susunan redaksi gofasa daftar...

17
| 1

Upload: others

Post on 06-Sep-2020

28 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Susunan Redaksi Gofasa Daftar Isibpkh15gorontalo.info/wp-content/uploads/2018/04/Gofasa-Edisi-3.pdfPeta Topografi Provinsi Gorontalo Sumber. Hasil Pengolahan Data Perubahan Penutupan

| 1

Page 2: Susunan Redaksi Gofasa Daftar Isibpkh15gorontalo.info/wp-content/uploads/2018/04/Gofasa-Edisi-3.pdfPeta Topografi Provinsi Gorontalo Sumber. Hasil Pengolahan Data Perubahan Penutupan

| 3 2 |

Dapur Redaksi

Satu Dasawarsa BPKH Wilayah XV Gorontalo Dalam Pembangunan Kehutanan

Salam Redaksi...

Susunan Redaksi GofasaPenanggung Jawab :

Kepala BPKH Wilayah XV Gorontalo

Tim Pengarah :Kasubag Tata Usaha | Kasi Informasi Sumber

Daya Hutan dan Lingkungan | Kasi Pemolaan Kawasan Hutan

Redaksi Pelaksana :Feri Novriyal

Anggota Redaksi :Yosef Endri Cahyono | Mulyadi |

Bayu Paningga | Peli Juanda

Sekretariat :Yusfriandi Dwi Ariesna | Nur Khasanah

Layout :Akbar Mahmud | Sahrudin Atid Hi. Saleh |

Daftar IsiHutan dan Kehutanan :

Identifikasi Tutupan Lahan Pertanian Dalam Kawasan Hutan Tingkat Kelerengan Curam

dan Sangat Curam Gorontalo.....5 Pemantauan Area Penambangan Emas Rakyat

di Hutan Gn. Pani Melalui Interpretasi ....9 Peran Ground Control Point Dalam Pemetaan

Fotogrametri Menggunakan Drone .... 12 Deforestasi di Dalam dan Luar Kawasan Hutan

Gorontalo Tahun 1996 – 2016 ....14

Aplikasi GPS GNSS Untuk Pengukuran GCP dan ICP .... 18

Perkembangan Dokumen Tata Hutan dan RPJP

KPH di Provinsi Gorontalo .... 20Agroforestri, SPL Berbasis KTA untuk Mengenda-

likan Laju Pendangkalan Danau Limboto.... 22

Upaya Pelestarian Burung Migran di Danau Limboto.... 25

Dunia Arsip :Peran Arsip Dalam Pemantapan Kawasan

Hutan.... 27Ruang Regulasi :Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2017.... 29

Reportase :Sosialisasi Kebijakan Penyediaan (TORA) di

Gorontalo.... 31

Lensa BPKH .... 32

Tahun 2017 Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XV Gorontalo genap berusia 10 tahun (satu dasawarsa). Satu dasawarsa bukanlah waktu yang singkat dalam perjalanan dan perkembangan BPKH Wilayah XV Gorontalo memberikan peran dalam pembangunan kehutanan khususnya di Provinsi Gorontalo. BPKH Wilayah XV Gorontalo merupakan Unit Pelaksana Teknis

(UPT) dibawah Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang memiliki tugas pokok dan fungsi melaksanakan inventarisasi pemantauan sumber daya hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan hutan, pengalokasian manfaat sumber daya hutan dan kajian dampak lingkungan.

Pada usia satu dasawarsa ini BPKH Wilayah XV Gorontalo telah menorehkan beragam kegiatan terkait pemantapan dan informasi kawasan hutan. Kegiatan pengukuhan dalam rangka memberikan kepastian batas kawasan hutan, hingga akhir tahun 2017, telah 100% dilaksanakan oleh BPKH Wilayah XV Gorontalo

Selayang Pandang

Salam GOFASAPuji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah

memberikan kesempatan dan kemampuan kepada kami

untuk menuangkan ide kreatifitas lewat sebuah karya

tulisan dalam bentuk media Buletin ini.

Tahun 2017 ini Buletin Gofasa memasuki edisi ke-3, dimana

edisi pertama terbit pada tahun 2015. Buletin ini merupakan

wujud pengabdian diri sebagai seorang Rimbawan di Balai

Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XV Gorontalo,

ditengah kesibukan kami masing-masing dalam tugas

pekerjaan, kami mencoba menuangkan ide kreatif kami

dalam bentuk tulisan ini.

Pada Edisi ketiga ini, redaksi mencoba untuk menampilkan

tulisan mengenai Kawasan Hutan Tergerus Oleh

Tangan Manusia; Idenftifikasi Tutupan Lahan Pertanian

dalam Hutan Tingkat Kelerengan Curam dan Sangat

Cram;Pemantauan Area Penambangan Emas Rakyat di

Hutan Gn.Pani Melalui Interpretasi Ctra ;Peran GCP dalam

Pemetaan Fotogrametri Menggunakan Drone; Deforestasi

di Dalam dan Luar Kawasan Hutan Provinsi Gorontalo

Tahun 1996 - 2016; Aplikasi GPS GNSS Untuk Pengukuran

GCP dan ICP; Perkembangan Dokumen Tata Hutan dan;

Agroforestri SPL Berbasis KTA dan; Upaya Pelestrian

Burung Migran di Danau Limboto.

Besar harapan, semoga dengan terbitnya Buletin Gofasa

Edisi 3 ini dapat menambah wawasan dan informasi kita

semua. Tentu kami dari tim redaksi mengucapkan terima

kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang

telah mendukung terbitnya Buletin Gofasa Edisi 3 ini.

Selamat membaca, salam lestari....

dengan realisasi di lapangan sepanjang 3.355,77 Km yang terdiri dari batas luar dan batas fungsi kawasan hutan. Dan hasilnya telah ditindaklanjuti dengan penetapan kawasan hutan sebanyak 93% dari luas total kawasan hutan yang ada di Provinsi Gorontalo. Disamping itu, untuk memberikan informasi potensi dan kondisi sumber daya hutan di Provisi Gorontalo, dilaksanakan kegiatan inventarisasi hutan yang meliputi kegiatan Survey Enumerasi TSP/PSP, kegiatan Re-enumerasi untuk memantau perkembangan tegakan serta perubahan hutan, dan penafsiran citra satelit.

Di Provinsi Gorontalo telah ditetapkan sebanyak 7 (tujuh) unit KPH yang terdiri dari 1 (satu) unit KPHL dan 6 (enam) unit KPHP. Hingga tahun 2017 ini kegiatan fasilitasi pembentukan KPH Model serta fasilitasi penyusunan dokumen Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan KPH telah tuntas dilaksanakan oleh BPKH Wilayah XV Gorontalo. Dari 7 (tujuh) KPH tersebut, sebanyak 5 (lima) unit KPH telah mendapatkan pengesahan RPHJP sedangkan 2 (dua) unit KPH masih dalam tahap proses pengajuan dan pengesahan RPHJP. Diharapkan pada tahun 2018 seluruh unit KPH di Provinsi Gorontalo telah memiliki dokumen tata hutan dan rencana pengelolaan hutan jangka panjang yang telah disahkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Alamat Redaksi :BPKH Wilayah XV Gorontalo

Jalan Rusli Datau No. 10 Kel. Dulomo SelatanKec. Kota Utara, Kota Gorontalo

Telp. +62435 - 825828

Page 3: Susunan Redaksi Gofasa Daftar Isibpkh15gorontalo.info/wp-content/uploads/2018/04/Gofasa-Edisi-3.pdfPeta Topografi Provinsi Gorontalo Sumber. Hasil Pengolahan Data Perubahan Penutupan

Kegiatan Tanam & Pelihara 25 Pohon Per ASN Lingkup UPT KLHK Provinsi Gorontalo

| 5 4 |

Selama ini hubungan dengan Pemerintah Daerah baik Provinsi dan Kabupaten serta pihak lainnya telah terjalin dengan baik. BPKH Wilayah XV Gorontalo terlibat aktif dalam tim pembahasan bidang penataan ruang wilayah provinsi dan kabupaten yang saat ini sedang berproses untuk melakukan review, pengkajian lingkungan terkait rencana pembangunan, penelaahan status areal terhadap berbagai rencana kegiatan pembangunan di daerah, sosialisasi batas kawasan hutan dan sebagainya.

Buletin GOFASA edisi III ini kembali mencoba untuk menampilkan berbagai aktifitas dan ide-ide dari Aparatur Sipil Negara (ASN) BPKH Wilayah XV Gorontalo dan UPT Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang ada di Provinsi Gorontalo yang diaktualisasikan dalam bentuk tulisan dan gambar. Kami berharap apa yang disajikan dalam Buletin ini dapat bermanfaat bagi semua pihak dan semoga BPKH Wilayah XV Gorontalo semakin berkontribusi bagi pembangunan kehutanan khususnya di wilayah Provinsi Gorontalo.

S a l a m....

Andi Setiawan, S.Hut,M.ScKepala BPKH Wilayah XV Gorontalo

Perubahan tutupan lahan terjadi hampir di setiap daerah, hal yang sama juga terjadi di Gorontalo. Data Deforestasi Indonesia Tahun 2014-2015 menunjukkan bahwa angka deforestasi netto di Provinsi Gorontalo sebesar 14.851,4 ha/tahun. Meskipun keadaan topografi di Gorontalo berupa perbukitan dan pegunungan, namun bukan berarti tidak ada konversi lahan. Perubahan tutupan lahan di daerah dengan kelas lereng datar/landai akan lebih cepat bila dibandingkan dengan daerah yang memiliki kelas lereng agak curam, curam maupun sangat curam. Kondisi keterbatasan lahan datar serta pengaruh faktor ekonomi inilah yang mendorong masyarakat pada umumnya membuka lahan di lereng - lereng bukit untuk menjadi lahan garapannya. Padahal tanah yang mempunyai kemiringan >15% dengan curah hujan yang tinggi dapat mengakibatkan longsor tanah (Kartasapoetra,1990)¹. Jika hal ini terus dibiarkan tentunya akan berdampak negatif bagi kelangsungan hidup masyarakat Gorontalo, tidak menutup kemungkinan pula bahaya banjir dan tanah longsor akan selalu menjadi bahaya rutin setiap tahunnya.

Oleh sebab itu sangat diperlukan adanya data perubahan tutupan lahan berdasarkan tingkat kelerengan, sehingga dengan data ini kita dapat memantau seberapa besar perubahan lahan yang telah dibuka oleh masyarakat khususnya pada tingkat kelerengan tertentu yang seharusnya tidak boleh dibuka. Dengan data ini diharapkan dapat menjadi bahan dalam pengambilan keputusan bagi pemerintah daerah untuk mengeluarkan aturan guna membatasi adanya pembukaan lahan pada kelerengan tertentu yang dapat membahayakan keselamatan masyarakat sendiri.

Data dan Metode

Data yang digunakan dalam identifikasi perubahan penutupan lahan berdasar tingkat kelerengan adalah :

1. Peta Penutupan lahan tahun 2011 dan 2016 hasil penafsiran citra satelit resolusi sedang

2. Peta kelerengan provinsi Gorontalo3. Peta kawasan hutan provinsi Gorontalo

Metode yang digunakan adalah melakukan analisa perubahan tutupan lahan tahun 2011 dan 2016 dengan cara melakukan penggabungan data spasial (overlay) antara data penutupan lahan tahun 2011 dan 2016, data kelerengan dan data kawasan hutan. Dari hasil penggabungan data tersebut dapat diketahui seberapa besar perubahan penutupan lahan yang sudah terjadi dalam rentang waktu 2011 – 2016. Dalam pembahasan ini, ditekankan pada perubahan tutupan lahan pada tingkat kelerengan curam (25–45 %) dan sangat curam (> 45 %) yang berada dalam kawasan hutan saja.

