surat & opini -...

1

Upload: trinhkhuong

Post on 03-Mar-2019

265 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SURAT & OPINI - bigcms.bisnis.combigcms.bisnis.com/file-data/1/2267/527838e2_Des17-IndoritelMakmur... · kan di slip pembayaran gaji. ... yang mencapai 82,3 juta ton jika ... contoh,

SURAT & OPINI 23Kontan Kamis, 29 Maret 2018

Penerbit: PT Grahanusa Mediatama Surat Izin: Surat Keputusan Menpen Nomor 307/ SIUPP/B.1/1996, tanggal 19 Maret 1996. Direktur: Lukas Widjaja, Ardian Taufik Gesuri Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab: Ardian Taufik Gesuri Alamat Redaksi: Gedung KONTAN, Jalan Kebayoran Lama No. 1119 Jakarta 12210 Iklan: Gedung KOMPAS GRAMEDIA, Jalan Palmerah Selatan No. 22-28 unit II Lt. 2, Jakarta Selatan 10270 Sirkulasi: Gedung KOMPAS, Jalan Gajah mada No.109-110A Jakarta 11140 Telepon: Redaksi (021) 535 7636, 532 8134, Iklan (021) 536 79909, 548 3008 Faksimile: Redaksi: (021) 535 7633, Iklan: (021) 5369 9080, Sirkulasi (021) 260 0972 E-mail: [email protected], Web site: www.kontan.co.id, Dicetak oleh: Percetakan PT Gramedia Jl. Palmerah Selatan 22-28, Jakarta 10270, Isi di luar tanggung jawab percetakan. WARTAWAN ”KONTAN” SELALU DIBEKALI TANDA PENGENAL, DAN TIDAK DIPERKENANKAN MENERIMA ATAU MEMINTA APA PUN DARI NARA SUMBER

Isi iklan menjadi tanggung jawab pemasang iklan, KONTAN tidak bertanggung jawab atas materi iklan.

Tajuk

Kekuatan Digital

Selama lima tahun terakhir dunia menyaksikan pertumbuhan ekonomi digital yang pesat.

Usaha berbasis digital tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga me-nyaingi, bahkan menggusur, bisnis konvensional.

Ambil contoh di sektor ritel. Pe-nutupan gerai oleh perusahaan ritel konvensional makin kerap terde-ngar belakangan ini. Banyak yang mengaitkan senjakala bisnis ritel konvensional dengan kehadiran e-commerce.

Arena lain yang memperlihatkan keunggulan ekonomi digital diban-dingkan bisnis konvensional adalah transportasi. Di seluruh pelosok dunia, aplikasi transportasi, sema-cam Uber, tancap gas meninggalkan perusahaan taksi konvensional.

Sektor keuangan juga tak luput dari dobrakan ekonomi digital. Sa-lah satu skema yang populer digarap pebisnis ekonomi digital adalah mempertemukan pemilik dana de-ngan mereka yang membutuhkan dana. Skema yang lazim disebut peer to peer lending, atau P2P len-ding, ini kini hadir di banyak negara, termasuk Indonesia.

Kemampuan ekonomi digital un-tuk tumbuh menyaingi, bahkan mengalahkan usaha konvensional, sejatinya, tidak terlalu mengheran-

kan. Bisnis digital sangat fleksibel hingga memungkinkan mereka un-tuk memaksimalkan inovasi.

Inovasi dalam berbagai bentuk itu yang memungkinkan mereka men-jual jasa dengan harga yang lebih murah. Atau, dalam konteks P2P lending, memberikan imbal hasil yang lebih tinggi.

Yang sudah terjadi, tawaran ino-vasi dari ekonomi digital menuai respon yang sangat positif dari me-reka yang membutuhkan. Dan, di masa awal sebuah usaha ekonomi digital berkiprah, pemerintah kita biasanya mengambil sikap untuk ti-dak ikut campur tangan.

