tafsir ayat

113

Click here to load reader

Upload: adi-aprilla

Post on 23-Jun-2015

357 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tafsir Ayat

Tafsir Ayat-ayat Puasa Ramadhan

Allah Ta'ala berfirman : 

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertaqwa. (Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagi kalian, jika kalian mengetahui" 

(Al-Baqarah: 183-184) 

Allah berfirman yang ditujukan kepada orang-orang beriman dari umat ini, seraya menyuruh mereka agar berpuasa. Yaitu menahan dari makan, minum dan bersenggama dengan niat ikhlas karena Allah Ta'ala. Karena di dalamnya terdapat penyucian dan pembersihan jiwa, juga menjernihkannya dari pikiran-pikiran yang buruk dan akhlak yang rendah. 

Allah menyebutkan, di samping mewajibkan atas umat ini, hal yang sama juga telah diwajibkan atas orang-orang terdahulu sebelum mereka. Dari sanalah mereka mendapat teladan. Maka, hendaknya mereka berusaha menjalankan kewajiban ini secara lebih sempurna dibanding dengan apa yang telah mereka kerjakan. (Tafsir Ibn Katsir, 11313) 

Lalu, Dia memberikan alasan diwajibkannya puasa tersebut dengan menjelaskan manfaatnya yang besar dan hikmahnya yang tinggi. Yaitu agar orang yang berpuasa mempersiapkan diri untuk bertaqwa kepada Allah, Yakni dengan meninggalkan nafsu dan kesenangan yang dibolehkan, semata-mata untuk mentaati perintah Allah dan mengharapkan pahala di sisi-Nya. Agar orang beriman termasuk mereka yang bertaqwa kepada Allah, taat kepada semua perintah-Nya serta menjauhi larangan-larangan dan segala yang diharamkan-Nya. (Tafsir Ayaatul Ahkaam, oleh Ash Shabuni, I/192.) 

Ketika Allah menyebutkan bahwa Dia mewajibkan puasa atas mereka, maka Dia memberitahukan bahwa puasa tersebut pada hari-hari tertentu atau dalam jumlah yang relatif sedikit dan mudah. Di antara kemudahannya yaitu puasa tersebut pada bulan tertentu, di mana seluruh umat Islam melakukannya. 

Lalu Allah memberi kemudahan lain, seperti disebutkan dalam firman-Nya: "Maka barangsiapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain." Karena biasanya berat, maka Allah memberikan keringanan kepada mereka berdua untuk tidak berpuasa. Dan agar hamba mendapatkan kemaslahatan puasa, maka Allah memerintahkan mereka berdua agar menggantinya pada hari-hari lain. Yakni ketika ia sembuh dari sakit atau tak lagi melakukan perjalanan, dan sedang dalam keadaan luang. (Lihat kitab Tafsiirul Lathifil Mannaan fi Khulaashati Tafsiiril Qur'an, oleh Ibnu Sa'di, hlm. 56.) 

Page 2: Tafsir Ayat

Dan firman Allah Ta'ala: "Maka barangsiapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari lain." Maksudnya, seseorang boleh tidak berpuasa ketika sedang sakit atau dalam keadaan bepergian, karena hal itu berat baginya. Maka ia dibolehkan berbuka dan mengqadha'nya sesuai dengan bilangan hari yang ditinggalkannya, pada hari-hari lain. 

Adapun orang sehat dan mukim (tidak bepergian) tetapi berat (tidak kuat) menjalankan puasa, maka ia boleh memilih antara berpuasa atau memberi makan orang miskin. Ia boleh berpuasa, boleh pula berbuka dengan syarat memberi makan kepada satu orang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Jika ia memberi makan lebih dari seorang miskin untuk setiap harinya, tentu akan lebih baik. Dan bila ia berpuasa, maka puasa lebih utama daripada memberi makanan. Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas radhiallahu 'anhum berkata: "Karena itulah Allah berfirman: "Dan berpuasa lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui." (Tafsir Ibnu Katsir; 1/214) 

Firman Allah Ta'ala: 

"(Beberapa hari yang ditentukan itu adalah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petuniuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kalian hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu. Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepada kalian, supaya kalian bersyukur." 

(Al-Baqarah: 185). 

Allah memberitahukan bahwa bulan yang di dalamnya diwajibkan puasa bagi mereka itu adalah bulan Ramadhan. Bulan di mana Al-Qur'an -yang dengannya Allah memuliakan umat Muhammad- diturunkan untuk pertama kalinya. Allah menjadikan Al-Qur'an sebagai undang-undang serta peraturan yang mereka pegang teguh dalam kehidupan. Di dalamnya terdapat cahaya dan petunjuk. Dan itulah jalan kebahagiaan bagi orang yang ingin menitinya. Di dalamnya terdapat pembeda antara yang hak dengan yang batil, antara petunjuk dengan kesesatan dan antara yang halal dengan yang haram. 

Allah menekankan puasa pada bulan Ramadhan karena bulan itu adalah bulan diturunkannya rahmat kepada segenap hamba, dan Allah tidak menghendaki kepada segenap hamba-Nya kecuali kemudahan. Karena itu Dia membolehkan orang sakit dan musafir berbuka puasa pada hari-hari bulan Ramadhan (Tafsir Ayatul Ahkam oleh Ash Shabuni, I/192), dan memerintahkan mereka menggantinya, sehingga sempurna bilangan satu bulan. Selain itu, Dia juga memerintahkan memperbanyak dzikir dan takbir ketika selesai melaksanakan ibadah puasa, yakni pada saat sempurnanya bulan Ramadhan. Karena itu Allah berfirman: "Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan tidak menghendaki kesukaran bagi kalian. Dan hendaklah kalian mencukupkan bilangannya dan hendaklah kalian mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang

Page 3: Tafsir Ayat

diberikan kepada kalian, agar kalian bersyukur." Maksudnya, bila kalian telah menunaikan apa yang diperintahkan Allah, taat kepada-Nya dengan menjalankan hal-hal yang diwajibkan dan meninggalkan segala yang diharamkan serta menjaga batasan-batasan (hukum)-Nya, maka hendaklah kalian menjadi orang-orang yang bersyukur karenanya. (Tafsir Ibnu Katsir, 1/218) 

Lalu Allah berfirman :

"Dan apabila para hamba-Ku bertanya kepadamu (hai Muhammad) tentang Aku maka (jawablah) bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa Kepada-Ku maka hendaklah mereka memenuhi (segala perintah)-Ku, dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran." 

(Al-Baqarah:186) 

Sebab Turunnya ayat : 

Diriwayatkan bahwa seorang Arab badui bertanya: "Wahai Rasulullah, apakah Tuhan kita dekat sehingga kita berbisik atau jauh sehingga kita berteriak (memanggil-Nya ketika berdo'a)?" Nabishallallahu 'alaihi wasallam hanya terdiam, sampai Allah menurunkan ayat di atas. (Tafsir Ibnu Katsir; I/219.) 

Tafsiran ayat: 

Allah menjelaskan bahwa Diri-Nya adalah dekat. Ia mengabulkan do'a orang-orang yang memohon, serta memenuhi kebutuhan orang-orang yang meminta. Tidak ada tirai pembatas antara Diri-Nya dengan salah seorang hamba-Nya. Karena itu, seyogyanya mereka menghadap hanya kepada-Nya dalam berdo'a dan merendahkan diri, lurus dan memurnikan ketaatan pada-Nya semata. (Tafsir Ibnu Katsir, I/218.) 

Adapun hikmah penyebutan Allah akan ayat ini yang memotivasi memperbanyak do'a berangkaian dengan hukum-hukum puasa adalah bimbingan kepada kesungguhan dalam berdo'a, ketika bilangan puasa telah sempurna, bahkan setiap kali berbuka. 

Anjuran dan Keutamaan Do'a

Banyak sekali nash-nash yang memotivasi untuk berdo'a, menerangkan fadhilah (keutamaan)nya dan mendorong agar suka melakukannya. Di antaranya adalah sebagai berikut : 

Firman Allah Ta'ala: "Dan Tuhanmu berfirman: Berdo'alah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu." (Ghaafir: 60). 

Di dalamnya Allah memerintahkan berdo'a dan Dia menjamin akan mengabulkannya. 

Firman Allah Ta'ala: "Berdo'alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." (Al-A'raaf: 55). 

Maksudnya, berdo'alah kepada Allah dengan menghinakan diri dan secara rahasia, penuh khusyu' dan merendahkan diri. "Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas." Yakni tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas, baik dalam berdo'a atau lainnya, orang-orang yang melampaui batas dalam setiap perkara. Termasuk

Page 4: Tafsir Ayat

melampaui batas dalam berdo'a adalah permintaan hamba akan berbagai hal yang tidak sesuai untuk dirinya atau dengan meninggikan dan mengeraskan suaranya dalam berdo'a. 

Dalam Shahihain, Abu Musa Al-Asy'ari berkata: "Orang-orang meninggikan suaranya ketika berdo'a, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Wahai sekalian manusia, kasihanilah dirimu, sesungguhnya kama tidak berdo'a kepada Dzat yang tuli, tidak pula ghaib. Sesungguhnya Dzat yang kamu berdo'a pada-Nya itu Maha Mendengar lagi Maha Dekat." 

Firman Allah Ta'ala: "Atau siapakah yang memperkenankan (do'a) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdo'a kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan?" (An Naml: 62). 

Maksudnya, apakah ada yang bisa mengabulkan do'a orang yang kesulitan, yang diguncang oleh berbagai kesempitan, yang sulit mendapatkan apa yang ia minta, sehingga tak ada jalan lain ia baru keluar dari keadaan yang mengungkunginya, selain Allah semata? Siapa pula yang menghilangkan keburukan (malapetaka), kejahatan dan murka, selain Allah semata? 

Dari An-Nu'man bin Basyir radhiallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, beliau bersabda: "Do'a adalah ibadah." (HR, Abu Daud dan At-Tirmidzi, At-Tirmidzi berkata, haditshasan shahih). 

Dari Ubadah bin As-Shamit radhiallahu 'anhu ia berkata, sesungguhnya Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak ada seorang muslim yang berdo'a kepada Allah di dunia dengan suatu permohonan kecuali Dia mengabulkannya, atau menghilangkan daripadanya keburukan yang semisalnya, selama ia tidak meminta suatu dosa atau pemutusan kerabat." Maka berkatalah seorang laki-laki dari kaum: "Kalau begitu, kita memperbanyak (do'a)." Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Allah memberikan kebaikan-Nya lebih banyak daripada yang kalian minta" (HR. At-Tirmidzi, ia berkata, haditshasan shahih. Lihat kitab Riyaadhus Shaalihiin, hlm. 612 dan 622).

Lalu Allah Ta'ala berfirman : 

"Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isterimu; mereka itu adalah pakaian bagimu, dan kamu pun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan carilah apa yang telah ditetapkan oleh Allah untukmu, dan makan minumlah hinngga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertaqwa." 

(Al-Baqarah:187) 

Sebab turunnya ayat : 

Page 5: Tafsir Ayat

Imam Al Bukhari meriwayatkan dari Al-Barra' bin 'Azib, bahwasanya ia berkata: "Dahulu, para sahabat Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, jika seseorang (dari mereka) berpuasa, dan telah datang (waktu) berbuka, tetapi ia tidur sebelum berbuka, ia tidak makan pada malam dan siang harinya hingga sore. Suatu ketika Qais bin Sharmah Al-Anshari dalam keadaan puasa, sedang pada siang harinya bekerja di kebun kurma. Ketika datang waktu berbuka, ia mendatangi isterinya seraya berkata padanya: "Apakah engkau memiliki makanan?" Ia menjawab: "Tidak, tetapi aku akan pergi mencarikan untukmu." Padahal siang harinya ia sibuk bekerja, karena itu ia tertidur. Kemudian datanglah isterinya. Tatkala ia melihat suaminya (tertidur) ia berkata: "Celaka kamu." Ketika sampai tengah hari, ia menggauli (isterinya). Maka hal itu diberitahukan kepada Nabishallallahu alaihi wasallam, sehingga turunlah ayat ini: "Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isterimu." Maka mereka sangat bersuka cita karenanya, kemudian turunlah ayat berikut: "Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar". (Lihat kitab Ash Shahiihul Musnad min Asbaabin Nuzuul, hlm. 9.) 

Tafsiran ayat : 

Allah Ta'ala berfirman untuk memudahkan para hamba-Nya sekaligus untuk membolehkan mereka bersenang-senang (bersetubuh) dengan isterinya pada malam-malam bulan Ramadhan, sebagaimana mereka dibolehkan pula ketika malam hari makan dan minum: "Dihalalkan bagimu pada malam hari bulan puasa melakukan rafats dengan isteri- isterimu." 

Rafats adalah bersetubuh dan hal-hal yang menyebabkan terjadinya (bercumbu). Dahulu, mereka dilarang melakukan hal tersebut (pada malam hari), tetapi kemudian Allah membolehkan mereka makan minum dan melampiaskan kebutuhan biologis, dengan bersenang-senang bersama isteri-isteri mereka. Hal itu untuk menampakkan anugerah dan rahmat Allah pada mereka. 

Allah menyerupakan wanita dengan pakaian yang menutupi badan. Maka ia adalah penutup bagi laki-laki dan pemberi ketenangan padanya, begitupun sebaliknya. Ibnu Abbas berkata: "Maksudnya para isteri itu merupakan ketenangan bagimu dan kamu pun merupakan ketenangan bagi mereka." 

Dan Allah membolehkan menggauli para isteri hingga terbit fajar. Lalu Dia mengecualikan keumuman dibolehkannya menggauli isteri (malam hari bulan puasa) pada saat i'tikaf. Karena ia adalah waktu meninggalkan segala urusan dunia untuk sepenuhnya konsentrasi beribadah. Pada akhirnya Allah menutup ayat-ayat yang mulia ini dengan memperingatkan agar mereka tidak melanggar perintah-perintah-Nya dan melakukan hal-hal yang diharamkan serta berbagai maksiat, yang semua itu merupakan batasan-batasan-Nya. Hal-hal itu telah Dia jelaskan kepada para hamba-Nya agar mereka menjauhinya, serta taat berpegang teguh dengan syari'at Allah sehingga mereka menjadi orang-orang yang bertaqwa. (Tafsir Ayaatil Ahkaam, oleh Ash-Shabuni, I/93.)

Keutamaan Puasa

Banyak sekali ayat yang tegas dan muhkam dalam Kitabullah yang mulia, memberikan anjuran untuk puasa sebagai sarana untuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah 'Azza wa Jalla dan juga menjelaskan keutamaan-keutamaannya, seperti firman Allah (yang artinya):“Sesungguhnya kaum

Page 6: Tafsir Ayat

muslimin dan muslimat, kaum mukminin dan mukminat, kaum pria yang patuh dan kaum wanita yang patuh, dan kaum pria serta wanita yang benar (imannya) dan kaum pria serta kaum wanita yang sabar (ketaatannya), dan kaum pria serta wanita yang khusyu', dan kaum pria serta wanita yang bersedekah, dan kaum pria serta wanita yang berpuasa, dan kaum pria dan wanita yang menjaga kehormatannya (kemaluannya), dan kaum pria serta wanita yang banyak mengingat Allah; Allah menyediakan bagi mereka ampunan dan pahala yang besar" [A-Ahzab : 35]

Dan firman Allah (yang artinya): “Dan kalau kalian berpuasa, itu lebih baik bagi kalian kalau kalian mengetahuinya" [Al-Baqarah:184].

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan dalam hadits yang shahih bahwa puasa adalah benteng dari syahwat, perisai dari neraka. Allah Tabaraka wa Ta'ala telah mengkhususkan satu pintu surga untuk orang yang puasa. Puasa bisa memutuskan jiwa dari syahwatnya, menahannya dari kebiasaan-kebiasaan yang jelek, hingga jadilah jiwa yang tenang. Inilah pahala yang besar, keutamaan yang agung ; dijelaskan secara rinci dalam hadits-hadits shahih berikut ini, dijelaskan dengan penjelasan yang sempurna.

Pengampunan Dosa

Allah dan Rasul-Nya memberikan targhib (spirit) untuk melakukan puasa Ramadhan dengan menjelaskan keutamaan serta tingginya kedudukan puasa, dan kalau seandainya orang yang puasa mempunyai dosa seperti buih di lautan niscaya akan diampuni dengan sebab ibadah yang baik dan diberkahi ini.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, (bahwasanya) beliau bersabda (yang artinya): “Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan dengan penuh iman dan ihtisab (mengharap wajah Allah) maka akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu". [Hadits Riwayat Bukhari 4/99, Muslim 759, makna "penuh iman dan Ihtisab" yakni membenarkan wajibnya puasa, mengharap pahalanya, hatinya senang dalam mengamalkan, tidak membencinya, tidak merasa berat dalam mengamalkannya]

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu juga, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda (yang artinya): “Shalat yang lima waktu, Jum'at ke Jum'at. Ramadhan ke Ramadhan adalah penghapus dosa yang terjadi di antara tenggang waktu-waktu tersebut selama menjauhi dosa besar". [Hadits Riwayat Muslim 233].

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu juga, (bahwasanya) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallampernah naik mimbar kemudian berkata: "Amin, Amin, Amin". Ditanyakan kepadanya: "Ya Rasulullah, engkau naik mimbar kemudian mengucapkan Amin, Amin, Amin?" Beliau bersabda (yang artinya): “Sesungguhnya Jibril 'alaihissalam datang kepadaku, dia berkata: "Barangsiapa yang mendapati bulan Ramadhan tapi tidak terampuni dosanya maka akan masuk neraka dan akan Allah jauhkan dia, katakan "Amin", maka akupun mengucapkan Amin...." [Hadits Riwayat Ibnu Khuzaimah 3/192 dan Ahmad 2/246 dan 254 dan Al-Baihaqi 4/204 dari jalan Abu Hurairah. Hadits ini shahih, asalnya terdapat dalam Shahih Muslim 4/1978. Dalam

Page 7: Tafsir Ayat

bab ini banyak hadits dari beberapa orang sahabat, lihatlah dalam Fadhailu Syahri Ramadhanhal.25-34 karya Ibnu Syahin].

Dikabulkannya Do'a dan Pembebasan Api Neraka

Rasullullah shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Sesungguhnya Allah memiliki hamba-hamba yang dibebaskan dari neraka setiap siang dan malam dalam bulan Ramadhan, dan semua orang muslim yang berdo'a akan dikabulkan do'anya"[Hadits Riwayat Bazzar 3142, Ahmad 2/254 dari jalan A'mas, dari Abu Shalih dari Jabir, diriwayatkan oleh Ibnu Majah 1643 darinya secara ringkas dari jalan yang lain, haditsnya shahih. Do'a yang dikabulkan itu ketika berbuka, sebagaimana akan datang penjelasannya, lihatMisbahuh Azzujajah no. 60 karya Al-Bushri]

Orang yang Puasa Termasuk Shidiqin dan Syuhada

Dari 'Amr bin Murrah Al-Juhani radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Datang seorang pria kepada Nabishallallahu 'alaihi wa sallam kemudian berkata: "Ya Rasulullah, apa pendapatmu jika aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang hak kecuali Allah, engkau adalah Rasulullah, aku shalat lima waktu, aku tunaikan zakat, aku lakukan puasa Ramadhan dan shalat tarawih di malam harinya, termasuk orang yang manakah aku?" Beliau menjawab (yang artinya): "Termasuk dari shidiqin (orang-orang yang benar keimanannya -pent) dan syuhada (orang-orang yang mati syahid -pent)". [Hadits Riwayat Ibnu Hibban no.11 zawaidnya, sanadnya Shahih]

Puasa Adalah Perisai (Pelindung)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh orang yang sudah kuat syahwatnya dan belum mampu untuk menikah agar berpuasa, menjadikannya sebagai wijaa' (memutuskan) bagi syahwat ini, karena puasa menahan kuatnya anggota badan hingga bisa terkontrol, menenangkan seluruh anggota badan, serta seluruh kekuatan (yang jelek) ditahan hingga bisa taat dan dibelenggu dengan belenggu puasa. Telah jelas bahwa puasa memiliki pengaruh yang menakjubkan dalam menjaga anggota badan yang dhahir dan kekuatan bathin.

Oleh karena itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Wahai sekalian para pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu ba'ah (mampu dengan berbagai macam persiapannya) hendaklah menikah, karena menikah lebih menundukkan pandangan, dan lebih menjaga kehormatan. Barangsiapa yang belum mampu menikah, hendaklah puasa karena puasa merupakan wijaa' (pemutus syahwat) baginya" [Hadits Riwayat Bukhari 4/106 dan Muslim no. 1400 dari Ibnu Mas'ud]

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa surga diliputi dengan perkara-perkara yang tidak disenangi, dan neraka diliputi dengan syahwat. Jika telah jelas demikian -wahai muslim- sesungguhnya puasa itu menghancurkan syahwat, mematahkan tajamnya syahwat yang bisa mendekatkan seorang hamba ke neraka, puasa menghalangi orang yang puasa dari neraka. Oleh karena itu banyak hadits yang menegaskan bahwa puasa adalah benteng dari neraka, dan perisai yang menghalangi seseorang dari neraka.

Bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya): “Tidaklah seorang hamba yang puasa di jalan Allah kecuali akan Allah jauhkan dia (karena puasanya) dari neraka sejauh

Page 8: Tafsir Ayat

tujuh puluh musim" [Hadits Riwayat Bukhari 6/35, Muslim 1153 dari Abu Sa'id Al-Khudry, ini adalah lafadz Muslim. Sabda Rasulullah: "70 musim" yakni: perjalanan 70 tahun, demikian dikatakan dalam Fathul Bari 6/48].

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Puasa adalah perisai, seorang hamba berperisai dengannya dari api neraka" [Hadits Riwayat Ahmad 3/241, 3/296 dari Jabir, Ahmad 4/22 dan Utsman bin Abil 'Ash. Ini adalah hadits yang shahih].

Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Barangsiapa yang berpuasa sehari di jalan Allah maka di antara dia dan neraka ada parit yang luasnya seperti antara langit dengan bumi" [Dikeluarkan oleh Tirmidzi no. 1624 dari hadits Abi Umamah, dan di dalam sanadnya ada kelemahan. Al-Walid bin Jamil, dia jujur tetapi sering salah, akan tetapi di dapat diterima. Dan dikeluarkan pula oleh At-Thabrani di dalam Al-Kabir 8/260,274, 280 dari dua jalan yakni dari Al-Qasim dari Abi Umamah. Dan pada bab dari Abi Darda', dikeluarkan oleh Ath-Thabrani di dalam Ash-Shagir 1/273 di dalamnya terdapat kelemahan. Sehingga hadits ini SHAHIH].

Sebagian ahlul ilmi telah memahami bahwa hadits-hadits tersebut merupakan penjelasan tentang keutamaan puasa ketika jihad dan berperang di jalan Allah. Namun dhahir hadits ini mencakup semua puasa jika dilakukan dengan ikhlas karena mengharapkan wajah Allah Ta'ala, sesuai dengan apa yang dijelaskan Rasulullah shallallahu 'alaihi wassallam termasuk puasa di jalan Allah (seperti yang disebutkan dalam hadits ini).

Pahala Orang Puasa Tidak Terbatas

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, (bahwasanya) Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallambersabda (yang artinya): “Allah Ta'ala berfirman: "Semua amalan bani Adam untuknya kecuali puasa karena puasa itu untuk-Ku dan Aku akan membalasnya". Puasa adalah perisai, jika salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah berkata keji dan berteriak-teriak, jika ada orang yang mencercanya atau memeranginya, maka ucapkanlah: 'Aku sedang berpuasa'. Demi dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sesunguhnya bau mulut orang yang berpuasa lebih wangi di sisi Allah daripada baumisk (kesturi). Orang yang puasa mempunyai dua kegembiraan. Jika berbuka mereka gembira, jika bertemu Rabbnya mereka gembira karena puasa yang dilakukannya"[Bukhari 4/88, Muslim no. 1151, Lafadz ini bagi Bukhari].

Di dalam riwayat Bukhari (disebutkan yang artinya): "Dia meninggalkan makan, minum dan syahwatnya karena puasa untuk-Ku, dan Aku yang akan membalasnya, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat yang semisal dengannya".

Di dalam riwayat Muslim (yang artinya): "Semua amalan bani Adam akan dilipatgandakan, kebaikan dibalas dengan sepuluh kali lipat yang semisal dengannya, sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta'ala berfirman: "Kecuali puasa, karena puasa itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya. Dia (bani Adam) meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku". Bagi orang yang puasa ada dua kegembiraan; gembira ketika berbuka dan gembira ketika bertemu Rabbnya. Sungguh bau mulut orang yang puasa di sisi Allah adalah lebih wangi

Page 9: Tafsir Ayat

daripada bau misk".

Puasa Sebagai Kafarat

Diantara keistimewaan puasa yang tidak ada dalam amalan lain adalah; Allah menjadikannya sebagai kafarat bagi orang yang memotong rambut kepalanya (ketika haji) karena ada udzur sakit atau penyakit di kepalanya, kaparat bagi yang tidak mampu memberi kurban, kafarat bagi pembunuh orang kafir yang punya perjanjian karena membatalkan sumpah, atau yang membunuh binatang buruan di tanah haram dan sebagai kafarat zhihar. Akan jelas bagimu dalam ayat-ayat berikut ini.

Allah Ta'ala berfirman (yang artinya): "Dan sempurnakanlah olehmu ibadah haji dan umrah karena Allah; maka jika kamu terkepung (terhalang oleh musuh atau sakit), maka wajib menyembelih kurban yang mudah didapat. Dan janganlah kamu mencukur rambut kepalamu, hingga kurban itu sampai ke tempat penyembelihannya. Jika ada diantaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajib atasnya berfidyah, yaitu berpuasa atau bersedekah atau berkurban. Apabila kamu telah (merasa) aman, maka bagi siapa yang ingin mengerjakan umrah sebelum haji (di dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) kurban yang mudah di dapat. Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang kurban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Demikian itu (kewajiban membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluargannya tidak berada (di sekitar) Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Makkah). Dan bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya" [Al-Baqarah : 196]

Allah Ta'ala juga berfirman (yang artinya): "Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat (denda) yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, maka hendaklah (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai cara taubat kepada Allah. Dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana" [An-Nisaa' : 92]

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): "Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah kamu yang kamu sengaja, maka kafarat (melanggar) sumpah itu ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kafarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). Dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya)" [Al-Maidah : 89]

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya): "Orang-orang yang men-zhihar *) isteri mereka kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur.

Page 10: Tafsir Ayat

Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa (wajib atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang-orang kafir ada siksaan yang sangat pedih" [Al-Mujaadilah : 3-4]

*) Zhihar di kalangan bangsa Arab waktu itu ialah bila suami mengatakan kepada isterinya: "punggungmu bagiku seperti punggung ibuku". Maksud ucapan ini ialah ia tidak mau lagi menggauli (menyetubuhi) isterinya. Ucapan ini tidak dianggap talak namun disebut zhihar. 

Demikian pula, puasa dan shadaqah bisa menghapuskan fitnah seorang pria dari harta, keluarga dan anaknya. Dari Hudzaifah Ibnul Yaman radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Fitnah pria dalam keluarga (isteri), harta dan tetangganya, bisa dihapuskan oleh shalat, puasa dan shadaqah" [Hadits Riwayat Bukhari 2/7, Muslim 144]

Puasa dan Al-Qur'an Akan Memberi Syafa'at Kepada Ahlinya di hari Kiamat

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Puasa dan Al-Qur'an akan memberikan syafaat kepada hamba di hari Kiamat. Puasa akan berkata: "Wahai Rabbku, aku menghalanginya dari makan dan syahwat, maka berilah dia syafa'at karenaku". Al-Qur'an pun berkata: "Aku telah menghalanginya dari tidur di malam hari, maka berilah dia syafa'at karenaku". Rasulullah Shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: ".... maka keduanya akan memberi syafa'at"

Puasa Bisa Memasukkan Hamba ke Surga

Dari Abu Umamah radhiyallahu 'anhu katanya, "Aku berkata (kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam): "Wahai Rasulullah, tunjukkan padaku suatu amalan yang bisa memasukkanku ke surga?" Beliau menjawab: "Hendaklah kamu sering berpuasa, tidak ada (amalan) yang semisal dengan itu" [Hadits Riwayat Nasa'i 4/165, Ibnu Hibban hal. 232 Mawarid, Al-Hakim 1/421, sanadnya Shahih]

Ar Rayyan Bagi Orang yang Puasa

Dari Sahl bin Sa'ad radhiyallahu 'anhu, dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam (bahwa beliau) bersabda (yang artinya): “Sesungguhnya dalam surga ada satu pintu yang disebut dengan Rayyan, orang-orang yang puasa akan masuk di hari kiamat nanti dari pintu tersebut, tidak ada orang selain mereka yang memasukinya. Jika telah masuk orang terakhir ditutuplah pintu tersebut. Barangsiapa yang masuk akan minum, dan barangsiapa yang minum tidak akan merasa haus untuk selamanya". [Hadits Riwayat Bukhari 4/95, Muslim 1152, dan tambahan lafadz yang akhir ada pada riwayat Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya 1903]

Ancaman bagi orang yang membatalkan puasa mereka tanpa udzur

Dari Abu Umamah Al-Bahili Radhiyallahu 'anhu, ia berkata : Aku pernah mendengar RasulullahShallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Ketika aku tidur, datanglah dua orang pria kemudian memegang kedua lenganku, membawaku ke satu gunung yang kasar (tidak rata), keduanya berkata, "Naik". Aku katakan, "Aku tidak mampu". Keduanya berkata,

Page 11: Tafsir Ayat

'Kami akan memudahkanmu'. Akupun naik hingga sampai ke puncak gunung, ketika itulah aku mendengar suara yang keras. Akupun bertanya, 'Suara apakah ini?'. Mereka berkata, 'Ini adalah teriakan penghuni neraka'. Kemudian keduanya membawaku, ketika itu aku melihat orang-orang yang digantung dengan kaki di atas, mulut mereka rusak/robek, darah mengalir dari mulut mereka. Aku bertanya, 'Siapa mereka?' Keduanya menjawab, 'Mereka adalah orang-orang yang berbuka sebelum halal puasa mereka(sebelum tiba waktu berbuka -red)." [Riwayat An-Nasa'i dalam Al-Kubra sebagaimana dalamTuhfatul Asyraf 4/166 dan Ibnu Hibban (no.1800 zawaid-nya) dan Al-Hakim 1/430 dari jalan Abdurrahman bin Yazid bin Jabir, dari Salim bin 'Amir dari Abu Umamah. Sanadnya shahih].

Keutamaan Bulan Ramadhan

Ramadhan adalah bulan kebaikan dan barokah, Allah memberkahinya dengan banyak keutamaan sebagaimana dalam penjelasan berikut ini.

1. Bulan Al-Qur'an

Allah menurunkan kitab-Nya yang mulia sebagai petunjuk bagi manusia, obat bagi kaum mukminin, membimbing kepada yang lebih lurus, menjelaskan jalan petunjuk (Al-Qur'an) pada malam Lailatul Qadar, suatu malam di bulan Ramadhan.

Allah berfirman (yang artinya): “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya, dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur" [Al-Baqarah : 185]

Ketahuilah saudaraku -mudah-mudahan Allah meberkatimu- sesungguhnya sifat bulan Ramadhan adalah sebagai bulan yang diturunkan padanya Al-Qur'an, dan kalimat sesudahnya dengan huruf (fa) yang menyatakan illat dan sebab: ".... barangsiapa yang melihatnya hendaklah berpuasa" memberikan isyarat illat (penjelas sebab) yakni sebab dipilihnya Ramadhan adalah karena bulan tersebut adalah bulan yang diturunkan padanya Al-Qur'an.

