tanggapan buat ariel dan rizal pilihan kesenian dan sistem ... · mintaan dan penawaran seperti ......

2
4 ,SENIN , 19AGUSTUS 1991 Tanggapan buat Ariel dan Rizal Pilihan Kesenian dan Sistem y: ang Bebas Denny JA DEBAT Ariel Heryanro dan Rizal \ fall ara ngeng di Harian Bernas (30/7 dan 6/ 8) menge- nai seni dan kapitalis me , sa ngat pe nring unruk disimak dan diberikan Gltatan. Mereka bu- ka n sa ja bereaksi atas t ema aktua l dunia kesenia n konrem- ;)Orer: komersiaiisasi kese nian. Tapi mereka pu n bereaksi atas , istem yang kini udak lagi mem- pu nya i :litematif : kapitalisme modem . Perbeciaan pendapat kedua ak tivis ilu adalah hal \fa ng ja mak dalam dunia persilatan inrelektual. Tulis an ini dibuat juStru unruk menambah perbe- daan tersebur. agar semakin ba nyak ide dapa t saling meng- gosok. S epeni dikataka n Bung Kamo. -Dari gosok menggosok ribuan b um padi. ter kupaslah beras da ri kuli rnya . yang siap ditanak meniadi nasi Indone sia ." Harga Debat rulel da n Rizal berawal dar i pernvataan Christianto Wib isono mengenai harga se ni- man. 'Seniman: me!)urut Chris- tiamo. 'dituntut berani mema- sa ng harga karya seninya dalam transaksi dengan masvarnkat penikmat seni ' ;' na upun de ngan ka ianllan bisnis. Pendapat ya ng mengatakan bahwa antara seni, eko norni dan komersialitas seola h terpisah se ca ra apriori dan anragonistik (be rlawanan) merupakan penyakit. Hal ini merupakan kesombongan inte- iektual seniman yang berlebih- .In. " Kontan Ariel Heryanro me- ngeluarkan 'jurus silamya' . "Ienurut Ariel, tidak segala bi- dang kehidupan dapal d ipenu- !< arkan dengan uang dan diu- bah menjadi komoditi. Dalam ' bahasanya sendiri ia mengata- b n: 'Da lam bidang kesenian, kekeluargaan atau keagamaan ba nvak oe rtukaran material . , berlangsung tidak berdasarkan h ukum ekono rni . pragmatisme, e tisiensi. Berbagai rulai la in lebih dipatu hi . Bidang- bidang i ni me rupakan bidang penahan- : 10 :e rakhir milik masyarakat terhadap agresi moneterisasi dan komoditisasi (penrel maan berbagai realitas kehidupan. menjadi barang dagangan) yang dilakukan kapi- tali srne. " Dengan tidak memasang harga, ujar Ariel. kesenian men- :adi tidak bisa dibeli de ngan 'Jang. Dengan tidak memasang ,arif ua ng, karya , en i meJam- paui nilai ua ng berapa pun j umlahnya. Ar iel pun mengingatkan' !ogika internal kapitalisme y ang dapat menciptakan !<ependeta- :In, berhala dan tahayul keben- daan yang tak kalah berbahaya. Menjawab argumen Ariel , RizaJ Mallarangeng mengeluar-' kan 'ju rus silat" yang tak kalah canggihnya.: Menurut Rizal, Ariel harus membedakan antara pro- ses kreatif dalam kesenian de- ngan produk se ni. Hanya dalam proses kreatiflah segalanya harus didasari dan berpusat pada nilai non-material. Dalam mencipta, ujar· Rizal, seniman memang harus mempersetankan apakah ia nantinya akan IDem- petoleh sejuta rupiah atau seka- dar tepuk tangan. Dengan kalimamya sendiri ia berseru: 'Sebuah puisi yang digubah oleh penulisnya untuk