tafsir manusia bintu syathi

12
A. Pendahuluan Penggunaan metode-metode tafsir klasik yang marak digunakan oleh sarjana- sarjana muslim pada saat ini mengundang kritikan dari beberapa tokoh tafsir kontemporer seperti Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zayd, Amin al-Khully, dan Bintu Syathi’. Tokoh-tokoh tersebut mengungkapkan bahwa penafsiran-penafsiran terdahulu terfokus pada kajian-kajian yang sesuai dengan keadaan masyarakat pada jaman mereka dan cenderung lokalistik. Muhammad Syahrur berpendapat bahwa sudah saatnya umat Islam saat ini menafsirkan Al-Qur’an sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yang pada masa ini. Amin al-Khully mencoba menggeser paradigma yang tertanam kuat dalam pemikiran umat Islam dengan menjadikan Al-Qur’an sebagai kitab bahasa Arab yang agung. Di sisi lain, kegelisahan Bintu Syathi’ akan tiadanya pengungkapan kemukjizatan Al-Qur’an dari sisi balaghahnya membuat ia berusaha menafsirkan Al- Qur’an dari sisi bayaninya. Ia sangat menyesalkan keadaan sarjana sastra Arab yang hanya terfokus pada puisi-puisi Arab, padahal Al-Qur’an jauh lebih baik dan lebih layak untuk diungkapkan maknanya daripada puisi-puisi tersebut. Dalam makalah ini penulis berusaha untuk mengungkapkan pemikiran Bintu Syathi’ dalam menafsirkan ayat-ayat yang membahas tentang konsep manusia. Makalah ini ingin mengungkapkan secara ringkas isi dari buku tafsir tersebut dengan melihat pada latar belakang penulisan, sistematika dan isi, serta corak dan metode penafsiran yang digunakan oleh Bintu Syathi’ dalam menguraikan pandangan dunia Al-Qur’an tentang al-insan. B. Biografi Bintu Syathi’ Bintu Syathi’ merupakan seorang mufassir yang berasal dari Mesir. Nama lengkapnya adalah Aisyah Abdurrahman, putri dari pasangan Muhammad Ali Abdurrahman dan Farida Abdussalam Muntasyir. Ia lahir pada tanggal 06 November 1913 di Dumyat yang terletak di sebelah barat sungai Nil. 1 Nama Bintu Syathi’ memiliki 1 Sahiron Syamsudin, An Examination of Bintu al-Syathi’s Method of Interpreting The Qur’an (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999), hlm. 6.

Upload: fauzan-azima

Post on 24-Nov-2015

194 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

  • A. PendahuluanPenggunaan metode-metode tafsir klasik yang marak digunakan oleh sarjana-

    sarjana muslim pada saat ini mengundang kritikan dari beberapa tokoh tafsirkontemporer seperti Muhammad Syahrur, Nasr Hamid Abu Zayd, Amin al-Khully, danBintu Syathi.

    Tokoh-tokoh tersebut mengungkapkan bahwa penafsiran-penafsiran terdahuluterfokus pada kajian-kajian yang sesuai dengan keadaan masyarakat pada jaman merekadan cenderung lokalistik. Muhammad Syahrur berpendapat bahwa sudah saatnya umatIslam saat ini menafsirkan Al-Quran sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat yangpada masa ini. Amin al-Khully mencoba menggeser paradigma yang tertanam kuatdalam pemikiran umat Islam dengan menjadikan Al-Quran sebagai kitab bahasa Arabyang agung.

    Di sisi lain, kegelisahan Bintu Syathi akan tiadanya pengungkapankemukjizatan Al-Quran dari sisi balaghahnya membuat ia berusaha menafsirkan Al-Quran dari sisi bayaninya. Ia sangat menyesalkan keadaan sarjana sastra Arab yanghanya terfokus pada puisi-puisi Arab, padahal Al-Quran jauh lebih baik dan lebih layakuntuk diungkapkan maknanya daripada puisi-puisi tersebut.

    Dalam makalah ini penulis berusaha untuk mengungkapkan pemikiran BintuSyathi dalam menafsirkan ayat-ayat yang membahas tentang konsep manusia. Makalahini ingin mengungkapkan secara ringkas isi dari buku tafsir tersebut dengan melihat padalatar belakang penulisan, sistematika dan isi, serta corak dan metode penafsiran yangdigunakan oleh Bintu Syathi dalam menguraikan pandangan dunia Al-Quran tentangal-insan.

