggunakan teknologi tinggi dalam pengolahan hasil tembakau mendapatkan kualitas daun tinggi. Seperti yang dikatakan Tuahta Sinuraya, Kepala Dinas Pengolahan Kebun Klumpang Deli Serdang yang dijumpai MedanBisnis, belum dapat dilakukan karena daun tembakau yang dihasilkan harus melewati sortir atau pengecekan yang ketat langsung dari orang-orang berpengalaman.

Maka untuk pekerja di gudang pemeraman tembakau ini, mulai dari pengeringan, melihat daun yang bagus, membedakan hasil daun dan menghitung panjang daun dikerjakan oleh buruh perempuan dengan khas menggunakan kain sarung dan berbaju putih.

"Umumnya perempuan itu lebih jeli, sabar dan terhindar dari buta warna. Maka dari dulu pekerjanya lebih dominan perempuan. Karena memang untuk melihat daun-daun yang bagus ini, benar-benar teliti dan berpengalaman," katanya.

Keadaan inilah yang membuat pengolahan tembakau deli tidak menggunakan teknologi karena semua harus dikerjakan secara manual langsung oleh manusia yang berpengalaman dan mengerti tentang tembakau. Apalagi untuk menghasilkan jenis daun dari hasil tanaman tembakau, perlu hati-hati baik dari masa tanam, panen hingga pengolahannya.

Sayangnya, saat ini pekerja buruh perempuan di gudang tembakau deli terus berkurang.

Pekerja yang masih ada pun sudah berpuluh-puluh tahun bekerja tanpa ada regenarasi. "Motivasi pekerja di gudang pengolahan sudah berkurang. Kita khawatir sebelum 10 tahun ke depan sudah tidak ada lagi pekerja. Karena yang ada saat ini sudah mengabdi antara 25-30 tahun. Meski di sini harus yang berpengalaman, tapi jika ada kemauan siapapun bisa melakukannya hanya belajar dulu di satu musim," kata Mariadi.

Tapi melihat perkembangan zaman, sepertinya minat masyarakat atau kalangan muda sudah tidak ada bekerja di kebun lagi. Mereka lebih memilih menjadi buruh pabrik. Sedangkan kalau di gudang pengolahan harus memakai sarung, meski upah yang dibayar untuk pekerja tembakau deli bisa lebih tinggi dibandingkan di pabrik industri lainnya.

"Di sini upahnya dibayar borongan. Dalam sehari perorangnya bisa dapat Rp 30 ribu hingga Rp 40 ribu. Tapi anak-anak sekarang gengsi kalau kerja di gudang tembakau karena harus pakai sarung. Ini lah perubahan zaman yang secara berlahan-lahan membuat pamor tembakau deli ikut memudar," imbuhnya. (yuni naibaho)

Page 47: Tembakau DeliSA

TEMBAKAU DELI: Cikal Bakal Modernisasi Kota Medan1. Pengantar

Sebelum masuknya pengusaha Belanda di Sumatra (Timur), Sumatra East Coast, tercatat telah ada

peneliti asing  yang melakukan penelitian(research) ataupun orang asing yang melakukan misi

perjalanan untuk kepentingan politik maupun ekonomi serta perniagaan.

Orang yang patut dicatat tersebut adalah William Marsden (1770), anak John Marsden dokter

pribadi Thomas Raffles penguasa Inggris di Bengkulu dengan judul bukunya ”The History of

Sumatra” (Sejarah Sumatra).  Dipublikasikan kepada khalayak umum pada  tahun 1772 di Batavia

dan Raffles dalam pidatonya menyebut bahwa buku tersebut sebagai  ”Cahaya Penerang

Sumatra” yakni terkuaknya misteri yang menyelimuti Sumatra. Buku tersebut, tidak saja

menjelaskan keadaan masyarakat, topografi dan geografi, tetapi juga aspek perdagangan

masyarakatnya serta menyebutkan kawasan-kawasan yang kaya dengan sumber daya alam.

Dalam buku itu, telah dicatat bahwa Brandan memiliki sumber daya minyak, Mandailing memiliki

sumber daya Emas, Bangka dan Belitung memiliki sumber daya Timah, Buton dengan

Batubaranya. Buku itu pula, telah mengispirasi Raffles untuk menulis buku yang relatif sama yakni

”The History of Java” (Sejarah Jawa).

Kemudian yang patut dicatat adalah John Anderson yang melakukan perjalanan ke Pantai Timur

Sumatra pada tahun 1822 dengan bukunya yang sangat terkenal yakni ”Mission To The East Coast

of Sumatra” (Misi Perjalanan ke Pantai Timur Sumatra).  Di utus oleh Gubernur Jenderal Inggris W.

Philips yang berkedudukan di Penang untuk survei sosial ekonomi dan politik dalam rangka

rencana pengintensifan penguasaan Pulau Sumatra. Selama dalam perjalanan, Anderson disertai

62 orang personel yang terdiri dari pengawal pribadi, juru bicara, penerjemah, juru tulis, tukang

masak, juru kapal, dokter pribadi, pakar cuaca dan pelayan lainnya. Didalam buku tersebut, situs

Kota Cina Medan Marelan telah dicatat sedemikian rupa, berikut prasasti yang tidak bisa dibaca

masyarakat pada saat itu. Hingga kini, prasasti atau batu bertulis tersebut belum diketahui

kemana rimbanya.

Sementara itu, orang ketiga yang patut dicatat adalah Edwin M. Loeb yang pada tahun 1935

menulis buku “Sumatra, Its  History and the People”(Sejarah Sumatra dan Masyarakatnya). Buku

tersebut tidak jauh berbeda dengan dua buku pendahulunya, hanya saja penekanannya cenderung

pada kondisi sejarah dan masyarakatnya.  Buku ini lebih unggul dari segi metodologi dan

penguraian data-data jika dibanding dengan kedua buku sebelumnya karena ditulis dalam

kerangka keperluan akademis. Disamping buku tersebut, ada juga yang menuliskan tentang

keadaan Sumatra (Timur) yakni Tomme Pires dalam bukunya “Summa Oriental” yakni laporan

yang dibuat pada tahun 1512-1515 pada saat Portugis menguasai Malaka, dimana kerajaan ARU

Delitua ataupun Barus banyak dicatat. Buku-buku tersebut kiranya telah menjadi inspirasi bahwa

Sumatra (Timur) adalah suatu kawasan yang memiliki sumber daya alam yang kaya sehingga

potensial untuk dijadikan  sebagai sumber komoditas dagang internasional. Khususnya di kawasan

Medan, pada abad ke 12-13 M, Belawan telah menjadi bandar perniagaan internasional pada saat

kejayaan Kota Cina Medan Marelan dengan  komoditas utama yang diperdagangkan seperti

Kemenyan, Kopra,  Kapur Barus, Lada Hitam ataupun Pala.

2. Jacobus Nienhuys: Peletak Dasar Budaya Perkebunan di Medan

Belanda tercatat pertama kali masuk di Deli tahun 1841, ketika sebuah kapal, Arent

Patter, merapat untuk mengambil budak. Selanjutnya, hubungan Deli dengan Belanda semakin

mulus. Tahun 1863 KapalJosephine yang membawa orang perkebunan tembakau dari Jawa Timur,

salah satunya adalah Jacobus Nienhuijs, dari Firma Van Den Arend Surabaya mendarat di

Kesultanan Deli yang selanjutnya dikenal sebagai peletak dasar budaya perkebunan di Sumatra

Utara. Oleh Sultan Deli, ia diberi tanah untuk Perkebunan Tembakau (Tabaks Plantations) dan

mendapat konsesi tanah selama  20 tahun.

Sejarah perkebunan Deli dimulai ketika langkah kerja Jacobus Nienhuys dan para pionir pengusaha

perkebunan pertama kali menggarap atau membuka wilayah perkebunan di Sumatera Utara. Sejak

Page 48: Tembakau DeliSA

awal dimulainya perkebunan,  menunjukkan kemajuan dan perkembangan yang sangat pesat

dimana pada tahun 1864 produksi tembakau telah meledak di pasaran Eropa. Pada saat itu,

dengan meminjam istilah Karl J. Pelzer (1976), Deli dikenal sebagai’Dollar Land’ dengan predikat

sebagai penghasil daun pembungkus cerutu terbaik dunia mengalahkan tembakau dari Brazil dan

Cuba. Usaha Jacobus Nienhuys terus berkembang dan pada tahun 1869, Nienhuys mendirikanDeli

Matschapaij, suatu badan usaha yang membawahi sekitar 75 daerah perkebunan di Sumatra Timur

yang berasal dari usahawan mancanegara seperti Jerman, Inggris, Swiss, Belgia dan Amerika. Pada

tahun 1870 Deli Matschapaij memindahkan kantornya dari Labuhan ke Medan tepatnya di Jalan

Tembakau Deli Sekarang.

Selanjutnya, Tahun 1871, Jacobus Nienhuys meninggalkan Medan. Empat tahun setelah 

kepulangan  Nienhuys itu, telah terdapat sebanyak 40 saham kesertaan orang Eropa di

perkebunan Deli seperti perkebunan Maryland(Marelan),

Arhemia, Helvetica (Helvetia), Poland (Polonia), Mariendal dan lain-lain serta terdapat 15 proposal

yang telah menyatakan ikut bergabung. Komoditas yang mereka tanam tidak hanya Tembakau

tetapi telah merembes ke sektor lain seperti Karet, Kopi, Lada, Pala, Kelapa Sawit dan Teh. Lain

dari pada itu, wilayah perkebunan tidak lagi terkonsentrasi di Deli tetapi telah pula menjalar ke

kawasan lain seperti Langkat, Binjai, Serdang, Padang (Tebing Tinggi), Siantar dan Simalungun.

3. Prasyarat Menuju Kota Medan

Pada tahun 1875 pendatang China Daratan, Chong Fung Nam atau lebih dikenal Tjong A Fie-kelak

menjadi milyalder Kota Medan-tiba di Deli. Pada tahun 1886, kemajuan imperium bisnisnya

menjadi latar belakang pemindahan pusat kerajaan bisnis Tjong A Fie ke Medan. Pada saat itu,

Medan masih merupakan kampung kecil yang terkonsentrasi di Kesawan. Hingga pada akhir

hayatnya 4 Februari 1921, milyarder sekaligus dermawan dan pelopor Kota Medan itu memiliki 21

perkebunan serta sejumlah kontribusi lainnya di Medan.  Dikenal sebagai wirausahwan disebabkan

kelihaiannya mengembangkan imperium bisnis dalam berbagai sektor, seperti perkebunan,

pendidikan,  perbankan, transportasi, Rumah sakit, perdagangan, pertokoan, pertambangan,

perumahan. Disamping itu, dikenal pula sebagai dermawan karena sifat kedermawanannya dan

pendiri kota Medan yang turut serta dalam pembangunan beragam fasilitas serta keikutsertaanya

dalam Dewan Kota.

Laju perkembangan Perkebunan Deli (Deli Plantations) yang mengesankan sekaligus menjadi

prasyarat awal pengembangan kampung Medan menjadi Kota sesuai dengan peta pemerintah

kolonial. Sejalan dengan itu, berbagai sarana dan prasarana dibangun untuk mewujudkan Medan

menuju Kota Praja (gemeente), seperti perhotelan, perbangkan, transportasi, pendidikan, jalan dan

jembatan, kantor pos, perkantoran, pertokoan, perumahan, rumah sakit hingga tempat

peristirahatan seperti hotel yang terdapat di  Brastagi dan Parapat.

Bangunan tersebut banyak yang masih berdiri kokoh, terkecuali beberapa yang sudah

dimusnahkan seperti eks bangunan Megaeltra dan Sipef ataupun bangunan yang disengaja

dibiarkan terlantar. Beberapa bangunan yang masih berdiri kokoh tersebut adalah seperti Istana

Maimoon dan Mesjid Raya, Gedung beratap hijau ‘Avros’ disudut jalan  Pemuda dan Jalan Palang

Merah. Di Jalan Palang Merah ke kiri ada gedung Jiwasraya, dibangun tahun 1920-an oleh Nillmij

(Nederlandsch Indische Levensverzekering Maatschappij) perusahaan asuransi jiwa. Di sebelah

kirinya terdapat‘Landschapsgebouw’ dibangun oleh sultan-sultan untuk rapat-rapat dengan

pemerintahan kolonial di Medan sampai tahun 1942. Di depan gedung Avros adalah Bank Mandiri,

dibangun tahun 1924 untuk Escompto Maatschappij, disampingnya terdapat gedung kantor

pariwisata, yang dahulu percetakanVarekamp, dimana Sumatra Post dicetak. Rumah Tjong A Fie

dari tahun 1900, Tip Top dari tahun 1934, beberapa bangunan-bangunan dari tahun 1920 dan

1930-an, eks toko Buku Deli, eks Bank Modern, fasade masih ada, dibangun dahulu oleh Stork

Company, bangunan eks gudang di Jalan A. Yani VI, setelah kantor Depnaker, gedung Warenhuis di

Ahmad Yani VII.