meraih uang atau pangkat sejak awal. sebenarnya telah ditakdir- kan men jadi pamplet. propa- ganda, iklan, kalau bukan seka- dar sampah." Tapi untuk produk kesenian. u ja r Rizal !e bih lanjut, karena ditujukan kepada pUblik penik- mat, tak rerhindarkan persen- ruhan dengan mekanisme per- mintaan da n penawaran seperti lavaknva komoditi lain. . Apa'sala hnya dengan komer- sialisasi oroduk seni? Rizal ma- lah menunjukkan bagaimana bucb.va komersial membuat revolusi hebat dalam masyara- \at modern. Dengan mengutip Michael Novak, menurut Rizal, kebudavaan komersial t elah me nghancurkan kebudayaan aristokratik ya ng elitis, karena dalam pertukaran barang dan jasa. setiap individu ticiak lagi dinilai berdasarkan asal-usulnya (aga ma, ras, ideologi, keturun- an) tapi oleh perhitungan rasio- nal. Dengan kata lain, Rizal membela pendapat Christianto, bahwa produk seni memang perlu komersial. Setelah menggelar pendapat Ariel dan Rizal secukupnya, kita pun bersiap diri menyelipkan pendapat lain yang rnengritik dua aktivis im. Kontekstual? Pertama , tanggapan kita un- tuk Ariel Hervanto. Terkesan Ariel bersifat setengah hati dan malu-malu dalam menguman- dangkan pandangan kesenian- nya. Kita masih teringat pandang- an Ariel Heryanto :nengenai sast ra kontekstual beberapa; tahun silam. Saar ilU Ariel mela- wan pandangan kaum universa- lis yang melihat seolah seni mempunyai nilai universal. Barang siapa yang tak dapa t menikrnati dunia seni modem, sebagai misal, yang dia nggap bennutu oleh kritikus. a Kan dianggap kurang merrliliki apre- siasl s eni. Menurut Ariel, pandangan im adalah i1usi elit seniman kota yang berkuasa saat itu. Keluar- lah statement Ariel yang begitu gernilang: bahwa seni bersifat konrekstual; kesenian harus d inilai dalam konteks masyara- katnya. Keindahan pun bersifat kontek stual. Melalui komekstu- al isasi keseni an. maka pengha- kiman terhadap kesenian tidak lagi mutla k, tapi relatif - ber- ga ntung pada konteksn ya. Apa yang incb.h menu rut orang kota bel um [entu berarti menu rut o rang desa . Jika Ariel konsekuen dengan se..-J kontekstual, ia pun harus menarik konsekuensi· terjauh .. dari pandangan itu: bahwa bukan hanva keindahan seni yang bersifat kontekstual, tapi seluruh bangunan seni itu juga bersifat kon tekstual. la pun harus siap jika pada saatoya kesenian pun akan berada dalam komeks masya- rakat kapitalisme. Dengan sen- dirinva seluruh nilai dan orien- tasi bpitalisme pada saarnya mempengaruhl dunia kesenian. Memasang harga dalam pro- duk seni adala h perkara yang l3k terhindari dalam konteks kapitalisme. Memberi l ab el tarie pada penunjukan seni hanyalah t urunan belaka dari konteks kapitalisme. Tapi mengapa Ariel menolak ko nsekuensi itu. Dapatkah kita mengatakan kini Ariel Heryanro (elah menolak seni kontekstual yang ia pr opaga ndakan sendiri sebelumnva. hanva karena du- nia se ni [ebh bene mu dengan konteks kapit:llisme? Ataukah Ariel ingin mengatakan bahwa seni memang ha rus kontekstual