repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/48103/1/yudi...
TRANSCRIPT
ISLAM DAN KESENIAN: STUDI PRAKTIK PEMBACAAN AYAT-AYAT
AL-QUR’AN DALAM PEMENTASAN DEBUS
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag)
oleh:
Yudi Setiadi
NIM. 11140340000036
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1440
ISLAM DAN KESENIAN: STUDI PRAKTIK PEMBACAAN AYAT-AYAT
AL-QUR’AN DALAM PEMENTASAN DEBUS
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama
(S.Ag)
Oleh:
Yudi Setiadi
NIM. 11140340000036
Pembimbing
Kusmana, Ph.D.
NIP. 196504241995031001
PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019 M/1440
LEMBAR PERNYATAAN
Yang bertandatangan di bawah ini:
Nama : Yudi Setiadi
NIM : 11140340000036
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul Islam dan Kesenian: Studi
Praktik Pembacaan Ayat-ayat al-Qur’an dalam Pementasan Debus adalah
benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam
penyusunannya. Adapun kutipan yang ada dalam penyusunan karya ini telah saya
cantumkan sumber kutipannya dalam skripsi. Saya bersedia melakukan proses
yang semestinya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku jika ternyata
skripsi ini sebagian atau keseluruhan merupakan plagiat dari karya orang lain.
Demikian pernyataan ini dibuat untuk dipergunakan seperlunya.
Ciputat, 30 Juli 2019
Yudi Setiadi
11140340000036
i
ABSTRAK
Yudi Setiadi. Islam dan Kesenian: Studi Praktik Pembacaan Ayat-ayat al-
Qur’an dalam Pementasan Debus, 2019
Penelitian terhadap pemaknaan masyarakat terhadap al-Qur‟an mulai dilakukan
oleh para peneliti al-Qur‟an yang disebutkan dengan istilah Living Qur‟an. Kajian
ini lebih memfokuskan pada peran praktis al-Qur‟an dalam pemahaman, sikap,
perilaku, aktifitas manusia sebagai individu atau pun masyarakat, terlepas apakah
pemahaman, sikap, perilaku, dan aktifitas itu berdasarkan pengetahuan akan
kaidah tafsir atau pun tidak sama sekali. Penelitian ini membahas praktik
penggunaan al-Qur‟an dalam pementasan debus. Ayat-ayat al-Qur‟an menjadi
salah satu dari beberapa bacaan yang harus dibaca sebelum atraksi kekebalan
ditampilkan. Selain pembacaan beberapa ayat-ayat al-Qur‟an, pemain juga wajib
bertawasul atau hadiah fatihah kepada nama-nama tertentu, doa, hizib rifa‟i, serta
selawat kepada Nabi Muhammad. Dalam kasus debus, al-Qur‟an -sebagai salah
satu bacaan yang wajib dibaca- memiliki fungsi di luar makna tekstualnya. Al-
Qur‟an dibacakan untuk keperluan praktis pembacanya. Penelitian ini
menggunakan metode penilitian kualitatif dengan pendekatan etnografi dan
pendekatan fungsional. Pendekatan ini bertujuan untuk mendeskripsikan
kebudayaan sebagaimana adanya, dan berusaha mempelajari peristiwa kultural,
yang menyajikan pandangan hidup subjek sebagai objek studi. Adapun data-data
yang penulis gunakan berasal dari hasil observasi, wawancara, dan dokumentasi.
Penelitian ini menemukan beberapa temuan. Pertama, ada beberapa ayat-ayat
yang dibaca dalam pementasan debus yakni surat al-Fâtihah: 1-7, surat al-
Baqarah: 1-5, 163, 255, surat al-Ikhlâs 1-4, surat al-Falaq: 1-5, dan surat al-Nâs:
1-6. Kedua, para pemain debus memaknai semua yang mereka baca sebelum
pementasan debus -salah satunya ayat-ayat al-Qur‟an yang telah disebutkan-
sebagai sarana meminta perlindungan, pertolongan dan kekuatan kepada Allah.
Bagi mereka, pembacaan tersebut menjadi suatu hal yang tidak bisa diubah, baik
ditambahkan maupun dikurangi bacaannya. Ketiga, pembacaan tawasul atau
hadiah fatihah kepada nama-nama tertentu, bertujuan untuk mendoakan serta
mengingat jasa-jasa mereka.
Kata kunci: Living Qur’an, pemaknaan, debus, praktik, kesenian,
pementasan.
ii
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam Yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang. Berkat rahmat, karunia, dan hidayah-Nya, penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Selawat dan salam semoga selalu tercurahkan kepada
Nabi Muhammad, istri-istrinya, keluarganya, keturunannya, sahabat-sahabatnya,
para pengikut dan penghidup ajarannya, serta kepada umatnya semua.
Penulis sadar, tanpa adanya bantuan dan dukungan dari berbagai pihak,
skripsi ini tidak akan dapat selesai sesuai dengan harapan. Oleh sebab itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dan
mendukung penulis, baik yang penulis sadari maupun tidak. Pertama, penulis
mengucapkan terima kasih Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Hj. Amany Burhanuddin Umar Lubis, Lc., M.A.
Kedua penulis ucapkan kepada Dekan Fakultas Ushuluddin, Dr. Yusuf Rahman,
M.A.
Selanjutnya, Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ketua dan
Sekretaris Program Studi Ilmu al-Qur‟an dan Tafsir, Dr. Eva Nugraha, M.Ag, dan
Fahrizal Mahdi, Lc., MIRKH. Kemudian penulis berterima kasih pula kepada
dosen pembimbing skripsi Kusmana, M.A., Ph.D. yang telah telah membimbing
dan memberikan masukan kepada penulis dalam penyusunan skripsi ini. Terima
kasih telah memeriksa skripsi penulis secara detail dan menyeluruh di sela-sela
kesibukan menjadi seorang dosen, peneliti, sekaligus Wakil Dekan I Fakultas
Ushuluddin. Selain itu, terima kasih kepada seluruh dosen Fakultas Ushuluddin.
Terima kasih paling besar penulis berikan kepada kedua orang tua penulis
yang telah memberikan dukungan serta kepercayaan penuh kepada penulis untuk
dapat menimba ilmu hingga skripsi ini dapat selesai. Selain itu, kasih sayang, doa,
biaya, dan semua pengorbanan kedua orang tua penulis dari kecil hingga
sekarang, semua itu berarti besar bagi penulis. Kepada adik yang sedang
menempuh pendidikan, semoga kelak dapat capaian lebih dari yang didapatkan
penulis sekarang.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh masyarakat Desa
Kadudodol, Kecamatan Cimanuk, Kabupaten Pandeglang, Banten. Terima kasih
iii
juga penulis sampaikan kepada Muhammad Acang, Abah Enjen, Abah Aning,
Dedi Safari, Kang Rahmat, Abah Ucung, Abah Emong, Kang Anton, Kang Anam,
dan Kang Mamat.
Terima kasih kepada Dr. Ahmad „Ubaydi Hasbillah, M.Hum. penulis buku
Ilmu Living Qur‟an-Hadis: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi, yang telah
berbaik hati meluangkan waktunya untuk berdiskusi mengenai kajian living
Qur‟an dan memberikan saran-saran bagi penyelesaian skripsi ini.
Terima kasih penulis ucapkan kepada teman-teman penulis, Ilmu al-
Qur‟an Tafsir 2014, khususnya TH A, teman-teman Sabilussalam 2014, KKN
Super 100, khususnya Mutiah Tsani Asyfa, Marisya Ningrum, dan Dodi Rahman.
Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat dan informasi tambahan
dalam wacana keilmuan al-Qur‟an, khususnya kajian living Qur‟an. Semoga
Allah selalu memberikan kemudahan kepada orang-orang yang menuntut ilmu.
Ciputat, 30 Juli 2019
Penulis
Yudi Setiadi
iv
PEDOMAN TRANSLITERASI
Transliterasi yang digunakan dalam penulisan skripsi ini bersumber dari
pedoman Arab-Latin yang diangkat dari Keputusan Bersama Menteri Agama dan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nomor 158 Tahun
1987 dan Nomor 0543 b/U/1987, selengkapnya adalah sebagai berikut:
1. Padanan Aksara
Berikut adalah daftar aksara Arab dan padanannya dalam aksara latin:
Huruf Arab
Huruf
Latin Keterangan
اTidak dilambangkan
B بBe
T تTe
Ṡ ثEs dengan titik di atas
J جJe
Ḥ حHa dengan titik di bawah
Kh خKa dan ha
D دDe
Ż ذZet dengan titik di atas
R رEr
Z زZet
S سEs
v
Sy شEs dan ye
Ṣ صEs dengan titik di bawah
Ḍ ضDe dengan titik di bawah
Ṭ طTe dengan titik di bawah
Ẓ ظZet dengan titik di bawah
„ عKoma terbalik di atas hadap kanan
G غGe
F فEf
Qi قKi
K كKa
L لEl
M مEm
N نEn
W وWe
H هHa
‟ ءApostrof
Y يYe
vi
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau difting. Untuk vokal tunggal,
ketentuan alih aksaranya adalah sebegai berikut.
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
A Fatḥah
I Kasrah
U Ḍammah
Adapun vokal rangkap, ketentuan alih aksaranya sebagai berikut:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ai A dan I بينكم
Iu A dan U قول
3. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (mad), yang dalam bahasa Arab
dilambangkan dengan harkat dan huruf, yaitu:
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
Ā A dengan garis di atas جاهلية
Ī I dengan garis di atas مجيد
vii
Ū U dengan garis di atas فروض
4. Kata Sandang
Kata sandang yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan huruf,
yaitu dialihaksarakan menjadi huruf /I/, baik diikuti huruf syamsiyah maupun
huruf qomariyah. Contoh: al-rijāl, al-ṭīn.
5. Syaddah/Tasydid
Syaddah/Tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan
sebuah tanda () dalam alih aksara ini dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan
menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu.
viii
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ......................................................................................................................3
ABSTRAK ................................................................................................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................................................................. ii
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................................................. iv
DAFTAR ISI ......................................................................................................................................... viii
BAB I ........................................................................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah .................................................................................................................1
B. Identifikasi Masalah .......................................................................................................................4
C. Rumusan dan Pembatasan Masalah ...............................................................................................5
D. Tujuan dan Manfaat Penelitan .......................................................................................................6
1. Tujuan .........................................................................................................................................6
2. Manfaat .......................................................................................................................................6
E. Tinjauan Pustaka ............................................................................................................................6
F. Metode Penelitian.........................................................................................................................16
G. Metode Pengumpulan Data ..........................................................................................................22
1. Observasi partisipatif pasif .......................................................................................................22
2. Wawancara semiterstruktur ......................................................................................................22
3. Dokumentasi .............................................................................................................................22
H. Teknik Pengolahan Data ..............................................................................................................23
I. Sistematika Penulisan ..................................................................................................................23
BAB II .....................................................................................................................................................25
A. Living Qur‟an: Konsep dan Sejarah .............................................................................................25
1. Pengertian Living Qur‟an .........................................................................................................25
2. Definisi Operasional .................................................................................................................29
B. Debus: Konsep dan Sejarah .........................................................................................................30
1. Pengertian Debus ......................................................................................................................30
2. Sejarah dan Perkembangan Debus ...........................................................................................32
BAB III ...................................................................................................................................................36
A. Kesenian Debus Desa Kadudodol ................................................................................................37
1. Debus dan al-Madad .................................................................................................................37
2. Sejarah Debus Desa Kadudodol ...............................................................................................38
B. Anggota Debus Desa Kadudodol .................................................................................................43
C. Perlengkapan Debus Desa Kadudodol .........................................................................................45
ix
BAB IV ...................................................................................................................................................51
A. Praktik Penggunaan al-Qur‟an .....................................................................................................51
B. Pengetahuan dan Pemaknaan Pelaku Debus Terhadap Bacaan ...................................................64
C. Ijazah Bacaan ...............................................................................................................................70
D. Nilai yang Ingin Disosialisasikan.................................................................................................72
BAB V .....................................................................................................................................................73
A. Kesimpulan ..................................................................................................................................73
B. Saran .............................................................................................................................................74
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................................................74
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Debus adalah salah satu kesenian di Banten yang sampai saat ini masih
bertahan dan lebih dikenal dari pada kesenian lainnya. Ada pendapat yang
mengatakan bahwa debus adalah permainan yang menunjukan kekebalan
seseorang baik dari senjata api, senjata tajam, api dan lainnya. Debus merupakan
suatu jenis permainan untuk membuktikan kekebalan.1
Ritual permainan debus adalah proses upacara permainan debus yang
mempertunjukan permainan kekebalan yang dilakukan oleh anggota debus, dalam
rangka syiar Islam yang bernafaskan ritual keagamaan. Menurut Isman, Dalam
tahap ini ada tiga kegiatan yang harus dilakukan yaitu a) pembukaan; b)
pembacaan wirid dan amalan; c) permainan debus.2 Dalam pembacaan wirid dan
amalan, ada beberapa ayat al-Qur‟an yang sering digunakan di antaranya adalah
surat al-Fatihah yang dihadiahkan kepada syekh debus. Selain itu juga wirid
terdiri dari doa-doa, munajat rifa‟iyah dan selawat Nabi.
Penelitian yang mengangkat debus sebagai objek kajiannya telah banyak
dilakukan. Selama ini, penelitian debus berfokus kepada sejarah debus seperti
penelitian Euis3, akulturasi debus dengan nilai-nilai Islam seperti penelitian
Fahmi4, Hasani
5, dan Yanti
6. Namun, dari sekian banyak penelitian tersebut,
belum ada penelitian yang memakai pendekatan Living Qur‟an.
Kajian Living Qur‟an artinya mengkaji al-Qur‟an sebagai teks yang hidup,
bukan teks yang mati. Pendekatan Living Qur‟an menekankan aspek fungsi al-
Qur‟an sebagai petunjuk dan rahmat bagi manusia dan orang-orang beriman, tapi
1 Imron Arifin, Debus, Ilmu Kekebalan dan Kesaktian dalam Tarekat Rifa‟iyah (t.t: t.p,
1993), h. 25. 2 Isman Pratama Nasution, “Debus Walantaka: Fenomena Budaya Banten”, Antropologi
Indonesia, vol. 21, no. 53, (1997), h. 39-40. 3 Euis Thresnawaty S, “Kesenian Debus di Kabupaten Serang”, Jurnal Patanjala, vol.4,
no. 1, (2012). 4 Fahmi Irfani, “Islam dan Akulturasi Budaya di Banten: Kyai, Jawara, Debus”, Jurnal
Hikamuna, Edisi 1, vol. 1, No. 1, (2016). 5 Hasani Ahmad Said, “Islam dan Budaya di Banten: Menelisik Tradisi Debus dan
Maulid”, Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, vol.10, no. 1, (2016). 6 Yanti Susilawati, “Analisa Pengaruh Tarekat Rifa‟iyah Terhadap Keagamaan di
Banten Abad Ke-19”, (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2015).
2
ini juga bisa memasukkan peranan al-Qur‟an dalam berbagai kepentingan dan
konteks kehidupan, baik yang beriman maupun yang tidak beriman.7 Kajian ini
lebih memfokuskan pada peran praktis al-Qur‟an dalam pemahaman, sikap,
perilaku, aktifitas manusia sebagai individu ataupun masyarakat, terlepas apakah
pemahaman, sikap, perilaku, dan aktifitas itu berdasarkan pengetahuan akan
kaidah tafsir atau pun tidak sama sekali.8 Kajian Living Qur‟an ini membahas
dimensi praktikal, bagaimana kaum muslim menggunakan al-Qur‟an untuk
keperluan magis, amulet, penyembuhan penyakit jasmani dan rohani, keperluan
ekonomi dan bisnis, dan sebagainya.9
Pada dasarnya, kajian al-Qur‟an tidak melulu berfokus pada teks al-Qur‟an
dan kajian terhadap tafsir, „ulȗm al-Qur‟an, namun juga bisa meluas sampai pada
wilayah sosiologi dan antropologi agama, yaitu ketika manusia mempergunakan
al-Qur‟an dalam kehidupan sehari-hari. Inilah yang disebut dengan kajian Living
Qur‟an, yakni al-Qur‟an yang hidup dalam masyarakat.10
Dalam lintasan sejarah Islam, praktik memperlakukan al-Qur‟an atau unit-
unit tertentu dari al-Qur‟an sehingga bermakna dalam kehidupan praktis umat
pada dasarnya sudah terjadi. Nabi Muhammad pernah menyembuhkan penyakit
dengan rukiah lewat surah al-Fatihah, atau menolak sihir dengan surah al-
Mu‟awwizatain. Hal ini mengindikasikan bahwa sejak zaman Nabi Muhammad,
al-Qur‟an pernah diperlakukan di luar dari kapasitasnya sebagai teks –al-Qur‟an
diperlakukan atas anggapan bahwa al-Qur‟an memiliki keutamaan tertentu secara
praktis.11
Memperlakukan al-Qur‟an di luar kapasitasnya sebagai teks bukan hanya
terjadi di masa Nabi Muhammad saja. Ada sebagian masyarakat di Indonesia yang
menggunakan al-Qur‟an di luar kapasitasnya sebagai teks, seperti kebiasaan
7 Muhamad Ali, “Kajian Naskah dan Kajian Living Qur‟an dan Living Hadith”, Journal
of Qur‟an and Hadith Studies, vol.4, no. 2, (2015), h. 152. 8 Muhamad Ali, “Kajian Naskah dan Kajian Living Qur‟an dan Living Hadith”, h. 153
9 Muhamad Ali, “Kajian Naskah dan Kajian Living Qur‟an dan Living Hadith”, h. 156.
10 Hamam Faizi, “Mencium dan Nyunggi al-Qur‟an: Upaya Pengembangan Kajian al-
Qur‟an melalui living qur‟an”, Suhuf, vol. 4, no. 1, (2011). 11
Sahiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis (Yogyakarta:
Teras, 2007), h. 3.
3
menggunakan al-Qur‟an sebagai jimat,12
mujahadah,13
membaca al-Qur‟an dalam
acara-acara tertentu,14
dan membaca al-Qur‟an pada waktu-waktu tertentu.15
Dalam kajian debus, penelitian dengan pendekatan Living Qur‟an menarik
untuk dilakukan. Hal itu disebabkan terdapat pembacaan ayat-ayat al-Qur‟an
dalam pementasan debus sebelum atraksi kekebalan dipertontonkan.16
Pembacaan
ayat-ayat pilihan sebelum kesenian debus dilaksanakan merupakan syarat yang
tidak boleh ditinggalkan.17
Penelitian ini membahas pembacaan ayat-ayat al-Qur‟an dalam
pementasan debus. Selain itu, penelitian ini juga menguatkan pendapat yang
mengatakan bahwa dalam praktiknya, kesenian debus melafalkan beberapa ayat
al-Qur‟an sebelum kesenian ini dipentaskan. Beberapa peneliti yang mengatakan
hal tersebut di dalam tulisannya yakni Yanti Susilawati18
, Fahmi Irfani19
, dan Euis
Thresnawaty S20
.
Pembacaan al-Qur‟an ayat-ayat pilihan yang dilakukan oleh pelaku
kesenian debus ini penting untuk diteliti, karena belum ada penelitian yang
mengungkapkan secara mendalam pembacaan ayat-ayat al-Qur‟an yang dilakukan
dalam pementasan debus. Oleh karena itu penulis akan meneliti tentang Islam
dan Kesenian: Studi Praktik Pembacaan Ayat-ayat al-Qur’an dalam
Pementasan Debus.
12
Anwar Mujahidin, “Analisis Simbolik Penggunaan Ayat-ayat al-Qur‟an sebagai Jimat
dalam Kehidupan Masyarakat Ponorogo”, Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, vol.
10, no. 1, (2016). 13
Moh. Muhtador, “Pemaknaan Ayat al-Qur‟an dalam Mujahadah”, Jurnal Penelitian,
vol. 8, no. 1, (2014). 14
Umi Masruroh, “Tradisi Rebo Wekasan dalam Kajian Living Qur‟an di Desa Pakuncen
Kecamatan Selomerto Kabupaten Wonosobo”, Qaf, vol. 1, no. 2, (2017). 15
Siti Fauziah, “Pembacaan al-Qur‟an Surat-surat Pilihan di Pondok Pesantren Putri Daar
al-Furqon Janggalan Kudus (Studi Living Qur‟an)”, Jurnal Studi Ilmu-ilmu al-Qur‟an dan Hadis,
vol. 15, no. 1, (2014). 16
Kiki Muhamad Hakiki, “Debus Banten: Pergeseran Otentitas dan Negosiasi Islam-
Budaya Lokal”, Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, vol.7, no. 1, (2013), h. 4. 17
Muhammad Acang selaku syaikh Debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 13 April
2019. 18
Yanti Susilawati, “Analisa Pengaruh Tarekat Rifa‟iyah Terhadap Keagamaan di
Banten Abad Ke-19”. 19
Fahmi Irfani, “Islam dan Akulturasi Budaya di Banten: Kyai, Jawara, Debus”, h. 85. 20
Euis Thresnawaty S, “Kesenian Debus di Kabupaten Serang”, h. 124.
4
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang di atas, penulis mencoba untuk melakukan identifikasi
masalah terkait dengan tema yang akan penulis teliti yakni di antaranya:
1. Bagaimana akulturasi antara Islam dan budaya di Banten (kiai, jawara, dan
debus Banten)? Sebagai salah satu pusat kebudayaan Islam tertua di
Indonesia, Banten mengalami akulturasi budaya dengan Islam yang tidak
dapat dihindarkan sehingga menampilkan kultur yang khas. Banten dikenal
sebagai daerah tempat mencari ilmu kesaktian, dan debus sebagai bentuk
refleksi kultur. Kiai dan jawara merupakan simbol daerah ini. Mereka
menempati posisi sentral dalam stratifikasi masyarakat. Eksponen-eksponen
inilah yang mewarnai masyarakat Banten, dan menjadikannya sebagai daerah
yang berbeda di nusantara, hal ini dikarenakan keunikan budaya, kultur tradisi
lokal yang menyatu dengan Islam.
2. Apakah debus Banten telah mengalami pergeseran otentitasnya atau telah
terpengaruh oleh budaya lokal? Sebagai sebuah budaya, debus merupakan
kompleksitas manusia. Di dalamnya terdapat kepentingan sosial, politik,
bahkan agama. Secara historis, keberadaan debus tidak terlepas dari nafas
Islam. Namun dalam perjalanannya debus mengalami pergeseran khususnya
ketika berhadapan dengan perkembangan zaman dan nilai-nilai lokal Banten.
3. Bagaimana latar belakang perjalanan sejarah serta dinamika perkembangan
debus Banten? Sejarah dan perkembangan debus Banten dapat dikatakan
masih sangat gelap karena tidak ada sumber tertulis yang bisa menjelaskan
periode debus sebelum abad 19. Hal menarik dari debus ini adalah pada masa
awal kemunculannya, debus mempunyai fungsi sebagai sarana penyebaran
agama Islam. Namun terjadi perubahan fungsi pada masa penjajahan Belanda
yaitu pada masa Sultan Ageng Tirtayasa seni ini digunakan untuk
membangkitkan semangat perjuangan rakyat Banten melawan penjajah
Belanda.
4. Apa pengaruh tarekat Rifa‟iyah terhadap kesenian debus Banten? Banten yang
notabene merupakan tanah jawara, memiliki tingkat keagamaan cukup tinggi.
Namun, hal ini tidak bisa dilepaskan dari peran tarekat yang berkembang,
salah satunya yakni tarekat Rifa‟iyah. Salah satu pengaktualisasian tarekat
5
Rifa‟iyah tersebut ada dalam bentuk debus Banten. Debus yang identik
dengan dunia mistik, sesungguhnya berakar dari sebuah tarekat.
5. Bagaimana praktik pembacaan ayat-ayat al-Qur‟an dalam pementasan debus?
Umumnya, al-Qur‟an dibacakan masyarakat agar mendapatkan ketenangan
dalam hati dan mendapatkan pahala. Namun, dalam pementasan debus, ayat-
ayat al-Qur‟an dibaca untuk keperluan mereka sebelum mempertunjukan
atraksi kekebalan. Bahkan hal ini menjadi salah satu syarat yang tidak boleh
ditinggalkan oleh pemain debus.
