tantangan pnbp perikanan hal. 1 mewujudkan zero …
TRANSCRIPT
Vol 01, Ed 3, Maret 2021
TANTANGAN PNBP PERIKANAN
Hal. 1
MEWUJUDKAN ZERO ODOL (OVER DIMENSION OVER LOAD) 2023
Hal. 3
WACANA HOLDING PANAS BUMI
Hal. 5
PERKEMBANGAN PEMANFAATAN EBT: CAPAIAN, MASALAH, DAN ALTERNATIF KEBIJAKAN
Hal. 7
Penanggung Jawab
Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E., M.Si.
Pemimpin Redaksi
Rastri Paramita, S.E., M.M.
Redaktur
Robby Alexander Sirait, S.E., M.E.
Dahiri, S.Si., M.Sc.
Adhi Prasetyo Satriyo Wibowo, S.M.
Rosalina Tineke Kusumawardhani, S.E.
Editor
Deasy Dwi Ramiayu, S.E.
Sekretariat
Husnul Latifah, S.Sos.
Memed Sobari
Musbiyatun
Hilda Piska Randini, S.I.P.
Budget Issue Brief Industri dan Pembangunan ini diterbitkan oleh Pusat Kajian Anggaran, Badan
Keahlian DPR RI. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan di terbitan ini sepenuhnya
tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan resmi Badan Keahlian DPR RI.
Artikel 1 Tantangan PNBP Perikanan ....................................................................................................... 1
Artikel 2 Mewujudkan Zero ODOL (Over Dimension Over Load) 2023 .......................................... 3
Artikel 3 Wacana Holding Panas Bumi ..................................................................................................... 5
Artikel 4 Perkembangan Pemanfaatan EBT: Capaian, Masalah, dan Alternatif Kebijakan .. 7
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
1 Industri dan Pembangunan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 3, Maret 2021
Salah satu dari tiga program Kementerian Kelautan dan
Perikanan (KKP) untuk meningkatkan pembangunan perikanan
dan kelautan Indonesia untuk tahun 2021-2024 adalah program
peningkatan pendapatan negara bukan pajak (PNBP) dari sub
sektor perikanan tangkap dengan target sebesar Rp12 triliun.
Target itu jauh lebih tinggi ketimbang realisasi tahun 2020 yang
sebesar Rp 600,4 miliar. Di sisi lain, realisasi tahun 2020 saja
merupakan yang tertinggi selama 5 tahun terakhir.
Gambar 1. PNBP SDA Perikanan 2016-2020
Sumber: LKPP
Jika berkaca pada tren realisasi 2016-2020 yang rata-rata
hanya mencapai Rp403 miliar per tahun dan dengan pertumbuhan
rata-rata 14,58 persen per tahun, target Rp12 triliun yang setara
hampir 1.898,67 persen dari realisasi 2020 terlihat sangat sulit
untuk diwujudkan. Namun, jika dilihat dari perbandingan antara
besarnya nilai ekonomi di sektor perikanan tangkap dengan PNBP
yang dapat dikumpulkan, target dimaksud masih sangat mungkin
diwujudkan. Nilai ekonomi yang dihasilkan per tahun dari
pemanfaatan sumber daya alam perikanan oleh kapal-kapal
penangkap bertonase 30 Gross Ton (GT) ke atas mencapai ratusan
triliun rupiah. Namun, yang masuk menjadi pendapatan negara
tidak sampai 1 persen. Melihat dari hal ini, potensi penarikan
PNBP dari skema penarikan hasil produksi seharusnya bisa
menjadi salah satu tolok ukur dalam menentukan besarnya PNBP
perikanan.
Berdasarkan data KKP, nilai produksi perikanan tangkap
tahun 2020 di kisaran Rp224 triliun. Sedangkan, 4 tahun
sebelumnya masing-masing Rp219 triliun (2019), Rp210 triliun
(2018), Rp197 triliun (2017), dan Rp122 triliun (2016).