keeuali terhadap komeks kapi- ralisme? fnilah sikap kesenian yang malu-malu. Di samping ' itu. seea ra impli- sit kita melihat pandangan Ariel mengena i nilai spiritual seni dan nil:li jual seni sangar terdistorsi. la melihat hubungan dua nilai itu bersifat zero sum. Seolah sema kin produ k seni dikuasai nilai jual, semakin fungsi este- tiknya hil ang. Semakin kesenian dikomersialkan, semakin hilang fungsi sp iritual seni. Hal 'i tu hanya terjadi dalam -' _. diskusi eli buku-buku ideologi. Dalam kenyataan konkret. hu- bungan komersialisasi kesenian dengan fungsi spiritualnya tidak harus berbentuk tungga!. Ko- mersialisasi karya V an Gogh yang terkenal: Dr Gaucbet, atau karya Leonardo da Vinci: .110na- lisa, tidaklah mengubah fungsi spiritualnya. Nilai spiritual karya Mozart akan sarna baik di beri tarif ataupun tidak. Seorang seniman dapat saja memasang tarifkarya seni, yang pada gilirannya justru memper- tinggi mutu serunya. Dengan uang yang berlimpah. berarti sang seniman lebih mempunyai fasilitas untuk menunjang ber- bagai eksperimentasi. Namun dapat juga terjadi sebaliknya. Konsekuensi dari komersiali- sasi keseni an lebih kava dan beragam ketimbang yang di- sa ngka Ariel Heryanto. Pf?T'Sonal nwI1ves Kedua, kritik kita kepada Rizal Mallarangeng. Kita menye- tujui garis-garis kedl pendirian- · "ya. Bahkan terhadap prinsip dan paradigma yang ia g una- kan. yang oleh AJ:iel d isebut prinsip K anan dan Rizal diklaim sebagai agen rulai Kanan. Kita menyetujui. Tapi Rizal pun malu-malu dan setengah hati te rhadap prinsip keseruan dalam konteks kapitalisme. 1a memperhitung- kan hal-hal yang sebenamya tak boleh dihitung : personal motives! Rizal menyerujui (bahkan IIX!nganjurkan?) ji ka produk .l<esenian dilanda oleh alisasi. Tap; proses kreatif kese- nian itu sendiri haruslah tetap berpusat pada nilai . non- material. ),fotif pribaeli sang seniman ketika mendpta , me- nurut Rizal hams mempersetan- kan reaksi publik C mendapat . uang satu juta atau sekadar tepuk tangan). Kita ulangi lagi statement Rizal: "Sebuah puisi yang digu- bah . oleh penulisnya untuk meraih uang atau pangkat ·sejak awal sebenamva telah ditakdir- kan 'menjadi pamplet , propa- ganda , iklan, kalau bukan seka- oar sampah.' Kritik' kita terhadap RizaJ bersi fat teknis sekaligus prinsi- pal. Seeara teknis, bagaimana cb.pat kita kerahui personal motives seseorang ketika men- c ipta seni? Bagaimana kita dapat mhu bahwa Shakespea re mem- buat drama iifmry IV adalah ka rena komitrnennya pada kea- gungan hidup bukan loyaliras- nya pada kerajaan [nggris? Ba- gaimana kita dapat mengklaim bahwa patung terkenal Homo Sapiens dibuat o leh motives ,;eni mannya yang non-material? 13agaimana kita dapat memasti- kan bahwa seluruh karya agung scni eli d unia dibuat semara karena komiunen P;lda kein- dahan hidup, bukan pamrih ya ng lain? Apalagi di zaman serba anali- sis sepeni ini di mana akar ba- Bersambung ke hal 11 Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

