kharisma gus dur dalam kepemimpinan formal dan …digilib.uinsby.ac.id/32761/1/safaat ariful...
TRANSCRIPT
i
KHARISMA GUS DUR DALAM KEPEMIMPINAN FORMAL
DAN INFORMAL
TESIS
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat
Memperoleh Gelar Magister dalam Program Studi Aqidah dan Filsafat Islam
Oleh
Safaat Ariful Hudda
NIM. F01214003
PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2018
ii
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini saya :
Nama : Safaat Ariful Hudda
NIM : F01214003
Jurusan : Aqidah dan Filsafat Islam
Institusi : Pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya
Judul Tesis : Kharisma Gus Dur Dalam Kepemimpinan Formal Dan
Informal
Dengan sungguh-sungguh menyatakan bahwa tesis ini secara keseluruhan adalah
hasil penelitian atau karya sendiri, kecuali pada bagian-bagian yang dirujuk
sumbernya.
Kediri, 27 Juli 2018
Saya yang menyatakan
Safaat Ariful Hudda
iii
PERSETUJUAN
Tesis Safaat Ariful Hudda ini telah disetujui
Pada tanggal 30 Juli 2018
Oleh
Pembimbing
Dr. Abd. Chalik, M.Ag
iv
PENGESAHAN TIM PENGUJI
Tesis Safaat Ariful Hudda ini telah diuji
Pada tanggal 19 September 2018
Tim penguji :
1. Dr. Syamsul Huda, M.Ag. (Ketua) : .................................
2. Dr. Priyo Handoko, SS.,SH.,M.Hum. (Penguji) : .................................
3. Dr. Abd Chalik, M.Ag. (Penguji) : .................................
Surabaya, 19 September 2018
Direktur,
Prof. Dr. H. Aswadi, M.Ag
NIP. 196004121994031001
v
Lembar untuk persetujuan publikasi
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
vi
ABSTRAK
KHARISMA GUS DUR DALAM KEPEMIMPINAN FORMAL DAN
INFORMAL Oleh:
Safaat Ariful Hudda
Kata Kunci: Kharisma, Gus Dur dan Kepemimpinan
Kharisma merupakan suatu kualitas kepribadian khusus terkait
kepemimpinan. Sebagai kualitas kepemimpinan, kharisma bukanlah kualitas
biasa. Kharisma merupakan kualitas kepemimpinan khusus bagi orang-orang yang
dianggap melampaui batas kemanusian. Gus Dur merupakan seorang tokoh yang
diakui banyak orang sebagai kharismatik. Namun belum ada penjelasan yang
memuaskan tentang itu. Dalam penelitian ini, kharisma Gus Dur akan coba
diidentifikasi sekaligus diteliti bagaimana itu tampil dalam kepemimpinan beliau,
baik formal (Presiden RI) maupun informal (Ketua Umum PBNU).
Hasil penelitian ini menemukan bahwa kharisma Gus Dur dipahami dengan
berbagai penilaian, sesuai dengan banyaknya komunitas yang mengakui kharisma
beliau. Namun kharisma Gus Dur yang pertama diakui berasal dari silsilahnya
(kharisma warisan). Selanjutnya, ada dua cara untuk memahami kharisma Gus
Dur, yaitu Gus Dur adalah pemimpin kharismatik dari banyak komunitas, atau
Gus Dur adalah pemimpin kharismatik dari suatu komunitas yang plural. Hal ini
lantaran masyarakat yang meng-kharismatik-kan Gus Dur adalah masyarakat
Indonesia yang terdiri dari beraneka ragam suku, agama, atau golongan, yang
masing-masing mempunyai tradisi dan kebudayaan berbeda. Dengan demikian,
nilai kharismatik seorang pemimpin menjadi berbeda-beda. Pada awalnya
kharisma Gus Dur dipahami dengan cara pertama. Masing-masing komunitas
memiliki pemahaman sendiri-sendiri tentang kharisma Gus Dur. Ketika masih
menggunakan cara pertama ini, suatu komunitas merasa sulit menerima sikap atau
pernyataan Gus Dur yang terkesan kontroversial. Namun ketika suatu komunitas
tersebut memahami dengan cara kedua, mereka lebih bisa menerima, dan justru
memperkuat keyakinan mereka atas kharisma Gus Dur.
Dalam kepemimpinan formal, yaitu sebagai Presiden, Gus Dur memperoleh
banyak hambatan bahkan dengan kharisma yang melekat padanya. Salah satu
sebab mengapa kharisma beliau tidak begitu berpengaruh, adalah karena dalam
politik praktis, budaya politik masyarakat belum mengalami banyak perubahan.
Beda halnya dengan kepemimpinan informal Gus Dur sebagai Ketua Umum
PBNU. Dengan kembalinya NU pada khittah 1928, sehingga menarik diri dari
politik praktis dan lebih fokus pada gerakan kultural, Gus Dur bisa memimpin
dengan tanpa mengalami masalah berarti. Selain karena kharisma warisan Gus
Dur kuat di NU, beliau juga mampu membuat perubahan-perubahan yang berarti,
meskipun sempat juga mengalami krisis kepercayaan di tengah masa jabatannya.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
ix
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... vii
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ............................................................................. 11
C. Rumusan Masalah ................................................................................ 12
D. Tujuan Penelitian ................................................................................. 12
E. Kegunaan Penelitian............................................................................. 13
F. Penelitian Terdahulu ............................................................................ 14
G. Metode Penelitian................................................................................. 15
H. Sistematika Pembahasan ...................................................................... 19
BAB II : KHARISMA
A. Pengertian Kharisma ............................................................................ 21
B. Kharisma menurut Max Weber ............................................................ 33
C. Tinjauan Filosofis Mengenai Kharisma ............................................... 42
D. Kharisma sebagai Problem Agama dan Kepemimpinan ...................... 53
BAB III : GUS DUR DAN KEPEMIMPINANNYA
A. Latar Belakang, Kepribadian dan Keluarbiasaan Gus Dur ................. 62
B. Budaya Politik Indonesia di Era Gus Dur ............................................ 74
C. Kepemimpinan Gus Dur sebagai Presiden dan Ketua Umum PBNU.. 79
BAB IV : KHARISMA GUS DUR DALAM KEPEMIMPINAN FORMAL
DAN INFORMAL
A. Kharisma Gus Dur ............................................................................... 83
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
x
B. Kharisma Gus Dur Sebagai Presiden dan Ketua Umum PBNU ......... 94
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan ......................................................................................... 100
B. Saran .................................................................................................... 101
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 102
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Abdurrahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur adalah salah satu
tokoh penting di Indonesia. Paling jelas beliau dikenal sebagai presiden
Republik Indonesia keempat dengan masa jabatan dari tahun 1999 hingga
2001. Selain itu, beliau juga dikenal karena silsilah keluarganya, yaitu sebagai
cucu dari Kiai Hasyim Ash'ari, tokoh utama pendiri organisasi Islam terbesar
di dunia yaitu Nahdhatul Ulama (NU), pendiri Pesantren Tebuireng Jombang,
dan juga tercatat dalam sejarah sebagai pahlawan nasional.
Sebagai salah satu tokoh yang pernah memimpin Indonesia, Gus Dur
punya beberapa kekhasan. Yang pertama dan paling jelas terlihat adalah latar
belakangnya sebagai Gus, gelar yang akrab dengan kehidupan di lingkungan
pesantren tradisional. Artinya, Gus Dur adalah presiden pertama yang berasal
dari kaum santri. Beliau dibesarkan dalam lingkungan keagamaan yang kuat.
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa kakeknya adalah satu pemimpin besar
Islam di Indonesia. Begitu pula ayahnya, Wahid Hasyim, juga dikenal sebagai
pahlawan nasional dan menjabat sebagai Menteri Agama pertama RI pada
masa-masa awal kemerdekaan.1
Kekhasan selanjutnya, Gus Dur merupakan seorang intelektual
Muslim, seorang akademisi yang banyak menulis mengenai persoalan-
1 Nugroho Dewanto, Wahid Hasyim Untuk Republik Dari Tebuireng (Jakarta: Tempo, 2011) 106.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
2
persoalan keislaman dan keindonesiaan. Beliau aktif menulis sejak muda,
mulai dari menulis di majalah-majalah ketika masih di pesantren dan ketika
belajar di Kairo, sampai akhirnya menghasilkan buku-buku yang sekarang
banyak di kenal oleh para intelektual, khususnya kalangan intelektual Muslim.
Selain itu, Gus Dur juga dikenal aktif dalam berbagai diskusi. Ketika
di Kairo dan Baghdad, beliau banyak berdiskusi dengan pelajar-pelajar lain,
yang tergabung dalam Perhimpunan Pelajar Indonesia. Ide-ide serta esai-
esainya yang jenaka dan provokatif membuat Gus Dur dengan cepat dikenal.
Bahkan sepulang dari studi di Kairo dan Bagdad, kegemaran berdiskusi
tersebut terus berlanjut. Topik-topik yang paling disenanginya antara lain
mengenai politik Indonesia, masa depan Indonesia, Islam dan modernitas.2
Intelektualitasnya terbentuk sejak kecil, dimana Gus Dur tumbuh
sebagai seorang kutu buku. Hal ini tidak mengherankan sebab ayahnya, Wahid
Hasyim, mendidik Gus Dur untuk tumbuh seperti itu. Gus Dur dan saudara-
saudaranya disuruh banyak membaca, apapun itu, untuk kemudian
didiskusikan.3 Berangkat dari kultur pendidikan seperti ini, Gus Dur tumbuh
menjadi seorang yang tidak hanya intelek dalam keilmuan Islam saja, tetapi
juga terbuka terhadap berbagai pandangan dan keilmuan lain.
2 Greg Barton, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid, terj. Lie Hua
(Yogyakarta: LKiS, 2002) 92. 3 Ibid, 42. Sepeninggal ayahnya pun Gus Dur tetap banyak membaca. Banyak buku karya penulis
terkenal di dunia yang sudah Gus Dur baca sejak masih sekolah menengah pertama, seperti karya
Ernest Hemingway, John Steinbach, William Faulkner, Johan Huizinge, Pushkin, Tolstoy,
Dostoyevsky, hingga The Story of Civilization milik Will Durant. Al-Zastrouw Ng., Gus Dur,
Siapa Sih Sampeyan?: Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pernyataan Gus Dur (Jakarta: Erlangga,
1999) 15.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
3
Gus Dur juga dikenal sebagai tokoh yang kontroversial. Seringkali
beliau bersikap atau melontarkan ide-ide yang tidak mudah dipahami. Kadang
kala itu sulit diterima orang sehingga menimbulkan kritik, terlebih lagi ketika
diungkapkan dalam posisinya sebagai presiden. Tetapi, menurut beberapa
orang yang mengenal baik Gus Dur, sikap dan pendirian yang tidak seperti
lazimnya pemimpin lain ini justru membuktikan kecemerlangan
pemikirannya. Kontroversi timbul bukan karena Gus Dur sembarangan dalam
bersikap, ,melainkan karena pemikirannya melampaui yang lain. Atau
mungkin kalau Gus Dur memang sembarangan, bukan berarti itu tanpa
kesadaran akan segala konsekuensi yang harus ditanggung.4 Tak jarang sikap
ini yang mengakibatkan posisinya menjadi sulit. Dan itu terjadi, bahwa beliau
akhirnya diturunkan dari kursi kepresidenan pada tahun kedua masa
kepemimpinannya.
Demikianlah Gus Dur dikenal dengan berbagai ciri khas yang unik dan
langka sebagai seorang presiden. Tentu orang-orang punya pandangan yang
berbeda-beda dalam melihatnya. Bisa jadi itu baik sehingga menimbulkan
kekaguman bahkan ketaatan, bisa jadi itu merupakan hal yang biasa saja, atau
bisa jadi itu dipandang buruk dengan disertai berbagai penjelasan dan kritik.
Terlepas dari berbagai keunikan Gus Dur, yang menjadi sulit dipahami
adalah labelnya sebagai pemimpin yang kharismatik. Label ini banyak peneliti
4 Gus Mus menuliskan satu bab tentang Gus Dur dalam buku kumpulan tulisannya yang
diterbitkan Kompas. Judul babnya “Gus Dur sebagai Pelajaran Dari Tuhan”. Di dalamnya beliau
menjelaskan perihal Gus Dur, termasuk kontroversi-kontroversinya dilengkapi dengan analisis
terhadap kontroversi-kontroversi tersebut. Lihat A. Mustofa Bisri, Koridor: Renungan A. Mustofa
Bisri (Jakarta: Kompas, 2010) 98.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
4
temukan pada buku-buku yang membahas Gus Dur, misalnya tulisan Greg
Barton, penulis Biografi Gus Dur. Greg mengatakan, siapa saja yang pernah
bersama Gus Dur akan berkomentar bahwa beliau bisa jadi orang yang sangat
kharismatik dan menarik.5 Douglas E. Ramage, seorang penulis dan juga
pemerhati politik Indonesia, mengatakan bahwa Gus Dur merupakan orang
yang memiliki kharisma diri dan kecerdasan yang luar biasa sehingga perlu
diwaspadai oleh orang-orang rezim Soeharto.6 Dari orang-orang di Indonesia
sendiri, lebih banyak lagi pengakuan atas kharisma Gus Dur.
Label pemimpin kharismatik ini menimbulkan pertanyaan. Meskipun
sudah bisa dijelaskan mengenai berbagai kekhasan yang dimiliki Gus Dur,
label kharismatik tidak bisa serta merta diberikan dengan mengacu pada
semua alasan tersebut. Kebanyakan orang tidak memperhatikan hal itu, karena
sudah akrab mendengar kata kharisma dalam berbagai wacana. Darimana
gagasan kharismatik ini diambil untuk melabeli seorang Gus Dur dan apakah
ada kaitan dengan segala keunikannya?
Kharisma adalah konsep yang sering kali kita dengar. Dalam
kehidupan sehari-hari, konsep ini digunakan untuk mengidentifikasi seorang
tokoh berpengaruh. Tokoh tersebut bisa jadi seorang pemimpin negara,
pemuka agama, kepala suku, bahkan seorang public figure seperti aktor,
musisi, seniman dan sebagainya.7 Namun konsep ini memiliki keunikan yang
5 Greg Barton, Biografi Gus Dur.., 20.
6 Douglas E. Ramage, Politics in Indonesia: Democracy, Islam, and The Ideology of Tolerance
(London and New York, Routledge, 1995) 161. 7 David Aberbach, Charisma in Politics, Religion and The Media: Private Trauma, Public Ideals
(London: Macmillan Press Ltd, 1996) ix.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
5
berbeda dari konsep-konsep pengidentifikasian yang lain seperti: cantik,
cerdas, kaya, mahir ataupun ramah. Semua konsep tersebut bisa dibilang dapat
dengan mudah diidentifikasi, sedangkan kharisma tidak begitu jelas. Orang
yang menyatakan bahwa seorang tokoh berkharisma, tidak pernah bisa
memberikan alasan yang memadai atas pernyataannya.
Lantas apa itu kharisma? Pemahaman kontemporer mengartikan
kharisma secara luas sebagai kualitas bawaan khusus (special innate quality)
yang melekat pada diri seseorang sehingga membuatnya mampu menarik
orang lain tertuju kepadanya.8 Sayangnya, pemahaman tentang kualitas
bawaan khusus tersebut hanya terhenti pada pernyataan bahwa itu merupakan
"faktor X", sebuah kualitas yang masih misterius dan sukar dipahami.
Pemahaman seperti ini mengacu pada teori Max Weber (1864-1920 M)
Menurutnya, kharisma adalah kualitas istimewa dari kepribadian seseorang
yang dianggap luar biasa, punya kemampuan supranatural, seseorang yang
melampaui manusia biasa, atau seseorang yang memiliki kekuatan-kekuatan
ajaib tertentu. Apakah kualitas istimewa semacam ini benar-benar aktual tidak
dipermasalahkan oleh Weber. Selama orang-orang mengakui seseorang
memiliki kharisma, maka dialah pemimpin yang kharismatik.
Mengenai eksistensi kharisma sebagai sesuatu yang bisa dibuktikan
secara objektif, sampai sekarang masih jadi perdebatan. Meski banyak yang
setuju dengan teori Weber, tidak sedikit pula yang menganggap itu hanya
8 John Potts, A History of Charisma (London: Palgrave Macmillan, 2009) 2.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
6
pilihan alternatif Weber untuk merumuskan model kepemimpinan yang
mendominankan seorang tokoh. Atau mungkin Weber hanya mencoba
menarik suatu konsep dalam tradisi mistik keagamaan untuk lebih mudah
menjelaskannya. Pierre Bourdieu (1930-2002) seorang sosiolog Prancis
dengan tegas menentang teori Weber tersebut dan menuduhnya membuat
pembenaran terhadap dominasi. Menurut Bourdieu, yang memang fokus pada
hubungan kekuasaan dan mengabaikan kualitas intrinsik individu, kharisma
tidak lebih hanya konstruksi teoritis Weber saja untuk membenarkan bentuk-
bentuk tertentu dari hubungan kekuasaan.9
John Kotter, seorang profesor bidang kepemimpinan dari Harvard
Business School, menganggap tidak ada yang mistis dari kepemimpinan.
Tidak ada sama sekali keterkaitan antara kepemimpinan dengan konsep seperti
kharisma atau semacamnya, jadi dia lebih bersikap meremehkan teori
semacam itu. Len Oakes, seorang ahli ilmu jiwa asal Australia yang concern
terhadap kharisma, mencoba melakukan tes psikometri kepada sebelas
pemimpin diduga kharismatik. Hasilnya adalah tidak ada yang luar biasa
tentang mereka, kecuali sifat-sifat narsisme yang terberikan kepadanya dari
para pengikut yang memang mendeskripsikannya seperti itu.10
Meski mendapat kritik, namun teori Weber tetap bertahan sebagai teori
klasik mengenai kepemimpinan. Kebanyakan para akademisi setelahnya lebih
memilih menjadikan teori Weber sebagai starting point kemudian
9 Ibid, 3.
10 Ibid, 4
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
7
mengembangkannya, memodifikasi, atau fokus pada bagian-bagian tertentu
semisal motif atau peran dari follower. Penggunaan istilah kharisma itu sendiri
tetap lestari, bahkan tidak hanya untuk seorang pemimpin, melainkan juga
untuk para tokoh di bidang hiburan, aktor, komedian, musisi dan sebagainya.
Eksistensinya seakan tidak menjadi penting untuk dibahas karena pemakaian
istilahnya diterima oleh publik.
Lalu mengapa kharisma menjadi penting untuk dibahas jika sudah
diterima? Charles Lindholm memberikan beberapa contoh kasus terkait
dengan dampak negatif dari kharisma ini dalam bukunya "Charisma". Salah
satunya adalah kepemimpinan kharismatik Adolf Hitler. Lindholm melihat
betapa luar biasa kharisma seorang Hitler, hingga dapat menarik banyak
pengikut setia dan membawanya ke tampuk kepemimpinan tertinggi Jerman,
kemudian mencoba mewujudkan visinya yang mengerikan. Jutaan nyawa
melayang akibat perang besar yang ditimbulkannya. Peristiwa Holocaust,
genosida yang diprakarsai olehnya telah menewaskan tidak kurang enam juta
orang Yahudi. Meski begitu, Hitler sendiri tidak segan memproklamirkan
dirinya sebagai "Tuhan Hidup" (The Living God).11
Selain itu ada pula tokoh kharismatik yang diakui sebagai pemimpin
luhur. Namun karena kecenderungan-kecenderungan tertentu yang
dimilikinya, ditambah dengan fanatisme para pengikutnya, menimbulkan
masalah tersendiri. Dengan kodratnya sebagai manusia, tentu pemimpin yang
berkharisma sekalipun pernah keliru, baik disadari maupun tidak. Namun
11
Charles Lindholm, Charisma (Oxford: Basil Blackwell, 1990) 6.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
8
ketaatan dari para pengikut yang fanatis tidak bisa kritis, sehingga cenderung
menerima apapun kata dan perbuatan sang pemimpin.
Ayub Ranoh memberikan contoh dampak negatif dari kepemimpinan
kharismatis Soekarno. Pertama, Soekarno punya kecenderungan otoriter dan
tidak demokratis. Ide tentang demokrasi terpimpin, Dekret Presiden 5 Juli
1959, hingga pembubaran dan pembentukan DPR atas prakarsa Soekarno
sendiri, semestinya memunculkan banyak kritik. Tetapi daya tarik yang
dimilikinya, ditambah dengan jasa besar yang pernah dilakukannya, membuat
orang cenderung menerima dan menaati Soekarna secara tidak kritis. Kedua,
Soekarno punya kecenderungan anti ekonomi, dalam artian bahwa kebijakan-
kebijakan ekonomi yang beliau putuskan pada masa demokrasi terpimpin,
tidak berorientasi ekonomi rasional. Beliau memang bukan ekonom dan awam
soal itu. Beliau hanya menentang sistem lama kolonial Belanda. Alih-alih
meningkatkan kesejahteraan ekonomi rakyat, di akhir-akhir masa
kepemimpinannya ditandai kondisi buruk perekonomian Indonesia. Ayub
Ranoh mencocokannya dengan teori Weber, bahwa salah satu kecenderungan
pemimpin kharismatis adalah mengesampingkan ekonomi.12
Meskipun Weber menjelaskan bahwa kharisma adalah pemberian
istimewa (divine origin) untuk para pemimpin, ternyata tidak menjamin tidak
ada persoalan yang ditimbulkannya. Para pengikut seakan dibutakan dari
kesadaran terhadap realitas, menjadi irrasional, sehingga apa yang
12
Ayub Ranoh, Kepemimpinan Kharismatis: Tinjauan Teologis-Etis Atas Kepemimpinan
Kharismatis Soekarno (Jakarta: Gunung Mulia, 2006) 92.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
9
dikehendaki sang tokoh berkharisma menjadi penting untuk diwujudkan,
apapun itu. Dalam level seperti ini, pengaruh dari kharisma bisa sangat
problematis bahkan berbahaya, karena fanatisme yang tidak sehat dapat timbul
pada para pengikut walaupun sang pemimpinnya baik.
Dari sini terlihat pentingnya memahami kharisma, terutama dalam
hubungan antara pemimpin (Leader) yang kharismatik dengan pengikut
(Follower). Kharisma adalah penguat alasan dari para pengikut untuk setia
kepada sang pemimpin. Meskipun tidak jarang keraguan muncul kepada
pemimpin karena suatu hal, namun kharisma sering kali berhasil menarik
pengikut kembali berdiri di belakang sang pemimpin.
Kembali ke persoalan kepemimpinan Gus Dur. Jika beliau juga
merupakan pemimpin kharismatik, maka bisa dikatakan bahwa Gus Dur
adalah tokoh yang pernah mengalami tiga tipe otoritas sekaligus: tradisional,
kharismatik dan legal. Tiga tipe otoritas ini mengacu pada teori Weber.13
Otoritas tradisional melekat pada Gus Dur ditandai dengan gelarnya sebagai
Gus, yang mana beliau akan menggantikan posisi orang tuanya sebagai
pemimpin keagamaan (kiai). Selain itu beliau juga pernah menjadi ketua
umum PBNU. Otoritas legal diperoleh Gus Dur ketika menjadi presiden
Republik Indonesia. Otoritas kharismatik diperoleh Gus Dur dari para
pengikut setia yang bahkan menyatakan rela mati demi membela beliau.
13
Lihat Max Weber, Economy and Society: An Outline of Interpretative Sociology (Berkeley, Los
Angeles dan London: University of California Press, 1978) 215
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
10
Jika tiga tipe otoritas dari Weber tersebut ditarik dalam dua pola dasar
kepemimpinan, maka dapat dinyatakan sebagai berikut: otoritas legal
merupakan penyokong kepemimpinan formal, dimana seseorang diangkat
menjadi pemimpin dan memperoleh otoritas sesuai ketentuan dalam suatu
organisasi. Otoritas tradisional merupakan penyokong kepemimpinan
informal, dimana tidak ada aturan resmi dan tertulis, tetapi seluruh masyarakat
di lingkungan tersebut mengakui kriteria khusus untuk seseorang bisa menjadi
pemimpin, yaitu sesuai dengan tradisi. Meski demikian, otoritas tradisional
dapat pula menyokong atau mengancam keberlangsungan kepemimpinan
formal, dalam arti bisa saja memperkuat posisi pemimpin yang telah
memegang otoritas legal atau justru melemahkannya, tergantung kesesuaian
antara aturan-aturan formal dengan aturan-aturan tradisi.
Otoritas kharismatik adalah penyokong kepemimpinan informal,
karena pemberian posisi pemimpin oleh pengikut terjadi secara spontan tanpa
mempertimbangkan aturan-aturan. Hanya saja perlu dibedakan dengan
kepemimpinan informal yang memperoleh otoritas dari tradisi, bahwa
kepemimpinan informal semacam ini memperoleh otoritasnya justru ketika
dapat mendobrak tatanan baik legal maupun tradisional dan menciptakan
tatanan baru yang dirasa lebih baik. Jadi, kepemimpinan informal semacam ini
bisa terbentuk dalam kepemimpinan formal maupun informal yang telah ada
sebelumnya untuk kemudian merevolusinya.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
11
Menurut pendapat Weber, kharisma memang bukan kualitas yang
tetap.14
Namun karena kharisma adalah konsep yang masih enigmatis menurut
peneliti, eksistensi kharisma maupun prosesnya masih terbuka untuk dibahas.
Maka penelitian ini akan diarahkan untuk mencari pemahaman yang tepat
tentang definisi kharisma, sehingga dapat digunakan untuk mengidentifikasi
kharisma seorang Gus Dur serta bagimana implikasinya dalam kepemimpinan
formal dan informal beliau.
