tekstual, kontekstual dan liberal (7)

5

Click here to load reader

Upload: sahidindonesia

Post on 31-Jul-2015

88 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tekstual, Kontekstual Dan Liberal (7)

TEKSTUAL, KONTEKSTUAL DAN LIBERAL (7)

Tekstual Menuju Pada KontekstualSeperti telah kita ikuti uraian tentang arti tekstual dengan penganut ulamanya yakni aliran dhahiriyah dan kemudian kita ikuti pengertian kontekstual dengan penganutnya yakni baik aliran jumhur ahli ushul mutakallimin dan ulama Harafiyah. Kontekstual diartikan pada pengertian kontekstualnya satu pada dalil dengan dalil lainnya; termasuk pada urf, kebiassan yang terjadi pada masyarakat maupun keadaan alamiyah manusia. Kata kontekstual pada era globalisasi ini oleh sebagian pakar diartikan pada pemikiran ajaran Islam itu disesuaikan zamannya. Jadi pengembangan pemikiran keislaman kontekstual yang dilakukan ulama abad pertama sampai ke 7 Hijriyyah masih termasuk tekstual karena orientasinya masih kental mengacu pada toks. Sedang kontekstuat dalam pemikiran keislaman masa kini termasuk hukum, mestinya dihubungkan dengan pemikiran filsafat dan fakta-fakta serta fenomena dalam masyarakat. Kita masih ingat bertubi-tubi mantan Menteri Agama Dr. Munawir Sadzali (almarhum) menjelang disusunnya Kompilasi Hukum Islam memandang perlunya perubahan bagian waris anak perempuan sama dengan anak laki-laki dan bunga bank bukan riba. Hal ini didasarkan telah adanya emansipasi wanita (masalah gender) dan persamaan hak asasi serta ekonomi modern yang sangat memerlukan bank. Disebutnya berkali-kali pengembangan pemikiran demikian didasarkan pada dasar kontekstual, dan umumnya pemikiran alumni Universitas Barat demikian.Dalam pemikiran filsafat interpretasi atau penafsiran terhadap sesuatu kalimat atau teks disebut hermeneutika. Yang singkatnya hermeneutika itu adalah teori tentang penafsiran. Yang di dunia Barat dilakukan terhadap kilab-kitab sucinya baik Taurat maupun Injil (Beybel). Di dunia Barat interpretasi dilakukan terhadap kitab suci mereka yang menurut teksnya tidak sesuai dengan fakta-fakta yang didapat berdasarkan hasil penetitian. Seperti hasil penelitian Galileo (abad 16-17 Masehi) bahwa matahari adalah pusat galaksi dan bumi bukanlah pusat tata surya itu. Hal ini bertentangan dengan pendapat gereja yang menyatakan bahwa bumi adalah pusat tata surya. Kemudian Galileo pada tahun 1633 dipaksa harus mencabut teorinya itu. Dalam kitab suci al-Qur’an hal seperti itu tidak terjadi karena ayat-ayat al-Qur'an masih murni belum ada yang dirubah dan kalau ada yang nampak tidak adanya persesuaian dengan fakta dan kebenaran akal, maka dilakukan ta'wil, seperti kata yadullahu, diartikan pada kekuasaan bukan tangan. Demikian pula dalam pernyataan ayat yang menyatakan bahwa penciptaan bumi dan langit dalam enam hari pada surat al A'raf ayat 54 dan juga pada surat as Sajdah ayat 4 dan juga tersebut dalam beberapa surat yang lain. Pernyataan demikian harus dikontekstualkan dengan pernyataan ayat yang lain bahwa hari menurut ukuran alam yang lain seperti seribu tahun di dunia ini (tersebut dalam surat as Sajdah ayat 5) bahkan ada ayat lain yang menyatakan bahwa di alam lain ada yang ukuran satu hari itu sama dengan 50.000 tahun (tersebut dalam surat al Ma'arij ayat 4 apalagi bahwa Allah itu Maha Kuasa dapat menciptakan ciptaan-Nya menurut kehandak-Nya. Ayat seperti ini adalah ayat kauniyah yang bertalian dengan alam yang berproses secara evolusi dapat ditafsirkan dengan hasil penelitian. Penafsiran terciptanya alam ini secara proses jumlah waktunya tidak terbatas pada bilangan yang tersurat itu. Jumlah bilangan yang tersurat itu akan menunjukkan proses dan lamanya perkembangan sesuai dengan kejadiannya yang dapat diteliti oleh kemampuan otak manusia Lain halnya bilangan (adad) dalam ibadah maka bilangan waktu dalam ibadah itu tidak dapat ditafsir lain kecuali sejumlah bilangan itu seperti dalam ayat 196 surat al Baqarah:

