teater tradisional di jepang

44
TEATER TRADISIONAL DI JEPANG NIHON NO DENTO GEKIJO Kertas Karya Dikerjakan Oleh: DHAIFINA GHASSANI LUBIS NIM: 152203027 PROGRAM STUDI D-III BAHASA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2018 UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Upload: others

Post on 01-Oct-2021

18 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

NIHON NO DENTO GEKIJO

Kertas Karya

Dikerjakan Oleh:

DHAIFINA GHASSANI LUBIS

NIM: 152203027

PROGRAM STUDI D-III BAHASA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 2: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

KERTAS KARYA

Kertas karya ini diajukan Kepada panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah

satu syarat ujian Diploma III dalam Bidang Studi Bahasa Jepang.

Dikerjakan

OLEH:

DHAIFINA GHASSANI LUBIS

NIM: 152203027

PEMBIMBING

Nelvita S.S., M.Hum

NIP: 198411032015042001

PROGRAM STUDI D-III BAHASA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 3: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

PENGESAHAN

Diterima Oleh

Panitia Ujian Pendidikan Non-Gelar Sastra Budaya Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah satu syarat ujian

Diploma III Bidang Studi Bahasa Jepang

Pada

Tanggal : 27 Juli 2018

Hari : Jumat

Program Studi D-III Bahasa Jepang

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara

Dekan,

Dr. Budi Agustono, M.S

NIP: 190608051987031001

Panitia Tugas Akhir:

No. Nama Tanda Tangan

1. Nelvita S.S., M.Hum ( )

2. Adriana Hasibuan S.S., M.Hum ( )

3. Veryani Guniesti S.S., M.Hum ( )

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 4: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

Disetujui Oleh :

PROGRAM STUDI D-III BAHASA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2018

Medan, Juli 2018

Ketua Program Studi

Dr. Diah Syafitri Handayani, M.Litt

NIP: 19721228199932001

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 5: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirrahim. Assalamualaikum wr.wb, segala puji syukur

penulis saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat hidayah-

Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan kertas karya ini, sebagai syarat untuk

memenuhi ujian akhir Diploma-III Program Studi Bahasa Jepang Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Sumatera Utara. Kertas Karya ini berjudul “TEATER

TRADISIONAL DI JEPANG”.

Dalam hal ini penulis menyadari bahwa apa yang telah tertulis dalam

Kertas Karya ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi materi dan

pembahasan masalah. Demi kesempurnaan, penulis sangat mengharapkan saran

dan kritik yang membangun dari para pembaca untuk ke arah perbaikan.

Dalam Kertas Karya ini penulis telah banyak menerima bantuan dari

berbagai pihak yang cukup bernilai harganya. Untuk ini penulis mengucapkan

banyak terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S., selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. Diah Syafitri Handayani, M.Litt., selaku Ketua Prodi Bahasa Jepang D-III

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Ibu Nelvita S.S., M.Hum selaku Dosen pembimbing yang dengan ikhlas telah

meluangkan waktu dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan juga arahan

kepada penulis dalam menyelesaikan Kertas Karya ini.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 6: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

4. Seluruh Staf Pengajar pada Program Studi Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara, atas didikannya selama masa perkuliahan.

5. Teristimewa kepada kedua orangtua tercinta, Ayahanda H. Harry Noor Lubis dan

Ibunda Sri Meiniza, yang telah memberikan doa, dukungan, bimbingan sehingga

penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini dengan baik.

6. Terima Kasih kepada om, kakak, abang, sepupu dan keponakan Adil

Simangunsong, Kamelia, Senny Siti Permana Lubis Amd, Renny Laili Dwi

Permata Lubis S.Farm., Apt., Muhammad Reno Tri Ananda Lubis Amd., Rahmi

Shafwani, Fitria Nurandita, Fadhla Hani, Debby Carolina, dan Siti Aqilla yang

selalu member dukungan dalam pengerjaan Kertas Karya ini.

7. Untuk sahabat Moniq, Fira, Uyun, Fullah, Rizki, Mira, Indri, Agita, Sonya,

Sasha, Christa, Yulia, Adolf.

Medan, 2018

Penulis

Dhaifina Ghassani Lubis

NIM: 152203027

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 7: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................i

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................. 1

1.1 Alasan Pemilihan Judul ............................................................. 1

1.2 Tujuan Penulisan ........................................................................ 2

1.3 Batasan Masalah ........................................................................ 2

1.4 Metode Penulisan ...................................................................... 2

BAB II SEJARAH TEATER TRADISIONAL DI JEPANG ................. 3

2.1 Zaman Edo ................................................................................ 3

2.2 Zaman Meiji .............................................................................. 6

2.3 Zaman Taisho .......................................................................... 10

BAB III JENIS-JENIS TEATER TRADISIONAL DI JEPANG .......... 13

3.1 Kabuki ..................................................................................... 13

3.2 Nogaku .................................................................................... 15

3.3 Bunraku ................................................................................... 17

3.4 Kyogen .................................................................................... 19

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ................................................... 21

4.1 Kesimpulan ............................................................................. 21

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 8: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

4.2 Saran ........................................................................................ 22

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

ABSTRAK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 9: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Alasan Pemilihan Judul

Menurut Seni Handayani & Wildan Teater atau drama adalah bentuk

karangan yang memiliki bentuk naskah tertulis yang dipentaskan diatas panggung.

Dan berpijak dengan dua cabang kesenian yakni seni sastra dan seni pentas.

Adapun pengertian teater secara umum, teater istilah lain dari drama, tetapi dalam

pengertian yang lebih luas, teater adalah proses pemilihan teks atau naskah,

penafsiran, penggarapan, penyajian atau pementasan dan proses pemahaman atau

penikmatan dari publik atau penonton. Teater bisa diartikan dengan dua cara yaitu

dalam arti sempit dan luas. Teater dalam arti luas adalah sebagai drama (kisah

hidup dan kehidupan manusia yang diceritakan di atas pentas, disaksikan orang

banyak dan didasarkan pada naskah yang tertulis). Dalam arti sempit, teater

adalah segala tontonan yang dipertunjukkan di depan orang banyak.

