suku kapauku
DESCRIPTION
makalah yang membahas suku kaauku dengan antropologi hukumTRANSCRIPT
Anthony van Kampen yang pertama kali ke pegunungan tengah Nieuw Guinea Belanda
bukan hanya sangat terkesan dengan apa yang dia alami, terutama kedahsyatan dan
keindahan alam daerah itu. Dia juga mengalami kejutan budaya ketika berjumpa dan
berkenalan dengan penduduk Ekari.
Kedahsyatan Pemandangan Alam
Sesudah bangun dari tidurnya pada pagi pertama, dia terpesona dengan pemandangan
alam di sekitarnya dan suasana hati yang dibentuknya. Pemandangan alam itu begitu
menakjubkan sehingga dia merasa menemukan kembali “firdaus yang hilang”. Firdaus itu
berisi ketenangan, kedamaian, dan kesuburan tanah.
Lembah Danau Paniai terletak pada ketinggian 1.740 meter di atas permukaan laut. Pada
waktu itu, nyamuk malaria tidak bisa hidup pada ketinggian ini. (Masa kini, pemanasan
global yang mengganggu pola cuaca dan iklim mengakibatkan kawasan setinggi ini
menunjukkan suhu yang meningkat dan mengakibatkan nyamuk malaria bisa hidup di situ.)
Judul sampul depan buku tulisan Leopold Pospisil (1958)
Di belakang lembah tempat dia menginap tampak Deijay, gunung terbesar yang
mengelilingi Danau-Danau Wissel. Tapi gunung itu ditakuti orang-orang Ekari; mereka
membicarakannya dengan rasa hormat. Menurut kepercayaan orang Ekari, Deijay
berhubungan dengan setan-setan, dengan suatu kuasa ilahi, dengan Dewa.
Tapi kekaguman van Kampen pada keindahan pemandangan alam di lembah itu,
menurut Jungle Pimpernel, bersifat semu. Apa yang sangat dikagumi van Kampen sebagai
suatu firdaus akan berubah kalau dia tinggal lebih lama di Paniai. Ada kejadian-kejadian di
situ yang tidak lagi berhubungan dengan firdaus itu.
Pesona kedahsyatan alam Nieuw Guinea Belanda, seperti yang disaksikan van Kampen dari
Catalina ketika terbang di atas Pegunungan Tengah yang belum dipetakan waktu itu,
cenderung diperikan secara puitis. Sebelum pesawat terbang itu mendarat di Paniai, dia
untuk pertama kali menyaksikan “tanah Papoea” dari udara, tanah yang tampak seperti
adanya pada hari pertama penciptaan Bumi oleh Allah.
“Matahari berputar menembus lapisan kabut paling atas dan bersinar di atas bumi. Pada
saat yang sama dunia mewarnai dirinya dengan warna merah tua, lembayung, dan ungu.
Itu suatu pemandangan yang tak terlupakan dan sangat menggugah perasaan. Inilah bumi
yang buas, buas dan kosong seperti pada hari penciptaan pertama. Buas dan kosong dan
liar. Bukit batu, batu keras, dan ngarai. Bumi, dalam bentuknya yang paling kering, dalam
keadaan sebagaimana sang Pencipta segala sesuatu menjadikannya pada waktu Dia
memisahkan air dari materi padat” (halaman 98).
“Dan barangkali keadaannya memang demikian supaya Pencipta Agung dari alam semesta
sesudah menciptakan Bumi masih memiliki sisa bukit batu, batu keras, dan alam liar yang
Dia hamburkan di pojok belakang Dunia yang baru saja diciptakan. Dan itulah Nieuw
Guinea” (98).
Nieuw Guinea, seperti yang dipersepsi van Kampen dari udara, adalah suatu “kerajaan
gunung dan hutan rimba, kerajaan zaman batu, dunia yang hilang. Ya, demikianlah
keadaan semuanya pada hari pertama penciptaan. Demikianlah dunia Nieuw Guinea pada
hari Allah menciptakannya. Demikian megah, demikian dahsyat, demikian hebat bentuk
dan ukurannya. Tidak satu pun di tanah ini manusiawi. Di dalam semuanya, Anda mengenal
tangan Allah, Penciptaan dan Kekekalan” (100).
Kejutan Budaya
Perkenalan lebih jauh yang memberikan kejutan budaya kepada Anthony van Kampen
terjadi di rumah Pendeta Kenneth Troutman. Di situ dia berkenalan dengan empat orang
lelaki Ekari yang memakai koteka. Troutman seorang misionaris Protestan asal AS yang
bekerja untuk CAMA (Christian and Missionary Alliance), suatu badan penginjilan asal AS
yang menginjil di kawasan Pegunungan Tengah Nieuw Guinea Belanda menjelang PD II.
Dia kenal baik Dr. J.V. de Bruyn. Troutman hidup dan bekerja sebagai seorang misionaris
Protestan di antara suku Ekari, sangat dihormati penduduk setempat. Dia mengundang de
Bruyn, Mieke, van Kampen, Komandan Catalina dan koleganya ke rumahnya dan menjamu
mereka. Mereka kemudian bermalam di rumah sang pendeta. Kejutan budaya akan dialami
van Kampen sesudah jamuan itu.
Sambil duduk di sebuah kursi, dia memberikan sebatang rokok merek Virginia kepada
seorang lelaki Ekari yang duduk paling dekat dengan dia. Di luar dugaan, lelaki itu
menerima rokok itu, mematahkannya menjadi dua bagian, memasukkan salah satu bagian
langsung ke dalam mulutnya, mengunyahnya bersama dengan kertas pembungkus rokok
itu, dan menusukkan bagian lain menembus lubang salah satu daun telinganya – suatu
hiasan yang baru dan unik! Lelaki itu yang barangkali belum pernah melihat rokok Virginia
pasti mengira batang rokok itu bisa dimakan dan dijadikan hiasan daun telinga yang
dilubangi.
Beberapa orang lelaki Kapauku, sekarang disebut suku Me, dengan seorang lelaki memikul seekor babi yang baru saja
dibunuh.
Van Kampen kemudian belajar cara bersalaman unik suku Ekari dari lelaki yang menerima
tawaran rokok dari dia. Mereka berdiri saling berhadapan dengan saling mengepalkan
tangan; tangan yang dikepal kemudian dijulurkan agar bisa saling bersentuhan. Lelaki
Ekari itu lalu merenggangkan sedikit jari telunjuk dan jari tengahnya lalu menjepit jari
tengah van Kampen, dan menariknya tiga kali ke kiri dan ke kanan sehingga menghasilkan
suatu bunyi “klik” – suatu tanda persahabatan antara mereka berdua. Sambutan ketiga
lelaki Ekari yang lain? “Yang lain secara bersemangat mengetok-ngetokkoteka mereka”
( 113). Komentar van Kampen tentang perilaku persahabatan orang Ekari, “… saya tahu
bahwa pada saat itu saya sudah mendapat sahabat-sahabat pertamaku di antara orang-
orang Ekari di Danau Paniai” (113).
Pada saat itu juga, dia makin menyadari dia berada di “salah satu kawasan paling aneh di
dunia” (113). Penduduknya belum pernah berhubungan dengan bangsa-bangsa lain, tinggal
terpisah, dan menjalani hidupnya.
Semakin lama bergaul dengan orang Ekari semakin bertambah kejutan budaya yang
dialami van Kampen. Dari “kawasan paling aneh”, dia melangkah makin jauh ke dalam
kehidupan yang “ajaib sekali” dari orang Ekari. Katanya, ajaib sekali kehidupan di daerah
kediaman suku Ekari. Setiap saat dan setiap hari, dia berhadapan dengan “penemuan-
penemuan yang baru” (117). Dia menyadari berada dalam suatu dunia yang terkebelakang
selama banyak abad dari peradaban Barat abad ke-20, “tetapi kejutan-kejutan yang saya
terima begitu berat sehingga saya sering harus mengingatnya” (117).
Kejutan-kejutan budaya lain apakah yang dia terima dan ingat? Pada dasarnya, kejutan-
kejutan itu berasal dari perbedaan-perbedaan khas atau unik antara peradaban Barat dan
kebudayaan material dan spiritual suku Ekari, termasuk kecenderungan psikologis,
pandangan-dunia, tradisi, dan perilaku budaya mereka. Mereka juga mendeita berbagai
penyakit dan rentan terhadap penyakit dari luar daerahnya.
Van Kampen mengamati bahwa penduduk Ekari sangat emosional. Berkali-kali, dia
menyaksikan orang Ekari yang bertemu kembali Kontrolir de Bruyn begitu gembira
sehingga mereka benar-benar menangis. Ekspresi dari kecenderungan psikologis ini
menunjukkan bahwa mereka orang yang “polos” atau tulus hati.
Wanita dan lelaki tinggal terpisah. Wanita tinggal di rumah wanita dan lelaki di rumah
lelaki. Sampai batas usia tertentu, anak-anak tinggal bersama ibunya. Wanita yang tampak
sibuk bekerja atau berjalan ke suatu tempat menyompoh (pada jidatnya) tali pegangan
kantong tradisional yang disebut noken atau nokeng. Nokeng itu berisi ubi jalar,
barangkali garam, gigi babi, kerangkauri sebagai mata uang tradisional orang Ekari, dan
bayi.
Beberapa orang wanita Kapauku dan anak-anaknya, menyompoh nokeng.
Van Kampen mengamati juga kebiasaan berduka yang tidak dia temukan di Belanda dari
suku Ekari. Seorang wanita Ekari yang kehilangan anaknya menandakan kedukaannya
dengan memotong salah satu jarinya atau lebih dari itu! Dia menyaksikan lelaki dewasa
yang tulang rawan hidungnya berlubang karena dibor dan memahami fungsi koteka,
busana tradisional kaum lelaki Ekari.
Sekalipun suku Ekari masih hidup dalam Zaman Batu dan belum secara massal menjadi
penganut Kristen, mereka punya moral pernikahan yang keras. Pernikahan bagi mereka
adalah keramat. Karena itu, siapa pun yang diketahui melakukan perzinahan dikenakan
hukuman berat, terkadang berbentuk hukuman mati: mereka yang terbukti melakukan
perzinahan, lelaki atau wanita, dipanah sampai mati.
Sebagai orang Papua gunung, orang Ekari bukan pengembara. Tapi mereka suka
bepergian selama berbulan-bulan. Biasanya, para lelaki dewasa yang melakukan perjalanan
macam ini.
Dalam perjalanan itu, mereka menunjukkan rasa takut akan Mado. Dia dipercaya adalah
setan putih berbadan besar, berambut panjang dan uban, dan berumah di air. Ketika
pulang ke rumah dari perjalanannya, lelaki Ekari membawa pulang cangkang
kerangkauri, mata uang bernilai tinggi bagi mereka.
Kehidupan sehari-hari suku Ekari sederhana. Makanan pokoknya adalah ubi jalar,
ditambah buah-buah dari kebun pisang. Baik ubi jalar maupun buah pisang itu biasanya
mereka bakar. Mereka juga makan tebu dan talas.
Buah-buahan dan sayur-sayuran tertentu hasil perkebunan orang Kapauku
Sayur dan masakan lain mereka panaskan dalam lubang yang mereka gali ke dalam tanah.
Lubang itu mereka isi dengan batu-batu berukuran tertentu. Dengan kayu bakar dan arang
yang menyala, batu-batu itu mereka panaskan sampai tampak merah keputih-putihan.
Sayur dan masakan itu lalu mereka letakkan di atas batu-batu yang sangat panas itu dan
menutupnya dengan dedaunan tertentu. Sesudah waktu tertentu, daun-daun penutup itu
dibuka dan masakan mereka sudah siap untuk dimakan.
Menu mereka jarang mencakup makanan hewani, kecuali jenis udang tertentu yang hidup
di danau. Mereka memelihara babi hutan sebagai harta kekayaannya; karena itu, daging
babi jarang mereka makan.
Babi bahkan adalah harta paling berharga suku Ekari. Semua pertikaian dan perang di
antara mereka pada dasarnya dimulai dengan seekor babi. Babi itu entah dibunuh, dicuri,
dipanah tanpa sengaja, entah lenyap.
Ada berbagai hewan liar yang menarik perhatian van Kampen. Itu mencakup kanguru
kerdil, berbagai jenis hewan berkantung, kasuari, dan berbagai jenis burung, terutama
burung cenderawasih, parkit, kakatua, dan nuri. Tapi dia bingung tentang kontradiksi
alami pada burung cenderawasih. Ia indah tapi teriakannya buruk – suatu pertentangan
dalam ciptaan.
Hewan-hewan lebih kecil pun ada. Termasuk tikus, semut, dan anjing yang tidak bisa
menyalak. (Bersambung)
D I P O S K A N O L E H C E L L Y D I 1 7 : 0 9
Berdasarkan kumpulan informasi dari beberapa sumber atau versi informasi maka dapat disimpulkan bahwa nenek moyang orang Mee menurut kepercayaan yang diceriterakan turun-temurun bahwa orang Mee berasal dari sebuah Goa besar di lembah Balim atau dalam bahasa Mee disebut Pagimo Peku , tepatnya diwilayah Pasema ± 900 tahun lalu ( Ev.Gotai Ruben Pigay, Mungkinkah Nilai-Nilai Budaya Suku Mee Bersinar Kembali, pengantar hal viii ).
Sementara sumber lain mengenai asal usul suku atau Orang Mee menjelaskan bahwa Orang Mee dulunya dikenal dengan nama Orang Mek ( Ekari/Ekagi ) yang merupakan sebutan dari Orang Moni bagi mereka
yang berarti “orang-orang pungutan yang tidak memiliki apa-apa” nama ini muncul ketika terjadi perang suku diantara kedua suku ini dan orang Moni mengejek mereka dengan teriakan ”ekari “ yang kemudian menjadi alternatif sebutan bagi orang Mee. Orang Kamoro di daerah Pantai selatan menyebut orang Mee dengan sebutan “Kapauku”. Nama kapauku terdiri dari dua sub-sukukata, yaitu kapaur yang berarti “orang-orang yang tidak tahu apa-apa”. Sebutan ini tidak saja ditujukan bagi Orang Mee saja tetapi juga bagi penduduk atau suku lain yang hidup di wilayah pegnungan tinggi Papua. Sebutan “Kapauku” ini hampir tidak pernah diterima oleh semua suku yang ada diwilayah pegunungan karena sifatnya merendahkan martabat orang atau suku lain. ( O.Howay dan P.Yaam, Masyarakat MEK di sekitar danau Pania dalam Irian Jaya membangun masyarakat majemuk, hal : 245 ).
Bagaimana dengan orang Mee, seperti apa mereka menyebut diri atau suku sendiri ..? Dihari ini Orang Mee atau “Manusia sejati”adalah sebuah sebuatan yang menurut mereka lebih cocok dan pantas dan disenangi untuk menyebut kelompok suku mereka dibandingkan dengan sebutan dari suku-suku tetangganya yang cenderung merendahkan martabat mereka berdasarkan cerita sejarah asal usul dan perang suku dimasa lalu.
BAHASA
Suku Mee berbicara menggunakan bahasa Mee dalam kehidupan keseharian mereka. Bahasa Mee atau Me termasuk dalam kategori Fila Trans Irian ( khususnya Fila Dataran Tinggi Barat ) dan Bahasa Non-Austronomi di Irian Jaya/Papua dan Papua Niugini ( Heeschen 1978 ), ( O.Howay dan P.Yaam, Masyarakat MEK di sekitar danau Pania dalam Irian Jaya membangun masyarakat majemuk, hal : 246 ). Orang Mee sangat menghargai bahasa ibu mereka , hal ini dibuktikan dengan menggunakan bahasa mereka sehari-hari dalam berkomunikasi dan hal ini juga berlaku diluar wilayah suku mereka atau diperantauan , dan apabila ada anak atau orang Mee yang tidak menggunakan bahasa Mee dalam kehidupan keseharian maka mereka akan diejek. ( Agus A Alua, Suku Ekagi Di Kabupaten Pania, dalam Etnografi Irian Jaya, hal : 177-178 )
KARAKTERISTIK FISIK
Orang Mee/Ekagi umumnya relatif pendek dan berperawakan kecil atau Pygmoid ( Boelaars 1986, hal 85 ). Tinggi badan rata-rata 150 cm dan wanita 140 cm, bentuk kepalanya bulat, berkulit hitam dan berambut keriting ( pospisil 1964, 13; 1966, 2 ) Jika dibandingkan dengan suku/orang Moni, tetangganya yang terdekat jauh lebih tinggi dari ada masyarakat Mee/Ekagi. ( Agus A Alua, Suku Ekagi Di Kabupaten Pania, dalam Etnografi Irian Jaya, hal : 178 ).
PEMILIKAN TANAH
Orang Mee memberikan apresiasi yang cukup tinggi terhadap tanah dimana mereka memandang tanah sebagai ibu yang memberikan sumber bagi kehidupan keturunan mereka secara turun-temurun sampai dengan hari ini. Tanah biasanya dimiliki secara bersama-sama atau tanah komunal dan terbagi-bagi kepada keluarga-keluarga / klen untuk dikelola . Tanah garapan keluarga sering diwariskan turun-temurun. Orang Mee sangat peka terhadap hak ulayatnya, baik itu hak ulayat Tanah, hutan maupun gunung dimana setiap jengkalnya diawasi dan dilindungi secara ritual . Setiap lahan hak ulayat dikuduskan atau disucikan secara periodik melalui ritual-ritual tertentu (Agus A Alua, Suku Ekagi Di Kabupaten Pania, dalam Etnografi Irian Jaya, hal : 182 ).