B. Identifikasi dan Batasan Masalah
Sesuai dengan latar belakang di atas, kharisma dapat dipahami sebagai
kualitas yang sangat menentukan otoritas seorang pemimpin. Gus Dur juga
dianggap sebagai pemimpin kharismatik dalam hal ini. Dan sebagai
pemimpin, Gus Dur pernah mengalami dua model kepemimpinan, yaitu
kepemimpinan formal dan informal. Berdasarkan hal tersebut, maka tindak
lanjut penelitian dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Sejauh mana kharisma dapat dipahami, mengingat pengertian kharisma
sendiri masih menimbulkan persoalan-persoalan, baik di ranah teoritis
maupun praksis. Terlebih lagi dalam penelitian ini yang akan dikaji
adalah kharisma Gus Dur yang merupakan orang Timur, sedangkan
14
Dalam hal ini Weber menjelaskan bahwa kepemimpinan kharismatik yang murni tidaklah stabil
karena biasanya si subjek kharismatik berhasrat untuk mentransformasikan kharisma yang
diberikan padanya pada bentuk kepemilikan yang permanen. Misalnya pemimpin kharismatik
dalam perang akan berujung pada terbentuknya negara, seorang nabi memunculkan agama, filsuf
memunculkan aliran filsafat tertentu dan sebagainya. Jika sudah tertransformasikan, maka
kharisma kehilangan kemurniannya karena sudah menjadi dogma, doktrin, teori, peraturan, hukum
atau tradisi. Weber menyebut ini sebagai rutinisasi kharisma. lihat Max Weber, Economy and
Society.., 1121.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
12
istilah kharisma lahir dalam tradisi Kristen di Barat meskipun sekarang
telah dipakai secara universal.
2. Dalam pemahaman yang mengacu pada Weber, kharisma seorang tokoh
merupakan faktor yang menentukan jalannya kepemimpinan. Dalam
jalannya kepemimpinan Gus Dur, baik formal maupun informal,
kharisma beliau tentu memiliki peran tersendiri. Jika teori Weber benar,
maka seharusnya ada perbedaan antara kepemimpinan formal dan
informal Gus Dur terkait dengan fungsi kharismanya. Seberapa
berpengaruh kharisma beliau mungkin akan berbeda dalam dua model
kepemimpinan tersebut.
Maka untuk menghindari melebarnya pembahasan, peneliti akan
membatasi masalah sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi kharisma Gus Dur.
2. Menjelaskan bagaimana implikasi kharisma Gus Dur dalam
kepemimpinan beliau, baik formal maupun informal.
Dengan demikian penelitian ini hanya akan difokuskan untuk
mengidentifikasi kharisma Gus Dur, serta bagaimana implikasi kharisma
beliau dalam kepemimpinan, baik formal maupun informal.
C. Rumusan Masalah
Dengan identifikasi dan batasan masalah yang telah disebutkan, supaya
penulisan tesis ini terarah, maka masalah dapat dirumuskan sebagai berikut:
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
13
1. Bagaimana identifikasi kharisma Gus Dur?
2. Bagaimana implikasi kharisma Gus Dur dalam kepemimpinan
formal dan informal?
D. Tujuan Penelitian
Dengan perumusan masalah seperti yang telah disebutkan di atas,
maka penelitian ini memiliki maksud dan tujuan sebagai berikut:
1. Untuk dapat mengidentifikasi kharisma Gus Dur.
2. Untuk dapat menjelaskan bagaimana implikasi kharisma Gus Dur
dalam kepemimpinan formal dan informal.
E. Kegunaan Penelitian
Penelitian mengenai Gus Dur memang sudah banyak. Lebih khusus
lagi, penelitian mengenai kharisma Gus Dur juga sudah ada. Namun
kebanyakan lebih membatasi pendasarannya pada teori Weber tentang
kepemimpinan kharismatik. Maka dalam hal ini, peneliti ingin
mengidentifiksai kharisma Gus Dur sehingga bisa menjelaskannya secara
filosofis beserta implikasinya terhadap kepemimpinan formal maupun
informal. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan akan memiliki beberapa
kegunaan sebagai berikut:
1. Teoritis
a. Untuk menambah pengetahuan dan pemahaman di bidang filsafat
mengenai konsep kharisma yang sampai saat ini masih menimbulkan
perdebatan.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
14
b. Dapat memberikan ulasan yang lebih kaya mengenai kharisma.
c. Dapat mendorong munculnya interpretasi-interpretasi baru mengenai
kharisma, baik melalui penelitian-penelitian dari sudut pandang yang
baru tentang itu, ataupun berupa tanggapan-tanggapan bahkan juga
kritik.
2. Praktis
a. Memberikan pemahaman, baik pada para akademisi maupun
masyarakat pada umumnya, mengenai arti penting memahami
kharisma.
b. Dalam masyarakat, bahkan yang sudah modern seperti sekarang ini,
masih sering terjadi pengkultusan pemimpin yang dianggap
kharismatik dengan kesadaran yang kurang kritis. Dengan penelitian
ini diharapkan pembaca dapat lebih kritis dalam memandang sebuah
kepemimpinan kharismatik.
F. Penelitian Terdahulu
Berikut beberapa penelitian yang memiliki relevansi dengan penelitian
ini:
1. Dekharismatisasi Gus Dur (Studi Tentang Kepemimpinan K.H.
Abdurrahman Wahid dalam Politik Praktis) yang ditulis oleh
Mohammad Ihyak sebagai tesis di Universitas Indonesia. Penelitian ini
difokuskan pada kharisma Gus Dur dalam riwayat kepemimpinannya.
Menurut Ihyak, terjadi dekharismatisasi atau penurunan kharisma dari
sosok Gus Dur dalam lima fase: pertama, terhitung sejak berubahnya
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
15
strategi perjuangan dan pengabdian Gus Dur dari yang bersifat kultural
kepada politik praktis. Kedua, internalisasi nilai-nilai politik menjadi
tujuan kekuasaan. Ketiga, mengerasnya respon dan kritik masyarakat
terhadap pemerintahan pimpinan Gus Dur. Keempat, mengkristalnya
perlawanan berbagai komponen masyarakat terhadap kekuasaan Gus
Dur. Kelima, langgengnya Gus Dur di dunia politik praktis.
2. Sebuah jurnal dengan judul Weber’s Theory of Charismatic
Leadership: The Case of Muslim Leaders in Contemporary Indonesian
Politics yang ditulis oleh Dr. Jennifer L. Epley, seorang asisten
profesor dari Department of Social Sciences A&M University Texas
pada bulan Juli 2015. Dalam jurnal tersebut, Dr. Jennifer mencoba
menerapkan teori Weber tentang kharisma untuk menelaah
kepemimpinan muslim dalam perpolitikan kontemporer di Indonesia.
Hasilnya, Dr. Jennifer mengalami kesulitan dalam penerapan teori
Weber, karena variasi model kepemimpinan di Indonesia berbeda
ragamnya. Dr. Jennifer membagi bentuk kepemimpinan di Indonesia
dalam empat latar belakang: Intelektual Muslim, politisi dan pejabat
negara Muslim, organisasi Islam, serta Ulama. Menurut Dr. Jennifer,
dari keempat model ini teori Weber perlu dikembangkan agar bisa
mengidentifikasi dan membuat distingsi pemimpin-pemimpin
kharismatik secara lebih detail.
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
16
Jenis penelitian pada tesis ini adalah penelitian kepustakaan
(library research). Penelitian kepustakaan merupakan penelitian
dengan melakukan studi pustaka. Berbeda dengan penelitian lapangan
(field research), penelitian kepustakaan tidak hanya melakukan studi
pustaka untuk menyiapkan kerangka penelitian guna memperoleh
informasi penelitian sejenis, memperdalam kajian teoritis dan
mempertajam metodologi saja. Dalam penelitian kepustakaan, studi
pustaka juga dilakukan untuk memperoleh data penelitian. Jadi bahan-
bahan penelitian dicukupkan dari koleksi perpustakaan saja tanpa
memerlukan penelitian lapangan.15
2. Jenis dan Sumber Data
Sumber-sumber data yang diperlukan dalam penelitian ini
dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu sumber data primer dan
sekunder. Sumber data primer yang digunakan berjenis buku, jurnal
ilmiah, penelitian, artikel dan lain-lain yang membahas atau
mengungkapkan hal-hal tentang diri Gus Dur serta kepemimpinannya
baik formal maupun informal. Data ini diperlukan untuk dapat
mengidentifikasi kharisma Gus Dur serta implikasinya dalam
kepemimpinan beliau. Sumber data tersebut antara lain: buku Biografi
Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid yang
ditulis oleh Greg Barton; buku yang ditulis Gus Dur sendiri yang
berjudul Islamku,Islam Anda, Islam Kita; buku yang ditulis Gus Dur
15
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan ed. 2 (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2008) 1.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
17
sendiri yang berjudul Ilusi Negara Islam; buku yang ditulis Gus Dur
sendiri yang berjudul Islam Kosmopolitan; buku Tabayun Gus Dur
yang disunting oleh M. Saleh Isre; buku bunga rampai berjudul Gus
Dur Santri Par Excellence yang diedit Irwan Suhanda; buku bunga
rampai berjudul Perjalanan Politik Gus Dur yang diedit Irwan
Suhanda; buku bunga rampai berjudul Gus Dur, Manusia
Multidimensional yang diedit Maswan dan Aida Faichatul Laila;
pidato oleh/wawancara dengan Gus Dur sendiri, keluarga, teman, atau
orang-orang dekat Gus Dur, berupa video yang dapat diakses melalui
internet dari berbagai sumber; serta artikel-artikel tentang pribadi serta
kepemimpinan Gus Dur yang tersedia di website Gusdur.net dan
Gusdurian.net.
Sumber data sekunder diperoleh dari buku, artikel, majalah,
jurnal dan sebagainya, sejauh itu masih bisa digunakan untuk
melengkapi penelitian. Sumber-sumber ini tidak terkait langsung, baik
dengan kharisma Gus Dur maupun dengan kepemimpinan beliau.
Namun dapat membantu proses penelitian utamanya dalam memahami
segala sesuatu yang berkaitan dengan pokok bahasan.
3. Teknik Pengumpulan Data
Karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, maka
data-data yang diperlukan dibatasi pada koleksi pustaka saja. Untuk
itu, teknik pengumpulan data dapat dijelaskan sebagai berikut:
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
18
Pertama, kajian pustaka diarahkan untuk memperoleh data-data yang
berkaitan dengan diri Gus Dur. Data-data tersebut harus dapat
menunjukkan diantaranya sosok Gus Dur secara personal, latar
belakang kehidupan Gus Dur, lingkungan tempat beliau pernah
tinggal, relasi dengan orang-orang disekitarnya serta kelebihan-
kelebihan Gus Dur sendiri.
Kedua, kajian pustaka diarahkan untuk memperoleh data-data
mengenai kepemimpinan Gus Dur, baik formal maupun informal.
Data-data bisa berupa situasi dan kondisi dimana Gus Dur memimpin,
bagaimana jalannya kepemimpinan beliau, prestasi-prestasi yang
dicapai serta kesan-kesan dari orang-orang tentang kepemimpinan Gus
Dur. Semua itu dibutuhkan untuk mengetahui bagaimana
kepemimpinan Gus Dur berlangsung, masing-masing dalam
kepemimpinan formal dan informal.
4. Teknik Analisis Data
Untuk dapat mengidentifikasi kharisma Gus Dur serta
menjelaskan implikasinya dalam kepemimpinan formal dan informal,
penelitian ini menggunakan dua tahap analisis. Yang pertama adalah
analisis terhadap kharisma Gus Dur. Dalam hal ini, peneliti
menggunakan metode heuristika. Heuristika merupakan metode untuk
menemukan jalan baru secara ilmiah dalam memecahkan masalah.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
19
Masalah tersebut merupakan hal yang perlu dicari maknanya karena
mendasari pengalaman manusia yang penting. 16
Prosesnya dimulai dengan suatu pertanyaan atau masalah yang
ditemukan oleh peneliti. Kemudian pertanyaan itu coba dicari
jawabannya melalui penyelidikan ilmiah. Dalam prosesnya, peneliti
memerlukan gairah, komitmen dan disiplin untuk tetap secara intens
mencari jawaban dari pertanyaan tersebut.17
Karena yang dicari adalah
pemahaman baru, tidak cukup dengan berpegang pada teori yang
sifatnya sementara saja. Adapun kaidah-kaidah dalam metode
heuristika: perumusan sistematis, penyelidikan asumsi dasar, pencarian
alternatif, perhatian bagi inkonsistensi dan kepekaan bagi masalah-
masalah.18
Tahap kedua adalah menganalisis bagaimana implikasi
kharisma Gus Dur dalam kepemimpinan beliau, baik formal maupun
informal. Metode yang digunakan adalah interpretasi, yaitu melakukan
pemahaman yang benar mengenai ekspresi manusia yang dipelajari.
Dalam hal ini, fakta atau produk itu dibaca sebagai suatu naskah. Maka
data-data yang diperoleh mengenai kepemimpinan Gus Dur, baik
formal maupun informal, akan coba diinterpretasikan dengan mengacu
pada temuan tahap pertama, yaitu kharisma Gus Dur.
16
Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat (Yogyakarta:
Kanisius, 1990) 52. 17
Clark Moustakas, Heuristic Research: Design, Methodology and Applications (California,
London dan New Delhi: Sage Publications, Inc., 1990) 15. 18
Anton Bakker, Metodologi Penelitian Filsafat.., 52.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
20
H. Sistematika Pembahasan
Untuk memudahkan pembaca memahami penelitian ini, peneliti akan
menyusun sistematika pembahasan dalam lima bab sebagai berikut:
Bab I: Pendahuluan. Dalam bab ini dijelaskan mengenai latar
belakang penelitian, fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian,
kerangka teoritik, telaah pustaka serta metode penelitian. Dengan demikian
bab ini merupakan gambaran umum dari seluruh isi penelitian serta
merupakan kerangka dasar dalam pelaksanaan penelitian.
Bab II: Kharisma. Dalam bab ini akan dijelaskan segala hal yang
mengacu pada pemahaman tentang kharisma, mulai dari pengertian kharisma,
kharisma dalam teori Max Weber, tinjauan filosofis mengenai kharisma serta
kharisma sebagai problem agama dan kepemimpinan. Ini diperlukan sebagai
landasan teori dalam penelitian.
Bab III: Gus Dur dan Kepemimpinannya. Dalam bab ini akan
dijelaskan mengenai latar belakang, kepribadian dan keluar-biasaan Gus Dur,
budaya politik Indonesia di era kepemimpinan Gus Dur, serta jalannya
kepemimpinan Gus Dur sebagai presiden dan ketua umum PBNU.
Bab IV: Kharisma Gus Dur dalam kepemimpinan Formal dan
Informal. Bab ini berisi analisis mengenai kharisma Gus Dur serta implikasi
kharisma beliau dalam kepemimpinan formal dan informal.
Bab V: Penutup. Berisi kesimpulan dari hasil penelitian dan saran.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
21
BAB II
KHARISMA
A. Pengertian Kharisma
Kharisma berasal dari bahasa Yunani dengan kata dasar χάρις (charis),
yang artinya rahmat/kasihkarunia/anugerah (grace)1, keindahan (beauty),
kesenangan (delight), keuntungan (boon), syukur (gratefulness, thanks).2 John
Potts, dalam bukunya A History of Charisma, mengidentikan arti kata charis
dengan kata Inggris grace, dengan syarat kata tersebut juga mengandung
makna: kemenarikan (attractiveness), kebaikan hati/berkah (favour), rasa
terimakasih (gratitude), pesona (charm), dan juga karunia/hadiah (gift)3
Dalam kamus Oxford, kharisma adalah kata benda yang memiliki dua
pengertian:4
1. Daya pikat atau pesona yang bisa menginspirasi ketaatan/kesetiaan di
dalam diri orang lain. Contoh: Dia memiliki kharisma dan penampilan
panggung yang luar biasa.
2. Kekuatan atau bakat anugerah dari Ilahi.5
1 Kalangan Kristen di Indonesia biasa menerjemahkannya dengan kata “rahmat”, “kasih karunia”
atau “anugerah”. Henk ten Napel, Kamus Teologi: Inggris-Indonesia (Jakarta: Gunung Mulia,
2006) 151. Kata grace dimiliki oleh hampir setiap agama. Namun karena teologinya berbeda-beda,
setiap agama memiliki pemahaman sendiri-sendiri mengenai konsep ini. Dalam teologi kristen,
grace dapat diartikan sebagai pertolongan supernatural dari Tuhan yang dianugerahkan pada
manusia dengan maksud mensucikannya. Contohnya seperti kematian Kristus sebagai penebus
dosa umatnya. Frank L. Cross dan Elizabeth A. Livingstone, The Oxford Dictionary of The
Christian Church ed. iii (Oxford: Oxford University Press: 2005) 700. 2 Robert Beekes, Etymological Dictionary of Greek.., 1606.
3 John Potts, A History of Charisma.., 12.
4 Angus Stevenson, Oxford Dictionary of English ed. iii (Oxford: Oxford University Press, 2010)
292. 5 Dalam bahasa Inggris, kata charisma dalam makna kedua ini bisa diganti dengan charism atau
spiritual gift. Bentuk pluralnya charismata atau spiritual gifts. Kata charisma, charism ataupun
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
22
Berdasarkan pengertiannya, kata kharisma yang selama ini digunakan
memiliki dua konteks berbeda. Dalam pengertian yang pertama, kharisma bisa
digunakan dalam konteks kehidupan sehari-hari, yaitu untuk menunjukkan
daya pikat dan pesona yang bisa membangkitkan kesetiaan orang lain.
Sedangkan pengertian yang kedua hanya digunakan dalam konteks religius,
terutama teologi Kristen, berupa kekuatan atau bakat anugrah dari yang Ilahi.
Pengertian kharisma sebagai daya pikat atau pesona digunakan secara
umum dalam berbagai konteks di zaman sekarang. Orang begitu mudah
melekatkan label kharisma pada tokoh yang dikagumi banyak orang, apapun
bidangnya. Namun ada kesan bagi peneliti bahwa kata ini dipilih justru ketika
orang tidak bisa menjelaskan apa yang menjadi daya pikat seorang figur
tertentu. Ketika semua kelebihan, seperti cantik, cerdas, pandai bicara,
berbakat dan sebagainya, dirasa tidak memadai untuk menjelaskan daya pikat
seseorang, kata kharisma yang dipilih.
Pengertian seperti itu tampak berbeda dengan pengertian yang kedua.
Namun sebenarnya kedua pengertian tersebut berkaitan. Sejarah telah
mencatat kemunculan kata ini sebagai istilah pada pertengahan abad pertama,
diperkenalkan dalam surat-surat Paulus. Pada waktu itu maknanya seperti
pengertian yang kedua, yaitu karunia spiritual Ilahi. Ada proses panjang
meliputi seluruh abad masehi sehingga pengertian kharisma sebagai karunia
spiritual ilahi menjadi suatu daya pikat pembangkit kesetiaan orang lain.6
charismata jarang dipakai dalam Perjanjian Baru berbahasa Inggris, dan lebih sering
menggunakan kata gift atau spiritual gift. 6 Sejarah panjang penggunaan kata kharisma dapat dilihat dalam buku The History of Charisma
karya John Potts.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
23
Berikut ini akan dijelaskan proses singkatnya dengan hanya mengambil
perubahan makna yang signifikan sesuai dengan situasi dan kondisi dimana
kata ini digunakan.
Dalam mitologi Yunani, charis merupakan nama tunggal dari dewi-
dewi yang disebut Charites, dewi-dewi yang merepresentasikan keanggunan,
pesona, kecantikan kreatifitas, dan kesuburan.7 Mereka dianggap sebagai
dewi-dewi yang memberikan kesuka-riaan dan meningkatkan kebahagian-
kebahagian hidup lewat kelembutan dan kehalusan. Mereka meminjamkan
keanggunan dan pesona mereka pada apapun yang menyenangkan dan
meninggikan baik dewa maupun manusia.8
Budaya Yunani Helenistik menggunakan kata charis dalam dua
dimensi. Yang pertama, yaitu dimensi religius, charis digunakan dalam arti
anugerah supernatural dari dewa kepada orang yang disukainya. Biasanya
berupa keindahan fisik yang mencakup daya pikat atau kecakapan berbicara
dan kecantikan tubuh. Namun bisa juga berupa sifat-sifat spesial yang lain. 9
Dalam perkembangannya, bagaimana bentuk spesifik charis tidak
terlalu ditekankan selama masih digambarkan sebagai sesuatu yang bersifat
spiritual dan supranatural. Yang lebih diperhatikan adalah tindakan kasihnya
7 Luke Roman dan Monica Roman, Encyclopedia of Greek and Roman Mythology (New York:
Facts On File, 2010) 180. 8Ada banyak versi tentang jumlah dewi-dewi Charites tersebut, namun pandangan yang populer
adalah dari Hesiod, yang menyatakan mereka berjumlah tiga: Aglaia (Charis), Euphrosyne dan
Thalia. Disini Charis adalah nama salah satu dari Charites, bukan sebutan tunggal dari setiap dewi
Charites. Mereka disebut-sebut sebagai putri-putri Zeus dengan Eurynome. Charis sendiri
merupakan istri dari dewa seni, Hephaestus. William Smith, A Dictionary of Greek and Roman
Biography and Mythology (London: John Murray, Albemarle Street, 1872) 686. 9Sebagai contoh, dalam Odyssey karya Homeros, dewi Athena memberikan charis kepada
Telemachus anak Odysseus, sehingga semua mata akan tertuju padanya dengan penuh kekaguman
ketika dia datang. John Potts, A History of Charisma.., 13
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
24
(act of favour). Dalam budaya Yunani, charis merupakan komponen penting
dalam menghubungkan manusia dan dewa. Ada hubungan terikat antara dewa
dan manusia ketika charis ini diberikan, yaitu hubungan timbal-balik. Dewa
memberikan charis pada manusia yang disukainya. Manusia kemudian merasa
senang dan berhutang budi. Rasa terimakasih dan pengabdian pada dewa
merupakan kewajiban sebagai imbalan dari pemberian charis tersebut.10
Yang kedua, charis juga digunakan dalam pengertian non-religius,
yaitu dalam domain daya pikat, kesenangan dan cinta. Ini merupakan
pengertian yang secara umum digunakan dalam budaya Yunani. Charis bisa
berarti pesona seseorang, yaitu sifat menarik yang terpancar dari dalam diri
seseorang. Charis juga bisa digunakan untuk menyatakan daya pikat yang
terpancar dari benda seperti permata. Selain itu, charis juga digunakan dalam
arti pemberian/hadiah atau perbuatan baik dari manusia kepada manusia yang
lain.11
Dimensi non-religius ini tidak serta merta menghilangkan unsur
spiritual dan supernatural dari charis. Dalam budaya Yunani dan Helenistik,
kepercayaan akan kekuatan-kekuatan magis dan keajaiban-keajaiban masih
kuat, tidak peduli dari mana sumber kekuatan spiritual itu berasal, apakah dari
para dewa, iblis, ataupun roh. Para tukang sihir memiliki kehebatan yang sama
dengan orang-orang suci. Baik raja, nabi, tukang sihir, peramal dan
sebagainya bisa dianggap memiliki charis.12
10
Ibid.., 13 11
Ibid.., 14 12
Ibid.., 28.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
25
Dari kata charis, Paulus memperkenalkan untuk pertama kali kata
kharisma sebagai istilah dalam teologinya. Secara bentuk, kharisma
(charisma) berasal dari kata dasar charis yang diberi akhiran -ma. Secara
spekulatif dijelaskan oleh para peneliti, bahwa pembentukan kata kharisma
sering kali dikaitkan dengan dua kata, yaitu charis dan charisomai. Charis
sebagai kata benda, dalam bahasa sehari-hari orang Yunani juga bisa diartikan
sebagai “hadiah” atau “pemberian”. Sedangkan charisomai adalah kata
kerjanya yang berarti “memberi” atau “bertindak berbaik hati”. Charisma
adalah kata benda bentukan untuk menunjukkan “hasil konkret dari pemberian
charis”. Dari sini kemudian Paulus mengartikan kharisma sebagai “hasil dari
pemberian rahmat” (the result of gift of grace/charis).13
Kharisma ini memiliki
banyak varian sehingga Paulus menggunakan kata charimata sebagai bentuk
pluralnya.14
Perlu dipahami bahwa istilah kharisma yang diperkenalkan oleh Paulus
bukan ditujukan untuk memperkenalkan suatu konsep teologis baru,
melainkan sebagai sebuah upaya menjelaskan bahasa alkitab yang tidak ada
padanan katanya dalam bahasa Yunani secara persis disebabkan perbedaan
latar belakang keagamaan. Dalam Septuaginta15
, istilah charis, serta kata
kerjanya charisomai, adalah terjemahan dalam bahasa Yunani dari kata hen
dan hanan. Hen dan hanan adalah istilah dalam bahasa Ibrani yang artinya
13
Ibid.., 35 14
Ibid.., 36. 15
Alkitab Ibrani yang telah diterjemahkan dalam bahasa Yunani Koine atau Yunani Helenistik dan
kemudian menjadi Perjanjian Lama umat Kristiani. Kitab ini berasal dari orang-orang Yahudi yang
melakukan migrasi ke Mesir dan daerah-daerah lain yang berbahasa Yunani sehingga kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Yunani. Simon Hornblower dan Antony Spawforth, The Oxford
Classical Dictionary ed. IV (Oxford: Oxford University Press, 2012) 1351.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
26
“karunia” dan “menunjukkan karunia”. Karunia yang dimaksud merupakan
karunia spiritual dari Tuhan, yang dalam perjanjian lama ditujukan bagi
pahlawan-pahlawan Israel seperti Moses, Samson, Saul, David, Elijah dan
Elisha. Dengannya, para pahlawan ini dapat memimpin umat mengatasi segala
rintangan dan memperoleh kemenangan atas nama Tuhan, misalnya Moses
yang dapat mengalahkan Firaun, David mengalahkan Goliath dan
seterusnya.16
Tabel 2.1
Macam-macam kharisma dalam Perjanjian Baru17
1 Korintus 12: 28
1 Korintus 12: 8-10
Efesus 4: 11
Rum 12: 6-8
1 Korintus 7: 7
1 Petrus 4: 11
Rasul
Nabi
Guru
Mujizat Penyembuhan
Pertolongan
Administrasi
Bahasa lidah
Kata bijaksana
Kata pengetahuan
Iman
Karunia penyembuhan
Mujizat
Nubuat
Membedakan roh
Bahasa lidah
Interpretasi bahasa lidah
Rasul
Nabi
Evangelis
Pastor-guru
Nubuat
Melayani
Mengajar
Membesarkan hati
Menyumbangkan
Kepemimpinan
Mengasihi
Pernikahan
Membujang
Siapapun yang bicara (meliputi beberapa karunia)
Siapapun yang memberi pelayanan (meliputi beberapa karunia)
Paulus menyebutkan kata kharisma dalam Perjanjian Baru setidaknya
16 kali. Secara pokok dapat ditemukan di Rum sebanyak enam referensi (1:11;
5:15,16; 6:23; 11:29 dan 12:6) dan di 1 Korintus tujuh referensi (1:7; 7:7;
16
Lindsay Jones, Encyclopedia of Religion ed.2, Vol. 3 (Michigan: Thomson Gale, 2005) 1545. 17
Wayne Grudem, Systematic Theology: An Introduction to Biblical Doctrine (Leicester: Inter-
Varsity Press, 1994) 896.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
27
12:4,9,28,30 dan 31:2). Sisanya dapat ditemukan masing-masing pada 2
Korintus 1:11, 1 Timotius 4:14 dan 2 Timotius 1:6.18
Kharisma bagi Paulus merupakan kata yang sesuai untuk menjelaskan
suatu bakat atau kelebihan pemberian dari Tuhan. Berbeda dari penggunaan
kata charis dalam keseharian orang Yunani, kharisma hanya bisa diterapkan
pada pemberian, kebaikan hati atau kasih sayang dari Tuhan. Kharisma
merupakan pemberian spiritual dari Roh Kudus kepada manusia. Jadi konsep
kharisma pertama kali muncul mengandung makna teologis, yaitu sebagai
spiritual gift of God’s grace.19
Kharisma sebagai bakat atau kemampuan khusus yang bermacam-
macam tersebut dapat dipilah menjadi dua. Pertama, kemampuan-kemampuan
alamiah, contohnya seperti mengajar, berkhutbah, menunjukkan kasih, dan
semua yang bisa dikategorikan bakat atau kemampuan alamiah. Kedua,
kemampuan-kemampuan ajaib, contohnya seperti nubuat, penyembuhan,
membedakan roh dan sebagainya. Keduanya dibedakan dari kemampuan-
kemampuan biasa karena merupakan karunia spiritual, dengan tujuan untuk
kebaikan bersama, manfaat rohaniah dan membangun Gereja.20
Untuk yang
pertama memang sulit dibedakan dengan kemampuan biasa. Namun hasilnya
bisa dijadikan pembeda. Misalnya, jika hati orang merasa tersentuh, nyaman,
atau terdorong untuk lebih mendekatkan diri pada Tuhan serta tergerak untuk
18
Loan Le, Religious Life: A Reflective Examination of Its Charism and Mission for Today
(Newcastle: Cambridge Scholars Publishing, 2016) 8. 19
John Potts, A History of Charisma.., 23. 20
Wayne Grudem, Systematic Theology.., 892.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
