supersemar yg kontroversial

11
SUARA PEMBARUAN DAILY 20 Februari 1967, Kudeta Soeharto (Tjipta Lesmana) Peristiwa 11 Maret 1966 - penerbitan Surat Perintah Presiden Soekarno kepada Menteri/Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Soeharto, pada 11 Maret 1966 - sering dikatakan sebagai kudeta terselubung Soeharto terhadap Soekarno. Tidak sedikit sejarawan kita mempunyai pandangan serupa. Pendapat ini, sebenarnya, tidak tepat. Per definisi, coup d'etat berarti pengambilan atau penggulingan kekuasaan (seizure of, topple of, state power) secara paksa dan mendadak. Kudeta juga diidentikkan dengan tindakan inkonstitusional. Maka, setelah kudeta, tampuk kekuasaan pun berpindah tangan: dari A kepada B. Itu berarti A telah kehilangan kekuasaannya, karena sejak hari itu kekuasaan negara dijalankan sepenuhnya oleh B yang menggulingkannya. Dengan mengantongi Supersemar, Letnan Jenderal Soeharto belum menjadi penguasa tertinggi di Republik Indonesia. Soekarno tatkala itu secara de facto maupun de jure masih Kepala Negara, kepala pemerintahan, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, bahkan Pemimpin Besar Revolusi. Dan ia masih memiliki banyak pengikut dari berbagai elemen bangsa, termasuk militer. Banyak cerita yang mengatakan bahwa Soekarno didesak untuk melakukan perlawanan fisik menghancurkan klik Soeharto. Tapi, Soekarno yang cinta damai menolak nasehat seperti itu. Ia lebih memilih jalan damai untuk menyelesaikan konflik politiknya dengan Soeharto. Soekarno sendiri dalam berbagai kesempatan berupaya keras melawan tekanan-tekanan Soeharto. Paling tidak, ia ulang- ulang membantah laporan luar negeri bahwa dirinya telah digulingkan oleh Soeharto. "Sang duta besar kita harus menerangkan lagi, menerangkan bahwa berita-berita surat kabar- surat kabar nekolim itu tidak benar. President Soekarno has not been toppled, Presiden Soekarno tidak

Upload: al-fian-irsyadul-ibad

Post on 07-Dec-2015

7 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

supersemar

TRANSCRIPT

Page 1: Supersemar yg Kontroversial

SUARA PEMBARUAN DAILY

20 Februari 1967, Kudeta Soeharto(Tjipta Lesmana)

Peristiwa 11 Maret 1966 - penerbitan Surat Perintah Presiden Soekarno kepada Menteri/Panglima Angkatan Darat, Letnan Jenderal Soeharto, pada 11 Maret 1966 - sering dikatakan sebagai kudeta terselubung Soeharto terhadap Soekarno. Tidak sedikit sejarawan kita mempunyai pandangan serupa. Pendapat ini, sebenarnya, tidak tepat.

Per definisi, coup d'etat berarti pengambilan atau penggulingan kekuasaan (seizure of, topple of, state power) secara paksa dan mendadak. Kudeta juga diidentikkan dengan tindakan inkonstitusional. Maka, setelah kudeta, tampuk kekuasaan pun berpindah tangan: dari A kepada B. Itu berarti A telah kehilangan kekuasaannya, karena sejak hari itu kekuasaan negara dijalankan sepenuhnya oleh B yang menggulingkannya.

Dengan mengantongi Supersemar, Letnan Jenderal Soeharto belum menjadi penguasa tertinggi di Republik Indonesia. Soekarno tatkala itu secara de facto maupun de jure masih Kepala Negara, kepala pemerintahan, Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, bahkan Pemimpin Besar Revolusi. Dan ia masih memiliki banyak pengikut dari berbagai elemen bangsa, termasuk militer. Banyak cerita yang mengatakan bahwa Soekarno didesak untuk melakukan perlawanan fisik menghancurkan klik Soeharto. Tapi, Soekarno yang cinta damai menolak nasehat seperti itu. Ia lebih memilih jalan damai untuk menyelesaikan konflik politiknya dengan Soeharto.

