tantangan pasca cak nur-gus dur
DESCRIPTION
toleransiTRANSCRIPT
Tantangan Pasca Cak Nur-Gus DurSenin, 11 Januari 2010
Oleh Moh. Shofan
BEBERAPA hari lalu saya bertanya kepada Buya Syafi’i -panggilan akrab Prof Dr Ahmad Syafi’i
Ma’arif- tentang tantangan besar umat saat ini. Itu mengingat, diskursus pemikiran Islam,
setidaknya pasca Cak Nur dan Gus Dur, belum banyak memberikan solusi atas masalah-
masalah kemanusiaan.
Terhadap pertanyaan tersebut Buya Syafi’i menjawab, ”Kecuali Fazlur Rahman, para pembaru
muslim yang lain belum memberikan jawaban komprehensif terhadap masalah-masalah sosial
kemanusiaan yang berkembang tanpa henti. Saya rasa, upaya pembaruan selanjutnya harus
mengarah kepada pencarian jawaban itu. Sebuah Islam yang tak mampu memberikan jawaban
terhadap masalah-masalah besar akan sulit ditawarkan untuk mengawal peradaban.”
Rasanya, jawaban Buya tersebut sangat relevan di tengah karut-marutnya politik Indonesia.
Terlebih jika itu dikaitkan dengan isu-isu seputar etnisitas, agama, maupun ideologi. Isu-isu
tersebut merupakan tantangan yang cukup serius.
Betapa tidak? Pasca gerakan reformasi, munculnya berbagai gerakan sempalan agama dengan
politik identitas masing-masing -mereka ini anti-Pancasila, antidemokrasi, antipluralisme, dan
sampai batas-batas yang jauh juga antinasionalisme- merupakan masalah yang paling banyak
menyita perhatian negara dan kalangan akademisi (baca: agamawan).
Berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan kelompok radikal bukan saja dapat mengganggu
kebebasan umat beragama dalam menunaikan ajaran agamanya. Tetapi, hal itu juga dapat
mencederai dan menodai sendi-sendi ajaran agama itu sendiri. Dan, pada gilirannya akan
menghancurkan hak-hak heteroginitas (keragaman) dan memorak-porandakan kesatuan
bangsa. Agama disalahgunakan dan disalaharahkan, baik dari sisi eksternal maupun internal.
Dari sisi eksternal, agama profetik (kenabian), seperti Islam dan Kristen, cenderung melakukan
kekerasan, segera setelah identitasnya terancam. Dari sisi internal, agama profetik cenderung
melakukan kekerasan karena merasa yakin tindakannya berdasar kehendak Tuhan. Oleh karena
itu, pemahaman agama atau interpretasi agama merupakan salah satu alasan yang mendasari
kekerasan politik agama.
Gerakan-gerakan radikal tentu punya andil yang cukup besar dalam mengampanyekan gerakan
”islamisme” yang sering mengasumsikan bahwa kedatangan agama Islam mengungguli -jika
tidak mau dikatakan menghapus (naskh)- agama-agama sebelumnya dan dianggap sebagai
instrumen yang penting bagi self-identification suatu kelompok untuk membedakannya dari
kelompok lain. Klaim itu juga berfungsi sebagai alat legitimasi dan integrasi bagi sesamanya
dalam kelompok, serta sebagai basis yang efektif untuk melakukan agresi dan perlawanan
terhadap kelompok lain.
Karena itu, sesungguhnya musuh utama kita bukanlah Barat atau kelompok-kelompok agama di
luar ”Islam”, tetapi kelompok umat Islam sendiri. Itu harus diakui bahwa dalam Islam juga telah
terjadi pergulatan yang tak henti-hentinya di antara mereka yang memperjuangkan ”monolitas”
kebenaran Islam dengan mereka yang meyakini ”pluralitas”
Islam sebagai rahmat kehidupan bersama dengan orang-orang lain.
Orang-orang Islam yang memperjuangkan tegaknya demokrasi dan pluralisme sesungguhnya
mendapatkan lawannya dalam kelompok umat Islam sendiri dan bukan -sekali lagi- dari luarnya.
Dan, itulah yang riil terjadi dalam kehidupan politik sehari-hari, sebagaimana semangat yang
ditunjukkan Islam ideologis.
Semangat yang dibawa oleh Islam ideologis adalah semangat literalis-skripturalis yang meyakini
bahwa Islam bukan sekadar agama, tetapi juga sebuah sistem hukum yang lengkap (kaffah)
sebuah ideologi universal dan sistem yang paling sempurna. Oleh sebab itu, menurut mereka,
formalisasi syariah harus dilakukan oleh negara.
Pandangan tersebut jelas mempunyai kecenderungan fanatik, dogmatis, dan otoriter. Itu tentu
akan melahirkan ”otoritarianisme moral” dan dalam batas yang paling ekstrem akan mengancam
eksistensi negara. Pemerintahan Islam, yang sering digambarkan ideal itu, justru secara penuh
menggambarkan kondisi tak ideal. Islam sebagai agama sekaligus negara (al-din wa al-daulah)
seperti dalam keyakinan kaum islamis terbukti salah. Sejarah khilafah adalah sejarah perebutan
kekuasaan dan kekayaan yang melulu duniawi, sama sekali di luar agama. Sebagian besar
pergantian kekuasaan dilakukan melalui kudeta berdarah yang berujung pada terbunuhnya
khalifah.
Itulah sesungguhnya yang menjadi kekhawatiran seorang pemikir Mesir, Farag Fouda, dan pada
hakikatnya juga menjadi keprihatinan Cak Nur maupun Gus Dur pada masa hidupnya. Cak Nur
dan Gus Dur mengharapkan bahwa umat Islam perlu dibebaskan dari sakralitas semu dan
ideologi-ideologi keagamaan yang membelenggu pontensi inteleknya dan menghambat
kemajuan peradabannya.
Dua tokoh pembaru Islam tersebut mengharapkan umat mampu ”diliberalkan” dari absolutisme
dan munculnya otoritas keagamaan serta memimpikan umat dapat dimerdekakan dari sikap-
sikap kurang dewasa dalam beragama, seperti keberagamaan yang penuh claim of truth,
kavling-kavling kebenaran hanya bagi diri dan kelompoknya, otoritas dan institusi keagamaan
bak penjaga iman dan akidah, beragama yang serba formalistis-normatif.
Kini tantangan terbesar abad ini, yakni fundamentalisme agama dan isu-isu kemanusiaan
universal yang lain seperti hak asasi manusia (HAM), keadilan, gender, dan demokrasi, harus
menjadi kesadaran para intelektual maupun agamawan. Spirit pembaruan Cak Nur yang diwarisi
oleh, misalnya, Budhy Munawar-Rachman, Ihsan Ali Fauzi, dan pemikiran-pemikiran genius Gus
Dur, yang tampak pada Ulil Abshar Abdalla, Abdul Moqsith Ghazali, atau Siti Musda Mulia, perlu
dilanjutkan dengan tawaran yang lebih menarik tentunya. Dengan begitu, Islam, seperti
dikemukakan Buya Syafi’i di atas, mampu memberikan jawaban komprehensif terhadap
masalah-masalah sosial kemanusiaan yang berkembang tanpa henti. Sebab, Islam yang tak
mampu memberikan jawaban terhadap masalah-masalah besar akan sulit ditawarkan untuk
mengawal peradaban. Wallahu A’lam bi-Al-Shawab (*)
*). Moh. Shofan, peneliti di Yayasan Paramadina, Jakarta
Dipublikasikan oleh Jawa Pos; Senin, 11 Januari 2010