telaah terhadap kitab -...
TRANSCRIPT
TELAAH TERHADAP KITAB
AL-SYÂMIL FÎ BALÂGHAT AL-QUR’ÂN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S. Ag)
Oleh: Fatimatul Azizah
NIM 11150340000185
PROGRAM STUDI ILMU AL-QURˋAN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1441 H/2019 M
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Fatimatul Azizah
NIM : 11150340000185
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul TELAAH
TERHADAP KITAB AL-SYÂMIL FÎ BALÂGHAT AL-QUR’ÂN adalah
benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat
dalam penyusunannya. Adapun kutipan yang ada dalam penyusunan karya
ini telah saya cantumkan sumber kutipannya dalam skripsi. Saya bersedia
melakukan proses yang semestinya sesuai dengan peraturan perundangan
yang berlaku jika ternyata skripsi ini sebagian atau keseluruhan
merupakan plagiat dari karya orang lain.
Demikian pernyataan ini dibuat untuk digunakan seperlunya.
Jakarta, 23 Juli 2019
Fatimatul Azizah
NIM 11150340000185
i
PEDOMAN TRANSLITERASI
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Keputusan Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Nomor: 507 Tahun 2017.
Huruf
Arab
Huruf
Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b Be ب
t Te ت
ts te dan es ث
j Je ج
h h dengan garis bawah ح
kh ka dan ha خ
d De د
dz de dan zet ذ
r Er ر
z Zet ز
s Es س
sy es dan ye ش
s es dengan garis di bawah ص
ḏ de dengan garis di bawah ض
ṯ te dengan garis di bawah ط
ẕ zet dengan garis di bawah ظ
koma terbalik di atas hadap kanan ع
gh ge dan ha غ
f Ef ف
q Ki ق
k Ka ك
l El ل
m Em م
n En ن
w We و
h Ha ه
Apostrof ˋ ء
y Ye ي
2. Vokal
Vokal adalah bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong. Untuk vokal
tunggal, ketentuan alih aksaranya adalah sebagai berikut.
ii
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal
Latin Keterangan
a Fathah
i Kasrah
u Ḏammah
Adapun untuk vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya ada sebagai
berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal
Latin Keterangan
ai a dan i ا ي
au a dan u ا و
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa
dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal
Latin Keterangan
ا â a dengan topi di atas
î i dengan topi di atas ا ي
û u dengan topi di atas ا و
4. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf syamsiah maupun huruf
kamariah. Contoh: al-rijâl bukan ar-rijâl, al-dîwân bukan ad-dîwân.
iii
5. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda tasydīd ) ) dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu
dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini
tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata
sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyah. Misalnya, kata (الضرورة) tidak
ditulis ad-ḏarûrah melainkan al-ḏarûrah, demikian seterusnya.
6. Ta Marbûṯah
Berkaitan dengan alih aksara ini, jika huruf ta marbûṯah terdapat pada kata
yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (lihat
contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku jika ta marbûṯah tersebut diikuti
oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2). Namun, jika huruf ta marbûṯah tersebut
diikuti kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /t/
(lihat contoh 3).
No Kata Arab Alih Aksara
Ṯarîqah طريقة 1
al-jâmi‘ah al-islâmiyyah اجلامعة اإلسالمية 2
wahdat al-wujûd وحدة الوجود 3
iv
ABSTRAK
Fatimatul Azizah, “Telaah Terhadap Kitab al-Syâmil Fî Balâghat al-
Qur’ân”. Skripsi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2019
Penelitian ini berupaya untuk menjawab pertanyaan terkait metode dan
corak kitab al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân yang ditulis oleh M. Afifudin
Dimyathi. Teknik penggalian data pada penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif dengan menggunakan teknik library research (kepustakaan), yaitu
dengan mengumpulkan data-data melalui bacaan dan literatur-literatur yang ada
kaitannya dengan pembahasan. Adapun metode penulisan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode analisis-deskriptif, yaitu sebuah metode pembahasan
untuk menerapkan data-data yang lebih tersusun dengan melakukan kajian
terhadap data-data tersebut. Sumber primer dalam penulisan skripsi ini adalah
kitab al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân. Dari hasil penelitian diketahui bahwa
kitab ini ditulis dengan menggunakan bahasa Arab dan disusun urut sesuai dengan
susunan tertib ayat atau surah dalam mushaf Usmani. Penjelasan ayat-ayat al-
Qur’an dilakukan secara mujmal (global) dan ditulis sesuai susunan mushaf, ayat
per ayat, surat per surat, dan diteliti aspek-aspeknya (uraian makna kosa kata,
makna kalimat, dan maksud ungkapan). Sedangkan corak yang digunakan dalam
kitab ini yaitu corak balâghah (Bahasa dan Sastra), pernyataan ini sesuai dengan
analisis penulis terhadap beberapa indikator yang ada dan juga sesuai dengan
paparan pengarang dalam muqaddimah kitabnya.
Kata kunci : al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, Gus Awis
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT., atas segala nikmat iman,
jasmani dan rohani. Dialah Tuhan tempat mengadu ketika penulis sudah merasa
lelah dan putus asa dalam menyelesaikan skripsi ini. Tiada henti kepada-Nya
penulis meminta agar selalu diberi kesehatan, kemudahan, kesabaran dan
kekuatan dalam menyelesaikan skripsi ini. Berkat kasih sayang, petujuk dan
rahmat-Nya penulis dapat mengolah data dan menjadi kata, yang menjadi kalimat
dan menjadi paragraf-paragraf yang berisi ide, kemudian dari kumpulan paragraf
menjadi bab-bab dan akhirnya jadilah skripsi ini.
Shalawat dan salam seiring kecintaan, akan senantiasa tercurah limpahkan
pada baginda Rasulullah, yakni Nabi Muhammad SAW., beserta keluarga dan
para sahabatnya. Sesungguhnya Ia dan merekalah yang sangat berjasa dalam
menyampaikan pesan-pesan Allah SWT., sampai akhirnya pesan itu sampai
kepada kita semua saat ini.
Dalam perjalanan penelitian ini, penulis menyadari bahwa skripsi yang
berjudul Telaah Terhadap Kitab al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân ini tidak
akan selesai dengan daya dan upaya penulis sendiri, melainkan ada banyak sosok
kerabat, dan orang-orang spesial dari berbagai pihak yang secara langsung
maupun tidak langsung telah banyak membantu penulis, sehingga akhirnya tulisan
ini selesai. Maka, pada kesempatan ini, penulis ingin mengungkapkan rasa terima
kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Ibu Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A., selaku Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
2. Bapak Dr. Yusuf Rahman, MA., selaku Dekan Fakultas Ushuluddin
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. Eva Nugraha, M.Ag., selaku ketua Program Studi Ilmu al-Qur’an
dan Tafsir dan Bapak Fahrizal Mahdi, Lc, MIRKH, selaku Sekretaris
Program Studi Ilmu al-Qur’an dan Tafsir, serta segenap Civitas Akademik
Fakultas Ushuluddin.
4. Dosen Penasihat Akademik, Bapak Muslih, M.Ag., yang banyak memberi
masukan kepada penulis selama studi di kampus UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
5. Bapak Drs. H. Ahmad Rifqi Muchtar, M.A., selaku pembimbing skripsi yang
dengan ikhlas dan sabar dalam membimbing dan mengarahkan penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
6. Seluruh dosen Fakultas Ushuluddin khususnya Program Studi Ilmu al-Quran
dan Tafsir yang dengan sabar dan ikhlas telah mengajarkan dan memberikan
berbagai wawasan, ilmu serta pengalaman kepada penulis selama studi di
kampus tercinta ini.
7. Segenap Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah,
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, dan Perpustakaan Pusat Studi al-Qur’an
(PSQ) Ciputat.
8. Kepada Kedua Orang Tua terkasih dan tersayang. Terimakasih Ayahanda H.
Suroto dan Ibunda Hj. Sutiyem yang tidak pernah lelah memberikan cinta dan
kasih sayangnya kepada penulis juga tiada henti-hentinya selalu memberikan
do’a, dukungan dan semangat penuh untuk keberhasilan penulis. Kepada adik
vii
saya ‘Ishma Zaakiyatunnufuus dan keluarga besar penulis, semoga
keberkahan senantiasa menyertai kalian. Aamiin.
9. Kepada segenap murabbi rûhi; Keluarga besar PP. Raudhatul Mujawwidin,
teruntuk Abi Burhan, Umi Dewi, Cak Bad, Bu Al, dan segenap dewan guru
formal maupun nonformal. Keluarga besar PP. Nurul Iman, Ibu Dewi, Pak
Syamsul dan Keluarga besar Mbah Rusydi. Keluarga besar PP. Ayatirrohman
Ngasah Roso, Ibu Lilik, Bapak Mus, Mbak Liqo, Dek Ubayd, dan Mas Irfan.
Keluarga besar Kyai Kamuli. Keluarga besar PP. Darul Ulum (Jombang), Gus
Awis dan Ummah Nafis, terimakasih atas do’a dan dukungannya. Dan kepada
seluruh guru saya baik formal maupun nonformal yang telah membimbing
dan memberikan banyak ilmu. Semoga Allah senantiasa memberikan
kesehatan, keberkahan usia dan ilmu yang bermanfaat.
10. Teman-teman IAT angkatan 2015 khususnya kelas E, sahabat-sahabat KKN
031 SEMPOA, sahabat-sahabat Powerpuff, Abang dan Ayuk IKAMAJA
(Ikatan Mahasiswa Jambi), Alumni ROMU angkatan VIII, keluarga TK
Raudhatul Athfal, keluarga PMP (Pengkaderan Mufassir Pemula) 2017,
kelurga besar Padepokan Ayatirrohman khususnya kepada Om Najih, Anita,
Mbak Ida, Diana, yang dengan sukarela memberikan sumbangsih pikirannya,
dan terlebih kepada Ayah Tarom dan Bu Mimin. Kepada Bang Ade, Nurul,
Ning Ody dan Suhu, Piya, Adek Barok, Kang Kholis, Mbak Anggi, dan
Mbak Ferra semoga segala urusan kalian dimudahkan dan dilancarkan Allah.
Aamiin.
Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, semoga Allah
membalas kebaikan kalian semua, amiin. Penulis hanya dapat memohon
viii
kepada Allah SWT, semoga berkenan menerima segala kebaikan dan
ketulusan kalian semua serta memberikan sebaik-baiknya balasan atas amal
baik kalian. Terakhir, semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat menambah
khazanah keilmuan bagi siapapun yang membacanya.
Jakarta, 23 Juli 2019
Fatimatul Azizah
NIM 11150340000185
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ...................................................................................................
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................................
LEMBAR PERSETUJUAN ...................................................................................
LEMBAR PENGESAHAN ....................................................................................
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................ i
ABSTRAK ................................................................................................................ iv
KATA PENGANTAR ............................................................................................. v
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ix
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................................. 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................................................... 7
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah ............................................................... 7
D. TujuanPenelitian............................................................................................. 8
E. Manfaat Penelitian.......................................................................................... 8
F. Tinjauan Pustaka ............................................................................................ 9
G. Metodologi Penelitian .................................................................................... 11
H. Sistematika Penulisan ..................................................................................... 13
BAB II PROFIL PENULIS DAN GAMBARAN UMUM KITAB AL-SYÂMIL
FÎ BALÂGHAT AL-QUR’ÂN .................................................................................. 14
A. Biografi M. Afifudin Dimyathi ...................................................................... 14
B. Pendidikan dan Karir...................................................................................... 16
C. Karya-karya .................................................................................................... 17
D. Latar Belakang Penulisan ............................................................................... 18
x
E. Deskripsi al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân................... ............................... 19
F. Karakteristik al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân .............................................. 23
BAB III KAJIAN TAFSIR SECARA TEORITIS ............................................... 25
A. Pengertian dan Sumber Penafsiran................................................................. 26
B. Metode Penafsiran .......................................................................................... 31
C. Corak Penafsiran ............................................................................................ 38
D. Pengertian Ilmu Balâghah.............................................................................. 47
E. Sejarah dan Macam-macam Ilmu Balâghah .................................................. 48
BAB IV METODE DAN CORAK KITAB AL-SYÂMIL FÎ BALÂGHAT AL-
QUR’ÂN .................................................................................................................... 54
A. Ijmâli Sebagai Metode Kitab al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân .................... 54
B. Balâghah Sebagai Corak Kitab al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân ................ 64
BAB V PENUTUP .................................................................................................. 79
A. Kesimpulan .................................................................................................... 79
B. Saran-saran ..................................................................................................... 79
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... 81
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Qur‟an adalah kitab Allah yang dijadikan pedoman oleh umat manusia
dalam kehidupannya. Al-Qur‟an diturunkan dalam bentuk global dan umum yang
perlu penjelasan dan penjabaran. Oleh sebab itu, tafsir menduduki tempat yang
tinggi di dalam upayanya memahami al-Qur‟an sebagai pedoman hidup.
Berhubungan dengan pentingnya kedudukan tafsir dalam memahami al-
Qur‟an, al-Syirbasi telah mencatat: “Karya yang temulia ialah buah kesanggupan
menafsirkan dan mentakwilkan al-Qur‟an”.1 Mengingat kedudukan tafsir yang
tinggi, maka wajar jika para Ulama‟ dari generasi Tâbi‟în dan sesudahnya telah
memberikan perhatian besar terhadap tafsir al-Qur‟an. Tidak segan-segan mereka
bahkan rela harus menunggu bertahun-tahun lamanya ataupun harus menempuh
perjalanan ribuan kilo meter menuju ke daerah orang yang mengetahui tafsir ayat
al-Qur‟an.
Kitab-kitab tafsir yang ada sekarang merupakan indikasi kuat yang memperlihatkan
perhatian ulama selama ini untuk menjelaskan ungkapan-ungkapan al-Qur‟an dan
menterjemahkan misi-misinya.2 Konsekuensi logis dari keberadaan tafsir al-Qur‟an
sebagai fenomena perkembangan pengetahuan adalah munculnya keberagaman
bentuk maupun corak dalam tafsir al-Qur‟an.
Banyak faktor yang menyebabkan bentuk dan corak karya tafsir al-Qur‟an,
antara lain latar belakang pendidikan mufassir, keilmuan, motif penafsiran, tujuan
penafsiran dan kondisi sosio-politik. Namun demikian, seseorang yang ingin
1 Ahmad al-Syirbasi, Sejarah Tafsir Al-Qur‟an (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985), h. 15
2 Rosihan Anwar, Samudra al-Qur‟an (Bandung: Pustaka Setia, 2001), h. 148.
2
memperoleh keahlian dalam menafsirkan al-Qur‟an juga harus menguasai
beberapa ilmu, antara lain; „ilmu kalâm, „ilmu qirâ‟at, gramatikal bahasa
arab,„ilmu ma‟âni, bayân, dan badî‟, mengetahui ijmâl, tabyîn, umum, khusus,
itlâq, taqyîd, dan yang sepertinya.3
Faktor-faktor tersebut tidak berdiri sendiri, dalam arti satu faktor paling
dominan, tetapi bergerak secara interaktif dan dinamik dalam proses penafsiran.
Salah satu faktor yang pengaruhnya sangat besar terhadap proses penafsiran al-
Qur‟an dan hasil akhirnya adalah latar belakang sosio-budaya mufassir.4
Pemahaman dan pengkajian terhadap ayat-ayat al-Qur‟an mempunyai
peranan yang sangat besar bagi perkembangan umat. Selain itu juga sebagai
cerminan perkembangan metode, corak, maupun karakteristik tafsir. Usaha untuk
memahami al-Qur‟an sudah ada sejak masa Nabi dan sampai sekarang pun belum
berhenti dan tidak akan pernah berhenti sampai akhir zaman. Al-Qur‟an sebagai
teks yang hadir dalam realitas budaya manusia yang kongkret dan beragam,
selanjutnya akan dipahami dan ditafsirkan berdasarkan keragaman budaya
manusia itu sendiri. Inilah salah satu hal yang dapat menjelaskan mengapa
interpretasi atau penafsiran terhadap al-Qur‟an yang sama tetapi hasilnya dapat
berbeda-beda antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lainya. Dari
berbagai unsur kebudayaan yang ada dalam kehidupan manusia, bahasa
menempati kedudukan yang sangat penting, karena bahasa merupakan medium
utama dalam pembentukan dan penyampaian makna-makna kulturan. Selain itu,
3 Hasbi Al-Shiddieqy, Ilmu Al-Qur‟an & Tafsir (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,
2002), h. 165. 4 Nashr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas al-Qur‟an Kritik terhadap Ulumul Qur‟an,
Terjemahan oleh Khoiron Nahdliyyin (Yogyakarta: Al-Arobi, 2002), h. 2.
3
tradisi-tradisi yang ada di masyarakat khususnya Arab diorganisasikan sesuai
dengan ide dasar pembentukannya.5
Dalam lintasan sejarah, tafsir merupakan sebuah upaya memahami dan
menjelaskan kandungan pesan al-Qur`an. Upaya ini telah eksis pada awal Islam
yang dimotori oleh Nabi Muhammad saw., sebagai penafsir pertama. Hal ini dapat
dipahami bahwa sebagai penerima wahyu, Nabi Muhammad saw., juga berhak
untuk menafsirkan al-Qur`an dan memiliki tanggung jawab dalam menjelaskan
makna kandungan al-Qur`an kepada para sahabatnya. Namun demikian
Rasulullah tidak menjelaskan secara menyeluruh, hanya pada situasi tertentu dan
hal-hal yang menyangkut syari‟at. Dapat dipahami bahwa dalam menyampaikan
wahyu yang diterimanya, Rasulullah mengajarkan lafadz sekaligus makna al-
Qur‟an. Allah berfirman :6
7
“Agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan
kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.”
Kemahiran para sahabat dalam berbahasa Arab tidak diragukan lagi, dengan
demikian pesan ayat-ayat al-Qur‟an yang lugas langsung dapat dimengerti oleh
mereka. Tetapi, ada juga beberapa ayat yang perlu dijelaskan terlebih dahulu oleh
Rasulullah yakni ayat-ayat yang masih bersifat umum. Seperti halnya ayat tentang
kewajiban sholat di al-Qur‟an yang tidak disertai dengan penjelasan tentang
5 Ali Sodiqin, Antropologi Al-Qur‟an (Ar-Ruzz Media: Yogyakarta, 2008), h. 195
6 Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin dkk, Syarah Pengantar Studi Ilmu Tafsir Ibnu
Taimiyah ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2014), h. 58 7 Al-Nahl ayat 44
4
rincian praktiknya, untuk ayat-ayat seperti ini Rasulullah menjelaskannya secara
detail melalui al-Sunnah.8
Dalam sejarah penafsiran al-Qur‟an, kajian tafsir terus berkembang seiring
dengan perkembangan zaman, sehingga lahirlah ulama-ulama tafsir, baik dari
kalangan sahabat, Tâbi‟ în sampai kalangan ulama kontemporer. Pada masa Nabi
penafsiran al-Qur‟an belum dilakukan secara menyeluruh, sehingga banyak
diantara sahabat yang menjadi mufassir namun tidak tercatat namanya. Di antara
sahabat Nabi Muhammad saw., hanya ada beberapa orang saja yang dikenal luas
pemahamannya tentang tafsir. Sepuluh orang sahabat yang oleh al-Suyûṯy dikenal
sebagai ahli tafsir, yaitu empat orang al-Khulafâ‟ al-Râsyidîn (Abû Bakar al-
Shiddîq, „Umar ibn al-Khaṯâb, Utsmân ibn „Affân dan „Alî ibn Abî ṯâlib), Ibn
Mas‟ûd, Ibn „Abbâs, Ubai ibn Ka‟ab, Zayd ibn Tsâbit, Abû Mûsâ al-Asy‟ary dan
„Abdullah ibn Jubair.9
Setelah penafsiran di kalangan Sahabat, kemudian berlanjut pada masa
penafsiran di kalangan Tâbi‟în. Di masa inilah al-Qur‟an mulai ditafsirkan secara
menyeluruh. Mufassir di kalangan Tâbi‟în terbagi pada tiga kelompok. Pertama,
kelompok ahli Makkah, diantaranya adalah Mujâhid, „Aṯâ‟ Ibn Abî Ribah,
„Ikrimah Maulâ Ibn „Abbâs, Sa‟îd Ibn Zubair dan Ṯawus Ibn Kisani al-Yamani.
Kedua, kelompok Ahli Madinah, mereka adalah Zayd Ibn Aslâm, Abû al-„Aliyah
dan Muhammad Ibn Ka‟ab al-Qurḏi. Ketiga, kelompok ahli Iraq, mereka adalah
8 Syaikh Muhammad Shalih Al-Utsaimin dkk, Syarah Pengantar Studi Ilmu Tafsir Ibnu
Taimiyah ( Jakarta: Pustaka Al-Kautsar,2014), h. 59 9 Jalâl al-Dîn „Abd al-Rahmân Abi Bakr, al-Itqân fî „Ulûm al-Qur‟ân (Bairut: Dar al-
Kutb al-„Ilmiah, 2007), h. 954
5
Masrûq Ibn al-Ajda‟, Qatâdah Ibn Da‟amah, Abû Sa‟îd al-Hasân al-Basri dan
Murrah al-Hamdani al-Kufi.10
Proses menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an terus berlanjut hingga saat ini. Di
Indonesia tradisi penulisan tafsir sebenarnya telah bergerak cukup lama, dengan
keragaman teknis penulisan, corak dan bahasa yang dipergunakannya. Hal ini
sudah menjadi suatu kewajaran dimana Indonesia merupakan salah satu Negara
yang mayoritas penduduknya adalah muslim. Beberapa literatur tafsir Indonesia
dijelaskan oleh Dr. Mafri Amir, MA dalam bukunya, diantaranya Tafsîr Tarjuman
Al-Mustafid11
karya „Abd al-Rauf Sinkel, Tafsîr Marah Labid12
karya Syaikh
Nawâwi Al-Bantâni, Tafsîr Al-Qur‟ân Al-Karîm13
karya Mahmûd Yûnus, Tafsîr
Rauḏatul „Irfân14
karya K.H. Ahmad Sanusi, Tafsîr Al-Furqân15
karya Ahmad
Hasân, Tafsîr Qur‟ân16
karya H. Zayn al-dîn Hamidy dan Fakhr al-dîn HS, Tafsîr
Al-Ibrîz17
karya K. H. Bisri Musthafa, Tafsîr Al-Nûr18
karya Prof. Dr. Hasbi Al-
10
Muhammad Husain Al-Dzahabi, Al-Tafsîr wa Al-Mufassirûn, h. 101-118 11
Tafsir ini secara keseluruhan merupakan terjemah harfiah dari Al-Qur‟an dan sebagian
besar penjelasannya diambil dari Tafsir Jalalain (Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 4) 12
Tafsir ini termasuk tafsir ijmâli karena menggunakan penjelasan ringkas dan mengikuti
alur kalimat Al-Qur‟an, namun dibeberapa tempat dijelaskan secara detail layaknya tafsir tahlily.
