tafsir 1 pdf
TRANSCRIPT
TAFSIR SURAT AL
Disus
DRS. H. ACHMAD CHOLIL ZUHDI, M. AG
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS
TAFSIR SURAT AL-FATIHAH DALAM PRESPEKTIF
SHARIAH
Makalah Revisi:
Disusun untuk memenuhi tugas matakuliah
Tafsir 1
Oleh:
FATICHATUS SA'DIYAH
(E032120248)
Dosen Pengampu:
DRS. H. ACHMAD CHOLIL ZUHDI, M. AG
(195009211988031001)
JURUSAN TAFSIR HADIS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
SURABAYA
2013
FATIHAH DALAM PRESPEKTIF
DAN PEMIKIRAN ISLAM
ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL
2
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan yang Maha Esa atas segala limpahan rahmat
dan karunianya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul ‘Tafsir Surat Al-Fatihah dalam Perspektif Shariah’.
Kami menghaturkan rasa hormat dan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang membantu dalam pembuatan makalah ini dengan segala
kemampuan dan pengetahuan yang kami miliki sehingga makalah ini selesai
dengan baik.
Dan karena makalah ini jauh dari kesempurnaan, kami mengharap saran
dan kritik baik dari Dosen pengampu ataupun dari teman-teman satu juang kami,
jika ditemukan kesalahan atau ketidaksesuaian dalam makalah kami.
Akhirnya penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.
Surabaya, Desember 2013
penulis
ii
3
DAFTAR ISI
COVER……………………………………………………………... 1
KATA PENGANTAR......................................................................... 2
DAFTAR ISI....................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang........................................................ 5
B. Identifikasi Masalah............................................... 7
C. Rumusan Masalah................................................... 8
D. Tujuan Penelitian.................................................... 8
E. Manfaat Penelitian.................................................. 8
F. Kajian Pustaka........................................................ 8
G. Outline.................................................................... 10
BAB II SHARIAH DAN AL-FATIHAH
A. Shariah.................................................................... 12
B. Al-Fatihah............................................................... 26
BAB III SHARIAH DALAM SURAT AL-FATIHAH
A. Ayat, Mufradat, dan Terjemah............................... 27
B. Asbab Al-nuzul...................................................... 29
C. Munasabah Ayat.......................... ........................ 33
D. Tafsir surat Al-Fatihah ayat Lima, Enam, dan Tujuh. 34
E. Isi Kandungan surat Al-Fatihah…………............ 46
F. Analisis................................................................... 59
iii
4
BAB IV PENUTUP
A. Kesimpulan.............................................................. 61
B. Saran........................................................................ 61
DAFTAR PUSTAKA
iv
5
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Alquran adalah pedoman kehidupan yang menyeru kepada orang-
orang yang mengimaninya untuk bisa merealisasikan kehidupan
keberagamannya pada semua aspek dalam dirinya, getaran hatinya, kerinduan
ruhnya, gerakan fisiknya, perilakunya terhadap Tuhan yang terimplikasi dalam
interaksinya dengan keluarga dan sesamanya. Dengan keimanan model inilah
ia bisa mendekatkan diri ke hadirat Allah SWT.1
Alquran tediri dari atas 114 surat, terbagi ke dalam 6236 ayat, seluruh
ayat yang 6236 itu disimpulkan Allah dalam surat yang pendek dan terdiri
hanya atas tujuh ayat saja, yaitu Surat Al-fa>tihah.2
Surat ini memuat Akidah Islamiyah secara global, memuat konsep
islam secara garis besar, memuat segenap rasa dan arahan, yang nota benenya
mengisyaratkan hikmah dipilihnya surat ini untuk diulang-ulang pada setiap
rakaat, dan hikmah batalnya salat yang tidak dibacakan surat ini di dalamnya.3
Diriwayatkan dari Abi Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“beliau bekata pada Ubay, tidakka aku memberitahukanmu tentang surat yang
tidak diturunkan di Taurat, Injil, dan dalam Alquran yang serupa dengannya?
1Sari Narulita dan Miftahul Jannah, dkk, Al-Hayaatu fil-Qur’an al-Kariim, cetakan
pertama (Depok: Gema Insani, 2006), xi. 2 Bey Arifin, Samudera Al-fa>tihah, cetakan kedua (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1972), XV. 3Sayyid Quthub, Fi Zhilallil Quran, cetakan ketiga, (Jakarta: Gema Insani, 2004), 25.
5
6
Ubay menjawab: tidak, wahai Rasulullah. Rasulullah berkata: itu adalah
Fa>tiha al-kita>b, sesungguhnya dia adalah sab’u al-mathani dan Alquran yang
mana aku juga berperan di dalamnya.”4
Adapun ayat-ayat di dalam surat Al-fa>tihah ini mengandung pujian
dan pengajaran bagaimana memuji Allah yakni dengan menghususkan segala
macam pujian padaNya dan dengan menyebut namaNya yang paling dominan
yaitu al-rah}ma>n al-rah}i>m. Surat ini juga memuat pengakuan akan kemutlakan
kekuasaan dan pembalasannya di hari kemudian serta petunjuk bagi manusia
bagaimana bermohon dan apa yang seharusnya dimohonkan, yakni agar
diantar di jalan yang luas dan lurus yang pernah ditempuh oleh mereka yang
sukses, bukan jalan orang yang sesat, karena tidak mengetahui kebenaran dan
tentu bukan juga cara hidup mereka yang telah mengetahui kebenaran tapi
enggan menelusurinya. Jika bermaksud mengelompokkan maka dapat
dikelompokkan menjadi dua kelompok. Pertama, berbicara tentang Allah dan
sifat-sifatnya sedang kelompok kedua merupakan permohonan yang diajarkan
Allah kepada hamba-hambaNya.5
Dengan demikian, alangkah baiknya jika Al-fa>tihah ini diulas secara
lebih mendalam lagi, karena kebanyakan orang Islam baik yang bodoh atau
pintar, mengerti atau tidak, pelan atau keras seringkali membaca Al-fa>tihah
tanpa tau kandungan di dalamnya.6 Dalam makalah ini penulis akan sedikit
mengurai tentang kandungan shariah yang terdapat dalam Surat Al-fa>tihah
4Thanthawy al-Jauhary, al-Jawahir, juz 1,(Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, tt), 3. 5M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), 9. 6al-Jauhary.., al-Jawahir.., 20.
7
yang berkenaan tentang ibadahnya muslim, agar mereka mengerti bahwa tiada
pula yang lain yang kita puja atau kita sembah yang berupa beribadah. Karena
kita semuanya adalah makhlukNya belaka.7 Dan tiada pula permohonan
pertolongan kecuali kepada Allah juga.8
B. Identifikasi Masalah
Terkait tentang penafsiran surat Al-fa>tihah ada beberapa
permasalahan yang dikaji:
1. Ayat pertama tentang Basmalah.
2. Ayat kedua tentang Hamdalah.
3. Ayat ketiga tentang memahami rahmat Allah.
4. Ayat keempat memahami tentang hari pembalasan.
5. Ayat kelima memahami tentang Ibadah dan memohon perlindungan
kepada Allah.
6. Ayat keenam memahami tentang makna dan hakikat hidayah.
7. Ayat ketujuh menjelaskan tentang jalan yang lurus.
Dari beberapa permasalahan yang telah diidentifikasi tersebut, perlu
adanya pembatasan masalah agar pembahasan dalam tulisan ini dapat
menetapkan batasan-batasan masalah yang lebih tegas. Oleh karena itu,
makalah ini dibatasi tentang masalah penafsiran syari’ah dalam surat Al-
fa>tihah.
7 Hamka, Tafsir Al-azhar, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 2000), 103. 8Sayyid Quthub, Fi Zhilallil Quran, cetakan ketiga, (Jakarta: Gema Insani, 2004), 30.
8
C. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kandungan ayat syari’ah dalam surat Al-fa>tihah?
D. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kandungan ayat syari’ah dalam surat Al-fa>tihah.
E. Manfaat Penelitian
1. Menambah wawasan mengenai kandungan ayat syari’ah dalam surat
Al-fa>tihah.
F. Kajian Pustaka
Kajian yang menelaah tentang tafsir surat Al-fa>tihah, khususnya yang
mengulas tentang kandungan shariah yang terdapat dalam surat Al-fa>tihah
ayat lima ini dapat dilihat dari sumber rujukan yang digunakan oleh penulis
dalam menyelesaikan makalah ini, baik dari buku dan kitab yang memiliki
literatur arab maupun indonesia. Beberapa diantaranya:
1. Samudera Al-fa>tihah karya H. Bey Arifin yang diterbitkan oleh PT.
Bina Ilmu Surabaya pada tahun 2002. Buku ini dikarang dengan
tujuan untuk menggali sedalam mungkin menjelajah atau menyelami
sejauh mungkin akan Samudera Al-fa>tihah yang maha dalam dan
maha luas, untuk menambah iman dan khusyu’nya muslim terhadap
semua persoalan yang dikandungnya.9
2. Terjemahan Tafsir Ayat Ahkam Ash-Shabuni juz 1 karya Muhammad
Ali Ash-Shabuni yang diterjemahkan oleh H. Mu’ammal Hamidy dan
Drs. Imron A. Manan dan diterbitkan oleh PT. Bina Ilmu Surabaya
9H. Bey Arifin, Samudera Al-fa>tihah, cetakan kedua (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1972),
xv.
9
pada tahun 2003. Dalam kitab ini, Ash-Shabuni berpendapat bahwa
yang benar yaitu pendapat para muh{aqqiu>n (peneliti) dari kalangan
ahli tafsir yang menyatakan bahwa (penyebutan kata “isim” dalam
“basmalah”) itu untuk membedakan antara sumpah dan tabarruk.10
3. Berdasarkan Misteri Surat Al-fa>tihah karya Abdul Hakim bin
Abdullah Al-Qasim yang diterbitkan oleh eLBA Surabaya pada tahun
2007, beribadah kepada Allah SWT merupakan bukti kecintaan tulus
sang hamba kepada Allah SWT. Suatu ibadah tidak bisa sah kecuali
jika seseorang mengerjakannya sesuai dengan tuntutan Nabi
Muhammad SAW (muta>ba’ah).11
4. Ucapan itu bagian dari ibadah yang tidak dapat diganti atau direvisi
oleh siapapun, maka lafadz “kami menyembah” harus diucapkan apa
adanya tanpa perubahan sedikitpun; meskipun yang mengucapkannya
sendirian.12 Ini terdapat dalam buku Nashruddin Baidan yang berjudul
Tafsir Kontemporer Surat Al-fa>tihah yang diterbitkan oleh Pustaka
Pelajar Yogyakarta pada tahun 2012.
5. Tafsir Al-Misbah karya M. Quraish Shihab yang diterbitkan oleh
Lentera Hati Tangerang pada tahun 2007. Quraish Shihab berkata
dalam kitab ini, bahwa ayat-ayat surat Al-fa>tihah mengandung pujian
dan pengajaran bagaimana seseorang memuji Allah yakni dengan
10 Muammal Hamidy dan Drs. Imron A. Manan, Terjemahan tafsir Ayat Ahkam Ash-
Shabuni, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003), 4. 11Abdul Hakim bin Abdullah Al-Qasim, Misteri Surat Al-fa>tihah, cetakan kedua
(Surabaya: eLBA. 2007), 85. 12 Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surat Al-fa>tihah, cetakan pertama,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 74.
10
mengkhususkan segala macam pujian kepadaNya dan dengan
menyebut nama-namaNya yang paling dominan yaitu al-rah{ma>n dan al
rah{i>m.13
6. Berdasarkan Tafsir Al-Baidhowy karya Nashir Al-Din Abi Sa’id
Abdullah Abi Umar bin Muhammad Al-SyairazyAl-Baidhowy yang
diterbitkan oleh Dar Al-Fikr, ibadah yang jelas itu menunjukkan
sahnya kemukallafan seseorang dan itu semua ada jika disertai dengan
kemampuan.14
13M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, cetakan kesepuluh (Tangerang: Lentera Hati,
2007), 9. 14
Nashir Al-Din Abi Sa’id Abdullah Abi Umar bin Muhammad Al-Syairazy Al-Baidhowy, Tafsir Al-Baidhowy, (Lebanon: Dar Al-Fikr, tt), 67.
11
G. Outline
COVER
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
H. Latar Belakang
I. Identifikasi Masalah
J. Rumusan Masalah
K. Tujuan Penelitian
L. Manfaat Penelitian
M. Kajian Pustaka
N. Outline
BAB II SHARIAH DAN AL-FATIHAH
C. Shariah
D. Al-Fatihah
BAB III SHARIAH DALAM SURAT AL-FATIHAH
G. Ayat, Mufradat, dan Terjemah
H. Asbab Al-nuzul
I. Munasabah Ayat
J. Tafsir surat Al-Fatihah ayat Lima, Enam, dan Tujuh
K. Isi Kandungan Shariah dalam surat Al-Fatihah
L. Analisis
BAB IV PENUTUP
12
C. Kesimpulan
D. Saran
DAFTAR PUSTAKA
13
BAB II
SHARIAH DAN AL-FATIHAH
A. Shariah
Hukum Islam sebagai sistem hukum yang bersumber dari Din al-Islam
sebagai suatu sistem hukum dan suatu disiplin ilmu, hukum Islam mempunyai dan
mengembangkan istilah-istilahnya sendiri sebagaimana disiplin ilmu yang lain.