Teater di negara Jepang juga terkenal, teater Jepang memiliki sejarah yang

panjang dan kaya dengan adanya rasa takut akan kesulitan mengikuti jalan cerita

di panggung karena perbedaan bahasa dan budaya, tidak sedikit calon penonton

yang tidak mau mengambil risiko untuk merasa kecewa dan pada

akhirnya memutuskan untuk melewatkan kesempatan besar menikmati salah satu

karya seni besar Jepang apalagi karena sebenarnya banyak teater yang memiliki

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 10: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

fasilitas untuk mengakomodir penonton internasional dan membuat

pementasannya dapat dimengerti oleh siapapun.

1.2 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan kertas karya ini adalah sebagai berikut :

1. Mengetahui tentang sejarah teater di Jepang.

2. Menambah pengetahuan mengenai teater di Jepang.

3. Meperoleh wawasan mengenai teater di Jepang.

4. Sebagai salah satu syarat kelulusan dari program studi D-III Bahasa Jepang

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

1.3 Batasan Masalah

Dalam kertas karya ini penulis membahas gambaran umum tentang sejarah teater

tradisional di Jepang.

1.4 Metode Penulisan

Metode yang digunakan penulis dalam kertas karya ini adalah metode

kepustakaan, yaitu mengumpulkan data-data atau informasi dengan membaca

buku serta menggunakan sumber teknologi seperti internet yang berkaitan dengan

masalah yang akan dibahas dalam kertas karya ini. Selanjutnya data dibahas dan

dirangkum kemudian dideskripsikan dalam kertas karya ini.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 11: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

BAB II

SEJARAH TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

2.1 Zaman Edo (1603-1868)

Zaman Edo adalah salah satu pembagian periode dalam sejarah Jepang

yang dimulai sejak Shogun pertama Tokugawa Ieyasu mendirikan Keshogunan

Tokugawa di Edo yang berakhir dengan pemulihan kaisar Taisei Hokan dari

tangan Shogun terakhir Tokugawa Yoshinobu sekaligus mengakhiri kekuasaan

Keshogunan Tokugawa yang berlangsung selama 264 tahun.

Pada zaman Edo pemerintahan otonomi daerah berada di tangan lebih dari

dua ratus pejabat daimyo. Peringkat daimyō pada zaman Edo ditentukan oleh

tingkatan kebangsawanan (Kakaku), tingkat jabatan (Kan-i), potensi kekayaan

wilayah Han (Kokudaka), dan deskripsi pekerjaan (Yakushoku). Sebagai klan

terkuat, pemimpin klan Tokugawa dari generasi ke generasi menjabat sebagai

shogun (sei-I taishogun). Keshogunan Tokugawa yang bermarkas di Edo

(sekarang Tokyo) memimpin para daimyo di masing-masing daerah otonom yang

disebut domain (han).

Kelas samurai ditempatkan oleh keshogunan di atas kelas rakyat biasa,

petani, perajin, dan pedagang. Keshogunan mengeluarkan undang-undang yang

mengatur segala aspek kehidupan, dimulai dari potongan rambut dan busana

untuk masing-masing kelas dalam masyarakat. Shogun mewajibkan para daimyo

secara bergantian untuk bertugas di Edo. Mereka disediakan rumah kediaman

mewah di Edo agar tidak memberontak. Kekuatan militer daimyo daerah ditekan,

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 12: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

dan diharuskan meminta izin dari pusat sebelum dapat memperbaiki fasilitas

militer. Keshogunan Tokugawa runtuh setelah Perang Boshin 1868-1869. Zaman

Edo juga disebut sebagai awal zaman modern di Jepang. Kesenian garda depan

yang dibawakan Okuni mendadak sangat populer, sehingga bermunculan banyak

sekali kelompok pertunjukan kabuki imitasi. Pertunjukan kabuki yang digelar oleh

sekelompok wanita penghibur disebut Onna-kabuki (kabuki wanita), sedangkan

kabuki yang dibawakan remaja laki-laki disebut Wakashu-kabuki (kabuki remaja

laki-laki). Keshogunan Tokugawa menilai pertunjukan kabuki yang dilakukan

kelompok wanita penghibur sudah melanggar batas moral, sehingga pada tahun

1629 kabuki wanita penghibur dilarang dipentaskan. Pertunjukan kabuki laki-laki

daun muda juga dilarang pada tahun 1652 karena merupakan bentuk pelacuran

terselubung.

Pertunjukan Yaro Kabuki (kabuki pria) yang dibawakan seluruhnya pria

dewasa diciptakan sebagai reaksi atas dilarangnya Onna-Kabuki yang seluruhnya

terdiri dari pria dewasa yang juga memainkan peran sebagai wanita melahirkan

“konsep baru” dalam dunia estetika. Kesenian yaro kabuki terus berkembang pada

zaman Edo dan berlanjut hingga sekarang.

Dalam perkembangannya, kabuki digolongkan menjadi Kabuki-odori

(kabuki-tarian) dan Kabuki-geki (kabuki-sandiwara). Kabuki-odori dipertunjukkan

dari masa kabuki masih dibawakan Okuni hingga masa kepopuleran Wakashu-

kabuki, remaja laki-laki menari diiringi lagu yang sedang populer dan konon ada

yang disertai dengan akrobat. Selain itu, kabuki-odori juga bisa berarti

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 13: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

pertunjukan yang lebih banyak tarian dan lagu dibandingkan dengan porsi drama

yang ditampilkan.

