tc henny
TRANSCRIPT
BAB I
REKAM MEDIK
I.1 IDENTITAS
Nama : Ny. S
Umur : 42 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Alamat : Ds. Kayu Ara, Sekayu
Pekerjaan : Swasta
MRS : 27 Oktober 2007
I.2 ANAMNESIS
Keluhan Utama:
Penurunan kesadaran setelah kecelakaan lalu lintas
Riwayat Perjalanan Penyakit:
± 1 hari SMRS, penderita yang sedang berjalan kaki ditabrak oleh motor dari
arah belakang. Penderita terjatuh dengan kepala bagian dahi samping kanan
membentur aspal, kehilangan kesadaran (-), muntah (+), perdarahan THT (-).
I.3 PEMERIKSAAN FISIK
Survey Primer
A: Baik
B: RR = 20x/menit
C: TD = 130/90 mmHg
N = 80x/menit
D: GCS (E3M6V4) = 13, pupil isokor, refleks cahaya +/+
1
Survey Sekunder
Regio Temporal Dextra
Inspeksi : tampak hematoma ukuran 3 cm
Regio Orbitalis Superior Dextra
Inspeksi : tampak hematoma ukuran 5 cm
Regio Zygomatica Dextra
Inspeksi : tampak hematoma ukuran 5 cm
I.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Radiologi
Ro Cranium AP/Lateral : fraktur (-)
Pemeriksaan Darah Rutin
Hemoglobin : 12,3 g/dl (P: 12-16 g/dl)
Hematokrit : 38 vol% (P: 37-43 vol%)
Leukosit : 7.700/mm3 (5.000-10.000/ mm3)
Laju Endap Darah : 60 mm/jam (P: <15 mm/jam)
Trombosit : 281.000/mm3 (200.000-500.000/ mm3)
Hitung Jenis : 0/4/1/78/15/2
2
Pemeriksaan Kimia Klinik
BSS : 237 mg/dl
Ureum : 33 mg/dl (15-39 mg/dl)
Creatinin : 1,0 mg/dl (P: 0,6-1,0 mg/dl)
Protein total : 6,7 g/dl (P: 6,0-7,8 g/dl)
Albumin : 3,6 g/dl (3,5-5,0 g/dl)
Globulin : 3,1 g/dl
Na : 142 mmol/l (135-155 mmol/l)
K : 3,4 mmol/l (3,5-5,5 mmol/l)
I.5 DIAGNOSIS KERJA
Trauma Kapitis sedang tertutup GCS 13
I.6 PENATALAKSANAAN
o O2 sungkup 10 L/menit
o IVFD RL
o Antibiotik
o Analgetika
o ATS
I.7 PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 PENDAHULUAN
Cedera kepala merupakan salah satu kasus yang paling sering dijumpai di
ruang gawat darurat rumah sakit.1 Cedera kepala adalah suatu cedera yang terjadi
pada daerah kepala yang dapat mengenai kulit kepala, tulang tengkorak, atau otak.2
Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai
500.000 kasus, dari jumlah tersebut, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah
sakit, 80% dari penderita yang sampai di rumah sakit dikelompokkan sebagai cedera
kepala ringan, 10% cedera kepala sedang, dan 10% sisanya adalah cedera kepala
berat.3 Lebih dari 100.000 penderita setiap tahunnya menderita berbagai tingkat
kecacatan akibat cedera kepala.3 Penyebab tersering cedera kepala adalah akibat
kecelakaan lalu lintas, jatuh, kecelakaan kerja, atau ketika sedang berolahraga.2
II.2 ANATOMI KEPALA
Otak dilindungi oleh:3,4,5
1. Kulit kepala (SCALP)
Kulit kepala terdiri atas 5 lapisan, 3 lapisan pertama saling melekat dan
bergerak sebagai satu unit. Kulit kepala terdiri dari:
Skin atau kulit, tebal, berambut dan mengandung banyak kelenjar
sebacea.
