tanah lotre di kelurahan pajang - digilib.uns.ac.id/tanah... · ilmu sejarah commit to user tanah...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
TANAH LOTRE DI KELURAHAN PAJANG
SURAKARTA TAHUN 1951-1972 DALAM TINJAUAN
HISTORIS DAN SOSIOLOGIS
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan
guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Disusun oleh
AGUNG ANDRI S
C.0507004
ILMU SEJARAH
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
HALAMAN MOTTO
Hari ini lebih baik daripada hari kemaren, hari kemaren dijadikan suatu pelajaran
untuk melangkah menuju hari esok
Do the best be the best god take the rest
“Seorang faqih (ahli ilmu agama) lebih ditakuti syetan daripada seribu ahli ibadah
(tanpa) ilmu)”. (HR Ibnu Majah).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Skripsi ini ku persembahkan untuk:
Ayah dan (almh) Ibu tercinta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi ini dengan baik. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat meraih gelar
sarjana pada Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Dalam pelaksanaannya, skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai
pihak, baik dorongan, bimbingan, dan pengarahan yang diberikan. Untuk itu sudah
sepantasnya penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Drs. Riyadi Santosa, M.Ed, Ph.D, selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni
Rupa yang telah memberikan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Dra. Sawitri Pri Prabawati, M.Pd, selaku Ketua Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberikan pengetahuan dan
pengarahan kepada penulis.
3. Dra. Sri Wahyuningsih, M. Hum, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah memberikan pengarahan kepada
penulis.
4. Tiwuk Kusuma Hastuti,S.S, M.Hum, selaku dosen pembiming akademik dan
pembimbing skripsi ini. Terima kasih atas bimbingan dan kesabaran yang
telah diberikan.
5. Kepada dosen penguji yang telah meluangkan waktu untuk menguji skripsi
penulis.
6. Segenap Dosen di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang
telah memberikan bekal ilmu pengetahuan kepada penulis.
7. Bapak, (Almh) Ibu, Andi Purwanto, S.E dan Wiwik Widyawati, S.P serta
Faustine yang selalu memberikan kasih sayang dan semangat dengan tulus
ikhlas serta doa yang tak pernah putus kepada penulis.
8. Teman-teman Historia 2007 (Langeng, Bendi, Lita, Dewi, Lilik, Hasan, Eko,
Drajat, Herfiato, Dahlar, Nico, Seno, Dian, Yeni, Siti) dan semuanya yang
tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Terima kasih atas segala bantuan
yang diberikan dan semoga persahabatan kita tetap terjalin.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN ........................................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................................ iii
PERNYATAAN ............................................................................................. iv
HALAMAN MOTTO ...................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ...................................................................... vi
KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................... ix
DAFTAR TABEL ............................................................................................ xi
DAFTAR ISTILAH……..................................................................................xii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xv
ABSTRAK ....................................................................................................... xvi
ABSTRACT ..................................................................................................... xvii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ............................................................ 1
B. Rumusan Masalah ...................................................................... 4
C. Tujuan Penelitian ....................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ..................................................................... 5
E. Kajian Pustaka ........................................................................... 6
F. Metode Penelitian ...................................................................... 13
G. Sistematika Skripsi..................................................................... 16
BAB II STRUKTUR PEMILIKAN TANAH DI KELURAHAN PAJANG
SEBELUM TAHUN 1951
A. Kondisi Geografis Kelurahan Pajang......................................... 17
B. Struktur Penguasaan Tanah di Pajang ........................................ 20
1. Sistem Penguasaan Tanah Pada Masa Kerajaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
hingga Kolonial Belanda.......................................................... 20
2. Sistem Penguasaan Tanah di Pajang Pada Masa Pendudukan
Jepang ....................................................................................... 33
3. Sistem Penguasaan Tanah di Pajang Setelah
Kemerdekaan Hingga Tahun 1950 ........................................... 35
BAB III PEMBAGIAN TANAH NEGARA BERDASARKAN LOTRE DI
KELURAHAN PAJANG TAHUN 1951-1952
A. Konfersi Tanah Negara Menjadi Tanah Milik Individu ............. 41
B. Proses Pembagian Tanah Secara Lotre di Kelurahan
Pajang ........................................................................................ 55
C. Dampak Sistem Lotre Terhadap Masyarakat ............................. 64
1. Dampak Sosial Terhadap Masyarakat yang Mendapatkan
Tanah Lotre ................................................................................ 64
2. Dampak Ekonomi Terhadap Rakyat yang Mendapatkan
Tanah Lotre ................................................................................ 68
BAB IV PROSES KEPEMILIKAN TANAH LOTRE DI KELURAHAN
PAJANG TAHUN 1953-1972
A. Pemilikan Tanah Lotre Tahun 1953 hingga 1972 di Kelurahan
Pajang ......................................................................................... 70
1. Pemanfaatan Dan Penguasaan Tanah Lotre ........................... 70
2. Proses Pendaftaran Tanah Lotre ............................................. 79
B. Jual Beli Tanah Lotre ................................................................. 90
BAB V KESIMPULAN ................................................................................. 96
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 98
DAFTAR NARASUMBER ............................................................................. 102
LAMPIRAN ..................................................................................................... 104
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Pendudukan tanah perkebunan oleh rakyat ..................................... 37
Tabel 2 Tentang tanah konversi di Vorstenladen Surakarta
dan Yogyakarta………………………………………………. ...... 45
Tabel 3 Tentang beberapa nama dan luas tanah yang menerima
tanah Lotre………………………………………………………59
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR ISTILAH
Apanage : Tanah yang dipinjamkan kepada para
sentono selama mereka memiliki hubungan
kekerabatan yang dekat dengan raja
Bekel : Petani penghubung antara pemilik atau penguasa
tanah dengan penggarap tanah.
Panganga : Ladang
Bau : Satauan hitungan luas tanah masa kerajaan
Tanah Lungguh : Tanah untukm gaji pegawi istana
Taker Turun : Permintaan para patuh
Raja pundut : Permintaan raja
Uba rampe : Perlengkapan
Hereendiensten : wajib menjalankan Rodi
Kerigan : Kerja wajib untuk membangun jembatan, jalan
Gugur gunung : Kerja wajib untuk memperbaiki infrastruktur desa
yang disebabkan bencana alam
Cultuurdiensten : Kerja wajib di perkebunan
Pamajegan : Pajak
Narapraja : Pegawi Kerajaan
gladak : Daerah depan dari alun-alun utara kerajaan Surakarta
Swapraja : Daerah kerajaan seperti Kasunanan dan
Mangkunegaran
Privilege : Hak istimewa
Sentono dalem : Kelurga raja yang berada di dalam kraton
Patok : Batas tanah
Gadhuhan : Pinjaman
Cacah : Jumlah
Sikep : Petani pemilik sawah atau pekarangan
Vorstenlanden : Daerah Kasunanan Surakarta dan Kasultanan
Yogyakarta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
Pacht : Sewa
Maro : Setengah
Mertelu : Sepertiga
Mrapat : Seperempat
Domein Verklaring : Hak milik
Gouvernements ordonantie : Peraturan Pemerintah
Anggaduh : Pinjaman sementara
Andarbe : Milik
Onderneming : Perkebunan asing
Komunal : Hak milik
Statement : Pernyataan
Conversi besluit : Hak milik komunal
Landhuur reglement : Hak sewa perkebunan
Ordonansi : Peraturan dalm perkebunan
Hypotheek : Hak kebendaan atas benda yang tak bergerak
Lotre : Undian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR SINGKATAN
UUPA : Undang-Undang Pokok Agraria
UUD 1945 : Undanng-Undang Dasar 1945
VDR : Vorstenlandsh Grondhuur Reglement
KUHS : Kitab Undang-undang Perdata (Sipil)
PPKI : Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
DEPAG : Departemen Agraria
PKI : Partai Komunis Indonesia
PPTP : Pajak Penghasilan atas Tanah Pertanian
PTMI : Pendaftaran Tanah Milik Indonesia
PERPU : Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
DIT-IPEDA : Direktorat Iuran Pembangunan Daerah
PHB : Pajak Hasil Bumi
IPEDA : Iuran Pembangunan Daerah
KEPRES : Keputusan Presiden
PP : Peraturan Pemerintah
PPAT : Pejabat Pembuat Akta Tanah
KUHP : Kitab Undang-undang Hukum Perdata
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Surat Pengajuan Permohanan Hak Milik/Guna Bangunan/Pakai
Kepada Direktorat Agraria Propinsi Jawa Tenggah Melalui Sub
Direktorat Agraria Kotamadya Surakarta ................................. 105
Lampiran 2 Sertifikat Tanah Jitnowidjo ....................................................... 108
Lampiran 3 Surat Ketetapan Iuran Pembangunan Daerah dari Tahun 1967
hingga 1973 ............................................................................... 110
Lampiran 4 Surat tentang Daftar Nama dan Gambaran Kasar Para Pemohon
Penyelesian Hak Milik Kepada Walikota Surakarta ................. 116
Lampiran 5 Daftar Nama dan Gambar Para Pemohon Hak Milik ............... 117
Lampiran 6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 10 Tahun 1961
tentang Pendaftaran Tanah ........................................................ 143
Lampiran 7 Bagan Alir Preoses Permohonan Hak Milik ............................. 158
Lampiran 8 Surat Politik Tanah dalam Pembangunan Kota Kepada
J.M Menteri Agraria 19 Djanuari 1955 .................................... 159
Lampiran 9 Peta Surakarta .......................................................................... 161
Lampiran 10 Peta Kelurahan Pajang ............................................................. 162
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
ABSTRAK
AGUNG ANDRI SAPUTRO. C.0507004. 2012. Tanah Lotre di Kelurahan Pajang
Surakarta tahun 1951-1972 dalam Tinjauan Historis dan Sosiologis. Skripsi:
Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Penelitian Tanah Lotre di Kelurahan Pajang Surakarta tahun 1951-1972
dalam Tinjauan Historis dan Sosiologis ini bertujuan:1) Mengetahui stuktur
pemilikan tanah di Kelurahan Pajang sebelum tahun 1951. 2) Mengetahui sistem
pembagian tanah Negara berdasarkan Lotre di kelurahan Pajang tahuan 1951-1952.
3) Mengetahui proses kepemilikan tanah Lotre di kelurahan Pajang tahun 1951-
1972
Penelitian menggunakan metode yaitu heuristik (pengumpulan sumber),
kritik (intern dan ekstern), interpretasi (penafsiran), dan historiografi. Sumber
penelitian dikumpulkan melalui studi dokumen, arsip, dan wawancara dengan para
pelaku sejarah. Sumber primer yang digunakan antara lain wawancara dengan
penerima tanah lotre tersebut yang masih hidup, arsip instansi pemerintah dan arsip
pribadi sezaman. Adapun sumber skunder yang digunakan antara lain, buku-buku
referensi, artikel, serta penelitian terdahulu yang berkaitan dengan tema penelitian.
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitis. Data-data yang terkumpul
dianalisis kemudian disajikan dalam bentuk tulisan yang melukiskan suatu keadaan
berdasarkan fakta-fakta yang telah terjadi dan tersedia. Analisa data ini diperoleh
dari dokumen, studi pustaka, dan wawancara, lalu disusun dalam sebuah
historiografi.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa setelah bangsa Indonesia merdeka
terjadi perubahan yang besar. Salah satu perubahan yang terjadi yaitu tentang sistem
agraria di Indonesia. Momentum kemerdakan dimanfaatkan rakyat untuk mengambil
tanah-tanah meraka yang dikuasai oleh bangsa asing. Menghidari pengambilan tanah
secara bebas pemerintah melakukan konversi tanah bekas asing atau tanah-tanah
kosong menjadi tanah Negara. Pada tanggal 15 juli 1946 adanya penetapan
pemerintah tentang penghapusan swapraja di daerah Surakarta maka semua tanah-
tanah yang berada diluar dari wilayah dalam kraton statusnya telah berubah menjadi
tanah Negara Republik Indonesia. Tanah Negara di daerah Pajang di manfaatkan
oleh rakyat atas ijin dari kelurahan setempat.
Pada tahun 1951-1952 di Pajang terjadi pembagian tanah kepada rakyat,
pembagian tanah dilakukan dengan cara sistem lotre. Pembagian tanah dilakukan
tanpa dipungut biaya, sehingga tidak semuanya bisa mengikuti program pembagian
tanah. Adapun terdapat persyaratan yang diberikan untuk bisa mendapatkan tanah
tersebut. Tanah yang dibagikan kepada rakyat merupakan tanah Negara dari hasil
konversi dari tanah bekas asing dan tanah-tanah swparaja. Adanya pembagian tanah
mempengaruhi masyarakat dalam segi ekonomi dan sosial. Perubahan tentang aturan
agraria membariakn pengaruh kepimilikan tanah lotre seperti adanya pendaftaran.
Timbulya jual beli tanah disebabkan oleh kondisi ekonomi,letak tanah yang didapat
dan adanya program sertifikat tanah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
ABSTRACT
AGUNG ANDRI SAPUTRO. C.0507004. 2012. Lottery land in the Village
Display 1951-1972 Surakarta in Historical and Sociological Review. Script:
Department of History, Faculty of Literature and Fine Arts, University of Sebelas
Maret Surakarta.
Research the Lottery Land in the Pajang Village Surakarta in 1951 -1972.
Review in the Historical and Sociological for the aims: 1.) Knowing the structure of
land ownership in the Village Display before 1951. 2.) Knowing the system of land
distribution by the State Lottery in the Village Display 1951 -1972. 3.) Knowing the
process of Lottery land ownership in the Pajang Village in 1951-1972.
Research using the heuristic method (collecting sources), criticism (internal
and external), interpretation (interpretation), and historiography. Sources was
gathered through the study of documents, archives, and interviews with the actors of
history. Primary sources used an interviews with land lottery recipient is still alive,
government archives and private archives a day. The secondary sources used, among
other things, reference books, articles, and previous studies related to research
themes. This research is descriptive analysis. The collected data were analyzed and
presented in written form that describes in the condition based on facts that have
occurred and available. Analysis of this data is obtained from documents, literature,
and interviews, then arranged in a historiography.
These results indicate that after Indonesia became independent nation great
changes. One of the changes that occur on the agrarian system in Indonesia. The
momentum of freedom of the people used to take their lands controlled by foreign
nations. Avoid making the land freely, to the convention of ex-government, foreign
or vacant land into state land. On 15 July 1946 on the elimination of the
establishment of autonomous government in the Surakarta area then all the lands
that are outside of the palace in a state in the region has turned into the soil of the
Republic of Indonesia. State land in the area Pajang used by people with permission
from the local village.
In the year 1951 - 1952 in Pajang happened to the people of the land
division, the division of land is done by lottery system. The division of land without
charge, so not all can follow the program of land distribution. The requirements
given to the people to be able to get the land. The land distributed to the people of
the State lands of the former convention of foreign lands and lands of self-
government. An impact on the division of society in economic and social terms.
Changes of the rules of agrarian land ownership influence the lottery as a
registration. The emergence of buying and selling land due to economic conditions,
the location of the acquired land and the land certificate program.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
BAB IV
PROSES KEPEMILIKAN TANAH LOTRE DI KELURAHAN
PAJANG TAHUN 1953-1972
A. Pemilikan Tanah Lotre Tahun 1953 Hingga 1972 di Kelurahan
Pajang
1. Pemanfaat dan Penguasaan tanah lotre
Setelah adanya pembagian tanah lotre terjadi perubahan sistem penguasaan tanah,
tanah-tanah tersebut berawal dari perubahan dari milik Negara menjadi milik individual
atau milik perorangan. Walaupun diberikan tanah secara gratis masyarakat tetap
dikenakan biaya untuk membayar pajak terhadap pemerintah setiap tanah luas tanah yang
diberikan. Saat masyarakat menerima tanah tersebut kondisi perekonomian Indonesia
sedang tidak stabil sehingga dalam pemanfaat tanah-tanah lotre tersebut berbeda-beda.
Sebagian masyarakat ada yang langsung mendirikan bangunan yang sederhana, namun
adapula yang tidak langung mendirikan bangunan melainkan memanfaatkan tanah untuk
berkebun.1 Selama penerimaan hingga adanya UUPA tanah-tanah yang diberikan kepada
rakyat tidak mengalami kendala-kendala dalam proses pemanfaatannya dan penerimaan
tanah-tanah tersebut.
1 Data diolah dari Wawancara dengan Margono tanggal 25 Maret 2012
70
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
Pada masa Nasionalisasi tahun 1957-1959 pemerintah Republik melakukan
pengambilan kembali aset-aset Republik yang dikuasai oleh Belanda. Perusahaan-
perusahaan asing serta perkebunan-perkebunan asing yang diutamakan untuk
dinasionalisasikan menjadi aset Republik Indonesia. Nasionalisasi disini berarti bahwa
bukan menyita atau merampok melainkan untuk menguasai dan kemudian dibayar atau
diganti kerugian. Pada masa ini segala aset-aset pemerintah Kolonial maupun partikelir-
partikelir Kolonial diambil alih untuk dikuasai oleh pemerintah Republik. Di masa ini
juga muncul masalah internal di dalam bangsa Indonesia yaitu adanya pemberontakan
yang dilakukakan oleh gerakan-gerakan separatis. Kondisi tersebut mempengaruhi
permasalahan agraria yang ada di Indonesia sehingga penyusunan undang-undang agraria
mengalami hambatan. Meskipun kondisi bangsa Indonesia mengalami gejolak-gejolak
internal tidak mempengaruhi penguasaan tanah-tanah yang diberikan secara lotre.
Pembagian tanah secara lotre ini menyisakan beberapa lahan sisa tanah Negara
yang telah dibagikan kepada rakyat. Tanah Negara yang masih tersisa kemudian oleh
masyarakat di sekitar lahan tersebut untuk dimanfaatkan, namun berdasarkan ijin dari
kelurahan.2 Pemanfaat lahan-lahan tersebut berlangsung hingga adanya UUPA tahun
1960. Sisa dari tanah Negara ini direncanakan untuk dibagikan kembali kepada rakyat
hingga munculah Undang-Undang Pokok Agraria yang mengatur tentang redistribusi
tanah. Pada Undang-Undang Pokok Agraria tersebut diatur tentang Redistribusi tanah
yang dikhususkan pada para petani. Tanah Negara tersebut yang berada di daerah Pajang
2 Data diolah dari Wawancara dengan Darmo tanggal 20 Juli 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
ini akan dibagikan setelah reditribusi tanah tahun 1961. Pembagian tanah Negara yang
tersisa dari pembagian secara lotre tidak terlaksana disebabkan karena situasi politik
tahun 1965 terjadi pemberontakan G 30 S/PKI atau disebut dengan Gestok. Situasi seperti
itu menyebabkan pembagian tanah berhenti bahkan program redistribusi tanah juga
terhenti.
Sejak terjadi kegoncangan-kegoncangan politik tahun 1965 yang berdampak dan
mempengaruhi sistem penguasaan pemerintahan di Indonesia, yaitu peralihan dari masa
orde lama ke orde baru di bawah pimpinan Presiden Soeharto. Kondisi politik tersebut
juga mempengaruhi sistem agraria di Indonesia. Melihat pengalaman dalam masa 1960-
1965 sewaktu Partai Komunis Indonesia gigih mendorong pelaksanaan Landreform,
mengakibatkan pemerintah orde baru lebih berhati-hati dalam menjaga stabilitas politik
dengan ketat yang berefek memberikan status quo antara lapisan masyarakat daerah
pedesaan.3
Pada masa orde baru permasalahan utama yang muncul adalah berawal dari tidak
dilaksanakannya proses landreform secara tuntas setelah diterbitkanya UUPA. Hal ini
dikarenakan permasalahan dan konstelasi politik nasional yang tidak kondusif dan tidak
mungkin untuk melaksanakan hal tersebut.4 Kondisi tersebut juga berdampak pada tanah
Negara di daerah Pajang yang seharusnya tanah tersebut dibagikan kepada rakyat namun
tidak terlaksana. Pada masa orde baru UUPA seperti di peti es-kan, UUPA dianggap
3 Sediono M.P Tjondronegoro, Keping-Keping Sosiologi dari Pedesan, (Jakarta:
Direktorat Jendral Pendidikan Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), hlm. 87. 4 Siti Rahma Mary Herwati dan Dody setiadi, Memahami Hak Atas Tanah dalam
Praktek Advokasi, (Surakarta: Cakra Books, 2005), hlm. 71.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
sebagai produk dari PKI sehingga tidak digunakan lagi walaupun sebenarnya UUPA
bukan produk PKI, ketika itu PKI yang lebih gencar dalam pembentukan UUPA. Situasi
tersebut menimbulkan banyak masalah tanah yang terjadi salah satunya yaitu
penyerebotan tanah-tanah Negara.
Penyerobotan tanah (Occupatie Illegal) merupakan setiap perbuatan dengan nama
apapun yang tujuannya dengan tanpa hak mengambil sebidang tanah yang telah dibebani
suatu hak atas tanah orang lain, atau dengan kata lain menempati sebidang tanah tanpa
suatu alasan hak (rechts titel) yang sah.5 Dalam hal ini yang dimaksud dengan alasan hak
yaitu setiap hak baik yang diatur oleh undang-undang seperti hak milik, hak guna
bangunan, hak guna usaha dan seterusnya atau hak-hak atas tanah yang diatur oleh
hukum adat seperti hak gadai tanah, hak menumpang, hak usaha bagi hasil dan hak-hak
lainnya yang bersifat sementara. Semua hak-hak atas tanah ini diatur oleh UUPA, karena
dalam pengambilannya tanpa hak barang tentu mempunyai hak akan menuntut
pengosongan tanahnya atau dengan ganti rugi.
Penyerobotan tanah sebenarnya sudah terjadi pada masa Kolonial namun
jumlahnya tidak sebanyak atau seluas seperti pada masa kependudukan Jepang. Ketika
masa kependudukan Jepang kebanyakan tanah-tanah yang diserobot oleh rakyat yaitu
tanah-tanah perkebunan. Pada masa Jepang penyerobotan tanah-tanah oleh rakyat ini
sebenarnya terjadi tanpa disadari oleh rakyat, maksudnya penyerobotan tanah oleh rakyat
itupun terjadi karena ketidaktahuan rakyat yang membuka lahan pertanian di sekitar
5 Bachsan Mustofa., op.cit., hlm.34
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
lahan perkebunaan yang sudah tidak terurus atau terlantarkan. Tanah-tanah seperti itu
dimanfaatkan atau digunakan oleh rakyat tanpa seijin dari pemilik lahan tersebut. Pihak
perkebunan sebagai pemilik lahan berusaha untuk mengambil kembali tanah-tanah
perkebunan dari rakyat kemudian rakyat diwajibkan untuk membayar ganti rugi kepada
pihak perkebunan. Pada masa kependudukan Jepang lahan-lahan perkebunan yang
banyak di serobot oleh rakyat dan melibatkan banyak orang atau kelompok dalam
melakukan penyerobotan lahan perkebunan.