Disekitar lapangan Merdeka, ada bangunan Harrisons & Crosfield (London Sumatra), Jakarta Lloyd,

Bank Mandiri (eks Nederlandsche Handel Maatschappij), Balai Kota, Bank Indonesia, Hotel Dharma

Page 49: Tembakau DeliSA

Deli (Hotel De Boer), Kantor Pos dan titi kereta api, Deli Matscahapaij di jalan Tembakau Deli

Sekarang. Bangunan yang terkenal lainnya adalah  dua rumah sakit di Jalan Puteri Hijau, eks

kompleks perusahaan kereta api Deli (Deli Spoorweg Maatschapij atau DSM) dengan villa-villa

bergaya Eropa, diantara Jalan Sutomo dan Jalan M. Yamin (Jalan Serdang) di dekat Universitas

Nommensen. Kompleks villa tua lainnya yang sangat bernilai adalah eks kompleks DSM di Pulau

Brayan, lokasi dimana selama masa pendudukan Jepang orang-orang Eropa ditaruh di kamp

konsentrasi.

Di kompleks kantor gubernur Sumatra Utara jalan Diponegro terdapat bangunan Deli Proef Station,

yang berhadapan dengan Gereja Protestan. Demikian pula eks HVA di jalan Suprapto, rumah dinas

yang digunakan pejabat teras di jalan Sudirman, Princes Beatrixs School (sekolah Imanuel) dijalan

Slamet Riyadi,  Gereja Protestan di jalan Sudirman, Rumah sakit St. Elisabeth di jalan Haji Misbah,

Sekolah dasar anak Eropa (lafarge school) di kompleks Hotel Danau Toba, Jembatan kebajikan di

jalan Zainul Arifin, rumah sakit Pirngadi Medan, maupun lapangan bola Kebun Bunga dan lain

sebaginya. Disamping bangunan-bangunan yang ada, juga telah dibangun kanalisasi  bawah tanah

untuk menghindari banjir yang sering sekali melanda Medan sejak jaman kolonial.

4. Korporasi dan Tenaga Kerja

Perkembangan Tembakau Deli yang sangat pesat, menjadi daya tarik tersendiri bagi pihak lain

yang berkeinginan menanamkan modalnya di Deli. Jumlah pengusaha perkebunan di Deli tercatat

pada tahun 1891 yakni sebanyak 169 perusahaan. Sedangkan pada tahun 1904 yang tersisa

hanyalah 114 perusahaan. Adapun jumlah pengusaha perkebunan di Sumatra Timur hingga tahun

1904 adalah sebagaimana yang dicatat oleh  Breman (1997:1), yakni:

Pasang Surut Jumlah Perkebunan di Sumatra Timur (1864-1904)

Tahun Jumlah Perkebunan Tahun Jumlah Perkebunan

1864 1 1887 114

1873 13 1888 141

1874 23 1889 153

1876 40 1891 169

1881 67 1892 135

1883 74 1893 124

1884 76 1894 111

1885 88 1900 139

1886 104 1904 114

Dampak dari pada pembukaan perkebunan tersebut adalah meningkatnya dan dibutuhkannya

tenaga kerja yang luar biasa banyak. Diawal perintisannya, Nienhuys mencoba menarik kuli dari

Singapura, Swatow maupun India Selatan. Sementara dari dalam negeri, diutamakan dari

Bagelans, Semarang dan Surabaya. Anthony Reid (1987:81) mencatat bahwa perkebunan-

perkebunan kopi yang dibuka pada tahun-tahun 1890-an, dan perkebunan-perkebunan karet, teh,

kelapa sawit yang berkembang cepat sesudah tahun 1900, bergantung sepenuhnya pada pekerja-

pekerja Jawa.  Dibawah ini diperlihatkan  jumlah pekerja (kuli kontrak di Sumatra Timur hingga

kurun waktu 1929 yang diambil dari Anthony Reid (1987), yaitu:

Kuli Kontrak di Sumatra Timur

1884 1900 1916 1920 1925 1929

Page 50: Tembakau DeliSA

Cina 21.136 58.516 43.689 23.900 26.800 25.934

Jawa 1.771 25.224 150.392 212.400 168.400 239.281

India dan lain-lain 1.528 2.460 – 2.000 1.500 1.019

Syarat-sysrat kerja sebagaimana yang telah dituangkan dalam Koeli Ordonansi 1880, menetapkan

masa kontrak selama tiga tahun dan setelah masa kontrak tersebut si kuli harus dikembalikan ke

tempat asalnya.  Ketiadaan jaminan yang cukup dalam pelaksanaan prakteknya telah ditunjukkan

secara dramatis sekali oleh Van den Brand dalam brosurnya de Millionen uit van Deli (Harta Jutaan

dari Deli) pada tahun 1902.  Apa yang membuat kuli kontrak tetap menjalankan tugas kerjanya 

adalah dengan keluarnya Poenale Sangtie, yakni suatu ketentuan yang menjadi bagian dari kuli

ordonansi tahun 1880 yang mengikat kuli dalam kontrak. Dengan demikian, perkebunan di Medan

telah memperkenalkan sistem kerja, penggajian dan yang percis sama dengan keadaan sekarang.

Liberalisme ekonomi dan sistem kapitalisme, telah pula turut dipraktekkan (Ann Laura Stoler,

2006). Dibawah ini adalah keadaan Kuli di Sumatra Timur sebagaimana yang disalin kembali oleh

Reid (1987:83), yaitu:

Keadaan Tenaga Kerja Perkebunan di Sumatra Timur

Pada Akhir

Tahun

Kuli Kontrak dengan Poenale

Sanctie

Buruh Bebas dibawah kontrak

1911

Buruh Lepas Jumlah

1928 247.769 30.909 17.781 296.456

1929 266.234 35.478 18.790 320.502

1930 236.747 40.304 13.959 294.010

1931 137.083 84.386 17.005 238.474

1932 37.338 140.259 8.546 176.143

1933 11.699 152.774 6.125 170.598

1934 6.029 152.080 8.677 166.766

1936 6.396 159.949 15.136 181.479

1938 4.670 185.360 18.376 208.406

5. Medan Menjadi Gemeente.

Salah satu dampak posistif perkebunan Deli adalah ditetapkannya Medan sebagai Kota

Praja (gemeente). Sebelumnya, pada tahun 1907, Medan telah ditetapkan sebagai Ibukota

Sumatera setelah dipindahkan dari Bengkalis-Riau.

Kota Administratif Medan dibentuk melalui lembaga bernama “Komisi Pengelola Dana Kotamadya”,

yang dikenal dengan sebutan Negorijraad.Berdasarkan “Decentralisatie Wet Stbl 1903 No

329″, lembaga lain dibentuk yaitu “Afdeelingsraad Van Deli” (Deli Division Council) yang berjalan

bersamaNegorijraad sampai dihapuskan tanggal 1 April 1909, ketika “Cultuuraad” (Cultivation

Council) dibentuk untuk daerah di luar kota. Pimpinan Medan Municipal Board saat didirikan

tanggal 1 April 1909 (Stblt 1909 No 180) adalah EP Th Maier, yang menjabat sebagai pembantu

Residen Deli Serdang. Tanggal tersebut merupakan hari jadi Kota Medan yang diperingati hingga

tahun 1975. Namun, sejak 26 Maret 1975, lewat Keputusan DPRD No 4/ DPRD/1975 yang didasari

banyak pertimbangan, ditetapkan bahwa hari lahir Kota Medan adalah 1 Juli 1590.

6. Penutup.

Page 51: Tembakau DeliSA

Secara langsung, dampak pembukaan Tembakau Deli telah menginspirasi dan menjadi tonggak

perkembangan kota Medan yang sangat signifikan. Lahir sebagai kota yang berkharakter khas

yang dibangun dengan berbasis perkebunan. Sejak saat itu, sistem perkebunan dikenal di Sumatra

Utara. Sistem perkebunan itu, telah pula mendorong system kerja dengan kontrak, penggajian

berdasarkan prestasi kerja ataupun liberalisme ekonomi.Untuk mendukung perkembangan kota

Medan, aspek-aspek pendukung telah dibangun seperti sarana transportasi (Kereta Api), jalan dan

jembatan, perkantoran  rumah sakit, sekolah, perbangkan, pertokoan, pertambangan, percetakan,

perhotelan dan perumahan. Selain itu, aspek sosial, politik dan tata pemerintahan turut pula

diperbaharui. Dampak akhir dari perkembangan perkebunan tersebut adalah dipindahkannya

ibukota Sumatra dari Bengkalis ke Medan serta ditetapkannya Medan sebagai Kota

Praja (Gemeente).

Memasuki awal tahun 1950-an, pemerintah Indonesia dengan berencana melakukan nasionalisasi

aset pemerintah kolonial Belanda. Dengan demikian, kepemilikan Deli Matschappij dikelola oleh

pemerintah Indonesia yang hingga kini dikenal dengan PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) yang

menjadi badan usaha sektor perkebunan di seluruh Indonesia yang bermarkas di Medan-Sumatra

Utara. Langkah ini, telah mendukung perkembangan Kota Medan yang sangat pesat  dan hingga

kini Medan dikenal sebagai kota terbesar ketiga di Indonesia, maju dan heterogen.  Jadi, kontribusi

perkebunan Deli terhadap Kota Medan dan Sumatra Utara adalah akselerasi pembangunan yang

sangat pesat  hingga tampilnya Medan sebagai kota warisan kolonial yang maju yang dibangun

dengan berbasis perkebunan. Kiranya, identitas itu tidak bisa dipungkiri hingga saat ini. Semoga!

Oleh: Erond L. Damanik, M.Si

Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial

Lembaga Penelitian Universitas Negeri Medan

1874 Perkebunan Helvetia

02.10  1874 - 1878  No comments

Rumah Adminitrator Perkebunan Helvetia 1876

Perkebunan yang pertama sekali dibuka oleh J.Neinhuys adalah Perkebunan Tanjung Sepassai Labuhan

Deli. Ini photo tahun 1876, rumah Administrator Perkebunan Helvetia, Landskep Soeka Piring, Afdeeling

Deli.

Menurut catatan Tuanku Luckman Sinar, ketika hendak dibuka kontrak pertama kebun tembakau 2000 bahu oleh

Page 52: Tembakau DeliSA

Nienhuys 08 April 1867, dekat Tanjung Sepasai (Titipan) ada kuburan keramat besar kota Bangun. Menurut ahli

sejarah Mohammad Said, kuburan itu masih ada dan dapat dilihat sampai sekarang.

Rumah A. Breaker tahun 1830 di perkebunan Helvetia

"Helvetia" adalah nama Latin untuk negara Swiss. Tahun 1865 dua pemilik perkebunan asal

Swiss, Mots danBreaker mendirikan perkebunan tembakau di Deli (daerah sekitar Medan kini)

bernama Konigsgrätz, yang namanya kemudian diubah menjadi Helvetia. Nama hingga kini masih tetap

bertahan dan digunakan sebagai nama kecamatan ini.

Konsesi nomor 3 tanggal 18 Oktober 1874 barulah dikeluarkan untuk perkebunan ini dan berakhir tanggal 15

Oktober 1957. Helvetia mendapat 3900 bahu tanah dengan budi daya Tembakau dan Pala.

Page 53: Tembakau DeliSA

Rumah Administrator Perkebunan Helvetia 1885

Pada catatan kolonial versalg 1881, administrator Onderneming Helvetia ini adalah T.W.Jambroes

Wortmanndan hasil yang diperoleh pada tahun itu sebanyak Fl.209.461. Jumlah Kuli kontrak sebanyak 295

orang.

Pada catatan tahun 1891, Onderneming ini di beli seseorang berkebangsaan Jerman, yaitu: A.H Baron von

Horn von der Horck dengan administratornya A.J.Rose. Hasil yang diperoleh pada waktu itu sebanyak

Fl.822.400 dengan jumlah kuli China 585 orang, Jawa 169 orang, Klings 1 orang dan Bawean 90 orang.

Kantor Administrator Handels en Cultuurmaatschappij HelvetiaDeli Maatschappij 1905

Tapi sayang Baron tidak dapat lebih lama lagi menjalankan onderneming ini. Pada sekitar akhir 1899, Baron

mengadakan perjanjian rahasia kepada Raja Siantar. Yang mana dalam perjanjian itu, Raja Siantar meminta

kepada Baron untuk mendatangkan pasukan Jerman guna mengusir Belanda dari Siantar. Upahnya adalah Raja

Siantar akan memberikan tanah kepada Baron untuk dijadikan perkebunan. Tapi sayang hal itu cepat tercium

oleh Belanda, akhirnya Baron pun diusir dari Sumatra Timur. 

Page 54: Tembakau DeliSA

Pada Catatan Kolonial 1900, Onderneming Helvetia ini sudah menjadi Milik kongsian antara Deli

Maatschappij dan Handels en Cultuurmatschappij Helvetia. Pada awal tahun ini jumlah lahan konsesi

Helvetia menjadi 3900 bidang dengan 512m2 dari 6000m2 lahan yang telah digarap. Hasil yang diperoleh

sebanyak 4950 pikol. Jumlah kuli kontrak meningkat menjadi 848 orang terdiri dari Cina: 424 orang, Jawa: 128

orang, Kling: 32orang dan Bawean 13 orang. Sedangkan kuli lokalnya menurut catatan kolonial tahun 1896

terdiri dari Batak 48 orang dan Melayu 10 orang.