C. Rumusan dan Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, banyak persoalan yang menjadi kajian
yang ingin peneliti lakukan. Namun, dalam tulisan ini, penulis hanya mengkaji
dua aspek saja yang dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana praktik pembacaan ayat-ayat al-Qur‟an dalam pementasan debus?
2. Bagaimana pemain debus memaknai ayat-ayat al-Qur‟an yang dibaca?
Dalam dua rumusan masalah di atas, penulis membatasi pembahasan masalah
pada:
1. Pelaksanaan praktik pembacaan al-Qur‟an dalam kesenian debus. Penulis
membahas prosesi pementasan debus mulai dari awal pementasan hingga
akhir pementasan yang di dalamnya terdapat praktik pembacaan al-Qur‟an.
Penulis juga membahas perlengkapan yang dibutuhkan dalam pementasan
debus, beserta tujuan dari pementasan debus. Penulis juga membahas
keanggotaan debus beserta fungsi-fungsinya. Selain bacaan-bacaan al-Qur‟an,
masih ada bacaan-bacaan lain seperti selawat, rifa‟i, dan doa. Namun penulis
tidak membahas tiga objek terakhir secara spesifik.
2. Pemaknaan ayat-ayat al-Qur‟an yang dibaca oleh pemain debus. Sebelum
membahas hal itu, penulis terlebih dahulu membahas fungsi debus dalam
kehidupan masyarakat Banten. Penulis tidak membahas fungsi al-Qur‟an bagi
kehidupan pemain debus secara keseluruhan, penulis hanya fokus pada fungsi
al-Qur‟an dalam pementasan debus. Selanjutnya, penulis membahas relevansi
Living Qur‟an dalam pementasan debus dan wacana kajian al-Qur‟an.
6
D. Tujuan dan Manfaat Penelitan
1. Tujuan
a. mengetahui praktik pembacaan ayat-ayat al-Qur‟an dalam pementasan
debus.
b. Mengetahui pemahaman pemain debus Banten tentang ayat-ayat al-
Qur‟an yang dibaca ketika pementasan debus.
c. Memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Agama (S.Ag).
2. Manfaat
a. Manfaat Teoritis
Secara teoritis penelitian ini memberikan sumbangan keilmuan di
bidang al-Qur‟an dan tafsir khususnya dalam kajian Living Qur‟an.
Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi acuan dalam
kajian Living Qur‟an selanjutnya.
b. Manfaat Praktis
Secara praktis penelitian ini dimaksudkan untuk membantu
meningkatkan kesadaran terhadap pentingnya membaca dan mengkaji
al-Qur‟an dalam segala keadaan dan kondisi. Selain itu juga penelitian
ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat agar dapat
melestarikan kesenian debus.
E. Tinjauan Pustaka
Kajian yang bersinggungan dengan tema ini memang masih belum banyak
dilakukan, yaitu tentang Living Qur‟an atau kajian al-Qur‟an yang menggunakan
pendekatan etnografi, akan tetapi melihat dari penelitian-penelitian sebelumnya,
sampai saat ini penulis juga belum menemukan penelitian secara spesifik yang
mengarah pada kajian Living Qur‟an yang dilakukan dalam pementasan debus.
Dari beberapa karya yang penulis telusuri tentang pembacaan ayat-ayat al-Qur‟an
dalam pementasan debus, kajian Living Qur‟an secara khusus penulis belum
menemukan, akan tetapi penulis menemukan beberapa karya yang membahas
kajian Living Qur‟an dan kajian mengenai kesenian debus. Berikut penelitian
yang penulis temukan yang telah penulis telaah:
Beberapa penelitian terdahulu bertema Living Qur‟an:
7
Siti Fauziah,21
Pembacaan al-Qur‟an Surat-surat Pilihan di Pondok
Pesantren Putri Daar al-Furqon Janggalan Kudus (Studi Living Qur‟an). Tulisan
ini menjelaskan tradisi pembacaan surat-surat pilihan di Pondok Pesantren Putri
Daar al-Furqon Janggalan Kudus. Penulis menjelaskan pula awal tradisi ini
dilaksanakan beserta dengan orang yang memerintahkan pertama kali. Selian itu
penulis juga menjelaskan makna praktik tradisi pembacaan al-Qur‟an tersebut
menggunakan teori sosial Emile Durkheim dan Karl Mannheim. Lebih lanjut,
sebelum membahas inti permasalah topik yang diangkat yakni pembacaan surat-
surat pilihan, Siti menjelaskan profil tempat penelitian, gambaran umum
masyarakat sekitar tempat penelitian. Siti menjelaskan surat-surat pilihan yang
dibaca oleh santri, waktu pelaksanaan, prosesi pelaksanaan, alasan dipilihnya
surat-surat tersebut beserta alasan-alasan terkait pelaksanaan prosesi pembacaan
surat-surat pilihan itu, hingga pola pembacaan surat-surat pilihan tersebut. .
Pembacaan surat-surat pilihan yang dibaca setelah shalat berjamaan
tersebut merupakan sebuah cara untuk membetulkan dan membaguskan bacaan
santri. Surat-surat tersebut dipilih karena dianggap memiliki keutamaan yang
terkandung di dalam surat-surat tersebut baik berdasarkan hadis Nabi Muhammad
Saw., ataupun sebagai bentuk kepatuhan kepada anjuran guru. Surat-surat pilihan
tersebut terdiri dari Surat Yasin, al-Waqi‟ah, al-Rahman, al-Dukhan, dan al-Mulk
yang telah dihimpun menjadi sebuah kitab bernama Kanzu al-Nafais.
Muhammad Fauzan Nasir,22
Pembacaan Tujuh Surat Pilihan al-Qur‟an
dalam Tradisi Mitoni: Kajian Living al-Qur‟an di Dusun Sumberjo, Desa Troso,
Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten. Penelitian ini adalah penelitian
lapangan dan kualitatif (kepustakaan) dengan paradigma fungsional yang
dipaparkan oleh Heddy Shri Ahimsa-Putra dalam tulisannya yakni Living Qur‟an:
Beberapa Perspektif Antropologi. Sumber utama yang digunakan dalam
penelitian ini adalah surah-surah al-Qur‟an yang dibaca dalam tradisi Mitoni dan
dijabarkan dengan metode deskriptif analitik kualitatif. Data-data yang diperoleh
berasal dari observasi, wawancara, dan dokumentasi.
21
Siti Fauziah, “Pembacaan al-Qur‟an Surat-surat Pilihan di Pondok Pesantren Putri Daar
al-Furqon Janggalan Kudus (Studi Living Qur‟an)”. 22
Muhammad Fauzan Nasir, “Pembacaan Tujuh Surat Pilihan al-Qur‟an dalam Tradisi
Mitoni: Kajian Living al-Qur‟an di Dusun Sumberjo, Desa Troso, Kecamatan Karanganom,
Kabupaten Klaten” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, IAIN Surakarta, 2016).
8
Tradisi Mitoni sekarang adalah hasil dari resepsi antara tradisi Mitoni
masyarakat terdahulu dengan datangnya al-Qur‟an di tengah-tengah masyarakat.
Kedua entitas ini bertemu dan mengahsilkan Mitoni yang berbeda dengan tradisi
Mitoni dahulu. Tradisi Mitoni sekarang terdapar beberapa pembacaan al-Qur‟an
dan tetap terdapat beberapa tradisi terdahulu yang masih dapat dijumpai. Ada
beberapa motivasi pelaksanaan Mitoni ini di antaranya memohon keberkahan dan
keselamatan, menjaga tradisi turun temurun, sebagai bentuk kegiatan sosial
budaya, menuruti perintah orang tua, dan sebagai bentuk rasa syukur. Dalam
penelitian ini juga dijelaskan harapan-harapan yang ingin dicapai dari tradisi
Mitoni ini.
Andi Firman,23
Pemahaman Umat Islam Terhadap Surah Yasin (Studi
Living Qur‟an di Desa Nyiur Permai Kab. Tembilahan, Riau). Dalam Penelitian
tahun 2014 ini menggunakan pendekatan deskripsi kualitatif, yaitu dengan cara
pendekatan etnografi. Subjek penelitian ini adalah tokoh masyarakat atau sesepuh
desa, imam masjid desa, dan guru sekolah sebanyak tiga orang. Sumber data yang
disuguhkannya berasal dari hasil wawancara, observasi, dokumentasi dan kajian
kepustakaan.
Ada beberapa poin penting yang Andi paparkan dalam penelitiannya. Hal-
hal penting tersebut, tentu saja berkenaan dengan tema yang sedang penulis teliti
yakni Living Qur‟an. Ia bertutur bahwa masyarakat Desa Nyiur Permai
mempraktikan pembacaan Surah Yasin dalam berbagai aktivitas kehidupan
mereka. Surah Yasin, baik secara penuh ataupun dalam berbagai bentuk
potongan-potongan tertentu selalu menjadi surat yang sering dilantunkan oleh
masyarakat desa tersebut. Ada beberapa fungsi Surah Yasin yang dipercaya oleh
masyarakat desa tersebut di antaranya, Surah Yasin dibaca ketika orang muslim
meninggal dunia dengan harapan doa dan pahala bacaan Surah Yasin dapat
terlimpahkan kepada mayit. Ada juga fungsi lain yakni untuk keselamatan orang
yang sedang menunaikan ibadah haji. Di satu sisi, masyarakat desa Nyiur Permai
juga konsisten membaca Surah Yasin setiap minggunya, pada malam jum‟at.
23
Andi Firman, “Pemahaman Umat Islam Terhadap Surah Yasin: Studi Living Qur‟an di
Desa Nyiur Permai Kab. Tembilahan, Riau” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2016).
9
Yadi Mulyadi,24
al-Qur‟an dan Jimat. Dalam penelitian ini penulis
menggunakan metode etnografi James P. Spradley yang bersifat deskriptif-
kualitatif dengan pendekatan antropologi. Teknik pengumpulan data
menggunakan wawancara, observasi, dan dokumentasi. Ada beberapa
pembahasan dalam penelitian ini di antaranya mengungkapkan penggunaan al-
Qur‟an dalam kehidupan praktis, seperti pengobatan, tradisi Rebo Wekasan,
Tradisi Tingkeban atau Mitoni. Selain itu al-Qur‟an juga dipercaya memiliki
kekuatan magis oleh masyarakat adat Wewengkon Kasepuhan Lebak Banten.
Oleh sebab itu al-Qur‟an digunakan sebagai jimat dan digunakan pula dalam
kesenian Debus Banten. Peneliti juga mencatat pemahaman masyarakat adat
Wewengkon Kasepuhan Lebak Banten terhadap jimat. Masyarakat ini terdiri
mulai dari masyarakat umum, tokoh adat kasepuhan, dan juga tokoh agama.
Dalam bab iv penulis juga meneliti tentang bentuk-bentuk jimat yang digunakan
dalam masyarakat adat Wewengkon Kasepuhan Lebak Banten, serta manfaat yang
diperoleh jika menggunakan jimat.
Dalam tesis ini memang menjelaskan Debus Banten, namun tidak secara
rinci, tidak diijelaskan pula surat-surat pilihan yang harus dibaca pemain Debus.
Dalam penelitian ini, penelitian Living Qur‟an lebih ditekankan pada penggunaan
jimat oleh masyarakat adat Wewengkon Kasepuhan Citorek Lebak Banten dalam
kehidupan sehari-hari, seperti untuk penglaris dagang, penyelamat jiwa dan raga,
kebal dari ilmu-ilmu hitam, menambah karisma, penyembuh dari penyakit dan
lain sebagainya. Peneliti juga menjelaskan jenis-jenis jimat yang digunakan
lengkap dengan ayat-ayat, surat-surat yang digunakan dalam jimat.
Hamam Faizin,25
Mencium dan Nyunggi al-Qur‟an: Upaya
Pengembangan Kajian al-Qur‟an Melalui Living Qur‟an. Dalam penelitian ini,
Hamam menjelaskan kajian baru yang berfokus kepada hasil interaksi antara
manusia dengan al-Qur‟an yakni penelitian Living Qur‟an. Menurutnya,
penelitian al-Qur‟an tidak harus melulu berfokus kepada penelitian teks saja,
namun harus berkembang kepada penelitian kebudayaan hasil dari interkasi
24
Yadi Mulyadi, “al-Qur‟an dan Jimat” (Tesis S2 Fakultas Ushuluddin, UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2017). 25
Hamam Faizin, “Mencium dan Nyunggi al-Qur‟an: Upaya Pengembangan Kajian al-
Qur‟an”.
10
manusia dan al-Qur‟an. Penelitian ini juga mencoba untuk memberikan stimulus
peneliti al-Qur‟an guna menengok kajian Living Qur‟an. Hamam juga
memberikan beberapa bukti bahwa kajian Living Qur‟an telah disingguh beberapa
penulis, baik penulis yang fokus kepada kajian al-Qur‟an seperti Farid Esack,
maupun orang yang tidak fokus kepada kajian al-Qur‟an seperti Emha Ainun
Nadjib.
Ahmad Atabik,26
The Living Qur‟an: Potret Budaya Tahfiz al-Qur‟an di
Nusantara. Penelitian ini mencoba untuk mendeskripsikan budaya mengahafal al-
Qur‟an di Indonesia. Tradisi menghafal al-Qur‟an ini merupakan salah satu dari
sekian banyak fenomena umat Islam dalam menghidupkan atau menghadirkan al-
Qur‟an dalam kehidupan sehari-hari dengan cara mengkhatamkannya, yang bisa
ditemukan di lembaga-lembaga keagamaan seperti pesantren, majelis taklim, dan
sebagainya.
A Rafiq Zainul Mun‟im,27
Tafsir Realis Terhadap Makna dan Simbol al-
Qur‟an bagi Masyarakat Kabupaten Probolinggo. Rafiq menggunakan metode
kualitatif sebagai prosedur penelitiannya. Jenis penelitian ini adalah penelitian
studi kasus dengan model interpretasi simbolik menurut Victor W. Turner dan
Levi Strauss. Dalam penelitiannya, Rafiq meneliti tentang penafsiran simbolisasi
manka al-Qur‟an yang dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Probolinggo.
Penelitian ini mendeskripsikan makna, fungsi, dan posisi al-Qur‟an dalam
kehidupan masyarakat Kabupaten Probolinggo.
Muhamad Ali,28
Kajian Naskah dan Kajian Living Qur‟an dan Living
Hadith. Dalam penelitian ini Muhammad Ali mencoba untuk menawarkan ranah
kajian Living Qur‟an dan Living Hadis yang belum mendapatkan banyak
perhatian dari para peneliti al-Qur‟an. Namun sebelum membahas keduanya,
Muhammad Ali terlebih dahulu memaparkan kajian-kajian naskah yang telah
berkembang mendahului kajian Living Qur‟an dan Living Hadis. Muhammad
pada bagian awal tulisannya menyuguhkan ulasan-ulasan karya mufassir maupun
26
Ahmad Atabik, “The Living Qur‟an: Potret Budaya Tahfiz al-Qur‟an di Nusantara”,
Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 1, (2014). 27
A. Rafiq Zainul Mun‟im, “Tafsir Realis Terhadap Makna dan Simbol al-Qur‟an bagi
Masyarakat Kabupaten Probolinggo”, Madania, Vol. 21, No. 2, (2017) 28
Muhamad Ali, “Kajian Naskah dan Kajian Living Qur‟an dan Living Hadith”.
11
peneliti al-Qur‟an baik karya-karya yang membahas tentang tafsir-tafisr tematik
maupun metode-metode untuk memahami al-Qur‟an.
Living Qur‟an mengkaji mengapa dan bagaimana pemahaman dan
penerapan al-Qur‟an yang dilakukan oleh masyarakat. Kajian Living Qur‟an lebih
menekankan pemahaman masyarakat bukan penafsiran masyarakat. Selain itu,
kajian Living Qur‟an tidak mengkaji sejauh mana kesesuaian pemahaman
masyarakat tersebut dengan kaidah-kaidah tafsir yang seharusnya.
Heddy Shri Ahimsa-Putra,29
The Living Qur‟an: Beberapa Perspektif
Antropologi. Dalam jurnal ini Heddy menceritakan definisi Living Qur‟an
menurut perspektif, pemaknaan terhadap al-Qur‟an yang bervariatif, Living
Qur‟an sebagai fenomena social-budaya, serta paradigm-paradigma yang bisa
digunakan dalam penelitian Living Qur‟an. Namun, tulisan Heddy ini lebih fokus
membahas tentang beberapa paradigm yang bisa digunakan oleh para peneliti
Living Qur‟an. Ada beberapa paradigm yang dipaparkan oleh Heddy yakni
paradigma akulturasi, paradigm fungsional, paradigm structural, paradigm
fenomenologi, dan paradigma hermeneutika.
Beberapa penelitian terdahulu bertema Kesenian Debus Banten:
Hasani Ahmad Said,30
Islam dan Budaya di Banten: Menelisik Tradisi Debus
dan Maulid. Dalam penelitian ini Hasani memfokuskan pada dua topik bahasan
yakni atraksi Debus dan tradisi Panjang Maulid. Kajian ini menggunakan
pendekaran interdisipliner melalui kajin sosiologis dan kajian sejarah. Hasani
menganalisis data dengan menggunakan analisis isi. Menurutnya, kesenian-
kesenian dan tradisi-tradisi yang ada di Banten tidak terlepas dari campur tangan
nilai-nilai keagamaan, khususnya agama Islam. Pada awal tulisannya, Hasani
memaparkan cara penyebaran Islam ke Indonesia. Setelah itu, penulis
memaparkan secara singkat sejarah Kesultanan Banten beserta dengan keadaan
geografisnya. Selain itu, Hasani juga mengulas beberapa buku dan penelitian
sebelumnya yang memiliki kesamaan tema dengan penelitiannya. Hasani
29
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “The Living Qur‟an: Beberapa Perspektif Antropologi”,
Walisongo, vol.20, no. 1 (2012). 30
Hasani Ahmad Said, “Islam dan Budaya di Banten: Menelisik Tradisi Debus dan
Maulid”.
12
mejelaskan beberapa jenis-jenis Debus yakni Debus al-Madad, Surosowan, dan
Langitan.
Berdasarkan penelusuran Hasani, akar sejarah Debus Banten memiliki tiga
versi populer. Pertama, Debus diciptakan oleh Sultan Maulana Hasanuddin pada
abad ke16 M. Kedua, Debus merupakan kesenian yang dibawa oleh para penyebar
Islam dari Timur Tengah bernama al-Madad pada abad ke-13 M. Ketiga, Debus
berasal dari ajaran Tarekat Rifaiyyah Nuruddin al-Raniry di Aceh dan dibawa ke
Banten pada abad ke-16 melalui para pengawal Cut Nyak Dien yang sedang
diasingkan oleh Belanda ke Sumedang. Namun dari ketiga versi tersebut memiliki
satu kesamaan yakni kesamaan tujuan. Debus digunakan sebagai fasilitas untuk
menyebarkan Islam di Banten.
Setelah itu, Hasani, sebagaimana tema penelitiannya, menjelaskan Maulid
yang ada di Banten. Menurutnya, Maulid, sama dengan Debus, merupakan salah
satu kebudayaan Banten yang berakulturasi dengan nilai-nilai Islam. Maulid ini
memiliki beberapa versi akar sejarah. Sebagian peneliti berpendapat bahwa pada
awalnya Maulid ini merupakan kebudayaan merupakan tradisi kuno di Mesir guna
menghormati dewa-dewa ketika musim panen tiba. Ada juga yang mengatakan
bahwa Maulid terpengaruh Pharisaisme (sekte Yahudi kuno). Sedangkan bentuk
modern Maulid berakar dari kaum sufi dan atau Syiah yang muncul di kawasan
Maroko dan Mesopotamia hingg berkembang di Mekah. Di Banten tradisi Maulid
ini di awali dengan alunan rebana yang disandingkan dengan salawat. Dzikir
Maulid ini sudah populer pada tahun 1927-1940.
Kiki Muhamad Hakiki,31
Debus Banten: Pergeseran Otentitas dan Negosiasi
Islam-Budaya Lokal. Kiki mengambil kesimpulan bahwa kesenian Debus telah
mengalami perubahan dan pergeseran karena harus menyesuaikan dengan
perkembangan zaman dan nilai-nilai lokal Banten. Debus telah berganti orientasi
menjadi sekedar daya tarik pariwisata serta penghasil pundi-pundi ekonomi. Di
lain sisi Debus telah meninggalkan identitas awalnya sebagai kesenian yang
dipoduksi oleh tarekat. Pada awal tulisannya, Kiki menjelaskan gambaran umum
tentang daerah tempat Debus berkembang yakni Provinsi Banten. Kemudian Kiki
31
Kiki Muhamad Hakiki, “Debus Banten: Pergeseran Otentitas dan Negosiasi Islam-
Budaya Lokal”.
13
menjelaskan Debus Banten, mulai dari definisi, perkembangan Debus secara
singkat, hingga pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam kesenian Debus.
Mengenai definisi Debus, menurut Kiki, para peneliti masih memperdebatkan
definisi yang pasti dari Debus. Pertama, ada yang berpedapat bahwa Debus
berasal dari Bahasa Arab, “Dabbas” yang berarti sepotong besi yang runcing dan
dianalogikan dengan jarum. Kedua, ada pendapat yang menyebutkan bahwa
Debus merupakan nama sebuah benda “al-Madad” yaitu besi runcing seperti paku
besar. Ketiga, pendapat yang menyebutkan Debus berasal dari Bahasa Persia yang
berarti tusukan. Keempat, pendapat A. Sastra Suganda yang mengatakan bahwa
Debus berasal dari kata tembus. Mengenai pergeseran itu, Kiki menyebutkan
beberapa poin di antaranya pergeseran dari segi ritual, pergeseran dari segi
pertunjukan, pergeseran dari perekrutan personil Debus, pergeseran dari segi
tujuan.
Euis Thresnawaty S,32
Kesenian Debus di Kabupaten Serang. Penelitian Euis
ini bertujuan untuk mengungkap latar belakang sejarah kesenian Debus yang ada
di Kabupaten Serang, Banten dengan menggunakan metode sejarah. Dalam
penelitian ini, Euis menjelaskan gambaran umum Kabupaten Serang. Euis juga
menjelaskan sejarah Debus yang berkembang di Kabupaten Serang. Menurut
Eusi, seni Debus adalah kesenian yang memadukan seni tari, seni suara, dan seni
olah batin yang bernuansa magis. Secara historis kesenian Debus mulai
disebarkan semenjak diperkenalkan pertama kali oleh Sunan Gunung Jati ketika
berekspedisi ke Banten pada tahun 1520 dan berkembang pesat pada abad ke-16
hingga abad ke-17 pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa. Kesenian ini
berkembang seiring berkembangnya agama Islam di Banten. Pada awalnya
kesenian ini berfungsi sebagai alat untuk menyiarkan agama Islam di Banten,
namun ketika Belanda mulai mengusik kekuasaan kesultanan Banten pada masa
Sultan Ageng Tirtayasa, Debus dijadikan alat untuk membakar semangat pasukan
kesultanan Banten. Debus juga dijadikan sebagai bekal dalam melawan para
penjajah yang memiliki persenjataan yang canggih pada masa itu. Dalam kesenian
Debus ada konsep permainan dan konsep kekebalan. Tidak seperti kesenian lain
yang selalu menonjolkan keindahan, Debus selalu memberi kesan menyeramkan
32
Euis Thresnawaty S, “Kesenian Debus di Kabupaten Serang”.
14
sekaligus mengagumkan. Debus terbagi menjadi dua aliran tarekat dan aliran ilmu
(melalui tirakat atau bacaan-bacaan mantra). Euis juga menjelaskan hubungan
antara Debus dan tarekat Qodiriyyah, dan Rifa‟iyyah. Ada juga tarekat lain yang
dikaitkan dengan Debus yaitu tarekat Sammaniyyah oleh Syekh Muhammad
Samman. Dalam penelitian ini juga, Euis menjabarkan perkembangan Debus pada
masa sekarang baik bentuk Debus, maupun unsur-unsur yang ada di dalam
kesenian tersebut. Eusi menulis bahwa Debus telah mengalami pergeseran nilai.
Semula Debus dipercaya masyarakat sebagai kesenian Islami karena Syekh Debus
merupakan kiai yang sangat dihormati di daerah tempat padepokan Debus berada.