SISTEM KEPEMIMPINAN TRADISIONAL
Seperti yang kita ketahui bersama bahwa tipe sistem kepemimpinan tradisional yang dianut oleh suku-suku yang ada pada masyarakat yang hidup di wilayah pegunungan tengah Papua adalah sistem kepemimpinan Pria berwibawa atau Big Man dimana status kepemimpinan ini tidak diperoleh sebagai sebuah hasil warisan tetapi merupakan sebuah hasil usaha seseorang sehingga ia akhirnya mendapat pengakuan oleh masyarakatnya atau warga sukunya atau dapat dikatakan inilah sebuah usaha pencapaian atau Achievement status Secara khusus ketika berbicara mengenai orang Mee maka mereka pun menganut sistem tipe kepemimpinan pria berwibawa yang dalam bahasa Mee dikenal dengan sebutan “ TONOWI “ . Berikut ini adalah beberapa hal yang membuat orang dapat dianggap sebagai “TONOWI “ pada masa lalu :
o Kepemilikan atas mata uang siput atau mege yang diperoleh melalui keuletan berdagang melalui pejualan babi pada kesempatan pesta babi ( yuwo ) dan pasar babi - (dedomia )
o kepandaian memutar modal dengan turut berpartisipasi dalam pembayaran mas kawin yang sifatnya bantuan yang berbunga ( sewaktu-waktu harus dikembalikan )
o memiliki rumah yang besar dan terdiri dari beberapa kamar untuk para istri
o memiliki kebun yang luas dan banyak
o Jujur
o Pandai berdiplomasi
o Kepala perang
o Didengar dan disegani
o Sebagai hakim atau penengah ketika terjadi perselisihan
o Pimpinan dalam berbagai macam situasi
o Tugas tonowi tidak terbatas pada bidang politik dan hukum saja tetapi juga pada bidang ekonomi dan sosial
o Tonowi harus dermawan dalam pengertian menjadi sumber redistribusi atau menjadi tempat simpan-pinjam jadi bukan memberi hadiah secara Cuma-Cuma . Hal ini menjadi model pengendalian sosial ( social control ) yang menyebabkan kekayaan jarang tertumpuk pada satu orang tetapi justru terbagi kepada anggota-anggota kelompoknya
o Tonowi memperoleh kekuasaan politik dari pinjaman yang diberikan
o Tonowi memperoleh dukungan dari para murid yang diterima hidup dilingkungan rumahnya untuk dilatih dalam hal kebijaksanaan bisnis dan diberi pinjaman untuk membayar harga isterinya.
“ TONOWI” pada saat ini rupanya mengalami perubahan-perubahan walaupun berjalan dengan lambat, baik dalam hal tugas maupun fungsinya dengan perubahan yang dapat dilihat seperti :
o
Memberikan bantuan berupa uang dalam pembayaran maskawin
o
Status sosial formal atau jabatan dalam pemerintahan bukan ukuran sebagai “TONOWI” melainkan dipandang sebagai orang besar atau Mee ibo.
(Agus A Alua, Suku Ekagi Di Kabupaten Pania, dalam Etnografi Irian Jaya, hal : 182 ).
Berbagai atribut yang diberikan kepada seorang pria berwibawa seperti tersebut diatas seringkali menyebabkan adanya kesamaan umum, seolah-olah seorang big man harus memiliki semua atribut tersebut. Banyak contoh etnografi menunjukkan pula bahwa tidak mutlak semua atribut tersebut harus dimiliki oleh seseorang agar menjadi pemimpin di dalam sistem pria berwibawa. Di samping itu, data etnografi menunjukkan pula bahwa ada perbedaan penekanan pada atribut-atribut tertentu yang dianggap penting antara masyarakat satu dan masyarakat yang lain. Dengan perkataan lain ada perbedaan dalam tata urut hirarkis dari atribut-atribut tersebut, misalnya dalam masyarakat A atribut X menduduki tempat pertama dalam urutan hirarkis sedangkan dalam masyarakat B bukan atribut X tetapi atribut Y yang paling penting.
Demikian secara empiris, unsur-unsur yang merupakan atribut bagi pemimpin pria berwibawa itu berkaitan sangat erat satu sama lain sehingga sulit untuk dipisah-pisahkan, namun secara analisis pembagian berdasarkan urutan pentingnya atribut-atribut itu dapat dilakukan. Menurut hemat kami, pembagian tersebut penting, sebab memberikan pengertian yang lebih tajam tentang corak-corak khas dalam sistem kepemimpinan pria berwibawa. Sepanjang pengetahuan penulis, hal ini belum terlalu banyak dilakukan oleh para ahli antropologi atau pemerhati budaya, sehingga timbul pendapat bahwa tipe kepemimpinan pria berwibawa itu sama dalam masyarakat yang berbeda-beda. Pendapat demikian tentu saja selain mengaburkan pengetahuan kita tentang sistem kepemimpinan tersebut, juga menyebabkan tumbuhnya sikap “sudah tahu” pada diri kita dan menyebabkan kita tidak berminat untuk mencari lebih jauh tentang mekanisme-mekanisme yang mendasarinya. Sebaliknya jika kita membuat suatu paradigma tentang sifat-sifat yang merupakan sifat pokok pada masyarakat-masyarakat yang berbeda, maka akan terbukalah perspektif baru bagi kita untuk bertanya apa yang menjadi dasar persamaan atau perbedaan itu dan sekaligus kita berusaha untuk mencari jawabannya.
SISTEM MATA PENCAHARIAN HIDUP TRADISIONAL
Mata pencaharian pokok orang Mee adalah bercocok tanam diladang. Mereka juga mengenal sistem pembagian kerja antara wanita, pria dan ana-anak dalam kegiatan-kegiatan sosial seperti berladang, berburu, mengasuh anak dan mengatur ekonomi rumah tangga. Disamping bercocok tanam diladang, mereka juga memelihara babi, berburu hewan liar dihutan-hutan sekitar mereka tinggal, mereka juga menangkap ikan dan udang di danau dan sungai. Satu hal yang menarik dari sistem pembagian kerja ini seperti yang di sebutkan oleh Jan Boelars bahwa “ keberhasilan melaksanakan tugas sendiri dengan baik merupakan kebanggan tersendiri bagi pria maupun wanita suku Mee.”
ORGANISASI SOSIAL
Rumah tangga orang Mee biasanya terdiri dari suatu keluarga luas. Ada keluarga inti senior dengan beberapa keluarga inti yunior, yaitu keluarga inti anak pria serta 1-2 keluarga inti uxorilokal dari menantu atau keluarga uxorilokal senior dari isteri saudara tua pria ayah. Biasanya hal I diatas tadi menyebabkan dalam satu rumah terdapat 3-4 keluarga inti. Gejala lain yang khas adalah berkumpulnya para wanita dan anak-anak yang masih kecil dalam sebuah rumah di tepi Danau
Pania selama musim penangkapan udang. ( O.Howay dan P.Yaam, Masyarakat MEK di sekitar danau Pania dalam Irian Jaya membangun masyarakat majemuk, hal : 248 ).
SISTEM RELIGI
Orang Mee dalam menanggapi dunia gaib banyak berasal dari religi atau kepercayaan tradisional mereka, yaitu antara lain keyakinan akan roh-roh orang yang meninggal, yang dianggap masih melayang-layang disekitar rumah atau lingkungan kehidupan mereka selama beberapa waktu.Orang Mee juga yakin akan adanya tokoh dewa tertinggi pencipta dunia, bernama Eguwai. Eguwai menguasai roh-roh yang berkeliaran maupun yang telah menghuni dunia roh di kawah gunung. Dalam mitologi mereka Eguwai digambarkan sebagai seekor ular besar yang memiliki pembantu-pembantunya.
KESENIAN
Orang Mee biasanya menari dan menyanyi ketika melakukan upacara daur hidup seperti pada upacara pemberian nama, perkawinan, dan upacara upacara umum seperti upacara kesuburan. Diwaktu lalu upacara-upacara yang dilakukan sebelum dan sesudah perang juga diiringi dengan tarian dan nyanyian.
Paper ini mendiskusikan tentang kajian akan system kepemimpian tradisional suku Maybrat, Imian,
Sawiat. Pendiskusian menyangkut Konsep Besar Pria Berwibawa (bobot) atau Big Man, sebagai
pemimpin tradisional yang memiliki kewibawaan yang tergolong sebagai kasta kelas atas dalam
system stratifikasi sosial orang Maybrat, Imian, Sawia Papua. Selain membahas tetntang system
kepemimpinan bobot, paper ini juga mendiskusikan tentang wajah dan proto tipe pria berwibawa atau
bobot – big man dan system patrilineal dan system bermain kain timur sebagai suatu pola dan system
penerapan politik kekuasaan terbatas yang telah berlangsung dalam kehidupan mereka. .
Kata Kunci : Pria Berwibawa – bobot – big man, Politik, Kekerabatan, dan perdagangan kain
timur.
KONSEP BESAR PRIA BERWIBAWA – BOBOT
1. I. Asal-usul perkembangan konsep Pria Berwibawa
Konsep pria berwibawa atau Big Man yang di gunakan oleh para ahli antropologi untuk menamakan
para pemimpin politik tradisional di daerah – daerah kebudayaan Oseania, khususnya di Melanesia,
sesungguhnya berasal dari terjemahan bebas terhadap istilah-istilah lokal yang digunakan oleh
penduduk setempat untuk menamakan orang-orang penting dalam masyarakatnya sendiri. Karangan
yang membahas sejarah pemakaian konsep tersebut, di tulis oleh L. Lindstrom (1981:900-905),
menunjukkan bahwa sejarah perkembangan kata Big Man dari vokabuleri sehari-hari menjadi konsep
ilmiah mengalami suatu peoses yang lama. Selama abad ke-19 dan sampai pertengahan abad ke-20,
para peneliti di daerah kepulauan Melanesia selalu menggunakan konsep chief, penghulu atau kepala
suku, untuk menamakan para pemimpin pada masyarakat yang mereka deskripsikan.
Konsep chief itu kemudian tidak digunakan lagi oleh karena makna yang terkandung di dalam konsep
tersebut tidak tercermin dalam system kepemimpinan banyak masyarakat di Melanesia dan di
gantikan dengan berbagai konsep lain, misalnya influential man (Powdermarker 1944:41), Head
Man (Williams 1936:236; Hogbin 1952: Index; 1964:62; Belshaw 1954: 108; Pospisil 1963:48), Center
Man (Hogbin 1939:62), strong Man (Bendt 1969:335; Du Toit 1975:385), manager (Burridge 1969:38,
1975; Scheffler 1965:22),magnate (Chowing and Goodenough 1965-
66:454), Direktor atau executive(Salisbury 1964:236), dan tentusaja big man. Pada tahun 1950-an dan
1960-an, terjadi persaingan antara istilah-istilah tersebut untuk mendapat tempat dalam khazanah
istilah ahli antropologi dan dalam situasi persaingan itulah lambat laun muncul istilah big man sebagai
konsep tipikal antropologi yang diterima secara luas untuk menandakan suatu tipe atau sistem
kepemimpinan yang ciri-ciri dasarnya berlawanan dengan ciri-ciri dasar pada sistem
kepemimpinan chief.
Konsep big man sendiri sebenarnya sudah digunakan lama sebelumnya, misalnya oleh M. Mead, dalam
karyanya, sex and Temperament in Three Primitive Societies (1935:326), namun peralihannya dari
bahasa umum (common parlance) menjadi bahasa antropologi sangat lamban. Konsep tersebut baru
menjadi konsep resmi dan dimuat dalam lexikon antropologi melalui karya M.D. Sahlins, yang terkenal
dan selalu dikutip itu, “Por Man, Rich Man, Big Man, Chief” (1963) dan kemudian diperkuat oleh K.
Burridge, melalui karyanya, “The Melanesian Manager”, yang dipersembahkan untuk mengenang
seorang tokoh antropologi politik E.E. Evans-Pritchard (1975:86-104).
1. a. Sistem kepemimpinan tradisional orang Maybrat Imian Sawiat dengan Tipologi
2 tipe sistem kepemimpinan
Dalam kebinekaan kebudayaan di Maybrat, Imian, Sawiat terdapat pula kebinekaan dalam organisasi
sosial dan khususnya dalam sistem-sistem kepemimpinannya. Dari karangan-karangan etnografi
mengenai kebudayaan suku-suku bangsa di Maybrat, Imian, Sawiat dapat disusun suatu tipologi
mengenai sistem kepemimpinan tradisional yang dapat dibagi kedalam 2 tipe, yaitu 1) tipe pria
berwibawa dan 2) tipe raja.
Untuk menyusun suatu tipologi, penulis meminjam model tipologi yang dikembangkan oleh M.D.
Saklins dalam karangannya big man, chief man (1963). Dalam karangan itu, Saklins mengajukan suatu
model analisis politik tradisional di daerah kepulauan Oseania, yang berbentuk suatu kontinuum
dengan dua kutub, pada satu kutub terdapat sistem kepemimpinan yang disebut big man,yang dalam
bahasan Indonesia sebainya kita terjemahkan dengan pria berwibawa, dan pada ujung kutub yang
lain, terdapat sistem kepemimpinan yang disebut chief atau “raja”.
Menurut Saklins perbedaan pokok dari kedua sistem, kepemimpinan tersebut terletak pada cara
memperoleh kekuasaan. Jika pada sistem kepemimpinan pria berwibawa posisi atau kedudukan
pemimpin diperoleh melalui achievement, atau upaya pencapaian maka penduduk pemimpin pada
sistem kepemimpinan raja diperoleh melalui aseribement, atau pewarisan.
Selanjutnya, dalam karangan yang sama, Saklins berpendapat bahwa penduduk daerah kebudayaan
Melanesia hanya mempunyai satu sistem kepemimpinan tradisional saja, yaitu tipe kepemimpinan pria
berwibawa. Sebaliknya, penduduk daerah polinesia hanya mengenal tipe kepemimpinan raja.
Pernyataan Saklins ini tentu saja tidak benar, karena dari hasil-hasil studi para ahli antorpologi lain di
daerah Oseania, terbukti di daerah kebudayaan Melanesia kepemimpinan raja seperti (orang Brokol,
orang Mekeo, orang Buin, dan orang Trobriand di Papua Newguini) ada juga sementaradi Papua barat,
yaitu orang Kaimana, orang Fak-fak, penduduk kepulauan Raja ampat dan orang Ayamaru.
Apabila kita menerapkan model kontinuum yang diajukan oleh Saklins, terdapat data etnografi tentang
penduduk Papua barat, khususnya data tentang sistem kepemimpinan tradisionalnya, maka penduduk
Papua barat khususnya orang Maybrat, orang Imian, orang Sawiat, dapat kita golongkan kedalam 2
tipe masyarakat seperti yang tersebut di atas. Di bawah ini akan dibuat suatu deskripsi umum tentang
2 tipe kepemimpinan tersebut dan masyarakat penduduknya.
1. a. Sistem kepemimpinan Pria berwibawa – bobot – big man
Ciri umum dari tipe masyarakat dengan sistem kepemimpinan pria berwibawa seperti telah disebutkan
di atas adalah kedudukan pemimpin yang diperoleh melalui upaya pencapaian. Sumber kekuasaan
dalam tipe kepemimpinan ini adalah kepemimpinan pribadi seseorang yang berwujud nyata dalam
keberhasilan ekonomi (kaya-bobot). Kepandaian berdiplomasi, dan berpidato, keberanian memimpin
perang, memiliki tubuh yang cukup dan tegap, serta memiliki sifat murah hati. Ciri lain tipe
kepemimpinan ini ialah bahwa seluruh kekuasaan dijalankan oleh pemimpin sejati itu secara otonomi
tunggal yesait kar dalam bahasa Maybrat. Orang-orang yang termasuk dalam tipe ini adalah orang
Maybrat, rang Imian, orang Sawiat, orang Muyu, orang Naglum, orang Dani, orang Asmat, orang Mek.
1. b. Sistem kepemimpinan Raja
Tipe masyarakat yang kedua, yaitu yang termasuk mendukung sistem kepemimpinan raja, bercirikan
pewarisan kedudukan pemimpin dari orang tua pada anak pria yang sulung, akan tetapi bila anak
sulung itu tidak mampu mewarisinya karena ia tidak memenuhi syarat-syarat yang ditunjuk untuk
jabatan tersebut, maka salah seorang adiknya atau seorang saudara ayahnya yang memenuhi syarat-
syarat kepemimpinannya dapat memperoleh kedudukan tersebut. Dengan demikian hak kekuasaan
selalu dipertahankan dan diwariska di dalam rangka kelompok kekerabatan besar, seperti klen,
melalui sistem pewarisan.
Ciri lain yang sangat penting dalam sistem kepemimpinan raja adalah adanya birokrasi. Bentuk dari
birokrasi ini adalah seperti yang oleh Max Weber disebut birokrasi tradisional, yang berperan sebagai
mesin politik, di dalamnya terdapat pegawai tiap pegawai mempunyai tugas tertentu, seperti
mengurus masalah-masalah yang berkaitan dengan upacara ritual, atau yang mengurus masalah
keamanan.
Masyarakat tipe kepemimpinan raja di Papua terdapat di Ayamaru, Tehit, kepulauan Raja Amapat,
daerah semenanjung Onim (Fak-fak) dan di daerah Kaimana. Kalau kita perhatikan letak daerah-
daerah itu, merupakan daerah lintas budaya antara kebudayaan Maluku di satu pihak dan
kebudayaan-kebudayaan Papua di pihak lain.
Penduduk di daerah lintas budaya tersebut dalam sejarah, telah lama mempunyai hubungan
perdagangan dengan penduduk di kepulauan Maluku, yang terletak di sebelah baratnya. Melalui
hubungan itu, terjadilah proses pengambil alihan unsur-unsur kebudayaan tertentu, termasuk unsur
sistem kepemimpinan oleh penduduk lintas budaya itu dari penduduk kepulauan Maluku.
