tawadhu' (rendah hati)

12
1 MATERI KAJIAN KHUSUS TIAP SENIN BAKDA MAGHRIB AKHLAQ QUR’ANI MASJID BETENG BINANGUN KADIPATEN WETAN YOGYAKARTA Tawadhu' (Sifat Terpuji Yang Harus Dimiliki Setiap Muslim) Pernahkah kita merenungkan kembali terhadap serangkaian peristiwa penting yang bisa menjadi ‘ibrah (pelajaran) bagi diri kita? Misalnya: “apa yang telah diperbuat oleh Allah subhânahu wa ta’âla terhadap Iblis la’anahullâh? Dan apa yang diperbuat Allah kepada Fir’aun dan tentara-tentaranya yang pongahdengan kekuasaannya? Atau, kepada Qarun dengan semua kroni dan hartanya yang melimpah? Dan kepada seluruh penentang para Rasul Allah? Mereka semua dibinasakan Allah oleh subhanâhu wa ta’âla karena tidak memiliki sikap tawadhu’, dan sebaliknya justeru menyombongkan dirinya kepada siapa pun yang dianggap rendah. Ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam kitab Madârij as-Sâlikîn (II/333) berkata: “Barangsiapa yang ‘angkuhuntuk tunduk kepada kebenaran walaupun datang dari anak kecil atau orang yang dimarahinya atau yang dimusuhinya, maka kesombongan orang tersebut esensi (hanyalah) kesombongan kepada Allah. Karena Allah adalah Al-Haq, ucapan-Nya haq, agama-Nya haq. Yang Benar (al-Haq) itu datangnya hanya dari Allah dan kepada-Nya akan kembali. Barangsiapa menyombongkan diri untuk tidak menerima kebenaran’ yang datang dari Allah, berarti diamenolak segala yang datang dari Allah dan menyombongkan diri di hadapan-Nya. Dan, ‘pasti’ Allah akan membalasnya dengan ‘azab’ yang pedih. Sudah seharusnya setiap manusia mengedepankan sikap tawadhu’. Tawadhu’ (rendah hati) adalah sifat yang terpuji, lawannya adalah takabbur (sombong). Tawadhumerupakan sifat yang terpuji yang harus dimiliki oleh setiap muslim. Orang yang memiliki sifat ini, akan dicintai oleh teman- temannya, keluarga, dan masyarakatnya. Nabi kita Muhammad shalllallâhu ‘alaihi wa sallam misalnya -- adalah orang yang sangat tawadhu’, sehingga ia sangat dicintai oleh para sahabat dan masyarakatnya. Imam asy-Syafi’i rahimahullâh berkata; “Sikap tawadhu’ adalah akhlak orang-orang yang mulia, sedangkan takabbur adalah ciri dari orang-orang yang tercela”. Iblis adalah contoh kongkret dari sosok yang memiliki sifat takabbur. Dengan sombongnya ia mengaku di hadapan Allah subhânahu wa ta’âlâ, bahwa

Upload: muhsin-hariyanto

Post on 29-Jul-2015

80 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tawadhu' (rendah hati)

1

MATERI KAJIAN KHUSUS TIAP SENIN BAKDA MAGHRIB

AKHLAQ QUR’ANI MASJID BETENG BINANGUN KADIPATEN WETAN YOGYAKARTA

Tawadhu'

(Sifat Terpuji Yang Harus Dimiliki Setiap Muslim)

Pernahkah kita merenungkan kembali terhadap serangkaian peristiwa

penting yang bisa menjadi ‘ibrah (pelajaran) bagi diri kita? Misalnya: “apa yang telah diperbuat oleh Allah subhânahu wa ta’âla terhadap Iblis la’anahullâh? Dan

apa yang diperbuat Allah kepada Fir’aun dan tentara-tentaranya yang ‘pongah’ dengan kekuasaannya? Atau, kepada Qarun dengan semua kroni dan hartanya

yang melimpah? Dan kepada seluruh penentang para Rasul Allah? Mereka semua dibinasakan Allah oleh subhanâhu wa ta’âla karena tidak memiliki sikap

tawadhu’, dan sebaliknya justeru menyombongkan dirinya kepada siapa pun

yang dianggap rendah.