Connective tissue atau jaringan penyambung, merupakan jaringan
lemak fibrosa yang menghubungkan kulit dengan aponeurosis dari m.
occipitofrontalis di bawahnya. Banyak mengandung pembuluh darah
besar terutama dari lima arteri utama yaitu cabang supratrokhlear dan
supraorbital dari arteri oftalmik di sebelah depan, dan tiga cabang dari
karotid eksternal-temporal superfisial, aurikuler posterior, dan
4
oksipital disebelah posterior dan lateral. Pembuluh darah ini melekat
erat dengan septa fibrosa jaringan subkutis sehingga sukar
berkontraksi atau mengkerut. Apabila pembuluh ini robek, maka
pembuluh ini sukar mengadakan vasokonstriksi dan dapat
menyebabkan kehilangan darah yang bermakna pada penderita laserasi
kulit kepala.
Aponeurosis atau galea aponeurotika, merupakan suatu jaringan
fibrosa, padat, dapat digerakkan dengan bebas, yang membantu
menyerap kekuatan trauma eksternal, menghubungkan otot frontalis
dan otot occipitalis.
Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar,
menghubungkan aponeurosis galea dengan periosteum cranium
(pericranium). Mengandung beberapa arteri kecil dan beberapa v.
emmisaria yang menghubungkan v.diploica tulang tengkorak dan
sinus venosus intracranial. Pembuluh-pembuluh ini dapat membawa
infeksi dari kulit kepala sampai jauh ke dalam tengkorak, sehingga
pembersihan dan debridement kulit kepala harus dilakukan secara
seksama bila galea terkoyak.
Pericranium merupakan periosteum yang menutupi permukaan luar
tulang tengkorak.
2. Tulang tengkorak
Tulang tengkorak terdiri dari calvarium (kubah) dan basis cranii (bagian
terbawah). Pada kalvaria di regio temporal tipis, tetapi di daerah ini
dilapisi oleh otot temporalis. Basis cranii terbentuk tidak rata sehingga
dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi
dan deselarasi.
Pada orang dewasa, tulang tengkorak merupakan ruangan keras yang tidak
memungkinkan perluasan isi intracranial. Tulang tengkorak sebenarnya
terdiri dari dua dinding atau tabula yang dipisahkan oleh tulang berongga.
5
Dinding luar disebut tabula eksterna, dan dinding bagian dalam disebut
tabula interna. Tabula interna mengandung alur-alur yang berisi arteria
meningea anterior, media dan posterior.
Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu fosa anterior yang
merupakan tempat lobus frontalis, fosa media yang merupakan tempat
lobus temporalis, fosa posterior yang merupakan tempat bagian bawah
batang otak dan cerebellum.
3. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu:
Duramater adalah selaput keras yang terdiri atas jaringan ikat fibrosa
yang melekat erat pada pada permukaan dalam kranium. Karena tidak
melekat pada selaput arakhnoid di bawahnya, maka terdapat suatu
ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara durameter dan
arakhnoid yang kaya akan pembuluh vena, sehingga apabila terjadi
robekan pada dura, terjadi perdarahan yang akan menumpuk pada
ruangan ini yang dikenal sebagai perdarahan subdural.
Selaput arakhnoid adalah membran fibrosa halus, tipis, elastis, dan
tembus pandang. Di bawah lapisan ini terdapat ruang yang dikenal
sebagai subarakhnoid, yang merupakan tempat sirkulasi cairan LCS.
Piamater adalah membran halus yang melekat erat pada permukaan
korteks cerebri, memiliki sangat banyak pembuluh darah halus, dan
merupakan satu-satunya lapisan meningeal yang masuk ke dalam
semua sulkus dan membungkus semua girus.