Pada masa Revolusi Kemerdekaan (1945-1950) penyerobotan lahan-lahan
perkebunan oleh rakyat semakin bertambah dan meningkat. Bertambahnya pemakaian
tanah-tanah itu terutama karena sulitnya kehidupan pada masa revolusi. Daerah Surakarta
juga terjadi penyerobotan tanah yang dilakukan oleh rakyat, hal ini disebabkan oleh suatu
kondisi ketegangan hubungan antara penguasa pribumi dengan rakyat. Selain masalah
tersebut rakyat merasa bebas setelah merdeka, mereka mengambil tanah-tanah mereka
yang selama ini dikuasai oleh bangsa asing. Penyerobotan tanah tersebut berlangsung
tetap ada hingga akhirnya terbentuk undang-undang yang mengatur tentang agraria di
Indonesia pada tahun 1960. Terbentuknya Undang-Undang Pokok Agraria tahun 1960
karena banyaknya terjadi penyerobatan tanah maka dikeluarkanlah Undang-undang No. 1
th. 1961 tentang larangan pemakaian tanah tanpa ijin yang berhak atau kuasanya sebagai
tindakan pidana pelanggaran yang dapat dikenakan ancaman hukuman yaitu berupa
hukuman kurungan selama-lamanya 3 bulan dan denda sebanyak-banyaknya Rp
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
5.000,00.6 Adanya undang-undang tersebut mengurangi atau menghentikan terjadinya
penyerobotan tanah, lahan-lahan perkebunan telah dikonversi menjadi milik Negara
untuk melindungi dari penyerobatan tanah. Meskipun demikian pemerintah memberikan
tanah kepada rakyat yaitu dengan adanya redistribusi tanah kepada rakyat agar rakyat
memiliki tanah dan tidak melakukan penyerobotan tanah atau pemakaian tanah tanpa ijin.
Pada masa setelah terjadinya pemberontakan PKI kondisi politik mulai
mengalami perubahan serta terjadi perubahan kekuasaan, sehingga mempengaruhi sistem
agraria yang telah ada. Kondisi tersebut menimbulkan penyerobotan tanah kembali
terjadi. Tanah-tanah yang diserobot merupakan tanah Negara atau tanah kosong. Di
daerah Pajang banyak lahan-lahan yang diserobat terutama tanah Negara yang dulunya
akan dibagikan kepada rakyat tidak lepas dari penyerobatan tersebut. Penyerobotan tanah
waktu itu dilakukkan para orang-orang yang memiliki kekuasaan seperti para kepala desa
atau para lurah yang menjabat pada waktu itu.7 Pada waktu itu penguasa memanfaatkan
kekuasaan untuk menguasai tanah-tanah kosong walapun tanah tesebut tanah Negara
yang seharusnya dibagikan kepada rakyat. Pelaku penyerobotan saat itu bersifat
individual bahkan rakyat tidak ada yang tidak berani untuk melakukan atau melaporkan
hal tersebut. Penyerobotan tersebut dilakukan dengan cara menjadikan tanah tersebut
sebagai milik mereka dan hal tersebut hanya bisa dilakukan oleh penguasa terutama oleh
para lurah atau perangkat-perangkat yang ada di kelurahan. Masyarakat disekitar tanah
6 Bachsan Mustofa., op.cit., hlm.35
7 Data diolah dari wawancara dengan Harun tanggal 14 Desember 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
tersebut hanya mengetahui tanah yang diserobot telah menjadi hak milik individual.8
Luas tanah Negara yang diserobat di daerah kampung Sidodadi seluas 800 m dan 600 m
sedangkan di daerah Tunggul Sari sekitar luas hampir 1 ha. Kesemuanya dilakukan oleh
para kepala dan pegawai pemerintah dalam hal ini kelurahan.9
Setelah tahun 1965 penguasaan tanah lotre mengalami perubahan tentang sistem
agraria. Perubahan tersebut terjadi pada sistem pajak yang ada termasuk pajak untuk
tanah lotre. Sejak awal abad 19, pada zaman Kolonial pajak tanah diberlakukan pada saat
Pulau Jawa diperintah oleh Inggris yang dipimpin Letnan Jenderal Raffles. Pajak tanah
tersebut dinamakan Landrent, yang artinya “sewa tanah”. Raffles meniru sistem pajak
tanah yang ada di India. Ada 3 macam sistem pemungutan landrent yaitu :
a. Sistem zamindari atau zamindarars artinya landheer atau tuan tanah. Sistem ini
mengenakan pajak tanah dengan suatu jumlah yang tetap pada kepada para tuan
tanah. Pengenaan tarif pajak tersebut dengan dikenal dengan istilah “Permanent
Settlement”.
b. Sistem Pateedari atau Mauzawari merupakan sistem pajak bumi yang diberlakukan
kepada desa yang dianggap sebagai satu kesatuan dengan kebijaksanaannya yang
kemudian diserahkan kepada Kepala desa.
8 Data diolah dari wawancara dengan Parto tanggal 26 Desember 2011
9 Data diolah dari wawancara dengan Margono tanggal 25 Maret 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
c. Sistem Rayatwari yaitu sistem pajak tanah atau bumi dikenakan berdasarkan
pendapatan rata-rata dari tanah yang diusahakan oleh masing-masing petani.10
Pajak tanah diberlakukan di Pulau Jawa oleh Raffles pada tahun 1811 sampai
dengan 1816. Landrent didasarkan pada suatu dalil bahwa “Semua tanah adalah milik
Raja (souvereign), dan semua Kepala Desa dianggap sebagai “penyewa” (pachetrs). Oleh
karenanya mereka harus membayar “sewa tanah” (Landrent) dengan natura secara tetap.
Ketika kekuasaan beralih pada Belanda, Landrent diubah menjadi “landrente”, sistem ini
merubah sistem terdahulu dengan melakukan perubahan mengarah kepada keadilan dan
kepentingan rakyat, yang berlangsung sampai dengan tahun 1942. Masa penjajahan
Jepang tahun 1942 sampai tahun 1945, sistem pajak tanah yang dilaksanakan Belanda
diambil alih sepenuhnya dan namanya diganti menjadi Pajak Tanah. Ketika bangsa
Indonesia merdeka, pajak tanah diubah menjadi pajak bumi. Periode tahun 1945 sampai
tahun 1951 untuk melaksanakan pajak bumi masih menggunakan cara lama yaitu:
a. Pajak Bumi di wilayah Negara Republik Indonesia dengan pusat pemerintahan di
Yogyakarta dihapus, untuk wilayah federal pajak bumi terus berlaku.
b. Pajak Bumi di wilayah Negara Republik Indonesia dihapus dengan Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1951. Hal ini disebabkan adanya desakan dari golongan yang
dipimpin oleh Tauchid.
c. Desakan politik tersebut dikenal sebagai Mosi Tauchid, dan sebagai gantinya
dikeluarkan pajak baru yaitu Pajak Penghasilan atas Tanah Pertanian (PPTP).11
10
http://www.sejarah perpajakan di Indonesia.com (diakses pada tanggal 5 juni
2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
Tahun 1951 sampai tahun 1959, setelah dikeluarkannya UU. No. 14 tahun 1951
tentang Penghapusan Pajak Bumi di wilayah Negara Republik Indonesia, maka lahirlah
Jawatan pendaftaran dan Pajak Penghasilan Tanah Milik Indonesia (P3TMI) yang
bertugas melakukan pendaftaran atas tanah-tanah milik adat yang ada di Indonesia.
P3TMI tugasnya hanya mengurus pendaftaran tanah saja, maka namanya diubah kembali
menjadi jawatan Pendaftaran Tanah Milik Indonesia (PTMI) dan bertugas sama seperti
sebelumnya ditambah dengan kewenangan untuk mengeluarkan Surat Pendaftaran
sementara terhadap tanah milik yang sudah terdaftar.12
Tahun 1959 dengan adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(PERPU) No. 11 tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi ( LN Th. 1959 Nomor 104. TLN.
No. 1806) dengan Undang-Undang Nomor tahun 1 Tahun 1961 (LN Th. 1961 No.3 TLN
No. 2124) telah ditetapkan menjadi Undang-Undang. Selanjutnya nama jawatan yang
mengelola Pajak Hasil Bumi menjadi Direktorat Pajak Hasil Bumi. Dalam
melaksanakannya dikeluarkan Surat Keputusan Menteri Iuran Negara Nomor PMPPU 1-
1-3 tanggal 29 Nopember 1965 yang menetapkan Direktorat pajak hasil Bumi diubah
namanya menjadi Direktorat Iuran Pembangunan daerah (DIT-IPEDA). Pajak Hasil
Bumi (PHB) menjadi Iuran Pembangunan Daerah (IPEDA). Peraturan tersebut
11
http://www.penelitian elib unicom.ac.id, hlm 39 (diakses pada tanggal 5 juni
2012) 12
http://www.wartawarga student journalism .gunadarma.ac.id (diakses pada
tanggal 5 juni 2012)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
diberlakukan pada tanah-tanah sektor pedesaan, perkotaan, perhutanan, perkebunan dan
sektor pertambangan.13
Setelah ditetapkan iuran pembangunan daerah, maka tanah-tanah lotre tersebut
juga diwajibkan untuk membayar iuran tersebut. Besarnya pembayaran tersebut berbeda
seperti salah satu contoh dari pemilik tanah yang mendapatkan tanah secara lotre
dikenakan biaya IPD pada tahun 1967 sebesar Rp 37,10, pada tahun 1968 biaya yang
dikenakan sama pada tahun sebelumnya yaitu sebesar Rp 37,10 dan pada tahun 1969
biaya yang dikenakan sebesar Rp 48,70 biaya lebih besar dari tahun sebelumnya
disebabkan mengalami keterlambatan pembayaran, sehingga terkena denda sebesar 5%.
Untuk pembayaran IPD pada tahun 1970 dan 1971 sebesar Rp 53,60. Pada tahun 1972
dan 1973 biaya yang dikenakan untuk pajak tersebut sebesar Rp 99,08.14
Pembayaran
atau pelunasan IPEDA dilakukan lewat lurah atau kepala desa setempat. Ketika ada
pemberitahuan hal-hal lain, lurah atau kepala desa wajib memberitahukannya seperlunya.
Rata-rata biaya yang dikenakan hampir sama dengan penerima tanah lotre lainnya.
2. Proses pendaftaran tanah lotre
Ketika muncul Peraturan Pemerintah No 10 tahun 1961 tentang pendaftaran tanah
maka tanah-tanah di Indonesia belum terdaftar. Sebelum dikeluarkannya peraturan
tentang pendaftaran tanah pada tahun 1960, pada tahun 1955 berdasarkan Keputusan
Presiden (Kepres) Nomor 55 Tahun 1955, Presiden Republik Indonesia membentuk
13
Ibid. 14
Surat Ketetapan Iuran Pembanguan Daerah dari tahun 1967 hingga 1973,
koleksi dari Jitnowidjo.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
Kementerian Agraria yang sederajat dengan kementerian lain dan dipimpin oleh Menteri
Agraria. Adanya kepres tersebut tugas dari Kementerian Agraria adalah :
a. Mempersiapkan pembentukkan perundang-undangan agraria nasional;
b. Melaksanakan dan mengawasi perundang-undangan agraria pada umumnya serta
memberi petunjuk tentang pelaksanaan agraria pada khususnya.
c. Menjalankan usaha untuk menyempurnakan kedudukan dan kepastian hak tanah bagi
rakyat.15
Pendaftaran berasal dari kata cadaster (bahasa Belanda kadaster) suatu istilah
teknis untuk suatu record (rekaman), menunjukan kepada luas, nilai dan kepemilikan
atau atas hak yang terdapat di suatu bidang tanah. Cadaster adalah rekaman dari pada
lahan-lahan, nilai dari tanah dan pemegang haknya dan untuk kepentingan perpajakan.
Pendaftaran pada waktu itu yang dikenal hanyalah pendaftaran untuk hak-hak atas tanah
yang tunduk kepada kitab Undang-Undang Hukum Perdata Barat. Ada juga orang-orang
bumi putera yang mempunyai hak-hak atas tanah yang berstatus hak-hak barat, selain
dari golongan Eropa dan golongan timur asing termasuk Cina. Untuk golongan bumi
putera tidak ada suatu hukum pendaftaran tanah yang bersifat uniform, apabila itu ada
itupun secara sporadis.
Kegiatan pendaftaran tanah di Indonesia sejak penjajahan Belanda telah ada,
khususnya untuk mengelola hak-hak barat. Pada jaman Hindia Belanda pendaftaran tanah
dimulai dari berdirinya kantor kadaster dan ketika pada zaman awal kemerdekaan
15
Parlindungan, A.P, Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung: Mandar
Maju,1999), hlm. 22
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
pendaftaran tanah di Indonesia berada di Departemen Kehakiman yang bertujuan untuk
menyempurnakan kedudukan dan kepastian hak atas tanah yang meliputi: pengukuran,
pemetaan dan pembukuan semua tanah dalam wilayah Republik Indonesia, pembukuan
hak atas tanah serta pencatatan pemindahan hak atas tanah tersebut. Kegiatan pendaftaran
tanah tersebut merupakan sistem pendaftaran akte (regristration of deeds). Jawatan
Pendaftaran Tanah pada saat itu hanya bertugas dan berkewenangan membukukan hak-
hak tanah dan mencatat akte peralihan/pemindahan hak, tidak menerbitkan surat tanda
bukti hak yang berupa sertifikat tanah. Alat bukti kepemilikan tanah pada saat itu berupa
akte (akte eigendom dan lain lain). Lahirnya UUPA pada tanggal 24 September 1960
maka sistem pendaftaran tanah mengalami perubahan menjadi sistem pendaftaran hak
(registration of title). Hal tersebut ditetapkan dalam Pasal 19 UUPA yang antara lain
berbunyi:
a. Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah di
seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah;
b. Pendaftaran tanah meliputi:
1. Pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah;
2. Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
3. Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang
kuat.16
16
Parlindungan, A.P., op.cit.,hlm. 1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
Ketika munculnya UUPA maka tugas dari pendaftaran meliputi pendaftaran hak
termasuk peralihan dan pembebanannya serta pemberian surat-surat tanda bukti sebagai
alat pembuktian yang kuat, selain itu juga tugas untuk pemetaan, pengukuran, pembuatan
buku tanah, pendaftaran hak-hak dan peralihan hak-hak. Adanya UUPA menjadikan
perubahan sistem pendaftaran tanah yang dulunya sistem pendaftaran akte berubah
menjadi sistem pendaftaran hak. Dikeluarkannya PP 10 tahun 1961 maka pendaftaran
tanah yang dahulunya hanya berpusat dibeberapa kota atau di daerah masyarakat barat
yang sudah berkembang menjadi lebih meluas cakupannya.
Keinginan untuk adanya kepastian tentang pemberian hak-hak tanah maka para
kepala daerah membuat surat yang ditujukan kepada menteri agraria yang salah satu
isinya masalah-masalah tanah untuk perkembangan di setiap kota.17
Surat tersebut berasal
dari para walikota di Indonesia termasuk Walikota Surakarta dan Jogyakarta, hal ini
menegaskan bahwa pemberian hak-hak kepada pemilik tanah disetiap daerah. Adanya
surat tersebut maka tanah-tanah yang ada di daerah Surakarta didaftarkan ke kantor
kadaster. Daerah Surakarta dan Yogyakarta pendaftaran tanahnya menggunakan sistem
pendaftaran kadaster. Setelah pemberian tanah-tanah tersebut kepada rakyat selang
beberapa tahun dan adanya pemberitahuan, maka tanah-tanah tersebut didaftarkan kepada
kantor kadaster. Tugas untuk melakukan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia
dibebankan kepada Pemerintah oleh Pasal 19 ayat (1) UUPA ditentukan bertujuan
17
Surat politik tanah dalam pembanguan kota kepada J.M Menteri Agraria 19
Djanuari 1955, koleksi Arsip Nasional, arsip surat konperensi walikota No. 5 55/Sekr.
Kon.Wal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
tunggal yaitu untuk menjamin kepastian hukum. Menurut penjelasan dari UUPA,
pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah merupakan kewajiban dari Pemerintah bertujuan
menjamin kepastian hukum yang bersifat rechtscadaster. Rechtscadaster artinya untuk
kepentingan pendaftaran tanah saja dan hanya mempermasalahkan haknya apa dan siapa
pemiliknya, bukan untuk kepentingan lain seperti perpajakan.
Sebelum dikeluarkannya peraturan tentang pendaftaran tanah tahun 1960 para
pemilik tanah-tanah lotre melakukan pendaftaran tanah ke kantor kadaster untuk
pengukuran kembali yang akan digunakan sebagai pembayaran pajak bukan pemberian
buku tanah. Dalam proses pendaftaran ke kantor kadaster, rakyat hanya dibebani biaya
adminitrasi sebesar 60 rupiah.18
Selain untuk pajak pendaftaran, rakyat juga mendapatkan
surat keterangan tentang luas tanah mereka dan status tanah tersebut. Setelah
mendaftarkan tanah mereka ke kantor kadaster status tanah mereka menjadi hak milik.19
Semua tanah-tanah di Indonesia kebanyakan belum terdaftar, sehingga selama itu
masyarakat hanya memiliki surat-surat yang dibuat oleh camat dan lurah setempat.
Situasi tersebut menimbulkan beberapa tanah-tanah yang dikuasai tanah melalui prosedur
PP 10 tahun 1961. Tanah-tanah kosong tersebut ada yang belum dikonversikan maupun
tanah-tanah yang belum dikuasai oleh Negara dan kemudian telah diduduki oleh rakyat
baik disengaja maupun tidak disengaja atau pun diatur oleh kepala-kepala desa dan
disahkan oleh camat menjadi hak milik. Tanah-tanah yang sudah disahkan oleh camat
18
Data diolah dari wawancara dengan Parto tanggal 26 Desember 2011 19
Data diolah dari wawancara dengan Sutarji tanggal 28 Juni 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
tersebut telah menjadi hak seseorang atau pun termasuk kategori hak-hak adat. Tanah-
tanah yang belum banyak terdaftar yaitu tanah bekas barat dan tanah adat.
Pendaftaran tanah untuk pertama kali (initial registration) meliputi tiga bidang
kegiatan yaitu: bidang fisik atau “teknis kadastral”, bidang yurudis dan penerbitan
dokumen tanda-bukti hak.20
Kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama kali (initial
registration) dapat dilakukan melalui 2 cara, yaitu secara sistematik dan secara sporadik.
Pendaftaran tanah secara sistematik merupakan kegiatan pendaftaran tanah untuk pertama
kali yang dilakukan secara serentak, yang meliputi semua obyek pendaftaran tanah yang
belum didaftar dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan, umumnya
prakarsanya datang dari Pemerintah. Pendaftaran tanah secara sporadik adalah kegiatan
pendaftaran tanah untuk pertama kali mengenai satu atau beberapa obyek pendaftaran
tanah dalam wilayah atau bagian wilayah suatu desa atau kelurahan secara individual atau
massal, yang dilakukan atas permintaan pemegang atau penerima hak atas tanah yang
bersangkutan.
Fungsi pendaftaran tanah mempunyai peranan yang amat strategis, khususnya
mengenai hak-hak atas tanah karena kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah
hanya akan dapat dicapai apabila dilaksanakan pendaftaran atas tanah, prinsip ini
merupakan hasil penafsiran terbalik dari pernyataan Pasal 19 ayat (1) UUPA, yaitu
bahwa tanpa dilaksanakan pendaftaran tanah, maka kepastian hukum hak atas tanah tidak
akan pernah tercapai. Kepastian hukum yang ingin dicapai melalui pendaftaran tanah,
20
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta : Djambatan, 2007), hlm. 74.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
meliputi : kepastian hukum mengenai subyek hukum pemegang hak atas tanah, kepastian
hukum mengenai obyek hukum yaitu mengenai tanahnya itu sendiri dan kepastian hukum
mengenai hak yang melekat atas tanah tersebut yang menjadi alas hubungan hukum
antara subyek hukum dan obyek hukum.
Sistem pendaftaran tanah setelah UUPA ada lembaga yang berwenang
melakukannya. PPAT adalah satu-satunya pejabat yang berwenang untuk membuat akta-
akta peralihan hak atas tanah, pemberian hak baru atas tanah dan pengikatan tanah
sebagai jaminan utang (recording of deeds of conveyance), sedangkan Badan Pertanahan
Nasional merupakan pejabat satu-satunya yang secara khusus melakukan pendaftaran
tanah dan menerbitkan surat bukti haknya (recording of title and continuous recording).21
Tanah-tanah bekas konversi dan perkebunan-perkebunan yang telah dikonversi
diutamakan untuk didaftarkan pada saat pendaftaran tanah tahun 1961. Sebelum adanya
pelaksanaan pendaftaran tanah, yang lain sudah terjadi perubahan politik dan kekuasaan
setelah tahun 1965, sehingga sebagian tanah-tanah yang lain belum terdaftar, termasuk
tanah-tanah rakyat yang dberikan secara lotre. Rakyat yang mendapatkan tanah tersebut
sebenarnya telah mendaftarkan tanahnya ke kantor kadaster, namun hal itu hanya untuk
pengukuran tanah kembali yang digunakan untuk perhitungan pajak.
Proses pendaftaran tanah-tanah lotre berawal dari kebijakan pemerintah orde baru
untuk tanah-tanah yang belum bersertifikat agar segera didaftarkan untuk mendapatkan
hak milik atau buku tanah (sertifikat). Setelah pemberitahuan tentang pesertifikatan tanah
21
Kartini Soedjendro, Perjanjian Peralihan Hak Atas Tanah Yang Berpotensi
Konflik , (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 69
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
maka masyarakat di Kelurahan Pajang mulai mendaftarkan tanah yang dilakukan pada
tahun 1972.22
Pendaftaran tanah untuk tanah lotre ini dilakukan secara serentak, pada
saat itu Lurah hanya memberitahukan kepada masyarakat tentang peraturan pesertifikatan
tanah. Dalam pengajuan pendaftaran tanah masyarakat harus memenuhi persyaratan
yaitu:
a. Salinan surat tanda kewarganegaran (akte /pendirian badan hukum)
b. Salinan keputusan pengesahan badan hukum
c. Salinan sertifikat /skpt/kekitir
d. Salinan surat ukur/gambar
e. Surat bukti perolehan hak secara beruntun.23
Sebelumnya kelurahan melakukan pengukuran, pemetaan secara menyeluruh
terhadap tanah-tanah di Kelurahan Pajang sebagai salah satu persyaratan dalam
pengajuan permohonan hak milik atau sertifikat tanah.24
Setelah pengukuran tersebut
barulah dilaksanakan pendaftaran tanah, kemudian mengajukan surat permohonan hak
tanah ke kantor Sub Direktorat Agraria Kotamadya Surakarta yang sekarang bernama
Badan pertanahan Nasional Surakarta. Setelah proses pengajuan permohonan dan berkas-
berkas persyaratan diajukan ke kantor agraria Surakarta, kemudian dari kantor agraria
melakukan pengukuran kembali tanah-tanah yang akan menjadi hak milik. Pengukuran
22
Data diolah dari wawancara dengan Tumin tanggal 5 September 2011 23
Surat Pengajuan Permohanan Hak Milik/Guna bangunan/Pakai kepada
Direkotarn Agraria Propinsi Jawa Tenggah melalui Sub direktorat Agraria Kotamadya
Surakarta, Arsip pribadi dari Margono. 24
Surat tentang daftar nama dan gambaran kasar para pemohon penyelesian
hak tanah kepada Walikota Surakarta, Arsip Kelurahan Pajang.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
tersebut untuk pengecekan kembali tanah yang diajukan menjadi hak milik. Setelah
pengukuran dan pengumpulan berkas-berkas, kemudian data tersebut dikirim ke
Direktorat Agraria Propinsi Jawa Tengah.