Para ondernemer dan Administrator Onderneming Helvetia

Tahun Ondernemer Administrator

1874 Erven A. Breker F.W.J. Van Bemmel Wortman

1889 Erven A. Breker A.T.Kamstrup

1891 A.H. Baron von Horn von der Horck A.J. Rose

1893 Deli Maatschappij -

1896 Deli Maatschappij E.C.Haitink

Kirimkan Ini lewat Email BlogThis! Berbagi ke Twitter Berbagi ke Facebook

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda

0 komentar:

HUKUM RIMBA

KULI KEBUN TEMBAKAU

GARA-GARA Mr.J.Van den Brand menulis brosur “Jutaan Dari Deli” pada tahun

1902, seluruh masyarakat perkebunan di sekitar Medan jadi heboh Van den

Brand seorang advokat Medan, yang merasa terpanggil untuk menegakkan

keadilan. Dengan mengambil resiko kehilangan nafkahnya sebagai pengacara, ia

menggugat ordonasi kuli ( semacam undang-undang ) yang menjadi biang keladi

keabsahan menghukum kuli dengan sewenang-wenang . Sebenarnya protes

social yang mengecam peganiyaan kuli Deli sudah banyak di tulis di Koran-koran

sebelumnya. Tetapi suara Koran itu tidak digubris dan dianggap fitnah. Mengapa

brosur Advokat Van den Brand diperhatikan ? Tidak lain karena ketika ada

semacam titik balik di kalangan pemerintaj Belanda. Dari cara berpikir colonial

ke cara berpikir politik etis. Mereka merasa berutang budi pada tnah jajahan

yang sudah sekian lama menguntungkan Negara ( Belanda), jadi perlu

pendekatan yang lebih manusiawi. Dari sikap tidak di gubris berubah menjadi

Page 55: Tembakau DeliSA

perhatian. Agar dapar menilai tulisan van de brand, banyak yang kemudian ingin

tahu, apa sih yang diributkan ?

Pada pertengahan abad ke 19, pemerintah Belanda mulai menarik diri dari

kegiatan mengeduk untung secara langsung di negeri jajahan mereka memberi

kesempatan para investor swasta untuk giliran memeras laba. Muncullah

kemudian usaha perkebunan tambakau di karsidenan Sumatera timur (kini

bernama Propinsi Sumatera Utara). Pelopor yang membuka hutan untuk di

jadikan kebun tembakau ialah J Nienhuys, yang dating ke Deli tahun 1863.

menurut mitos yang beredar, ia dating di kawasan yang tak berpenduduk,

sehingga terpaksa membuka hutan sendiri. Tapi agaknya mitos ini keterlaluan.

Sebab sudah sejak dulu para Raja pesisir Tanah melayu mencoba menjajah

penduduk pedalaman daerah Batak. Jadi penduduk asli deli itu ada, tapi tidak

ada yang bersedia bekerja sebagai buruh perkebunan di lahan bekas hutan >

Neinhuys kemudian mencari tenaga kerja ke Penang dan memperoleh 190 orang

kuli cina . semuanya diajak tidur di rumah kebesarannya sebagai administrateur

perkebunan juga controleur yang diangkat sebagai penuntut umum oleh

pemerintah di deli mula-mula mondok di rumah “tuan besar “ini Tembakau Deli

sangat laku dipasaran eropa, untuk industri cerutu. Untuk memenuhi permintaan

pasar yang meningkat, perkebunan harus di perluas dan tenaga kerjanya

ditambah. Pada tahun 1869 dikerahkan 900 orang kuli . Disampingorang cina

dari Penang, juga didatangkan orang keeling dari koromondel, India;

orang Siam dari Muangthai dan orang Jawa dari bagelen, jawa tengah. Jumlahnya

senantiasa kurang saja, karena tidak sebanding dengan luas lahan yang di

garap. Tenaga kuli jadi langka. Lebih langka daripada tanah. Jadi perlu paksaan,

agar bias di ikat di tempat kerjanya Ini diusahakan dengan memberi persekot

pada saat kuli itu meneken kontrak dengan cap jempolnya dan meninggalkan

desanya, menuju ke Deli kebanyakan orang-orang yang tadinya tenggelam

dalam utang. Persekot ini untuk melunasi utang lama itu. Sebagai penebus

persekot ia, wajib bekerja di perkebunan terus-menerus, sampai persekot utang

(utang baru)nya lunas. Kontrak berlaku satu tahun, tetapi dengan sendirinya

dapat di perpanjang, kalau pada akhirnya utang (atau berutanglagi yang

baru.Mengapa ada orang yang mau teken kontrak kerja di Deli?. Biasanya

karena tertipu.Ada salah paham tentang istilah ringgit, yang sengaja dibiarkan

salah terus. Dipulau jawa, ringgit berate rijksdaalder yang bernilai dua setengah

gulden ( uang perak zaman Belanda yang bulat). Padahal di Deli, ringgit berate

dolar Meksiko, yang nilainya hanya satu perak lima belas sen. Jelas para calo kuli

itu tahu, tapi orang-orang jawa calon tenaga kerja , tridak . Kalau calon kuli ini

Page 56: Tembakau DeliSA

diiming-imingi gaji 6 ringgit sebulan, bayanganya di angan-angan ialah 15

gulden, padahal sebenarnya hanya bernilai 7 gulden. Sialnya, calo-calo kuli itu

tidak mau menerangkan upah yang sebenarnya. Soalnya kalau jujur, ia tidak

akan berhasil membujuk kuli sebanya-banyaknya. Dengan membanting tulang

dan bercucuran keringat, kuli itu kemudian bekerja dari subuh hingga petang, 14

hari lamanya . selama itu ia tidak boleh meninggalkan perkebunan. Baru pada

hari ke 15, yang memang hari gajian dan istirahar, ia bebas dan akan berekreasi,

sesudah terkekang sekian lama. Ia kecewa berat, ketika menerima gaji.

Bukannya uang perak seperti di bayangkan waktu teken kontrak, tapi kertas

kupon yang hanya bias dibelanjakan di took perkebunan.yaaah, mengapa

gajiannya berupa kertas? Bukannya kepingan-kepingan perak? Hukum rimba

perkebunan

Sialnya, menurut adapt Melayu, perkebunan yang sudah memberi persekot

sebagai tanda jadi itu berhak menghukum kalau kuli yang bersangkutan

melanggar kontrak. Ini ditafsirkan oleh para “tuan besar”perkebunan sebagai

“boleh menindak sendiri” pelanggar itu. Sialnya lagi, pemerintah Hindia Belanda

diam seribu bahasa, melihat penafsiran ini. Seharusnya yurisdiksi itu di jalankan

sendiri oleh Sultan, tapi yang mulia lebih senang menyerahkannya para pekebun

masing-masing. Maka untuk menjaga ketertiban di wilayahnya masing-masing,

para pekebun merasa “boleh bertindak tegas”. Dari “boleh menindak

sendiri”berubah “boleh bertindak keras” kalau tidak malah di lecehi.Tidak ada

polisi di tempat-tempat terpencil itu. Polisinya para tukang pukul “tuan besar”

sendiri. Dari kebiasaan bertindak tegas dank eras inilah lama-lama timbul

kebiasaan bertindak sewenang-wenang dan main hakim sendiri. Baru pada

tahun 1873 pemerintah hindia belanda mengangkat orang asisten residen

sebagai pejabat pemerintah yang menegakkan hokum untuk kawasan Deli. Ia

mewakili hakim yang berwenang memutuskan perkara, yang diajuka oleh

kontrolir sebagai jaksa penuntut umum. Mula-mula di labuhan , tapi kemudian

pindah ke Medan pada 1879 sayang perubahan ini boleh dikatakan tak ada

artinya, karena kurangnya aparat penegak hukum di lapangan. Polisi Deli hanya

terdiri atas seorang mandor(sekarang kapolsek) dan 12 orang opas (sekarang

prajurit) regu ini harus menjaga ketertiban di daerah seluas karsidenan

(sekarang propinsi) Mudah di mengerti bahwa disiplin kerja kalau kalau ada

pembangkangan besar-besaran, perkebunan tidak hanya rugi kehilangan tenaga

kerja dan uang persekot, tapi juga terancam keamanannya di daerah terpencil

yang benar-benar dibiarkan hidup atau mati sendirian itu. Kuli-kuli yang

meninggalkan tempat kerja biasanya membentuk gerombolan perampok sekuat

Page 57: Tembakau DeliSA

20-40 orang. Kuli-kuli yang masih (terpaksa) bekerja terus di perkebunan yang di

rampok, biasanya tidak tinggal diam, tetapi ikut merusak karena dendam

kesumat akibat perlakuan buruk sebelumnya. Yang menjadi sasaran adalah

gudang pengeringan tembakau yang mudah sekali ternakar. Toh, kerja

merampok itu tidak langgeng. Suatu ketika kalau tidak ada yang di rampok lagi,

ada diantara kuli-kuli itu yang kemudian menyesal dosanya, dan kembali ke

majikannya lagi untuk meminta maaf pertimbangannya, kelak kalau pulang ke

jawa sebagai orang bebas lagi. Tetapi apa apa yang mereka terima? Bukannya

maaf, tapi pukulan rotan dan hokum kurungan dalam sel selama berharihari,

sebelum di pulihkan hak dan kewajibannya sebagai kuli.

Menurunkan Jadel (jawa deli)

Dalam keadaan tertip, di kalangan kuli ada semacam hirarki, berdasarkan

prestasi kerja. Kelompok terpenting diantara mereka adalah kuli lading yang

mendapat sebidang tanah untuk di kelola sebagai tempat untuk bertanan

tembakau. Upah diberikan borongan, pada waktu panen nanti. Tingginya

produksi dan mutu tembakau sangat bergantung pada kerajinan dan

kesungguhan kerjan mereka.Ada yang bekerja dari pagi hari sampai petang di

ladang, karena keyakinan bahwa hanya dengan raji menyirami tanaman muda

dan memberantas ulat atau hama tanaman saja, hasil tembakau bias memberi

uang banyak, sesudah bekerja berbulan-bulan. Dalam kerja borongan ini iadi

Bantu oleh kongsingkang (sejumlah kuli yang tidak mempunyai pengalaman),

yang di kerahkan untuk mencangkul-cangkul mendangir, mengurus air dan

mencari kutu. Juga kuli yang dinilai bodoh, malas dan banyak omong”tapi

enggan bekerja, dipenamtukan pada kuli lading (pemborong) yang lebih cakap

itu, kalau ada kuli pemborong, yamg karena sikapnya tak berkenan di hati tuan

kecil (asisten kebun) pembantu tuan besar(administrator), akan dipindahkan dan

diturunkan derajatnya menjadi kuli pembantu. Sebaliknya kalau kuli pembantu

yang campur aduk jenisnya ini kemudian ada yang cakap, patuh pada atura dan

tidak banyak bikin perkara, ia di beri tanah yang sudah di tanami tembakau, lalu

di tugasi memelihara tanaman ini sampai panen. Sampai taraf tertentu, orang

semacam ini merasa dirinya lelih tinggi kedudukannya daripada kuli pembantu.

Sebagai pemimpin para kuli dianggkat tandil (kalau ia orang cina) dan mandor

(kalau ia orang Jjawa). Selain memimpin pekerjaan 20-40 orang kuli, ia juga

bertanggung jawab atas ketertian mereka dalam kelompok. Selain mengawasi.

Ia juga menjadi penghubung antara tuan besar yang membagi tugas dalam

bahasa Melayu dan masyarakat kuli yang tidak bahasa melayu. Kadang-kadang

Page 58: Tembakau DeliSA

tuan besar membagi tugas melalui tuan kecil bangsa eropa kepada

mandor. Para mandor dikoodinasikan oleh opzichter (opseter) yang tugasnya

memata-matai sepak terjang kuli berikut mandornya dan menyampaikannya ke

tuan kecil. Kelompok lain ialah para kuli perempuan, yang tugasnya memetik

daun tembakau, mengangkutnya ke gudang menyortir dan mrentengnya untuk

digantungkankeringkan. Karena hidup bersama kuli-kuli bangsa lain, ada yang

kemudian menemukan jodoh dan membentuk keluarga, diantaranya juga ada

yang kemudian bebas setelah kontrak berakhir, lalu hidup sebagai pedagang

kecil di desa di luar perkebunan. Mereka menurunkan generasi baru yang di

sebut Jadel ( Jawa Deli). Orang jawa yang lahir di Deli.

Para mandor dan tandil kadang-kadang menimbulkan perkara dengan

perbuatan mereka yang tidak terpuji, seperti meminjam uang dengan bunga

mencekek leher. Menjual barang tak bermutu secara krdit dengan harga gila.

Atau melakukan skandal seks dengan kuli-kuli perempuan. Praktek semacam ini

menimbulkan ketidaksenangan yang bias menyulut pemberontakan. Kalau

perkara ini di ajukan ke tuan kecil atau tuan besar, selalu yang di persalahkan

kuli yang tidak senang ini. Hukum annya berupa pukulan dengan rotan. Dua

puluh lima kali atau lebih, bergantung pada berat ringannya “pelanggaran”.