II.3 PATOLOGI DAN PATOFISIOLOGI TRAUMA KAPITIS
Cedera otak dapat terjadi akibat benturan langsung atau tidak langsung pada
kepala. Benturan dapat dibedakan dari macam kekuatannya, yaitu kompresi,
akselerasi, dan deselerasi (perlambatan). Sulit dipastikan kekuatan mana yang paling
6
berperan. Dari tempat benturan, gelombang kejut disebarkan ke semua arah.
Gelombang ini mengubah tekanan jaringan, dan bila tekanan cukup besar, akan
terjadi kerusakan jaringan otak di tempat benturan (coup) atau di tempat yang
bersebrangan dengan datangnya benturan (contracoup).6
Berdasarkan patofisiologinya, ada dua macam cedera otak, yaitu cedera otak
primer dan cedera otak sekunder. Cedera otak primer adalah cedera yang terjadi
sebagai akibat langsung trauma, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Sedangkan
cedera otak sekunder merupakan hasil dari proses yang berkelanjutan (on going
process) sesudah atau berkaitan dengan cedera primer dan lebih merupakan fenomena
metabolik.6 Proses berkelanjutan tersebut sebenarnya merupakan proses alamiah.
Tetapi, bila ada faktor-faktor lain yang mempengaruhi dan tidak ada upaya untuk
mencegah atau menghentikan proses tersebut maka cedera akan terus berkembang
dan berakhir pada kematian jaringan yang cukup luas.6 Pada tingkat organ, ini akan
berakhir dengan kematian/kegagalan organ.6
II.4 DIAGNOSIS
II.4.1 Anamnesis1
Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan, adanya riwayat
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan.
Pada orang tua dengan kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari tangga,
jatuh di kamar mandi atau sehabis bangun tidur, harus dipikirkan kemungkinan
gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga kadang-kadang tak
mengetahui pasti urutan kejadiannya : jatuh kemudian tidak sadar atau kehilangan
kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh.
Anamnesis yang lebih terperinci meliputi:
1. Sifat kecelakaan
2. Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit
3. Ada tidaknya benturan kepala langsung
4. Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat diperiksa
7
Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwanya sejak
sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui
kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya
tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang/turun
kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung/disorientasi (kesadaran berubah).
II.4.2 Indikasi Perawatan1
Pasien sebaiknya dirawat di rumah sakit bila tedapat gejala atau tanda sebagai
berikut:
1. Perubahan kesadaran saat diperiksa
2. Fraktur tulang tengkorak
3. Terdapat defisit neurologik
4. Kesulitan menilai kesadaran pasien, misalnya pada anak, riwayat minum alkohol,
pasien tidak kooperatif
5. Adanya faktor sosial seperti:
a. Kurangnya pengawasan orang tua/keluarga bila dipulangkan
b. Kurangnya pendidikan orang tua/keluarga
c. Sulitnya transportasi ke rumah sakit
Pasien yang diperbolehkan pulang harus dipesan agar kembali ke rumah sakit
bila timbul gejala sebagai berikut:
1. Mengantuk, sulit dibangunkan
2. Disorientasi, kacau
3. Nyeri kepala yang hebat, muntah, demam
4. Rasa lemah, kelumpuhan, penglihatan kabur
5. Kejang, pingsan
6. Keluar darah/cairan dari hidung, telinga
II.5 KLASIFIKASI TRAUMA KAPITIS3,5
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis,
dikenal tiga jenis klasifikasi yaitu berdasar: mekanisme, beratnya, serta morfologi.