Pengajuan permohonan hak milik atau pensertifikatan tanah di Kelurahan Pajang
dilakukan secara massal. Jumlah keselurah masyarakat yang mendaftarakan tanah di
Kelurahan Pajang sebanyak 521 terbagi dalam 15 kampung yaitu: kampung Sidodadi,
kampung Bendosari, kampung Wonorejo, kampung Tegalkeputren, kampung
Tegalkembang, kampung Karangturi, kampung Suronalan, kampung Ledoksari, kampung
Pajangan, kampung Cocok carikan, kampung Norowangsan, kampung Totosari, kampung
Sogatan, kampung Tunggulsari.25
Kampung sidodadi masyarakat yang mendaftarakan tanah sebanyak 75 dengan luas
tanah berkisar 120m hingga 890m.26
Untuk kampung Bendosari dan kampung Wonorejo
sebanyak 64 dengan luas tanah berkisar 125m hingga 450m dengam rincian kampung
Bendosari sebanyak 43 sedangkan kampung wonorejo sebanyak 21.27
Masyarakat
kampung Sarimulyo yang mendaftarkan tanah sebanyak 49 debgan luas tanah berkisar
150m hingga 600m.28
Masyarakat kampung Tegalkeputren dan masyarakat
Tegalkembang sebanyak 88 dengan rinciana kampung Tegalkeputren sebanyak 49
sedangkan kampung Tegalkembang 39 dengan luas tanah 120m hingga 500m.29
25
Lihat Lampiran 5 26
Lihat Lampiran 5.a hingga 5.b 27
Lihat Lampiran 5.d hingga 5.e 28
Lihat Lampiran 5.g hingga 5.h 29
Lihat Lampiran 5.j hingga 5.k
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Kampung Karangturi dan kampung Suronalan masyarakat yang mendaftakan tanah
sebanyak 46 dengan rincian kampung Karangturi sebanyak 13 sedangkan kampung
Suronalan 33 dengan luas tanah berkisar 100m hingga 775m. masyarakat kampung
Ledoksari, kampung Pajangan dan kampung Corak-carikan sebanyak 39 dengan rincian
sebagai berikut: kampung Ledoksari 19, kampung Pajangan 17 dan kampung 3 luas tana
yang didaftrakan berkisar antara 150m hingga 450m. Masyarakat kampung norowangsan
yang mendaftrakan tanah sebanyak 33 dengan luas tanah antara 40m hingga 300m.
Kampung Totosari dan kampung Sogatan masyarakat yang mendaftakan tanah sebanyak
35 dengan rincian kampung Totosari sebanyak 19 sedangkan kampung Sogatan 16
dengan luas tanah berkisar 270m hingga 450m. Masyarakat kampung Tunggul sari yang
mendaftrakan tanah sebanyak 99 dengan luas tanah antara 42m hingga 800m.30
Pada waktu itu keputusan tentang pengeluaran surat sertifikat tanah dilakukan oleh
kantor Agraria Propinsi Jawa Tengah. Proses pengajuan permohonan hak milik atau
sertifikat rakyat dikenakan biaya sebesar Rp 20.480.- dan Rp 10.240.-.31
Proses
pengeluaran dari buku tanah atau sertifikat membutuhkan waktu yang tidak sebentar.
Pendaftaran tanah selain berfungsi untuk melindungi pemilik, juga berfungsi untuk
mengetahui status sebidang tanah, pemilik tanah, hak tanah tersebut dan luas dari
kepemilikan tanah. Tujuan pendaftaran tanah meliputi:
30
Lihat Lampiran 5.m hingga 5.y 31
Arsip sertifikat tanah Jitnowidjojo.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
a. Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak
atas tanah dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan
dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
b. Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk
Pemerintah agar mudah memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan
perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah yang sudah terdaftar.
c. Untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan setiap bidang tanah termasuk
peralihan, pembebanan dan hapusnya hak atas tanah wajib didaftar. Adanya
pemberian kepastian dan perlindungan hukum, maka kepada pemegang hak atas
tanah yang bersangkutan diberikan sertifikat hak atas tanah, sedangkan untuk
melaksanakan fungsi informasi, data yang berkaitan dengan aspek fisik dan yuridis
dari bidang-bidang tanah yang sudah terdaftar, dinyatakan terbukti untuk umum (asas
publisitas), sementara dalam hal mencapai tujuan tertib administrasi pertanahan,
maka setiap bidang tanah atau satuan rumah susun, termasuk peralihan, pembebanan
dan hapusnya hak atas tanah dan hak milik satuan rumah susun, wajib didaftar.32
Adanya buku tanah (sertifikat) dapat memberikan jaminan hukum dan
pengesahan tanah bagi setiap individu. Pendaftaran tanah telah diatur dalam Undang-
undang sehingga rakyat berkewajiban untuk mendaftarkan tanah-tanah mereka.
Pengajuan permohonan hak milik di Kelurahan Pajang sebanyak 512 orang kesemuanya
diterima dalam peromohanan hak milik atau sertifikat.
32
Supriadi, Hukum Agraria, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 165
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
B. Jual-beli tanah lotre
Bagi manusia uang merupakan suatu yang mempunyai nilai lebih, bagi mereka
dengan mempunyai uang tunai dapat digunakan untuk memenuhi kehidupan terutama
kebutuhan-kebutuhan yang mendadak. Adanya kebutuhan–kebutuhan yang bersifat
mendadak mengharuskan penduduk untuk memperoleh dan mendapatkan sumber
keuangan bagi mereka. Untuk mendapatkan uang tersebut jalan satunya yang dilakukan
dengan menjual tanahnya atau barang berharga lainnya. Masalah pokok yang ada dalam
masyarakat adalah adanya kekurangan uang perekonomian yang terjadi pada waktau itu
sedang suklit. Kondisi tersebut berdampak terhadap masyarakat di kelurahan Pajang
sehigga terjadi jual-beli tanah lotre.
Pada waktu kondisi perekonomian bangsa Indonesia belum stabil ditambah
banyak terjadi pemberontak internal di Indonesia serta peralihan kekuasaan dari Presiden
Soekarno kepada Soeharto setelah terjadinya peristiwa G 30 S/PKI berdampak pada
seluruh rakyat, tidak terkeculi masyarakat di kelurahan Pajang. Banyak masyarakat yang
membutuhkan uang untuk menyambung hidupnya dan salah satu cara untuk mendapatkan
uang ketika itu dengan cara menjual tanahnya. Peristiwa tersebut banyak terjadi di
Kelurahan Pajang dengan menjual tanah yang didapat dari pembagian tanah secara sistem
lotre. Selain faktor ekonomi ada beberapa faktor-faktor lain yang menyebabkan
timbulnya penjualan tanah-tanah lotre yaitu disebabkan karena letak tanah. Jual beli tanah
pada hakikatnya merupakan salah satu pengalihan hak atas tanah kepada pihak orang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
lain. Peralihan hak-hak pemilikan tanah atas tanah tersebut tidak hanya meliputi jual-beli
saja tetapi pengalihan hak pemilikan ini dapat juga karena hibah, tukar menukar.
Pemberian dengan maksud wasiat dan perbuatan-perbuatan lain yang bermaksud
memindahkan hak pemilikan atas tanah. Pengertian jual-beli tanah dalam hukum adat
adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah dengan pembayaran harganya pada
saat yang bersaaman dilakukan secara tunai. Penyerahan tanahnya kepada pembeli dan
pembayaran harganya kepada penjual pada saat jual-beli dilakukan, dalam hal ini pembeli
telah menjadi pemegang hak yang baru.
Jual beli33
menurut ketentuan yang berlaku sebelum pendaftaran tanah
dilaksanakan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1961 dihadapan
“Overschhrijvingsambtenaar” atau yang disebut sebagai pejabat balik nama berdasarkan
Overshrijving ordonnatie.34
Sebelum berlakunya UUPA, terdapat dualisme dan pluralism
yaitu hukum tanah barat, hukum tanah adat dan hukum tanah antar golongan. Ketiga
hukum tersebut merupakan hukum tanah yang memberikan pengaturan atau pedoman
dalam menyelesaikan masalah-masalah hukum antar golongan mengenai tanah hukum.35
Pada waktu itu telah dilangsungkan pendaftaran tanah yang berdasarkan Ordonansi balik
nama (Overschrijvings Ordonnantie) yang termuat dalam Stb. 1834 Nomor 27. Peralihan
33
Menurut Pasal 1457 KHUPerd yang disebut ”jual beli tanah” adalah suatu
perjanjian dalam mana pihak yang mempunyai tanah, yang disebut ”penjual”, berjanji
dan mengikatkan diri untuk menyerahkan haknya atas tanah yang bersangkutan kepada
pihak lain, yang disebut pembeli. 34
Haraun Al Rashid, Sekilas tentang Jual Beli Tanah (berikut peraturan-
peraturannya), (Jakarta: Ghalai Indonesia,1987), hlm. 53 35
Boedi Harsono, op.cit, hlm. 30.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
hak berdasarkan Ordonansi Balik Nama (Overschrijvings Ordonnantie) ini dilakukan
untuk tanah-tanah dengan hak barat dan tunduk kepada ketentuan-ketentuan KUHPerd
dan pendaftarannya dilakukan berdasarkan Ordonansi balik nama ( Overschrijvings
Ordonnantie).
Pihak pembeli berjanji dan mengikatkan diri untuk membayar harga yang telah
disetujui. Dijual belikan menurut ketentuan Hukum Barat ini adalah apa yang disebut
”tanah-tanah hak barat’, yaitu tanah-tanah Hak Eigendom, Erfpacht, Opstal dan lain-
lain.36
Sebelum berlakunya Ordonansi Balik Nama (Overschrijvings Ordonnantie),
peralihan hak dari penjual kepada pembeli terjadi sebelum peralihan hak itu didaftar pada
dua orang saksi dari Dewan Schepen. Dengan adanya ketentuan Pasal 20 Ordonansi
Balik Nama ( Overschrijvings Ordonnantie ), maka jual beli tidak lagi merupakan salah
satu sebab dari peralihan hak, jual beli hanya merupakan salah satu dasar hukum (titel,
causa) dari penyerahan, sedang peralihan hak baru terjadi setelah pendaftaran
dilaksanakan.
Adapun prosedur jual beli tanah itu diawali dengan kata sepakat antara calon
penjual dengan calon pembeli mengenai objek jual belinya yaitu tanah hak milik yang
akan dijual dan harganya. Hal ini dilakukan melalui musyawarah di antara mereka
sendiri. Setelah mereka sepakat akan harga dari tanah itu, biasanya sebagai tanda jadi,
diikuti dengan pemberian panjer. Pemberian panjer tidak diartikan sebagai harus
dilaksanakannya jual beli itu. Panjer di sini fungsinya adalah hanya sebagai tanda jadi
akan dilaksanakannya jual beli. Adanya panjer, para pihak akan merasa mempunyai
36
Ibid., hlm. 28.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
ikatan moral untuk melaksanakan jual beli tersebut. Apabila telah ada panjer, maka akan
timbul hak ingkar. Bila yang ingkar si pemberi panjer, maka panjer tersbut menjadi milik
si penerima panjer. Sebaliknya, bila keingkaran tersebut ada pada pihak penerima panjer,
maka panjer harus dikembalikan kepada pemberi panjer. Jika para pihak tidak
menggunakan hak ingkar tersebut, dapatlah diselenggarakan pelaksanaan jual beli
tanahnya, dengan calon penjual dan calon pembeli menghadap Kepala Desa (Adat) untuk
menyatakan maksud mereka itu. Inilah yang dimaksud dengan terang. Kemudian oleh
penjual dibuat suatu akta bermaterai yang menyatakan bahwa benar ia telah menyerahkan
tanah miliknya untuk selama-lamanya kepada pembeli dan bahwa benar ia telah
menerima harga secara penuh. Akta tersebut turut ditandatangani oleh pembeli dan
Kepala Desa (Adat). Telah ditandatanganinya akta tersebut, maka perbuatan jual beli itu
selesai.
Setelah berlakunya UUPA, terjadilah unifikasi hukum tanah Indonesia sehingga
hukum yang berlaku untuk tanah adalah hukum tanah nasional dan sudah tidak dikenal
lagi tanah yang tunduk kepada KUHPerd atau tanah hak barat dan tanah yang tunduk
kepada hukum adat atau tanah hak adat. Berlakunya UUPA dapat menghilangkan sifat
dualistis yang dulunya terdapat dalam lapangan agrarian, karena Hukum Agraria yang
baru itu didasarkan pada ketentuan-ketentuan Hukum Adat. Hukum Adat adalah hukum
yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia serta juga merupakan hukum rakyat
Indonesia yang asli.
Istilah jual beli dalam UUPA hanya disebutkan dalam Pasal 26 yaitu menyangkut
jual beli hak milik atas tanah. Dalam Pasal-Pasal lainnya, tidak ada kata yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
menyebutkan jual beli, tetapi disebutkan sebagai dialihkan. Dialihkan dalam hal ini
menunjukkan suatu perbuatan hukum yang disengaja untuk memindahkan hak atas tanah
kepada pihak lain melalui jual beli, hibah, tukar menukar dan hibah wasiat. Meskipun
dalam Pasal hanya disebutkan dialihkan, termasuk salah satunya adalah perbuatan hukum
pemindahan hak atas tanah karena jual beli. Apa yang dimaksud dengan jual beli itu
sendiri oleh UUPA tidak diterangkan secara jelas, namun dalam Pasal 5 UUPA
disebutkan bahwa Hukum Tanah Nasional adalah Hukum Adat, berarti menggunakan
konsepsi, asas-asas, lembaga hukum dan sistem hukum adat.
Pengertian jual beli tanah menurut Hukum Adat, merupakan perbuatan
pemindahan hak, yang sifatnya tunai, riil dan terang. Sifat tunai berarti bahwa
penyerahan hak dan pembayaran harganya dilakukan pada saat yang sama. Sifat riil
berarti bahwa dengan mengucapkan kata-kata dengan mulut saja belum dapat terjadi jual
beli. Hal ini dikuatkan dalam Putusan MA No. 271/K/Sip/1956 dan No. 840/K/Sip/1971.
Jual beli dianggap telah terjadi dengan penulisan kontrak jual beli di muka Kepala
Kampung serta penerimaan harga oleh penjual, meskipun tanah yang bersangkutan masih
berada dalam penguasaan penjual.
Proses jual beli tanah lotre setelah terjadi pembagian tanah dengan cara
melimpahkan tanah tersebut kepada pembeli tanah menggunakan pedoman keputusan
dari MA No. 271/K/Sip/1956, yang menjual tanah pada saat yaitu: Narto dengan menjual
semua tanahnya yang didapat yaitu seluas 400 m dan Citro menjual tanahnya seluas 400
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
m.37
ketika ada program pensertifikatan tanah sekitar tahun 1970-an banyak masyarakat
yang mendapatkan tanah lotre menjual tanah tersebut. Penjual tanah tersebut digunakan
untuk biaya pensertifikatan tanah karena program tersebut diwajibkan bagi masyarakat
yang mendapat tanah lotre. Adapun beberapa orang yang menjual tanah saat itu yaitu
Wiryo dengan luas tanah yang dijual seluas 200 m, Darmo dengan luas 200 m dan Wito
dengan luas 200 m.38
Kebanyakan pada saat itu mereka menjualnya separo dari luas tanah
yang didapat. Proses penjualan tersebut dengan cara pembeli tanah memberikan separo
biaya untuk proses pensertifikatan tanah dan hasilnya nanti keduanya memiliki masing-
masing sertifikat tanah atas nama mereka. Peristiwa jual beli seperti itu disebabkan tanah-
tanah lotre belum disertifikatkan hingga tahun 1972 dan masyarakat juga tidak mau
menggunakan proses yang susah, masyarakat cenderung memilih proses yang lebih cepat
dalam proses jual beli tanah pada waktu itu. Peralihan hak tersebut kedua belah pihak
hanya melakukan perjanjian tertulis bahwa terjadi peralihan hak tanah. Pejualan tanah
lotre tersebut semakin tahun harganya menjadi semakin meningkat. Adapun selain faktor
ekonomi, namun ada faktor lain yang menyebabkan terjadi jual beli tanah lotre yaitu
ketika tahun 1953 hingga 1972 disebabkan karena faktor letak tanah yang mereka
dapatkan dan untuk biaya pendaftaran atau pensertifikatan tanah. Proses jual beli tanah
tersebut hanya belaku ketika masyarakat belum mendaftarkan tanah mereka, tetapi
37
Data diolah dari wawancara dengan Citro tanggal 5 juli 2012
38 Data diolah dari wawancara dengan Wito tanggal 6 juli 2012
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
setelah adanya sertifakat tanah proses jual beli tanah sudah berbeda harus melibatkan
PPAT.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tanah merupakan sumber daya alam yang sangat vital yang melandasi
hampir di semua aspek kehidupan. Tanah bukan saja sekedar sebagai sumber
kehidupan, tetapi juga dapat mempengaruhi kekuatan ekonomi, sosial, dan politik.
Tanah juga dapat menimbulkan kehancuran karena keinginan yang terbersit dalam
benak orang-seorang untuk menguasai tanah. Melihat dari nilai tanah yang sangat
tinggi tersebut maka muncul berbagai hak dan kewajiban dalam hal penguasaan dan
distribusi tanah.
Tanah mempunyai fungsi sosial yang mengharuskan adanya keseimbangan
antara kepentingan individu (pemilik, penguasa, penyewa) dengan kepentingan
masyarakat dan negara dalam pendayagunaan tanah.1 Tanah mempunyai kedudukan
khusus atau penting dalam hukum adat karena tanah merupakan tempat tinggal,
tempat untuk mengubur dan tempat untuk berlindung bagi persekutuan dan roh
leluhur. Masalah tanah dalam perjalanan bangsa Indonesia telah mengalami berbagai
perubahan dari masa ke masa yaitu dari masa kerajaan, masa kolonial sampai masa
pemerintahan Republik Indonesia. Pada masa kerajaan tanah adalah milik raja,
sehingga masyarakat hanya sebagai penggarap. Sementara itu pada masa kolonial,
tanah dikuasai oleh pemerintah kolonial, tidak terdistribusikan ke masyarakat luas.
1 Kartasapoetra, G, dkk., Hukum Tanah: Jaminan UUPA Keberhasilan
Pendayagunaan Tanah, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), hlm. 53.
1
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Masa itu tidak dikenal adanya hak milik, sebab tanah hanya disewakan. Mulai masa
kemerdekaan tanah mulai diatur dengan undang- undang pertanahan yang baru, yakni
Undang-Undang Pokok Agraria Tahun 1960 sebagai pengganti Undang-Undang
Agraria 1870 yang merupakan produk pemerintah kolonial.
Keadaan seperti itu menunjukkan bahwa manusia tidak bisa lepas dari
masalah tanah. Masalah tanah sudah ada sejak pra-kemerdekaan, pada masa kolonial
dan masa kependudukan Jepang. Seperti pada zaman pendudukan Jepang, kondisi
pada saat itu diwarnai pula dengan adanya pendudukan tanah-tanah bekas perkebunan
oleh rakyat. Bagi mereka kemerdekaan merupakan momentum yang tepat untuk
kembali merebut tanah- tanah yang banyak dikuasai oleh perkebunan asing.2 Setelah
Indonesia merdeka, rakyat bisa mengelola dan menikmati hasil tanah mereka.
Tahun 1950 kondisi bangsa Indonesia belum stabil dan masih berbenah diri
untuk menjadi suatu bangsa. Pemerintah mulai merencanakan pembangunan yang
berdasarkan pada Pancasila dan saat itu pemerintahan dipimpin oleh Soekarno dan
Hatta. Pada tahun 1950 perekonomian Indonesia memburuk akibat perang
kemerdekaan yang berdampak pada terjadinya inflasi dan defisit dalam bidang
keuangan. Untuk mengatasi persoalan tersebut maka diberlakukanlah kebijakan
pemotongan uang pada tanggal 19 Maret 1950.3 Ketika itu kemiskinan semakin
meningkat, bahkan golongan petani menjadi sangat lemah terutama petani di Jawa.
2 Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni, Petani dan Konflik
Agraria, (Bandung: Yayasan Akatiga,1997), hlm. 77. 3 Mawarti Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah
Nasional Indonesia VI, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm. 206-207.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
Kebanyakan dari mereka tidak memiliki tanah garapan sendiri. Kedudukan mereka
hanyalah sebagai buruh tani.
Pada masa penjajahan banyak penduduk yang kehilangan tanah. Kondisi
demikian mendorong pemerintah mulai memperhatikan kesejahteraan rakyatnya.
Masa pemerintahan Soekarno banyak dicanangkan kebijakan untuk menyejahterakan
rakyat. Hal tersebut telah diterapkan pada masa kabinet Wilopo yang menetapkan 6
pasal dalam programnya, salah satunya ialah peningkatan kesejahteraan umum yang
mendapatkan prioritas utama.4 Salah satu program untuk menyejahterakan rakyat dan
pemerataan penduduk ialah pemberian tanah secara lotre yang dilaksanakan pada
tahun 1951-1952. Salah satu tempat yang melaksanakan program tersebut ialah
Kelurahan Pajang, Surakarta.
Program tersebut tidak dapat dinikmati oleh semua masyarakat sebab ada
persyaratan tertentu yang harus dipenuhi. Sistem lotre tanah merupakan pembagian
tanah kas milik negara kepada rakyat dengan cara dilotre atau dikocok berdasarkan
sistem nomor. Sisi menarik dari kasus ini ialah program tersebut hanya berjalan
selama satu tahun yaitu 1951-1952, sedangkan kondisi pemerintahan pada waktu itu
sedang tidak stabil karena kabinet sedang mengalami pergantian.
Program tersebut banyak membantu rakyat kecil di tengah kondisi ekonomi
yang buruk. Pemberian tanah pemerintah kepada rakyat memberikan dampak positif
di bidang sosial ekonomi. Pelaksanaan program tersebut ditandai dengan kegiatan
4 G. Moedjanto, Indonesia Abad ke-20 dari Perang Kemerdekaan sampai
Pelita III , (Yogyakarta: Kanisius, 1988 ), hlm. 87.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
pendaftaran tanah, proses penentuan tanah yang lebih dan distribusinya kepada petani
yang tak bertanah.5
Permasalahan tanah dalam sistem lotre muncul akibat dari peristiwa G30/S
PKI yang kala itu banyak terjadi perampasan tanah. Permasalahan tersebut juga
muncul pada masa Orde Baru. Pada tahun 1972 pemerintah menerapkan peraturan
tentang sertifikasi tanah yang juga berpengaruh terhadap tanah lotre. Kepemilikan
tanah lotre yang dulunya hanya berdasarkan surat keterangan hak milik harus diganti
dengan sertifikat. Untuk memperoleh sertifikat tanah tersebut mereka harus
mengeluarkan biaya sehingga bagi yang tidak mampu mensertifikasi tanah tersebut,
kebanyakan dari mereka menjual tanah lotre yang telah mereka dapatkan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka dapat dirumuskan beberapa
permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana stuktur pemilikan Tanah di kelurahan Pajang sebelum tahun
1951?
2. Bagaimana sistem pembagian tanah Negara berdasarkan Lotre di kelurahan
Pajang pada tahun 1951-1952?