Page 2: Tekstual, Kontekstual Dan Liberal (7)

Artinya: "Barang siapa yang tidak menemukan (qurban) atau tidak mampu maka wajb berpuasa tiga hari dalam masa haji dan 7 hari lagi apabila engkau telah pulang; itulah sepuluh hari yang sempurna.”Pengembangan pemikiran tentang penafsiran teks al Qur'an menurut penulis bukanlah sesuatu yang mengejutkan dan mengherankan kalau dilakukan dengan seksama dan dengan metodologi yang benar. Juga dibuat kesimpulan yang benar tidak mencari-cari untuk justifikasi sesuai dengan keinginan yang belum tentu sesuai dengan kebenaran yang ada. Tegasnya dalam memahami teks wahyu hendaknya manusia memahami dulu maksud dari nash tesebut dan disesuaikan dengan kemashlahatan sesuai dengan zamannya. Hanya saja seperti tersebut dimuka harus dengan ijtihad dan metode yang benar, jangan sampai mencapai mashlahah yang mulghah (sia-sia, tidak benar).Pengembangan Pemikiran Tentang Ushul FiqihIlmu ushul fiqih prinsipnya membicarakan tentang cara istimbath dan ijtihad merupakan metodologi terpenting yang ditemukan oleh dunia pemikiran Islam yang dulunya ada pada ilmu ushuluddin dan kemudian ada pada ilmu Fiqih. Sekarang akan diluaskan lagi menajadi metodologi dalam pemikiran Islam pada umumnya. llmu ini tidak dimiliki oleh umat lain. Sebenarnya, ilmu ini tidak hanya menjadi metodologi bagi hukum Islam, tapi dapat digunakan yang merupakan metodologi juga bagi seluruh pemikiran intelektual Islam.Dalam perjalanan sejarah ilmu ini kitab ar Risalah karya asy Syafi'i dianggap rintisan pertama tentang ilmu ushul fiqih sekalipun prinsipnya ilmu ushul itu telah berlaku sejak shahabat. Ar Risalah yang penulisannya bercorak deduktif yang kemudian diikuti oleh para ahli ushul aliran mutakallimun (Syafi'iyyah, Malikiyah dan Hanabilah). Disamping itu ulama Hanafiyah memiliki cara penulisan ushul yang bercorak induktif. Baik kitab-kitab ushul aliran mutakallimun, maupun aliran Hanafiyah memiliki kesamaan paradigma yaitu literalislik dalam arti begitu dominannya pembahasan tentang teks. Dalam hal ini teks berbahasa Arab, baik dari segi tata bahasa maupun artinya dan kurang memperhatikan pembahasan tentang maksud dasar dari wahyu yang ada dibalik teks. Paradigma ini berlangsung selama kurang lebih lima abad (dari abad ke 2 H sampai abad ke7 H) dan baru mengalami perbaikan dengan munculnya asy Syatibi pada abad ke 8 H yang menambahkan teori maqashid asy syari'ah yang mengacu pada maksud Allah sebagai pembuat hukum (Syari'). Dengan demikian, ilmu ushul fiqih tidak lagi hanya terpaku pada literalisme teks. Kehadiran asy Syatibi tidak menghendaki penghapusan paradigma literal atau tekstual tapi ingin melengkapinya agar ilmu itu dapat lebih sempurna dalam memahami perintah Allah.Dalam perspeklif filsafal ilmu asy syatibi sebenarnya tidak melakukan pergeseran paradigma (paradigma shift), tapi lebih hanya melengkapi paradigma lama, agar tidak terlalu tekstual. Asy Syatibi tidak melakukan perubahan pada bangunan ilmu ushul fiqih, tetapi menambah kesempurnaannya, dengan kata lain, Asy Syatibi pun masih termasuk pemikir tekstual.Enam abad kemudian, sumbangan asy Syatibi pada abad ke 8 H/14 M itu, direvitalisasikan oleh para pembaharu pemikiran Islam termasuk memperankan kembali ruh ijtihad yang sebenarnya sudah ada dalam ushul fiqih, seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Abdul Wahab Khallaf, 'Allal al Fasi, dan Hasan Turabi. Karena tidak menawarkan teori baru kecuali merevitalisasi prinsip ijtihad dengan mempertegas mashlahah yang ditawarkan asy Syatibi melalui teori maqashid-nya itu mereka belum termasuk pembaharuan dalam pemikiran keislaman. Kalau kita hubungkan dengan perkembangan masa kini, seperti dikategorikan oleh Wael B. Hallaq para pembaharu dibidang ushul kelompok ini baru dapat dikategorikan sebagai para pembaharu penganut aliran utilitarianisme, (pemberdayaan agama).