Dalam studi hukum Islam, di Indonesia, seringkali dijumpai istilah Hukum Islam,
shariah, fiqh, serta beberapa istilah teknis lainnya. Istilah hukum Islam
merupakan istilah khas Indonesia, sebgai terjemahan al-fiqh al-Islamy atau dalam
konteks tertentu dari al-shari’ah al-Islamy. Istilah ini dalam wacana ahli hukum
orang barat disebut Islamic Law. Dalam Alquran maupun Sunnah istilah al-hukm
al-Islam tidak dijumpai tetapi digunakan ialah kata shariah yang dalam
penjabarannyakemudian lahirlah istilah fiqh. Untuk mendapatkan gambaran yang
jelas mengenai hukum Islam perlu dipahami dahulu pengertian istilah shariah dan
fiqh.15
1. Pengertian dan Definisi Shariah
Golongan ulama yang muncul sesudah abad III hijriyah telah memakai
kata shariah untuk nama-nama hukum fiqh atau hukum Islam, yang berhubungan
dengan perbuatan mukallaf. Atas dasar pemakaian ini, timbul perkataan Islam
15Abd. Shomad, Hukum Islam, cetakan kedua, (Jakarta: Kencana Preneda Media group,
2012), 22-23
15
14
adalah akidah dan shariah, yang dinamakan atau yang dimaksud dengan shariah
adalah arti yang sempit yang berarti qanun.16
Secara harfiyah, shariah adalah jalan (ketepian mandi) yakni jalan lurus
yang harus diikuti oleh setiap muslim. Shariah memuat ketetapan-ketetapan Allah
SWT dan ketentuan RasulNya, baik berupa larangan maupun berupa suruhan. Ia
meliputi seluruh aspek hidup dan kehidupan manusia.17
Imam Syafi’i mengartikan shariah dengan pengaturan-pengatuan lahir
bagi umat Islam yang bersumber pada wahyu dan kesimpulan (deductions) yang
dapat ditarik dari wahyu.18
Manna’ Al-Qathan berpendapat bahwa istilah shariah itu mencakup segala
aspek akidah dan akhlak disamping aspek hukum, sebagaimana dia katakan
bahwa shariah adalah “segala ketentuan Allah SWT yang disyariatkan bagi
hamba-hambaNya, baik menyangkut akidah, ibadah, akhlak maupun muamalah.
Dengan pengertian ini, dia ingin membedakan antara shariah sebagai ajaran yang
datang langsung dari Tuhan, dengan perundang-undangan hasil pemikiran
manusia. Namun, dia mengidentikkan shariah dengan agama.19
Menurut Faruq Nabhan, shariah itu mencakup aspek-aspek akidah,
akhlak, dan amaliyah. Namun, menurutnya istilah shariah itu terkadang
berkonotasi fiqh, yaitu norma-norma amaliah beserta implikasi kajiannya.20
16Ibid, 24 17Mohammad Daud Ali, Hukum islam, cetakan ketiga (Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada,
1993), 42 18Abd. Shomad, Hukum Islam, cetakan kedua, (Jakarta: Kencana Preneda Media group,
2012), 24. 19Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, cetakan ketiga (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada,1995 ), 3. 20 Ibid .,
15
Pengertian yang dikemukakan Manna’ al-Qathan kurang dapat
mengakomodir norma-norma hukum hasil kajian para ulama, termasuk kajian
yang tradisional. Sementara Faruq Nabhan belum membedakan secara tegas
antara shariah dan fiqh. Dan kini Mahmud Syaltout memberikan pengertian yang
jelas, dia mengartikan bahwa shariah itu adalah ketentuan-ketentuan yang
ditetapkan Allah SWT, atau hasil pemahaman atas dasar ketentuan tersebut, untuk
dijadikan pegangan oleh umat manusia baik dalam hubungannya dengan Tuhan,
dengan umat manusia lainnya, orang Islam dengan non-muslim, dengan alam,
maupun dengan menata kehidupan ini.21
Mahmud Syaltout lebih jauh berpendapat bahwa aspek akidah tidak
termasuk pada pembahasan dan kajian shariah, karena akidah –menurutnya-
merupakan landasan bagi tumbuh dan berkembangnya shariah. Sedang shariah
merupakan sesuatu yang harus tumbuh di atas aqidah tersebut.22
Pengertian yang dikemukakan Syaltout ini relatif lebih akomodatif, karena
dapat mewakili dua jenis shariah, yaitu ketentuan-ketentuan yang diturunkan serta
dikeluarkan oleh Allah SWT dan RasulNya, serta norma-norma hukum kajian
para ulama mujtahid, baik melalui qiyas maupun mashlahah. Kemudian,
pengertiannya itu juga membatasi shariah pada aspek hukum yang mengatur
hubungan manusia dengan Tuhannya, dengan manusia lain, alam dan lingkungan
sosialnya.23
Kompetisi untuk menetapkan hukum tersebut pada dasarnya berada pada
Tuhan, karena Dia adalah pencipta umat manusia dan segenap makhlukNya yang
21 Ibid., 3-4. 22 Ibid., 4. 23 Ibid.,
16
lain, sementara norma-norma hukum itu merupakan ketentuan yang mengatur
kehidupan mereka. Kemudian juga para RasulNya sebagai orang yang Dia utus
untuk menyampaikan dan menerangkan norma-norma tersebut kepada umat
manusia. Akan tetapi, karena pernyataan-pernyataan eksplisit Alquran itu banyak
yang mujmal, umum dan merupakan respon yuridis terhadap produk-produk
kultur manusia, sementara penjelasan-penjelasan Sunnah juga terkait dengan
zaman dan lingkungan tertentu, maka untuk beberapa hal perlu kajian-kajian
ijtihadi sebagai penjelasan lebih lanjut terhadap tuntutan nash, serta jawaban
terhadap berbagai persoalan yang belum tersentuh oleh kedua sumber hukum
tersebut.24
Maka dari itu, dengan melihat dari subyek penetapan hukumnya, para
ulama membagi tasyri’ menjadi dua, yaitu tasyri’ samawi (Ilahy) dan tasyri’
wadh’i.25 Singkatnya, jika hukum itu berasal dari ketetapan agama, dinamailah
tasyri’ samawi (Ilahy), dan jika berasal dari pemikiran otak manusia, dinamai
tasyri’ wadh’i.26
Adapun kata yang sangat dekat hubungannya dengan perkataan shariah
adalah syara’ dan syar’i yang diterjemahkan oleh agama. Oleh karena itu,
seringkali jika orang berbicara tentang hukum syara’ yang dimaksudnya adalah
24 Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, cetakan ketiga (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada,1995 ), 1-2. 25 Ibid., 2. 26 Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqih, cetakan pertama (Jakarta: Bulan Bintang,
1978), 20.
17
hukum agama yaitu hukum yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dan dijelaskan
oleh RasulNya, yakni hukum shariah.27
Apabila dikatakan hukum shariah, maksudnya ialah: “hukum-hukum fiqh
yang berpautan dengan masalah-masalah amaliyah yang dikerjakan oleh para
mukallaf sehari-hari.28
Hukum ini dinamai juga hukum furu’, karena dipisahkan dari ushulnya,
yakni diambil dan dikeluarkan dari dalil-dalilnya (dalil-dalil syar’i) yang menjadi
obyek Ushul Fiqh. Jelasnya fiqh Islam memiliki ushul (pokok-pokok atau dasar-
dasar) dan furu’ (cabang-cabang) yang diambilkan dari pokok tersebut.29
2. Fiqh
Secara sistematis kata fiqh bermakna “mengetahui sesuatu dan
memahaminya dengan baik.”30 Juga dapat berarti tahu dan paham.31 Sedang
menurut istilah adalah mengetahui hukum-hukum syara’ yang bersifat ‘amaliyah
yang dikaji dari dalil-dalilnya yang terinci.32 Para fuqaha` (jumhur mutaakhirin)
mendefinisan fiqh dengan “ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang
diperoleh dari dalil-dalil tafs}iyly (dalil tafs}iyly yakni dalil-dalil yang khusus,
diambil dengan jalan nadhar ijtihad).”33
Sosiolog Muslim terkenal Ibnu Khaldun menerangkan:
27Mohammad Daud Ali, Hukum islam, cetakan ketiga (Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada,
1993), 43. 28 Shiddieqy.., Pengantar Ilmu Fiqih.., 30. 29Shiddieqy.., Pengantar Ilmu Fiqih.., 30-31. 30Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, cetakan ketiga (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada,1995 ), 4. 31Shiddieqy.., Pengantar Ilmu Fiqih.., 30. 32 Rosyada.., Hukum Islam.., 4. 33Shiddieqy.., Pengantar Ilmu Fiqih.., 30.
18
“fiqh adalah ilmu yang dengannya diketahui segala hukum Allah SWT yang
berhubungan dengan segala pekerjaan mukallaf, baik yang wajib, yang
haram, dan yang mubah-harus-yang diambil (diistinbatkan) dari Alquran
dan Sunnah dan dalil-dalil yang telah tegas ditegakkan syara’, seperti qiyas
umpamanya.apabila dikeluarkan hukum-hukum dengan jalan ijtihad dari
dalil-dalinya, maka yang dikeluarkan itu, dinamai fiqh.”34
Hasan Ahmad Al-Khatib berkata: “yang dimaksud dengan fiqh Islami, ialah
sekumpulan hukum syara’ yang sudah dibukukan dari berbagai madzhab-
madzhab, baik dari madzhab empat atau madzhab-madzhab lainnya, dan yang
dinukilkan dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in, baik dari fuqaha’ tujuh (Sa’id ibn
Musaiyab, Abu Bakar ibn Abdur Rahman, Urwah ibn Zubair, Sulaiman ibn
Jassar, Al Qasim ibn Muhammad, Kharidjah ibn Zaid, dan Ubaidillah ibn
Abdillah) di Madinah, ataupun fuqaha’ Makkah, fuqaha’ Syam dan fuqaha’
Mesir, Iraq, Bashrah, dan sebagainya.35
Abdul Wahhab Khalaf berpendapat bahwa ilmu fiqh ialah pengetahuan
tentang hukum-hukum syari’at Islam mengenai perbuatan manusia yang diambil
dari dalil-dalilnya secara detail. Atau koleksi-koleksi hukum shariah Islam
tentang perbuatan manusia yang diambil berdasarkan dalil-dalilnya secara detail.36
Jadi, ilmu yang mempelajari Shariah disebut dengan Ilmu fiqh.37
34Abd. Shomad, Hukum Islam, cetakan kedua, (Jakarta: Kencana Preneda Media group,
2012), 27. 35Shiddieqy.., Pengantar Ilmu Fiqih.., 32 36 Shomad.., Hukum Islam.., 27 37Abd. Shomad, Hukum Islam, cetakan kedua, (Jakarta: Kencana Preneda Media group,
2012), 25.
19
Hukum fiqh diambil dari wahyu, baik wahyu yang ditilawahkan (Alquran),
maupun wahyu yang tidak ditilawahkan (Sunnah Rasul). Selain itu, apabila
mujtahid tidak memeroleh nash, maka dia menggali hukum itu dari ruh (jiwa)
shariah dan maksud-maksudnya.38
Sesuai dengan beberapa definisi di atas, setidaknya ada dua obyek kajian fiqh,
yaitu:
1. Hukum-hukum syara` yang bersifat `amaliyah. Dengan demikian, norma-
norma agama yang berkaitan dengan aspek aqidah tidak termasuk pada
obyek kajian fiqh.39
2. Dalil-dalil terinci dari Alquran dan Sunnah yang menunjuk suatu kejadian
tertentu, atau menjadi rujukan untuk kejadian-kejadian tertentu. Seperti
riba itu haram karena ditegaskan dalam Alquran surah Al-Baqarah ayat
279, yang berbunyi:40
لكم فلكم تبتم لر�با من بقي ما هللا ت�قو منو ذينل ي�ها يا ٤١.ت�ظلمو ال ت�ظل龵مو ال مو
Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah kepada Allah dan
tinggalkanlah riba. Dan jika kalian bertaubat (dari riba), kalian hanya
boleh mengambil pokok piutangnya saja.42
Ayat ini merupakan dalil tafshil yang menunjuk keharaman riba dalam
tradisi perniagaan masyarakat Arab dahulu, dan juga menjadi rujukan
dalam pembahasan jenis-jenis riba pada saat ini. Demikian pula pada ayat
38Shiddieqy.., Pengantar Ilmu Fiqih.., 33 39 Rosyada.., Hukum Islam dan ..,4 40 Ibid., 41Alquran karim. 42Alquran dan terjemahnya.