28
membangun gereja setelah mendengar musik dari seorang Kristiani, maka bisa
jadi orang tersebut memiliki kharisma musik.21
Dalam perkembangan teologi Kristen, penjelasan mengenai karunia
spiritual ini menjadi sangat luas.22
Menurut Len Oakes, setidaknya kita bisa
menangkap tiga hal yang kosisten dari pengertian kharisma menurut Paulus:23
1. Setiap orang beriman memiliki kharisma dari Tuhan.
2. Ada beberapa macam kharisma, misalnya kebijaksanaan, pengetahuan,
penyembuhan, kekuatan-kekuatan ajaib, kenabian dan masih banyak
lagi.24
3. Semua kharisma tersebut dimaksudkan untuk kebaikan bersama, bukan
kepentingan pribadi.
Pasca Paulus, kepopuleran kata kharisma semakin menurun. Tidak
banyak yang mengenal kata ini hingga pada abad ke-20. Max Weber (1864-
1920 M) adalah orang pertama yang memperkenalkan kata kharisma sebagai
istilah baru dalam sosiologi.25
Weber memperkenalkan istilah kharisma untuk
mencirikan dan menganalisis bentuk-bentuk historis dari otoritas berdasarkan
legitimasi pada seorang tokoh yang luar biasa.26
21
Mark Allan Stewart, Releasing The Power of Your Spiritual Gifts (New York: Writers Club
Press, 2003) 28. 22
Penjelasan mengenai kharisma yang kian meluas baru terjadi pada awal abad ke-20, sedangkan
pasca paulus (kekristenan awal), kharisma justru tidak mendapat perhatian serius dari gereja. 23
Len Oakes, The Charismatic Personality (Bowen Hills: Australian Academic Press, 2010) 5. 24
Selebihnya lihat di Perjanjian Baru: Rum 12:6-8; 1Korintus 12:8-10 dan 28; Epesus 4:11; 1Peter
4:11. 25
Lebih dari itu, Weber juga yang pertama kali mencoba menganalisis isi batin karakter
kharismatik, menyatakan kharisma itu mengimplikasikan hubungan antara orang hebat dengan
pengikutnya, serta menempatkan kharisma dalam konteks sosial. Charles Lindholm, Charisma..28. 26
Joshua Derman, Max Weber in Politics and Social Though: From Charisma to Canonization
(Cambridge: Cambridge University Press, 2013) 12.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
29
Weber memperkenalkan tiga tipe ideal otoritas: legal, tradisional dan
kharismatik.27
Untuk yang terakhir ini Weber memberi penekanan khusus.
Otoritas kharismatik mengacu pada pola otoritas yang mensyaratkan adanya
seorang pemimpin kharismatik dala suatu komunitas. Kharismatik artinya
memiliki kharisma, yaitu kualitas kepribadian luar biasa, karena yang
bersangkutan dianggap sebagai orang luar biasa, manusia super, yang
memiliki kekuatan supranatural dan mampu menunjukkan keajaiban-
keajaiban. Oleh sebab itulah orang lain menjadikan dia pemimpin dan
menaatinya. Contohnya ada dalam sejarah, yaitu kepemimpinan para nabi,
pahlawan perang, pemimpin dalam perburuan dan lain-lain.28
Kualitas luar biasa tersebut bisa juga diterapkan pada kepribadian
tokoh-tokoh yang memiliki kemampuan unik untuk menampilkan emosi yang
sangat berwarna. Itu merupakan kondisi emosional yang lebih kuat dari
kondisi emosional biasa. Tokoh-tokoh ini terlihat begitu hidup dibandingkan
yang lain, tampak eksis dalam keadaan kesadaran yang selalu berubah dan
intens, berbeda dari pola kepribadian yang biasa. Ketika itu ditampilkan, maka
akan bisa membangkitkan antusiasme dan daya hidup orang lain. Singkatnya,
kharisma merupakan kualitas luar biasa dari kepribadian seseorang yang
mampu untuk mengekspresikan perasaan yang meluap-luap, sampai-sampai
27
Tipe pertama adalah otoritas legal, yaitu otoritas yang bergantung pada keyakinan akan hukum
dan peraturan dalam undang-undang. Tipe kedua adalah otoritas tradisional, yaitu otoritas yang
bergantung pada keyakinan mapan akan kesucian tradisi kuno. Tipe ketiga adalah otoritas
kharismatik, yaitu otoritas yang bergantung pada kesucian, kepahlawanan atau keteladanan dari
seorang tokoh yang luar biasa. Max Weber, Economy and Society.., 215. 28
Max Weber, Economy and Society.., 241.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
30
mampu membuat dia menjadi pusat perhatian dan objek imitasi tidak reflektif
oleh orang lain.29
Weber tidak memberi penekanan pada aktualitas dari hal-hal yang
supranatural tersebut. Yang lebih penting untuk diperhatikan adalah
pengakuan orang lain. Seseorang berkharisma hanya jika orang lain
menganggap bahwa dia luar biasa dan memiliki kemampuan supernatural atau
kemampuan-kemampuan tertentu yang tidak lazim dimiliki orang-orang biasa.
Jika anggapan tersebut hilang, maka kharismanya juga hilang.30
Sepertinya
Weber lebih menekankan pada aspek hubungan seorang pemimpin
kharismatik dengan para pengikutnya dibandingkan melihat kharisma sebagai
kualitas kepribadian luar biasa begitu saja.31
Weber mengambil kata kharisma dari Teologi Kristen. Inspirasi datang
terutama dari Rudolf Sohm (1841-1917 M), sejarawan hukum termasuk juga
hukum Gereja. Dia memberikan penekanan terhadap kharisma dan
pengaruhnya terhadap sejarah perkembangan gereja.32
Sebelum Weber,
kharisma hanya digunakan secara khusus, yaitu oleh kalangan Kristen.
Pengertiannya seperti pengertian yang kedua, yaitu kekuatan atau bakat
anugerah dari yang Ilahi.33
Pasca diperkenalkan kembali oleh Weber, kata kharisma menjadi
populer dan dimasukkan dalam kosa kata berbagai bahasa di seluruh dunia.
29
Charles Lindholm, Charisma..30. 30
Joshua Derman, Max Weber in Politics and Social Though.., 182. 31
William H. Swatos, Encyclopedia of Religion and Society (Walnut Creek: AltaMira Press, 1998)
78. 32
Christopher Adair-Toteff, Fundamental Consepts in Max Weber’s Sociology of Religion
(London: Palgrave Macmillan, 2015) 134. 33
Joshua Derman, Max Weber in Politics and Social Though.., 181.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
31
Namun tanpa disangka sebelumnya, kharisma diaplikasikan dalam makna
yang lebih luas. Tidak hanya pada pribadi seorang pemimpin agama atau
politik, tapi juga pada seorang diktator, pemimpin perusahaan, atlet,
entertainer, bahkan kuda pacuan.34
Ekspansi makna kharisma teridentifikasi terjadi pada sekitar tahun
1960an. Kharisma yang awalnya adalah kualitas istimewa dari kepribadian
seseorang sebagai sumber legitimasi otoritasnya, berubah makna menjadi
pesona atau daya pikat yang kuat dari figur seorang politisi. Sebenarnya tidak
ada perbedaan signifikan dari perubahan makna tersebut, melainkan hanya
soal penekanan.35
Dengan kata lain, kualitas luar biasa tersebut dimaknai
sebagai daya pikat luar biasa.
Popularitas presiden Amerika Serikat John F. Kennedy serta peran
media televisi disebut-sebut sebagai faktor penting ekspansi makna kharisma.
Pada tahun 1960an, banyak komentator media yang mendeskripsikan daya
pikat Kennedi, baik ketika debat maupun penampilan lainnya di televisi dan
radio, sebagai kharisma. Pendeskripsian semacam ini menyebar dengan cepat
ke dunia internasional, sehingga kemudian banyak bermunculan klaim
kharismatik pada tokoh-tokoh politik dunia. Sejak saat itu, kharisma tidak
hanya mengalami ekspansi makna (atau lebih tepatnya perubahan penekanan),
melainkan ekspansi penggunaan hingga menjadi kosa kata yang secara
universal digunakan.36
34
Lindsay Jones, Encyclopedia of Religion ed.2, Vol. 3.., 1543. 35
John Potts, A History of Charisma.., 127. 36
John Potts, A History of Charisma.., 128
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
32
Selanjutnya, pengertian kharisma kian meluas ketika digunakan tidak
hanya dalam ranah kepemimpinan, melainkan juga pada bintang-bintang
populer dalam dunia entertainmen. Ini adalah konsekuensi dari perubahan
penekanan dalam memahami kharisma, dari yang semula kualitas kepribadian
luar biasa seorang pemimpin menjadi daya pikat personal. Kharisma menjadi
identik dengan pengertian dari selebriti (celebrity). Dunia Hollywood
misalnya, mulai menggunakan istilah kharisma pada bintang-bintang terkenal
yang mereka produksi. Sekali lagi media memegang peranan penting. 37
Meski demikian bukan berarti penggunaan kharisma dalam pengertian
yang sama dengan selebriti diterima begitu saja. Banyak perdebatan yang
muncul kemudian untuk masalah ini. Kebanyakan yang tidak setuju
menyatakan ada distingsi yang jelas antara kharisma dan selebriti: selebriti
dikonstruksi oleh media massa, sedangkan kharisma tidak tergantung aparatus
apapun. Kharisma adalah innate gift yang hanya dimiliki oleh orang-orang
tertentu. Ada dua karakteristik yang ditekankan, yaitu langka dan bawaan.
Mungkin ada bintang semacam itu, tetapi tidak banyak.38
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa kharisma
sebagai istilah dalam konteks sosiologis telah terlanjur menjadi kosa kata
umum. Kharisma dapat diterapkan pada siapa saja bahkan apa saja yang
memiliki daya pikat kuat, tergantung pada konteks penggunaannya. Kharisma
37
John Potts memperlihatkan bagaimana peranan media yang semakin mempopulerkan kata
kharisma, yang justru mengakibatkan munculnya kecenderungan mengidentifikasi kata ini sebagai
identik dengan kata selebriti. Kata selebriti (celebrity) sendiri dapat diartikan sebagai popularitas
atau kemasyhuran seseorang yang dirayakan oleh publik. Selengkapnya lihat John Potts, A
History of Charisma.., 159. 38
John Potts, A History of Charisma.., 172.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
33
bisa diterapkan pada seorang pemimpin dalam konteks agama atau politik,
bisa pula pada seorang superstar, bintang film maupun penyanyi dalam dunia
entertainmen.
B. Kharisma Menurut Max Weber
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa kharisma terlanjur menjadi kosa
kata umum. Peran media dianggap sebagai faktor penting perluasan makna
serta penggunaan kata tersebut. Dengan demikian untuk dapat digunakan
dalam penelitian ini, kata kharisma harus diperjelas konteksnya. Maka kita
perlu kembali pada Weber, sebab semua pemahaman kharisma dalam
pengertian modern berakar pada teorinya.
Weber menggunakan istilah kharisma dalam teorinya tentang tiga tipe
murni otoritas: legal, tradisional, dan kharismatik. Otoritas kharismatik adalah
otoritas yang validitas klaim legitimasinya berdasarkan kharisma (charismatic
grounds), yaitu berdasarkan pengabdian terhadap karakter suci, kepahlawanan
atau keteladanan yang luar biasa dari pribadi seseorang, sekaligus juga pada
pola atau tatanan normatif yang dia putuskan.39
Selanjutnya, Weber merasa perlu menjelaskan definisi dari kharisma,
karena memang kata ini belum banyak dikenal pada waktu itu.40
Weber
memberi pengertian kharisma sebagai kualitas khusus dari kepribadian
39
Max Weber, Economy and Society.., 215 40
Sebelumnya, untuk menggambarkan pemimpin seperti yang dimaksudkan Weber ini biasanya
digunakan istilah “prestige”. Dalam Bahasa Indonesia, prestige biasa diterjemahkan sebagai
pengaruh yang hebat, bisa juga berarti wibawa, perbawa, martabat atau gengsi. Prestige juga bisa
disamakan dengan kata glamour. Bagi Weber, kata ini kurang memadai sehingga dia lebih
memilih mencari istilah lain. John Potts, A History of Charisma.., 109.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
34
seseorang. Ini bukan kualitas kepribadian yang biasa saja. Kualitas
kepribadian ini dianggap hanya dimiliki oleh orang-orang yang luar biasa.
Biasanya ditandai dengan kepemilikan atas kekuatan atau kualitas
supranatural, manusia super, atau setidaknya kekuatan spesifik tertentu.
Semua itu biasanya dianggap sebagai anugerah Tuhan atau sebagai
keteladanan. Atas dasar itulah orang tersebut diperlakukan sebagai pemimpin.
Kualitas tersebut dalam kondisi primitif diterakan Weber pada figur seorang
nabi, pahlawan perang, pemimpin dalam perburuan dan sebagainya.41
Soal bagaimana kualitas tersebut mau didefinisikan, baik dari sudut
pandang etika, estetika ataupun yang lainnya, bukanlah unsur utama dalam
penjelasan Weber ini.42
Yang penting baginya dalam pendefinisian kharisma
adalah soal bagaimana sebenarnya seorang figur bisa diakui sebagai pemimpin
kharismatik oleh para pengikut atau murid.43
Dengan kata lain, kharisma yang
didefinisikan Weber tidak merujuk pada pemahaman atas kharisma itu sendiri
sebagai suatu kondisi tertentu kepribadian (terlepas dari konteks
sosiologisnya), melainkan kharisma sebagai kualitas istimewa yang
validitasnya tergantung pada pengakuan (recognition) atas keberadaannya.44
Dalam teori Weber, pengakuan atas kharisma adalah unsur penting
legitimasi otoritas kharismatik. Hanya melalui pengakuan lah kharisma
41
Max Weber, Economy and Society.., 241. 42
Dalam bagian lain dari tulisannya, Weber menyatakan bahwa penggunaan kata kharisma harus
sepenuhnya bebas nilai (value-free), yang artinya bisa diterapkan pada siapapun secara universal
selama fenomena sosiologisnya sama, yaitu dia dianggap pemimpin yang luar biasa hingga para
pengikut sepenuhnya patuh. Bisa jadi dia nabi, pemimpin perang, namun bisa juga diterapkan pada
kepala perompak atau bajak laut. Ibid.., 1112. 43
Ibid.., 241. 44
Ibid.., 242.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
35
seseorang bisa divalidasi. Dengan kata lain seseorang hanya bisa dinyatakan
kharismatik jika orang lain mengakuinya berkharisma dan atas dasar itu
mengakui kepemimpinannya. Adapun aktualitas kharisma itu sendiri
dikesampingkan. Hal ini tersirat dalam pernyataan Weber: "Charisma shall be
understood to refer to an extraordinary quality of a person, regardless of
whether this quality is actual, alleged, or presumed.”45
Pengakuan atas kharisma pemimpin diberikan oleh para pengikut
secara sukarela. Namun pengakuan ini juga mensyaratkan adanya jaminan dari
sang pemimpin. Jaminannya adalah segala sesuatu yang bisa dipercaya
sebagai bukti. Biasanya berupa keajaiban-keajaiban yang ditampilkan oleh
pemimpin tersebut. Bukti-bukti ini juga harus memperkuat pandangan
pengikut bahwa sang pemimpin adalah orang yang dipilih oleh Tuhan atau
kekuatan-kekuatan supranatural lain yang disakralkan. Selain itu, untuk
selanjutnya sang pemimpin juga harus bisa menunjukkan kesuksesan, dalam
arti keluar-biasaan yang dia tunjukkan membawa manfaat bagi para pengikut.
Selama bukti-bukti tersebut senantiasa dapat ditunjukkan, pengikut akan terus
patuh.46
Dalam bagian ini Max Weber juga menyisipkan konsep
Gottesgnadentum (divine right of kings) atau Hak Ilahi Raja-Raja untuk
menjelaskan posisi pemimpin kharismatik dimata pengikutnya. Konsep ini
merupakan doktrin politik dan religius bagi seorang raja atau penguasa dalam
sistem monarki. Doktrin ini secara umum menyatakan bahwa penguasa tidak
45
H.H. Gerth dan C. Wright Mills, From Max Weber: Essays on Sociology (New York: Oxford
University Press, 1946) 295. 46
Max Weber, Economy and Society.., 242.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
36
tunduk pada rakyat, kalangan aristokrat atau siapapun, karena hak kuasanya
diberikan langsung oleh Tuhan dan diperoleh melalui warisan. Tidak ada
perlawanan apapun yang dapat membatalkan otoritas penguasa.47
Namun
menurut Weber, penguasa tersebut dapat kehilangan otoritasnya jika dia
tampak sudah terlalu lama tidak bisa menunjukkan bukti dan keberhasilan,
tampak ditinggalkan oleh Tuhan, atau kepemimpinannya gagal menghasilkan
manfaat atau kemakmuran bagi rakyat. Inilah yang disebut Weber sebagai
makna asli dari Hak Ilahi Raja-Raja, yang dia tujukan pada seorang pemimpin
kharismatik.48
Selanjutnya, Weber juga membedakan kharisma asli (genuine/pure
type charisma) dengan yang tidak asli. Kharisma asli adalah kharisma yang
menjadi dasar bentuk murni atau primer otoritas kharismatik. Menurut Weber,
kharisma itu asli jika pengikut/murid merasa mengalami sendiri kharisma
tersebut sehingga mengakui keasliannya. Mereka merasa bahwa bertindak atas
dasar itu merupakan tugas, tanpa perlu ada klaim apapun dari sang
pemimpin.49
John potts menggambarkan kemunculan kharisma yang asli ini
dalam sebuah momen panggilan misi atau tugas spiritual: “Once the leader
has proven his charismatic credentials, it is the duty of the community to
become his followers, to accept the sacred authority of his position.”50
47
Paul Djupe dan Laura Olson, Encyclopedia of American Religion and Politics (New York: Facts
On File, Inc., 2003) 136. 48
Max Weber, Economy and Society.., 242. 49
Ibid.., 242. 50
John Potts, A History of Charisma.., 120.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
37
Dengan kata lain, kharisma asli adalah kharisma yang landasan
pengakuannya murni berdasarkan kualitas pribadi luar biasa yang ditampilkan
sang pemimpin kharismatik. Maka sebaliknya, kharisma yang tidak asli
mensyaratkan adanya landasan lain dalam pengakuan atas kharismanya.
Landasan lain yang dimaksud biasanya berupa klaim yang menyatakan
individu atau institusi tertentu terkoneksi dengan yang sakral, tanpa harus
menunjukkan secara langsung keluar-biasaannya. Jabatan keuskupan atau
tahta raja adalah contoh otoritas kharismatik bentuk sekunder ini.51
Weber menggambarkan hubungan kharismatik antara pemimpin dan
pengikut melalui kalimat Yesus: “It is written.. but I say unto you”. Kalimat
tersebut menggambarkan bahwa apapun yang dikatakan pemimpin adalah
mutlak benar bagi pengikut, meskipun bertentangan dengan diri mereka
sendiri. Dalam hal ini, pengikut yang mengakui kualitas menakjubkan dari
sang pemimpin telah lebur dalam pengabdian pribadi sepenuhnya. Dalam
pengabdian semacam ini, pengorbanan diri adalah kebaikan utama bagi
pengikut sedangkan keegoisan merupakan yang paling buruk.52
Weber berpandangan bahwa kharisma eksis karena ada ikatan
emosional. Prototipe pemimpin yang dicontohkan Weber, antara lain dukun,
prajurit yang mengamuk, bajak laut, demagog ataupun nabi, semuanya
merupakan orang-orang yang ditandai oleh kapasitas unik dan innate untuk
menampilkan emosi yang sangat berwarna. Emosi ini ditampilkan lewat
51
Charles Lindholm, Charisma..28. 52
Ibid.., 29.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
38
ekspresi yang meluap-luap dan spontan sehingga mempengaruhi emosi para
pengikut, membuat mereka antusias dan merasa lebih hidup. Dari sinilah
kemudian terbentuk ikatan emosional, dimana pemimpin secara intens
menjadi pusat perhatian sekaligus objek imitasi oleh pengikutnya.53
Menurut Weber, otoritas berdasarkan kharisma itu extra-ordinary,
sehingga otoritas ini diposisikan sebagai antitesis baik dengan otoritas legal-
rasional maupun tradisional. Otoritas ini tidak seperti otoritas legal karena
tidak terikat bahkan asing dengan aturan-aturan yang rasional. Otoritas ini
juga tidak seperti otoritas tradisional karena tidak terikat dengan aturan yang
turun temurun dari masa lalu, bahkan cenderung menolak aturan tradisi masa
lalu. Sehingga sering kali kemunculan otoritas semacam ini merupakan
kekuatan revolusianer.54
Selain itu ada beberapa ciri-ciri lain dari otoritas berdasarkan
kharisma, diantaranya tidak adanya hierarki maupun suatu sistem yang jelas
dalam aturan-aturan, tidak ada pengangkatan dan penurunan jabatan, tidak ada
jenjang karier, tidak ada promosi. Semua hal dijalankan secara instan sebagai
suatu panggilan tugas oleh pengikut berdasarkan perintah sang pemimpin.55
Kharisma asli juga berciri asing terhadap segala pertimbangan
ekonomis, tetapi bukan berarti menolak segala hal yang bernilai ekonomis.
Yang ditolak adalah segala upaya memperoleh keutungan ekonomi yang rutin.