0,00
20,00
40,00
60,00
80,00
100,00
0,0
200,0
400,0
600,0
800,0
2016 2017 2018 2019 2020
PNBP Perikanan Realisasi %
Komisi IV
TANTANGAN PNBP PERIKANAN
• KKP menargetkan PNBP SDA Perikanan dari sub sektor perikanan tangkap dengan target sebesar Rp12 triliun.
• Namun, yang masuk menjadi pendapatan negara tidak sampai 1 persen dari nilai produksi perikanan tangkap.
• Yang perlu diperhatikan pemerintah pertama, pemerintah perlu menyusun kebijakan pencegahan praktik penghindaran pajak di sektor perikanan sebagai basis meningkatkan kepatuhan WP dan optimalisasi penerimaan pajak. Kedua, melakukan penyesuaian harga patokan ikan secara periodik dengan mengikuti perkembangan harga pasar domestik dan internasional dengan merevisi Permendag Nomor 13 Tahun 2011. Ketiga, mempercepat realisasi perubahan skema pengurusan izin kapal penangkap dengan menyesuaikan jumlah produksi dari nelayan atau zonasi.
HIGHLIGHT
INDUSTRI DAN PEMBANGUNAN
PUSAT KAJIAN ANGGARAN Badan Keahlian DPR RI
Penanggung Jawab : Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E Redaktur: Robby Alexander Sirait · Rastri Paramita ·Dahiri · Adhi Prasetyo · Deasy Dwi Ramiayu · Rosalina Tineke Kusumawardhani Penulis: Rosalina Tineke K & Linia Siska Risandi
Industri dan Pembangunan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 3, Maret 2021
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
2
Gambar 2. Nilai produksi Perikanan
Tangkap (Miliar Rupiah)
Sumber: KKP
Paparan data di atas menunjukkan potensi mewujudkan target Rp12 triliun sangat mungkin diwujudkan. Namun, hal tersebut dapat direalisasikan jika pemerintah mampu menyelesaikan beberapa tantangan yang dihadapi dalam perikanan.
Pertama, hal yang turut dihitung dalam tarif pungutan PNBP SDA perikanan adalah harga patokan ikan (HPI) yang didaratkan oleh nelayan/pengusaha perikanan. HPI dalam menghitung PNBP SDA perikanan masih menggunakan Permendag Nomor 13 Tahun 2011 Tentang Penetapan HPI untuk Penghitungan Pungutan Hasil Perikanan. Jika dilihat harga eceran ikan yang dirilis oleh KKP menunjukkan kenaikan yang sangat signifikan. Misalnya, harga cakalang naik sebesar sebesar 18 persen per tahun. Sedangkan ikan tongkol, kembung dan udang putih rata-rata naik masing-masing sebesar 60 persen dan 59 persen. Sebaiknya pemerintah melakukan penyesuaian Permendag ini agar perhitungan tarif pungutan PNBP SDA perikanan sesuai dengan mekanisme harga sebagaimana yang diatur dalam PP Nomor 75 Tahun 2015 tentang Tarif PNBP SDA Perikanan.
Kedua, rendahnya kepatuhan pelaku usaha terhadap ketentuan
hukum dan perpajakan. Modus pelaku usaha untuk menghindar dari kewajiban perpajakan antara lain melaporkan jumlah dan harga kapal dengan under value, melaporkan hasil tangkapan ikan yang tidak sesuai, tidak melaporkan jenis kegiatan usaha dengan benar, dan tidak melaporkan pendapatan dengan tidak benar. Mark down dilakukan untuk tujuan menghindari kewajiban PNBP serta melaporkan hasil tangkapan lebih kecil dari yang sebenarnya (underreported). Akibatnya, penerimaan PNBP dari pelaporan ikan tersebut pun jumlahnya lebih kecil dari yang seharusnya
Ketiga, selama ini penarikan PNBP dilakukan dari pengurusan izin kapal penangkap yang prosesnya ada di Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT) KKP. Hal tersebut menimbulkan beberapa kendala mulai dari kondisi geografis yang memerlukan inovasi pelayanan serta sarana pendukung instalasi online yang kurang memadai, kedepannya pemerintah mengubah skema tersebut dengan menyesuaikan jumlah produksi dari nelayan atau zonasi.
