tds...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna...

99

Upload: others

Post on 11-Jan-2020

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah
Page 2: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

TDS TIGA dalam SATU

* WIROSABLENG Judul: Teluk Akhirat * ARIO BLEDEG Judul: Petir Di Mahameru * KUNGFU SABLENG Judul: Pendekar Spiritus

Page 3: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

BASTIAN TITO Teluk Akhirat

1

TANTANGAN DI DALAM KAMAR

PENDEKAR 211 Wiro Sableng garuk-garuk ke-pala, memandang wajah cantik Pelangi Indah yang du-duk di tepi pembaringan besar. Di dalam kamar itu hanya mereka berdua. Sosok Pelangi Indah, pimpinan kelompok para gadis cantik yang disebut Bumi Hitam mengenakan sehelai jubah hitam terbuat dari sutera. Walau kamar besar itu hanya diterangi sebuah pelita kecil namun ketipisan pakaian yang dikenakan Pelangi Indah membuat Wiro dapat melihat jelas setiap lekuk tubuh si gadis.

Wiro ingat kembali ucapan Eyang Sinto Gen-deng ketika dia memaksa mendapatkan ilmu kesaktian bernama Sepasang Inti Roh. Si nenek berkata, bahwa selama dirinya masih suka pada wajah cantik, senang melihat keindahan tubuh mulus perempuan, maka dia harus menunggu 49 tahun untuk mendapatkan ilmu Kesaktian Sepasang Inti Roh itu. Kini bukan saja dia tengah ditantang dalam satu ujian sangat besar, tetapi juga berada dalam keadaan bingung karena tidak mengetahui dimana berada Eyang Sinto Gendeng dan apa yang terjadi dengan Sang guru.

Wiro kembali memperhatikan wajah cantik dan sosok tubuh Pelangi Indah yang menggairahkan. Da-

Page 4: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

lam hati dia membatin. "Kalau aku berlama-lama dalam kamar ini, bi-

sa-bisa lupa diri dan melakukan apa saja yang diingin-kan gadis cantik ini. Budi pertolonganku menemukan kalung kepala srigala itu bisa di salah artikan. Jan-gankan tubuhnya, jiwanya mungkin diserahkan pada-ku".

Wiro menghela nafas dalam. "Wiro, apa yang ada dalam pikiranmu?" Tiba-

tiba Pelangi Indah bertanya. "Maafkan aku Pelangi. Aku tak mungkin men-

gabulkan permintaanmu..." "Aku mengajukan beberapa permintaan pada-

mu. Permintaanku yang mana yang tidak mungkin kau kabulkan?" kembali si gadis bertanya.

"Aku tak mungkin berada di kamar ini sampai pagi. Aku harus segera pergi.

Aku harus berterima kasih padamu dan semua gadis di sini. Karena telah menyelamatkan diriku dari pukulan beracun Ki Tawang Alu. Aku berhutang budi dan nyawa...."

Diantara kita tidak ada hutang budi dan nyawa. Kau menolongku, aku menolongmu. Memang begitu harkat hidup manusia...Mengapa kau tidak bersedia menghabiskan malam ini bersamaku Wiro? Kau harus segera pergi. Pergi ke mana.?

Wiro menggaruk kepalanya kembali. "Pelangi Indah sebenarnya aku ingin sekali berlama-lama di tempat ini. Namun aku sangat mengkhawatirkan kese-lamatan guruku Eyang Sinto Gendeng. Nenek sakti itu lenyap entah kemana. Tapi aku sudah tahu siapa yang punya pekerjaan. Kakek muka putih yang bernama Tawang Alu itu..!

Pelangi Indah menatap dalam-dalam ke mata pendekar 212. Di bibirnya menyeruak senyum tipis.

Page 5: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

"Aku tahu dia memang mengkhawatirkan keselamatan gurunya. Tapi satu hal yang tidak kuduga ternyata pendekar ini tidak seperti yang diceritakan orang. Dia bukan pemuda hidung belang. Dia berlindung dibalik rasa khawatir terhadap keselamatan gurunya. Padahal dia ingin menghindari ajakan untuk memenuhi koba-ran hasrat pada diriku. Ternyata Pendekar 212 seorang pemuda beriman teguh. Sayang nasib malang ku ru-panya bakal berkepanjangan. Cepat atau lambat kutu-kan itu pasti akan datang lagi. Semoga kalung kepala srigala tetap aman berada di tanganku."

"Wiro, apakah kau menolak bermalam di sini karena kau tak ingin mengkhianati Anggini?"

Murid Sinto Gendeng terkejut mendengar uca-pan Pelangi Indah itu. "Kau kau kenal dengan gadis itu?"

Pelangi Indah menggeleng. "Melihatnya-pun aku belum pernah. Tapi aku yakin dia tentu seorang gadis sangat cantik..."

"Jika tidak kenal, belum pernah melihatnya lalu bagaimana..?

"Beberapa waktu itu dedengkot rimba persila-tan yang berjuluk Dewa Tuak pernah datang ke sini. Dia memberi tahu perihal perjodohanmu dengan mu-ridnya yang bernama Anggini. Dia menghabiskan ba-nyak waktu untuk mencarimu..."

"Kakek satu itu! Dia kakek yang paling baik di dunia ini. Aku tidak mengerti mengapa dia terlalu ber-harap pada diriku. Mulutnya memang sering berucap, tapi siapa yang percaya. Soal perjodohan ku dengan muridnya yang bernama Anggini itu, suka-sukanya sendiri. Aku tidak merasa di perjodohkan."

"Pelangi Indah terdiam sesaat. Bibirnya kembali menyeruakkan senyum. Di lubuk hatinya muncul se-kelumit harapan. Lalu gadis ini bertanya.

Page 6: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

"Wiro apakah kau juga menolak permintaanku untuk menduduki jabatan yang ditinggalkan Ki Ta-wang Alu?"

"Kau memberikan satu kehormatan dan keper-cayaan sangat besar kepadaku, Pelangi Indah. Demi-kian besarnya hingga aku tidak berani menerima per-mintaanmu..."

Bayangkan rasa kecewa kelihatan di wajah can-tik Pelangi Indah. "Ketahuilah, permintaan yang satu itu bukan cuma datang dariku. Tapi juga merupakan permintaan semua gadis di Bumi Hitam ini. Mereka sekarang berada di luar. Menunggu jawabanmu. Mere-ka akan sangat kecewa jika kau menolak. Harapan me-reka setinggi langit sedalam lautan..."

"Aku mohon maaf. Mungkin...Mungkin kita bisa bertemu dan bicara lagi setelah aku menemukan Eyang Sinto Gendeng. Sekarang aku mohon diri..."

Pelangi Indah bangkit dari tepian ranjang. Kini dia tegak berhadap-hadapan dengan Pendekar 212. Diam sesaat lalu seperti tidak hendak dilepaskannya selama-lamanya dipeluknya sang pendekar. Kepalanya disandarkan ke dada bidang Wiro. Murid Sinto Gen-deng merasa betapa hangatnya tubuh gadis itu. Jan-tung mereka seolah berdegup menjadi satu.

"Maafkan aku Pelangi. Aku berjanji akan da-tang menyambangimu lagi di puncak Merapi ini..." Wi-ro membelai punggung si gadis lalu mencium kening-nya.

"Aku tahu, aku tidak bisa menahanmu, apalagi punya perasaan ingin memiliki mu," kata Pelangi Indah tapi hanya terucap di dalam hati.

Pelangi memeluk tubuh Pendekar 212 erat-erat. Lalu perlahan-lahan dilepaskannya rangkulannya. Dua tangannya bergerak ke belakang kepala, menyelinap di balik rambut yang panjang hitam. Jari-jarinya melepas

Page 7: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata.

"Terimalah ikat kepala ini sebagai pengiring se-lamat jalan. Jika batu permata di permukaan kain kau usap, maka akan ada satu getaran gelombang sam-bung rasa antara kau dan aku. Dan aku akan tahu bahwa kau tengah mengingat diriku, ingin bertemu dengan diriku. Mudah-mudahan aku bisa muncul di hadapan mu..."

Pendekar 212 merasa heran mendengar ucapan itu. "Apakah gadis ini memiliki kekuatan gaib yang bi-sa memunculkan dirinya di hadapanku dengan cara mengusap batu hitam di atas kain ikat kepala?" Wiro hendak bertanya. Tapi Pelangi Indah memasukkan ikat kepala itu ke dalam genggaman Wiro seraya berkata.

"Simpanlah baik-baik. Jika kain itu kau ikatkan di kepalamu, kau bisa melihat bayangan diri-ku. Jika kain itu kau pergunakan sebagai senjata, mu-dah-mudahan dia bisa menjadi senjata yang bisa me-lindungi dirimu...'1

"Aku...Ini benda sangat berharga. Aku tidak bi-sa menerimanya Pelangi. Ikat kepala ini pasti sangat berguna bagi dirimu..."

"Juga bagi dirimu," bisik Pelangi Indah. Wiro terpaksa menyimpan ikat kepala sutera hitam itu di balik pakaiannya.

* * *

Page 8: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

2

MISTERI NYAWA KELELAWAR PEMANCUNG ROH

SETELAH melihat Wiro menyimpan kain sutera

ikat kepalanya, Pelangi Indah berkata. "Dari para gadis aku mendapat kabar bahwa

gurumu Eyang Sinto Gendeng berada dalam keadaan lumpuh akibat terkena racun Seribu Hawa Kematian. Dan kau tengah berusaha mencari mahluk bernama Kelelawar Pemancung Roh..."

Wiro mengangguk. "Mahluk itu memiliki kesak-tian luar biasa. Para gadis anak buahmu memberikan beberapa petunjuk. Mungkin kau bisa menambahkan apa yang harus aku lakukan jika berhadapan dengan mahluk itu. Mungkin kau tahu kelemahannya!"

"Mahluk apa itu boleh dikatakan tidak mempu-nyai kelemahan. Karena nyawanya tidak ada di dalam tubuhnya. Di apakan-pun dia tidak bakal bisa mene-mui kematian. Konon nyawanya ada pada satu mahluk lain yang tidak pernah menginjakkan kakinya di ta-nah..."

"Mahluk apa itu? Setan, Jin...?" tanya Wiro. "Sulit diduga. Rahasianya tidak mungkin dis-

ingkapkan kalau tidak mendatangi sarangnya di Teluk Akhirat. Tapi pergi ke Teluk Akhirat sama saja dengan mengantar nyawa mencari kematian..."

"Kau tahu dimana letak Teluk Akhirat?" "Pergilah ke selatan. Ikuti aliran Kali Opak

hingga kau sampai di muaranya. Di situ ada sebuah desa bernama Kretak. Lanjutkan perjalanan ke arah

Page 9: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

matahari terbit. Sebelum kau sampai di Parangtritis, kau akan menemukan satu teluk kecil dipenuhi ratu-san bahkan mungkin ribuan kelelawar. Itulah Teluk Akhirat. Tempat kediaman mahluk jahat bernama Ke-lelawar Pemancung Roh. Walau teluk itu kecil saja tapi tidak mudah mencari Kelelawar Pemancung Roh. Satu hal harus kau ingat baik-baik Wiro. Semua kelelawar yang ada di teluk itu bukan kelelawar biasa. Mereka adalah binatang peliharaan Kelelawar Pemancung Roh. Yang bisa diperintahkan untuk membunuh dan men-guliti siapa saja. Jangankan manusia, seekor gajahpun bisa menjadi tinggal tulang belulang hanya dalam be-berapa kejapan mata. Kau benar-benar harus berhati-hati..."

"Terima kasih," kata Wiro sambil memegang lengan Pelangi Indah, membuat si gadis menjadi terge-tar dadanya.

"Para gadis sudah lama menunggu di luar. Jika tidak ada hal lain yang ingin kau tanyakan kuharap kau mau mengatakan sendiri pada mereka. Bahwa kau tidak bersedia bergabung dengan kami..."

Wiro coba tersenyum. Dipeluknya tubuh si ga-dis erat-erat lalu diciumnya ke dua pipi dan kening Pe-langi Indah. Ketika Wiro mencium sepasang mata si gadis terasa ada perasaan. Dia melangkah ke pintu.

Di halaman depan rumah panggung besar, be-lasan gadis cantik anggota Kelompok Bumi Hitam yang sebelumnya duduk di bangku panjang terbuat dari ba-tang kelapa serta merta bangkit berdiri ketika melihat Wiro menuruni tangga rumah, diiringi pimpinan mere-ka. Di depan sekali kelihatan Mentari Pagi dan Rembu-lan. Di sebelah kiri mereka berdiri Fajar Menyingsing dan Embun Pagi, dua gadis dalam kelompok Mentari Pagi dan Rembulan yang pertama sekali bertemu den-gan Wiro dan secara "keroyokan" pernah mencium

Page 10: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

Pendekar 212. Semua mereka tidak satupun yang mengenakan kerudung hitam hingga wajah mereka yang cantik terlihat jelas.

"Agaknya pimpinan kita tidak berhasil mena-han Pendekar 212..." berbisik Rembulan.

"Aku sudah menduga," jawab Mentari Pagi. "Kau kecewa? Mungkin lebih berat dari kecewanya Pe-langi Indah?"

Sekilas paras Rembulan terlihat kemerahan. Gadis satu ini sejak pertemuan pertama dengan Pen-dekar 212 memang telah jatuh hati. Tidak bisa dis-alahkan karena bukan cuma Rembulan, diam-diam semua gadis anggota kelompok Bumi Hitam, termasuk Mentari Pagi dan sang pimpinan mereka sendiri telah menaruh hati pada sang pendekar.

"Aku tidak munafik mengakui padamu bahwa aku menyukai pemuda itu. Tapi siapa diantara kita yang tidak menaruh hati padanya? Termasuk kau bahkan pemimpin kita Pelangi Indah."

Kini paras Mentari Pagi yang kelihatan keme-rah-merahan mendengar kata-kata Rembulan itu. Se-benarnya Mentari Pagi memang telah pula tertambat hatinya pada murid Sinto Gendeng itu. Tetapi dia terla-lu sombong untuk mau mengakui.

Wiro perhatikan wajah-wajah cantik di hada-pannya. Ketika dia memandang pada Pelangi Indah, gadis ini anggukkan kepala memberi isyarat. Wiro ga-ruk kepala, disambut senyum oleh semua gadis.

"Aku, aku sebenarnya ingin bicara banyak. Tapi menghadapi kalian yang cantik-cantik semua aku jadi kikuk, susah bicara..."

Para gadis anggota Bumi Hitam tertawa riuh. Salah seorang di belakang sana bernama Lembayung berkata. "Sudah, kau tak usah bicara. Tegak saja ber-diam diri. Biar kami memandangi! Biar kau tambah ki-

Page 11: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

kuk!" Gelak tawa memenuhi halaman rumah besar.

Membuat murid Sinto Gendeng kembali garuk-garuk kepala.

"Pemimpin kalian, dan juga kalian semua telah menolongku, menyelamatkan jiwaku dari pukulan be-racun Ki Tawang Alu. Aku sangat berterima kasih dan tidak bakal melupakan budi baik kalian..."

Lembayung yang tadi bicara kembali membuka mulut. "Kami tidak mau dengar ucapan itu. Yang kami ingin tahu ialah apakah kau menerima permintaan pemimpin kami menjadi pengganti Ki Tawang Alu, menjadi Wakil Ketua Kelompok Bumi Hitam?!"

"Permintaan kalian sudah disampaikan oleh Pe-langi Indah. Aku sangat berterima kasih atas kehorma-tan dan kepercayaan itu. Tapi para sahabatku, saat ini aku tidak bisa membuat keputusan. Kalian semua ta-hu. Guruku Eyang Sinto Gendeng diculik oleh Ki Ta-wang Alu. Dirinya dalam bahaya. Aku harus mencari dan menyelamatkan nenek itu..."

"Kami semua akan membantu!" gadis di sebelah belakang kembali membuka mulut.

"Terima kasih. Apapun yang terjadi dengan Eyang Sinto Gendeng, aku muridnya mempunyai ke-wajiban dan tanggung jawab turun tangan mencari dan menyelamatkan. Kalian tidak perlu merepotkan di-ri..."

"Kami justru senang dibikin repot olehmu! Hik...hik!" kembali Lembayung berucap. Kembali pula tempat itu dipenuhi gelak tawa para gadis.

Kembali tempat itu dipenuhi gelak tawa para gadis.

"Pimpinan, "Rembulan maju dua langkah ke hadapan Pelangi Indah. "Jika benar Ki Tawang Alu yang menculik guru Pendekar 212, besar kemungkinan

Page 12: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

dia menyekap nenek itu di Lembah Belibis." Pelangi Indah mengangguk walau diam-diam

dia merasa tidak enak dengan perbuatan dan ucapan Rembulan yang dirasakannya mendahului dirinya. Se-benarnya pimpinan para gadis cantik Kelompok Bumi Hitam ini sudah menduga begitu, namun karena su-dah punya rencana sendiri dia tidak mau mengung-kapkan. Kini terlanjur anak buahnya telah memberi tahu maka Pelangi Indah terpaksa anggukkan kepala.

"Mohon aku diberi tahu dimana letak Lembah Belibis itu," Wiro berkata seraya memandang pada Rembulan.

Sadar kalau tadi dia merasa bicara mendahului pimpinannya, kali ini Rembulan tidak berani menja-wab pertanyaan Pendekar 212.

"Beritahukan padanya Rembulan," tiba-tiba Pe-langi Indah berkata.

Sedikit kikuk Rembulan akhirnya menerang-kan. "Di kaki tenggara Gunung Merapi ada satu kali kecil. Ikuti kali itu, kau akan sampai ke sebuah lem-bah. Itulah Lembah Belibis. Mudah menemukannya karena di situ banyak burung-burung belibis."

"Terima kasih. Aku akan segera menuju ke sa-na..."

Tiba-tiba Lembayung kembali bersuara. "Pen-dekar 212! Bagaimana kalau ternyata Tawang Alu menculik gurumu bukan untuk maksud jahat?"

Sepasang mata Wiro Sableng membesar semen-tara dua alis Pelangi Indah naik ke atas, matanya me-mandang tajam ke arah Lembayung.

"Apa maksudmu Lembayung?" tanya Pelangi Indah.

"Mati aku, aku tadi cuma mau bergurau!" kata Lembayung dalam hati.

"Lembayung?!" suara Pelangi Indah mengeras.

Page 13: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

"Maafkan saya pimpinan. Maafkan diriku Pen-dekar 212. Maksudku, siapa tahu Tawang Alu bukan bermaksud jahat. Dia menculik gurumu karena dia suka pada Eyang Sinto Gendeng..."

Sunyi, tak ada suara. Hanya semua mata me-mandang pada Lembayung yang diam-diam jadi keta-kutan karena dipelototi oleh sekian banyak pasang mata, termasuk mata Pendekar 212 dan Pelangi Indah.

Wiro garuk-garuk kepala. Senyum di bibirnya. Lalu mulutnya terbuka. Bibirnya bergetar. Suara tawa keluar dari mulut itu. Mula-mula perlahan, lalu makin keras. Semua yang ada di situ, termasuk Pelangi indah sendiri tidak dapat pula menahan diri. Gelak tawa un-tuk kesekian kalinya terdengar riuh.

Lembayung tersenyum lega. Tapi satu tangan tahu-tahu menyusup menjewer telinganya.

"Lembayung. Lembayung! Dari dulu mulutmu selalu usil! Dasar gadis nakal!"

*

* *

3

GOA KEMATIAN SEPERTI yang diterangkan Rembulan, di kaki

gunung sebelah tenggara Wiro menemukan satu kali kecil. Saat itu sang surya belum lama terbit. Setengah harian dia mengikuti kali itu ke arah hulu. Di satu tempat dia mulai melihat burung-burung belibis beter-bangan rendah. Wiro berjalan terus, malah kini mulai berlari. Tak lama kemudian di satu tempat ketinggian

Page 14: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

dia hentikan larinya. Di balik tanah tinggi itu terben-tang sebuah lembah yang hanya ditumbuhi satu jenis pohon aneh berdaun kemerah-merahan. Batu-batu be-sar bertebaran dimana-mana. Burung-burung belibis beterbangan di udara namun banyak pula yang hanya bertengger di cabang pohon, mendekam di atas beba-tuan atau berjalan berombongan di tanah.

"Lembah Belibis. Lembah aneh..." membatin Pendekar 212 sambil memandang berkeliling. "Dimana aku menemukan kakek jahanam bernama Tawang Alu itu?!"

Wiro kembali memperhatikan keadaan sekitar lembah. Selain burung-burung belibis, bebatuan dan pohon-pohon berdaun merah, tak ada benda lain yang dilihatnya.

"Aku harus berteriak memanggil jahanam itu!" pikir Wiro. Maka dia kerahkan tenaga dalam lalu berte-riak.

"Tawang Alu! Dimana kau?! Jangan sembunyi! Perlihatkan dirimu!"

Suara teriakan Wiro mengumandang di seante-ro lembah, bergaung panjang. Cukup lama baru le-nyap. Tak ada jawaban, tak ada gerakan. Wiro kembali berteriak. Sampai tiga kali. Dia jadi kesal sendiri. "Ja-hanam! Agaknya aku harus memeriksa setiap sudut lembah ini!" Wiro memaki. Dia melompat ke satu batu besar. Dari atas batu dia memandang berkeliling. Tiba-tiba bola matanya membesar. Di kejauhan di sebelah timur sana dia melihat kelompok batu-batu bersusun membentuk dinding, panjang tiga tombak tinggi dua tombak. Dari sela-sela batu kelihatan asap mengepul tipis.

"Ada asap berarti ada api. Ada api berarti ada manusia di tempat itu!" Tanpa tunggu lebih lama Wiro segera lari ke arah susunan bebatuan. Dia sengaja me-

Page 15: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

lompat dari satu batu ke batu lain. Di depan dinding susunan batu Wiro berhenti.

Memperhatikan setiap sudut sambil kerahkan tenaga dalam ke tangan kanan. Dia harus berlaku waspada. Bukan mustahil tiba-tiba saja dia dibokong orang.