Soekarno sendiri dalam berbagai kesempatan berupaya keras melawan tekanan-tekanan Soeharto. Paling tidak, ia ulang-ulang membantah laporan luar negeri bahwa dirinya telah digulingkan oleh Soeharto. "Sang duta besar kita harus menerangkan lagi, menerangkan bahwa berita-berita surat kabar- surat kabar nekolim itu tidak benar. President Soekarno has not been toppled, Presiden Soekarno tidak digulingkan. President Soekarno has not been ousted. Presiden Soekarno tidak ditendang keluar. President Soekarno is still president. Presiden Soekarno masih tetap presiden. Presiden Soekarno is still supreme commander of the armed forces. Presiden Soekarno masih tetap Panglima Tertinggi daripada Angkatan Bersenjata!" demikian tandas Presiden Soekarno ketika menyampaikan sambutannya pada peringatan Idul Adha di Masjid Istiqual 1 April 1966, 3 minggu setelah ia mengeluarkan Supersemar kepada Soeharto.

Mengenai Super- semar, dalam sambut- annya memperingati 40.000 jiwa pahlawan Sulawesi Selatan di Istora pada 10 Desember 1966, Soekarno mengingatkan dunia internasional dan seluruh rakyat Indonesia bahwa "It (Supersemar) is not a transfer of authority kepada General Soeharto. Ini sekadar perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk menjamin jalannya pemerintahan, untuk ini, untuk itu, untuk itu. Perintah itu bisa juga saya berikan, misalnya, kepada Pak Mul. Muljadi Pangal (Panglima Angkatan Laut, pen.). Saya bisa juga perintahkan kepada Pak Sutjipto Judodihardjo, apalagi dia itu Pangak (Panglima Angkatan Kepolisian, pen.). Saya bisa: He, Sdr. Tjip Pangak, saya perintahkan kepadamu untuk keamanan, kestabilan jalannya pemerintahan. Untuk keamanan pribadi Presiden/Pemimpin Besar Revolusi dan lain-lain sebagainya. I repeat again: it is not a transfer of authority. Sekadar satu perintah! Mengamankan! "

Namun, sejarah mencatat bahwa Soeharto memanfaatkan Supersemar untuk terus menggerus kekuasaan Soekarno, sekaligus memantapkan kekuasaannya menuju kursi Presiden RI dengan cara merekayasa terselenggaranya Sidang Umum (SU) MPRS pada Juni 1966. Ada 2 (dua) Ketetapan (TAP) MPRS 1966 yang sangat monumental bagi terlaksananya cita-cita Soeharto, yaitu TAP No IX/1966 dan TAP No XV/1966. Yang pertama tentang pengukuhan Supersemar

Page 2: Supersemar yg Kontroversial

dari "sekadar" perintah eksekutif seorang Presiden menjadi TAP MPRS. Dengan peralihan status Supersemar ini, seakan-akan Supersemar bukan lagi milik Soekarno, sehingga Soekarno tidak bisa menarik kembali. Hanya MPR yang berkewenangan mencabut kembali TAP yang pernah dikeluarkannya. Sedang TAP No XV/1966 memberikan jaminan kepada Pengemban TAP MPRS No IX/1966, yaitu Letnan Jenderal Soeharto, untuk setiap saat menjadi Presiden "Apabila Presiden berhalangan" . MPRS ketika itu tidak memberikan penjelasan apa pun tentang apa yang dimaksud "berhalangan" .

Insubordinasi

Semenjak SU MPRS 1966 kesan terjadinya dualisme kepemimpinan nasional antara Presiden Soekarno dan Pengemban TAP MPRS No IX/1966 semakin hebat. Dualisme ini sebenarnya tidak lebih rekayasa belaka. Yang sebenarnya terjadi adalah insubordinasi Soeharto terhadap Presiden Soekarno. Apa pun yang diucapkan dan dilakukan Presiden, tantangan sengit selalu datang dari militer yang sepenuhnya sudah dikendalikan oleh Jenderal Soeharto, serta para mahasiswa yang terus-menerus melancarkan demonstrasi di seluruh pelosok Tanah Air. Contoh lain dari tindakan insubordinasi Soeharto: perintah MPRS melalui Pasal 2 TAP MPRS No XIII/1966 - "Presiden menugaskan kepada Letjend. Soeharto sebagai pengemban TAP MPRS tersebut untuk segera membentuk Kabinet Ampera" - tidak sepenuhnya dijalankan oleh Soeharto. Menurut kesaksian Prof Dahlan Ranuwihardjo, SH, berdasarkan pengakuan Hardi SH, penghubung antara Soekarno dan Soeharto waktu itu, Soeharto sudah membuat daftar calon menteri ketika membentuk Kabinet Ampera. Hanya 2 (dua) calon dari Soekarno yang disetujui Soeharto, yaitu Sanusi Hardjodinata dan Ir Bratanata, masing-masing sebagai Menteri P & K dan Menteri Pertambangan.