53
Ibid.., 30. 54
Max Weber, Economy and Society.., 244. 55
Ibid.., 243.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
39
Bagi pemimpin, memanfaatkan kharismanya demi eksploitasi ekonomis
adalah suatu hal yang hina. Kalaupun dia memperoleh sumbangan atau hadiah
dari pengikut, itu dianggap sebagai dukungan. Begitu pula rampasan perang
dari musuh misalnya, tidak pernah didasarkan pertimbangan ekonomis,
melainkan diambil sebagai bagian dari panggilan misi atau untuk tujuan
keberhasilan misi.56
Seperti halnya dua tipe otoritas yang lain, tipe otoritas kharismatik
yang asli jarang ditemukan dalam realitas empiris. Itu karena ketiganya tidak
lain adalah tipe ideal otoritas. Yang biasa ditemukan dalam realitas empiris
adalah bentuk otoritas yang sudah tertransformasi atau terkombinasi satu sama
lain. Otoritas kharismatik yang asli pada akhirnya juga akan tertransformasi
karena sifatnya yang tidak stabil. Ketidak-stabilan ini wajar karena hanya
berlandaskan ikatan emosional antara pemimpin dan pengikut.57
Pada satu
titik, otoritas kharismatik yang bertahan pasti akan mengalami transformasi.
Weber menyebutnya sebagai rutinisasi kharisma.
Dalam bab rutinisasi kharisma, Weber memulai pembahasan dengan
menjelaskan ketidak-stabilan otoritas kharismatik yang hanya berlandaskan
kualitas kharismatik seorang pemimpin. Ini berarti jika sang pemimpin gagal
karena tidak lagi bisa menunjukkan kharismanya, maka otoritas macam ini
juga akan berakhir. Kalaupun bertahan, ancaman kehilangan sosok pemimpin
kharismatik tidak bisa terelakkan. Bagaimana memilih pemimpin pengganti
56
Ibid.., 244. 57
John Potts, A History of Charisma.., 120.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
40
untuk bisa mempertahankan komunitas menjadi masalah krusial. Weber
menyebutnya sebagai the problem of succession.58
Rutinisasi kharisma adalah proses tak terelakkan bagi otoritas
kharismatik yang telah terbentuk dan bertahan. Rutinisasi bisa dijelaskan
sebagai proses tradisionalisasi, legalisasi atau kombinasi dari keduanya dari
otoritas kharismatik dalam upaya komunitas yang telah terbentuk untuk tetap
bertahan. Weber menyebutkan dua motif mengapa komunitas ingin
bertransformasi, yaitu adanya kepentingan, baik ideal maupun material, untuk
menjaga keberlangsungan komunitas dan juga ikatan diantara mereka. 59
Berdasarkan motif tersebut, transformasi perlu dilakukan yaitu dengan
pencarian solusi bagi the problem of succession. Menurut Weber, ada
beberapa kemungkinan solusi yang dipilih: Pertama, pencarian pemimpin
kharismatik yang baru berdasarkan kriteria dari kualitas pemimpin
sebelumnya. Weber memberi contoh yaitu pemilihan Dalai Lama60
yang
dipercaya sebagai reinkarnasi dari Buddha. Dalam hal ini rutinisasi yang
terjadi adalah tradisionalisasi. Kedua, pencarian pengganti berdasarkan teknik
58
Max Weber, Economy and Society.., 246. 59
Ibid.., 246 60
Dalai Lama adalah gelar dari seseorang yang dianggap sebagai pemimpin politik dan spiritual
oleh orang-orang Buddha Tibet. Dalai dalam bahasa Mongol berarti samudra, secara spesifik
terkait dengan pengetahuan, sedangkan Lama berasal dari kata Blama, kata dalam bahasa Tibet
yang berarti guru keagamaan. Gelar ini pertama kali diberikan pada Dalai Lama ke-3 yaitu Bsod
Nams rgya mtsho (Sonam Gyatso) oleh raja Mongol Altan Khan pada tahun 1578 M. Sedangkan
gelar Dalai Lama ke-1 dan ke-2 diberikan pada dua tokoh yang dianggap merupakan inkarnasi
sebelum Sonam Gyatso. Orang-orang Tibet percaya bahwa seorang Dalai Lama adalah reinkarnasi
dari Dalai Lama sebelumnya. Dan semua yang bergelar Dalai Lama dipercaya merupakan
inkarnasi dari Bodhisattva of Compassion (Buddha kasih sayang), Avalokitesvara. Lindsay Jones,
Encyclopedia of Religion ed.2 Vol. 4 (Michigan: Thomson Gale, 2005) 2131.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
41
pemilihan tertentu, misalnya melalui wahyu yang dimanifestasikan dalam
orakel. Rutinisasi yang terjadi adalah legalisasi.61
Ketiga, penunjukan langsung seseorang oleh sang pemimpin
kharismatik untuk menggantikan posisinya. Keempat, penunjukan pemimpin
pengganti oleh staf administrasi yang memenuhi syarat dan diakui oleh
komunitas.62
Pemilihan Paus bisa dijadikan contoh. Kelima, penunjukan
pemimpin pengganti dari garis keturunan. Keenam, penunjukan pemimpin
baru yang telah menerima kharisma dari pemimpin yang lama. Dalam hal ini
kharisma dipandang sebagai suatu entitas objektif yang dapat dilepaskan dari
pemilik awalnya dan dialihkan pada individu lain yang akan menggantikan
kepemimpinannya lewat ritual tertentu.63
Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa kharisma memiliki setidaknya
dua aspek penting dari pengertiannya. Yang pertama adalah aspek
antropologis. Kharisma adalah kualitas luar biasa dari kepribadian seseorang,
sehingga dia dikenali sebagai pribadi yang melampaui kondisi alamiah sebagai
manusia. Contoh individu kharismatik adalah seorang nabi yang dilahirkan
sebagai manusia dengan segala sifat kemanusiaannya, namun dianugrahi
Tuhan kemampuan supranatural seperti mujizat dan sebagainya, sehingga
dianggap melampaui manusia biasa.
61
Max Weber, Economy and Society.., 247 62
Ibid.., 247 63
Ibid.., 248.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
42
Yang kedua adalah aspek sosio-politis. Kharisma adalah kualitas
pribadi seorang pemimpin yang hanya bisa divalidasi lewat pengakuan orang
lain. Aspek ini yang lebih ditekankan oleh Weber. Jadi, terlepas dari aktual
atau tidaknya kualitas ini, seseorang tetap bisa disebut kharismatik jika orang
lain mengakuinya. Bentuk murni kharisma ialah jika orang lain mengenali
secara langsung kharisma individu, kemudian secara suka rela
memperlakukannya sebagai pemimpin. Sebaliknya, jika kharisma individu
diakui berdasarkan klaim, maka karismanya tidak asli.
C. Tinjauan Filosofis Mengenai Kharisma
Sampai saat ini, kharisma merupakan kata yang masih sulit dipahami.
Dia memiliki rentang makna yang luas. Pemahaman dari satu orang belum
tentu sama dengan orang yang lain, bahkan untuk satu pemimpin yang sama.
Namun setidaknya ada satu hal yang disepakati, bahwa kharisma dialamatkan
pada seseorang yang begitu memikat, mudah disukai dan dikagumi. Seolah-
olah ada magnet melekat pada dirinya yang memancar sehingga dapat menarik
dan mengumpulkan persetujuan terhadap dirinya.
Dalam praktiknya, kharisma bisa jadi sangat remeh ketika dialamatkan
pada seseorang yang mudah disukai orang lain sehingga dia memiliki banyak
teman. Tetapi kharisma juga bisa menjadi persoalan serius ketika dialamatkan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
43
pada seorang pemimpin dengan banyak pengikut yang memujanya, hingga
rela mati atau membunuh atas perintah sang pemimpin.64
Sebagai langkah pertama, penting untuk dipertimbangkan menyelami
kembali pemahaman mengenai kharisma dengan mengajukan pertanyaan-
pertanyaan mendasar. Seperti mengenai apa kharisma itu, bagaimana cara
kerjanya, dan yang lebih penting lagi apa makna keberadaannya. Secara
sederhana kharisma dapat dijelaskan sebagai suatu kualitas tertentu dari
kepribadian individu yang dianggap luar biasa sehingga menjadi penyebab
tunduknya orang lain terhadapnya.
Berangkat dari pengertian seperti itu, maka secara umum kharisma
dapat dipahami dalam dua pengertian berbeda. Pertama, kharisma dipahami
sebagai kualitas/derajad/nilai yang diberikan (dilabelkan) kepada seseorang
yang dianggap memiliki kepribadian luar biasa. Menyatakan seseorang
sebagai kharismatik lebih merupakan cara mengidentifikasi kepribadiannya
sebagai luar biasa berdasarkan kriteria-kriteria tertentu. Jadi kharisma
bukanlah suatu entitas, melainkan kategori penilaian.
Kedua, kharisma dipahami sebagai suatu entitas tertentu dalam diri
seseorang (bagian tertentu yang ditampilkan lewat kepribadian orang tersebut)
yang mana dengan cara-cara tertentu, yang masih misterius, dapat
mempengaruhi orang lain untuk tunduk kepadanya. Dengan demikian
kharisma dimengerti sebagai suatu entitas aktual, entah itu dalam bentuk fisik
64
Charles Lindholm, The Anthropology of Religious Charisma: Ecstasies and Institutions (New
York: Palgrave Macmillan, 2013) 1.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
44
maupun spiritual, alamiah maupun supranatural. Cerita tentang pulung65
dalam masyarakat Jawa dapat menjadi contoh dari pengertian kharisma
semacam ini.
Sejauh ini tidak ada pemahaman final apakah kharisma itu suatu
kategori penilaian atau suatu entitas aktual. Terlepas dari itu, pada dasarnya
kharisma merupakan kualitas yang dialamatkan pada orang-orang yang dalam
sejarah dianggap sebagai Great Man. Orang-orang ini bisa kita telusuri hingga
zaman Yunani kuno.66
Para tokoh yang digelari Hero dalam mitologi Yunani,
Yesus sang Mesias, Muhammad dengan gelar Nabi dan Rasul, Siddharta
Gautama sebagai Sang Buddha, adalah contoh-contoh Great Man dengan
berbagai frame yang menggambarkan keluar-biasaannya.
Kharisma tidak harus terkait langsung dengan berbagai frame dari
tokoh-tokoh tersebut, namun menjadi kualitas yang selalu melekat pada
mereka. Kharisma lah yang memungkinkan para tokoh ini memiliki pengikut-
pengikut setia. Bukan gelar seperti Nabi, Mesias, ataupun Hero yang membuat
tokoh-tokoh ini memperoleh pengikut, melainkan kemampuan mereka
mempengaruhi orang lain untuk percaya dan setuju padanya.
Lalu bagaimana menjelaskan kharisma para Great Man ini terkait
dengan ketundukan dan kesetiaan para pengikutnya? Apakah kharisma
65
Pulung adalah semacam benda spiritual, biasanya berbentuk seperti bola yang terbang
melayang-layang di angkasa, dan akan turun kepada calon kepala desa. Masyarakat percaya bahwa
calon kepala desa yang didatangi pulung adalah yang paling tepat dijadikan kepala desa. Cliffort
Geertz, Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa, terj. Aswab Mahasin
dan Bur Rasuanto (Depok: Komunitas Bambu, 2014) 24. 66
Charles Lindholm, The Anthropology of Religious Charisma.., 4.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
45
memiliki daya pengaruh yang sedemikian kuat sehingga pada hakikatnya para
pengikut tanpa sadar dipaksa untuk tunduk? Atau justru sebaliknya, kharisma
hanya merupakan identifikasi semena-mena dan semata-mata subjektif dari
para pengikut terhadap seorang pemimpin?
Perlu diingat bahwa meski digambarkan seluar-biasa apapun, Great
Man ini hadir dihadapan para pengikutnya sebagai pribadi manusia. Kita bisa
menjelaskan berbagai hal luar-biasa yang membedakan mereka dengan
manusia biasa, namun Great Man tetaplah eksis sebagai manusia. Bahkan
Yesus yang adalah Tuhan dalam kepercayaan Kristen hadir sebagai manusia.
Eksistensi sebagai manusia inilah yang justru memungkinkan tokoh-
tokoh besar ini dipahami oleh para pengikutnya. Namun ini berarti mereka
juga terikat dengan kondisi-kondisi eksistensial seperti manusia biasa.
Sehingga dalam membangun relasi dengan para pengikutnya, Great Man juga
berinteraksi selayaknya manusia.
Merujuk pada Georg Simmel (1858-1918), setiap relasi antar individu
manusia selalu dalam tegangan saling pengaruh. Simmel menyebutnya sebagai
Wechselwirkung, yaitu efek timbal-balik.67
Hal tersebut terkait dengan
pandangannya bahwa manusia itu mahluk perbedaan, yaitu mahluk sosial
sekaligus asosial. Di satu sisi manusia selalu ingin beda, namun di sisi lain
juga tidak mau terisolasi dari yang lain.
67
Budi hardiman, “Georg Simmel dan Relasionisme: Sebuah Tinjauan Filosofis atas Hubungan
Individu dan Masyarakat”, Studia Philosophica et Theologica, Vol. 10 No. 1 (Maret 2010) 7.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
46
Dari kondisi eksistensial semacam itu manusia membangun relasi
melalui interaksi dengan yang lain. Ada banyak cara manusia berinteraksi baik
secara langsung seperti menyapa tetangga, atau secara tidak langsung seperti
berkirim surat. Interaksi paling awal, yaitu dengan orang yang belum dikenal,
biasanya dimulai dengan saling mempersepsikan satu sama lain secara
indrawi. Baru kemudian dilanjutkan dengan interaksi yang lain misalnya
memulai komunikasi verbal.68
Bahkan dari interaksi saling mempersepsi melalui indra ini saja efek
timbal balik sudah terjadi. Satu pihak tidak bisa menghindar dari persepsi
pihak lain, dan itu mempengaruhi cara dia berinteraksi selanjutnya. Demikian
juga hal yang sama dialami oleh pihak lain. Namun persepsi masing-masing
pihak juga tidak lepas dari image yang mereka tampilkan satu sama lain.
Maka, relasi yang terbangun tidak bisa diandaikan satu arah.
Berdasarkan pandangan Simmel tersebut, pengandaian bahwa
kharisma lah yang semata-mata dapat mempengaruhi orang lain untuk tunduk
menjadi tidak mungkin. Begitu juga dengan pengandaian bahwa kharisma
semata-mata penilaian subjektif dari sudut pandang pengikut juga menjadi
tidak mungkin. Relasi antara pemimpin kharismatik dengan para pengikutnya
sebenarnya saling mempengaruhi.
Jika demikian, bagaimana menjelaskan keberadaan komunitas
kharismatik, yang mana di satu sisi ada pemimpin luar biasa dan di sisi lain
68
Ibid, 14.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
47
ada pengikut yang sepenuhnya tunduk, sedangkan pada dasarnya hubungan
meraka adalah saling mempengaruhi? Jawabannya adalah karena manusia
memiliki kondisi eksistensial yang memungkinkan hal tersebut, yaitu
kebebasan. Justru karena manusia itu bebas, manusia mampu menentukan
dirinya untuk tidak tunduk pada siapapun, mencoba menundukkan siapapun,
atau sebaliknya, merelakan dirinya untuk tunduk sepenuhnya pada seseorang
atau suatu kelompok.
Untuk menjelaskan hal tersebut, peneliti akan merujuk pada pandangan
Erich Fromm (1900-1980). Menurutnya, manusia itu eksis dalam keadaan
sendirian, kesepian, terisolasi, tidak terikat dengan alam maupun sesamanya.
Berbeda dengan hewan atau tumbuhan yang hidupnya terikat dan selaras
dengan alam. Manusia terisolasi, tidak memiliki ikatan dengan apapun dan
siapapun, itu artinya manusia sepenuhnya bebas.69
Namun kondisi bebas ini justru cenderung dirasa negatif. Karena
manusia harus menghadapi dunia yang serba asing dan mencekam ini
sendirian. Manusia merasa diteror oleh ancaman kesendirian dan rasa sepele.70
Maka kondisi bebas ini yang justu ingin ditanggulangi manusia. Ada dua jalan
yang bisa dipilih: menerima kebebasan secara positif, atau mencoba melarikan
diri darinya. Dalam bukunya “Escape From Freedom”, Fromm menyebutkan
tiga cara manusia melarikan diri dari kebebasan. Salah satunya yaitu dengan
cara meleburkan diri pada seseorang atau sesuatu di luar dirinya yang
69
Djuretna Adi Imam Muhni, “Manusia dan kepribadiannya: Tinjauan Filsafati”, Jurnal Filsafat
Fakultas Filsafat UGM, seri 27 Maret (1997) 27. 70
Erich Fromm, Escape From Freedom (New York: Avon Books, 1969) 173
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
48
dianggap powerful (authoritarianism). Cara ini diambil ketika seseorang
merasa dirinya begitu kecil dan lemah di satu sisi, dan merasa ada seseorang
atau suatu kelompok lain yang begitu kuat di sisi lain.71
Ketakutan akan kondisi diri yang bebas namun kesepian dan rentan,
menjadi beban tak tertahankan yang ingin manusia hindari. Kondisi itu
mendorong dirinya mencari dominasi dari pihak lain. Dan dengan merelakan
diri untuk tunduk, seseorang justru merasa nyaman, karena tidak lagi harus
merasa sendirian, kerdil, lemah dan tak bermakna. Dia tidak perlu lagi
khawatir dalam menentukan sikap, tidak pula khawatir bertanggung-jawab
atas dirinya sendiri, karena dirinya ditentukan oleh pihak powerful dimana dia
meleburkan diri. Dia merasa tidak lagi menjadi diri yang lemah oleh sebab
ikatannya dengan seseorang atau sesuatu yang powerful tersebut.72
Perlu digaris-bawahi bahwa keterangan Fromm tersebut merujuk pada
proses psikis di luar kesadaran. Jika dalam kesadarannya, pengikut yang
menemukan dominasi merasa nyaman, pada hakikatnya sisi tak sadarnya tidak
merasa demikian. Fromm mengidentikkan orang yang memilih jalan
authoritarianism dengan kondisi seorang masokhis. Seorang masokhis
cenderung merasakan dirinya berada dalam situasi konflik yang tak
tertahankan dan ingin segera menanggulanginya, yang mana itu malah
71
Ada tiga cara escape from freedom menurut Fromm: Pertama, authoritarianism, yaitu melebur
pada kekuatan lain di luar dirinya. Kedua, Destructiveness, yaitu kecenderungan menghancurkan
dunianya, sehingga meskipun sendirian dia tidak merasa terancam. Ketiga, Automaton Conformity,
yaitu mencoba mengusahakan dirinya sedemikian rupa supaya tidak berbeda dengan dunia.
Selengkapnya lihat Erich Fromm, Escape From Freedom.., 157. 72
Ibid, 163.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
49
mengantarkannya memilih bentuk penderitaan yang lain.73
Dengan kata lain,
pada dasarnya memilih untuk tunduk hanya akan membawa pengikut
merasakan penderitaan baru yang tak disadarinya. Maka tidak aneh jika
seorang pengikut bersedia menyiksa, membunuh, atau justru mengorbankan
dirinya atas perintah pemimpin dengan perasaan bangga, mirip seperti seorang
masokhis yang merasa senang ketika dirinya tertimpa derita.
Pandangan Fromm ini dapat diterapkan dalam polemik mengenai
komunitas kharismatik. Yaitu, dimana pengikut dalam kondisi eksistensialnya
yang bebas justru memiliki kemungkinan untuk tunduk sepenuhnya pada
seseorang yang dianggap luar biasa. Maka kharisma yang dimiliki oleh Great
Man dapat dimaknai sebagai tersajinya suatu jalan keluar bagi orang-orang
yang ingin mememenuhi kebutuhan akan dominasi. Dan para pengikut
pemimpin kharismatik bisa diidentifikasi sebagai orang-orang yang merasa
dirinya lemah, sehingga mudah bagi mereka untuk tunduk.
Namun apakah ketundukan dengan jalan seperti itu dapat meniadakan
kondisi eksistensial seorang pengikut sebagai individu bebas? Jawabannya
adalah tidak. Seperti halnya seorang masokhis yang senantiasa mencari
penderitaan, rasa ingin didominasi seorang pengikut juga menuntut untuk
selalu dipenuhi.74
Dalam hal ini, pemimpin kharismatik harus selalu bisa
menunjukkan power nya. Jika ada pihak lain menawarkan dominasi yang
lebih powerful, atau jika sang pemimpin tidak lagi bisa menunjukkan
73
Ibid, 175. 74
Ibid, 176.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
50
dominasinya, tentu sang pemimpin tersebut akan ditinggalkan. Itulah
konsekuensi yang paling mungkin, mengingat ketundukan yang dimaksud
lahir dari kebebasan.
Lalu bagaimana dengan sang pemimpin kharismatik? Jika sang
pemimpin juga diandaikan sebagai manusia biasa, dengan kondisi eksistensial
seperti manusia biasa, maka kiranya Fromm akan mengidentikkannya dengan
seorang yang sadistis.75
Dapat dikatakan bahwa seorang pemimpin juga
manusia yang resah dengan kondisi eksistensialnya. Kebebasan membuatnya
merasa sendirian dan lemah. Dalam hal ini dia juga ingin meleburkan dirinya
dalam satu kesatuan yang powerful, tidak jauh beda dengan pengikut.
Yang membedakan dirinya dengan orang berkecenderungan masokhis
adalah dia mencoba merasionalisasikan kondisinya ketika dia melihat kondisi
pihak lain yang tak jauh beda dengannya. Fromm menggambarkan sikap orang
seperti ini dengan kalimat-kalimat seperti “Aku memerintahmu karena aku
tahu apa yang terbaik bagimu, dan kamu seharusnya mengikutiku dengan
senang hati.” atau dengan kalimat “Aku begitu hebat dan unik, sehingga aku
punya hak mengharapkan orang lain bergantung padaku”.76
Meskipun akhirnya dia mendapat pengakuan atas dominasinya, pada
dasarnya dia sendiri juga bergantung pada para pengikutnya. Dia tidak berarti
apa-apa tanpa pengikut, namun hal tersebut cenderung tidak disadarinya. Dia
75
Ibid, 165. 76
Ibid, 166.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
51
baru akan sadar dan merasakan kembali penderitaan yang sama dengan
pengikutnya, ketika para pengikut tersebut meninggalkannya.77
Dimana posisi kharisma dalam hal ini? Merujuk pada pandangan
Fromm, kharisma dapat diidentifikasi sebagai faktor terpenting bagi sang
pemimpin untuk menegaskan dominasinya. Dalam hal ini, kharisma berperan
sebagai kerangka acuan, yang mana darinya seorang pemimpin bisa
menegaskan dominasinya dan para pengikut memperoleh alasan untuk tetap
nyaman dalam ketundukan. Seperti halnya “cinta” yang sering kali dijadikan
alasan bagi suami untuk terus-menerus mendominasi istrinya.78
Pandangan Fromm di atas menegaskan bahwa segala bentuk
otoritarianisme adalah negatif. Jika komunitas kharismatik dipandang secara
keseluruhan sebagai bentuk otoritarianisme, maka Nazisme dan Hitler tidak
jauh beda dengan Agama dan nabinya. Tentu kesimpulan semacam ini
meresahkan. Maka pertanyaan selanjutnya, adakah kemungkinan kharisma
dipahami dalam perspektif yang lebih positif?
Fromm menjelaskan bahwa escape from freedom tidak pernah benar-
benar membuat manusia mengatasi kondisi eksistensialnya. Jalan yang paling
tepat baginya justru dengan menerima kondisi tersebut, yaitu menerima diri
sebagai individu bebas secara positif. Menerima kebebasan bukan berarti
memisahkan diri dari kehidupan sosial, melainkan membuat relasi dengan
77
Ibid, 166. 78
Ibid, 168.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
52
yang lain tanpa harus menolak individulitas. Relasi seperti ini berciri produktif
dan dilandasi dengan cinta.79
Dalam suatu komunitas kharismatik, relasi antara pemimpin dan
pengikut bisa jadi berciri otoritarian. Namun masih ada kemungkinan lain,
yaitu ketika sang pemimpin kharismatik membangun komunitas tidak untuk
menegaskan dominasi pada para pangikut dan juga tidak membiarkan mereka
kehilangan arah. Melainkan, menawarkan pada pengikut suatu kerangka
orientasi dan kerangka kesetiaan untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka
sebagai manusia, sehingga terbentuk suatu masyarakat yang sehat.80
Kerangka orientasi merupakan gambaran tentang dunia dimana
seseorang berada, yang menentukan perkembangan akal dan pengetahuannya.
Hal ini diperlukan manusia untuk memahami dunia yang adalah rumahnya
sendiri. Contohnya yaitu pengetahuan akan alam, manusia, masyarakat dan
dirinya sendiri. Sedangkan kerangka kesetiaan adalah gambaran lain tentang
dunia yang tidak bisa dipahami hanya dengan akal, melainkan harus
melibatkan feeling dan sensing. Ajaran tentang agama dan moral merupakan
contohnya. Kedua kerangka orientasi tersebut bisa jadi rasional maupun
irrasional. Mengenai bagaimana orientasi tersebut ditawarkan, apakah rasional
79
Erich Fromm, The Sane Society (London dan New York: Routledge, 2002) 267. 80
Menurut Fromm, dalam bukunya The Sane Society, keputusan yang dipilih oleh seseorang
ditentukan oleh kebutuhan dasar eksistensial yang harus mereka penuhi. Ada lima kebutuhan dasar
eksistensial manusia sebagai manusia, yaitu keterkaitan, transendensi, keberakaran, identitas, serta
kerangka orientasi dan kesetiaan. Bagaimana lima kebutuhan dasar ini terpenuhi menentukan arah
kehidupan manusia, apakah ke arah positif ataupun negatif. Ibid, 26.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
53
atau irrasional, tergantung dari situasi dan kondisi masyarakat. Dalam hal ini,
orientasi yang irrasional belum tentu negatif.81
Jika seorang pemimpin kharismatik mampu menyajikan kerangka
orientasi yang dibutuhkan para pengikutnya untuk bisa membangun suatu
masyarakat yang sehat, maka komunitas yang terbentuk tidaklah negatif.