8
Klasifikasi Cedera Kepala
Mekanisme (berdasarkan adanya penetrasi durameter)
Tumpul (tertutup)
Tembus (penetrans)
Kecepatan tinggi (tabrakan mobil) Kecepatan rendah (dipukul, jatuh) Luka tembak Cedera tembus lain
Beratnya (berdasarkan skor GCS)
Ringan (mild head injury) Sedang (moderate head injury) Berat (severe head injury)
GCS 14-15 GCS 9-13 GCS 3-8
Morfologi Fraktur tengkorak: Kalvaria
Dasar tengkorak (basilar)
Garis (linier) vs bintang (stelata) Depresi/non depresi Terbuka/tertutup Dengan/tanpa kebocoran LCS Dengan/tanpa paresis N.VII
Lesi intrakranial Fokal
Difus
Epidural Subdural Intraserebral Konkusi ringan Konkusi multipel Hipoksia/iskemik
Glasgow Coma Scale (GCS)
Parameter NilaiRespon buka mata (eye opening, E) Spontan: membuka mata spontan Terhadap rangsang suara: membuka mata bila dipanggil atau diperintahkan Terhadap rangsang nyeri: membuka mata bila ada tekanan pada jari di atas bantalan kuku
proksimal Tidak ada: mata tidak membuka terhadap rangsang apapun
432
1Respon motorik (M) Ikut perintah: misal, “angkat tangan”; “tunjukkan dua jari” Melokalisasi nyeri: tidak mematuhi perintah tetapi berusaha menunjukkan lokasi nyeri dan
mencoba menghilangkan rangsang nyeri tersebut Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang): lengan fleksi bila diberi rangsang nyeri
tetapi tidak ada usaha yang jelas untuk menghilangkan rangsang nyeri Fleksi abnormal terhadap nyeri (dekortikasi): lengan fleksi di siku dan pronasi, tangan
mengepal Ekstensi abnormal terhadap nyeri (deserebrasi): ekstensi lengan di siku, lengan biasanya
adduksi dan bahu berotasi ke dalam Tidak ada (flasid): tidak ada respon terhadap nyeri
65
4
3
2
1Respon verbal (V) Berorientasi baik: dapat bercakap-cakap, mengetahui siapa dirinya, di mana berada, bulan,
dan tahun Berbicara mengacau (bingung): dapat bercakap-cakap tetapi ada disorientasi Kata-kata tidak teratur: percakapan tidak dapat bertahan, susunan kata kacau atau tidak tepat Suara tidak jelas: mengeluarkan suara (misal, merintih), tetapi tidak ada kata-kata yang dapat
dikenal
5
43
2
9
Tidak ada: tidak mengeluarkan suara apapun walaupun diberi rangsang nyeri 1
II.6 PENATALAKSANAAN TRAUMA KAPITIS
II.6.1 Pemeriksaan fisik
Hal terpenting yang pertama kali dinilai pada cedera kepala adalah status
fungsi vital dan status kesadaran.1 Ini harus dilakukan sesegera mungkin bahkan
mendahului anamnesis.1
1. Status fungsi vital1,3,5
Seperti halnya dengan kasus kedaruratan lainnya, hal terpenting yang dinilai ialah:
a. Jalan nafas (airway)
Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam
keadaan adekuat. Jika terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas yang
umumnya sering terjadi pada penderita yang tidak sadar yang dapat terjadi
karena adanya benda asing, lendir atau darah, jatuhnya pangkal lidah, atau
akibat fraktur tulang wajah, maka jalan nafas harus segera dibersihkan. Usaha
untuk membebaskan jalan napas harus hati-hati, bila ada riwayat/dugaan
trauma sevikal harus melindungi vertebra servikalis (cervical spine control),
yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari
leher.
b. Pernafasan (breathing)
Dilakukan ventilasi dengan oksigen 100% sampai diperoleh hasil analisis gas
darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2. Tindakan
hiperventilasi dilakukan pada penderita cedera kepala berat yang menunjukkan
perburukan neurologis akut (GCS menurun secara progresif atau terjadi dilatasi
pupil). PCO2 harus dipertahankan antara 25-35mmHg.
c. Nadi dan tekanan darah ((circulation)
Pemantauan fungsi sirkulasi dilakukan untuk menduga adanya shock, terutama
bila terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax, trauma
abdomen, fraktur ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai
10
dengan melambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal peninggian
tekanan intrakranial, yang biasanya dalam fase akut disebabkan oleh hematoma
epidural. Adanya hipotensi merupakan petunjuk bahwa telah terjadi kehilangan
darah yang cukup berat, walaupun tidak selalu tampak jelas. Hipotensi
memiliki efek berbahaya bagi pasien cedera kepala karena membahayakan
tekanan perfusi otak dan berperan dalam timbulnya edema dan iskemia otak.