Kepulan asap ternyata berasal dari balik susu-nan batu. "Aku harus menyelidik ke belakang dinding batu ini!" Wiro melompat ke kiri, ke arah susunan batu paling rendah. Dari sini dia naik ke susunan batu yang lebih tinggi- Di tempat paling tinggi, ketika dia me-mandang ke bawah, kelihatan sebuah goa batu. Ter-nyata asap yang menembus susunan dinding batu be-rasal dan keluar dari dalam goa ini.

"Pasti bangsat itu berada di sana! Mudah-mudahan aku tidak terlambat! Kalau Eyang Sinto Gendeng sampai dibunuhnya akan ku kuliti jahanam bernama Tawang Alu itu!"

Wiro menuruni gundukan susunan batu, lang-sung ke arah mulut goa. Baru saja dia berkelebat tu-run dan sampai di depan mulut goa tiba-tiba satu sua-ra bergelak mengumandang di tempat itu. Semula Wiro menyangka suara tertawa itu keluar dari dalam goa. Ternyata ketika dia menoleh ke belakang tahu-tahu sosok kakek berjubah hitam bermuka putih Ki Tawang Alu berada di belakangnya, tegak bersandar ke dinding batu.

"Setan alas! Sembunyi dimana tadi jahanam ini. Mengapa aku tidak melihatnya!" memaki Pendekar 212 Wiro Sableng lalu tangan kanannya mulai dari siku sampai ke ujung jari mendadak berubah putih seperti perak, berkilauan terkena sorotan sang surya.

Ki Tawang Alu tertawa panjang. Mendongak ke langit. Tangan kanannya yang hancur diremukkan Wi-ro tampak dibalut. Sementara lengan kiri jubahnya ke-lihatan bergontai-gontai dan masih basah oleh darah.

Page 16: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

Dalam perkelahian sebelumnya tangan kiri itu telah dibikin buntung oleh Pendekar 212 Wiro Sableng.

"Dua tangannya cidera, tak mungkin dipergu-nakan. Tapi dia masih bisa petatang-peteteng unjuk-kan sikap tidak takut padaku. Pasti ada sesuatu yang diandalkan. Lebih baik aku hantam dia sekarang juga!" Wiro gerakkan tangan kanannya.

Ki Tawang Alu kembali tertawa panjang. Tan-gan kanannya yang dibalut diangkat ke atas.

"Pukulan Sinar Matahari! Kau hendak menye-rangku dengan pukulan itu! Ha...ha...ha! Aku siap me-nerima! Aku tidak akan menghindar! Tapi jangan lupa! Kematian diriku tidak akan menyelamatkan gurumu dari renggutan maut! Ha...ha...ha!"

"Tawang Alu keparat! Dimana kau sekap guru-ku?!" teriak Wiro.

"Kau murid baik! Jadi kau ingin melihat dan menolong gurumu? Ha...ha...ha! ikuti aku anak muda! Ikuti aku! Ha...ha...ha!"

Sambil terus tertawa Ki Tawang Alu berkelebat ke arah mulut goa yang dari dalam mana keluar berge-lung asap putih. Di mulut goa kakek muka putih ini berhenti sejenak, memandang ke arah Wiro, menunggu untuk melihat apakah Wiro mengikutinya atau tidak. Ternyata Pendekar 212 hanya tegak di depan mulut goa, memandang padanya dengan tampang geram.

"Ikuti aku anak muda! Kau akan bertemu gu-rumu! Tapi apakah kau bakal bisa menyelamatkannya itu perkara lain! Ha...ha...ha!"

Ki Tawang Alu melangkah masuk ke dalam goa. Mau tak mau Wiro terpaksa mengikuti. Ternyata goa itu hanya memiliki kedalaman sejauh lima tombak. Tapi langit-langitnya tinggi sekali dan di sebelah ujung bagian atasnya agaknya terbuka karena ada cahaya te-rang merambat ke bawah. Lalu ada hawa panas me-

Page 17: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

nerpa. Wiro memandang ke depan. "Ada tungku perapian raksasa di ujung goa..."

Wiro hentikan langkah. Hawa kobaran api yang me-nyala terasa panas bukan kepalang, membuat Wiro seperti dipanggang. Di sebelah depan Ki Tawang Alu menoleh.

"Mengapa berhenti anak muda Ha...ha...ha!? Kau takut pada panasnya apt? Ha...ha...ha! Teruskan langkahmu. Bukankah kau ingin melihat gurumu?!"

"Jahanam!" rutuk Wiro. "Aku mencium sesuatu. Bau pesing! Eyang Sinto Gendeng pasti disekap di goa celaka ini!"

* * *

4

SINTO GENDENG DIGANTUNG TAWANG ALU melanjutkan langkahnya lalu

berhenti satu setengah tombak dari depan tungku api raksasa. Dia memandang pada Wiro sambil menyerin-gai. "Kau ingin melihat gurumu atau tidak?!"

Wiro menggeram. Dia langkahkan kakinya. Ti-ba-tiba dia merasa lantai goa yang diinjaknya ber-goyang bergetar. Bersamaan dengan itu terdengar sua-ra benda berputar di barangi sesuatu bergesek. Dari langit-langit di ujung goa ada sebuah benda. bergerak turun ke bawah, berhenti satu tombak di atas tungku raksasa! Ketika melihat benda yang tergantung itu, Pendekar 212 Wiro Sableng berteriak marah. Benda itu

Page 18: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

bukan lain sosok Eyang Sinto Gendeng, digantung kaki ke atas kepala ke bawah dengan seuntai besi karatan. Sosok si nenek tidak bergerak, hanya sepasang ma-tanya saja tampak berputar liar pertanda nenek ini masih hidup tetapi berada dalam keadaan sangat mengenaskan.

Wiro maklum gurunya berada dalam satu toto-kan yang membuat orang tua itu tak bisa bergerak tak bisa bersuara.

Wiro berteriak dahsyat hingga seantero goa ber-getar hebat. Dia hendak melompat menyerang Ki Ta-wang Alu tapi kakek muka putih itu ganda tertawa.

"Jangan kesusu ingin menyerang atau membu-nuh aku, Pendekar 212. Perhatikan tempat dua kaki-mu berpijak. Kau berada dalam kotak kematian. Sedi-kit saja kau menggerakkan kaki atau bagian tubuhmu, batu yang kau pijak akan bergerak. Gerakan batu akan menurunkan secara cepat sosok gurumu yang tergantung. Kalau kau tidak percaya silahkan kau co-ba. Geser sedikit salah satu kakimu atau gerakkan tanganmu. Kau akan melihat apa yang terjadi!"

"Jahanam! Jangan berani menipu!" bentak Wi-ro.

"Siapa menipu! Lakukan saja apa yang aku ka-takan!"

"Jahanam!" Wiro memaki. Dia geserkan kaki ki-rinya. Gerakannya ini menggetarkan lantai goa yang dipijaknya. Bersamaan dengan itu rantai berkarat yang mengikat dua kaki Sinto Gendeng bergeser turun. So-sok si nenek bergerak ke bawah sejauh dua jengkal! Sepasang mata Sinto Gendeng mendelik. Panasnya api di tungku raksasa seperti mau melelehkan batok kepa-lanya. Kalau saja jalan suaranya tidak terkunci pasti si nenek ini sudah menjerit setinggi langit, memaki ha-bis-habisan.

Page 19: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

Kau lihat? Ha...ha...ha! Masih tak percaya, anak muda? Silahkan gerakkan tanganmu. Tak usah banyak-banyak. Sedikit saja. Nanti kau lihat apa yang terjadi..."

Penasaran Wiro Sableng gerakkan tangan ka-nannya, seolah hendak mencabut Kapak Maut Naga Geni 212 yang ada di pinggang. Tapi begitu tangannya bergerak, lantai goa kembali bergetar dan di depan sa-na rantai besi turun lagi sejauh dua jengkal. Sosok Sinto Gendeng ikut melorot ke bawah!

"Celaka! Aku tak mungkin menolong Eyang guru..."

Ki Tawang Alu tertawa mengekeh. "Eyang! Kerahkan tenaga dalammu! Kau pasti

bisa memusnahkan totokan yang menguasai dirimu!" Ki Tawang Alu tertawa bergelak mendengar se-

ruan Wiro itu. "Pendekar 212! Gurumu boleh punya kesaktian dan tenaga dalam setinggi Gunung Merapi, bahkan setinggi langit! Tapi yang namanya Totokan Seribu Syaraf tidak bisa dipunahkan oleh siapapun!"

"Tawang Alu keparat! Aku bersumpah membu-nuhmu!" teriak Wiro.

"Seribu sumpah boleh saja kau ucapkan! Tapi kau dan gurumu tidak bisa melakukan apa-apa. Nya-wa Sinto Gendeng justru ada di tanganmu, muridnya sendiri! Ha...ha...ha!"

"Tua bangka jahanam! Lepaskan guruku! Aku bersedia melakukan apa saja yang kau minta!"

Sepasang mata Sinto Gendeng membeliak dan berputar liar mendengar ucapan muridnya itu. Seba-liknya Tawang Alu tertawa gelak-gelak.

"Begitu?! Kau memang murid baik! Sangat ber-bakti pada sang guru! Kau mau melakukan apa untuk menyelamatkan gurumu?!"

"Kau boleh ambil nyawaku asal kau bersumpah

Page 20: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

membebaskan guruku!" Kembali dua bola mata Sinto Gendeng membe-

sar dan berputar. Ki Tawang Alu tertawa lagi. "Hebat! Kau murid

hebat! Luar biasa! Tapi aku tidak buru-buru meminta nyawamu anak muda! Terlalu enak jika kau kubunuh begitu saja! Ha...ha...ha!"

"Jahanam! Apa yang kau inginkan? Ingin men-cungkil mataku? Ingin mengorek jantungku? Laku-kan!" Teriak Wiro.

Ki Tawang Alu menyeringai dan geleng-geleng kepala.

"Aku bukan manusia serakah!" katanya. Lalu kakek muka putih ini angkat tangannya kiri kanan. "Kau telah menghancurkan tangan kananku! kau Juga membuntungi tangan kiriku! Aku akan menuntut ba-las sesuai dengan apa yang telah kau lakukan! Aku minta tanganmu kiri kanan! Itu saja! Ha...ha...ha!"

Saking geramnya Pendekar 212 acungkan dua tangannya ke depan. "Kau inginkan dua tanganku! Ambillah!"

Gerakan yang dibuat Wiro menyebabkan lantai yang dipijaknya bergoyang. Alat rahasia yang menghu-bungkan bagian bawah lantai dengan roda pemutar rantai bekerja. Rantai besi bergerak turun dan sosok Sinto Gendeng tambah ke bawah mendekati tungku api raksasa!

"Tenang Pendekar 212! kau tak usah bersusah payah mengulurkan tangan segala. Biar semua aku yang melakukan! Dengar, aku akan mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 dari balik pakaianmu. Dengan senjata itu aku akan membabat putus tanganmu kiri kanan! Pembalasan sangat adil bukan? Ha...ha...ha!"

Sepasang mata Sinto Gendeng kelihatan berki-lat memancarkan hawa kemarahan. Melihat hal ini Wi-

Page 21: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

ro tiba-tiba ingat. "Eyang! Keluarkan ilmu Sepasang Sinar Inti

Roh!" Wiro berteriak. "Manusia tolol!" bentak Tawang Alu. "Apa kau

masih tidak yakin gurumu tidak punya daya apa-apa? Dia bukan cuma tak bisa bergerak dan bersuara. Tapi juga tidak mampu mengerahkan hawa sakti atau tena-ga dalam!"

"Jahanam! Kau benar-benar jahanam!" rutuk Wiro. Kalau saja Sinto Gendeng telah mewariskan ilmu Sepasang Sinar Inti Roh itu, pasti Tawang Alu sudah di habisinya sejak tadi-tadi. Wiro diam-diam menyesali mengapa sang guru tidak mengajarkan ilmu itu pa-danya. Malah menyuruhnya menunggu sampai 49 ta-hun hanya gara-gara dia tidak bisa menahan nafsu terhadap wajah cantik dan tubuh mulus. Padahal ka-lau saja si nenek tahu bagaimana dia sanggup meng-hadapi tantangan Pelangi Indah pasti Sinto Gendeng akan berubah pikiran. Wiro menghela nafas dalam. Matanya menatap ke depan, memperhatikan letak tungku api raksasa serta ketinggian sosok gurunya yang tergantung.

"Aku tahu apa yang ada di otakmu Pendekar 212. Kau ingin menghancurkan tungku api ini dengan pukulan sakti. Bersamaan dengan itu kau melompat untuk menyambuti tubuh gurumu! Silahkan mencoba! Jika kau membuat kelalaian seperseratus kejapan ma-ta, kau dan gurumu bakal mampus percuma! Kalau-pun kau masih hidup, kau akan menyesal seumur-umur!"

"Kalau begitu lekas kau lakukan niat kejimu! Aku siap untuk di buntungi ke dua tanganku! Tapi awas kalau kau berani menipu!"

"Aku juga memperingatkan, awas kalau kau be-rani memperdayaiku!" balas mengancam Ki lawang

Page 22: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

Alu. Lalu dia melangkah mendekati, berhenti sejarak dua langkah dari hadapan si pemuda. Wiro memperha-tikan ke bawah. Ternyata pada lantai yang dipijaknya ada garis berbentuk bujur sangkar. Mungkin ini yang disebut Kotak Kematian. Dia berada di dalam kotak itu sedang Tawang Alu di sebelah luar.

Dengan gerakan hati-hati Ki Tawang Alu ulur-kan tangan kanannya yang dibalut. Seperti diketahui Wiro telah mematahkan tulang telapak tangan kakek muka putih ini. Saat ini walaupun dibalut keadaannya masih parah. Bukan satu hal yang mudah bagi Tawang Alu menggerakkan tangannya, apalagi untuk mengam-bil Kapak Naga Geni 212 yang tersisip di pinggang Wi-ro. Namun dendam kesumat sakit hati membuat dia melupakan semua kesulitan dan rasa sakit. Jari-jarinya yang tersembul dari balik balutan bergerak ka-ku, menggapai ke balik pinggang pakaian Pendekar 212 Wiro Sableng.

Di atas sana, dalam keadaan tergantung kaki ke atas kepala ke bawah, Sinto Gendeng memaki ha-bis-habisan.

"Anak setan! Kenapa dia jadi tolol begitu rupa! Apa dengan menyerahkan dua tangannya di buntungi oleh laknat muka putih itu dia bisa menyelamatkan di-riku? Jahanam itu pasti cuma menipu! Aku pasti akan dibunuhnya dan anak setan itu sendiri akan menemui ajal dimakan racun kapak! Kalaupun dia mampu ber-tahan apa. artinya hidup dengan dua tangan bun-tung?! Tolol! benar-benar tolol!"

Dengan susah payah Tawang Alu berhasil men-cekal hulu Kapak Maut Naga Geni 212 lalu ditariknya. Cahaya berkilauan memancar dari mata kapak. Kakek ini menyeringai. Mukanya yang putih laksana muka ib-lis. Cahaya pada dua mata kapak sakti semakin terang pertanda Tawang Alu telah mengerahkan tenaga da-

Page 23: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

lam. Tiba-tiba tangan kanan kakek ini bergerak. Walau tangannya cidera parah, namun dengan mengandalkan ilmu kesaktian yang disebut Secepat Kilat Membalik Tangan kakek ini mampu memegang dan memba-batkan senjata milik lawannya. Kapak Maut Naga Geni 212 berkiblat ke arah tangan kanan Wiro, memancar-kan cahaya berkilauan disertai suara bergaung dan hamparan hawa panas.

Melihat bahaya mengancam muridnya sepasang mata Sinto Gendeng menyorotkan sinar angker. Na-mun tidak ada kekuatan atau hawa sakti yang bisa di-kerahkannya. Dia tidak mampu berbuat apa kecuali merutuk dalam hati.

"Anak setan itu! Mengapa dia berlaku setolol itu! Dia menduga bisa menolongku! Padahal dia akan mati percuma! Malah nyawaku sendiri belum tentu bi-sa diselamatkan!"

*

* *

5

TOTOKAN SERIBU SYARAF HANYA SEKEJAPAN lagi tangan kiri Wiro Sab-

leng akan dibabat putus oleh kapak sakti miliknya sendiri, tiba-tiba dari mulut goa melesat masuk dua bayangan hitam. Apa yang terjadi kemudian berlang-sung serba tidak terduga dan sangat cepat.

Ki Tawang Alu keluarkan jeritan keras. Satu ge-lombang angin dahsyat membuat dia terhempas tiga langkah ke belakang. Bersamaan dengan itu darah

Page 24: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

muncrat dari urat besar yang putus di pergelangan tangannya. Sebuah benda menancap di pergelangan itu. Kapak Maut Naga Geni 212 terlepas dari gengga-mannya, jatuh berkerontang di lantai goa. Tidak sadar Wiro membungkuk untuk mengambil senjata itu. Lan-tai yang dipijaknya bergoyang, menggetarkan alat ra-hasia yang berhubungan dengan rantai besi dimana Sinto Gendeng tergantung. Tak ampun lagi rantai itu bergerak turun ke bawah. Sosok si nenek dengan ke-pala lebih dulu, menghunjam turun ke arah tungku api raksasa! "Celaka!" Wiro sadar. Tapi sudah terlam-bat!

Muka putih Ki Tawang Alu semakin putih. Da-rahnya tersirap besar dan nyawanya serasa terbang ketika dia melihat benda apa yang menancap di perge-langan tangannya. Lebih dari itu lututnya goyah geme-tar ketika melihat ada sosok berjubah dan berkeru-dung hitam tegak berkacak pinggang di depannya.

Si kakek jatuhkan diri berlutut di lantai goa. Benda yang menancap di pergelangan tangannya ter-nyata adalah sebilah pisau hitam bergagang berbentuk kepala srigala terbuat dari perak.

"Racun srigala......Nyawaku tidak tertolong! Kecuali jika ada yang memberikan obat pena-

war..." Ki Tawang Alu merasa lehernya kaku ketika dia mencoba mengangkat kepala, memandang ke atas ke arah kepala orang berkerudung.

"Ampuni selembar nyawaku! Mohon diberikan obat penawar racun srigala!" Ki Tawang Alu meminta setengah meratap.

Dari balik kerudung terdengar suara menden-gus. Lalu suara orang berucap. Dari suaranya jelas di-ketahui bahwa orang berkerudung ini bukan lain ada-lah Pelangi Indah, Ketua Kelompok Bumi Hitam dari Gunung Merapi.

Page 25: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

"Ki Tawang Alu! Dosa dan kesalahanmu susah dijajagi. Lebih tinggi dari langit, melebihi dalamnya da-sar lautan! Masih ada sedikit kesempatan untuk ber-tobat sebelum maut datang merenggut! Mengapa tidak dipergunakan?!" "Ketua!" Suara Ki Tawang Alu terce-kat. Dia jatuhkan keningnya ke lantai goa. Bersujud. "Aku mohon belas kasihanmu. Berikan obat penawar racun srigala. Aku bersumpah menjadi orang baik-baik, menempuh jalan kebenaran!"

"Sudah terlambat Tawang Alu! Kau memang pantas mati dimakan racun srigala!" Jawab Pelangi In-dah.

Saat itu tiba-tiba satu bayangan putih melom-pat ke hadapan Ki Tawang Alu. "Ada cara mati lain yang lebih pantas untuk tua bangka keparat ini!"

Satu tangan yang kokoh menjambak rambut putih Ki Tawang Alu hingga kakek ini meraung kesaki-tan.

"Ampun! Jangan! Tobat! Pendekar 212, jangan!" teriak Ki Tawang Alu. Dia coba lepaskan diri. Menjerit, memukul dan menendang. Tapi sia-sia saja. Wiro sen-takkan kepala kakek itu hingga tubuhnya terangkat ke atas. Selagi Tawang Alu melejang-lejang dan menjerit-jerit Wiro lemparkan sosoknya ke arah tungku raksa-sa.

"Wuuttt! Bluusss!" Jeritan Ki Tawang Alu terputus. Berganti den-

gan suara masuknya tubuh ke dalam tungku api. Li-dah api berhamburan ke udara. Lalu terdengar suara seperti benda meledak. Semua orang merasa ngeri. Itu adalah suara meledaknya tubuh Ki Tawang Alu yang di tambus api tungku raksasa. Bersamaan dengan suara ledakan itu menyusul berlesatan ke udara beberapa bagian tubuhnya. Bau daging terbakar memenuhi seantero goa.

Page 26: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

Kita kembali dulu pada saat sewaktu Wiro sa-lah bergerak, hendak mengambil Kapak Maut Naga Geni 212 yang tergeletak di lantai. Saat itu juga rantai besi melorot ke bawah dan sosok Sinto Gendeng yang tergantung kaki ke atas kepala ke bawah melayang tu-run dengan deras. Sesaat lagi nenek itu pasti akan tenggelam amblas dalam tungku api raksasa sementa-ra Wiro sudah mati langkah, tak mungkin berbuat sua-tu apa untuk menolong gurunya. Saat itulah bayangan hitam kedua yang melesat dari mulut goa berkelebat cepat, menangkap tubuh Sinto Gendeng lalu memba-wanya melayang turun ke sudut aman menjauhi tung-ku maut!

Ketika Wiro mendatangi si nenek, orang berju-bah dan berkerudung hitam tengah membuka jepitan besi di ujung rantai besi yang mengikat dua kaki kurus Sinto Gendeng.

"Nek, kau tidak apa-apa?" Wiro menegur seraya berjongkok di samping Sinto Gendeng. Sekilas dia me-lirik pada orang berjubah di sebelahnya. Dia tidak tahu siapa adanya orang ini. Mungkin Rembulan, mungkin juga Mentari Pagi.

Sinto Gendeng tidak menjawab. Dua matanya mendelik berputar memandang ke arah Wiro. Mukanya yang cekung tinggal kulit pembalut tulang unjukkan tampang asam.

Wiro sadar kalau saat itu gurunya masih bera-da dalam pengaruh totokan, tak bisa bicara tak bisa bergerak. Maka dia segera pergunakan kepandaian un-tuk melepas totokan itu. Yang pertama sekali adalah membuka jalan suara si nenek agar bisa bicara. Wiro menotok urat besar di leher kiri kanan Sinto Gendeng. Memang di situ tempat untuk memusnahkan totokan jalan suara. Dan nyatanya Sinto Gendeng kini memang bisa membuka mulut keluarkan suara. Tapi bicaranya

Page 27: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

aneh. Ucapannya tidak jelas. Suara si nenek melengk-ing aneh, cepat sekali. sulit dimengerti.

