sumber: yusuf wibisono, 2020 - ibec feb ui · dalam jangka pendek, karena bank sentral harus...
TRANSCRIPT
Sumber: Yusuf Wibisono, 2020 – PEBS FE UI
Kuliah 8 – Sistem Perbankan Berbasis Bunga
Intermediasi dan Sistem Keuangan
• Peran utama sistem keuangan adalah menciptakan insentif untuk alokasi sumber daya
keuangan dan riil yang efisien ke seluruh sektor perekonomian lintas waktu dan lokasi.
• Sistem finansial yang berfungsi baik akan mempromosikan investasi dengan
mengidentifikasi dan membiayai proyek dengan rates of return tertinggi, memobilisasi
tabungan, mengizinkan diversifikasi dan mitigasi resiko, dan memfasilitasi pertukaran
barang dan jasa.
• Fungsi yang dijalankan sistem finansial ini akan membawa pada alokasi sumber daya yang
efisien, akumulasi modal fisik dan kualitas manusia yang cepat, technological progress
yang lebih cepat, yang pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan dan pembangunan
ekonomi.
Sistem Keuangan Konvensional: Bunga
• Productivity theory : adalah adil jika pemilik uang yang memberi pinjaman barang
produktif (uang) menerima bagian dari tambahan kekayaan yang dihasilkan dari uang
pinjaman tersebut.
• Use theory : bunga adalah harga yang dikenakan atas penggunaan uang yang dipinjam.
• Abstinence theory : dengan menyediakan uang untuk dipinjamkan maka pemilik modal
tertahan untuk terlibat dalam aktivitas investasi atau konsumsi, sehingga ia berhak
mendapat bunga atas pengorbanannya tersebut.
• Agio theory : kita menghargai barang hari ini lebih tinggi dari barang di masa depan,
sehingga uang yang dipinjam dan dikembalikan di masa depan harus ditambah dengan
bunga.
• Return for risk theory : bunga adalah pungutan yang dibenarkan atas peminjam karena
resiko yang ditanggung pemilik uang dengan memberi pinjaman.
Sistem Perbankan Konvensional: Fractional Reserve Banking
• Ketika bank menahan semua deposito sebagai cadangan (reserve), dan tidak melakukan
aktivitas kredit, maka bank tidak memberi pengaruh pada jumlah uang beredar (100-
percent-reserve banking).
• Namun jika bank menahan hanya sebagian dari deposito dalam cadangan, tidak sejumlah
100%, maka bank menciptakan uang beredar melalui kredit yang diciptakannya
(fractional-reserve banking).
• Sisi kewajiban neraca bank hanya dapat berkembang jika sisi aset juga berkembang. Bank
meningkatkan aset mereka dengan membuat kredit. Ekspansi kredit adalah masif karena
hanya sekedar membutuhkan pencatatan simultan di sisi kewajiban (utang deposit) dan
aset (kredit bank). Uang tercipta sebagai hasil dari perluasan kredit ini.
Bunga dan Industri Perbankan
• Sistem fractional-reserve banking sangat menguntungkan bank. Dalam sistem ini, bank
dapat menciptakan uang (kredit) nyaris tanpa biaya apapun: hanya dengan memindah-
bukukan dana simpanan milik nasabah penabung yang dititipkan ke mereka ke nasabah
penerima kredit, dengan nasabah penabung tetap merasa uang mereka aman di bank, dan
bank mendapat keuntungan dengan mengenakan bunga atas setiap kredit yang mereka
ciptakan.
• Bank muncul sebagai industri dimana produk-nya adalah uang (tabungan dan kredit)
dengan harganya adalah tingkat suku bunga. Keuntungan bank adalah selisih antara harga
pembelian uang (tingkat suku bunga simpanan) dan harga penjualan uang (tingkat suku
bunga kredit).
Model Bisnis Perbankan Berbasis Bunga
Perbankan Berbasis Bunga
• Dengan instrumen bunga, perbankan dengan fractional
• reserve melakukan beberapa fungsi keuangan, yaitu:
– (i) size transformation: transformasi besaran kapasitas pemilik modal, yang umumnya
kecil, dengan kebutuhan peminjam, yang umumnya besar;
– (ii) maturity transformation: transformasi preferensi jatuh tempo pemilik modal, yang
umumnya jangka pendek, dengan preferensi jatuh tempo peminjam, yang umumnya
jangka panjang; dan
– (iii) risk transformation: transformasi dana pihak ketiga yang bebas resiko menjadi
pinjaman ke kreditor yang memiliki resiko.
• Dalam pembiayaan berbasis utang, tingkat yang dikenakan adalah independen terhadap
kinerja riil si peminjam.
– Dalam sistem ini, bunga dipandang sebagai instrument risksharing yang efisien dalam
menghadapi informasi yang asimetris dan ketika biaya verifikasi rate of return
dariproyek riil adalah besar dibandingkan hasil potensial proyek.
– Dengan pengenaan bunga terhadap utang, biaya pengawasan (monitoring cost) juga
menjadi minimal karena bank tidak memiliki kepentingan terhadap tingkat
keberhasilan proyek si peminjam sepanjang ia tidak memiliki potensi default.
• Secara keseluruhan, dengan kontrak utang berbasis bunga, biaya transaksi (transaction
cost) menjadi lebih murah.
Dampak Bunga
• Penerimaan bunga secara luas, telah memberi legitimasi bagi pemilik modal finansial,
untuk menarik surplus ekonomi yang dihasilkan oleh penerima pinjaman, tanpa ikut
menanggung resiko sama sekali.
• Dengan produksi barang dan jasa di sektor riil yang dihadapkan pada berbagai resiko serta
keterbatasan teknologi, fisik lingkungan dan kapasitas sumber daya manusia, tekanan
utang telah mendorong penerapan pajak tinggi serta eksploitasi sumber daya alam dan
buruh untuk membayar cicilan pokok dan bunga utang.
Bunga dan Uang Fiat
• Ketiadaan disiplin yang inheren dalam pembiayaan berbasis bunga, membuat birokrasi
pemerintah yang inefisien dan korup mampu terus menjalankan defisit anggaran dengan
mengandalkan utang.
• Dan ketika beban utang tak lagi tertanggungkan dan kreditor tidak lagi bersedia memberi
pinjaman, pemerintah yang terdesak akan menggunakan pilihan terakhir yang dimilikinya:
mencetak uang kertas.
Perbankan Berbasis Bunga
• Kebijakan moneter berbasis bunga tidak efektif mengendalikan jumlah uang beredar dan
inflasi, dan justru berimplikasi ekspansi jumlah uang beredar.
• Tingkat suku bunga tidak mempengaruhi kemampuan sistem perbankan untuk
menciptakan uang.
• Perbankan konvensional hidup dari interest spread, mendapatkan pendapatan bunga yang
lebih tinggi dari kewajiban bunga dana pihak ketiga yang mereka himpun.
• Maka, di tingkat suku bunga berapapun, perbankan akan berusaha meningkatkan laba
dengan cara meminjamkan uang lebih banyak baik ke sektor riil maupun sektor finansial,
atau meningkatkan size of the spread.
• Maka, ekspansi uang beredar dari sektor perbankan bisa terus berlanjut meskipun ketika
suku bunga tinggi.
• Mengendalikan inflasi dengan suku bunga tinggi tidak menyelesaikan akar masalah.
– Ketika bank sentral melakukan operasi pasar terbuka untuk menurunkan uang beredar,
bank sentral menjual surat berharga ke publik tanpa membelanjakan kembali dana
yang ditarik tersebut.
– Hal ini membuat uang beredar mengalami kontraksi. Namun hal ini hanya terjadi
dalam jangka pendek, karena bank sentral harus membayar dana yang dihimpunnya
ditambah bunga saat jatuh tempo.
– Kebijakan suku bunga tinggi by default akan selalu berakhir dengan jumlah uang
beredar yang lebih banyak. Jika pada saat yang sama tidak ada penambahan dalam
kapasitas produksi perekonomian, dipastikan masalah inflasi akan berulang dalam
derajat yang semakin parah.
Pencapaian Tujuan Normatif Perekonomian
• Sistem perbankan berbasis bunga membawa dampak buruk pada pencapaian tujuan
normatif perekonomian.
– Kriteria utama penyaluran kredit perbankan bunga adalah kemampuan peminjam
untuk menjamin pengembalian pokok dan bunga pinjaman. Penggunaan akhir dari
kredit tidak terlalu mendapat perhatian.
– Dalam sistem seperti ini, kredit akan mengalir ke orang kaya dan sektor pemerintah,
dua kelompok yang dipastikan mampu menjamin pinjaman.
– Pengeluaran kelompok ini tidak selalu efisien dan produktif, dan seringkali sesuai
dengan kepentingan masyarakat dan peradaban.