2. Dibelenggunya Syaithan, Ditutupnya Pintu-Pintu Neraka dan Dibukanya Pintu-Pintu Surga

Pada bulan ini kejelekan menjadi sedikit, karena dibelenggu dan diikatnya jin-jin jahat dengansalasil (rantai), belenggu dan ashfad. Mereka tidak bisa bebas merusak manusia sebagaimana bebasnya di bulan yang lain, karena kaum muslimin sibuk dengan puasa hingga hancurlah syahwat, dan juga karena bacaan Al-Qur'an serta seluruh ibadah yang mengatur dan membersihkan jiwa.

Page 12: Tafsir Ayat

Allah berfirman (yang artinya): “Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa" [Al-Baqarah : 183]

Maka dari itu ditutupnya pintu-pintu jahannam dan dibukanya pintu-pintu surga, (disebabkan) karena (pada bulan itu) amal-amal shaleh banyak dilakukan dan ucapan-ucapan yang baik berlimpah ruah (yakni ucapan-ucapan yang mengandung kebaikan banyak dilafadzkan oleh kaum mukminin -red).

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Jika datang bulan Ramadhan, maka dibukalah pintu-pintu surga [dalam riwayat Muslim: "Dibukalah pintu-pintu rahmat"] dan ditutup pintu-pintu neraka dan dibelenggu syetan" [Hadits Riwayat Bukhari 4/97 dan Muslim 1079]

Semuanya itu sempurna di awal bulan Ramadhan yang diberkahi, berdasarkan sabda RasulullahShallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya): "Jika datang awal malam bulan Ramadhan, diikatlah para syetan dan jin-jin yang jahat, ditutup pintu-pintu neraka, tidak ada satu pintu-pintu yang dibuka, dan dibukalah pintu-pintu surga, tidak ada satu pintu-pun yang tertutup, berseru seorang penyeru; "Wahai orang yang ingin kebaikan, lakukanlah! Wahai orang yang ingin kejelekan, kurangilah! Dan bagi Allah mempunyai orang-orang yang dibebaskan dari neraka, itu terjadi pada setiap malam" [Diriwayatkan oleh Tirmidzi 682 dan Ibnu Khuzaimah 3/188 dari jalan Abi Bakar bin Ayyasy dari Al-A'masy dari Abu Hurairah. Dan sanad hadits ini Hasan]

3. Malam Lailatul Qadar

Engkau telah mengetahui, wahai hamba yang mukmin bahwa Allah Jalla Jalaluhu memilih bulan Ramadhan karena diturunkan padanya Al-Qur'an. Hari yang paling mulia di sisi Allah adalah pada bulan diturunkannya Al-Qur'an hingga harus dikhususkan dengan berbagai macam amalan. Hal ini akan dijelaskan secara terperinci dalam pembahasan malam Lailatul Qadar, Insya Allah.

Sesungguhnya jika satu nikmat dicapai oleh kaum muslimin, mengharuskan adanya tambahan amal sebagai wujud dari rasa syukur kepada Allah. Hal ini berdasarkan firman Allah setelah menceritakan sempurnanya nikmat bulan Ramadhan (yang artinya): “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya, dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur" [Al-Baqarah : 185].

Firman Allah Tabaraka wa Ta'ala setelah selesai (menyebutkan) nikmat haji (yang artinya) :“Apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, maka berdzikirlah (dengan menyebut) Allah. Sebagaiman kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan) nenek moyangmu, atau (bahkan) berdzikir lebih banyak dari itu" [Al-Baqarah : 200]

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu: Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memberi khabar gembira kepada para sahabatnya dengan bersabda, "Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan kepadamu puasa didalamnya; pada bulan ini pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan para setan diikat; juga terdapat pada bulan ini malam yang lebih baik daripada seribu bulan, barangsiapa tidak memperoleh kebaikannya maka dia tidak memperoleh apa-apa." (HR. Ahmad dan An-Nasa'i) 

Page 13: Tafsir Ayat

Dari Ubadah bin ash-Shamit, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan keberkahan, AIlah mengunjungimu pada bulan ini dengan menurunkan rahmat, menghapus dosa-dosa dan mengabulkan do'a. Allah melihat berlomba-lombanya kamu pada bulan ini dan membanggakanmu kepada para malaikat-Nya, maka tunjukkanlah kepada Allah hal-hal yang baik dari dirimu. Karena orang yang sengsara ialah orang yang tidak mendapatkan rahmat Allah di bulan ini."(HR.Ath-Thabrani, dan para periwayatnya terpercaya. Al-Mundziri berkata: "Diriwayatkan oleh an-Nasa'i dan al-Baihaqi, keduanya dari Abu Qilabah, dari Abu Hurairah, tetapi setahuku dia tidak pemah mendengar darinya.")

Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallambersabda: "Umatku pada bulan Ramadhan diberi lima keutamaan yang tidak diberikan kepada umat sebelumnya, yaitu: bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada aroma kesturi, para malaikat memohonkan ampunan bagi mereka sampai mereka berbuka, Allah 'Azza wa Jalla setiap hari menghiasi surga-Nya lalu berfirman (kepada surga), "Hampir tiba saatnya para hamba-Ku yang shalih dibebaskan dari beban dan derita serta mereka menuju kepadamu". Pada bulan ini para jin yang jahat diikat sehingga mereka tidak bebas bergerak seperti pada bulan lainnya, dan diberikan kepada ummatku ampunan pada akhir malam." Beliau ditanya, "Wahai Rasulullah apakah malam itu Lailatul Qadar?" Jawab beliau, "Bukan. Namun orang yang beramal tentu diberi balasannya jika telah menyelesaikan amalnya." (HR. Ahmad. Isnad hadits tersebut dha'if, dan di antara bagiannya ada nash-nash lain yang memperkuatnya)

RINGKASAN HUKUM-HUKUM PUASA

Definisi

Puasa ialah menahan diri dari makan, minum dan bersenggama mulai dari terbit fajar yang kedua sampai terbenamnya matahari. Firman Allah Ta'ala: "….dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam...." (Al-Baqarah:187) 

Kapan dan bagaimana puasa Ramadhan diwajibkan?

Puasa Ramadhan wajib dikerjakan setelah terlihatnya hilal, atau setelah bulan Sya'ban genap 30 hari. Puasa Ramadhan wajib dilakukan apabila hilal awal bulan Ramadhan disaksikan seorang yang dipercaya, sedangkan awal bulan-bulan lainnya ditentukan dengan kesaksian dua orang yang dipercaya. 

Siapa yang wajib berpuasa Ramadhan?

Puasa Ramadhan diwajibkan atas setiap muslim yang baligh (dewasa), aqil (berakal), dan sanggup untuk berpuasa. Adapun syarat-syarat wajibnya puasa Ramadhan ada empat, yaitu Islam, berakal, dewasa dan mampu. Para ulama mengatakan anak kecil disuruh berpuasa jika kuat, hal ini untuk melatihnya, sebagaimana disuruh shalat pada umur 7 tahun dan dipukul pada umur 10 tahun agar terlatih dan membiasakan diri. 

Syarat sahnya puasa

Syarat-syarat sahnya puasa ada enam:

Page 14: Tafsir Ayat

1. Islam: tidak sah puasa orang kafir sebelum masuk Islam. 

2. Akal: tidak sah puasa orang gila sampai kembali berakal. 

3. Tamyiz: tidak sah puasa anak kecil sebelum dapat membedakan (yang balk dengan yang buruk). 

4. Tidak haid: tidak sah puasa wanita haid, sebelum berhenti haidnya. 

5. Tidak nifas: tidak sah puasa wanita nifas, sebelum suci dari nifas. 

6. Niat: menyengaja dari malam hari untuk setiap hari dalam puasa wajib. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Barangsiapa yang tidak berniat puasa pada malam hari sebelum fajar, maka tidak sah puasanya." (HR.Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, An-Nasa'i dan At-Tirmidzi. Ia adalah hadits mauquf menurut At-Tirmidzi). Dan hadits ini menunjukkan tidak sahnya puasa kecuali diiringi dengan niat sejak malam hari yaitu di salah satu bagian malam. Niat itu tempatnya di dalam hati, dan melafazdkannya adalah bid'ah yang sesat, walaupun manusia menganggapnya sebagai satu perbuatan baik. Kewajiban niat semenjak malam harinya ini hanya khusus untuk puasa wajib saja, karena Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah datang ke Aisyah pada selain bulan Ramadhan, kemudian beliau bersabda (yang artinya): "Apakah engkau punya santapan siang? Maka jika tidak ada aku akan berpuasa" [Hadits Riwayat Muslim 1154].

Sunah Puasa

Sunah puasa ada enam:

1. Mengakhirkan sahur sampai akhir waktu malam, selama tidak dikhawatirkan terbit fajar. 

2. Segera berbuka puasa bila benar-benar matahari terbenam. 

3. Memperbanyak amal kebaikan, terutama menjaga shalat lima waktu pada waktunya dengan berjamaah, menunaikan zakat harta benda kepada orang-orang yang berhak, memperbanyak shalat sunat, sedekah, membaca Al-Qur'an dan amal kebajikan lainnya. 

4. Jika dicaci maki, supaya mengatakan: "Saya berpuasa," dan jangan membalas mengejek orang yang mengejeknya, memaki orang yang memakinya, membalas kejahatan orang yang berbuat jahat kepadanya; tetapi membalas itu semua dengan kebaikan agar mendapatkan pahala dan terhindar dari dosa. 

5. Berdo'a ketika berbuka sesuai dengan yang diinginkan. Seperti membaca do'a: "Ya Allah hanya untuk-Mu aku beupuasa, dengan rizki anugerah-Mu aku berbuka. Mahasuci Engkau dan segala puji bagi-Mu. Ya Allah, terimalah amalku, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui" 

6. Berbuka dengan kurma segar, jika tidak punya maka dengan kurma kering, dan jika tidak punya cukup dengan air. 

Hukum orang yang tidak berpuasa Ramadhan

Diperbolehkan tidak puasa pada bulan Ramadhan bagi empat golongan:

a. Orang sakit yang berbahaya baginya jika berpuasa dan orang bepergian yang boleh baginya mengqashar shalat. Tidak puasa bagi mereka berdua adalah afdhal, tapi wajib

Page 15: Tafsir Ayat

mengqadhanya. Namun jika mereka berpuasa maka puasa mereka sah (mendapat pahala). Firman Allah Ta'ala: " ….Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.... " (Al-Baqarah:184). Maksudnya, jika orang sakit dan orang yang bepergian tidak berpuasa maka wajib mengqadha (menggantinya) sejumlah hari yang ditinggalkan itu pada hari lain setelah bulan Ramadhan. 

b. Wanita haid dan wanita nifas: mereka tidak berpuasa dan wajib mengqadha. Jika berpuasa tidak sah puasanya. Aisyah radhiallahu 'anha berkata: "Jika kami mengalami haid, maka diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan menggadha shalat." (HaditsMuttafaq 'Alaih). 

c. Wanita hamil dan wanita menyusui, jika khawatir atas kesehatan anaknya boleh bagi mereka tidak berpuasa dan harus meng-qadha serta memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkan. Jika mereka berpuasa maka sah puasanya. Adapun jika khawatir atas kesehatan diri mereka sendiri, maka mereka boleh tidak puasa dan harus meng-gadha saja. Demikian dikatakan Ibnu Abbas sebagaimana diriwayatkan o!eh Abu Dawud. Lihat kitab Ar Raudhul Murbi', 1/124. 

d. Orang yang tidak kuat berpuasa karena tua atau sakit yang tidak ada harapan sembuh. Boleh baginya tidak berpuasa dan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari yang ditinggalkannya. Demikian kata Ibnu Abbas menurut riwayat Al-Bukhari. Lihat kitab Tafsir Ibnu Katsir, 1/215. Sedangkan jumlah makanan yang diberikan yaitu satu mud (genggam tangan) gandum, atau satu sha' (+ 3 kg) dari bahan makanan lainnya. Lihat kitab 'Umdatul Fiqh, oleh Ibnu Qudamah, him. 28. 

Hukum jima' pada siang hari bulan Ramadhan

Diharamkan melakukan jima' (bersenggama) pada siang hari bulan Ramadhan. Dan siapa yang melanggarnya harus meng-qadha dan membayar kaffarah mughallazhah (denda berat) yaitu membebaskan hamba sahaya. Jika tidak mendapatkan, maka berpuasa selama dua bulan berturut-turut; jika tidak mampu maka memberi makan 60 orang miskin; dan jika tidak punya maka bebaslah ia dari kaffarah itu. Firman Allah Ta'ala: "Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya..." (Al-Baqarah: 285). Lihat kitab Majalisu Syahri Ramadhan, hlm. 102-108. 

Hal-hal yang membatalkan puasa

a. Makan dan minum dengan sengaja. Jika dilakukan karena lupa maka tidak batal puasanya. 

b. Jima' (bersenggama). 

c. Memasukkan makanan ke dalam perut. Termasuk dalam hal ini adalah suntikan yang mengenyangkan dan transfusi darah. 

d. Mengeluarkan mani dalam keadaan terjaga karena onani, bersentuhan, ciuman atau sebab lainnya dengan sengaja. Adapun keluar mani karena mimpi tidak membatalkan puasa karena keluamya tanpa sengaja. 

e. Keluamya darah haid dan nifas. Manakala seorang wanita mendapati darah haid, atau nifas batallah puasanya, baik pada pagi hari atau sore hari sebelum terbenam matahari. 

Page 16: Tafsir Ayat

f. Sengaja muntah, dengan mengeluarkan makanan atau minuman dari perut melalui mulut. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam: "Barangsiapa yang muntah tanpa sengaja maka tidak wajib qadha, sedang barangsiapa yang muntah dengan sengaja maka wajib qadha." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi). Dalam lafazh lain disebutkan: "Barangsiapa muntah tanpa disengaja, maka ia tidak (wajib) mengganti puasanya." Diriwayatkan oleh Al-Harbi dalam Gharibul Hadits(5/55/1) dari Abu Hurairah secara maudu' dan dishahihkan oleh Al-Albani dalam Silsilatul Ahadits Ash-Shahihah No. 923. 

g. Murtad dari Islam -semoga Allah melindungi kita darinya. Perbuatan ini menghapuskan segala amal kebaikan. Firman Allah Ta'ala: "Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan." (QS. Al-An'aam: 88). 

Tidak batal puasa orang yang melakukan sesuatu yang membatalkan puasa karena tidak tahu, lupa atau dipaksa. Demikian pula jika tenggorokannya kemasukan debu, lalat, atau air tanpa disengaja. Jika wanita nifas telah suci sebelum sempurna empat puluh hari, maka hendaknya ia mandi, shalat dan berpuasa. 

Kewajiban orang yang berpuasa

Orang yang berpuasa, juga lainnya, wajib menjauhkan diri dari perbuatan dusta, ghibah(menyebutkan kejelekan orang lain), namimah (adu-domba), laknat (mendo'akan orang dijauhkan dari rahmat Allah) dan mencaci-maki. Hendaklah ia menjaga telinga, mata, lidah dan perutnya dari perkataan yang haram, penglihatan yang haram, pendengaran yang haram, makan dan minum yang haram. 

Puasa yang disunatkan

Disunatkan puasa 6 hari pada bulan Syawwal, 3 hari pada setiap bulan (yang afdhal yaitu tanggal 13, 14 dan 15; disebut shaum al-biidh), hari Senin dan Kamis, 9 hari pertama bulan Dzul Hijjah (lebih ditekankan tanggal 9, yaitu hari Arafah), hari 'Asyura (tanggal 10 Muharram) ditambah sehari sebelum atau sesudahnya untuk mengikuti jejak Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan para sahabatnya yang mulia serta menyelisihi kaum Yahudi. 

Penentuan Awal Puasa dan Iedul Fithri

Awal puasa ditentukan dengan tiga cara:

1. Ru’yah hilal (melihat bulan sabit pertama).2. Persaksian atau kabar tentang ru’yah hilal.3. Menyempurnakan bilangan hari bulan Sya’ban.

Tiga hal ini diambil dari hadits-hadits dibawah ini:

1. Hadits dari Abi Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambersabda: “Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal bulan Ramadhan) dan berbukalah karena melihatnya (hilal bulan Syawal). Jika (penglihatan) kalian terhalang awan, maka sempurnakanlah Sya’ban tiga puluh hari.” (HSR. Bukhari 4/106, dan Muslim 1081)

Page 17: Tafsir Ayat

2. Hadits dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:“Janganlah kalian mendahului bulan Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari kecuali seseorang diantara kalian yang biasa berpuasa (sunnat) pada waktu itu. Dan janganlah kalian berbuka sampai melihatnya (hilal Syawal). Jika ia (hilal) terhalang awan, maka sempurnakanlah bilangan tiga puluh hari kemudian berbukalah (Iedul Fithri) dan satu bulan itu 29 hari.” (HR. Abu Dawud 2327, An-Nasa’I 1/302, At-Tirmidzi 1/133, Al-Hakim 1/425, dan di-Shahih-kan sanadnya oleh Al-Hakim dan disetujui oleh Adz-Dzahabi)

3. Hadits dari ‘Adi bin Hatim radhiallahu ‘anhu: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:“Apabila datang bulan Ramadhan, maka berpuasalah 30 hari kecuali sebelum itu kalian melihat hilal.” (HR. At-Thahawi dalam Musykilul Atsar 105, Ahmad 4/377, Ath-Thabrani dalamAl-Kabir 17/171 dan lain-lain)

4. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Puasalah karena melihatnya (hilal) dan berbukalah karena melihatnya. Jika awan menghalangi kalian sempurnakanlah tiga puluh hari. Jika dua orang saksi mempersaksikan (mengaku melihat hilal) maka berpuasalah dan berbukalah kalian karenanya.” (HR. An-Nasa’I 4/132, Ahmad 4/321, Ad-Daruquthni, 2/167, dari Abdurrahman bin Zaid bin Al-Khattab dari sahabat-sahabat Rasulullah, sanadnya Hasan. Demikian keterangan Syaikh Salim Al-Hilali serta Syaikh Ali Hasan. LihatShifatus Shaum Nabi, hal. 29)

Hadits-hadits semisal itu diantaranya dari Aisyah, Ibnu Umar, Thalhah bin Ali, Jabir bin Abdillah, Hudzaifah dan lain-lain radliallahu ‘anhum. Syaikh Al-Albani membawakan riwayat-riwayat mereka serta takhrij-nya dalam Irwa’ul Ghalil hadits ke 109.

Isi dan makna hadits-hadits diatas menunjukkan bahwa awal bulan puasa dan Iedul Fithri ditetapkan dengan tiga perkara diatas. Tentang persaksian atau kabar dari seseorang berdalil dengan hadits yang keempat dengan syarat pembawa berita adalah orang Islam yang adil (dapat dipercaya karena kelurusan perilakunya dan pengetahuannya), sebagaimana tertera dalam riwayat Ahmad dan Daraquthni. Sama saja saksinya dua orang atau satu orang, sebagaimana telah dinyatakan oleh Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma ketika beliau berkata: “Manusia sedang melihat-lihat (munculnya) hilal. Aku beritahukan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa aku melihatnya. Maka beliau berpuasa dan memerintahkan manusia untuk berpuasa.” (HR. Abu Dawud 2342, Ad-Darimi 2/4, Ibnu Hibban 871, Al-Hakim 1/423 dan Al-Baihaqi, sanadnya Shahih sebagaimana diterangkan oleh Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam At-Talkhisul Kabir 2/187)

Perbedaan Mathla’ (Tempat Muncul Hilal)

Hadits-hadits diatas menerangkan dengan jelas bahwa dalam mengetahui masuk dan berakhirnya bulan puasa adalah dengan ru’yah hilal (melihat bulan sabit pertama), bukan denganhisab (perhitungan kalender). Dan konteks kalimatnya kepada semua kaum muslimin (di seluruh kawasan dan negeri) bukan hanya kepada satu negeri atau kampung tertentu. 

Maka, bagaimana cara mengkompromikan hadits-hadits diatas dengan hadits Kuraib atau hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhum yang berbunyi: “Kuraib mengabarkan bahwa Ummu Fadhl bintul Harits mengutusnya kepada Muawiyyah di Syam. Kuraib berkata: "Aku sampai di Syam kemudian

Page 18: Tafsir Ayat

aku memenuhi keperluannya dan diumumkan tentang hilal Ramadhan, sedangkan aku masih berada di Syam. Kami melihat hilal pada malam Jum’at. Kemudian aku tiba di Madinah pada akhir bulan. Maka Ibnu Abbas bertanya kepadaku kemudian dia sebutkan tentang hilal : "Kapan kamu melihat Hilal?" Akupun menjawab: "Aku melihatnya pada malam Jum’at." Beliau bertanya lagi: "Engkau melihatnya pada malam Jum’at?" Aku menjawab: "Ya, orang-orang melihatnya dan merekapun berpuasa, begitu pula Muawiyyah." Dia berkata: "Kami melihatnya pada malam Sabtu, kami akan berpuasa menyempurnakan tiga puluh hari atau kami melihatnya (hilal)." Aku bertanya: "Tidakkah cukup bagimu ru'yah dan puasa Muawiyyah?" Beliau menjawab: "Tidak! Begitulah Rasulullah memerintahkan kami.” (HR. Muslim 1087, At-Tirmidzi 647 dan Abu Dawud 1021. Riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi di-Shahih-kan oleh Al-Albani dalam Shahih Sunan At-Tirmidzi 1/213)

Dalam hadits Kuraib diatas dan hadits-hadits sebelumnya para ulama berselisih pendapat. Perselisihan ini disebutkan dalam Fathul Bari Juz. 4 hal. 147. Ibnu Hajar berkata: Para Ulama berbeda pendapat tentang hal ini atas beberapa pendapat :

Pendapat Pertama:

Setiap negeri mempunyai ru’yah atau mathla’. Dalilnya dengan hadits Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dalam Shahih Muslim. Ibnul Mundzir menceritakan hal ini dari Ikrimah, Al-Qasim Salim dan Ishak, At-Tirmidzi mengatakan bahwa keterangan dari ahli ilmu dan tidak menyatakan hal ini kecuali beliau. Al-Mawardi menyatakan bahwa pendapat ini adalah salah satu pendapat madzab Syafi’i.

Pendapat Kedua:

Apabila suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Pendapat ini masyhur dari kalangan madzhab Malikiyah. Tetapi Ibnu Abdil Barr mengatakan bahwa ijma’ telah menyelisihinya. Beliau mengatakan bahwa para ulama sepakat bahwa ru’yah tidak sama pada negara yang berjauhan seperti antara Khurasan (negara di Rusia) dan Andalus (negeri Spanyol).

Al-Qurthubi berkata bahwa para syaikh mereka telah menyatakan bahwa apabila hilal tampak terang disuatu tempat kemudian diberitakan kepada yang lain dengan persaksian dua orang, maka hal itu mengharuskan mereka semua berpuasa

Sebagian pengikut madzhab Syafi’i berpendapat bahwa apabila negeri-negeri berdekatan, maka hukumnya satu dan jika berjauhan ada dua: 1. Tidak wajib mengikuti, menurut kebanyakan mereka. 2. Wajib mengikuti. Hal ini dipilih oleh Abu Thayib dan sekelompok ulama. Hal ini dikisahkan oleh Al-Baghawi dari Syafi’i.

Sedangkan dalam menentukan jarak (jauh) ada beberapa pendapat:

1. Dengan perbedaan mathla’. Ini ditegaskan oleh ulama Iraq dan dibenarkan oleh An-Nawawi dalam Ar-Raudlah dan Syarhul Muhadzab.

2. Dengan jarak meng-qashar shalat. Hal ini ditegaskan Imam Al-Baghawi dan dibenarkan oleh Ar-Rafi’i dalam Ash-Shaghir dan An-Nawawi dalam Syarhul Muslim.

3. Dengan perbedaan iklim.

Page 19: Tafsir Ayat

4. Pendapat As-Sarkhasi: “Keharusan ru’yah bagi setiap negeri yang tidak samar atas mereka hilal.”

5. Pendapat Ibnul Majisyun: “Tidak harus berpuasa karena persaksian orang lain...” Berdalil dengan wajibnya puasa dan beriedul fithri bagi orang yang melihat hilal sendiri walaupun orang lain tidak berpuasa dengan beritanya.

Imam Syaukani menambahkan: “Tidak harus sama jika berbeda dua arah, yakni tinggi dan rendah yang menyebabkan salah satunya mudah melihat hilal dan yang lain sulit atau bagi setiap negeri mempunyai iklim. Hal ini diceritakan oleh Al-Mahdi dalam Al-Bahr dari Imam Yahya dan Hadawiyah.”

Hujjah ucapan-ucapan diatas adalah hadits Kuraib dan segi pengambilan dalil adalah perbuatan Ibnu Abbas bahwa beliau tidak beramal (berpuasa) dengan ru’yah penduduk Syam dan beliau berkata pada akhir hadits : “Demikian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh kami.” Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menghapal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa penduduk suatu negeri tidak harus beramal dengan ru’yah negeri lain. Demikian pendalilan mereka.

Adapun menurut jumhur ulama adalah tidak adanya perbedaan mathla’ (tempat munculnya hilal). Oleh karena itu kapan saja penduduk suatu negeri melihat hilal, maka wajib atas seluruh negeri berpuasa karena sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, ”Puasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah karena melihatnya.” Ucapan ini umum mencakup seluruh ummat manusia. Jadi siapa saja dari mereka melihat hilal dimanapun tempatnya, maka ru’yah itu berlaku bagi mereka semuanya.” (Fiqhus Sunah 1/368)

As-Shan’ani rahimahullah berkata, “Makna ucapan “karena melihatnya” yaitu apabila ru’yah didapati diantara kalian. Hal ini menunjukkan bahwa ru’yah pada suatu negeri adalah ru’yah bagi semua penduduk negeri dan hukumnya wajib.” (Subulus Salam 2/310)

Imam As-Syaukani membantah pendapat-pendapat yang menyatakan bahwasanya ru’yah hilal berkaitan dengan jarak, iklim dan negeri dalam kitabnya Nailul Authar 4/195.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa berkata: “Orang-orang yang menyatakan bahwa ru’yah tidak digunakan bagi semuanya (negeri-negeri) seperti kebanyakan pengikut-pengikut madzhab Syafi’i, diantaranya mereka ada yang membatasi dengan jarak qashar shalat, ada yang membatasi dengan perbedaan mathla’ seperti Hijaz dengan Syam, Iraq dengan Khurasan, kedua-duanya lemah (dha’if) karena jarak qashar shalat tidak berkaitan dengan hilal...."

Apabila seseorang menyaksikan pada malam ke 30 bulan Sya’ban di suatu tempat, dekat maupun jauh, maka wajib puasa. Demikian juga kalau menyaksikan hilal pada waktu siang menjelang maghrib maka harus imsak (berpuasa) untuk waktu yang tersisa, sama saja baik satu iklim atau banyak iklim.” (Majmu’ Fatawa Juz 25 hal 104-105)

Shidiq Hasan Khan berkata: “Apabila penduduk suatu negeri melihat hilal, maka seluruh negeri harus mengikutinya. Hal itu dari segi pengambilan dalil hadits-hadits yang jelas mengenai puasa,

Page 20: Tafsir Ayat

yaitu “karena melihat hilal dan berbuka (iedul fithri) karena hilal” (Hadits Abu Hurairah dan lain-lain). Hadits-hadits tersebut berlaku untuk semua ummat, maka barangsiapa diantara mereka melihat hilal dimana saja tempatnya, jadilah ru’yah itu untuk semuanya ...” (Ar-Raudhah An-Nadiyah 1/146).

Bolehkah Ber-Iedul Fithri Sendiri Menyelisihi Kaum Muslimin?

Sekarang timbul permasalahan yaitu seseorang yang melihat hilal (bulan sabit awal Ramadhan atau awal Syawal) sendirian secara jelas, apakah dia harus beriedul fithri/berpuasa sendiri atau bersama manusia? Dalam permasalahan ini ada tiga pendapat, sebagaimana yang dirinci oleh Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa 25/114:

Pendapat Pertama: Wajib atasnya berpuasa (bila melihat hilal Ramadhan) dan ber’iedul fithri (bila melihat hilal Syawal) secara sembunyi-sembunyi. Inilah madzhab Syafi’i.

Pendapat Kedua: Dia harus berpuasa (bila melihat hilal Ramadhan) tetapi tidak ber’iedul fithri (bila melihat hilal Syawal) kecuali ketika bersama manusia. Pendapat ini masyhur dari madzhab Maliki dan Hanafi.

Pendapat Ketiga: Dia berpuasa dan ber’iedul fithri bersama manusia. Inilah pendapat yang paling jelas karena sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (yang artinya): "Puasa kalian adalah pada hari kalian semua berpuasa dan berbuka kalian (Iedul Fithri) adalah pada hari kalian semua berbuka (tidak berpuasa) dan (Iedul) Adha kalian adalah hari kalian berkurban." (HR. Tirmidzi 2/37 dan beliau berkata “hadits gharib hasan”. Syaikh Al-Albani berkata: “Sanadnya jayyid (bagus) dan rawi-rawinya semuanya tsiqah (terpercaya). Lihat Silsilah Al-Hadits As-Shahihah 1/440). Demikian keterangan Syaikhul Islam.

Bertolak dari hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu diatas, para ulama pun berkomentar. Di antaranya Imam At-Tirmidzi berkata setelah membawakan hadits ini: "Sebagian ahlu ilmi (ulama) mentafsirkan hadits ini bahwa puasa dan Iedul Fithri bersama mayoritas manusia."

Imam As-Shan’ani berkata: "Dalam hadits itu terdapat dalil bahwa hari Ied ditetapkan bersama manusia. Orang yang mengetahui hari Ied dengan ru’yah sendirian wajib baginya untuk mencocoki lainnya dan mengharuskan dia untuk mengikuti mereka didalam shalat Iedul Fithri dan Iedul Adha." (Subulus Salam 2/72)

Abul Hasan As-Sindi setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah pada riwayat Tirmidzi, berkata dalam Shahih Ibnu Majah: “Yang jelas maknanya adalah bahwa perkara-perkara (berpuasa dan berhari raya) ini bukan untuk perorangan, tidak boleh bersendirian dalam hal itu. Perkaranya tetap diserahkan kepada imam dan jamaah. Atas dasar ini, jika seseorang melihat hilal sedangkan imam menolak persaksiannya, maka seharusnya tidak diakui dan wajib atasnya untuk mengikuti jamaah pada yang demikian itu.”

Syaikh Al-Albani menegaskan: “Makna inilah yang terambil dari hadits tersebut. Diperkuat makna

Page 21: Tafsir Ayat

ini dengan hujjah Aisyah terhadap Masruq melarang puasa pada hari Arafah karena khawatir pada saat itu hari nahr (10 Dzulhijah). Aisyah menerangkan kepadanya bahwa pendapatnya tidak dianggap dan wajib atasnya untuk mengikuti jama’ah. Aisyah berkata: “Nahr (Iedul Adha) adalah hari orang-orang menyembelih kurban dan Iedul Fithri adalah hari orang-orang berbuka.” (Silsilah Al-Hadits As-Shahihah 1/443-444)

Akan tetapi jika seseorang tinggal disuatu tempat yang tidak ada orang kecuali dia, apabila ia melihat hilal, maka wajib berpuasa karena dia sendirian di sana. Sebagaimana perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Fatawa 25/117.

Terkadang seorang Imam meremehkan ketika disampaikan penetapan hilal dengan menolak persaksian orang yang adil, bisa jadi karena tidak mau membahas tentang keadilannya atau karena politik dan sebagainya dari alasan-alasan yang tidak syar’i, maka bagaimana hukumnya?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam hal ini mengatakan: “Apa yang sudah menjadi ketetapan sebuah hukum tidak berbeda keadaannya pada orang yang diikuti dalam ru’yah hilal. Sama saja dia seorang mujtahid yang benar atau salah, atau melampaui batas. Tentang masalah apabila hilal tidak tampak dan tidak diumumkan padahal manusia sangat bersemangat mencarinya telah tersebut dalam As-Shahihah bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda tentang para imam: "Mereka (para imam) shalat bersama kalian, jika mereka benar maka pahala bagi kalian dan mereka, dan jika salah maka pahala bagi kalian dan dosa atas mereka.” Maka kesalahan dan pelampauan batas adalah tanggung jawab mereka bukan tanggung jawab kaum muslimin yang tidak salah dan tidak melampaui batas.” (Majmu’ Fatawa, 25/206)

Jika timbul pertanyaan bagaimana hukum puasa pada hari mendung, pada saat hilal terhalang oleh awan sedangkan pada waktu itu malam yang ke 30 dari bulan Sya’ban?