Dengan syarat, kerangka orientasi tersebut tidak dijadikan acuan oleh sang
pemimpin untuk bersikap otoriter. Dan sebagaimana yang dijelaskan Fromm,
kerangka orientasi tersebut haruslah dapat menjamin terciptanya relasi yang
produktif dan dilandasi dengan cinta.
D. Kharisma Sebagai Problem Agama dan Kepemimpinan
Pada awalnya kharisma merupakan pokok bahasan keagamaan khusus,
yaitu dalam teologi Kristen. Seperti yang sudah dijelaskan, kharisma dipahami
sebagai kemampuan atau bakat luar biasa yang merupakan anugerah dari
Tuhan kepada seseorang. Bukti kekuasaan Tuhan yang ditampilkan melalui
seorang figur seperti nabi, orang-orang suci atau orang-orang yang dianggap
dekat dengan-Nya merupakan hal yang sudah ada dan dipahami dalam
Kristen. Namun itu bukan berarti tanpa problem.
Pada masa kekristenan awal, problem yang timbul berkaitan dengan
ancaman kemunculan ajaran-ajaran sesat dan kekhawatiran terjadinya
perpecahan umat. Ajaran-ajaran sesat tersebut muncul dari nabi-nabi palsu
sepeninggal Paulus, yang mana dengan cara-cara tertentu mencoba
81
Ibid, 61.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
54
menunjukkan kenabiannya. Akibatnya, segala hal yang berbau supranatural,
mujizat kenabian, keajaiban-keajaiban, termasuk juga kharisma dicurigai.
Selain itu, kekhawatiran akan terjadinya perpecahan umat muncul dari
perdebatan-perdebatan mengenai perlunya menggantungkan agama pada
individu-individu yang dianggap luar biasa sepeninggal para nabi. Semisal
kharisma itu memang asli dianugerahkan Tuhan pada seseorang, masih ada
kekhawatiran bahwa itu hanya akan menimbulkan masalah-masalah baru.
Gereja tidak mau gegabah meletakkan secara penuh otoritas agama yang
sudah mulai mapan di tangan individu-individu.82
Pada abad 20, Weber membawa kharisma ke ranah yang lebih luas.
Kharisma tidak lagi hanya merupakan problem teologis dalam Kristen,
melainkan problem sosio-politis yang juga terjadi pada masyarakat secara
universal, baik dalam bentuk komunitas religius maupun non religius. Dalam
hal ini, Weber mendefinisikan kharisma bukan lagi sebagai anugerah Tuhan
pada seseorang dalam iman Kristiani saja, melainkan sebagai kualitas luar
biasa dari kepribadian individu yang membuatnya diakui sebagai pemimpin.
Dengan demikian, Weber mengidentifikasi segala bentuk komunitas dengan
satu pemimpin tunggal yang dianggap luar biasa sebagai komunitas
kharismatik, dan itu tidak hanya terjadi terbatas pada umat Kristiani. 83
Meskipun Weber memperkenalkan kharisma dengan pengertian
berbeda, namun dia menunjukkan bahwa inti persoalannya sama. Keduanya
82
John Potts, A History of Charisma.., 80. 83
Max Weber, Economy and Society.., 1112.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
55
sama-sama membangkitkan pengabdian para pengikut pada individu yang
diidentifikasi sebagai kharismatik. Itu artinya kharisma sedari awal sudah
merupakan problem sosio-politis, yaitu bagaimana seorang pemimpin
memperoleh otoritas. Padahal Paulus tidak pernah menyatakan bahwa
kharisma diperuntukkan bagi seorang pemimpin.84
Namun usaha Weber untuk memperkenalkan kharisma sebagai
problem sosio-politis, tidak serta merta menghilangkan unsur keagamaan di
dalamnya. Terlepas dari bentuk komunitasnya, religius ataupun non religius,
pemimpin kharismatik selalu diidentifikasi sebagai individu yang luar biasa
(extraordinary). Luar biasa tidak bisa sekedar diartikan sebagai melampaui
ekspektasi atau mengesankan, melainkan di luar batas kemanusiaan, terkait
dengan yang supranatural, dan sebagainya.85
Identifikasi semacam ini
mengindikasikan bahwa selalu ada peran agama/kepercayaan dalam proses
pengenalan kharisma seseorang.
Sebelum membahas keterkaitan agama, peneliti akan mencoba
mengklarifikasi terlebih dahulu pengertian kharisma. Menurut Weber,
kharisma adalah suatu kualitas kepribadian khusus terkait kepemimpinan. Ada
banyak kualitas kepemimpinan yang dikenal manusia, seperti berani, kesatria,
heroik, berwibawa dan sebagainya. Semua itu mudah dipahami. Kriteria-
kriterianya jelas dan mudah diterima semua orang. Namun kharisma berbeda.
Kharisma adalah kualitas kepemimpinan khusus bagi orang-orang yang
84
John Pots, A History of Charisma.., 119. 85
Peneliti lebih menitik-beratkan definisi kharisma itu sendiri untuk dikaji lebih dalam
dibandingkan aspek sosiologisnya.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
56
dianggap melampaui batas kemanusian atau memiliki derajat tinggi sehingga
dibedakan dengan manusia kebanyakan.
Dalam mengidentifikasi kualitas kepribadian biasa, biasanya kita
menggunakan kriteria-kriteria yang mudah diterima. Seseorang prajurit
dikatakan pemberani jika dia tidak gemetar ataupun lari ketika berhadapan
dengan musuh yang lebih kuat. Meski mungkin ada perbedaan pendapat,
kriteria semacam itu tidak akan dipermasalahkan. Dalam kasus kharisma,
kriteria-kriterianya sulit diterima. Seseorang dikatakan berkharisma jika dia
memiliki kemampuan atau kekuatan supranatural ilahiah yang menandakan
bahwa dia pantas untuk untuk dijadikan pemimpin.
Dalam wawasan dunia modern yang naturalistis, yang supranatural itu
tidak logis. Segala upaya pembuktian eksistenti yang supranatural ditolak,
atau setidaknya didekati dengan curiga, semata-mata untuk mencari penjelasan
ilmiahnya. Karena itu, Weber tidak menekankan persoalan pada hal tersebut,
melainkan pada aspek sosiologisnya dengan menyatakan bahwa individu bisa
dipandang kharismatik sejauh diakui demikian oleh pengikutnya.
Dari sini peneliti beasumsi bahwa fenomena hadirnya pemimpin
kharismatik dimungkinkan oleh pra kondisi tertentu. Pra kondisi ini juga yang
menentukan implikasi kharisma terhadap jalannya kepemimpinan. Setidaknya
ada dua pra kondisi menurut asumsi peneliti: intensitas masyarakat dalam
menjalani praktik-praktik hidup religius dan kebudayaan politik masyarakat.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
57
Identifikasi seseorang sebagai kharismatik dimungkinkan oleh
intensitas suatu masyarakat dalam menjalankan praktik-praktik hidup religius.
Intens dalam menjalankan praktik-praktik hidup religius bukan sekedar
memahami secara kognitif suatu nilai-nilai agama atau mematuhi ajaran-
ajaran formal agama. Merujuk pada pemikiran Martin Heidegger (1889-1976),
praktik-praktik hidup tersebut merupakan pembentuk vorstruktur des
verstehens (pra-struktur memahami) individu atau masyarakat.86
Praktik-praktik hidup religius merujuk pada segala kegiatan rutin
manusia atau masyarakat, yang sebenarnya mengandung nilai-nilai religius,
namun dijalankan begitu saja tanpa terlebih dahulu dipahami bahwa apa yang
mereka lakukan mengandung nilai-nilai religius. Alasannya adalah karena itu
sudah menjadi kebiasaan (tradisi).87
Praktik-praktik hidup religius ini masih
bisa ditemukan dimanapun, bahkan dalam masyarakat Barat yang sekuler.88
86
Pra-struktur memahami merupakan kondisi ontologis dari eksistensi manusia, yang
memungkinkan dirinya untuk bisa memahami suatu. Pemahaman seseorang mengenai mitos,
filsafat, pandangan hidup, ajaran agama, ilmu pengetahuan dan sebagainya dimungkinkan
sekaligus ditentukan oleh pra-struktur memahami ini. Itu sebabnya segala pemahaman manusia
tidak mungkin murni, lepas dari prasangka. Pra-struktur memahami tersebut dibentuk oleh
Bewandtnisganzheit, yaitu totalitas keterlibatan manusia dalam praktik-praktik hidupnya.
Bewandtnisganzheit ini bungkam, non-tematis, pra-predikatif, non-verbal. Itu adalah keseluruhan
relasi antara manusia dengan segala apa yang ada di sekitarnya terkait dengan cara dia
bereksistensi. F. Budi Hardiman, Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai
Derida (Yogyakarta: Kanisius, 2015) 114. 87
Tradisi disini harus dipahami sebagai kondisi eksistensial, dimana manusia senantiasa tersituasi
di dalamnya. Meskipun manusia berupaya untuk mengambil jarak, hal tersebut tidak pernah bisa
melepaskannya dari tradisi. Manusia selalu berada dalam dan tidak pernah lepas dari tradisi. Hal
ini ditekankan oleh Hans Georg Gadamer (1900-2002) dalam hermeneutukanya. Ibid.., 173. 88
Mengutip penjelasan dari Robert C. Tucker, David Aberbach menyatakan bahwa sekularisme di
Barat tidak pernah bisa memurnikan politik dari agama. Karena elemen-elemen tradisional
keagamaan masih tersisa dalam kehidupan masyarakat, termasuk dalam kehidupan politik. David
Aberbach, Charisma in Politics, Religion and The Media.., 35
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
58
Unsur penting dalam praktik-praktik hidup religius adalah terarah pada
yang sakral. Setiap agama dari yang paling kuno hingga agama-agama besar
yang masih bertahan sampai sekarang mengakui eksistensi yang sakral.
Sebagai realitas supranatural, yang sakral dibedakan dan diposisikan
melampaui yang profan.89
Hal tersebut menjadi landasan dari semua agama
tradisional.
Sebelum sekularisasi terjadi di Barat, hampir semua manusia adalah
umat beragama. Agama mewarnai segala segi kehidupan manusia, tidak
sekedar sebagai pandangan hidup, tetapi juga dipraktikkan dalam rutinitas
sehari-hari. Hal ini membuat cara manusia memahami atau menilai sesuatu
menjadi serba religius. Setelah sekularisasi terjadi, keterlibatan yang sakral
dalam praktik-praktik hidup masyarakat mulai berkurang akibat
desakralisasi.90
Namun yang sakral tidak pernah benar-benar disingkirkan.
Kita sering melihat di film, berita, atau membaca tulisan-tulisan Barat, tentang
kebiasaan seseorang membawa benda tertentu sebagai jimat keberuntungan.
Orang tersebut tentu tahu bahwa itu tidak rasional, namun sulit baginya untuk
pergi tanpa membawa benda keberuntungannya. Ada suatu keyakinan tidak
reflektif yang muncul dalam diri orang tersebut, seolah-olah akan mengalami
kesialan atau kegagalan jika lupa membawanya. Contoh lain juga bisa kita
temukan di Indonesia, misalnya tradisi mencium tangan orang yang lebih tua
ketika berjabat tangan.
89
Mircea Eliade, Sacred and Profane:The Nature of Religion, terj. Inggris Willard R. Trask (New
York: Brace and World Inc., 1959) 10. 90
Ibid.., 13.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
59
Contoh sederhana di atas dapat sedikit menggambarkan mengenai
praktik-praktik hidup religius yang peneliti maksud. Praktik-praktik hidup
religius bukanlah pemahaman atau pandangan hidup religius, melainkan cara
hidup atau cara bereksistensi yang menjadi pra-struktur memahami manusia,
yang di dalamnya mengakar nilai-nilai religius. Jika demikian, hal-hal tidak
rasional seperti pengakuan atas pemimpin kharismatik menjadi mungkin, baik
bagi orang beragama maupun orang sekuler.
Menurut Weber, kharisma adalah asli jika dikenali langsung oleh
orang lain lewat citra kepribadian luar biasa yang ditampilkan, bukan melalui
klaim tertentu. Peneliti tidak membantah hal tersebut. Namun peneliti
berasumsi bahwa pengenalan langsung/tidak reflektif/spontan atas kharisma
seseorang mensyaratkan adanya pra-struktur memahami yang
memungkinkannya. Dan pra-struktur memahami yang paling memungkinkan
berasal dari nilai-nilai religius yang telah mengakar dalam praktik-praktik
hidup masyarakat. Dengan demikian, kharisma tidak pernah lepas dari
persoalan agama.
Prakondisi kedua yang lebih signifikan dalam memungkinkan hadirnya
pemimpin kharismatik adalah budaya politik masyarakat. Budaya politik dapat
dijelaskan sebagai tingkah laku yang membentuk tujuan-tujuan umum ataupun
khusus masyarakat serta prosedur-prosedur yang mereka anggap harus
diterapkan untuk meraih tujuan-tujuan tersebut. Dengan kata lain, semua
orientasi politik yang relevan, baik secara kognitif, evaluatif maupun ekspresi
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
60
sesaat.91
Budaya politik merupakan sumber utama sistem nilai yang dihayati
dan dianut oleh masyarakat, sehingga membentuk sikap, perilaku dan pola
pikir tertentu dalam berpolitik.92
Peneliti berasumsi bahwa budaya politik suatu masyarakat memiliki
kaitan erat dengan kemunculan pemimpin kharismatik. Sebagaimana yang
dijelaskan Weber, kharisma adalah kekuatan revolusioner yang besar.93
Artinya, setiap kemunculan pemimpin kharismatik merupakan titik penanda
perubahan budaya politik terjadi. Namun seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, pra struktur memahami masyarakat harus diandaikan sudah
memuat kecenderungan mengakui seorang pemimpin sebagai extraordinary.
Asumsi di atas berlaku hanya bagi kharisma asli. Bagi kharisma tidak
asli, yang memerlukan klaim tertentu agar seseorang dapat diakui kharismatik,
sangat tergantung pada budaya politik masyarakat. Karena klaim tersebut
memuat nilai-nilai yang dihayati oleh masyarakat, dan merupakan cerminan
dari budaya mereka dalam menentukan seorang pemimpin. Itulah kenapa
kharisma semacam ini tidak harus berlawanan dengan aturan-aturan yang
berlaku, layaknya otoritas kharismatik yang asli.94
Jika budaya politik masyarakat memungkinkan seorang pemimpin
kharismatik tertentu hadir tanpa ada pertentangan diantara anggota
91
Definisi dari David Easton yang dikutip Budi Winarno. Budi Winarno, Sistem Politik Indonesia
Era Reformasi (Yogyakarta: MedPress, 2008) 15. 92
Alfian, Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1981) 18. 93
Max Weber, Economy and Society.., 244. 94
Ibid.., 1114.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
61
masyarakat, maka kepemimpinan tokoh kharismatik tersebut akan cenderung
stabil. Kita bisa mengambil contoh dari Weber, misalnya bentuk rutinisasi
kharisma melalui garis keturunan (kharisma warisan). Seorang pemimpin yang
diakui kharismatik karena merupakan keturunan pemimpin kharismatik
sebelumnya, dimungkinkan dalam masyarakat yang budaya politiknya tidak
berubah semenjak masa pemimpin kharismatik sebelumnya.95
Namun jika budaya politik masyarakat tidak memungkinkan
pengakuan seseorang sebagai pemimpin kharismatik, misalnya tidak ada
budaya mengkultuskan pemimpin, maka hanya seorang pemimpin kharismatik
yang asli saja yang mungkin bisa tampil. Itupun masih mensyaratkan adanya
pra struktur memahami masyarakat yang termuat di dalamnya aspek-aspek
religius. Contohnya adalah masyarakat sekuler, dimana budaya politiknya
dibersihkan dari unsur-unsur agama. Meski demikian pada realitanya, budaya
politik semacam itu tidak pernah benar-benar ada. Seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya, tidak ada masyarakat sekuler yang murni sekuler.96
Artinya pemimpin kharismatik masih mungkin diakui dimanapun. Meskipun
tidak bisa dipungkiri bahwa budaya politik masyarakat turut menentukan
besar-kecilnya kemungkinan seorang pemimpin kharismatik diakui.
95
Ibid.., 248. 96
David Aberbach, Charisma in Politics, Religion and The Media.., 35.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
62
BAB III
GUS DUR DAN KEPEMIMPINANNYA
A. Latar Belakang, Kepribadian dan Keluarbiasaan Gus Dur
Gus Dur lahir dengan nama Abdurrahman ad-Dakhil. Beliau lahir di
Denanyar Jombang Jawa Timur, pada tanggal ke-4 bulan ke-8 tahun 1940.
Beberapa penulis biografi Gus Dur menerangkan bahwa tanggal ke-4 bulan
ke-8 bukan berarti 4 Agustus, karena diambil dari kalender Hijriyah. Artinya
beliau lahir pada tanggal 4 Sya’ban, bertepatan dengan tanggal 7 September
pada kalender masehi.1
Dua kakek Gus Dur merupakan ulama besar sekaligus pelopor
berdirinya NU. Dari pihak ayah yaitu Kiai Hasyim Asy’ari (1871-1947), dan
dari pihak ibu Kiai Bisri Syansuri (1886-1980). Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri
pesantren Tebuireng, merupakan kiai yang sangat dihormati tidak hanya oleh
kalangan pesantren, tetapi juga di luar pesantren. Karena beliau juga dikenal
sebagai tokoh nasional yang memiliki peran besar dalam perjuangan bangsa
memperoleh dan mempertahankan kemerdekaan. Selain itu beliau juga satu-
satunya kiai NU yang diberi gelar Hadratusysyaikh.2
Nama Kiai Bisri Syansuri memang tidak setenar Kiai Hasyim Asy’ari,
namun beliau juga merupakan tokoh yang sangat dihormati, baik oleh
kalangan pesantren maupun di luar pesantren. Kedua nama tersebut juga
1 Greg Barton, Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Gus Dur, terj. Lie
Hua (Yogyakarta: LKiS, 2002) 25. 2 Ibid.., 28
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
63
tercatat sebagai Pahlawan Nasional. Kiai Bisri Syansuri mendirikan Pesantren
Denanyar setelah sebelumnya belajar di bawah bimbingan Kiai Hasyim
Asy’ari, belajar di Makkah dan Tambakberas. Sampai sekarang, Denanyar
merupakan pesantren di Jombang yang dikenal luas, tidak kalah tenar dengan
Tebuireng dan Tambakberas.3
Tidak hanya memiliki dua kakek yang luar biasa, Gus Dur juga
memiliki Ayah yang namanya juga tercatat sebagai Pahlawan Nasional. Kiai
Wahid Hasyim (1914-1953) adalah salah satu dari beberapa nama besar
politikus nasional terkemuka yang aktif dalam gerakan nasional
memperjuangkan kemerdekaan. Pasca kemerdekaan, beliau juga sempat
menjabat Menteri Agama (1949-1952). Meskipun berlatar belakang pesantren,
Kiai Wahid Hasyim memiliki pemikiran revolusioner dan terbuka terhadap
wawasan dunia modern. Hal tersebut memiliki andil besar terhadap
perkembangan intelektual Gus Dur.4
Gus Dur lahir dan dibesarkan dalam lingkungan pesantren dengan
dikelilingi nama tokoh-tokoh besar. Tidak hanya dari segi keturunan,
melainkan juga dari guru-guru beliau. Dari segi keturunan, selain nama-nama
besar di atas, nama tokoh-tokoh besar di Jawa seperti Raja Brawijaya VI dari
Majapahit, Jaka Tingkir, Pangeran Benawa disebut-sebut sebagai nenek
3 Ibid.., 29.
4 Ibid.., 37.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
64
moyang Gus Dur.5 Ada juga nama Tan Kim Han, anak dari Putri Campa yang
diakui sendiri oleh Gus Dur sebagai nenek moyang Tionghoa-nya.6
Sebagai santri, Gus Dur pernah berguru pada Kiai Ali Maksum di
Krapyak Yogyakata. Itu terjadi semasa masih SMEP (Sekolah Menengah
Ekonomi Pertama). Setelah lulus SMEP, Gus Dur berguru pada Kiai Khudori
di Tegalrejo Magelang. Dua tahun setelahnya, Gus Dur berguru pada Kiai
Wahab Chasbullah di Tambak Beras selama empat tahun, sambil mengajar di
Madrasah Mu’allimat7. Di Tambak Beras, Gus Dur juga berguru pada Kiai
Masduki dan Kiai Fattah Hasyim, pamannya sendiri. Selama mondok pada
kiai-kiai besar tersebut, Gus Dur juga masih memperoleh bimbingan dari
kakeknya, Kiai Bisri Syansuri.8 Begitulah sejak kecil Gus Dur selalu
dikelilingi nama-nama besar, termasuk diantaranya nama-nama guru beliau.
Selama masa belajar di pondok, Gus Dur sering berziarah makam.
Pernah juga beliau melakukan perjalanan dengan jalan kaki untuk berziarah ke
makam-makam di daerah selatan Jombang hingga pantai ujung selatan Jawa.9
Kebiasaan ini terus berlanjut hingga masa tuanya. Gus Mus, salah seorang
sahabat Gus Dur, pernah menyatakan bahwa Gus Dur sering digelari orang
sebagai Sarkub (Sarjana Kuburan). Menurut Gus Mus, Gus Dur satu-satunya
5 Zuhairi Misrawi, Hadratussyaich Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan dan Kebangsaan
(Jakarta: Kompas, 2010) 36. 6 Munawir Aziz, “Benarkah Gus Dur Keturunan Tan Kim Han?”, dalam
http://www.gusdurian.net/id/article/opini/Benarkah-Gus-Dur-Keturunan-Tan-Kim-Han/ (28 Juli
2018), 1. 7 Irwan Suhanda, Perjalanan Politik Gus Dur (Jakarta: Kompas, 2010) xiv.
8 Greg Barton, Biografi Gus Dur.., 52.
9 Ibid.., 53.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
65
tokoh internasional yang sering ziarah kubur.10
Ziarah kubur memang
merupakan ciri khas kalangan santri tradisional di Indonesia, yang
membedakan mereka dengan kalangan Islam modern.11
Semasa mudanya, Gus Dur tidak hanya belajar ilmu-ilmu agama.
Beliau juga gemar membaca buku-buku asing. Biasanya buku-buku tentang
pemikiran di Eropa atau novel-novel orang Inggris, Prancis maupun Rusia.
Buku-buku tentang Plato dan Aristoteles, bahkan juga What is To be Done-
nya Lenin dan Das Kapital-nya Marx sudah dituntaskan Gus Dur saat remaja.
Selain membaca, Gus Dur muda juga suka seni. Beliau suka melihat wayang
kulit, nonton film dan membaca cerita-cerita picisan tentang silat.12
Melihat banyaknya bacaan serta kegiatan Gus Dur semasa muda,
padahal semua hal tersebut dilakukan saat beliau mondok, sulit
membayangkan jika Gus Dur bisa memasukkan semua hal tersebut di dalam
kepalanya. Hanya ada satu kemungkinan, yaitu Gus Dur memang cerdas. Gus
Dur memang dikenal cerdas dan memiliki daya ingat yang kuat. Greg Barton
menjelaskan bahwa ketika masih mondok, Gus Dur dapat menghafal tanpa
kesulitan buku klasik standart mengenai tata bahasa Arab.13
Tidak hanya belajar di pesantren, Gus Dur juga pernah kuliah di Timur
Tengah. Beliau pernah belajar di Al-Azhar Kairo, Mesir (1963-1966), namun
10
Pernyataan tersebut disampaikan Gus Mus saat acara haul Gus Dur ke-8 di kediaman almarhum
Gus Dur di Ciganjur Jakarta Selatan, Jumat, 22 Desember 2017. Fathoni, “Gus Mus: Gus Dur
Tokoh Internasional yang Sering Ziarah Kubur”, dalam http://www.nu.or.id/post/read/84513/gus-
mus-gus-dur-tokoh-internasional-yang-rajin-ziarah-kubur (25 Juli 2018) 1. 11
Mark R. Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan terj. Hairus Salim HS
(Yogyakarta: LkiS, 2004) 176. 12
Greg Barton, Biografi Gus Dur.., 56. 13
Ibid.., 53.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
66
tidak tamat. Menurut Gus Mus, Gus Dur bukannya tidak lulus, melainkan
memang tidak kuliah. Karena Gus Dur merasa kurang puas dengan mata
kuliah di Al-Azhar, yang menurutnya sudah pernah dipelajari pada saat di
pesantren. Gus Dur memutuskan untuk menyelesaikan kuliahnya di
Universitas Baghdad, Irak (1966-1970). Sempat juga Gus Dur pergi ke Eropa
(Belanda, Jerman dan Perancis) untuk mencoba meneruskan kuliah di sana
sebelum akhirnya pulang ke Indonesia dengan tangan kosong.14
Di Al-Azhar,
Gus Dur masuk di Department of Higher Islamic and Arabic Studies.
Sedangkan di Universitas Baghdad, Gus Dur masuk Fakultas Sastra.15
Ketika di Al-Azhar, tepatnya pada tahun 1965, Gus Dur mengalami
tekanan yang besar terkait dengan peristiwa pemberantasan PKI (Partai
Komunis Indonesia) yang dipelopori oleh Mayor Jendral Soeharto. Pada
waktu itu, Gus Dur bekerja di Kedutaan Besar Indonesia di Kairo dan bertugas
menerjemahkan berita-berita dari Indonesia kedalam bahasa Arab dan Inggris.