Kabuki-geki merupakan pertunjukan sandiwara yang ditujukan untuk

penduduk kota pada zaman Edo dan berintikan sandiwara dan tari. Peraturan yang

dikeluarkan Keshogunan Edo mewajibkan kelompok kabuki untuk “habis-habisan

meniru kyogen” merupakan salah satu sebab kabuki berubah menjadi pertunjukan

sandiwara. Alasannya kabuki yang menampilkan tari sebagai atraksi utama

merupakan pelacuran terselubung dan pemerintah harus menjaga moral rakyat.

Tema pertunjukan kabuki-geki bisa berupa tokoh sejarah, cerita kehidupan sehari-

hari atau kisah perisitiwa kejahatan, sehingga kabuki jenis ini juga dikenal sebagai

Kabuki kyogen. Kelompok kabuki melakukan apa saja demi memuaskan minat

rakyat yang haus hiburan. Kepopuleran kabuki menyebabkan kelompok kabuki

bisa memiliki gedung teater khusus kabuki seperti Kabuki-za. Pertunjukan kabuki

di gedung khusus memungkinkan pementasan berbagai cerita yang dulunya tidak

mungkin dipentaskan.

Sampai pertengahan zaman Edo, Kabuki-kyogen kreasi baru banyak

diciptakan di daerah Kamigata. Kabuki-kyogen banyak mengambil unsur cerita

Ningyo Joruri yang khas daerah Kamigata. Penulis kabuki asal Edo tidak cuma

diam melihat perkembangan pesat kabuki di Kamigata. Tsuruya Namboku banyak

menghasilkan banyak karya kreasi baru sekitar zaman Bunka hingga zaman

Bunsei. Penulis sandiwara kabuki Kawatake Mokuami juga baru menghasilkan

karya-karya barunya di akhir zaman Edo hingga awal zaman Meiji. Sebagai

hasilnya, Edo makin berperan sebagai kota budaya dibandingkan Kamigata mulai

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 14: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

paruh kedua zaman Edo. Di zaman Edo, Kabuki-kyogen juga disebut sebagai

sandiwara (shibai).

Kyōgen sejak zaman Edo terbagi menjadi tiga aliran utama: aliran Ōkura,

aliran Izumi, dan aliran Sagi. Sekarang hanya tinggal 2 aliran kyōgen yang tersisa,

aliran Ōkura dan aliran Izumi. Awal zaman Edo juga terdapat aliran Nanto-negi

yang berintikan seniman kalangan Jin-nin (Jinin). Pada waktu itu, sebagian besar

kuil Shinto memiliki kelompok Sarugaku dan menggaji orang yang disebut Jinin

untuk bekerja sebagai seniman sekaligus pesuruh. Menurut catatan sejarah, aliran

Nanto-negi tercatat sangat populer pada zaman Muromachi, tapi ketenarannya

mulai memudar di awal zaman Edo sampai akhirnya terserap ke dalam aliran yang

besar. Berbagai aliran kecil yang tidak terkenal juga ikut punah, dan hanya

meninggalkan naskah kyōgen yang sebagian sempat diterbitkan sebagai buku

bacaan pada zaman Edo.

Semasa zaman Tokugawa, Noh mempertahankan perannya sebagai

sumber hiburan bagi para kaum elit. Selama berabad-abad, bahasa dan gaya

penyampaian dari pentas-pentas Noh banyak yang terkodifikasi, bahkan hingga

sekarang.

2.2 Zaman Meiji (1867 – 1912)

Zaman Meiji (1867 – 1912) merupakan salah satu periode yang paling

istimewa dalam sejarah Jepang. Di bawah pimpinan kaisar Meiji, Jepang bergerak

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 15: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

maju sehingga hanya dalam beberapa dasawarsa mencapai pembentukan suatu

bangsa modern yang memiliki perindustrian modern dan lembaga-lembaga politik

modern.Pada tahun-tahun pertama pemerintahannya, kaisar Meiji memindahkan

ibukota kekaisaran dari Kyoto ke Edo. Edo pun berganti nama baru menjadi

Tokyo (ibu kota Timur). Diumumkanlah undang-undang dasar yang menetapkan

sebuah kabinet dan badan-badan legistlatif. Golongan-golongan masyarakat

selama masa Edo yang membuat masyarakat menjadi terbagi berdasarkan kasta

pun dihapuskan. Kaisar Meiji membawa pencerahan dalam membimbing

bangsanya melewati peralihan yang sangat mencuat. Lalu berakhir pada saat

wafatnya kaisar Meiji pada tahun 1912.

Modernisasi di bidang kebudayaan terus dilakukan pada tahun 1872 (Meiji

V), pemerintah menetapkan sistem pendidikan di mana masyarakat yang memiliki

pekerjaan dan status macam apapun dapat mengikuti pendidikan. Selain itu,

pemerintah Meiji pun mengirimkan banyak mahasiswa ke negara-negara Eropa

dan Amerika dan mengundang banyak ahli teknik dari negara-negara Barat.

Kebudayaan Barat yang maju pun diadopsi oleh pemerintah. Di bidang kehidupan

sehari-hari, diberlakukan kalender Masehi agama Kristen akhirnya diakui karena

adanya kritik-kritik dari luar negeri. Teknik cetak berkembang sehingga koran

yang menyebarluaskan politik dan humaniora banyak diterbitkan. Kebudayaan di

kota-kota besar yang merupakan salah satu kebudayaan yang menghasilkan

kombinasi seni cetak balok kayu, teater Kabuki, novel, mode pakaian, dan

perpustakaan, kebanyakan terikat dengan Geisha atau perempuan yang hadir

setiap kota tempat hiburan. Di Ginza, Tokyo, dibangun bangunan-bangunan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 16: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

bergaya Barat yang menggunakan batu bata merah dan jalan-jalan raya dinyalakan

lampu-lampu gas yang menerangi jalan.