Dalam bisnis transportasi digital, misalnya, harga yang harus dibayar konsumen, dan tentu, tarif yang di-peroleh pengemudi, ya diserahkan ke penyedia aplikasi. Di P2P lending penyedia jasa juga yang berkuasa menentukan seberapa besar bunga yang harus dibayar peminjam, dan imbal hasil yang bisa dinikmati pe-milik dana.

Awal pekan ini, kita menyaksikan bisnis digital akhirnya tak bisa lepas dari campur tangan pemerintah. Menanggapi unjuk rasa yang digelar ratusan supir ojek online, Senin ke-marin, pemerintah akhirnya meran-cang tarif bagi mereka.

Yang menarik ditunggu, jika pe-merintah ikut campur tangan, apa bisnis digital masih bisa memperta-hankan daya inovasinya? n

Thomas Hadiwinata

Pemerintah harus mulai membuat program

percepatan penganekaragaman pangan.

Posman Sibuea, Guru Besar Teknologi Pertanian Unika Santo Thomas Sumut

Surat

Arti Penting Pelaporan SPT Tahunan

Tiap Maret saban tahun, pekerja, aparat pemerintah hingga peng-usaha bakal sedikit repot untuk

mengisi dan melaporkan SPT pribadi atau badan. Ditjen Pajak sendiri tiap tahun terus memperbaharui cara pela-poran SPT supaya lebih cepat, mudah dan tentunya aman.

Bila biasanya warga negara repot melaporkan SPT tahunan karena ha-rus antre di kantor pajak, hingga kan-tor pajak harus membuka stan pela-poran pajak di tempat-tempat umum seperti pusat belanja, kini tak ada lagi. Era digital membuat semuanya serba gampang, termasuk dalam mengisi dan melaporkan SPT tahunan.

Bagi pekerja perusahaan mulai di-berlakukan mengisi dan melaporkan SPT tahunan secara e-filling. Pengisi-annya pun bisa dilakukan di mana saja dan kapan saja. Proses pengisian la-poran tersebut juga bisa dilakukan via gadget. Jadi bisa dilakukan di kedai.

Memang diakui semakin tahun, sis-tem pelaporan pajak yang dibuat Dit-

jen Pajak kian optimal. Kalau ada ke-salahan, atau kesulitan dalam pengisi-an data, paling itu karena jaringan internet dari masing-masing gadget. Bisa dari operator telekomunikasi atau dari sistem Ditjen Pajak.

Masyarakat yang sudah mengisi dan melaporkan SPT tahunan pasti mera-sa lega. Seolah utang sudah terbayar-kan. Padahal, masyarakat perlu tahu, makna pelaporan SPT tahunan terse-but.Pelaporan SPT tahunan itu tak cuma sekedar sudah lunas bayar pajak saja, atau tidak ada utang. Terutama bagi pekerja. Yang setiap bulan pasti terkena potongan pajak yang dibukti-kan di slip pembayaran gaji.

Masih banyak warga yang tidak pa-ham betul soal arti penting SPT tahun-an. Ini menjadi tugas dan tanggung jawab Ditjen Pajak untuk menjelaskan persoalan. Bilang saja bila SPT tahun-an tersebut sebagai pijakan bagi Ditjen Pajak untuk menentukan besaran pa-jak yang sesungguhnya dari wajib pa-jak.

Jadi intinya, Ditjen Pajak ingin war-ga negara objektif dalam melaporkan penghasilan dan harta. Warga masya-rakat pun ingin Ditjen Pajak mengop-timalkan pajak yang sudah diberikan dalam bentuk SPT tahuan.

M Marwoto, Rawamangun, Jakarta Timur

Opini

Menata Konsumsi Pangan Zaman Now

Tidak bisa disangkal pola kon-sumsi pangan masyarakat Indonesia zaman now sema-

kin seragam. Dari wilayah Timur ke Barat tidak asing lagi dengan produk olahan beras dan gandum. Peningkatan konsumsi kedua ko-moditas ini seakan tak bisa dile-paskan yang membuat potensi pangan lokal kian kandas.