Jarang sekali ada mandor atau tandil yang di hokum karena skandal seks, curang

jualkreditan atau curang mengutangi uang, penyebab ketidak senangan itu.

Sumber ketidakadilan lain fitnah yang dilancarkan karena dendam, keki atau

dengki. Informasi yang di sampaikan opseter sebagai mata-mata ke tuan kecil,

kadang-kadang tidak benar. Kuli yang menjadi korban fitnah di gebugi tanpa

proses peradilan.

Bahwa adapembangkangan karena salah urus dan skandal macam-macam di

Deli, disadari banar oleh pemerintah. Lalu dibuat rancangan ordonasi( keputusan

gibernur Jenderal, berlaku sebagai undang-undang), yang yang tadinya

bermaksud melindungi para kuli, tapi karena tekanan para pengusaha

perkebunan, malah menjadi semacam pengesahan atas tindakan menghukum

kuli (oleh pimpinan perkebunan). Pada tahun 1889 di undanglah ordonasi kuli ini,

yang kemudian sempat di perbaiki pada tahun 1898. Rumusan dalam ordonasi

ini memang bagus, tetapi pelaksanaannya di lapangan yang konyol. Kuli

memang boleh dihukum, kalau ia lari meninggalkan perkebunan, atau mogok

bekerja. Tapi sialnya, perbuatan menghina atau mengancam mandor, melawan

pemerintah, berkelahi dan mabuk-mabukan juga di pandang sebagai

pelanggaran, meskipun tidak melanggar kontrak kerja. Sebaiknya, ordonasi itu

Page 59: Tembakau DeliSA

hanya menyinggung sedikit tentang hukuman bagi tuan kecil, opseter dan lain

anggota pimpinan kebun.Tuan besar dan kecil ini hanya dihukum kalau

“menyebabkan kuli melanggar kontrak” misalnya tidak member perumahan

kepada kuliyang sudah lari tapi kembali lagi. Tapi bagai mana kalau ia

melanggar kesusilaan? Atau menganiaya karena jengkel? Tidak ada pasal yang

mengatur hukumannya. Sialnya, kalau ada kuli yang diadili di kantor

kontrolir setempat (yang bertugas sebagai penuntut umum) kemudian

dinyatakan bersalah, ia dihukum kerja paksa krakal (membuat jalan) diluar

perkebunan. Kebun yang bersangkutan kehilangan tenaga kerja. Ini mendorong

para pekebun untuk menghakimi sendiri saja pelanggaran-pelanggaran kecil

yang dilakukan oleh kuli. Praktik main hakim sendiri inilah yang kemudian

mendorong advokat Van den Brand untuk menyelidiki keadaan perkebunan Deli

itu, sampai akhirnya ia menulis brosur yang membeberkan penderitaan para kuli

itu sebagai budak belian. Bahwa mereka benar-benar di pandang sebagai budak,

jelas terasa dari pasal-pasal dalam ordonasi kuli dan model kontrak kerja

mereka. Dalam pasal 9 dan 10 misalnya, di tetapkan bahwa hukuman bagi kuli

yang melanggar kontrak, berupa denda atau kerja paksa. Pada buruh bebas,

pelanggaran seperti itu hanya berakibat di pecat saja atau dituntut membayar

ganti rugi. Dalam Burgerlijk Wetboek van Nederlands Indie (Kitab Undang-

undang Hukum Pidana) juga kita temui ketentuan dalam pasal1239, bahwa

semua sengketa pelanggaran kontrak diselesaikan dengan ganti rugi. Ini suatu

pasal dalam undang-undang. Tapi dalam ordonasi kuli tidak di gubring. Bagi kita

mengadili seseorang diluar hukun yang berlaku bagi bebas itu, tidak lain adalah

mengadili budak belian. Dalam pasal 11 ordonasi kuli itu lebih jelas lagi

kedudukan kuli yang malang itu sebagai budak belian. Yaitu bagi siapa yang

member penginapan kuli yang lari, diancam dengan hukuman kepada pemberi

orang yang lari dari majikan swasta, hanya berlaku bagi budak belian seperti di

Amerika.

Kontrolir yang diangkat sebagai penuntut umum itu “dipelihara” baik-baik

hubungannya oleh para tuan besar. Hubungan baik ini di pertahankan dengan

jalan setiap kali mengundangnya makan, pada pesta-pesta perayaan hari besar

keagamaan, hari libur dan hari-hari nasional bukan libur. Maksudnya jelas agar

kontrolir itu suka menutup perkara (istilah sekarang mempetieskan) pengaduan

terhadap kesewenag-wenangan tuan besar terhadap kuli. Pejabat pemerintah

colonial ini juga di suap secara halus, dengan di beri harga penawaran lelang

barang-barangnya yang tinggi sekali, kalau masa dinasnya habis dan ia dipindah

tugaskan ke tempat lain biasanya barang-barang rumah tangganya dilelang.

Page 60: Tembakau DeliSA

Pelelangan bias menghasilkan uang banya, kalau dalam masa tugasnya yang

lalu ia bersikap luwes terhadap para tuan besar pekebun tembakau, antara lain

suka menutup perkara. Ketentuan tak tertulis ini sudah diberitahukan dengan

bisik-bisik kepada setiap kontrolir yang baru diangkat. Kalau ada tuan besar

yang diadukan karena bertindak sewenang-wenang menyuruh memukuli kuli

sampai luka berat misalnya, ia hanya dihukum membayar ongkos dokter dan

perawatan di rumahsakit bagi kuli yang bersangkutan saja. Sudah habis

perkara!. Apakah ada hakim di Deli? Sialnya, tidak. Hakim yang berwenang

mengadili orang bule berada di Jakarta. Itulah sebabnya, tidak pernah ada

seorang kuli yang berani menuntut tuan besar ke pengadilan. Yang sering terjadi

ialah, kalau kuli tidak senang dengan tuannya, ia akan mogok kerja. Lalu

diajukan ke kontrolir untuk dihukum. Ya boleh saja di hokum krakal di luar

perkebunan. Malak kebetualan. Soalnya kerja krakal bias leha-leha banyak

istirahat, ngobrol-ngobrol. Keadaan di dunia luar ini lebih baik daripada di

perkebunan. Kuli-kuli yang melanggar peraturan memang harus dibawa ke

kontrolir, dengan dikawal seorang mandor yang membawa surat pengantar. Ini

memang resmi, demi santun kedinasan, tapi yang tidak bias ialah, dalam surat

pengantar itu selain nama para kuli, juga di cantumkan jenis hukuman yang

harus dikenakan pada terdakwa masing-masing. Tanpa pemeriksaan lagi,

kontrolir yang” sudah dianggap” itu langsung menghukum kuli yang

bersangkutan, sesuai srat tuan besar. Peradilan macam ini sudah lazim di Medan

Zaman itu > Tapi jelas, tidak semua kontrolirberlaku konnyol seperti itu. Ada

yang baik dan bertanggung jawab, seperti misalnya kontrolir di serdang, yang

kisahnya akan diutarakan di bawah nanti.

Dalam abat ke-20 ini sudah tidak ada kekejaman seperti yang terjadi dalam

abad pertengahan dan perbudakan yang lalu, tulis Van den Brand dalam

brosurnya :Orang masa kini sudah lebih beradap kekejaman lebih manusiawitapi

kekejaman init oh kekejaman juga”. Di perkebunan tembakau kecil yang

terpencil misalnya, pernah ada enam kuli cina melarikan diri, tapi ditangkap

kembali. Sebagai hukuman, mereka di gebuki punggungnya dengan bamboo

batangan. Bukan bamboo cina yang kecil, tapi bamboo apus bergaris tengah 4

cm. Punggung kuli itu babak belur, tapi tuan besar yang menyuruh menggebuki

tidak dihukum. Bukankah menghukum pelanggar hokum dengan gebukan

seperti itu sudah lazim?. Yang menyedihkan ialah penderitaan kuli-kuli yang

sakit. Ada yang lesu karena kurang gizi, ada yang masuk angin. Pokoknya sakit,

lalu tidak bersemangat kerja. Apa yang terjadi? Mereka bukannya di beri izin

istirahat memulihkan kesehatan, tapi dibawa kontrolir di serdang agar dihukum

Page 61: Tembakau DeliSA

karena membangkang, tidak mau bekerja. Untung kontrolir serdang ini orang

baik. Ketika ia bertanya mengapa tidak mau bekerja, ia mendapat jawaban yang

memelas, “tidak kuat bekerja, tuan karena sakit. Sungguh sakit, Tuan. Tidak

bohong, Tuan” Melihat raut muka mereka yang memelas kekurangan tenaga

itu , kontrolir sadar bahwa orang-orang malang ini tidak bohong. Ia

menyangsikan kejujuran tuan besar kebun tembakau yang mengajukan perkara

kuli-kuli dengan dalih membangkang. Beberapa hari kemudian ia mengadakan

kudak (kunjungan mendadak) kebperkebunan itu dan melihat sebuah kamar

kecil seperti kandang ternak yang pintunya di gembok. Ia terkejut melihat ke

dalam melalui jendela bertrali. Ada 2 laki-laki jawa, 6 perempuan jawa dan satu

mayat. Baunya bukan main busuknya. Antara lain bau tinja. Ternyata mereka

terpaksa membuang kotoran di dekat dinding dari kayu yang masih ada

celahnya, antara dinding itu dengan tanah. Sebelum membuang hajat, kuli yang

bersangkutan menggali tanah dengan tangan dulu kalau sudah, hajat yang

dibuang itu di dorong dengan tanah galian ini keluar dinding. Tapi baunya jelas

tidak bias ikut keluar. Lebih terkejut lagi kontrolir itu, ketika memeriksa

penjelasan, bahwa kamar seperti kandang ternak itu adalah rumah sakit

perkebunan. Masya Allah! Yang menerangkan ialah orang-orang sakit”di “rumah

sakit” itu sendiri, melalui jendela bertrali. Rumah sakit di gembok, agar para kuli

tidak lari. Ternyata mereka juga tidak di beri air minum. Kalau sudah tidak kuat

menahan haus terpaksa mereka menukar nasi ransumnya dengan air minum

dari orang yang lewat. Untuk setengah hari mereka tidak makan, karena jatah

makan sudah di tukar dengan air minum. Ini memang pembunuhan pelan-pelan,

karena kuli-kuli sudah tidak biasa diperas tenaganya lagi. Mengapa perlakuan

kuli sakit ini begitu mengecewakan? Jawaban yang di peroleh dari tuan besar

lebih mengejutkan lagi”Ah sebentar lagi mereka juga akan mati”. Tuan besar

dari perkebunan itu hanya mau member makan kepada kuli-kuli yang masih kuat

bekerja. Begitu ada kuli yang tidak punya harapan hidup lagi, dimasukkanlah ia

kedalam rumah sakit perkebunan anno 1890. Ada seorang kuli perkebunan

perempuan yang ternyata tidak mati-mati lalu ia dikirim ke rumah sakit umum di

lubuk pakam. Beberapa hari kemudian ia meninggal, tapi sebelum meninggal ia

sempat menjelaskan kepada kontrolir serdang, bahwa dulu ketika masik di

rumah sakit perkebunan, setiap hari tuan besar menengoknya melalui jendela,

lalu menggerutu, “Buset belum mati juga”.

Namun kekejaman menjijikkan menimpa seorang kuli gadis remaja yang tidak

mau melayani ajakan kencan tuan kecil. Seorang saksi menceritakan kepada

Van den Brand, bahwa seorang gadis kira-kira berumur 16 tahun itu diikat pada

Page 62: Tembakau DeliSA

tiang bawah rumah panggung tuan kecil. Pada tiang itu di pakukan balok yang

melintang, dan pada balok ini kedua tangannya gadis itu di ikatkan. Tubuhnya

ditelanjangi. Dari pukul 06.00-18.00 ia dijadikan tontonan yang merintih-rintih

menyayat hati, minta ampun kepada Gusti Allah. Seorang pelayan rumah

menjelaskan kepada saksi, bahwa gadis itu di hokum lebih suka kawi dengan kuli

sebangsanya, dari pada dirusak kegadisanya oleh tuan kecil. Sudah tau

“skandal” seks ini dilaporkan ke tuan besar oleh opseter. Tapia pa yang terjadi

tuan kecil itu hanya dipindahkan ketempat lain saja. Bukan karena ia melanggar

kesusilaan, tapi karena tuan besar khawatir kalau kuli-kuli lainya yang solider

berontak. Di perkebunan tembakau tidak hanya ada kuli Jawa, tapi juga kuli Cina.

Kerjanya bagus tapi tingkah lakunya lebih kasar. Nafsu birahinya juga besar.

Kalau tidak ada perempuan ya sesama jenis pun jadi. Sialnya untuk memenuhi

biologis mereka, tuan besar mendatangkan ratusan gadis jawa setiap tahun,

untuk di umpankan kepada kuli-kuli Cina itu. Resminya gadis-gadis ini di

pekerjakan sebagai tenaga penyortir tembakau, tapi upah mereka begitu rendah

tidak cukup untuk membeli pakaian. Maka untuk itu kuli gadis terpaksa mau

dibawa tidur kuli Cina, agar mendapatkan uang cukup untuk membeli pakaian.