Uraian bahasa juga cukup mendominasi, begitu juga ilmu nahwu, saraf, qirâ‟at, dan lain
sebagainya (Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 40) 13
Tafsir ini tergolong tafsir bi al-ra‟yi dengan corak lughawi, dalam tafsir ini terdapat
kesimpulan isi Al-Qur‟an yang berhubungan dengan keimanan, hukum-hukum, petunjuk/
pelajaran, akhlak, ekonomi, dan ilmu pengetahuan yang diterangkan secara mujmal (Mafri Amir,
Literatur Tafsir Indonesia, h. 58) 14
Tafsir berbahasa sunda ini bersifat umum, yakni tidak didominasi oleh suatu warna atau
pemikiran tertentu, semua menggunakan pemahaman ayat secara netral tanpa membawa pesan
khusus (aqîdah, fiqh, dan tasawuf) (Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 86) 15
Al-Furqân layaknya seperti terjemah Al-Qur‟an yang dibubuhi catatakan kaki. Namun
sang penulis sangat menjunjung tinggi nilai kebahasaan dalam tafsirnya (bahasa Arab), sehingga ia
sangat komprehensif dalam menjelaskan ayat-ayat yang mempunyai arti kebahasaan (Mafri Amir,
Literatur Tafsir Indonesia, h. 115) 16
Dalam kitab ini, penulis tidak menafsirkan seluruh ayat tetapi hanya menafsirkan
bagian-bagian ayat yang dianggap penting untuk ditafsirkan dan penafsirannyapun secara umum
tidak terperinci. Kitab ini juga masih menggunakan bahasa Indonesia yang belum baku atau sesuai
dengan EYD sekarang (Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 127-128) 17
Tafsir berbahasa Jawa ini mengungkapkan seluruh bagian ayat Al-Qur‟an sesuai
dengan mushaf Usmani dengan kalimat yang praktis dan mudah dipahami. Dalam menafsirkan
ayat K.H. Bisri Musthafa secara dominan menggunakan hasil olah pemikirannya, sehingga dapat
6
Siddîqy, Tafsîr Al-Azhâr19
karya Buya Hamka, dan beberapa tafsir karya ulama
Indonesia yang lain.
Karya-karya tafsir yang dihasilkan ulama patut untuk dikagumi. Peran besar
mereka adalah untuk memberi pemahaman akan maksud dari ayat-ayat al-Qur‟an.
Salah satu bentuk usaha memahami pesan al-Qur‟an adalah kitab termutakhir
yang ditulis oleh seorang Kyai muda Indonesia yang berasal dari Jombang yaitu
M. Afifudin Dimyathi pada tahun 2018 M. dengan menggunakan bahasa Arab20
.
Kitab al-Syāmil Fī Balāghat al-Qur‟ân merupakan kitab yang sangat menarik
karena mengupas tuntas sisi ke-balāghah-an sekaligus menguak secara mendalam
aspek-aspek sastra ayat-ayat al-Qur‟an secara menyeluruh (30 juz). Hal ini
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan pembuktian nilai
balāghah yang menjadi keistimewaan al-Qur‟an. Sebagai rujukan penulisan selain
meninjau kitab-kitab balāghah, beliau juga mengumpulkan kitab-kitab tafsir yang
mengkaji aspek balāghah dari para mufassir lintas zaman (klasik hingga modern).
Pada skripsi ini, penulis mengangkat kitab al-Syâmil fî Balâghat al-Qur‟ân
sebagai telaah terhadap penjelasan ayat-ayat al-Qur‟an yang dilakukan oleh M.
Afifudin Dimyathi guna mengetahui berapa banyak perbandingan antara
disimpulkan bahwa jenis tafsir ini adalah tafsir bi al-ra‟yi (Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia,
h. 144) 18
Tafsir Al-Nûr tidak memiliki corak dan orientasi terhadap bidang tertentu baik bahasa,
hukum, sufi, maupun filsafat. Dalam penafsirannya beliau mengaitkan bidang ilmu pengetahuan
secara merata, karena membahas dengan fokus satu bidang tertentu akan membawa para pembaca
keluar dari bidang tafsir (Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h. 163) 19
Tafsir ini tidak fanatik terhadap suatu karya tafsir sebelumnya dan tidak terpaku pada
satu madzhab pemikiran. Buya Hamka mengutip dari berbagai kitab baik itu tafsir maupun hadis
yang penting menurutnya. Tafsir ini tergolong bi al-ra‟yi karena dalam hal menafsirkan, beliau
mengemukakan pendapat sendiri tentang tafsiran ayat (Mafri Amir, Literatur Tafsir Indonesia, h.
182-186) 20
Menjadi daya tarik tersendiri untuk dapat menjadi rujukan akademik di kalangan
internasional. Selain itu, pilihan atas dipakainya bahasa Arab yaitu guna membangkitkan kembali
literasi berbahasa Arab yang pernah dilakukan oleh Haḏrat al-Syaikh Hasyim Asy‟ari (Mbah
Hasyim). Hal ini tentunya juga didukung pengalaman belajar S1 hingga S3 beliau yang ditempuh
di Timur Tengah. Bahkan salah satu karya tulisnya pernah diterbitkan oleh salah satu penerbit di
Kairo, yakni kitab yang berjudul “‟Ilmu tafsîr usûluhû wa manâhijuhû.”
7
penjelasan maksud ayat dan penjelasan sisi balāghah ayat-ayat al-Qur‟an di dalam
kitab tersebut.
B. Identifikasi Masalah
Dari pemaparan latar belakang di atas, maka akan muncul beberapa
pertanyaan terkait dengan topik yang dibicarakan diantaranya:
a. Sebagai kitab yang ditulis dan ditujukan untuk masyarakat Indonesia,
mengapa kitab ini ditulis menggunakan bahasa Arab?
b. Seharusnya kitab ini lebih banyak memuat penjelasan tentang maksud yang
tersingkap dari suatu ayat tidak hanya terfokus pada satu pembahasan.
c. Untuk dapat dikatakan sebagai kitab tafsir, seharusnya unsur-unsur tafsir yang
terkandung di dalam kitab ini lebih dominan daripada unsur-unsur penjelasan
tentang kebahasaan.
d. Untuk dikatakan tahlili seharusnya kitab ini memuat penjelasan ayat al-Qur‟an
secara rinci.
C. Pembatasan dan Rumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Dari identifikasi masalah yang dikemukakan di atas, maka penulis membatasi
masalah hanya pada gambaran tata cara penjelasan ayat yang dilakukan oleh M.
Afifudin Dimyathi dan letak titik fokus pembahasan, lebih tepatnya terkait metode
dan corak kitab tafsirnya.
8
2. Perumusan Masalah
Dari pembatasan masalah yang dikemukakan di atas telah memberi kerangka
pada peneliti untuk merumuskan pokok permasalahan yang akan menjadi acuan
penelitian. Adapun pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah :
1. Apakah metode dan corak kitab al-Syāmil Fī Balāghat al-Qur‟ân?
D. TujuanPenelitian
1. Untuk mengetahui metode yang digunakan M. Afifudin Dimyathi dalam
menjelaskan al-Qur‟an serta sumber dan coraknya.
2. Untuk menggambarkan isi dari penjelasan M. Afifudin Dimyathi di dalam
kitab al-Syāmil Fī Balāghat al-Qur‟ân.
3. Untuk memperoleh gelar Sarjana (S1) dalam bidang Ilmu al-Qur‟an dan
Tafsir di Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
E. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam penelitian ini terbagi menjadi dua, yakni manfaat
secara teoritis dan manfaat secara praktis. Penulis merangkumnya sebagaimana
berikut:
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian kitab al-Syāmil Fī Balāghat al-Qur‟ân ini
diharapkan dapat melengkapi karya keilmuan yang berkaitan dengan
penafsiran al-Qur‟an para ulama nusantara di antaranya buku “Literatur
Tafsir Indonesia” yang ditulis oleh Mafri Amir. Selain itu juga bisa menjadi
9
salah satu bahan referensi dalam kajian tafsir, khususnya dalam bidang
balâghah al-Qur‟an.
2. Manfaat Praktis
a. Bagi pengarang kitab. Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi
sumbangan pemikiran dan menjadi salah satu acuan teoritis dalam
pengembangan karya-karya selanjutnya.
b. Bagi pembaca. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan
dan pengetahuan tentang karakteristik penafsiran yang digunakan oleh
para ulama Nusantara.
c. Bagi peneliti yang akan datang. Hasil penelitian ini diharapkan dapat
menjadi pijakan dalam perumusan desain penelitian yang lebih dalam
dan komprehensif.
F. Tinjauan Pustaka
Kajian tentang sejarah dan dinamika penulisan tafsir al-Qur‟an di Nusantara
secara umum telah banyak dilakukan. Berikut ada beberapa penelitian ilmiah yang
penulis baca sehingga terinspirasi melakukan penelitian ini. Kajian-kajain
tersebut, diantaranya :
Skripsi yang membahas tentang kajian ilmu balâghah dan macam-macamnya
(ilmu ma‟âni, badî‟, dan bayân) di antaranya skripsi yang berjudul “Penafsiran
„Ali al-Sâbûni Terhadap Ayat-Ayat Tasybîh Dalam Surat al-Baqarah”.21
Skripsi
ini lebih jauh lagi membahas tentang penafsiran dan ayat-ayat tasybîh menurut
„Ali al-Sabûni yang terdapat dalam surat al-Baqarah, diantaranya : 18 lafadz
21
Hanim Shafiera Binti Shukri, ” Penafsiran Ali Ash-Shabuni Terhadap Ayat-Ayat
Tasybih Dalam Surat Al-Baqarah” (Skripsi UIN Sultan Syarif Kasim, 2014)
10
tasybîh di dalam 17 ayat dalam surat al-Baqarah, enam jenis tasybîh yang terdapat
dalam surat al-Baqarah menurut „Ali al-Sabûni. Kemudian, skripsi yang ditulis
oleh Ahmad Zulkarnaen, “Balâghah al-Tasybîh fî Sûrah al-Baqarah Dirâsah
Tahliliyah Bayâniyah”.22
Dalam skripsi ini, dibahas tentang ayat-ayat yang
mengandung balāghah al-tasybîh dalam QS.al-Baqarah yang ada dalam kajian
ilmu bayan (bayâniyah) pada bab tasybîh. Selanjutnya Neng Siti dalam
skripsinya23
membahas tentang balâghah khususnya faedah kalam khobari dalam
surah Âli-„Imrân.
Kemudian terkait pembahasan tafsir, berikut buku yang berjudul Diskursus
Munasabah al-Qur‟an dalam Tafsir al-Misbah24
yang menjelaskan tentang
bagaimana Quraish Shihab mengemas tafsir al-Misbah. Lebih lanjut tentang
model munasabah al-Qur‟an, peran munasabah sebagai instrumen penafsiran al-
Qur‟an, dan juga tinjauan kritis terhadap konsep dan penerapan munasabah dalam
tafsir al-Misbâh. Kemudian, skripsi yang berjudul “Studi Metode dan Corak
Tafsîr al-Hudâ, Tafsîr Qur‟ân Bahasa Jawi Karya Brigjen (Purn.) Drs. H. Bakri
Syahid,”25
skripsi yang berjudul “Metode dan Corak Penafsiran Imam al-Alusi
Terhadap al-Qur‟ân,”26
skripsi yang berjudul “ Metode dan Corak tafsîr al-Wasîṯ
Karya Wahbah Zuhaili,”27
artikel yang membahas tentang karya tafsir T. M.
22
Ahmad Zulkarnaen, “Balâghah Al-Tasybîh fî Sûrah Al-Baqarah Dirâsah Tahliliyah
Bayâniyah” (Skripsi UIN Sunan Kalijaga, 2010) 23
Neng siti, “Analisis Balaghah tentang Faedah Kalam Khobari dalam Al-Qur‟an (Surah
Ali-Imran)” (Skripsi UIN Suska, 2014) 24
Hasani Ahmad Sa‟id, Diskursus Munasabah Al-Qur‟an dalam Tafsir Al-Misbah
(Jakarta: Amzah, 2015) 25
Abdul Rahman Taufiq, “Studi Metode dan Corak Tafsir Al-Huda, Tafsir Qur‟an
Bahasa Jawi Karya Brigjen (Purn.) Drs. H. Bakri Syahid” (Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah,
2017) 26
Aminah Rahmi Hati HSB, “Metode dan Corak Penafsiran Imam Al-Alusi Terhadap Al-
Qur‟an” (Skripsi UIN Sultan Syarif Kasim, 2013) 27
Shikhkhatul Af‟idaf, “Metode dan Corak tafsir Al-Wasit Karya Wahbah Zuhaili”
(Skripsi UIN Walisongo, 2017)
11
Hasbi al-Shiddieqy,28
dan tesis yang berjudul “Tafsîr al-Qur‟ân al-„Aẕhîm karya
Raden Penghulu Tabsîr al-Anâm Karaton Kasunanan Surakarta (Studi Metode
dan Corak Tafsir)”29
semua penelitian tersebut mengkaji tentang metode dan
corak tafsir dan juga hal-hal yang mempengaruhi penafsiran seseorang, seperti
disiplin ilmu yang dikuasai, pengalaman, kondisi social dan politik, dan lain-lain.
Penulis menyuguhkan tentang metode dan corak penafsiran lengkap dengan latar
belakang penyusunan, komentar para ulama‟, kelebihan dan kekurangan, serta
analisa langsung terkait metode dan corak penafsiran terhadap beberapa ayat al-
Qur‟an.
Berbeda dengan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, dalam
penelitian ini penulis akan menggambarkan tentang deskripsi kitab al-Syâmil fî
Balâghat al-Qur‟ân secara padat dan lengkap baik ditinjau dari metode yang
digunakan oleh pengarang kitab maupun corak balâghah yang menjadi ciri khas
dari kitab ini.
G. Metodologi Penelitian
Penelitian ini adalah penelitian perpustakaan (library research) dari berbagai
literature yang ada, maka data-data akan digali dari perpustakaan dan kemudian
dianalisa. Langkah-langkah yang digunakan adalah sebagai berikut :
1. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari dua macam yaitu:
28
Andi Miswar, Tafsir Al-Qur‟an Al-Majid “Al-Nur” Karya T.M. Hasbi Al-Shiddieqy
(Corak Tafsir berdasarkan Perkembangan Kebudayaan Islam Nusantara), Jurnal Adabiyah vol. XV
Nomor 1/ 2015
29 Nur Hadi, “Tafsir Al-Qur‟an Al-„Adzhim karya Raden Penghulu Tabshir Al-Anam
Karaton Kasunanan Surakarta (Studi Metode dan Corak Tafsir)” (tesis UIN Surakarta, 2017)
12
a. Data Primer
Sebagai data primer dalam penelitian ini adalah kitab al-Syâmil fî
Balâghat al-Qur‟ân yang ditulis oleh M. Afifudin Dimyathi.
b. Data Sekunder
Adapun yang menjadi data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-
buku, dokumen-dokumen/ arsip, majalah, jurnal, skripsi, tesis, disertasi,
dan karya tulis yang membahas tentang ilmu-ilmu al-Qur‟an dan kajian
tafsir secara teoritis.
2. Teknik Pengumpulan Data
Data yang ada dalam penelitian ini diperoleh dari sumbernya dan
dikumpulkan dengan cara pengutipan, baik langsung maupun tidak langsung.
Mengumpulkan rujukan yang membahas tentang macam-macam metode dan
corak yang digunakan oleh para mufasir serta rujukan lain yang mendukung
penelitian ini. Kemudian data tersebut disusun secara sistematis sehingga menjadi
suatu paparan yang jelas dan sesuai dengan rumusan masalah yang berkaitan
dengan judul penelitian.
3. Teknik Analisa Data
Setelah data diperoleh sebagaimana yang diharapkan, kemudian data tersebut
dilakukan analisa dan diklarifikasikan dengan merujuk kepada kitab al-Syâmil fî
Balâghat al-Qur‟ân. Setelah mengetahui pengertian, metode, corak tafsir, dan
pembagian ilmu balâghah, selanjutnya penulis menganalisa kitab al-Syâmil fî
Balâghat al-Qur‟ân untuk mengetahui metode, sumber, dan corak yang
digunakan dalam kitab al-Syâmil fî Balâghat al-Qur‟ân. Adapun buku – buku atau
13
kitab-kitab yang ada kaitannya dengan penelitian digunakan sebagai penyempurna
penelitian ini.
H. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pemahaman penulisan maka penulis kemukakan
sistematika penelitian, yang terdiri dari lima bab:
Bab satu, merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah,
alasan pemilihan judul, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab dua, akan dibahas mengenai biografi M. Afifudin Dimyathi perjalanan
intelektual serta karya-karyanya. Kemudian akan digambarkan secara umum
mengenai kitab al-Syâmil fî Balâghat al-Qur‟ân dari segi latar belakang
penulisannya, berkenaan seputar tujuan penulisan tafsir dan sistematika penulisan.
Bab tiga, meliputi pengertian tafsir, metodologi tafsir, sumber tafsir, dan corak
tafsir. Sekaligus ditambah pembahasan tentang pengertian ilmu balāghah dan
macam-macamnya. Pembahasan dalam bab ini selanjutnya akan dijadikan
landasan teoritis dalam parkatik analisa data dalam bab empat.
Bab keempat, merupakan analisis kitab al-Syâmil fî Balâghat al-Qur‟ân
dengan mengacu pada teori-teori yang telah dipaparkan dalam bab tiga.
Bab kelima, merupakan bab penutup yang memuat hasil penelitian dan saran-
saran.
14
BAB II
PROFIL PENULIS DAN GAMBARAN UMUM
AL-SYÂMIL FÎ BALÂGHAT AL-QUR’ÂN
A. Biografi M. Afifudin Dimyathi
Lahir di Jombang, Jawa Timur 7 Mei 1979. Nama aslinya adalah M. Afifudin
Dimyathi, namun beliau lebih akrab dengan sapaan Gus Awis1. Nama Afifudin
Dimyathi juga merupakan nama kakek dari Gus Awis, nama tersebut diberikan
oleh orang tuanya sejak beliau kecil. Gus Awis merupakan anak ke-4 dari 8
bersaudara, beliau lahir dari sepasang suami istri generasi penerus pengasuh
Pondok Pesantren Darul Ulum2, Peterongan.
3
Ayahnya bernama KH. A. Dimyathi Romly, SH. Dan ibundanya bernama
Dra. Hj. Muflichah Marzuqi, keduanya menjadi motivator sekaligus fasilitator
Gus Awis untuk terus belajar. Namun demikian, keduanya tidak pernah
memaksakan kehendak mereka atas apa yang harus ditekuni oleh anak-
anaknyanya, termasuk Gus Awis. Bahkan mereka berdua memberikan kebebasan
pilihan atas apa yang digemari oleh Gus Awis. Sejak kecil selain mengaji kepada
kedua orangtuanya, Gus Awis juga mengaji kepada guru-guru yang mengajar di
Pesantren Darul Ulum (Jombang) dan Pondok Pesantren Langitan (Tuban).
Seperti anak kecil pada umumnya, Gus Awis kecil sangat gemar bermain catur.
1 Pada penyebutan “M. Afifudin Dimyathi” pada pembahasan setelahnya penulis
konsisten dengan sebutan nama “Gus Awis” 2 Pondok pesantren Darul Ulum (Jombang) yang kini di asuh oleh M. Afifudin Dimyathi
selaku generasi ke empat didirikan pada tahun1885 oleh KH. Tamim Irsyad (Mbah Buyut),
sepeninggal beliau dilanjutkan oleh kakek Gus Awis yaitu KH. M. Romly Tamim, kemudian ayah
Gus Awis yaitu H.A. Dimyathi Romly. 3 Sebagaimana yang disampaikan langsung oleh M. Afifudin Dimyathi kepada penulis
melalui pesan facebook pada 21 Juli 2019
15
Namun pada akhirnya, kegemaran belajar agamalah (termasuk di dalamnya
bidang bahasa Arab) yang memberi motivasi kepada Gus Awis untuk kuliah di
Timur Tengah. Keinginan tersebut sudah muncul sejak beliau sekolah di
Madrasah Aliyah.4
Gus Awis menikah dengan Hj. Laily Nafis, M. Thi pada tahun 2002. Dari
pernikahannya, beliau dikarunia 4 orang anak. Putra pertama lahir di Sudan pada
tahun 2004 dan diberi nama A. Fayroz Abadi, anak kedua lahir pada tahun 2008
dan diberi nama Inaba Kayyisa, anak ketiga lahir pada tahun 2010 dan diberi
nama Nady Sajjad Muhammad, dan anak terakhir lahir pada tahun 2014 dan diberi
nama Alizka Sakhiyya.5
Gus Awis mengatakan bahwa penulisan kitab-kitab seperti ini merupakan
amanah dari Allah, dengan demikian beliau berharap dapat memudahkan para
pelajar dalam memahami ilmu yang ditekuni. Beliau berharap nantinya dapat
menulis kitab-kitab lain yang mungkin tidak hanya fokus pada kajian balâghah
saja. Beliau juga berpesan bahwa dalam hidup ini setidaknya kita harus
memegang 3 prinsip: Pertama, jangan pernah lupa untuk membaca al-Qur‟an dan
mengkhatamkannya, karena dari sanalah awal keberkahan hidup didapatkan.
Kedua, gunakan waktu yang ada untuk menambah ilmu dan pengalaman hidup.
Ketiga, jangan menyia-nyiakan kesempatan untuk membantu orang lain.6
4 Sebagaimana yang disampaikan langsung oleh M. Afifudin Dimyathi kepada penulis
melalui pesan facebook pada 21 Juli 2019 5 Sebagaimana yang disampaikan langsung oleh M. Afifudin Dimyathi kepada penulis
melalui pesan facebook pada 21 Juli 2019 6 Sebagaimana yang disampaikan langsung oleh M. Afifudin Dimyathi kepada penulis
melalui pesan facebook pada 21 Juli 2019.