– Hal ini mendorong inefisiensi modal finansial dan tidak terpenuhinya kebutuhan dasar
sebagian besar masyarakat terlepas dari berlimpahnya sumber daya finansial dalam
perekonomian.
Kesenjangan Pendapatan
• Sistem bunga juga membuat kesenjangan pendapatan semakin memburuk akibat distribusi
modal finansial yang sangat tidak merata.
– Perbankan konvensional sangat bergantung pada jaminan aset dalam penyaluran
kredit.
– Sehingga, meskipun dana yang dihimpun perbankan berasal dari seluruh kelompok
masyarakat, namun manfaat dana hanya mengalir ke kelompok kaya yang mampu
menjamin kredit.
Kredit dan Konsumerisme
• Sistem keuangan berbasis bunga secara agresif juga mendorong masyarakat dan bahkan
pemerintah untuk menjadi konsumtif.
– Dengan ketiadaan sistem nilai yang tersosialisasi secara baik, keberadaan kredit secara
mudah oleh perbankan telah mendorong kenaikan konsumsi secara berlebihan, dan
mendorong turunnya tingkat tabungan.
Kuliah 9 – Sistem Perbankan Islam
Sistem Keuangan Islam
• Karakter utama sistem keuangan Islam adalah pelarangan riba, yang secara esensial
bermakna pelarangan “trading in credit”.
• Trading in credit bermakna pemutusan waktu dari transaksi riil.
– Ketika waktu dipisahkan dari transaksi riil melalui pinjaman berbasis bunga, hal ini
membuat tingkat utang meningkat sehingga cost of financing lebih besar melalui cost
of debt services yang lebih tinggi.
– Bunga yang terakumulasi membuat utang terus tumbuh dan menjauhkan sektor
keuangan dari sektor riil. Biaya bunga yang berlipat ganda telah membebani
perekonomian jauh lebih besar dari biaya pembiayaan riil sebenarnya.
Pelarangan Ribâ al-Nasî’ah
• Ribâ al-nasî’ah terjadi ketika pemberi pinjaman mempersyaratkan pengembalian pinjaman
disertai tambahan hanya karena berjalannya waktu, tanpa ada imbalan yang setara (’iwad).
• Dalam Islam, keuntungan (profit) hanya dapat dibenarkan ketika faktor produksi bersedia
menanggung resiko kerugian (alghunm bi al-ghurm) dan hasil usaha (return) dibenarkan
ketika faktor produksi menanggung beban atau biaya (al-kharâj bi aldhamân).
• Dengan demikian, tidak ada bagi hasil (profit-sharing) tanpa pembagian resiko (risk-
sharing). Keuntungan dilegitimasi dengan keterlibatan dalam aktivitas ekonomi riil.
Return atas suatu aset hanya untuk pihak yang mengelola dan bertanggung jawab atas aset
tersebut, dan pihak lain yang tidak menanggung kewajiban tersebut tidak berhak atas
return tersebut.
• Uang sebagai modal finansial karenanya tidak dibenarkan mengklaim fixed pre-
determined return. Untuk mendapatkan profit atau return, seseorang dapat
menginvestasikan uang-nya pada perusahaan pribadi, mendirikan kemitraan (al-syirkah)
bersama mitra usaha, atau menyerahkan pengelolaan uang sepenuhnya pada mitra
pengusaha dalam al-mudhârabah.
Pembiayaan Berbasis Bagi Hasil
• Islam menawarkan sistem pembiayaan berbasis bagi hasil sebagai bentuk risk-sharing
yang berkeadilan sekaligus memberikan stabilitas bagi perekonomian.
• Dalam Islam, modal finansial dilarang menerima fixed pre- determined return. Karena itu
skema pembiayaan berbasis bagi hasil (profit and loss sharing) dimana modal finansial
terlibat langsung dalam usaha produktif di sektor riil, dan karenanya menghadapi resiko
kegagalan usaha, dipandang sebagai bentuk pembiayaan yang paling sesuai dengan
semangat syarî’ah Islam.
Pembiayaan Bagi Hasil Klasik
• Di masa sebelum dan awal Islam, mudhârabah adalah kontrak finansial antara dua pihak
secara langsung (peer to peer financing), yaitu pengusaha (mudhârib) dan pemilik modal
(rabb al-mâl).
• Mudhârabah telah dipraktekkan di sepanjang masa dan terbukti mampu menggerakkan
bisnis secara mengesankan.
• Kemitraan bisnis yang mirip telah ada jauh sebelum Islam, ‘isqa dalam tradisi Yahudi dan
chreokoinonia dalam hukum Romawi.
• Kemitraan yang sangat mirip adalah commenda di Eropa, muncul pertama kali pada abad
ke-10 atau ke-11 di Italia. Unilateral commenda, yaitu investor mempercayakan modal-
nya ke pengusaha, yang kemudian mengembalikan pokok modal ke investor ditambah bagi
hasil keuntungan yang telah disepakati sebelumnya. Kerugian dari bisnis akan ditanggung
sepenuhnya oleh investor, sedangkan pengusaha menanggung kerugian dari usaha dan
waktunya yang hilang tanpa mendapat imbalan.
Model Perbankan Islam Kontemporer
• Sejak pertengahan 1950-an, mudhârabah dibangun menjadi teknik pembiayaan baru,
sebagai alternatif terhadap ribâ, dalam perbankan modern.
• Model dasar perbankan Islam kontemporer adalah twotier mudhârabah model.
• Dalam model ini, hubungan antara rabb al-mâl dan mudhârib tercipta melalui kontrak
tripartit dimana nasabah penyimpan dana memberikan otoritas kepada bank untuk
menggunakan dana-nya dengan basis bagi hasil (first-tier mudhârabah) dan bank
kemudian bertindak sebagai agen nasabah penyimpan dana untuk masuk ke
• kontrak dengan pihak lain untuk menjalankan mudhârabah aktual dimana bank bertindak
sebagai investor dan pihak lain sebagai pengusaha (second-tier mudhârabah).
Two-Tier Mudharabah Model
• Dengan mudhârabah dua tingkat, bank menjalankan fungsi intermediasi keuangan tanpa
instrument bunga sama sekali.
• Pendapatan kotor berasal dari bagian bank dalam keuntungan pengusaha berdasarkan rasio
bagi hasil yang disepakati diawal.
• Setelah dikurangi biaya operasional bank, pendapatan ini dibagi antara bank dan penabung
berdasarkan rasio bagi hasil yang disepakati diawal.
• Dalam model ini, deposito penabung bukanlah kewajiban bank, yaitu dana pihak ketiga
tidak dijamin dan dapat hilang jika kredit bank mengalami kegagalan, melainkan bentuk
penyertaan modal secara terbatas di bank, tanpa hak suara.
• Dalam model ini, bank Islam tetap menerima giro dan tabungan yang setiap saat dapat
diambil, tidak memberikan return, dikenakan biaya dan diperlakukan sebagai kewajiban.
• Keunggulan utama model ini adalah bunga sepenuhnya digantikan oleh bagi hasil baik di
sisi kewajiban maupun di sisi aset, sehingga meminimalkan kebutuhan untuk manajemen
aset-kewajiban secara aktif, dan karenanya memberikan stabilitas terhadap guncangan
ekonomi, serta tidak membutuhkan reserve requirement.
• Secara makro, model ini menghasilkan berbagai dampak positif terhadap efisiensi,
pemerataan dan stabilitas sistem perbankan.
Model “Two Windows”
• Dalam model two-tier mudharabah ini maka neraca bank akan terbagi ke dalam “two
windows”, yaitu:
– [i] neraca giro dan tabungan (demand deposit) yang diperlakukan sebagai titipan dan
didukung cadangan 100%; dan,
– [ii] neraca investasi (investment account) dimana pokok dana tidak dijamin dan
karenanya tidak membutuhkan cadangan.
Implikasi Perbankan Islam
• Sistem Perbankan Islam mendorong intermediasi keuangan bebas bunga yang secara
langsung menghubungkan return sumber daya finansial dengan hasil dari proyek di sektor
riil.
– Selain meminimalkan potensi decoupling, mengkaitkan sektor moneter dan sektor riil
secara langsung juga akan meminimalkan potensi permintaan uang untuk kegiatan
yang mubazir, tidak produktif dan sia-sia, baik di sektor publik maupun sektor privat.
– Dalam jangka panjang, hal ini secara substansial akan meningkatkan tingkat tabungan
dan investasi, menurunkan defisit anggaran dan ketidakseimbangan makroekonomi
serta mendorong pemerataan pendapatan.
• Alokasi kredit dalam Islam harus berorientasi pada pencapaian maqashid. Alokasi kredit
yang tidak sejalan dengan maqashid harus dipandang sebagai inefisiensi dan kesia-siaan.
• Penggunaan akhir dari kredit adalah penting. Kredit harus mengalir ke pihak yang paling
produktif dan sekaligus sesuai dengan kepentingan masyarakat dan peradaban.
