syok dan kehamilan

30
SYOK DAN KEHAMILAN LATAR BELAKANG Syok adalah suatu keadaan yang membahayakan perfusi jaringan yang dapat menyebabkan hipoksia sel. Syok disebut sebagai suatu sindrom yang diawali oleh hipoperfusi akut yang nantinya akan mengarah ke hipoksia jaringan dan disfungsi organ vital. Syok merupakan suatu kelainan sistemik yang mempengaruhi banyak system organ. Perfusi dapat turun secara menyeluruh maupun secara perlahan, seperti pada syok septic. Sewaktu syok, perfusi jaringan tidak dapat mencukupi kebutuhan metabolisme yang akhirnya terjadilah hipoksia sel dan kerusakan organ. Pengobatan syok pada kehamilan dibedakan dalam 2 hal penting daripada pengobatan syok pada pasien yang tidak hamil. Pertama, perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi pada sebagian besar system organ sewaktu kehamilan. Kedua, pada kehamilan melibatkan 2 pasien, ibu dan janin. Oleh karena itu diperlukan suatu penanganan obstetric yang kritis termasuk penilaian secara simultan dan manajemen yang baik untuk kedua pasien dimana masing-masing pasien memiliki keadaan fisiologis yang berbeda. FISIOLOGI KARDIVASKULAR PADA KEHAMILAN NORMAL

Upload: rifwanul-basir-nst

Post on 11-Aug-2015

41 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

obgyn

TRANSCRIPT

SYOK DAN KEHAMILAN

LATAR BELAKANG

Syok adalah suatu keadaan yang membahayakan perfusi jaringan yang dapat

menyebabkan hipoksia sel. Syok disebut sebagai suatu sindrom yang diawali oleh

hipoperfusi akut yang nantinya akan mengarah ke hipoksia jaringan dan disfungsi organ

vital. Syok merupakan suatu kelainan sistemik yang mempengaruhi banyak system organ.

Perfusi dapat turun secara menyeluruh maupun secara perlahan, seperti pada syok septic.

Sewaktu syok, perfusi jaringan tidak dapat mencukupi kebutuhan metabolisme

yang akhirnya terjadilah hipoksia sel dan kerusakan organ.

Pengobatan syok pada kehamilan dibedakan dalam 2 hal penting daripada

pengobatan syok pada pasien yang tidak hamil. Pertama, perubahan-perubahan fisiologis

yang terjadi pada sebagian besar system organ sewaktu kehamilan. Kedua, pada

kehamilan melibatkan 2 pasien, ibu dan janin. Oleh karena itu diperlukan suatu

penanganan obstetric yang kritis termasuk penilaian secara simultan dan manajemen yang

baik untuk kedua pasien dimana masing-masing pasien memiliki keadaan fisiologis yang

berbeda.

FISIOLOGI KARDIVASKULAR PADA KEHAMILAN NORMAL

Pada kehamilan terjadi perubahan yang signifikan pada system kardiovaskular,

seperti perubahan pada blood volume, heart rate, stroke volume, cardiac output, dan

tahanan vascular sistemik. Memahami perubahan-perubahan fisiologi pada kehamilan

sangat penting untuk mengawasi dan menangani apabila terjadi sesuatu kelainan pada

wanita hamil.

Volume Darah

Volume darah maternal meningkat dari 25 – 52 % pada akhir kehamilan

(Lund,1967). Volume plasma meningkat 45 – 50 %, dibandingkan dengan peningkatan

20 % pada sel darah merah. Ketidakseimbangan ini menyebabkan hemodilusi atau

anemia pada kehamilan, yang puncaknya terjadi pada umur kehamilan 32 minggu.

Peningkatan esterogen dan progesterone meningkatkan level aldosteron plasma

dan aktivitas renin, hal ini menimbulkan retensi natrium dan meningkatkan jumlah cairan

tubuh, hipervolemia pada kehamilan. Selama kehamilan, volume darah meningkat 1 –

1,5L, jumlah level natrium meningkat menjadi 950 mEq/L, dan jumlah total cairan tubuh

adalah 6 – 8 L dimana 4 L merupakan cairan ekstraseluler. Peningkatan volume darah

dan cairan ekstraseluler dibutuhkan untuk mengoptimalkan sirkulasi uteroplasenta.

Tekanan Darah

Tekanan darah baik systole maupun diastole mengalami penurunan sampai

pertengahan kehamilan, hal ini berangsur-angsur akan kembali seperti nilai wanita yang

tidak hamil pada akhir kehamilan (MacGillivray, 1969). Penurunan tekanan darah terjadi

karena menurunnya tahanan vascular. Pada kehamilan, penilaian tekanan darah

berhubungan dengan usia kehamilan. Ukuran tekanan darah 130/80 mmHg adalah normal

untuk orang biasa, tapi hal ini adalah keadaan yang abnormal pada saat usia kehamilan 28

minggu, dimana seharusnya pada usia tersebut tekanan darah sekitar 110/60 mmHg.

Tekanan pembuluh vena pada tungkai meningkat secara progresif selama kehamilan, ini

dikarenakan kompresi pada vena pelvic dan vena cava inferior oleh uterus. Peningkatan

tekanan vena femoralis akan kembali normal setelah melahirkan. Tekanan arteri

brachialis tidak dapat menunjukkan tekanan dari arteri uterine karena tekanan arteri

uterine dapat sangat rendah, sementara tekanan darah di lengan normal.

Frekuensi Jantung

Frekuensi jantung ibu meningkat pada usia kehamilan 12 minggu; hal ini dicapai

dan menetap pada 120 % dari garis dasar pada kehamilan 32 minggu. (Wilson,1980).

