suku kapauku

48
Anthony van Kampen yang pertama kali ke pegunungan tengah Nieuw Guinea Belanda bukan hanya sangat terkesan dengan apa yang dia alami, terutama kedahsyatan dan keindahan alam daerah itu. Dia juga mengalami kejutan budaya ketika berjumpa dan berkenalan dengan penduduk Ekari. Kedahsyatan Pemandangan Alam Sesudah bangun dari tidurnya pada pagi pertama, dia terpesona dengan pemandangan alam di sekitarnya dan suasana hati yang dibentuknya. Pemandangan alam itu begitu menakjubkan sehingga dia merasa menemukan kembali “firdaus yang hilang”. Firdaus itu berisi ketenangan, kedamaian, dan kesuburan tanah. Lembah Danau Paniai terletak pada ketinggian 1.740 meter di atas permukaan laut. Pada waktu itu, nyamuk malaria tidak bisa hidup pada ketinggian ini. (Masa kini, pemanasan global yang mengganggu pola cuaca dan iklim mengakibatkan kawasan setinggi ini menunjukkan suhu yang meningkat dan mengakibatkan nyamuk malaria bisa hidup di situ.) Judul sampul depan buku tulisan Leopold Pospisil (1958) Di belakang lembah tempat dia menginap tampak Deijay, gunung terbesar yang mengelilingi Danau-Danau Wissel. Tapi gunung itu ditakuti orang-orang Ekari; mereka membicarakannya dengan rasa hormat. Menurut kepercayaan orang Ekari, Deijay berhubungan dengan setan-setan, dengan suatu kuasa ilahi, dengan Dewa. Tapi kekaguman van Kampen pada keindahan pemandangan alam di lembah itu, menurut Jungle Pimpernel, bersifat semu. Apa yang sangat dikagumi van Kampen sebagai suatu firdaus akan berubah kalau dia tinggal lebih lama di Paniai. Ada kejadian-kejadian di situ yang tidak lagi berhubungan dengan firdaus itu. Pesona kedahsyatan alam Nieuw Guinea Belanda, seperti yang disaksikan van Kampen dari Catalina ketika terbang di atas Pegunungan Tengah yang belum dipetakan waktu itu, cenderung diperikan secara puitis. Sebelum pesawat terbang itu mendarat di Paniai, dia untuk pertama kali menyaksikan “tanah Papoea” dari udara, tanah yang tampak seperti adanya pada hari pertama penciptaan Bumi oleh Allah.

Upload: ufi-uphie-ufi

Post on 23-Dec-2015

189 views

Category:

Documents


14 download

DESCRIPTION

makalah yang membahas suku kaauku dengan antropologi hukum

TRANSCRIPT

Anthony van Kampen yang pertama kali ke pegunungan tengah Nieuw Guinea Belanda

bukan hanya sangat terkesan  dengan apa yang dia alami, terutama kedahsyatan dan

keindahan alam daerah itu. Dia juga mengalami kejutan budaya ketika berjumpa dan

berkenalan dengan penduduk Ekari.

Kedahsyatan Pemandangan Alam

Sesudah bangun dari tidurnya pada pagi pertama, dia terpesona dengan pemandangan

alam di sekitarnya dan suasana hati yang dibentuknya. Pemandangan alam itu begitu

menakjubkan sehingga dia merasa menemukan kembali “firdaus yang hilang”.  Firdaus itu

berisi ketenangan, kedamaian, dan kesuburan tanah.

Lembah Danau Paniai terletak pada ketinggian 1.740 meter di atas permukaan laut. Pada

waktu itu, nyamuk malaria tidak bisa hidup pada ketinggian ini. (Masa kini, pemanasan

global yang mengganggu pola cuaca dan iklim mengakibatkan kawasan setinggi ini

menunjukkan suhu yang meningkat dan mengakibatkan nyamuk malaria bisa hidup di situ.)

Judul sampul depan buku tulisan Leopold Pospisil (1958)

Di belakang lembah tempat dia menginap tampak Deijay, gunung terbesar yang

mengelilingi Danau-Danau Wissel. Tapi gunung itu ditakuti orang-orang Ekari; mereka

membicarakannya dengan rasa hormat. Menurut kepercayaan orang Ekari, Deijay

berhubungan dengan setan-setan, dengan suatu kuasa ilahi, dengan Dewa.

Tapi kekaguman van Kampen pada keindahan pemandangan alam di lembah itu,

menurut Jungle Pimpernel, bersifat semu. Apa yang sangat dikagumi van Kampen sebagai

suatu firdaus akan berubah kalau dia tinggal lebih lama di Paniai. Ada kejadian-kejadian di

situ yang tidak lagi berhubungan dengan firdaus itu.

Pesona kedahsyatan alam Nieuw Guinea Belanda, seperti yang disaksikan van Kampen dari

Catalina ketika terbang di atas Pegunungan Tengah yang belum dipetakan waktu itu,

cenderung diperikan secara puitis. Sebelum pesawat terbang itu mendarat di Paniai, dia

untuk pertama kali menyaksikan “tanah Papoea” dari udara, tanah yang tampak seperti

adanya pada hari pertama penciptaan Bumi oleh Allah.

“Matahari berputar menembus lapisan kabut paling atas dan bersinar di atas bumi. Pada

saat yang sama dunia mewarnai dirinya dengan warna merah tua, lembayung, dan ungu.

Itu suatu pemandangan yang tak terlupakan dan sangat menggugah perasaan. Inilah bumi

yang buas, buas dan kosong seperti pada hari penciptaan pertama. Buas dan kosong dan

liar. Bukit batu, batu keras, dan ngarai. Bumi, dalam bentuknya yang paling kering, dalam

keadaan sebagaimana sang Pencipta segala sesuatu menjadikannya pada waktu Dia

memisahkan air dari materi padat” (halaman 98).

“Dan barangkali keadaannya memang demikian supaya Pencipta Agung dari alam semesta

sesudah menciptakan Bumi masih memiliki sisa bukit batu, batu keras, dan alam liar yang

Dia  hamburkan di pojok belakang Dunia yang baru saja diciptakan. Dan itulah Nieuw

Guinea”  (98).

Nieuw Guinea, seperti yang dipersepsi van Kampen dari udara, adalah suatu “kerajaan

gunung dan hutan rimba, kerajaan zaman batu, dunia yang hilang. Ya, demikianlah

keadaan semuanya pada hari pertama penciptaan. Demikianlah dunia Nieuw Guinea pada

hari Allah menciptakannya. Demikian megah, demikian dahsyat, demikian hebat bentuk

dan ukurannya. Tidak satu pun di tanah ini manusiawi. Di dalam semuanya, Anda mengenal

tangan Allah, Penciptaan dan Kekekalan” (100).

Kejutan Budaya

Perkenalan lebih jauh yang memberikan kejutan budaya kepada Anthony van Kampen

terjadi di rumah Pendeta Kenneth Troutman. Di situ dia berkenalan dengan empat orang

lelaki Ekari yang memakai koteka. Troutman seorang misionaris Protestan asal AS yang

bekerja untuk CAMA (Christian and Missionary Alliance), suatu badan penginjilan asal AS

yang menginjil di kawasan Pegunungan Tengah Nieuw Guinea Belanda menjelang PD II.

Dia kenal baik Dr. J.V. de Bruyn. Troutman hidup dan bekerja sebagai seorang misionaris

Protestan di antara suku Ekari, sangat dihormati penduduk setempat.  Dia mengundang de

Bruyn, Mieke, van Kampen, Komandan Catalina dan koleganya ke rumahnya dan menjamu

mereka. Mereka kemudian bermalam di rumah sang pendeta. Kejutan budaya akan dialami

van Kampen sesudah jamuan itu.

Sambil duduk di sebuah kursi, dia memberikan sebatang rokok merek Virginia kepada

seorang lelaki Ekari yang duduk paling dekat dengan dia. Di luar dugaan, lelaki itu

menerima rokok itu, mematahkannya menjadi dua bagian, memasukkan salah satu bagian

langsung ke dalam mulutnya, mengunyahnya bersama dengan kertas pembungkus rokok

itu, dan menusukkan bagian lain menembus lubang salah satu daun telinganya – suatu

hiasan yang baru dan unik! Lelaki itu yang barangkali belum pernah melihat rokok Virginia

pasti mengira batang rokok  itu bisa dimakan dan dijadikan hiasan daun telinga yang

dilubangi.

Beberapa orang lelaki Kapauku, sekarang disebut suku Me, dengan seorang lelaki memikul seekor babi yang baru saja

dibunuh.

Van Kampen kemudian belajar cara bersalaman unik suku Ekari dari lelaki yang menerima

tawaran rokok dari dia. Mereka berdiri saling berhadapan dengan saling mengepalkan

tangan; tangan yang dikepal kemudian dijulurkan agar bisa saling bersentuhan. Lelaki

Ekari itu lalu merenggangkan sedikit jari telunjuk dan jari tengahnya lalu menjepit jari

tengah van Kampen, dan menariknya tiga kali ke kiri dan ke kanan sehingga menghasilkan

suatu bunyi “klik” – suatu tanda persahabatan antara mereka berdua. Sambutan ketiga

lelaki Ekari yang lain? “Yang lain secara bersemangat mengetok-ngetokkoteka mereka”

( 113). Komentar van Kampen tentang perilaku persahabatan orang Ekari, “… saya tahu

bahwa pada saat itu saya sudah mendapat sahabat-sahabat pertamaku di antara orang-

orang Ekari di Danau Paniai” (113).

Pada saat itu juga, dia makin menyadari dia berada di “salah satu kawasan paling aneh di

dunia” (113). Penduduknya belum pernah berhubungan dengan bangsa-bangsa lain, tinggal

terpisah, dan menjalani hidupnya.

Semakin lama bergaul dengan orang Ekari semakin bertambah kejutan budaya yang

dialami van Kampen. Dari “kawasan paling aneh”, dia melangkah makin jauh ke dalam

kehidupan yang “ajaib sekali” dari orang Ekari. Katanya, ajaib sekali kehidupan di daerah

kediaman suku Ekari. Setiap saat dan setiap hari, dia berhadapan dengan “penemuan-

penemuan yang baru” (117). Dia menyadari berada dalam suatu dunia yang terkebelakang

selama banyak abad dari peradaban Barat abad ke-20, “tetapi kejutan-kejutan yang saya

terima begitu berat sehingga saya sering harus mengingatnya” (117).

Kejutan-kejutan budaya lain apakah yang dia terima dan ingat? Pada dasarnya, kejutan-

kejutan itu berasal dari perbedaan-perbedaan khas atau unik antara peradaban Barat dan

kebudayaan material dan spiritual suku Ekari, termasuk kecenderungan psikologis,

pandangan-dunia, tradisi, dan perilaku budaya mereka. Mereka juga mendeita berbagai

penyakit dan rentan terhadap penyakit dari luar daerahnya.

Van Kampen mengamati bahwa penduduk Ekari sangat emosional. Berkali-kali, dia

menyaksikan orang Ekari yang bertemu kembali Kontrolir de Bruyn begitu gembira

sehingga mereka benar-benar menangis. Ekspresi dari kecenderungan psikologis ini

menunjukkan bahwa mereka orang yang “polos” atau tulus hati.

Wanita dan lelaki tinggal terpisah. Wanita tinggal di rumah wanita dan lelaki di rumah

lelaki. Sampai batas usia tertentu, anak-anak tinggal bersama ibunya. Wanita yang tampak

sibuk bekerja atau berjalan ke suatu tempat menyompoh (pada jidatnya) tali pegangan

kantong tradisional yang disebut noken atau nokeng. Nokeng itu berisi ubi jalar,

barangkali garam, gigi babi, kerangkauri sebagai mata uang tradisional orang Ekari, dan

bayi.

Beberapa orang wanita Kapauku dan anak-anaknya, menyompoh nokeng.

Van Kampen mengamati juga kebiasaan berduka yang tidak dia temukan di Belanda dari

suku Ekari. Seorang wanita Ekari yang kehilangan anaknya menandakan kedukaannya

dengan memotong salah satu jarinya atau lebih dari itu!  Dia menyaksikan lelaki dewasa

yang tulang rawan hidungnya berlubang karena dibor dan memahami fungsi koteka,

busana tradisional kaum lelaki Ekari.

Sekalipun suku Ekari masih hidup dalam Zaman Batu dan belum secara massal menjadi

penganut Kristen, mereka punya moral pernikahan yang keras. Pernikahan bagi mereka

adalah keramat. Karena itu, siapa pun yang diketahui melakukan perzinahan dikenakan

hukuman berat, terkadang berbentuk hukuman mati: mereka yang terbukti melakukan

perzinahan, lelaki atau wanita, dipanah sampai mati.

Sebagai orang Papua gunung, orang Ekari bukan pengembara. Tapi mereka suka

bepergian selama berbulan-bulan. Biasanya, para lelaki dewasa yang melakukan perjalanan

macam ini.

Dalam perjalanan itu, mereka menunjukkan rasa takut akan Mado. Dia dipercaya adalah

setan putih berbadan besar, berambut panjang dan uban, dan berumah di air. Ketika

pulang ke rumah dari perjalanannya, lelaki Ekari membawa pulang cangkang

kerangkauri, mata uang bernilai tinggi bagi mereka.

Kehidupan sehari-hari suku Ekari sederhana. Makanan pokoknya adalah ubi jalar,

ditambah buah-buah dari kebun pisang. Baik ubi jalar maupun buah pisang itu biasanya

mereka bakar. Mereka juga makan tebu dan talas.

Buah-buahan dan sayur-sayuran tertentu hasil perkebunan orang Kapauku

Sayur dan masakan lain mereka panaskan dalam lubang yang mereka gali ke dalam tanah.

Lubang itu mereka isi dengan batu-batu berukuran tertentu. Dengan kayu bakar dan arang

yang menyala, batu-batu itu mereka panaskan sampai tampak merah keputih-putihan.

Sayur dan masakan itu lalu mereka letakkan di atas batu-batu yang sangat panas itu dan

menutupnya dengan dedaunan tertentu. Sesudah waktu tertentu, daun-daun penutup itu

dibuka dan masakan mereka sudah siap untuk dimakan.

Menu mereka jarang mencakup makanan hewani, kecuali jenis udang tertentu yang hidup

di danau. Mereka memelihara babi hutan sebagai harta kekayaannya; karena itu, daging

babi jarang mereka makan.

Babi bahkan adalah harta paling berharga suku Ekari. Semua pertikaian dan perang di

antara mereka pada dasarnya dimulai dengan seekor babi. Babi itu entah dibunuh, dicuri,

dipanah tanpa sengaja, entah lenyap.

Ada berbagai hewan liar yang menarik perhatian van Kampen. Itu mencakup kanguru

kerdil, berbagai jenis hewan berkantung, kasuari, dan berbagai jenis burung, terutama

burung cenderawasih, parkit, kakatua, dan nuri. Tapi dia bingung tentang kontradiksi

alami pada burung cenderawasih. Ia indah tapi teriakannya buruk – suatu pertentangan

dalam ciptaan.

Hewan-hewan lebih kecil pun ada. Termasuk tikus, semut, dan anjing yang tidak bisa

menyalak. (Bersambung)

D I P O S K A N O L E H C E L L Y   D I   1 7 : 0 9

Berdasarkan kumpulan informasi dari beberapa sumber atau versi informasi maka dapat disimpulkan bahwa nenek moyang orang Mee menurut kepercayaan yang diceriterakan turun-temurun bahwa orang Mee berasal dari sebuah Goa besar di lembah Balim atau dalam bahasa Mee disebut Pagimo Peku , tepatnya diwilayah Pasema ± 900 tahun lalu ( Ev.Gotai Ruben Pigay, Mungkinkah Nilai-Nilai Budaya Suku Mee Bersinar Kembali, pengantar hal viii ). 

Sementara sumber lain mengenai asal usul suku atau Orang Mee menjelaskan bahwa Orang Mee dulunya dikenal dengan nama Orang Mek ( Ekari/Ekagi ) yang  merupakan sebutan dari Orang Moni bagi mereka

yang berarti “orang-orang pungutan yang tidak memiliki apa-apa” nama ini muncul ketika terjadi perang suku diantara kedua suku ini dan orang Moni mengejek mereka dengan teriakan ”ekari “ yang kemudian menjadi alternatif sebutan bagi orang Mee. Orang Kamoro di daerah Pantai selatan menyebut orang Mee dengan sebutan “Kapauku”.  Nama kapauku terdiri dari dua sub-sukukata, yaitu kapaur yang berarti “orang-orang yang tidak tahu apa-apa”. Sebutan ini tidak saja ditujukan bagi Orang Mee saja tetapi juga bagi penduduk atau suku lain yang hidup di wilayah pegnungan tinggi Papua. Sebutan “Kapauku” ini hampir tidak pernah diterima oleh semua suku yang ada diwilayah pegunungan karena sifatnya merendahkan martabat orang atau suku lain. ( O.Howay dan P.Yaam, Masyarakat MEK di sekitar danau Pania dalam Irian Jaya membangun masyarakat majemuk, hal : 245 ).

Bagaimana dengan orang Mee, seperti apa mereka menyebut diri atau suku sendiri ..? Dihari ini Orang Mee atau “Manusia sejati”adalah sebuah sebuatan yang menurut mereka lebih cocok dan pantas dan  disenangi untuk menyebut kelompok suku mereka dibandingkan dengan sebutan dari suku-suku tetangganya yang cenderung merendahkan martabat mereka berdasarkan cerita sejarah asal usul dan perang suku dimasa lalu.