Untuk itu hal-hal yang menjadi perhatian bagi pemerintah dalam mencapai target PNBP. Pertama, pemerintah perlu menyusun kebijakan pencegahan praktik penghindaran pajak di sektor perikanan sebagai basis meningkatkan kepatuhan WP dan optimalisasi penerimaan pajak. Kedua, melakukan penyesuaian harga patokan ikan secara periodik dengan mengikuti perkembangan harga pasar domestik dan internasional dengan merevisi Permendag Nomor 13 Tahun 2011. Ketiga, mempercepat realisasi perubahan skema pengurusan izin kapal penangkap dengan menyesuaikan jumlah produksi dari nelayan atau zonasi.
111.363
184.620 196.109219.000 224.000
0
50.000
100.000
150.000
200.000
250.000
2016 2017 2018 2019 2020
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
3 Industri dan Pembangunan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 3, Maret 2021
Kebijakan pembatasan Over Dimension Over Loading (ODOL)
merupakan regulasi pembatasan terhadap kendaraan yang
melintas yang dianggap melebihi ketentuan dimensi atau ukuran
dan muatan sesuai yang diperbolehkan, sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009, Peraturan
Pemerintah Nomor 30 Tahun 2021, dan Peraturan Menteri
Perhubungan Nomor 60 Tahun 2019. Pemberlakukan regulasi
tersebut didasarkan pada kerugian negara yang disebabkan oleh
kendaraan ODOL, yakni menyebabkan bertambahnya anggaran
pemeliharanan jalan. Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT),
Danang Parikesit, menyebutkan bahwa kendaraan ODOL
menimbulkan kerugian untuk pemeliharaan seluruh jalan secara
nasional hingga Rp43 triliun per tahun. Selain itu, dampak negatif
yang ditimbulkan juga antara lain peningkatan kecelakaan
angkutan barang, produktivitas kendaraan tak maksimal, polusi
lingkungan serta kemacetan di berbagai ruas jalan. Dampak
negatif ini pada gilirannya akan berdampak negatif pula bagi
APBN, baik dari sisi belanja maupun pendapatan negara.
Saat ini, pemerintah telah menetapkan dan menargetkan Zero
ODOL pada 2023. Sejak awal 2021, Kementerian Perhubungan
bersama lembaga terkait sudah mulai melakukan penindakan
terhadap ODOL guna mengejar target Zero ODOL 2023. Namun,
masih ada pengecualian bagi kendaraan barang untuk komoditas
semen, baja, kaca lembaran, beton ringan, serta air minum dalam
kemasan hingga maksimal 2022. Kebijakan ini tentunya akan
berdampak pada penghematan anggaran pemeliharaan jalan,
selain peningkatan keselamatan kendaraan angkutan dan
pengguna jalan lain. Di sisi lain, kebijakan ini akan berpotensi
menambah biaya logistik akibat peningkatan frekuensi angkutan
transportasi, yang pada gilirannya akan menaikkan harga
komoditas Meskipun demikian, kebijakan Zero ODOL tersebut
harus tetap dijalankan sebagai wujud implementasi amanah UU
Nomor 22 Tahun 2009 dan aturan turunannya, serta mengurangi
dampak negatif terhadap keuangan negara dan ekonomi secara
keseluruhan. Sementara dalam tiga tahun terakhir, masih
Komisi V
MEWUJUDKAN ZERO ODOL (OVER DIMENSION OVER LOAD) 2023
• Kebijakan Zero ODOL 2023 didasarkan pada kerugian negara yang disebabkan oleh kendaraan ODOL, yakni menyebabkan bertambahnya anggaran pemeliharanan jalan. Kendaraan ODOL menimbulkan kerugian untuk pemeliharaan seluruh jalan secara nasional hingga Rp43 triliun per tahun. Lebih spesifik, kerugian untuk pemeliharaan jalan tol mencapai Rp1 triliun per tahun atau setara pendapatan Badan Usaha Jalan Tol selama satu bulan.