Ibnul Qayyim al-Jauziyah dalam kitab Madârij as-Sâlikîn (II/333)

berkata: “Barangsiapa yang ‘angkuh’ untuk tunduk kepada kebenaran walaupun datang dari anak kecil atau orang yang dimarahinya atau yang dimusuhinya, maka kesombongan orang tersebut esensi (hanyalah) kesombongan kepada

Allah. Karena Allah adalah Al-Haq, ucapan-Nya haq, agama-Nya haq. Yang

Benar (al-Haq) itu datangnya hanya dari Allah dan kepada-Nya akan kembali.

Barangsiapa menyombongkan diri untuk tidak menerima ‘kebenaran’ yang datang dari Allah, berarti ‘dia’ menolak segala yang datang dari Allah dan

menyombongkan diri di hadapan-Nya. Dan, ‘pasti’ Allah akan membalasnya dengan ‘azab’ yang pedih.

Sudah seharusnya setiap manusia mengedepankan sikap tawadhu’.

Tawadhu’ (rendah hati) adalah sifat yang terpuji, lawannya adalah takabbur

(sombong). Tawadhu’ merupakan sifat yang terpuji yang harus dimiliki oleh

setiap muslim. Orang yang memiliki sifat ini, akan dicintai oleh teman-temannya, keluarga, dan masyarakatnya. Nabi kita Muhammad shalllallâhu

‘alaihi wa sallam – misalnya -- adalah orang yang sangat tawadhu’, sehingga ia

sangat dicintai oleh para sahabat dan masyarakatnya. Imam asy-Syafi’i rahimahullâh berkata; “Sikap tawadhu’ adalah akhlak orang-orang yang mulia,

sedangkan takabbur adalah ciri dari orang-orang yang tercela”.

Iblis adalah contoh kongkret dari sosok yang memiliki sifat takabbur.

Dengan sombongnya ia mengaku di hadapan Allah subhânahu wa ta’âlâ, bahwa

Page 2: Tawadhu' (rendah hati)

2

dia adalah lebih baik dari Adam ‘alaihis salâm. Ia mengatakan bahwa ‘api’ lebih

baik daripada ‘tanah’. Dengan demikian, ia menganggap dirinya yang

diciptakan dari bahan dasar ‘api’ lebih mulia daripada Adam, yang diciptakan dari bahan dasar ‘tanah’; dan akhirnya merendahkan Adam. Sikap Iblis inilah

yang akhirnya mengundang kemarahan Allah subhânahu wa ta’âlâ, dan akhirnya

Allah pun mengusir Iblis dari Surga.

Sungguh. Allah tidak mencintai dan sangat membenci sifat takabbur ini.

Orang yang bersikap takabbur, mata hatinya akan dikunci oleh Allah subhânahu

wa ta’âlâ.“ Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan

sewenang-wenang”

ين جون الذ آي اتفيج ادل يباللذ ان غ لط مسج ت اهج أ بج قتاك عند م ين و عند اللذ الذ

نجوا آم ذ ك طب عجلك جي اللذ ع

ق لبكج بت ك بذار مج ج

“(yaitu) orang-orang yang memerdebatkan ayat-ayat Allah tanpa alasan yang sampai kepada mereka1. Amat besar kemurkaan (bagi mereka) di sisi Allah dan di sisi orang-orang yang beriman. Demikianlah Allah mengunci mati hati orang yang sombong dan sewenang-wenang.”2

Sepanjang sejarah al-Qur’an banyak merekam manusia-manusia yang

memiliki sikap sombong ini. Fir’aun adalah sosok yang sangat sombong. Ia pernah memerintahkan teknokrat pribadinya Hamman untuk membuat sebuah

bangunan yang tinggi agar ia sampai ke pintu-pintu langit dan dapat melihat Tuhan Musa,

ق ال ونجو انجي افرع ام حالابنه ص ل بلجغجلذع أ سب اب

﴾٦٣﴿ال سب اب

أ

او ات م لع السذ طذ ف أ ـ إل هإل وس مج إن نهجو ظج

ذبال ك ذ ك و ين لك ون زج وءجلفرع سج

له م دذع نو صج بيلع ا السذ م يدجو ون ك فرع فإلذ ﴾٦٣﴿ت ب اب

“Dan berkatalah Fir'aun: "Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang Tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat

1Maksudnya, mereka menolak ayat-ayat Allah tanpa alasan yang datang kepada

mereka. 2QS al-Mu’min/40: 35.