BAHASA

Suku Mee berbicara menggunakan bahasa Mee dalam kehidupan keseharian mereka. Bahasa Mee atau Me termasuk dalam kategori Fila Trans Irian ( khususnya Fila Dataran Tinggi Barat ) dan Bahasa Non-Austronomi di Irian Jaya/Papua dan Papua Niugini ( Heeschen 1978 ), ( O.Howay dan P.Yaam, Masyarakat MEK di sekitar danau Pania dalam Irian Jaya membangun masyarakat majemuk, hal : 246 ). Orang Mee sangat menghargai bahasa ibu mereka , hal ini dibuktikan dengan menggunakan bahasa mereka sehari-hari dalam berkomunikasi dan hal ini juga berlaku diluar wilayah suku mereka atau diperantauan , dan apabila ada anak atau orang Mee yang tidak menggunakan bahasa Mee dalam kehidupan keseharian maka mereka akan diejek. ( Agus A Alua, Suku Ekagi Di Kabupaten Pania, dalam Etnografi Irian Jaya, hal  : 177-178 )

KARAKTERISTIK FISIK

Orang Mee/Ekagi umumnya relatif pendek dan berperawakan kecil atau Pygmoid ( Boelaars 1986, hal 85 ). Tinggi badan rata-rata 150 cm dan wanita 140 cm, bentuk kepalanya bulat, berkulit hitam dan berambut keriting ( pospisil 1964, 13; 1966, 2 ) Jika dibandingkan dengan suku/orang Moni, tetangganya yang terdekat jauh lebih tinggi dari ada masyarakat Mee/Ekagi.  ( Agus A Alua, Suku Ekagi Di Kabupaten Pania, dalam Etnografi Irian Jaya, hal  : 178 ).

PEMILIKAN TANAH 

Orang Mee memberikan apresiasi yang cukup tinggi terhadap tanah dimana mereka memandang tanah sebagai ibu yang memberikan sumber  bagi kehidupan keturunan mereka secara turun-temurun sampai dengan hari ini.  Tanah biasanya dimiliki secara bersama-sama atau tanah komunal dan terbagi-bagi kepada keluarga-keluarga / klen untuk dikelola . Tanah garapan keluarga sering diwariskan turun-temurun. Orang Mee sangat peka terhadap hak ulayatnya, baik itu hak ulayat Tanah, hutan maupun gunung dimana setiap jengkalnya diawasi dan dilindungi secara ritual . Setiap lahan hak ulayat dikuduskan atau disucikan secara periodik melalui ritual-ritual tertentu (Agus A Alua, Suku Ekagi Di Kabupaten Pania, dalam Etnografi Irian Jaya, hal  : 182 ).

SISTEM KEPEMIMPINAN TRADISIONAL

      Seperti yang kita ketahui bersama bahwa tipe sistem kepemimpinan tradisional yang dianut oleh suku-suku yang ada pada masyarakat yang hidup di wilayah pegunungan tengah Papua adalah sistem kepemimpinan Pria berwibawa atau Big Man dimana status kepemimpinan ini tidak diperoleh sebagai sebuah hasil warisan tetapi merupakan sebuah hasil usaha seseorang sehingga ia akhirnya mendapat pengakuan oleh masyarakatnya atau warga sukunya atau dapat dikatakan inilah sebuah usaha pencapaian atau Achievement status      Secara khusus ketika berbicara mengenai orang Mee maka mereka pun menganut sistem tipe kepemimpinan pria berwibawa yang dalam bahasa Mee dikenal dengan sebutan “ TONOWI “ . Berikut  ini adalah beberapa hal yang membuat orang dapat dianggap sebagai “TONOWI “ pada masa lalu :

o Kepemilikan atas mata uang siput atau mege yang diperoleh melalui keuletan berdagang melalui pejualan babi pada kesempatan pesta babi ( yuwo ) dan pasar babi - (dedomia )

o kepandaian memutar modal dengan turut berpartisipasi dalam pembayaran mas kawin yang sifatnya bantuan yang berbunga ( sewaktu-waktu harus dikembalikan )

o memiliki rumah yang besar dan terdiri dari beberapa kamar untuk para istri

o memiliki kebun yang luas dan banyak

o Jujur

o Pandai berdiplomasi

o Kepala perang

o Didengar dan disegani

o Sebagai hakim atau penengah ketika terjadi perselisihan

o Pimpinan dalam berbagai macam situasi

o Tugas tonowi tidak terbatas pada bidang politik dan hukum saja tetapi juga pada bidang ekonomi dan sosial

o Tonowi harus dermawan dalam pengertian menjadi sumber redistribusi atau menjadi tempat simpan-pinjam jadi bukan memberi hadiah secara Cuma-Cuma . Hal ini menjadi model pengendalian sosial ( social control ) yang menyebabkan kekayaan jarang tertumpuk pada satu orang tetapi justru terbagi kepada anggota-anggota kelompoknya

o Tonowi memperoleh kekuasaan politik dari pinjaman yang diberikan

o Tonowi memperoleh dukungan dari para murid yang diterima hidup dilingkungan rumahnya untuk dilatih dalam hal kebijaksanaan bisnis dan diberi pinjaman untuk membayar harga isterinya.

“ TONOWI” pada saat ini rupanya mengalami perubahan-perubahan walaupun berjalan dengan lambat, baik dalam hal tugas maupun fungsinya dengan perubahan yang dapat dilihat seperti :

o

Memberikan bantuan berupa uang dalam pembayaran maskawin

o

Status sosial formal atau jabatan dalam pemerintahan bukan ukuran sebagai “TONOWI” melainkan dipandang sebagai orang besar atau Mee ibo.

(Agus A Alua, Suku Ekagi Di Kabupaten Pania, dalam Etnografi Irian Jaya, hal  : 182 ).

Berbagai atribut yang diberikan kepada seorang pria berwibawa seperti tersebut diatas seringkali menyebabkan adanya kesamaan umum, seolah-olah seorang big man harus memiliki semua atribut tersebut. Banyak contoh etnografi menunjukkan pula bahwa tidak mutlak semua atribut tersebut harus dimiliki oleh seseorang agar menjadi pemimpin di dalam sistem pria berwibawa. Di samping itu, data etnografi menunjukkan pula bahwa ada perbedaan penekanan pada atribut-atribut tertentu yang dianggap penting antara masyarakat satu dan masyarakat yang lain. Dengan perkataan lain ada perbedaan dalam tata urut hirarkis dari atribut-atribut tersebut, misalnya dalam masyarakat A atribut X menduduki tempat pertama dalam urutan hirarkis sedangkan dalam masyarakat B bukan atribut X tetapi atribut Y yang paling penting.

Demikian secara empiris, unsur-unsur yang merupakan atribut bagi pemimpin pria berwibawa itu berkaitan sangat erat satu sama lain sehingga sulit untuk dipisah-pisahkan, namun secara analisis pembagian berdasarkan urutan pentingnya atribut-atribut itu dapat dilakukan. Menurut hemat kami, pembagian tersebut penting, sebab memberikan pengertian yang lebih tajam tentang corak-corak khas dalam sistem kepemimpinan pria berwibawa. Sepanjang pengetahuan penulis, hal ini belum terlalu banyak dilakukan oleh para ahli antropologi atau pemerhati budaya, sehingga timbul pendapat bahwa tipe kepemimpinan pria berwibawa itu sama dalam masyarakat yang berbeda-beda. Pendapat demikian tentu saja selain mengaburkan pengetahuan kita tentang sistem kepemimpinan tersebut, juga menyebabkan tumbuhnya sikap “sudah tahu” pada diri kita dan menyebabkan kita tidak berminat untuk mencari lebih jauh tentang mekanisme-mekanisme yang mendasarinya. Sebaliknya jika kita membuat suatu paradigma tentang sifat-sifat yang merupakan sifat pokok pada masyarakat-masyarakat yang berbeda, maka akan terbukalah perspektif baru bagi kita untuk bertanya apa yang menjadi dasar persamaan atau perbedaan itu dan sekaligus kita berusaha untuk mencari jawabannya.

SISTEM MATA PENCAHARIAN HIDUP TRADISIONAL

Mata pencaharian pokok orang Mee adalah bercocok tanam diladang. Mereka juga mengenal sistem pembagian kerja antara wanita, pria dan ana-anak dalam kegiatan-kegiatan sosial seperti berladang, berburu, mengasuh anak dan mengatur ekonomi rumah tangga. Disamping bercocok tanam diladang, mereka juga memelihara babi, berburu hewan liar dihutan-hutan sekitar mereka tinggal, mereka juga menangkap ikan dan udang di danau dan sungai. Satu hal yang menarik dari sistem pembagian kerja ini seperti yang di sebutkan oleh Jan Boelars bahwa “ keberhasilan melaksanakan tugas sendiri dengan baik merupakan kebanggan tersendiri bagi pria maupun wanita suku Mee.”

ORGANISASI SOSIAL

Rumah tangga orang Mee biasanya terdiri dari suatu keluarga luas. Ada keluarga inti senior dengan beberapa keluarga inti yunior, yaitu keluarga inti anak pria serta 1-2 keluarga inti uxorilokal dari menantu atau keluarga uxorilokal senior dari isteri saudara tua pria ayah. Biasanya hal I diatas tadi menyebabkan dalam satu rumah terdapat 3-4 keluarga inti. Gejala lain yang khas adalah berkumpulnya para wanita dan anak-anak yang masih kecil dalam sebuah rumah di tepi Danau

Pania selama musim penangkapan udang. ( O.Howay dan P.Yaam, Masyarakat MEK di sekitar danau Pania dalam Irian Jaya membangun masyarakat majemuk, hal : 248 ).

SISTEM RELIGI

Orang Mee dalam menanggapi dunia gaib banyak berasal dari religi atau kepercayaan tradisional mereka, yaitu antara lain keyakinan akan roh-roh orang yang meninggal, yang dianggap masih melayang-layang disekitar rumah atau lingkungan kehidupan mereka selama beberapa waktu.Orang Mee juga yakin akan adanya tokoh dewa tertinggi pencipta dunia, bernama Eguwai. Eguwai menguasai roh-roh yang berkeliaran maupun yang telah menghuni dunia roh di kawah gunung. Dalam mitologi mereka Eguwai digambarkan sebagai seekor ular besar yang memiliki pembantu-pembantunya. 

KESENIAN

Orang Mee biasanya menari dan menyanyi ketika melakukan upacara daur hidup seperti pada upacara pemberian nama, perkawinan, dan upacara upacara umum seperti upacara kesuburan. Diwaktu lalu upacara-upacara yang dilakukan sebelum dan sesudah perang juga diiringi dengan tarian dan nyanyian.

Paper ini mendiskusikan tentang  kajian akan  system kepemimpian tradisional suku Maybrat, Imian,

Sawiat. Pendiskusian menyangkut Konsep Besar Pria Berwibawa (bobot) atau Big Man, sebagai

pemimpin tradisional yang memiliki kewibawaan yang tergolong sebagai kasta kelas atas dalam

system stratifikasi sosial orang Maybrat, Imian, Sawia Papua. Selain membahas tetntang system

kepemimpinan bobot, paper ini juga mendiskusikan tentang wajah dan proto tipe pria berwibawa atau

bobot – big man dan system patrilineal dan system bermain kain timur sebagai suatu pola dan system

penerapan politik kekuasaan terbatas yang telah berlangsung dalam kehidupan mereka.     .

Kata Kunci : Pria Berwibawa – bobot – big man, Politik, Kekerabatan, dan perdagangan kain

timur.

KONSEP BESAR PRIA BERWIBAWA – BOBOT

1. I. Asal-usul perkembangan konsep Pria Berwibawa

Konsep pria berwibawa atau Big Man yang di gunakan oleh para ahli antropologi untuk menamakan

para pemimpin politik tradisional di daerah – daerah kebudayaan Oseania, khususnya di Melanesia,

sesungguhnya berasal dari terjemahan bebas terhadap istilah-istilah lokal yang digunakan oleh

penduduk setempat untuk menamakan orang-orang penting dalam masyarakatnya sendiri. Karangan

yang membahas sejarah pemakaian konsep tersebut, di tulis oleh L. Lindstrom (1981:900-905),

menunjukkan bahwa sejarah perkembangan kata Big Man dari vokabuleri sehari-hari menjadi konsep

ilmiah mengalami suatu peoses yang lama. Selama abad ke-19 dan sampai pertengahan abad ke-20,

para peneliti di daerah kepulauan Melanesia selalu menggunakan konsep chief, penghulu atau kepala

suku, untuk menamakan para pemimpin pada masyarakat yang mereka deskripsikan.

Konsep chief itu kemudian tidak digunakan lagi oleh karena makna yang terkandung di dalam konsep

tersebut tidak tercermin dalam system kepemimpinan banyak masyarakat di Melanesia dan di

gantikan dengan berbagai konsep lain, misalnya influential man (Powdermarker 1944:41), Head

Man (Williams 1936:236; Hogbin 1952: Index; 1964:62; Belshaw 1954: 108; Pospisil 1963:48), Center

Man (Hogbin 1939:62), strong Man (Bendt 1969:335; Du Toit 1975:385), manager (Burridge 1969:38,

1975; Scheffler 1965:22),magnate (Chowing and Goodenough 1965-

66:454), Direktor atau executive(Salisbury 1964:236), dan tentusaja big man. Pada tahun 1950-an dan

1960-an, terjadi persaingan antara istilah-istilah tersebut untuk mendapat tempat dalam khazanah

istilah ahli antropologi dan dalam situasi persaingan itulah lambat laun muncul istilah big man sebagai

konsep tipikal antropologi yang diterima secara luas untuk menandakan suatu tipe atau sistem

kepemimpinan yang ciri-ciri dasarnya berlawanan dengan ciri-ciri dasar pada sistem

kepemimpinan chief.

Konsep big man sendiri sebenarnya sudah digunakan lama sebelumnya, misalnya oleh M. Mead, dalam

karyanya, sex and Temperament in Three Primitive Societies (1935:326), namun peralihannya dari

bahasa umum (common parlance) menjadi bahasa antropologi sangat lamban. Konsep tersebut baru

menjadi konsep resmi dan dimuat dalam lexikon antropologi melalui karya M.D. Sahlins, yang terkenal

dan selalu dikutip itu, “Por Man, Rich Man, Big Man, Chief” (1963) dan kemudian diperkuat oleh K.

Burridge, melalui karyanya, “The Melanesian Manager”, yang dipersembahkan untuk mengenang

seorang tokoh antropologi politik E.E. Evans-Pritchard (1975:86-104).

1. a. Sistem kepemimpinan tradisional orang Maybrat Imian Sawiat dengan Tipologi

2 tipe sistem kepemimpinan

Dalam kebinekaan kebudayaan di Maybrat, Imian, Sawiat terdapat pula kebinekaan dalam organisasi

sosial dan khususnya dalam sistem-sistem kepemimpinannya. Dari karangan-karangan etnografi

mengenai kebudayaan suku-suku bangsa di Maybrat, Imian, Sawiat dapat disusun suatu tipologi

mengenai sistem kepemimpinan tradisional yang dapat dibagi kedalam 2 tipe, yaitu 1) tipe pria

berwibawa dan 2) tipe raja.

Untuk menyusun suatu tipologi, penulis meminjam model tipologi yang dikembangkan oleh M.D.

Saklins dalam karangannya big man, chief man (1963). Dalam karangan itu, Saklins mengajukan suatu

model analisis politik tradisional di daerah kepulauan Oseania, yang berbentuk suatu kontinuum

dengan dua kutub, pada satu kutub terdapat sistem kepemimpinan yang disebut big man,yang dalam

bahasan Indonesia sebainya kita terjemahkan dengan pria berwibawa, dan pada ujung kutub yang

lain, terdapat sistem kepemimpinan yang disebut chief atau “raja”.

Menurut Saklins perbedaan pokok dari kedua sistem, kepemimpinan tersebut terletak pada cara

memperoleh kekuasaan. Jika pada sistem kepemimpinan pria berwibawa posisi atau kedudukan

pemimpin diperoleh melalui achievement, atau upaya pencapaian maka penduduk pemimpin pada

sistem kepemimpinan raja diperoleh melalui aseribement, atau pewarisan.

Selanjutnya, dalam karangan yang sama, Saklins berpendapat bahwa penduduk daerah kebudayaan

Melanesia hanya mempunyai satu sistem kepemimpinan tradisional saja, yaitu tipe kepemimpinan pria

berwibawa. Sebaliknya, penduduk daerah polinesia hanya mengenal tipe kepemimpinan raja.

Pernyataan Saklins ini tentu saja tidak benar, karena dari hasil-hasil studi para ahli antorpologi lain di

daerah Oseania, terbukti di daerah kebudayaan Melanesia kepemimpinan raja seperti (orang Brokol,

orang Mekeo, orang Buin, dan orang Trobriand di Papua Newguini) ada juga sementaradi Papua barat,

yaitu orang Kaimana, orang Fak-fak, penduduk kepulauan Raja ampat dan orang Ayamaru.

Apabila kita menerapkan model kontinuum yang diajukan oleh Saklins, terdapat data etnografi tentang

penduduk Papua barat, khususnya data tentang sistem kepemimpinan tradisionalnya, maka penduduk

Papua barat khususnya orang Maybrat, orang Imian, orang Sawiat, dapat kita golongkan kedalam 2

tipe masyarakat seperti yang tersebut di atas. Di bawah ini akan dibuat suatu deskripsi umum tentang

2 tipe kepemimpinan tersebut dan masyarakat penduduknya.

1. a. Sistem kepemimpinan Pria berwibawa – bobot – big man

Ciri umum dari tipe masyarakat dengan sistem kepemimpinan pria berwibawa seperti telah disebutkan

di atas adalah kedudukan pemimpin yang diperoleh melalui upaya pencapaian. Sumber kekuasaan

dalam tipe kepemimpinan ini adalah kepemimpinan pribadi seseorang yang berwujud nyata dalam

keberhasilan ekonomi (kaya-bobot). Kepandaian berdiplomasi, dan berpidato, keberanian memimpin

perang, memiliki tubuh yang cukup dan tegap, serta memiliki sifat murah hati. Ciri lain tipe

kepemimpinan  ini ialah bahwa seluruh kekuasaan dijalankan oleh pemimpin sejati itu secara otonomi

tunggal yesait kar dalam bahasa Maybrat. Orang-orang yang termasuk dalam tipe ini adalah orang

Maybrat, rang Imian, orang Sawiat, orang Muyu, orang Naglum, orang Dani, orang Asmat, orang Mek.