Di bidang pemikiran, diterapkan pemikiran Barat, seperti bahwa manusia

semuanya bebas dan sederajat, dan memiliki hak yang sama untuk menuntut

pemikiran untuk mendapatkan keadilan dalam mencapai kebahagiaan dan

kebebasannya sehingga pemikiran ini akhirnya meluas di masyarakat. Menurut

karangan Fukuzawa Yukichi, terdapat kata-kata pendahuluan yang berbunyi: "ten

wa hito no ue ni, hito o tsukurazu, hito no shita ni hito o tsukurazu" (dewa tidak

menciptakan manusia berada di atas dan di bawah). Maknanya adalah manusia itu

sederajat dan tidak dibedakan berdasarkan status sosial.

Kabuki pada zaman Meiji pun kepopulerannya tetap tidak tergoyahkan.

Tapi sering menerima kritik, diantaranya kalangan intelektual menganggap isi

cerita kabuki tidak sesuai untuk dipertunjukkan di negara orang beradab.

Kalangan di dalam dan di luar lingkungan kabuki juga menuntut pembaruan di

dalam kabuki, sehingga mau tidak mau dunia pertunjukan kabuki harus diubah

sesuai tuntutan zaman. Kritik terhadap kabuki mengatakan banyak unsur dalam

kabuki yang sebenarnya tidak pantas dimasukkan ke dalam drama kabuki,

misalnya : alur cerita yang tidak masuk akal, tema cerita yang kuno atau berbau

bangsawan, dan trik panggung yang sekadar untuk membuat penonton takjub,

seperti adegan aktor bisa "terbang" atau berganti kostum dalam sekejap. Akibat

kritik yang diterima dunia pertunjukan kabuki sejak zaman Meiji berusaha

mengadakan gerakan pembaruan dalam berbagai aspek teater kabuki. Gerakan

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 17: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

pembaruan yang disebut Engeki Kairyo Undo juga melibatkan pemerintahan meiji

yang memang bermaksud mengontrol pertunjukan kabuki. Pemerintah Meiji

bercita-cita menciptakan pertunjukan teater yang pantas dan bisa dinikmati

kalangan menengah dan kalangan atas suatu "masyarakat yang bermoral". Salah

satu hasil gerakan pembaruan kabuki adalah dibukanya gedung Kabuki-za sebagai

tempat pementasan kabuki. Selain itu, pembaruan juga melahirkan genre baru

teater kabuki yang disebut Shimpa.

Karya kabuki yang diciptakan di tengah gerakan pembaruan disebut Shin-

kabuki, dengan karya-karya baru banyak bermunculan hingga di awal zaman

Showa. Penggemar kabuki biasanya tidak menyukai sebagian besar karya kabuki

yang mendapat pengaruh gerakan pembaruan dan dipentaskan sebagai Shin-

kabuki. Penggemar Shin-kabuki cuma penulis terkenal seperti Tsubouchi Shoyo,

Osanai Kaoru, dan Okamoto Kido yang begitu suka hingga menulis naskah baru

untuk kabuki. Sampai sekarang, karya-karya yang tergolong ke dalam Shin-kabuki

yang tidak disukai penggemar hampir tidak pernah dipentaskan. Sejak zaman

Meiji, istilah Nohgaku (能楽 ) sering digunakan untuk menyebut Noh dan

Kyōgen.

Pada akhir zaman Meiji, Bunraku-za menjadi satu-satunya gedung teater

ningyo jōruri yang masih tersisa. Pada tahun 1909, pengelolaan gedung Bunraku-

za berada di bawah perusahaan hiburan Shōchiku. Setelah itu, gedung Bunraku-za

sempat pindah berkali-kali di dalam kota Osaka. Lokasi pertama di dalam kuil

Shinto Goryōjinja di distrik Chuo-ku. Setelah mengalami musibah kebakaran pada

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 18: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

tahun 1929, gedung pindah ke Yotsubashi di distrik Nishi-ku. Sewaktu Perang

Dunia II, gedung terbakar akibat serangan udara, tetapi dibangun kembali di

lokasi yang sama pada tahun 1946. Pada tahun 1956, gedung pertunjukan pindah

ke bekas situs teater Benten-za di Dotombori (distrik Chuo-ku).

Kesenian bunraku ini bermula dari pementasan ningyo jōruri oleh seniman

Uemura Bunrakuken I di Osaka sehingga diberi nama "bunraku". Sebelumnya,

kesenian ini juga disebut ayatsuri jōruri shibai (sandiwara johruri ayatsuri), dan

baru secara resmi dinamakan bunraku sejak akhir zaman Meiji (1868-1912).

2.3 Zaman Taisho - Hingga Sekarang

Zaman Taishō ( 大 正 ) atau Periode Taishō adalah salah satu nama

zaman pemerintahan Kaisar Jepang sewaktu Kaisar Taishō (Yoshihito)

memerintah Jepang, sesudah zaman Meiji dan sebelum zaman Shōwa. Zaman ini

dimulai sejak kaisar Yoshihito berkuasa menggantikan kaisar meiji yang wafat

pada 30 juli 1912. Kaisar Yoshihito kemudian mengubah namanya menjadi kaisar

Taishō. Periode ini dikenal dengan zaman Taisho. Pada zaman ini, dibawah

kepemimpinan kaisar Taisho, Jepang terus berkembang sebagai negara maju dan

modern. Kelanjutan modernisasi dari zaman Meiji pada saat itu semakin pesat dan

drastis. Peningkatan di setiap bidang telah menunjukkan keperkasaan Jepang di

Asia dan lebih dari pada itu, Jepang telah disejajarkan dengan negara-negara

Eropa seperti Inggris, Jerman, Belanda, Spanyol, Portugis dan negara maju

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 19: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

lainnya. Era Taisho telah menyumbangkan lebih banyak perubahan, dan dapat

dikatakan modernisasi ketika itu telah mencapai kemajuan yang luar biasa. Pada

era Taisho disadari bahwa modernisasi telah memiliki caranya tersendiri untuk

mencapai kedudukan tertinggi yang terkadang sulit dan terkadang juga

menegangkan. Bertolak belakang dengan cara penyerapan kebudayaan dari China

yang terkesan santai pada 1.300 tahun lalu oleh kalangan kecil elit (keluarga

kekaisaran) Yamato. Nilai kebudayaan dan ide politik barat telah berkembang

secara pesat dan menjadi hal yang familiar (biasa) bagi sebagian besar masyarakat

(Mason dan Caiger, 1997: 304).