20
188 surah al-Baqarah yang menjadi dasar keharaman memakan harta
orang lain secara tidak sah. Dan ayat 90 surah al-Maidah yang menjadi
dasar keharaman khamr.43
Menurut Wahbah al-Zuhaili, pembahasan fiqh ini mencakup dua bidang,
yaitu fiqh ibadah, yakni yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya,
seperti salat, puasa, zakat, ibadah haji, memenuhi nadzar dan membayar kafarat
terhadap pelanggar sumpah. Dan ke dua, fiqh muamalah yakni yang mengatur
hubungan manusia dengan manusia yang lainnya. Pembahasannya mencakup
seluruh bidang fiqh selain masalah-masalah ubudiah, seperti ketentuan-ketentuan
tentang jual-beli, sewa-menyewa, perkawinan, perceraian, ketentaun pembagian
harta pusaka, jinayah dan lain-lain.44
Sementara itu, Mushtafa Zarqa membagi pembahasan fiqh itu menjadi enam
bidang, yaitu45:
1. Ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan bidang ubudiah,
seperti salat, puasa, zakat, dan ibadah haji. Inilah yang kemudian ia sebut
sebagai fiqh ibadah.46
2. Ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan kehidupan keluarga,
seperti perkawinan, perceraian, nafakah dan ketentuan nasab.inilah yang
kemudian ia sebut sebagai ahwal al-syakshiyyah.47
43 Rosyada.., Hukum Islam .., 5. 44Ibid., 63-64. 45 Ibid., 64. 46 Ibid., 47 Ibid.,
21
3. Ketentuan hukum yang berkaitan dengan hubungan sosial antara umat
Islam, dalam konteks hubungan ekonomi dan jasa. Seperti jual beli, sewa
menyewa dan gadai. Bidang ini kemudian ia sebut sebagai fiqh
muamalah.48
4. Ketentuan hukum yang berkaitan dengan sanksi-sanksi terhadap pelaku
tindak kejahatan kriminal. Seperti qishas, diyat, dan hudud. Bidang ini
kemudian disebut sebagai fiqh jinayah.49
5. Ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur masalah-masalah hubungan
warga negara dengan pemerintahannya, serta hubungan antara satu negara
dengan yang lainnya. Pembahasan bidang ini dinamakan sebagai fiqh
siyasah.50
6. Ketentuan-ketentuan yang mengatur etik pergaulan antara seorang muslim
dengan yang lainnya dalam tatanan kehidupan sosial. Bidang ini kemudian
ia sebut sebagai al-ahkam khuluqiyah.51
Dengan demikian, kajian ilmu fiqh itu adalah mengetahui hukum dari
setiap perbuatan mukallaf, tentang halal, haram, wajib, mandub, makruh atau
mubahnya, beserta dalil-dalil yang menjadi dasar ketentuan-ketentuan hukum-
hukum tersebut, apakah dalilnya itu dinyatakan dalam Alquran atau Sunnah.52
Fiqh diambil dan digali dengan jalan ijtihad. Untuk mengetahuinya
diperlukan perhatian dan ketekunan yang mendalam.53
48 Ibid., 49 Ibid., 50 Ibid., 51 Ibid., 52 Rosyada.., Hukum.., 5. 53 Shiddieqy.., Pengantar Ilmu Fiqih.., 33.
22
Satu kelebihan dari norma-norma hukum Islam adalah bahwa ketentuan
ubudiyah memiliki hikmah yang berkaitan dengan aspek-aspek sosial, seperti
pelaksanaan ibadah salat yang dilakukan secara berjamaah, dalam kesempatan itu,
umat Islam dapat melakukan komunikasi lokal antara sesama jama’ah. Sementara
dalam pelaksanaan ibadah haji, mereka dapat melakukan komunikasi global, dan
bisa saling mengenal antara berbagai bangsa yang berbeda-beda.54
Kemudian, seluruh ketentuan hukum itu merupakan sarana potensial untuk
membuktikan ketaatan umat Islam kepada Allah SWT sebagai Tuhannya. Dan
sekaligus merupakan sarana untuk mempersiapkan kehidupan akhirat yang lebih
baik, karena ketaatan terhadap semua ketentuan-ketentuan hukumnya itu
merupakan kegiatan ibadah. Seperti hukum yang mengatur persoalan-persoalan
kemasyarakatan, baik dalam masalah muamalah, ahwal al-syakhshiyyah dan
bahkan jinayah memiliki nilai ibadah dan tidak lain hanya mengharap ridha Allah
SWT.55
3. Antara Shariah dan Fiqh
Pada pokok perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut56:
1. Shariah, seperti telah disinggung di atas, terdapat di dalam Alquran dan
kitab-kitab hadis. Kalau berbicara tentang syari’at, yang dimaksud adalah
wahyu Allah dan Sunnah nabi muhammad sebagai RasulNya. Fiqh
terdapat dalam kitab-kitab fiqh. Kalau berbicara tentang fiqh, yang
54 Rosyada.., Hukum Islam .., 98-99. 55Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, cetakan ketiga (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada,1995 ), 99. 56Mohammad Daud Ali, Hukum islam, cetakan ketiga (Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada,
1993), 45.
23
dimaksud adalah pemahaman manusia yang memenuhi syarat tentang
shariah dan hasil pemahaman itu.57
2. Shariah bersifat fundamental dan mempunyai ruang lingkup yang lebih
luas karena ke dalamnya, menurut banyak ahli, dimasukkan juga akidah
dan akhlak. Fiqh bersifat instrumental, ruang-lingkupnya terbatas pada
hukum yang mengatur perbuatan manusia, yang biasanya disebut sebagai
perbuatan hukum.58
3. Shariah adalah ketetapan Allah dan ketentuan RasulNya, karena itu
berlaku abadi; fiqh adalah karya manusia yang tidak berlaku abadi, dapat
berubah dari masa ke masa.59
4. Shariah hanya satu, sedang fiqh mungkin lebih dari satu seperti (misalnya)
terlihat pada aliran-aliran hukum yang disebut dengan istilah mazahib atau
madzab-madzab.60
5. Shariah menunjukkan kesatuan dalam Islam, sedang fiqh menunjukkan
keragamannya.61
6. Dalam shariah, objeknya meliputi bukan hanya batin saja akan tetapi juga
lahiriyah manusia dengan Tuhannya (ibadah). Sedangkan dalam fiqh,
objeknya yaitu peraturan manusia yaitu hubungan lahir antara manusia
dengan manusia, manusia dengan makhluk lain.62
57Ibid ., 58Ibid ., 59Ibid ., 60Ibid.., 45-46. 61Mohammad Daud Ali, Hukum islam, cetakan ketiga (Jakarta: PT. RajaGrafindoPersada,
1993),46. 62 http://shariahdanfiqih.blogspot.com/2011/09/pengertian-persamaan-dan-
perbedaan.html, 15 Oktober 2013, 11:35.
24
4. Dasar Hukum Fiqh
Dilihat dari segi kebahasaan, kata “Ushul al-fiqh” terdiri dari dua
penggalan kata yang masing-masing memiliki makna, yaitu ushul dan al-fiqh.
Kata “ushul” yang merupakan bentuk jama’ dari al-ashlu bermakna dasar-dasar
yang menjadi landasan bagi tumbuhannya sesuatu yang lain. Sama halnya dengan
akar yang tertancap di dalam bumi sebagai dasar tumbuhnya pohon yang
menjulang ke atas. Sedangkan fiqh, sebagaimana telah terurai dalam pembahasan
sebelumnya adalah, mengetahui ketentuan-ketentuan hukum syara’ untuk
berbagai perbuatan mukallaf melalui kajian-kajian ijtihad dari dalil-dalilnya yang
terinci. Dengan demikian, ushul al-fiqh adalah sekumpulan dalil yang menjadi
dasar tumbuh dan terbinanya fiqh, serta menghubungkannya pada dalil-dalil nash
dan ijma’ sahabat. Yang dimaksud dengan dalil-dalil yang diambil dari Alquran
dan Sunnah.63
Abu Zahrah mengatakan bahwa ushul al-fiqh adalah kaidah-kaidah yang
dapat dijadikan sebagai patokan untuk mengkaji ketentuan-ketentuan hukum
untuk berbagai perbuatan mukallaf, yang ditelaah dari dalil-dali terinci.64
Fikrah (ide) mengikuti sesuatu manhaj tertentu dalam mengistinbath kan
hukum, telah ada semenjak adanya fiqh. Lantaran fiqh itu menghendaki adanya
manhaj untuk istinbath, walaupun manhaj itu belum jelas dan belum merupakan
kaidah. Inilah keadaannya di masa sahabat dan tabi’in.65
63 Rosyada.., Hukum Islam .., 101. 64
Rosyada.., Hukum .., 101-102. 65
Shiddieqy.., Pengantar Ilmu Fiqih.., 187.
25
Setelah banyak macamnya furu’ dan beraneka pula fatwa serta
berkembangnya fiqh dan lahir tokoh-tokoh fiqh yang terkenal, maka manhaj ini
menjadi jelas dan masing-masing mujtahid memiliki manhaj sendiri. Seperti Abu
Hanifah, dan mujtahid-mujtahid yang lain. Sesudah itu, barulah lahir ulama-ulama
yang memberi perhatian untuk memperkembangkan ilmu ini. Imam Ahmad
menulis kitab dalam ilmu ushul fiqh. Penganut-penganut madzhab Hanafi dan
Maliki juga demikian. Selain itu, ulama-ulama Hanafiyah memiliki ciri khas
dalam bentuk kaidah-kaidah fiqh. Mereka mengambil kaidah ushuliyyah dari furu’
fiqhiyah yang dinukilkan dari tokoh-tokoh fiqh mereka, sedang fuqaha’-fuqaha’
yang lain menetapkan kaidah yang dapat disendikan kepada dalil-dalil yang kuat
tanpa melihat kepada hukum furu’ yang telah ada. Kemudian dari golongan
Hanafiyah ini lahir segolongan ulama yang berusaha mengumpulkan kedua-dua
jalan itu.ini adalah awal munculnya ushul fiqh.66
Adapun tujuan ushul fiqh ialah, membuhur jalan untuk mengetahui
hukum-hukum shariah, mengetahui cara-cara mengistinbathkan hukum dari dalil
yang menurut biasa dengan memergunakan jalan itu terhindar dari kesalahan.
Walaupun ada fuqaha yang mengumandakan fatwa, bahwa pintu ijtihad telah
ditutup sejak abad ke-4 hijriyah. Namun, kebutuhan kita kepada ilmu ini tetap
besar, karena fatwa mereka bukanlah suatu fatwa yang harus diterima, lantaran tak
berdalil, fatwa itu timbul karena dikhawatiri orang yang tidak berhak berijtihad
akan turut berijtihad. Ringkasnya, ilmu ushul fiqh ini diperlukan oleh segala ahli
fiqh dan oleh orang yang ingin mendalami bidang fiqh ini selama masih
66
Shiddieqy.., Pengantar Ilmu Fiqih.., 187-188.
26
berkembang fiqh selama itu pulalah masih diperlukan ilmu ushulnya. Di
Indonesia ini barulah dalam masa akhir-akhir ini, kembali ilmu ini mendapat
perhatian.67
Menurut Dede Rosyada, fungsi utama dari ushul fiqh adalah mengangkat
ketentuan-ketentuan hukum Islam yang terpapar dalam Alquran dan Sunnah,
sehingga setiap orang mukallaf dapat mengetahuinya dengan baik, dan
menerimanya sebagai ketentuan syara’, baik secara yakin maupun dzan.68
Adapun pembahasan dalam ushul al-fiqh itu mencakup rumusan kaidah-
kaidah kulli, yang disimpulkan secara induktif dari rangkaian nash-nash Alquran
dan Sunnah. Kemudian pembahasan ushul al-fiqh juga mencakup rumusan-
rumusan kaidah kulli sebagai hasil analisis nalar mujtahid, yang disimpulkan
secara tradisional dengan memerhatikan isyarat-isyarat nash dan bertujuan
membawa berbagai furu’ dan nash, dan dapat disimpulkan secara rasionaln
dengan lebih memerhatikan kepentingan-kepentingan sosiologis, namun, tetap
memperoleh legalitas nash.69
Kaidah-kaidah ushul al-fiqh berbeda dengan kaidah fiqhiyah. Ringkasnya,
ushul al-fiqh membahas hukum syar’i daris segi hakikat, khasiat, macam-
macamnya; membahas hakim (orang yang menetapkan hukum) dari segi
memerhatikan dalil-dalil yang menegaskan bahwa hukum itu benar datang dari
hakim yang berhak menetapkan hukum dan membahas mahkum alaihi (sesuatu
yang dihukumi) dan ijtihad. Sedangkan, kaidah-kaidah fiqhiyah adalah kumpulan
67
Shiddieqy.., Pengantar Ilmu Fiqih,., 188-189. 68
Rosyada.., Hukum .., 103. 69
Dede Rosyada, Hukum Islam dan Pranata Sosial, cetakan ketiga (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,1995 ), 105.
27
hukum yang serupa lalu dikembalikan pada suatu qiyas atau dhabit, seperti kaidah
dhaman dan kaidah khiyar.70
B. Al-Fatihah
Surat ini juga dinamakan fa>tihat al-kita>b, surat hamd, Umm al-Qur’an
(induk Alquran), Umm al-kitab, sab’ al-matha>niy sebab surat ini selalu digunakan
dan dipuji di setiap salat, juga dinamakan ka>fiyah al-wa>fiyah. Ini membuat
pembaca heran dengan namanya yang banyak dan selalu dibaca ketika salat.
Karena memiliki banyak nama, dapat dipastikan juga memiliki berbagai
keutamaan.71
Surat ini memiliki banyak keutamaan, diantaranya ialah72:
1. Salat tidaklah sah tanpa al-Fatihah. Sebagaimana pilar Islam itu salat,
maka pilar salat adalah al-Fatihah.