3. Bagaimana proses kepemilikan tanah Lotre di kelurahan Pajang tahun 1953-
1972?
5 Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarni, loc.cit., hlm. 83.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Untuk mengetahui stuktur pemilikan tanah di kelurahan Pajang sebelum tahun
1951.
2. Untuk mengetahui sistem pembagian tanah Negara berdasarkan Lotre di
kelurahan Pajang tahuan 1951-1952.
3. Untuk mengetahui proses kepemilikan tanah Lotre di kelurahan Pajang tahun
1953-1972.
D. Manfaat Penelitian
Kajian tentang Tanah Lotre di Kelurahan pajang Surakarta tahun 1951-1972
dalam tinjauan historis dan sosiologis diharapkan mampu memberikan sebuah
manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan mengenai kondisi
sosial ekonomi masyarakat pada masa-masa pengupayaan untuk memperoleh
tanah pada masa pasca kemerdekan dan pasca mendapatkan tanah tersebut.
Penelitian ini diharapkan juga mampu memberi manfaat bagi pembaca untuk
memahami proses pengelolaan tanah serta cara mendapatkan tanah pada masa
pasca kemerdekaan, pada saat itu bangsa Indonesia sedang dalam masa
pembangunan karena keadaan ekonomi sedang memburuk.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
2. Manfaat Praktis
Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menambah dan melengkapi kajian
pengetahuan dalam ilmu sejarah terutama kajian pengelolaan tanah. Selain itu,
hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dalam
menjalankan kebijakan untuk melangsungkan suatu usaha berkaitan dengan
penyesuaian terhadap keadaan-keadaan kurang mendukung yang berlangsung
pada saat-saat tertentu.
E. Kajian Pustaka
Boedi Harsono dalam bukunya Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan
Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaanya,(1999). Salah satu bab
membahas tentang hak-hak konversi, pada masa kolonial terdapat sebuah lembaga
tentang Konversi yang berlaku di Keresidenan Surakarta dan daerah Istimewa
Yogyakarata. Konversi pada saat itu, yaitu tanah milik raja berubah kepemilikan
menjadi milik kolonial, sehingga raja tidak berhak atas tanah mereka, sedangkan
tanah tersebut disewakan kepada pengusaha oleh pemerintah kolonial.
Setelah kemerdekaan pada tahun 1948 lembaga konversi yang dibuat oleh
pemerintah kolonial dihapus, karena sangat merugikan rakyat. Kemudian pada saat
itu juga pemerintah mengelurkan Undang-Undang no.13 tahun 1948, yang mencabut
ketentuan-ketentuan VGR (Vorstenlandsch Grondhuur Reglement) yang mengatur
hak-hak konversi tersebur. Tahun 1950 dikeluarkan Undang-Undang No.5 tahun
1950 yang memuat ketentuan-ketentuan tambahan dan pelaksana Undang-undang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
No.13 tahun 1948. Sementara tanah-tanah bekas konversi di keresidenan Surakarta,
baik yang merupakan tanah pegunungan maupun tanah datar sudah digarap atau
dipakai rakyat untuk usaha pertanian dan perumahan. Pemakian tanah-tanah tersebut
dilakukan atas persetujuan dari pemerintah setempat. Buku ini sebagai pedoman
untuk membahas tentang konversi dan hak konversi di Surakarta selain itu juga untuk
pembahasan hak-hak tanah yang dibuat ketika masa Kolonial Belanda.
Sediono M.P Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi dalam bukunya Dua Abad
Penguasaan Tanah: Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa Ke Masa,
(1984) membahas tentang stuktur penguasaan tanah dan stuktur sosial di pedesan
Jawa, pengolahan tanah di Jawa yang masih menggunakan tradisi. Dalam pemilikan
tanah ada beberapa bentuk atau status penguasan tanah tradisioanal yaitu:
a. Tanah yasan, yasa atau yoso, yaitu tanah dimana hak seseorang atas tanah itu
berasal dari kenyataan bahwa dia atau leluhurnya lah yang pertama-tama
membuka atau mengerjakan tanah tersebut. Hak atas tanah ini memperoleh status
legal dalam UUPA 1960 sebagai tanah milik
b. Tanah norowito, gogolan, pekulen playangan, kasikep, dan sejenisnya, adalah
tanah pertanian milik bersama, yang para warga desa dapat memperoleh bagian
untuk digarap, baik secara bergilir maupun secara tetap.
c. Tanah titisara, bondo desa, kas desa, adalah tanah milik desa yang biasanya
disewakan, dengan cara dilelang kepada siapa yang mau menggarap.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
d. Tanah bengkok, yaitu tanah milik desa yang diperuntukkan bagi pejabat desa
terutama lurah yang dianggap sebagai gaji selama meraka memduduki jabatan
tersebut.
Pembagian tanah tersebut masih berlaku dan mulai mengalami sedikit perubahan
pasca kemerdekaan. Buku ini sebagai pedoman untuk membahas tentang peguasaan
tanah di daerah Pajang yang merupakan daerah dari kasunanan Surakarta pada masa
itu. Teori-teori yang ada di dalam buku ini juga digunakan dalam kaitannya dengan
masalah penguasaan tanah di Surakarta yang khususnya di daerah Pajang.
Sediono M.P Tjondronegoro dalam bukunya yang berjudul Keping-keping
Sosiologi dari Pedesaan dalam salah satu babnya membahas tentang masalah tanah
dalam tinjuan sosiologis, pemecahan masalah-masalah tanah bila ditinjau dari sudut
pandang sosiologis berarti menganalisa antar-hubungan golongan-golongan beserta
usaha-usaha merubah antar-hubungan lapisan-lapisan masyarakat yang meguasai aset
tanah, sehingga terjadi lapisan yang kuat dan lemah.
Masalah tanah tidak terlepas dari faktor politik, ekonomi dan sosial. Tinjuan
sosiologis lebih menyoroti situasi-situasi konflik dalam pertanahan, bukan
berdasarkan pada kekuatan tetapi lebih pada kepentingan ekonomi. Di dalam buku ini
ada pembahasan tentang tanah negara yang tidak dapat diperjual belikan, namun
dikonversikan oleh negara menjadi tanah pribadi atau badan hukum, sehingga ada
keterkaitannya dengan pembagian tanah secara lotre. Tanah lotre merupakan tanah
negara yang diberikan kepada rakyat berbadan hokum bisa diperjual-belikan. Teori-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
teori dalam buku ini digunakan untuk membahas dampak setelah adanya pembagian
tanah secara lotre.
Endang Suhendar dan Yohana Budi Winartni dalam bukunya yang berjudul
Petani dan Konflik Agraria (1998), menjelaskan masalah pengolahan tanah pasca
kemerdekaan. Pada saat ini masalah tanah sangat dipengaruhi oleh kebijakan
landreform yang dilaksanakan sebagai upaya untuk mengatasi masalah ketimpangan
yang terjadi karena perbedaan penguasaan tanah.
UUPA 1960 yang mengatur tentang masalah pengelolaan tanah merupakan
perbaikan dari Undang-Undang Agraria Tahun 1870. UUPA 1960 secara jelas ingin
melakukan pembaharuan yang memberikan kemakmuran kepada rakyat Indonesia
yang sebagian besar kehidupannya tergantung pada sektor agraria. Akan tetapi,
adanya landreform juga menimbulkan banyak konflik pada masa Orde Baru yang
memfokuskan kebijakannya pada sektor pembangunan. Buku ini sebagian isinya
membahas tentang permasalahan agraria dari tahun 1945-1965. Buku ini sebagai
pedoman untuk pembahasan kondisi tanah lotre ketika adanya perubahan sistem
agraria dan munculnya UUPA serta sebagai pedoman tentang konflik agraria setelah
tahun 1965.
Panjang Jatmika dalam skripsi yang berjudul: “Penguasaan Tanah dan Pajak
(Studi Kajian Sosial Ekonomi di Daerah Kabonangan Kasultanan Yogykarata Pada
Tiga Dasawarsa Awal Abad XX)”( 2002), menjelaskan sistem pemilikan tanah yang
lebih menguatkan hak penduduk terhadap tanah yang terjadi pada abad XX melalui
apa yang disebut sebagai Reorganisasi Agraria oleh Pemerintah Belanda. Sistem telah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
merombak sistem kepemilikan tanah yang semula merupakan milik raja dibagikan
dan secara permanen menjadi milik rakyat. Namun perbaikan ini kemudian menjadi
sia-sia ketika politik eksploitasi Kolonial dengan sengaja menciptakan apa yang
disebut sebagai Hak Konversi untuk tetap menguasai tanah rakyat tetapi tetap
membebankan pajak tanah kepada rakyat. Akibatnya adalah rakyat semakin
mendapatkan tekanan yang lebih besar yaitu kegagalan dalam mendapatkan tanah
secara permanen dan masih ditambah lagi dengan adanya pembayaran pajak terhadap
tanah yang tidak pernah dimiliki. Teori dalam skripsi ini digunakan dalam
pembahasan tentang penguasaan tanah di Surakarta dan khususnya di Pajang tentang
proses pajak yang terjadi pada saat penguasaan tanah masa Kolonial Belanda.
R. A Pri Eny dalam skripsinya yang berjudul: “Perubahan Status Pemilikan
Tanah Milik Mangkunegaran sampai dengan Pelaksanaan UUPA 1960” (1988),
menjelaskan tentang sistem penguasaan tanah di Mangkunegaran masa kolonial dari
masa sebelum reorganisasi tanah sampai masa reorganisasi tanah di Mangkunegaran.
Penguasaan tanah di Mangkunegaran masa sebelum reorganisasi yaitu ketika pada
masa feodalisme terjadi sistem tuan tanah. Raja sebagai penguasa atas tanah maka
berlakunya sistem apanage yang bersifat kebekelan. Pada masa reorganisasi sistem
apanage atau sistem kebekelan mulai dihapuskan, dengan seperti itu rakyat
mendapatkan kejelasan tentang kepemilikan tanah. walaupun itu semua masih dalam
pengawasan dari pemerintah kolonial Belanda. Penguasaan tanah pada masa kolonial,
juga membahas tentang peralihan kekuasaan ketika masa kemerdekaan, ketika itu
daerah Surakarta dijadikan sebagai daerah istemewa atau swapraja. Skripsi ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
sebagai pedoman dalam pembahasan tentang pengusahan tanah di Surakarta yang
khususnya di daerah Pajang, sistem penguasaan tanahnya pun tidak jauh berbeda
dengan sistem penguasaan di Mangkunegaran dengan di Surakarta.
Christina Vivit Virtawati dalam skripsinya yang berjudul: “Sistem Persewaan
Tanah di Karesidenan Surakarta Akhir Abad XIX sampai XX”(2008), menjelaskan
tentang munculnya sistem persewaan tanah di kerisidenan Surakarta karena adanya
lahan yang subur sehingga menarik para pengusaha swasta asing untuk menanamkan
modal di kerisidenan Surakarta. Pelaksanaan sistem persewaan tanah di kerisidenan
Surakarta dikelola oleh masyarakat pribumi di bawah kekuasaan seorang bekel dan
penguasa pribumi, calon penyewa harus mempunyai syarat-syarat yang ada untuk
memperoleh tanah sewaan dengan mudah dan lancar yang salah satunya dengan
adanya uang sewa tanah yang besar kecilnya disepakati oleh kedua belah. Dalam
sistem sewa tanah diatur oleh undang-undang agraria tahun 1870, dengan undang-
undang tersebut diharapkan dapat mengatur dan menjamin kelancaran proses sistem
persewaan tanah di Kerisidenan Surakarta.
Skripsi ini sebagai pedoman dalam pembahasan tentang kepemilikan tanah di
Surakarta terutama di daerah Pajang, karena dalam sistem penguasaan tanah di
dalamnya juga menjelaskan tentang sistem persewaan tanah yang ada di Surakarta.
Dalam skripsi ini juga dijelaskan bagaimana sistem persewaan tanah yang diterapkan
Pemerintah Kolonial Belanda di Surakarta pada masa reorganisasi penguasaan tanah.
Kartosapotra, G. dkk. dalam bukunya Hukum Tanah Jaminan UUPA bagi
Keberhasilan Pendayagunaan Tanah yang terbit tahun 1985, menjelaskan tentang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
pendayagunaan tanah untuk masyarakat. Tanah sangat penting bagi manusia karena
manusia tidak bisa dipisahkan dari tanah. Mereka hidup dari tanah dan memperoleh
bahan pangan dengan cara menggunakan tanah. Tanah juga memiliki fungsi sosial
sehingga mengharuskan adanya keseimbangan antara individu dengan kepentingan
masyarakat dan negara dalam pendayagunaan tanah. Selain itu buku ini juga
menyajikan pembahasan tentang hukum-hukum pemilikan dan pendayagunan tanah.
Penguasaan dan penggunaan tanah diatur agar tidak terjadi kepemilikan tanah secara
bebas, karena sudah ada dalam perundang- undangan yang mengatur tentang tanah.
Imam Soetiknjo dalam bukunya yang berjudul Politik Agraria Nasional
(1983), membahas tentang hubungan manusia dengan tanah berdasarkan Pancasila
yang dijelmakan dalam UUPA, dalam hal ini ialah adanya hubungan yang bersifat
abadi antara bangsa Indonesia dengan bumi di wilayah Indonesia yang merupakan
karunia Tuhan Yang Maha Esa yang mewajibkan siapa saja yang mempunyai
hubungan hukum dengan tanah untuk memelihara dan menjaganya. Dalam buku ini
juga menjelaskan proses pembentukan dari UUPA dan kerjasama Pemerintah dengan
UGM, buku sebagai pedoman tentang penguasaan tanah lotre kaitannya dengan
adanya UUPA 1960 dan berlakunya UUPA tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
F. Metode Penelitian
Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode
sejarah, suatu metode yang digunakan untuk menguji dan menganalisa secara kritis
rekaman dan peninggalan masa lalu—lisan maupun tulisan--dan merekontruksi
secara imajinatif masa lalu berdasarkan data yang diperoleh. 6
Pendapat lain
mengatakan bahwa metode sejarah adalah proses mengumpulkan, menguji, dan
menganalisa secara kritis rekaman-rekaman peninggalan masa lampau serta usaha
melakukan sintesa terhadap data masa lampau tersebut menjadi kisah sejarah.7
Penulisan sejarah ini diharapkan dapat memberikan keterangan mengenai
kejadian yang ada dengan mengkaji sebab-sebabnya, kondisi lingkungannya, konteks
sosial-kulturalnya, atau dengan menganalisis secara mendalam tentang faktor-faktor
kausal, kondisional, kontekstual serta unsur-unsur yang merupakan komponen dan
eksponen dari sejarah tentang pembagian tanah kepada rakyat yang terjadi di
Surakarta khususnya di Kelurahan Pajang.
Pendekatan yang dipakai adalah multidimensional yang dapat digunakan
untuk meneropong segi-segi sosial, budaya, dan politik permasalahan yang dikaji.
Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi dan politik guna mengungkapkan
kondisi masyarakat Pajang dalam memperoleh tanah secara sistem Lotre tahun 1951-
1972.
6 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993), hal. 2. 7 Louis Goutschalk, Mengerti Sejarah (edisi terjemahan oleh Nugroho
Notosusanto), (Jakarta: UI Press, 1975), hal. 32.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Metode sejarah yang digunakan mencakup empat langkah, yaitu heuristik,
kritik sumber, interpretasi, dan historiografi. Langkah pertama yaitu heuristik,
mencari dan menemukan sumber data dokumen di beberapa lembaga, yaitu Badan
Pertanahan Nasional Surakarta, Arsip Nasional, Perpustakaan Nasional, dan
beberapa pusat dokumen lainnya seperti monumen press, perpusatakaan keraton
Surakarta, instansi Pemerintah yaitu kelurahan Pajang serta penerima tanah tersebut.
Di samping itu, metode oral history dan life history juga sangat diperlukan untuk
mengungkap kejadian masa lalu ditingkat individu, berkaitan dengan pengalaman
dalam memperoleh tanah secara sistem Lotre di kelurahan Pajang.8
Wawancara mendalam dilakukan secara bebas dan terbuka terhadap sejumlah
informan yang dipilih secara representatif, yaitu para narasumber yang dianggap
mampu memberikan penjelasan tentang sistem Lotre sesuai keperluan penelitian ini.
Para narasumber tersebut adalah masyarakat yang mendapatakan tanah lotre dan
informan lain yang secara langsung bisa menambah perbendaraan data dalam
penelitian ini.
Penelitian ini dengan studi pustaka9 juga cukup penting guna melengkapi data
yang diperoleh. Studi pustaka ini berupa buku-buku yang dapat memperkaya data
yang tidak diperoleh melalui pengkajian secara wawancara ataupun bahan-bahan
8 Kasijanto, et. al., Pedoman Penulisan Sejarah Lokal, (Jakarta: Kementerian
Kebudayaan dan Pariwisata, 2005), hal. 26. 9 Studi pustaka merupakan teknik pengumpulan data dengan memanfaatkan
literatur dan referensi sebagai bahan informasi untuk mendapatkan teori dan data baru
dalam menganalisa masalah. (Saifuddin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001), hal. 37.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
dokumen. Adapun buku-buku yang digunakan dalam penulisan ini diperoleh dari
perpustakaan Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Fakultas Sastra dan Seni
Rupa, Perpustakaan Ilmu Sejarah.
Setelah menemukan berbagai sumber tertulis dan sumber lisan, langkah
berikutnya adalah mengkritik sumber-sumber tersebut, baik menyangkut validitas
maupun kredibilitasnya, dengan membandingkan sumber satu dengan lainnya.
Langkah berikutnya setelah dilakukan kritik adalah menganalisis dan
menginterpretasi data-data yang terkumpul untuk menemukan makna sejarah. Tahap
interpretasi ini akan menghasilkan fakta dari data sumber yang akan terekam dalam
pemikiran tentang informasi yang terkandung di dalamnya.
Proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari
berbagai sumber yaitu dari wawancara mendalam, dokumen, tulisan dalam media
massa dan foto.10
Setelah berhasil mengumpulkan fakta melalui proses analisis,
dilakukan reduksi data yaitu membuat abstraksi, menyusunnya dalam satuan-satuan,
kemudian dikategorisasikan. Selanjutnya menuangkan ide-ide yang diperolehnya
dalam bentuk fakta itu pada suatu karya penulisan sejarah ilmiah. Pada tahap ini,
dituntut untuk menganalisis lebih lanjut dengan berbagai teori dan pendekatan yang
diambil dari ilmu bantu terkait. Tahap ini dinamakan dengan istilah interpretasi.
Langkah terakhir dalam metode sejarah adalah menyusun laporan dalam bentuk
narasi yang sifatnya deskriptif maupun analitis.
10
Kasijanto, et. al., op. cit., hal. 33-34.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dimaksudkan untuk lebih memudahkan memahami dan
mempelajari skripsi ini, yang akan diuraikan dalam bab-bab secara berurutan.
Bab I merupakan Pendahuluan, berisi Latar Belakang, Perumusan Masalah,
Tujuan, Tinjauan Pustaka, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan
Bab II dalam bab ini menguraikan stuktur pemilikan tanah di kelurahan Pajang
sebelun tahun 1951 meliputi: kondisi geografis, penguasaan tanah di Pajang.
Bab III dalam bab ini menguraikan pembagian tanah negara berdasarkan lotre di
kelurahan Pajang tahun 1951-1952 meliputi: konversi Tanah Negara menjadi Tanah
milik individual, Proses pembagian tanah secara Lotre di Kelurahan Pajang, dampak
yang terjadi terhadap masyarakat yang mendapatkan tanah Lotre.
Bab IV dalam bab ini menguraikan tentang proses kepemilikan tanah lotre di
kelurahan Pajang tahun 1953-1972 meliputi, Pemilikan Tanah Lotre Tahun 1953
Hingga 1972 Di Kelurahan Pajang, Jual-Beli Tanah Lotre .
Baba V dalam bab ini merupakan Penutup yang berisi kesimpulan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
BAB II
STUKTUR PEMILIKAN TANAH DI KELURAHAN PAJANG
SEBELUM TAHUN 1951
A. Kondisi Geografis Kelurahan Pajang
Kelurahan Pajang merupakan salah satu kelurahan yang secara administratif
termasuk dalam Kecamatan Laweyan. Kelurahan pajang termasuk kelurahan yang
memiliki nilai sejarah dimana banyak nama-nama kampung yang diambil nama kerajaan
pajang. Sebelum kemerdekaan daerah Pajang termasuk ke dalam wilayah Kraton
Surakarta. Nama Pajang sudah ada sejak zaman Majapahit atau sejak abad XIV. Bukti
bahwa Pajang merupakan bekas ibukota Kerajaan Pajang (1568-1586) ialah: Adanya
tempat yang bernama Kadipaten yang dahulunya digunakan sebagai tempat tinggal
Pangeran Adipati Anom (putra mahkota raja), yaitu Pangeran Benowo. Ia tidak naik tahta
sebab Sunan Kudus mengangkat Arya Pangiri (menantu Bupati Demak) sebagai
pengganti Sultan Hadiwijaya. Kampung Tegal Kembang, dahulu berfungsi sebagai
tempat menanam bunga untuk keperluan istana. Tegal Keputren, dahulu merupakan
taman istana bagi para putri raja. Tempat-tempat lain seperti: Se(n)tana, Kasatrian dan
17
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
kampung Nyaen, serta keberadaan alun-alun merupakan bukti bahwa dahulu tempat
tersebut merupakan tempat-tempat yang penting.1
Terdapat beberapa sejarah kampung di kelurahan Pajang antara lain:
Ngendraprastha, nama ini diambil dari kisah pewayangan, sebuah tempat bagian dari
Astinapura yang ditempati Pandawa. Dahulu K.R.A.A. Sasradiningrat I, patih
Pakubuwana III tinggal ditempat ini.2 Jegon dinamai kampong Jegon karena disana
terdapat makam kyai Jegon. Songgalan, Ada kyai songgalan sehingga kampung tersebut
dinamakan songgalan dan sebagai cikal bakal kampung itu. Sidodadi kampung ini adalah
kamupung baru (zaman kerajaan pajang belum ada ). Semula daerah tegalan sehingga
sebagian besar masyrakatanya menanam tanaman non-padi. Tanah tersbut merupakan
lahan pemerintah atau juga disebut sebagai tanah kas Negara.
Kelurahan Pajang merupakan bagian dari daerah Surakarta, sehingga garis bujur
dan garis lintang tidak berbeda. Menurut astronomi, Karesidenan Surakarta terletak pada
7’4’0 Lintang Utara , 8’10’0 Lintang Selatan, 110’27’0’ Bujur Barat , 111’20’0’ Bujur
Timur . Batas-batas geografis wilayah Kelurahan Pajang sebagai berikut: Sebelah barat
berbatasan dengan Kelurahan Makamhaji. Sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan
Sondakan dan Kelurahan Laweyan. Sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan
Banaran. Sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Jajar dan Kelurahan Kerten.
1 Radjiman, Warto dkk, Toponomi Kota Surakarta dari Awal Berdirinya
Kasunanan Surakarta Hadiningrat. (Surakarta: 2002), hlm. 123. 2 Ibid., hlm.90
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Daerah ini beriklim tropis dan mempunyai dua musim yaitu kemarau dan
penghujan. Secara topografi, Kelurahan Pajang teletak pada ketinggian sekitar 92 m dari
permukaan air laut. Luas wilayah Kelurahan Pajang adalah 155,5 ha. Kelurahan Pajang
berjarak 1,5 km dari pusat pemerintahan Kecamatan Laweyan.