Page 3: Tawadhu' (rendah hati)

3

melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta". Demikianlah dijadikan Fir'aun memandang baik perbuatan yang buruk itu, dan Dia dihalangi dari jalan (yang benar); dan tipu daya Fir'aun itu tidak lain hanyalah membawa kerugian.”3

Selain itu, kesombongan Fir’aun yang sangat besar dan luar biasa adalah ketika ia mengaku sebagai “tuhan yang paling tinggi”,

ال ق ن اف مجأ بكج ر ع

ال

“(seraya) berkata:"Akulah Tuhanmu yang paling tinggi."4

Akhirnya, Fir’aun menerima balasan dari kesombongannya sendiri. Ia

ditenggelamkan oleh Allah beserta pasukannya di Laut Merah. Pengakuannya sebagai “tuhan yang paling tinggi” akhirnya pupus. Ternyata (pengakuan)

kesombongannya sebagai “tuhan”, tidak mampu menyelamatkan dirinya dari azab Tuhan (Allah) Yang Maha Kuasa. Untuk memertahankan posisinya sebagai “tuhan” ia ternyata harus menghimpun dan membayar para tukang sihir

dan bala tentaranya untuk melindunginya, yang pada akhirnya harus kandas ketika harus melawan kekuasaan Allah.

Bercermin pada kegagalan orang-orang yang bersikap takabbur, ketika

kita tidak ingin gagal seperti mereka, sudah saatnya kita berbenah diri untuk menjadi orang yang bersikap tawadhu’.

Allah berfirman sehubungan dengan tempat persinggahan tawadhu'

(rendah hati) ini, ـ و عب ادج ين نالرذح ون الذ مشج ي رضع وناال إذ اه مجو ب هج اط جواال اهلجون خ ق ال

ما ل س

"Dan hamba-hamba Tuhan Yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang baik."5

Artinya, dengan tenang, berwibawa, rendah hati, tidak jahat, tidak congkak dan sombong. Menurut Al-Hasan, mereka adalah orang-orang yang

3QS al-Mu’min/40: 36-37. 4QS an-Nâzi’ât/79: 24. 5QS al-Furqân/25: 63.

Page 4: Tawadhu' (rendah hati)

4

berilmu dan bersikap lemah lembut. Menurut Muhammad bin al-Hanafiah, mereka adalah orang-orang yang berwibawa, menjaga kehormatan diri dan

tidak berlaku bodoh. Kalaupun mereka dianggap bodoh, maka mereka tetap bersikap lemah lembut.

Jika dikatakan al-Haun, artinya ialah: “lemah lembut”. Sedangkan jika

dikatakan al-Hûn, artinya adalah: “hina”. Yang pertama merupakan sifat orang

yang beriman, dan yang kedua merupakan sifat orang kafir.

Allah befirman,

اي ا يه ين أ نجواالذ نآم مي رت دذم نمنكج دينهع وف تف س

جي أ وم اللذ مبق بهج يج

بون هج يج ذلذة و أ ؤمني ع ة المج عزذ

أ فرين ع ون الك بيلفيج اهدج س اللذ ل و

ة ي افجون ئم ل وم ل

ذ لك ف ضلج نيجؤتيهاللذ اءجم ج ي ش اسع و اللذ ليم و ع

"Hai orang-orang yang beriman, barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai

mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-

Nya), lagi Maha Mengetahui."6

Firman Allah, ”Adzillah ‘alal mu’minîn”, merupakan kerendahan hati

yang menunjukkan sikap lemah lembut terhadap orang-orang Mukmin, dan bukan berarti merendahkan diri yang menjadikan pelakunya menjadi hina. Tapi

ini merupakan sifat lemah lembut yang membuat pelakunya penurut. Sebab

orang Mukmin itu penurut seperti yang disebutkan dalam hadits, "setiap mukmin itu seperti onta yang penurut, sedangkan setiap orang munafik dan

fasik itu hina." Empat hal yang menempel pada diri orang yang hina: “pendusta, pengadu domba, bakhil dan semena-mena”.