"Wau! Hikkk! Haauuuuuw! Ngik...! Ngik...! Wauu! Kik...kik...kik!"

"Astaga! nek, kenapa suaramu jadi begini?" Wi-ro tersentak kaget." Kau bicara apa?! Suaramu seperti monyet terbakar buntut!" Wiro kelabakan. Dia me-mandang ke arah Pelangi Indah dan Rembulan. Dibalik kerudung dua gadis cantik ini hanya senyum-senyum. Wiro jadi tambah bingung. Karena dua gadis seper-tinya tidak berniat menolong, Wiro kembali berusaha membuka jalan suara si nenek. Dia menotok lagi di beberapa bagian tubuh gurunya.

Suara aneh si nenek memang lenyap. Tapi kini yang melesat keluar dari mulut Sinto Gendeng adalah suara seperti kerbau melenguh! Wiro sampai jatuh ter-duduk saking kagetnya.

"Eyang! Kau kesambet atau kemasukan atau bagaimana?!" seru Pendekar 212 dan garuk kepalanya habis-habisan.

Dalam bingungnya Wiro kembali menotok. Ti-ba-tiba ser.... Dari bawah perut Sinto Gendeng mengu-cur cairan yang menebar bau pesing. Di lantai goa ke-lihatan tergenang cairan kekuning-kuningan! Maksud baik Wiro untuk menolong gurunya malah salah ka-prah. Si nenek ditotok hingga mengucurkan air kenc-ing habis-habisan!

"O walahh! Mengapa jadi begini?!" Wiro tersurut mundur. Tangan kiri memencet cuping hidung mena-han sambaran bau pesing, tangan kanan menggaruk kepala pulang balik! "Kau kelewatan nek. Ditolong ma-lah kencing seenaknya!"

*

* *

Page 28: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

6

BEKAS CUPANGAN DI LEHER SAMBIL menahan tawa Pelangi Indah menda-

tangi. "Wiro, Totokan Seribu Syaraf bukan totokan sembarangan. Kau tidak bisa memusnahkannya den-gan ilmu pembuka totokan biasa. Orang yang ditotok juga tidak mampu membebaskan diri sekalipun dia memiliki hawa sakti dan tenaga dalam luar biasa ting-gi..."

"Lalu bagaimana guruku? Dia musti ditolong. Kau lihat sendiri. Barusan dia kencing. nanti jangan-jangan dia berak! Aku..."

Pelangi Indah dan gadis berkerudung di samp-ing si nenek berusaha menahan tawa.

"Jangan khawatir Wiro. Kami membebaskan gurumu dari totokan itu," jawab Pelangi Indah. Lalu gadis Ketua Kelompok Bumi Hitam ini anggukkan ke-palanya ke arah orang berjubah yang berjongkok di samping kiri Sinto Gendeng. "Rembulan, musnahkan totokannya. Buka jalan suara dan kembalikan kelentu-ran tubuhnya!"

Ternyata yang menolong Sinto Gendeng tadi adalah Rembulan, gadis tercantik dalam jajaran anggo-ta Kelompok Bumi Hitam, yang diam-diam telah jatuh hati pada Pendekar 212 Wiro Sableng.

Mendengar ucapan pimpinannya Rembulan se-gera mengangkat sosok Sinto Gendeng. Dari belakang, kepala si nenek di naikkannya demikian rupa. Jari te-lunjuk tangan kanan dimasukkan ke dalam mulut. Mata sesaat dipejamkan. Dia seperti merapal sesuatu

Page 29: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

dalam hati. Jari dikeluarkan dari dalam mulut lalu di-tusukkan ke leher belakang Sinto Gendeng, di sebelah atas, dekat rambut. Mulut Sinto Gendeng terbuka. Sa-tu kepulan asap berwarna hitam membersit keluar dari mulut itu. Sesaat kemudian si nenek tampak mengge-liatkan ke dua tangannya. Bersamaan dengan itu jalan suaranya terbuka.

Sinto Gendeng balikkan tubuh, memandang melotot ke arah muridnya. Lalu mulutnya yang kini bi-sa bicara mulai merocos.

"Anak setan! Kau sengaja mempermainkan aku ya?!"

"Nek, aku justru..." "Diam! Tutup mulutmu! Kau sebut aku monyet

terbakar buntut! Kau bilang aku kencing seenaknya. Kau bilang aku mau berak..."

"Eyang, aku minta maaf. Maksudku..." "Sudah! Tutup mulutmu! Jangan sampai aku

tampar!" "Eyang, kau boleh marah besar padaku! Tapi

harap sedikit hormat pada dua gadis cantik yang telah menyelamatkan dirimu dan juga diriku..."

"Huh! Dua gadis cantik? Aku tidak melihat apa-apa. Yang aku lihat cuma dua sosok berjubah hitam. Kepala mereka ditutup kerudung hitam. Kalau mereka memang cantik mengapa sembunyikan wajah dibalik kerudung? Jangan-jangan yang satu sumbing bibir-nya, yang satu lagi picak matanya! Hik...hik..hik!"

"Nek, jaga mulutmu! Jangan membuat malu!" Wiro benar-benar merasa jengkel. Dia takut dua gadis itu tersinggung. Tapi Pelangi Indah dan Rembulan te-nang-tenang saja. Malah kedua gadis ini senyum-senyum melihat pertengkaran antara guru dan murid itu.

"Pelangi Indah, Rembulan, kalau kau tidak ke-

Page 30: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

beratan harap suka membuka kerudung. Perlihatkan pada guruku siapa adanya kalian..."

Sesaat Pelangi Indah dan Rembulan merasa bimbang mendengar permintaan Pendekar 212 itu.

"Apa kataku! Muka mereka pasti jelek! Buk-tinya mereka tidak mau unjukkan wajah!" kata Sinto Gendeng pula. "Wajahku walau sudah tua begini, mungkin lebih cantik dari mereka! Hik...hik..hik!"

"Nenek edan!" maki Wiro dalam hati. Saat itu Pelangi Indah dan Rembulan sama-

sama menggerakkan tangan membuka kerudung yang menutupi kepala mereka. Begitu wajah mereka ter-singkap, Sinto Gendeng jadi terkesiap. Namun nenek ini cepat menguasai diri. Walau sebenarnya dia kagum melihat kecantikan dua gadis itu namun dasar gen-deng, enak saja dia bicara.

"Wallah... Kalian memang cantik semua. Tapi ketika aku masih muda, kecantikanku jauh melebihi kalian..."

"Nek!" saking kesalnya Wiro memotong ucapan sang guru. "Masa mudamu sudah lama lewat. Perlu apa disebut-sebut. Saat ini kau menghadapi kenya-taan. Apa kau tidak mau mengucapkan terima kasih pada Pelangi Indah dan Rembulan?"

"Hai! Kau sudah tahu nama mereka rupanya!" Sinto Gendeng berucap setengah berseru. Lalu sepa-sang matanya mendelik berkilat-kilat memandang pa-da Wiro. "Apa kataku! Terbukti kau nyatanya masih suka melihat wajah cantik, dada kencang tubuh mu-lus! Bagaimana mungkin aku memberikan ilmu Sepa-sang Sinar Inti Roh padamu!"

"Eyang, soal ilmu itu aku sudah melupakannya. Kau mau memberi atau tidak aku tidak perduli. Saat ini kita berdua harus mengucapkan terima kasih pada dua gadis ini. Mereka telah menyelamatkan jiwa kita..."

Page 31: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

Lalu tanpa menunggu gurunya Wiro bungkuk-kan dada, menghormat pada Rembulan dan Pelangi Indah seraya berkata. "Pada kalian berdua, aku men-gucapkan terima kasih. Untuk kesekian kalinya kalian telah menyelamatkan jiwaku..."

"Wiro, sudahlah. Tak perlu memakai segala ma-cam peradatan. Kami senang bisa menolong mu. Lebih baik kau perhatikan keadaan gurumu. Kami masih ada kepentingan lain. Kami minta diri..." Pelangi Indah melangkah ke mulut goa. Rembulan mengikuti.

"Tunggu!" Sinto Gendeng tiba-tiba berseru. Dua gadis cantik hentikan langkah, memandang ke arah si nenek, menunggu apa kelanjutan ucapannya.

"Aku tua bangka ini tidak mau dikatakan tidak tahu peradatan dan sopan santun. Aku Sinto Gendeng menghaturkan banyak terima kasih karena kalian te-lah menyelamatkan jiwa kami guru dan murid. Budi kalian setinggi langit, sulit bagiku untuk mengukur membalasnya."

Pelangi Indah tersenyum. Dia membungkuk la-lu berkata. "Kami sendiri merasa senang dapat berte-mu denganmu, Nek. Mengingat nama besarmu dalam rimba persilatan tanah Jawa, bisa bertemu denganmu sudah merupakan satu kehormatan besar. Izinkan kami meminta diri untuk pergi lebih dulu..."

Sinto Gendeng menarik nafas panjang. Tiba-tiba tangan kirinya diulurkan memegang salah satu ujung pakaian Pelangi Indah. Gadis ini tahu apa yang hendak dilakukan si nenek. Dia kerahkan tenaga da-lam. Gerakan si nenek hendak menarik tertahan. Na-mun sesaat kemudian dirasakannya dua kakinya ber-geser. Sepertinya dia berada di lantai yang licin.

"Luar biasa tenaga dalam nenek ini. Kalau aku terus bertahan pakaianku bisa robek! Lebih baik aku mengalah," kata Pelangi Indah dalam hati.

Page 32: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

Gerakan tangan Sinto Gendeng bukan saja membuat Pelangi Indah tertarik, tapi kepalanya me-runduk ke bawah mendekati wajah si nenek.

"Gadis cantik, apa yang telah kau perbuat ber-sama muridku, si anak setan itu?!"

Pelangi Indah terkejut sekali, tidak menduga si nenek akan mengajukan pertanyaan seperti itu walau diucapkan secara berbisik.

"Apa maksudmu, Nek?"" Si gadis balik ber-tanya, juga dengan berbisik.

"Jangan berpura-pura. Gadis cantik dan pemu-da lajang, bisa saja lupa diri..."

"Aku... kami tidak berbuat apa-apa..." "Jangan berdusta!" "Sumpah nek. Muridmu bukan pemuda hidung

belang yang mempergunakan kesempatan sekalipun diberi jalan. Imannya sekokoh batu karang di pantai selatan!"

Sepasang mata Sinto Gendeng kelihatan berca-haya. Lalu nenek ini tertawa lebar. "Kau boleh pergi..." katanya.

Tapi baru saja Pelangi Indah dan Rembulan bergerak dua langkah ke mulut goa, tiba-tiba Sinto Gendeng berseru lagi.

"Hai! Tunggu!" Walau agak kesal dua gadis itu hentikan lang-

kah, memandang pada si nenek. "Ya, ada apa Nek?" tanya Pelangi Indah. "Sebelum kalian pergi, ada satu hal ingin aku

tanyakan." Pelangi Indah dan Rembulan tetap diam di tempat. Keduanya sekilas melirik ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng.

"Hal apa yang ingin kau tanyakan Eyang Sin-to?" tanya Pelangi Indah.

Sesaat si nenek pandangi dua wajah yang ma-

Page 33: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

sih belum ditutupi kerudung itu. "Kalian memang cantik-cantik. Diantara kalian

berdua, yang mana yang telah jatuh hati pada murid-ku si anak setan ini?!"

"Guru, kau ini! Mengapa bertanya yang bukan-bukan?!" Wiro berseru. Tapi si nenek cuma menyengir.

Wajah Pelangi Indah dan Rembulan serta merta menjadi merah. Pelangi Indah geleng-gelengkan kepala. Rembulan menggigit bibir. Dua gadis itu kemudian tu-tup wajah mereka kembali dengan kerudung lalu sa-ma-sama melangkah cepat ke pintu goa. Ketika mele-wati Wiro Pelangi Indah berhenti sesaat lalu setengah berbisik dia berkata.

"Wiro, gurumu benar-benar hebat! Waktu muda pasti dia merupakan seorang gadis genit centil!"

Wiro diam saja. Rembulan menyambungi. "Belum pernah aku

menemui nenek-nenek se usil gurumu..." Pendekar 212 tidak tahu mau berkata apa. Dia

cuma bisa menggaruk kepala. Sesaat setelah dua gadis cantik itu meninggal-

kan goa, Sinto Gendeng mengangkat kepala, lalu ter-tawa panjang.

"Tua bangka edan! Apa yang di tertawakan-nya..." maki Wiro dalam hati. "Nek, memangnya ada yang lucu?!" tanya Wiro.

"Aku belum edan! Kalau tidak ada yang lucu masakan aku tertawa!"

"Coba kau katakan apa yang lucu!" ujar Wiro pula.

"Dua gadis tadi! Mereka tidak bisa menjawab pertanyaanku! Mereka tidak mau mengatakan siapa diantara mereka yang telah jatuh hati padamu. Berar-ti......Berarti... Hik...hik..hik!"

"Berarti apa Nek?" tanya Wiro.

Page 34: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

"Berarti dua-duanya telah jatuh cinta padamu! Kau dengar apa yang aku ucapkan anak setan?! Dua gadis itu telah jatuh cinta padamu! Hik...hik..hik!"

Wiro tak menjawab. Sang pendekar melangkah ke pintu goa.

"Eh, kau mau kemana anak setan? Mau me-nyusul dua gadis yang mencintaimu itu?!" Sinto Gen-deng menegur lalu tertawa lagi.

"Goa ini pengap Nek. Bau pesing dimana-mana!" jawab Wiro.

"Brengsek! Aku tidak mencium bau apa-apa!" tukas Sinto Gendeng. "Jangan kau berani meninggal-kan aku! Kau tahu saat ini tugasmu harus segera kau mulai!"

Wiro hentikan langkah. "Tugas apa Nek?" "Jangan pura-pura tidak tahu! Gendong aku!

Kita segera menuju Teluk Akhirat!" jawab Sinto Gen-deng.

Mendengar ucapan gurunya itu Pendekar 212 Wiro Sableng jadi lemas. Tapi tak ada hal lain yang bi-sa diperbuatnya selain mematuhi ucapan si nenek yang tidak lebih dari satu perintah. Sambil garuk-garuk kepala Wiro melangkah mendekati Sinto Gen-deng. Lalu seperti yang sudah-sudah tubuh lumpuh si nenek digendongnya di atas pundak. Sambil melang-kah, untuk menghilangkan kekesalannya Wiro bersiul-siul seenaknya.

"Hemm, hatimu rupanya sedang senang. Aku ada satu pertanyaan untukmu, anak setan!"

"Dari tadi kau rupanya lagi senang bertanya! Ucapkan saja Nek! "Nek."

"Diantara dua gadis cantik tadi, yang mana yang kau sukai?"

"Waktu kau tadi menanyakan siapa diantara

Page 35: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

mereka yang jatuh hati padaku, tak ada yang menja-wab. Lalu apa perlunya aku menjawab pertanyaan-mu?" ujar Wiro pula.

Sinto Gendeng tertawa mengekeh. "Mereka ti-dak mau menjawab. Mereka mendustai diri sendiri. Aku punya bukti salah satu dari gadis itu sudah men-dapat tempat di hati mu. Malah sudah kau layani. Be-tul, hik...hik...hik?!"

"Apa maksudmu Nek?" Si nenek usapkan jari-jari tangannya ke pang-

kal leher Pendekar 212 Wiro Sableng sebelah kanan. "Ada tanda bekas cupangan, bekas gigitan di

lehermu ini. Siapa yang menggigit? Jelas bukan kodok kan? Setan atau jin juga tidak pernah menggigit ma-nusia seperti ini! Hik...hik...hik..."

Wiro meraba lehernya. Dia tidak bisa melihat. Dia juga tidak tahu kalau pada lehernya memang ada bekas gigitan. Jangan-jangan nenek brengsek ini hanya menipuku. Tapi kalau benar, siapa yang mela-kukan? Pelangi Indah? Waktu dia berada berdua-dua di kamar dengan gadis itu? Wiro menggaruk kepa-lanya!

*

* *

7

MAUT MENANTI DI TELUK AKHIRAT

PAGI ITU angin teluk bertiup agak keras. Di

Page 36: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

laut gelombang bergulung deras, menghampar me-mecah di kawasan pasir dengan suara menggemuruh. Di udara yang tidak begitu cerah, ratusan kelelawar melayang beterbangan di permukaan teluk. Sesekali suara gelepar sayap mereka terdengar aneh mengge-tarkan. Sesekali binatang itu keluarkan suara me-lengking bukan saja menyakitkan telinga tapi juga menggidikkan. Sekelompok kelelawar sekitar tiga pu-luh ekor tiba-tiba muncul melayang dari arah timur. Dari jurusan berlawanan sepasang elang besar terbang dipermukaan laut lalu membumbung ke angkasa, me-layang ke arah pantai. Puluhan kelelawar keluarkan suara melengking keras. Gerakan mereka berubah be-ringas. Seolah ada satu ketentuan yang tak bisa dita-war, di Teluk Akhirat tidak ada mahluk lain boleh hi-dup, kecuali kelelawar!

Kelelawar-kelelawar ini membuat gerakan ber-putar di udara, lalu dengan sangat tiba-tiba menukik ke bawah ke arah dua ekor elang besar.

Dua elang besar rupanya sudah melihat keda-tangan rombongan kelelawar yang hendak menyerang. Dua elang ini menyambut dengan lengkingan suara tak kalah galaknya. Perkelahian aneh, yang jarang dis-aksikan manusia serta merta terjadi di udara terbuka. Tiga puluh ekor kelelawar mengeroyok dua ekor elang besar. Semuanya berlangsung sebentar saja. Dua elang besar keluarkan suara menguik keras. Tubuh mereka hancur dicabik-cabik kelelawar. Bulu beterbangan, ja-tuh melayang ke atas permukaan air laut. Tiga puluh ekor kelelawar membuat putaran lalu melesat ke arah pantai. Sebelum lenyap di arah teluk, salah seekor dari kelelawar itu memisahkan diri, melayang merendah dan berkelebat diantara kerapatan pohon-pohon kela-pa.

Di dalam sebuah gubuk tanpa dinding, berlan-

Page 37: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

tai tanah keras, satu Sosok tinggi besar duduk di atas sebuah batu hitam. Batu hitam ini berbentuk aneh. Bagian bawah merupakan tempat duduk yang kokoh, lalu di sebelah belakang batu ini membentuk sandaran tinggi. Di sebelah atas sandaran, seperti di ukir, mem-bentuk sosok seekor kelelawar yang tengah meren-tangkan kedua sayapnya.

Orang di atas batu memiliki daun telinga men-cuat lancip ke atas. Sepasang tangan panjang luar bi-asa ditumbuhi bulu hitam lebat. Dua matanya sangat sipit, sepintas seolah terpejam. Inilah mahluk yang disebut Kelelawar Pemancung Roh, yang telah mence-lakai Sinto Gendeng hingga nenek sakti itu menderita lumpuh dari pinggang ke bawah.

Saat itu Kelelawar Pemancung Roh tengah du-duk rangkapkan dua tangan di depan dada, mata ter-picing mulut terkancing. Sosoknya tidak bergerak se-dikitpun. Keadaannya seolah menjadi satu dengan ba-tu yang didudukinya. Beku mati.

Tiba-tiba seekor kelelawar melesat ke arah gu-buk, bergelantung pada palang di bawah atap. Terjadi satu hal aneh. Binatang ini perlahan-lahan membesar, bentuk kepalanya berubah menjadi seperti kepala seo-rang bayi. Tapi ketika menyeringai kelihatan barisan gigi-giginya yang besar lancip serta lidah merah seperti ada cairan darah memenuhi mulutnya. Selain itu pada ubun-ubunnya ada gambar dua buah bintang berwar-na hitam. Dua telinga mencuat lancip.

Mahluk kelelawar berkepala bayi ini melayang turun ke dalam gubuk, kepakkan sayapnya dua kali lalu duduk bersila di hadapan Kelelawar Pemancung Roh, menunggu.

Tak lama berselang Kelelawar Pemancung Roh buka dua matanya yang sejak tadi dipicingkan, dua tangan yang panjang diletakkan di atas lutut dan me-

Page 38: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

mandang sipit pada mahluk di hadapannya. "Tuyul Orok! Apakah kau datang membawa ka-

bar yang aku harapkan?" Mahluk bertubuh kelelawar berkepala bayi

kembangkan dua sayapnya ke samping lalu letakkan kening di lantai gubuk di depan kaki Kelelawar Peman-cung Roh. Walau sosoknya kecil, tapi suaranya besar sember ketika bicara.

"Orang yang kita tunggu sudah kelihatan di ujung teluk. Mereka muncul berdua..."

"Apakah mereka menunggang kuda?" "Tidak. Mereka berjalan kaki. Yang satu men-

dukung lainnya di pundak!" Kening Kelelawar Pemancung Roh mengerenyit.

"Yang satu mendukung yang lainnya di pundak. Aneh. Siapa mereka. Jangan-jangan bukan orang yang kita tunggu. Jelaskan ciri-ciri keduanya."

"Yang mendukung seorang pemuda berpakaian serba putih. Rambutnya gondrong. Sekelebatan aku melihat ada jarahan tiga angka di dadanya. Angka 212......"

"Pendekar 212 Wiro Sableng!" Saat itu Kelela-war Pemancung Roh berucap, mengusap dagunya yang ditumbuhi janggut-janggut kasar, berpikir mengingat-ingat. "Kalau tidak salah aku menduga, pemuda itu adalah murid Sinto Gendeng! Hemmm." Kelelawar Pe-mancung Roh menyeringai. "Lanjutkan keteranganmu. bagaimana ciri-ciri orang yang didukung?"

"Seorang nenek berpakaian hitam dan kain panjang butut... Di mulutnya selalu menyumpal susur. Sosoknya menebar bau pesing. Mukanya seperti teng-korak. Di atas kepalanya menancap lima tusuk konde dari perak..."