• Hal ini mendorong efisiensi modal finansial dan terpenuhinya tujuan normatif
perekonomian.
Produksi: what, how and for whom?
Struktur Perekonomian Islam
• Pada saat yang sama, pengenaan zakat terhadap sumber daya finansial yang menganggur,
secara efektif akan memaksa pemilik sumber daya finansial untuk mencari peluang-
peluang investasi yang prospektif di sektor riil agar terhindar dari penurunan tingkat
kesejahteraan.
• Dalam sistem dimana bunga dilarang dan zakat diterapkan, ide-ide bisnis segar akan
berkembang dan menjadi gelombang inovasi (creative destruction) yang mendorong
dinamika perekonomian riil. Hal yang mirip dengan apa yang kini dilakukan oleh venture
capital.
• Lebih jauh lagi, equity-based financial intermediation juga lebih stabil karena permintaan
uang untuk kegiatan produktif dan tingkat return sektor riil adalah relatif stabil.
One-Tier Mudhârabah Model
• Dalam model ini kontrak mudhârabah diterapkan antara nasabah penabung dan bank
namun penyaluran dana oleh bank ke nasabah peminjam dilakukan melalui berbagai
kontrak investasi, yaitu tidak terbatas pada kontrak mudhârabah saja namun juga
menggunakan kontrak musyârakah, diminishing musyârakah, murâbahah, istishnâ, salam
dan ijârah.
• Model ini muncul sebagai akibat kesulitan yang dihadapi perbankan syariah dalam
menyalurkan dana melalui kontrak mudhârabah saja.
Jual Beli Tidak Sama Dengan Ribâ
• Al-Qur’ân 2: 275 menegaskan bahwa jual beli adalah halâl sedangkan ribâ adalah harâm.
• Ketika al-Qur’ân melarang ribâ, para pelaku ribâ awalnya menolak ketentuan ini.
• Mereka menganggap bahwa jual beli dan ribâ adalah sama, dengan alasan bahwa tambahan
dari harga tunai dalam jual beli secara tangguh adalah serupa dengan tambahan dari pokok
pinjaman, yaitu adanya tambahan keuntungan dari harga awal karena adanya penangguhan
waktu.
Perbedaan Jual Beli dan Ribâ
• Transaksi jual-beli tidak mengandung pembiayaan langsung dan pinjaman, yaitu transaksi
pembelian, penjualan atau sewa yang mengandung barang dan jasa riil. Syarî’ah
menerapkan sejumlah kondisi untuk validitas transaksi-transaksi ini untuk menjamin
bahwa penjual (financier) juga berbagi resiko dan untuk menjamin bahwa transaksi ini
tidak berubah menjadi transaksi pembiayaan dan pinjaman berbasis bunga, seperti adanya
ketentuan bahwa penjual harus memiliki dan menguasai barang yang dijual. Dengan
demikian pembiayaan melalui akad jual beli hanya bisa mengalami ekspansi seiring
dengan kenaikan kapasitas perekonomian riil.
• Yang ditetapkan diawal adalah harga dari barang dan jasa yang dijual, bukan tingkat
bunga. Sekali harga telah ditetapkan, maka hal tersebut tidak bisa dirubah meskipun
terdapat keterlambatan pembayaran terkait hal-hal yang tidak diperkirakan.
Model Wakâlah
• Dalam kontrak wakâlah (perwakilan), principal menyewa seseorang untuk bertindak atas
nama dirinya (sebagai wakîl) untuk melakukan tugas tertentu.
• Wakîl berhak menerima fixedpredetermined fee terlepas dari keberhasilan tugas dan
kepuasan principal sepanjang wakîl telah bertindak secara jujur.
• Wakîl dapat dikenakan penalti hanya jika ia terbukti melanggar ketentuan kontrak atau
bertindak tidak jujur.
• Berdasarkan prinsip wakâlah ini, bank Islam bertindak sebagai manajer investasi dari
pemilik dana.
• Bank kemudian menetapkan fixed-predetermined fee atas jasa manajerial-nya tersebut.
• Keseluruhan keuntungan atau kerugian sepenuhnya menjadi hak pemilik dana.
• Kontrak ini digunakan sebagian bank Islam untuk mengelola dana off-balance sheet.
Kuliah 10 – Stabilitas Sistem Perbankan Islam
Sistem Perbankan Konvensional: Fractional Reserve Banking
• Sisi kewajiban neraca bank hanya dapat berkembang jika sisi aset juga berkembang. Bank
meningkatkan aset mereka dengan membuat kredit.
• Ekspansi kredit adalah masif karena hanya sekedar membutuhkan pencatatan simultan di
sisi kewajiban (utang deposit) dan aset (kredit bank). Uang tercipta sebagai hasil dari
perluasan kredit ini.
Fractional Reserve Banking
Kredit dalam Fractional- Reserve Banking
• Dalam sistem fractional-reserve banking, bank memiliki kemampuan menciptakan uang
melalui aktivitas kredit. Dalam dunia modern, hampir seluruh uang beredar mengambil
bentuk uang bank yang diciptakan oleh aktivitas penciptaan kredit ini, bukan oleh
pemerintah.
• Namun kemampuan bank menciptakan uang beredar ini hampir seluruhnya didapat dari
pinjaman nasabah penabung. Semakin besar kredit yang diciptakan dari sejumlah
tabungan tertentu, semakin besar keuntungan, namun semakin besar pula ”leverage” dan
resiko yang dihadapi bank.
Leverage dan Resiko Perbankan
• Leverage mencerminkan upaya melipatgandakan keuntungan, dan sekaligus resiko,
dengan menggunakan sumber daya milik pihak lain, yaitu melalui cara berhutang atau
menggunakan derivatif.
• Fractional-reserve banking mengizinkan leverage, semakin besar (kecil) reserve
requirement semakin kecil (besar) leverage. Semakin besar leverage, semakin besar return
on equity, sekaligus semakin besar derajat resiko.
Leverage dan Resiko Perbankan
• Ketentuan capital adequacy ratio (CAR) mencerminkan upaya membatasi leverage bank.
– CAR 8%, yang ditetapkan Basel I pada 1988, bermakna bahwa leverage bank dibatasi
pada tingkat 1: 0,08 atau 12,5: 1. Pada tingkat leverage ini, setiap 1% return on asset
merupakan 12,5% return on equity, sekaligus pada saat yang sama bermakna bahwa
modal bank akanhabis tergerus ketika nilai aset menurun hingga 8%. Tingkat ini
dianggap tingkat leverage maksimum yang aman bagi bank.
Kerawanan Perbankan Berbasis Bunga
• Fractional-reserve banking mengizinkan bank meminjam dana penabung untuk meraih
keuntungan dengan cara menciptakan kredit. Perusahaan atau individu yang mendapat
kredit dari bank seringkali juga melakukan leverage. Kegagalan nasabah peminjam (kredit
macet) yang signifikan akan memicu bank mengalami gagal bayar ke penabung.
• Dengan transaksi keuangan yang saling terkoneksi, kegagalan satu bank akan membawa
dampak ikutan ke bank lain. Dalam situasi krisis, hal ini akan memicu penarikan dana
besar-besaran oleh penabung (bank run), sehingga sektor perbankan akan runtuh dalam
sekejap, sekaligus menghancurkan kredit yang mereka ciptakan.
Kredit, Uang dan Perekonomian
• Karena kredit merupakan bagian dari uang beredar, maka kredit macet yang diikuti
kebangkrutan bank akan menimbulkan kontraksi moneter. Jumlah uang beredar akan
terkontraksi secara signifikan, dan segera menurunkan ekspektasi dan aktivitas ekonomi
dengan segala dampak ikutannya di sektor riil.
• Instabilitas sektor perbankan, dari aktivitas menciptakan kredit yang terlalu banyak dan
kemudian hancur secara cepat karena kredit macet, karenanya berpengaruh besar pada
jumlah uang beredar dan stabilitas moneter.
Bank, Bank Run dan Bailout
• Untuk mencegah bank run, pemerintah umumnya memberi jaminan kepada publik atas
dana yang disimpan di bank. Keberadaan lembaga penjamin simpanan kini telah menjadi
bagian tidak terpisahkan dari sistem fractional-reserve banking.
• Sedangkan untuk mencegah kehancuran sistem perbankan akibat kegagalan sebuah bank,
pemerintah umumnya melakukan bailout dengan mengambilalih bank gagal.
Bank, Boom and Bust
• Kemampuan perbankan untuk melipatgandakan uang beredar melalui penciptaan kredit
dan mengkontraksi uang beredar melalui kredit macet dan bank run, merupakan sumber
dari siklus bisnis yang tajam.
– Penciptaan kredit yang masif, karena bank adalah pelaku ekonomi yang mengejar
keuntungan, menciptakan leverage dan booms, dan kehancuran kredit menciptakan
deleverage dan depressions.