Sikap mukmin terhadap mukmin lainnya seperti sikap ayah yang selai

bisa menunjukkan kasih-sayang kepada anaknya. Sedangkan dalam menghadapi orang kafir seperti binatang buas yang selalu siap menerkam ketika menghadapi mangsanya.

6QS al-Mâidah/5: 54.

Page 5: Tawadhu' (rendah hati)

5

Dalam Shahîh Muslim disebutkan dari hadits Iyadh bin Himar

Radhiyallâhu ‘Anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam

bersabda,

"Sesungguhnya Allah telah mewahyukan kepadaku, agar kalian rendah hati, hingga seseorang tidak membanggakan diri terhadap yang lain dan seseorang tidak berbuat aniaya terhadap yang lain."7

Di dalam Shahîh Muslim juga disebutkan dari Ibnu Mas'ud Radhiyallâhu

‘Anhu, dia berkata, "Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam bersabda,

"Tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya ada kesombongan meskipun seberat dzarrah."8

Rasulullah Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam senantiasa menunjukkan sikap

tawadhu' kepada siapa pun. Jika beliau melewati sekumpulan anak-anak kecil,

maka beliau mengucapkan salam kepada mereka. Ada seorang budak wanita yang menggelendeng tangan beliau menuju tempat yang dikehendakinya. Jika

beliau makan, maka beliau menjilat jari-jari tangannya tiga kali. Jika berada di rumah, maka beliau mengerjakan tugas-tugas keluarganya. Beliau biasa menjahit sandalnya, menambal pakaian, memerah susu untuk keluarganya,

memberi makan onta, makan bersama para pelayan, duduk bersama orang-orang miskin, berjalan bersama para janda dan anak-anak yatim, memenuhi

keperluan mereka, selalu mengucapkan salam terlebih dahulu kepada mereka, memenuhi undangan siapa pun yang mengundangnya, sekalipun untuk

keperluan yang sangat ringan dan reman. Akhlak beliau lembut, tabiat beliau mulia, pergaulan beliau baik, wajah senantiasa berseri, mudah tersenyum, rendah hati namun tidak menghinakan diri, dermawan tapi tidak boros, hatinya

mudah tersentuh dan menyayangi setiap orang Muslim dan siap melindungi mereka.

Al-Fudahil bin Iyadh pernah ditanya tentang makna tawadhu'. Maka

dia menjawab, "artinya tunduk kepada kebenaran dan patuh kepadanya serta mau menerima kebenaran itu dari siapa pun yang mengucapkannya."

7HR Muslim dari Qatadah, Shahîh Muslim, VIII/160, hadits no. 7389. 8HR Muslim dari Abdullah bin Mas’ud, Shahîh Muslim, I/65, hadits no. 275.

Page 6: Tawadhu' (rendah hati)

6

Ada yang berpendapat, tawadhu' artinya tidak melihat diri sendiri

memiliki nilai. Siapa yang melihat dirinya memiliki nilai berarti tidak memiliki

tawadhu'.

Menurut Ibnu Atha', tawadhu' artinya mau menerima kebenaran dari

siapa pun. Kemuliaan ada dalam tawadhu'. Maka siapa yang mencarinya dalam

kesombongan, berarti dia seperti mencari air dari kobaran api.

Urwah bin Az-Zubair Radhiyallâhu ‘Anhumâ berkata, "Aku pernah

melihat Umar bin al-Khaththab memanggul segeriba air. Maka kukatakan

kepadanya, "Wahai Amirul-Mukminin, tidak sepantasnya engkau melakukan hal ini." Umar pun menyahut, "Ketika ada beberapa orang utusan yang datang kepadaku dalam keadaan tunduk dan patuh, maka ada sedikit kesombongan

yang merasuk ke dalam diriku. Namun aku dapat mengenyahkannya."