16
B. Pendidikan dan Karir
Gus Awis mengawali sekolah formalnya pada tahun 1985 di Madrasah
Ibtidaiyah Negeri (MIN) Darul Ulum Rejoso Peterongan dan lulus pada tahun
1991. Kemudian beliau melanjutkan perjalanan studinya di Madrasah Tsanawiyah
Progam Khusus Darul „Ulum Rejoso Peterongan selama tiga tahun dan lulus pada
tahun 1994. Untuk sekolah menengah atas beliau memilih menuntut ilmu di
Madrasah Aliyah Keagamaan Negeri (MAKN) Jember dan lulus pada tahun 1997.
Setamat dari MAKN, Gus Awis masih terus belajar dan menghafal Al-Qur‟an di
Pondok Pesantren Sunan Pandanaran Ngaglik Sleman Yogyakarta yang diasuh
oleh K.H Mufid Mas‟ud sampai tahun 1998.7
Selanjutnya, beliau meneruskan pendidikan S-1 di al Azhar University Mesir
(Fakultas Ushuluddin Jurusan Tafsir dan Ilmu al-Qur‟an) mulai tahun 1998-2002.
Pada tahun 2002 beliau melanjutkan pendidikan S2 di Khartoum International
Institute for Arabic Language di kota Khartoum Sudan dan Lulus tahun 2004
dengan predikat Cum Laude. Berbekal prestasi lulusan S2 terbaik tingkat Asia,
pada tahun yang sama beliau meneruskan pendidikan S3 di al-Neelain University
jurusan Tarbiyah Konsentrasi Kurikulum dan Metodologi Pengajaran Bahasa
Arab dan selesai tahun 2007. Selain itu, sejak tahun 2006 beliau sudah aktif
sebagai dosen di Prodi Pendidikan Bahasa Arab, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan
UIN Sunan Ampel Surabaya dengan mengampu mata kuliah kebahasaan dan
tafsir. Mulai tahun 2007 setelah menyalesaikan program S3, beliau juga turut
mengajar di Program Pasca Sarjana UIN Sunan Ampel dan UIN Maulana Malik
Ibrahim dengan mengampu mata kuliah spesialisasi Linguistik, Sosio-Linguistik,
7 Keterangan ini diperoleh penulis dari CV M. Afifudin Dimyathi (CV ini dikirimkan
langsung oleh M. Afifudin Dimyathi melalui pesan facebook, fb: M Afifudin Dimyathi)
17
Semantik dan Leksikologi, Metodologi Pembelajaran Bahasa Arab dan
Pengembangan Materi Ajar Bahasa Arab. Beliau juga ikut berpartisipasi sebagai
pengajar di Program Pasca Sarjana di IAIN Tulung Agung, IAIN Jember dan
STIT Dalwa Bangil Pasuruan dengan materi bidang kebahasan dan tafsir. Selain
itu, sampai saat ini beliau masih aktif sebagai dosen Pasca Sarjana UIN Sunan
Ampel Surabaya, Sekretaris Komisi Fatwa MUI Cabang Jombang, dosen Pasca
Sarjana IAIN Tulung Agung, Direktur Aswaja Center Jombang, dan Wakil
Direktur Aswaja Center PWNU Jawa Timur.8
C. Karya-karya
Karya yang pernah ditulis oleh Gus Awis adalah Sosiolinguistik (UINSA
Press, 2013) dan beberapa artikel di jurnal-jurnal berbahasa Arab di Indonesia, di
antaranya Jurnal el Jadid dan Jurnal LINGUA UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang. Sedangkan karya-karya yang berbentuk kitab dan berbahasa Arab, di
antaranya:9
1. ‘Ilmu al-Tafsîr: Ushûluhû wa Manâhijuhû (2015, Penerbit Lisan Arabi:
Sidoarjo. 289 halaman)
2. Muhâḏarah fî ‘Ilm Lughah al-Ijtimâ’i (2010, Dar Ulum al Lughawiyah,
Surabaya)
3. Madkhol Ilâ ‘Ilm al-Lughoh al-Ijtimâ’i (2016, Penerbit Lisan Arabi: Malang.
xxx halaman)
8 Keterangan ini diperoleh penulis dari CV M. Afifudin Dimyathi (CV ini dikirimkan
langsung oleh M. Afifudin Dimyathi melalui pesan facebook, fb: M Afifudin Dimyathi) 9 Keterangan ini diperoleh penulis dari CV M. Afifudin Dimyathi (CV ini dikirimkan
langsung oleh M. Afifudin Dimyathi melalui pesan facebook, fb: M Afifudin Dimyathi)
18
4. Safâ al-Lisân fî I’râb al-Qur’ân (2016, Penerbit Lisan Arabi: Sidoarjo. 177
halaman)
5. Mawârid al-Bayân fî ‘Ulûm al-Qur’ân (2016, Penerbit Lisan Arabi: Sidoarjo.
177 halaman)
6. Majma’ al-Bahrayn fî ahâdîs tafsîr min al-Sâhihayn (2016, Penerbit Lisan
Arabi: Sidoarjo. 257 halaman)
7. Irsyâd al-Dârisîn ilâ Ijma’ al-Mufassirîn (2017, Penerbit Lisan Arabi: Malang.
136 halaman)
8. Al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân (2018, Penerbit Lisan Arabi: Sidoarjo. 3 Jilid,
523, 525, dan 587 halaman)
D. Latar Belakang Penulisan al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân
Latar belakang penulisan al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân sebagaimana yang
disampaikan oleh Gus Awis, dimotivasi oleh pertanyaan yang diajukan oleh salah
satu dosen PTAIN di Jawa Timur, yakni terkait kitab Balâghah yang khusus
mengkaji tentang al-Quran. Pertanyaan ini muncul dikarenakan ada mata kulaih
Balâghah al-Qur’ân di program pasca prodi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir IAIN
tersebut. Berhubung pada saat itu beliau tidak mempunyai kitab yang dicari oleh
dosen tersebut, akhirnya pertanyaan itu menjadi inspirasi Gus Awis untuk
menyusun kajian-kajian balâghah yang ada dalam ayat-ayat al-Qur‟an. Dan untuk
mempermudah pencarian kajian tersebut, Gus Awis sengaja memulai kitab yang
disusunnya ayat per ayat mulai surat al-Fâtihah sampai al-Nâs.
Gus Awis berharap, nantinya siapapun yang mencari balâghah sebuah ayat
ia akan dapat menemukannya di kitab al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân. Berbeda
19
dengan kitab lain, yang berfokus pada istilah-istilah balâghah lalu
mencontohkannya dari al-Qur‟an, kitab al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân ini
disusun oleh Gus Awis dengan titik fokus bahasan pada ayat-ayat al-Qur‟an itu
sendiri. Dan dengan tekat yang kuat, beliau mampu untuk menghadirkan
keindahan-keindahan balâghah dari tiap ayat dari al-Qur‟an.
Jadi tujuan utama Gus Awis menyusun kitab al-Syâmil Fî Balâghat al-
Qur’ân adalah untuk memudahkan para pengkaji al-Qur‟an dalam menemukan
keindahan-keindahan uslub dan balâghah dari ayat-ayat al-Qur‟an, sekaligus
sebagai salah satu referensi mata kuliah Balâghah al-Qur’ân secara lebih
spesifik.10
E. Deskripsi kitab al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân
Sumber utama dalam penelitian ini menggunakan kitab al-Syâmil Fî Balâghat
al-Qur’ân, “cetakan pertama”, tahun 2018. Kitab ini penulis dapatkan melalui
salah satu distributor kitab di Jombang, Jawa Timur.
Pada sampul hard cover di bagian paling atas, tertulis al-Syâmil Fî Balâghat
al-Qur’ân (الشاهل في بالغت القراى) . Agak di tengah untuk masing-masing jilid
tertulis; (الجزء االول هي صىرة الفاححت الي صىرة الخىبت) untuk jilid I, ( هي صىرة ثايالجزء ال
) ,untuk jilid II (يىش الي صىرة الضجدة االحزاب الي صىرة الاسالجزء الثالث هي صىرة ) untuk
jilid III. Di bawahnya lagi, dituliskan “DR. H. M. Afifudin Dimyathi Ramli”
(nama pengarang), dan paling bawah dituliskan bahwa beliau menjabat sebagai
pengasuh pondok pesantren Dâr al-„Ulûm Jombang ( خادم العلن بوعهد دار العلىم االصالهي
10
Sebagaimana yang disampaikan langsung oleh M. Afifudin Dimyathi kepada penulis
melalui pesan facebook pada 21 Juli 2019.
20
dan juga dosen Bahasa Arab di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (بجىهباج
Surabaya ( هدرس اللغت العربيت بجاهعت صىاى اهبيل صىرابايا).
Lembar selanjutnya diikuti dengan keterangan kewenangan penerbit yang
telah disesuaikan dengan perlindungan hukum negara. Lalu di bawahnya
disebutkan bahwa cetakan pertama pada tahun 2018. Juga disebutkan Percetakan
offset Penerbit Lisan Arabi, Malang Jawa Timur-Indonesia. Di halaman
setelahnya terdapat kutipan ayat Al-Qur‟an surat al-Baqarah ayat 127 “ ربل حقبا ها
.”اك اج الضويع العلين
Keseluruhan halaman al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân berjumlah 515
halaman (jilid I), 519 halaman (jilid II), 600 halaman (jilid III), belum termasuk
halaman-halaman yang tidak diberi nomor. Pembatas yang digunakan dalam kitab
al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur‟ân menggunakan pita kecil berwarna cokelat.
Keistimewaan dari kitab ini adalah kata pengantarnya. Meskipun kitab ini
ditulis oleh warga negara Indonesia, namun dua Profesor Linguistik Timur
Tengah berkenan memberikan sambutan kata pengantar. Prof. Dr. Ahmad
Darwish Ibrahim Muhammad selaku guru besar balaghoh dan kritik sastra di
Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir dan Prof. Dr. Abdurrohim Muhammad Al-
Kurdi selaku guru besar kritik sastra modern di Universitas Kanal Suez. Kedua
pakar linguistik inilah yang secara khusus memberi pengantar kitab ini.
Kata sambutan pertama untuk al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân yang
diberikan oleh Prof. Dr. Ahmad Darwish Ibrahim Muhammad, sebagian isinya
adalah sebagai berikut:
“Kitab al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân karya M. Afifudin Dimyathi
selaku dosen Universitas Sunan Ampel, Surabaya ini disusun untuk
mempermudah para pelajar dalam mempelajari bahasa Arab. Selain itu agar
para pembaca dapat merasakan sisi keindahan ilmu balâghah dalam al-
21
Qur‟an. Di dalam kitabnya, M. Afifudin Dimyathi bersandar kepada qirâ’ah-
qirâ’ah yang bagus dari para ulama terdahulu. Yang pastinya telah
disesuaikan dengan pemahaman para pelajar yang mempelajari bahasa Arab
dan balâghah. Seperti halnya seorang qâri’ yang menyesuaikan diri dengan
sifat yang umum.”11
Kemudian pada sebagian kata sambutan Prof. Dr. Abdurrohim Muhammad
Al-Kurdi, beliau menuliskan:
“Kemudian muncullah M. Afifudin Dimyathi yang memperlajari kitab-
kitab tersebut dengan baik, sehingga mampu untuk menuai dan mengurai sisi
kebahasaan dari ayat-ayat al-Qur‟an mulai dari surat pertama al-Fâtihah
sampai surat terakhir al-Nâs. Ia menulisnya sesuai dengan urutan dalam tartib
mushaf Usmani dengan segala kemampuannya. Semoga beliau mendapatkan
pahala atas usahanya tersebut. Dalam penyusunan tema, beliau dengan cermat
menggunakan istilah kebahasaan yang kemudian diulas kembali melalui
catatan kaki. Inilah yang dinamakan dengan suatu penelitian keilmuan yang
baik dan benar. Sangat patut untuk disyukuri karena bukan hanya sekedar
mengkaji bahasa Arab melainkan secara khusus mengkaji tentang keaslian
bahasa.”12
Pada halaman selanjutnya terlampir muqaddimah kitab yang ditulis oleh M.
Afifudin Dimyathi:
“Setelah itu (shalawat dan salam), perlu diketahui bahwa sebaik-baik
perbuatan yang dilakukan oleh manusia untuk menghabiskan umur dan waktu
mereka adalah berkhidmah kepada al-Qur‟an. Karena hal tersebut tidak akan
mendatangkan sebuah kebathilan dari arah manapun (baik dari sisi Allah
maupun makhluk-Nya). Dan saya meyakini keagungan kitab Al-Qur‟an ini
sebagai mukjizat. Oleh karenanya, saya ingin mengawali pembelajaran al-
Qur‟an ini di bidang Balâghah.
Metode yang saya gunakan dalam mengarang kitab ini adalah tahlili,
dengan banyak membaca dan mencari ayat-ayat al-Qur‟an untuk mencari sisi
balâghahnya baik bayan, badi‟, maupun ma‟ani. Referensi-referensi yang
saya gunakan dalam kitab merujuk pada kitab-kitab terdahulu yang
terpercaya. Sesuai urutan ayat dan contoh-contoh yang agung di dalam
mushaf, sebagaimana yang telah dibukakan oleh Allah dalam ilmu balâghah.
Niat saya menulis kitab ini adalah untuk menunjukkan sisi kebahasaan ayat-
ayat al-Qur‟an secara sederhana dan tidak bertele-tele dan tentunya berbeda
dengan cara penyajian balâghah pada zaman dahulu. Hal ini dikarenakan
11
Ahmad Darwis Ibrahim Muhammad, “Sambutan Ketua bidang Balaghah di Universitas
Dar al‟Ulum, Mesir pada Penerbitan al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân”, dalam al-Syâmil Fî
Balâghat al-Qur’ân. 12
Abd al-Rahim Muhammad al-Kurdi “Sambutan Ustadz al-Naqd wa al-Adab al-‘Arabî
al-Hadîs di Universitas Qanât al-Swîs, Mesir Penerbitan al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân”, dalam
al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân.
22
balâghah dalam al-Qur‟an memiliki banyak cabang. Dan saya berharap agar
balâghah yang ada di dalam al-Qur‟an dapat membuahkan hasil yang terlihat.
Dan untuk ini saya berniat untuk menyajikan pembahasan secara lebih mudah
dan gamblang.”13
Kitab ini diakhiri dengan kata penutup (khatimah) yang isinya sebagai
berikut:
“Segala puji hanya bagi Allah Swt Dzât yang telah memberi petunjuk
kepadaku untuk menyempurnakan penulisan kitab ini, dan dengan ini pula
saya berharap datangnya riḏâ dari Allah baik berupa pahala maupun ampunan
dari-Nya. Saya memulai mengumpulkan penulisan kitab ini pada bulan
Jumâd al-Tsânî 1448 H dan menyelesaikannya pada bulan Ramâḏan 1449 H.
Saya juga memohon kepada Allah agar menjadikan kitab ini sebagai sesuatu
yang murni dari-Nya dan memaklumi atas segala keterbatasan dan
kekuranganku. Dan semoga kitab ini dapat bermanfaat bagi kaum muslimin.
Dan juga agar menjadikannya sebagai tambahan timbangan kebaikan bagiku,
kedua orang tuaku, kakek nenekku, guru-guruku, dan anak-anakku kelak di
hari kiamat. Sungguh Allah maha mendengar lagi maha dekat. Semoga
limpahan rahmat dan keselamatan senantiasa terlimpahkan kepada Nabi
Muhammad Saw, keluarga dan sahabat-sahabat beliau. Dan sebagai penutup,
saya mengutip dari firman Allah Swt dalam surat al-Saffât ayat 182 (Maha
suci Tuhanmu, Tuhan yang maha perkasa dari sifat yang mereka katakan.
Dan selamat sejahtera bagi para rasul. Dan segala puji bagi Allah Tuhan
seluruh alam.).”14
Bagian akhir kemudian diisi dengan “كشاف الوىضىعاث” (Glosarium) yang
berisikan keterangan lengkap dari istilah-istilah kebahasaan yang digunakan
dalam kitab ini. Istilah-istilah tersebut disusun sesuai urutan abjad dalam huruf
hijaiyah yang jumlah keseluruhannya adalah 194 istilah.15
Selanjutnya mengenai “Daftar isi”, diletakkan di bagian akhir di masing-
masing kitab. Di dalamnya dicantumkan nama-nama surat yang diteliti unsur
13
“Muqaddimah”, dalam M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h.
kha‟ 14
“Khatimâh”, dalam M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 563 15
“Kasyâf al-Mauḏu’ât ”, dalam M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-
Qur’ân, h. 564-590
23
balâghahnya sekaligus nomor panggil yang tentunya juga ditulis dengan angka
Arab. 16
F. Karakteristik al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân
Karakteristik penyajian yang dimaksud dalam bab ini adalah bentuk
penyusunan dan rangkaian penulisan yang ditampilkan dalam al-Syâmil Fî
Balâghat al-Qur’ân. Ini dimaksudkan untuk menemukan karakteristik maupun
ciri khusus dari kitab ini.
Kitab al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân ditulis runtut berdasarkan mushaf
Usmani; dari surat al-Fâtihah (1) sampai dengan surat al-Nâs (114). Menurut
tampilan muka halaman kitab ini, dapat dilihat: Pertama, di awal setiap surat
hanya disebutkan nama surat tidak disertai dengan nomor urut surat, jumlah ayat,
kelompok makkiyyah/madâniyah, dan urutan surat saat diwahyukan. Misalnya
surat pertama, hanya dituliskan nama surat (صىرة الفاححت) setelahnya langsung
dituliskan ayat-ayat surat tersebut tanpa disertai penyebutan nomor urut surat,
jumlah ayat, kelompok makkiyyah/madâniyah, dan urutan surat saat
diwahyukan.17
Kedua, teks ayat al-Qur‟an dituliskan di bawah nama surat. Untuk surat-surat
panjang hanya dituliskan beberapa ayat, sedangkan untuk surat pendek dituliskan
satu surat penuh. Ketiga, penjelasan ayat-ayat al-Qur‟an yang merupakan
pembahasan utama ditampilkan dengan menyebutkan sisi kebahasaan dari
masing-masing kosakata. Keempat, istilah-istilah kebahasaan tersebut kemudian
dijelaskan secara singkat dalam bentuk catatan kaki (footnote). Kelima, untuk
16
“Fahras al-Juz’u al-Tsalits ”, dalam M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-
Qur’ân, h. 597-600 17
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 2
24
memulai penjelasan ayat Gus Awis selalu menggunakan kata “في قىله حعالى ”.
Contoh dalam penjelasan surat al-Fâtihah, setelah menuliskan seluruh ayat dari
surat tersebut yaitu ayat 1-7 beliau memulai penjelasan dengan menggunakan kata
“ حين في قىله حعالى ي ٱلره حو ٱلره .” بضن ٱلله18
Beberapa ciri khas yang menjadikan al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân sebagai
kitab yang unik, salah satunya adalah penggunaan bahasa Arab oleh Gus Awis
dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an dan inilah yang menjadi nilai plus karena
ditulis oleh orang Indonesia. Selain itu fokus bahasan tentang balâghah
merupakan spesifikasi orang-orang Arab bukan orang Indonesia. Dengan
demikian kitab ini layak untuk dipertimbangkan sebagai salah satu rujukan dalam
skala internasional. Corak kebahasaan yang sangat kental dan juga pengutipan
sumber-sumber keilmuan dari ulama-ulama terpercaya menjadi faktor penting
yang membedakan kitab ini dengan kitab-kitab kebanyakan.
18
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 2
25
BAB III
KAJIAN TAFSIR DAN BALÂGHAH
Nilai keindahan sastra yang terkandung dalam suatu ungkapan
merupakan ruh dari pada ungkapan itu sendiri. Tak akan ada nilai lebih
dari satu ungkapan atas ungkapan lainnya jika tidak terdapat sisi
keindahan dalam ungkapan tersebut. Sebagai bagian bahasa pada
umumnya, ayat-ayat al-Qur‟an tentu saja terdiri atas sebuah atau
serangkaian kalimat, yang terdiri dari induk kalimat dan anak kalimat atau
klausa, frase, dan kata. Interpretasi linguistik meliputi interpretasi
gramatikal yang mengacu kepada ketentuan-ketentuan bahasa Arab dan
interpretasi retorikal yang menggunakan kaidah-kaidah ilmu balâghah
yang terdiri atas ilmu ma‟âni, bayân, dan badȋ‟ sebagai sandarannya.1
Jadi, bagi siapa saja yang ingin berinteraksi dengan al-Qur‟an (al-
Mu‟âmalah bi al-Qur‟ân) dalam bentuk upaya menafsirkannya, maka
dipersyaratkan bagi orang tersebut untuk memahami secara komprehensif
sisi ke-balâghah-annya agar benar-benar memiliki modal yang memadai
dalam menangkap pesan-pesan yang terkandung di balik redaksinya yang
fasih,bâligh, dan tentu saja jawâmi‟ al-kalȋm
.
1 Nanang Gozali, Metodologi Ilmu Tafsir (Yogyakarta:Teras, 2005), h.84-90.
26
A. Pengertian dan Sumber Penafsiran
Tafsir secara etimologi mengikuti wazan (taf‟ȋl) yang berasal dari kata
al-fasr yang berarti menjelaskan, menyingkap dan menampakkan atau
menerangkan makna yang abstrak kata kerjanya mengikuti wazan ḏaraba-
yaḏribu dan nasara-yansuru. Dikatakan fasara (al-syai‟a) yafsiru dan
yafsuru, fasran dan fasarahû artinya menjelaskan. Kata al-tafsȋr dan al-
fasr mempuyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Sedang
kata al-tafsȋr berarti menyingkapkan maksud sesuatu lafadz yang musykil,
sulit. Pengertian tafsir dengan makna di atas, sesuai dengan firman Allah:2
3 “Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa)
sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang
benar dan yang paling baik penjelasannya.”