Yang lebih menyedihkan lagi, mereka tidak di beri perumahan seperti para kuli

laki-laki dan permpuan yang sudah dewasa” mereka toh bias tidur diantara

orang-orang yang lain “ tutur seorang tuan besar kepada Van den Brand enteng.

Perasaan tuan besar itu tumpul dan karatan, karena lama hidup dengan nafsu

rendah di masyarakat perkebunan kasar seperti itu. Mungkinkah dalam waktu

luang selagi merenung sendirian di rumah panggungnya ia mendengar bisikan

hati nuraninya? Bahwa perlakuan terhadap gadis-gadis malang itu tidak

berperikemanusiaan?

Brosur Van den Brand berisi kekejaman exoploitation de I’homme itu

mengundang perdebatan di kalangan pers. Koran-koran yang pro pemerintah

melontarkan tuduhan, Van den Brand itu fitnah. Berapa mantan tuan besar yang

pernah karatan di deli menulis artikel untuk mencuci tangan. Koran-koran

independen mendukung usul Van den Brand untuk menghapus ordonasi kuli.

Tapi reaksi palis keras dating dari para belantik (makelar) pengerah kuli. Soalnya

sumber duitnya pedagang budak, kalau pengrahan tenaga kuli tidak boleh lagi.

Setelah timbul krisis politik di parlemen Belanda, akhirnya pemerintah

membentuk komisi pencari fakta, yang di pimpin oleh Mr,J.L.T Rhemrew dari

Raad Van Justitie di Betawi (sekarang Departemen Kehakiman di Jakarta).

Laporan yang kemudian disusunya membenarkan apa yang di tulis oleh Van den

Brand. Yang terpenting nasip sedih kuli deli itu dinyatakan dengan tegas, gara-

Page 63: Tembakau DeliSA

gara ordonasi kuli tahun 1898 yang berisi poenale sanctie. Sanksi dalam

ordonasi ini berupa ketentuan :

1. Barang siapa melanggar kontrak kerja dinyatakan bersalah dan

dapat dihukum.

2. Kuli tidak boleh meninggalkan pekerjaan, dan kalau lari boleh

ditangkap kembali dengan kekerasan.

3. Malas bekerja juga di pandang sebagai tindak pidana melanggar

undang-undang.

Perjuangan untuk menghapus saksi ini, yang dimulai oleh Van den Brand tahun

1902, akhirnya didukung oleh pemerintah Hindia Belanda tahun karena laporan

Rhemrev. Rhemrev sendirimemang pejabat pemerintah Hindia Belanda. Sebelum

itu, ordonasi memangakan diperbaiki, tapi perbaikan yang bertujuan

meringankan penderitaan para kuli itu mendapat perlawanan keras dari para

pekebun. Berkali-kali rancangan perbaikan yang sudah diumumkan di kotan

tidak jadi di kerjakan lebih lanjut menjadi ordonasi. Baru pada tahun 1918 itulak

diterbitkan ordonasi kuli yang baru, tetapi masih berisi semangat peonale

sanctie, walaupun versi lunak yang lebih manusiawi. Ordonasi masih dianggap

relevan, karena menjamin perkebunan di Deli untuk memperoleh tenaga kerja

murah. Tanpa itu terpaksa mencari tenaga kerja bebas yang mahal. Soalnya

tenaga bebas ini membawa keluarganya ke Deli dan minta jaminan perumahan,

tunjangan keluarga dan pelayanan kesehatan. Penghapusan ordonasi akan

merombak tata cara menghasilka tembakau secara besar-besaran. Maka, praktik

memeras tenaka kuli yang diributkan oleh Van den Brand dulu itu pun masih

berjalan terus, antara tahun 1918-1931. Pada tahun 1931, berbagai ordonasi kuli

dari daerah lain di satukan dengan ordonasi kuli tanah deli, menjadi ordonasi kuli

umun. Didalamnya poenale sanctie dihapus secata bertahap. Penghapusan ini

sangat dipercepat oleh kepusan bersama para pengusaha tembakau Deli sendiri

untuk tidak memakai kuli kontrak lagi denagn poenale sanctie. Bukan karena

mereka sudah tobat dan baik hati, tapi karena ingin mencegah jangan sampai

ehspor tembakaunya ke Amerika Serikar ditolak. Waktu itu Amerika memang

sedang giat-giatnya memberantas perbudakan dan tidak mau membeli

tembakau hasil penganiayaan. Ditimpa malaisetahun 1930, banyak perkebunan

tembakau yang gulung tikar pula, sehingga “ zaman meleset” ini merupakan

isyarat untuk tidak memakai poenale sanctie lagi samasekali. Tapi pemerintah

beru menarik ordonasi kuli umum tahun 1931 itu secara resmi pada tanggal 1

Page 64: Tembakau DeliSA

Januari 1942. Dalam brosurnya yang menghebohkan itu, Van den Brand sempat

menutup cerita lembaran hitam yang “memalukan kita sebagai bangsa beradap”

itu dengan berita akhir penderitaan, dari Koran Java Bode 28 Juni 1898. Enam

orang kuli perempuan yang berhasil lepas dari cengkeraman kontrak deli dan

kembali ke pulau Jawa, terdampar di kota Semarang. Karena sudak tidak

mempunyai uang sepeser pun, mereka terpaksa tidur di bawah pohon asam

pinggir jalan. Akhirnya, seorang wartawan Koran De Locomotief menelpon polisi,

agar mau menolong orang-orang malang itu, supaya bias pulang ke kampong

halaman masing-masing”. Mereka batal menjadi jadel, tapi Jadok (Jawa medok)

HUKUM RIMBA

KULI KEBUN TEMBAKAU

GARA-GARA Mr.J.Van den Brand menulis brosur “Jutaan Dari Deli” pada tahun

1902, seluruh masyarakat perkebunan di sekitar Medan jadi heboh Van den

Brand seorang advokat Medan, yang merasa terpanggil untuk menegakkan

keadilan. Dengan mengambil resiko kehilangan nafkahnya sebagai pengacara, ia

menggugat ordonasi kuli ( semacam undang-undang ) yang menjadi biang keladi

keabsahan menghukum kuli dengan sewenang-wenang . Sebenarnya protes

social yang mengecam peganiyaan kuli Deli sudah banyak di tulis di Koran-koran

sebelumnya. Tetapi suara Koran itu tidak digubris dan dianggap fitnah. Mengapa

brosur Advokat Van den Brand diperhatikan ? Tidak lain karena ketika ada

semacam titik balik di kalangan pemerintaj Belanda. Dari cara berpikir colonial

ke cara berpikir politik etis. Mereka merasa berutang budi pada tnah jajahan

yang sudah sekian lama menguntungkan Negara ( Belanda), jadi perlu

pendekatan yang lebih manusiawi. Dari sikap tidak di gubris berubah menjadi

perhatian. Agar dapar menilai tulisan van de brand, banyak yang kemudian ingin

tahu, apa sih yang diributkan ?

Pada pertengahan abad ke 19, pemerintah Belanda mulai menarik diri dari

kegiatan mengeduk untung secara langsung di negeri jajahan mereka memberi

kesempatan para investor swasta untuk giliran memeras laba. Muncullah

kemudian usaha perkebunan tambakau di karsidenan Sumatera timur (kini

bernama Propinsi Sumatera Utara). Pelopor yang membuka hutan untuk di

jadikan kebun tembakau ialah J Nienhuys, yang dating ke Deli tahun 1863.

menurut mitos yang beredar, ia dating di kawasan yang tak berpenduduk,

sehingga terpaksa membuka hutan sendiri. Tapi agaknya mitos ini keterlaluan.

Sebab sudah sejak dulu para Raja pesisir Tanah melayu mencoba menjajah

Page 65: Tembakau DeliSA

penduduk pedalaman daerah Batak. Jadi penduduk asli deli itu ada, tapi tidak

ada yang bersedia bekerja sebagai buruh perkebunan di lahan bekas hutan >

Neinhuys kemudian mencari tenaga kerja ke Penang dan memperoleh 190 orang

kuli cina . semuanya diajak tidur di rumah kebesarannya sebagai administrateur

perkebunan juga controleur yang diangkat sebagai penuntut umum oleh

pemerintah di deli mula-mula mondok di rumah “tuan besar “ini Tembakau Deli

sangat laku dipasaran eropa, untuk industri cerutu. Untuk memenuhi permintaan

pasar yang meningkat, perkebunan harus di perluas dan tenaga kerjanya

ditambah. Pada tahun 1869 dikerahkan 900 orang kuli . Disampingorang cina

dari Penang, juga didatangkan orang keeling dari koromondel, India;

orang Siam dari Muangthai dan orang Jawa dari bagelen, jawa tengah. Jumlahnya

senantiasa kurang saja, karena tidak sebanding dengan luas lahan yang di

garap. Tenaga kuli jadi langka. Lebih langka daripada tanah. Jadi perlu paksaan,

agar bias di ikat di tempat kerjanya Ini diusahakan dengan memberi persekot

pada saat kuli itu meneken kontrak dengan cap jempolnya dan meninggalkan

desanya, menuju ke Deli kebanyakan orang-orang yang tadinya tenggelam

dalam utang. Persekot ini untuk melunasi utang lama itu. Sebagai penebus

persekot ia, wajib bekerja di perkebunan terus-menerus, sampai persekot utang

(utang baru)nya lunas. Kontrak berlaku satu tahun, tetapi dengan sendirinya

dapat di perpanjang, kalau pada akhirnya utang (atau berutanglagi yang

baru.Mengapa ada orang yang mau teken kontrak kerja di Deli?. Biasanya

karena tertipu.Ada salah paham tentang istilah ringgit, yang sengaja dibiarkan

salah terus. Dipulau jawa, ringgit berate rijksdaalder yang bernilai dua setengah

gulden ( uang perak zaman Belanda yang bulat). Padahal di Deli, ringgit berate

dolar Meksiko, yang nilainya hanya satu perak lima belas sen. Jelas para calo kuli

itu tahu, tapi orang-orang jawa calon tenaga kerja , tridak . Kalau calon kuli ini

diiming-imingi gaji 6 ringgit sebulan, bayanganya di angan-angan ialah 15

gulden, padahal sebenarnya hanya bernilai 7 gulden. Sialnya, calo-calo kuli itu

tidak mau menerangkan upah yang sebenarnya. Soalnya kalau jujur, ia tidak

akan berhasil membujuk kuli sebanya-banyaknya. Dengan membanting tulang

dan bercucuran keringat, kuli itu kemudian bekerja dari subuh hingga petang, 14

hari lamanya . selama itu ia tidak boleh meninggalkan perkebunan. Baru pada

hari ke 15, yang memang hari gajian dan istirahar, ia bebas dan akan berekreasi,

sesudah terkekang sekian lama. Ia kecewa berat, ketika menerima gaji.

Bukannya uang perak seperti di bayangkan waktu teken kontrak, tapi kertas

kupon yang hanya bias dibelanjakan di took perkebunan.yaaah, mengapa

gajiannya berupa kertas? Bukannya kepingan-kepingan perak? Hukum rimba

perkebunan

Page 66: Tembakau DeliSA

Sialnya, menurut adapt Melayu, perkebunan yang sudah memberi persekot

sebagai tanda jadi itu berhak menghukum kalau kuli yang bersangkutan

melanggar kontrak. Ini ditafsirkan oleh para “tuan besar”perkebunan sebagai

“boleh menindak sendiri” pelanggar itu. Sialnya lagi, pemerintah Hindia Belanda

diam seribu bahasa, melihat penafsiran ini. Seharusnya yurisdiksi itu di jalankan

sendiri oleh Sultan, tapi yang mulia lebih senang menyerahkannya para pekebun

masing-masing. Maka untuk menjaga ketertiban di wilayahnya masing-masing,

para pekebun merasa “boleh bertindak tegas”. Dari “boleh menindak

sendiri”berubah “boleh bertindak keras” kalau tidak malah di lecehi.Tidak ada

polisi di tempat-tempat terpencil itu. Polisinya para tukang pukul “tuan besar”

sendiri. Dari kebiasaan bertindak tegas dank eras inilah lama-lama timbul

kebiasaan bertindak sewenang-wenang dan main hakim sendiri. Baru pada

tahun 1873 pemerintah hindia belanda mengangkat orang asisten residen

sebagai pejabat pemerintah yang menegakkan hokum untuk kawasan Deli. Ia

mewakili hakim yang berwenang memutuskan perkara, yang diajuka oleh

kontrolir sebagai jaksa penuntut umum. Mula-mula di labuhan , tapi kemudian

pindah ke Medan pada 1879 sayang perubahan ini boleh dikatakan tak ada

artinya, karena kurangnya aparat penegak hukum di lapangan. Polisi Deli hanya

terdiri atas seorang mandor(sekarang kapolsek) dan 12 orang opas (sekarang

prajurit) regu ini harus menjaga ketertiban di daerah seluas karsidenan

(sekarang propinsi) Mudah di mengerti bahwa disiplin kerja kalau kalau ada

pembangkangan besar-besaran, perkebunan tidak hanya rugi kehilangan tenaga

kerja dan uang persekot, tapi juga terancam keamanannya di daerah terpencil

yang benar-benar dibiarkan hidup atau mati sendirian itu. Kuli-kuli yang

meninggalkan tempat kerja biasanya membentuk gerombolan perampok sekuat

20-40 orang. Kuli-kuli yang masih (terpaksa) bekerja terus di perkebunan yang di

rampok, biasanya tidak tinggal diam, tetapi ikut merusak karena dendam

kesumat akibat perlakuan buruk sebelumnya. Yang menjadi sasaran adalah

gudang pengeringan tembakau yang mudah sekali ternakar. Toh, kerja

merampok itu tidak langgeng. Suatu ketika kalau tidak ada yang di rampok lagi,

ada diantara kuli-kuli itu yang kemudian menyesal dosanya, dan kembali ke

majikannya lagi untuk meminta maaf pertimbangannya, kelak kalau pulang ke

jawa sebagai orang bebas lagi. Tetapi apa apa yang mereka terima? Bukannya

maaf, tapi pukulan rotan dan hokum kurungan dalam sel selama berharihari,

sebelum di pulihkan hak dan kewajibannya sebagai kuli.