Abu Hurairah pernah diangkat sebagai gubernur. Suatu hari ketika dia sedang memanggul kayu bakar, maka orang-orang berkata, "Beri jalan bagi

gubernur kita." Umar bin Abdul Aziz mendengar kabar bahwa seorang anaknya

membeli sebuah cincin seharga seribu dirham. Maka Umar pun menulis surat kepadanya, yang isinya, "Aku mendengar engkau telah membeli cincin seharga

seribu dirham. Jika suratku ini sudah engkau baca, maka juallah cincin itu dan belilah makanan dan berikan kepada seribu orang. Lalu belilah cincin lain dari

besi seharga dua dirham. Tulislah di dalam cincin itu kalimat ini: Allah merahmati seseorang yang tahu nilai dirinya."

Dosa pertama yang menjadi kedurhakaan terhadap Allah adalah dua macam: Takabbur dan ambisi9. Takabbur merupakan dosa Iblis yang terlaknat.

9Keinginan yang besar untuk menjadi, memproleh atau mencapai sesuatu

yang diinginkan. Ambisi, pada dasarnya penting dimiliki oelh setiap orang. Karena ambisilah yang menggerakkkan seseorang untuk mencapai tujuan-tujuan berkarir. Tanpa ambisi, seseorang seolah-olah tidak melakukan apa pun. Napoleon Hills, penulis buku Think and Grow Rich, mengatakan bahwa kurangnya ambisi adalah satu faktor utama yang menyebabkan kegagalan. Jalan mencapai tujuan tersendat-sendat karena Anda tidak memiliki motivasi. Karena terlalu lamban, Anda pun menemui kegagalan. Biasanya, orang yang berambisi akan berusaha membuat hasil pekerjaannya sesuai standar tertentu, bukan asal jadi, asal cepat, atau asal memenuhi tenggat. Namun, Anda perlu memiliki batasan dalam mengejar ambisi, yakni dengan memertimbangkan lingkungan, nilai-nilai moral dan norma-norma di sekitar, etika, serta kondisi Anda sendiri. Hati-hati, sebab tidak sedikit orang yang untuk mewujudkan ambisi, jadi terobsesi. Alhasil, ambisinya berlebihan dan tak jarang ‘menghalalkan’ segala cara untuk

Page 7: Tawadhu' (rendah hati)

7

Sedangkan dosa bapak kita, Adam, adalah ambisi dan syahwat. Kesudahannya adalah taubat dan hidayah, sedangkan dosa Iblis mendorongnya untuk mencari

alasan dengan takdir. Dosa Adam menjadikannya mengakui dosa tersebut lalu memohon ampunan. Orang yang memiliki sikap takabbur dan beralasan kepada

takdir akan bersama pemimpin mereka masuk ke dalam neraka, yaitu Iblis. Sedangkan yang memiliki syahwat meminta ampun dan bertaubat serta

mengakui dosanya, yang tidak akan beralasan dengan takdir. Mereka bersama

bapak mereka, Adam di dalam surga.

Ibnu Taimiyah berpendapat, bahwa "takabbur lebih jahat daripada

syirik. Sebab orang yang takabbur merasa dirinya hebat untuk beribadah kepada

Allah. Sedangkan orang musyrik masih mau beribadah kepada Allah dan kepada selain-Nya." Saya katakan, "Maka tidak heran jika Allah menjadikan

neraka sebagai tempat tinggal orang-orang yang takabbur, sebagaimana firman-

Nya,

لجوا ف ادخج بو اب نذم أ ه ين ج ال اخ فيه ثو ىف ل بئس ين م ب

ت ك المج

"Maka masukilah pintu-pintu neraka jahannam, kalian kekal di dalamnya. Maka amat

buruklah tempat orang-orang yang menyombongkan diri itu." (QS an-Nahl/16: 29).

Rasulullah Shallallâhu Alaihi wa Sallam bersabda10,

"Takabbur itu penolakan terhadap kebenaran dan penghinaan terhadap manusia."

Al-Harawi, penulis kitab Manâzil as-Sâ'irîn, mengatakan, "yang

dimaksudkan tawadhu' ialah jika hamba tunduk kepada kekuasaan Allah."

Dengan kata lain, menerima kekuasaan Allah dengan penuh ketundukan dan kepatuhan serta masuk ke dalam penghambaan kepada-Nya, menjadikan Allah sebagai penguasanya, seperti kedudukan raja yang berkuasa terhadap budak-

budaknya. Dengan cara inilah seorang hamba bisa memiliki akhlak tawadhu'.