Takikardi pada maternal terjadi karena adaptasi jantung terhadap banyaknya volume

darah dan peningkatan level serum tiroksin bebas.

Curah Jantung dan Isi sekuncup

Curah jantung ibu meningkat 30 – 50% selama kehamilan (Lees and Taylor, et al,

1967). Peningkatan ini terjadi pada kehamilan 10 minggu dan memuncak pada akhir

trimester kedua. Peningkatan curah jantung sewaktu kehamilan disebabkan karena

kenaikan frekuensi jantung dan isi sekuncup (stroke volume). Pada pertengahan pertama

kehamilan, stroke volume meningkat karena adanya sirkulasi uteroplasenta. Pada akhir

kehamilan, curah jantung ditingkatkan oleh frekuensi jantung (takikardi) (Katz, 1978).

Hipotesis alternative bagi peningkatan stroke volume; kurva volume tekanan ventrikel

mungkin bergeser ke kanan dikarenakan oleh dilatasi jantung secara hormonal, hal ini

meningkatkan pengisian diastolic.

Resistensi Vaskular Sistemik

Resistensi vascular sistemik menurun dan mencapai titik terendah pada usia

kehamilan 24 minggu. Dua faktor penting dalam penurunan resistensi vascular sistemik

adalah dilatasi dari pembuluh darah perifer dan keberadaan sirkulasi plasenta.

Pembuluh plasenta memiliki resistensi yang rendah dengan curah jantung maternal yang

besar. Ukuran dan jumlah dari vena uterine meningkat selama kehamilan, dan resistensi

vascular uterine menurun salama kehamilan.

Efek dari Sikap Tubuh Ibu terhadap Hemodinamik

Aliran darah uterine meningkat dari 50 ml/menit sebelum hamil menjadi 500

ml/menit saat akhir kehamilan; hal ini mewakili perubahan dari curah jantung dari 2 %

(normal) menjadi 18 % sewaktu trimester III (Bieniarz, 1966 and 1968). Hipotensi dan

sinkop dapat terjadi bila ibu berdiri secara tiba-tiba dari posisi duduk atau pun tidur.

Seorang wanita hamil yang tidur dalam posisi supinasi dapat mengalami pusing, muka

pucat, takikardi, berkeringat, mual dan hipotensi. Uterus seseorang yang hamil besar akan

menekan aorta decendent dan vena cava inferior. Hal ini menimbulkan terkumpulnya

darah di tungkai, penurunan jumlah aliran darah ke jantung, penurunan curah jantung dan

hipotensi. Membuat posisi ibu miring ke sisi secara cepat dapat mengembalikan darah

yang terkumpul kembali ke dalam sirkulasi.

Hemodinamik Intrapartum

Respon kardiovaskular maternal dapat berubah dengan kontraksi uterus, rasa

sakit, persalinan, analgesi, pembedahan dan kehilangan darah peripartum. Curah jantung

meningkat pada beberapa fase pada persalinan. Kontraksi uterus menambah jumlah curah

jantung. Masuknya darah kembali ke dalam sirkulasi ibu meningkatkan aliran vena dan

juga stroke volume (isi sekuncup). Besarnya peningkatan curah jantung sewaktu

kontraksi berkurang 11 % pada persalinan dengan analgesi epidural (Lee, 1989). Konsep

ini penting untuk pasien dengan penyakit jantung yang tidak dapat mentoleransi fluktuasi

hemodinamik sewaktu persalinan..

Kehilangan darah pada persalinan pervagina sekitar 500 ml dan pada sectio

Caesar 1000 ml (Pritchard, 1965).

Diuresis postpartum meningkat antara hari ke 2 dan ke 5 setelah melahirkan, hal

ini menyebabkan penurunan berat badan sebanyak 3 kg pada minggu pertama.

FISIOLOGI PERNAPASAN

Perubahan Anatomi

Perubahan hormone pada kehamilan berpengaruh terhadap saluran napas atas dan

mukosa jalan napas. Hal itu dapat menyebabkan hiperemi, edema mukosa, hipersekresi,

dan meningkatkan friabilitas mukosa. Esterogen kemungkinan menjadi penyebab dari

edema jaringan, kongesti kapiler, dan hyperplasia kelenjar mukosa.

Pembesaran uterus dan efek hormonal menyebabkan perubahan anatomi dari

rongga thorak. Pembesaran uterus menyebabkan difragma terangkat ke atas sejauh 4 cm;

bertambahnya diameter anteroposterior dan diameter transversal dari thorak menjadikan

bentuk dinding dada bulat. Fungsi diafragma tetap normal.

Fungsi Paru

Perubahan anatomi pada thorak menyebabkan penurunan yang progresif

functional residual capacity (FRC), dimana berkurang sekitar 10 - 20% pada akhir

kehamilan. Volume residu dapat menurun perlahan selama kehamilan, tapi hal ini tdk

bersifat tetap. Penurunan volume cadangan ekspirasi adalah perubahan yang pasti.

Kapasitas vital tidak mengalami perubahan, dan kapasitas total paru menurun sangat

minimal. Perubahan hormonal tidak berpengaruh signifikan terhadap jalan napas.

Ventilasi

Ventilasi per menit meningkat secara signifikan, berawal pada trimester I dan

mencapai 20 – 40% diatas normal pada akhir kehamilan. Ventilasi alveolar meningkat 50

-70 %. Peningkatan ventilasi terjadi karena meningkatnya produksi karbondioksida dan

peningkatan respirasi disebabkan oleh peningkatan progesterone serum. Volume tidal

meningkat 30 – 35 %. Frekuensi pernapasan relative tetap konstan dan meningkat sedikit.