Kata tafsir juga berarti menjelaskan (al-îḏâh), menerangkan (al-
tibyân), menampakkan (al-iẕhâr), menyibak (al-kasyf), dan merinci (al-
tafsîl). Kata tafsir terambil dari kata al-fasr yang berarti al-ibânah dan al-
kasyf yang keduanya berarti membuka sesuatu yang tertutup. Selain yang
telah disebutkan, sesungguhnya masih ada kata lain yang searti dengan
tafsir yaitu kata al-syarh (penjelasan/ komentar). Sebagian ulama, di
antaranya Shubhi al-Shalih, menyebut Nabi Muhammad Saw. sebagai
2 Manna Khalil Al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur‟an, terj. Mudzakkkir As
(Jakarta: Litera Antar Nusa, 2001), h. 455. 3 Al-Furqan ayat 33
27
syarh al-Kitâb (penyarah al-Qur‟an) ketika menyatakan bahwa tafsir al-
Qur‟an telah tumbuh sejak masa awal Nabi Muhammad Saw. Dan
beliaulah orang pertama yang memberikan syarh untuk kitab Allah.4
Sedangkan makna tafsir menurut istilah yang dijelaskan oleh al-
Zarkasyi dalam kitabnya al-Burhân yaitu suatu pengetahuan yang dengan
pengetahuan itu dapat digunakan untuk memahami kitabullah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, menjelaskan maksud-
maksudnya, mengeluarkan hukum-hukumnya dan hikmah-hikmahnya.5
Sedangkan menurut al-Kilby dalam al-Tashil berkata: tafsir menurut
bahasa berarti menerangkan dan menyatakan, sedangkan tafsir menurut
istilah adalah mensyarahkan al-Qur‟an, menerangkan maknanya dan
menjelaskan apa yang dikehendaki dengan nasnya.6
Kemudian guna mendukung pemahaman akan ayat-ayat yang akan
ditelitinya seorang mufassir harus memiliki lima belas ilmu yaitu: ilmu al-
Lughah, ilmu Nahw, ilmu Sarf, ilmu al-Isytiqâq, ilmu al-Balâgah dan
ketiga komponennya, ilmu al-Qirâ‟at, ilmu Usul al-Dîn, ilmu Usul al-
4 Subhi Al-Sâlih, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur‟ân (Beirut-Lubnan: Dar al-„ Ilm li
al-Malayin, 1988), h. 289. 5 Mashuri Sirajuddin Iqbal, A. Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung:
Angkasa, 1989), h. 86. 6Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-
Qur‟an dan Tafsir (Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 2009) Cet 3, h. 170.
28
Fiqh, ilmu Asbâb al-Nuzûl, ilmu al-Qasas, ilmu al-Nâsikh wa al-
Mansukh, al-Ahâdits al-Mubayyinah, dan ilmu al-Mauhibah.7
Perlu diketahui bahwa dalam proses penafsiran seorang mufassir tidak
akan terlepas dari sumber pengambilan tafsirnya, yang dikelompokkan
menjadi dua bagian, yakni penafsiran bi al-ma‟tsûr dan penafsiran bi al-
ra‟yi. Penafsiran bi al-ma‟tsûr muncul lebih awal dibandingkan penafsiran
bi al-ra‟yi.8 Kata al-ma‟tsûr adalah isim maf‟ul (objek) dari kata atsara-
ya‟tsiru/ ya‟tsuru-atsran-wa-atsaratan yang secara etimologis berarti
menyebutkan atau mengutip (naqala) dan memuliakan atau menghormati
(akrama). Al-atsâr juga berarti sunnah, hadis, jejak, bekas, pengaruh, dan
kesan. Jadi, kata-kata al-ma‟tsûr, al-naql/ al-manqûl, dan al-riwâyah pada
hakikatnya mengacu pada makna yang sama yaitu mengikuti atau
mengalihkan sesuatu yang sudah ada dari orang lain atau masa lalu
sehingga tinggal mewarisi dan meneruskan apa adanya.9
Muhammad „Ali al-Sabûni menjelaskan tafsir bi al-ma‟tsûr berikut
macam-macamnya:
7 Lihat keterangannya dalam al-Zahabi, Al-Tafsîr wal Mufassirûn (Maktabah
Mash‟ab bin Umair al-Islamiyah, 2004), h. 190-191 8 Manna Khalil al-Qattan, Mabâhits fî „Ulûm al-Qur‟ân (Kairo: Maktabah
Wahbah, 2007), h. 342. 9 Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an, h. 333.
29
ال ع ت للا اد ر م ل ان ي ب ة اب ح الص م ل ك و ا ة ن الس و ا ن آر لق ا ف اء ا ج م و ى ة اي و لر ب ر ي س ف لت ا و ا ن آر ق ل ب ن آر لق ا ر ي س ف ت ن و ك ي ن ا ا م إ ر و ث أ م ال ر ي س ف الت . ف ة ي و ب الن ة ن لس ب ن آر ق ال ي س ف ت
ر القرآن ر القرآن بلس ن ة الن بوي ة ت فسي الص حابة ن ع لمأث ور ب او ت فسي
Tafsir bi al-ma‟tsûr ialah tafsir yang terdapat dalam al-Qur‟an, atau
al-Sunnah atau pendapat sahabat, dalam rangka menerangkan apa yang
dikehendaki Allah Swt. tentang penafsiran al-Qur‟an berdasarkan al-
Sunnah al-Nabawiyah. Dengan demikian, tafsir bi al-ma‟tsûr adakalanya
menafsirkan al-Qur‟an dengan al-Qur‟an, menafsirkan al-Qur‟an dengan
al-Sunnah al-Nabawiyah atau menafsirkan al-Qur‟an dengan pendapat
yang dikutip dari sahabat.10
Sebagai contoh tafsir yang menggunakan bentuk penafsiran bi al-
ma‟tsûr adalah Tafsȋr al-Qur‟ȃn al-„Aẓȋm, karangan Abû al-Fidȃ‟ Ismȃ‟il
ibn Katsȋr al-Qarsyi al-Dimasyqi (terkenal dengan sebutan Ibn Katsȋr)
sebagai mufassir yang menggunakan pendekatan bi al-ma‟tsûr, Ibn Katsir
mengawalinya dengan mencari penjelasan dari al-Qur‟an itu sendiri; jika
tidak ditemukan, beliau mencari di beberapa hadis. Sementara yang terkait
dengan makna al-Qur‟an, Ibn Katsir mendasarkan penjelasannya pada
bahasa Arab dan syair-syair Arab. Beliau juga menuturkan asbȃb al-nuzûl
dengan redaksi yang mudah dan jelas.11
10
Muhammad „Ali Al-Sâbuni, al-Tibyân fî „Ulûm al-Qur‟ân (Dimasyq:
Maktabah al-Ghazali, 1401 H/ 1981 M), h. 63. 11
Acep Hermawan, „Ulumul Qur‟an: Ilmu Untuk Memahami Wahyu (Bandung :
Remaja Posdakarya, 2011), h. 114
30
Selanjutnya tafsir bi al-Ra‟yi, kata ra‟yun berasal dari kata ra‟ȃ-yar‟ȋ-
ra‟yan-wa-ru‟yatan yang berarti melihat (basara), mengerti (adraka),
menyangka, mengira atau menduga (hasiba). Kata al-ra‟yu juga bisa
diartikan dengan i‟tikad, akal pikiran, ijtihad, dan bahkan qiyȃs (analogi).
Itulah sebabnya mengapa tafsir bi al-ra‟yi dinamakan pula dengan tafsir bi
al-dirȃyah/ bi al-ma‟qûl/ bi al-ra‟yi/ bi al-ijtihȃd sebagaimana para
pengikut ahli ra‟yi (ashab al-ra‟yi) dalam dunia fikih (hukum islam)
umum juga dikenal dengan sebutan ashab al-qiyȃs (para pengikut/
pengguna qiyȃs).12
Tafsir bi al-ra‟yi ialah tafsir yang dalam menjelaskan maknanya,
mufassir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan
(istinbȃṯ) yang didasarkan pada ra‟yu (akal) semata.13
Apabila syarat-
syarat yang diperlukan dalam menafsirkan al-Qur‟an telah dimiliki oleh
seorang mufassir maka tidak ada halangan baginya untuk berusaha
menafsirkan al-Qur‟an dengan al-ra‟yi, bahkan tidak salah kalau
dikatakan bahwa al-Qur‟an sendiri mengajak untuk berijtihad dalam
memahami ayat-ayat-Nya dan memahami ajaran-ajaran-Nya.
Contoh kitab tafsir yang menggunakan bentuk tafsir bi al-ra‟yi adalah
kitab tafsir al-Bahr al-Muhȋṭ karangan Abû Hayyan al-Andalusi al-
Gharnaṯi, dalam kitabnya sebelum menafsirkan ayat terlebih dahulu
12
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an, h. 350. 13
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an, terj. Mudzakir AS, h.488.
31
beliau menjelaskan segi bahasa dan sastranya. Kemudian menuturkan
asbâb al-nuzûl, jika memang ada, nâsikh-mansûkh, munâsabah, selain itu
beliau juga mengutip beberapa pendapat ulama (baik salaf maupun khalaf)
yang pasti tidak ada satu perkataan pun dari mereka kecuali terlebih
dahulu dibahas dari segi tata bahasanya secara detil dan mendalam dan
diakhiri dengan penjelasan secara khusus, sebagai satu kesimpulan tentang
ilmu bayân dan badȋ‟.14
B. Metode Penafsiran
Untuk menghasilkan suatu produk penafsiran yang dapat
dipertanggung jawabkan, seorang mufassir harus menggunakan metode15
yang memadai. Dilihat dari sudut sistematika penyusunan tafsirnya, Al-
Farmawi membagi metode tafsir yang digunakan oleh seorang mufassir
dalam menafsirkan al-Qur‟an menjadi empat macam metode:16
14
Acep Hermawan, „Ulumul Qur‟an: Ilmu Untuk Memahami Wahyu,h.115. 15
Kata “Metode” berasal dari bahasa Yunani, methodos, yang berarti cara atau
jalan dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method (Nashrudin Baidan, Metode
Penafsiran Al-Qur‟an Terhadap Ayat-Ayat yang Beredaksi Mirip, Cet 1 (Yogyakarta:
Pustaka pelajar, 2002, h. 54). Sedangkan dalam bahasa Arab menerjemahkannya dengan
thariqat dan manhaj, yang berarti cara (Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-
Munawwir, edisi II (Yogyakarta: Pustaka Progressif 1997, h. 489). Sedangkan metode
dalam bahasa Indonesia berarti; cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai
maksud; cara kerja yang tersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna
mencapai suatu maksud dalam ilmu pengetahuan dan lain sebagainya (Anton M.
Mulyono, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Balai Pustaka: Jakarta, 1990, h. 173). 16
Rosihon Anwar, Ilmu Tafsir (Bandung: Pustaka Setia, 2002) Cet. 1, h. 159
32
1. Metode Tahlîlî (Deskriptif-Analitis)
Secara harfiyah, al-tahlîlî berarti menjadi lepas atau terurai. Al-
Farmawy menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan al-tafsȋr al-tahlîlî
ialah metode penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an yang dilakukan dengan cara
mendiskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung dalam ayat-ayat al-
Qur‟an berdasarkan tata tertib susunan/ urut-urutan surat-surat dan ayat-
ayat al-Qur‟an.17
Saiful Amin Ghafur menambahkan bahwa metode tahlîlî (analitis),
artinya menjelaskan kandungan ayat-ayat al-Qur‟an dari seluruh
aspeknya.18
Dengan metode ini, mufassir menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an
dengan mengikuti susunan mushaf, ayat per ayat, surat per surat, meneliti
aspeknya dan menyingkap seluruh maksudnya (uraian makna kosa kata,
makna kalimat, maksud ungkapan, munâsabah, dan asbâb nuzûl). Tidak
jarang, metode ini juga menyertakan perkembangan budaya generasi Nabi
sampai Tâbi‟în, bahkan dalam beberapa tafsir modern disertakan pula
contoh-contoh kontektualitas ayat dengan problema kehidupan yang
sedang berlangsung.19
Untuk lebih jelasnya, contoh kitab tafsir yang menggunakan metode
al-tahlîlî ialah Jâmi‟al-Bayân „an Takwil Ayât al-Qur‟ân, karangan Ibn
17
Abd al Hayyi al-Farmawy, al-Bidayah fi al-Tatfsir al-Maudlu‟i (Dirasah
Manhajiyyah Maudhu‟iyah: t.k., t.p.), h.7. 18
Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufassir (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008), h. 18. 19
Ending Soetari Adiwikarta, Pengantar Ilmu Tafsir Al-Qur‟an, h. 160
33
Jarîr al-Ṯabari.20
Dalam kitab tafsirnya beliau menafsirkan ayat demi ayat
sesuai dengan cara mengelompokkan ayat (2 atau 3 ayat), selanjutnya
beliau mengidentifikasi persoalan atau beberapa masalah yang berkaitan
dengan hukum ayat tersebut dengan mengatakan: yang pertama, yang
kedua, dan seterusnya hingga selesai.21
Metode al-tahlîlî tentunya mempunyai kekurangan dan kelebihan.
Adapun kelebihan metode al-tahlîlî adalah :
a. Ruang lingkup yang sangat luas. Maksudnya, metode ini dapat
digunakan oleh mufasir dalam dua bentuknya : Ma‟tsûr dan ra‟yi.
b. Memuat berbagai ide. Maksudnya, mufasir relatif mempunyai
kebebasan dalam memajukan ide-ide dan gagasan-gagasan baru
dalam penafsiran al-Qur‟an.
Sedangkan kekurangan metode al-tahlîlî adalah :
a. Menjadikan petunjuk al-Qur‟an parsial. Artinya, metode analitis juga
dapat membuat petunjuk al-Qur‟an bersifat parsial atau terpecah-
pecah, sehingga terasa seakan-akan al-Qur‟an memberikan pedoman
secara tidak utuh dan tidak konsisten karena penafsiran yang
diberikan pada suatu ayat berbeda dari penafsiran yang diberikan pada
ayat-ayat lain yang sama dengannya.
20
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an, h.380. 21
Faizah Ali Syibromlisi & Jauhar Azizy, Membahas Kitab Tafsir Klasik-
Modern, h. 3
34
b. Masuknya pemikiran Israiliyyat. Dikarenakana metode al-tahlîlî tidak
membatasi mufasir dalam mengemukakan pemikiran-pemikiran
tafsirnya, maka berbagai pemikiran dapat masuk didalamnya, tidak
terkecuali pemikiran Israiliyyat.
2. Metode Ijmâli
Metode ijmâli adalah cara menafsirkan al-Qur‟an dengan
mengemukakan makna global (mujmal),22
tanpa uraian-uraian panjang
lebar,23
dan berdasarkan urutan bacaan dan susunan al-Qur‟an.24
Dapat
dikatakan bahwa metode ini adalah metode yang pertama kali muncul dan
digunakan dalam keilmuan tafsir al-Qur‟an. Secara harfiah, kata ijmâli
berasal dari ajmala yang berarti menyebutkan sesuatu secara tidak
terperinci. Maka tafsir ijmâli dapat diartikan kepada penjelasan maksud
ayat al-Qur‟an secara umum dengan tidak memperincinya, atau penjelasan
singkat tentang pesan-pesan Ilâhi yang terkandung dalam suatu ayat.25
Bentuk lain dari penggunaan metode ijmâli dalam karya tafsir
Indonesia, maraknya pada sekitar tahun 1960-an. Bentuk tafsir al-Qur‟an
lebih terfokus pada kualitas terjemah ayat-ayat al-Qur‟an sehingga
22
M. Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir Indonesia, h. 134. 23
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an (Jakarta: Rajawali Pers, 2013),
h.381. 24
Anshori, Ulumul Qur‟an: Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan (Jakarta:
Rajawali Pers, 2013), h. 207. 25
Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufassir, h. 18.
35
penafsirannya lebih sedikit dipaparkan. Seperti Tafsȋr Qur‟ân karya Zayn
al-Dȋn Hamidy dan Fakhr al-Dȋn, al-Furqân: Tafsȋr Qur‟ân karya Ahmad
Hassân, dan Tafsȋr Qur‟ân Karȋm karya Mahmûd Yûnus. Ketiga karya
tafsir tersebut memiliki bentuk penafsiran yang diletakkan dalam bentuk
catatan kaki (footnote), umumnya disusun di bagian paling bawah tulisan
halaman, terpisah dari teks ayat al-Qur‟an dan terjemahnya. Dan juga
tidak semua ayat dari Al-Qur‟an ditafsirkan.26
3. Metode Komparatif
Secara harfiah, muqâran berarti perbandingan. Secara istilah ialah
suatu metode atau teknik menafsirkan al-Qur‟an dengan cara
membandingkan pendapat seorang mufassir dengan mufassir lainnya
mengenai tafsir sejumlah ayat.27
Muhammad Amin Suma mengatakan:
“al-tafsȋr al-muqâran ialah tafsir yang dilakukan dengan cara
membandingkan ayat-ayat al-Qur‟an yang memiliki redaksi berbeda
padahal isi kandungannya sama, atau antara ayat-ayat yang memiliki
redaksi yang mirip padahal isi kandungannya berlainan. Juga termasuk di
dalamnya menafsirkan ayat-ayat al-Qur‟an yang selintas tinjau tampak
26
Howard M. Federspiel, Popular Indonesian Literature of The Qur‟an (New
York: Cornell Modern Indonesian Project, 1994), h. 58-61. Lihat juga Mafri Amir dan
Lilik Ummi Kultsum, Literatur Tafsir Indonesia (Ciputat: Litbang UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2011), h. 66, 99-102, dan 121. 27
Kadar Muhammad Yusuf, Studi al-Qur‟an (Jakarta: Hamzah, 2010) Cet. 2
36
berlawanan dengan al-hadis, padahal dalam hakikatnya sama sekali tidak
bertentangan”.
Agak berbeda dengan metode-metode tafsir lainnya yang memiliki
banyak contoh, kitab tafsir yang secara spesifik menggunakan al-tafsȋr al-
muqâran relativ langka. Di antaranya adalah:
a. Durrat al-Tanzȋl wa Qurrat al-Takwȋl (Mutiara Al-Qur‟an dan
Kesejukan al-Takwil), karya al-Khâtib al-Iskafi (w. 420 H/1029 M);
b. Al-Burhân fi Tawjȋh Mutasyâbih Al-Qur‟ân (Bukti Kebenaran dalam
Pengarahan Ayat-ayat Mutasyabih Al-Qur‟an), karangan Taj al-
Qarra‟ al-Kirmani (w. 505 H/1111 M).28
4. Metode Maudlû‟i
Dr. Musṯafa Muslim menjelaskan definisi tafsîr maudlû‟i sebagai
berikut:
ا ر ي س ف لت ا ا ي ر لك ا ن آر لق ا اي ف ث ح ب ي م ل ى : ع ع و ض و ل
ع ج ق ي ر ط ن ع ة اي غ و ا ن ع م ة د ح ت ل
ا ا ت ي أا ه ط ب ر ا و ى ر اص ن ع اج ر خ ست ا ا و اى ن ع م ان ي ب ل ة ص و ص م ة ئ ي ى ى ل ا ع ه ي ف ر ظ الن ، و ة ر ف ت ل
ع ام ج ط ب ر ب
Tafsîr maudlû‟i ialah tafsir yang membahas tentang masalah-masalah
al-Qur‟an yang memiliki kesatuan makna atau tujuan dengan cara
menghimpun ayat-ayatnya untuk kemudian dilakukan analisis terhadapnya
28
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an, h.390.
37
(dengan cara dan syarat tertentu). Dengan tujuan menjelaskan maknanya
dan mengeluarkan unsur-unsurnya serta menghubung-hubungkannya
dengan korelasi yang bersifat komprehensif.29
Dapat dikatakan bahwa metode maudlû‟i (tematik) ialah suatu cara
untuk menafsirkan ayat al-Qur‟an tidak berdasarkan atas urutan ayat dan
surat yang terdapat dalam mushaf, tetapi berdasarkan masalah yang dikaji.
Artinya, menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an dengan mengacu pada satu
pokok bahasan tertentu. Keuntungan menggunakan metode tematik adalah
membuat pemahaman yang dihasilkan lebih utuh dan kajiannya lebih
sistematis. Persoalan dapat dikupas secara tuntas dan memungkinkan
pemahaman baru.30
Tafsir yang termasuk kategori ini misalnya, Al-Insa fi Al-Qur‟ân dan
Al-Mar‟ah fi Al-Qur‟ân; keduanya karangan Mahmûd al-„Aqqâd dan Al-
Ribâ fi Al-Qur‟ân karangan al-Maudûdi. Sesuai dengan namanya tematik,
maka yang menjadi ciri utama dari metode ini adalah menonjolkan tema,
judul atau topik pembahasan.31
29
Musthafa Muslim, Mabahits fi al-Tafsir al-Maudhu‟i (Damsyiq-Siria: Dar al
Qalam, 1410 H/ 1989 M), h. 16. 30
Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufassir, h. 18. 31
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an, h.393
38
C. Corak Penafsiran
Corak penafsiran yang dimaksud dalam hal ini adalah bidang
keilmuan yang mewarnai suatu kitab tafsir. Hal ini terjadi karena mufasir
memiliki latar belakang keilmuan yang berbeda-beda, sehingga tafsir yang
dihasilkannya pun memiliki corak sesuai dengan disiplin ilmu yang
dikuasainya.32
Dalam buku „Ulûm al-Qur‟ân karya Acep Hermawan. Beliau
mengelompokkan ayat-ayat al-Qur‟an berdasarkan isinya, ditemukan
sejumlah corak penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an seperti tafsîr sufi, tafsîr
fiqhi, tafsîr falsafi, tafsîr „ilmi dan tafsîr al-adâb al-ijtimâ‟i. Selain 5 corak
tersebut, Muhammad Quraish Shihab menambahkan satu corak
penafsiran yang dikenal luas dewasa ini, yakni corak sastra bahasa.33
1. Tafsir Bahasa dan Sastra
Corak tafsir bahasa dan sastra adalah tafsir yang di dalamnya
menggunakan kaidah-kaidah linguistik. Menurut M.Quraish Shihab corak
ini muncul karena banyaknya orang-orang non-Arab yang masuk Islam di
saat itu. Dan karenanya juga dirasa perlu oleh masyarakat Arab untuk
menjelaskan kandungan Al-Qur‟an dari aspek sastra. Hal ini dilakukan
dengan adanya analisis kebahasaan terhadap asal kata, bentuk lafadz,
32
Acep Hermawan, „Ulumul Qur‟an: Ilmu Untuk Memahami Wahyu,h.115 33
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur‟an (Bandung: Mizan, 2014), h. 107-
108.