2. Al-Fatihah adalah surat paling agung dalam Alquran.
3. Al-Fatihah memiliki kedudukan dalam hal ruqyah (jampi-jampi).
4. Al-Fatihah adalah nuur (cahaya), yang hanya diturunkan kepada Nabi
Muhammad SAW secara khusus, bukan kepada Nabi-Nabi yang lain.
70
Shiddieqy.., Pengantar Ilmu Fiqih.., 190. 71Thanthawy al-Jauhary, al-Jawahir, juz 1,(Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, tt), 20. 72Abdul Hakim bin Abdullah Al-Qasim, Misteri Surat Al-Fatihah, Cetakan Kedua
(Surabaya: eLBA, 1429 H), 26-30.
28
BAB III
SHARIAH DALAM SURAT AL-FA>TIHAH
Surat al-Fa>tihah adalah “Mahkota Tuntunan Ilahi”. Dia adalah “umm al
Qur’an” atau “Induk Alquran”. Banyak nama yang disandangkan kepada awal
surat Alquran ini. Tidak kurang dari dua puluh sekian nama. Dari nama-namanya
dapat diketahui betapa besar dampak yang dapat diperoleh bagi para pembacanya.
Tidak heran jika doa dianjurkan agar ditutup dengan Al-h{amd li Allahi rabb al-
‘a>lami>n atau bahkan ditutup dengan surat ini.73
A. Ayat, Terjemah, dan Mufradat
غ عليهم نعمت ذينلل صر. ملستقيم لصر هدنا نستعيـن ي�ــــا نعبد ي�ــــا
٧٤..لضالني ال عليهم ملغضو
Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya Engkaulah yang kami
minta pertolongan. Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-
orang yang telah Engkau anugrahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan)
mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
حد به اطب نصب ضم: ي�ا ٧٥.لو
(dhomir mukhatab nashab yang tertuju pada satu orang)
73M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, cetakan X (Tangerang: Lentera Hati, 2007), 3. 74Alquran karim. 75Abi> Bakr Ja>bir Al-Jaza>iry, Aysar Al-Tafaasiri, (Madinah Munawwarah: Maktabah Al-
Ulum wa Al-Hikam, 1994), 14.
28
29
٧٦.حلب� لت�عظيم لك لذ غاية مع نطيع: نعبد
(taat dengan segala kekurangan dan pengagungan beserta cinta)
٧٧.طاعتك علي لك عونك نطلب: نستعني
(kami mencari pertolonganu atas taat kepadaMu)
يتنا شدنا: هدنا .٧٨هد
(tunjukkanlah kami dan langgengkanlah hidayah kami)
.٧٩لك إلسال هو جن�تك ضا ملوصو لطريق: لصر
(jalan yang sampai kepada ridho dan surgaMu yakni IslamMu)
٨٠.د عن يغ ال حلق� عن فيه ميل ال لذ: ملستقيم
(yang tidak serong dari kebenaran dan tidak berpaling dari petunjuk)
٨١.لصاحلو لشهد لصديقو لنبي�و هم: عليهم نعمت للذين
(Yakni para nabi, orang-orang yang jujur para syuhada’ dan orang-orang yang
shalih)
.٨٢كإال به يستث لفظ: غ
(lafadz istisna’ seperti illa)
76Ibid., 77Ibid., 78 Ibid., 79Ibid., 80 Ibid., 81Ibid., 82Ibid.,
30
هم لكفرهم عليهم تعا هللا غضب من: عليهم ملغضو ٨٣.كاليهو أل فسا
(orang yang Allah telah murka kepadanya atas kekafiran atau kerusakannya.
Seperti orang-orang Yahudi)
٨٤.كالنصا يشرعه مبا هللا فيعبد حلق� طريق خطأ من: لضالني
(orang yang salah mengambil jalan kebenarannya kemudian menyembah
Allah dengan apa yang tidak disyara’kan olehNya seperti orang-orang
Nasrani )
Maka, seluruh lafadz tersebut bisa diartikan sebagai
منه يبد ليه شدنا .غ لعبا علي ملعونة نطلب غ توحيد من بالعبا ص�ك
ية د ٨٥.بصلته لذين من يبد با
Yakni, kami beribadah kepadaMu, seperti mentauhidkan/mengesakan dan
lain-lainnya, dan kami memohon pertolongan hanya kepadaMu dalam
menghadapi semua hambaMu dan lain-lainnya. Dengan mengharap ridho
Allah dan hidayahNya semata. Dan orang-orang yang mendapatkan hidayah
itu bukan orang-orang Yaahudi, bukan pula orang-orang Nasrani. Hanya
Allahlah yang Maha Mengetahui, dan hanya Allahlah yang dikembalikan
segala sesuatu.86
83Ibid., 84Ibid., 85Jalaluddin Muhammad bin Ahmad Al-Mahaaly dan Jalaluddin Muhammad
Abdurrahman bin Abi Bakar Ash-Shuyuthi, Tafsiir Jalaalyn, (Beirut Lebanon: DKI, tt) th. 86 Jalaluddin Al-Mahally dan Imam Jalaluddin Ash-Suyuthi, Tafsir Jalalain, cetakan 9,
(Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2011), 2.
31
B. Asbab Al-Nuzul dari Surat Al-Fa>tihah
Bukan tanpa alasan jika surat ini dinamakan fa>tihat al-kita>b (pembuka
Alquran), karena kenyataannya Allah menempatkannya sebagai surat yang
mengawali seluruh rangkaian firmanNya dalam Alquran. Dan penempatan itu
pasti bukan sekedar penempatan. Ada aspek keagungan di dalamnya. Bukan anpa
alasan jika surat ini disebut Umm al-kita>b (induk Alquran), Al-S{ala>t (bacaan yang
menjadi syarat sah salat), Al-Shifa>’ (obat), Al-Sab’u Al-Mathani (tujuh ayat yang
dibaca berulang-ulang), Al-Ruqyah (sebagai jampi-jampi),dan nama lain yang
menyiratkan keistimewaan.87
Para ulama berselisih pendapat mengenai letak turunnya surat ini. Mayoritas dari
mereka berpendapat bahwa surat ini diturunkan di Makkah dan termasuk sebagian
dari ayat Alquran yang diturunkan di awal-awal penurunan Alquran.88
Pendapat ini diperkuat oleh beberapa hadis, yakni89:
1. Dari Abu Utsman Said bin Muhammad bin Ahmad Al-Zahid dari Judy dari Abu
Amrun Al-Hiry dari Ibrahim bin Harits dan Ali bin Sahal bin Mughirah, keduanya
berkata: kami diberitahu oleh Yahya bin (Abi) Bakir, dari Israil Abi Ishaq dari
Abi Maisaroh bahwa Rasulullah SAW keluar, Ia mendengar suatu panggilan yang
memanggilnya: hai Muhammad, jika kau mendengar suatu suara, maka
berpergilah sambil berlarian, kemudian Waraqah bin Naufal berkata kepadanya:
ketika kau mendengarkan suara, maka tetaplah sampai kau mendengarkan apa
yang dikatakan untukmu. Lalu berkata: ketika ia keluar, ia mendengar suara:
87Abdul Hakim bin Abdullah Al-Qasim, Misteri Surat Al-Fa>tihah, Cetakan Kedua
(Surabaya: eLBA, 1429 H), 5. 88 Abi Al-Hasan Ali bin Ahmad Al-Wahidy, Asbab Nuzul Al-Quran, (Beirut, Lebanon:
DKI, tt), 21. 89Ibid., 21-22.
32
wahai Muhammad. Lalu ia menjawab: labbaik. Lalu suaa itu berkata lagi:
katakanlah Ashhadu an la> ila>ha illa Allah wa ashhadu an la> muhammadan rasu>l
Allah. Kemudian berkata lagi: katakanlah alh{amdu li Allahi rabbi al-‘a>lami>n * Al-
rah{ma>ni al-rah{i>m * ma>liki yaumi al-di>n (hingga akhir surat fatihah).
Ini berdasarkan pendapat Ali bin Abi Thalib.90
2. Dari Abu Ishaq Ahmad bin Muhammad Al-Mufassir dari Al-Hasan bin Ja’far Al-
mufassir, berkata: kami diberitahu oleh Abu Al-Hasan bin Muhammad bin
Mahmud Al-Mawarziyyi, dari Abdullah bin Mahmud Al-Sa’diy dari Abu Yahya
Al-Qashriy, dari Marwan bin Muawiyah, dari Ala’ bin Musayyab dari Al-Fudhail
bin Amrun dari Ali bin Abi Thalib berkata: pembuka Alquran itu turun di Makkah
dari kanz di bawah ‘Arsy.91
3. Ibnu al-anbari pun meriwayatkan bahwa dia menerima riwayat dari Ubadah bin
ash-Shamit bahwa surat Fa>tihat al-kita>b ini memang diturunkan di Mekkah.92
Pendapat yang mengatakan bahwa surat Al-Fa>tihah diturunkan di madinah
itu berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam kitab
Mushannaf dan oleh Abu Sai’d bin Al-A’rabi dalam kitab Mu’jamnya dan oleh
Ath-Thabrani dalam kitab al-Ausath dari sanad mujahid yang diterima oleh
sahabat Abi Hurairah, isi hadisnya yakni: iblis telah dipenjara tatkala Fa>tihat al-
kita>b diturunkan, surat ini diturunkan di Madinah.93
90Ibid., 91Ibid., 92
Hamka.., Tafsir Al-Azhar.., 80. 93Ibid., 43.
33
Tetapi, entah karena sengaja hendak mengumpulkan dua pendapat, ada
pula segolongan yang menyatakan bahwa surat ini diturunkan dua kali, pertama di
Mekkah, kemudian diturunkan sekali lagi di Madinah.94
Tetapi, menjadi kuatlah pendapat golongan yang terbesar tadi bila diingat
bahwa sembahyang lima waktu mulai difardhukan ialah sejak di Mekkah,95
sedang tidak masuk akallah jika Nabi saw salat selama di Mekkah tanpa surat
ini.96
C. Munasabah Ayat
Pada surat Al—Fa>tihah ayat lima yang berbunyi:
نستعيـن ي�ــــا نعبد ي�ــــا
Dari ayat ini, diketahui jelas bahwa persembahan, ibadah, serta meminta
pertolongan itu tiada lain kecuali kepada Allah. Karena, Dia sendiri tidak
bersekutu dalam mengkonsep dan mengatur segala sesuatu yang ada di muka
bumi ini. Hal ini terdapat korelasi dengan Surat Al—Fa>tihah ayat kedua97 yang
berbunyi:
لعاملني � هللا حلمد
Dalam ayat ini, lafadz ila>h lebih didahulukan dari pada lafadz rabb, ini
merupakan pernyataan bahwa hanya Allahlah yang patut dipji, karena Dia telah
94Ibid., 81. 95
Ibid., 81. 96 Abi Al-Hasan Ali bin Ahmad Al-Wahidy, Asbab Nuzul Al-Quran, (Beirut, Lebanon:
DKI, tt), 23. 97
Arifin.., Samudera Al-Fa>tihah.., 211.
34
memelihara alam semesta.98 Karena, rabb disitu hanya sebagai keterangan yang
bersifat na’at.99
Dengan demikian, menjadikan Allah sebagai dzat satu-satunya yang
disembah dan dimintai pertolongan karena Allah adalah penguasa seluruh alam.100
D. Tafsir Surat Al-Fa>tihah Ayat Lima, Enam, dan Tujuh
Pada empat ayat pertama sebelum ayat ini terasa sekali nuansa pujian dan
sanjungan kepada Allah sangat kental. Kecuali itu Allah juga menjelaskan bahwa
Dia Maha Pengasih dan Penyayang. Dengan kasih sayangNya yang demikian
besar itulah Dia mengatur, mengayomi, dan mendidik alam semesta ini dengan
segala isinya,101 sambil mengundang hambaNya untuk mendekatkan diri
kepadNya, karena Dia adalah al-rah{ma>n dan al-rah{i>m dan Dia adalah Raja dan
Penguasa Tunggal, khususnya pada hari Pembalasan, maka tidak heran jika
hamba-hambaNya yang memahami dan menyadari hal itu, datang mendekat dan
memohon kepadaNya.102
Dengan prolog itu, manusia diantar pada ayat ke-5 ini yang berisi statemen
tulus dari seorang hamba kepada Tuhannya yang menegaskan bahwa dia hanya
menyembah keadaNya dan minta tolong juga kepadaNya sendiri; tidak kepada
yang lain dariNya. Untuk lebih jelas inilah tafsirannya.103
98
Hamka.., Tafsir Al-Azhar.., 103. 99
Baidan.., Tafsir Kontemporer .., 47. 100
Shihab.., Tafsir Al-Misbah.., 56. 101Nashruddin Baidan, Tafsir Kontemporer Surat Al-Fa>tihah, cetakan pertama,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), 71. 102 Shihab, Tafsir Almisbah.., 49. 103 Baidan.., Tafsir Kontemporer .., 71.