    B. Biografi Bintu SyathiBintu Syathi merupakan seorang mufassir yang berasal dari Mesir. Nama

    lengkapnya adalah Aisyah Abdurrahman, putri dari pasangan Muhammad AliAbdurrahman dan Farida Abdussalam Muntasyir. Ia lahir pada tanggal 06 November1913 di Dumyat yang terletak di sebelah barat sungai Nil.1 Nama Bintu Syathi memiliki

    1 Sahiron Syamsudin, An Examination of Bintu al-Syathis Method of Interpreting The Quran (Yogyakarta:Titian Ilahi Press, 1999), hlm. 6.

  • arti gadis pinggir sungai, nama itu ia gunakan sebagai kamuflase agar aktivitasnyasebagai penulis tidak diketahui oleh ayahnya.2

    Ayah Bintu Syathi dikenal sebagai seorang sufi yang konservatif. Ia melarangputrinya untuk mengikuti pendidikan formal di sekolah, ia lebih cenderung mendidikpturinya di rumah sendiri. Akan tetapi sikap ayahnya tersebut tidak disetujui oleh ibu dankakek Bintu Syathi yang menginginkan ia mengikuti pendidikan formal. Berkat bantuanibu dan kakeknya, Bintu Syathi berhasil menamatkan pendidikan formal dari MadrasahIbtidaiyah hingga sekolah keguruan di Tanta dengan predikat lulusan terbaik.3

    Setelah lulus sekolah keguruan, Bintu Syathi diangkat menjadi sekretaris padasekolah khusus wanita di Jizah. Disana ia memperdalam pengetahuannya dalam bidangbahasa Inggris dan Perancis serta menyesuaikan diri dengan kehidupan modern.4

    Bintu Syathi kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Fuad I(Universitas Kairo) pada tahun 1936 dengan mengambil jurusan sastera. Pada tahun 1939ia lulus dengan predikat Cumlaude dan menyelesaikan pendidikan Masternya diUniversitas yang sama dengan mendapatkan predikat summa cumlaude pada tahun1931.5

    Setelah lulus kuliah, Bintu Syathi bekerja sebagai asisten Lektor di UniversitasKairo. Ia juga menjadi Inspektur Bahasa Arab dan Kritikus Sastera di Koran Al-Ahram.Disamping itu, ia juga melanjutkan pendidikan doktoralnya dalam bidang sastera diUniversitas Kairo. Disanalah ia bertemu dengan professor Amin al-Khulli (w. 1966)yang mengajar dalam bidang tafsir dan memberikan banyak pengaruh dalam pemikiranBintu Syathi terutama dalam bidang tafsir sastra.6

    Pada tahun 1950 Bintu Syathi menyelesaikan pendidikan doktoralnya dandiangkat menjadi Kepala Jurusan Bahasa Arab dan Islamic Studies di Universitas AinSyams. Pada tahun 1957 ia diangkat menjadi asisten Professor dan 10 tahun kemudian iamendapatkan gelar professor dalam bidang sastra Arab.7

    Selain bekerja sebagai pengajar di Universitas, Bintu Syathi juga aktif dalamkegiatan menulis. Ia sering mengirimkan tulisan dalam bidang sastera dan syair pada

    2 Roxanne D. Marrote, The Quran in Egypt I: Bintu al-Syathi on Womens Emancipation dalam JurnalComing to Terms with The Quran (New Jersey: Islamic Publication International, 2008), hlm. 180.3 Bintu Syathi, Ala al-Jisr (Kairo: al-Hayah al-Mishriyah li al-Kitab, 1986), hlm. 56.4 Nuril Hidayah. Konsep Ijaz Al-Quran Dalam Perspektif Mazhab Tafsir Sastra, Skripsi Fakultas UshuluddinUIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2006, hlm. 54.5 Nuril Hidayah. Konsep Ijaz Al-Quran Dalam Perspektif Mazhab Tafsir Sastra, hlm. 54.6 Nuril Hidayah. Konsep Ijaz Al-Quran Dalam Perspektif Mazhab Tafsir Sastra, 54.7 Agustini, Kritik Aisyah Abdurrahman Terhadap Berbagai Pandangan Tentang huruf Muqattaah, SkripsiFakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2012, hlm. 35.