2. Status Kesadaran1,3
Cara penilaian status kesadaran dengan melakukan pemeriksaan GCS dan
fungsi pupil (lateralisasi dan refleks pupil).
Cedera Kepala Ringan 3
Definisi: Penderita sadar dan berorientasi (GCS 14-15).
Pengelolaan:
1. Riwayat:
Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan, mekanisme cedera, waktu cedera,
tidak sadar segera setelah cedera, amnesia (retrograde, antegrade), nyeri kepala
(ringan, sedang, berat)
2. Pemeriksaan umum untuk menyingkirkan cedera sistemik
3. Pemeriksaan neurologis terbatas
4. Radiografi tengkorak
5. Radiografi servikal dan lain-lain atas indikasi
6. Kadar alkohol darah serta urin untuk skrining toksik
7. Pemeriksaan CT scan idealnya dilakukan bila didapatkan tujuh pertama dari
kriteria rawat.
Kriteria Rawat:
1. Amnesia post traumatika jelas (lebih dari 1 jam)
2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit)
3. Penurunan tingkat kesadaran
4. Nyeri kepala sedang hingga berat
11
5. Intoksikasi alkohol atau obat
6. Fraktura tengkorak
7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea
8. Cedera penyerta yang jelas
9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan
10. CT scan abnormal
Dipulangkan dari UGD:
1. Tidak memenuhi kriteria rawat
2. Beritahukan untuk kembali ke rumah sakit bila timbul masalah dan jelaskan
tentang 'lembar observasi
3. Jadwalkan untuk kontrol ulang dalam 1 minggu
Cedera Kepala Sedang 3
Definisi : Penderita biasanya tampak kebingungan (konfusi) atau mengantuk
(somnolen) namun tetap mampu untuk mengikuti perintah sederhana
(GCS 9-13).
Pengelolaan:
1. Sama dengan untuk cedera kepala ringan ditambah pemeriksaan darah sederhana.
2. CT scan kepala pada semua kasus
3. Dirawat untuk observasi
Setelah dirawat:
1. Pemeriksaan neurologis periodik (setiap setengah jam).
2. CT scan ulangan hari ketiga atau lebih awal bila ada perburukan neurologis atau
penderita akan pulang.
3. Pengamatan TIK dan pengukuran lain seperti untuk cedera kepala berat .
Bila kondisi membaik (90%):
1. Pulang bila memungkinkan
2. Kontrol di poliklinik biasanya pada 2 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan bila perlu 1
tahun setelah cedera.
12
Bila kondisi memburuk (10%):
Bila penderita tidak mampu melakukan perintah lagi, segera lakukan pemeriksaan CT
scan ulangan dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat.
Walau pasien ini masih mampu menuruti perintah sederhana, mereka dapat
memburuk secara cepat. Karenanya harus ditindak hampir seperti halnya terhadap
pasien cedera kepala berat, walau mungkin dengan kewaspadaan yang tidak begitu
akut terhadap urgensi.
Saat masuk UGD, lakukan anamnesis singkat dan stabilisasi kardiopulmonal
sebelum pemeriksaan neurologis. Tes darah termasuk pemeriksaan rutin, profil
koagulasi, kadar alkohol dan contoh untuk bank darah. Film tulang belakang leher
diambil, CT scan umumnya diindikasikan. Pasien dirawat untuk pengamatan bahkan
bila CT scan normal.
Cedera Kepala Berat 3
Definisi: Penderita tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena
gangguan kesadaran (GCS 3-8).