• Untuk mewujudkan Zero Odol 2023, ada beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah agar Zero ODOL 2023 dapat terwujud. Antara lain: a) Pengawasan yang ketat & sanksi
yang tegas, serta didukung dengan penggunaan teknologi
b) Mempercepat pembangunan sistem transportasi multimoda
c) Sosialisasi terhadap pihak terkait d) Koordinasi dan sinergi antar
pihak yang terkait, dan e) Mempercepat revisi Peraturan
Menteri Perhubungan Nomor 134 Tahun 2015
HIGHLIGHT
PUSAT KAJIAN ANGGARAN Badan Keahlian DPR RI
Penanggung Jawab : Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E Redaktur: Robby Alexander Sirait · Rastri Paramita ·Dahiri · Adhi Prasetyo · Deasy Dwi Ramiayu · Rosalina Tineke Kusumawardhani Penulis: Adhi Prasetyo & Emillia Octavia
INDUSTRI DAN PEMBANGUNAN
Industri dan Pembangunan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 3, Maret 2021 4
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
ditemukan banyak pelanggaran terkait
kebijakan ODOL. Sekitar 7% truk pembawa barang di lintas Sumatera–
Jawa melanggar ketentuan ODOL pada 2017-2018, sebanyak 75% melakukan
pelanggaran di 7 jembatan timbang pada 2018, dan sebanyak 39%
kendaraan yang masuk UPPKB melanggar aturan terkait daya angkut
pada 2019. Untuk itu, ada beberapa hal yang dapat dilakukan pemerintah agar
Zero ODOL 2023 dapat terwujud. Pertama, pengawasan yang ketat
dan sanksi yang tegas, serta didukung
dengan penggunaan teknologi. Pemerintah perlu memastikan
pengawasan dan penindakan yang ketat terhadap ODOL mulai dari hulu
sampai hilir karena persoalan ODOL dimulai dari titik muat barang seperti
di pelabuhan, area industri atau di pusat logistik lainnya. Terkait sanksi,
denda terhadap pelanggaran ODOL kedepannya perlu dipertegas misalnya
dengan dimasukkan ke dalam biaya tol
seperti di China (Hang et al, 2013). Di samping itu, penggunaan teknologi
dalam pengawasan ODOL perlu diperluas contohnya Jembatan
Timbang Online yang terintegrasi dengan sistem bukti lulus uji elektronik
(Blue), penggunaan Weight in Motion Bridge atau sensor pengukuran beban
kendaraan bergerak yang dipasang di jembatan yang mulai digunakan sejak
2017. Kedua, mempercepat pembangunan
sistem transportasi multimoda.
Sebagai negara kepulauan, transportasi barang dengan menggunakan
beberapa moda sangat diperlukan di Indonesia. Namun di sisi lain, sistem
transportasi multimoda belum merata di semua daerah. Sebagian besar
daerah di Indonesia masih memiliki infrastruktur transportasi yang tidak
memadai dan kualitasnya sangat
buruk. Kesiapan kereta api dan kapal
laut sebagai sarana angkutan logistik perlu dipercepat, sehingga truk lebih
berfungsi sebagai angkutan dari titik pemberhentian angkutan logistik
tersebut (misalnya stasiun atau pelabuhan) ke tempat akhir terdekat.
Ketiga, sosialisasi terhadap pihak terkait. Untuk mewujudkan Zero ODOL
di 2023, pemerintah perlu melakukan sosialiasi berkelanjutan terhadap pihak
terkait, baik terkait dengan aturan dan mekanisme penerapan kebijakan Zero
ODOL, latar belakang dan tujuan
penerapan Zero ODOL, hingga sanksi yang dikenakan atas pelanggaran.