1. b. Sistem kepemimpinan Raja

Tipe masyarakat yang kedua, yaitu yang termasuk mendukung sistem kepemimpinan raja, bercirikan

pewarisan kedudukan pemimpin dari orang tua pada anak pria yang sulung, akan tetapi bila anak

sulung itu tidak mampu mewarisinya karena ia tidak memenuhi syarat-syarat yang ditunjuk untuk

jabatan tersebut, maka salah seorang adiknya atau seorang saudara ayahnya yang memenuhi syarat-

syarat kepemimpinannya dapat memperoleh kedudukan tersebut. Dengan demikian hak kekuasaan

selalu dipertahankan dan diwariska di dalam rangka kelompok kekerabatan besar, seperti klen,

melalui sistem pewarisan.

Ciri lain yang sangat penting dalam sistem kepemimpinan raja adalah adanya birokrasi. Bentuk dari

birokrasi ini adalah seperti yang oleh Max Weber disebut birokrasi tradisional, yang berperan sebagai

mesin politik, di dalamnya terdapat pegawai tiap pegawai mempunyai tugas tertentu, seperti

mengurus masalah-masalah yang berkaitan dengan upacara ritual, atau yang mengurus masalah

keamanan.

Masyarakat tipe kepemimpinan raja di Papua terdapat di Ayamaru, Tehit, kepulauan Raja Amapat,

daerah semenanjung Onim (Fak-fak) dan di daerah Kaimana. Kalau kita perhatikan letak daerah-

daerah itu, merupakan daerah lintas budaya antara kebudayaan Maluku di satu pihak dan

kebudayaan-kebudayaan Papua di pihak lain.

Penduduk di daerah lintas budaya tersebut dalam sejarah, telah lama mempunyai hubungan

perdagangan dengan penduduk di kepulauan Maluku, yang terletak di sebelah baratnya. Melalui

hubungan itu, terjadilah proses pengambil alihan unsur-unsur kebudayaan tertentu, termasuk unsur

sistem kepemimpinan oleh penduduk lintas budaya itu dari penduduk kepulauan Maluku.

Unsur-unsur kebudayaan yang diambil alih itu kemudian diolah sesuai dengan kebudayaan setempat,

dan dibudayakan menjadi pranata sendiri, seperti yang diuraikan dalam karangan-karangan etnografi

(Pouwer 1955; Lochem 1963; Cator 1942; Mansoben 1982). Itulah sebabnya kerajaan-kerajaan di

Papua mirip benar dengan bentuk susunan dari beberapa kesultanan di kepulauan Maluku, terutama di

Ternate dan Tidore (Fraassen 1980; Mansoben 1982).

1. c. konsep pria berwibawa – bobot

Konsep pria berwibawa atau Big Man yang di gunakan oleh para ahli antropologi untuk menamakan

para pemimpin politik tradisional di daerah – daerah kebudayaan Oseania, khususnya di Melanesia,

sesungguhnya berasal dari terjemahan bebas terhadap istilah-istilah lokal yang digunakan oleh

penduduk setempat untuk menamakan orang-orang penting dalam masyarakatnya sendiri. Karangan

yang membahas sejarah pemakaian konsep tersebut, di tulis oleh L. Lindstrom (1981:900-905),

menunjukkan bahwa sejarah perkembangan kata Big Man dari vokabuleri sehari-hari menjadi konsep

ilmiah mengalami suatu peoses yang lama. Selama abad ke-19 dan sampai pertengahan abad ke-20,

para peneliti di daerah kepulauan Melanesia selalu menggunakan konsep chief, penghulu atau kepala

suku, untuk menamakan para pemimpin pada masyarakat yang mereka deskripsikan. Kemudian kita

akan menggunakannya untuk mendeskripsikan pria berwibawa di wilayah Maybrat, Imian, Sawiat,

Papua yang disebut bobot.

Konsep chief tidak digunakan dalam konsepe pria berwibawa di wilayah Maybrat, Imian, Sawiat, oleh

karena makna yang terkandung di dalam konsep tersebut tidak tercermin dalam system

kepemimpinan banyak masyarakat di Maybrat, Imian, Sawiat dan di gantikan dengan konsep bobota

atau big man, seperti konsep lain yang digunakan untuk penamaan diwilayah Melanesia

misalnya influential man (Powdermarker 1944:41), Head Man (Williams 1936:236; Hogbin 1952: Index;

1964:62; Belshaw 1954: 108; Pospisil 1963:48), Center Man (Hogbin 1939:62), strong

Man (Bendt 1969:335; Du Toit 1975:385), manager (Burridge 1969:38, 1975; Scheffler

1965:22), magnate(Chowing and Goodenough 1965-66:454), Direktor atau executive (Salisbury

1964:236), dan tentusaja big man. Pada tahun 1950-an dan 1960-an, terjadi persaingan antara istilah-

istilah tersebut untuk mendapat tempat dalam khazanah istilah ahli antropologi dan dalam situasi

persaingan itulah lambat laun muncul istilah big man sebagai konsep tipikal antropologi yang diterima

secara luas untuk menandakan suatu tipe atau system kepemimpinan yang cirri-ciri dasarnya

berlawanan dengan cirri-ciri dasar pada system kepemimpinanchief.

Konsep big man sendiri sebenarnya sudah digunakan lama sebelumnya, misalnya oleh M. Mead, dalam

karyanya, sex and Temperament in Three Primitive Societies (1935:326), namun peralihannya dari

bahasa umum (common parlance) menjadi bahasa antropologi sangat lamban. Konsep tersebut baru

menjadi konsep resmi dan dimuat dalam lexikon antropologi melalui karya M.D. Sahlins, yang terkenal

dan selalu dikutip itu, “Por Man, Rich Man, Big Man, Chief” (1963) dan kemudian diperkuat oleh K.

Burridge, melalui karyanya, “The Melanesian Manager”, yang dipersembahkan untuk mengenang

seorang tokoh antropologi politik E.E. Evans-Pritchard (1975:86-104).

1. d. Ciri-ciri Pria Berwibawa – bobot

Konsep Big Man atau pria berwibawa, digunakan untuk satu bentuk tipe kepemimpinan politik yang

diciri oleh kewibawaan (authority) atas dasar kemampuan pribadi seseorang untuk mengalokasi dan

merealokasi sumber – sumber daya yang penting untuk umum (Sahlins 1963; Claessen 1984 dalam

Van Bakel et al; 1986:1). Sifat pencapaian demikian menyebabkan adanya pendapat bahwa ciri

terpenting dari seseorang yang menjadi Big Man adalah seseorang yang dengan kecakapannya

memanipulasi orang-orang dengan sifat pencapaian (achievement) system ini merupakan ciri ketidak

stabilannya, seperti yang selalu dikhawatirkan apakah berasal dari dalam atau luar (Van Bakel et al.

1986:3). Implikasi ketidak stabilan system yang didasarkan pada prinsip pencapaian ini yang

dikemukakan oleh Van Bakel et al. ialah terbukanya kesempatan yang samabagi setiap anggota

masyarakat, terutama kaum pria yang sudah dewasa menurut ukuran masyarakat yang bersangkutan,

untuk bersaing merebut kedudukan pemimpin. Pria berwibawa merupakan mikrokosmos dari

masyarakatnya dan oleh karena itu status pria berwibawa menjadi pokok perhatian dari setiap orang

dalam masyarakat.

Menurut A. stratheren (1979:214) ada dua arena yang digunakan untuk merebut kedudukan pria

berwibawa. Dua arena itu adalah hubungan intern dan hubungan eksteren. Hal yang dimaksudkan

dengan hubungan interen adalah usaha seseorang untuk memperoleh dan meningkatkan pengaruh

serta keunggulannya di dalam klen sendiri. Sedangkan hubungan eksteren diartikan sebagai

keberhasilan seseorang untuk menjalani hubungan dengan pihak-pihak luar yang terdiri dari

sekutu,bekas musuh dan hubungan antara pria berwibawa. Pada umumnya individu – individu yang

berhasil di dua arena tersebut diakui sebagai pria berwibawa utama dan yang dapt menduduki posisi

superior untuk bertahun-tahun lamanya.

Ciri umum lain yang biasanya digunakan untuk membedakan system politik pria berwibawa dari

system-sistem politik yang lain adalah bahwa pada system pria berwibawa tidak terdapat organisasi

kerja dengan pembagian tugas di antara para pembantu pemimpin. Bahwa penduduk di Melanesia

terbentuk dari kesatuan-kesatuan social itu secara politik maupun ekonomi berdiri sendiri-sendiri.

Kondisi semacam itu, menurut K.E. Read (1959:425), rupanya tidak memberikan peluang bagi

tumbuhnya prinsip birokrasi pada system pria berwibawa di Melanesia.

Ciri – ciri kepemimpinan pada system pria berwibawa seperti tersebut diatas menyebabkan S. Epstein,

menamakan orang yang berhasil untuk masuk dan berperan sebagai pemimpin dalam arena

kepemimpinan pria berwibawa, “a well-rounded political expertise man” atau ahli politik sejati

(1972:42) dan D. Riesman, (1950) serta K.E. Read (1959:425), menamakan orang

demikianautonomous leader atau pemimpin tunggal.

Telah dikemukakan di atas bahwa prinsip dasar dari system pria berwibawa

adalah achievement berdasarkan kwalitas kemampuan perorangan. Studi – studi etnografi tentang

pria berwibawa menunjukkan bahwa atribut-atribut yang digunakan sebagai tolok ukur untuk

mengukur kemampuan seseorang agar menjadi pemimpin, menurut kebanyakan penulis dan seperti

yang disimpulkan oleh A. Chowing (1979:71), adalah kekayaan, suatu wujud nyata kemampuan di

bidang ekonomi. Sungguhpun kekayaan merupakan atribut yang sangat penting, namun kedudukan

pemimpin tidak dapat dicapai melalui kekayaan saja. Atribut lain yang harus dimiliki pula ialah sikap

bermurah hati. Sikap tersebut harus dinyatakan melalui tindakan nyata, seperti misalnya membagi-

bagi kekayaan kepada orang lain (redisitribusi), lewat sumbangan-sumbangan dan hadiah-hadiah pada

saat adanya pesta perkawinan, upacara ritual atau pesta adat lainnya. Di wilayah Maybrat, Imian,

Sawiat, Papua, terkenal dengan istilah bobot-big man- seoragn bobot memiliki atribut-atribut yang

telah diuraikan sebelumnya diatas.

Perbuatan memberikan sumbangan atau hadiah kepada orang lain disebut oleh M. Mauss,

adalah gift. Gift atau pemberian itu secara tidak langsung membentuk suatu ikatan antara dua pihak,

ialah pihak pemberi dan pihak penerima. Mauss, selanjutnya berpendapat bahwa pemberian itu

mengandung apa yang disebut olehnya sendiri total presentation (1924:227), bahkan menurut kami

perbuatan memberi ini adalah suatau metode yang digunakan oleh seseorang dengan tujuan

mengangkat gengsi atau dengan melakukannya demikian maka ia akan dihormati, orang seperti ini

bagi kami disebut dengan respect man. Seorangrespect man memiliki latar belakang yang sama

dengan seorang bobot atau big man. Seorang respect man adalah seseorang yang pada awalnya

menjual diri melalui cara memberi, melayani dan menolong sesamanya hingga semakin lama ia

semakin dihargai sebagai orang yang berwibawa. Respect man tidak diperoleh melalui cara pemberian

materiil, tetapi ia secara baik memberikan kesan hidup, sifat, berdiri sebagai seorang figure, atau

dikenal sebagai pemimpin terhormat diwilayahnya dengan ekonomi atau kekayaannya yang begitu

besar. Hal ini serupa dengan yang dimaksud Mauss, dengan total ptestation, adalah bahwa selain

bentuk nyata dari benda (objek) yang diberikan, terkandung pula di dalamnya unsure-unsur lain

berupa unsur ekonomi, unsur religi, unsur hokum, unsur keindahan dan unsur politik. Secara

keseluruhan semuanya itu membentuk kekuatan pengikat dan sekaligus merupakan kekuatan

pendorong bagi pihak penerima untuk melakukan sesuatu kembali secara langsing atau tidak

langsung dalam bentuk benda atau jasa kepada pihak pemberi.

Dilihat dari segi politik, pemberian dalam bentuk apapun merupakan modal bagi pihak pemberi untuk

meningkatkan pendukung, supporters, guna mencapai tujuan politiknya. Makin banyak orang yang

diberikan hadiah dan makin banyak yang mendapat bantuan, semakin kuat pula kedudukan politik

pihak pemberi. Pemberian yang digunakan untuk kepentingan politik tertentu itulah yang

menyebabkan F.G. Bailey (1971) menamakan pemberian sebagai “racun” bagi pihak penerima dan J.

Van Baal, mengkontatir pemberian sebagai sesuatu yang kadang-kadang berbahaya bagi masyarakat

(1975:23).

Perbuatan memberikan terus menerus hadiah atau sumbangan secara sepihak dapat menyebabkan

terbentuknya suatu hubungan ketergantungan yang bersifat asymetrik, menyerupai hubungan patron-

klien, dimana pihak pemberi berperan sebagai patron, sedangkan pihak penerima adalah kliennya.

Dalam system kepemimpinan pria berwibawa, hubungan semacam ini sangat penting, sebab seorang

pria berwibawa dapat memanipulai kekayaan dan keunggulan-keunggulan lain yang dimilikinya untuk

memperoleh dukungan dan simpati dari para peneima bantuan. Kekayaan dalam system

kepemimpinan pria berwibawa sekaligus mempunyai nilai simbolik dan nilai nyata. Nilai simbolik

melambangkan kekuasaan yang terkandung di dalamnya dan nilai nyata mengacu pada benda atau

harta itu sendiri. Itulah sebabnya kekayaan digunakan sebagai alat pengabsahan kekuasaan

(Cohrance 1970:5).

Syarat-syarat lain yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin pria berwibawa agar para pendukung

setia kepadanya menurut Sahlins (1968:164), ialah bahwa ia harus menunjukkan kecakapan-

kecakapan tertentu, misalnya pandai bertani, panda berburu, pandai berdiplomasi dan panda

berpidato, memiliki kekuatan magis, panda memimpin upacara-upacara ritual dan berani memimpin

perang.

Berbagai atribut yang diberikan kepada seorang pria berwibawa seperti tersebut diatas seringkali

menyebabkan adanya kesamaan umum, seolah-oalah seorang big man harus memiliki semua atribut

tersebut. Banyak contoh etnografi menunjukkan pula bahwa tidak mutlak semua atribut tersebut

harus dimiliki oleh seseorang agar menjadi pemimpin di dalam system pria berwibawa. Di samping itu,

data etnografi menunjukkan pula bahwa ada perbedaan penekanan pada atribut-atribut tertentu yang

dianggap penting antara masyarakat satu dan masyarakat yang lain. Dengan perkataan lain ada

perbedaan dalam tata urut hierarkis dari atribut-atribut tersebut, misalnya dalam masyarakat A atribut

X menduduki tempat pertama dalam urutan hierarkis sedangkan dalam masyarakat B bukan atribut X

tetapi atribut Y yang paling penting.

Demikian secara empiris, unsur-unsur yang merupakan atribut bagi pemimpin pria berwibawa itu

berkaitan sangat erat satu sama lain sehingga sulit untuk dipisah-pisahkan, namun secara analisis

pembagian berdasarkan urutan pentingnya atribut-atribut itu dapat dilakukan. Menurut hemat kami,

pembagian tersebut penting, sebab memberikan pengertian yang lebih tajan tentang corak-corak khas

dalam system kepemimpinan pria berwibawa. Sepanjang pengetahuan penulis, hal ini belum perna

dilakukan oleh para ahli antropologi sehingga timbul pendapat bahwa tipe kepemimpinan pria

berwibawa itu sama dalam masyarakat yang berbeda-beda. Pendapat demikian tentu saja selain

mengaburkan pengetahuan kita tentang system kepemimpinan tersebut, juga menyebabkan

tumbuhnya sikap “sudah tahu” pada diri kita dan menyebabkan kita tidak berminat untuk mencari

lebih jauh tentang mekanisme-mekanisme yang mendasarinya. Sebaliknya jika kita membuat suatu

para digma tentang sifat-sifat yang merupakan sifat pokok pada masyarakat-masyarakat yang

berbeda, maka akan terbukalah perspektif baru bagi kita untuk bertanya apa yang menjadi dasar

persamaan atau perbedaan itu dan sekaligus kita berusaha untuk mncari jawabannya.

1. e. Tipe-tipe Pemimpin Pria Berwibawa – bobot .

Betolak dari dasar pemikiran tersebut diatas dan atas dasar pengamatan penulis sendri di lapangan

maupun kajian-kajian sendii mengena studi tentang kerangan-karangan etnografi yang membicarakan

sistem kepemimpinan pria berwibawa di Wes Papua, maka sistem kepemimpinan ini dapat dibagi

menurut dua bentuk. Bentuk pertama adalah pemimpin yang di dasarkan atas kekayaan harta,

pemimpinnya disebut pemimpin pandai berwiraswasta, dan bentuk kedua adalah kepemimpinan yang

didasarkan atas keberanian memimpin perang, pemimpinnya disebut pemimpin perang.

1. f. Pemimpin Pria Berwibawa berdasarkan kemampuan berwiraswasta.

Sub-bab ini diberi judul demikian berdasarkan dua alasan. Alasan pertama ialah alasan yang

didasarkan atas pendapat sejumlah ahli antropologi, sedangkan alasan kedua didasarkan atas

pendangan pendukung sistem kepemimpinan tersebut itu sendiri.

Alasan pertama, pendapat dari pihak ahli antropologi, contohnya, berasal dari F. Barth (1963:6) yang

berpendapat, bahwa tindakan-tindakan seorang pemimpin pria berwibawa dapat disamakan dengan

seorang enterpreneur atau sorang wiraswasta. Seorang pria berwibawa dapat mengakumulasi sumber-

sumber daya tertentu dan memanipulasi orang-orang utnuk mencapai tujuannya. Menurut Barth,

tujuan di sini dapat berupa kekayaan, kedudukan, dan prestise. Pendapat lain berasal dari Thoden Van

Velsen. Menurut ahli ini, sifat interaksi antara para pemimpin pria berwibawa adalah sama dengan

interaksi antara para pengusaha, sebab sering terjadi tawar-menawar antara mereka bahkan kadang-

kadang mereka sengaja untuk saling mengalahkan atau menghancurkan midal pihak lawannya.