Menurunkan Jadel (jawa deli)

Page 67: Tembakau DeliSA

Dalam keadaan tertip, di kalangan kuli ada semacam hirarki, berdasarkan

prestasi kerja. Kelompok terpenting diantara mereka adalah kuli lading yang

mendapat sebidang tanah untuk di kelola sebagai tempat untuk bertanan

tembakau. Upah diberikan borongan, pada waktu panen nanti. Tingginya

produksi dan mutu tembakau sangat bergantung pada kerajinan dan

kesungguhan kerjan mereka.Ada yang bekerja dari pagi hari sampai petang di

ladang, karena keyakinan bahwa hanya dengan raji menyirami tanaman muda

dan memberantas ulat atau hama tanaman saja, hasil tembakau bias memberi

uang banyak, sesudah bekerja berbulan-bulan. Dalam kerja borongan ini iadi

Bantu oleh kongsingkang (sejumlah kuli yang tidak mempunyai pengalaman),

yang di kerahkan untuk mencangkul-cangkul mendangir, mengurus air dan

mencari kutu. Juga kuli yang dinilai bodoh, malas dan banyak omong”tapi

enggan bekerja, dipenamtukan pada kuli lading (pemborong) yang lebih cakap

itu, kalau ada kuli pemborong, yamg karena sikapnya tak berkenan di hati tuan

kecil (asisten kebun) pembantu tuan besar(administrator), akan dipindahkan dan

diturunkan derajatnya menjadi kuli pembantu. Sebaliknya kalau kuli pembantu

yang campur aduk jenisnya ini kemudian ada yang cakap, patuh pada atura dan

tidak banyak bikin perkara, ia di beri tanah yang sudah di tanami tembakau, lalu

di tugasi memelihara tanaman ini sampai panen. Sampai taraf tertentu, orang

semacam ini merasa dirinya lelih tinggi kedudukannya daripada kuli pembantu.

Sebagai pemimpin para kuli dianggkat tandil (kalau ia orang cina) dan mandor

(kalau ia orang Jjawa). Selain memimpin pekerjaan 20-40 orang kuli, ia juga

bertanggung jawab atas ketertian mereka dalam kelompok. Selain mengawasi.

Ia juga menjadi penghubung antara tuan besar yang membagi tugas dalam

bahasa Melayu dan masyarakat kuli yang tidak bahasa melayu. Kadang-kadang

tuan besar membagi tugas melalui tuan kecil bangsa eropa kepada

mandor. Para mandor dikoodinasikan oleh opzichter (opseter) yang tugasnya

memata-matai sepak terjang kuli berikut mandornya dan menyampaikannya ke

tuan kecil. Kelompok lain ialah para kuli perempuan, yang tugasnya memetik

daun tembakau, mengangkutnya ke gudang menyortir dan mrentengnya untuk

digantungkankeringkan. Karena hidup bersama kuli-kuli bangsa lain, ada yang

kemudian menemukan jodoh dan membentuk keluarga, diantaranya juga ada

yang kemudian bebas setelah kontrak berakhir, lalu hidup sebagai pedagang

kecil di desa di luar perkebunan. Mereka menurunkan generasi baru yang di

sebut Jadel ( Jawa Deli). Orang jawa yang lahir di Deli.

Para mandor dan tandil kadang-kadang menimbulkan perkara dengan

perbuatan mereka yang tidak terpuji, seperti meminjam uang dengan bunga

Page 68: Tembakau DeliSA

mencekek leher. Menjual barang tak bermutu secara krdit dengan harga gila.

Atau melakukan skandal seks dengan kuli-kuli perempuan. Praktek semacam ini

menimbulkan ketidaksenangan yang bias menyulut pemberontakan. Kalau

perkara ini di ajukan ke tuan kecil atau tuan besar, selalu yang di persalahkan

kuli yang tidak senang ini. Hukum annya berupa pukulan dengan rotan. Dua

puluh lima kali atau lebih, bergantung pada berat ringannya “pelanggaran”.

Jarang sekali ada mandor atau tandil yang di hokum karena skandal seks, curang

jualkreditan atau curang mengutangi uang, penyebab ketidak senangan itu.

Sumber ketidakadilan lain fitnah yang dilancarkan karena dendam, keki atau

dengki. Informasi yang di sampaikan opseter sebagai mata-mata ke tuan kecil,

kadang-kadang tidak benar. Kuli yang menjadi korban fitnah di gebugi tanpa

proses peradilan.

Bahwa adapembangkangan karena salah urus dan skandal macam-macam di

Deli, disadari banar oleh pemerintah. Lalu dibuat rancangan ordonasi( keputusan

gibernur Jenderal, berlaku sebagai undang-undang), yang yang tadinya

bermaksud melindungi para kuli, tapi karena tekanan para pengusaha

perkebunan, malah menjadi semacam pengesahan atas tindakan menghukum

kuli (oleh pimpinan perkebunan). Pada tahun 1889 di undanglah ordonasi kuli ini,

yang kemudian sempat di perbaiki pada tahun 1898. Rumusan dalam ordonasi

ini memang bagus, tetapi pelaksanaannya di lapangan yang konyol. Kuli

memang boleh dihukum, kalau ia lari meninggalkan perkebunan, atau mogok

bekerja. Tapi sialnya, perbuatan menghina atau mengancam mandor, melawan

pemerintah, berkelahi dan mabuk-mabukan juga di pandang sebagai

pelanggaran, meskipun tidak melanggar kontrak kerja. Sebaiknya, ordonasi itu

hanya menyinggung sedikit tentang hukuman bagi tuan kecil, opseter dan lain

anggota pimpinan kebun.Tuan besar dan kecil ini hanya dihukum kalau

“menyebabkan kuli melanggar kontrak” misalnya tidak member perumahan

kepada kuliyang sudah lari tapi kembali lagi. Tapi bagai mana kalau ia

melanggar kesusilaan? Atau menganiaya karena jengkel? Tidak ada pasal yang

mengatur hukumannya. Sialnya, kalau ada kuli yang diadili di kantor

kontrolir setempat (yang bertugas sebagai penuntut umum) kemudian

dinyatakan bersalah, ia dihukum kerja paksa krakal (membuat jalan) diluar

perkebunan. Kebun yang bersangkutan kehilangan tenaga kerja. Ini mendorong

para pekebun untuk menghakimi sendiri saja pelanggaran-pelanggaran kecil

yang dilakukan oleh kuli. Praktik main hakim sendiri inilah yang kemudian

mendorong advokat Van den Brand untuk menyelidiki keadaan perkebunan Deli

itu, sampai akhirnya ia menulis brosur yang membeberkan penderitaan para kuli

Page 69: Tembakau DeliSA

itu sebagai budak belian. Bahwa mereka benar-benar di pandang sebagai budak,

jelas terasa dari pasal-pasal dalam ordonasi kuli dan model kontrak kerja

mereka. Dalam pasal 9 dan 10 misalnya, di tetapkan bahwa hukuman bagi kuli

yang melanggar kontrak, berupa denda atau kerja paksa. Pada buruh bebas,

pelanggaran seperti itu hanya berakibat di pecat saja atau dituntut membayar

ganti rugi. Dalam Burgerlijk Wetboek van Nederlands Indie (Kitab Undang-

undang Hukum Pidana) juga kita temui ketentuan dalam pasal1239, bahwa

semua sengketa pelanggaran kontrak diselesaikan dengan ganti rugi. Ini suatu

pasal dalam undang-undang. Tapi dalam ordonasi kuli tidak di gubring. Bagi kita

mengadili seseorang diluar hukun yang berlaku bagi bebas itu, tidak lain adalah

mengadili budak belian. Dalam pasal 11 ordonasi kuli itu lebih jelas lagi

kedudukan kuli yang malang itu sebagai budak belian. Yaitu bagi siapa yang

member penginapan kuli yang lari, diancam dengan hukuman kepada pemberi

orang yang lari dari majikan swasta, hanya berlaku bagi budak belian seperti di

Amerika.

Kontrolir yang diangkat sebagai penuntut umum itu “dipelihara” baik-baik

hubungannya oleh para tuan besar. Hubungan baik ini di pertahankan dengan

jalan setiap kali mengundangnya makan, pada pesta-pesta perayaan hari besar

keagamaan, hari libur dan hari-hari nasional bukan libur. Maksudnya jelas agar

kontrolir itu suka menutup perkara (istilah sekarang mempetieskan) pengaduan

terhadap kesewenag-wenangan tuan besar terhadap kuli. Pejabat pemerintah

colonial ini juga di suap secara halus, dengan di beri harga penawaran lelang

barang-barangnya yang tinggi sekali, kalau masa dinasnya habis dan ia dipindah

tugaskan ke tempat lain biasanya barang-barang rumah tangganya dilelang.

Pelelangan bias menghasilkan uang banya, kalau dalam masa tugasnya yang

lalu ia bersikap luwes terhadap para tuan besar pekebun tembakau, antara lain

suka menutup perkara. Ketentuan tak tertulis ini sudah diberitahukan dengan

bisik-bisik kepada setiap kontrolir yang baru diangkat. Kalau ada tuan besar

yang diadukan karena bertindak sewenang-wenang menyuruh memukuli kuli

sampai luka berat misalnya, ia hanya dihukum membayar ongkos dokter dan

perawatan di rumahsakit bagi kuli yang bersangkutan saja. Sudah habis

perkara!. Apakah ada hakim di Deli? Sialnya, tidak. Hakim yang berwenang

mengadili orang bule berada di Jakarta. Itulah sebabnya, tidak pernah ada

seorang kuli yang berani menuntut tuan besar ke pengadilan. Yang sering terjadi

ialah, kalau kuli tidak senang dengan tuannya, ia akan mogok kerja. Lalu

diajukan ke kontrolir untuk dihukum. Ya boleh saja di hokum krakal di luar

perkebunan. Malak kebetualan. Soalnya kerja krakal bias leha-leha banyak

Page 70: Tembakau DeliSA

istirahat, ngobrol-ngobrol. Keadaan di dunia luar ini lebih baik daripada di

perkebunan. Kuli-kuli yang melanggar peraturan memang harus dibawa ke

kontrolir, dengan dikawal seorang mandor yang membawa surat pengantar. Ini

memang resmi, demi santun kedinasan, tapi yang tidak bias ialah, dalam surat

pengantar itu selain nama para kuli, juga di cantumkan jenis hukuman yang

harus dikenakan pada terdakwa masing-masing. Tanpa pemeriksaan lagi,

kontrolir yang” sudah dianggap” itu langsung menghukum kuli yang

bersangkutan, sesuai srat tuan besar. Peradilan macam ini sudah lazim di Medan

Zaman itu > Tapi jelas, tidak semua kontrolirberlaku konnyol seperti itu. Ada

yang baik dan bertanggung jawab, seperti misalnya kontrolir di serdang, yang

kisahnya akan diutarakan di bawah nanti.