Unsur-unsur kebudayaan yang diambil alih itu kemudian diolah sesuai dengan kebudayaan setempat,
dan dibudayakan menjadi pranata sendiri, seperti yang diuraikan dalam karangan-karangan etnografi
(Pouwer 1955; Lochem 1963; Cator 1942; Mansoben 1982). Itulah sebabnya kerajaan-kerajaan di
Papua mirip benar dengan bentuk susunan dari beberapa kesultanan di kepulauan Maluku, terutama di
Ternate dan Tidore (Fraassen 1980; Mansoben 1982).
1. c. konsep pria berwibawa – bobot
Konsep pria berwibawa atau Big Man yang di gunakan oleh para ahli antropologi untuk menamakan
para pemimpin politik tradisional di daerah – daerah kebudayaan Oseania, khususnya di Melanesia,
sesungguhnya berasal dari terjemahan bebas terhadap istilah-istilah lokal yang digunakan oleh
penduduk setempat untuk menamakan orang-orang penting dalam masyarakatnya sendiri. Karangan
yang membahas sejarah pemakaian konsep tersebut, di tulis oleh L. Lindstrom (1981:900-905),
menunjukkan bahwa sejarah perkembangan kata Big Man dari vokabuleri sehari-hari menjadi konsep
ilmiah mengalami suatu peoses yang lama. Selama abad ke-19 dan sampai pertengahan abad ke-20,
para peneliti di daerah kepulauan Melanesia selalu menggunakan konsep chief, penghulu atau kepala
suku, untuk menamakan para pemimpin pada masyarakat yang mereka deskripsikan. Kemudian kita
akan menggunakannya untuk mendeskripsikan pria berwibawa di wilayah Maybrat, Imian, Sawiat,
Papua yang disebut bobot.
Konsep chief tidak digunakan dalam konsepe pria berwibawa di wilayah Maybrat, Imian, Sawiat, oleh
karena makna yang terkandung di dalam konsep tersebut tidak tercermin dalam system
kepemimpinan banyak masyarakat di Maybrat, Imian, Sawiat dan di gantikan dengan konsep bobota
atau big man, seperti konsep lain yang digunakan untuk penamaan diwilayah Melanesia
misalnya influential man (Powdermarker 1944:41), Head Man (Williams 1936:236; Hogbin 1952: Index;
1964:62; Belshaw 1954: 108; Pospisil 1963:48), Center Man (Hogbin 1939:62), strong
Man (Bendt 1969:335; Du Toit 1975:385), manager (Burridge 1969:38, 1975; Scheffler
1965:22), magnate(Chowing and Goodenough 1965-66:454), Direktor atau executive (Salisbury
1964:236), dan tentusaja big man. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, terjadi persaingan antara istilah-
istilah tersebut untuk mendapat tempat dalam khazanah istilah ahli antropologi dan dalam situasi
persaingan itulah lambat laun muncul istilah big man sebagai konsep tipikal antropologi yang diterima
secara luas untuk menandakan suatu tipe atau system kepemimpinan yang cirri-ciri dasarnya
berlawanan dengan cirri-ciri dasar pada system kepemimpinanchief.
Konsep big man sendiri sebenarnya sudah digunakan lama sebelumnya, misalnya oleh M. Mead, dalam
karyanya, sex and Temperament in Three Primitive Societies (1935:326), namun peralihannya dari
bahasa umum (common parlance) menjadi bahasa antropologi sangat lamban. Konsep tersebut baru
menjadi konsep resmi dan dimuat dalam lexikon antropologi melalui karya M.D. Sahlins, yang terkenal
dan selalu dikutip itu, “Por Man, Rich Man, Big Man, Chief” (1963) dan kemudian diperkuat oleh K.
Burridge, melalui karyanya, “The Melanesian Manager”, yang dipersembahkan untuk mengenang
seorang tokoh antropologi politik E.E. Evans-Pritchard (1975:86-104).
1. d. Ciri-ciri Pria Berwibawa – bobot
Konsep Big Man atau pria berwibawa, digunakan untuk satu bentuk tipe kepemimpinan politik yang
diciri oleh kewibawaan (authority) atas dasar kemampuan pribadi seseorang untuk mengalokasi dan
merealokasi sumber – sumber daya yang penting untuk umum (Sahlins 1963; Claessen 1984 dalam
Van Bakel et al; 1986:1). Sifat pencapaian demikian menyebabkan adanya pendapat bahwa ciri
terpenting dari seseorang yang menjadi Big Man adalah seseorang yang dengan kecakapannya
memanipulasi orang-orang dengan sifat pencapaian (achievement) system ini merupakan ciri ketidak
stabilannya, seperti yang selalu dikhawatirkan apakah berasal dari dalam atau luar (Van Bakel et al.
1986:3). Implikasi ketidak stabilan system yang didasarkan pada prinsip pencapaian ini yang
dikemukakan oleh Van Bakel et al. ialah terbukanya kesempatan yang samabagi setiap anggota
masyarakat, terutama kaum pria yang sudah dewasa menurut ukuran masyarakat yang bersangkutan,
untuk bersaing merebut kedudukan pemimpin. Pria berwibawa merupakan mikrokosmos dari
masyarakatnya dan oleh karena itu status pria berwibawa menjadi pokok perhatian dari setiap orang
dalam masyarakat.
Menurut A. stratheren (1979:214) ada dua arena yang digunakan untuk merebut kedudukan pria
berwibawa. Dua arena itu adalah hubungan intern dan hubungan eksteren. Hal yang dimaksudkan
dengan hubungan interen adalah usaha seseorang untuk memperoleh dan meningkatkan pengaruh
serta keunggulannya di dalam klen sendiri. Sedangkan hubungan eksteren diartikan sebagai
keberhasilan seseorang untuk menjalani hubungan dengan pihak-pihak luar yang terdiri dari
sekutu,bekas musuh dan hubungan antara pria berwibawa. Pada umumnya individu – individu yang
berhasil di dua arena tersebut diakui sebagai pria berwibawa utama dan yang dapt menduduki posisi
superior untuk bertahun-tahun lamanya.
Ciri umum lain yang biasanya digunakan untuk membedakan system politik pria berwibawa dari
system-sistem politik yang lain adalah bahwa pada system pria berwibawa tidak terdapat organisasi
kerja dengan pembagian tugas di antara para pembantu pemimpin. Bahwa penduduk di Melanesia
terbentuk dari kesatuan-kesatuan social itu secara politik maupun ekonomi berdiri sendiri-sendiri.
Kondisi semacam itu, menurut K.E. Read (1959:425), rupanya tidak memberikan peluang bagi
tumbuhnya prinsip birokrasi pada system pria berwibawa di Melanesia.
Ciri – ciri kepemimpinan pada system pria berwibawa seperti tersebut diatas menyebabkan S. Epstein,
menamakan orang yang berhasil untuk masuk dan berperan sebagai pemimpin dalam arena
kepemimpinan pria berwibawa, “a well-rounded political expertise man” atau ahli politik sejati
(1972:42) dan D. Riesman, (1950) serta K.E. Read (1959:425), menamakan orang
demikianautonomous leader atau pemimpin tunggal.
Telah dikemukakan di atas bahwa prinsip dasar dari system pria berwibawa
adalah achievement berdasarkan kwalitas kemampuan perorangan. Studi – studi etnografi tentang
pria berwibawa menunjukkan bahwa atribut-atribut yang digunakan sebagai tolok ukur untuk
mengukur kemampuan seseorang agar menjadi pemimpin, menurut kebanyakan penulis dan seperti
yang disimpulkan oleh A. Chowing (1979:71), adalah kekayaan, suatu wujud nyata kemampuan di
bidang ekonomi. Sungguhpun kekayaan merupakan atribut yang sangat penting, namun kedudukan
pemimpin tidak dapat dicapai melalui kekayaan saja. Atribut lain yang harus dimiliki pula ialah sikap
bermurah hati. Sikap tersebut harus dinyatakan melalui tindakan nyata, seperti misalnya membagi-
bagi kekayaan kepada orang lain (redisitribusi), lewat sumbangan-sumbangan dan hadiah-hadiah pada
saat adanya pesta perkawinan, upacara ritual atau pesta adat lainnya. Di wilayah Maybrat, Imian,
Sawiat, Papua, terkenal dengan istilah bobot-big man- seoragn bobot memiliki atribut-atribut yang
telah diuraikan sebelumnya diatas.
Perbuatan memberikan sumbangan atau hadiah kepada orang lain disebut oleh M. Mauss,
adalah gift. Gift atau pemberian itu secara tidak langsung membentuk suatu ikatan antara dua pihak,
ialah pihak pemberi dan pihak penerima. Mauss, selanjutnya berpendapat bahwa pemberian itu
mengandung apa yang disebut olehnya sendiri total presentation (1924:227), bahkan menurut kami
perbuatan memberi ini adalah suatau metode yang digunakan oleh seseorang dengan tujuan
mengangkat gengsi atau dengan melakukannya demikian maka ia akan dihormati, orang seperti ini
bagi kami disebut dengan respect man. Seorangrespect man memiliki latar belakang yang sama
dengan seorang bobot atau big man. Seorang respect man adalah seseorang yang pada awalnya
menjual diri melalui cara memberi, melayani dan menolong sesamanya hingga semakin lama ia
semakin dihargai sebagai orang yang berwibawa. Respect man tidak diperoleh melalui cara pemberian
materiil, tetapi ia secara baik memberikan kesan hidup, sifat, berdiri sebagai seorang figure, atau
dikenal sebagai pemimpin terhormat diwilayahnya dengan ekonomi atau kekayaannya yang begitu
besar. Hal ini serupa dengan yang dimaksud Mauss, dengan total ptestation, adalah bahwa selain
bentuk nyata dari benda (objek) yang diberikan, terkandung pula di dalamnya unsure-unsur lain
berupa unsur ekonomi, unsur religi, unsur hokum, unsur keindahan dan unsur politik. Secara
keseluruhan semuanya itu membentuk kekuatan pengikat dan sekaligus merupakan kekuatan
pendorong bagi pihak penerima untuk melakukan sesuatu kembali secara langsing atau tidak
langsung dalam bentuk benda atau jasa kepada pihak pemberi.
Dilihat dari segi politik, pemberian dalam bentuk apapun merupakan modal bagi pihak pemberi untuk
meningkatkan pendukung, supporters, guna mencapai tujuan politiknya. Makin banyak orang yang
diberikan hadiah dan makin banyak yang mendapat bantuan, semakin kuat pula kedudukan politik
pihak pemberi. Pemberian yang digunakan untuk kepentingan politik tertentu itulah yang
menyebabkan F.G. Bailey (1971) menamakan pemberian sebagai “racun” bagi pihak penerima dan J.
Van Baal, mengkontatir pemberian sebagai sesuatu yang kadang-kadang berbahaya bagi masyarakat
(1975:23).
Perbuatan memberikan terus menerus hadiah atau sumbangan secara sepihak dapat menyebabkan
terbentuknya suatu hubungan ketergantungan yang bersifat asymetrik, menyerupai hubungan patron-
klien, dimana pihak pemberi berperan sebagai patron, sedangkan pihak penerima adalah kliennya.
Dalam system kepemimpinan pria berwibawa, hubungan semacam ini sangat penting, sebab seorang
pria berwibawa dapat memanipulai kekayaan dan keunggulan-keunggulan lain yang dimilikinya untuk
memperoleh dukungan dan simpati dari para peneima bantuan. Kekayaan dalam system
kepemimpinan pria berwibawa sekaligus mempunyai nilai simbolik dan nilai nyata. Nilai simbolik
melambangkan kekuasaan yang terkandung di dalamnya dan nilai nyata mengacu pada benda atau
harta itu sendiri. Itulah sebabnya kekayaan digunakan sebagai alat pengabsahan kekuasaan
(Cohrance 1970:5).
Syarat-syarat lain yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin pria berwibawa agar para pendukung
setia kepadanya menurut Sahlins (1968:164), ialah bahwa ia harus menunjukkan kecakapan-
kecakapan tertentu, misalnya pandai bertani, panda berburu, pandai berdiplomasi dan panda
berpidato, memiliki kekuatan magis, panda memimpin upacara-upacara ritual dan berani memimpin
perang.
Berbagai atribut yang diberikan kepada seorang pria berwibawa seperti tersebut diatas seringkali
menyebabkan adanya kesamaan umum, seolah-oalah seorang big man harus memiliki semua atribut
tersebut. Banyak contoh etnografi menunjukkan pula bahwa tidak mutlak semua atribut tersebut
harus dimiliki oleh seseorang agar menjadi pemimpin di dalam system pria berwibawa. Di samping itu,
data etnografi menunjukkan pula bahwa ada perbedaan penekanan pada atribut-atribut tertentu yang
dianggap penting antara masyarakat satu dan masyarakat yang lain. Dengan perkataan lain ada
perbedaan dalam tata urut hierarkis dari atribut-atribut tersebut, misalnya dalam masyarakat A atribut
X menduduki tempat pertama dalam urutan hierarkis sedangkan dalam masyarakat B bukan atribut X
tetapi atribut Y yang paling penting.
Demikian secara empiris, unsur-unsur yang merupakan atribut bagi pemimpin pria berwibawa itu
berkaitan sangat erat satu sama lain sehingga sulit untuk dipisah-pisahkan, namun secara analisis
pembagian berdasarkan urutan pentingnya atribut-atribut itu dapat dilakukan. Menurut hemat kami,
pembagian tersebut penting, sebab memberikan pengertian yang lebih tajan tentang corak-corak khas
dalam system kepemimpinan pria berwibawa. Sepanjang pengetahuan penulis, hal ini belum perna
dilakukan oleh para ahli antropologi sehingga timbul pendapat bahwa tipe kepemimpinan pria
berwibawa itu sama dalam masyarakat yang berbeda-beda. Pendapat demikian tentu saja selain
mengaburkan pengetahuan kita tentang system kepemimpinan tersebut, juga menyebabkan
tumbuhnya sikap “sudah tahu” pada diri kita dan menyebabkan kita tidak berminat untuk mencari
lebih jauh tentang mekanisme-mekanisme yang mendasarinya. Sebaliknya jika kita membuat suatu
para digma tentang sifat-sifat yang merupakan sifat pokok pada masyarakat-masyarakat yang
berbeda, maka akan terbukalah perspektif baru bagi kita untuk bertanya apa yang menjadi dasar
persamaan atau perbedaan itu dan sekaligus kita berusaha untuk mncari jawabannya.
1. e. Tipe-tipe Pemimpin Pria Berwibawa – bobot .
Betolak dari dasar pemikiran tersebut diatas dan atas dasar pengamatan penulis sendri di lapangan
maupun kajian-kajian sendii mengena studi tentang kerangan-karangan etnografi yang membicarakan
sistem kepemimpinan pria berwibawa di Wes Papua, maka sistem kepemimpinan ini dapat dibagi
menurut dua bentuk. Bentuk pertama adalah pemimpin yang di dasarkan atas kekayaan harta,
pemimpinnya disebut pemimpin pandai berwiraswasta, dan bentuk kedua adalah kepemimpinan yang
didasarkan atas keberanian memimpin perang, pemimpinnya disebut pemimpin perang.
1. f. Pemimpin Pria Berwibawa berdasarkan kemampuan berwiraswasta.
Sub-bab ini diberi judul demikian berdasarkan dua alasan. Alasan pertama ialah alasan yang
didasarkan atas pendapat sejumlah ahli antropologi, sedangkan alasan kedua didasarkan atas
pendangan pendukung sistem kepemimpinan tersebut itu sendiri.
Alasan pertama, pendapat dari pihak ahli antropologi, contohnya, berasal dari F. Barth (1963:6) yang
berpendapat, bahwa tindakan-tindakan seorang pemimpin pria berwibawa dapat disamakan dengan
seorang enterpreneur atau sorang wiraswasta. Seorang pria berwibawa dapat mengakumulasi sumber-
sumber daya tertentu dan memanipulasi orang-orang utnuk mencapai tujuannya. Menurut Barth,
tujuan di sini dapat berupa kekayaan, kedudukan, dan prestise. Pendapat lain berasal dari Thoden Van
Velsen. Menurut ahli ini, sifat interaksi antara para pemimpin pria berwibawa adalah sama dengan
interaksi antara para pengusaha, sebab sering terjadi tawar-menawar antara mereka bahkan kadang-
kadang mereka sengaja untuk saling mengalahkan atau menghancurkan midal pihak lawannya.
Interaksi tersebut menentukan struktur dari pollitical field (Thoden van Velsen 1973:597). Pollitical
field di sini adalah para pemeran yang secara langsung terlibat di dalam proses politik.
Kecuali dua pendapat tersebut, terdapat pula beberapa pendapat lain yang berasal dari ahli-ahli
antropologi yang secara langsung melakukan penelitian di derah kebudayaan Melanesia. Tempat
terdapatnya sistem pemimpin pria berwibawa. Pada umumnya para peneliti itu menyamakan seorang
pria berwibawa dengan seorang pengusaha wiraswasta (lihatlah misalnya karangan-karangan dari
strathern 1974:255; Burrigde, 1975:86; Sheffler 1965:22; Elmberg 1968; Pouwer 1957).
Selanjutnya dibawah ini saya muat dua buah contoh alasan berdasarkan pendapat masyarakat
pendukung sistem itu sendiri. Contoh pertama berasal dari orang Me (Kapauku).¹ dalam studinya
tentang orang Me (Kapauku), L. Pospisil mencatat kata-kata yang diucapkan oleh para informannya
terhadap seorang warganya yang mempunyai potensi untuk menjadi pemimpin pria berwibawa, tetapi
tidak berhasil, sebagai berikut: ”dia adalah salah satu dari orang-orang bodoh yang tidak mengerti
urusan dagang, sebab ia dapat menjadi tonowoi, pemimpin, tetapi karena ketolololannya ia tidak
meningkatkan kekayaannya melainkan ia memboroskannya” (1958:79).