35
Ada beberapa bacaan dalam Al-Fa>tihah ayat lima ini. Al-Syaukani dalam
Fath Al-Qadi>r menjelaskan, bahwa iyyaka dalam ayat ini dibaca dengan
mentasydidkan ya’ oleh Qira’ah Sab’ah dan lainnya. Umar bin Fayd membaca
dengan meringankan ya’nya (tidak ditasydid) dan dikasroh. Al-Fadl dan Al-
Raqasyi membaca dengan fathah pada hamzahnya. Sedangkan, Abu Suwar Al-
Ghanawi membaca kedua iyyaka tersebut dengan hayya>ka (ھیاك).104
ي�ا نعبد) ) dalam lafadz ini terjadi iltifat (iltifat yakni perpindahan dari bentuk
takallum ke bentuk ghoib atau khitob atau sebaliknya, yakni dari bentuk ghoib ke
bentuk takallum atau khitob, atau dari bentuk khitob ke bentuk ghoib atau
takallum105), dengan cara menganekaragamkan kalimat, karena hal itu lebih
mengena dalam kecenderungan jiwa serta menarik sugesti. Dalam iltifat ini adalah
salah satu macam metode Ilmu Balaghah. Kalau mengikuti kalimat sebelumnya
tentu berbunyi “iyya>hu na’budu” (kepadaNya kami menyembah), tetapi kemudian
dialihkan dari dhamir ghaibah ke dhamir mukhatab karena untuk maksud
menggunakan metode iltifat.106 Hal ini untuk menarik perhatian pendengar agar
memerdulikan pembicaraan, tujuan ini akrab disebut dengan iltifat.107 Karena,
sesungguhnya pembicaraan itu jika dipindahkan dari bentuk aslinya ke bentuk
104Muhammad bin Ali bin Muhammad Al-Syaukani, Fath Al-Qadi>r, juz 1, (Beirut,
Lebanon: DKI, 1994), 25. 105M. Sholihuddin Shofwan, Pengantar Memahami Nadzom Jauharul Maknun, cetakan
pertama, (Jombang: Darul Hikmah, 2007), 162. 106 Muammal Hamidy dan Drs. Imron A. Manan, Terjemah Ayat ahkam Ash-Shobuni,
cetakan keempat (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2003), 7. 107 Muhammad Ali Al-Shobuny, Rawai’ Al-Bayan, juz 1 (Beirut Lebanon: DKI, 1999),
29.
36
yang lain itu memiliki nilai yang bagus untuk mengambil perhatian orang banyak
sebagaimana yang diulas pada ilmu Ma’ani dalam Balaghah.108
Di samping itu, iltifat tersebut juga bertujuan untuk mengkhususkan
(ikhtishos), bahwa seorang hamba hanya menyembah kepadaNya, tidak kepada
yang lain.109 Ibadah yang dilakukan tidak kepada siapapun kecuali kepada Allah
SWT. Jika demikian pandangan hati sepenuhnya hanya kepadaNya dan dengan
demikian, untuk kedua kalinya muncul hakikat pengawasan yang menjadi tema
utama surat Al-Fa>tihah. Ini diperkuat oleh kata ibadah yang intinya adalah
penyerahan diri secara penuh kepada Allah.110
Na’budu dan nasta’i>nu ini menggunakan kata jama’, tidak menggunakan kata
a’budu atau asta’i>nu. Ini menyimpan beberapa hikmah. Diantaranya:
1. Nun tersebut bertujuan untuk pernyataan halus, yakni pengakuan seorang hamba
dengan segala kerendahannya (tawadhu’), bukan untuk memulyakan diri111
kepada Rajanya segala raja yang Maha Agung dan Maha Tinggi, dan memohon
pertolongan (isti’anah) dan hidayah dengan sendirian tanpa orang lain, ini seakan-
akan ia berkata, “wahai Tuhan, saya hamba yang hina dina dan saya tidak patut
untuk berdiri di tempat ini dalam bermunajat kepadaMu dengan diriku sendiri,
tetapi saya menyatukan diri bersama ahli tauhid, kemudian saya berdoa bersama
mereka dan kami semua menyembahMu dan beristianah kepadaMu.112
108
Al-Syaukani.., Fath Al-Qadi>r.., 25. 109 Al-Qadhi Nashir Al-Din Abi Sa’id Abdullah Abi Umar Muhammad Al-Syairazy Al-
Baidhowi, Tafsir Al-Baidhowy, (Lebanon: Dar Al-Fikr, tt) 63. 110 Shihab.., Tafsir Al-Misbah.., 52. 111
Al-Syaukani.., Fath Al-Qadi>r.., 25. 112 Al-Shobuny.., Rawai’ Al-Bayan.., 29.
37
2. Nun tersebut juga bertujuan sebagai peringatan bahwa salat secara berjamaah itu
lebih utama. Sebagaimana hadis Nabi:
فيها ما لد�نيا من خ جلماعة صال أل لت�كب
Yakni, takbir pertama dalam salat berjamaah lebih baik daripada bumi dan
seisinya.113
3. Maksud dari jama’ tersebut adalah aku menyembahMu dan para malaikat
bersamaku. Bukan atas nama semua yang hadir, melainkan semua hamba-
hambaMu yang shalih.114
4. Semua orang mukin adalah saudara. Maka seakan-akan Allah berkata: “untuk apa
kau memujiku dengan perkataanmu ( ن. لعاملني لرحيم لر� حلمد هللا � .) maka
meninggilah derajatmu di hadapan kami, maka jangan meringkas pembenahan
keadaanmu, tetapi kamu harus berusaha untuk membenahi keadaan semua
saudara-saudaramu, maka katakanlah ( ستعيـنن ي�ــــا نعبد ي�ــــا )115
Frase na’budu juga mengandung makna spesifik yang berbeda dari
kosakata lainnya yang seakar dengannya seperti ‘abadna> (عبدنا), kata kerja masa
lampau (fi’il madhi). Ungkapan ini berkonotasi “kami sudah mengabdi”.
Perbedaan maksan tersebut dikarenakan bedanya dua bentuk kosakata itu. Yang
satu menginformasikan peristiwa yang terjadi di masa lampau (madhi) dan yang
lain menjelaskan tentang peristiwa yang terjadi di masa sekarang (fi’il mudhari’).
113Nidzom Al-Din Al-Hasan bin Muhammad Husain Al-Qammy Al-Naisabury, Tafsir
Gharaib Alquran wa Raghaib Al-Furqan, cetakan pertama (Beirut Lebanon: DKI, tt), 104. 114Ibid., 115Ibid., 104-105.
38
Dapat digunakannya kata kerja masa sekarang untuk menyatakan pengabdian
kepada Allah, maka berarti pengabdian tersebut berlangsung secara terus-menerus
secara berkesinambungan. Seandainya yang digunakan adalah kata kerja masa
lampau (‘abadna>), maka ungkapan untuk menginformasikan bahwa pengabdian
yang dilakukan tersebut sudah berlalu; boleh jadi sekarang tidak mengabdi lagi.116
paruh kedua dari ayat ke-5 ini pemahamannya tidak jauh ,(و إیــــاك نستعیـن)
dari yang pertama, yakni sama-sama menegaskan ketulusan mengabdi semata-
mata kepada Allah, sedangkan yang kedua menegaskan ketulusan minta
pertolongan juga semata-mata dari Allah, tidak dari yang lain. Mengingat kondisi
yang demikian maka frase ‘إیــــاك’ tidak perlu diulang lagi karena konotasinya
sama dengan yang telah diuraikan pada paragraf yang lalu itu (penggunaan iltifat
dan penggunaan fiil mudhari’).117
Huruf wawu yang terletak sebelum iyya>ka yang kedua adalah wawu
‘athof, yakni menunjukkan kesatuan (musytarok) dalam i’rob dan ma’na dengan
lafadz yang sebelumnya.118 Adapun sin dari lafadz nasta’i>n adalah sin dari wazan
istaf’ala (إستفعل) yang berfaedah untuk permintaan (li al t{alab). Maksudnya,
seorang hamba meminta pertolongan kepadaNya atas ibadah.119
Dalam ayat ini lafadz na’budu lebih didahulukan daripada lafadz nasta’i>n
serta mengulangi lafadz iyya>ka. Ibadah merupakan upaya mendekatkan diri
kepada Allah, karena itu ia lebih wajar didahulukan dari pada meminta
116Baidan.., Tafsir Kontemporer ..,75. 117Ibid., 76. 118 Abi Hafs Umar bin Ali bin ‘Adil Al-Dimasyq Al-Hanbaly, Al-Lubab Fii ‘Ulum Al-
Kitab, juz 1 (Beirut, Lebanon: DKI, 1971), 200. 119Ibid.,
39
pertolonganNya. Bukankah sebaiknya seseorang mendekat sebelum meminta? Di
sisi lain ibadah dilakukan oleh orang yang bermohon sedang meminta bantuan
adalah mengajak pihak lain untuk ikut serta. Memulai dengan upaya yang
dilakukan sendiri, lebih wajar didahulukan daripada upaya dengan meminta
bantuan pihak lain. Selanjutnya salah satu hal yang diharapkan bantuanNya
adalah menyangkut ibadah itu sendiri, sehingga menjadi sangat wajar menyebut
ibadah terlebih dahulu yang merupakan azam dan kebulatan tekad si pemohon
baru kemudian memohon agar dibantu antara lain dalam meraih kesempurnaan
ibadah dimaksud. Ini dari segi makna, sedang dari segi redaksi, adalah lebih tepat
menyebut nasta’in sebagai akhir ayat agar iramanya sama atau mirip dengan ayat
sebelum dan sesudahnya.120
Menurut Al-Syaukani, didahulukannnya na’budu daripada nasta’in adalah
sebab ibadah dalam lafadz na’budu adalah suatu washila (perantara) demi
tercapainya pertolongan yang terdapat dalam lafadz nasta’in. Dan perantara itu
harus didahulukan untuk menghasilkan sesuatu yang dicari.121
Selain itu, alasan mendahulukan lafadz na’budu dan mengakhirkan lafadz
nasta’i>n adalah karena menyembah Allah adalah suatu kewajiban manusia
terhadap TuhanNya. Tetapi, pertolongan dari Allah kepada hambaNya adalah hak
hamba itu. Maka Allah mengajarkan hambaNya agar menunaikan kewajibannya
terlebih dahulu, sebelum ia menuntut haknya.122
120Shihab.., Tafsir Al-Misbah.., 62. 121
Al-Syaukani.., Fath Al-Qadi>r.., 25. 122Kementrian Agama RI,Al-Qur’an dan Tafsirnya (Jakarta: Ikrar Mandiriabadi, 2011),
19.
40
Pengulangan kata iyya>ka dianggap perlu, karena iyya>ka yang berkaitan
dengan ibadah mengandung arti penghususan mutlak. Tidak diperkenankan
memadukan motivasi ibadah dengan apapun selain Allah. Karena kalau demikian,
hilang unsur keikhlasan dan muncul unsur pamer atau riya’. Sedang dalam
meminta bantuan, memang tidak ada salahnya meminta pula bantuan kepada
selain Allah dalam hal-hal yang termasuk hukum sebab-akibat (segala sesuatu
yang etrjadi dan memiliki alasan mengapa terjadi. Seperti, karena kesusahan
dalam hal materi, maka si A meminta pinjaman kepada si B). Bukankah Allah
memerintahkan kita untuk saling tolong menolong? Tetapi harus disadari bahwa
pada hakikatnya bantuan yang diharapkan itu tidak dapat terwujud tanpa izin dan
restu Allah.123
Orang yang mengetahui bahasa arab sesempurna-sempurnanya, sehingga
dapat merasakan “al-dhauq al-‘araby” yaitu satu macam “rasa” yang hanya
terdapat dalam bahasa dan kesusatraan arab saja, akan dapatlah merasakan kuat,
kokoh, tegas dan indahnya susunan sastra bahasa yang mendahulukan kata-kata
iyya>ka sebelum kata-kata na’budu dan nasta’i>n, dan berulang dua kali kata-kata
iyya>ka itu, satu sebelum na’budu dan satu lagi sebelum nasta’i>n lalu dibatasi
antara keduanya dengan kata penghubung dan yaitu wa.124
Jika pembaca merasa-rasakan susunan ayat yang berulang-ulang ini.
Iyya>ka na’budu, yang artinya hanya Engkaulah yang kami sembah dan iyya>ka
nasta’i>n, yang artinya hanya kepada Engkaulah kami minta pertolongan. Dan jika
123 Shihab.., Tafsir Al-Misbah.., 62-63. 124 Bey Arifin, Samudera Al-Fa>tihah, cetakan kedua (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1972),
213.
41
pembaca membaca susunan yang biasa, “kami sembah Engkau dan kami meminta
tolong kepada Engkau.” Pada susunan yang pertama, dapat dimengerti bahwa
penyembahan itu tidak kepada yang lain kecuali hanya Engkau. Namun pada
susunan yang kedua, bisa jadi pembaca mengartikannya menjadi, selain
menyembah yang lain, kami juga menyembah Engkau.125
Ihdina> itu mabni waqaf dan fa> ilnya adalah d{ami>r tetap yang kembali
kepada Allah SWT. Sedangkan, Hamzah dalam huruf dal dikasroh, berkiblat pada
tingkah dal ketika dalam fi`il mud{ari` itu juga dikasroh. Kemudian, nun dan alif
dari ihdina> dibaca nasab menjadi maf`u>l bih. Sedangkan, s{irat{ itu dibaca nasab
karena ia menjadi maf`u>l kedua dari ihdina> .126
Dalam frase tuntunlah kami (إھدنا) adalah bentuk kata kerja imperatif (fi’il
amar) dari kata dasar (mashdar) “الھدایة” yang bermakna tuntunan, atau petunjuk,
dan sebagainya. Dari sinilah maka frase ini diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia dengan “tuntunlah kami” atau “tunjukilah kami.” Para ahli bahasa Arab
menyebutkan kosa kata yang terbentuk dari huruf ha’, dal, dan ya’ sehingga
membentuk “huda, hidayah, dan hadiyah” pada dasarnya menunjukkan perilaku
yang lembut-lembut. Jadi tuntunan atau petunjuk itu diberikan dengan cara yang
halus, santun dan lemah-lembut; tidak dengan kasar atau membentak-bentak, dan
125Ibid., 126Abu `Ali> al-Fad{l bin al-H{asan al-T{abarsi>, Majma` al-Baya>n fi> Tafsi>r al-Qur`a>n, juz 1,
(Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr, 1994), 37.
