survey tugas perkerasan

59
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerusakan jalan yang terjadi di berbagai daerah saat ini merupakan permasalah yang sangat kompleks dan kerugian yangdiderita sungguh besar terutama bagi pengguna jalan, seperti terjadinya waktu tempuh yang lama, kemacetan, kecelakaan lalu-lintas, dan lain-lain. Kerugian secara individu tersebut akan menjadi akumulasi kerugian ekonomi global bagi daerah tersebut. Banyak kritik yang telah dikirimkan kepada institusi pemerintahan dalam upaya penanganan dan pengelolaan jalan, agar berbagai kerusakan yang terjadi segera diatasi. Secara umum penyebab kerusakan jalan ada berbagai sebab yakni umur rencana jalan yang telah dilewati, genangan air pada permukaan jalan yang tidak dapat mengalir akibat drainase yang kurang baik, beban lalu lintas berulang yang berebihan (overloaded) yang menyebabkan umurpakai jalan lebih pendek dari perencanaan. Perencanaan yang tidaktepat, pengawasaan yang kurang baik dan pelaksanaan yang tidaksesuai dengan rencana yang ada. Selain itu minimnya biaya pemeliharaan, keterlambatan pengeluaran anggaran serta prioritas penanganan yang kurang tepat juga menjadi penyebab. Panas dan suhu udara, air dan hujan, serta mutu awal produk jalan yang jelek juga sangat mempengaruhi. Oleh sebab itu disamping direncanakan secara tepat jalan harus dipelihara dengan baik agar dapat melayani pertumbuhan lalulintas selama umur rencana.

Upload: ayuningtyassuryamukti

Post on 13-Dec-2015

36 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

tugas kuliah

TRANSCRIPT

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kerusakan jalan yang terjadi di berbagai daerah saat ini merupakan permasalah yang

sangat kompleks dan kerugian yangdiderita sungguh besar terutama bagi pengguna jalan,

seperti terjadinya waktu tempuh yang lama, kemacetan, kecelakaan lalu-lintas, dan lain-lain.

Kerugian secara individu tersebut akan menjadi akumulasi kerugian ekonomi global bagi

daerah tersebut.

Banyak kritik yang telah dikirimkan kepada institusi pemerintahan dalam upaya

penanganan dan pengelolaan jalan, agar berbagai kerusakan yang terjadi segera diatasi. Secara

umum penyebab kerusakan jalan ada berbagai sebab yakni umur rencana jalan yang telah

dilewati, genangan air pada permukaan jalan yang tidak dapat mengalir akibat drainase yang

kurang baik, beban lalu lintas berulang yang berebihan (overloaded) yang menyebabkan

umurpakai jalan lebih pendek dari perencanaan. Perencanaan yang tidaktepat, pengawasaan

yang kurang baik dan pelaksanaan yang tidaksesuai dengan rencana yang ada. Selain itu

minimnya biaya pemeliharaan, keterlambatan pengeluaran anggaran serta prioritas

penanganan yang kurang tepat juga menjadi penyebab. Panas dan suhu udara, air dan hujan,

serta mutu awal produk jalan yang jelek juga sangat mempengaruhi. Oleh sebab itu disamping

direncanakan secara tepat jalan harus dipelihara dengan baik agar dapat melayani

pertumbuhan lalulintas selama umur rencana.

Nilai kondisi jalan ini nantinya dijadikan acuan untuk menentukan jenis program

evaluasi yang harus dilakukan, apakah itu program peningkatan, pemeliharaan berkala, atau

pemeliharaan rutin.

Pemilihan bentuk pemeliharaan jalan yang tepat dilakukan dengan melakukan

penilaian terhadap kondisi permukaan jalan didasarkan pada jenisn kerusakan yang ditetapkan

secara visual. Ada beberapa metode pendekatan yang dapat digunakan dalam melakukan

penilaian kondisi jalan, dimana dua diantaranya adalah metode Bina Marga.

1.2. Rumusan Masalah

Dengan latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan

adalah sebagai berikut :

1) Apa saja jenis kerusakan jalan pada Desa Banjarsari, Kecamatan Buduran,

Sidoarjo ?

2) Bagaimana keadaan drainase pada Desa Banjarsari, Kecamatan Buduran, Sidoarjo

?

3) Apa yang menyebabkan kerusakan jalan pada perkerasan lentur di ruas jalan Desa

Banjarsari, Kecamatan Buduran, Sidoarjo ?

4) Bagaimana cara perbaikannya berdasarkan kerusakan jalan yang terjadi ?

1.3. Tujuan Masalah

Tujuan pengamatan ini adalah untuk :

1) Untuk mengidentifikasi jenis kerusakan yang terjadi .

2) Untuk mengidentifikasi keadaan drainase pada Desa Banjarsari, Kecamatan

Buduran, Sidoarjo ?

3) Untuk menganalisis faktor- faktor yang menyebabkan kerusakan jalan .

4) Untuk mencari alternatif penanganan kerusakan jalan dan pemeliharaan yang tepat

1.4 Manfaat

Tugas pengamatan ini diharapkan memberikan manfaat bagi :

Praktis :

1. Dapat memberikan masukan kepada perencana untuk memperhatikan kondisi

eksiting .

Teoritis :

1. Dapat memberikan wawasan baru kepada mahasiswa dalam bidang ilmu teknik

sipil .

2. Memperkaya literatur tentang faktor yang mempengaruhi kerusakan jalan raya .

1.5 Lokasi Studi

1) Lokasi survei yang akan dilakukan dalam penulisan ini Desa Banjarsari, Kecamatan

Buduran, Sidoarj

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Jenis dan Fungsi Lapisan Perkerasan

Perkerasan jalan adalah campuran antara agregat dan bahan ikat yang

digunakan untuk melayani beban lalu lintas. Agregat yang dipakai antara lain

adalah batu pecah, batu belah, batu kali dan hasil samping peleburan baja.

Sedangkan bahan ikat yang dipakai antara lain adalah aspal, semen dan tanah liat.

Berdasarkan bahan pengikatnya, konstruksi perkerasan jalan dapat

dibedakan atas :

a. Konstruksi perkerasan lentur (Flexible Pavement), yaitu perkerasan yang

menggunakan aspal sebagai bahan pengikatnya. Lapisan-lapisan

perkerasan bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah

dasar.

b. Konstruksi perkerasan kaku (Rigit Pavement), yaitu perkerasan yang

menggunakan semen (Portland Cement) sebagai bahan pengikatnya. Pelat

beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasat dengan

atau tanpa lapis pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikul

oleh pelat beton.

c. Konstruksi perkerasan komposit (Composite Pavement), yaitu perkerasan

kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dapat berupa

perkerasan lentur diatas perkerasan kaku atau perkerasan kaku diatas

perkerasan lentur.

Perbedaan utama antara perkerasan kaku dan lentur diberikan pada tabel 2.1 di

bawah ini.

Tabel 2.1. Perbedaan antara perkerasan lentur dan perkerasan kaku

Perkerasan lentur Perkerasan kaku1 Bahan pengikat Aspal Semen2 Repetisi beban Timbul Rutting (lendutan Timbul retak-retak pada

3 Penurunan tanah Jalan bergelombang Bersifat sebagai balok

4 Perubahan

temperatur

Modulus kekakuan

berubah.

Modulus kekakuan tidak

berubah.

Sumber : Sukirman, S., (1992), Perkerasan Lentur Jalan Raya, Penerbit Nova,

Bandung

Sesuai dengan pembatasan masalah, maka untuk pembahasan selanjutnya hanya

akan dibahas tentang konstruksi perkerasan lentur saja.

2.2. Konstruksi Perkerasan Lentur Jalan

Konstruksi perkerasan lentur (flexible pavement), adalah perkerasan yang

menggunakan aspal sebagai bahan pengikat dan lapisan-lapisan perkerasannya

bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ke tanah dasar. Aspal itu

sendiri adalah material berwarna hitam atau coklat tua, pada temperatur ruang

berbentuk padat sampai agak padat. Jika aspal dipanaskan sampai suatu

temperatur tertentu, aspal dapat menjadi lunak / cair sehingga dapat membungkus

partikel agregat pada waktu pembuatan aspal beton. Jika temperatur mulai turun,

aspal akan mengeras dan mengikat agregat pada tempatnya (sifat termoplastis).