  • majalah wanita al-Nahdah al-Nisaiyah. Pada tahun 1936 ia mulai menggunakan namaBintu Syathi untuk menyembunyikan kegiatan penulisannya dari ayahnya.8

    Adapun karya-karya Bintu Syathi diantaranya adalah al-Hayyah al-InsaniyahInda Abi al-Ala, al-Gufran li Abu al-Ala al-Maary, Risalah al-Gufran li Abu al-Ala,al-Khansa, Ard al-Mujizat, Rihlah fi Jazirah al-Arab, Umm al-Nabiy, Banat al-Nabiy,Sukainah bint al-Husain, Batalat al-Karbala, Maa al-Mustafa, Nisa al-Nabiy, TarajumSayyidat Bait al-Nubuwwah Radiyullah an Hunna, Tafsir al-Bayani li al-Quran al-Karim (jilid I-III), Kitabuna al-Akbar, Maqal fi al-Insan: Dirasah Quraniyyah, Al-Quran wa al-Tafsir al-Ashry, Al-Ijaz al-Bayani li al-Quran, dan Al-Syakhsiyyah al-Islamiyyah: Dirasah Quraniyyah.9

    Bintu Syathi meninggal pada tahun 1998 akibat serangan jantung,pemakamannya dihadiri oleh banyak tokoh intelektual dari berbagai negara.10

    C. Latar Belakang Penulisan KitabPada halaman awal bukunya Bintu Syathi mengungkapkan kesedihan dan

    kesepian yang ia alami setelah suaminya meninggal. Amin al-Khully yang jugamerupakan professor yang memunculkan tafsir sastra sebagai sebuah disiplin ilmu tafsirdiakui oleh Bintu Syathi telah banyak memberikan makna kehidupan pada dirinya,terutama dalam hal memahami esensi dari manusia itu sendiri.11

    Dalam mukaddimah bukunya Bintu Syathi menyadari bahwa kehidupan harusterus berlangsung meski banyak kepedihan di dalamnya. Ia bertanya-tanya tentanglangkah apa yang harus ia ambil untuk menapaki kehidupan selanjutnya, apa maksuddari perjalanan hidup sebenarnya, apa tujuan hidup jika semuanya sudah diatursedemikian rupa oleh Tuhan. Ia juga menyadari bahwa tidak ada orang yang tahu dimanaia akan melangkah selanjutnya, bagaimana masa depan yang akan dilaluinya karena itusemua adalah rahasia dari kehidupan itu sendiri.12

    Oleh karena itu, ia berusaha menemukan jawaban-jawaban dari kitab suci Al-Quran tanpa menghadirkan kitab-kitab dan buku-buku lain disisinya. Ia berusaha untukmengungkapkan pandangan dunia Al-Quran tentang manusia, kemampuan yang

    8 Nuril Hidayah. Konsep Ijaz Al-Quran Dalam Perspektif Mazhab Tafsir Sastra, 55.9 Agustini, Kritik Aisyah Abdurrahman Terhadap Berbagai Pandangan Tentang huruf Muqattaah, hlm. 36-37.10 Agustini, Kritik Aisyah Abdurrahman Terhadap Berbagai Pandangan Tentang huruf Muqattaah, hlm. 37.11 Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, (Kairo: Dar al-Maarif, 1969), hlm.7.12 Aisyah Abdurrahman, Manusia Dalam Perspektif Al-Quran terj. Ali Zawawi (Jakarta: Pustaka Firdaus,2003), hlm. vii.

  • dimiliki oleh manusia, kelemahannya maupun kehinaannya, kelicikan dankesombongannya. Selain itu ia juga mengamati perjalanan manusia dari alam yang tidakdiketahui (majhul) hingga ke alam gaib.13

    Secara garis besar, Bintu Syathi menulis karya ini berawal dari kesadarannyaakan kehidupan manusia sepeninggal suaminya. Oleh karena itu, ia berusaha untukmemahami manusia dan kehidupannya secara mendalam melalui pembacaan terhadapAl-Quran untuk mengetahui rahasia manusia sebenarnya yang terkandung di dalam Al-Quran.