Upload: trinhnhu

Post on 13-May-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

4 ,SENIN,19AGUSTUS 1991

Tanggapan buat Ariel dan Rizal

Pilihan Kesenian dan Sistem y:ang Bebas Denny JA

DEBAT Ariel Heryanro dan Rizal \ fall arangeng di Harian Bernas (30/7 dan 6/ 8) menge­nai seni dan kapital isme, sangat penring unruk disimak dan diberikan Gltatan . Mereka bu­kan sa ja bereaksi atas tema aktual dunia kesenian konrem­;)Orer: komersiaiisasi kesenian. Tapi mereka pun bereaksi atas , istem yang kini udak lagi mem­punyai :litematif: kapitalisme modem.

Perbeciaan pendapat kedua aktivis ilu adalah hal \fang jamak dalam dunia persilatan inrelektual. Tu lisan ini dibuat juStru unruk menambah perbe­daan tersebur. agar semakin banyak ide dapat saling meng­gosok. Sepeni dikatakan Bung Kamo. -Dari gosok menggosok ribuan bum padi. terkupaslah beras dari kuli rnya . yang siap ditanak meniadi nasi Indonesia."

Harga Debat rulel dan Rizal berawal

dari pernvataan Christianto Wibisono mengenai harga seni­man. 'Seniman: me!)urut Chris­tiamo. 'dituntut berani mema­sang harga karya seninya dalam transaksi dengan masvarnkat penikmat seni ';'naupun dengan kaianllan bisnis. Pendapat yang mengatakan bahwa antara seni, ekonorni dan komersialitas seolah terpisah secara apriori dan a nragonistik (berlawanan) merupakan penyakit. Hal ini

merupakan kesombongan inte­iektual seniman yang berlebih­.In. "

Kontan Ariel Heryanro me­ngeluarkan 'jurus silamya' . "Ienurut Ariel , tidak segala bi­dang kehidupan dapal d ipenu­!<arkan dengan uang dan diu­bah menjadi komoditi. Dalam ' bahasanya sendiri ia mengata­b n: 'Dalam bidang kesenian, kekeluargaan atau keagamaan banvak oertukaran material . , berlangsung tidak berdasarkan hukum ekonorni . pragmatisme, etisiensi. Berbagai rulai lain lebih dipatuhi . Bidang-bidang ini merupakan bidang penahan­:10 :erakhir milik masyarakat terhadap agresi moneterisasi (pen~uangan) dan komoditisasi (penrel maan berbagai realitas kehidupan. menjadi barang dagangan) yang dilakukan kapi­tali srne. "

Dengan tidak memasang harga, ujar Ariel. kesenian men­:adi tidak bisa dibeli dengan 'Jang . Dengan tidak memasang ,arif uang, karya ,eni meJam­paui nilai uang berapa pun jumlahnya.

Ariel pun mengingatkan' !ogika internal kapitalisme yang dapat menciptakan !<ependeta­:In, berhala dan tahayul keben­daan yang tak kalah berbahaya.

Menjawab argumen Ariel, RizaJ Mallarangeng mengeluar-' kan 'jurus silat" yang tak kalah canggihnya.: Menurut Rizal, Ariel

harus membedakan antara pro­ses kreatif dalam kesenian de­ngan produk seni. Hanya dalam proses kreatiflah segalanya harus didasari dan berpusat pada nilai non-material. Dalam mencipta, ujar· Rizal, seniman memang harus mempersetankan apakah ia nantinya akan IDem­petoleh sejuta rupiah atau seka­dar tepuk tangan.

Dengan kalimamya sendiri ia berseru: 'Sebuah puisi yang digubah oleh penulisnya untuk meraih uang atau pangkat sejak awal. sebenarnya telah ditakdir­kan menjadi pamplet. propa­ganda, iklan, kalau bukan seka­dar sampah."

Tapi untuk produk kesenian. ujar Rizal !e bih lanjut, karena ditujukan kepada pUblik penik­mat, tak rerhindarkan persen­ruhan dengan mekanisme per­mintaan dan penawaran seperti lavaknva komoditi lain.

. Apa'salahnya dengan komer­sialisasi oroduk seni? Rizal ma­lah menunjukkan bagaimana bucb.va komersial membuat revolusi hebat dalam masyara­\at modern. Dengan mengutip Michael Novak, menurut Rizal, kebudavaan komersial telah me nghancurkan kebudayaan aristokratik yang elitis, karena dalam pertukaran barang dan jasa. setiap individu ticiak lagi dinilai berdasarkan asal-usulnya (agama, ras, ideologi , keturun­an) tapi oleh perhitungan rasio­nal. Dengan kata lain, Rizal membela pendapat Christianto, bahwa produk seni memang perlu komersial.

Setelah menggelar pendapat Ariel dan Rizal secukupnya, kita pun bersiap diri menyelipkan pendapat lain yang rnengritik dua aktivis im.

Kontekstual? Pertama, tanggapan kita un­

tuk Ariel Hervanto. Terkesan Ariel bersifat setengah hati dan malu-malu dalam menguman­dangkan pandangan kesenian­nya.