Sifat aspal berubah akibat panas dan umur, aspal akan menjadi kaku dan rapuh

sehingga daya adhesinya terhadap partikel agregat akan berkurang. Perubahan ini

dapat diatasi / dikurangi jika sifat-sifat aspal dikuasai dan dilakukan langkah-

langkah yang baik dalam proses pelaksanaan.

Konstruksi perkerasan lentur terdiri atas lapisan-lapisan yang diletakkan diatas

tanah dasar yang telah dipadatkan. Lapisan-lapisan tersebut berfungsi untuk

menerima beban lalu lintas dan menyebarkan ke lapisan yang ada dibawahnya,

sehingga beban yang diterima oleh tanah dasar lebih kecil dari beban yang

diterima oleh lapisan permukaan dan lebih kecil dari daya dukung tanah dasar.

Konstruksi perkerasan lentur terdiri dari :

Gambar 2.1. Lapisan Konstruksi Perkerasan Lentur

a. Lapisan permukaan (Surface Course)

Lapis permukaan struktur pekerasan lentur terdiri atas campuran mineral

agregat dan bahan pengikat yang ditempatkan sebagai lapisan paling atas dan

biasanya terletak di atas lapis pondasi.

Fungsi lapis permukaan antara lain :

• Sebagai bagian perkerasan untuk menahan beban roda.

• Sebagai lapisan tidak tembus air untuk melindungi badan jalan dari kerusakan

akibat cuaca.

• Sebagai lapisan aus (wearing course)

Bahan untuk lapis permukaan umumnya sama dengan bahan untuk lapis pondasi

dengan persyaratan yang lebih tinggi. Penggunaan bahan aspal diperlukan agar

lapisan dapat bersifat kedap air, disamping itu bahan aspal sendiri memberikan

bantuan tegangan tarik, yang berarti mempertinggi daya dukung lapisan terhadap

beban roda. Pemilihan bahan untuk lapis permukaan perlu

mempertimbangkan kegunaan, umur rencana serta pentahapan konstruksi agar

dicapai manfaat sebesar-besarnya dari biaya yang dikeluarkan.

b. Lapisan pondasi atas (Base Course)

Lapis pondasi adalah bagian dari struktur perkerasan lentur yang terletak

langsung di bawah lapis permukaan. Lapis pondasi dibangun di atas lapis pondasi

bawah atau, jika tidak menggunakan lapis pondasi bawah, langsung di atas tanah

dasar.

Fungsi lapis pondasi antara lain :

• Sebagai bagian konstruksi perkerasan yang menahan beban roda.

• Sebagai perletakan terhadap lapis permukaan.

Bahan-bahan untuk lapis pondasi harus cukup kuat dan awet sehingga dapat

menahan beban-beban roda. Sebelum menentukan suatu bahan untuk digunakan

sebagai bahan pondasi, hendaknya dilakukan penyelidikan dan pertimbangan

sebaik-baiknya sehubungan dengan persyaratan teknik. Bermacam-macam bahan

alam/setempat (CBR > 50%, PI < 4%) dapat digunakan sebagai bahan lapis

pondasi, antara lain : batu pecah, kerikil pecah yang distabilisasi dengan semen,

aspal, pozzolan, atau kapur.

c. Lapisan pondasi bawah (Sub Base Course)

Lapis pondasi bawah adalah bagian dari struktur perkerasan lentur yang

terletak antara tanah dasar dan lapis pondasi. Biasanya terdiri atas lapisan dari

material berbutir (granular material) yang dipadatkan, distabilisasi ataupun tidak,

atau lapisan tanah yang distabilisasi. Fungsi lapis pondasi bawah antara lain :

• Sebagai bagian dari konstruksi perkerasan untuk mendukung dan menyebar

beban roda.

• Mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah agar lapisan-

lapisan di atasnya dapat dikurangi ketebalannya (penghematan biaya

konstruksi).

• Mencegah tanah dasar masuk ke dalam lapis pondasi.

• Sebagai lapis pertama agar pelaksanaan konstruksi berjalan lancar.

Lapis pondasi bawah diperlukan sehubungan dengan terlalu lemahnya daya

dukung tanah dasar terhadap roda-roda alat berat (terutama pada saat pelaksanaan

konstruksi) atau karena kondisi lapangan yang memaksa harus segera menutup

tanah dasar dari pengaruh cuaca. Bermacam-macam jenis tanah setempat (CBR >

20%, PI < 10%) yang relatif lebih baik dari tanah dasar dapat digunakan sebagai

bahan pondasi bawah. Campuran-campuran tanah setempat dengan kapur atau

semen portland, dalam beberapa hal sangat dianjurkan agar diperoleh bantuan

yang efektif terhadap kestabilan konstruksi perkerasan.

d. Lapisan tanah dasar (Subgrade)

Kekuatan dan keawetan konstruksi perkerasan jalan sangat tergantung pada sifat-

sifat dan daya dukung tanah dasar. Dalam pedoman ini diperkenalkan modulus

resilien (MR) sebagai parameter tanah dasar yang digunakan dalam perencanaan

Modulus resilien (MR) tanah dasar juga dapat diperkirakan dari CBR standar dan

hasil atau nilai tes soil index. Korelasi Modulus Resilien dengan nilai CBR

(Heukelom & Klomp) berikut ini dapat digunakan untuk tanah berbutir halus

(fine-grained soil) dengan nilai CBR terendam 10 atau lebih kecil.

MR (psi) = 1.500 x CBR

Persoalan tanah dasar yang sering ditemui antara lain :

• Perubahan bentuk tetap (deformasi permanen) dari jenis tanah tertentu

sebagai akibat beban lalu-lintas.

• Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat perubahan kadar

air.

• Daya dukung tanah tidak merata dan sukar ditentukan secara pasti pada

daerah dan jenis tanah yang sangat berbeda sifat dan kedudukannya, atau

akibat pelaksanaan konstruksi.

• Lendutan dan lendutan balik selama dan sesudah pembebanan lalu-lintas

untuk jenis tanah tertentu.

• Tambahan pemadatan akibat pembebanan lalu-lintas dan penurunan yang

diakibatkannya, yaitu pada tanah berbutir (granular soil) yang tidak

dipadatkan secara baik pada saat pelaksanaan konstruksi.

2.3. Sifat Perkerasan Lentur Jalan

Aspal yang dipergunakan pada konstruksi perkerasan jalan berfungsi sebagai:

a. Bahan pengikat, memberikan ikatan yang kuat antara aspal dengan agregat

dan antara aspal itu sendiri.

b. Bahan pengisi, mengisi rongga antara butir-butir agregat dan pori-pori yang

ada dari agregat itu sendiri.

Dengan demikian, aspal haruslah memiliki daya tahan (tidak cepat rapuh)

terhadap cuaca, mempunyai adhesi dan kohesi yang baik dan memberikan sifat

elastis yang baik.

a. Daya tahan (durability)

Daya tahan aspal adalah kemampuan aspal mempertahankan sifat asalnya

akibat pengaruh cuaca selama masa pelayanan jalan. Sifat ini merupakan sifat dari

campuran aspal, jadi tergantung dari sifat agregat, campuran dengan aspal, faktor

pelaksanaan dan sebagainya.

b. Adhesi dan Kohesi

Adhesi adalah kemampuan aspal untuk mengikat agregat sehingga

dihasilkan ikatan yang baik antara agregat dengan aspal. Kohesi adalah

kemampuan aspal untuk tetap mempertahankan agregat tetap ditempatnya setelah

terjadi pengikatan.

c. Kepekaan terhadap temperatur

Aspal adalah material yang termoplastis, berarti akan menjadi keras atau

lebih kental jika temperatur berkurang dan akan lunak atau lebih cair jika

temperature bertambah. Sifat ini dinamakan kepekaan terhadap perubahan

temperatur. Kepekaan terhadap temperatur dari setiap hasil produksi aspal

berbeda-beda tergantung dari asalnya walaupun aspal tersebut mempunyai jenis

yang sama.

d. Kekerasan aspal

Aspal pada proses pencampuran dipanaskan dan dicampur dengan agregat

sehingga agregat dilapisi aspal atau aspal panas disiramkan ke permukaan agregat

yang telah disiapkan pada proses peleburan. Pada waktu proses pelaksanaan,

terjadi oksidasi yang menyebabkan aspal menjadi getas (viskositas bertambah

tinggi). Peristiwa perapuhan terus berlangsung setelah masa pelaksanaan selesai.

