tafsir fizilali quran surat abasa
TRANSCRIPT
Tafsir fizilali quran surat abasa
Surat ini diturunkan pada periode Mekkah awal. Kita diberi-tahu dalam surat 78, An-Naba (Pemberitahuan) bahwa
semua perilaku itu ada balasannya.
Ibnu Maktum adalah seorang sahabat yang mulia dari Nabi Suci s.a.w. Beliau seorang tuna-netra. Suatu kali, dia
bertemu dengan Nabi Suci tepat ketika Beliau sedang menyampaikan risalah kepada para bangsawan Quraish. Tidak
menyadari apa yang sedang terjadi, mungkin karena kebutaannya, dia mulai menginterupsi percakapan Rasulullah
dengan meluncurkan pertanyaan-pertanyaan. Nabi Suci sedang bersungguh-sungguh dalam dakwahnya dan agaknya
kurang berkenan dengan interupsi ini di tengah percakapan yang serius sehingga Beliau tidak memperhatikan Ibnu
Maktum. Peristiwa inilah yang digambarkan oleh Allah Taa’ala sebagai berikut:
1. Ia bermuka masam dan berpaling, 2. Karena orang buta datang kepadanya.
‘Abasa berarti melengos atau merasa terganggu. Ini menunjukkan betapa dekat Allah Ta’ala mencermati perilaku
Nabi Suci. Memang tidak diragukan lagi bahwa budi pekerti serta akhlak Nabi Suci itu demikian mulia dan luhur
sehingga Allah Yang Maha-tinggi telah memuji akhlak beliau yang luhur dalam Qur’an Suci itu sendiri dengan
menyatakan: “Dan sesungguhnya engkau memiliki akhlak yang agung”(68:4). Meskipun demikian, bahkan
perbuatan yang nampaknya kurang penting, yang dilakukan oleh pemilik akhlak dan sopan-santun yang agung itu;
dianggap kurang berkenan oleh Allah.
Bahkan kini, kita punya kesepakatan yang sama karena adalah dipandang kurang tepat bila kita memotong atau
menginterupsi percakapan orang lain, dan seseorang yang melakukan hal yang demikian akan dianggap kurang
sopan. Maka bila interupsi yang kurang pada tempatnya ini menyebabkan kurang senangnya Nabi Suci s.a.w. maka
hal itu sesuai dengan sopan-santun masyarakat beradab. Namun, karena Ibnu Maktum adalah seseorang yang
miskin, buta lagi, yang melakukan pelanggaran terhadap perilaku beradab ini, maka Allah Yang Maha-tinggi
memandang tidak diharapkan bila Nabi Suci sama-sekali mengabaikan orang semacam ini dan tetap berbicara
dengan kaum elit saja. Untuk menghibur dan memberi semangat kepada orang miskin, maka adalah penting untuk
tidak membedakan mereka dalam majelis Nabi Suci; bahkan, si miskin harus diberi keutamaan daripada si kaya,
karena Islam datang untuk mengajar umat prinsip luhur perilaku kemanusiaan dengan akhlak mulia dimana orang-
orang yang sangat miskin ini bisa mencapai tingkat yang agung.
Ibnu Maktum berbicara beberapa kali, tetapi melihat Nabi Suci sibuk dalam dakwah menyampaikan risalahnya, dia
bangun dan pulang. Karena itu, wahyu di atas turun: suatu wahyu yang mengagetkan Nabi Suci! Buru-buru beliau
pergi ke rumah Ibnu Maktum, mengundangnya ke rumah Beliau, dan membentangkan kain untuk tempat duduknya.
Ibnu Maktum tidak mau duduk karena merasa sungkan dengan Nabi Suci, tetapi Nabi Suci s.a.w. mendesak dan
mendudukkannya, dan kemudian bersabda: “Sekarang, tanyakanlah kepadaku apa yang ingin kauketahui”.
Secara kebetulan, bukankah ini memperagakan keyakinan mutlak dari Nabi Suci kepada wahyu yang diterimanya?
Betapa keliru dan salahnya catatan yang disajikan oleh almarhum Sir Syed Ahmad Khan yang menyatakan bahwa
wahyu itu suatu ide yang mula-mula mencerahkan pribadi manusia lalu turun ke dalam fikiran sadarnya. Bila
demikian halnya, setidak-tidaknya pastilah ayat-ayat semacam ini tidak terdapat dalam Qur’an Suci.
Adalah pribadi Rasulullah sendiri yang memutuskan untuk tidak menanggapi Ibnu Maktum yang menginterupsi
pada saat yang tidak tepat, sehingga bagaimana dapat dipahami suatu ide yang bertentangan dengan pandangan ini
bisa muncul dari pribadi yang sama yang bisa menangkap ide ini pada awal pertamanya? Kedua, tak seorangpun
yang menyukai gagasan bahwa suatu laporan yang mencela tingkah-laku pribadinya akan menjadi sesuatu yang
diulang-ulangi oleh umatnya. Tetapi dengan mengabaikan pertimbangan ini, celaan ini selalu ada sebagai bagian
dari Qur’an Suci dan akan seterusnya demikian. Ini juga menjadi bagian yang diulang-ulang dalam pengajian
umatnya. Ini menunjukkan bahwa celaan ini tidak memancar dari hati Nabi Suci sendiri. Tidak, ini adalah wahyu
dari Allah yang berisi elemen ketidak-setujuan, dan karenanya seorang nabi pun tidak dapat merahasiakan wahyu
Ilahi yang diterimanya, maka ditulis dalam Qur’an Suci dan ini akan tetap di sana seterusnya sebagai sarana
petunjuk bagi Ummah Nabi Suci s.a.w.
Bila seseorang memperhatikan dengan cermat, maka dia akan menyadari bahwa tindakan Nabi Suci ini tidaklah
perlu diberikan begitu banyak perhatian. Sesungguhnya, maksud dibalik banyaknya tekanan terhadap peristiwa ini
karena hal itu untuk memberi petunjuk kepada umat, sebab kalau tidak, maka Allah akan memberikan pesan yang
sama kepada Nabi Suci s.a.w. sebagai wahyu yang rahasia dan tidak resmi (suatu wahyu yang tidak dicatat dalam
Qur’an Suci sebagai bagian dari kitab suci yang diwahyukan).
Jadi, dalam kenyataannya, maksud dimasukkannya celaan ini dalam wahyu resmi (yang menjadi bagian Qur’an
Suci) adalah agar umat mengerti bahwa kita tidak boleh memberikan keistimewaan kepada kaum bangsawan di atas
orang-orang awam ketika mengajarkan dan menyampaikan risalah. Sebaliknya, kita harus memberikan apresiasi dan
penyampaian yang sama kepada segenap pencari kebenaran dan tidak menimbang-nimbang bahwa orang miskin itu
tidak penting. Kita harus tahu bahwa ketulusan dalam hati manusialah yang diperhitungkan dalam Majelis Allah.
3. Dan apakah yang membuat engkau tahu, bahwa ia boleh jadi akan menyucikan
dirinya?
4. Atau ia mau ingat, sehingga Peringatan itu berguna bagi dia?
Allah menyatakan kepada Nabi Suci s.a.w. bahwa maksud kedatangannya begitu pula turunnya Qur’an Suci adalah
untuk menyucikan manusia. Yakni, bahwa kemampuan ruhani terdalam mereka harus tumbuh dan berkembang serta
hati mereka harus dibersihkan dan disucikan dari semua kekotoran.
Hanya dua jenis manfaat itulah yang bisa dipetik dari seruan dan ajaran seorang nabi: yakni; bahwa seseorang itu
harus belajar meniti jalan mulia dalam pengembangan dan penyempurnaan ruhani dari seorang nabi, jalan dimana
dia bisa meraih penyucian diri dan kedekatan kepada Allah. Ini sesungguhnya adalah suatu tujuan yang sangat luhur.
Yang lainnya adalah bahwa seseorang itu harus meninggalkan cara-cara hidup yang buruk dengan mengambil
manfaat dari ajaran yang murni dari seorang nabi. Kedudukan ini, meski lebih rendah dari yang pertama, adalah juga
besar manfaatnya bagi seseorang. Karena itu Allah Yang Maha-tinggi, berkata: Adalah sangat mungkin, wahai Nabi,
bahwa orang buta itu bisa meraih kedudukan yang tinggi dari penyucian diri, atau setidak-tidaknya dia bisa menarik
manfaat sedemikian rupa sehingga dia bisa menghindari cara hidup yang salah serta bisa menyusuri jalan yang lurus.
Tetapi pada titik ini suatu kesalah-fahaman muncul dalam fikiran seseorang: apakah juga tidak mungkin bagi kaum
bangsawan Quraish itu untuk mengambil manfaat dari ajaran Nabi Suci? Untuk hal ini Allah berfirman:
5. Adapun orang yang menganggap dirinya tak memerlukan apa-apa.
6. Kepadanya engkau menaruh perhatian.
Di sini Allah menyatakan kepada Nabi Suci s.a.w. bahwa orang-orang terkemuka ini kepada siapa beliau menaruh
perhatian besar bahkan tidak peduli akan risalahnya, namun, terhadap mereka, beliau sangat bersungguh-sungguh
dalam menyampaikannya.
7. Dan tak ada cacat bagi engkau jika ia tak mau menyucikan dirinya.
Yakni, meskipun kenyataannya mereka tidak menaruh perhatian atas risalahmu, namun engkau harus tetap
menyampaikannya kepada mereka.
Maksud dari kebijakan ini jelas bahwa adalah hasrat yang besar dari Nabi Suci agar para tokoh ini menggunakan
sarana penyucian diri setelah menerima risalahnya. Atas hal ini, Allah berkata: Engkau tidak perlu ambil pusing.
Jika mereka tidak mau beriman dan tidak ingin menyucikan dirinya, tinggalkan saja mereka sendirian. Engkau tak
akan dipersalahkan karenanya.
8. Adapun orang yang datang kepada engkau dengan usaha keras,
9. Dan takut,
10. Kepadanya engkau tak menaruh perhatian.
Ini adalah suatu hal yang patut direnungkan. Betapa suatu prinsip berharga dari tabligh (menyampaikan risalah)
telah diajarkan kepada kita dalam ayat-ayat ini. Allah Ta’ala berkata: Engkau memusatkan perhatian kepada mereka,
yang mabuk dengan statusnya yang tinggi, yang bahkan tidak menaruh perhatian sedikitpun atas apa yang kau
ceriterakan kepada mereka. Engkau boleh menyatakan bahwa maksudmu hanyalah kalau-kalau mereka mau
disucikan, tetapi jawabannya adalah ini, bahwa mereka memilih untuk tidak menyucikan diri, maka tak ada salahmu,
wahai nabi. Jadi memberi perhatian yang besar kepada mereka itu tidak benar karena hal itu bisa membelokkan
penyampaian kepada mereka yang datang kepadamu karena takut kepada Allah.
Hal lain yang pantas dicatat di sini yakni bahwa doktrin reinkarnasi, sebagaimana yang diajukan oleh kaum Arya
Samaj berkenaan dengan disparitas status manusia di dunia ini, telah ditolak oleh ayat-ayat ini (Kaum Arya Samaj
menggambarkan status kita sekarang yang tinggi atau rendah itu karena perbuatan kita dalam hidup terdahulu).
Di sini, Qur’an Suci jelas mengumumkan bahwa bukan karena cacat bawaan atau kemiskinan dan kepapaan yang
dapat menghambat jalan kemajuan ruhani seseorang. Disparitas kedudukan manusia dalam hidupnya di dunia ini
terjadi atas kemurahan Ilahi karena tanpa perbedaan semacam itu maka amal salih tidak akan berperan. Disparitas
dalam masyarakat ini perlu sebab kalau tidak maka masyarakat tidak dapat berfungsi.
Betapa pun, perbuatan seseorang itu akan dinilai dengan memandang lingkungan dimana dia hidup. Dengan
perkataan lain, dunia ini adalah panggung dimana setiap orang itu bermain dengan peran yang terpisah dan berbeda-
beda. Setiap orang yang menjalankan perannya dengan baik dan sesuai dengan maksud Tuhannya adalah dia yang
akan mewarisi kemudahan serta kemajuan dalam hidupnya di masa mendatang, yang adalah kehidupan sejati. Tak
ada perbedaan dalam hal ini antara yang kaya dan yang miskin, ataupun yang buta dan yang melihat.
Sebaliknya, marilah kita cermati pujian melimpah yang telah dicurahkan untuk ketulusan dan keimanan dari seorang
tuna-netra dalam ayat-ayat ini, dan betapa orang-orang yang berkuasa serta bangsawan telah menolak rahmat-Nya.
Karenanya, adalah sangat mungkin bahwa si miskin dan si buta bisa mencapai derajat tinggi dan berkuasa dalam
kehidupan mendatang dan menjadi pewaris surga sedangkan dia yang tinggi dan berkuasa bisa menjadi umpan
neraka. Jadi, disparitas dalam status yang kita lihat di dunia ini adalah sementara dan tersaji hanya sebagai
pendahuluan dari drama yang sebenarnya di kehidupan mendatang. Tambahan lagi, mereka ada sehingga
masyarakat dunia ini bisa berfungsi dengan effektif dengan sifat mulia dari perbedaan ini sehingga seseorang
memiliki ksempatan untuk beramal salih. Dengan kata lain, ketidaksamaan status duniawi ini berfungsi sebagai
suatu dasar dari kehidupan dunia ini.
Karena itu, amal kita adalah hasil usaha dari disparitas ini dan bukannya seperti yang difikirkan oleh kaum Arya
Samaj, bahwa perbedaan dalam status kita ini sebagai akibat dari perbuatan kita dalam kehidupan sebelumnya.
11. Tidak, sesungguhnya itu Peringatan.
Tadzkirah berasal dari akar kata dzikr yang berarti suatu perkara dimana seseorang itu bisa mencapai kehormatan
dan kemuliaan. Allah berkata: Qur’an ini adalah sarana bagi umat manusia untuk mencapai keluhuran ruhani. Ini
adalah sebuah kitab yang akan membuat penganutnya luhur secara spiritual, baik mereka itu tinggi atau rendah, buta
atau melihat. Seseorang yang menjadikan Qur’an ini tuntunannya dan menahan dirinya dari syahwat serta nafsu
rendah dan menundukkan kepalanya dalam ketaatan kepada perintah Qur’an Suci, akan meningkat kepada
ketinggian yang agung di dunia ini.
Kata-kata dalam teks ini mengandung berita gembira bahwa Qur’an Suci akan membawa orang-orang golongan
rendah ini kepada ketinggian yang agung. Begitu pula, catatan dari sejarah menyaksikan kebenaran dari kata-kata
Qur’an Suci ini. Qur’an Suci mengusung para pengikutnya kepada kemuliaan yang jaya dan ketika orang-orang
yang sederhana ini beramal sesuai dengan perintahnya, maka berita dari kemasyhurannya serta kemuliaannya
menggema ke empat penjuru dunia dan mereka menjadi pewaris dari anugerah berbagai macam sejak di dunia
hingga di Akhirat. Sungguh, ketika delegasi kaum Muslimin tiba di majelis Chosroes dari Persia dengan risalah
Islamiyah, raja itu dengan
berang berkomentar: “Orang-orang Arab ini, yang minum susu unta dan menelan kadal telah menjadi begitu
beraninya untuk meraih mahkota Kayanis. Cih kepadamu! Wahai langit yang berputar. Cih kepadamu!”
Ultimatum dari rakyat pinggiran seperti bangsa Arab – yang berdiri dengan penuh ketakutan menghadapi bangsa
Persia sehingga sekelompok serdadu Persia yang berjalan kaki saja sudah cukup untuk menawan bangsawan Arab
tertinggi dan membawanya ke Persia – menyampaikan kepada Raja Chosroes dari Persia dengan penuh keagungan,
bahwa, “Keselamatan dan keamanan Saudara sekarang terletak hanya dengan menerima Islam”, maka keberanian
semacam itu cukup mengejutkan dan diluar keyakinan bangsa Persia.
Tetapi akhirnya hal yang sama yang dinyatakan dalam risalah ini datang melintas dan kekaisaran Chosroes hancur
total. Tidak hanya Persia, melainkan juga banyak kekaisaran yang lebih besar terjungkal dan jatuh ke kaki bangsa
Arab yang miskin ini yang telah dinaikkan oleh Qur’an Suci ke derajat yang elit dan terhormat. Bahkan kepala
kabilah yang sombong serta tokoh-tokoh suku Arab telah tunduk di hadapan kaum Muslimin yang rendah ini.
12. Maka, barangsiapa suka, hendaklah memperhatikan itu.
Yakni, jalan untuk mencapai kehormatan dan kebesaran ini hanyalah dengan beramal sesuai dengan al-Qur’an,
terbuka sama lebar untuk semua manusia, tidak ada bedanya antara yang kaya dan yang miskin, yang buta dan yang
melihat, ataupun yang Arab dan bukan Arab. Siapa pun yang bisa berfikir dan berbuat menurut al-Qur’an itu, akan
meraih ketinggian dan kehormatan di dunia, baik spiritual maupun moral, karena Qur’an Suci itu dimaksudkan
untuk diingat dan diamalkan oleh semuanya, sehingga mereka bisa memperoleh kehormatan dan keutamaan.
Kini, ada dua macam cara yang bisa dilakukan dimana perintah untuk mengingat Qur’an Suci itu dapat diterapkan.
Pertama yaitu dengan menghafal al-Qur’an. Akibatnya, ribuan huffaz (penghafal Qur’an Suci) dilatih dalam setiap
masyarakat Muslim untuk menghayati seluruh Qur’an dalam ingatannya, dan hanya kitab Qur’an sajalah yang
memiliki ciri yang menonjol ini. Tak ada kitab lain di seluruh dunia ini yang begitu luas diingat orang dari depan
sampai belakang seperti Qur’an Suci. Semua kitab suci yang diwahyukan telah kita kenal dan tak ada satu pun dari
mereka yang pernah mempelajari dalam hati dari depan ke belakang yang begitu seringnya, dan dengan cara yang
demikian terorganisir. Ciri yang menonjol ini hanya terdapat dalam Qur’an Suci saja.
Di sini, ada satu hal yang menarik akan perasaan puitis kita. Dalam surat ini, dimana banyak pujian Ilahi diberikan
kepada seorang buta, terdapat perintah tentang mengingat
al-Qur’an sehingga kebutaan dan mengingat al-Qur’an itu seolah berjalan bersama berkat rahmat atas
penyebutannya secara bersamaan dalam surat ini. Jadi, nasib baik menjadi seorang hafiz itu telah jatuh kepada
sejumlah besar orang tuna-netra dengan frekwensi yang paling banyak. Kita juga mesti ingat bahwa ingatan seorang
tuna-netra itu biasanya tajam sekali. Dalam suatu kasus, tak ada keraguan sedikitpun atas hal itu sehingga seorang
buta tidak saja menerima curahan dari karunia Ilahi karena keimanan dan ketulusannya melainkan juga karenanya,
maka anugerah untuk mempelajari al-Qur’an dalam hati itu jatuh ke banyak orang buta lainnya.
Cara lain agar al-Qur’an itu selalu di hati adalah dengan mengawetkannya dalam bentuk sebuah kitab sehingga
mereka yang tak bisa menghafalnya bisa menarik manfaat darinya.
13. Dalam Kitab yang dimuliakan.
Ada suatu nubuat yang sangat besar dan kuat dalam kata mukarramah (yang dimuliakan).Allah berfirman, bahwa al-
Qur’an ini akan selalu dimuliakan. Kemuliaan yang diterimanya di Asia dan Afrika, yakni, di Timur, sudah jelas,
namun sekarang adalah giliran Eropa dan Amerika. Di sini, pada saat ini, orang-orang tetap belum bisa membaca
dan memahami teks asli dari Qur’an Suci. Namun, para sarjana Barat, dengan mengkaji terjemahan al-Qur’an yang
dilakukan oleh kaum Orientalis, telah sampai kepada kesimpulan bahwa kecuali Alkitab, maka Qur’an Suci adalah
kitab terbesar di dunia. Tetapi, insya Allah, bila mereka membaca terjemahan yang telah dilakukan oleh komunitas
kita (yakni, Gerakan Ahmadiyah Lahore), atau bila mereka mengembangkan kemampuannya untuk memahami
teksnya yang aktual, adalah kesimpulan pasti bahwa di masa depan Qur’an Suci akan menjadi nomor satu posisinya
dalam ranking. Karena keunggulannya di atas segala kitab agama, akhlak, filosofi, sosial dan budaya telah diterima
di dunia, maka mengambil alih kedudukan Alkitab dalam rating adalah hanya masalah waktu saja. Mereka yang
mengenal keduanya, baik Qur’an Suci maupun Alkitab akan mengetahui bahwa Alkitab itu tak ada artinya
dibanding dengan al-Qur’an.
Pendeknya, ini adalah nubuat yang berani tentang ilmu dan kebijaksanaan yang terdapat dalam al-Qur’an yang
mengumumkan bahwa betapa pun ilmu dan pengetahuan sekuler boleh berkembang di dunia ini, namun kemuliaan
dan prestise Qur’an Suci akan senantiasa meningkat karena dunia baru yang berorientasi ilmiah akan menemukan al-
Qur’an sebagai sumber mata-air ilmu dan hikmah.
Maka, seperti yang dapat kita lihat sendiri, semakin maju ilmu dan pengetahuan, akan semakin redup kitab wahyu
yang diturunkan ke berbagai macam agama di dunia dan pelbagai bangsa, namun sebaliknya dengan cahaya Qur’an
Suci akan menjadi semakin cemerlang dari hari ke hari. Setiap penemuan ilmiah baru yang dilakukan membuktikan
kebenaran al-Qur’an serta menundukkan diri dalam penghormatan dan kejayaan Kitab Suci tersebut.
14. Yang diluhurkan, yang disucikan.
Kini, kaum Muslimin menganggap bahwa istilah marfu’ah (yang diluhurkan) itu hanyalah permintaan agar mereka
menempatkan kitab Qur’an Suci di rak atau platform yang tinggi, dimana pada akhirnya Kitab itu jadi berdebu. Jika
mereka sesekali mengambilnya untuk dibaca, yang jarang terjadi, mereka tidak peduli untuk memahami akan
artinya, apalagi untuk beramal mengikutinya. Cara ini sama saja dengan melemparkan Qur’an Suci ke balik
punggungnya. Tak diragukan memang, bahwa Qur’an Suci itu mesti disimpan di tempat yang tinggi, tetapi arti dari
marfu’ah itu tidak sekedar ini. Sesungguhnya, arti nyatanya adalah al-Qur’an’itu datang untuk meninggikan segala
perkara.Ajarannya lebih tinggi dari semua kitab agama terdahulu serta semua logika dan filsafat dunia saat ini
sehingga inilah titik keunggulannya begitu pun statusnya. Lantas mengapa hukum dan perintahnya tidak
didahulukan dan dianggap tidak lebih tinggi dibanding semua adat kebiasaan dan tata-cara setempat serta segala
keinginan rendah kita?Tetapi wahai manusia, kini kita menjadikan perintah Qur’ani ini tunduk kepada adat
kebiasaan dan tata-cara serta pamrih pribadi kita. Untuk menggenapi permintaan ayat ini, maka sudah seharusnya
status al-Qur’an harus lebih tinggi dari segala perkara lain dan perintahnya harus didahulukan daripada perkara lain,
sedemikian besar sehingga al-Qur’an itu harus dipandang lebih tinggi dan mengatasi bahkan Hadist dan Fiqih
(Hukum Islam).
Namun malangnya, para ahli fiqih telah memberi superioritas dan status yang lebih tinggi atas yurisprudensinya
(fiqh) diatas al-Qur’an dan al-Hadist, dan Ahli Hadist menaikkan derajat Hadist di atas al-Qur’an, meskipun ranking
al-Qur’an itu mengatasi semuanya ini dan harus didahulukan dibanding mereka semua. Pendeknya, arti
sesungguhnya dari kata marfu’ah (yang diluhurkan) haruslah bahwa posisi al-Qur’an itu adalah yang paling luhur
dibanding semuanya dan perintahnya harus meliputi segala perintah dari yang lainnya.
Selanjutnya, Qur’an Suci itu tidak hanya menjadikan lebih indah dan berharga melainkan juga memurnikan dan
mensucikan jiwa serta isinya membimbing seseorang kepada penyucian dan pembersihan diri. Di sisi lain, dalam
Alkitab, ada ayat-ayat yang bisa menerbitkan rasa malu yang besar bagi perempuan yang beradab bila mereka
membacanya. Beberapa kata-kata yang sangat mesum serta ungkapan yang tak bermoral terdapat juga di beberapa
tempat. Kitab Weda juga berisi bait-bait yang membuat seseorang merah padam karena malu dan hina dalam
membacanya. Tetapi, betapapun rumitnya masalah yang dibahas, Qur’an Suci telah menggunakan cara yang sangat
suci dan bermoral dalam menyampaikannya.
15. Di tangan para penulis,
16. Yang mulia, berbudi baik.
Kata safarah berarti baik seorang utusan dan seorang penulis atau penyalin.
Allah Ta’ala berfirman, bahwa semua penyalin Qur’an Suci itu adalah orang yang terhormat, terkemuka, unggul dan
saleh. Tidak, bahkan para sahabat yang suci selebihnya
yang bertindak sebagai perantara dan utusan antara nabi Suci dan umatnya (karena melalui tangan mereka itulah
maka Qur’an Suci sampai kepada umat), semuanya sangat terhormat dan saleh. Akibatnya adalah bahwa karena al-
Qur’an itu dijadikan dalam bentuk tertulis oleh tangan segolongan sesepuh dan diteruskan kepada umat oleh orang-
orang dengan kepribadian semacam ini yang semuanya terhormat, saleh, tulus dan berakhlak mulia, maka Qur’an
Suci itu tetap seluruhnya selamat dan tak ternoda.
Di sini, ada suatu hal yang patut direnungkan oleh kaum Syi’ah dan Khawarij. Yakni, bahwa Allah Ta’ala Sendiri,
telah berdiri saksi atas fakta bahwa orang-orang yang menulis al-Qur’an dan menyiarkannya kepada yang lain
(termasuk di antaranya Hazrat Abu Bakar, Umar, Ali dan Usman, serta mereka yang secara khusus termasuk dalam
penghimpun dan penulis al-Quran), semuanya adalah hamba Allah yang terhormat, terpercaya, saleh dan tulus.
Maka, barang-siapa yang mempertanyakan integritas dari teks al-Qur’an serta ketulusan dari para Sahabat yang suci
maka mereka itu sesungguhnya menolak kesaksian yang terang dari Allah Sendiri.
Memang benar bahwa karena al-Qur’an itu adalah kitab yang terhormat dan suci, lalu mengapa para penyalinnya
yang menyampaikan kepada yang lain tidak murni dan suci pula? Jadi, apa maksud dibalik menulis kitab ini dengan
sangat hati-hati serta pengaturannya dalam menyampaikan kepada umat kecuali agar setiap Muslim bisa menarik
manfaat dari itu dan harus menganggap perintahnya lebih tinggi dan lebih unggul di banding segala perintah yang
lainnya?
17. Celaka sekali manusia itu! Alangkah tak berterima kasihnya dia!
Siapakah yang lebih tak bersyukur daripada seseorang yang setelah diberi warisan serta menemukan anugerah
seperti Qur’an Suci lalu tidak berbuat menurut itu dan menghindar dari petunjuk yang besar itu, suatu petunjuk
dimana bergantung kehormatan dan kejayaan seluruh umat manusia? Orang semacam itu sesungguhnya secara
ruhani sudah mati. Ungkapan “qutilal amanu” berarti “Celaka sekali manusia itu”. Ini juga bisa berarti “semoga
matilah manusia semacam itu” tetapi ini rasanya kurang cocok untuk menerapkan suatu doa kutukan dari Yang
Maha-kuasa.
Allah Ta’ala sekarang menerbitkan peristiwa dari dunia fisik untuk memperagakan kejatuhan manusia dari
kedudukan yang terhormat serta terkemuka menjadi seorang yang terkucil akibat tidak tahu berterima-kasih.
18. Dari barang apakah Ia menciptakan dia?
19. Dari benih manusia yang kecil. Ia menciptakan dia, lalu Ia menentukan ukurannya.
20. Lalu Ia menjadikan jalan mudah baginya.
Inilah gaya Qur’an Suci: dia menarik argumen dengan menggambarkan analogi antara dunia materi dengan kerajaan
ruhani atau dari kehidupan di luar dengan kehidupan di dalam.
Ini adalah konsep yang bisa diterima diantara ilmuwan dan ahli jiwa bahwa dunia yang nampak dan dunia bawah
sadar itu mengandung suatu persamaan yang intens dan kemiripan satu sama lain serta paralel kepada yang lain.
Karena itu, tak ada cara yang lebih baik selain daripada mengajukan berbagai bukti analogi dan argumen yang
menunjukkan suatu persamaan antara dunia luar dengan dunia ruhani. Di sini, Allah telah menarik perhatian
manusia atas kelahirannya dengan mengatakan: lihatlah dari bahan apa kalian diciptakan – dari sebuah sel sperma!
Nutfah harfiahnya berarti suatu benda yang menjijikan dan tidak penting. Pendeknya, Allah Ta’ala telah menarik
perhatian manusia kepada fakta bahwa dia telah diciptakan dari benda yang sangat tidak penting, nutfah (sel sperma)
yang bahkan ketika dia membentuk diri dalam rahim seorang ibu, ini demikian kecil dan sepele sehingga ini bahkan
tak bisa dilihat kecuali dengan pertolongan mikroskop. Namun, Allah Yang Maha-tinggi, dalam pengetahuan-Nya
yang meliputi segalanya telah mengaruniai sel yang kecil ini dengan kekuatan yang tertanam dan unggul di
dalamnya serta kemampuan yang ketika itu mulai tumbuh setelah membangun suatu hubungan dengan rahim, maka
manusia mengembangkan kekuatan fisik dan mental yang menakjubkan, yang dengan memanfaatkan kemampuan
tersebut maka dia bisa menguasai lautan, angin, kilat, pendeknya, terhadap segala ciptaan Allah di alam semesta ini.
Maka, bila benar bahwa Allah telah menyiapkan sarana untuk pertumbuhan dan pengembangan jasad fisik manusia
dari kondisi yang tidak penting dan lemah serta dengan kekuasaan-Nya membuat anggota badannya tumbuh, lalu
Dia menjadikannya berubah menjadi makhluk yang penuh kekuatan, maka Dia pasti juga menyediakan bagi
pertumbuhan dan pengembangan ruhani manusia, dan meletakkan suatu jalan baginya dan dengan menyusuri jalan
tersebut manusia dapat menjadikan kemampuan spiritualnya tumbuh dan berkembang. Jalan ini tiada lain adalah al-
Qur’an ini. Bila manusia menolak kitab ini dan mengingkari petunjuknya maka dia ditakdirkan untuk binasa.
Dengan kehancurannya berarti bahwa kemampuan ruhaninya tidak tumbuh dan berkembang dan dia tetap tersingkir
dari kehormatan dan kejayaan spiritual, suatu kedudukan yang seharusnya diraih demi tujuan penciptaannya.
Suatu hal yang perlu dipertimbangkan di sini adalah bahwa dalam ayat-ayat ini Allah telah berfirman: “fa
qaddarahu” (Dia menumbuhkan sesuai ukurannya) setelah menyatakan “khalaqahu” (Ia menciptakan dia). Huruf fa
diselipkan antara dua kata ini, yang berarti bahwa benda yang penciptaannya disebutkan dalam khalaqahu adalah
sama dengan benda yang dibuat rujukannya dalam ungkapan “fa-qaddara-hu”, yakni, mendapatkan kekuatan dan
tenaga. Tetapi belakangan, ketika disebutkan: membuatkan jalan yang mudah baginya, di sana Allah menggunakan
kata “thumma” sebagai ganti “fa”, yakni, Dia berfirman: “Kemudian membuat jalan mudah baginya”.
Alasan untuk ini ialah bahwa dalam kata “thumma” (kemudian) di dalamnya juga mengandung implikasi suatu
perubahan keadaan. Jadi, dengan menggunakan kata “thumma”, maksudnya adalah untuk membuat kita mengetahui
bahwa jalan yang ditempuh selanjutnya, yakni, Kemudian dia membuat jalan mudah baginya, adalah satu hal yang
berbeda dengan satunya lagi yang dibicarakan dalam ayat sebelumnya: Ia menciptakan dia, lalu ia menentukan
ukurannya. Yakni untuk menyatakan, bahwa jalan kedua ini adalah spiritual dan bukan fisik.
Sebelum kata “thumma”, ayat itu berbicara tentang pertumbuhan dan perkembangan jasmani. Setelah kata ini, Allah
ingin menarik perhatian kita kepada perkara lain, yakni, bahwa bila Allah telah membuat sel sperma itu tumbuh dan
berkembang menjadi orang kuat yang memerintah ciptaan yang lain di alam semesta ini, lantas kenapa Dia tidak
membuat persiapan untuk aspek yang lain, sebutkanlah pertumbuhan dan pemeliharaan ruhani manusia tersebut?
Untuk hal ini Dia juga menyediakan suatu jalan, dan membuatnya mudah. Yakni untuk dikatakan, meskipun Allah
telah menganugerahi manusia dengan kemampuan yang menjadikan dia mampu membedakan antara baik dan
buruk, namun bila manusia telah meninggalkannya dan hanya bergantung kepada kecerdasan, persepsi dan
pemahaman sendiri saja, jalan ini akan menjadi sangat sukar baginya, karena petunjuk yang didapat dari kecerdasan
saja tidak akan cukup dan bebas dari jebakan serta kesesatan. Karena itu, langkah ini dibuat mudah baginya melalui
wahyu Ilahi.
Dengan kata lain, Allah Ta’ala, dalam ilmu-Nya yang meliputi segala sesuatu, datang untuk membantu manusia dan
Qur’an Suci mengambil rantai wahyu Ilahi ini menuju kesempurnaannya.
Jadi, seperti halnya sperma kehidupan, bila dia tiba di bawah pembentukan rencana hukum Allah, disamping
keadaannya yang sangat tak berarti dan kecil, bisa berkembang menjadi makhluk manusia yang jaya dan berkuasa,
begitu pula, bila pribadi manusia itu menapak menyusuri jalan yang telah ditunjukkan oleh wahyu dari Allah, serta
mematuhi perintah dan hukum-Nya, maka tak ada alasan mengapa ini juga tak bisa meraih kesempurnaan.
Betapa indahnya Mujaddid zaman ini, Hazrat Mirza Ghulam Ahmad, Almasih Yang Dijanjikan, telah
melukiskannya dalam versi bahasa Persia hal yang diperbincangkan di atas:
Dia Yang telah membuat manusia keluar dari suatu titik cair.
Dan mengubah beberapa genggam biji-bijian menjadi kebun.
Yang memberi sperma kehidupan itu wajah yang bercahaya,
Dan Yang mengubah batu menjadi permata dari Badakshan.
21. Lalu Ia mematikan dia, dan menentukan kuburnya,
22. Lalu, jika ia menghendaki, Ia membangkitkan dia.
Allah berfirman: Di dunia ini ada persediaan bagi pertumbuhan dan perkembangan jasad fisik manusia di satu fihak,
dan di fihak lain, suatu jalan telah dibangun dan terbuka bagi manusia guna perkembangan ruhaninya.
Sekarang, renungkanlah, kepada kenyataan bahwa jasad yang material ini, dimana guna pertumbuhan dan
perkembangannya begitu banyak persediaan telah disiapkan dan untuk pemeliharaannya manusia telah berusaha
siang dan malam, suatu hari akan menjadi debu dari debu. Namun, perkembangan ruhani dan pertumbuhan dari
pribadi manusia atau jiwanya adalah sesuatu yang bakal bertahan abadi dan yang sesudah kematiannya akan muncul
dalam bentuk kehidupan yang baru, insya Allah.
Dengan perkataan lain, sesungguhnya kematian dari jasad manusia itu, seperti prolog kebangkitan kembali manusia
dalam bentuk suatu kehidupan yang baru. Karenanya, sungguh bijak seorang manusia yang memahami bahwa Allah
Yang Maha-tinggi telah menyediakan begitu banyak persediaan demi pertumbuhan dan pengembangan jasad fisik
yang sangat singkat ini , maka betapa jauh lebih banyak lagi yang disediakan-Nya untuk pertumbuhan dan
pengembangan ruhani serta penyempurnaan dari jiwa yang bertahan abadi ini. Jika manusia berusaha keras demi
pertumbuhan dan perkembangan badannya yang tidak permanen ini, lantas betapa dia harus lebih jauh berusaha dan
tekun demi pertumbuhan dan pengembangan rohaninya. Selanjutnya, bila kemajuan yang dibuat oleh tubuhnya yang
sementara ini nampak begitu menakjubkan yang begitu rupa meninggikan kebanggan diri kita, lalu betapa lebih
tinggi dan besarnya usaha yang harus dikerahkan untuk mencapai kemajuan dari jiwanya yang akan abadi
selamanya?
Maka, adalah wajib bagi kita semua untuk memuji dan meninggikan anugerah yang diberikan kepada kita dalam
bentuk Qur’an Suci, dengan menjalani langkah-langkah yang ditunjukkan oleh al-Qur’anSuci sehingga kita akan
menjadi pewaris dari kesempurnaan dan kemajuan, di mana kemuliaan, kehormatan dan ketinggian akhlak manusia
itu bergantung.
23. Tidak, tetapi dia tidak menjalankan apa yang Dia perintahkan kepadanya.
Yakni, alasan bagi merosotnya ruhani dan degradasi moral adalah karena dia tidak beramal sesuai dengan perintah
Allah. Karena itu, Qur’an Suci telah diwahyukan guna menjamin kemajuan serta pertumbuhan dan pengembangan
yang lestari dari manusia. Bila manusia mematuhi perintah Qur’an Suci, maka tanpa memandang asal-usulnya yang
berasal dari benda sepele seperti sel sperma, maka dia kemudian bisa mencapai kekuasaan serta kehormatan dalam
hidup di dunia ini maupun nanti, dan bahkan akan menjadi pewaris dari kemajuan serta kesempurnaan pribadi baik
di luar maupun di dalamnya. Di sinilah terdapat pelajaran bagi kaum Muslimin abad ini. Alasan utama bagi
kemerosotan mental serta spiritual mereka adalah karena mereka tidak condong dengan ketaatan sejati kepada
perintah Qur’an Suci. Tidak peduli berapa banyak mereka bisa menyebarluaskan terbitan Kitab Suci ini, jika mereka
belum benar-benar melaksanakannya, maka hal itu tak akan bermanfaat baginya. Jika seorang pasien itu tidak
menelan obat yang diresepkan oleh dokter yang merawatnya, lantas apa pengaruh dari tulisan resep yang
didapatkannya? Suatu penyakit tak bisa diobati dengan sekedar membawa resep itu kemana-mana.
Kaum Muslim hari ini mungkin tak terlihat sebagai sebuah kaum yang penting seperti sel sperma tersebut, tetapi bila
mereka mulai beramal sesuai dengan perintah al-Qur’an, mereka akan segera menjadi bangsa yang kuat dan
berkuasa. Di atas segalanya, lihatlah betapa kaum Muslimin pada masa awal Islam bangkit ke puncak ketinggian
kekuasaan dari keadaan yang sangat lemah. Namun, bila ajaran Qur’an Suci itu tidak diikuti, maka haruslah diingat
bahwa suatu bangsa yang lemah dan sepele akan menjalani risiko dimarginalisasi oleh bangsa yang lain, persis
seperti sel sperma, bila dia tidak tumbuh, maka dia menjadi mubazir sia-sia.
24. Maka hendaklah manusia melihat kepada makanannya.
25. Bagaimana kami tuangkan air yang melimpah-limpah.
26. Lalu Kami membelah bumi, terbelah.
27. Lalu Kami tumbuhkan di sana biji-bijian.
28. Dan pohon anggur dan sayur-mayur.
29. Dan pohon zaitun dan pohon kurma.
30. Dan taman-taman yang rimbun.
31. Dan buah-buahan dan rumput-rumputan
32. Persediaan makanan bagi kamu dan bagi ternak kamu.
Makanan adalah sarana penting bagi pertumbuhan dan pengembangan fisik para makhluk hidup. Renungkanlah
betapa Allah telah menaruh langit dan bumi ini supaya bekerja guna mencapai tujuan ini, yakni, untuk memproduksi
makanan.
Pertama-tama, faktor langit dan bumi digelar bersama-sama untuk menghasilkan hujan dari awan. Kemudian bumi
ini dibelah terbuka untuk menumbuhkan biji-bijian serta pengembangannya, persediaan makanan yang berjenis-jenis
diproduksi bagi makanan manusia: ada biji-bijian, ada anggur (yang menyediakan gula), ada sayur-mayur dan ada
pula zaitun yang minyaknya sangat baik untuk nutrisi, ada kurma dan tandan buah-buahan, kemudian ada pula
rerumputan bagi ternak untuk melangsungkan hidup mereka sehingga manusia bisa mendapatkan mentega,
margarin, kepala susu dan daging. Dia tidak saja menyiapkan makanannya, melainkan Dia juga menciptakan
bermacam-ragam barang sebagai makanan manusia sehingga segala macam nutrisi yang dibutuhkan manusia demi
pertumbuhan dan perkembangan jasmaniahnya bisa diperoleh. Dengan menarik perhatian terhadap segala perkara
ini, Allah menyatakan kepada manusia bahwa hendaknya dia merenungkan persiapan yang telah dilakukan-Nya
untuk persediaan makanannya dan kemudian hendaknya dia mengambil analogi dari hal ini berkaitan dengan
pertumbuhan serta pemeliharaan ruhaninya dan persediaan yang harus ada untuk mencapai tujuannya itu.
Hujan dari langit yang turun dalam bentuk wahyu Ilahi bergabung dengan “bumi” yakni hati Nabi, telah
menghasilkan dan menyediakan santapan ruhani ini, yang sangat penting bagi pemeliharaan spiritual serta kemajuan
manusia. Karena Allah Ta’ala mengetahui setiap kebutuhan ruhani manusia, maka apa pun “makanan ruhani” yang
disediakan-Nya dalam bentuk kitab wahyu, berisi segenap sarana yang diperlukan guna memenuhi kebutuhan serta
permohonan bagi pertumbuhan dan pengembangan ruhaninya.
Seperti halnya berbagai macam biji-bijian, buah-buahan, sayur-mayur, minyak, gula, dan sebagainya itu dibutuhkan
bagi kehidupan dan ketahanan dari segala kemampuan jasmaniah serta anggota badan manusia, maka demikian pula,
berbagai jenis santapan ruhani diperlukan bagi pertumbuhan dan pengembangan kemampuan spiritual manusia.
Adalah Allah sendiri, Yang telah mempunyai pengetahuan sepenuhnya dari kebutuhan alami manusia, dapat dan
telah menyediakan segala macam santapan ruhani didalam wahyu-Nya, dengan mengikutinya maka berbagai macam
kekuatan bisa berkembang hingga sempurna.
Dengan menyimpulkannya dengan ayat, “Persediaan makanan bagi kamu dan bagi ternak kamu”, Allah juga telah
menunjukkan bahwa manusia hendaknya merenungkan makanannya supaya menyadari bahwa bila tujuan hidup itu
berakhir hanya dengan pertumbuhan dan perkembangan fisik semata, maka status manusia itu diredusir tidak lebih
dari sekedar binatang berkaki empat, karena hewan itu juga menjadi partner manusia dalam mengerjakan persediaan
bagi makanan lahiriahnya. Mengisi perut dan memelihara badan itu hal biasa bagi keduanya. Dalam hal ini tak ada
perbedaan atau ciri yang menonjol antara manusia dengan binatang ternak. Karena itu, kemanusiaan menuntut
bahwa kehidupannya haruslah mempunyai tujuan yang lebih tinggi dari sekedar hal tersebut, dan itu adalah
kehidupan spiritual, suatu hidup yang abadi. Jadi, adalah demi kecocokan atas hal ini maka persediaan telah dibuat
demi santapan ruhaninya oleh Allah Ta’ala, juga, untuk mencocokkan dengan makanan jasmaninya – santapan
ruhani yang akan menyajikan pemeliharaan atas pribadi dan kemampuan “dalam” dirinnya, yang membuatnya
tumbuh dan berkembang serta mencapai kenikmatan dari kehidupan abadi telah tersedia.
Jadi, berbahagialah dia yang mengembangkan serta melatih kemampuan dan tenaga ruhaninya dengan menyantap
“manna” dari langit, yakni Qur’an Suci, dan dengan itu memenuhi tujuan hidup manusia. Dan terasinglah dia, tidak
bahkan, matilah ruhaninya, dia yang tidak mengambil manfaat dari santapan ruhani ini. Penyebab dari keterasingan
ini adalah kelalaian dari orang-orang serta terjebak menjadi budak dari nafsu rendah dan seksualnya, kebiasaan yang
abai dalam mendengarkan nasihat atau saran yang menguntungkan. Allah Yang Maha-tinggi selanjutnya berfirman:
“Hari ini mereka berlagak tuli tetapi saatnya akan tiba ketika mereka akan mendengar”.
33. Tetapi tatkala datang teriakan yang memekakkan telinga,
“Sakh-khah” berarti suatu bencana yang memekakkan telinga karena ledakan dahsyat yang mengikutinya. Di sini
berarti hari Kebangkitan. Sebelumnya telah dinyatakan bahwa Qur’an Suci itu memakai banyak nama bagi Hari
Penghabisan, dan dimanapun al-Qur’an memberi nama baru, maka nama itu selalu cocok dan tepat untuk konteks
yang digunakan, dan ini berarti semacam kondisi yang istimewa. Di sini, pengungkapannya dilakukan bagi kelalaian
dan kemasa-bodohan orang-orang, mereka yang tidak menaruh perhatian sama-sekali kepada anugerah seperti
Qur’an Suci ini, dan yang menyingkirkan manfaat spiritualnya. Betapa pun banyaknya kaunasehati mereka, dengan
berbagai argumen yang masuk akal, dan berusaha agar mereka faham, mereka tidak mau mendengarkan meski
mempunyai telinga, dan mereka bersikap seolah-olah mereka itu tuli.
Allah Yang Maha-tinggi berfirman: “Suatu masa akan tiba ketika akibat dari kelalaian dan kemasa-bodohannya ini
akan menghadang mereka. Untuk itu mereka akan bisa mendengar; dan mengapa mereka tak bisa mendengar,
karena bencana itu akan memukul telinga seperti sebuah ledakan dan akan menghunjam dalam-dalam di hati dan
fikiran mereka”.
Akhirnya, inilah bagaimana supaya orang yang tuli itu bisa mendengar, yakni dengan berteriak. Begitu pula,
bencana Hari Penghabisan yang akan menimpa telinga orang-orang yang mati ruhaninya adalah dengan suatu
ledakan keras sehingga pada hari itu mereka akan memperhatikan dengan sepenuh hati kepada perkara yang tak
ingin didengarnya dalam kehidupan duniawi. Tetapi apa gunanya mendengar pada hari itu karena ini akan menjadi
hari Pengadilan dan saat itu sudah sangat terlambat. Suatu gambaran keadaan manusia pada hari itu diberikan dalam
ayat-ayat berikut:
34. Pada hari tatkala orang lari dari saudaranya,
35. Dan ibunya dan ayahnya.
36. Dan isterinya dan anaknya.
Yakni untuk dikatakan, bahwa manusia akan dicekam oleh ketakutan dan kecemasan yang amat sangat dan ini
adalah suatu keadaan dimana setiap orang fokus dengan dirinya sendiri, sehingga manusia tidak peduli lagi dengan
saudara laki-lakinya, ataupun orang tuanya, isteri dan anak-anaknya. Selain itu, dia akan lari dari mereka dan
berusaha membebaskan diri dari bebannya. Allah telah mempertontonkan keindahan dan keanggunan yang
menakjubkan dalam frase bahasa ketika Dia menyebutkan pelbagai macam hubungan kemanusiaan, dimana
hubungan kasih sayang ini disebutkan dengan susunan yang bertingkat dalam arti menjadi semakin dalam dan erat.
Pertama, Dia telah menyebut saudara laki-laki, dari siapa orang akan lari. Biasanya, seseorang tidak begitu sayang
kepada saudara lelakinya, maka adalah mungkin bahwa seseorang itu lari dari saudara lelakinya namun pasti bukan
dengan orang tuanya, karena hubungan kasih sayang dengan mereka lebih erat daripada dengan saudara laki-
lakinya. Toh Allah berfirman: (Bahkan) mereka akan lari dari orang tuanya. Tetapi mungkin juga dia lari dari orang
tuanya, tetapi tidak mungkin dari isteri dan anak-anaknya karena saat itu ikatan kasih-sayang dengan pasangannya
itu sangat kuat dan penuh nafsu; sedangkan dengan anak-anaknya, tak ada simpul yang lebih erat lagi daripada
hubungan seseorang dengan anak-anaknya. Karenanya, Allah berfirman: Dia juga akan lari dari isteri dan anak-
anaknya. Yakni untuk dikatakan, bahwa dia akan berdiri tanpa dukungan seorangpun; dia akan lari dari mereka
semuanya. Alasan untuk ini diberikan Allah dalam ayat berikutnya:
37. Pada hari itu tiap-tiap orang di antara mereka mempunyai kesibukan yang
membuatnya tak peduli kepada orang lain.
Yakni untuk dikatakan, tak seorangpun akan peduli kepada orang lain dalam keadaan yang demikian. Teror
pertanggung-jawaban atas amal perbuatannya membuat manusia lupa akan ikatan kasih sayang dan relasi keluarga;
setiap orang akan menyelamatkan dirinya sendiri dan sangat ketakutan akan nasibnya. Kita dapat saksikan adegan
ini bahkan dalam kehidupan saat ini juga. Ketika seseorang ditimpa penyakit yang serius, atau sedang jatuh dalam
kesulitan atau ditimpa oleh kepapaan, maka dia cenderung kehilangan selera kepada isteri, anak-anak dan
kerabatnya.
Ayat-ayat ini juga mengindikasikan bahwa setiap orang itu akan diminta untuk menjawab atas perilakunya sendiri
dan catatan salah yang dipegang olehnya, bahwa ada pengecualian terhadap keturunan Nabi Suci s.a.w. atau putera
dari orang suci tertentu akan bisa lolos dari azab pada hari Pengadilan karena nenek-moyangnya yang sangat
terhormat, yang akan bisa menjadi perantara (wasilah) serta penyelamatnya, jelas ditolak di sini. Betapa benar dan
terus-terang Nabi Suci s.a.w. ketika beliau bersabda kepada anak perempuannya, Sayidatina Fatimah r.a.:
“Kenyataan bahwa aku adalah bapakmu tidak akan bisa menolongmu. Hanya amal perbuatanmulah yang bisa
menyelamatkanmu”.
Begitu pula, beberapa orang telah menaikkan derajat putera Mujaddid atau Imam kepada kedudukan yang penuh
kuasa dan mempercayakan masalah agama serta spiritual kepadanya. Setiap orang harus menjawab perilakunya
sendiri-sendiri dan akan ditanyai tentang hal itu. Pada saat dia sendiri, harus tergusur dengan terburu-buru mundur
dari isteri dan anak-anaknya sendiri, orang tua dan sanak-kerabatnya, maka bagaimana bisa dia menjadi perantara
dan mengulurkan tangan pertolongan kepada para muridnya yang berfikir sederhana dan setia kepadanya? Hanya
rahmat Allah saja yang dapat memberi uluran tangan kepada manusia, dan hanya amal salehnya sendiri yang dapat
membuat dia berdiri dengan kuda-kuda yang kokoh.
38. Pada hari itu wajah-wajah akan bersinar,
39. Tertawa, gembira.
Ini adalah mereka yang mengambil manfaat dari wahyu Allah serta petunjuk-Nya dan
muncul dengan penuh sukses dari ujian atas amal perbuatannya.
40. Dan pada hari itu wajah-wajah akan penuh debu.
41. Kegelapan menutupi (wajah) itu.
Ini adalah mereka yang tidak peduli kepada wahyu dan petunjuk Allah serta terus-menerus berbuat kejahatan serta
gagal dalam ujian atas amalnya. Bahkan ujian yang dilangsungkan dalam kehidupan di dunia ini menyajikan adegan
yang sama dengan kenyataan yang sangat jelas. Siswa yang berhasil menunjukkan kegembiraan, wajah yang ceria
yang mencerminkan rasa senang di hati. Mulutnya tersungging penuh senyuman dan kebahagiaan serta tertawa
memancar dari wajahnya. Sebaliknya, muka dari siswa yang gagal itu tertutup oleh debu kesusahan, kecemasan
serta rasa malu dan wajahnya bak berselimut warna gelap. Begitu pula keadaan orang-orang yang tidak berhasil
pada hari Pengadilan nanti, tetapi ingatlah bahwa kegagalan dan kehinaannya jauh lebih besar dan tak terbatas.
Mengenai orang-orang ini yang telah gagal dengan mengenaskan, Allah menggambarkan alasan kegagalannya
sebagai berikut:
42. Mereka adalah orang-orang yang kafir, yang jahat.
Mereka disebut kafir (tak beriman) karena mereka menolak beriman kepada kebenaran dan menunjukkan kekufuran
kepada kemurahan Allah. Yakni, mereka tidak mau menerima santapan ruhani dan rahmaat Allah dalam bentuk
Qur’an Suci, serta bergelimang dalam cara hidup mereka yang jahat. Termasuk dalam kategori ini adalah mereka
yang beriman kepada Qur’an Suci sebagai firman Ilahi tetapi tidak beramal sesuai dengannya. Pendeknya, akar
masalah dari kegagalan itu adalah mendustakan firman Allah dan petunjuk-Nya serta tidak berbuat sesuai dengan
petunjuk itu.
Di latar belakang surat Abasa jelas membuktikan bahwa Rasulullah memilih-milih dalam domain berdakwahnya.
Rasul saw mempunyai asumsi bahwa jika dia mendapat dukungan dari orang-orang penting dari suku Quraisy yaitu
Utbah bin Rabi'ah, Syaibah bin Rabi'ah,dll maka akan berkuranglah masalah yang dialami ummat pada saat di awal
dakwah makkiyyah.
Datangnya Ibnu Ummi Maktum yang membuat Rasul saw bermuka masam adalah refleksi ke-engganan untuk
mengurus masalah yang diasumsikan kurang penting dan tidak signifikan. Yaitu melayani orang yang tidak punya
kekuatan masa lagi tidak punya kemampuan ekonomi.
Hikmah dari Abasa terhadap Rasul saw :
Tafsir Fizhilaali Quran menjelaskan bahwa disinilah langit campur tangan utk mengatakan kata pasti dalam urusan
ini, untuk menaruh rambu-rambu dan semua petunjuk jalan, dan untuk menetapkan timbangan untuk menimbang
semua norma dan nilai, tanpa menghiraukan semua jenis lingkungan (kasta) dan pemikiran. Termasuk pemikiran
tentang kemaslahatan dakwah menurut pandangan manusia, bahkan menurut pandangan penghulu semua manusia
yakni Nabi Muhmamad saw
Tafsir Fizhilaali Quran karangan Sayyid Quthb juga menegaskan bahwa secara lughawi, didalam ayat 11, Allah
memberikan peringatakan yang keras terhadap rasul saw yang merupakan pembawa risalah yang amat diperhatikan
dan dibimbing oleh ALlah SWT. Bahkan ini dijelaskan sebagai celaan untuknya dengan uslub/cara " Sekali-kali
jangan demikian !".
Dengan kata lain Allah meluruskan perbuatan dan asumsi Rasul saw yang keluar dari kehendak ALlah SWT :
> Jangan sekali kali seperti itu !
> Jangan sekali kali bermuka masam terhadap orang yang mencari ilmu ALlah biarpun ia miskin lagi buta !
> Jangan membeda-bedakan orang yang ingin mendengarkan dakwahmu !
> Jangan terpedaya dalam kasta ketika berdakwah !
Aplikasi Surat Abasa di zaman Rasul saw :
Tafsir fi zhilali Quran mengilustrasikan bahwa Rasul saw sangat terkesan dan tersentuh oleh ayat-ayat surat 'Abasa.
Maka pertama yang dilakukan oleh Rasul saw adalah mengumumkan pengarahaan dan celaan yang turun berkenan
peristiwa tersebut. Juga setelah peristiwa ini Rasul saw. senantiasa bersikap lunak kepada Ibnu Ummi Maktum.
Setiap kali berjumpa dengannya, beliau berkata, ' Selampat berjumpa orang yang karenanya aku dicela oleh
Tuhanku." Bahkan beliau dua kali menjadikannya pengganti beliau setelah hijrah di madinah.
Atas pengarahan surat ini Rasul saw juga menggugurkan timbangan sosial yang ada di arab saat itu, atau penilaian
berdasarkan kasta. Rasul saw mengawinkan putri bibi beliau, Zainab binti Jahsy al Asadiyah dengan mantan budak
beliau yang bernama Zaid bin Haritsah, walaupun masalah perkawinan sangan sensitif dimasa itu.
Rasulullah juga mempersaudarakan Khalid bin Ruwaihah al Khats'ami dengan Bilal bin Rabah ( bekas seorang
budak yang hitam ). Juga Hamzah dari darah Quraisy dengan Zaid bin Haritsah.
Tak terhitung perubahan yang Rasul berikan karena Tarbiyyah surat 'Abasa. Dari mempersatukan Salman Al Farisi
yang bukan berbangsa arab dengan Jamaah Islam sampai mengikis rasisme kulit. Tak juga melupakan bahwa Rasul
melantik Usamah bin Zaid sebagai panglima perang dalam menghadapi pasukan Romawi sebagai bukti bahwa
mentalitas feodalisme itu tidak ada tempat dalam islam hanya kemampuan diri dan kredibilitas.
TAFSIR FIZILALI QURAN
SURAT ‘ABASA
NAMA : NURMA ANDRIYANI