42
sebagainya.127 Adapun bentuk jama na-nya sama dengan sebab-sebab pada
na’budu dan nasta’in.128
Kata (إھدنا) ini juga merupakan doa dari orang-orang yang beriman agar
mereka diberi hidayah yang berarti penetapan (terus menerus) dan juga berarti
mencari hidayah yang lebih. Karena kemurahan-kemurahan dan hidayah-hidayah
semuanya dari Allah SWT.129
Shirat ini dibaca sin (السرط)diriwayatkan oleh Uwais bin Ya’qub. Hamzah
membacanya dengan za’ (الزراط). Kesemuanya ini benar. Tetapi shad lebih dipilih
menurut kebanyakan qurra’ untuk kesepakatan mushaf.130
Kosakata shirat adalah bahasa Arab resmi. Kata ini diterjemahkan dalam
bahasa Indonesia dengan “jalan”. Secara etimologis berarti menelan. Jalan raya
disebut shirat karena dia mampu menampung banyak kendaraan dan apa saja
yang ada di atasnya, sehingga seakan jalan itu menelan semuanya. Kosakata ini
juga bersinonim dengan “السبیل” dan “الطریق”. Namun, konotasi antara keduanya
berbeda. Kalau shirat berkonotasi pada jalan yang lebar, tetapi dua kata tadi itu
merupakan sebaliknya.131
Menurut Ibnu Abbas dan Jabir Al-shirath al-mustaqim ini adalah Islam
yang lebih luas dari pada langit dan bumi.132 Menurt Ibnu Mas’ud Al-shirath al-
127
Baidan.., Tafsir Kontemporer .., 84-85. 128
Al-Qasim., Misteri Surat .., 140. 129Ala’uddin Ali bin Muhammad bin Ibrahim al-Baghdady, Luba>b al-Ta’w>il fi> Ma’any>
al-Tanzi>l, Juz 1, (Beirut, Lebanon: DKI, 1995), 29. 130Ibid., 30. 131
Baidan.., Tafsir Kontemporer ..,92-93. 132
Al-Syaukani.., Fath Al-Qadi>r.., 26.
43
mustaqim adalah Alquran. Juga diriwayatkan oleh Ali secara marfu’, Al-shirath
al-mustaqim adalah kitab Allah. Menurut Sa’di bin Jabir, Al-shirath al-mustaqim
adalah surga. Sahal bin Abdullah berpendapat bahwa Al-shirath al-mustaqim
adalah jalan ahlus sunnah wal jama’ah. Menurut Bakar bin Abdullah al-Mazni,
Al-shirath al-mustaqim adalah jalan Rasulullah SAW. Abu ‘Aliyah dan Hasan
berpendapat, bahwa Al-shirath al-mustaqim adalah Rasulullah, keluarga-keluarga
dan sahabat-sahabatanya. Adapun asal etimologinya, yakni jalan yang jelas.133
Al-shirath al-mustaqim adalah jalan paling dekat yang menyampaikan
seorang hamba kepada Rabb, serta rumah kemuliaanNya. Dan maksud dari Al-
shirath al-mustaqim dalam surat ini adalah mengetahui jalan kebenaran dan
mengamalkannya. Jadi, jalan inilah yang menyampaikan kita pada ridha Allah
SWT dan rumah kemuliaanNya.134
Dalam kata ( ملستقيم لصر هدنا ) ini juga merupakan doa dari orang-orang
mukmin meski mereka telah diberi hidayah, yakni meminta agar ditetapkan dan
diberi hidayah yang lebih karena kemurahan-kemurahan dan hidayah-hidayah itu
semua berasal dari Allah.
S{irat{ dalam kalimat ( أنعمت علیھمصراط اللذین ) ini dibaca dengan I’rob nasab
(menggunakan fathah) ini karena s{irat{ tersebut merupakan badal atau sifat
penjelas dari s{irat{ yang pertama (sebelum ayat ini). Dan berfaedah sebagai taukid
(penguat) dalam penyebutan yang kedua kalinya dan berulang-ulang. Bisa juga
133
al-Baghdady.., Luba>b al-Ta’w>il.., 30. 134
Al-Qasim.., Misteri Surat .., 126-127.
44
sebagai ataf bayan (tabi’ yang menyerupai sifat, yang mana hakikat yang
dimaksud menjadi terungkap dengannya135) dan berfaidah sebagai penjelas.136
Adapun nikmat dalam kalimat an’amta ini ini memiki cakupan arti.
Ni’mat itu merupakan isim jenis yang mencakup empat macam arti137:
1) Nikmat iman kepada Allah dan iman-iman yang diwajibkan
lainnya.
2) Nikmat mengetahui Allah dengan nama-nama dan sifat-sifatNya.
3) Nikmat mengetahui segala sesuatu yang disukai dan dibenci Allah.
4) Nikmat taufiq untuk mengerjakan perkara-perkara yang disukai
Allah dan meninggalkan perkara-perkara yang dibenci.
Ghayr al-maghd{u>b merupakan badal dari al-ladhi>n an`amta alayhim yang
berarti bahwa orang yang diberi nikmat adalah orang yang selamat dari
kemurkaan Allah dan kesesatan. Atau menjadi sifat al-ladhi>n an`amta alayhim
yang berarti bahwa bahwa orang yang diberi nikmat dan nikmatnya meliputi dua
hal, yakni nikmat iman dan selamat.138
Dalam kata Al-maghdu>b `alayhim, bermaksud atas murka Allah SWT
kepada mereka (yang tertuju pada orang Yahudi) dan orang-orang yang
menciptakan kerusakan di dunia seperti orang-orang Yahudi.139
135Ibnu Malik, Alfiyah Ibnu Malik, (Surabaya: Al-Hidayah, tt), 52. 136
Al-Syaukani.., Fath Al-Qadi>r.., 27. 137
Al-Jazairy.., Aysar Al-Tafaasiri.., 17. 138Al-Syaukani.., Fath Al-Qadi>r.., 27. 139Al-Jazairy.., Aysar Al-Tafaasiri.., 13.
45
Selanjutnya, dalam kata al-d{alli>n ini ditujukan kepada orang-orang yang
salah dalam mencari jalan kebenaran kemudian menyembah Allah SWT dengan
menjalankan sesuatu yang tidak dishariatkan olehNya. Kesesatan (dalam kata al-
d{alli>n) yang bengkok dan jauh dari petunjuk yang dicari ini dalam shara’ terbagi
menjadi dua macam140:
1. Kesesatan dalam i`tiqad (kepercayaan)
Yakni, setiap keyakinan yang berbeda (tidak sesuai dengan
shariat) baik itu seluruhnya atau hanya sebagian atau beberapa
keyakinan-keyakinan saja bagi mu`taqid yang memeluk agama
Islam dan telah mengetahui menegnai syara’ yang telah dijelaskan
oleh Allah SWT dalam KitabNya melalui perantara lisan Nabi
Muhammad SAW (Alquran).
2. Kesesatan dalam perbuatan
Yakni, menyembah Alah SWT dengan menjalankan apa yang tidak
dishariatkan olehNya. Dan mendekatkan diri kepadaNya dengan
pendekatan-pendekatan yang juga tidak disyariatkan olehNya.
Kesesatan ini tidak selamat, kecuali seseorang itu harus berpegang
teguh kepada Alquran dan hadis Nabi.
Berdasarkan pemaknaan lughawi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
pemilihan dan penempatan suatu kosakata di dalam Alquran tidak sembarangan,
140Al-Jazairy.., Aysar Al-Tafaasiri.., 13.
46
melainkan mengandung pesan khusus sesuai kandungan makna yang diinginkan
oleh Sang Pemesan yaitu Allah yang Maha Alim.141
E. Isi Kandungan Shariah Dalam Surat Al-Fa>tihah
Sebagian salaf al-s{alih{ berpendapat bahwa, Al-Fa>tih{ah adalah rahasia
Alquran dan rahasia Al-fa>tih{ah terdapat pada ayat lima ini. Adapun yang
termasuk rahasianya adalah yang pertama suatu kebebasan dari bentuk syirik
(menyekutukan Allah SWT) dan yang kedua adalah suatu kebebasan dari daya
dan upaya sekaligus menyerahkan segala hal kepada Allah SWT.142
Setelah seorang hamba menyanjung dengan sifat yang paling indah, ia –
sebagaimana yang diajarkan Allah SWT- melanjutkannya dengan memohon
sesuatu paling baik yang memang seharusnya dipintakan kepada Rabb Maha
Agung yang memiliki sifat mulia ini. Yang sifat tersebut tak ada yang
menandinginya.143
Kemudian seorang hamba menghadap kepadaNya dengan beribadah dan
memohon agar diberi pertolongan dalam menjalankan ibadah tersebut. Ini
merupakan tawassul dengan ubudiyyah (menghambakan diri) dan tauhid, setelah
ber-tawassul dengan nama-nama dan sifat mulia Allah SWT yang Maha Tinggi
141 Baidan.., Tafsir Kontemporer .., 75. 142Muhammad Jama>l al-Di>n Al-Qa>simi>, Mah{a>sin al-Ta’wi>l, cetakan pertama, (Beirut,
Lebanon: Dar al-Fikr, 2005), 207. 143Al-Qasim.., Misteri Surat.., 80.
47
dan Terpuji. Dengan kedua tawasssul ini (tawassul dengan Asma’ul Husna dan
tawassul dengan ibadah) hampir doa seorang hamba tidak mungkin ditolak.144
Ayat ini terbagi dua, seperdua pertama untuk Allah (kewajiban hamba
kepada Tuhannya), dan seperdua kedua untuk Hamba Allah (hak seorang hamba
dari Tuhannya), Iyya>ka na’budu untuk Allah, Iyya>ka nasta’i>n untuk Hamba
Allah.145 Jadi ayat ini mengandung dua persoalan pokok yaitu soal ibadat dan soal
minta pertolongan (doa). Soal agama seluruhnya tersimpul di dalam kedua
persoalan pokok ini, yaitu ibadat dan doa.146
1. Ibadah
Ibadah berarti mentaati dengan perasaan rendah dalam mengabdi, hamba
yang patuh dengan tunduk. Sedangkan menurut istilah syara’, ibadah merupakan
suatu sikap yang menghimpun rasa kecintaan, ketundukan, dan takut.147
Menurut Hamka dalam Tafsir Al-Azharnya juga menjelaskan bahwa
ibadah adalah menghambakan diri dengan penuh keinsafan dan kerendahan. Dan
dipatrikan lagi oleh cinta. Kita mengakui bahwa kita HambaNya, budakNya. Kita
tidak akan terjadi kalau bukan Dia yang menjadikan. Kita beribadah kepadaNya
disertai oleh raja’, yaitu pengharapan akan kasih dan sayangNya, cinta yang
hakiki dan tidak terbagi pada yang lain. Sehingga jikapun kita cinta kepada yang
lain, hanyalah karena yang lain itu nikmat dari Dia.148
144Ibid., 81. 145Arifin.., Samudera Al-Fa>tihah.., 209. 146 Ibid., 210. 147Salim Bahreisy dan. Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I
(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2002), 28. 148 Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 2000), 103.
48
Rasyid Ridha berpendapat bahwa beribadah kepada Allah SWT adalah
bentuk rasa syukur tertinggi dalam rangka memenuhi ketuhananNya (uluhiyah).
Adapun memohon pertolongan kepadaNya merupakan bentuk syukur tertinggi
dalam memenuhi hak kepemeliharaanNya (rububiya).149
Pengertian ini merupakan kesempurnaan dari ketaatan. Sikap beragama
secara keseluruhan berpangkal dari makna kedua kalimat ini, sehingga ulama-
ulama dahulu mengatakan, bahwa rahasia Alquran ada di dalam surat Al-Fa>tihah
dan rahasia surat Al-Fa>tihah ada di dalam kedua kalimat ini. Sebab, kalimat yang
pertama menunjukkan makna bebas dari syirik, sementara yang kedua bebas dari
daya dan kekuatan serta menyerah bulat-bulat kepada Allah. Pengertian yang
sama juga terdapat dalam firman Allah SWT dalam surat Al-Hud ayat 123150:
. عليه توكل عبد
Maka sembahlah Dia dan bertawakkallah kepadaNya. Dan sekali-kali
Tuhan kalian tidak lalai dari apa yang kalian kerjakan.