Contoh kedua berasal dari orang Maybrat. Seorang informan dari J. Pouwer mengatakan bahwa
seorang yang dapat menjadi pemimpin politik pada orang maybrat adalah orang yang pandai
berdagang. Ucapan di atas ini kemudian dilukiskan dengan contoh berikut: ”dia menjual sauger (tuak)-
nya dengan harga setalen, uang setalen itu diberikan kepada ipar-ipar-nya. Ia menerima kembali
dari ipar-nya dua talen (50 sen). Uang 50 sen itu diberikan kepada ipar-nya yang lain. Darinya ia
menerima ” Kembali satu rupiah. Demikian uang setalen itu berdar terus sampai mencapai 25 rupiah.
Jika ada orang yang berhasil seperti ini, maka ia dapat di sebut bobot, ”pemimpin” (Pouwer 1957:312).
Lebih lanjut sikap mencari keuntungan yang biasanya terdapat pada seorang pengusaha pada
umumnya, dikenal juga oleh orang maybrat seperti yang terungkap di dalam kata-kata berikut:
”seorang pemimpin adalah orang yang pandai memperlakukan barang dagangan, dalam hal ini kain
timur jenis ru-ra,seperti burung yang terbang dai dahan ke dahan untuk membawa keuntungan”
(Elmberg 1968; Kamma 1970; Schoorl 1979:178, 208; Miedema 1986:31). Contoh-contoh diatas
kiranya cukup memberikan penjelasan mengapa saya menyamakan seorang pemimpin politik pria
berwibawa ata big man dengan seorang yang mempunyai keterampilan berwiraswasta.
Deskripsi-deskripsi tentang orang Maybrat, orang Me dan orang Muyu di bawah memberikan
penjelasan yang lebih terinci tentang seorang pemimpin yang menggunakan kekayaan sebagai
sumber kekuasaannya.
__________________________________________
¹Nama Me adalah nama yang sekarang di pakai untuk menggantikan nama kapauku yang digunakan
oleh Leopold Pospisil, untuk menamakan golongan etnik yang mendiami di sekitar danau Paniai. Nama
kapauku yang telah di kenal secara luas di kalangan ilmuwan lewat karangan Pospisil itu tidak di sukai
oleh penduduk Me sendiri. Perasaan tidak suka pada nama Kapauku dinyatakan secara langsung dan
tidak langsung melalui berbagai media dan kesempatan antara lain dalam seminar pemerintahan Desa
di West Papua, yang diselenggarakan pada tahun 1986 di holandia (sekarang Jayapura). Penduduk
sekitar danau paniai lebih senang menggunakan nama Me yang berarti manusia sejati untuk
menamakan golongan etnik mereka. Itulah sebabnya dalam karangan ini penulis menggunakan nama
Me sebagai pengganti nama Kapauku (lihat makalah sdr. R. Gobay, 1986). Penjelasan lebih lanjut lihat
butir 3 bab III di bawah. ²istilah ipar adalah sebutan saudara laki2 isteri. Pemakaian istilah tersebut
kadang digunakan juga untuk semua kerabat dari pihak isteri pada generasi Ego.
1. g. Pemimpin pria berwibawa berdasarkan kemampuan memimpin perang
Sub-sub ini diberi judul demikian karena pada kelompok-kelompok etnik tertentu di west Papua yang
mendukung sistem politik pria berwibawa aktivitas perang³ meupakan fokus kebudayaannya sehingga
selalu dibutuhkan orang-orang tertentu yang memiliki keberanian untuk menjadi pemimpin
masyarakat.
Sifat berani ini mengandung dua unsur agresif dan unsur orator. Kedua unsur tersebut berkaitan erat
satu dengan yang lain. Unsur agresif terwujud dalam bentuk pernah membunuh orang lain, biasanya
dari pihak musuh pada waktu perang, atau pada waktu ekspedisi pengayauan kepala manusia.
Kadang-kadang terjadi juga bahwa tindakan membunuh . Kecuali unsur agresif, unsur itu terjadi di
dalam kelompok sendirirator atau pandai berpidato adalah juga merupakan syarat penting.
Seorang pemimpin pada masyarakat yang berkebudayaan perang, harus memiliki pengetahuan dalam
berbagai hal yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk disampaikan dalam pidato- Politik serta kadang-
kadang sebagai pemimpin upacara-upacara keagamaan dibahas secara lebih luas pada sub-sub bab
dibawah yang berjudul ”sistem kepemimpinan bobot”. Orang-orang Eropa pertama mengunjungi
daerah Maybrat, terdiri dari suatu tim ekspedisi pemetaan Belanda pada tahun 1908. walaupun sudah
ada kontak pada waktu itu, namun Pemerintahan Belanda baru melaksanakan pemerintahan
administratifnya atas daerah itu pada tahun 1924. sepuluh tahun kemudian yaitu pada tahun 1934,
terbentuklah kampong-kampung yang pertama yang secara permanent didiami oleh orang Maybrat
ataas usaha pemerintahan Hindia Belanda.
Sebelumnya itu, orang Maybrat hidup secara terpencar dalam kelompok-kelompok kekerabatan kecil
dan sering berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya mengikuti pola perladangan mereka
yang berpindah-pindah.
Pada tahun 1935, dibuka pusat pemerintahan Belanda yang pertama di Aitinyo dan di sekitar pusat
pemerintahan tersebut, dibentuk beberapa kampung. Pembentukkan kampung-kampung di sekitar
danau, terjadi pada tahun 1950, dan tiga tahun kemudian (1953) kampung-kampung terbesar diantara
kampung-kampung yang telah dibentuk itu mendapat guru dan sekolah.
1. h. Sistem politik – bobot
Sebelum nama bobot muncul sebagai orang berwibawa di tengah-tngah kehidupan orang Maybrat,
walaupun sudah ada semenjak keberadaan mereka, dikonstatir bahwa orang Maybrat mengenal
sistem politik yang didasarkan padagerontocrocy atau kepemimpinan orang tua, dan merupakan
sistem politik yang didasarkan atas kekuasaan satu orang. Sistem kekuasaan yang
bersifatgerontocracy itu hanya terbatas di dalam lineage atau cabang klen sendiri, kadang-kadang
dapat meluas sampai ke klen. Sistem kepemimpinangerontocracy tersebut kemudian menjadi hilang
ketika meunculnya nama bobotyang mana diberikan kepada para gerontocracy.
Menurut Kamma (1970:138), mengatakan bahwa kelompok sosial baru yang disebut bobot itu mucul
sebagai akibat makin pentingnya peranan kain timurdalam kebudayaan orang Maybrat. Pada
mulanya kain timur hanya mempunyai fungsi sosial, yaitu untuk mempertahankan kelompok
dan interes kelompok. Fungsi tersebut kemudian secara lambat laun berubah menjadi kepentingan
individu sebgai akibat faktor-faktor sosial ekonomi. Denikinlah muncul suatu sebutan baru (bobot) di
dalam masyarakat yang lebih bersifat kelompok ekonomi, yang walaupun ikatan klen dan king group-
nya masih terjalin, namun lebih mendasarkan diri pada perjuangan yang bersifat individu untuk
memperoleh kekuasaan dan prestise pribadi.
______________________________________
³. Istilah perang disini diartikan menurut definisi yang dikemukakan oleh R. Berndt (1962:232), yang
berarti tindakan kekerasan berencana yang dilakukan oleh anggota-anggota dari suatu kelompok
sosial tertentu atas nama kelompok sosialnya terhadap anggota-anggota dari kelompok sosial yang
lain. Fokus kebudayaan adalah aspek tertentu di dalam suatu kebudayaan yang lebih jauh
berkembang dari aspek-aspek lainnya dan yang banyak mempengaruhi .pola kebudayaan atau
struktur kebudayaan itu (Herskovits, 1948:542) Sifat agresif dapat ditunjukkan juga pada tindakan
membunuh isteri atau saudara kandung sendiri seperti yang pernah terjadi pada orang Asmat
(Mansoben, 1974:32).
Apabila seseorang melalui kemampuan pribadinya berhasil mengumpulkan banyak boõ atau kain
timur, maka ia mendapat pengikut dan disebut bobot, berarti sangat kuat, atau arti harafiahnya
adalah perebut kain timur (Kamma 1970:134). Disamping itu, istilah bobot mengandung pula tiga arti
yang lain, seperti yang terdapat di bagian barat Maybrat, ialah pertama bobot, berarti pemimpin,
khususnya seorang pemimpin dari serangkaian upacara ritual yang disebut orang asing
(pendatang) pesta bobot. Arti kedua adalah seorang yang mempunyai banyak pengikut atau anak
buah, yang disebut kusme; orang yang mempunyai kekuasaan dan kemampuan dalam melaksanakan
upacara tukar-menukar dan memberikan banyak ”pemberian” kepada orang lain. Arti ketiga adalah
seseorang yang berhasil menyelenggarakan pesta-pesta penukaran yang diadakan dalam rangka
upacara-upacara sekitar lingkungan hidup orang Maybrat (Elmberg 1955:34).
Pada waktu lampau, nama tersebut juga diberikan kepada seseorang yang pernah membunuh orang
lain, (musuh) (Elmberg, 1955:34). Penjelasan-penjelasan diatas ini menunjukkan kepada kita bahwa
nama atau gelar bobotterutama diberikan kepadan dan dipakai oleh orang yang mampu
menyelenggarakan upacara tukar-menukar yang disebut pesta bobot, (masih bah), karena
memiliki kain timur. Sebaliknya penggunaan gelar bobot karena alasan pernah membunuh orang lain,
kuragn penting. Seperti terlihat nanti dalam uraian-uraian selanjutnya di bawah ini, bahwa alasan
pertama merupakan faktor yang paling penting untuk mencapai posisi bobot, sedangkan alasan kedua
merupakan faktor pelengkap saja.
Secara teori, setiap pria dewasa dapat menjadi bobot, jika syarat-syarat tertentu dipenuhi. Menurut
orang Maybrat, orang yang ideal untuk disebutbobot adalah orang yang mempunyai pengetahuan
yang baik tentang bisnis, disamping itu telah bersedia untuk membantu orang lain dalam masalah-
masalah ekonomi (berjiwa loyal, berjiwa besar), memiliki kepribadian etos kerja yang baik, berjiwa
pelayan, memperhatikan anak yatim, janda dan duda. Atau dengan kata lain seorang bobot adalah
orang kaya yang bermurah hati. (data kajian dan penelitian pribadi, Hamah Sagrim, 2006-2007).
Tentang syaraat pertama, pengetahuan bisnis menurut ukuran dan pengertian orang Maybrat, dapat
kita lihat pada penjelasan-penjelasan berikut.
Ukuran yang digunakan oleh orang Maybrat untuk menentukan apakah seseorang itu mempunyai
kemampuan bisnis atau tidak terlihat pada pengetahuan memanipulasi sirkulai kain timur. Orang
Maybrat berpendapat bahwa kain timur harus selalu bergerak, artinya harus secara ters menerus
beredar dari satu orang kepada orang lain dan dalam peredaran itu harus membawa keuntungan.
Keuntungan di sini mengandung dua makna, ialah makna materi dan makna prestise (non-materi).
Prinsip keuntungan yang mengandung dua makna tersebut diatas ditegaskan oleh orang Maubrat
dalam ungkapan berikut ; to boõ sou, tesia m’beri tefo ”artinya, saya ambil satu, akan saya
kembalikan lagi dengan yang sayapunya menjadi banyak”. Untuk memahami prinsip keuntungan yang
terkandung di dalam ungkapan di atas, maka sebaiknya saya jelaskan lebih dahulu secara singkat
bahwa ini sistem tukar-menukar kain timur pada orang Maybrat.
Dalam sistem tukar-menukar kain timur orang Maybrat, para bobot merupakan titik pusat dari segala
aktivitas transaksi. Setiap bobot mempunyai jumlah partner dagang yang bervariasi antara 8 samapi
60 orang. Pandangan orang Maybrat untuk selalu memberikan lebih banyak kepada pihak kreditor
atau pemberi seperti terurai diatas menimbulkan semacam persaingan yang terus menerus
berlangsung antara para bobot. Persaingan tersebut menyebabkan sistem tukar-menukar kain
timur bersifat ekonomi prestise. Jadi tujuan tukar menukar kain timur pada orang Maybrat adalah
”bukan untuk mencapai kesejahteraan sosial, melainkan untuk mendapatkan prestise”, atau dengan
kata lain tujuan tukar menukar kain timur pada orang Maybrat adalah untuk menciptakan kedudukan
terpandang dalam masyarakat.
Tentang munculnya nama pemimpin bobot tidak berkaitan dengan masuknyakain timur di daerah
Maybrat, tetapi sudah ada dan sangat berkaitan dengan kemampuan dan keuletan serta kecakapan
seseorang yang mana bila dilihat dari finansial ok, kepribadian ok, sifat ok, dan berjiwa besar serta
mampu menghidupkan anak-anak yatim, janda, duda serta menyelamatkan nyawa orang yang
rencana dibunuh oleh musuh, bahkan mengambil alih masalah orang lain untuk diselesaikannya. (data
kajian dan penelitian pribadi Hamah Sagrim 2006-2007).
Menjadi orang terpandang di dalam masyarakat oleh karena kekayaan – memiliki banyak kain timur –
menyebabkan seseorang mempunyai pengikut dan berhak untuk membuat keputusan. Disinilah letak
hubungan antara aspek ekonomi dengan aspek Politik . Melalui kemampuan dalam bidang ekonomi
prestise, seorang bobot dapat menciptakan hubungan-hubungan sosial tertentu dengan warga
masyarakat yang lain, hubungan-hubungan yang terwujud itu dapat bersifat hubungan simertis
maupun hubungan asimetris. Hubungan simetris adalah hubungan yang terjadi antara
para bobot yang mempunyai kedudukan dan peran yang relatif sama. Sebaliknya hubungan asimetris
adalah hubungan yang terjadi antara seorang bobot dengan anggota-anggota masyarakat lainnya
yang tidak berstatus bobot. Hubungan ini menyerupai hubungan patron-klien. Seorang bobot,
berperan sebagai klien. Disini peran dan kedudukan kedua belah pihak tidak sama. Pada hakekatnya
seorang bobotyang mempunyai kedudukan dan peran yang lebih penting dalam hubungannya dengan
seorang warga biasa, dapat menggunakan wewenang yang diperoleh melalui kedudukannya untuk
”memaksakan” kehendaknya pada orang lain.
Walaupun secata teori, setiap pria dewasa mempunyai hak yang sama untuk saling menjadi bobot,
namun hanya sedikit yang dapat berhasil mencapai kedudukan tersebut. Mereka yang berhasil
menduduki status tersebut adalah orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk berdagang. Suatu
contoh yang amat bagus yang dapat digunakan untuk melukiskan hal tersebut adalah seperti yang
dilaporkan oleh Power tentang bagaimana menjadikan duapuluh lima rupiah dari duapuluhlima sen.
Secara prinsip, kedudukan bobot merupakan kedudukan pencapaian, namun demikian status tersebut
dapat diwariskan juga oleh ayah kepada anak. Hal ini terjadi jika ayah meninggalkan banyak kain
timur kepada anaknya; di samping itu anak harus memiliki kwalitas-kwalitas yang dituntut dari
seorang bobot, seperti misalnya panda dalam usaha bisnis dan bermurah hati.
Orang-orang yang mempunyai kemampuan (pengetahuan) seperti yang dilukiskan pada contoh
tersebut diatas sajalah yang mampu untuk menyelenggarakan transaksi-transaksi kain timur. Biasanya
transaksi-transaksi itu diadakan pada tempat-tempat khusus dan pada kesempatan-kesempatan
tertentu, bukan pada sembarangan tempat dan waktu. Tempat-tempat transaksi berclangsung berupa
bangunan-bangunan rumah yang disiapkan khusus untuk maksud tersebut dinamakan sachefra –
sehafla, atau rumah pesta pesta tengkorak (schedelfeesthuizen) dan sabiach bach atau sebiah atau
rumah pesta pertandingan (spelhuis). Waktu-waktu yang biasanya ditetapkan untuk melasanakan
transaksi itu biasanya terjadi pada saat adanya suatu upacara atau pesta tertentu, misalnya pada
upacara pembayaran tulang orang yang telah meninggal dunia, pada upacara inisiasi atau pada pesta
pernikahan.
Dua rumah tempat berlangsungnya upacara transaksi seperti tersebut diatas merupakan dua kutub,
dan diantara kedua kutub tersebut terjadilah sirkulasi kain timur. Rumah pesta sachefra, dibangun di
atas bukit sedangkan rumah pesta sebiach bach- sbiah yang berbentuk rumah panjang polos,
dibangun di kaki bukit. Rumah pertama bersifat sakral sedangkan rumah kedua bersifat profan. Kedua
rumah tersebut sagat penting karena di dalamnya terjadi transaksi kain timur.
Menurut orang Maybrat, kehebatan seseorang dapat dilihat pada kemampuannya untuk mengatur
pembangunan rumah-rumah upacara tersebut serta pengaturan upacara-upacara ritus dan pesta yang
dilanjutkan dengan transaksi kain timur di dalamnya. Oeleh karena tempat upacara ini merupakan
arena perebutan kekuasaan, maka sebaiknya saya uraikan di bawah ini garis besar dari proses
berjalannya upacara-upacara tersebut.
Tipe rumah pertama yang bersifat sakral itu disebut tengkorak sachefra-sehafla.Penamaan demikian
disebabkan oleh karena rumah tersebut memang dibangun untuk kegunaan upacara pembagian dan
pembayaran tengkorank dari seseorang yang telah meninggal dunia.