"Dualisme kepemimpinan nasional" - di satu pihak Soeharto sepenuhnya telah mengendalikan roda pemerintahan karena jabatannya sebagai Ketua Presidium Kabinet dan Panglima Angkatan Bersenjata; di pihak lain Soekarno terus-menerus berteriak bahwa dirinya masih Presiden dan Panglima Tertinggi yang sah - memberikan argumentasi kuat bagi militer untuk segera dicarikan jalan keluarnya. Caranya apalagi kalau bukan dengan tekanan-tekanan politik. Maka, mulai akhir 1966 isu "penyerahan kekuasaan dari Soekarno dan Soeharto" bergulir kencang di publik sebagai satu-satunya solusi terbaik untuk mengakhiri krisis politik. Karena bargaining power-nya yang semakin lemah, Soekarno tidak punya pilihan lain kecuali berkapitulasi. Beberapa permintaannya pun ditolak, seperti jaminan keamanan dan sebagainya.

Maka, pada 20 Februari 1967 sekitar pukul 5 sore Soekarno di Istana Merdeka menandatangani Surat Pernyataan Penyerahan Kekuasaan. Soeharto datang sendiri ke Istana didampingi beberapa petinggi militer. Namun, pengumumannya ditunda hingga "hari yang baik". Oleh Prof Dahlan Ranuwihardjo, peristiwa 20 Februari 1967 dikategorikan sebagai "kudeta" Soeharto terhadap Presiden Soekarno. Dengan dokumen tersebut, Soekarno kehilangan semua kekuasaannya. Sebaliknya, Soeharto de facto menjadi kepala pemerintahan Indonesia.

Tanggal 22 Februari 1967 pagi, berita tentang penyerahan kekuasaan Soekarno kepada Soeharto sudah bocor ke luar. Bahkan sudah ada koran yang melansirnya. Menjelang pengumuman dokumen penting itu pada 22 Februari 1967 pukul 19:00, Soekarno dengan wajah kesal bertanya kepada Soeharto yang duduk disampingnya sambil menunjuk-nunjuk Koran yang dimaksud: "Kenapa beritanya sudah bocor?" Soeharto jawab sambil tersenyum: "Cuma menerka-nerka saja......"

Perhatikan Diktum pertama pengumuman Presiden Soekarno pada 22 Februari 1967: "Kami Presiden RI/Mandataris MPRS/Pangti ABRI terhitung mulai hari ini menyerahkan kekuasaan pemerintahan kepada Pengemban Ketetapan MPRS No IX/MPRS/1966 Jenderal TNI Soeharto sesuai dengan ji- wa Ketetapan MPRS No XV/ MPRS/1966 dengan tidak mengurangi maksud dan jiwa UUD 1945."

Page 3: Supersemar yg Kontroversial

Jadi, penyerahan kekuasaan Soekarno kepada Soeharto ber- dasarkan TAP MPRS No XV/ MPRS/1966 yang menyatakan bahwa "Apabila Presiden berhalangan, maka pemegang Surat Presiden 11 Maret 1966 memegang jabatan Presiden". Tapi, apakah Soekarno ketika itu berhalangan atau berhalangan tetap sehingga ia tidak lagi bisa menjalankan kekuasaannya? Tanya Prof Dahlan. Jelas, tidak! Soekarno sehat wal'afiat ketika mengumumkan transfer of power-nya di Istana. Secara fisik, ia masih gagah perkasa, apalagi muncul dengan seragam kebesarannya, lengkap dengan segala atribut kehormatan di dadanya yang bidang. Soekarno sengaja dibuat "berhalangan" - dalam arti pemerintahannya tidak lagi efektif - selama kurang-lebih 8 bulan oleh klik militer pimpinan Soeharto, sehingga timbul kesan berbahaya karena Indonesia tidak memiliki pemerintahan yang efektif!