Gambar 1. Kondisi Tutupan Lahan Sumber. Dokumentasi Kegiatan Rekonstruksi Batas HL. Randangan

Identifikasi Perubahan Tutupan Lahan Pertanian Dalam Kawasan Hutan Pada Tingkat Kelerengan Curam dan Sangat Curam di Goron-taloOleh : Yosef Endri Cahyono, STFungsional PEH BPKH Wilayah XV Gorontalo

P erubahan penutupan lahan merupakan suatu keadaan lahan karena manusia mengalami perubahan kondisi pada waktu yang berbeda (Lillesand dkk, 2003). Faktor-faktor yang menyebabkan perubahan penutupan lahan diantaranya adalah pertumbuhan penduduk,

mata pencaharian, aksesibilitas dan fasilitas pendukung kehidupan serta kebijakan pemerintah. Peningkatan pertumbuhan penduduk di suatu wilayah dapat mendorong terbukanya lahan baru yang digunakan sebagai pemukiman ataupun lahan garapan. Pola atau budaya masyarakat dalam mengelola lahan juga dapat memunculkan adanya konversi lahan.

Hutan dan KehutananSelayang Pandang

Page 4: Susunan Redaksi Gofasa Daftar Isibpkh15gorontalo.info/wp-content/uploads/2018/04/Gofasa-Edisi-3.pdfPeta Topografi Provinsi Gorontalo Sumber. Hasil Pengolahan Data Perubahan Penutupan

Hutan dan Kehutanan

Gambar 3. Peta Perubahan Tutupan Lahan Pertanian yang Berada dalam Kawasan Hutan Pada Tingkat Kelerengan Curam dan Sangat Curam.

| 7 6 |

Kondisi Kelerengan dan Topografi Gorontalo

Peta kelerengan Gorontalo ini dibuat dari hasil pengolahan data Digital Elevation Model (DEM) Provinsi Gorontalo dengan resolusi pixel 30 meter, dengan generalisasi luasan terkecil 10 ha. Klasifikasi kelerengan didasarkan didasarkan pada Pedoman Penyusunan Pola Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah, 1986.

Tabel. Klasifikasi Lereng

Kode Klasifikasi Lereng Keterangan

1 0 - 8 % Datar2 8 - 15 % Landai3 15 - 25 % Agak Curam4 25 - 45 % Curam5 > 45 % Sangat Curam

Dari peta kelerengan Provinsi Gorontalo yang telah dibuat, diperoleh data bahwa sebagian besar daratan di Gorontalo memiliki kemiringan lereng diatas 25 %, untuk kelerengan curam sekitar 47 % dari luas daratan Gorontalo dan kelerengan sangat curam sekitar 25 % dari luas daratan Gorontalo. Memang jika kita lihat dilapangan,kondisi topografi Gorontalo cenderung bergunung. Kenampakan topografi Provinsi Gorontalo dapat kita lihat pada gambar berikut.

Gambar 2. Peta Topografi Provinsi GorontaloSumber. Hasil Pengolahan Data

Perubahan Penutupan Lahan Pertanian di Provinsi Gorontalo

Data penutupan lahan di Gorontalo merupakan hasil penafsiran citra satelit resolusi sedang yang dibuat oleh BPKH Wilayah XV. Kriteria lahan pertanian dalam tulisan ini diklasifikasikan berdasarkan hasil penafsitran citra satelit resolusi sedang yang terdiri dari kelas pertanian lahan kering, pertanian lahan

kering campur semak/kebun campur dan sawah. Berdasarkan hasil penggabungan data penutupan lahan antara tahun 2011 dan 2016, peta kelerengan dan peta kawasan hutan diperoleh hasil sebagai berikut :

Tabel. Perubahan Tutupan Lahan Pertanian dalam Kawasan Hutan Pada Tingkat Kelerengan Curam dan Sangat Curam (Ha)

Kelas Penutupan

Lahan

Luas PL Tahun 2011 Berdasar

Kelerengan (Ha)

Luas PL Tahun 2016 Berdasar

Kelerengan (Ha)

Peruba-han

25-45% >45% 25-45% >45%

Pertanian lahan ker-ing

4,286 1,319 4,532 1,361 287

Pertanian lahan ker-ing campur semak / kebun campur

35,761 9,925 35,656 8,716 (1,315)

Sawah 73 36 53 8 (48)

Total 40,120 11,281 40,240 (1,076)

Sumber. Hasil Analisa

Berdasarkan data diatas, secara luasan untuk kelas tutupan lahan pertanian lahan kering dalam kawasan hutan yang berada pada kelereng curam dan sangat curam pada tahun 2016 terjadi penambahan sebesar sebesar 287 Hektar. Sebaliknya untuk kelas Pertanian lahan kering campur semak terjadi pengurangan sebesar 1.315 Hektar. Demikian pula dengan kelas penutupan sawah juga terjadi pengurangan sebesar 48 ha. Secara keseluruhan tutupan lahan pertanian dalam kawasan hutan berkurang sebesar 1.076 ha.

Dari peta (Gambar 3), pengurangan dan penambahan tutupan lahan pertanian tahun 2011 – 2016 dapat dijabarkan dalam Tabel berikut.

Hutan dan Kehutanan

Tabel. Matrik perubahan (pengurangan) Tutupan Lahan Pertanian Tahun 2011 - 2016 Pada Tingkat Kelerengan Curam dan Sangat Curam (hektar)

Tutupan Lahan Tahun 2016

Tutupan Lahan Tahun 2011

Total (Ha)Pertanian

Lahan Kering

Pertanian Lahan Kering

Campur Semak

Sawah

Hutan Lahan Kering Primer 4 4

Hutan La-han Kering Sekunder

2 373 375

Semak Belukar 212 5111 12 5335

Pemukiman 0 1 1

Tubuh Air 0 16 16

Mangrove Sekunder 5 4 8

Total 223 5506 12 5740

Sumber. Hasil Analisa

Dari data diatas, pengurangan tutupan lahan menjadi pertanian antara tahun 2011 - 2016 sebagian besar menjadi semak belukar (5.335 Ha), dan menjadi hutan lahan kering sekunder (375 Ha).

Tabel. Matrik perubahan (penambahan) Tutupan Lahan Pertanian Tahun 2011 - 2016 Pada Tingkat Kelerengan Curam dan Sangat Curam (hektar)

Tutupan Lahan Tahun 2011

Tutupan Lahan Tahun 2016

Total (Ha)Pertanian

Lahan Kering

Pertanian Lahan Kering

Campur Semak

Sawah

Hutan Lahan Kering Primer 3 155 158

Hutan La-han Kering Sekunder

20 1855 4 1879

Semak Belukar 415 2197 2612

Pemukiman 6 6

Lahan Terbuka 3 3

Mangrove Sekunder 2 3 5

Tambak 1 1

Total 441 4220 4 4664

Sumber. Hasil Analisa

Dari data diatas, penambahan tutupan lahan menjadi pertanian antara tahun 2011 - 2016 sebagian besar berasal dari hutan lahan kering primer (158 ha), hutan lahan kering sekunder / bekas tebangan (1.879 Ha) dan Semak belukar (2.612 Ha).

Page 5: Susunan Redaksi Gofasa Daftar Isibpkh15gorontalo.info/wp-content/uploads/2018/04/Gofasa-Edisi-3.pdfPeta Topografi Provinsi Gorontalo Sumber. Hasil Pengolahan Data Perubahan Penutupan

Hutan dan Kehutanan Hutan dan Kehutanan

Gambar 1. Perbukitan di Kawasan Hutan Gn. Pani yang Rusak oleh Penambangan Emas Rakyat

| 9 8 |

Dari tabel kedua tabel diatas menunjukkan bahwa pola pengelolaan lahan pertanian di Gorontalo adalah ladang berpindah, ketika suatu lahan sudah kurang produktif lagi maka ada kecenderungan membuka lahan baru untuk menjadi lahan pertanian.

Penutup

Kecenderungan konversi lahan dalam kawasan hutan menjadi lahan pertanian di Gorontalo cukup besar. Untuk itu bagi pengelola kawasan hutan hendaknya lebih mengawasi adanya indikasi pembukaan lahan baru khususnya yang berada pada tingkat kelerengan curam dan sangat curam karena jika curah hujan tinggi akan berdampak buruk menimbulkan bahaya banjir dan tanah longsor.

Pemerintah saat ini tengah menyiapkan program pengentasan kemiskinan khususnya bagi masyarakat sekitar hutan, yaitu dengan pemberian hak kepemilikan lahan melalui program TORA dan hak pengelolaan lahan melalui Perhutanan Sosial. Meskipun semua program bertujuan baik yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan tetap berpedoman pada aspek kelestarian, namun dalam pelaksanaannya hendaknya selalu mempertimbangkan kondisi topografi suatu wilayah, atau penegasan aturan/cara pengelolaan jika lahan tersebut berada pada kelerengan curam dan sangat curam. Harapannya lahan yang seharusnya memberikan manfaat positif bagi kesejahteraan masyarakan dapat memberikan manfaat positif pula, jangan sampai malah sebaliknya memberikan dampak negatif yang merugikan masyarakat itu sendiri karena pengelolaan yang tidak mempertimbangkan aspek-aspek konservasi.

Referensi

Andrian, dkk. 2015. Pengaruh Ketinggian Tempat Dan Kemiringan Lereng Terhadap Produksi Karet (Hevea brasiliensis muell. arg.) Di Kebun Hapesong PTPN III Tapanuli Selatan. Program Studi Agroekoteknologi Fakultas Pertanian USU. Medan. (Jurnal) https://media.neliti.com/media/publications/99357-ID-none.pdf.

http://pskl.menlhk.go.id/akps/index.php/site/cara_pendaftaran

Metode Pemantauan

Citra Landsat multi-temporal runtun waktu (time series) dikumpulkan dari tahun 1991 hingga tahun 2013. Citra dengan kualitas bagus (tutupan awan kurang dari 20%) diseleksi selanjutnya dilakukan tahap prapemrosesan (preprosesing) koreksi geometri, pemotongan (subseting) dan penajaman (enhancement). Citra-citra Landsat yang sudah dirposes diinterpertasi secara visual khusus untuk mengidentifikasi dan mendelineasi area tambang emas rakyat. Untuk mengetahui perkembangan penambangan di area penelitian dari waktu ke waktu data runtun waktu ditumpang susun (overlay) pada perangkat SIG (ArcMap).

Identifikasi area tambang pada citra dilaksanakan berlandaskan pengalaman dan pengetahuan tentang karakteristik penambangan emas di lapangan yang yang diperoleh dari hasil strategi pengamatan lapangan (field observation) pada tahun 2012. Pemeriksaan lapangan (ground check) untuk memperbaiki dan menguji akurasi penafsiran dilaksanakan pada tahun 2014.

Citra satelit merupakan sarana potensial untuk memantau secara berkala dan teratur area penambangan dalam kawasan hutan. Keunggulan pemanfaatan data penginderaan jauh seperti citra satelit Landsat adalah dapat menjangkau kawasan hutan yang luas dengan medan yang berat serta akses yang sulit. Citra multi-temporal dengan interval waktu perekaman yang teratur juga sangat membantu pemantauan kawasan secara periodik.

Data satelit Landsat telah merekan bumi dalam jangka panjang dan berperan penting dalam menyediakan informasi spasial perubahan penutup lahan sekala nasional dan regional. Landsat multi-temporal dari generasi Landsat 4-5 TM, Landsat 7 ETM+ dan Landsat 8 OLI dengan resolusi spasial 30 meter memungkinkan dimanfaatkan untuk memantau perkembangan tambang emas rakyat yang luasnya lebih dari ukuran piksel.