Mahluk bernama Kelelawar Pemancung Roh terlonjak dari duduknya. Perlahan-lahan dia bangkit

Page 39: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

berdiri. Kepalanya hampir menyondak atap gubuk. "Tuyul orok, apakah kau tidak salah melihat?" "Aku melihat dengan mata setajam pisau. Tidak

mungkin setelah melihat aku mengatakan yang salah." "Tuyul orok, ini adalah aneh...!" "Pemimpin, maafkan diriku kalau aku lancang

bertanya. Apakah yang aneh?" "Ciri-ciri orang yang kau katakan itu jelas dia

adalah nenek sakti Sinto Gendeng dari Gunung Gede. Tetapi..."

"Tetapi apa pemimpin?" "Nenek itu sudah mampus beberapa waktu

yang lalu!" "Mampus?!" Mahluk bernama Tuyul Orok berdi-

ri tegak, kembangkan sayap ke samping. Ternyata tingginya hanya se pusar Kelelawar Pemancung Roh yang duduk di batu.

"Aku sendiri yang membunuhnya. Dengan ra-cun Seribu Hawa Kematian. Dia mampus tumpang tindih dengan kakek bernama Suro Ageng, bekas ke-kasihnya di masa muda. Aku yang melakukan, aku yang menyaksikan! Sekarang kau membawa berita bahwa nenek jahanam itu masih hidup! Muncul didu-kung oleh muridnya sendiri. tengah menuju ke Teluk Akhirat ini!"

"Demi segala setan dan jin penghuni Teluk Akhirat, aku tidak berdusta. Aku mengatakan

ciri-ciri si nenek sesuai apa yang aku lihat. Apakah dia Sinto Gendeng, apakah dia sudah mampus kemudian hidup kembali, atau rohnya yang gentayangan, mohon maafmu, aku tidak tahu menahu..."

Kelelawar Pemancung Roh menyeringai, Usap-usap dua telapak tangannya satu sama lain, tampang-nya yang angker tampak menggelap. Matanya dipe-jamkan. Dadanya turun naik dan nafasnya memburu.

Page 40: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

"Sinto Gendeng..." Mahluk di atas batu itu be-rucap dengan suara bergetar. "Empat puluh tahun lalu kau membantai delapan orang saudaraku! Hari ini pembalasan akan menimpa dirimu! Kau akan ku siksa habis-habisan sebelum nyawamu kurenggut dari tu-buh busukmu!"

Dengan kedua tangannya Kelelawar Pemancung Roh menekan ke bawah sayap kelelawar batu sanda-ran tempat duduknya. Terdengar suara berdesir halus. Secara aneh lantai di bawah batu yang merupakan ta-nah keras bergerak membuka. Bersamaan dengan itu kursi batu yang diduduki Kelelawar Pemancung Roh amblas ke bawah. Lenyap tanpa bekas. Yang tinggal kini hanya gubuk sepi yang sesekali mengeluarkan su-ara berderik ketika disapu hembusan keras angin dari teluk.

*

* *

8

SINTO GENDENG LENYAP LAGI PENDEKAR 212 Wiro Sableng melangkah di

atas pasir pantai. Di atas pundaknya Sinto Gendeng duduk terpejam-pejam disapu angin laut. Entah apa yang ada di dalam pikirannya.

"Nek, sebenarnya apa yang terjadi dengan diri-mu waktu berada di telaga?" Wiro bertanya sambil te-rus berjalan. "Aku kembali ke telaga. Kau tidak ada. Di sebuah batu aku lihat menancap sebuah benda. Kuki-ra tusuk sate. Tak tahunya konde perakmu!"

Page 41: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

"Anak setan sialan!" maki Sinto Gendeng men-dengar tusuk kondenya disamakan dengan tusuk sate. "Kau melihat tusuk konde ku! Apa yang kau lakukan?! Ayo! Pasti kau sembunyikan! Lekas serahkan padaku atau ku jewer daun telingamu sampai copot dua-duanya!" Jari-jari tangan si nenek langsung hinggap di daun telinga kiri kanan Pendekar 212 Wiro Sableng. "Aduh suaakit! Jangan Nek," teriak Wiro. "Geblek! Ku pelintir-pun belum! Sudah menjerit setinggi langit! Mana tusuk konde ku?!"

"Ada Nek... ada!" Dari balik pakaian putihnya Wiro keluarkan sebuah benda. Benda itu diacungkan ke atas.

Dua mata Sinto Gendeng mendelik. "Kurang ajar! Mengapa jadi bengkok?!"

"Tentu saja bengkok Nek! Yang kau hantam ba-tu besar di tepi telaga. Coba kalau pantatnya Ki Ta-wang Alu! Pasti tidak bengkok! Malah patah!" Wiro ter-tawa gelak-gelak.

"Anak setan sialan!" rutuk Sinto Gendeng lalu cepat-cepat mengambil tusuk konde yang dipegang Wi-ro. Setelah diluruskan tusuk konde itu langsung dis-isipkannya di atas kepala. Bukan disisipkan di antara rambutnya yang putih jarang, tapi disisipkan di kulit kepalanya!

"Aku sudah mengembalikan tusuk konde mu! Sekarang apa kau masih tidak mau bercerita keja-diannya hingga kau bisa dikerjai oleh kakek muka pu-tih bernama Tawang Alu itu?"

"Apa kejadiannya! Kau masih bertanya. Padahal aku yakin kau sudah tahu! Jelas aku diculik setan muka putih yang sekarang sudah jadi debu di tungku api itu!"

"Aku merasa aneh Nek. Kalau aku pikir-pikir ilmu kepandaianmu jauh berada di atas kakek itu. Ta-

Page 42: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

pi mengapa dia bisa menculik mu? Jangan-jangan kau yang sengaja minta diculik... Aduh!" Wiro menjerit ke-tika telinga kiri kanan dipelintir si nenek.

"Jangankan aku! Orang gila-pun tidak ada yang minta diculik! Apa lagi oleh kakek jelek bermuka putih pucat seperti kain kafan itu!"

"Muka atasnya memang pucat jelek Nek. Tapi belum tentu muka bawahnya! Mungkin merah mengki-lap. Hua...ha..."

Tawa Pendekar 212 tertahan lenyap lalu ber-ganti dengan jerit kesakitan karena kembali si nenek memelintir dua daun telinganya.

"Ampun Nek, kau memang diculik, bukan min-ta diculik!" kata Wiro pula sambil tangannya kiri kanan bergantian mengusap telinganya yang perih pedas. "Aku tanya lagi Nek. Boleh...?"

Sinto Gendeng diam. Wiro menyeringai. "Kau diam. Berarti boleh!"

Sang murid enak saja mengambil kesimpulan. "Waktu kau diculik, apa kau masih berbugil-bugil di dalam te-laga?"

"Benar-benar anak setan!" maki Sinto Gendeng. "Bukankah kau menurunkan aku di tempat yang dangkal? Aku berendam, sesekali menyelam. Ketika aku selesai mandi, baru saja selesai berpakaian dan hendak berteriak memanggilmu tiba-tiba kakek itu muncul. Membokongku dari belakang. Aku mencabut tusuk konde ku lalu menghantamnya dengan benda itu. Tapi meleset. Walau sudah berada di pinggir telaga tapi aku tak bisa berbuat banyak karena dua kakiku lumpuh. Kakek jahanam itu berhasil membokongku dari belakang dengan Totokan Seribu Syaraf! Begitu kejadiannya kalau kau mau tahu! Dia sengaja mencu-lik ku untuk memaksa agar kau menyerahkan kalung kepala srigala perak!"

Page 43: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

"Oh begitu kejadiannya," kata Wiro pula sambil garuk-garuk kepala.

Pantai yang ditelusuri Wiro membentuk satu lekukan dalam di depan sana. Kecuali suara deburan ombak, keadaan di tempat itu tenang-tenang saja. An-gin bertiup sejuk.

"Aneh, di pantai seperti ini biasanya banyak pe-rahu mangkal. Di laut perahu nelayan bertebaran dan di pantai banyak rumah penduduk. Aku tidak melihat semua itu..."

Selagi Wiro membatin bertanya-tanya dalam hati, di atas pundaknya Sinto Gendeng berucap seperti orang membaca syair.

"Udara segar, angin sejuk, pemandangan indah. Sungguh sedap dipandang mata. Betapa bahagia ra-sanya hidup ini..."

"Dasar nenek gendeng," kata Wiro dalam hati. Dua kakinya lumpuh, masih bisa bilang betapa baha-gianya hidup ini. Aku tersiksa mendukungnya kema-na-mana, dikencingi! Dan dia masih bisa bilang betapa bahagia rasanya hidup ini! Tua bangka geblek!"

"Anak setan! Aku merasa pasti ada sesuatu yang kau ucapkan dalam hati!" Sinto Gendeng tiba-tiba menegur.

"Nek, kau tadi enak saja bicara. Lihat ke depan. Laut dan daratan membentuk teluk. Kita sudah berada di kawasan Teluk Akhirat, sarang mahluk jahanam yang telah mencelakai dirimu. Membuatmu lumpuh dan menyebabkan aku kebagian pekerjaan tidak enak, mendukungmu kemana-mana! Dari pada berucap yang aneh-aneh lebih baik mulai berlaku waspada!"

Sinto Gendeng tertawa pendek. Tanpa perduli-kan ucapan muridnya nenek kembali membuka mulut.

"Udara segar, angin sejuk, pemandangan indah. Sungguh sedap dipandang mata. Betapa bahagia ra-

Page 44: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

sanya hidup ini. Tetapi... tetapi mengapa mendadak hidungku mencium bau amis. Amisnya darah! Ih!"

"Nek, kencing mu yang menempel di tengkuk ku sudah cukup membuat aku merinding. Jangan tambah dengan omongan yang membuat aku tambah bergidik..."

Sinto Gendeng masih tidak perdulikan ucapan muridnya.

"Kata orang Teluk Akhirat banyak kelelawar-nya. Kelelawar yang bisa menggerogoti tubuh manusia hingga berubah menjadi jerangkong putih! Hik...hik! Tapi aku masih belum melihat binatang-binatang itu. Jangankan kelelawar, lalatpun tak ada di teluk ini. Jangan-jangan kita datang ke tempat yang salah, Wiro. Ini bukan Teluk Akhirat tapi Teluk Sorga! Hik...hik...hik!"

Belum habis tawa si nenek tiba-tiba langit di sebelah timur kelihatan gelap. Si nenek tenang-tenang saja. Wiro mendongak, memandang ke atas. Dia meli-hat puluhan burung aneh melayang di udara, melesat ke arah teluk. Deru sayapnya menggemuruh, menindih suara deburan ombak.

"Astaga, itu bukan burung! Tapi kelelawar! Nek! Ada ratusan kelelawar terbang menuju ke sini!"

"Aku sudah melihat! Mengapa musti terkejut! Binatang itu yang menebar bau amis yang tadi aku cium!"

"Nek, lihat! Ratusan kelelawar itu menukik ke arah kita!" Wiro berteriak.

"Aku sudah melihat! Kau berteriak seperti orang ketakutan!" ujar Sinto Gendeng sambil pindah-kan susur dari samping kiri ke kanan mulutnya.

"Kelelawar itu bukan kelelawar biasa! Besar-besar! Mereka menukik menyerang kita!" teriak Wiro lagi.

Page 45: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

Puluhan kelelawar semakin dekat, melayang dengan suara bergemuruh, jelas-jelas melesat ke arah Wiro dan Sinto Gendeng yang berada di pantai teluk, di tempat terbuka.

"Binatang itu pasti peliharaan Kelelawar Pe-mancung Roh! Pasti mahluk itu yang menyuruh mere-ka menyerbu kita!"

"Anak setan! Kalau kau sudah tahu diri mau diserang, mengapa cuma omong melulu! Lakukan se-suatu!" Sinto Gendeng membentak.

"Kau yang harus melakukan sesuatu Nek! Bu-kan aku! Karena kau berada lebih tinggi! Kau yang bakal di geragot lebih dulu!" teriak Wiro saking jeng-kelnya. Walau bicara seperti itu tapi dia mulai berusa-ha mencari selamat yakni lari ke

arah deretan rapat pohon-pohon kelapa di tepi pantai. Pohon-pohon itu bisa dijadikan sebagai perlin-dungan dari serbuan kelelawar.

Suara kepak puluhan kelelawar, suara aneh yang melesat keluar dari mulut binatang-binatang itu benar-benar menggidikkan.

Wiro berhasil mencapai deretan pohon-pohon kelapa terdepan. Dia jatuhkan diri ke tanah, tidak per-duli bagaimana akibatnya dengan guru yang berada di pundaknya. Si nenek terhempas jatuh, terguling berke-lukuran. Keningnya membentur salah satu tiang gu-buk hingga benjut dan tiang itu sendiri patah! Sinto Gendeng menyumpah panjang pendek! Dia menggapai beringsut ke depan lalu jatuhkan diri menelungkup di atas tanah keras lantai gubuk. Sementara itu pada saat yang sama puluhan kelelawar datang melabrak.

Wiro menelungkup sama rata dengan tanah. Puluhan kelelawar lewat di atasnya. Pasir beterbangan. Rerumputan liar terbongkar.

"Plaakkk! Plaakkk! Braaakkk!"

Page 46: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

Kulit keras batang pohon kelapa hancur ber-keping-keping dihantam sayap kelelawar. Binatang-binatang ini menguik keras karena tak berhasil meng-hantam Wiro. Mereka melesat berputar di sela-sela po-hon kelapa lalu membalik, melancarkan serangan un-tuk kedua kalinya. Yang diserbu hanya Wiro sementa-ra Sinto Gendeng masih melingkar di bawah atap gu-buk, kembali terdengar memaki pendek.

Pada serangan kedua kelelawar-kelelawar itu melayang sangat rendah. Hanya setengah jengkal dari permukaan tanah. Wiro tidak mungkin menghindar la-gi. Tak ada jalan lain. Murid Sinto Gendeng hantam-kan kedua tangannya. Tangan kiri melepas pukulan Benteng Topan Melanda Samudera. Ini merupakan sa-tu pukulan sakti untuk membentengi diri dari seran-gan, sekaligus merupakan serangan untuk menghan-tam lawan. Dengan tangan kanannya Wiro melepas pukulan Dewa Topan Menggusur Gunung.

Ratusan kelelawar mengeluarkan suara men-guik dahsyat. Tubuh mereka terpental jauh, ada yang melesat sampai melebihi tingginya pohon kelapa. Pu-luhan terlempar dan jatuh bergedebukan di tanah. Ada pula yang terpental menghantam pohon-pohon kelapa. Beberapa pohon kelapa menderak patah lalu tumbang dengan suara menggemuruh. Tetapi aneh dan luar bi-asanya, tidak satupun dari kelelawar-kelelawar itu yang cidera! Bahkan setelah kena dihantam dua puku-lan dahsyat begitu rupa, puluhan kelelawar keluarkan suara menggembor, kepakkan sayap. melesat ke udara lalu menyambar kembali ke arah Pendekar 212!

"Gila! Bagaimana mungkin binatang celaka itu tidak satupun hancur dihantam pukulan sakti ku!" Wi-ro terbeliak kaget! Rasa heran sekaligus kecut ngeri Pendekar 212 memang beralasan. Pohon kelapa saja patah bertumbangan kena sambaran dua pukulan

Page 47: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

sakti yang tadi dilepaskannya. Tetapi kelelawar-kelelawar itu tidak satupun yang cidera,

malah kini kembali siap melancarkan serangan! "Gila! Binatang jahanam itu hendak menyerang

kembali! Mengapa cuma aku yang diserang, guruku ti-dak? Apa kelelawar itu jijik pada tubuhnya yang jelek dan bau pesing?!"

"Berrr..... berrrr!" Ratusan kelelawar kembali menyerbu. Suara

kepak sayap mengerikan, serta menguik aneh yang ke-luar dari mulut mereka pekak menggidikkan.

Wiro kertakkan rahang. Tangan kanannya di-angkat, berubah memutih laksana perak.

Puluhan kelelawar datang bergemuruh. Cela-kanya kini mereka tidak datang dari arah; yang sama, tapi menyambar bersilangan dari berbagai jurusan!

Wiro gerakkan tangan kanan dua kali berturut-turut.

"Wussss!" "Wussss!" Dua larik sinar putih panas menyilaukan ber-

kiblat. Puluhan kelelawar menguik dahsyat. Tubuh

mereka mencelat cerai berai dalam keadaan hangus, menebar bau menegakkan bulu roma!

"Brettt!" "Craaaass!" Wiro mengeluh kesakitan. Ketika dia meneliti

pakaiannya robek besar di sebelah dada sementara bahu kirinya mengucurkan darah dari luka terkena sambaran sayap kelelawar.

Puluhan kelelawar yang masih hidup untuk be-berapa lamanya hanya berkelebat di antara pohon-pohon kelapa. Mungkin juga binatang-binatang itu ngeri melihat apa yang terjadi dengan puluhan kawan-

Page 48: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

kawan mereka. Tapi sebenarnya tidak. Binatang-binatang ini tidak mempunyai rasa takut. Mereka ten-gah menunggu sesuatu!

Tiba-tiba terdengar suara suitan keras tiga kali berturut-turut. Puluhan kelelawar yang beterbangan liar di atas kepala Pendekar 212 keluarkan suara men-guik seolah membalas suara suitan tadi. Lalu bina-tang-binatang itu berkelebat ke atas, bergelantungan di pelepah pohon-pohon kelapa. Diam tak bergerak, hanya mata mereka yang coklat gelap kelihatan me-mandang menyorot ke arah Pendekar 212. Sikap me-reka jelas mengurung sambil menunggu sesuatu.

Tak selang beberapa lama dari arah teluk keli-hatan sekelompok benda aneh melayang cepat ke arah kawasan pohon-pohon kelapa. Sebentar saja mereka sudah ikut bergelantungan di dahan-dahan pohon ke-lapa. Jumlah mereka sekitar tiga puluhan. Ketika Wiro memperhatikan, berubahlah wajah sang pendekar. Da-rahnya tersirap. Mahluk-mahluk yang barusan muncul ini memiliki sayap coklat kehitaman seperti kelelawar. Tetapi kepala mereka berbentuk kepala bayi. Luar bi-asa dan mengerikan, ketika menyeringai kelihatan mu-lut berlidah basah berwarna sangat merah. Lalu bari-san gigi-gigi merupakan taring lancip mencuat keluar. Lima diantara sekian banyak mahluk aneh ini memiliki kepala dihias sebuah gambar bintang hitam d ubun-ubun. Hanya satu memiliki sekaligus gambar dua bin-tang di batok kepalanya. Yang lain-lain memiliki kepala licin botak plontos!

Wiro berusaha menindih rasa bergidiknya. Di melirik ke samping ke arah gubuk tanpa dinding dan jadi terkejut ketika dapatkan Eyang Sinto Gendeng tak ada lagi di tempatnya semula.

"Eyang! kau dimana?! Eyang Sinto!" teriak Wiro memanggil.

Page 49: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

Tiba-tiba ada suara tertawa bergelak. Seekor kelelawar kepala bayi, yang ubun-ubunnya ada gam-bar dua buah bintang berkelebat. Sesaat kemudian mahluk ini sudah tegak di depan Wiro. Lidahnya yang merah basah terjulur-julur, taringnya mencuat.

"Kau mencari nenek jelek itu? Ha...ha...ha! Mahluk bertubuh kelelawar berkepala seperti bayi yang adalah si Tuyul Orok mengumbar tawa.

"Mahluk jahanam! Guruku memang jelek. Tapi jangan berani menghina!" Wiro hantamkan kaki ka-nannya, menendang Tuyul Orok. Tendangan ini bukan sembarangan karena disertai tenaga dalam. Jangan-kan sosok mahluk sebesar Tuyul Orok, batupun bisa hancur. Tapi dengan gesit dan cepat Tuyul Orok berke-lebat ke kiri lalu plaakk.... Sayapnya menyambar ke depan. Wiro terpekik Memandang ke bawah dilihatnya celananya robek besar. Kakinya sebelah kanan mengu-curkan darah. Tulang keringnya kelihatan tersembul memutih.

Tuyul Orok kembali tertawa gelak-gelak. Begitu suara tawanya berhenti dia keluarkan suara bersuit panjang. Puluhan kelelawar kepala bayi yang bergelan-tungan di pohon kelapa balas bersuit.

"Kawan-kawan! Kita sudah lama tidak menik-mati daging manusia! Santapan sudah tersedia! Tung-gu apa lagi?!"

Puluhan kelelawar kepala bayi julurkan lidah hingga cairan merah berlelehan ke dagu. Lalu didahu-lui suara menguik dahsyat binatang-binatang itu ke-pakkan sayap, berkelebat ke bawah, menyambar ke arah Pendekar 212 Wiro Sableng!

T A M A T

Segera terbit : NYAWA PINJAMAN

Page 50: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

ARIO BLEDEG PETIR DI MAHAMERU

16

API DENDAM MULAI BERKOBAR BERSAMAAN dengan menyingsingnya fajar, ge-

robak yang ditarik dua ekor kuda besar itu memasuki pintu gerbang keraton. Waktu itu Kerajaan berada da-lam keadaan kemelut, pengawalan dilakukan sangat ketat. Prajurit bertebaran di seluruh pelosok Kotaraja. Keraton dijaga ratusan pasukan siang malam. Semula para pengawal di pintu gerbang hendak menghentikan gerobak. Namun ketika melihat siapa yang duduk di bagian depan gerobak, dengan cepat mereka membuka pintu gerbang lebar-lebar, memberi jalan.

Bertindak sebagai sais kereta adalah prajurit kepala Gedeng Kemitir. Di sebelahnya duduk gagah orang tua berjubah kuning berambut riap-riapan. Di dadanya tergantung melintang sebuah tombak yang pada ujungnya terikat sehelai bendera kuning berben-tuk segi tiga. Dia bukan lain adalah Ki Dalem Sleman, tokoh silat Istana.

Di lantai gerobak tergeletak jenazah Pangeran Tua Sekar Seda Lepen. Di lehernya kelihatan luka be-sar menguak, agak tertutup oleh darah yang membe-ku. Itulah bekas luka tusukan golok Perwira Muda Tu-bagus Lor Putih.