– Fluktuasi pada produksi, perdagangan, investasi dan kesempatan kerja, menjadi
fenomena yang lazim ditemui dalam sistem fractional-reserve banking.
Bunga dan Bubbles
• Bunga, leverage dan spekulasi bertanggungjawab atas gelembung perekonomian.
– Pinjaman yang didapat berdasarkan agunan seringkali digunakan untuk membeli aset,
yang kemudian, aset tersebut dapat digunakan lagi untuk proses peminjaman
berikutnya.
– Ketika suatu jenis aset menjadi fokus dari piramida proses penjaminan dan
peminjaman dana, harga aset tersebut cenderung meningkat sehingga membuat nilai
jaminan meningkat dan karenanya menimbulkan kepercayaan peminjam untuk
meminjamkan dana lebih besar lagi.
– Dalam skala yang luas, praktek ini dengan sangat cepat akan berkembang menjadi
sebuah “gelembung ekonomi spekulatif”.
• Kegiatan ekonomi berbasis efek leverage yang spekulatif ini sering berakhir dengan
kerugian.
– Kenaikan harga aset akan mendorong otoritas moneter menaikkan suku bunga,
sehingga sebagian peminjam akan gagal bayar, kredit ke kegiatan spekulatif ini
dihentikan, pembeli baru menurun dan kenaikan harga aset berakhir.
Full-Reserve Banking
• Solusi non-mainstream terpopuler yang ditawarkan untuk menghapus keburukan sistem
fractional-reserve banking adalah sistem 100 percent-reserve banking.
• Dampak esensial dari penerapan 100 percent-reserve banking adalah untuk memisahkan
fungsi peminjaman (lending) perbankan dari penciptaan uang (money creation), sehingga
akan secara efektif mengkontrol jumlah uang beredar dan membuatnya menjadi fungsi
pemerintah semata-mata. Dengan kata lain, hak perbankan swasta untuk menciptakan uang
dihilangkan, dan negara mengambil alih fungsi ini secara penuh.
• Merubah fractional-reserve banking dengan cadangan yang setara kewajiban bank, akan
menghapus kemampuan bank untuk menciptakan uang. Demand deposit akan sepenuhnya
konvertibel menjadi mata uang dengan keseluruhan jumlah uang beredar sepenuhnya
dibawah kontrol pemerintah.
100 Percent-Reserve Banking
• Dalam proposal 100 percent-reserve banking ini struktur perbankan akan terdiri dari:
– rekening koran yang tidak berbunga dengan cadangan 100%; dan
– rekening investasi dengan bank berhak mengambil fee atas jasa intermediasi.
• Karena cadangan 100% disimpan di rekening koran bank sentral, maka tidak
dimungkinkan bagi bank untuk menciptakan uang giral.
• Sedangkan kredit akan meningkat seiring peningkatan tabungan di rekening investasi.
Stabilitas Perbankan Islam
• Berbagai solusi sistemik terhadap krisis perbankan dan finansial, membawa kita pada
pentingnya peran equity financing, bukan debt financing.
– Dalam dunia yang ideal, pembiayaan ekuitas dan investasi langsung seharusnya
memainkan peranan yang lebih besar. Dengan keseimbangan yang lebih baik antara
utang dan ekuitas, risk-sharing akan meningkat secara luar biasa dan krisis finansial
akan reda seketika.
• Fitur utama sistem perbankan Islam adalah equitybased banking system.
– Intermediasi keuangan berbasis profit-and-loss sharing akan membuat pemilik modal
berbagi resiko dan juga keuntungan dari bisnis, sehingga mendorong disiplin finansial
yang lebih tinggi.
• Return kepada nasabah didasarkan pada laba/rugi bank dan nilai nominal dana nasabah
tidak dijamin.
• Hal ini akan menghapus kemungkinan mismatch antara aset dan kewajiban karena return
dari kewajiban terkait secara langsung dengan return aset yang berbasis pada aktivitas
investasi di sektor riil.
• Konsekuensinya, sistem perbankan Islam akan lebih kondusif bagi stabilitas finansial
karena dana nasabah dapat menyerap kerugian yang ditimbulkan oleh guncangan riil.
• Hal ini sekaligus meniadakan kebutuhan jaminan simpanan dan lender of last resort, dan
lebih berkeadilan karena menurunkan probabilitas pembayar pajak menanggung beban
biaya rekapitalisasi bank.
• Semakin banyak penggunaan ekuitas dalam bank Islam, maka semakin sedikit kebutuhan
cadangan. Hal ini menjelaskan fakta bahwa rekening investasi di bank Islam menarik
cadangan menuju zero reserve requirement.
Kuliah 11 –Model Pembiayaan Bagi Hasil
Karakteristik Pembiayaan Bagi Hasil: Risk - Return
• Skema bunga dicirikan dengan kepastian besaran return bagi pemilik dana. Resiko yang
dihadapi terbatas pada default risk.
• Skema bagi hasil dicirikan dengan ketidakpastian return bagi pemilik dana, karena biaya
kredit yang ditanggung pengusaha bersifat tidak tetap. Resiko yang dihadapi berdimensi
lebih luas, tidak hanya default risk, namun juga resiko rendahnya return yang diterima
karena masalah moral hazard.
Karakteristik Pembiayaan Bagi Hasil: Uncertainty
• Pada skema bunga, ketidakpastian dihadapi pengusaha terkait besaran return dari kredit
yang diperolehnya.
– Selisih tingkat return usaha yang fluktuatif dan beban bunga yang tetap, menjadi hak
bagi pengusaha. Selisih positif akan meningkatkan utilitas pengusaha, dan selisih
negatif akan menurunkannya.
– Dengan ketidakpastian tingkat utilitas, skema bunga akan dipilih pengusaha jika
memiliki prospek usaha yang baik.
• Pada skema bagi hasil, ketidakpastian dihadapi pemilik modal dan pengusaha.
– Tingkat utilitas pengusaha dan pemilik dana akan meningkat seiring kenaikan tingkat
laba, dan akan menurun seiring penurunan tingkat laba.
– Dengan ketidakpastian tingkat utilitas, skema bagi hasil akan dipilih pengusaha jika
memiliki prospek usaha yang kurang baik.
Pembiayaan dengan Skema Bunga
Pembiayaan dengan Skema Bagi Hasil
Risk-Sharing dalam Pembiayaan Bagi Hasil
• Dalam pembiayaan bagi hasil, tingkat utilitas pemilik dana dan pengusaha bergerak
searah: meningkat ketika return naik dan menurun ketika return jatuh.
• Dengan skema bagi hasil, pemilik modal menanggung sebagian resiko dari usaha, yang
tercermin dari pendapatan bagi hasil yang diterimanya yang bersifat tidak tetap, termasuk
bernilai positif atau negatif.
• Pada skema bunga, resiko dari usaha sepenuhnya ditanggung pengusaha.
• Namun demikian, skema bagi hasil akan memberikan hasil lebih baik pada saat kondisi
usaha sedang bagus atau pada kasus pengusaha yang berkinerja tinggi.
Karakteristik Pembiayaan Bagi Hasil: Willingness to Pay
Permasalahan Skema Bagi Hasil
• Skema bagi hasil menghadapi masalah asymmetric information yang intensif: pemilik
modal tidak memiliki cukup informasi tentang karakteristik pengusaha serta karakteristik
dan prospek usaha-nya, karena sifat informasi yang privat, maupun karena diperlukan
biaya besar untuk mendapatkan informasi tersebut sehingga menjadi tidak efisien bagi
pemilik dana untuk berusaha mendapatkannya.
• Pengusaha memiliki motif dan insentif untuk mengeksploitasi keunggulan informasi privat
yang dimilikinya.
• Masalah adverse selection muncul ex-ante saat pemilik dana mengidentifikasi dan memilih
pengusaha yang akan diberikan kredit tanpa mengetahui secara pasti karakteristik
pengusaha.
• Kontrak bagi hasil rentan juga terhadap permasalahan principal-agent: pengusaha
memiliki disinsentif dalam melakukan upaya terbaiknya dan memiliki insentif untuk
melaporkan laba lebih rendah, dibandingkan jika membiayai sendiri usahanya (moral
hazard).
• Pengusaha yang terlibat dalam usaha, akan terdisinsentif jika di-kompensasi lebih rendah
dari kontribusi marjinal-nya.
• Implikasi dari asymmetric information adalah upaya monitoring dan verifikasi atas return
dari usaha, yang akan menentukan pendapatan bagi hasil, harus dilakukan secara intensif.
Biaya monitoring dan verifikasi atas laba usaha menjadi mahal.
Asymmetric Information dan Kontrak yang Optimal
• Dengan tingginya permasalahan moral hazard dalam equity financing, debt financing
dipandang lebih optimal dimana pihak-pihak yang berkontrak akan memperoleh utilitas
yang lebih tinggi.