Pemantauan Perkembangan Area Penambangan Emas Rakyat di Kawasan Hutan Gn. Pani Melalui Interpretasi Citra Landsat Multi TemporalOleh : Dr. Heri Sunuprapto, S.Si, M.ScStaff BPKH Wilayah XV Gorontalo

Kegiatan penambangan dalam kawasan merupakan salah satu penyebab deforestasi dan degradasi hutan. Kawasan hutan Gunung Pani adalah wilayah dimana penambangan rakyat menjadi penyebab deforestasi dan degradasi hutan yang sangat nyata (Gambar

1). Informasi spasial kegiatan penambangan dalam kawasan hutan merupakan informasi penting dalam rangka pemantauan penggunaan kawasan hutan, namun informasi spasial keberadaan dan perkembangan area penambangan khusus penambanan emas rakyat dalam

Page 6: Susunan Redaksi Gofasa Daftar Isibpkh15gorontalo.info/wp-content/uploads/2018/04/Gofasa-Edisi-3.pdfPeta Topografi Provinsi Gorontalo Sumber. Hasil Pengolahan Data Perubahan Penutupan

Hutan dan Kehutanan

Hasil Pemantauan Area Penambangan Emas Rakyat

Hasil penafsiran dengan interval waktu tiga tahun dimulai dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2013 disajikan pada Gambar 2. Mencermati area tambang pada tahun 2000 hingga tahun 2003 terlihat tidak terjadi perubahan yang berarti. Penambangan terkonsentrasi di wilayah perbukitan Gunung Pani. Pada tahun 2006 dan 2009 sementara penambangan di wilayah perbukitan masih berjalan terlihat terdapat penambangan di kanan kiri sungai besar yaitu sungai Taluduyunu dan sungai Batudulanga. Pada hasil interpretasi citra tahun 2013 terlihat kegiatan penambangan di kanan kiri sungai besar Taluduyunu dan Batudulanga tambah meluas sementara penambangan di perbukitan justru berkurang.

Memperkirakan perkembangan kegiatan penambangan dalam bentuk pengamatan terhadap perubahan area tambang dengan interval tiga tahun menunjukkan perubahan dan pergeseran lokasi area tambang yang menarik. Pengamatan dengan interval waktu yang lebih panjang yaitu sembilan tahun (1991-200-2009) memperlihatkan perubahan yang lebih kontras. Perkembangan area tambang emas rakyat dapat dipantau dari citra Landsat multi temporal.

Pada tahun sembilan puluhan (1991) tambang hanya sedikit dijumpai di pinggir S. Taluduyunu.. Tahun duaribuan (2000 ) dijumpai tambang yang cukup luas diarea perbukitan Gunung Pani. Tahun duaribu sepuluhan (2009) tambang dijumpai di perbukitan dan di sepanjang S. Taluduyunu dan S. Batudulanga. Perkembangan tambang yang cepat pada dasa warsa terakhir terkait dengan penggunaan peralatan bermesin dalam cara menambang.

Gambar 2 Area Penambangan Hasil Interpretasi Citra Landsat Multitemporal (interval 3 tahun) Pada Daerah Penelitian dari Citra Tahun 2000 Sampai dengan Tahun 2013 dan Sebagai Pembanding Area Penambangan Pada Tahun 1991

Pada tahun sembilan puluhan hanya sedikit masyarakat menambang emas dengan cara tradisional tanpa menggunakan mesin sehingga hampir tidak teridentifikasi pada Citra Landsat TM. Sepanjang sungai masyarakat menambang emas dengan cara mendulang dan memasang talang penangkap emas. Dengan cara ini tidak terjadi penggalian tanag dan batuan yang luas dan cenderung tidak dapat teramati pada citra karena keterbatasan resolusi spasial citra Landsat. Cara menambang yang konservatif ini hanya mengandalkan emas sekunder yang hanya terbawa aliran sungai dan mengendap disungai, ini terkait dengan formasi geologi endapan sungai tua umur kwarter (Qpr) atau endapan sungai yang lebih muda.

Tahun dua ribuan terjadi penambangan emas yang marak di kawasan hutan dan lebih ekpansif berlokasi wilayah bukit-bukit Gunung Pani yang berstatus Cagar Alam. Cara yang digunakan adalah membongkar lereng-lereng bukit menggunakan berbagai alat bantu. Penambangan dengan cara ini cenderung luas dan mudah teramati pada citra resolusi sedang. Penambangan ini terkait dengan formasi Geologi Gunung Api Pani (Tppv) yang berbatuan dasit, andesit, tuf, aglomerat dan breksi gunung api.

Hutan dan Kehutanan

| 11 10 |

Berdasar keterangan masyarakat serta dapat dikonfirmasi pada citra satelit, penambangan emas yang sangat ekpansif dimulai sekitar tahun 2009 dimana dimulai penambangan dengan menggunakan mesin. Pada era ini penambangan di kanan kiri sungai yang merupakan material endapan bertambah marak dan meluas. Penggunaan mesin mempermudah mengupas lapisan material endapan yang mengandung emas dengan penyemprotan air bertekanan dan menyedot serta menyaring dalam talang dengan lebih cepat.

Kesimpulan

Beberapa kesimpulan dapat diambil dari hasil pemantauan perkembangan area penambangan emas rakyat menggunakan citra satelit Landsat di kawasan hutan Gunung Pani antara rentang waktu 1991 hingga 2014 diantaranya:

1. Citra Landsat multi-temporal dapat digunakan untuk melakukan pemantauan penambangan emas rakyat di kawasan hutan.

2. Terdapat perubahan area penambangan emas rakyat di Gunung Pani antara tahun 1991 hingga tahun 2014 dengan kecenderungan makin meluas.

3. Pemantauan dengan interval 3 tahunan tidak memperlihatkan perbedaan yang signifikan, perkembangan area penambangan rakyat kurang terlihat dengan jelas. Hal tersebut dimungkinkan karena keterbatasan resolusi spasial citra Landsat yang resolusinya hanya 30 meter .

4. Berdasarkan topografi wilayah area penambangan emas rakyat dapat dibedakan menjadi dua yaitu zona di kawasan perbukitan dan zona lembah sungai. Perkembangan area penambangan di lembah sungai nampak marak (berkembang) mulai tahun 2009 ketika mulai dilakukannya penambangan menggunakan mesin-mesin.

5. Proporsi luas kegiatan penambangan emas rakyat terhadap keseluruhan kawasan hutan terlihat tidak terlalu besar (<10 %) area penelitian namun kerusakan hutan dan dampak terhadap lingkungan sulit dipulihkan dalam jangka pendek.

Referensi

Campbell, J. B. 2002. Introduction to Remote Sensing, Third Edition. New York: The Guildford Press.

Charou, E., Stefouli, M., Dimitrakopoulos, D., Vasiliou, E., Mavrantza, O. D. 2010. “Using Remote Sensing to Assess Impact of Mining Activities on Land and Water Resources”. Mine Water & the Environment; Vol. 29(1), p45-52.

Danoedoro, P. 2012. Pengantar Penginderaan Jauh Digital. Yogyakarta: Penerbit ANDI.

Pohl, C. dan Van Genderen, J.L. 1998. “Review article Multisensor image fusion in remote sensing: Concepts, methods and applications”. International Journal of Remote Sensing, Vol.19 No.5, p823-854.

Sunuprapto, H., Danoedoro, P. dan Ritohardoyo, S. 2015. “Evaluation Of Pan-Sharpening Method: Applied To Artisanal Gold Mining in Gunung Pani Forest Area”. Procedia Environmental Sciences 33 ( 2016 ) 230 – 238.

Sunuprapto, H. 2017. “Identifikasi Area Penambangan Emas Dalam Kawasan Hutan dan Prediksi Perubahannya Melalui Analisis Spasial Berbasis Citra Satelit Landsat di Kabupaten Pohuwato Provinsi Gorontalo”. Disertasi S3. Yogyakartaa: Fakultas Gografi, Universitas Gadjah Mada.

Gambar 3. Perkembangan area penambangan ) pada daerah penelitian hasil interpretasi citra Landsat multitemporal (interval 9) tahun dari citra tahun 1991, 2000 dan 2009.

Page 7: Susunan Redaksi Gofasa Daftar Isibpkh15gorontalo.info/wp-content/uploads/2018/04/Gofasa-Edisi-3.pdfPeta Topografi Provinsi Gorontalo Sumber. Hasil Pengolahan Data Perubahan Penutupan

Hutan dan Kehutanan

Gambar : Tampilan / Penampakan Ground Control Point dari UdaraSumber : http://aerogeosurvey.com/2016/09/08/apa-itu-ground-control-point-gcp

Hutan dan Kehutanan

| 13 12 |

G round Control Point (GCP) atau titik kontrol tanah merupakan objek atau titik – titik di permukaan bumi yang dapat diidentifikasi dan memiliki informasi spasial sesuai

dengan sistem referensi pemetaan. Pemetaan secara fotogrametri merupakan kegiatan pemetaan untuk memperoleh data spasial (posisi, luasan, dimensi) dari hasil pengolahan data foto hasil pemotretan udara memanfaatkan wahana udara. Fotogrametri berasal dari bahasa Yunani, dimana photos berarti sinar, gramma berarti sesuatu yang digambar/ditulis dan metron berarti mengukur. Jadi fotogrametri dapat didefinisikan pengukuran obyek yang digambar dengan menggunakan sinar. Menurut Menurut Van Hoeve dalam Enslikopedia Indonesia Jilid 7 fotogrametri adalah suatu metode atau cara untuk mengkonstruksikan bentuk, ukuran dan posisi pada suatu benda yang berdasarkan pemotretan tunggal maupun stereoskopik.

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi terkait dengan wahana terbang tanpa awak (drone) saat ini cukup pesat. Salah satu alternatif metode pemetaan secara fotogrametri adalah pemotretan udara menggunakan drone sehingga dapat diguna-kan untuk mendukung akuisisi data spasial. Peng-gunaan drone di Indonesia mengacu pada Peratu-ran Menteri Perhubungan Nomor 90 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak/Drone di Ruang Udara yang Di-layani Indonesia. Dalam bidang geospasial saat ini penggunaan drone sangat diminati karena peng-operasiannya yang relatif mudah dan biaya relatif

terjangkau dibandingkan dengan sistem satelit khususnya citra satelit resolusi tinggi. Keuntungan pemetaan dengan menggunakan drone antara lain cakupan pemetaan dapat lebih luas dengan waktu pengerjaan yang lebih singkat, kenampakan obyek yang dipetakan adalah gambaran sebenarnya di-lapangan secara tampak atas.

Akurasi dan Presisi GCP (Ground Control Point)

Penentuan GCP dapat dilakukan dengan meng-gunakan GNSS (Global Navigation Satellite Sys-tem) baik GNSS Handheld maupun GNSS Geodetik. Penggunaan tipe GNSS dalam penentuan GCP ter-gantung dari tujuan dan tingkat akurasi data yang ingin didapatkan. Data drone memiliki lebel akur-asi yang beraneka ragam, namun untuk mencapai akurasi sub cm (2-3x GSD) dapat dilakukan dengan meregister data foto udara ke GCP. Guna mem-peroleh data GCP dengan akurasi dan presisi yang baik (ketelitian dalam sub meter maupun centi me-ter) umumnya penentuan GCP dilakukan dengan menggunakan GNSS Geodetik atau menggunakan titik kontrol yang sudah ada di lapangan (jika peli-putan melintasi titik kontrol). Menurut Satirapod dan Kriengkraiwasin 2006, pengukuran GCP den-gan GPS metode relatif hanya efektif untuk jaring pengamatan dengan baseline yang pendek. Jika jarak antar titik pengamatan bertambah panjang maka residual error akan bertambah besar yang mengakibatkan kualitas koordinat hasil pengama-tan kurang baik.

Peran Ground Control Point Dalam Pemetaan Fotogrametri Menggunakan Drone

Oleh : Feri NovriyalFungsional PEH BPKH Wilayah XV Gorontalo

Peran dan Fungsi GCP (Ground Control Point)

Penggunaan GCP dapat membantu meningkatkan akurasi peta yang dihasilkan (hingga ± 10 cm). Penggu-naan GCP diatur sesuai Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor SNI 19-6724-2002 tentang Jaring Kontrol Horizontal. Informasi spasial dalam bentuk koordinat X, Y, Z atau Lintang Bujur dan ketinggian dari setiap GCP umumnya diukur dengan menggunakan GPS geodetik. GCP digunakan pada proses georeferensi hasil pengolahan foto sehingga memiliki sistem referensi sesuai dengan yang dibutuhkan pada hasil pemetaan. Disamping itu GCP juga digunakan pada saat data processing untuk membantu proses koreksi geometri pada mosaic orthophoto, sehingga akurasi dari peta yang dihasilkan akan tinggi.