Page 51: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

Perwira Kerajaan Brajanala yang sedang sakit ketika diberitahu kedatangan Ki Dalem Sleman mem-bawa jenazah Pangeran Tua Sekar Lepen serta merta turun dari pembaringan. Setelah mencuci muka dan berpakaian dengan langkah menghuyung dia segera menuju halaman depan Keraton. Begitu menyaksikan sendiri mayat Pangeran Tua dan bicara sebentar den-gan Ki Dalem Sleman, Brajanala membawa tokoh silat Istana itu ke ruang dalam, bersama-sama menghadap Sultan Prawoto.

Seluruh penghuni keraton terjaga. Ini adalah satu peristiwa besar. Pangeran Tua Sekar Seda Lepen yang oleh pihak Keraton dianggap sebagai pemberon-tak berhasil ditewaskan dan jenazahnya dibawa sendiri oleh tokoh silat Istana, Ki Dalem Sleman.

Setelah cukup lama menunggu akhirnya Sultan Prawoto muncul menemui Brajanala dan Ki Dalem Sleman.

Setelah menerima penjelasan dari Perwira Bra-janala Sultan Prawoto berucap.

"Ki Dalem Sleman, ini satu peristiwa besar bagi Kesultanan Demak. Kau tahu sendiri, mata-mata kita sudah sejak lama mengikuti gerak-gerik Pangeran Tua. Itu sebabnya, karena sakitnya Perwira Brajanala, aku mengirim Perwira Muda Tubagus Lor Putih untuk mencegatnya di sungai. Ternyata dia tidak mampu berbuat banyak. Kalau kau tidak turun tangan ke-mungkinan besar Pangeran Tua itu berhasil melarikan diri waktu dicegat di sungai. Memalukan sekali, Tuba-gus Lor Putih hanya bisa membunuh Pangeran Tua ke-tika Pangeran Tua berada dalam keadaan pingsan tak berdaya. Anak-anakpun bisa melakukannya!"

"Sultan, dengan izin Sultan saya akan memecat Perwira Muda itu. Kalau perlu memenjarakannya!" ka-ta Perwira Tinggi Brajanala yang jadi marah besar sete-

Page 52: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

lah mendengar keterangan Ki Dalem Sleman atas apa yang terjadi.

"Lakukanlah tugasmu, Perwira," jawab Sultan lalu berdiam diri sesaat. "Aku merasa lega, musuh pal-ing besar dan paling berbahaya bagi Kerajaan telah disingkirkan. Namun sebagai manusia biasa aku me-rasa haru, sedih, duka cita yang mendalam. Bagaima-napun juga Pangeran Tua Sekar Seda Lepen adalah masih kakekku juga. Jenazahnya perlu diurus dengan baik. Ki Dalem Sleman, mengingat Perwira Brajanala masih dalam keadaan sakit, aku menugaskan mu un-tuk membawa jenazah Pangeran Tua, menyerahkannya pada puteranya, Arya Penangsang."

"Saya siap melakukan perintah," jawab Ki Da-lem Sleman seraya membungkuk dan menambahkan. "Saya sudah mengabdi sejak masa ayahanda Sultan, Sultan Trenggono. Pengabdian saya tidak akan terpu-tus, kecuali Tuhan memanggil saya terlebih dahulu."

Sultan mengangguk. "Ki Dalem tahu dimana Arya Penangsang berada?"

"Terakhir sekali dia berada di desa Pilangsari di selatan Demak. Namun seorang mata-mata memberi tahu dua hari lalu, putera Pangeran Tua itu terlihat di Welahan, satu desa di kawasan barat

Kudus. Saya akan mengirim seseorang menda-hului saya ke sana. Jadi jika jenazah sampai, Arya Pe-nangsang sudah bersiap-siap menerimanya."

"Bagus sekali langkah yang Ki Dalem ambil," kata Sultan pula. "Namun harap berhati-hati. Arya Pe-nangsang kalap mendadak melihat mayat ayahanda! Tidak mustahil dia akan melakukan tangan jahat ter-hadap Ki Dalem."

"Saya bisa mengerti kalau dia sampai berbuat begitu. Saya akan berhati-hati."

"Aku percaya Ki Dalem bisa mengatasi urusan.

Page 53: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

Dan atas jasa besarmu ini aku akan memberi tahu Bendaharawan Istana untuk melipat gandakan santu-nan bulanan atas nama Ki Dalem...."

"Sultan, sebenarnya saya tidak mengharapkan imbal jasa apa-apa," kata Ki Dalem Sleman sambil membungkuk. "Semua yang saya lakukan adalah men-jadi tugas dan tanggung jawab semata."

Sultan berpaling pada Brajanala. "Perwira, ke-tatkan pengawalan atas Keraton. Lipat gandakan ke-kuatan prajurit di seluruh Kerajaan dan sebar mata-mata sebanyak mungkin. Aku punya firasat, tewasnya Pangeran Tua akan mendatangkan hal-hal yang tidak kita inginkan. Terutama dari pihak yang tidak menyu-kai tahta Kerajaan berada di tanganku."

Perwira Brajanala mengangguk. Setelah mem-bungkuk memberi hormat dia segera meninggalkan tempat itu. Tapi Sultan berkata.

"Satu hal lagi Perwira. Harap dikirim seorang utusan untuk menemui Joko Tingkir. Sejak ayahanda mangkat dia seperti menghilang begitu saja. Sebagai menantu ayahanda, dia tidak layak berbuat begitu. Aku tahu dia tengah merampungkan beberapa ilmu kesaktian di satu tempat terpencil. Cari dia, minta dia segera datang ke Kotaraja menemuiku. Kita perlu ban-tuan tenaga dan pikirannya."

"Akan saya lakukan Sultan," kata Perwira Bra-janala.

Sesaat setelah Perwira Tinggi Kerajaan itu ber-lalu, Ki Dalem Sleman minta diri pula dengan alasan segera hendak mengurus jenazah Pangeran Tua Sekar Seda Lepen. Namun yang pertama sekali dilakukannya adalah menyusul Brajanala. Di satu lorong Keraton dia berhasil mengejar Perwira itu. Keduanya saling berca-kap berbisik-bisik.

"Tugas dari Sultan harus kita lakukan. Tapi

Page 54: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

dengar baik-baik Brajanala. Apapun yang terjadi jan-gan kau pergi mencari Joko Tingkir. Kehadiran ipar Sultan itu di dalam Keraton sama saja dengan menda-tangkan seekor harimau berbahaya bagi kita dan te-man-teman. Bisa mendatangkan bencana!"

"Ki Dalem Sleman, aku sudah tahu hal itu. Kau tak usah khawatir," jawab Brajanala. "Sekembalinya kau menemui Arya Penangsang, kita segera mengada-kan pertemuan dengan teman-teman. Satu hal kau in-gat baik-baik Ki Dalem. Kepandaianmu bicara akan sangat menentukan. Kita semua berharap bisa mena-rik putera mendiang Pangeran Tua itu agar masuk ke dalam barisan kita!"

Ki Dalem Sleman tersenyum lalu berkata. "Ba-nyak orang akan meratap di atas genangan darah. Tapi kita dan teman-teman mungkin masih bisa menari di atas genangan darah itu."

"Kerajaan dilanda kekacauan. Ini kesempatan kita mengeruk keuntungan. Mengeruk uang, harta dan jabatan!" jawab Perwira Tinggi Brajanala pula sambil mengulum senyum.

*

* * TUBUH Arya Penangsang bergetar hebat. Dua

tangannya terkepal laksana batu. Dua mata terpejam. Rahang mengatup, mulut terkancing. Dari ubun-ubun di atas kepalanya mengepul asap tipis. Dada berge-lombang dan tenggorokannya turun naik. Di kiri ka-nannya orang-orang bertangisan. Ibunya, beberapa saudara sekandung, keluarga terdekat dan teman-teman. Rumah besar di desa Welahan itu penuh den-gan orang-orang yang datang untuk menyampaikan rasa duka cita atas tewasnya Pangeran Tua Sekar Seda

Page 55: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

Lepen. Dua tangan Arya Penangsang bergerak, meme-

gang pinggiran peti jenazah yang penutupnya sengaja dibuka. Di seberang peti, di depan Arya Penangsang tegak tertunduk Ki Dalem Sleman. Di sebelahnya ber-diri Gedeng Kemitir. Prajurit Kepala yang pernah dis-elamatkannya ikut menemani Ki Dalem Sleman men-gantarkan jenazah Pangeran Tua Sekar Seda Lepen. Selain itu masih ada beberapa orang prajurit. Namun di dalam rumah besar itu, dari Demak hanya Ki Dalem Sleman dan Gedeng Kemitir yang hadir. Prajurit kepala ini yang telah diselamatkan nyawanya oleh Ki Dalem Sleman.

Dua tangan Arya Penangsang bergetar. Peti je-nazah yang dipegangnya ikut bergetar.

"Orang-orang Demak! Kalian harus membayar mahal atas kematian ayahanda ku! Aku akan menjadi-kan. Demak sungai darah! Sungai darah yang berhulu di Keraton Prawoto!"

Ratap tangis di sekitar peti jenazah semakin ke-ras begitu semua orang mendengar ucapan Arya Pe-nangsang itu. Arya Penangsang sendiri yang tidak sanggup menahan amarah, seperti kalap berteriak ke-ras. Pinggiran peti jenazah hancur berkeping-keping.

"Orang-orang Demak keparat! Mana orang De-mak! Mana!"

Orang-orang perempuan berpekikan, orang-orang lelaki keluarkan seruan tertahan ketika tiba-tiba Arya Penangsang menyambar golok besar seorang te-man yang berdiri di dekatnya.

"Kau orang Demak! Kau harus mampus! Kau juga!"

Tiba-tiba sekali Arya Penangsang melompat ke hadapan Gedeng Kemitir. Golok di tangannya berkele-bat ganas ke arah leher prajurit Demak itu.

Page 56: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

Sesaat lagi leher Gedeng Kemitir akan tertabas putus, tiba-tiba satu bayangan kuning melesat. Perge-langan tangan kanan Arya Penangsang tahu-tahu su-dah berada dalam satu cekalan kuat.

"Jahanam!" Tua bangka keparat! Kau minta mampus!"

Laksana kilat tangan kiri Arya Penangsang menghantam. Bukan cuma satu kali, tapi dua kali ber-turut-turut.

"Bukkk!" "Bukkk!" Ki Dalem Sleman adalah tokoh silat Istana pal-

ing disegani. Tingkat ilmu silat dan kesaktiannya dika-gumi teman ditakuti lawan. Tidak mudah untuk bisa menjatuhkan tangan terhadapnya. Tapi saat itu dia sama sekali tidak menduga kalau Arya Penangsang akan menghantamnya demikian rupa.

Ki Dalem Sleman terlempar sampai beberapa langkah. Mukanya agak pucat. Dari sela bibirnya keli-hatan lelehan darah. Jelas dia menderita luka dalam cukup parah akibat hantaman tangan kiri Arya Pe-nangsang. Walau demikian, sambil menahan rasa sakit dia masih sempat melontarkan senyum dan bolang ba-lingkan golok besar berhasil dirampasnya dari tangan Arya Penangsang. Golok dimelintangkannya di depan dada lalu berucap.

"Raden Arya, harap tenang. Kendalikan ama-rah! Kekerasan tidak akan menyelesaikan perkara. Kami datang dengan ikhlas untuk mengantar jenazah karena kami sangat menghormati mendiang Pangeran Tua Sekar Seda Lepen....."

Ucapan Ki Dalem Sleman terputus oleh benta-kan Arya Penangsang.

"Siapa percaya mulut busuk orang Demak!" Un-tuk kedua kalinya Arya Penangsang melompat kirim-

Page 57: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

kan serangan. Kali ini dengan pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam dan hawa sakti tinggi.

"Maafkan saya Raden Arya," kata Ki Dalem Sleman. Tokoh Istana Demak ini tidak rela menerima hantaman orang untuk kedua kalinya. Dengan tenang dia kebutkan lengan jubah sebelah kanan.

"Wutttt!" Satu gelombang angin deras menderu ke arah

Arya Penangsang. Membuatnya terdorong walau dia sudah kerahkan tenaga untuk bertahan. Dalam ma-rahnya dia coba memukul dengan dua tangan sekali-gus. Tapi terlambat. Saat itu dua jari tangan kanan Ki Dalem Sleman sudah bersarang di dadanya sebelah ki-ri. Sesaat jalan darahnya terhenti. Ketika darah kem-bali mengalir, tubuh Arya Penangsang yang tinggi ko-koh itu telah berubah menjadi patung kaku!

Suasana di dalam rumah besar itu menjadi hening. Keheningan yang disertai cengkaman ketegan-gan.

Tiba-tiba ada satu suara menggema. "Raden Arya, tenangkan pikiran, dinginkan ha-

timu! Jika kau mampu melaksanakan aku akan me-minta pada sahabatku Ki Dalem Sleman untuk mem-bebaskan mu dari totokan..."

Semua orang, termasuk Ki Dalem Sleman sen-diri sama palingkan kepala ke arah datangnya suara. Yang bicara ternyata adalah seorang bungkuk berpa-kaian slempang kain putih. Melihat siapa yang berdiri di depannya, Ki Dalem Sleman segera rangkapkan dua tangan di depan dada lalu membungkuk hormat.

"Sahabatku Mantre Jembrana. Tidak kusangka kita bisa bertemu di tempat ini dalam keadaan seperti ini. Harap maafkan. Aku tidak tahu menahu kalau kau...."

"Arya Penangsang adalah menantuku," mene-

Page 58: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

rangkan orang tua bernama Mantre Jembrana. "Ah, aku merasa sangat bersalah. harap maaf-

kan diriku." "Kau tidak bersalah. Hanya menantuku yang

tidak dapat mengendalikan diri." "Ah," Ki Dalem Sleman menghela nafas dalam,

"Agaknya aku terlalu terburu-buru menurunkan tan-gan kasar. Maafkan diriku. Biar aku lepaskan dulu to-tokan di tubuh menantumu."

Ki Dalem Sleman cepat menghampiri Arya Pe-nangsang lalu tusukkan dua jari tangan kanannya te-pat ke arah mana tadi dia menotok lumpuhkan Arya Penangsang.

Begitu totokan punah, Arya Penangsang mera-sakan tubuhnya lemas. Kalau Ki Dalem Sleman tidak lekas memegangnya pasti sosok tubuh besar lelaki itu akan jatuh terhenyak ke lantai.

"Raden Arya, pekerjaan sahabatku Ki Dalem Sleman mengantar jenazah ayahmu bukan main-main. Dia tahu kalau pekerjaan itu sama dengan mengantar nyawanya sendiri. Apakah keberanian, kebaikan dan keikhlasannya itu hendak kau balas dengan menye-rangnya membabi buta? Ingin membunuhnya?"

"Maafkan saya Bapak..." kata Arya Penangsang pula.

"Jangan minta maaf padaku. Minta maaf pada Ki Dalem Sleman."

"Ki Dalem, maafkan saya." Ki Dalem Sleman tersenyum dan pegang bahu

Arya Penangsang. "Ki Dalem Sleman," berkata Mantre Jembrana.

"Kami semua di sini ingin mendengar bagaimana keja-diannya sampai Pangeran Tua Sekar Seda Lepen me-nemui nasib mengenaskan begini rupa. Sehingga kalau kami menanam dendam, kami tahu dan tidak kesala-

Page 59: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

han tangan kepada siapa dendam itu akan kami tum-paskan."

Dalam kisah yang disampaikan Ki Dalem Sle-man kepada semua orang yang ada di tempat itu, Ki Dalem Sleman menceritakan mulai dari tertangkapnya Pangeran Tua Sekar Seda Lepen sampai akhirnya di bunuh oleh Perwira Muda bernama Tubagus Lor Putih. Ki Dalem Sleman tentu saja sama sekali tidak menceri-takan kalau sebenarnya dirinya turut ambil bagian da-lam penangkapan Pangeran Sekar.

Setelah mendengar penuturan Ki Dalem Sle-man, Mantre Jembrana merenung sejenak, dia melirik pada menantunya Arya Penangsang akhirnya sambil memandang pada Ki Dalem Sleman orang tua ini ber-kata.

"Ki Dalem, kami menghargai sekali apa yang te-lah kau lakukan. Rasanya banyak hal yang masih in-gin kami tanyakan. Mungkin kami juga memerlukan beberapa petunjuk dari dirimu yang

begitu banyak pengalaman. Kami mengun-dangmu untuk bermalam satu dua hari di tempat ini. Sudikah kau menerimanya?"

Ki Dalem Sleman tersenyum. "Sebenarnya ma-sih banyak urusanku di Demak. Tapi aku mana berani menampik undangan sahabatku Mantre Jembrana. Cuma, aku tak bisa terlalu lama di sini. Bagaimana ka-lau aku menginap cukup satu malam saja?"

"Itupun sudah satu kehormatan bagi kami," ja-wab Mantre Jembrana. Orang tua ini memberi isyarat pada seorang pengawal. Pengawal ini segera menda-tangi. Dengan suara setengah berbisik Mantre Jem-brana berkata. "Siapkan satu kamar bagus untuk ta-mu kita. Beri tahu pelayan kepala agar meminta Nyi Werda bersedia menjadi teman tidur Ki Dalem Sleman malam ini."

Page 60: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

*

* *

17

PENGADILAN DUNIA

SIANG itu Sultan dan beberapa petinggi Kera-jaan termasuk Ki Dalem Sleman dan Perwira Brajanala tengah mengadakan pembicaraan penting. Sejak bebe-rapa waktu belakangan ini dilaporkan tentang adanya gerakan-gerakan beberapa kelompok besar pasukan di kawasan utara yang tidak dikenal asal kesatuannya.

Perwira Tinggi Brajanala tengah berbicara keti-ka seorang pengawal muncul, memberi tahu tentang kedatangan seorang tak dikenal, membawa sebuah pe-ti.

"Orang itu masih muda, mengaku bernama Tunggul Kebuti, pekerjaan petani di desa Mijen..."

"Mijen terletak dekat di selatan Welahan, tem-pat kediaman Arya Penangsang. Mungkin...."

Kata-kata Brajanala diputus oleh ucapan Sul-tan yang bertanya pada pengawal. "Kau sudah meme-riksa atau bertanya apa isi peti itu dan siapa pengi-rimnya?"

"Kami tidak berani melakukan pemeriksaan se-belum dapat perintah. Kami hanya bertanya. Ketika di-tanya, pemuda petani itu berkata dia tidak tahu apa isi peti itu. Seorang tak di kenal menyediakan sebuah ge-robak untuk membawa peti itu ke sini. Lalu membe-rinya upah besar...."

Sultan memandang pada Brajanala. Perwira ini

Page 61: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

segera bangkit dari tempat duduknya. "Biar saya me-nemui orang itu," kata Brajanala.

"Tunggu, apakah Perwira Muda Lor Bagus Pu-tih yang menghabisi Pangeran Tua itu masih belum di-ketahui dimana beradanya?"

"Saya sudah menyuruh beberapa orang untuk menyidik. Tapi masih belum di dapat keterangan. Bah-kan istrinya sendiri tidak tahu..." menerangkan Perwi-ra Brajanala.

"Aneh. Dia menghilang begitu saja," kata Ki Da-lem Sleman.

"Memang aneh. Aneh sekali," ujar Sultan. Dia lalu menganggukkan kepala pada Brajanala. Perwira ini segera tinggalkan ruangan diikuti oleh pengawal pe-lapor.

Tak lama kemudian Brajanala muncul kembali bersama pengawal tadi yang membawa sebuah peti seukuran satu pemelukan. Di sebelah belakang berja-lan seorang pemuda yang kelihatan lugu dan melang-kah sambil memandang kian kemari. Seumur hidup baru kali ini dia berada dalam Keraton atau Istana. Tak heran kalau dia memandangi segala sesuatunya terkagum-kagum.

Pengawal meletakkan peti bagus berwarna cok-lat dihias ukiran di empat sudutnya dihadapan Sultan. Setelah memperhatikan peti itu beberapa saat Perwira Brajanala bertanya pada pemuda lugu di dekatnya.

"Kau datang dari Mijen?" Pemuda yang ditanya mengangguk. "Namamu Tunggul Kebuti?" Yang ditanya kembali anggukkan kepala. "Apa isi peti itu?" Ki Dalem yang kini ajukan

pertanyaan. Tidak seperti yang lain-lainnya, orang tua satu ini mulai mencium ada bau yang tidak enak me-masuki rongga pernafasannya. Seperti bau anyir.

Page 62: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

"Saya tidak tahu. Saya tidak tahu isi peti itu..." "Siapa yang menyuruhmu mengantarkan peti

ke sini?" tanya Brajanala. "Saya tidak kenal. yang jelas dia bukan orang

Mijen. Dia memberikan sebuah gerobak, lengkap den-gan kuda. Memberi saya upah banyak. Lalu berkata antarkan peti ini ke Keraton Demak. Serahkan pada Sultan. Itu saja. Saya anggap itu pekerjaan mudah, apa lagi upahnya besar."

Semua orang pandangi pemuda petani dari Mi-jen itu. Lalu terdengar Sultan berkata. "Pengawal, buka peti itu."

Pengawal yang tadi membawa peti segera ber-tindak. Tapi dia jadi bingung sendiri. Peti itu ternyata terkunci. Ada lobang kunci tapi tak ada anak kunci pembukanya. Melihat pengawal kebingungan, pemuda bernama Tunggul Kebuti jadi ingat sesuatu. Dia men-geruk kantong bajunya, mengeluarkan sebuah anak kunci.

"Saya lupa," katanya. "Orang yang menyuruh saya mengantarkan peti memberikan anak kunci ini. Disertai pesan agar saya sekali-kali jangan membuka peti."

Brajanala segera mengambil anak kunci itu. Dia sendiri yang memasukkan ke dalam lobang kunci,. memutarnya dua kali lalu membuka penutup peti.

Begitu peti terbuka bau tidak sedap menyam-bar hidung. Lalu sekian pasang mata membelalak dis-ertai seruan terkejut yang tidak dapat ditahan.