• Kontrak dengan biaya tetap (fixed return scheme), seperti debt financing, akan
berimplikasi pada rendahnya moral hazard serta rendahnya biaya monitoring dan
verifikasi.
• Pengusaha berusaha melakukan upaya terbaik dalam mencapai laba tertinggi karena selisih
laba diatas beban bunga akan menjadi hak-nya. Dan pemilik modal akan menawarkan
dana-nya atas dasar opportunity cost.
• Dalam perekonomian yang dicirikan dengan intens-nya permasalahan agency, para pelaku
usaha akan cenderung menggunakan debt financing.
Informasi Privat
• Pengusaha memiliki informasi privat tentang dirinya dan usahanya, seperti karakteristik
dirinya, bisnisnya dan tingkat utilitas yang diinginkannya, yang membedakan dirinya
dengan pengusaha lainnya.
• Informasi privat pengusaha yang penting antara lain produktivitasnya dalam menghasilkan
laba, preferensinya terhadap tingkat upayanya (cenderung berusaha keras atau tidak), dan
besarnya disutilitas atas upayanya (sebagai implikasi dari besarnya tingkat pengorbanan
dalam upaya meraih laba).
• Informasi privat ini sangat dibutuhkan dalam identifikasi penerima kredit dan dalam
mendesain skema bagi hasil yang optimal.
Adverse Selection
• Pada umumnya, hanya pengusaha dengan expected return yang relatif rendah yang
menjual usaha atau proyeknya (meminta kredit/pembiayaan).
• Dalam hal pengusaha memiliki distribusi laba ex-post yang lebih baik, kontrak ekuilibrium
adalah debt financing.
• Permasalahan adverse selection akan lebih besar pada skema bagi hasil dibandingkan pada
skema bunga.
• Pada skema bunga, kesalahan pemilihan pengusaha tidak akan berdampak besar sepanjang
tidak terjadi default.
• Pada skema bagi hasil, terdapat kecenderungan membesar-besarkan karakteristik
pengusaha karena pengusaha tidak sekedar ingin mendapatkan kredit namun juga agar
rasio bagi hasil untuk dirinya lebih tinggi.
• Pada kontrak bagi hasil, yang ditetapkan dimuka hanya rasio bagi hasil, namun tidak ada
kewajiban bagi pengusaha untuk mencapai suatu jumlah laba tertentu.
• Pemilik modal akan memilih dan menawarkan rasio bagi hasil yang lebih tinggi kepada
pengusaha dengan karakteristik yang baik.
– Dengan rasio bagi hasil yang tinggi, diharapkan pengusaha akan tertarik untuk
mengambil pembiayaan dari pemilik modal.
– Meski rasio bagi hasil untuk pengusaha tinggi, namun dengan besarnya expected
profit pengusaha, pemilik modal tetap akan memperoleh pendapatan bagi hasil yang
besar.
• Kepada pengusaha dengan karakteristik yang tidak baik, pemilik modal akan menawarkan
rasio bagi hasil yang lebih rendah, sehingga pengusaha tidak tertarik.
• Rasio bagi hasil yang ditawarkan merupakan alat seleksi.
• Pengusaha akan berusaha meyakinkan pemilik modal bahwa dirinya merupakan
pengusaha dengan karakteristik yang baik.
• Dengan ketiadaan informasi yang valid, terdapat peluang besar pemilik modal melakukan
kesalahan dalam memilih pengusaha yang tepat untuk menerima kredit.
• Dalam lingkungan dimana equity financing dan debt financing berkompetisi secara
langsung, permasalahan adverse selection lebih kuat.
• Pengusaha dengan expected return tinggi akan cenderung memilih fixed return scheme,
sedangkan pengusaha dengan expected return rendah akan cenderung memilih variable
return scheme.
Moral Hazard
• Moral hazard, yaitu pengusaha menggunakan kredit yang diterimanya tidak sesuai dengan
yang diperjanjikan, bersumber dari fakta bahwa tindakan agent tidak dapat diobservasi.
Observasi secara penuh atas tindakan agent membutuhkan biaya besar.
• Pada skema bagi hasil, moral hazard signifikan dan berdampak langsung pada besaran bagi
hasil. Pada skema bunga, moral hazard ditoleransi sepanjang tidak berimplikasi pada
default.
• Moral hazard pada skema bagi hasil berimplikasi dibutuhkannya monitoring dan verifikasi
atas upaya pengusaha, yang karena sifatnya yang intensif maka membutuhkan biaya yang
besar.
• Moral hazard muncul karena principal tidak dapat mengobservasi upaya agent. Di sisi lain,
selain ditentukan oleh level upaya pengusaha, terdapat pula faktor stokastik atas laba yang
diperoleh agent, seperti kondisi persaingan usaha dan kondisi makro perekonomian.
• Faktor stokastik menambah dalam permasalahan moral hazard dimana pemilik dana tidak
dapat menyimpulkan berapa tinggi level upaya pengusaha hanya berdasarkan besaran
return yang dilaporkan.
• Tingkat laba yang tinggi tidak selalu berkorelasi dengan level upaya yang tinggi, dan
sebaliknya.
• Informasi tentang level upaya pengusaha hanya diketahui oleh pengusaha yang
bersangkutan.
• Bagi hasil didasarkan pada realisasi laba, bukan pada level upaya pengusaha karena ia
memang sulit diobservasi.
• Di sisi lain, faktor stokastik dapat membuat laba rendah meski level upaya pengusaha
sangat tinggi.
• Maka dapat terjadi disinsentif pada pengusaha, level upaya pengusaha cenderung rendah
(moral hazard tipe 1).
– Pengusaha yang bersifat risk-averse akan cenderung menghindari resiko dan memilih
level upaya yang sekedar memenuhi reservation utility-nya saja. Karena level upaya
tidak dapat diobservasi, terbuka besar peluang pengusaha tidak mengerahkan upaya
terbaiknya.
• Permasalahan disinsentif ini juga dapat terjadi karena kurangnya insentif, bukan karena
tidak dapat diobervasinya upaya pengusaha, yaitu jika rasio bagi hasil yang ditetapkan
terlalu rendah.
• Pengusaha juga dapat melakukan tindakan falsifikasi (moral hazard tipe 2), yaitu dengan
melaporkan besaran laba yang tidak benar, yaitu lebih rendah dari seharusnya.
• Masalah falsifikasi ini dapat terjadi baik pada fungsi laba yang bersifat deterministik
maupun stokastik.
• Pada moral hazard tipe 2 ini, yang disembunyikan dari pemilik modal bukanlah level
upaya pengusaha, melainkan besaran laba yang dihasilkan, dengan tujuan agar biaya bagi
hasil lebih rendah.
Kuliah 12 – Incentive-Compatible Constraints dan Skema Bagi Hasil yang Optimal
Efisiensi Skema Bagi Hasil
• Dibawah skema bagi hasil, terdapat premium untuk menjadi inefisien karena agent dapat
membebankan inefisiensi ke principal (bank). Tidak terdapat tekanan yang memadai bagi
agent untuk beroperasi se-efisien mungkin sebagaimana di pembiayaan utang dimana
agent diharuskan mengembalikan pokok dengan bunga utang.
• Pada gilirannya, bank Islam akan meneruskan kerugian pada deposan, sehingga alih-alih
menerima expected profit, deposan justru mendapatkan pokok dana-nya tergerus.
• Untuk mengetahui sumber inefisiensi, dibutuhkan biaya verifikasi yang mahal dan rawan
memunculkan dispute, yang akan membebani bisnis dan perekonomian dengan biaya yang
tidak penting.
Asymmetric Information pada Skema Bagi Hasil
Adverse Selection dan Pengusaha Pilihan
• Pemilik dana (bank) dapat memperkecil kesenjangan Bank informasi dengan
mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang relevan, seperti umur dan ukuran
perusahaan (track record) dan panjangnya pengalaman pengusaha dengan Bank (dengan
akad murabahah).
• Meski dengan proposal bisnis yang baik (expected profit tinggi dan kebutuhan
investasi/pembiayaan yang rendah), perusahaan baru yang tidak memiliki informasi masa
lalu akan sulit mendapat pembiayaan.
• Pemerintah dapat berperan disini dengan mendirikan institusi yang membedakan
perusahaan berdasarkan kriteria resiko pembiayaan (credit-rating).
– Credit scoring untuk subprime mortgage, FICO system = 300 s.d. 850, treshold 620
Information Revelation dan Information Rent
• Informasi sesungguhnya tentang pengusaha dapat diperoleh dengan mendorong
information revelation dari pengusaha melalui pemberian information rent dalam skema
bagi hasil jika pengusaha menyatakan dengan benar karakteristik dirinya.
• Pengungkapan informasi privat dari pengusaha ke pemilik dana (information revelation)
hanya terjadi jika information rent mampu membuat utilitas pengusaha lebih tinggi
dibandingkan jika keeping information and leaving it in the dark, dengan peluang
mendapat pembiayaan dan rasio bagi hasil yang lebih baik.