Alasan lain untuk membangun rumah upacara guna terselenggaranya transaksikain timur, ialah
karena salah seorang kerabat sakit, mati atau karena terjadi kegagalan panen. Peristiwa-peristiwa
”buruk” seperti tersebut diatas dianggap oleh orang Maybrat sebagai tindakan penghukuman atau
tindakan pembalasan dendam dari kerabat yang meninggal dunia sebab ketidak pedulian terhadap
dirinya oleh kerabat-kerabat yang masih hidup. Anggapan demikian biasanya diperkuat oleh pesan-
pesan yang disampaikan oleh orang dukun atau shaman atau raã wiyon. Di samping kedua alasan
tersebut, alasan lain lagi adalah karena adanya kewajiban dari seorang suami terhadap pihak isterinya
untuk menbangun sebuah rumah upacara sechafra-sehafla, guna kepentingan transaksi kain timur.
Tiga alasan tersebut dapat disifatkan kedalam dua sifat, ialah sifat sakral dan sifat profan. Kedalam
sifat sakral termasuk dua alasan pertama, sedangkan alasan terakhir bersifat profan.
Rumah upacara sechafra-sehafla, biasanya dibangun diatas prakarsa seorangbobot atau raã wiyon,
dan dibantu oleh kerabat-kerabatnya. Apabila rumah tersebut sudah selesai dibangun, maka sekali
lagi atas prakarsa bobot dan raã wiyon dikumpulkan makanan dan kain timur bersama kaum kerabat
dekat lalu disimpan di dalam rumah upacara itu. Jika semua persiapan yang dibutuhkan untuk
menyelenggarakan upacara sudah siap, maka pemermarsa mengundang semua kerabat yang dekat
dan jauh, juga kerabat-kerabat dari pihak isterinya, untuk menghadiri upacara pembayaran tulang.
Apabila pemerkarsa adalah anak laki-laki dari orang yang telah meninggal dunia, maka pembayaran
tulang dilakukan orang yang bersangkutan kepada saudara laki-laki ibu
ayahnya (yatat) (FaMoBr ) atau kepada anak-anak dari saudara ibu ayahnya (yaja yamu ana-yatat)
(FaMoBrSo). Pembayaran tersebut didasarkan atas pandangan di bawah ibu ayahlah yang
membesarkan ayah yang telah banyak berjasa kepada ego, sedangkan saudara laki-laki ibunya atau
anak-anaknya adalah wakil dari ibu ayahnya.
Upacara pembayaran tulang berupa pemberian sejumlah kain timur oleh pemerkarsa (ego) kepada
pihak ibunya yang disaksikan oleh kaum kerabat dari pihak ayah dan pihak ibu itu dilanjutkan dengan
penyerahan pemberian dari pihak isteri kepada ego. Pemberian itu di dalam bahasa Maybrat
disebut ru-raberupa kain timur, diserahkan oleh ayah ibu isteri (yatat) (FaMoBr), saudara laki-laki
isteri (yaja yamu-yatat) (FaMoBr) kepada ego.
Tahap pertama dari upacara ini yang terdiri dari dua mata acara, yaitu pembayaran tulang kepada
pihak ibu oleh ego yang bertindak sebagai pemerkarsa dan penyerahan ri-ra dari pihak isteri kepada
ego. Sebelum tahap pertama yang bersifat sakral dari upacara ini ditutup dengan acara makan
bersama, pemerkarsa memanggil orang yang telah meninggal dunia itu untuk menyaksikan
pemberian kain timur yang sakral yang diserakan olehnya kepada ibu atau saudara laki-laki ibu dari
orang yang meninggal.
Apabila tahap pertama upacara sudah selesai, maka tahapan kedua dari upacara itu yang bersifat
profan dimulai. Acaranya ialah membagian ru-ra atau pemberian yang diterima dari pihak isteri oleh
pemrkarsa kepada hadirin yang terdiri dari kerabat-kerabat ayah, kerabat ibu, suami-suami dari
saudara-saudara perempuan, kerabat-kerabat dari klen sendiri serta teman-teman dari klen-klen lain,
tidak termasuk disini kerabat-kerabat atau anggota-anggota dari kelen pihak isteri. Dengan
demikian ru-ra masuk dalam sirkulasi.
Setiap penerima ru-ra, berhak penuh atas penggunaannya, misalnya digunakan sebagai alat bayar
maskawin, untuk membayar denda atau untuk membeli makanan. Setelah beberapa waktu berselang,
satu sampai dua tahun, pemerkarsa upacara mengundang para debitor-nya untuk mengembalikan
utang-utangnya. Pembayaran kembali itu biasanya disertai dengan suatu tgief bo, suatu pemberian
tambahan, yang disebut dalam bahasa Maybrat boõ-war. Pemberian tambahan itu kadangkadang dua
kali lipat lebih banyak daripada apa yang pernah diterima.
Pelaksanaan pembayaran kembali utang basanya dilakukan di rumah upacara lain yang sementara itu
dibangun oleh pemerkarsa, disebut sabiach bach-sbiah, atau rumah pesta pertandingan, spelhuis.
Situasi pada saat pelaksanaan pengembalian utang sebagai saat yang menegangkan, sebab terjadi
tawar menawar antara pemberi dan penerima. Semua barang (dalam hal ini kain timur jenis ru-ra)
yang digunakan sebagaitegenggift atau alat pembayaran utang yang di sebut boõru-maru boõ, dan
yang diberikan sebagai pemberian tambahan diperiksa penerima dengan amat teliti. Jika penerima
tidak puas dengan nilai atau kwalitas dari benda yang digunakan untuk membayar utang, maka
kepada debitornya diberikan lagi makanan dan minuman. Tindakan seperti ini segera dimengerti oleh
pihak debitor sehingga kembalisekali atau beberapa kali ke tempat menyimpan barang untuk
mengambil tambahan barang atau pengganti guna melengkapi dan atau mengganti yang sudah ada.
Apabila pemerkarsa sudah puas dengan pembayaran kembali, maka dipotonglah seekor babilalu
dibagikan dagingnya kepada para debitornya (tamunya) sebelum mereka ini kembali ke tempatnya
masing-masing.
Semua kaintimur yang diterima oleh pemerkarsa dari para debitornya seperti yang telah dijelaskan
diatas, kemudian disimpan oleh isterinya di rumah upacara pesta tengkorak, sachefra-sehafla.
Sesudah itu, pemerkarsa mengirim berita kepada kerabat-kerabatnya dari pihak isterinya tentang
telah terjadinya pembayaran utang. Mereka ini segera membangun sebuah rumah pertandingan
baru, sebiach bach-sbiah. Apabila rumah itu sudah siap dibangun, maka ditentukannlah suatu hari
tertentu untuk berkumpul disana dalam rangka pengembalian ru-ra yang diterima oleh pemerkarsa
pada waktu pembayaran tengkorak kepada pihak isterinya. Upacara pengembalian ru-ra ini dihadiri
oleh semua pihak, baik dari pihak pria (suami) maupun dari pihak wanita (isteri).
Kain timur jenis ru-ra yang dibawa oleh pihak pria itu dijejerkan berbentuk garis panjang di atas tanah.
Barang-barang tersebut kemudian diperiksa secara seksama oleh pihak wanita. Barang yang kurang
baik diantara barang-barang itu segera dipisahkan dan harus diganti dengan yang lebih baik. Situasi
pada saat ini tegang, sebab pihak pria seringkali menyembunyikan ru-ra yang berkwalitas lebih baik di
belakang tangannya. Barang yang berkwalitas baik ini, diberikan setelah terjadi pemeriksaan, boo-
woar. Pemberian tambahan itu biasanya selain terdiri dari kain timur jenis ru-ra juga berupa kain toko
dan kain sarung.
Ongkos makan dan minum untuk semua peserta ditanggung oeleh pihak isteri. Pertemuan tukar
menukar ini kemudian diakhiri dengan pemotongan seekor babi yang di sembunyikan oleh pihak
wanita.
Gambaran peristiwa tukar menukar kain timur berupacara pada uraian diatas menunjukkan bahwa
perkarsa berperan sebagai titik sentral, titik pertemuan, antara golongan-golongan yang berbeda
asalnya. Mereka itu sendiri dari kaum kerabat pihak pria (suami), kaum kerabat dari pihak wanita
(isteri), dan teman-teman yang berasal dari cabang-cabang klen dan klen-klen kecil. Juga dari uraian
diatas kita melihat bahwa pertemuan antara golongan-golongan yang berbeda dapat terjadi atas
perantaraan di sini sebagai media pertemuan untuk kepentingan ekonomi prestise (tukar menukar
kain tumur) dalam rangka mencapai prestise sosial yang menunjukkan dengan jelas, bahwa religi
orang Maybrat adalah sesuatu yang konkrit, nyata dan bukan transendent.
Secara sosiologis upacara tukar-menukar yang dilakukan oleh orang Maybrat mangandung tida
dimensi: dimensi religi, dimensi ekonomi dan dimensi politik. Tida dimensi tersebut terjalin erat satu
sama lain dalam suatu bentuk hubungan sibernetrik. Bagan III.1, di bawah ini menunjukkan hubungan
tersebut. Hubungan sibernetik dalam tata urut hierarkis pada bigian tersebut dibuat demikian
bedasarkan asumsi bahwa aspek religi merupakan mekanisme pendorong untuk orang berprestasi
dalam bidang ekonomi. Selanjutnya keberhasilan ekonomi mendatangkan prestise atau kekuasaan
politik bagi seseorang. Kekuasaan tersebut menjadi mantap karena mendapat pengabsahan religi.
Sebaliknya kekuasaan politik yang mantap memungkinkan bertambah banyaknya keberhasilan dalam
bidan ekonomi yang merupakan syarat mutlak bagi intensifikasi upacara-upacara keagamaan.
Perlu ditegaskan pula disini bahwa upacara transaksi kain timur tidak hanya terjadi pada kesempatan
adanya upacara ritual yang diadakan berhubungan dengan pembayaran tengkorak seperti yang sudah
disebutkan di atas, tetapi juga terdjadi pada upacara inisiasi, pesta perkawinan dan pesta-pesta
lainnya. Itulah sebabnya ditegaskan bahwa pada umumnya upacara-upacara pesta lebih diarahkan
pada tujuan tukar menukar dari pada tujuan umumnya: ”banyak melenggarakan pesta (ritual)
adalah pertanda penghormatan terhadap orang-orang yang telah meninggal dunia. Penghormatan
denikian menyebabkan orang mati menjadi senang sehingga tidak menimbulkan kesulitan bagi kaum
kerabatnya yang masih hidup.
Sering terjadi bahwa mereka tidak membangun rumah pertandingan yang baru, sebab boleh
menggunakan yang sudah ada dari iparnya. Pelaksanaan upacar-upacara ini, minuman saguer (tuak),
merupakan sesuatu yang sangat penting dalam upacara-upacara pemgayaran, memiliki nilai
tersendiri. Ada ungkapan dari orang Maybrat bahwa, tuak merupakan penggerak, artinya ketika
seorang perserta yang terlibat minum, maka ia akan mengaku bahwa dia siap membantu kerabatnya
menyelesaikan persoalan yang dihadapinya, ada juga yang mengatakan dia siap memberikan kain
timur jenis yang dibutuhkan oleh kerabatnya. Dan masih banyak lagi kelebihan daripada tuak ketika
diminum. Tuak bagi orang Maybrat, merupakan sesuatu yang membudaya, dimana di jadikan sebagai
minuman permersatu, pembuka tabir, dan.y.l.
Hubungan sibernitas antara Religi, Ekonomi, dan Politik
Gambar: bagan III.1. Hubungan sibernetik antara Religi, Ekonomi dan
Politik
Selain syarat-syarat yang sudah dibicarakan di atas memiliki pengetahuan bisnis dan pandai mengatur
penyelenggaraan upacara-upacara ritual serta transaksi kain timur, syarat-syarat lain yang harus
dipenuhi oleh seseorang agar ia menjadi bobot atau pemimpin, ialah sifat bermurah hati dan pandai
berdiplomasi.
Elmberg, melaporkan bahwa syarat ideal bagi seorang bobot ialah kesediaannya untuk membantu
orang lain, terutama kerabat-kerabatnya yang mengalami kesulitan ekonomi. Ditegaskan lagi bahwa,
seorang bobot adalah orang yang berbudi baik, selalu membantu para pengikutnya dengan banyak
barang. Lebih lanjut Elmberg berpendapat bahwa para bobot atau bangkir-bangkir orang Maybrat tidak
selalu menggunakan posisinya untuk menekan orang lain secara semena-mena. Sebaliknya
kekuasaannya itu dibatasi pada sifat realistik seperti pada orang biasa Raa kinyah.
Sifat bermurah hati seorang bobot yang terwujud dalam bentuk nyata adalah pemberian bantuan
kepada orang lain. Orang yang menerima bantuan, secara otomatis menjadi pengikut atau
anakbuah bobot, mereka itu disebut ra kinyahyang berarti orang kecil atau pengikut atau rakyat.
Elmberg menamakan pengikut seorang bobot, partner bebas, atau menurut saya mereka
adalah rayatatau rakyat. Sebab walaupun mereka bekerja untuk bobot tetapi mereka masih memiliki
kebebasan untuk meningkatkan kedudukan sendiri menjadi bobotdikemudian hari. Hanya sedikit saja
yang biasanya mencapai kedudukan tersebut.
Sifat lain yang menjadi syarat bagi seorang bobot adalah kepandaian berdiplomasi. Sifat tersebut
dapat dilihat dari kemampuan seseorang untuk menawarkan maksudnya dengan kata-kata yang
menarik agar tawarannya dapat diterima di depan umum secara konsensus. Elmberg menemukan
prinsip tersebut pada orang Maybrat sehingga menyamakan para bobot di Maybrat dengan
pemimpin big man pada orang Gahuku Gama (Papua New Gunea). Seperti yang dilaporkan oleh Read
(Elmberg 1968: 199-200).
Pengaruh kekuasaan seorang bobot biasanya terbatas pada lingkungan tempat tinggalnya sendiri.
Agar pengaruhnya dapat meluas sampai di batas-batas wilayah kekuasaannya, maka
seorang bobot harus memperkokoh hubungannya dengan pihak luar. Salah satu cara yang biasanya
dipakai untuk memperkokoh hubungan dengan pihak luar adalah melalui perkawinan. Oleh karena itu
seorang bobot sering melakukan perkawinan-perkawinan dengan pihak luar. Dengan demikian
seorang bobot yang besar pengaruhnya, kawing lebih dari satu perempuan, atau dengan kata lain
berpoligami. Poligami sering dilakukan oleh orang Maybrat pada umumnya dan bobot pada khususnya
adalah simbol kekayaan dan kekuasaan.
Disatu pihak, poligami adalah simbol kekayaan, sebab orang kaya saja yang mampu membayar
maskawin untuk banyak isteri. Banyak isteri berarti banyak tenaga kerja yang dapat menghasilkan
makanan yang dibutuhkan sebagai konsumsi pesta-pesta atau upacara-upacara ritual. Poligami
dipihak yang lain mempunyai arti politik atau kekuasaan, sebab melalui isteri-isteri terjalin hubungan
dengan pihak luar (pihak isteri) atau dengan perkataan lain banyak isteri berarti banyak pula relasi.
Relasi amat penting bagi seorang bobot karena para relasi adalah pendukung dan juga partner atau
rekanan dagang potensial dalam transaksi tukar menukar kain timur.
Beberapa implikasi sosial sistem politik bobot yang berlandaskan kompleks kain timur pada orang
Maybrat, adalah kecenderungan untuk kawin diantara anak-anak bobot, atau dengan kata lain
terjadinya endogami golongan dan timbulnya kerenggangan kohesi sosial antara
seorang bobot dengan anggota-anggota klennya sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena
seorang bobot lebih banyak memberikan perhatian kepada rekanan dagangnya daripada warga
klennya sendiri. Sebaliknya, kompleks kain timur yang melibatkan kelompok-kelompok
kerabat consaguineal atau yang seketurunan, mengakibatkan tumbuhnya solidaritas yang kuat baik
diantara kelompok-kelompok kekerabatan itu sendiri maupun diantara mereka dengan kelompok-
kelompok kekerabatan lain yang merupakan partner dagangnya. Disamping itu kompleks kain
timur yang diintensifisasikan oleh sistem politik bobot merupakan tempat konsumsi bagi barang-
barang yang tidak bertahan lama, seperti makanan dan minuman.
1. B. Analisa Komparatif Sistem Politik Orang Maybrat, Orang Me dan Orang Muyu
Analisa komparatif diadakan dalam rangka memperoleh suatu pengertian yang bersifat
komperehensif, tepat dan jelas tentang sistem politik pria berwibawa di Maybrat west Papua. Ada dua
alasan pokok untuk melakukan hal tersebut, pertama, bahwa unsur kebudayaan, dalam hal ini sistem
politik pria berwibawa yang nampak secara lahiriah sama dan terdapat pada golongan-golongan suku-
bangsa yang berbeda itu belum tentu disebabkan oleh mekanisme atau daya-daya penggerak yang
sama. Kedua, apabila memang ada daya penggeraknya yang sama, itu belum berarti bahwa proses
yang dilalui untuk mencapai wujud yang nampak dan sama itu sama pula, mengingat latar belakang
kebudayaan dan meningkatnya ekologi yang berbeda-beda dari suku-suku bangsa penduduk dalam
sistem tersebut.