Namun sekarang syekh Debus bukan lagi seorang kiai. Kiai berada di luar lingkup
kesenian Debus, namun tetap dihormati oleh pemain Debus karena dianggap bisa
melegitimasi kesenian Debus sebagai kesenian Islami.
Iis Sulastri,33
Nilai-nilai Islam dalam Seni Tradisional Debus di Menes
Pandeglang Banten. Dalam Penelitian skripsi tahun 2014 ini menggunakan
metode analisis deskripsi dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data primer
yang digunakan dalam penulisan penelitian tersebut terdiri dari dua sumber yakni
primer dan sekunder. Data primer didapat dari hasil wawancara kelompok debus
Menes Pandeglang Banten, sedangkan data sekunder didapat dari buku, internet,
penelitian terdahulu, dan sumber-sumber lain yang berkaitan dengan tema
pembahasan. Adapun subjek penelitian ini adalah pemimpin kelompok debus
Menes Pandeglang Banten, dan objek penelitian ini adalah nilai-nilai yang
terkandung dalam seni tradisional debus Menes Pandeglang Banten. Sumber data
yang disuguhkannya berasal dari hasil wawancara, observasi, dokumentasi dan
kajian kepustakaan.
Dalam penelitiannya, Iis menjelaskan beberapan poin penting dan relevan
terkait dengan tema yang akan penulis teliti yakni debus. Debus merupakan salah
satu kesenian di Banten yang sampai saat ini masih bertahan dan kesenian yang
paling dikenal di Banten dibandingkan dengan kesenian lainnya. Ada pendapat
yang mengatakan bahwa kesenian debus adalah permainan yang menunjukan
kekebalan seseorang baik senjata api, senjata tajam, dan sebagainya. Sementara
33
Iis Sulastri, “Nilai-nilai Islam dalam Seni Tradisional Debus di Menes Pandeglang
Banten” (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2014).
15
kelompok lain berpendapat bahwa debus adalah kesenian yang menggunakan
perangkat yang telah digunakan sejak zaman kesultanan Banten. Ada dua
pendapat tentang makna debus di antaranya Atjeh yang mengatakan bahwa debus
berasal dari Bahasa Arab. Akar kata debus ialah dabbus yang memiliki arti
“sepotong besi tajam”. Sedangkan pendapat lainnya mengatakan debus berasal
dari Bahasa Sunda yakni tembus yang dikaitkan dengan tajamnya alat tersebut
yang dapat menembus tubuh seseorang jika dipukulkan.
Dalam penelitian ini dijelaskan tentang unsur-unsur yang ada dalam kesenian
debus di antaranya yakni unsur pemimpin, unsur pemain, unsur peralatan, unsur
permainan, dan unsur musik pengiring. Inti dari penelitian ini yakni menelisik
tentang nilai-nilai islam yang terdapat dalam kesenian debus. Adapun nilai-nilai
islam yang terkandung dalam tradisi tersebut, peneliti menulis ada empat nilai,
nilai akidah, nilai syari‟ah, nilai akhlak, dan nilai ibadah.
Pembacaan surat al-fatihah merupakan hal pertama yang harus dilakukan oleh
para pemain, Syaikh sendiri memohon perlindungan dan bantuan khusus dari
Nabi Muhammad, Syaikh Mochtar Palembang, Syaikh Halil Aceh, dan Syaikh
Abdul Qodir Jailani. Setelah itu secara bersamaan mereka membaca wawacan
Syaikh dan pembacaa ini berlangsung selama acara berlangsung.
Penelitian yang mengangkat debus sebagai objek kajiannya telah dilakukan
oleh beberapa peneliti sebelumnya di atas. Selama ini, penelitian debus berfokus
kepada sejarah debus seperti penelitian Euis, akulturasi debus dengan nilai-nilai
Islam seperti penelitian Fahmi, Hasani, dan Yanti. Namun, belum ada penelitian
yang memakai pendekatan Living Qur‟an.
Berdasarkan tinjauan di atas, ada beberapa kesamaan tulisan ini dengan
beberapa penelitian sebelumnya. Penulis mengambil tema Living Qur‟an, hal ini
sama dengan peneliti-peneliti sebelumnya di antaranya: Siti Fauziah, Muhammad
Fauzan Nasir, Andi Firman, Yadi Mulyadi, Hamam Faizin, Ahmad Atabik, A.
Rafiq Zainul Mun‟im. Selain itu, penulis juga mejadikan debus sebagai objek
kajian. Ini sama dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Hasani Ahmad Said,
Kiki Muhammad Hakiki, Euis Thresnawaty, dan Iis Sulastri.
16
Penulis menggunakan beberapa informasi yang terdapat di dalam penelitian-
penelitian sebelumnya. Peneliti mengutip beberapa informasi dari Siti Fauziah34
untuk menjelaskan sejarah Living Qur‟an. Peneliti juga mengutip pengertian
Living Qur‟an dari tulisan Muhammad Ali,35
dan Heddy Shri Ahimsa.36
Dari
Heddy, peneliti juga menggunakan penjelasannya mengenai pendekatan
fungsional.37
F. Metode Penelitian
Pada penelitian ini penulis menggunakan metode penelitian kualitatif dengan
pendekatan etnografi dan pendekatan fungsional. Menurut Sugiyono metode
kualitatif ini sering disebut juga metode penelitian naturalistik karena
penelitiannya dilakukan pada kondisi yang alamiah; disebut juga sebagai metode
etnographi, karena pada awalnya metode ini lebih banyak digunakan untuk
penelitian bidang antropologi budaya; disebut sebagai kualitatif karena data yang
terkumpul dan analisisnya lebih bersifat kualitatif.38
Lebih lanjut, Sugiyono menuturkan bahwa metode kualitatif digunakan untuk
mendapatkan data yang mendalam, suatu data yang mengandung makna. Makna
adalah data yang sebenarnya, data yang pasti yang merupakan suatu nilai di balik
sesuatu yang tampak. Oleh karena itu pada penelitian kualitatif tidak menekankan
pada generalisasi, tetapi lebih menekankan kepada makna.39
Pendekatan penelitian yang penulis gunakan adalah pendekatan fungsional.
Paradigma fungsional digunakan ketika seorang peneliti bermaksud mengetahui
fungsi-fungsi dari suatu gejala sosial budaya. Fungsi ini bisa merupakan fungsi
sosial atau fungsi kultural gejala tersebut, seperti misalnya pola-pola perilaku
yang muncul dari pemaknaan-pemaknaan tertentu terhadap ayat-ayat al-Qur‟an.
Misalnya saja pemaknaan-pemaknaan terhadap surat-surat dan ayat-ayat tertentu,
34
Siti Fauziah, “Pembacaan al-Qur‟an Surat-surat Pilihan di Pondok Pesantren Putri Daar
al-Furqon Janggalan Kudus (Studi Living Qur‟an)”, h. 159. 35
Muhamad Ali, “Kajian Naskah dan Kajian Living Qur‟an dan Living Hadith”, h. 152-
153. 36
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “The Living Qur‟an: Beberapa Perspektif Antropologi”, h.
236-237. 37
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “The Living Qur‟an: Beberapa Perspektif Antropologi”, h.
254-255 38
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alfabeta, 2014), h.1. 39
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, h.3.
17
yang kemudian melahirkan pola-pola perilaku tertentu dengan fungsi sosio-
kultural tertentu pula. Ketika peneliti tertarik pada fungsi budaya dari qur‟anisasi
kehidupan masyarakat, dia akan mengarahkan perhatiannya pada fungsi
qur‟anisasi tersebut pada tataran pandangan hidup, nilai-nilai, norma atau aturan
yang berlaku dalam masyarakat. Jika dia tertarik pada fungsi sosial fenomena
tersebut, dia akan mengarahkan perhatiannya pada fungsi-fungsi qur‟anisasi
terhadap interaksi, relasi dan jaringan sosial serta pengelompokan dan pelapisan
sosial yang ada di situ.40
Peneliti juga dapat mencoba mengungkapkan fungsi-fungsi sosio-kultural dari
al-Qur‟an itu sendiri, yang mungkin sangat berbeda dengan fungsi al-Qur‟an
dalam konteks aktivitas belajar-mengajar di sebuah perguruan tinggi seperti UIN
Sunan Kalijaga misalnya. Dalam hal ini ayat-ayat yang diyakini memiliki khasiat
tertentu biasanya akan mendapatkan perlakuan berbeda dengan ayat-ayat lain.
Ayat-ayat ini mungkin tidak akan dihapal, tetapi ditulis pada secarik kain putih
dengan minyak misik atau za‟faran, atau ditulis di atas sebuah piring, kemudian
disiram dengan air dan diminum. Fungsi ayat-ayat tertentu dari al-Qur‟an di sini
sudah berbeda dengan fungsi ayat tersebut menurut pandangan para mahasiswa di
perguruan tinggi Islam.41
Tugas kajian Living Qur‟an dengan pendekatan fungsional tidak
berkepentingan untuk mendeskripsikan dan menganalisa polanya, namun lebih
menekankan kepada aspek makna fungsional al-Qur‟an. Misalnya, ketika hendak
mengkaji fenomena membaca al-Qur‟an yang disimak secara luas dan beramai-
ramai oleh masyarakat dari berbagai daerah, maka fenomena itu dapat
memberikan informasi tentang makna fungsional yang sangat beragam. Dengan
pendekatan fungsional, ia akan mengungkapkan tujuan, motif, dan maksud para
peserta pembacaan al-Qur‟an dan para hadirin yang datang jauh-jauh hanya untuk
menyimak bacaan al-Qur‟an secara ramai.42
40
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “The Living Qur‟an: Beberapa Perspektif Antropologi”, h.
254-255. 41
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “The Living Qur‟an: Beberapa Perspektif Antropologi”, h.
255. 42
Ahmad „Ubaidi Hasbillah, Ilmu Living Qur‟an-Hadis: Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi (Ciputat: Yayasan Wakaf Darus-Sunnah, 2019), h. 216-17.
18
Pendekatan etnografi dalam penelitian kualitatif terbanyak berasal dari bidang
antropologi. Etnografi pada dasarnya merupakan bidang yang sangat luas dengan
variasi yang sangat besar dari praktisi dan metode. Bagaimana pun, pendekatan
etnografi secara umum adalah pengamatan-berperan serta sebagai bagian dari
penelitian lapangan.43
Model etnografi adalah penelitian untuk mendeskripsikan kebudayaan
sebagaimana adanya. Model ini berupaya mempelajari peristiwa kultural, yang
menyajikan pandangan hidup subjek sebagai objek studi. Studi ini akan terkait
bagaimana subjek berpikir, hidup, dan berperilaku.44
Penelitian etnografi adalah kegiatan pengumpulan bahan keterangan atau data
yang dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta berbagai aktivitas
sosial dan berbagai benda kebudayaan dari suatu masyarakat. Berbagai peristiwa
dan kejadian unik dari komunitas budaya akan menarik perhatian peneliti
etnografi. Peneliti justru akan banyak belajar dari pemilik budaya, dan sangat
respek pada cara mereka belajar tentang budaya.45
Etnografi pada dasarnya lebih memanfaatkan teknik pengumpulan data
pengamatan berperan serta (participant observation). Hal ini sejalan dengan
pengertian istilah etnografi yang berasal dari kata ethno (bangsa) dan graphy
(menguraikan atau menggambarkan). Etnografi merupakan ragam pemaparan
penelitian budaya untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan
bekerjasama melalui fenomena teramati melalui fenomena sehari-hari.46
Etnografi lazimnya bertujuan untuk menguraikan budaya tertentu secara
holistik, yaitu aspek budaya baik spiritual maupun material. Dari sini akan
terungkap pandangan hidup dari sudut pandang penduduk setempat. Hal ini cukup
bisa dipahami, karena melalui etnografi akan mengangkat keberadaan senyatanya
43
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2006), h. 25-26. 44
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2012), h. 50. 45
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, h. 50. 46
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, h. 50-51.
19
dari fenomena budaya. Dengan demikian akan ditemukan makna tindakan budaya
suatu komunitas yang diekspresikan melalui apa saja.47
Dalam bukunya, James P. Spradley mengatakan bahwa etnografi merupakan
pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan. Tujuan utama aktivitas ini adalah
memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli. Ia lebih
lanjut mengutip pendapat Malinowski, bahwa tujuan etnografi adalah memahami
sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan, untuk
mendapatkan pandangannya mengenai dunianya.48
Inti dari etnografi adalah upaya memperhatikan makna tindakan dari kejadian
yang menimpa orang yang ingin dipahami. Beberapa makna ini terekspresikan
secara langsung dalam bahasa; dan banyak diterima dan disampaikan hanya
secara tidak langsung melalui kata dan perbuatan. Tetapi dalam setiap masyarakat,
orang tetap menggunakan sistem makna yang kompleks ini untuk mengatur
tingkah laku mereka, untuk memahami diri mereka sendiri dan untuk memahami
orang lain, serta untuk memahami dunia di mana mereka hidup.49
Dalam melakukan kerja lapangan, etnografer membuat kesimpulan budaya
dari tiga sumber: (1) dari hal yang dikatakan orang, (2) dari cara orang bertindak,
(3) dari berbagai artefak yang digunakan orang. Setiap kali etnografi
menggunakan hal yang dikatakan oleh orang dalam upaya untuk mendeskripsikan
kebudayaan mereka. kebudayaan, baik yang implisit maupun yang eksplisit
terungkap melalui perkataan, baik dalam komentar sederhana maupun dalam
wawancara panjang. Karena bahasa merupakan alat utama untuk menyebarkan
kebudayaan dari satu generasi ke generasi berikutnya.50
Selain pendekatan etnografi dan pendekatan fungsional, penulis juga
menggunakan beberapa macam teori pembacaan terhadap al-Qur‟an. Setiap
muslim berkeyakinan bahwa al-Qur‟an adalah wahyu Allah yang diturunkan
kepada umat manusia sebagai petunjuk dan bimbingan hidup. Al-Qur‟an
diturunkan untuk petani sederhana maupun ahli metafisika, dan mengandung
47
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, h. 51. 48
James P. Spradley, Metode Etnografi, terj. Misbah Zulfa Elizabeth (Yogyakarta: PT.
Tiara Wacana Yogya, 1997), h. 3. 49
James P. Spradley, Metode Etnografi, terj. Misbah Zulfa Elizabeth, h. 5. 50
James P. Spradley, Metode Etnografi, terj. Misbah Zulfa Elizabeth, h. 10-11.
20
berbagai tingkat pengertian bagi semua jenis pembacanya. Untuk mendapatkan
petunjuk al-Qur‟an, manusia membaca dan memahami isinya serta
mengamalkannya. Pembacaan al-Qur‟an menghasilkan pemahaman beragam
menurut kemampuan masing-masing, dan pemahaman tersebut melahirkan
perilaku yang beragam pula sebagai tafsir al-Qur‟an dalam praksis kehidupan,
baik pada tataran teologi, psikologis, maupun kultural.51
Menurut Abdul Mustaqim, fenomena „pembacaan‟ al-Qur‟an sebagai
sebuah apresiasi dan respon umat Islam ternyata sangat beragam. Ada berbagai
model pembacaan al-Qur‟an, mulai yang berorientasi pada pemahaman dan
pendalaman maknanya, sampai yang sekedar membaca al-Qur‟an sebagai ibadah
ritual atau untuk memperoleh ketenangan jiwa. Bahkan ada juga model
pembacaan al-Qur‟an yang bertujuan untuk mendatangkan kekuatan magis
(supranatural) atau terapi pengobatan dan sebagainya.52
Menurut Muhamad Ali, ada tiga penggunaan kitab suci53
. Pertama,
penggunaan kognitif, pemahaman dan pemikiran tentang kata dan maknanya.
Penggunaan kognitif ini mencakup beberapa macam. Salah satunya, kitab suci
menjadi sumber membangun dan mempertahankan doktrin-doktrin atau ajaran-
ajaran, kebenaran-kebenaran tentang semesta dan cara yang benar untuk hidup di
dalamnya. Merujuk kepada kitab suci sering kali menjadi kata terakhir argumen-
argumen agama. Termasuk dalam penggunaan kognitif adalah penggunaan teks
dalam ritual publik. Kitab suci dibaca, dilagukan, dilingkari, dicium, dihias,
diletakkan pada posisi tinggi dan dimuliakan, dalam ritual pengorbanan, dan
sebagainya.
Kedua, penggunaan non-kognitif kitab suci terjadi dalam banyak situasi.
Kitab suci dipajang di rumah dan bangunan-bangunan publik, dan ditulis dalam
kaligrafi. Selain itu, kaligrafi memiliki kekuatan, memberikan berkah,
menyembuhkan penyakit, menolak bala dan kejahatan, digunakan sebagai mantra
dan jimat, ketika diam dan bepergian.
51
Sahiron Syamsuddin, ed., Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis, h. 11-12. 52
Sahiron Syamsuddin, ed., Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis, h. 65. 53
Muhamad Ali, “Kajian Naskah dan Kajian Living Qur‟an dan Living Hadith”, h.150-
151.
21
Ketiga, penggunaan kitab suci juga bisa dikaji dari segi informative dan
performative. Dari segi informative, kitab suci dijadikan sumber pengetahuan,
doktrin, sejarah masa lalu, isyarat ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Dari segi
performative, kitab suci dialami, dijadikan sebagai barang suci, misalnya dalam
ritual kurban, dijadikan sumber hukum negara atau masyarakat, dijadikan alat
untuk memberkahi, dilagukan, dilombakan, dan sebagainya. Secara umum, kitab
suci memiliki kekuatan merubah dalam kehidupan pribadi maupun masyarakat
yang mengimaninya.
Menurut Fazlur Rahman, pembacaan al-Qur‟an dilakukan oleh tiga
kelompok. Pertama adalah kelompok citizents (penduduk asli, umat Islam). Kedua
adalah kelompok foreigners (kelompok asing/ non muslim yang mengkaji al-
Qur‟an). Ketiga adalah kelompok invanders (penjajah, kelompok yang ingin
menghancurkan al-Qur‟an). Fazlur Rahman dalam hal ini menggunakan analogi
sebuah negara.54
Sedangkan menurut Farid Esack, pembacaan terhadap al-Qur‟an terdapat
dua kelompok besar. Pertama berasal dari kaum muslim, dan kedua berasal dari
kelompok non-muslim. Setiap kelompok tersebut, muslim dan non-muslim,
masing-masing terbagi menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama yakni muslim
terbagi menjadi tiga di antaranya, uncritical lover, scholarly lover, critical lover.
Kelompok kedua yakni non-muslim terbagi menjadi tiga di antaranya the friend of
lover, revisionist, dan polemicist.55
Pemetaan ini tidak bermaksud berpretensi menilai bahwa suatu kelompok
tertentu itu lebih baik dari pada kelompok lain. Namun, pemetaan ini lebih
menunjukan sebagai gambaran umum saja, tidak ada penilaian di dalamnya.
Wilayah Living Qur‟an lebih berfokus kepada kelompok pertama dari bagian
54
Didi Junaedi, “Living Qur‟an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian al-Qur‟an (Studi
Kasus di Pondok Pesantren as-Siroj al-Hasan Desa Kalimukti Kec. Pabedilan Kab. Cirebon)”,
Journal of Qur‟an and Hadith Studies, Vol. 4, No. 2, (2015): h. 173-174. 55
Hamam Faizin, “Mencium dan Nyunggi al-Qur‟an: Upaya Pengembangan Kajian al-
Qur‟an”, h. 25-26.
22
pertama (uncritical lover). Namun tidak menutup kemungkinan juga terjadi pada
kelompok lainnya56
G. Metode Pengumpulan Data
Penulis menggunakan beberapa metode guna mengumpulkan data penelitian
ini. Setidaknya ada tiga metode pengumpulan data yang penulis gunakan yaitu
observasi partisipatif pasif, wawancara semiterstruktur, dan dokumentasi.
1. Observasi partisipatif pasif
Observasi adalah dasar semua ilmu pengetahuan. Pada ilmuwan hanya dapat
bekerja berdasarkan data, yaitu fakta mengenai dunia kenyataan yang
diperoleh melalui observasi. Dalam penelitian ini peneliti ikut terlibat dengan
kegiatan sehari-hari orang yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai
sumber data penelitian. Namun peneliti hanya berpartisipasi pasif dalam
penelitian observasi ini. Sugiyono menjelaskan bahwa dalam penelitiannya
peneliti datang di tempat kegiatan orang yang sedang diamati, tetapi tidak ikut
terlibat dalam kegiatan tersebut. Begitu Sugiyono menjelaskan tentang
observasi partisipatif pasif.57
2. Wawancara semiterstruktur
Wawancara ini dalam pelaksanaannya lebih bebas dibandingkan dengan
wawancara terstruktur. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk menemukan
permasalahan secara lebih terbuka, di mana pihak yang diajak wawancara
diminta pendapat, ide-idenya. Dalam melakukan waawancara, peneliti perlu
mendengarkan secara teliti dan mencatat apa yang dtemukan oleh informan.58
3. Dokumentasi
Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa
berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang.
Dokumen yang berupa tulisan misalnya catatan harian, sejarah kehidupan,
biografi, peraturan, kebijakan. Dokumen yang berbentuk gambar misalkan
foto, gambar, sketsa, dan lain-lain. Dokumen yang berbentuk karya misalnya
karya seni, yang dapat berupa gambar, patung, film, dan lain-lain. Studi
56
Hamam Faizin, “Mencium dan Nyunggi al-Qur‟an: Upaya Pengembangan Kajian al-
Qur‟an”, h. 26-27. 57
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, h.66. 58
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, h.73-74.
23
dokumentasi merupakan pelengkap dari penggunaan metode observasi dan
wawancara.59
H. Teknik Pengolahan Data60
Cresswel menyatakan bahwa prosedur dan metodologi penelitian kualitatif
memiliki ciri-ciri induktif dalam mengumpulkan dan menganalisis datanya.
Pengalaman peneliti sangat berpengaruh dalam cara mengumpulkan dan
menganalisis data tersebut. Oleh sebab itu, logika yang harus terus diikuti oleh
peneliti adalah induktif. Dari bawah (data lapangan) ke atas. Tidak mengambil
keseluruhan dari teori yang menjadi perspektif peneliti. Dalam penelitian ini pun,
penulis berupaya untuk menggunakan logika induktif tersebut.61
Ada 7 tahap yang dilakukan dalam penelitian ini dari pengumpulan data
hingga abstraksi. Tahap 1. Pengumpulan data mentah, yang diambil dari hasil
wawancara, catatan observasi, foto, hasil rekap kuesioner, hasil FGD, dll. Tahap
2. Pemilahan data untuk memudahkan analisis. Tahap 3. Membaca data secara
keseluruhan agar bisa diambil tema dan topik besar sebagai alat koding. Tahap 4.
Pemberian kode pada data yang telah dibaca. Tahap 5. Mendeskripsikannya.
Tahap 6. Interpretasi makna yang muncul dari data yang sudah dipaparkan dalam
klasifikasi. Tahap 7. Interpretasi makna lanjutan.
I. Sistematika Penulisan
Secara garis besar penyusunan penelitian ini dibagi menjadi tiga bagian yakni
pendahuluan, isi, dan penutupan. Tiga bagian ini dikembangkan menjadi bab-bab
dan masing-masing bab terdiri dari beberapa kajian yang secara logis saling
berhubungan.
Bab I, Bab pendahuluan membahas tentang latar belakang masalah,
identifikasi masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
tinjauan pustaka, metode penelitian, metode pengumpuan data, teknik pengolahan
data, dan sistematika penulisan.
Bab II, secara garis besar membahas al-Qur‟an dan debus. Ada beberapa sub
dalam bab ini, di antaranya Living Qur‟an: konsep dan sejarah, debus: konsep dan
59
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, h. 82. 60
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 248. 61
Eva Nugraha, “Diseminasi, Komodifikasi, dan Sakralitas Kitab Suci: Studi Kasus
Usaha Penerbitan Mushaf al-Qur‟an di Indonesia Kontemporer” (Disertasi S3 Sekolah Pasca
Sarjana, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018), h. 21-23.
24
sejarah, surat dan ayat yang dibaca dalam pementasan debus: keutamaan
membaca, dan tafsir al-Qur‟an.
Bab III, membahas tentang kesenian debus Desa Kadudodol. Dalam bab ini
dijelaskan tentang kesenian debus Desa Kadudodol, ijazah keilmuan, anggota
debus Desa Kadudodol, perlengkapan debus Desa Kadudodol, dan fungsi
pementasan debus Desa Kadudodol.