Jadi selama masa pelayanan, aspal mengalami oksidasi dan polimerisasi yang

besarnya dipengaruhi juga oleh ketebalan aspal yang menyelimuti agregat.

Semakin tipis lapisan aspal, semakin besar tingkat kerapuhan yang terjadi.

2.4. Penyebab Kerusakan Perkerasan Lentur Jalan

Menurut Manual Pemeliharaan Jalan Bina Marga No: 03/MN/B/1983, kerusakan jalan

dapat dibedakan atas (Silvia Sukirman, 1993):

a. Lalu lintas, yang dapat berupa peningkatan beban, dan repetisi beban.

b. Air, yang dapat berasal dari air hujan, sistem drainase jalan yang tidak baik

dan naiknya air akibat kapilaritas.

c. Material konstruksi perkerasan. Dalam hal ini dapat disebabkan oleh sifat

material itu sendiri atau dapat pula disebabkan oleh sistem pengolahan

bahan yang tidak baik.

d. Iklim, Indonesia beriklim tropis, dimana suhu udara dan curah hujan

umumnya tinggi, yang dapat merupakan salah satu penyebab kerusakan

jalan.

e. Kondisi tanah dasar yang tidak stabil. Kemungkinan disebabkan oleh

system pelaksanaan yang kurang baik, atau dapat juga disebabkan oleh sifat

tanah dasarnya yang memang kurang bagus.

f. Proses pemadatan lapisan di atas tanah dasar yang kurang baik.

Umumnya kerusakan-kerusakan yang timbul itu tidak disebabkan oleh satu faktor

saja, tetapi dapat merupakan gabungan penyebab yang saling berkaitan. Sebagai

contoh, retak pinggir, pada awalnya dapat diakibatkan oleh tidak baiknya

sokongan dari samping. Dengan terjadinya retak pinggir, memungkinkan air

meresap masuk ke lapis dibawahnya yang melemahkan ikatan antara aspal

dengan agregat, hal ini dapat menimbulkan lubang-lubang disamping dan

melemahkan daya dukung lapisan dibawahnya.

2.5. Jenis Kerusakan Perkerasan Lentur

Lapisan perkerasan sering mengalami kerusakan atau kegagalan sebelum

mencapai umur rencana. Kegagalan pada perkerasan dapat dilihat dari kondisi

kerusakan fungsional dan struktural.

Kerusakan fungsional adalah apabila perkerasan tidak dapat berfungsi lagi

sesuai dengan yang direncanakan. Sedangkan kerusakan struktural terjadi ditandai

dengan adanya rusak pada satu atau lebih bagian dari struktur perkerasan jalan.

Kegagalan fungsional pada dasarnya tergantung pada derajat atau tingkat

kekasaran permukaan, sedangkan kegagalan struktural disebabkan oleh lapisan

tanah dasar yang tidak stabil, beban lalu lintas, kelelahan permukaan, dan

pengaruh kondisi lingkungan sekitar.

2.5.1. Jenis Kerusakan Perkerasan Berdasarkan Metode Bina Marga

Jenis Kerusakan Perkerasan Lentur dapat dibedakan atas:

1. Retak (cracking)

2. Distorsi (distortion)

3. Cacat permukaan (disintegration)

4. Pengausan ( polished aggegate)

5. Kegemukan (bleeding / flushing)

6. Penurunan pada bekas penanaman utilitas

a. Retak (Cracking) dan penanganannya

Retak yang terjadi pada lapisan permukaan jalan dapat dibedakan atas :

1. Retak halus atau retak garis (hair cracking), lebar celah lebih kecil atau sama

dengan 3 mm, penyebab adalah bahan perkerasan yang kurang baik, tanah

dasar atau bagian perkerasan di bawah lapis permukaan kurang stabil. Retak

halus ini dapat meresapkan air ke dalam permukaan dan dapat menimbulkan

kerusakan yang lebih parah seperti retak kulit buaya bahkan kerusakan seperti

lubang dan amblas. Retak ini dapat berbentuk melintang dan memanjang,

dimana retak memanjang terjadi pada arah sejajar dengan sumbu jalan,

biasanya pada jalur roda kendaraan atau sepanjang tepi perkerasan atau

pelebaran, sedangkan untuk retak melintang terjadi pada arah memotong

sumbu jalan, dapat terjadi pada sebagian atau seluruh lebar jalan.

Metode pemeliharaan dan penanganan :

• Untuk retak halus (< 2 mm) dan jarak antara retakan renggang,

dilakukan metode perbaikan P2 (laburan aspal setempat).

• Untuk retak halus (< 2 mm) dan jarak antara retakan rapat, dilakukan

metode perbaikan P3 (penutupan retak).

• Untuk lebar retakan (> 2 mm) lakukan perbaikan P4 (pengisian retak).

Selanjutnya untuk urutan pelaksanaan perbaikan serta bahan dan peralatan

dapat dilihat pada lampiran A.

Gambar 2.2. Retak Halus

2. Retak kulit buaya (alligator crack), lebar celah lebih besar atau sama dengan

3 mm. Saling berangkai membentuk serangkaian kotak-kotak kecil yang

menyerupai kulit buaya. Retak ini disebabkan oleh bahan perkerasan yang

kurang baik, pelapukan permukaan, tanah dasar atau bagian perkerasan di

bawah lapisan permukaan kurang stabil, atau bahan pelapis pondasi dalam

keadaan jenuh air (air tanah naik). Umumnya daerah dimana terjadi retak

kulit buaya tidak luas. Jika daerah dimana terjadi retak kulit buaya luas,

mungkin hal ini disebabkan oleh repetisi beban lalu lintas yang melampaui

beban yang dapat dipikul oleh lapisan permukaan tersebut. Retak kulit buaya

dapat diresapi oleh air sehingga lama kelamaan akan menimbulkan lubang-

lubang akibat terlepasnya butir-but ir.

Untuk retak kulit buaya dilakukan metode perbaikan P2 (laburan aspal

setempat) dan P5 (penambalan lubang/patching) sesuai dengan tingkat

kerusakan retak yang terjadi. Urutan pelaksanaan serta bahan dan peralatan

dapat dilihat pada lampiran A.

Perbaikan juga harus disertai dengan perbaikan drainase disekitarnya,

sehingga nantinya air tidak tergenang di badan jalan yang dapat

mempengaruhi umur jalan.

Gambar 2.3. Retak Kulit Buaya

3. Retak pinggir (edge crack), retak memanjang jalan, dengan atau tanpa cabang

yang mengarah ke bahu dan terletak dekat bahu. Retak ini disebabkan oleh

tidak baiknya sokongan dari arah samping, drainase kurang baik, terjadinya

penyusutan tanah, atau terjadinya settlement di bawah daerah tersebut. Akar

tanaman yang tumbuh di tepi perkerasan dapat pula menjadi sebab terjadinya

retak pinggir ini. Di lokasi retak, air dapat meresap yang dapat semakin

merusak lapisan permukaan. Retak dapat diperbaiki dengan mengisi celah

dengan campuran aspal cair dan pasir. Perbaikan drainase harus dilakukan,

bahu diperlebar dan dipadatkan. Jika pinggir perkerasan mengalami

penurunan, elevasi dapat diperbaiki dengan mempergunakan hotmix. Retak

ini lama kelamaan akan bertambah besar disertai dengan terjadinya lubang-

lubang.