– Jika informasi benar, maka pengusaha akan mendapatrasio bagi hasil (yang benar)
plus information rent.
– Jika informasi tidak benar, maka pengusaha akan mendapat rasio bagi hasil (yang
salah) minus information rent.
Kontrak Bagi Hasil yang Optimal
• Pemilik dana dan pengusaha berusaha memaksimalkan expected utility masing-masing,
yang ditentukan oleh harga (rasio bagi hasil) dan kuantitas (profit yang dihasilkan).
Semakin besar porsi bagi hasil untuk satu pihak, semakin rendah expected utility pihak
lain.
• Namun ke-2 pihak memiliki kepentingan yang sama, agar laba yang dihasilkan dari bisnis
yang dijalankan adalah sebesar mungkin sehingga ke-2 pihak memperoleh pendapatan
bagi hasil yang lebih besar.
• Maksimisasi profit oleh pengusaha akan mengoptimalkan utilitas pihak-pihak yang
berkontrak. Agar profit maksimum, maka pengusaha harus mendapat insentif yang
memadai dalam kontrak bagi hasil.
• Pada umumnya pengusaha mengharapkan harga pembiayaan yang rendah, dan pemilik
modal sebaliknya mengharapkan harga yang tinggi.
• Namun tingginya harga pembiayaan akan berimplikasi pada rendahnya insentif bagi
pengusaha dalam menghasilkan profit. Menjadi krusial untuk menentukan rasio bagi hasil
yang optimal sesuai WTP pengusaha dan sekaligus memenuhi reservation utility pemilik
dana.
• Pengusaha memiliki kontrol atas rasio bagi hasil karena pengusaha yang membuat
pembukuan dan pelaporan, karenanya tingkat profit aktual, sehingga dapat menentukan
berapa rasio bagi hasil implisit yang ingin diterimanya.
Desain Kontrak Bagi Hasil
Incentive-Compatible Constraints
• Untuk menekan resiko yang bersumber dari asymmetric information, Bank Islam sebagai
pemilik modal (rabb almâl) dapat menerapkan batasan-batasan yang secara sistematis akan
“memaksa” pengusaha (mudhârib) untuk berperilaku memaksimalkan keuntungan bagi
kedua belah pihak (incentive-compatible constraints).
Higher Stake in Net Worth
• Ketika pengusaha mempertaruhkan lebih besar kekayaannya, insentif tidak jujur akan
berkurang signifikan karena berpotensi besar merugikan dirinya.
– Bank dapat menetapkan syarat agar porsi modal dari pihak mudhârib lebih besar;
– Bank dapat mengenakan jaminan seperti penetapan nilai maksimal rasio utang
terhadap modal, penetapan agunan berupa fixed asset, penggunaan pihak penjamin
(kafâlah), dan penggunaan pihak pengambil alih utang (hawâlah)
Low Operating Risk
• Perusahaan dengan resiko operasional yang tinggi, menggunakan utang lebih banyak,
memiliki leverage yang lebih tinggi. Utang yang lebih tinggi berasosiasi dengan tingkat
profit yang lebih rendah.
• Agency-cost akan ditanggung oleh pemilik saham, sehingga perusahaan yang dikelola
oleh direksi yang bukan pemilik, akan menghadapi agency-cost lebih tinggi.
• Bank dapat menetapkan syarat agar mudhârib melakukan bisnis yang resiko operasinya
lebih rendah, seperti:
– penetapan rasio maksimal fixed asset terhadap total asset, dan
– penetapan rasio maksimal biaya operasional terhadap pendapatan operasional;
Lower Fraction of Unobservable Cash Flow
• Bisnis dengan arus kas yang lebih tinggi, memberikan ruang yang lebih luas bagi
pengusaha untuk mengecilkan nilai profit yang sesungguhnya. Jika arus kas sebagian besar
tidak dapat di-observasi, maka menjadi sulit bagi bank untuk memverifikasi tingkat profit
yang sesungguhnya.
• Bank dapat menetapkan syarat agar mudhârib melakukan bisnis dengan arus kas yang
transparan, seperti:
– Monitoring secara acak untuk bisnis skala kecil danbisnis musiman atau jangka pendek,
– Monitoring secara periodik untuk bisnis skala besardan bisnis jangka panjang,
– Laporan keuangan yang diaudit,
– Biaya monitoring dan verifikasi menjadi faktor pengurang pendapatan usaha sebelum
dibagihasilkan atau pendapatan bagi hasil yang diterimapengusaha.
Lower Fraction of Non-Controllable Cost
• Setiap bisnis memiliki biaya tidak terduga. Non-controllable cost akan menurunkan
keuntungan pengusaha dan bagian bagi hasil untuk bank.
• Bank dapat menetapkan syarat agar mudhârib melakukan bisnis yang biaya tidak
terkontrol-nya rendah,seperti:
– Seluruh biaya ditanggung oleh mudhârib atau yang dibagi hasilkan adalah pendapatan
(revenue sharing),
– Penetapan minimum profit margin dari setiap barang dan jasa yang dijual oleh
mudhârib yang dibiayai dari modal rabb al-mâl
Fiqh Mudharabah dan Incentive-Compatible Constraints
• Secara umum kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudhârib, tanpa campur tangan
penyedia dana. Rabb al-mâl tidak boleh mempersempit tindakan mudhârib yang dapat
menghalangi tercapainya tujuan mudhârabah yaitu keuntungan. Penyedia dana hanya
mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
• Namun demikian, diperbolehkan adanya jaminan dalam pembiayaan mudhârabah dimana
jaminan hanya dapat dieksekusi bila mudhârib terbukti melakukan pelanggaran terhadap
hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.
– Fatwa DSN MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000tentang Pembiayaan Mudhârabah
(Qirâdh).
Incentive-Compatible Constraints dan Praktek Mudharabah
• Profit Sharing
– Dasar perhitungan bagi hasil adalah profit yang diperoleh.
– Ketidakpastian berasal dari pendapatan usaha, biaya produksi dan biaya lain (biaya
penjualan, biaya umum, biaya administrasi)
• Gross Profit Sharing
– Dasar perhitungan bagi hasil adalah gross profit yang diperoleh.
– Ketidakpastian berasal dari pendapatan usaha dan biaya produksi
• Revenue Sharing
– Dasar perhitungan bagi hasil adalah revenue(pendapatan usaha).
– Ketidakpastian hanya berasal dari pendapatan usaha
Kuliah 13 – Praktek Perbankan Islam Kontemporer: Antara Idealitas dan Realitas
Pola Pengembangan
• Pengembangan perbankan Islam kontemporer sejak 1970-an, mengambil 2 pola:
– Merestrukturisasi sistem perbankan secara keseluruhan sesuai dengan syariat Islam
(full fledged Islamic financial system) seperti Sudan dan Pakistan, namun mengalami
kegagalan.
– Mendirikan bank Islam berdampingan dengan bank konvensional (dual banking
system) seperti Malaysia, Turki, Bahrain, Bangladesh, Indonesia dan kini Pakistan
dan Sudan.
Kegagalan Full Fledged Islamic Financial System
• Kegagalan lebih dari 25 tahun upaya Islamisasi sistem keuangan di Pakistan, sejak awal
1980-an, disebabkan beberapa faktor:
– (i) politisi dan birokrasi menunggangi gerakan Islamisasi untuk mencapai tujuannya
sendiri;
– (ii) bank sentral lamban mengimplementasikan kerangka konseptual Islamisasi;
– (iii) lemahnya dukungan institusi keuangan dan perbankan karena moral hazard,
masalah akuntansi, dan kelemahan sistem hukum;
– (iv) masyarakat resisten terhadap Islamisasi sistem keuangan karena perilaku risk-
averse yang sangat tinggi dan lemahnya kepercayaan terhadap lembaga keuangan; dan
– (v) instabilitas makroekonomi dan krisis pemerintahan yang sering melanda.
Kompetisi Bank Islam dan Bank Konvensional
• Baik pada full-fledged Islamic financial system dan terlebih dual banking system,
eksperimen perbankan Islam secara umum langsung dihadapkan pada persaingan dengan
perbankan konvensional yang telah lama mapan.
• Hal ini menimbulkan implikasi dan tantangan yang serius bagi perkembangan perbankan
Islam. Pengalaman terkini di berbagai negara menunjukkan adanya kesenjangan yang
lebar antara idealitas dengan realitas perbankan Islam.
Sisi Pembiayaan
• Pembiayaan bagi hasil, dengan eksistensi informasi asimetris dan masalah agency yang
marak, adalah sulit dan terbatas.
• Diskresi yang luas dalam ketentuan jaminan, termasuk dalam pembiayaan bagi hasil.