Gas Darah Arteri

Hiperventilasi fisiologis menyebabkan alkalosis respiratory dengan kompensasi

ekskresi bikarbonat oleh ginjal. Tekanan CO2 arteri mencapai 28 – 32 mmHg, dan

bikarbonat diturunkan menjadi 18 – 21 mmol/L untuk menjaga pH darah arteri antara

7,40 – 7,47. Hipoksemia ringan dapat terjadi pada posisi supinasi. Konsumsi oksigen

meningkat pada awal trimester I dan meningkat 20 – 30 % pada akhir kehamilan karena

kebutuhan janin dan penigkatan proses metabolisme ibu.

Pada fase aktif, hiperventilasi dan takipnea disebabkan oleh karena nyeri dan

kecemasan kemungkinan disebabkan oleh hipokapnia & alkalosis respiratory. Hal ini

merugikan oksigenasi janin dengan jalan menurunkan aliran darah uteri. Pada beberapa

pasien, nyeri yang sangat dan kecemasan dapat menimbulkan terjadinya pernapasan cepat

dan dangkal dengan hipoventilasi alveolar, atelektasis dan hipoksemia ringan.

FISIOLOGI UTEROPLACENTA DAN JANIN

Pemahaman dasar dari fisiologi janin dibutuhkan untuk dapat merawat pasien

hamil. Suplai oksigen janin tergantung pada kadar oksigen arteri ibu & aliran darah uteri.

Aliran darah uteri meningkat selama kehamilan dari 2 % curah jantung pada pasien yang

tidak hamil sampai 18 % curah jantung pada pasien hamil trimester III. Karenanya faktor-

faktor yang mempengaruhi baik kadar O2 arteria atau aliran darah uteri juga

mempengaruhi oksigenasi janin. Faktor-faktor itu adalah hipotensi, vasokonstriksi

plasenta dan kontraksi uterus. Penyebab hipovolemia termasuk posisi supinasi, sepsis dan

pengaruh obat-obatan.

Vasokonstriksi arteri-arteri uterus terjadi pada preeklampsia atau obat

vasokonstriktor, dan aliran darah janin dapat menurun sebanyak 20 % dengan

vasokonstriksi. Pa O2 vena umbilicus adalah 35 – 40 mmHg karena tercampu dengan

darah deoxygenated dalam vena cava inferior janin. Level Pa O2 ini cukup untuk

mensaturasi hemoglobin fetal menjadi 80 – 85 % karena berada di sebelah kiri kurva

disosiasi. Konsumsi oksigen janin adalah 20 ml/menit.

Janin mempunyai kemampuan untuk bertahan lebih lama dengan pendistribusian

aliran darah ke organ-organ vital. Penurunan 50 % aliran darah uteri masih dapat di

toleransi untuk beberapa saat, tetapi penurunan lebih lanjut menyebabkan metabolisme

anaerob, kerusakan otak & kematian janin (Lapinsky, 1995).

Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Aliran Oksigen Janin

Penyaluran oksigen ke jaringan janin terdiri dari beberapa tahapan; aliran oksigen

dari ibu ke plasenta, plasenta transfer, dan pengiriman dari plasenta ke jaringan janin.

Faktor utama yang mempengaruhi aliran oksigen ke plasenta adalah:

Kadar oksigen dari darah uteri, yang dipengaruhi oleh Pa O2 maternal.

Konsentrasi hemoglobin ibu dan saturasi.

Aliran darah uteri yang dipengaruhi oleh curah jantung maternal.

Jadi, penurunan PaO2 pada ibu dapat diimbangi sedikit dengan penambahan

konsentrasi Hb atau curah jantung. Kombinasi dari hipoksemia ibu dan penurunan curah

jantung berefek sangat buruk bagi oksigenasi janin.

Variasi dari pH ibu juga mempengaruhi oksigenasi; alkalosis menyebabkan

vasokonstriksi dari arteri uterine, menyebabkan penurunan aliran oksigen janin.

Interaksi antara sirkulasi ibu dan janin di dalam plasenta diikuti mekanisme

pertukaran secara bersamaan. PaO2 vena umbilikalis janin sekitar 32 mmHg, jauh lebih

rendah dari PaO2 vena uterine. Meskipun demikian, kadar oksigen janin sebenarnya

hampir sama dengan kadar oksigen ibu. Faktor lain dari plasenta yang mempengaruhi

oksigenasi janin adalah jumlah dari shunt intraplasenta, tingkat kesesuaian dari aliran

darah ibu dan janin, dan adanya kelainan dalam plasenta seperti infark plasenta. Darah

arteri dari janin memiliki PaO2 lebih rendah dari darah vena umbilical. Hal ini sedikit

dikompensasi dengan tingginya curah jantung janin relative terhadap konsumsi oksigen,

hal ini dapat memelihara aliran oksigen ke jaringan. Sedikit perubahan pada PaO2 ibu

dapat menyebabkan perubahan yang signifikan pada kadar oksigen janin (Lapinsky,

1995).

Monitoring Janin

Monitoring janin ditampilkan lewat continuous electronic fetal heart rate ( FHR),

monitoring dilakukan untuk mengidentifikasi adanya perubahan pada fisiologi janin.

Garis normal dari FHR adalah antara 120 – 160 detak /menit. Walaupun takikardi janin

mungkin penemuan yang nonspesifik, bradikardi janin mengindikasikan hipoksia sebagai

akibat dari uteroplacental insuficiensi. Hilangnya detak jantung antara detak yang satu

dengan yang berikutnya mungkin mengindikasikan adanya asfiksia & anemia janin.