39
penjelasan nahwu, saraf, qirâ‟at, menggunakan bait-bait sya‟ir Arab, dan
perkembangan bahasa.34
Corak tafsir ini pada masa klasik diwakili oleh Zamakhsyari dengan
Tafsirnya al-Kasyâf, dalam kitabnya beliau memulai dengan menyebutkan
nama surah, termasuk makkiyah dan madaniyah-nya, lalu dijelaskan
maknanya. Jika terdapat nama-nama lain, maka hal itu juga disebutkan
dengan disertai penjelasan keutamaannya. Kemudian memasukkan
penjelasan tentang ragam bacaan, kebahasan, nahwu, sharaf, bentuk-
bentuk kata dan kaidah bahasa lainnya. Selanjutnya, beliau menjelaskan
maksud ayat dengan menukil beberapa pendapat ulama dan
argumentasinya.35
2. Tafsir al-adâb al-ijtimâ‟i
Tafsir al-adâb al-ijtimâ‟i adalah tafsir yang menyingkap keindahan
bahasa Al-Qur‟an dan mukjizat-mukjizatnya, menjelaskan makna dan
maksudnya, memperlihatkan aturan-aturan Al-Qur‟an tentang
kemasyarakatan, mengatasi persoalan yang dihadapi umat Islam secara
khusus dan juga persoalan yang dihadapi umat Islam secara umum.36
Corak tafsir al-adâb al-ijtimâ‟i juga dapat didefinisikan dengan penafsiran
34
Lihat juga Anshori, Ulumul Qur‟an Kaidah-Kaidah Memahami Firman
Tuhan, Ulinnuha (ed.) (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), cet I, h. 218. 35
Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedia Kitab-Kitab Tafsir (Depok: Lingkar Studi
Al-Qur‟an, 2013), h. 62-63 36
Ending Soetari Adiwikarta, Pengantar Ilmu Tafsir Al-Qur‟an, h. 163
40
ayat-ayat al-Qur‟an dengan mengungkapkan segi Balâghah Al-Qur‟an dan
kemu‟jizatannya, dengan menjelaskan makna-makna dan sasaran-sasaran
yang dituju oleh Al-Qur‟an yang mengungkapkan hukum-hukum alam,
dan tatanan-tatanan masyarakat yang dikandungnya.37
Menurut Al-
Dzahabi, yang dimaksud dengan tafsir al-adâb al-ijtimâ‟i adalah corak
penafsiran yang menjelaskan ayat-ayat Al-Qur‟an berdasarkan ketelitian
ungkapan-ungkapan yang disusun dengan bahasa yang lugas, dengan
menekankan tujuan pokok diturunkannya Al-Qur‟an, lalu
mengaplikasikannya pada tatanan sosial, seperti pemecahan masalah-
masalah umat Islam dan bangsa pada umumnya, sejalan dengan
perkembangan masyarakat. Tafsir ini muncul sebagai akibat dari
ketidakpuasan para mufassir yang memandang bahwa selama ini
penafsiran Al-Qur‟an hanya didominasi oleh tafsir yang berorientasi pada
nahwu, bahasa, dan perbedaan madzhab, baik dalam bidang ilmu kalâm,
fiqh, usul fiqh, sufi, dan lain sebagainya.
Penggagas corak tafsir jenis ini di antaranya adalah Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha dalam karyanya al-Manâr yang memadukan
riwayat yang shahih dan rasio yang sehat, baik menyangkut hukum-hukum
syari‟at, hukum-hukum kemasyarakatan, dan keberadaan al-Qur‟an
37
Said Agil Husain al-Munawar, Al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki, h. 71
41
sebagai kitab hidayah manusia.38
Selain itu, ada juga Tafsir Al-Qur‟an
karya Syaikh Ahmad Al-Marâghi,39
yang dalam penafsirannya beliau
menghindari riwayat yang tidak jelas keshahihannya atau bertentangan
dengan ilmu pengetahuan. Beliau juga tidak berkomentar terhadap
persoalan-persoalan yang memang tidak dipertentangkan di kalangan
ulama.
Keistimewaan corak tafsir ini adalah dapat mengkompromikan ayat-
ayat Al-Qur‟an dengan teori-teori pengetahuan yang valid, hal ini sebagai
bukti bahwa Al-Qur‟an merupakan kitab yang sanggup menyetir
perkembangan zaman dan kemanusiaan. Dengan demikian secara otomatis
dapat menjawab keraguan yang dilemparkan para musuh terhadap Al-
Qur‟an.40
3. Tafsir „Ilmi
Corak tafsir „Ilmi adalah penjelasan atau perincian-perincian tentang
ayat-ayat Al-Qur‟an yang terkait dengan ilmu pengetahuan, khususnya
ayat tentang alam dan realitas social.41
Corak ini muncul akibat kemajuan
ilmu pengetahuan dan usaha penafsir untuk memahami ayat-ayat Al-
38
Husnul Hakim IMZI, Ensiklopedia Kitab-Kitab Tafsir, h. 156 39
Mohammad Nor Ichwan, Tafsir „Ilmy, Memahami Al-Qur‟an Melalui
Pendekatan Sains Modern (Yogyakarta: Menara Kudus Jogja, Cet I, 2004), h. 115. 40
Rosihon Anwar & Asep Muharom, Ilmu Tafsir, h. 175 41
Andi Rosadisastra, Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial (Amzah,
Jakarta, 2007), h. 47.
42
Qur‟an sejalan dengan perkembangan ilmu. Dalam wacana tafsir, terdapat
pro dan kontra sekitar Tafsir Ilmi, di antara pendukung corak penafsiran
ini ialah Imâm Al-Ghazâli dalam karyanya Jawâhir Al-Qur‟ân dan
Tanṯawi Jauhari dengan tafsirnya al-Jawâhir. Sedangkan yang menolak
tafsir ini dari kalangan sarjana konvensional dan kontemporer adalah Abû
Ishâq al-Syatibi (w. 1370) dan Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha,
Amin Khulli, Muhammad „Izzat Darwazat, Syaikh Musṯafâ al-Marâghi,
Mahmud Syaltut, dan lain-lain.42
Menurut al Khulli, tafsir model ini tidak
selaras dengan misi tafsir sastra.
Jika dirunut, embrio model penafsiran saintifik sejatinya muncul di
tengah-tengah masyarakat muslim semenjak masa Abbasiyah sebagai
respon terhadap perkembangan berbagai disiplin ilmu pengetahuan.
Diskursus tafsir saintifik cukup marak dalam karya kesarjanan klasik. Abu
Hamid Al-Ghazali (w. 111), misalnya, menegaskan bahwa Al-Qur‟an
memuat informasi ilmu-ilmu ke-alaman dan tidak kontradiktif dengan
penemuan-penemuan saintifik. Pendapat yang dilontarkan al-Ghazali ini
diadopsi oleh al-Râzi (w. 1186) yang menulis Mafâtih al-Ghayb al-
Musytahir bi at-Tafsîr al-Kabîr. Tafsir Al-Razi ini banyak berisi
eksplanasi ilmu-ilmu fisika dan penemuan-penemuan keilmuan abad dua
42
Abdul Majid Abusssalam al-Muhtasib, Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur‟an
Kontemporer Terj. Maghfur Wahid, Al-Izzah (Bangil-Jawa Timur, 1997), h. 310.
43
belas yang kemudian dianggap sebagai salah satu bentuk perwujudan i‟jâz
Al-Qur‟an.43
4. Tafsir Fiqhi
Bersamaan dengan lahirnya tafsir bi al-ma‟tsûr, lahirlah tafsir yang
bercorak fiqih. Corak tafsir fiqhi adalah corak penafsiran Al-Qur‟an yang
menitik beratkan bahasan dan tinjauannya pada aspek hukum Al-Qur‟an.
Corak tafsir ini muncul bersamaan dengan tafsir bi al-ma‟tsûr sama-sama
dinukilkan dari Nabi Saw, para sahabat langsung mencari keputusan
hukum dari Al-Qur‟an dan berusaha menarik kesimpulan dari hukum
syari‟ah berdasarkan ijtihad. Hal ini juga akibat dari berkembangnya ilmu
fiqih dan terbentuknya madzhab-madzhab fiqih, dimana setiap golongan
berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-
penafsiran terhadap ayat-ayat hukum. Kitab tafsir Fiqh ini banyak
ditemukan dalam kitab-kitab fiqh karya imam-imam dari berbagai
Madzhab. Dari kalangan Mu‟tazilah lahir kitab tafsir yang fanatik
terhadap Madzhabnya, yaitu al-Kasyâf karya al-Zamakhsyari, dari
kalangan Hanafiyah lahir kitab Tafsir Rûh al-Ma‟âni karya Al-Alûsi dan
kitab Tafsir Al-Nasafy, dari kalangan Malikiyyah lahir kitab Tafsîr al-
Jâmi‟ li Ahkâm Al-Qur‟ân karya Al-Qurṯubi, dan dari kalangan
43
Nurkholis Setiawan, Al-Qur‟an Kitab Sastra Terbesar (Yogyakarta: Elsaq
Press, Cet I, 2006), h. 21-22.
44
Syafi‟iyyah lahir kitab Tafsîr al-Kabîr (Mafâtih al-Ghayb) karya Al-Fakh
Al-Râzi dan masih banyak lagi kitab-kitab tafsir corak fiqh selain yang
telah disebutkan di atas.44
Corak tafsir fiqh ini muncul karena
berkembangnya ilmu Fiqh dan terbentuknya madzhab-madzhab fiqh yang
setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapat mereka
berdasarkan penafsiran-penafsiran ayat-ayat hukum.45
5. Tafsir Sufi/ Isyâri
Corak tafsir Sufi atau sering disebut pula dengan istilah tafsir Isyâri
adalah penafsiran yang dilakukan oleh para sufi yang pada umumnya
dikuasai oleh ungkapan mistik. Ungkapan-ungkapan tersebut tidak dapat
dipahami kecuali orang-orang Sufi yang menghayati ajaran tasawuf.
Shubhi Shaleh mendefinisikan pengertian tafsir ini dengan tafsir yang
menta‟wilkan ayat tidak menurut ẕahirnya namun disertai usaha
menggabungkan antara ayat yang jelas dan yang tersembunyi.46
Corak ini
timbul akibat lahirnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi kecenderungan
terhadap materi atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang
dirasakan. Di antara tafsir yang demikian ialah Tafsîr Al-Qur‟ ân al-„Aẕîm
44
Mohammad Nor Ichwan, Tafsir „Ilmy, Memahami Al-Qur‟an Melalui
Pendekatan Sains Modern, h. 254-267 45
Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an (Jakarta: Rajawali Press, 2013), h.
340. 46
St. Aminah, Pengantar Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir ( Semarang: CV. Assyifa‟,
1993), h. 324.
45
Karya Al-Tustari, Haqâiq al-Tafsîr karya Al-Sulami dan Arâ‟isy al-Bayân
fi Haqâi‟q Al-Qu‟rân Karya Al-Sairazi. Sebagai dampak kemajuan ilmu
pengetahuan dan peradaban Islam muncullah tafsir dengan berbagai
kecenderungannya. Beberapa kecenderungan atau corak yang nampak
adalah pertama, corak sufistik. Terdapat dua aliran dalam corak sufistik,
yaitu aliran tasawuf teoritis dan aliran tasawuf praktis. Penafsiran
sebagaimana yang disalurkan oleh para ahli tasawuf teoritis ditolak oleh
ulama, karena mereka menakwilkan ayat-ayat Al-Qur'an tanpa mengikuti
cara-cara yang benar. Dan penafsiran model ini sangat sedikit jumlahnya
yang dapat diterima. Menurut Al-Dzahabi, belum ada ulama tasawuf yang
menyusun sebuah kitab tafsir khusus, yang di dalamnya dijelaskan ayat
per ayat, seperti tafsir Isyâri, yang ditemukan hanyalah penafsiran-
penafsiran Al-Qur'an secara parsial yang dinisbatkan kepada Ibn „Arabi,
yaitu pada Kitab al-Futûh al-Makiyyah dan Kitab al-Fusûs, keduanya
ditulis oleh Ibn Arabi. Adapun penafsiran yang dilakukan oleh aliran
tasawuf praktis adalah menakwilkan Al-Qur'an dengan penjelasan yang
berbeda dengan kandungan tekstualnya, yakni berupa isyarat-isyarat yang
hanya dapat ditangkap oleh mereka yang sedang menjalankan suluk.
Namun, tetap memungkinkan untuk menggabungkan antara penafsiran
tekstual dan penafsiran isyarat itu. Penafsiran ini sesuai denganyang
disabdakan oleh Nabi:
46
لع مط حد ولكل حد حرف ولكل وبطن ظهر اية لكل “Setiap ayat memiliki makna lahir dan batin. Setiap huruf memiliki
batasan-batasan tertentu. Dan setiap batasan memiliki tempat untuk
melihatnya”.
Kitab tafsir yang termasuk kategori ini adalah Tafsîr Al-Qur‟ ân al-
„Aẕîm Karya Al-Tustari dan Haqaiq al-Tafsîr karya Al-Sulami.47
6. Tafsir Falsafi
Corak tafsir falsafi adalah penafsiran ayat-ayat Al-Qur‟an dengan
menggunakan teori-teori filsafat.48
Corak tafsir ini muncul akibat
penerjemahan buku filsafat yang mempengaruhi pemikir Muslim dan
masuknya sebagian ajaran agama lain kedalam Islam dengan membawa
kepercayaan lama mereka yang menimbulkan pendapat yang tercermin
dalam Tafsir mereka,49
dan muncul sebagai akibat dari kemajuan dalam
bidang ilmu pengetahuan dan kebudayaan, dan adanya gerakan
penerjemahan buku-buku asing kedalam bahasa Arab pada masa khalifah
Abbasiyah. Buku-buku filsafat, seperti karya Aristoteles dan juga Plato.50
47
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid 1 (Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1993), h. 161. 48
Said Agil Husain al-Munawar, Al-Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki (Ciputat Pers, Jakarta, 2002), h. 70. 49
Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran (Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, Cet I, 2007), h. 72. 50
Mohammad Nor Ichwan, Tafsir „Ilmy, Memahami Al-Qur‟an Melalui
Pendekatan Sains Modern (Menara Kudus Jogja, Yogyakarta, Cet I, 2004), h. 115.
47
D. Pengertian Ilmu Balâghah
Istilah “‟Ilm al-Balâghah” terdiri atas dua kata, yaitu ‟Ilm dan al-
Balâghah. Kata “‟Ilm” dapat ditujukan sebagai nama suatu bidang
tertentu. Kata “‟Ilm” juga diartikan sebagai materi-materi pembahasan
dalam kajian suatu disiplin ilmu. Kata “‟Ilm” juga dapat diartikan sebagai
pemahaman yang dimiliki oleh seseorang tentang materi kajian dalam
suatu bidang tertentu.51
Sedangkan kata “al-Balâghah” didefinisikan oleh para ahli dalam
bidang ini dengan definisi yang beragam, di antaranya adalah Ali jarim
dan Musthafa Amin dalam Balâghat al-Wadhîhah mengatakan:
“Adapun balâghah itu adalah mengungkapkan makna yang
estetik dengan jelas mempergunakan ungkapan yang benar,
berpengaruh dalam jiwa, tetap menjaga relevansi setiap kalimatnya
dengan tempat diucapkannya ungkapan itu, serta memperhatikan
kecocokannya dengan pihak yang diajak bicara”.52
Sedangkan menurut Dr. Abdullah Syahhatah, definisi yang benar
untuk term Balâghah dalam kalimat adalah:
“Adapun balâghah itu adalah keberhasilan si pembicara dalam
menyampaikan apa yang dikehendakinya ke dalam jiwa pendengar
(penerima), dengan tepat mengena ke sasaran yang ditandai dengan
kepuasan akal dan perasaannya.53
51
Wahbah al-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islamy, jilid I (Beirut: Dar al-Fikr,
1997), h. 5 52
Ali al-Jarim & Musthafa Amin, Al-Balaghah al-Wadhihah (Kairo: Dar al-
Ma‟arif, tt), h. 8 53
Abdul Jalal, Ulumul Qur‟an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2000), h. 370.
48
Dari definisi di atas, dapat ditarik suatu pengertian bahwa inti dari
balâghah adalah penyampaian suatu pesan dengan menggunakan
ungkapan yang fasih, relevan antara lafal dengan kandungan maksudnya,
tetap memperhatikan situasi dan kondisi pengungkapannya, menjaga
kepentingan pihak penerima pesan, serta memiliki pengaruh yang
signifikan dalam diri penerima pesan tersebut. Ilmu balâghah berarti suatu
kajian yang berisi teori-teori dan materi-materi yang berkaitan dengan
cara-cara penyampaian ungkapan yang bernilai dari balâghah itu sendiri.
E. Sejarah dan Macam-macam Ilmu Balâghah
Kelahiran dan pertumbuhan balâghah di kalangan masyarakat
penggunanya bersifat arbitrer54
. Orang-orang Arab Jahiliyah pra turunnya
al-Qur‟an telah dikenal sebagai ahli sastra yang kompeten. Mereka mampu
menggubah lirik-lirik sya‟ir atau bait-bait puisi yang mempesona yang
menunjukkan kesadaran dan keahlian mereka dalam bidang sastra yang
bernilai tinggi.
Perkembangan kesusastraan Arab pada era jahiliyah diwarnai oleh
adanya perkembangan berbagai bentuk sastra, baik prosa maupun puisi
yang dikembangkan oleh orang-orang Arab pada masa itu. Perkembangan
tersebut didukung juga oleh adanya berbagai kegiatan yang berlangsung
54
Sewenang-wenang
49
pada musim haji setiap tahunnya, dengan diadakannya berbagai
perlombaan pidato dan perlombaan membaca sya‟ir, yang diadakan di
berbagai pusat kegiatan pada waktu itu, seperti di Suq „Ukkazh. Kegiatan-
kegiatan seperti itu memberi peluang yang besar bagi para ahli sya‟ir
untuk mengembangkan bahasa dan gaya bahasa mereka dengan ungkapan-
ungkapan yang menarik, baik dari segi zahir lafal, keindahan kata yang
digunakan, maupun kandungan maknanya.55
Selanjutnya Ahmad Thib Raya mengutip pernyataan Syauqi Dheif
menyatakan bahwa bangsa Arab pada masa jahiliyah tersebut telah
mencapai tingkat tinggi dalam menggunakan Balâghah dan Bayân.56
Orang yang melakukan kajian yang serius dan mendalam terhadap sastra
Arab jahiliyah, baik prosa maupun puisinya akan berdecak kagum
terhadap produk-produk kesusastraan yang mereka miliki. Hal tersebut
tampak jelas dari kemampuan mereka untuk mengekspresikan pikiran-
pikiran mereka sampai ke tingkat yang lebih tinggi dalam dunia kefasihan
dan ke-balâghah-an.57
Pengaruh al-Qur‟an terhadap Balâghah „Arabiyyah tersebut begitu
nyata. Hal tersebut ditandai dengan dijadikannya al-Qur‟an sebagai objek
kajian dalam diskursus-diskursus ke-Balâghah-an yang melahirkan karya-
55
Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur‟an (Jakarta: Fikra, 2006), h.
31 56
Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur‟an, h. 32 57
Abd al-„Aziz „Atiq, „Ilm al-Bayân, h. 7
50
karya besar seperti Kitab Majâz Al-Qur‟ân karya Abu „Ubaidah yang
ditulis karena adanya ketidakpahaman Ibrahim bin Isma‟il terhadap
penggunaan tasybih dalam penggambaran sifat syajarat al-Zaqqûm
(makanan penduduk neraka) dalam firman Allah ayat 65 surat al-Shaffat.
Perkembangan balâghah yang semakin baik tersebut ditandai dengan
munculnya para tokoh yang kompeten dan karya-karya besar mereka pada
abad ke-III H, seperti Abû „Ubaydah, Ibn Quṯaibah, Ibn Hasan al-Rumâni,
al-Farrâ‟, dan Al-Jâhiẕ. Abû „Ubaydah menyusun sebuah kitab tentang
Majâz al-Qur‟ân yang bernama „Ilmu Majâz al-Qur‟ân. Ibn Quṯaibah
menulis kitab Ta‟wîl Musykil al-Qur‟ân, dan Al-Farrâ‟ menulis kitab
Ma‟ân al-Qur‟ân yang meski kebanyakan berisi kajian ilmu Nahwu, tapi
juga menyinggung kajian ilmu Balâghah. Sedangkan al-Rûmani
menyusun kitab Al-Naktu Fî I‟jâz al-Qur‟ân.58
Dan Al-Jâhiẕ dipandang
sebagai tokoh yang sangat berjasa dalam sejarah perkembangan ilmu
balâghah secara umum dan ilmu bayân secara khusus, lewat karya
tulisnya yang berjudul al-Bayân wa al-Tabyîn.59
Ilmu balâghah terus mengalami perkembangan sehingga mencapai
puncaknya pada abad ke-V H yang ditandai dengan semakin utuhnya
kajian-kajian di dalamnya yang tertuang dalam dua kitab yang disusun
oleh Imâm „Abd al-Qâhir al-Jurjâni. Kedua kitab tersebut adalah :
58
„Abd Al-Fattah Lasyin, Al-Ma‟âni Fi Dau‟ Asalib al-Qur‟an al-Karim, h. 16-
17 59
Ahmad Thib Raya, Rasionalitas Bahasa Al-Qur‟an, h. 37
51
Pertama, kitab Asrâr al-Balâghah yang berisi soal-soal majâz, isti‟ârah,
tamtsîl, tasybîh dan lain-lain dari cabang Ilmu Ma‟âni yang merupakan
bagian dari Balâghah. Kedua, kitab Dalâ‟il al-I‟jâz, yang berisi tentang
keindahan susunan kata dan konteksnya, dengan keindahan makna yang
merupakan keistimewaan uslûb Al-Qur‟an yang menunjukkan
kemukjizatannya.60
Kemudian disusul dengan kemunculan Imam Al-Sakaki pada abad ke-
VII H yang semakin mematangkan keberadaan Ilmu balâghah sebagai
disiplin Ilmu dengan memetakannya menjadi tiga cabang ilmu sebagai
komponennya, yaitu ilmu ma‟âni, ilmu bayân, dan ilmu badî‟. Namun
antara ilmu bayân dan ilmu badî‟ masih beliau gabung dalam satu ilmu
dengan istilah Ilmu al-Mahâsin yang terbagi ke dalam dua bagian, yaitu
Al-Mahâsin al-Lafẕiyyah dan Ma‟nawiyyah. Beliau menyusun sebuah
karya besar yang menguraikan ilmu tersebut disamping ilmu-ilmu
pengetahuan bahasa Arab lainnya. Kitab tersebut dikenal dengan nama
Miftâh al-„Ulûm.61
Sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa dalam kitab balâghah
permulaan, ilmu balâghah masih belum dipilah kedalam beberapa bagian
seperti sekarang ini. Pemilahan ini dirintis oleh „Abd al-Qâhir al-Jurjâni,
dilanjutkan oleh Al-Sakâki, dan dimantapkan lagi oleh Khâṯib al-
60
Abdul Jalal, Ulumul Qur‟an, h. 372 61
Abdul Jalal, Ulumul Qur‟an, h. 372
52
Qazwayni. Dalam kitab Talkhîs al-Miftâh yang dikutip oleh „Abd al-Jalâl,
beliau menjelaskan macam-macam ilmu balâghah sebagai berikut:62
1. Ilmu ma‟âni, yang membahas segi lafal Arab yang relevan dengan
tujuannya. Definisinya yaitu :
ا ق اب ط ا م ب ن و ك ي ت ال ب ر ع ال م ل لك ا ال و ح ا أ ب ف ر ع ي د اع و و ل و ص أ و ى ان ع م ال م ل ع و ل ق ي ي س ذ ال ض ر لغ ا ق ف و ن و ك ي ث ي ب ال ل ى ا ض ت ق م ل
“Ilmu Ma‟âni ialah ketentuan-ketentuan pokok dan kaidah-kaidah yang
dengannya diketahui ihwal keadaan kalimat Arab yang sesuai dengan
keadaan dan relevan dengan tujuan pengungkapannya”.