Gambar 2.4. Retak Pinggir

4. Retak sambungan bahu dan perkerasan (edge joint crack), retak memanjang,

umumnya terjadi pada sambungan bahu dengan perkerasan. Retak dapat

disebabkan oleh kondisi drainase di bawah bahu jalan lebih buruk daripada di

bawah perkerasan, terjadinya settlement di bahu jalan, penyusutan material

bahu atau perkerasan jalan, atau akibat lintasan truk / kendaraan berat dibahu

jalan. Perbaikan dapat dilakukan seperti perbaikan retak refleksi.

Gambar 2.5. Retak Sambungan Bahu dan Perkerasan

5. Retak sambungan jalan (lane joint cracks), retak memanjang, yang terjadi

pada sambungan 2 lajur lalu lintas. Hal ini disebabkan tidak baiknya ikatan

sambungan kedua lajur. Perbaikan dapat dilakukan dengan memasukkan

campuran aspal cair dan pasir ke dalam celah-celah yang terjadi. Jika tidak

diperbaiki, retak dapat berkembang menjadi lebar karena terlepasnya butir-

but ir pada tepi retak dan meresapnya air ke dalam lapisan.

6. Retak sambungan pelebaran jalan (widening cracks), adalah retak memanjang

yang terjadi pada sambungan antara perkerasan lama dengan perkerasan

pelebaran. Hal ini disebabkan oleh perbedaan daya dukung di bawah bagian

pelebaran dan bagian jalan lama, dapat juga disebabkan oleh ikatan antara

sambungan tidak baik. Perbaikan dilakukan dengan mengisi celah-celah yang

timbul dengan campuran aspal cair dan pasir. Jika tidak diperbaiki, air dapat

meresap masuk ke dalam lapisan perkerasan melalui celah-celah, butir-but ir

dapat lepas dan retak dapat bertambah besar.

Gambar 2.6. Retak Sambungan Pelebaran Jalan

7. Retak refleksi (reflection cracks), retak memanjang, melintang, diagonal atau

membentuk kotak. Terjadi pada lapis tambahan (overlay) yang

menggambarkan pola retakan dibawahnya. Retak refleksi dapat terjadi jika

retak pada perkerasan lama tidak diperbaiki secara baik sebelum pekerjaan

overlay dilakukan. Retak refleksi dapat pula terjadi jika terjadi gerakan

vertical / horizontal dibawah lapis tambahan sebagai akibat perubahan kadar

air pada jenis tanah yang ekspansif. Untuk retak memanjang, melintang dan

diagonal perbaikan dapat dilakukan dengan mengisi celah dengan campuran

aspal cair dan pasir. Untuk retak berbentuk kotak perbaikan dilakukan dengan

membongkar dan melapis kembali dengan bahan yang sesuai.

Gambar 2.7. Retak Refleksi

8. Retak susut (shrinkage cracks), retak yang saling bersambungan membentuk

kotak-kotak besar dengan susut tajam. Retak disebabkan oleh perubahan

volume pada lapisan pondasi dan tanah dasar. Perbaikan dapat dilakukan

dengan mengisi celah dengan campuran aspal cair dan pasir serta dilapisi

dengan burtu.

Gambar 2.8. Retak Susut

9. Retak slip (slippage cracks), retak yang bentuknya melengkung seperti bulan

sabit. Hal ini terjadi disebabkan oleh kurang baiknya ikatan antar lapis

permukaan dan lapis dibawahnya. Kurang baiknya ikatan dapat disebabkan

oleh adanya debu, minyak air, atau benda non adhesive lainnya, atau akibat

tidak diberinya tack coat sebagai bahan pengikat antar kedua lapisan. Retak

selip pun dapat terjadi akibat terlalu banyaknya pasir dalam campuran lapisan

permukaan, atau kurang baiknya pemadatan lapisan permukaan. Perbaikan

dapat dilakukan dengan membongkar bagian yang rusak dengan dan

menggantikannya dengan lapisan yang lebih baik.

Gambar 2.9. Retak Slip

b. Distorsi (distortion)

Distorsi / perubahan bentuk dapat terjadi akibat lemahnya tanah dasar,

pemadatan yang kurang pada lapis pondasi, sehingga terjadi tambahan pemadatan

akibat beban lalu lintas. Sebelum perbaikan dilakukan sewajarnyalah ditentukan

terlebih dahulu jenis dan penyebab distorsi yang terjadi. Dengan demikian dapat

ditentukan jenis penanganan yang tepat.

Distorsi dapat dibedakan atas :

1. Alur (ruts), yang terjadi pada lintasan roda sejajar dengan as jalan. Alur dapat

merupakan tempat menggenangnya air hujan yang jatuh di atas permukaan

jalan, mengurangi tingkat kenyamanan, dan akhirnya dapat timbul retak-

retak. Terjadinya alur disebabkan oleh lapis perkerasan yang kurang padat,

dengan demikian terjadi tambahan pemadatan akibat repetisi beban lalu lintas

pada lintasan roda. Campuran aspal dengan stabilitas rendah dapat pula

menimbulkan deformasi plastis.

Perbaikan dapat dilakukan dengan melakukan metode perbaikan P6

(perataan) untuk kerusakan alur ringan. Untuk kerusakan alur yang cukup

parah dilakukan perbaikan P5 (penambalan lubang) yang pelaksanaan serta

bahan dan peralatannya dapat dilihat pada lampiran A.

Gambar 2.10. Alur

2. Keriting (corrugation), alur yang terjadi melintang jalan. Dengan timbulnya

lapisan permukaan yang berkeriting ini pengemudi akan merasakan

ketidaknyamanan dalam mengemudi. Penyebab kerusakan ini adalah

rendahnya stabilitas campuran yang dapat berasal dari terlalu tingginya kadar

aspal, terlalu banyak menggunakan agregat halus, agregat berbentuk butiran

dan berpermukaan licin, atau aspal yang dipergunakan mempunyai penetrasi

yang tinggi. Keriting dapat juga terjadi jika lalu lintas dibuka sebelum

perkerasan mantap (untuk perkerasan yang menggunakan aspal cair).

Perbaikan terhadap kerusakan ini dapat dilakukan dengan melakukan metode

perbaikan P6 (perataan) dan juga perbaikan P5 (penambalan lubang) jika

keriting juga disertai dengan timbulnya lubang-lubang pada permukaan jalan.

Kerusakan ini juga dapat diperbaiki dengan :

a. Jika lapis permukaan yang berkeriting itu memiliki lapisan pondasi

agregat, perbaikan yang tepat adalah dengan mengaruk kembali,

dicampur dengan lapis pondasi, dipadatkan kembali dan diberi lapis

permukaan baru.

b. Jika lapis permukaan dengan bahan pengikat memiliki ketebalan > 5 cm,

maka lapis tipis yang mengalami keriting tersebut diangkat dan diberi

lapis permukaan yang baru.

Gambar 2.11. Keriting

3. Sungkur (shoving), deformasi plastis yang terjadi setempat, ditempat

kendaraan sering berhenti, kelandaian curam, dan tikungan tajam. Kerusakan

terjadi dengan atau tanpa retak. Penyebab kerusakan sama dengan kerusakan

keriting. Perbaikan dapat dilakukan dengan cara perbaikan P6 (perataan) dan

perbaikan P5 (penambalan lubang). Selanjutnya untuk urutan pelaksanaan

perbaikan serta bahan dan peralatan dapat dilihat pada lampiran A.

Gambar 2.12. Sungkur

4. Amblas (grade depressions), terjadi setempat, dengan atau tanpa retak.

Amblas dapat terdeteksi dengan adanya air yang tergenang. Air yang

tergenang ini dapat meresap ke dalam lapisan permukaan yang akhirnya

menimbulkan lobang. Penyebab amblas adalah beban kendaraan yang

melebihi apa yang direncanakan, pelaksanaan yang kurang baik, atau

penurunan bagian perkerasan dikarenakan tanah dasar mengalami settlement.