Kita masih teringat pandang­an Ariel Heryanto :nengenai sastra kontekstual beberapa; tahun silam. Saar ilU Ariel mela­wan pandangan kaum universa­lis yang melihat seolah seni mempunyai nilai universal. Barang siapa yang tak dapat menikrnati dunia seni modem, sebagai misal, yang dianggap bennutu oleh kritikus. aKan dianggap kurang merrliliki apre­siasl seni.

Menurut Ariel, pandangan im adalah i1usi elit seniman kota yang berkuasa saat itu. Keluar­lah statement Ariel yang begitu gernilang: bahwa seni bersifat konrekstual; kesenian harus dinilai dalam konteks masyara­katnya. Keindahan pun bersifat kontekstual. Melalui komekstu­al isasi kesenian. maka pengha­kiman terhadap kesenian tidak lagi mutlak, tapi relatif - ber­gantung pada konteksnya. Apa yang incb.h menu rut orang kota belum [entu berarti menu rut orang desa.

Jika Ariel konsekuen dengan se..-J kontekstual, ia pun harus menarik konsekuensi· terjauh

..

dari pandangan itu : bahwa bukan hanva keindahan seni yang bersifat kontekstual , tapi seluruh bangunan seni itu juga bersifat kontekstual.

la pun harus siap jika pada saatoya kesenian pun akan berada dalam komeks masya­rakat kapitalisme. Dengan sen­dirinva seluruh nilai dan orien­tasi bpitalisme pada saarnya mempengaruhl dunia kesenian.

Memasang harga dalam pro­duk seni adalah perkara yang l3k terhindari dalam konteks kapitalisme. Memberi label tarie pada penunjukan seni hanyalah turunan belaka dari konteks kapitalisme.

Tapi mengapa Ariel menolak konsekuensi itu . Dapatkah kita mengatakan kini Ariel Heryanro (elah menolak seni kontekstual yang ia propagandakan sendiri sebelumnva. hanva karena du­nia seni [ebh benemu dengan konteks kapit:llisme? Ataukah Ariel ingin mengatakan bahwa seni memang harus kontekstual keeuali terhadap komeks kapi­ralisme? fnilah sikap kesenian yang malu-malu.

Di samping' itu. seeara impli­sit kita melihat pandangan Ariel mengenai nilai spiritual seni dan nil:li jual seni sangar terdistorsi. la melihat hubungan dua nilai itu bersifat zero sum. Seolah semakin produ k seni dikuasai nilai jual, semakin fungsi este­tiknya hilang. Semakin kesenian dikomersialkan, semakin hilang fungsi spiritual seni.

Hal 'itu hanya terjadi dalam

- ' _.

d iskusi eli buku-buku ideologi. Dalam kenyataan konkret. hu­bungan komersialisasi kesenian dengan fungsi spiritualnya tidak harus berbentuk tungga!. Ko­mersialisasi karya Van Gogh yang terkenal: Dr Gaucbet, atau karya Leonardo da Vinci: .110na­lisa, tidaklah mengubah fungsi spiritualnya. Nilai spiritual karya Mozart akan sarna baik di beri tarif ataupun tidak.

Seorang seniman dapat saja memasang tarifkarya seni , yang pada gilirannya justru memper­tinggi mutu serunya. Dengan uang yang berlimpah. berarti sang seniman lebih mempunyai fasilitas untuk menunjang ber­bagai eksperimentasi. Namun dapat juga terjadi sebaliknya.

Konsekuensi dari komersiali­sasi kesenian lebih kava dan beragam ketimbang yang di­sangka Ariel Heryanto.

Pf?T'Sonal nwI1ves

Kedua, kritik kita kepada Rizal Mallarangeng. Kita menye­tujui garis-garis kedl pendirian-· "ya. Bahkan terhadap prinsip dan paradigma yang ia guna­kan. yang oleh AJ:iel disebut prinsip Kanan dan Rizal diklaim sebagai agen rulai Kanan. Kita menyetujui.

Tapi Rizal pun malu-malu dan setengah hati terhadap prinsip keseruan dalam konteks kapitalisme. 1a memperhitung­kan hal-hal yang sebenamya tak boleh dihitung: personal motives!