    D. Sistematika Penulisan dan Isi KitabPenulisan buku Maqal al-Insan: Dirasah Quraniyyah ini disusun secara

    tematik yang membahas tentang satu tema pokok yaitu manusia. Tema tentang manusiamemiliki ciri khas tersendiri dalam Al-Quran yang membuat Bintu Syathi merasatertarik untuk menuangkan pandangan Al-Quran tentang manusia. Oleh karena itu,pembahasan awal yang ia lakukan adalah menelaah term-term manusia dalam Al-Quran.14

    Adapun tema-tema yang menjadi susunan buku ini antara lain:No Bab Sub Bab Keterangan1 Mengungkapkan perbedaan diantara

    term-term manusia dalam Al-Quran.2

    Mengungkapkan kemampuanmanusia, perjalanan hidup manusia

    beserta kebebasan dantanggungjawabnya.

    3

    Mengungkapkan tentang akhirperjalanan manusia dan keadaan

    manusia modern.Adapun isi buku yang membahas tentang manusia dalam Al-Quran ini antara

    lain:1. Inilah Manusia ()

    Dalam pembahasan ini Bintu Syathi mencoba untuk memetakan term-termmanusia dalam Al-Quran. Ia juga mengemukakan alasan mengapa ia memilih kata al-insan sebagai judul bukunya sekaligus tema pokok yang dibahas dalam buku ini.

    13 Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 7.14 Lihat Aisyah Abdurrahman, Manusia Dalam Perspektif Al-Quran, hlm. 1.

  • Term manusia dalam Al-Quran terbagi dalam beberapa kata, yaitu al-basyar,al-nas, dan al-ins. Kata al-basyar digunakan dalam Al-Quran untuk menyebut manusiasebagai anak keturunan adam, yaitu makhluk fisik yang suka makan dan berjalan kepasar. Kata ini digunakan untuk menunjukkan aspek fisik manusia secara keseluruhan,dengan kata lain menunjukkan keturunan Adam seluruhnya baik itu orang beriman,orang kafir, maupun para nabi.15

    Adapun kata al-nas dalam Al-Quran memiliki penekanan makna yangmenunjukkan satu kesatuan makhluk hidup. Dengan kata lain, kata al-nas digunakandalam Al-Quran untuk menunjukkan jenis makhluk hidup keturunan Adam.16

    Sedangkan kata al-Ins dan al-insan memiliki kesamaan makna ( )karena berasal dari akar kata yang sama yaitu a-n-s ( - ). Kedua kata ini merujukpada makna yang sama, yaitu lawan kata dari liar (). Akan tetapi kedua kata inimemiliki perbedaan dari segi penggunaan kata dalam Al-Quran. Kata al-ins digunakandalam Al-Quran sebagai lawan kata dari al-jinn. Dalam relasi paradigmatifnya, kata al-ins memiliki makna yang disesuaikan dengan kata al-jinn sebagai antonimnya, yaitumakna yang terkandung dalam kata al-ins adalah tidak liar (jinak) sebagai lawan darikata al-jinn yang berbentuk metafisik menandakan sifat liar atau bebas karena tidakterikat ruang dan waktu. Dengan kata lain, kata al-ins merujuk pada sifat manusia yangberbeda dari makhluk selainnya yang bersifat metafisik dan berbeda cara hidupnya.17

    Adapun penggunaan kata al-insan dalam Al-Quran adalah untuk menunjukkantingginya derajat manusia sehingga ia pantas untuk menjadi khalifah di bumi. Haltersebut disebabkan karena manusia memiliki kemampuan dalam bidang ilmu, berbicara,akal dan berpikir, pandai membedakan antara yang benar dan yang salah, serta mampumengatasi segala masalah dan kesesatan yang datang dalam dirinya. Oleh karena itu,manusia diberikan tanggung jawab yang besar baik dari segi hubungan kepada Tuhanmaupun kepada alam sekitar. Di sisi lain, kata al-insan juga menunjukkan kelemahanmanusia dan kehinaannya ketika ia tidak mampu melaksanakan tanggung jawab tersebutsesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Tuhan.18

    Secara garis besar, Bintu Syathi ingin menjelaskan sebab pemilihan kata al-insan sebagai fokus kajiannya terhadap manusia. Dari penjelasan di atas dapat diketahuibahwa kompleksitas manusia yang terdapat di dalam Al-Quran tertuang dalam

    15 Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 11.16 Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 13.17 Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 14.18 Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 15-19.