Keempat, koordinasi dan sinergi antar pihak yang terkait. Keberhasilan
mewujudkan Zero ODOL pada 2023 tidak dapat dilakukan oleh
Kementerian Perhubungan saja. Namun, juga sangat bergantung pada
kerjasama dan berbagi tanggungjawab dengan instansi lain. Oleh karena itu,
Kementerian Perhubungan perlu
membangun koordinasi dan sinergi yang kuat dengan instansi lain seperti
Kepolisian, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Jasa
Marga, BPJT, Pemerintah Daerah, pelaku usaha serta masyarakat.
Kelima, mempercepat revisi Peraturan Menteri Perhubungan
Nomor 134 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Penimbangan
Kendaraan Bermotor di Jalan. Revisi tersebut berkaitan dengan lokasi
penimbangan, perlunya beberapa
penyesuaian dalam hal teknis penimbangan, adanya perkembangan
teknologi dalam penimbangan, peran serta pihak ketiga (swasta) dalam
penyelenggaraan penimbangan, dan peningkatan prasarana penimbangan
kendaraan bermotor dalam penanganan ODOL.
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
5 Industri dan Pembangunan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 3, Maret 2021
Indonesia memiliki cadangan panas bumi yang besar, yakni
mencapai 23,9 Giga Watt (GW). Dengan potensi tersebut,
Indonesia harus bisa memanfaatkan panas bumi, tidak hanya
sebagai sumber energi pembangkit listrik, namun juga akan
memberikan dampak positif secara tidak langsung bagi aktivitas
perekonomian nasional, khususnya wilayah sekitar
pengembangan panas bumi. Panas bumi menjadi salah satu
sumber energi terbarukan yang diharapkan mampu mendongkrak
realisasi bauran EBT sebesar 23 persen pada tahun 2025. Selain
pemanfaatannya yang tidak bergantung kepada bahan bakar fosil,
panas bumi juga bersifat ramah lingkungan. Tetapi hingga tahun
2019, pemanfaatan energi panas bumi untuk pembangkitan listrik
baru menghasilkan kapasitas terpasang sebesar 2130,7 MW atau
sebesar 8.9 persen dari sumber daya panas bumi, yang terdapat
pada 11 Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP). Tabel 1. Sumberdaya Panas Bumi di Indonesia
Sumber : Ditjen EBTKE 2020
Masih rendahnya kapasitas terpasang tersebut, salah satunya
disebabkan oleh pengembangan energi panas bumi membutuhkan
waktu tujuh tahun hingga pembangkit listrik tersebut beroperasi.
Bahkan realitas di lapangan memerlukan waktu yang lebih lama,
yang dikarenakan beberapa tantangan baik dari sisi teknis,
ekonomi, lingkungan, dan dinamika sosial. Berkaca dari hal
tersebut, Pemerintah melalui Kementerian Badan Usaha Milik
Negara (BUMN) berencana membentuk holding BUMN Panas Bumi
atau geothermal. Tiga BUMN direncanakan akan bergabung untuk
menggarap sektor Panas Bumi, antara lain PT Pertamina
Geothermal Energy (PGE), PT PLN Gas & Geothermal dan PT Geo
Dipa Energi (Persero). Pembentukan holding ini bertujuan untuk
Komisi VI
WACANA HOLDING PANAS BUMI
• Pemerintah berencana membentuk holding BUMN Panas Bumi yang terdiri dari PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), PT PLN Gas & Geothermal dan PT Geo Dipa Energi (Persero) yang ditargetkan terbentuk pada tahun 2021.
• Holding ini diharapkan dapat mengakselerasi dan mengoptimalkan pemanfaatan energi panas bumi untuk tenaga listrik
• Terdapat beberapa tantangan baik dari sisi teknis, ekonomi, lingkungan, dan dinamika sosial seperti, pendanaan proyek panas bumi, efisiensi biaya untuk mencapai keekonomian harga listrik, serta isu sosial yang berupa penolakan masyarakat sekitar terhadap pengembangan energi panas bumi.