Pajang termasuk dataran rendah dengan curah hujan 5,4 mm/tahun dengan suhu
rata-rata 270C.
3 Melihat datarnya topografi wilayah Pajang, maka bentuk dari perumahan
di Kelurahan Pajang pada umumnya terlihat berkelompok atau berjajar mengikuti ruas
jalan. Pengelompokan rumah dengan pola demikian membentuk sebuah perkampungan.
Secara administratif, Kelurahan Pajang terdiri dari 16 Rukun Warga (RW) dan terdiri dari
86 Rukun Tetangga (RT).
Kondisi Pajang sebagaimana yang diuraikan sebelumnya berakibat pada
pertumbuhan produktivitas penduduk guna kelancaran pembangunan masyarakat
Kelurahan Pajang. Pertambahan jumlah penduduk di satu pihak merupakan tambahan
suplai tenaga kerja. Di sisi lain, bertambahnya jumlah penduduk dihadapkan pada
masalah ketidakseimbangan antara tenaga kerja dengan keterbatasan lahan.
Masyarakat di Kelurahan Pajang merupakan masyarakat majemuk, sehingga di
sana terdapat beragam agama serta kultur masyarakat. Implikasi dari keberagaman
tersebut ialah keberagaman sarana peribadatan. Jumlah sarana peribadatan di suatu
daerah merupakan tolok ukur kemajuan pembangunan budi pekerti dan nilai spritual.
3 http://www.google/demografi kelurahan pajang, (diakses pada tanggal 13
September 2011).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Kelurahan Pajang memiliki masjid sejumlah 21 bangunan, 3 mushola, 3 gereja, dan 3
vihara.
B. Struktur Penguasaan Tanah di Pajang
1. Sistem Penguasaan Tanah pada Masa Kerajaan hingga Kolonial Belanda
Sistem penguasaan tanah secara tradisional menunjukkan bahwa raja merupakan
pemilik mutlak atas tanah yang berada dalam wilayah kekuasaannya. Rakyat yang
menempati tanah raja tidak mempunyai hak milik atas tanah sama sekali. Status mereka
semata-mata ialah sekedar sebagai penumpang. Mereka diharuskan menjalankan berbagai
kewajiban yang diperintahkan oleh raja.
Kewajiban-kewajiban yang harus dijalankan oleh rakyat yang menumpang pada
tanah raja di antaranya ialah: Pertama, membayar pajak atas tanah yang dikerjakan
dengan perjanjian apabila tanah yang diolah bergantung pada musim hujan, maka pajak
tanah yang harus diserahkan kepada raja adalah ½ dari hasil panen. Apabila sawah tanah
hujan itu merupakan tanah panganga (ladang), maka pajak yang diserahkan adalah 1/3
dari hasil panen. Apabila ada sawah yang hasilnya minim sekali, maka pajak yang
diserahkan sebesar ¼ atau 1/5 dari hasil panen.4 Tiap 1 bau dari 5 bau tanah yang digarap
rakyat dibebaskan dari pajak. Bagian 1 bau ini merupakan tanah lungguh resmi bekel.
Selanjutnya 4 bau sisanya dikerjakan oleh rakyat. Setiap kepala keluarga menggarap
4 Pringgodigdo, Geschiedenis der Ondernemingen van het Mangkoenogorosche
Rijk, terjemah M. Marjono Tareono (lahir serta Timbulnya Kerajaan Mangkunegaran),
(Surakarta: Reksopustoko Mangkunegaran, 1950), hlm. 5.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
tanah seluas 1 bau. Sebagian dari hasil tanah itu harus diserahkan kepada raja melalui
bekel sebagai penarik pajak.
Kedua, menyerahkan atau membayar tambahan yang namanya taker turun
(permintaan para patuh), raja pundut (permintaan raja), dan uba rampe (perlengkapan).
Tiga hal itu dianggap sebagai tambahan atas pajak dengan ketentuan tidak melebihi 75%
dari pajak yang diserahkan kepada raja. Ketiga, rakyat yang menumpang di tanah itu
diwajibkan menjalankan rodi (hereendiensten) yang disebut bau suku, yang dilaksanakan
hanya pada hari-hari besar, misalnya Grebeg Maulud dan Grebeg Puasa. Selain itu pula,
rakyat masih melaksanakan tugas desa, seperti memelihara jalan desa, bendungan dan
jembatan.5 Selain tugas-tugas di atas, masih diberlakukan pula kerja wajib bagi rakyat.
Kerja wajib dibedakan menjadi tiga, yaitu:
a. Kerigan (desa diensten) untuk perbaikan jalan, pematang, jembatan, dll. Kerigan
dilakukan lima sekali selama lima jam, sedangkan dines kemit yaitu menjaga rumah
penyewa tanah yang dilakukan seminggu sekali.
b. Gugur gunung yaitu berupa perbaikan infrastruktur desa karena banjir dan gangguan
alam. Gugur gunung tidak dapat dipastikan kapan dilakukan, tetapi sekurang-
kurangnya dikerjakan sebulan sekali.
c. Kerigaji (heerendiensten) yaitu kerja wajib untuk raja dan patuh.
5 Adhi Agus Wijayanto, “Serat Nanas Mojogedang dan Perubahan Sosial
Ekonomi Masyarakat Tahun 1922-1937”, Diakronik, Vol.3, No. IV, juli 2009, Jurusan
Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, hlm.
62-63.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
d. Kerja wajib di perkebunan atau interen (cultuurdiensten). Kerja wajib ini biasanya
dilakukan pada perkebunan tebu dan kopi. Beberapa contoh ialah kerja wajib di pabrik
gula, yaitu jaga malam di gudang, jaga di kebun-kebun tebu, dan lain-lain.6
Ditinjau dari fungsinya, tanah kerajaan dibedakan menjadi dua.7 Pertama, tanah
yang menghasilkan suatu barang yang ditentukan dan diperlukan oleh istana yang terdiri
dari bumi pamajegan sebagai penghasil pajak berupa uang dan bumi pangrembe yaitu
tanah yang dimanfaatkan hasil tanamannya seperti padi dan minyak kelapa untuk
keperluan istana. Selain itu ada yang disebut sebagai bumi gladak, yaitu tanah yang
penduduknya diberi tugas dalam bidang transportasi misalnya pada waktu pesta
perkawinan, kelahiran, kematian, dan keperluan-keperluan lain. Kedua, tanah lungguh
atau apanage yaitu tanah yang dipinjamkan kepada para sentono selama mereka memiliki
hubungan kekerabatan yang dekat dengan raja. Tanah lungguh juga berfungsi sebagai
gaji untuk para pegawai istana atau narapraja.
Di bawah ini akan dijelaskan tentang macam-macam jenis tanah kerajaan, yaitu:
a. Tanah apanage
Masyarakat agraris menjadikan tanah sebagai satu-satunya sumber pendapatan. Raja
sebagai pemilik tanah kemudian memberikan tanah dengan hak meminjam kepada para
sentono dalem sesuai dengan loyalitas maupun hirarkis kekuasaan yang dipegangnya.
6 Suhartono, Apanage dan Bekel Perubahan Sosial Pedesaan Surakarta 1830-
1920, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), hlm. 41-42.
7 Suhartono., op.cit., hlm 35.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Tanah-tanah yang dibagikan sebagai tanah gaji inilah yang kemudian disebut sebagai
tanah lungguh atau tanah apanage.8 Kata lungguh di sini menunjukan kedudukan atau
status di dalam birokrasi tradisional. Diangkatnya seseorang menjadi pejabat pemerintah
kerajaan berimplikasi pada meningkatnya kedudukan dan pemberlakuan privelege atau
hak istimewa yang berlaku dalam sistem lungguh.
Tanah lungguh terdiri dari lahan-lahan yang dimanfaatkan sebagai lahan pertanian.
Seorang penduduk desa dapat memperoleh satu patok (kurang lebih 3,5 ha) untuk
digarap.9 Luas tanah apanage yang diberikan menunjukkan tinggi rendahnya kedudukan
dari pemerintah kerajaan dan kedudukan tanah tersebut bersifat gadhuhan atau pinjaman.
Setelah masa jabatan seseorang tersebut habis, maka tanah gadhuhan tersebut
dikembalikan kepada istana. Sementara jika jabatan tersebut kosong dan belum ada
penggantinya, maka tanah apanage diurus oleh kepatihan sebagai tanah gatungan.
Luas tanah apanage dihitung menurut cacah, yaitu berdasarkan jumlah penduduk
yang tinggal sebagai pembayar pajak. Seberapa pun luas tanah tidak akan berfungsi tanpa
keberadaan mereka. Sebagai gambaran, jika seorang bupati mendapatkan 1000 karya
berarti ia mendapatkan tenaga yang terdiri 1000 sikep. Sikep di sini berkedudukan
sebagai petani pemilik sawah dan pekarangan. Semakin banyak sikep yang ada di
8 Rouffaer., “Vorstenlanden Adatrechtsbund XXXIV”, terjemahan M. Husodo,
(Surakarta: Rekso Pustoko pemerintah Swapraja, 1987). hlm 11.
9 Sediono M.P Tjondronegoro dan Gunawan Wiradi., Dua Abad Penguasaan
Tanah Pola Penguasaan Tanah Pertanian di Jawa dari Masa ke Masa, (Jakarta: PT
Gramedia, 1984), hlm. 150.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
wilayah bupati, kekuasan yang dimiliki bupati tersebut semakin besar. Untuk menunjang
keberhasilan pengolahan suatu daerah apanage diperlukan keberadaan cacah serta
diperlukan orang yang mengorganisasikan para cacah tersebut. Untuk kepentingan itulah
maka seorang lurah patuh kemudian mengangkat bekel sebagai wakilnya yang
mengkoordinasikan para cacah tersebut. Bekel bertugas sebagai pengumpul pajak dari
para sikepnya. Selain itu bekel juga berfungsi sebagi perantara antara patuh dengan para
sikepnya. Sebagai imbalan atas pekerjaan tersebut, seorang bekel berhak mendapat 1/5
bagian dari hasil tanah daerah kekuasaannya, dan 2/5 bagian untuk raja atau patuh dan
2/5 bagian yang lain untuk sikep yang menggarap tanah tersebut.10
b. Tanah pangrembe
Kasunanan Surakarta merupakan kerajaan yang terletak di pedalaman dengan basis
kehidupan masyarakat yang bersifat agraris. Konsep tradisional ini tidak dapat dipisahkan
dari tanah. Masyarakat tradisional menganggap raja sebagai pemilik seluruh tanah
kerajaan. Tanah merupakan sarana legitimasi kekuasan, karena penguasaan tanah yang
luas merupakan kewibawaan serta kekayaan raja. Di samping itu tanah merupakan sarana
ekonomi yang menunjang pemenuhan kebutuhan kerajaan dengan cara memanfaatkan
hasil alam. Bagi Kasunanan, kedudukan sebagai raja menempatkan penguasa itu sebagai
pemilik tunggal tanah kerajaan sehingga raja memiliki hak istimewa terhadap tanah. Raja
10 Panjang Jatmika, “Penguasaan Tanah dan Pajak (Studi Kajian Sosial Ekonomi
di Daerah Kabonangan Kasultanan Yogyakarta Pada Tiga Dasawarsa Awal Abad XX).
Skripsi, Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa. UNS, 2002, hlm. 20-21.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
sebagai pengelola kerajaan dan kehidupan istana memerlukan tanah khusus yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan keluarganya. Raja harus
membiayai kehidupan pribadi dan keluarga. Guna mencukupi semua itu, raja harus
memiliki sumber penghasilan yang besar. Tanah khusus yang menjadi milik raja untuk
rumah tangganya inilah yang disebut sebagai tanah pangrembe. Tanah ini menghasilkan
bahan pangan, kudapan dan bahan-bahan yang diperlukan istana. Raja menyerahkan
penggarapan tanah itu kepada bekel. Khusus untuk desa-desa yang cukup luas, para
bekel ada di bawah pengawasan demang.
Setelah Perjanjian Giyanti tahun 1755, Surakarta atau Kasunanan terikat kontrak-
kontrak dengan Gubernemen sebagai bagian dari Vorstenlanden.11
Pajang merupakan
bagian dari daerah Surakarta. Sebelum kemerdekaan, Pajang merupakan kekuasaan dari
Kraton Surakarta. Berhubung Pajang merupakan bagian dari Kraton Surakarta, maka
penguasaan tanah di Pajang tidak jauh berbeda dengan penguasaan di Surakarta.
Penguasaan tanah pada masa kerajaan tradisional di bawah kekuasaan Kasunanan
menempatkan raja sebagai pemilik seluruh tanah kerajaan dengan memberlakukan tanah
apanage sebagai gaji untuk para pegawai pemerintah kerajaan. Hak-hak penguasaan
tanah berada di bawah kekuasan raja, tetapi pengaturan penggunaan hak diserahkan
kepada pemegang lungguh. Setelah adanya campur tangan pemerintah kolonial, ditandai
dengan adanya perjanjian antara Paku Buwono II dengan pemerintah kolonial pada
tanggal 11 Desember 1749, dalam lampiran 6a termuat pernyataan sebagai berikut:
11
Suhartono., op.cit., hlm. 23.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
“Punika serat prakawis denning hangutjulajaken sartta hannrahhaken
menggah karaton matawis,saking Kangdjeng Susuhunan Paku
Buwono Senopati Hangalaga Ngabdulrahman Sajidin Panatagama,
hinggih hawit saking hikang parentah kangdjeng kumpeni kang ageng
wahu, Gupernur sartta direktur hing tanah Djawi Djohan Handrajs
Baron Van Hohendoref.12
Terjemahan lampiran 6a sebagai berikut: surat perjanjian ini menyatakan tentang
pelepasaan sebagian Pemerintah Kraton dari Kanjeng Susuhunan Paku Buwono Senopati
Ngalaga Ngabdulrahman Sayidin Panatagama, yang berasal dari Pemerinth Pembesar
Kompeni, Kraton itu diserahkan kepada Gubernur Jendral Kompeni serta direktur yang
memimpin di tanah Jawa Djohan Handrajs Baron Van Hohendoref.
Adanya perjanjian tersebut mengakibatkan adanya perubahan penguasaan tanah.
Rakyat yang menempati tanah raja diwajibkan menyerahkan upeti melalui para birokrat
tradisonal. Setelah perjanjian 11 Desember 1749, beban rakyat bertambah. Mereka harus
mengeluarkan upeti kepada raja dan juga kepada pemerintah Kolonial. Adanya peraturan
tentang pertanahan dari pemerintah kolonial juga menimbulkan perubahan struktur tanah
yang semula berdasarkan adat kemudian berubah menjadi berdasarkan peraturan dari
pemerintah kolonial yang diberlakukan di Vorstenlanden, termasuk juga di Pajang.
Penguasaan tanah pada masa reorganisasi terbagi ke dalam 3 golongan, yaitu:
a. Komplek tanah dengan pajak yang berupa hasil bumi innatural (padi, kayu, dan
sebagainya) terdapat di tanah pangrembe,
b. Tanah lungguh dan apanase dari putra sentana dan pegawai praja atau orang lain, dan
12
Soekanto, Sekitar Yoyakarta 1755-1825, (Yogyakarta: Mahabarata,1952),
hlm.178
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
c. Tanah yang menghasilkan pajak dalam bentuk uang (yang disebut pajengan) rakyat
harus membayar pachtt (sewa) berupa uang.13
Mereka yang mendapat tanah lungguh ini disebut para patuh. Pengelolaan tanah
tersebut tidak dikerjakan sendiri, melainkan diserahkan kepada bekel. Para bekel ini
bertanggung jawab mengelola tanah milik para patuh dan memobilisasi tenaga kerja
petani untuk menggarap tanah. Peraturan-peraturan dalam mengatur tanah-tanah tersebut
disebut sebagai Angger gunung dan Angger Sudasa yang berasal dari Kasunanan. Para
bekel ini juga berfungsi untuk menarik pajak para petani. Tanah yang digarap oleh petani
dalam sistem apanage harus memberikan hasil kepada kerajaan untuk membantu
perekonomian kerajaan dan pemerintah Kolonial. Hasil itulah yang dinamakan pajak.
Pembayaran pajak dapat berupa uang atau barang. Pembayaran untuk bumi
pangrembe dilakukan dengan maro hasil, sedangkan pembayaran untuk bumi pamajegan
dibayar dengan uang dengan perhitungan satu real setiap jung (1 jung + f 2,80).14
Selain
pajak tersebut masih juga terdapat pajak-pajak lain yang diwajibkan kepada rakyat.
Posisi bekel berada pada jenjang paling bawah dalam hierarki feodalistik,
sehingga secara vertikal ia menampung tugas-tugas dari atas dan memberikan pelayanan
ke atas. Posisi ini memberikan keuntungan bagi para bekel. Keuntungan itu banyak
diperoleh dari sawah dengan menarik pajak yang hasilnya diperuntukkan bagi para patuh,
raja dan sebagian untuk bekel. Perhitungan sistem pajak ditentukan dengan separoh dari
13
Ibid., hlm 54. 14
Suhartono., op.cit., Hlm. 39.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
hasil tanah diserahkan kepada raja dan sebagian lagi untuk membayar pajak kepada
pemerintah kolonial serta pajak yang lain yang telah ditetapkan.
Pada masa sistem sewa tanah, awal abad 19 para raja menyewakan tanahnya
kepada orang-orang Cina dan Belanda/Eropa. Sistem sewa ini meniadakan kebebasan
rakyat karena tanah-tanah yang disewakan kepada orang Belanda dan oleh para penyewa
lainnya tersebut bukan hanya tanah yang disewakan, namun termasuk pula masyarakat
yang tinggal di atas tanah yang disewakan.
Petani merupakan seorang penggarap tanah apanage dan membagi hasil panennya
menjadi dua atau sering disebut dengan sistem maro: 2/5 bagian, 25 bagian penggarap
dan 1/5 bagian bekel. Pada setiap desa terdapat hampir 3 (tiga) sampai 7 (delapan) bekel
dan para sikep.
Sistem bagi hasil yang berlaku di Surakarta pada umumnya, pada khususnya
Pajang ialah:
1. Sistem Maro, yaitu suatu perjanjian pembagian hasil pertanian dengan perbandingan
1:1 dengan berbagai ketentuan sebagai berikut:
a. Pemaro merupakan penyerahan sejumlah uang kepada pemilik tanah atas sejumlah
tanah yang digarap dan diserahkan kepada penggarap. Sebelum tanah digarap,
penggarap tanah harus menyerahkan sebagian uang kepada pemilik tanah.
b. Pemilik tanah mendapat sewa berupa hasil sebelum diserahkan kepada penggarap dan
menerima 50% dari hasil panen, sedangkan yang 50% diberikan kepada penggarap.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
c. Pemilik tanah meminta 1/8 bagian untuk permulaan dari hasil kotor dari penggarap
tanah agar penggarap tanah memperoleh hak sepenuhnya atas tanah garapan,
sedangkan sisanya dari 1/8 dibagi rata antara pemilik tanah dan penggarap.
2. Sistem mertelu, yaitu suatu perjanjian bagi hasil dengan perbandingan 1:2 dengan
maksud pemilik tanah memperoleh 2/3 dari hasil panen, sedangkan penggarap hanya
memperoleh 1/3 bagian.
3. Sistem mrapat, yaitu suatu perjanjian bagi hasil dengan perbandingan 1:3.15
Sistem sewa ini merugikan para penggarap tanah lungguh, karena tanah ini
disewakan kepada orang asing, sehingga penggarap juga dijadikan buruh mereka, sebab
mereka menggarap tanah yang telah disewakan. Sistem sewa diterapkan di daerah
Surakarta, sehingga kondisi seperti itu membuat kedudukan rakyat semakin kecil dalam
penguasaan tanah pada masa sistem sewa tanah. Penguasaan tanah lebih didominasi oleh
para bangsa asing. Sistem agraria mengenai peraturan-peraturan tentang pertanahan
sebelum masa reorganisasi sangat tidak efektif, sehingga perlu diadakan perubahan
mengenai peraturan-peraturan tentang tanah. Oleh karena itulah, maka pemerintah
kolonial melakukan reorganisasi agraria.
Keputusan pengadaan reorganisasi baru terlaksana pada tahun 1909 setelah
melalui persiapan bertahun-tahun. Latar belakang reorganisasi agraria di Keresidenan
Surakarta dipengaruhi oleh dorongan pemerintah dan faktor yang bersifat ideologis.
15
Christina Vivit Virtawati, “Sistem Persewaan Tanah di Karesidenan Surakarta
Akhir Abad XIX sampai XX”. Skripsi, Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra dan Seni
Rupa. UNS, 2008, hlm.31.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Kedua gagasan tersebut muncul pada masa politik etis. Ketika itu ada gagasan bahwa
orang harus bebas dari keterikatan tanah dan harus ada pemisah antara orang yang
menikmati hasil tanah dan kekuasan orang-orang yang hidup dalam tanah tersebut. Hal
inilah yang mendorong pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kepastian tentang
hukum terhadap hak-hak petani dan kewajiban petani dalam pengusaan tanah. Cara
seperti itu mengoptimalkan eksploitasi terhadap tanah apanage di Surakarta.
Pada masa reorganisasi agraria, penguasaan tanah di Surakarta mengalami
perubahan. Sistem feodal dihilangakan. Tanah apanage mulai dihapuskan, sehingga ada
kepastian dalam bagi hasil modal asing. Reorganisasi agraria merupakan usaha
menempatkan sistem administrasi langsung di bawah perintah residen dan memperluas
kekuasaan serta kewibawaan kolonial Belanda. Adanya reorganisasi berakibat pada
turunnya kewibawaan Sunan. Selain mengurangi kewibawaan Sunan, pengangkatan
kepala-kepala desa berarti memperkuat pangreh praja guna mengawasi desa-desa. Untuk
itu diperlukan perubahan administrasi dan keuangan yang memisahkan antara kas
kerajaan dengan kas pribadi raja.16
Tahun 1912 mulai diadakan perubahan agraria di Surakarta yang juga mengubah
dasar-dasar yuridis yang menyebabkan adanya “Domein Verklaring “(pernyataan sebagai
hak milik) dari hukum agraria pada tanah-tanah yang langsung di bawah kekuasaan
pemerintah Hindia Belanda. Dengan dukungan peraturan yang berlaku bagi seluruh
Hindia Belanda tersebut, para raja–raja berdasarkan peraturan pemerintah
16 Suhartono., op.cit., Hlm. 95.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
(gouvernements ordonantie) memperoleh hak milik atas semua tanah yang tidak ada
pemiliknya berdasarkan hak-hak lain menurut pengertian Eropa. Keberadaan peraturan
tersebut setidaknya memberikan keuntungan kepada raja, sebab semua tanah yang tidak
digarap/ditanami menjadi milik raja.