(Penulis adalah mantan anggota Komisi Konstitusi dan Asisten Ombudsman Nasional)

Last modified: 11/3/08 http://www.sinarhar apan.co.id/ berita/0803/ 11/sh04.html

Surat Perintah 11 Maret, ”So What?”Oleh :

Tjipta Lesmana

Selama 10 tahun Orde Reformasi sudah begitu banyak wacana mengenai kelahiran Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) . Banyak pandangan dan masukan diajukan kepada masyarakat oleh pihak-pihak yang mengaku tahu, bahkan menjadi saksi sejarah, namun selama ini tidak berani membuka suara karena mulut mereka dibungkam oleh rejim Orde Baru. Keterangan atau kesaksian mereka belum tentu benar. Bisa saja semua itu dilontarkan semata-mata dilatarbelakangi oleh kebenciannya kepada Soeharto.

Page 4: Supersemar yg Kontroversial

Supersemar versi current, intinya, hendak menjungkir-balikkan versi Orde Baru. Supersemar, menurut mereka, adalah kudeta terselubung dari Letnan Jenderal Soeharto, Menteri/Panglima Angkatan Darat, terhadap kekuasaan Presiden Soekarno. Atau jalan/Surat Izin Mengemudi (SIM) bagi Soeharto menuju puncak kekuasaan sebagaimana yang sudah dirancangnya sejak awal, mungkin jauh sebelum tragedi Gerakan 30 September/PKI pecah. Pendapat ini, antara lain, dikemukakan oleh Hanafi (mantan Duta Besar kita di Kuba), Wimanjaya (dosen) dan Soebadio (sastrawan). Setelah rejim Orde Baru runtuh, baru terungkap bahwa cerita ketiga pelaku utama Supersemar – Letnan Jenderal Basuki Rachmat, Jenderal Amir Machmud, dan Jenderal M.Jusuf – pun satu sama lain berbeda. Amir sejak awal ulang-ulang, misalnya, menegaskan Supersemar yang asli hanya terdiri atas 1 (satu) lembar. Sebaliknya, menurut Jusuf, 2 (dua) lembar. Menurut ketiga pelaku, gagasan Supersemar bukan dari Soeharto, melainkan mereka sendiri. Di sini berbeda lagi ceritanya. Ada yang mengaku Jusuf sebagai pengambil prakarsa. Tapi, ada pula yang mengatakan Basuki Rachmat -- mengingat posisinya sebagai perwira paling senior dari ketiga Jenderal itu -- yang menjadi inisiator, setelah prihatin melihat Soekarno berjalan tergopoh-gopoh bercampur takut meninggalkan Istana menuju helikopter yang membawanya ke Bogor.Menurut Amir Machmud, mereka bertiga naik helikopter ke Istana Bogor. Tapi, cerita ini dibantah tegas oleh Jusuf. Mereka pergi dengan berkendaraan mobil, sedan pribadi milik Jusuf. Sampai tahun 2000 mobil itu, kata Jusuf dalam biografinya, masih diparkir di rumahnya, Jalan Teuku Umar, sebagai ”saksi sejarah”. Masih menurut Amir Machmud, ketika mereka bertiga menghadap Soeharto di kediamannya di Jalan Agus Salim sebelum ke Bogor, Soeharto titip salam kepada Bung Karno. ”Kalau saya diberikan kepercayaan, keadaan sekarang ini akan saya atasi!”. Namun, menurut Jusuf, pesan Soeharto sudah lebih spesifik, yaitu “….bersedia memikul tanggungjawab apabila kewenangan untuk itu diberikan kepadanya untuk melaksanakan stabilitas keamanan dan politik berdasarkan Tritura.” Kata-kata ini oleh Jusuf diinterpretasikan sebagai ”diberikannya sebuah komando yang eksklusif.” (baca: Jenderal M. Jusuf, Panglima Para Prajurit, 2006).