Ketika penurunan awal dari FHR tidak berbahaya, penurunan lanjut, khususnya ketika

timbul kembali, hal ini dapat diwaspadai sebagai hipoksia janin.

Keabnormalan dari pola FHR dapat dievaluasi dengan riwayat biofisika janin.

Riwayat biofisika janin terdiri dari pergerakan janin dari ultrasonografi, pergerakan

pernapasan janin, pergerakan ekstremitas, volume cairan amnion dan reaktif pada

nonstress testing. Asam-basa janin diukur dari sampel darah kepala yang digunakan pada

persalinan untuk menilai keadaan fisiologi janin. Bila pH kurang dari 7,20

mengindiikasikan hipoksia janin, sedangkan pH lebih dari 7,25 memprediksi kelahiran

yang baik. Monitoring pH janin dapat dilakukan ketika selaput ketuban sudah pecah.

Saturasi oksigen janin adalah teknologi monitoring janin intrapartum yang baru,

yang diharapkan dapat memberikan penilaian keadaan janin secara komplit & lebih

akurat. Teknik ini secara langsung & objektif menilai status oksigen janin selama proses

persalinan dan kelahiran.

MONITORING PERAWATAN KRITIS & PERTOLONGAN TERHADAP IBU

HAMIL

Pasien yang sedan hamil membutuhkan perawatan yang intensif. Ibu hamil yang

sedang sakit dan syok membutuhkan penanganan khusus karena pasien ini memiliki

fisiologi yang berbeda.

Intubasi dan Ventilasi Mekanik

Selama kehamilan, nasofaring, orofaring dan mukosa traktus respiratorius

membengkak. Karenanya, intubasi dan suctioning dapat menimbulkan luka pada mukosa

dan juga perdarahan. Endotracheal intubasi dilakukan secepat mungkin karena pasien

yang sedang hamil memiliki cadangan oksigen lebih rendah, hal ini karena menurunnya

kapasitas residu. Berikan ventilasi pada pasien hamil untuk menjaga PaCO2 nya pada

ukuran 30 mmHg, ukuran normal sewaktu kehamilan. Hindari terjadinya alkalosi

respiratorius karena hal ini dapat menurunkan aliran darah uteri dan akhirnya punurunan

oksigenasi janin.

Resusitasi Cardiopulmonal

Dalam situasi henti jantung, posisikan pasien miring ke kiri untuk menghindari

hipotensi supinasi. Hal ini dapat dilakukan dengan menempatkan bantal dibawah

pinggang kanan pasien. Advanced cardiac life support (ACLF) dilakukan sesuai dengan

prosedur standart. Hal yang menimbulkan cardiac arrest pada kehamilan antara lain :

emboli cairan amnion, emboli paru, cardiomyopathy, komplikasi anestesi, infark

myocard dan overdosis magnesium.

Monitoring Hemodinamik

Pasien hamil yang sakit kritis dan dalam keadaan syok mungkin memerlukan

pemasangan kateter arteri pulmonary. Indikasi kateter pulmonary adalah preeklampsia

berat dengan oliguria, edema pulmonal, penyakit jantung yang parah, acute respiratory

distress syndrome (ARDS), syok septic, emboli cairan amnion. Pada kehamilan normal,

curah jantung meningkat sebanyak 30 – 50 % dibandingkan keadaan yang tidak hamil,

tetapi tekanan pengisian jantung tidak berubah.

Terapi Obat

Untuk sedasi, biasanya digunakan meperidine dan fentanyl; pengalaman

penggunaan propofol sangat terbatas. Benzodiazepine dapat digunakan, namun obat ini

dapat menyebabkan depresi napas pada janin.

Pasien yang sakit cukup parah dan dalam keadaan syok membutuhkan obat-

obatan vasoaktif. Kurangnya data pada manusia menyebabkan kesulitan dalam

menentukan efektivitas obat-obatan ini pada kehamilan dan persalinan. Data percobaan

pada hewan menunjukan bahwa dobutamin, norepinefrin, dan epinefrin mengakibatkan

pengaruh buruk pada aliran darah uterine. Dopamin & efedrin dapat meningkatkan

tekanan darah ibu dan aliran darah uterine. Alfa-adrenergic yang murni seperti

phenylephrine & norepinefrin menyebabkan vasokonstriksi arteri uterine sehingga sebisa

mungkin dihindari penggunaanya. Efedrin, yang mana bekerja pada reseptor beta-2 &

alfa-1 agonis diketahui dapat meningkatkan aliran darah uteri dan tekanan darah ibu.

Efedrin adalah obat vasoaktif pilihan utama untuk mengatasi hipotensi pada pasien hamil.

SYOK HEMORRHAGIA

Enam sampai tujuh persen dari semua penyebab kematian pada kehamilan

disebabkan oleh trauma yang menyebabkan perdarahan. Penyebab trauma antara lain:

kecelakaan, terjatuh atau pun luka penetrasi. Di United States, perdarahan obstetric

merupakan 13,4 % dari seluruh penyebab kematian pada ibu. (Kaunitz, 1985)

Perdarahan antepartum dapat terjadi karena adanya masalah pada plasenta dan

juga rupture uteri baik spontan mau pun karena trauma.

Placenta previa adalah placenta yang berimplantasi pada segmen bawah rahim,

dengan tanda klasiknya; perdarahan pervagina tanpa nyeri dan uterus yang tegang.