Interaksi tersebut menentukan struktur dari pollitical field (Thoden van Velsen 1973:597). Pollitical

field di sini adalah para pemeran yang secara langsung terlibat di dalam proses politik.

Kecuali dua pendapat tersebut, terdapat pula beberapa pendapat lain yang berasal dari ahli-ahli

antropologi yang secara langsung melakukan penelitian di derah kebudayaan Melanesia. Tempat

terdapatnya sistem pemimpin pria berwibawa. Pada umumnya para peneliti itu menyamakan seorang

pria berwibawa dengan seorang pengusaha wiraswasta (lihatlah misalnya karangan-karangan dari

strathern 1974:255; Burrigde, 1975:86; Sheffler 1965:22; Elmberg 1968; Pouwer 1957).

Selanjutnya dibawah ini saya muat dua buah contoh alasan berdasarkan pendapat masyarakat

pendukung sistem itu sendiri. Contoh pertama berasal dari orang Me (Kapauku).¹ dalam studinya

tentang orang Me (Kapauku), L. Pospisil mencatat kata-kata yang diucapkan oleh para informannya

terhadap seorang warganya yang mempunyai potensi untuk menjadi pemimpin pria berwibawa, tetapi

tidak berhasil, sebagai berikut: ”dia adalah salah satu dari orang-orang bodoh yang tidak mengerti

urusan dagang, sebab ia dapat menjadi tonowoi, pemimpin, tetapi karena ketolololannya ia tidak

meningkatkan kekayaannya melainkan ia memboroskannya” (1958:79).

Contoh kedua berasal dari orang Maybrat. Seorang informan dari J. Pouwer mengatakan bahwa

seorang yang dapat menjadi pemimpin politik pada orang maybrat adalah orang yang pandai

berdagang. Ucapan di atas ini kemudian dilukiskan dengan contoh berikut: ”dia menjual sauger (tuak)-

nya dengan harga setalen, uang setalen itu diberikan kepada ipar-ipar-nya. Ia menerima kembali

dari ipar-nya dua talen (50 sen). Uang 50 sen itu diberikan kepada ipar-nya yang lain. Darinya ia

menerima ” Kembali  satu rupiah. Demikian uang setalen itu berdar terus sampai mencapai 25 rupiah.

Jika ada orang yang berhasil seperti ini, maka ia dapat di sebut bobot, ”pemimpin” (Pouwer 1957:312).

Lebih lanjut sikap mencari keuntungan yang biasanya terdapat pada seorang pengusaha pada

umumnya, dikenal juga oleh orang maybrat seperti yang terungkap di dalam kata-kata berikut:

”seorang pemimpin adalah orang yang pandai memperlakukan barang dagangan, dalam hal ini kain

timur jenis ru-ra,seperti burung yang terbang dai dahan ke dahan untuk membawa keuntungan”

(Elmberg 1968; Kamma 1970; Schoorl 1979:178, 208; Miedema 1986:31). Contoh-contoh diatas

kiranya cukup memberikan penjelasan mengapa saya menyamakan seorang pemimpin politik pria

berwibawa ata big man dengan seorang yang mempunyai keterampilan berwiraswasta.

Deskripsi-deskripsi tentang orang Maybrat, orang Me dan orang Muyu di bawah memberikan

penjelasan yang lebih terinci tentang seorang pemimpin yang menggunakan kekayaan sebagai

sumber kekuasaannya.

__________________________________________

¹Nama Me adalah nama yang sekarang di pakai untuk menggantikan nama kapauku yang digunakan

oleh Leopold Pospisil, untuk menamakan golongan etnik yang mendiami di sekitar danau Paniai. Nama

kapauku yang telah di kenal secara luas di kalangan ilmuwan lewat karangan Pospisil itu tidak di sukai

oleh penduduk Me sendiri. Perasaan tidak suka pada nama Kapauku dinyatakan secara langsung dan

tidak langsung melalui berbagai media dan kesempatan antara lain dalam seminar pemerintahan Desa

di West Papua, yang diselenggarakan pada tahun 1986 di holandia (sekarang Jayapura). Penduduk

sekitar danau paniai lebih senang menggunakan nama Me yang berarti manusia sejati untuk

menamakan golongan etnik mereka. Itulah sebabnya dalam karangan ini penulis menggunakan nama

Me sebagai pengganti nama Kapauku (lihat makalah sdr. R. Gobay, 1986). Penjelasan lebih lanjut lihat

butir 3 bab III di bawah. ²istilah ipar adalah sebutan saudara laki2 isteri. Pemakaian istilah tersebut

kadang digunakan juga untuk semua kerabat dari pihak isteri pada generasi Ego.

1. g. Pemimpin pria berwibawa berdasarkan kemampuan memimpin perang

Sub-sub ini diberi judul demikian karena pada kelompok-kelompok etnik tertentu di west Papua yang

mendukung sistem politik pria berwibawa aktivitas perang³ meupakan fokus kebudayaannya sehingga

selalu dibutuhkan orang-orang tertentu yang memiliki keberanian untuk menjadi pemimpin

masyarakat. 

Sifat berani ini mengandung dua unsur agresif dan unsur orator. Kedua unsur tersebut berkaitan erat

satu dengan yang lain.  Unsur agresif terwujud dalam bentuk pernah membunuh orang lain, biasanya

dari pihak musuh pada waktu perang, atau pada waktu ekspedisi pengayauan kepala manusia.

Kadang-kadang terjadi juga bahwa tindakan membunuh . Kecuali unsur agresif, unsur itu terjadi di

dalam kelompok sendirirator atau pandai berpidato adalah juga merupakan syarat penting.

Seorang pemimpin pada masyarakat yang berkebudayaan perang, harus memiliki pengetahuan dalam

berbagai hal yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk disampaikan dalam pidato- Politik serta kadang-

kadang sebagai pemimpin upacara-upacara keagamaan dibahas secara lebih luas pada sub-sub bab

dibawah yang berjudul ”sistem kepemimpinan bobot”. Orang-orang Eropa pertama mengunjungi

daerah Maybrat, terdiri dari suatu tim ekspedisi pemetaan Belanda pada tahun 1908. walaupun sudah

ada kontak pada waktu itu, namun Pemerintahan Belanda baru melaksanakan pemerintahan

administratifnya atas daerah itu pada tahun 1924. sepuluh tahun kemudian yaitu pada tahun 1934,

terbentuklah kampong-kampung yang pertama yang secara permanent didiami oleh orang Maybrat

ataas usaha pemerintahan Hindia Belanda.

Sebelumnya itu, orang Maybrat hidup secara terpencar dalam kelompok-kelompok kekerabatan kecil

dan sering berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya mengikuti pola perladangan mereka

yang berpindah-pindah.

Pada tahun 1935, dibuka pusat pemerintahan Belanda yang pertama di Aitinyo dan di sekitar pusat

pemerintahan tersebut, dibentuk beberapa kampung. Pembentukkan kampung-kampung di sekitar

danau, terjadi pada tahun 1950, dan tiga tahun kemudian (1953) kampung-kampung terbesar diantara

kampung-kampung yang telah dibentuk itu mendapat guru dan sekolah.

1. h. Sistem politik – bobot

Sebelum nama bobot muncul sebagai orang berwibawa di tengah-tngah kehidupan orang Maybrat,

walaupun sudah ada semenjak keberadaan mereka, dikonstatir bahwa orang Maybrat mengenal

sistem politik yang didasarkan padagerontocrocy atau kepemimpinan orang tua, dan merupakan

sistem politik yang didasarkan atas kekuasaan satu orang. Sistem kekuasaan yang

bersifatgerontocracy itu hanya terbatas di dalam  lineage atau cabang klen sendiri, kadang-kadang

dapat meluas sampai ke klen. Sistem kepemimpinangerontocracy tersebut kemudian menjadi hilang

ketika meunculnya nama bobotyang mana diberikan kepada para gerontocracy.

Menurut Kamma (1970:138), mengatakan bahwa kelompok sosial baru yang disebut bobot itu mucul

sebagai akibat makin pentingnya peranan kain timurdalam kebudayaan orang Maybrat. Pada

mulanya kain timur hanya mempunyai fungsi sosial, yaitu untuk mempertahankan kelompok

dan interes kelompok. Fungsi tersebut kemudian secara lambat laun berubah menjadi kepentingan

individu sebgai akibat faktor-faktor sosial ekonomi. Denikinlah muncul suatu sebutan baru (bobot) di

dalam masyarakat yang lebih bersifat kelompok ekonomi, yang walaupun ikatan klen dan king group-

nya masih terjalin, namun lebih mendasarkan diri pada perjuangan yang bersifat individu untuk

memperoleh kekuasaan dan prestise pribadi.

______________________________________ 

³. Istilah perang disini diartikan menurut definisi yang dikemukakan oleh R. Berndt (1962:232), yang

berarti tindakan kekerasan berencana yang dilakukan oleh anggota-anggota dari suatu kelompok

sosial tertentu atas nama kelompok sosialnya terhadap anggota-anggota dari kelompok sosial yang

lain. Fokus kebudayaan adalah aspek tertentu di dalam suatu kebudayaan yang lebih jauh

berkembang dari aspek-aspek lainnya dan yang banyak mempengaruhi .pola kebudayaan atau

struktur kebudayaan itu (Herskovits, 1948:542) Sifat agresif dapat ditunjukkan juga pada tindakan

membunuh isteri atau saudara kandung sendiri seperti yang pernah terjadi pada orang Asmat

(Mansoben, 1974:32).

Apabila seseorang melalui kemampuan pribadinya berhasil mengumpulkan banyak boõ atau kain

timur, maka ia mendapat pengikut dan disebut bobot, berarti sangat kuat, atau arti harafiahnya

adalah perebut kain timur (Kamma 1970:134). Disamping itu, istilah bobot mengandung pula tiga arti

yang lain, seperti yang terdapat di bagian barat Maybrat, ialah pertama bobot, berarti pemimpin,

khususnya seorang pemimpin dari serangkaian upacara ritual yang disebut orang asing

(pendatang) pesta bobot. Arti kedua adalah seorang yang mempunyai banyak pengikut atau anak

buah, yang disebut kusme; orang yang mempunyai kekuasaan dan kemampuan dalam melaksanakan

upacara tukar-menukar dan memberikan banyak ”pemberian” kepada orang lain. Arti ketiga adalah

seseorang yang berhasil menyelenggarakan pesta-pesta penukaran yang diadakan dalam rangka

upacara-upacara sekitar lingkungan hidup orang Maybrat (Elmberg 1955:34).

Pada waktu lampau, nama tersebut juga diberikan kepada seseorang yang pernah membunuh orang

lain, (musuh) (Elmberg, 1955:34). Penjelasan-penjelasan diatas ini menunjukkan kepada kita bahwa

nama atau gelar bobotterutama diberikan kepadan dan dipakai oleh orang yang mampu

menyelenggarakan upacara tukar-menukar yang disebut pesta bobot, (masih bah), karena

memiliki kain timur. Sebaliknya penggunaan gelar bobot karena alasan pernah membunuh orang lain,

kuragn penting. Seperti terlihat nanti dalam uraian-uraian selanjutnya di bawah ini, bahwa alasan

pertama merupakan faktor yang paling penting untuk mencapai posisi bobot, sedangkan alasan kedua

merupakan faktor pelengkap saja.

Secara teori, setiap pria dewasa dapat menjadi bobot, jika syarat-syarat tertentu dipenuhi. Menurut

orang Maybrat, orang yang ideal untuk disebutbobot adalah orang yang mempunyai pengetahuan

yang baik tentang bisnis, disamping itu telah bersedia untuk membantu orang lain dalam masalah-

masalah ekonomi (berjiwa loyal, berjiwa besar), memiliki kepribadian etos kerja yang baik, berjiwa

pelayan, memperhatikan anak yatim, janda dan duda. Atau dengan kata lain seorang bobot adalah

orang kaya yang bermurah hati. (data kajian dan penelitian pribadi, Hamah Sagrim, 2006-2007).

Tentang syaraat pertama, pengetahuan bisnis menurut ukuran dan pengertian orang Maybrat, dapat

kita lihat pada penjelasan-penjelasan berikut.

Ukuran yang digunakan oleh orang Maybrat untuk menentukan apakah seseorang itu mempunyai

kemampuan bisnis atau tidak terlihat pada pengetahuan memanipulasi sirkulai kain timur. Orang

Maybrat berpendapat bahwa kain timur harus selalu bergerak, artinya harus secara ters menerus

beredar dari satu orang kepada orang lain dan dalam peredaran itu harus membawa keuntungan.

Keuntungan di sini mengandung dua makna, ialah makna materi dan makna prestise (non-materi).

Prinsip keuntungan yang mengandung dua makna tersebut diatas ditegaskan oleh orang Maubrat

dalam ungkapan berikut ; to boõ sou, tesia m’beri tefo ”artinya, saya ambil satu, akan saya

kembalikan lagi dengan yang sayapunya menjadi banyak”. Untuk memahami prinsip keuntungan yang

terkandung di dalam ungkapan di atas, maka sebaiknya saya jelaskan lebih dahulu secara singkat

bahwa ini sistem tukar-menukar kain timur pada orang Maybrat.

Dalam sistem tukar-menukar kain timur orang Maybrat, para bobot merupakan titik pusat dari segala

aktivitas transaksi. Setiap bobot mempunyai jumlah partner dagang yang bervariasi antara 8 samapi

60 orang. Pandangan orang Maybrat untuk selalu memberikan lebih banyak kepada pihak kreditor

atau pemberi seperti terurai diatas menimbulkan semacam persaingan yang terus menerus

berlangsung antara para bobot. Persaingan tersebut menyebabkan sistem tukar-menukar kain

timur bersifat ekonomi prestise. Jadi tujuan tukar menukar kain timur pada orang Maybrat adalah

”bukan untuk mencapai kesejahteraan sosial, melainkan untuk mendapatkan prestise”, atau dengan

kata lain tujuan tukar menukar kain timur pada orang Maybrat adalah untuk menciptakan kedudukan

terpandang dalam masyarakat.

Tentang munculnya nama pemimpin bobot tidak berkaitan dengan masuknyakain timur di daerah

Maybrat, tetapi sudah ada dan sangat berkaitan dengan kemampuan dan keuletan serta kecakapan

seseorang yang mana bila dilihat dari finansial ok, kepribadian ok, sifat ok, dan berjiwa besar serta

mampu menghidupkan anak-anak yatim, janda, duda serta menyelamatkan nyawa orang yang

rencana dibunuh oleh musuh, bahkan mengambil alih masalah orang lain untuk diselesaikannya. (data

kajian dan penelitian pribadi Hamah Sagrim 2006-2007).

Menjadi orang terpandang di dalam masyarakat oleh karena kekayaan – memiliki banyak kain timur –

menyebabkan seseorang mempunyai pengikut dan berhak untuk membuat keputusan. Disinilah letak

hubungan antara aspek ekonomi dengan aspek Politik . Melalui kemampuan dalam bidang ekonomi

prestise, seorang bobot dapat menciptakan hubungan-hubungan sosial tertentu dengan warga

masyarakat yang lain, hubungan-hubungan yang terwujud itu dapat bersifat hubungan simertis

maupun hubungan asimetris. Hubungan simetris adalah hubungan yang terjadi antara

para bobot yang mempunyai kedudukan dan peran yang relatif sama. Sebaliknya hubungan asimetris

adalah hubungan yang terjadi antara seorang bobot dengan anggota-anggota masyarakat lainnya

yang tidak berstatus bobot. Hubungan ini menyerupai hubungan patron-klien. Seorang bobot,

berperan sebagai klien. Disini peran dan kedudukan kedua belah pihak tidak sama. Pada hakekatnya

seorang bobotyang mempunyai kedudukan dan peran yang lebih penting dalam hubungannya dengan

seorang warga biasa, dapat menggunakan wewenang yang diperoleh melalui kedudukannya untuk

”memaksakan” kehendaknya pada orang lain.

Walaupun secata teori, setiap pria dewasa mempunyai hak yang sama untuk saling menjadi bobot,

namun hanya sedikit yang dapat berhasil mencapai kedudukan tersebut. Mereka yang berhasil

menduduki status tersebut adalah orang-orang yang mempunyai kemampuan untuk berdagang. Suatu

contoh yang amat bagus yang dapat digunakan untuk melukiskan hal tersebut adalah seperti yang

dilaporkan oleh Power tentang bagaimana menjadikan duapuluh lima rupiah dari duapuluhlima sen.

Secara prinsip, kedudukan bobot merupakan kedudukan pencapaian, namun demikian status tersebut

dapat diwariskan juga oleh ayah kepada anak. Hal ini terjadi jika ayah meninggalkan banyak kain

timur kepada anaknya; di samping itu anak harus memiliki kwalitas-kwalitas yang dituntut dari

seorang bobot, seperti misalnya panda dalam usaha bisnis dan bermurah hati.

Orang-orang yang mempunyai kemampuan (pengetahuan) seperti yang dilukiskan pada contoh

tersebut diatas sajalah yang mampu untuk menyelenggarakan transaksi-transaksi kain timur. Biasanya

transaksi-transaksi itu diadakan pada tempat-tempat khusus dan pada kesempatan-kesempatan

tertentu, bukan pada sembarangan tempat dan waktu. Tempat-tempat transaksi berclangsung berupa

bangunan-bangunan rumah yang disiapkan khusus untuk maksud tersebut dinamakan sachefra –

sehafla, atau rumah pesta pesta tengkorak (schedelfeesthuizen) dan sabiach bach atau sebiah atau

rumah pesta pertandingan (spelhuis). Waktu-waktu yang biasanya ditetapkan untuk melasanakan

transaksi itu biasanya terjadi pada saat adanya suatu upacara atau pesta tertentu, misalnya pada

upacara pembayaran tulang orang yang telah meninggal dunia, pada upacara inisiasi atau pada pesta

pernikahan.