Sedangkan menurut http://aerogeosurvey.com, se-cara khusus GCP atau titik kontrol berfungsi sebagai berikut :

1. Faktor penentu ketelitian geometris hasil olah foto (ortofoto, DSM, DTM), semakin teliti GCP maka semakin baik pula ketelitian geometris output (dengan kaidah-kaidah peletakan GCP yang dipenuhi).

2. Faktor yang mempermudah proses orientasi relatif antar foto sehingga keberadaan GCP bisa meningkatkan akurasi geometrik dari peta foto.

3. Faktor koreksi hasil olah foto yang berupa ball effect atau kesalahan yang mengakibatkan model 3D akan berbentuk cembung ditengah area yang diukur.

4. Faktor yang mempermudah dalam proses penyatuan hasil olah data yang terpisah, misal olah data area A dan area B dengan lebih cepat dan efektif, daripada proses penyatuan berdasar seluruh point-cloud (jumlahnya jutaan) yang akan memakan banyak waktu.

Referensi

Aerogeosurvey. 2016. Apa Itu Ground Control Point (GCP)?. (http://aerogeosurvey.com/2016/09/08/apa-itu-ground-control-point-gcp) diakses tanggal 20 April 2017

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 90 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak/Drone di Ruang Udara yang Dilayani Indonesia

Van Hoeve; Hassan Shadily. Ensiklopedia Indonesia, Jilid 7. Ichtiar Baru. p. 1030. (https://id.wikipedia.org/wiki/Fotogrametri) diakses tanggal 26 April 2017

Satirapod, C and Kriengkraiwasin, S. 2006. Performance of Single-frequency GPS Precise Point Positioning

(http://www.gisdevelopment.net/technology/gps/ma06_19pf.htm) diakses tanggal 3 Mei 2017

Gambar : Pengukuran dan Penempatan Posisi Ground Control Point

Sumber : http://lp360.com/newsletter/july2014/july2014_2.html

Page 8: Susunan Redaksi Gofasa Daftar Isibpkh15gorontalo.info/wp-content/uploads/2018/04/Gofasa-Edisi-3.pdfPeta Topografi Provinsi Gorontalo Sumber. Hasil Pengolahan Data Perubahan Penutupan

Hutan merupakan anugerah dan amanat dari Allah Swt untuk bangsa Indonesia begitupun untuk warga Gorontalo. Sebagai amanat, hutan harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal serta dijaga kelestariannya, sesuai pasal 3 Undang-Undang (UU) No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan antara lain disebutkan bahwa penyelenggaraaan kehutanan bertujuan untuk sebesar-besarnya

kemakmuran rakyat dan berkelanjutan dengan menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional serta mengoptimalkan fungsi konservasi, fungsi lindung dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya, dan ekonomi yang seimbang dan lestari.

Dalam rangka optimalisasi fungsi dan manfaat hutan, berdasarkan pasal 18 UU No.41 Tahun 1999, pemerintah telah berupaya mempertahankan kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan lahan untuk setiap Daerah Aliran Sungai (DAS) dan atau pulau, yaitu minimal 30% (tiga puluh persen) dari luas DAS dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional.

Tutupan Lahan pada kawasan hutan, terutama yang terkait dengan tutupan hutan sangat dinamis dan berubah dengan cepat diman kondisi hutan semakin menurun dan berkurang luasnya. Berdasarkan hasil penelitian Revilla (1993), Indonesia kehilangan penutupan hutan setiap tahunnya selama tahun 1972 – 1990 seluas 840.000 ha/tahun atau seluas 0.68% per tahun. Penelitian FAO tahun 1990 juga menunjukkan bahwa penutupan lahan di Indonesia telah berkurang 74% menjadi 54% dalam kurun waktu 30 – 40 tahun (FAO,1990). Berdasarkan penaksiran sumberdaya hutan yang dilakukan oleh FAO (1993) laju deforestasi tahunan selama 1981 – 1990 di Indonesia mencapai luas 1,2 juta ha/tahun, menduduki tempat kedua setelah Brazil. Sedangkan berdasarkan penaksiran sumberdaya hutan yang dilakukan FAO (2002), laju deforestasi pada tahun 1990- 2000 naik menjadi 1,31 juta ha/tahun.

Untuk skala nasional Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dalam hal ini dilakukan oleh Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan tata Lingkungan, telah melakukan perhitungan angka deforestasi Indonesia secara periodik yang dimulai tahun 1990. Namun untuk skala provinsi perlu dilakukan perhitungan oleh satuan kerja wilayah yaitu Balai Pemantapan Kawasan Hutan. Oleh karena kebutuhan data dan informasi perhitungan deforestasi secara periodik tahun 1996 -2016 provinsi Gorontalo disajikan di artikel ini.

Metodologi

Data yang digunakan dalam perhitungan deforestasi adalah data digital yang tersedia pada Balai Pemantapan Kawasan Hutan Provinsi Gorontalo pada tingkat ketelitian skala 1 : 250.000, data tersebut meliputi:

1. Peta Dasar Digital skala 1 : 250.000.

2. Data digital tutupan lahan hasil penafsiran Citra Landsat L5 TM Tahun 1990.

3. Data digital tutupan lahan hasil penafsiran Citra Landsat LDCM (The Landsat Data Continuity Mission) L8 Oli Tahun 2016.

4. Data digital kawasan hutan penetapan 2016 BPKH Wilayah XV Gorontalo. Data ini tidak bisa dijadikan sumber acuan garis batas dan fungsi di lapangan.

5. Data pendukung lainnya.

Deforestasi di Dalam dan Luar Kawasan Hutan Provinsi Gorontalo

Periode Tahun 1996 – 2016

Oleh : Akbar MahmudFungsional PEH BPKH Wilayah XV Gorontalo

Hutan dan Kehutanan Hutan dan Kehutanan

Proses Lengkap Perhitungan Deforestasi Provinsi Gorontalo

Hasil perhitungan Deforestasi Provinsi Gorontalo Periode Tahun 1996 – 2016

Angka deforestasi yang dimaksud dalam artikel ini adalah deforestasi netto yaitu hasil dari pengurangan angka deforestasi bruto dengan reforestasi. Oleh karena itu, sebelum menyajikan angka deforestasi netto maka terlebih dahulu akan disajikan angka deforestasi bruto dan reforestasi provinsi Gorontalo.Deforestasi Bruto

Deforestasi bruto yaitu luas perubahan kondisi tutupan lahan dari kelas lahan kategori hutan (berhutan) menjadi kelas tutupan lahan kategori non hutan (tidak berhutan). Perubahan tersebut berdasarkan data digital hasil penafsiran Citra Landsat tahun 1996 dan 2016. Angka deforestasi bruto provinsi Gorontalo tahun 1996 – 2016 sebesar 187.287,82 ha. Perubahan tutupan lahan hutan menjadi non hutan paling be-sar terjadi pada tahun periode 1996 – 2000 sebesar 95.159,73 ha atau sebesar 50,8%.

ReforestasiReforestasi yaitu luas perubahan kondisi tutupan lahan dari kelas lahan kategori tidak berhutan menjadi kelas tutupan lahan kategori berhutan. Perubahan tutupan lahan tidak berhutan menjadi berhutan dapat terjadi melalui aktifitas penanaman baik yang dilakukan dalam upaya produksi hasil hutan kayu, pertum-buhan tanaman atau upaya rehabilitasi hutan dan lahan. Reforestasi ini dapat terjadi di areal izin usaha hutan tanaman maupun rehabilitasi. Angka Reforestasi provinsi Gorontalo tahun 1996 – 2016 sebesar 1.308,66 ha. Perubahan tutupan lahan hutan menjadi non hutan paling besar terjadi pada tahun periode 2015 – 2016 sebesar 764,46 ha atau sebesar 58,4%.

Gambar : Alur Proses Perhitungan Deforestasi

| 15 14 |

Page 9: Susunan Redaksi Gofasa Daftar Isibpkh15gorontalo.info/wp-content/uploads/2018/04/Gofasa-Edisi-3.pdfPeta Topografi Provinsi Gorontalo Sumber. Hasil Pengolahan Data Perubahan Penutupan

Hutan dan Kehutanan

Deforestasi NettoBerdasarkan hasil penafsiran Citra Landsat LDCM liputan tahun 1996 dan 2016 telah disusun Peta Defor-estasi Provinsi Gorontalo tahun 1996 – 2016 sebagaimana tersaji pada gambar berikut.

Luas deforestasi tahun 1996 – 2016 merupakan hasil perhitungan selisih antara luas perubahan tutupan lahan berhutan (hutan primer, hutan sekunder dan hutan tanaman) pada hasil penafsiran liputan tahun 1996 menjadi tutupan lahan tidak berhutan pada hasil penafsiran liputan tahun 2016. Berdasarkan per-hitungan selisih deforestasi bruto dan reforestasi, maka diperoleh hasil selengkapnya sebagai berikut:

Hutan dan Kehutanan

Deforestasi Netto Di Dalam Kawasan Hutan Provinsi Gorontalo

Berdasarkan hasil deforestasi netto terse-but berikut disajikan diagram deforestasi didalam kawasan hutan provinsi Goron-talo periode tahun 1996 – 2016 .

Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa deforestasi terbesar terjadi di kawasan Hutan Produksi Terbatas sebesar 34,5 ribu ha atau 13,6% dari luas kawasan HPT.

Deforestasi Netto Di Luar Kawasan Hutan Provinsi GorontaloLaju deforestasi yang terjadi Diluar Ka-wasan Hutan pada tahun 2000 menjadi deforestasi terbesar seluas 63,4 ribu ha atau sebesar 60,4% dari total luas de-forestasi diluar kawasan hutan periode tahun 1996 – 2016.

Referensi :Olah Data Penutupan Lahan Provinsi Gorontalo Tahun 1996-2016

| 17 16 |

Page 10: Susunan Redaksi Gofasa Daftar Isibpkh15gorontalo.info/wp-content/uploads/2018/04/Gofasa-Edisi-3.pdfPeta Topografi Provinsi Gorontalo Sumber. Hasil Pengolahan Data Perubahan Penutupan

Hutan dan Kehutanan Hutan dan Kehutanan

mulai dari grade navigasi sampai Grande geodetik. L1 sendiri dibagi 2 yaitu C/A code untuk kepentingan sipil dan P(Y) code untuk kepentingan militer.

2. Frekuensi L2 merupakan frekuensi baru yang dikembangkan pada tahun 1995. Frekuensi L2 lebih presisi daripada frekuensi L1 dan hanya bisa diterima receiver tipe geodetik dan sebagian receiver tipe mapping. Receiver yang mendukung penerimaan dual frequency (l1 dan L2) memungkinkan untuk melakukan diferensial GPS processing untuk memperoleh data posisi dengan akurasi sentimeter sampai milimeter.

3. Frekuensi L3 merupakan frekuensi sangat presisi yang hanya digunakan untuk kepentingan militer, yaitu untuk kepentingan peledakan nuklir.

4. Frekunesi L4 dan L5 tidak ditransmisikan ke permukaan bumi dan hanya digunakan untuk mengkaji pengaruh ionosfer terhadap sinyal GPS dan kemungkinan koreksinya.

Pada kesempatan ini, kita akan membahas Pengukuran GPS GNSS untuk survei lapangan dalam rangka survey GCP dan ICP. Ground Control Point (GCP) atau titik kontrol tanah merupakan objek di permukaan bumi yang dapat diidentifikasi dan memiliki informasi spasial sesuai dengan sistem referensi pemetaan. Informasi spasial dalam bentuk koordinat X, Y, Z atau Lintang Bujur dan ketinggian dari setiap GCP diukur dengan menggunakan GPS geodetik berketelitian sub-meter. Keperluan GCP yang paling utama adalah proses georeferensi hasil pengolahan foto sehingga memiliki sistem referensi sesuai dengan yang dibutuhkan pada hasil pemetaan. GCP ini juga digunakan pada saat data processing untuk membantu proses koreksi geometri pada mosaic orthophoto, sehingga akurasi dari peta yang dihasilkan akan tinggi.