Sulit bagi Gus Dur menerima bahwa bangsanya sedang saling bunuh. Yang
lebih membuatnya sedih dan kecewa, kelompok-kelompok pemuda NU
(Ansor) juga ikut terlibat dalam upaya penangkapan serta pembantaian orang-
orang yang dicurigai PKI.16
Selesai studi di luar negeri, Gus Dur pulang ke Indonesia dan
merayakan pernikahan, yang mana ijab qabul sudah dilangsungkan
sebelumnya saat berliau masih di Timur Tengah, dengan diwakilkan
kakeknya, Kiai Bisri Syansuri. Dari pernikahan tersebut, Gus Dur dikaruniai
14
Greg Barton, Biografi Gus Dur.., 111. 15
Irwan Suhanda, Perjalanan Politik Gus Dur.., xiv. 16
Greg Barton, Biografi Gus Dur.., 95.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
67
empat anak perempuan. Bagi keluarga, Gus Dur adalah seorang suami dan
ayah yang sangat mencintai keluarga. Gus Dur tidak keberatan berbagi
pekerjaan rumah dengan istrinya, termasuk dalam hal mengurus anak. Bu
Sinta Nuriyah, istri Gus Dur, pernah bercerita bahwa Gus Dur selalu yang
pertama menggendong dan mengganti popok anaknya ketika bangun di malam
hari. Dalam cerita yang lain, beliau menyatakan bahwa Gus Dur juga selalu
memegang tangan istrinya ketika tidur.17
Secara umum, Gus Dur dikenal sebagai tokoh intelektual, agamawan
dan politikus. Namun karier intelektual beliau terhitung lebih panjang.
Semenjak di Kairo dan Baghdad, Gus Dur sudah rajin berdiskusi dengan
mahasiswa-mahasiswa Indonesia di sana. Kebanyakan berkenaan dengan
keislaman dan keindonesiaan. Sepulang dari Timur Tengah, Gus Dur bekerja
di LP3ES (Lembaga Pengkajian Pengetahuan, Pendidikan, Ekonomi dan
Sosial) dan ikut andil dalam penerbitan Jurnal Prisma. Beliau juga secara rutin
menulis kolom untuk majalah berita nasional seperti Tempo dan Kompas. Di
lingkungan pesantren, Gus Dur dikenal piawai dalam ceramah dan pengajian-
pengajian. Beliau juga sempat diminta menjabat sebagai Dekan Fakultas
Ushuluddin di Universitas Hasyim Asy’ari. Sejak saat itu, intelektualitas Gus
Dur semakin diakui banyak kalangan, baik pesantren maupun nasional.18
Gus dur dikenal sebagai tokoh penting NU sejak diminta oleh
kakeknya, Kiai Bisri Syansuri, untuk menjadi anggota Syuriah NU pada tahun
17
A. Mustofa Bisri dan Sinta Nuriyah Rahman, Beyond The Symbols: Jejak Antropologis
Pemikiran dan Gerakan Gus Dur (Bandung: Remaja Rosda Karya, 2000) 294. 18
Lebih lengkap tentang perjalanan intelektual Gus Dur, terutama sepanjang tahun 1963-1982,
lihat di bab II buku Greg Barton, Biografi Gus Dur.., 85.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
68
1979.19
Nama Gus Dur semakin diperhitungkan semenjak dipercaya menjadi
Ketua Tanfidziyah NU tiga periode berturut-turut, tahun 1984-1989, 1989-
1994, 1994-1999.20
Gus Dur dikenal banyak membawa perubahan dalam NU.
Beberapa petinggi NU memang ada yang tidak sejalan dengan Gus Dur.21
Namun melihat lamanya beliau memimpin, tidak diragukan bahwa beliau
mendapatkan banyak dukungan.
Gus Dur terjun langsung dalam politik praktis nasional pada tahun
1998 melalui PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). Hanya setahun setelahnya,
Gus Dur dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia. Kiprahnya sebagai
presiden sangat menarik untuk didiskusikan, meskipun hanya berlangsung
selama 20 bulan sebelum akhirnya diberhentikan melalui Sidang Istimewa
MPR. Setelah lengser, Gus Dur tetap aktif di PKB. Sempat pula berniat
mencalonkan diri sebagai presiden pada tahun 2004, namun terkendala aturan
pemilu terkait kesehatan.22
Selain itu, Gus Dur juga dikenal sebagai tokoh penting bagi berbagai
komunitas. Tahun 1976 Gus Dur mendirikan pondok pesantren di Ciganjur,
19
Irwan Suhanda, Perjalanan Politik Gus Dur.., xvii. 20
Laode Ida, “Menghargai dan Mencari Figur Pengganti Gus Dur”, dalam Gus Dur Santri Par
Excellence, ed. Irwan Suhanda (Jakarta: Kompas, 2010) 6. 21
Salah satu ulama yang terkenal tidak sejalan dengan Gus Dur adalah Kiai As’ad Samsul Arifin,
pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah Desa Sukorejo, Kecamatan Asembagus,
Kabupaten Situbondo Jawa Timur. Beliau adalah salah satu ulama sepuh NU yang juga sering
disebut-sebut memiliki maqom wali. Pada Muktamar NU ke-28 di Krapyak tahun 1989, beliau
terang-terangan menyatakan mufaraqah (memisahkan diri) dari Gus Dur, dengan alasan Gus Dur
sudah kebablasan. Tindak-tanduk Gus Dur sudah banyak melenceng dari Aswaja. Namun di sisi
lain ada keterangan dari KH Khotib Umar, Pengasuh Pesantren Raudhatul Ulum Sumberwiringin,
Sukowono, Jember, yang menyatakan bahwa sebenarnya langkah Kiai As’ad ini merupakan
strategi untuk menyelamatkan Gus Dur dari ancaman rezim Orde Baru, mengingat Gus Dur sangat
kritis terhadap pemerintahan pada waktu itu. Didik Suyuthi, “Rahasia di Balik Mufaraqah Kiai
As’ad dari Gus Dur”, dalam http://www.nu.or.id/post/read/64455/rahasia-di-balik-mufaraqah-kiai-
asrsquoad-dari-gus-dur (25 Juli 2018) 1. 22
Berbagai ulasan mengenai perjalanan Gus Dur sebagai presiden dapat dilihat dalam buku bunga
rampai Perjalanan Politik Gus Dur yang diedit oleh Irwan Suhanda.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
69
jakarta, dan menjadi pengasuhnya. Gus Dur juga pendiri The Wahid Institute
(2004-sekarang), sebuah lembaga yang bertujuan mewujudkan visi dan misi
Gus Dur.23
Gus Dur pernah menjadi ketua Forum Demokrasi, sebuah
organisasi kaum intelektual (didirikan tahun 1991) sebagai tandingan dari
ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) yang didukung Soeharto.24
Pernah juga beliau menjadi juri dalam Festival Film Indonesia, menjabat
sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta, dan lain-lain.25
Bagi orang-orang Tionghoa Indonesia, Gus Dur adalah orang yang
berjasa besar hingga pantas diberi gelar Bapak Tionghoa Indonesia.26
Mereka
mengapresiasi kebijaksanaan Gus Dur yang telah membebaskan mereka dari
Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 1967 tentang larangan orang Tionghoa
merayakan hari raya di tempat umum, serta mengeluarkan Keppres No. 6
tahun 2000 yang menetapkan Khonghucu sebagai agama resmi di Indonesia.27
Hal yang sama juga dirasakan oleh orang-orang Papua, yang tidak perlu lagi
khawatir memperkenalkan diri sebagai “Orang Papua”. Gus Dur pula yang
memberikan izin orang-orang Papua mengadakan Kongres Rakyat Papua
untuk membahas permasalahan-permasalahan mereka, seperti masalah distorsi
sejarah Papua, pelanggaran HAM di Papua, serta pengabaian hak-hak dasar
23
The Wahid Institute, “Tentang The WAHID Institute”, dalam http://www.wahidinstitute.org/wi-
id/tentang-kami/tentang-the-wahid-institute.html (25 Juli 2018) 1. 24
Greg Barton, Biografi Gus Dur.., 224. 25
Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur: Analisis Wacana Kritis (Yogyakarta: LkiS, 2010)
142. 26
Secara formal, gelar ini diberikan pada tanggal 10 Maret 2004 oleh kelompok keturunan
Tionghoa di klenteng Tay Kek Sie Semarang. Munawir Aziz, Merawat Kebinekaan: Pancasila,
Agama dan Renungan Perdamaian (Jakarta: Gramedia, 2017) 159. 27
Leo Suryadinata, “Akhirnya diakui: Agama Khonghucu dan Agama Buddha Pasca-Soeharto”,
dalam Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa Pasca-Peristiwa Mei 1998, ed. I. Wibowo
dan Thung Ju Lan (Jakarta: Kompas, 2010) 95.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
70
terutama dalam bidang ekonomi, sosial dan budaya rakyat Papua. Menurut
mereka, Gus Dur berjasa dalam banyak hal, terutama dalam mengangkat
harkat dan martabat mereka sebagai orang Papua di mata bangsa Indonesia.28
Selain keluarga, lingkungan tinggal, pergaulan, pendidikan dan karier,
latar belakang pemikiran Gus Dur juga menarik untuk dikaji. Beliau adalah
tokoh yang jangkauan pemikirannya luas, meliputi bidang politik, ekonomi,
budaya, dan Agama.
Mengenai kepribadian, jika orang baru bertemu Gus Dur mungkin
akan memperoleh kesan biasa saja. Melihat latar belakang keluarga dan
pergaulannya yang dipenuhi nama-nama besar, Gus Dur memilih
berpenampilan bersahaja. Beliau lebih sering tampil mengenakan pakaian
sederhana layaknya orang-orang dari kalangan santri biasa.29
Gus Dur
memang tidak terlalu suka formalitas, karena menurutnya itu merepotkan. Itu
dapat dikenali dengan mudah lewat jargonnya yang populer, “Gitu aja kok
repot!”.30
Dalam kehidupan sehari-hari, Gus Dur dikenal humoris. Lelucon
Gus Dur banyak ditunggu orang, bahkan ketika beliau berceramah.31
Ada banyak pendapat mengenai kepribadian Gus Dur, misalnya
humanis, egaliter, setia kawan, rasional, demokratis dan sebagainya.32
Beliau
juga seorang yang mudah dikagumi oleh orang lain. Banyak pendapat
mengenai mengapa Gus Dur begitu menarik. Ada yang tertarik karena
28
B. Josie Susilo Hardianto, “Gus Dur dan Damai Untuk Papua”, dalam Gus Dur Santri Par
Excellence, ed. Irwan Suhanda.., 60. 29
Greg Barton, Biografi Gus Dur.., 20. 30
Arief Budiman, “Beberapa Catatan Tentang Gus Dur”, dalam Gus Dur Santri Par Excellence..,
138. 31
M. Solahudin, Tawa Aja Kok Repot! (Yogyakarta: Garasi, 2010) 9. 32
Imam Anshori Saleh, Mata Batin Gus Dur (Jakarta: Gramedia, 2017) xxiv.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
71
humornya, merakyat-nya33
, ada juga yang tertarik karena melihat dibalik
penampilan beliau yang bersahaja, beliau memiliki pemikiran yang cerdas
melampaui orang-orang di zamannya.34
Namun salah satu yang paling
menjengkelkan menurut orang-orang dekat Gus Dur adalah sifat beliau yang
sembarangan dan ceroboh, terutama dalam membuat pernyataan di depan
umum. Hal ini sering menimbulkan kecemasan bagi orang-orang terdekat
beliau. Tidak jarang pula menimbulkan kontroversi di tengah masyarakat.35
Gus Dur dikenal sebagai pribadi yang toleran, baik pada kalangan
agama maupun minoritas lain. Beliau tidak segan-segan membela mereka jika
sedang dalam keadaan tertindas, meskipun itu artinya harus melawan arus
mayoritas.36
Hal tersebut sejalan dengan prinsip beliau mengenai pluralisme
dan toleransi. Menurut Gus Dur, bersikap toleran dan memiliki kesadaran
pluralistik adalah sejalan dengan ajaran Islam.37
Gus Dur juga orang yang konsisten dan tidak kenal kompromi untuk
hal-hal prinsipil. Hermawi Taslim, orang PKB yang dekat dengan Gus Dur,
pernah mengatakan bahwa ada tiga prinsip hidup Gus Dur: berpihak pada
yang lemah, anti-diskriminasi, dan tidak pernah membenci orang.38
Dalam
tiga hal tersebut, Gus Dur tidak pernah mengenal kompromi. Itulah kenapa
33
Menurut keterangan Myrna Ratna, Gus Dur tidak pernah memandang strata sosial. Gus Dur
sebisa mungkin mendatangi warga NU yang menikah atau meninggal dunia meskipun mengalami
kesulitan. Myrna Ratna, “Gus Dur yang Saya Kenal”, dalam Gus Dur Santri Par Excellence, ed.
Irwan Suhanda.., 25. 34
Husein Muhammad, Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur (Yogyakarta: LkiS, 2012) 107. 35
Greg Barton, Biografi Gus Dur.., 20. 36
Pos Kota, “Teologi Pluralisme Gus Dur Terbentuk Sejak Muda”, dalam Gus Dur, Manusia
Multidimensional, ed. Maswan dan Aida Farichatul Laila(Yogyakarta: Deepublish, 2015) 65. 37
Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi
(Jakarta: The Wahid Institute, 2006) 14. 38
Inggried Dwi Wedhaswary, “Inilah Tiga Prinsip Hidup Gus Dur”, dalam Gus Dur, Manusia
Multidimensional, ed. Maswan dan Aida Farichatul laila.., 129.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
72
Yeni Wahid, Putri Gus Dur, menyatakan Gus Dur gagal sebagai politisi.
Sebabnya adalah pribadi Gus Dur yang tidak kenal kompromi.39
Gus Dur juga orang yang visioner. Beliau berupaya mewujudkan
perubahan di Indonesia, menjadi lebih demokratis. Namun perubahan yang
diupayakan Gus Dur tidak hanya melalui suatu gerakan politik praktis,
melainkan juga gerakan kultural. Memang Gus Dur juga terjun dalam politik
praktis. Itu karena beliau menganggap keduanya sama-sama penting. Dalam
konteks keagamaan, khususnya untuk kalangan NU, Gus Dur lebih memilih
membawa perubahan melalui gerakan kultural. 40
Masih ada banyak lagi pandangan mengenai kepribadian Gus Dur.
Seolah-olah tiap orang yang mengenal beliau memiliki kesan yang berbeda-
beda. Namun sangat jarang ada kesan yang tidak mengenakkan mengenai Gus
Dur. Budiman Sujatmiko, seorang aktivis jalanan sebelum masa reformasi,
pernah menyatakan bahwa Gus Dur, seperti halnya Sukarno dan Tan Malaka,
memiliki kemampuan untuk memahami dan dipahami oleh orang dari
berbagai kalangan. Dan itu dapat dilakukan Gus Dur tanpa ada kesulitan, dan
tanpa perlu mengandaikan lawan bicaranya mengubah gaya bicara.41
Dari berbagai keterangan mengenai pribadi Gus Dur, ada beberapa
yang berisi pengalaman-pengalaman luarbiasa yang ditampilkan oleh beliau.
39
Hal tersebut diungkapkan oleh Yenny Wahid dalam acara “Mengenang Enam Tahun Wafatnya
KH. Abdurrahman Wahid: Gus Dur & Zuhud Politik” di kantor MMD Institute, Jakarta pada
tanggal 11 Januari 2016. Tim VIVA, “Yenny Wahid: Bagi Saya Gus Dur Itu Gagal” dalam
http://www.viva.co.id/berita/nasional/721594-yenny-wahid-bagi-saya-gus-dur-itu-gagal (25 Juli
2018) 1. 40
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam Kita.., 41. 41
“Mata Najwa: Belajar dari Gus Dur (2),” Video Youtube, 12:37, dikirim oleh “Mata Najwa,”
Maret 04, 2015, https://www.youtube.com/watch?v=EKG5vx2ywJw.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
73
Tidak semua bisa dipaparkan di sini. Salah satu yang populer yaitu cerita dari
Mahfud MD, mantan Ketua MK yang pernah menjabat sebagai Menteri
Pertahanan pada masa pemerintahan Gus Dur. Menurut Mahfud, berdasarkan
cerita Marsilam Simanjuntak, Gus Dur pernah dikeluhkan oleh anggota
Fordem terlalu perhatian pada PKB dan melupakan Fordem. Ada wacana
untuk mengganti Gus Dur sebagai ketua. Namun sebelum itu diutarakan, Gus
Dur menyatakan pengunduran diri. Sebagai tambahan, Gus Dur menyatakan
bahwa dirinya telah didatangi Kiai Hasyim Asy’ari, yang memberi tahu bahwa
pada bulan Oktober 1999, Gus Dur akan menjadi Presiden. Mulanya itu hanya
dianggap sebagai lelucon, karena memang belum ada wacana politik tentang
kemungkinan Gus Dur menjadi presiden. Namun ternyata, perkataan Gus Dur
terbukti.42
Ada cerita pula dari KH. Said Aqil Siraj yang pernah diramalkan Gus
Dur akan menjadi Ketua Umum PBNU pada usia di atas 55 tahun. Anehnya
ramalan tersebut benar. Kiai Said baru terpilih menjadi ketua umum pada usia
56 tahun pada Muktamar NU ke-32 di Makasar. Diketahui bahwa sebelum
menginjak umur 55 tahun, Kiai Said sudah pernah dicalonkan menjadi ketua
umum, tepatnya pada umur 46 tahun ketika Muktamar NU ke-30 di Kediri.
Namun beliau gagal terpilih.43
Adanya berbagai cerita mengenai kemampuan-kemampuan luarbiasa
Gus Dur, ditambah pernyataan-pernyataan dari tokoh-tokoh NU yang sesuai
42
Cerita ini dikutip Samsul Munir Amin dari buku Mahfud MD yang berjudul: Setahun Bersama
Gus Dur. Samsul Munir Amin, Karomah Para Kiai (Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2008) 36. 43
Imam Anshori Saleh, Mata Batin Gus Dur.., 145.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
74
dengan cerita-cerita tersebut, memunculkan wacana bahwa Gus Dur adalah
seorang Wali. Memang tidak semua kalangan Islam mengakuinya. Pengakuan
terutama dari kalangan Islam tradisional, kalangan Gus Dur sendiri.44
Terlepas
dari benar dan salahnya pengakuan tersebut, faktanya makam Gus Dur sejak
beliau meninggal hingga sekarang masih ramai dikunjungi peziarah. Makam
Gus Dur menjadi salah satu tujuan para jamaah NU yang mengadakan ziarah
makam wali-wali di Jawa Timur.45
B. Budaya Politik Indonesia di era Gus Dur
Indonesia merupakan negara yang luas dan terdiri dari beraneka ragam
budaya. Ada beragam suku, agama, keyakinan, tradisi, dan cara pandang. Bisa
jadi di satu wilayah ada benturan budaya yang menghasilkan konflik. Namun
pengalaman panjang sebagai sebuah bangsa yang beragam membuat orang-
orang Indonesia familiar dengan perbedaan. Semboyan “Bhineka Tunggal
Ika” telah di kenal semenjak masa kerajaan Majapahit, dan membuktikan
bahwa orang-orang Indonesia sudah akrab dengan perbedaan.
Terlepas dari keanekaragaman budayanya, orang Indonesia memiliki
latar belakang kehidupan yang sama, yaitu sebagai orang-orang religius.
Sebagai suatu bangsa yang religius, tentu segala praktik hidupnya
mengandung nilai-nilai religius. Orang Indonesia sudah akrab dengan hal-hal
yang supranatural. Mudah bagi mereka, bahkan secara spontan, mengakui
44
Lihat pada pengantar dari Dr. Mohamad Sobary “Kenangan Orang-Orang Terdekat” dalam
Imam Anshori Saleh, Mata Batin Gus Dur: Cerita-Cerita Unik Bersama Sang Kiai (Jakarta:
Gramedia, 2017) xii. 45
Ibid.., xxix.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
75
benda, seseorang ataupun suatu fenomena sebagai supranatural. Hanya saja
yang supranatural sangat mungkin dipahami secara berbeda-beda, mengingat
setiap kelompok masyarakat memiliki budaya dan tradisi yang berbeda-beda
pula.
Dari segi politik, orang Indonesia masih bisa dengan mudah mengenali
kehadiran seseorang sebagai pribadi yang luar biasa. Namun budaya politik
masyarakat memiliki pengaruh yang besar dalam menentukan nilai-nilai dari
seseorang tersebut, serta bagaimana cara mereka menghayati kehadirannya,
apakah pantas diperlakukan sebagai pemimpin serta sejauh mana cara
memperlakukannya. Sikap dan tingkah laku mereka pada akhirnya ditentukan
oleh budaya politik.46
Ditinjau dari pengaruhnya dalam perpolitikan, orang Indonesia dapat
dibagi menjadi dua kalangan. Yang pertama adalah kalangan elit strategis
(strategic elite). Yaitu orang-orang yang mempunyai pengaruh berarti dalam
masyarakat, seperti pemegang kekuasaan, cendikiawan, pemuka agama dan
adat, tokoh pemuda dan mahasiswa, tokoh militer, birokrat, pentolan pers,
pentolan buruh dan pengusaha. Yang kedua adalah kalangan masyarakat
awam, yaitu masyarakat kebanyakan yang tidak terlalu memiliki pengaruh
berarti dalam masyarakat.47
Pasca proklamasi kemerdekaan, kalangan elit strategis yang mengisi
pemerintahan didominasi oleh tokoh-tokoh terpelajar dan cendekiawan,
46
Alfian, Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia..,18. 47
Ibid.., 139.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
76
dengan berbagai latar belakang. Umumnya mereka adalah orang-orang yang
memiliki idealisme tinggi. Tentu tiap-tiap mereka tidak mengidealkan satu
pandangan yang sama. Muncul berbagai ideologi seperti, nasionalisme,
agama, komunisme dan sebagainya. Namun secara umum mereka menyadari
adanya perbedaan pandangan satu dengan yang lain, sehingga wacana
demokrasi menjadi cita-cita bersama. Hanya saja tetap ada kecenderungan
untuk mau menang sendiri serta rasa saling curiga pada golongan yang lain.48
Sikap mau menang sendiri dan saling curiga ini bukannya tanpa sebab.
Budaya politik masyarakat awam yang masih berwarna emosional-primordial
mempengaruhi sikap para elit strategis. Ikatan yang dibangun oleh kalangan
awam dan elit strategis berdasarkan agama, suku, tradisi dan kebudayaan,
semakin menguatkan idealisme masing-masing elit strategis dan membentuk
iklim demokrasi yang kurang baik. Hal tersebut terlihat dari sering pecahnya
organisasi-organisasi sosial politik mereka.49
Puncak budaya politik yang kurang demokratis tersebut adalah
munculnya rezim Orde Baru. Banyak kalangan pengkritik rezim ini
menyatakan bahwa Orde Baru merupakan rezim totaliter.50
Dalam rezim ini,
budaya politik juga ikut berubah. Rezim Orde Baru berupaya sedemikian rupa
merubah cara pandang masyarakat, dengan cara memperkenalkan negara
beserta seperangkat birokrasi dan militernya sebagai kekuatan tunggal yang
mampu mengangkat kesejahteraan masyarakat. Untuk itu, budaya demokrasi
48
Ibid.., 142. 49
Ibid.., 144. 50
Budi Winarno, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi.., 25.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
77
perlu disingkirkan, dengan cara menyatukan birokrasi negara dan militer di
bawah satu komando, dan menyingkirkan peran serta banyak anggota
masyarakat dalam perpolitikan, yang dianggap mengancam stabilitas politik.51
Pada era reformasi, mimpi untuk mewujudkan sebuah negara yang
demokratis menemukan jalannya. Dengan lengsernya Presiden Soeharto, iklim
demokrasi mulai terasa. Banyak partai politik muncul berpartisipasi dalam
politik, yang tidak mungkin bisa terjadi sebelumnya. Banyak ekspektasi
mengenai bagaimana membangun struktur politik yang lebih demokratis, yang
tentu saja diharapkan mampu mengatasi segala krisis yang tengah dialami
bangsa.
Hanya saja masih ada kendala besar dalam mewujudkan hal tersebut.
Yaitu budaya politik yang selama ini bertahan dan semakin dilanggengkan
oleh rezim Orde Baru. Rezim ini berkuasa lebih dari 30 tahun. Tentu dalam
jangka waktu selama itu budaya politik Orde Baru masih kuat mengakar.
Misalnya persepsi bahwa para birokrat dan pejabat pemerintahan adalah
penguasa, bukan pelayan masyarakat. Konsekuensinya, segala program dari
elit politik tersebut dilaksanakan berdasarkan kepentingan kelompoknya,
bukan berdasarkan kepentingan rakyat.52
Budaya politik memang tidak bisa mengalami perubahan seketika.
Perlu proses lebih lama dibandingkan perubahan struktur politik. Masa-masa
51
Hartuti Purnaweni, “Demokrasi Indonesia: Dari Masa ke Masa”, Jurnal Administrasi Publik,
Vol.3 No.2 (2004) 120. 52
Khoirul Saleh dan Achmad Munif, “Membangun Karakter Budaya Politik Dalam
Berdemokrasi”, ADDIN, Vol.9 No.2 (Agustus 2015) 322.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
78
awal reformasi merupakan masa transisi dari era sebelumnya ke era demokrasi
yang dicita-citakan. Adanya kesenjangan antara cepatnya perubahan struktur
dan fungsi-fungsi sistem politik, dengan lambatnya perubahan budaya politik,
menjadi tantangan berat bagi pemimpin-pemimpin di masa transisi ini.53
Gus
Dur adalah salah satu yang memikul tanggung jawab tersebut. Beliau menjadi
presiden di masa peralihan ini, dan harus menghadapi kesenjangan antara
struktur politik baru dengan budaya politik yang belum berubah banyak.