Gangguan pada plasenta dapat terjadi pada plasenta yang implantasinya normal,

manifestasinya berupa nyeri pada uterus dan perdarahan. Nyeri pada uterus dirasakan

diantara kontraksi, dan uterus terasa lembut.

Gejala & tanda dari rupture uteri antara lain perdarahan pervagina, nyeri perut

bagian bawah. Ruptur uteri sering terjadi karena induksi dengan oksitosin atau

prostaglandin dosis tinggi. Pada perabaan fundus uteri terasa lembut. Kebanyakan

perdarahan pada obstetric terjadi postpartum dan biasanya disebabkan karena atonia uteri

dan laserasi servik atau pun vagina. Perdarahan antepartum jarang terjadi.

Perdarahan postpartum diperburuk dengan trombositopenia, koagulopathy yang

disebabkan oleh emboli cairan amnion atau sepsis. Banyaknya darah yang hilang pada

persalinan pervagina ±500 ml, sedankan pada sectio Caesar 1000 ml, hal ini masih dapat

ditoleransi oleh tubuh. Kehilangan darah yang cukup banyak dapat menyebabkan syok

hipovolemik; bila terjadi pada antepartum hal ini dapat mengurangi alirah darah

uteroplacenta & menyebabkan fetal distress.

Manajemen Syok Hemorragia

Syok hemorrhagia membutuhkan penanganan resusitasi yang cepat. Seperti,

pemberian oksigen, pasang infuse 2 jalur, dan pemeriksaan darah seperti golongan darah

lalu di crossmatch untuk keperluan tranfusi PRC. Pada keadaan emergency, darah yang

tipe nya sama, tidak harus di crossmatch. Segera sewaktu pasien dalam keadaan stabil,

dilakukan USG abdomen untuk mencari penyebab perdarahan uteri. Pasien yang

diberikan pengganti cairan dalam jumlah banyak dapat menyebabkan koagulopathy yang

harus diatasi dengan produk darah yang sesuai. Monitoring janin dilakukan dengan

menggunakan fetal heart rate monitoring untuk mendeteksi fetal distress atau pun fetal

hipoksia, hasil dari pemeriksaan tersebut dapat mengarahkan kita dalam memilih metode

terbaik untuk persalinan.

Pada perdarahan postpartum, atonia uteri dapat diatasi dengan massage pada

uterus, methylergonovin 0,2 mg IM dan oksitosin infuse. Oksitosin adalah first-line drug

dan ini biasanya diberikan secara drip infuse (20-40 U/L), karena jika di bolus dapat

menyebabkan vasodilatasi perifer, takikardi, dan hipotensi. Langkah selanjutnya adalah

pemberian prostaglandin, prostaglandin meningkatkan kalsium bebas intraseluler

miometrium. Hemabate ( 15-metil prostaglandin F2 alpha) dengan dosis 250 mcg IM

setiap 15 – 30 menit (jangan melebihi 2 mg) biasa diberikan. Efek sampingnya

bronkospasme, ketidakseimbangan ventilasi-perfusi dan hipoksemia. Ergonovin dan

methylergonovin adalah alkaloid ergot yang menyebabkan kontraksi uterus tetanik

dengan cepat & biasa digunakan untuk memperbaiki atonia uteri. Dosisnya 0,2 mg IM.

Obat-obatan ini dapat menyebabkan masalah kardiovaskular yang serius seperti

hipertensi, vasokonstriksi & meningkatkan tekanan arteri pulmonal.

Apabila penggunaan obat-obatan gagal, terapi embolisasi pada arteri iliaca interna

atau arteri uterine dapat dilakukan untuk mengontrol perdarahan karena obstetric. Untuk

mengurangi kehilangan darah dapat dilakukan laparatomi eksplorasi dengan cara

memperbaiki laserasi dan ligasi arteri ataupun histerektomi sebagai tindakan life-saving.

Transcatheter arterial embolization merupakan metode yang dikenal untuk

mengatasi perdarahn dan telah sukses dalam mengatasi perdarahan postpartum. Beberapa

keuntungan dari embolisasi arteri uterine adalah; mempermudah mengidentifikasi daerah

perdarahan, memelihara keadaan uterus & fertilitas, dan menurunkan perdarahan kembali

dari pembuluh kolateral. Dari 138 kasus perdarahan postpartum yang diatasi dengan

embolisasi arteri didapatkan 94,9% berhasil dan 8,7% mengalami komplikasi.

Komplikasi yang paling sering adalah demam ringan, komplikasi lainnya infeksi pelvis,

hematom pada paha, perforasi arteri iliaca, iskemia sementara pada bokong & kaki,

gangrene vesica urinaria.

SYOK SEPTIK

Syok septic dapat terjadi sewaktu kehamilan karena infeksi yang disebakan oleh

bakteri Gram positif, virus & jamur. Bakteri Gram negative seperti E.coli, Klebsiella sp,

Pseudomonas aeruginosa dan Serratia sp banyak menyebabkan syok septic.

Mikroorganisme menghasilkan endotoksin yang mengaktifkan system komplemen dan

sitokin, hal ini memicu respon peradangan. Mediator-mediator dari sepsis adalah

penyebab terjadinya vasodilatasi, penurunan tahanan perifer pembuluh darah dan

hipotensi. Lebih jauh lagi, hal ini dapat menyebabkan berkurangnya disribusi aliran

darah, perfusi yang tidak adekuat pada beberapa organ, kerusakan sel, kerusakan banyak

organ dan akhirnya kematian.