  • penggunaan kata al-insan yang kemudian menjadi tema-tema penting dalam pembahasanbuku ini.2. Kisah Kehidupan Manusia

    Awal kehidupan manusia diungkapkan oleh Al-Quran dengan adanyapenciptaan Adam sebagai khalifah di bumi. Penunjukkan status kekhalifahan ini bahkantelah ditentukan sebelum Adam diciptakan. Hal ini membuat entitas lain yang telah adasebelum lahirnya Adam bertanya-tanya tentang maksud dan tujuan diciptakan makhlukbaru ketika makhluk yang ada sudah melakukan perintah Tuhan dengan sebaik-baiknya.19

    Sebagaimana yang diketahui oleh mayoritas umat Islam di seluruh dunia bahwapenciptaan manusia yang pertama kali dilakukan dengan adanya perdebatan antaraTuhan dan Malaikat. Malaikat adalah makhluk yang telah ada jauh sebelum manusiadiciptakan. Mereka terikat pada perintah yang mutlak, dikendalikan oleh kehendak yangMaha Tinggi yang tidak dapat dibangkang, tidak diuji dengan adanya kehendak dankebebasan, sehingga alam raya sebelum kemunculan Adam adalah alam yang penuhkedamaian.20

    Permasalahan muncul kemudian ketika datang firman Allah yang menyatakanakan hadirnya makhluk baru. Hal ini menyebabkan terjadinya anomali pada malaikatdimana aktivitas berpikir berdasarkan hukum kausalitas terjadi. Malaikat yang awalnyamerupakan makhluk patuh tanpa pernah menanyakan apapun yang diperintahkan dandisampaikan Tuhan, mengalami keadaan di luar kebiasaan dan mempertanyakan tentangkehadiran manusia. Akan tetapi anomali segera berakhir ketika Tuhan menjelaskantentang makhluk baru tersebut beserta kemampuannya dan malaikat kembali menjadimakhluk yang patuh seperti biasanya.21

    Penunjukkan manusia sebagai khalifah di bumi tidak terlepas darikemampuannya yang berbeda dengan makhluk sebelumnya. Manusia memilikikemampuan untuk menyerap ilmu, kebebasan berkehendak, serta kemampuan untukmenghadapi berbagai ujian kehidupan yang akan dialaminya. Hal inilah yangmenjadikan manusia sebagai makhluk istimewa dibandingkan makhluk sebelumnya.Pertentangan antara kebaikan dan keburukan serta munculnya Iblis sebagai pembandingdari malaikat yang akan terus menggoda manusia melakukan keburukan, menjadikan

    19 Aisyah Abdurrahman, Al-Quran wa Qadhaya al-Insan (Kairo: Dar al-Maarif, 1999), hlm. 34.20 Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 27.21 Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 27.

  • manusia sebagai makhluk terbaik yang menjembatani dua medan yang salingbertentangan tersebut dengan adanya pertanggungjawaban kepada Tuhan di hari akhirnanti. Hal inilah yang membuat manusia layak untuk menjadi khalifah di bumi.22

    Setelah menunjukkan kualitas manusia yang layak menjadi khalifah di bumi,kemudian Allah mengajarkan manusia al-bayan. Kata al-bayan ditafsirkan oleh BintuSyathi sebagai kemampuan untuk menjelaskan sesuai dengan keadaan masyarakat padasaat itu. Ucapan manusia memiliki nilai untuk menjelaskan, pendengarannya untukmemahami dan mencerna, dan penglihatannya untuk membedakan dan mencari hidayah.Hal inilah yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya.23

    Selanjutnya manusia diberikan amanat oleh Tuhan. Dalam hal ini amanat adalahujian seiring dengan adanya pemberian kewajiban dari Allah disertai adanya hakkebebasan bertindak dan tanggung jawab dalam setiap perbuatan. Makhluk-makhluklainnya tidak sanggup menerima amanat ini dikarenakan besarnya tanggung jawabdibebankan dimana amanat tersebut nantinya akan diminta pertanggungjawaban dandiberikan balasan sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan.24

    Adapun kebebasan manusia terletak pada berbagai macam pilihan yang tersediauntuknya dalam menjalani hidup. Pilihan tersebut kemudian diikuti dengan usahasebagai proses untuk mewujudkan keinginan dasar dari pilihan itu. Pilihan ini kemudianakan menjadi final sesuai dengan iradah Tuhan yang merupakan ketentuan akhir dantujuan dari ikhtiar manusia.25