Di Surakarta pada umumnya dan di Pajang pada khususnya, tanah merupakan
kuasa raja atau penguasa pribumi. Ternyata status demikian tidak mempunyai kepastian
hukum, dalam arti tidak ada peraturan umum mengenai status tanah itu misalnya tentang
status hukum sewa-menyewa tanah. Kepastian hukum atas tanah itu dilakukan dengan
dihapuskannya sistem feodal atas tanah, yaitu dihapuskannya tanah jabatan atau tanah
lungguh, sehingga penguasaan tanah oleh patuh hanya berstatus hak anggaduh (pinjam
sementara) telah dihapuskan dan hak tanah itu diberikan kepada petani dengan hak
andarbe (milik) secara individual.17
Dengan demikian, status penguasaan individu sudah
mulai jelas, sehingga rakyat bisa merasakan kepastian dalam penguasaan tanah walaupun
di bawah pengawasan dan aturan-aturan dari pemerintah Kolonial Belanda.
Kondisi seperti ini mulai memperjelas penguasaan tanah pada masa reorganisasi.
Sistem feodal sudah mulai dihapuskan dan milik perorangan mulai ada dalam sistem
pengusaan tanah di daerah Surakarta pada umumnya dan di Pajang pada khususnya.
Reorganisasi tanah di daerah Surakarta mengubah tatanan tentang tanah-tanah yang
diserahkan pada perkebunan asing (onderneming) maupun untuk tanah-tanah perorangan
dan untuk desa. Sejak adanya perubahan dalam bidang pertanahan, pemerintah kolonial
17 Suhartono., op.cit., Hlm. 97.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
berusaha sedapat mungkin memberikan kepastian hukum dalam masalah agrarian. Oleh
karena itu, adanya reorganisasi menghasilkan tanda bukti tertulis yang dinamakan akte
hak pakai tersebut.
Sistem persewaan tanah di Surakarta saat reorganisasi juga mengalami perubahan.
Perubahan tersebut mensyaratkan adanya 3 (tiga) hal, yaitu:
a. Subjek hukum dari perjanjian sewa tanah.
b. Objek hukum dari perjanjian.
c. Bentuk dan formalitas dari perjanjian.18
Setelah penghapusan tanah apanage, maka sistem penggajian untuk para pegawai
kerajaan juga mengalami perubahan dari tanah apanage diganti dengan gaji tunai.
Perubahan ini juga berakibat pada hilangnya peranan bekel, sehingga banyak bekel yang
dibebastugaskan, namun ada juga yang dijadikan sebagai kepala desa. Adanya
reorganisasi mengubah bentuk administrasi yaitu dibentuknya kepala desa dan bupati
yang ditunjuk oleh pemerintah Belanda dan kerajaan.
Sistem administrasi yang baru dalam pengorganisasian desa terhadap tanah bekas
dari bekel digunakan rakyat untuk ditanami tanaman pangan dan sebagai digunakan
untuk perkebunan. Jika seorang bekel meninggal dunia, maka tanah tersebut harus
dikembalikan kepada pejabat administrasi desa yang baru dan digabungkan dengan tanah
kas desa. Pamong kelurahan diberi raja berupa tanah dengan status tanah sebagai hak
18 Pri Eny, RA, “Perubahan Status Pemilikan Tanah Milik Mangkunegaran
sampai dengan Pelaksanaan UUPA 1960”. Skripsi, Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra
dan Seni Rupa. UNS, Hlm.90.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
milik. Hak milik ini merupakan hak komunal. Tanah yang masih kosong merupakan
tanah domein bebas dari raja yang tidak diserahkan kepada kelurahan-kelurahan dengan
hak milik (komunal). Tanah-tanah kosong dapat dibuka oleh rakyat untuk dimanfaatkan
sebagai lahan pertanian atau tempat tinggal. Hak tanah kosong ini masih dipertahankan
hingga sesudah reorganisasi yang kemudian disebut sebagai hak membuka tanah.
Sistem sewa tanah saat reorganisasi menimbulkan persewaan tanah yang
dilaksanakan oleh pihak perkebunan asing, dalam hal ini petani sebagai penggarap tanah
yang berkewajiban mengelola tanah dari tuan tanah. Jika para tuan tanah milik pribumi
menyewakan tanahnya kepada perkebunan asing sehingga petani yang menggarap tanah
dari tuan tanahnya tersebut juga ikut bekerja untuk perkebunan asing sebagai penyewa
tanah tersebut, kondisi ini mengakibatkan petani sangat dirugikan dan diperas tenaganya.
Reorganisasi memberikan dampak yang menyebabkan hubungan antara petani
dan kerajaan mengalami suatu perubahan. Penghapusan tanah apanage dan sistem bekel
membuat berakhirnya suatu hubungan timbal balik antara pemegang tanah lungguh
dengan bekel dan penggarap. Pada masa kerajaan hingga masa kolonial Belanda, rakyat
atau petani menjadi kaum yang tertindas dan berada pada posisi terendah dalam status
sosial penguasaan tanah di Surakarta. Namun reorganisasi tanah ini juga memperjelas
dalam hak penguasaan tanah bagi rakyat atau petani
2. Sistem Penguasaan Tanah di Pajang Pada Masa Pendudukan Jepang
Pendudukan Jepang di Indonesia tidak banyak memberikan pengaruh besar dalam
segi penguasaan tanah di Indonesia, sedang di Surakarta juga tidak banyak mengalami
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
perubahan sistem penguasaan tanah dan kepemilikan tanah. Politik agraria pada zaman
penguasaan Jepang dipusatkan pada penyediaan bahan makanan untuk perang.19
Kondisi
seperti ini membuat pemerintah mewajibkan rakyat untuk menanam bahan makan dengan
menggunakan pengetahuan dan teknik pertanian yang baru dan perluasan lahan pertanian.
Pada masa pendudukan Jepang, rakyat diwajibkan untuk menyerahkan 20% hasil
tanaman padi kepada pemerintah Jepang yang akan digunakan sebagai bekal dalam
perang. Selain itu, pemerintah Jepang juga menuntut rakyat untuk membantu Jepang
sebagai romusha. Para tenaga kerja dipaksa kerja tanpa dibayar. Untuk meningkatkan
hasil bumi, tanah pertanian harus diperluas sehingga pemerintah Jepang melakukan
pembongkaran hutan-hutan dan ondermening milik kapitalis Barat. Pemerintah Jepang
juga memasukkan tanah-tanah partikelir dalam kantor urusan tanah partikelir yang
dibentuk oleh pemerintah Jepang. Tanah partikelir yaitu tanah hak eigendom yang
mempunyai sifat dan corak yang istimewa.20
Tanah tersebut dibuat pada saat masa
pemerintah kolonial Belanda dan tanah itu tidak dihapuskan oleh pemerintah jepang.
Kondisi ini seolah-olah menyiratkan bahwa semua tanah dikuasai oleh pemerintah
Jepang dan kekuasaan tuan tanah tidak ada lagi. Hal tersebut memudahkan pemerintah
Jepang dalam pengumpulan bahan makan atau beras. Saat itu rakyat juga masih harus
melakukan kewajiban-kewajiban, yaitu dengan membayar sewa tanah dan kerja rodi.
19 Noer Fauzi, Petani dan Penguasa: Dinamika Perjalanan Politik Agraria
Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm.49.
20 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesi: Sejarah pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta : Djambatan, 1999), hlm. 96.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
Selain itu mereka juga diwajibkan wajib militer untuk membantu Jepang dalam perang.
Walaupun pemerintah telah mengubah sistem penguasaan tanah, hak-hak feodal para
tuan tanah tidak sepenuhnya hilang.
Pemerintah Jepang juga menerapkan sistem tersebut di Surakarta, namun dengan
menjalin kerjasama dengan kerajaan sehingga pengaruhnya terhadap sistem penguasaan
tanah di Surakarta tidak begitu besar. Pendudukan Jepang di Indonesia menimbulkan
kesan yang mendalam, karena penindasan Jepang melahirkan dampak yang negatif
terutama kemerosotan kehidupan dan penindasan yang kasar. Rakyat masih harus bekerja
secara keras padahal tanah-tanah mereka telah dikuasai oleh kolonial. Pengaruh terbesar
yang terasa di Pajang terjadi pada masa peralihan sistem kepenguasaan tanah dari sistem
tradisional menuju kekuasaan pemerintah kolonial.
3. Sistem Penguasaan Tanah di Pajang Setelah Kemerdekaan hingga Tahun 1950
Hampir selama dua setengah abad, Indonesia berada dalam masa feodalisme dan
kolonialisme yang membuat bangsa Indonesia berada di bawah ketertindasan dan
kemiskinan yang pada akhirnya menimbulkan gerakan nasionalisme kemerdekaan di
Indonesia. Ketika Proklamasi dibacakan oleh Soekarno pada tangal 17 Agustus 1945,
maka berdirilah suatu pemerintahan baru yang bernama Indonesia yang berbentuk
kesatuan Republik. Pada tanggal 18 Agustus 1945, dengan diberlakukannya Undang-
undang Dasar 1945 yang menjadi dasar negara ini, menunjukkan adanya perubahan untuk
membebaskan rakyat dari penindasan dan penjajahan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
Keadaan seperti ini membuat pemerintah Indonesia belum membuat Undang-
undang tentang agraria dan belum ada hukum tentang peraturan tanah/agraria, sehingga
pemerintah mengeluarkan pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyatakan, “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku,
selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.21
Namun
demikian, peraturan tersebut tetap berpedoman pada Undang-Undang Dasar 1945 di
mana untuk mensejahterakan rakyat. Sementara waktu pemerintah menggunakan aturan
dari pemerintah Hindia Belanda yang berdasarkan atas UUD 1945. Peraturan tersebut
memperjelas status hak milik rakyat yang telah diakui atau telah disahkan oleh
pemerintah, sehingga rakyat dapat menikmati tanah-tanah mereka sendiri yang selama ini
telah diambil oleh para penjajah dan rakyat hanya diperbolehkan menyewa kepada
pemerintah kolonial Belanda atau tuan tanah.
Proklamasi kemerdekaan juga disambut dengan baik oleh penduduk di Surakarta
dan Kasunanan, sehingga pemerintah juga memikirkan kondisi kerajaan karena di
Indonsia terdapat banyak kerajaan dan salah satunya Kasunanan Surakarta. Setelah
Indonesia merdeka, para petani berkemungkinan menduduki kembali tanah-tanah
perkebunan Belanda yang telah ditinggal. Tanah-tanah perkebunan yang terlantar
diduduki oleh petani, karena selama ini mereka tidak bisa merasakan tanah mereka
sendiri yang dikuasai oleh Belanda. Sebagai gambaran, tanah-tanah yang diduduki rakyat
meliputi:
21 Endang Suhendar dan Yohana Budi Winarani, Petani dan Konflik Agraria,
(Bandung: Yayasan Akatiga, 1997), hlm.77.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
Table 1. Pendudukan Tanah Perkebunan Oleh Rakyat.
Daerah /wilayah Luas yang diduduki rakyat Jumlah penduduk
Malang
Kediri
Surakarta
20.000 ha
23.000 ha
14.000 ha
8.000 orang
13.000 orang
7 orang
Sumber: Noer Fauzi, Petani dan Penguasa, Dinamika Perjalanan Politik Agraria
Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 56.
Data di atas menunjukkan adanya pendudukan tanah-tanah milik asing atau tanah-
tanah perkebunan milik pemerintah kolonial Belanda di Jawa oleh rakyat setelah
kemerdekaan, tak terkecuali juga apa yang terjadi di Surakarta walaupun jumlahnya tidak
sebanyak seperti yang terjadi di tempat-tempat lain.
Setelah rencana Undang-Undang Dasar 1945 disahkan oleh PPKI, maka secara
resmi Pemerintah Republik Indonesia mengesahkan daerah Kerajaan Surakarta sebagai
daerah Istimewa. Kemudian pada tanggal 19 Agustus 1945 ditetapkan kedudukan raja
Paku Buwono XII dan Mangkunegara VIII sebagai kepala Daerah Istimewa Surakarta.
Sehubungan dengan pengangkatan tersebut, maka pada tanggal 1 September 1945 kedua
raja di Surakarta mengeluarkan satu statement yang menyatakan bahwa:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
a. Daerah kekuasaan kerajaan Kasunanan dan Mangkunegaran dinyatakan sebagai
pemerintah daerah yang berstatus “istimewa” dan mempunyai hak otonom dalam
melaksanakan aturan-aturan pemerintah daerahnya.
b. Dengan demikian, semua urusan pemerintah dalam wilayah Surakarta pada saat itu di
tetapkan dan dipimpin oleh kepala karajaan masing-masing.
c. Dinyatakan bahwa hubungan antara pemerintah daerah Istimewa Surakarta dengan
pemerintah pusat bersifat langsung.22
Dengan adanya statement seperti itu, banyak kalangan masyarakat di Surakarta
yang pro dan kontra terhadap statement tersebut, sehingga kondisi seperti itu
menimbulkan gerakan-gerakan masyarakat yang mendukung dengan status “daerah
istimewa” dan masyarakat yang tetap menginginkan daerah kerajaan seperti dulu. Sejak
permulaan tahun 1946, di Surakarta timbul gerakan yang sering didengungkan sebagai
“revolusi sosial”.
Gerakan ini ada tiga macam, yaitu:
a. meminta dihapusnya Daerah Istimewa /Swapraja Surakarta.
b. meminta digantinya Raja/Susuhunan.
c. meminta perubahan-perubahan dalam peraturan Daerah Istimewa/Swapraja yang
tidak sesuai lagi dengan zamannya.23
22
Pri Eny. RA,Op.cit.,Hlm. 98. 23
Terjemahan ringkas Disertasi Soejatano Kartodirjo pada the Australia
University di Canbera oleh Muhammad Husodo Pringokusumo, Revolusi di Surakarta
tahun 1945-1950 “yang antara lain mengakibatkan lenyapnya Swapraja Kasunanan dan
Mangkunegaran”, (Rekso Pustoko Mangkunegaran, 1982), hlm. 2.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
Tiga jenis tuntutan tersebut mengakibatkan kondisi di Surakarta pada saat itu
tidak kondusif, timbul keresahan pada masyarakat di Surakarta. Menyikapi situasi seperti
itu, pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Surat Penetapan Pemerintah tanggal 15
Juli 1946 yang secara tidak langsung menghapus kekuasan keraton Kasunanan dan
Mangkunegaran. Sejalan dengan perubahan status Praja Mangkunegaran dan Kasunanan
yang tidak lagi berstatus daerah-daerah swapraja/Istimewa, maka wilayah bekas
kekuasaan dua kerajaan tradisonal itu diambil alih oleh pemerintah Republik Indonesia.
Kekuasan dua kerajaan itu tinggal di dalam keraton.
Penghapusan status Swapraja/Istimewa oleh pemerintah Republik Indonesia
mengakibatkan lahan yang kosong bekas kekuasaan kedua kerajaan dan di daerah
Surakarta termasuk Pajang, menjadi milik Negara. Status tersebut oleh Negara diubah
menjadi tanah kas Negara. Tanah kas Negara diperuntukkan bagi masyarakat setempat
untuk ditanami atau dimanfaatkan oleh masyarakat setempat yang berdekatan untuk
ditanami, namun semua itu tetap berada dalam pengawasan pemerintah. Mengenai
pemanfaatan tanah di daerah Pajang, tanah kas Negara digarap oleh masyarakat setempat
dan hasilnya dibagi secara sistem maro. Pemerintah mendapatkan ½ dari hasil panen.
Penggarap tanah kas Negara juga mendapatkan ½ bagian dari hasil panen.24
Tanah kas
Negara di Pajang yang dimanfaatkan oleh rakyat kebanyakan ditanami umbi-umbian
seperti ketela dan singkong. Selaian itu juga terdapat tanah Bengkok merupakan tanah-
24
Wawancara dengan Padmo Suproto pada tanggal 21 September 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
tanah yang dimiliki oleh kepala persekutuan atau pejabat pembesar desa baik semasa
masih aktif menjabat taupun setalah pensiun darai jabatanya.
Penguasaan tanah di Pajang oleh masyarakat pada masa kemerdekaan hingga
tahun 1950 dimanfaatkan dengan ditanami beragam jenis tanaman yang hasilnya dibagi
dengan pemerintah dengan perbandingan 50:50. Tanah kas Negara inilah yang nantinya
akan dibagikan atau dikonversikan menjadi tanah milik rakyat. Sebenarnya setelah
perubahan status dari daerah Surakarta yang awalnya sebagai daerah Swapraja atau
Daerah Istimewa, pemerintah mengkonversikan tanah-tanah menjadi tanah kas Negara
atau menjadi hak milik rakyat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
BAB III
PEMBAGIAN TANAH NEGARA BERDASARKAN LOTRE DI
KELURAHAN PAJANG TAHUN 1951-1952
A. Konversi Tanah Negara Menjadi Tanah Milik Individu
Hak milik komunal sering menyebabkan timbulnya banyak penyalahgunaan seperti
kecurangan, di dalam pembagian. Oleh karena itu, telah diusahakan untuk adanya hak
milik perorangan, lalu diadakan kesempatan untuk mengubah atau mengganti (konversi)
hak milik komunal menjadi hak milik perorangam.1 Konversi telah ada sejak masa
penguasaan pemerintah kolonial Belanda yang saat itu telah diatur dalam perundang-
undangan S. 1885 no 10 tentang conversi besluit merupakan hak milik komunal berubah
menjadi hak milik perorangan.2 Hak perorangan merupakan hak atas tanah yang dimiliki
oleh rakyat dan perubahan ini hanya untuk tanah yang terdapat hak milik komunal.
Adanya konversi di masa pemerintah Belanda terutama di Surakarta berawal ketika
abad 19 orang asing sudah mulai menamamkan modalnya dam membuat usaha di
Surakarta yang dulunya disebut sebagai vorstenlanden. Sejak itu pula mengubah sistem
1 Sudikno Mertokusumo, Perundang- Undang Agraria Indonesia, (Yogyakarta :
Liberty, 1988), hlm. 15. 2 Ibid. Istilah konversi di bidang hukum pertanahan sering kali ditemukan dalam
berbagai peraturan agraria. Konversi yang berasal dari kata conversion yang berarti
peralihan, perubahan, penggantian. Selain itu dalam arti lain yaitu perubahan dari sistem
yang sudah berubah ke sistem yang lain.
41
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
penguasaan tanah di Surakarta yaitu para raja dan pemegang apanage menyewakan tanah
kepada pengusaha-pengusaha asing untuk usaha pertanian. Perusahaan perkebunan di
daerah Surakarta terdiri dari orang-orang bermodal terutama orang asing, sehingga
Pemerintah Belanda berupaya untuk melindungi para pengusaha tersebut. Selain
mendapat perlindungan dari pemerintah Belanda mereka juga mendapatkan jaminan
memakai tanah dan mereka juga dijamin memperoleh cukup tenaga, buruh dan air bagi
usaha perkebunannya.
Sebelum adanya reorganisasi sistem kepemilikan tanah di Surakarta, para pengusaha
perkebunan hanya mempunyai hak yang dikenal dengan Landhuur reglement yang
ditetapkan dengan kroon-ordonnantien dalam S. 1906-93. Hak ini ternyata dalam
prakteknya dirasakan tidak cocok, kenyataannya hak ini hanya merupakan suatu hak-hak
pribadi dari para pengusaha-pengusaha perkebunan. Peraturan tersebut dibuat untuk
mengurangi penyalahgunaan yang akan lebih menambah beban rakyat. Walaupun sudah
ada aturan landhuur, tetap saja terjadi keburukan-keburukan dalam sistem tersebut. Para
pengusaha menginginkan suatu hak yang lebih kuat dan menguntungkan bagi mereka.
Kemudian dilaksanakan reorganisasi dalam pemilikan tanah oleh Pemerintah Kolonial
Belanda, reorganisasi ini dimaksudkan untuk menata kembali status tanah.
Peraturan tentang hak-hak bagi para pegusaha sebelumnya dirasa kurang tepat maka
pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 1918 mengeluarkan ordonansi yang mula–
mulanya diberi nama Grondhuur reglement voor de residention Surakarta en Yogyakarta
(S. 1918-20), isinya peraturan sewa menyewa tanah di daerah Surakarta dan Yogyakarta.
Pada tahun 1928 diubah namanya menjadi Vorstenlandsh Grondhuur Reglement (VGR),
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
namun tidak mengubah aturan yang telah dibuat. Penggantian dan perubahan dalam
penguasan ini yang dinamakan dengan “konversi” sedang beschikking atau keputusan
dari raja menurut Vorstenlandsh Grondhuur Reglement (VGR) tersebut disebut sebagai
Conversie Beschikking. Kemudian muncullah suatu hak yang timbul dari keputusan raja
disebut sebagai hak konversi. Maksudnya suatu hak dari seorang landbouwondernermer
(pengusaha perkebunan) atas nikmat dari tanah, buruh air yang diperlukan untuk
perusahan perkebunan. Jadi pengertian konversi dengan hak-hak konversi itu lain, berarti
maksud konversi ini merupakan suatu perubahan hak tertentu kepada suatu hak lain. Jadi
ada peralihan atau perubahan dari hak-hak atas tanah tertentu kepada hak-hak atas tanah
yang lainya.3
Tinjauan tentang hak konversi yang dilihat dari segi hukum dan sejarah, dengan
adanya hak konversi tersebut maka timbullah tentang tanah konversi. Pada hakekatnya
merupakan suatu keputusan penguasa yang saat itu dipegang oleh raja dan Kolonial
memberikan izin kepada pengusaha perkebunan untuk memakai dan mengelola tanah
tertentu. Adapun keistimewan hak konversi itu adalah:
a. Jaminan dari raja, bahwa hak tersebut akan berlangsung selama waktu lama atas tanah
yang luas dan tempatnya pun terjamin pula: secara tetap untuk berg cultures dan
secara glebagan untuk laagvlakte cultures. Bagi laagvlakte cultures ini desa
diwajibkan setiap tahun menyediakan 2/5 dari tanahnya untuk pengusaha. Diadakan
pengawasan oleh pangreh praja atas tanaman yang ditanami rakyat (macam dan waktu
3 Bachsan Mustafa, Hukum Agraria dalam Perspektif, (Bandung: Remadja Karya,
1988), hlm. 46.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
menanamnya) agar tanah yang bersangkutan dapat diserahkan pada waktunya kepada
pengusaha.
b. Hak konversi dinyatakan dengan S. 1918-21 sebagai hak yang dapat dibebani
hypotheek dan harus didaftar menurut ketentuan S. 1918-23.
c. Pengusaha mendapat jaminan atas pemakaian air yang tertentu.
d. Sebagai peraturan peralihan selama 5 tahun dijamin akan mendapat tenaga buruh.
Keistimewaan dari jaminan ini ialah, apabila sebelumnya pengusaha sendiri yang
mengatur pengarahannya, maka kerja paksa tersebut dikerahkan oleh desa dan
pangreh praja. Kelalaian dalam memenuhi kewajiban kerja tersebut dapat
mengakibatkan dicabutnya bagian tanah gogolannya bahkan dapat mengakibatkan
pula jatuhnya sanksi pidana.4
Berlakunya ketentuan konversi ini para pengusaha perkebunan di daerah Surakarta
menyesuaikan dengan ketentuan konversi tersebut. pada tahun 1940 tentang luas tanah
konversi sebagai berikut:
4 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia:Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta : Djambatan, 1999), hlm. 93-94
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
Tabel 2. Verslag Tanah Konversi di Daerah Vorstenlanden (Surakarta dan
Yogyakarta)
Daerah Tetap Glebagan
Yogyakarta 257 ha 11.428 ha
Surakarta 29.154 ha 19.146 ha
Jumlah 29.441ha 30.574 ha
Sumber: Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 1999),
hlm. 94
Pada tabel di atas dijelaskan bahwa luas tanah tetap dan tanah glebagan di
Surakarta yang dikonversikan lebih luas dibandingkan dengan daerah Yogykarta, karena
di Surakarta luas daerahnya lebih luas dibandingkan dengan daerah Yogyakarta. Luas
perkebunan di Surakarta lebih luas dibandingkan luas perkebunan di daerah Yogyakarta,
sehingga tanah-tanah yang dikonversikan lebih banyak di daerah Surakarta dibandingkan
dengan daerah Yogyakarta.