Perbaikan dapat dilakukan dengan :

a. Untuk amblas yang < 5cm, lakukan metode perbaikan P6 (perataan).

b. Untuk amblas yang > 5 cm, lakukan metode perbaikan P5 (penambalan

lubang).

c. Periksa dan perbaiki selokan dan gorong-gorong agar air lancar mengalir.

d. Periksa dan perbaiki bahu jalan yang mengalami kerusakan.

Selanjutnya untuk urutan pelaksanaan perbaikan serta bahan dan peralatan

dapat dilihat pada lampiran A.

Gambar 2.13. Amblas

5. Jembul (upheaval), terjadi setempat, dengan atau tanpa retak. Hal ini terjadi

akibat adanya pengembangan tanah dasar pada tanah yang ekspansif.

Perbaikan dilakuka n dengan membongkar bagian yang rusak dan melapisnya

kembali.

c. Cacat permukaan (disintegration)

Yang termasuk dalam cacat permukaan adalah :

1. Lubang (potholes), berupa mangkuk, ukuran bervariasi dari kecil sampai

besar. Lubang-lubang ini menampung dan meresapkan air ke dalam lapis

permukaan yang menyebabkan semakin parahnya kerusakan jalan.

Lubang dapat terjadi karena :

a. Campuran material lapis permukaan jelek, seperti :

- Kadar aspal rendah, sehingga film aspal tipis dan mudah lepas.

- Agregat kotor sehingga ikatan antara aspal dan agregat tidak baik.

- Temperatur campuran tidak memenuhi persyaratan.

b. Lapis permukaan tipis sehingga ikatan aspal dan agregat mudah lepas akibat

pengaruh cuaca.

c. Sistem drainase jelek, sehingga air banyak yang meresap dan mengumpul pada

lapis permukaan.

d. Retak-retak yang terjadi tidak segera ditangani sehingga air meresap masuk dan

mengakibatkan terjadinya lubang-lubang kecil.

Lubang-lubang tersebut diperbaiki dengan cara:

• Untuk lubang yang dangkal ( < 20 mm ), lakukan metode perbaikan P6

(perataan).

• Untuk lubang yang > 20 mm, lakukan metode perbaikan P5 (penambalan

lubang).

Selanjutnya untuk urutan pelaksanaan perbaikan serta bahan dan peralatan dapat

dilihat pada lampiran A.

Gambar 2.14. Lubang

2. Pelepasan butir (raveling), dapat terjadi secara meluas dan mempunyai efek

serta disebabkan oleh hal yang sama dengan lubang. Dapat diperbaiki dengan

memberikan lapisan tambahan diatas lapisan yang mengalami pelepasan butir

setelah lapisan tersebut dibersihkan, dan dikeringkan.

Gambar 2.15. Pelepasan Butiran

3. Pengelupasan lapisan permukaan (stripping), dapat disebabkan oleh

kurangnya ikatan antar lapisan permukaan dan lapis dibawahnya, atau terlalu

tipisnya lapis permukaan. Dapat diperbaiki dengan cara digarus, diratakan

dan dipadatkan. Setelah itu dilapis dengan buras.

d. Pengausan (polished aggregate)

Permukaan menjadi licin, sehingga membahayakan kendaraan.

Pengausan terjadi karena agregat berasal dari material yang tidak tahan aus

terhadap roda kendaraan, atau agregat yang dipergunakan berbentuk bulat dan

licin, tidak berbentuk cubical. Dapat diatasi dengan menutup lapisan dengan

latasir, buras, atau latasbum.

Gambar 2.16. Pengausan

e. Kegemukan (bleeding / flushing)

Permukaan jalan menjadi licin dan tampak lebih hitam. Pada temperatur

tinggi, aspal menjadi lunak dan akan terjadi jejak roda. Berbahaya bagi kendaraan

karena bila dibiarkan, akan menimbulkan lipatan-lipatan (keriting) dan lubang

pada permukaan jalan. Kegemukan (bleeding) dapat disebabkan pemakaian kadar

aspal yang tinggi pada campuran aspal, pemakaian terlalu banyak aspal pada

pekerjaan prime coat atau tack coat. Dapat diatasi dengan penanganan P1

(Penebaran Pasir) yaitu dengan menaburkan agregat panas dan kemudian

dipadatkan, atau lapis aspal diangkat dan kemudian diberi lapisan penutup.

Gambar 2.17. Kegemukan

f. Penurunan pada bekas penanaman utilitas

Penurunan yang terjadi di sepanjang bekas penanaman utilitas. Hal ini

terjadi karena pemadatan yang tidak memenuhi syarat. Dapat diperbaiki dengan

dibongkar kembali dan diganti dengan lapis yang sesuai

Gambar 2.18. Penurunan pada bekas penanaman utilitas

2.6. Jenis Pemeliharaan Jalan

Pemeliharaan jalan adalah penanganan jalan yang meliputi perawatan,

rehabilitasi, penunjangan, dan peningkatan. Adapun jenis pemeliharaan jalan

ditinjau dari waktu pelaksanaannya adalah :

1. Pemeliharaan rutin adalah penanganan yang diberikan hanya pada lapis

permukaan yang sifatnya untuk meningkatkan kualitas berkendara (Riding

Quality), tanpa meningkatkan kekuatan struktural, dan dilakukan

sepanjang tahun.

2. Pemeliharaan berkala adalah pemeliharaan yang dilakukan terhadap jalan

pada waktu-waktu tertentu (tidak menerus sepanjang tahun) dan sifatnya

meningkatkan kekuatan struktural.

3. Peningkatan jalan adalah penanganan jalan guna memperbaiki pelayanan

jalan yang berupa peningkatan struktural dan atau geometriknya guna

mencapai tingkat pelayanan yang direncanakan.

2.7. Drainase

2.7.1 Umum

2.7.1.1 Pengertian Drainasi

Drainasi secara umum didefinisikan sebagai ilmu pengetahuan yang

mempelajari usaha untuk mengalirkan air yang berlebih an dalam suatu konteks

pemanfaatan tertentu. Drainasi dapat dibedakan antara lain untuk daerah:

1. pemukiman

2. kawasan industri dan perdagangan

3. kampus dan sekolah

4. rumah sakit dan fasilitas umum

5. lapangan olah raga

6. lapangan parkir

7. instalasi militer,listrik, telekomunikasi

8. pelabuhan udara

2.7.1.2 Jenis Drainasi

1. Menurut sejarah terbentuknya :

a. Drainasi Alamiah : terbentuk secara alami, tidak ada unsur campur tangan

manusia

b. Drainasi buatan : dibentuk berdasarkan analisis ilmu drainasi, untuk

menentukan debit akibat hujan, dan demensi saluran

2. Menurut Letak saluran

a. Drainasi Muka Tanah

ditujukan untuk menghilangkan air hujan dari permukaan jalan sehingga

lalu lintas dapat melaju dengan aman dan efisien serta untuk

meminimalkan penetrasi air hujan ke dalam struktur jalan.

Fungsi utama:

1. Membawa air hujan dari permukaan jalan ke pembuangan air

2. Menampung air tanah (dari subdrain) dan air permukaan yang

mengalir menuju jalan

3. Membawa air menyeberang alinemen jalan secara terkendali

Fungsi 1 & 2 dikendalikan oleh komponen drainase MEMANJANG,

fungsi 3 memerlukan bangunan drainase MELINTANG.

b. Drainasi Bawah Muka Tanah

berfungsi untuk mencegah masuknya air dalam struktur jalan dan/atau

menangkap dan mengeluarkan air dari struktur jalan.