Sementara itu, Gus Dur juga merupakan pemimpin dari salah satu
organisasi Islam terbesar di Indonesia, yaitu NU. Jika dilihat dalam konteks
Indonesia, Gus Dur merupakan salah seorang dari kalangan elit strategis yang
memimpin suatu komunitas besar. Kehadirannya diperhitungkan sebagai
tokoh penting dan berpengaruh. Namun Gus Dur juga tidak dipandang
berbeda dengan kalangan elit strategis yang lain, yaitu dianggap sebagai
pemimpin yang mewakili komunitasnya.
Sejak tahun 1984, NU telah menarik diri dari partisipasi langsung
dalam politik praktis. Sejak saat itu NU hanya fokus memperhatikan masalah-
masalah sosial keagamaan masyarakat. Gus Dur merupakan salah satu tokoh
yang turut berperan dalam hal ini. Sejak saat itu pula Gus Dur memimpin
organisasi tersebut, menjadi Ketua Umum PBNU tiga periode.
Soal budaya politik internal NU, hampir tidak ada perubahan
signifikan dari semenjak NU didirikan. NU merupakan organisasi informal
53
Budi Winarno, Sistem Politik Indonesia Era Reformasi.., 67.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
79
sebagai wadah dari kegiatan-kegiatan sosial keagamaan warganya. Peran
kepemimpinan berada di tangan para kiai. Segala permasalahan, baik dalam
tubuh NU maupun masalah-masalah sosial yang dihadapi masyarakat,
diputuskan oleh musyawarah para kiai, terutama para kiai sepuh. Orang NU
pada umumnya akan mematuhi keputusan-keputusan yang diambil.54
C. Kepemimpinan Gus Dur sebagai Presiden dan Ketua Umum PBNU
Gus Dur dicalonkan sebagai presiden pada tahun 1999. Sebelumnya
beliau fokus dalam membawa PKB ke pemilu legislatif, meskipun hanya
memperoleh 11% suara, jauh dibandingkan dengan PDI-P yang memenangkan
35% suara.55
Namun yang mengejutkan, pada pemilihan presiden selanjutnya,
justru Gus Dur yang berhasil terpilih, bukan Megawati yang mana partainya
menguasai parlemen.
Hal tersebut tidak lepas dari peran dari koalisi partai-partai Muslim
yang tergabung dalam Poros Tengah. Koalisi ini diprakarsai oleh Amin Rais.
Dalam perundingannya, petinggi partai-partai Muslim ini sepakat mendukung
Gus Dur dalam pencalonan Presiden RI selanjutnya, bersaing dengan
Megawati dan Habibie. Namun di tengah jalan, Habibie memutuskan mundur
dari pencalonan presiden, sehingga dukungan partai Golkal tertuju pada Gus
Dur.56
54
Munawar Ahmad, Ijtihad Politik Gus Dur.., 104. 55
Ensiklopedi Tokoh Indonesia, “KH. Abdurrahman Wahid (01): Kemudi Sosial Guru Bangsa”,
dalam Gus Dur, Manusia Multidimensional, ed. Maswan dan Aida Farichatul Laila.., 50. 56
Greg Barton, Biografi Gus Dur.., 370.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
80
20 Oktober 1999, sidang MPR kembali digelar dalam rangka memilih
presiden baru. Diluar dugaan, Gus Dur terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-
4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati hanya 313 suara.57
Inilah awal Gus
Dur memimpin Republik Indonesia sebagai presiden ke-4, dan presiden
pertama hasil reformasi.
Sebagai Presiden RI, banyak kebijakan kebijakan Gus Dur yang dinilai
kontroversial. Pada awal kepemimpinannya, Gus Dur melakukan pembubaran
Departemen Penerangan dan Departemen Sosial. Pada kesempatan
selanjutnya, Gus Dur banyak melakukan pemecatan dan penggantian beberapa
menteri dan pejabat lainnya tanpa penjelasan yang tuntas. Hal kontroversial
yang lain yaitu seringnya Gus Dur melakukan perjalanan ke luar negeri.
Muncul penilaian-penilaian dari kalangan elit dan masyarakat bahwa hal
tersebut hanya menghambur-hamburkan uang negara.
Bagi sebagian kalangan Muslim, langkah-langkah seperti membina
hubungan dengan Israel dan mencabut peraturan pelarangan Marxisme dan
Leninisme tidak bisa diterima. Beberapa pendapat menyatakan kemunduran
Hamzah Haz sebagai Menteri Koordinator Pengentasan Kemiskinan adalah
karena tidak senang dengan kebijakan Gus Dur yang berhubungan dengan
Israel.58
57
Irwan Suhanda, Perjalanan Politik Gus Dur.., 32. 58
Ensiklopedi Tokoh Indonesia, “KH. Abdurrahman Wahid (01): Kemudi Sosial Guru Bangsa”,
dalam Gus Dur, Manusia Multidimensional, ed. Maswan dan Aida Farichatul Laila.., 48.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
81
Muncul pula dua skandal pada tahun 2000, yaitu skandal Buloggate
dan Bruneigate. Pada bulan Mei 2000, Badan Urusan Logistik (BULOG)
melaporkan bahwa $4 juta menghilang dari persediaan kas Bulog. Tukang pijit
pribadi Gus Dur mengklaim bahwa ia dikirim oleh Gus Dur ke Bulog untuk
mengambil uang. Meskipun uang berhasil dikembalikan, musuh Gus Dur
menuduhnya terlibat dalam skandal ini. Skandal ini disebut skandal
Buloggate. Pada waktu yang sama, Gus Dur juga dituduh menyimpan uang $2
juta untuk dirinya sendiri. Uang itu merupakan sumbangan dari Sultan Brunei
untuk membantu di Aceh. Namun, Gus Dur gagal mempertanggungjawabkan
dana tersebut. Skandal ini disebut skandal Bruneigate.59
Sebagai klimaksnya, rasa tidak suka kalangan elit politik terhadap
kepemimpinan Gus Dur adalah saat beliau mengeluarkan Dekrit Presiden yang
berisi: pertama, pembubaran MPR/DPR, kedua, mengembalikan kedaulatan
ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan
ketiga, membekukan Partai Golkar. Dekrit tersebut berujung dengan
diberhentikannya Gus Dus sebagai Presiden melalui Sidang Istimewa MPR
pada tanggal 23 Juli 2001.60
Hal yang berbeda dialami oleh Gus Dur dalam kepemimpinannya di
PBNU. Reformasi Gus Dur dalam meminta turun Idham Kholid dari jabatan
Ketua Umum, serta memberi pendasaran bagi NU dalam menerima Pancasila,
membuatnya sangat populer di kalangan NU. Pada saat Musyawarah Nasional
59
Greg Barton, Biografi Gus Dur..,402. 60
Ensiklopedi Tokoh Indonesia, “KH. Abdurrahman Wahid (01): Kemudi Sosial Guru Bangsa”,
dalam Gus Dur, Manusia Multidimensional, ed. Maswan dan Aida Farichatul Laila.., 53.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
82
1984, banyak orang yang mulai menyatakan keinginan mereka untuk
menominasikan Gus Dur sebagai ketua baru NU. Gus Dur menerima nominasi
ini, meskipun dalam prosesnya terlibat dalam konflik antara pihak Idham
Kholid dan Panitia Munas.61
Gus Dur dipercaya menjadi Ketua Umum PBNU selama tiga periode.
Dalam waktu yang panjang tersebut, hampir tidak ada masalah berarti
berkaitan dengan kepemimpinannya. Dengan kondisi seperti itu, Gus Dur
dengan leluasa melakukan perubahan-perubahan. Salah satu andil pentingnya
adalah mereformasi pendidikan pesantren supaya tidak kalah bersaing dengan
pendidikan umum lainnya.62
61
Greg Barton, Biografi Gus Dur.., 168. 62
Ibid, 118.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
83
BAB IV
KHARISMA GUS DUR DALAM KEPEMIMPINAN FORMAL DAN
INFORMAL
A. Kharisma Gus Dur
Sebagai seorang tokoh, banyak hal yang menarik dari kepribadian Gus
Dur. Yang pertama dan paling umum adalah segala kondisi yang membentuk
latar belakang beliau. Mulai dari latar belakang sebagai santri, keturunan dari
orang-orang besar, latar belakang pendidikan, hingga lingkungan pergaulan.
Sebagai santri, beliau sudah spesial dengan gelar “Gus”. Sebagai keturunan
orang-orang besar, tidak hanya nama-nama ulama besar yang melekat pada
beliau, melainkan nama-nama pahlawan nasional, raja-raja Jawa, hingga tokoh
besar tionghoa di Indonesia. Latar belakang pendidikan Gus Dur juga spesial,
karena ada beberapa nama kiai besar yang menjadi guru beliau. Belum lagi
pengalaman belajar di Al-Azhar dan Baghdad. Dan dari segi pergaulan,
banyak nama tokoh-tokoh besar yang dikenal dekat dengan Gus Dur. Tidak
diragukan lagi, bahkan tanpa orang tahu kiprahnya secara detail, Gus Dur
sudah dikenal sebagai bukan orang sembarangan.
Namun semua itu belum cukup untuk bisa membawa Gus Dur
dikharismatisasi, setidaknya dalam konteks masyarakat yang lebih luas dan
plural seperti Indonesia. Masih ada hal lain yang menarik, yaitu kepribadian
beliau. Ada banyak ungkapan soal ini, mulai dari kontroversial, nyentrik,
humoris, egaliter, humanis dan lain-lain. Banyak diantara pernyataan-
pernyataan tentang kepribadian beliau yang bisa dirujuk untuk memvalidasi
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
84
kharismanya. Dari berbagai penilaian atas kepribadian Gus Dur, yang paling
menarik adalah kontroversi yang sering beliau timbulkan. Sebagai tokoh
kharismatik, kontroversial bukanlah kepribadian yang lazim. Merujuk pada
pandangan Weber, dalam komunitas jenis apapun dia berada, tokoh
kharismatik itu dianggap pahlawan.1 Sementara Gus Dur, justru sering
membuat orang-orang disekitarnya bingung. Tidak jarang kekhawatiran
muncul dari orang-orang terdekat beliau akibat sulit memahami apa yang Gus
Dur kehendaki sebenarnya.
Terlepas dari kepribadiannya yang kontroversial, Gus Dur tetap
memiliki banyak orang yang mencintai dan mengaguminya. Bahkan bagi
beberapa orang, Gus Dur benar-benar seorang panutan. Seorang pengagum
Gus Dur pernah mengatakan bahwa dia tidak pernah melanggar opo jare (apa
kata) Gus Dur semasa hidup, meskipun dia tidak pernah membaca tulisan
beliau.2 Mungkin itu merupakan ungkapan innocence saja, namun dapat
sedikit menggambarkan bahwa selalu ada orang-orang yang setia pada Gus
Dur meskipun sering kontroversial.
Selain dari latar belakang kehidupan dan kepribadian, Gus Dur masih
memiliki sisi mengagumkan yang memungkinkan beliau diakui kharismatik.
Dalam hal ini, Gus Dur memenuhi kriteria yang diberikan oleh Weber. Gus
Dur diakui sebagai extraordinary leader karena berbagai fenomena ajaib yang
1 Max Weber, Economy and Society.., 1116.
2 Hal itu pernah dikatakan oleh salah seorang warga Nahdliyin ketika menghadiri acara
pemakaman Gus Dur. Selebihnya lihat Runi Sri Astuti, “Rakyat Jelata Kehilangan ‘opo jare’“,
dalam Gus Dur Santri Par Excellence, ed. Irwan Suhanda (Jakarta: Kompas, 2010) 12.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
85
beliau tunjukkan. Ada banyak cerita dari orang-orang yang pernah dekat
dengan Gus Dur tentang keajaiban-keajaiban yang beliau tunjukkan. Dan
cerita-cerita tersebut tidak hanya berasal dari kalangan biasa, tetapi juga dari
tokoh-tokoh terkenal yang dekat dengan beliau. Sebagian diantara tokoh-tokoh
tersebut tidak diragukan lagi intelektualitasnya.
Berdasarkan latar belakang, kepribadian serta keluarbiasaan Gus Dur,
segala kriteria untuk bisa diakui sebagai pemimpin kharismatik telah
terpenuhi. Latar belakang keluarga telah memilihnya sebagai pengemban
hereditary charisma (kharisma warisan). Keluarbiasaan-keluarbiasaan, baik
berupa kemampuan-kemampuan ajaib maupun kelebihan-kelebihan yang
jarang dimiliki, khususnya oleh seorang santri, juga melekat pada Gus Dur.
Dengan demikian otoritas kharismatik beliau juga mendapatkan legitimasi
langsung dari keluarbiasaan yang ditampilkan, meskipun terlalu dini untuk
menganggapnya sebagai pure type charisma (kharisma asli).3
Sebagai tokoh kharismatik, Gus Dur diposisikan dengan beraneka
ragam frame manusia luar biasa. Yang paling sering diungkapkan adalah
posisinya sebagai seorang Wali. Itu memang wajar karena beliau berlatar
belakang NU. Diakui kharismatik oleh kelompoknya sendiri, dalam sebuah
wacana kharisma, merupakan hal yang biasa. Tetapi ternyata, pengakuan atas
kharisma Gus Dur tidak terbatas pada satu komunitas yang homogen. Banyak
kalangan di luar NU, baik muslim maupun non muslim, agamawan, politikus,
3 Menurut Weber, untuk bisa dikatakan kharisma asli juga perlu mempertimbangkan ke-khas-an
karakteristiknya. Karena bisa jadi kharisma tersebut mendapatkan klaimnya dari kemiripan
kualitas dengan tokoh-tokoh kharismatik terdahulu. Max Weber, Economy and Society.., 246.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
86
seniman, cendekiawan dan sebagainya, memposisikan Gus Dur pada tingkatan
diatas manusia rata-rata.
Jika diteliti lebih jauh dari ungkapan-ungkapan kekaguman orang-
orang tersebut, keluarbiasaan Gus Dur lebih sering diperlihatkan sebagai nilai
dari sikap dan tindakan beliau daripada keajaiban-keajaiban atau keberhasilan-
keberhasilan gemilang. Artinya kharisma Gus Dur lebih dilihat sebagai
kualitas dari seseorang yang secara luar biasa mampu memperlihatkan sikap
atau tindakan etis, yang mana tidak sembarangan orang mampu
melakukannya. Salah satunya ialah sikap membela kaum minoritas.
Sikap Gus Dur pada kalangan minoritas sangat berarti bagi mereka.
Bahwa ada seseorang dari kalangan mayoritas di bangsa ini, seorang tokoh
besar, bersedia dengan konsisten memperlakukan dengan setara kalangan
minoritas seperti halnya pada yang mayoritas, adalah pengalaman yang jarang
mereka rasakan. Tidak heran kalangan minoritas merasa menemukan panutan,
yang baru kali ini, tidak berasal dari golongan mereka sendiri. Hal tersebut
terlihat dari pernyataan-pernyataan mereka yang terkesan memposisikan Gus
Dur tidak sebagai orang lain, orang asing atau orang luar. Seolah-olah batas
perbedaan Gus Dur dengan mereka sudah hilang.4
Dengan demikian kharisma Gus Dur memiliki arti lain bagi kalangan
minoritas. Bukan dilihat dari silsilahnya, bukan pula dari kemampuannya
menunjukkan keajaiban atau mewujudkan keberhasilan, melainkan dari sikap
4 Pandangan peneliti ini merujuk pada ungkapan-ungkapan kalangan minoritas tentang Gus Dur
pada bab III.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
87
dan tindakan yang bermakna bagi mereka. Dilihat dari sudut pandang etika,
perlakuan Gus Dur pada kalangan minoritas setidaknya sudah memuat dua
konsep, yaitu keadilan dan kepedulian. Dalam pembahasan etika filosofis, dua
konsep tersebut dipertentangkan masing-masing oleh Lawrence Kohlberg
(1927-1987) dan mantan asistennya Carol Gilligan (1936-sekarang). Menurut
Kohlberg, ukuran kemajuan moral yang tertinggi manusia adalah pencapaian
sikap moral yang berorientasi pada prinsip-prinsip abstrak keadilan. Gilligan
mengkritik Kohlberg dengan menganggapnya terjebak pada bias gender.
Menurut Gilligan, etika keadilan itu khas laki-laki. Ada ukuran kemajuan
moral tertinggi lainnya, yang khas perempuan, yang memiliki posisi sama
penting dengan etika keadilan, yaitu etika kepedulian.5
Tanpa harus memperdebatkan hal tersebut, dapat kita lihat bahwa Gus
Dur mampu menunjukkan baik keadilan maupun kepedulian bagi kalangan
minoritas. Gus Dur dinilai adil karena dapat memperlakukan dengan setara
antara mayoritas dan minoritas, antara kelompoknya sendiri dengan kelompok
lain. Namun Gus Dur juga dinilai peduli karena siap membela kalangan
minoritas yang tertindas, mengajak untuk hidup harmonis dan penuh
toleransi.6 Gus Dur yang adil dan sekaligus peduli bisa jadi merupakan cara
kalangan minoritas untuk mengakui kharisma Gus Dur.
5 Frans Magnis Suseno, Pijar-pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat Perempuan, dari Adam
Muller ke Posmodernisme (Yogyakarta: Kanisius, 2005) 237. 6 Subarto Zaini, Leadership in Action: Pembelajaran dari Para Maestro (Jakarta: Gramedia, 2011)
75.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
88
Sampai di sini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama,
kepribadian Gus Dur yang kontroversial seharusnya justru bertentangan
dengan karakteristik kharismatik. Memang ada beberapa kalangan yang
mempermasalahkan hal tersebut, dan memilih untuk mengambil jalan berbeda.
Namun sampai beliau meninggal, Gus Dur masih tetap dikagumi banyak
orang, bahkan cenderung lebih dikagumi. Kedua, otoritas kharismatik
seharusnya bertentangan dengan otoritas yang lain, tradisional maupun legal.
Itu karena karakteristiknya yang revolusioner. Namun Gus Dur justru masuk
dan ikut andil dalam melestarikan otoritas yang ada.
Berdasarkan beberapa catatan tersebut, peneliti menganggap bahwa
kharisma Gus Dur tidak bisa dipandang dari satu aspek saja. Dengan kata lain,
Gus Dur tidak dipandang kharismatik dengan satu cara yang sama. Bisa ada
dua cara memahaminya: Gus Dur adalah pemimpin kharismatik dari banyak
komunitas, atau Gus Dur adalah pemimpin kharismatik dari suatu komunitas
yang plural.
Kalau ditelusuri kembali, kharisma Gus Dur yang pertama adalah
kharisma warisan. Sebagaimana teori Weber, kharisma warisan adalah bentuk
tidak asli kharisma. Kharisma warisan adalah hasil dari rutinisasi kharisma.
Kharisma bentuk ini didasarkan atas klaim bahwa kharisma dapat diwariskan
turun-temurun.7 Dalam kasus Gus Dur, bahkan dari satu bentuk kharisma ini
bisa ada dua jenis komunitas kharismatik yang muncul. Beberapa leluhur Gus
Dur dikenal sebagai pemimpin agama yang diakui kharismatik oleh kalangan
7 Max Weber, Economy and Society.., 248.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
89
Islam, khususnya warga NU. Beberapa yang lain dikenal sebagai raja-raja
Jawa yang diakui kharismanya oleh umumnya masyarakat Jawa.
Gus Dur juga bisa diakui kharismatik berdasarkan klaim bahwa beliau
adalah seorang wali. Dalam kalangan Islam, ada suatu pandangan bahwa
seorang wali diberi karomah (kekuatan luar biasa).8 Keajaiban-keajaiban yang
pernah dialami sendiri oleh orang-orang dekat Gus Dur sering dijadikan klaim
kewalian Gus Dur. Terlepas itu benar atau tidak, setidaknya banyak dari
masyarakat percaya bahwa Gus Dur itu wali. Dan itu cukup untuk dijadikan
validator kharisma Gus Dur, setidaknya sebagai kharisma yang berdasarkan
klaim atas kewalian tokoh.9
Dan selanjutnya merupakan kharisma Gus Dur yang bisa dianggap
pure tipe charisma, karena langsung dapat dikenali orang lain serta khas Gus
Dur. Kharisma ini diakui oleh orang-orang yang merasakan sendiri pribadi
Gus Dur yang luar biasa, yaitu sebagai pribadi yang luhur akhlak (etika) nya.
Pengakuan ini tidak hanya dari orang NU maupun Muslim saja, melainkan
dari berbagai golongan. Merujuk pada konsep etika keadilan dan kepedulian,
Gus Dur berada pada posisi melampaui orang-orang kebanyakan.10
8 Karomah sebagai tanda seseorang wali atau bukan, masih menjadi persoalan. Sering kali itu
dilihat lebih sebagai suatu kesalahpahaman dalam upaya mengenali kewalian seseorang. Chandra
utama, Lentera Para Wali (t.t.: Guepedia, t.th.) 65. 9 Max Weber, Economy and Society.., 248
10 Dalam etika Kohlberg, menentukan sikap berdasarkan prinsip-prinsip abstrak keadilan adalah
perkembangan tertinggi (tahap 6) kemajuan moral. Gilligan menempatkan kepedulian, yang oleh
Kohlberg ditempatkan pada tahap 3, menjadi sejajar dengan tahap tertinggi, keadilan. John W.
Santrock, Adolescence, ed. 6 terj. Shinto B. Adelar (Jakarta: Airlangga, 2003) 445.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
90
Dalam tipe murni ini, kharisma Gus Dur tidak hadir dalam suatu
gerakan politik, sehingga tidak berpengaruh secara langsung terhadap otoritas
legal maupun tradisional. Beliau diakui lebih sebagai seorang yang patut
diteladani atau dijadikan panutan dalam dimensi kultural. Pandangan-
pandangan yang dilekatkan pada beliau dalam kharismanya ini antara lain
demokratis, humanis, pluralis, dan toleran. Meskipun tidak terasa secara
langsung, tidak bisa dipungkiri bahwa beliau telah membuat perubahan,
terutama dalam tataran kebudayaan masyarakat Indonesia.
Pada awalnya orang-orang, terutama kalangan Gus Dur sendiri,
melihat kharisma Gus Dur dengan cara pertama, sebagai seorang yang
mewarisi keluarbiasaan orang tua dan leluhurnya. Selanjutnya, setelah melihat
sendiri keajaiban-keajaiban yang ditampilkan Gus Dur, orang-orang mulai
mengakui dia sebagai wali. Sementara itu, kalangan lain melihat sisi lain dari
kharisma Gus Dur sebagai tokoh humanis, pluralis dan toleran. Masing-
masing kalangan memiliki pemahaman sendiri-sendiri tentang kharisma Gus
Dur. Ketika masih melihat dari satu aspek saja, suatu komunitas akan merasa
sulit menerima sikap atau pernyataan Gus Dur yang terkesan kontroversial.
Namun ketika mereka mulai memahami aspek yang lain, mereka lebih bisa
menerima, dan justru memperkuat keyakinan mereka atas kharisma Gus Dur.
Sejauh ini peneliti telah menyajikan hasil identifikasi kharisma Gus
Dur ketika ditinjau dari perspektif Weberian. Selanjutnya kharisma Gus Dur
akan coba diidentifikasi dari sisi filsafat. Terutama ketika kharisma tersebut
dikaitkan dengan kondisi eksistensial masing-masing pihak.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
91
Keluar-biasaan Gus Dur diungkapkan oleh orang-orang disekitarnya
dengan berbagai cara. Beberapa diantaranya didasarkan atas pengalaman
langsung ketika bersama Gus Dur, beberapa yang lain hanya melalui
keterangan tak langsung. Ada juga yang hanya didasarkan atas asumsi dengan
pertimbangan-pertimbangan tertentu, semisal dari silsilah atau posisi penting
yang diduduki Gus Dur. Darimanapun informasi mengenai keluar-biasaan Gus
Dur diperoleh, pada kenyataannya itu dipercaya.
Bagi masyarakat Indonesia, mengakui keluar-biasaan tokoh memang
masih sangat mudah. Sebagai masyarakat yang religius, orang Indonesia
sangat akhrab dengan hal-hal supranatural. Bahkan untuk hal-hal atau
peristiwa yang sebenarnya lazim, sering kali masih dihubung-hubungkan
dengan realitas supranatural. Dan itu diperkuat oleh kondisi masyarakat yang
ikatan komunalnya masih sangat kuat.
Dalam kondisi sosial semacam itu, Gus Dur tampil dengan berbagai
atribut keluar-biasaan. Image-nya sebagai Gus keturunan kiai-kiai besar sudah
bisa menempatkan dirinya pada jajaran elit masyarakat. Tanpa harus
menunjukkan sesuatu yang luar-biasa saja, orang-orang akan berebut mencium
tangannya, dengan keyakinan akan mendapat limpahan barokah. Bagi orang-
orang, kharismanya adalah yang tampil duluan.
Namun Gus Dur justru tidak berusaha menampilkan sikap pribadi yang
berwibawa. Dia lebih menunjukkan sikap santai, easy going, supel dan
humoris. Lebih jauh lagi, sering kali sikap dan keputusannya dinilai
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
92
kontroversial. Kadang terkesan memihak orang-orang yang dianggap lawan
atau menentang orang-orang dari golongannya sendiri. Tidak jarang pula
sikapnya sulit dimengerti.
Namun ternyata sifat yang ditunjukkannya tersebut tidak merubah
persepsi pribadinya yang luar-biasa. Orang lebih memilih melihat kontroversi
yang ditunjukkan Gus Dur sebagai suatu teka-teki yang penting untuk
dipecahkan. Padahal jika itu dilakukan oleh orang lain, sangat mungkin respon
yang diperoleh negatif. Ini menegaskan betapa kharisma Gus Dur mampu
membuat orang lain memberi penilaian berbeda terhadap dirinya.