• Dengan adanya holding ini maka asset dan leverage akan naik, sehingga holding tidak bertumpu pada pembiayaan equity
HIGHLIGHT
INDUSTRI DAN PEMBANGUNAN
PUSAT KAJIAN ANGGARAN Badan Keahlian DPR RI
Penanggung Jawab : Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E Redaktur: Robby Alexander Sirait · Rastri Paramita ·Dahiri · Adhi Prasetyo · Deasy Dwi Ramiayu · Rosalina Tineke Kusumawardhani Penulis: Rahayuningsih
6 Industri dan Pembangunan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 3, Maret 2021
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
mengakselerasi dan mengoptimalkan
pemanfaatan energi panas bumi untuk
tenaga listrik. Selain itu holding ini juga
diharapkan dapat menyinergikan
potensi masing-masing dalam
pengembangan Pembangkit Listrik
Tenaga Panas Bumi (PLTP).
Pembentukan holding Panas Bumi ini
masih dalam pembahasan dan akan
rampung pada tahun 2021. Menurut
Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API),
penggabungan ketiga perusahaan ini
akan memudahkan rencana
pengembangan Panas Bumi serta
mengoptimalkan sumberdaya manusia
dan modal kerja untuk keberlanjutan
bisnis.
Tujuan pembentukan holding ini
dinilai positif. Namun, keberhasilan
pencapaian tujuan dari pembentukan
holding ini dapat terwujud apabila
holding yang terbentuk dan pemerintah
mampu menyelesaikan berbagai kendala
dalam pemanfaatan panas bumi yang
masih terjadi hingga saat ini. Pertama,
pendanaan proyek panas bumi.
Permasalahan untuk kegiatan eksplorasi
pada umumnya dilakukan dengan
menggunakan pembiayaan equity, yang
mengakibatkan mayoritas pengembang
panas bumi memiliki kemampuan
pendanaan yang terbatas untuk dapat
membiayai kegiatan eksplorasi
khususnya pengeboran yang
memerlukan biaya tinggi. Kedua,
efisiensi biaya untuk mencapai
keekonomian harga listrik. Besaran
risiko pengembangan proyek energi
panas bumi dapat memengaruhi biaya
pembangkitan listrik suatu proyek PLTP.
Dengan adanya kepastian pembelian
listrik oleh PLN, risiko pengembangan
proyek energi panas bumi dapat
berkurang sehingga tingkat
pengembalian proyek panas bumi
(return) masih memenuhi tingkat
keekonomian atau kelayakan suatu
proyek. Ketiga, isu sosial yang berupa
penolakan masyarakat sekitar terhadap
pengembangan energi panas bumi,
Penolakan masyarakat yang sering
terjadi dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa jenis penolakan, yang pertama,
penolakan karena isu lingkungan, yaitu
masyarakat khawatir dengan adanya
proyek panas bumi maka ketersediaan
air akan terganggu dan kekhawatiran
kerusakan lingkungan. Penolakan yang
kedua, terkait isu tanah ulayat atau tanah
leluhur, yaitu masyarakat menganggap
dengan adanya proyek panas bumi akan
mengakibatkan hilangnya kesucian
lokasi.
Dengan adanya permasalahan-
permasalahan yang telah dijabarkan
maka pembentukkan holding panas
bumi ini seharusnya dapat menjawab
atau setidaknya mampu mengurangi
kendala yang dihadapi. Untuk itu
diperlukan skema atau sistematika
holding yang baik. Pertama,
diperlukannya insentif untuk kegiatan
ekplorasi berupa subsidi pajak
eksplorasi agar dapat membantu
permasalahan pendanaan proyek panas
bumi. Selain itu, dengan adanya holding
ini maka asset dan leverage akan naik,
sehingga holding tidak bertumpu pada
pembiayaan equity. Kedua, membuat
patokan harga energi panas bumi bagi
perusahaan pengguna dan industri
pengembang berada pada posisi saling
menguntungkan. Harga panas bumi juga
seharusnya terjangkau bagi PT PLN
sebagai perusahaan pengguna energi
panas. Ketiga, diperlukannya sosialiasi
yang secara masif agar masyarakat
sekitar tidak beranggapan dengan
kehadiran proyek panas bumi akan
mengganggu budaya dan kebiasaan
masyarakat.