Dalam permasalahan ini, Abdullah bin Abdurrahman Ali Bassam menerangkan dalam kitab beliauTaudlihul Ahkam 1/139 sebagai berikut: “Pendapat yang masyhur dalam madzhab Imam Ahmad adalah wajib puasa pada waktu itu. Pengikut-pengikut beliau membela madzhabnya dan membantah hujjah orang yang menyelisihinya. Pendapat ini berdalil dengan hadits Ibnu Umarradhiallahu ‘anhuma yang ada dalam Shahihain bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallambersabda: "Apabila kalian melihat hilal (Ramadhan), maka puasalah dan apabila melihatnya (hilal Syawal) maka berbukalah. Jika mendung atas kalian maka kira-kirakanlah.” Dengan persempit bulan Sya’ban menjadi 29 hari.

Sedangkan Imam Malik, Syafi’I dan Hanafi berpendapat bahwa tidak disyari’atkannya puasa pada waktu itu, karena pada waktu itu adalah waktu keraguan yang dilarang puasa padanya. Mereka berdalil dengan hadits Ammar yang diriwayatkan oleh Ashabus Sunan: “Barang siapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka dia sungguh telah bermaksiat kepada Abul Qasim (Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam).” Pendapat inilah pendapat Imam Ahmad yang sebenarnya.

Ibnu Qudamah berkata dalam Al-Mughni bahwa riwayat dari Imam Ahmad menyatakan bahwa pada

Page 22: Tafsir Ayat

waktu itu puasa tidak wajib dan jika dia puasa, maka tidak dianggap puasa Ramadhan. Inilah pendapat kebanyakan ahlul ilmi (ulama).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan : “Tidak berpuasa (pada saat itu) adalah madzhab Imam Ahmad. Imam Ahmad juga mengatakan bahwa berpuasa pada hari yang diragukan adalah mendahului Ramadhan dengan puasa satu hari. Sungguh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang hal itu. Yang masih diragukan adalah tentang wajibnya berpuasa pada hari itu, padahal tidak wajib dilakukan bahkan yang disunnahkan adalah meninggalkannya …. Kalau dikatakan boleh dua perkara, maka sunnah untuk berbuka itu lebih utama.”

Beliau (Ibnu Taimiyyah) berkata dalam Al-Furu: “Aku tidak mendapatkan dari Ahmad bahwa beliau menegaskan wajibnya dan memerintahkannya, maka janganlah (pendapat diatas) dinisbatkan (dihubungkan) kepadanya.”

Syaikh Muhammad bin Hasan berkata: “Tidak diragukan lagi bahwa para peneliti dari kalangan madzhab Hambali dan selainnya berpendapat tentang tidak wajibnya berpuasa bahkan dimakruhkan atau diharamkan.”

Syaikh Abdul Lathief bin Ibrahim barkata bahwa orang yang melarang puasa (pada waktu diatas) mempunyai hujjah hadits-hadits, diantaranya hadits Ammar: “Tidak boleh puasa pada waktu ragu.” At-Tirmidzi mengatakan bahwa berdasarkan hadits ini para ulama dari kalangan shahabat dan tabi’in beramal.” Demikian penjelasan Syaikh Ali Bassam.

Dari keterangan diatas menunjukkan bahwa malam ke-30 dari bulan Sya’ban apabila tidak terlihat hilal karena terhalang oleh awan dan selainnya adalah waktu yang diragukan padanya puasa. Oleh karena itu Imam As-Shan’ani menegaskan: “Ketahuilah bahwa hari yang diragukan adalah hari ke 30 dari bulan Sya’ban apabila tidak terlihat hilal pada malam itu, karena ada awan yang menghalangi atau selainnya. Bisa jadi saat itu bulan Ramadhan atau Sya’ban. Dan makna hadits Ammar dan selainnya menunjukkan atas haramnya puasa (pada saat itu).” (Subulus Salam2/308)

Kalau sudah jelas bahwa hari yang diragukan, maka tidak sepantasnya bagi seorang muslim untuk berpuasa sebelum Ramadhan satu atau dua hari dengan alasan ihtiyath (berhati-hati) kecuali kalau hari itu bertepatan dengan hari puasa (yang biasa ia lakukan).

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallambersabda: “Janganlah kalian dahului Ramadhan dengan puasa satu atau dua hari, kecuali orang yang biasa berpuasa (sunnat bertepatan pada hari itu), maka puasalah.” (HR. Muslim)

Shilah bin Zufar dari Amar berkata: “Barangsiapa berpuasa pada hari yang diragukan, maka sungguh dia telah bermaksiat kepada Abul Qasim shallallahu ‘alaihi wasallam.” (Lihat Shifatus Shaum Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam karya Syaikh Ali Hasan dan Syaikh Salim Al-Hilali hal.28).

Hukum Hilal Yang Diketahui Pada Akhir Siang

Page 23: Tafsir Ayat

Dari Umair bin Anas bin Malik dari pamannya dari kalangan shahabat bahwasanya ada sekelompok pengendara datang. Mereka mempersaksikan bahwa telah melihat hilal kemarin. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan mereka untuk berbuka (Iedul Fithri) dan pergi pagi-pagi ke tanah lapang keesokan harinya. (HR. Ahmad dan Abu Dawud, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Shahih Sunan Tirmidzi 1/214, hadits ke 1026).

Hadits ini sebagai dalil bagi orang yang berkata bahwasanya shalat Ied boleh dilakukan pada hari kedua, apabila tidak jelas waktu Ied kecuali setelah keluar waktu shalatnya. Pendapat ini adalah pendapat Al-Auza’I, At-Tsauri, Ahmad, Ishaq, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Muhammad, Syafi’i, dan lain-lain. Dhahir hadits diatas menunjukkan bahwa shalat pada hari yang kedua itu adalah penunaian bukan qadla.” Demikian keterangan Imam Asy-Syaukani dalam Nailul Authar 3/310.

Imam As-Shan’ani menyatakan: “Hadits diatas sebagai dalil bahwa shalat Ied dilaksanakan hari kedua tatkala waktu Ied diketahui dengan jelas sesudah keluar (habis) waktu shalat (ied).” (Subulus Salam 2/133)

Demikian keterangan para ulama tentang masalah diatas yang menunjukkan bolehnya shalat Iedul Fithri pada hari kedua. Semoga tulisan yang diambil dari kitab-kitab para ulama ini bermanfaat bagi kita. Kesempurnaan itu hanya mutlak milik Allah Ta’ala sedangkan makhluk tempat khilaf dan kekurangan. Wallahu a’lam bisshawab.

(Dikutip dari Majalah Salafy, edisi XXIII, hal. 12-22, penulis Ustadz Zuhair Syarif).

Sahur

1. Hikmah Sahur

Allah mewajibkan puasa kepada kita sebagaimana telah mewajibkan kepada orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab. Allah berfirman (yang artinya): "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa" [Al-Baqarah : 183].

Waktu dan hukumnya pun sesuai dengan apa yang diwajibkan pada Ahlul Kitab, yakni tidak boleh makan dan minum serta menikah (jima') setelah tidur. Yaitu jika salah seorang dari mereka tidur, tidak boleh makan hingga malam selanjutnya, demikian pula diwajibkan atas kaum muslimin sebagaimana telah kami terangkan di muka karena dihapus hukum tersebut. [Lihat sebagai tambahan tafsir-tafsir berikut: Zadul Masir 1/184 oleh Ibnul Jauzi, Tafsir Quranil 'Adhim 1/213-214 oleh Ibnu Katsir, Ad-Durul Mantsur 1/120-121 karya Imam Suyuthi].

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menyuruh makan sahur sebagai pembeda antara puasa kita dengan puasanya Ahlul Kitab.

Dari Amr bin 'Ash radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Pembeda antara puasa kita dengan puasanya ahli kitab adalah makan sahur"[Hadits Riwayat Muslim 1096]

Page 24: Tafsir Ayat

2. Keutamaannya

a. Makan Sahur Adalah Barokah.

Dari Salman radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya):"Barokah itu ada pada tiga perkara: Al-Jama'ah, Ats-Tsarid dan makan sahur" [Hadits riwayat Thabrani dalam Al-Kabir 5127, Abu Nu'aim dalam Dzikru Akhbar Ashbahan 1/57 dari Salman Al-Farisi Al-Haitsami berkata Al-Majma 3/151 dalam sanadnya ada Abu Abdullah Al-bashiri, Adz-Dzahabi berkata: "Tidak dikenal, perawi lainnya tsiqat (dipercaya). Hadits ini mempunyai syahid (saksi penguat) dalam riwayat Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Al-Khatib dalam Munadih Auhumul Sam'i wa Tafriq 1/203, sanadnya hasan]

Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Sesungguhnya Allah menjadikan barokah pada makan sahur dan takaran"[Hadits Riwayat As-Syirazy (Al-Alqzb) sebagaimana dalam Jami'us Shagir 1715 dan Al-Khatib dalam Al-Muwaddih 1/263 dari Abu Hurairah dengan sanad yang lalu. Hadits ini hasan (baik) sebagai syawahid dan didukung oleh riwayat sebelumnya. Al-Manawi memutihkannya dalamFawaidul Qadir 2/223, sepertinya ia belum menemukan sanadnya]

Dari Abdullah bin Al-Harits dari seorang sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: Aku masuk menemui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam ketika itu beliau sedang makan sahur, beliau bersabda (yang artinya): "Sesungguhnya makan sahur adalah barakah yang Allah berikan kepada kalian, maka janganlah kalian tinggalkan" [Hadits Riwayat Nasa'i 4/145 dan Ahmad 5/270 sanadnya shahih].

Keberadaan sahur sebagai barakah sangatlah jelas, karena dengan makan sahur berarti mengikuti sunnah, menguatkan dalam puasa, menambah semangat untuk menambah puasa karena merasa ringan orang yang puasa.

Dalam makan sahur juga (berarti) menyelisihi Ahlul Kitab, karena mereka tidak melakukan makan sahur. Oleh karena itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menamakannya dengan makan pagi yang diberkahi sebagaimana dalam dua hadits Al-Irbath bin Syariyah dan Abu Darda'radhiyallahu 'anhuma (yang artinya): "Marilah menuju makan pagi yang diberkahi, yakni sahur". [Adapun hadits Al-Irbath diriwayatkan oleh Ahmad 4/126 dan Abu Daud 2/303, Nasa'i 4/145 dari jalan Yunus bin Saif dari Al-Harits bin ZIyad dari Abi Rahm dari Irbath. Al-Harits majhul (tidak dikenal). Sedangkan hadits Abu Darda diriwayatkan oleh Ibnu Hibban 223-Mawarid dari jalan Amr bin Al-Harits dari Abdullah bin Salam dari Risydin bin Sa'ad. Risydin dhaif (lemah). Hadits ini ada syahid (penguat)-nya dari hadits Al-Migdam bin Ma'dikarib. Diriwayatkan oleh Ahmad 4/133. Nasaai 4/146 sanadnya shahih, kalau selamat dari Baqiyah, karena dia menegaskan hadits dari Syaikhya! Akan tetapi apakah itu cukup atau harus tegas-tegas dalam seluruh thabaqat hadits, beliau termasuk mudallis taswiyah ?! Maka hadits ini shahih].

b. Allah dan Malaikat-Nya Bershalawat Kepada Orang-Orang yang Sahur.

Mungkin barakah sahur yang tersebar adalah (karena) Allah Subhanahu wa Ta'ala akan meliputi orang-orang yang sahur dengan ampunan-Nya, memenuhi mereka dengan rahmat-Nya, malaikat

Page 25: Tafsir Ayat

Allah memintakan ampunan bagi mereka, berdo'a kepada Allah agar mema'afkan mereka agar mereka termasuk orang-orang yang dibebaskan oleh Allah di bulan Ramadhan.

Dari Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda (yang artinya): "Sahur itu makanan yang barakah, janganlah kalian meninggalkannya walaupun hanya meneguk setengah air, karena Allah dan malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang sahur" [Telah lewat takhrijnya].

Oleh sebab itu seorang muslim hendaknya tidak menyia-nyiakan pahala yang besar ini dari Rabb Yang Maha Pengasih. Dan sahurnya seorang muslim yang paling afdhal adalah korma.

Bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (yang artinya): "Sebaik-baik sahurnya seorang mukmin adalah korma" [Hadits Riwayat Abu Daud 2/303, Ibnu Hibban 223, Baihaqi 4/237 dari jalan Muhammad bin Musa dari Said Al-Maqbari dari Abu Hurairah. Dan sanadnya SHAHIH].

Barangsiapa yang tidak menemukan korma, hendaknya bersungguh-sungguh untuk bersahur walau hanya dengan meneguk satu teguk air, karena keutamaan yang disebutkan tadi, dan karena sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam (yang artinya): "Makan sahurlah kalian walau dengan seteguk air" [Telah lewat Takhrijnya]

3. Mengakhirkan Sahur

Disunnahkan mengakhirkan sahur sesaat sebelum fajar, karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallamdan Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu melakukan sahur, ketika selesai makan sahur Nabishallallahu 'alaihi wasallam bangkit untuk shalat subuh, dan jarak (selang waktu) antara sahur dan masuknya shalat kira-kira lamanya seseorang membaca lima puluh ayat di Kitabullah.

Anas radhiyallahu 'anhu meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu: "Kami makan sahur bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam kemudian beliau shalat". Aku tanyakan (kata Anas), "Berapa lama jarak antara adzan dan sahur?" Zaid menjawab, "Kira-kira 50 ayat membaca Al-Qur'an" [Hadits Riwayat Bukhari 4/118, Muslim 1097, Al-Hafidz berkata dalam Al-Fath 4/238 : "Di antara kebiasaan Arab mengukur waktu dengan amalan mereka, (misal): kira-kira selama memeras kambing. Fawaqa naqah (waktu antara dua perasan), selama menyembelih onta, dsb. Sehingga Zaid pun memakai ukuran lamanya baca mushaf sebagai isyarat dari beliauradhiyallahu 'anhu bahwa waktu itu adalah waktu ibadah dan amalan mereka membaca dan mentadabbur Al-Qur'an". Sekian dengan sedikit perubahan]

Ketahuilah wahai hamba Allah -mudah-mudahan Allah membimbingmu- kalian diperbolehkan makan, minum, jima' selama (dalam keadaan) ragu fajar telah terbit atau belum, dan Allah serta Rasul-Nya telah menerangkan batasan-batasannya sehingga menjadi jelas, karena Allah Jalla Sya'nuhu mema'afkan kesalahan, kelupaan serta membolehkan makan, minum dan jima, selama belum ada kejelasan, sedangkan orang yang masih ragu (dan) belum mendapat penjelasan. Sesunguhnya kejelasan adalah satu keyakinan yang tidak ada keraguan lagi. Jelaslah.

4. Hukumnya

Oleh karena itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memerintahkannya -dengan perintah yang

Page 26: Tafsir Ayat

sangat ditekankan-. Beliau bersabda (yang artinya): "Barangsiapa yang mau berpuasa hendaklah sahur dengan sesuatu" [Ibnu Abi Syaibah 3/8, Ahmad 3/367, Abu Ya'la 3/438, Al-Bazzar 1/465 dari jalan Syuraik dari Abdullah bin Muhammad bin Uqail dari Jabir.]

Dan beliau bersabda (yang artinya): "Makan sahurlah kalian karena dalam sahur ada barakah" [Hadits Riwayat Bukhari 4/120, Muslim 1095 dari Anas].

Kemudian beliau menjelaskan tingginya nilai sahur bagi umatnya, beliau bersabda (yang artinya):"Pembeda antara puasa kami dan Ahlul Kitab adalah makan sahur" [Telah lewat Takhrijnya]

Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang meninggalkannya, beliau bersabda (yang artinya):"Sahur adalah makanan yang barakah, janganlah kalian tinggalkan walaupun hanya meminum seteguk air karena Allah dan Malaikat-Nya memberi sahalawat kepada orang-orang yang sahur" [Hadits Riwayat Ibnu Abi Syaibah 2/8, Ahmad 3/12, 3/44 dari tiga jalan dari Abu Said Al-Khudri. Sebagaimana menguatkan yang lain]

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda "Sahurlah kalian walaupun dengan seteguk air" [Hadits Riwayat Abu Ya'la 3340 dari Anas, ada kelemahan, didukung oleh hadits Abdullah bin Amr di Ibnu Hibban no.884 padanya ada 'an-anah Qatadah. Hadits Hasan].

Saya katakan: Kami berpendapat perintah Nabi ini sangat ditekankan anjurannya, hal ini terlihat dari tiga sisi: 1) Perintahnya. 2) Sahur adalah syiarnya puasa seorang muslim, dan pemisah antara puasa kita dan puasa Ahlul Kitab. 3) Larangan meninggalkan sahur.

Inilah qarinah (isyarat) yang kuat dan dalil yang jelas.

Walaupun demikian, Al-Hafidz Ibnu Hajar menukilkan dalam kitabnya Fathul Bari 4/139: Ijma (adanya kesepakatan para ulama -red) atas sunnahnya. Wallahu a'lam.

Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia:Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.

Ifthar (Buka Puasa)

1. Kapan orang yang puasa berbuka?

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman (yang artinya): “Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam" [Al-Baqarah : 187].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menafsirkan dengan datangnya malam dan perginya siang serta sembunyinya bundaran matahari. Kami telah membawakan (penjelasan ini pada pembahasan yang telah lalu,-ed) agar menjadi tenang hati seorang muslim yang mengikutisunnatul huda.

Wahai hamba Allah, inilah perkataan-perkataan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ada di

Page 27: Tafsir Ayat

hadapanmu dapatlah engkau membacanya, dan keadaannya yang sudah jelas dan telah engkau ketahui, serta perbuatan para sahabatnya, Radhiyallahu 'anhum telah kau lihat, mereka telah mengikuti apa yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Syaikh Abdur Razaq telah meriwayatkan dalam Mushannaf 7591 dengan sanad yang dishahihkan oleh Al-Hafidz dalam Fathul Bari 4/199 dan al-Haitsami dalam Majma' Zawaid 3/154 dari Amr bin Maimun Al Audi: "Para sahabat Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah orang-orang yang paling bersegera dalam berbuka dan paling akhir dalam sahur".

2. Menyegerakan berbuka

Wahai saudaraku seiman, wajib atasmu berbuka ketika matahari telah terbenam, janganlah dihiraukan oleh rona merah yang masih terlihat di ufuk, dengan ini berarti engkau telah mengikuti sunnah Rasuullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan menyelisihi Yahudi dan Nasrani, karena mereka mengakhirkan berbuka. Pengakhiran mereka itu sampai pada waktu tertentu yakni hingga terbitnya bintang. Maka dengan mengikuti jalan dan manhaj Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berarti engkau menampakkan syiar-syiar agama, memperkokoh petunjuk yang kita jalani, yang kita harapkan jin dan manusia berkumpul diatasnya. Hal-hal tersebut dijelaskan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pada paragraf-paragraf yang akan datang.

a. Menyegerakan berbuka berarti menghasilkan kebaikan.

Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Senantiasa manusia di dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka" [Hadits Riwayat Bukhari 4/173 dan Muslim 1093].

b. Menyegerakan berbuka adalah sunnah Rasul Shallallahu 'alaihi wa sallam

Jika umat Islamiyah menyegerakan berbuka berarti mereka tetap di atas sunnah RasulullahShallallahu 'alaihi wa sallam dan manhaj Salafus Shalih, dengan izin Allah mereka tidak akan tersesat selama "berpegang dengan Rasul mereka (dan) menolak semua yang merubah sunnah".

Dari Sahl bin Sa'ad Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Umatku akan senantiasa dalam sunnahku selama mereka tidak menunggu bintang ketika berbuka (puasa)" [Hadits Riwayat Ibnu Hibban 891 dengan sanad Shahih, asalnya -telah lewat dalam shahihain- Kami katakan: Syi'ah Rafidhoh telah mencocoki Yahudi dan Nasrani dalam mengakhirkan buka hingga terbitnya bintang. Mudah-mudahan Allah melindungi kita semua dari kesesatan.].

c. Menyegerakan berbuka berarti menyelisihi Yahudi dan Nashrani

Tatkala manusia senantiasa berada di atas kebaikan dikarenakan mengikuti manhaj Rasul mereka, memelihara sunnahnya, karena sesungguhnya Islam (senantiasa) tetap tampak dan menang, tidak akan memudharatkan orang yang menyelisihinya, ketika itu umat Islam akan menjadi singa pemberani di lautan kegelapan, tauladan yang baik untuk diikuti, karena mereka tidak menjadi pengekor orang Timur dan Barat, (yaitu) pengikut semua yang berteriak, dan condong bersama

Page 28: Tafsir Ayat

angin kemana saja angin beriup.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Agama ini akan senantiasa menang selama manusia menyegerakan berbuka, karena orang-orang Yahudi dan Nasrani mengakhirkannya" [Hadits Riwayat Abu Dawud 2/305, Ibnu Hibban 223, sanadnya Hasan]

Hadits-hadits di atas mempunyai banyak faedah dan catatan-catatan penting, sebagai berikut:

1. Kemenangan agama ini dan berkibarnya bendera akan tercapai dengan syarat menyelisihi orang-orang sebelum kita dari kalangan Ahlul Kitab, ini sebagai penjelasan bagi umat Islam, bahwa mereka akan mendapatkan kebaikan yang banyak, jika membedakan diri dan tidak condong ke Barat ataupun ke Timur, menolak untuk mengekor Kremlin (Istana Kepresidenan Rusia, red) atau mencari makan di Gedung Putih (Istana Kepresidenan Amerika, red) -mudah-mudahan Allah merobohkannya-, jika umat ini berbuat demikian mereka akan menjadi perhiasan diantara umat manusia, jadi pusat perhatian, disenangi oleh semua hati. Hal ini tidak akan terwujud, kecuali dengan kembali kepada Islam, berpegang dengan Al-Qur'an dan As-Sunnah dalam masalah Aqidah dan Manhaj.

2. Berpegang dengan Islam baik secara global maupun rinci, berdasarkan firman Allah (yang artinya): “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu dalam Islam secara kaffah" [Al-Baqarah : 208].

Atas dasar inilah, maka orang yang membagi Islam menjadi inti dan kulit, ini adalah pembagian bid'ah jahiliyah modern yang bertujuan mengotori fikrah kaum muslimin dan memasukkan mereka ke dalam lingkaran kekhawatiran. Ini tidak ada asalnya dalam agama Allah, bahkan akhirnya akan merembet kepada perbuatan orang-orang yang dimurkai Allah, (yaitu) mereka yang mengimani sebagian kitab dan mendustakan sebagian yang lainnya; kita diperintah untuk menyelisihi mereka secara global maupun terperinci, dan sungguh kita mengetahui buah dari menyelisihi Yahudi dan Nasrani adalah tetap (tegak)nya agama lahir dan batin.

Dakwah ke jalan Allah dan memberi peringatan kepada mukminin tidak akan terputus, perkara-perkara baru yang menimpa umat Islam tidak menyebabkan kita memilah syiar-syiar Allah, jangan sampai kita mengatakan seperti perkataan kebanyakan mereka: "Ini perkara-perkara kecil, furu'.khilafiyah dan hawasyiyah, kita wajib meninggalkannya, kita pusatkan kesungguhan kita untuk perkara besar yang memecah belah shaf kita dan mencerai-beraikan barisan kita."

Perhatikanlah wahai kaum muslimin, da'i ke jalan Allah di atas bashirah (ilmu/dalil), engkau telah tahu dari hadits-hadits yang mulia bahwa jayanya agama ini bergantung pada disegerakannya berbuka puasa yang dilakukan tatkala lingkaran matahari telah terbenam,

Maka bertaqwalah kepada Allah (wahai) setiap orang yang menyangka berbuka ketika terbenamnya matahari adalah fitnah, dan seruan untuk menghidupkan sunnah ini adalah dakwah yang sesat dan bodoh, menjauhkan umat Islam dari agamanya atau menyangka (hal tersebut) sebagai dakwah yang tidak ada nilainya, (yang) tidak mungkin seluruh muslimin berdiri di atasnya, karena hal itu adalah

Page 29: Tafsir Ayat

perkara furu', khilafiyah atau masalah kulit!! Walaa haula walaa quwwata illa billah.

d. Berbuka sebelum shalat maghrib

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbuka sebelum shalat Maghrib [Hadits Riwayat Ahmad (3/164), Abu Dawud (2356) dari Anas dengan sanad Hasan] karena menyegerakan berbuka termasuk akhlaknya para nabi. Dari Abu Darda' Radhiyallahu 'anhu: "Tiga perkara yang merupakan akhlak para Nabi: menyegerakan berbuka, mengakhirkan sahur dan meletakkan tangan (kanan) di atas tangan kiri dalam shalat" [Hadits Riwayat Thabrani dalam Al-Kabirsebagaimana dalam Al-Majma (2/105) dia berkata: "..... marfu' (riwayatnya sampai kepada Nabi) dan mauquf (riwayatnya hanya sampai kepada sahabat) shahih, adapun yang marfu' ada perawi yang tidak aku ketahui biografinya". Aku katakan mauquf -sebagaimana telah jelas- tapi mempunyai hukum marfu' (yakni dianggap bersumber dari Nabi shallalahu 'alaihi wasallam)].

3. Berbuka dengan apa?

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbuka dengan korma, kalau tidak ada korma dengan air, ini termasuk kesempurnaan kasih sayang dan semangatnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (untuk kebaikan) umatnya dan dalam menasehati mereka. Allah berfirman (yang artinya):“Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaan olehmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi Penyayang terhadap orang-orang mukmin" [At-Taubah : 128].

Karena memberikan ke tubuh yang kosong sesuatu yang manis, lebih membangkitkan selera dan bermanfaat bagi badan, terutama badan yang sehat, dia akan menjadi kuat dengannya (korma). Adapun air, karena badan ketika dibawa puasa menjadi kering, jika didinginkan dengan air akan sempurna manfaatnya dengan makanan.

Ketahuilah wahai hamba yang taat, sesungguhnya korma mengandung berkah dan kekhususan -demikian pula air- dalam pengaruhnya terhadap hati dan mensucikannya, tidak ada yang mengetahuinya kecuali orang yang ber-ittiba' (mengikuti sunnah Nabi shallalahu 'alaihi wasallam). Dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu (ia berkata): "Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berbuka dengan korma basah (ruthab), jika tidak ada ruthab maka berbuka dengan korma kering (tamr), jika tidak ada tamr maka minum dengan satu tegukan air" [Hadits Riwayat Ahmad (3/163), Abu Dawud (2/306), Ibnu Khuzaimah (3/277,278), Tirmidzi 93/70) dengan dua jalan dari Anas, sanadnya shahih].

4. Yang diucapkan ketika berbuka

Ketahuilah wahai saudaraku yang berpuasa - mudah-mudahan Allah memberi taufiq kepada kita untuk mengikuti sunnah Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam- sesungguhnya engkau punya do'a yang dikabulkan, maka manfaatkanlah, berdo'alah kepada Allah dalam keadaan engkau yakin akan dikabulkan, -ketahuilah sesungguhnya Allah tidak mengabulkan do'a dari hati yang lalai-. Berdo'alah kepada-Nya dengan apa yang kamu mau dari berbagai macam do'a yang baik, mudah-mudahan engkau bisa mengambil kebaikan di dunia dan akhirat.

Page 30: Tafsir Ayat

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya) : “Tiga do'a yang dikabulkan: do'anya orang yang berpuasa, do'anya orang yang terdhalimi dan do'anya musafir" [Hadits Riwayat Uqaili dalam Ad-Dhu'afa' (1/72), Abu Muslim Al-Kajji dalam Juz-nya, dan dari jalan Ibnu Masi dalam Juzul Anshari sanadnya hasan kalau tidak ada 'an-'annah Yahya bin Abi Katsir, hadits ini punya syahid yaitu hadits selanjutnya.]

Do'a yang tidak tertolak ini adalah ketika waktu engkau berbuka berdasarkan hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Tiga orang yang tidak akan ditolak do'anya : orang yang puasa ketika berbuka, Imam yang adil dan do'anya orang yang didhalimi" [Hadits Riwayat Tirmidzi (2528), Ibnu Majah (1752), Ibnu Hibban (2407) ada jahalah Abu Mudillah.]

Dari Abdullah bin Amr bin Al 'Ash, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Sesungguhnya orang yang puasa ketika berbuka memiliki doa yang tidak akan ditolak" [Hadits Riwayat Ibnu Majah (1/557), Hakim (1/422), Ibnu Sunni (128), Thayalisi (299) dari dua jalan Al-Bushiri berkata: (2/81) ini sanad yang shahih, perawi-perawinya tsiqat].

Do'a yang paling afdhal adalah do'a ma'tsur dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau jika berbuka mengucapkan “Dzahabad-dhoma'u wabtalatil 'uruuqu watsabbatil ajru insya Allah” yang artinya: “Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat, dan telah ditetapkan pahala Insya Allah" [Hadits Riwayat Abu Dawud 92/306), Baihaqi (4/239), Al-Hakim (1/422) Ibnu Sunni (128), Nasaai dalam 'Amalul Yaum (296), Daruquthni (2/185) dia berkata: "sanadnya hasan". Aku katakan: memang seperti ucapannya]

5. Memberi makan (buka) orang yang puasa

Bersemangatlah wahai saudaraku -mudah-mudahan Allah memberkatimu dan memberi taufik kepadamu untuk mengamalkan kebajikan dan taqwa- untuk memberi makan orang yang puasa karena pahalanya besar dan kebaikannya banyak.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Barangsiapa yang memberi buka orang yang puasa akan mendapatkan pahala seperti pahalanya orang yang berpuasa tanpa mengurangi pahalanya sedikitpun" [Hadits Riwayat Ahmad (4/144,115,116,5/192) Tirmidzi (804), ibnu Majah (1746), Ibnu Hibban (895), dishahihkan oleh Tirmidzi.]

Orang yang puasa harus memenuhi undangan (makan) saudaranya, karena barangsiapa yang tidak menghadiri undangan berarti telah durhaka kepada Abul Qasim Shallallahu 'alaihi wa sallam, dia harus berkeyakinan bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan sedikitpun amal kebaikannya, tidak akan dikurangi pahalanya sedikitpun.

Orang yang diundang disunnahkan mendo'akan pengundangnya setelah selesai makan dengan do'a-do'a dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya): “Telah makan makanan kalian orang-orang bajik, dan para malaikat bershalawat (mendo'akan kebaikan) atas kalian, orang-orang yang berpuasa telah berbuka di sisi kalian" [Hadits Riwayat Abi Syaibah (3/100), Ahmad

Page 31: Tafsir Ayat

(3/118), Nasa'i dalam 'Amalul Yaum (268), Ibnu Sunni (129), Abdur Razak (4/311) dari berbagai jalan darinya, sandnya shahih. Peringatan: Apa yang ditambahkan oleh sebagian orang tentang hadits ini: "Allah menyebutkan di majlis-Nya" adalah tidak ada asalnya. Perhatikan !!]

Doa’ “Allahumma ath’im man ath‘amanii, wa asqi man saqoonii” (yang artinya): “Ya Allah, berilah makan orang yang memberiku makan, berilah minum orang yang memberiku minum" [Hadits Riwayat Muslim 2055 dari Miqdad]

Do’a “Allahummaghfir lahum warhamhum wa baarik fiima rozaqtahum” (yang artinya): “Ya Allah, ampunilah mereka dan rahmatilah, berilah barakah pada seluruh rizki yang Engkau berikan" [Hadits Riwayat Muslim 2042 dari Abdullah bin Busrin]

Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi IndonesiaSifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.