Mediator-nmediator dari proses radang menyebabkan peningkatan permeabilitas

kapiler yang menyebabkan kebocoran cairan intravascular ke luar, lebih spesifik lagi ke

parenkim paru, dan hal ini dapat menyebabkan edema paru. Sewaktu sepsis, kerusakan

pada pneumocytes tipe II mengurangi produksi surfaktan, hal ini dapat menimbulkan

kolapsnya alveolar, penurunan compliance paru, dan hipoksemia berat. Kumpulan gejala

klinik dan fisiologi ini disebut ARDS.

Beberapa penyebab syok septic adalah aborsi septic, infeksi postpartum dan

khorioamnion, pyelonefritis dan infeksi traktus respiratorius. Walau pun syok septic

dikenal sebagai salah satu penyebab utama kematian pada pasien obstetric, namaun masih

lebih rendah insidensi kematiannya jika dibandingkan dengan kasus syok septic pada

pasien non obstetric ( 0,3 % pada pasien obstetric VS 10 – 80 % pada pasien non

obstetric). Ketuban pecah dalam waktu yang lama, tertinggalnya hasil konsepsi, peralatan

yang berhubungan dengan traktus genitourinaria adalah faktor-faktor resiko yang

signifikan sebagai penyebab sepsis.

Pasien dengan syok septik memperlihatkan adanya demam, menggigil,

hipotensi, gangguan mental, takikardia, takipnea dan kulit yang memerah. Bila keadaan

memburuk dapat timbul kulit yang dingin, bradikardi dan sianosis.

Pengobatan mifepristone intravagina pada pengobatan aborsi telah memberikan

hasil yang baik dalam mengatasi fulminant dan syok septic lethal karena Clostridium

sordellii. Dengan memblok reseptor progesterone dan glukokortikoid, mifepristone

melepaskan kortisol dan sitokin Gagalnya pelepasan kortisol dan sitokin menyebabkan

penurunan mekanisme pertahanan tubuh yang mana hal itu sangat diperlukan untuk

mencegah penyebaran infeksi C. sordellii di endometrium.

Penatalaksanaan

Syok septic memrlukan resusitasi segera, identifikasi penyebab dasar, dan

pengobatan dengan antibiotic. Kultur sputum, darah, urin dilakukan sebelum pemberian

antibiotic. Pemberian antibiotic intravena dilakukan untuk mengatasi bakteri Gram positif

dan Gram negative. Selanjutnya terapi antibiotic disesuaikan dengan respin pasien

terhadap antibiotika yang diberikan dan hasil dari kultur dan sensitivitas test. Kombinasi

obat yang sering dipakai adalah penisilin, aminoglikosida dan klindamicin atau

metronidazole. Kombinasi alternative adalah cephalosporin generasi kedua atau ketiga

dengan metronidazole. Piperacilin – tazobactam adalah kombinasi lain yang dapat

dipakai untuk sepsis yang bersumber dari intraabdominal.

Pada syok septic, diperlukan pemeliharaan oksigenasi jaringan yang adekuat,

tekanan arteri rata-rata yang optimal, volume darah sirkulasi, curah jantung,dan saturasi

oksihemoglobin yang cukup. Pasien dengan respiratory distress atau hipoksemia berat

memerlukan intubasi dan ventilasi mekanik. Karena pasien dengan syok septic sering

jatuh ke ARDS, tujuan dari ventilasi mekanik adalah menggunakan volume tidal yang

rendah dan tekanan ekspirasi postif. Hal ini dapat membuat paru lebih compliance dan

memperbaiki oksigenasi.

Pasien dengan syok septic memerlukan bantuan hemodinamik dengan perbaikan

volume sirkulasi yang adekuat, dengan cara pemberian obat-obatan vasoaktif. Pasien ini

memerlukan resusitasi yang segera dengan kristaloid dan koloid untuk menjaga volume

intravascular sebelum pemberian terapi dengan vasopressor. Walau pun dopamine telah

digunakan pada pasien dengan syok septic, namun norepinefrin mehasilkan tekanan

perfusi dan hemodinamik yang lebih baik dan membantu memperbaiki aliran oksigen ke

organ-organ yang mengalami hipoperfusi. Hal ini dapat dicapai dengan mengurangi

aliran darah uterine. Efedrin yang merupakan alfa & beta agonis adalah vasopressor

pilihan bagi pasien dengan hipotensi akut sewaktu kehamilan.

Ringkasnya, prinsip penanganan syok septic, sama seperti penanganan syok septic

pada kasus lain, antara lain:

1. Pengenalan atau identifikasi yang cepat

2. Terapi antibiotika yang adekuat

3. Kontrol sumber infeksi

4. Resusitasi hemodinamik

5. Kortikosteroid

6. Drotrecogin alfa

7. Kontrol gula darah

8. Manajemen ventilator yang tepat dengan volume tidal yang rendah pada ARDS

PENYEBAB LAIN SYOK PADA KEHAMILAN

Syok Kardiogenik

Kemungkinan syok kardiogenik harus diwaspadai selama kehamilan. Penyebab

paling sering dari syok kardiogenik adalah beberapa penyakit kelainan katup. Dalam syok

kardiogenik, ventrikel kiri tidak mampu untuk memompa darah dalam jumlah yang

cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolic jaringan. Sebagai respon kompensasi awal

adalah terjadinya takikardia, tetapi pada akhirnya akan terjadi hipervolemia, kongesti

vena pulmonalis dan edema generalisata. Tidak adekuatnya pemenuhan kebutuhan

oksigen dapat memulai terjadinya kerusakan sel, kegagalan organ-organ lain, takipnea,

timbulnya bunyi jantung III, murumur sistolik atau diastolic dan edema generalisata.