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
7 Industri dan Pembangunan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 3, Maret 2021
Dalam Rencana Umum Energi Nasional Energi Baru Terbarukan (RUEN EBT) 2015-2050, pemerintah menargetkan pasokan energi primer yang bersumber dari EBT sebesar 92,2 million tonnes of oil equivalent (MTOE) pada 2025 untuk mencapai bauran energi sebesar 23 persen dan 315,7 MTOE pada 2050 untuk mencapai bauran energi sebesar 31,2 persen.
Gambar 1. Hasil Pemodelan Pasokan Energi Primer EBT 2015-2050 (MTOE)
Sumber: RUEN 2015-2050
Pada 2020, realisasi kontribusi EBT dalam bauran energi primer hanya mampu terwujud sebesar 11,31 persen, masih di bawah target 2020 sebesar 13 persen. Capaian ini juga masih terpaut jauh dari target pada 2025 yang tinggal menyisakan 5 tahun lagi untuk merealisasikannya. Untuk itu, pemerintah harus mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang menghambat pengembangan EBT di 5 tahun mendatang. HAMBATAN PENGEMBANGAN EBT
Pencapaian EBT hingga 2020 yang masih jauh dari target
bauran pada 2025 tidak terlepas dari berbagai masalah yang
menghambat pengembangan pemanfaatan EBT. Pertama,
lemahnya sosialisasi sehingga melahirkan hambatan pengadaan
dan pembebasan lahan untuk pembangunan pembangkit listrik di
wilayah potensial EBT, serta isu mengenai potensi kerusakan
mesin akibat penggunaan B20/B30. Permasalahan ini muncul
karena kurang efektifnya komunikasi dan sosialisasi yang
dilakukan pemerintah.
Kedua, belum lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) yang
mengatur harga keekonomian yang wajar dan adil bagi penetapan
harga EBT. Sejak tahun lalu pemerintah sudah menyusun Perpres
harga EBT yang lebih wajar, adil, dan menarik bagi pelaku usaha
EBT. Namun, Perpres yang ditunggu oleh pelaku usaha EBT
tersebut belum kunjung diterbitkan hingga saat ini.
Ketiga, belum optimalnya investasi pengembangan EBT. Sejauh
ini, Indonesia masih belum menjadi target utama investasi energi
PUSAT KAJIAN ANGGARAN Badan Keahlian DPR RI
Penanggung Jawab : Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E Redaktur: Robby Alexander Sirait · Rastri Paramita ·Dahiri · Adhi Prasetyo · Deasy Dwi Ramiayu · Rosalina Tineke Kusumawardhani Penulis: Sekar Arum Wijayanti dan Robby Alexander Sirait
Komisi VII
PERKEMBANGAN PEMANFAATAN EBT: CAPAIAN,
MASALAH DAN ALTERNATIF KEBIJAKAN
• Pada tahun 2020 realisasi kontribusi EBT dalam bauran energi primer hanya mampu terwujud sebesar 11,31 persen, masih dibawah target 2020 sebesar 13 persen. Capaian ini juga masih terpaut jauh dari target pada 2025 yang tinggal menyisakan 5 tahun lagi untuk merealisasikannya
• Hambatan pengembangan EBT terdiri dari masih adanya hambatan atau isu sosial yang muncul, belum lahirnya Peraturan Presiden (Perpres) yang mengatur harga keekonomian yang wajar dan adil bagi penetapan harga EBT, belum optimalnya investasi di bidang pengembangan EBT, masih belum optimalnya akses pada teknologi yang mumpuni, pengembangan dan hambatan biodiesel yang masih menghadapi banyak hambatan
• Alternatif kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah yang terpenting mempercepat penerbitan Perpres penetapan tarif EBT yang menciptakan harga yang wajar, serta memberikan kepastian dan menciptakan interest terhadap pelaku usaha
HIGHLIGHT
INDUSTRI DAN PEMBANGUNAN
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