Imam Ja’far ash-Shadiq –sebagaimana dikutip oleh Muhammad al-Ghazali
dalam bukunya Rakaiz al-Iman mengemukakan tiga unsur pokok yang merupakan
hakikat ibadah151:
1) Si Pengabdi tidak menganggap apa yang berada dalam genggaman
tangannya sebagai miliknya, karena yang dinamai hamba tidak
memiliki sesuatu. Apa yang “dimilikinya” adalah milik tuannya.
149Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Fa>tihah, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007),
87. 150Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy.., Terjemah Singkat .., 28. 151 Shihab.., Tafsir Al-Misbah.., 53.
49
2) Segala usahanya hanya berkisar pada mengindahkan apa yang
diperintahkan oleh siapa yang kepadanya ia mengabdi.
3) Tidak memastikan sesuatu untuk dia laksanakan kecuali
mengkaitkannya dengan izin dan restu siapa yang kepadanya ia
mengabdi.
Ketika seseorang menyatakan iyya>ka na’budu maka ketika itu tidak
sesuatu apapun, baik dalam diri seseorang maupun yang berkaitan dengannya,
kecuali telah dijadikan milik Allah. Memang, segala aktivitas manusia harus
berakhir menjadi ibadah kepadaNya sedang puncak adalah ihsan.152
Kalimat ringkas ini (iyya>ka na’budu) mengajarkan dua hal besar kepada
manusia. Kedua hal tersebut merupakan sebab turunnya kebahagiaan di dunia dan
di akhirat. Pertama, manusia harus mengerjakan amal-amal yang bermanfaaat dan
berusaha sekuat tenaga untuk menyempurnakannya. Sebab, seseorang tidak akan
meminta pertolongan kecuali setelah ia mengerahkan segenap kekuatan untuk
melakukan sesuatu. Ketika belum berhasil atau takut tidak berhasil, ia pun
memohon pertolongan untuk menyempurnakan usahanya. Seseorang memegang
pensil, misalnya. Tiba-tiba pensilnya jatuh ke atas meja. Tentu saja ia tidak akan
meminta bantuan orang lain untuk mengambilnya. Sementara, orang yang
tertimbun benda berat hingga ia tak sanggup berdiri sendiri, pasti akan meminta
tolong kepada orang lain untuke mengangkatnya. Permintaan tolongnya itu
dilakukan setelah berusaha sekuat tenaga untuk melepaskan diri dari timbunan
152Ibid.,
50
berat itu. Pelajaran pertama ini merupakan tangga menuju kebahagiaan duniawi
dan ukhrawi.153
Kedua, manusia harus mengkhususkan permohonan bantuan kepada Allah
SWT. Setelah berusaha dan menyempurnakan usaha. Inilah ruh agama dan
kesempurnaan tauhid yang murni. Inilah yang akan meninggikan derajat jiwa-jiwa
orang yang bertauhid, memerdekakan mereka dari perbudakan, membebaskan
mereka, memebebaskan mereka dari penjara para pemimpin agama dan ulama’-
ulama’ pendusta, serta meelpaskan cita-cita mereka dari ikatan para pengawas
palsu, baik yang masih hidup maupun yang telah mati. Dengan demikian, seorang
Mukmin, di hadapan manusia lain, menjadi manusia yang bebas dan tuan yang
mulia, sementara di hadapan Allah ia menjadi hamba yang tunduk patuh, maka
inilah jalan kebahagiaan dunia dan di akhirat.154 Sebagaimana firman Allah SWT
dalam al-Ahzab ayat 71:
١٥٥.عظيما فو فا فقد سوله هللا يطع من
Barang siapa yang mentaati Allah dan RasulNya, sungguh ia akan
mendapat kebahagiaan yang sangat besar.156
Perlu diingat bahwa ibadah atau pengabdian yang dimaksud dalam ayat
kelima ini tidak terbatas pada hal-hal yang diungkapkan oleh ahli hukum Islam
(fiqh) yakni salat, puasa, zakat dan haji, tetapi, mencakup segala macam aktivitas
manusia, baik pasif maupun aktif, sepanjang tujuan dari setiap gerak dan langkah
153Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Fa>tihah, cetakan ke-4, (Bandung: PT. Mizan
Pustaka, 2007), 85-86. 154Ibid., 86. 155Alquran karim 156Alquran dan terjemahnya.
51
itu adalah Allah, sebagaimana tercermin dalam pernyataan yang diajarkan Allah
dalam surat Al-An’am ayat 162157:
لعاملني � هللا مما يا نسكي صال
sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku (kesemuanya),
demi karena Allah pemelihara seluruh alam.
Ibadah dinamakan “ibadah” bila terhimpun dua pokok di dalamnya, yaitu
cinta (hubb) dan tunduk (khudhu’). Orang yang hanya cinta saja, tetapi tidak
tunduk atau tunduk saja tetapi tidak cinta, maka tidaklah dinamai beribadah. Cinta
dan tunduk itu ditunjukkan hanya kepada satu dzat yaitu Allah saja. Inilah yang
dinamakan “tauhid.”158
Mengakui bahwa yang patut disembah sebagai Ilah hanya Allah, dinamai
Tauhid uluhiyah. Dan mengakui yang patut untuk dimohoni pertolongan sebagai
robbun hanya Allah, dinamai Tauhid Rububiyah.159
Untuk misal yang mudah tentang tahid uluhiyah dan tauhid rububiyah ini
ialah seumpama kita ditolong oleh seorang teman dilepaskan dari satu kesulitan.
Tentu kita mengucapkan terimakasih kepadanya. Adakah pantas kalau kita
ditolong misalnya oleh Ahmad, lalu kita mengucapkan terimakasih kepada si
Hamid? Maka orang yang mengakui bahwa yang menjadikan alam dan
memelihara alam ialah Allah juga, tetapi menyembah kepada yang lain, adalah
157Shihab.., Tafsir Al-Misbah.., 55. 158
Arifin.., Samudera Al-Fa>tihah.., 210. 159
Hamka.., Tafsir Al-Azhar.., 102.
52
orang itu musyrik. Tauhidnya sendiri pecah belah; menerima nikmat dari Allah
SWT mengucapkan terima kasih kepada berhala.160
Tauhid yang dianut agama Islam harus meliputi tauhid rububiyah dan
tauhid uluhiyah. Di samping percaya bahwa Allah-lah yang menciptakan segala-
galanya ini, juga percaya bahwa hanya Allah SWT sajalah yang patut disembah
dan dimintai pertolongan.161
Ibadah tidak akan dinamai ibadah bila tidak memenuhi dua syarat, yaitu162:
1) Ibadah itu harus karena Allah SWT dan untuk Allah SWT semata.
2) Cara-caranya beribadah harus seratus persen seperti apa yang dicontohkan oleh
Rasulullah SAW.
Bila suatu ibadah dilakukan tidak ikhlas untuk Allah, atau tidak sepanjang
apa yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Maka tidaklah dapat dinamai ibadah
lagi, tetapi boleh dinamai gerak badan atau latihan biasa, atau namakanlah
olahraga atau taiso dan lain-lain.163
2. Meminta pertolongan kepada Allah SWT (isti’a>nah)
Isti’a>nah atau memohon pertolongan kepada sesama makhluk maknanya
adalah meminta (kepada orang lain agar diberi) kemudahan dan pertolongan pada
suatu pekerjaan yang sulit dilaksanakan oleh seseorang.164 Isti’a>nah juga berarti
160Ibid., 161
Arifin.., Samudera Al-Fa>tihah.., 210. 162Ibid., 219. 163Ibid., 164 Al-Qasim.., Misteri Surat.., 105.
53
meminta petolongan disertai kesungguhan di dalam pekerjaan untuk
menyempurnakan pekerjaan yang ia sendiri lemah dalam mengerjakannya.165
Tetapi isti’a>nah (memohon pertolongan) yang disebutkan dalam ayat ini
adalah, isti’a>nah yang terjadi antara makhluk dengan Sang Khaliq. Sebab seorang
hamba tidak mempunyai kemampuan secara independen yang bisa menyampaikan
kehendaknya tanpa ada pertolongan dari Allah SWT. Karena kehendak seorang
hamba selalu mengikut dan tidak terlaksana kecuali jika sesuai dengan kehendak
Allah SWT. Kehendak Allah SWT inilah yang menguasai dan meliputi
segalanya.166
Permohonan bantuan kepada Allah adalah permohonan agar Dia
mempermudah apa yang tidak mampu diraih oleh yang bermohon dengan upaya
sendiri. Para ulama mendefinisikan sebagai “Penciptaan sesuatu yang dengannya
menjadi sempurna atau mudah mencapai apa yang diharapkan.”167
Allah SWT teleh memerintahkan untuk beribadah dan meminta tolong
hanya kepadaNya. Maka orang yang meminta tolong kepada ahli kubur supaya
dapat memenuhi kebutuhannya atau memudahkan urusannya, menyembuhkan
penyakitnya, menumbuhkan tumbuh-tumbuhannya, maka hal itu adalah jalan
yang celaka dan termasuk menyekutukan Allah SWT (syirik).168 Firman Allah
SWT dalam surat al-A’raf ayat 197:
١٦٩.ینصرون أنفسھم ال و نصركم یستطیعون ال دونھ من تدعون الذین و
165Mashuri Sirojuddin Iqbal dan Ahmad Fudlali, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung:
ANGKASA, 1993), 262. 166Ibid., 167Shihab.., Tafsir Al-Misbah.., 58. 168
Iqbal dan Fudlali.., Pengantar.., 262. 169Alquran karim.
54
Dan mereka yang kamu seru selain daripadaNya itu, mereka itu tidak dapat
menolong kamssu dan mereka tidak pula dapat menolong diri mereka
sendiri.170
Orang-orang yang termasuk syirik itu terdapat beberapa golongan. Ada juga
yang menjadikan Tuhan dari bentuk-bentuk tambang. Seperti, batu, emas, perak,
dan lain-lain. Ada juga yang menjadikan Tuhan adalah tumbuh-tumbuhan. Seperti
pohon-pohon tertentu. Adapula yang menjadikan Tuhan dari manusia. Seperti
penyembahan terhadap Masih dan `Uzair. Ada juga yang menjadikan Tuhan
adalah dari bentuk-bentuk yang sederhana, adakalanya dari hal-hal yang sebangsa
sufliyah (di bawah) seperti penyembahan terhadap api, yakni orang-orang Majusi,
atau bangsa `ulwiyah (yang ada di atas) seperti penyembahan matahari, bulan, dan
galaksi-galaksi yang lain.171
Isti’a>nah atau berdoa harus pula menghimpun dua pokok yaitu berserah diri
(thiqah) dan menggantungkan harapan (i’timad) sebulat-bulatnya kepada Allah.
Tidaklah dinamakan berdoa atau isti’a>nah kepada Allah, bila seorang tidak
memercayakan diri atau berserah diri bulat-bulat kepada Allah, lalu
menggantungkan nasib atau harapan seratus persen kepada Allah saja.172
Selanjutnya, kata isti’a>nah mengajarkan secara implisit bahwa seorang
hamba harus memohon agar Allah SWT membantunya dalam melaksanakan
pekerjaan yang tengah dilakukan. Dari sudut pandang lain, kata ini bisa bermakna
penghargaan dari Allah SWT kepada manusia. Maksudnya, amal manusia
dijadikan oleh Allah SWT sebagai dasar mewujudkan apa yang ia inginkan dalam
170Alquran dan terjemahnya. 171Naisabury.., Tafsir Gharaib.., 108. 172Arifin.., Samudera Al-Fa>tihah.., 211.
55
rangka mendidik dan membersihkan jiwa. Selain itu, kata tersebut mengingatkan
bahwa meninggalkan usaha tidak sesuai dengan fitrah dan bukan ajaran shariah.
Orang yang tidak mau berusaha adalah orang malas yang tercela. Ia bukan
manusia yang tawakkal dan terpuji.173
Kalimat ibadah juga termasuk kandungan isti’anah di dalamnya, sedang
dalam kalimat isti’a>nah tidak terkandung ibadah di dalamnya. Jadi, ibadah lebih
umum. Orang yang benar-benar beribadah, pasti didampingi dengan permohonan
(isti’anah), tetapi belum tentu seorang yang bermohon kepada Allah, juga
menjalankan ibadah ibadah yang diperintahkan Allah. Berapa banyaknya orang-
orang yang menginginkan sehat, kekayaan, dan lain-lain bermohon dan berdoa
kepada Allah, tetapi mereka tidak beribadah menyembah Allah.174
Sekalipun demikian, isti’anah tetap menjadi bagian atau sebagian dari
ibadah. Beribadah berarti menjalankan sesuatu untuk Allah SWT, sedang
bermohon ialah mengharapkan sesuatu dari Allah SWT. Jadi, ibadah jauh lebih
tinggi dan lebih suci dari isti’anah. Sebab ibadah tidak dilakukan oleh orang-orang
yang benar-benar ikhlas dan iman, sedang isti’anah dapat saja dilakukan oleh
orang-orang yang tak ikhlas imannya. Malah kadang-kadang dilakukan oleh
orang-orang yang fasiq atau bajingan-bajingan besar.175
Ibadah juga berarti mensyukuri nikmat yang telah diberikan Allah kepada
seseorang. Sedang isti’anah ialah mengharapkan nikmat atau rahmat dari Allah.176
173Ridha.., Tafsir Al-Fa>tihah.., 90. 174Ibid., 212. 175Ibid., 212. 176Ibid.,
56
Kedua pokok ini dicakup oleh satu kata saja yaitu tawakkal. Dan tawakkal
inilah yang menjadi hakikat atau pengertian yang sebenar-benarnya dan sedalam-
dalamnya dari ayat iyya>ka na’budu wa iyya>ka nasta’i>n.177
Dengan demikian, jelaslah yang dimaksud dalam ayat ini yaitu manusia
hendaklah menggantungkan diri sepenuhnya kepada Allah dan hendaklah
menganggap segala yang ada di dunia ini hanyalah sebagai sarana. Seseorang
harus mengingat bahwa kekuatan, keteguhan, dan otaknya adalah sarana yang
diberikan oleh Allah SWT kepadanya, dan nasibnya berada di tanganNya. Betapa
seringnya seseorang menyandarkan diri pada bermacam-macam sarana, dan
kemudian mengetahui bahwa itu bertentangan dengan yang diharapkannya.