Gambar. Patok Premark GCP

Pada dasarnya, penggunaan GCP bersifat opsional. GCP membantu meningkatkan akurasi peta yang dihasilkan (hingga ± 10 cm), sehingga konsekuensi tidak digunakannya GCP hanyalah akurasi peta yang dihasilkan menjadi rendah (antara ± 6 – 12 m. Setiap GCP harus memiliki premark atau tanda agar dapat terlihat pada foto udara. Premark dapat berupa lingkaran atau tanda silang ( + ) yang memiliki 4 sayap dan memotong titik kontrol.

Spesifikasi pada tahapan pelaksanaan survei GCP adalah :1. Pemilihan objek GCP sesuai kriteria pemilihan objek2. Pelaksanaan survei GCP dilakukan menggunakan

salah satu atau kombinasi dari dua metode tersebut dibawah ini :

a. Static Relative GPS / GNSS positioning (static diferensial) yang terikat kepada Jaring Kontrol Geodesi Nasional.

b. Realtime Kinematic Diffrential GPS (RTK DGPS), menggunakan koreksi dari stasiun pengamatan geodetik tetap / kontinu atau CORS (Continuously Operating reference Station).

3. Koordinat yang dihasilkan adalah Geografis dan UTM, dan terikat dalam SRGI 2013.

4. Untuk mendapatkan tinggi orthometrik (acuan vertikal), setelah didapatkan koordinat dan tinggi ellipsoid dari masing – masing titik, maka diambil data undulasi geoid dari website srgi.big.go.id, kemudian didapat tinggi orthometrik dari masing – masing titik.

Gambar . Blangko pengukuran GCPSpesifikasi pengolahan data GCP adalah sebagai berikut :1. Nilai koordinat GCP yang dihasilkan mengacu pada

SRGI20132. Pengolahan data GPS disesuaikan dengan metode

yang digunakan3. Ketelitian hasil pengukuran harus memenuhi

persyaratan ketelitian akurasi horizontal ≤ 20 cm4. Ketelitian hasil pengukuran harus memenuhi

persyaratan ketelitian akurasi vertikall ≤ 20 cmSpesifikasi dalam Penyusunan Basis Data adalah sebagai berikut :1. Penyusunan Manajemen data disesuaikan dengan

struktur manajemen data2. Data GPS disusun dalam bentuk ascii (.csv) dan

GDB Ike (.gdb) dengan susunan basisdata.

Referensi :Laporan hasil pengukuran GCP dan ICP Kec. Anggrek dan

Kec, Kwandang Kab. Gorontalo Utara Tahun 2016http://aerogeosurvey.com/2016/09/08/apa-itu-ground-

control-point-gcp/

| 19 18 |

dengan beberapa desimeter.3. Tipe Geodetik yang dapat memberikan ketelitian

posisi hingga mencapai milimeter. Tipe ini biasa digunakan untuk aplikasi precise positioning seperti pembangunan jaring titik kontrol, survey deformasi dan geodinamika.

Gambar. Premark GCP

GPS Geodetik merupakan GPS yang mempunyai kemampuan untuk menangkap signa L1, L2 atau GNSS. GPS Geodetik mempunyai kemampuan untuk merekam Raw data, yang dapat dikonversi ke dalam format RINEX. Pada saat pengukuran dengan menggunakan GPS Geodetik, minimal diperlukan dua alat GPS Geodetik untuk mendapatkan ketelitian tinggi sebagai base stadion dan sebagi rover.

Aplikasi dari GPS Geodetik antara lain :1. Pengukuran GCP (Ground Control Point) dan ICP

(Independent Control Point)2. Untuk penentuan batas wilayah misalnya dalam

penentuan batas negara, batas antar wilayah3. Pemetaan Topografi4. Pemetaan Volume5. Stake laut : mencari koordinat di lapangan

6. Penentuan titik – titik bor

Sinyal GPS satelit dipancarkan dalam beberapa frekuensi mulai dari frekuensi L1 sampai L5.1. Frekuensi L1 merupakan frekuensi yang di masa

lalu dikenal sebagai Coarse Acquisition (C/A) Code dan Encrypted Precision P(Y) Code. L1 merupakan frekuensi yang diterima di kebanyakan receiver

Pemetaan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) memerlukan sistem referensi koordinat nasional sebagai titik ikat yaitu titik referensi Jaring Kontrol Geodesi Nasional agar semua peta RDTR terikat pada satu datum yang sama yaitu Datum SRGI2013. Pada proses pengukuran diperlukan alat GPS geodetik untuk mendapatkan koordinat GCP dan ICP baik horizontal maupun vertikal. Pengamatan dan pengukuran di lapangan perlu memperhatikan alat dan metodenya agar hasil yang didapatkan sesuai dengan spesifikasi peta skala 1 : 5000.

GNSS (Global Navigation Satellite System) adalah penentuan posisi dengan menggunakan satelit. Sistem ini didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga-dimensi serta informasi mengenai waktu, secara kontinyu di seluruh dunia tanpa bergantung waktu dan cuaca, bagi banyak orang secara simultan. Saat ini GNSS sudah banyak digunakan orang di seluruh dunia dalam berbagai aplikasi yang menuntut informasi tentang posisi, kecepatan, percepatan ataupun waktu yang diteliti. GNSS dapat memberikan informasi posisi dengan ketelitian bervariasi dari beberapa milimeter (orde nol) sampai dengan puluhan meter. Saat ini, terdapat 4 macam GNSS yang telah dan akan beroperasi secara penuh pada beberapa tahun ke depan, yaitu GPS – Global Positioning System (Amerika), GLONASS – Global Navigation Satellite System (Rusia), Beidou (Kompas-China) dan Galileo (Uni Eropa). Terdapat pula satelit navigasi yang beroperasi secara regional pada wilayah negara tertentu, seperti IRNSS (India), QZSS (Jepang) dan DORIS (Perancis).

Ada 3 macam tipe alat GPS, dengan masing – masing memberikan tingkat ketelitian (posisi) yang berbeda – beda, yaitu :1. Tipe Navigasi (Handheld, Handy GPS) tingkat

ketelitian posisi yang diberikan saat ini baru dapat mencapai 3 – 6 meter.

2. Tipe Pemetaan, yang biasa digunakan dalam survey dan pemetaan yang membutuhkan ketelitian posisi sekitar sentimeter sampai

Aplikasi Global Positioning System Global Navigation Satellite System Untuk Pengukuran Ground Control Point dan ICP Oleh : Yusfriandi Dwi Ariesna, A.MdFungsional PEH BPKH Wilayah XV Gorontalo

G lobal Positioning System merupakan sistem untuk menentukan letak di permukaan bumi dengan bantuan penyelarasan sinyal satelit. Sistem ini didesain untuk menentukan posisi tiga dimensi (lintang, bujur dan tinggi geodetik) kapanpun dan dimanapun di seluruh permukaan bumi serta tanpa bergantung cuaca.

Page 11: Susunan Redaksi Gofasa Daftar Isibpkh15gorontalo.info/wp-content/uploads/2018/04/Gofasa-Edisi-3.pdfPeta Topografi Provinsi Gorontalo Sumber. Hasil Pengolahan Data Perubahan Penutupan

Hutan dan KehutananHutan dan Kehutanan

| 21 20 |

e. UPTD KPH Wilayah VI Gorontalo, luas wilayah 84.949 Ha

f. UPTD KPH Wilayah VII Bone Bolango dan Gorontalo kota, luas wilayah 33.599 Ha

Perkembangan Fasilitasi Penyusunan Dokumen Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang oleh BPKH

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.6/Menhut-II/2010 tentang Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria (NSPK) Pengelolaan Hutan pada KPHL dan KPHP, kegiatan fasilitasi penyusunan dokumen tata hutan dan rencana pengelolaan hutan jangka panjang (RPHJP) KPH merupakan tanggung jawab Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan melalui Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah XV Gorontalo. Pertama kalinya pada tahun 2012, BPKH Wilayah XV Gorontalo mulai memfasilitasinya pada KPHL Unit III Pohuwato dan KPHP Unit V Boalemo. Kemudian pada tahun 2013 memfasilitasi penyusunan dokumen tata hutan dan RPHJP pada KPHP Unit IV Gorontalo Utara sedangkan KPHP Unit VI Gorontalo pada tahun 2014. Pada tahun selanjutnya yaitu tahun 2015 memfasilitasi pada KPHP Unit VII Bone Bolango dan pada tahun 2016 giliran KPHL Unit II Pohuwato yang difasilitasi penyusunan dokumen tata hutan dan RPHJPnya. Pada tahun 2017 ini, BPKH Wilayah XV memfasilitasi 1 KPH yang tersisa di Provinsi Gorontalo yaitu KPHP Unit I Pohuwato.

Tabel. Perkembangan Fasilitasi Penyusunan Dokumen Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan KPH

No. Nama KPHTahun Pelaksanaan Fasilitasi Dokumen Tata

Hutan dan RPHJP Progres Keterangan2012 2013 2014 2015 2016 2017

1 KPHP Unit V Boalemo √ Sudah Disahkan

SK. 108/Menhut-II/Reg.4-2/2014tanggal 17 Januari 2014

2 KPHL UNit III Pohuwato √ Sudah Disahkan

SK. 6523/Menhut-II/Reg.4-1/2014tanggal 24 Oktober 2014

3 KPHP Unit IV Gorontalo Utara √ Sudah

DisahkanSK. 6521/Menhut-II/Reg.4-1/2014tanggal 24 Oktober 2014

4 KPHP UNit VI Gorontalo √ Sudah Disahkan

SK. 7315/Menhut-II/Reg.4-1/2014tanggal 5 Desember 2014

5 KPHP Unit VII BoneBolango √ Sudah

DisahkanSK. 6102/MenLHK-KPHP/PK-PHP/HPL.0/11/2016tanggal 4 November 2016

6 KPHL Unit II Pohuwato √ Proses Pengesahan

- Sudah dilakukan expose pada tanggal 2 Mei 2017, karena mendapat nilai <75 sehingga perlu perbaikan

- Hasil perbaikan sudah diajukan kembali pada Bulan Oktober 2017 kepada Direktur KPHL

7 KPHP UNit I Pohuwato √ Proses Pengesahan

- Sudah dilakukan konsultasi publik atas dokumen tata hu-tan pada Bulan September 2017 dan RPHJP pada awal No-vember 2017

- Pada Awal Desember akan dia-jukan pengesahannya kepada Direktur KPHP

KesimpulanDari 7 (tujuh) unit KPH yang ada di Provinsi Gorontalo, 6 (enam) unit telah selesai difasilitasi penyusunan dokumen tata hutan dan rencana pengelolan hutan jangka panjangnya oleh Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XV Gorontalo. Sedangkan satu unit, yaitu KPHP Unit I Pohuwato saat ini sedang dalam proses penyusunan. Diharapkan pada tahun 2018 seluruh unit KPH di Provinsi Gorontalo telah memiliki dokumen tata hutan dan rencana pengelolaan hutan jangka panjang yang sudah disahkan karena dari 6 (enam) unit KPH tersebut baru 5 (lima) unit KPH yaitu KPHL Unit III Pohuwato, KPHP Unit IV Gorontalo Utara, KPHP Unit V Boalemo, KPHP Unit VI Gorontalo dan KPHP Unit VII Bone Bolango yang telah disahkan (memiliki SK RPHJP), sedangkan KPHL Unit II sampai saat ini belum ada SK RPHJPnya (masih dalam proses pengesahan).

KPH sebagai unit operasional pengelolaan hutan dengan luas yang dapat dikelola dan dikontrol secara efektif dan bertanggung jawab atas pengelolaan hutan ditingkat tapak yang responsif terhadap kebutuhan dan kepentingan lokal. Salah satu bagian dari wujud pembentukan KPH adalah serangkaian proses perencanaan/ penyusunan desain kawasan hutan, yang didasarkan atas fungsi

pokok dan peruntukannya, dalam upaya mewujudkan pengelolaan hutan lestari. KPH menjadi bagian dari penguatan sistem pengurusan hutan nasional, provinsi dan kabupaten, yang pembentukannya ditujukan untuk menyediakan wadah bagi terselenggaranya kegiatan pengelolaan hutan secara efisien dan lestari. Sehingga dapat dikatakan bahwa Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) adalah wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari.