Dua rumah tempat berlangsungnya upacara transaksi seperti tersebut diatas merupakan dua kutub,

dan diantara kedua kutub tersebut terjadilah sirkulasi kain timur. Rumah pesta sachefra, dibangun di

atas bukit sedangkan rumah pesta sebiach  bach- sbiah yang berbentuk rumah panjang polos,

dibangun di kaki bukit. Rumah pertama bersifat sakral sedangkan rumah kedua bersifat profan. Kedua

rumah tersebut sagat penting karena di dalamnya terjadi transaksi kain timur.

Menurut orang Maybrat, kehebatan seseorang dapat dilihat pada kemampuannya untuk mengatur

pembangunan rumah-rumah upacara tersebut serta pengaturan upacara-upacara ritus dan pesta yang

dilanjutkan dengan transaksi kain timur di dalamnya. Oeleh karena tempat upacara ini merupakan

arena perebutan kekuasaan, maka sebaiknya saya uraikan di bawah ini garis besar dari proses

berjalannya upacara-upacara tersebut.

Tipe rumah pertama yang bersifat sakral itu disebut tengkorak sachefra-sehafla.Penamaan demikian

disebabkan oleh karena rumah tersebut memang dibangun untuk kegunaan upacara pembagian dan

pembayaran tengkorank dari seseorang yang telah meninggal dunia.

Alasan lain untuk membangun rumah upacara guna terselenggaranya transaksikain timur, ialah

karena salah seorang kerabat sakit, mati atau karena terjadi kegagalan panen. Peristiwa-peristiwa

”buruk” seperti tersebut diatas dianggap oleh orang Maybrat sebagai tindakan penghukuman atau

tindakan pembalasan dendam dari kerabat yang meninggal dunia sebab ketidak pedulian terhadap

dirinya oleh kerabat-kerabat yang masih hidup. Anggapan demikian biasanya diperkuat oleh pesan-

pesan yang disampaikan oleh orang dukun atau shaman atau raã wiyon. Di samping kedua alasan

tersebut, alasan lain lagi adalah karena adanya kewajiban dari seorang suami terhadap pihak isterinya

untuk menbangun sebuah rumah upacara sechafra-sehafla, guna kepentingan transaksi kain timur.

Tiga alasan tersebut dapat disifatkan kedalam dua sifat, ialah sifat sakral dan sifat profan. Kedalam

sifat sakral termasuk dua alasan pertama, sedangkan alasan terakhir bersifat profan.

Rumah upacara sechafra-sehafla, biasanya dibangun diatas prakarsa seorangbobot atau raã wiyon,

dan dibantu oleh kerabat-kerabatnya. Apabila rumah tersebut sudah selesai dibangun, maka sekali

lagi atas prakarsa bobot dan raã wiyon dikumpulkan makanan dan kain timur bersama kaum kerabat

dekat lalu disimpan di dalam rumah upacara itu. Jika semua persiapan yang dibutuhkan untuk

menyelenggarakan upacara sudah siap, maka pemermarsa mengundang semua kerabat yang dekat

dan jauh, juga kerabat-kerabat dari pihak isterinya, untuk menghadiri upacara pembayaran tulang.

Apabila pemerkarsa adalah anak laki-laki dari orang yang telah meninggal dunia, maka pembayaran

tulang dilakukan orang yang bersangkutan kepada saudara laki-laki ibu

ayahnya (yatat) (FaMoBr ) atau kepada anak-anak dari saudara ibu ayahnya (yaja yamu ana-yatat)

(FaMoBrSo). Pembayaran tersebut didasarkan atas pandangan di bawah ibu ayahlah yang

membesarkan ayah yang telah banyak berjasa kepada  ego, sedangkan saudara laki-laki ibunya atau

anak-anaknya adalah wakil dari ibu ayahnya.

Upacara pembayaran tulang berupa pemberian sejumlah kain timur oleh pemerkarsa (ego) kepada

pihak ibunya yang disaksikan oleh kaum kerabat dari pihak ayah dan pihak ibu itu dilanjutkan dengan

penyerahan pemberian dari pihak isteri kepada ego. Pemberian itu di dalam bahasa Maybrat

disebut ru-raberupa kain timur, diserahkan oleh ayah ibu isteri (yatat) (FaMoBr), saudara laki-laki

isteri (yaja yamu-yatat) (FaMoBr) kepada ego.

Tahap pertama dari upacara ini yang terdiri dari dua mata acara, yaitu pembayaran tulang kepada

pihak ibu oleh ego yang bertindak sebagai pemerkarsa dan penyerahan ri-ra dari pihak isteri kepada

ego. Sebelum tahap pertama yang bersifat sakral dari upacara ini ditutup dengan acara makan

bersama, pemerkarsa memanggil orang yang telah meninggal dunia itu untuk menyaksikan

pemberian kain timur yang sakral yang diserakan olehnya kepada ibu atau saudara laki-laki ibu dari

orang yang meninggal.

Apabila tahap pertama upacara sudah selesai, maka tahapan kedua dari upacara itu yang bersifat

profan dimulai. Acaranya ialah membagian ru-ra atau pemberian yang diterima dari pihak isteri oleh

pemrkarsa kepada hadirin yang terdiri dari kerabat-kerabat ayah, kerabat ibu, suami-suami dari

saudara-saudara perempuan, kerabat-kerabat dari klen sendiri serta teman-teman dari klen-klen lain,

tidak termasuk disini kerabat-kerabat atau anggota-anggota dari kelen pihak isteri. Dengan

demikian ru-ra masuk dalam sirkulasi.

Setiap penerima ru-ra, berhak penuh atas penggunaannya, misalnya digunakan sebagai alat bayar

maskawin, untuk membayar denda atau untuk membeli makanan. Setelah beberapa waktu berselang,

satu sampai dua tahun, pemerkarsa upacara mengundang para debitor-nya untuk mengembalikan

utang-utangnya. Pembayaran kembali itu biasanya disertai dengan suatu tgief bo, suatu pemberian

tambahan, yang disebut dalam bahasa Maybrat boõ-war. Pemberian tambahan itu kadangkadang dua

kali lipat lebih banyak daripada apa yang pernah diterima.

Pelaksanaan pembayaran kembali utang basanya dilakukan di rumah upacara lain yang sementara itu

dibangun oleh pemerkarsa, disebut sabiach bach-sbiah, atau rumah pesta pertandingan, spelhuis.

Situasi pada saat pelaksanaan pengembalian utang sebagai saat yang menegangkan, sebab terjadi

tawar menawar antara pemberi dan penerima. Semua barang (dalam hal ini kain timur jenis ru-ra)

yang digunakan sebagaitegenggift atau alat pembayaran utang yang di sebut boõru-maru boõ, dan

yang diberikan sebagai pemberian tambahan diperiksa penerima dengan amat teliti. Jika penerima

tidak puas dengan nilai atau kwalitas dari benda yang digunakan untuk membayar utang, maka

kepada debitornya diberikan lagi makanan dan minuman. Tindakan seperti ini segera dimengerti oleh

pihak debitor sehingga kembalisekali atau beberapa kali ke tempat menyimpan barang untuk

mengambil tambahan barang atau pengganti guna melengkapi dan atau mengganti yang sudah ada.

Apabila pemerkarsa sudah puas dengan pembayaran kembali, maka dipotonglah seekor babilalu

dibagikan dagingnya kepada para debitornya (tamunya) sebelum mereka ini kembali ke tempatnya

masing-masing.

Semua kaintimur yang diterima oleh pemerkarsa dari para debitornya seperti yang telah dijelaskan

diatas, kemudian disimpan oleh isterinya di rumah upacara pesta tengkorak, sachefra-sehafla.

Sesudah itu, pemerkarsa mengirim berita kepada kerabat-kerabatnya dari pihak isterinya tentang

telah terjadinya pembayaran utang. Mereka ini segera membangun sebuah rumah pertandingan

baru, sebiach bach-sbiah. Apabila rumah itu sudah siap dibangun, maka ditentukannlah suatu hari

tertentu untuk berkumpul disana dalam rangka pengembalian ru-ra yang diterima oleh pemerkarsa

pada waktu pembayaran tengkorak kepada pihak isterinya. Upacara pengembalian ru-ra ini dihadiri

oleh semua pihak, baik dari pihak pria (suami) maupun dari pihak wanita (isteri).

Kain timur jenis ru-ra yang dibawa oleh pihak pria itu dijejerkan berbentuk garis panjang di atas tanah.

Barang-barang tersebut kemudian diperiksa secara seksama oleh pihak wanita. Barang yang kurang

baik diantara barang-barang itu segera dipisahkan dan harus diganti dengan yang lebih baik. Situasi

pada saat ini tegang, sebab pihak pria seringkali menyembunyikan ru-ra yang berkwalitas lebih baik di

belakang tangannya. Barang yang berkwalitas baik ini, diberikan setelah terjadi pemeriksaan, boo-

woar. Pemberian tambahan itu biasanya selain terdiri dari kain timur jenis ru-ra juga berupa kain toko

dan kain sarung.

Ongkos makan dan minum untuk semua peserta ditanggung oeleh pihak isteri. Pertemuan tukar

menukar ini kemudian diakhiri dengan pemotongan seekor babi yang di sembunyikan oleh pihak

wanita.

Gambaran peristiwa tukar menukar kain timur berupacara pada uraian diatas menunjukkan bahwa

perkarsa berperan sebagai titik sentral, titik pertemuan, antara golongan-golongan yang berbeda

asalnya. Mereka itu sendiri dari kaum kerabat pihak pria (suami), kaum kerabat dari pihak wanita

(isteri), dan teman-teman yang berasal dari cabang-cabang klen dan klen-klen kecil. Juga dari uraian

diatas kita melihat bahwa pertemuan antara golongan-golongan yang berbeda dapat terjadi atas

perantaraan di sini sebagai media pertemuan untuk kepentingan ekonomi prestise (tukar menukar

kain tumur) dalam rangka mencapai prestise sosial yang menunjukkan dengan jelas, bahwa religi

orang Maybrat adalah sesuatu yang konkrit, nyata dan bukan transendent.

Secara sosiologis upacara tukar-menukar yang dilakukan oleh orang Maybrat mangandung tida

dimensi: dimensi religi, dimensi ekonomi dan dimensi politik. Tida dimensi tersebut terjalin erat satu

sama lain dalam suatu bentuk hubungan sibernetrik. Bagan III.1, di bawah ini menunjukkan hubungan

tersebut. Hubungan sibernetik dalam tata urut hierarkis pada bigian tersebut dibuat demikian

bedasarkan asumsi bahwa aspek religi merupakan mekanisme pendorong untuk orang berprestasi

dalam bidang ekonomi. Selanjutnya keberhasilan ekonomi mendatangkan prestise atau kekuasaan

politik bagi seseorang. Kekuasaan tersebut menjadi mantap karena mendapat pengabsahan religi.

Sebaliknya kekuasaan politik yang mantap memungkinkan bertambah banyaknya keberhasilan dalam

bidan ekonomi yang merupakan syarat mutlak bagi intensifikasi upacara-upacara keagamaan.

Perlu ditegaskan pula disini bahwa upacara transaksi kain timur tidak hanya terjadi pada kesempatan

adanya upacara ritual yang diadakan berhubungan dengan pembayaran tengkorak seperti yang sudah

disebutkan di atas, tetapi juga terdjadi pada upacara inisiasi, pesta perkawinan dan pesta-pesta

lainnya. Itulah sebabnya ditegaskan bahwa pada umumnya upacara-upacara pesta lebih diarahkan

pada tujuan tukar menukar dari pada tujuan umumnya:   ”banyak   melenggarakan    pesta   (ritual) 

adalah  pertanda penghormatan terhadap orang-orang yang telah meninggal dunia. Penghormatan

denikian menyebabkan orang mati menjadi senang sehingga tidak menimbulkan kesulitan bagi kaum

kerabatnya yang masih hidup.

Sering terjadi bahwa mereka tidak membangun rumah pertandingan yang baru, sebab boleh

menggunakan yang sudah ada dari iparnya. Pelaksanaan upacar-upacara ini, minuman saguer (tuak),

merupakan sesuatu yang sangat penting dalam upacara-upacara pemgayaran, memiliki nilai

tersendiri. Ada ungkapan dari orang Maybrat bahwa, tuak merupakan penggerak, artinya ketika

seorang perserta yang terlibat minum, maka ia akan mengaku bahwa dia siap membantu kerabatnya

menyelesaikan persoalan yang dihadapinya, ada juga yang mengatakan dia siap memberikan kain

timur jenis yang dibutuhkan oleh kerabatnya. Dan masih banyak lagi kelebihan daripada tuak ketika

diminum. Tuak bagi orang Maybrat, merupakan sesuatu yang membudaya, dimana di jadikan sebagai

minuman permersatu, pembuka tabir, dan.y.l.

Hubungan sibernitas antara Religi, Ekonomi, dan Politik

Gambar: bagan III.1. Hubungan sibernetik antara Religi, Ekonomi dan

Politik

Selain syarat-syarat yang sudah dibicarakan di atas memiliki pengetahuan bisnis dan pandai mengatur

penyelenggaraan upacara-upacara ritual serta transaksi kain timur, syarat-syarat lain yang harus

dipenuhi oleh seseorang agar ia menjadi bobot atau pemimpin, ialah sifat bermurah hati dan pandai

berdiplomasi.

Elmberg, melaporkan bahwa syarat ideal bagi seorang bobot ialah kesediaannya untuk membantu

orang lain, terutama kerabat-kerabatnya yang mengalami kesulitan ekonomi. Ditegaskan lagi bahwa,

seorang bobot adalah orang yang berbudi baik, selalu membantu para pengikutnya dengan banyak

barang. Lebih lanjut Elmberg berpendapat bahwa para bobot atau bangkir-bangkir orang Maybrat tidak

selalu menggunakan posisinya untuk menekan orang lain secara semena-mena. Sebaliknya

kekuasaannya itu dibatasi pada sifat realistik seperti pada orang biasa Raa kinyah.

Sifat bermurah hati seorang bobot yang terwujud dalam bentuk nyata adalah pemberian bantuan

kepada orang lain. Orang yang menerima bantuan, secara otomatis menjadi pengikut atau

anakbuah bobot, mereka itu disebut ra kinyahyang berarti orang kecil atau pengikut atau rakyat.

Elmberg menamakan pengikut seorang bobot, partner bebas, atau menurut saya mereka

adalah rayatatau rakyat. Sebab walaupun mereka bekerja untuk bobot tetapi mereka masih memiliki

kebebasan untuk meningkatkan kedudukan sendiri menjadi bobotdikemudian hari. Hanya sedikit saja

yang biasanya mencapai kedudukan tersebut.

Sifat lain yang menjadi syarat bagi seorang bobot adalah kepandaian berdiplomasi. Sifat tersebut

dapat dilihat dari kemampuan seseorang untuk menawarkan maksudnya dengan kata-kata yang

menarik agar tawarannya dapat diterima di depan umum secara konsensus. Elmberg menemukan

prinsip tersebut pada orang Maybrat sehingga menyamakan para bobot di Maybrat dengan

pemimpin big man pada orang Gahuku Gama (Papua New Gunea). Seperti yang dilaporkan oleh Read

(Elmberg 1968: 199-200).

Pengaruh kekuasaan seorang bobot biasanya terbatas pada lingkungan tempat tinggalnya sendiri.

Agar pengaruhnya dapat meluas sampai di batas-batas wilayah kekuasaannya, maka

seorang bobot harus memperkokoh hubungannya dengan pihak luar. Salah satu cara yang biasanya

dipakai untuk memperkokoh hubungan dengan pihak luar adalah melalui perkawinan. Oleh karena itu

seorang bobot sering melakukan perkawinan-perkawinan dengan pihak luar. Dengan demikian

seorang bobot yang besar pengaruhnya, kawing lebih dari satu perempuan, atau dengan kata lain

berpoligami. Poligami sering dilakukan oleh orang Maybrat pada umumnya dan bobot pada khususnya

adalah simbol kekayaan dan kekuasaan.

Disatu pihak, poligami adalah simbol kekayaan, sebab orang kaya saja yang mampu membayar

maskawin untuk banyak isteri. Banyak isteri berarti banyak tenaga kerja yang dapat menghasilkan

makanan yang dibutuhkan sebagai konsumsi pesta-pesta atau upacara-upacara ritual. Poligami

dipihak yang lain mempunyai arti politik atau kekuasaan, sebab melalui isteri-isteri terjalin hubungan

dengan pihak luar (pihak isteri) atau dengan perkataan lain banyak isteri berarti banyak pula relasi.

Relasi amat penting bagi seorang bobot karena para relasi adalah pendukung dan juga partner atau

rekanan dagang potensial dalam transaksi tukar menukar kain timur.

Beberapa implikasi sosial sistem politik bobot yang berlandaskan kompleks kain timur pada orang

Maybrat, adalah kecenderungan untuk kawin diantara anak-anak bobot, atau dengan kata lain

terjadinya endogami golongan  dan timbulnya kerenggangan kohesi sosial antara

seorang bobot dengan anggota-anggota klennya sendiri. Hal ini disebabkan oleh karena

seorang bobot lebih banyak memberikan perhatian kepada rekanan dagangnya daripada warga

klennya sendiri. Sebaliknya, kompleks kain timur yang melibatkan kelompok-kelompok

kerabat consaguineal atau yang seketurunan, mengakibatkan tumbuhnya solidaritas yang kuat baik

diantara kelompok-kelompok kekerabatan itu sendiri maupun diantara mereka dengan kelompok-

kelompok kekerabatan lain yang merupakan partner dagangnya. Disamping itu kompleks kain

timur yang diintensifisasikan oleh sistem politik bobot merupakan tempat konsumsi bagi barang-

barang yang tidak bertahan lama, seperti makanan dan minuman.