Karena itu Nabi Shallallâhu Alaihi wa Sallam menafsiri takabbur sebagai

kebalikan dari tawadhu', dengan bersabda, "Takabbur itu penolakan terhadap

kebenaran dan penghinaan terhadap manusia".

Menurutnya, tawadhu' ada tiga derajat, yaitu:

mencapai ambisinya. (http://www.femina.co.id/isu.wanita/karier/ambisi.itu.perlu/005 /001/ 49)

10HR Muslim dari Abdullah bin Mas’ud, Shahîh Muslim, I/65, hadits 275.

Page 8: Tawadhu' (rendah hati)

8

1. Tawadhu' kepada agama, yaitu tidak menentangnya dengan pemikiran

dan penukilan, tidak menuduh dalil agama dan tidak berpikir untuk

menyangkal.

Tawadhu' kepada agama artinya tunduk kepada apa yang dibawa

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam dan pasrah kepadanya. Hal ini bisa

dilakukan dengan tiga cara:

a. Tidak menentang sedikit pun darinya dengan empat macam penentangan yang biasa dilakukan di dunia ini, yaitu dengan akal, qiyas, perasaan dan penyiasatan. Yang pertama milik para teolog

yang menentang nash wahyu dengan akal mereka yang rusak. Mereka

berkata, "Jika akal dan nash yang saling bertentangan, maka kami

mengutamakan akal dan kami abaikan nash." Yang kedua milik

orang-orang yang menyimpang dari kalangan ahli fiqih. Mereka

berkata, "Jika qiyas bertentangan dengan pendapat dan nash, maka

kami mengutamakan qiyas daripada nash dan kami tidak akan

berpaling kepada nash." Yang ketiga milik orang-orang yang

menyimpang dari kalangan sufi dan zuhud. Jika perasaan

bertentangan dengan nash, maka mereka mengutamakan perasaan

dan tidak peduli terhadap perintah nash. Yang keempat milik para

penguasa dan pemimpin yang sombong. Jika syariat dan kepentingan politik saling bertentangan, maka mereka mengutamakan kepentingan politik dan tidak mempedulikan hukum syariat. Empat

orang ini adalah orang-orang yang takabbur. Sedangkan yang

tawadhu' ialah yang bisa membebas-kan diri dari perkara-perkara ini.

b. Tidak menuduh satu dalil pun dari dalil-dalil agama, dengan menganggapnya sebagai dalil yang tidak tepat, tidak relevan, kurang

atau terbatas. Jika seseorang berpikir seperti ini, maka hendaklah dia

mencurigai pemahamannya sendiri. Dan memang inilah yang

seringkali terjadi, bahwa tidaklah seseorang menuduh suatu dalil melainkan pemahamannyalah yang tidak tepat. Jika engkau melihat suatu dalil yang terasa rumit untuk dipahami, maka itu menunjukkan

keagungannya dan di bawahnya tersimpan gudang ilmu, yang kuncinya mungkin tidak ada pada dirimu.

c. Tidak berpikir untuk menyangkal nash, entah di dalam batinnya,

entah dengan perkataan maupun perbuatannya. Jika dia merasa

hendak menyangkal nash, maka dia harus menempatkan dirinya

seperti orang yang menyangkal perbuatan zina, mencuri, minum

khamr dan lain sebagainya. Penyangkalan ini merupakan masalah yang amat besar di sisi Allah dan dapat menyeret kepada kemunafikan. Tidak ada yang bisa menyelamatkan dari hal ini

Page 9: Tawadhu' (rendah hati)

9

kecuali mengetahui bahwa keselamatan hanya ada dalam bashirah

dan istiqamah, setelah ada keyakinan, bahwa keterangan tentang

kebenaran ada di belakang hujjah.

2. Meridhai orang Muslim sebagai saudara sesama hamba seperti yang diridhai Allah bagi dirinya, tidak menolak kebenaran sekalipun dating

dari musuh dan menerima maaf dari orang yang meminta maaf.

Jika Allah sudah meridhai saudaramu sesama Muslim sebagai hamba, maka apakah kamu tidak meridhai dirinya sebagai saudaramu? Jika engkau tidak meridhainya sebagai saudaramu, padahal dia sudah

diridhai Tuanmu sebagai hamba seperti dirimu, berarti itu adalah takabbur.