Kardimiopati peripartum adalah suatu kelainan idiopatik yang banyak terjadi

selama bulan terakhir kehamilan dan lebih dari 6 bulan postpartum. Angka kejadian

terhadap penyakit ini adalah 1 kasus dalam 1500 – 4000 kelahiran. Yang termasuk faktor

resiko adalah umur tua, multiparitas, gemelli dan preeklampsia. Kardiomiopati

peripartum saat ini menggambarkan tanda dan gejala dari gagal jantung kongestif. Angka

kematian yang berhubungan dengan kardiomiopati peripartum adalah 25 – 50 %

(Lampert,1995). Penyakit cenderung berulang pada kehamilan berikutnya. Sebagian kecil

pasien tersebut menunjukkan adanya inflamasi miokarditis setelah analisa specimen

biopsy endomiokard. Pengobatan masih bergantung pada diuretic, vasodilator untuk

mengurangi afterload, digoksin dan pengawasan yang hati-hati. Inflamasi miokarditis

mungkin berespon dengan terapi immunosupressan.

Pasien postpartum dapat mempunyai abses local, organisme resistant atau

trombophlebitis pelvis septic yang biasanya disertai dengan demam yang persisten.

Diagnosis mungkin dapat dipercayai jika ditemukan melalui CT-Scan pelvis. Pengobatan

yang dipakai adalah antibiotic spectrum luas dan antikoagulasi standar.

Penyakit arteri koroner adalah penyakit yang tidak biasa terjadi pada wanita usia

reproduktif. Tetapi infark miokard dapat terjadi Karena tekanan hemodinamik yang

berlebihan dalam kehamilan. Manajemen dari penyakit arteri koroner pada pasien hamil

sama dengan pasien yang tidak hamil.

Pecahnya arteri koroner scara spontan adalah sesuatu yang jarang terjadi, dan

menyebabkan iskhemik miokard dan kematian mendadak. Manifestasi klinik yang

terjadi termasuk nyeri angina, infark miokard, syok kardiogenik, dan kematian. Tidak

ada faktor resiko jantung yang berhubungan dengan kejadian. Pada pasien postpartum,

mekanisme robeknya/pecahnya pembuluh darah dipikirkan karena kehamilan

menginduksi degenerasi kolagen dan tambahan stress pada persalinan. Pengobatan

dilakukan sesuai kebutuhan individual pasien.

Emboli Cairan Amnion

Emboli cairan amnion (ECA) adalah syndrome peripartum yang meliputi dispneu

yang sangat parah serta terjadi mendadak, hipoksemia, kolaps hemodinamik, koagulopati

dan kelainan lainnya. Emboli cairan amnion adalah kelainan yang jarang terjadi, terjadi

hanya sekitar 1 kasus dalam 10.000 – 30.000 kehamilan, tetapi ini menyebabkan sampai

10 % dari seluruh kematian maternal (Clark, 1995). ECA dapat terjadi selama kehamilan

dan persalinan.

Manipulasi terhadap uterus atau trauma biasanya selalu mendahului terjadinya

emboli cairan amnion. Namun, apakah patogenesis sekunder terjadinya embolisasi berisi

partikel seluler atau terjadi sekunder akibat faktor humoral saat ini belum dapat diketahui.

Sebuah penelitian yang baru saja dilakukan dari 46 kasus ECA yang diperiksa,

sebelumnya tidak mempunyai faktor predisposisi yang mendukung terjadinya ECA, 12 %

dari kasus tersebut menunjukkan wanita tersebut memiliki membrane yang intak, 70 %

selama persalinan, 11 % setelah persalinan pervaginam dan 19 % sewaktu section caesar

atau tanpa kelahiran.

Substansi janin mungkin memulai terjadinya reaksi anafilaktik dan berakibat

dengan meningkatnya mediator endogen dan menyebabkan hipotensi, takikardi,

hipoksemia dan akibat fatal lainnya. Ini mungkin mempunyai peranan penting dalam

vasospasme arteri pulmonal sementara, diikuti oleh kegagalan ventrikel kiri, menurunkan

curah jantung, serta edema paru hidrostatik. Disfungsi ventrikel kiri akut mungkin dapat

disebabkan oleh mediator humoral atau sitokin yang berisi cairan amnion yang

meningkat selama reaksi anafilaktik.

Emboli cairan amnion tidak dapat diperkirakan sebelumnya, walaupun

kebanyakan kasus terjadi setelah persalinan, beberapa mungkin terjadi diluar persalinan,

dan ECA sangat sulit diperkirakan atau pun dicegah. Kegawatan pernapasan dan sianosis

yang terjadi mendadak dalam beberapa menit pertama serta diikuti hipotensi yang cepat,

edema paru, syok dan menifestasi neurologik seperti perasaan berputar dan kehilangan

kesadaran atau pun kejang. Lebih dari 80 % dari pasien mengalami henti jantung dan

nafas pada saat serangan. Kira-kira 50 % dari pasien tidak dapat bertahan hidup dengan

masalah kardiopulmonal, tetapi bagi yang dapat bertahan, 40 – 50 % mengalami

koagulopati dan perdarahan 4 jam kemudian. Hal ini mengindikasikan emboli cairan

amnion.

Diagnosis emboli cairan amnion berdasarkan dari karakteristik gambaran klinik.

Penanganan terdiri dari perbaikan oksigenasi dan hemodinamik. Pasien sering

membutuhkan pengawasan yang invasive untuk menilai adekuatnya volume cairan

intravascular dan mengarahkan terapi inotropik. Kortikosteroid telah sering digunakan,

tetapi keuntungannya tidak terlalu terlihat. Angka kematian karena emboli cairan amnion

cukup tinggi; 86 % pasien meninggal karena kelainan ini, 40 % dari kasus ini mengalami

kematian janin.