Bab IV, membahas tentang pembacaan ayat-ayat al-Qur‟an dalam pemetasan
debus. Dalam bab ini dijelaskan tentang praktik penggunaan al-Qur‟an,
pemaknaan pelaku debus terhadap ayat-ayat yang dibaca, dan relevansi Living
Qur‟an dalam debus dan kajian al-Qur‟an.
Bab V, penutup. Dalam bab ini dijelaskan jawaban dari pertanyaan penelitian,
saran-saran untuk penelitian selanjutnya, dan rekomendasi praktis.
25
BAB II
AL-QUR’AN DAN DEBUS
A. Living Qur’an: Konsep dan Sejarah
1. Pengertian Living Qur‟an
a. Pengertian Secara bahasa
Ditinjau dari segi bahasa, istilah Living Qur‟an terdiri dari dua kata,
living dan Qur‟an.1 Living berasal dari bahasa Inggris yakni live yang
memiliki dua arti. Pertama, berarti „yang hidup‟ yang berfungsi sebagai
kata sifat. Kedua, berarti „hidup‟ yang berfungsi sebagai kata kerja
transitif.2 Kedua makna ini memiliki padanannya dalam bahasa Arab. Live
dalam arti „yang hidup‟ diterjemahkan menjadi al-hayy, dan live dalam arti
„hidup‟ diterjemahkan menjadi ihya‟. Dari sini, Living Qur‟an memiliki
dua makna. Pertama Living Qur‟an yang bermakna „al-Qur‟an yang hidup‟
dan kedua Living Qur‟an yang bermakna „menghidupkan al-Qur‟an‟ atau
dalam bahasa Arab al-Qur‟an al-hayy dan ihya‟ al-Qur‟an.3
Kata living mendapatkan imbuhan –ing di akhir katanya. Dalam
gramatikal bahasa Inggris, ini dapat menandakan dua hal. Pertama,
penggunaan akhiran –ing dapat digolongkan sebagai present participle.
Kedua, dapat juga digolongkan sebagai gerund. Istilah pertama, yakni
present participle, secara singkat adalah kata kerja yang berubah
fungsinya menjadi kata benda adjektif, seperti pada istilah the living
Qur‟an (al-Qur‟an yang hidup). Istilah kedua, yakni gerund, secara singkat
adalah kata kerja yang berubah menjadi kata benda, namun fungsinya
masih tetap sebagai kata kerja, seperti pada istilah living the Qur‟an
(menghidupkan al-Qur‟an).4
1 Didi Junaedi, “Living Qur‟an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian al-Qur‟an (Studi
Kasus di Pondok Pesantren as-Siroj al-Hasan Desa Kalimukti Kec. Pabedilan Kab. Cirebon)”, h.
172. 2 John M. Echols, dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama, 2003), h. 362. 3 Ahmad „Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur‟an-Hadis: Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi, h. 20. 4 Ahmad „Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur‟an-Hadis: Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi, h. 20.
26
b. Pengertian Secara Istilah
Secara garis besar, ada tiga ranah kajian dalam disiplin ilmu al-Qur‟an.
Pertama, kajian yang objek kajiannya fokus membahas al-Qur‟an. Oleh
Amin al-Khuli, kajian pertama ini diberi istilah dirasah al-nash. Kajian ini
memiliki dua bahasan: 1) fahm al-nash, 2) dirasah ma haula al-nash.
Ranah kajian kedua dalam disiplin ilmu al-Qur‟an adalah penelitian yang
membahas hasil-hasil pembacaan atas teks al-Qur‟an. Ini dapat berwujud
teori-teori penafsiran atau dalam bentuk pemikiran eksegetik. Ranah
kajian ketiga ialah kajian yang meneliti respon sosial masyarakat atas
kehadiran al-Qur‟an dalam kehidupan keseharian mereka, atau bisa juga
hasil pembacaan atas teks al-Qur‟an. Kajian yang terakhir disebut inilah
yang disebut oleh sebagian pakar al-Qur‟an dengan istilah Living Qur‟an.5
Menurut Muhamad Ali, dalam kajian agama, kajian Living Qur‟an
termasuk ke dalam kajian lived religion, practical religion, popular
religion, lived Islam. Tujuan kajian itu adalah untuk mengetahui cara
manusia atau masyarakat memahami dan menerapkan ajaran-ajaran agama
mereka, untuk tidak mengutamakan para pemuka agama. Dalam kajian
kitab suci perbandingan (comparative scripture), kajian Living Qur‟an
adalah salah satu dari kajian the use of scripture.6
Istilah Living Qur‟an berawal dari fenomena Qur‟an in everyday life
(al-Qur‟an dalam kehidupan sehari-hari). Istilah ini dapat diartikan sebagai
makna dan fungsi al-Qur‟an yang benar-benar dipahami oleh masyarakat.7
Secara sederhana, Living Qur‟an dapat didefinisikan dengan „(teks) al-
Qur‟an yang hidup di masyarakat.8
Menurut Heddy, terminologi Living Qur‟an (al-Qur‟an yang hidup)
dapat dimaknai setidaknya dengan tiga hal. Pertama, istilah ini bisa
merujuk kepada sosok Nabi Muhammad. Pendapat ini merujuk kepada
sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Siti Aisyah. Secara singkat, hadis itu
5 Ahmad Atabik, “The Living Qur‟an: Potret Budaya Tahfiz al-Qur‟an di Nusantara”, h.
165. 6 Muhamad Ali, “Kajian Naskah dan Kajian Living Qur‟an dan Living Hadith”, h.150.
7 Sahiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis (Yogyakarta:
Teras, 2007), h. 5. 8 Ahmad Atabik, “The Living Qur‟an: Potret Budaya Tahfiz al-Qur‟an di Nusantara”, h.
165.
27
berisi mengatakan bahwa akhlak Nabi Muhammad adalah al-Qur‟an.
Hadis ini ingin menunjukkan bahwa Nabi Muhammad memiliki akhlak
dan perilaku sesuai dengan tuntunan-tuntunan yang ada di dalam al-
Qur‟an sehingga Nabi Muhammad diandaikan sebagai al-Qur‟an yang
berjalan dan al-Qur‟an tersebut menjelma menjadi sosok manusia.9
Kedua, masih menurut Heddy, istilah Living Qur‟an dapat dimaknai
sebagai masyarakat yang menggunakan atau mengacu kepada al-Qur‟an
dalam segala urusan kehidupan mereka sehari-hari. Menjalankan yang
diperintahkan, dan menghindari yang dilarang di dalam al-Qur‟an. Ketiga,
Living Qur‟an dapat diartikan sebagai al-Qur‟an yang dimaknai bukan
hanya sebagai sebuah kitab suci, namun lebih dari itu. Al-Qur‟an adalah
kitab suci yang hidup sehingga perwujudannya sangat terasa dalam
kehidupan sehari-hari masyarakat. Al-Qur‟an juga dapat dimaknai dan
mewujud dalam beragam hal tergantung pemaknaan yang diberikan
kepadanya.10
Menurut Muhamad Ali, Living Qur‟an adalah mengkaji al-Qur‟an
sebagai teks yang hidup, bukan teks yang mati. Kajian Living Qur‟an
bukan hanya menganggap al-Qur‟an sebagai kitab petunjuk, dan kitab
rahmat untuk manusia, tetapi lebih dari itu, al-Qur‟an memiliki peran dan
fungsi dalam beberapa keperluan bagi manusia, baik orang yang
mengimaninya maupun yang tidak mengimaninya.11
Menurut Didi Junaedi, Living Qur‟an adalah kajian tentang berbagai
peristiwa sosial terkait dengan kehadiran al-Qur‟an atau keberadaan al-
Qur‟an di sebuah komunitas masyarakat muslim tertentu.12 Definisi yang
dikatakan oleh Didi di dalam tulisannya memiliki kesamaan redaksi
dengan definisi yang ditawarkan oleh M. Mansur.13 Lebih lanjut ia juga
9 Heddy Shri Ahimsa-Putra, “The Living Qur‟an: Beberapa Perspektif Antropologi”, h.
236-237. 10
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “The Living Qur‟an: Beberapa Perspektif Antropologi”, h.
236-237. 11
Muhamad Ali, “Kajian Naskah dan Kajian Living Qur‟an dan Living Hadith”, h. 152. 12
Didi Junaedi, “Living Qur‟an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian al-Qur‟an (Studi
Kasus di Pondok Pesantren as-Siroj al-Hasan Desa Kalimukti Kec. Pabedilan Kab. Cirebon)”, h.
169. 13
Sahiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis, h. 8.
28
mengatakan hal yang serupa dengan perkataan Muhamad Ali14 bahwa
Living Qur‟an juga dapat dimaknai sebagai „teks al-Qur‟an yang hidup di
dalam masyarakat‟.15
Menurut Ahmad „Ubaydi, Living Qur‟an adalah suatu kajian untuk
mendapatkan pengetahuan yang kokoh dan meyakinkan dari suatu budaya,
praktik, tradisi, ritual, pemikiran, atau perilaku hidup di masyarakat yang
diinspirasi dari ayat al-Qur‟an.16 Menurut Moh. Muhtador, Living Qur‟an
merupakan interaksi, asumsi, justifikasi, dan perilaku manusia yang
didapat dari teks-teks al-Qur‟an.17 Menurut Muhammad Yusuf, Living
Qur‟an merupakan upaya masyarakat dalam menghidupkan al-Qur‟an,
atau dengan kata lain respon masyarakat atas hadirnya al-Qur‟an.18
Living Qur‟an, menurut Ahmad, dapat dikategorikan menjadi dua
cabang. Pertama living the Qur‟an (ihya‟ al-Qur‟an), dan kedua the living
Qur‟an (al-Qur‟an al-hayy). Keduanya memiliki sifat dan karakter yang
berbeda. Living the Qur‟an bersifat etis dan sangat terikat oleh otentitas,
otoritas, dan orisinilitas teks tradisi kenabian. The living Qur‟an basis
utama penelitiannya adalah fenomenologis, dan data sosial.19
Kajian Living Qur‟an meneliti peran praktis al-Qur‟an dalam berbagai
keperluan atau kegiatan masyarakat. Peran ini misalnya dalam
pemahaman, sikap, perilaku manusia sebagai individu ataupun sebagai
masyarakat, baik bersumber dari pengetahuan masyarakat terhadap
kaidah-kaidah tafsir atau tidak. Living Qur‟an juga mengkaji fenomena
penggunaan al-Qur‟an untuk keperluan di luar tekstualitasnya, seperti
untuk keperluan penyembuhan penyakin, magis, amulet dan berbagai
14
Muhamad Ali, “Kajian Naskah dan Kajian Living Qur‟an dan Living Hadith”, h. 152. 15
Didi Junaedi, “Living Qur‟an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian al-Qur‟an (Studi
Kasus di Pondok Pesantren as-Siroj al-Hasan Desa Kalimukti Kec. Pabedilan Kab. Cirebon)”, h.
169. 16
Ahmad „Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur‟an-Hadis: Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi, h. 20-22. 17
Moh. Muhtador, “Pemaknaan Ayat al-Qur‟an dalam Mujahadah: Studi Living Qur‟an
di PP al-Munawwir Krapyak Komplek al-Kandiyas”, h. 97. 18
Sahiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis, h. 36. 19
Ahmad „Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur‟an-Hadis: Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi, h. 6-8.
29
keperluan praktis lainnya oleh masyarakat.20 Dengan begitu, Living
Qur‟an fokus mengkaji sebuah realita, bukan idea yang muncul dari
pemahaman atas teks al-Qur‟an.21
Living Qur‟an secara antropologis pada dasarnya adalah fenomena
sosial-budaya, yakni gejala berupa pola-pola perilaku individu atau
masyarakat yang muncul atas dasar pemahaman mereka terhadap al-
Qur‟an. Dengan begitu, objek kajiannya bukan lagi teks al-Qur‟an,
melainkan perlakuan manusia terhadap al-Qur‟an dan perilaku yang
dihasilkan darinya.22 Selain itu, kajian ini juga meneliti penerapan teks-
teks al-Qur‟an oleh masyarakat dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Penerapan ini, kemudian seiring waktu akan berubah menjadi sebuah
tradisi yang melembaga di dalam masyarakat.23
Penelitian Living Qur‟an harus menghindari kecenderungan
menjustifikasi sebuah fenomena keagamaan. Penelitian ini tidak
memperdulikan apakah perilaku atau fenomena di masyarakat telah sesuai
dengan kandungan tektual atau tidak. Fenomena seperti ini dapat dijumpai
di beberapa masyarakat.24
2. Definisi Operasional
Dalam tulisan ini, penulis menggunakan definisi Living Qur‟an yang telah
ditawarkan oleh Muhamad Ali. Menurutnya, Living Qur‟an adalah mengkaji
al-Qur‟an sebagai teks yang hidup, bukan teks yang mati. Kajian Living
Qur‟an bukan hanya menganggap al-Qur‟an sebagai kitab petunjuk, dan kitab
rahmat untuk manusia, tetapi lebih dari itu, al-Qur‟an memiliki peran dan
fungsi dalam beberapa keperluan bagi manusia, baik orang yang
mengimaninya maupun yang tidak mengimaninya.25
20
Muhamad Ali, “Kajian Naskah dan Kajian Living Qur‟an dan Living Hadith”, h. 156. 21
Ahmad „Ubaydi Hasbillah, Ilmu Living Qur‟an-Hadis: Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi, h. 20-22. 22
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “The Living Qur‟an: Beberapa Perspektif Antropologi”, h.
250. 23
Didi Junaedi, “Living Qur‟an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian al-Qur‟an (Studi
Kasus di Pondok Pesantren as-Siroj al-Hasan Desa Kalimukti Kec. Pabedilan Kab. Cirebon)”, h.
169. 24
Sahiron Syamsuddin, Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis, h. 8. 25
Muhamad Ali, “Kajian Naskah dan Kajian Living Qur‟an dan Living Hadith”, h. 152.
30
Kajian Living Qur‟an meneliti peran praktis al-Qur‟an dalam berbagai
keperluan atau kegiatan masyarakat. Peran ini misalnya dalam pemahaman,
sikap, perilaku manusia sebagai individu ataupun sebagai masyarakat, baik
bersumber dari pengetahuan masyarakat terhadap kaidah-kaidah tafsir atau
tidak. Living Qur‟an juga mengkaji fenomena penggunaan al-Qur‟an untuk
keperluan di luar tekstualitasnya, seperti untuk keperluan penyembuhan
penyakin, magis, amulet dan berbagai keperluan praktis lainnya oleh
masyarakat.26
B. Debus: Konsep dan Sejarah
1. Pengertian Debus
Meskipun sejarah debus belum jelas,27
jika dibandingkan dengan yang
lainnya, debus adalah kesenian yang paling dikenal dari Provinsi Banten.28
Kesenian debus termasuk salah satu kesenian yang religious. Hal ini terlihat
dari bacaan-bacaan yang dilantunkan ketika pementasan debus sebagiannya
berasal dari ayat-ayat al-Qur‟an.29
Hal itu bisa terjadi karena debus
diperkirakan sebagai salah satu kesenian yang dihasilkan berkat proses
masuknya Islam pada masa Kesultanan Banten. Bahkan ada yang mengaitkan
kesenian ini dengan beberapa tarekat seperti tarekat Rifa‟iyah, Qadiriyah, dan
Samaniyah.30
Terdapat dua pendapat mengenai asal kata debus. Pendapat pertama
mengatakan bahwa debus berasal dari Bahasa asing –ada yang mengatakan
berasal dari bahasa Arab dan ada juga yang mengatakan dari bahasa Persia.
Kedua, kata debus berasal dari Bahasa daerah, tepatnya bahasa Sunda.
Pendapat pertama –sebagaimana dikutip tulisan Isman Pratama Nasution-
dikemukakan oleh Aboebakar Atjeh. Menurutnya debus berasal dari bahasa
Arab yakni dabbus (sepotong besi yang tajam). Pendapat yang mengatakan
debus berasal dari bahasa Persia yakni dabus (tusukan), berasumsi bahwa
26
Muhamad Ali, “Kajian Naskah dan Kajian Living Qur‟an dan Living Hadith”, h. 156. 27
Fahmi Irfani, “Islam dan Akulturasi Budaya di Banten Kyai, Jawara, Debus”,
Hikamuna, vol. 1, no. 1, (2016), h. 81. 28
Imron Arifin, Debus, Ilmu Kekebalan dan Kesaktian dalam Tarekat Rifa‟iyah (t.t: t.p,
1993), h. 25. 29
Dinas Budaya dan Pariwisata Provinsi Banten, Profil Seni Budaya Tradisional Banten
(t.t: t.p, t.t), h. 33. 30
Euis Thresnawaty S, “Kesenian Debus di Kabupaten Serang”, h. 118.
31
debus di Banten dibawa dari Persia melalui Aceh. Namun, pendapat ini juga
meyakini bahwa Persia mendapatkannya dari Arab.31
Pendapat kedua -
sebagaimana dikutip tulisan Euis Thresnawaty- dikemukakan oleh
Tb.A.Sastrasuganda dan Uki S. Sandja Wirdja yang mengatakan bahwa debus
bermula dari kata „tembus‟. Ini dihubungkan dengan alat utama dalam
pementasan debus yang ujungnya runcing dan jika ditusukkan ke badan
pemain maka bisa tembus.32
Ada beberapa peneliti yang menawarkan definisi debus di antaranya
Isman, Euis, Moh. Hudaeri, Hasani, dan Huriyudi. Ragam definisi debus ini
dapat dikategorikan menjadi menjadi tiga pemaknaan. Pertama, debus sebagai
ekspresi budaya sebagaimana dijelaskan oleh Isman. Ia menjelaskan bahwa
debus adalah ekspresi budaya masyarakat Banten yang menampilkan
kekebalan tubuh terhadap benda-benda tajam.33
Kedua, debus sebagai gabungan beberapa beberapa kesenian. Euis
mengatakan bahwa debus sebagai kesenian yang gabungan beberapa seni
yakni tari, suara, dan olah batin.34
Ketiga, debus sebagai pertunjukkan
kekebalan seperti diungkapkan oleh Moh. Hudaeri, Hasani, dan Huriyudi.
Moh. Hudaeri menuturkan bahwa debus adalah kesenian yang dipentaskan
sekelompok orang dengan mempertunjukkan kekuatan tubuh, ilmu-ilmu
kekebalan dari benda tajam dan api.35
Hasani mengatakan bahwa debus adalah
pertunjukkan seni yang mempersaksikan kekebalan tubuh.36
Huriyudi
menjelaskan bahwa debus adalah sebuah pertunjukkan yang memperlihatkan
kekebalan seseorang dari tusukkan, dan tebasan benda tajam.37
Dari beberapa definisi yang ditawarkan oleh peneliti-peneliti sebelumnya,
semua definisi tersebut memiliki satu kata kunci yang sama yakni
31
Isman Pratama Nasution, “Debus Walantaka: Fenomena Budaya Banten”, h. 32-33. 32
Euis Thresnawaty S, “Kesenian Debus di Kabupaten Serang”, h. 118. 33
Isman Pratama Nasution, “Debus Walantaka: Fenomena Budaya Banten”, h. 28. 34
Euis Thresnawaty S, “Kesenian Debus di Kabupaten Serang”, h. 116. 35
Moh. Hudaeri, “Debus di Banten: Pertautan Tarekat dengan Budaya Lokal” al Qalam,
Vol. 33, No. 1, (2016): h. 66. 36
Hasani Ahmad Said, “Islam dan Budaya di Banten: Menelisik Tradisi Debus dan
Maulid”, h. 122. 37
Huriyudi, “Ekspresi Seni Budaya Islam di Tengah Kemajemukan Masyarakat Banten”,
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, (2014): h. 287.
32
pertunjukkan kekebalan. Maka dalam tulisan ini penulis mendefinisikan debus
sebagai kesenian yang menampilkan atraksi kekebalan yang di dalamnya
terdapat unsur zikir, pengolahan batin, dan selawat. Tiga unsur yang terakhir
disebutkan menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dalam pementasan
debus. Ketiga hal ini menjadi elemen penting dalam pementasan debus yang
memberikan makna dan fungsi debus. Jika salah satu dari ketiga hal itu hilang,
maka pertunjukkan itu tidak lagi dinamakan debus.38
2. Sejarah dan Perkembangan Debus
Debus memiliki makna yang dilandasi pada latar sejarah orang Banten
yang sering berhadapan dengan peperangan atau pemberontakan melawan
bangsa asing, yang tercermin dalam watak orang Banten yang keras dan
berani. Adegan-adegan menakutkan dan mengerikan yang dipertontonkan oleh
pemain debus merupakan ekspresi perlawanan, pemberontakan, dan
keberanian melawan ketidakadilan, kesewenang-wenangan serta penjajahan.39
Konteks lahirnya kesenian debus sendiri yakni sebagai salah satu bentuk
perjuangan untuk mengusir penjajah Belanda. Kesenian ini merupakan
peninggalan masa lampau, yaitu abad ke-17 ketika Kesultanan Banten tengah
mengalami masa jayanya.40
Pada masa panembahan Maulana Hasanuddin pada abad ke-16 (1532-
1570), debus digunakan sebagai media dakwah untuk memikat masyarakat
Banten yang masih memeluk agama Hindu dan Budha dalam rangka
penyebaran Islam.41
Jika masyarakat hendak menonton pertunjukan itu, maka
mereka dianjurkan membayarnya dengan mengucapkan dua kalimat
syahadat.42
38
Isman Pratama Nasution, “Debus Walantaka: Fenomena Budaya Banten”, h. 46. 39
Euis Thresnawaty S, “Kesenian Debus di Kabupaten Serang”, h. 118. 40
Euis Thresnawaty S, “Kesenian Debus di Kabupaten Serang”, h. 118. 41
Kiki Muhamad Hakiki, “Debus Banten: Pergeseran Otentitas dan Negosiasi Islam-
Budaya Lokal”, h. 4. 42
Kiki Muhamad Hakiki, “Debus Banten: Pergeseran Otentitas dan Negosiasi Islam-
Budaya Lokal”, h. 7.
33
Selain itu, menurut Sandjin Aminudi, faktor-faktor yang mempengaruhi
seni debus terhadap masyarakat yaitu43
:
a. Kesenian debus bergerak di bidang kekebalan, dan kekebalan identik
dengan beladiri.
b. Masyarakat Banten pada umumnya fanatik agama sehingga hanya
kesenian yang bermanfaat bagi agamalah yang bisa berkembang di
masyarakat. Kesenian yang berkembang pada waktu itu adalah rebana,
kasidah, mawalan yang bernafaskan keagamaan. Sedangkan kesenian
debus selalu membawakan zikiran yang memuji dan mengagungkan
Tuhan dan Nabi Muhammad Saw.
c. Kesenian debus adalah kesenian yang langka dan digemari oleh
masyarakat sebagai hiburan.
d. Kesenian debus dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat, sehingga
mudah diterima oleh rakyat.
e. Para ulama menganggap kesenian debus tidak bertentangan dengan
fahamnya bila diniati dengan ibadah.
Pada masa lalu, pertunjukan Debus dilakukan di suatu ruangan di dalam
Masjid Banten yang disebut dengan “Tiamah” yaitu pada tingkat dua dari
bangunan masjid.44
Kemudian, ketika kekuasaan Banten dipegang oleh Sultan Ageng
Tirtayasa (1651-1682), debus difokuskan sebagai alat untuk membangkitkan
semangat para pejuang dalam melawan penjajah Belanda. Apalagi, di masa
pemerintahannya tengah terjadi ketegangan dengan kaum pendatang dari
Eropa, terutama para pedagang Belanda yang tergabung dalam VOC.45
43
Dinas Budaya dan Pariwisata Provinsi Banten, Profil Seni Budaya Tradisional Banten,
h. 35. 44
Dinas Budaya dan Pariwisata Provinsi Banten, Profil Seni Budaya Tradisional Banten,
h. 34. 45
Dinas Budaya dan Pariwisata Provinsi Banten, Profil Seni Budaya Tradisional Banten,
h. 34.