Fenomena itu sudah terbukti dengan dibukanya kembali keran impor beras baru-baru ini. Sejum-lah 500.000 ton beras impor akan digelontorkan ke pasar untuk me-nurunkan harga dan memantap-kan ketahanan pangan menjelang pilkada 2018 dan pilpres 2019.

Mengatasi kenaikan harga beras yang terjadi setiap tahun, peme-rintah lebih mengedepankan opsi impor beras dibandingkan berusa-ha keras meningkatkan stok beras di dalam negeri dengan member-dayakan petani lokal. Alasan kla-sik seperti serangan wereng, mu-sim kemarau dan banjir menjadi justifikasi. Lantas yang menjadi pertanyaan, bagaimana menata konsumsi pangan zaman now?

Lambatnya perkembangan tek-nologi pengolahan pangan lokal berbasis umbi-umbian di Indone-sia menyebabkan bangsa ini terje-bak dalam konsumsi beras yang amat tinggi. Padahal produksi beras yang melandai tidak mampu mengimbangi laju konsumsi yang mendorong pemerintah membuka keran impor beras setiap tahun.

Mengimpor beras seolah menja-di candu bagi bangsa ini. Bisnis impor telah mengantarkan pela-kunya acap ketagihan karena ke-enakan menikmati keuntungan. Pangsa pasar beras impor amat jelas! Sekitar 95% penduduk ter-gantung pada beras mulai dari ujung timur hingga ujung barat Indonesia.

Indonesia akan terus dibayang-bayangi krisis beras jika pola kon-sumsi pangan masyarakat tetap digiring untuk menyantap nasi tiga kali sehari. Masyarakat terus terobsesi “belum makan” jika be-lum mengonsumsi nasi. Implikasi-nya, tingkat konsumsi beras me-ningkat secara signifikan, dari 110 kg/kapita/tahun pada 1967 menja-di 139 kg/kapita/tahun pada 2017.

Bandingkan dengan orang Jepang, Thailand, Malaysia yang mengon-sumsi beras hanya 60 kg, 80 kg dan 90 kg per kapita per tahun.

Warisan pemerintah orde baru yang menempatkan beras sebagai makanan pokok dikloning hingga sekarang dalam bingkai beras “murah” untuk orang miskin (ra-skin). Mampu tidaknya seseorang mengonsumsi beras menjadi indi-kator utama kemiskinan.

Namun orientasi negara soal beras menjadi salah arah. Peme-rintah bukan meningkatkan daya beli orang miskin, tetapi ”memak-sa” harga beras murah agar ter-jangkau masyarakat miskin. Rak-yat telah terjebak dengan prinsip yang dibangun negara, yakni ro-mantisme beras murah.

Pemerintah memberantas ke-miskinan dengan memurahkan harga beras. Dengan jumlah kelu-arga penerima raskin yang ber-tambah setiap tahun, pemerintah mau tidak mau akan tetap mem-buka keran impor dan mengeluar-kan subsidi yang amat besar untuk menyukseskan program ini.

Lantas, untuk apa upaya peme-rintah yang meningkatkan pro-duksi gabah kering (GKG) 2017 yang mencapai 82,3 juta ton jika kemudian kebijakan pangan pe-merintah pro impor beras? Apa gunanya petani diminta bekerja keras menaikkan produksi beras dengan alokasi anggaran subsidi pupuk puluhan triliunan rupiah triliun kalau akhirnya pemerintah

tidak membelinya untuk memper-kuat cadangan pangan, tapi justru mengimpor?

Apalagi, harga beras impor ma-sih lebih murah ketimbang beras produksi petani kita. Alasan klasik ini selalu direproduksi sebagai le-gitimasi kebijakan impor beras.