Era Taisho menjadi awal sejarah industri film di Jepang, pada mulanya

konsep dan ide-ide pemikiran barat dalam pembuatan film ini mengambil cerita

dan aktor teater kabuki dan drama baru. Perbedaannya adalah film menggunakan

teknik akting dan skrip atau naskah. Teater bioskop pertama sebenarnya dibangun

pada tahun 1903, dan pada 1918 para pembuat film Jepang berkiblat pada film-

film asing sebagai inspirasi mereka. Seperti teknik close-up, long-shots, continius

action, simple mobile camera technique, artificial lighting (pencahayaan buatan),

shots on location (syuting lokasi), sub judul, dan aktris untuk peran perempuan,

yang membantu film bebas dari standar nilai estetika masa lalu.

Pementasan kabuki pada zaman sekarang sudah sangat berbeda dengan

pementasan kabuki pada zaman Edo. Kelompok kabuki berusaha memodernisasi

pertunjukan sekaligus memelihara tradisi pementasan. Kabuki sekarang sudah

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 20: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

dianggap sebagai seni pertunjukan tradisional yang sesuai dengan kemajuan

zaman.

Kyogen ini terdiri dari 7 periode sejarah yaitu: dari zaman Nara sampai

zaman Kamakura pada abad 8 sampai 14, pada pertengahan dan akhir zaman

Muromachi pada abad 15 sampai 16, zaman Momoyama pada abad 16, zaman

Edo pada abad 17-19, dan Zaman Modern pada abad 19-20.

Kyōgen diperkirakan dibawa ke Jepang dari China di abad ke-8 atau

sebelumnya. hiburan ini berkembang menjadi sarugaku pada abad berikutnya, dan

pada abad ke-14 awal ada perbedaan yang jelas antara kelompok pemain

sarugaku dari drama yang Noh serius dan Kyōgen yang lucu. Sebagai komponen

Noh, Kyōgen menerima perlindungan dari aristokrasi militer sampai saat

Restorasi Meiji (1868). Sejak itu, Kyōgen tetap dipertahankan dan dikembangkan

oleh keluarga, terutama dari Izumi dan sekolah Okura. Saat ini Kyōgen dimainkan

oleh profesional secara independen dan sebagai bagian dari pertunjukan Noh

hingga sekarang.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 21: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

BAB III

JENIS-JENIS TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

3.1. Kabuki

Kabuki (歌舞伎) adalah seni teater tradisional khas Jepang. Aktor kabuki

terkenal dengan kostum mewah dan tata rias wajah yang mencolok. Kabuki

merupakan salah satu dari empat jenis drama atau teater tradisional Jepang.

Perkembagan Kabuki diawali oleh seorang wanita yang bernama Izumi no Okuni

dari kuil Kitano Temangu, Kyoto. Tokoh inilah yang menurut pengamat Kabuki

dianggap sebagai tokoh yang berpengaruh dalam Kabuki. Kesenian garda depan

yang dibawakan Okuni mendadak sangat populer, sehingga bermunculan banyak

sekali kelompok pertunjukan kabuki imitasi. Pertunjukan kabuki yang digelar

sekelompok wanita penghibur disebut Onna-kabuki (kabuki wanita), sedangkan

kabuki yang dibawakan remaja laki-laki disebut Wakashu-kabuki (kabuki remaja

laki-laki).

Dalam perkembangannya, kabuki digolongkan menjadi Kabuki odori

(kabuki tarian) dan Kabuki-geki (kabuki sandiwara). Kabuki odori dipertunjukkan

dari masa kabuki masih dibawakan Okuni hingga di masa kepopuleran Wakashu-

kabuki, remaja laki-laki menari diiringi lagu yang sedang populer dan konon ada

yang disertai dengan akrobat. Selain itu, Kabuki odori juga bisa berarti

pertunjukan yang lebih banyak tarian dan lagu dibandingkan dengan porsi drama

yang ditampilkan.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 22: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

Cerita kabuki yang berasal dari didramatisasi kisah sejarah disebut

Jidaimono. Cerita kabuki dengan kisah berlatar belakang kehidupan masyarakat

disebut Sewamono. Selain itu, penulis cerita kabuki juga senang menggunakan

istilah sekai (dunia) sebagai kerangka dasar cerita, misalnya karya kabuki berjudul

Taiheiki no sekai (太平記の世界 Dunia Taiheiki), Heike monogatari no sekai (平

家物語の世界 Dunia Kisah klan Heike), Sogamono no sekai (曾我物の世界

Dunia Sogamono), atau Sumidagawamono no sekai (隅田川物の世界 Dunia

Sumidagawamono). Penonton biasanya sudah tahu jalan cerita dan akrab dengan

tokoh-tokoh yang tampil dalam cerita. Penonton hanya ingin menikmati jalan

cerita seperti yang dikisahkan penulis cerita kabuki.

Musik pengiring kabuki dibagi berdasarkan arah sumber suara. Musik yang

dimainkan di sisi kanan panggung dari arah penonton disebut Gidayūbushi.

Takemoto (Chobo) adalah sebutan untuk Gidayūbushi khusus untuk kabuki.

Selain itu, musik yang dimainkan di sisi kiri panggung dari arah penonton disebut

Geza ongaku, sedangkan musik yang dimainkan di atas panggung disebut

Debayashi. Ciri khasnya berupa irama kalimat demi kalimat yang diucapkan oleh

para aktor, kostum yang super mewah, make up yang mencolok (kumadori),serta

penggunaan peralatan mekanis untuk mencapai efek-efek khusus di panggung.

Make up menonjolkan sifat dan suasana hati tokoh yang dibawakan aktor.