Dalam abat ke-20 ini sudah tidak ada kekejaman seperti yang terjadi dalam

abad pertengahan dan perbudakan yang lalu, tulis Van den Brand dalam

brosurnya :Orang masa kini sudah lebih beradap kekejaman lebih manusiawitapi

kekejaman init oh kekejaman juga”. Di perkebunan tembakau kecil yang

terpencil misalnya, pernah ada enam kuli cina melarikan diri, tapi ditangkap

kembali. Sebagai hukuman, mereka di gebuki punggungnya dengan bamboo

batangan. Bukan bamboo cina yang kecil, tapi bamboo apus bergaris tengah 4

cm. Punggung kuli itu babak belur, tapi tuan besar yang menyuruh menggebuki

tidak dihukum. Bukankah menghukum pelanggar hokum dengan gebukan

seperti itu sudah lazim?. Yang menyedihkan ialah penderitaan kuli-kuli yang

sakit. Ada yang lesu karena kurang gizi, ada yang masuk angin. Pokoknya sakit,

lalu tidak bersemangat kerja. Apa yang terjadi? Mereka bukannya di beri izin

istirahat memulihkan kesehatan, tapi dibawa kontrolir di serdang agar dihukum

karena membangkang, tidak mau bekerja. Untung kontrolir serdang ini orang

baik. Ketika ia bertanya mengapa tidak mau bekerja, ia mendapat jawaban yang

memelas, “tidak kuat bekerja, tuan karena sakit. Sungguh sakit, Tuan. Tidak

bohong, Tuan” Melihat raut muka mereka yang memelas kekurangan tenaga

itu , kontrolir sadar bahwa orang-orang malang ini tidak bohong. Ia

menyangsikan kejujuran tuan besar kebun tembakau yang mengajukan perkara

kuli-kuli dengan dalih membangkang. Beberapa hari kemudian ia mengadakan

kudak (kunjungan mendadak) kebperkebunan itu dan melihat sebuah kamar

kecil seperti kandang ternak yang pintunya di gembok. Ia terkejut melihat ke

dalam melalui jendela bertrali. Ada 2 laki-laki jawa, 6 perempuan jawa dan satu

mayat. Baunya bukan main busuknya. Antara lain bau tinja. Ternyata mereka

terpaksa membuang kotoran di dekat dinding dari kayu yang masih ada

celahnya, antara dinding itu dengan tanah. Sebelum membuang hajat, kuli yang

Page 71: Tembakau DeliSA

bersangkutan menggali tanah dengan tangan dulu kalau sudah, hajat yang

dibuang itu di dorong dengan tanah galian ini keluar dinding. Tapi baunya jelas

tidak bias ikut keluar. Lebih terkejut lagi kontrolir itu, ketika memeriksa

penjelasan, bahwa kamar seperti kandang ternak itu adalah rumah sakit

perkebunan. Masya Allah! Yang menerangkan ialah orang-orang sakit”di “rumah

sakit” itu sendiri, melalui jendela bertrali. Rumah sakit di gembok, agar para kuli

tidak lari. Ternyata mereka juga tidak di beri air minum. Kalau sudah tidak kuat

menahan haus terpaksa mereka menukar nasi ransumnya dengan air minum

dari orang yang lewat. Untuk setengah hari mereka tidak makan, karena jatah

makan sudah di tukar dengan air minum. Ini memang pembunuhan pelan-pelan,

karena kuli-kuli sudah tidak biasa diperas tenaganya lagi. Mengapa perlakuan

kuli sakit ini begitu mengecewakan? Jawaban yang di peroleh dari tuan besar

lebih mengejutkan lagi”Ah sebentar lagi mereka juga akan mati”. Tuan besar

dari perkebunan itu hanya mau member makan kepada kuli-kuli yang masih kuat

bekerja. Begitu ada kuli yang tidak punya harapan hidup lagi, dimasukkanlah ia

kedalam rumah sakit perkebunan anno 1890. Ada seorang kuli perkebunan

perempuan yang ternyata tidak mati-mati lalu ia dikirim ke rumah sakit umum di

lubuk pakam. Beberapa hari kemudian ia meninggal, tapi sebelum meninggal ia

sempat menjelaskan kepada kontrolir serdang, bahwa dulu ketika masik di

rumah sakit perkebunan, setiap hari tuan besar menengoknya melalui jendela,

lalu menggerutu, “Buset belum mati juga”.

Namun kekejaman menjijikkan menimpa seorang kuli gadis remaja yang tidak

mau melayani ajakan kencan tuan kecil. Seorang saksi menceritakan kepada

Van den Brand, bahwa seorang gadis kira-kira berumur 16 tahun itu diikat pada

tiang bawah rumah panggung tuan kecil. Pada tiang itu di pakukan balok yang

melintang, dan pada balok ini kedua tangannya gadis itu di ikatkan. Tubuhnya

ditelanjangi. Dari pukul 06.00-18.00 ia dijadikan tontonan yang merintih-rintih

menyayat hati, minta ampun kepada Gusti Allah. Seorang pelayan rumah

menjelaskan kepada saksi, bahwa gadis itu di hokum lebih suka kawi dengan kuli

sebangsanya, dari pada dirusak kegadisanya oleh tuan kecil. Sudah tau

“skandal” seks ini dilaporkan ke tuan besar oleh opseter. Tapia pa yang terjadi

tuan kecil itu hanya dipindahkan ketempat lain saja. Bukan karena ia melanggar

kesusilaan, tapi karena tuan besar khawatir kalau kuli-kuli lainya yang solider

berontak. Di perkebunan tembakau tidak hanya ada kuli Jawa, tapi juga kuli Cina.

Kerjanya bagus tapi tingkah lakunya lebih kasar. Nafsu birahinya juga besar.

Kalau tidak ada perempuan ya sesama jenis pun jadi. Sialnya untuk memenuhi

biologis mereka, tuan besar mendatangkan ratusan gadis jawa setiap tahun,

Page 72: Tembakau DeliSA

untuk di umpankan kepada kuli-kuli Cina itu. Resminya gadis-gadis ini di

pekerjakan sebagai tenaga penyortir tembakau, tapi upah mereka begitu rendah

tidak cukup untuk membeli pakaian. Maka untuk itu kuli gadis terpaksa mau

dibawa tidur kuli Cina, agar mendapatkan uang cukup untuk membeli pakaian.

Yang lebih menyedihkan lagi, mereka tidak di beri perumahan seperti para kuli

laki-laki dan permpuan yang sudah dewasa” mereka toh bias tidur diantara

orang-orang yang lain “ tutur seorang tuan besar kepada Van den Brand enteng.

Perasaan tuan besar itu tumpul dan karatan, karena lama hidup dengan nafsu

rendah di masyarakat perkebunan kasar seperti itu. Mungkinkah dalam waktu

luang selagi merenung sendirian di rumah panggungnya ia mendengar bisikan

hati nuraninya? Bahwa perlakuan terhadap gadis-gadis malang itu tidak

berperikemanusiaan?

Brosur Van den Brand berisi kekejaman exoploitation de I’homme itu

mengundang perdebatan di kalangan pers. Koran-koran yang pro pemerintah

melontarkan tuduhan, Van den Brand itu fitnah. Berapa mantan tuan besar yang

pernah karatan di deli menulis artikel untuk mencuci tangan. Koran-koran

independen mendukung usul Van den Brand untuk menghapus ordonasi kuli.

Tapi reaksi palis keras dating dari para belantik (makelar) pengerah kuli. Soalnya

sumber duitnya pedagang budak, kalau pengrahan tenaga kuli tidak boleh lagi.

Setelah timbul krisis politik di parlemen Belanda, akhirnya pemerintah

membentuk komisi pencari fakta, yang di pimpin oleh Mr,J.L.T Rhemrew dari

Raad Van Justitie di Betawi (sekarang Departemen Kehakiman di Jakarta).

Laporan yang kemudian disusunya membenarkan apa yang di tulis oleh Van den

Brand. Yang terpenting nasip sedih kuli deli itu dinyatakan dengan tegas, gara-

gara ordonasi kuli tahun 1898 yang berisi poenale sanctie. Sanksi dalam

ordonasi ini berupa ketentuan :

1. Barang siapa melanggar kontrak kerja dinyatakan bersalah dan

dapat dihukum.

2. Kuli tidak boleh meninggalkan pekerjaan, dan kalau lari boleh

ditangkap kembali dengan kekerasan.

3. Malas bekerja juga di pandang sebagai tindak pidana melanggar

undang-undang.

Perjuangan untuk menghapus saksi ini, yang dimulai oleh Van den Brand tahun

1902, akhirnya didukung oleh pemerintah Hindia Belanda tahun karena laporan

Page 73: Tembakau DeliSA

Rhemrev. Rhemrev sendirimemang pejabat pemerintah Hindia Belanda. Sebelum

itu, ordonasi memangakan diperbaiki, tapi perbaikan yang bertujuan

meringankan penderitaan para kuli itu mendapat perlawanan keras dari para

pekebun. Berkali-kali rancangan perbaikan yang sudah diumumkan di kotan

tidak jadi di kerjakan lebih lanjut menjadi ordonasi. Baru pada tahun 1918 itulak

diterbitkan ordonasi kuli yang baru, tetapi masih berisi semangat peonale

sanctie, walaupun versi lunak yang lebih manusiawi. Ordonasi masih dianggap

relevan, karena menjamin perkebunan di Deli untuk memperoleh tenaga kerja

murah. Tanpa itu terpaksa mencari tenaga kerja bebas yang mahal. Soalnya

tenaga bebas ini membawa keluarganya ke Deli dan minta jaminan perumahan,

tunjangan keluarga dan pelayanan kesehatan. Penghapusan ordonasi akan

merombak tata cara menghasilka tembakau secara besar-besaran. Maka, praktik

memeras tenaka kuli yang diributkan oleh Van den Brand dulu itu pun masih

berjalan terus, antara tahun 1918-1931. Pada tahun 1931, berbagai ordonasi kuli

dari daerah lain di satukan dengan ordonasi kuli tanah deli, menjadi ordonasi kuli

umun. Didalamnya poenale sanctie dihapus secata bertahap. Penghapusan ini

sangat dipercepat oleh kepusan bersama para pengusaha tembakau Deli sendiri

untuk tidak memakai kuli kontrak lagi denagn poenale sanctie. Bukan karena

mereka sudah tobat dan baik hati, tapi karena ingin mencegah jangan sampai

ehspor tembakaunya ke Amerika Serikar ditolak. Waktu itu Amerika memang

sedang giat-giatnya memberantas perbudakan dan tidak mau membeli

tembakau hasil penganiayaan. Ditimpa malaisetahun 1930, banyak perkebunan

tembakau yang gulung tikar pula, sehingga “ zaman meleset” ini merupakan

isyarat untuk tidak memakai poenale sanctie lagi samasekali. Tapi pemerintah

beru menarik ordonasi kuli umum tahun 1931 itu secara resmi pada tanggal 1

Januari 1942. Dalam brosurnya yang menghebohkan itu, Van den Brand sempat

menutup cerita lembaran hitam yang “memalukan kita sebagai bangsa beradap”

itu dengan berita akhir penderitaan, dari Koran Java Bode 28 Juni 1898. Enam

orang kuli perempuan yang berhasil lepas dari cengkeraman kontrak deli dan

kembali ke pulau Jawa, terdampar di kota Semarang. Karena sudak tidak

mempunyai uang sepeser pun, mereka terpaksa tidur di bawah pohon asam

pinggir jalan. Akhirnya, seorang wartawan Koran De Locomotief menelpon polisi,

agar mau menolong orang-orang malang itu, supaya bias pulang ke kampong

halaman masing-masing”. Mereka batal menjadi jadel, tapi Jadok (Jawa medok)

 

Page 75: Tembakau DeliSA

1910-1920: Pemilihan daun tembakau di perkebunan tembakau di Kawasan Kerajaan (Vorstenlanden). (sumber foto)

Page 76: Tembakau DeliSA

1951: Pemilihan daun tembakau di perkebunan tembakau. (sumber foto)

Page 77: Tembakau DeliSA

1927-1929: Rumah pengering daun tembakau di perkebunan Sumber Sari, Jawa Timur. (sumber foto)

Page 78: Tembakau DeliSA

Seorang kuli (buruh) perkebunan tembakau sedang memetik daun tembakau.Sebelah kanan adalah rumah pengeringan tembakau. Juru foto: tidak diketahui. (sumber

foto)

Page 79: Tembakau DeliSA

1888-1990: Rumah pengeringan daun di perkebunan tembakau Sumatera Utara. (sumber foto)

Page 80: Tembakau DeliSA

1954: Rumah pengering di perkebunan tembakau Tandjung Morawa, Serdang, Sumatra Timur. (sumber foto)

Page 81: Tembakau DeliSA

1894: Para kuli/buruh sedang menyeleksi daun tembakau diawasi mandor Belandadi perkebunan tembakau Bandar Klippa, Sumatera Timur. (sumber foto)

Page 82: Tembakau DeliSA

1905-1910: Para kuli/buruh sedang menyeleksi daun tembakau diawasi mandor Belanda. (sumber foto)

Page 83: Tembakau DeliSA

1890-1905: Para kuli/buruh sedang menyeleksi daun tembakau di perkebunan tembakau.Juru foto: Stafhell & Kleingrothe Studio Foto. (sumber foto)

Page 84: Tembakau DeliSA

1885-1895: Para kuli/buruh di perkebunan tembakau sedang memilihi daun tembakau diawasi orang Belanda.

Juru foto: G.R. Lambert & Co. Studio Foto. (sumber foto)

Page 85: Tembakau DeliSA

1897: Para kuli/buruh di perkebunan tembakau Deli sedang memilihi daun tembakau diawasi orang Belanda

di rumah fermentasi. Juru foto: J, Willem Schut, dari Medan. (sumber foto)

Video youtube

Deli Serdang Tanjung Morawa Tempo Doeloe874 Koin Perkebunan Tjinta Radja Langkat

02.21  1874 - 1878, Uang  No comments

Page 86: Tembakau DeliSA

Famili Koin Perkebunan Tjinta Radja

Perkebunan Tembakau Tjinta Raja Estate, berdekatan

dengan Kampung Iney, terletak di Sumatra Timur, Divisi

Deli, Langkat Beneden, di wilayah Stabat-Langkat, "9

tiang" atau sekitar 15 km dari Stabat dan trem berhenti

"4 tiang" dari Tandjoeng Poera. 