34
Menurut Hasani, sejarah berawalnya debus dapat dibagi menjadi tiga
versi46
:
a. Debus diciptakan pada abad 16 ketika kesultanan Banten dipimpin
oleh Sultan Maulana Hasanuddin (1532-1570 M), sebagai salah satu
cara yang dilakukan untuk menyebarkan ajaran agama Islam.
b. Kesenian debus sebenarnya berasal dari daerah Timur Tengah yang
bernama al-Madad, yang kemudian masuk ke tanah Banten pada abad
ke-13 M, melalui ulama penyebar agama Islam dari Timur Tengah
yang menjadikan kesenian debus sebagai salah satu cara untuk
menyebarkan ajaran agama Islam
c. Kesenian debus berasal dari ajaran tarekat Rifaiyah Nuruddin al-
Raniry di Aceh, yang kemudian masuk ke Banten pada abad ke-16 M
melalui para pengawal dari pahlawan Cut Nyak Dien, yang pada waktu
itu diasingkan oleh penjajah Belanda ke Sumedang, hingga akhirnya di
antara pengawal tersebut ada yang pergi sampai ke wilayah banten dan
kemudian memperkenalkan dan mengajarkan debus pada masyarakat
setempat.
Dalam perkembangannya, debus hanya dimiliki oleh sekumpulan orang
Banten yang tergabung dalam suatu perkumpulan keagamaan, yaitu tarekat
Qadiriyah dan Rifaiyah. Kehadiran kedua tarekat ini berhubungan dengan
munculnya fenomena debus di Banten. Dalam hubungan ini tampak bahwa
debus dan tarekat merupakan dua hal yang saling berkaitan.47
Dalam perkembangannya, debus mengalami beberapa perubahan dan
penyesuaian dengan lingkungan tempat perkembangannya. Pada awalnya
keahlian debus dianggap sebagai produk atau pengaruh agama, perkembangan
selanjutnya debus adalah sebuah seni pertunjukan. Keahlian kekebalan
terhadap senjata tidak lagi dijadikan sebagai alat berperang, namun mengalami
pergeseran menjadi media hiburan. Keahlian seni permainan ini, sekarang
46
Hasani Ahmad Said, “Islam dan Budaya di Banten: Menelisik Tradisi Debus dan
Maulid”, h. 124-125. 47
Euis Thresnawaty S, “Kesenian Debus di Kabupaten Serang”, h. 122.
35
menjadi tontonan dan hiburan. Debus sudah menjadi jenis seni permainan
yang dapat dikategorikan sebagai bentuk seni hiburan dan seni kelompok.48
Beberapa perubahan dari seni debus di antaranya, pada awal
munculnya, pertunjukan debus hanya diiringi terbang gede, yaitu alat musik
berbentuk rebana, sekarang kesenian debus sudah dilengkapi dengan waditra
atau tabuhan pengiring tarian, pencak silat gaya Banten, dan seni suara (zikir).
Banyaknya waditra yang digunakan dalam debus terdiri atas lima macam,
yaitu gendang, kulanter, terbang, tingtit atau dogdog kecil, dan kecrek.49
Keahlian debus pada awalnya diturunkan secara turun-temurun dari
generasi ke generasi sehingga mereka tidak mengetahui siapa yang pertama
mengajari ilmu tersebut atau penciptanya. Selanjutnya, penurunan keahlian
yang tadinya hanya berjalan secara pewarisan dari orang tua, saat ini keahlian
tersebut dapat diterima dengan cara menjadi murid atau pemain debus. Status
sosial pemimpin debus sekarang lebih dikenal dengan seorang yang bergerak
di bidang kesenian tradisional debus Banten atau tokoh masyarakat. Hal ini
berbeda dengan kepemimpinan debus sebelumnya yang dipegang oleh tokoh
agama atau kiai.50
48
Euis Thresnawaty S, “Kesenian Debus di Kabupaten Serang”.122. 49
Euis Thresnawaty S, “Kesenian Debus di Kabupaten Serang”.122. 50
Euis Thresnawaty S, “Kesenian Debus di Kabupaten Serang”.122.
36
BAB III
KESENIAN DEBUS DESA KADUDODOL
37
A. Kesenian Debus Desa Kadudodol
1. Debus dan al-Madad
Bagi masyarakat Desa Kadudodol, ada perbedaan antara kesenian debus
dan al-Madad. Kesenian al-Madad adalah kesenian yang berasal dari Islam
dan bacaan-bacaannya bersumber dari sumber-sumber al-Qur‟an, selawat
untuk mengagungkan Allah, nabi, dan para ulama. Debus adalah kesenian
yang telah tercampur dengan unsur-unsur Hindu Budha serta tradisi lokal.1
Kesenian al-Madad menurut Dedi Safari adalah induk atau cikal bakal
kesenian debus.2 Al-Madad hanya menggunakan satu alat yang disebut
sulthon untuk menampilkan kekebalan, sedangkan debus menggunakan
berbagai macam variasi tambahan selain pertunjukan kekebalan dari sulthon.
Contohnya, kebal dari bacokan golok, berjalan di atas pecahan kaca, memakan
bola api, dan lain sebagainya.3
Masyarakat Desa Kadudodol menyebut pertunjukan kesenian kekebalan
yang sering mereka tampilkan sebelum mengadakan acara-acara besar atau
hajatan dengan sebutan kesenian al-Madad. Mereka tidak menyebutnya
dengan istilah debus, karena mereka menganggap bahwa kesenian yang sering
ditampilkan di Desa Kadudodol hanya murni menampilkan kekebalan
terhadap sulthon, tanpa ada tambahan-tambahan atraksi lain. Selain itu,
sumber-sumber bacaan berasal dari al-Qur‟an, dan selawat.
Namun dalam tulisan ini, penulis menyamakan istilah al-Madad dan debus
yang dianggap berbeda oleh masyarakat Desa Kadudodol. Penulis menyebut
dengan istilah debus, bukan al-Madad. Penulis berpendapat bahwa debus
adalah suatu kesenian yang mempertontonkan kekebalan dari benda tajam,
dan terdapat unsur zikir, pengolahan batin, dan juga selawat. Ini sama dengan
pertunjukan al-Madad yang mempertunjukan kekebalan dari benda tajam, dan
dalam pertunjukan al-Madad terdapat unsur zikir, pengolahan batin, dan
selawat. Pendapat penulis ini berdasarkan pengertian debus yang telah
1 Muhammad Acang selaku Syaikh Debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 10 April
2019. 2 Dedi Safari selaku anak Ending Chaeruddin, wawancara pribadi, 13 April 2019.
3 Abah Enjen selaku anggota Debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 3 April 2019.
38
dijelaskan dalam beberapa karya tulis seperti tulisan Isman Pratama Nasution,4
Moh. Hudaeri,5 Hasani Ahmad Said,
6 dan Huriyudi.
7
Selain itu, Moh. Hudaeri dalam bukunya mengatakan bahwa unsur utama
dalam debus, permainan dengan senjata tajam yang dengan keras ditikamkan
ke tubuh jelaslah berasal dari Rifa‟iyah. Istilah debus sendiri (bahasa arab:
dabbus) adalah nama asli dari benda tajam tersebut.8 Maka dalam tulisan ini,
kata debus yang penulis maksud adalah kesenian al-Madad yang dipahami
oleh masyarakat Desa Kadudodol.
2. Sejarah Debus Desa Kadudodol
Ada dua sumber yang penulis gunakan dalam menulis sejarah debus Desa
Kadudodol yakni skripsi yang ditulis oleh Makmun Muzakki dan hasil
wawancara dengan beberapa narasumber. Sebagian besar sejarah debus Desa
Kadudodol penulis ambil dari skripsi Makmun, dan informasi-informasi
tambahan yang tidak terdapat dalam skripsi Makmun penulis dapatkan dari
hasil wawancara dengan Muhammad Acang, dan Dedi Safari (anak dari
Ending Chaeruddin). Dari penuturannya, Makmun mendapatkan data tentang
sejarah debus Desa Kadudodol dari Nyi Sa‟adah (salah seorang keturunan
generasi ketiga pendiri debus), Agoh Abuddin, dan Ending Chaeruddin.
Berdasarkan tulisan Makmun, Nyi Sa‟adah menyatakan bahwa H. Jaelani,
sang pendiri, memperoleh ilmu debus ini dari keraton Kesultanan Banten
setelah selama setahun beliau berkhalwat (berpuasa dan menyendiri) di Masjid
Banten. Dia mendapat amanat dari seseorang di Banten untuk kelak
mengajarkan ilmu debus ini di Kadudodol, begitu pula keturunannya. Tujuan
diajarkannya ilmu debus menurut orang itu (yang hingga saat ini tidak dikenal
identitasnya) adalah untuk mengembangkan dakwah Islam dan bukan untuk
4 Isman Pratama Nasution, “Debus Walantaka: Fenomena Budaya Banten”.
5 Moh. Hudaeri, “Debus di Banten: Pertautan Tarekat dengan Budaya Lokal”.
6 Hasani Ahmad Said, “Islam dan Budaya di Banten: Menelisik Tradisi Debus dan
Maulid”. 7 Huriyudi, “Ekspresi Seni Budaya Islam di Tengah Kemajemukan Masyarakat Banten”.
8 Mohamad Hudaeri, Debus: Dalam Tradisi Masyarakat Banten, h. 55.
39
kesombongan. Meskipun ia (H. Jaelani) tahu bahwa dengan ilmu itu dia bisa
kebal terhadap senjata.9
Sebagaimana penuturan Nyi Sa‟adah, Muhammad Acang juga
mengatakan hal serupa. Acang berkata bahwa debus dibawa ke Desa
Kadudodol oleh H. Jaelani. Namun Acang sendiri belum mendapatkan
informasi yang jelas siapa orang yang mengajari H. Jaelani. Ia berpendapat
bahwa ada kemungkinan H. Jaelani adalah salah satu murid langsung dari
Sultan Maulana Hasanuddin, walaupun belum bisa dibuktikan secara pasti.
Oleh H. Jaelani kesenian ini disebarkan ke beberapa kampung dan musola di
beberapa tempat. Namun, hingga saat ini, hanya Desa Kadudodol yang masih
mampu melestarikan dan meneruskan kesenian ini.10
H. Jaelani memiliki dua orang istri yang bernama Ramtijah, dan
Ayumah. Masing-masing dikaruniai 4 orang anak. Pernikahannya dengan
Ramtijah melahirkan tiga orang laki-laki dan satu orang perempuan yakni Haji
Jaga, Haji Abbas, Nyi Kamsiah, dan Ki Jabar. Sedangkan pernikahannya
dengan Ayumah dikaruniai seorang laki-laki dan tiga orang perempuan yakni,
Haji Ahmad, Nyi Kalimah, Nyi Anjar, dan Nyi Sa‟odah. Dengan alasan yang
tidak diketahui, semua anaknya tidak mewarisi ilmu H. Jaelani. Namun, di
generasi berikutnya, melalui jalur Nyi Kamsiah, kelak ada yang meneruskan
kesenian ini.11
H. Jaelani mewariskan kesenian ini kepada Ki Landrat dari Kampung
Kalahang Masjid. Ki Landrat kemudian menurunkan kesenian ini kepada Ki
Taya dari Kampung Kalahang Masjid. Oleh Ki Taya diwariskan kepada ke
Sariban dari Kampung Kalahang Tengah. Kemudian Ki Sariban mewariskan
kepada Ki Sulaeman, seorang penghulu di Desa Kadudodol. Ki Sulaeman
menurukan kepada menantunya yakni Agoh Abudin. Selain itu beliau juga
mewariskannya kepada cucunya yakni Ending Chaeruddin (anak Agoh
9 Makmun Muzakki, “Tarekat dan Debus Rifa‟iyah” (Skripsi S1 Fakultas Sastra,
Universitas Indonesia, 1990). 10
Muhammad Acang selaku Syaikh Debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 10
April 2019. 11
Makmun Muzakki, “Tarekat dan Debus Rifa‟iyah”.
40
Abudin). Adapun anak Ki Sulaeman yang menikah dengan Agoh Abudin
bernama Sukrabah. 12
Putri dari istri pertama H. Jaelani (Nyi Ramtijah) yang bernama Nyi
Kamisah, menurunkan salah seorang putri bernama Asikah (penutur
menceritakan bahwa H. Jaelani wafat saat Asikah masih gadis). Dari
perkawinannya dengan Ki abdul Majid, Asikah menurunkan pula seorang
putri bernama Sa‟adah. Sedang dari perkawinan Sa‟adah dengan Ki Harun,
diperoleh seorang putra, Agoh Abudin, ayahanda E. Chaeruddin. Dengan
demikian jalur ilmu debus yang dibawa oleh H. Jaelani bertemu kembali pada
generasi keturunannya, Agoh Abudin dan Ending Chaeruddin.13
Ending Chaeruddin memiliki tujuh anak yakni Eneng Widianingsih, Ujib
Widiana, Aji Sutiaji, Dedi Safari, Teti Susilawati, Ita Hernita, Irma
Khotimaturro‟iyah. Di antara ketujuh anaknya, hanya Dedi Safari yang aktif
menjadi anggota debus Desa Kadudodol sampai saat ini. Ending Chaeruddin
meninggal tahun 2005 pada usia 52 tahun.14
Ending Chaeruddin meninggal
pada saat mementaskan debus di daerah Pondok Kopi, Jakarta Timur.15
Sepeninggal Ending Chaeruddin, syekh debus diwariskan kepada H. Surya.16
Selain mendapatkan ijazah dari Agoh Abuddin dan Ki Sulaeman, Ending
Chaeruddin juga mendapatkan ijazah dari H. Maman Irawan. H. Maman
Irawan adalah orang yang berasal dari luar Desa Kadudodol namun dianggap
memiliki keilmuan lebih, sehingga banyak masyarakat dari berbagai desa,
salah satunya Desa Kadudodol, berguru kepadanya. Dari banyaknya murid,
sekitar 40 orang, ada tiga orang yang lulus dari Desa Kadudodol yakni Ending
Chaeruddin, H. Surya, dan Muhammad Acang. H. Maman memiliki lebih
12
Makmun Muzakki, “Tarekat dan Debus Rifa‟iyah”. 13
Makmun Muzakki, “Tarekat dan Debus Rifa‟iyah”. 14
Dedi Safari selaku anak Ending Chaeruddin, wawancara pribadi, 13 April 2019. 15
Muhammad Acang selaku Syaikh Debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 15
April 2019. 16
Abah Enjen, selaku anggota Debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 3 April 2019.
41
banyak variasi atraksi dibandingkan dengan generasi-generasi debus Desa
Kadudodol sebelumnya.17
Setelah Ending Chaeruddin meninggal, beliau digantikan oleh H. Surya.
Walaupun tidak memiliki garis keturunan secara langsung, H. Surya dianggap
sudah mumpuni dari segi keilmuan dan juga dari segi umur. H. Surya
meninggal pada tahun 2017 karena sakit yang tidak kunjung membaik.18
Setelah H. Surya meninggal selanjutnya diteruskan oleh Muhammad Acang
atas mandat yang disampaikan oleh H. Surya sebelumnya. Selain itu,
Muhammad Acang juga telah memiliki keilmuan yang mumpuni, sama seperti
pendahulunya. Walaupun tidak ada garis keturunan secara langsung dengan H.
Surya maupun Ending Chaeruddin, namun orang tuanya yakni Enjang
Jangwara, dan juga kakeknya telah lebih dulu aktif di debus Desa Kadudodol
sebagai anggota.19
Dari awal, pembawa debus di Desa Kadudodol hingga Muhammad Acang,
terhitung sudah sembilan generasi. Secara berurutan dimulai dari H. Jaelani,
Ki Landrat, Ki Taya, Ki Sariban, Ki Sulaeman, Agoh Abuddin, Ending
Chaeruddin, H. Surya, dan Muhammad Acang. Sampai saat ini, ada 10 orang
yang aktif di debus Desa Kadudodol yakni Muhammad Acang sebagai syekh,
Rahmat (anak dari H. Surya), Dedi Safari (anak dari Ending Chaeruddin),
Abah Ucung, Abah Aning, Abah Enjen, Abah Emong, Anton, Anan, Mamat.20
Di bawah ini silsilah keturnan dan silsilah keilmuan:
17
Muhammad Acang selaku Syaikh Debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 10
April 2019. 18
Dedi Safari selaku anak Ending Chaeruddin, wawancara pribadi, 13 April 2019. 19
Muhammad Acang selaku Syaikh Debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 10
April 2019. 20
Dedi Safari selaku anak Ending Chaeruddin, wawancara pribadi, 13 April 2019.
42
H. Jaelani Ramtijah Ayumah
H. Jaga
H. Abas
Nyi Kamisah
Ki Jabar
Ki Landrat
Ki Taya
Ki Sariban
Ki Selaeman
H. Ahmad
Nyi Kalimah
Nyi Anjar
Nyi Sa‟odah
Asikah Abdul Majid
Sa‟adah Harun
Agoh Abudin Sukrabah
E. Chaeruddin
Keterangan
Jalur Guru dan Murid
Jalur Keturunan
H. Maman Irawan
H. Surya
Muhammad Acang
43
B. Anggota Debus Desa Kadudodol
Pada bagian ini, penulis akan memaparkan hasil observasi penulis ketika
melihat pementasan debus di Desa Kadudodol pada tanggal 6 April 2019. Penulis
akan menjelaskan tentang pemain-pemain debus Desa Kadudodol serta perannya
masing-masing. Berdasarkan pengamatan penulis, setidaknya ada empat jenis
anggota debus berdasarkan perannya saat penampilan, yakni:
1. Syekh debus
Syekh debus adalah orang yang memimpin penampilan debus. Ia adalah
orang yang dianggap paling mumpuni dari segi keilmuan dan juga hapalan
bacaan. Selain itu, syekh debus harus memiliki ijazah dari guru atau syekh
debus sebelumnya. Saat ini Muhammad Acang adalah syekh debus di Desa
Kadudodol. 21
Tugas syekh debus adalah membaca tawasul dan doa ketika penampilan
debus. Ketika penulis melakukan observasi, syekh juga turut beratraksi
memegang sulthon untuk mementaskan kekebalan. syekh debus juga memiliki
wewenang untuk memberikan ijazah kepada orang yang dianggap telah
mumpuni dari segi keilmuan serta hapalan. Syekh debus akan membimbing
orang yang berniat mempelajari debus, mulai dari awal hingga akhir.22
2. Pemegang sulthon
Pemegang sulthon adalah orang yang menampilkan atraksi kekebalan
dengan cara menaruh sulthon di beberapa titik tubuhnya yang nanti akan
dipukul oleh rekannya menggunakan palu kayu. Pemegang sulthon harus
memiliki keyakinan dan juga kepasrahan yang tinggi akan pertolongan dan
perlindungan Allah terhadap dirinya.23
Di Desa Kadudodol sendiri, terhitung
21
Muhammad Acang selaku Syaikh Debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 10
April 2019. 22
Muhammad Acang selaku Syaikh Debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 10
April 2019. 23
Muhammad Acang selaku Syaikh Debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 10
April 2019.
44
hanya tiga orang yang biasa memegang sulthon yakni, Muhammad Acang,
Abah Enjen, dan juga Abah Aning. 24
Sebenarnya, semua anggota debus seharusnya bisa memegang sulthon dan
menampilkan atraksi kekebalan. Itu bisa dilakukan karena semua anggota
telah mengikuti prosesi pembacaan tawasul, doa, pembacaan selawat,
pembacaan ayat-ayat al-Qur‟an dan pembacaan rifa‟i. Namun, hal itu kembali
kepada pemain sendiri. Tingkat keyakinan dan kepasrahan menjadi alasan
selanjutnya. Selain bacaan dan keyakinan, pemain juga tidak boleh memiliki
rasa sombong atau perasaan ingin dilihat hebat ketika menampilkan
kekebalan.25
3. Pemegang rebana
Rebana adalah satu-satunya alat musik yang digunakan di Desa
Kadudodol. Rebana adalah alat yang digunakan untuk mengiringi selawat
ketika dua pemain menampilkan atraksi kekebalan. Walaupun rebana yang
dimiliki ada 10, namun tidak selalu semuanya dimainkan. Ini karena dua
orang memegang sulthon dan palu kayu ketika atraksi kekebalan.
Bunyi rebana yang dihasilkan tidak terlalu banyak variasi, hanya satu jenis
pukulan. Ketika pemegang sulthon telah merasa siap untuk mempertunjukan
kekebalan, biasanya suara rebana akan semakin kencang dan tempo pukulan
akan sedikit lebih cepat. Adapun yang biasa memegang rebana adalah
Rahmat, Dedi Safari, Abah Ucung, Abah Emong, Anton, Anan, Mamat.
Acang, Abah Enjen, dan Abah Aning hanya akan memegang rebana ketika
mereka tidak memegang sulthon.
4. Pembaca selawat dan rifa‟i
Sebenarnya pembacaan selawat dilakukan oleh semua anggota debus,
namun yang menjadi pembaca utama adalah Dedi Safari. Dedi adalah anak
keempat dari Ending Chaeruddin (syekh debus sebelum Acang dan Haji
24
Dedi Safari selaku anak Ending Chaeruddin, wawancara pribadi,13 April 2019 25
Muhammad Acang selaku syaikh Debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 10 April
2019
45
Surya). Sementara pembaca rifa‟i hanyalah Rahmat. Rahmat adalah anak dari
H. Surya (syekh debus sebelum Acang).26
C. Perlengkapan Debus Desa Kadudodol
Untuk menampilkan sebuah pementasan kesenian debus, ada beberapa
perlengkapan yang dibutuhkan, di antaranya:
1. Perlatan debus
Peralatan debus ini terdiri dari beberapa benda yang dipakai untuk
keberlangsungan pertunjukan debus. Adapun peralatan tersebut yakni sulthon,
palu kayu, dan rebana. Sulthon adalah sebutan untuk alat utama dalam
permainan debus. Sulthon yakni alat berupa kayu silinder dengan rantai besi
kecil-kecil di sekelilingnya dan terdapat paku besi panjang di tengah-
tengahnya dengan ujung yang tajam.
Di Desa Kadudodol sendiri terdapat empat buah sulthon dengan ukuran
yang berbeda-beda. Dua buah berukuran sedang yang disimpan di kampung
Kalahang Masjid, satu buah berukuran sedang yang disimpan di musola at-
Taubah di Kalahang Tengah. Satu buah sisanya berukuran besar yang juga
disimpan di musola at-Taubah. Sulthon yang selalu digunakan adalah sulthon
yang berukuran sedang.27
Semua sulthon ini diyakini berasal dari Kesultanan Banten. Diperkirakan
orang yang membawa sulthon ini adalah H. Jaelani ketika pertama kali datang
ke Desa Kadudodol. Berdasarkan penuturan Abah Aning, jika di Desa
Kadudodol tidak ada lagi yang melestarikan kesenian debus maka semua
sulthon itu harus dikembalikan ke Banten karena dikhawatirkan akan
menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.28
Adapun bahan dasar dari
sulthon ini adalah kayu dan besi. Namun tidak ada yang tahu pasti kayu apa
yang digunakan dalam membuatnya. Acang memperkirakan sulthon dibuat
26
Dedi Safari selaku anak Ending Chaeruddin, wawancara pribadi,13 April 2019 27
Muhammad Acang selaku Syaikh Debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 15
April 2019 28
Abah Aning selaku anggota Debus Desa Kadudodol 15 April 2019
46
dari batang pohon sawo karena dulu di daerah Banten banyak sekali tumbuhan
sawo. Namun ini belum bisa dipastikan kebenarannya.29
Sulthon asli pemberian Kesultanan Banten ini sudah berumur sangat tua.
Meski begitu, sulthon pemberian kesultanan ini sangat awet dan kuat, tidak
seperti sulthon buatan sendiri. Acang mengatakan bahwa, di beberapa desa
atau padepokan ada yang membuat sendiri sulthon seperti ini, namun cepat
rusak.30
Perlengkapan debus kedua adalah palu kayu. Berbeda dengan sulthon yang
hasil pemberian Kesultanan Banten, palu kayu yang digunakan di Desa
Kadudodol sudah berganti beberapa kali. Palu kayu dibuat dari kayu pohon
apa saja sesuai dengan pohon-pohonan yang tumbuh di Desa Kadudodol.31
Di
Desa Kadudodol hanya ada satu palu kayu untuk pertunjukan debus. Palu itu
berukuran lebih kecil dari sulthon berukuran sedang. Palu kayu ini disimpan di
sebuah lemari di musola at-Taubah bersama dengan sulthon dan rebana.