Gambar. Peta Perkembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Provinsi Gorontalo

Sejarah Terbentuknya Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) di Provinsi GorontaloKPH di Provinsi Gorontalo terbentuk melalui Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : SK.65/Menhut-II/2010 tanggal 28 Januari 2010 tentang Penetapan Wilayah Kesatuan Pengelolaah Hutan Lindung (KPHL) dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) di Provinsi Gorontalo. Awalnya jumlah unit KPH di Provinsi Gorontalo sebanyak 7 unit, 4 unit KPHP (KPHP Unit I Pohuwato, KPHP Unit IV Gorontalo Utara, KPHP Unit V Boalemo dan KPHP Unit VI Gorontalo) dan 3 unit KPHL (KPHL Unit II Pohuwato, KPHL Unit III Pohuwato dan KPHL Unit VII Bone Bolango). Namun seiring berkembangnya waktu, dengan mempertimbangkan luas fungsi kawasan hutan sesuai SK.325/Menhut-II/2010 tentang penunjukan kawasan hutan bahwa luas areal wilayahnya lebih dominan kawasan hutan produksinya dari pada kawasan hutan lindungnya. Untuk itu pemerintah daerah Bone Bolango mengusulkan perubahan dari KPHL menjadi KPHP melalui Surat Bupati Bone Bolango Nomor : 522/DHT-BB/X/232/2014 tanggal 6 Oktober 2014 tentang usulan perubahan KPHL menjadi KPHP.

Kelembagaan KPH di Provinsi GorontaloAdanya Undang-Undang 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587) sebagaimana telah diubah berapa kali, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah maka pemerintah Provinsi Gorontalo menerbitkan Surat Keputusan Gubernur Nomor : 85 tahun 2016 tanggal 23 Desember 2016 tentang Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesatuan Pengelolaan Hutan Pada Dinas Lingkungan Hidup Dan Kehutanan Provinsi Gorontalo yang mana organisasi/kelembagaan KPH menjadi 6 wilayah kerja dari 7 unit KPH yaitu : a. UPTD KPH Wilayah I dan Wilayah II Gorontalo Barat, luas wilayah 143.943 Hab. UPTD KPH Wilayah III Pohuwato, luas wilayah 116.275 Hac. UPTD KPH Wilayah IV Gorontalo Utara, luas wilayah 105.808 Had. UPTD KPH Wilayah V Boalemo, luas wilayah 96.926 Ha

Perkembangan Fasilitasi Penyusunan Dokumen Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Jangka Panjang KPH di Provinsi Gorontalo

Oleh : Mulyadi, A.MdFungsional PEH BPKH Wilayah XV Gorontalo

Page 12: Susunan Redaksi Gofasa Daftar Isibpkh15gorontalo.info/wp-content/uploads/2018/04/Gofasa-Edisi-3.pdfPeta Topografi Provinsi Gorontalo Sumber. Hasil Pengolahan Data Perubahan Penutupan

Danau Limboto, sebagai danau terbesar di Provinsi Gorontalo, kondisinya semakin memprihatinkan. Salah satu indikasinya adalah bahwa berdasarkan evaluasi

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Danau Limboto ditetapkan sebagai salah satu dari 15 danau prioritas di Indonesia yang akan dipulihkan. Sebagaimana disebutkan dalam Dokumen Gerakan Penyelamatan Danau Limboto (GERMADAN Limboto), penetapan danau prioritas didasarkan pada beberapa faktor, yaitu: (1) kerusakan danau, yang mencakup sedimentasi, pencemaran, serta penurunan kualitas dan kuantitas air yang tinggi; (2) pemanfaatan danau, termasuk di dalamnya adalah pemanfaatan danau untuk Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), pertanian, perikanan, air baku, nilai religi dan budaya, serta pariwisata; (3) komitmen pemerintah daerah dan masyarakat dalam pengelolaan danau; (4) fungsi strategis untuk kepentingan nasional ; (5) keanekaragaman hayati, atau dengan kata lain memiliki spesies ikan, burung, dan vegetasi endemik di dalamnya; (6) berdasarkan tingkat risiko bencana pada perubahan iklim (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2014).Sebagai danau terluas di Provinsi Gorontalo, keberadaan Danau Limboto mempunyai fungsi yang sangat strategis. Secara ekologi, Danau Limboto berperan sebagai reservoir alami limpasan air sungai yang masuk dari daerah tangkapan airnya, atau dengan kata lain berfungsi mengendalikan banjir di daerah sekitar danau. Danau Limboto juga berfungsi sebagai pengatur fungsi hidrologi, penstabil sistem dan proses-proses alam, dan mengandung keanekaragaman hayati yang tinggi, baik berupa flora maupun fauna. Secara ekonomi, Danau Limboto merupakan sumber perikanan baik tangkap atau budidaya, serta merupakan sumber air bersih dan juga air untuk pertanian. Selain itu, Danau Limboto juga difungsikan sebagai tempat wisata dan juga sehingga mendukung peningkatkan perekonomian setempat, dan juga Danau Limboto dipergunakan sebagai sarana pendidikan dan penelitian (Gobel & Koton, 2016).Laju degradasi Danau Limboto sangat mengkhawatirkan. Terjadi penurunan yang sangat drastis dari segi luasan, kedalaman, dan kualitasnya. Berdasarkan data dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2014), luas Danau Limboto mengalami penurunan yang signifikan. Pada tahun 1932 luas Danau Limboto sekitar 7.000 Ha, kemudian turun menjadi 4.250 pada tahun 1961, dan pada tahun 2008 menjadi tinggal 3.000

Agroforestri, Sistem Pengelolaan Lahan Berbasis Konservasi Tanah dan Air untuk Mengendalikan Laju Pendangkalan Danau LimbotoOleh : Agus Budi Priyanto, S. Hut.Staff BPDAS Bone Bolango

Hutan dan Kehutanan

Ha. Demikian pula dengan kedalamannya, di mana pada tahun 1932 kedalaman Danau Limboto rata-rata sedalam 30 m, kemudian turun menjadi rata-rata 10 m pada tahun 1961, dan pada tahun 2008 kedalaman rata-rata Danau Limboto tinggal sekitar 2,5 m, sehingga dikhawatirkan dalam beberapa dekade ke depan Danau Limboto Seluruhnya akan menjadi daratan .Pendangkalan Danau Limboto yang terjadi terus me-nerus memberikan dampak buruk bagi lingkungan di sekitarnya. Bencana banjir semakin meningkat dari tahun ke tahun dikarenakan semakin menurunnya daya tampung danau terhadap air, sehingga ketika terjadi hujan dengan intensitas yang tinggi danau akan segera terpenuhi air dari 23 sungai yang ber-muara ke dalam Danau Limboto. Hal ini menyebab-kan air danau akan meluap kembali ke daratan di sekitar danau dan air dari bagian hulu dan tengah dan daerah tangkapan air tidak bisa tertampung dan mengakibatkan banjir.

Ada beberapa faktor yang memicu pendangkalan Danau Limboto. Faktor-faktor tersebut di antara-nya adalah sedimentasi yang disebabkan oleh erosi tebing sungai, longsor dan erosi lahan di bagian hulu DAS Limboto. Selain itu, pendangkalan Danau Limboto juga disebabkan oleh penggunaan gun-dukan tanah dari darat dan batang-batang pohon yang digunakan sebagai perangkap ikan oleh para nelayan, sehingga lama-kelamaan gundukan tanah dan batang-batang pohon akan mengendap di dasar danau.

Sedimentasi dan erosi yang memicu pendangkalan Danau Limboto tidak lepas dari kondisi hulu DAS Limboto. Sebagaimana diketahui bahwa Danau Limboto merupakan bagian hilir dari DAS Limboto.

Menurut data Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung Bone Bolango (BPDAS HL Bone Bolango), sekitar 43% dari luas DAS Limboto dalam kondisi kri-tis. Akibat dari luasnya lahan kritis tersebut maka laju erosi dan sedimentasi DAS Limboto sangat tinggi. Di mana diperkirakan laju sedimentasinya adalah sebe-sar lima juta ton per tahun.

Dalam hasil penelitian Olii and Kironoto (2013) dise-butkan bahwa penyebab lahan kritis di DAS Limboto adalah tingginya laju perambahan hutan, perubahan fungsi hutan menjadi lahan budidaya pertanian, serta praktik perladangan berpindah yang dilakukan oleh para petani tradisional. Sebuah realitas bahwa masih banyak petani di DAS Limboto yang mengolah lahan tanpa mempergunakan teknik-teknik konservasi tan-ah dan air sehingga semakin memperbesar laju erosi.

Isu paling pokok dari penyebab lahan kritis di DAS

Hutan dan Kehutanan

Limboto adalah perladangan berpindah (shifting cultivation) dan budidaya pertanian pada lahan dengan topografi miring tanpa melakukan praktik konservasi tanah dan air (Gobel & Koton, 2016).

Pada kegiatan perladangan berpindah masyarakat membuka lahan untuk dijadikan areal budidaya pertanian lahan kering dengan komoditi tanaman semusim berupa jagung, cabe, tomat, dan kacang tanah. Pembukaan lahan dilakukan dengan cara dibakar. Hal ini dilakukan karena dengan cara diba-kar tidak memerlukan biaya besar dan dapat di-lakukan dalam waktu yang cepat. Selain itu, pada perladangan berpindah masyarakat tidak memper-gunakan pupuk sehingga kesuburan dan produktiv-itas lahan perlahan menurun sehingga untuk men-gatasinya maka dilakukan pembukaan lahan baru. Perambahan hutan, alih fungsi lahan hutan men-jadi lahan pertanian, perladangan berpindah, dan pengolahan lahan pertanian tanpa menggunakan teknik-teknik konservasi tanah mutlak harus dihen-tikan agar lahan kritis di hulu DAS Limboto semakin berkurang, laju erosi berkurang, dan pendangkalan Danau Limboto dapat dikendalikan.

Program yang sudah dijalankan selama ini untuk mengatasi lahan kritis adalah program penghijauan dan reboisasi. Akan tetapi, program penghijauan dan reboisasi yang selama ini telah dilaksanakan dengan menghabiskan dana yang besar belum menunjukkan hasil yang optimal.

Soemarwoto (1994) mengungkapkan bahwa pro-gram penghijauan dan reboisasi pada hakikatnya adalah menurunkan daya dukung lingkungan. Hal ini disebabkan karena pada program penghijauan, pohon ditanam di lahan petani sehingga luasan la-han pertanian yang ditanami tanaman pertanian menjadi berkurang. Naungan pohon yang ditimbul-kan juga mengurang produktivitas lahan garapan. Oleh karena itu petani enggan untuk merawat atau bahkan mematikan pohon yang dditanam lewat program penghijauan tersebut.

Salah satu sistem yang bisa digunakan untuk men-gatasi hal tersebut di atas, terutama dalam mem-pertahankan daya dukung lingkungan (carrying capacity) adalah sistem agroforestri. Agroforestri merupakan salah satu sistem pengelolaan lahan dengan tujuan untuk mengurangi kegiatan peru-sakan/perambahan hutan sekaligus meningkatkan penghasilan petani secara berkelanjutan dan seka-ligus mempraktikkan pengelolaan lahan berbasis konservasi lahan (Sudarmanah, 2017).

Menurut Hairiah, Sardjono, dan Sabarnurdin (2003), banyak manfaat yang dimiliki oleh sistem agrofor-estri, baik secara ekonomi, ekologi, ataupun sosial. Manfaat ekonomi sistem agroforestri adalah men-ingkatkan hasil produksi suatu lahan dengan pena-naman berbagai macam komoditi bernilai ekonomi dan menyediakan lapangan pekerjaan baru bagi masyarakat. Manfaat ekologinya adalah konservasi lahan (tanah dan air) manjadi bagian tak terpisah-

kan dari sitem ini. Pada sistem ini tanaman kayu-kayuan yang ditanam diharapkan dapat melindungi tanah dari butiran air hujan secara langsung yang dapat menyebabkan aliran permukaan. Sedangkan manfaat secara sosial adalah sistem agroforestri di-harapkan dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat.