Untuk mencapai tujuan tersebut diatas, ditempuh dua tahap analisis. Analisis pertama (butir 3.1 di
bawah), membandingkan apa yang menjadi public goalsatau cita-cita umum pada masing-masing
suku bangsa yang menjadi objek penelitian dan penulisan buku ini. Tahap analisis kedua di bawah,
mencari dan membandingkan mekanisme-mekanisme atau daya-daya penggerak yang mendasari
cita-cita umum itu. Cita-cita umum (public goals) dipilih sebagai tolok ukur perbandingan atas dasar
pertimbangan bahwa pada masyarakat manapun tolok ukur inilah yang menjadi dasar pranata politik,
sungguhpun bentuk dan cara untuk mencapainya berbeda dari satu masyarakat dengan masyarakat
lainnya. Selanjutnya perlu diingatkan di sini bahwa pada tingkat analisis pertama akan diperhatikan
variabel-variabel ekonomi dan variabel religi.
Prosedur analisis komperehensif yang ditempuh dalam kajian ini, ialah pertama-tama membandingkan
cita-cita umum yang menjadi tujuan tindakan politik dan cara-cara yang digunakan untuk mencapai
cita-cita tersebut pada lima suku bangsa yang akan dibicarakan pada kajian ini. Untuk itu pertama
akan dilakukan suatu analisis perbandingan antara suku-suku bangsa yang mempunyai cita-cita umum
yang sama, kemudian langkah berikut ialah membandingkan suku-suku bangsa dengan cita-cita
umum yang berbeda. Demikianlah pada bagian sub dibawah ini akan dilakukan perbandingan secara
berturut-turut, mulai dengan sistem kepemimpinan pria berwibawa yang terdapat pada masyarakat
Maybrat, masyarakat Me, masyarakat Muyu (saya sebut mereka ini golongan pertama). Yang menurut
data etnografi seperti yang dimuat dalam bagian buku ini mempunyai cita-cita umum yang sama
ialahkekayaan. Perbandingan berikut adalah tentang sistem kepemimpinan pria berwibawa yang ada
pada masyarakat Asmat, dan masyarakat Dani seperti pada masyarakat Maybrat (saya sebut mereka
ini golongan kedua) yang mempunyai cita-cita umum yang sama, ilah keberanian memimpin perang.
Perbandingan pada tingkat berikut adalah membandingkan golongan pertama dengan golongan
kedua.
Apabila tahap analisis pertama telah dilakukan, maka pada tahap analisis kedua perbandingan akan
dilakukan terhadap mekanisme-mekanisme atau daya-daya penggerak yang mendasari cita-cita
umum pada kelima suku bangsa secara keseluruhan.
1. 1. Realistis dan Analisis komparatif sistem politik orang Maybrat, orang Me dan
orang Muyu.
Lingkungan ekologi pada ketiga suku-bangsa yang dibahas pada bagian ini pada satu pihak
memperlihatkan kesamaan-kesamaan tertentu dan pada pihak yang lain menampakan pula
perbedaan-perbedaan. Kesamaan yang ada adalah bahwa ketiga lingkungan ekologi yang didiami oleh
tiga suku-bangsa tersebut di atas terletak di daerah pedalaman bagian barat West Papua.
Perbedaannya ialah, bahwa orang Maybrat mendiami daerah pedalaman bagian barat West Papua
(kepala burung), orang Me mendiami daerah pedalaman yang merupakan daerah peralihan antara
pegunungan tengah dengan daerah dataran rendah di bagian selatan dan orang Muyu, terletak pada
perbatasan west Papua dan negara Papua New Guinea.
Ciri ekologi lain yang menunjukkan persamaan tetapi juga perbedaan antara keiga wilayah yang
didiami oleh tiga suku-bangsa tersebut ialah bahwa orang Maybrat dan orang Me mendiami daerh-
daerah yang merupakan daerah interlaukstrin atau daerah berdanau-danau, sedangkan orang Muyu
mendiami daerah yang tidak berdanau.
Dari segi sistem mata pencaharian hidup, ketiga suku-bangsa itu dapat digolongkan pada tingkat
ekonomi yang sama, ialah subsistensi; mereka sama-sama hidup sebagai petani ladang berpindah-
pindah, walaupun perladangan pada orang Me bersifat pertanian yang kompleks intensif (Pospisil,
1978:8), bila dibandingkan dengan dua suku-bangsa lainnya. Di samping itu, orang Muyu kecuali hidup
sebagai petani berladang, juga hidup dari meramu sagu, hal yang disebut akhir ini tidak dikenal orang
Maybrat maupun orang Me, kecuali hidup sebagai petani ladang berpindah-pindah, orang Maybrat,
orang Me dan orang Muyu juga mengenal mata pencaharian lain; yaitu perdagangan. Perbedaan yang
terdapat pada sistem perdagangan antara mereka, pertama terletak pada benda yang digunakan
sebagai alat ukur (bojek dagang – remarcable objec). Orang Me dan orang Muyu menggunakan kulit
kerang, cyprae maneta, sebagai alat tukar, jadi kulit kerang pada dua suku-bangsa ini berfungsi
sebagai uang (orang Me menyebutnya mege dan orang Muyu menyebutnya ot), sedangkan orang
Maybrat menggunakan kain timur, sebagai alat tukar maupun sebagai benda yang diperdagangkan
dalam sistem perdagangannya.
Membandingkan ketiga suku-bangsa itu dalam hal aktivitas perdagangan, maka orang Maybrat
memperlihakan suatu sistem yang amat kompleks, melibatkan klen-klen lain yang tersebar luas di
seluruh wilayah yang menjadi tempat tinggal orang Maybrat. Juga sifat kompleksitas perdagangan
seperti yang terdapat pada orang Maybrat, merupakan suatu siklus perdagangan yang melalui tiga
tahap dimana tidak terdapat pada orang Me maupun orang suku Muyu.
Sungguhpun tingkat kompleksitas berbeda, namun orang-orang yang berhasil sebagai pedagang
dalam tiga suku bangsa itu mendapat status sosial tinggi dalam masing-masing masyarakatnya.
Dengan pengertian lain, mereka yang berhasil sebagai pedagang sejati sajalah yang mempunyai
kekuasaan dan pengaruh dalam masyarakatnya.
Kesamaan lain antara mereka ialah, penggunaan suatu upacara ritual sebagai arena perdagangan dan
sekaligus arena perebutan gengsi atau status sosial. Baik pada orang Maybrat, orang Me maupun
orang Muyu, puncak transaksi perdagangan terjadi pada kesempatan adanya suatu upacara pesta
ritual. Bedanya adalah bahwa bagi orang Maybrat perdagangan merupakan tujuan pokok tetapi selalu
terselubung dalam suatu pesta perkawinan, upacara inisiasi atau ritual pembayaran tulang orang yang
telah meninggal dunia. Sebaliknya pada orang Muyu, tujuan pokok yang terselubung dalam transaksi
perdagangan yang terjadi pada suatu pesta babi adalah penguburan kedua dari seseorang terhormat
yang telah meninggal dunia. Bagi orang Me, transaksi perdagangan yang terjadi pada satu pesta babi
terutama bertujuan untuk memperkokoh solidaritas kelompok (kampung atau konfederasi).
Peranan babi dalam kehidupan ketiga suku-bangsa tersebut diatas amat penting, namun pada orang
Muyu dan orang Me, peranan babi jauh lebih penting bila dibandingkan dengan orang Maybrat. Sebab
pada dua suku-bangsa yang disebut pertama disamping babi merupakan komoditi perdagangan
umum, juga karena mereka hanya dapat menyelenggarakan suatu upacara pesta babi yang menjadi
arena transaksi perdagangan jikalau tersedia cukup banyak babi, sedangkan orang Maybrat dapat
menyelenggarakan suatu upacara atau ritual yang menjadi arena transaksi perdagangan tanpa
banyak babi.
Dilihat dari segi struktur sosial, maka orang Maybrat, orang Me dan orang Muyu, bukan saja
memperlihatkan kesamaan-kesamaan tertentu, tetapi juga perbedaan-perbedaan diantara mereka.
Persamaannya ialah bahwa ketiga-tiganya menganut prinsip eksogami patrilineal. Sebaliknya
perbedaannya ialah bahwa kesatuan sosial orang Maybrat dan orang Muyu berdasarkan lokalitas,
sedangkan kesatuan sosial orang Me, berdasarkan klen. Kecuali orang Me mengenal kesatuan sosial
yang jauh lebih besar dari klen, yang mana ialah konfederasi. Orang Muyu dan orang Maybrat tidak
mengenal konfederasi dalam sisitem sosialnya, walaupun orang Maybrat juga mengenal konfederasi
dalam kelompok kecil yang berdasar atas asas klen dan kerabat klen yang tergabung didalam
konfederasi itu. Bagi suku Maybrat, pemimpin konfederasi ini dipanggil dengan nama Ra sien, atau
panglima perang yang memiliki kemahiran dalam berperang atau dalam mengayau musuh.
Berlatar belakang persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan seperti yang digambarkan diatas
maka, dibawah ini dibandingkan sistem politik pria berwibawa pada tiga suku-bangsa tersebut.
Di dalam analisis perbandingan itu tidak dibandingkan struktur organisasi politik sebab hal tersebut
tidak terdapat pada tiga suku-bangsa ini, mereka hanya mengenal kepemimpinan yang
bersifat autonomous dan kedudukan pemimpin diperoleh melalui pencapaian. Jadi tolok ukur yang
digunakan dalam analisis ini, seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya pada awal sub-sub ini,
ialahpublic goals atau cita-cita umum. Hal ini penting sebab berkaitan erat dengan komponen
kekuasaan. Perhatian dalam perbandingan tidak diberikan hanya pada apa yang menjadi cita-cita
umum dalam tiga suku-bangsa itu saja, tetapi lebih penting dari itu penekanan akan diberikan
terutama kepada proses pencapaian cita-cita umum itu. Apa yang dimaksud dengan proses mencapai
cita-cita umum disini adalah bentuk-bentuk tindakan yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut.
Bentuk-bentuk tindakan bermanifestasi dalam tindakan-tindakan nyata seperti misalnya sifat
bermurah hati (sifat ini bermanifestasi dalam tindakan memberikan bantuan kepada orang lain) dan
sifat rajin (bermanifestasi dalam keberhasilan bertani, beternak dll).
Perlu diperhatikan bahwa analisis perbandingan yang dilakukan disini adalah perbandingan antar
suku-bangsa yang berbeda, sehingga dalam perbandingan selalu akan dicari untuk disampaikan
tindakan apa yang lebih menonjol pada satu suku-bangsa dan tidak pada suku-bangsa lain. Hal ini lain
daripada jika kita mempelajari proses penguasaan cita-cita umum oleh para pemeran politik pada
masyarakat yang sama. Jika hal tersebut terakhir ini yang dilakukan maka tentu perhatian harus
diberikan kepada upaya-upaya para pemeran politik untuk saling berkompetisi dalam merebut
penguasaan terhadap cita-cita umum. Perhatian dalam analisis perbandingan ini adalah usaha
mencari unsur-unsur yang sama dan yang tidak sama antara tiga suku-bangsa itu dan selanjutnya
berusaha memberikan jawaban terhadap pertanyaan, faktor-faktor apakah yang mendasari
persamaan atau perbedaan itu. Jadi kompetisi antar individu-individu pada suku-bangsa yang sama
untuk merebut kekuasaan secara eksplesit tidak akan di kemukakan dalam analisis perbandingan ini.
Data etnografi tentang tiga suku-bangsa itu, seperti yang termuat dalam kajian ini, menunjukkan
bahwa cita-cita umum yang dikejar oleh pria dewasa dan yang menjadi idaman warga masyarakat
adalah kekayaan. Bagi ketiga suku-bangsa itu, gagasan atau ide kekayaan memang sangat dinilai
tinggi sebab melalui kekayaan seorang dapat membangun kekuasaannya. Atau dengan pengertian
lain kekayaan mendatangkan kekuasaan. Jadi bagi mereka, konsep kekayaan adalah identik dengan
konsep kekuasaan.
Jika kita membandingkan wujud kekayaan yang menjadi landasan kekuasaan dalam tiga suku-bangsa
itu, maka akan nampak hal-hal sebagai berikut; seorang kaya pada orang Maybrat adalah orang yang
memiliki banyak kain timur, sedangkan orang Me dan orang Muyu yang disebut orang kaya adalah
orang yang memiiki banyak kulit kerang. Walaupun wujud benda yang mempunyai nilai tinggi itu
berbeda antara orang Maybrat di satu pihak dengan orang Me dan orang Muyu di pihak yang lain,
namun gagasan atau ide pokok tentang nilai yang terkandung dalam benda-benda yang berbeda itu
sama. Persamaan lain yang terdapat pada dua benda yang berbeda wujud tetapi mempunyai
kedudukan nilai yang sama adalah bahwa keduanya berasal dari luar, bukan hasil produksi lokal. Kulit
kerang yang bernilai sangat tinggi bagi orang Me dan orang Muyu berasal dari daerah pantai dan
melalui rute pedagangan (yang belum banyak kita ketahui) dapat sampai kepada orang Me dan orang
Muyu. Demikian pula halnya dengan kain timur yang bernilai sangat tinggi bagi orang Maybrat berasal
dari alam dan daerah kepulauan Nusa Tenggara Timur dan dari kepulauan Maluku, melalui rute
perdagangan yang berliku-liku akhirnya sampai ke daerah Maybrat.
Orang-orang kaya itu di daerah Maybrat disebut bobot, di Me disebut tonowi dan di Muyu
disebut kayepak. Pada umumnya selain memiliki banyak kain timur(untuk orang Maybrat) atau kulit
kerang (untuk orang Me dan Muyu), atribut lain yang memperlihatkan kekayaan seseorang adalah
mempunyai banyak isteri, maka semakin banyak pula partner dagang yang akan terlibat dalam
transaksi penukaran kain timur. Keterlibatan banyak orang sebagai rekanan dagang dalam
transaksi kain timur yang berkesinambungan sangat berpengaruh terhadap gengsi seorang bobot. Jadi
melalui poligami terbentuklah partner-partner dagang yang pada gilirannya menyebabkan gengsi
seorang bobotmenjadi lebih tinggi.
Dilihat dari segi produktivitas ekonomi, isteri adalah tenaga kerja yang amat produktif, sebab isteri
turut aktif dalam pekerjaan perladangan dan peternakan babi. Hal itu berarti makin banyak isteri,
semakin banyak pula ladang yang dapat digarap dan banyak babi yang dapat dipelihara. Dengan
perkataan lain banyak isteri berarti banyak hasil kebun yang dapat diproduksi dan banyak babi yang
dapat dipelihara. Dua produk ini – babi dan hasil kebun – adalah sangat penting sebab memudahkan
terselenggaranya suatu upacara pesta atau ritual yang sering dijadikan arena perdagangan yang
memang sangat membutuhkan konsumsi hasil kebun dan babi yang banyak.
Jika kita membandingkan prisip poligami yang berimplikasikan jaringan partner dagang seperti yang
terdapat pada orang Maybrat dengan orang Me dan orang Muyu, maka data etnografi menunjukkan
bahwa walaupun implikasi tersebut penting juga dalam dua suku-bangsa yang disebut akhir, namun
peranannya pada orang Maybrat jauh lebih penting.
Sebaliknya peranan poligami sebagai alat penada produktif dalam perladangan dan khususnya
peternakan babi, sangat memainkan peranan penting pada orang Me dan orang Muyu bila
dibandingkan dengan orang Maybrat.
Selanjutnya dibawah ini akan diperbandingkan beberapa hal yang dijadikan sebagai syarat bagi
seorang pemimpin pria berwibawa pada ketiga suku-bangsa tersebut. Tata urut syarat seperti yang
dimuat di bawah ini tidak didasarkan atas pertimbangan prioritas, sebab hal itu sangat sulit untuk
menentukan syarat mana yang menduduki urutan pertama dan yang mana kemudian. Semua syarat
itu berkaitan erat satu sama lain.
Walaupun seorang itu kaya-memiliki banyak kain timur atau kulit kerang, banyak babi dan banyak
isteri, namun ia belum dapat menjadi pemimpin jika tidah memenuhi syarat bermurah hati. Sikap
bermurah hati selanjutnya bermanifestasi dalam kehidupan orang Maybrat saat ini. Sikap bermurah
hati disini mengandung dua makna; pada satu pihak mengandung makna politik, dan pada pihak yang
lain mengandung makna moral. Sikap bermurah hati dalam bentuk memberikan bantuan secara
material maupun imaterial bermakna politik, sebab melalui pemberian atau bantuan terciptalah suatu
kesepakatan secara nyata atau tidak nyata antara pihak pemberi dengan pihak penerima, dimana
pihak penerima secata moral tunduk dan taat kepada pihak pemberi. Atau dengan perkataan lain,
melalui pemberian seseorang itu terikat untuk menjadi pendukung bagi pihak pemberi.
Kedua, sikap bermurah hati bermakna moral, sebab dalam banyak masyarakat di dunia ini, seperti
misalnya orang Me, seorang kaya berkewajiban untuk memberi bantuan kepada orang lain yang
membutuhkan bantuan. Kekayaan tidak boleh digunakan untuk memperkaya diri sendiri. Penilaian
terhadap kewajiban moral tersebut begitu tinggi dijunjung sehingga orang kaya yang bermurah hati
sajalah yang dapat diakui sebagai pemimpin.
Jika kita membandingkan syarat bermurah hati yang bermakna politik antara tiga suku-bangsa yang
dibandingkan dalam bagian penulisan buku ini, maka nampak bahwa makna tersebut hadir secara
positif pada ketiga-tiganya. Sebaliknya makna moral dari syarat tersebut jauh lebih berperan pada
orang Maybrat dan Orang Me, bila dibandingkan dengan orang Muyu.