Di dalam peti yang terbuka itu, mengerikan se-kali, ada satu kepala dengan dua mata membelalak se-perti ketakutan. Walau kutungan kepala itu penuh lumuran darah namun semua orang mengenali itu adalah kepala Tubagus Lor Putih, Perwira Muda yang tempo hari menusuk mati Pangeran Tua Sekar Seda

Page 63: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

Lepen. Beberapa orang yang ada di ruangan itu kelua-

rkan suara seperti mau muntah. Sultan palingkan ke-pala dengan wajah jijik lalu melambaikan tangan. Bra-janala cepat menutup peti kembali, memerintahkan pengawal membawa peti itu keluar lalu menjambak rambut Tunggul Kebuti. Petani lugu yang tak tahu apa-apa ini tentu saja jadi ketakutan setengah mati.

"Aku tidak percaya kau tidak tahu siapa orang yang menyuruhmu mengantarkan peti ini!" Perwira Brajanala menyambar sebilah pedang lalu ditempel-kannya ke leher si pemuda yang menjadi pucat pasi seperti mayat. "Bicara! Atau kutabas batang lehermu!"

Pemuda dari Mijen itu menggigil ketakutan. Masih untung tidak sampai terkencing. Dalam kea-daan seperti itu mulutnya terbuka, tapi tidak keluar suara jawaban. Lalu tangan kanannya tergesa-gesa mengeruk ke balik pinggang pakaiannya. Dari balik pakaian dia mengeluarkan satu gulungan kertas. Den-gan suara gagap dan gemetar dia memberitahu. "Or... orang yang menyuruh antar peti, dia memberikan ini. Katanya harus diserahkan pada Sultan...."

Brajanala menyambar gulungan kertas itu yang sudah dapat dipastikan adalah sepucuk surat, lalu memandang ke arah Sultan.

"Buka, baca isinya keras-keras!" perintah Sul-tan.

Perwira Brajanala segera membuka gulungan kertas. Seperti yang diperintahkan Sultan dia memba-ca tulisan yang tertera di atas kertas keras-keras.

Prawoto, Tak ada rasa hormatku untuk menyebut mu se-

bagai Sultan. Apa yang telah kau lakukan terhadap ayahku akan segera kau terima balasannya. Kau akan

Page 64: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

menghadapi Pengadilan Dunia. Sebagai bukti aku tidak main-main, aku sampaikan satu hadiah yang mem-buatmu tidak bisa tidur nyenyak.

Arya Penangsang Wajah Sultan tampak merah gelap. Dia berdiri

dari kursi, mengambil surat yang dipegang Perwira Brajanala, bukan untuk membacanya tapi merobek-robeknya.

"Ki Dalem Sleman," kata Sultan dengan suara lantang. Ketika kau membawa jenazah Pangeran

Tua ke Welahan, kau bahkan sempat menginap satu malam di sana. Menurutmu kau berhasil mere-dam amarah dan membujuk Arya Penangsang serta Mantre Jembrana. Tapi kau saksikan sendiri apa yang terjadi! Jahanam anak pemberontak itu membunuh Tubagus Lor Putih! Mengirimkan kepalanya ke padaku! Keji biadab!"

"Sultan, mohon maafmu. Saya tidak dapat menduga apa yang terjadi Pada saat saya berada di sana Arya Penangsang sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda akan melakukan sesuatu. Bahkan dia sendiri mengantarkan kepergian saya sampai ke perba-tasan. Saya khawatir, mungkin setelah saya pergi ada yang menghasutnya..."

Brajanala memanggil pengawal, menyuruh ba-wa Tunggul Kebuti dan menjebloskan petani malang itu ke dalam tahanan. Lalu pada Sultan dia berkata. "Jika Sultan berkenan, saya bisa menyiapkan pasu-kan. Dua hari di muka kita serbu Welahan untuk me-nangkap Arya Penangsang hidup atau mati!"

"Mengapa musti menunggu sampai dua hari? Aku ingin paling lambat besok pagi kau dan pasukan-mu sudah bergerak! Namun ingat satu hal. Hindari ja-tuh korban dari kalangan rakyat tidak berdosa. Yang

Page 65: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

kita cari adalah Arya Penangsang, Mantre Jembrana dan kaki tangannya."

"Kalau itu perintah Sultan saya akan segera la-kukan," kata Perwira Brajanala.

"Ki Dalem Sleman, kuharap kau mengumpul-kan sahabatmu para tokoh persilatan untuk berga-bung dengan pasukan Demak. Aku yakin

Arya Penangsang tidak sendirian. Aku menyirap kabar bahwa dia telah mengatur satu barisan khusus terdiri dari para tokoh rimba persilatan."

"Saya siap menjalankan perintah Sultan," kata Ki Dalem Sleman sambil membungkuk. "Saya dan Perwira Brajanala akan segera mengatur segala sesua-tu yang diperlukan. Kami berdua mohon diri."

"Ki Dalem dan yang Iain-Iain boleh pergi, Perwi-ra Brajanala biar tetap di sini dulu. Aku perlu membi-carakan perihal pengamanan Kotaraja dan Keraton Demak."

Semua orang yang berada di tempat itu kecuali Perwira Brajanala meninggalkan ruangan. Setelah tinggal berdua saja Sultan Prawoto berkata.

"Perwira Brajanala, sebenarnya aku bukan saja memintamu untuk memperhatikan pengamanan Kota-raja dan memperketat pengawalan Istana, tapi ada sa-tu hal lain yang perlu akan dibicarakan denganmu. Ada satu hal yang aku tidak mengerti. Lebih tepat ka-lau kukatakan mencurigakan..."

"Jika saya boleh mengetahui yang Sultan mak-sudkan," ujar Brajanala.

"Turut cerita Ki Dalem Sleman waktu dia men-gantar jenazah Pangeran Tua ke Welahan, dan juga tu-rut apa yang aku ketahui, Arya Penangsang tidak mengetahui siapa yang menghabisi ayahnya. Mengapa tahu-tahu kepala Tubagus Lor Putih dikirimkannya ke sini? Aku menaruh curiga, jangan-jangan Ki Dalem

Page 66: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

Sleman telah menceritakan kejadian yang sesungguh-nya pada Arya Penangsang. Yaitu bahwa Perwira Muda itulah yang menusuk mati Pangeran Tua Sekar Seda Lepen."

"Saya tidak dapat menduga apa-apa, kecuali ji-ka Sultan memerintahkan untuk menyelidiki," kata Brajanala pula.

"Itu memang yang aku inginkan. Aku perintah-kan agar kau melakukan penyelidikan. Selain itu memperhatikan setiap gerak-gerik orang tua itu. Siapa saja yang dihubunginya. Beri tahu padaku segera jika kau menemukan sesuatu. Satu hal lagi, harap perhati-kan juga tindak tanduk prajurit bernama Gedeng Ke-mitir. Dia sangat dekat dengan Ki Dalem Sleman. Siapa tahu ada hubungan yang tidak terduga antara dua orang itu."

"Akan saya lakukan Sultan," jawab Brajanala lalu membungkuk, kemudian bergegas Perwira Tinggi Demak ini meninggalkan tempat itu.

Setelah berada sendiri di ruangan itu Sultan Prawoto merenung. Dia ingat beberapa kali pembica-raannya dengan mendiang ayahnya yaitu Sultan Trenggono. Waktu itu Sultan Trenggono membicarakan tentang telah terjadinya perpecahan dan bentrokan terselubung antara beberapa tokoh dalam Keraton Demak. Yang pertama dipimpin oleh Ki Dalem Sleman. Yang kedua Ki Suro Gusti Bendoro yang konon hanya sendirian menghadapi kelompok Ki Dalem Sleman. Ki Suro kabarnya memilih mengalah dan mengundurkan diri dari segala urusan Keraton Demak. Kemudian ter-betik kabar bahwa orang tua itu telah dituduh mencuri salah satu pusaka Keraton yakni bendera keramat bernama Kanjeng Kiai Pujoanom. Sultan

Trenggono memerintahkan Ki Dalem Sleman dan Perwira Tinggi Brajanala untuk mencari Ki Suro

Page 67: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

Gusti Bendoro. Namun setelah sekian lama berlalu Ki Suro tak kunjung berhasil ditemukan.

*

* *

18

BANJIR DARAH MALAM itu udara terasa dingin sekali karena

sorenya hujan lebat turun mengguyur Kotaraja. Di luar tembok Keraton, puluhan prajurit terdiri dari empat kelompok besar melakukan penjagaan dan perondaan ketat. Di dalam Keraton terlebih lagi. Bukan saja para pengawal yang melakukan penjagaan, tetapi beberapa tokoh silat Istana kelihatan turut bertugas mengaman-kan Keraton, menjaga keselamatan Sultan serta ke-luarganya.

Lewat tengah malam dinginnya udara bukan kepalang. Banyak pengawal Keraton menjalankan tu-gas sambil menggigil. Menjelang dini hari keadaan se-kitar Keraton tampak aman walau diselimuti kesu-nyian. Saat itulah di sudut timur kelihatan ada kabut mengambang. Kabut yang sama kemudian muncul di ujung barat. Lalu muncul lagi di sebelah selatan dan akhirnya menyusul di sebelah utara. Perlahan-lahan kabut itu mengambang naik setinggi dada lalu berge-rak ke arah bangunan Keraton.

"Aneh," kata seorang prajurit tua yang bertugas mengawal di bagian timur Keraton. "Belasan tahun bertugas jadi pengawal", baru kali ini aku melihat ada

Page 68: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

kabut sekitar Keraton..." "Mengapa musti heran. Sore tadi hujan lebat

bukan main. Udara dingin luar biasa. Kalau kemudian muncul kabut tak ada anehnya," menyahuti kawan prajurit tua yang berdiri di sampingnya.

Tak selang berapa lama tebaran kabut melebar bukan saja ke arah Keraton tapi juga sekitar halaman luas dimana para pengawal lapisan ketiga bertugas.

"Ini baru aneh," berkata pengawal di samping prajurit tua. "Tidak biasanya aku mengantuk. Heran, mataku terasa berat..."

"Kalau kau tidur dalam tugas, kau bisa dijatuhi hukuman berat," kata prajurit tua pula. Tapi habis berkata begitu dia menguap lebar-lebar. Matanya tera-sa berair dan kantuk aneh mendadak membuat kepa-lanya terasa berat. "Kurasa aku sudah ketularan diri-mu, ikut-ikutan mengantuk..." Prajurit tua itu berucap lalu berpaling pada kawannya. Tapi sang kawan ter-nyata sudah menjelepok di tanah, bersandar ke tem-bok halaman Keraton, tertidur pulas!

"Masih muda tak tahan kantuk! Bagaimana nanti kalau sudah setua usiaku! Hai, bangun!" Prajurit tua itu pergunakan kakinya menggoyang paha teman-nya. Tapi dia sendiri kemudian merasa lemas, berpe-gangan ke tembok halaman lalu bluk! Prajurit tua ini jatuh dekat temannya, melosoh di tanah, entah ping-san entah tidur!

Di bagian lain halaman Keraton, untuk mela-wan udara dingin, seorang prajurit menghidupkan se-batang rokok kawung. Tidak sengaja matanya menatap ke atas. Prajurit ini terkejut, serta merta mencampak-kan rokoknya ke tanah lalu lari ke arah rumah jaga di sudut utara halaman. Di situ biasanya paling tidak ada lima sampai tujuh pengawal sementara yang lain-lainnya berkeliling seputar halaman. Kejut prajurit ini

Page 69: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

bukan alang kepalang ketika dia sampai di rumah ja-ga, ditemuinya enam orang kawannya bergeletakan tumpang tindih di lantai. Di goyang-goyangnya tubuh enam orang itu satu persatu. Tak ada yang bergerak. Mati? Di dekapkannya telinganya ke dada beberapa orang prajurit. Ada degup jantung. Berarti tidak mati. Lalu pingsan? prajurit satu ini segera berdiri. Meman-dang ke arah wuwungan Keraton. Seperti tadi dia me-lihat ada bayangan orang bergerak di atas atap bangu-nan. Tadi cuma dua orang. Kini malah dilihatnya ada empat orang!

"Aku harus memberi tahu kepala pengawal. Aku harus segera melapor ke dalam Keraton!" kata prajurit itu. Lalu dengan cepat dia lari ke arah bangu-nan Keraton. Namun di pertengahan halaman tiba-tiba sebuah benda melesat di udara. Di lain kejap prajurit itu keluarkan keluhan tinggi, pegangi anak panah yang menancap di dada kirinya lalu roboh ke tanah.

Tak selang berapa lama di atas atap Keraton terdengar satu suitan keras. Suitan ini disahuti oleh suitan lain dari arah selatan. Lalu terdengar lagi sui-tan-suitan nyaring dari tiga arah yakni utara, barat dan timur. Begitu suitan terakhir lenyap terdengar de-rap kaki kuda ke arah pintu gerbang

Keraton, yang saat itu sudah berada dalam keadaan terpentang lebar. Padahal biasanya pintu ger-bang itu selalu berada dalam keadaan tertutup. Entah siapa yang telah membukanya, yang jelas dua puluh pengawal yang bertugas di tempat itu telah bergeleta-kan tanpa sadarkan diri.

Dua belas penunggang kuda menembus pintu gerbang Keraton. Semuanya mengenakan topeng ber-warna putih hingga di malam sunyi dan dingin itu me-reka tak bedanya kelihatan seperti setan gentayangan!

Tiba-tiba di sebelah belakang rombongan pe-

Page 70: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

nunggang kuda bertopeng muncul pula rombongan penunggang kuda yang dari pakaian yang dikenakan jelas mereka adalah pasukan Kerajaan. Di depan sekali seorang Perwira Muda sambil mencekal pedang berte-riak memberi tahu anak buahnya.

"Rombongan orang-orang tak dikenal memasuki halaman Keraton! Lekas menyebar! Satu orang segera mencari bantuan!"

Pasukan Kerajaan yang terdiri dari dua lusin prajurit itu segera menyebar. Satu orang memisahkan diri melakukan perintah meminta bantuan. Namun maksudnya tidak kesampaian karena sesaat kemudian sebatang panah menancap tepat di kuduknya, tembus ke tenggorokannya!

Di bawah pimpinan Perwira Muda segera dila-kukan pengurungan. Dua belas penunggang kuda ber-topeng putih terjepit di tengah-tengah.

Perwira Muda yang memimpin pasukan berte-riak lantang. "Hanya orang-orang jahat mengenakan topeng di malam hari! Buka topeng kalian dan lekas serahkan diri!" Sambil membentak Perwira Muda itu menghunus senjatanya yaitu sebilah golok panjang berbentuk segi empat.

Salah seorang penunggang kuda bertopeng pu-tih yang dikurung rapat angkat tangan kanannya ke atas. Saat itu juga udara malam dipenuhi suara ber-desing.

"Awas serangan panah!" teriak Perwira Muda. Goloknya diputar di atas kepala,

"Traak....traak!" Dua anak panah yang diarah-kan ke kepala dan dadanya patah lalu mental ke uda-ra. Dia berhasil selamatkan diri. Tapi di kiri kanannya enam orang anak buahnya kena ditembus panah, ja-tuh terguling dari atas kuda masing-masing.

"Cepat habisi mereka!" Salah seorang penyerbu

Page 71: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

bertopeng putih memberi perintah. Dari sosok tubuh-nya yang kekar agaknya dia masih muda dan bertin-dak selaku pimpinan orang-orang bertopeng.

Mendengar perintah itu, empat orang bergerak maju. Yang pertama seorang bertopeng membawa tom-bak besi yang bagian kepalanya diikat sehelai bendera segi tiga berwarna kuning. Orang ini menyerbu ke arah Perwira Muda yang memegang golok. Begitu berhada-pan langsung dia tusukkan tombak besinya ke dada lawan.

"Traangg!" Terdengar suara bedentrangan ketika Perwira

Kerajaan menangkis dengan golok. Kejut Perwira ini bukan alang kepalang. Bentrokan senjata itu membuat tangannya bergetar hebat. Goloknya hampir terlepas dan tangan kanannya terasa linu kesemutan. Sadar kalau lawannya memiliki tingkat tenaga dalam jauh di atasnya, sang Perwira pelototi lawan dengan pandan-gan menyelidik. Dia memang tidak dapat melihat wa-jah yang terlindung topeng itu, namun senjata berupa tombak di tangan lawan rasa-rasa dia pernah melihat sebelumnya. Hanya sayang Perwira ini tidak bisa ber-pikir lebih lama. Saat itu lawan telah menyerbunya kembali dengan serangan tombak. Hanya beberapa ge-brakan saja Perwira Muda itu kena dipukul bahu ki-rinya hingga terpental jatuh dari pelananya. Selagi tu-buhnya melayang di udara, tombak besi menderu dan craass! Tombak itu menghujam dada, tembus sampai ke punggung.

Pada saat orang bertombak maju ke hadapan Perwira Muda, tiga orang lainnya ikut bergerak. Dua bersenjata satu lagi hanya mengandalkan tangan ko-song. Lebih dari dua belas prajurit Kerajaan dibuat tak berdaya. Semua menemui ajal dalam waktu singkat. Kalau ketiga orang bertopeng putih itu tidak memiliki

Page 72: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

ilmu tinggi, tidak mudah untuk merobohkan belasan prajurit Kerajaan yang telah berlatih begitu cepat.

Orang bertopeng yang bertindak sebagai pimpi-nan kembali mengangkat tangan kanannya. Kali ini tangan itu digerakkan ke arah bangunan Keraton. Se-habis memberi tanda orang tadi mendahului mengge-brak kuda ke arah Keraton.

Saat itu di sekitar bangunan Keraton kabut aneh tampak mengambang setinggi dada. Penunggang kuda di sebelah depan hentikan kudanya di muka tangga batu. Lalu berpaling pada arah pengikut di be-lakangnya dan berkata.

"Hentikan serangan kabut penyirap! Aku tidak ingin bangsat itu menemui ajal dalam keadaan tidak sadar! Dia harus melihat dan merasakan bagaimana ngerinya kematian!"

Salah seorang penunggang kuda bertopeng pu-tih yang mengenakan jubah hitam berambut panjang awut-awutan sentakkan tali kekang kudanya, bergerak maju ke depan. Lalu dengan satu gerakan hebat dia melompat, tegak berdiri di atas punggung kudanya sambil rangkapkan tangan di atas dada dan pejamkan sepasang mata.

Dari mulut orang ini keluar suara racauan ha-lus. Perlahan-lahan dua tangan yang dirangkapkan, dibuka, dikembangkan ke samping. Sepuluh jari tan-gan dan telapak tangan digerak-gerakkan seperti orang memanggil. Terjadilah satu hal luar biasa. Semua ka-but yang mengambang di halaman dan sekitar bangu-nan Keraton secara aneh bergerak ke arah tangan yang melambai lalu naik ke atas kepala. Secara aneh pula kabut itu seolah masuk ke dalam ubun-ubun orang itu. Semakin cepat dia menggerakkan jari-jari dan dua telapak tangannya, semakin cepat pula kabut itu am-blas masuk ke dalam kepalanya. Dalam waktu singkat

Page 73: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

semua kabut yang tadi memenuhi seantero tempat sir-na tak berbekas. Begitu kabut lenyap, orang di atas kuda melompat jungkir balik dan di lain kejap dia su-dah duduk kembali di punggung kudanya.

Di saat yang sama, orang bertopeng yang tadi jadi pimpinan penyerbu mengangkat tangan sambil berteriak. Dua belas kuda kemudian menghambur ma-suk ke dalam Keraton!

*

* * DENGAN langkah tegap dan tenang Sultan

Prawoto digiring ke ruang tengah Keraton oleh enam orang bertopeng putih. Di belakangnya mengikuti istri, anak-anak, dua saudara sepupunya, seorang abdi da-lem serta tiga orang pelayan. Berlainan dengan sikap berani yang ditunjukkan oleh Sultan, yang lain jelas berada dalam ketakutan amat sangat dan tiada hen-tinya bertangisan. Betapa tidak. Untuk sampai ke ruang tengah itu mereka melewati bagian-bagian Kera-ton yang dipenuhi dengan tebaran mayat para pen-gawal dan beberapa tokoh silat Istana.

Di ruang tengah Istana ada enam orang berto-peng lagi telah menunggu. Dua belas ekor kuda berke-liaran di tempat itu. Sekilas memandang saja, dari bentuk tubuh, pakaian yang dikenakan atau senjata yang mereka pegang Sultan Prawoto bisa mengetahui beberapa di antara mereka.

"Pembunuh-pembunuh pengecut! Biadab! Ka-lian membunuh orang-orang yang tak berdosa!" Sultan Prawoto yang tak dapat

menahan hatinya lagi berteriak marah. "Aku perintahkan kalian untuk menyerah!"

Dua belas orang bertopeng saling pandang lalu

Page 74: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

meledak tawa bergelak di ruangan itu. Salah seorang di antaranya, yang bertubuh tegap besar melangkah mendekati Sultan lalu membuka topeng putihnya.

Sultan Prawoto keluarkan suara mendengus begitu melihat wajah itu. Matanya memandang laksana kobaran api.

"Dugaanku tidak keliru! Semua ini adalah per-buatan jahatmu! Arya Penangsang! Atas nama Kera-jaan aku perintahkan padamu untuk menyerah!"

Orang yang barusan membuka topeng putih ternyata adalah Arya Penangsang, pimpinan rombon-gan penyerbu. Dia adalah putera Pangeran Tua Sekar Seda Lepen. Wajahnya tampak garang, dipenuhi ku-mis, cambang bawuk dan jenggot meranggas.

"Prawoto! Jangan menggigau! Saat ini yang na-manya Kerajaan Demak sudah tidak ada lagi! Yang namanya Sultan Demak hanya tinggal sisa bangkai hi-dup yang siap mampus! Kau sudah membaca suratku! Saat ini kau tengah menghadapi Pengadilan Dunia! Kau keparatnya yang bertanggung jawab, menanggung segala dosa!"

Sultan Prawoto sudah bisa menduga apa yang hendak dilakukan oleh Arya Penangsang. Maka dia berkata. "Istri dan anak-anakku tidak berdosa, tidak ada sangkut pautnya dengan diriku!

Bebaskan mereka! Jika kau ingin menuntut ba-las kematian ayahmu, mari kita bertempur satu lawan satu secara kesatria!"