Kebanyakan lakon mengambil tema masa abad pertengahan atau zaman Edo, dan

semua aktor, sekalipun yang memainkan peranan sebagai wanita adalah pria.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 23: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

3.2 Nōgaku

Noh (能 Nō), berasal dari bahasa Jepang untuk "keterampilan" atau

"bakat", adalah bentuk utama drama musikal Jepang klasik yang telah dilakukan

sejak abad ke-14. Dikembangkan oleh Kan'ami dan putranya, Zeami, ini adalah

seni teater tertua yang masih dilakukan hari ini. Secara tradisional, Nōgaku

mencakup lima drama Noh dengan drama kyōgen komedi di antaranya; program

singkat dari dua drama Noh dan satu kyōgen telah menjadi umum dalam

presentasi Noh hari ini. Permainan okina (翁) dapat disajikan di awal terutama

selama Tahun Baru, hari libur, dan acara-acara khusus lainnya. Noh bersama

dengan Kyogen adalah bagian dari teater Nōgaku.

Noh sering didasarkan pada dongeng dari sastra tradisional dengan

makhluk gaib diubah menjadi bentuk manusia sebagai pahlawan yang

menceritakan kisah. Noh mengintegrasikan topeng, kostum dan berbagai alat

peraga dalam pertunjukan berbasis tarian, yang membutuhkan aktor dan musisi

yang sangat terlatih. Emosi terutama disampaikan oleh gerakan konvensional

bergaya sementara topeng ikonik mewakili peran seperti hantu, wanita, anak-

anak, dan orang tua. Ditulis dalam bahasa Jepang kuno, teks dengan jelas

menggambarkan orang-orang biasa dari abad 12 dan 16.

Bermula pada abad ke-14, Noh merupakan bentuk teater tertua yang

masih dipentaskan hingga hari ini dan menjadi bagian dari "Warisan Budaya Non-

benda”. Noh tak pernah menjadi hiburan untuk publik, dan hanya ditujukan pada

warga kelas atas. Shogun Ashikaga Yoshimitsu adalah yang pertama dari

banyaknya penggemar terbesar dan penyokong setia Noh. Pementasan Noh sering

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 24: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

kali mengadopsi dongeng tradisional, termasuk elemen-elemen supranatural.

Tokoh protagonis (shite) dan lawan mainnya (waki) didampingi oleh sebuah

paduan suara (jiutai) berisi 6-8 orang dan sekelompok pemain musik (hayashi)

dalam kostum tradisional kimono dan hakama, memainkan seruling dan gendang.

Karena tidak ada tirai dalam teater noh dan penerangan biasanya selalu

dinyalakan selama pementasan, para penonton dapat melihat para pemain keluar-

masuk panggung melalui sebuah jembatan (hashigakari). Meski tidak ada latar

tempat buatan, para aktor yang mengenakan kostum rumit dilengkapi dengan

properti-properti seperti kipas.

Penggemar teater dapat menyaksikan noh di Nasional Nō Teater Tokyo,

Ohtsuki Nō Teater di Osaka, atau, dengan sedikit keberuntungan dan perjuangan,

di salah satu panggung luar ruang yang cantik di kuil-kuil.

Potongan teater Noh diklasifikasikan dalam 5 kelompok.

1. Shinseina; pahlawannya bagaikan Tuhan, tokoh akhirat dsb. Pahlawannya

berdoa di akhir drama.

2. Shura-mono (Jawara); pahlawan ialah jawara, biasanya hampir mati.

3. Kazura-mono (Wanita); pahlawan dan sering romantika cintanya menjadi

fokus.

4. Zatsu-no (Serbaneka) ; Nō yang tidak bisa dikelompokkan atas 4

kelompok lainnya.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 25: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

5. Oni-noh (Oni; setan) ; bukan manusia, seperti oni, tengu, peri, singa ialah

pahlawan dari jenis ini. Terutama dimainkan di akhir drama.

Biasanya, semua pelakon Noh ialah laki-laki. Kemampuan mereka telah

dilatih ayahnya. Saat seorang wanita atau anak perempuan muncul di drama ini,

aktor pria memainkan perannya dengan mengenakan topeng wanita.

Ada 3 macam pelakon Noh: shite, waki dan kyogen. Shite memerankan

pahlawan. Ia berbicara, menyanyi, dan menari. Waki (berarti "pihak") berperan

sebaai kawan Shite, dan biasanya memerankan peran pelancong di tempat

tertentu. Ia memperkenalkan pemirsa dengan dunia drama. Kyogen muncul di

pertengahan drama jika memiliki 2 bagian, dan berperan sebagai warga lokal. Ia

berbicara kepada Waki dan menyuruhnya melihat apa yang belum dilihatnya

sebelum pembicaraan mereka. Hayashi berarti instrumental musik, terdiri atas

drum (Taiko) dan seruling (Fue) yang biasa digunakan di teater.

3.3 Bunraku

Bunraku (文楽 ) adalah sandiwara boneka tradisional Jepang yang

merupakan salah satu jenis ningyo jōruri (人形浄瑠). Istilah bunraku khususnya

digunakan untuk ningyō jōruri, (sandiwara boneka dengan pengiring musik

jōruri) yang berkembang di Osaka. Jōruri atau ditulis sebagai jōruri adalah

sebutan untuk naskah dalam bentuk nyanyian. Penyanyi jōruri disebut tayū, dan

menyanyi dengan iringan musik shamisen.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 26: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

Sebuah boneka dimainkan oleh tiga orang dalang yang disebut ningyō

tsukai. Sewaktu memainkan boneka, dalang tidak menyembunyikan diri dari

pandangan penonton. Gerak-gerik boneka dibuat bagaikan hidup, dengan kedua

tangan dan kaki yang bisa digerak-gerakkan, serta wajah boneka yang bisa

berubah ekspresi sesuai karakter yang dimainkan. Boneka memiliki mekanisme

penggerak pada wajah (mata dan mulut), dan sendi-sendi kedua belah lengan,

kaki, dan jari-jari tangan yang bisa digerak-gerakkan. Dalang hanya bertugas

menggerakkan boneka, sedangkan semua dialog yang diucapkan boneka menjadi

tugas 'tayū' dengan iringan musik shamisen.