Secara keseluruhan ilmu ma‟âni mencakup 8 macam kajian, yaitu
Isnâd, Musnad Ilaih, Musnad, Muta‟alliqât al-Fi‟li, Qasr, Insyâ‟,
Wasl dan Fasl, Îjâz, Iṯnâb dan Musâwâh. Semua ilmu ini sangat
penting untuk mengetahui perihal kapankah ungkapan harus dalam
bentuk taqdîm, ta‟khîr, wasal, fasl, zikr, hadzf, dan bentuk-bentuk
lainnya.
2. Ilmu bayân, yang membahas segi makna lafal yang beragam.
Definisinya yaitu:
ن ا ع ه ض ع ب ف ل ت ي ق ر ط ب د اح لو ا ن ع م ال اد ر ي إ و واعد ي عرف با ل و ص أ و ى ان ي ب ال م ل ع ن ع م ال ك ل ذ س ف ن ى ل ع ة ي ل ق ع ال لة ل الد ح و ض و ف ض ع ب
“Ilmu bayân ialah beberapa ketentuan pokok dan kaidah yang
dengannya dapat diketahui penyampaian makna yang satu dengan
62
Abdul Jalal, Ulumul Qur‟an, h. 373-374
53
berbagai ungkapan, namun terdapat perbedaan kejelasan tunjukan
makna antara satu ungkapan dengan ungkapan lainnya yang beragam
tersebut”
Objek kajian Ilmu bayân mencakup 3 macam kajian, yaitu
Tasybîh, Majâz, dan Kinâyah. Melalui ketiga bidang ini kita akan
mengetahui ungkapan-ungkapan Bahasa Arab yang fasih, baik, dan
benar. Dengan pengetahuan tersebut seseorang akan mampu
menangkap kemukjizatan al- Qur‟an dari aspek bahasanya,
maksudnya ia akan mampu menangkap keindahan, ketepatan dan
kehebatan ayat al-Qur‟an baik pada tataran jumlah, kalimah, sampai
kepada huruf-hurufnya.
3. Ilmu badî‟, yang membahas keindahan kalimat Arab. Definisinya
yaitu:
ا و ه و ج و ل ا و ب ف ر ع ي م ل ع و ى ع ي د ب ل ا ة وتكسوه باء و ل ط ا و ن س ح م ل ك ال د ي ز ت ت ال اي ز ل
ال ى ال ض ت ق م ل و ت ق اب ط م د ع ورونقا ب “Ilmu Badî‟ ialah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui bentuk-
bentuk dan keutamaan-keutamaan yang dapat menambah nilai
keindahan dan estetika suatu ungkapan, membungkusnya dengan
bungkus yang dapat memperbagus dan mempermolek ungkapan itu,
disamping relevansinya dengan tuntutan keadaan”.
Dalam penjabarannya ilmu badî‟ mencakup banyak hal, akan
tetapi secara garis besar pembahasan ilmu badî‟ tidak akan terlepas
dari 2 hal yakni Badî‟ Ma‟nawi dan Badî‟ Lafẕi.
54
BAB IV
METODE DAN CORAK
KITAB AL-SYÂMIL FÎ BALÂGHAT AL-QUR’ÂN
A. Ijmâli Sebagai Metode Kitab Al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân
Ketika menuliskan sebuah karya ilmiah tidak terkecuali dalam menjelaskan
ayat-ayat al-Qur‟an setiap pengarang tentu mempunyai metode dan
kecenderungan tersendiri. Masing-masing mereka memiliki ciri tersendiri dalam
melahirkan sebuah karya baik dari gaya bahasa yang digunakan sampai pada
metodologinya. Dari gaya bahasa dan metodologi yang digunakan nantinya akan
dapat membawa pembaca menyelami karya sang pengarang.
Pemetaan metode tafsir yang digagas oleh al-Farmawi, dalam kitab al-
Bidâyah fî al-Tafsîr al-Mawdû’i, terbagi menjadi metode tahlîlî, metode ijmâli,
metode muqâran, metode mawdû’i. Masing-masing metode memiliki ciri khasnya
masing-masing. Namun meski begitu, dalam sebuah kitab terkadang dapat
ditemukan metode yang digunakan lebih dari satu. Sebagaimana yang telah
disampaikan langsung oleh M. Afifudin Dimyathi1 dalam muqaddimah kitabnya,
metode yang digunakan beliau dalam penulisan kitab al-Syâmil Fî Balâghat al-
Qur’ân adalah metode tahlîlî.2 Akan tetapi sesuai dengan penyajian penjelasan
yang sifatnya umum dan tidak terperinci, maka penulis mengatakan bahwa kitab
ini ditulis secara ijmâli. Hal ini sesuai dengan keterangan yang telah disampaikan
dalam bab 3 mengenai metode ijmâli, yang merupakan salah satu metode
1 Pada penyebutan setelahnya, penulis menggunakan sebutan “Gus Awis”
2 M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân (Malang: Lisan Arabi, 2018),
h. kha‟
55
menafsirkan al-Qur‟an dengan cara mengemukakan makna global (mujmal),3
tanpa uraian-uraian panjang lebar,4 dan berdasarkan urutan bacaan dan susunan al-
Qur‟an.5
Berdasarkan ciri-ciri tersebut, kitab al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân yang
ditulis oleh Gus Awis dilihat dari bentuk penyajiannya yang ditulis ayat demi ayat
secara urut sesuai dengan susunan mushaf berikut penjelasan kata yang hanya
terfokus pada kajian kebahasaan, maka metode yang digunakan oleh Gus Awis
dalam kitabnya dapat digolongkan ke dalam metode ijmâli (global). Contohnya
penjelasan terkait surat al-Fâtihah ayat 1-7:
“Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha
Penyayang. Yang menguasai di Hari Pembalasan. Hanya Engkaulah yang kami
sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan. Tunjukilah
kami jalan yang lurus. (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat
kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan)
mereka yang sesat” (al-Fâtihah ayat 1-7)
Di dalam kitabnya, Gus Awis menjelaskan setiap kata dari masing-masing
ayat. Seperti contoh di atas, beliau memulai dengan menjelaskan sisi kebahasaan
dari lafadz " ٱلله تس " yang merupakan isti’ârah6 makniyyah
7 taba’iyyah
8,
3 M. Nurdin Zuhdi, Pasaraya Tafsir Indonesia, h. 134.
4 Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur’an (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h.381.
5 Anshori, Ulumul Qur’an: Kaidah-kaidah Memahami Firman Tuhan (Jakarta: Rajawali
Pers, 2013), h. 207. 6 Isti’ârah, arti asalnya pinjaman. Kata pinjaman dalam pengertian ilmu Bayan berarti
sebuah kata yang ditempatkan bukan pada tempat semestinya, dan hubungan di antaranya dengan
kata yang dimaksudnya musyabbahah (persamaan/ perserupaan). Seperti contoh, “Aku melihat
singa berkhutbah di depan orang-orang”. Kata singa dalam kalimat tersebut disebut Isti‟ârah
karena tidak mungkin ada singa mampu bnerkhutbah di depan orang-orang. Yang dimaksudkan
adalah seorang laki-laki yang seperti singa saking gagahnya dan lantang suaranya, kaitan antara
56
kemudian istilah-istilah kebahasaan tersebut dijelaskan secara lebih mendetail
melalui catatan kaki. Beliau menjelaskan bahwa huruf ba' pada lafadz " ٱلله تس "
hanya digunakan sebagai kata bantu. Beliau juga menambahkan bahwa di
dalamnya juga terdapat relasi tempat (اىحيية) seperti contoh: "aku berjalan dengan
Zayd" (سزت تزيد) yaitu berjalan pada tempat yang dekat dengan Zayd, bukan
dengan Zayd-nya sendiri.9
Relasi tempat dalam lafadz " ٱلله تس " yakni menunjukkan kedekatan jarak
antara sang Pencipta dengan hamba-Nya, sehingga ia merasa bahwa setiap gerak
gerik yang dilakukannya akan senantiasa diawasi oleh Allah. Demikianlah Allah
memulai kitab-Nya dengan basmalah yang berisikan pesan kepada manusia untuk
memulai setiap aktivitasnya dengan nama Allah.10
Muhammad „Alî al-Sâbûnî
menambahkan keterangan dalam kitab tafsirnya, bahwa huruf ba’ dalam lafadz
" ٱلله تس " memiliki keterkaitan dengan segala hal. Dicontohkan bahwa ketika
seorang yang hendak makan mengucapkan basmalah, maka sejatinya yang ia
lakukan adalah mengambil manfaat dari penyebutan nama Allah tersebut. Karena
itu setiap sesuatu harus dimulai dengan nama-Nya dan dengan nama-Nya lah
terlaksana setiap gerak dan arah.11
singa dengan lelaki yang dimaksud adalah persamaan dalam hal kegagahan dan kelantangan suara
(M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 2) 7 Yakni Isti’ârah yang tidak menyebutkan lafadz musyabbah bih melainkan
menggantinya dengan sifat-sifat yang lazim baginya. Seperti contoh, “Dan apabila kematian
(singa) sudah menancapkan kuku-kukunya, maka kau akan menemukan setiap jampi tidak
bermanfaat lagi”. Lafadz singa dibuang dan diganti dengan sifat yang lazim baginya, yaitu
“adzfar” (kuku-kuku) (M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 2) 8 Yakni apabila lafadz yang digunakan berupa huruf, fi‟il atau isim musytaq, contoh:
“Dan akau pasti akanmenyalib mereka di batang-batang kurma” digunakan karena saking
tingginya (M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 2) 9 M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 2
10 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Ciputat: Lentera Hati, 2000), vol. I h. 11
11 M. Ali al-Sabuni, Rawai’ al-Bayan,h. 15
57
Muhammad „Alî al-Sâbûnî juga menjelaskan tentang makna basmalah, yakni
ketika seseorang melafadzkan حي ٱىسه ح ٱىسه ٱلله maka maksudnya adalah: “Aku تس
memulai dengan menyebut nama Allah dan mengingat-Nya sebelum melakukan
apapun dan aku memohon pertolongan-Nya dalam segala urusanku, sungguh Dia
maha berkuasa atas segala sesuatu.”12
Kemudian pada lafadz selanjutnya " ح ٱىسه حي ٱىسه ", dijelaskan oleh Gus Awis
bahwa di dalamnya terdapat fann al-Ta'dîd, yaitu lafadz حي yang „aṯaf-nya tidak ٱىسه
mengikuti lafadz ح karena kesamaan posisi keduanya, hal ini dikarenakan di ٱىسه
dalamnya terdapat kekuatan makna. Maka lafadz ح lebih dalam maknanya ٱىسه
daripada حي .karena terdapat tambahan huruf Alif ٱىسه13
Selanjutnya lafadz " د لله Gus Awis menjelaskan bahwa lafadz tersebut , " ٱىح
mengandung unsur (ثاىغة) tentang pujian, hal ini disebabkan karena keumuman
fungsi dari alif lam (اه) pada lafaz د adalah untuk mencakup keseluruhan ٱىح
di dalam lafadz tersebut juga terdapat korelasi makna, sebagaimana ,(االسحغسق)
Allah membuka kitab-Nya dengan basmalah yaitu bagian dari pujian yang
dihubungkan dengan menyelaraskan seluruh bagian pujian yang paling sempurna.
Sedangkan dalam lafadz " د لله mencakup beberapa macam konteks " ٱىح
pembicaraan (جيي اىخطاب), yakni khabar yang mengandung makna perintah
.(اس)14
Selanjutnya lafadz " Gus Awis mengatakan bahwa lafadz ini dikhususkan ," لله
dengan huruf lam yang menunjukkan bahwa seluruh pujian khusus hanya untuk
Allah semata, karena Dia-lah pemilik pujian tersebut. Dengan demikian, jika
12
Muhammad „Ali al-Shabuni, Rawâi’ al-Bayân (Beirut: Maktabah al-Ghazali), h. 20 13
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 2 14
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 2
58
dihubungkan dengan lafadz ي ٱىد يل ي maka yang dimaksud adalah pada hari
kiamat nanti seluruh kepemilikan dan kekuasaan akan hilang kecuali milik Allah,
dan hanya Allah-lah berkuasa.15
Selanjutnya lafadz " حي ٱىسه ح ٱىسه " beliau menjelaskan bahwa dalam lafadz ini
terdapat pengulangan penekanan. Al-Kirmani mengatakan: "Adanya pengulangan
karena rahmat adalah nikmat bagi yang membutuhkan, dalam ayat pertama
disebutkan yang memberi nikmat tersebut (اىع) sedangkan yang diberikan
nikmat tidak disebutkan. Gus Awis juga menjelaskan perbedaan antara lafadz
ح yang diperuntukkan bagi semua manusia tanpa terkecuali, sedangkan ٱىسه حي ٱىسه
dikhususkan untuk orang-orang mukmin pada hari kiamat (balasan berupa
pemberian nikmat serta ampunan).16
Firman Allah " إيهاك سح عي dijelaskan oleh Gus Awis bahwa di " إيهاك عثد
dalamnya terkandung taqdîm dan ta’khîr, yaitu mendahulukan objek (maf'ûl)
dengan tujuan untuk pembatasan (qasr) dan pengkhususan (takhsîs), maksudnya
adalah tidak menyembah selain kepada Allah Swt. Pengulangan إيهاك bertujuan
untuk memutus keikutsertaan, karena jika dihilangkan maka tidak menunjukkan
adanya taqdîm. Sedangkan didahulukannya ibadah dari pertolongan karena ibadah
adalah tujuan dan pertolongan adalah penghubung untuk mencapai ibadah
tersebut. Dikarenakan tujuan lebih utama daripada penghubung, maka ibadah
yang terlebih dahulu disebutkan.17
Gus Awis juga memberikan keterangan terkait firman " إيهاك سح عي " yang
mana terdapat pengalihan kata ganti dari orang ketiga (ḏamîr ghayb) ke kata ganti
15
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 2 16
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 2 17
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 3
59
untuk orang kedua (ḏamîr mukhâṯab), dengan demikian seharusnya ayat tersebut
menggunakan kalimat ايا عثد.18
Selanjutnya beliau menjelaskan mengenai iltifat19
pada kalimat " إيهاك إيهاك عثد
yang mana jika dibaca kasrah maka akan إيهاك yaitu huruf “kaf” pada lafadz " سح عي
mengubah makna (menjadi muannats/ perempuan). Sedangkan penggunaan
bentuk jama' dalam pengakuan sebagai sebatas hamba, sebagaimana dalam kitab
Tafsîr Munîr:20
“Penggunaan bentuk jama', tidak dengan mufrod pada " إيه إيهاك سح عي اك عثد
"sebagai pengakuan terbatas hanya untuk al-‘abdu (hamba) ketika di hadapan
Allah Ta'ala. Sebagaimana ia mengatakan: "Tidak pantas bagiku dalam keadaan
sendiri ketika bermunajat kepada-Mu, dan aku malu atas segala keterbatasanku
dan dosa-dosaku, tapi aku menyatukan munajatku kepada para mukmin dan
menghilangkan diriku di antara mereka, maka kabulkanlah doaku bersama
mereka, karena kami menyembah-Mu dan meminta pertolongan hanya kepada-
Mu.21
Kemudian dalam ayat " د ٱ سح قي ط ٱى س ا ٱىص ", Gus Awis menyebutkan bahwa
ayat tersebut mengandung permohonan terhadap sesuatu, dan bukan maksud
untuk mencapai hasilnya tetapi untuk kelangsungan dan kelanjutannya, yakni apa
yang telah Allah Ta'ala tetapkan kepada kita. Sedangkan dalam lafadz " ط س ٱىص
18
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 3 19
dalam kalimat terdapat lafadz yang apabila dirubah posisi atau i'rabnya maka akan
mengubah maknanya 20
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 3 21
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 3
60
سح قي terdapat isti’ârah tasrîhiyah "ٱى 22
, yaitu agama yang benar.
Diperumpamakannya agama yang benar dengan jalan yang lurus menurut belaiu
karena adanya sisi keserupaan di antara keduanya yaitu meskipun Allah memiliki
kedudukan yang tinggi namun seorang mukmin yang meminta suatu pencapaian
maka harus memutuskan jarak untuk memuliakan pencapaian tersebut.23
Pada ayat “ ي ي ث ع ع أ ط ٱىهري صس سح قي ط ٱى س د ا ٱىص Gus Awis menguti ”ٱ
pendapat al-Kirmani, yang mengatakan bahwa: “ayat tersebut mengandung iṯnâb
yakni menjelaskan sesuatu setelah ketidakjelasan, sebagaimana yang dikehendaki
dengan lafadz ط س Yang pertama berarti tempat untuk berjalan, maka . ٱىص
disebutkan tempatnya tanpa menyebutkan pelakunya. Kemudian yang kedua
diulangi dengan menyebutkan ي ي ث ع ع أ ط ٱىهري yaitu jalan yang dilalui oleh ,صس
para nabi dan orang-orang mukmin”. Dalam firman-Nya ي ي ث ع ع terdapat fann أ
al-muzalzil, yang mana jika ta' mukhâṯab dibaca ḏammah maka maknanya
menjadi tidak teratur/ berubah.24
Selanjutnya dalam firman Allah ي ي غضب ع غ يس ٱى ي ي ث ع ع أ ط ٱىهري ال صس
ي اى menurut Gus Awis didahulukannya orang-orang yang diberi nikmat , ٱىضه
karena lebih utama dari pada orang yang dimurkai lagi sesat. Selain itu juga
untuk menunjukkan seni kesopanan. Beliau juga mengutip keterangan dari kitab
Safwat al-Tafâsir yang menjelaskan: "kenikmatan dinisbatkan kepada Allah
Ta'ala dan tidak dinisbatkan kepada-Nya kesesatan, maka tidak dikatakan:
"Engkau telah memurkainya atau orang-orang yang Engkau sesatkan" yaitu untuk
22
Yakni Isti’ârah yang menggunakan lafadz musyabbah bih. Contoh: “Maka ia (wanita
cantik) mengucurkan mutiara (air mata yang bening) dari narjis (bola mata yang indah) dan
menyirami bunga mawar (pipi yang kemerah-merahan). Ia pun menggigit buah-buahan anggur
(jari jemari yang indah) dengan embun (gigi yang bersih)”. 23
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 3 24
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 4
61
mengajarkan adab seorang hamba kepada terhadap Allah. Dengan demikian, maka
keburukan tidak dinisbatkan kepada Allah sebagai suatu adab meskipun
merupakan ketetapan-Nya. 25
Sedangkan dalam firman اىي ال ٱىضه ي ي غضب ع Gus Awis menjelaskan ,غ يس ٱى
bahwa ayat yang seharusnya adalah غضب ط غ يس ٱى yang merupakan صس
peringkasan dengan menghilangkan kata ط Dalih didahulukannya kemurkaan .صس
daripada kesesatan karena pemberian nikmat menerima balasan, sedangkan
kesesatan tidak akan menerima kenikmatan. Maka kenikmatan dapat
menghubungkan kebaikan kepada pemberi nikmat, sedangkan pembalasan
menghubungkan keburukan kepada yang dimurkai. Pendapat ini dikutip oleh Gus
Awis dari Ibnu Hayyân dalam kitab al-Bahr.26
Berdasarkan contoh yang telah penulis uraikan, akan tampak jelas bahwa
dalam menjelaskan ayat-ayat al-Qur‟an, Gus Awis memulai mengurai ayat
tersebut dengan menjelaskan sisi kebahasaan dari tiap kata secara ringkas dan
mudah dimengerti. Contoh lainnya juga dapat dilihat pada surat al-‘Alaq ayat 1-
5:27
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha
25
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 4-5 26
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 5 27
Penulis mengambil contoh dari surat al-„Alaq dengan alasan bahwa ayat 1 sampai 5
dari surat ini merupakan ayat-ayat pembuka turunnya wahyu (yang pertama kali diturunkan, yaitu
di waktu Nabi Muhammad bertafakkur di gua Hira). Dinamai al-„Alaq (segumpal darah), diambil
dari perkataan‟Alaq yang terdapat pada yat kedua surat ini. Surat ini dinamai juga dengan iqra‟
atau al-Qalam.