Gambar 2.23 Drainase Jalan Raya

3. Menurut Fungsi Drainasi

a. Single Purpose : saluran berfungsi mengalirkan satu jenis air buangan

saja

b. Multy purpose : Saluran berfungsi mengalirkan beberapa jenis buangan,

baik secara bercampur maupun bergantian

4. Menurut Konstruksi

a. Saluran terbuka : saluran untuk air hujan yang terletak di area yang cukup

luas. Juga untuk saluran air non hujan yang tidak mengganggu kesehatan

lingkungan.

b. Saluran tertutup : saluran untuk air kotor yang mengganggu kesehatan

lingkungan . Juga untuk saluran dalam kota.

2.7.1.3 Pola Jaringan Drainasi

a. Siku

b. Paralel

c. Alamiah

d. Radial

2.7.2 Drainase Jalan Raya

Drainase jalan raya dibedakan untuk perkotaan dan luar perkotaan umumnya

di perkotaan dan luar perkotaan , drainasi jalan raya selalu mempergunakan drainasi

muka tanah. Di perkotaan saluran muka tanah selalu ditutup sebagai bahu jalan atau

trotoar . walaupun juga sebagaimana di luar perkotaan , ada juga saluran drainasi

muka tanah tidak ditutup , terbuka lebar, dengan sisi atas saluran rata dengan muka

jalan , sehingga air dapat masuk saluran dengan bebas. Drainase jalan raya di

perkotaan , elevasi sisi atas saluran selalu lebih tinggi dari sisi atas muka jalan. Air

masuk ke saluran melalui inlet . inlet yang ada dapat berupa inlet tegak ataupun inlet

horisontal.

2.7.3 Tata Letak Saluran

Untuk jalan raya yang lurus , kemungkinan letak saluran pada sisi kiri dan sisi

kanan jalan,. Untuk jalan raya yang lebar di mana selain terdapat trotoar atau bahu

jalan , juga terdapat pembatas di tengah –tengah jalan sebagai pemisah juga antara dua

jalur jalan. Pembatas ini disebut sebagai median. Jika jalan ke arah lebar miring ke

arah tepi , maka saluran akan terdapat pada sisi tepi jalan atau pada bahu jalan ,

sedangkan jika kemiringan arah lebar ke arah median jalan , maka saluran akan

terdapat pada median jalan tersebut. Jika jalan tidak lurus , menikung, maka

kemiringan jalan satu arah . Kemiringan satu arah pada jalan menikung ini

menyebabkan saluran hanya pada satu sisi jalan, yaitu sisi yang rendah. Untuk

menyalurkan air dari saluran ini pada jarak tertentu, direncanakan adanya pipa riol

yang diposisikan di bawah badan jalan untuk mengalirkan air dari saluran.

Pada umumnya untuk drainasi jalan raya di dalam kota , untuk mengalirkan air

dari jalan raya akibat hujan , ke dalam saluran dipergunakan inlet. Inlet tegak

umumnya berbentuk empat persegi panjang dan inlet datar berbentuk empat persegi

panjang, bujur sangkar atau lingkaran. Inlet hasil produksi pabrik umumnya

mempunyai nilai efisiensi. Pada pendemensian inlet, terlebih dahulu dianalisis luas

lubang berdasarkan debit inlet rencana. Dari luas lubang tersebut akan didapatkan luas

inlet yang relatif selalu lebih luas dari luas lubang. Luas lubang besar sama dengan

jumlah luas lubang kecil dari inlet , luas menjadi lebih besar dari luas lubang karena

adanya tebal kisi-kisi inlet, sehingga luas inlet yang ada merupakan luas lubang

ditambah dengan luas tebal kisi-kisi inlet. Jarak antar dari inlet biasanya direncanakan

sekitar 10 meter sampai 30 meter.

4.7.1 Sistem Jaringan Drainase

Sistem jaringan drainase merupakan bagian dari infrastruktur pada suatu

kawasan, drainase masuk pada kelompok infrastruktur air pada pengelompokan

infrastruktur wilayah, selain itu ada kelompok jalan, kelompok sarana transportasi,

kelompok pengelolaan limbah, kelompok bangunan kota, kelompok energi dan

kelompok telekomunikasi ( Grigg 1988, dalam Suripin, 2004 ). Air hujan yang jatuh di

suatu kawasan perlu dialirkan atau dibuang, caranya dengan pembuatan saluran yang

dapat menampung air hujan yang mengalir di permukaan tanah tersebut. Sistem

saluran di atas selanjutnya dialirkan ke sistem yang lebih besar. Sistem yang paling

kecil juga dihubungkan denga saluran rumah tangga dan dan sistem saluran bangunan

infrastruktur lainnya, sehingga apabila cukup banyak limbah cair yang berada dalam

saluran tersebut perlu diolah ( treatment ). Seluruh proses tersebut di atas yang disebut

dengan sistem drainase ( Kodoatie, 2003 ). Bagian infrastruktur (sistem drainase )

dapat didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air yang berfungsi untuk

mengurangi dan /atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan atau lahan,

sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal. Dirunut dari hulunya, bangunan

sistem drainase terdiri dari saluran penerima ( interseptor drain ), saluran pengumpul (

colector drain ), saluran pembawa ( conveyor drain ), saluran induk ( main drain ) dan

badan air penerima ( receiving waters). Di sepanjang sistem sering dijumpai bangunan

lainnya, seperti gorong-gorong, siphon, jembatan air ( aquaduct ), pelimpah, pintu-

pintu air, bangunan terjun, kolam tando dan stasiun pompa. Pada system drainase yang

lengkap, sebelum masuk ke badan air penerima air diolah dahulu pada telah memliki

baku mutu tertentu yang dimasukkan ke dalam badan air penerima, biasanya sungai,

sehingga tidak merusak lingkungan ( Suripin, 2004 ).

4.7.2 Konsep Sistem Jaringan Drainase yang Berkelanjutan

Berdasarkan prinsip pengertian sistem drainase diatas yang bertujaun agar

tidak terjadi banjir di suatu kawasan, ternyata air juga merupakan sumber kehidupan.

Bertolak dari hal tersebut, maka konsep dasar pengembangan sistem drainase yang

berkelanjutan adalah meningkatkan daya guna air, meminimalkan kerugian, serta

memperbaiki dan konservasi lingkungan.Untuk itu diperlukan usaha-usaha yang

komprehensif dan integratif yang meliputi seluruh proses, baik yang bersifat struktural

maupun non struktural, untuk mencapai tujuan tersebut ( Suripin, 2004 ). Sampai saat

ini perancangan drainase didasarkan pada filosofi bahwa air secepatnya mengalir dan

seminimal mungkin menggenangi daerah layanan. Tapi dengan semakin timpangnya

perimbangan air ( pemakaian dan ketersedian ) maka diperlukan suatu perancangan

draianse yang berfilosofi bukan saja aman terhadap genangan tapi juga sekaligus

berasas pada konservasi air ( Sunjoto, 1987 ). Konsep Sistem Drainase yang

Berkelanjutan prioritas utama kegiatan harus ditujukan untuk mengelola limpasan

permukaan dengan cara mengembangkan fasilitas untuk menahan air hujan.

Berdasarkan fungsinya, fasilitas penahan air hujan dapat dikelompokkan menjadi dua

tipe, yaitu tipe penyimpanan dan tipe peresapan ( Suripin, 2004 ). Sedangkan menurut

Sunjoto, 1987, konsepsi perancangan drainase air hujan yang berasaskan pada

konsevasi air tanah pada hakekatnya adalah perancangan suatu system drainase yang

mana air hujan jatuh di atap / perkerasan, ditampung pada suatu system resapan air,

sedangkan hanya air dari halaman bukan perkerasan yang perlu ditampung oleh sistem

jaringan drainase. Pada tesis ini langkah struktural dengan menggunakan tipe

peresapan, Sumur Resapan Air Hujan ( RSAH ) seperti disajikan pada Gambar

dibawah ini

Gambar 2.24 Contoh Sumur Resapan Air Hujan ( Suripin, 2004 )

Gambar 2.25. Tata Letak Sumur Resapan Air Hujan ( Suripin, 2004 )

2.7.3 Penilaian Kapasitas dan Kerusakan Jaringan Drainase

Tingkat kapasitas dan kerusakan jaringan menunjukkan secara utuh tentang

kondisi fisik jaringan drainase, yaitu mengenai kapasitas dan kondisi fisik jaringan

yang dibagi menjadi beberapa komponen, yaitu terdiri dari saluran penerima

(interseptor drain), saluran pengumpul (collector drain), saluran pembawa (conveyor

drain), saluran induk (main drain) dan bangunan pelengkap lainnya seperti gorong-

gorong, dan bangunan pertemuan (bak kontro). Setiap komponen memberikan

kontribusi terhadap kondisi fisik jaringan secara keseluruhan. Bobot setiap komponen

disusun atas besarnya pengaruh terhadap terjaminnya layanan pengaliran air genangan

(pedoman penilaian jaringan drainase).