Tingkatan dalang diatur hierarki yang ketat, berdasarkan tingkat

keterampilan dan pengetahuan. Dalang paling berpengalaman menggerakkan

bagian kepala dan lengan kanan. Dalang dengan pengalaman di bawahnya

bertugas menggerakkan lengan kiri, sedangkan bagian kaki digerakkan dalang

yang paling junior. Dalang kepala mengenakan geta berhak tinggi (20 cm hingga

50 cm) dari kayu untuk mengimbangi posisi dalang ketiga yang menggerakkan

bagian kaki boneka.

Kementerian Pendidikan Jepang menetapkan bunraku sebagai Warisan

Agung Budaya Nonbendawi. UNESCO menetapkan bunraku sebagai Karya

Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia dalam daftar yang

diterbitkan tahun 2003.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 27: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

3.4. Kyogen

Kyōgen (狂言) berasal dari kata “Kyōgen Kigo” yang merupakan istilah

Agama Buddha untuk kata berbunga-bunga atau cerita yang tidak masuk diakal.

Istilah Kyogen-Kigo sering dipakai kritikus sastra sewaktu mengkritik cerita

roman dan puisi. Istilah ini kemudian digunakan untuk salah satu unsur Sarugaku

berupa pertunjukan monomane (seni meniru gerak-gerik dan cara berbicara secara

humor). Sejalan dengan perkembangan Sarugaku, istilah Kyogen akhirnya dipakai

sebagai sebutan untuk teater humor pada pementasan Noh.

Kyōgen (狂言) bisa berarti:

1. Teater humor tradisional Jepang yang merupakan perkembangan unsur

humor pertunjukan Sarugaku. Kyōgen dan Noh merupakan seni tradisional

Jepang yang sama-sama berakar dari Sarugaku. Sejak zaman Meiji, istilah

Nōgaku atau Nohgaku (能楽) sering digunakan untuk menyebut Noh dan

Kyōgen.

2. Salah satu jenis pertunjukan Kabuki yang disebut Kabuki-kyōgen atau

cukup disebut Kyōgen.

Noh adalah teater musikal dengan menggunakan topeng yang disebut

omote dalam istilah noh. Dalam noh, abstraksi dan simbolisme diekspresikan

secara kuat melalui unsur gerak tari, dengan sebagian besar cerita yang

bertemakan tragedi. Sebaliknya, sebagian besar peran dalam kyōgen tidak

diperankan memakai topeng. Kyōgen mengembangkan lebih lanjut unsur-unsur

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 28: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

komedi dan seni meniru gerak-gerik (pantomim) yang ada pada Sarugaku,

termasuk naskah dialog dan penggambaran karakter secara realistik. Sebagian

besar cerita yang dipentaskan dalam kyōgen adalah cerita satir (cerita yang

menertawakan kegagalan) dan cerita humor.

Sama halnya seperti noh, peran utama dalam kyōgen disebut shite. Peran

pembantu disebut ado, berbeda dengan noh yang menyebutnya sebagai Waki. Jika

ada lebih dari 2 peran Ado, maka peran tersebut disebut Ado 1 dan Ado 2. Selain

itu, istilah Ado hanya digunakan untuk peran pembantu yang paling menonjol,

sedangkan selebihnya disebut aliran Ōkura atau aliran Izumi. Peran pembantu

yang naik ke panggung secara berkelompok disebut Tachishū, sedangkan

pimpinan kelompok peran pembantu disebut Tachigashira. Sebutan untuk peran

seperti disebut di atas sebenarnya kurang jarang dipakai, kyōgen lebih mengenal

sebutan untuk karakter yang tampil dalam cerita, misalnya: Shu atau Teishu

(majikan), Tarōkaja (pesuruh laki-laki), atau Suppa (peran penjahat).

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 29: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan.

1. Teater bisa diartikan dengan dua cara yaitu dalam arti sempit dan luas. Teater

dalam arti luas adalah sebagai drama (kisah hidup dan kehidupan manusia

yang diceritakan di atas pentas, disaksikan orang banyak dan didasarkan pada

naskah yang tertulis). Dalam arti sempit, teater adalah segala tontonan yang

dipertunjukkan di depan orang banyak.

2. Budaya seni teater masyarakat Jepang teater dikenal luas dengan tempat atau

sarana menonton bagi masyarakat, namun arti teater beralih fungsi menjadi

apa yang dipertunjukan di dalam konten tersebut. teater identik dengan drama

dengan alur cerita kisah kehidupan tokoh yang disaksikan orang banyak

dengan tujuan tertentu, bisa untuk melestarikan sebuah cerita turun temurun,

mengingatkan sebuah peristiwa dan sebagainya. Perbedaan yang mendasar

antara bioskop dan teater adalah terletak di visualisasi, bahwa teater

menggunakan pemeran yang nyata seperti manusia, dekorasi panggung yang

megah sesuai dengan latar tahun dan kejadian cerita serta dikemas secara

megah dan ekslusif. Teater banyak dipertunjukan di berbagai belahan dunia

sebab teater sedikit banyak mengandung nilai penting dalam seni yang dalam

perkembangannya tidak banyak generasi muda yang melirik untuk

melestarikan berteater yaitu belajar dan menekuni dunia seni drama

pertunjukan budaya seni teater masyarakat Jepang.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 30: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

3. Teater tradisional di Jepang terdiri dari Kabuki, Nōgaku, Bunraku, dan

Kyōgen.

4.2 Saran.

1. Sebaiknya teater tradisional di Jepang melakukan peningkatan seperti

penerjemah atau ahli bahasa agar para penikmat teater tidak terlalu cepat

merasa bosan ketika menontonnya.