Pada dasarnya kesadaran akan konservasi lahan telah ada sejak lama. Akan tetapi para petani bi-asanya terkendala dalam hal pembiayaan untuk melakukan atau menerapkan teknik konservasi tersebut. Hal ini disebabkan pendekatan yang di-lakukan pada kegiatan konservasi tanah dan air masa lalu adalah pada pembuatan bangunan kon-servasi berupa teras, parit, guludan, dan bangunan konservasi lahan lainnya (Soedjoko, 2002).

Kebanyakan petani di Provinsi Gorontalo adalah petani tradisional, mereka belum menerapkan teknik-teknik konservasi tanah dan air dalam prak-tik pertaniannya. Lahan-lahan miring ditanami den-gan tanaman semusim seperti jagung, cabe, dan tomat tanpa memperhatikan arah kelerengan dan tanpa membuat teras sehingga mengakibatkan laju erosi dan sedimentasi semakin tinggi. Praktik-praktik pengolahan lahan pertanian seperti ini juga mendominasi daerah hulu DAS Limboto, yang se-cara langsung memberi andil terhadap laju pendan-gkalan Danau Limboto.

Menurut Widianto dan Suprayogo (2003), dengan sistem agroforestri petani dapat mengkombinasi-kan tanaman kayu-kayuan dengan tanaman se-musim dan atau hewan ternak di dalamnya. Pada sistem agroforestri ini lahan dengan topografi mir-ing dapat ditanami dengan tanaman semusim yang dikombinasikan dengan tanaman kayu-kayuan dengan arah penanaman mengikuti garis kontur dengan menambahkan teknik konservasi lahan berupa terasering. Selain itu juga ditanam rumput gajah atau sereh yang digunakan sebagai tanaman penahan. Penggunaan rumput gajah dan sereh ini dengan maksud agar rumput gajah bisa digunakan sebagai hijauan pakan ternak dan sereh digunakan sebagai bumbu masakan, di mana sereh banyak di-gunakan dalam masakan masyarakat Gorontalo.

Beberapa tahun belakangan ini sistem agroforestri sudah mulai dikenalkan dan dikembangkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Dinas Kehutanan di Provinsi Gorontalo. Pro-gram ini terutama difokuskan di daerah tangkapan air (catchment area) DAS Limboto yang merupa-kan bagian dari usaha pemulihan DAS Limboto yang kritis yang sekaligus sebagai usaha mengen-dalikan laju pendangkalan Danau limboto. Akan tetapi pelaksanaan program ini masih belum berja-lan dengan optimal dan masih banyak petani yang belum tahu tentang sistem agroforestri dan keun-tungannya.

Oleh karena itu perlu usaha yang lebih intensif lagi oleh semua pemangku kepentingan sesuai dengan

| 23 22 |

Page 13: Susunan Redaksi Gofasa Daftar Isibpkh15gorontalo.info/wp-content/uploads/2018/04/Gofasa-Edisi-3.pdfPeta Topografi Provinsi Gorontalo Sumber. Hasil Pengolahan Data Perubahan Penutupan

Hutan dan Kehutanan

kapasitasnya masing-masing dalam usaha menyelamatkan Danau Limboto untuk mengenalkan dan mey-akinkan para petani di bagian hulu DAS Limboto khususnya untuk mempraktikkan sistem agroforestri ini. Usaha konservasi lahan akan berhasil apabila ada partisipasi masyarakat terutama petani di dalamnya. Par-tisipasi masyarakat sendiri akan terus meningkat apabila sudah melihat keuntungan dari program agrofor-estri ini. Oleh karena itu pendampingan dan penyuluhan tentang manfaat sistem agroforestri harus terus dilakukan.

REFERENSIGobel, E. Z., & Koton, Y. P. (2016). Pengelolaan Danau Limboto dalam Perspektif Kebijakan Publik: Deepub-

lish.Hairiah, K., Sardjono, M. A., & Sabarnurdin, S. (2003). Pengantar agroforestri. Bogor: ICRAF, 32. Kementerian Negara Lingkungan Hidup, K. (2014). Gerakan Penyelamatan Danau Limboto. Jakarta.Olii, M. R., & Kironoto, I. B. A. (2013). Analisis Kekritisan dan Arahan Konservasi Lahan Daerah Aliran Sungai

(DAS) Limboto Provinsi Gorontalo. Jurnal Geografi Indonesia. Soedjoko, S. A. (2002). Pengelolaan Sumberdaya Lahan. Paper presented at the Makalah Workshop Kon-

servasi Sumberdaya Hutan Yogyakarta.Soemarwoto, O. (1994). Ekologi, lingkungan hidup, dan pembangunan. Jakarta: Djambatan.Sudarmanah, L. (2017). Agrowisata dalam Upaya Konservasi Tanah dan Air. digilib. uinsgd. ac. id, 1-20. Widianto, N. W., & Suprayogo, D. (2003). Pengelolaan dan Pengembangan Agroforestri. Worldagroforestry.

org.

| 25 24 |

Perubahan tutupan lahan terjadi hampir di setiap Indonesia memegang peranan penting dalam fenomena migrasi burung. Di dunia dikenal beberapa jalur migrasi burung yaitu pasific Americas, Central Americas, East Atlantic, Black Sea/ Mediterania, East Asia/ East Africa, Central Asia dan East Asia/ Australasia. Diantara jalur migrasi tersebut jalur East Asia/Australasia adalah yalur yang melewati Indonesia.

Jenis burung migran yang ada di Danau Limboto di dominasi oleh jenis Scolopacidae antara lain Kedidi Leher Merah (Calidris ruficollis); Kedidi Golgol (Calidris ferruginea); Kedidi Ekor Tajam (Calidris acuminate); Kedidi Jari Panjang (Calidris subminuta); Trinil Pantai (Actitis hypoleucos); Trinil Rawa (Tringa stagnatilis); Trinil Kaki Hijau (Tringa nebularia); Trinil Kaki Merah (Tringa tetanus); Trinil Semak (Tringa glareola); Gajahan Kecil (Numenius minutes); Gajahan Penggala (Numenius phaeopus) (data dari Biodiversitas Gorontalo tahun 2016)

Pada tanggal 13 Agustus 2015 pukul 12.05 WITA Rosyid Azhar berhasil memotret kehadiran burung Kedidi Golgol (Calidris ferruginea) di Danau Limboto. Burung ini merupakan jenis burun migran yang berasal dari Victoria dan telah menempuh perjalanan dengan jarak terbang 4794 km. Hal

ini menunjukan bahwa peristiwa migrasi burung benar-benar terjadi dan Indonesia khususnya Danau Limboto memegang peranan penting dalam jalur migrasi East Asia/Australasia.

Keberadaan burung migran di danau limboto kini semakin terancam. Pendangkalan danau, penembakan burung, pembangunan disekitar danau pembuangan sampah menjadi faktor pemicu berkurangnya arus migrasi burung ke danau limboto.

Upaya Pelestarian Burung Migran di Danau Limboto

Oleh : RirinFungsional PEH BKSDA Gorontalo

S etiap tahun terjadi fenomena alam yang luar biasa di Indonesia, dimana jutaan burung migran akan terbang dan singgah ke Indonesia untuk beristirahat dan mencari makan, peristiwa ini dikenal dengan migrasi burung. Burung-burung migran tersebut akan

menempuh jarak ribuan mill dari tempat asalnya dibelahan bumi bagian utara tempat berbiak untuk terbang ke belahan bumi bagian selatan untuk mencari makan. Di Indonesia waktu migrasi burung terjadi setiap tahun yaitu dari bulan Maret sampai dengan November dan puncaknya adalah pada sekitar bulan Juli sampai dengan bulan September.

Hutan dan Kehutanan

Kedidi Golgol, Curlew Sandpiper, (Calidris ferruginea) Teramati pada 13 Agustus 2015 jam 12.05 WITA oleh

Rosyid Azhar

Page 14: Susunan Redaksi Gofasa Daftar Isibpkh15gorontalo.info/wp-content/uploads/2018/04/Gofasa-Edisi-3.pdfPeta Topografi Provinsi Gorontalo Sumber. Hasil Pengolahan Data Perubahan Penutupan

Peran Arsip Dalam Pemantapan Kawasan HutanOleh : Nur Khasanah, A.MdFungsional Arsiparis BPKH Wilayah XV Gorontalo

Dunia Arsip

H utan secara garis besar merupakan kumpulan antara flora dan fauna yang mendiami suatu area tertentu dan menciptakan suatu ekosistem tertentu.

Di dalam ekosistem hutan terdapat berbagai komponen yang memiliki keterkaitan satu sama lain, sehingga tercipta interaksi yang hasilnya bermanfaat untuk manusia. Manfaat tersebut yakni sebagai penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup berjuta flora dan fauna. Di samping itu, hutan berperan sebagai penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan global. Dengan kata lain, hutan bermakna positif untuk manusia bila berkembang dan dimanfaatkan dengan baik.

Berdasarkan fungsinya, hutan dapat dibagi menjadi Hutan Lindung, Hutan Suaka Alam, Hutan Wisata, Hutan Konservasi dan Taman Nasional, Hutan Lindung, Hutan Konversi, Hutan Produksi Terbatas dan Hutan Produksi Tetap. Sedangkan, berdasarkan jenisnya dapat dibagi menjadi hutan homogen dan heterogen. Adanya kepentingan manusia untuk memperoleh manfaat hutan berdampak pada penjagaan hutan agar tetap lestari. Melalui upaya tersebut diharapkan kebutuhan manusia terhadap sumberdaya hutan, mendorong berbagai upaya untuk menjaga agar hutan tetap lestari. Keseimbangan ekosistem yang ada dalam hutan terjaga, sekaligus hutan tersebut dapat dimanfaatkan oleh manusia. Campur tangan manusia inilah yang terkadang harus tetap diatur dalam sebuah “aturan main yang bijak”. Adakalanya, tangan-tangan jahil manusia sering merusak tatanan ekosistem yang ada. Tangan-tangan jahil yang saling bergesekan inilah yang terkadang membuat kerusakan hutan terjadi.

Tentunya, arsip tersebut bila diberkas dengan baik dapat menjelaskan secara utuh bagaimana posisi suatu kawasan hutan tersebut. Arsip Kawasan hutan tentunya menjelaskan batas-batas hutan, sumber daya alam yang terkandung di dalamnya, pemanfaatan hutan yang dilakukan oleh penduduk sekitar, penguasaan terhadap pihak ke III, dan informasi lainnya yang berkaitan dengan suatu kawasan hutan.

Arsip Untuk Pemantapan Kawasan Hutan

Arsip yang terjaga yakni dapat dilihat bentuknya secara fisik maupun terbaca informasi dan utuh. Arsip terjaga tentunya dapat memberikan informasi secara menyeluruh. Arsip tentang sumberdaya hutan yang terjaga dengan baik, tentunya dapat memberikan informasi yang menyeluruh tentang

tipologi suatu kawasan hutan yg berguna untuk berbagai keperluan. Arsip dan dan informasi tersebut diantaranya adalah pengukuran, pemasangan tanda, sosialisasi terhadap penduduk sekitar, dan persetujuan dari pihak yang terkait. Bila suatu peristiwa terjadi misalnya, permasalahan hukum, penyalahgunaan untuk kegiatan pertambangan, pembalakan liar, perijinan atau pendirian suatu bangunan pada kawasan hutan. Maka arsip sebagai penentu maupun referensi bagi sebuah kebijakan yang akan diambil. Bilamana arsip tidak diperoleh maka kita akan tergagap-gagap karena kurangnya informasi yang ada.

Arsip menjadi penting saat dibutuhkan, namun menjadi tak penting saat kita tak membutuhkan informasi dari arsip tersebut. Pengelolaan arsip yang benar dan tepat tentunya arsip yang memiliki arti penting dalam sebuah kegiatan. Ada banyaknya arsip yang tercipta, terkadang membingungkan bagi sang pengguna. Beda halnya dengan pencipta arsip yang tentu saja tahu, mana arsip yang benar dan mana arsip yang tidak berkaitan dengan suatu kegiatan. Semua arsip yang tersimpan bisa jadi tidak memiliki nilai guna di kemudian hari. Sehingga, tak semua arsip yang tercipta harus disimpan. Hanya arsip yang bernilai gunalah yang disimpan untuk dijaga. Pemilahan arsip merupakan bagian dari pengelolaan arsip. Pemilahan ini dilakukan untuk memilah mana arsip yang bernilai guna maupun arsip yang tidak memiliki nilai guna. Tentunya, pemilihan arsip tidak asal, namun menggunakan aturan-aturan dari lembaga yang berwenang.