Arya Penangsang kerutkan kening, delikkan mata lalu tertawa bergelak. "Di saat-saat malaikat maut hendak mengambil nyawamu, kau masih bisa bersyair menunjukkan jiwa kesatria palsu menutupi kepengecutan dan dosa besarmu! Kau ingin pertempu-ran secara jantan! Akan ku penuhi permintaanmu!"

Arya Penangsang jentikkan tangannya hingga

Page 75: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

mengeluarkan suara keras. Seorang bertopeng segera menghampirinya, menyerahkan sebuah benda ter-bungkus kain putih. Dengan cepat Arya Penangsang membuka bungkusan kain putih. Isi bungkusan ter-nyata sebilah golok yang bagian ujungnya sampai ke pertengahan berwarna hitam. Warna hitam ini adalah noda darah yang telah mengering.

"Prawoto! Dengan golok ini ayahku dibunuh! Dengan golok ini pula kau akan ku bantai! Demak akan tergenang darah! Darah itu berpangkal dari Kera-ton ini! Kau menginginkan pertempuran secara jantan! Silahkan kau memilih senjata! Kita bertempur satu la-wan satu!"

"Aku akan menghadapimu dengan tangan ko-song! Silahkan menyerang!" jawab Sultan Prawoto pula sambil kertakkan rahang sementara jerit tangis ter-dengar semakin menjadi-jadi di ruang itu. Sesekali ku-da-kuda yang ada di situ keluarkan suara ringkikan.

"Jahanam pengecut! Kau inginkan mampus secara pengecut! Jangan kira aku akan berbe-

las kasihan kepadamu! Lihat golok!" Di dahului dengan teriakan dahsyat Arya Penangsang melompat. Golok besar di tangan kanannya berkiblat, mengeluarkan su-ara deru mengerikan.

Istri Sultan Prawoto menjerit sambil memeluk anak-anaknya yang bertangisan. Kuda meringkik. Para pelayan ikut berteriak.

Sultan Prawoto menghindar ke kiri sambil le-paskan satu pukulan tangan kosong mengandung ha-wa sakti, membuat tubuh Arya Penangsang bergoyang-goyang dan sambaran goloknya tidak mengenai sasa-ran. Arya Penangsang kembali keluarkan teriakan ke-ras. Tangan kirinya ikut bekerja melepas pukulan ja-rak jauh untuk menahan serangan tangan kosong Sul-

Page 76: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

tan Prawoto. Golok di tangannya diputar laksana cu-rahan hujan. Berkiblat ganas mengerikan.

Satu jeritan menggelegar di ruangan besar itu. Sosok Sultan Prawoto mencelat ke belakang. Jatuh berlutut di lantai. Darah mancur dari

tangan kanannya yang buntung. Istrinya menjerit, menghambur coba menghampiri. Namun seorang ber-topeng putih menjambak rambutnya lalu melempar-kannya hingga terguling di lantai.

*

* * KEESOKAN harinya seluruh Demak gempar be-

sar. Kabar kematian Sultan Prawoto yang di bantai bersama anak istrinya, saudara serta para pelayan ter-sebar luas dengan cepat. Rakyat bersedia namun tak berani menunjukkan rasa berkabung terang-terangan. Karena kabarnya siapa saja yang menunjukkan sikap masih mendukung Sultan yang lama akan dihabisi se-cara semena-mena.

Dalam suasana seperti itu Arya Penangsang mengumumkan pengangkatan dirinya sebagai Sultan Demak baru. Beberapa petinggi dan para tokoh silat yang sebelumnya mengabdi pada Sultan yang lama di-beri kekuasaan dan kedudukan lebih tinggi. Hal ini mendatangkan tanda tanya besar bagi rakyat. Hingga mereka mencurigai bahwa orang-orang itu terlibat atau membantu Arya Penangsang dalam peristiwa berdarah di Keraton Demak. Mereka antara lain adalah Nenek Ular Si Lidah Bangkai. Tumenggung Pakubumi alias Kala Srenggi. Lalu kepala rampok hutan Roban Warok Wesi Gludug, Ki Dalem Sleman dan Perwira Tinggi Bra-janala serta beberapa orang lainnya yang belum sem-pat diketahui karena sengaja merahasiakan diri.

Page 77: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

Selama satu hari mayat-mayat yang bergeleta-kan di ruang tengah keraton sengaja dibiarkan begitu saja. Malah rakyat diminta untuk menyaksikan kema-tian Sultan Prawoto dan keluarganya itu yang oleh Arya Penangsang dianggap sebagai pengkhianat. Na-mun tak seorangpun yang mau datang untuk menyak-sikan. Rakyat sama maklum siapa sebenarnya yang jadi pengkhianat dan pemberontak. Beberapa orang Adipati yang konon masih setia kepada Sultan Prawoto mengadakan pertemuan rahasia dipimpin oleh Adipati Japara.

*

* *

19

PENCULIKAN DI PAGI BUTA DARI dalam gubuk kajang beratap rumbia itu,

di penghujung malam yang dingin, ketika kebanyakan orang bahkan juga para satwa masih tenggelam dalam tidur nyenyak terdengar suara orang mengaji. Dari su-aranya jelas yang mengaji itu adalah seorang anak la-ki-laki.

Di luar gubuk yang terletak di puncak bukit ke-cil pada aliran kali Glugu, di dalam gelap, tanpa suara dua orang terlihat membimbing kuda masing-masing. Di satu tempat mereka tinggalkan tunggangan itu.

"Tombak saktimu tidak dibawa serta?" bertanya orang yang berjalan di sebelah kanan. Tubuhnya tinggi besar, kulitnya sehitam arang.

"Cuma menangkap seorang bocah saja, apa

Page 78: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

perlu senjata sakti itu?" jawab sang teman, seorang kakek berjubah kuning tebal. Dua orang itu melang-kah ke arah sebuah pohon besar tak jauh dari gubuk. Di sini keduanya berhenti dulu.

Yang berpakaian jubah kuning tebal berbisik pada teman sebelahnya. "Kau mendengar suara orang mengaji?"

"Sejak tadi," jawab si teman yang berkulit hitam legam, berbadan besar kokoh.

"Yang mengaji seorang anak lelaki. Kukira dia anak yang kita cari. Anak yang konon disebut-sebut dalam Kitab Hikayat Keraton Kuno."

"Aku belum pernah melihat kitab itu. Apa lagi membacanya. Jadi sangkut paut si anak dengan kitab itu sulit kupercaya! Lagi pula, apa kitab itu benar-benar ada? Jangan-jangan cuma karangan belaka. Disampaikan dari mulut ke mulut hingga akhirnya orang percaya kitab itu benar-benar ada."

"Sobatku Perwira Kerajaan, apa kau tidak per-caya pada cerita Si Lidah Bangkai, Warok Wesi Gludug dan Tumenggung Pakubumi. Dua diantara mereka pernah berusaha merampas kitab itu dari tangan Ki Suro Gusti Bendoro dan Empu Bondan Ciptaning. Tapi gagal..."

"Anak itu, jika memang dia anak yang kita cari apa yang hendak kita lakukan terhadapnya?" bertanya orang yang dipanggil dengan sebutan Perwira Kera-jaan. Dia bukan lain adalah Brajanala yang kini men-gabdi di bawah tahta Arya Penangsang Sultan Demak yang baru. Konon kabar yang mengatakan bahwa da-lam waktu dekat dia akan diangkat menjadi Patih Ke-rajaan. Kakek yang dijuluki si culas bermuka banyak ini kini mendapat kedudukan tinggi dan enak di Kera-ton Demak sebagai imbal bantuannya menumbangkan tahta Sultan Prawoto.

Page 79: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

"Sesuai perintah Sultan Arya, anak itu harus kita bawa ke Keraton. Apa yang akan dilakukan terha-dapnya kemudian aku sendiri tidak tahu." Berkata Ki Dalem Sleman.

"Seorang anak bisa membahayakan Kerajaan, Satu hal yang bagiku tidak masuk akal," ujar Brajana-la. "Kalau memang dia berbahaya, mengapa tidak di-habisi saja. Lemparkan ke jurang atau ke dalam sun-gai. Habis perkara. Mengapa! susah-susah menguru-sinya?"

"Sobatku, jangan berpikiran pendek. Perguna-kan sedikit akalmu! Justru anak inilah yang diduga punya teka-teki besar bagi Kerajaan. Dia bukan anak sembarangan. Kisahnya tertera dalam Kitab Hikayat Keraton Kuno..."

"Lagi-lagi kitab itu!" bersungut Brajanala. "Pe-kerjaan seperti ini seharusnya tidak kita yang menan-gani. Cukup dua tiga orang prajurit saja."

"Tadinya aku juga berpikir seperti itu. Tapi se-makin ku kaji persoalannya semakin tertarik aku un-tuk menangani sendiri. Ternyata Sultan kita yang baru juga punya jalan pikiran sepertiku. Jika tidak ada apa-apanya, mana mungkin Sultan Arya menugasi kita berdua."

"Anak ini yang bernama Ario menurut riwayat yang aku dengar bukan anak Ki Suryo Pabelan..."

"Dia cucu si kakek pemilik gubuk itu. Sudah dipelihara Ki Suryo sejak ke dua orang tuanya lenyap tak tentu rimbanya," menerangkan Ki Dalem Sleman.

"Dari tadi kita bicara saja! Kapan kita akan ma-suk ke gubuk dan menculik anak itu?!" tanya Perwira Tinggi Brajanala.

"Sabar, jangan kesusu. Coba kau perhatikan keadaan sekeliling kita." berkata Ki Dalem Sleman.

Brajanala memandang berkeliling. Dia hanya

Page 80: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

melihat pepohonan, semak belukar dan kegelapan. "Tak ada apa-apa yang perlu dirisaukan," kata

Perwira ini kemudian. Ki Dalem Sleman tersenyum. "Matamu mulai

lamur. Perasaanmu mulai tumpul. Mungkin terlalu banyak hidup enak di Keraton...."

Tidak senang mendengar ucapan sahabatnya itu sang Perwira bertanya. "Apa maksudmu Ki Dalem?"

"Buka matamu besar-besar. Lihat ke atas atap gubuk," bisik Ki Dalem Sleman.

Mendengar ucapan orang, Brajanala segera pa-lingkan kepala, memandang ke bagian atas gubuk ka-jang atap rumbia.

"Astaga, mengapa aku sampai tidak melihat!" Sang Perwira berucap sambil mengusap-usap janggut kasar di dagunya. Di atas atap gubuk yang gelap, ter-nyata mendekam satu sosok yang menghitam dalam kegelapan. "Orang itu, siapapun dia adanya pasti punya niat sama dengan kita. Hendak menculik anak di dalam gubuk. Kita harus segera bertindak sebelum kedahuluan orang!"

"Jalan pikiranmu mulai terbuka! Tunggu apa lagi?!"

Ki Dalem Sleman dan Perwira Brajanala segera keluar dari balik pohon. Tapi sesaat langkah mereka tertahan ketika tiba-tiba sekali sosok di atas gubuk menjebol atap lalu lenyap masuk ke

dalam gubuk! "Ki Dalem! Kita kedahuluan!" kata Brajanala.

Saat itu bagian dalam gubuk yang tadinya diterangi lampu minyak mendadak gelap. Suara anak mengaji ikut lenyap!

"Aku masuk ke dalam. Kau tunggu di atap! Orang itu mungkin akan kabur lewat lobang di atas atap!"

Page 81: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

Tanpa banyak bicara Perwira Brajanala segera melompat ke atas atap. Seperti diketahui Perwira ini memiliki tubuh tinggi besar. Atap gubuk yang terbuat dari rumbia lapuk itu mana mungkin menahan tubuh-nya yang berat. Tapi tanpa suara, seperti seekor bu-rung enak saja dia hinggap di atas gubuk, lalu mende-kam menunggu waspada. Ternyata Perwira Kerajaan ini akhir-akhir ini semakin hebat ilmu tenaga dalam maupun meringankan tubuh.

Tak lama kemudian di dalam gubuk terdengar suara orang berkelahi disertai bentakan-bentakan ke-ras.

"Penculik keparat! Serahkan anak itu padaku!" Itu adalah suara Ki Dalem Sleman. Terdengar suara tawa bergelak. "Maling berteriak penculik! Jika kau mau men-

gambil anak ini silakan saja!" Orang yang tertawa men-jawab ucapan Ki Dalem Sleman. Lalu... bukkk! Ter-dengar suara beradunya dua pukulan Dua sosok sa-ma-sama mental. Gubuk bergoyang keras. Dinding se-belah kanan jebol. Seorang berpakaian warna gelap melesat keluar dari gubuk sambil memanggul sosok seorang anak lelaki berusia sekitar sepuluh tahun yang berada keadaan tertotok.

Sesaat kemudian kelihatan sosok Ki Dalem Sleman mengejar. Melihat ini Perwira Brajanala yang berada di atas atap segera melesat turun ke bawah, melakukan penghadangan.

Orang yang memanggul anak kecil di bahunya tersentak lalu berucap. "Kiranya maling jelek memba-wa kawan yang lebih jelek! Ha...ha...ha! Walau kalian berdua, jangan harap bisa dapatkan anak ini!"

"Kalau kau tidak mau menyerahkan suka rela, kami tidak segan-segan membuatmu menjadi mayat penasaran lebih dulu!" menyahuti Ki Dalem Sleman.

Page 82: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

Dia memberi isyarat pada Brajanala. Kedua orang ini segera menyerbu.

Waktu di dalam gubuk keadaan gelap setelah lampu minyak padam. Orang yang memboyong anak kecil tidak bisa melihat jelas siapa adanya kakek ber-jubah kuning itu. Di luar gubuk walaupun malam tapi keadaan lebih terang. Ketika memperhatikan pakaian dan wajah si kakek berjubah kuning tebal, barulah orang itu sempat menjadi kaget. Terlebih lagi ketika dia juga mengenali orang ke dua yang jadi pengeroyoknya.

"Ki Dalem Sleman, tokoh silat culas Kesultanan Demak. Perwira Tinggi Brajanala, sama busuknya den-gan si tua bangka itu! Bagaimana mereka bisa terlibat dalam urusan bocah ini? Lawanku tidak enteng. Lebih baik mencari jalan kabur dari pada membahayakan keselamatan anak ini!"

Berpikir seperti itu, orang yang memboyong anak kecil di bahunya segera melancarkan serangan gencar diseling gerakan-gerakan tipuan. Begitu dua lawan berlaku lengah, dia akan serta merta kabur me-larikan diri. Tetapi Ki Dalem Sleman dan Brajanala yang punya segudang pengalaman mana bisa diper-dayakan. Dari jurus gerakan orang, kedua tokoh Ista-na Demak ini sudah bisa membaca apa yang hendak dilakukan lawan. Dan ternyata Ki Dalem Sleman men-genai siapa adanya si penculik anak. Kakek ini segera menegur dengan suara lantang.

"Datuk Manding Kalianget! Tidak kusangka, jauh-jauh tinggal di Madura muncul di tanah Jawa jadi penculik bocah!"

Maklum orang sudah tahu siapa dirinya, si penculik seorang kakek berpakaian biru gelap, memili-ki rambut, alis, kumis dan janggut kelabu menyeringai lalu berbatuk-batuk.

"Kalian berdua, bukankah punya maksud sa-

Page 83: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

ma? Hendak menculik anak ini? Cuma sayang aku mendapatkannya lebih dulu!"

Habis berkata begitu kakek bernama Manding Kalianget hentakkan kaki kanannya ke tanah. Bukit kecil di tepi kali Glugu itu bergetar. Bersamaan dengan itu di tanah mencuat kepulan asap hitam menutup pemandangan.

"Penculik busuk! Jangan mengira bisa menipu kami!" teriak Brajanala.

"Mau lari kemana? Jalan lolos mu cuma satu! Ke pintu akhirat!" ikut berteriak Ki Dalem Sle-

man. Dari tempat mereka berdiri Datuk Manding Ka-

lianget memang lenyap tak kelihatan tertutup kepulan asap hitam. Tapi begitu dua orang itu melesat tinggi ke udara, dari atas mereka segera melihat di mana bera-danya si penculik. Saat itu Datuk Manding Kalianget telah berkelebat ke arah selatan. Dua kali membuat le-satan, dua tokoh Istana Demak ini berhasil mengha-dang Manding Kalianget, membuat si penculik terkejut besar.

Brajanala dan Ki Dalem Sleman tidak member! kesempatan lagi. Keduanya langsung menyerang. Per-kelahian hebat segera terjadi. Dalam waktu tiga jurus saja Datuk Manding Kalianget mulai terdesak. Dengan beban anak di atas bahu kiri yang harus disela-matkannya, menghadapi dua lawan berkepandaian tinggi memang tidak mudah bagi Manding Kalianget. Pada awal jurus ke enam tokoh silat dari Madura ini cabut senjatanya, sebilah clurit besar berwarna biru. Senjata ini memiliki rongga hampa dan pada ujungnya ada sebuah lobang kecil. Setiap clurit itu berkelebat, menderu suara seperti lengkingan angin puting beliung di malam buta!

Ki Dalem Sleman menyesal besar meninggalkan

Page 84: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

tombak saktinya di pelana kuda. Gempuran clurit Manding Kalianget ganas bukan main. Datangnya lak-sana curahan hujan. Terlebih lagi ketika dari lobang di ujung clurit menyembur asap hitam menebar bau aneh pertanda mengandung racun jahat!

Ki Dalem Sleman memberi isyarat pada Braja-nala. Perwira Tinggi Demak itu segera mencabut pe-dangnya. Dengan senjata ini dia bisa membendung se-rangan clurit lawan. Sementara itu Ki Dalem Sleman menghantam dengan kebutkan ujung jubah kuning-nya. Dua rangkum gelombang angin menderu meng-hantam kepulan asap hitam beracun yang keluar dari lobang di ujung clurit. Selama enam jurus pertempu-ran berkecamuk hebat. Bagaimanapun hebatnya ilmu silat Datuk Manding Kalianget, bagaimanapun ganas serangan cluritnya namun dua lawan yang dihada-pinya bukan sembarangan.

"Datuk Manding Kalianget! Kau mau serahkan anak itu atau kau memang ingin dibantai lebih dulu?!" Ki Dalem Sleman berseru.

Walau jelas dirinya dalam keadaan terdesak namun Manding Kalianget tidak unjukkan rasa takut. Malah sambil tertawa dia berkata. "Kau terlalu banyak bicara! Jaga batang lehermu!"

"Wuuuttt!" Sinar biru melesat di udara. Clurit besar mem-

babat ke arah perut Ki Dalem Sleman. Selagi kakek ini melompat mundur tiba-tiba clurit di tangan lawan me-lesat ke atas, membabat ke arah tenggorokannya. Ki Dalem Sleman tertipu! Untungnya Brajanala segera melompat sambil sorongkan pedang.

"Traangg!" Clurit dan pedang saling beradu, mengeluarkan

suara berdentrangan dan percikan bunga api di udara. Datuk Manding Kalianget merasa terkejut. Bentrokan

Page 85: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

senjata tadi membuat tangannya tergetar hebat dan ada hawa panas menyerang telapak tangannya hingga dia hampir-hampir melepas pegangan pada gagang senjata.

"Celaka, kalaupun aku nekad menyabung nya-wa, anak ini tak mungkin kuselamatkan. Dua lawan yang kuhadapi benar-benar tangguh! Masih ada satu cara untuk menghadapi mereka. Kalau ternyata gagal, aku memilih mati bersama anak ini!"

Setelah membatin begitu rupa Manding Kalian-get keluarkan seruan keras. Clurit di tangannya diba-batkan berputar membentuk lingkaran. Selagi dua la-wan bergerak menghindar Manding Kalianget perguna-kan kesempatan untuk melesat ke udara. Dari keting-gian dua tombak kakek ini kemudian hantamkan tan-gan kirinya ke bawah sambil mulutnya merapal sesua-tu.

Dari tangan kiri Manding Kalianget tiba-tiba melesat keluar satu bayangan besar hitam, memben-tuk makhluk bermuka raksasa. Kejut Ki Dalem Sleman dan Perwira Brajanala bukan alang kepalang. Kedua-nya memukul ke atas. Dua pukulan tangan kosong mengandung tenaga dalam tinggi jelas-jelas mengenai makhluk besar hitam itu. Tapi seperti membal, dua pukulan itu berbalik kembali, malah menghantam ke arah Brajanala dan Ki Dalem Sleman.

"Bummm! Bummm!" Tanah terbongkar membentuk dua lobang be-

sar. Untungnya dua tokoh Istana itu masih sempat se-lamatkan diri.

Brajanala berdiri dengan muka agak pucat. Tangannya yang memegang pedang terasa bergetar.

"Perwira, kau gempur kakek jahanam itu den-gan pedangmu. Aku akan menggasak makhluk jeja-dian," bisik Ki Dalem Sleman lalu loloskan ikat ping-

Page 86: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

gang jubahnya yang terbuat dari gulungan kawat len-tur berlapis kain kuning. Dengan kesaktiannya ikat pinggang ini bisa berubah menjadi sebatang tombak, cemeti atau tali penjirat.

Mendengar bisikan Ki Dalem Sleman, Brajanala segera keluarkan jurus-jurus maut ilmu pedangnya. Gempuran Perwira Tinggi ini membuat Datuk Manding Kalianget sesaat menjadi sibuk terpaksa andalkan clu-rit untuk menghadapi pedang lawan. Kakek ini cepat-cepat pergunakan makhluk hitam jejadiannya untuk menyerang Brajanala. Namun saat itu ikat pinggang kuning di tangan Ki Dalem Sleman mulai ambil pera-nan. Senjata ini meliuk di udara dua kali berturut-turut, menusuk ke lambung makhluk hitam, lalu ber-kelebat menjirat ke arah leher! Datuk Manding Kalian-get tersentak kaget ketika melihat satu kali bergerak saja lawan telah mampu menjirat leher makhluk hitam besar jejadian. Dia segera merapal habis-habisan. Tapi tak ada gunanya. Makhluk jejadian hitam besar kelua-rkan suara menggebor lalu sirna tak berbekas. Malah tali kuning yang masih menjulai panjang tiba-tiba menggelung ke arah lehernya!