    Akhir perjalanan kehidupan manusia dalam Al-Quran ditandai dengan adanyakematian dan hari kebangkitan. Konsep kehidupan setelah kematian ini dibawa olehagama samawi sebagai jawaban dari konsep duniawi yang menyatakan bahwa manusiaakan punah seiring dengan datangnya kematian. Keinginan manusia akan kehidupanyang abadi dijawab oleh Al-Quran dengan adanya kehidupan lain setelah dunia. Olehkarena itu, Al-Quran menganjurkan bahkan menyuruh manusia untuk berlomba-lombamengisi bekal untuk kehidupan selanjutnya setelah mereka terlepas dari ikatan duniafana ini.263. Manusia Modern

    22 Aisyah Abdurrahman, Manusia Dalam Perspektif Al-Quran, hlm. 17-21.23 Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 47.24 Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 58.25 Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 117.26 Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 119-140.

  • Kehidupan manusia modern diliputi oleh permasalahan klasik antara agama danilmu pengetahuan. Seiring meningkatnya ilmu pengetahuan dengan berbagai revolusi diberbagai bidang, banyak orang yang mulai menganggap bahwa ilmu pengetahuan lebihlayak diimani daripada agama. 27

    Pertentangan ini sebenarnya bukan berasal dari agama dan ilmu pengetahuan itusendiri, melainkan dari tokoh dari kedua kubu tersebut. agama dan ilmu pengetahuansebenarnya saling mendampingi satu sama lain, saling menyokong dan membuktikankebenaran bersama-sama.28

    Oleh karena itu, manusia modern perlu memahami esensi dari agama danpengetahuan sehingga dapat saling membangun satu sama lain dalam menjalanikehidupan di dunia ini.29

    E. Corak dan Metode PenafsiranDalam pengantar kitab tafsirnya, Bintu Syathi mengungkapkan bahwa para

    mahasiswa dan sarjana sastera lebih banyak terpaku pada puisi-puisi pra Islam daripadaAl-Quran itu sendiri. Padahal sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Amin al-Khully, Al-Quran merupakan kitab bahasa Arab terbesar dimana terdapat mukjizatbayan yang abadi dan gagasan-gagasan yang tinggi.30

    Di sisi lain, umat Islam masih banyak yang terpaku pada metode tafsir klasik.Bintu Syathi menyatakan sangat langkanya ahli sastera Arab di Al-Azhar yangmenjadikan Al-Quran sebagai objek kajian metodologis. Mereka lebih terpaku padateks-teks lain, padahal Al-Quran mengandung kemukjizatan bayan yang luar biasa yangtidak bisa ditandingi oleh teks-teks lainnya. Oleh karena itu, ia mencoba untukmentafsirkan Al-Quran sebagai upaya untuk mengungkapkan sisi bayan Al-Quran yangbelum disentuh oleh mufassir lain sebelumnya.31

    Berdasarkan penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa corak penafsiran yangdigunakan oleh Bintu Syathi adalah kebahasaan dengan menggunakan metode sastra.Tafsir jenis ini disebut oleh Bintu Syathi sebagai tafsir bayani. Sedangkan menurut

    27 Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 181.28 Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 168.29 Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 172-174.30 Aisyah Abdurrahman, Tafsir Bint al-Syathi terj. Mudzakir Abdussalam (Bandung: Mizan, 1996), hlm. 30.31 Aisyah Abdurrahman, Tafsir Bint al-Syathi, hlm. 30-31.

  • Abdul Qadir Muhammad Shalih, model penafsiran Bintu Syathi termasuk dalam tafsirbalaghy, yaitu menafsirkan Al-Quran dari segi keindahan bahasanya.32

    Menurut Issa Boullata, ada beberapa prinsip yang digunakan dalam metodetafsir ini, antara lain: 331. Memahami Al-Quran secara objektif yang dimulai dengan pengumpulan semua

    surah dan ayat dari tema yang ingin dipelajari.2. Ayat-ayat tersebut kemudian disusun sesuai dengan kronologis pewahyuannya

    sehingga keterangan mengenai wahyu dan tempat turunnya dapat diketahui. Kaedahyang dipakai adalah al-ibrah fi umum al-lafz wa la bi khususi al-sabab.

    3. Mengungkap makna-makna Al-Quran dengan mengumpulkan seluruh bentuk katadan mempelajari konteks khusus kata tersebut dalam ayat-ayat dan surah-surahtertentu serta konteks umumnya dalam Al-Quran.