Lalu takabbur macam apakah yang lebih buruk dari takabburnya hamba

terhadap hamba seperti dirinya, yang tidak mau bersaudara dengannya, padahal tuannya sudah ridha keberadaannya sebagai hamba?

Derajat tawadhu' juga tidak dianggap sah sehingga seorang hamba mau

menerima kebenaran dari orang yang disukainya maupun dari orang

yang dibencinya. Bahkan dia harus mau menerimanya dari musuh seperti dia menerimanya dari pelindungnya. Lalu jika ada yang berbuat

jahat kepadamu, yang datang kepadamu untuk meminta maaf, maka tawadhu' mengharuskanmu menerima maafnya, tak peduli apakah

permintaan maafnya itu benar-benar datang dari hatinya atau hanya sekedar pura-pura. Tentang apa yang disimpan di dalam hatinya, maka harus diserahkan kepada Allah, seperti yang dilakukan Rasulullah

Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam terhadap orang-orang munafik yang

melarikan diri dari medan peperangan.

Ketika bertemu lagi dengan beliau, mereka meminta maaf. Maka beliau

menerima permintaan maaf tersebut, sedangkan apa yang tersimpan di dalam hati mereka diserahkan kepada Allah.

3. Tunduk kepada Allah, melepaskan pendapat dan kebiasaanmu dalam

mengabdi, tidak melihat hakmu dalam mu'amalah. Yang disebut

tawadhu' ialah pengabdianmu kepada Allah, beribadah kepada-Nya

seperti yang diperintahkan-Nya kepadamu dan bukan menurut

pendapatmu sendiri. Yang membangkitkanmu untuk beribadah juga bukan kebiasaanmu, seperti kebiasaan yang membangkitkan orang yang

tidak memiliki bashîrah. Andaikan yang membiasakannya sesuatu

kebalikannya, tentu itulah yang akan menjadi kebiasaannya.

Page 10: Tawadhu' (rendah hati)

10

Seorang hamba juga tidak boleh beranggapan bahwa dia memunyai hak

atas Allah karena amalnya. Apa yang harus dilakukannya adalah beribadah, memerlukan-Nya dan tunduk kepada-Nya. Selagi dia

menganggap memunyai hak atas Allah, maka mu'amalahnya menjadi ru-sak dan cacat, yang dikhawatirkan bisa mendatangkan murka-Nya. Tapi

bukan berarti hal ini menajikan hak Allah untuk memberikan balasan dan pahala kepada orang yang beribadah kepada-Nya. Itu semata

merupakan hak Allah untuk memuliakan dan berbuat baik kepada

hamba, bukan merupakan hak hamba yang bisa diminta dari Allah, lalu mereka bisa membuat ketentuan terhadap Allah karena amal mereka.

Jadi engkau harus bisa membedakan masalah ini secara seksama. Dalam

hal ini manusia bisa dibedakan menjadi tiga golongan: a. Golongan yang mengatakan bahwa hamba terlalu lemah untuk

memiliki hak atas Allah, sehingga Allah sama sekali tidak memunyai keharusan untuk memenuhi hak hamba dan berbuat baik kepada-nya.

b. Golongan yang melihat bahwa Allah memunyai kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhinya terhadap hamba, sehingga mereka

beranggapan bahwa hamba bisa menetapkan keharusan terhadap Allah dengan amalnya. Dua golongan ini sama-sama menyimpang.

c. Golongan yang benar, yang mengatakan bahwa dengan amal dan

usahanya hamba tidak berhak mendapatkan keselamatan dan keberuntungan dari Allah, amalnya tidak menjamin dirinya bisa

masuk surga dan menyelamatkannya dari neraka, kecuali jika dia mendapat karunia dan rahmat-Nya. Namun begitu Allah juga

menguatkan rahmat dan kemurahan-Nya yang diberikan kepada hamba dengan ikatan janji, dan janji Allah berarti wajib, sekalipun

menggunakan kata "Agar, semoga, mudah-mudahan".