• Pembiayaan non bagi hasil, yaitu pembiayaan murabahah dengan fixed pre-determined
return, adalah dominan.
• Penggunaan suku bunga secara luas sebagai benchmarking dalam penentuan return
pembiayaan bank Islam, termasuk pembiayaan bagi hasil.
• Pengembangan produk dengan pendekatan mirroring terhadap produk konvensional,
penggunaan hiyal secara ekstensif, dan pricing produk yang lebih mahal.
Terbatasnya Pembiayaan Bagi Hasil
• Masalah Adverse Selection
– Pengusaha dengan expected profit yang tinggi, akan memilih pembiayaan utang
karena biaya tetap berupa bunga lebih murah dibandingkan expected return.
– Pengusaha yang risk-averse dan atau dengan expected return yang rendah, akan
memilih pembiayaan bagi hasil.
• Masalah Moral Hazard
– Pembiayaan utang lebih mudah dikelola, resiko minimal dan efisien, minim biaya
monitoring dan verifikasi
– Pembiayaan bagi-hasil lebih sulit dikelola, resiko jauh lebih tinggi dan mahal biaya
monitoring dan verifikasi
Diskresi yang Luas dalam Ketentuan Agunan
• Pembiayaan utang dengan bunga sangat bergantung pada ketersediaan agunan oleh
nasabah, meski bank konvensional telah menerapkan project appraisal, risk assesment dan
keputusan pemberian kredit yang ketat.
• Pembiayaan bagi hasil berfokus pada proyek yang menguntungkan, tanpa meminta
agunan. Namun, pembiayaan bagi hasil menghadapi masalah moral hazard yang intensif,
karena itu membutuhkan incentive-compatible constraints antara lain pengenaan agunan.
Dengan meminta agunan, bank Islam telah bertindak sebagai lenders, bukan partners.
• Pembiayaan non bagi hasil lebih intensif dalam ketentuan agunan, seperti pembiayaan
murabahah yang umum menjadikan underlying assets sebagai agunan pembiayaan.
Penentuan Tingkat Bagi Hasil
• Tingkat bagi hasil secara ideal ditentukan oleh expected profit bisnis di sektor riil. Hingga
kini, tidak ada tingkat bagi hasil pasar yang dapat dijadikan referensi.
• Terdapat peluang bank mengeksploitasi nasabah dengan menerapkan tingkat bagi hasil
yang terlalu tinggi bagi dirinya, tanpa ada pihak yang dapat meregulasi aktivitasnya
tersebut.
• Tanpa regulasi, bank Islam dapat mengambil “excessive profit” yang tidak dapat
dibenarkan. Menjadi penting bagi bank Islam untuk menerapkan “marking to market”.
• Tingkat return pembiayaan non bagi hasil, yang banyak mengacu pada tingkat bunga bank
konvensional, umum digunakan sebagai benchmark untuk tingkat bagi hasil.
Prasyarat Pendorong Pembiayaan Bagi Hasil
• [i] kemampuan memahami bisnis mudharib dan cara mengawasinya, yang membuat bank
dapat terlibat dalam keputusan bisnis mudharib;
• [ii] transparansi usaha mudharib, yang membuat bank mendapat akses yang memadai
tentang semua informasi terkait tingkat keuntungan mudharib;
• [iii] perlindungan hukum yang cepat dan kuat ketika terjadi dispute;
• [iv] ketersediaan data rate of return dari setiap sektor usaha untuk penetapan rasio bagi
hasil yang fair;
• [v] keuntungan usaha tidak dikenakan pajak pendapatan;
• [vi] ketersediaan dana jangka panjang yang siap untuk berbagi resiko dalam investasi di
sektor riil.
Dominasi Pembiayaan Non Bagi Hasil
• Dengan kesulitan pembiayaan bagi hasil, bank Islam berpaling ke pembiayaan non bagi
hasil yang mirip utang, yaitu murabahah dengan fixed and predermined return, yang
resikonya rendah dan jauh lebih mudah dikelola.
• Aslinya, murabahah adalah transaksi jual beli yang secara umum tunai, bukan kontrak
pembiayaan sama sekali.
• Murabahah yang dipraktekkan bank Islam adalah kombinasi murabahah dan bay’ mu’ajjal,
dan hanya paper transaction: nasabah membeli barang atas nama dan dengan uang bank,
dan bank segera menjual kembali ke nasabah secara tangguh dengan menambahkan marjin
keuntungan pada harga barang.
• Hasil akhirnya, nasabah mendapat dana tunai dan setuju mengembalikan dana dengan
mark-up di masa depan.
• Selain itu, bank melakukan penilaian creditworthiness nasabah, menjadikan underlying
asset sebagai agunan dan hubungan yang terbentuk adalah debitur-kreditur.
• Bank juga melakukan berbagai cara untuk menjamin bahwa semua resiko jual beli di
transfer ke nasabah, seperti perpindahan kepemilikan barang yang sangat cepat, biaya
asuransi barang dibebankan ke nasabah, barang cacat dikembalikan ke supplier, bank
hanya menanggung resiko kredit, sama seperti bank konvensional.
• Bank memindahkan seluruh resiko komersial ke nasabah namun mengambil keuntungan
yang pasti. Murabahah pada prakteknya telah menjadi tidak berbeda dengan meminjamkan
uang berbasis bunga.
Benchmarking yang Luas ke Tingkat Bunga
• Rate of return pembiayaan bank Islam harusnya mengacu pada expected return di sektor
riil.
• Namun hingga kini, industri keuangan Islam belum memiliki mekanisme untuk
menentukan rate of return yang memuaskan investor, relatif risk-free dan sesuai syari’ah.
• Telah menjadi pengetahuan umum bahwa bank dan lembaga keuangan Islam selalu
menggunakan tingkat bunga pasar, seperti London interbank offered rate (LIBOR),
sebagai benchmark untuk menetapkan rasio pembiayaan bagi hasil, marjin keuntungan
murabahah, termasuk dalam penerbitan sukuk.
Three-Tier Mudharabah Model
• Secara konseptual, bank Islam tidak menyediakan uang namun menyediakan barang dan
jasa. Namun, menyediakan barang dan jasa, dengan basis apapun, akan mendorong bank
Islam masuk ke sektor riil dimana mereka tidak memiliki kapasitas dan keahlian.
• Three-tier mudharabah model membentuk hubungan 3 tingkat, yaitu: (i) kontrak
mudharabah deposan dan bank, (ii) kontrak mudharabah bank dan specialized companies,
dan (iii) kontrak mudharabah, murabahah, salam, istishna dan ijarah antara specialized
companies dan pengusaha.
• Dalam model ini, bank Islam murni menjadi intermediasi keuangan dan tugas
menyediakan barang dan jasa dilakukan specialized companies. Namun model ini akan
berakhir dengan harga yang lebih tinggi.
Pengembangan Produk dan Hiyal
• Produk adalah cara untuk memuaskan konsumen, realitas menentukan cara.
• Strategi yang umum dilakukan Bank Islam adalah imitasi produk-produk konvensional
(reverse engineering), misal replikasi pinjaman berbunga dengan tawarruq dan time
deposits dengan reverse tawarruq.
• Pada dasarnya semua transaksi diperboleh-kan, kecuali yang dilarang oleh syariah.
• Namun strategi mirroring atau imitasi ini, selain membawa bank Islam menjadi follower
industry, juga umumnya lebih mengedepankan formalitas bentuk diatas substansi (hiyal).
– Hal ini banyak didorong oleh kebutuhan konsumen, seperti pembiayaan jangka
pendek, yang tidak mampu dipenuhi kontrak pembiayaan Islam.
Penggunaan Hiyal: Bay al-’Inah dan Tawarruq
• Bay’ al-’inah
– Seseorang membeli barang secara tidak tunai, dengan kesepakatan akan menjual
kembali (tawathu’) barang tersebut kepada penjual dengan harga lebih rendah secara
tunai
– Kebutuhan si pembeli bukan barang, namun uang, kepentingan si penjual bukan
marjin keuntungan (penjualan barang), namun tambahan /bunga (uang)
• Tawarruq
– Seseorang membeli barang secara tidak tunai, kemudian menjualnya kembali secara
tunai kepada pihak lain (selain penjual), tanpa diperjanjikan dan tanpa disyaratkan.
– Dalam praktek kontemporer, tawarruq didesain menjadi serupa dengan bay al-’inah
dengan tawathu’ namun dengan 3 pihak (tawarruq munadzam)
Pricing Produk yang Lebih Mahal
• Bank Islam harus menanggung tambahan biaya bila dibandingkan dengan bank
konvensional, yaitu:
– Biaya kepatuhan syariah, yang umumnya dilakukan dengan merekrut Dewan
Pengawas Syariah, yang cukup signifikan karena ketidakseimbangan demand-supply.