Pengelolaan:
1. ABCDE
2. Primary survey dan resusitasi
3. Secondary survey dan riwayat AMPLE
4. Reevaluasi neurologis: GCS
Kemampuan membuka mata
Respons motor
Respons verbal
Reaksi cahaya pupil
5. Obat-obat Terapeutik:
Mannitol
Hiperventilasi sedang (PCO2<35 mmHg)
Antikonvulsan
13
6. Tes Diagnostik (sesuai urutan)
CT scan
Ventrikulografi udara
Angiogram
II.6.2 Pemeriksaan tambahan1
Peranan foto rontgen cranium banyak diperdebatkan manfaatnya, meskipun
beberapa rumah sakit melakukannya secara rutin. Selain indikasi medik, foto rontgen
cranium dapat dilakukan atas dasar indikasi legal/hukum.
Foto rontgen cranium biasa (AP dan lateral) umumnya dilakukan pada
keadaan:
Defisit neurologis fokal
Liquorrhoe
Dugaan trauma tembus/fraktur impresi
Hematoma luas di daerah kepala
Perdarahan intracranial dapat dideteksi melalui pemeriksaan CT-scan
kepala, di mana prosedurnya sedehana, tidak invasif, dan hasilnya lebih akurat. CT-
scan kepala dapat dilakukan pada keadaan:
o Dugaan perdarahan intracranial
o Perburukan kesadaran
o Dugaan fraktur basis cranii
o Kejang
II.7 TERAPI MEDIKAMENTOSA
II.7.1 Cairan Intravena
Cairan intravena diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap
dalam keadaan normovolemia, jangan beri cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang
14
mengandung glukosa dapat menyebabkan hipeglikemia yang berakibat buruk pada
otak yang cedera. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam
fisiologis atau ringer laktat. Kadar natrium serum juga harus dipertahankan untuk
mencegah terjadinya edema otak.3
II.7.2 Hiperventilasi
Hiperventilasi dilakukan dengan menurunkan PCO2 yang akan menyebabkan
vasokonstriksi pembuluh darah otak. Hiperventilasi yang berlangsung terlalu lama
dan agresif dapat menyebabkan iskemia otak, karena adanya vasokonstriksi serebri
yang berat sehingga menimbulkan gangguan perfusi otak.3 Selain itu, hiperventilasi
dapat membantu menekan metabolisme anaerob, sehingga dapat mengurangi
kemungkinan terjadinya asidosis.1 Oleh karena itu, hiperventilasi sebaiknya dilakukan
secara selektif dan hanya dalam waktu tertentu.3 Umumnya, PCO2 dipertahankan
pada 35mmHg atau lebih.3
II.7.3 Manitol
Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat.3 Manitol bekerja
dengan cara "menarik" air dari ruang intersel ke dalam ruang intravaskular untuk
kemudian dikeluarkan melalui diuresis.1 Indikasi penggunaan manitol adalah
deteriorasi neurologis yang akut seperti terjadi dilatasi pupil, hemiparesis, atau
kehilangan kesadaran saat pasien dalam observasi.3 Sediaan yang tersedia biasanya
berupa cairan dengan konsentrasi 20%, dosis yang biasanya digunakan adalah 1
gram/kgBB yang diberikan secara bolus intravena.3 Dosis tinggi manitol tidak boleh
diberikan pada penderita yang hipotensi karena manitol adalah diuretik osmotik yang
poten dan akan memperberat hipovolemia.3
II.7.4 Furosemid (Lasix®)
15
Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK.3 Dosis yang biasa
diberikan adalah 0,3-0,5 mg/kgBB secara bolus intravena.3 Furosemid tidak boleh
diberikan pada penderita dengan hipotensi karena akan memperberat hipovolemia.3
II.7.5 Barbiturat
Barbiturat bermanfaat untuk untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap
obat-obatan lain.3 Barbiturat bekerja dengan cara “membius" pasien sehingga
metabolisme otak dapat ditekan serendah mungkin, akibatnya kebutuhan oksigen juga
akan menurun; karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari
kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen berkurang.1
Hipotensi sering terjadi pada penggunaan barbiturat.3 Oleh karena itu, obat ini tidak
diindikasikan pada fase akut resusitasi.3