Hal-hal yang dibolehkan ketika berpuasa

Seorang hamba yang taat serta paham Al-Qur'an dan Sunnah tidak akan ragu bahwa Allah menginginkan kemudahan bagi hamba-hamba-Nya dan tidak menginginkan kesulitan. Allah dan Rasul-Nya telah membolehkan beberapa hal bagi orang yang puasa, dan tidak menganggapnya suatu kesalahan jika mengamalkannya. Inilah perbuatan-pebuatan tersebut beserta dalil-dalilnya.

1. Memasuki waktu subuh dalam keadaan junub

Diantara perbuatan yang pernah dilakukan oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah masuk fajar dalam keadaan junub karena jima' dengan isterinya (sebelum fajar), beliau mandi setelah fajar kemudian shalat. Dari Aisyah dan Ummu Salamah Radhiyallahu 'anhuma: “Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memasuki waktu subuh dalam keadaan junub karena jima' dengan isterinya, kemudian ia mandi dan berpuasa" [Hadits Riwayat Bukhari 4/123, Muslim 1109]

2. Bersiwak

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Seandainya tidak memberatkan umatku, niscaya aku suruh mereka untuk bersiwak setiap kali wudlu"[Hadits Riwayat Bukhari 2/311, Muslim 252 semisalnya].

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak mengkhususkan bersiwak untuk orang yang puasa ataupun yang lainnya, hal ini sebagai dalil bahwa bersiwak itu diperuntukkan bagi orang yang puasa dan selainnya ketika wudlu dan shalat. [Inilah pendapat Bukhari rahimahullah, demikian pula Ibnu Khuzaimah dan selain keduanya. Lihat Fathul Bari 4/158, Shahih Ibnu Khuzaimah3/247, Syarhus Sunnah 6/298]

Demikian pula hal ini umum di seluruh waktu, baik sebelum zawal (tergelincir matahari di tengah hari) ataupun setelahnya. Wallahu 'alam.

Page 32: Tafsir Ayat

3. Berkumur dan Istinsyaq

Karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkumur dan ber-istinsyaq (memasukkan air ke hidung kemudian menghembuskannya) dalam keadan puasa, tetapi melarang orang yang berpuasa berlebihan ketika ber-istinsyaq.

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “.... Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq kecuali dalam keadaan puasa" [Hadits Riwayat Tirmidzi 3/146, Abu Daud 2/308, Ahmad 4/32, Ibnu Abi Syaibah 3/101, Ibnu Majah 407, An-Nasaai no. 87 dari Laqith bin Shabrah, sanadnya SHAHIH]

4. Bercengkrama dan mencium isteri

Aisyah Radhiyallahu 'anha pernah berkata (yang artinya): “Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mencium dalam keadaan berpuasa dan bercengkrama dalam keadaan puasa, akan tetapi beliau adalah orang yang paling bisa menahan diri" [Hadits Riwayat Bukhari 4/131, Muslim 1106].

"Kami (para Sahabat) pernah berada di sisi Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, datanglah seorang pemuda seraya berkata, "Ya Rasulullah, bolehkah aku mencium dalam keadaan puasa?" Beliau menjawab, "Tidak". Datang pula seorang yang sudah tua dan dia berkata: "Ya Rasulullah, bolehkah aku mencium dalam keadaan puasa ?". Beliau menjawab: "Ya". Kami saling pandang satu sama lain, maka Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya orang tua itu (lebih bisa) menahan dirinya".[ Hadits Riwayat Ahmad 2/185,221 dari jalan Ibnu Lahi'ah dari Yazid bin Abu Hubaib dari Qaushar At-Tufibi darinya. Sanadnya dhaif (lemah) karena dhaif-nya Ibnu Lahi'ah, tetapi punya syahid (pendukung) dalam riwayat Thabrani dalam Al-Kabir11040 dari jalan Habib bin Abi Tsabit dari Mujahid dari Ibnu Abbas, Habib seorang mudallis dan telah 'an-'anah, dengan syahid ini haditsnya menjadi hasan, lihat Faqih Al-Mutafaqih 192-193 karena padanya terdapat hadits dari jalan-jalan yang lain].

5. Mengeluarkan darah dan suntikan yang tidak mengandung makanan

Hal ini bukan termasuk pembatal puasa, lihat pada pembahasan halaman sebelumnya. LihatRisalatani Mujizatani fiz Zakati washiyami hal.23 oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Bazrahimahullah.

6. Berbekam

Dahulu berbekam merupakan salah satu pembatal puasa, namun kemudian dihapus dan telah ada hadits shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau berbekam ketika puasa. Hal ini berdasarkan riwayat dari Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma: "Sesungguhnya Nabishallallahu 'alaihi wa sallam berbekam, padahal beliau sedang berpuasa" [Hadits Riwayat Bukhari 4/155-Fath, Lihat Nasikhul Hadits wa Mansukhuhu 334-338 karya Ibnu Syahin]

7. Mencicipi makanan

Hal ini dibatasi, yaitu selama tidak sampai di tenggorokan berdasarkan riwayat dari Ibnu

Page 33: Tafsir Ayat

Abbasradhiyallahu 'anhuma: “Tidak mengapa mencicipi sayur atau sesuatu yang lain dalam keadaan puasa, selama tidak sampai ke tenggorokan" [Hadits Riwayat Bukhari secara mu'allaq 4/154 -Fath, dimaushulkan Ibnu Abi Syaibah 3/47, Baihaqi 4/261 dari dua jalannya, hadits ini Hasan. Lihat Taghliqut Ta'liq 3/151-152]

8. Bercelak, memakai tetes mata dan lainnya yang masuk ke mata

Benda-benda ini tidak membatalkan puasa, baik rasanya yang dirasakan di tenggorokan atau tidak. Inilah yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam risalahnya yang bermanfaat dengan judul Haqiqatus Shiyam serta murid beliau yaitu Ibnul Qayim dalam kitabnya Zadul Ma'ad, Imam Bukhari berkata dalam shahhihnya (4/153-Fath) hubungkan dengan Mukhtashar Shahih Bukhari 451 karya Syaikh kami Al-Albani Rahimahullah, dan Taghliqut Ta'liq 3/151-152: "Anas bin Malik, Hasan Al-Bashri dan Ibrahim An-Nakha'i memandang, tidak mengapa bagi yang berpuasa".

9. Mengguyurkan Air ke Atas Kepala dan Mandi

Bukhari menyatakan dalam kitab Shahihnya [lihat maraji’ di atas] Bab Mandinya orang yang puasa, Umar membasahi bajunya dengan air untuk mendinginkan badannya karena haus ketika puasa kemudian dia memakainya ketika dalam keadaan puasa. As-Sya'bi masuk kamar mandi dalam keadaan puasa. Al-Hasan berkata: "Tidak mengapa berkumur-kumur dan memakai air dingin dalam keadaan puasa". Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengguyurkan air ke kepalanya dalam keadaan puasa karena haus atau kepanasan. [Hadits Riwayat Abu Daud 2365, Ahmad 5/376,380,408,430 sanadnya shahih]

Judul Asli : Shifat shaum an- Nabi shallallahu 'alaihi wasallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al Islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia:Sifat Puasa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.

Membaca al-Quran 

Segala puji bagi Allah, yang telah menurunkan kepada hamba-Nya kitab Al-Qur'an sebagai penjelasan atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang muslim. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada hamba dan rasul-Nya Muhammad, yang diutus Allah sebagai rahmat bagi alam semesta. 

Sesungguhnya Al Qur'an diturunkan tidak lain kecuali untuk suatu tujuan yang agung yaitu sebagai pelajaran dan hukum. Adapun pada saat ini, banyak manusia yang meninggalkan kitab yang agung ini, tidak mengenalnya kecuali hanya pada saat-saat tertentu saja. Diantara mereka ada yang hanya membaca saat ada kematian, diantara mereka ada yang hanya menjadikannya sebagai jimat dan diantara mereka ada yang hanya mengenalnya pada saat bulan Ramadhan saja.

Memang benar bahwa bulan Ramadhan adalah bulan Al Qur'an, kita dianjurkan agar memperbanyak membaca Al Qur'an pada bulan ini. Namun tidak sepantasnya seorang muslim berpaling dari kitab yang mulia ini di luar bulan Ramadhan karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menjanjikan keutamaan yang begitu banyak bagi para pembacanya meskipun di luar bulan Ramadhan.

Page 34: Tafsir Ayat

Al-Qur'an diturunkan untuk dibaca oleh setiap orang muslim, direnungkan dan dipahami makna, perintah dan larangannya, kemudian diamalkan. Sehingga ia akan menjadi hujjah baginya di hadapan Tuhannya dan pemberi syafa'at baginya pada hari Kiamat. Allah telah menjamin bagi siapa yang membaca Al-Qur'an dan mengamalkan isi kandungannya tidak akan tersesat di dunia dan tidak celaka di akhirat, dengan firmanNya: "Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka." (Thaha:123)

Janganlah seorang muslim memalingkan diri dari membaca kitab Allah, merenungkan dan mengamalkan isi kandungannya. Allah telah mengancam orang-orang yang memalingkan diri darinya dengan firman-Nya: "Barangsiapa berpaling dari Al-Qur'an maka sesungguhnya ia akan memikul dosa yang besar di hari Kiamat" (Thaha : 100). "Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta." (Thaha: 124)

Di antara keutamaan Al-Qur'an: 

1. Firman Allah Ta 'ala: "Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur'an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri." (An-Nahl: 89)

2. Firman Allah Ta'ala: "Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus." (Al-Ma'idah: 15-16). 

3. Firman Allah Ta 'ala: "Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi ouang-orang yang beriman. " (Yunus: 57). 

4. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: "Bacalah Al-Qur'an, karena ia akan datang pada hari Kiamat sebagai pemberi syafa 'at bagi pembacanya." (HR. Muslim dari Abu Umamah). 

5. Dari An-Nawwas bin Sam'an radhiallahu 'anhu, katanya: Aku mendengar Rasul shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Didatangkan pada hari Kiamat Al-Qur'an dan para pembacanya yang mereka itu dahulu mengamalkannya di dunia, dengan didahului oleh surat Al Baqarah dan Ali Imran yang membela pembaca kedua surat ini." (HR, Muslim). 

6. Dari Utsman bin Affan radhiallahu 'anhu, katanya: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallambersabda: "Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur'an dan mengajarkannya." (HR. Al-Bukhari) 

7. Dari Ibnu Mas'ud radhiallahu 'anhu, katanya: Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:"Barangsiapa membaca satu huruf dari kitab Allah maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dibalas sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf; tetapi alif satu huruf; lam satu huruf dan mim satu huruf." (HR. At-Tirmidzi, katanya: hadits hasan shahih). 

8. Dari Abdullah bin Amr bin Al 'Ash radhiallahu 'anhuma, bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Dikatakan kepada pembaca Al-Qur'an: "Bacalah, naiklah dan bacalah

Page 35: Tafsir Ayat

dengan pelan sebagaimana yang telah kamu lakukan di dunia, karena kedudukanmu adalah pada akhir ayat yang kamu baca." (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dengan mengatakan: hadits hasan shahih). 

9. Dari Aisyah radhiallahu 'anhu, katanya: Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Orang yang membaca Al-Qur'an dengan mahir adalah bersama para malaikat yang mulia lagi taat, sedangkan orang yang membaca Al-Quran dengan tergagap dan susah membacanya baginya dua pahala." (Hadits Muttafaq 'Alaih). Dua pahala, yakni pahala membaca dan pahala susah payahnya. 

10. Dari Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidak boleh hasad (iri) kecuali dalam dua perkara, yaitu: orang yang dikaruniai Allah Al-Qur'an lalu diamalkannya pada waktu malam dan siang, dan orang yang dikaruniai Allah harta lalu diinfakkannya pada waktu malam dan siang". (Hadits Muttafaq 'Alaih). Yang dimaksud hasad di sini yaitu mengharapkan seperti apa yang dimiliki orang lain. (Lihat kitab Riyadhus Shaalihiin, hlm. 467-469). 

Maka bersungguh-sungguhlah -semoga Allah menunjuki Anda kepada jalan yang diridhaiNya- untuk mempelajari Al-Qur'anul Karim dan membacanya dengan niat yang ikhlas untuk Allah Ta'ala. Bersungguh-sungguhlah untuk mempelajari maknanya dan mengamalkannya, agar mendapatkan apa yang dijanjikan Allah bagi para ahli Al-Qur'an berupa keutamaan yang besar, pahala yang banyak, derajat yang tinggi dan kenikmatan yang abadi. Para sahabat Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam dahulu jika mempelajari sepuluh ayat dari Al-Qur'an, mereka tidak melaluinya tanpa mempelajari makna dan cara pengamalannya. 

Dan perlu Anda ketahui, bahwa membaca Al-Qur'an yang berguna bagi pembacanya, yaitu membaca disertai merenungkan dan memahami maknanya, perintah-perintahnya dan larangan-larangannya. Jika ia menjumpai ayat yang memerintahkan sesuatu maka ia pun mematuhi dan menjalankannya, atau menjumpai ayat yang melarang sesuatu maka iapun meninggalkan dan menjauhinya. Jika ia menjumpai ayat rahmat, ia memohon dan mengharap kepada Allah rahmat-Nya; atau menjumpai ayat adzab, ia berlindung kepada Allah dan takut akan siksa-Nya.

Al-Qur'an itu menjadi hujjah bagi orang yang merenungkan dan mengamalkannya; sedangkan yang tidak mengamalkan dan memanfaatkannya maka Al-Qur'an itu menjadi hujjah terhadap dirinya (mencelakainya). Firman Allah Ta 'ala: "lni adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya orang-orang yang mempunyai pikiran mendapatkan pelajaran. " (Shad: 29). 

Bulan Ramadhan memiliki kekhususan dengan Al-Qura'nul Karim, sebagaimana firman Allah:"Bulan Ramadhan, yang di dalamnya diturunkan permulaan Al-Qur'an ... " (Al-Baqarah: 185). Dan dalam hadits shahih dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bertemu dengan Jibril pada bulan Ramadhan setiap malam untuk membacakan kepadanya Al-Qur'anul Karim. Hal itu menunjukkan dianjurkannya mempelajari Al-Qur'an pada bulan Ramadhan dan berkumpul untuk itu, juga membacakan Al-Qur'an kepada orang yang lebih hafal. Dan juga menunjukkan dianjurkannya memperbanyak bacaan Al-Qur'an pada bulan Ramadhan. 

Tentang keutamaan berkumpul di masjid-masjid untuk mempelajari Al-Qur'anul Karim,

Page 36: Tafsir Ayat

Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu rumah Allah seraya membaca kitab Allah dan mempelajarinya di antara mereka, kecuali turunlah ketenangan atas mereka, serta mereka diliputi rahmat, dikerumuni para malaikat dan disebut-sebut oleh Allah kepada para malaikat di hadapan-Nya." (HR. Muslim). 

Ada dua cara untuk mempelajari Al-Qur'anul Karim: 1. Membaca ayat yang dibaca sahabat Anda.2. Membaca ayat sesudahnya. Namun cara pertama lebih baik. 

Dalam hadits Ibnu Abbas di atas disebutkan pula mudarasah antara Nabi dan Jibril terjadi pada malam hari. Ini menunjukkan dianjurkannya banyak-banyak membaca Al-Qur'an di bulan Ramadhan pada malam hari, karena malam merupakan waktu berhentinya segala kesibukan, kembali terkumpulnya semangat dan bertemunya hati dan lisan untuk merenungkan. Seperti dinyatakan dalam firman Allah: "Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu'), dan bacaan di waktu itu lebih berkesan." (Al-Muzzammil: 6). 

Disunatkan membaca Al-Qur'an dalam kondisi sesempurna mungkin, yakni dengan bersuci, menghadap kiblat, mencari waktu-waktu yang paling utama seperti malam, setelah maghrib dan setelah fajar. Boleh membaca sambil berdiri, duduk, tidur, berjalan dan menaiki kendaraan. Berdasarkan firman Allah: "(Yaitu) orang-orang yang dzikir kedada Allah sambil berdiri, atau duduk, atau dalam keadaan berbaring..." (Ali Imran: 191). Sedangkan Al-Qur'anul Karim merupakan dzikir yang paling agung. 

Kadar bacaan yang disunatkan

Disunatkan mengkhatamkan Al-Qur'an setiap minggu, dengan setiap hari' membaca sepertujuh dari Al-Qur'an dengan melihat mushaf, karena melihat mushaf merupakan ibadah. Juga mengkhatamkannya kurang dari seminggu pada waktu-waktu yang mulia dan di tempat-tempat yang mulia, seperti: Ramadhan, Dua Tanah Suci dan sepuluh hari Dzul Hijjah karena memanfaatkan waktu dan tempat. Jika membaca Al-Qur'an khatam dalam setiap tiga hari pun baik, berdasarkan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada Abdullah bin Amr: "Bacalah Al-Qur'an itu dalam setiap tiga hari" (Lihat kitab Fadhaa'ilul qur'an, oleh Ibnu Katsir, him. 169-172 dan Haasyiatu Muqaddimatit Tafsiir, oleh Ibnu Qaasim, hlm. 107.) 

Dan makruh menunda khatam Al-Qur'an lebih dari empat puluh hari, bila hal tersebut dikhawatirkan membuatnya lupa. Imam Ahmad berkata : "Betapa berat beban Al-Qur'an itu bagi orang yang menghafalnya kemudian melupakannya." 

Dilarang bagi yang berhadats kecil maupun besar menyentuh mushaf, dasarnya firman Allah Ta'ala: "Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan." (Al-Waqi'ah: 79). Dan sabda Nabi shallallahu 'alaihi wassallam: "Tidak dibenarkan menyentuh Al-Qur'an ini kecuali orang yang suci." (HR. Malik dalam Al-Muwaththa, Ad-Daruquthni dan lainnya)". Hal ini diperkuat hadits Hakim bin Hizam yang lafazhnya: "Jangan menyentuh Al-qur'an kecuali jika kamu suci." (HR. Ath-Thabrani dan Al-Hakim dengan menyatakannya shahih). 

Al-Qur'anul Karim syari'at sempurna: 

Asy-Syathibi dalam kitab Al-Muwaafaqaat mengatakan : "Sudah menjadi kesepakatan bahwa kitab yang mulia ini adalah syari'at yang sempurna, sendi agama, sumber hikmah, bukti kerasulan, cahaya

Page 37: Tafsir Ayat

penglihatan dan hujjah. Tiada jalan menuju Allah selainnya, tiada keselamatan kecuali dengannya dan tidak ada yang dapat dijadikan pegangan sesuatu yang menyelisihinya. Kalau demikian halnya, mau tidak mau bagi siapa yang hendak mengetahui keuniversalan syariat, berkeinginan mengenal tujuan-tujuannya serta mengikuti jejak para ahlinya harus menjadikannya sebagai kawan bercakap dan teman duduknya sepanjang siang dan malam dalam teori dan praktek; maka dekat waktunya ia mencapai tujuan dan menggapai cita-cita serta mendapati dirinya termasuk orang-orang pendahulu, dan dalam rombongan pertama jika ia mampu. Dan tidaklah mampu atas hal itu kecuali orang yang senantiasa menggunakan apa yang dapat membantunya, yaitu sunnah yang menjelaskan kitab ini. Selainnya, adalah ucapan para imam terkemuka dan salaf pendahulu yang dapat membimbingnya dalam tujuan yang mulia ini." ( LihatAI Muwafaqaat, oleh Asy-Syathibi, 31224.) 

Hukum melagukan Al-Qur'an : 

Pembaca dan pendengar Al-Qur'an yang hatinya disibukkan dengan lagu dan sejenisnya -yang dapat mengakibatkan perubahan firman Allah, padahal kita diperintahkan untuk memperhatikannya sebenamya menghalangi hatinya dari apa yang dikehendaki Allah dalam kitab-Nya, memutuskannya dari pemahaman firman-Nya. Mahasuci firman Allah dari hal itu semua. Imam Ahmad melarang talhin dalam membaca Al-Qur'an, yaitu yang menyerupai lagu, beliau berkata : "Itu bid'ah. 

Ibnu Katsir rahimahullah dalam Fadhaailul Qur'an mengatakan: "Sasaran yang diminta menurut syara' tiada lain yaitu memperindah suara yang dapat mendorong untuk merenungkan dan memahami Al-Qur'an yang mulia dengan khusyu', tunduk, dan patuh penuh ketaatan. Adapun suara-suara dengan lagu yang diada-adakan yang terdiri atas nada dan irama yang melalaikan, serta aturan musikal, maka Al-Qur'an adalah suci; dari hal ini dan tak layak jika dalam. Membacanya diperlakukan demikian." (Lihat kitab Fadhaa'ilul qur'an, oleh Ibnu Katsir, him. 125-126.) 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Irama-irama yang dilarang para ulama untuk membaca Al-Qur'an yaitu yang dapat memendekkan huruf yang panjang, memanjangkan yang pendek, menghidupkan huruf yang mati dan mematikan yang hidup. Mereka lakukan hal itu supaya sesuai dengan irama lagu-lagu yang merdu. Jika hal itu dapat mengubah aturan Al-Qur'an dan menjadikan harakat sebagai huruf, maka haram hukumnya. (Lihat Haasyiatu Muqaddimatit Tafsiir, oleh Ibnu Qaasim, hlm. 107.)

Qiyamullail (Shalat Malam)

Qiyamul lail atau yang biasa disebut juga Sholat Tahajjud atau Sholat Malam adalah salah satu ibadah yang agung dan mulia , yang disyari’atkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai ibadah nafilah atau ibadah sunnah. Akan tetapi bila seorang hamba mengamalkannya dengan penuh kesungguhan, maka ia memiliki banyak keutamaan. Berat memang, dan tidak setiap muslim sanggup melakukannya. Andaikan kita tahu keutamaan dan keindahannya, tentu kita akan berlomba-lomba untuk menggapainya. Banyak nash dalam Al-Quran dan As-Sunnah yang menerangkan keutamaan ibadah ini. 

Pertama: Barangsiapa menunaikannya, berarti ia telah mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana firman-Nya: “Dan pada sebagian malam hari, sholat tahajjudlah kamu sebagai ibadah nafilah bagimu, mudah-mudahan Rabb-mu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (Al-Isro’:79).

Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqor menerangkan: “At-Tahajjud adalah sholat di waktu

Page 38: Tafsir Ayat

malam sesudah bangun tidur. Adapun makna ayat “sebagai ibadah nafilah” yakni sebagai tambahan bagi ibadah-ibadah yang fardhu. Disebutkan bahwa sholat lail itu merupakan ibadah yang wajib bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sebagai ibadah tathowwu’ (sunnah) bagi umat beliau.” (lihat Zubdatut Tafsir, hal. 375 dan Tafsir Ibnu Katsir: 3/54-55)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Sholat yang paling utama sesudah sholat fardhu adalah qiyamul lail (sholat di tengah malam).” (Muttafaqun ‘alaih)

Kedua: Qiyamul lail itu adalah kebiasaan orang-orang shalih dan calon penghuni surga. Allahsubhanahu wa ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam taman-taman surga dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia) adalah orang-orang yang berbuat kebaikan, (yakni) mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (Adz-Dzariyat: 15-18).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik lelaki adalah Abdullah (yakni Abdullah bin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhuma -ed) seandainya ia sholat tengah malam.” (HR Muslim No. 2478 dan 2479). 

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasihati Abdullah ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma: “Wahai Abdullah, janganlah engkau menjadi seperti fulan, ia kerjakan sholat malam, lalu ia meninggalkannya.” (HR Bukhari 3/31 dan Muslim 2/185).

Ketiga: Siapa yang menunaikan qiyamul lail itu, dia akan terpelihara dari gangguan setan, dan ia akan bangun di pagi hari dalam keadan segar dan bersih jiwanya. Sebaliknya, siapa yang meninggalkan qiyamul lail, ia akan bangun di pagi hari dalam keadan jiwanya dililit kekalutan (kejelekan) dan malas untuk beramal sholeh.

Suatu hari pernah diceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang tidur semalam suntuk tanpa mengingat untuk sholat, maka beliau menyatakan: “Orang tersebut telah dikencingi setan di kedua telinganya.” (Muttafaqun ‘alaih).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menceritakan: “Setan mengikat pada tengkuk setiap orang diantara kalian dengan tiga ikatan (simpul) ketika kalian akan tidur. Setiap simpulnya ditiupkanlah bisikannya (kepada orang yang tidur itu): “Bagimu malam yang panjang, tidurlah dengan nyenyak.” Maka apabila (ternyata) ia bangun dan menyebut nama Allah Ta’ala (berdoa), maka terurailah (terlepas) satu simpul. Kemudian apabila ia berwudhu, terurailah satu simpul lagi. Dan kemudian apabila ia sholat, terurailah simpul yang terakhir. Maka ia berpagi hari dalam keadaan segar dan bersih jiwanya. Jika tidak (yakni tidak bangun sholat dan ibadah di malam hari), maka ia berpagi hari dalam keadaan kotor jiwanya dan malas (beramal shalih).” (Muttafaqun ‘alaih)

Keempat: Ketahuilah, di malam hari itu ada satu waktu dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengabulkan doa orang yang berdoa, Allah akan memberi sesuatu bagi orang yang meminta kepada-Nya, dan Allah akan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya bila ia memohon ampunan kepada-Nya. 

Hal itu sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah dalam sabda beliau: “Di waktu malam terdapat satu saat dimana Allah akan mengabulkan doa setiap malam.” (HR Muslim No. 757). 

Page 39: Tafsir Ayat

Dalam riwayat lain juga disebutkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Rabb kalian turun setiap malam ke langit dunia tatkala lewat tengah malam, lalu Ia berfirman: “Adakah orang yang berdoa agar Aku mengabulkan doanya?” (HR Bukhari 3/25-26). 

Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: “Barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampuninya, siapa yang memohon (sesuatu) kepada-Ku, niscaya Aku pun akan memberinya, dan siapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya.” Hal ini terus terjadi sampai terbitnya fajar. (Tafsir Ibnu Katsir 3/54)

Kesungguhan Salafus Shalih untuk menegakkan Qiyamul lail

Disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa tatkala orang-orang sudah terlelap dalam tidurnya, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu justru mulai bangun untuk shalat tahajjud, sehingga terdengar seperti suara dengungan lebah (yakni Al-Qur’an yang beliau baca dalam sholat lailnya seperti dengungan lebah, karena beliau membaca dengan suara pelan tetapi bisa terdengar oleh orang yang ada disekitarnya), sampai menjelang fajar menyingsing.

Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah ditanya: “Mengapa orang-orang yang suka bertahajjud itu wajahnya paling bercahaya dibanding yang lainnya?” Beliau menjawab: “Karena mereka suka berduaan bersama Allah Yang Maha Rahman, maka Allah menyelimuti mereka dengan cahaya-Nya.”

Abu Sulaiman berkata: “Malam hari bagi orang yang setia beribadah di dalamnya, itu lebih nikmat daripada permainan mereka yang suka hidup bersantai-santai. Seandainya tanpa adanya malam, sungguh aku tidak suka tinggal di dunia ini.”

Al-Imam Ibnu Al-Munkadir menyatakan : “Bagiku, kelezatan dunia ini hanya ada pada tiga perkara, yakni qiyamul lail, bersilaturrahmi dan sholat berjamaah.”

Al-Imam Hasan Al-Bashri juga pernah menegaskan: “Sesungguhnya orang yang telah melakukan dosa, akan terhalang dari qiyamul lail.” Ada seseorang yang bertanya: “Aku tidak dapat bangun untuk untuk qiyamul lail, maka beritahukanlah kepadaku apa yang harus kulakukan?” Beliau menjawab: “Jangan engkau bermaksiat (berbuat dosa) kepada-Nya di waktu siang, niscaya Dia akan membangunkanmu di waktu malam.” (Tazkiyyatun Nufus, karya Dr Ahmad Farid)

Pembaca yang budiman, inilah beberapa keutamaan dan keindahan qiyamul lail. Sungguh, akan merasakan keindahannya bagi orang yang memang hatinya telah diberi taufik oleh Allah Ta’ala, dan tidak akan merasakan keindahannya bagi siapa pun yang dijauhkan dari taufik-Nya. Mudah-mudahan, kita semua termasuk diantara hamba-hamba-Nya yang diberi keutamaan menunaikan qiyamul lail secara istiqamah. Wallahu waliyyut taufiq.

Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi IndonesiaSifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.

Disunnahkannya Shalat Tarawih Berjama'ah

Tidak syak lagi bahwa shalat Tarawih dengan berjama'ah adalah sangat dianjurkan berdasarkan pada:

Page 40: Tafsir Ayat

A. TAQRIR Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana riwayat Tsa'labah bin Abi Malik, ia berkata:

" Telah keluar Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, suatu malam di bulan Ramadhan, maka beliau melihat orang-orang shalat di tepi masjid, sabdanya: Apa yang mereka lakukan? Salah seorang berkata : Ya Rasulullah! Mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat membaca Al-Qur'an dan Ubai bin Ka'ab membacakannya, dan mereka shalat berjama'ah dengannya. Maka sabdanya: "Mereka telah mengerjakan yang baik" atau "telah benar mereka". Dan beliau tidak menampakkan kebencian terhadap mereka tersebut". [Diriwayatkan oleh Baihaqi dalam sunannya II : 495 ia berkata Hadits ini MURSAL HASAN.]

Penjelasan :

Hadits ini telah diriwayatkan dengan MAUSHUL (sanad yang bersambung) melalui jalan lain dari Abu Hurairah dalam kitab Al-Mutabaat was Syawahid, sanadnya LA BA'SA BIHI (cukup).

Dikeluarkan oleh Ibnu Nashr dalam Qiyamul-Lail, hal.90 Abu Dawud I : 217 dan Baihaqi.

B. FI'IL (Perbuatan) beliau sendiri. Tentang ini terdapat beberapa hadits.

Pertama dari Nu'man bin Basyir ia berkata :

"Kami pernah shalat (malam) bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada malam ke 23 di bulan Ramadhan hingga sepertiga malam yang pertama, kemudian kami shalat lagi bersamanya pada malam ke 25 hingga pertengahan malam, kemudian beliau mengimami kami pada malam ke 27 hingga kami mengira, kami tidak akan mendapatkan waktu falaah. Ia berkata: Kami menyebut sahur dengan sebutan falaah". [Diriwayatkan oleh Ibnu 'Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf II : 90/2, Ibnu Nashr halaman 89, Nasaa'i I : 238, Ahmad IV : 272, Faryabi dalam Kitab Shiam I/73 - II/72. Sanadnya SHAHIH dan dishahkan oleh Hakim]

Hakim berkata: Hadits ini merupakan dalil yang terang bahwa Shalat Tarawih di masjid-masjid kaum Muslimin adalah SUNNAH (dianjurkan), dan adalah Ali bin Abi Thalib menganjurkan Umar bin Khattab radyillahu 'anhum untuk melestarikan sunnah ini. Al-Mustadrak I : 440.