Perlengkapan ketiga adalah rebana. Rebana adalah gendang pipih bundar
yang dibuat dari tabung kayu pendek dan agak lebar ujungnya, pada salah satu
bagiannya diberi kulit.32
Sama seperti sulthon, rebana ini diyakini berasal dari
Kesultanan Banten dan telah berumur sangat tua. Hanya kulit rebananya saja
yang sudah diganti berkali-kali. Jumlah rebana yang ada di Desa Kadudodol
untuk keperluan debus adalah 10 buah. Rebana ini disimpan di lemari musola
at-Taubah.33
2. Parawanten
Ada beberapa barang-barang yang harus ada ketika penampilan al-Madad,
salah satunya parawanten. Parawanten adalah sebutan untuk berbagai jenis
29
Muhammad Acang selaku Syaikh Debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 15
April 2019 30
Muhammad Acang selaku Syaikh Debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 10
April 2019 31
Muhammad Acang selaku Syaikh Debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 15
April 2019 32
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakrta:
Pusat Bahasa, 2008), h. 1180.
33
Muhammad Acang selaku Syaikh Debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 15
April 2019
47
bumbu-bumbu dapur, minuman, makanan. Bumbu-bumbu dapur seperti gula
merah, gula putih, tomat, cabe, bawang, jahe, kunyit, beras, dan sebagainya.
Minuman seperti air putih, teh manis, teh pahit, kopi manis, kopi pahit, dan
sebagainya. Makanan misalkan kue, rujak asem, buah-buahan. Ini sama
seperti sesajen dalam kebudayaan jawa.34
Selain itu, sebelum pementasan juga biasanya disediakan buhur. Buhur
adalah semacam wewangian untuk mengharumkan tempat penampilan debus.
Buhur memiliki kesamaan fungsi dengan kemenyan. Namun untuk
pementasan debus Desa Kadudodol sekarang tidak lagi menggunakan
kemenyan.35
Semua parawanten tersebut setelah selesai pertunjukan biasanya akan
dibagikan kepada orang-orang yang ada di situ. Menurut Acang hal ini sudah
menjadi kebiasaan sejak dulu kala. Diperkirakan kebiasaan ini bersumber dari
kebiasaan Hindu dan Budha, namun salama tidak bertentangan dengan syariat
Islam maka hal itu tetap dipertahankan.36
3. Minyak kelapa dan air
Minyak kelapa dan air biasanya disimpan di depan seluruh pemain debus.
Minyak kelapa juga digunakan untuk melumasi besi sulthon. Selain itu,
minyak kelapa juga digunakan untuk menutup luka pemain ketika terjadi
kecelakaan atau luka. Minyak kelapa ini berasal dari kelapa mana saja, tidak
harus berasal dari pohon kelapa yang ada di Desa Kadudodol.37
Air biasanya diberikan kepada orang yang memiliki hajat dan ia berada
jauh dari Desa Kadudodol. Air ini semacam pertanda bahwa pertunjukan
debus telah selesai dilaksanakan di Desa Kadudodol untuk keperluan hajat
34
Muhammad Acang selaku Syaikh Debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 10
April 2019 35
Muhammad Acang selaku Syaikh Debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 10
April 2019 36
Muhammad Acang selaku Syaikh Debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 10
April 2019 37
Muhammad Acang selaku Syaikh Debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 10
April 2019
48
orang tersebut. Air itu diminum oleh pemilik hajat dengan harapan agar tidak
terjadi hal-hal buruk pada acaranya.38
Minyak dan air hasil penampilan debus diyakini memiliki banyak khasiat.
Minyak dan air tersebut biasa digunakan untuk pengobatan seperti mengurut
orang yang keseleo, terluka, hingga patah tulang.39
Selain itu juga bisa
digunakan untuk luka bekas jahitan. Acang menceritakan seseorang yang
pernah datang kepada dia karena sisa-sisa jahitan operasi tidak dapat
menempel dengan benar. Lalu oleh Acang minyak itu dioleskan ke luka
tersebut dan akhirnya dapat tertutup dengan rapat. Hal itu menurutnya atas
izin Allah. Adapun minyak dan dirinya itu hanya perantara saja dan usaha
manusia biasa, Allah yang menyembuhkan.40
4. Baskom
Salah satu benda yang harus ada ketika penampilan debus adalah baskom
atau wadah untuk saweran. Baskom digunakan untuk mengumpulkan uang
saweran dari para penonton terutama orang yang memiliki hajat. Saweran itu
tidak memiliki batas minimal, bisa berapa saja. Kebanyakan masyarakat
memberikan saweran berupa uang logam. Ketika uang logam itu ditaruh di
baskom, biasanya masyarakat mengaduk-aduk semua isi uang logam itu agar
menimbulkan suara.41
Jika tidak ada saweran biasanya pemegang sulthon akan mengamuk dan
bergerak secara brutal tanpa bisa dikontrol. Namun, meskipun mengenai
berbagai macam barang, ia tidak bisa memecahkan gelas atau pun mangkok
dan barang-barang lainnya. Biasanya orang tersebut akan berteriak-teriak, “al-
38
Muhammad Acang selaku Syaikh Debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 10
April 2019
39
Dedi Safari selaku anak Ending Chaeruddin, wawancara pribadi,13 April 2019 40
Muhammad Acang selaku Syaikh Debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 10
April 2019 41
Muhammad Acang selaku Syaikh Debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 10
April 2019
49
Madad, al-Madad, al-Madad” secara terus-menerus. Hal itu hanya akan
berhenti jika penonton memberikan saweran.42
42 Muhammad Acang selaku Syaikh Debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 10
April 2019
50
51
BAB IV
PEMBACAAN AYAT-AYAT AL-QUR’AN DALAM PEMENTASAN
DEBUS
A. Praktik Penggunaan al-Qur’an
Tulisan pada bagian ini bersumber dari hasil observasi di Desa Kadudodol
pada tanggal 6 April 2019. Pementasan debus pada tanggal 6 April 2019 itu
bertujuan untuk memenuhi keperluan keluarga Abah Enjen. Anak dari Abah
Enjen akan mengadakan pesta pernikahan pada tanggal 7 April 2019.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, ada perbedaan prosesi pementasan debus
berdasarkan tujuannya. Pada bagian ini penulis akan menjelaskan prosesi
penampilan debus untuk tujuan tradisi. Ada beberapa tahapan mulai dari awal
persiapan hingga penampilan selesai, di antaranya:
1. Tahap persiapan. Dalam tahap ini semua perlengkapan untuk penampilan
mulai dikumpulkan di tempat yang telah disediakan. Perlengkapan tersebut
meliputi peralatan debus, parawanten, minyak kelapa dan air, dan baskom.
Setelah semua siap maka pementasan telah siap untuk ditampilkan. Setiap
pemain juga harus dalam keadaan suci ketika pementasan berlangsung.
2. Memohon ampunan (membaca istigfar), dan pembacaan selawat nabi. Di
bawah ini, beberapa bacaan untuk memohon ampunan dan pembacaan selawat
nabi yang diucapkan ketika pementasan:
Artinya: “Semoga kesejahteraan
(keselamatan) dilimpahkan kepada anda
sekalian, juga rahmat Allah serta berkah-
Nya.”
وتالسالم عليكم ورمحة اهلل وبركا
Artinya: “Saya memohon ampun kepada
Allah Yang Maha Agung yang tidak ada
tuhan selain Dia Yang Maha Hidup dan
Yang Maha Tegak dan saya bertaubat
kepada-Nya dari segala maksiat dan dosa.”
(2 kali).
استغفر اهلل العظيم الذي ال الو اال ىو احلي القيوم وأتوب اليو من مجيع
(kali 2)ادلعاصى و الذنوب
Artinya: “Saya memohon ampun kepada
Allah Yang Maha Agung untukku, untuk
kedua orang tuaku, dan untuk orang yang
aku punya kewajiban kepadanya, dan untuk
guru-guruku, dan untuk saudara-saudaraku,
، است غفر اهلل العظيم ل ولوالدي ، والصحاب احلقوق الواجبة علي
خواننا، ولميع نا وال ولمشاي
52
dan untuk semua orang-orang yang beriman
laki-laki dan perempuan, dan orang-orang
Islam laki-laki dan perempuan, baik mereka
yang masih hidup dan yang sudah
meninggal.”
المؤمني والمؤمنات، والمسلمي هم والمسلمات، االحياء من
واالموات
Artinya: “Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan
selain Allah dan saya bersaksi bahwa Nabi
Muhammad adalah utusan Allah.”
اشهد ان ال الو اال اهلل و اشهد ان زلمد رسول اهلل
Artinya: “Ya tuhan kami, berikanlah
selawat kepada Nabi Muhammad, dan
kepada keluarga Nabi Muhammad,
sebagaimana Engkau memberikan selawat
kepada Nabi Ibrahim dan kepada keluarga
Nabi Ibrahim, dan berkatilah Nabi
Muhammad, dan kepada keluarga Nabi
Muhammad, sebagaimana Engkau
memberkati Nabi Ibrahim, dan keluarga
Nabi Ibrahim, sesunggunya Engkau Maha
Terpuji dan Maha Mulia.”
د ، وعلى اللهم صل على سيدنا زلمد ، كما صليت على آل سيدنا زلم
سيدنا إب راىيم وعلى آل سيدنا د ، إب راىيم و بارك على سيدنا زلم
د ، كما باركت وعلى آل سيدنا زلمعلى سيدنا إب راىيم ، وعلى آل يد يد رل سيدنا إب راىيم ، إنك مح
Artinya: “Semoga kesejahteraan
(keselamatan) dilimpahkan kepada anda
sekalian, wahai Nabi Allah, Khidir baginya
keselamatan.”
السالم عليكم يانيب اهلل حضر عليو سلم
Artinya: “Semoga kesejahteraan
(keselamatan) dilimpahkan kepada anda
sekalian, wahai hamba Allah.”
السالم عليكم يا عبد اهلل
Artinya: “Semoga kesejahteraan
(keselamatan) dilimpahkan kepada anda
sekalian, wahai makhluk-makhluk Allah.”
السالم عليكم يا رجال اهلل
Artinya: “Semoga kesejahteraan
(keselamatan) dilimpahkan kepada anda
sekalian, wahai makhluk yang tidak terlihat,
wahai Allah Yang Maha Pengasih
kepadamu, maka alangkah imbalan-Mu
kami kumpulkan dalam pertolongan ini Ya
Allah.”
السالم عليكم يا رجال الغيب يا اهلل كيف اجرك مجعننا ىذا ارمحك
اغثنا يا اهلل(Kemudian membaca hajat
yang diinginkan)
خبرمة زلمد )ص.م( الفاحتة
53
3. Pembacaan tawasul atau hadiah fatihah kepada nama-nama tertentu. Ada
beberapa orang yang diberi hadiah fatihah, di bawah ini pembacaan tawasul:
Artinya: “Ke hadirat nabi yang terpilih
Nabi Muhammad, dan kepada
keluarganya, sahabat-sahabatnya, istri-
istrinya, keturunan-keturunannya, dan
keluarganya yang mulia, segala sesuatu
hanya untuk Allah, untuk kalian semua
al-Fatihah.
سيدنا زلمد اىل حضرة النيب ادلصطفى )ص.م( و على الو و اصحابو و ازواجو
و ذريتو و اىل بيتو الكرام شيء هلل ذلم الفاحتة
Artinya: “Kemudian untuk pemimpin-
pemimpin kami, Abu Bakar, Umar,
Utsman, Ali, Thalhah, Zubair, Said,
Abdurrahman bin „Auf, Hasan, Husain,
Fatimah al-Zahra‟, Khadijah al-Kubra,
sahabat-sahabat Rasulullah lainnya,
penggantinya, istri-istrinya, pengitut,
pengikut pengikutnya, dan semuanya,
segala sesuatu untuk Allah, untukmu
sekalian, al-Fatihah.”
مث اىل عن ساداتنا اىب بكر و عمر و عثمان و علي و طلحة و زبري و سعيد و
د الرمحن بن عوف و حسن و حسي عبو فاطمة الزىراء و خدجية الكربى و بقية اصحاب رسول اهلل )ص.م( و خلفائو و ازواجو و تابع التابي كافة عامة شيء هلل
ذلم الفاحتةArtinya: “Kemudian untuk ruh sayid
yang mengenal Allah, pemilik ijazah
dan karomah, pemilik kebaikan, Sayid
Guru Ahmad al-Kabir al-Rifa‟i, segala
sesuatu untuk Allah, untukmu sekalian,
al-Fatihah.”
مث اىل روح سيدى العارف باهلل تعاىل صاحب االجازة والكرامة وصاحب اخلريت ادلشايخ سيدى الشيخ امحد
الكبري الرفاعى شيء هلل ذلم الفاحتةArtinya: “Kemudian untuk arwah guru
Abdul Qadir al-Jilani, semoga Allah
menyucikan rahasianya, segala sesuatu
untuk Allah, untukmu sekalian, al-
Fatihah.”
مث اىل ارواح شيخ عبد القدير الالن قدس اهلل سره شيء هلل ذلم الفاحتة
Artinya: “Kemudian untuk Sultan
Zaman Syafiuddin Ahmad bin „Ulwan,
segala sesuatu untuk Allah, untukmu
sekalian, al-Fatihah.”
مث اىل سلطان الزمان شفي الدين امحد بن علوان شيء هلل ذلم الفاحتة
Artinya: “Kemudian untuk pemimpin-
pemimpin kami dari seluruh muslim-
muslim laki-laki dan perempuan di
dunia, Sayid Guru Ahmad al-Badawi al-
مث اىل ساداتنا من جامع ادلسلمي و ادلسلمي يف الدنيا سيدى شيخ امحد
54
Rifa‟i, segala sesuatu untuk Allah,
untukmu sekalian, al-Fatihah.”
البداوى الرفاعى شيء هلل ذلم الفاحتة
Artinya: “Kemudian untuk Syekh Sayid
Syekh Ibrahim Ahmad al-Dasuqi, segala
sesuatu hanya untuk Allah, untukmu
sekalian, al-Fatihah.”
مث اىل شيخ سيدى شيخ ابراىيم امحد الداسقي شيء هلل ذلم الفاحتة
Artinya: “Kemudian untuk Abu Bakar
bin „Abdullah al-„Aidrusi, segala
sesuatu hanya untuk Allah, untukmu
sekalian, al-Fatihah.”
مث اىل ابو بكر بن عبد اهلل العدروسي شيء هلل ذلم الفاحتة
Artinya: “Kemudian untuk sayid kami
Syekh Sultan Maulana Hasanuddin bin
Makhdum, segala sesuatu hanya untuk
Allah, untukmu sekalian, al-Fatihah.”
مث اىل سيدنا شيخ سلطان مولنا حسن بن زلظوم شيء هلل ذلم الفاحتة الدين
Artinya: “Kemudian untuk Sayid Jalil,
Sayid Musa, dan Sayid Abdul al-Qadir
al-Rifa‟i, segala sesuatu hanya untuk
Allah, untukmu sekalian al-Fatihah.”
مث اىل سيدى جالل و سيدى موسى و سيدى عبد القادر الرفاعى شيء هلل ذلم
الفاحتةArtinya: “Kemudian untuk Syekh
Muhammad „Atabah al-Sabur, segala
sesuatu hanya untuk Allah, untukmu
sekalian al-Fatihah.”
مث اىل شيخ زلمد عاتبو السبور شيء هلل ذلم الفاحتة
Artinya: “Kemudian untuk Sultan al-
„Arifin Zainal Asyiqin, segala sesuatu
hanya untuk Allah, untukmu sekalian,
al-Fatihah.”
االشقي شيء مث اىل سلطان العارفي زين هلل ذلم الفاحتة
Artinya: “Dan khusus Sayid Sultan Abu
al-Mafakhir Muhammad Aliuddin,
segala sesuatu hanya untuk Allah,
untukmu sekalian al-Fatihah.”
ادلفاخري و خصوص سيدنا سلطان ابو زلمد علي الدين شيء هلل ذلم الفاحتة
Artinya: “Dan untuk ruh Syekh Haji
Muhammad Arif al-Rifa‟i, segala
sesuatu hanya untuk Allah, untukmu
sekalian al-Fatihah.”
و اىل روح شيخ حاج زلمد عاريف الرفاعي شيء هلل ذلم الفاحتة
55
Artinya: “Kemudian untuk syekh kami
Syekh Abdullah bin Abdul Qahar,
segala sesuatu hanya untuk Allah,
untukmu sekalian al-Fatihah.”
مث اىل شيخنا شيخ عبد اهلل بن عبد القهار شيء هلل ذلم الفاحتة
Artinya: “Dan khususnya untuk ruh
Haji Ismail bin Abdussalam, segala
sesuatu hanya untuk Allah, untukmu
sekalian al-Fatihah.”
و خصوص اىل روح حاج امسائل بن عبد السالم شيء هلل ذلم الفاحتة
Artinya: “Kemudian untuk arwah wali
Allah Syekh Maulana Mansyuruddin
Cikaduen, segala sesuatu hanya untuk
Allah, untukmu sekalian al-Fatihah.”
ح ول اهلل شيخ مولنا منشر مث اىل اروا الدين جيكادوين شيء هلل ذلم الفاحتة
Artinya: “Kemudian untuk Syekh
Asnawi Caringin, segala sesuatu hanya
untuk Allah, untukmu sekalian al-
Fatihah.”
مث اىل شيخ اسناوي الاريغي شيء هلل ذلم الفاحتة
Artinya: “Kemudia untuk Sultan Ageng
Tirtayasa segala sesuatu hanya untuk
Allah, untukmu sekalian al-Fatihah.”
مث اىل سلطان اغيغ الرتتايسى البنتان شيء هلل ذلم الفاحتة
Artinya: “Kemudian untuk Imam al-
Nawawi pemimpin pertolongan al-
Tanara, segala sesuatu untuk Allah,
untukmu sekalian, al-Fatihah.”
مث اىل امام النواوى صحيب ادلؤنة التنارى شيء هلل ذلم الفاحتة
Artinya: “Kemudian untuk orang tua
kami, orang tuamu sekalian, orang-
orang mati dari kami, orang-orang mati
dari kalian, ruh semua orang-orang
beriman laki-laki dan perempuan,
orang-orang hidup dan mati dari
mereka, segala sesuatu untuk Allah,
untukmu sekalian, al-Fatihah.”
مث اىل والدينا و والدكم و امواتنا و امواتكم و ارواح مجيع ادلسلمي و
هم واالموات ادلسلمات شيء االحياء من هلل ذلم الفاحتة
4. Setelah pembacaan tawasul selesai, kemudian pembacaan ayat-ayat al-Qur‟an.
Setelah pembacaan ayat-ayat al-Qur‟an dibacakana, selanjutnya adalah
pembacaan doa oleh syekh debus. Adapun ayat-ayat al-Qur‟an yang dibaca
ketika pementasan debus yakni:
56
Artinya: “Tiada Tuhan selain Allah, Allah
Maha Besar.”
ال الو اال اهلل اهلل اكرب
Artinya: “Katakanlah (Nabi Muhammad):
„Dialah Allah Yang Maha Esa.‟ Allah
tumpuan harapan (semua makhluk). Tidak
beranak dan tidak diperanakkan. Tidak ada
sesuatu pun yang setara (dan yang serupa)
dengan-Nya.”
و الرمحن الرحيم بسم اللو احد قل ىو الل
و الصمد الل ل يلد ول ي ولد
(kali 3)ول يكن لو كفوا احد Artinya: “Tiada Tuhan selain Allah, Allah
Maha Besar.”
ال الو اال اهلل اهلل اكرب
Artinya: “Katakanlah (Nabi Muhammad):
„Aku berlindung dengan Tuhan Pencipta dan
Pemelihara segala (sesuatu) yang terbelah
(dengan mewujudkannya dari gelapnya
ketiadaan).‟ Dari kejahatan apa (semua
makhluk) yang diciptakan-(Nya). Dan dari
kejahatan (yang terjadi pada) kegelapan
malam pada saat ia gelap gulita. Dan dari
kejahatan (dan keburukan) peniup-peniup
pada buhul-buhul para penyihir. Dan dari
kejahatan pendengki (apabila dia iri).”
و الرمحن الرحيم بسم الل قل اعوذ برب الفلق
شر ما خلق من ومن شر غاسق اذا وقب
ثت ف العقد ف ومن شر الن ومن شر حاسد اذا حسد
Artinya: “Tiada Tuhan selain Allah, Allah
Maha Besar.”
ال الو اال اهلل اهلل اكرب
Artinya: “Aku berlindung kepada Tuhan
Pemelihara manusia. Maha Raja (yang
menguasai) manusia. Tuhan (yang disembah
dan dipatuhi) manusia. Dari kejahatan
(setan) pembisik yang bersembunyi yang
membisik di (dalam) dada manusia. Dari jin
dan manusia.”
و الرمحن الرحيم بسم الل اعوذ برب الناس قل
ملك الناس الو الناس
اخلناس من شر الوسواس الذي ي وسوس يف صدور الناس
من النة والناس
Artinya: “Tiada Tuhan selain Allah, Allah
Maha Besar.”
ال الو اال اهلل اهلل اكرب
57
Artinya: “Dengan nama Allah Pemberi
Kasih Yang Maha Pengasih. Segala puji
hanya bagi Allah, Tuhan Pemelihara seluruh
alam. Pemberi Kasih Yang Maha Pengasih.
Pemilik hari pembalasan. Hanya kepada-Mu
kami mengabdi dan hanya kepada-Mu kami
memohon pertolongan. Bimbinglah kami ke
jalan lebar yang lurus. (yaitu) jalan orang-
orang yang telah Engkau anugerahi nikmat
kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang
dimurkai dan bukan (pula jalan) orang-
orang yang tersesat.”
و الرمحن الرحيم بسم الللمي احلمد و رب الع لل
الرمحن الرحيم ين لك ي وم الد م
اياك ن عبد واياك نستعي راط المستقيم اىدنا الص
صراط الذين ان عمت عليهم ەالي غري المغضوب عليهم وال الض
Artinya: “Tiada Tuhan selain Allah, Allah
Maha Besar.”
ال الو اال اهلل اهلل اكرب
Artinya: “Alif Lam Mim. Itulah al-Kitab (al-
Qur‟an). Tidak ada keraguan padanya;
petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.
(Yaitu) mereka yang beriman kepada yang
gaib, yang melaksanakan salat secara
sempurna dan berkesinambungan dan yang
menafkahkan sebagian (rezeki) yang Kami
anugerahkan kepada mereka. Dan mereka
yang beriman kepada apa (al-Qur‟an) yang
telah diturunkan kepadamu (Muhammad)
dan apa yang telah diturunkan sebelummu,
serta tentang (kehidupan) akhirat mereka
yakin. Mereka itulah yang berada di atas
petunjuk dari Tuhan Pemelihara mereka, dan
mereka itulah orang-orang yang beruntung.
الرحيم بسم اللو الرمحن ( ال1) لك الكتاب ال ريب فيو 2) ( ذ
ىدى للمتقي ( الذين ي ؤمنون بالغيب 3)
ويقيمون الصالة وما رزق ناىم ي نفقون
( والذين ي ؤمنون با أنزل إليك 4)ك وبالخرة ىم وما أنزل من ق بل
يوقنون م 5) ( أولئك على ىدى من رب
وأولئك ىم المفلحون Artinya: “Tuhanmu adalah Tuhan Yang
Masa Esa; tidak ada tuhan (yang berhak
disembah) melainkan Dia, Yang Maha
Pemurah, Lagi Maha Pengasih.”
كم الو واحد ال الو اال ىو و اذل الرمحن الرحيم
Artinya: “Allah, tidak ada tuhan (penguasa
mutlak dan berhak disembah) kecuali Dia;
Yang Maha Hidup; Maha Kekal; lagi terus-
menerus mengurus makhluk-Nya. Dia tidak
dikalahkan oleh kantuk dan tidak tidur.