– Di hampir semua jenis pembiayaan, bank Islam harus menyiapkan lebih dari satu
kontrak untuk mendapatkan justifikasi dari sisi syariah Islam, terlebih kasus hiyal.
Kontrak yang kompleks telah meningkatkan legal cost dan documentation cost.
– Pembiayaan bagi hasil memiliki biaya monitoring dan verifikasi yang lebih mahal.
Pembiayaan murabahah terkena pajak ganda.
• Bank Islam dan nasabahnya harus membayar lebih mahal untuk kepatuhan mereka
terhadap syariah.
– Dilihat dari sudut pandang eksploitasi terhadap konsumen, pricing bank Islam ini
lebih buruk dari bank konvensional.
Sisi Pendanaan
• Seluruh dana nasabah di bank Islam secara implisit dan eksplisit dijamin tidak akan hilang
atau berkurang, termasuk dana di rekening investasi.
• Nasabah deposan tidak diperlakukan sebagai shareholders bank Islam.
• Dana nasabah di bank Islam seluruhnya dihimpun ke dalam satu pool of fund.
• Dana nasabah mendapatkan arus pendapatan tetap yang ditetapkan di awal.
• Tingkat return yang diterima nasabah mengacu pada tingkat bunga bank konvensional.
• Penggunaan hiyal untuk menarik dana deposan dan manajemen likuiditas.
Penjaminan Dana
• Dalam persaingan head to head dengan bank konvensional, nasabah penyimpan dana telah
lama terbiasa dengan pola risk-free deposits dari perbankan konvensional berbasis bunga,
dimana seluruh dana di perbankan dijamin.
• Penjaminan dana nasabah akan membuat bank Islam kompetitif dengan bank
konvensional. Namun penjaminan ini secara jelas bertentangan dengan prinsip risk-
sharing dalam pembiayaan bagi hasil.
• Dalam dual banking system, bank Islam juga diwajibkan pemerintah mengikuti program
penjaminan simpanan dengan membayar premi yang dikaitkan dengan jumlah dana
simpanan yang mereka himpun.
Deposan Sebagai Temporary Shareholders
• Deposan bank Islam dengan kontrak bagi hasil, seharusnya diperlakukan sebagai
temporary shareholders yang terlibat dalam keputusan bank. Hal ini karena deposan
berbagi resiko dengan bank.
• Dalam prakteknya, nasabah tidak memiliki kesempatan untuk memonitor keputusan bank.
• Nasabah deposan bahkan tidak berminat untuk mengetahui keputusan bank, concern
mereka hanya dana mereka aman dan produktif.
• Deposan pada umumnya tidak memiliki waktu dan kapasitas untuk terlibat dalam
keputusan bank, dan bank sendiri juga tidak mengizinkan hal ini.
Pengelompokkan Deposito Mudharabah
• Secara konseptual, deposan berbagi resiko keuntungan dan kerugian dari dana milik
mereka sendiri.
• Dengan demikian, dana mudharabah yang diterima bank Islam seharusnya tidak dihimpun
dalam satu pool of funds, namun dapat dikelompokkan untuk investasi di berbagai jenis
bisnis.
• Bank Islam seharusnya dapat menjalankan berbagai pool of investment funds yang
berbedabeda, seperti pool of funds untuk investasi real estate, pool of funds untuk investasi
pertanian dan lain-lain.
• Bank Islam harus mempertahankan rekening yang berbeda untuk setiap pool of funds.
Deposito dengan Arus Pendapatan yang Stabil
• Dana di rekening investasi dengan kontrak bagi hasil seharusnya mendapatkan return
sesuai dengan return usaha di sektor riil, yang secara natural tidak pasti dan berfluktuasi.
• Namun dengan sebagian besar pembiayaan bank Islam di pembiayaan yang memberikan
pendapatan tetap, seperti murabahah dan ijarah, bank dapat menjanjikan pendapatan yang
stabil dan reguler ke deposan.
• Lebih jauh lagi, bank Islam juga menciptakan profit equalization reserve untuk
menstabilkan pendapatan di periode baik dan di periode buruk sehingga mampu
memberikan pendapatan sesuai kontrak.
• Hasil akhirnya, deposan bank Islam mendapat pendapatan reguler yang tetap, serupa
dengan deposan bank konvensional.
Benchmarking Tingkat Bunga dan Migrasi Dana
• Bank Islam seharusnya menetapkan tingkat bagi hasil ke pemilik dana sesuai dengan
kinerja pembiayaan usaha di sektor riil.
• Pada kenyataannya, penentuan nisbah bagi hasil umumnya ditentukan oleh tingkat suku
bunga pasar dari bank konvensional, dan juga target perolehan dana nasabah dan referensi
tingkat keuntungan yang diinginkan bank.
• Return yang diterima deposan menjadi faktor signifikan bagi penghimpunan dana oleh
bank Islam, sehingga bank Islam selalu berupaya menjaga tingkat bagi hasil setara dengan
tingkat bunga pasar.
• Ketika tingkat bagi hasil bank Islam lebih tinggi dari tingkat bunga, terjadi arus masuk
dana. Dan sebaliknya, jika tingkat bagi hasil lebih rendah dari tingkat bunga, terjadi arus
keluar dana dari bank Islam.
Evaluasi Tujuan Bank Islam
• Bank Islam secara ideal dicita-citakan untuk mewujudkan tujuan sosial-ekonomi Islam,
yaitu maqashid.
• Pada prakteknya, bank Islam lebih banyak dimotivasi oleh profit maximization dengan
peran mewujudkan maqashid yang sangat minim, seperti berfokus pada nasabah kaya,
pembiayaan yang minim ke kelompok miskin, dan ketiadaan upaya menyediakan qardh
alhasan.
• Bank Islam terkonsentrasi di negara muslim kaya, berfokus di seputar teknis-prosedural
fiqh dengan abai pada isu-isu pembangunan masyarakat muslim, terlebih pemenuhan
kebutuhan masyarakat di negara miskin.
• Bank Islam telah menjadi alat baru pengumpul kekayaan untuk kelompok kaya dan tidak
menawarkan harapan apapun ke kelompok miskin.
Evaluasi Praktek Bank Islam
• Evolusi bank Islam menunjukkan bahwa bank Islam bergerak ke arah konvergensi dengan
bank konvensional.
• Bank Islam mengambil jalan mudah untuk bertahan dengan melakukan imitasi ke bank
konvensional, baik di sisi pendanaan maupun pembiayaan. Bank Islam berevolusi menjadi
subset dari bank konvensional. Bank Islam lebih menjadi pelengkap dibandingkan pesaing
bank konvensional.
• Bank Islam pada substansi-nya telah menjadi sangat serupa dengan bank konvensional,
menawarkan produk dan jasa yang serupa, dan mengejar tujuan yang sama.
• Tanpa pemikiran ulang dan restrukturisasi yang signifikan, bank Islam akan kehilangan
tujuan awalnya dilahirkan.
Kuliah 14 – Perbankan Indonesia: Antara Perbankan Konvensional dan Perbankan
Syariah
Indonesia kontemporer masih terus menghadapi masalah kesenjangan dan kemiskinan
yang persisten dan masif
Kemiskinan dan kesenjangan yang masif dan persisten berakar dari permasalahan
struktural: ketiadaan aset produktif
Sumber daya kapital dikuasai segelintir elit secara sangat tidak proporsional: Missing
the Middle
Akses pada sumber daya kapital produktif semakin tidak merata: kegagalan inklusi
keuangan
Kesenjangan kepemilikan sumber daya kapital dilestarikan oleh sistem
Akses rakyat pada sumber daya kapital dihambat secara struktural oleh sistem
keuangan
Ekonomi rakyat produktif di sektor riil, tercekik beban tinggi sektor keuangan
Ditengah belitan biaya tinggi utang, daya tahan usaha dan kepatuhan mengembalikan
utang dari ekonomi rakyat sangat tinggi
Perbankan Syariah: One-Stop Services untuk menumbuhkan wirausahawan dan kelas
menengah Muslim dengan Stages Financing
Setelah 25 tahun sejak kelahirannya, pangsa perbankan syariah baru 6,16% dari
perbankan konvensional
Kinerja Rendah Perbankan Syariah? Melemahnya fungsi intermediasi
Kinerja Rendah Perbankan Syariah? Melemahnya kinerja keuangan
Fungsi intermediasi bank syariah semakin melemah, namun kinerja pembiayaan
membaik secara signifikan
Kinerja keuangan bank syariah meningkat seiring perbaikan efisiensi operasional
Menjadi mainstream, bukan lagi alternatif: Membesarkan size perbankan syariah
untuk mencapai critical mass
Meningkatkan daya saing perbankan syariah: Tembok tebal cost of fund dan efisiensi
operasional
Mirroring ke perbankan konvensional: Hilangnya diferensiasi dan orisinalitas
perbankan syariah
Menari diatas kendang orang lain: Membangun daya saing sosial perbankan syariah