Page 3: Tekstual, Kontekstual Dan Liberal (7)

Pemikiran Liberalisme Perlu KritikPersoalannya bagaimanakah teks yang absolut dapat dipahami oleh fikiran manusia yang nisbi kemudian dijalankan dalam konteks dunia modern yang tidak lagi sama dengan konteks zaman Nabi yang masih serba sederhana. Sebagian pakar yang oleh WB. Hallaq disebut kelompok aliran liberalisme keagamaan seperti Abdullah Ahmed an Naim, Muhammad Said Asymawi, Fazlur Rahman, dan Muhammad Syahrur yang dapat disebut pembaharu dalam ushul pendapat bahwa permasalahan sekarang tidak dapat diselesaikan dengan berpijak pada prinsip mashlahah klasik hasil pemikiran ulama dahulu. Mereka beranggapan bahwa prinsip mashlahah klasik tidak memadai untuk membuat hukum Islam mampu hidup di dunia modern. Karenanya perlu adanya pemikiran yang dapat menampung pemikiran yang konteks dengan masa modern ini yang disebut pemikir kontekstual. Karena pemikiran ini coraknya liberal dan cenderung membuang teori-teori ushul fiqh lama, maka disebut aliran liberal. Menurut WB. Hallaq upaya pembaharuan dibidang ushul dari kelompok ini dianggapnya lebih menjanjikan karena kelompok ini dalam rangka membangun melodologinya ingin menghubungkan antara teks suci dengan realitas dunia modern lebih berpijak makna eksplisit teks untuk menangkap jiwa dan maksud luas dari teks.Namun pembaharuan ushul oleh mereka yang disebut dengan kaum liberalis itu menimbulkan sejumlah kontroversi dan perdebatan. Tawaran itu hingga saat ini masih ditanggapi oleh mayoritas ulama ushul secara negatif bahkan penuh kecurigaan. Akar utama penyebab kontroversi itu adalah karena pemikiran mereka itu tidak memiliki landasan kuat pada kerangka teoritik ilmu ushul yang telah ada sebelumnya. Seperti mereka menggunakan teori mashlahah tetapi tidak memperhatikan bahwa mashlahah itu ada yang mulghah (yang harus dihindari) yakni mashlahah menurut pemikiran praktis tetapi bertentangan dengan nash yang jelas seperti membolehkan pernikahan wanita muslimah dengan laki-laki non muslim.Dalam masalah muamalah dunyawiyah dan masalah kauniyah itu tidak akan banyak tentanga. Tetapi dalam masalah ibadah mahdhah pemikiran praktis akan sangat dapat tantangan keras seperti menafsirkan bebas aqimish shalaata li dzikri (dirikan shalat agar ingat pada-Ku), yang shalat menjadi kurang penting kalau sekiranya tanpa shalat orang sudah dapat mengingat Allah, dan sebagainya.

Sumber:Suara MuhammadiyahEdisi 17 2004