62
Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam. Dia mengajar
kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (al-‘Alaq ayat 1-3)
Gus Awis menjelaskan mengenai firman Allah tentang ayat " تل ٱىهري ز أ تٱس ٱقس
ي ق " dan ayat setelahnya yaitu "خ تل ٱل مس ز أ ٱقس " yang merupakan kalam iṯnâb
dengan bentuk mengulang-ulang fi'il. Hal tersebut dimaksudkan untuk menambah
perhatian terkait dengan masalah membaca dan ilmu (pengetahuan).28
Sedangkan dalam ayat " ي ق تل ٱىهري خ ز أ تٱس " dan ayat setelahnya yaitu "ٱقس يه ع
ي عي ا ى س merupakan îjâz qasr yang menyimpan makna halus dari bentuk "ٱل
pendahuluan dan pengakhiran (taqdîm-ta'khîr). Beliau juga mengambil kutipan
dari kitab tafsir al-Qâsimy yang menyebutkan: Ibnu Qayyîm berkata:
“Berfikirlah! mengapa dalam kalimat-kalimat ini terdapat urutan
penciptaan dikumpulkan, dan mengapa urutan-urutan yang berjumlah 4
tersebut disebutkan dengan kata yang ringkas dan bagus? Pertama, Allah
menyebutkan penciptaan secara umum, yakni dengan memberikan wujud
yang khâriji. Kedua, Allah mengkhususkan penjelasannya tentang penciptaan
manusia secara spesifik dikarenakan manusia merupakan objek pembelajaran.
Dan ayat-ayat yang terkait dengan hal tersebut sangat menakjubkan di
antaranya tentang penciptaan manusia dari 'alâqah (segumpal darah). Dalam
ayat lain juga disebutkan bahwa bahan asal manusia adalah debu (turâb),
tanah liat. Adapun cabangannya adalah air yang menjijikan (air mani). Dalam
pembahasan ini, Allah juga menyebutkan awal mula penciptaan, yaitu
segumpal darah yang berasal dari air mani lalu berubah menjadi segumpal
darah.”29
Selanjutnya dalam pembahasan ini, yang dimaksud dengan “Allah
mengajarkan dengan qalam” adalah Allah mengajarkan dengan sesuatu yang
merupakan anugerah paling agung untuk hamba-hamba-Nya. Gus Awis
menjelaskan di dalam kitabnya mengenai manfaat yang akan didapat dengan
perantara qalam, di antaranya; ilmu akan menjadi abadi, hak-hak akan
28
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 521 29
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 521-522
63
terealisasikan, wasiat-wasiat dapat dipelajari (diketahui), persaksian bisa terjaga,
dan perhitungan dalam jual beli juga dapat dibatasi dengan jelas. 30
Melalui qalam, informasi-informasi yang telah lalu dapat senantiasa terjaga.
Seandainya bukan karena adanya tulisan, maka informasi sebuah zaman akan
terputus. Dengan demikian, orang-orang pada periode khalaf tidak akan
mengetahui madzhab-madzhab di periode salaf. Gus Awis mengatakan bahwa
lupa merupakan cacat terbesar yang dapat merasuk dan merusak urusan dunia dan
agama bagi manusia. Sehingga fungsi kitab bagi manusia adalah sebagai wadah
yang menjaga ilmu agar tidak hilang, sebagaimana wadah (bejana) yang menjaga
makanan agar tidak hilang dan sia-sia.31
Model penafsiran atau dapat juga dikatakan penjelasan balâghah secara
ringkas seperti beberapa contoh yang telah diuraikan di atas, akan banyak sekali
ditemukan dalam al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân. Dan jika dilihat dari
mekanisme yang ditempuh pada metode ijmâli, yang merupakan salah satu
metode menafsirkan al-Qur‟an dengan cara mengemukakan makna global
(mujmal), tanpa uraian-uraian panjang lebar, dan berdasarkan urutan bacaan dan
susunan al-Qur‟an. Maka dapat dikatakan bahwa metode yang digunakan dalam
penulisan al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân adalah metode ijmâli.
Pemilihan metode ijmâli dalam al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân ini, menurut
penulis didasarkan pada adanya upaya penyesuaian dengan latar belakang
pengarang yang pada dasarnya merupakan sosok yang telah lama bergelut di
bidang kebahasaan sehingga mampu untuk menjelaskan makna ataupun ungkapan
30
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 522 31
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 522
64
kata per kata dengan gamblang. Kemudian bahasa yang digunakan adalah bahasa
Arab dengan harapan nantinya kitab ini dapat menjadi salah satu rujukan tafsir
dalam skala internasional.
B. Balâghah Sebagai Corak Kitab Al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân
Sebagaimana disebutkan dalam bab III bahwa para pakar „ulûm al-Qur’ân
membagi corak tafsir ke dalam tujuh corak, di antaranya: corak tafsir bahasa dan
sastra, tafsir sufi, tafsir fiqhi, tafsir falsafi, tafsir „ilmi dan tafsir al-adâb al-
ijtimâ’i. Maka corak al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân dengan melihat beberapa
indikator yang ada, seperti: (1) Nama kitab yang diberikan pengarang yakni al-
Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân (اىشاو في تالغة اىقسا) secara langsung telah memberi
informasi bahwa kitab ini akan sangat erat dengan pembahasan tentang balâghah.
(2) Kata pengantar kitab yang disampaikan oleh dua Profesor Linguistik Timur
Tengah yaitu Ahmad Darwish Ibrahim Muhammad (guru besar balaghoh dan
kritik sastra di Universitas Al-Azhar Kairo, Mesir) dan Abdurrohim Muhammad
Al-Kurdi (guru besar kritik sastra modern di Universitas Kanal Suez).32
(3)
Referensi, dari sekian banyak referensi yang digunakan, Gus Awis lebih banyak
merujuk pada kitab-kitab kebahasaan dibanding kitab-kitab tafsir. (4) Pembahasan
kitab, dalam kitab ini fokus bahasan tertuju pada balâghah. Maka penulis dapat
menyimpulkan bahwa tafsir tersebut bercorak bahasa dan sastra sesuai dengan apa
yang disampaikan beliau dalam muqaddimah kitabnya, karena memang Gus Awis
32
Ahmad Darwis Ibrahim Muhammad, “Sambutan Ketua bidang Balaghah di Universitas
Dar al‟Ulum, Mesir pada Penerbitan al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân”, dalam al-Syâmil Fî
Balâghat al-Qur’ân dan Abd al-Rahim Muhammad al-Kurdi “Sambutan Ustadz al-Naqd wa al-
Adab al-‘Arabî al-Hadîs di Universitas Qanât al-Swîs, Mesir Penerbitan al-Syâmil Fî Balâghat al-
Qur’ân”, dalam al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân.
65
mempunyai basis keilmuan bahasa Arab. Namun demikian, dalam tafsirnya beliau
menyajikan dengan gaya bahasa dan redaksi yang sangat teliti.
Berikut ini akan dijelaskan mengenai 2 indikator33
penting yang mendasari
penyebutan kitab ini sebagai kitab yang bercorak balâghah.
1. Sumber Penafsiran
Pada bab III telah dijelaskan bahwa sumber penafsiran terbagi menjadi dua.
Adakalanya bi al-ma’tsûr atau riwayat, yakni sumber yang terbatas pada riwayat
Rasulullah SAW, para sahabat, atau murid-murid mereka dari kalangan Tâbi’în
dan juga Tâbi’ al-Tâbi’în.34
Adapula bi al-ra’yi, yakni yang dalam menjelaskan
maknanya, mufassir hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan
(istinbȃṯ) yang didasarkan pada ra‟yu (akal) semata.35
Tentu dengan syarat-syarat
tertentu yang harus dimiliki oleh seorang mufassir.
Sebagaimana yang telah dipaparkan di point A terkait penjelasan surat al-
Fâtihah dan surat al-‘Alaq, maka dapat disimpulkan bahwa penjelasan ayat-ayat
al-Qur‟an yang ditempuh oleh Gus Awis adalah berdasarkan ro’yunya sendiri. Hal
ini terbukti dengan penjelasan-penjelasan di dalam kitabnya yang lebih terfokus
pada kajian kebahasaan kosa kata al-Qur‟an. Selain itu, dari beberapa contoh
penjelasan yang telah dianalisis oleh penulis juga tidak ditemukan adanya
penukilan riwayat sebagai dasar sumber tafsiran. Namun demikian, dalam
menjelaskan kandungan makna ayat Gus Awis tidak serta merta menafikan
penafsiran-penafsiran yang telah ditempuh oleh ulama-ulama terdahulu.
33
Dua indikator sebelumnya telah dibahas pada bab II 34
Yusuf Qardhawi, Berinteraksi dengan Al-Qur’an (Jakarta: Gema Insan Press, 1999), h.
295. 35
Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, terj. Mudzakir AS, h.488.
66
Kemudian dilihat dari referensi yang digunakannya, Gus Awis juga banyak
mengutip pendapat dari para ahli yang berkompeten. Dalam bidang tafsir
misalnya, beliau banyak mengutip dari mufassir-mufassir senior seperti; tafsir al-
Bahr al-Muhîṯ karya Abû Hayyân Muhammad ibn Yusuf al-Andâlûsi, al-Wasîṯ fi
tafsîr al-Qur’an al-Mâjîd karya Abû al-Hasan „Ali ibn Ahmad al-Wahîdiy al-
Naisâbûri, al-Jâmi’ li ahkâm al-Qur’ân karya al-Qurṯûby, al-Kasyâf karya al-
Zamakhsyari, dan Mafâtih al-Ghayb karya al-Râzy.36
Sedangkan dalam bidang kebahasaan, beliau banyak mengambil referensi dari
ulama-ulama terdahulu seperti; Marji’ al-ṯalâb fî al-Insyâ’ karya Ibrâhîm Syams
al-Dîn, Badî’ al-Qur’ân karya Ibn Abî al-Usbu‟i, al-Tibyân fî I’râb al-Qur’ân
karya Abû al-Baqâ‟ al-„Akbari, Tsalâts Rasâil fî I’jâz al-Al-Qur’ân karya Abû
Sulaimân Hammad ibn Muhammad al-Khiṯâbi dan Abû al-Hasan „Ali ibn „Isâ al-
Ramâniy dan Abû Bakar „Abd al-Qâhar al-Jurjâny, al-Hujjah fî ‘ila al-Qirâ’ât al-
Sab’ karya Abû „Ali al-Fârisi, al-Tashîl li ‘Ulûm al-Tanzîl karya Abû al-Qâsim
Muhammad ibn Ahmad ibn Jazy al-Kalabi al-Gharnâṯi, Kitâb al-Badî’ karya Abû
al-„Abbâs „Abd Allâh ibn Mu‟taz, Badâi’ al-Fawâid karya Abû „Abd Allâh
Muhammad ibn al-Qayyim al-Jawziyah, Kitâb al-Fawâid al-Masyûq ilâ ‘Ulûm al-
Qur’ân wa ‘Ilm al-Bayân karya Abû „Abd Allâh Muhammad ibn al-Qayyim al-
Jawziyah, dan masih banyak lagi.37
Total keseluruhan rujukan yang beliau gunakan berjumlah 65 rujukan.
Kesemuanya itu telah beliau cantumkan pada halaman kepustakaan “Daftar
Pustaka”. Jika mengamati rujukan/ referensi dari M. Afifudin Dimyathi, akan
terlihat bahwa beliau tidak hanya merujuk kepada tafsir-tafsir sebelumnya atau
36
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 591-592 37
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 591-596
67
kepada referensi yang berkaitan dengan ‘Ulûm al-Qur’ân saja melainkan genre
kitab yang sangat mendominasi dari rujukan yang diambil oleh Gus Awis adalah
kitab-kitab kebahasaan. Inilah salah satu indikator yang menguatkan bahwa kitab
ini bercorakkan balâghah.
2. Bahasan Penafsiran
M. Quraish Shihab telah menyampaikan maksud dari menjelaskan kandungan
Al-Qur‟an dari segi aspek sastra yakni dengan adanya analisis kebahasaan
terhadap asal kata, bentuk lafadz, penjelasan nahwu, saraf, qirâ’at, menggunakan
bait-bait sya‟ir Arab, dan perkembangan bahasa.38
Corak bahasa dan sastra dalam
penafsiran ayat-ayat al-Qur‟an memiliki beberapa titik fokus, di antaranya; i’râb
al-Qur’ân dan Balâghat al-Qur’ân. Nah dalam hal ini, Gus Awis memfokuskan
tafsirannya di bidang balâghat al-Qur’ân baik itu ilmu ma’âny39
, badî’40
dan
bayân41
. Berikut ini pembahasannya:
38
Lihat juga Anshori, majruul Qur’an Kaidah-Kaidah Memahami Firman Tuhan,
Ulinnuha (ed.) (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), cet I, h. 218. 39
Ilmu ini mempelajari tentang bagaimana kita mengungkapkan suatu ide atau perasaan
ke dalam sebuah kalimat yang sesuai dengan tuntutan keadaan. Bidang kajian ilmu ini meliputi:
kalâm dan jenis-jenisnya, tujuan-tujuan kalâm, wasl dan fasl, qasr, dzikr, dan hazf, ‘ijâz, musâwah,
dan itnâb.
40 Ilmu ini membahas tata cara memperindah suatu ungkapan, naik pada aspek lafadz,
maupun pada aspek makna. Ilmu ini membahas dua bidang utama, yaitu muhassinât lafdziyyah
dan muhassinât ma’nawiyyah. 41
Suatu ilmu untuk mengungkapkan suatu makna dengan berbagai uslub. Objek
pembahasan ilmu ini adalah uslub-uslub yang berbeda yang kemudian digunakan untuk
mengungkapkan suatu ide yang sama. Ilmu bayân berfungsi untuk mengetahui macam-macam
kaidah pengungkapan, sebagai ilmu seni untuk meneliti setiap uslub dan sebagai alat penjelas
rahasia balaghah. Kajiannya mencakup taysbih, majâz, dan kinâyah.
68
a. Ilmu Ma’âny
Secara keseluruhan ilmu ma’âny mencakup 8 macam kajian, yaitu Isnâd,
Musnad Ilaih, Musnad, Muta’alliqât al-Fi’li, Qasr, Insyâ’, Wasl dan Fasl, Îjâz,
Iṯnâb dan Musâwâh. Semua ilmu ini sangat penting untuk mengetahui perihal
kapankah ungkapan harus dalam bentuk taqdîm, ta’khîr, wasal, fasl, zikr, hadzf,
dan bentuk-bentuk lainnya. Berikut ini pengkategorian ilmu ma’âny dari surat al-
Fâtihah, Al-Baqarah, dan al-‘Alaq:
Tabel 4.1: Ilmu Ma’âny
NO SURAT/
AYAT LAFADZ TERM KATEGORI
1 Al-Fâtihah : 5 Îjâz Ma’âny
2
Taqdîm dan
ta’khîr Ma’âny
3 Al-Fâtihah : 6-
7
Iṯnâb Ma’âny
4 Al-Fâtihah : 7
Taqdîm Ma’âny
5
Îjâz Ma’âny
6 Al-Baqarah : 2 Taukîd Ma’âny
7 Îjâz Ma’âny
69
8 Al-‘Alaq : 1dan
3
Iṯnâb Ma’âny
9 Al-‘Alaq : 1 Îjâz Ma’âny
Berikut akan diurai secara lebih detil terkait ilmu Ma’âny yang terkandung
dalam surat al-Fâtihah, Al-Baqarah, dan al-‘Alaq:
" إيهاك سح عي dijelaskan oleh Gus Awis bahwa di dalamnya " إيهاك عثد
terkandung taqdîm dan ta’khîr, yaitu mendahulukan objek (maf'ûl) dengan tujuan
untuk pembatasan (qasr) dan pengkhususan (takhsîs).42
Selaras dengan penafsiran
Ibnu Katsir yang menerangkan tentang faedah didahulukannya maf’ul yakni
lafadz dan setelah itu diulangi lagi, bertujuan untuk mendapatkan perhatian إيهاك
dan juga sebagai pembatasan. Artinya: “Kami tidak beribadah kecuali kepada-Mu,
dan kami tidak bertawakkal kecuali hanya kepada-Mu.” Dan ini merupakan
puncak kesempurnaan sebuah ketaatan, karena agama ini secara keseluruhan
hanya kembali kepada dua makna di atas.43
Pada ayat “ ي ي ث ع ع أ ط ٱىهري صس سح قي ط ٱى س د ا ٱىص Gus Awis mengutip ”ٱ
pendapat al-Kirmani, yang mengatakan bahwa: “ayat tersebut mengandung iṯnâb
yakni menjelaskan sesuatu setelah ketidakjelasan, sebagaimana yang dikehendaki
dengan lafadz ط س Yang pertama berarti tempat untuk berjalan, maka . ٱىص
disebutkan tempatnya tanpa menyebutkan pelakunya. Kemudian yang kedua
diulangi dengan menyebutkan ص ي ي ث ع ع أ ط ٱىهري س , yaitu jalan yang dilalui oleh
para nabi dan orang-orang mukmin”. Dalam firman-Nya ي ي ث ع ع terdapat fann أ
42
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 3 43
Ibnu Katsir, Shahih Tafsir Ibnu Katsir (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2014),
Penerjemah: Abu Hasan Bashri, juz I, h. 82
70
al-muzalzil, yang mana jika ta' mukhâṯab dibaca ḏammah maka maknanya
menjadi tidak teratur/ berubah.44
Sedangkan dalam firman اىي ال ٱىضه ي ي غضب ع Gus Awis menjelaskan ,غ يس ٱى
bahwa ayat yang seharusnya adalah غضب ط غ يس ٱى yang merupakan صس
peringkasan dengan menghilangkan kata ط Dalih didahulukannya kemurkaan .صس
daripada kesesatan karena pemberian nikmat menerima balasan, sedangkan
kesesatan tidak akan menerima kenikmatan. Maka kenikmatan dapat
menghubungkan kebaikan kepada pemberi nikmat, sedangkan pembalasan
menghubungkan keburukan kepada yang dimurkai. Pendapat ini dikutip oleh Gus
Awis dari Ibnu Hayyân dalam kitab al-Bahr.45
Kemudian Gus Awis menjelaskan mengenai firman Allah tentang ayat " أ ٱقس
ي ق تل ٱىهري خ ز " dan ayat setelahnya yaitu "تٱس تل ٱل مس ز أ ٱقس " yang merupakan
kalam Iṯnâb (bentuk pengulangan fi'il).46
Hal tersebut dimaksudkan untuk
menambah perhatian terkait dengan masalah membaca dan ilmu (pengetahuan).
Kalam Iṯnâb sendiri adalah “Mendatangkan makna dengan ucapan yang lebih
banyak dari maknanya, sebab ada gunanya (bukan melantur).”47
Kemudian dalam
ayat " ي ق تل ٱىهري خ ز أ تٱس " dan ayat setelahnya yaitu "ٱقس ي عي ا ى س ٱل يه ع "
merupakan îjâz qasr yang menyimpan makna halus dari bentuk pendahuluan dan
pengakhiran (taqdîm-ta'khîr).
Sedangkan lafadz ية في ذ ىل اىنح اب merupakan taukid dari lafadz ال ز , Imam al-
Râzi menjelaskan dalam Nihâyat al-Îjâz terkait didahulukannya lafadz ية atas ز
44
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 4 45
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 5 46
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 522 47
Moch Anwar, Jauhar Makmun atau Ilmu Balaghah,terjemahan Imam Akhdlori
(Bandung: PT Alma‟arif, 1985), h. 115-116
71
jâr majrûr ( yaitu dikarenakan penyebutan seperti itulah adalah penyebutan (في
yang paling utama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kitab-kitab selain
al-Qur‟an di dalamnya terkandung keraguan.48
Lafadz ية في juga merupakan Îjâz dengan membuang muḏâf. Adapun ال ز
perkiraan lafadz yang seharusnya menurut Gus Awis adalah ال زية في ازاى ا في
.دايح49
b. Ilmu Badî’
Dalam penjabarannya ilmu badî’ mencakup banyak hal, akan tetapi secara
garis besar pembahasan ilmu badî’ tidak akan terlepas dari 2 hal yakni Badî’
Ma’nawi dan Badî’ Lafẕ. Berikut ini pengkategorian ilmu badî’ dari surat al-
Fâtihah dan Al-Baqarah:
Tabel 4.2 : Ilmu Badî’
NO SURAT/
AYAT LAFADZ TERM KATEGORI
1 Al-Fâtihah : 1
Fann al-
Ta'dîd Badî’
2 Al-Fâtihah : 2 Mubâlagha
h Badî’
3 Al-Fâtihah : 5
Fann al-
muzalzil Badî’
4 Iltifat Badî’
5 Al-Fâtihah : 7 Fann al-
muzalzil Badî’
6
Fann al-
Ta'dîb Badî’
48
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 7 49
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 7
72
7 Al-Baqarah : 1 Fann al-
Ittisâ’ Badî’
8 Husn al-
Iftitâh Badî’
9 Al-Baqarah : 2 Istikhdâm Badî’
Berikut akan diurai secara lebih detil terkait ilmu badî’ yang terkandung
dalam surat al-Fâtihah, Al-Baqarah, dan al-‘Alaq:
Pada lafadz " حي ٱىسه ح ٱىسه ", dijelaskan oleh Gus Awis bahwa di dalamnya
terdapat fann al-Ta'dîd. Fann al-Ta'dîd atau tansîq al-Sifât yaitu mutakallim
mengucapkan kata-kata yang memiliki konteks yang sama, kebanyakan fann al-
Ta'dîd di al-Qur‟an berupa sifat-sifat Allah dengan ketentuan kedua lafadz
tersebut tidak boleh di-„aṯafkan.50
Dengan demikian fann al-Ta'dîd dalam lafadz "
ٱ ح ٱىسه حي ىسه " yaitu lafadz حي yang „aṯaf-nya tidak mengikuti lafadz ٱىسه ح ٱىسه
karena kesamaan posisi keduanya, hal ini dikarenakan di dalamnya terdapat
kekuatan makna. Maka lafadz ح lebih dalam maknanya daripada ٱىسه حي karena ٱىسه
terdapat tambahan huruf Alif.51
Banyak ulama yang berpendapat bahwa al-Rahmân maupun al-Rahîm
keduanya terambil dari akar kata “rahmat”, al-Rahmân setimbang dengan (فعال)
yang menunujukkan arti kesempurnaan, sedangkan al-Rahîm (فعيو) menunjuk
kepada kesinambungan. Sehingga tidak ada bentuk jamak dari kata al-Rahmân,
karena kesempurnaannya itu, dan tidak ada juga yang pantas dinamai al-Rahmân
kecuali Allah. Lain halnya dengan al-Rahîm yang dapat dijamak dengan ruhamâ’,
dalam al-Qur‟an kata al-Rahîm digunakan untuk menunjuk sifat Rasul
50
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 2 51
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 2
73
Muhammad yang menaruh belas kasih teramat dalam terhadap umatnya,
sebagaimana firman Allah dalam surat al-Tawbah ayat 128:
“Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat
terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan)
bagimu, Amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin.”