    4. Menyingkirkan penafsiran yang bersifat sektarian dan israilliyat, memperhatikanbentuk lahir teks dan pesan yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu,penggunaan kaedah kebahasaan dan retorika Al-Quran merupakan inti dari metodeini.

    Muhammad Yusron menjelaskan bahwa prinsip-prinsip tersebut mengandungempat inti metode penafsiran, yaitu ayat Al-Quran menafsirkan ayat yang lainnya,konsep munasabah dengan mengaitkan kata atau ayat Al-Quran dengan ayat yangberada di dekatnya atau ayat lain yang mengandung tema yang sama, menafsirkan suatumasalah dengan menggunakan lafaz Al-Quran yang umum bukan sebab yang khusus,dan meniadakan sinonim dalam Al-Quran karena setiap kata memiliki makna masing-masing yang berbeda walaupun terlihat sama.34

    Cara kerja penafsiran dalam buku Maqal al-Insan: Dirasah Quraniyyah iniadalah dengan mengumpulkan ayat-ayat Al-Quran berdasarkan tema yang dibahas,terutama yang berkaitan dengan kata-kata tertentu. Pembahasan dalam buku ini selalumengarah pada wilayah semantik kata yang dijadikan fokus penafsiran denganmenganalisa kedalaman makna berdasarkan ayat-ayat yang memuat kata tersebut.kemudian membandingkan kata tersebut dengan kata lain yang mengandung makna yangsama dan menguraikan perbedaan makna dan penggunaannya di dalam Al-Quran.

    32 Abd al-Qadir Muhammad Shalih, al-Tafsir wa al-Mufassirun fi Ahd al-Ashr (Beirut: Dar al-Marifah, 2003),hlm. 401.33 Aisyah Abdurrahman, Tafsir Bint al-Syathi, hlm. 12-13.34 M. Yusron, Studi Kitab Tafsir Kontemporer (Yogyakarta, TH Press, 2006), hlm. 25.

  • Metode penafsiran di atas bisa terlihat dari penafsirannya terhadap kata al-Basyr,al-nas, al-ins dan al-insan. Disamping itu, Bintu Syathi juga mengungkapkan beberapapandangan ulama dan kritikan dari rekan-rekannya sesama mufassir terhadap penafsiranayat-ayat tersebut.

    F. Contoh dan Analisis PenafsiranAda beberapa term yang menjadi fokus penafsiran Bintu Syathi dalam buku

    Maqal al-Insan: Dirasah Quraniyyah ini. Term-term tersebut terbagi sesuai dengantema yang dibahas, walaupun tema-tema tersebut hanya penjelasan dari tema pokok yaitutentang pandangan Al-Quran terhadap manusia.

    Disini penulis mencoba untuk memetakan term-term yang dijadikan fokuskajian Bintu Syathi dalam penafsirannya, yaitu:No Bab Term yang tafsirkan1 2

    Sebagian besar buku ini membahas tentang konsep al-insan yang ditinjau dariberbagai aspek yang terdapat di dalam Al-Quran. Sebagaimana yang telah dijelaskandalam pembahasan sebelumnya, Bintu Syathi menafsirkan kata al-insan sebagai sosokmanusia yang memiliki keistimewaan dari makhluk lain yang membuatnya layakmenjadi khalifah di bumi.

    Bintu Syathi memulai penafsirannya dengan menjelaskan penafsiran tentangsurah al-Alaq:

    )1 ( )2 ( )3 ( )4 ( )5 ( )6 ( )7 (

    Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Diatelah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang MahaPemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepadamanusia apa yang tidak diketahuinya. Ketahuilah! Sesungguhnya manusia benar-benarmelampaui batas, karena dia melihat dirinya serba cukup. Sesungguhnya hanya kepadaTuhanmulah kembali(mu). (Q.S. al-Alaq ayat 1-8).