Konversi pada masa Pemerintah Belanda sebenarnya tidak berjalan dengan baik,
banyak terjadi kendala dalam pelaksanaannya. Pelaksanaan konversi tetap membuat
rakyat tidak dapat menikmati tanah mereka, karena mereka tidak memiliki hak dan
keuntungan lebih yang didapat oleh para pengusaha-pengusaha asing. Pada tahun 1942
terjadi perubahan kekuasan di Indonesia yaitu dari tangan Pemerintahan Kolonial
Belanda kepada Pemerintahan Jepang di Indonesia. Perubahan kekuasaan bukan berarti
terjadi penghapusan terhadap tanah dan hak konversi di masa penguasaan Pemerintah
Kolonial Belanda. Walaupun dalam kenyataannya selama pendudukan Jepang hak
konversi tidak berlaku.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
Masa kependudukan Jepang masalah agraria tidak mengalami perubahan yang
cukup besar termasuk juga dengan hak konversi, walaupun demikian kehidupan rakyat
tidak lebih baik. Meskipun Pemerintah Jepang tidak memberlakukan hak konversi, tapi
Pemerintah Jepang melakukan konversi yaitu mengubah perkebunan menjadi lahan
pertanian. Sebelumnya Pemerintah Jepang hanya memusatkan pada penyediaan bahan
makanan sehingga rakyat diwajibkan untuk menanam bahan makanan yang diperlukan
oleh Jepang. Hal tersebut menyebabkan perluasan lahan sehingga Pemerintah Jepang
mengubah perkebunan-perkebunan dari peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda untuk
ditanami tanaman bahan makanan.
Setelah bangsa Indonesia merdeka pemerintah mulai mengubah sistem agraria
yang ada. Perubahan sistem agraria dimulai dengan penghapusan tanah konversi dan hak
konversi. Pada tahuan 1948 dikelurkanlah undang-undang no 13 yang mencabut
ketentuan-ketentuan VRG yang mengatur hak-hak konversi tersebut. Dicabutnya
ketentuan-ketentuan tentang VRG maka lembaga yang mengurusi tentang konversi
menjadi terhapuskan, tetapi untuk hak-hak konversi sendiri menurut hukum masih tetap
berlangsung. Pada tahun 1950 dikeluarkanlah Undang-Undang no. 5 yang memuat
ketentuan-ketentuan tambahan dan pelaksanaan Undang-Undang no. 13 tahun 1948.
Undang-undang no. 5 mempertegas penghapusan hak –hak konversi.
Adanya undang-undang tersebut menjadikan tanah-tanah untuk laagvlatek cultur
kembali kepada desa dan petani tidak lagi diharuskan untuk menyerahkan tanah kepada
pengusaha setiap tahun. Pengusaha hanya memperoleh tanah yang diperlukannya dengan
menyewa dari desa atau petani yang menguasainya. Tanah-tanah untuk berg cultures
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
kembali kepada negara, sebagai pengganti swapraja. Penggunaan tanah tersebut oleh
perusahaan perkebunan yang bersangkutan akan diatur undang-undang lain. Maksudnya
akan dipersamakan dengan daerah-daerah lainnya hingga sampai terbentuknya UUPA.5
Perubahan kebijakan tersebut membuat pengusaha tidak lagi mendapatkan hak-hak
konversi seperti yang didapatkan ketika masa Pemerintahan Kolonial Belanda.
Negara Indonesia berpedoman pada pembukaan Undang-Undang dasar 1945 pada
alenia keempat isinya yaitu “kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah
Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa,
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan itu dalam suatu
undang-undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara
Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada: Ketuhanan
yang Maha Esa, Kemanusian yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan
yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta
dengan mewujudkan suatu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia”. Berpedoman
pembukaan Undang-undang tersebut Pemerintah membuat sebuah kebijakan yang
mengubah sistem agraria dan mengubah sistem hak-hak sesuai keadaan Bangsa
Indonesia. Ketika masa Pemerintahan Kolonial Belanda hak-hak tersebut tidak pro-rakyat
melainkan keuntungan oleh pengusaha asing. Walaupun hak konversi telah dihapuskan
5 Boedi Harsono, op.cit., hlm. 94-95.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
namun konversi sendiri tetap dipergunakan. Pemerintah menggunakan konversi itu untuk
mengatur status kepemilikan tanah dan perkebunan milik orang asing menjadi milik
negara. Lahan-lahan dan tanah kosong juga dikonversikan menjadi milik negara, serta
beberapa tanah atau lahan yang telah ditinggalkan oleh Belanda juga dikonversikan
kepemilikan atau statusnya menjadi tanah negara. Selain tanah dan perkebunan milik
bangsa asing, pemerintah juga melakukan konversi di Surakarta yaitu tentang
kepemilikan tanah dari milik kerajaan menjadi milik negara.
Pada 19 Agustus 1945 berdasarkan keputusan pemerintah pusat menetapkan
Surakarta sebagai daerah istimewa atau swapraja, dengan hal tersebut maka Kasunanan
dan Mangkunegaran kembali menguasai tanah. Penetapan tersebut membuat Kasunanan
dan Mangkunegaran memiliki hak-hak istimewa terhadap pengusaan tanah, sehingga raja
berkuasa penuh terhadap kekuasaan termasuk penguasaan tanah. Penetapan ini
menimbulkan pro dan kontra di masyarakat Surakarta sehingga menimbulkan masalah
yang meluas di masyarakat Surakarta.
Kondisi Surakarta tidak stabil dengan adanya penetapan daerah istimewa, maka
pemerintah secara tidak langsung mengambil keputusan mengeluarkan surat Penetapan
Pemerintah tanggal 15 Juli 1946 yang secara langsung dihapusnya hak-hak istimewa di
Kasunanan dan Mangkunegaran. Keputusan tersebut mengubah kekuasaan dua kerajaan
tersebut, sehingga kekuasaan hanya di wilayah keraton dan wilayah lain dikonversikan
menjadi tanah milik negara. Sementara itu, diantara tanah-tanah bekas konversi di
karesidenan Surakarta, baik tanah pegunungan maupun tanah datar yang sudah digarap
atau dipakai oleh penduduk setempat untuk usaha pertanian atau perumahan. Pemakaian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
tanah-tanah tersebut dilakukan atas ijin Pemerintah setempat sebagai tindakan menunggu
keputusan lebih lanjut yang bersifat tetap.6
Perubahan status kepemilikan menyebabkan tanah-tanah tersebut menjadi tanah
negara atau tanah kas negara. Tanah-tanah itu selanjutnya dibagikan kepada rakyat
melalui berbagai cara atau sistem. Selain mengkonversikan tanah-tanah di wilayah
swapraja, lahan kosong yang ditinggal oleh pemiliknya atau lahan bekas milik Kolonial
Belanda, pemerintah juga mengkonversikan hak-hak tanah yang dibuat pada masa
Pemerintah Kolonial Belanda. Hak-hak yang dikonversikan oleh Pemerintah Republik
Indonesia seperti hak eigendom, hak erfpacht dan hak vruchtgebruik. Sebelum
berlakunya UUPA, dalam hukum tanah dikenal dua kelompok hak atas tanah yaitu:
a. Hak-hak atas tanah yang tunduk kepada hukum Barat, yang lazim disebut hak Barat.
b. Hak-hak atas tanah yang tunduk kepada hukum adat, yang lazim disebut hak
Indonesia.
Selain dua kelompok itu ada lagi yang tunduk kepada hukum yang diciptakan
Pemerintah Belanda dahulu, tetapi dalam rangka konversi maka dimasukkan ke dalam
kelompok hak Indonesia yaitu: hak Agrarisch Eigendom, hak erfpacht yang altijddurend
dan landerijen bezitrecht.7 Ketika ketentuan-ketentuan konversi UUPA hak barat maupun
hak Indonesia diubah menjadi salah satu hak atas tanah yang disebut dalam hukum tanah
yang baru.
6 Boedi Harsono., loc.cit.
7 Perangin, Effendi., Hukum Agraria Di Indonesia:Suatu Telaah dari sudut
Pandang Praktisi Hukum, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1986), hlm. 145.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Dalam perubahan itu telah diatur oleh UUPA No. 5/1960 isinya mengenai hak-
hak atas tanah yang diatur oleh hukum perdata Eropa yang dimuat dalam buku kedua
KUHS tentang pembekuan suatu benda kecuali peraturan-peraturan tentang hipotek yang
masih tetap berlaku. Hak-hak atas tanah yang diatur dalam buku kedua KUHS
diantaranya adalah hak eigendom (hak milik menurut pengertian hukum Eropa), hak
erfpacht, hak opstal dan hak vruchtgebruik dialihkan atau diubah masing-masing ke
dalam salah satu hak atas tanah yang tercantum dalam pasal 16 UUPA No. 5/1960, yaitu
hak milik, hak guna usaha, hak bangunan, hak pakai, hak sewa dan hak-hak lainnya.
Selain konversi hak-hak atas tanah yang diatur oleh hukum perdata Eropa, juga hak-hak
atas tanah diatur oleh hukum adat seperti diantaranya hak gogolan, hak pakulen, atau hak
sanggah dialihkan ke dalam salah satu hak atas tanah dalam pasal 16 UUPA No. 5/1960.8
Selain mengkonversikan tanah-tanah dan hak-hak di atas, pemerintah juga
melakukan perubahan dari hak negara menjadi hak individual. Seperti mengkonversikan
tanah milik negara menjadi tanah milik individual atau hak milik negara menjadi hak
milik individual. Konversi status kepemilikan menjadi hak milik individual ada beberapa
hal dan cara seperti tanah gogol dan pembagian tanah secara sistem lotre. Salah satu
proses konversi status kepemilikan tanah massa yaitu pada tanah gogolan.
Tanah gogolan merupakan tanah desa yang dikuasai dengan maksud digarap oleh
orang-orang tertentu berdasarkan hak gogolan yang didapatkannya. Hak gogolan yaitu
hak seorang gogol seperti yang ada dalam perundang-undangan agraria ketika masa
8 Bachsan Mustafa, loc. cit.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
Hindia Belanda yang dulu disebut sebagai komunal desa. Hak gogol ada dua macam
yaitu gogol bersifat tetap dan bersifat tidak tetap. Hak gogol bersifat tetap yaitu jika para
gogol secara terus-menerus mempunyai tanah gogolan yang sama dan apabila para gogol
tersebut meninggal dunia dapat diwariskan ke ahli warisnya terutama istri atau anaknya.
Menurut hukum adat setempat ditentukan siapa saja dari ahli warisnya yang akan
mewarisi gogolnya. Hak gogol bersifat tidak tetap yaitu jika para gogol tidak terus-
menerus mempunyai tanah gogolan yang sama dan jika si gogol meninggal maka hak
gogolannya kembali ke desa.
Pada tanggal 24 November 1960 hak gogol bersifat tetap dikonversikan menjadi
hak milik sehingga hak tersebut tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam UUPA dan
peraturan pelaksanaannya. Hak gogol yang bersifat tidak tetap dikonversikan menjadi
hak pakai. Hal ini berdasarkan pasal VII UUPA yaitu :
a. Hak gogolan, pakulen atau sanggan bersifat tetap menjadi hak milik tertulis pada
pasal 20 ayat 1.
b. Hak gogolan, pakulen atau sanggan yang tidak bersifat tetap menjadi hak pakai
tertulis pada pasal 41 ayat 1, yang memberi wewenang dan kewajiban sebagai yang
dipunyai oleh pemegang haknya mulai berlakunya Undang-undang ini.
c. Jika ada keragu-raguan apakah sesuatu hak gogolan, pekulen atau sanggan bersifat
tetap atau tidak tetap, maka Menteri Agrarialah yang memutuskan.9
9 Perangin, Effendi., op.cit., hlm. 184.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
Dalam konversi hak gogolan, muncul sengketa mengenai pelaksanaannya yang
disebabkan adanya perbedaan tafsiran mengenai ketentuan UUPA dan Peraturan Menteri
Agraria no. 2 tahun 1960. Untuk mengakhiri sengketa tersebut, dikeluarkanlah Keputusan
Menteri Pertanian dan Agraria no. Sk 28/ka/1964. Keputusan tersebut diganti dengan
Keputusan bersama Menteri Pertanian dan Agraria serta Menteri Dalam Negeri no. Sk
40/Ka/1964-DD 18/1/32, dalam keputusan tersebut ditegaskan:
a. Konversi hak gogolan yang bersifat tetap menjadi hak milik itu diresmikan sejak
tanggal 24 September 1960
b. Sejak itu hak tersebut tidak lagi tunduk pada peraturan–peraturan gogolan, tetapi
berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam UUPA dan peraturan-peraturan
pelaksanaannya.
c. Bahwa pelaksanaan konversi itu dilarang untuk disertakan syarat-syarat khusus apa
pun yang memberatkan gogol yang bersangkutan, seperti yang telah disebutkan di
atas.
d. Tanah bekas gogolan yang telah diambil untuk memenuhi syarat tersebut harus
dikembalikan kepada gogol bersangkutan atau ahli warisnya. Apabila ada alasan lain,
suatu pengembalian tidak mungkin dilaksanakan harus diganti tanah lain atau uang.
e. Akibat adanya salah tafsir setelah tanggal 24 September 1960 tanah bekas gogolan
yang pemiliknya meninggal dunia diberikan kepada orang lain misalnya karena ahli
waris pemilik itu dianggap tidak memenuhi syarat-syarat gogolan, maka atas
permintaan ahli warisnya tanah yang bersangkutan harus dikembalikan kepadanya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
f. Sebaliknya jika sebelum tanggal 24 September 1960 bertentangan dengan peraturan
gogolan, tanah gogolan yang dialihkan kepada pihak lain tanpa ijin desa, maka hak
atas tanah yang bersangkutan dihapuskan dan tanahnya kembali kepada desa untuk
dilandreformkan.10
Demikan keputusan bersama untuk mengakhiri terjadinya sengketa tentang hak gogol
yang bersifat tetap. Akan tetapi sengketa tersebut juga terjadi pada hak gogol yang
bersifat tidak tetap. Permasalahan dalam hal ini yaitu hak pakai masih tunduk terhadap
peraturan gogolan atau tidak, khususnya jika pemegang haknya meninggal dunia, tanah
tersebut jatuh kepada ahli waris atau kepada magang gogol yang tertinggi. Untuk
mengatasi masalah maka dikeluarkanlah Keputusan Bersama Agraria dan Menteri Dalam
Negeri no. 30/DEPAG/65-11/DDN/1965, yang memberikan penegasan sebagai berikut:
a. Hak gogol bersifat tidak tetap, yaitu hak gogol yang tidak memenuhi salah satu unsur
hak gogolan tetap seperti yang telah disebutkan.
b. Konversi hak tersebut menjadi hak pakai terjadi karena hukum pada tanggal 24
September 1960;
c. Hak pakai asal konversi itu tunduk pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam
UUPA dan peraturan-peraturan pelaksanaannya, selama peraturan-peraturan tersebut
belum berlaku ketentuan-ketentuan desa setempat yang telah disesuaikan dengan jiwa
UUPA. Misal para pemegang hak pakai tidak lagi dikenakan rodi (pekerjaan desa
tanpa dibayar). Tetapi ketentuan-ketentuan mengenai penguasaan tanah-tanah hak
10 Perangin, Effendi., op.cit., hlm. 185-186.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
pakai bekas gogolan itu masih tetap berlaku, yaitu penguasaan yang bersifat tetap atau
bergilir, haknya turun-temurun atau tidak.11
Keputusan tersebut mengakhiri permasalahan dalam hak gogolan yang bersifat
tidak tetap. Terdapat 3 bentuk hak gogolan tersebut yaitu: disebut atok sirah gilir galeng:
hak menggarap atau penguasaan tanahnya bersifat turun-temurun (atok sirah), tetapi
tanah yang digarap atau dikuasai itu berganti-ganti (gilir galeng). Kemudian ada juga
disebut gogol musiman atau gogol glebagan maksudnya menggarap atau penguasaan
tanahnya bersifat turun-temurun, tetapi pada suatu waktu tertentu yang menggarap hanya
sebagian dari para gogol masing-masing untuk selama waktu (musim) tertentu, setelah itu
mereka diganti dalam kurun waktu yang bersamaan.
Bentuk yang terakhir yaitu gogol gilir mati maksudnya tanah yang digarap atau
dikuasai tetap, tetapi setelah gogol bersangkutan meninggal dunia tanahnya diserahkan
kembali kepada desa, kemudian diberikan kepada magang gogol yang kedudukannya
tertinggi dalam daftar urutan.12
Tanah gogolan merupakan konversi dari hak milik
komunal menjadi hak milik dan hak pakai yang diatur oleh undang-undang. Demikian
proses konversi dari tanah gogolan yang terjadi ketika masa sesudah adanya UUPA.
Sebelum adanya UUPA terdapat konversi tanah negara menjadi tanah individual.
Perubahan tersebut mengunakan sistem lotre, yaitu pembagian tanah kas negara dengan
sistem lotre.
11 Perangin, Effendi., op.cit., hlm. 188.
12 Ibid., hlm189.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
B. Proses Pembagian Tanah Secara Lotre di Kelurahan Pajang
Ketika bangsa Indonesia sedang menata dan merancang pembuatan undang-undang
tentang sistem agraria. Di Surakarta, tanah-tanah bekas swapraja dan bekas kolonial
Belanda konversi menjadi tanah negara. Tanah negara yang ada di Surakarta sebagian
telah dipakai dan lainnya dibagikan kepada rakyat sambil menunggu keputusan dari
penetapan undang-undang tentang agraria. Pembagian tanah di Surakarta terjadi pada
tahun 1951-1952. Pembagian ini berpedoman pada Undang-Undang Dasar 1945 yang
terdapat pada pasal 33 ayat 3, yang berisi: “Bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”. Pembagian tanah tersebut juga berdasarkan pada Undang-Undang
No. 13 tahun 1946, yang menegaskan: hak istimewa (atas tanah) tidak sesuai dengan cita-
cita revolusi Indonesia. Adanya undang-undang tersebut pemerintah mempunyai
wewenang mengambil sebagian tanah milik aparatur desa era Mangkunegaran dan
Kasunanan yang kemudian membagikannya kepada para petani penggarap dan rakyat.
Makna negara yang menguasai bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya, menjadi sebuah tumpuan harapan bagi masyarakat untuk melangsungkan
kehidupannya. Rakyat juga berhak mendapatkan tanah, karena ketika masa penjajahan
banyak rakyat yang kehilangan tanah mereka. Dalam program pembagian tanah yang
harus dipersiapkan yaitu tanah-tanah yang akan dibagikan. Tanah-tanah obyek dari
pembagian tanah tersebut meliputi:
a. Tanah-tanah swapraja dan bekas swapraja yang telah dihapuskan dan beralih kepada
negara.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
b. Tanah-tanah yang diambil pemerintah, karena pemilikan tanah absentee atau tanah
yang telah ditinggal pemiliknya.
c. Tanah-tanah lain yang langsung dikuasai oleh negara misalnya bekas tanah partikelir
dan tanah bekas konversi.
d. Tanah-tanah lain yang didalamnya tidak termasuk tanah-tanah wakaf dan tanah-tanah
untuk peribadahan.13
Tanah-tanah di atas disebut sebagai tanah kas negara atau tanah negara, tanah-
tanah dalam kriteria-kriteria di atas nantinya dibagikan kepada rakyat dan program ini
diberitahukan kepada rakyat sekitar tahun 1951.14
Tanah kas negara merupakan tanah
yang akan dibagikan kepada rakyat atau tanah yang digarap oleh rakyat setempat untuk
keperluan masyarakat hukum. Tanah kas negara ini sebelum dibagikan kepada rakyat
merupakan tanah yang dikelola oleh pemerintah daerah dalam hal ini adalah kelurahan
setempat, yang kemudian dimanfaatkan masyarakat setempat untuk ditanami atas ijin dari
kelurahan.
Program pembagian tanah ini, salah satunya dengan cara sistem lotre atau sistem
kopyok. Lotre dalam kamus besar Indonesia yang berarti undian, yang dimaksud dengan
sistem lotre ini adalah cara pembagian tanah dengan undian menggunakan nomer.
Pembagian tanah-tanah tersebut memerlukan persiapan adminitrasi yang tidak sedikit,
namun waktu persiapannya hanya membutuhkan waktu satu tahun saja untuk mendata
13 Data diolah dari wawancara dengan Parto tanggal 26 Desember 2011.
14 Data diolah dari wawancara dengan Mardi Suwarno pada tanggal 5 September
2011.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
dan mempersiapkan obyek tanah yang akan dibagikan. Ketika program pembagian tanah
tersebut telah diumumkam, daerah–daerah obyek pembagian tanah mulai mempersiapkan
tanah dan warganya yang akan mendapatkan tanah tersebut. Pembagian tanah ini tidak
semua rakyat dapat mengikutinya, ada ketentuan-ketentuan bagi penerima tanah tersebut.
adapun ketentuan-ketentuan dalam pembagian tanah tersebut meliputi:
a. Warga Indonesia dan tercatat sebagai warga kelurahan setempat.
b. Orang yang magersari. Magersari yaitu tanah yang diberikan kepada abdi dalem
keraton atau sentana dalem dan bertempat tinggal di pekarangan yang sama. Magersari
juga disebut sebagai penduduk desa yang tidak memiliki tanah dan pekarangan.
Mereka tetap mempunyai rumah sendiri, rumahnya didirikan diatas tanah atau
pekarangan orang lain dan pekerajaan sehari-harinya memburuh tanah atau sebagai
penyakap.15
c. Seseorang yang telah menikah dan memiliki rumah tapi masih dalam satu perkarangan
milik orang tuanya.
Ketiga kententuan tersebut adalah syarat yang harus dipenuhi agar mendapatkan
tanah dari pembagian tanah secara lotre. Ketiga persyaratan tersebut yang diutamakan
terlebih dahulu atau diprioritaskan untuk orang-orang yang magersari, setelah itu baru
15 Tiwuk Kusuma Hastuti, “Transaksi Tanah Sende dan Perubahan Sosial dalam
Masyarakat Jawa Tengah (Studi Kasus Desa Sumberharjo Kec. Prambanan Kab. Sleman
Yogyakarta Pada Tahun 1980-1990-an)”. Skripsi Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra
dan Seni Rupa. UNS, 1996, hlm. 96.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
orang-orang yang termasuk dalam kategori persyaratan ketiga.16
Adanya persyaratan
tersebut memberikan batasan-batasan bagi rakyat untuk mendapatkan tanah secara sistem
lotre sehingga tidak semua rakyat dapat mengikuti pembagian tanah-tanah yang diberi
dari Pemerintah. Hal ini dikarenakan pembagian tanah dengan sistem lotre ini tidak
dipungut biaya baik dari pendafatran hingga proses mendapatkan tanah tersebut.