Periode mengeluarkan token: 1876 - 1883 ca. Koin

perkebunan ini terdiri dari:

1. Koin 10 cent, terbuat dari red copper, 24mm

2. Koin 20 cent, terbuat dari kuningan, 27mm

Page 88: Tembakau DeliSA

Tembakau Deli, Riwayatmu Kini

Ekspedisi Geografi Indonesia VI Sumatera

Utara 2009

Andaikan seperti perebutan kursi DPR,

tembakau Deli selalu mendapatkan ‘kursi'

khusus di pasar tembakau Bremen. Tembakau

yang menurut penikmatnya memiliki cita rasa

dan aroma yang khas ini, belum dapat disamai

oleh tembakau dari pelosok dunia lainnya.

PT. Perkebunan Nusantara II melaporkan hasil

penjualan tembakau Deli di pasar Bremen pada

tahun 2007, memperoleh pendapatan sebesar

Rp 56,277 miliar (Kapanlagi.com, 18 Juli 2007).

Pendapatan ini telah dianggap cukup bagus

dibanding tahun sebelumnya (Rp 56,116 miliar),

meskipun volumenya lebih menurun. Pada

tahun 2006 mencapai 4.371 bal, sedangkan

2007 hanya mencapai 3.770 bal.

Page 89: Tembakau DeliSA

Peningkatan pendapatan ini disinyalir karena

peningkatan kualitas tembakau Deli, setelah

dilakukan pemangkasan jumlah kebun, yang

awalnya 12 menjadi 6 pada tahun 2007. Perlu

diketahui, kebun tembakau pada tahun 1889

berjumlah 170 kebun.

Tembakau Deli pada awal abad ke-19

merupakan primadona hasil perkebunan di

wilayah Hindia Belanda, sehingga mengangkat

nama Tanah Deli di kancah perdagangan dunia.

Namun, sayangnya kian tahun jumlah kebun

tembakau Deli kian menurun, hingga tergeser

dengan komoditas lainnya, yaitu kelapa sawit.

Abdul Rauf menyebutkan setelah Perang Dunia

Page 90: Tembakau DeliSA

II kebun tembakau Deli masih tersisa 30 kebun

(1949). Tiga tahun berikutnya tinggal 25 kebun,

hingga pada tahun 2007 yang lalu tersisa 6

kebun saja.

Keenam kebun yang masih tersisa itu antara

lain Kebun Sampali (1.584 ha), Helvetia (1.008

ha), Buluh Cina (1.200 ha), Tandem (720 ha),

Klambir Lima (720 ha), dan Klumpang (1.728

ha).

Bergesernya komoditi perkebunan yang terjadi

di Sumatera Utara, akibat kelatahan secara

emosional yang dilakukan oleh pemilik

perkebunan. Akibatnya, perwilayahan komoditi

sesuai dengan kondisi lingkungannya akan

susah dilakukan, demikian papar Rauf saat

berdiskusi dengan Tim Ekspedisi Geografi

Indonesia VI (19 Mei 2009).

Kondisi inilah yang dialami oleh Tembakau Deli,

yang lambat laun semakin terdesak oleh Kelapa

Sawit karena memiliki nilai ekonomi lebih tinggi

Page 91: Tembakau DeliSA

di pasar dunia. Jika tanpa suatu usaha yang

maksimal dari pemerintah dan perguruan tinggi

untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas

Tembakau Deli, maka bahan cerutu tiper Eropa

ini hanya menyisakan legenda, seperti bangsal-

bangsal yang ditemui oleh Tim EGI VI di

sepanjang jalan raya Stabat-Pangkalan

Brandan, yaitu Kebun Kuala Begumit.

Bangsal yang berdiri sejak jaman Kolonial

Belanda itu, kini nampak kusam. Sebuah alat

berangka tahun 1886 teronggok berdiri tanpa

fungsi apapun. Di sebelahnya terlihat tumpukan

tembakau yang telah berujud tanah coklat,

hancur dan hanya terlihat serat-seratnya saja.

Page 92: Tembakau DeliSA

Tembakau Deli adalah simbol kejayaan

Kerajaan Deli. Melalui komoditas inilah Kerajaan

Deli tersohor di dunia pada awal abad ke-19.

Namun, seiring dengan menurunnya kekuasaan

Deli akibat campur tangan penjajah,

menurunkan pula produksi komoditas tembakau

di Tanah Deli.

Deli adalah tanah yang subur dan makmur. Jika

kini kita tidak dapat melihat kejayaan Deli

dengan tembakaunya, sudah sepantasnya jika

kita berharap dapat melihat Kelapa Sawit jaya di

pasar dunia.

Page 93: Tembakau DeliSA

Mengenang Parijs van Soematra

OPINI | 03 December 2010 | 06:26  Dibaca: 670     Komentar: 10     1

salah satu sudut medan tempo doeloe, berarsitektur eropa

(sumber: www.kitlv.pictura-dp.nl)

Pada awalnya adalah tembakau. Adalah Jacob Nienhuys. Ia seorang saudagar tembakau asal Belanda. Dalam sejarah orang ini dikenal sebagai salah seorang perintis penanaman tembakau di daerah Deli (Medan tempoe doeloe). Almanak waktu itu: 1860-an. Tak seberapalama, tembakau dari daerah ini merajai pasar Eropa karena citarasa dan kualitasnya yang cocok dijadikan cerutu.

Dalam “Parijs Van Soematera”-buku karangan Alaxander Avan (Medan, Rain Maker, 2010)-diceritakan kemudian kota ini berkembang. Beringsut menjadi salah satu kota primadona-diluar daerah koloni belanda lain di Jawa. Entah siapa yang mendahului, kota ini disebut sebagai Parijs van Java. Artinya: kota Paris dari Sumatera. Sebelumnya di Jawa sendiri telah ada “Parijs van Java” yang dimaksud adalah Bandung.

Tak diketahui dengan pasti, apa motivasi orang-orang Belanda menyebut kota ini sebagai Paris. Karena dilihat dari sisi mana pun, tak ada Paris-

Page 94: Tembakau DeliSA

parisnya. Kota itu masih sangat-sangat kecil, begitu juga dengan fasilitas kota yang ada-belum lagi menjangkau ¼ Paris. Konon pula kalau melihat misalnya-kalau kita berbicara Parijs-arsitektur, budaya, seni, dan lain-lain. Sama sekali jauh ketinggalan.

Alaxander Avan menyatakan penamaan “Parijs van Soematra” ini bisa jadi karena persaingan antara Belanda dengan Britania atawa Inggris. Yang terakhir disebutkan sendiri telah membangun (sebagai daerah koloninya) semananjung Malaysia dan Singapura menjadi kota Modern-mengikuti kota-kota yang ada Eropa sana. Agar tak kalah pamor-apalagi ada pameo di mana ada inggris disampingnya berdiri prancis-maka kolonial Belanda membangun “Parijs van Soematra”.

Tampak para pekerja (kuli kontrak) sedang memilah

tembakau (sumber: www.kitlv.pictura-dp.nl)

Modalnya? Apalagi kalau bukan tembakau. Kebun-kebun semakin diperluas. Apalagi setelah pemerintah kolonial bekerjasama dengan kesultanan Deli, dimana sultan akan memberikan kewenangan kepada belanda untuk membuka lahan-lahan yang ada di daerah deli untuk dijadikan kebun tembakau. Imbalannya: belanda memberikan sejumlah uang, perlindungan, dan membangun fasilitas kota dan istana deli-salah satunya adalah istana maimoon yang masih berdiri kokoh sekarang.Belanda sendiri dalam politik penjajahannya memang mendukung feodalisme bekermbang di wilayah jajahan. Terlebih lagi kalau raja yang bersangkutan dapat diajak bekerjasama. Jadilah rakyat dijajah oleh Belanda dan sistem feodal yang sudah ada: tambah-tambah menderita.

Page 95: Tembakau DeliSA

Riwayat tembakau sendiri-di sisi lainnya-adalah sahibul hikayat tentang penderitaan rakyat. Beribu-ribu orang dijadikan kuli kontrak. Mereka banyak datang dari jawa, tapi juga dari negeri-negeri lain: India, Cina, Arab. Tapi ironisnya, kuli dari bangsa sendiri dianggap sebagai kelas paling rendah. Kalau kita ingat pelajaran SD dulu,inlander-sebutan untuk orang indonesia dulu-adalah kelas ketiga setelah eropa, dan timur jauh. Cina, India, dan Arab sendiri masuk sebagai kelas sosial kedua.

Perbudakan di kebun tembakau adalah sejarah perdagangan manusia terbesar di negeri ini-jauh sebelum isu trafficking naik seperti sekarang. Orang-orang tertipu: dijanjikan pekerjaan yang enak, tapi nyatanya dijadikan kuli. Dikatakan akan bekerja di tanah yang bisa tumbuh pohon berdaun uang. Dollar. Tapi nyatanya mereka dipaksa bekerja seharian di kebun tembakau dengan upah sekenanya. Agar betah, pemerintah kolonial menyuburkan prostitusi dan judi. Kuli yang kelelahan biasanya sangat-sangat menikmati hiburan ini. Di awal bulan, habislah gaji mereka untuk berjudi dan belanja sex. Tak ada uang untuk makan lagi. Terpaksa mereka berhutang kepada perusahaan-yang artinya mereka harus memperpanjang kontrak.

Tan Malaka-yang pernah bekerja sebagai guru di wilayah Deli-menulis kesaksiannya dalam “Dari Penjara ke Penjara” sebagai:

“Inilah kelas yang memeras keringat dari pagi sampai malam; kelas yang diberi gaji hanya cukup untuk mengisi perutnya; kelas yang tinggal di gubuk seperti kambing di kandang; yang setiap saat bisa dipukul atau dimaki-maki dengan godverdomme; kelas yang setiap saat harus melepaskan isteri atau anak perempuan kalau ada seorang kulit putih yang menyukainya…. Inilah kelas orang Indonesia yang dikenal sebagai kuli kontrak. Kuli-kuli perkebunan biasanya harus bangun pukul 4 pagi, karena tempat pekerjaan mereka jauh letaknya. Baru pukul 7 atau 8 malam boleh pulang. Bayarannya menurut kontrak berjumlah empat puluh sen setiap hari. Makanannya biasanya tidak cukup untuk melakukan pekerjaan yang berat selama 8 sampai 12 jam setiap hari di bawah terik panas matahari. Pakaian mereka cepat menjadi compang-camping karena sering bekerja di hutan.Karena kekurangan dalam segala-galanya, timbullah di dalam diri mereka suatu nafsu yang tidak terkendalikan untuk mencari nasib baik dengan bermain judi; suatu nafsu yang dengan sengaja dikobarkan oleh perusahaan setelah dilakukan pembayaran. Mereka yang kalah-dan biasayanya lebih banyak orang yang kalah daripada yang menang-boleh pinjam uang dari perusahaan. Karena utang ini, maka sembilan puluh persen dari kuli-kuli itu setelah habisnya kontrak terpaksa memperbaharui

Page 96: Tembakau DeliSA

kontraknya kembali. Utang itu menimbulkan nafsu untuk berjudi dan perjudian itu memperbesar utang, dan seterusnya, dan seterusnya, dan seterusnya.”

kuli kontrak perempuan di ladang tembakau (sumber:

www.kitlv.pictura-dp.nl)

Ketidakadilan yang terjadi membuat bangkit kesadaran kelas kuli dan tertindas lainnya. Avan Alaxander menyebutkan ini juga didasarkan pada penamaan “Parijs van Soematra”. Tesanya menyebutkan para kuli dan kelas bawah lainnya memaknai “Parijs van Soematra” dengan mengambil jargon revoulis Prancis: Liberte, Egalite, dan Fraternite atawa Kemerdekaan, Persamaan, dan Persaudaraan.

Liberte dalam konteks masa itu berarti bebas dari penindasan dan kesewenang-wenangan, egaliter berarti persamaan hak tanpa diskriminasi, dan fraternite berarti persaudaraan di antara sesama warga apapun warna kulit, bahasa, dan asal lahirnya.

Page 97: Tembakau DeliSA

Mereka jengah dengan semua ketidakadilan yang terjadi. Hingga sampai Indonesia Merdeka, tahun 1945, dimana kekuasaan Belanda tidak ada lagi pecahlah revolusi sosial. Pada tahun 1946, rakyat yang telah lama merasa tertindas melampiaskan rasa marahnya dengan menyerang semua lambang-lambang kolonial dan segala yang tak menindas.

Di masa ini kita ketahui terjadi pembakaran istana-istana kesultanan (yang selama ini bekerjsama dengan Belanda) juga vandalisme terhadap patung Jacob Nienhuys yang ada di depan Kantor Pos Medan sekarang. Bersamaan dengan itu pula, Medan sebagai “Parijs van Soematra” tak pernah di dengar lagi. Ia juga dianggap sebagai lambang kolonial yang juga harus digilas dalam ingatan.

Sekarang Medan telah bebas dari penjajahan. Pembangunan dilakukan di alam merdeka. Gedung berdiri megah dimana-mana. Fasilitas segala macam ada. Tapi tak juga kota ini menuju “Parijs”, yang teratur, rapi, bersih, berbudaya, sejahtera, dlsb-nya. Malah semakin semerawut,  centang-prenang, apalagi beberapa kali (juga sebagi kota provinsi) dipimpin pejabat yang korup. Tamatlah sudah!