Arsip Untuk Masyarakat

Masyarakat dalam hal ini, merupakan masyarakat yang berhubungan dengan pemanfaatan hutan. Arsip tentang kehutanan sangat dibutuhkan oleh masyarakat atau untuk melayani kepentingan masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya hutan dan lahan. Misal, surat akte tanah sebuah ladang yang diolah ternyata masih dalam kawasan hutan. Tentunya, akan dibutuhkan pembuktian-pembuktian yang diperlukan mengenai legalitas dari akta tanah tersebut, serta perijinan yang terkait pemanfaatan lahan.

| 27 26 |

Upaya perlindungan terhadap burung migran sudah banyak dilakukan baik oleh instansi pemerintah maupun pihak swasta dan para ilmuwan dan pemerhati lingkungan. Upaya perlindungan terhadap burung migran memerlukan kerjasama internasional untuk secara bersama-sama melindungi habitat tempat burung bermigrasi singgah.

Sejak tahun 1993 telah digagas suatu kegiatan dengan nama International Migratory Bird Day (IMBD) di Amerika, namung gaung perlindungannya hanya sebatas di belahan bumi bagian barat saja sementara perlindungan terhadap burung migran harus mencangkup wilayah yang lebih luas lagi. Pada tanggal 8 – 9 April tahun 2006 Perayaan World Migratory Bird Day (WMBD) kemudian diluncurkan pada 2006 oleh AEWA dan Convention on Migratory Species (CMS) di Kenya. Sejak itulah WMBD diperingati setiap tahun secara global dengan melibatkan berbagai pihak termasuk masyarakat secara luas.

Di gorontalo sendiri upaya perlindungan terhadap burung migran sudah banyak dilakukan oleh pemerhati lingkungan antara lain dari Burung Indonesia, Biodiversitas Gorontalo (BIOTA) bersama Balai Konservasi Sumber Daya Alam Sulawesi Utara Seksi Konservasi Wilayah II Gorontalo. Kegiatan penyuluhan dan sosialisasi, pameran foto burung, awareness tentang burung migran ke sekolah-sekolah sampai pemilihan duta burung migran sudah dilakukan, bahkan gorontalo ikut serta dalam kegiatan WMBD tahun 2017 dengan tema “Their Future is Our Future “ bersama negara lain yang juga dilintasi oleh burung migran seperti Korea Selatan, India, Jepang dan Filipina, yang diselenggarakan secara Internasional oleh Wetlands International bersama-sama dengan UNEP, CMS, AEWA, BirdLife International, East Asian-Asutralasian Flyway Partnership (EAAFP) dan International Council for Game and Wildlife Conservation (CIC).

Hutan dan Kehutanan

Poster WMBD 2017

Awareness ke sekolah

Pameran Foto Burung Migran

Page 15: Susunan Redaksi Gofasa Daftar Isibpkh15gorontalo.info/wp-content/uploads/2018/04/Gofasa-Edisi-3.pdfPeta Topografi Provinsi Gorontalo Sumber. Hasil Pengolahan Data Perubahan Penutupan

Ruang Regulasi

| 29 28 |

Aturan terkait Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan menjadi hal yang penting diketahui oleh setiap UPT Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, khususnya BPKH Terkait serta masyarakat. Oleh sebab itu perlu disosialisasikan Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2017 tersebut.

Kegiatan sosialisasi ini dilaksanakan di Hotel Grand Q Gorontalo pada hari Rabu tanggal 22 November 2017.

Hal - Hal Pokok Menjadi Perhatian Terbitnya PP. 88 Tahun 2017

1. Sesuai dengan Nawacita Presiden Joko Widodo.

a. Latar belakang penerbitan PP:

» Dalam rangka menyelesaikan dan memberikan perlindungan hukum atas hak-hak masyarakat dalam kawasan hutan yang menguasai tanah di kawasan hutan,perlu dilakukan kebijakan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan;

» Untuk melahsanakan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-lXl 2011, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 4s/PUU-lXl 20L1, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3S/PUU-X| 2OL2, putusan Mahkamatt Konstitusi Nomor 9S/PUU-XILl2OL4, perlu diatur ketentuan mengenai penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan yang berkaitan dengan penguasaan hutan oleh negara, pengukuhan kawasan hutan, dan hutan adat;

Ruang Regulasi

Peraturan Pemerintah

Nomor 88 Tahun 2017

“PENYELESAIAN

PENGUASAAN TANAH

DALAM KAWASAN

HUTAN”

Sosialisasi Peraturan Pemerintah Nomor 88 Tahun 2017

PROSEDUR PENYELESAIAN PENGUASAAN TANAHDALAM KAWASAN HUTAN

Prosedur Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam KawasanHutan dilakukan berdasarkan tahapan:a. inventarisasi penguasaan tanah dalam kawasan hutan;b. verifikasi penguasaan tanah dan penyampaian rekomendasi;c. penetapan pola penyelesaian penguasaan dan pemanfaatan tanah dalam kawasan hutan;d. penerbitan keputusan penyelesaian penguasaan dan pemanfaatan tanah dalam kawasan hutan; dane. penerbitan sertipikat hak atas tanah.

Kutipan Pasal 21 BAB V....(1) Tim Inver PTKH melakukan inventarisasi penguasaan tanah dalam kawasan hutan berdasarkan

pendaftaran permohonan inventarisasi dan verifikasi yang diajukan oleh Pihak melalui bupati/

walikota.

(2)Inventarisasi penguasaan tanah dalam kawasan hutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi

kegiatan pendataan penguasa€rn, pemilikan, penggunaan, atau pemanfaatan tanah.

(3) Pelaksanaan kegiatan Inventarisasi dan Verifrkasi Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan meliputi

satuan wilayah administrasi Kabupaten/ Kota.

(4) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat

(5) dilakukan I (satu) kali untuk setiap satuan wilayah.

Kutipan Pasal 33 BAB VI....Biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan penyelesaian penguasaan tanah datam kawasan hutan

sebagaimana diatur dalam Peraturan Fresiden ini, dibebankan pada:

a. anggaran pendapatan dan belanjanegara;

b. anggaran pendapatan dan belanja daerah; dan/atau

c. sumber lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Page 16: Susunan Redaksi Gofasa Daftar Isibpkh15gorontalo.info/wp-content/uploads/2018/04/Gofasa-Edisi-3.pdfPeta Topografi Provinsi Gorontalo Sumber. Hasil Pengolahan Data Perubahan Penutupan

Lensa BPKH

Kegiatan Pembinaan Pegawai BPKH Wilayah XV Gorontalo Tahun 2017Ke Balai Besar Taman Nasional Bromo Tengger Semeru

Kegiatan Konsultasi Publik RPHJP KPHP Unit I Pohuwato yang dihadiri oleh Multi Stakeholder. Kegiatan ini dibuka

oleh Asisten II Pemerintah Kabupaten PohuwatoKegiatan Family Gathering

BPKH Wilayah XV Gorontalo

| 31 30 |

Kebijakan penyediaan tanah untuk TORA (Tanah Objek Reforma Agraria) merupakan salah satu Kebijakan Pemerintahan Kabinet Kerja dan bagian

dari Nawacita yang tertuang dalam RPJMN 2015 – 2019. Kebijakan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum atas penguasaan tanah (kepemilikan atau akses legal bukan bentuk kepemilikan) oleh masyarakat di dalam kawasan hutan serta menyelesaikan sengketa dan konflik dalam kawasan hutan.Guna mendukung kebijakan tersebut, Pemerintah Provinsi Gorontalo melalui Bappeda Provinsi Gorontalo melaksanakan kegiatan Sosialisasi Kebijakan penyediaan Tanah Objek Reforma

Agraria (TORA) di Gorontalo. Kegiatan ini dilaksanakan di Hotel Grand Q Gorontalo pada hari Rabu 22 November 2017, kegiatan ini dihadiri oleh seluruh UPT Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Provinsi Gorontalo, Dinas LHK Provinsi Gorontalo, Dinas PU dan Penataan Ruang Provinsi Gorontalo serta Dinas PU, Bappeda dan BPN dari Kabupaten Boalemo, Gorontalo Utara dan Bone Bolango. Kepala Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XV Gorontalo dan Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi Gorontalo bertindak sebagai pemateri dalam kegiatan ini.

Kepala BPKH Wilayah XV Gorontalo memaparkan kebijakan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017. Sebagai tindak lanjut Perpres tersebut, perlu dilakukan inventarisasi penguasaan lahan atas masyarakat di tingkat daerah. Untuk itu perlu dibentuk Tim Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (Tim Inver PTKH) yang dibentuk oleh Gubernur. Tim Inver PTKH nantinya akan bekerja menyelesaikan permasalahan penguasaan tanah dalam kawasan hutan.

Luas alokasi TORA untuk Provinsi Gorontalo berdasarkan SK.180/ MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2017 tentang Peta Indikatif Alokasi Kawasan Hutan untuk penyediaan sumber tanah Objek Reforma Agraria yaitu seluas 41.021,34 Ha. Setelah dicermati bersama (Dinas LHK Provinsi, Bappeda Kabupaten dan Provinsi, BPKH Wilayah XV Gorontalo, BKSDA Sulawesi Utara, TN. Bogani Nani Wartabone, KPH dan Dinas PUPR Provinsi serta Pemegang IUPHHK-HTI (PT. GCL dan PT. GNJ)) dengan data pendukung Citra Satelit Resolusi Tinggi Tahun 2013 dan 2016, terdapat sekitar 49.409,94 Ha yang masuk dalam kriteria TORA dan akan diusulkan untuk Revisi peta Indikatif SK.180/MENLHK/SETJEN/KUM.1/ 4/2017 tersebut. Pada Tahun 2018 nanti BPKH XV Gorontalo mengusulkan kegiatan Identifikasi dan Verifikasi TORA di 3 (tiga) Kabupaten, yaitu Kab. Boalemo, Kab. Gorontalo Utara dan Kab. Bone Bolango dengan luasan yang akan di Inver ± 9.082 Ha, Non Inver ± 584 Ha dan total panjang tata batas ± 433 Km. Target ini nantinya disesuaikan dengan hasil rekomendasi dan keputusan dari pemerintah pusat, karena keputusan TORA tidak semua harus dikeluarkan dari kawasan hutan melainkan bisa melalui perhutanan sosial maupun resetlement.

Narasumber dari Kantor Wilayah BPN Provinsi Gorontalo juga menegaskan bahwa Konsep Reforma Agraria merupakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya agraria dalam rangka mencapai kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan. Untuk keberhasilan pelaksanaan kegiatan TORA perlu dilakukan koordinasi dan sinkronisasi lebih intensif antar BPKH dan BPN terutama terkait dengan data.

Kepala Bappeda Provinsi Gorontalo menyampaikan pentingnya koordinasi dan kerjasama pemerintah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten untuk terus mendukung dan selalu membackup serta melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kegiatan TORA, karena tujuan akhir dari kegiatan ini untuk meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat Gorontalo.

* Yosef Endri Cahyono (Fungsional PEH BPKH Wilayah XV Gorontalo

Reportase

Sosialisasi Kebijakan Penyediaan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) di Gorontalo

Dokumentasi Kegiatan Sosialisasi Kebijakan Penyediaan TORA di Hotel Grand Q tanggal 22 November 2017

Kegiatan Pembinaan Pegawai BPKH Wilayah XV Gorontalo

Page 17: Susunan Redaksi Gofasa Daftar Isibpkh15gorontalo.info/wp-content/uploads/2018/04/Gofasa-Edisi-3.pdfPeta Topografi Provinsi Gorontalo Sumber. Hasil Pengolahan Data Perubahan Penutupan

32 |