    Ia menyatakan bahwa kata al-insan dalam surah tersebut terulang sebanyak tigakali dengan beberapa pesan yang terkandung di dalamnya, yaitu mengingatkan manusiaakan asal-usul kejadiannya dari segumpal darah, memberitahukan kelebihan manusia

  • yang diberikan ilmu, menyadarkan manusia akan potensi kesalahan dari perbuatan yangmelampaui batas.35

    Selanjutnya Bintu Syathi menjelaskan bahwa ayat-ayat yang menjelaskantentang asal-usul serta proses penciptaan manusia mengandung pesan untukmengingatkan manusia atas kelemahan dan kehinaan yang terdapat dalam dirinya, sertatidak melupakan asal-usul kejadiannya.36

    )37 ( )38 ( )39 ( )40(

    Artinya: Bukankah dia dahulu setetes mani yang ditumpahkan (ke dalamrahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu Allah menciptakannya, danmenyempurnakannya, lalu Allah menjadikan daripadanya sepasang: laki-laki danperempuan. Bukankah (Allah yang berbuat) demikian berkuasa (pula) menghidupkanorang mati? (Q.S. al-Qiyamah ayat 37-40).

    Artinya: Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia

    dijadikan bersifat lemah. (Q.S. al-Nisa ayat 28).Dalam menjelaskan ayat di atas, Bintu Syathi cenderung meniadakan bukti-

    bukti ilmiah dalam mengungkapkan pesan yang dikandung oleh Al-Quran. Iaberpendapat bahwa manusia tidak memerlukan pembelajaran ilmiah untukmembangkitkan kesadarannya akan asal-usul dan potensi yang dimilikinya. Manusiacukup merenungi dan memahami ayat-ayat Al-Quran agar bisa menahan diri dari sikapmelampaui batas dan berlaku sombong di dunia ini.37 Hal ini seperti yang diungkapdalam Al-Quran:

    )77 ( )78 ( )79(

    Artinya: Dan apakah manusia tidak memperhatikan bahwa Kamimenciptakannya dari setitik air (mani), maka tiba-tiba ia menjadi penantang yang nyata!Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata:"Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?".Katakanlah: "Ia akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama.Dan Dia Maha Mengetahui tentang segala makhluk. (Q.S. Yasin ayat 77-79).

    35 Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 15.36 Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 17.37 Aisyah Abdurrahman, Maqal al-Insan fi al-Quran: Dirasah Quraniyyah, hlm. 17.

  • Dari contoh di atas dapat diketahui bahwa Bintu Syathi menafsirkan ayatdengan menggunakan metode tematik yang dianalisis secara semantik. Ia mengumpulkanayat-ayat tersebut kemudian menghubungkannya dengan ayat yang lain untukmendapatkan makna umum dari kata al-insan serta konsep yang terkandung di dalamnya.Kajian munasabah seperti ini cukup lazim digunakan dalam metode tafsir tematik yangberkembang saat ini. Akan tetapi, peniadaan sinonim kata dalam Al-Quran denganmengungkapkan kemukjizatan bayani merupakan ciri khas penafsiran Bintu Syathi.

    G. KesimpulanSecara umum buku ini bukanlah kitab tafsir sebagaimana lazimnya yang ditulis

    oleh ulama-ulama tafsir klasik, melainkan pembahasan tematik tentang konsep manusiadalam Al-Quran. Konsep-konsep tersebut dituangkan dengan menggunakan metodetafsir tematik tafsir bayani menurut perspektif Bintu Syathi dengan menggunakananalisis semantik maknawi.

    Ada beberapa catatan yang penulis temukan dalam buku ini, diantaranya:1. Buku ini berusaha mengungkapkan pandangan dunia Al-Quran tentang manusia

    dengan menelaah ayat-ayat yang mengandung pesan-pesan inti kemanusiaan.2. Buku ini disusun secara tematis sesuai dengan tema pokok yang menjadi fokus

    kajian, yaitu manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya ditinjau dariperspektif Al-Quran.

    3. Buku ini tidak memuat tentang kesejarahan manusia, walaupun jika dilihat sub babterdapat pembahasan tentang kisah-kisah manusia. Buku ini lebih terfokus padafungsi dan keadaan manusia yang terungkap dalam Al-Quran.

    4. Buku ini tidak menjelaskan secara rinci term-term yang berkaitan dengan kata fokus.Padahal dalam studi semantik, kata-kata kunci lain yang mempengaruhi pemaknaankata fokus harus dijelaskan dengan tepat dimana letak relasi kebahasaan yangmengakibatkan terjadinya pergeseran makna.

    5. Mengambil istilah pak Yusron, Bintu Syathi seolah-olah tidak perduli tentang dalil-dalil dan penjelasan rinci tentang kata-kata lain diluar fokus kajian seperti kata al-jinn dalam perbandingan kata al-ins, sehingga penafsiran tersebut terlihat rancu dancenderung dipaksakan.