Program belum jalan

Pertanyaan, masihkah efektif mempertahankan program raskin di zaman now jika produksi beras nasional tidak mencukupi untuk itu? Meski produksi gabah kering giling diprediksi sejumlah ahli ketahanan pangan menurun di tahun 2018 dibanding dengan 2017, pemerintah masih memper-tahankan program raskin sebagai garis kebijakan pangan untuk me-ngenyangkan perut rakyat.

Paradigma lama yang mengang-gap bahwa beras impor masih tersedia di pasar global untuk menyukseskan raskin, patut diko-reksi. Di tengah perubahan iklim dan serangan hama yang semakin masif, kini para negara penghasil beras kesulitan menggenjot pro-duksinya.

Meski sudah hampir sembilan tahun diberlakukan Peraturan Presiden Nomor 22/2009 tentang Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sum-berdaya Lokal untuk menurunkan konsumsi beras 1,5% per tahun, pemerintah belum mampu meng-ganti program raskin ke program pangan non beras berbasis sum-ber daya lokal. Sayangnya, peng-anekaragaman konsumsi pangan justru beralih ke produk olahan terigu, terutama mi dan roti.

Perpres yang merupakan keten-tuan untuk mengalihkan konsum-si beras ke pangan lokal belum memiliki energi untuk mendorong percepatan penurunan konsumsi beras karena terganjal program raskin.

Untuk mampu mengurangi ke-tergantungan konsumsi pada be-ras, arah kebijakan pembangunan pangan membutuhkan iklim yang kondusif untuk mentransformasi pembangunan pertanian yang konvensional ke pengembangan tekno agroindustri pangan mo-

dern berdaya saing tinggi. Selama ini pelaku tekno agroindustri pa-ngan masih lebih suka mengeks-por bahan baku.

Muaranya, perkembangan tek-nologi pengolahan hasil pertanian berjalan lambat dan kita belum berhasil menciptakan produk pa-ngan olahan yang memberi nilai tambah kepada petani. Sekedar contoh, produk pangan non beras berbasis sumber daya lokal seper-ti sagu dan umbi-umbian belum optimal pemanfaatannya.

Kita berharap pemerintahan Joko Widodo yang usianya tersisa 1,5 tahun lagi bisa lebih serius memperhatikan pembangunan tekno agroindustri pangan berba-sis sumber daya lokal. Terlalu ris-kan jika untuk urusan pangan kita tetap menggantungkan diri kepa-da pihak asing padahal Indonesia memiliki sumber pangan lokal yang beragam. Berasisasi makan-an pokok di Papua yang rakyat-nya bukan pengonsumsi nasi, jelas suatu kebijakan pangan keliru dan beraroma kapitalistik yang mema-tikan potensi pangan lokal.

Di zaman now, sebagian warga sudah mulai menghindari kon-sumsi beras dan produk gandum karena alasan menjaga kesehatan. Maka pemerintah patut mengo-reksi ulang kebijakan pangan de-ngan lebih berpihak pada perce-patan penganekaragaman kon-sumsi pangan.

Jebakan beras bisa dihindari dengan melakukan pendampingan masyarakat secara berkesinam-bungan supaya lebih mudah me-manfaatkan sumber pangan non beras dengan menghadirkan ko-moditas ini ke rumah tangga da-lam bentuk produk setengah jadi.

Pengolahan umbi-umbian men-jadi tepung harus digiatkan untuk memudahkan masyarakat men-substitusi tepung terigu dengan pangan lokal non beras untuk ba-han pembuatan roti. Ruang per-mintaan pangan non beras pun akan semakin luas sehingga me-rangsang produksi (on farm) dan meningkatkan daya ungkit ekono-mi perdesaan. Hal ini akan men-dorong percepatan perwujudan kedaulatan pangan dan menyejah-terakan petani lokal. n

Posman Sibuea, Guru Besar Program Studi Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas

Sumatera Utara

Zainudin
Typewriter
29 Maret 2018, Kontan | Hal.23