2. Teater juga seharusnya bisa dinikmati dari segala golongan. Mulai dari

golongan bawah sampai atas.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 31: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

DAFTAR PUSTAKA

Ronald Cavaye, 1993. Kabuki: A Pocket Guide, english edition

https://id.wikipedia.org/wiki/Jepang

https://id.wikipedia.org/wiki/Kabuki#Sejarah_kabuki_sejak_zaman_Meiji

http://www.japanindocuteculture.com/2013/10/kabuki-seni-teater-tradisional-

jepang.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Noh

http://pengertianahli.id/2015/04/teater-pengertian-dan-jenis-teater.html

https://www.kompasiana.com/deajiwapraja/5518cd42a333119911b65923/zaman-

meiji-1867-1912

http://gafa-blogs.blogspot.com/2012/05/zaman-taisho-1912-m-1926-m-

keadaan.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Ky%C5%8Dgen

https://id.wikipedia.org/wiki/Bunraku

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 32: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

LAMPIRAN

Gambar 1. Kabuki

Gambar 2. Nohgaku

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 33: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

Gambar 3. Bunraku

Gambar 4. Kyogen

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 34: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

ABSTRAK

Teater adalah istilah lain dari drama, tetapi dalam pengertian yang lebih luas,

teater adalah proses pemilihan teks atau naskah, penafiran, penggarapan,

penyajian atau pementasan dan proses pemahaman atau penikmatan dari publik

atau penonton. Proses penjadian drama ke teater disebut proses teater atau

disingkat berteater. Teater bisa diartikan dengan dua cara yaitu dalam arti sempit

dan luas. Teater dalam arti luas adalah sebagai drama (kisah hidup dan kehidupan

manusia yang diceritakan di atas pentas, disaksikan orang banyak dan didasarkan

pada naskah yang tertulis). Dalam arti sempit, teater adalah segala tontonan yang

dipertunjukkan di depan orang banyak.

Teater di Negara Jepang juga terkenal, teater Jepang memiliki sejarah yang

panjang dan kaya. Dengan adanya rasa takut akan kesulitan mengikuti jalan cerita

di panggung karena perbedaan bahasa dan budaya, tidak sedikit calon penonton

yang tidak mau mengambil risiko untuk merasa kecewa dan pada

akhirnya memutuskan untuk melewatkan kesempatan besar menikmati salah satu

karya seni besar Jepang apalagi karena sebenarnya banyak teater yang memiliki

fasilitas untuk mengakomodir penonton internasional dan membuat

pementasannya dapat dimengerti oleh siapapun.

Teater tradisional di Jepang ada 4 yaitu Kabuki, Nohgaku, Bunraku, dan

Kyogen. Kabuki (歌舞伎 ) adalah seni teater tradisional khas Jepang. Aktor

kabuki terkenal dengan kostum mewah dan tata rias wajah yang mencolok. Musik

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 35: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

pengiring kabuki dibagi berdasarkan arah sumber suara. Musik yang dimainkan di

sisi kanan panggung dari arah penonton disebut Gidayūbushi. Takemoto (Chobo)

adalah sebutan untuk Gidayūbushi khusus untuk kabuki. Selain itu, musik yang

dimainkan di sisi kiri panggung dari arah penonton disebut Geza ongaku,

sedangkan musik yang dimainkan di atas panggung disebut Debayashi. Noh (能

Nō), berasal dari bahasa Jepang untuk "keterampilan" atau "bakat", adalah bentuk

utama drama musikal Jepang klasik yang telah dilakukan sejak abad ke-14.

Dikembangkan oleh Kan'ami dan putranya, Zeami, ini adalah seni teater tertua

yang masih dilakukan hari ini. Secara tradisional, Nōgaku mencakup lima drama

Noh dengan drama kyōgen komedi di antaranya; program singkat dari dua drama

Noh dan satu kyōgen telah menjadi umum dalam presentasi Noh hari ini.

Permainan okina (翁) dapat disajikan di awal terutama selama Tahun Baru, hari

libur, dan acara-acara khusus lainnya. Noh bersama dengan Kyogen adalah bagian

dari teater Nōgaku. Bunraku (文楽) adalah sandiwara boneka tradisional Jepang

yang merupakan salah satu jenis ningyo jōruri (人形浄瑠璃 ningyō jōruri, boneka

jōruri). Istilah bunraku khususnya digunakan untuk ninyo johruri (sandiwara

boneka dengan pengiring musik jōruri) yang berkembang di Osaka. Jōruri atau

ditulis sebagai jōruri adalah sebutan untuk naskah dalam bentuk nyanyian.

Penyanyi jōruri disebut tayū, dan menyanyi dengan iringan musik shamisen.

Sebuah boneka dimainkan oleh tiga orang dalang yang disebut ningyō tsukai.

Sewaktu memainkan boneka, dalang tidak menyembunyikan diri dari pandangan

penonton. Kyōgen berasal dari "kyōgen-kigo" (kyōgen-kigyo) yang merupakan

istilah agama Buddha untuk kata berbunga-bunga atau cerita yang tidak masuk

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 36: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

akal. Istilah kyōgen-kigyo sering dipakai kritikus sastra sewaktu mengkritik cerita

roman dan puisi. Istilah ini kemudian digunakan untuk salah satu unsur Sarugaku

berupa pertunjukan monomane (seni meniru gerak-gerik dan cara berbicara secara

humor). Sejalan dengan perkembangan Sarugaku, istilah "kyōgen" akhirnya

dipakai untuk sebagai sebutan untuk teater humor pada pementasan Noh.

Dalam konteks sehari-hari, istilah "kyōgen" dalam bahasa Jepang bisa berarti

tindakan untuk menipu orang lain (orang yang pura-pura dirampok disebut

kyōgen-gōtō), berbohong atau bercanda, atau tarian yang memancing tawa.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 37: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 38: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 39: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 40: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 41: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 42: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 43: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Page 44: TEATER TRADISIONAL DI JEPANG

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA