tafsir dan takwil atas ayat-ayat mutasyĀbihĀt ......1437 h/2015 m. i lembar pernyataan dengan ini...
TRANSCRIPT
TAFSIR DAN TAKWIL ATAS AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT DALAM
PANDANGAN MUFASSIR KLASIK DAN MODERN
(Studi atas Tafsir Jāmiʻ al-Bayān ‘an Ta’wīli āy al-Qur’ān dan Tafsir
Maḥāsin al-Ta’wīl)
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Theologi Islam (S. Th. I.)
Oleh
KHAIRUL ANAM
NIM: 1111034000119
PROGRAM STUDI TAFSIR HADITS
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1437 H/2015 M.
I
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan asli karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya rujuk dalam penulisan skripsi ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan
hasil plagiasi dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku
di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 14 Oktober 2015
Khairul Anam
II
Motto
“Maka Apakah mereka tidak memperhatikan Al-Qur’an? kalau
kiranya Al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat
pertentangan yang banyak di dalamnya”. (QS. al-Nisā[4]: 82)
III
Halaman Persembahan
Skripsi ini saya tulis sebagai salah satu bukti study selama empat tahun
di bangku kuliah, dengan perjuangan yang begitu melelahkan dan persaingan
hidup yang sangat ketat di tengah-tengah kota Metro Politan yang kejamnya
melebihi kejamnya ibu tiri.
Akhirnya, skripsi ini saya persembahkan kepada: Bapak (almarhum)
dan Ibu (Abu Shaib & Suhayam), serta kakak-kakak saya yang selalu
memberikan dukungan, baik berupa moril ataupun materil (Moh Musleh &
Sua’dah, Hosni & Sudarti, Moh Sani & Su’ada, Samrawi & Maisura, Moh
Halim & Mariana, Mahrawi & Masuni, dan Moh Hosan & Wiwin
Wulandari).
Ya Allah, dengan segala kerendahan hati, kami mohon muliakanlah
mereka yang telah membantu saya selama masa study, berilah ketenangan hati
pada mereka, murahkan rizki dan panjangkan serta berkahkanlah usia
mereka, sediakanlah tempat untuk mereka di surga-Mu ya Rob.. Amin..
IV
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi Arab-Latin dalam skripsi ini menggunakan pedoman
transliterasi dalam buku Pedoman Akademik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2011-
2012.
Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak dilambangkan ا
b be ب
t te ت
Ts Te dan es ث
j je ج
ḥ h dengan titik bawah ح
kh k dan h خ
d de د
dz De dan zet ذ
r er ر
z zet ز
s es س
sy es dan ye ش
ṣ es dengan titik bawah ص
ḍ de dengan titik bawah ض
Ṭ te dengan titik bawah ط
V
ẓ zet dengan titik bawah ظ
Koma terbalik di atas hadap kanan „ ع
gh ge dan ha غ
f ef ف
q ki ق
k ka ك
l el ل
m em م
n en ن
w we و
h ha ه
apostrop ʹ ء
y ye ي
Vokal Panjang
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ā a dengan topi di atas آ
ī i dengan topi di atas إي
ū u dengan topi di atas أو
VI
Vokal Rangkap
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
يأ ai a dan i
au a dan u أو
Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan
dengan huruf ال dialihaksarakan menjadi huruf /|/, baik diikuti huruf
syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijāl bukan ar-rijāl.
Syaddah (Tasydȋd)
Syaddah atau tasydȋd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan
dengan sebuah tanda ( ), dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu.
Tetapi itu tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu
terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah.
Misalnya, kata الضرورة tidak ditulis ad-darūrah tapi al- darūrah.
Ta Marbūṭah
Kata Arab Alih Bahasa Keterangan
Ṭarīqah طريقةTa marbūṭah pada kata yang
berdiri sendiri
-Al-jāmiʻah al الجامعة الإسلا مية
Islāmiyyah Diikuti oleh kata sifat
Waḥdat al-wujūd Diikuti oleh kata benda وحدة الوجود
VII
ABSTRAK
Khairul Anam
Tafsir dan Takwil atas Ayat-ayat Mutasyābihāt dalam Pandangan Mufassir
Klasik dan Modern (Studi atas Tafsir Jāmiʻ al-Bayān ʻan Ta’wīli āy al-Qur’ān
dan Tafsir Maḥāsin al-Ta’wīl)
Persoalan tafsir dan takwil bukanlah hal baru dalam kajian ulum al-
Qur‟an. Ia telah ada sejak masa Nabi, tetapi pada saat itu jangkauannya masih
kecil, karena para mufassir pada saat itu jika menemukan ayat yang musykil
mereka langsung menanyakan kejelasan maknanya kepada Nabi. Oleh karena itu
penafsiran-penafsiran para sahabat, tābiʻīn , tābʻit tābiʻīn bahkan beberapa ulama
yang hidup setelah masa tābiʻīn masih menggunakan riwayat dari Nabi. Itulah
yang disebut tafsir bi al-ma’tsūr oleh ulama al-Qur‟an. Hal ini berbeda dengan
masa-masa berikutnya. Pada masa belakangan ini, tafsir mengalami
perkembangan yang pesat. Tafsir tidak lagi dipahami hanya sebatas pada
penjelasan-penjelasan yang dinukil dari riwayat, tetapi ia juga bersumber dari
penalaran, hingga selain dikenal dengan tafsir bi al-ma’tsūr juga dikenal dengan
tafsir bi al-ra’yi,yaitu tafsir yang didasarkan pada nalar manusia.
Selain tafsir, takwil juga telah banyak digunakan sebagai alat untuk
menguak makna-makna yang terkandung dalam al-Qur‟an. Tidak hanya pada
masa-masa akhir ini, tapi istilah takwil sudah sejak masa Nabi dikenal. Hanya
saja, penggunaan takwil terhadap al-Qur‟an secara berlebihan akhirnya
membuatnya kurang berkenan di hati sebagian ulama. Sehingga sebagian ulama
enggan menggunakan takwil dalam memahami al-Qur‟an, tapi sebagian yang lain
justru tidak bisa mengelak untuk menggunakannya. Dalam penelitian ini penulis
memilih dua kitab tafsir sebagai objek penelitian, yaitu; Tafsir Jāmiʻ al-Bayān ʻan
Ta’wīli āy al-Qur’an dan Tafsir Maḥāsin al-Ta’wīl, tentu saja penetapan dua kitab
tafsir ini tanpa alasan. Ada beberpa alasan kenapa penulis memilih dua kitab ini.
Diantaranya adalah karena dua kitab tafsir ini selalu menggunakan kata ta’wīl
pada setiap menjelaskan ayat, bahkan penamaan dua kitab tafsir ini menggunakan
kata ta’wīl.
Dalam penelitian ini, penulis memilih enam ayat al-Qur‟an untuk
dianalisis, dengan mengambil sebagian ayat-ayat muḥkam dan ayat-ayat
mutasyābih. Sebab penelitian ini bertujuan untuk membuktikan penggunaan
takwil dalam dua tafsir ini dalam menguraikan makna ayat-ayat al-Qur‟an, serta
penggunaan kata ta’wīl yang terdapat di dalamnya tidak selamanya dapat
dipahami bahwa ayat yang dijelaskan itu selamanya menggunakan penguraian
takwil, tapi juga menggunakan tafsir, yaitu dengan menguraikan/menjelaskan
makna-makna sesuai teks dan riwayat-riwayat.
Objek yang dikaji hanya difokuskan pada enam ayat. Yaitu dengan cara
memahami terlebih dahulu pemaparan al-Ṭabarī dan al-Qāsimī atas enam ayat
yang telah ditetapkan, setelah itu baru menganalisis paparannya dengan melihat
definisi tafsir dan takwil, apakah paparan yang mereka lakukan sesuai dengan
tafsir atau takwil. Maka dari apa yang telah penulis analisis dapat disimpulkan
bahwa penggunaan kata ta’wīl dalam dua tafsir ini tidak selamanya bermakna
takwil, dalam arti memalingkan suatu lafaẓ dari satu makna pada makna yang
lain, tetapi kata ta’wīl juga dapat bermakna tafsir, yaitu menguraikan makna ayat-
ayat al-Qur‟an sesuai makna ẓahir serta merujuk pada riwayat-riwayat.
VIII
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan alḥamdulillāhi rabbi al-‘ālamīn sebagai bentuk rasa
syukur penulis kehadirat Allah swt, atas karunia Rahamat, Hidayah serta
Maunahnya, sehingga dalam waktu yang relatif singkat penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan penuh kesabaran, ketabahan dan ke
ikhlasan. Dalam proses penulisan skripsi ini tentu banyak hal yang menyebabkan
kegalauan dan kegundahan yang dialami oleh penulis. Hal ini karenakan banyak
fakotr, antara lain: Desakan dari keluarga agar mempercepat menyelesaikan
segala tugas yang menjadi syarat wisuda, penulis paham betul dengan maksud
mereka. Melihat sebagian teman-teman yang sudah selesai lebih awal juga
menjadi salah satu sebab kegelisahan penulis, sehingga penulis harus segera
menyelsaikan penulisan skripsi ini. Adik-adik junior yang hampir setiap ketemu
menanyakan “kapan wisuda bang”? ini juga menjadi alasan bagi penulis untuk
tetap semangat.
Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada reformis dunia yang telah
melakukan banyak perubahan selama ia di utus sebagai seorang Rasul di muka
bumi ini. Dari yang negatif ke yang positif, dari kegelapan pada cahaya, dari yang
tidak manusiawi pada yang manusiawi. Seorang Nabi yang menjadi suri tauladan
bagi umat manusia, sabdanya menjadi hukum dan akan terus dikaji sampai akhir
zaman nanti. Beliau adalah Nabi Muhammad SAW.
Berbagai hambatan selalu datang menghampiri penulis, dari awal hingga
akhir penulisan skripsi ini, baik internal maupun eksternal. Berbagai macam
kesulitan juga dapat penulis rasakan, hal ini mungkin dikarenakan minimnya
IX
pengetahuan penulis tentang apa yang dibahas dalam skripsi ini. Namun penulis
akhirnya optimis setelah mendengar kalam hikmah dari salah seorang dosen Tasir
Hadits di Fakultas Usuluddin UIN Jakarta yang sekaligus menjadi dosen
pembimbing penulis dalam penulisan skripsi ini, dia adalah bapak Eva Nugraha,
MA. Beliau pernah berkata pada saya “Kalau kamu mentok dalam menulis, kamu
berdo‟a kepada Allah. Saya yakin Allah akan memberikan pentunjuk, karena
kamu sedang menulis firman/ilmu yang berkaitan dengan firman-Nya”.
Penulis menyadari bahwa selesainya penulisan skripsi ini tidak terlepas
dari dukungan dan bantuan banyak pihak. Oleh karenanya, dengan segala
ketulusan, kerendahan hati dan keikhlasan penulis menghaturkan banyak
terimakasih yang tak terhingga kepada:
Prof. Dr. Masri Mansoer, MA. Selaku dekan Fakultas Usuluddin dan
Filsafat, juga sebagai deosen Metode Penelitian pada semester VII.
Dr. Lilik Ummi Kaltsum, MA. Sebagai Ketua Jurusan Tafsir Hadits,
sekaligus dosen pada mata kuliah Tahfiẓ al-Qur‟an pada semester IV
dan Praktikum Penulisan Karya Ilmiyah pada semester VII.
Dra. Banun Binaningrum, M.Pd. Sebagai sekretaris jurusan tafsir hadits
yang selalu melayani mahasiswa termasuk penulis dalam urusan surat
menyurat. Juga sebagai dosen pengampuh mata kuliah Bahasa Inggris
pada semester I.
Eva Nugraha, MA. Sebagai dosen pembimbing sekaligus sebagai dosen
penganpu mata kuliah Tafsir Ijtima’i pada semester VI yang selalu
meluangkan waktu dan tempatnya untuk penulis, bahkan tidak cuma
itu. Penulis memulai penulisan skripsi ini hingga selesai di rumah
beliau. Terimakasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada
beliau serta keluarga, karena telah menerima penulis untuk tinggal di
rumahnya selama penulisan skripsi ini dengan segala fasilitasnya.
Jazahumullah khairan katsira.
X
Dr. Ahzami Samiun Jazuli, MA. dan Drs. A. Rifqi Muchtar, MA.
sebagai penguji skripsi pada sidang Munaqasah yang diselenggarakan
pada hari senin, 16 November 2015 bertempat di ruang Munaqasah
lantai 7 Fakultas Ushuluddin.
Seluruh dosen di Fakultas Ushuluddin khususnya di jurusan Tafsir
Hadits yang pernah mendidik penulis selama masa studi.
Bapak (Almarhum) dan Ibu yang selalu mendo‟akan dengan segala
ketulusan hatinya, menasehati, memperhatikan kesehatan dan selalu
mengingatkan penulis pada shalat sebagai salah satu ajaran Islam. Juga
kepada semua kakak penulis (Moh: Musleh & Su‟adah, Hosni & Darti,
Sani & Su‟adah, Samrawi & Maisurah, Moh: Halim & Mariana,
Mahrawi & Masuni, dan Moh: Hosan & Wiwin Wulandari),
terimakasih atas segala perhatian dan pengertiannya serta dukungannya
baik berupa materil maupun moril. Kalian luar biasa. I Love You.
Sahabat-sahabat Tafsir Hadist seperjuangan yang tidak bisa penulis
sebutkan satu persatu, terutama teman-teman TH kelas D. Kalian adalah
lawan dalam diskusi dan teman dalam berpikir. Kita telah berjuang
bersama, semoga kita masih bisa melanjutkan pendidikan ke jenjang
yang lebih tinggi, dan suatu saat kita akan bertemu di forum resmi,
yaitu silaturrahmi alumni Tafsir Hadits Fakultas Usuluddin UIN
Jakarta, sebagaimana yang telah terlaksana beberapa bulan yang lalu,
yang dihadiri oleh tokoh-tokoh besar. Seperti Prof. Dr. Din
Syamsuddin, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA. dan lain sebagainya.
Amin..
Teman-teman IMABA (Ikatan Mahasiswa Bata-Bata) Jakarta yang
telah menemani selama masa study. Berjuang bersama, lapar bersama,
dan mengabdi bersama. aku akan merindukan canda tawa kalian, juga
kacoan kalian yang kadang-kadang meningkatkan semangat belajar
penulis. Suasana masak bersama hingga makan bareng akan menjadi
kenangan indah diantara kita, dan akan menjadi cerita yang menarik
pada anak cucu kita nanti. Baihakim yang selalu memberi semangat
agar saya segera menyelesaikan skripsi, Ubed yang setiap kali bertemu
XI
selalu bertanya “kapan wisuda, bang”?, sebenarnya saya bosan dengan
pertanyaan itu. Hasin, Jakfar Sadik, Sem Ali, dan Sufyan yang selalu
menemani saya main kartu taktkala saya malas mengerjakan skripsi.
bang Salim, bang Izat, bnag Habib, bang Afif, dan bang Muttaqin,
selaku senior saya di IMABA Jakarta, terimakasih buat kalian semua.
Kepada mereka semua penulis tidak bisa membalas apa-apa kecuali
ungkapan terimakasih yang sedalam-dalamnya serta do‟a yang tulus kepada Allah
swt, agar semua kebaikannya dibalas dengan pahala yang setimpal, jazākumullāh
khairan katsīra, serta diberkati kehidupan yang penuh bahagia, baik di dunia
maupun di akhirat kelak. Semoga apa yang telah penulis lakukan, berupa
penelitian ini bermanfaat bagi diri sendiri serta masyarat umum. Amin.
Ciputat, 14 Oktober 2015
1 Muharram 1437
Khairul Anam
NIM: 1111034000119
XII
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................ i
HALAMAN PERNYATAAN .............................................................. ii
HALAMAN MOTTO ........................................................................... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ....................................................... .... iv
HALAMAN TRANSLITERASI ARAB-INDONESIA ....................... v
ABSTRAK ............................................................................................ viii
KATA PENGANTAR ........................................................................... xi
DAFTAR ISI .......................................................................................... xiii
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ................................................................... 9
C. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................. 11
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................. 11
E. Kajian Pustaka ........................................................................... 12
F. Metode Penelitian ..................................................................... 17
G. Sistematika Penulisan Skripsi ................................................... 18
BAB II. TINJAUAN TEORITIS TENTANG TAFSIR DAN TAKWIL
A. Pengertian Tafsir dan Takwil ...................................................... 23
1. Pengertian Tafsir .................................................................. 23
2. Pengertian Takwil ................................................................ 24
3. Perbedaan Tafsir dengan Takwil .......................................... 26
B. Perbedaan Muḥkam dan Mutasyābih ......................................... 30
C. Klasifikasi Ayat-Ayat Muḥkam dan Mutasyābih .................. ...... 33
1. Seluruh Ayat al-Qur‟an Muḥkam .......................................... 34
2. Seluruh ayat al-Qur‟an Mutasyābih ...................................... 34
XIII
3. Sebagian Muḥkam dan sebagian Mutasyābih ....................... 35
D. Kontroversi Mufassir tentang Muḥkam dan Mutasyābih ........... 35
E. Syarat-Syarat Penafsiran dan Pentakwilan ................................. 38
1. Syarat-syarat Penafsiran ....................................................... 39
2. Syarat-syarat Pentakwilan .................................................... 40
BAB III. BIOGRAFI SINGKAT TENTANG AL-ṬABARĪ DAN AL-
QĀSIMĪ
A. Muhammad Ibn Jarīr al-Ṭabarī ................................................... 42
1. Riwayat Hidup al-Ṭabarī ...................................................... 42
2. Karya-Karya Intelektual al-Ṭabarī ........................................ 45
3. Jāmiʻ al-Bayān dan Sistematika Penulisannya ..................... 46
B. Jamāluddīn al-Qāsimī ................................................................. 49
1. Riwayat Hidup al-Qāsimī ..................................................... 49
2. Karya-Karya Intelektual al-Qāsimi ...................................... 52
3. Maḥāsin al-Ta’wīl da Metode Penulisannya ........................ 52
BAB IV. PERBANDINGAN TAKWIL AL-ṬABARĪ DENGAN AL-QĀSIMĪ
A. Penerapan Ta’wīl Sebagai Tafsir ................................................ 57
1. Tiga Contoh Ayat Sampel ............................................... ...... 58
2. Pemilihan Lafaẓ-lafaẓ yang akan Dikomparasikan ................ 59
3. Perbandingan Uraian al-Ṭabarī dengan al-Qāsimī atas Lafaẓ-lafaẓ
Terpilih .................................................................................. 60
B. Penerapan Ta’wīl Sebagai Takwil ............................................... 68
1. Tiga Contoh Ayat Sampel ............................................... .... 69
XIV
2. Pemilihan Lafaẓ-lafaẓ yang akan Dikomparasikan ............. 70
3. Perbandingan Uraian al-Ṭabarī dengan al-Qāsimī .......... .... 70
BAB V. PENUTUP
A. Kesimpulan ............................................................................... 81
B. Saran-Saran ............................................................................... 82
Daftar Pustaka
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perselisihan di kalangan ulama tafsir terkait dengan masalah takwil1
bersumber dari adanya ayat suci al-Qur`an yang bermakna jelas atau pasti
(muḥkamāt) dan yang bermakna samar atau tidak pasti (mutasyābihāt).2 Kedua
jenis ayat itu disebutkan dalam al-Qur`an QS. Āli „Imrān [3]; 7:
ىو الذي أنزل عليك الكتاب منو آيات محكمات ىن أمح الكتاب وأخر ا الذين في ق لوبم زيغ ف يتبعون ما تشاب نة وابتغاء متشابات فأم و منو ابتغاء الفت
ن عند تأويلو وما ي علم تأويلو إلا اللو والراسخون في العلم ي قولون آمنا بو كل مر إلا أولوا الألباب رب نا وما يذك
“Dia-lah yang menurunkan al-Kitāb (al-Qur‟ān) kepada kamu.
diantara (isi) nya ada ayat-ayat yang muḥkamāt, Itulah pokok-pokok isi al-
Qur`an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyābihāt. Adapun orang-orang yang
dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka mengikuti
sebahagian ayat-ayat yang mutasyābihāt daripadanya untuk menimbulkan
fitnah untuk mencari-cari takwilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui
takwilnya melainkan Allah. dan orang-orang yang mendalam ilmunya
berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyābihāt, semuanya
itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”. (QS. Āli „Imrān [3]:
7).
Pada ayat di atas terdapat dua klasifikasi ayat al-Qur`an, yakni ayat-ayat
muḥkamāt dan ayat-ayat mutasyābihāt. Ayat muḥkamāt dipahami oleh sebagian
1 Penulisan kata takwil (dengan menggunakan k) merujuk pada Kamus Besar Bahasa
Inidonesia, hal. 735. 2 Suʻūd bin „Abdillāh al-Fanyasān, Ikhtilāf al-Mufassirīn; Asbābuhū wa Atsāruhū (Dār
Isybīliyān: Markāz al-Dirāsyāt wa al-iʻlām, 1997 M), Cet. I, hal. 157.
2
ulama sebagai ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan
mudah,3 seperti perintah untuk berpuasa pada bulan Ramaḍan, melaksanakan ṣalat
lima waktu, kewajiban ibadah haji bagi yang mampu, dan lain sebagainya.
Sementara ayat mutasyābihāt dipahami sebagai ayat-ayat yang mengandung
beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali
setelah dikaji secara mendalam, atau ayat-ayat yang pengertiannya hanya Allah
swt, yang mengetahui, seperti ayat-ayat yang berkaitan dengan perkara ghaib.4
Dalam al-Qur`an, Allah swt, tidak menentukan mana ayat-ayat yang
tergolong mutasyābihāt dan mana pula yang tergolong muḥkamāt. Hal itulah yang
menyebabkan para ulama berbeda pendapat mengenai ruang lingkup batasan ayat-
ayat mutasyābihāt. Oleh karenanya, tidak jarang ditemukan ayat yang oleh
sebagian ulama dianggap muḥkamāt, akan tetapi oleh sebagian yang lain justru
dianggap mutasyābihāt.5
Dilihat dari sisi muḥkam dan mutasyābih-nya, al-Zarkasyī dalam kitabnya
al-Burhān fī „Ulūm al-Qur‟ān dengan mengutip pendapat al-Husīn bin
Muḥammad bin Ḥabīb al-Nīsābūrī, membagi ayat al-Qur`an pada tiga bagian.6
Pertama, seluruh ayat al-Qur`an adalah muḥkamāt (bermakna jelas dan pasti).
Kedua, ayat al-Qur`an seluruhnya mutasyābihāt (mengandung kemungkinan
makna lebih dari satu). Ketiga, sebagian dari ayat-ayat al-Qur`an ada yang
muḥkamāt dan sebagian yang lain adalah mutasyābihāt. Pendapat yang ketiga ini
3 Nuruddin „Atir, „Ulūm al-Qur‟ān al-Karīm (Maṭbaʻah al-Ṣabāh 1416 H/ 1997 M), Cet.
VII, hal. 122. 4 Mannā‟ al-Qaṭṭān, Pengantar Studi al-Qur`an, trj; Mifdhol Abdurrahman (Pustaka al-
Kautsar, 2012), Cet. VII, hal. 266. 5 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Miṣbah; Pesan, kesan, dan Keserasian al-Qur`an, Vol. 2
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 19. 6 Badru al-Dīn Muḥammad bin ʻAbdillāh al-Zarkasyī, al-Burhān fī „Ulūm al-Qur‟ān
(Maktab Dār al-Turāts), hal. 68.
3
adalah pendapat yang ṣaḥīh. Hal ini disinyalir dalam firman Allah swt, QS. Āli
„Imrān [3]: 7.
Ulama berbeda pendapat dalam memahami ayat-ayat muḥkamāt dan ayat-
ayat mutasyābihāt.7 Jābir bin „Abdullāh berpendapat bahwa ayat-ayat muḥkamāt
adalah ayat-ayat yang sudah diketahui takwilnya, dan dapat dipahami makna dan
tafsirnya. Sementara ayat-ayat mutasyābihāt adalah ayat-ayat yang tidak dapat
diketahui maknanya secara pasti. Penafsiran dan pentakwilannya hanyalah hak
prerogatif Allah swt. Abū ʻUstmān berpendapat bahwa ayat-ayat muḥkamāt
terdapat pada surah al-Fātiḥah, karena ṣalat tidak sah tanpanya. Sedangkan
Muḥammad bin Faḍl berpendapat bahwa yang dimaksud dengan ayat-ayat
mutasyābihāt adalah surah al-Ikhlāṣ, karena ayat ini hanya menjelaskan
ketauhidan saja.8
Perbedaan pendapat terhadap pemaknaan ayat muḥkamāt dan
mutasyābihāt berimplikasi pada perbedaan metode yang digunakan untuk
memahaminya. Dalam memahami ayat-ayat muḥkamāt yang sudah jelas dan pasti
maknanya cukup menggunakan tafsir, sebagai sebuah metode untuk mengurai
makna dan memahami maksud dari ayat-ayat tertentu. Sementara dalam
memahami ayat-ayat mutasyābihāt yang mengandung banyak kemungkinan
makna tidak cukup dengan tafsir, tapi harus dengan menggunakan takwil.
Pada masa belakangan ini, tafsir mengalami perkembangan yang pesat.
Tafsir tidak lagi dipahami hanya sebatas pada penjelasan-penjelasan yang dinukil
dari riwayat (tafsir kontemporer tidak didominasi oleh riwayat), tetapi ia juga
7 Akan dijelaskan lebih rinci pada bab berikutnya. Yaitu pada bab II setelah pembahasan
tentang definisi tafsir dan takwil serta perbedaannya. 8 Al-Qurṭubī, Tafsir al-Qurṭubī, Jilid. IV, hal. 25-26.
4
bersumber dari penalaran, hingga selain dikenal dengan tafsir bi al-ma‟tsūr juga
dikenal dengan tafsir bi al-ra‟yī.9
Munculnya tafsir yang didasarkan pada nalar manusia ini tidak terlepas
dari beberapa hal yang dapat mempengaruhi. Misalnya, pengaruh filsafat, realitas
obyektif ayat-ayat al-Qur`an yang pada umumnya memuat prinsip-prinsip global
serta keberadaan kata-kata bermakna ambigu,10
dan kebolehan menggunakan rasio
sebagaimana yang disebutkan dalam sumber-sumber normatif.
Upaya untuk memahami ayat-ayat al-Qur`an selain dengan tafsir juga
dapat dilakukan dengan cara takwil, yaitu pemahaman atas fakta-fakta tekstual
dari sumber-sumber suci (al-Qur`an dan al-Sunnah) sedemikian rupa sehingga
yang diperlihatkan bukanlah makna lahiriyah kata-kata pada teks suci itu, tapi
pada makna dalam (bāṭin) yang dikandungnya.11
Takwil sebenarnya sudah dikenal sejak masa sahabat Nabi Saw, karena
memang sejak dahulu kala istilah takwil sudah dikenal dalam bahasa Arab dan
digunakannya, tapi penerapannya terhadap ayat-ayat al-Qur`an secara berlebihan
menjadikan takwil kurang berkenan di hati dan pikiran sebagian ulama, terlebih
mereka yang hidup sebelum abad ke-3 H, atau kelompok yang berusaha
melakukan pemurnian agama dari segala yang baru.12
Kelompok ini dalam
memahami ayat-ayat mutasyābihāt, cenderung menyerahkan sepenuhnya kepada
9 Tafsir bi al-ma‟tsūr adalah menafsirkan al-Qur`an dengan al-Qur`an, hadits Nabi, dan
qaul sahabat, karena sahabat adalah orang yang hidup semasa dengan Nabi, mereka menyaksikan
turunnya wahyu dan mengetahui sebab-sebab turunnya ayat. Sementara tafsir bi al-ra‟yī adalah
tafsir yang bersumber dari nalar manusia dengan cara berijtihad dan dibangun atas dasar-dasar
yang benar (ṣahih) dan kaidah-kaidah yang benar. Lihat; Muhammad ʻAlī al-Ṣābūni, at-Tibyān fī
„Ulūm al-Qur‟ān (Beirut; Maktab al-Ghazali, 1981), Cet. II, hal. 63 dan 153. 10
Kata-kata ambigu yang bermakna ambigu diakui oleh para pakar ulama al-Qur`an
sendiri. Hal ini dapat ditandai dengan pengakuan keberadaan Lafaẓ mutarādif, yakni Lafaẓ-Lafaẓ
yang mempunyai beberapa kemungkinan arti. 11
Nur Kholis Madjid, Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta:
Paramadina, 1995), hal. 11. 12
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), Cet. II, hal. 221.
5
Allah Swt, sambil berucap “Allāhu aʻlam bi murādihī” (Allah Maha Mengetahui
maksudnya), sebagaimana jawaban Imam Malik (93-179 H/710-796 M) ketika
ditanya tentang makna firman Allah swt, dalam QS. Ṭāha [20]: 5;
الرحن على العرش است وىBeliau menjawab bahwa pengertian kebahasaan kata demi kata penggalan
ayat itu cukup jelas, lalu beliau terdiam tidak menjelaskan apa maksudnya,
bahkan beliau berkata: “mempertanyakan hal ini adalah bidʻah”.13
Namun sikap
seperti ini menimbulkan ketidakpuasan di kalangan tertentu.
Bagi penulis, ketidakpuasan di kalangan sebagian ulama ini sangatlah
beralasan. Al-Qur`an diturunkan kepada manusia sebagai pedoman hidup
manusia, sementara sikap yang ditunjukkan oleh kelompok salaf di atas, tidak
sepenuhnya mendudukkan al-Qur`an pada fungsi hudan-nya secara proporsional.
Masalahnya banyak ayat-ayat yang dikategorikan mutasyābihāt berkenaan dengan
pengenalan Dzat Allah swt, dan sifat-sifat-Nya, tentang hal ghaib seperti malaikat
dan jin, yang nota bene merupakan bagian terpenting dari ajaran Islam. Boleh
jadi, ini yang menyebabkan ketidakpuasan sebagian ulama terhadap apa yang
telah dilakukan ulama salaf terhadap pemaknaan ayat-ayat mutasyābihāt,
sehingga dari hari ke hari pembahasan tentang metafora dalam teks-teks
keagamaan tumbuh dengan pesatnya.
Berbeda dengan masa awal, seiring dengan semakin menguatnya peran
rasio dalam menyingkap makna-makna kandungan al-Qur`an, takwil semakin
banyak dilakukan. Penggunaan takwil antara lain terlihat pada penjelasan ayat-
ayat al-Qur`an yang dilakukan oleh para theolog, khususnya kaum Muʻtazilah
13
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hal. 222.
6
yang diidentifikasi sebagai kaum rasional. Meski demikian, takwil tetap saja
menjadi ajang kontroversi. Ignaz Goldziher, mensinyalir bahwa pertentangan
mengenai takwil ini demikian tajam sehingga memicu pertikaian hebat di
Baghdad pada tahun ke-3 H. Terlepas dari pertikaian, para kaum rasionalis yang
antara lain mengambil bentuk takwil, tidak boleh dinafikan. Apalagi dinamika
kehidupan yang tidak dapat dihentikan, melahirkan sejumlah problematika yang
tidak lagi terjelaskan melalui sabda Rasulullah dan aqwāl para sahabat.14
Atas dasar inilah, peran rasio semakin menguat, termasuk pelibatan
takwil dalam memahami ayat-ayat mutasyābihāt selain harus dipandang sebagai
sebagian dari kecenderungan positif, juga harus diterima sebagai bagian dari
kebutuhan. Lebih lagi, kaitannya dengan ayat-ayat tentang Dzat dan sifat Allah
swt.15
Hanya saja, pelibatan rasio demikian juga penggunaan takwil tidak
dengan cara liar, serampangan, dan sekehendak hati. Ia harus dibatasi oleh syarat-
syarat khusus yang terkait dengan materi ayat yang dapat ditafsirkan secara
rasio, prosedur penarikan makna serta kriteria pihak yang dibenarkan
menfasirkan al-Qur`an secara rasio.16
Takwil mengalami perkembangan dalam penggunaannya, ulama-ulama
setelah abad ke-3 H, tidak dapat mengelak dari penggunaan kata takwil. Tetapi
walaupun demikian kenyataannya, terdapat dua kubu ekstrem dalam pengggunaan
takwil.17
Pertama, sangat ketat. Kedua, sangat longgar. Yang pertama hampir
14
Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Jilid. II (Bandung : Mizan, 1995), hal. 91. 15
Dedi Junaedi, Konsep Takwil dan Penerapannya dalam Tafsir al-Miṣbah Karya M.
Quraish Shihab: Tesis, hal. 10-11. 16
Syāṭibi, al-Muwāfaqāt, Jilid. II (Beirut : Dār al-Maʻrifat. t.th), hal. 100. 17
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hal. 224.
7
tidak mengggunakannya, walaupun mengakui adanya. Mereka enggan karena
beranggapan bahwa para pendahulu telah berhasil menjelaskan seluruh makna al-
Qur`an dan tidak lagi ada tempat untuk mengembangkannya.
Sedangkan kubu yang kedua menganggap bahwa ayat-ayat al-Qur`an
seluruhnya terbuka untuk ditakwil. Dalam pandangan mereka, setiap orang
berwenang melakukannya walaupun tidak sejalan dengan prinsip-prinsip dasar
kandungan al-Qur`an atau prinsip-prinsip dasar pentakwilan.
Berangkat dari kontroversi takwil sebagai metode memahami al-Qur`an
dan penerimaan masyarakat pada umumnya terhadap tafsir Jāmiʻ al-Bayān „an
Ta‟wīli āy al-Qur‟ān karya al-Ṭabarī (839-923 M) dan tafsir Maḥāsin al-Ta‟wīl
karya Jamāluddīn al-Qāsimī (1866-1914 M). Kedua tafsir ini menarik untuk
dibahas sebagai sebuah penelusuran dari kajian takwil, karena beberapa alasan.
Pertama, dari segi penamaan terhadap kitab tafsirnya. Al-Ṭabarī menamakan
tafsirnya dengan Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-Qur‟ān, sementara al-Qāsimī
menamakan tafsirnya dengan Maḥāsin al-Ta‟wīl. Kedua, pola penafsiran yang
dilakukan oleh kedua mufassir. al-Ṭabarī setiap menafsirkan ayat al-Qur`an
mengatakan” “al-Qaulu fī ta‟wīli qaulihī Taʻālā, dan al-Qāsimī mengatakan hal
yang sama setiap menafsirkan ayat al-Qur`an yaitu, “al-Qaulu fī ta‟wīli qaulihī
Ta‟ālā. Padahal kedua mufassir ini berbeda zaman. al-Ṭabarī tergolong mufassir
klasik sementara al-Qāsimī termasuk mufassir modern.
Secara garis besar, sebagian ahli tafsir membagi periodisasi penafsiran
al-Qur`an ke dalam tiga fase. Yaitu: periode mutaqaddimin
(klasik) dari abad 1 hingga abad ke-4 Hijriah, periode mutaakhkhirin
(kontemporer) dari abad ke-4 hingga abad ke-12 Hijriah, dan periode modern dari
8
abad 12 hingga sekarang. Dari penjelasan di atas muncul sebuah pertanyaan,
apakah yang dimaksud kata ta‟wīl dalam dua kitab tafsir ini adalah semuanya
bermakna takwil (dalam arti terminologi) atau bahkan mermakna tafsir (yaitu
menguraikan makna lafẓiyah saja)?
Dalam buku-buku Ulum al-Qur`an, seperti; Kaidah Tafsir karya M.
Quraish Shihab (1944), „Ulūm al-Qur‟ān karya Nuruddin „Atir, „Ulūm al-Qur‟ān
min Khilāli Muqaddimāt al-Tafāsir karya Syaikh Ibrāhīm Haqqī, Fī „Ulūm al-
Qur‟ān „Arḍun wa Naqdun wa Tahqīqun karya Aḥmad Ḥasan Farḥāt dan buku-
buku „Ulum al-Qur`an yang lainnya. Tafsir dibedakan dengan takwil, walaupun
ada juga yang menyamakan diantara keduanya.18
Tafsir berkaitan denga riwāyah,
sementara tawil berkaitan dengan dirāyah.19
Yaitu pengetahuan, nalar dan
analisis. Takwil adalah melahirkan makna ayat dari makna yang zhāhir ke makna
lain yang dimungkinkan, selama makna yang dipilih sejalan dengan al-Qur`an dan
Sunnah.
Sementara dalam dua tafsir ini (Jāmiʻ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-Qur‟ān
dan Maḥāsin al-Ta‟wīl) al-Ṭabarī dan al-Qāsimī selalu mengatakan al-qaulu fī
ta‟wīli qaulihī Taʻālā setiap menjelaskan ayat-ayat al-Qur`an dalam kitab
tafsirnya, hal ini menjadikan motivasi bagi penulis untuk mengkaji lebih dalam
tentang konsep takwil kedua mufassir ini sekaligus penerapannya. Apakah semua
kata ta‟wīl yang dimaksud dalam tafsirnya ini adalah takwil dalam arti
terminologi, sebagaimana yang dipahami oleh ulama-ulama „Ulūm al-Qur‟ān atau
kata ta‟wīl yang dimaksud adalah takwil dalam arti etimologi? Kesimpulan
18
Aḥmad Ḥasan Farḥāt, Fī „Ulūm al-Qur‟ān (Dār „Imār, 2001), Cet. I, hal. 210. 19
Khālid Fāiq al-„Ubaidi, al-Qur‟ān Manḥalu al-„Ulūm (Beirut, Dār al-Kutub al-
„Alamiyah 2007), Cet. I, hal. 322.
9
sementara penulis adalah semua takwil pasti tafsir dan tidak semua tafsir adalah
takwil.
Atas dasar penjelasan di atas, penulis berkeyakinan bahwa persoalan
tafsir-takwil dalam pandangan al-Ṭabarī dan al-Qāsimī layak untuk disajikan,
karena penelitian tentang pemikiran kedua mufassir ini (khususnya tentang
takwil) belum ada yang melakukannya secara komparatif. dan penelitian ini akan
penulis tuangkan dalam bentuk skripsi dengan judul; TAFSIR DAN TAKWIL
ATAS AYAT-AYAT MUTASYĀBIHĀT DALAM PANDANGAN
MUFASSIR KLASIK DAN MODERN (Studi atas Tafsir Jāmiʻ al-Bayān „an
Ta‟wīli āy al-Qur‟ān dan Tafsir Maḥāsin al-Ta‟wīl).
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan judul dan latar belakang masalah yang telah penulis paparkan
di atas, dapat diidentifikasikan beberapa masalah sebagai berikut:
a. Tafsir dan takwil. Dalam buku-buku „Ulūm al-Qur‟ān. tafsir berkaitan
dengan Lafaẓ/kosa kata, sedangkan takwil berkaitan dengan susunan
kata/kalimat. Dalam tafsir Jāmiʻ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-Qur‟ān dan
Maḥāsin al-Ta‟wīl, al-Ṭabarī dan al-Qāsimī setiap kali menafsirkan ayat
al-Qur`an selalu menggunakan kata ta‟wīl. Apakah kata ta‟wīl yang
dimaksud dalam dua tafsir itu adalah takwil sebagaimana didefinisikan
oleh kebanyakan ulama, yaitu berkaitan dengan dirāyah dan digunakan
untuk menjelaskan ayat-ayat yang mengandung kemungkinan banyak
makna (ayat-ayat mutasyābihāt)? Apa yang maksud dari kata ta‟wīl oleh
al-Ṭabarī dan al-Qāsimī dalam tafsirnya?
10
b. Muḥkamāt dan mutasyābihāt. Dalam al-Qur`an terdapat dua ketegori ayat,
yaitu muḥkamāt dan mutasyābihāt, tapi al-Qur`an tidak menjelaskan
batasan-batasan kedua kategori ayat tersebut, ayat yang masa saja yang
termasuk ayat muḥkamāt dan ayat mana saja yang termasuk mutasyābihāt.
Ini sama sekali tidak dijelaskan dalam al-Qur`an. mufassir berbeda
pendapat dalam memahami muḥkamāt dan mutasyābihāt sebagaimana
telah penulis singgung pada latar belakang di atas. Secara garis besar ayat-
ayat muḥkamāt berkaitan dengan perintah dan kewajiban sedangkan ayat-
ayat mutasyābihāt berkaitan dengan sifat-sifat Allah swt, dan alam ghaib.
Bagaimana al-Ṭabarī dan al-Qāsimī memahami ayat-ayat muḥkamāt dan
mutasyābihāt? Apa kategori ayat-ayat muḥkamāt dan ayat-ayat
mutasyābihāt?
c. Al-Ṭabarī dan al-Qāsimī. Kedua mufassir ini mempunyai beberapa
kesamaan dalam karya tafsirnya padahal keduanya hidup di zaman yang
berbeda. Al-Ṭabarī hidup pada tahun 223-311 H atau 839-923 M.20
Sementara al-Qāsimī hidup pada tahun 1283-1331 H/1866-1914 M.21
Pada umumnya ulama abad ke-3 Hijriyah menolak penggunaan takwil
sebagai salah satu metode untuk memahami al-Qur`an. Dan sekalipun pada
masa itu istilah takwil sudah ada, tapi mereka enggan untuk
menggunakannya. Tapi ulama setelah abad ke-3 H tidak dapat mengelak
dari menggunakan takwil sebagai alat bantu untuk menjelaskan ayat-ayat
yang membutuhkan penjelasan lebih jelas dan luas. Apa yang melatar
20
Muhammed Arkoun, Rethingking Islam; Common Questions, Uncommon Answers,
terj. Yudian W. Asmin Laṭiful Khuluq (Yogyakarta: Pusaka Pelajar, 1996), hal. 65. 21
Saiful Anwar Ghofur, Profil Para Mufassir al-Qur`an (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008), hal. 158.
11
belakangi kedua mufassir ini sehingga menamakan kitab tafsirnya dengan
takwil? Apa yang dimaksud kata ta‟wīl dalam dua kitab tafsir ini (Jāmiʻ
al-Bayān „an ta‟wīli āy al-Qur‟ān dan Maḥāsin al-Ta‟wīl)? Apakah ada
kesamaan antara al-Ṭabarī dan al-Qāsimī dalam merumuskan kata
ta‟wīl, padahal keduanya berbeda zaman? Apakah ada keterpengaruhan al-
Qāsimī terhadap al-Ṭabarī dalam menamakan tafsirnya dan menggunakan
istilah al-qaulu fī ta‟wīli qaulihī Taʻālā dalam setiap menafsirkan ayat al-
Qur`an?
C. Batasan dan Rumusan Masalah
1. Batasan Masalah
Dari identifikasi masalah di atas, penulis hanya mengambil poin A dan B
yaitu, tafsir dan takwil dalam pandangan al-Ṭabarī dan al-Qāsimī serta pemaknaan
keduanya terhadap ayat-ayat muḥkamāt dan ayat-ayat mutasyābihāt dalam tafsir
Jāmiʻ al-Bayān „an ta‟wīli āy al-Qur‟ān dan tafsir Maḥāsin al-Ta‟wīl. Oleh
karena banyaknya ayat-ayat muḥkamāt dan mutasyābihāt dalam al-Qur`an, maka
penulis hanya membatasi pada ayat-ayat berikut: QS. al-Baqarah [2]: 21, QS. al-
Furqān [25]: 33, dan QS. al-Ḥujurāt [49]: 13 untuk membuktikan bahwa kata
ta‟wīl bermakna tafsir, dan QS. al-Baqarah [2]: 115, QS. Āli „Imrān [3]: 7, dan
QS. al-Fath [48]: 10, sebagai contoh penerapam kata ta‟wīl sebagai takwil.
Pemilihan enam ayat ini dilakukan secara acak, yaitu dengan memilih tiga ayat
tersebut setelah mengumpulkan ayat-ayat muḥkam dan ayat-ayat mutasyābih.
2. Rumusan Masalah
Dengan berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka
penulis dapat menetapkan satu poin yang akan menjadi inti dari pembahasa
12
skripsi ini. Yaitu: Bagaimana al-Ṭabarī dan al-Qāsimī memaknai kata ta‟wīl
sebagai tafsir dan kata ta‟wīl sebagai takwil pada ayat-ayat muḥkam dan
mutasyābihāt dalam tafsir Jāmiʻ al-Bayān ʻan Ta‟wīli āy al-Qur‟ān dan tafsir
Maḥāsin al-Ta‟wīl?
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah di atas maka jelaslah,
bahwa penelitian ini bertujuan untuk:
a. Mengetahui lebih dalam tentang konsep takwil menurut al-Ṭabarī dan al-
Qāsimī.
b. Mengetahui persamaan dan perbedaan antara takwil al-Ṭabarī dan al-
Qāsimī dalam menafsirkan al-Qur`an.
2. Manfaat Penelitian
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui makna lafaẓ ta‟wīl sebagai tafsir dan pengguaan kata
ta‟wīl sebagai takwil dalam dua tafsir tersebut, dalam tafsir Jāmiʻ al-
Bayān ʻan Ta‟wīli āy al-Qur‟ān dan Maḥāsin al-Ta‟wīl.
b. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan penggunaan kata ta‟wīl
dalam dua tafsir tersebut.
c. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi jawaban dari berbagai kegelisahan
akademisi dalam memahami takwil sebagai sebuah metode yang
mengundang kontroversi di kalangan ulama salaf bahkan sampai saat ini.
Penelitian ini juga menjadi kontribusi penulis yang bernilai ilmiah dalam
kajian „Ulūm al-Qur‟ān.
13
E. Kajian Pustaka
Untuk menghindari terjadinya pengulangan (plagiasi) dalam penelitian,
maka penulis melakukan kajian pustaka sebelumnya, dengan mencari karya-karya
ilmiah yang membahas judul skripsi ini. Dalam tinjauan ini, penulis tidak
menemukan satupun judul yang sama dengan judul skripsi ini. hanya menemukan
beberapa karya ilmiah yang berkaitan dengan judul penelitian ini. Dapat penulis
kategorikan menjadi tiga:
Pertama, adalah karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan takwil.
Antara lain sebagai berikut: (1) Ahmad Sudirman Abbas,22
dalam kesimpulannya
(sebagai jawaban dari masalah yang telah ditetapkan) Sudirman menjelaskan
tentang makna takwil, yaitu bahwa pemalingan suatu lafaẓ dari makna ẓahir
kemakna hakikat/baṭīn bukanlah sebuah peyelewengan. Indikasi Lafaẓ hakiki
bersifat independen dan tidak memerlukan indikator. Lafaẓ majaz dipersipsikan
sebagai Lafaẓ pinjaman yang ditempatkan pada konteks asalnya dan berfungsi
sebagai alternatif dalam menjelaskan makna yang terkandung pada suatu Lafaẓ
selain makna asalnya. Takwil dipersepsikan dengan pemalingan Lafaẓ dari makna
ẓahirnya kemakna lain yang masih merupakan cakupan makna ẓahir tersebut
dengan didukung dalil.
(2) Cholidi,23
disertasi ini secara spesifik menjelaskan tentang peranan
takwil dalam berijtihad dalam kaitannya dengan ilmu Uṣūl Fiqh. Takwil sebagai
sebuah metode dalam menetapkan sebuah hukum yang erat sekali kaitannya
22
Disertasi dengan judul: Hakikat, Majaz dan Takwil dalam Naṣ serta Implikasinya, 1422
H/2001 M. 23
Disertasi dengan judul: Takwil dan Penerapannya dalam Penetapan Hukum Islam
Menurut Abu Bakar al-Sarakhsi (Sebagaimana Terkandung dalam Bukunya Uṣūl al-Sarakhsi) dan
Relevansinya dengan Ijtihad Masa Kini, 1998.
14
dengan fiqh. (3) Ahmad Saiful Anam,24
dalam tesisnya, Anam menjelaskan
bahwa takwil adalah salah satu cara/metode dalam melakukan ijtihad dalam
penetapan hukum Islam. Sebab, takwil merupakan upaya dalam memahami
teks hukum dengan cara memalingkan makna lahiriah suatu Lafaẓ ke makna lain
yang bersangkutan dengan didukung oleh dalil. Pendekatan takwil dilakukan
dengan cara berbeda oleh sebagian ulama. Dalam istilah tesis ini, ada yang
menggunakan takwil dekat dan ada yang menggunakan takwil jauh. Perbedaan ini
kemudian melahirkan produk yang berbeda. Jadi hukum yang dihasilkan juga
berbeda. Perbedaan hukum itu juga terlihat pada ulama yang menggunakan
takwil dalam berijtihad dan ulama yang menolak menggunakannya.
(4) Dedi Junaedi, 25
Tesis ini fokus membahas pandangan Quraish Shihab
terkait persoalan takwil sebagai sebuah metode dalam memahami al-Qur`an.
Sebagai mufassir modern, Quraish Shihab menggunakan takwil dalam
menjelaskan berbagai ayat, sekiranya ayat tersebut tidak bisa dijelaskan dengan
tafsir. Misalnya, tentang ayat-ayat mutasyābihāt dalam al-Qur`an. (5) Mu‟min
Rauf,26
dalam tesisnya ini Rauf memfokuskan penbahasannya pada konsep takwil
Musṭafā al-Marāghī (salah seorang mufassir) terhadap ayat-ayat mutasyābihāt.
dengan menguraikan ayat-ayat mutasyābihāt dan menjelaskan cara pandang al-
Marāghī terhadap ayat-ayat mutasyābihāt. Seperti ayat-ayat yang berkenaan
dengan sifat Allah, alam ghaib, jin, dan malaikat. Bahwa yang terkait dengan
24
Tesis dengan judul: Metode Pendekatan Kebahasaan dalam Ber-Ijtihad” (Studi
Tentang Takwil dan Permasalahannya, 1995. 25
Tesis dengan judul: Konsep Takwil dan Penerapannya dalam Tafsir al-Miṣbāh karya
M. Quraish Shihab, 1434 H / 2013 M. 26
Tesis dengan judul: Pendekatan Takwil al-Marāghī terhadap ayat-ayat Mutasyābihāt,
2007 M.
15
ayat-ayat yang mengandung makna ambigu, harus ditakwil agar dapat dipahami
maknanya.
(6) Anton Jaya,27
Skripsi yang ditulis oleh anton ini membahas tentang
takwil dalam pandangan Ibnu Rusyd. Sehingga dalam uraiannya ia hanya
membahas pemikiran Ibnu Rusyd terkait takwil. Bahwa takwil adalah
mengeluarkan petunjuk teks dari makna yang riil kemakna yang metaforis,
membatalkan pengetahuan teks secara lahiriyah dan mengalihkan pemahaman
pada makna subtansi dari suatu teks tersebut. (7) Rifaʻi Zarkasyi,28
dalam skripsi
ini, Zarkasyi hanya menguraikan tentang makna ayat-ayat mutasyābihāt yang
terdapat dalam al-Qur`an terjemahan KEMENAG RI.
Kedua, karya atau penelitian yang berkaitan dengan al-Ṭabarī, antara lain:
(1) Dedi Permana Irawan,29
dalam skirpsi ini Dedi hanya membahas tentang
penafsiran al-Ṭabarī khusus terhadap surah al-Aḥzāb ayat 33. Yaitu tentang peran
seorang perempuan dalam rumah tangga. (2) Siti Mabruroh,30
pokok pembahasan
Skripsi ini adalah mengkaji pemikiran/penafsiran al-Ṭabarī terhadap ayat-ayat
yang berkaitan dengan kata hijrah dalam al-Qur`an. Al-Ṭabarī memberikan atensi
cukup besar dari aspek kebahasaan dalam menafsirkan kata hijrah. Menurutnya
hijrah mempunyai cakupan makna yang sangat luas, tidak hanya bermakna
meninggalkan kondisi tertentu karena Allah Swt. Tapi lebih dari itu. Jadi
pembahasan skripsi ini sama sekali tidak mengarah dengan tema yang penulis
27
Skripsi dengan judul: Metode Takwil Ibnu Rusyd; Telaah atas Kitab Faṣl al-Maqāl
fīmā baina al-Ḥikmah wa al-Syarīʻah min al-Ittiṣāl, 2015. 28 Skripsi dengan judul: Pemaknaan Ayat-ayat Mutasyābihāt (Analisis Terhadap
Terjemahan al-Qur`an DEPAG RI, 2008. 29
Skripsi dengan judul: Eksistensi Ahl al-Bait dalam Kitab Tafsir Jāmiʻ Bayān „an
Ta‟wīli āy al-Qur‟ān, karya Imam Ibn Jarīr al-Ṭabarī (Studi Kritis atas Surah al-Aḥzāb ayat 33),
2001. 30
Skripsi dengan judul: Hijrah Menurut al-Ṭabarī dalam Kitab Tafsir Jāmiʻ al-Bayān „an
Ta‟wīli āy al-Qur‟ān, 2003.
16
tetapkan, yakni, spesifikasi skripsi ini tidak sama dengan spesifikasi penelitian
yang penulis lakukan.
(3) Muzdalifah Muhammadun,31
(4) Wisnu Saputra,32
dalam skripsi ini
Wisnu menekankan pembahasannya pada makna kata al-Dīn al-Khāliṣ dalam
Tafsir Jāmiʻ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-Qur‟ān. Sama sekali tidak bersinggungan
dengan pemaknaan kata ta‟wīl yang digunakan al-Ṭabaī dalam setiap menjelaskan
suatu ayat al-Qur`an. (5) Hidayatullah,33
dalam skripsi ini, sebagaimana penulis
pahami bahwa Hidayat hanya menguraikan pendapat al-Ṭabarī tentang ayat-ayat
yang mengandung do‟a dalam al-Qur`an, dan sama sekali tidak menyingggung
tentang konsep takwil al-Ṭabarī.
Ketiga, karya atau penelitian yang berkaitan dengan Jamaluddin al-Qāsimī,
antara lain: (1) Nasrullah,34
dalam skripsi ini, Nasrullah membahas corak dan
metode al-Qāsimī dalam menafsirkan al-Qur‟ān. Sebagai sebuah kitab tafsir yang
besar, Tafsir al-Qāsimī dapat dikategorikan tafsir yang menggunakan metode
taḥlīlī. Hal ini dapat dilihat cara menafsirkan ayat. Ia menguraikan banyak hal.
mulai dari kosa kata, makna kalimat, Munāsabah ayat, Asbāb al-Nuzūl, riwayat-
riwayat yang berasal dari Nabi, Ṣahabat, Tabi‟in dan ulama-ulama lainnya.
sehingga tidak ada kesamaan pembahasan dengan fokus penelitian yang penulis
lakukan ini. (2) Aat Hidayat,35
dalam artikel ini, Aat membahas hal-hal yang
berkaitan dengan tafsir Maḥāsin at-Ta‟wīl mulai dari sejarah penulisan tafsir
31
Jurnal dengan judul: Jāmiʻ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-Qur‟ān: analisis alur
penafsiran Ibn Jarīr al-Ṭabarī, 2003. 32
Skripsi dengan judul: al-Dīn al-Khāliṣ dalam al-Qur`an; Telaah atas Kitab Tafsir Jāmiʻ
al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-Qur‟ān Karya al-Ṭabarī, 2014. 33
Skripsi dengan judul: Ayat-ayat Do‟a dalam al-Qur‟ān (Ṣīghah-Ṣīghah Do‟a dalam al-
Qur`an Perspektif al-Ṭabarī), 1430 H/2009 M. 34
Skripsi dengan judul: Metode dan Corak Penafsiran al-Qāsimī dalam Tafsir Maḥāsin
al-Ta‟wīl, 2013. 35
Artikel dengan judul: Kitab Maḥāsin al-Ta‟wīl Karya al-Qāsimī, 2014.
17
Maḥāsin at-Ta‟wīl, sumber penafsiran, corak dan karasteristik penafsiran,
sistematika penafsiran, dan metode penafsiran. Ia sama sekali tidak
bersinggungan dengan maksud penggunaan kata ta‟wīl dalam tafsir Maḥāsin al-
Ta‟wīl.
Dengan meninjau beberapa penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya
dan atau karya ilmiah sebagaimana disebutkan di atas yang terkait dengan judul
yang telah dipilih oleh penulis. Namun penulis tidak menemukan hasil
penelitian/skripsi/karya ilmiah dengan tema yang sama, dalam artian penelitian
yang penulis lakukan ini belum ada yang meneliti.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan penelitian
kepustakaan (Library research) dengan pendekatan content analisis, terhadap
pandangan al-Ṭabarī dan al-Qāsimī tentang kata tak‟wīl dalam tafsirnya. Dalam
operasinya penelitian ini lebih ditekankan pada penelaahan dan pengkajian
terhadap penafsiran al-Ṭabarī dan al-Qāsimī dalam karya tafsirnya, serta literatur-
literatur yang ada hubungannya dengan penelitian ini.
2. Sumber Data
Sesuai dengan objek penelitian ini, maka teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah penelaahan dan pengkajian terhadap bahan-bahan pustaka (book
survey). Untuk keperluan tersebut digunakan sumber data primer maupun
sekunder:
a. Sumber primer yaitu, buku-buku yang berhubungan langsung dengan
masalah yang diteliti yaitu: Tafsir Jāmiʻ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-
18
Qur‟ān karya al-Ṭabarī dan Maḥāsin al-Ta‟wīl karya Muhammad
Jamāluddīn al-Qāsimī.
b. Sumber sekunder yaitu, sumber yang berfungsi sebagai pembantu,
pelengkap dan penyeimbangan data dalam rangka pemecahan masalah.
Atau buku-buku yang berkaitan langsung atau tidak langsung terhadap
tema yang akan dikaji. Diantara sumber itu adalah Qaidah Tafsir Karya
Quraish Shihab, al-Burhān fī „Ulūm al-Qur‟ān Karya Badruddin
Muhammad al-Zarkasyī, Tafsīr al-Qur‟ān al-ʻAẓīm karya Ibn Katsīr, dan
lain sebagainya.
3. Metode Pengolahan Data
Penelitian ini berusaha mengkaji pemikiran tokoh terkait penafsiran atau
pemahamannya terhadap takwil dalam studi al-Qur`an. Oleh karenanya perlu
adanya langkah metodologis dalam mengumpulkan dan mengolah data agar
tujuan dari penelitian ini dapat tercapai secara optimal. Adapun langkah-
langkahnya sebagai berikut:
a. Mengumpulkan ayat-ayat muḥkamāt dan mutasyābihāt serta memilih
enam ayat dari seluruh ayat-ayat muḥkam dan mutasyābih tersebut..
b. Menafsirkan ayat-ayat yang berhubungan dengan tafsir dan takwil dan
penerapannya dalam tafsir Jāmiʻ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-Qur‟ān karya
al-Ṭabarī dan Maḥāsin at-Ta‟wīl karya Jamāluddin al-Qāsimī.
c. Data-data yang telah dipelajari selanjutnya dianalisa, penganalisaan
berangkat dari fakta-fakta yang terdapat dalam sumber primer.
19
4. Analisis Data
Analisis data merupakan proses mencari dan menyusun secara sistematis
data yang diproleh dari hasil pengumpulan ayat-ayat muḥkam dan mutasyābih,
selanjutnya data-data yang telah dipelajari, kemudian dianalisa, penganalisaan
berangkat dari fakta-fakta sumber primer.
G. Sistematika Penulisan
Agar pembahasan dalam penelitian ini dapat tersusun secara sistematis,
maka penulis melakukan pemetaan dalam bentuk urutan pembahasan menjadi
lima bab, dan setiap bab menitikberatkan pada pembahasan-pembahasan yang
berkesinambungan. Adapun pembagian bab tersebut sebagai berikut:
Bab pertama, berupa pendahuluan yang terdiri dari beberapa sub-bab
yaitu: latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab pertama ini ditujukan untuk memberikan gambaran dari keseluruhan
permasalahan yang akan dibahas secara rinci dan detil pada bab-bab berikutnya.
Bab kedua, tinjauan teoritis tentang tafsir dan takwil, berupa pengertian
tafsir dan takwil, dan perbedaannya, pengertian muḥkamāt dan mutasyābihāt,
serta perbedaannya, dan syarat-syarat penafsiran serta pentakwilan. Pembahasan
ini sengaja penulis letakkan di bab kedua agar pembaca dapat memahami dan
mengenal terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan tafsir dan takwil, ayat-ayat
mutasyābihāt dan ayat-ayat muḥkamāt.
Bab ke tiga, menjelaskan biografi, karya-karya dua mufassir yang dibahas
(al-Ṭabarī dan al-Qāsimī), dan mengenal tentang tafsirnya yaitu, Jāmiʻ al-Bayān
„an Ta‟wīli āy al-Qur‟ān dan Maḥāsin al-Ta‟wīl. Hal ini dimaksudkan untuk lebih
20
mengenal sosok tokoh yang akan dikaji dan diteliti pemikirannya tentang tafsir-
takwil dan penerapannya dalam penafsiran al-Qur‟ān.
Bab ke empat, menjelaskan perbandingan pemahaman takwil al-Ṭabarī
dengan pemahaman takwil al-Qāsimī dalam tafsirnya (Jāmiʻ al-Bayān „an Ta‟wīli
āy al-Qur‟ān dan Maḥāsin al-Ta‟wīl), dalam memahami ayat-ayat muḥkamāt dan
mutasyābihāt. Pembahasan ini diletakkan pada bab IV agar pembaca dapat
membandingkan kedua pandagan mufassir (al-Ṭabarī dan al-Qāsimī).
Bab kelima, berisi kesimpulan dari penelitian ini, yaitu berupa jawaban
dari rumusan masalah yang telah penulis tetapkan di atas, serta saran untuk
pembaca hasil penelitian atau skripsi ini agar dikemudian hari penelitian yang
berkenaan dengan tema dan mufassir ini bisa dilanjutkan dengan kualitas yang
lebih tinggi. Upaya penulis dalam menyusun skripsi ini telah dilakukan dengan
penuh kehati-hatian, dan penulis tidak lupa mengharapkan kritik konstruktif dari
para pembaca skripsi ini,
21
BAB II
TINJAUAN TEORITIS TENTANG TAFSIR DAN TAKWIL
Mempelajari tafsir adalah sebuah kebutuhan bagi umat Islam agar dapat
memahami makna-makna al-Qur`an, hukum-hukumnya, hikmah-hikmahnya,
akhlaknya dan petunjuk-petunjuk untuk memperoleh kebahagiaan di dunia
maupun di akhirat. Tanpa memahami tafsir dan kaidah-kaidah yang berkaitan
dengannya tentulah tidak dapat memahami al-Qur`an dengan baik dan benar, dan
sekalipun ada yang mengaku bahwa dirinya mampu memahami al-Qur`an tanpa
kaidah-kaidah tafsir sebagaimana yang telah dirumuskan oleh para ulama,
sungguh itu adalah kedustaan yang sangat besar. Dengan tafsir juga dapat
mengurangi/memanimalisir kesalahan dalam memahami al-Qur`an.
Persoalan tafsir dan takwil bukanlah hal baru dalam kajian al-Qur`an.
Sampai sekarang masih menjadi perdebatan di kalangan para mufassir. Ada yang
mempersamakan antara tafsir dengan takwil ada pula yang membedakanya.1 Hal
ini karena baik kata tafsīr maupun kata ta‟wīl keduanya tedapat dalam al-Qur`an
dan Hadits atau atsār ṣahabat. Kata tafsīr dalam al-Qur`an hanya disebut satu
kali,2 yaitu terdapat dalam surah al-Furqān [25] : 33:
ناك بالق وأحسن ت فسناولا يأتونك بثل إلا جئ
1 Aḥmad Ḥasan Farḥāt, Fī „Ulūm al-Qur‟ān, ʻArḍun wa Naqdun wa Taḥqīqun (Dār
„Imār, 2001), Cet. I, hal. 200. 2 „Adnān Muḥammad Zarzūr, Madkhal Ilā al-Qur‟ān wa al-Ḥadīts (Al-Maktab al-
Islāmī), hal. 216.
22
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa)
sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang
benar dan yang paling baik penjelasannya”.3
Selain disebut dalam al-Qur`an, kata tafsīr juga disebut dalam Hadits Nabi
yang diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzī:4
روي عن ب عض أىل العلم من أصحاب النب صلى اللو عليو وسلم وغنىم أن هم دوا في ىذا في أن ر شد ا الذي روي عن ماىد وق تادة ي فس القرآن بغن علم وأم
روا القرآن ف ليس الظنح بم أن هم قالوا في القرآن أو وغنها من أىل العلم أن هم فسروه بغن علم أو من قبل أن فسهم )رواه الترمذي(.فس
“Telah diriwayatkan dari sebagian ulama dari para sahabat Nabi
saw, dan yang lainnya, bahwa mereka memperketat dalam masalah ini,
yaitu tentang menafsirkan al-Qur`an tanpa Ilmu, adapun yang
diriwayatkan dari Mujāhid, Qatādah dan lainnya dari para ulama, bahwa
mereka menafsirkan al-Qur`an bukan karena perasangka yang ada pada
mereka, kemudian mereka mengatakan tentang al-Qur`an atau
menafsirkannya tanpa dasar ilmu atau dari diri mereka." (HR. Tirmidzi).
Adapun kata ta‟wīl disbeut 16 kali dalam al-Qur`an, terdapat dalam 7
surah dan 15 ayat,5
Ayat-ayat lain yang di dalamnya mengandung kata ta‟wīl adalah: QS. Āli
„Imrān [3] : 7, QS. Al-Aʻrāf [7] : 53, QS. Yūnus [10] : 39, Yūsuf [12] : 6, 21, 36,
37, 44, 45, 100, dan 101, QS. Al-Isrā‟ [17] : 35, QS. Al-Kahfi [18] : 78 dan 82.
Dalam Hadits Nabi juga di temukan kata ta‟wīl, seperti dalam sabda Nabi saw,
sebagai berikut:
3 Maksudnya: Setiap kali mereka datang kepada Nabi Muhammad saw, membawa suatu
hal yang aneh berupa usul dan kecaman, Allah menolaknya dengan suatu yang benar dan nyata. 4 Lidwa Pusaka i-Software - Kitab 9 Imam Hadist. Nomor Hadits 2876.
5 Muhammad Amin Suma, Ulumul Qur‟an (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), Cet. I, hal.
307.
23
(حدويل )رواه اأ اللهم فقهو فى الدين وعلمو الت“Ya Allah, berilah pemahaman (mendalam) kepada Ibn „Abbās
dalam memahami Agama, dan ajarilah dia tentang ta‟wīl.” (HR. Imām
Aḥmad).
Dari penjelasan ini jelaslah bahwa kata tafsīr dan ta‟wīl sama-sama
disebutkan dalam al-Qur`an, tetapi pemahaman terhadapnya bukanlah hal yang
tabu. Para ulama sudah melakukan penelusuran mendalam untuk mengetahui
makna kata tafsīr dan ta‟wīl. Sebagian ulama mengatakan bahwa tafsir dan takwil
adalah satu makna (sama) sebagian yang lain mengatakan berbeda. Mengenai
pesamaan dan perbedaan antara tafsir dan takwil terdapat banyak pendapat.
Sebelum menjelaskan persamaan dan perbedaan tafsir dan takwil terlebih dahulu
penulis paparkan tentang makna dari keduanya, baik secara etimologi atau
terminologi.
A. Pengertian Tafsir dan Takwil
1. Pengertian Tafsir
Tafsir dilihat dari lughah (bahasa) mengikuti wazan tafʻīl dari akar kata al-
fasru yang maknanya adalah menjelaskan (al-ibānah), mengupas makna (al-
Kasyfu), dan menjelaskan makna kalimat yang masuk akal. Menurut sebagian
ulama, kata al-fasru dan al-safru mempunyai kedekatan makna sebagaimana
Lafaẓnya yang mirip, kedua kata tersebut mempunyai makna yang mirip bahkan
sama, yaitu menjelaskan.6 Jadi tafsir adalah membuka/menjelaskan maksud dari
suatu Lafaẓ yang musykīl. Hal ini diungkapkan dalam firman Allah swt. QS. Al-
Furqān [25] : 33.
6 Mannāʻ Khalīl al-Qaṭṭān, Mabāḥis fī ʻUlūm al-Qur‟ān (Mansyūrāt al-„Aṣr al-Ḥadīst,
1973), hal. 323.
24
Sedangkan secara terminologi terdapat banyak ragam definisi tafsir. Dari
hasil pelacakan penulis ditemukan beberapa ragam definisi yang disebutkan oleh
para ulama. Bila hal ini dirunut secara kronologis maka definisi ulama tersebut
sebagai berikut: al-Baghawī (436-516 H),7 Abū Ḥayyān (654-745 H),
8 Al-Khāzin
(678-741 H),9 dan Ibn Jizzī (693-741 H).
10 Dari berbagai ragam definisi tersebut
terdapat kesamaan secara subtansial antara satu dengan yang lainnya yaitu,
membahas dan menguraikan, dan objek yang dibahas adalah berupa hal-hal yang
berkaitan dengan al-Qur`an, berupa nuzul al-Qur‟ān, kisah-kisah dalam al-
Qur`an, dan lafaẓ-lafaẓ al-Qur`an.
2. Takwil
Kata ta‟wīl ditinjau dari segi bahasa musytāq dari kata awwala yuawwilu
ta‟wīlan ل حأويلا( -يؤول -او ) atau dari akar kata āla ya‟ūlu ( يؤول -ال ) yang artinya
adalah kembali. Atau diambil dari kata انمأل (alma‟āl) tempat kembali.11
Sebagaimana firman Allah swt: .ونه يجذوا مه دووه مىئلا (Dan mereka tidak akan
menumukan tempat kembali selain dari-Nya).
7 Definisi tafsir secara istilahi menurut al-Baghawiī adalah ilmu yang membahas sebab-
sebab turunnya ayat al-Qur`an dan keberadaannya serta kisah-kisah yang terdapat di dalamnya
dengan cara menuqil langsung dari sumber aslinya. Lihat: Muhammad Ṣifā‟ Syaikh Ibrāhīm
Ḥaqqī, „Ulūm al-Qur‟ān min Khilāli Muqaddimāt al-Tafāsir, Jilid. I (Muassasah al-Risalah, 2004),
Cet. I, hal. 211. 8 Tafsir adalah ilmu yang membahas tentang tata cara mengucapkan Lafaẓ al-Qur`an (ilm
qira‟āt), madlulnya (ilmu bahasa yang dibutuhkan), hukum-hukum yang partikular dan universal
(mencakup ilmu taṣrīf, ilmu al-I‟rāb, ilmu al-Bayān, dan ilmu al-Badī‟), dan makna susunan
kalimat (mencakup dilālah haqīqat dan dilālah majaz). Definisi dari Abu Hayyan ini adalah
definisi yang paling sempurnah karena mencakup keseluruhan. Lihat: Syaikh Ibrāhīm Haqqī,
„Ulūm al-Qur‟ān min Khilāli Muqaddimāt al-Tafāsir, Jilid. I, hal. 211-212. 9 Tafsir menurut al-Khāzin adalah membuka sesuatu yang tertutup, yaitu menjelaskan
makna-makna kalimat yang rasional atau setiap sesuatu yang dapat menjelaskan hakikat dari
sesuatu yang lain, maka itu dinamakan tafsir. Lihat: al-Khazin, Lubāb al-Ta‟wīl fī Maʻāni al-
Tanzīl, dalam muqaddimahnya, Juz. I (Beirut: Dar al-Kutub al-„Alamiyah), hal. 12. 10
Tafsir adalah menjelaskan dan menerangkan makna al-Qur`an , menjelaskan apa yang
dikehendakinya dengan naṣnya, dengan isyarat atau dengan najwahnya. Kongklusinya bahwa
tafsir adalah menjelaskan. Menjelaskan makna kalimat dan Lafaẓ-Lafaẓ yang bermakna
gharib/asing. 11
Jamāluddān al-Qāsimā, Maḥāsīn al-Ta‟wīl, Juz. III (Dār al-Fikr Beirut), hal. 22.
25
Dilihat dari segi bahasa, takwil dan tafsir menurut al-Ṭabarī mempunyai
makna yang sama yaitu : انمزجع وانمصيز (tempat kembali). Penggunaan kata ta‟wīl
ini sudah populer di kalangan para mufassir, bahkan beberapa kitab tafsir diberi
nama ta‟wīl.12
Secara isṭilāh (terminologi) takwil dapat didefinisikan sebagai berikut:
Menururt Al-Sāʻid al-Jurjanī (w. 392 H/1001 M) takwil adalah:
تملو اااكان للمحتمل التأويل ىوصرف اللفظ عن معناه الظاىر الى معنى يح الذى يراه موافقا للكتاب والسنة.
“Takwil adalah memalingkan Lafaẓ dari makna yang ẓāhir kepada
makna yang muḥtamil,13 apabila makna yang muḥtamil itu tidak
berlawanan dengan al-Qur`an dan al-Sunnah”.
Abū al-Qāsi bin Ḥabīb al-Nisāburi (406 H/1016 M) mendefinisikan takwil
sebagai berikut; mengalihkan makna lafaẓ dari satu makna ke makna lain yang
sesuai dengan makna lafaẓ yang sebelum dan sesudahnya, yakni makna yang
dapat ditampung olehnya, dan tidak bertentangan dengan al-Qur`an dan Sunnah.14
Sementara Ibn Taimiyah (661 H/1263 M) dengan mengacu pada
pandangan ulama salaf, membagi takwil pada dua pengertian: Pertama,
menafsirkan sebuah teks dan menjelaskan maknanya, tanpa mempersoalkan
apakah penafsiran dan keterangan itu sesuai dengan yang tersurat dalam teks atau
tidak. Dalam konteks pengertian ini tafsir dan takwil benar-benar sinonim
(mutarādif). Inilah yang dimaksud dengan kata ta‟wīl yang identik dengan kata
tafsir oleh sebagian pakar ilmu tafsir. Salah satunya adalah Ibn Jarīr al-Ṭabarī.
12
Seperti tafsir Jāmiʻ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-Qur‟ān, karya al-Ṭabarī, Lubāb al-
Ta‟wīl, karya al-Khāzin, dan tafsir Maḥāsin al-Ta‟wīl, karya al-Qāsimī. Lihat: M. Quraish
Shihab, Kaidah tafsir (Ciputat: Lentera Hati, 2013), Cet. III, hal. 220. 13
Yaitu suatu lafaẓ yang mempunyai kemungkinan makna lain selain makna lafẓiyah-
nya. Lihat: al-Ṭabarī, Jāmiʻ al-Bayān, Juz. II, hal. 456. 14
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hal. 222.
26
Dalam tafsirnya beliau menggunakan kata ta‟wīl dalam setiap menafsirkan ayat
al-Qur`an dengan mengatakan al-qaulu fī ta‟wīli qaulihī Taʻālā. Untuk
penjelasan tentang apa maksud dari setiap kata ta‟wīl dalam tafsirnya, akan
penulis jelaskan pada bab IV serta contoh-contohnya.
Kedua, Takwil adalah subtansi dari suatu kalimat. Jika kalimatnya berupa
perintah (Ṭalab), maka takwilnya adalah berupa perbuatan yang dituntut atau
esensi dari perintah.15
Misalnya firman Allah Swt, dalam QS. al-Nisā [4]: 59:
فإن ت نازعتم في شيء ف ردحوه إلى اللو والرسول إن كنتم ت ؤمنون باللو والي وم الآخر ر وأحسن تأويلاالك .خي
“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah Swt, dan Rasul-Nya, jika kamu benar-
benar beriman kepada Allah Swt, dan hari kemudian. Yang demikian itu
lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.
Maka takwil dari ayat ini adalah hakikat dari perintah yang terdapat di
dalamnya, yaitu perintah untuk kembali kepada Allah Swt, dan Rasul-Nya berarti
perintah untuk kembali pada al-Qur‟an dan Hadits dalam menyelesaikan sebuah
masalah.16
Sebab, al-Qur‟an dan hadits merupakan kitab panduan bagi umat
manusia. Di dalamnya memuat tentang segala hal yang berkaitan dengan
kehidupan di dunia dan akhirat.
Juga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhārī (194 H-256 H).
قالت كان رسول الله صلى الله عليو وسلم يقول في عن عائشة رضي الله عنهاحانك اللهم وبحمدك اللهم اغفرلى , يتؤل القرءان نعني قولو ركوعو وسجوده سب
17تعالى فسبح بحمد ربك واستغفره انو كان توابا.
15
Ḥasan Farḥāt, Fī „Ulūm al-Qur‟ān, hal. 208. 16
Jamāluddān al-Qāsimā, Maḥāsīn al-Ta‟wīl, Juz. III, hal. 21. 17
„Alī Ibn ʻUmar Ibn Muḥammad al-Sāhibānī, al-Ta‟wīl fī ghārib al-Hadīts min Khilāli
Kitāb al-Nihāyah li Ibn Atsīr (Maktab al-Rusyd Nasyirun, 2009), Cet. I, hal. 147.
27
Jika diperhatikan dari penjelasan tentang pembagian takwil di atas,
terdapat perbedaan mendasar antara definisi yang pertama dengan yang kedua.
Yang pertama memandang takwil dengan tafsir sebagai sinonim, yakni
menjelaskan (al-Bayān), dengan demikian posisi takwil ada dalam hati dan
bersifat ẓinnī (penalaran) disamping teks juga. Sementara takwil dalam bentuk
yang kedua adalah hakikat dari sesuatu yang terdapat dibalik (di luar) teks al-
Qur`an.
Sedangkan definisi takwil menurut mayoritas ulama kontemporer yang
didukung oleh ulama fiqh, ahli teolog (mutakallimīn) ahli tasawuf (mutaṣawwifah)
ialah memalingkan Lafaẓ dari makna yang kuat ( خانزاج ) kepada makna lain yang
tidak kuat ( حانمزجى ) karena ada dalil yang mendukung, dan tidak bertentangan
dengan al-Qur`an dan hadits.18
Maka bagi penulis definisi yang paling pas untuk
takwil adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh ulama kontemporer, dengan
syarat tidak bertentangan dengan al-Qur`an dan Sunnah.
3. Perbedaan Tafsir dengan Takwil.
Setelah menguraikan dan menganalisis makna tafsir dan takwil
sebagaimana di atas, dapat diketahui bahwa antara keduanya memiliki perbedaan
dan persamaan makna, baik dari segi bahasa maupun isṭilāh. Maka disini penulis
akan menguraikan perbedaan antara tafsir dengan takwil secara definitif serta
menetapkan wilayah masing-masing dalam praksisnya.
Tafsir didominasi oleh riwāyah,19
yaitu semua ilmu-ilmu naqliyah yang
didasarkan pada ulama salaf. Seperti ilmu tentang asbāb al-nuzūl, makkī-madānī,
muḥkam-mutasyābih, „ām-khās, nāsikh-mansūkh, muṭlaq-muqayyad, dan mujmal-
18
Jamāluddīn al-Qāsimī, Maḥ {āsin al-Ta‟wīl, Juz. III, hal. 19. 19
Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hal. 220.
28
mufassar. Sehingga tafsir didefinisikan sebagai ilmu yang membahas tentang
turunnya ayat al-Qur`an, surah dan kisah-kisahnya, isyarat-isyarat yang terdapat
di dalamnya, kemudian urutan makkiyah dan madaniyah-nya, muḥkam-
mutasyābih, nāsikh-mansūkh, khās-„ām, muṭlaq-muqayyad, dan mujmal-
mufasarnya. Sebagaimana telah dijelaskan di atas yang dikutip dari pendapat al-
Zarkasyī. Sedangkan takwil berkaitan lebih didominasi oleh dirāyah (yaitu
penjelasan atas ayat-ayat al-Qur`an yang bertumpu pada hasil ijtihad para ulama).
Jika tafsir hanya dibatasi pada aspek-aspek internal teks saja dan harus menuqil
dari ulama-ulama sebelumnya tanpa memberi peluang untuk mendialogkan teks
pada realitas, maka tidak ada alasan lagi untuk menolak takwil sebagai salah satu
medium untuk sampai pada maksud Tuhan yang terdapat dalam al-Qur`an.
Menurut al-Rāghib al-Aṣfahānī, tafsir lebih banyak digunakan untuk
menjelaskan kata-kata asing, seperti Lafaẓ al-bahīrah, al-sāibah, dan al-waṣīlah.
Adakalanya tafsir juga digunakan untuk menjelaskan kalimat singkat yang
membutuhkan penjelasan, seperti firman Allah swt. QS. al-Baqarah [2]: 83:
atau mungkin juga (Dirikanlah ṣalat dan tunaikanlah zakat) واقيمىاانصلاة وءاحىاانزكبة
digunakan untuk kalam yang memuat cerita yang tidak dapat dilukiskan kecuali
dengan mengetahui cerita tersebut. Seperti firman Allah swt. QS. Al-Taubah [9]:
-dan QS. Al (penundaan hanya menambah kekafiran) انما النسئ زيادة في الكفر :37
Baqarah [2] : 189: بيىث مه ظهىرهب.ى انح ونيش انبز بأن حأ (bukan suatu kebaikan kalau
engaku mendatangi rumah dari belakang). Sementara itu, takwil kadang-kadang
digunakan secara umum, kadang-kadang secara khusus. Seperti kata al-Kufru,
terkadang digunakan untuk menunjukkan pengingkaran secara mutlak, terkadang
29
ingkar pada penguasa secara khusus. Lafaẓ al-imān digunakan untuk
membenarkan sesuatu secara umum dan membenarkan agama yang hak.20
Tafsir pada umumnya berkaitan dengan Lafaẓ sedangkan takwil berkaitan
dengan makna. Takwil khusus digunakan untuk menjelaskan kitab-kitab yang
diturunkan oleh Tuhan, sementara tafsir lebih umum, yaitu digunakan untuk
menjelaskan kitab-kitab Tuhan atau yang lainnya.
Kata tafsīr baik berasal dari kata al-fasru atau dari kata as-safru memiliki
makna yang sama, yaitu mengungkap sesuatu yang tersembunyi melalui medium
yang dianggap sebagai tanda bagi mufassir, hanya melalui tanda itu ia dapat
sampai pada sesuatu yang tersembunyi atau samar yang ia kehendaki. Berbeda
dengan takwil yang tidak selalu membutuhkan medium, bahkan kadang-kadang
takwil didasarkan pada gerak mental-intelektual dalam menemukan asal mula
“gejala” atau dalam mengamati “akibatnya”. Dengan kata lain takwil dapat
dijalankan atas dasar semacam hubungan langsung antara “subjek” dengan
“objek”, sementara hubungan ini dalam proses tafsir tidak dapat dilakukan secara
langsung, melainkan melalui medium yang merupakan “tanda”, melalui tanda
inilah proses pemahaman terhadap objek oleh pihak subjek dapat berjalan.21
Tafsir dapat pula dikatakan sebagai suatu metode yang menjelaskan objek
Lafaẓ dari sisi pandang ḥaqīqī atau majāzī, seperti kata al-ṣirāṭ (انصزاط)
ditafsirkan dengan kata al-Ṭarīq (انطزيق) yang mempunyai arti jalan. Sementara
takwil menjelaskan subtansi teks (makna batin dari teks). Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa takwil lebih berorientasi pada penjelasan hakikat berita/teks,
20
Ḥasan Farḥāt, Fī „Ulūm al-Qur‟ān, „Arḍun wa Naqdun wa Taḥqīqun, hal. 207-212-213. 21
Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas al-Qur`an, Kritik Terhadap Ulum al-Qur`an,
diterjemahkan oleh Khoiron Nadliyyin (Yogyakarta: LKiS, 2003), Cet. III, Edisi Revisi, hal. 294.
30
sedangkan tafsir lebih mengedepankan informasi tentang dalil (petunjuk) yang
dikehendaki.
Contoh lain, misalnya Firman Allah swt. Allah swt) حي مه انميجيخزج ان
mengeluarkan yang hidup dari yang mati). Ayat ini kalau dipahami dengan tafsir
maka dapat dikatakan bahwa Allah swt, mengeluarkan ayam dari telur. Tapi jika
dipahami dengan takwil maka maksud dari ayat ini adalah Allah swt, memisahkan
yang benar dari yang salah, memisahkan yang baik dari yang buruk atau Allah
swt, memisahkan orang mukmin dari orang kafir, atau bisa jadi memisahkan yang
berilmu dari yang bodoh.22
Dari uraian di atas, jelaslah kiranya bahwa tafsir berkaitan dengan riwāyah
(hal-hal yang bersifat pendengaran atau periwayatan) sedangkan takwil berkaitan
dengan dirāyah (hal-hal yang berkaitan dengan nalar rasio). Tafsir berkaitan
dengan makna ẓāhir sedangkan takwil berkaitan dengan makna bāṭin. Tafsir
berkaitan dengan Lafaẓ sedangkan takwil berkaitan dengan jumlah, takwil khusus
untuk kitab-kitab yang berasal dari Tuhan sedangkan tafsir bisa juga untuk kitab-
kitab lain selain kitab yang berasal dari Tuhan. Itulah perbedaan tafsir dengan
takwil. Keduanya adalah sebuah metode yang sama-sama digunakan untuk
memahami maksud Tuhan yang terkandung dalam al-Qur`an dan tentu keduanya
mempunyai kekurangan dan kelebihan masing-masing.
Tabel 2. 1: Perbedaan Tafsir dengan Takwil
No Tafsir Takwil
1
Berkaitan dengan ilmu-ilmu
riwayah, seperti keterangan asbab
an-nuzul makki-madani, dll.
Berkaitan dengan ilmu dirāyah,
berpegang pada ijtihad.
22
M. Quraish Shihab, Membumikan al-Qur`an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Jilid. II (Bandung : Mizan, 1995), hal. 554.
31
2
Menjelaskan makna ẓāhir atau
makna lafẓiyah dari sudut pandang
haqīqī dan majazī
Menjelaskan makna bāṭin, makna
subtansial atau makna muḥtamil
3 Membutuhkan medium sebagai
salah satu tanda bagi mufassir
Kadang-kadang tidak membutuhkan
medium
Setelah menguraikan makna tafsir dan takwil, penulis akan menjelaskan
tentang muḥkam dan mutasyābih. Hal ini dimaksudkan karena ayat yang
ditetapkan oleh penulis untuk diteliti adalah terdiri dari ayat muḥkam dan
mutasyābih, sehingga menjadi penting untuk mengetahui terlebih dahulu apa dan
bagaimana ayat muḥkam dan mutasyābih serta beberapa pendapat ulama
tentangnya. Uraian tentang muḥkam dan mutasyābih ini penulis letakkan pada
sub-bab khusus yaitu, sebagai berikut.
B. Perbedaan Ayat Muḥkamāt dengan Mutasyābihāt
Ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh ulama tafsir mengenai
muḥkam dan mutasyābih antara lain adalah: al-Suyūṭī (849 H/1455 M-911 H/1505
M),23
al-Rāzi,24
Jābir bin ʻAbdillāh,25
Mannāʻ Khalīl al-Qaṭṭān.26
Ada juga yang memperselisihkan muḥkam dan mutasyābih sebagai
berikut:27
Pertama, Muḥkam adalah ayat yang mudah diketahui maksudnya,
23
Muḥkam adalah sesuatu yang telah jelas artinya, sedangkan mutasyābih sebaliknya.
Lihat: Al-Suyūṭi, Al-Iṭqān fī ʻUlūm al-Qur‟ān, Juz. II (Dār al-Fikr), hal. 2. 24
Muḥkam adalah ayat-ayat yang dalalah-nya kuat, baik maksud mapun Lafaẓnya,
sedangkan mutasyābih adalah ayat-ayat yang dalalah-nya lemah, bersifat mujmal, sulit dipahami,
dan memerlukan takwil. Lihat: Muḥammad al-Bakr Ismāʻīl, Dirāsat fī „Ulūm al-Qur‟ān (Dār al-
Manār, 1991), Cet. I, hal. 221. 25
Muḥkam adalah ayat-ayat yang diketahui pentakwilannya, dipahami makna dan
tafsirnya. Sedangkan ayat-ayat mutasyābihāt adalah ayat-ayat yang tidak boleh diusik maknanya
oleh siapapun, karena penafsiran dan pentakwilannya hak prerogatif Allah swt. Lihat: Al-Qurṭubī,
Tafsir al-Qurṭubī, ditertjemahkan oleh Dude Rosyadi, Naṣirul Haq, dan Fathurraḥman, Jilid. IV
(Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), Cet. I, hal. 25. 26
Muḥkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa
memerlukan keterangan lain, smentara mutasyābih, memerlukan penjelasan lain baik dari luar
maupun dalam ayat itu sendiri dengan merujuk pada ayat lain. Lihat: Mannāʻ Khalīl al-Qaṭṭān,
Studi Ilmu-Ilmu al-Qur`an, diterjemahkan oleh Mudzakkir AS (Bogor: Pustaka Litera Antar Nusa,
2007), Cet. II, hal. 305-306.
32
sementara mutasyābih adalah ayat yang hanya Allah swt, yang dapat mengetahui
maksudnya. Kedua, Muḥkam adalah ayat yang hanya mengandung satu wajah,
sementara mutasyābih adalah ayat yang mengandung banyak wajah. Ketiga,
Muḥkam adalah hukum-hukum yang wajib, janji dan ancaman. Dan yang
mutasyābih terdapat pada kisah-kisah dan perumpamaan-parumpamaan.
Keempat, Muḥkam adalah yang tidak berulang-ulang Lafaẓ-Lafaẓnya dan yang
mutasyābih adalah antonimnya.
Dari pengertian dan beberapa komentar ulama tentang muḥkam dan
mutasyābih di atas jelaslah perbedaan diantara keduanya. Untuk lebih
memperkuat argumen di atas penulis akan menghadirkan beberapa contoh ayat-
ayat yang tergolong muḥkam dan mutasyābih.
1. Ayat-ayat muḥkam seperti terdapat dalam QS. al-Ḥujurāt [49] : 13, QS.
Al-Baqarah [2] : 21, QS. Al-Baqarah [2] : 275:
Ketiga ayat ini termasuk ayat-ayat muḥkam karena kalimat-kalimatnya
tidak mengandung banyak wajah/makna sehingga bisa dipahami secara langsung
tanpa mmemerlukan keterangan lain. Contoh yang pertama misalnya, ia berbicara
tentang penciptaan manusia pada dua jenis, yaitu laki-laki dan perempuan dan
tentang posisi orang yang bertakwa disisi Allah swt. Yang kedua yaitu perintah
menyembah Allah swt, yang telah menciptakan mansuia. Sedangkan yang ketiga
yaitu tentang diperbolehkannya jual beli dan diharamkannya praktik riba serta
ancaman terhadap pelaku riba.
2. Ayat-ayat Mutasyābih seperti terdapat dalam QS. Ṭāha [20]: 5, QS. Al-
Qaṣaṣ [28]: 88, QS. Al-Fath [48] : 10:
27
Jalāluddīn al-Suyūṭī, Samudera Ulum al-Qur`an, diterjemahkan oleh Farikh Marzukqi
Ammar dan Imam Fauzi Jaiz, Jilid. III (Surabaya: Bina Ilmu, 2007), Cet. I, hal. 2.
33
Ketiga ayat ini termasuk ayat mutasyābihāt karena mengandung
kemungkinan makna lain dan tidak bisa serta merta dipahami sesuai makna
literlek. Ayat pertama berbicara tentang tempat Allah swt, ayat yang kedua
berbicara tentang wajh Allah, sedangkan ayat yang ketiga berbicara tentang
tangan Allah swt. Allah swt, tidak sama dan tidak boleh disamakan dengan
manusia yang punya tempat tinggal, wajah, dan tangan. Sehingga ketiga ayat di
atas tidak bisa dipahami secara literlek. Ia membutuhkan makna lain yang sesuai
dengan sifat yang pantas bagi Allah swt.
Dari uraian beberapa pendapat tentang muḥkam dan mutasyābih di atas
dapat penulis tarik kesimpulan bahwa ayat-ayat muḥkam adalah ayat-ayat yang
sudah jelas, baik Lafaẓ maupun maknanya, sehingga tidak dapat menimbulkan
keraguan dan kekeliruan bagi orang yang memahaminya, dan tidak memerlukan
penjelasan penalaran lebih mendalam lagi. Karena sudah dipahami maknanya, dan
ayat-ayatnya hanya mempunyai satu penafsiran tanpa membutuhkan takwil.28
Ayat-ayat mutasyābihāt adalah ayat-ayat yang tidak punya kepastian makna,
karena banyaknya kemungkinan makna yang ada di dalamnya. Ketidak pastian
makna dari ayat-ayat mutasyābihāt ini dikarenakan ayat-ayatnya bersifat mujmal
yang membutuhkan perincian, selain bersifat mujmal juga bersifat muawwal
sehingga membutuhkan pentakwilan, ayat-ayatnya memiliki banyak makna.
Tanpa melakukan pentakwilan tidak mungkin dapat dipahami dengan baik dan
benar.
28
Muḥammad Hādi Maʻrifāt, al-Tamhīd fī ʻUlūm al-Qur‟ān, Juz. III (Muassasah al-
Nasyr al-Islami), hal. 7.
34
Tabel 2. 2: Perbedaan Muḥkam dengan Mutasyābih
No Muḥkam Mutasyābih
1 Mudah dijangkau makna dan
maksudnya
Sulit untuk dipahami makna dan
maksudnya
2 Mempunyai satu wajh/ mempunyai
satu makna.
Mempunyai kemungkinan banyak
makna
3
Berkaitan dengan hukum-hukum
yang sudah pasti, seperti perintah
ṣalat.
Berkaitan dengan kisah-kisah dan
perumpamaan-perumpamaan.
4 Cukup dipahami dengan
penguraian tafsir.
Harus menggunakan alat bantu
takwil untuk memahami maknanya.
C. Klsifikasi Ayat-ayat Muḥkamāt dan Mutasyābihāt
Sebagai kitab petunjuk, al-Qur`an harus dapat dipahami seluruhnya agar
manusia mendapatkan petunjuknya sehingga dapat mengimplemintasikan nilai-
nilainya dalam kehidupan sehari-hari. Namun demikian di kalangan mufassir
ayat-ayat al-Qur`an dibagi menjadi dua: Pertama, ayat yang sudah jelas
maksudnya (muḥkam) sehingga tidak menimbulkan kekeliruan bagi yang
membacanya. Kedua, ayat al-Qur`an yang bersifat umum dan samar-samar
(mutasyābih) sehingga menimbulkan keraguan bagi yang
membaca/mempelajarinya, maka ayat-ayat seperti ini tentu membutuhkan
kegigihan atau ijtihad di kalangan para pengkaji al-Qur`an agar mendapatkan
maksud yang jelas dari pesan yang disampaikan lewat ayat-ayat tersebut.
35
Adanya pengklasifikasian ayat-ayat al-Qur`an kepada muḥkam dan
mutasyābih sebagaimana dijelaskan dalam buku-buku Ulum al-Qur`an,
bersumber dari firman Allah swt, dalam al-Qur`an QS. Āli „Imrān [3] : 7:29
ىو الذي أنزل عليك الكتاب منو آيات محكمات ىن أمح الكتاب وأخر متشابات
“Dia-lah yang menurunkan al-Kitāb (al-Qur`an) kepada kamu.
diantara (isi) nya ada ayat-ayat yang muḥkamāt. Itulah pokok-pokok isi al-
Qur`an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyābihāt”.
Dilihat dari muḥkam dan mutasyābihnya, al-Qur`an dapat dibagi menjadi
tiga kategori:30
1) al-Qur`an seluruhnya muḥkam (kuat dan diyakini maknanya,
tidak ada sesuatu apapun yang dapat melemahkan makna dan lafaẓ-lafaẓnya). Hal
ini sebagaiman Allah tegaskan dalam al-Qur`an QS. Hūd [11]: 1.31
2) al-Qur`an
seluruhnya mutasyābih (yaitu terdapat keserupaan/kemiripan antara sebagian
dengan sebagian yang lain dalam hal kekuatan dan kesempurnaan lafaẓ-lafaẓnya).
Hal ini sebagaimana firman Allah swt, dalam al-Qur`an QS. al-Zumar [39]: 23.32
3) sebagian al-Qur`an muḥkam (jelas dalalahnya) dan sebagian mutasyabihāt
(samar dalalahnya). Bagian yang ketiga ini merujuk pada firman Allah swt, dalam
al-Qur`an QS. Āli ʻImrān [3]: 7.33
Dari tiga uraian tentang al-Qur`an di atas, yang sesuai dengan tema yang
dibahas dalam penelitian ini adalah bagian yang ketiga, yaitu pendapat yang
29
Abdul Djalal, ʻUlum al-Qur`an (Surabaya: Dunia Ilmu, 2008), Cet. I, hal. 243. 30
Muḥammad Amin Farsūkh, al-Madkhal Ilā „Ulūm al-Qur‟ān wa al-„Ulūm al-Islāmiyati (Dār al-
Fikr: Beirut), hal. 54. 31
Alif lām rā, Kitābun uḥkimat āyātuhū tsumma fuṣṣilat min ladun ḥakīm. 32
Allāhu allaẓī aḥsana al-hadītsi kitābā mutasyābihā matsāniya taqsyaʻirru minhu
juludu al-laẓīna yakhsyauna rabbahum. 33
Huwa allaẓi anzala ʻalaika al-kitāba minhu āyātun muḥkamātun hunna ummu al-kitāb
wa ukahru mutasyābihāt.
36
mengatakan bahwa sebagian al-Qur`an ada yang muḥkam ada pula yang
mutasyābih.
Al-Qur`an menyebutkan kedua jenis ayat muḥkam dan mutasyābih, hanya
saja jika dibandingkan jumlahnya antara ayat muḥkam dengan ayat mutasyābih
jauh lebih banyak ayat muḥkam dalam al-Qur`an. Dari 6236 ayat dalam al-
Qur`an,34
ayat-ayat yang tergolong mutasyābih tidak sampai 200 ayat, jika ayat-
ayat yang sama tidak dihitung ulang.35
Hal ini karena al-Qur`an adalah kitab
petunjuk umum yang jelas bagi manusia (هذابيبن نهىبس). Untuk mendapatkan
petunjuk dari al-Qur`an tentu harus memahami makna kandunganya. Jika ayat-
ayat mutasyābih yang sulit dipahmai maknanya, bahkan sebagian ulama
menyerahkan maknanya sepenuhnya kepada Allah swt, karena hal itu merupakan
hak prerogatif Allah swt, lebih banyak jumlahnya dari ayat-ayat muḥkam, tentulah
sifat al-Qur`an sebagai petunjuk tidak sepenuhnya memberikan petunjuk kepada
manusia.
D. Kontroversi Mufassir Tentang Ayat Muḥkamāt dan Mutasyābihāt
Setelah menguraikan makna muḥkam dan mutasyābih serta perbedaan
diantara keduanya. Pada bagian ini penulis akan menjelaskan beberapa komentar
ulama tentang kemungkinan mengetahui makna ayat-ayat mutasyābihāt. Apakah
makna dari ayat-ayat mutasyābihāt dapat diketahui oleh para mufassir atau tidak.?
Setelah penulis melakukan penelusuran dari beberapa buku yang membahas
tentang muḥkam dan mutasyābih, dapat penulis paparkan disini bahwa paling
tidak terdapat dua pendapat yang berbeda dalam menyikapi ayat-ayat
mutasyābihāt terkait makna yang dikandungnya. Sebagian ulama mengatakan
34
M. Hasbi al Ṣiddiqi, Sejarah dah Pengantar Ilmu al-Qur`an/Tafsir (Jakarta: Bulan
Bintang, 1990), Cet. I, hal. 57. 35
Hādi Maʻrifāt, al-Tamhīd fī „Ulūm al-Qur‟ān, Juz. III, hal. 14.
37
bahwa ayat-ayat mutasyābihāt dapat diketahui maknanya oleh manusia/mufassir,
sebagian yang lain mengatakan bahwa ayat-ayat mutasyābihāt tidak dapat
ketahui maknanya kecuali oleh Allah swt, saja.
Perbedaan ini berakar pada perbedaan waqaf pada QS. Āli ʻImrān [3]:
وما يعلم تأويلو الاالله والراسخون في العلم يقولون امنا كل من عند ربناYang diperselisihkan adalah apakah Lafaẓ al-rāsikhūna di-aṭaf-kan pada lafaẓ
Allāhu sedangkan lafaẓ yaqūlūna berada dalam posisi naṣab jadi ḥal dari Lafaẓ
al-rāsikhūna? Pendapat yang pertama mengatakan bahwa Lafaẓ al-rāsikhūna
diaṭafkan pada Lafaẓ Allāhu dan waqafnya bukan pada lafad Allāhu, tapi pada
Lafaẓ min „indi rabbinā. Maka dapat dipahami bahwa Allah swt, dan orang-orang
yang mendalami ilmunya mengetahui takwil ayat-ayat mutasyābihāt.
Pendapat pertama ini dipilih oleh Imam Nawāwī, Imam Mujāhid dan ṣahabat-
ṣahabatnya, ini disandarkan pada perkataan Ibn ʻAbbās:
”36نا من الراسخن في العلم الذين يعلمون تأويلوا“
Pernyataan Ibn ʻAbbās ini disampaikan saat beliau menafsirkan firman
Allah swt:
.وما يعلم تأويلو الاالله والراسخون في العلم يقولون امنا كل من عند ربنا
Dia adalah salah satu diantara orang-orang yang dapat mengetahui takwil
ayat-ayat mutasyābih. Menurut Imam Nawāwī, pendapat pertama ini adalah
pendapat yang lebih ṣahih. Sebab, tidak mungkin Allah swt, mengkhiṭab37
hamba-
Nya dengan sesuatu yang tidak ada jalan untuk mengetahuinya.38
36
Muḥammad al-Sāhibāni, al-Ta‟wīl fī gharīb al-Hadīts min Khilāli Kitāb al-Nihāyah li
Ibn Atsīr, hal. 147. 37
Khitāb adalah perintah Allah yang wajib dikerjakan oleh hamba-Nya. 38
Abdul Djalal, „Ulūm al-Qur‟ān, hal. 225.
38
Kedua, waqaf pada Lafaẓ illā allāhu (الاالله), sedangkan Lafaẓ wa al-
rāsikhūna (وانزاصخىن) merupakan permulaan kalimat lain yang ditandai dengan
wāwu isti‟nāf Jadi kedudukan Lafaẓ al-rāsikhūna dalam iʻrāb . )واو الإصضخئىبف(
adalah menjadi mubtada‟. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa hanya Allah
swt. lah yang memahami ayat-ayat mutasyābihāt. Manusia hanya dituntut untuk
mengimaninya tanpa memaksakan diri untuk dapat memahaminya. Pendapat yang
kedua ini banyak diikuti oleh ulama salaf dari kalangan para ṣahabat, tabiʻīn,
tabiʻit tabiʻīn, khususnya ahl al-sunnah.
“Al-Ṭabarī meriwayatkan dalam al-Kabīr dari Mālik al-Asyʻari
bahwa dia mendengar Rasulullah saw, bersabda: “aku tidak takut apapun
dari umatku kecuali tiga hal, yaitu: jika harta itu telah banyak pada
mereka sehingga mereka saling dengki dan bunuh-bunuhan, al-Qur`an itu
dibuka kepada mereka, sehingga seorang mukmin mencari-cari takwilnya,
padahal hanya Allah yang mengetahui”.39
Masih banyak lagi riwayat lain
dengan redaksi yang berbeda”.
Dari sekian banyak ayat-ayat al-Qur`an yang tergolong mutasyābihāt jika
tidak dapat dipahami maknanya, muncul sebuah pertanyaan besar dibenak
penulis. Jika ayat-ayat mutasyābihāt itu memang benar-benar tidak dapat
dipahami maknanya, lalu apa pentingnya ayat tersebut diturunkan? Bukankah al-
Qur`an menganjurkan umat manusia agar mentadabburkan al-Qur`an? dan
dibeberapa ayat al-Qur`an menyanjung orang-orang yang menggunakan
akalnya untuk memahami ayat-ayat al-Qur`an.
Jadi, dari dua pendapat di atas, penulis sendiri lebih cenderung pada
pendapat yang pertama, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa ayat-ayat
mutasyābihāt dapat dijangkau maknanya oleh manusia yang sudah mendalam
39
Jalaluddin al-Suyūṭi, Samudera Ulum al-Qur`an, Jilid. III, hal. 5-6.
39
ilmu pengetahuannya. Hal ini sejalan dengan tujuan diturunkannya al-Qur`an.
yaitu sebagai petunjuk bagi seluruh umat manusia.
E. Syarat-Syarat Penafsiran dan Pentakwilan.
Dalam upaya memahami makna al-Qur`an tidak semua orang dapat
menafsirkan dan mentakwilkan al-Qur`an secara bebas. Ulama menetapkan
syarat-syarat tertentu bagi mereka yang ingin menafsirkan al-Qur`an. Hal ini
dimaksudkan untuk menjaga kesucian al-Qur`an. Kalau semua orang diberikan
kebebasan untuk menafsirkan al-Qur`an maka akan terjadi kekacauan dalam dunia
penafsiran. Mereka akan menafsirkan al-Qur`an sesuai kebutuhan bahkan
mengikuti hawa nafsunya.
Dalam berbagai kajian tafsir, terdapat banyak metode dalam upaya
memahami makna al-Qur`an. metode-metode ini berawal dari ulama-ulama
terdahulu yang telah melakukan pengkajian al-Qur`an dari berbagai pendekatan.
Baik pendekatan sastra, fiqh, tasawuf, kalam, filosofis dan lain sebagainya. Hal
ini menuntut adanya penguasaan ilmu-ilmu tertentu pada mereka yang ingin
menafsirkan al-Qur`an.40
Adanya persyaratan-persyaratan yang telah ditetapkan oleh para ulama
terdahulu bagi mereka yang ingin menafsirkan dan mentakwilkan al-Qur`an
sangatlah beralasan. al-Qur`an telah menyebutkan kriteria mufassir yanitu mereka
yang mendalam ilmunya.
Disini penulis akan menyebutkan beberapa syarat penafsiran dan
pentakwilan sebagai berikut:
40
Syaikh Muhammad al-Ghazali, Berdialog dengan al-Qur`an, Memahami Pesan Kitab
Suci dalam Kehidupan Masa Kini, diterjemahkan oleh Masykur Hakim dan Ubaidillah dari judul
aslinya Kaifa Nataʻammal maʻal-Qur`an (Bandung: Mizan, 1996), Cet. III, hal. 29.
40
1. Syarat-Syarat Penafsiran
Imām Jalāluddīn al-Suyūṭī (849-911 H) dalam kitabnya al-Iṭqān fī „Ulūm
al-Qur‟ān menyebutkan lima belas ilmu yang harus dikuasai oleh seorang
mufassir atau mereka yang ingin menafsirkan al-Qur`an.41
Yaitu: 1. Ilmu Bahasa
(Bahasa Arab), 2. Nahwu, 3. Taṣrīf (ṣarraf),42
4. Isytiqāq (derivasi),43
5. Ilmu al-
Maʻānī, 6. Ilmu al-Bayān, 7. Ilmu al-Badīʻ, 8. Ilmu al-Qira‟āh, 9. Uṣūl al-dīn
(prinsip-prinsip agama), 10. Uṣūl Fiqh, 11. Asbāb al-Nuzūl (sebab-sebab turunnya
al-Qur`an), 12. Nasīkh wa al-Mansūkh, 13. Fiqh, 14. Hadits-hadits sebagai
penjelas ayat-ayat mujmal (global) dan mubham (samar), dan 15. Ilmu al-Muhibah
(mengamalkan ilmunya sehingga Allah swt,menganugerahkan kepadanya ilmu al-
mūhibah).
Adapun bagi seorang mufassir kontemporer, menurut Ahmad Bazawy Al-
Ḍawy,44
maka ia harus menguasai tiga syarat pengetahuan tambahan selain lima
belas ilmu di atas. Tiga syarat pengetahuan tersebut adalah: Pertama,
Mengetahui secara sempurna ilmu-ilmu kontemporer hingga mampu
memberikan penafsiran terhadap al-Qur`an yang turut membangun peradaban
yang benar agar terwujud universalitas Islam. Kedua, Mengetahui pemikiran
filsafat, sosial, ekonomi, dan politik yang sedang mendominasi dunia agar
mufassir mampu mengcounter setiap syubhāt yang ditujukan kepada Islam serta
memunculkan hakikat dan sikap al-Qur`an al-Karim terhadap setiap problematika
41
Jalāluddīn al-Suyūṭi, al-Itqān fī „Ulūm al-Qur‟ān, Juz. I (Dār al-Fikr), hal. 180-181 42
Ilmu Bahasa, nahwu dan Ṣarraf adalah merupakan hal yang sangat penting dalam
kaitannya dengan tafsir, sebab seseorang tidak akan bisa memahami ayat al-Qur`an tanpa
mengetahui mufradat dan susunan kalimatnya dengan jelas. Lihat: Muḥammad ʻAlī al-Ṣābūni, al-
Tibyān fī „Ulūl al-Qur‟ān, hal. 158. 43
Suatu nama apa bila isytiqaqnya berasal dari dua subjek yang berbeda, maka artinya
dapat dipastikan berbeda. Seperti kata al-Masīh apakah berasal dari al-Siyāḥah atau al-Maṣu. 44
Silakan lihat: Syurūṭ al-Mufassir wa Adābuhū dalam
http://www.ahlalhdeeth.com/vb/ṣowthread.php?t=82245. Diakses pada tanggal 30-08-
2015.
41
kontemporer. Dengan demikian, ia telah berpartisipasi dalam menyadarkan umat
terhadap hakikat Islam beserta keistimewaan pemikiran dan peradabannya.
Ketiga, Memiliki kesadaran terhadap problematika kontemporer. Pengetahuan ini
sangat urgen untuk memperlihatkan bagaimana sikap dan solusi Islam terhadap
problem tersebut.
Ilmu-ilmu ini merupakan instrumen bagi seseorang yang ingin
menafsirkan al-Qur`an. tanpa menguasai ilmu-ilmu ini sulit bagi mereka untuk
bisa memahami al-Qur`an dengan baik dan benar. Itulah syarat yang telah
ditetapkan oleh ulama terhadap para mufassir. Adanya tiga syarat tambahan bagi
mufassir kontemporer ini sangatlah logis, sebab problem yang dihadapi ulama
kontemporer tentulah tidak sama persis dengan problem yang dihadapi oleh
mufassir salaf. Sehingga berbagai hal yang berkaitan dengan penafsiran harus
dikuasai dan dipahami.
2. Syarat-syarat Pentakwilan.
Takwil sebagaimana diketahui merupakan salah satu metode/pendekatan
yang digunakan untuk memahami ayat-ayat al-Qur`an. Namun demikian takwil
harus dibatasi dengan berbagai syarat agar ia tidak digunakan secara liar dan
serampangan. Oleh karena itu, menurut Abu Zahrah takwil dapat diterapkan
apabila memenuhi tiga syarat, yaitu: Pertama, Lafaẓ tersebut memang
mengandung makna takwil walaupun itu sangat jauh, maksudnya makna itu
tidak asing sama sekali dari lafaẓdnya. Kedua, harus ada faktor yang menuntut
diterapkannya takwil. Lafaẓ yang mempunyai kemungkinan banyak makna, jika
dikembalikan pada makna asalnya maka ia akan bertentangan dengan naṣ. Maka
dalam kondisi seperti ini takwil dapat diterapkan. Misalnya kata yadun (tangan)
42
ketika disandarkan pada Allah swt, tidak boleh diartikan dengan makna aslinya,
tapi harus diartikan dengan kemungkinan makna yang lain, yakni al-Qudrah
(kekuasaan). Ketiga, takwil tidak boleh tanpa sanad.45
Syarat-syarat yang telah disebutkan di atas merupakan syarat yang
kaitannya dengan kondisional, yakni materi ayat yang memungkinkan dipahami
dengan menggunakan pendekatan takwil, dengan kata lain kriteria yang dapat
digunakan dengan mengidentifikasi ayat-ayat al-Qur`an yang sah untuk
ditakwilkan.
Adapun syarat keabsahan pemaknaan yang dilahirkan dari proses
pentakwilan adalah sebagai berikut:
1. Tidak bertentangan dengan syariat Islam (pengalihan makna yang
dilakukan tidak bertentangan dengan makna bahasa Arab, makna
syari‟at, atau makna urf).
2. Diperkuat dengan keterangan lainnya dalam al-Qur`an dan sunnah
(men-takhṣīṣ ayat yang umum atau men-taqyīd ayat yang muṭlāq).
3. Orang yang mentakwil memiliki kapasitas ilmu tentang takwil.
Misalnya, paham tentang ʻam dan khaṣ, muṭlāq dan muqayyad. Juga
tidak menafikan makna lahir, tapi hanya diperluas darinya dan
4. Tidak bertentangan dengan akal sehat.46
45
Abū Zahrah, Uṣūl Fiqh (Beirut Dār al-Fikr al-Arabiyah), hal. 135. 46
Abū Zahrah, Uṣūl Fiqh, hal. 136.
43
BAB III
BIOGRAFI SINGKAT AL-ṬABARĪ DAN AL-QĀSIMĪ
A. Muḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabarī
1. Riwayat Hidup al-Ṭabarī
Nama lengkap al-Ṭabarī adalah Abū Ja‟far Muḥammad Ibn Jarīr Ibn
Yazīd Ibn Katsīr1 Ibn Ghālib al-Ṭabarī dilahirkan di Amul, Ibu Kota Ṭabaristān,
Iran, pada tahun 224 H atau tahun 225 H (sekitar 839 M atau 840 M).2 Ketidak
pastian tahun kelahirannya disebabkan oleh sistem penanggalan tradisional
pada saat itu, yaitu dengan kejadian-kejadian besar dan bukan angka.3
Menurut para ahli sejarah, daerah ini dinamakan dengan Ṭabaristān karena
merupakan daerah pegunungan, dan penduduknya ahli dalam peperangan. Alat
yang digunakan dalam peperangan adalah Ṭabār (dalam bahasa Indonesia
semacam kampak).4 Perhatiannya terhadap ilmu pengetahuan tumbuh bersamaan
dengan pertumbuhan umurnya. Dalam usia tujuh tahun ia sudah hafal al-Qur`an,
jadi imam ṣalat ketika saat berusia delapan tahun, dan menulis hadits ketika
berusia sembilan tahun.5
1 Versi lain mengatakan bahwa Kakek kedua al-Ṭabarī bukan Katsīr bin Ghālib tetapi
Khālid bin Ghālib. Lihat: Muḥammad Bakr Ismāʻil, Ibn Jarīr al-Ṭabarī wa Manhājuh fī al-Tafsīr
(Kaira: Dār al-Manār, 1991), hal. 9. 2 Abū Jaʻfar Muḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabarī, Jāmiʻ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-Qur‟ān,
Jilid. I (Beirut Dār al-Fiqr), hal. 3. Lihat juga: Muḥammad Ṣifā‟ Syaikh Ibrāhīm Ḥaqqī, „Ulūm al-
Qur‟ān min Khilāli Muqaddimāt al-Tafāsir, Jilid. I (Muassasah al-Risalah, 2004), Cet. I, hal. 260. 3 Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Isra‟iliyat dalam Tafsir al-Ṭabarī dan Tafsir
Ibnu Katsīr (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal. 55-56. 4 Musṭafā al-Ṣāwi al-Juwaini, Manāhij fī al-Tafsīr (Mesir: Nas‟atu al-Maʻārif,
Iskandariyah), hal. 301. 5 Ḥasain „Aṣi, Abū Ja‟far Muḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabarī wa Kitabūhu Tārikh al-Umam
wa al-Muluk (Beirut: Dār al-Kutub al-„Alamiyah, 1992), Cet. I, hal. 53.
44
Al-Ṭabarī lahir dan berkembang ditengah-tengah keluarga yang
mempunyai perhatian tinggi terhadap masalah pendidikan, terutama dalam bidang
keagamaan. Hal ini bersamaan dengan situasi agama Islam yang sedang
mengalami kejayaan dan kemajuannya dibidang pemikiran sehingga menjadi
rujukan para pemikir saat itu. Hemat penulis Kondisi sosial yang demikian ini
secara psikologis tentu memberikan pengaruh yang besar terhadap kepribadian
seorang al-Ṭabarī dan menumbuhkan kecintaannya terhadap ilmu.
Setelah beberapa lama beliau belajar dikampung halamannya, yaitu Amul,
Tempat yang kondusif untuk membangun pendidikannya dan diasuh langsung
oleh ayahnya. Kemudian beliau mengadakan riḥlah ilmiyah ke berbagai tempat.
Tempat pertama yang menjadi tujuannya adalah Ray dan daerah sekitarnya.
Disana mulai belajar hadits dari Muḥammad bin Ḥāmid al-Rāzī. Kemudian
pindah ke Baghdad untuk belajar kepada Aḥmad bin Ḥambal (164-241 H/ 780-
855 M), tapi sesampainya di Baghdad ternyata Aḥmad bin Ḥambal sudah wafat.6
Di Kufah beliau belajar qirāah dari Sulaimān al-Tūlhi dan hadits dari sekelompok
jamāʻah yang diperoleh dari Ibrāhīm Abī Kuraib Muḥammad bin al-„Alā al-
Madanī, salah seorang ulama besar dalam bidang hadits. Dari Baghdad beliau
melanjutkan riḥlah ilmiyahnya menuju dua kota besar selatan Baghdad, yaitu
Basrah dan Kufah. Di Basrah, beliau berguru pada Muḥammad bin Abd al-Aʻlā
al-Sanʻānī (w 245 H/859 M), Muḥammad bin Mūsā al-Ḥarasī (w. 248 H/ 862 M),
dan Abū al-ʻAsʻas, Aḥmad bin al-Miqdam (w. 253 H/867 M), dan Abū al-Juzā‟
Aḥmad bin „Utsmān (w. 246 H/860 M).7
6 Al-Ṭabarī, Jāmiʻ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-Qur‟ān, Jilid. I, hal. 3.
7 Subḥi al-Ṣāliḥ, Mabāḥīts fī 'Ulūm al-Qur‟ān (Beirut: Dār al-'Ilm, 1972), Cet. VII, hal.
179-180.
45
Dalam bidang tafsir, al-Ṭabarī berguru kepada ulama Basrah, yaitu
Ḥumaid bin Masʻadah dan Bisr bin Muʻai al-„Aqadi (w. akhir 245 H/859-860 M),
namun sebelumnya beliau telah banyak menyerap pengetahuan tentang tafsir
dari ulama Kufah, yaitu Ḥamdān al-Sārī (w. 243 H/857 M). Pada tahun 253 H,
beliau sampai di Mesir. Pada saat di Mesir, beliau belajar pada pemuka-pemuka
madzhab Syāfiʻī, antara lain adalah: al-Rābi bin Sulaimān al-Murādī dan Ismāʻīl
bin Ibrāhīm al-Muzannī dan lain-lainnya. Dari sana beliau kemudian kembali ke
Baghdad, dan kembali ke Ṭabaristān, lalu balik lagi ke Baghdad hingga akhir
usianya. Beliau meninggal pada tahun 310 H.8
Diantara guru-guru beliau yang lain adalah: Syaikh Yūnus Abd „Aʻlā (w.
264 H), Syaikh Muḥammad Ibn Ḥāmid al-Rāzī (w. 248 H), Syaikh Sufyān Ibn
Waqīʻ (w. 247 H). Selain ini, masih banyak guru-guru beliau yang berada di
Syām, Mesir dan Iraq. Sementara sebagian murid-muruid beliau yang bertemu
langsung adalah: Ibn Mujāhid, Abū al-Qāsim al-Ṭabarani (w. 360 H), Muḥammad
Ibn Aḥmad al-Dajūni (224 H).9
Menurut Ḥusain al-Dzahabī dalam kitabnya “al-Tafsīr wa al-Mufassirūn”,
al-Ṭabarī merupakan salah seorang ulama dengan kredebilitas yang tidak
diragukan lagi pada masanya. Beliau hafal al-Qur`an, paham hukum-hukumnya,
dapat mengetahui hadits ṣahīh dan ḍaʻīf, hingga beliau dijuluki sebagai bapak
tafsir. Keluasan ilmu yang dimiliki al-Ṭabarī mendapatkan pengakuan dari
berbagau ulama:10
Berikut ini beberapa komentar ulama:
8 Al-Ṭabarī, Jāmiʻ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-Qur‟ān, Jilid. I, hal. 4.
9 Muḥammad Shifā‟ Syaikh Ibrāhīm Ḥaqqī, „Ulūm al-Qur‟ān min Khilāli Muqaddimāt al-
Tafāsir, Jilid. I (Muassasah al-Risalah, 2004), Cet. I, hal. 266-267. 10
Muḥammad Ḥusain al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Juz. I (Dār al-Hadīts al-
Qāhirah, 2005), hal. 180-181.
46
a. Jalāluddīn al-Suyūṭī: “al-Ṭabarī adalah pemimpin para mufassir secara
mutlak, seorang ulama multi disiplin keilmuan yang sulit dimiliki oleh
ulama yang semasa dengannya. Beliau hafal al-Qur`an, mengetahui
makna-maknanya, paham hukum al-Qur`an, mengetahui sunnah
dengan berbagai aspeknya, mengetahui sejarah ṣahabat, dan tabiʻīn”.11
b. Al-Khatīb: “al-Ṭabarī adalah salah satu imam pemimpin umat,
perkataannya dapat dijadikan hukum dan pendapatnya dapat dijadikan
rujukan. Beliau adalah seorang hāfiẓ yang mengetahui makna ayat-
ayat al-Qur`an dan paham terhdap hukum-hukum al-Qur`an, mengenal
hadits nabi serta periwayatannya dan kedudukan ṣahih dan tidaknya.”12
2. Karya-karya Intelektual al-Ṭabarī
Kemahiran al-Ṭabarī dari berbagai disiplin ilmu ditunjukkan dengan
sejumlah karya-karyanya. Mengenai berapa banyak buku yang telah beliau tulis
tidak ditemukan informasi yang pasti. Yang pasti al-Ṭabarī menulis kitab empat
lembar setiap hari selama 40 tahun,13
bisa dibayangkan betapa banyak karya yang
telah beliau tulis. Tapi tidak semua karya al-Ṭabarī sampai ke masa sekarang.
Siapa saja yang pernah membaca karya beliau dalam bidang fiqh maka ia akan
berkata bahwa beliau adalah faqīh (pakar fiqh), jika mereka membaca karya
tafsirnya mereka akan berkata bahwa beliau adalah seorang bapak tafsir, dan
apabila mereka karya nahwu, balāghah dan faṣāhah, mereka akan mengatakan
bahwa beliau adalah ahli bahasa, begitupun dengan disiplin ilmu-ilmu yang lain.
Menurut Rasikhan Anwar tidak semua karya al-Ṭabarī sampai ke masa sekarang.
Diduga banyak karya beliau tentang hukum yang hilang bersamaan dengan
lenyapnya madzhab jarīriyah. Berikut ini adalah beberap karya beliau yang
11
Jalāluddīn al-Suyūṭī, Ṭabaqāt al-Mufassirīn (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah, 1982),
hal. 82. 12
Māniʻ Abd Ḥalim Maḥmūd, Metodologi Tafsir, Kajian Komprehensif Metode Para
Ahli Tafsir, terj: Faisal Ṣaleh dan Syahdianor (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal. 69. 13
Ibrāhīm Ḥaqqī, „Ulūm al-Qur‟ān min Khilāli Muqaddimāt al-Tafāsir, hal. 267.
47
sampai pada masa sekarang ini:14
Kitab tafsir (Jāmiʻ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-
Qur‟ān),15
kitab Tārīkh (Tārīkh al-Umam wa al-Mulk, dan lain sebagainya), kitab
fiqh (Ikhtilāf „Ulūm al-Amṣār fī Ahkām al-Syar‟ī al-Islām), kitab hadits (Tahdzīb
al-Atsār wa Tafṣīl al-Tsābit „an Rasūlillah min al-Akhbār).
Dari sekian banyak karya al-Ṭabarī yang telah diterbitkan oleh berbagai
penerbit menunjukkan bahwa al-Ṭabari adalah salah seorang mufassir yang tidak
hanya menguasai satu cabang ilmu, tapi berbagai cabang keilmuan ia kuasai.
Seperti tafsir, fiqh, hadits, nahwu, bahsa Arab, sastra Arab, dan lain sebagainya.
3. Tafsir Jāmiʻ al-Bayān dan Sistematika Penulisannya.
Tafsir ini disusun oleh al-Ṭabarī sebelum beliau menulis kitab tarikhnya
dipenghujung abad ke tiga. Tafsir ini dianggap sebagai kitab induk dari berbagai
kitab tafsir yang ada sampai saat ini, yang terdiri dari 30 jilid.16
Mayoritas
mufassir menjadikan tafsir al-Ṭabarī ini sebagai rujukan utama bagi tafsir mereka
yang menggunakan bi al-Ma‟tsūr, namun tidak sedikit juga para tokoh mufassir-
bi al-Ra‟yi yang merujuk pada tafsir al-Ṭabarī. Hal yang demikian ini
menurut al-Dzahabi dikarenakan pembahasan tafsir al-Ṭabarī yang sangat luas dan
mendalam.17
Setiap mufassir punya metode tersendiri dalam usaha memahami makna
al-Qur`an. Metode-metode yang digunakan atau dikembangkan memiliki
keistimewaan dan kelemahan-kelemahan. Masing-masing dapat digunakan sesuai
14
Rasihan Anwar, Melacak Unsur-Unsur Isra‟iliyat dalam Tafsir al-Ṭabarī dan Tafsir
Ibnu Katsīr, hal. 62-64. Lihat juga: Abd Ḥalim Maḥmūd, Metodologi Tafsir. hal. 69. 15
Tafsir ini merupakan tafsir paling besar dan utama dan menjadi rujukan bagi para
mufassir bi al-ma‟tsūr, karena al-Ṭabarī menyandarkan penafsirannya pada para ṣahabat, tābiʻīn
dan tābiʻit tābiʻīn. Ia juga mengemukakan berbagai pendapat ulama dan mentarjihnya. Lihat:
Mannāʻ al-Qaṭṭān, Pengantar Studi Ilmu al-Qur`an, diterjemahkan oleh Aunur Rofiq (Pustaka
Kautsar, 2012), Cet. VII, hal. 478. 16
Thameem Uṣama, Metodologi Tafsir al-Qur`an, Kajian Kritis, Objektif dan
Komprehensif. Terj: Hasan Basri dan Amroeni (Jakarta: Radar Raya Pratama, 2000), Cet I. hal. 68. 17
Ḥusain al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, Juz. I, hal. 182.
48
dengan tujuan yang ingin dicapai. Secara umum ada empat metode penafsiran
yang telah dikenal oleh para mufassir, yaitu: metode Taḥlīlī (analisis), metode
Ijmālī (global), metode Muqāran (perbandingan/komparatif), dan metode
Mauḍuʻī (tematik).18
Sedangkan tafsir al-Ṭabarī (Jāmiʻ al-Bayān) menurut Abdul
Djalal menggunakan metode muqāran (komparatif), karena di dalamnya memuat
berbagai pendapat ulama dan membandingkan sebagian pendapat dengan
pendapat lainnya.19
Tafsir al-Ṭabarī, dilihat dari sumbernya dikenal dengan tafsir bi al-
Ma‟tsūr, yaitu tafsir yang mendasarkan penafsirannya pada riwayat-riwayat Nabi
saw, para ṣahabatnya, tabiʻīn, dan tabit tabiʻīn. Pola yang digunakan al-Ṭabarī
ketika ia hendak menafsirkan suatu ayat al-Qur`an dengan mengatakan takwil
ayat ini. Dalam tafsirnya ia berkata “pendapat mengenai takwil firman Allah swt,
ini adalah begini dan begini”. Kemudian beliau menafsirkannya dengan
menyandarkan kepada pendapat para ṣahabat dan tabiʻīn secara lengkap.20
Dilihat dari sumber penafsiran, tafsir al-Ṭabarī dapat dikelompokkan pada
tafsir bi al-Ma‟tsūr, tapi kalau dilihat dari metode pemaparannya, al-Ṭabarī
menggunakan metode taḥlilī karena menjelaskan dari semua aspeknya, dan
apabila ia membahas suatu tema tertentu dalam al-Qur`an (tematik) ia
menggunakan metode muqāran (komparasi) yaitu dengan memaparkan segala
riwayat atau pendapat yang berkenaan dengan ayat yang hendak ditafsirkan,
kemudian mentarjihnya dan mengambil pendapat yang paling unggul diantara
18
M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir (Tangerang: Lentera Hati, 2013), Cet. II, hal. 377-
378. 19
Abdul Djalal, „Ulūm al-Qur‟ān (Surabaya: Dunia Ilmu, 2008), Cet. III, hal. 3. 20
Husain al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, hal. 184.
49
beberapa pendapat yang dikutipnya21
. Ini artinya bahwa al-Ṭabarī di satu sisi juga
menggunakan ra‟yu-nya dalam menafsirkan al-Qur`an.22
Masalah bahasa dan hukum juga tidak ketinggalan dalam pembahasannya.
Oleh karenanya tafsir al-Ṭabarī melebihi penafsiran-penafsiran ulama terdahulu
(ulama sebelum al-Ṭabarī). Imam Nawāwī mengatakan “umat telah sepakat
bahwa belum pernah ada kitab tafsir yang sekaliber tafsir al-Ṭabarī”. Ibn
Taimiyah berkata “Diantara tafsir-tafsir yang sampai pada masa sekarang ini,
tafsir yang paling besar adalah tafsir al-Ṭabarī, karena ia memuat pendapat-
pendapat ulama salaf dengan sanad yang kuat. Dalam pendekatan bahasa, beliau
menjadikan bahasa Arab sebagai pegangan oleh karena bahasa arab merupakan
bahasa al-Qur`an, sehingga beliau menjadikan syair-syair arab kuno dan
madzhab-madzhab nahwu sebagai salah satu pegangan.23
Tafsir al-Ṭabarī juga menggunakan metode taḥlīlī,24
karena menafsirkan
ayat sesuai dengan susunan muṣaf, sedangkan oreintasi yang digunakan adalah
oreintasi gabungan, karena mengagabungkan penafsiran bi al-Ma‟tsūr dengan
penafsiran bi al-Ra‟yi.25
Banyaknya hadits yang terhimpun di dalamnya,
menyebabkan tafsir al-Ṭabarī secara partikular dinilai sebagai contoh penting dan
rujukan tafsir bi al-Ma‟tsūr.
21
Mannāʻ al-Qaṭṭān, Studi Ilmu al-Qur`an, terj: Mifdhol Abdurrahman (Jakarta: Pustaka
al-Kautsar, 2012), Cet. VII, hal. 454. 22
Muzdalifah Muhammadun, “Jāmiʻ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-Qur‟ān; Analisis Alur
Penafsiran Ibnu Jarīr al-Ṭabarī”. Jurnal al-Fikr Volume 17 Nomor 2 Tahun, 2013. Hal. 9. 23
Mannāʻ al-Qaṭṭān, Studi Ilmu al-Qur`an, hal. 454. Lihat juga: Ḥusain al-Dzahabī, al-
Tafsīr wa al-Mufassirūn, hal. 172. 24
Tafsir taḥlīlī adalah menafsirkan ayat al-Qur`an dengan berbagai seginya, sesuai
dengan kecenderungan dan keinginan mufassirnya, dihidangkan secara urutan muṣaf. Biasanya
yang dihidangkan mencakup pengertian umum kosa kata ayat, munasabah ayat dengan ayat
sebelumnya, Asbāb al-Nuzūl, makna global ayat, hukum yang dapat ditarik, biasanya
menghadirkan berbagai pendapat madzhab, qirā‟at, i‟rāb ayat-ayat yang ditafsirkan serta ke
istimewaan susunan katanya. Lihat: M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, hal. 378. 25
Rasihan Anwar, Melacak Unsur-unsur Isrā‟ iliyāt dalam Tafsir al-Ṭabarī dan Tafsir
Ibn Katsīr, hal. 66.
50
Al-Ṭabarī mengecam orang-orang yang hanya menggunakan akalnya
dalam menafsirkan al-Qur`an atau hanya mengandalkan pengertian-pengertian
bahasa dalam menafsirkan al-Qur`an. Beliau sangat menganjurkan agar para
mufassir merujuk pada qaul para ṣahabat dan tabiʻīn dengan sanad yang ṣahīh.
Hal ini menurut al-Ṭabarī sekaligus menjadi ciri tafsir yang ṣahīh dan berfaidah.26
Adapun sistematika penulisan tafsir al-Ṭabarī adalah dengan menyebutkan
beberapa hal penting terkait penafsirannya, misalnya beliau berbicara tentang
kerapihan susunan al-Qur`an. menjelaskan huruf-huruf al-Qur`an yang sama
penuturannya dalam bahasa-bahasa lain dan menjelaskan huruf-huruf yang
berbeda dengan bahasa lain. Meriwayatkan hadits Nabi dengan lengkap.
Menjelaskan sudut pandang yang dipakai agar memahami takwil al-Qur`an,
lalu menyebutkan beberapa riwayat yang melarang pentakwilan dengan
menggunakan akal-pikiran semata. Setelah semua ini dibahas beliau kemudian
menjelaskan penafsirannya terhadap ayat al-Qur`an. Dalam menafsirkan al-
Qur`an beliau mengemukakan pendapatnya dengan bersandar pada atsār dan
akhbār serta kaidah dan ucapan-ucapan ulama terdahulu.27
B. Muḥammad Jamaluddīn al-Qāsimī
1. Riwayat Hidup al-Qāsimī.
Nama lengkap al-Qāsimī adalah Jamāl ad-Dīn bin Muḥammad Sa‟īd ad-
Dimasyqī bin Muḥammad Qāsim al-Ḥallāq al-Syāfiʻī al-Atsāri.28
Beliau lahir di
Damaskus pada tahun 1866 M, dan wafat pada tahun 1914 M bertepatan dengan
tahun 1332 H. Al-Qāsimī banyak mengkaji karya-karya para muḥaddits, uṣūliyyīn,
26
Ḥusain al-Dzahabī, al-Tafsīr wa al-Mufassirūn, hal. 184. 27
Abd Ḥalīm Maḥmūd, Metodologi Tafsir, hal. 72-73. 28
Abd al-Ḥayyi bin „Abd al-Kabīr al-Kittāni, Faḥrās al-Faḥāris wa al-Itsbāt, Juz. I (Dār
al-Garb al-Islāmī, 1982), hal. 477.
51
fuqahā‟, sufistik, ilmu kalam (teologi) dan ahli sastra, baik klasik maupun
kontemporer.29
Dalam masalah-masalah agama, al-Qāsimī selalu menganjurkan madzhab
salaf untuk dijadikan dasar pijakan. Belaiu selalu membela madzhab salaf baik
dalam studinya maupun karya-karyanya. Madzhab salaf baginya hanyalah
melaksanakan ajaran al-Kitab (al-Qur`an) dan sunnah, tanpa mengurangi atau
menambah sedikitpun. Dalam persoalan-persoalan yang kontroversi beliau
menganjurkan sifat adil dan mengikuti pandangan yang dibangun berdasarkan
dalil tanpa mencaci yang berbeda dengan pandangannya dan tidak juga membabi
buta.30
Al-Qāsimī tumbuh ditengah keluarga yang dikenal takwa dan berilmu.
Ayah beliau adalah seorang ahl fiqh sekaligus sastrawan bernama Abū
ʻAbdillāh Muḥammad Saʻīd Abi al-Khair. Ayahnya mewarisi perpustakaan yang
berisi banyak literatur keilmuan dari kakeknya, kemudian dari ayahnya
diwariskan langsung pada kepada al-Qāsimī. Perpustakaan ini memuat banyak
literatur keagamaan seperti: tafsir, hadits, fiqh, bahasa, tasawuf, sastra, sejarah,
uṣūl fiqh. Buku-buku umum lainnya seperti sosial kemasyarakatan, olah raga,
hukum perbandingan, filsafat dan sejarah perbandingan agama.31
Fasilitas ini yang membuat al-Qāsimī banyak membaca karya-karya para
mufassir, ahli hadits, uṣūl fiqh, tasawuf, ilmu kalam dan lain sebagainya. baik
yang klasik maupun yang kontemporer. Tidak heran jika beliau tumbuh sebagai
seorang intelek yang mempuni dalam segala bidang ilmu keagamaan. Disamping
29
Abd Majīd Abd Salām al-Muh {tasib, Ittijāhāt al-Tafsīr fī al-„Aṣri al-Hadīts, (Dār al-
Fikr), hal. 41. 30
Abd Salam al-Muh {tasib, Ittijāhāt al-Tafsīr fī al-„Aṣri al-Hadīts, hal. 42. 31
Abd Salam al-Muh{tasib, Ittijāhāt al-Tafsīr fī al-„Aṣri al-Hadīts, hal. 42.
52
fasilitas yang lengkap beliau juga termasuk sosok yang mempunyai kecerdasan
diatas rata-rata.
Walaupun al-Qāsimī banyak belajar secara otodidak lewat buku-buku yang
ada di perpustakaannya, beliau tidak terlepas dari pengaruh ulama yang se zaman
dengannya. Pertemuannya dengan Muḥammad Abduh pada tahun 1904 M
memberikan pengaruh yang luar biasa pada diri al-Qāsimī. Para penulis yang
sezaman dengan al-Qāsimī menganggap sajak dalam kepenulisan sebagai pesona
utama. Seiring berkembangnya karya prosa yang telah digunakan oleh
Muhammad Abduh dalam karya tulisnya dan kekaguman al-Qāsimī kepada
Muhammad Abduh membuat al-Qāsimī menggantikan gaya sajak dengan prosa
dalam berbagai karya tulisnya.32
Al-Qāsimī adalah salah seorang pengagum Ibn Taimiyah sehingga
termasuk bagian dari pentolan madrasah salaf. Beliau menjadi intelek yang
menguasai banyak ilmu hingga ia pernah menceritakan tentang dirinya sendiri.
Allah swt, telah melimpahkan karunia-Nya. Beliau belajar Ṣahih Muslim baik
secara riwāyah atau dirāyah pada suatu majelis selama 40 hari, Sunan Ibn Mājah
selama 21 hari, Muwaṭṭa‟ Imam Malik selama 19 hari, ia mempelajari sendiri
kitab Taqrīb al-Tahdzīb karya Ibn Hajar serta merevisi kesalahan-kesalahan yang
ada di dalamnya, memperkokoh dan mensyarahnya. Lalu ia berkata “kitab ini saya
baca diiringi dengan yang lainnya. Aku bersungguh-sungguh dalam mepelajarinya
hingga aku sakit mata”. Karena kealiman dan kecerdasan pemikiran-
pemikirannya, beliau dituduh sebagai penggagas madzhab baru yang sering
disebut dengan madzhab Jamalī, hingga akhirnya beliau ditanggap untuk dimintai
32
Abd Salam al-Muh {tasib, Ittijāhāt al-Tafsīr fī al-„Aṣri al-Hadīts, hal. 42.
53
keterangan. Tapi beliau menjawab semua apa yang dituduhkan kepadanya dan
memberikan kebuktian akan ketidakbenaran tuduhan yang dituduhkan
kepadanya. Ketidak terbuktian tuduhan itu membuatnya dilepaskan dari penjara.33
2. Karya-karya Intelektual al-Qāsimī.
Pada masa ayahnya masih hidup, al-Qāsimī sudah mulai mendedikasikan
hidupnya di dunia intelektual sebagai seorang pengajar. Setelah ayahnya wafat,
beliau menggantikan posisinya sebagai pimpinan di Masjid Sananin Damaskus.
Kegigihannya dalam mengkaji berbagai literatur keislaman semakin menguat.
Beliau mulai memberikan syarh kitab-kitab, mengkritik hingga
menyusun/menulis berbagai kitab sesuai dengan kapasitas keilmuannya. Dengan
semangat dan keilmuan yang ditekuninya, lahirlah beberapa karya beliau dengan
jumlah yang cukup banyak, yang berjumlah tidak kurang dari 80 karya.34
Baik
yang telah tercetak atau yang masih berbentuk dokumen asli. Ada yang
menyebutnya secara pasti yaitu berjumlah 72 kitab.
“Menururt Maniʻ Abdul Ḥalīm Maḥmūd dalam bukunya
“Metodologi Tafsir: Kajian Kompehensif Metode Para Ahli Tafsir”
Diantara karya-karya al-Qāsimī yang paling populer adalah: “(1) Tafsīr
Maḥāsin al-Ta‟wīl, (2) Faṣ al-Kalām fī ḥaqīqati „Audi al-Rūh ilā al-
Mayyiti hīna al-Kalām, (3) Al-Bahtsu fī Jamī al-Qirāti al-Utārif „Alaihā,
(4) Dalāil al-Tauḥīd, (5) Mau‟iẓah al-Mu‟minīn min Iḥyā‟ „Ulūmuddīn,
(6) Qawāid al-Ta‟hdits fī Funūn Muṣṭalah al-Hadīst”.35
3. Tafsir Maḥāsin al-Ta‟wīl dan Metodologi Penulisannya.
Tafsir al-Qāsimī, Maḥāsīn al-Ta‟wīl terdiri dari 17 juz. Juz pertama berisi
muqaddimah yang secara khusus menjelaskan kaidah-kaidah tafsir, seperti Asbāb
al-Nuzūl, Nāsikh wa al-Mansūkh, Kisah para Nabi dan lain sebagainya. Hal ini
33
Abd Ḥalīm Maḥmūd, Metodologi Tafsir, hal. 234. 34
Abd Ḥalīm Maḥmūd, Metodologi Tafsi, hal. 233. 35
Abd Ḥalīm Maḥmūd, Metodologi Tafsir, hal. 233.
54
dimaksudkan agar juz pertama ini menjadi kunci dari tafsir al-Qāsimī tersebut.36
Al-Qāsimī berkata dalam muqaddimah tafsir Maḥāsīn al-Ta‟wīl:
“Setelah saya menghabiskan sebagian hidup saya untuk
menganalisa beberapa realitas tafsir, maka saya berhenti sejenak untuk
menganalisa kedalamannya. Saya bermaksud untuk membuat sistematika
dalam menelusuri mufassir besar sebelum rahasia-rahasianya rusak dan
unsur-unsurnya punah, dan untuk membantunya saya harus membuat
rambu-rambu, dan untuk membuatnya saya harus membuat susunan-
susunan/sistematika. Sehingga saya harus menguatkan tekat yang lemah
dan idealisme yang rapuh. Saya selalu minta petunjuk kepada Allah swt,
dalam merumuskan kaidah-kaidahnya dan dalam menjelaskan maksud-
maksud dalam kitabnya. Dengan pertolongan Allah swt, saya beri nama
Maḥāsīn al-Ta‟wīl. Saya mengisinya dengan sesuatu yang seharusnya
tidak ada, seperti beberapa hasil penelitian”.37
Tafsir adalah sebuah hasil pemahaman ulama terhadap teks al-Qur`an yang
sifatnya ṣāliḥun likulli zamān wa al-makān. Karena itu, tafsir akan selalu
mendemonstrasikan karakter ruang serta waktu dimana dan kapan ia lahir.38
Maka, kajian terhadap latar belakang sosio-kultural dimana sebuah kitab tafsir
muncul adalah sesuatu yang urgen. Hal ini penting untuk mengetahui situasi apa
dan pengaruh apa yang melatar belakangi kemunculan kitab tafsir tersebut.
Begitu juga dengan kitab tafsir karya al-Qāsimī ini.
Kitab tafsir Maḥāsīn al-Ta‟wīl muncul ditengah zaman, dimana terjadi
benturan antara dua peradaban yang berbeda. Benturan yang terus-menerus antara
Islam dengan gerakan internasional orientalisme dan misionarisme pada
pertengahan abad ke-19 dan awal abad ke-20, di mana serangan kolonialis kafir
terhadap dunia Islam mencapai puncaknya.39
36
Abd Salam al-Muh {tasib, Ittijāhāt al-Tafsīr fī al-„Aṣri al-Hadīts, hal. 42. 37
Jamāluddīn al-Qāsimī, Maḥāsin al-Ta‟wīl, Juz. I (Khādim al-Kitāb wa al-Sunnah,
Muḥammad Fu‟ād „Abdu al-Bāqī, 1957), Cet. I, hal. 5. 38
Muhammad Yusuf dkk, Studi Kitab Tafsir: Menyuarakan Teks yang Bisu
(Yogyakarta: Teras kerja sama dengan TH-Press, 2004), hal. 11. 39
Abd Salam al-Muḥtasib, Ittijāhāt al-Tafsīr fī al-„Aṣri al-Hadīts, hal. 54.
55
Benturan antara dua peradaban ini diiringi muatan kepentingan, yang
bukan saja berkaitan dengan aspek teologis, juga berkaitan dengan aspek ekonomi
dan aspek kekuasaan. Benturan dan perang wacana ini pun terjadi di tempat
tinggal al-Qāsimī, yaitu negeri Syam. Tak pelak lagi, negeri Syam menjadi tempat
persemaian yang subur bagi gerakan kaum misionaris dan para pengikutnya.
Ditengah-tengah suasana inilah al-Qāsimī menulis karya tafsirnya.
Salah satu yang menjadi karakteristik tafsir Maḥāsin al-Ta‟wīl adalah
bahwa stiap kali al-Qasimi hendak menafsirkan ayat ia mengatakan: “al-Qaulu fī
Ta‟wīli qaulihī Taʻālā” seperti halnya al-Ṭabarī. Penulis berasumsi bahwa
penamaan tafsir al-Qāsimī dengan Maḥāsin al-Ta‟wīl disamping karena hasil
istikhārah kepada Allah swt, juga karena sesuai dengan isi di dalam tafsirnya
yang menghimpun banyak pendapat-pendapat para ulama, baik secara riwāyah
maupun dirāyah. Kemudian beliau menyaring pendapat-pendapat tersebut dan
mengambil yang paling kuat. Hal ini dapat dilihat ketika beliau mengkritik
pendapat-pendapat Mu‟tazilah dalam tafsirnya (Maḥāsin al-Ta‟wīl).
Al-Qāsimī dalam dalam tafsirnya (Tafsīr Maḥāsīn al-Ta‟wīl)
menggunakan metode taḥlīlī (analisis-terperinci), yaitu dengan memaparkan
makna dan segala aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan al-
Qur`an yang terdapat dalam muṣaf ustmani. Al-Qāsimī tampaknya terpengaruh
dengan tendensi ilmiyah dalam tafsirnya, sehingga dalam menafsirkan beberapa
ayat beliau mengetengahkan sub pokok bahasan untuk menjelaskan secara detail
masalah-masalah ilmu Astronom yang terdapat dalam al-Qur`an. beliau mengutip
dari beberapa pakar Astronom.40
40
Abd Salam al-Muh {tasib, Ittijāhāt al-Tafsīr fī al-„Aṣri al-Hadīts, hal. 43.
56
Disamping menggunakan metode taḥlīlī al-Qāsimī juga menggunakan
metode muqāran (perbandingan), yaitu dengan mengetengahkan berbagai
pendapat mufassir klasik dan mengutip dari tafsir mereka.41
Seperti tafsir al-
Ṭabarī, al-Zamakhsyari, Fakhru al-Rāsi, Ibn Katsīr dan lain sebagainya, kemudian
beliau mentarjih dengan memilih pendapat yang paling unggul menurutnya.
Dilihat dari pengambilan sumbernya, tafsir al-Qāsimī termasuk tafsir bi al-
Ma‟tsūr, yaitu sebuah penafsiran yang bersumber dari al-Qur`an, sunnah nabi,
perkataan ṣahabat, tābiʻīn dan tābiʻit tābiʻīn. Hal ini karena al-Qāsimī juga
merupakan ulama yang pakar dalam ilmu hadits dan musṭalahnya, sehingga
halaman demi halaman dalam tafsirnya hampir tidak ada yang tidak berisi hadits.
Disamping menggunakan riwāyah dalam tafsirnya, al-Qāsimī juga menggunakan
ra‟yu.
Al-Qāsimī terlihat membela madzhab ahl al-Sunnah. Oleh karenanya,
tatkala beliau mengetengahkan pendapat Muʻtazilah selalu disertai dengan
bantahannya. Misalnya, ketika beliau mengetengahkan pandangan Muʻtazilah
bahwa ahli maksiat (al-„Uṣāt) tidak akan mendapatkan syafāʻat. Beliau
menyanggah dan melemahkan pendapat Muʻtazilah dengan mengutip pendapat-
pendapat Ibn al-Munayyar al-Iskandari. Seperti ketika beliau menafsirkan firman
Allah swt, QS. al-Baqarah [2]: 48.
ها ها شفاعة ولا ي ؤخذ من وات قوا ي وما لا تزي ن فس عن ن فس شيئا ولا ي قبل من رون عدل ولا ىم ينص
“Dan jagalah dirimu dari (adzab) hari (kiamat, yang pada hari itu)
seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu
41
Abd Salam al-Muh{tasib, Ittijāhāt al-Tafsīr fī al-„Aṣri al-Hadīts, hal. 44.
57
pula) tidak diterima syafāʻat dan tebusan dari padanya, dan tidaklah
mereka akan ditolong”.
Dengan berpedoman pada ayat ini Muʻtazilah berpendapat bahwa ahli
maksiat tidak akan mendapatkan syafāʻat, karena ia telah menafikan hak
seseorang atas hak orang lain yang diperlukan oleh siapapun yang mengerjakan
dan meninggalkan serta menafikan diterimanya syafāʻat bagi pemberi syafaat.
Jadi dapat dipahami bahwa ahli maksiat tidak dapat menerima syafaʻat. Al-Qāsimī
kemudian menanggapi pernyataan Muʻtazilah ini dengan mengatakan bahwa ayat
ini teruntuk khusus orang-orang kafir. Hal ini dipertegas dengan seruan yang
ditujukan kepada mereka. sebagaimana firman Allah swt, QS. al-Mudatstsir [74]
4842
dan QS. Al-Syuʻarā [26], 100-101.43
Makna ayat ini adalah bahwa Allah swt,
tidak akan memberikan tebusan dan syafāʻat bagi mereka yang kufur.44
42
Maka syafaʻat orang-orang yang dapat memberikan syafaat tidak akan bermanfaat
sedikitpun bagi mereka (orang-orang kafir). 43
Maka kami tidak mempunyai pemberi syafa‟at seorangpun, dan tidak pula mempunyai
teman yang akrab. 44
Jamāluddīn al-Qāsimī, Maḥāsin al-Ta‟wīl, Juz. II, hal. 121.
58
BAB IV
PERBANDINGAN TA’WIL AL-ṬABARĪ DENGAN AL-QĀSIMĪ
A. Penerapan Takwil sebagai Tafsir
Setelah menjelaskan makna tafsir dan takwil serta menguraikan persamaan
dan perbedaannya pada bab II, maka pada bagian ini penulis akan menghadirkan
beberapa contoh penafsiran dalam kitab Tafsīr Jāmiʻ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-
Qur‟ān, karya al-Ṭabarī dan Tafsīr Maḥāsin al-Ta‟wīl, karya Jamāluddīn al-
Qāsimī), kemudian membandingkan kedua pendapat mufassir ini tentang takwil
dan tafsir.
Pada sub bab ini, penulis berupaya menguraikan apa dan bagaimana yang
dilakukan oleh al-Ṭabarī dan al-Qāsimī dalam menjelaskan lafaẓ-lafaẓ al-Qur`an
dalam tafsirnya. Selama ini, yang penulis tahu dan sebagaimana yang telah
dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa al-Ṭabarī dan al-Qāsimī selalu
menyebutkan kata ta‟wīl sebelum menjelaskan makna suatu ayat, penulis ingin
melihat apakah kata ta‟wīl yang dimaksud al-Ṭabarī dan al-Qāsimī adalah
memalingkan makna suatu lafaẓ dari makna asli pada makna yang lain atau
memalingkan makna suatu lafaẓ dari yang rājiḥ{{ pada yang marjūḥ{, menjelaskan
makna bāṭin bukan makna ẓāhir dari suatu lafaẓ, sebagaimana yang didefinisikan
oleh kebanyakan ulama kontemporer.1 Atau yang dimaksud oleh al-Ṭabarī dan al-
Qāsimī dengan kata ta‟wīl-nya adalah al-bayān, al- syarh, al-iḍāh, al-kasyf
sebagaimana tafsir. Untuk melihat hal tersebut, penulis melakukan pelacakan dari
1 Jamāluddīn al-Qāsimī, Maḥāsin al-Ta‟wīl, Juz. II (Khādim al-Kitāb wa al-Sunnah,
Muḥammad Fu‟ād „Abdu al-Bāqī, 1957), Cet. I, hal. 763.
59
tiga contoh ayat. Pada tiga contoh ayat ini, penulis akan melihat seberapa banyak
kata-kata ta‟wīl dan kata-kata tafsīr yang digunakan oleh al-Ṭabarī dan al-Qāsimī
dalam menjelaskan tiga ayat itu.
Untuk menunjukkan bahwa penggunaan kata ta‟wīl yang digunakan oleh
al-Ṭabarī dan al-Qāsimī sebenarnya bermakna tafsir, penulis menguraikannya
dengan sistematika analisis sebagai berikut: 1) penulis memilih ayat yang akan
dijadikan sampel, 2) memilih lafaẓ dari ayat sampel yang bisa diasumsikan
bahwa al-Ṭabarī dan al-Qāsimī menafsirkan ayat tersebut sekalipun menggunakan
kata ta‟wīl, 3) penulis menyajikan pandangan al-Ṭabarī terlebih dahulu
kemudian al-Qāsimī sebagai bahan perbandingan. Apakah penjelsan yang mereka
lakukan itu sesuai dengan asumsi penulis bahwa al-Ṭabarī dan al-Qāsimī
menafsirkan ayat tersebut.? Adapun rincian dari struktur analisis yang dilakukan
oleh penulis adalah sebagai berikut:
1. Pemilihan Tiga Contoh Ayat yang Menjadi Sampel
Perintah menyembah/ibadah kepada Allah. (QS. al-Baqarah [2]: 21).2
ت ت قون والذين من ق بلكم لعلكم خلقكم ربكم الذي اعبدوا يا أي حها الناس Tantangan terhadap orang-orang kafir. (QS. al-Furqān [25]: 33).
3
ناك بالق وأحسن ت فسناولا يأتونك بثل إلا جئ Penciptaan manusia pada dua jenis. (QS. al-Ḥujurāt [49]: 13).
4
2 Hai manusia, sembahlah Tuhan-mu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertakwa. 3 Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil,
melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya. 4 Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-
mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang
paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
60
ن اكر وأنثى وجعلناكم لت عارفوا إن وق بائل شعوبايا أي حها الناس إنا خلقناكم م أكرمكم عند اللو أت قاكم إن اللو عليم خبن
Berikut adalah sejumlah alasan mengapa ayat-ayat di atas dipilih sebagai
sampel untuk memberi dan memastikan pemaknaan takwil dari ke dua mufassir
bermakna tafsir: (a) tiga ayat di atas tergolong ayat-ayat muḥkam. (b) terdapat kata
tafsīr dalam ayat tersebut. (c) secara umum, makna ayat tersebut sudah jelas dan
pasti.
2. Pemilihan Lafaẓ yang akan Dikomparasikan dari Ayat Terpilih.
Dari ketiga ayat di atas, penulis telah menetapkan beberapa lafaẓ yang
dianggap lafaẓ-lafaẓ kunci pada pembahasan ini. Dari QS. al-Baqarah [2]: 21,
penulis memilih tiga lafaẓ yang menjadi pokok pembahasan dalam penelitian ini.
Yaitu: lafaẓ اعبذوا, lafaẓ خهقكم, dan lafaẓ حخقىن, Pada ayat kedua (QS. al-Furqān
[25]: 33) penulis mengambil lafaẓ حفضيزا, dan pada ayat ketiga (QS. al-Ḥujurāt
[49]: 13), diambil dua lafaẓ, yaitu: lafaẓ شعىبب, dan lafaẓ قببئم.
Adalah sebuah kelaziman dalam tafsir dengan metode taḥlīlī mufassir
menjelaskan terlebih dahulu sejumlah kosa kata yang dianggap sulit. Begitu pula
dengan tafsiran al-Ṭabarī dan al-Qāsimī. Keduanya mencantumkan sejumlah kosa
kata yang diperinci. Dari sejumlah kosa kata yang mereka cantumkan dalam
penjelasan tiga ayat di atas diambil 6 kosa kata yang menjadi alat teropong
penulis untuk melihat maknanya. Sebab 6 kosa kata tersebut menurut penulis
merupakan kosa kata yang sangat mudah dipahami.
61
3. Perbandingan Uraian Al-Ṭabarī dengan Al-Qāsimī dari Lafaẓ-Lafaẓ
Terpilih.
Sebelum menguraikan bagaian ini, penulis terlebih dahulu menunjukkan
tabel yang berkaitan dengan penjelasan lafaẓ-lafaẓ yang telah ditetapkan, dari
uraian kedua mufassir.
Tabel 4.1: Perbandingan penggunaan Kata Ta’wīl, Tafsīr dan Riwayat
penjelas.5
Nama
Mufassir
Ayat Terpilih
dalam Al-Qur`an
Jumlah
Kata Ta’wīl Kata Tafsīr Riwayah
Al-
Ṭab
arī
QS. al-Baqrah [2] 21 3 ta* 4
QS. al-Furqān [25] 33 3 ta* 4
QS. al-Ḥujurāt [49] 13 4 ta* 14
Al-
Qās
imī
QS. al-Baqrah [2] 21 1 ta* ta*
QS. al-Furqān [25] 33 1 Al-mufassir ta*
QS. al-Ḥujurāt [49] 13 1 ta* 6
*) ta: tidak ada data.
a. Al- Ṭabarī
Lafaẓ اعبذوا pada ayat pertama dipahami dengan kata waḥḥidū
sebagaimana pendapat Ibn „Abbās dalam sebuah riwayatnya.6 Tapi al-Ṭabarī
5 Tabel ini disajikan berdasarkan analisis penulis dari penjelasan al-Ṭabarī dan al-Qāsimī
atas tiga ayat di atas. 6 Dalam hal ini al-Ṭabarī menyebutkan tiga riwayat dalam kitabnya. Yanitu riwayat
Muḥammad bin Ḥumaid, Mūsa bin Harūn, dan Ibn ʻAbbās. Ibn ʻAbbās berkata dalam sebuah
riwayat yang diriwayatkan pada kami tentang makna uʻbudū, ia berkata bahwa makna uʻbudū
adalah wḥḥidū, al-Ṭabarī berkata: mungkin yang diinginkan Ibn ʻAbbās dalam mentakwilkan kata
uʻbudū dengan lafaẓ waḥḥidū adalah mengkhususkan ketaatan dan ibadah hanya kepada Allah,
bukan pada makhluk-Nya. Lihat: al-Ṭabarī, Jāmiʻ al-Bayān, Juz. I, hal. 385.
62
memahami kata عببدة dengan menjelaskan makna kebahasaan, yaitu dengan
menyebutkan lafaẓ-lafaẓ yang sesuai dengan makna kata „ibādah. Seperti kata
ketaatan dan kepatuhan kepada Allah, dengan segala) انخذنم dan lafaẓ انخضىع لله
kerendahan jiwa dihadapannya). Hal ini sama ketika al-Ṭabarī memaknai kata
.pada surah al-Fātiḥ{ah وعبذو
Pilihan kata yang kedua dalam ayat ini adalah lafaẓ خهقكم. Dari pelacakan
penulis tentang pemaknaan al-Ṭabarī terhadap lafaẓ ini, diketahui bahwa ia
menjelaskan kata خهقكم sama persis dengan teks asli yaitu khalaqaqum. Pada lafaẓ
ketiga yang menjadi pilihan penulis dalam pembahasan ini adalah lafaẓ حخقىن, ia
mentakwil lafaẓ tersebut dengan makna lafẓiyah-nya, yaitu dengan kata طبعت.
Kalau diperhatikan makna kedua lafaẓ ini, maka terdapat kesamaan arti di
dalamnya. Taqwā dan Ṭāʻah berarti mengerjakan segala perintah dan menjauhi
larangan-Nya. Disamping itu, ia juga menyebutkan dua pendapat ulama yang
lain, yaitu Mujāhid dan Ibn Wāqiʻ. Keduanya memaknai kata حخقىن dengan kata
.حطيعىن
Pada ayat kedua, terdapat lafaẓ حفضيزا. Pada ayat ini al- Ṭabarī memulai
uraiannya dengan menjelaskan ayat secara keseluruhan, kemudian ia mengutip
satu riwayat sebagai penyokong pendapat yang ia kemukakan.7 Bahwa takwil
dari ayat di atas adalah “orang-orang musyrik itu tidak akan datang kepadamu
(Muhammad) dengan membawa contoh yang mereka buat yang serupa dengan al-
Qur`an, kecuali aku datang kepadamu dengan membawa kebenaran yang dapat
membatalkan/mengalahkan apa yang telah mereka upayakan”.
7 Sebagaimana al-Qāsim menceritakan kepada kami, ia berkata: Husain menceritakan
kepada kami, ia berkata: Hajjāj menceritakan kepadaku, dari Ibn Juraij dari Mujāhid, tentang
firman Allah “Wa aḥsana Tafsīra” ia berkata: Bayānan. Lihat: al-Ṭabarī, Jāmiʻ al-Bayān, juz.
XVII, hal. 448.
63
Sebagaimana lafaẓ tattaqūn, lafaẓ tafsīr juga dijelaskan dengan
menggunakan makna lafẓiyah-nya, yaitu dengan menyebutkan lafaẓ sinonim dari
kata tafsīr. Kata tafsīr, sebagaimana telah penulis jelaskan pada bab II, jika
dilihat dari pengertian secara bahasa, maka ia bermakna al-ibānah, al-kasyf, dan
al-bayān.8 Demikian juga yang dilakukan al-Ṭabarī dalam menguraikan makna
kata tafsīr dalam ayat ini pada kitab tafsirnya. Ia menjelaskannya hanya dengan
makna lafẓiyah, dan menyebutkan beberapa pendapat ahl ta‟wīl yang senada
dengan pendapatnya.9
Pada ayat ketiga ini, penulis memilih dua lafaẓ yang diteropong
penjelasannya. Hal ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana al-Ṭabarī dalam
menguraikan makna dua lafaẓ tersebu? Dua lafaẓ itu adalah lafaẓ syuʻūb dan
qabāil. Kata syuʻūb dan qabāil jika dilihat dalam al-Qur`an terjemahan DEPAG,
diterjemahkan dengan “berbangsa-bangsa dan bersuku-suku.”10
Namun demikian,
al-Ṭabarī dengan mengacu pada beberapa riwayat yang telah ia sebutkan dalam
kitab tafsirnya.11
Ia memaknai dua lafaẓ tersebut dengan makna yang berbeda dari
8 Mannāʻ Khalīl al-Qaṭṭān, Mabāhis fī Ulūm al-Qur‟ān (Mansyūrāt al-„Aṣr al-Ḥadīst,
1973), hal. 323. 9 Dalam menjelaskan kata tafsīr pada ayat ini al-Ṭabarī menyebutkan tiga riwayah yang
senda dengan pendapatnya. Yaitu: pertama, Muḥammad bin Saʻīd menceritakan kepadaku, ia
berkata: bapakku menceritakan kepadaku, ia berkata: pamanku menceritakan kepadaku, ia berkata:
pamanku menceritakan kepadaku dari bapaknya dari Ibn „Abbās, tentang firman Allah: “wa
aḥ{sana tafsīra” Ibn „Abbās berkata: “aḥ {asana tafṣīlā (lebih baik penjelasannya). Kedua, al-Qāsim
menceritakan kepada kami, ia berkata: al-Ḥusain menceritakan kepada kami, ia berkata: Ḥujaj
menceritakan kepadaku dari Ibn Juraij dari Mujāhid tentang firman Allah: “wa aḥ {sana tafsīra” ia
berkata: “bayānan” (penjelasan). Ketiga, diceritakan dari al-Ḥusain, ia berkata: aku mendengar
Abū Muʻād berkata: ʻUbaid mengabarkan kepada kami, ia berkata: aku mendengar al-Ḍaḥḥāk
berkata tentang firman Allah “wa aḥ {sana tafsīra” ia berkata: “tafṣīlan” (penjelasan). Lihat: al-
Ṭabarī, Tafsir Jāmiʻ al-Bayān, Juz. XVII, hal. 447-448. 10
Lihat: al-Qur`an dan Terjemahannya, Departemen Agama Republik Indonesia
(Bandung: CV Penorogo, 2008), hal. 517. 11
Riwayat Abū Kuraib-Ibn „Abbās (Komunitas-komunitas dan kabilah-kabilah), riwayat
Khallād bin Aslam (komunitas-komunitas), riwayat Abū Kuraib-Saʻīd bin Jubair (komunitas-
komunitas dan suku-suku besar), riwayat Muḥammad bin „Amr (nasab yang jauh dan nasab yang
dekat), riwayat Bisyr (nasab yang jauh), riwayat Ibn „Abdi al-Aʻlā (nasab), riwayat Husain (nasab
yang jauh ), riwayat Ibn Basysyār (suku besar dan kabilah-kabilah), riwayat Yahyā bin Ṭalḥah, dan
riwayat Muḥammad bin Saʻīid (ansab). Lihat: Tafsir Jāmi‟ al-Bayān, Juz. XXI, hal. 384-385.
64
apa yang telah dilakukan oleh KEMENAG. Ia memaknai lafaẓ syuʻūb dengan al-
nasab al-baʻīd (keturunan yang jauh) dan lafaẓ qabāil dengan al-nasab al-qarīb
(keturunan yang dekat). Salah satu diantara riwayat-riwayat itu adalah:
“Muḥammad bin „Amr menceritakan kepadaku, ia berkata: Abū
„Āṣim menceritakan kepada kami, ia berkata: „Īsā menceritakan kepada
kami, dan al-Ḥāris menceritakan kepadaku, ia berkata: al-Ḥasan
menceritakan kepada kami, ia berkata: Waraqāʻ menceritakan kepada
kami. Semuanya dari Ibn Abī Najīḥ, dari Mujāhid tentang firman Allah:
lafaẓ syuʻūb. Ia berkata: al-nasab al-baʻīd, dan lafaẓ al-qabāil, yakni
selain makna kata syuʻūb. Berarti al-nasab al-qarīb”.
Al-Ṭabarī menjelaskannya dengan beberapa riwayat, dari sumber yang
berbeda. Ini artinya apa yang telah ia lakukan bukanlah bersumber dari sebuah
nalar murni. Tapi ia menjadikan sebuah riwayat sebagai pijakan dalam
menjelaskan makna dari lafaẓ-lafaẓ tersebut. Pengutipan riwayat-riwayat dalam
menjelaskan maksud suatu ayat juga dilakukan oleh para mufassir yang tafsirnya
bercorak bi al-ma‟tsūr.12
b. Al-Qāsimī
Pada bagian ini, penulis akan menjelaskan penguraian al-Qāsimī terhadap
ayat-ayat yang telah disebutkan di atas, dengan membatasi pada lafaẓ-lafaẓ yang
telah ditetapkan sebagai lafaẓ-lafaẓ yang dianggap lafaẓ kunci dalam meneliti cara
penguraiannya. Pada ayat pertama (QS. al-Baqarah [2] 21), al-Qāsimī tidak
menguraikan secara detail makna perkalimat dari ayat tersebut. Ia memulai
dengan menjelaskan pemahaman ayat secara keseluruahan.
Dilihat dari ciri khas, gaya bahasa dan persoalan yang dibicarakan, ayat
di atas dimasukkan oleh ulama pada ayat Makkiyah. Karena masih menggunakan
seruan yang umum (yā ayyuhā al-nās). Hal ini dikarenakan ayat-ayat yang turun
12
Seperti: Tafsīr Ibn ʻAbbās, al-Muḥarraru al-Wajīz fī Tafsīri Kitāb al-ʻAzīz (karya Ibn
ʻAṭiyah), dan Tafsīr al-Qur‟ān al-ʻAẓīm (karya Ibn Katsīr). Lihat: Mannāʻ al-Qaṭṭān, Studi Ilmu-
Ilmu al-Qur`an, hal. 499-505.
65
di Mekkah (Makkiyah) pada umumnya lebih universal dari pada ayat-ayat yang
turun di Madinah (Madaniyah).13
Perintah menyembah Allah dalam ayat ini
berlaku untuk semua lapisan masyarakat, tanpa terkecuali. Bukan hanya untuk
orang-orang yang beriman, tetapi juga untuk orang-orang yang tidak beriman. Al-
Qāsimī memberikan rincian pada perintah ini. “perintah beribadah jika
dinisbatkan pada orang-orang yang beriman, berarti ia adalah perintah agar tetap
dalam menjalankan ibadah dan meningkatkan kualitas ibadahnya”, jika
dinisbatkan pada orang kafir, berarti perintah untuk memulai.14
Al-Qāsimī
memaknai Kata „ibādah dengan mengikutip pendapat mayoritas orang Arab.
menurut kebanyakan orang Arab kata „ibādah maknanya adalah al-tadzallul.
Lafaẓ Khalaqakum dimaknai dengan “anʻama „alaikum bi ikhrājikum min
al-„adam ilā al-wujūdi” (Allah memberikan nikamat kepada kalian dengan
mengeluarkan kalian dari ketiadaan menjadi ada), dan lafaẓ tattaqūn juga
dimaknai dengan kalimat yang sama, yaitu “tattaqūn”. Laʻallakum tattaqūn,
yakni kay tattaqūn.
Pada ayat kedua terdapat lafaẓ tafsīra. Lafaẓ ini dijelaskan dengan makna
lafẓiyah-nya oleh al-Qāsimī. Yaitu dengan kata bayānan dan hidāyatan.15
Al-
Qāsimī berbeda cara dengan al-Ṭabarī dalam menguraikan lafaẓ tafsīr, al-Ṭabarī
menyebutkan beberapa pendapat ulama dan beberapa riwayat terkait makna lafaẓ
tafsīr, sementara al-Qāsimī sama sekali tidak menyebutkan riwayat. Ia hanya
menyebutkan sebagian pendapat mufassir terkait makna ayat secara keseluruhan,
padahal makna yang diinginkan oleh keduanya dari lafaẓ tafsīr adalah sama, yaitu
al-bayān dan al-tafṣīl.
13
Mannāʻ Khalīl al-Qaṭṭān, Pengantar Studi Ilmu al-Qur`an, hal. 75. 14
Al-Qāsimī, Maḥ {āsin al-Ta‟wīl, Juz. I, hal. 67. 15
Al-Qāsimī, Maḥ {āsin al-Ta‟wīl, Juz. XII, hal. 5476.
66
Pada ayat ketiga, terdapat dua lafaẓ yang penulis telusuri penjelasannya
dalam tafsir al-Qāsimī. Apakah ia menjelaskannya dengan cara menguraikan
makna dengan menggunakan makna-makna lafẓiyah, menjelaskan secara
pengertian lafaẓ, atau dengan menghadirkan makna-makna lain yang
menyimpang dari makna asli yang diinginkan oleh teks/ atau lafaẓ. Dua lafaẓ itu
adalah lafaẓ syuʻūb dan qabā‟il. Dalam menjelaskan dua lafaẓ itu, ia mengutip
pendapat al-Ṭabarī16
dan Syaikh Ibn al-Barri, serta syair-syair Arab sebagai alat
bantu dalam menjelaskan makna lafaẓ tersebut. makna-makna itu adalah sama
dengan makna yang dipilih oleh al-Ṭabarī dalam menjelaskan lafaẓ ini. Yaitu
antara lain: al-nasab al-baʻīd dan al-nasab al-qarīb, serta al-qabīlah al-„uẓmah.
Tentang makna-makna ini juga bisa dilihat dalam Kamus al-Munawwir.17
Dalam penguraian tiga ayat di atas, al-Ṭabarī menyebutkan kata ta‟wīl
disejumlah tempat. Pertama, ia menyebutkan kata ta‟wīl dengan bentuk kalimat
“al-qaulu fi ta‟wīli qaulihi Taʻālā”,18
yang jumlahnya empat kali, dengan
pembagian: dua kali di ayat pertama, satu kali di ayat kedua dan ketiga. Kedua,
kata ta‟wīl disandingkan dengan pendapat ahl ta‟wīl dengan bentuk kalimat
“wabinaḥwi al-ladzī qulnā fi ta‟wīli dzālika qāla ahl ta‟wīl” sebanyak enam kali,
dengan pembagian: satu kali pada ayat pertama, dua kali pada ayat kedua, dan tiga
kali pada ayat ke tiga.
Demikian halnya al-Ṭabarī. Al-Qāsimī juga menyebutkan kata ta‟wīl
dalam tiga ayat di atas sebelum menguraikan maknanya, dengan kalimat yang
16
Qauluhū: syuʻūbā wa qabāila, qāla Ibn Jarīr: wajaʻalnākum mutanāsibain,
fabaʻḍukum yunāsibu ba‟ḍā nasaban baiʻīdā, waba‟ḍukum yunāsibu baʻḍā nasaban qarībā.
Lihat: al-Qāsimī, Maḥāsin al-Ta‟wīl, Juz. XV, hal. 5467. 17
Ahmad Warsun al-Munawwir, al-Munawwir: Kamus Arab Indonesia, hal. 774. 18
Lihat: Jāmiʻ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-Qur‟ān. al-Ṭabarī selalu menyebutkan kalimat
tersebut sebelum memulai penjelasannya.
67
sama seperti yang disebutkan oleh al-Ṭabarī dalam tafsirnya, yaitu “al-qaulu fī
ta‟wīli qaulihi Taʻālā. Pada ayat pertama ia hanya menyebutkan satu kali kata
ta‟wīl, begitupun pada ayat kedua dan ketiga. Hanya ada penambahan
penyebutan kata al-mufassir pada ayat yang ketiga.
Dari sekian kata-kata ta‟wīl yang disebutkan al-Ṭabarī dan al-Qāsimī
dalam menjelaskan ayat-ayat di atas, tidak ada yang menunjukkan pada
pemalingan makna dari makna yang rājiḥ pada makna yang marjūḥ atau dari
makna ẓāhir pada makna bāṭin. Akan tetapi kata ta‟wīl tersebut lebih mengarah
pada penjelasan makna secara laẓdiyah dan penguraian makna sinonim
sebagaimana terdapat dalam kamus. Hal ini dibuktikan dengan melihat pada
lafaẓ-lafaẓ yang telah diuraikan oleh al-Ṭabarī dan al-Qāsimī serta riwayat-
riwayat yang digunakan untuk menjelaskan tiga ayat di atas.
Untuk melihat bahwa sebuah uraian atas ayat al-Qur`an itu adalah tafsir,
penulis juga menggunakan riwayat sebagai alat teropong. Apakah al-Ṭabarī dan
al-Qāsimī menggunakan sebuah riwayat dalam menjelaskan firman Allah? Dari
hasil penelusuran penulis terhadap penjelasan al-Ṭabarī atas tiga ayat di atas,
ditemukan penggunaan beberapa riwayat. Pada ayat pertama terdapat 3 riwayat,
pada ayat kedua 4 riwayat, dan pada ayat ketiga terdapat sebanyak 14 riwayat baik
yang berkkaitan dengan lafaẓ yang dibahas atau dengan ayat secara keseluruhan.
Dalam penjelasan al-Qāsimī, penulis temukan beberapa riwayat dengan jumlah
yang lebih sedikit dibandingkan riwayat yang disebutkan oleh al-Ṭabarī. Ia
hanya mengemukakan 7 riwayat dalam QS. al-Ḥujurāt, dan pada dua ayat lainnya
ia tidak menyebutkan riwayat sama sekali terkait penjelasannya. Penggunaan
68
riwayat dalam menjelaskan makna suatu ayat termasuk langkah-langkah tafsir bi
al-ma‟tsūr.19
Dari penguraian al-Ṭabarī dan al-Qāsimī terhadap makna lafaẓ-lafaẓ yang
telah penulis tentukan pada bagian ini dan penyebutan beberapa riwayat sebagai
penjelasan atas ayat-ayat di atas, sudah cukup untuk membuktikan bahwa takwil
yang dimaksud oleh keduanya adalah tafsir. Hal ini sejalan dengan pandangan
Ibn Taimiyah yang membagi takwil pada dua makna, salah satu diantaranya
adalah berupa penguraian atau penjelasan terhadap suatu lafaẓ/ayat, tanpa
mempersoalkan apakah ia cocok dengan makna yang tersurat dalam teks al-
Qur`an. Takwil seperti inilah yang semakna dengan tafsir. Sebagaimana telah
penulis jelaskan pada bab II.
Tabel 4.2: Perbandingan Penjelasan Lafaẓ Terpilih
Nama
Mufassir Surah
Lafaẓ Makna Makna Argumen
Terpilih Lafẓiyah Pengalih Penguat
Al-
Ṭab
arī
Al-
Baq
arah
ta* 2 الخضوع والتذلل اعبدوا
*ta* ta خلقكم خلقكم
ta* 1 تطيعون تتقون
Al
Furq
ān
تفصيلا -بيانا تفسنا ta* 3
19
Tafsir bi al-ma‟tsūr ialah rangkaian keterangan yang terdapat dalam al-Qur`an dan al-
Sunnah atau kata-kata sahabat sebagai keterangan/penjelasan maksud dari firman Allah, yaitu
penafsiran al-Qur`an dengan al-Sunnah. Dengan demikian tafsir bi al-Ma‟tsūr adalah tafsir al-
Qur`an dengan al-Qur`an, penafsiran al-Qur`an dengan al-Sunnah, dan penafsiran al-Qur`an
dengan pendapat para ṣahabat. Lihat: „Alī As-Ṣābuni, al-Tibyān fī Ulūm al-Qur‟ān, (Beirut:
Maktab al-Ghazali, 1981), Cet. II, hal. 63. Atau, Tafsir bi al-Ma‟tsur adalah tafsir yang mencakup
penjelasan terperinci dari sebuah ayat dengan ayat lain dalam al-Qur`an (tafsir al-Qur`an bi al-
Qur`an), keterangan yang berasal dari Rasulullah Saw (tafsir al-Qur`an bi al-Sunnah), sahabat
dan tabiʻīn berkenaan dengan penjelasan maksud Allah Swt yang terdapat dalam naṣ-naṣ kitab-
Nya yang mulia. Lihat: Muḥammad Ḥusain al-Dzahabi, al-Tafsīr wa al-Mufassir (Kairo:
Maktabah Wahbah, 2000), hal. 112.
69
Al-
Ḥuju
rāt النسب البعيد شعوبا ta*
8
*ta النسب القريب قبائل
Aal
-Qās
imī A
l-B
aqar
ah
*ta* ta التذلل اعبدوا
اخرجكم من العدم خلقكم الى الوجود
ta* ta*
*ta* ta تتقون تتقون
Al-
Furq
ān
تفصيلا -بيانا تفسنا ta* ta*
Al-
Ḥuju
rāt النسب البعيد شعوبا ta* ta*
*ta* ta النسب القريب قبائل
*) ta: tidak ada data.
B. Penerapan Kata Ta’wīl Sebagai Takwil
Pada bagian ini penulis ingin membuktikan bahwa tidak semua kata ta‟wīl
yang digunakan oleh al-Ṭabarī dan al-Qāsimī dalam kedua kitab tafsirnya
bermakna tafsir/bermakna takwil. Tapi sebagian diantaranya ada juga yang
bermakna takwil, dalam arti memalingkan makna suatu lafaẓ dari makna yang
rājiḥ pada makna yang marjūḥ dengan syarat tidak bertentangan dengan pesan
al-Qur`an dan hadits Nabi. Untuk membuktikan hal ini, penulis memilih tiga ayat
yang menjadi kajian dalam sub bab ini. Satu diantaranya adalah ayat yang di
dalamnya mengandung kata ta‟wīl, sementara dua ayat lainnya adalah ayat yang
biasa dijelaskan dengan menggunakan takwil oleh beberapa ulama tafsir, karena
dua ayat ini tergolong ayat mutasyābihāt. Yaitu, ayat yang mempunyai
kemungkinan makna lain yang berbeda dari makna lafẓiyah-nya.
70
Dalam hal ini¸ penulis menggunakan sistematika analisis sebagai berikut:
1) pemilihan tiga ayat yang dijadikan sampel, 2) pemilihan lafaẓ-lafaẓ yang akan
dikomparasikan dari ayat-ayat terpilih, dan 3) perbandingan uraian al-Ṭabarī dan
al-Qāsimī.
1. Tiga Ayat yang Dijadikan Sampel.
Pada bagian ini, penulis mengahdirkan tiga ayat yang tergolong
mutasyābihāt sebagai alat untuk mengetahui/melacak pemaknaan al-Ṭabarī dan
al-Qāsimī terhadap ayat-ayat mutasyābihāt. Hal ini dilakukan untuk membuktikan
bahwa kata ta‟wīl bermakna takwil, setelah pada bagian A dalam bab ini penulis
telah membuktikan bahwa kata ta‟wīl bermakna tafsir. Pemilihan tiga ayat ini
penulis lakukan secara acak, dengan mengumpulkan beberapa ayat mutasyābihāt
hingga akhirnya menjatuhkan pilihan pada tiga ayat ini, karena bagi penulis ayat-
ayat ini adalah ayat-ayat yang sudah tidak asing lagi dan sering penulis jumpai
dalam pengelompokan ayat-ayat mutasyābihāt.
Perintah menghadap Kaʻbah sebagai kiblat dalam ṣalat. (QS. al-Baqarah
[2]: 115).20
إن اللو واسع عليم وجو اللو وللو المشرق والمغرب فأي نما ت ولحوا ف ثم Seputar penjelasan Muḥkam dan Mutasyābih serta Takwil. (QS. Āli
„Imrān [3] 7).21
20
“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, Maka kemanapun kamu menghadap di
situlah wajah Allah, Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha mengetahui”. 21
“Dia-lah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur`an) kepada kamu. diantara (isi) nya ada
ayat-ayat yang muhkamaat, Itulah pokok-pokok isi al-Qur`an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyābihāt. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, Maka mereka
mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyābihāt daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk
mencari-cari takwilnya, Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. dan
orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang
mutasyābihāt, semuanya itu dari sisi Tuhan kami." dan tidak dapat mengambil pelajaran
(daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal”.
71
ىو الذي أنزل عليك الكتاب منو آيات محكمات ىن أمح الكتاب وأخر نة وابتغاء ا الذين في ق لوبم زيغ ف يتبعون ما تشابو منو ابتغاء الفت متشابات فأم
ن عند أويلو ت تأويلو وما ي علم إلا اللو والراسخون في العلم ي قولون آمنا بو كل مر إلا أولوا الألباب رب نا وما يذك
Tentang janji setia kepada Allah dan Rasul. (al-Fath [48]: 10).22
ا ي بايعون ا ينكث اللو يد اللو إن الذين ي بايعونك إن ف وق أيديهم فمن نكث فإن على ن فسو ومن أوفى با عاىد عليو اللو فسي ؤتيو أجرا عظيما
2. Pemilihan Lafaẓ-lafaẓ Yang akan Dikomparasikan dari Ayat-ayat
Terpilih.
Dari tiga ayat tersebut di atas, penulis memilih lafaẓ-lafaẓ yang akan
menjadi pokok pembahasan dalam bagian ini. Pada ayat pertama penulis fokuskan
pada lafaẓ wajh Allāh, ayat kedua terletak pada lafaẓ ta‟wīlā, dan pada ayat ketiga
penulis memilih lafaẓ yad Allāh. Pemilihan tiga lafaẓ ini dikarenakan lafaẓ-lafaẓ
ini sering diperdebatkan maknanya. Hal ini disebabkan lafaẓ-lafaẓ tersebut
mengandung makna ambigu. Untuk lafaẓ ta‟wīlā penulis jadikan salah satu
pilihan kata dalam bagian ini untuk mengetahui pemaknaan al-Ṭabaī dan al-
Qāsimī secara langsung terhadap kata tersebut.
3. Perbandingan Uraian al-Ṭabarī dan al-Qāsimī.
Sebelum menguraikan perbandingan penjelasan al-Ṭabarī dan al-Qāsimī
pada bagaian ini, terlebih dahulu penulis tunjukkan tabel yang yang berisi
sistematika penguraian kedua mufassir ini. Seberapa banyak mereka menyebutkan
22
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu Sesungguhnya mereka
berjanji setia kepada Allah. tangan Allah di atas tangan mereka, Maka Barangsiapa yang
melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan
Barangsiapa menepati janjinya kepada Allah Maka Allah akan memberinya pahala yang besar”.
72
kata ta‟wīl dan kata tafsīr serta riwayat-riwayat yang berkaitan penjelasannya
terhadap lafaẓ-lafaẓ yang telah ditetapkan di atas.
Tabel 4. 3: perbandingan penggunaan kata ta’wīl, tafsīr dan riwayat penjelas
Nama
Mufassir
Ayat Terpilih
dalam Al-Qur`an
Jumlah
Kata Ta’wīl Kata Tafsīr Riwayah
Al-
Ṭab
arī QS. al-Baqarah [2] 115 4 ta* 17
QS. Āli „Imrān [3] 7 17 ta* 70
QS. al-Fatḥs [48] 10 3 ta* 3
Al-
Qās
imī QS. al-Baqarah [2] 115 1 ta* ta*
QS. Āli „Imrān [3] 7 1 Al-mufassir 2
QS. al-Fatḥ [48] 10 1 ta* 6
*) ta: tidak ada data.
a. Al-Ṭabarī.
Lafaẓ wajh Allāh adalah termasuk lafaẓ yang muḥtamil, yaitu suatu lafaẓ
yang mempunyai kemungkinan makna lain selain makna lafẓiyah-nya.23
Jika
salah satu diantara kemungkinan makna-makna tersebut yang dipilih sebagai
makna yang dipakai untuk menjelaskan lafaẓ ini, selain makna lafẓiyah-nya.
Maka, penjelasan yang demikian itu termasuk takwil. Al-Ṭabarī dalam
menjelaskan lafaẓ wajh Allāh pada ayat ini mengemukakan makna iḥtimāl dari
lafaẓ wajh Allāh, yaitu Qiblatullāh, yaitu arah dimana umat Islam menghadapkan
mukanya pada saat melaksanakan ṣalat. Pendapat ini diperkuat dengan pendapat-
pendapat ulama lain yang senada.24
Diantaranya adalah:
“Abū Kuraib menceritakan kepada kami, ia berkata: Waqīʻ
menceritakan kepada kami dari Abī Sinān dari al-Ḍaḥḥāk dan Naṣr bin
23
Al-Ṭabarī, Jāmiʻ al-Bāyān, Juz. II, hal. 456. 24
Misalnya, Abū Kuraib dan Al-Qāsim.
73
„Arabī dari Mujāhid, tentang firman Allah “fa-ainamā tuwallū fastamma
wajh Allāh” ia berkata, yaitu Kiblat Allah, dimanapun kalian berada, maka
menghadaplah kepadanya dalam ṣalat”.25
Pemalingan lafaẓ dari satu makna ke makna yang lain, atau dari makna
yang rājiḥ kemakna muḥtamil merupakan salah satu definisi takwil, jadi apa
yang dilakukan al-Ṭabarī dalam menjelaskan ayat/lafaẓ wajh Allāh ini adalah
bentuk dari takwil dalam arti terminologi.
Pada ayat kedua yang menjadi sorotan penulis adalah terletak pada lafaẓ
ta‟wīla, penulis melihat langkah-langkah yang dilakukan al-Ṭabarī dalam
menjelaskan makna lafaẓ ini dengan melihat langsung pada penjelasan dalam
kitab tafsirnya, yaitu Jāmi‟ al-Bayān. Dalam menguraikan makna lafaẓ ta‟wīlā
pada QS. Āli ʻImrān ayat 7, al-Ṭabarī mengemukakan beberapa makna dari kata
ta‟wīlā dengan merujuk pada penjelasan-penjelasan ulama dan serta riwayat-
riwayat yang berkaitan dengannya, disamping itu ia juga mengemukakan
pendapat orang Arab dalam menjelaskan kata ta‟wīlā dengan mengacu pada
syair-syair arab.26
Pada umumnya, orang Arab memaknai kata ta‟wīl dengan kata
tafsīr. Yaitu al-tafsīr, al-marjiʻ dan al-maṣīr, yakni tempat kembali. Jadi maksud
dari firman Allah wa aḥsanu ta‟wīlā adalah lebih baik balasannya/tempat
kembalinya.
Berikut beberapa makna kata ta‟wīlā yang dikemukakan oleh al-Ṭabarī
dalam tafsirnya. Pertama, kata ta‟wīlā dimaknai dengan kata Al-ajal, yaitu
suatu masa, dimana orang-orang Yahudi ingin sekali mengetahui kapan
berakhirnya urusan Nabi dan umatnya, sebagaimana mereka ingin mengetahui
25
Al-Ṭabarī, Jāmiʻ al-Bayān, Juz. II, hal. 457. 26
با حتأول ربعي الشقاب فأص - بهاعلي انها كانت تأول ح . Lihat: al-Ṭabarī, Jāmiʻ al-Bayān, Juz.
V, hal. 222.
74
makna huruf al-Muqaṭṭaʻah. Kedua, yaum al-Qiyāmah, jadi yang dimaksud
dengan firman Allah: wamā yaʻlamu ta‟wīlahu illā Allāh, adalah bahwa tidak
seorangpun dapat mengetahui kapan tibanya hari kiamat. Ketiga, „awāqibuhu.
Keempat, adalah jazā‟a (balasan).
Ada beberapa riwayat yang disebutkan oleh al-Ṭabarī dalam memperkuat
pendapat-pendapat yang telah dikemukakan di atas. Diantaranya adalah:
“Al-Mutsannā menceritakan kepadaku, ia berkata: ʻAbdullāh Ibn
Ṣāliḥ menceritakan kepada kami, ia berkata: Muʻāwiyah menceritakan
kepadaku, dari ʻAlī dari Ibn ʻAbbās. Adapun firman Allah “wamā
yaʻlamu ta‟wīlahu illā Allāh” yakni, ta‟wīlahu yaum al-Qiyāmah illā
Allāh”.27
“Mūsā menceritakan kepadaku, ia berkata: ʻUmar menceritakan
kepada kami, ia berkata, Atsbāt menceritakan kepada kami dari Al-Suddī,
tentang firman Allah “wabtighā‟a ta‟wīlih” mereka bermaksud untuk
mengetahui takwil al-Qur`an, yaitu: „Awāqibuhu. Allah berfirman:
“wamā yaʻlamu ta‟wīlahu illā Allāh” wata‟wīluhu: „Awāqibuhu, ketika
datang yang me-nasakh dari al-Qur`an, di-nasakh-lah ayat-ayat yang di-
mansūkh”.28
Kata yad jika disandingkan pada manusia, maka ia bermakna tangan. Tapi
jika disandarkan pada Allah, boleh saja bermakna lain. Sebab, kalau dimaknai
tangan, maka ada penyerupaan antara Allah dengan makhluknya. Padahal al-
Qur`an sendiri dengan tegas mengatakan bahwa Allah tidak sama dan tidak boleh
dipersamakan dengan makhluk-Nya.29
Maka bagaimana al-Ṭabarī memaknai lafaẓ
yad Allāh dalam kitab tafsirnya? Setelah penulis melakukan penelusuran terhadap
penjelasan al-Ṭabarī tentang lafaẓ yad Allāh, ditemukan makna lain yang ia
gunakan untuk menjelaskannya, tanpa melupakan makna aslinya. Ayat ini
menjelaskan tentang perjanjian. Perjanjian para ṣahabat kepada Nabi untuk
27
Al-Ṭabarī, Jāmiʻ al-Bayān, Juz. V, hal. 215. 28
Al-Ṭabarī, Jāmiʻ al-Bayān, Juz. V, hal. 216. 29
Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia. Dia yang Maha Mendengar dan Maha
Melihat. (QS. al-Syurā [42] 11).
75
selalu setia bersamanya, walaupun harus bertemu musuh. Hal ini disebabkan
bahwa pada umumnya dalam menyepakati perjanjian disimbolkan dengan
berjabatan tangan sebagai tanda kesepakatan. Maka, al-Ṭabarī memaknai kata yad
dengan dua makna, yaitu: yad dalam arti tangan sebagaimana makna aslinya, dan
yad dalam arti kekuatan. Bahwa kekuatan Allah, berada di atas kekuatan mereka
orang-orang kafir. Berikut ini penulis kutip pengurain tentang makna yad dalam
kitabnya.
التأويل : احدها, يدالله فوق ايديهم وفي قولو )يدالله فوق ايديهم( وجهان من الله فوق قوتهم في يبايعون الله ببيعتهم نبيو. والأخر, قوة كانوا عندالبيعة, لأنهم
30نصرة رسولو لأنهم انا بايعوا رسول الله على نصرتو على العدو.
b. Al-Qāsimī
Dalam menguraikan ayat ini (QS. al-Baqarah [2] 115), al-Qāsimī tidak
membahas secara detail makna perkalimat. Ia hanya menjelaskan makna
keseluruhan ayat. Yang dimaksud dengan wajh Allāh, juga tidak dijelaskan dalam
penjelasan ayat ini. Oleh karena lafaẓ ini menjadi objek kajian dalam bagian ini,
maka penulis melakukan pelacakan terhadap ayat-ayat lain yang di dalamnya
terdapat lafaẓ wajh Allāh. Penulis temukan dalam surah al-Qaṣaṣ [28] 88, dan QS.
al-Raḥmān [55] 25. Pada dua ayat ini, al-Qāsimī menjelaskan makna lafaẓ wajh
Allāh dengan Dzat Allah.31
Pengalihan makna lafaẓ wajh dari makna aslinya
(wajah/muka) pada makna lain yang lebih sesuai dengan sifat Allah adalah salah
satu ciri takwil.
30
Al-Ṭabarī, Jāmiʻ al-Bayān, Juz. XXI, hal. 254-255. 31
Al-Qāsimī, Maḥāsin al-Ta‟wīl, Juz. XIII, hal. 4733 dan Juz. XV, hal. 5620.
76
Penjelasan QS. Āli Imrān ayat 7 dalam tafsir Maḥāsin al-Ta‟wīl sangat
luas dan detail. Paling tidak ada tiga tema besar yang dibahas oleh al-Qāsimī
dalam uraian ayat ini. Pertama, tentang muḥ{kam dan mutasyābih. Kedua, tentang
pendapat-pendapat ulama atas kemungkinan mengetahui takwil ayat-ayat
mutasyābih. Dalam hal ini al-Qāsimī berpendapat bahwa semua ayat al-Qur`an,
baik yang muḥkam atau yang mutasyābih dapat dijangkau maknanya oleh
manusia, karena Allah tidak mungkin menurunkan suatu ayat dalam al-Qur`an
yang tidak bisa dijangkau maknanya oleh manusia, sebab al-Qur`an adalah kitab
petunjuk. Ketiga, tentang makna takwil, ditinjau dari pandangan ulama salaf
hingga ulama kontemporer.
Dalam menguraikan makna takwil, al-Qāsimī menjelaskannya dengan
sangat luas. Mengetahui berita yang terdapat dalam al-Qur`an adalah bentuk
tafsir, sedangkan mengetahui subtansi/isi berita yang terdapat dalam al-Qur`an
merupakan takwil.32
Ia memaparkan pandangan ulama salaf dan ulama
kontemporer tentang makna takwil.
Takwil dalam pandangan ulama salaf dapat dibagi pada dua makna.
Pertama, ditinjau dari segi bahasa, takwil bermakna tafsīr al-kalām wa bayānu
maknāhu (menguraikan kalimat dan menjelaskan maknanya). Maka makna takwil
dalam hal ini sama dengan tafsir. Takwil juga dapat bermakna haqīqatun, nafsun,
„aqībatu-maṣīrun, dan „ainun.33
Kedua, takwil adalah penjelasan dari
hakikat/subtansi dari suatu kalimat. Jika kalimatnya berbentuk perintah, maka
takwil dari kalimat tersebut adalah hakikat dari perintah tersebut, dan jika
kalimatnya berbentuk berita, maka takwilnya adalah isi dari berita tersebut.
32
Al-Qāsimī, Maḥāsin al-Ta‟wīl, Juz. IV, hal. 760. 33
Al-Qāsimī, Maḥāsin al-Ta‟wīl, Juz. IV, hal. 765.
77
sementara takwil dalam dalam pandangan ulama kontemporer adalah
memalingkan suatu lafaẓ dari makna yang rājiḥ pada makna yang marjūḥ
dikarenakan ada dalil yang menunjukkannya.34
Inilah takwil yang dimaksud oleh
ulama usul fiqh tentang masalah-masalah khilāfiyah.
Pada ayat ketiga dari tiga ayat yang telah penulis tetapkan sebagai sampel,
penulis memilih lafaẓ yad Allāh sebagaimana pada penjelasan al-Ṭabarī di atas.
Hal ini dimaksudkan untuk melihat cara penguraian al-Qāsimī terhadap lafaẓ yad
Allāh, kemudian membandingkannya dengan penguraian al-Ṭabarī. Setelah
penulis membaca dan memahami beberap uraian al-Qāsimī tentang makna lafaẓ
yad Allāh dalam tafsirnya (Maḥāsin al-Ta‟wīl), akhirnya penulis dapat
berkesimpulan bahwa ia menguraikannya dengan dua makna.
Pertama, sesuai makna aslinya, yaitu tangan Allah di atas tangan mereka
ketika mereka dibaiʻat.35
Ketika mereka berjanji untuk setia kepada Nabi, berarti
mereka juga tengah berjanji setia kepada Allah. Kedua, dengan mengutip
pendapat al-Qasysyāni, bahwa yang dimaksud yad dalam ayat ini adalah
Kekuasaan. Kekuasaan Allah yang tanpak pada tangan Rasul, dan berada di atas
kekuasaan mereka yang tampak pada tangan mereka sendiri. Barang siapa yang
mengingkari/merusak janjinya maka kemuḍaratan akan kembali padanya, dan
barang siapa yang menepati janjinya, maka surga bagi mereka sebagai balasannya.
Berikut ini penulis sertakan uraian al-Qāsimī tentang makna lafaẓ yad:
34
Penjelasan lebih detailnya tentang takwil dapat dilihat pada penguraian al-Qāsimī
terhadap QS. Āli ʻImrān ayat 7. Disamping ia menyebutkan pandangan ulama salaf dan ulama
konemporer, ia juga menyebutkan pandangan tentang persoalan takwil golongan Jahmiyah dan
Muʻtazilah. Lihat: tafsir Maḥ {āsin al-Ta‟wīl, Juz. IV, hal. 762. 35
Yang dimaksud bai‟at disini adalah bai‟at riḍwan, dilakukan di bawah pohon Samrah di
Hudaibiyah. Para ṣahabat yang berjanji kepada Rasulullah pada saat itu berjumlah seribu empat
ratus orang, ada yang mengatakan seribu tiga raus orang, ada pula yang mengatakan seribu lima
ratus orang. Pendapat yang paling benar adalah pendapat yang pertama. Pendapat yang pertama ini
adalah pendapat Ibnu Katsir. Lihat: Al-Qāsimī, Maḥāsin al-Ta‟wīl, Juz. XV, hal. 5401-5402.
78
)يدالله فوق ايديهم( تأكيدالما قبلو. اي أن يدالله عندالبيعة فوق ايديهم, كأنهم يبايعون الله ببيعتهم نبيو. وقال القاشاني : اي قدرتو البارزة في يد الرسول فوق
36ندالنكث وينفعهم عندالوفاء .قدرتهم البارزة في صور ايديهم , فيضرىم عPola yang dilakukan oleh al-Ṭabarī dan al-Qāsimī dalam menjelaskan tiga
ayat di atas adalah menjelaskan makna kalimat, menyebutkan pendapat ulama lain
terkait tema yang dibahas, dan menyebutkan beberapa riwayat yang berkaitan
dengan penjelasan ayat yang dibahas. Dalam memulai penjelasannya, mereka
selalu memulai dengan berkata “al-qaulu fī ta‟wīli qaulihi Ta‟ālā”. Kalimat ini
sekaligus menjadi salah satu kriteria penafsiran mereka.
Dengan mengacu pada penjelasan al-Ṭabarī terhadap tiga ayat di atas,
penulis temukan penyebutan kata ta‟wīl disejumlah tempat. Pertama, ia
menyebutkan kata ta‟wīl di awal penjelasannya dengan bentuk kalimat “al-qaulu
fī ta‟wīli qaulihi Taʻālā”,37
yang jumlahnya empat belas kali, dengan klasifikasi:
dua kali pada QS. al-Baqarah: 115, sebelas kali pada QS. Āli ʻImrān: 7, dan satu
kali pada QS. al-Fath: 10. Kedua, kata ta‟wīl yang disandingkan dengan pendapat
ahl ta‟wīl dengan bentuk kalimat “wabinaḥwi al-ladzī qulnā fi ta‟wīli dzālika qāla
ahl ta‟wīl” sebanyak sepuluh kali, dengan klasifikasi: dua kali pada QS. al-
Baqarah: 115, enam kali pada QS. Āli ʻImrān: 7, dan dua kali pada QS. al-Fath:
10. Penulis sama sekali tidak menemukan penggunaan kata tafsir dalam uraian al-
Ṭabarī terhadap tiga ayat di atas. Untuk memeperkuat pendapat-pendapat yang
disampaikan, ia juga menyebutkan riwayat-riwayat terkait dengan penjelasan atau
tema yang ia uraikan.
36
Al-Qāsimī, Maḥāsīn al-Ta‟wīl, Juz. XV, hal. 5401. 37
Lihat al-Ṭabarī, Jāmi‟ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-Qur‟ān. al-Ṭabarī selalu
menyebutkan kalimat tersebut sebelum memulai penjelasannya.
79
Pola yang dilakukan al-Qāsimī dalam menguraikan makna lafaẓ atau ayat,
khususnya tiga ayat yang telah penulis tetapkan sebagai ayat sampel, tidak jauh
berbeda dengan pola yang dilakukan al-Ṭabarī. Ia juga menyebutkan kata ta‟wīl,
riwayat-riwayat dibeberapa tempat, serta pendapat-pendapat ulama terkait tema
yang dibahas. Tapi, baik kata ta‟wīl atau riwayat-riwayat pendukung, yang
disebutkan oleh al-Qāsimī tidak sebanyak dan sedetail yang disampaikan oleh al-
Ṭabarī. Secara sistematika, sebenarnya al-Ṭabarī memiliki sistematika yang lebih
panjang dibandingkan dengan al-Qāsimī. Hal ini bisa dilihat dari cara penguraian
lafaẓ-lafaẓ dalam al-Qur`an.
Untuk melihat bahwa sebuah uraian atas tiga ayat al-Qur`an di atas adalah
takwil, penulis melihat cara yang mereka lakukan dalam menguraikan makna
suatu ayat/lafaẓ. Apakah mereka hanya menggunakan makna lafẓiyah-nya, atau
mereka juga menyebutkan makna-makna lain yang masih berkaitan dengan lafaẓ
yang dibahas? Dari hasil penelusuran penulis terhadap penjelasan al-Ṭabarī dan
al-Qāsimī terhadap tiga ayat di atas, diketahui bahwa dalam menjelaskan makna
lafaẓ-lafaẓ di atas mereka tidak hanya melihat makna lafẓiyah-nya saja, tetapi
mereka juga menjelaskan dengan makna muḥtamil, yaitu makna lain yang masih
ada kaitannya dengan lafaẓ yang dibahas, bahkan dalam tiga ayat ini mereka lebih
banyak menggunakan makna muḥtamil-nya.
Penggunaan kata ta‟wīl yang digunakan oleh al-Ṭabarī dalam
menguraikan makna ayat-ayat di atas, maksudnya lebih mengarah pada
definisi takwil secara terminologi, bukan tafsir, walaupun ia juga
menyebutkan makna lafẓiyah dari beberapa kalimat yang ia uraikan. Pada ayat
pertama QS. al-Baqarah [2] 115, kata wajh Allāh ditakwil dengan kata Qiblat
80
Allāh. Pada ayat kedua QS. Āli ʻImrān [3] 7, kata ta‟wīlā ditakwil dengan kata
„awāqibuh, jazā‟a, dan yaum al-qiyāmah. Tetapi ia juga menjelaskan makna
lafẓiyah-nya, yaitu berupa tafsīr, al-marjiʻ, dan al-maṣīr. Pada ayat ketiga QS. al-
Fath [48] 10, kata yad Allāh ditakwil dengan kata quwwatullāh, walaupun al-
Ṭabarī juga menyebutkan makna aslinya. Yaitu yad Allāh.
Pemalingan makna dari wajh Allāh menjadi qiblatullāh, dari kata ta‟wīlā
menjadi yaum al-Qiyāmah dan makna lainnya, dari yad Allāh pada quwwatullāh,
itu semua merupakan pemalingan dari makna lafẓiyah pada makna muḥtamil, dan
yang demikian ini adalah makna dari takwil. Dengan demikian, penjelasan
yang dilakukan al-Ṭabarī dalam menguraikan makna lafaẓ-lafaẓ yang telah
penulis tentukan di atas merupakan takwil dalam arti terminologi.
Demikian halnya al-Ṭabarī, al-Qāsimī dalam menguraikan makna lafaẓ-
lafaẓ di atas juga menggunakan takwil dalam arti terminologi, yaitu
memalingkan suatu lafaẓ dari makna yang rājiḥ pada makna yang marjūḥ. Hal ini
bisa dilihat dari penguraian beliau atas lafaẓ-lafaẓ tersebut. Kata wajh Allāh pada
QS. al-Baqarah [2] 115, ditakwil dengan kata Dzāt Allāh, kata ta‟wīlā pada QS.
Āli ʻImrān [3] 7, ditakwil dengan haqīatun, nafsun, „ainun, nafsu al-murād bi-al-
kalām, dan ṣarfu al-lafẓi „an al-maknā al-rājiḥ ilā al-makna al-marjūḥ, dan kata
yad Allāh pada QS. al-Fath [48] 10, ditakwil dengan Qudrah Allāh. Pengalihan
lafaẓ dari satu makna ke makna lain merupakan salah satu kriteria takwil. Jadi
yang dilakukan oleh al-Ṭabarī dan al-Qāsimī dalam menguraikan makna lafaẓ-
lafaẓ di atas adalah bentuk dari takwil, sekalipun mereka menghadirkan makna
lafẓiyah-nya.
81
Tabel 4. 4: Perbandingan Penjelasan Lafaẓ Terpilih
Nama
Mufassir Surah
Lafaẓ Makna Makna Argumen
Terpilih Lafẓiyah Pengalihan Penguat A
l-Ṭ
abar
ī
Al-
Baq
arah
6 قبلة الله *ta وجو الله
Āli
„Im
rān
تأويلوالمرجع -تفسن
- المصن
-يوم القيامةجزاء -عواقبو
2
Al-
Fat
ḥ
*ta قوة الله يدالله يدالله
Al-
Qās
imī
Al-
Baq
arah
*ta اات الله *ta وجو الله
Āli
„Im
rān
تفسن و بيان تأويلو -عن -حقيقة
نفس المراد بالكلام
ta*
Al-
Fat
ḥ
*ta اات الله يدالله يدالله
*) ta: tidak ada data.
82
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah penulis lakukan terhadap makna kata
ta‟wīl dalam tafsir Jāmiʻ al-Bayān ʻan Ta‟wīli āy al-Qur‟ān karya al-Ṭabaī dan
tafsir Maḥāsin al-Ta‟wīl karya al-Qāsimī sebagaimana dijelaskan pada bab-bab
sebelumnya, maka pada bagian ini penulis akan memberikan sebuah kesimpulan
dari hasil penelitian di atas.
Takwil sebagai salah satu metode untuk memahami ayat-ayat al-Qur`an
yang menjadi ajang kontroversi terutama bagi para mufassir yang hidup sebelum
abad ke-3 H, bahkan sebagian mufassir yang berusaha melakukan pemurnian
agama dari segala hal yang baru. Mereka ketika dihadapkan dengan ayat-ayat
mutasyābihāt cenderung menyerahkan maknanya sepenuhnya pada Allah, dengan
berucap “Allāhu aʻla bi murādihi” seperti terdapat dalam Tafsir Jalalain, karya
Jalāluddīn al-Suyūṭī dan Jalāluddīn al-Maḥallī dan tafsir-tafsir yang lain.
Hal ini berbanding jauh dengan apa yang telah dilakukan oleh al-Ṭabaī
dan al-Qāsimī. Mereka menerima, dan menggunakan takwil dalam menjelaskan
ayat-ayat al-Qur`an, baik yang muḥkam ataupun yang mutasyābih. Bahkan kitab
tafsir mereka beri nama takwil. Makna kata ta‟wīl dalam kedua tafsir ini tidak
selamanya bisa dipahami sebagai takwil, tetapi ia juga dapat bermakna tafsir. Jadi,
tidak semua tafsir dapat dikatakan takwil, tapi semua takwil dapat dikatakan
tafsir.
83
Al-Qur`an adalah kitab petunjuk, khususnya bagi orang islam. Oleh
karenanya seluruh ayat-ayatnya harus bisa dipahami, baik yang muḥkam atau
yang mutasyābih. Hal ini telah dilakukan oleh al-Ṭabarī dan al-Qāsimī, mereka
berusaha menjelaskan selururh ayat-ayat al-Qur`an, baik ayat yang biasa
diabaikan penafsirannya oleh sebagian ulama, seperti huruf muqaṭṭaʻah dan ayat-
ayat yang berkenaan dengan perkara ghaib. Al-Ṭabarī menjelaskan huruf-huruf
muqaṭṭaʻah dengan sangat luas dalam tafsirnya. Al-Qāsimī tidak membenarkan
pernyataan bahwa ayat mutasyābih tidak dapat dipahami maknanya kecuali oleh
Allah. Menurutnya, ayat-ayat yang berbicara perkara ghaib dapat dipahami
maknanya oleh manusia dengan kapasitas ilmu yang dimiliki, tetapi mereka tidak
bisa memahaminya secara pasti, karena yang dapat memahami secara pasti
hanyalah Allah. Demikian penerapan takwil al-Ṭabarī dan al-Qāsimī dalam
tafsirnya.
B. Saran-saran
Setelah meneliti dan mengkaji pandangan al-Ṭabarī dan al-Qāsimī tentang
tafsir dan takwil, penulis menyadari bahwa masih banyak celah dalam penelitian
ini sehingga membutuhkan kajian lebih lanjut tentang pemikiran mereka. Untuk
penelitian selanjutnya, penulis berharap agar pemikiran-pemikiran mereka dikaji
secara komprehensif dan mendalam, terutama kajian tentang takwil. Karena
takwil sebagai sebuah metode dalam memahami al-Qur`an tidak akan ada
selesainya-selesainya, apalagi ia selalu dikaitkan dengan rasio yang sudah pasti
akan mengalami perubahan dan perkembangan dari satu masa ke masa yang lain.
Akhir-akhir ini muncul metode baru dalam usaha memahami al-Qur`an
yang diadopsi dari paham barat, yaitu hermeneutika. Awal munculnya metode ini
84
menuai kontroversi di kalangan sarjana muslim. Hal ini sama dengan takwil yang
kala itu juga menjadi kontroversi. Bebrapa sarjana muslim menerima metode baru
ini sebagai sebuah khazanah pemikiran yang bernilai ilmiah, dan sebagian yang
lain menolaknya dengan dalih metode ini lahir dari orang-orang Yahudi yang
berusaha membuktikan kebenaran injil.
Oleh karenanya penulis berharap agar ada penelitian baru tentang
pemikiran takwil al-Ṭabarī dan al-Qāsimī kaitannya dengan metode hermeneutika,
dengan mencari titik kesamaan dan perbedaan antara dua metode tersebut. adakah
salah satu dari sekian banyak metode hermeneutika itu diterapkan dalam
penafsiran mereka.?
Dari beberapa uraian penulis dari awal hingga akhir tentang pemikiran
takwil al-Ṭabarī dan al-Qāsimī, tentulah banyak kekurangan. Baik yang berkaitan
denga ide, sistematika penulisan dan pemilihan kata-kata. Penulis menyadari hal
itu, karena keterbatasan keilmuan yang dimiliki. Oleh karenanya saran dan kritik
konstruktif dari pembaca yang budiman, sangat penulis harapkan demi
kesempurnaan penelitian ini dan penelitian-penelitian selanjutnya.
85
Daftar Pustaka
Abu Zaid, Nasr Hamid. Mafhum al-Naṣ. Cet. III. Beirut: al-Markaz ats-Tsaqāfi al-
Arabi. 1995
Amal, Taufiq Adnan. “al-Qur`an” dalam Ensiklopedi Tematis Dunia Islam.
Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. 2002
Anwar, Rasihan. Melacak Unsur-unsur Isra‟iliyat dalam Tafsir al-Ṭabarī dan
Tafsir Ibn Katsīr. Cet. I. Bnadung: Pustaka Setia. 1999
Al-Aṣfahāni, Rāghib. Muʻjam Mufradāt li al-Fāẓi al-Qur‟ān. Beirūt: Dār al-Fikri.
1981
----------. Al-Mufradāt fī Gharīb al-Qur‟ān. Mesir: Dār Iḥyā‟ al-Kutub al-
„Arabiyah. 1950
Al-Baghawī, Muḥammad Ḥusain bin Mas‟ud. Tafsīr al-Baghawī: Maʻālim al-
Tanzīl. Dār Ibn Hazm. 1423 H/2002 M
Ayyub, Ḥasan. „Ulūm al-Qur‟ān wa al-Ḥadīts. Dār al-Salām. Cet. I. 1422 H/2002
M
Al-Bāhī, Muhammad. Pemikiran Islam Modern. Jakarta: Pustaka Panjimas. 1986
„Aṣi, Ḥasain. Abū Ja‟far Muḥammad Ibn Jarīr al-Ṭabarī wa Kitabūhu Tārikh al-
Umam wa al-Muluk. Cet. I. Beirut: Dār al-Kutub al-„Alamiyah. 1992
Baiquni, Ahmad. Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern. Pustaka: Bandung. 1983
Chirzin, Muhammad. al-Qur`an dan Ulum al-Qur`an. Jakarta: Dana Bhakti Prima
Jasa. 1998
Al-Dzahabī, Muḥammad Ḥusain. Al-Tafsīr wa al-Mufassirūn. Juz. I. Dār al-
Ḥadīts al-Qāhirah. 2005
Farḥāt, Aḥmad Ḥasan. Fī „Ulūm al-Qur‟ān, „Arḍun wa Naqdun wa Taḥqīqun. Dār
„Imār li an-Nasyr wa al-Tauzī‟. Cet. I. 2001
Faiq, Khālid al-Ubaidi. al-Qur‟ān Manḥalu al-„Ulūm. Beirut: Dār al-Kutub al-
„Alamiyah. 1428 H/2007 M
Farsūkh, Muḥammad ʻAmīn. Al-Madkhal Ilā „Ulūm al-Qur‟ān wa al-„Ulūm al-
Islāmiyati. Dār al-Fikr: Beirut
Al-Farmawi, Abdul Ḥayy. Metode Tafsir Mauḍuʻiy, Suatu Pengantar. Jakarta:
Rajawali Press. 1994
86
Faudah, Mahmud Basuni. al-Tafsīr wa Minhājuhu. Bandung: Pustaka. 1987
Goldziher, Ignas. Madzhab Tafsir dari Aliran Klasik hingga Modern. Jogjakarta:
Elsaq. 2003
Ḥaqqī, Muḥammad Ṣafā Syaikh Ibrāhīm. „Ulūm al-Qur‟ān min Khilāli
Muqaddimāt Tafsīr. Beirut: Muassasah al-Risālah. 1425 H/2004 M
Harahap, Syahrin. al-Qur`an dan Sekularisasi. Kajian terhadap Pemikirana Ṭaha
Husein. Yogyakarta: Tiara Wacana. 1994
Ismāʻil, Muḥammad al-Bakr. Dirāsat fī „Ulūm al-Qur‟ān. Cet. I. Dār al-Manār.
1991
----------. Ibn Jarīr al-Ṭabarī wa Manhājuh fī al-Tafsīr. Kairo: Dār al-Manār. 1991
Al-Juwaini, Musṭafā al-Ṣawi. Manāhij fī al-Tafsīr. Mesir: Nasʻatu al-Maʻārif
Iskandariyah. t.t.
Jafri, Artsar. Muqaddimatāni fī „Ulūm al-Qur‟ān, Muqaddimah al-Kitāb al-
Mabāni wa Muqaddimah Ibn „Aṭiyah. t.t
Jaʻfar, Sayyid Abdu al-Maqsūd. Al-Fawātih al-Hija‟iyah wa I‟jāz al-Qur‟ān.
Kairo: Dār al-Ṭiba‟ah wa al-nasyr al-Islamiyah. t.t
Kementrian Agama dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka. 1989
----------. Al-Qur`an dan Terjemahannya. Jakarta: Darus Sunnah. 2002
Al-Khāzin. Lubāb al-Ta‟wīl fī Ma‟āni al-Tanzīl. Juz. I. Beirut: Dār al-Kutub al-
„Alamiyah
Al-Kittāni, Abd al-Ḥayyi bin „Abd al-Kabīr. Faḥrās al-Faḥāris wa al-Itsbāt. Juz.
I. Dār al-Garb al-Islāmī. 1982
Madjid, Nurcholiṣ. “Masalah Takwil sebagai Metodologi Penafsiran al-Qur`an”,
dalam Budhi Munawar Rahman (Ed). Kontekstualisasi Doktrin Islam
dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina. 1995
Maʻrifat, Muhammad Hādi. al-Tamhīd fi Ulūm al-Qur‟ān. Juz. III. Muassasah al-
Nasyr al-Islami
Marzuki, Kamaluddin. „Ulūm al-Qur‟ān. Bandung: Rosyda Karya. Cet. II. 1994
Al-Munawir, Warson. Kamus al-Munawir. Jogjakarta: Unit Pengembangan Buku-
Buku Ilmiah Keagamaan Pondok Pesantren al-Munawwir. 1984
87
Mustaqim, Abdul dan Sahiron Syamsuddin. Studi al-Qur`an Kontemporer:
Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir. Jogjakarta: Tiara Wacana.
2002
Mustaqim, Abdul. Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Qur`an
Periode Klasik hingga Kontemporer. Yogyakarta: Nun Pustaka. 2003
Al-Muḥtasib, Abd Majīd Abd al-Salām, Ittijāhāt al-Tafsīr fī al-„Aṣri al-Hadīts,
Dār al-Fikr.
Mulyati, Sri. Pengantar Kajian al-Qur`an. Jakarta: UIN Jakarta Press. 2004
Naser, Sayyed Husein. Tiga Pemikiran Islam: Ibnu Sina, Suhrawardi, dan Ibnu
Arabi. Bandung: Risalah. 1986
Nasution, Harun. Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan.
Jakarta: Bulan Bintang. 1996
----------. Teologi Islam, aliran-aliran, Sejarah Analisa Perbandingan. Jakarta:
Universitas Indonesia Press. 1986
Nawai, Rif‟at Syauqi. Pengantar Ilmu Tafsir. Jakarta: Bulan Bintang. 1992
----------. Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Masalah Aqidah dan
Ibadat. Jakarta: Paramadina. 2002
Al-Qāsimī, Muḥammad Jamāl ad-Dīn. Maḥāsin at-Ta‟wīl. Beirut: Dār al-Fikr.
1978
Al-Qaṭṭān, Mannāʻ. Mabāḥits fī „Ulūm al-Qur‟ān. Kairo: Mansyurah al-„Aṣr al-
Hadits. 1973.
Rahman, Budi Munawar (Ed). Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah.
Jakarta: Paramadina. 1995
Al-Ṣabūnī, Muḥammad „Alī. Al-Tibyān fī „Ulūm al-Qur‟ān. Cet. I. Maktab al-
Ghazali. 1981
Al-Ṣālih, Husain Hāmid. al-Ta‟wīl al-Lughawī fī al-Qur‟ān al-Karīm. Beirut: Dār
Ibn Hazm. Cet. I. 1426 H/2005 M
Al-Ṣālih, Subhi. Mabāhits fi 'Ulūm al-Qur‟ān. Cet. VII. Beirut: Dār al-'Ilm. 1972
Al-Ṣiddiqie, T.M. Hasbi. Ilmu-Ilmu al-Qur`an. Semarang: Pustaka Rizqi Putra.
Cet. III. 2000
----------. Pengantar Ilmu al-Qur`an. Jakarta: Bulan Bintang. 1954
88
----------. Sejarah Pengantar Ilmu al-Qur`an dan Tafsir. Semarang: Pustaka Rizki
Putra. Cet. III. 2000
Shihab, Muhammad Quraish. Tafsir al-Miṣbah; Pesan Kesan dan Keserasian.
Jakarta: Lentera Hati. 2000
----------. Wawasan al-Qur`an , Tafsir Mauḍūʻi atas Pelbagai Persoalan Umat.
Bandung: Mizan. Cet. VIII, 1998
----------. Mu‟jizat al-Qur`an. Bandung: Mizan. 2003
----------. Membumikan al-Qur`an. Bandung: Mizan. 2003
Suma, Muhammad Amin. Studi Ilmu-Ilmu al-Qur`an II. Jakarta: Pustaka Firdaus.
2001
Al-Suyuṭī, Jalāluddīn. al-Itqān fī „Ulūm al-Qur‟ān. Kairo: al-Azhar. Jilid. II.
1318 H
----------. Ṭabaqāt al-Mufassirīn. Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyah. 1982
Al-Syirbasi, Ahmad. Sejarah Tafsir al-Qur`an. Jakarta: Pustaka Firdaus. 1994
Al-Ṭabarī, Ibn Jarīr. Tafsīr al-Kubrā, Jāmiʻ al-Bayān „an Ta‟wīli āy al-Qur‟ān.
Maktab Ibn Taimiyah. Cet. II. 1422 H/2001 M
Zaghlawi, Muhammad Hamad. al-Tafsīr bi al-Ra‟yi, Qawā‟iduhū wa Ḍawābiṭuhū
wa Aʻlāmuhū. Maktab al-Farabi. 1420 H/1999 M
Al-Zarkasyī, Badruddin. Al-Burhān fī „Ulūm al-Qur‟ān. Kairo: Dār Iḥyā‟ al-
Kutub al-„Arabiyah. 1376 H/1975 M
Zarzur, „Adnan Muhammad. Madkhal ilā Tafsīr al-Qur‟ān wa „Ulūmuhū. Beirut:
Dār al-Qalam. 1419 H/1998 M