Apakah Amir, Basuki dan Jusuf ke Istana Bogor membawa konsep? Menurut Amir, dan Basuki, tidak. Wong, gagasannya muncul secara spontan. Tapi, Jusuf mengaku membawa map. Dan Brigadir Jenderal Sabur, ajudan senior Soekarno, melihat ketiganya menyodorkan sebuah map kepada BK. Apa isi surat di dalam map? Ini yang tak pernah diungkap sampai hari ini. Boleh jadi, konsep Supersemar sudah dirancang rapi oleh Soeharto, kemudian dibahas bersama BK dan sejumlah pembantunya, diadakan sedikit koreksi, dan akhirnya diteken BK. Pendapat ini diyakini sekali oleh Hanafi yang mengaku bertemu dan berdialog dengan BK di Istana Bogor sehari setelah keluar Supersemar. Apalagi jika dikaitkan dengan fakta bahwa sebelum ketiga Jenderal pergi ke Bogor, Soeharto sudah mengutus dua pengusaha kenamaan, Hasyim Ning dan Dasaad ke BK untuk membahas soal transfer of power. Mengenai Supersemar asli? Menurut Jusuf, ia yang menerima dokumen itu setelah BK menandatanganinya. Tapi, ia kemudian menyerahkannya kepada Basuki Rachmat. Di kemudian hari Jusuf mengoreksi ceritanya sendiri. Dokumen Supersemar diketik rangkap 3 (tiga), sedang yang diteken BK hanya lembaran pertama. Copy kedua dan ketiga – tanpa tandatangan BK -- masing-masing dipegang oleh Sabur dan Jusuf sendiri. Hingga ia menjabat Kepala Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Jusuf mengaku masih menyimpan copy asli yang ketiga. Hal ini diutarakan kepada Atmadji Sumarkidjo, penulis biografi Jusuf, Kepada Jusuf Kalla pun, jenderal yang sangat populer ini pernah memberikan pengakuan sama. Ketika JK ingin melihat, M. Jusuf menolak sambil berkata: “Kalau aku perlihatkan sekarang, kau nanti cerita-certa lagi!”Cover-up, jelas, dilakukan oleh semua saksi sejarah Supersemar. Semua boleh jadi berbohong dalam upaya melindungi His Master, Jenderal Soeharto. Sebab jika terbukti nyata bahwa Supersemar memang sebuah kudeta, ambruklah legitimasi Orde Baru. Sebetulnya, harapan kita terakhir ada pada diri M. Jusuf. Kalau M. Jusuf mau bersaksi apa adanya, kabut mengenai Supersemar pasti terbuka, sehingga bangsa Indonesia tidak akan terus-menerus bertikai satu sama lain mempersoalkan apakah peristiwa pada 11 Maret 1966 itu sebuah kudeta atau bukan. Sayang, Jusuf mengingkari

Page 5: Supersemar yg Kontroversial

ucapannya sendiri yang sangat populer ketika ia menjabat Menhankam/Pangab: “Katakan yang benar, benar! [Jangan berdusta!]”

Penulis adalah dosen Universitas Pelita Harapan.

http://www.sinarhar apan.co.id/ berita/0803/ 11/nas05. html

Naskah Supersemar Asli Penting untuk Pelurusan Sejarah

Jakarta-Pencarian naskah asli Supersemar masih penting untuk dilakukan bukan hanya demi pelurusan sejarah, juga buat mempelajari sistem ketatanegaraan Indonesia. “Supersemar adalah landasan, di mana Soeharto membangun kekuasaannya,” ujar sejarawan Asvi Warman Adam ketika dihubungi SH di Jakarta, Senin (10/3).Setelah Soeharto mangkat 27 Januari 2008, praktis tidak ada lagi saksi kunci di balik penerbitan supersemar. Namun, pascameninggalnya Soeharto, sejarawan Asvi Warman Adam melihat peluang mengungkap misteri Supersemar justru lebih terbuka.“Keduanya (Soeharto dan M Jusuf) sudah meninggal, jadi tidak perlu lagi supersemar dirahasiakan,” katanya.Asvi menduga besar kemungkinan naskah asli Supersemar masih bisa ditemukan di rumah Soeharto. Menurutnya, ada tiga draf supersemar, draf pertama yang asli dipegang Keluarga Soeharto kemudian salah satu dari dua draf sisa dipegang oleh keluarga almarhum M Jusuf.Sejarawan Anhar Gongong mengatakan selama teks asli Supersemar tidak ditemukan, maka kontroversi akan tersus berlanjut. Namun, setelah Soeharto wafat, tugas politik Supersemar telah selesai. Tetapi pencarian naskah asli, katanya, harus tetap dilakukan demi kepentingan penulisan sejarah. “Penulisan sejarah, bukan hanya soal masa lampau tetapi juga mengenai masa depan,” ujarnya di Jakarta, Senin (10/3).