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kata al-Rahîm dapat
menjadi sifat Allah dan juga sifat makhluk. Demikian yang dijelaskan Quraish
Shihab dalam tafsirnya.52
Selanjutnya lafadz " د لله Gus Awis menjelaskan bahwa lafadz tersebut , " ٱىح
mengandung unsur “yang lebih” (ثاىغة) tentang pujian, hal ini disebabkan karena
keumuman fungsi dari Alif lam (اه) pada lafadz د adalah untuk mencakup ٱىح
keseluruhan (االسحغسق).53
Hal senada juga dijelaskan oleh Ibnu Katsir dalam
tafsirnya, bahwa alif lam pada lafadz د dimaksudkan untuk istighraq yakni ٱىح
untuk mencakup segala jenis dan bentuk pujian hanya bagi Allah semata.54
Pada lafadz " Gus Awis juga mengatakan bahwa lafadz ini dikhususkan ," لله
dengan huruf lam yang menunjukkan bahwa seluruh pujian khusus hanya untuk
Allah semata, karena Dia-lah pemilik pujian tersebut. Dengan demikian, jika
dihubungkan dengan lafadz ي ٱىد يل ي maka yang dimaksud adalah pada hari hari
52
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. I h. 33-34 53
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 2 54
Ibnu Katsir, Shahih Tafsir Ibnu Katsir (Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir, 2014),
Penerjemah: Abu Hasan Bashri, juz I, h.75
74
kiamat nanti seluruh kepemilikan dan kekuasaan akan hilang kecuali milik Allah,
dan hanya Allah yang memiliki dan berkuasa.55
Penjelasan mengenai fann al-muzalzil pada kalimat " إيهاك سح عي إيهاك عثد ",
fann al-muzalzil adalah berubahnya suatu makna dalam kalimat disebabkan
perubahan posisi kata atau i‟rab kata.56
Dengan demikian jika huruf “kaf” pada
lafadz إيهاك dibaca kasrah maka akan mengubah makna (menjadi muannats/
perempuan). Gus Awis juga memberikan keterangan terkait firman " إيها ك سح عي "
yang mana terdapat pengalihan kata ganti dari orang ketiga (ḏamîr ghayb) ke kata
ganti untuk orang kedua (ḏamîr mukhâṯab), dengan demikian seharusnya ayat
tersebut menggunakan kalimat ايا عثد.57
Selanjutnya beliau menjelaskan mengenai iltifat58
pada kalimat " إيهاك إيهاك عثد
yang mana jika dibaca kasrah maka akan إيهاك yaitu huruf “kaf” pada lafadz " سح عي
mengubah makna (menjadi muannats/ perempuan).
Dalam ayat pertama surat al-Baqarah, Gus Awis mengatakan bahwa lafadz اى
merupakan Fann al-Ittisâ’ yaitu salah satu kategori Îjâz yang berfungsi untuk
mendatangkan kalimat yang memuat takwilan berbagai makna.59
Dengan
demikian lafadz اى yang merupakan huruf muqaṯṯa’ah atau juga disebut huruf
majâz memiliki kandungan makna yang sangat luas. Rasyad Khalifah berpendapat
bahwa huruf-huruf itu menurutnya adalah isyarat tentang huruf-huruf yang
terbanyak dalam surat-suratnya. Dalam surat Al-Baqarah, huruf terbanyak alif,
55
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 2 56
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 3 57
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 3 58
dalam kalimat terdapat lafadz yang apabila dirubah posisi atau i'rabnya maka akan
mengubah maknanya 59
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 6
75
kemudian lam dan mim. Hal demikian berlaku pada setiap surat yang diawali
dengan huruf muqaṯṯa’ah, kecuali pada surat Yâsin. Kedua huruf yang dipilih
pada surat tersebut adalah huruf yang paling sedikit digunakan. Namun pendapat
ini sangat kontroversial, sehingga perlu adanya penelitian seksama sebelum
membenarkan hipotesis ini. Demikian yang dipaparkan M.Quraish Shihab di
dalam tafsir al-Misbâh.60
Ayat ini juga termasuk ayat-ayat mutasyâbihât yang
penyebutannya bertujuan untuk menambah keimanan dan mendorong manusia
agar lebih bertafakkur terhadap ayat-ayat yang diciptakan Tuhan.61
Gus Awis menjelaskan bahwa ayat kedua surat ini mengandung Husn al-
Nasaq, maksudnya adalah si mutakallim mendatangkan kata-kata yang saling
bersusulan dengan baik.62
Susunan tersebut terdiri dari beberapa jumlah yang
berturut-turut dan konsisten tanpa disertai huruf ‘aṯaf. Lafadz ذ ىل dalam ayat
kedua merupakan isim isyârah yang digunakan untuk menunjuk sesuatu yang
letaknya jauh, isyarat jauh ini bertujuan untuk memberi kesan bahwa kitab suci ini
berada dalam kedudukan yang amat tinggi dan sangat jauh dari jangkauan
makhluk (dari segi kesempurnaan). Sedangkan lafadz ية في merupakan taukid ال ز
dari lafadz ذ ىل اىنح اب , Imam al-Râzi menjelaskan dalam Nihâyat al-Îjâz terkait
didahulukannya lafadz ية ) atas jâr majrûr ز yaitu dikarenakan penyebutan (في
seperti itulah adalah penyebutan yang paling utama. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kitab-kitab selain al-Qur‟an di dalamnya terkandung
keraguan.63
60
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, vol. I h. 84 61
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 6 62
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 6 63
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 7
76
Lafadz ية في juga merupakan Îjâz dengan membuang muḏâf. Adapun ال ز
perkiraan lafadz yang seharusnya menurut Gus Awis adalah ال زية في ازاى ا في
.دايح64
c. Ilmu Bayân
Objek kajian ilmu Bayân mencakup 3 macam kajian, yaitu Tasybîh, Majâz, dan
Kinâyah. Melalui ketiga bidang ini kita akan mengetahui ungkapan-ungkapan
Bahasa Arab yang fasih, baik, dan benar. Dengan pengetahuan tersebut seseorang
akan mampu menangkap kemukjizatan al- Qur‟an dari aspek bahasanya,
maksudnya ia akan mampu menangkap keindahan, ketepatan dan kehebatan ayat
al-Qur‟an baik pada tataran jumlah, kalimah, sampai kepada huruf-hurufnya.
Berikut ini ilmu Bayân yang terkandung dalam surat al-Fâtihah dan Al-Baqarah:
Tabel 4.3 : Ilmu Bayân
NO SURAT/
AYAT LAFADZ TERM KATEGORI
1 Al-Fâtihah : 1 Isti’ârah Bayân
2 Al-Fâtihah : 6 Isti’ârah Bayân
3 Al-Baqarah : 3 Majâz ‘Aqli Bayân
4 Majâz
mursal Bayân
5 Al-Baqarah : 5 Isti’ârah Bayân
Berikut akan diurai secara lebih detil terkait corak tafsiran yang terkandung
dalam surat al-Fâtihah, Al-Baqarah, dan al-‘Alaq:
Sisi kebahasaan dari lafadz " ٱلله تس " adalah isti’ârah makniyyah taba’iyyah.65
Penjelasan mengenai istilah-istilah tersebut secara lugas dipaparkan oleh Gus
64
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 7 65
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 2
77
Awis melalui catatan kaki. Dalam ilmu balâghah yang dimaksud dengan isti’ârah
telah dijelaskan oleh Ali Al-Jarim dan Musthofa Amin dalam bukunya al-
Balâghah al-waḏîhah sebagai berikut:
اإلستعارة هي ماز علق ته المشاب هة دائما“Isti’ârah adalah majâz yang „alâqah-nya selalu musyâbahah”.
Sedangkan makniyyah dan taba’iyyah merupakan cabang/ bagian dari
Isti’ârah. Isti’ârah makniyyah adalah isti’ârah yang tidak menyebutkan lafadz
musyabbah bih, melainkan menggantinya dengan sifat-sifat yang lazim baginya.66
Seperti contoh, “Dan apabila kematian (singa) sudah menancapkan kuku-
kukunya, maka kau akan menemukan setiap jampi tidak bermanfaat lagi”. Lafadz
singa dibuang dan diganti dengan sifat yang lazim baginya, yaitu “aẕfâr” (kuku-
kuku). Dan yang dimaksud dengan isti’ârah taba’iyyah adalah apabila lafadz
yang digunakan berupa huruf, fi‟il atau isim musytaq, contoh: “Dan aku pasti akan
menyalib mereka di batang-batang kurma” digunakan karena saking tingginya.67
Sedangkan dalam lafadz " سح قي ط ٱى س ٱىص " terdapat Isti’ârah Tasrîhiyah 68
, yaitu
agama yang benar. Diperumpamakannya agama yang benar dengan jalan yang
lurus menurut belaiu karena adanya sisi keserupaan di antara keduanya yaitu
meskipun Allah memiliki kedudukan yang tinggi namun seorang mukmin yang
meminta suatu pencapaian maka harus memutuskan jarak untuk memuliakan
pencapaian tersebut.69
66
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 2 67
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 2 68
Yakni Isti’ârah yang menggunakan lafadz musyabbah bih. Contoh: “Maka ia (wanita
cantik) mengucurkan mutiara (air mata yang bening) dari narjis (bola mata yang indah) dan
menyirami bunga mawar (pipi yang kemerah-merahan). Ia pun menggigit buah-buahan anggur
(jari jemari yang indah) dengan embun (gigi yang bersih)”. 69
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 3
78
Selanjutnya lafadz حهقي د ىي dalam ayat kedua merupakan Majâz ‘Aqli,
maksudnya adalah penyandaran perbuatan atau sejenisnya kepada sesuatu yang
bukan sebenarnya karena adanya „alaqah serta qarînah (susunan kalimat) yang
mencegah terjadinya penyandaran makna ke lafadz tersebut.70
Dalam hal ini
sumber hidayah semestinya hanya disandarkan kepada al-Qur‟an sedangkan sang
pemberi hidayah disandarkan kepada Allah semata. Selanjutnya seperti yang
dikehendaki dalam lafadz, objek sasaran petunjuk tersebut adalah orang-orang
yang bertaqwa. Kemudian lafadz dalam ayat ini merupakan lafadz tankîr د
yang berfungsi sebagai tafkhîm (pengagungan).71
Gus Awis juga mengatakan
bahwa ayat حهقي د ىي merupakan Iktifâ’72
maksudnya adalah tidak disebutkannya
suatu kata karena telah diketahui padanannya, sehingga penyebutan salah satunya
sudah mewakili keduanya.73
Gus Awis menjelaskan dalam kitabnya bahwa objek
sasaran ayat ini yang sesungguhnya adalah untuk seluruh manusia (bukan hanya
orang-orang yang bertaqwa). Dengan demikian lafadz yang kira-kira dibuang
adalah ي س اف ن اى .74
70
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 7 71
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 7 72
Iktifa’ merupakan salah satu jenis Ijaz bi al-Hadzf 73
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 7 74
M. Afifudin Dimyathi, al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân, h. 7
79
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari pembahasan tentang telaah terhadap kitab al-Syâmil Fî Balâghat al-
Qur’ân, dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Metodologi yang digunakan oleh M. Afifudin Dimyathi dalam kitab al-
Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân adalah metode ijmâli, yang merupakan salah satu
metode menafsirkan al-Qur’an dengan cara mengemukakan makna global
(mujmal), tanpa uraian-uraian panjang lebar, dan berdasarkan urutan bacaan dan
susunan al-Qur’an. Kemudian dari segi sumber yang digunakan, beliau
menggunakan pendekatan bi al-Ra’yi yang dalam menjelaskan maknanya beliau
hanya berpegang pada pemahaman sendiri dan penyimpulan (istinbȃṯ) yang
didasarkan pada ra’yu (akal). Sedangkan dilihat dari fokus penjelasannya, corak
yang digunakan dalam kitab ini yaitu corak balâghah (Bahasa dan Sastra),
pernyataan ini sesuai dengan analisis penulis terhadap beberapa indikator yang
ada dan juga sesuai dengan paparan pengarang dalam muqaddimah kitabnya.
B. Saran-saran
Al-Qur’an ibarat sumber mata air yang tak mengenal kering untuk digali
sampai hari kiamat. Al-Qur’an semakin kita kaji lebih dalam isinya, maka akan
semakin banyak petunjuk-petunjuk hidup yang kita dapatkan. Keterbatasan
penulis dalam penelitian ini, melahirkan ruang bagi siapa saja untuk dapat
mengkaji perkembangan tafsir al-Qur’an lebih mendalam lagi dari pada penelitian
80
yang penulis lakukan, terlebih yang fokus dalam bidang balâghah. Untuk itu ada
dua saran dari hasil penelitian ini:
1. Secara akademis, menunjukkan bahwa tafsir lokal harus dijunjung tinggi
nilainya, sebagai bukti tonggak sejarah karya ulama Nusantara dan harus
dikembangkan lebih jauh lagi dalam penelitian-penelitian selanjutnya.
2. Secara praktis, penelitian ini bisa dijadikan bahan rujukan bagi peneliti-
peneliti selanjutnya dan bisa dijadikan koreksi bersama demi melengkapi
kekurangan yang ada.
81
DAFTAR PUSTAKA
Adiwikarta, Ending Soetari. Pengantar Ilmu Tafsir Al-Qur’an. Bandung: Yayasan
Amal Bakti, 2013.
Al-Dzahabi, Muhammad Husain. Al-Tafsîr wal Mufassirûn. Maktabah Mash‟ab
bin Umair al-Islamiyah, 2004.
Af‟idaf, Shikhkhatul. “Metode dan Corak tafsir Al-Wasit Karya Wahbah
Zuhaili”. Skripsi UIN Walisongo, 2017.
Aminah, St. Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Semarang: CV. Assyifa‟,
1993.
Amir, Mafri dan Lilik Ummi Kultsum. Literatur Tafsir Indonesia. Ciputat:
Litbang UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011.
Anshori. Ulumul Qur’an Kaidah-Kaidah Memahami Firman Tuhan, Ulinnuha
(ed.) Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013.
Anwar, Moch. Jauhar Makmun atau Ilmu Balaghah,terjemahan Imam Akhdlori.
Bandung: PT Alma‟arif, 1985.
Anwar, Rosihan. Samudra al-Qur’an. Bandung: Pustaka Setia, 2001.
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-
Qur’an dan Tafsir. Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 2009.
Baidan, Nashrudin. Metode Penafsiran Al-Qur’an, Terhadap Ayat-Ayat yang
Beredaksi Mirip. Yogyakarta: Pustaka pelajar, Cet 1, 2002.
Bakr, Jalâl al-Dîn „Abd al-Rahmân Abi. al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Bairut: Dar
al-Kutb al-„Ilmiah, 2007.
Dimyathi, M. Afifudin. al-Syâmil Fî Balâghat al-Qur’ân. Malang: Lisan Arabi,
2018.
Al-Farmawy, Abd al Hayyi. al-Bidayah fi al-Tatfsir al-Maudlu’i. Dirasah
Manhajiyyah Maudhu‟iyah: t.k., t.p.
Al-Fattah, „Abd Lasyin. Al-Ma’âni Fi Dau’ Asalib al-Qur’an al-Karim
82
Federspiel, Howard M. Popular Indonesian Literature of The Qur’an. New York:
Cornell Modern Indonesian Project, 1994.
Fudlaili, Mashuri Sirajuddin Iqbal. Pengantar Ilmu Tafsir. Bandung: Angkasa,
1989.
Ghafur, Saiful Amin. Profil Para Mufassir. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani,
2008.
Gozali, Nanang. Metodologi Ilmu Tafsir. Yogyakarta:Teras, 2005.
Hadi, Nur. “Tafsir Al-Qur’an Al-‘Adzhim karya Raden Penghulu Tabshir Al-
Anam Karaton Kasunanan Surakarta. Studi Metode dan Corak Tafsir)”
(tesis UIN Surakarta, 2017.
Hermawan, Acep. ‘Ulumul Qur’an: Ilmu Untuk Memahami Wahyu. Bandung :
Remaja Posdakarya, 2011.
HSB, Aminah Rahmi Hati. “Metode dan Corak Penafsiran Imam Al-Alusi
Terhadap Al-Qur’an”. Skripsi UIN Sultan Syarif Kasim, 2013.
Ichwan, Mohammad Nor. Tafsir ‘Ilmy, Memahami Al-Qur’an Melalui
Pendekatan Sains Modern. Yogyakarta: Menara Kudus Jogja, Cet I,
2004.
IMZI, Husnul Hakim. Ensiklopedia Kitab-Kitab Tafsir. Depok: Lingkar Studi Al-
Qur‟an, 2013.
Islam, Dewan Redaksi Ensiklopedi. Ensiklopedi Islam, Jilid 1. Jakarta: Ichtiar
Baru Van Hoeve, 1993.
Jalal, Abdul. Ulumul Qur’an. Surabaya: Dunia Ilmu, 2000.
Al-Jarim, Ali & Musthafa Amin. Al-Balaghah al-Wadhihah. Kairo: Dar al-
Ma‟arif, tt
Katsir, Ibnu. Shahih Tafsir Ibnu Katsir, Penerjemah: Abu Hasan Bashri. Jakarta:
Pustaka Ibnu Katsir, 2014.
Miswar, Andi. Tafsir Al-Qur‟an Al-Majid “Al-Nur” Karya T.M. Hasbi Al-
Shiddieqy (Corak Tafsir berdasarkan Perkembangan Kebudayaan Islam
Nusantara). Jurnal Adabiyah vol. XV Nomor 1/ 2015.
Al-Muhtasib, Abdul Majid Abusssalam. Visi dan Paradigma Tafsir Al-Qur’an
Kontemporer Terj. Maghfur Wahid, Al-Izzah. Bangil-Jawa Timur, 1997.
Mulyono, Anton M. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
1990.
83
Al-Munawwar, Said Agil Husain. Al-Qur’an Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki. Ciputat Pers, Jakarta, 2002.
Munawwir, Ahmad Warson. Kamus al-Munawwir. Yogyakarta: Pustaka
Progressif, 1997.
Muslim, Musthafa. Mabahits fi al-Tafsir al-Maudhu’i. Damsyiq-Siria: Dar al
Qalam, 1410 H/ 1989 M.
Qardhawi, Yusuf. Berinteraksi dengan Al-Qur’an. Jakarta: Gema Insan Press,
1999.
Al-Qattan, Manna Khalil. Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Kairo: Maktabah
Wahbah, 2007.
. . . . . . . Studi Ilmu-ilmu Qur’an, terj. Mudzakkkir As. Jakarta: Litera Antar Nusa,
2001.
Raya, Ahmad Thib. Rasionalitas Bahasa Al-Qur’an. Jakarta: Fikra, 2006.
Rohimin. Metodologi Ilmu Tafsir dan Aplikasi Model Penafsiran. Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, Cet I, 2007.
Rosadisastra, Andi. Metode Tafsir Ayat-Ayat Sains dan Sosial. Jakarta: Amzah,
2007.
Al-Sâbuni, Muhammad „Ali. al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Dimasyq: Maktabah
al-Ghazali, 1401 H/ 1981 M.
. . . . . . . Rawâi’ al-Bayân. Beirut: Maktabah al-Ghazali
Sa‟id, Hasani Ahmad. Diskursus Munasabah Al-Qur’an dalam Tafsir Al-Misbah.
Jakarta: Amzah, 2015.
Al-Sâlih, Subhi. Mabâhits fî ‘Ulûm al-Qur’ân. Beirut-Lubnan: Dar al-„ Ilm li al-
Malayin, 1988.
Setiawan, Nurkholis. Al-Qur’an Kitab Sastra Terbesar. Yogyakarta: Elsaq Press,
Cet I, 2006.
Al-Shiddieqy, Hasbi. Ilmu Al-Qur’an & Tafsir. Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 2002.
Shihab, M. Quraish. Tafsir al-Misbah. Ciputat: Lentera Hati, 2000.
. . . . . . . Membumikan al-Qur’an. Bandung: Mizan, 2014.
84
Shukri, Hanim Shafiera Binti. ” Penafsiran Ali Ash-Shabuni Terhadap Ayat-Ayat
Tasybih Dalam Surat Al-Baqarah.” Skripsi UIN Sultan Syarif Kasim,
2014.
Siti, Neng. “Analisis Balaghah tentang Faedah Kalam Khobari dalam Al-Qur’an
(Surah Ali-Imran).” Skripsi UIN Suska, 2014.
Sodiqin, Ali. Antropologi Al-Qur’an. Ar-Ruzz Media: Yogyakarta, 2008.
Suma, Muhammad Amin. Ulumul Qur’an. Jakarta: Rajawali Press, 2013.
Syibromlisi, Faizah Ali & Jauhar Azizy. Membahas Kitab Tafsir Klasik-Modern
Al-Syirbasi, Ahmad. Sejarah Tafsir Al-Qur’an. Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985.
Taufiq, Abdul Rahman. “Studi Metode dan Corak Tafsir Al-Huda, Tafsir Qur’an
Bahasa Jawi Karya Brigjen (Purn.) Drs. H. Bakri Syahid.” Skripsi, UIN
Syarif Hidayatullah, 2017.
Al-Utsaimin, Syaikh Muhammad Shalih dkk. Syarah Pengantar Studi Ilmu Tafsir
Ibnu Taimiyah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2014.
Yusuf, Kadar Muhammad. Studi al-Qur’an. Jakarta: Hamzah, 2010.
Zayd, Nashr Hamid Abu. Tekstualitas al-Qur’an Kritik terhadap Ulumul Qur’an,
Terjemahan oleh Khoiron Nahdliyyin. Yogyakarta: Al-Arobi, 2002.
Al-Zuhaili, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islamy, jilid I. Beirut: Dar al-Fikr, 1997.
Zuhdi, M. Nurdin. Pasaraya Tafsir Indonesia
Zulkarnaen, Ahmad. “Balâghah Al-Tasybîh fî Sûrah Al-Baqarah Dirâsah
Tahliliyah Bayâniyah.” Skripsi UIN Sunan Kalijaga, 2010.