Secara keseluruhan, syarat bermurah hati dalam pengertian berganda diatas digunakan baik oleh
orang Maybrat, orang Me maupun orang Muyu, sebagai alat untuk merekrut pengikut (pendukung).
Bedanya ialah, bahwa pengikut seorang bobot di orang Maybrat dan seorang tonowi di orang Me,
melembaga, masing-masing disebut kesema-raã bobot (untuk orang Maybrat), dan ani yokaani (untuk
orang Me), sedangkan para pengikut seorang kayepak pada orang Muyu tidak melembaga. Kedudukan
serta prestise seorang bobot atautonowi menjadi mantap karena dukungan dari sistem pendukung
yang melembaga, sebaliknya kedudukan dan prestise seorang kayepak menjadi mantap terutama
bukan karena dukungan dari suatu sistem pendukung yang melembaga melainkan oleh dukungan dari
kaum kerabat. Itulah sebabnya faktor demografi dalam pengertian banyak atau sedikit jumlah warga
kerabat turut menentukan besar kecilnya kekuasaan dan pengaruh seorang kayepak.
Selain syarat bermurah hati yang telah dibicarakan diatas, syarat-syarat lain yang harus dipenuhi pula
oleh seseorang agar menjadi pemimpin adalah memiliki kecakapan-kecakapan tertentu seperti
kepandaian bertani, kepandaian berburu, kemahiran berpidato dan berdiplomasi, kepandaian
berdagang dan kesanggupan menyelenggarakan upacara intensifikasi.
Membandingkan kecakapan-kecakapan yang merupakan syarat tersebut di atas antara tiga suku-
bangsa itu, maka nampak hal-hal berikut; pertama, bahwa seluruh kecakapan itu tidak merupakan
syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin. Data etnografi menunjukkan bahwa
pengutamaan kecakapan-kecakapan tertentu bebeda dari satu masyarakat dengan masyarakat
lainnya. Demikianlah dapat dilihat misalnya, kecakapan berdagang dan berdiplomasi merupakan
syarat utama yang dituntut dari seorang bobotatau pemimpin pada orang Maybrat, sedangkan
kecakapan bertani dan berburu hanya merupakan syarat pelengkap saja. Bagi orang Me, kecakapan
bertani dan memelihara babi merupakan syarat utama, sebab suatu pesta babi yang merupakan arena
perdagangan atau pasar tempat jual beli daging babi dengan kulit kerang, hanya dapat dilakukan
apabila tersedia banyak babi. Memelihara banyak babi membutuhkan banyak makanan yang terdiri
dari hasil kebun (ubi manis). Oleh karena itu, mereka yang berhasil dalam kebun sajalah yang dapat
memelihara banyak babi.
Seperti halnya orang Me, kecakapan bertani dan memelihara babi, bagi orang Muyu adalah syarat
yang penting untuk seorang pemimpin. Sebabnya ialah bahwa keberhasilan memelihara babi sangat
penting bagi terselenggaranya suatu pesta babi yang merupakan hasil penting dalam kehidupan orng
Muyu. Untuk kepentingan penyelenggaraan pesta babi pada orang Muyu selalu dipotong sejumlah
besar ekor babi.
Kecakapan lain yang dituntut dari seorang pemimpin adalah kemampuannya menyelenggarakan suatu
upacara intensifikasi. Kemampuan tersebut meliputi keberhasilan ekonomi, banyak babi dan banyak
hasil kebun, juga meliputi pengetahuan seseorang dalam hal mengatur pelaksanaan upacara
intesifikasi.
Bagi orang Muyu, kecakapan penyelenggaraan pesta babi atau atatbon, bukan suatu hal yang
gampang, sebab menuntut pengetahuan berorganisasi dan pengetahuan religius. Pengetahuan
berorganisasi dalam pesta babi penting sebab menyangkut pengaturan macam-macam aktivitas
menjelang pada waktu berlangsungnya dan pada waktu penutupan pesta babi. Pada waktu menjelang
pesta babi, harus ditentukan tempat (lokasi) dan menyiapkan bangunan-bangunan (pondok-pondok)
bagi para peserta pesta, membangun rumah pesta (atatbon), dan mengumpulkan makanan dan
minuman yang cukup serta menyiapkan babi yang cukup banyak untuk dipotong dalam pesta. Selain
itu, harus disiapkan juga sejumlah babi suci yang diperuntukkan bagi kekuatan-kekuatan alam agar
pesta yang akan diselenggarakan dapat berjalan dengan baik dan membawa hasil yang banyak bagi
pemerkarsa pesta. Demikian pula pada waktu pesta sedang berlangsung diperlukan pengetahuan
untuk mengatur konsumsi bagi para peserta pesta yang terdiri dari dua sampai tiga ribu orang. Selain
itu, diperlukan pula pengetahuan untuk mengatur keamanan antara peserta yang berasal dari
kelompok-kelompok yang biasanya bermusuhan. Juga pengetahuan tentang aturan-aturan yang
menyangkut cara pemotongan babi dan penjualan daging babi yang merupakan acara puncak pesta
tersebut harus dikuasai oleh pemerkarsa upacara.
Pengetahuan religius juga sangat diperlukan oleh seorang pemimpin, terutama pengetahuan tentang
penyelenggaraan suatu pesta babi. Berbagai upacara religius harus dilakukan demi suksesnya pesta,
misalnya upacara yawarawonyang dilaksanakan pada waktu persiapan pesta. Pada upacara ini,
ditanami pohon sakral yang merupakan pusat dari tempat pesta babi; juga
upacarayawarawon menyangkut pembuatan kandang-kandang untuk menampung babi-babi yang
akan dipotong dalam pesta. Pantangan-pantangan tertentu seperti misalnya, seorang yang berperan
sebagai orang yang memotong babi pertama pada waktu pesta, selama masa persiapan tidak boleh
makan makanan yang di masak oleh perempuan. Tujuan utama dari upacara-upacara religius dan
pantangan-pantang itu adalah agar penyelenggaraan pesta mendapat bantuan dari kekuatan-
kekuatan alam atas untuk memperoleh banyak kulit kerang, ot, dalam pesta babi yang memang
berfungsi sebagai tempat jual beli daging babi dengan kulit kerang.
Seperti halnya orang Muyu, orang Maybrat juga menuntut kepandaian berorganisasi dari seorang
pemimpin atau bobot. Kepandaian atau kemampuan berorganisasi itu dapat dilihat terutama pada
penyelenggaraan suatu pesta bobot. Kepandaian berorganisasi pada seorang pemimpin Maybrat
bukan saja menuntut pengetahuan yang bersifat profan saja tetapi juga pengetahuan religius (sakral).
Pengetahuan profan terwujud dalam keberhasilan seorangbobot untuk mengatur pelaksanaan
pesta bobot, meliputi pengorganisasian membangun rumah-rumah pesta, pengumpulan bahan
konsumsi yang dibutuhkan selama upacara pesta berlangsung dan pengumpulan kain timurserta
pengaturan kelompok-kelompok yang terlibat dalam pertukaran kain timurpada waktu pesta. Orang
Maybrat telah mengembangkan inisisasi (pendidikan tradisional yang disebut wiyon), setiap anak
muda yang dianggap memiliki sifat berwibawa bobot di bawa untuk di didik dalam pendidikan
tradisional wiyon. Dalam melakukan pendidikan inisiasi itu, semua murid tidak diperbolehkan keluar
dari rumah sekolah (k’wiyon) yang mana sangat tertutup dan sakral, bilaman merasa buang air,
mereka digendong oleh guru pembimbingnya menuju tempat yang sudah di siapkan (wc). Setiap
murid memiliki seorang pembimbing yang disebut raa wiyon dan seorang guru besar yang disebut raa
bam. Dalam perencanaan penyelenggaraan inisiasi, seorang guru pembimbing bahkan guru besr harus
menjaga kesucian mereka yaitu tidak mendekati isteri, atau wanita, tidak diperbolehkan memakan
daging, dalam waktu 2 minggu menjelang pelaksanaan inisiasi. Bangunan sekolah atau juga dibilang
tabernakel mempunyai aturan dan kegunaan fungsi ruang, dimana ruang luar biasanya di perbolehkan
kepada semua orang baik wanita dan pria, dewasa bahkan anak-anak untuk melewatinya, sedangkan
runga suci, tidak diperbolehkan untuk wanita, anak-anak, bahkan seorang guru raa wiyon yang
melakukan pelanggaran aturan dilarang masuk, ruang maha suci, merupakan ruang yang sakaral dan
mereka yang pantas memasukinya adalah seorang guru besar raa bam-imam untuk membawa korban
persembaha. Dalam melaksanakan inisiasi tersebut, biasanya sudah ditentukan waktu, yaitu 6-9 bulan
untuk yang bersedia dididik sebagai raa wiyon atau guru biasa atau rasul, sedangkan 9-12 bulan untuk
murid yang dipersiapkan sebagai buru besar raa bam atau imam. Setelah dididikan dalam waktu yang
sudah ditentukan, maka yang terakhir di lakukan untuk mengetahui keberhasilan setiap murid adalah
menguji mereka atau disebut sana wiyon, dalam pelaksanaan sana wiyon disini akan dilihat, diantara
murid kalo yang berhasil dan mampu mampu misalnya menyembuhkan orang, atau menghentikan
hujan, maka ia lolos dan dikatakan sebagai wiyon tna sebaliknya untuk murid yang tidak berhasil
dalam semua perintah tersebut, ia di nyatakan gugur atau jatuh ujian atau yatah koõn. Selain itu,
pengetahuan religius penting juga sebab segala aktivitas sekitar pestabobot selalu disertai dengan
tindakan-tindakan religius yang harus dipatuhi.
Disampingnya kepandaian berorganisasi seorang bobot dapat dilihat pada keberhasilannya untuk
memimpin kelompoknya (in-group) – terdiri dari bobotsendiri dan anak-anak buahnya, raa
kinyah- untuk melakukan ekspedisi-ekspedisi penukaran kain timur dengan rekanan dagangannya
yang tersebar hampir diseluruh daerah pedalaman kepala burung.
Bagi orang Me, kepandaian berorganisasi seperti yang tereapat pada orang Muyu dan orang Maybrat,
juga penting, sebab penyelenggaraan suatu pesta babi yang biasanya menelan biaya konsumsi yang
besar dan yang melibatkan banyak pihak, tentu menuntut pengetahuan berorganisasi dari seorang
guna mengatur terselenggaranya pesta babi. Perbedaan antara orang Me di satu pihak dengan orang
Maybrat dan orang Muyu pada pihak yang lain dalam hal pengetahuan berorganisasi ialah bahwa
orang Me tidak menggunakan kekuatan magis dalam acara-acara sekitar suatu pesta babi utnk
mencapai keberhasilannya seperti halnya orang Maybrat dan orang Muyu. Orang Me percaya bahwa
keberhasilan untuk menyelenggarakan suatu pesta babi semata-mata tergantung dari kemampuan
berorganisasi penyelenggara, bukan campur tangan alam gaib (pospisil 1978:92). Nuansa dapat
ditangkap dari penjelasan diatas ialah bahwa pada orang Muyu dan orang Maybrat syarat memiliki
kekuatan magis bagi seorang pemimpin dianggap penting, sedangkan bagi orang Me kurang penting.
Syarat-syarat lain yang dituntut pula dari seorang pemimpin pada tiga suku-bangsa tersebut adalah
kemahiran berpidato dan kepandaian berdiplomasi. Data etnografi menunjukkan bahwa syarat-syarat
tersebut secara positif terdapat pada tiga suku-bangsa tersebut, namun bukan merupakan syarat
mutlak melainkan syarat pelengkap.
Dengan demikian disimpulkan bahwa kekuasaan konsensus merupakan unsur paling penting yang
digunakan dalam sistem politik pria berwibawa pada orang Maybrat, orang Me dan orang Muyu,
sedangkan kekuasaan coesif atau koersif hanya merupakan unsur pelengkap saja.
Orang Maybrat, Imian, Sawiat, mengatakan inisiasi selain mendidik dan membentuk seseorang
sebagai pria berwibawa, juga merupakan tempat berinteraksi antara manusia dan Allah dalam
kemuliannya di dalam tabernakel. Baca dalam TEOLOGI TRADISIONAL SUKU MAYBRAT IMIAN SAWIAT
YANG DIPARALELKAN DENGAN ALKITAB (karya Hamah Sagrim, 2008). Bandingkanlah
antara k’wiyon dengan tabernakel musa.
Bentuk babi suci adalah babi yang berasal dari keturunan babi pertama yang merupakan hasil
perkawinan antar bagian tubuh tokoh mite kamberap yang di sembelih (Den Haan, 1955:163).
Persamaan serta perbedaan dari hasil analisis komparatif terhadap syarat-syarat kepemimpinan pada
tiga suku-bangsa diatas dapat ditunjukkan secara sederhana dalam paradigma dibawah ini.
Hasil perbandingan dari sistem politik pria berwibawa dengan keterampilan berwira swasta antara
ketiga suku-bangsa seperti yang dimuat dalam penjelasan-penjelasan diatas menunjukkan bahwa
walaupun orientasi hidup mereka sama, yakni mencari kekayaan, namun cara yang ditempuh masing-
masing tipe pemimpin untuk mncapai dan mengalokasi cita-cita umum tersebut demi kepentingan
politiknya menampakan ciri-ciri khas tertentu yang dapat membedakan mereka antara satu sama lain.
Paradigma Kepemimpinan pria berwibawa Orang Maybrat
TUJUAN/CIRI ORANG ORANG ORANG
MAYBRAT ME MUYU
I. ORIENTASI HIDUP
Kekayaan +++ +++ +++
1. I. CIRI-CIRI
I. Brmurah hati
I.1. Implikasi Politik +++ +++ +++
I.2 Implikasi Moral +++ +++ ++
2. Kemampuan berusaha
2.1. Bertani +++ +++ +++
2.2. Beternak Babi ++ +++ +++
2.3. Berdagang +++ ++ ++
3. Kepandaian berorganisasi
3.1. Pengetahuan Praktis +++ +++ +++
3.2. Pengetahuan Magis +++ + +++
3.3. Kemahiran berpidato/
berdiplomasi +++ +++ +++
3.4. Pengikut melembaga +++ +++ +
4. Kemampuan melaksanakan
ritual dan berdagang +++ + +++
5. Kemampuan melaksanakan
syamanisme +++ ++ +++
6. Kemampuan memimpin perang ++ ++ ++
7. Berpoligini
7.1. Keluarga isteri sebagai
partner dagang +++ + +++
7.2. Isteri sebagai tenaga produktif +++ +++ +++
Keterangan: +++ = sangat penting; ++ = penting; + = kurang penting
1. 2. wajah sistem kepemimpinan pria berwibawa suku
maybratdalam kepemimpinan-kepemimpinan mereka sekarang pada birokrasi
pemerintahan. (big man leadership -bobot)
Telah di uraikan bahwa sistem kepemimpinan tradisional suku maybrat yang termasuk dalam sistem
kepemimpinan pria berwibawa memiliki kaitan-kaitan dengan tipe-tipe kepemimpinan sebagai mana
yang di lakukan oleh pemimpin-pemimpin moderen saat ini.
1. 1. Sistem kepemimpinan big man orang maybrat sebagai leadership
Sistem kepemimpinan pria berwibawa suku Maybrat, Big Man yang mana cenderung menampilkan
kemampuan atau pengaruh interpersonal seorangbobot yang mampu menyebabkan seseorang atau
kelompok untuk melakukan apa yang seorang bobot inginkan, atau juga kita bisa menyebut
para bobotsebagai Leadership.
1. 2. Operational Type Big Man Leadership
Tipe kerja kepemimpinan pria berwibawa suku Maybrat adalah mereka sangat antusias dan serius
dalam melaksanakan segala sesuatu yang mereka kerjakan. Nilai-nilai yang terbangun dalam sistem
kepemimpinan operational bobot – Big Man Leadership orang Maybrat adalah sebagai berikut :
Rajin – samioh
Produktif – mes bobot
Orientasi kerja yang jelas (Action Oriented) – krek aam ase
Transparansi (tidak melakukan sesuatu dibelakang-belakang) -
Berani dan Aktif berdiplomasi
Fleksibel
Realistik
Ekspresif
Inisiatif Tinggi
Tegas
Cepat
Spontan
1. 3. Promotion type big man leadership
Tipe kepemimpinan pria berwibawa suku Maybrat dengan menggunakan metode kepemimpinan yang
suka mempromosikan kemampuanny dalam meraih banyak kain timur. Nilai-nilai yang menonjol
dalam promotion type bobot-big Man leadership adalah:
Pemimpin bobot yang Lincah
Pemimpin bobot yang berjiwa Periang
Pemimpin bobot yang romantis
Pemimpin bobot yang penhibur
Pemimpin bobot yang promotional, memiliki relasi aktivitas bermain kain timur – Team Worker
Pemimpin bobot yang terbuka
Pemimpin bobot yang Polos
Pemimpin bobot yang Antusias
Pemimpin bobot yang Fleksibel
Pemimpin bobot yang Luwes
Pemimpin bobot yang Introvert
Pemimpin bobot yang penuh Perhatian
Pemimpin bobot yang komunikatif dan hangat
1. 4. Negosiator type big man leadership
Tipe kepemimpinan bobot – big Man Leadership dengan menggunakan kecenderungan Negosiasi,
yang mana memiliki beberapa nilai baik dalam kepemimpinannya adalah:
Sebagai pemimpin bobot yang sabar
Negosiator
Kepemimpinan yang sangat efisien dan efektif
Bertoleransi
Sebagai pemimpin bobot yang tenang dan tertib.
Memiliki kemampuan strategis
Analistis
Sebagai pemimpin yang berwibawa dan taat pada setiap kegiatan
Sebagai pemimpin bobot yang Disiplin
1. 5. Conceptual type big man leadership
Tipe kepemimpinan bobot – big Man leadership yang memiliki kemampuan konseptual.