II.7.6 Antikonvulsan
Terdapat 3 faktor yang berkaitan dengan insiden epilepsi pasca trauma, yaitu
kejang awal yang terjadi pada minggu pertama, perdarahan intracranial, atau fraktur
depresif. Penelitan menunjukkan, pemberian antikonvulsan bermanfaat mengurangi
kejang dalam minggu pertama setelah cedera namun tidak setelah itu. Untuk
mengatasi kejang yang terus menerus mungkin memerlukan anestesi umum. Kejang
harus dihentikan dengan segera karena kejang yang berlangsung lama (30-60 menit)
dapat menyebabkan cedera otak sekunder.3
BAB III
ANALISIS KASUS
Seorang wanita usia 42 tahun, alamat di Ds. Kayu Ara, Sekayu masuk rumah
sakit dengan keluhan utama penurunan kesadaran setelah kecelakaan lalu lintas. Dari
16
anamnesis lebih lanjut didapatkan bahwa ± 1 hari SMRS, penderita yang sedang
berjalan kaki ditabrak oleh motor dari arah belakang. Akibatnya, penderita terjatuh
dengan kepala bagian dahi samping kanan membentur aspal. Penderita mengalami
muntah (+), kehilangan kesadaran (-), perdarahan THT (-).
Gambaran klinis dari riwayat perjalanan penyakit penderita di atas memberi
gambaran bahwa kepala penderita mengalami benturan dari arah lateral kanan
terhadap aspal. Benturan terjadi secara tiba-tiba menyebabkan suatu trauma langsung
pada kepala. Trauma yang dialami secara tiba-tiba pada kepala tersebut
mengakibatkan penekanan yang sangat kuat sehingga menimbulkan muntah yang
merupakan efek dari peningkatan tekanan intrakranial.
Pada pemeriksaan fisik survey primer didapatkan airway baik, breathing dan
circulation dalam batas normal. Penilaian airway dalam keadaan baik didasarkan
pada tidak terdapat tanda obstruksi jalan nafas dimana pasien dapat berbicara dengan
lancar. Tanda-tanda objektif untuk menilai jalan nafas yaitu pada look, dimana
penderita tidak gelisah yang menunjukkan kesan bahwa pasien tidak mengalami
hipoksia, tidak mengalami sianosis pada daerah kuku dan sekitar mulut, dan tidak
bernafas menggunakan otot nafas tambahan / gerak dada paradoks. Sedangkan pada
listen tidak ditemukan suara berkumur (gurgling) yang menunjukkan adanya lendir,
muntahan, darah, dan lain-lain di dalam mulut), tidak ditemukan snoring (suara
mendegkur – menunjukkan adanya sumbatan jalan nafas atas dimana lidah jatuh ke
posterior pharynx), crowing atau stridor (bersiul – menunjukkan adanya sumbatan di
saluran nafas bawah terutama pada bronkus akibat adanya benda asing), hoarness
(suara parau – menunjukkan sumbatan pada laring yang biasa terjadi akibat edema
laring). Pada airway juga diperhatikan stabilitas tulang leher dan segera dilakukan
pemberian oksigen dengan sungkup muka atau kantung nafas. Pada penilaian
Breathing dilakukan pemeriksaan berupa look yaitu tidak ditemukan tanda-tanda
seperti sianosis, luka tembus dada, fail chest, gerakan otot nafas tambahan, pada feel
tidak terlihat pergeseran letak trakea, patah tulang iga, emfiema kulit, dan dengan
perkusi tidak ditemukan hemotoraks dan atau pneumotoraks, sedangkan pada listen
17
tidak didapatkan suara nafas tambahan, suara nafas menurun, dan dinilai frekuensi
pernapasan yang berada dalam batas normal (RR normal pada orang dewasa: 16-20
kali/menit). Pada Circulation dinilai tekanan darah dan frekuensi nadi yang dalam
batas normal. Setelah ABC dalam keadaan stabil, maka dilakukan penilaian
Disability berupa penilaian menurut Glasgow Coma Scale (GCS) didapatkan nilai
Eye = 3, nilai Motorik = 6, dan nilai Verbal = 4 sehingga jumlanya 13, pemeriksaan
fungsi pupil meliputi simetrisitas dan reaksi pupil terhadap cahaya untuk menilai
masih utuhnya fungsi otak tengah dan N.III, didapatkan pupil isokor dan refleks
cahaya +/+, berarti fungsi pupil penderita masih baik.