1. B. Analisa Komparatif Sistem Politik Orang Maybrat, Orang Me dan Orang  Muyu

Analisa komparatif diadakan dalam rangka memperoleh suatu pengertian yang bersifat

komperehensif, tepat dan jelas tentang sistem politik pria berwibawa di Maybrat west Papua. Ada dua

alasan pokok untuk melakukan hal tersebut, pertama, bahwa unsur kebudayaan, dalam hal ini sistem

politik pria berwibawa yang nampak secara lahiriah sama dan terdapat pada golongan-golongan suku-

bangsa yang berbeda itu belum tentu disebabkan oleh mekanisme atau daya-daya penggerak yang

sama. Kedua, apabila memang ada daya penggeraknya yang sama, itu belum berarti bahwa proses

yang dilalui untuk mencapai wujud yang nampak dan sama itu sama pula, mengingat latar belakang

kebudayaan dan meningkatnya ekologi yang berbeda-beda dari suku-suku bangsa penduduk dalam

sistem tersebut.

Untuk mencapai tujuan tersebut diatas,  ditempuh dua tahap analisis. Analisis pertama (butir 3.1 di

bawah), membandingkan apa yang menjadi public goalsatau cita-cita umum pada masing-masing

suku bangsa yang menjadi objek penelitian dan penulisan buku ini. Tahap analisis kedua di bawah,

mencari dan membandingkan mekanisme-mekanisme atau daya-daya penggerak yang mendasari

cita-cita umum itu. Cita-cita umum (public goals) dipilih sebagai tolok ukur perbandingan atas dasar

pertimbangan bahwa pada masyarakat manapun tolok ukur inilah yang menjadi dasar pranata politik,

sungguhpun bentuk dan cara untuk mencapainya berbeda dari satu masyarakat dengan masyarakat

lainnya. Selanjutnya perlu diingatkan di sini bahwa pada tingkat analisis pertama akan diperhatikan

variabel-variabel ekonomi dan variabel religi.

Prosedur analisis komperehensif yang ditempuh dalam kajian ini, ialah pertama-tama membandingkan

cita-cita umum yang menjadi tujuan tindakan politik dan cara-cara yang digunakan untuk mencapai

cita-cita tersebut pada lima suku bangsa yang akan dibicarakan pada kajian ini. Untuk itu pertama

akan dilakukan suatu analisis perbandingan antara suku-suku bangsa yang mempunyai cita-cita umum

yang sama, kemudian langkah berikut ialah membandingkan suku-suku bangsa dengan cita-cita

umum yang berbeda. Demikianlah pada bagian sub dibawah ini akan dilakukan perbandingan secara

berturut-turut, mulai dengan sistem kepemimpinan pria berwibawa yang terdapat pada masyarakat

Maybrat, masyarakat Me, masyarakat Muyu (saya sebut mereka ini golongan pertama). Yang menurut

data etnografi seperti yang dimuat dalam bagian buku ini mempunyai cita-cita umum yang sama

ialahkekayaan. Perbandingan berikut adalah tentang sistem kepemimpinan pria berwibawa yang ada

pada masyarakat Asmat, dan masyarakat Dani seperti pada masyarakat Maybrat (saya sebut mereka

ini golongan kedua) yang mempunyai cita-cita umum yang sama, ilah keberanian memimpin perang.

Perbandingan pada tingkat berikut adalah membandingkan golongan pertama dengan golongan

kedua.

Apabila tahap analisis pertama telah dilakukan, maka pada tahap analisis kedua perbandingan akan

dilakukan terhadap mekanisme-mekanisme atau daya-daya penggerak yang mendasari cita-cita

umum pada kelima suku bangsa secara keseluruhan.

1. 1. Realistis dan Analisis komparatif sistem politik orang Maybrat, orang Me dan

orang Muyu.

Lingkungan ekologi pada ketiga suku-bangsa yang dibahas pada bagian ini pada  satu pihak

memperlihatkan kesamaan-kesamaan tertentu dan pada pihak yang lain menampakan pula

perbedaan-perbedaan. Kesamaan yang ada adalah bahwa ketiga lingkungan ekologi yang didiami oleh

tiga suku-bangsa tersebut di atas terletak di daerah pedalaman bagian barat West Papua.

Perbedaannya ialah, bahwa orang Maybrat mendiami daerah pedalaman bagian barat West Papua

(kepala burung), orang Me mendiami daerah pedalaman yang merupakan daerah peralihan antara

pegunungan tengah dengan daerah dataran rendah di bagian selatan dan orang Muyu, terletak pada

perbatasan west Papua dan negara Papua New Guinea.

Ciri ekologi lain yang menunjukkan persamaan tetapi juga perbedaan antara keiga wilayah yang

didiami oleh tiga suku-bangsa tersebut ialah bahwa orang Maybrat dan orang Me mendiami daerh-

daerah yang merupakan daerah interlaukstrin atau daerah berdanau-danau, sedangkan orang Muyu

mendiami daerah yang tidak berdanau.

Dari segi sistem mata pencaharian hidup, ketiga suku-bangsa itu dapat digolongkan pada tingkat

ekonomi yang sama, ialah subsistensi; mereka sama-sama hidup sebagai petani ladang berpindah-

pindah, walaupun perladangan pada orang Me bersifat pertanian yang kompleks intensif (Pospisil,

1978:8), bila dibandingkan dengan dua suku-bangsa lainnya. Di samping itu, orang Muyu kecuali hidup

sebagai petani berladang, juga hidup dari meramu sagu, hal yang disebut akhir ini tidak dikenal orang

Maybrat maupun orang Me, kecuali hidup sebagai petani ladang berpindah-pindah, orang Maybrat,

orang Me dan orang Muyu juga mengenal mata pencaharian lain; yaitu  perdagangan. Perbedaan yang

terdapat pada sistem perdagangan antara mereka, pertama terletak pada benda yang digunakan

sebagai alat ukur (bojek dagang – remarcable objec). Orang Me dan orang Muyu menggunakan kulit

kerang, cyprae maneta, sebagai alat tukar, jadi kulit kerang pada dua suku-bangsa ini berfungsi

sebagai uang (orang Me menyebutnya mege dan orang Muyu menyebutnya ot), sedangkan orang

Maybrat menggunakan kain timur, sebagai alat tukar maupun sebagai benda yang diperdagangkan

dalam sistem perdagangannya.

Membandingkan ketiga suku-bangsa itu dalam hal aktivitas perdagangan, maka orang Maybrat

memperlihakan suatu sistem yang amat kompleks, melibatkan klen-klen lain yang tersebar luas di

seluruh wilayah yang menjadi tempat tinggal orang Maybrat. Juga sifat kompleksitas perdagangan

seperti yang terdapat pada orang Maybrat, merupakan suatu siklus perdagangan yang melalui tiga

tahap dimana tidak terdapat pada orang Me maupun orang suku Muyu.

Sungguhpun tingkat kompleksitas berbeda, namun orang-orang yang berhasil sebagai pedagang

dalam tiga suku  bangsa itu mendapat status sosial tinggi dalam masing-masing masyarakatnya.

Dengan pengertian lain, mereka yang berhasil sebagai pedagang sejati sajalah yang mempunyai

kekuasaan dan pengaruh dalam masyarakatnya.

Kesamaan lain antara mereka ialah, penggunaan suatu upacara ritual sebagai arena perdagangan dan

sekaligus arena perebutan gengsi atau status sosial. Baik pada orang Maybrat, orang Me maupun

orang Muyu, puncak transaksi perdagangan terjadi pada kesempatan adanya suatu upacara pesta

ritual. Bedanya adalah bahwa bagi orang Maybrat perdagangan merupakan tujuan pokok tetapi selalu

terselubung dalam suatu pesta perkawinan, upacara inisiasi atau ritual pembayaran tulang orang yang

telah meninggal dunia. Sebaliknya pada orang Muyu, tujuan pokok yang terselubung dalam transaksi

perdagangan yang terjadi pada suatu pesta babi adalah penguburan kedua dari seseorang terhormat

yang telah meninggal dunia. Bagi orang Me, transaksi perdagangan yang terjadi pada satu pesta babi

terutama bertujuan untuk memperkokoh solidaritas kelompok (kampung atau konfederasi).

Peranan babi dalam kehidupan ketiga suku-bangsa tersebut diatas amat penting, namun pada orang

Muyu dan orang Me, peranan babi jauh lebih penting bila dibandingkan dengan orang Maybrat. Sebab

pada dua suku-bangsa yang disebut pertama disamping babi merupakan komoditi perdagangan

umum, juga karena mereka hanya dapat menyelenggarakan suatu upacara pesta babi yang menjadi

arena transaksi perdagangan jikalau tersedia cukup banyak babi, sedangkan orang Maybrat dapat

menyelenggarakan suatu upacara atau ritual yang menjadi arena transaksi perdagangan tanpa

banyak babi.

Dilihat dari segi struktur sosial, maka orang Maybrat, orang Me dan orang Muyu, bukan saja

memperlihatkan kesamaan-kesamaan tertentu, tetapi juga perbedaan-perbedaan  diantara mereka.

Persamaannya ialah bahwa ketiga-tiganya menganut prinsip eksogami patrilineal. Sebaliknya

perbedaannya ialah bahwa kesatuan sosial orang Maybrat dan orang Muyu berdasarkan lokalitas,

sedangkan kesatuan sosial orang Me, berdasarkan klen. Kecuali orang Me mengenal  kesatuan sosial

yang jauh lebih besar dari klen, yang mana ialah konfederasi. Orang Muyu dan orang Maybrat tidak

mengenal konfederasi dalam sisitem sosialnya, walaupun orang Maybrat juga mengenal konfederasi

dalam kelompok kecil yang berdasar atas asas klen dan kerabat klen yang tergabung didalam

konfederasi itu. Bagi suku Maybrat, pemimpin konfederasi ini dipanggil dengan nama Ra sien, atau

panglima perang yang memiliki kemahiran dalam berperang atau dalam mengayau musuh.

Berlatar belakang persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan seperti yang digambarkan diatas

maka, dibawah ini dibandingkan sistem politik pria berwibawa pada tiga suku-bangsa tersebut.

Di dalam analisis perbandingan itu tidak dibandingkan struktur organisasi politik sebab hal tersebut

tidak terdapat pada tiga suku-bangsa ini, mereka hanya mengenal kepemimpinan yang

bersifat autonomous dan kedudukan pemimpin diperoleh melalui pencapaian. Jadi tolok ukur  yang

digunakan dalam analisis ini, seperti yang sudah  dikemukakan sebelumnya pada awal sub-sub ini,

ialahpublic goals atau cita-cita umum. Hal ini penting sebab berkaitan erat dengan komponen

kekuasaan. Perhatian dalam perbandingan tidak diberikan hanya pada apa yang menjadi cita-cita

umum  dalam tiga suku-bangsa itu saja, tetapi lebih penting dari itu penekanan akan diberikan

terutama kepada proses pencapaian cita-cita umum itu. Apa yang dimaksud dengan proses mencapai

cita-cita umum disini adalah bentuk-bentuk tindakan yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut.

Bentuk-bentuk tindakan bermanifestasi dalam tindakan-tindakan nyata seperti misalnya sifat

bermurah hati (sifat ini bermanifestasi dalam tindakan memberikan bantuan kepada orang lain) dan

sifat rajin (bermanifestasi dalam keberhasilan bertani, beternak dll).

Perlu diperhatikan bahwa analisis perbandingan yang dilakukan disini adalah perbandingan antar

suku-bangsa yang berbeda, sehingga dalam perbandingan selalu akan dicari untuk disampaikan

tindakan apa yang lebih menonjol pada satu suku-bangsa dan tidak pada suku-bangsa lain. Hal ini lain

daripada jika kita mempelajari proses penguasaan cita-cita umum oleh para pemeran politik pada

masyarakat yang sama. Jika hal tersebut terakhir ini yang dilakukan maka tentu perhatian harus

diberikan kepada upaya-upaya para pemeran politik untuk saling berkompetisi dalam merebut

penguasaan terhadap cita-cita umum. Perhatian dalam analisis perbandingan ini adalah usaha

mencari unsur-unsur yang sama dan yang tidak sama antara tiga suku-bangsa itu dan selanjutnya

berusaha memberikan jawaban terhadap pertanyaan, faktor-faktor apakah yang mendasari

persamaan atau perbedaan itu. Jadi kompetisi antar individu-individu pada suku-bangsa yang sama

untuk merebut kekuasaan secara eksplesit tidak akan di kemukakan dalam analisis perbandingan ini.

Data etnografi tentang tiga suku-bangsa itu, seperti yang termuat dalam kajian ini, menunjukkan

bahwa cita-cita umum yang dikejar oleh pria dewasa dan yang menjadi idaman warga masyarakat

adalah kekayaan. Bagi ketiga suku-bangsa itu, gagasan atau ide kekayaan memang sangat dinilai

tinggi sebab melalui kekayaan seorang dapat membangun kekuasaannya. Atau dengan pengertian

lain kekayaan mendatangkan kekuasaan. Jadi bagi mereka, konsep kekayaan adalah identik dengan

konsep kekuasaan.

Jika kita membandingkan wujud kekayaan yang menjadi landasan kekuasaan dalam tiga suku-bangsa

itu, maka akan nampak hal-hal sebagai berikut; seorang kaya pada orang Maybrat adalah orang yang

memiliki banyak kain timur, sedangkan orang Me dan orang Muyu yang disebut orang kaya adalah

orang yang memiiki banyak kulit kerang. Walaupun wujud benda yang mempunyai nilai tinggi itu

berbeda antara orang Maybrat di satu pihak dengan orang Me dan orang Muyu di pihak yang lain,

namun gagasan atau ide pokok tentang nilai yang terkandung dalam benda-benda yang berbeda itu

sama. Persamaan lain yang terdapat pada dua benda yang berbeda wujud tetapi mempunyai

kedudukan nilai yang sama adalah bahwa keduanya berasal dari luar, bukan hasil produksi lokal. Kulit

kerang yang bernilai sangat tinggi bagi orang Me dan orang Muyu berasal dari daerah pantai dan

melalui rute pedagangan (yang belum banyak kita ketahui) dapat sampai kepada orang Me dan orang

Muyu. Demikian pula halnya dengan kain timur yang bernilai sangat tinggi bagi orang Maybrat berasal

dari alam dan daerah kepulauan Nusa Tenggara Timur dan dari kepulauan Maluku, melalui rute

perdagangan yang berliku-liku akhirnya sampai ke daerah Maybrat.

Orang-orang kaya itu di daerah Maybrat disebut bobot, di Me disebut tonowi dan di Muyu

disebut kayepak. Pada umumnya selain memiliki banyak kain timur(untuk orang Maybrat) atau kulit

kerang (untuk orang Me dan Muyu), atribut lain yang memperlihatkan kekayaan seseorang adalah

mempunyai banyak isteri, maka semakin banyak pula partner dagang yang akan terlibat dalam

transaksi penukaran kain timur. Keterlibatan banyak orang sebagai rekanan dagang dalam

transaksi kain timur yang berkesinambungan sangat berpengaruh terhadap gengsi seorang bobot. Jadi

melalui poligami terbentuklah partner-partner dagang yang pada gilirannya menyebabkan gengsi

seorang bobotmenjadi lebih tinggi.

Dilihat dari segi produktivitas ekonomi, isteri adalah tenaga kerja yang amat produktif, sebab isteri

turut aktif dalam pekerjaan perladangan dan peternakan babi. Hal itu berarti makin banyak isteri,

semakin banyak pula ladang yang dapat digarap dan banyak babi yang dapat dipelihara. Dengan

perkataan lain banyak isteri berarti banyak hasil kebun yang dapat diproduksi dan banyak babi yang

dapat dipelihara. Dua produk ini – babi dan hasil kebun – adalah sangat penting sebab memudahkan

terselenggaranya suatu upacara pesta atau ritual yang sering dijadikan arena perdagangan yang

memang sangat membutuhkan konsumsi hasil kebun dan babi yang banyak.

Jika kita membandingkan prisip poligami yang berimplikasikan jaringan partner dagang seperti yang

terdapat pada orang Maybrat dengan orang Me dan orang Muyu, maka data etnografi menunjukkan

bahwa walaupun implikasi tersebut penting juga dalam dua suku-bangsa yang disebut akhir, namun

peranannya pada orang Maybrat jauh lebih penting.

Sebaliknya peranan poligami sebagai alat penada produktif dalam perladangan dan khususnya

peternakan babi, sangat memainkan peranan penting pada orang Me dan orang Muyu bila

dibandingkan dengan orang Maybrat.

Selanjutnya dibawah ini akan diperbandingkan beberapa hal yang dijadikan sebagai syarat bagi

seorang pemimpin pria berwibawa pada ketiga suku-bangsa tersebut. Tata urut syarat seperti yang

dimuat di bawah ini tidak didasarkan atas pertimbangan prioritas, sebab hal itu sangat sulit untuk

menentukan syarat mana yang menduduki urutan pertama dan yang mana kemudian. Semua syarat

itu berkaitan erat satu sama lain.

Walaupun seorang itu kaya-memiliki banyak kain timur atau kulit kerang, banyak babi dan banyak

isteri, namun ia belum dapat menjadi pemimpin jika tidah memenuhi syarat bermurah hati. Sikap

bermurah hati selanjutnya bermanifestasi dalam kehidupan orang Maybrat saat ini. Sikap bermurah

hati disini mengandung dua makna; pada satu pihak mengandung makna politik, dan pada pihak yang

lain mengandung makna moral. Sikap bermurah hati dalam bentuk memberikan bantuan secara

material maupun imaterial bermakna politik, sebab melalui pemberian atau bantuan terciptalah suatu

kesepakatan secara nyata atau tidak nyata antara pihak pemberi dengan pihak penerima, dimana

pihak penerima secata moral tunduk dan taat kepada pihak pemberi. Atau dengan perkataan lain,

melalui pemberian seseorang itu terikat untuk menjadi pendukung bagi pihak pemberi.

Kedua, sikap bermurah hati bermakna moral, sebab dalam banyak masyarakat di dunia ini, seperti

misalnya orang Me, seorang kaya berkewajiban untuk memberi bantuan kepada orang lain yang

membutuhkan bantuan. Kekayaan tidak boleh digunakan untuk memperkaya diri sendiri. Penilaian

terhadap kewajiban moral tersebut begitu tinggi dijunjung sehingga orang kaya yang bermurah hati

sajalah yang dapat diakui sebagai pemimpin.