Manajemen pada kasus ini adalah penanganan yang tepat dan cepat. Tiga prinsip

dasar pada kegawatdaruratan obstetric adalah:

1. Oksigenasi

2. Pemeliharaan curah jantung dan tekanan darah

3. Koreksi koagulopati

Janin harus diawasi secara ketat. Untuk menjaga agar perfusi uterine optimal, ibu

diposisikan miring ke kiri.

Prioritas pertama adalah resusitasi ibu dan pemberian oksigen ( Konsentrasi

100%). Pasien mungkin memerlukan intubasi dan ventilator. Langkah selanjutnya adalah

terapi cairan dan pemberian obat-obatan yang berguna untuk memelihara tekanan darah

dan curah jantung yang optimal. Penggantian cairan dan terapi untuk disfungsi ventrikel

kiri harus diarahkan untuk memperbaiki inotropi. Pedoman klinik adalah untuk

memelihara tekanan darah sistolik lebih atau sama dengan 90 mmHg, dengan perfusi

organ yang baik yang ditandai oleh pengeluaran urine sebanyak 25 ml/jam atau lebih.

Pemberian tranfusi darah dan komponen darah adalah penanganan pertama untuk

mengkoreksi koagulopati yang berhubungan dengan emboli cairan amnion. Pemberian

kortikosteroid intravena untuk mengatasi respon peradangan mungkin dapat membantu.

Emboli Paru

Resiko untuk terjadinya trombosis vena dalam dan emboli paru meningkat secara

nyata selama kehamilan tingkat lanjut dan terbesar terjadi selama postpartum. Tingkat

kematian maternal akibat emboli paru yang pernah dilaporkan adalah 2.6 kasus per

100.000 kelahiran hidup pada wanita kulit putih dan 2.5 kali lipat lebih tinggi pada

wanita kulit hitam. Kejadian meningkat nyata mengikuti persalinan Caesar dibandingkan

dengan persalinan pervaginam (Franks, 1990).

Tanda dan gejala emboli paru menjadi masalah penting karena dispneu dan

takipneu yang muncul saat kehamilan. Pada pasien yang sedang tidak mengandung,

takipneu, dispneu, nyeri dada (pleuritis), rasa gelisah tampak hanya pada kurang lebih

50% pasien.

Rontgen thorak yang abnormal ditemukan pada lebih dari 80 % pasien dengan

emboli paru. EKG juga menunjukkan abnormal pada 70 % pasien dengan emboli paru.

Tekanan oksigen arteri rendah pada kebanyakan pasien dengan emboli paru.

Test Diagnostik Objektif

Sama dengan trombosis vena dalam, emboli paru memerlukan test diagnostic

objektif untuk menegaskan diagnosis dan menyingkirkan diagnosis banding. Hal tersebut

merupakan bukti yang benar dalam kehamilan karena diagnosis dari trombosis vena

dalam atau emboli paru memerlukan pemantauan sebagai berikut:

Terapi jangka panjang ( Penggunaan heparin potensial selama 40 minggu

kehamilan)

Terapi profilaksis selama kehamilan berikutnya

Menghindari pemakaian pil kontrasepsi oral.

Test diagnostic objektif yang merupakan pilihan utama adalah USG. Pilihan

lainnya plethysmografi, ventilasi-perfusi scanning dan angiografi pulmonal.

Pengelolaan

Penanganan emboli paru, baik pada pasien hamil atau pun tidak harus dilakukian

secara cepat. Pengobatan dengan pemberian heparin intravena, kecuali adanya resiko

tinggi ataupun kontraindikasi terhadap antikoagulan. Pengalaman klinik dan hasil dari

studi kohort mengemukakan bahwa heparin adalah antikoagulan teraman untuk

digunakan pada kehamilan, karena heparin tidak melewati sawar darah plasenta. Dosis

awal adalah 5000 – 10.000 U. Dosis lanjutan sebesar 18 U/Kg di dalam infuse. Monitor

APTT.

Heparin dengan berat molekul rendah (LMWH), yang mana tidak melewati sawar

darah plasenta dapat diberikan 1 kali sehari dan tanpa pengawasan. LMWH tidak

menunjukkan menimbulkan resiko perdarahan pada pembedahan, termasuk section

Caesar.

Warfarin harus dihindari pemakaiannya selama kehamilan karena dapat

menyebabkan embriopathy seperti retardasi mental, atrofi opticus, bibir sumbing,

katarak, dan perdarahan. Efek teratogenik terutama muncul pada trimester I.

Durasi dari Antikoagulasi

Pasien dengan trombosis vena dalam atau emboli paru harus mendapatkan terapi

dengan heparin selama kehamilan. Setelah persalinan, pemberian warfarin dapat dimulai.

Pemberian warfarin dilanjutkan setidaknya 6 minggu postpartum atau 3 bulan sampai

terapi antikoagulan selesai.

Komplikasi dari Pengobatan

Osteopenia telah dilaporkan dengan pemberian heparin lebih dari 6 bulan. Tidak

terdapat informasi mengenai efek yang menguntungkan dari pemberian secara bersamaan

multivitamin, kalisum, atau suplemen vitamain D. Masalah osteopenia & osteoporosis

mungkin dapat berkurang jika LMWH digunakan, tetapi pemberian suplemen kalsium,

vitamin D kepada pasien yang mendapatkan heparin jangka panjang selama kehamilan

cukup beralasan.