Pada survey sekunder, ditemukan hematoma ukuran 3 cm di regio temporal
dextra yang terjadi akibat adanya benturan langsung kepala bagian samping kanan ke
aspal. Selain itu, ditemukan pula hematoma ukuran 5 cm di regio orbitalis superior
dextra yang terjadi akibat dahi bagian kanan penderita membentur aspal, dan
hematoma ukuran 5 cm di regio zygomatica dextra.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan antara lain Ro cranium AP/lateral
dimana tidak ditemukan tanda fraktur. Pada pemeriksaan darah rutin, didapatkan hasil
dalam batas normal kecuali nilai LED 60 mm/jam.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang kasus ini
dapat didiagnosis dengan Trauma Kapitis sedang tertutup GCS 13.
Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien ini adalah, pertama dengan
memberikan O2 sungkup untuk memenuhi kebutuhan oksigen dalam darah menuju ke
otak sehingga mencegah hipoksia pada otak. Pemberian IVFD ditujukan untuk
membuka jalur intravena, sehingga dapat dengan mudah memasukkan obat melalui
parenteral. Analgetika diberikan untuk mengurangi nyeri yang timbul akibat
benturan. Pemberian antibiotik dan ATS dilakukan untuk mengatasi infeksi terutama
karena adanya hematom pada regio temporal dextra, regio orbitalis superior dextra,
dan regio zygomatica dextra.
Prognosis penderita ini adalah Quo ad vitam dan Quo ad functionam dubia ad
bonam. Quo ad vitam penderita ini dubia ad bonam, artinya jika penderita ini tidak
18
mendapat penanganan yang tepat dan cepat maka keadaan penderita dapat semakin
memburuk yang akan meningkatkan kemungkinan mortalitasnya akibat cedera otak
sekunder, tetapi sebaliknya jika penderita mendapat tindakan life saving yang cepat
dan tepat maka kemungkinan mortalitasnya dapat ditekan. Sedangkan Quo ad
functionam penderita ini adalah dubia ad bonam, artinya jika penderita ini tidak
mendapat penanganan dini cepat maka kemungkinan pemulihan fungsi akan
menurun akibat sequele pasca trauma kepala, sedangkan jika penanganannya cepat
maka sequele pasca trauma kepala dapat ditekan seminimal mungkin.
DAFTAR PUSTAKA
1. Riyanto, Budi. Penatalaksanaan Fase Akut Cedera Kepala. Available from http://www.kalbe.co.id/files/cdk
19
2. Medline Plus. Head Injury. Available from http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000028.htm
3. American College Surgeon. Advanced Trauma Life Support Edisi Ketujuh. United States of America, 2004. p: 167-185.
4. Snell, S Richard. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran Bagian 3. EGC. Jakarta: p: 45-46.
5. Sylvia, A Price dan Wilson M Lorraine. Patofisiologi Konsep Klinis dan Proses Penyakit. EGC. Jakarta. 2006. p: 1167-1174.
6. De Jong, Wim. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta. 2004. p: 819-821.
20