Jika kita membandingkan syarat bermurah hati yang bermakna politik antara tiga suku-bangsa yang

dibandingkan dalam bagian penulisan buku ini, maka nampak bahwa makna tersebut hadir secara

positif pada ketiga-tiganya. Sebaliknya makna moral dari syarat tersebut jauh lebih berperan pada

orang Maybrat dan Orang Me, bila dibandingkan dengan orang Muyu.

Secara keseluruhan, syarat bermurah hati dalam pengertian berganda diatas digunakan baik oleh

orang Maybrat, orang Me maupun orang Muyu, sebagai alat untuk merekrut pengikut (pendukung).

Bedanya ialah, bahwa pengikut seorang bobot di orang Maybrat dan seorang tonowi di orang Me,

melembaga, masing-masing disebut kesema-raã bobot (untuk orang Maybrat), dan ani yokaani (untuk

orang Me), sedangkan para pengikut seorang kayepak pada orang Muyu tidak melembaga. Kedudukan

serta prestise seorang bobot atautonowi menjadi mantap karena dukungan dari sistem pendukung

yang melembaga, sebaliknya kedudukan dan prestise seorang kayepak menjadi mantap terutama

bukan karena dukungan dari suatu sistem pendukung yang melembaga melainkan oleh dukungan dari

kaum kerabat. Itulah sebabnya faktor demografi dalam pengertian banyak atau sedikit jumlah warga

kerabat turut menentukan besar kecilnya kekuasaan dan pengaruh seorang kayepak.

Selain syarat bermurah hati yang telah dibicarakan diatas, syarat-syarat lain yang harus dipenuhi pula

oleh seseorang agar menjadi pemimpin adalah memiliki kecakapan-kecakapan tertentu seperti

kepandaian bertani, kepandaian berburu, kemahiran berpidato dan berdiplomasi, kepandaian

berdagang dan kesanggupan menyelenggarakan upacara intensifikasi.

Membandingkan kecakapan-kecakapan yang merupakan syarat tersebut di atas antara tiga suku-

bangsa itu, maka nampak hal-hal berikut; pertama, bahwa seluruh kecakapan itu tidak merupakan

syarat mutlak yang harus dipenuhi oleh seorang pemimpin. Data etnografi menunjukkan bahwa

pengutamaan kecakapan-kecakapan tertentu bebeda dari satu masyarakat dengan masyarakat

lainnya. Demikianlah dapat dilihat misalnya, kecakapan berdagang dan berdiplomasi merupakan

syarat utama yang dituntut dari seorang bobotatau pemimpin pada orang Maybrat, sedangkan

kecakapan bertani dan berburu hanya merupakan syarat pelengkap saja. Bagi orang Me, kecakapan

bertani dan memelihara babi merupakan syarat utama, sebab suatu pesta babi yang merupakan arena

perdagangan atau pasar tempat jual beli daging babi dengan kulit kerang, hanya dapat dilakukan

apabila tersedia banyak babi. Memelihara banyak babi membutuhkan banyak makanan yang terdiri

dari hasil kebun (ubi manis). Oleh karena itu, mereka yang berhasil dalam kebun sajalah yang dapat

memelihara banyak babi.

Seperti halnya orang Me, kecakapan bertani dan memelihara babi, bagi orang Muyu adalah syarat

yang penting untuk seorang pemimpin. Sebabnya ialah bahwa keberhasilan memelihara babi sangat

penting bagi terselenggaranya suatu pesta babi yang merupakan hasil penting dalam kehidupan orng

Muyu. Untuk kepentingan penyelenggaraan pesta babi pada orang Muyu selalu dipotong sejumlah

besar ekor babi.

Kecakapan lain yang dituntut dari seorang pemimpin adalah kemampuannya menyelenggarakan suatu

upacara intensifikasi. Kemampuan tersebut meliputi keberhasilan ekonomi, banyak babi dan banyak

hasil kebun, juga meliputi pengetahuan seseorang dalam hal mengatur pelaksanaan upacara

intesifikasi.

Bagi orang Muyu, kecakapan penyelenggaraan pesta babi atau atatbon, bukan suatu hal yang

gampang, sebab menuntut pengetahuan berorganisasi dan pengetahuan religius. Pengetahuan

berorganisasi dalam pesta babi penting sebab menyangkut pengaturan macam-macam aktivitas

menjelang pada waktu berlangsungnya dan pada waktu penutupan pesta babi. Pada waktu menjelang 

pesta babi, harus ditentukan tempat (lokasi) dan menyiapkan bangunan-bangunan (pondok-pondok)

bagi para peserta pesta, membangun rumah pesta (atatbon), dan mengumpulkan makanan dan

minuman yang cukup serta menyiapkan babi yang cukup banyak untuk dipotong dalam pesta. Selain

itu, harus disiapkan juga sejumlah babi suci yang diperuntukkan bagi kekuatan-kekuatan alam agar

pesta yang akan diselenggarakan dapat berjalan dengan baik dan membawa hasil yang banyak bagi

pemerkarsa pesta. Demikian pula pada waktu pesta sedang berlangsung diperlukan pengetahuan

untuk mengatur konsumsi bagi para peserta pesta yang terdiri dari dua sampai tiga ribu orang. Selain

itu, diperlukan pula pengetahuan untuk mengatur keamanan antara peserta  yang berasal dari

kelompok-kelompok yang biasanya bermusuhan. Juga pengetahuan tentang aturan-aturan yang

menyangkut cara pemotongan babi dan penjualan daging babi yang merupakan acara puncak pesta

tersebut harus dikuasai oleh pemerkarsa upacara.

Pengetahuan religius juga sangat diperlukan oleh seorang pemimpin, terutama pengetahuan tentang

penyelenggaraan suatu pesta babi. Berbagai upacara religius harus dilakukan demi suksesnya pesta,

misalnya upacara yawarawonyang dilaksanakan pada waktu persiapan pesta. Pada upacara ini,

ditanami pohon sakral yang merupakan pusat dari tempat pesta babi; juga

upacarayawarawon menyangkut pembuatan kandang-kandang untuk menampung babi-babi yang

akan dipotong dalam pesta. Pantangan-pantangan tertentu seperti misalnya, seorang yang berperan

sebagai orang yang memotong babi pertama pada waktu pesta, selama masa persiapan  tidak boleh

makan makanan yang di masak oleh perempuan. Tujuan utama dari upacara-upacara religius dan

pantangan-pantang itu adalah agar penyelenggaraan pesta mendapat bantuan dari kekuatan-

kekuatan alam atas untuk memperoleh banyak kulit kerang, ot, dalam pesta babi yang memang

berfungsi sebagai tempat jual beli daging babi dengan kulit kerang.

Seperti halnya orang Muyu, orang Maybrat juga menuntut kepandaian berorganisasi dari seorang

pemimpin atau bobot. Kepandaian atau kemampuan berorganisasi itu dapat dilihat terutama pada

penyelenggaraan suatu pesta bobot. Kepandaian berorganisasi pada seorang pemimpin Maybrat

bukan saja menuntut pengetahuan  yang bersifat profan saja tetapi juga pengetahuan religius (sakral).

Pengetahuan profan terwujud dalam keberhasilan seorangbobot untuk mengatur pelaksanaan

pesta  bobot, meliputi pengorganisasian membangun rumah-rumah pesta, pengumpulan bahan

konsumsi yang dibutuhkan selama upacara pesta berlangsung dan pengumpulan kain timurserta

pengaturan kelompok-kelompok yang terlibat dalam pertukaran kain timurpada waktu pesta. Orang

Maybrat telah mengembangkan inisisasi (pendidikan tradisional yang disebut wiyon), setiap anak

muda yang dianggap memiliki sifat berwibawa bobot di bawa untuk di didik dalam pendidikan

tradisional wiyon. Dalam melakukan pendidikan inisiasi itu, semua murid tidak diperbolehkan keluar

dari rumah sekolah (k’wiyon) yang mana sangat tertutup dan sakral, bilaman merasa buang air,

mereka digendong oleh guru pembimbingnya menuju tempat yang sudah di siapkan (wc). Setiap

murid memiliki seorang pembimbing yang disebut raa wiyon dan seorang guru besar yang disebut raa

bam. Dalam perencanaan penyelenggaraan inisiasi, seorang guru pembimbing bahkan guru besr harus

menjaga kesucian mereka yaitu tidak mendekati isteri, atau wanita, tidak diperbolehkan memakan

daging, dalam waktu 2 minggu menjelang pelaksanaan inisiasi. Bangunan sekolah atau juga dibilang

tabernakel mempunyai aturan dan kegunaan fungsi ruang, dimana ruang luar biasanya di perbolehkan

kepada semua orang baik wanita dan pria, dewasa bahkan anak-anak untuk melewatinya, sedangkan

runga suci, tidak diperbolehkan untuk wanita, anak-anak, bahkan seorang guru raa wiyon yang

melakukan pelanggaran aturan dilarang masuk, ruang maha suci, merupakan ruang yang sakaral dan

mereka yang pantas memasukinya adalah seorang guru besar raa bam-imam untuk membawa korban

persembaha. Dalam melaksanakan inisiasi tersebut, biasanya sudah ditentukan waktu, yaitu 6-9 bulan

untuk yang bersedia dididik sebagai raa wiyon atau guru biasa atau rasul, sedangkan 9-12 bulan untuk

murid yang dipersiapkan sebagai buru besar raa bam atau imam. Setelah dididikan dalam waktu yang

sudah ditentukan, maka yang terakhir di lakukan untuk mengetahui keberhasilan setiap murid adalah

menguji mereka atau disebut  sana wiyon, dalam pelaksanaan sana wiyon disini akan dilihat, diantara

murid kalo yang berhasil dan mampu mampu misalnya menyembuhkan orang, atau menghentikan

hujan, maka ia lolos dan dikatakan sebagai wiyon tna sebaliknya untuk murid yang tidak berhasil

dalam semua perintah tersebut, ia di nyatakan gugur atau jatuh ujian atau yatah koõn. Selain itu,

pengetahuan religius penting juga sebab segala aktivitas sekitar pestabobot selalu disertai dengan

tindakan-tindakan religius yang harus dipatuhi.

Disampingnya kepandaian berorganisasi seorang bobot dapat dilihat pada keberhasilannya untuk

memimpin kelompoknya (in-group) – terdiri dari bobotsendiri dan anak-anak buahnya, raa

kinyah- untuk melakukan ekspedisi-ekspedisi penukaran kain timur dengan rekanan dagangannya

yang tersebar hampir diseluruh daerah pedalaman kepala burung.

Bagi orang Me, kepandaian berorganisasi seperti yang tereapat pada orang Muyu dan orang Maybrat,

juga penting, sebab penyelenggaraan suatu pesta babi yang biasanya menelan biaya konsumsi yang

besar dan yang melibatkan banyak pihak, tentu menuntut pengetahuan berorganisasi dari seorang

guna mengatur terselenggaranya pesta babi. Perbedaan antara orang Me di satu pihak dengan orang

Maybrat dan orang Muyu pada pihak yang lain dalam hal pengetahuan berorganisasi ialah bahwa

orang Me tidak menggunakan kekuatan magis dalam acara-acara sekitar suatu pesta babi utnk

mencapai keberhasilannya seperti halnya orang Maybrat dan orang Muyu. Orang Me percaya bahwa

keberhasilan untuk menyelenggarakan suatu pesta babi semata-mata tergantung dari kemampuan

berorganisasi penyelenggara, bukan campur tangan alam gaib (pospisil 1978:92). Nuansa dapat

ditangkap dari penjelasan diatas ialah bahwa pada orang Muyu dan orang Maybrat syarat memiliki

kekuatan magis bagi seorang pemimpin dianggap penting, sedangkan bagi orang Me kurang penting.

Syarat-syarat lain yang dituntut pula dari seorang pemimpin pada tiga suku-bangsa tersebut adalah

kemahiran berpidato dan kepandaian berdiplomasi. Data etnografi menunjukkan bahwa syarat-syarat

tersebut secara positif terdapat pada tiga suku-bangsa tersebut, namun bukan merupakan syarat

mutlak melainkan syarat pelengkap.

Dengan demikian disimpulkan bahwa kekuasaan konsensus merupakan unsur paling penting yang

digunakan dalam sistem politik pria berwibawa pada orang Maybrat, orang Me dan orang Muyu,

sedangkan kekuasaan coesif atau koersif hanya merupakan unsur pelengkap saja.

Orang Maybrat, Imian, Sawiat, mengatakan inisiasi selain mendidik dan membentuk seseorang

sebagai pria berwibawa, juga merupakan tempat berinteraksi antara manusia dan Allah dalam

kemuliannya di dalam tabernakel. Baca dalam TEOLOGI TRADISIONAL SUKU MAYBRAT IMIAN SAWIAT

YANG DIPARALELKAN DENGAN ALKITAB (karya Hamah Sagrim, 2008). Bandingkanlah

antara k’wiyon dengan tabernakel musa.

Bentuk babi suci adalah babi yang berasal dari keturunan babi pertama yang merupakan hasil

perkawinan antar bagian tubuh tokoh mite kamberap yang di sembelih (Den Haan, 1955:163).

Persamaan serta perbedaan dari hasil analisis komparatif terhadap syarat-syarat kepemimpinan pada

tiga suku-bangsa diatas dapat ditunjukkan secara sederhana dalam paradigma dibawah ini.

Hasil perbandingan dari sistem politik pria berwibawa dengan keterampilan berwira swasta antara

ketiga suku-bangsa seperti yang dimuat dalam penjelasan-penjelasan diatas menunjukkan bahwa

walaupun orientasi hidup mereka sama, yakni mencari kekayaan, namun cara yang ditempuh  masing-

masing tipe pemimpin untuk mncapai dan mengalokasi cita-cita umum tersebut demi kepentingan

politiknya menampakan ciri-ciri khas tertentu yang dapat membedakan mereka antara satu sama lain.

Paradigma Kepemimpinan pria berwibawa Orang Maybrat

TUJUAN/CIRI                                           ORANG           ORANG         ORANG

MAYBRAT           ME              MUYU

I. ORIENTASI HIDUP

Kekayaan                                                            +++                   +++                 +++

1. I. CIRI-CIRI

I. Brmurah hati

I.1. Implikasi Politik                                      +++                   +++                 +++

I.2 Implikasi Moral                                       +++                   +++                  ++

2.  Kemampuan berusaha

2.1. Bertani                                                           +++                   +++                 +++

2.2. Beternak Babi                                        ++                      +++                 +++

2.3. Berdagang                                                  +++                   ++                     ++

3.  Kepandaian berorganisasi

3.1. Pengetahuan Praktis                         +++                   +++                 +++

3.2. Pengetahuan Magis                            +++                     +                    +++

3.3.  Kemahiran berpidato/

berdiplomasi                                                    +++                    +++                +++

3.4. Pengikut melembaga                       +++                    +++                  +

4.  Kemampuan melaksanakan

ritual dan berdagang                                      +++                      +                   +++

5.  Kemampuan melaksanakan

syamanisme                                                     +++                    ++                   +++

6.  Kemampuan memimpin perang             ++                       ++                   ++

7.  Berpoligini

7.1. Keluarga isteri sebagai

partner dagang                                                    +++                    +                     +++

7.2. Isteri sebagai tenaga produktif       +++                    +++                +++

Keterangan: +++ = sangat penting; ++ = penting; + = kurang penting

1. 2. wajah sistem kepemimpinan pria berwibawa suku

maybratdalam kepemimpinan-kepemimpinan mereka sekarang pada birokrasi

pemerintahan. (big man leadership -bobot)

Telah di uraikan bahwa sistem kepemimpinan tradisional suku maybrat yang termasuk dalam sistem

kepemimpinan pria berwibawa memiliki kaitan-kaitan dengan tipe-tipe kepemimpinan sebagai mana

yang di lakukan oleh pemimpin-pemimpin moderen saat ini.

1. 1. Sistem kepemimpinan big man orang maybrat sebagai leadership

Sistem kepemimpinan pria berwibawa suku Maybrat, Big Man yang mana cenderung menampilkan

kemampuan atau pengaruh interpersonal seorangbobot yang mampu menyebabkan seseorang atau

kelompok untuk melakukan apa yang seorang bobot inginkan, atau juga kita bisa menyebut

para bobotsebagai Leadership.

1. 2. Operational Type Big Man Leadership

Tipe kerja kepemimpinan pria berwibawa suku Maybrat adalah mereka sangat antusias dan serius

dalam melaksanakan segala sesuatu yang mereka kerjakan. Nilai-nilai yang terbangun dalam sistem

kepemimpinan operational bobot – Big Man Leadership orang Maybrat adalah sebagai berikut :

Rajin – samioh

Produktif – mes bobot

Orientasi kerja yang jelas (Action Oriented) – krek aam ase

Transparansi (tidak melakukan sesuatu dibelakang-belakang) -

Berani dan Aktif berdiplomasi

Fleksibel

Realistik

Ekspresif

Inisiatif Tinggi

Tegas

Cepat

Spontan

1. 3. Promotion type big man leadership

Tipe kepemimpinan pria berwibawa suku Maybrat dengan menggunakan metode kepemimpinan yang

suka mempromosikan kemampuanny dalam meraih banyak kain timur. Nilai-nilai yang menonjol

dalam promotion type bobot-big Man leadership adalah:

Pemimpin bobot yang Lincah

Pemimpin bobot yang berjiwa Periang

Pemimpin bobot yang romantis

Pemimpin bobot yang penhibur

Pemimpin bobot yang promotional, memiliki relasi aktivitas bermain kain timur – Team Worker

Pemimpin bobot yang terbuka

Pemimpin bobot yang Polos

Pemimpin bobot yang Antusias

Pemimpin bobot yang Fleksibel

Pemimpin bobot yang Luwes

Pemimpin bobot yang Introvert

Pemimpin bobot yang penuh Perhatian

Pemimpin bobot yang komunikatif dan hangat

1. 4. Negosiator type big man leadership

Tipe kepemimpinan bobot – big Man Leadership dengan menggunakan kecenderungan Negosiasi,

yang mana memiliki beberapa nilai baik dalam kepemimpinannya adalah:

Sebagai pemimpin bobot yang sabar

Negosiator

Kepemimpinan yang sangat efisien dan efektif

Bertoleransi

Sebagai pemimpin bobot yang tenang dan tertib.