BAB III

PEMBAHASAN

3.1. Identifikasi Kerusakan Jalan

Kelompok kami menetapkan studi kasus pada ruas jalan di Desa Banjarsari,

Kecamatan Buduran, Sidoarjo sebagai lokasi dalam melakukan pengamatan. Berdasarkan

pengamatan pada ruas jalan tersebut terdapat kerusakan jalan ± sejauh 500 meter.

Konstruksi perkerasan jalan tersebut, yaitu konstruksi perkerasan lentur (Flexible

Pavement), perkerasan yang menggunakan aspal sebagai bahan pengikatnya. Pada

pengamatan pada ruas jalan Desa Banjarsari terdapat kerusakan jalan seperti pada gambar

yang di foto langsung seperti di bawah ini :

Menurut gambar di atas dan kajian pustaka yang telah dibahas mengenai jenis

kerusakan perkerasan lentur, sehingga dapat di identifikasi tipe kerusakan jalan pada Desa

Banjarsari, Kecamatan Buduran, Sidoarjo adalah retak pinggir (edge crack), retak susut

(shrinkage cracks) dan lubang (potholes), yang merupakan bagian dari tipe kerusakan

cacat permukaan (disintegration).

3.2. Drainase

Kondisi drainase pada Desa Banjarsari, Kecamatan Buduran, Sidoarjo adalah tidak

terlalu baik karena masih terdapat sampah – sampah yang menggenangi saluran tersebut dan

mampu menyumbat aliran air yang melintasi. Drainase termasuk dalam wilayah pemukiman,

merupakan drainase buatan bukan alamiah, pola jaringan yang terdapat pada saluran

drainasenya adalah pola siku ,menurut letak nya termasuk dalam drainase muka tanah dan

menurut fungsi termasuk single purpose yang berarti dapat mengalirkan satu jenis air

buangan saja

3.3. Penyebab Kerusakan Jalan

Berdasarkan pengamatan pada ruas jalan di Desa Banjarsari, Kecamatan Buduran,

Sidoarjo tersebut terdapat kerusakan jalan ± sejauh 500 meter. Dapat disimpulkan penyebab

kerusakan jalan sebagai berikut :

1. Penyebab retak pinggir (edge crack)

Retak ini disebabkan oleh tidak baiknya sokongan dari arah samping,

drainase kurang baik, terjadinya penyusutan tanah, atau terjadinya settlement di

bawah daerah tersebut. Akar tanaman yang tumbuh di tepi perkerasan dapat pula

menjadi sebab terjadinya retak pinggir ini. Di lokasi retak, air dapat meresap

yang dapat semakin merusak lapisan permukaan. Retak ini lama kelamaan akan

bertambah besar disertai dengan terjadinya lubang- lubang.

2. Retak susut (shrinkage cracks)

retak yang saling bersambungan membentuk kotak-kotak besar dengan susut

tajam. Retak disebabkan oleh perubahan volume pada lapisan pondasi dan

tanah dasar.

3. lubang (potholes)

Lubang (potholes) biasanya berukuran tidak begitu besar (diameter < 90 cm).

berbentuk seperti mangkuk yang tidak beraturan dengan pinggiran tajam.

pertumbuhan lubang semakin besar diakibatkan kondisi air yang tergenang pada

badan jalan. Lubang pada dasarnya bermula dari retak-retak yang semakin parah

akibat air meresap hingga ke lapisan jalan sehingga menyebabkan sifat saling

mengikat aggregat dalam lapisan menjadi berkurang.

3.4. Cara Perbaikan

Usulan perbaikan tersebut dapat dilakukan dengan langkah sebagai berikut:

1. Penutupan Retak (crack sealing),

Penutupan retak adalah proses pembersihan dan penutupan atau penutupan ulang retakan

dalam perkerasan aspal,yang dimaksudkan untuk memperbaiki kerusakan dengan

penutupan retakan yang meliputi: retak memanjang, retak melintang, retak diagonal, retak

reflektif, retak sambungan pelaksanaan, pelebaran retakan dan retak pinggir.

Menurut Asphalt Institute MS-16 mengenai penutupan retak, cara yang disarankan adalah:

a. Retak rambut (hairline crack): retak yang lebar celahnya kurang dari 6 mm dan terlalu

kecil untuk diisi secara efektif. Oleh karena itu, biasanya dibiarkan saja kecuali kalau

sudah meluas. Jika retak rambut dalam area perkerasan banyak, maka perawatan

permukaan semacam penutup larutan (slury seal)atau penutup keping (chip seal)dapat

digunakan.

b. Retak kecil (small crack): retak yang lebar celahnya antara 6 – 20 mm, dan biasanya

perbaikan dibuat kira-kira 3 mm lebih besar dari lebar rata-rata retakan, dan kemudian

Forum Teknik Sipil No. XVIII/3-September 2008 943 dibersihkan dan ditutup dengan

penutup larutan (slury seal). Jika kedalaman retakan lebih besar dari 20 mm, material

penyangga (backer rod) dapat dipasang untuk mengawetkan penutup.

c. Retak sedang (medium crack): retak yang lebar celahnya antara 20 – 25 mm, biasanya

hanya membutuhkan pembersihan dan penutupan dengan penutup larutan (slury seal).

Jika kedalaman retakan lebih besar dari 20 mm, material penyangga (backer rod) dapat

dipasang untuk mengawetkan penutup.

d. Retak besar (large crack): retak yang lebar celahnya lebih besar dari 25mm. Perbaikan

dilakukan dengan larutan aspal emulsi atau campuran aspal panas (HMA) bergradasi

halus.

Adapun prosedur penutupan retak adalah, sebagai berikut:

a. Retakan dibersihkan dengan menggunakan salah satu alat, seperti: alat semprot

bertekanan tinggi, ledakan pasir (sand blasting),sikat kawat, ledakan udara panas (hot

airblasting) atau air bertekanan tinggi.

b. Sesudah pembongkaran bahan penutup lama pada retakan, dan ataupembersihan

retakan, lalu diukur kedalamannya. Jika kedalamannya lebih dari 20 mm, dibutuhkan

material penyangga (backer road)untuk menutup. Material penyangga harus tidak

mudah mampat, tidak susut, tidak menyerap dengan titik leleh lebih besar dari titik

leleh bahan penutup.

c. Segera sesudah penutupan, periksa retakan untuk menyakinkan kebersihannya, kering

dan material penyangga telah terpasang dengan baik.

d. Penutupan harus dilakukan dari bawah keatas retakan untuk mencegah udara

terperangkap, supaya tidak terbentuk bagian yang lemah pada penutup. Untuk

mencegah adannya tanda bekas jejak roda, penutup harus dipasang 3-6 mm dibawah

puncak dari permukaan retakan.

2. Perawatan Permukaan (Surface Treatment)

Perawatan permukaan adalah istilah yang mencakup beberapa tipe penutup aspal dan ter

batu bara (coal tar)atau gabungan agregate aspal. Perawatan permukaan tebalnya umumnya

tidak lebih dari 25 mm, dan dapat diletakan pada sembarang permukaan perkerasan. Aspal

untuk perawatan permukaan terdiri dari lapis tipis beton aspal yang terbentuk dari

penerapan emulsi aspal, cut back atau pengikat aspal ditambah dengan agregate untuk

melindungi atau memulihkan kondisi permukaan perkerasan yang telah ada.