Kedua dari Anas ia berkata :

"Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, shalat di bulan Ramadhan, kemudian aku datang dan aku berdiri di sampingnya, kemudian datang yang lain, kemudian yang lain lagi, sehingga waktu itu kami menjadi kelompok (berjumlah lebih kurang 10 orang). Ketika Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam merasa bahwasanya kami berada di belakangnya, beliau meringkas shalatnya, kemudian masuk rumahnya. Ketika beliau masuk rumahnya, beliau mengerjakan shalat yang tidak dikerjakannya bersama kami. Ketika kami masuk waktu pagi, kami bertanya : Ya Rasulullah ! Apakah engkau tidak mengetahui kami tadi malam?. Beliau menjawab: "Ya, justru itulah yang mendorongku untuk melakukan apa yang aku perbuat".[Diriwayatkan oleh Ahmad III : 199, 212 dan 291, juga Ibnu Nashr halaman 89, keduanya dengan sanad yang SHAHIH. Demikian juga Thabrani meriwayatkan hadits ini dalam Al-Aushath dan Al-Jam'u III : 173]

Ketiga dari 'Aisyah ia berkata :

" Pernah orang-orang shalat (malam) di masjid Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, pada bulan

Page 41: Tafsir Ayat

Ramadhan dengan sendiri-sendiri, orang-orang itu mempunyai sedikit hafalan Al-Qur'an, lalu ada kurang lebih lima atau enam orang, atau lebih sedikit atau lebih banyak dari jumlah itu yang mengikuti shalatnya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. ('Aisyah berkata) : Kemudian Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam, menyuruh aku mendirikan tikar di pintu kamarku, lalu aku kerjakan. Kemudian Ia keluar ke pintu sesudah shalat Isya' yang terakhir. Ia ('Aisyah) berkata : Lalu orang-orang yang di masjid mengerumuni beliau, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, shalat bersama mereka, shalat malam yang panjang, kemudian beliau berpaling dan masuk (ke rumah), beliau tinggalkan tikar itu sebagaimana adanya. Ketika pagi hari orang-orang memperbincangkan shalatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersama mereka yang di masjid pada malam itu. (Akibatnya) orang-orang berkumpul lebih banyak lagi sehingga masjid menjadi penuh sesak. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar pada malam yang kedua, maka orang-orang shalat mengikuti shalatnya. Pada pagi harinya orang-orang menceritakan kejadian itu, sehingga bertambah banyaklah pengunjung di malam yang ke tiga, pada malam itu beliau keluar dan orang-orang shalat mengikuti shalatnya. (Akhirnya) pada hari keempat masjid tidak mampu lagi menampung pengunjungnya, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam shalat Isya' bersama mereka, kemudian beliau masuk rumahnya dan orang-orang memastikan hal itu. 'Aisyah melanjutkan: Beliau bertanya kepadaku: "Bagaimana orang-orang bisa menjadi seperti itu ya 'Aisyah?" Aku menjawab: Ya Rasulullah! Orang-orang mendengar tentang shalatmu bersama mereka yang di masjid tadi malam, oleh karena itu mereka berkumpul agar engkau mau shalat bersama mereka. Beliau berkata : "Gulunglah tikarmu ini ya 'Aisyah", lalu aku kerjakan. Malam itu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidur dengan tidak lengah, sedangkan orang-orang mengetahui tempatnya, kemudian masuklah beberapa orang dari mereka sambil berkata : "As-Shalat !" hingga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam keluar untuk shalat Shubuh. Setelah selesai shalat Fajar (Shubuh), beliau menghadap ke orang banyak, kemudian bertasyahhud dan berkata : "Amma ba'du ! Wahai orang-orang, demi Allah dan Alhamdulillah tadi malam aku tidur pulas, tidak tersembunyi bagiku tempat-tempat kamu, tetapi aku khawatir akan dijadikan kewajiban buat kamu sekalian." Pada riwayat lain : "Tetapi aku takut diwajibkan atas kamu shalat malam (itu), dan kamu tidak sanggup mengerjakannya ......"

Pada riwayat lain Zuhri menambahkan : Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam wafat sedangkan orang-orang dalam keadaan seperti itu, demikian juga pada masa khalifah Abu Bakar dan permulaan kekhalifahan Umar (Hadits Shahih Riwayat Bukhari, Muslim, Abu Dawud Nasa'i, Ahmad dan Faryabi serta Ibnu Nashr).

Lafadz "wal amru 'ala dzalika" = keadaan orang-orang seperti itu mempunyai dua pengertian yaitu : a) meninggalkan jama'ah dalam Tarawih, b) Shalat sendiri-sendiri (mengadakan jama'ah masing-masing). Penulis lebih cenderung pada pengertian yang (b).

Penjelasan :

Perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berjama'ah selama tiga malam bersama mereka, merupakan petunjuk jelas bahwa shalat Tarawih itu sebaiknya dikerjakan dengan berjama'ah. Adapun sikap Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak hadir bersama mereka pada malam ke empat, tidak dapat diartikan bahwa anjuran itu sudah dihapuskan, karena ketika itu beliau menyebutkan illat-nya yaitu "aku takut/ khawatir akan diwajibkan atas kamu".

Tetapi dengan wafatnya beliau, maka hilang pula kekhawatiran tersebut (karena tidak ada lagi

Page 42: Tafsir Ayat

perubahan hukum syariat sesudah beliau), berarti kita kembali kepada hukum yang terdahulu yaitu anjuran berjama'ah, oleh karena itu Umar radyillahu 'anhu berusaha menghidupkan kembali tuntunan tersebut sebagaimana disebutkan di atas. Demikian pula sikap yang diambil oleh Jumhur Ulama'.

Keempat, Hudzaifah bin Yaman menceritakan :

"Telah bangun Rasululullah shallallahu 'alaihi wa sallam di suatu malam pada bulan Ramadhan di kamarnya yang terbuat dari pelepah korma, kemudian ia menuangkan setimba air (berwudhu'), kemudian mengucap (setelah bertakbiratul ihram) "Allahu Akbar Allahu Akbar" tiga kali, "Dzal Malakut wal Jabarut wal Kibriyaa' wal 'Azhmah" (yakni doa iftitah), kemudian (setelah membaca surat al-Fatihah) beliau membaca surah Al-Baqarah. Ia (Hudzaifah) berkata selanjutnya : Kemudian beliau ruku', dan adalah (lama) ruku'nya seperti (lama) berdirinya, dan dalam rukunya beliau mengucap "subhana rabbiyal azhim, subhana rabbiyal azhim", kemudian mengangkat kepalanya dari ruku', lalu berdiri (i'tidal) sebagaimana (lama) ruku'nya dan mengucap : "Li Rabbiyal Hamdu". Kemudian beliau sujud, dan adalah sujudnya selama berdirinya. Beliau mengucap dalam sujudnya : "Subhana Rabbiyal A'laa", kemudian mengangkat kepalanya dari sujud, kemudian duduk, pada duduk antara dua sujud beliau mengucap "Rabbigh Firli", lama duduknya sebagaimana sujudnya, kemudian sujud dan berkata : "Subhana Rabbiyal A'laa". Maka beliau shalat empat raka'at dan membaca padanya surah Al-Baqarah dan Ali 'Imran dan An-Nisaa' dan Al-Maidah serta Al-An'am sehingga datang Bilal untuk adzan buat shalat (Fajar)".

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah II : 90/2 dan Ibnu Nashr pada halaman 80 - 90. Nasa'i dalam sunannya I : 246, Ahmad V : 400 melalui Thalhah bin Yazid Al-Anshari dari Hudzaifah, riwayat-riwayatnya ini saling menambah antara satu dengan yang lain. Juga oleh Imam Tirmidzi I : 303 serta Ibnu Majah dalam I : 290 dan Hakim I : 271 tentang ucapan duduk antara dua sujud. Hakim juga mengesahkannya dan Dzahabi menyetujuinya, orang-orangnya kepercayaan, tetapi Nasa'i menganggap ini Mursal dengan menyebut illatnya bahwa Thalhah bin Yazid tidak aku ketahui mendengar (hadits ini) dari Hudzaifah.

Menurut pedapat saya, sanad hadits ini telah disambung oleh 'Amr bin Marrah dari Abi Hamzah yang dia itu adalah Thalhah bin Yazid, ia mendengar dari seorang laki-laki dari Absi, Syu'bah memandang bahwasanya ia adalah Shillah bin Zufar dari Hudzaibah. Hadits ini dikeluarkan oleh Abu Dawud I : 139-140, Nasa'i I : 172, Thahawi dalam "Al-Musykil" I : 308, Thayalisi I : 115 serta Baihaqi II : 121-122, juga Ahmad V : 398 dan Baghawi pada hadits Ali bin Ja'di I : 4/1 dari Syu'bah dari 'Amr, sanadnya shahih. Muslim meriwayatkan II : 186 melalui jalan Al-Mustaurad bin Ahnaf dari Shillah bin Zufar yang semakna dengan ini disertai tambahan, pengurangan dan beberapa perubahan kecil.

C. Keterangan-keterangan dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam (qaul) tentang keutamaan Tarawih dengan berjama'ah.

"Abu Dzar radhiyallahu 'anhum berkata : Kami pernah berpuasa bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tetapi beliau tidak shalat bersama kami, sehingga tinggal tujuh hari dari bulan (Ramadhan), lalu ia shalat (malam) bersama kami hingga larut sepertiga malam, kemudian di hari keenam ia tidak shalat bersama kami lagi, dan ia shalat bersama kami pada malam kelima, hingga larut pertengahan malam, lalu kami bertanya : Ya Rasulullah ! Alangkah baiknya kalau seandainya engkau kerjakan sunnah itu dengan kami dalam sisa malam kami ini. Maka

Page 43: Tafsir Ayat

jawabnya : "Sesungguhnya barangsiapa yang shalat (malam) bersama imam hingga selesai, akan ditetapkan baginya (seperti) shalat semalam (suntuk)". Kemudian setelah itu ia tidak lagi shalat bersama kami hingga tinggal tiga hari dari bulan itu, kemudian ia shalat lagi bersama kami pada malam ketiganya, dan ia ajak keluarga dan istrinya, lalu ia shalat bersama kami, hingga kami khawatir (kehilangan) al-falaah. Aku bertanya: "Apakah Al-Falaah itu?" Jawabnya: "Yaitu Sahur".

Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah II : 90/2, Abu Dawud I : 217, Tirmidzi II : 72-73, disahkan oleh Nasa'i I : 238 dan Ibnu Majah I : 397 dan Thahawi dalam Syarhul Ma'aanil Atsar I : 206, dan Ibnu Nashr hal 89, Faryabi I : 71 dan II : 72, serta Baihaqi II : 494. Semua sanad mereka SHAHIH.

Mendukung hadits ini adalah riwayat Abu Dawud dalam kitab Al-Masaail hal 62, ia berkata.

"Saya mendengar Ahmad ditanya : Mana yang lebih engkau sukai, orang yang shalat di bulan Ramadhan bersama orang banyak atau sendirian ; Ia menjawab : Orang yang shalat bersama orang banyak ; aku juga mendengar ia berkata : Aku menyukai orang-orang yang shalat bersama imam dan witir bersamanya. Nabi shallallhu 'alaihi wa sallam bersabda : "Sesungguhnya seorang laki-laki apabila ia shalat bersama imam, akan ditetapkan baginya (pahala) di sisi malamnya". Yang seperti ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Nashr, halaman 91 dari Ahmad, kemudian Abu Dawud berkata : "Ahmad ditanya dan aku mendengar : bagaimana tentang mengakhirkan pelaksanaan shalat Tarawih hingga akhir malam ? Ia menjawab : "Tidak ada sunnah kaum Muslimin yang lebih baik dan lebih aku sukai dari pada itu".

Pengertian berjama'ah pada waktu awwal untuk shalat Tarawih lebih afdhal baginya daripada shalat sendirian, walau mengakhirkannya hingga akhir malam. Jadi walaupun menta'khir shalat Tarawih itu mempunyai keutamaan sendiri, tapi melakukan dengan jama'ah adalah lebih utama dengan dasar bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melakukannya beberapa malam bersama para shahabat, sebagaimana yang diceritakan pada riwayat 'Aisyah terdahulu, dan demikian pula yang dilakukan kaum Muslimin mulai kekhalifahan Umar radhiyallahu 'anhumhingga sekarang.

Nabi shallallahu 'alaihi wasallam Tidak Pernah Shalat Lebih Dari 11 Raka'at

Sehubungan dengan masalah ini kami hanya menyebutkan dua hadits yaitu : 

Pertama 

"Dari Abi Salamah bin Abdurrahman bahwasanya ia bertanya kepada 'Aisyah radyillahu anhatentang shalat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di bulan Ramadhan. Maka ia menjawab ; Tidak pernah Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam kerjakan (tathawwu') di bulan Ramadhan dan tidak pula di bulan lainnya lebih dari sebelas raka'at. Ia shalat empat (raka'at) jangan engkau tanya tentang bagus dan panjangnya, kemudian ia shalat empat (raka'at), jangan engkau tanya panjang dan bagusnya kemudian ia shalat tiga raka'at". [Hadits Shahih Riwayat Bukhari dan Muslim] 

Selain oleh Bukhari dan Muslim, hadits ini juga diriwayatkan oleh Abu Dawud I:210, Tirmidzi II:302-303, Nasa'i I:248, Malik I:134, Baihaqi II:495-496 serta Ahmad VI:36,73,104. 

Pada riwayat lain bagi Abi Syaibah II:16/1 dan Muslim serta lainnya disebutkan bahwa shalat beliau di bulan Ramadhan dan bulan-bulan lainnya adalah 13 raka'at, termasuk pada jumlah tersebut dua

Page 44: Tafsir Ayat

raka'at Fajar/Shubuh. 

Tetapi pada riwayat lain dari Malik dan juga Bukhari bahwasanya 'Aisyah berkata : Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, shalat malam 13 raka'at, kemudian ketika mendengar adzan shubuh, ia shalat dua raka'at yang ringan. 

Pada zahirnya kedua riwayat di atas kelihatan bertentangan, tetapi sebenarnya tidak demikian halnya, sebab tambahan dua raka'at yang ada pada riwayat Malik dan Bukhari bisa diartikan ba'diyah Isya' atau shalat Iftitah (Shalat pembukaan sebelum memulai shalat malam). Tentang shalat Iftitah ini Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, biasa memulai shalat malam (11 raka'at) itu dengan dua raka'at yang ringan. 

Adapun perincian 13 raka'at yang dimaksud pada riwayat di atas adalah sebagaimana riwayat Zaid bin Khalid l-Juhani, bahwasanya ia berkata : "Aku perhatikan shalat malam Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam, yaitu (Ia) shalat dua raka'at yang ringan, kemudian ia shalat dua raka'at yang panjang sekali, kemudian shalat dua raka'at, dan dua raka'at ini tidak sepanjang dua raka'at sebelumnya, kemudian shalat dua raka'at (tidak sepanjang dua raka'at sebelumnya), kemudian shalat dua raka'at (tidak sepanjang dua raka'at sebelumnya), kemudian shalat dua raka'at (tidak sepanjang dua raka'at sebelumnya), kemudian witir satu raka'at, yang demikian adalah 13 raka'at". [Diriwayatkan oleh Malik, Muslim, Abu Awanah, Abu Dawud dan Ibnu Nashr] 

Untuk penulis lebih cenderung mengatakan dua raka'at yang ringan adalah dua raka'at ba'diyah Isya'; dasarnya adalah riwayat Ibnu Nashr dalam kitab Qiyamul Lail halaman 48 dimana diceritakan : Bahwa kami (shahabat) pulang dari Hudaibiyah bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, ketika sampai di Suqya (kota yang terletak antara Mekkah dan Madinah), Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berdiri dan Jabir ada di sisinya, kemudian mereka berdua shalat Isya', kemudian shalat tiga belas raka'at. 

Kedudukan hadits ini memang tidak begitu kuat karena pada sanadnya terdapat rawi SYARHABIL BIN SA'AD, padanya terdapat kelemahan. Sungguhpun demikian ia dapat dijadikan pertimbangan, bahwa sunnah ba'diyah Isya' masuk dalam jumlah 13 raka'at tersebut. Wallahu A'lam. 

Maksudnya dengan satu kali salam, Imam Nawawi dalam Syarah Muslim mengatakan, bahwa disebut demikian, untuk menunjukan bolehnya satu kali salam. Yang lebih afdhal adalah memberi salam dalam setiap dua raka'at sebagaimana sabda beliau : "Shalat malam dan siang, dua raka'at dua raka'at. 

Sedang penulis memilih pendapat kedua. Begitu pula para pengikut Imam Syafi'i, bahkan mereka beranggapan salam satu kali itu tidak shah shalatnya. 

Kedua 

"Artinya : Dari Jabir bin Abdullah radyillahu 'anhum, ia berkata : Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah shalat bersama kami di bulan Ramadhan (sebanyak) delapan raka'at dan witir

Page 45: Tafsir Ayat

(satu raka'at). Maka pada hari berikutnya kami berkumpul di masjid dan mengharap beliau keluar (untuk shalat), tetapi tidak keluar hingga masuk waktu pagi, kemudian kami masuk kepadanya, lalu kami berkata : Ya Rasulullah ! Tadi malam kami telah berkumpul di masjid dan kami harapkan engkau mau shalat bersama kami, maka sabdanya "Sesungguhnya aku khawatir (shalat itu) akan diwajibkan atas kamu sekalian". [Hadits Riwayat Thabrani dan Ibnu Nashr]. 

Ibnu Nashr meriwayatkan hadits ini dalam kitabnya di halaman 90, sedangkan Thabrani dalam Al-Mu'jamus Shagir, halaman 108, sanad hadits ini HASAN karena dikuatkan oleh hadits yang pertama.  Dalam kitab Fathul Baari III:10 dan At-Takhlis halaman 119, Al-Hafidz Ibnu Hajar memberi isyarat penguatannya dengan hadits Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Hibban yang terdapat dalam kitab shahih mereka berdua. 

KELEMAHAN HADITS 20 RAKA'AT 

Dalam kitab Fathul Baari IV:205-206, pada keterangan hadits pertama, Ibnu Hajar mengatakan : "Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari hadits Abbas, bahwasanya Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam pernah shalat (malam) di bulan Ramadhan 20 raka'at dan beriwitir satu raka'at itu, sanadnya lemah. Hadits ini bertentangan dengan hadits 'Aisyah yang terdapat dalam shahihain. Dalam hal ini 'Aisyah lebih mengetahui hal ihwal Nabi shallallahu alaihi wa sallam pada malam harinya bila dibandingkan dengan yang lain". 

Pernyataan yang sama juga diungkapkan oleh Imam Az-Zaila'i dalam kitab Nashbur-Raayah : II :153. 

Penulis berpendapat : Hadits ini memang lemah sekali, seperti yang dinyatakan Imam Suyuthi dalam Al-Hawi lil Fatawaa II:73 yang menyebabkan kelemahannya adalah rawi yang bernama ABU SYAIBAH IBRAHIM BIN 'UTSMAN. 

Dalam kitab At-Taqriib Ibnu Hajar menyebut rawi ini sebagai Matrukul Hadits. Penulis telah menelusuri sumber-sumbernya tetapi tidak didapati kecuali melalui jalannya. Ibnu Abi Syaibah mengeluarkan hadits ini dalam Al-Mushannaf II:90/2, Abdun bin Hamid dalam Al-Muntakhab Minal Musnad 34:I/1, Thabrani dalam Al-Mu'jamul Kabir III:148 dan Al-Aushath, begitu pula Adz-Dzahabi dalam Al-Muntaqa Minhu III:2 dan Baihaqi dalam Sunannya II:496. 

Semua riwayat ini pasti melalui jalan Ibrahim bin 'Utsman dari Hakim dari Muqsam dari Ibnu Abbas secara marfu' (sampai kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam). 

Thabrani mengatakan bahwa tidak diriwayatkan dari Ibnu Abbas kecuali dengan sanad ini. Baihaqi menegaskan bahwa Abi Syaibah bersendirian (tafarada bihi) dan ia ini lemah. Begitu pula pernyataan Al-Haitsami dalam Majma'uz Zawaid III:172 bahwa dia itu lemah. 

Yang sebenarnya ia itu sangat lemah sekali, bahkan Ibnu Hajar mengatakan bahwa ia Matrukul Hadits (ditinggalkan haditsnya), maksudnya haditsnya tidak dipakai. 

Ibnu Ma'in menyebutnya Laisa bits-tsiqah = tidak termasuk orang kepercayaan. Jurjani

Page 46: Tafsir Ayat

menyebutnya "saaqit" = yang gugur, sedangkan Syu'bah mendustakannya dalam suatu cerita/qishah. Bukhari berkata : Sakatu 'anhu (Ulama Hadits mendiamkannya). 

Pada halaman 118 kitab Ikhtisar fi 'Ulumul Hadits, Ibnu Katsir mengatakan : Bahwa siapa saja yang dikatakan Bukhari "Sakatu'anhu" berarti rawi itu berada dikedudukan yang paling rendah dan jelek (menurut pandangannya). 

Berdasarkan pernyataan-pernyataan di atas penulis beranggapan bahwa haditsnya dapat disejajarkan dengan Hadits Maudlu', karena isinya bertentangan dengan hadits 'Aisyah dan Jabir, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Hajar 'Asqalani dan Zaila'i di atas, dan lebih dari itu Imam Adz-Dzahabi memasukkan hadits ini dalam kitab Manakir-nya (kumpulan hadits-hadits Munkar). 

Selanjutnya Ibnu Hajar Al-Haitsami dalam kitab Al-Fatawal Kubra I:195 menyebut rawi iniSyadidud-dha'fi yaitu sangat lemah sekali, dan bahwasanya ia biasa meriwayatkan hadits-hadits maudlu', seperti tentang tidak dibinasakannya ummat kecuali pada bulan Maret atau hadits hari Kiamat tidak akan datang kecuali pada bulan Maret dan lain sebagainya. Adapun haditsnya di tentang shalat Tarawih ini termasuk salah satu hadits Munkarnya. 

Jadi jelas hadits ini tidak dapat dipakai karena seperti yang dikatakan As-Subki bahwa salah satu syarat bolehnya mengamalkan hadits lemah itu ialah apabila hadits itu tidak terlalu lemah, sedangkan hadits ini seperti dimaklumi adalah sangat lemah. 

Dari ucapan As-Subki terdapat isyarat halus bahwa Ibnu Hajar Haitsami tidak akan mengamalkan hadits dua puluh raka'at tersebut. 

Imam Suyuthi, setelah menyebutkan hadits riwayat Ibnu Hiban beliau berkata : "Singkatnya dua puluh raka'at itu, tidak pernah dikerjakan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, adapun hadits riwayat Ibnu Hibban tersebut sudah sesuai dengan hadits 'Aisyah yang menyebutkan bahwa beliau tidak pernah mengerjakan lebih dari 11 raka'at, baik dalam bulan Ramadhan atau lainnya, sebab dalam riwayat Ibnu Hibban tersebut diterangkan bahwa beliau shalat Tarawih delapan raka'at. Kemudian berwitir tiga raka'at, jadi jumlahnya sebelas raka'at". 

Indikasi lain yang menunjukkan Nabi shallallhu 'alaihi wasallam tidak pernah mengerjakan lebih dari sebelas raka'at adalah karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam (menurut kebiasaannya) apabila mengerjakan sesuatu amalan, maka ia kerjakan dengan tetap, seperti misalnya mengqadha' dua raka'at ba'diyah Zhuhur setelah shalat Ashar, shalat ini beliau kerjakan dengan tetap, meskipun kejadiannya hanya sekali. 

Jadi kalau memang benar Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah mengerjakan 20 raka'at, tentu pekerjaan itu tidak akan beliau tinggalkan sama sekali dan lebih dari itu 'Aisyah radyiallahu 'anha pun tidak akan berani membuat pernyataan yang membatas bahwa beliau tidak pernah mengerjakan lebih dari sebelas raka'at seperti disebutkan di atas". 

Berdasarkan ini penulis dapat menyimpulkan bahwa Imam Suyuthi cenderung memilih sebelas

Page 47: Tafsir Ayat

raka'at dan sekaligus menolak yang dua puluh raka'at karena kelemahan riwayatnya. 

I'TIKAF

Definisi I'tikaf

I'tikaaf berasal dari kata : 'AKAFA - YA'KIFU - WAYA'KUFU - 'UKUUFAN.

I'tikaaf menurut bahasa ialah "menetapi sesuatu dan menahan diri padanya, baik sesuatu berupa kebaikan atau kejahatan". Allah berfirman: "Patung-patung apakah ini yang kamu tekun beribadat kepadanya ?" (QS 21:52).

Sedangkan arti i'tikaaf menurut istilah syara' ialah: seseorang tinggal/menetap di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah dengan shifat/cara tertentu. (Lihat Syarah Muslim, 8:66;Fathul Baari 4:271. Muhalla 5:179, masalah No. 624). 

Disyariatkannya 

Para Ulama sepakat bahwa i'tikaaf disyari'atkan dalam agama Islam dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam selalu mengerjakan sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadits. 

"Dari 'Aisyah radhiyallahu 'anha, istri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ia berkata: "Adalah Nabishallallahu 'alaihi wasallam, biasa i'tikaaf pada sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhan, sampai beliau wafat kemudian istri-istri beliau melaksanakan i'tikaaf sepeninggalnya". (Hadist riwayat Bukhari 2:255. Fathul Baari 4:271 nomor 2462. Ahmad 6:292 dan Baihaqy 4:315, 320). 

"Dari Ibnu 'Umar, ia berkata : "Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, biasa i'tikaaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan". (Hadits Shahih riwayat : Ahmad, Bukhari dan Muslim). 

"Dari 'Aisyah, ia berkata : "Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, apabila sudah masuk sepuluh terakhir (dari bulan Ramadhan), maka beliau menghidupkan malam itu, membangunkan istrinya dan mengikat kainnya". (Hadits Shahih riwayat Ahmad, Bukhari 2:255, Muslim 3:176, Abu Dawud No. 1376, Nasa'i 3:218 dan Tirmidzi). 

Maksud dari kalimat : 

Menghidupkan malamnya, artinya beliau sedikit sekali tidur dan banyak melakukan shalat dan dzikir. 

Membangunkan istrinya, ya'ni menyuruh mereka shalat malam/tarawih serta melakukan ibadah-ibadah lainnya. 

Mengikat kainnya, adalah satu kinayah bahwa beliau sungguh-sungguh beribadah dan tidak bercampur dengan istri-istrinya, karena beliau selalu melakukan iti'kaaf setiap sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan, sedangkan orang yang i'tikaaf tidak boleh bercampur dengan istrinya. (Lihat Subulus Salam 2:356-357, Fiqhul Islam Syarah Bulughul Maram 3:257-258). 

"Aisyah berkata: "Adalah Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bersungguh-sungguh pada sepuluh terakhir (dari bulan Ramadhan) melebihi kesungguhannya di malam-malamnya". (Hadits Shahih riwayat : Ahmad dan Muslim 3 : 176). 

Setiap ibadah yang nashnya sudah jelas dari Al-Qur'an dan Sunnah yang shahih, maka itu pasti mempunyai keutamaan, meskipun tidak disebutkan keutamaannya, begitu pula tentang i'tikaaf, walaupun i'tikaaf itu merupakan taqarrub kepada Allah akan tetapi tidak ditemukan sebuah hadits

Page 48: Tafsir Ayat

pun menyatakan keutamaannya. 

Berkata Imam Abu Dawud As-Sijistany: "Saya bertanya kepada Imam Ahmad: "Tahukah engkau suatu keterangan mengenai keutamaan i'tikaaf?" Jawab beliau: "Tidak kudapati, kecuali ada sedikit riwayat, dan riwayat inipun lemah." (Lihat Al-Mughni, 4:455-456 dan Silsilah Ahaadist Dha'ifah dan Maudhu'-ah No. 518). 

Hukum I'tikaf

Hukum i'tikaaf ada dua macam, yaitu sunnat dan wajib. 

I'tikaaf Sunat. Ialah yang dilakukan oleh seseorang secara sukarela dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah dan mengharapkan pahala dari pada-Nya, serta mengikuti sunnah Rasulullahshallallahu 'alaihi wasallam. I'tikaaf seperti ini sangat ditekankan dan lebih utama dilakukan pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam setiap bulan Ramadhan sampai beliau wafat. 

I'tikaaf Wajib. Ialah i'tikaaf yang diwajibkan oleh seseorang terhadap dirinya sendiri, adakalanya dengan nadzar mutlak, misalnya ia mengatakan wajib bagi saya i'tikaaf karena Allah selama sehari semalam. Atau dengan nadzar bersyarat, misalnya ia mengatakan, jika Allah dengan menyembuhkan penyakit saya, maka saya akan i'tikaaf dua hari dua malam. Nadzar ini wajib dilaksanakan. 

"Dari 'Aisyah, ia berkata: "Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: "Barangsiapa yang bernadzar akan melakukan sesuatu keta'atan kepada Allah hendaklah ia penuhi nadzarnya itu, dan barangsiapa bernadzar untuk melakukan ma'shiat (kedurhakaan/ kesyirikan) kepada Allah, maka janganlah lakukan ma'syiat itu". (Hadits Shahih riwayat : Bukhari, Malik, Abu Dawud No. 3289, Nasa'i, Tirmidzi, Darimy 2:184. Ibnu Majah No. 2126, Ahmad 6:36,41,224 dan Baihaqy 19/68 dan Ibnu Jarud No. 934). 

'Umar bin Khattab ra, pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:"Ya Rasulullah, saya pernah bernadzar di zaman jahiliyah akan beri'tikaaf satu malam di Masjid Haram?" Sabda beliau: "Penuhilah nadzarmu itu !". (Hadist Shahih riwayat : Bukhari 2:256,Fathul Baari No. 2032 dan Muslim 5:89). 

Waktunya

I'tikaaf yang wajib, dilakukan sesuai dengan apa yang telah dinadzarkan dan di-iqrarkan seseorang, maka jika ia bernadzarkan dan di-iqrarkan seseorang, maka jika ia bernadzar akan beri'tikaaf satu hari atau lebih, hendaklah ia penuhi seperti yang dinadzarkannya itu. 

Adapun i'tikaaf yang sunnat, tidaklah terbatas waktunya. 

Menurut Imam Syafi'i, Abu Hanifah dan kebanyakan Ahli Fiqih, i'tikaaf yang sunat tidak ada batasnya (lihat Bidayatul Mujtahid 1:229). Kata Ibnu Hazm: "Boleh seseorang i'tikaaf siang saja. Inilah merupakan pendapat Imam Syafi'i dan Abu Sulaiman". (baca Al-Muhalla 5:179-180 masalah no. 614). 

Syarat-syarat I'tikaf

Orang yang i'tikaaf syaratnya ialah: 

Page 49: Tafsir Ayat

Seorang Muslim 

Mumaiyyiz (sudah baligh). 

Suci dari janabat, suci dari haidh dan suci dari nifas. 

Bila i'tikaaf dilakukan di luar bulan Ramadhan, maka: 

Menurut Ibnul Qoyyim: Puasa sebagai syarat shahnya i'tikaaf dan ini merupakan pendapat jumhur as-salaf. (lihat Zaadul Ma'ad 2:88) 

Menurut Imam Syafi'i dan Ibnu Hazm, bahwa puasa bukan syarat syahnya i'tikaaf (baca Al-Muhalla 5:181, masalah No. 625). Kata Imam Nawawi: "Yang afdhal (utama) i'tikaaf dengan berpuasa dan bila ia i'tikaaf dengan tidak berpuasa juga boleh." (lihat Al-Majmu' Syarhul Muhadzdzab 6:484). Seandainya ada orang sakit i'tikaaf di masjid maka i'tikaafnya shah. 

Rukun-rukun I'tikaf

Niat. Karena tidak shah satu amalan melainkan dengan niat. Allah berfirman: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta'atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus" (QS. 98:5) 

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Sesungguhnya segala perbuatan tergantung pada niat, dan manusia akan mendapatkan balasan menurut niat, dan manusia akan mendapatkan balasan menurut apa yang diniatkannya..." (Hadits Shahih riwayat Bukhari; Fathul Baari 1:9, 6:48). 

Tempatnya harus di Masjid. Hakikat i'tikaaf, ialah tinggal di masjid dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah Ta'ala. Mengenai diwajibkannya di masjid berdasarkan firman Allah Ta'ala:"....tetapi janganlah kamu campuri mereka itu, sedangkan kamu beri'tikaaf di masjid ...."(QS 2:187). Jadi i'tikaaf itu hanya shah di masjid. 

Pendapat Fuqaha Mengenai Masjid yang Shah Dipakai Untuk I'tikaaf 

Para fuqaha' berbeda pendapat mengenai masjid yang shah dipakai untuk i'tikaaf, dalam hal ini ada beberapa pendapat, yaitu: 

Sebagian ulama berpendapat bahwa i'tikaaf itu hanya dilakukan di tiga masjid, yaitu: Masjid Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Aqsha. Pendapat ini adalah pendapat Sa'ad bin Al-Musayyab. Kata Imam Nawawi: "Aku kira riwayat yang dinukil bahwa beliau berpendapat demikian tidak shah". 

Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, Ishaaq dan Abu Tsur berpendapat bahwa i'tikaaf itu shah dilakukan di setiap masjid, yang dilaksanakan pada shalat lima waktu dan didirikan jama'ah. 

Imam Malik, Imam Syafi'i dan Abu Dawud berpendapat bahwa i'tikaaf itu syah dilaksanakan pada setiap masjid, karena tidak ada keterangan yang shah yang menegaskan terbatasnya masjid sebagai tempat untuk melaksanakan i'tikaaf. 

Sesudah membawakan beberapa pendapat, kemudian Imam Nawawi berkata: "I'tikaaf itu shah dilakukan di setiap masjid dan tidak boleh dikhususkan masjid manapun juga kecuali dengan dalil. Sedang dalam hal ini tidak ada dalil yang jelas yang mengkhususkannya". (Lihat Al-Majmu' Syahrul Muhadzdzab 6:483). 

Page 50: Tafsir Ayat

Ibnu Hazm: "I'tikaaf itu shah dan boleh dilakukan di setiap masjid, baik di situ dilaksanakan shalat Jum'at atau tidak". (Lihat Al-Muhalla 5:193, masalah No. 633). 

Kata Abu Bakar al-Jashshash: "Telah terjadi ittifaq diantara ulama Salaf, bahwa diantara syarat i'tikaaf harus dilakukan di masjid, dengan perbedaan pendapat diantara mereka tentang apakah masjid-masjid tertentu atau di masjid mana saja (pada umumnya) bila dilihat zhahir firman Allah:"Sedangkan kamu dalam beri'tikaaf di masjid" (QS 2:187). Ayat ini membolehkan i'tikaaf di semua masjid berdasarkan keumuman lafadznya, karena itu siapa saja yang mengkhususkan ma'na ayat itu mereka harus menampilkan dalil, demikian juga yang mengkhususkan hanya masjid-masjid Jami' saja tidak ada dalilnya, sebagaimana halnya pendapat yang mengkhususkan hanya masjid-masjid para Nabi (yaitu Masjid Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Al-Aqsha). Karena (pendapat yang mengkhususkan) tidak ada dalilnya, maka gugurlah pendapat tersebut." (Lihat Ahkaamul Qur'an, Al-Jashshash 1:285 dan Rawaai'ul Bayaan Fii Tafsiiri Ayaatil Ahkam 1:41-215). 

Menurut jumhur ulama, tidaklah akan shah bagi seorang wanita beri'tikaaf di masjid rumahnya sendiri, karena masjid di dalam rumah tidak bisa dikatakan masjid, lagi pula keterangan yang sudah shah menerangkan bahwa isteri-isteri Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, melakukan i'tikaaf di Masjid Nabawi. (Lihat Fiqhus Sunnah 1:402). 

Tentang wanita i'tikaaf di masjid diharuskan membuat kemah tersendiri terpisah dari laki-laki, dan untuk masa sekarang harus dipikirkan tentang fitnah yang akan terjadi bila para wanita hendak i'tikaaf, ikhtilath dengan laki-laki di tempat yang sudah semakin banyak fitnah. Adapun soal bolehnya para ulama membolehkan, dan di usahakan untuk tidak saling pandang-memandang antara laki-laki dan wanita. (Lihat Al-Mughni 4:464-465, baca Fiqhul Islam syarah Bulughul Maram 3:260).

Waktu Memulai dan Mengakhiri I'tikaf

Di tulisan bagian pertama sudah disebutkan bahwa i'tikaaf sunnat waktunya tidak terbatas. Maka bila seseorang telah masuk masjid dan berniat taqarrub kepada Allah dengan tinggal di dalam masjid beribadah beberapa saat, berarti ia beri'tikaaf sampai ia keluar. Dan jika seseorang berniat hendak i'tikaaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, maka hendaklah ia mulai masuk masjid sebelum matahari terbenam. 

Pendapat yang menerangkan bahwa masuk i'tikaaf sebelum matahari terbenam pada tanggal 20 Ramadhan malam ke 21, adalah pendapat Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi'i, dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya. (Lihat Syarah Muslim, 8:68, Majmu' Syahrul Muhadzdzab 6:492, Fathul Baari 4:277, Al-Mughni 4:489-490 dan Bidayatul Mujtahid 1:230). 

Dalil mereka ialah: Riwayat i'tikaaf-nya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di awal Ramadhan, pertengahan dan akhir Ramadhan, kemudian bersabda: "Barangsiapa yang hendak beri'tikaaf bersamaku, hendaklah ia melakukannya pada sepuluh malam terakhir (dari bulan Ramadhan) ..." (Hadits Shahih riwayat Bukhari 2:256 dan Muslim 2:171-172).

"Sepuluh terakhir", maksudnya ialah nama bilangan malam, dan bermula pada malam ke dua puluh satu atau malam ke dua puluh. (Lihat Fiqhus Sunnah 1:403). 

Tentang Hadits 'Aisyah: "Kata 'Aisyah: "Adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bila hendak i'tikaaf,

Page 51: Tafsir Ayat

beliau shalat shubuh dulu, kemudian masuk ke tempat i'tikaaf ". (Hadist Shahih riwayat Bukhari 2:257 dan Muslim 3:175). Hadits ini dijadikan dalil oleh orang yang berpendapat bahwa permulaan waktu i'tikaaf adalah di permulaan siang. Ini menurut pendapat Al-Auza'i, Al-Laits dan Ats-Tsauri. (lihat Nailul Authar 4:296). 

Hadits 'Aisyah di atas maksudnya ialah bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, masuk ke tempat yang sudah disediakan untuk i'tikaaf di masjid setelah beliau selesai mengerjakan shalat Shubuh. Jadi bukan masuk masjidnya ba'da Shubuh. Adapun masuk ke masjid untuk i'tikaaf tetap di awal malam sebelum terbenam matahari. (Lihat Fiqhus Sunnah 1:403). 

Mengenai waktu keluar dari masjid setelah selesai menjalankan i'tikaaf pada sepuluh hari terakhir dari bulan Ramadhan, menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Syafi'i waktunya adalah sesudah matahari terbenam (di akhir Ramadhan). Sedangkan menurut Imam Ahmad disunnahkan ia tinggal di masjid sampai waktu shalat 'Idul Fitri. Jadi keluar dari masjid ketika ia keluar ke lapangan mengerjakan shalat 'Id. Akan tetapi menurut mereka boleh pula keluar dari masjid setelah matahari terbenam. (Lihat Bidayaatul Mujtahid 1:230 dan Al-Mughni 4:490). 

Jadi kesimpulan empat Imam sepakat bahwa i'tikaaf berakhir dengan terbenamnya matahari di akhir Ramadhan. 

Kata Ibrahim : "Mereka menganggap sunnat bermalam di masjid pada malam 'Idul Fitri bagi orang yang beri'tikaaf pada sepuluh malam terakhir dari bulan Ramadhan, kemudian pagi harinya langsung pergi ke lapangan (untuk shalat I'dul Fitri)". (Baca Al-Mughni 4:490-491). 

Dan orang yang bernadzar akan beri'tikaaf satu hari atau beberapa hari tertentu, atau bermaksud melaksanakan i'tikaaf sunnat, maka hendaknya ia memulai i'tikaafnya itu sebelum terbit fajar, dan keluar dari masjid bila matahari sudah terbenam, baik i'tikaaf itu di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya. (Lihat Bidayaatul Mujtahid 1:230. Al-Majmu' Syahrul Muhadzdzab 6:494. Fiqhus Sunah 1:403-404). 

Kata Ibnu Hazm : Orang yang bernadzar hendak i'tikaaf pada satu malam atau beberapa malam tertentu, atau ia hendak melaksanakan i'tikaaf sunnat, maka hendaklah ia masuk ke masjid sebelum terbenam matahari, dan keluar dari masjid bila sudah terbitnya fajar. Sebabnya karena permulaan malam ia saat yang mengiringi terbenamnya matahari, dan ia berakhir dengan terbitnya fajar. Sedangkan permulaan siang adalah waktu terbitnya fajar dan berakhir dengan terbenamnya matahari. Dan seseorang tidak dibebani kewajiban melainkan menurut apa yang telah diikrarkan dan diniatkannya. (Lihat Al-Muhalla 5:198 masalah No. 636). 

Hal-hal yang Sunnat dan Makruh bagi Orang yang I'tikaf 

Disunnatkan bagi orang yang beri'tikaaf memperbanyak ibadat sunnat serta menyibukkan diri dengan shalat berjama'ah lima waktu dan shalat-shalat sunnat, membaca Al-Qur'an, tasbih, tahmid, takbir, istigfhar, berdo'a, membaca shalawat atas Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan ibadat-ibadat lain yang mendekatkan diri kita kepada Allah Ta'ala. 

Termasuk juga hal ini disunnatkan menuntut ilmu, membaca/menelaah kitab-kitab tafsir dan hadits, membaca riwayat para Nabi dan orang-orang shaleh, dan mempelajari kitab-kitab fiqh serta kitab-kitab yang berisi tentang masalah 'aqidah. 

Dimakruhkan bagi orang yang i'tikaaf melakukan hal-hal yang tidak perlu dan tidak bermanfa'at,

Page 52: Tafsir Ayat

baik berupa perkataan atau perbuatan, sabda beliau: "Diantara kebaikan Islam seseorang, ialah ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna". (Hadits riwayat Tirmidzi No. 2419. Ibnu Majah No. 3976 dan di-shahkan oleh Syaikh Al-Albani di Shahih Jami'us Shagir No. 5787). 

Dimakruhkan pula menahan diri dari berbicara, ya'ni: seseorang tidak mau bicara, karena mengira bahwa hal itu mendekatkan diri kepada Allah 'Azza wa Jalla. 

Ibnu Abbas berkata: Ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sedang khutbah, tampak oleh beliau seorang laki-laki yang tetap berdiri (di terik matahari). Maka beliau bertanya (kepada para shahabat) siapakah orang itu? Jawab mereka: "Namanya Abu Israil, ia bernadzar akan terus berdiri, tidak akan duduk, tidak mau bernaung dan tidak mau berbicara serta akan terus berpuasa." Maka Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Suruhlah ia berbicara, bernaung dan duduk, dan hendaklah ia meneruskan puasanya". (Hadits Shahih riwayat Bukhari, Abu Dawud No.3300, Ath-Thahawy Fii-Masykilil Aatsaar. 3:44 dan Baihaqy 10:75). 

Hal-hal yang Membatalkan I'tikaf 

Sengaja keluar dari masjid tanpa suatu keperluan walau hanya sebentar. Keluar dari masjid akan menjadikan bathal i'tikaafnya, karena tinggal di masjid sebagai rukun i'tikaaf. 

Murtad karena bertentangan dengan ma'na ibadah, dan juga berdasarkan firman Allah:"Seandainya engkau berbuat syirik, maka akan gugurlah amalanmu". (QS 39:35). 

Hilang akal disebabkan gila atau mabuk 

Haidh 

Nifas 

Bersetubuh/bersenggama, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala : "Dan janganlah kamu campuri mereka ketika kamu sedang i'tikaaf di masjid, itulah batas-batas Allah..." (QS 2:187) (Lihat Fiqhus Sunnah 1:406). 

Hal-hal yang Dibolehkan Sewaktu I'tikaf

Menyisir rambut, berpangkas, memotong kuku, membersihkan tubuh, memakai pakaian terbaik dan memakai wangi-wangian. 

Keluar untuk sesuatu keperluan yang tidak dapat dielakan. 

"Dari 'Aisyah, bahwa ia pernah menyisir rambut Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, padahal ia sedang haidh, dan Nabi shallallahu 'alaihi wasallam sedang i'tikaaf di masjid, dan 'Aisyah berada di dalam kamarnya dan kepala Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dimasukkan ke kamar 'Aisyah. Dan adalah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, bila sedang i'tikaaf tidak pernah masuk rumah melainkan kalau untuk menunaikan hajat". (Hadits Shahih riwayat Bukhari 2:260, 256. Muslim 1:167, Abu Dawud No. 2467. Tirmidzi. Ibnu Majah No. 1776 dan 1778. Malik. Ibnul Jarud dan Ahmad 6:104,181,235,247,262). 

Berkata Ibnul Munzir: "Para Ulama sepakat, bahwa orang yang i'tikaaf boleh keluar dari masjid (tempat i'tikaaf-nya) untuk keperluan buang air besar atau kencing, karena hal ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dielakkan, sebab tidak mungkin dilakukan di masjid. Dalam hal ini sama hukumnya dengan kebutuhan makan minum bila tidak ada yang mengantarnya, maka boleh ia

Page 53: Tafsir Ayat

keluar (sekedarnya)." (Lihat Fiqhus Sunnah 1:405). 

'Aisyah juga meriwayatkan bahwa ia tidak menjenguk orang sakit ketika ia sedang i'tikaaf melainkan hanya sambil lewat saja, misalnya ada orang sakit di dalam rumah, ia bertanya kepada si sakit sambil lewat saja. Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, Bukhari dan Muslim. 

Khatimah 

Sebagai khatimah dari tulisan ini, dianjurkan bagi orang-orang yang i'tikaaf pada sepuluh hari terakhir Ramadhan dan yang tidak i'tikaaf, berusahalah memanfa'atkan kepada Allah, perbanyaklah baca Al-Qur'an, berdzikir kepada Allah, dan melakukan shalat-shalat sunnat yang diajarkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, mudah-mudahan kita termasuk orang yang mendapatkan malam Lailatul Qadar yang keutamaannya lebih baik dari seribu bulan dan mudah-mudahan pula dosa kita diampunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

"Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, bersabda: "Barangsiapa yang berdiri (shalat tahajjud/tarawih), karena iman dan mengharapkan ganjaran dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosa-nya yang telah lalu". (Hadits Shahih riwayat Bukhari 2:252. Muslim 2:177. Abu Dawud No. 1371. Nasa'i 4:155-158. Darimy, Ibnu Majah No. 1326. Ahmad 2:281,289,408,423). 

Dan perbanyak pula baca dzikir di bawah ini pada malam ganjil di akhir Ramadhan yang diharapkan adanya Lailatul Qadar: "ALLAHUMMA INNAKA 'AFUUWUN TUHIBBUL 'AFWA FA' FU 'ANNII" ("Ya Allah ! Sesungguhnya Engkau Maha pemaaf dan suka mema'afkan, maka ma'afkanlah aku"). (Hadits Shahih riwayat Ahmad 6:171. Ibnu Majah No. 3850. Tirmidzi No. 3580. Lihat Shahih Tirmidzi No. 2789 dan Shahih Ibnu Majah No. 3105). 

Wallahu 'Alamu Bish Shawaab.

Menggapai Lailatul Qadr

Makna Lailatul Qadr

Lailatul Qadr adalah malam diturunkannya al-Quran oleh Allah Ta'ala. Adapun tentang makna lailatul qadr, ada beberapa pendapat para ulama.

Pertama: maknanya adalah malam keputusan; atau malam penetapan. Dinamakan demikian karena pada malam itu Allah Ta'ala menetapkan perintah-Nya yang Dia kehendaki, yang berupa kematian, ajal, rezki dan lainnya sampai malam al-qadr tahun beriktunya. Ini pendapat Ibnu Abbas, Ikrimah dan Sa'id bin Jubair. 

Kedua: maknanya adalah malam kemuliaan. Dinamakan demikian karena keagungannya, dan kemuliaannya. Ini pendapat az-Zuhri dan lainnya. Ada juga yang mengatakan dinamakan demikian karena perbuatan-perbuatan ketaatan pada malam itu memiliki nilai yang agung dan pahala yang banyak. Abu Bakar al-Warraq berkata: "Dinamakan demikian karena orang yang tidak punya kemuliaan dan keutamaan akan mendapatkannya, jika dia menghidupkan malam tersebut." Ada juga yang mengatakan dinamakan demikian karena pada malam itu Allah Ta'ala menurunkan Kitab (al-Quran) yang memiliki kemuliaan, kepada Rasul (Muhammad shallallahu 'alaihi wasallam) yang memiliki kemuliaan. Pendapat lain menyatakan, karena pada malam itu para malaikat yang memiliki kemuliaan dan kepentingan turun ke bumi. Pendapat lain menyatakan, karena pada malam itu Allah Ta'ala menurunkan kebaikan, berkah dan ampunan.

Page 54: Tafsir Ayat

Ketiga: maknanya adalah malam yang sempit. Dinamakan demikian karena pada malam itu bumi sesak/sempit dengan para malaikat. Ini dinyatakan oleh al-Khalil. (Lihat semua keterangan di atas dalam Tafsir al-Qurthuby surat al-Qadr).

Keutamaannya

Cukuplah sebagai keutamaannya bahwa lailatul qadr itu lebih baik daripada seribu bulan. Allah berfirman (yang artinya): "Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Quran) pada malam kemuliaan. Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan." (QS. al-Qadr 1-3).

Kebanyakan ahli tafsir menyatakan bahwa yang dimaksudkan adalah suatu amalan yang dilakukan pada malam itu lebih baik daripada amalan yang dilakukan seribu bulan yang tidak ada lailatul qadr padanya. Ini dikatakan oleh Mujahid, Qatadah, as-Syafi'i, dan lainnya. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir, al-Qurthuby, as-Sa'di dan lainnya dalam surat al-Qadr).

Oleh karena itulah lailatul qadr merupakan malam yang diberkahi. Allah Ta'ala berfirman (yang artinya): "Haa Miim. Demi Kitab (al-Quran) yang menjelaskan. Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan sesungguhnya Kami lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah. (Yaitu) urusan yang besar dari sisi Kami. Sesungguhnya Kami adalah yang mengutus rasul-rasul sebagai rahmat dari Rabb-mu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (QS ad-Dukhan 1-6).

Waktunya

Ada riwayat dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwa lailatul qadr terjadi pada malam Ramadhan ke 21, 23, 25, 27, 29 dan akhir malam bulan Ramadhan. Pendapat terkuat waktunya adalah pada malam-malam ganjil bulan Ramadhan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallambersabda: "Carilah lailatul qadr pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan". (HR. Bukhari, Muslim no. 1169 dari 'Aisyah). 

Dan memang ilmu tentang hal tersebut telah diambil oleh Allah dari Nabi gara-gara kesalahan (yaitu pertengkaran) yang dilakukan oleh dua laki-laki diantara ummmat beliau. 'Ubadah bin as-Shamit berkata: "Bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam keluar akan memberitahukan tentang lailatul qadr, lalu ada dua laki-laki diantara kaum muslimin bertengkar maka beliau bersabda: "Sesungguhnya aku keluar untuk memberitahukan kalian tentang lailatul qadr. Tetapi sesungguhnya si Fulan dan si Fulan bertengkar sehingga diangkatlah (ilmu tentang waktu lailatul qadr). Namun mudah-mudah hal itu lebih baik bagi kalian. Carilah lailatul qadr pada malam tujuh, sembilan dan lima (yang terakhir)." (HR. al-Bukhari).

Menggapai Keutamaannya

Jika kita telah mengetahui hal-hal di atas, hendaklah kita memperbanyak berbagai amalan ketaatan pada waktu-waktu di atas. Amalan-amalan itu seperti shalat tarawih, membaca al-Quran, shadaqah, dzikir berdoa dan lain-lain. 

'Aisyah radhiyallahu 'anha berkata: "Kebiasaan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam jika telah masuk sepuluh akhir Ramadhan, beliau menghidupkan malamnya, membangunkan isterinya, bersungguh-sungguh (beribadah) dan mengencangkan sarungnya (tidak menggauli isterinya)." (HR.

Page 55: Tafsir Ayat

Bukhari dan Muslim 1174).

'Aisyah juga pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: "Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda jika aku mengetahui waktu lailatul qadr, apa yang aku ucapkan di malam itu?" Beliau menjawab: "Ucapkanlah: Allaahumma innaka 'afuwwun tuhibbul 'afwa fa'fu 'annii (wahai Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf, Engkau suka memaafkan, maka maafkanlah daku)." (HR. Ibnu Majah dan at-Tirmidzi dengan sanad yang shahih)

Tanda-tandanya

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah memberitahukan tanda-tanda lailatul qadr di dalam beberapa haditsnya, antara lain: Dari Abu Hurairah dia berkata: "Kami memperbincangkan lailatul qadr di sisi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, lalu beliau bersabda: "Siapa diantara kalian yang mengingat ketika bulan muncul, yang bulan itu seperti separuh piring". (HSR. Muslim).

Al-Qadhi 'Iyadh berkata: "Padanya terdapat isyarat bahwa lailatul qadr hanyalah akan terjadi pada akhir-akhir bulan, karena bulan tidak akan demikian munculnya kecuali pada akhir-akhir bulan". (Sifat Shaum Nabi, hal. 90).

Ubay bin Ka'b berkata: "Demi Allah, sesungguhnya aku mengetahui kapan lailatul qadr itu, yaitu malam yang kami diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam untuk shalat padanya. Yaitu malam yang besok paginya (adalah hari ke) dua puluh tujuh. Adapun tandanya adalah matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan putih tidak menyilaukan." (HSR. Muslim no. 762, Tirmidzi, Abu Dawud, al-Humaidi dan lainnya).

Ibnu Abbas berkata: "Lailatul Qadr adalah malam yang lembut, sedang, tidak panas, tidak dingin; matahari akan terbit pada pagi harinya dalam keadaan lembut, merah". (HR. at-Thayalisi 349, Ibnu Khuzaimah dan al-Bazzar dengan sanad yang hasan)

Bid'ah-bid'ah Seputar Lailatul Qadr

Kami sampaikan di sini beberapa contoh bid'ah yang berkaitan dengan lailatul qadr; supaya kita tidak terjerumus di dalamnya. Bid'ah-bid'ah itu antara lain:

Shalat lailatul qadr. Yakni melakukan shalat khusus berkenaan dengan lailatul qadr. (LihatMu'jamul Bida' hal. 605 karya Syeikh Raid bin Shabri bin Abi 'Ulfah).

Keyakinan malam pertengahan Ramadhan adalah malam lailatul qadr. (Lihat Mu'jamul Bida' hal. 605).

Berkumpul di masjid-masjid untuk menyambut lailatul qadr; dengan mendendangkan qasidah-qasidah dan memukul rebana. (Lihat Mu'jamul Bida' hal. 605).

Membuat shadaqah dengan makanan-makanan khusus (seperti nasi kuning, kue apem, dan lain-lain) pada malam ke-21 atau 29, lalu dibawa ke tempat kyai/penghulu untuk dido'akan.

Setelah kita mengetahui semua ini, marilah berlomba-lomba di dalam kebaikan untuk meraih keutamaan lailatul qadr dan meninggalkan berbagai bid'ah yang ada. Wallahul Muwaffaq(semoga Allah memberi petunjuk dan bimbingan).

ZAKAT

Definisi Zakat

Page 56: Tafsir Ayat

Menurut Bahasa (lughoh)

Dari asal kata zakkaa - yuzakkii - tazkiyatan - zakaatan yang berarti :

1. Thoharoh (membersihkan, mensucikan)Firman Allah Ta'ala: "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka." (QS. At-Taubah:103)

2. Namaa' (tumbuh, berkembang)Firman Allah Ta'ala: "Allah memusnahkan ribaa' dan menyuburkan sedekah" (QS. Al-Baqarah:276)

Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari hadits Abu Rabsyah Al-An Maary: "Harta tidak akan berkurang dengan dishodaqohkan" (HR. Tirmidzi, kitab Az Zuhd jilid 4 hal. 487 no. 2325, kata Imam Tirmidzi: "Hadits ini hasan shohih")

Berkata Al Hafidz Ibnu Hajar Al-Atsqolani: "Tanaman itu telah Zakka, yakni berkembang dan tumbuh" (Fathul Baari, kitab zakat jilid 3 hal. 262)

3. Al-BarokahFirman Allah Ta'ala: "Dan barang apa saja yang kamu nafkahkan maka Allah akan menggantinya" (QS. Saba' : 39)Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari hadits Abu Hurairoh radhiallohu anhu: Allah Ta'ala berfirman dalam hadits qudsi: "Hai anak Adam berinfaklah niscaya Aku akan berinfak untukmu" (HR. Bukhori no. 4684, Kitab Tafsir surat Hud 8 : 352; Muslim no. 2305, Kitab Zakat 7:81)

4. Al-Madh (Pujian)Dalam hadits Abu Hurairoh tentang kisah Zainab Ummul Mukminin: " . . . Bahwa Zainab namanya adalah Barroh maka dikatakan 'dia memuji dirinya' maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallammenamainya Zainab." (HR. Muslim, Kitab Al Azab Juz 14, hal. 346 no. 5572)

5. Amal SholehFirman Allah Ta'ala: "Dan kami menghendaki supaya Tuhan mereka mengganti mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu...." (QS. al-Kahfi 18:81). Imam Al-Farro' mengatakan: arti 'yang lebih baik kesuciannya' adalah yang lebih baik amal sholehnya. (lihat An Nihayah karya Ibnu Al Atsir jilid 2 hal. 307; Lisanul Arab karya Ibnul Mandzur jilid 6 hal 64-65)

Menurut Hukum (Istilah Syara')

1. Pendapat Al-Hafidz Ibnu Hajar: "Memberikan sebagian dari harta yang sejenis yang sudah sampai nashob selama setahun dan diberikan kepada orang fakir dan semisalnya yang bukan dari Bani Hasyim dan Bani Mutholib." (Al-Fath 3:262)

Page 57: Tafsir Ayat

2. Pendapat Ibnu Taimiyah: "Memberikan bagian tertentu dari harta yang berkembang jika sudah sampai nishob untuk keperluan tertentu." (Mausu'ah Fiqh Ibnu Taimiyah 2 : 876; Fatawa 25:8)

3. Pendapat Syaikh Abdullah Al-Bassaam: "Hak wajib dari harta tertentu, untuk golongan tertentu pada waktu tertentu." (Taudhihul Ahkam 3:5)

Zakat Dalam Bahasa Al-Qur'an

Sedangkan Al-Qur'an Al-Karim telah menyebutkan tentang zakat dengan berbagai ungkapan, terkadang dengan ungkapan zakat, shodaqoh, infaq/nafaqoh dan al-'afwu.

1. ZakatUngkapan ini paling banyak disebutkan bahkan sering digabungkan dengan perintah shalat sampai diulang dalam 82 ayat (lihat Taudih al akham 3:5).Firman Allah Ta'ala: "Dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang-orang yang ruku" (QS. Al Baqoroh : 43)

2. ShodaqohFirman Allah Ta'ala: "Ambillah shodaqoh (zakat) dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu …" (At Taubah : 103)

3. Infaq/NafaqohFirman Allah Ta'ala: "Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (yakni keluarkanlah zakatnya) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu." (QS. Al Baqoroh:267)

4. Al-'AfwuFirman Allah Ta'ala: "Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: al-'afwu (yang lebih dari keperluan)" (QS. Al Baqoroh:219)

Hukum Menunaikan Zakat

Zakat merupakan salah satu dari rukun Islam yang lima dan termasuk dari pondasi Islam yang agung. Maka hukumnya adalah wajib bagi setiap muslim yang telah memenuhi persyaratan. Dasarnya adalah dari Al Qur'an, As Sunnah dan Ijma'.

Firman Allah Ta'ala: "Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan yang demikian itulah agama yang lurus." (QS. Al-Bayyinah :5)

Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Islam dibangun di atas lima dasar, bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah hamba dan utusanNya, menegakkan sholat, menunaikan zakat,

Page 58: Tafsir Ayat

menunaikan haji ke Baitullah dan berpuasa di bulan Ramadhan." (lihat Bukhari Kitabul Iman 1:49 no. 8 dari hadits Ibnu Umar, Muslim, Kitabul Iman 2:130 no. 113).

Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mengutus Muadz bin Jabbal radhiyallahu 'anhu ke negeri Yaman: "Terangkanlah kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka untuk mengeluarkan zakat yang dipungut dari orang-orang kaya diantara mereka untuk diberikan kepada orang-orang fakir dari mereka" (HR. Muslim Kitabul Iman1:147 no. 121)

Adapun Ijma', maka kaum muslimin disetiap masa telah ijma' (sepakat) akan wajibnya zakat. Juga para sahabat telah sepakat untuk memerangi orang-orang yang tidak mau membayarnya dan menghalalkan darah dan harta mereka karena zakat termasuk dari syi'ar Islam yang agung. (al-Mughni, karya Ibnu Qudamah 4:5)

Syaikh Abdullah Albassam menerangkan (Taudihul ahkam:3/12): "Para ulama berselisih kapan diwajibkannya zakat, akan tetapi pendapat yang paling kuat adalah bahwa kewajiban zakat di tetapkan dalam tiga fase:

a. Zakat diwajibkan secara mutlak tidak ada batasan atau rincian akan tetapi hanya perintah untuk memberi, memberi makan dan berbuat baik, ini berlangsung ketika sebelum Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam hijrah. Allah berfirman: "Pada harta-harta mereka ada hak tertentu untuk orang yang meminta dan yang tidak meminta" (QS. adz-Dzariyat 51:19). Didalam surat Fushilat Allah mengancam yang tidak mengeluarkan zakat: "Orang-orang yang tidak mengeluarkan zakat...." (QS 41:7). Dalam surat Al-Mudatsir Allah memasukkan orang-orang yang tidak memberi makan orang miskin sebagai al-mujrimun (orang-orang yang berdosa): "... dan tidak memberi makan orang miskin". (QS. Al-Mudatsir : 44)

b. Tahun kedua Hijriyah diterangkanlah hukum zakat dengan rinci, diterangkan harta yang wajib dizakati dan kadar nishabnya serta jumlah yang harus dikeluarkan sebagai zakat.

c. Tahun kesembilan Hijriyah ketika manusia masuk Islam dengan berbondong-bondong dan semakin luas daerah Islam Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam mengirim petugas-petugas untuk mengambil zakat .

Hikmah Disyariatkannya Zakat

Menguatkan rasa kasih sayang antara si kaya dengan si miskin. Hal ini dikarenakan fitrahnya jiwa manusia adalah senang terhadap orang yang berbuat kebaikan (berjasa kepadanya).

Mensucikan dan membersihkan jiwa serta menjauhkan jiwa dari sifat kikir dan bakhil.

Membiasakan seorang muslim untuk memiliki sifat belas kasihan.

Memperoleh keberkahan, tambahan dan ganti yang lebih baik dari Allah Ta'ala.

Sebagai ibadah kepada Allah Ta'ala(lihat Risalah Fi Zakat oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz).

Anjuran Menunaikan Zakat

Firman Allah Ta'ala: "Ambillah zakat dari sebagian harta mereka dengan zakat itu kamu

Page 59: Tafsir Ayat

membersihkan dan mensucikan mereka" (QS. At Taubah : 103)

Ayat ini mengajarkan untuk mengambil sedekah dari hartanya kaum mu'minin, baik itu shodaqoh yang ditentukan (zakat) ataupun yang tidak ditentukan (tathowa) demi untuk membersihkan mereka dari kotornya kebakhilan dan rakus. Juga mensucikan mereka dari kehinaan dan kerendahan dari mengambil dan makan haknya orang fakir. Dan juga untuk menumbuh kembangkan harta mereka dan mengangkatnya dengan kebaikan dan keberkahan akhlak dan mu'amalah sampai mengantarkan mereka menjadi orang yang berhak mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.

Firman Allah Ta'ala: "Dan pada harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian." (QS. Adz-Dzariyat : 19)

Dalam ayat ini Allah Ta'ala telah mengkhususkan sifat-sifat yang mulia dengan berbuat baik. Dan kebaikan mereka nampak jelas dari menegakkan shalat malam, memohon ampun di waktu malam dengan beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah sebagaimana kebaikan mereka yang nampak jelas dalam memberi dan menunaikan haknya orang-orang fakir demi kasih sayang dan rohmah bagi mereka.

Firman Allah Ta'ala: "(Yaitu) orang-orang yang jika kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat." (QS. Al Hajj:41)

Allah telah menjanjikan dengan menunaikan zakat merupakan tujuan untuk bisa tegak dan kokoh di muka bumi ini. 

Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Tiga perkara yang aku bersumpah atas tiga perkara tersebut dan menceritakan kepada kalian maka jagalah : Tidak akan berkurang harta yang dishodaqohkan dan tidak seorang hamba dianiaya dengan satu kedholiman kemudian dia bersabar (atas kedholiman) kecuali Allah akan menambahkan baginya dengan kemuliaan. Dan tidaklah seorang hamba membuka pintu meminta-minta kecuali Allah akan membaginya pintu kefakiran." (Turmudzi Kitab Az-Zuhd 4:487(2325) dari hadits Abi Habsyah)

Dari masih banyak hadits-hadits tentang anjuran untuk menunaikan zakat serta keutamaan-keutamaannya.

Ancaman Bagi yang Tidak Menunaikan Zakat

Telah banyak dalil-dalil baik itu dari Al-Kitab ataupun As-Sunnah tentang ancaman keras bagi orang yang bakhil dengan zakat dan enggan untuk mengeluarkannya.

Firman Allah Ta'ala: "Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas dan perak itu dalam neraka jahanam lalu dibakar dengannya dahi mereka lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka :"Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang akibat dari apa yang kamu simpan itu" (QS. At Taubah : 34-35).

Page 60: Tafsir Ayat

Firman Allah Ta'ala: "Sekali-sekali janganlah orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu kelak akan dikalungkan di lehernya di hari kiamat." (QS. Ali Imron : 180)

Oleh karenanya harta yang tidak ditunaikan zakatnya maka itu termasuk harta simpanan yang pemiliknya akan disiksa dengannya pada hari kiamat, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "Tidaklah seseorang yang memiliki emas atau perak kemudian tidak ditunaikan haknya, apabila datang hari kiamat dibentangkan baginya batu-batu yang lebar dari neraka kemudian dia akan dipanggang di atas batu-batu itu di dalam neraka jahannam kemudian disetrika perut, dahi dan punggungnya. Setiap kali sudah dingin maka akan dikembalikan seperti semula yang satu hari adalah sama dengan 50.000 tahun sampai diputuskan perkaranya diantara manusia maka dia akan melihat jalannya, apakah ke surga atau neraka." (HR. Muslim Kitab Zakat 7:67 no. 2287 dari hadits Abu Hurairah)

Kemudian lanjutan hadits ini Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan orang yang memiliki onta, sapi dan kambing yang tidak ditunaikan zakatnya akan mengalami nasib yang sama pula dari siksa di hari kiamat.

Juga sabda Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam yang lain: "Barang siapa yang Allah telah berikan harta kepadanya kemudian dia tidak menunaikan zakatnya maka pada hari kiamat nanti hartanya akan berujud ular yang botak yang mempunyai dua titik hitam diatas kepalanya yang mengalunginya kemudian mengambil dengan kedua sisi mulutnya sambil berkata: "Aku adalah simpananmu, aku adalah hartamu". Kemudian beliau membaca ayat: "Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta yang telah Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya, menyangka bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka, sebenarnya bahwa kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka, harta-harta yang mereka bakhilkan itu akan dikalungkan di lehernya kelak di hari kiamat." (HR. Bukhori Kitab Zakat 3:268 no.1403 dari hadits abu Hurairah; Muslim Kitab Zakat 7:74 no. 2294)

Hukum bagi yang Orang Tidak Mau Bayar Zakat

Dalam hal ini ada beberapa kriteria dari orang-orang yang tidak mau membayar zakat :

1. Seorang yang tidak mau membayar zakat tapi masih meyakini akan wajibnya.

Para ulama menghukumi bahwa pelakunya berdosa dan tidak mengeluarkannya dari keislamannya. Kepada penguasa (hakim) agar memaksa pelakunya supaya mau membayar zakat serta memberikan hukuman pelajaran kepadanya (tahdzir). Dan mengambil hak zakat dari orang tersebut sesuai dengan kewajibannya, tidak boleh lebih. Kecuali pendapatnya Imam Ahmad dan Imam Syafi'i (pendapat lama) maka mengambilnya separuh dari hartanya sebagai hukuman baginya. Sebagaimana hadits dari Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam: "… Dan barang siapa yang tidak mau menunaikannya (zakat) maka kami akan mengambilnya dan separuh hartanya adalah hak dari hak-hak wajib bagi Tuhan kami, tidak halal bagi keluarga Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam darinya sedikitpun." (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa'i, Hakim, Baihaqi dari Bahz bin Hakim

Page 61: Tafsir Ayat

dari bapaknya dari kakeknya).

Adapun Ibnu Taimiyah menghukumi orang yang seperti itu adalah kafir dalam batinnya, walaupun secara dzahir tidak dikafirkan, akan tetapi disikapi seperti sikapnya orang-orang murtad yang diberi kesempatan bertaubat tiga kali, kalau tidak mau bertaubat maka hukumnya dibunuh. (lihatFatawa 7:611, Mausu'ah Fiqh Ibnu Taimiyah 2:877; al-Mughni 4:67; majalah Buhuts Islamiyah Darul Ifta' edisi 58 tahun 1420H hal. 11; Fiqh Sunnah 1:403)

2. Kalau yang tidak mau membayar zakat itu sekelompok orang yang mereka memiliki kekuatan tapi masihberkeyakinan akan wajibnya.

Para ulama menghukumi agar diperangi sampai mereka mau membayar zakat sebagaimana kisahnya Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu 'anhu dalam memerangi orang-orang yang tidak mau membayar zakat. (HR. Jama'ah dari Abu Hurairah). Juga haditsnya Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma bahwasanya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Aku telah diperintahkan untuk memerangi manusia supaya mereka bersaksi bahwa tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah dan (bersaksi) bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mereka menegakkan sholat dan menunaikan zakat, maka kalau mereka telah mengerjakannya terjagalah dari darah dan harta mereka kecuali haknya Islam dan hisab mereka di sisi Allah." (HR. Bukhari & Muslim)

3. Tidak mau membayar zakat dengan mengingkari akan wajibnya.

Berkata Ibnu Qudamah: "Barang siapa yang mengingkari karena jahil (tidak tahu) atau dia termasuk orang yang tidak tahu karena baru masuk Islam atau dia tinggal di daerah terpencil yang jauh dari daerah yang mengetahui akan wajibnya maka tidak dikafirkan. Adapun kalau dia seorang muslim yang tinggal di negeri Islam di tengah-tengah ahli ilmu maka hukumnya murtad." (al-Mughni 4:6-7)

Zakat Maal

Zakat maal (harta) adalah untuk mensucikan harta dari hal-hal yang haram (harta haram) dan menjaga harta dari haknya orang-orang fakir dan yang lainnya. 

Firman Allah Ta'ala: "Hai orang-orang yang beriman nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk kemudian kamu nafkahkan dari padanya padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha terpuji." (Al-Baqarah : 267)

Syarat-syarat yang Wajib Mengeluarkan Zakat

1. Muslim. Karena zakat merupakan salah satu rukun Islam maka tidak diwajibkan kepada orang kafir.

Page 62: Tafsir Ayat

Firman Allah Ta'ala: "Dan kami hadapi segala amal yang mereka (orang-orang kafir) kerjakan lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang beterbangan." (Al-Furqon : 23)

Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam kepada Muadz radhiyallahu 'anhu sewaktu mengutusnya ke negeri Yaman: "Beritakan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shodaqoh dari "harta mereka" yang diambil dari orang-orang kaya dari mereka dan diberikan kepada orang-orang fakir dari mereka." (HR. Bukhari, Kitab Zakat 3:261 no. 1395 dari hadits Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu)

2. Merdeka. Zakat tidak diwajibkan kepada budak dan hamba sahaya karena hartanya adalah milik tuannya maka tuannyalah yang menzakatinya.

3. Dewasa (baligh). Zakat hanya diwajibkan kepada orang dewasa tidak kepada anak-anak yang belum baligh. Akan tetapi jika anak-anak itu memiliki harta yang sudah sampai nishob dan satu tahun maka walinya atau orang yang mengurusinya wajib untuk mengeluarkan zakat dengan niat untuk mereka. Hal ini karena keumuman hadits Muadz di atas (lihat Risalah Zakat oleh Syaikh bin Baz hal 13-14).

4. Berakal. Orang yang tidak berakal kedudukannya sama dengan anak-anak, maka walinya yang dibebani untuk membayar zakat (lihat Risalah Zakat oleh Syaikh bin Baz hal 13-14).

Syarat-syarat Harta yang Wajib Dizakati

1. Milik Penuh (al-Milhuttaan)

Yaitu harta tersebut berada dalam pengawasan dan kekuasaan secara khusus dimana pemiliknya berkuasa untuk mengusahakan dan mengambil manfaat daripadanya. Oleh karenanya tidak diwajibkan atas zakat yang diwaqafkan ke pihak masyarakat umum, harta yang dicuri, harta yang dirampas sampai bisa kembali ke tangannya, harta yang dibelinya tapi belum mampu mengambilnya dari penjual, juga harta mukatabah yakni harta budak yang mau membeli dirinya karena seorang Mukatab mampu untuk mengurusi dirinya (lihat majalah Buhuts hal. 13).

Maka barang siapa yang memiliki harta dalam kepemilikan penuh maka wajib atasnya zakat. Kepemilikan itu bisa berupa hasil usahanya, sewaan, pemberian negara, pinjaman atau waqaf untuk dirinya. (Fatawa 25:52)

Harta yang ada dalam kekuasaan seseorang dan tidak diketahui pemiliknya secara tertentu maka hukumnya adalah seperti milik penuh yang wajib dizakati. Seperti harta yang ada di tangan para perampas. (Fatawa 30:325)

2. Harta yang tercampur (Khulatha) 

Kalau harta milik masing-masing bisa dibedakan maka membayar zakat secara masing-masing, akan tetapi kalau tidak bisa dibedakan maka membayar zakatnya secara bersama-sama. (Fatawa 25:38)

3. Harta Gabungan (Syurokaa')

Page 63: Tafsir Ayat

Maka zakatnya adalah wajib bagi yang bagiannya sudah sampai nishob. Seperti dalam muzaro'ah misalkan, maka yang punya tanah wajib membayar zakat dari bagian hasil tanamannya sebagaimana yang mengerjakannyapun wajib membayar zakat dari bagiannya. (Fatawa 25:23; 30:149)

4. Cukup Nishob

Nishob artinya: harta yang telah mencapai jumlah tertentu sesuai dengan ketentuan syari'at. Maka harta yang belum mencapai jumlah tertentu tersebut terbebas dari kewajiban membayar zakat. Dan As-Sunnah telah menjelaskan dan merinci batas nishob dari macam harta yang ada.

Kalau memiliki berbagai macam harta yang terkumpul dalam satu jenis dan masing-masing dari macam-macam harta itu belum sampai nishob maka untuk menyempurnakan nishobnya adalah dengan menggabungkan macam-macam harta yang satu jenis tersebut. Misalkan Wamh dengan sya'ir (jenis gandum), kerbau dengan sapi, kambing kacang dengan biri-biri, dinar dengan dirham, mata uang dengan harta perniagaan. (Fatawa 25:13,15,24)

Tidak disyaratkan sampainya nishob di satu negeri saja, bahkan kalau nishobnya ada di berbagai negeri maka wajib dizakati. Kalau hilangnya nishob sebelum mengeluarkan zakat bukan karena keteledoran pemiliknya maka tidak wajib membayar zakat.

Untuk menyempurnakan nishob harta syuroka' (harta gabungan) tidak boleh digabung bahkan wajib membayar zakat atas masing-masing yang berserikat kalau bagiannya sudah sampai nishob kalau bagiannya belum sampai nishob maka tidak wajib zakat. (Fatawa : 23).

5. Berkembang (namaa') 

Zakat hanya diwajibkan pada harta yang berkembang yakni bisa bertambah dengan diusahakan. Dan harta yang berkembang ini dibagi menjadi dua macam: 1. Yang berkembang dengan sendirinya seperti binatang ternak dan tanaman2. Yang berkembang dengan berubah dzatnya dan diusahakan seperti mata uang yang berkembang dengan diniagakan dan yang semisalnya. (Fatawa 25:8).

Syaikh Abdullah Al-Bassam berkata: "Al-Wazir berkata: "Telah ijma' para ulama bahwa tidak ada zakat pada rumah yang ditempati, pakaian yang digunakan, perabot rumah tangga, hamba sahaya, senjata yang biasa digunakan, berdasarkan hadits yang terdapat falam shahihain: "Tidak wajib atas seorang muslim mengeluarkan zakat atas hamba dan kudanya". Saya katakan: "Ini adalah contoh batasan zakat yakni harta itu tidak wajib dikeluarkan zakatnya kecuali yang dipersiapkan untuk berkembang, adapun yang tetap yang tidak mungkin berkembang karena hanya untuk digunakan pemiliknya tidaklah wajib zakat" (Taudihul ahkam:3/28)

6. Berlaku satu tahun (haul)

Disyaratkan berlakunya satu tahun sudah mencapai nishob jika harta berupa mata uang atau binatang ternak, dalam artian semua harta dihitung hasilnya kecuali apa yang keluar dari bumi. Berdasarkan haditsnya Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa

Page 64: Tafsir Ayat

sallam bersabda: "Barang siapa yang memanfaatkan harta maka tidak ada zakat baginya sampai genap satu tahun pada pemiliknya." (HR. Tirmidzi, Kitab zakat 3:26 no. 631)

Adapun yang keluar dari bumi seperti biji-bijian, buah-buahan maka zakatnya ketika panen dan tidak disyari'atkan menunggu haul (satu tahun).

Firman Allah Ta'ala: "Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya dengan membayar zakatnya." (Al An'aam : 14)

Maka barang siapa memiliki emas yang sudah sampai nishob dan telah berlalu selama satu tahun maka wajib zakat. Jika memiliki harta yang belum sampai nishob kemudian memiliki yang bisa menyempurnakan nishob maka haulnya dimulai dari memiliki harta yang menyempurnakan nishob. Jika sampai nishob kemudian beruntung maka keuntungannya itu dihitung dengan modal dasarnya, tidak perlu dengan haul yang baru. Jika modal dasarnya tidak sampai nishob kemudian ketika genap satu tahun (haul) mencapai nishob dengan keuntungannya maka menurut pendapatnya Imam Malik wajib untuk dizakati.

Perlu diketahui bahwa haul (satu tahun) disini adalah tahun qamariyah (hijriyah) sebagaimana dijelaskan oleh Imam Nawawi.

Masalah: Boleh membayar zakat sebelum waktunya, kalau ada sebabnya.

Misalkan memiliki nishob dan membayar zakat sebelum berlalu satu tahun, membayar zakat tanaman setelah tumbuh sebelum bijinya siap dipanen dan zakat buah-buahan setelah tampak buahnya sebelum masak. Jika ragu-ragu apakah sudah berlalu satu tahun (haul) atau belum, maka boleh membayar zakat dan boleh menunggu sampai benar-benar yakin kalau sudah sampai hasil. (Fatawa 25 : 100).

Masalah ini (bolehnya menyegerakan pengeluaran zakat) bedasarkan satu riwayat: Dari Aliradiyallahu'anhu bahwasanya Abbas bin Abdul Muthalib minta ijin untuk menyegerakan pengeluaran zakatnya sebelum datang haul maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallammemberinya keringanan untuk melakukannya" (HR Tirmidzi dan Hakim dan dihasankan oleh syaikh Albani).

Jika mengganti nishab satu jenis harta dengan harta yang lain ditengah-tengah hitungan haul, maka tidak memutus (memotong) hitungan haul tersebut, menurut salah satu pendapat ulama. Contohnya kalau membeli dengan mata uang senishab dengan senishab dari binatang ternak, sementara nishab yang pertama (mata uang) belum genap hasilnya, maka hitungan haul binatang ternak didasarkan pada haul mata uang. (Fatawa 25 : 39)

Masalah: Apakah zakat maal hanya diberikan di bulan ramadhan saja atau apakah telah ditetapkan waktunya, karena kebanyakan orang kebiasaannya mengeluarkan zakat maal dibulan ramadhan

Syaikh Muqbil menyatakan ketika menjawab masalah yang hampir sama dengan ini (Ijabatus

Page 65: Tafsir Ayat

Sail:121): Allah Ta'ala berfirman: "Keluarkanlah haqnya (zakatnya) ketika hari panen" (QS al-An'am : 141). Ketika tanaman di panen maka wajib ketika itu mengeluarkan zakatnya. Demikian juga emas dan perak yang telah sampai haulnya, jika haulnya bertepatan dengan bulan Ramadhan disalurkan ketika itu tapi jika datangnya haul tidak bulan Ramadhan dikeluarkan ketika itu juga (jangan menunggu bulan Ramadhan-pent). Telah diterangkan bahwa Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam pada suatu hari pernah terburu-buru masuk kerumahnya ketika selesai shalat ketika keluar beliau melihat para shahabatnya sedang terheran-heran maka beliau bersabda: "Aku meninggalkan sepotong emas dirumah" . . .

Seyogyanya bagi seorang muslim bersegera menunaikan zakatnya karena mungkin saja datang kepadanya kematian, atau akan tergambarkan berniat jelek, atau tertimpa kebangkrutan, Demikianlah, maka harus lah ia bersegera mengeluarkan zakat secepat-cepatnya karena mungki orang fakir sedang membutuhkannya maka (kita tegaskan kembali -pent) waktu mengeluarkan zakat adalah ketika sudah datang haul atau waktu panen.

Seyogyanya juga memilih orang yang dianggap bisa bermanfaat bagi Islam dan muslimin seperti para penuntut ilmu syar'i. Ada seorang yang baik mencari-cari para penuntut ilmu syar'i, mereka memang membutuhkan. Maka hendaklah cari para penuntut ilmu syar'i. Aku kenal beberapa orang yang telah selesai dari belajar mereka dan Insya Allah pahalanya besar tidak akan terputus dan tidak akan disia-siakan Allah.Hendaknya mencari para penuntut ilmu syar'i dan mendorong mereka untuk tenang dalam menuntut ilmu.

Orang-orang yang Berhak Menerima Zakat

Mustahiq zakat ada delapan golongan, Allah membatasinya dalam ayat: "Sesungguhnya zakat itu bagi orang-orang fakir miskin dan mengurusinya serta orang yang sedang ditundukkan hatinya, budak-budak orang yang punya hutang dan yang yang berjuang dijalan Allah serta ibnu sabil kewajiban dari Allah dan Allah Maha Tahu dan Bijaksana."(QS. at-Taubah : 60)

Adapun rincian mereka ini adalah sebagai berikut:

1. Fakir, dan2. Miskin

Mereka adalah orang yang tidak mempunyai sesuatu yang mencukupi mereka. Ukuran orang itu cukup adalah ukuran yang lebih dari kebutuhan pokoknya bersama istri dan anaknya berupa makan, minum, pakaian, tempat tidur dan perkara primer lainnya.

Barang siapa yang tidak bisa mencukupi ukuran ini maka ia adalah faqir, dalam hadits Muadz:"(Zakat) diambil dari orang kaya dan diberikan kepada orang faqir", hadits ini menerangkan yang diambil zakatnya adalah orang kaya yakni yang memiliki harta sampai nishab zakat, adapun orang yang diberi adalah orang faqir yaitu yang tidak memiliki harta semisal orang kaya.

Tidak ada perbedaan antara faqir dan miskin dalam masalah kebutuhan dan kemiskinan serta dari

Page 66: Tafsir Ayat

sisi berhak menerima zakat.

Kadar harta yang disalurkan kepada faqir dan miskin. Diantara tujuan disyariatkannya zakat adalah mencukupi orang faqir dan memenuhi kebutuhannya, maka keduanya diberi harta zakat (shadaqah) sekadar mengeluarkan dia dari kefaqiran menjadi cukup.

3. Amil zakat (pengurus zakat)

Mereka adalah yang diangkat oleh imam atau naibnya, untuk mengumpullkan zakat dari orang-orang kaya, mereka pengambil zakat dan termasuk ini juga para penjaganya. Mereka wajib orang Islam dan bukan yang diharamkan menerima shadaqah dari keluarga Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam yakni Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthalib.

Dari Abu Said Alkhudri radihiallahu'anhu bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallambersabda: "Tidak halal shadaqah itu bagi orang kaya kecuali orang kaya yang menjadi amil zakat, atau membelinya dari orang miskin, atau ikut berperang dijalan Allah atau diberi hadiah oleh seorang miskin yang mendapat bagian shadaqah"

4. Orang-orang yang sedang dilunakkan hatinya (Muallaf)

Mereka adalah orang-orang yang diinginkan tunduk hatinya menerima Islam atau memantapkan hatinya di atas Islam karena lemahnya iman dia atau mencegah kerusakannya terhadap muslimin dan mengharapkan bantuan darinya membela muslimin.

Mualaf itu ada dua golongan: dari kalangan muslimin dan kafir.

Mualaf dari kalangan muslimin ada empat macam:

a. Tokoh-tokoh muslimin, seperti perbuatan Abu Bakar ra. yang memberi bagian kepada Adhi bin Hatim serta Zibarqon bin Badar padahal keduanya adalah bagus keislamannya. Hal itu karena keduanya adalah pemimpin dikaumnya masing-masing.

b. Pemimpin-pemimpin yang lemah imannya dari kalangan muslimin, yang ditaati kaumnya diberi bagian dengan harapan semakin kokoh keislaman dan keimanannya serta membantu dalam jihad seperti orang-orang yang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam beri bagian ketika pembagian ghanimah perang hawazin. Mereka adalah orang-orang yang bebas dari penduduk mekah dan masuk Islam diantara mereka ada munafiq, yang lemah imannya setelah pembagian ghanimah itu sebagian besar mereka mantap dan bagus keislamannya.

c. Kaum muslimin yang tinggal diperbatasan daerah muslimin dengan daerah musuh diharapkan pembelaan mereka.

d. Orang-orang yang diperbantukan pemerintah untuk mengambil zakat dengan paksa dari orang yang tidak mau mengeluarkannya

Adapun muallaf dari kalangan kafir adalah orang yang diharapkan keimanannya, seperti Shafwan bin Umayah yang diberi keimanan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan membiarkannya selama empat bulan untuk melihat urusannya supaya ia memilih untuk dirinya. Ia pernah hadir dan ikut perang Hunain sebelum Islamnya dan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam meminjam pedangnya

Page 67: Tafsir Ayat

ketika menuju perang Hunain, Nabi memberinya seratus onta yang gemuk yang ada di lembah, beliau berkata: "Ini adalah pemberian orang yang tidak takut faqir'.' Dia berkata: "Demi Allah dia Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam telah memberiku, sungguh ia dahulu adalah orang yang paling aku benci hingga terus menerus ia memberiku sampai menjadi orang yang paling aku cintai.''

5. Budak (Hamba sahaya)

Mencakup juga mukatib (yang mempunyai perjanjian damai dengan tuannya setelah membayar dirinya), mukatib ditolong untuk membebaskan dirinya dengan uang zakat (shadaqah).

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tiga golongan haq atas Allah untuk menolongnya: mujahid yang berperang di jalan Allah, mukatib yang ingin menunaikan perjanjiannya, orang yang menikah mengharapkan menjaga kehormatannya."

6. Gharimun

Yaitu mereka yang menanggung hutang dan tidak mampu membayarnya.

7. Orang yang berjihad dijalan Allah

Jumhur ulama menyatakan maksudnya adalah orang-orang yang sedang berjihad, mereka yakni para mujahidin mendapatkan bagian zakat, kaya ataupun miskin. Dalam satu riwayat: "Zakat tidak halal bagi orang yang kaya kecuali orang kaya yang ikut berjihad dijalan Allah.''

Keutamaan-keutamaan berinfak di jalan Allah

Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 

"Barang siapa yang berinfaq di jalan Allah akan dicatat baginya tujuh ratus lipat"

"Barang siapa yang membantu persiapan oarang yang berjihad maka ia telah berjihad, barang siapa yang mengurusi keuarga muahidin dengan baik maka ia telah berjihad"

"Shadaqah yang paling afdhal adalah memberi naungan bagi yang sedang berjihad, memberi pembantu untuk membantu mujahidin serta meminjamkan onta pejantan"

8. Ibnu Sabil

Para ulama telah sepakat bahwa seorang yang terputus perjalanan dari ngerinya diberi bagian shadaqah (zakat), untuk membantu mewujudkan tujuannya. Para ulama mensyaratkan safarnya adalah untuk untuk ketaatan bukan untuk maksiat.

Masalah : Bolehkah memberikan zakat kepada satu golongan mustahik saja?

Berkata pengarang Raudun Nadiyah: "Adapun memberikan (menyalurkan) zakat kepada satu gongan mustahiq saja merupakan masalah yang paling pantas untuk dibahas."

"Kesimpulannya: Bahwasanya Allah Subhanahu waTa'ala telah mentapkan zakat itu khusus untuk delapan golongan, tidak boleh diberikan kepada selain mereka. Pengkhususan bagi mereka itu tidak

Page 68: Tafsir Ayat

mengharuskan untuk membagi hasil zakat kepada semua golongan mustahiq sama rata…"

Beliau menyatakan juga: "....kalau seseorang wajib bayar zakat dan ia mengeluarkannya untuk semua golongan mustahiq maka ia telah menjalankan perintah Allah.''

Orang-orang yang Diharamkan Menerima Zakat

Setelah kita ketahui mustahiq (penerima zakat/shadaqah) yang telah ditetapkan Allah, sekarang akan kita sebutkan orang-orang yang tidak boleh menerima zakat dan tidak boleh menerimanya, mereka adalah:

1. Orang-orang kafir dan mulhid.

Dalam hadits Muadz: "(Zakat) itu diambil dari orang kaya mereka dan di bagikan kepada orang miskinnya" yakni: diambil dari orang kaya muslimin dan diberikan kepada orang faqir yang muslim.

Ibnul Mundzir berkata: "Telah ijma' ahlul ilmu yang kami hafal ilmunya bahwa seorang kafir dzimmitidak diberi zakat maal sedikitpun."

2. Bani Hasyim

Yang dimaksud disini adalah keluarga Ali bin Abi Thalib, keluarga 'Aqil, keluarga Ja'far, keluarga Abbas serta keluarga Harits. 

Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sesungguhnya shadaqah itu tidak pantas untuk keluarga Muhammad, karena itu adalah kotoran harta manusia."

Hasan (cucu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) radiallahu 'anhu mengambil korma shadaqah, maka Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berkata: "Kuh, kuh (supaya Hasan membuangnya), Tidakkah kau tahu bahwa kita tidak memakan shadaqah." (Muttafaq alaih)

3. Bapak dan anak-anak sendiri

Telah sepakat fuqaha bahwasanya tiddak boleh memberikan zakat kepada bapak, kakek, ibu, nenek, anak, cucu, karena orang yang berzakat itu memang wajib menafkahi bapaknya, anaknya, kalaupun mereka faqir mereka tetap kaya karena anaknya, bapaknya atau cucunya kaya. Maka jika zakat disalurkan kepada mereka berarti telah mengambil manfaat sendiri dan tidak mengeluarkan zakat.

4. Istri

Para ulama telah ijma' bahwa seseorang tidak boleh memberikan zakat kepada istrinya, hal ini dikarenakan dia wajib menafkahi istrinya, sehingga tidak butuh lagi zakat, seperti dua orang tua, kecuali kalau dia terlilit hutang maka diberi dari bagian gharimin untuk melunasi utangnya.

Zakat Fithr

Berkata Ibnul Atsir: "Zakat fitrah (fithr) adalah untuk mensucikan badan" (An Nihayah 2:307)

Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Atsqolani menukil perkataan Abu Nu'aim: "Disandarkan shodaqoh (zakat) kepada fithr (berbuka) disebabkan karena wajibnya untuk berbuka dari bulan Ramadhan."

Page 69: Tafsir Ayat

Adapun pendapatnya Ibnu Qutaibah: "Yang dimaksud Zakat Fitrah adalah zakat jiwa, istilah itu di ambil dari kata fitrah yang merupakan asal dari kejadian." Pendapat ini dilemahkan oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dan yang benar adalah pendapat yang pertama. (lihat Fathul Baari 3:367)

"Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat Fithr (fitrah) satu sha' dari kurma atau satu sha' dari gandum kepada budak atau yang merdeka, laki-laki atau perempuan anak kecil ataupun dewasa dari kaum muslimin dan beliau menyuruh untuk dibayar sebelum manusia keluar untuk shalat ('ied)." (HR. Bukhari Kitab Zakat 3:367 no. 1503 dari hadits Ibnu Umar)

Hukum zakat fithr

Zakat fitri itu wajib berdasarkan hadits (dari) Ibnu Umar radhiallahu'anhuma: "Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fitri kepada manusia pada bulan Ramadhan." (Riwayat Bukhari 3/291 dan Muslim 984 dan tambahan pada Muslim)

Dan berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiallahu'anhuma: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fitri." (Riwayat Abu Dawud 1622 dan An Nasaai 5/50 padanya ada Al-Hasan yang ber-'an-'anah. Dan hadits sebelumnya sebagai penguat.)

Sebagian ahlul ilmi menyatakan bahwa zakat fitri telah mansukh (dihapus) oleh hadits Qais bin Sa'ad bin Ubadah radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallammemerintahkan kami dengan shadaqah fitri sebelum diturunkannya (kewajiban) zakat dan tatkala diturunkan (kewajiban) zakat beliau tidak memerintahkan kami dan tidak pula melarang kami, tapi kami mengerjakannya (mengeluarkan zakat fitri)."

Al-Hafidz rahimahullah menjawab sangkaan tersebut dengan perkataannya 3/368: "Bahwa pada sanadnya ada seorang periwayat yang tidak dikenal, akan tetapi hadits tersebut memiliki penguat, dan dikeluarkan oleh An-Nasaai 5/49 dan Ibnu Majah 1/585 dan Ahmad 6/6 dan Ibnu Khuzaimah 4/81 dan Al-Hakim 1/410 dan Al-Baihaqi 4/159 dari beberapa jalan. Dan sanadnya SHAHIH.) Dan kalaupun dianggap shahih tidak ada dalil yang menunjukkan atas naskh-nya (hadits Qais yang menunjukkan wajibnya zakat fitr) karena mungkin Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallammencukupkan dengan perintah yang pertama, karena turunnya suatu kewajban tidaklah menggugurkan kewajiban yang lain."

Siapa yang diwajibkan?

Zakat fithr wajib atas kaum muslimin, anak kecil, besar, lelaki, perempuan, merdeka, dan hamba. Berdasarkan hadits Abdullah bin Umar radhiallahu'anhuma: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan zakat fithr sebanyak satu shaa' korma atau satu shaa' gandum atas hamba dan orang merdeka, kecil dan besar dari kalangan muslimin," (Riwayat Bukhari 3/291 dan Muslim 984)

Sebagian ahlul ilmi mewajibkannya pada hamba yang kafir karena hadits Abu Hurairahradhiallahu 'anhu: "Hamba tidak ada zakatnya kecuali zakat fithr" (Riwayat Muslim (982))

Hadits ini umum sedangkan hadits Ibnu Umar khusus, sudah maklum hadits khusus jadi penentu hadits umum. Yang lain berkata: "Tidak wajib atas orang puasa karena hadits Ibnu

Page 70: Tafsir Ayat

Abbasradhiallahu 'anhuma: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan zakat fithr pensuci bagi yang puasa dari perbuatan sia-sia, jelek dan makanan bagi kaum miskin." (Telah lewat takhrijnya)

Al-Khathabi rahimahullah (Ma'alimus Sunan 3/214) menegaskan: "Zakat fitri wajib juga atas orang puasa yang kaya atau fakir yang mendapatkannya dari makanan dia, jika 'illat (alasan -pent) diwajibkannya karena pensucian, seluruh yang puasa butuh akan itu, jika berserikat dalam'illat berserikat juga dalam hukum". 

Al-Hafidz menjawab (3/369): "Penyebutan pensucian disebutkan untuk menghukumi yang dominan, zakat fithr diwajibkan pula atas orang yang tidak berpuasa (berdosa) seperti yang diketahui keshalihannya atau orang yang masuk Islam sesaat sebelum terbenamnya matahari."