Memiliki kemampuan strategis

Analistis

Sebagai pemimpin yang berwibawa dan taat pada setiap kegiatan

Sebagai pemimpin bobot yang Disiplin

1. 5. Conceptual type big man leadership

Tipe kepemimpinan bobot – big Man leadership yang memiliki kemampuan konseptual.

Kepemimpinannya memiliki beberapa kelebihan tertentu yang membawanya sukses adalah:

Pemimpin bobot yang seleranya tinggi (perfectionist)

Sebagai pemimpin bobot yang teliti dan juga sebagai pengamat jitu

Sebagai pemimpin bobot yang Konseptual, analitis dan Mandiri serta serius

Pemimpin bobot yang tertib

Orientasi pada Tugas dan sebagai pemimpin bobot yang responsif terhadap feeling rendah

Sebagai pemimpin bobot yang ramah, pendengar, menyimak.

Sebagai pemimpin bobot yang tenang dan terukur

Sebagai pemimpin bobot yang suka berdiplomatis, pemikir dan selalu hati-hati.

1. 6. Grid type big man leadership

Tipe kepemimpinan bobot yang selalu berkonsentrasi terhadap rakyat dan penghasilan, lebih

cenderung pada pola manajemen kepemimpinan. Type ini memiliki beberapa faktor pendukung antara

lain sebagai mana berikut adalah:

Klen management – klen manajemen. (kelompok yang terdiri dari keluarga-keret atau marga,

mereka  memiliki manajemen baik tetapi tidak memanfaatkannya dengan baik “hura-hura”)

perbandingan poin 9:1

Team management – team manajemen. (kelompok yang terdiri dari Team, mereka cenderung

memanfaatkan peluang dengan memanajemnnya secara efektif sehingga mereka berhasil),

perbandingan pon 9:9.

Midle of the road management – kelompok manajemen sedang. (kelompok ini cenderung berada

di tengah antara klen management, team manajemen dan improve manajemen serta task

manajemen)

Kepemimpinan  Big Man – Bobot Leadership Grid orang ayamaru dapat di ukur dari dua variabel, yaitu

orientasi pada kerabat atau orang (concern for people) dan orientasi pada hasil kain Timur (concern

for production). Kemudian hasilnya disusun dalam 9 poin/kriteria. Dari dua variabel kepemimpinan big

man – bobotini maka, akan ada 5 kategori kepemimpinan, yaitu:

Gambar:

tipe kepemimpinan yang selalu berkonsentrasi terhadap rakyat dan penghasilan

Tipe kepemimpinan bobot pada grid 1.1. adalah kepemimpinan bobot yang sangat buruk, tidak

memiliki kepedulian kepada produktifitas/hasil permainankain timur dan juga tidak berorientasi pada

rakyatnya (raã kinyah). Pada pemimpin bobot dengan grid 9.1 adalah tipe pemimpin bog Man –

bobot “country – club”

yang berorientasi/mementingkan rakyatnya lebih daripada memperhatikan hasil bisnis kain timur.

Sebaliknya pemimpin Big Man – Bobot pada grid 1.9 adalah pemimpin bobot – Big Man yang terlalu

berorientasi pada hasil permainan kain timur tetapi melanggar prinsip-pronsip  kekerabatan

klen (human relation). Orientasi pada sistem permainan kain timur dan hasil permainan kain

timuryang tinggi, tetapi keprihatinan pada rakyat rendah. Sedangkan yang ideal, dimana

pemimpin Big man – bobot dapat memobilisasi pengikutnya dengan hasil yang optimal adalah 9.9

yaitu organisasi sangat produktif dan relasi interpersonal pemimpin dengan yang yang dipimpin

sangat solid.

1. Gaya kepemimpinan big man – bobot yang situasional

Gaya kepemimpinan big man – bobot ini cenderung berdasarkan pada tingkat kedewasaan (maturity)

dan kesiapan (readynes) orang yang dipimpinnya/rakyatnya. Kedewasaan dan kesiapan adalah tingkat

kemampuan (willingnes) rakyat yang dipimpinnya dalam menjalankan tugas tersebut. Lihat diagram

berikut;

Gambar : Diagram gaya kepemimpinan Big

Man – Bobot

Gambar: Tabel kesiapan orang  Maybrat

yang dipimpin oleh Bobot

1. 1. Transactional leadership – gaya kepemimpinan bobot yang transaksional

Gaya kepemimpinan pria berwibawa bobot dimana selalu melakukan pertukaran-pertukaran/transaksi-

transaksi dengan rakyat yang dipimpinnya utnuk mencapai sesuatu yang diinginkannya (transactional

leadership). Selain itu, bobot juga memberikan hadiah-hadiah secara timbal balik dengan kesepakatan

untuk mencapai tujuan tertentu dalam bermain kain timur(contingen rewards). Bobot juga selalu

melakukan pengawasan atas penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan oleh kerabat-kerabatnya

dari peraturan atau standard serta mengambil tindakan-tindakan korektif (active management by

exception). Seorang bobot akan melakukan intervensi terhadap kerabat-kerabat/rakyat yang

dipimpinnya jika peraturan/standard yang telah ditetapkan tidak dapat dilaksanakan, dalam proses ini

hanya sebatas intervensi dan seorang bobot tidak melakukan penekanan (massive management by

exception).

1. 2. Transformational leadership – gaya kepemimpinan bobotyang bertransformasi.

Gaya kepemimpinan bobot yang bertransformasi merupakan gaya kepemimpinan bobot dimana target

atau tujuan-tujuan para klen atau pengikut-pengikutnya diperluas kekerabatannya atau

ditingkatkan/ditransformasikan sehingga pada akhirnya tumbuhlah rasa percaya diri untuk mencapai

yang lebih dari apa yang ditargetkan.

1. 3. Charisma leadership – pemimpin bobot yang berkarisma

Bobot adalah seorang pemimpin atau seorang pria berwibawa yang sangat dihormati di suku Maybrat

yang mana bobot merupakan pemimpin yang selain memiliki banyak harta kekayaan kain timur juga

ada bobot yang memiliki karisma, mereka adalah pemimpin-pemimpin berkarisma. Bobot yang

berkarisma memiliki dimensi-dimensi kepemimpinan yang memberikan visi dan misi serta

menanamkan rasa bangga, respek dan kepercayaan  dalam diri kerabat klen yang mengikutinya.

Selain itu, bobot juga memiliki kemampuan menginspirasikan kerabat-kerabat klen pengikutnya, yaitu

ia berkemampuan mengkomunikasikan harapan-harapan yang agung, penggunaan simbol-simbol,

mengekspresikan tujuan yang penting dan cara yang dapat dilaksanakan untuk mencapai tujuan

(inspirationalized). Selain itu, bobot juga memiliki kemampuan yang mana mampu memimpin dan

mengembangkan rasionalitas, intelegensi, maupun pemecahan masalah secara kreatif ( intelectual

stimulation). Bobot memiliki kemampuan tersendiri dalam memberikan perhatian dan perlakuan

personal kepada setiap kerabat klen pengikutnya secara pribadi sehingga mereka juga mampu

bertumbuh untuk menjadi orang-orang yang berwibawa.

Berikut ini adalah tabel penilaian diri bobot-big man yang diklasifikasikan menurut karakteristik yang

paling sesuai menyatakan diri seorang bobot. Poin 1 menyatakan pribadi seorang bobot yang paling

tidak sesuai dan 5 menyatakan pribadi seorang bobot yang paling sesuai.

Gambar: Tabel penilaian Bobot

Skor O P N C

100

90

80

70

60 54 59

50 49 45

40

30

20

10

Gambar: skors keterangan diagram penilaian

TYPE

PROMO

TIONAL

P

Orientasi

pada

orang,

respon

terhadap

feellng

tinggi,

cepat

akrab,

komunik

asi

pribadi

hangat,

intuitif,

ekspresif

,

terbuka,

polos,

antusias,

fleksibel,

luwes,

team

worker

K

E

T

E

R

A

N

G

A

N

T

I

P

E

P

E

M

I

M

P

I

N

B

O

B

O

TTYPE OPERATIONAL O

Orientasi pada hasil

Irama cepat, aktif berbicara, fleksibel,

realistik, langsung, inisiatif tinggi,

tegas, terbuka, cepat, spontan

TYPE CONCEPTIONAL C

TYPE NEGOSIATION N

Orientasi pada tugas, respon terhadap

feeling rendah, mendengar, menyimak,

taat terhadap peraturan, tenang, terukur,

tak langsung mendahulukan orang lain

tenggang rasa, halus diplomaatis, hati-

hati, senag berpikir

Orientasi pada ketepatan, irama

rendah menjaga jarak, komunikasi

faktual, analistis, terukur, pandai

menahan diri, berwibawa, disiplin, taat

pada agenda

1. 1. House’s path – goal big man leadership

Penekanan pada motivasi seorang pemimpin suku maybrat bobot  – Big Manyang mampu

mempengaruhi persepsi – persepsi orang – orangnya, baik tujuan pribadi dan pekerjaannya, serta jalan

yang mempertemukan kedua tujuan tersebut.

2.a.12. Dalam kepemimpinan bobot – big man, memiliki 4  kecenderungan gaya pokok

dalam kepemimpinan mereka :

1. 1. big man directve leadership

Kecenderungan ini merupakan gaya kepemimpinan politik bobot – big man yang mengarahkan

tentang apa dan bagaimana melaksanakan tugas atau sistembermain kain timur itu berjalan dengan

lancar.

1. big man supportive leadership

Merupakan gaya kepemimpinan politik bobot – big man yang berfokus pada kebutuhan dan

kenyamanan rakyatnya dan menciptakan sistem kekerabatan ya ng nyaman.

1. big man achievement and oriented leadership

Kecenderungan kepemimpinan politik bobot-big man dengan gaya kepemimpinan yang menekankan

pada target – target keberhasilan dan meyakinkan keluarga kerabat tentang kemampuannya.

1. participative big man leadership

Gaya kepemimpinan politik bobot – big man yang suka mengkonsultasikan, menunjukkan sarang atau

ide – ide pada keluarga klen sebelum mengambil keputusan.

Gambar: Piramida Keseimbangan hidup

Bobot – Big Man

Gambar: Piramida Kepemimpinan seorang Bobot – Big Man

Gambar: Piramida makna pekerjaan dan

sistem politik seorang Bobot – Big man

1. 7. Perdaganagan kain timur –feyah boo – rura – m’fou gu ano

2. 1. Perdagangan tradisional di daerah maybrat imian sawiat.

Perdagangan tradisional antar klen orang Maybrat, Imian, Sawiat (Feah Boo, Rura, Mfou

Guano) merupakan aktivitas yang umum dalam kehidupan mereka. Dalam masyarakat-masyarakat di

daerah maybrat, Imian, Sawiat, berdagang tidak hanya berarti tukar menukar barang yang kurang

diperlukan dengan benda-benda lain yang tidak diperlukan (Guwiat) atau kemudian pertukaran barang

yang sangat diperlukan dengan benda-benda yang melambangkan ukuran nilai tertentu, tetapi

didorong oleh keinginan untuk memperbesar rasa solidaritas antara orang-orang yang saling bertukar-

tukaran kain timur (feah Boo) atau karena keinginan kedua belah pihak untuk menaikkan gengsi

dengan memberikan kain timur yang lebih berharga daripada yang diterimanya. Gejala pertukaran

kain timur seperti itu dibedakan atas 3 bagian besar sebagaimana yang lazim dilakukan, yaitu :

1. 2. Feah Boo

Feah boo adalah pemberian kain timur kepada saudara atau saudari untuk menyelesaikan persoalan

seperti denda masalah (Bo hlat, Boke) atau membayar maskawing (Boyi). Pemberian atau pertukaran

kain timur seperti ini feah boo selalu diadakan suatu kesepakatan bahwa yang dibantu akan

bertanggung jawab untuk mengembalikan kain timur (Boo) yang serupa plus ditambahkan dengan

beberapa kain timur (Boo) sebagai bunga. Pengembalian ini biasa disebut Tho Boo atau masi bah, atau

juga Me Fe Too, bergantung besar kecilnya keterlibatan klen yang ikut merasakan pertukaran kain

timur itu.

1. 3. mfou gu ano

Mfou gu ano merupakan aktivitas orang Maybrat, Imian, Sawiat, yang mana mfou gu ano berarti

kerabat dari mempelai perempuan memberi bantuan kain timur kepada kerabat mempelai laki-laki

melalui isteri mempelai laki-laki dengan perjanian tertentu atau sebagai suatu pinjaman yang mana

suatu saat nanti akan dikembalikan dengan porsen beberapa kain sebagai imbalan dan ucapan terima

kasih. Model ini sangat lazim dilakukan oleh orang Maybrat, Imian, Sawiat, semenjak dulu hingga saat

ini.

Tho Boo →  pengembalian kain dalam jumlah klen kecil sebagai penghargaan.

Masibah →  pengembalian kain timur dalam jumlah klen yang besar

Me fe too →  pengembalian kain timur dalam jumlah klen yang lebih dari besar (melibatkan semua

klen)

1. 8. Pola dan sistem Penerapan Politik Kekuasaan terbatas seorang bobot (big

man) melalu perdagangan kain timur dan perkawinan keluar.

Inti pola penerapan kekuasaan terbatas oleh seorang bobot (big man) adalah sebagai berikut:

1. Orang Maybrat, Imian, sawiat, hidup pada awalnya adalah dalam kondisi alamiah (state of

nature), yaitu kondisi hidup merka mulai dari system klen, atau marga, atau keret, dan

setelah itu melalui perkawinan keluar sehingga terbentuklah kekerabatan patrilineal yang

mana pada akhirnya mereka menjadi hidup bersama. Dalam kondisi alamiah mereka, yaitu

kondisi hidup mereka di bawah bimbingan akal tanpa ada kekuasaan tertinggi dalam

kehidupan mereka yang menghakimi mereka untuk berada dalam keadaan alamiah. Ini

disebut sebagai kehidupan pada masa prapolitik, yang mana orang Maybrat, Imian, Sawiat,

merasa bebas, sederajat, dan merdeka.

2. Setiap orang Maybrat, Imian, Sawiat, mula-mula merasa bahwa mereka memiliki

kemerdekaan alamiah untuk bebas dari setiap kekuasaan superior di dalam kehidupan

mereka dan tidak berada di bawah kehendak atau otoritas legislatif tertentu.

3. Meskipun keadaan alamiah adalah keadaan kemerdekaan, orang Maybrat, Imian, Sawiat,

namun mereka  bukan berada pada keadaan kebebasan penuh. Merekka pun juga bukan

masyarakat yang tidak beradab, tetapi mereka adalah masyarakat anarki yang beradab dan

rasional. Orang Maybrat, Imian, Sawiat, tidak memiliki kemerdekaan untuk menghancurkan

diri mereka atau apa yang menjadi milik mereka. Tetapi pada akhirnya prinsip ego yang

membuatnya merasa dirinya gengsi sehingga mengakibatkan pemikiran bersaing yang

pada akhirnya menjadikannya timbul konflik.

4. Untuk menanggulangi kelemahan dalam hukum alam, terdapat kebutuhan hukum yang

mapan yang diketahui, diterima, dan disetujui oleh kesepakatan bersama untuk menjadi

standar benar dan salah. Orang Maybrat, Imian, Sawiat, telah menetapkan aturan-aturan

pada Teologia Wiyon-wofle sebagai penyeleksi dosa (iro) yang biasanya akan diadakan

setiap saat untuk pengakuan dosa. Ini disebut dengan (tgif iro) atau upacara pengakuan

dosa. Dan salah satu aturan lainnya adalah hokum isti, yang sangat begitu keras dengan

aturan-aturannya.

5. Setiap orang Maybrat, Imian, Sawiat, tidak menyerahkan kepada komunitas lain tentang

hak-hak alamiahnya yang substansial, tetapi mereka akan tetap dengan menjalankan hak-

hak untuk melaksanakan hukum alam.

6. Hak yang diserahkan oleh orang Maybrat, Imian, Sawiat, secara individu kadang kala

diberikan kepada orang sebagai individu, adajuga yang diberikan kepada kelompok

tertentu, bahkan kepada seluruh komunitas.

7. Perdagangan kain timur dan Perkawinan keluar adalah jalinan untuk membentuk suatu

masyarakat politik. Ketika masyarakat itu telah terbentuk, kemudian harus membentuk

system kekerabatan patrilineal yang dilanjutkan dengan membentuk suatu sistem strata

sosial  yang tepercaya sehingga sosok yang begitu terlihat berwibawa dan terkaya diantara

mereka akan diangkat secara otomatis sebagai seorang bobot (big man)sesuai dengan

criteria yang telah dilihat untuk memimpin kelompok sosial masyarakat tertentu guna

mencapai sasaran tertentu.

8. Seorang bobot (bigman) adalah pemimpin tertinggi dilingkungan masyarakat Maybrat,

Imian, Sawiat, mula-mula. Seorang bobotini kemudian bermain kain timur dan melakukan

perkawinan keluar yang mana didalamnya terselubung maksud dan tujuan tertentu yang

akan dicapai kemudian. Ini merupakan awalan orang Maybrat, Imian, Sawiat, mengenal

bermain politik. Permainan politik melalui bermain kain timur dan perkawinan keluar

sebagai suatu strategi menghimpun kekerabatan yang banyak dan kerabat-kerabat

tersebut dijadikan sebagai pengikut sehingga dengan sendirinya pelaku akan dikatakan

sebagai seorang pemimpin atau bobot. Sistem ini dalam kehidupan tradisional orang

Maybrat, Imian, Sawiat,  yang mana seorang bobot (big man) adalah  pembuat sekaligus

pewaris keputusan tersebut. Sebagai pembuat ia menetapkan batas-batas kekuasaan,

sedangkan sebagai pewaris ia adalah penerima manfaat yang berasal dari pelaksanaan

kekuasaan tersebut. Inilah pola dan sistem kekuasaan terbatas yang dilakukan oleh seorang

bobot (big man).