Pengertian lebih jauh, hamba yang tidak melihat adanya hak atas Allah

bukan berarti dia harus menajikan apa yang diwajibkan Allah kepada dirinya dan menajikan apa yang telah dijadikan-Nya sebagai hak bagi hamba. Nabi

Shallallâhu ‘Alaihi wa Sallam pernah bertanya kepada Mu'adz bin Jabal,

Page 11: Tawadhu' (rendah hati)

11

"Ketika saya membonceng Nabi shallallâhu 'alaihi wasallam dan tidak ada yang

menengahi keduanya melainkan hanya kursi kecil diatas pelana. Beliau bersabda, "Wahai Muadz bin Jabal!" Jawabku, "Ya wahai Rasulullah! saya penuhi pangilan anda", kemudian berjalan sesaat lalu bertanya, "Wahai Muadz bin Jabal!" jawabku, "Ya, wahai Rasulullah saya penuhi panggilan anda", kemudian beliau berjalan sesaat

dan bertanya, "Wahai Mua'dz bin Jabal." Jawabku, "Ya wahai Rasulullah! saya penuhi pangilan anda", beliau bersabda: "Apakah engkau tahu apa hak Allah atas para hamba?" Jawabku, "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu." Beliau bersabda: "Hak Allah atas para hamba-Nya adalah agar mereka beribadah kepada-Nya semata dan

tidak menyekutukan-Nya dengan suatu apapun", Kemudian beliau berjalan sesaat dan berseru, "Wahai Mu'adz bin Jabal." Jawabku; "Ya wahai Rasulullah, saya penuhi panggilan anda." Beliau bersabda: "Apakah engkau tahu hak hamba atas Allah, jika mereka melakukan itu?" Jawabku; "Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu", beliau bersabda: "Hak para hamba atas Allah adalah Dia tidak akan menyiksa mereka."11

"Saya berada di boncengan Rasulullah di atas keledai yang dinamakan Ufair." Beliau

lalu bersabda: "Wahai Mu'adz apakah kamu mengetahui apa hak Allah atas hamba dan

11 HR al-Bukhari dari Mu’adz bin Jabal, Shahîh al-Bukhâriy, VIII/74, hadits no.

6267.

Page 12: Tawadhu' (rendah hati)

12

hak hamba atas Allah.' Mu'adz berkata, 'Aku lalu menjawab, 'Allah dan Rasul-Nya

lebih mengetahui.' Beliau bersabda: "Sesungguhnya hak Allah atas hamba adalah kalian

menyembah Allah dan tidak mensyirikkan-Nya dengan sesuatu apa pun, dan hak hamba

atas Allah adalah agar tidak disiksa orang yang tidak mensyirikkan-Nya dengan sesuatu

apa pun.' Mu'adz berkata, 'Saya lalu berkata, 'Wahai Rasulullah, tidakkah boleh aku

memberitakannya kepada manusia?' Beliau menjawab: 'Jangan kamu

memberitahukannya kepada mereka sehingga mereka bersandar kepadanya'."12

Setelah memahami kajian tentang sikap tawadhu’, saya temukan tiga

indikator yang menandai seseorang yang yang bersikap tawadhu’ :

Pertama, seorang yang bersikap tawadhu’ akan selalu memiliki kesediaan

untuk selalu memandang rendah dirinya sendiri, dalam makna bukan

menganggap hina dirinya, namun merasa dirinya bukanlah orang yang sempurna, memiliki kekurangan, dan banyak melakukan kesalahan. Sehingga,

dengan semua itu dirinya tidak akan menganggap remeh, menganggap lebih baik, dan lebih mulia daripada orang lain.

Kedua, seorang yang bersikap tawadhu’ akan selalu memiliki kesediaan

untuk menghargai orang lain.

Ketiga, seorang yang bersikap tawadhu’ akan selalu memiliki kesediaan

untuk menerima kebenaran dan nasihat dari orang lain.

Akhirnya, menjadi apa dan siapa pun diri kita, di mana pun dan kapan

pun, kita harus bertanya kepada diri kita sendiri: “sudah siapkah kita

menjadi muslim-sejati, yang selalu siap untuk bersikap tawadhu’ dan

mengucapkan selamat tinggal pada kesombongan?“

. Ibda‘ bi nafsik!

12HR Muslim dari Mu’adz bin Jabal, Shahîh Muslim, I/43, 153.