Setelah adanya pengumuman tentang pembagian tanah 1951, Kelurahan Pajang
mulai mempersiapkan adminitrasi dan obyek tanah yang akan dibagikan kepada rakyat.
Setelah tanah mulai dipersiapkan kemudian setiap penduduknya didata untuk mengetahui
yang berhak mengikuti dan mendapatkan tanah tersebut, namun sesuai dengan kriteria
yang telah ditetapkan. Masyarakat tidak perlu datang ke kelurahan untuk mendaftarkan
atau mengajukan diri untuk dapat mengikuti pembagian tanah. Tanah-tanah yang akan
dibagikan terlebih dahulu diukur dan dibatasi kemudian diberi nomor. Pengukuran pada
waktu itu dilakukan oleh Panitia yang dibentuk kelurahan.
Nomor-nomor inilah yang nantinya dilotrekan kepada rakyat untuk membuktikan
dimana letak tanah yang mereka dapatkan. Setiap tanah yang diukur memiliki luas yang
berbeda-beda, karena dilihat dari letak tanah yang dibagikan. Tanah-tanah yang letaknya
berbatasan dengan kelurahan lain atau berbatasan dengan sungai serta berbatasan dengan
tanah makam maka pengukurannya lebih luas dibandingkan yang lainya. Setiap tanah
yang akan diberikan luasnya berkisar antara 300 m sampai 600 m perkaplingnya.
16 Data diolah dari wawancara dengan Padmo Suproto pada tanggal 21 September
2011.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
Pembagian tanah secara lotre dilakukan pada tahun 1952, sedangkan pelaksanaan
lotre dilakukan di kelurahan. Setelah semua adminitrasi dan tanah-tanah telah siap untuk
dibagikan kepada rakyat, para petugas kelurahan memberitahukan kepada masyarakat
yang telah terdaftar dalam pembagian tanah untuk datang ke kelurahan. Adanya
pemberitahuan tersebut maka mereka datang ke kelurahan untuk melakukan lotre agar
mendapatkan nomor, karena nomor tersebut menunjukkan tempat dan letak tanah yang
mereka dapatkan. Setelah mereka mendapatkan nomor tersebut mereka harus mencari
tanah yang sesuai dengan nomor yang didapatkan.
Setelah menemukan tanah yang sesuai dengan nomor tersebut maka mereka
segera ke kelurahan untuk melaporkan letak tanah yang mereka dapatkan. Kebanyakan
tanah-tanah yang dibagikan kepada rakyat itu berada di daerah Pajang bagian selatan.
Masyarakat yang mendapatkan tanah di sekitar daerah tersebut berjumlah 29 orang, dari
jumlah tersebut rata-rata tanah yang didapat seluas 300-400 m perorang. Beberapa nama
orang dari sebagian yang mendapatkan tanah tersebut yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
Table 3. Daftar Nama Penerima dan Luas Tanah Lotre
No Nama yang menerima tanah Luas tanah per-meter
1 Mardi suwarno 400m
2 Yitnowijoyo 400m
3 Padmo suparto 400m
4 Parto 400m
5 Sastrodiharjo 400m
6 Sudoyo 600m
7 Harso waluyo 400m
8 Warso 400m
9 Saji 400m
10 Suliman 400m
11 Arjo 400m
12 Marto 400m
13 Wiryosumitro 400m
14 Darmo 4000m
15 Wito 400m
16 Narto 400m
17 Citro 400m
Sumber: wawancara dengan penerima dan ahli waris dari penerima tanah lotre
tersebut yang hingga sekarang.
Tabel di atas terdapat satu orang yang mendapatkan tanah lebih luas dibandingkan
yang lain, hal tersebut disebabkan dalam pembagian tanah luasnya tidak bisa dibagikan
secara sama. Setelah mendapatkan tanah, rakyat hanya dibebani biaya untuk
mengesahkan atau untuk mendapatkan surat dalam kepemilikan atas tanah tersebut yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
sebelumnya hanya nomor tanah yang didapat saat lotre. Rakyat harus mendaftarkan tanah
mereka ke kadaster untuk mendapatkan surat hak milik dengan nomor data dari
kelurahan. Sistem lotre ini merupakan salah satu sistem untuk mengurangi penolakan dari
rakyat yang mendapatkannya, sehingga sistem ini dianggap sangat efektif dalam
pembagian tanah.17
Sistem lotre atau undian ini juga digunakan dalam pembagian tanah
desa kepada para gogol setelah dikonversi dari hak gogol.
Tanah desa yang sudah dibagikan kepada para gogol, Marawita, kuli dan
sebagainya itu, pada waktu-waktu tertentu dapat dibagi kembali (gogol gilir). Kondisi ini
dilakukan apabila anggota pada pembagian pertama mendapatkan bidang tanah yang
kurang subur, saat pembagian berikutnya mendapatkan bagian tanah yang subur.
Demikian ini sesuai dengan rasa keadilan mereka. Pembagian kembali tanah menjadi
makin jarang, dari tiap 1 tahun menjadi tiap 3 tahun, 6 tahun dan kemudian atas
persetujuan bersama tidak pembagian lagi dari gogol gilir menjadi gogol patoh. Caranya
membagi kembali melalui undian dengan cara beralih tempat atau dengan cara meratakan
pematang, membagi kembali dalam jumlah yang sama tetapi dengan pola yang berbeda,
untuk kemudian diundi. Istilah ini ialah tanah dibubur kembali.18
Pembagian tanah dengan menggunakan sistem lotre atau undian, dianggap
sebagai hal yang efektif karena dalam pembagianya tanah tidak bisa dibagi secara merata
17 Notonegoro, Politik Hukum dan Pembangunan Agrarian di Indonsia, (Jakarta:
PT. Bina Aksara, 1984), hlm. 213. 18
Imam Soetiknjo, “Penguasaan Tanah di Desa dan Perkembangannya”.
Makalah pada Seminar Desa dalam Prespektif Sejarah. Oleh PAU-studi Sosial-UGM,
Yogyakarta, 10-11 Februari 1988.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
luas setiap patoknya, selain itu luas strategis dari tanah yang dibagikan dan perbedaan
tentang kesuburan tanah. Pembagian tanah berdasarkan kesuburan tanah ini digunakan
pada tanah gogolan. Cara ini dapat menanggulangi terjadinya kecemburuan tentang luas
tanah setiap masyarakat yang memperoleh tanah tersebut. Pembagian tanah tersebut
berjalan lancar, walaupun ada perbedaan dalam memperoleh tanah-tanah.
Ketika UUPA sudah terbentuk, redistribusi tanah atau pembagian tanah masih
terjadi. Tanah-tanah yang memiliki lebih batas maksimumnya diambil oleh pemerintah
dan kemudian dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan. Peraturan tentang
redistribusi tanah diatur oleh Peraturan Pemerintah No. 224 tahun 1961 tentang
pelaksanaan pembagian tanah dan pemberian ganti kerugian. Tanah yang dibagikan tidak
hanya terbatas pada tanah-tanah yang melebihi dari batas maksimum yang diambil oleh
pemerintah, tetapi juga tanah-tanah yang diambil oleh pemerintah karena pemiliknya
“absentee”, tanah-tanah bekas swapraja. Demikian juga tanah-tanah lain yang dikuasai
oleh negara, misalnya tanah-tanah bekas perkebunan besar dan tanah-tanah bekas
partikelir.
Tanah ini tidak hanya diberikan kepada rakyat biasa saja melainkan juga
diberikan kepada para petani yang tidak memiliki lahan sendiri. Sebelum tanah tersebut
diberikan dengan hak milik kepada para petani yang memenuhi syarat, tanah-tanah
bersangkutan diizinkan untuk dikerjakan oleh para petani, masa penggarapannya selama
2 tahun. Petani berkewajiban membayar sewa kepada pemerintah sebesar sepertiga dari
hasil panen atau uang yang senilai dengan itu. Pemakaian istilah sewa sebenarnya tidak
sesuai dengan penguasaan tanah kelebihan tersebut. Melainkan mempergunakan istilah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
uang wajib karena dalam kedudukannya sebagai penguasa, pemerintah atau negara
menurut status hukum tidak lagi menyewakan tetapi memberikan tanah yang dikuasai
dengan adanya suatu hak kepada yang memerlukan tanah tersebut.
Pembagian tanah ini diutamakan kepada para petani akan tetapi tidak semua
petani mendapatkan tanah tersebut. Petani atau rakyat yang menginginkan tanah itu harus
memenuhi beberapa persyaratan. Persyaratan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan
tanah tersebut telah diatur dalam pasal 8 dan 9 yang isinya petani penggarap atau buruh
tani harus berkewarganegaraan Indonesia dan bertempat tinggal di Kecamatan tempat
letak tanah yang bersangkutan serta kuat bekerja dalam pertanian.19
Dilihat dari rationya
syarat tentang tempat tinggal tersebut masih dimudahkan sesuai dengan ketentuan tentang
“absentee”. Hal tersebut berlaku apabila petani penggarap bertempat tinggal di
Kecamatan yang berbatasan dengan tempat letak tanahnya. Tanah yang dibagikan kepada
petani luasnya terbatas jika dibandingakan dengan para petani, sehingga diadakan
prioritas dalam pembagian tanah itu. Para penggarap tanah yang bersangkutan
mendapatkan prioritas pertama dalam pembagian tanah tersebut. Penggarap lebih
diutamakan dalam pembagian tanah tersebut, karena mereka yang dianggap paling
membutuhkan.
Dilihat dari pembagian tanah tersebut, memang lebih diutamakan dibagikan
kepada para petani seperti juga halnya pembagian tanah pada tanah gogol. Pembagian
tanah pada UUPA ini tidak menggunakan sistem lotre atau undian, melainkan
19 Boedi Harsono, op.cit., hlm. 366.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
berdasarkan prioritas sehingga menimbulkan kesenjangan dengan para petani lain.
Berbeda halnya dengan pembagian tanah menggunakan sistem lotre, tanah yang
dibagikan lebih ditujukan kepada rakyat biasa. Tanah-tanah yang dibagikan itu menjadi
hak milik sehingga mereka harus mendaftarkan tanah mereka untuk mendapatkan tanda
bukti kepemilikan tanah. Program pembagian tanah secara lotre sebenarnya kembali
dilanjutkan setelah adanya UUPA tentang reditribusi tanah dan obyek tanahnya sama
yaitu tanah kas negara yang masih tersisa ketika pembagian tanah pada tahun 1952.
Namun hal tersebut tidak terealisasi, hal ini disebabkan situasi politik pada saat itu
mengalami kekacauan dengan munculnya pemberontakan G 30 S/PKI .
C. Dampak Sistem Lotre Terhadap Masyarakat Pajang
1. Dampak sosial terhadap masyarakat yang mendapatkan tanah lotre
Tanah dalam tinjauan sosiologis sangat erat hubungannya dengan sudut pandang
ekonomi dan sudut pandang politik, hal tersebut saling berkaitan dalam penguasaan dan
kepemilikan tanah. Tanah juga mempunyai fungsi sosial yaitu adanya keseimbangan
antara kepentingan individual (penguasa dan pemilik) dengan kepentingan masyarakat
dan Negara.20
Tanah merupakan alat produksi bagi masyarakat tani, maka tanah harus
dipergunakan sebesar-besarnaya untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Semua
hak atas tanah mempunyai fungsi sosial yaitu bahwa tanah itu harus dipergunakan sesuai
dengan keadaan tanahnya dan sifat haknya dan tidak dapat dibenarkan pemakaian tanah
20 Kartasapoetra, G, Hukum Tanah: Jaminan UUPA bagi Keberhasilan
Pendayagunaan Tanah, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1985), hlm. 53.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
secara merugikan dan bertentangan dengan kepentingan masyarakat.21
Sama halnya
dengan adanya pembagian tanah secara lotre yaitu rakyat dapat memanfaatkan tanah
yang diberikan.
Penguasaan tanah sering menimbulkan berbagai akibat yang menjadi permasalahan
menarik sejalan dengan pertumbuhan penduduk yang sedemikian cepat. Adanya
pembagian tanah secara lotre ini memberikan perubahan stuktur di Kelurahan Pajang.
Setiap masyarakat dalam hidupnya akan selalu mengalami perubahan. Adapun
perubahan-perubahan yang terjadi di dalam masyarakat pada prinsipnya merupakan suatu
proses terus menerus, akan tetapi perubahan yang terjadi antara masyarakat yang
mengalami perubahan lebih cepat dan adapula masyarakat yang mengalami perubahan
yang lebih lama. Perubahan kepemilikan tanah, hal ini erat hubungannya dengan
perubahan sosial. Perubahan sosial itu sendiri merupakan perubahan-perubahan pada
lembaga kemasyarakatan yang mempengaruhi sistem sosialnya, sikap dan pola tingkah
laku antara kelompok dalam masyarakat.22
Perubahan sosial itu muncul pada dasarnya disebabkan oleh beberapa faktor yang
mempengaruhinya, seperti kondisi ekonomi, teknologi, geografi dan aspek-aspek
kehidupan sosial. Perubahan sosial yang terjadi di dalam masyarakat menyangkut dua
21 Bachsan Mustofa, Hukum Agraria dalam Prespektif, (Bandung: CV. Remadja
karya,1988), hlm. 20. 22
Selo Soemardjan, Perubahan Sosial di Yogyakarta, (Yogyakarta : UGM Press,
1986), hlm. 303
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
bentuk umum yaitu perubahan stuktur dan perubahan proses.23
Mengenai perubahan
sosial yang terjadi di Kelurahan Pajang merupakan perubahan stuktur yang terjadi karena
pengaruh dari pembagian tanah secara sistem lotre. Kepemilikan tanah dapat
mempengaruhi kedudukan seseorang dalam masyarakat, hal ini dikarenakan semakin
kuatnya pengakuan hak perorangan dalam masyarakat, sehingga kepemilikan tanah tidak
lagi berimplikasi pada kewajiban semata, tetapi lebih cenderung kepada hak atas tanah.
Pembagian tanah secara lotre memberikan dampak dan pengaruh yang cukup berarti
bagi masyarakat yang mendapatkan tanah tersebut. Ketika itu kondisi perekonomian dan
politik belum stabil, pemberian tanah lotre tersebut sangat membantu bagi rakyat baik
dalam segi ekonomi dan sosial. Setiap masyarakat selalu terdiri dari kelompok-kelompok
yang menunjukkan lapisan-lapisan (stratifikasi) didalamnya. Stratifikasi sosial
merupakan salah satu bentuk kedudukan sosial yang telah ada dalam masyarakat. Tanpa
disadari terlebih dahulu kedudukan tersebut dilihat dari tingkat sosial yang akan
membentuk suatu lapisan sosial.
Orang-orang yang paling menonjol dalam kekayaan ekonomi mampu menempati
kedudukan yang paling tinggi di dalam pelapisan sosial, selain itu para pemegang
kekuasaan atau mempunyai jabatan juga berada dalam kedudukan yang tertinggi dalam
lapisan sosial. Lapisan masyarakat tingkat bawah adalah orang-orang yang dalam ukuran
kekayaan, kekuasaan, kehormatan maupun ilmu pengetahuan hanya memiliki nilai yang
23 Taneko, Soleman B, Stuktur Proses Sosial “Suatu Pengantar Sosiologi
Pembangunan”, (Jakarta: Rajawali,1993), hlm. 155.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
minim.24
Daerah Pajang yang merupakan kota pinggiran yang stratifikasi sosial seperti
daerah kota lainya. Stuktur stratifikasi sosial di Kelurahan Pajang seperti di kelurahan–
kelurahan lainya yang terdiri dari perangkat Pemerintah yaitu kelurahan dan perangkat
kampung kemudian masyarakat.
Pembagian tanah secara lotre tersebut berdampak pada sosial masyarakat Pajang,
terutama bagi yang mendapatkan tanah tersebut. Salah satu golongan yang merasakan
adanya pembagian tanah tersebut yaitu masyarakat Magersari. Daerah Pajang termasuk
daerah kota pinggiran dan penduduknya kebanyakan bukan sebagai petani sehingga di
Pajang tidak mengenal kelas-kelas sosial seperti di pedesaan. Walaupun tidak terdapat
kelas sosial namun adanya masyarakat yang golongan Magersari tersebut memunculkan
sebuah kelas sosial dan mereka yang berada di posisi terbawah.
Pembagian tanah ini memberikan perubahan dan meningkatkan sosial golongan
tersebut. Adanya pembagian tanah lotre mengubah orang-orang yang dulunya magersari
tidak lagi menempati tanah milik orang lain atau milik tuan mereka. Pembagian ini juga
menjadikan interaksi antara pemilik tanah lotre yang satu dengan yang lain sehingga
memberikan dampak sosial yang membentuk hubungan sosial di dalam lahan-lahan yang
telah dibagikan kepada rakyat, yang nantinya tercipta sebuah kampung-kampung baru di
dalam lahan tersebut. Tanah lotre ini juga mengubah status sosial bagi masyarakat yang
24 Adhi Agus Wijayanto, “Serat Nanas Mojogedang dan Perubahan Sosial
Ekonomi Masyarakat Tahun 1922-1937”, Diakronik, Vol.3, No. IV, Juli 2009, Jurusan
Ilmu Sejarah, Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, hlm.
59.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
memperoleh tanah. Tanah lotre memberikan pengaruh di daerah Kelurahan Pajang yaitu
pemerataan penduduk di daerah Kelurahan Pajang sehingga terjadi sebuah urbanisasi
kecil dilingkup Kelurahan Pajang.
2. Dampak ekonomi terhadap rakyat yang mendapatkan tanah lotre
Tanah selain berpengaruh terhadap sosial juga berpengaruh terhadap perekonomian
masyarakat. Pembagian tanah ini juga berdampak terhadap perekonomian masyarakat
yang mendapatkan tanah tersebut. Pada tahun 1950 bangsa Indonesia sedang
merehabilitasi perekonomian akibat dari peralihan kekuasaan dan perang melawan
penjajah, sehingga perekonomian belum stabil. Pada saat itu juga terjadi hiper-inflasi
yang memperburuk ekonomi di Indonesia dan terjadi krisis ekonomi. Sepanjang tahun
1950-an Indonesia masih mencoba berbagai sistem politik dari sistem presidensil ke
sistem perlementer dan kemudian kembali lagi ke presidensil. Pada tahun itu muncul
berbagai partai politik dalam sistem parlementer, hal itu menimbulkan pertentangan
dalam ideologi disetiap partai-partai dalam merebutkan kekuasan. Kondisi tersebut
menyebabkan perekonomian yang sedang dibangun menjadi kurang baik.
Keadaan perkonomian nasional tersebut menggambarkan bahwa perkonomian di
daerah atau lokal juga mengalami kondisi yang hampir tidak jauh berbeda, sama halnya
dengan kondisi perekonomian yang terjadi di Surakarta. Meskipun kondisi pemerintahan
yang belum stabil serta perekonomian yang masih menurun tidak mempengaruhi
pembagian tanah secara sistem lotre di daerah Pajang. Pembagian tanah memberikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
perubahan perekonomian rakyat yang mendapatkan tanah lotre tersebut, mekipun
perubahannya tidak begitu besar. Pemberian tanah lotre memberikan perubahan dimana
masyarakat yang sebelumnya tidak memilik lahan dengan adanya pemabrian terebut
meraka dapat memiliki lahan dengan status hak milik. Sebelum ada tanah lotre tersebut
sebagian dari mereka berkerja sebagai buruh, pedagang atau menggarap tanah milik
orang lain dengan pendapatan yang kecil. Tanah lotre tersebut sedikit memberikan
perubahan pada penghasilan mereka.
Perubahan ekonomi masyarakat ditimbulkan karena mereka memanfaatkan sebagian
tanah tersebut untuk ditanami dengan umbi-umbian atau dengan ditanami buah-buah
seperti: pisang, mangga, kelapa dan sebagainya, yang nanti hasil kebun tersebut dijual
kemudian hasilnya sedikt membantu menambah penghasilan mereka.25
Adanya tanah
lotre memberikan dampak yang positif bagi rakyat dalam segi kehidupan baik secara
ekonomi dan sosial. Pengaruhnya dalam segi politik dengan adanya pembagian tanah
tersebut yaitu berakhirnya sistem tuan dan terhapusnya sistem magersari. Pembagian
tanah ini memperkuat hak milik bagi rakyat yang mendapatkannya.
25 Data diolah dari Wawancara dengan Parto tanggal 26 Desember 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
96
BAB V
KESIMPULAN
Penguasaan dan kepemilikan tanah di Surakarta ketika masa kemerdekaan
mengalami perubahan. Tanah-tanah dikuasai oleh pemerintah dengan cara di konversi
menjadi hak milik Pemerintah Republik Indonesia. Perubahan tersebut menjadikan rakyat
mendapat kemilikan hak atas tanah-tanah. Setelah kemerdekaan banyak tanah-tanah
kosong dan lahan-lahan perkebunan yang ditinggal, kemudian oleh pemerintah di
konversikan menjadi tanah milik Negara. Stuktur pemilikan tanah di Kelurahan Pajang
sebelum tahun 1951 yaitu masyarakat banyak yang belum miliki tanah. Meraka hanya
menfaatkan lahan-lahan bekas asing yang telah menjadi tanah Negara untuk digarap
dengan ijin dari kelurahan.
Di saat perencanaan pembuatan undang-undang agraria di daerah Kelurahan
Pajang pada 1951-1952 terjadi pembagian tanah kepada rakyat dengan menggunakan
sistem lotre. Tanah yang dibagikan tersebut merupakan tanah Negara, tanah-tanah yang
akan dibagikan sebelumnya dipatok-patok kemudian setiap patoknya diberi nomer.
Rakyat yang telah terdaftar agar mendapatkan tanah mereka harus dating ke kelurahan
untuk memperoleh nomer yaitu dengan cara di lotre. Nomer tesebut menunjukan letak
dan luas tanah yang didapat. Setelah menemukan letak tanah yang didapat sesuai dengan
nomer, kemudian melaporkan ke kelurahan untuk mendapatkan surat hak milik yang
diberikan dari kelurahan. Pembagian tanah tersebut rakyat tidak dikenakan biaya dari
mulai proses pendataan hingga mendapatkan tanah tersebut. Meskipun tidak dipunggut
biaya tidak semua rakyat mendapatkan tanah tersebut, karena ada kriterianya.
96
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
97
Pembagian tanah secara lotre memberikan dampak sosial dan ekonomi bagi
rakyat yang mendapatakan tanah tersebut. Dampak sosial yaitu terjadinya hubungan
interaksi sesama penerima tanah dan tersebarnya penduduk di Kelurahan Pajang.
Dampak yang ditimbulkan dari pembagian tanah dari segi ekonomi yaitu dapat
menambah penghasilan dari penggarapan sebagian tanah yang didapat. Perubahan dan
penetapan tentang undang-undang agraria mempengaruhi kepemilikan dan penguasaan
tanah lotre. Salah satunya yaitu pendaftaran tanah untuk memperkuat kepemilikan dari
tanah lotre. Dalam penguasaan timbulnya jual-beli tanah lotre di sebabkan oleh Faktor
ketidaksenangan dengan letak tanah yang didapat, selain itu untuk membiayai
pendaftaran tanah untuk mendapatkan sertifikat. Mereka harus menjual sebagian
tanahnya agar bisa memperoleh sertifikat tanah.