Industri dan Pembangunan Budget Issue Brief Vol 01, Ed 3, Maret 2021
8 8
www.puskajianggaran.dpr.go.id puskajianggaran @puskajianggaran
bersih bagi sejumlah investor asing. Beberapa faktor menjadi pembentuk keadaan tersebut terjadi di antaranya adalah kualitas kebijakan dan regulasi, selain penetapan harga yang masih belum adil dan wajar. Keempat, masih belum optimalnya akses pada teknologi yang mumpuni. Hal ini merupakan masalah klasik yang dihadapi oleh banyak sektor ekonomi di Indonesia, yaitu belum banyak akses pada teknologi yang efisien, sehingga berpengaruh pada biaya produksi pengelolaan EBT untuk menghasilkan listrik. Kelima, pengembangan dan pemanfataan biodiesel yang masih menghadapi banyak hambatan. Antara lain adalah sebaran Badan Usaha Bahan Bakar Nabati Biodiesel tidak merata (lebih banyak berada di Indonesia bagian barat), keterbatasan sarana dan fasilitas di Terminal Bahan Bakar Minyak, terbatasnya kapal pengangkut, masih adanya resistensi dari end user/konsumen seperti moda angkutan kapal dan pertambangan, kesiapan industri otomotif nasional dalam mengakomodir penggunaan biodiesel, harga biodiesel yang tidak kompetitif dengan minyak fosil, ketidakpastian pasokan minyak kelapa sawit kepada produsen, serta masih minimnya komunikasi publik yang dibangun oleh pemerintah. Berdasarkan berbagai hambatan di atas, ada beberapa alternatif kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah. Pertama, pemerintah harus menciptakan komunikasi dan sosialisasi yang efektif untuk setiap permasalahan yang berkembang di masyarakat. Kedua, mempercepat penerbitan Perpres penetapan tarif EBT yang menciptakan harga yang adil, wajar, serta memberikan kepastian dan menciptakan interest terhadap pelaku usaha. Namun, penetapan ini juga jangan
sampai mengorbankan kepentingan nasional. Ketiga, perlu upaya evaluasi dan perbaikan berbagai kebijakan strategis pengembangan EBT guna mendorong peningkatan investasi di sektor EBT di masa mendatang. Selain itu, pemerintah juga dapat membuka opsi pendanaan dari luar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, sebagaimana hasil kajian yang dilakukan oleh Badan Kebijakan Fiskal Kementrian Keuangan.
Keempat, untuk mengoptimalkan akses pada teknologi yang mumpuni, maka penelitian dan pengembangan (R&D) harus digalakkan, dengan tidak menutup pada opsi transfer knowledge dari luar negeri. Selain itu, industri dalam negeri perlu didorong untuk mampu memasok komponen teknologi pembangkitan listrik berbasis energi baru terbarukan sehingga dapat menurunkan nilai biaya pembangkitan listrik. Kelima, pengembangan pemanfaatan biodiesel harus sejalan dengan pemerataan badan usaha biodiesel, pengembangan infrastruktur dan sarana-prasana pendukung, menggalakkan R&D biodiesel, pengadaan kontrak pasokan minyak kelapa sawit dari produsen, hingga mengefektifkan komunikasi dan sosialisasi yang lebih baik dari pemerintah.
Selain kelima hal di atas, pemerintah juga dapat mempercepat peningkatan kapasitas unit-unit pembangkit listrik EBT, mempercepat penciptaan pasar EBT melalui konversi pembangkit listrik energi fosil existing menjadi Pembangkit Listrik Tenaga Nabati berbasis Crude Palm Oil, Pembangkit Listrik Tenaga Surya, Pembangkit Listrik Tenaga Air, Pembangkit Listrik Tenaga Sampah dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro, pengembangan pembangkit listrik biomassa skala kecil secara masif, serta mempercepat mandatori B100.