Dan ketika beberapa keputusannya dapat ditemukan oleh pengikut
sebagai tepat, masuk akal atau sebuah trobosan brilian, hal tersebut semakin
menegaskan kharisma Gus Dur. Ini merupakan suatu penilaian yang aneh,
mengingat ketika itu dialamatkan pada orang biasa, sering kali dianggap
sebagai kebetulan atau keberuntungan. Atau bisa juga dikatakan, penilaian
tersebut adalah wajar jika sejak awal diandaikan bahwa keputusan tersebut
diambil oleh orang yang serba luar-biasa.
Maka tidak berlebihan jika kharisma Gus Dur sangat menentukan
posisinya sebagai pemimpin. Merujuk pada pandangan Erich Fromm,
kharisma Gus Dur merupakan acuan utama ketundukan dari para pengikutnya.
Kharisma Gus Dur menunjukkan betapa powerful dirinya, sehingga orang-
orang yang merasa kecil, lemah, dan membutuhkan dominasi dapat
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
93
meleburkan diri. Dalam kondisi seperti ini, potensi terbentuknya komunitas
yang otoritarian sangat besar.
Namun Gus Dur sepertinya tidak mempedulikan pandangan-
pandangan semacam itu terhadap dirinya. Dia menjalani hidup seperti hal nya
manusia biasa. Adapun kegemarannya berziarah kubur, dalam tradisi santri
merupakan kegiatan yang sudah biasa. Sama biasanya dengan kegiatan
mengunjungi kiai-kiai untuk sekedar silaturrahmi dan ngalap barokah.
Terkait dengan bagaimana Gus Dur memperoleh kekuasaan, baik
formal maupun informal, semua itu dilakukan dengan cara-cara yang wajar
pula. Dia menjadi Ketua Umum PBNU melalui pemilihan pada Muktamar-
Muktamar. Dia menjadi presiden juga melalui pemungutan suara di DPR.
Dalam prosesnya, dia juga melakukan lobi-lobi politik. Tidak ada upaya dari
Gus Dur untuk menunjukkan kemampuan-kemampuan luar-biasa.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa upaya-upaya untuk
menegaskan dominasi melalui kharisma tidak pernah dilakukan oleh Gus Dur.
Justru ketika Gus Dur menunjukkan sikap dan keputusan yang kontroversial,
hal itu bisa ditafsirkan sebagai upaya membalik stigma para pengikut terhadap
kharismanya. Tafsiran semacam ini mendapatkan argumentasinya melalui
pandangan-pandangan Gus Dur sendiri.
Gus Dur terkenal sebagai tokoh yang memperjuangkan nilai-nilai
humanisme dan toleransi sesama manusia. Dia mengajarkan tentang
kesetaraan. Dalam politik, Gus Dur menekankan pentingnya mewujudkan
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
94
demokrasi yang sehat. Dalam bidang keagamaan, Gus Dur mengajarkan
pandangan tentang Islam yang kosmopolitan. Secara keseluruhan, Gus Dur
ingin dirinya dikenal sebagai seorang yang humanis. Bahkan dia berwasiat
supaya di nisannya nanti dituliskan keterangan bahwa dirinya seorang
humanis.
B. Kharisma Gus Dur sebagai Presiden dan Ketua Umum PBNU
Gus Dur hanya mengalami masa kepresidenan yang singkat. Hanya 20
bulan sejak beliau terpilih. Namun 20 bulan tersebut penuh dengan peristiwa-
peristiwa yang menarik untuk dibahas hingga sekarang. Mulai dari hal-hal
yang penting soal pemerintahan, hingga peristiwa-peristiwa rutin yang
berkesan bagi beberapa kalangan, karena belum pernah mengalami seorang
presiden dari kalangan santri.
Dalam posisinya sebagai Presiden Republik Indonesia, Gus Dur
dihadapkan pada kondisi yang sulit. Reformasi baru terjadi ditandai dengan
lengsernya Soeharto, yang berarti tumbangnya rezim Orde Baru. Sementara
saat rezim ini berakhir, Indonesia sedang mengalami krisis di berbagai bidang.
Beliau dituntut bisa memperbaiki kondisi negara dan pemerintahan, serta
membuat trobosan-trobosan baru.
Dipilihnya Gus Dur sebagai calon presiden tidak lepas dari posisinya
sebagai tokoh yang memiliki basis pendukung besar serta kontribusinya dalam
upaya mewujudkan reformasi. Sebelum dicalonkan sebagai presiden, nama
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
95
Gus Dur telah populer sebagai elit strategis pendukung reformasi, sejajar
dengan nama-nama seperti Megawati Soekarno Putri dan Amin Rais. Basis
pendukung Gus Dur terutama dari kalangan NU, sebuah organisasi Islam
terbesar di Indonesia. Bagi kalangan NU, Gus Dur adalah seorang pemimpin
kharismatik, mengingat beliau adalah cucu dari Hadratussyaikh Hasyim
Asy’ari dan putra dari Wahid Hasyim.
Namun dipilihnya Gus Dur sebagai calon presiden tidak semata-mata
berdasarkan pertimbangan bahwa beliau memiliki basis pendukung besar.
Kiprah Gus Dur selama masa pemerintahan Soeharto juga menjadi
pertimbangan. Gus Dur dikenal sebagai tokoh yang sering melontarkan kritik
pada kebijakan-kebijakan politik Orde baru. Bagi kaum muda reformis, Gus
Dur merupakan salah seorang tokoh yang dapat mendukung dan melindungi
mereka dalam gerakan mewujudkan reformasi. Bagi kalangan elit politik,
nama Gus Dur tidak bisa dipandang remeh.
Lebih dari itu, Gus Dur merupakan tokoh yang populer di luar konteks
politik. Gus Dur aktif dalam berbagai organisasi masyarakat, juga aktif dengan
kegiatan-kegiatan dibidang sosial, seni, olahraga dan sebaginya. Beliau juga
seorang intelektual yang aktif menulis. Tokoh-tokoh dari berbagai macam
latar belakang di luar politik mengenal baik Gus Dur, baik budayawan,
wartawan, seniman, pengamat sepak bola, hingga pemuka-pemuka agama
minoritas. Bagi mereka Gus Dur merupakan seorang pribadi yang luar biasa.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
96
Sejak sebelum dicalonkan sebagai presiden, Gus Dur sudah dikenal
sebagai seorang pribadi yang kharismatik. Pengakuan atas kharismanya
menjangkau berbagai kalangan. Hal itu pula yang menguatkan alasan Poros
Tengah mengusung Gus Dur sebagai calon presiden, bersaing dengan
Megawati. Namun sepertinya kharisma Gus Dur tidak menjangkau para elit
politik pengusung beliau sendiri.
Pada masa kepemimpinannya, Gus Dur banyak melakukan
perombakan dalam struktur politik. Beliau juga mengeluarkan kebijakan-
kebijakan yang terkesan kontroversial. Selama menjadi presiden, beliau juga
sering melakukan perjalanan ke luar negeri. Semua itu, menurut Gus Dur,
didasarkan pertimbangan-pertimbangan yang konstitusional dan demi
kepentingan bangsa dan negara. Namun tidak terlihat demikian bagi kalangan
elit politik yang berada di pemerintahan.
Banyak kebijakan Gus Dur yang dianggap tidak benar oleh para elit
politik dan sebagian kelompok masyarakat. Diantaranya yang penting seperti
pembubaran Departemen Penerangan dan Departemen Sosial, pemecatan dan
penggantian beberapa menteri dan pejabat lainnya tanpa penjelasan yang
tuntas, seringnya melakukan perjalanan ke luar negeri yang dinilai
menghambur-hamburkan uang negara, membina hubungan dengan Israel,
mencabut peraturan pelarangan Marxisme dan Leninisme, dan lain-lain.
Belum lagi beberapa skandal yang melibatkan Gus Dur (Buloggate dan
Brunaigate) yang membuat dirinya semakin tidak dipercaya.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
97
Dari berbagai pandangan tersebut, dapat diindikasikan bahwa kharisma
Gus Dur tidak memiliki peran berarti. Jika merujuk pada Weber, sepertinya
otoritas kharismatik Gus Dur dapat dianggap tidak mampu bertahan melawan
otoritas legal-formal. Dan itu terbukti dengan diberhentikannya Gus Dur lewat
Sidang Istimewa MPR di bulan ke-20 kepemimpinannya. Namun jika ditinjau
kembali, ada beberapa hal penting yang merupakan implikasi dari kharisma
Gus Dur selama memimpin sebagai presiden.
Pertama, sejak awal, terpilihnya Gus Dur sebagai presiden memang
tidak berdasarkan atas kharisma beliau, melainkan berdasarkan popularitasnya
di mata masyarakat. Kompromi politik antara para elit yang tergabung dalam
Poros Tengah lah yang memuluskan jalan Gus Dur menjadi presiden, bukan
kharismanya. Gus Dur adalah tokoh kharismatik dimata masyarakat, namun di
luar konteks politik praktis. Karena masyarakat kebanyakan masih memiliki
pengetahuan dan partisipasi yang minim dalam politik praktis. Memang,
reformasi telah sedikit merubah budaya politik masyarakat menjadi lebih
peduli dengan jalannya perpolitikan. Namun itu tidak terlalu berarti jika
mereka tidak memiliki akses dan merasa tidak memiliki kemampuan untuk
berpartisipasi aktif dalam politik praktis.
Budaya politik ere reformasi masih belum mengalami perubahan yang
berarti, terutama di kalangan elit strategis. Sebagian dari mereka masih
menganggap dirinya sebagai pemimpin yang perlu memperjuangkan
kepentingan golongannya. Di mata mereka, kalangan elit yang lain pun tidak
berbeda. Gus Dur merupakan wakil dari golongannya, sehingga langkah-
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
98
langkah politik Gus Dur bisa jadi untuk kepentingan golongannya atau justru
untuk dirinya sendiri. Cara pandang seperti ini sudah menjadi budaya politik
kaum elit stategis sejak Indonesia lahir.
Namun Gus Dur, sesuai dengan karakteristik pemimpin kharismatik
dari Weber, merupakan pribadi yang revolusioner. Langkahnya konsisten
berdasarkan panggilan misi yang beliau yakini, yaitu membawa Indonesia
menjadi negara yang demokratis. Konsisten untuk mewujudkan perubahan
mengandaikan langkah-langkah yang tidak kenal kompromi. Di sisi lain,
budaya politik kalangan elit strategis masih belum mengalami perubahan
berarti. Selalu ada kompromi politik sebelum langkah-langkah diambil.
Disinilah terjadi benturan antara Gus Dur dengan kalangan elit politik yang
lain.
Kedua, terlepas dari pandangan bahwa dirinya telah gagal sebagai
presiden, kepemimpinan kharismatik Gus Dur membawa perubahan yang
cukup signifikan dalam perpolitikan di Indonesia, terutama dalam budaya
politik masyarakat. Beberapa kebijakan beliau pada akhirnya dinilai patut
diteladani oleh masyarakat, terutama tentang bagaimana mewujudkan
pemerintahan yang demokratis. Hal tersebut ditunjukkan Gus Dur dalam
keputusannya mencabut TAP MPRS No.XXIX/MPR/1966 yang melarang
Marxisme dan Leninisme; memberikan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun
1967 tentang Agama, Kepercayaan dan Adat Istiadat China; memberi
kebebasan bagi rakyat Papua untuk tidak membentuk Dewan Adat Papua;
membuka Istana Negara untuk rakyat, dan lain-lain.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
99
Masuk dalam gerakan politik praktis, termasuk terjun dalam
kepemimpinan formal sebagai presiden RI, merupakan sesuatu yang perlu
dilakukan menurut Gus Dur. Hal ini terkait dengan misi beliau membuat
jalinan yang baik antara Islam dengan negara. Namun Gus Dur memperoleh
banyak hambatan bahkan dengan kharisma yang melekat padanya. Salah satu
sebab mengapa kharisma beliau tidak begitu berpengaruh, adalah karena
dalam politik praktis, budaya politik masyarakat belum mengalami banyak
perubahan. Beda halnya dengan kepemimpinan informal Gus Dur sebagai
Ketua Umum PBNU. Dengan kembalinya NU pada khittah 1928, sehingga
menarik diri dari politik praktis dan lebih fokus pada gerakan kultural, Gus
Dur bisa memimpin dengan tanpa mengalami masalah berarti. Selain karena
kharisma warisan Gus Dur kuat di NU, beliau juga mampu membuat
perubahan-perubahan yang berarti, meskipun sempat juga mengalami krisis
kepercayaan di tengah masa jabatannya karena dianggap terlalu liberal.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
100
BAB V
PENUTUP
I. Kesimpulan
Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya,
maka penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Hasil identifikasi kharisma Gus Dur:
a. Kharisma Gus Dur dapat dipahami dengan dua cara: Pertama, Gus Dur
adalah pemimpin kharismatik dari banyak komunitas. Kedua, Gus Dur
adalah pemimpin kharismatik dari suatu komunitas yang plural.
b. Kharisma Gus Dur merupakan acuan utama pengakuan kepemimpinannya,
mengingat sikap dan keputusannya yang kontriversial.
c. Kharisma tidak dimanfaatkan Gus Dur untuk menegaskan dominasi.
d. Ketundukan para pengikut justru dimanfaatkan Gus Dur untuk
mengajarkan kerangka orientasi baru yang bersifat membebaskan, seperti
mengenai humanisme, toleransi, demokrasi dan Islam kosmopolitan.
2. Implikasi kharisma Gus Dur dalam kepemimpinan formal (Presiden RI) yaitu:
a. Membawa kepercayaan bagi kalangan Poros Tengah untuk mengusung
Gus Dur sebagai Presiden RI. Pertimbangannya, bahwa Gus Dur
merupakan tokoh kharismatik bagi sebagian kalangan masyarakat.
b. Membawa perubahan, terutama dalam hal budaya politik masyarakat.
Langkah-langkah Gus Dur yang kontroversial pada akhirnya bisa
dipahami sebagai teladan bagi masyarakat tentang bagaimana mewujudkan
pemerintahan yang demokratis.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
101
Implikasi kharisma Gus Dur dalam kepemimpinan informal (Ketua Umum
PBNU) yaitu:
a. Menjadi salah satu dari tujuh tokoh yang dipercaya dalam upaya
mereformasi NU dan menjadi tokoh yang difavoritkan untuk menjadi
Ketua Umum PBNU dalam Muktamar NU di Situbondo.
b. Dipercaya menjadi Ketua Umum selama tiga periode. Dalam hal ini,
budaya politik NU yang mengakui kepemimpinan informal para Kiai
kharismatik, serta musyawarah para Kiai dalam menentukan pemimpin,
menjadi landasan pengakuan atas kepemimpinan kharismatik Gus Dur.
c. Melancarkan upaya Gus Dur dalam mewujudkan perubahan-perubahan
dalam organisasi, misalnya reformasi pendidikan pesantren.
d. Membuat Gus Dur dipercaya mayoritas warga NU untuk menjadi Presiden
RI.
J. Saran-saran
Penelitian mengenai kharisma sampai saat ini masih sedikit. Ini karena
konsep tersebut terlalu sulit untuk dijelaskan secara ilmiah. Dalam
memperkenalkan kharisma, Weber memberi pengertian dalam konteks yang
universal, padahal di dalamnya terkandung ide-ide metafisis. Jarang ada penelitian
yang diarahkan khusus pada pemahaman konsep tersebut. Lebih sering konsep ini
diterima begitu saja untuk bisa diaplikasikan dalam penelitian-penelitian sosio
politis. Diharapkan kedepannya ada penelitian yang lebih terfokus pada klarifikasi
konsep tersebut.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
102
DAFTAR PUSTAKA
Aberbach, David. Charisma in Politics, Religion and The Media: Private Trauma,
Public Ideals. London: Macmillan Press Ltd, 1996.
Adair-Toteff, Christopher. Fundamental Consepts in Max Weber’s Sociology of
Religion. London: Palgrave Macmillan, 2015.
Ahmad, Munawar. Ijtihad Politik Gus Dur: Analisis Wacana Kritis. Yogyakarta:
LkiS, 2010.
Alfian. Politik, Kebudayaan dan Manusia Indonesia. Jakarta: LP3ES, 1981.
Al-Zastrouw Ng. Gus Dur, Siapa Sih Sampeyan?: Tafsir Teoritik atas Tindakan
dan Pernyataan Gus Dur. Jakarta: Erlangga, 1999.
Amin, Samsul Munir. Karomah Para Kiai. Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2008.
Arifin, Zaenal. Dasar-Dasar Penulisan Karya ilmiah. Jakarta: Grasindo, 2008.
Aziz, Munawir. Merawat Kebinekaan: Pancasila, Agama dan Renungan
Perdamaian. Jakarta: Gramedia, 2017.
Bakker, Anton dan Achmad Charris Zubair. Metodologi Penelitian Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius, 1990.
Barton, Greg. Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman
Wahid, terj. Lie Hua. Yogyakarta: LKiS, 2002.
Beekes, Robert. Etymological Dictionary of Greek. Leiden dan Boston:
Koninklijke Brill NV, 2009.
Bisri, A. Mustofa dan Sinta Nuriyah Rahman. Beyond The Symbols: Jejak
Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur. Bandung: Remaja Rosda
Karya, 2000.
Bisri, A. Mustofa. Koridor: Renungan A. Mustofa Bisri. Jakarta: Kompas, 2010.
Blackburn, Simon. The Oxford Dictionary of Philosophy. Oxford: Oxford
University Press, 1996.
Budiman, Arief. Kebebasan, Negara, Pembangunan: Kumpulan Tulisan 1965-
2005. Jakarta: Pustaka Alvabet, 2006.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
103
Cross, Frank L. dan Elizabeth A. Livingstone. The Oxford Dictionary of The
Christian Church ed. iii.Oxford: Oxford University Press, 2005.
Derman, Joshua. Max Weber in Politics and Social Though: From Charisma to
Canonization. Cambridge: Cambridge University Press, 2013.
Dewanto, Nugroho. Wahid Hasyim Untuk Republik Dari Tebuireng. Jakarta:
Tempo, 2011.
Eliade, Mircea. Sacred and Profane:The Nature of Religion, terj. Inggris Willard
R. Trask. New York: Brace and World Inc., 1959.
Fromm, Erich. Escape From Freedom. New York: Avon Books, 1969.
Fromm, Erich. The Sane Society. London dan New York: Routledge, 2002.
Geertz, Cliffort. Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi Dalam Kebudayaan
Jawa, terj. Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto. Depok: Komunitas Bambu,
2014.
Gerth, H.H. dan C. Wright Mills. From Max Weber: Essays on Sociology. New
York: Oxford University Press, 1946.
Grudem, Wayne. Systematic Theology: An Introduction to Biblical Doctrine.
Leicester: Inter-Varsity Press, 1994.
Hardiman, Budi. “Georg Simmel dan Relasionisme: Sebuah Tinjauan Filosofis
atas Hubungan Individu dan Masyarakat”, Studia Philosophica et
Theologica, Vol. 10 No. 1. Maret 2010.
Hardiman, F. Budi. Seni Memahami: Hermeneutik dari Schleiermacher sampai
Derida. Yogyakarta: Kanisius, 2015.
Hornblower, Simon dan Antony Spawforth. The Oxford Classical Dictionary ed.
IV. Oxford: Oxford University Press, 2012.
Jones, Lindsay. Encyclopedia of Religion ed.2, Vol. 3. Michigan: Thomson Gale,
2005.
Jones, Lindsay. Encyclopedia of Religion ed.2, Vol. 4. Michigan: Thomson Gale,
2005.
Le, Loan. Religious Life: A Reflective Examination of Its Charism and Mission for
Today. Newcastle: Cambridge Scholars Publishing, 2016.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
104
Lindholm, Charles. Charisma. Oxford: Basil Blackwell, 1990.
Lindholm, Charles. The Anthropology of Religious Charisma: Ecstasies and
Institutions. New York: Palgrave Macmillan, 2013.
Maswan dan Aida Farichatul Laila. Gus Dur, Manusia Multidimensional.
Yogyakarta: Deepublish, 2015.
Misrawi, Zuhairi. Hadratussyaich Hasyim Asy’ari: Moderasi, Keumatan dan
Kebangsaan. Jakarta: Kompas, 2010.
Moustakas, Clark. Heuristic Research: Design, Methodology and Applications.
California, London dan New Delhi: Sage Publications, Inc., 1990.
Muhammad, Husein. Sang Zahid: Mengarungi Sufisme Gus Dur. Yogyakarta:
LkiS, 2012.
Muhni, Djuretna Adi Imam. “Manusia dan kepribadiannya: Tinjauan Filsafati”,
Jurnal Filsafat Fakultas Filsafat UGM. seri 27 Maret 1997.
Navarez, Carlos, J. Luke Wood dan Rose Penrose. Leadership Theory and The
Community Collage: Applying Theory to Practice. Virginia: Stylus
Publishing, 2013.
Oakes, Len. The Charismatic Personality. Bowen Hills: Australian Academic
Press, 2010.
Potts, John. A History of Charisma. London: Palgrave Macmillan, 2009.
Purnaweni, Hartuti. “Demokrasi Indonesia: Dari Masa ke Masa”, Jurnal
Administrasi Publik, Vol.3 No.2 (2004).
Ramage, Douglas E. Politics in Indonesia: Democracy, Islam, and The Ideology
of Tolerance. London and New York, Routledge, 1995.
Ranoh, Ayub. Kepemimpinan Kharismatis: Tinjauan Teologis-Etis Atas
Kepemimpinan Kharismatis Soekarno. Jakarta: Gunung Mulia, 2006.
Roman, Luke dan Monica Roman. Encyclopedia of Greek and Roman Mythology.
New York: Facts On File, 2010.
Saleh, Imam Anshori. Mata Batin Gus Dur. Jakarta: Gramedia, 2017.
Saleh, Khoirul dan Achmad Munif, “Membangun Karakter Budaya Politik Dalam
Berdemokrasi”, ADDIN, Vol.9 No.2 (Agustus 2015).
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
105
Santrock, John W. Adolescence, ed. 6 terj. Shinto B. Adelar. Jakarta: Airlangga,
2003.
Smith, William. A Dictionary of Greek and Roman Biography and Mythology.
London: John Murray, Albemarle Street, 1872.
Sobari, Mohammad. Kesalehan Sosial. Yogyakarta: LKiS, 2007.
Soekarso dan Iskandar Putong. Kepemimpinan: Kajian Teoritis dan Praktis.
Jakarta: Buku&artikel Karya Iskandar Putong, 2015.
Solahudin, M. Tawa Aja Kok Repot!. Yogyakarta: Garasi, 2010.
Stevenson, Angus. Oxford Dictionary of English ed. iii. Oxford: Oxford
University Press, 2010.
Stewart, Mark Allan. Releasing The Power of Your Spiritual Gifts. New York:
Writers Club Press, 2003.
Suhanda, Irwan. Gus Dur Santri Par Excellence. Jakarta: Kompas, 2010.
Suhanda, Irwan. Perjalanan Politik Gus Dur. Jakarta: Kompas, 2010.
Suseno, Frans Magnis. Pijar-pijar Filsafat: Dari Gatholoco ke Filsafat
Perempuan, dari Adam Muller ke Posmodernisme. Yogyakarta: Kanisius,
2005.
Swatos, William H. Encyclopedia of Religion and Society. Walnut Creek:
AltaMira Press, 1998.
Tim Penyusun. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Utama, Chandra. Lentera Para Wali. t.t.: Guepedia, t.th.
Wahid, Abdurrahman. Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat
Negara Demokrasi. Jakarta: The Wahid Institute, 2006.
Weber, Max. Economy and Society: An Outline of Interpretative Sociology.
Berkeley, Los Angeles dan London: University of California Press, 1978.
Wibowo, I. dan Thung Ju Lan. Setelah Air Mata Kering: Masyarakat Tionghoa
Pasca-Peristiwa Mei 1998. Jakarta: Kompas, 2010.
Winarno, Budi. Sistem Politik Indonesia Era Reformasi. Yogyakarta: MedPress,
2008.
digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id
106
Woodward, Mark R. Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan terj.
Hairus Salim HS. Yogyakarta: LkiS, 2004.
Zaini, Subarto. Leadership in Action: Pembelajaran dari Para Maestro. Jakarta:
Gramedia, 2011.
Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan ed. 2. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2008.
Didik Suyuthi, “Rahasia di Balik Mufaraqah Kiai As’ad dari Gus Dur”, dalam
http://www.nu.or.id/post/read/64455/rahasia-di-balik-mufaraqah-kiai-
asrsquoad-dari-gus-dur (25 Juli 2018).
Fathoni, “Gus Mus: Gus Dur Tokoh Internasional yang Sering Ziarah Kubur”,
dalam http://www.nu.or.id/post/read/84513/gus-mus-gus-dur-tokoh-
internasional-yang-rajin-ziarah-kubur (25 Juli 2018).
Munawir Aziz, “Benarkah Gus Dur Keturunan Tan Kim Han?”, dalam
http://www.gusdurian.net/id/article/opini/Benarkah-Gus-Dur-Keturunan-
Tan-Kim-Han/ (28 Juli 2018).
The Wahid Institute, “Tentang The WAHID Institute”, dalam
http://www.wahidinstitute.org/wi-id/tentang-kami/tentang-the-wahid-
institute.html (25 Juli 2018).
Tim VIVA, “Yenny Wahid: Bagi Saya Gus Dur Itu Gagal” dalam
http://www.viva.co.id/berita/nasional/721594-yenny-wahid-bagi-saya-gus-
dur-itu-gagal (25 Juli 2018).