Manding Kalianget gerakkan tangan yang me-megang clurit untuk menabas tali kuning tapi senja-tanya membal ke atas, terlepas dari genggamannya. Lidah tokoh silat dari Madura ini mulai terjulur keluar. Ludah membusah. Matanya mendelik merah. Jiratan tali kuning pada lehernya tak mampu dilepaskan. Tak ada kemungkinan lagi baginya untuk selamatkan diri dari kematian.

"Ki Dalem Sleman keparat! Kau boleh membu-nuhku! Tapi jangan harap bisa dapatkan anak ini hi-dup-hidup!"

Habis berkata begitu Datuk Manding Kalianget gebukkan tinju kanannya ke batok kepala si bocah di

Page 87: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

bahu kirinya!

* * *

BERSAMBUNG KE BAGIAN – 5

KUNGFU SABLENG PENDEKAR SPIRITUS

1 PEMUDA she Ngak berlutut di samping tubuh

gurunya yang tergelimpang penuh luka bekas bacokan. Orang tua berusia 99 tahun lewat 13 hari itu tengah sekarat meregang nyawa. Sulit sekali baginya men-gumpulkan sisa tenaga yang ada agar dapat membuka mulutnya yang kempot dan ompong.

"Muridku Ngak Ngik Ngok... Rohku bakal tidak tenteram di alam akhirat sebelum kau membalas sakit hati kematianku...."

"Suhu..." suara sang murid tersendat menahan isak. "Siapa yang melakukan perbuatan durjana ini?!"

"Manusianya she Tong. Bernama Bo Long. Dia... dia dikenal dengan julukan Pendekar Bop karena mukanya bopeng. Kau harus cari dia dan ambil nya-wanya penebus nyawaku!"

"Suhu, aku muridmu Ngak Ngik Ngok bersum-pah akan mencari dan membunuh manusia bernama Tong Bo Long itu sampai ke laut yang tidak ada airnya

Page 88: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

sekalipun! Bahkan sampai ke Planet Crypton bekas kontrakannya Superman..."

"Bagus, aku gembira mendengar kata-katamu itu. Tapi ingat, jangan sampai mencari manusia itu ke Planet Senen. Karena disitu banyak WTS, copet, jamb-ret dan tukang todong..."

"Terima kasih atas petunjuk suhu..." "Ngik Ngok, ajal ku sudah dekat. Rasanya su-

dah di depan hidung. Lekas ambilkan dot-ku. Aku mau menghisapnya, agar bisa menghadap Thian dengan te-nang."

Mendengar ucapan gurunya Ngak Ngik Ngok mengambil sebuah dot bayi yang terletak di atas meja kecil lalu cepat-cepat memasukkannya ke dalam mulut gurunya. Terkempot-kempot sang guru hisap dot itu beberapa kali. Kemudian mulutnya tak bergerak lagi. Sepasang matanya mendelik kosong. Orang tua ini menghembuskan nafas terakhir sambil nyengir!

Ngak Ngik Ngok menangis tanpa suara. Ketika dia keluar rumah untuk memberi tahu tetangga terde-kat atas kematian gurunya itu, mendadak pandangan-nya membentur secarik kain putih, menempel di pintu. Dia terkejut dan heran. Karena sebelumnya kain putih itu tidak ada di tempat itu!

Di atas kain tertera gambar tengkorak bopeng. Lalu di bawah gambar tengkorak itu ada tulisan ber-bunyi:

"Jika kau memang pendekar sejati, bukan wa-dam kalengan, ingin menuntut balas kematian kau punya guru, datanglah ke puncak gunung Labu Putih. Tapi jangan lupa membawa nyawa serep karena sekali kau sampai di puncak gunung kau tak bakal bisa mundur atau atret. Tertanda Pendekar Bop."

"Keparat sialan!" maki Ngak Ngik Ngok seraya membetot robek kain putih di pintu, mengucalnya,

Page 89: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

membantingnya ke lantai, diludahi lalu diinjak-injak. Masih belum puas dia songgengkan pantatnya dan brut! Kain bergambar tengkorak bopeng itu dikentu-tinya. Sambil kepalkan tinju Ngak Ngik Ngok berkata. "Tong Bo Long! Kau tunggu pembalasanku! Isi perut-mu akan aku korek habis agar kau jadi tong bolong benaran! Pendekar Bop! Mukamu akan aku cucuk dengan seribu totokan agar tambah bopeng!"

*

* *

2 GUNUNG Labu Putih cukup jauh letaknya.

Dengan mengerahkan ilmu lari warisan gurunya yang bernama "Di atas angin membonceng awan" tiga hari kemudian, di satu siang mendung sampailah pemuda Ngak Ngik Ngok di gunung Labu Putih.

Kira-kira setengah lie menjelang puncak gu-nung, Ngak Ngik Ngok melihat ribuan buah labu putih berhamparan menutupi tanah pegunungan. Buah labu ini aneh sekali. Selain warnanya yang putih, bentuk-nya hampir menyerupai payudara wanita. Ngak Ngik Ngok tak habis pikir. Dari mana datangnya labu aneh begini banyak, siapa yang menanam dan memeliha-ranya?

Tepat di puncak gunung terlihat satu pondok kayu. Kira-kira berada dua tombak dari hadapan ban-gunan ini. tiba-tiba pintu pondok terbuka dan keluar-lah sesosok tubuh yang membuat Ngak Ngik Ngok ter-perangah kaget campur heran.

Di hadapan Ngak Ngik Ngok saat itu berdiri seorang perempuan super ultra gemuk bermuka bo-

Page 90: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

peng. Pakaiannya hanya sehelai celana bikini dan ku-tang sangat besar tapi masih tidak sanggup mem-bungkus buah dadanya yang dua kali lebih besar. Rambutnya disanggul tinggi ke atas, ditancapi sumpit hitam. Pada pinggang kirinya terselip sepasang pe-dang. Sepasang kakinya mengenakan sepatu bot ber-hak tinggi warna hitam selutut.

Dua mata Ngik Ngok memandang tak berkesip, terutama pada payudara yang menggelembung luar bi-asa besarnya itu.

"Tak pernah kuduga," membatin Ngik Ngok. "Musuh besar pembunuh guruku yang berjuluk Pen-dekar Bop ini ternyata adalah seorang perempuan!"

Pendekar Bop yang bernama asli Tong Bo Long sunggingkan senyum sinis. "Pemuda kuaci yang masih bau kencur! Akhirnya kau sampai juga di puncak gu-nung Labu Putih. Seperti yang aku ada pesan, apakah kau datang lengkap membawa nyawa serep?"

Ngak Ngik Ngok balas menyeringai. "Perempuan gembrot muka bopeng! Aku me-

mang tidak membawa nyawa cadangan. Bagaimana kalau aku pinjam dulu nyawa busukmu?!"

Mendengar ucapan si pemuda Pendekar Bop bukannya marah, malah tertawa gelak-gelak hingga dadanya yang besar kelihatan seolah berjingkrak-jingkrak.

"Tidak kusangka kadal jelek macammu pandai juga bicara! Hik...hik! Apa kau sudah siap menghadapi kematian?!"

"Perempuan bermuka simpang siur! Urusan nyawa manusia adalah Thian punya urusan. Yang je-las guruku sudah menunggu kedatanganmu di pintu akherat! Hari ini aku akan balaskan sakit hati dendam kesumat kematian guruku!"

"Kurang ajar! Berani kau mengatakan mukaku

Page 91: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

simpang siur! Memangnya wajahku sama dengan per-simpangan jalan yang macet total karena lampu lalu lintasnya mati dan polisinya sembunyikan diri?!"

Dua orang yang tidak dapat menahan kemara-han masing-masing segera berbaku hantam. Ngak Ngik Ngok mencabut senjatanya sebilah golok tipis. Sedang Pendekar Bop loloskan pedang di pinggang. Tanpa ba-nyak cerita lagi pertempuran hebat berkecamuk di puncak gunung Labu Putih itu.

Ngak Ngik Ngok berkelebat gesit. Serangannya datang bertubi-tubi. Sebaliknya Pendekar Bop yang bertubuh gemuk kelihatan lamban. Namun bagaima-napun Ngak Ngik Ngok berusaha menumbangkan la-wannya malah keadaan jadi terbalik. Entah ilmu pe-dang apa yang dimiliki perempuan gembrot itu. Yang jelas Ngak Ngik Ngok bukan saja tidak mampu menci-derai lawan malah bajunya berhasil dibikin robek ujung pedang lawan dan kulit tubuhnya tergores luka di beberapa tempat. Ngak Ngik Ngok menggigit bibir menahan amarah dan rasa sakit.

*

* *

3 "PEMUDA kuaci! Sekarang kau baru tahu rasa!

Sebentar lagi kepalamu kubikin menggelinding. Kau bakal menghadap setan akhirat dan bertemu gurumu! Hik...hik...hik!"

"Perempuan gila! Aku belum kalah!" teriak Ngak Ngik Ngok. Dia bacokkan goloknya ke arah batok kepa-la lawan. Pendekar Bop menangkis dengan pedangnya. "Trang!"

Page 92: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

Dua senjata bentrokan di udara memercikkan bunga api. Ngak Ngik Ngok tersurut dua langkah. Tan-gannya bergetar hebat dan wajahnya tampak pucat! Pendekar Bop kembali tertawa bergelak.

"Pemuda dungu! Kau boleh punya sepuluh ke-pala dua puluh tangan dua puluh golok! Tapi jangan mimpi bisa mengalahkanku! Ajalmu hanya tinggal be-berapa hitungan saja. Tapi aku tuan besarmu ini ber-sedia mengampuni selembar nyawamu jika kau mau berlutut minta ampun lalu berjanji untuk mau mencu-ci kutang serta celana dalamku dan menemaniku di atas ranjang selama tujuh puluh hari tujuh puluh ma-lam! Hik...hik! Apa jawabanmu?!"

"Perempuan mesum! Kau kira aku ini jongos mu atau kau anggap aku ini Pendekar Playboy?!" ben-tak Ngak Ngik Ngok. "Aku rela mati dari pada hidup terhina!"

"Bagus! Kalau begitu bersiaplah untuk mam-pus!" Pendekar Bop lalu kirimkan serangan gencar. Ke-tika dua senjata beradu untuk kesekian kalinya si ge-muk ini kerahkan hampir seluruh tenaga dalamnya. Golok tipis di tangan Ngak Ngik Ngok terlepas mental.

"Celaka!" keluh Ngak Ngik Ngok. Tong Bo Long alias Pendekar Bop tertawa bergelak. "Ajalmu sudah ti-ba pemuda tolol!"

"Mana mungkin! Kepalamu yang bakal pecah!" jawab Ngak Ngik Ngok. Mendadak saja dia dapat akal. "Paman guruku yang berjuluk Pendekar Pulang Pagi Pie Koen siap membokongmu dari belakang! Satu langkah saja kau berani bergerak, kepalamu akan di-pukulnya hancur! Paman guru, bunuh perempuan durjana ini!"

Pendekar Bop Tong Bo Long sesaat jadi terke-siap. Dia memang pernah mendengar nama Pie Koen sebagai pendekar cabang atas yang mendapat julukan

Page 93: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

Pendekar Pulang Pagi. Di antara para tokoh silat yang dianggap jadi dedengkot dan disegani karena ilmunya yang tinggi adalah manusia satu ini. Mau tak mau Pendekar Bop jadi terkejut juga mendengar ucapan la-wan yang mengatakan Pie Koen adalah paman gu-runya dan saat itu berada di belakangnya! Namun se-saat hati kecilnya meragu. Mungkin saja lawan hendak menipunya.

Ngak Ngik Ngok rupanya tahu apa yang ada da-lam benak si gemuk. Maka dia kembali berteriak. "Pa-man guru! Tunggu apa lagi! Hancurkan kepala iblis bopeng ini! Dia telah membunuh suhu!"

Mau tak mau Pendekar Bop palingkan kepala juga ke belakang. Dia kena tertipu! Ternyata di bela-kangnya memang tidak ada siapa-siapa!

"Setan alas! Kau berani menipuku! Jangan ha-rap kau bisa lolos dari kematian!"

Tong Bo Long tidak selesaikan ucapannya ka-rena ketika dia berpaling ke depan kembali, Ngak Ngik Ngok sudah lenyap dari tempat itu. Sadar kalau di-rinya memang sudah kena ditipu si gendut ini hanya bisa memaki panjang pendek! Setelah puas mengelua-rkan kutuk serapah, Pendekar Bop keluarkan satu ko-tak kecil yang diselipkannya di balik kutang. Ternyata kotak alat kecantikan merek Rev Long, lengkap dengan kacanya. Dengan sikap genit Pendekar Bop mulai me-rapikan dandanannya yang kacau balau berlepotan ke-ringat.

* * *

Page 94: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

4 NGAK NGIK NGOK sakit hati dan sedih bukan

main karena tidak dapat membalaskan dendam kesu-mat kematian gurunya. Dalam menuruni gunung Labu Putih dia tidak tahu lagi entah menuju kemana. Ketika pada akhirnya dia menghentikan Sari dan berjalan bi-asa didapatinya dirinya berada di sebuah desa berna-ma Spie Ing Rie Tus. Hampir keseluruhan penduduk desa ini mempunyai mata pencaharian sebagai pem-buat spiritus. Cairan ini bukan saja untuk dijual tapi juga dijadikan minuman sehari-hari oleh penduduk, pengganti arak yang mahal harganya. Konon spiritus keluaran desa Spie Ing Rie Tus ini sangat tinggi kadar alkoholnya dan merupakan merek nomor satu di dara-tan Tionggoan (daratan Tiongkok)

Ngik Ngok sampai di hadapan sebuah kedai. Le-tih dan haus membuat dia arahkan langkahnya ke ke-dai ini. Dia memesan segelas teh dan menjadi heran ketika orang kedai dan para tetamu mentertawainya.

"Kau pasti orang asing!" kata pemilik kedai. "Ketahuilah, di desa ini satu-satunya minuman yang ada hanyalah spiritus. Jangan harapkan segelas teh, apalagi susu atau arak! Kau cobalah spiritus desa Spie Ing. Rasanya lebih sedap dari arak Shantung!"

Mula-mula Ngik Ngok hendak jengkel tapi keti-ka dia memandang berkeliling dilihatnya semua tamu memang memesan dan minum spiritus yang berwarna biru berkilauan. Mau tak mau akhirnya pemuda ini anggukkan kepala. Tapi ketika pertama kali minuman itu diteguknya, dia menjerit dan terlonjak dari bangku. Mulutnya seperti disulut api. Spiritus dalam mulutnya disemburkan keluar. Mukanya merah padam. Semua orang mentertawainya. Karena kesal Ngak Ngik Ngok

Page 95: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

duduk memencilkan diri di satu sudut kedai. Duduk sendirian kembali Ngik Ngok ingat pada

musuh besarnya si Pendekar Bop. Lama dia terme-nung memikirkan bagaimana caranya menghadapi dan mengalahkan pembunuh suhunya itu. Dalam keadaan seperti itu tidak sengaja matanya melihat seekor anjing kampung sedang kencing di bawah pohon. Binatang ini tidak tahu kalau didekat pohon tersebut ada seekor kodok sedang mangkal. Begitu sekujur tubuhnya ter-kena siraman air kencing hangat dan bau, sang kodok menggelepar megap-megap lalu lari pontang-panting.

Ngak Ngik Ngok tertawa sendirian. Tiba-tiba sa-tu akal menyelinap masuk ke dalam benaknya. Mu-suhnya si Tong Bo Long alias Pendekar Bop walau memiliki gerakan lamban namun ilmu pedangnya he-bat luar biasa. Jika dia bisa mengacaukan perhatian lawan bukan mustahil dia bisa mempecundangi si ge-muk itu. Ngak Ngik Ngok terus merenung. Kemudian dia bangkit berdiri. Dia mendekati pemilik kedai. Sam-bil menyerahkan sejumlah uang dia berkata.

"Berikan aku lima buli spiritus!" (buli = sema-cam kendi tanah berbentuk botol kuno)

Tentu saja pemilik kedai dan orang-orang yang ada di situ heran semua. Tadi mereka saksikan sendiri pemuda itu menyemburkan spiritus yang dicicipinya. Dia hampir kelojotan. Kini malah memesan lima buli sekaligus!

* * *

5 SANG surya muncul di ufuk timur tepat pada

saat Ngak Ngik Ngok sampai di puncak gunung Labu

Page 96: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

Putih. Begitu sampai di hadapan pondok langsung saja dia tendang daun pintu sambil berteriak.

"Pendekar Bopeng perempuan keparat! Lekas keluar! Aku datang kembali untuk minta nyawamu!"

Saat itu si gemuk Tong Bo Long masih tertidur pulas dan mendengkur keras. Suara dengkurannya putus. Matanya terbuka dan tubuhnya yang gembrot duduk di atas ranjang. Tangannya cepat menyambar kutang ukuran raksasa, bikini antik dan sepatu bot. Tak ketinggalan kotak kecil berisi alat kecantikan. Se-telah mengenakan kutang dan bikini serta sepatunya, Pendekar Bop melompat keluar.

"Setan alas kurang ajar! Kau berani merusak pintu istanaku! Kau kembali ke sini minta mampus atau memang kangen dan ingat-ingat diriku! Hemm...Jangan-jangan kau termimpi-mimpi dan kebe-let mau tidur denganku! Hik...hik...hik!" Sambil terta-wa Pendekar Bop cepat merias wajahnya.

"Sudah mau mampus masih sempat-sempatnya dandan. Tapi tak jadi apa. Memang harus begitu su-paya setan neraka tidak pangling padamu!" kata Ngak Ngik Ngok pula.

Pendekar Bop selipkan kotak alat kecantikan-nya di balik kutang lalu tanpa banyak cerita lagi dia segera hunus pedang dan menerjang pemuda di hada-pannya. Ngak Ngik Ngok sudah pula menyiapkan golok tipisnya. Hanya kali ini tangan kirinya berbarengan mengambil satu dari lima buli-buli spiritus yang berge-lantungan di pinggangnya lalu meneguk isinya. Den-gan mulut gembung penuh spiritus dia hadapi seran-gan Pendekar Bop.

"Pemuda keparat! Kali ini jangan harap aku mau memberi hati ataupun tulang padamu!" Pedang Pendekar Bop berkiblat. Pertempuran seru berkeca-muk. Dalam tiga jurus saja Ngak Ngik Ngok sudah ter-

Page 97: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

desak. Pendekar Bop terus menggebrak sambil lontar-

kan seringai sinis. Ujung pedangnya bertabur me-nyambar ganas. Dia yakin paling lama dua jurus di-muka akan sanggup membantai si pemuda. Tiba-tiba tidak disangka-sangka mulut gembung Ngak Ngik Ngok menyembur. Cairan spiritus menderu menghantam muka bopeng Pendekar Bop.

Perempuan gemuk berdandan tebal itu tidak menyangka akan mendapat serangan begitu rupa. Un-tung saja dia berlaku waspada. Namun walaupun mu-kanya selamat, cipratan spiritus masih sempat menge-nai dadanya. Tak urung kutang besarnya menjadi ber-lubang-lubang dan payudaranya seperti ditusuk-tusuk jarum!

Menggelegaklah amarah Pendekar Bop. Didahu-lui satu pekikan keras seperti pekik penyanyi yang ke-setanan di disko "Le Go Yang" dia putar pedangnya dengan sebat hingga saat itu juga sekujur tubuh lawan terkurung sambaran senjata tajam itu.

Namun kali ini Ngak Ngik Ngok berhasil mem-babat putus salah satu tali kutang lawan. Pendekar Bop terpekik. Dia cepat pergunakan tangan kiri untuk menunjang dan menutupi dadanya yang melorot turun ke bawah seperti kelapa menggelantung. Namun na-sibnya rupanya sudah sampai pada saat menentukan. Sambaran berikutnya memutus tali kutang yang satu lagi!

"Jahanam keparat! Kau berani menghinaku! Aku bersumpah membunuhmu saat ini juga!"

Pedang di tangan Pendekar Bop berkiblat ga-nas. Tapi semburan spiritus dari mulut lawan mem-buat gerakannya tertahan.

"Lihat celana!" Ngak Ngik Ngok berseru. Lalu goloknya menyambar ke bawah. Tali celana bikini Pen-

Page 98: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

dekar Bop putus! Kembali si gemuk ini menjerit. Ketika dengan kalap dia coba mengejar lawan dengan pe-dangnya, Ngak Ngik Ngok babatkan lagi senjatanya dan menyembur dengan spiritus. Pendekar Bop terpe-kik. Luka besar menguak di perutnya yang gendut ber-lemak. Darah mengucur!

"Oh bikini ku! Kubeli mahal-mahal di Paris. Ro-bek... kau merobeknya....! "Pendekar Bop bukan kha-watirkan luka di perutnya tapi malah lebih mengkha-watirkan bikininya yang robek dimakan ujung golok!

"Dasar perempuan otak miring!" kata Ngak Ngik Ngok. Selagi lawan kalang kabut goloknya kembali membabat. Jeritan mengenaskan keluar berulang kali dari mulut Pendekar Bop, Tubuhnya yang gemuk ak-hirnya tergelimpang bergedabukan di depan pondok. Si gemuk ini menemui ajal dengan mata mendelik dan dua tangan memegangi bikininya.

Ngak Ngik Ngok jatuhkan diri berlutut. Terbata-bata dia berkata.

"Suhu, sakit hatimu sudah murid balaskan! Pembunuh mu telah aku habisi! Ternyata murid tidak perlu susah-susah harus pergi ke Planet Crypton atau ke Planet Senen.. Juga tidak perlu mengarungi lautan luas yang penuh dengan pukat harimau. Tidak perlu memasuki hutan belantara yang kayu-kayunya sudah pada habis di trondoli orang-orang kota. Hari ini murid sudah bunuh Pendekar Bop Tong Bo Long. Semoga arwah suhu kini bisa tenteram di alam baka!"

Ngak Ngik Ngok manggut-manggut tujuh kali lalu bangkit berdiri dan tinggalkan puncak gunung La-bu Putih. Sejak itu dia lebih dikenal dengan julukan Pendekar Spiritus.

Page 99: TDS...ikat kepala sutera hitam yang bertempelkan sebuah batu permata hitam memancarkan warna pelangi. Ikat kepala itu lalu diberikannya pada Pendekar 212 seraya berkata. "Terimalah

T A M A T

E-Book by Abu Keisel