اهلل ال الو إال ىو احلي القيوم ال تأخذه سنة وال ن وم لو ما يف
ماوات وما يف ال رض من ذا الس
58
Milik-Nya apa yang di langit dan di bumi,
tidak ada yang dapat memberi syafaat di sisi-
Nya tanpa izin-Nya; dia mengetahui apa
yang di hadapan mereka dan apa yang di
belakang mereka, dan mereka tidak
mengetahui sesuatu dari ilmu-Nya melainkan
apa yang dikehendaki-Nya; Kursi
(ilmu/kekuasaan)-Nya meliputi langit dan
bumi. Dia tidak lelah memelihara keduanya
dan Dia Maha Tinggi, lagi Maha Besar.”
الذي يشفع عنده إال بإذنو ي علم ما يطون ب ي أيديهم وما خلفهم وال ي
بشيء من علمو إال با شاء وسع ماوات والرض وال كرسيو الس
عظيم ي ئوده حفظهما وىو العلي ال
Artinya: “Aku memohon ampunan kepada
Allah Yang Maha Agung.” (3 kali)
(kali 3)استغفر اهلل العظيم
Artinya: “Yang tidak ada tuhan selain Dia
Yang Maha Hidup dan Yang Maha Tegak
dan saya bertaubat kepada-Nya dari segala
maksiat dan dosa.”
الو اال ىو احلي القيوم الذي الوأتوب اليو من مجيع ادلعاصى و
الذنوبArtinya: “Keutamaan zikir, maka ketahuilah,
sesunggunya tiada Tuhan selain Allah Yang
Maha Hidup, Yang Maha Ada.”
افضل الذكر فاعلم انو الالو اال اهلل، حي موجود
Artinya: “Tiada Tuhan selain Allah Yang
Maha Hidup, Yang Maha Disembah.”
الالو اال اهلل، حي معب ود
Artinya: “Tiada Tuhan selain Allah Yang
Maha Hidup, Yang Maha Disembah, dan
Yang Maha Diharapkan.”
صودقو ادل الالو اال اهلل، حي معب ود
Artinya: “Tiada Tuhan selain Allah.” (11
kali)
(kali 11) الالو اال اهلل
Artinya: “Tiada Tuhan selain Allah,
Muhammad adalah utusan Allah.”
زلمد الرسول اهلل الالو اال اهلل )ص.م(
Artinya: “Yang dengan kalimat itu kami
berpegang teguh dalam hidup, dan ketika
kami mati. Dengan kalimat itu kami
dihidupkan kembali, insyaAllah dengan
curahan rahmat dan kemuliaan-Nya, kami
mendapat keamanan.”
ها نوت ها نيا وعلي كلمة حق علي عث إن شاء اهلل ت عاىل من وبا ن ب
المني
5. Setelah pembacaan ayat-ayat al-Qur‟an dan doa selesai, kemudian dilanjutkan
kepada pembacaan rifa‟i. adapun bacaan rifa‟i sebagai berikut:
59
Artinya: “Wahai Rasulullah, tolonglah,
segala sesuatu untuk Allah.”
ادلداد شيئ هلليا رسول اهلل
Artinya: “Wahai kekasih Allah, tolonglah,
segala sesuatu untuk Allah.”
يا حبيب اهلل ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai kekasih Allah, tolonglah,
segala sesuatu untuk Allah.”
يا حبيب اهلل ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai pemilik syafaat,
tolonglah, segala sesuatu untuk Allah.”
يا شفيع ادلذنبي ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai tuan manusia dan jin,
tolonglah, segala sesuatu untuk Allah.”
يا سيد الثقلي ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai kakek Husain, tolonglah,
segala sesuatu untuk Allah.”
يا جد احلسي ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai penghuni Mekah dan
Madinah, tolonglah, segala sesuatu untuk
Allah.”
يا ساكن احلرمي ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai wali-wali Allah,
tolonglah, segala sesuatu untuk Allah.”
يا أولياء اهلل ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Kami bersama mereka,
tolonglah, segala sesuatu untuk Allah.”
نن جبماىم ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai Yang Maha Mulia dan
Maha Hidup, tolonglah, segala sesuatu
untuk Allah.”
يا كرمي احلئ ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai penghuni ibu „Ubaidah,
tolonglah, segala sesuatu untuk Allah.”
يا ساكن أم عبيدة ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai guru manusia dan jin,
tolonglah, segala sesuatu untuk Allah.”
يا شيخ الثقلي ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai pemilik alam, tolonglah,
segala sesuatu untuk Allah.”
يا صاحب العادلي ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai Muhammad, dua cahaya,
tolonglah, segala sesuatu untuk Allah.”
يا زلمد النوران ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai penakluk singa-singa,
tolonglah, segala sesuatu untuk Allah.”
يا مذل السود ادلداد شيئ هلل
60
Artinya: “Wahai pendingin api, tolonglah,
segala sesuatu untuk Allah.”
يا مربد النار ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai pelunak besi, tolonglah,
segala sesuatu untuk Allah.”
يا ملي احلديد ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai penawar racun ular,
tolonglah, segala sesuatu untuk Allah.”
يا مشفى سم الفاعى ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai Sayid Ahmad al-Kabir
al-Rifa‟i, tolonglah, segala sesuatu untuk
Allah.”
يا سيدى امحد الكبري الرفاعي ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai bantuan manusia dan jin,
tolonglah, segala sesuatu untuk Allah.”
يا غوث الثقلي ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai Muhyiddin, tolonglah,
segala sesuatu untuk Allah.”
يا زلي الدين ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai Sayid Guru „Abdul al-
Qahar, tolonglah, segala sesuatu untuk
Allah.”
القادر ادلداد شيئ يا سيدى شيخ عبد هلل
Artinya: “Wahai Sultan Zaman, tolonglah,
segalau sesuatu untuk Allah.”
يا سلطان الزمان ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai Shafiuddin Ahmad bin
„Ulwan, tolonglah, segala sesuatu untuk
Allah.”
يا صفي الدين امحد بن علوان ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai Sultan al-„Asyiqin,
tolonglah, segala sesuatu untuk Allah.”
يا سلطان العاشقي ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai Burhan al-„Arifin,
tolonglah, segala sesuatu untuk Allah.”
يا برىان العارفي ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai Sayyid Ahmad al-Badawi
al-Rifa‟i, tolonglah, segala sesuatu untuk
Allah.”
يا سيدى امحد البدوي الرفاعي ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai pemimpin para wali,
tolonglah, segala sesuatu untuk Allah.”
يا قطب الولياء ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai gurunya guru, tolonglah,
segala sesuatu untuk Allah.”
يا شيخ ادلشايخ ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai Sayyid Ibrahim Ahmad
al-Dasuqi, tolonglah, segala sesuatu untuk
Allah.”
يا سيدى ابراىيم امحد الدسوقي ادلداد
61
شيئ هلل Artinya: “Wahai Mataharinya matahari,
tolonglah, segala sesuatu untuk Allah.”
يا مشس الشموس ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai Penghidup jiwa,
tolonglah, segala sesuatu untuk Allah.”
النفوس ادلداد شيئ هلل يا زلي
Artinya: “Wahai Sayyid Abu Bakar bin
„Abdullah al-„Aidrus, tolonglah, segala
sesuatu untuk Allah.”
ابو بكر ابن عبد اهلل يا سيدى العريوس ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai penghuni jalan-jalan,
tolonglah, segala sesuatu untuk Allah.” يا ساكن السبليات ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai Aba Salih, tolonglah,
segala sesuatu untuk Allah.”
يا ابا صاحل ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai Dzuma‟ Sya‟ban,
tolonglah, segala sesuatu untuk Allah.”
يا ظمأ شعبان ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai Aba „Ali, tolonglah,
segala sesuatu untuk Allah.”
يا ابا علي ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai Aba Rajab, tolonglah,
segala sesuatu untuk Allah.”
يا ابا رجب ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai Aba Mahdi, tolonglah,
segala sesuatu untuk Allah.”
يا ابا مهدي ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai Ibn „Abd al-Khadhir,
tolonglah, segala sesuatu untuk Allah.”
يا ابن عبد اخلاضر ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai Aba Muhammad,
tolonglah, segala sesuatu untuk Allah.”
يا ابا زلمد ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai Guru Abdul Qadir al-
Rifa‟i, tolonglah, segala sesuatu untuk
Allah, Dialah satu-satunya, semoga Allah
menyucikan, tolonglah, segala sesuatu
untuk Allah.”
يا شيخ عبد القادر الرفاعي ادلداد شيئ هلل, ىو وحده قدس اهلل تعاىل
ادلداد شيئ هللArtinya: “Wahai Sayid Jalil, Sayid Musa,
dan Sayid „Abdullah al-Qadir al-Rifa‟i,
tolonglah, segala sesuatu untuk Allah.”
يا سيدى جالل, يا سيدى موسى, يا الرفاعي ادلداد سيدى عبد اهلل القادر
شيئ هللArtinya: “Wahai Pemilik kelahiran,
tolonglah, segala sesuatu untuk Allah.”
يا صاحب الواالدة ادلداد شيئ هلل
62
Artinya: “Wahai Sayyid Hasanuddin,
tolonglah, segala sesuatu untuk Allah.”
يا سيدى حسن الدين ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Wahai Sayyid Muhammad,
tolonglah, segala sesuatu untuk Allah.”
يا سيدى زلمد ادلداد شيئ هلل
Artinya: “Tiada Tuhan selain Allah,
Muhammad adalah utusan Allah.” ال الو اال اهلل زلمد رسول اهلل
6. Setelah pembacaan rifa‟i selesai, dilanjutkan kepada pembacaan selawat nabi
lagi. Adapun bacaannya sebagai berikut:
Artinya: “Ya Allah, berilah
selawat kepada Nabi Muhammad,
wahai Tuhan berilah selawat dan
salam kepadanya.”
اللهم صل على زلمد يا رب صل عليو و سلم
Artinya: “Ya Allah, berilah
selawat kepada nabi-Mu, wahai
Tuhan berilah selawat dan salam
kepadanya.”
اللهم صل على نبيك يا رب صل عليو و سلم
Artinya: “Ya Allah, berilah
selawat kepada utusan-Mu, wahai
Tuhan berilah selawat dan salam
kepadanya.”
اللهم صل على رسولك يا رب صل عليو و سلم
Artinya: “Ya Allah, berilah
selawat kepada kekasih-Mu, wahai
Tuhan berilah selawat dan salam
kepadanya.”
اللهم صل على حبيبك يا رب صل عليو و سلم
Artinya: “Ya Allah, berilah
selawat kepada teman baik-Mu,
wahai Tuhan berilah selawat dan
salam kepadanya.”
على صفيك يا رب صل عليو و سلماللهم صل
Artinya: “Ya Allah, berilah
selawat kepada kesayangan-Mu,
wahai Tuhan berilah selawat dan
salam kepadanya.”
اللهم صل على خليلك يا رب صل عليو و سلم
Artinya: “Ya Allah, berilah
selawat kepada pemberi selawat,
wahai Tuhan berilah selawat dan
salam kepadanya.”
اللهم صل على مشفع يا رب صل عليو و سلم
63
Artinya: “Ya Allah, jadikanlah
kami ziarah, wahai Tuhan berilah
selawat dan salam kepadanya.”
يا رب صل عليو و سلماللهم اجعلنا زيارة
Artinya: “Ya Allah, sayangilah
orang tua kami, wahai Tuhan
berilah selawat dan salam
kepadanya.”
اللهم ارحم والدينا يا رب صل عليو و سلم
Artinya: “Dalam
pengumpulannya, penolong kami,
Muhammad, penguasa yang baik
di dalam Jahanam seribu tahun,
penutup utusan-Mu, dan seribu
tahun setelahnya, dan kedamaian.
Amin.”
يف حشره شفيعنا زلمد طنب اخلالئق يف جهنم الف سنة اخلتم رسولك و الف سنة عليو و سالما
تسلمان. امي
7. Setelah semua bacaan di atas selesai, ada beberapa menit untuk istirahat. Para
pemain biasanya menggunakan waktu untuk minum air putih atau hidangan
lainnya. Sementara syekh biasanya mengoleskan ujung besi sulthon dengan
minyak kelapa yang telah disiapkan.
8. Setelah istirahat selesai, maka pementasan kekebalan siap dilakukan. Biasanya
ada dua orang secara bergantian yang melakukan pementasan ini. Satu orang
untuk memegang palu, dan satu orang lainnya memegang sulthon untuk
dipukul di beberapa titik tubuh. Pementasan kekebalan ini diiringi dengan
suara rebana dan juga selawat-selawat kepada nabi. Sebelum memukulkan
palu ke sulthon, biasanya kedua pemain melakukan semacam tarian. Tarian ini
sekarang sudah tidak dikenal sehingga pemain hanya melangkah-melangkah
kecil ke kiri dan ke kanan. Ketika suara dan irama sedikit lebih cepet dan
keras, kedua pemain itu saling mendekat untuk siap memukulkan palu ke
sulthon yang ditancapkan ke beberapa bagian tubuh pemain lainnya. Sebelum
memukul, orang yang memegang sulthon akan berteriak, “al-Madad!”
kemudian akan dijawab oleh dirinya sendiri dengan teriakan, “Allahuakbar!”
Hal itu dilakukan beberapa kali setiap dua orang pemain.
Setelah seorang pemain meneriakan “al-Madad!” dan dijawab dengan teriakan
“Allahuakbar!” biasanya masyarakat akan memberikan uang saweran kepada
seluruh pemain debus yang disimpan di sebuah baskom yang telah disediakan.
Sebagian besar masyarakat memberikan saweran dengan uang logam dan
64
mengaduk-aduk uang-uang logam itu sehingga menimbulkan suara. Ada juga
pemegang sulthon yang berteriak “al-Madad!” kemudian dijawab oleh
pemegang palu dengan teriakan “Ya sayyidu syekh!”
9. Penutup. Setelah pementasan kekebalan selesai, biasanya syekh atau yang
memiliki hajat menutup acara dengan beberapa ucapan terima kasih dan
himbauan untuk menghadiri acara yang akan dilaksanakan oleh yang punya
hajat.
Di atas adalah prosesi pementasan kesenian debus Desa Kadudodol untuk
tujuan tradisi, mulai dari awal hingga akhir. Adapun untuk tujuan hiburan, hanya
dilakukan tahap delapan dan sembilan saja, tahap pertama hingga tujuh dilakukan
di musola Desa Kadudodol.
B. Pengetahuan dan Pemaknaan Pelaku Debus Terhadap Bacaan
Dalam pementasan debus, sebelum menampilkan atraksi kekebalan, seluruh
pemain diharuskan membaca beberapa bacaan yang telah ditentukan. Bacaan-
bacaan tersebut sepenuhnya bersumber dari ajaran-ajaran Islam. Adapun bacaan-
bacaan tersebut terdiri dari pembacaan kalimat istigfar (permohonan ampun),
selawat kepada Nabi Muhammad, beberapa ayat al-Qur‟an, pembacaan rifa‟i, dan
doa. Beberapa ayat al-Qur‟an itu terdiri dari surat al-Fatihah ayat satu sampai
tujuh, al-Ikhlas ayat satu sampai empat, al-Falaq ayat satu sampai lima, al-Nas
ayat satu sampai enam, al-Baqarah ayat satu sampai lima, al-Baqarah ayat 163,
dan 255.
Bacaan-bacaan ini telah ditentukan secara turun-temurun oleh orang yang
pertama kali mengajarkan debus di Desa Kadudodol, yakni H. Jaelani. Bacaan-
bacaan ini sudah baku dan tidak bisa diubah-ubah lagi, tidak dapat dikurangi,
maupun ditambah. Hal yang sama berlaku dengan urutan bacaan-bacaan tersebut.
Bacaan harus dimulai dengan pembacaan kalimat istigfar dan diakhiri dengan doa,
sesuai dengan urutan yang telah ditentukan. Acang mengatakan bahwa, “tidak
65
bisa diganti atau dirubah. Itu juga harus urut yang udah ditentukan.”1 Kesaksian
yang sama juga penulis dapatkan dari penuturan Dedi.2
Berdasarkan keterangan di atas, al-Qur‟an menjadi salah satu elemen penting
di dalam bacaan-bacaan yang wajib dibaca sebelum pementasan kekebalan. Al-
Qur‟an memiliki kedudukan yang sama dengan bacaan-bacaan lainnya –seperti
selawat, kalimat istigfar, rifa‟i, dan doa. Bacaan-bacaan tersebut hanya akan
berfungsi jika semua elemen dibacakan tanpa terkecuali dan dengan urutan yang
telah ditetapkan. Dengan demikian, jika ayat-ayat al-Qur‟an tidak dibacakan,
maka bacaan-bacaan tersebut tidak dapat berfungsi dan pementasan debus tidak
akan bisa dilakukan.
Dari keterangan beberapa narasumber –Acang,3 Dedi,
4 Abah Enjen,
5 dan
Abah Aning6-, mereka mengakui bahwa mereka tahu di dalam bacaan-bacaan itu
terdapat ayat-ayat al-Qur‟an. Namun, mereka tidak mengetahui arti atau
terjemahan dari ayat-ayat al-Qur‟an tersebut. Mereka juga tidak mengetahui tafsir
ayat-ayat yang mereka baca. Hal ini karena mereka hanya mewarisi bacaan-
bacaan itu sebagai tradisi tanpa ada pengajaran tafsir tentang ayat-ayat yang
mereka baca.
Ini sesuai dengan keterangan Ahmad dalam bukunya yang mengatakan bahwa,
dalam living Qur‟an, pelaku kadang tidak berpikir secara mendalam tentang ayat-
ayat yang mereka gunakan. Oleh karena itu, perilaku living Qur‟an tidak dapat
diteliti kecuali dengan mengkonfirmasikannya kepada tokoh yang menjadi agen
budaya al-Qur‟an. Kesulitan untuk mengungkap perilaku berpikir pelaku ini
biasanya disebabkan oleh pewarisan praktik tradisi secara turun-temurun. Bahkan
1 Muhammad Acang selaku syekh debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 13 April
2019 2 Dedi Safari selaku anak Ending Chaeruddin, wawancara pribadi, 13 April 2019.
3 Muhammad Acang selaku syekh debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 10 April
2019 4 Dedi Safari selaku anak Ending Chaeruddin, wawancara pribadi, 13 April 2019.
5 Abah Enjen selaku anggota debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 3 April 2019.
6 Abah Aning, selaku anggota debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 15 April 2019.
66
pada akhirnya, sering kali pelaku tradisi tidak menyadari bahwa dalam tradisi
yang ia lakukan terdapat unsur-unsur al-Qur‟an di dalamnya.7
Di bagian lain dalam buku yang sama, Ahmad menegaskan kembali bahwa
pada saat pengumpulan data, seorang peneliti akan mendapati kondisi dimana
sang informan tidak mengetahui ayat yang menjadi sumber tradisi yang mereka
lakukan. Ada kalanya, karena tradisi tersebut telah dilakukan secara turun
temurun dari nenek moyang. Adakalanya mereka mewarisi tradisi dari para ulama
yang menjadi panutan dalam beragama di suatu daerah, sedangkan sang ulama
pun mengutip dari kitab kuning yang merupakan peracik tradisi dari teks al-
Qur‟an.8
Meski begitu, mereka memiliki pemaknaan tersendiri terhadap bacaan-bacaan
tersebut yang cenderung praktis. Mereka tidak memaknai satu persatu elemen
yang mereka baca. Mereka hanya bisa memaknainya secara keseluruhan
rangkaian bacaan tersebut. Bacaan-bacaan yang terdiri dari kalimat istigfar,
selawat, ayat-ayat al-Qur‟an, rifa‟i, dan doa ini menjadi satu kesatuan yang tidak
bisa dipisahkan. Mereka menyebut rangkaian bacaan-bacaan tersebut dengan
sebutan hizib rifa‟i.
Ada beragam pemaknaan yang masing-masing narasumber berikan. Acang
dalam beberapa penuturannya memberikan dua kata kunci dalam memaknai
bacaan-bacaan tersebut. Pertama ia memaknainya sebagai sarana untuk meminta
pertolongan kepada Allah. Ia mengatakan, “Fungsinya untuk munajat kepada
Allah untuk meminta pertolongan kekuatan.”9 Kedua, ia memaknainya dengan
tujuan untuk mengagungkan Allah, nabi-nabi, dan wali-wali Allah. Ia
mengatakan, “Kalo ini mah khusus dari al-Qur‟an, selawat, yaa mengagungkan
auliya Allah, mengagungkan Allah, para nabi.”10
7 Ahmad „Ubaidi Hasbillah, Ilmu Living Qur‟an-Hadis: Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi, h. 206. 8 Ahmad „Ubaidi Hasbillah, Ilmu Living Qur‟an-Hadis: Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi, h. 324. 9 Muhammad Acang selaku syekh debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 13 April
2019 10
Muhammad Acang selaku syekh debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 13 April
2019
67
Berdasarkan penuturan Acang, ia memaknai bacaan-bacaan sebagai sarana
untuk meminta pertolongan kepada Allah, dan berfungsi sebagai sarana
mengagungkan Allah, nabi-nabi, dan wali-wali Allah. Hal itu berbeda dengan
yang dituturkan oleh Dedi. Dedi memaknai bacaan-bacaan tersebut sebagai sarana
untuk meminta kekebalan. Ia mengatakan, “Sebetulnya gini sih yaa, kalo kita
tidak memiliki ilmu juga sebetulnya bisa asal yakin. Asal yakin intinya tidak
bakalan tembus. Kan ditawasulannya di doa nya juga untuk meminta kekebalan
kepada Allah. Intinya ke situ.”11
Ada juga narasumber yang memaknainya sebagai sarana untuk meminta
perlindungan dari bahaya. Abah Aning mengatakan bahwa, “Atraksi juga harus
membaca bacaannya, kalo tidak jangan coba-coba karena akan menimbulkan
bahaya.”12
Pernyataan Abah Aning serupa dengan yang dituturkan Abah Enjen.
Abah Enjen memaknai bacaan-bacaan itu sebagai sarana untuk meminta
keselamatan. Ia mengatakan bahwa, “Harusnya dibawa ibadah. Sebetulnya semua
juga punya ajaran-ajaran keagamaan itu semua juga ada sebetulnya. Cuma
kadang-kadang gimana yaa. itu karena kesenian al-madad itu suatu kesenian
bukan hanya untuk hiburan, hanya untuk munajat kepada Allah gitu yaa
memohon supaya kita ini diselamatkan.”13
Ada konsekuensi jika tidak membaca bacaan-bacaan yang telah ditentukan
saat penampilan debus. Hal itu akan berakibat fatal kepada pemain karena pemain
akan mendapatkan luka. Dedi mengatakan:
“waduh, engga bisa kalo engga itu. Waduh jangan coba-coba bahaya itu.
Orang itu juga yang megang sultan, kalo dia hatinya kurang pas biasanya
sering grutu-grutu, kaya hatinya engga cocok, sering tembus. Kejadian
waktu itu Bapak Aning. Makanya dia jarang kami tampilkan. Itu waktu di
Maja parah, sampe darahnya kaya air dari keran gitu. Sempet kaget juga
kami. Itu sebabnya dia kurang pas di hati. Tapi seketika itu juga langsung
sembuh pake minyak kelapa itu.”
11
Dedi Safari selaku anak Ending Chaeruddin, wawancara pribadi, 13 April 2019. 12
Abah Aning, selaku anggota debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 15 April
2019. 13
Abah Enjen selaku anggota debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 3 April 2019.
68
Lebih lanjut Abah Enjen mengatakan bahwa, “kita juga kalo misalkan ga ada
sebelumnya dibaca-baca itu mah sama syekh-syekh itu juga ga berani. sakit.
Namanya besi, tajemnya lebih dari jarum gimana dipukul dengan palu gede.”14
Menurut Abah Enjen atraksi debus bukanlah sesuatu yang bisa dilatih.
Kemampuan itu didapatkan secara spontan, tanpa pembelajaran khusus seperti
kesenian-kesenian lain, silat misalnya. Kekebalan itu bisa didapatkan setelah
membaca bacaan-bacaan sebelum melakukan atraksi kekebalan. Dengan bacaan-
bacaan tersebut, syekh dan seluruh anggota debus bermaksud untuk bermunajat
kepada Allah agar diberikan keselamatan dalam beratraksi. Selain bacaan, mental
juga mempengaruhi keberhasilan dalam beratraksi.