Sarana-sarana tersebut tidak dapat membantunya. Manusia pun mempunyai
kekuatan, namun hanya pada kekuatan Allah-lah seseorang dapat bergantung
tanpa perlu merasa cemas.178
Segala perilaku dan ibadah yang dilakukan seorang makhluk tidak lain
hanya untuk mendapatkan ridho Allah. Utnuk mencapai ridho Allah, maka Tuhan
menunjukkan garis jalanNya yang harus ditempuh, lalu Allah mengutus Rasul-
RasulNya membawa syari’at dan memimpin kepada manusia bagaimana
menempuh jalan itu; isi Alquran yang ini tersimpul dalam ayat “ihdina> al-s{irat} al-
mustaqi>m”.179
Hidayah dalam ayat keenam tersebut memiliki dua arti, yaitu180:
177Ibid., 178Murtadha Muthahhari , Tafsir Surat-Surat Pilihan, cetakan ketiga, (Bandung: Pustaka
Hidayah, 2000), 49. 179Hamka.., Tafsir Al-Azhar.., 83. 180Mashuri Sirajddin Iqbal, Pengantar Ilmu Tafsir, (Bandung: ANGKASA, 1993), 241-
242.
57
1) Hidayah ilham. Hidayah ini diberikan kepada semua makhluk, baik
yang berakal maupun yang tidak dan diberikan sejak bayi. Seperti rasa
haus, lapar, kedinginan, dan lain-lain sebagainya.
2) Indera. Seperti penglihatan, pendengaran, perasaan, penciuman dan
perabaan.
3) Hidayah akal. Hidayah akal derajatnya lebih tinggi dari hidayah
ilham dan pancaindra. Untuk mengolah alam, manusia tidak cukum
hanya dengan hidayah ilham dan panaindra saja, melainkan harus
ditambah dengan hidayah akal yang dapat membenarkan terhadap
yang keliru-keliru.
4) Hidayah agama. Hidayah ini amat diperlukan oleh manusia. Dengan
hidayah agama, orang dapat menghasilkan petunjuk dan dapat
mengetahui ketentuan syari’at agama, serta mnegtahui hal-hal yang
harus dijauhi sebagai umat yang beragama.
Maksud dari jalan (الصراط) adalah yakni jalan atau metode yang lurus yang
ditujukan oleh seorang hamba pada keridhaan Allah SWT dan surgaNya yaitu
agama Islam yang berdiri dengan iman, ilmu dan amal beserta penghindaran dari
syirik (menyembah kepada Allah SWT dan selain Allah SWT atau meyakini sifat
rububiyah dan sifat Ketuhanan itu ada pada selain Allah. Meskipun belum
menyembahnya, maka seseorang itu juga termasuk menyekutukan Allah SWT
dalam sifat dzat Ketuhanan dan perbuatan).181
181Ibid.,
58
Menurut Abi> Bakr Ja>bir Al-Jaza>iry, yang dimaksud dalam ayat al-ladhi>na
an`amt `alayhim adalah para nabi, orang-orang yang terpercaya, orang-orang yang
mati syahid dan orang-orang yang salih. Keterangan ini berdasarkan pada firman
Allah SWT:
و الشھداء و الصدیقین و النبیین من علیھم هللا أنعم الذین مع فأوالئك والرسول هللا یطع ومن
١٨٢.رفیقا أولئك وحسن الصالحین
Dan barang siapa yang mentaati Allah SWT dan RasulNya, mereka itu akan
bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah SWT,
yaitu: Nabi-Nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-
orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya.183
Selain itu juga termasuk setiap orang yang dianugerahi iman oleh Allah SWT,
yang dianugerahi pengetahuan tentangNya, pengetahuan tentang hal-hal yang Dia
suka beserta hal-hal yang Dia benci dan orang-orang yang dianugerahi taufik
untuk menjalankan hal-hal yang dicintai Allah SWT serta meninggalkan hal-hal
yang dibenci olehNya.184
Kemudian itu Alquran berisi kabar yang menggembirakan bagi orang yang
taat dan patuh, kebahagiaan di dunia dan surga akhirat yang di dalam istilah
agama disebut wa’ad, ini telah terkandung dalam ayat “S{irat{ al-ladhina an`amt
`alayhim”, jalan yang telah engkau berikan atasnya. Kemudian Alquran pun
memberikan ancaman siksa dan azab bagi orang yang lengah dan lalai, kufur dan
182QS: Al-Nisa, 69. 183Alquran dan terjemahnya. 184Al-Jaza>iry.., Aysar.., 13
59
durhaka disebut wa’id. Maka tersimpul pulalah kata Alquran ini pada ujung surat
tentang orang yang maghdub, kena murka Tuhan, dan orang-orang yang dholim,
orang yang sesat. Demikian pula Alquran menceritakan keadaan umat-umat
terdahulu, yang telah binasa dan hancur karena dimurkai Tuhan, dan diceritakan
juga kaum yang sesat dari jalan yang benar; itupun telah tersimpul di dalam kedua
kalimat maghdub dan dhallin itu.185
Selain itu, terdapat redaksi lain yang meberikan pengertian tentang s{ira>t{
al-mustaqi>m yakni berpegang teguh kepada Alquran, menjalankan perbuatan-
perbuatan yang diperintahkan oleh Allah sekaligus menjauhi perbuatan dan hal-
hal yang dilarangNya, mengikuti metode dan jalan Khulafa> ` al-Arba` dan hamba-
hamba yang salih.186
Adapun tujuan dari ayat yang terakhir adalah meminta taufik dan hidayah
agar tetap mengikuti apa yang diridhoi Allah, mencari dan menginginkan jalan
yang diberikan nikmat banyak yang meliputi iman, ilmu dan amal serta takut
untuk tersimpang dan menjadi pengecualian yang termasuk dalam ayat (al-
maghdu>b `alayhim dan d{a>lli>n).187 Sebab, barang siapa mendapatkan taufik dan
hidayah untuk mengikuti apa yang diridhai Allah, maka termasuk golongan yang
mendapat nikmat dari Allah.188
F. Analisis
185
Hamka.., Tafsir Al-Azhar.., 83. 186Al-Syaukani.., Fath Al-Qadi>r.., 27. 187Al-Jaza>iry.., Aysar.., 14. 188
Salim Bahreisy dan. Said Bahreisy.., Terjemah Singkat.., 31.
60
Dalam surat Al—Fa>tihah ayat lima ini memberikan pengertian, bahwa Allah
lah dzat yang layak dan patut di sembah, Dialah yang agung dan berhak dimintai
pertolongan, tiada lain selain dia. Karena Dialah Tuhan manusia yang
memberikan banyak nikmat dan telah menciptakan segalanya. Dan meminta
tolong pada selain Dia berarti telah menyekutukannya (syirik).
Semua perbuatan dan perilaku seorang makhluk tidak lain, kecuali untuk
memperoleh ridha Allah. Sehingga seorang makhluk harus memohon kepada
Tuhannya agar selalu diberi jalan yang lurus agar selalu dapat memperoleh
ridhaNya. Jalan yang bukan menyerupai jalan orang-orang yang tersurat dalam al-
Maghdu>b alayhim dan al-D{alli>n, yakni menempuh jalan agama Islam dan
menjalankan segala hal yang disyari’atkan olehNya, menjalankan apa yang
diperintahkan dan menjauhi apa yang dilarang, serta berpegangteguh pada
Alquran dan hadis Nabi Muhammad SAW.
BAB IV
PENUTUP
61
A. Kesimpulan
Dari beberapa lembar makalah yang kami sajikan, selayaknya
terdapat beberapa benang merah yang dapat diambil. Maka di sini
disimpulkan:
1. Dalam surat al-Fatihah terdapat tiga ayat yang mengandung kandungan
syari’ah. Yakni dari ayat kelima hingga akhir. Penafsiran ayat syari’ah
dalam surat Al-Fa>tihah ini adalah, manusia dituntut dan diwajbkan
untuk menyembah dan meminta pertolongan (isti’a>nah) hanya kepada
Allah, bukan lainnya. Semua perbuatan makhluk di dunia dilakukan
tanpa suatu alasan kecuali untuk memperoleh ridho Allah. Agar
memperoleh ridho Allah, makhluk tidak hanya berdoa saja melainkan
juga menjalankan segala sesuatu yang telah disyari’atkan olehNya.
Dan agar diberikan kemudahan jalan hidup seperti orang-orang yang
Dia cintai, bukan orang-orang yang Dia murkai.
B. Saran
1. Dengan terselesaikannya penulisan makalah ini, penulis berharap akan
adanya pengkajian lebih lanjut tentang penafsiran ayat-ayat Al-Quran
terutama yang berkaitan dengan judul makalah ini.
2. Dari penelitian ini, diharapkan dapat menambah wawasan ilmu dan
dapat memepertebal keimanan serta menjalankan segala apapun yang
diperintahkan oleh Allah karena Dia adalah satu-satunya dzat yang
layak disembah dan dimintai pertolongan.
62
62
DAFTAR PUSTAKA
63
Ali, Mohammad Daud. 1993. Hukum islam. cetakan ketiga. Jakarta: PT.
RajaGrafindoPersada
Alquran dan Terjemahnya
Alquran karim
Baidan, Nashruddin. 2012, Tafsir Kontemporer Surat Al-Fatihah, cetakan
pertama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Baidhowi, Nashir Al-Din Abi Sa’id Abdullah Abi Umar Muhammad Al-
Syairazy. Tt. Tafsir Al-Baidhowy. Lebanon: Dar Al-Fikr
Hakim, Abdul bin Abdullah Al-Qasim. 1429 H. Misteri Surat Al-Fatihah.
Cetakan Kedua. Surabaya: eLBA
Hamidy, Muammal dan Imron A. Manan. 2003. Terjemah Ayat ahkam Ash-
Shobuni, cetakan keempat. Surabaya: PT. Bina Ilmu
Hamka. 2000. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: PT. Pustaka Panjimas
Jarairy, Abi Bakar Jabir. 1994. Aysar Al-Tafaasiri. Madinah Munawwarah:
Maktabah Al-Ulum wa Al-Hikam
Mahally, Jalaluddin dan Imam Jalaluddin Ash-Suyuthi. 2011. Tafsir Jalalain,
cetakan 9. Bandung: Sinar Baru Algensindo
Mahally, Jalaluddin Muhammad bin Ahmad dan Jalaluddin Muhammad
Abdurrahman bin Abi Bakar Ash-Shuyuthi. Tt. Tafsiir Jalaalyn. Beirut
Lebanon: DKI
64
Naisabury, Nidzom Al-Din Al-Hasan bin Muhammad Husain Al-Qammy. Tt.
Tafsir Gharaib Alquran wa Raghaib Al-Furqan, cetakan pertama. Beirut
Lebanon: DKI
Qa>simi>, Muhammad Jama>l al-Di>n. 2005. Mah{a>sin al-Ta’wi>l. cetakan pertama.
Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr
Quthb, Sayyid. 2004. Fi Zhilalil Quran, cetakan ketiga. Jakarta: Gema Insani
RI, Kementrian Agama. 2011. Alquran dan Tafsirnya. Jakarta: Widya Cahaya
Rosyada, Dede. 1995. Hukum Islam dan Pranata Sosial. cetakan ketiga. Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada
S{abuny, Muhammad Ali. 1999. Rawai’ Al-Bayan, juz 1. Beirut Lebanon: DKI
Shiddieqy, Hasbi. 1978. Pengantar Ilmu Fiqih. cetakan pertama. Jakarta: Bulan
Bintang
Shihab, M. Quraish. 2007. Tafsir Almisbah. cetakan X. Tangerang: Lentera Hati
Shofwan, M. Sholihuddin. 2007. Pengantar Memahami Nadzom Jauharul
Maknun, cetakan pertama. Jombang: Darul Hikmah
Shomad, Abd. 2012. Hukum Islam. cetakan kedua. Jakarta: Kencana Preneda
Media group
Syaukani, Muhammad bin Ali bin Muhammad. 1994. Fath Al-Qadi>r. juz 1.
Beirut, Lebanon: DKI
65
T{abarsi, Abu `Ali> al-Fad{l bin al-H{asa>n . 1994. Majma` al-Baya>n fi> Tafsi>r al-
Qur`a>n. juz 1. Beirut, Lebanon: Dar al-Fikr
Wahidy, Abi Al-Hasan Ali bin Ahmad. Tt. Asbab Nuzul Al-Quran. Beirut,
Lebanon: DKI