Sebagian lagi berpendapat bahwa zakat fithr wajib juga atas janin, tapi kami tidak menemukan dalil akan hal itu, karena janin tidak bisa disebut kecil atau besar, baik menurut masyarakat ataupun istilah.

Macam jenis zakat fithr

Zakat fitri dikeluarkan berupa satu shaa' gandum, satu shaa' korma, satu shaa' susu, satu shaa' anggur kering atau salt, karena hadits Abu Said Al-Khudri radhiyallahu 'anhu: "Kami mengeluarkan zakat pada zaman Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam satu shaa' makanan, satu shaa' gandum, satu shaa' korma, satu shaa' susu kering, satu shaa' anggur kering," (Riwayat Bukhari 3/294 dan Muslim 985)

Dan hadits Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan satu shaa' gandum, satu shaa' korma, satu shaa' salt." (Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah 4/80 dan Al-Hakim 1/408-410)

Ternyata dalam dua hadits ini, tidak kita dapati penyebutan beras atau sagu sebagai bahan makanan pokok di negeri ini. Sehingga apakah kita harus mencari bahan-bahan yang tersebut dalam dua hadits di atas untuk membayar zakat fithri kita?

Pendapat yang paling masyhur di dalam madzhab Hanbali (madzhabnya pengikut Imam Ahmad ibnu Hanbal) adalah pendapat bahwa membayar zakat dengan bahan-bahan selain yang disebutkan dalam dua hadits di atas adalah tidak sah. Akan tetapi pendapat ini, wallahu a'lam, adalah pendapat yang marjuh/lemah. Sebab dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Sa'id Al-Khudry mengatakan: "Kami (para sahabat Nabi) memberikan zakat fithri di masa Nabi shalallahu 'alaihi wassalam berupa satu sha' makanan." Abu Sa'id Al-Khudry berkata: "Dan makanan kami pada saat itu adalah gandum, anggur kering, dan aqith."

Riwayat ini menunjukkan bahwa makanan yang dibayarkan adalah makanan pokok yang paling banyak dibutuhkan oleh penduduk suatu negeri. Dan ini adalah pendapat ulama dari madzhab Malikiyyah dan Syafi'i dan diriwayatkan pula dari Imam Ahmad, serta dibenarkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Muqbil ibnu Hadi Al-Wadi'iy rahimahullah ta'ala.

Page 71: Tafsir Ayat

Syaikh Abdullah ibnu Abdirrahman ibnu Shalih Al-Bassam dalam Taisirul 'Allam (keterangan beliau terhadap kitab Umdatul Ahkam I/404) mengatakan: "Bahan makanan yang paling utama untuk zakat fithri (dari bahan-bahan makanan yang ada) adalah bahan makanan pokok yang paling dibutuhkan oleh kaum muslimin (faqir dan miskin) setempat." 

Ukuran Zakat Fithr

Shaa' yang teranggap adalah shaa'-nya penduduk Madinah, berdasarkan hadits Ibnu Umarradhiallahu 'anhuma: "Timbangan-timbangan pedagang gandum memakai takaran orang Madinah." (Riwayat Abu Dawud 2340, Nawawi 7/281,Baihaqi 6/31 dari Ibnu Umar....... diriwayatkan pula oleh Baihaqi 2/161 dari jalan lain dari Ali. Hadits Ali, munqathi juga ada jalan lagi mauquf dari Ibnu Umar, dalam Ibnu Abi Syaibah Mushannaf 4/37 dengan sanad shahih, hingga dengan jalan-jalan ini jadi hasan.)

Dalam masalah ini, para ulama berbeda pendapat. Namun pendapat yang paling kuat adalah bahwa ukuran (takaran) 1 sha' adalah sha' nabawy (seukuran 4 mud yang ditakar dengan dua tangan Nabi shalallahu 'alaihi wassalam). Dan apabila dikonversikan ke satuan timbangan (berat) maka 1 sha' nabawy setara dengan 2040 (dua ribu empat puluh) gram atau 2,04 kg.Wallahu a'lam.

Bolehkah menggantikan bahan pokok dengan uang yang senilai?

Al-Imam An-Nawawy menukilkan dalam Syarah Muslim VII/53 bahwa seluruh ulama (kecuali Abu Hanifah) tidak membolehkan zakat fithri yang dibayarkan dengan uang. Dan inilah yang rajih (kuat) berdasarkan beberapa hal. Pertama; Hadits tentang zakat fithri menunjukkan bahwa Rasulullahshalallahu ‘alaihi wassalam mensyariatkan zakat ini untuk ditunaikan dalam bentuk makanan.Kedua; Amalan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam dan sahabatnya menunjukkan bahwa mereka selalu menunaikan zakat ini berupa makanan, padahal kita mengetahui bahwa di masa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam pun telah beredar uang dinar dan dirham. Namun beliau dan para sahabatnya tetap menunaikan zakat dengan bahan makanan, tidak dengan dinar dan dirham.

Siapa yang harus dikeluarkan zakatnya

Setiap kaum muslimin (laki-laki dan perempuan) harus membayar zakatnya masing-masing jika dia memiliki kemampuan untuk membayarnya. Sehingga seorang wanita atau anak kecil yang memiliki harta harus menunaikan dengan hartanya. Adapun bila dia tidak memiliki harta maka yang harus membayar adalah orang yang menanggung nafkahnya kalau dia memiliki sesuatu yang lebih dari apa yang harus ia nafkahkan kepada orang-orang yang berada di bawah tanggungannya pada malam Ied dan esoknya. 

"Kami diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (mengeluarkan) shadaqah fitri atas anak kecil dan orang tua, orang merdeka dan seorang hamba dari orang-orang yang membekalinya." (Dikeluarkan oleh Ad-Daraqutni 2/141 dan Al-Baihaqi 4/161 dari Ibnu Umar dengan sanad yang lemah. Dan dikeluarkan oleh Al-Baihaqi 4/161 dari jalan lain dari Ali, dan sanadnya terputus. Tetapi punya jalan yang sampai kepada Ibnu Umar, pada Ibnu Abi Syaibah di dalam Al-Mushannaf 4/37 dengan sanad yang SHAHIH maka hadits tersebut dengan beberapa jalan menjadi HASAN)

Bila dia tidak memiliki sesuatu kecuali apa yang harus dia nafkahkan untuk tanggungannya maka

Page 72: Tafsir Ayat

tidaklah wajib baginya untuk membayar, sebagaimana dikatakan oleh jumhur ulama. Adapun hamba sahaya, maka wajib bagi tuannya untuk membayar zakat budak tersebut berdasarkan hadits dari Abu Hurairah: "Tidak ada kewajiban untuk membayarkan shodaqoh seorang hamba sahaya kecuali zakat fithri." (HR. Muslim).

Kepada siapa disalurkannya

Dan zakat tidak boleh diberikan kecuali kepada orang yang berhak menerimanya dan mereka adalah orang-orang miskin berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma: "Rasulullahshallallahu 'alaihi wa sallam telah mewajibkan zakat fitri sebagai pembersih (diri) bagi yang berpuasa dari perbuatan sia-sia dan perbuatan kotor dan sebagi makanan bagi orang-orang miskin." (Telah lewat takhrijnya)

Pendapat ini dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sebagaimana disebutkan dalam kitabnyaMajmu' Fatawa II/71-78 serta Ibnul Qoyyim dalam kitab beliau Zadul Ma'ad II/44.

Dan sebagian Ahlul Ilmi berpendapat bahwa zakat fitri diberikan kepada delapan golongan dan (pendapat) ini tidak ada dalilnya. Sebagian ulama menganggap bahwa zakat fithri disalurkan kepada 8 golongan. Mereka meng-qiyas-kannya dengan zakat maal yang memang diberikan kepada 8 golongan sesuai dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam surat At-Taubah ayat 60. Namun qiyas ini tidaklah dibenarkan. Karena dalil dari Al-Qur'an ini adalah dalil yang bersifat umum. Sedangkan untuk zakat fithri adalah dalil khusus yaitu hadits Ibnu Abbas yang telah disebut di atas.

Dan termasuk dari (amalan) sunnah jika ada seseorang yang mengumpulkan zakat tersebut (untuk dibagikan kepada yang berhak -pent). Sungguh Nabi telah mewakilkan kepada Abu Hurairahradhiallahu'anhu berkata: "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengkhabarkan kepada aku agar aku menjaga zakat Ramadhan." (Dikeluarkan oleh Bukhari 4/396). 

Dan sungguh dahulu pernah Ibnu Umar radhiallahu 'anhuma mengeluarkan zakat kepada orang-orang yang menangani zakat dan mereka adalah panitia yang dibentuk oleh Imam (pemerintahan) untuk mengumpulkannya dan hal tersebut (dilakukan) satu hari atau dua hari sebelum 'Iedul fitri.

Dikeluarkan oleh Ibnu Khuzaimah (4/83) dari jalan Abdul Warits dari Ayyub: "Aku katakan: "Kapankah Ibnu Umar mengeluarkan satu shaa'?" Berkata Ayyub: "Apabila petugas telah duduk (bertugas)". Aku katakan: "Kapankah petugas itu mulai bertugas?" Beliau menjawab: "Satu hari atau dua hari sebelum 'Iedul fitri."

Waktu Penunaian zakat

Zakat fitri ditunaikan sebelum orang-orang keluar (rumah) menuju shalat ied dan tidak boleh diakhirkan (setelah) shalat atau dimajukan penunaiannya kecuali satu hari atau dua hari (sebelum 'Ied). Ini berdasarkan hadits Ibnu Umar radhiyallahu 'anhu: "Bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam memerintahkan kaum muslimin untuk membayarkan zakatnya sebelum keluarnya mereka untuk menjalankan shalat Ied."

Adapun memajukannya satu atau dua hari sebelum Iedul Fithri, maka hal ini diperbolehkan, sebagaimana yang telah dilakukan oleh para sahabat berdasarkan riwayat dari Al-Bukhari dari Ibnu Umar radiyallahu ‘anhu. Dan Ibnu Abbas radiyallahu ‘anhu meriwayatkan suatu hadits bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda: "Barangsiapa menunaikan zakat fithri sebelum

Page 73: Tafsir Ayat

shalat ied maka ia adalah zakat yang diterima. Dan barangsiapa yang menunaikannya setelah dilakasanakan shalat iedul fithri maka ia dianggap sebagai salah satu jenis shodaqoh saja dan zakatnya tidak diterima." (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, dan lainnya dengan sanad yang hasan).

Hikmah zakat fithr

Allah Ta'ala mewajibkan zakat fithr sebagai pensucian diri bagi orang-orang yang berpuasa dari (perbuatan) sia-sia dan kotor serta sebagai makanan bagi orang-orang miskin untuk mencukupi (kehidupan) mereka pada hari yang bagus tersebut berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiallahu 'anhuma yang telah lalu. (Lihat Sifat Puasa Nabi karya syaikh Salim Al-Hilali hal:101- 107)

Udzur, Qadha' dan Kaffarat

Udzur (halangan) yang membolehkan orang tidak berpuasa

Ada beberapa golongan yang boleh tidak berpuasa karena halangan tertentu diantaranya:

1. Musafir

Banyak hadits shahih membolehkan musafir untuk tidak puasa, kita tidak lupa bahwa rahmat ini disebutkan di tengah-tengah kitab-Nya yang Mulia. Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang berfirman (yang artinya): “Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu, pada hari yang lain. Allah mengendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" [Al-Baqarah:185].

Hamzah bin Amr Al-Aslami bertanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: "Apakah boleh aku berpuasa dalam safar ?" -dia banyak melakukan safar- maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Berpuasalah jika kamu mau dan berbukalah jika kamu mau" [Hadits Riwayat Bukhari 4/156 dan Muslim 1121].

Dari Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata: "Aku pernah melakukan safar bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di bulan Ramadhan, orang yang berpuasa tidak mencela yang berbuka dan orang yang berbuka tidak mencela orang yang berpuasa" [Hadits Riwayat Bukhari 4/163 dan Muslim 1118].

Hadits-hadits ini menunjukkan bolehnya memilih, tidak menentukan mana yang afdhal, namun mungkin kita (bisa) menyatakan bahwa yang afdhal adalah berbuka berdasarkan hadits-hadits yang umum, seperti sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam (yang artinya):“Sesungguhnya Allah menyukai didatanginya (diamalkan) rukhsah (keringanan) yang Dia berikan, sebagaimana Dia membenci orang yang melakukan maksiat" [Hadits Riwayat Ahmad 2/108, Ibnu Hibban 2742 dari Ibnu Umar dengan sanad yang shahih].

Dalam riwayat lain disebutkan (yang artinya): “.... sebagaimana Allah menyukai diamalkannya perkara-perkara yang diwajibkan" [Hadits Riwayat Ibnu Hibban 364, Al-Bazzar 990, At-Thabrani dalam Al-Kabir 11881 dari Ibnu Abbas dengan sanad yang Shahih. Dalam hadits -dengan dua lafadz ini- ada pembicaraan yang panjang, namun bukan di sini tempat menjelaskannya].

Page 74: Tafsir Ayat

Tetapi mungkin hal ini dibatasi bagi orang yang tidak merasa berat dalam meng-qadha' dan menunaikannya, agar rukhshah tersebut tidak melenceng dari maksudnya. Hal ini telah dijelaskan dengan gamblang dalam satu riwayat Abu Said Al-Khudri radhiyallahu 'anhu. "Para sahabat berpendapat barangsiapa yang merasa kuat kemudian puasa (maka) itu baik (baginya), dan barangsiapa yang merasa lemah kemudian berbuka (maka) itu baik (baginya)" [Hadits Riwayat Tirmidzi 713, Al-Baghawi 1763 dari Abu Said, sanadnya Shahih walaupun dalam sanadnya ada Al-Jurairi, riwayat Abul A'la darinya termasuk riwayat yang paling shahih sebagaimana dikatakan oleh Al-Ijili dan lainnya.]

Ketahuilah saudaraku seiman -mudah-mudahan Allah membimbingmu ke jalan petunjuk dan ketaqwaan serta memberikan rizki berupa pemahaman agama- sesungguhnya puasa dalam safar, jika memberatkan hamba bukanlah suatu kebajikan sedikitpun, tetapi berbuka lebih utama dan lebih dicintai Allah. Yang mejelaskan masalah ini adalah riwayat dari beberapa orang sahabat, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda (yang artinya) :“Bukanlah suatu kebajikan melakukan puasa dalam safar" [Hadits Riwayat Bukhari 4/161 dan Muslim 1110 dari Jabir].

Peringatan:Sebagian orang ada yang menyangka bahwa pada zaman kita sekarang ini tidak diperbolehkan berbuka, sehingga (berakibat ada yang) mencela orang yang mengambil rukhsah tersebut, atau berpendapat bahwa puasa itu lebih baik karena mudah dan banyaknya sarana transportasi saat ini. Orang-orang seperti ini perlu kita usik ingatan mereka kepada firman Allah Yang Maha Mengetahui perkara ghaib dan nyata (yang artinya): “Dan tidaklah Tuhanmu lupa" [Maryam : 64].

Dan juga firman-Nya: "Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui" [Al-Baqarah : 232]

Dan firman-Nya di tengah ayat tentang rukhshah berbuka dalam safar (yang artinya): “Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu" [Al-Baqarah : 185]

Yakni, kemudahan bagi orang yang safar adalah perkara yang diinginkan, ini termasuk salah satu tujuan syari'at. cukup bagimu bahwa Dzat yang mensyari'atkan agama ini adalah pencipta zaman, tempat dan manusia. Dia lebih mengetahui kebutuhan manusia dan apa yang bermanfaat bagi mereka. Allah berfirman (yang artinya): “Apakah Allah Yang Menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan) ; dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui?" [Al-Mulk : 14].

Aku bawakan masalah ini agar seorang muslim tahu jika Allah dan Rasul-Nya sudah menetapkan suatu perkara, tidak ada pilihan lain bagi manusia, bahkan Allah memuji hamba-hamba-Nya yang mukmin yang tidak mendahulukan perkataan manusia di atas perkataan Allah dan Rasul-Nya (yang artinya): “Kami dengar dan kami taat, (dan mereka berdo'a): "Ampunilah kami yang Tuhan kami dan kepada Engkau-lah tempat kembali" [Al-Baqarah : 285]

2. Sakit

Page 75: Tafsir Ayat

Allah membolehkan orang yang sakit untuk berbuka sebagai rahmat dari-Nya, dan kemudahan bagi orang yang sakit tersebut. Sakit yang membolehkan berbuka adalah sakit yang apabila dibawa berpuasa akan menyebabkan suatu madharat atau menjadi semakin parah penyakitnya atau dikhawatirkan terlambat kesembuhannya. Wallahu a'alam.

3. Haid dan nifas

Ahlul ilmi telah bersepakat bahwa orang yang haid dan nifas tidak dihalalkan berpuasa, keduanya harus berbuka dan mengqadha, kalaupun keduanya puasa (maka puasanya) tidak sah. Akan datang penjelasannya, Insya Allah…

4. Kakek dan nenek yang sudah lanjut usia

Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata: "Kakek dan nenek yang lanjut usia, yang tidak mampu puasa harus memberi makan setiap harinya seorang miskin" [Hadits Riwayat Bukhari 4505, Lihat Syarhus Sunnah 6/316, Fathul Bari 8/180. Nailul Authar 4/315. Irwaul Ghalil4/22-25. Ibnul Mundzir menukil dalam Al-Ijma' no. 129 tentang adanya ijma' (kesepakatan) dalam masalah ini].

Diriwayatkan oleh Daruquthni (2/207) dan dishahihkannya, dari jalan Manshur dari Mujahid dari Ibnu Abbas, beliau membaca ayat (yang artinya): “Orang-orang yang tidak mampu puasa harus mengeluarkan fidyah makan bagi orang miskin" [Al-Baqarah : 184].

Kemudian beliau berkata: "Yakni lelaki tua yang tidak mampu puasa dan kemudian berbuka, harus memberi makan seorang miskin setiap harinya 1/2 gantang gandum".

Dari Abu Hurairah tadhiyallahu 'anhu: "Barangsiapa yang mencapai usia lanjut dan tidak mampu puasa Ramadhan, harus mengeluarkan setiap harinya satu mud gandum" [Hadits Riwayat Daruquthni 2/208 dalam sanadnya ada Abdullah bin Shalih dia dhaif, tapi punya syahid(penguat)].

Dari Anas bin Malik (bahwa) beliau lemah (tidak mampu untuk puasa) pada satu tahun, kemudian beliau membuat satu wadah Tsarid dan mengundang 30 orang miskin (untuk makan) hingga mereka kenyang. [Hadits Riwayat Daruquthni 2/207, sanadnya shahih]

5. Wanita hamil dan menyusui

Di antara rahmat Allah yang agung kepada hamba-hamba-Nya yang lemah adalah Allah memberi rukhsah (keringanan) pada mereka untuk berbuka, dan diantara mereka adalah wanita hamil dan menyusui.

Dari Anas bin Malik *), ia berkata: "Aku mendatangi Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, aku temukan beliau sedang makan pagi, beliau bersabda, "Mendekatlah, aku akan ceritakan kepadamu tentang masalah puasa. Sesungguhnya Allah Tabaraka wa Ta'ala menggugurkan 1/2 shalat atas orang musafir, menggugurkan atas orang hamil dan menyusui kewajiban puasa". Demi Allah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengucapkan keduanya atau salah satunya. Aduhai sesalnya jiwaku, kenapa aku tidak (mau) makan makanan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam." [Hadits Riwayat Tirmidzi 715, Nasa'i 4/180, Abu Daud 3408, Ibnu Majah 16687.

Page 76: Tafsir Ayat

Sanadnya hasan (baik) sebagaimana pernyataan Tirmidzi]

*) Dia adalah Al-Ka'bi, bukan Anas bin Malik Al-Anshari pembantu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, tapi ia adalah seorang pria dari bani Abdullah bin Ka'ab, pernah tinggal di Bashrah, beliau hanya meriwayatkan satu hadits saja dari Nabi, yakni hadits di atas.

Judul Asli : Shifat shaum an Nabi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Fii Ramadhan, penulis Syaikh Salim bin Ied Al-Hilaaly, Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid. Penerbit Al Maktabah Al islamiyyah cet. Ke 5 th 1416 H. Edisi Indonesia Sifat Puasa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh terbitan Pustaka Al-Mubarok (PMR), penerjemah Abdurrahman Mubarak Ata. Cetakan I Jumadal Akhir 1424 H.

Qadha' (Membayar Hutang Puasa) Sesegera Mungkin

1. Qadha' tidak wajib segera dilakukan

Ketahuilah wahai sauadaraku se-Islam -mudah-mudahan Allah memberikan pemahaman agama kepada kita- bahwasanya mengqdha' puasa Ramadhan tidak wajib dilakukan segera, kewajibannya dengan jangka waktu yang luas berdasarkan satu riwayat dari Sayyidah Aisyahradhiyallahu 'anha (yang artinya): “Aku punya hutang puasa Ramadhan dan tiak bisa mengqadha'nya kecuali di bulan Sya'ban" [Hadits Riwayat Bukhari 4/166, Muslim 1146, Dikatakan oleh Syaikh Al-Albani di dalam Tamamul Minnah hal.422 setelah membawakan hadits lainnya yang diriwayatkan oleh Muslim bahwasanya beliau (yakni Aisyah) tidak mampu dan tidak dapat mengqadha' pada bulan sebelum Sya'ban, dan hal ini menunjukkan bahwa beliau kalaulah mampu niscaya dia tidak akan mengahhirkan qadha' (sampai pada ucapan Syaikh) maka menjadi tersirat darinya bahwa ketidakmampuan Aisyah adalah merupakan udzur (alasan)]

Berkata Al-Hafidz di dalam Al-Fath 4/191: "Dalam hadits ini sebagai dalil atas bolehnya mengakhirkan qadha' Ramadhan secara mutlak, baik karena udzur ataupun tidak".

Sudah diketahui dengan jelas bahwa bersegera dalam mengqadha' lebih baik daripada mengakhirkannya, karena masuk dalam keumuman dalil yang menunjukkan untuk bersegera dalam berbuat baik dan tidak menunda-nunda, hal ini didasarkan ayat dalam Al-Qur'an (yang artinya): “Bersegeralah kalian untuk mendapatkan ampunan dari Rabb kalian" [Ali Imran : 133]

Firman Allah (yang artinya): “Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang segera memperolehnya" [Al-Mu'minuun : 61]

2. Tidak wajib berturut-turut dalam mengqadha' karena ingin menyamakan dengan sifat penunaiannya.

Berdasarkan firman Allah pada surah Al-Baqarah ayat 185 (yang artinya): “Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain".

Dan Ibnu Abbas berkata (yang artinya): “Tidak mengapa dipisah-pisah (tidak berturut-turut)". [Dibawakan oleh Bukhari secara mu'allaq, dimaushulkan oleh Abdur Razak, Daruquthni, Ibnu Abi

Page 77: Tafsir Ayat

Syaibah dengan sanad Shahih. Lihat Ta’liqut Ta’liq (3/186).

Abu Hurairah berkata: "Diselang-selingi kalau mau" [Lihat Irwaul Ghalil 4/95]

Adapun yang diriwayatkan Al-Baihaqi 4/259, Daruquthni 2/191-192 dari jalan Abdurrahman bin Ibrahim dari Al'Ala bin Abdurrahman dari bapaknya dan Abu Hurairah secara marfu': "Barangsiapa yang punya hutang puasa Ramadhan, hendaknya diqadha' secara berturut-turut tidak boleh memisahnya" Ini adalah riwayat yang dhaif (lemah). Daruquthni bekata: "Abdurrahman bin Ibrahim dhaif". Al-Baihaqi berkata: "dia (Abdurrahman bin Ibrahim) didhaifkan oleh Ma'in, Nasa'i dan Daruquthni". Ibnu Hajar menukilkan dalam Talkhisul Habir 2/206 dari Abi Hatim bahwa beliau mengingkari hadits ini karena Abdurrahman.

Kesimpulannya, tidak ada satupun hadits yang marfu' dan shahih -menurut pengetahuan kami- yang menjelaskan keharusan memisahkan atau secara berturut-turut dalam mengqadha', namun yang lebih mendekati kebenaran dan mudah (dan tidak memberatkan kaum muslimin) adalah dibolehkan kedua-duanya. Demikian pendapat Imam Ahlus Sunnah Ahmad bin Hanbalrahimahullah. Abu Dawud berkata dalam Al-Masail-nya hal. 95: "Aku mendengar Imam Ahmad ditanya tentang qadha' Ramadhan" Beliau menjawab: "Kalau mau boleh dipisah, kalau mau boleh juga berturut-turut". Wallahu 'alam.

Oleh karena itu dibolehkannya memisahkan tidak menafikan dibolehkannya secara berturut-turut.

3. Ulama telah sepakat bahwa barangsiapa yang wafat dan punya hutang shalat, maka walinya apalagi orang lain tidak bisa mengqadha'nya.

Begitu pula orang yang tidak mampu puasa, tidak boleh dipuasakan oleh anaknya selama dia hidup, tapi dia harus mengeluarkan makanan setiap harinya untuk seorang miskin, sebagaimana yang dilakukan Anas dalam satu atsar yang kami bawakan tadi.

Namun barangsiapa yang wafat dalam keadaan mempunyai hutang nadzar puasa, harus dipuasakan oleh walinya berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:"Barangsiapa yang wafat dan mempunyai hutang puasa nadzar hendaknya diganti oleh walinya" [Bukhari 4/168, Muslim 1147]

Dan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: "Datang seseorang kepada RasulullahShallallahu 'alaihi wa sallam kemudian berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya ibuku wafat dan dia punya hutang puasa setahun, apakah aku harus membayarnya?" Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menjawab: "Ya, hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar" [Bukhari 4/168, Muslim 1148]

Hadits-hadits umum ini menegaskan disyariatkannya seorang wali untuk puasa (mempuasakan) mayit dengan seluruh macam puasa, demikian pendapat sebagian Syafi'iyah (pengikut madzhab Imam Syafi'i) dan madzhabnya Ibnu Hazm (7/2,8).

Tetapi hadits-hadits umum ini dikhususkan, seorang wali tidak puasa untuk mayit kecuali dalam

Page 78: Tafsir Ayat

puasa nadzar, demikian pendapat Imam Ahmad seperti yang terdapat dalam Masa'il Imam Ahmad riwayat Abu Dawud hal. 96 dia berkata: Aku mendengar Ahmad bin Hambal berkata: "Tidak berpuasa atas mayit kecuali puasa nadzar". Abu Dawud berkata, "Puasa Ramadhan?". Beliau menjawab, "Memberi makan".

Inilah yang menenangkan jiwa, melapangkan dan mendinginkan hati, dikuatkan pula oleh pemahaman dalil karena memakai seluruh hadits yang ada tanpa menolak satu haditspun dengan pemahaman yang selamat khususnya hadits yang pertama. Aisyah tidak memahami hadits-hadits tersebut secara mutlak yang mencakup puasa Ramadhan dan lainnya, tetapi dia berpendapat untuk memberi makan (fidyah) sebagai pengganti orang yang tidak puasa Ramadhan, padahal beliau adalah perawi hadits tersebut, dengan dalil riwayat 'Ammarah bahwasanya ibunya wafat dan punya hutang puasa Ramadhan kemudian dia berkata kepada Aisyah: "Apakah aku harus mengqadha' puasanya?" Aisyah menjawab: "Tidak, tetapi bersedekahlah untuknya, setiap harinya setengah gantang untuk setiap muslim".

Diriwayatkan Thahawi dalam Musykilat Atsar 3/142, Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 7/4, ini lafadz dalam Al-Muhalla, dengan sanad sahih.

Sudah disepakati bahwa rawi hadits lebih tahu makna riwayat hadits yang ia riwayatkan. Yang berpendapat seperti ini pula adalah Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhu, beliau berkata: "Jika salah seorang dari kalian sakit di bulan Ramadhan kemudian wafat sebelum sempat puasa, dibayarkan fidyah dan tidak perlu qadha', kalau punya hutang nadzar diqadha' oleh walinya." [Diriwayatkan Abu Dawud dengan sanad shahih dan Ibnu Hazm dalam Al-Muhalla 7/7, beliau menshahihkan sanadnya]

Sudah maklum bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma adalah periwayatan hadits kedua, lebih khusus lagi beliau adalah perawi hadits yang menegaskan bahwa wali berpuasa untuk mayit puasa nadzar. Sa'ad bin Ubadah minta fatwa kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam: "Ibuku wafat dan beliau punya hutang puasa nadzar?" Beliau bersabda: "Qadha'lah untuknya". Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim serta lainnya.

Perincian seperti ini sesuai dengan kaidah ushul syari'at sebagaimana dijelaskan oleh Ibnul Qayyim dalam I'lamul Muwaqi'in dan ditambahkan lagi penjelasannya dalam Tahdzibu Sunan Abi Dawud 3/279-282. (Wajib) atasmu untuk membacanya karena sangat penting. Barangsiapa yang wafat dan punya hutang puasa nadzar dibolehkan diqadha' oleh beberapa orang sesuai dengan jumlah hutangnya.

Al-Hasan berkata: "Kalau yang mempuasakannya tiga puluh orang, seorangnya berpuasa satu hari (ini) diperbolehkan". [Bukhari 4/112 secara mu'allaq, dimaushulkan oleh Daruquthni dalamKitabul Mudabbij, dishahihkan sanadnya oleh Syaikhuna Al-Albany dalam Mukhtashar Shahih Bukhari 1/58]. Diperbolehkan juga memberi makan kalau walinya mengumpulkan orang miskin sesuai dengan hutangnya, kemudian mengenyangkan mereka, demikian perbuatan Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu.

Kafarat (Denda) dalam Puasa Ramadhan

Page 79: Tafsir Ayat

1. Kafarat bagi laki-laki yang menjima' isterinya

Telah lewat hadits Abu Hurairah, tentang laki-laki yang menjima' (menyetubuhi) isterinya di siang hari bulan Ramadhan, bahwa dia harus mengqadha' puasanya dan membayar kafarat yaitu: membebaskan seorang budak, kalau tidak mampu maka puasa dua bulan berturut-turut, kalau tidak mampu maka memberi makan enam puluh orang miskin.

Ada yang mengatakan: kafarat jima' itu boleh dipilih secara tidak tertib (yaitu tidak urut seperti yang dijelaskan dalam hadits Abu Hurairah di atas), tetapi yang meriwayatkan dengan tertib (sesuai urutannya) perawinya lebih banyak, maka riwayatnya lebih rajih karena perawinya lebih banyak jumlahnya dan padanya terdapat tambahan ilmu, mereka sepakat menyatakan tentang batalnya puasa karena jima'.

Tidak pernah terjadi hal seperti ini dalam riwayat-riwayat lain, dan orang yang berilmu menjadi hujjah atas yang tidak berilmu, yang menganggap lebih rajih yang tertib disebabkan karena tertib itu lebih hati-hati, karena itu berpegang dengan tertib sudah cukup, baik bagi yang menyatakan boleh memilih atau tidak, berbeda dengan sebaliknya.

2. Gugurnya kafarat

Barang siapa yang telah wajib membayar kafarat, namun tidak mampu mebebaskan seorang budak ataupun puasa (dua bulan berturut-turut) dan juga tidak mampu memberi makan (enam puluh orang miskin), maka gugurlah kewajibannya membayar kafarat, karena tidak ada beban syari'at kecuali kalau ada kemampuan.

Allah berfirman (yang artinya): “Allah tidak membebani jiwa kecuali sesuai kemampuan" [Al-Baqarah : 286]

Dan dengan dalil Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menggugurkan kafarat dari orang tersebut, ketika mengabarkan kesulitannya dan memberinya satu wadah korma untuk memberikan keluarganya.

3. Kafarat hanya bagi laki-laki

Seorang wanita tidak terkena kewajiban membayar kafarat, karena ketika dikhabarkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam perbuatan yang terjadi antara laki-laki dan perempuan, beliau hanya mewajibkan satu kafarat saja. Wallahu 'alam.

Page 80: Tafsir Ayat