Kepemimpinannya memiliki beberapa kelebihan tertentu yang membawanya sukses adalah:
Pemimpin bobot yang seleranya tinggi (perfectionist)
Sebagai pemimpin bobot yang teliti dan juga sebagai pengamat jitu
Sebagai pemimpin bobot yang Konseptual, analitis dan Mandiri serta serius
Pemimpin bobot yang tertib
Orientasi pada Tugas dan sebagai pemimpin bobot yang responsif terhadap feeling rendah
Sebagai pemimpin bobot yang ramah, pendengar, menyimak.
Sebagai pemimpin bobot yang tenang dan terukur
Sebagai pemimpin bobot yang suka berdiplomatis, pemikir dan selalu hati-hati.
1. 6. Grid type big man leadership
Tipe kepemimpinan bobot yang selalu berkonsentrasi terhadap rakyat dan penghasilan, lebih
cenderung pada pola manajemen kepemimpinan. Type ini memiliki beberapa faktor pendukung antara
lain sebagai mana berikut adalah:
Klen management – klen manajemen. (kelompok yang terdiri dari keluarga-keret atau marga,
mereka memiliki manajemen baik tetapi tidak memanfaatkannya dengan baik “hura-hura”)
perbandingan poin 9:1
Team management – team manajemen. (kelompok yang terdiri dari Team, mereka cenderung
memanfaatkan peluang dengan memanajemnnya secara efektif sehingga mereka berhasil),
perbandingan pon 9:9.
Midle of the road management – kelompok manajemen sedang. (kelompok ini cenderung berada
di tengah antara klen management, team manajemen dan improve manajemen serta task
manajemen)
Kepemimpinan Big Man – Bobot Leadership Grid orang ayamaru dapat di ukur dari dua variabel, yaitu
orientasi pada kerabat atau orang (concern for people) dan orientasi pada hasil kain Timur (concern
for production). Kemudian hasilnya disusun dalam 9 poin/kriteria. Dari dua variabel kepemimpinan big
man – bobotini maka, akan ada 5 kategori kepemimpinan, yaitu:
Gambar:
tipe kepemimpinan yang selalu berkonsentrasi terhadap rakyat dan penghasilan
Tipe kepemimpinan bobot pada grid 1.1. adalah kepemimpinan bobot yang sangat buruk, tidak
memiliki kepedulian kepada produktifitas/hasil permainankain timur dan juga tidak berorientasi pada
rakyatnya (raã kinyah). Pada pemimpin bobot dengan grid 9.1 adalah tipe pemimpin bog Man –
bobot “country – club”
yang berorientasi/mementingkan rakyatnya lebih daripada memperhatikan hasil bisnis kain timur.
Sebaliknya pemimpin Big Man – Bobot pada grid 1.9 adalah pemimpin bobot – Big Man yang terlalu
berorientasi pada hasil permainan kain timur tetapi melanggar prinsip-pronsip kekerabatan
klen (human relation). Orientasi pada sistem permainan kain timur dan hasil permainan kain
timuryang tinggi, tetapi keprihatinan pada rakyat rendah. Sedangkan yang ideal, dimana
pemimpin Big man – bobot dapat memobilisasi pengikutnya dengan hasil yang optimal adalah 9.9
yaitu organisasi sangat produktif dan relasi interpersonal pemimpin dengan yang yang dipimpin
sangat solid.
1. Gaya kepemimpinan big man – bobot yang situasional
Gaya kepemimpinan big man – bobot ini cenderung berdasarkan pada tingkat kedewasaan (maturity)
dan kesiapan (readynes) orang yang dipimpinnya/rakyatnya. Kedewasaan dan kesiapan adalah tingkat
kemampuan (willingnes) rakyat yang dipimpinnya dalam menjalankan tugas tersebut. Lihat diagram
berikut;
Gambar : Diagram gaya kepemimpinan Big
Man – Bobot
Gambar: Tabel kesiapan orang Maybrat
yang dipimpin oleh Bobot
1. 1. Transactional leadership – gaya kepemimpinan bobot yang transaksional
Gaya kepemimpinan pria berwibawa bobot dimana selalu melakukan pertukaran-pertukaran/transaksi-
transaksi dengan rakyat yang dipimpinnya utnuk mencapai sesuatu yang diinginkannya (transactional
leadership). Selain itu, bobot juga memberikan hadiah-hadiah secara timbal balik dengan kesepakatan
untuk mencapai tujuan tertentu dalam bermain kain timur(contingen rewards). Bobot juga selalu
melakukan pengawasan atas penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh kerabat-kerabatnya
dari peraturan atau standard serta mengambil tindakan-tindakan korektif (active management by
exception). Seorang bobot akan melakukan intervensi terhadap kerabat-kerabat/rakyat yang
dipimpinnya jika peraturan/standard yang telah ditetapkan tidak dapat dilaksanakan, dalam proses ini
hanya sebatas intervensi dan seorang bobot tidak melakukan penekanan (massive management by
exception).
1. 2. Transformational leadership – gaya kepemimpinan bobotyang bertransformasi.
Gaya kepemimpinan bobot yang bertransformasi merupakan gaya kepemimpinan bobot dimana target
atau tujuan-tujuan para klen atau pengikut-pengikutnya diperluas kekerabatannya atau
ditingkatkan/ditransformasikan sehingga pada akhirnya tumbuhlah rasa percaya diri untuk mencapai
yang lebih dari apa yang ditargetkan.
1. 3. Charisma leadership – pemimpin bobot yang berkarisma
Bobot adalah seorang pemimpin atau seorang pria berwibawa yang sangat dihormati di suku Maybrat
yang mana bobot merupakan pemimpin yang selain memiliki banyak harta kekayaan kain timur juga
ada bobot yang memiliki karisma, mereka adalah pemimpin-pemimpin berkarisma. Bobot yang
berkarisma memiliki dimensi-dimensi kepemimpinan yang memberikan visi dan misi serta
menanamkan rasa bangga, respek dan kepercayaan dalam diri kerabat klen yang mengikutinya.
Selain itu, bobot juga memiliki kemampuan menginspirasikan kerabat-kerabat klen pengikutnya, yaitu
ia berkemampuan mengkomunikasikan harapan-harapan yang agung, penggunaan simbol-simbol,
mengekspresikan tujuan yang penting dan cara yang dapat dilaksanakan untuk mencapai tujuan
(inspirationalized). Selain itu, bobot juga memiliki kemampuan yang mana mampu memimpin dan
mengembangkan rasionalitas, intelegensi, maupun pemecahan masalah secara kreatif ( intelectual
stimulation). Bobot memiliki kemampuan tersendiri dalam memberikan perhatian dan perlakuan
personal kepada setiap kerabat klen pengikutnya secara pribadi sehingga mereka juga mampu
bertumbuh untuk menjadi orang-orang yang berwibawa.
Berikut ini adalah tabel penilaian diri bobot-big man yang diklasifikasikan menurut karakteristik yang
paling sesuai menyatakan diri seorang bobot. Poin 1 menyatakan pribadi seorang bobot yang paling
tidak sesuai dan 5 menyatakan pribadi seorang bobot yang paling sesuai.
Gambar: Tabel penilaian Bobot
Skor O P N C
100
90
80
70
60 54 59
50 49 45
40
30
20
10
Gambar: skors keterangan diagram penilaian
TYPE
PROMO
TIONAL
P
Orientasi
pada
orang,
respon
terhadap
feellng
tinggi,
cepat
akrab,
komunik
asi
pribadi
hangat,
intuitif,
ekspresif
,
terbuka,
polos,
antusias,
fleksibel,
luwes,
team
worker
K
E
T
E
R
A
N
G
A
N
T
I
P
E
P
E
M
I
M
P
I
N
B
O
B
O
TTYPE OPERATIONAL O
Orientasi pada hasil
Irama cepat, aktif berbicara, fleksibel,
realistik, langsung, inisiatif tinggi,
tegas, terbuka, cepat, spontan
TYPE CONCEPTIONAL C
TYPE NEGOSIATION N
Orientasi pada tugas, respon terhadap
feeling rendah, mendengar, menyimak,
taat terhadap peraturan, tenang, terukur,
tak langsung mendahulukan orang lain
tenggang rasa, halus diplomaatis, hati-
hati, senag berpikir
Orientasi pada ketepatan, irama
rendah menjaga jarak, komunikasi
faktual, analistis, terukur, pandai
menahan diri, berwibawa, disiplin, taat
pada agenda
1. 1. House’s path – goal big man leadership
Penekanan pada motivasi seorang pemimpin suku maybrat bobot – Big Manyang mampu
mempengaruhi persepsi – persepsi orang – orangnya, baik tujuan pribadi dan pekerjaannya, serta jalan
yang mempertemukan kedua tujuan tersebut.
2.a.12. Dalam kepemimpinan bobot – big man, memiliki 4 kecenderungan gaya pokok
dalam kepemimpinan mereka :
1. 1. big man directve leadership
Kecenderungan ini merupakan gaya kepemimpinan politik bobot – big man yang mengarahkan
tentang apa dan bagaimana melaksanakan tugas atau sistembermain kain timur itu berjalan dengan
lancar.
1. big man supportive leadership
Merupakan gaya kepemimpinan politik bobot – big man yang berfokus pada kebutuhan dan
kenyamanan rakyatnya dan menciptakan sistem kekerabatan ya ng nyaman.
1. big man achievement and oriented leadership
Kecenderungan kepemimpinan politik bobot-big man dengan gaya kepemimpinan yang menekankan
pada target – target keberhasilan dan meyakinkan keluarga kerabat tentang kemampuannya.
1. participative big man leadership
Gaya kepemimpinan politik bobot – big man yang suka mengkonsultasikan, menunjukkan sarang atau
ide – ide pada keluarga klen sebelum mengambil keputusan.
Gambar: Piramida Keseimbangan hidup
Bobot – Big Man
Gambar: Piramida Kepemimpinan seorang Bobot – Big Man
Gambar: Piramida makna pekerjaan dan
sistem politik seorang Bobot – Big man
1. 7. Perdaganagan kain timur –feyah boo – rura – m’fou gu ano
2. 1. Perdagangan tradisional di daerah maybrat imian sawiat.
Perdagangan tradisional antar klen orang Maybrat, Imian, Sawiat (Feah Boo, Rura, Mfou
Guano) merupakan aktivitas yang umum dalam kehidupan mereka. Dalam masyarakat-masyarakat di
daerah maybrat, Imian, Sawiat, berdagang tidak hanya berarti tukar menukar barang yang kurang
diperlukan dengan benda-benda lain yang tidak diperlukan (Guwiat) atau kemudian pertukaran barang
yang sangat diperlukan dengan benda-benda yang melambangkan ukuran nilai tertentu, tetapi
didorong oleh keinginan untuk memperbesar rasa solidaritas antara orang-orang yang saling bertukar-
tukaran kain timur (feah Boo) atau karena keinginan kedua belah pihak untuk menaikkan gengsi
dengan memberikan kain timur yang lebih berharga daripada yang diterimanya. Gejala pertukaran
kain timur seperti itu dibedakan atas 3 bagian besar sebagaimana yang lazim dilakukan, yaitu :
1. 2. Feah Boo
Feah boo adalah pemberian kain timur kepada saudara atau saudari untuk menyelesaikan persoalan
seperti denda masalah (Bo hlat, Boke) atau membayar maskawing (Boyi). Pemberian atau pertukaran
kain timur seperti ini feah boo selalu diadakan suatu kesepakatan bahwa yang dibantu akan
bertanggung jawab untuk mengembalikan kain timur (Boo) yang serupa plus ditambahkan dengan
beberapa kain timur (Boo) sebagai bunga. Pengembalian ini biasa disebut Tho Boo atau masi bah, atau
juga Me Fe Too, bergantung besar kecilnya keterlibatan klen yang ikut merasakan pertukaran kain
timur itu.
1. 3. mfou gu ano
Mfou gu ano merupakan aktivitas orang Maybrat, Imian, Sawiat, yang mana mfou gu ano berarti
kerabat dari mempelai perempuan memberi bantuan kain timur kepada kerabat mempelai laki-laki
melalui isteri mempelai laki-laki dengan perjanian tertentu atau sebagai suatu pinjaman yang mana
suatu saat nanti akan dikembalikan dengan porsen beberapa kain sebagai imbalan dan ucapan terima
kasih. Model ini sangat lazim dilakukan oleh orang Maybrat, Imian, Sawiat, semenjak dulu hingga saat
ini.
Tho Boo → pengembalian kain dalam jumlah klen kecil sebagai penghargaan.
Masibah → pengembalian kain timur dalam jumlah klen yang besar
Me fe too → pengembalian kain timur dalam jumlah klen yang lebih dari besar (melibatkan semua
klen)
1. 8. Pola dan sistem Penerapan Politik Kekuasaan terbatas seorang bobot (big
man) melalu perdagangan kain timur dan perkawinan keluar.
Inti pola penerapan kekuasaan terbatas oleh seorang bobot (big man) adalah sebagai berikut:
1. Orang Maybrat, Imian, sawiat, hidup pada awalnya adalah dalam kondisi alamiah (state of
nature), yaitu kondisi hidup merka mulai dari system klen, atau marga, atau keret, dan
setelah itu melalui perkawinan keluar sehingga terbentuklah kekerabatan patrilineal yang
mana pada akhirnya mereka menjadi hidup bersama. Dalam kondisi alamiah mereka, yaitu
kondisi hidup mereka di bawah bimbingan akal tanpa ada kekuasaan tertinggi dalam
kehidupan mereka yang menghakimi mereka untuk berada dalam keadaan alamiah. Ini
disebut sebagai kehidupan pada masa prapolitik, yang mana orang Maybrat, Imian, Sawiat,
merasa bebas, sederajat, dan merdeka.
2. Setiap orang Maybrat, Imian, Sawiat, mula-mula merasa bahwa mereka memiliki
kemerdekaan alamiah untuk bebas dari setiap kekuasaan superior di dalam kehidupan
mereka dan tidak berada di bawah kehendak atau otoritas legislatif tertentu.
3. Meskipun keadaan alamiah adalah keadaan kemerdekaan, orang Maybrat, Imian, Sawiat,
namun mereka bukan berada pada keadaan kebebasan penuh. Merekka pun juga bukan
masyarakat yang tidak beradab, tetapi mereka adalah masyarakat anarki yang beradab dan
rasional. Orang Maybrat, Imian, Sawiat, tidak memiliki kemerdekaan untuk menghancurkan
diri mereka atau apa yang menjadi milik mereka. Tetapi pada akhirnya prinsip ego yang
membuatnya merasa dirinya gengsi sehingga mengakibatkan pemikiran bersaing yang
pada akhirnya menjadikannya timbul konflik.
4. Untuk menanggulangi kelemahan dalam hukum alam, terdapat kebutuhan hukum yang
mapan yang diketahui, diterima, dan disetujui oleh kesepakatan bersama untuk menjadi
standar benar dan salah. Orang Maybrat, Imian, Sawiat, telah menetapkan aturan-aturan
pada Teologia Wiyon-wofle sebagai penyeleksi dosa (iro) yang biasanya akan diadakan
setiap saat untuk pengakuan dosa. Ini disebut dengan (tgif iro) atau upacara pengakuan
dosa. Dan salah satu aturan lainnya adalah hokum isti, yang sangat begitu keras dengan
aturan-aturannya.
5. Setiap orang Maybrat, Imian, Sawiat, tidak menyerahkan kepada komunitas lain tentang
hak-hak alamiahnya yang substansial, tetapi mereka akan tetap dengan menjalankan hak-
hak untuk melaksanakan hukum alam.
6. Hak yang diserahkan oleh orang Maybrat, Imian, Sawiat, secara individu kadang kala
diberikan kepada orang sebagai individu, adajuga yang diberikan kepada kelompok
tertentu, bahkan kepada seluruh komunitas.
7. Perdagangan kain timur dan Perkawinan keluar adalah jalinan untuk membentuk suatu
masyarakat politik. Ketika masyarakat itu telah terbentuk, kemudian harus membentuk
system kekerabatan patrilineal yang dilanjutkan dengan membentuk suatu sistem strata
sosial yang tepercaya sehingga sosok yang begitu terlihat berwibawa dan terkaya diantara
mereka akan diangkat secara otomatis sebagai seorang bobot (big man)sesuai dengan
criteria yang telah dilihat untuk memimpin kelompok sosial masyarakat tertentu guna
mencapai sasaran tertentu.
8. Seorang bobot (bigman) adalah pemimpin tertinggi dilingkungan masyarakat Maybrat,
Imian, Sawiat, mula-mula. Seorang bobotini kemudian bermain kain timur dan melakukan
perkawinan keluar yang mana didalamnya terselubung maksud dan tujuan tertentu yang
akan dicapai kemudian. Ini merupakan awalan orang Maybrat, Imian, Sawiat, mengenal
bermain politik. Permainan politik melalui bermain kain timur dan perkawinan keluar
sebagai suatu strategi menghimpun kekerabatan yang banyak dan kerabat-kerabat
tersebut dijadikan sebagai pengikut sehingga dengan sendirinya pelaku akan dikatakan
sebagai seorang pemimpin atau bobot. Sistem ini dalam kehidupan tradisional orang
Maybrat, Imian, Sawiat, yang mana seorang bobot (big man) adalah pembuat sekaligus
pewaris keputusan tersebut. Sebagai pembuat ia menetapkan batas-batas kekuasaan,
sedangkan sebagai pewaris ia adalah penerima manfaat yang berasal dari pelaksanaan
kekuasaan tersebut. Inilah pola dan sistem kekuasaan terbatas yang dilakukan oleh seorang
bobot (big man).