Dari beberapa keterangan yang disampaikan narasumber di atas, penulis
mendapatkan lima pemaknaan. Pertama, sebagai sarana untuk meminta
pertolongan kepada Allah. Kedua, sebagai sarana untuk mengagungkan Allah,
nabi-nabi, wali-wali Allah. Kedua pemaknaan ini disampaikan oleh Acang.
Ketiga, sebagai sarana untuk meminta kekebalan sebagaimana dikatakan oleh
Dedi. Keempat, sebagai sarana untuk meminta perlindungan dari bahaya. Hal ini
berdasarkan keterangan Abah Aning. Kelima, sebagai sarana untuk meminta
keselamatan seperti yang dituturkan oleh Abah Enjen.
Meskipun ayat-ayat al-Qur‟an tidak menjadi bacaan dominan, namun al-
Qur‟an menjadi salah satu elemen yang wajib dibaca agar bacaan-bacaan tersebut
berfungsi. Dalam kasus pementasan debus ini, ayat-ayat al-Qur‟an menjadi
sebuah teks yang hidup. Sebagaimana perkataan Muhamad Ali dalam tulisannya,
al-Qur‟an tidak hanya dimaknai dan difungsikan sebagai petunjuk bagi manusia,
tetapi al-Qur‟an memiliki peranan dalam berbagai kepentingan dan konteks
kehidupan.15
Menurut Heddy, al-Qur‟an yang hidup di tengah kehidupan sehari-hari
manusia bisa mewujud dalam bentuk yang beranekaragam.16
Kehadiran al-Qur‟an
di tengah kehidupan umat Islam di Indonesia memiliki berbagai pemaknaan.
14
Abah Enjen selaku anggota debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 3 April 2019. 15
Muhamad Ali, “Kajian Naskah dan Kajian Living Qur‟an dan Living Hadith”, h. 153. 16
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “The Living Qur‟an: Beberapa Perspektif Antropologi”, h.
251.
69
Salah satunya, al-Qur‟an dimaknai sebagai sarana perlindungan. Sebagai firman
Allah, ayat-ayat atau surat-surat tertentu dalam al-Qur‟an diyakini dapat menjadi
sarana untuk memperoleh perlindungan kepada Allah.17
Fenomena living Qur‟an dapat dikatakan sebagai qur‟anisasi kehidupan, yang
artinya memasukkan al-Qur‟an –sebagaimana al-Qur‟an itu dipahami- ke dalam
semua aspek kehidupan manusia, atau menjadikan kehidupan manusia sebagai
suatu arena untuk mewujudkan al-Qur‟an di bumi. Qur‟anisasi kehidupan
manusia dapat berupa penggunaan ayat-ayat dalam al-Qur‟an yang diyakini
sebagai sesuatu yang mempunyai kekuatan tertentu untuk mencapai tujuan
tertentu, misalnya membuat orang menjadi terlihat sakti karena tidak dapat dilukai
dengan senjata tajam. Ayat-ayat al-Qur‟an di sini tidak lagi terlihat sebagai
petunjuk, perintah, larangan melakukan sesuatu atau cerita mengenai sesuatu,
tetapi lebih tampak sebagai mantra yang jika dibaca berulang kali sampai
mencapai jumlah tertentu akan dapat memberikan hasil-hasil tertentu seperti
diinginkan.18
Selain harus membaca bacaan-bacaan yang telah ditentukan, ada beberapa
syarat lagi mesti dimiliki pemain. Pertama, pemain tidak boleh merasa sombong
dengan kekuatan dan kekebalan yang ia peroleh. Acang mengatakan, “Selain
bacaan, seseorang juga tidak boleh merasa sombong dengan kekebalan
tersebut.”19
Jika dalam hati pemain terdapat kesombongan, maka akan terjadi hal yang
buruk kepada pemain. Acang mengatakan:
“Tapi kalo untuk hura-hura mah ga bisa. Makanya akibat buruk kepada kita.
Ada yang pernah orang pengen tau ngamuknya al-madad gimana, berdarah
dia megang itu, tembus. Karena pengen diliat orang. Cerita dulu tuh temen,
sampe sini nih tembus pas di Cirebon karena dia sombong. Kata pak guru
17
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “The Living Qur‟an: Beberapa Perspektif Antropologi”, h.
245-247. 18
Heddy Shri Ahimsa-Putra, “The Living Qur‟an: Beberapa Perspektif Antropologi”, h.
251. 19
Muhammad Acang selaku syekh debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 13 April
2019
70
juga pak haji, di sini jangan pake sombong takabur, biasa aja, dia sombong,
masuk itu ke sini, sampe melintir itu.”20
Kedua, pemain harus yakin dengan kekuasaan dan pertolongan Allah. Acang
mengatakan bahwa, “Selain itu, orang itu juga harus yakin dengan kekuasaan
Allah bahwa al-madad tidak akan bisa melukainya.”21
Ketiga, memiliki keikhlasan dan kepasrahan kepada Allah. Acang mengatakan
bahwa, “Megang itu mah niat kita ikhlas jangan takabur, jangan sombong, kita
pasrah, kita mah tidak berdaya, pasrah. Insyaallah. Paling geh ini doang bekasnya,
kaya titik biasa jarum. Pegel-pegel mah pegel aja yaa, namanya juga dipukul.”22
C. Ijazah Bacaan
Bedasarkan kamus bahasa Indonesia, ijazah adalah izin yang diberikan oleh
guru kepada muridnya untuk mengajarkan ilmu yang diperoleh si murid dari
gurunya. Dalam tradisi debus juga mengenal istilah ijazah.
Muhammad Acang menjelaskan bahwa seseorang yang ingin mendapatkan
ijazah bacaan debus harus berpuasa selama tujuh bulan. Empat bulan pertama
dimulai wajib berpuasa selama 13 hari, mulai dari tanggal satu hingga tanggal 13.
Tanggal 14 hingga akhir bulan tidak berpuasa. Kemudian tiga bulan berikutnya
puasa dilakukan setiap hari mulai dari awal bulan hingga akhir bulan.23
Selain itu, seseorang yang hendak mendapatkan ijazah juga wajib
mengamalkan bacaan yang telah diberikan oleh guru. Wirid tersebut yakni terdiri
dari hadiah fatihah kepada syekh-syekh dan nama-nama tertentu, bacaan al-
Qur‟an, doa, dan rifa‟i serta selawat yang diakhiri doa. Bacaan itu dibaca setelah
salat lima waktu.
Selain itu, murid juga diwajibkan untuk berendam di air yang tingginya
sampai seleher pada malam hari sekitar jam 2 hingga jam 3. Ketika proses
berendam tersebut, murid membaca bacaam yang telah diberikan. Selain itu, pada
20
Muhammad Acang selaku syekh debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 10 April
2019 21
Muhammad Acang selaku syekh debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 13 April
2019 22
Muhammad Acang selaku syekh debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 13 April
2019 23
Muhammad Acang selaku Syaikh Debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 10
April 2019.
71
malam hari murid juga diperintahkan untuk melakukan salat sunah seperti
tahajud, witir, taubat, dan sebagainya. Setelah semua itu selesai, maka murid
berhak mendapatkan ijazah dari syekh.24
Murid tidak boleh melakukan maksiat seperti mabuk-mabukan, berjudi,
bermain perempuan, dan hal-hal yang dilarang oleh agama Islam. Jika pantangan
itu dilanggar, maka murid harus melakukan semua proses dari awal lagi. Murid
tidak boleh mengkonsumi makanan yang berasal dari buah labu. Hal yang disebut
terakhir adalah pantangan dari H. Maman, namun tidak dapat dipastikan apakah
pantangan ini berlaku pada jalur H. Jaelani atau tidak.25
Ijazah mempengaruhi pemahaman dan keyakinan seseorang terhadap bacaan.
Orang yang melakukan prosesi ijazah akan membuat pemahaman dan
keyakinannya semakin bertambah terhadap bacaan, sehingga ketika ia membaca
bacaan, maka bacaan tersebut akan berfungsi sebagaimana pemahamannya, yakni
mampu melindunginya. Inilah yang membedakan orang yang mampu melakukan
debus dengan orang yang tidak, meskipun mereka membaca bacaan-bacaan yang
sama.
Dari seluruh anggota debus Desa Kadudodol, ada beberapa orang yang tidak
bisa menampilkan atraksi kekebalan. Hal ini karena ia belum mendapatkan ijazah.
Pemahamannya terhadap bacaan sama dengan orang yang telah mendapatkan
ijazah, namun keyakinannya terhadap bacaan tidak sekuat orang yang telah
mendapatkan ijazah.
Dedi Safari mengatakan bahwa ia tidak bisa mementaskan atraksi kekebalan
karena belum mendapatkan ijazah. “Saya juga kan sebetulnya ada niatan buat
ijazah, tapi sampai sekarang masih belum,”26
Berbeda halnya dengan Muhammad Acang, ia telah mampu mementaskan
atraksi kekebalan karena ia telah mendapatkan ijazah. “Yaa kita sih yakin saja,
kalo udah yakin mah kepada Allah tidak akan terluka atau sakit,”27
24
Muhammad Acang selaku Syaikh Debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 10
April 2019. 25
Muhammad Acang selaku Syaikh Debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 10
April 2019. 26
Dedi Safari selaku anak Ending Chaeruddin, wawancara pribadi, 13 April 2019.
72
D. Nilai yang Ingin Disosialisasikan
Pada bagian ini penulis akan memaparkan nilai yang ingin disosialisasikan
oleh pemain debus berdasarkan pemahaman yang mereka miliki terhadap bacaan.
Selain itu, penulis juga akan mengungkapkan basis nilai berdasarkan pemahaman
dan nilai yang ingin disosialisasikan. Penulis akan mengutip beberapa perkataan
anggota debus untuk melakukan hal-hal tersebut.
Muhammad Acang memiliki pemahaman bahwa semua yang ia bawa ketika
pementasan debus tidak lain untuk mengagungkan Allah. “Kalo ini mah khusus
dari al-Qur‟an, selawat, yaa mengagungkan auliya Allah, mengagungkan Allah,
para nabi.”28
Berdasasrkan hal ini penulis menyimpulkan, nilai yang ingin
disosialisasikan adalah nilai pengagungan. Jika ditelaah lebih jauh, ada kesesuaian
antara nilai yang ingin disosialisasikan dengan beberapa bacaan yang wajib dibaca
seperti bacaan takbir ال الو اال اهلل اهلل اكرب. Ini menunjukan bahwa nilai yang ingin
disosialisasikan memiliki basis keagamaan.
Selain itu, Muhammad Acang juga berkata bahwa bacaan tersebut untuk
meminta pertolongan kepada Allah. “Fungsinya untuk munajat kepada Allah
untuk meminta pertolongan kekuatan.”29
Berdasasrkan hal ini penulis
menyimpulkan, nilai yang ingin disosialisasikan adalah nilai penghambaan. Hal
ini juga memiliki basis nilai keagamaan berdasarkan salah satu bacaan yang wajib
dibaca yakni al-Fatihah ayat 5.
27
Muhammad Acang selaku syekh debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 13 April
2019 28
Muhammad Acang selaku syekh debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 13 April
2019 29
Muhammad Acang selaku syekh debus Desa Kadudodol, wawancara pribadi, 13 April
2019
73
BAB V
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian yang telah penulis lakukan, penulis menyimpulkan
beberapa poin di antaranya, pertama, Al-Qur‟an menjadi salah satu elemen dalam
bacaan-bacaan yang harus dibacakan dalam pementasan debus. Ada beberapa ayat
al-Qur‟an yang harus dibacakan dalam pementasan debus, di antaranya: surat al-
Fatihah ayat satu sampai tujuh, al-Ikhlas ayat satu sampai empat, al-Falaq ayat
satu sampai lima, al-Nas ayat satu sampai enam, al-Baqarah ayat satu samapi
lima, al-Baqarah ayat 163, dan al-Baqarah ayat 225.
Kedua, dalam prosesi penampilan debus, pembacaan al-Qur‟an ada di
beberapa sesi. Pertama dibacakan setelah pembacaan kalimat istighfar, dan
selawat nabi. Paling banyak, surat al-Fatihah dibaca ketika sesi pembacaan
tawasul, ada 21 kali pembacaan surat al-Fatihah yang masing-masingnya
dihadiahkan kepada nama-nama tertentu. Setelah pembacaan tawasul selesai,
kemudian ada beberapa ayat-ayat al-Qur‟an yang dibaca yakni al-Ikhlas ayat satu
sampai empat, al-Falaq ayat satu sampai lima, al-Nas ayat satu sampai enam, al-
Fatihah ayat satu sampai tujuh, al-Baqarah ayat satu samapi lima, al-BAqarah ayat
163, dan al-Baqarah ayat 225.
Ketiga, Al-Qur‟an dan bacaan-bacaan lainnya dimaknai oleh pemain debus
untuk bermunajat kepada Allah agar diberikan perlindungan, pertolongan, dan
juga kekuatan. Dengan membaca bacaan-bacaan tersebut, diharapkan mereka
tidak terluka akibat pementasan debus.
Keempat, dalam praktiknya, pemain debus wajib membaca semua bacaan-
bacaan yang telah ditentukan yang salah satu elemnnya adalah ayat-ayat al-
Qur‟an. Pembacaan tersebut harus sesuai urutannya seperti yang telah ditentukan.
74
Selain itu, pemain juga harus yakin dengan yang mereka baca, dan tidak boleh
sombong.
B. Saran
Penulis merekomendasikan kepada peneliti selanjutnya, agar mengkaji
beberapa pembahasan yang belum tuntas di dalam tulisan ini. Penulis
menyarankan agar penelitian selanjutnya bisa fokus kepada silsilah keilmuan
debus Banten dan juga bacaan-bacaannya.
DAFTAR PUSTAKA
Sumber Primer
-Wawancara
Wawancara dengan Muhammad Acang selaku Syaikh Debus Desa Kadudodol,
wawancara pribadi, 10 dan 15 April 2019
Wawancara dengan Dedi Safari selaku anak Ending Chaeruddin, wawancara
pribadi,13 April 2019
Wawancara dengan Erlan selaku anak Abah Enjen, wawancara pribadi, 6 April
2019
Wawancara dengan Abah Aning selaku anggota Debus Desa Kadudodol,
wawancara pribadi, 15 April 2019
Wawancara dengan Abah Enjen selaku anggota Debus Desa Kadudodol,
wawancara pribadi, 3 April 2019
Sumber Sekunder
-Buku
Abdusshomad, Muhyiddin, Tahlil Dalam Perspektif al-Qur‟an dan As-Sunnah
(Kajian Kitab Kuning), Jember: PT. Nurul Islam, 2006
75
Arifin ,Imron, Debus, Ilmu Kekebalan dan Kesaktian dalam Tarekat Rifa‟iyah,
(t.t: t.p, 1993).
al-Atsari, Abu Ihsan Bincang-bincang Seputar Tahlilan, Yasinan, dan Maulidan,
Solo: At-Tibyan, 2017
Bruinnesen, Martin Van, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan,
1999
Dahlan, Q. Shaleh, H. A. A., dkk., Asbab Nuzul: Latar Belakang Historis
Turunnya Ayat-ayat al-Qur‟an, Diponerogo: CV. Penerbit Diponerogo,
2011
Dinas Budaya dan Pariwisata Provinsi Banten, Profil Seni Budaya Tradisional
Banten, (t.t: t.p, t.t).
Endraswara, Suwardi, Metodologi Penelitian Kebudayaan, Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press, 2012
Hamka, Juz „Amma Tafsir al-Azhar, Depok: Gema Insani, 2015
Hasbillah, Ahmad „Ubaydi, Ilmu Living Qur‟an-Hadis: Ontologi, Epistemologi,
dan Aksiologi, Ciputat: Yayasan Wakaf Darus-Sunnah, 2019
Hudaeri, Mohamad, Debus: Dalam Tradisi Masyarakat Banten, Serang: FUD
Press, 2010.
Isawi, Muhammad Ahmad, Tafsir Ibnu Mas‟ud, terj. Ali Murtadho, Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009
Iskandar, Arief B., Risalah Tahlilan: Menurut Aswaja, Bogor: al-Azhar Press,
2012
Moleong, Lexy J., Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosda, 2006.
Muhsin, Masrukhin, Sejarah Pemikiran Syeikh Nawawi al-Bantani, Serang: A-
Empat, 2013
76
al-Nisaburi, Al-Wahidi, Asbabun Nuzul, terj. Moh. Syamsi, Surabaya: Amelia
Surabaya, 2014
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia, Jakrta:
Pusat Bahasa, 2008.
Shihab, M. Quraish, al-Qur‟an dan Maknanya, Tangerang: Lentera Hati, 2010
______, Tafsir al-Mishbah, Ciputat: Lentera Hati, 2007
______, Yasin, dan Tahlil, Ciputat: Lentera Hati, 2013
Shihab, Umar, Kontekstualitas al-Qur‟an, Jakarta: Penamadani, 2005.
Spradley, James P., Metode Etnografi, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1997.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2014
Sugono, Dendy, dkk., Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat Bahasa, 2008.
Syamsuddin, Sahiron, Metodologi Penelitian Living Qur‟an dan Hadis,
Yogyakarta: Teras, 2007.
Thalhah, Ali bin Abi, Tafsir Ibnu Abbas, terj. Muhyiddin Mas Rida, dkk., Jakarta:
Pustaka Azzam, 2009
Tim Ahli Tafsir, Shahih Tafsir Ibnu Katsir, terjm. Abu Ihsan al-Atsari, Jakarta:
Pustaka Ibnu Katsir, 2017
Tim Penyusun Subdin Kebudayaan Dinas Pendidikan Provinsi Banten, Profil Seni
Budaya Banten, t.k: t.p, 2003.
al-Thabari, Abu Ja‟far Muhammad bin Jarir, Tafsir Ath-Thabari, terj. Amir
Hamzah, Jakarta: Pustaka Azzam, 2009
Wahid, M. N. F. Huda, dkk, ed., al-Jumanatus Sarif al-Majmu‟us Sariful Kamil,
Bandung: CV. Penerbit Jumanatul „Ali-Art, 2007
77
al-Zuhaili, Wahbab, Tafsir al-Munir, terj. Abdul Hayyie al-Kattani, Jakarta: Gema
Insani, 2013
-Jurnal
Ahimsa-Putra, Heddy Shri, “The Living Qur‟an: Beberapa Perspektif
Antropologi”, Walisongo, vol.20, no. 1 (2012).
Ali, Muhamad, “Kajian Naskah dan Kajian Living Qur‟an dan Living Hadith”,
Journal of Qur‟an and Hadith Studies, vol.4, no. 2, (2015),
Atabik, Ahmad, “The Living Qur‟an: Potret Budaya Tahfiz al-Qur‟an di
Nusantara”, Jurnal Penelitian, Vol. 8, No. 1, (2014).
Faizi, Hamam, “Mencium dan Nyunggi al-Qur‟an: Upaya Pengembangan Kajian
al-Qur‟an melalui living qur‟an”, Suhuf, vol. 4, no. 1, (2011).
Fauziah, Siti, “Pembacaan al-Qur‟an Surat-surat Pilihan di Pondok Pesantren
Putri Daar al-Furqon Janggalan Kudus (Studi Living Qur‟an)”, Jurnal
Studi Ilmu-ilmu al-Qur‟an dan Hadis, vol. 15, no. 1, (2014).
Hakiki, Kiki Muhamad, “Debus Banten: Pergeseran Otentitas danNegosiasi
Islam-Budaya Lokal”, Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran
Islam, vol.7, no. 1, (2013),
Hudaeri, Moh, “Debus di Banten: Pertautan Tarekat dengan Budaya Lokal”, al
Qalam, Vol. 33, No. 1, (2016)
Huriyudi, “Ekspresi Seni Budaya Islam di Tengah Kemajemukan Masyarakat
Banten”, Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 1, (2014)
Irfani, Fahmi, “Islam dan Akulturasi Budaya di Banten: Kyai, Jawara, Debus”,
Jurnal Hikamuna, Edisi 1, vol. 1, No. 1, (2016),
Junaedi, Didi, “Living Qur‟an: Sebuah Pendekatan Baru dalam Kajian al-Qur‟an
(Studi Kasus di Pondok Pesantren as-Siroj al-Hasan Desa Kalimukti
78
Kec. Pabedilan Kab. Cirebon”, Journal of Qur‟an and Hadith Studies,
Vol. 4, No. 2, (2015):
Masruroh, Umi, “Tradisi Rebo Wekasan dalam Kajian Living Qur‟an di Desa
Pakuncen Kecamatan Selomerto Kabupaten Wonosobo”, Qaf, vol. 1,
no. 2, (2017).
Muhtador, Moh., “Pemaknaan Ayat al-Qur‟an dalam Mujahadah”, Jurnal
Penelitian, vol. 8, no. 1, (2014).
Mujahidin, Anwar, “Analisis Simbolik Penggunaan Ayat-ayat al-Qur‟an sebagai
Jimat dalam Kehidupan Masyarakat Ponorogo”, Kalam: Jurnal Studi
Agama dan Pemikiran Islam, vol. 10, no. 1, (2016)
Mun‟im, A. Rafiq Zainul, “Tafsir Realis Terhadap Makna dan Simbol al-Qur‟an
bagi Masyarakat Kabupaten Probolinggo”, Madania, Vol. 21, No. 2,
(2017)
Nasution, Isman Pratama, “Debus Walantaka: Fenomena Budaya Banten”,
Antropologi Indonesia, vol. 21, no. 53, (1997),
S, Euis Thresnawaty, “Kesenian Debus di Kabupaten Serang”, Jurnal Patanjala,
vol.4, no. 1, (2012).
Said, Hasani Ahmad, “Islam dan Budaya di Banten: Menelisik Tradisi Debus dan
Maulid”, Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam, vol.10, no.
1, (2016).
-Skripsi dan Disertasi
Firman, Andi, “Pemahaman Umat Islam Terhadap Surah Yasin: Studi Living
Qur‟an di Desa Nyiur Permai Kab. Tembilahan, Riau”, (Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta, 2016).
79
Mulyadi, Yadi, “al-Qur‟an dan Jimat”, (Tesis S2 Fakultas Ushuluddin, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2017).
Muzakki, Makmun, “Tarekat dan Debus Rifa‟iyah”, (Skripsi S1 Fakultas Sastra,
Universitas Indonesia, 1990)
Nasir, Muhammad Fauzan, “Pembacaan Tujuh Surat Pilihan al-Qur‟an dalam
Tradisi Mitoni: Kajian Living al-Qur‟an di Dusun Sumberjo, Desa
Troso, Kecamatan Karanganom, Kabupaten Klaten”, (Skripsi S1
Fakultas Ushuluddin, IAIN Surakarta, 2016).
Nugraha, Eva, “Diseminasi, Komodifikasi, dan Sakralitas Kitab Suci: Studi Kasus
Usaha Penerbitan Mushaf al-Qur‟an di Indonesia Kontemporer”,
(Disertasi S3 Sekolah Pasca Sarjana, Universitas Islam Negeri Syarif
Hiday.
Sulastri, Iis, “Nilai-nilai Islam dalam Seni Tradisional Debus di Menes
Pandeglang Banten”, (Skripsi S1 Fakultas Dakwah dan Ilmu
Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,
2014).
Susilawati, Yanti, “Analisa Pengaruh Tarekat Rifa‟iyah Terhadap Keagamaan di
Banten Abad Ke-19”, (Skripsi S1 Fakultas Adab dan Humaniora,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2015).
80
LAMPIRAN-LAMPIRAN
Gambar 1: Wawancara dengan Abah Enjen selaku anggota debus Desa Kadudodol
Gambar 2: Wawancara pribadi dengan Muhammad Acang selaku syekh debus Desa
Kadudodol
Gambar 3: Wawancara dengan Dedi Safari selaku anggota debus Desa Kadudodol
Gambar 4: Wawancara pribadi dengan Mohamad Hudaeri selaku peneliti debus dan penulis
buku Debus dalam Tradisi Masyarakat Banten
Gambar 5: Muhammad Acang, Dedi Safari, dan Abah Aning yang berada di depan musala
at-Taubah, Desa Kadudodol.
Gambar 6: Dokumentasi Pribadi Muhammad Acang ketika pentas di salah satu acara
Kebupaten Pandeglang.
Gambar 7: Peralatan debus Desa Kadudodol yang terdiri dari rabana, sulthon, dan palu kayu.
Gambar 8: Pementasan debus Desa Kadudodol pada tanggal 6 April 2019.