Tipe dan nama perawatan permukaan termasuk diantaranya adalah: penutup pasir (sand

seal), penutup keping (chip seal) atau kadang kadang disebut lapis penutup(seal coat).

Menurut lavin 2003, perawatan permukaan dapat dibagi kedalam sub kelompok: penutup

perkerasan (pavement sealer),keping penutup (chip seal) dan penutup larutan (slurry seal).

Beda dari ketiganya adalah, pavement sealer tidak mengandung agregate sedangkan chip

seal dan slurry seal berisi agregate dengan porsi yang signifikan.

a. Penutup Perkerasan (pavement sealer)

Penutup perkerasan dapat digunakan untuk pemeliharaan yang sifatnya pencegahan atau

perbaikan, seperti:

1) Fog seal:Lapis penutup yangberupa fog seal adalah aspal emulsi tipis dengan tipe

ikatan lambat yang biasanya tanpa agregat penutup dan cocok digunakan untuk

memperbaharui permukaan aspal yang telah menjadi kering dan menjadi getas oleh

umur, mengisi retak kecil dan rongga permukaan serta melapisi permukaan partikel

aggregate agar tidak terjadi lepasnya butiran (raveling)

2) Penutup aspal (asphalt sealers)dan ter batu bara (coal tar): Penutup aspal (asphalt

sealers) atau lapis penutup (seal coat) terdiri dari material dasar seperti hasil

penyulingan ter batu bara (coal tar)atau semen aspal dan air. Lapisan ini tidak

menambah kekuatan struktur perkerasan dan umumnya digunakan untuk menutup

retak rambut, mengikat bersamasama permukaan yang mengalami butiran lepas

(raveling)ringan serta membuat oksidasi dan memperlambat penetrasi air.

b. Keping Penutup (chip seal)

Keping Penutup (chip seal) adalah perawatan aspal yang disemprotkan pada lapis

pengikat aspal, emulsi atau cutbackyang diikuti oleh penyebaran agregate diatasnya.

Istilah cheap menunjukan sifat ukuran tunggal dari agregate, yang umumnya berupa

agregate batu pecah. Chip seal ini cocok digunakan pada jalan raya dengan volume

rendah untuk penanganan kerusakan pada area luas dengan retakan kecil yang rapat

(aligator cracking), pelapukan (weathering)atau butiran lepas (raveling), agregate licin

(polished aggregate), dan retak block (block cracking)

c. Penutup Larutan (slurry seal)

Penutup Larutan (slurry seal)adalah perawatan yang dapat digunakan untuk

pemeliharaan yang sifatnya pencegahan atau perbaikan. Penutup larutan adalah suatu

campuran yang terdiri dari aspal emulsi ikatan lambat, agregate halus, mineral pengisi

dan air. Dalam kasus khusus, dalam larutannya ditambahkan material tambah (additive)

untuk memodifikasi karakteristik lamanya waktu perawatan. Material ini biasanya

dikombinasikan dalam mesin spesial yang dirancang untuk pencampuran dan peletakan

penutup larutan. Penghamparan larutan dilakukan satu tahap, dengan ketebalan antara 3-

10 mm. Karena tipisnya, ukuran maksimum agregate umumnya tidak lebih dari 9-10

mm dan dapat sekecil 4.75 atu 5 mm. Penutup larutan berfungsi untuk: menutup retakan,

menghentikan pelepasan butiran, dan memperbaiki kekesatan permukaan.

3. Penambalan (patching)

Penambalan diseluruh kedalaman cocok untuk perbaikan permanen, sedangkan perbaikan

sementara cukup ditambal dikulit permukaan perkerasan saja. Penambalan cocok untuk

memperbaiki kerusakan: Aligator cracking, pothole, patching, corrugation, shoving,

depression, slippage cracking, danrutting.

a. Penambalan Permukaan

Penambalan permukaan umumnya hanya bersifat sementara untuk memperbaiki

kerusakan, shoving, corrugation, depression, weathering and raveling danalligator

cracking. Penambalan permukaan dapat dilakukan dengan tanpa melakukan

penggalian untuk menyamakan permukaan yang telah ada, atau dapat dilakukan dengan

cara mengupas sebagian atau seluruh campuran perkerasan aspal yang telah ada untuk

memperbaiki kerusakan. Penambalan permukaan dilakukan sebagai berikut:

1) Tandai area yang akan diperbaiki. Jika yang akan diperbaiki berupa kerusakan

depresion atau ruting, perbaikan harus dikerjakan sedemikian rupa sehingga

elevasi area perbaikan sama dengan perkerasan sekitarnya.

2) Jika penambalan dilakukan dengan cara membongkar perkerasan, kupas sampai

kedalaman yang cukup untuk membongkar material yang rusak.

3) Sesudah membongkar perkerasan, bersihkan area ini dengan semprotan bertekanan

udara tinggi, dan selanjutnya setelah kering, gunakan tack coat pada bagian pinggir

dan dasar dari area tambalan.

4) Setelah tack coat dilakukan, segera letakan aspal panas dalam area yang

dibongkar atau keseluruh area yang ditambal.

5) Untuk penambalan tanpa pengupasan pekerasan yang telah ada sebaiknya

menggunakan campuran aspal dan pasir halus

6) Padatkan aspal dengan alat pemadat yang disesuaikan dengan ukuran tambalan.

Hal penting yang harus diperhatikan tambalan harus diratakan sesuai dengan

permukaan perkerasan disekitarnya.

b. Penambalan Diseluruh Kedalaman

Penambalan diseluruh kedalaman dilakukan dengan cara membongkar seluruh material

yang berada diarea yang mengalami kerusakan dan digantikan dengan campuran aspal

yang masih segar. Perbaikan ini bertujuan untuk memperbaiki kerusakan struktural dan

material yang terkait dengan kerusakan ruting, alligator cracking dan

corrugation.Penambalan dilakukan sebagai berikut:

1) Area tambalan sebaiknya dilebihkan sekitar 15-30 cm diluar area yang rusak.

Perkerasan digali sesuai kebutuhan termasuk lapis pondasi granuler dan tanah

dasar untuk memperoleh Forum Teknik Sipil No. XVIII/3-September 2008 945

dukungan yang kuat. Untuk kerusakan seperti retak akibat penggelinciran

(slippage cracking) perbaikan hanya dilakukan pada lapis aspal yang rusak

sedangkan untuk kerusakan alligator cracking perlu pembongkaran material

pondasi granuler atau tanah dasar yang lemah.

2) Setelah penggalian, singkirkan material dari area yang digali dan ratakan serta

padatkan pondasi granuler atau tanah dasar agar menciptakan pondasi yang kuat.

3) Hamparkan tack coat untuk tepi vertikal galian dan prime coat atautack coat untuk

dasar galian.

4) Urug galian dengan campuran aspal dan tuangkan campuran lebih dahulu pada tepi

galian. Hamparkan campuran dengan hati-hati untuk menghindari pemisahan

campuran. Material untuk menambal harus cukup, supaya setelah dipadatkan tidak

menghasilkan cekungan atau cembungan pada tambalan. Campuran aspal panas

harus diletakan perlapis, untuk menambah tahanan panas dan kepadatan yang

cukup.

5) Padatkan tiap lapis tambalan dengan baik dan setelah pemadatan, permukaan

tambalan harus pada elevasi yang sama dengan perkerasan. Urutan prioritas

penanganan kerusakan jalan dilaksanakan berdasarkan nilai PCI, dimana pada unit

penelitian yang memiliki nilai PCI terkecil memperoleh prioritas penanganan

terlebih dahulu. Seperti pada tabel 7 dan 8 Urutan prioritas pertama adalah nomor

unit penelitian 23B yang terletak pada jalur 1 lajur B Jalan Lingkar Selatan dengan

nilai PCI sebesar 22 (rating verry poor)