Page 6: Supersemar yg Kontroversial

Anhar menghimbau, pihak yang memegang naskah asli Supesemar untuk segera mengembalikannya kepada Lembaga Arsip Nasional. Dia mengingatkan, siapapun yang menyembunyikan dokumen negara dapat diancam hukuman 7-12 tahun penjara. Hal ini seperti tertuang dalam UU No 7 Tahun 1971.Soeharto, katanya, telah berkuasa selama 32 tahun dengan modal surat perintah tersebut. Pada saat lengser sampai kematiannya, dia tetap merahasiakan teks asli Supersemar. Anhar mengatakan, Dupersemar dirahasiakan untuk kepentingan melindugi legitimasi bagi kekuasaan yang pernah dipegang Soeharto sejak 1967. Sementara itu, publik tidak pernah tahu, apakah Supersemar keluar karena mandat Soekarno kepada Soeharto atau hasil kudeta cepat. “Yang tahu Supersemar hanya Soeharto,” ujarnya.Secara logika, kata Anhar, naskah asli memang kemungkinan besar di tangan keluarga Soeharto. Dia mengatakan, setelah tiga jenderal pulang dari Istana dan menghadap Soeharto, mereka memberikan surat tersebut. Setelah Soeharto membacanya, dia pasti menyimpannya. Atau, salinannya dibawa salah satu dari ketiga jenderal. Surat tersebut pasti dilindungi habis-habisan oleh Soeharto, karena memperkuat posisi Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan. “Saya yakin 99 persen, naskah asli saat ini ada di tangan keluarga Soeharto,” ujar Anhar.(vidi vici)

http://jawapos. com/index. php?act=detail_ c&id=330129Rabu, 12 Mar 2008,

Kalla: Supersemar untuk Hindari Perang Saudara

JAKARTA - Setiap 11 Maret (kemarin) selalu diperingati sebagai hari Supersemar (Surat Perintah 11 Maret). Surat yang sampai sekarang masih menyimpan misteri itu boleh dikatakan menjadi tiket bagi Soeharto untuk menduduki jabatan presiden menggantikan Soekarno.

Wapres Jusuf Kalla mengaku pernah mendapat cerita seputar Supersemar itu dari (alm) Jenderal M. Yusuf, salah satu saksi sejarah di balik surat tersebut. "Kata beliau (M. Yusuf), Supersemar adalah solusi terbaik ketika itu untuk menghindari ancaman perang saudara dan kudeta militer," kata Kalla kepada wartawan di Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali, kemarin (11/3).

Muhammad Yusuf yang pernah menjabat menteri pertahanan dan keamanan serta panglima angkatan bersenjata (Menhankam/Pangab) adalah satu dari tiga jenderal yang pada 11 Maret 1966 menghadap Presiden Soekarno di Istana Bogor.

Satu versi sejarah menyebut tiga jenderal itu menodongkan pistol untuk memaksa Presiden Soekarno menandatangani Supersemar. Versi lain, bahkan menyebut ketiga jenderal itu berkonspirasi dengan Soeharto untuk memalsukan Supersemar.

Kalla lantas menceritakan satu versi seputar Supersemar. Menurut dia, dengan alasan akan menghadiri peringatan HUT ABRI, ketika itu pasukan organik Kodam dari sejumlah daerah terkonsentrasi di Jakarta. Kuat dugaan tujuan utamanya adalah menyiapkan kudeta militer. Di sisi lain, pasukan Cakrabirawa (pasukan pengawal presiden) terkonsentrasi di Bogor.

Page 7: Supersemar yg Kontroversial

"Karena itu, pilihannya hanya ada dua, perang saudara atau coup de etat (kudeta). Keduanya tidak bagus. Maka solusinya adalah Supersemar, dan itulah jalan keluar terbaik saat itu untuk menghindari perang saudara atau coup," cerita Kalla.

Dia juga menegaskan, keberadaan Supersemar merupakan solusi yang diambil setelah Soekarno dan militer berdialog. Wapres mengakui, ada sejumlah kontroversi tentang Supersemar atau cerita di balik penerbitan Supersemar. Meski demikian, dia menilai yang terpenting adalah esensinya, yakni mencari solusi terbaik untuk menyelamatkan bangsa ketika itu. "Kalau dua skenario terburuk (perang saudara atau kudeta) terjadi, imbasnya akan lebih jauh sampai sekarang ini," katanya. (noe/kum)