Rizal menyerujui (bahkan

IIX!nganjurkan?) jika produk . l<esenian dilanda oleh komer~­alisasi. Tap; proses kreatif kese­nian itu sendiri haruslah tetap berpusat pada nilai . non­material. ),fotif pribaeli sang seniman ketika mendpta, me­nurut Rizal hams mempersetan­kan reaksi publik Cmendapat . uang satu juta atau sekadar tepuk tangan).

Kita ulangi lagi statement Rizal: "Sebuah puisi yang digu­bah . oleh penulisnya untuk meraih uang atau pangkat ·sejak awal sebenamva telah ditakdir­kan 'menjadi pamplet, propa­ganda, iklan, kalau bukan seka­oar sampah.'

Kritik' kita terhadap RizaJ bersi fat teknis sekaligus prinsi­pal. Seeara teknis, bagaimana cb.pat kita kerahui personal motives seseorang ketika men­cipta seni? Bagaimana kita dapat mhu bahwa Shakespeare mem­buat drama iifmry IV adalah karena komitrnennya pada kea­gungan hidup bukan loyaliras­nya pada kerajaan [nggris? Ba­gaimana kita dapat mengklaim bahwa patung terkenal Homo Sapiens dibuat oleh motives ,;eni mannya yang non-material? 13agaimana kita dapat memasti­kan bahwa seluruh karya agung scni eli dunia dibuat semara karena komiunen P;lda kein­dahan hidup, bukan pamrih yang lain?

Apalagi di zaman serba anali­sis sepeni ini di mana akar ba-

Bersambung ke hal 11

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

Pilihan ---wah sadar rnanusia dapat ditelu­suri. Bagairnana kita ~pat tahu 'bahwa karya berrnutu selalu lahir karena motiv kehalusan akal budi bukan keganasan seksual yang tidak rnengalami kanalisasi'

Di sarnping itu antara motiv dan hasil adalah dua hal yang berbeda. Seseorang dapat saja mencipta seni dilandasipersonal motives ingin rnenyelarnatkan dunia, tapi hasilnya adalah sam­pah. Demikian pula sebaliknya, seseorang dapat saja rnernpu­nyai personal motives yang komersial dan rnenghasilkan karya yang menyentuh.

Kebebasan justru dirnulai dari' kebebasan rnemilih rnotiv. Seer rang dernokrat harus mernberi nilai yang sarna kepada per­sonal motives apa pun yang tak rnungkin diketahuinya. Yang harus dinilai adalah hasil kon­kretnya.

Apa salahnya jika personal . motives senirnan ingin meng­

eruk uang jika rnotiv itu rnem­berikannya kekuatan untuk rnenciprakan karya masterpiece! Apa salahnyapersonal motives senirnan ingin pamrih cinta seorang wanita jika motiv itu mernberikan nyawa dan darah pada puisinya?

.Kritik kita kepada Rizal ada­lah agar liberaIisasi yang ia

Sambungan dari hal. 4

canangkan tidak hanya dibatasi pada produk seni tapi juga pada rnotiv berkesenian.

Akhir kata Marilah kita mengakui dan

rnenerirna keberagarnan dalam pilihan kesenian. Tidak ada lagi rnoralitas tunggal. Tidak ada lagi pandangan hidup yang satu. Masyarakat modern diwamai oleh beragarnnya sikap dan komitrnen.

Yang hams kita ciptakan. adalah sistern yang mernbiarkan individu rnemilih sendiri apa yang'ia anggap baik. Dan kita rnernberikan penilaian yang sarna terhadap berbagai pilihan itu. sejauh kebebasan yang satu tidak merusak kebebasan pihak lainnya. .

Ada tempat bagi mereka yang ia mensucikan seni agar tidak tersentuh oleh pamrih lain kecuali fungsi spiritual. Ada temp:at pula bagi mereka yang sampai Ice strulaur bawah sadar­nya hanya ingin meneari keun­tungan materi. .

Apakah hidup? Hidup adalah lautan pilihan. Biarlah ia tetap demikian.··· .

~ Penults adaJab ketua Yaya­san Studf Indonesia, aklivis Forum For Human. Rights . (FRON'!).

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>